TRT

R2

Serial Bukek Siansu 08 Sepasang Pedang Iblis

Sepasang Pedang Iblis

 

Cipt: Kho Ping Ho

Serial Bu Kek Sian Su (8)

 

Kuil tua itu berdiri di tepi Sungai Fen-ho, di lembah antara Pegu­nungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san, di sebelah selatan kota Taigoan. Sunyi sekali keadaan di sekitar tempat itu, sunyi dan kuno sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan keadaan alam yang sunyi dan liar di sekelilingnya. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman.

Akan tetapi, pada sore hari itu, ke­adaan di sekeliling kuil tampak amat menyeramkan karena ada bayangan-ba­yangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mengadakan persiapan sesuatu. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan melainkan manusia-manusia, sung­guhpun manusia-manusia yang menyeram­kan karena mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersi­kap kasar dan berwajah liar. Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan kekuat­an yang jauh lebih daripada manusia-manusia biasa. Golok besar yang terselip di punggung dan golok lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan ilmu silat dan senjata mereka.

Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah terkenal bertahun-tahun lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian mereka amat tinggi ka­rena mereka ini yang berjuluk Fen-ho Ngo-kwi (Lima Iblis Sungai Fen-ho) ada­lah anak buah yang sudah menerima gemblengan dari mendiang Kang-thouw-kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal dengan nama poyokan Setan Botak itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu.

“Twako, tidak kelirukah kita? Apa­kah benar kuil ini yang dimaksudkan dalam pesan Gak-locianpwe?” Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang mempu­nyai tahi lalat besar di dagunya, ber­tanya kepada orang tertua di antara mereka yang matanya besar sebelah.

“Tidak salah lagi,” jawab orang ter­tua Fen-ho Ngo-kwi yang usianya kurang lebih lima puluh tahun itu sambil me­mandang ke arah kuil tua. “Satu-satu­nya kuil tua di tepi Sungai Fen-ho di daerah ini hanya satu inilah. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?”

“Lebih baik kita serbu saja ke da­lam!” kata Si Tahi Lalat sambil men­cabut goloknya.

Twakonya mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, siap untuk menyerbu. Pimpinan rombongan itu menggerakkan tangan kepada adik-adiknya dan berkata, “Kau masuk dari pintu be­lakang, dan kau dari jendela kiri, kau dari jendela kanan, seorang menjaga di luar dan aku yang akan menerjang dari pintu depan!” Mereka berpencar, gerak­an mereka gesit dan ringan sekali. Kuil itu telah dikurung. Pemimpin itu mem­beri isarat dengan tangan dan mereka menyerbu memasuki kuil dari empat ju­rusan.

Tiba-tiba tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang kuil. Sinar-sinar hitam ini adalah sen­jata-senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari baja. Lima orang tinggi besar kaget sekali, cepat menggerakkan golok mereka menangkis.

“Cring-cring-tranggg....!” Terdengar suara nyaring dan golok mereka itu pa­tah semua, disusul suara jerit lima orang itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu. Me­reka roboh dengan dahi pecah karena masing-masing terkena senjata rahasia yang menancap di antara alis mereka. Tubuh mereka berkelojotan, mulut me­reka mengeluarkan suara mengorok dan akhirnya tubuh mereka berhenti ber­gerak, tak bernyawa lagi. Hanya darah mereka yang bergerak mengucur keluar dari dahi!

Dari belakang dan depan kuil ber­lompatan keluarlah dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti ku­rang makan, pantasnya mereka adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan senjata rahasia sekali lepas dapat me­robohkan dan menewaskan lima orang bajak Fen-ho Ngo-kwi, menjadi bukti bahwa dua orang ini tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Begitu mudahnya mereka mem­hunuh anak buah dan juga murid-murid mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi, benar-benar sukar dipercaya!

“Heh-heh, Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita! Sungguh menjemukan!” kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga seperti tengkorak dibungkus kulit tipissaja. Ia bertolak pinggang memandang mayat-mayat para bajak setelah melompat dengan gerakan seperti terbang cepatnya.

Kakek ke dua yang tadi bersembunyi di belakang kuil, juga melompat cepat dan ia membelalakkan kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia kelihatan selalu tidur memejamkan mata. “Tentu masih ada lagi saingan lain, Suheng. Bu­kankah Pangcu berpesan agar kita hati-hati? Pesanan itu menandakan bahwa di sini tentu terdapat banyak lawan pan­dai.” katanya, juga bertolak pinggang. Tampak pada lengan kanan kedua orang kakek ini lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya dicacah pada kulit lengan mereka.

“Heh-heh, Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang Thian-liong-pang? Selama negeri dalam perang, kita tidak bergerak akan tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau partai-partai lain hancur dan rusak oleh perang, partai kita ma­lah makin kuat. Sekarang tibalah saat­nya Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu menginginkan bocah itu, siapa yang akan berani menentang?”

Si Mata Sipit mengangguk-angguk. “Engkau benar, Suheng. Keinginan Pang­cu kita merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapapun juga. Yang me­nentangnya berarti mati, seperti lima orang kasar ini. Thian-liong-pang adalah partai terbesar dan terkuat di dunia un­tuk masa kini.”

“Awas, Sute....!” Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru dan keduanya cepat mengelak, dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan karena secara tiba-tiba sekali ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil akan te­tapi yang menyambar amat cepat dan kuatnya, masing-masing tiga batang me­nyambar ke arah leher, ulu hati, dan pusar mereka! Jalan satu-satunya hanya mengelak seperti yang mereka lakukan tadi karena untuk menyambut hui-to-hui-to yang meluncur secepat itu, sungguh amat berbahaya sekali.

Dua orang anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan mereka menggerakkan tangan dan meluncur­lah sinar-sinar hitam dari senjata raha­sia bintang mereka ke arah datangnya hui-to tadi. Senjata rahasia mereka itu tadi sudah terbukti keampuhannya ketika merobohkan lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan tetapi betapa terkejut hati me­reka ketika melihat betapa enam buah hui-to yang luput menyerang mereka tadi kini terbang kembali amat cepat­nya dan dari samping enam golok kecil itu menyambari bintang-bintang mereka. Terdengar suara keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang golok kecil bersama bintang-bintang baja itu runtuh semua ke atas tanah. Biarpun dua orang anggauta Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan ini, namun hati mereka lega bahwa bintang-bintang baja mereka ternyata tidak kalah kuat sehingga hui-to-hui-to itu pun runtuh, tanda bahwa tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga lawan yang belum tampak. Me­reka segera meloncat bangun dan Si Ma­ta Sipit memaki,

“Keparat curang, siapa engkau?”

Dari balik rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil ter­senyum mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun, berjenggot dan kumisnya kecil panjang, bajunya berle­ngan lebar. Yang wanita juga berusia empat puluh tahun lebih, rambutnya di­ikat dengan saputangan sutera putih, juga lengan bajunya lebar. Yang amat mengerikan pada dua orang ini adalah warna kulit mereka. Yang wanita kulit­nya, dari mukanya sampai kulit lengan­nya, berwarna jambon kemerahan, sedangkan yang laki-laki kulitnya berwarna ungu kebiruan! Sungguh sukar mencari orang berkulit dengan warna seperti itu, seolah-olah kulit tubuh mereka itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya ku­lit, bahkan mata mereka pun berwarna seperti kulit mereka!

“Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang Thian-liong-pang amat sombong, dan ternyata ucapan me­reka besar-besar. Ha-ha-ha!” Laki-laki berkulit

“Gentong kosong berbunyi nyaring, orang bodoh bermulut besar. Apa aneh­nya?” Wanita berkulit jambon itu me­nyambung, bersungut-sungut dan meman­dang kepada dua orang murid Thian-liong-pang dengan pandang mata meren­dahkan.

Dua orang murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata terbuka lebar. Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit laki-laki dan wanita itu, kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya masih mem­bayangkan rasa kaget dan heran.

“Ji-wi.... Ji-wi.... dari Pulau Nera­ka....?”

Kini kedua orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu mereka saling pandang. Kemudian laki-laki ber­muka ungu itu menghadapi kedua orang Thian-liong-pang dan menjura, “Ahh, kiranya Thian-liong-pang memiliki mata yang tajam sekali. Pantas terkenal se­bagai partai besar! Kami tidak pernah turun ke dunia ramai, kini sekali muncul Ji-wi telah dapat mengenal kami. Sungguh mengagumkan sekali!” Dia lalu me­ngeluarkan suara yang aneh, nyaring se­kali dan terdengar seperti suara burung. Dari dalam hutan di belakangnya ter­dengar suara siulan yang sama dan tak lama kemudian tampaklah belasan orang berlarian datang ke tempat itu seperti terbang cepatnya. Setelah dekat, dua orang Thian-liong-pang memandang de­ngan mata terbelalak karena kulit belas­an orang ini pun aneh sekali, delapan orang berkulit hitam dan delapan orang pula berkulit merah tua!

Si Muka Tengkorak lalu bersuit nya­ring dan dari sebelah belakangnya muncul pula serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua puluh orang! Kedua rombongan kini berhadap­an dengan sikap siap siaga menanti pe­rintah bertanding. Akan tetapi, kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi,

“Ha-ha-ha, kiranya Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami mendapat perintah agar tidak me­mancing pertempuran dengan fihak lain, apalagi dengan fihak Thian-iiong-pang. Kami datang hanya untuk menjemput anak yang berada di dalam kuil.”

“Nanti dulu, sobat!” Si Muka Teng­korak berkata. “Kami pun menerima tugas dari Pangcu (Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada di dalam kuil. Dan Thian-liong-pang tidak ingin bermusuhan, apalagi dengan fihak Ji-wi, karena sudah menjadi cita-cita Thian-liong-pang untuk bersahabat dan menya­tukan semua partai persilatan.”

“Hemmm, bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan bukti­nya? Kami melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti) mem­bunuh lima orang ini,” Si Muka Ungu mencela.

Murid Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling ke arah mayat lima orang Fen-ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh. “Mereka hanyalah bajak-bajak sungai yang hina, tidak masuk hitungan. Apalagi mereka itu merupakan golongan yang patut dibasmi. Harap Ji-wi dapat mengerti dan membedakan.”

“Sudahlah!” Si Wanita bermuka jambon mencela. “Kami tidak peduli akan semua urusan kalian. Kami datang hendak me­ngambil anak itu. Marilah Suheng, kita lekas melaksanakan tugas!” Ia sudah bergerak maju hendak memasuki kuil.

“Eh, eh, nanti dulu, Toanio!” Kini Si Mata Sipit maju menghalang. “Terang bahwa Thian-liong-pang tidak ingin ber­musuh, akan tetapi agaknya dalam urus­an ini di antara kita ada pertentangan. Kami pun bertugas untuk mengambil bocah itu.”

“Bagus! Kalau begitu, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat memberes­kan pertentangan ini!” Wanita bermuka jambon itu membentak. Suhengnya juga memandang marah dan enam belas orang anak buah mereka semua sudah men­cabut pedang.

“Srat-srat-sratttt!”

“Sing-sing-sing!” Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut pedang dan golok.

Dua orang murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat ta­ngan memberi isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudien Si Muka Tengkorak menjura dan berkata kepada dua orang aneh yang mereka anggap tokoh-tokoh dari Pulau Neraka itu.

“Harap Ji-wi menghindarkan pertem­puran yang tidak perlu. Memang kita se­mua sebagai utusan-utusan harus melak­sanakan tugas kita, dan kita masing-masing dua orang merupakan penanggung jawab yang tidak perlu menarik anak buah dalam pertempuran.”

“Hemm, maksudmu bagaimana?” tanya wanita bermuka jambon menantang.

“Kita mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat di­bereskan secara orang-orang gagah.”

“Maksudmu sebagai orang-orang ga­gah mengadu ilmu?” tantang Si Wanita.

“Begitulah. Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam kuil kepada yang menang. Setuju?”

“Akur! Majulah!” Si Wanita menan­tang.

Dua orang Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si Muka Tengkorak memandang ke sekeliling. Ke­dua pasukan sudah mundur jauh dan setengah bersembunyi di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. “Tempat ini kurang lega untuk bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!” katanya dan ia menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang. Dengan gerakan seenak­nya ia mendorong dan pohon itu tumbang, mengeluarkan suara hiruk-pikuk.

“Benar, harus disingkirkan pohon-po­hon ini!” kata Si Mata Sipit dan dia pun menghampiri sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suhengnya. Sebentar saja enam batang pohon sudah mereka tumbangkan!

Para anggauta Thian-liong-pang bar­sorak memberi semangat sedangkan para anak buah yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandnng tar­belalak, kagum akan kekuatan hebat dua orang Thian-liong-pang itu. Akan tetapi, laki-laki bermuka ungu dan wanita bermuka jambon itu tertawa mengejek.

“Batu-batu ini pun menghalang gerakan pertandingan!” kata Si Wanita muka jambon dan kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar anak kerbau itu terbang seperti sepotong batu kerikil dilempar saja. Suhengnya juga melakukan ini dan sebentar saja ada delapan buah batu beterbangan! Anak buah mereka kini bersorak-sorak dan giliran anak buah Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri hatinya. Betapa kuat kedua orang aneh itu!

“Bagus! Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!” kata Si Mata Sipit dan seperti dikomando saja, empat orang itu telah saling se­rang dengan hebat. Keempat orang ini tidak memegang senjata dan hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih ber­bahaya daripada sambaran pedang atau golok, dan angin menderu ketika mereka saling pukul sehingga rumput dan daun pohon bergoyang seperti diamuk badai!

Wanita muka jambon bertanding me­lawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si Mata Sipit lebih besar sehingga wanita itu tidak berani langsung menangkis atau mengadu lengan, akan tetapi wanita itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, juga gerakannya jauh lebih cepat se­hingga pertandingan itu amat seru. Di lain fihak, pertandingan antara Si Muka Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi karena tenaga mereka seimbang. Berkali-kali mereka keduanya terdorong mundur, akan tetapi secepat kilat sudah maju lagi dan melanjutkan pertandingan mereka.

Pada waktu itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang baru muncul sejak bangsa Mancu menyerang ke selatan. Selama perang berlangsung, Thian-liong-pang tidak mau melibatkan diri, bahkan diam-diam memupuk tenaga mereka dan memperdalam ilmu silat. Puluhan tahun yang lalu, Thian-liong-pang yang berpusat di Yen-an, di kaki Lu-liang-san sebelah barat, Thian-liong-pang menjadi sebuah partai golongan hitam, diselewengkan oleh ketuanya di waktu itu yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti) dengan murid-muridnya yang jahat sebanyak dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga). Akan tatapi, semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu ka­kek itu sendiri, seorang laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong kembali ke jalan lurus. Ten­tang Siangkoan Li ini dapat dibaca da­lam cerita “Mutiara Hitam”. Kemudian bertahun-tahun Thian-liong-pang diketuai oleh orang-orang yang gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Ilmu silat me­reka itu adalah ilmu keturunan dari dua orang kakek sakti yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Makin lama ketua-ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan Li, memperdalam ilmu kesaktian dari kedua orang kakek sakti itu sehingga kini para pimpinan Thian-liong-pang merupakan orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Dua orang ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima, namun ilmu kepandaian mereka sudah hebat se­kali.

Adapun dua orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat mereka masih amat rendah di kalangan penghuni Pulau Neraka yang merupakan keluarga besar orang-orang aneh. Warna-warna pada muka mereka menandakan bahwa tingkat mereka masih rendah, namun toh mereka sudah dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang tokoh Thian-liong-pang tingkat lima! Anak buah Pulau Ne­raka semua kulitnya berwarna hitam atau merah. Warna hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu disusul merah sebagai tingkat lebih tinggi, kemudi­an biru, ungu, hijau dan jambon. Makin terang warna itu, makin tinggilah ting­kat kepandaiannya! Namun pada masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah dongeng saja karena sudah ratusan tahun tidak pernah muncul. Na­ma Pulau Neraka disejajarkan dalam ra­hasia dan keanehannya dengan Pulau Es, bahkan lebih tua lagi! Dua orang tokoh Thian-liong-pang itupun hanya mende­ngar “dongeng” dari ketua mereka, ten­tang warna-warna aneh kulit para peng­huni Pulau Neraka maka tadi mereka dapat menduga tepat!

Pertandingan masih berlangsung de­ngan hebatnya, dan tak seorang pun di antara mereka pada saat-saat yang amat berbahaya bagi nyawa mereka itu ingat akan anak yang mereka jadikan rebutan dan yang menjadi bahan pertandingan-pertandingan itu, bahkan yang menyebab­kan kematian lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu?

Bocah itu adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka bulat dengan kulit putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh keberanian, berusia kurang lebih lima tahun! Sudah lebih dari tiga bulan anak itu hidup se­orang diri di dalam kuil tua! Benar amat mentakjubkan keberanian anak ini. Tadi­nya dia tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan tetapi semenjak ibunya pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang diri di tempat sunyi ini. Namun dia tidak pernah me­nangis, tidak pernah mengeluh, mencari makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak bisa mendapatkan buah-buahan atau tidak dapat menangkap bi­natang, ia hanya makan daun-daun muda ditambah air gunung! Akan tetapi kalau ada binatang kelinci lewat, tentu bina­tang itu dapat ia bunuh dengan sambit­an batu karena anak ini pandai menyam­bit, dan tenaganya mengagumkan. Tidak­lah aneh kalau diketahui bahwa semenjak kecil ia digembleng oleh ibunya yang sakti. Ibunya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai yang berhasil mencuri ilmu-ilmu aneh dari Siauw-lim-pai, mem­pelajari ilmu-ilmu aneh ini secara me­ngawur sehingga mempengaruhi jiwanya, membuatnya setengah gila. Kegilaannya ini bukan semata karena dia keliru mem­pelajari ilmu-ilmu rahasia dari Siauw-lim-pai, melainkan terutama sekali kare­na tekanan jiwanya ketika dia dahulu di­cemarkan oleh mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak (baca ceritaPendekar Super Sakti). Nama wanita ini adalah Bhok Khim, da­hulu merupakan seorang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan dia berjuluk Bi-kiam (Pedang Cantik)!

Di dalam ceritaPendekar Super Sak­ti telah dituturkan bahwa Bhok Khim yang meninggalkan puteranya di kuil tua itu pergi mancari Gak Liat dan berhasil membalas dendam dengan membunuh Setan Botak, akan tetapi dia sendiri pun tewas oleh musuh besar yang memperkosanya itu (bacaPendekar Super Sakti).

Demikianlah, anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam kuil, dan semenjak tadi dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di luar kuil. Dia melihat kamati­an Fen-ho Ngo-kwi yang mengerikan, kemudian menyaksikan pertandingen antara dua orang tokoh Thian-liong-pang melawan dua orang tokoh Pulau Neraka. Anak ini amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia bahwa semua orang di luar itu memperebutkan dia! Akan teta­pi dia tidak tahu mengapa dan juga di dalam hatinya dia tidek berpihak kepada siapa-siapa, hanya ingin melihat siapa di antara mereka yang paling lihai. Ibu­nya juga seorang berilmu tinggi, maka karena sejak kecil dikenalkan dengan ilmu silat, kini sepasang matanya yang bening dan tajam itu menonton pertan­dingan dengan hati amat tertarik.

Cuaca menjadi semakin gelap dengan datangnya malam akan tetapi pertanding­an antara dua orang jagoan itu masih berlangsung seru. Masing-masing telah terkena pukulan dua tiga kali dari lawan akan tetapi mereka belum ada yang ro­boh dan masih terus bertanding terus, biarpun napas mereka mulai terengah dan uap putih mengepul dari kepala mereka.

“Omitohud....! Mengapa kalian bertan­ding mati-matian di sini? Apa yang telah terjadi?” Tiba-tiba terdengar teguran di­barengi munculnya seorang hwesio yang tinggi kurus. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya selalu muram tampaknya, namun suaranya penuh wibawa.

Akan tetapi empat orang yang te­ngah bertanding, tidak mempedulikannya dan hwesio ini menarik napas panjang.

“Aaahhh, jalan damai banyak sekali, me­ngapa menempuh jalan kekerasan yang hanya akan membahayakan keselamatan? Kepandaian Cu-wi yang tinggi ini pasti dipelajari susah payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan digunakan un­tuk mengadu nyawa?” Setelah berkata demikian, hwesio ini melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan ke kanan kiri dan.... empat orang yang sedang ber­tanding itu tiba-tiba terhuyung mundur oleh dorongan tenaga dahsyat, namun sukar ditahan! Otomatis pertandingan ter­henti dan empat orang itu dengan napas sengal-sengal memandang kepada hwesio yang amat tua dan kurus itu.

“Maaf, maaf, pinceng terpaksa meng­hentikan pertandingan. Ada urusan da­pat didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling bunuh?”

“Losuhu siapakah?” Si Muka Tengko­rak bertanya, sikapnya menghormat ka­rena dia maklum bahwa hwesio itu ada­lah seorang berilmu yang amat lihai.

“Pinceng adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua bertanding dengan mereka?” Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut menyaksikan warna kulit dua orang tokoh Pulau Nera­ka yang biarpun cuaca mulai gelap ma­sih tampak warna mereka yang menyolok mengingatkan dia akan “dongeng” tentang penghuni Pulau Neraka!

Si Muka Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata, “Kiranya Losuhu adalah seorang tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah utusan-utus­an Thian-liong-pang dan kedua orang sa­habat ini pun utusan-utusan dari Pulau Neraka.” Mendengar ini, hwesio tua itu tercengang dan ia kembali memandang kedua orang itu dengan penuh perhatian. Hatinya bertanya-tanya. Kalau begitu, benarkah dongeng yang didengarnya ten­tang Pulau Neraka? Kalau mereka itu sudah turun ke dunia ramai, bersama de­ngan turunnya tokoh-tokoh Thian-liong­pang yang kabarnya tidak lagi mau ber­uruaan dengan dunia ramai, tentu dunia ini akan menjadi benar-benar ramai!

“Mengapa Cu-wi bertempur?”

“Kami sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang berada di dalam kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa kami hendak menentukan dalam pibu (adu ke­pandaian) yang adil.”

“Omitohud! Betapa anehnya dunia ini....!” Hwesio tua itu berkata. Dia ada­lah Siauw Lam Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak penting di Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia adalah seorang yang sakti, karena selama puluh­an tahun dia menjadi pelayan Kian Ti Hosiang, supek dari Ketua Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu seperti dewa! “Lama sekali pinceng mengikuti jejak murid perempuan Siauw-lim-pai dan akhirnya di tempat ini untuk mengambil putera­nya yang ditinggalkan! Anak itu adalah putera dari Bhok Khim, seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya Siauw-lim-pai yang berhak untuk mendidiknya. Harap Cu-wi menghentikan pertempuran dan membiarkan pinceng sebagai hwesio Siauw-lim-si untuk membawanya pulang ke Siauw-lim-si.” Setelah berkata demi­kian, hwesio itu dengan tenang melang­kah menuju ke kuil.

“Tahan....!” Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang ta­di saling serang dan berbareng mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka. Dari tempat persem­bunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau Neraka dan dua puluh orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat sekali mendekati kuil. Hwesio tua itu memandang penuh perhatian, agak­nya siap untuk menolong anak di dalam kuil kalau orang-orang itu menggunakan kekerasan. Akan tetapi, rombongan Thian-liong-pang itu sibuk melempar­lemparkan benda hitam di seputar kuil. sedangkan anak buah Pulau Neraka me­lempar-lemparkan cairan merah di sepu­tar kuil. Begitu benda cair yang mereka siramkan itu mengenai tanah, mengepul­lah asap kemerahan yang berbau harum bercampur amis!

 Sementara itu, anak laki-laki yang se­jak tadi memandang dari dalam kuil, ketika menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan dengan mudah, mengerti bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka hatinya condong untuk ikut dengan hwesio itu yang dianggapnya peling lihai di antara orang-orang aneh yang berada di luar kuil. Lebih-lebih lagi ketika ia mende­ngar keterangan hwesio itu bahwa ibunya adalah anak murid Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah diceritakan ibunya, dan bah­wa hwesio itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu saja ia memilih hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang melempar-lemparkan benda hitam dan cairan merah yang kini mengepul­kan asap dan tanah yang tersiram benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti mendidih, ia cepat keluar dari dalam kuil dan muncul di depan.

“Berhenti....!” Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya, mendorong ke depan, ke arah anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan anak itu ma­sih jauh, akan tetapi angin dorongan tangannya membuat anak itu terjeng­kang dan jatuh terlentang kembali ke dalam kuil. “Anak, jangan keluar, berba­haya sekali! Asap itu beracun!” teriak Siauw Lam Hwesio dan bocah yang ternyata cerdik ini segera mengerti dan kembali ia bersembunyi di dalam kuil sambil mengintai dari tempatnya yang tadi.

Siauw Lam Hwesio mengeluh, “Omi­tohud, alangkah kejinya!” Ia kini dapat melihat jelas bahwa benda-benda hitam itu adalah senjata-senjata rahasia ber­bentuk bintang yang berduri runcing se­kali dan kini benda-benda itu bertebaran di sekeliling kuil, menghalang jalan ma­suk dalam jarak lebar. Mengertilah ia bahwa benda-benda itu tentulah mengan­dung racun pula dan amat runcing sehingga akan menembus sepatu. Sedikit saja kulit terluka oleh benda-benda ini, tentu akan menimbulkan bahaya kemati­an! Adapun benda cair yang dapat “membakar” tanah dan mengeluarkan asap kemerahan berbau harum amis itu pun merupakan racun yang berbahaya. Jalan menuju ke kuil itu terhalang oleh racun-racun yang lihai!

“Omitohud....! Kalian ternyata meng­andung niat buruk dan berkeras hendak menghalangi pinceng mengambil putera keturunan murid Siauw-lim-pai itu. Hemm...., baiklah, kita sama melihat saja siapa yang akan dapat mengambil anak itu sekarang!” Setelah berkata de­mikian hwesio kurus ini duduk bersila menghadap kuil, jelas bahwa biarpun sikapnya tenang namun ia sudah meng­ambil keputusan untuk merintangi siapa saja memasuki kuil!

Sementara itu, malam telah tiba dan rombongan Thian-liong-pang memisahkan diri, berada di sebelah kiri, sedangkan rombongan Pulau Neraka berada di sebelah kanan. Agaknya mereka itu tidak ada yang berani turun tangan lebih dulu karena sama-sama maklum bahwa pihak lain tentu akan merintangi mereka me­ngambil anak yang berada di dalam kuil! Kalau saja tidak muncul hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, tentu terja­di pertempuran di antara mereka, mem­perebutkan anak tadi! Akan tetapi kini mereka tahu bahwa siapa pun yang turun tangan lebih dulu, tidak hanya akan menghadapi rombongan lawan, melainkan juga menghadapi hwesio yang mereka tahu tak boleh dipandang ringan. Maka mereka diam saja mengatur siasat sam­bil membuat api unggun dan berbisik-bisik mengatur dan mencari siasat!

Api unggun mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin, padahal tidak ada angin bertiup sedikit juga. Selagi kedua rombongan itu terbelalak kaget, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang ke­adaannya amat menyeramkan hati mere­ka. Laki-laki itu masih muda, berwajah tampan akan tetapi sebelah kakinya, yang kiri buntung! Laki-laki itu tahu-tahu telah berdiri di situ, bersandar pa­da tongkat bututnya dan yang amat mengherankan adalah rambutnya yang dibiarkan riap-riepan, akan tetapi ram­but yang tebal panjang itu berwarna pu­tih semua!

Orang-orang kedua rombongan ini ada­lah orang-orang yang selama bertahun-tahun tidak pernah terjun ke dunia ra­mai, maka mereka tadi tidak mengenal Siauw Lam Hwesio dan tidak mengenal pula siapa gerangan pemuda berkaki bun­tung itu. Padahal pemuda ini jauh lebih terkenal daripada hwesio Siauw-lim-pai itu, karena dia ini bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau juga terkenal dengan sebutan Pen­dekar Siluman oleh mereka yang pernah menjadi korban kesaktian dan ilmu sihir­nya yang mengerikan!

Para pembaca cerita “Pendekar Super Sakti” tentu telah tahu betapa di dalam hidupnya yang kurang lebih dua puluh lima tahun itu, pendekar ini mengalami banyak sekali tekanan batin dan yang terakhir sekali batinnya amat tertekan dan kesengsaraan serta kekecewaan­nya dalam hidup membuat rambutnya semua menjadi putih! Kini datang untuk memenuhi permintaan mendiang Bhok Khim pada saat wanita itu akan mele­paskan napas terakhir. Bhok Kim telah meminta kepadanya agar Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini suka merawat dan mendidik puteranya yang ditinggalkan di kuil tua ini!

Di dalam bagian terakhir cerita “Pen­dekar Super Sakti” telah diceritakan be­tapa Suma Han ini setelah melaksanakan pernikahan adik angkatnya, Lulu yang menikah dengan Hoa-san Gi Hiap Wan Si Kiat, lalu pergi meninggalkan dunia ra­mai untuk merantau dan berusaha melu­pakan segala pengalaman hidupnya yang penuh derita batin. Akan tetapi ia tidak melupakan pesan Bhok Kim, maka ia la­lu menuju ke tempat yang dikatakan oleh Bhok Kim dalam pesan terakhirnya. Akan tetapi betapa heran hatinya ketika ia melihat dua rombongan orang berada di tempat itu dan lebih-lebih lagi herannya ketika ia mengenal hwesio tua kurus kering yang duduk bersila di depan kuil. Ia mengenal hwesio ini ketika dahulu bersama adik angkatnya ia mengunjungi kuil Siauw-lim-si, bertemu dengan hwesio sakti Kian Ti Hosiang dan pelayannya, yaitu Siauw Lam Hwesio yang kini du­duk bersila di tempat itu! Sejenak pen­dekar berkaki buntung ini menyapukan pandang matanya ke arah kuil dan keningnya berkerut ketika ia melihat sen­jata-senjata rahasia dan kepulan-kepulan asap kemerahan yang dapat ia lihat di bawah sinar api unggun kedua rombongan. Akan tetapi ia lalu menghampiri Siauw Lam Hwesio, menjura dan berka­ta.

“Maaf, kalau saya tidak salah menge­nal, bukankah Locianpwe ini Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-si?”

Hwesio tua itu bersila sambil sama­dhi memejamkan kedua matanya, namun seluruh panca inderanya ia tujukan untuk menjaga kuil sehingga setiap gerakan ke arah kuil pasti akan diketahui olehnya. Maka dapat dibayangkan betapa kaget­nya ketika tahu-tahu ada suara orang menegur di depannya, padahal dia sama sekali tidak mendengar gerakan orang datang, apalegi sampai mendekatinya! Hal ini saja dapat dibayangkan betapa hebat kemajuan yang didapat pendekar ini semenjak dia mengunjungi Siauw-lim-si beberapa tahun yang lalu. Dan memang tidak mengherankan apabila gerakannya begitu halus dan ringan karena Pende­kar Super Sakti tni bergerak dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun!

Mula-mula Siauw Lam Hwesio tidak mengenal Suma Han. Dahulu, ketika pendekar itu mengunjungi Siauw-lim-si, pe­muda itu belum buntung kaki kirinya. Akan tetapi, karena kunjungan pemuda itu amat mengesankan dan karena wajah dan rambut panjang itu hanya berubah warnanya, Siauw Lam Hwesio segera merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata penuh takjub.

“Omitohud....! Terpujilah nama Buddha yang Maha Pengasih! Kiranya Sicu ber­ada di sini pula? Dan kaki kiri Sicu....? Ah, syukurlah.... sungguh pinceng ikut merasa bahagia melihat kaki kiri Sicu sudah buntung!”

Ucapan hwesio itu cukup lantang dan karena keadaan di situ amat sunyi, maka semua orang kedua rombongan mende­ngar ucapan itu. Mereka saling pandang dan merasa heran, diam-diam mereka menganggap betapa ucapan hwesio tua itu kurang ajar dan tidak patut. Memang, bagi yang tidak mengerti, tentu saja amat tidak pantas mendengar orang merasa bahagia melihat orang terbuntung kakinya! Suma Han, pendekar itu pun merasa heran, akan tetapi sama sekali tidak tersinggung, hanya merasa heran mengapa hwesio tua ini mengerti bahwa buntungnya kaki kirinya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya! Ma­ka ia pun segera menekuk lutut kaki tunggalnya dan duduk bersila di depan hwesio itu sambil bertanya,

“Locianpwe! Bagaimana Locianpwe tahu akan keadaan kaki saya?”

Hwesio itu tersenyum dan memandang pendekar sakti itu. “Lupakah Sicu akan pesan mendiang Kian Ti Hosiang?”

“Aahhhhh....! Locianpwe yang sakti itu telah meninggal dunia? Sungguh saya merasa menyesal sekali....!”

“Omitohud....! Mengapa, Sicu? Beliau telah bebas daripada kesengsaraan, me­ngapa disesalkan? Tentu Sicu masih ingat betapa dahulu Beliau memberi na­sihat kepada Sicu agar membuntungi ka­ki kiri Sicu, bukan? Nah, setelah Sicu pergi, pinceng tidak dapat menahan keheranan hati dan mengajukan pertanyaan yang hanya dapat dijawab singkat oleh Kian Ti Hosiang bahwa kalau kaki kiri Sicu tidak dibuntungi, Sicu takkan dapat berusia panjang....! Maka, pinceng seka­rang ikut merasa bahagia melihat beta­pa Sicu telah diselamatkan daripada an­caman bahaya maut.”

Suma Han mengangguk-angguk dan memuji. “Betapa sakti mendiang Kian Ti Hosiang! Betapa tajam penglihatan­nya, sungguh saya merasa kagum sekali. Sekarang, bolehkah saya bertanya menga­pa Locianpwe berada di sini? Dan Siapa pula kedua rombongan itu? Dan keadaan di sekeliling kuil itu? Apa yang telah terjadi, Locianpwe?”Hwesio tua itu menghela napas pan­jang. “Ruwet sekali, Sicu....! Putera se­orang murid Siauw-lim-pai berada di da­lam kuil dan sudah menjadi tugas pin­ceng untuk merawat dan mendidiknya. Akan tetapi ternyata rombongan-rom­bongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka datang pula dengan niat yang sama, yaitu mengambil anak itu sesuai dengan perintah Ketua-ketua mereka. Entah mengapa mereka hendak mengam­bil anak itu. Mereka lalu mengurung kuil dengan racun dan kami semua mengambil keputusan untuk mencegah ma­sing-masing mengambil anak itu. Susah­nya, pinceng tidak mau menggunakan kekerasan karena pinceng tidak ingin menarik Siauw-lim-pai bermusuhan de­ngan Thian-liong-pang maupun Pulau Ne­raka.” Dengan singkat Siauw Lam Hwesio menuturkan peristiwa yang terjadi

Suma Han mendengarkan penuh kehe­ranan. Kemudian ia berkata lirih agar tidak terdengar oleh orang-orang di kedua rombongan, “Locianpwe, terus te­rang saja, kedatangan saya ini pun dengan maksud untuk mengambil anak itu, putera mendiang Bhok-toanio.”

Hwesio itu terkejut, memandang tajam akan tetapi jantungnya berdebar aneh ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pendekaritu. Ia bergidik. Pandang mata pendekar ini benar-benar hebat, bukan seperti mata manusia! “Me­ngapa, Sicu?” tanyanya lirih.

“Saya datang atas permintaan Bhok-toanio sendiri dalam pesannya terakhir.” Suma Han lalu menceritakan pesanan Bhok Khim kepadanya setelah wanita itu tidak berhasil meninggalkan pesan kepada kedua orang suhengnya yaitu Khu Cen Thiam dan Liem Sian.

Siauw Lam Hwesio mengangguk-ang­guk dan mencela murid-murid Siauw-lim-pai itu. “Mereka terlalu dipengaruhi pe­rasaan, tidak ingat lagi akan perikemanusiaan. Betapa bodohnya dan pinceng memuji kemuliaan hati Sicu. Kalau begi­tu, baiklah, biar anak itu ikut bersama Sicu.”

“Tidak, Locianpwe. Setelah Locian­pwe berada di sini, sudah sepatutnya kalau putera Bhok-toanio itu ikut bersa­ma Locianpwe. Saya sendiri hidup sebatangkara, miskin papa tidak mempunyai rumah. Saya khawatir kalau-kalau anak itu hanya akan menderita dan terlantar bersama saya. Sebaiknya dia ikut dengan Locianpwe agar mendapat didikan yang baik dan kelak bisa menjadi seorang ma­nusia yang berguna. Pula, Bhok-toanio menyerahkan anak itu kepada saya ha­nya karena terpaksa dan di sana tidak ada orang lain lagi. Locianpwe atau le­bih tepat Siauw-lim-pai lebih berhak atas diri anak itu.”

Hwesio tua itu mengangguk-angguk. “Sicu benar. Anak keturunan orang itu perlu sekali mendapat didikan yang be­nar agar tidak menjadi seorang sesat se­perti.... darah keturunannya. Akan tetapi, bagaimana pinceng dapat mengambil anak itu tanpa menanam permusuhan dengan mereka?” Hwesio itu memandang ke arah dua rombongan.

Ucapan terakhir hwesio itu tentang darah keturunan sesat, menikam ulu hati Suma Han. Akan tetapi hanya sebentar karena perasaan tertusuk ini segera tenggelam dan lenyap dalam kekosongan hatinya. Dia pun seorang yang mempu­nyai darah keturunan sesat, bahkan nenek moyangnya, bangsawan yang ber-she Suma, terkenal sebagai orang-orang jahat! Dia kini menoleh ke arah dua rombong­an, melihat betapa pemimpin kedua rom­bongan itu, yang terdiri dari dua orang duduk bercakap-cakap di dekat api ung­gun masing-masing sedangkan anak buah mereka membuat api unggun sendiri da­lam jarak yang agak jauh, siap menanti perintah mereka.

“Harap Locianpwe jangan khawatir. Saya mempunyai akal untuk mengundur­kan mereka.”

“Sicu, ingat. Pinceng tidak menghen­daki kekerasan, apalagi penumpahan da­rah. Kehidupan putera Bhok Khim tidak boleh dimulai dengan penumpahan darah dan pembunuhan!”

Suma Han tersenyum, mengangguk. “Saya mengerti, Locianpwe. Harap Lo­cianpwe menyerahkan hal ini kepada sa­ya.” Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan hwesio itu yang memandang bengong melihat pemuda itu lenyap ditelan kegelapan ma­lam.

Dua orang Thian-liong-pang duduk di depan api unggun, membicarakan pemu­da berkaki tunggal yang pergi terpin­cang-pincang dan lenyap dalam gelap. Si Muka Tengkorak berkata lirih. “Seba­iknya dia pergi. Aku sudah khawatir ka­lau-kalau dia membantu Si Hwesio.”

“Hemm, bocah berkaki buntung seper­ti itu bisa apakah? Andaikata membantu Si Hwesio Siauw-lim-pai, seorang di an­tara anak buah kita tentu dapat membinasakannya!” kata Si Mata Sipit.

“Ahh, Sute. Jangan memandang ren­dah dia. Tidakkah kau melihat sinar ma­tanya tadi? Hihhh, seperti mata setan! Dan rambutnya yang putih semua itu! Dia seperti siluman saja. Ngeri aku me­lihatnya!”

“Ah, Suheng! Andaikata dia siluman sekalipun, aku tidak takut kepadanya! Kalau dia berani muncul, kutabas batang lehernya dengan pedang ini!” Si Mata Sipit mengeluarkan sebatang pedang yang tadi tidak dipergunakannya ketika meng­hadapi dua orang Pulau Neraka. “Dia tentu bukan orang Siauw-lim-pai dan menurut pesan Pangcu, hanya orang-orang partai besar saja yang harus kita indah­kan dan jaga jangan sampai kita bentrok dengan mereka. Atau kubuntungi lagi ka­ki tunggalnya, hendak kulihat dia bisa berbuat apa?”

Tiba-tiba terdengar suara lirih di de­pan mereka, “Ha-ha-ha, aku memang si­luman. Pendekar Siluman! Kalian mau bisa berbuat apa terhadap aeorang silu­man? Bocah itu putera murid Siauw-lim-pai, harus ikut dengan hwesio Siauw-lim-si. Kalau kalian masih banyak ribut, ku­telan kalian hidup-hidup!”

Dua orang itu terbelalak kaget. Sua­ra itu datang dari dalam api unggun! Mereka menatap api unggun dan tampak oleh mereka betapa asap api unggun menebal, bergulung ke atas dan.... asap tebal itu membentuk tubuh seorang rak­sasa! Makin lama makin jelaslah bentuk itu dan muncullah seorang raksasa yang besarnya tiga empat kali ukuran manu­sia biasa, raksasa yang wajahnya presis pemuda berkaki buntung tadi, kakinya buntung, tongkat butut di tangannya, rambutnya riap-riapan putih dan kini “raksasa” itu mengulur tangan kanan hendak menangkap mereka!

“Huuuuhhh....! Sii.... siluman....!” Si Mata Sipit terloncat kaget, lupa akan an­camannya, bahkan pedangnya terlepas dari tangan yang menggigil.

“Siluman.... siluman raksasa....!” Si Mu­ka Tengkorak juga melompat bangun.

Mukanya sendiri seperti tengkorak, seper­ti siluman yang tentu akan menimbulkan rasa ngeri di hati orang yang melihat­nya, akan tetapi kini dia berdiri terbelalak, kedua kakinya menggigil. Kemudian kedua orang jagoan ini lari terbirit-birit diturut oleh anak buahnya yang juga melihat “siluman raksasa” itu!

Keributan ini terdengar oleh rom­bongan Pulau Neraka. Mereka menjadi terheran-heran melihat rombongan lawan itu lari pontang-panting sambil berteriak-teriak ada siluman! Karena mereka ti­dak melihat sesuatu, mereka diam-diam mentertawakan rombongan Thian-liong­pang yang mereka anggap pengecut dan penakut, seperti sekumpulan anak-anak kecil yang ketakutan dan melihat yang bukan-bukan di dalam tempat sunyi itu.

“Hi-hik, sungguh lucu! Mereka itu mengaku sebagai orang-orang Thian-liong-pang dan kabarnya Thian-liong-pang mempunyai banyak orang pandai. Seka­rang, di tempat sunyi ini mereka keta­kutan dan lari karena melihat siluman?” Wanita bermuka jambon tertawa.

“Huh! Siluman? Kita dari Pulau Nera­ka sudah lama dianggap manusia-manu­sia siluman maka tentu saja kita tidak takut siluman. Lebih baik lagi kalau mereka melarikan diri sehingga pekerja­an kita menjadi ringan. Besok pagi kita harus dapat membawa lari anak itu dari sini!” kata laki-laki muka ungu sambil menaruh lagi ranting kayu kering untuk membesarkan api unggun.

“Tapi.... bagaimana dengan hwesio tua itu? Dia tentu akan merintangi kita dan tentu kita akan mendapat teguran kalau kita terpaksa harus membunuhnya. Kalau tidak dibunuh, bagaimana kita bisa mengambil bocah itu?” Sumoinya mem­bantah.

“Apa sukarnya? Kita boleh mengguna­kan akal. Dia hanya seorang diri, dan kita berjumlah banyak. Kita atur begi­ni....” Dia kini bicara bisik-bisik. “Biar­lah besok kutantang dia. Dia toh tidak akan dapat memasuki kuil. Kutantang dia bertanding, dan selagi aku melawan dia, engkau bersama anak buah kita me­nyerbu ke kuil, membawa lari bocah itu!”

“Akan tetapi dia lihai sekali, Suheng. Bagaimana kalau Suheng kalah?”

“Kalau dia terlalu lihai, engkau mem­bantuku dan biar anak buah kita yang menyerbu ke dalam kuil. Kita keroyok dia dan setelah bocah itu dapat diram­pas, kita tinggalkan dia. Apa sukarnya?”

“Akan tetapi.... senjata-senjata rahasia kaum Thian-liong-pang itu. Berbahaya se­kali.”

“Hemm, mereka telah lari cerai-berai. Kita berjumlah banyak. Suruh anak buah kita membersihkan senjata-senjata rehasia yang tersabar di depan kuil. Besok setelah matahari terbit, kita bergerak se­rentak dan pasti berhasil.”

“Aihh, Suheng lupa akan bocah bun­tung tadi. Bagaimana kalau dia muncul?”

“Biarkan dia muncul! Kita takut apa? Sikapnya saja menyeramkan, akan tetapi bocah itu bukan setan, hanya manusia biasa, manusia yang cacad pula. Dengan kakinya yang hanya sebuah, dia bisa apa? Apakah engkau takut, Sumoi?”

“Aku? Takut? Hi-hi-hik! Lucu sekali, Suheng. Sejak kapan aku takut kepada bocah buntung seperti dia itu?” Wanita muka jambon itu bangkit berdiri, mende­kati api unggun dan membesarkan api unggun sambil berkata lagi, “untuk mem­buktikan bahwa aku tidak takut, kalau benar dia berani muncul, akan kupeng­gal lehernya dan kubawa pulang kepala­nya untuk hiasan dinding di kamarku....”

Tiba-tiba ia berhenti bicara, matanya terbelalak, tangannya masih memegeng ranting membesarkan api, mulutnya ter­buka lebar. Juga suhengnya sudah me­loncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Ternyata di atas api unggun telah berdiri pemuda buntung yang mereka bicarakan tadi, akan tetapi pemuda buntung itu tubuhnya tinggi be­sar seperti raksasa. Selagi kedua orang Pulau Neraka ini tertegun, terdengar “raksasa” itu berkata, suaranya besar parau.

“Engkau akan menabas kepalaku dan hendak membawa kepalaku sebagai oleh-olah? Untuk hiasan dinding kamar? Nah, ini kuberikan kepalaku kepadamu!” Rak­sasa itu menjambak rambutnya sendiri, membetot dan.... kepala raksasa itu co­pot dan kini tergantung di tangan kanannya yang diulur untuk menyerahkan ke­pala itu kepada wanita bermuka jambon!

“Cel.... celaka.... ib.... iblisssss....!” Wanita itu melompat ke belakang, mena­han air kencingnya yang hampir keluar saking takutnya. Suhengnya sudah mendahuluinya lari terbirit-birit. Keduanya kini lari pontang-panting dan anak buah mereka juga lari sambil berteriak-teriak karena mereka dikejar seorang raksasa yang memegangi kepalanya yang copot!

Siauw Lam Hwesio hanya melihat be­tapa kedua rombongan itu secara aneh melarikan diri, padahal dia hanya meli­hat Suma Han menghampiri mereka dan bicara lirih, Hwesio tua ini sudah memi­liki banyak pengalaman, dan juga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi apa yang disaksikannya itu benar-benar membuat ia tidak mengerti, kagum dan menarik napas panjang lalu berbisik,

“Omitohud....! Dia itu.... manusia ataukah siluman....?” Akan tetapi diam-diam ia merasa bersyukur bahwa kedua rom­bongan itu telah pergi sehingga besok akan memudahkan baginya membawa pergi putera Bhok Khim. Dia tidak bera­ni memasuki kuil malam itu karena masih ada bahaya racun mengancam. Be­sok setelah matahari bersinar, baru ia akan mencari akal untuk memasuki kuil dan menghindarkan diri daripada bahaya racun yang mengancam. Dia tidak meli­hat Suma Han muncul lagi, maka diam-diam ia bersyukur dan berterima kasih lalu melanjutkan samadhinya sambil me­masang perhatian kalau-kalau ada musuh yang berniat buruk memasuki kuil ma­lam itu.

Akan tetapi malam itu tidak ada terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, ketika embun pagi telah mulai terusir pergi oleh sinar matahari yang kemerah­an dan cuaca sudah mulai terang, Siauw Lam Hwesio membuka matanya dan bangkit berdiri. Akan tetapi, suara di sebelah belakang membuat ia menengok dan alangkah kecewa dan cemas hati hwesio ini ketika melihat bahwa kedua rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka itu ternyata masih berada di situ, biarpun kini dalam jarak yang agak jauh dan ternyata kedua rombong­an itu kini menjadi satu! Agaknya, ke­duanya telah bicara tentang siluman dan bersepakat untuk menghadapi rintangan menakutkan itu bersama! Kini, setelah malam terganti pagi dan melihat hwesio tua telah bangkit berdiri, merekapun berindap-indap mulai mendekati kuil!

Melihat ini, Siauw Lam Hwesio ber­kata, “Apakah kalian masih belum mau pergi dan membiarkan pinceng mengambil putera murid Siauw-lim-pai?”

Si Muka Tengkorak, tokoh Thian-liong-pang itu berseru, “Tidak bisa! Kami ti­dak boleh membiarkan engkau mengambil anak itu!”

Laki-laki bermuka ungu juga berkata, “Losuhu, biarpun engkau dibantu siluman, kami tidak takut! Kami bersama akan menghadapi siluman itu, baru kemudian kita bicara tentang anak yang kita perebutkan!”

“Hemm, pinceng sebetulnya tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi hendaknya kalian ingat bah­wa sekali ini, Siauw-lim-pai bertindak untuk urusannya sendiri karena anak itu adalah anak dari murid Siauw-lim-pai, berarti masih keluarga Siauw-lim-pai. Maka apabila pinceng mengambil anak itu dan Cu-wi menghalangi, berarti bah­wa Cu-wi yang mencari permusuhan de­ngan Siauw-lim-pai, bukan pinceng yang sengaja menimbulkan pertentangan!”

“Ha-ha-ha, Siauw Lam Hwesio. Sete­lah matahari bersinar dan tidak ada Pendekar Siluman yang main sulap lagi, kini bicaramu lunak sekali. Siapa bica­ra tentang permusuhan antara partai? Sekarang adalah urusan pribadi di antara kita! Siauw Lam Hwesio, aku menantang­mu bertanding, apakah engkau berani?”

“Omitohud! Selamanya pinceng tidak pernah minta bantuan orang lain. Kalau semalam kalian lari pontang-panting ka­rena Suma-sicu, hal itu adalah kehendak pendekar itu sendiri. Dan selamanya pin­ceng tidak pernah mengadakan pibu de­ngan siapa juga. Sekarang pinceng tidak ingin berurusan dengan kalian, baik atas nama partai maupun perorangan. Pin­ceng hendak mengambil anak itu!”

“Eh, hwesio penakut! Aku menantang­mu, apakah kau tidak berani? Apakah keberanianmu hanya mengandalkan Pen­dekar Siluman? Di mana dia sekarang? Seekor siluman akan lari kalau melihat sinar matahari, apakah semalam itu bukan siluman ciptaan ilmu hitammu sendiri!” Wanita muka jambon mengejek.

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kuil. “Siapa mencari Pendekar Siluman? Aku berada di sini!” Tiba-tiba pintu kuil terbuka dan muncullah Suma Han, terpincang-pincang sambil memondong se­orang anak laki-laki yang memandang ke­padanya dengan wajah berseri. Suma Han terpincang-pincang sampai depan kuil, ditonton oleh semua orang yang me­mandang terbelalak karena senjata-senja­ta rahasia itu masih bertebaran di situ dan asap kemerahan masih mengepul tipis! Tiba-tiba Suma Han menggerak­kan kaki tunggalnya dan bagi para anak buah kedua rombongan, tubuh pendekar kaki buntung itu lenyap. Akan tetapi, dua orang tokoh Pulau Neraka dan dua orang tokoh Thian-liong-pang, juga Siauw Lam Hwesio, melihat betapa pe­muda buntung itu mencelat ke atas ting­gi sekali, berjungkir balik lima kali di udara melewati asap kemerahan dan me­luncur turun di dekat mereka tanpa me­ngeluarkan suara sedikitpun.

“Hebat....! Menyenangkan sekali....!” Anak laki-laki dalam pondongan Suma Han yang diajak mencelat tinggi lalu berjungkir balik lima kali itu tidak menjadi cemas, bahkan bertepuk-tepuk ta­ngan dan bersorak kegirangan! Ia masih bersorak ketika Suma Han menurunkan­nya ke atas tanah.

“Siapa mencari aku? Aku Pendekar Siluman berada di sini! Dengarkanlah wahai kalian orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka! Aku sama sekali bukan pembantu Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai! Aku bertindak atas kehendakku sendiri dan semua yang kulakukan adalah menjadi tanggung ja­wabku sendiri! Aku mengambil anak ini dan kuserahkan kepada Siauw-lim-pai karena aku menganggap anak ini sudah seharusnya ikut dengan Siauw-lim-pai. Kalau ada di antara kalian yang tidak menerima, jangan menyalahkan Siauw Lam Hwasio, akan tetapi akulah yang ber­tanggun jawab!” Surna Han lalu mandorong tubuh anak itu yang mencelat ke arah Siauw Lam Hwesio! Hwesio tua itu menerimanya dan memondongnya.

“Tidak! Aku lebih suka ikut dengan­mu, Paman Buntung!” Bocah itu berkata.

“Hemm, dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak menjadi seorang manusia yang berguna. Jangan memban­tah lagi!” Di dalam suara Suma Han ter­kandung wibawa yang membuat anak itu tidak berani lagi membantahnya. “Lo­cianpwe, harap membawa pergi anak itu dan Lociapwe sudah tidak ada urusan la­gi dengan mereka ini. Sayalah yang ber­tanggung jawab dalam urusan ini!”

“Omitohud....! Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu,” Siauw Lam Hwesio lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu, diikuti pandang mata semua orang, namun tidak ada yang berani bergerak menghalanginya pergi.

Tiba-tiba dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan mereka bergerak. Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan tangan dan berhamburan senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru bintang dan golok-golok terbang. Akan tetapi tiba-tiba tu­buh Suma Han lenyap dari depan mata mereka. Ketika senjata-senjata itu su­dah lewat dan golok-golok terbang sudah kembali ke tangan pemiliknya, kiranya tubuh pendekar butung itu tadi mence­lat ke udara dan kini sudah kembali di tempatnya, berdiri tersenyum pahit sam­bil bersandar pada tongkat bututnya!

“Serbu....!” bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.

“Tangkap!” pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buah­nya.

Kini puluhan macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han. Pendekar ini menggerakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke sana sini, tong­katnya berkelebatan dan terdengarlah bu­nyi nyaring berkali-kali susul-menyusul dan tampak senjata-senjata itu beter­bangan dalam keadaan patah-patah.

Empat orang pimpinan kedua rom­bongan itu marah sekali, mereka maju serentak mengirim pukulan dengan pe­ngerahan tenaga sin-kang mereka. Kini Suma Han mendorongkan kedua tangan ke depan, mengempit tongkatnya dan empat orang itu terdorong mundur, terhuyung-huyung akhirnya terbanting keras. Mereka merayap bangun dan wajah me­reka berubah, gentar dan heran.

“Siapaka engkau, hai pemuda yang luar biasa?” Si Muka Tengkorak dari Thian-lion-pang bertanya.

“Namaku Suma Han!” jawab Pende­kar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali tidak merasa bangga akan namanya.

“Engkau datang dari partai manakah dan siapa julukanmu? Kami perlu tahu untuk kami laporkan kepada Ketua kami!” tanya tokoh Pulau Neraka yang bermuka ungu.

Suma Han memandang orang ini, ke­mudian memandang orang-orang dari Pu­lau Neraka yang mukanya berwarna­warni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini adalah orang-orang aneh sekali, ten­tu mempunyai ketua yang luar biasa pula. Tidak baik menanam bibit permu­suhan dengan mereka, maka ia sengaja berkelakar,

“Kalian sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Adapun partai­ku? Tidak ada partai, tempatku adalah Pulau Es!”

Di luar sangkaan Suma Han, mende­ngar ini, rombongan muka berwarna itu mengeluarkan seruan kaget sekali dan serentak dua orang pimpinan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han, diturut oleh semua anak buahnya. “Mohon diampunkan kelancangan hamba sekalian yang tidak mengenal sehingga telah berani bersikap kurang ajar terha­dap To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es!”

Tentu saja Suma Han terkejut seka­li, akan tetapi hatinya girang karena hal itu berarti bahwa sikap bermusuh mereka telah habis. “Sudahlah, harap kalian jangan bersikap sungkan. Di an­tara kita tidak ada permusuhan apa-apa, dan kuharap saja di masa depan kita tidak akan saling bentrok. Harap sampaikan salamku kepada Ketua Thian-liong-pang dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!” Setelah berkata demi­kian, Suma Han sengaja mengerahkan kepandaiannya sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya berkelebat dan le­nyap dari depan mereka semua. Para anak buah dua rombongan itu bengong terheran-heran dan penuh kekaguman, apalagi kalau mereka teringat akan pe­ristiwa malam tadi dan nama besar Pendekar Siluman mulai saat itu makin terkenal, bahkan semenjak hari itu, Suma Han lebih dikenal sebagai Pendekar Siluman daripada Pendekar Super Sakti!

***

“Adikmu yang seperti setan itu hanya mendatangkan malapetaka saja! Sungguh celaka! Kalau tahu begini, sampai mati pun tidak sudi aku mengambil engkau menjadi isteriku! Adikmu itu telah bera­ni melarikan Puteri Nirahai dari istana! Celaka, sekarang kita tentu akan tertimpa bencana karena engkau adalah cici­nya!” Giam Cu, panglima tinggi besar brawok itu menggebrak meja dan melo­tot kepada isterinya yang memandang­nya dengan mata terbelalak dan air ma­ta bercucuran. Isterinya yang muda dan cantik itu adalah Sie Leng, atau lebih tepat Suma Leng, kakak perempuan dan satu-satunya saudara kandung dari Suma Han. Dalam cerita “Pedekar Super Sakti” telah diceritakan bahwa Suma Leng ini, ketika masih dara remaja, telah diperko­sa dan diculik oleh panglima Mancu dan kemudian diambil menjadi isterinya kare­na panglima itu ternyata jatuh cinta kepada karbannya ini.

“Kalau dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri, sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau ribut-ribut?” Suma Leng membantah, akan tetapi ia menja­di cemas menyaksikan sikap suaminya kepadanya yang amat berubah ini. Baru sekarang suaminya yang biasanya memperlihatkan sikap kasih sayang, kelihatan marah-marah dan sinar kebencian terpan­car dari mata

 “Tiada sangkut pautnya katamu?” Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya menghantam permukaan meja. “Brakkk!” Meja itu pecah‑pecah menjadi beberapa potong! “Semua orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka tentu kita sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat! Gara‑gara engkau mempunyai adik siluman, aku pun akan turut celaka pula.” Wajah panglima itu menjadi pucat teringat akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri. “Kecuali kalau....”

Suma Leng mendapat firasat buruk, jantungnya berdebar ketika mendengar kalimat terakhir yang tidak lengkap itu keluar perlahan‑lahan dari mulut suaminya, dengan nada yang rendah dan lirih. “....kecuali kalau apa....?” tanyanya. Akan tetapi pertanyaannya ini disusul jerit mengerikan karena tiba‑tiba berkelebat sinar menyilaukan dan tahu‑tahu ujung pedang di tangan Giam Cu telah menem­bus dada isterinya yang biasanya amat dicintanya itu!

Suma Leng terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dada yang tertusuk pedang. “Kau.... kau....” ia terengah‑engah, terhuyung ke belakang.

Sedetik Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya dengan keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan diri. “Terpaksa, demi keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)....”

“Ibu....! Ibuuuuu....!” Seorang anak pe­rempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari dari dalam. Seorang kanak‑kanak memiliki perasaan yang amat tajam dan halus sekali apalagi dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang dekat sehingga anak perempuan yang biasanya diasuh oleh para pelayan, kini seperti digerakkan sesuatu yang mujijat, meron­ta dan berlari mencari ibunya!

“Kwi Hong....!” Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.

“Ibuuuu....!” Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu, memasuki kamar dan berlari menghampiri ibunya. Akan tetapi tiba‑tiba tangan Panglima Giam menyambar tengkuknya dan bocah itu meronta dan menangis dalam pondongan ayahnya. “Aku mau Ibu....! Lepaskan, akan turut Ibu....!”

“Husshh! Ibumu jahat dan nakal, eng­kau turut Ayah saja!” Panglima Giam Cu membentak dalam usahanya menghi­bur anaknya secara kaku dan kasar.

“Tidakkkk....! Aku mau Ibu...., mau Ibu....!” Anak itu meronta‑ronta.

“Kwi Hong.... Kwi Hong.... engkau.... hati‑hatilah anakku.... ohhhh!” Suma Leng menghembuskan napas terakhir dan ba­gaikan digerakkan sesuatu, anak itu menjerit dan menangis sekerasnya.

“Diam! Kutampar engkau kalau tidak mau diam!” Giam Cu membentak akan tetapi anak itu tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah dan benar‑benar menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu.

Para pelayan datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan mere­ka menggeletak di lantai dengan dada tertembus pedang dan tidak bernyawa lagi. Giam Cu menerangkan. “Dia mem­bunuh diri karena malu mengingat adiknya Suma Han yang menjadi siluman kaki buntung dan menimbulkan keributan di istana.”

Para pelayan mengundurkan diri sam­bil memondong Kwi Hong dan ramailah berita tentang kematian isteri panglima ini yang membunuh diri. Berita ini ten­tu saja terdengar oleh Kaisar dan tepat seperti yang diperhitungkan Giam Cu, dia tidak diganggu oleh Istana berhu­bung dengan perbuatan Suma Han yang melarikan Puteri Nirahai karena orang yang menjadi kakak pemuda buntung itu telah membunuh diri!

Akan tetapi, tentu saja penghuni ge­dung panglima ini dapat menduga bahwa nyonya majikan mereka sama sekali ti­dak membunuh diri, melainkan dibunuh oleh Giam‑ciangkun. Namun mereka ti­dak berani bicara tentang itu. Pula, andaikata Kaisar mendengar bahwa ke­matian kakak perempuan Suma Han itu disebabkan oleh pembunuhan Giam Cu, hal ini bahkan akan memperbesar kepercayaan pihak istana terhadap kesetiaan Giam Cu!

Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu malam yang sunyi, menje­lang tengah malam, Panglima Giam Cu terbangun dari tidurnya. Ia terkejut se­kali melihat bayangan orang dalam ka­marnya. Cepat ia mendorong tubuh wa­nita muda yang montok dan hangat itu, yang menjadi kekasihnya semenjak isterinva tewas, dan dengan hanya berpakai­an dalam ia meloncat turun dari pemba­ringan. Dapat dibayangkan betapa kaget­nya ketika ia mengenal orang yang ber­diri di dalam kamarnya itu, seorang laki­laki muda berkaki tunggal, bertongkat, rambutnya riap‑riapan berwarna putih semua. Suma Han! Memang benarlah. Suma Han atau Si Pendekar Siluman yang berada di dalam kamar itu. Setelah ber­hasil menyelamatkan putera Bhok Khim di kelenteng tua itu dan menyerahkan anak itu kepada Siauw Lam Hwesio, pen­dekar ini diam‑diam pergi ke kota raja untuk mengunjungi encinya  dan minta diri karena ia mengambil keputusan un­tuk pergi mencari Pulau Es dan menghabiskan sisa hidupnya di tempat itu. Ia ingin bertemu dengan encinya untuk ter­akhir kalinya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya mendengar bah­wa encinya itu telah mati membunuh diri beberapa bulan yang lalu, yaitu bebe­rapa hari setelah ia melarikan Puteri Nirahai dari penjara!

Karena merasa penasaran dan ingin menyelidiki, maka pada tengah malam itu Suma Han mempergunakan kepandaian­nya memasuki kamar cihunya (kakak iparnya). Sebelum Giam Cu hilang kaget­nya, Suma Han telah menggerakkan tongkat dan sekali totokan membuat tubuh Giam Cu tak dapat digerakkan lagi. Wanita muda yang telanjang bulat itu terbangun dan hendak menjerit, namun kembali Suma Han menotok sehing­ga wanita itu roboh lemas kembali ke atas kasur.

Suma Han menatap wajah cihunya, kemudian terdengar suaranya lirih penuh wibawa yang aneh, “Ceritakan sebab ke­matian Enci Leng!”

Seperti dalam mimpi, yang membuat ia ketakutan setengah mati, panglima itu mendengar suaranya sendiri, suara yang agaknya tak dapat ia kendalikan dan kuasai lagi, yang bicara tanpa dapat dicegahnya, “Dia mati kubunuh, kutusuk pedang dari dada tembus ke punggungnya.”

Suma Han memejamkan mata sejenak untuk “menelan” kemarahan yang menyesak dada, kemudian membuka lagi matanya dan bertanya, “Mengapa engkau membunuhnya? Bukankah engkau amat sayang sekali kepada Enci Leng?”

Seperti sebuah arca yang mendadak bisa bicara, terdengar panglima itu men­jawab, “Aku masih sayang kepadanya.... tapi.... aku harus membunuhnya. Itulah jalan satu‑satunya bagiku untuk menye­lamatkan diri dari kemarahan Kaisar karena perbuatan adiknya. Aku menyesal.... akan tetapi terpaksa....!”

Suma Han menarik napas panjang, kemudian berkelebat keluar dari kamar itu. Tak lama kemudian, tampaklah tu­buhnya mencelat‑celat di atas wuwung­an rumah‑rumah kota raja meloncati tembok kota keluar dari kota raja. Akan tetapi sekarang lengan kanannya memondong seorang anak kecil yang terbung­kus selimut merah tebal. Seorang bocah yang masih tidur, yakni Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih, tidur nye­nyak tidak tahu bahwa dia telah dibawa pergi pamannya meninggalkan gedung ayahnya, meninggalkan kota raja, bah­kan meninggalkan dunia ramai!

Memang, semenjak perbuatan terakhir yang kembali menggemparkan kota raja karena semua orang menemukan Giam-­ciangkun dalam keadaan berubah ingatan dan puteri panglima itu lenyap sehingga orang‑orang mulai menduga bahwa ini tentu perbuatan Pendekar Siluman, di­perkuat oleh kesaksian selir panglima itu yang melihat laki‑laki buntung dalam kamar, semenjak itulah Suma Han lenyap dari dunia ramai. Akhirnya Kaisar menghentikan usahanya untuk mencari pen­dekar ini, juga sudah putus harapan un­tuk dapat menemukan kembali Puteri Nirahai yang hilang. Banyak sekali urus­an yang lebih penting daripada hilang­nya puteri dari selir ini. Terutama sekali urusan penumpasan para pemberon­tak di Se-cuan. Setelah berhasil menga­dakan persekutuan dengan Pangeran Kiu yang bersaing dengan Raja Muda Bu Sam Kwi, dan bersekutu pula dengan Tibet, pasukan‑pasukan Mancu kembali melakukan penyerbuan dan tekanan-­tekanan di Se-cuan terus‑menerus dilaku­kan. Pihak pejuang yang melawan keku­asaan pemerintah Mancu melakukan per­lawanan mati‑matian. Akan tetapi, berkat siasat yang dilakukan Puteri Nirahai da­hulu, yaitu mendekati dan menjanjikan perdamaian dengan para tokoh kang‑ouw, kini perlawanan Bu Sam Kwi kehilangan bantuan orang‑orang pandai dari dunia kang‑ouw sehingga makin lama pertahan­annya menjadi makin lemah.

Memang patut dikagumi keuletan pertahanan pihak Se-cuan yang pantang mundur. Bahkan matinya Raja Muda Bu Sam Kwi masih belum meruhtuhkan se­mangat perlawanan pasukan Se-cuan. Mereka terus mengadakan perlawanan gigih dan barulah setelah melakukan perang lagi selama empat tahun lebih, pada tabun 1681 semua pertahanan dapat dihancurkan dan Se-cuan dapat direbut oleh tentara Mancu. Dengan jatuhnya Se-cuan, berhenti pula perang dan mulai saat itulah pemerintah Mancu dapat menguasai seluruh Tiong‑goan.

Ternyata pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi cukup bijak­sana dan ternyata pula bahwa orang-­orang Mancu tidak hanya pandai perang, melainkan pandai pula mengatur peme­rintahan. Untuk menundukkan semangat perlawanan bangsa pribumi, pemerintah mengadakan peraturan yang keras. Model pakaian diganti dan rakyat dianjurkan bahkan kadang‑kadang dengan kekeras­an, untuk merobah model pakaian Man­cu. Rambut harus dibiarkan panjang dan dikuncir. Selain ini, diadakan pula la­rangan membawa senjata tajam. Namun di samping kekerasan ini, pemerintah pun menjalankan siasat lunak yang menye­nangkan hati rakyat. Korupsi dan penyu­apan diberantas, kejahatan dihukum ke­ras. Pribumi yang memiliki kepandaian mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan‑jabatan penting. Kebudayaan ditingkatkan dan dipelihara. Rakyat mu­lai merasa lega karena biarpun negara dijajah bangsa asing, namun penghidupan mereka kini lebih tenteram dan kesela­matan mereka terjamin. Terutama seka­li karena bangsa Mancu tidak mengang­gap mereka sebagai pendatang atau orang asing, tidak mengangkut kekayaan di bumi yang dijajah itu ke Mancu, me­lainkan melebur diri menjadi rakyat dari negara itu. Para pembesar dan bangsa­wan mempelajari kebudayaan Tiongkok bahkan keluarga mereka mulai berbicara dalam bahasa bangsa jajahannya ini.

Keadaan yang mulai tenteram inilah maka timbul kembali partai‑partai persi­latan yang tadinya tenggelam dan me­nyembunyikan diri. Karena sekarang tidak ada lagi “musuh rakyat” yang harus mereka lawan dengan ilmu kepandai­an mereka, mulailah lagi timbul penya­kit lama kaum kang‑ouw ini, yaitu ber­lumba untuk menjagoi di dunia persilat­an! Mulai kambuh kembali penyakit ingin mencari dan menguasai semua pusaka­-pusaka peninggalan tokoh‑tokoh persilat­an yang sakti, memperebutkan pusaka-­pusaka untuk memperkuat kedudukan masing‑masing agar dapat menjadi jago­an nomor satu di dunia kang‑ouw. Dalam pandangan kaum kang‑ouw ini, pemerin­tah yang baru mendatangkan kesan baik, maka sebagian ada yang menghambakan diri kepada pemerintah untuk memperkokoh kedudukan dan kemuliaan. Namun, kaum persilatan yang memang berwatak aneh itu merupakan petualang‑petualang yang haus akan ketegangan‑ketegangan, maka lebih banyak lagi yang tidak mengikatkan diri dengan pemerintah dan hidup bebas seperti yang ditempuh ne­nek moyang mereka di dunia kang‑ouw.

Lima tahun telah lewat dengan aman dan tenteram. Tidak terjadi ketegangan di dunia kang‑ouw selama lima tahun itu. Namun ada terdengar berita bahwa terjadi perubahan‑perubahan yang amat hebat di dalam partai-partai besar. Agaknya partai-partai besar itu selama lima tahun ini sibuk dengan urusan da­lam partai sendiri, tentang penggantian ketua, dewan pimpinan dan lain‑lain, ju­ga memperkuat kedudukan untuk meng­hadapi “sesuatu” yang dibisik‑bisikkan se­bagai hal amat gawat! Karena itu, di dalam ketenangan itu bersembunyi sesua­tu yang sewaktu‑waktu akan meledak di dunia kang‑ouw! Api dalam sekam yang setiap saat dapat berkobar! Bisul yang makin lama makin membesar, siap untuk pecah! Ada terdengar berita bahwa kini para tokoh‑tokoh besar di dunia kang­-ouw mulai mengincar kedudukan dan tingkat di dunia persilatan. Hal ini tidak mengherankan karena bukankah tokoh-­tokoh lama sudah lenyap dan banyak yang mengundurkan diri tanpa pamit? Akan tetapi, semua orang kang‑ouw tahu bahwa perebutan tingkat di dunia kang‑ouw tidak kalah ramainya dengan perebutan saingan sebuah kerajaan!

Selama lima tahun itu, Siauw-lim-pai juga mengalami kejadian‑kejadian penting. Pertama adalah meninggalnya Kian Ti Hosiang tokoh tertua dari Siauw­lim‑pai, disusul setahun kemudian de­ngan meninggalnya Ceng San Hwesio Ketua Siauw‑lim‑pai. Setelah dua orang tokoh ini meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi pimpinan yang dita­kuti, maka terjadilah guncangan-guncang­an akibat perebutan kekuasaan dan anak muridnya terpecah karena mempertahan­kan pilihan calon ketua masing-masing. Dan di dalam keributan dan guncangan itu, Siauw Lam Hwesio turun tangan. Hwesio tua ini sebetulnya hanyalah seorang hwesio yang kedudukannya rendah, dan tidak pernah mencampuri urusan partai. Akan tetapi oleh kerena dia be­kas pelayan Kian Ti Hosiang dan semua hwesio tahu bahwa Siauw Lam Hwesio mewarisi ilmu kepandaian Kian Ti Ho­siang sehingga jarang ada murid Siauw-lim‑pai lain yang mampu mengimbangi tingkatnya, maka ketika Siauw Lam Hwe­sio turun tangan melerai, nasihatnya di­taati. Apalagi karena Siauw Lam Hwesio yang biasanya pendiam dan sabar itu agaknya menjadi marah sekali menyaksi­kan perebutan kekuasaan antara saudara seperguruan, sehingga terlontarlah kata­-kata dan keputusannya.

“Tidak mau insaf jugakah kalian beta­pa nama kita sebagai pendeta‑pendeta menjadi bahan ejekan dan kecaman dunia? Betapa banyak orang‑orang yang berpakaian seperti pendeta namun kelakuannya amat jahat. Mereka itu sebetulnya hanyalah penjahat‑penjahat yang menyem­bunyikan diri dalam pakaian pendeta, akan tetapi perbuatan mereka itu telah mencemarkan nama kita. Sekarang, kali­an sebagai pendeta‑pendeta aseli, seba­gai hwesio‑hwesio murid Siauw‑lim‑si yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu dan kebatinan, ternyata masih ti­dak mampu menguasai nafsu akan kemu­liaan dan kedudukan sehingga kedudukan ketua saja diperebutkan! Kalau begitu, apa artinya kalian menggunduli rambut kepala? Apa artinya kepala gundul akan tetapi hatinya berbulu? Sungguh mence­markan dan memalukan perbuatan kalian ini sehingga pinceng sendiri merasa ma­lu untuk berpakaian pendeta dan meng­gunduli kepala. Nah, mulai sekarang bi­arlah aku tidak menjadi pendeta lagi, kepalaku tidak gundul lagi agar jangan dikira aku pun seorang busuk menyamar sebagai pendeta hwesio!” Setelah berka­ta demikian, Siauw Lam Hwesio menge­luarkan ilmunya yang mujijat. Seluruh tubuhnya menggigil dan kulit tubuhnya mengeluarkan keringat dan.... di permuka­an kepalanya yang gundul licin itu tiba-­tiba tumbuh rambut yang panjangnya ada dua senti! Juga ketika ia menggerakkan tubuh, pakaian pendeta yang me­nempel di tubuhnya hancur berantakan!

Melihat kesaktian yang hebat ini, pa­ra murid Siauw-lim‑pai tunduk dan da­patlah kini dipilih seorang ketua baru tanpa adanya pertentangan. Anak laki-­laki putera Bhok Kim yang dibawa ke kuil Siauw‑lim‑si oleh kakek itu, kini telah menjadi muridnya dan tinggal pula di Siauw-lim‑si membantu pekerjaan gurunya sebagai pelayan. Semua hwesio di kuil itu sayang kepada Bun Beng, de­mikian nama anak itu, karena bocah itu amat rajin dan penurut, pula memiliki kecerdikan yang luar biasa dengan wa­jahnya yang tampan dan sepasang mata­nya yang bening tajam.

Semenjak peristiwa hebat di mana Siauw Lam Hwesio menumbuhkan ram­butnya itu, dia bersama Bun Beng masih tinggal di dalam kuil, di bagian belakang dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, membersihkan kuil, mengisi air, menyapu dan lain‑lain, dibantu muridnya.

Pada malam itu, setelah makan malam dan mengaso, Bun Beng melihat wajah gurunya muram. Gurunya memang tidak pernah berseri mukanya, akan te­tapi biasanya wajah gurunya itu hanya dingin saja, tidak seperti malam ini je­las membayangkan kemuraman. Kakek itu kini rambutnya telah panjang sam­pai lewat pundak, jenggot dan kumisnya juga panjang. Rambut dan jenggot itu telah putih semua, seperti benang‑benang perak, dan pakaiannya sederhana sekali.

“Suhu, apakah yang mengganggu pikir­an Suhu?” Bun Beng bertanya ketika guru dan murid ini duduk di atas pemba­ringan dalam kamar mereka.

Kakek yang kini tidak menggunakan sebutan hwesio lagi melainkan hanya Kakek Siauw Lam saja, memandang mu­ridnya sambil menyembunyikan kekaguman hatinya dari sinar matanya. Benar seorang bocah yang luar biasa, pikirnya. Selama lima tahun ini, dalam pelajaran sastera semua kitab kuno yang berada di per­pustakaan kuil habis “dilahapnya”, sedangkan dalam pelajaran ilmu silat, bocah ini memiliki bakat yang mentakjubkan. Sekali diajar terus dapat mengerti dan menguasai! Hal ini masih belum menga­gumkan hati kakek Siauw Lam, yang mengagumkan hatinya benar‑benar adalah pandangan yang amat luas dari bocah ini. Usia Bun Beng baru sepuluh tahun lebih, akan tetapi bocah ini sudah dapat mengerti bahwa saat itu dia sedang men­derita gangguan pikiran! Bukan main!

Kakek itu menarik napas panjang, lalu menjawab, “Betapa pikiran takkan terganggu kalau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, muridku? Semenjak dunia berkembang, manusia selalu men­jadi hamba dari nafsu mereka sendiri sehingga timbullah hal‑hal yang saling merugikan di antara manusia. Kita yang mempelajari ilmu silat, sedikit banyak mempunyai pertalian dengan dunia persi­latan. Karena itu, mendengar akan ke­ruhnya dunia kang‑ouw pada saat ini, mau tidak mau hatiku menjadi pilu dan pe­nuh kekhawatiran akan terjadi bentrokan-bentrokan hebat di antara para pende­kar sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang gagah secara sia‑sia bela­ka.”

“Apakah yang terjadi di dunia kang‑ouw, Suhu?”

Tampaknya memang aneh mendengar seorang kakek tua membicarakan urusan dunia kang‑ouw dengan seorang anak laki‑laki berusia sepuluh tahun lebih. Akan tetapi karena Kakek Siauw Lam maklum bahwa Bun Beng bukanlah bocah biasa, tanpa ragu‑ragu lagi ia lalu bercerita,

“Dunia kang‑ouw yang selama ini tampak tenteram dan penuh damai, kini mulai geger dengan adanya berita yang amat mengejutkan. Pertama, lenyapnya pusaka‑pusaka peninggalan keluarga Su­ling Emas yang amat dipuja oleh kaum kang‑ouw, baik dari golongan hitam maupun putih. Kedua, lenyapnya sepasang pusaka yang menggiriskan, yaitu Sepa­sang Pedang Iblis! Hanya diketahui bahwa kuburan kedua orang Siang‑mo‑kiam ta­hu‑tahu dibongkar orang dan diduga bah­wa Sepasang Pedang Iblis yang tentu berada dengan sisa jenazah kedua orang pemiliknya itu telah diambil pembong­kar kuburan. Kalau pusaka‑pusaka pe­ninggalan Suling Emas amat dipuja dunia kang‑ouw sebagai pusaka‑pusaka kera­mat yang patut dihormat, adalah Sepa­sang Pedang Iblis merupakan pusaka yang mengerikan dan menakutkan karena munculnya Sepasang Pedang Iblis itu berarti munculnya pula geger dan keributan di dunia kang‑ouw. Hal ke tiga adalah berita tentang ditemukannya kitab‑kitab warisan keluarga Bu Kek Siansu dan kabar yang menghebohkan adalah bahwa kini pemerintah telah me­nguasai peta penyimpanan pusaka-pusaka itu. Karena pendengaran orang kang‑ouw amat tajam, kini sudah diketahui pula bahwa tempat itu adalah sebuah di anta­ra pulau‑pulau karang kecil di tengah­-tengah Sungai Huang‑ho yang sudah de­kat dengan muaranya di Teluk Po-hai. Nah, dengan adanya berita ini, aku men­duga bahwa tentu tokoh‑tokoh kang‑ouw yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlumba untuk mendapatkan pusaka­-pusaka itu, tentu ramailah Sungai Huang-­ho di daerah itu.”

 “Daerah mana, Suhu?”

“Kabarnya sesudah melewati Terusan Besar, bahkan sesudah lewat kota Cin-an, di sebelah timurnya, hanya beberapa puluh li saja dari pantai laut.”

“Siapa sajakah yang akan muncul, Suhu? Apakah.... Pendekar Siluman juga akan hadir?” Selama lima tahun ini, tak pernah Bun Beng dapat melupakan Pendekar Siluman berkaki buntung yang pernah menolongnya. Sudah sering kali ia bertanya kepada suhunya tentang diri Suma Han, akan tetapi gurunya agaknya enggan bicara tentang Pendekar Siluman itu.

“Entahlah, mana aku tahu siapa yang akan muncul? Hanya kabarnya sekarang ini di dunia kang‑ouw telah muncul banyak sekali orang yang memiliki ke­saktian luar biasa.”

“Seperti Pendekar Siluman?”

Kakek itu memandang muridnya, si­nar matanya tersenyum. “Mungkin lebih! Biarpun aku hanya mendengar beritanya saja, namun kabarnya kini Thian‑liong­-pang mempunyai seorang ketua yang ke­pandaiannya seperti dewa! Dan juga bermunculan tokoh‑tokoh dari Pulau Neraka yang kabarnya mempunyai kepan­daian seperti iblis-iblis neraka sendiri. Tentang ketuanya, belum pernah ada orang melihatnya, penuh rahasia seperti ketua baru Thian‑liong‑pang! Ketua dua partai ini hanya kabarnya saja yang su­dah keluar ke dunia kang‑ouw, namun mungkin jarang ada yang pernah meli­hat mereka. Di samping Thian‑liong‑pang dan pulau Neraka, kini bahkan muncul kabar tentang partai baru, yaitu penghuni-penghuni Pulau Es!”

“Pendekar Siluman....?” Bun Beng makin tertarik.

“Entahlah. Tentang pulau Es ini lebih mengherankan lagi dan penuh rahasia. Tidak ada yang tahu pula siapa ketua­nya, namun kabarnya, anak buahnya pun sudah memiliki kesaktian luar biasa. Apalagi ketuanya!”

Mendengar penuturan tentang dunia kang‑ouw dengan banyak keanehannya itu, hati Bun Beng tertarik bukan main. Kalau gurunya bicara, pandang matanya seolah‑olah melekat dan tergantung pa­da bibir gurunya untuk mengikuti gerak­-gerik agar jangan ada sepatah pun kata yang terlewat oleh penangkapannya. Ka­lau gurunya berhenti, ia pun termenung dan pikirannya melayang-layang jauh sekali.

Biarpun Kakek Siauw Lam hanya mendengarkan penuturan anak murid Siauw‑lim‑pai yang juga mendengarnya sebagai kabar angin saja, namun sesungguhnya kabar itu banyak yang benar. Memang telah terjadi hal‑hal luar biasa di dunia kang‑ouw selama beberapa tahun ini.

Pertama adalah tentang lenyapnya pusaka‑pusaka keluarga Suling Emas. Pusaka‑pusaka ini, termasuk senjata ke­ramat Pendekar Sakti Suling Emas yang berbentuk sebatang suling emas yang indah, tadinya tersimpan di tanah kuburan keluarga Suling Emas yang terletak di daerah Khitan. Tanah kuburan ini terjaga keras oleh seorang tokoh sakti yang disegani karena selain dia bekas pelayan keturunan terakhir keluarga pendekar itu, juga berkali‑kali merobohkan orang­-orang yang berusaha merampas pusaka-­pusaka itu. Di dalam cerita “Pendekar Super Sakti” telah diceritakan ketika Puteri Nirahai mengunjungi kuburan itu untuk meminjam suling emas guna mem­pengaruhi kaum kang‑ouw, puteri ini pun kewalahan menghadapi penjaga yang sakti itu. Penjaga itu adalah kakek bongkok Gu Toan yang setia, yang menjaga kuburan keluarga Suling Emas, membela seluruh pusaka, lebih‑lebih daripada membela nyawanya sendiri! Akan tetapi geger pertama mengguncang dunia kang­-ouw ketika pada suatu hari, kakek bongkok Gu Toan itu terdapat sudah tak bernyawa lagi tanpa terluka di depan pintu pagar kuburan, dan semua pusaka telah lenyap tanpa bekas!

Dunia kang‑ouw geger, para tokoh saling mencurigai, saling menyelidik na­mun pusaka‑pusaka itu tak pernah dapat ditemukan jejaknya! Keguncangan ini belum juga reda, dunia kang‑ouw sudah digegerkan oleh guncangan ke dua, yaitu ketika tokoh‑tokoh tua menemukan ku­buran Siang‑mo‑kiam telah dibongkar orang dan Sepasang Pedang Iblis yang diduga berada di dalam kuburan itu te­lah lenyap. Atau lebih tepat lagi tidak ada yang tahu sebelumnya bahwa Siang­-mo‑kiam telah tewas, menduga bahwa setelah dua orang iblis jantan betina itu tewas namun Sepasang Pedang Iblis tak dapat ditemukan pada sisa mayat mereka, tentulah Sepasang Pedang Iblis itu telah terjatuh ke tangan orang lain. Dan hal ini berarti BAHAYA!

Telah diceritakan dalam cerita “Pen­dekar Super Sakti” bahwa yang mengu­bur jenazah Siang‑mo‑kiam itu adalah Suma Han dan adik angkatnya, Lulu ga­dis Mancu. Siang-mo‑kiam merupakan se­pasang kakek dan nenek yang aneh seka­li, dan keanehan itu agaknya terpengaruh oleh Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai riwayat menyeramkan aneh. Dahulu, puluhan tahun, bahkan ratusan tahun yang lalu, di jamannya Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam puteri Pen­dekar Suling Emas sepasang pedang itu dibuat oleh sepasang kakek nenek ber­bangsa India yang amat sakti, aneh dan ganas sekali. Karena mereka berdua ka­lah dalam pertandingan melawan Pende­kar Wanita Mutiara Hitam, maka kedua­nya lalu membayar taruhan mereka, ya­itu membuatkan sepasang pedang, masing‑masing membuat sebatang untuk Mutiara Hitam (Ceritanya yang jelas da­pat di baca dalam ceritaIstana Pulau Es ).

Cara pembuatan pedang itu luar biasa sekali. Bahannya dari dua bongkah logam aneh milik Mutiara Hitam dan kedua orang kakek nenek India itu yang selalu berlumba tidak mau saling mengalah, ki­ni berlumba dalam membuat pedang. Bentuk pedang serupa karena memang contohnya diberikan oleh Mutiara Hitam, maka keduanya lalu bersaing untuk mem­buat pedang yang lebih ampuh! Untuk ini, mereka tidak segan‑segan untuk me­ngorbankan anak‑anak kecil yang diambil darahnya untuk dijadikan “bumbu” dalam “memasak” pedang! Bahkan akhirnya, persaingan itu memuncak sedemikian rupa sehingga kakek dan nenek itu saling bunuh dengan pedang mereka pada saat Mutiara Hitam datang hendak mengam­bilnya!

Kemudian, Sepasang Pedang Iblis itu terjatuh ke tangan dua orang murid Mutiara Hitam laki‑laki dan perempuan. Sejarah berulang. Mereka ini yang sebe­tulnya saling mencinta, saling bersaing tidak mau kalah sehingga berubah men­jadi ganas sekali dan akhirnya, sebagai kakek dan nenek, mereka pun tewas oleh pedang masing‑masing! Jenazah kedua kakek dan nenek murid Mutiara Hitam ini dikubur oleh Suma Han dan Lulu, dan kedua orang yang pada waktu itu masih amat muda itu mengubur pula Sepasang Pedang Iblis bersama dua jenazah itu.

Demikian riwayat singkat Sepasang Pedang Iblis yang dituturkan jelas dalam ceritaIstana Pulau Es , dan kini sepa­sang pedang itu lenyap pula. Bagaimana dunia kang‑ouw tidak akan menjadi ge­ger karenanya?

Bukan hanya lenyapnya pusaka Kelu­arga Suling Emas dan Sepasang Pedang Iblis saja yang menggegerkan dunia kang-­ouw dan kaum persilatan, akan tetapi berita tentang ditemukannya kitab‑kitab pusaka warisan keluarga Bu Kek Siansu tidak kalah hangatnya. Nama Bu Kek Siansu, orang kang-ouw manakah yang tidak mengenalnya? Pendekar Sakti Su­ling Emas banyak menerima ilmu dari kakek sakti yang dianggap manusia dewa itu! Bahkan banyak tokoh‑tokoh sakti dari golongan hitam juga memperoleh ilmu dari Bu Kek Siansu karena dahulu kabarnya setiap tahun Bu Kek Siansu “turun” ke dunia untuk membagi‑bagikan ilmu kepada mereka yang berjodoh dengannya! Ilmu‑ilmu mujijat yang dimiliki kaum se­sat, seperti Hwi-yang Sin‑ciang (Tangan Sakti Inti Api) dan Swat‑im Sin‑ciang (Tangan Sakti Inti Salju) kabarnya juga berasal dari ilmu yang diberikan oleh Bu Kek Siansu! Maka kalau sekarang tersiar berita bahwa kitab‑kitab pusaka peninggalan keluarga Bu Kek Siansu di­temukan, tentu saja dunia kang‑ouw menjadi geger!

Dengan kabar terakhir tentang dite­mukannya peta yang menunjukkan tem­pat penyimpanan pusaka‑pusaka dan ki­tab‑kitab oleh pemerintah, menjadi pun­cak ketegangan dan kehebohan sehingga memancing keluar orang-orang sakti yang selama ini lebih suka menyembunyikan diri di dalam gua‑gua rahasia, di dalam pulau‑pulau terasing, atau di puncak-­puncak gunung yang tak pernah dikun­jungi manusia.

“Suhu, teecu mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan ber­temu dengan tokoh‑tokoh sakti!” Tiba-­tiba Bun Beng berkata setelah terme­nung sejenak.

Kakek Siauw Lam terkejut, meman­dang muridnya dengan alis berkerut, “Ah, apakah kaukira hal itu merupakan main-­main? Kalau para tokoh itu sudah berte­mu dan saling memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat itu amat jauh dari sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan ancaman bahaya maut!”

“Suhu, tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi tee­cu, selain menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu un­tuk bertemu dengan orang‑orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan per­mintaan teecu ini.”

Kakek itu sudah cukup mengenal wa­tak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu. Muridnya ini, di samping bakat‑bakat dan watak‑watak lainnya, juga memiliki keberanian yang tidak lu­mrah dimiliki anak kecil, di samping ke­kerasan hati yang pantang mundur ka­lau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma saja, bahkan membe­ri kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya. Dia mengerti bahwa kalau dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi penasaran dan ada kemungkinan akan minggat! Maka ia lalu menarik napas panjang sambil berka­ta, “Hemmmm.... terserah kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar‑benar berani menempuh segala ba­haya itu.”

“Suhu, terima kasih! Besok pagi‑pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!” Bun Beng menjadi gembira sekali dan cepat membuat persiapan un­tuk melakukan perjalanan jauh yang se­lamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam‑diam merasa kagum sekali dan tersenyum di dalam hati.

 Waktu lima tahun memang merupa­kan waktu yang cukup lama dalam kehi­dupan manusia, dan waktu ini cukup un­tuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal‑hal yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw‑lim‑pai yang mengalami perubahan hebat sehingga perubah­an besar menimpa diri Siauw Lam Hwe­sio yang kini telah meninggalkan kepen­detaannya dan menjadi orang biasa kare­na kekecewaannya menyaksikan keribut­an yang terjadi di antara murid‑murid Siauw‑lim‑pai sendiri.

Perubahan besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekua­saan alam telah mempermainkan penghi­dupannya, dan agaknya memang semen­jak kecil Suma Han ditakdirkan untuk mengalami banyak hal‑hal pahit yang membuat dia dalam usia semuda itu su­dah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan keramaian du­nia sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Untuk dapat mengikuti pengalaman‑pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya yang penuh pengalaman dahsyat.

Setelah berhasil merampas keponakan­nya, Giam Kwi Hong yang berusia ham­pir empat tahun, puteri dari mendiang encinya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han lalu melarikan diri ke ti­mur. Kwi Hong masih tidur nyenyak da­lam pondongannya dan baru pada keesok­an harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan seorang laki­-laki yang tak dikenalinya, anak itu me­nangis dan Suma Han mulai bingung. Susah payah dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia‑sia karena anak itu menjerit‑jerit mencari ibunya!

“Diamlah, Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik.” Berulang kali ia menghibur dengan suara halus dan penuh rasa kasih­an teringat akan encinya yang telah me­ninggal dunia. “Lihat, kucarikan buah­-buah, kembang....!” Sibuklah dia melon­cat dan berlari ke sana‑sini, memetik buah‑buah dan kembang, ditumpuknya di depan anak yang ia dudukkan di atas rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.

“Ibuuu....! Aku mau turut Ibu.... hi‑hi­-hikk....!” Kwi Hong menangis terus tanpa mempedulikan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok‑gosok kedua matanya dengan punggung tangan.

Suma Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menja­di makin bingung. Tak pernah disangka­nya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin dia begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia membujuk‑bujuk tanpa hasil.

“Aduh, Kwi Hong.... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku adalah adik Ibumu, aku Paman Han....!”

Tangan yang menggosok‑gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu memandangnya, tangisnya ter­henti sebentar. Betapa indah mata itu, Suma Han memandang kagum, seolah-­olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin bening dan bersih!

“Paman Han Han....?”

Suma Han tersenyum lebar, “Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah menceritakan kepadamu. Aku Paman Han Han....!” Ia tertawa lega, akan tetapi kembali ia tertegun bingung melihat Kwi Hong lagi­-lagi menangis sedih.

“Ibuku....! Mana Ibuku....! Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!”

Celaka! Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang su­dah mati? Dan tidak mungkin pula me­nerangkan kepada bocah sekecil ini bah­wa ibunya telah mati. Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba‑tiba ia melihat seekor kelinci ber­gerak di antara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat ia meloncat dan sekali sambar ia sudah berhasil menangkap ke­linci putih itu.

“Kwi Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!” Su­ma Han memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong. Anak itu me­mandang, tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya, memondong kelinci sambil tersenyum dan berkata.

“Kelinci cantik....!”

Baru sekarang Suma Han merasa be­tapa hatinya lega dan girang bukan main sehingga mau rasanya ia menari­-nari dan menyanyi‑nyanyi! Ia mencium pipi anak itu dan berkata, “Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Paman­mu akan mencarikan binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah bu­ah ini. Nih, Paman kupaskan kulitnya, manis sekali, makanlah!”

Kwi Hong suka makan buah itu, apa­lagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan menuju ke pan­tai laut di mana dahulu ia mendarat ber­sama Lulu ketika mereka berdua me­ninggalkan Pulau Es. Dia hendak kemba­li ke Pulau Es itu bersama Kwi Hong.

Setelah melakukan perjalanan berpe­kan‑pekan lamanya dan seringkali dia terpaksa menggunakan kekuatan mujijatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa, pada suatu senja tibalah Suma Han dan keponakannya di tepi pantai yang terjal sekali. Air laut kebiruan tampak dari atas seperti permadani biru terbentang luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat itu. Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang ke kanan kiri dan mulailah ia mengenal daerah ini. Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di sanalah dia bersama Lulu, tiba‑tiba tu­buh Suma Han menjadi lemas dan hati­nya makin kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan Lulu, tahulah dia bahwa se­menjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun hanyalah Lulu yang ia cinta, sepenuh jiwa raga­nya dan ia rela menderita asal adiknya itu hidup bahagia.

“Lulu, semoga engkau selalu hidup bahagia!” Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.

“Paman Han Han, kau bilang apa?”

Kwi Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan sepotong‑sepotong, terdengar lucu sekali.

“Ah, tidak, Paman tidak bilang apa­-apa.” kata Suma Han sambil mengambung pipi keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.

“Paman tangkapkan binatang lagi! Ke­linci lagi.... kelinciku lari!”

“Di sini mana ada kelinci?”

“Uh‑hu‑huk, minta kelinci....!” Kwi Hong yang selalu dituruti permitaannya oleh Suma Han, dalam waktu sebulan le­bih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti agaknya bahwa kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi maka sekarang pun ia memper­gunakan “senjatanya” yang lihai ini!

“Di sini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting.... eh kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutang­kapkan kepiting, ya?”

“Tidak, tidak mau.... hi‑hi‑hik, mau kelinci!” Kwi Hong menendang‑nendang­kan kaki dan menggeleng‑gelengkan ke­pala sambil mewek.

Suma Han menarik napas panjang. “Baiklah, baiklah.... eh, rewel benar anak ini.” Ia menurunkan Kwi Hong yang se­ketika sudah berhenti menangis ketika mendengar pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali paman­nya sanggup pasti akan dipenuhinya.

“Lihat baik‑baik, nih, aku menjadi kelinci!” Suma Han menggunakan ilmu­nya yang mujijat, mempengaruhi kepo­nakannya sendiri seketika Kwi Hong ter­tawa‑tawa gembira melihat seekor kelin­ci putih besar di depannya. Ia lupa sa­ma sekali kepada pamannya yang sudah lenyap. Sambil tertawa‑tawa ia lalu me­ngelus‑elus kepala kelinci itu dan mena­rik‑narik telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang. Suma Han menahan kegelian hatinya ketika kepalanya dielus-elus dan kedua telinganya dijewer‑jewer tangan kecil itu!

“Paman....! Paman Han Han....!” Tiba‑tiba Kwi Hong memandang ke atas dan telunjuknya menuding‑nuding ke atas. “Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung....!” Anak itu kini su­dah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang ke atas dan menuding-nuding sambil berteriak‑teriak.

Suma Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula meman­dang ke atas. Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar‑besar sekali sedang bertanding di angkasa dengan serunya!

“Heran sekali!” Serunya. “Burung ga­ruda dan rajawali....!”

“Tangkapkan burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu....!” Kwi Hong ber­sorak.

Akan tetapi sekali ini Suma Han ti­dak memperhatikan permintaan keponak­annya karena ia tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang burung‑burung garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apa­lagi sekarang dua ekor burung itu sedang berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil mengeluarkan suara meleng­king yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan dahsyat di angkasa!

Akan tetapi, serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawa­li itu bodol dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garu­da itu pun mengeluarkan lengking nya­ring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap di atas se­batang pohon besar tak jauh dari situ.

 “Paman, tangkapkan burung.... hi‑hi-­hik....!” Kwi Hong menangis ketika meli­hat dua ekor burung itu lenyap.

“Baiklah, jangan menangis. Kau du­duk saja di sini, ya? Paman hendak men­coba untuk menangkap burung itu.” Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap bu­rung semata‑mata memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sen­diri pun amat tertarik oleh burung garu­da perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap burung raksasa itu! Cepat tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya yang hebat, pende­kar ini meloncat naik ke atas pohon.

Burung garuda itu besar sekali! Tinggi­nya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya besar kuat dan paruhnya menye­ramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya yang agak kusut karena pertan­dingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada seorang manusia mendekatinya.

Dengan sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda, menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru, “Sin‑eng (Garuda Sakti), kita bersahabat!”

Tentu saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha memutar leher untuk me­nyerang, akan tetapi lengan yang meme­luknya demikian kuat sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh dan tiba‑tiba meloncat ke atas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk di atas punggungnya! Melihat ini, Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan melambai-lambaikan kedua tangannya.

“Bagus....! Bagus sekali....! Paman, aku ikut....! Aku ikut terbang naik burung....!”

Suma Han yang selamanya baru seka­li ini mengalami naik burung raksasa, ti­dak merasa takut hanya khawatir kalau-­kalau burung itu membawanya terbang jauh meninggalkan Kwi Hong. “Sin‑eng, turunlah, kita jemput anak itu....!” Akan tetapi burung garuda itu dalam ketakut­annya terbang meluncur terus membu­bung tinggi ke angkasa, seakan‑akan hen­dak membawa terbang Suma Han ke bu­lan yang pada senja hari itu sudah mulai tampak!

Suma Han mulai cemas dan meman­dang ke bawah. Dapat dibayangkan beta­pa kaget rasa hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar ke arah Kwi Hong yang masih berteriak‑teriak dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan oleh ga­ruda putih yang ditungganginya.

“Celaka....!” Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh ka­ki rajawali dan mendengar bocah itu berteriak‑teriak menangis ketakutan.

“Sin‑eng, demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!” Suma Han mencengkeram leher garuda dan memaksa kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan tetapi karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun. Suma Han menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, “Sin‑eng, kejar rajawali itu. Cepat....!”

Agaknya burung garuda itu biarpun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat mengenal mahluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut ke mana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si Burung Rajawali yang terbang cepat ke arah lautan! Tanpa diko­mando lagi, burung garuda itu terbang mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian, tersusullah bu­rung rajawali yang mencengkeram Kwi Hong. Anak itu masih menjerit‑jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han melihat bahwa yang dicengkeram raja­wali itu adalah punggung baju Kwi Hong. Kalau baju itu robek, atau kalau rajawa­li itu melepaskan cengkeramannya! Ia memandang ke bawah dan bergidik. Di bawah hanya tampak air melulu, air ke­biruan dari laut yang amat luas, menge­rikan dengan ombak besar membuih!

“Sin‑eng, terbang ke bawahnya, se­rang dia dari bawah, selamatkan anak itu!” Suma Han mendorong kepala garu­da. Garuda itu menyerbu ke depan, me­nukik ke bawah tubuh rajawali. Dengan gerakan tangkas sekali Suma Han me­ngulur tangan kanannya dan tongkatnya memukul kaki yang mencengkeram. Ra­jawali memekik kesakitan, kaki yang mencengkeram kena dipukul, cengkeram­annya terlepas dan nyaris tubuh Kwi Hong terlepas dari sambaran tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan tiba-tiba dan amat tangkasnya, mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh Kwi Hong!

“Sin‑eng yang baik, terima kasih!” Suma Han bersorak ketika ia mengambil keponakannya dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama sekali tidak luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengke­ram untuk menolong!

Kwi Hong masih menangis ketika di­pangku Suma Han di atas punggung ga­ruda. “Paman, burung itu nakal....!”

Suma Han menghela napas lega. Bo­cah ini benar amat mengagumkan. Biar­pun mengalami hal yang begitu menakutkan, tidak pingsan dan tidak ketakut­an. Ia memandang rajawali yang kini me­larikan diri terbang jauh, sedangkan ke­tika ia mencari‑cari dengan pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Di mana‑mana air melulu dan cuaca mulai gelap, malam mulai tiba!

“Sin‑eng yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!” Berkali-kali Suma Han membujuk, kini tidak lagi ia berani “mengemudi” leher burung itu karena dia sendiri tidak tahu mana arah darat­an. Burung itu terbang terus, cepat se­kali dan terpaksa Suma Han menyerah­kan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapapun juga, pasti burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata, “Bagus....! Bulan bagus....!”

Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimut­kan tubuh keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka ber­tumbuk dengan angin yang amat besar dan dingin. Namun, dapat dibayangkan betapa cemas hatinya karena burung itu terbang terus seolah‑olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau‑kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu me­nembus halimun yang terbentang di ba­wah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu masih laut­an atau daratan!

Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, un­tung baginya karena kalau dalam keada­an seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar‑benar akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!

Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyata­an bahwa mereka terbang di atas sekum­pulan pulau‑pulau di lautan luas! Jan­tungnya berdebar tegang. Pulau‑pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah utara. Hal ini da­pat ia ketahui dengan melihat muncul­nya matahari di sebelah kanannya.

Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulau­an itu lenyap jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang turun menuju ke pulau. Tiba-­tiba burung garuda mengeluarkan pe­kik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan tampaklah seekor burung ga­ruda lain, terbang ke atas menyambut kedatangan mereka! Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bi­ngung dan kaget ketika melihat betapa di punggung temannya duduk dua orang manusia, dia mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik‑pekik pendek seperti orang bertanya dan men­jawab. Suma Han menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu ten­tulah garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manu­sia maupun binatang sama saja, yang betina lebih “cerewet”!

Dua ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es. Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang su­dah terbangun. Begitu menginjak tanah yang dingin sekali, Kwi Hong menggigil kedinginan. Akan tetapi Suma Han begi­tu turun di atas pulau, tak dapat mena­han lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu! Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk sela­manya, mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat di mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun‑tahun, penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada di sampingnya lagi!

“Paman Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?” Tiba‑tiba Kwi Hong menghampiri den memeluk leher Suma Hen yang duduk di atas ta­nah. Mendengar ini, Suma Han merang­kul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat perlu kare­na kalau ditahan‑tahan dapat menyebab­kan luka di dalam tubuhnya dan menim­bulkan penyakit.

Terdengar suara lirih dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat be­tape dua ekor burung garuda itu meman­dang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat ini, timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun dan tersenyum!

“Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es. Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin‑eng yang setia!”

 “Tapi Ibu....?”

“Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-­eng yang telah mengantar kita ke sini!” Suma Han berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja Suma Han membunuh banyak ikan besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan­-ikan itu kepada burung garuda yang mengikuti mereka ke pantai. Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap ikan‑ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah sukar mencari ikan‑ikan di dalam air dan mereka harus mencari makanan di pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap bi­natang dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang se­kali.

Demikianlah, untuk kedua kalinya, Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, kini bersama Kwi Hong yang digem­bleng sehingga akhirnya, bocah itu da­pat bertahan melawan hawa dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat membunuh­nya. Sepasang burung garuda menjadi jinak dan ternyata mereka ini adalah sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han. Un­tuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau‑pulau lain di mana tumbuh buah‑buah dan bahan‑bahan makanan, juga binatang‑bina­tang hutan. Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi mencari bahan ma­kanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan. Bahan‑bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang dingin.

Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik. Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia su­dah berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbang­kan tinggi di angkasa, di antara awan­-awan putih!

Hanya satu hal yang menjadi ganjal­an di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyen­diri di situ sampai mati sekalipun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain! Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan perkembangan jiwa­nya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan di tempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaul­an Kwi Hong?

Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak meli­hat‑lihat keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke timur, tidak seperti biasa­nya menuju ke sekelompok pulau yang subur di selatan.

Tiba‑tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam seluruhnya sampai la­yarnya pun semua berwarna hitam. Hati­nya tertarik dan ia menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas ia sudah meli­hat pemandangan yang memanaskan hati­nya. Di atas perahu itu terdapat empat puluh orang laki‑laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat pada tiang‑tiang besi yang sengaja didirikan di perahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki‑laki dan seorang wanita yang mukanya berwarna jambon sedangkan laki‑laki itu semua mukanya berwarna ungu! Di atas dek tampak be­berapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang‑orang Pulau Neraka! Suma Han tertarik seka­li dan menyuruh garudanya makin men­dekat. Semua orang yang berada di pe­rahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat seorang manu­sia menunggang seekor burung garuda.

Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di antara empat puluh orang laki-­laki dan wanita yang ditawan itu sebagi­an besar adalah bekas saudara‑saudara seperguruannya, yaitu anak murid In‑kok-­san (Lembah Mega) di Gunung Tai‑hang­-san! Bahkan di antara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat bekas suci­nya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini te­lah menjadi seorang wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Adapun para tawanan yang lain tentu bukan orang‑orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biarpun dirantai dan dicambuki! Diam‑diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In‑kok‑san, bekas murid‑murid mendiang Ma‑bin Lo‑mo Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk go­longan hitam, memiliki kepandaian ting­gi dan mereka adalah pejuang‑pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka ta­hu bahwa pembunuh orang‑orang tua mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri (baca ceritaPendekar Super Sak­ti). Bagaimana mereka yang begini ba­nyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang‑orang Pulau Neraka itu? Biarpun ia tahu bahwa laki‑laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian banyaknya orang‑orang yang berilmu tinggi! Betapapun juga, dia harus menolong mereka!

Garuda putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di bawah dapat melihat jelas laki‑laki berambut riap‑riapan putih dan berkaki buntung yang menunggang garu­da itu.

“Dia.... Pendekar Siluman....!” Seruan ini keluar dari mulut laki‑laki muka ungu dan wanita muka jambon yang pernah bertemu dengan Suma Han ketika mere­ka memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua.

Juga para murid In‑kok‑san kini me­ngenal Suma Han, namun mereka itu ha­nya memandang dengan heran dan jantung berdebar. Benar bahwa Suma Han pernah menjadi murid In‑kok‑san, bah­kan pernah diambil murid Toat-beng Ciu­-san‑li bersama tiga orang murid In‑kok-­san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma‑bin Lo‑mo dan dengan Toat‑beng Ciu‑sian‑li. Bahkan kedua orang datuk In‑kok‑san itu tewas di ta­ngan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung oleh Toat­-beng Ciu‑sian-li (baca ceritaPendekar Super Sakti )! Biarpun bekas saudara se­perguruan, namun sekarang tidak mung­kin menganggapnya saudara seperguruan lagi tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun sudah mendengar bahwa laki‑laki muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian seperti setan!

Kini burung garuda sudah melayang turun di atas dek perahu dan semua orang makin kagum mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat be­sar, setinggi manusia.

“Wah, dia tidak kalah besar dengan Tiauw‑ong (Rajawali)!” Terdengar se­orang di antara anak buah perahu itu berseru dan diam‑diam Suma Han men­duga bahwa tentulah burung rajawali yang dahulu pernah dikalahkan garudanya itu adalah binatang peliharaan Pulau Neraka!

“Pendekar Siluman, mau apa engkau datang ke sini? Bukankah kau dahulu bi­lang bahwa engkau tidak mencari per­musuhan? Harap jangan mencampuri urus­an kami!” Laki‑laki muka ungu sudah maju dan menegurnya.

Suma Han yang sudah meloncat tu­run dari punggung garuda dan berdiri te­nang mengerling ke arah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada laki‑laki muka ungu itu.

“Aku melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini di­tawan?”

“Ini adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri. Ataukah ada hubungan antara To‑cu (Majikan Pu­lau) Pulau Es dengan seorang di antara tawanan ini? Kalau benar demikian, ka­mi bersedia membebaskannya.”

Diam‑diam Suma Han merasa geli di dalam hatinya. Dahulu, secara tidak se­ngaja ia mengaku tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau Neraka dan siapa sangka, sekarang hal itu be­nar‑benar telah terbukti dan dia menja­di penghuni atau majikan dari Pulau Es!

Mendengar pertanyaan Si Muka Ungu yang setengah menghormat dan takut se­tengah penasaran menentangnya itu, Suma Han kembali mengerling ke arah para tawanan. Timbul sebuah pikiran yang membuat jantungnya berdebar. Bu­kankah dia sedang bingung memikirkan masa depan Kwi Hong yang tidak mempunyai teman? Para tawanan ini rata-rata adalah seorang gagah, bahkan wani­ta‑wanitanya, terutama sekah Phoa Ciok Lin, adalah wanita‑wanita yang memili­ki wajah cantik dan pandang mata ga­gah pula. Melihat bahwa mereka yang bukan murid In‑kok‑san tertawan bersama murid‑murid In‑kok‑san yang kesemua­nya pejuang‑pejuang gagah perkasa, ten­tulah orang‑orang ini pun bukan penja­hat‑penjahat dan tergolong pejuang yang gagah pula.

“Kalian mau tahu apa hubunganku de­ngan mereka ini? Mereka ini adalah anak buahku, anak buah Pulau Es! Kali­an berani menawan mereka?”

Mendengar ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah, bukan hanya wajah para anak buah Pu­lau Neraka, juga para tawanan meman­dang dengan bingung. Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepa­da para tawanan, suaranya mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah‑olah menanyakan hal yang amat kecil artinya.

“Katakanlah, kalian lebih senang menja­di anak buah Pulau Es di bawah pimpin­anku ataukah ingin ikut dengan rombong­an Pulau Neraka?”

Tiba‑tiba seorang yang bertubuh ge­muk, berjenggot panjang, rambutnya di­kuncir, menjawab, “Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, sia­pa sudi menjadi budak paksaan Pulau Neraka?” Empat puluh orang itu seren­tak menjawab dan menyatakan keinginan ­hati mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan be­berapa orang anak murid In‑kok‑san yang membungkam agaknya masih segan un­tuk menyatakan menjadi anak buah laki-­laki buntung itu.

Pada saat itu, laki‑laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi memang demikianlah kenya­taannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada mereka semua. Dan hal itu ter­bukti pula dari sikap jerih dan pandang mata penuh kekhawatiran dari para ta­wanan ketika Si Muka Hijau ini keluar.

Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersi­ap dan mereka mengatur barisan yang aneh karena warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada se­orang saja, kakek tinggi kurus itulah.

Setelah berdiri saling pandang bebe­rapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mujijat dari Suma Han. Dia segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat,

“Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?”

“Benar.” jawab Suma Han. “Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?”

“Aaaahh, hamba hanyalah murid ting­kat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga untuk di­kerjakan di pulau kami dan telah berha­sil mengumpulkan empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan teta­pi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?”

Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, “Tadinya mereka bukan apa-apa, akan tetapi mu­lai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku menuntut agar mereka dibebaskan!”

Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di muka­nya makin keruh. “Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak berani lancang menentang ke­hendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya dengan ke­pandaian pula pihak lain dapat merampasnya!”

Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memi­liki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid ting­kat rendah dari Pulau Neraka. Bukan main!

“Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?” Suma Han bertanya, sikapnya dingin.

“Mana berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau hamba mempertahan­kan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang petugas yang baik.”

“Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari kita menentukan tingkat kepandaian!” Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Su­ma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding karena dia ma­sih berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, ditopang tongkatnya yang dipegang di tangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui siapapun juga, se­jak tadi telah melancarkan serangan he­bat! Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan dan dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tidak menghendaki terjadinya hal ini, maka dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya yang aneh, mengandalkan kekuatan mujijat yang tersembunyi di dalam kemauannya dan dipancarkan melalui pandang mata­nya.

“Singgg....!” Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar-getar itu saja sudah membuk­tikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

“Maaf, To-cu. Harap suka mengeluar­kan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar.” Biarpun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk hati­nya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, ber­kaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata.

“Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat menggigitmu sendiri. Kauseranglah, aku telah siap!” kata Suma Han sambil mengerahkan kekuatan mujijatnya melalui mata.

Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan khawatir. Mereka semua te­lah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua tidak ada yang dapat me­nandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata, bah­kan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu ka­kinya yang hanya sebuah!

Adapun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah se­kali. Biarpun bocah buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda, dan mengaku sebagai Majikan Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, na­mun tidak patut menghadapinya dengan sikap merendahkan seperti itu.

“To-cu sambut pedang hamba!” Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat ce­pat sekali ketika pedang itu meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan da­ri jauh sudah menyambar hawa dingin ke arah leher Suma Han. Pendekar Silu­man ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis hanya memandang de­ngan mata seperti mengeluarkan kilat.

“Hayaaaa....!” Tiba-tiba Si Muka Hijau memekik dan matanya terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pe­dang di tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit ke arah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor “ular” dan terhuyung-huyung ke belakang memegangi lehernya dan matanya me­mandang “ular” yang jatuh ke atas lan­tai perahu.

Bagi orang lain yang menonton, pe­ristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han. Mengapa sebe­lum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pe­dangnya yang terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!

“Ilmu siluman....!” Si Muka Hijau ber­teriak ketika kini matanya melihat bah­wa “ular” tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri!

Mendengar ini, semua anak buah Pu­lau Neraka serentak maju, siap mengero­yok Suma Han. Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya lalu berkata,

“Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?”

Semua anak buah Pulau Neraka men­jadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah menjadi raksasa, tiga kali ukur­an tubuh manusia, kepalanya menjadi ti­ga buah dan lengannya menjadi enam bu­ah biarpun kakinya masih tetap satu! Melihat ini, mereka menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahu­lui mereka berlutut.

“Mohon To-cu sudi mengampunkan hamba semua dan biarlah kami melapor­kan kepada To-cu kami bahwa para ta­wanan terpaksa kami serahkan To-cu Pu­lau Es karena kami tak sanggup mela­wannya.” kata Si Muka Hijau.

“Hemm, kalau begitu, mengapa kali­an tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?”

Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil diturunkan dan Si Muka Hi­jau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan ki­ni dipegang oleh para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang dayung. Perahu kecil itu didayung cepat sekali, Si Muka Hijau berdiri di ujung belakang memegang tambang dan.... belasan orang anak buahnya meloncat ke air dan da­pat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya Si Muka Hijau itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan ka­yu diikat dengan kaki mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula cara enam orang itu mendayung pe­rahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka!

Suma Han kagum sekali, maklum bah­wa dia telah menanam bibit permusuhan dengan golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawan­an. Di antara mereka itu, termasuk ka­kek gendut, segera menjatuhkan diri ber­lutut menghadap Suma Han. Akan tetapi, anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan ber­kata dengan suara dingin.

“Siapa yang suka menjadi anak buah­ku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut. Yang tidak mau, takkan dipaksa!”

Sedetik pandang matanya bertemu de­ngan pandang mata Phoa Ciok Lin be­kas sucinya. Namun wanita muda ini se­gera menekuk kedua lututnya dan bertu­rut-turut para murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka pucat te­tap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat berkata,

“Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan te­tapi engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mati?”

Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu (baca ceritaPendekar Super Sakti ). Hemm, orang ini pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman.

“Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!”

“Pergi ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai.”

Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut. “Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk berdebat. Pilih satu di an­tara dua. Tinggal di perahu dan menja­di anak buah Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!”

“Engkau.... iblis siluman.... keji!” Lo Hoat memaki.

“Pergilah atau harus kulempar keluar?”

“Manusia rendah, coba kaulempar ka­lau....” Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan Suma Han bergerak sedi­kit dan.... tubuh itu terlempar keluar dari perahu dan jatuh tercebur ke air!

“Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?” tanya Suma Han kepada dua orang murid In-kok-san.

“Engkau adalah bekas sute kami, ba­gaimana kami dapat mengangkatmu men­jadi majikan dan berlutut di depanmu?” seorang di antara mereka membantah. “Kami adalah orang-orang yang memi­liki kegagahan, bukan berjiwa rendah!”

“Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku bukan sute kalian, aku ada­lah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua pilihan. Tunduk kepada­ku atau.... keluar dari perahu ini!”

“Lebih baik mati!” Dua orang itu meloncat keluar dari perahu dan kemba­1i air laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air. Mereka yang berlutut me­mandang ke arah air dengan muka pu­cat, menyaksikan tiga orang itu berju­ang dan bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka.

“Pasangkan layar, kita berangkat!” kata Suma Han tanpa mempedulikan ti­ga orang itu. “Aku menjadi penunjuk ja­lan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana garuda terbang!”

Mereka yang berlutut itu sudah tun­duk dan kagum kepada Suma Han. Mere­ka telah diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan me­reka akan benar-benar seperti di neraka!

Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biar­pun pendekar ini dijuluki Pendekar Silu­man! Apalagi, nama Pulau Es merupa­kan daya tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu di­idamkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di ma­na terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerima­nya dengan hati girang.

Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih termangu-mangu, ter­ingat akan nasib dua orang saudara se­perguruan yang ditinggalkan dan bergu­lat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak dapat menyalahkan Su­ma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan jalan hidup terbuka lebar.

Demikianlah tiga puluh orang gagah kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulan-bulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai menerima Suma Han seba­gai majikan dan juga guru mereka! Suma Han mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian da­sar dan bakat mereka masing-masing se­hingga kepandaian mereka meningkat se­cara hebat. Tentu saja yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih pekerjaan Su­ma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak diman­jakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya da­lam hal ilmu silat, Suma Han turun tangan sendiri mengajar keponakannya.

Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di an­tara mereka itu ada yang saling mencin­ta lalu menikah dengan upacara sederha­na namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang manusia mulia se­perti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai! Namun, Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersamadhi di dalam ruangan Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan men­cari bahan makanan tentu saja kini dila­kukan oleh anak buahnya dan untuk me­ngatur semua urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan da­lam pulau, sedangkan Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, me­lainkan juga dari watak dan pribadi me­reka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.

Demikianlah selama lima tahun te­lah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai ter­dengar namanya di dunia kang-ouw.

***

“Suhu....! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?” Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan. Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.

“Muridku, apa kaukira aku tega mem­biarkan engkau menempuh perjalanan pe­nuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksi­kan keramaian antara tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana.”

Wajah Bun Beng yang tadinya mem­bayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berse­ri gembira dan ia menjatuhkan diri ber­lutut di depan kakek itu, “Terima kasih, Suhu. Terima kasih!”

Kakek Siauw Lam tertawa dan mem­buka bungkusan kain kuning yang diba­wanya. “Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan.”

Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun, “Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mere­ka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegi­laan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari da­sar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kaupelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan teta­pi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm.... mungkin kepandaian yang kumiliki sekali­pun sama sekali tidak ada artinya.”Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti de­wa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun, selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterang­kan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu

Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibu­nya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amatlihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hen­dak pergi.

“Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang menjemput­mu dan engkau harus turut dengan dia, anakku.”

Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang ti­dak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata, “Belajarlah yang rajin, dan kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu.”

Sekarang timbul lagi keinginan tahu­nya. Dia telah besar, telah sepuluh ta­hun lebih usianya. Gurunya telah membo­lehkan untuk pergi merantau biarpun ki­ni suhunya itu menemaninya.

“Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya da­ri pengetahuan teecu. Maka, teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau ma­sih hidup, di manakah Ibu? Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?”

Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, “Suhu, harap Suhu jangan khawatir mengatakan andaikata Ibuku telah mati. Telah terla­lu lama teecu menganggap Ibu telah tidak ada, dan keraguan ini lebih menyik­sa daripada mendengar kenyataannya.”

Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia pun lalu menjawab, “Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng.”

Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak gemetar ketika ia bertanya, “Apa­kah Ibu gagal membalas dendam dan te­was di tangan musuh besarnya?”

“Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, me­reka keduanya tewas. Nah, sekarang eng­kau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak lagi memikirkan Ibumu?”

“Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak per­nah mau menjawab kalau teecu mena­nyakan Ayah.”

Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia ti­dak mau membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir seje­nak, ia menjawab tenang, “Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng.”

“Oohhh....!” Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berdu­ka karena memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. “Tahukah Suhu, siapa nama Ayah teecu?”

“Namanya.... Gak Liat.”

Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk ha­tinya dengan dua huruf besar-besar. “Ja­di teecu she Gak? Pantas dulu Ibu me­ngatakan bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak....”

“Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?” Kakek itu memandang tajam wajah muridnya yang disinari api unggun.

“Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu....” Suara ini agak tersendat oleh keharuan.

Kakek itu memegang pundak Bun Beng. “Kematian orang bukanlah hal yang patut disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pas­ti akan mati, dan mati berarti terbebas daripada duka nestapa dan derita perasa­an di waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendi­ri. Langit adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang seja­ti. Takut apa?”

Anak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!

“Terima kasih, Suhu. Apalagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti, seperti.... Pendekar Siluman! Eh, Suhu ju­ga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?”

Gurunya tertawa. “Tidak salah kata-katamu. Dunia ini penuh orang sakti. Dan Pendekar Super Sakti itu adalah se­orang di antara mereka, dibandingkan dengan dia, ahhh.... Suhumu ini bukan apa-apa.”

“Suhu terlalu merendahkan diri. Tee­cu tidak percaya!”

“Memang, sebaiknya engkau pun sela­ma hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah hati bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh kemajuan pesat, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri. Namun, bi­cara tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat ting­gi-tinggi sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memi­liki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sukar membayangkan mencari orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita melanjutkan perjalanan. Ke­lak engkau tentu akan dapat bertemu de­ngan mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai mereka itu.”

Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya ten­tang ayah bundanya dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!

Pada keesokan harinya mereka me­lanjutkan perjalanan. Melakukan perjalan­an bersama gurunya amatlah menggem­birakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun, bah­kan sungai!

Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika suhunya mengajak­nya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di de­pan suhunya!

“Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah ­salah mengenal orang!” Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka bangkit.

Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka yang bertubuh bong­kok segera berkata, “Kami dari Pek-lian-kai-pang selamanya tidak berani bersi­kap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apalagi terhadap Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu.”

Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian-kai-pang, atau lebih tepat hanya sisa-sisa dari anak buah Perkum­pulan Pengemis Teratai Putih yang ter­kenal itu, setelah Pek-lian-kai-pang ter­basmi oleh Pemerintah Mancu (bacaPendekar Super Sakti ), kakek Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata,

“Kami berdua ingin menonton kera­maian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu untuk disewa.” Wajah tiga orang pengemis itu berubah, kaget dan pucat. “Ke.... ke sana....! Aih, Locianpwe, di antara kami dan para ne­layan, siapakah yang berani pergi ke sa­na dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi tentu saja Locianpwe lain lagi, dan kalau saja kami berkepandaian tinggi seperti Locianpwe, agaknya tak­kan dapat menahan keinginan hati me­nonton keramaian itu. Locianpwe mem­butuhkan perahu? Kami mempunyai sebuah, boleh Locianpwe pakai. Kalau men­cari sewa, kami kira tidak ada nelayan yang mau menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah, Locianpwe.” Ketiga orang jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh lagi padahal tadi begitu menghor­mat. Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan hal ini mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek jembel itu dan Bun Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai agak menyendiri dan jauh tempat ramai tiga orang kakek jembel itu ber­henti dan menunjuk ke sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.

“Itulah perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi pe­rahu Locianpwe. Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe.” Tiga orang kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan aneh­nya gurunya juga tidak menyatakan teri­ma kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi tidak puas atas sikap gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agak­nya Kakek Siauw Lam dapat melihat isi hati muridnya maka ia berkata.

“Di dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah benda adalah milik bersama, ter­utama kalau dipergunakan untuk kebutuh­an mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu dibalas dengan terima kasih, hal itu ha­nya akan menimbulkan ketidakpuasan si pemberi yang menganggap orang itu ber­sikap sungkan seperti orang asing bukan segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan meng­anggap bahwa aku sombong dan tidak mau menganggap mereka sebagai sego­longan!”

Bun Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu, pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang buruk akan tetapi kokoh ku­at, dengan tihang layar dari bambu dan layar-layarnya banyak yang sudah ditam­bali, seperti pakaian tiga orang kakek jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik, akan tetapi lumayan dan cukup kuat!

Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan dayung menggerakkan pera­hu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama makin ke tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung. Mula-mula memang sukar sekali, apalagi kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia menjadi bissa dan dapat menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur dan Kakek Siauw Lam mengembangkan sebu­ah layar kecil untuk membantu lajunya perahu.

Bun Beng benar-benar mereka gembi­ra. Selamanya belum pernah ia berla­yar dan sekali berlayar dia belajar men­dayung dan mengemudikan perahu! Ter­nyata jauh lebih enak melakukan perja­lanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki. Juga pemandang­an alamnya tidak kalah menariknya ka­rena di kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan diseling pegu­nungan dan hutan-hutan liar menghijau.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali me­reka tiba di sebuah tikungan yang menu­run. Arus airnya kuat dan berobah ga­nas, berombak dan mengandung banyak putaran air sehingga Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung. Setelah menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri dan menu­ding ke depan sambil berkata.

“Suhu, lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala, siapakah mereka itu?”

“Kau tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan ja­ngan mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap me­nunggu-nunggu.” Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang karena dia dapat merasakan betapa suasana amat panas dan sewaktu-waktu dapat meledak perpecahan di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.

Setelah perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk du­duk diam saja, mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan te­ngah. Banyak perahu malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu itu memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu ber­tumbukan, tentu akan terjadi keributan itu.

Ketika kakek Siauw Lam dapat mem­baca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena ternyata bahwa yang berkum­pul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah rombongan bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal pada masa itu dan yang tidak saja menjadi bajak di muara Su­ngai Huang-ho, bahkan kadang-kadang turun ke laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan tetapi kakek ini bersikap tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar memperlambat lajunya perahu mereka.

Tiba-tiba tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti ber­bunyi :

Dari delapan penjuru muncul harimau dan naga datang ke muara mempere­butkan mustika.

yang merasa dirilya bukan harimau atau naga pergilah jangan mencari jalan ke neraka!”

Kakek Siauw Lam masih tetap te­nang, bahkan kini ia menggunakan tong­katnya dipukul-pukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main. Tongkatnya menerbitkan suara ber­irama lalu terdengarlah kakek ini ber­nyanyi :

“Harimau dan naga memperebutkan mustika biarlah! Sang Kucing tidak menghendaki apa-apa hanya menonton menggunakan mata sendiri

siapa yang ambil peduli?”

Bun Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimak­sudkan dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa tongkat suhunya yang dipermain­kan di air itu selain menerbitkan suara berirama, juga menimbulkan gelombang yang membuat perahu-perahu pengha­lang itu terombang-ambing, bahkan ter­dorong minggir!

Juga para pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat, maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan me­reka semua berdiri di kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat kedua ta­ngan ke depan dada ketika perahu kecil itu lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, ki­ni bernyanyi pula, suaranya lantang :

“Burung terbang dapat dipanahikan berenang dapat dijala binatang lari dapat dijebak!

Kami yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti yang menunggang angin dan mega.

Maaf, maaf, maaf!”

Akan tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang mem­bantu muridnya mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang itu. Setelah be­berapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.

“Eh, Suhu! Apakah artinya semua nyanyiara tadi? Sikap mereka begitu me­nakutkan akan tetapi Suhu hanya bernya­nyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?”

Kakek itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. “Gerombolan bajak dapat mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua Hek-liong-pang yang seka­rang ini bukan orang sembarangan!”

“Bajak? Apakah mereka itu bajak, Suhu?”

Gurunya mengangguk. “Mereka ada­lah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyin­dirkan bahwa di muara sungai kini se­dang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan naga dan hari­mau memperebutkan mustika yang agak­nya dimaksudkan pusaka-pusaka itu. Dan mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu mendekat karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua merekapun merupa­kan seorang di antara mereka yang di­anggap naga harimau!”

Bun Beng mengangguk-angguk. “Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biarpun kucing, bukan sembarang kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu bukan sembarang ku­cing melainkan seekor naga yang me­nunggang angin dan mega! Bukankah begitu, Suhu?”

Gurunya mengangguk. “Nyanyian me­reka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Nabi Khong Hu Cu yang ditujukan kepa­da Nabi Lo Cu setelah kedua nabi itu saling berjumpa dan bercengkerama.”

Perahu melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit, diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan waktu dengan berla­tih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia pergunakan untuk ber­latih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan berseru,

“Suhu....! Di atas tebing itu.... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf be­sarnya berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya berjaga-jaga di daerah ini!”

“Ssst, kita sudah hampir sampai. Sim­pan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian terjadi karena dikabarkan bahwa tem­pat rahasia penyimpanan pusaka berada di situ. Agaknya tentara negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari darat. Cepat, kita minggirkan perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang yang menonjol itu!” Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga perahu mereka melun­cur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel batu karang dan tidak hanyut.

Malam tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu sebagai bekal. Angka­sa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti lewatnya malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.

“Suhu, kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?”

“Berbahaya! Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi baru kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh ti­dak baik kalau kita melibatkan diri de­ngan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat melihat keadaan dan menyesuaikan diri.”

“Suhu, selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum menceritakan keadaan mereka kepada teecu.”

“Yang mukanya berwarna merah ada­lah anak buah dari Pulau Neraka.”

“Pulau Neraka? Sungguh menyeram­kan namanya. Di mana itu, Suhu?”

 “Sampai sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan mendengarnya pun baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh ra­hasia seperti Pulau Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, sungguhpun tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak buahnya, tentu saja. Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan dan mencari, karena kabarnya pusaka pening­galan Bu Kek Siansu berada di sana. Namun tidak pernah ada yang berhasil. Adapun Pulau Neraka ini sebenarnya ha­nya dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama. Kabarnya sebuah pulau yang amat berba­haya, tidak dapat didatangi manusia, pe­nuh dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun, bahkan buah-buahan, tetumbuhan dan batu-batuan di sana be­racun semua! Maka, amatlah mengaget­kan ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang kesemuanya berwarna-warni kulit tubuhnya! Mengerikan!”

“Wah, hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?”

Kakek itu menggeleng kepala. “Keti­ka aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu di kuil tua, aku terke­jut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka bukan warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agak­nya, melihat keadaan mereka dahulu itu, makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis! Akan tetapi entahlah tak pernah ada orang yang bertemu dengannya. Bahkan anak buah mereka pun baru sekali itu ku­lihat. Aku pun masih heran memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak merampasmu, sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!”

Bun Beng makin tertarik dan makin terheran-heran. “Kalau tokoh-tokoh yang lain itu siapakah, Suhu?”

“Mereka juga bukan orang-orang sembarangan. Ternyata mereka yang hanya merupakan anak buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka. Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru sekarang muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena tokoh-tokohnya berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh sekali yang ilmu kepandai­annya tidak lumrah manusia!”

“Kalau begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pu­saka-pusaka itu! Siapa yang akan mam­pu menandingi mereka?”

Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Aaahh, kau ti­dak tahu tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pan­dai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri malah memiliki kepandaian menggila! Kini, setelah ada umpan berupa berita pusaka-pusaka itu, hem, aku hendak me­lihat apakah orang-orang sakti itu tidak tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali. Dan jangan kira pi­hak lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang pandai, dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat. Apalagi ada kudengar bahwa kok­su mempunyai dua orang pembantu yang ilmu kepandaiannya sukar dikatakan sam­pai di mana tingginya. Mereka itu jarang dikenal orang kepandaiannya, akan teta­pi mengingat bahwa mereka adalah dua orang pendeta Lama dari Tibet, aku da­pat menduga bahwa tentu ilmu kepandai­annya luar biasa sekali.”

Dengan hati penuh keheranan dan kekaguman, Bun Beng mendengarkan pe­nuturan suhunya dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menan­ti dengan hati tidak sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu meman­dang wajah muridnya di bawah bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang diri.

“Bocah ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya? Agak­nya dia ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di tempat ini. Hemm.... semoga dia ke­lak akan dapat berdiri di atas kebenar­an, keadilan dan menjadi hamba keba­jikan, mencuci noda ayah bundanya.” Kakek ini pun lalu duduk bersila, bersa­madhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya yang tua.

***

Sementara itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, se­orang kakek berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh tiga orang panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang sembarangan karena dia­lah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat oleh Kaisar seba­gai pengganti Puteri Nirahai yang lenyap. Kakek botak ini tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, se­orang keturunan India akan tetapi mema­kai nama Tiong-hoa. Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali dan setelah mendemonstra­sikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan se­mua jago kerajaan, dia diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan ke­rajaan. Im-kan Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga tajam itu ru­panya telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan merasa kha­watir kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun mem­blokir kedua tebing di kanan kiri muara dari mana mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pemban­tunya. Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Di dalam ceritaPendekar Super Sakti , dua orang pende­ta Lama ini sudah muncul sebagai orang-orang yang sakti dan sukar dicari tan­dingannya. Adapun tiga orang panglima yang berpakaian perang dan kelihatan gagah perkasa itu pun bukan sembarang­an orang, melainkan jagoan-jagoan ting­kat tinggi yang mengepalai pasukan pe­ngawal istana!

“Maaf Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa mem­beri kesempatan kepada mereka sehing­ga membahayakan pasukan yang akan kita ambil? Bukankah lebih baik kita turun tangan mengusir mereka, kalau mereka membangkang, apa sukarnya me­nangkap dan membasmi mereka sebagai pemberontak?” Tanya Bhe Ti Kong, panglima yang tampan, tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan ber­mata lebar, pantas menjadi seorang panglima besar atau jenderal yang kosen. Dua orang panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan perta­nyaan ini karena mereka pun merasa pe­nasaran. Hanya kedua orang pendeta La­ma itu yang duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi jawaban Im-kan Seng-jin.

Kakek botak yang tubuhnya tinggi ku­rus itu tersenyum memandang si pena­nya, kemudian mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk sehingga mengeluarkan bunyi krak-krok-krok! “Tahu­kah kalian apa yang menyebabkan bunyi ini jika buku-buku jari ditekuk? Yang mendatangkan bunyi adalah pecahnya gelembung-gelembung yang terhimpit! Heh-heh-heh, Bhe-goanswe (Jenderal Bhe), sebagai seorang panglima perang tentu engkau sudah tahu akan siasat-siasat perang, bukan? Ada saatnya menyerang, ada pula saatnya mundur dan ada saatnya bersabar menanti kesempatan baik. Menghadapi partai-partai orang kang-ouw sekarang ini, aku mengambil siasat menanti dan melihat (wait and see)! Mengertikah kalian semua mengapa kita harus menanti dan melihat apa yang akan mereka kerjakan?”

Kelima orang pembantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong berkata lagi, “Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini? Mereka adalah orang-orang kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat tokoh-tokoh sakti, akan tetapi selama ini mereka tidak mengambil sikap ber­musuh terhadap pemerintah. Kalau seka­rang kita mempergunakan kekuasaan min­ta mereka mundur, tentu mereka tidak membantah. Menurut para penyelidik, me­reka itu bukan hanya tertarik untuk mendapatkan pusaka-pusaka, melainkan juga menggunakan kesempatan ini untuk berpibu, mengadu kepandaian untuk me­nentukan siapa yang pantas disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi! Segala perkara kosong itu perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?”

Jenderal Bhe Ti Kong ini semenjak kecil adalah orang peperangan, maka si­kapnya jujur dan keras, siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat plintat-plintut menggunakan akal bulus.

Im-kan Seng-jin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah, Bhe-goanswe. Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua pendapat­mu itu keliru dan meleset!”

Melihat sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong menun­duk, dan suaranya perlahan ketika ia berkata, “Tentu Koksu yang benar, saya mohon penjelasan agar dapat melaksana­kan tugas dengan baik sesuai dengan siasat Koksu!”

“Pertama, perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanya­lah menunjukkan kepulauan ini sebagai penunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku, jelas menandakan bahwa tem­pat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai dari tempat ini, yaitu pulau-pulau yang berada di tengah mu­ara. Karena belum diketahui jelas di mana tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan mencari-cari, perlu apa kita mendahului mereka men­cari dan membiarkan mereka diam-diam mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita dapatkan! Dari­pada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan un­tuk kita. Kalau secara kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap! Kalau tidak demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali mengintai mangsanya! Bagaima­na pendapat kalian?”

Lima orang pembantu itu mengang­guk-angguk tanda setuju.

“Kalau mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memu­suhi pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan meng­usir mereka sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepa­da pemerintah? Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka? Pertama, mereka akan membenci dan memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka tentu pena­saran dan akan mengintai gerak-gerik kita dalam mencari pusaka.”

Kembali lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.

“Tentang mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi pemerintah! Selain itu hemmm.... aku pun ingin sekali menon­ton pibu. Ha-ha, tak dapat disangkal pu­la bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi gatal-gatal kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita pun mera­maikan pibu mereka itu? Kita berlima.... heh-heh, berenam dengan aku maksud­ku, agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan seka­li, ha-ha!”

Kini dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun ingin sekali menyaksikan, bah­kan kalau mungkin menguji kepandaian kaum kang-ouw yang terkenal dan teru­tama sekali dia yang nanti terpilih men­jadi datuk nomor satu!

Ketika perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersamadhi dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, karena Kakek Siauw Lam sadar dari sa­madhinya karena ia mendengar suara perlahan di permukaan air, suara sebuah perahu meluncur datang mendekati pera­hunya! Namun kakek itu pura-pura tidak tahu dan duduk bersila dengan tenang­nya, hanya diam-diam ia bersiap-siap menjaga diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari gerakan perahu ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang melon­cat ke atas perahunya, dan orang-orang ini brarpun memiliki gin-kang yang tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Maka dia tetap pura-pura tidak tahu.

“Kita sergap dan ikat,” bisik seorang di antara mereka. Legalah hati kakek Siauw Lam karena bisikan itu mempu­nyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan ditangkap, tidak dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak melakukan perlawanan.

“Heiii! Apa ini? Lepaskan....!” Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika ia terbangun dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya, “Suhu....!”

“Diamlah, Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat.” kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.

“Tidak berniat jahat mengapa mem­belenggu kita?” Bun Beng membantah, terheran-heran.

Kini guru dan murid itu telah dibe­lenggu kedua tangan mereka ke bela­kang dan mereka melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas perahu.

“Engkau benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan tetapi juga tidak mau me­rampas hak seorang penonton. Mari, ka­lian akan mendapat tempat yang amat baik sehingga akan dapat menonton de­ngan enak, ha-ha!” Tubuh guru dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu mereka yang mereka dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap mereka meminggir­kan perahu, disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan membawa seba­tang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan biarpun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun mudah diduga bahwa dia tentulah pemimpin dari orang-orang ini.

“Lemparkan mereka di pantai, kemu­dian cepat sembunyikan perahu dan kembali bersembunyi di tempat semula,” kata orang berpedang itu setelah melem­par pandang kepada Kakek Siauw Lam.

“Baik, Pangcu,” jawab anak buahnya akan tetapi orang berpedang itu sudah berkelebat cepat sekali, lenyap dari situ. Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan ditinggalkan di pan­tai pulau itu, kemudian enam orang ber­sama perahunya pergi. Semua ini dilaku­kan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap.

Keadaan sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu pergi. Bun Beng memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai di mana mereka ditinggal­kan itu yang datar akan tetapi dari tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain, di sekeliling pulau itu tentu merupa­kan tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan bahwa pulau itu berada di muara paling ujung, dan sudah berbatasan dengan laut sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing karang pulau itu di sebelah luar. Ketika berusaha meman­dang ke seberang, yaitu di kanan kiri sungai yang telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat beberapa sinar api berkelap-kelip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada manusianya, pada hal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu, mungkin di atas pulau dan sudah terang sekali di sebe­rang, di tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti, penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia ter­ingat akan keadaan dirinya dan suhunya.

“Suhu, teecu masih tidak mengerti mengapa Suhu tidak melawan? Kita ini dibelenggu dan dilepaskan di sini, apa sih kehendak mereka? Apakah benar-benar kita disuruh menonton akan tetapi tidak boleh bergerak maka dibelenggu seperti ini?”

“Sabar dan tenanglah, Bun Beng. Engkau pergi hendak mencari pengalam­an, ingat? Nah, justru pengalaman-penga­laman yang tidak enaklah yang merupa­kan pengalaman tak terlupakan dan mengandung banyak pelajaran. Mereka itu tidak berniat jahat, karena kalau demikian, tentu tadi mereka akan mem­bunuh kita dan tentu saja aku tidak akan membiarkan mereka berbuat begitu. Mereka hanya menangkap kita dan bukti­nya kita ditinggalkan di sini.”

“Akan tetapi.... mengapa, Suhu? Apa maksudnya semua?”

“Aku sendiri tidak tahu dengan pasti, hanya dapat menduga-duga saja. Kalau dugaanku tidak meleset terlalu jauh, kita sekarang bukan menjadi penonton lagi, Bun Beng, melainkan ikut pula ma­in dalam keramaian ini, bahkan menjadi pemegang peran babak pertama dalam adegan pembukaan!”

Bun, Beng membelalakkan matanya. “Apa maksud Suhu?”

“Agaknya para partai dan tokoh kang-ouw yang sudah berkumpul dengan sem­bunyi-sembunyi di sekitar tempat ini, merasa ragu-ragu untuk memulai kera­maian ini, melihat adanya pasukan-pasu­kan pemerintah yang sudah memblokir tempat ini. Mereka mengambil sikap menunggu dan melihat, tidak ada yang berani memulai karena resiko dan bahayanya amat besar. Selain adanya saingan yang berat dan banyak jumlahnya, di sini terdapat pula pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh koksu. Hal ini ten­tu saja bukan merupakan hal sepele yang boleh dibuat main-main. Oleh karena itu, dengan adanya kita sebagai orang luar atau katakan penonton, maka mereka mendapat kesempatan baik untuk mena­rik kita dan kita dijadikan semacam um­pan, atau lebih tepat merupakan sumbu untuk meledakkan keramaian! Mereka semua bersembunyi, dan kita mereka ta­ruh di sini yang dapat dilihat dari se­mua penjuru kalau matahari sudah mun­cul nanti. Kehadiran kita ini pasti menarik semua orang dan tentu akan ada yang mulai muncul sehingga pesta dapat dimulai!”

“Hemm, kurang ajar sekali mereka!” Bun Beng mengomel. “Kalau aku mereka jadikan umpan, masih tidak mengapa. Akan tetapi mereka berani menangkap dan membelenggu Suhu! Siapakah mere­ka yang menangkap kita tadi, Suhu?”

“Melihat sikap mereka dalam menggunakan perahu, kiranya tidak salah kalau aku menduga bahwa mereka adalah pim­pinan Hek-liong-pang yang membantu ke­tua mereka dalam usaha perebutan ini. Si Kumis yang berpedang tadi lihai dan cepat sekali gerakannya dan disebut Pangcu (Ketua), agaknya dialah Ketua Hek-liong-pang. Hek-liong-pang merupa­kan kekuasaan tidak resmi di muara ini, dan dalam istilah dunia kang-ouw, sekali ini keramaian mengambil tempat di wila­yah atau daerah kekuasaan Hek-liong-pang. Tegasnya, sekarang ini dapat di­anggap bahwa Hek-liong-pang menjadi tuan rumah! Tuan rumah yang bukan hanya ingin menjadi penonton saja, bahkan ingin sekali memegang peran utama dan mendapatkan pusaka yang diperkirakan terdapat di dalam daerah operasi mereka! Maka melihat betapa keramaian dapat membeku gagal dengan munculnya begi­tu banyak pasukan pemerintah, Hek-liong-pang kini mengambil prakarsa untuk menyalakan sumbu yang akan meledak­kan keramaian, yaitu kita inilah.”

“Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan? Apakah kita akan mandah begini saja?”

Kakek itu tersenyum lebar. Semenjak Siauw Lam Hwesio menjadi Kakek Siauw Lam dan memelihara rambut, wajahnya yang dahulu selalu dingin membeku itu kini mulai tampak sinarnya dan teruta­ma sekali kalau bicara dengan murid­nya, ia mulai banyak tersenyum. Memang muridnya tidak seperti bocah biasa. Anak ini jalan pikirannya seperti orang tua, tidak kekanak-kanakan lagi, dan kecere­wetannya menanyakan segala macam hal menandakan bahwa anak ini mempu­nyai hasrat besar untuk maju.

Bhe Ti Kong menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu, dan melayanglah tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya dengan mudah dan kakek botak tinggi kurus ini meraba-raba dan mengukur-ukur kepala Bun Beng dengan jari-jari tangannya, dikilani dengan ibu jari dan telun­juk, diukur dari depan ke belakang, dari kanan ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian dipijit-pijit bagian-bagian ke­pala Bun Beng.

Wajahnya menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala anak itu, Im-kan Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka kelo­pak matanya, kemudian menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu terpaksa membuka mulutnya, memeriksa dalam mulut, kemudian menaruh tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya me­megang nadi tangan Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar, wa­jahnya berseri.

“Aaaahhhh, Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih darahnya murni, dan kepalanya....! He­bat....! Rongga otaknya luas, daya tang­kapnya kuat, semangatnya besar jalan darahnya lancar, isi dadanya sempurna semua! Benar-benar seorang sin-tong (anak ajaib) yang sukar ditemukan kedua­nya! Wah, kalau dia sudah kuberi makan obat kuat secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat aku melaksanakan ilmu peninggalan guruku, I-jwe-hoan-hiat (Gan­ti Sumsum Tukar Darah)!”

Tiga orang panglima itu tidak me­ngerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan tetapi Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li Lama memandang Bun Beng dengan si­nar mata kasihan lalu menundukkan mu­ka, sedangkan Thian Tok Lama lalu ber­kata perlahan.

“Omitohud...., semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!”

“Heh-heh-heh! Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan tentang dosa saja! Bagi orang-orang se­perti kami, dosa adalah soal ke dua, yang terpenting adalah memanfaatkan segala macam demi kepentingan dan ke­majuan kita. Ha-ha-ha! Eh, Sin-tong, siapa namamu?”

“Aku bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!” Bun Beng meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat. Kalau dia me­ngerti tentu akan merasa ngeri, betapa tabah pun hatinya, karena ilmu itu ada­lah ilmu hitam yang amat keji, yaitu Si Kakek ini hendak menyedot darah dan sumsum Bun Beng dalam keadaan hidup-hidup untuk menggantikan sumsum dan darahnya sendiri yang sudah lemah dan kotor!

“Engkau mau pergi? Nah, pergilah kalau dapat!” Koksu itu melepaskan pe­gangannya. Bun Beng menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi.... tubuhnya tak dapat bergerak maju, kedua ka­kinya tak dapat digerakkan seolah-olah tertahan oleh sesuatu yang tidak nam­pak!

“Ha-ha-ha! Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini engkau harus selalu ikut bersamaku, ti­dak boleh berpisah sedikitpun. Tidur pun harus di sampingku. Hayo, ikut dengan kami menonton pibu, heh-heh-heh!”

Tubuh Bun Beng didorong dan.... kedua kakinya dapat dipakai berjalan mengikuti rombongan itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan diri, mendadak kedua kakinya tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa ngeri. Tentu kakek aneh ini menggunakan ilmu iblis, pikir­nya.

“Bun Beng....!”

“Suhu....!” Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya Ka­kek Siauw Lam di depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika mendengar Bun Beng menyebut kakek itu sebagai gurunya.

“Bun Beng, ke sinilah engkau!” Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya, hatinya gelisah melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.

“Teecu.... teecu tidak bisa, Suhu....!” kata Bun Beng sambil berusaha mengge­rakkan kedua kakinya.

“Siapa bilang tidak bisa? Majulah engkau ke sini!” Kakek Siauw Lam yang sudah melihat bahwa Bun Beng sebenar­nya tertahan oleh hawa sin-kang yang keluar dari tangan koksu itu, menggerak­kan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengar sua­ra bercuitan dan.... tiba-tiba tubuh Bun Beng terdorong ke depan, ke arah guru­nya.

“Heh-heh, boleh juga tua bangka ini.” Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa untuk menyembunyikan kagetnya, kemudi­an ia pun menggerakkan kedua tangan ke depan. Terjadilah tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun Beng merasa betapa tubuhnya dita­rik ke depan dan ke belakang. Akan teta­pi akhirnya.... ia tertarik ke belakang dan tangan koksu itu sudah menangkap pundaknya sambil tertawa-tawa.

Bukan main kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tak disangkanya bahwa kok­su itu ternyata memiliki kekuatan sin-kang yang luar biasa sekali! Maka ia ce­pat menjura dan berkata, “Mohon Padu­ka suka melepaskan murid hamba yang tidak berdosa, dan maafkan hamba yang tidak tahu diri berani berlaku lancang.”

“Heh-heh, engkau guru bocah ini?”

“Benar, Taijin.”

“Siapa namamu?”

“Nama hamba Siauw Lam, seorang anggauta Siauw-lim-pai.” Kakek itu se­ngaja menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh, karena pada waktu itu, pemerintah tidak mau bermu­suhan dengan partai-partai persilatan besar, terutama Siauw-lim-pai yang kuat.

Tiba-tiba Thian Tok Lama mengerut­kan alis dan berkata, “Seingat pinceng, yang bernama Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di Siauw-lim-pai!”

Kakek Siauw Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hor­mat sambil berkata, “Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan tetapi sudah bertahun-tahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang bi­asa, Kakek Siauw Lam pelayan Kuil Siauw-lim-pai.”

Mendengar ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan alis mereka berkerut. Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang hwe­sio telah mengundurkan diri dari kepen­detaannya, hal ini mendatangkan kesan di hati mereka bahwa kakek itu adalah seorang durhaka dan berkhianat terhadap agama!

“Kakek Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!”

“Tidak, Suhu, dia tidak sayang kepa­da teecu! Dia hendak menggunakan tee­cu sebagai syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!”

Im-kan Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan seketika wajah Kakek Siauw Lam menjadi pu­cat, matanya menyinarkan api kemarah­an.

“Taijin, harap jangan menghina murid Siauw-lim-pai.         Kembalikan muridku!” Bentaknya.

Im-kan Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah. “Apa? Engkau pela­yan kuil berani menentang aku? Berani melawan koksu kerajaan?”

“Saya tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan biar dewa sekalipun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!” Kakek itu sudah marah sekali karena ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau hen­dak dijadikan syarat orang melaksanakan ilmu iblis itu.

“Ha-ha-ha, Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!” Im-kan Seng-jin berkata.

Kedua orang Lama itu memang su­dah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini keduanya lalu menerjang maju dari kanan kiri, mengirim pukulan-pukulan dahsyat sekali. Dari kiri Thian Tok Lama memukul dengan Ilmu Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin keras me­nyambar disertai uap hitam, adapun dari kanan Thai Li Lama juga memukul de­ngan pukulan sakti Sin-kun-hoat-lek!

Melihat datangnya pukulan yang me­ngandung hawa sakti amat dahsyatnya itu Kakek Siauw Lam terkejut dan mak­lum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat dan harus dilawan mati-matian, terutama untuk menolong muridnya. Maka ia pun mengerahkan sin-kangnya, mengembangkan kedua lengan­nya ke kanan kiri dengan jari tangan terbuka dan menerima pukulan kedua la­wan itu dengan telapak tangannya.

“Plak! Plak!” Telapak tangan mereka bertemu dan melekat. Tiga orang itu berdiri tak bergerak, saling beradu tela­pak tangan yang mengeluarkan hawa sakti dan terjadilah adu tenaga sakti yang amat dahsyat! Beberapa menit la­manya ketiga orang kakek ini berdiri te­gak tak bergerak akan tetapi lambat-laun tubuh kedua orang Lama itu bergo­yang-goyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam masih tegak, sama sekali ti­dak terguncang, hanya dari rambut kepa­lanya mengepul uap putih dan mukanya pucat.

“Orang Siauw-lim-pai memang he­bat....!” Terdengar Im-kan Seng-jin berkata perlahan. Sebetulnya, dia tidak berniat memusuhi Siauw-lim-pai akan tetapi ka­rena dia tidak mau kehilangan Bun Beng, dia mengambil keputusan pendek. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke arah dada Kakek Siauw Lam. Angin yang keras dan panas menyambar ke depan, tenaga yang tidak nampak menghantam dada Kakek Siauw Lam yang tentu saja tidak dapat mengelak atau menangkis karena dia sedang ter­himpit oleh tenaga kedua orang Lama yang sudah hampir ia kalahkan itu.

“Uahhh....!” Kakek Siauw Lam terge­tar tubuhnya dan dari mulutnya tersem­bur darah segar, akan tetapi matanya mendelik memandang Im-kan Seng-jin dan dia masih tetap mempertahankan him­pitan kedua orang Lama, sedikit pun tidak berkurang tenaga sin-kangnya biarpun sudah menderita luka parah!

Tiba-tiba Bhe Ti Kong mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya meloncat maju, tampak sinar berkilat ketika ia menggerakkan senjatanya yang istimewa yaitu sebuah tombak gagang pendek.

“Cappp!” Tombak itu menusuk lam­bung Kakek Siauw Lam sampai tembus!

“Suhuuu....!” Bun Beng menjerit, akan tetapi kedua kakinya tetap saja tak da­pat digerakkan. Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia melihat betapa suhu­nya roboh, mengerang perlahan lalu ter­diam, tak bergerak lagi.

Sejenak enam orang itu termangu-mangu, agaknya merasa tidak enak de­ngan adanya kejadian itu. Betapapun ju­ga, yang mereka bunuh adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai!

“Ambil racun penghancur, lenyapkan mayatnya!” Im-kan Seng-jin berkata dan dua orang panglima cepat membuka bungkusan koksu itu, mengeluarkan sebu­ah guci, membuka tutupnya dan menu­angkan benda cair berwarna putih perak ke atas tubuh Kakek Siauw Lam yang menjadi mayat.

“Suhuuuu....!” Bun Beng masih terbe­lalak sambil menjerit memanggil nama suhunya sampai jari tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan membuat ia tak mampu menjerit lagi. Dia hanya da­pat memandang dengan mata terbelalak betapa mayat suhunya itu cepat sekali mencair, “dimakan” benda cair putih itu dan terciumlah bau yang asam dan tajam menusuk hidung. Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip melihat betapa ma­yat suhunya itu habis dan mencair sam­pai ke tulang-tulangnya, tidak ada be­kasnya sedikitpun juga karena cairannya diserap oleh tanah, dan yang tinggal ha­nyalah tanah basah yang berbau racun itu. Dua titik air mata tanpa dirasakan­nya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi Bun Beng tidak menangis. Tidak, sedi­kit pun dia tidak terisak, biarpun kedu­kaan menyesak di dada, karena keduka­annya dikalahkan rasa kebenciannya ter­hadap empat orang itu. Berganti-ganti sinar matanya seperti dua titik api hen­dak membakar tubuh Im-kan Seng-jin, Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong. Terutama se­kali Bhong Ji Kun dan lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong. Karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itulah yang membu­nuh suhunya! Akan tetapi, enam orang itu tidak mempedulikannya. Setelah ma­yat Kakek Siauw Lam lenyap, bergegas mereka mengajak Bun Beng menuju ke arah lapangan yang dijadikan medan per­tandingan.

Kedua orang kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju orang-orang sakti yang memasuki medan laga untuk berpibu, namun kesemuanya dikalahkan oleh Kakek Yap Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua orang menjadi gentar dan kini pihak Thian-liong-pang dan rombongan Pulau Neraka sudah mu­lai berbisik-bisik, agaknya mereka ini yang tadi nampak tenang-tenang saja su­dah mulai memperbincangkan siapa yang akan mereka ajukan untuk menandingi dua orang kakek Pulau Es yang sakti itu. Agaknya pihak Thian-liong-pang yang merasa penasaran dan dua orang kakek dari pihak ini sudah melompat maju.

“Mundur!” Suara ini melengking nya­ring dan tiba-tiba tampak sinar yang se­betulnya adalah bayangan putih seorang manusia yang melayang turun dari atas tebing dan hinggap di depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa mengeluarkan su­ara, seperti seekor burung saja. Semua orang memandang dan terbelalak melihat seorang wanita berpakaian sutera putih dengan sabuk sutera biru, bentuk tubuh yang ramping padat dan menggairahkan. Akan tetapi kepala wanita ini tertutup oleh kedok sutera putih seluruhnya, me­rupakan sebuah kantung yang ditutupkan di kepala sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua buah lubang dari mana berpancar sinar mata yang indah, bening, namun mengandung hawa dingin dan ta­jam seperti ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang tersembul keluar dari lengan baju, amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus seperti tangan se­orang puteri yang kerjanya setiap hari hanya merenda dan berhias! Akan teta­pi, semua orang berhenti menduga-duga dan mengerti bahwa wanita berkedok itu tentulah ketua yang penuh rahasia dari Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari sikap para rombongan Thian-liong-pang yang serta merta menjatuhkan di­ri berlutut menghadap ke arah wanita berkerudung itu.

Tanpa diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah menonton di situ, bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal yang segera membentuk barisan yang siap menanti komando. Akan tetapi wanita berkerudung itu tidak mempedulikan se­mua ini. Dari balik kerudung keluar su­ara yang merdu dan halus, akan tetapi nyaring dan begitu dingin membuat se­mua orang menggigil.

“Apakah kalian berdua ini utusan Pu­lau Es?”

Yap Sun sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa, akan tetapi seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa ketua yang disohorkan memiliki ilmu kepandai­an seperti iblis itu ternyata hanyalah seorang wanita, bahkan melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, dia ham­pir berani memastikan bahwa wanita ini tentu masih muda! Akan tetapi, teringat akan majikannya sendiri yang juga hanya pemuda malah buntung kakinya, ia menyingkirkan keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.

“Tidak keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini adalah utusan dari Pulau Es.”

“Bagus! Sudah cukup Pulau Es mem­perlihatkan kegarangannya. Sekarang ro­bohlah!” Ucapan ini disusul dengan se­rangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh wanita ini telah mener­jang dua orang kakek itu dengan pukul­an yang membawa angin halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin hebatlah karena itu menunjukkan kekuatan sin-kang yang sudah tinggi. Akan tetapi dia dan sute­nya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuk­tikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.

“Dukk! Dukk!”

Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua orang kakek sakti itu ber­temu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah me­reka dapat meloncat bangun dengan mu­ka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sutenya bukan orang-orang sem­barangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.

“Bagus! Kalian boleh juga!” Kata wa­nita berkerudung itu dan terjadilah per­tandingan yang amat hebat. Kedua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka da­pat dielakkan oleh Si Wanita berkeru­dung. Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa wanita itu mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serang­an mereka!

Karena penasaran, Yap Sun lalu ber­seru keras dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya, juga sutenya mengim­bangi serangan suhengnya itu, dari pihak yang berlawanan mengirim pukulan de­ngan telapak tangannya. “Aiiihhhh!” Dan tubuhnya mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga sin-kang itu luput. Ia melayang ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati. Sambil ber­tolak pinggang ia bertanya.

“Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?”

Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jerih terha­dap pukulan tenaga inti api dan pukulan sutenya dengan tenaga inti es, maka ia berkata. “Apakah Pangcu yang terhor­mat jerih menghadapinya?”

“Aihhh, sombong! Siapa takut? Maju­lah!”

Kedua orang tokoh Pulau Es itu me­nerjang lagi dengan pukulan-pukulan me­reka yang amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Adapun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut sekali.

“Gak Liat adalah Ayahku....!” Teriak­nya perlahan dan karena Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertan­dingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya diceng­keram tangan yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya tangan Pangli­ma Bhe Ti Kong yang memegang.

“Pegang dia, jangan sampai dia lari!” kata Im-kan Seng-jin tidak mau tergang­gu karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.

Memang hebat pertandingan itu, ter­utama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar. Biarpun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Ka­kek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil ber­kata.

“Sesungguhnya aku segan untuk kelu­ar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es da­tang, aku tidak suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa kelu­ar sendiri. Hayo katakan, di mana maji­kanmu Pendekar Siluman Si Kaki Bun­tung itu? Kalau dia tidak keluar, kuambil daun telingamu!”

Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena pertandingan, diikuti suara yang berge­ma, “Siapakah mencari aku?”

Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan ta­ngan kiri memegang tongkat butut, me­loncat turun dari punggung garuda raksa­sa yang berdiri gagah itu. Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terke­nal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, meman­dang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sam­bil berkata dengan nada melaporkan pe­nuh penyesalan,

“Maaf, To-cu, kami berdua telah dika­lahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon keputusan To-cu.”

Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mem­pedulikan, juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan mulutnya berkata pe­nuh sesal.

“Aku mencari dia.... ah, di manakah kalau tidak di sini?” Kemudian dia ber­teriak, suaranya nyaring melebihi leng­king garuda tadi. “Hong-ji (Anak Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini....!”

Suaranya bergema di seluruh permu­kaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua orang memandang ter­belalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu dengan Suma Han (baca ceritaPendekar Super Sakti), memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian pria muda buntung ini. Ada­pun mereka yang sudah lama mendengar nama Pendekar Siluman akan tetapi ba­ru sekarang bertemu, memandang tak­jub dan terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa saja, bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar Siluman? Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biar­pun rambutnya putih dan panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik ngeri.

“Ke manakah perginya Siocia, To-cu?” Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.

“Dia pergi dari Pulau Es, membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?”

“Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di anta­ra kita yang patut menjadi pemimpin dunia persilatan!” Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.

Mendengar suara ini, Suma Han se­perti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang menga­ku Ketua Thian-liong-pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah di­kalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang. Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam ujung segumpal rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berpu­tar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat ber­diri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita berkerudung.

Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan ber­tanya, suaranya perlahan namunjelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin. “Engkau siapa....?” Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menje­nguk wajah si wanita. Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api.

“Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk mengadu ilmu di sini!”

Akan tetapi Suma Han tidak menga­cuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan. “Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya bocah beran­dalan itu!”

Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan ringan. Melihat ini wanita berkeru­dung itu menggerakkan sedikit pundak­nya, tanda bahwa ia terkejut.

“Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orang­mu ini akan mati!” Ia menggerakkan pisau belatinya.

“Paman Thung, tidak lekas pergi me­nunggu apa lagi?” Suma Han berseru dan tangan kanannya bergerak. Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagi­an depan tubuh wanita berkerudung. Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pi­saunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi wanita itu tam­pak tercengang dan marah ketika meli­hat bahwa yang ditangkisnya itu hanya­lah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung Sik Lun, ternyata kakek itu te­lah lenyap! Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai menye­rang Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia mendorongkan tangan kanannya ke arah tubuh pembantunya, yang terlempar dan bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut! Kini semua orang yang menyaksikan terbela­lak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan da­lam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus dari penodong­an Ketua Thian-liong-pang.

“Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!” Kata Pendekar Siluman kepada dua pem­bantunya. Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke punggung garuda putih!

“Haiii! Pendekar Siluman! Sudah la­ma aku mendengar nama besarmu, me­ngapa tidak minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?” Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru. “Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari kok­su kerajaan!” Tangan kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya. Jarak antara koksu itu dengan Pendekar Silu­man cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya kok­su itu dan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang ia pergunakan!

Suma Han hanya menoleh, tanpa me­ngubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan me­mutar ke depan. Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu jauh dan.... ter­dengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan de­ngan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pu­kulan ini dapat membuat benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!

“Pendekar Siluman, mau lari ke ma­na engkau?” Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.

“Cet-cet-cet-cet....!” Tiga belas ba­tang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wa­nita itu merupakan seorang ahli melem­par senjata rahasia. Suma Han mengge­rakkan tongkatnya dengan sembarangan dan.... ketiga belas batang pisau itu se­olah-olah tertarik oleh besi magnit dan kesemuanya melayang menuju ke tong­kat di tangan Suma Han dan menancap semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.

“Aku tidak sempat main-main dengan kalian!” Terdengar Suma Han berkata, tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pe­miliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat yang besar, akan tetapi dengan pukulan sin-kang, Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah de­pan kakinya, seolah-olah berlutut mem­beri hormat kepadanya! Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap membuat debu beterbangan!

Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak se­orang laki-laki tinggi besar yang mata­nya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya kotor riap-riapan muka­nya bengis, meloncat ke depan dan ta­ngannya melontarkan sebuah benda pan­jang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki bu­rung garuda tadi. Betapa kaget hati se­mua orang ketika melihat benda itu ada­lah seekor ular yang pajang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh garuda! Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang berkhawatir. Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi, kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar ber­kuku tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang! Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah kedua ka­ki garuda. Garuda itu ternyata hebat se­kali, dia memapaki pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.

 “Krekkk!” Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke ba­wah. Sebelum laki-laki anggauta Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda hitam telah melibat leher­nya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat. Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya me­luncur ke bawah, jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu de­ngan air laut.

“Celaka....! Air pusaran maut!” Terde­ngar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka. Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusar­an air. Namun tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat di­kenal para nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut mengeri­kan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada arti­nya. Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama makin melebar!

Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini su­dah terbang jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghi­lang. Wanita berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga pu­luh tahun, masih cantik jelita dan gerak­annya tangkas.

“Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini.” Katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari ma­na dia tadi melayang turun, kelihatan­nya marah dan penasaran sekali.

“Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!” Koksu berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.

“Seperti juga Pendekar Siluman saya tidak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!” Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas, kemudian menarik na­pas panjang penuh kekaguman. Majikan Pulau Es dan Ketua Thian-liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan dua orang itu bertanding silat! Kalau keduanya saling mengadu ke­pandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentulah mereka akan menyak­sikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!

Ketika melihat semua orang terma­ngu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. “Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru dunia! Setelah kini ber­kumpul di sini bukankah bermaksud un­tuk mengadu kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjut­kanlah. Pemerintah tidak akan mengha­langi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena la­wan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cu­kup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju, jangan khawatir, pertandingan melawan pangli­ma kerajaan sekali ini tidak akan di­anggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan jaman perang, dan ini adalah urus­an pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Bhe-goan­swe, majulah!” Dengan wajah berseri gembira Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.

Bhe Ti Kong adalah seorang jendral perang. Biarpun ia memiliki ilmu silat yang tinggi, namun sesungguhnya dia bu­kan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, seba­gai seorang tentara, tentu saja dia sela­lu akan mentaati perintah atasan, maka setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu me­loncat ke tengah lapangan dan menca­but senjatanya yang dahsyat, yaitu tom­bak gagang pendek yang bercabang, ta­jam dan runcing sekali.

Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan li­ma tahun yang lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gem­bira sekali dan ingin tadi ia berteriak memanggil. Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat di­bencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa bencinya! Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita ber­kerudung yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula! Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertan­dingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita berkerudung, kalau memang gagah! Akan tetapi, hatinya lega juga se­telah kini ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut gendut itu. Biarpun panglima ini masih memegangi lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Pang­lima Bhe tadi. Agaknya panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng maka pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah? Pula, ia amat terta­rik untuk menyaksikan rekannya mema­suki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal!

Tiba-tiba dari rombongan Pulau Nera­ka meloncat keluar seorang laki-laki ting­gi besar yang bermuka biru muda! Meli­hat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus ta­di, yang ini tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi. Dan agaknya kini para to­koh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju, menjadi penasaran. Apalagi melihat seorang anggauta mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan. Mere­ka marah sekali, akan tetapi yang mem­bunuh teman mereka adalah burung ga­ruda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi se­hingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka. Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apalagi koksu tadi sudah me­ngatakan bahwa pibu ini merupakan per­tandingan perorangan, andaikata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Nera­ka tidak pernah takut terhadap pemerin­tah atau siapapun juga!

Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri, mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam. Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali pu­tih. Kulitnya, dari muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.

“Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!” Katanya dan tanpa menanti jawaban orang Pulau Ne­raka ini sudah menerjang dengan pedang­nya yang amat panjang. Gerakannya ku­at dan cepat, juga aneh sekali berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak pendeknya.

“Cringggg....!” Bunga api berhambur­an ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya.

Bun Beng menonton, akan tetapi pi­kirannya melayang-layang teringat kepa­da Pendekar Siluman dan wanita berke­rudung yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang. Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut na­ma ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu. Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung seba­gai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pende­kar Siluman kepada utusannya. Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Dan setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, mela­inkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihor­mati orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak memeliharanya!

Ketika ia melihat ke arah pertanding­an, ternyata bahwa orang yang dibenci­nya, Panglima Bhe Ti Kong, terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya. Akan tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sung­guh mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik. Si Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh senjata tombak pendek! Mengerti­lah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu berma­in curang, memberi nasihat kepada pem­bantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri. Ia teringat akan ilmu­nya Sia-kun-hoat, maka ia segera meng­gerakkan ilmu ini secara diam-diam, ke­mudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya ber­gembira dan tertarik menyaksikan rekan­nya mendesak lawan, ia cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.

“Heiii....! Pergi ke mana....?” Pangli­ma gendut terkejut, akan tetapi Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang telah ikut membunuh suhunya, membuat Bun Beng pada saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat dengan tombak pendeknya. Para pembunuh suhu­nya adalah empat orang yang lihai bu­kan main. Apalagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian Suhunya? Akan te­tapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apalagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan membalas kematian suhunya, menunggu sampai kapan? Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng, maka begitu ia berhasil membebaskan diri da­ri pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan menye­rang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!

 “Manusia curang! Rasakan pembalasan­ku!” Bun Beng membentak sambil melon­cat dan menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut. Memang hatinya marah sekali, bukan ha­nya karena kematian suhunya yang dike­royok secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini seka­rang dapat mendesak lawan karena di­bantu oleh koksu. Dan memang sebenar­nyalah dugaan Bun Beng ini. Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak, oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir seka­li. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu. Dia tidak me­nyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang orang Pulau Nera­ka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar dan inti­nya, kemudian ia memberi nasihat ke­pada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat mende­sak lawan dengan tombaknya.

Serangan seorang bocah berusia se­puluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Akan tetapi karena Bun Beng me­lakukan penyerangan selagi dia mengha­dapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya. Apalagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah berta­hun digembleng oleh seorang tokoh sak­ti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia menga­lihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda. Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerak­an cepat ia menyerang lawan dari bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang memukul ke arah kepala­nya. Serangan Bun Beng mengenai tem­pat kosong dan tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong. Panglima ini berhasil mendesak lawan de­ngan serangannya tadi, kini cepat me­mutar kaki menendang ke belakang. Na­mun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini maka cepat anak itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan. Biarpun hanya membagiperhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar te­rang menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga.

Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.

“Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!” Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka biru muda itu memben­tak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.

“Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!” Ia meronta-ronta dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Nera­ka itu ternyata lihai sekali. Biarpun pe­dangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat melangkahkan kaki ka­nannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu me­nyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi.

Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakan pedang, tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun, gerakannya ini membu­at ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung kirinya.

“Crottt....!”

Tangan Bhe Ti Kong yang sudah bia­sa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam perang sehingga entah be­rapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak, kini secara otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet itu robek kulit­nya dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat keluar! Si Muka Biru mengeluarkan gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan mengalungkan usus yang panjang itu ke lehernya, kemudian ia melanjutkan pertem­puran melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan diri­nya!

Semua orang yang menyaksikan kea­daan Si Muka Biru itu, terbelalak ngeri dan juga kagum, kecuali para anggauta Pulau Neraka sendiri tentunya. Mereka ini sejak tadi diam tak bergerak menonton pertandingan, wajah yang beraneka warna itu tidak menunjukkan sesuatu, dingin-dingin saja. Memang aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini. Keadaan mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan ba­nyak pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang yang kulitnya berwarna aneh itu.

Thian Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terke­nal, akan tetapi mereka berasal dari Tibet maka tentu saja tidak mengenal orang-orang Pulau Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka bertanya kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka.

Koksu Kerajaan Mancu itu menge­lus jenggotnya, menarik napas panjang lalu menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung hebat. “Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya mendengar-dengar saja dari kabar angin. Kabarnya, di jaman dahulu, entah berapa ratus tahun yang lalu, terdapat kera­jaan-kerajaan kecil di atas pulau-pulau yang banyak tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja kecil itu terdapat keluarga raja yang amat sakti, kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa-dewa, bahkan merekamenamakan dirinya kelu­arga dewa!”

“Aihhh, apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti ma­nusia dewa dan katanya datang dari Pu­lau Es?” Thai Li Lama bertanya, masih serem mengenangkan munculnya Pende­kar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.

“Entahlah, aku tidak pernah mende­ngar tentang dia. Menurut kabar, keraja­an dewa itu memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau Neraka.”

“Mengapa namanya begitu serem?” Thian Tok Lama bertanya.

“Entahlah, hanya kabarnya yang mem­bocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila dari Pulau Neraka mengo­ceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di sana.”

“Hemm, aneh. Kalau tidak ada manu­sia dapat hidup di sana, mengapa seka­rang muncul banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?” Thian Tok Lama mencela.

“Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi,” kata koksu yang kini kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghe­bat. Si Muka Biru itu biarpun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!

Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat dalam keterang­annya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun tiada buktinya, baru kini muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan keadaan yang amat aneh.

Memang benarlah bahwa Pulau Nera­ka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu adalah keluarga raja mu­da yang berkuasa di Pulau Es, yaitu ke­rajaan yang menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu! Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti nera­ka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu ke­luar dari sumbernya. Dan banyak di situ tumbuh pohon-pohon yang aneh dan bera­cun, pohon-pohon yang ranting-ranting­nya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya mengu­ning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika. Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apalagi sampai terhisap, baru me­ngenai kulit saja membuat kulit membu­suk. Semua ini masih ditambah lagi de­ngan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan ular belang, ular hi­jau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap yang berbisa di sam­ping binatang-binatang liar yang buas. Betapapun tingginya kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu pu­luhan tahun penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana.

Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Sian­su, yaitu yang bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan kasihan. Dia maklum bahwa se­mua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat mena­han kesengsaraan Pulau Neraka dan pa­ling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari se­orang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusa­ka yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.

Demikianlah, dengan bekal itu, Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan kare­na telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyela­matkan para orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di Pulau Ne­raka terdapat sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian, sekelu­arga besar menghuni pulau ini dan menja­di orang-orang pandai yang amat aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai. Kepandaian mereka turun-temu­run ke anak cucu mereka dan semua ke­sukaran di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan pergunakan de­mi keuntungan mereka! Racun-racun da­pat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu mem­buat mereka makin ulet dan kuat. Na­mun, perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ra­tusan tahun yang lalu, di jaman Keraja­an Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong kewi­bawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka.

Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari Pulau Es yang keti­ka itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ma­ka yang ia ceritakan kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka kembali teralih kepa­da jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu.

Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru, terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah, namun karena tubuhnya terlatih, ia cepat menggelinding dan meloncat ba­ngun. Tiba-tiba pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah me­nangkapnya kembali.

“Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!” Cengkeram­an pada pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakit­an.

“Lepaskan aku!” Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh tangan kuat panglima gen­dut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit, akan tetapi sia-sia, pang­lima itu terlampau kuat baginya.

“Kalau engkau tidak mau diam, ku­tampar kepalamu!” Panglima itu meng­hardik. “Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?”

Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri. Maka ia berhenti me­ronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke arahnya. Ia menge­nal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang, seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapapun juga tentu mempu­nyai perasaan yang lebih halus daripada orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu. Akan tetapi dia harus dapat membebas­kan diri lebih dulu. Berteriak-teriak min­ta tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekum­pulan setan. Tadinya ketika ia menye­rang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka muka bi­ru, Si Muka Biru itu malah melempar­kannya.

Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh kare­na pulau kecil itu kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suhengnya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak diban­tu oleh gurunya yang kini telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mere­ka telah pergi, seperti yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombong­annya mendarat di pulau. Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu te­lah pergi sehingga mereka tidak tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas! Biarpun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek mere­ka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu. Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu, selain segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk bentrok dengan orang-orang pemerintah.

Ketika Bun Beng mencari-cari de­ngan pandang matanya, dia hanya meli­hat rombongan Thian-liong-pang yang ha­nya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi, sepuluh orang anggauta Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan pengawal. Adapun bebe­rapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada bebe­rapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jerih dan sungkan terlibat. De­ngan demikian, kini yang masih kelihat­an bersikap tidak mau kalah hanya ting­gal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang belum turun ta­ngan, rombongan Pulau Neraka yang se­orang di antara tokohnya masih bertan­ding mati-matian dengan seorang pangli­ma dari rombongan orang pemerintah.

Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Ka­lau saja ia dapat membebaskan diri. Ia mengangkat muka memandang. Pangli­ma gendut itu menonton pertandingan de­ngan sinar mata amat tertarik, akan te­tapi tangan kanan yang mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tidak pernah mengendur. Agaknya pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat me­negangkan hati panglima gendut ini se­hingga Bun Beng melihat betapa perut­nya yang gendut, bergerak-gerak seira­ma dengan dengusan napasnya.

Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan ka­kinya menggajul tulang kering panglima itu.

“Tukkk!”

Biarpun yang menendang hanya se­orang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh per­tandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali. Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepas­kan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertan­dingan yang makin menegangkan. Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan. Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia me­nangkis dengan pedangnya, disusul han­taman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya ter­lepas dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya! Bhe Ti Kong ber­seru keras, membuang tubuhnya ke bela­kang, akan tetapi tetap saja ujung pe­dang menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan da­ging terobek. Panglima ini terus mengge­lundung, namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih bergulingan.

 “Aihhhh....!” Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan, matanya mende­lik dan ia melepaskan napas terakhir da­lam keadaan tubuh menegang kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya sen­diri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan sehing­ga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di lehernya. Pe­dangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan Bhe Ti Kong ter­tolong nyawanya.

Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biarpun rasa tulang keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.

“Addd.... duhhhh....!” Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih. Kiranya Bun Beng menjadi gemas dan marah, ka­rena tidak dapat memukul, telah menggunakan giginya untuk menggigit kulit pe­rut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali, lupa sesa­at melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut dan ta­ngan kanan menampar Bun Beng.

“Plakkk....!” Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting namun biar kepalanya terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat meloncat dan lari sekuat­nya dengan loncatan-loncatan jauh ke arah wanita Thian-liong-pang.

“Heee! Lari ke mana kau, bocah se­tan?” Panglima gendut mengejar dengan langkah panjang.

Dengan pandang mata masih berku­nang Bun Beng menjatuhkan diri berlu­tut di depan wanita Thian-liong-pang sambil berkata, “Enci yang baik, Enci yang cantik jelita dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!”

Wanita itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin akan tetapi bibirnya tersenyum sedikit. Agaknya, betapapun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari sifat dan wa­tak aselinya. Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh Thian-liong-pang yang luar biasa, tetap saja seorang wanita yang paling senang mendengar pujian. Biarpun yang menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan yang gagah perkasa hanya seorang bo­cah, namun bocah itu adalah seorang laki-laki dan di situ terdapat banyak orang yang mendengar pujian itu. Hati siapa takkan merasa senang? Wanita ini merupakan seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang biarpun kedudukannya hanya sebagai kepala pelayan wanita. Dia memang cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam sinarnya, hidung man­cung dan mulut kecil mungil dengan bi­bir yang manis. Rambutnya yang hi­tam panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan berjuntai ke ba­wah. Pakaiannya dari sutera halus ber­warna merah muda dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat membayangkan tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wa­nita yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam putih.

Namun wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang pangli­ma kerajaan hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menam­bah kemanisan wajahnya dan memang maksud ini berhasil, sambil berkata dingin.

“Bocah, mengapa aku harus mencam­puri urusanmu? Pergilah!” Sambil berka­ta demikian, wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir. Pada saat itu, panglima gendut datang menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertang­kap kembali. Akan tetapi, gerakan tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh Bun Beng terlempar seperti daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima gen­dut itu luput dan ia menubruk tanah.

Karena dia tadi sudah memastikan bah­wa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah de­ngan perut gendutnya lebih dulu.

“Ngekk!” Panglima itu meringis dan napasnya menjadi sesak, akan tetapi ke­marahannya meluap. Dia tidak tahu bah­wa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun Beng, mengira bahwa bo­cah itu telah mengelak maka ia melon­cat bangun sambil memaki.

“Anak Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai ter­tangkap nanti!”

Ia mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau Neraka untuk minta bantu­an.

“Mohon bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!”

Akan tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa marah sekali karena kehi­langan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng sehingga bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Pang­lima Gendut. Panglima ini bukan orang sembarangan, memiliki kepandaian ting­gi. Akan tetapi karena perutnya terlalu besar dan ia jarang latihan berlari, kini mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng, besar-benar membuat kewalahan. Mulailah ia mela­kukan serangan pukulan jarak jauh yang membuat Bun Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi ma­sih sempat mengelak dan meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun Beng yang menjadi sibuk sekali dan hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan luar bia­sa sehingga biarpun kulit tubuhnya su­dah babak belur, tetap saja ia dapat menghindarkan diri dari tangkapan pang­lima gendut.

Tiba-tiba sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin mempergunakan akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi bagi­nya, lebih baik terjatuh         ke tangan Thian-liong-pang atau Pulau Neraka dari­pada menjadi korban kekejian koksu yang dibencinya itu. Meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, men­jatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil berseru.

“Harap bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!”

Mendengar ini, semua anggauta Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka memandang penuh perhatian, bahkan wa­nita itu melangkah maju sambil mengelu­arkan suara terheran.

“Kau.... kau she apa?”

“Aku she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim....”

Pada saat itu, panglima gendut me­loncat datang dan menubruk, akan teta­pi wanita itu mengibaskan tangannya membentak, “Pergilah!”

Tubuh panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba tartahan dun terbanting ke bawah. Brukkk! Ia terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan) karena napasnya sesak. Sambil mengeluh ia me­rangkak bangun, membusungkan dada dan membentak,

“Nyonya.... eh, Nona.....” Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam dan sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah bersuami ataukah masih gadis. “Kau tidak boleh membelanya, dia ada­lah tawanan Koksu!”

“Tidak peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!” Wanita itu berkata, su­aranya dingin menantang.

“Apa? Kau berani menentang Koksu?” Panglima gendut yang merasa malu kare­na terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.

“Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlin­dung kepada Thian-liong-pang, tidak bo­leh diganggu siapapun juga.” Wanita itu berkata dan jelas bahwa dia masih me­rasa segan untuk bermusuh dengan kok­su maka mempergunakan alasan yang sudah menjadi peraturan Thian-liong-pang, atau secara halus ia berlindung di balik nama perkumpulannya.

Pada saat itu terdengar pekik menge­rikan sehingga semua orang menoleh dan sempat melihat dua orang pengawal ro­boh terguling dengan tubuh hangus begi­tu tangan mereka menyentuh mayat to­koh Pulau Neraka bermuka biru. Penga­wal lain melompat dekat dan terdengar bentakan koksu, “Jangan sentuh!”

Kiranya dua orang pengawal tadi hen­dak menyingkirkan mayat itu atas perin­tah komandannya karena adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pe­mandangan yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun tangan. Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si Muka Biru dari Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan te­was dan tubuh mereka mereka menjadi hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat masih mampu membunuh dua orang lawan! Hal ini ada­lah karena racun yang terkandung di tubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang Pulau Neraka.

Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia me­langkah lebar, menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat itu.

“Jangan ganggu jenazah Suheng ka­mi!” Teriak dua orang bermuka biru tua dari rombongan Pulau Neraka sambil bergerak maju, akan tetapi sekali me­ngibaskan ujung lengan bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh terlentang seperti disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus mem­bentak mereka mundur. Sambil menyeri­ngai dan mengatur napas kedua orang itu mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini telah mulai mencair dimakan benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.

“Taijin, bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!” Panglima gendut memberi hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke arah wanita yang tadi menghalangi dia menangkap Bun Beng.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menge­rutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari kerongkongannya terdengar dengus marah, “Huhhh....?”

Semua anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-pang dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Ki­ranya kini sembilan orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung li­ma orang Thian-liong-pang itu dengan si­kap mengancam. Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat orang te­mannya, sama sekali tidak peduli dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng sambil membujuk dan mendesak anak itu.

“Gak Bun Beng, engkau telah menja­di calon anggauta termuda Thian-liong-pang. Memang Pangcu (Ketua) menghen­daki demikian, maka sekarang bersum­pahlah engkau menurut peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggauta kami! Engkau berikan lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau harus mengucapkan sumpah mengikuti aku!” Wanita cantik itu sudah mengeluarkan sebatang jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang anggauta lain menyingsingkan lengan baju Bun Beng.

“Tidak....! Aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang!” Bun Beng berteriak dan meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya mengejutkan lima orang Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik.

“Kalau begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?”

“Aku.... aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak ingin menjadi anggauta....”

“Engkau harus menjadi anggauta ka­mi, mau atau tidak!” Wanita itu mem­bentak.

“Tidak.... tidak.... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!”

“Ha-ha-ha-ha. Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang mena­kuti anak kecil.” Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pu­pus warna kulitnya tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki berusia lima putuh tahun, menjadi pemimpin rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara kawan-kawannya, dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai. Sikapnya halus, suara­nya halus dan pakaiannya seperti saste­rawan!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Man­cu yang sudah menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan Thian-liong-pang terkajut karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang hebat seka­li sehingga untuk melindungi jantung mereka tarpaksa harus mengerahkan tenaga sakti melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara ketawa itu.

“Ha-ha-ha-ha! Sungguh kebetulan se­kali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi, akan tetapi agaknya kini ka­lian dan Thian-liong-pang dan Pulau Ne­raka hendak memperebutkannya pula. Baiklah bukankah kita berkumpul seba­gai orang-orang gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik. Biarlah bocah ini di­jadikan taruhan di antara kita tiga rom­bongan! Setiap rombongan mengajukan dua orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya keluar sebagai peme­nang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?” Ucapan kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentahg saja sudah cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!

Dalam keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka mak­lum bahwa menentang tidak menguntung­kan pihaknya. Mereka sedang berebut dan munghadapi pihak lawan ini saja sudah berat, apalagi kalau sampai rombongan karajaan itu membantu lawan! Daripada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik menerima usul itu karena mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut koksu kerajaan ini, yang didengar banyak telinga, tentu da­pat diperaaya sepenuhnya.

“Baik, kami setuju!” Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.

“Kami setuju!” Kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka. “Kami mengajukan dua orang jago, aku sendiri dan Suteku ini!” Saorang tinggi besar seperti raksasa yang mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya dari­pada pemimpin rombongan, meloncat keluar.

Wanita cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan. “Aku adalah pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggungjawab dan biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seoreng jago saja, yaitu aku sendiri.”

“Ahh, mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua orang lawan sekaligus!” Si Mu­ka Hijau mencela.

Wanita itu tersenyum mengejek. “Me­lihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah memiliki kedudukan di Pulau Ne­raka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak kebe­ratan untuk melawan kalian berdua seka­ligus!”

Dua orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata me­lotot karena ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali, akan tetapi sebagai orang-orang berke­pandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu amat lihai, kalau tidak demikian, tentu tidak akan berani ber­sikap sesombong itu.

“Ha-ha-ha-ha, benar-benar Cu-wi pa­ra wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat gagah dan mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama mela­yani dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu mela­wan wanita gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar sebagai pemenang, boleh memba­wa pergi dan memiliki bocah itu.”

Ucapan ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok La­ma yang gendut sudah menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh kurus dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang. Sementara itu Bun Beng yang dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempe­dulikan karena semua orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pu­lau itu.

Bun Beng mendekati tebing dan me­mandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeli­ling pulau kecil itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga ke mana pun ia pergi, ia akan berhadapan dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga perahu hanyalah bagian di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk pusaran air yang amat mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang anggauta Pulau Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka pucat dan membalikkan tubuh menonton pertempur­an yang telah dimulai.

Pertempuran yang amat dahsyat. Se­mua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan menonton dengan hati tegang jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun dari pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh sakti yang memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali.

Dua orang tokoh Pulau Neraka bermu­ka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan mere­ka aneh sekali dan kedua orang itu agak­nya bersilat dengan membentuk tin (ba­risan) karena gerakan mereka teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau pimpinan rombongan Pulau Nera­ka menyerang dari atas, sutenya yang tinggi besar itu menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok Lama menyerang yang satu, yang lain tentu cepat mem­bantu kawan. Biarpun maklum bahwa pen­deta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai jago-jago kelas ting­gi. Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama maju tanpa senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan tangan kosong. Namun, bukan tangan sembarangan, ka­rena kini tangan mereka telah berubah menjadi senjata yang amat ampuh, mengandung hawa beracun dan mengeluar­kan uap kehijauan! Dengan dua pasang tangan beracun yang aneh itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan serangan-serangan dahsyat dari kanan kiri secara bertubi-tubi dan bergantian.

Thian Tok Lama bukanlah seorang to­koh biasa. Sama sekali bukan. Dia ada­lah seorang tokoh besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama Thai Li Lama yang menjadi sutenya, dia telah menjagoi selama pu­luhan tahun di dunia barat dan telah mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh. Maka begitu melihat gerak­an kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka itu mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan yang ia duga hanya terdapat di Pu­lau Neraka, maka tidak boleh dipandang ringan karena kalau tidak mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh tangan itu dapat mendatangkan maut. Maka hwe­sio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak mau mengadu tangan dengan kedua orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka dengan elakan-elakan atau de­ngan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin kuat sekali menolak setiap serangan lawan. Betapapun juga, karena terlalu hati-hati, tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak, lebih banyak bertahan daripada menyerang. Setelah bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa dalam ilmu silat maupun tenaga sin-kang, dia tidak perlu khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi, akan tetapi karena dia jerih terhadap racun di tangan ke­dua lawannya, maka kelebihannya tertu­tup dan dia terdesak. Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan su­ara gerengan yang keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya dengan keras sekali sam­bil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan bajunya menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah mundur karena biarpun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai ba­tu karang pun dapat hancur!

Begitu kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya, menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi seperti kokok ayam bertelur. “Kok-kok-kok-kok!” Dan tangan kanannya kini berubah menjadi biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat menyambar disertai hawa panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.

“Aihhh!” Dua orang tokoh Pulau Nera­ka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas untuk menghindarkan pu­kulan dahsyat itu aambil balas memukul. Kini Thian Tok Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin he­bat dan kesudahannya ternyata mambu­at keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang Pulau Neraka itulah yanng terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dahsyat Thian Tok Lama. Pendeta Lama yang gendut ini telah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu hitam se­hingga pukulan itu mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.

Adapun pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita Thian-liong-pang merupakan pertandingan yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan seorang sembarangan dalam Thian-liong-pang. Memang benar bahwa dia kini menjadi kepala pelayan pribadi Pangcu yang mukanya berkerudung. Akan tetapi dahulunya dia adalah seorang tokoh yang penting dari Thian-liong-pang. Wanita ini masih merupakan keturunan pendiri Thian-liong-pang, biarpun hanya merupa­kan cucu buyut luar. Dia bernama Tang Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suami­nya tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang. Sebagai bekas isteri dari seorang di antara pim­pinan Thian-liong-pang, apalagi dia sen­diri pun keturunan nenek moyang Thian-liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat kedudukan penting di dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang. Ketika pada suatu hari muncul Si Wanita berkerudung, wa­nita berkedok yang tak dikenal oleh sia­papun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi pangcu, Wi Siang terpilih menjadi kepala pelayan pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu Wi Siang digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepan­daiannya meningkat tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan! Akan tetapi, sekarang keadaannya men­jadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para pengu­rus Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.

Pangcu baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya disesuaikan dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang mempunyai ba­kat yang baik sekali dalam ilmu meri­ngankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu dia diberi ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua ba­ru itu memang mengenal segala macam ilmu silat sehingga kadang-kadang mem­bingungkan dan mengherankan hati para pembantunya. Bahkan ilmu silat keturun­an Thian-liong-pang pun dikenalnya baik!

Kini, menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh. Thai Li Lama di samping su­hengnya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian Tok Lama. Di samping il­mu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang kuat sekali. Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu merampas se­mangat orang atau menundukkan kemau­an orang dengan kekuatan gaib. Tentu saja amat jarang ia mempergunakan il­mu hitamnya ini karena dengan ilmu silatnya saja, jarang ada lawan mampu menandinginya.

Tadinya Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biarpun mengaku seba­gai tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling ba­nyak tiga puluh tahun lebih! Dan pula seorang wanita, sampai di mana kehe­batannya? Karena memandang rendah dalam gebrakan-gebrakan pertama, Thai Li Lama hanya menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang untuk menyerang dan menangkis. Akan tetapi, betapa ka­get hati pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah memukul dari atas belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.

“Omitohud....!” Ia berseru dan cepat ia memutar kedua tangan melindungi ke­pala dan pundak. Namun wanita itu su­dah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya.

Sambil meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah semba­rang orang yang dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki gin-kang yang amat mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga bahwa dalam hal me­ringankan tubuh, dia masih kalah jauh! Maka dia lalu mendengus pendek dan mu­lailah ia memasang kuda-kuda, dan me­ngerahkan sin-kang sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar, angin dah­syat bertiup mendahului tangannya me­nyambar ke arah lawan. Kakek ini yang maklum akan kelihaian lawan, tidak segan-segan mengeluarkan ilmu simpan­annya, yaitu Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang kuat sekali, juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran aneh mempengaruhi lawan.

“Tas!” Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindar­kan oleh Wi Siang yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut dipukulkan.“Tass! Tass!” Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi menge­nai tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan kiri dan tiba-tiba wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan kiri menu­suk ke arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram ke lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali datangnye sehingga Thai Li Lama terkejut bukan main. Un­tuk menghadapi serangan maut yang amat cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi, maka hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke belakang dan terus bergulingan! Bagaikan seekor burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan serangan dari atas ke arah tubuh yang berguling­an. Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat, yang khusus diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan gin-kang yang amat cepat sehing­ga membingungkan lawan.

Repot sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia te­rus diserang dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergu­lingan, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus terus bergulingan sam­bil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya. Keadaan sungguh ber­bahaya dan biarpun tingkat kepandaian­nya mssih lebih tinggi dari pada lawan, namun karena posisinya sudah rusak se­perti itu, dengan bergulingan terus ma­na mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus? Gerakan Wi Siang amat cepatnya, ke mana pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan mengirim serangan maut.

Tiba-tiba Thai Li Lama mengeluar­kan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul bentakan keras. “Mun­durrrr....!”

Hebat bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang yang menonton, bahkan banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepada­nya dan ada tenaga rahasia yang mendo­rong mereka mundur. Apalagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang yang langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu. Wanita ini memekik aneh dan tubuhnya mencelat mundur seolah-olah ia kaget menghadapi semburan seekor ular berbi­sa. Saat itu dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan setelah meloncat bangun, baru Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju lagi sambil membentak.

“Pendeta siluman!”

Akan tetapi Thai Li Lama juga ma­rah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia harus bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya berganti­an dengan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita ini mengenal bahaya maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap mengirim serangan susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara aneh dan amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.

“Engkau sudah lelah sekali....! Kedua kakimu sukar digerakkan....!”

Aneh! Tiba-tiba Wi Siang berdiri ter­belalak, tak mampu menggerakkan kedua kakinya dan tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking lelahnya.

“Pendeta curang.... kau menggunakan ilmu siluman....!” Yang berteriak ini ada­lah Bun Beng. Anak ini sejak tadi menon­ton pertandingan dengan hati tertarik dan ia amat kagum menyaksikan sepak terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak “mundur” dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini maklum bahwa pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka ia menjadi penasaran dan mendekati pertempuran. Kini, melihat betapa wanita yang dika­guminya itu terpengaruh oleh suara Thai Li Lama, ia memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama! Gerakannya ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah. Pendeta ini menggerak­kan tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara langsung di­sambar angin pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan.... melayang melalui tebing menuju ke air pusaran maut!

Semua orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan meman­dang ke arah tubuh Bun Beng yang me­layang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang sepandai koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng. Semua mata terbelalak ngeri keti­ka melihat betapa tubuh anak itu ter­jun ke bawah dan terlempar tepat ke arah tengah-tengah air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih dulu! Mereka menahan napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut yang tak mungkin dapat dielakkan lagi.

Bun Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut ter­buka lebar dan ia tahu bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya? Dia diperebutkan oleh tiga kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada kekuasaan yang paling besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya. Maka tanpa menjerit sedikit pun ia membiar­kan tubuhnya terbanting di tengah-tengah pusaran air.

“Byurrr!”

Sebelum tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas sebanyak-banyaknya me­menuhi rongga dadanya. Begitu tubuhnya menyentuh air, terus saja tubuhnya dita­rik ke bawah oleh pusat air yang ber­pusing itu. Bun Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melaku­kan perlawanan, bahkan menyerahkan dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air, menahan napas­nya. Semua orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak yang terjatuh tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap dan ditarik ke dalam, lenyap seketika! Mereka masih memandang tanpa berke­dip, menanti dengan dugaan bahwa tu­buh anak itu tentu akan timbul kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi, ditunggu sampai la­ma, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali, seolah-olah lenyap dan habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.

“Celaka.... celaka....!” Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting kakinya dengan muka merah saking ma­rahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada di pulau dengan pandang matanya. “Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu aku! Kali­an ini orang-orang kang-ouw suka men­cari ribut yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!”

Semua orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu. Alangkah bedanya si­kap kakek botak itu dengan tadi sebe­lum Bun Beng terlempar ke dalam pu­saran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi sekarang, men­dadak saja marah-marah.

“Teruskan pibu! Aku masih belum ka­lah!” Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata dengan suara dingin.

“Kami pun belum kalah! Yang me­nang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus pergi!” Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi kok­su menggoyangkan tangan dengan sikap tidak sabar sambil berkata.

“Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan? Anak itu telah mampus ditelan pusaran air, dan pulau ini.... dibutuhkan kerajaan. Harap semua pergi dari sini sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan kubasmi semua!”

Semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang macam apa! Keadaan menja­di sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa memecahkan kesunyian, disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu :

 “Aku....! Aku....! Aku....!

Pujaanku! Milikku! Hakku!

Keluargaku, sahabatku, hartaku, na­maku!

Kurangkul dia yang menguntungkan aku

Kupukul dia yang merugikan aku

Yang terpenting di dunia dan akhirat adalah

Aku....! Aku....! Aku....!”

 Semua orang terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang menya­nyikan kata-kata aneh itu. Yang bernya­nyi ini agaknya belum lama datang, dan tak seorang pun melihat kedatangannya, karena tadi mereka semua sedang tertarik menonton pertandingan yang seru di­susul kejadian mengerikan yang menim­pa diri Bun Beng. Orang itu adalah se­orang kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana namun kedua kakinya telan­jang tak bersepatu. Wajahnya berseri pandang matanya tajam penuh kejujuran dan tangannya memegang sebatang tong­kat berkepala naga.

“Im-yang Seng-cu....!” Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik ketika mengenal kakek itu. Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh yang tadinya me­rupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pim­pinan Hoa-san-pai sendiri sehingga Im-yang Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan merantau menge­lilingi dunia sehingga ilmu kepandaian­nya makin meningkat hebat. Karena ke­sukaannya mempelajari ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai yang murtad, sungguhpun para pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membu­at ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada Ketua Hoa-san-pai sendiri!

 “Ha-ha-ha-ha! Dunia ini menjadi ra­mai, manuaia saling makan melebihi bina­tang paling buas, semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu, Koksu yang mulia?”

Karena sikapnya tetap menghormat bahkan ia menjura dengan hormat kepa­da Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun biarpun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak menjadi marah. Apalagi kok­su pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka ia lalu miringkan kepala melirik dan bertanya.

“Apakah orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?”

“Tidak salah, Koksu. Orang-orang me­nyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguhpun sebenarnya aku pun hanyalah AKU, se­perti setiap orang di antara kalian semua, dan kita memiliki penyakit yang sama, penyakit AKU!”

Karena ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak senang, “Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu? Apa pula maksud kedatanganmu?”

Im-yang Seng-cu membelalakkan ma­tanya dan tersenyum lebar. “Sudah begitu jelas masih belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua ma­nusia merupakan perputaran yang ber­poros pada ke AKU-an itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini? Memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)? Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan sudah kautangkap dan dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu un­tuk mengakui bahwa sasaran utama bu­kanlah perebutan bengcu, melainkan un­tuk memperebutkan pusaka-pusaka kera­mat yang kabarnya lenyap dan berada di pulau ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena terdorong oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?”

“Hemm, Im-yang Seng-cu, omongan­mu terlalu besar dan main sikat sama rata saja. Engkau mengenal aku dan ta­hu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan seba­gai utusan!” Koksu itu membantah.

“Kami pun datang sebagai utusan!” Teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.

Ramailah semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelan­jang kaki ini tertawa bergelak, “Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat ke­salahan sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sen­diri merupakan kekuatan yang jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi semua mengaku sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan tetapi utus­an siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan negara­mu, bukan?”

“Tentu saja!”

“Nah, apa bedanya itu? Manusia sela­lu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku, rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan tdak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan du­nia akan aman, manusia akan hidup pe­nuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hak­ku dan aku-aku lain lagi.”

“Wah-wah, Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang suci di dunia ini!” Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.

“Ha-ha-ha-ha! Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan pe­nyakit kalian, yaitu penyakit AKU. Pe­nyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan watak manu­sia yang amat licik dan rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau su­sah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhi­bur oleh kesusahan lain orang. Betapa rendahnya!”

“Hemmm, apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?” Karena kakek aneh ini tidak menyerang seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai ter­tarik. Tidak mengadu ilmu silat, menga­du filsafat juga boleh karena dia pun bu­kan seorang yang buta tentang filsafat.

“Maksudku sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat penderitaan orang lain! Hi­buran yang paling manjur bagi seorang yang sengsara adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih sengsara dari padanya. Me­ngapa begini? Inilah jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, ra­sa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit pa­rah akan menderita kesengsaran batin yang hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Ten­tu tidak ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarga-Nya yang sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling membela AKU-nya. Timbul pe­rang di antara negara karena saling membela AKU-nya pula. Manusia menja­di tidak aman dan tidak tenteram hidup­nya karena dikuasai oleh AKU-nya ini­lah, tidak sadar bahwa yang menguasai­nya itu bukanlah AKU SEJATI, melain­kan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani. Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangis­nya!” Im-yang Seng-cu lalu berdongak dan bernyanyi.

 “Aku sudah bosan!

Aku sudah muak!

Terbelenggu dalam sangkar darah daging!

Setiap saat aku dipaksa

menyaksikan tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila

Tawa-tangis, suka-duka,

marah-sesal, suka-duka....

bebaskan aku dari semua ini....!”

“Omitohud! Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang beragama yang selalu ber­usaha untuk hidup bersih dan suci, ucap­anmu itu merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!” Seorang hwesio berkata dengan alis berkerut. Dia ada­lah seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu itu membuat hwesio ini tidak sabar lagi untuk berdi­am diri. “Engkau tidak boleh menyamaratakan semua manusia, Im-yang Seng­cu. Manusia ada yang bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada yang bersih dan untuk mencapai kepintaran dan keberaihan batinnya. Jalan sa­tu-satunya hanyalah mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum agamanya.”

Im-yang Seng-cu tertawa dan membe­ri hormat kepada hwesio gendut itu. “Maaf, tentu yang kaumaksudkan itu adalah agama-Mu, bukan?”

“Tentu saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha,” Jawab hwesio itu.

“Hemm, pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pe­meluk agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia makin parah. Semua agama ada­lah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang sekali, orang-orangnya yang menyalahgunakan sehingga pelajaran kebaikan seringkali dipergunakan un­tuk saling menghina dan saling menya­lahkan. Maaf, Lo-suhu, aku tidak akan menyinggung pelajaran agama karena aku yakin bahwa semua agama itu me­ngajarkan kebaikan, tidak ada kecualinya! Akan tetapi, orang yang merasa dirinya paling bersih adalah orang yang kotor karena perasaan diri paling bersih ini sudah merupakan kekotoran! Ada gambaran yang paling tepat untuk itu. Seseorang yang melihat tahi akan menu­tup hidungnya, merasa jijik dan muak, sama sekali dia lupa bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh tahi! Orang yang merasa dirinya paling pin­tar sesungguhnya adalah sebodoh-bodoh­nya orang, karena perasaan diri pintar ini sudah merupakan kebodohan! Orang yang merasa dirinya paling kuat sesung­guhnya adalah orang yang lemah, karena kesombongannya akan membuatnya lengah. Karena sifat mementingkan AKU-nya, maka manusia berlumba mengejar keme­nangan dalam apapun juga, saling serang saling bunuh. Dalam perkelahian, yang mati dianggap kalah, yang hidup diang­gap menang. Yang hidup ini agaknya lupa bahwa dia pun kelak akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan siapa dapat memastikan bahwa yang menang akan lebih bahagia daripada yang kalah dan mati? Ha-ha-ha, kalau manusia ingat akan semua ini, aku tanggung ma­nusia akan berpikir dulu sebelum mempe­rebutkan kemenangan!”

Filsafat yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati me­reka yang mendengarkan.

“Im-yang Seng-cu, ucapanmu itu me­nunjukkan bahwa engkau seorang yang sombong sekali!” Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. “Kabarnya engkau adalah seorang tokoh Hoa-san-pai. Beginikah pelajaran To-kouw yang dianut oleh pa­ra tosu Hoa-san-pai?” Sambil berkata demikian, koksu ini melirik ke arah rombongan orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu ini sudah mendengar bahwa Im-yang Seng-cu adalah orang yang di­anggap murtad oleh Hoa-san-pai, dan Koksu yang cerdik ini sengaja menimbul­kan perpecahan atau memanaskan keada­an!

“Dia bukan orang Hoa-san-pai!” Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari rombongan Hoa-san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh pendek dan jenggotnya yang sudah putih itu pun dipotong pen­dek. Tosu ini memandang tajam ke arah Im-yang Seng-cu dan sikapnya penuh wibawa.

Im-yang Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat. “Aihh, kiranya Suheng Lok Seng Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute....”

“Pinto mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali ti­dak ada hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi diakui sebagai seorang murid Hoa-san-pai!”

Semua orang memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan mata bersinar. Tahu rasa engkau seka­rang, orang sombong, pikirnya. Akan te­tapi Im-yang Seng-cu tetap berseri wa­jahnya dan tenang sikapnya ketika men­jawab,

“Lok Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang tokoh Hoa-san-pai. Aku berusaha untuk menja­di manusia bebas, akan tetapi.... hemm.... betapa sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri sudah ti­dak bebas. Kita terbelenggu oleh kebu­dayaan, oleh agama, oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk menyerimpung kaki manusia sendiri. Di mana kebebasan? Aihhhh, aku pun rindu kebebasan, seperti Aku sejati....!”

Jawaban itu membuat Lok Seng Cu membungkam, karena memang orang yang dianggap murtad ini tidak pernah menyeret-nyeret nama Hoa-san-pai da­lam setiap sepak terjangnya, dan kalau tadi dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah koksu yang mengatakan, bukan pengaku­an Im-yang Seng-cu sendiri.

Karena pembakarannya tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin ia “menangkap” Im-yang Seng-cu untuk me­mancing-mancing kalau-kalau kakek aneh ini akan mengeluarkan ucapan yang me­nyinggung, sehingga dapat dijadikan alas­an untuk menyerangnya. “Im-yang Seng­cu, apa pula artinya perkataanmu bah­wa manusia kehilangan kebebasan kare­na terbelenggu oleh hukum-hukum yang diadakan manusia sendiri?”

Im-yang Seng-cu menghela napas panjang. “Inilah yang membuat hatiku sela­lu menjadi gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri, membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga beberapa ribu tahun lagi ma­nusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum! Betapa bayi takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini? Begitu terlahir, tubuh­nya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul peraturan dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hu­kum ada pelanggaran, diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti tentang kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!”

“Seorang manusia yang tidak men­taati peraturan berarti melanggar kesu­silaan, melanggar kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang rendah) yang akan berbuat seperti itu!” Yang berkata demikian adalah Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang kosen dan jujur itu. Sebagian besar para pembesar dan pang­lima Kerajaan Ceng (Kerajaan Mancu) mempelajari Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara tentang filsa­fat, Bhe Ti Kong tertarik lalu mengaju­kan bantahan atas pendirian Im-yang Seng-cu tadi.

Im-yang Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk, “Bagus sekali, Ci­angkun. Memang tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat! Seka­li lagi aku katakan bahwa aku hanya menyesalkan keadaan hidup manusia, bukan sekali-sekali menganjurkan agar semua orang melanggar hukum dan per­aturan-peraturan yang sudah ada. Aku sendiri sampai sekarang masih memakai pakaian dan peraturan-peraturan masih tetap kupegang karena seperti juga se­mua manusia, aku pun dihinggapi penya­kit ke-AKU-an sehingga rela melakukan hidup dalam kepalsuan-kepalsuan dan tidak wajar. Seperti semua agama, telah kukatakan tadi, Agama Khong Hu Cu juga mengajarkan segala kebaikan, meru­pakan pelajaran-pelajaran yang benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit manusia yang mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran itu dalam sepak terjang hidup­nya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu bersabda bahwa seorang Kuncu hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang Siauw-jin hanya mengejar ke­untungan! Nah, Nabi Khongcu sendiri telah maklum akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu memperingat­kan manusia yang selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan lahiriah! Kukatakan tadi bahwa begi­tu terlahir, bayi telah dibelenggu kain-kain penutup tubuh. Kalau pakaian di­maksudkan untuk melindungi tubuh, hal yang hanya timbul karena kebiasaan, ka­rena sesungguhnya kalau tidak dibiasa­kan pun tidak apa-apa, maka apa hu­bungannya dengan kesusilaan dan keso­panan?”

“Wah, orang yang tidak mau berpa­kaian dan bertelanjang bulat adalah orang yang tak tahu malu dan tidak so­pan!” Seorang membantah dan karena semua orang berpendapat demikian, ti­dak ada yang peduli siapa yang mengeluarkan bantahan itu tadi.

Im-yang Seng-cu tertawa, “Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka anggap­an itu muncul setelah orang mencipta­kan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar dan palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan sama sekali tidak berpakai­an itu dianggap tak tahu malu dan tidak sopan? Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mu­lai dapat mengerti apa yang kumaksud­kan. Bayi, manusia cilik itu tadinya wa­jar dan tidak mengenal hukum kesusila­an, maka tidak bisa dianggap rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya, dapatkah dianggap me­langgar? Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk membelenggu kaki tangan manusia sendiri, membatasi kebebasan dan kewajaran hidup? Timbulnya segala kesalahan adalah karena melanggar hu­kum, dan timbulnya segala pelanggaran hukum adalah karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum takkan ada pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesuci­an dan kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang menimbulkan kedosaan.”

Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu, engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mende­ngarkan kata-katamu. Apakah engkau da­tang untuk berkhotbah? Ataukah hendak menyebarkan agama baru?”

“Tidak, Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenar­nya, mengajak semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri, Koksu. Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai berpura-pura? Kalau memang pemerintah melarang se­mua orang gagah mencari pusaka-pusaka yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan saja. Akan tetapi hendaknya diingat bahwa mencari pusa­ka-pusaka lama dan memperebutkannya adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih memberontak!”

Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah. “Memang sesungguhnya­lah! Kami telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda apa saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh menentangku!” Sambil berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan sikap menantang.

Im-yang Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang. “Im-kan Seng-jin, siapa yang dapat melawanmu? Aku sendiri su­dah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu kepalan memperebutkan per­mainan.” Dia lalu menghadapi semua orang yang masih berada di situ sambil berkata nyaring, “Harap Cu-wi sekalian pulang ke tempat masing-masing. Biar­pun belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai itu mati terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah berhasil merampas pusa­ka masa orang sakti itu lalu meninggal­kannya begitu saja di tempat ini? Mus­tahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai banyak pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!”

Im-yang Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit, dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pemban­tunya dengan alis berkerut karena mera­sa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Koksu ini mengerti be­nar akan politik yang dijalankan Peme­rintah Ceng, yaitu ingin membaiki para tokoh-tokoh kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian mereka, bukannya memusuhi mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontak­an karena Kerajaan Mancu mengerti be­nar bahwa rakyat masih belum mau tun­duk kepada pemerintah penjajah dan di dalam hati amat membenci pemerintah Ceng. Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa “ditelan­jangi” oleh Im-yang Seng-cu, juga kare­na alasan yang dikatakan oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang pusaka-pusa­ka itu tepat, maka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan pasukan­nya untuk sekali lagi melakukan penca­rian di pulau itu, bukan mencari pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau itu, melaikan mencari petunjuk-petun­juk selanjutnya karena jejak yang didapat­kannya hanya sampai di pulau itu. Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka be­kerja, hasilnya sia-sia sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan hati mengkal dan memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh diandalkan, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, untuk meran­tau di dunia kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari kabar dan cepat-cepat memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada tokoh kang-ouw yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka Sepasang Pedang Iblis.

Mengapakah koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis? Se­benarnya, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan sepasang pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggal­an keluarga Suling Emas yang amat ke­ramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka di dunia ini, ia ingin sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan hanya karena dia mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, juga kare­na masih ada hubungan antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu! Sepasang Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara Hitam yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mu­tiara Hitam. Kedua pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki dan wanita yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau membuat­kan sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua bongkah logam yang jatuh dari langit! Kedua orang India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi (baca ceritaIstana Pulau Es). Adapun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang peranakan India dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu masih ada hubungan keluarga! Biarpun Mahendra dan Nila Dewi yang dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang sudah jauh, akan tetapi sedikit ba­nyak ada hubungan darah sehingga kini Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas Sepasang Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya.

Demikianlah, kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang Pedang Iblis dan untuk menye­lidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya menjadi sebab kehi­langan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi itu, tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri.

***

Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan bunyi kelepak sayap terdengar disusul bergeraknya da­un-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan ke­pada si Burung Garuda.

“Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh.... ke­napa selama hidupku aku harus menderita kehilangan selalu....?”

Burung itu menggerak-gerakkan leher­nya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pen­dekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biarpun wajahnya ma­sih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!

 “Pek-eng....” katanya lirih bisik‑bisik sambil mengelus leher burung itu, “siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan....”

“Nguk‑nguk....” Garuda itu mengeluar­kan suara lirih, seolah‑olah ikut berduka.

“Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai orang‑orang yang kucinta....! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa‑apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang daripada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa‑apa!”

Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To‑cu (Majikan Pu­lau) Pulau Es ini di samping kesaktian­nya yang luar biasa, mempunyai kebiasa­an aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia‑manu­sia biasa. Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sam­pai berhari‑hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum!

Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas, lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua mahluk yang sama‑sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hu­tan itu sunyi, yang terdengar hanya ber­silirnya angin mampermainkan ujung-ujung daun pohon.

Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuram­an yang mendalam, apalagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, le­nyaplah garis‑garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal‑hal yang sudah wajar dan semestinya, hal-­hal yang tidak perlu mendatangkan suka maupun duka! Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.

“Suma Han, bangunlah!” Tiba‑tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata. Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di de­pannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang me­megang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im‑yang Seng‑cu! Namun ia bersikap tak acuh dan garis-­garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, ber­sandar pada tongkatnya. Ia hanya seki­las memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah‑olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han mera­sa malas untuk berurusan dengan siapapun juga. Betapapun, mengingat bahwa ka­kek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im‑yang Seng-­cu adalah guru dari orang‑orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap menundukkan muka.

“Locianpwe Im‑yang Seng‑cu, apakah yang Locianpwe kehendaki maka perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?”

“Apa yang kukehendaki? Ha‑ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku sehingga tanpa kusengaja dapat ber­temu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak membunuhmu!”

Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im‑yang Seng‑cu terpaksa mengejapkan mata ka­rena merasa seolah‑olah ada sinar yang menusuk‑nusuk keluar dari sepasang ma­ta Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia mena­rik napas panjang.

“Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hen­dak membunuh saya.” Suaranya tetap tenang.

Im‑yang Seng‑cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya, tidak ada se­ujung rambut pun rasa senang di hati­nya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman untuk membunuh­nya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pendekar muda ini maupun karena me­mang dia selalu merasa suka dan kagum kepada Suma Han.

“Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguh­pun ada orang yang takkan dapat melu­pakannya, yaitu Tan-siucai....”

Suma Han memejamkan matanya dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang menggetar, “Mohon Lo­cianpwe jangan menyebut‑nyebut namanya lagi....” Di depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa ta­hun yang lalu. Hoa‑san Kiam‑li (Pende­kar Pedang Wanita dari Hoa‑san) Lu Soan Li adalah murid ke dua Im‑yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bah­kan kemudian telah mengorbankan nya­wanya untuk dia! Lu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta ke­padanya. Dara perkasa itu tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.

“Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia ini, kusayang seperti anak‑anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di ta­nganmu!”

Suma Han merasa seolah‑olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata, “Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?”

Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat men­duga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang amat dicintanya, bah­kan merupakan satu‑satunya orang yang paling dicintanya di dunia ini. Telah lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang berjuluk Hoa‑san Gi‑Hiap (Pendekar Budiman dari Hoa‑san) yaitu murid pertama Im‑yang Seng‑cu! Siapa lagi yang merupakan dua orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu? Adapun tentang pertanyaan Im‑yang Seng‑cu tentang dendam yang dikan­dung di hati orang yang benama Tan­-siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli. Dia tahu bahwa Tan‑siucai adalah tu­nangan mendiang Lu Soan Li dan kare­na dia tidak merasa berdosa terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa malapetaka....!

“Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang te­lah terjadi dengan Lulu!” Kembali Suma Han berkata, sungguhpun sikap dan suaranya tenang, namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.

“Kau mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau tewas di tanganku tidak men­jadi setan penasaran dan kalau sebalik­nya aku yang mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!” Ka­kek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, siap mende­ngarkan penuturan kakek itu.

Im‑yang Seng‑cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im‑yang Seng‑cu sebagai wali pengantin pria, yaitu mu­ridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya (baca ceritaPendekar Super Sakti ). Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.

Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka. Memang pada bulan‑bulan perta­ma dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan‑bulan berikutnya hi­buran suaminya tidak dapat menyembuh­kan kedukaan hatinya, seolah‑olah semua kegembiraan hidupnya terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-­lebih setelah Lulu melahirkan seorang anak laki‑laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin merenggang.

Im‑yang Seng‑cu yang seringkali me­ngunjungi muridnya, dapat melihat kerenggangan ini, akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu me­lahirkan anak, pada suatu hari Im‑yang Seng‑cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini benar‑benar mengejutkan hati kakek itu yang menge­nal betul kegagahan muridnya.

“Sin Kiat, hentikan tangismu! Air ma­ta seorang gagah jauh lebih berharga daripada darahnya, jangan dibuang‑bu­ang!” Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu‑sedu. Wan Sin Kiat menyusut air matanya dan menekan kedukaan hatinya.

“Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa yang menimpanya, baik maupun buruk, secara gagah pula!”

“Maaf, Suhu. Teecu sanggup mengha­dapi derita apapun juga, akan tetapi ini.... ah, Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!”

“Apa....?” Im‑yang Seng‑cu terkejut juga mendengar ini. “Dan puteramu?”

“Dibawanya pergi.”

“Kenapa tidak kaukejar dia? Menga­pa datang ke sini dan tidak segera me­ngejar dan membujuknya pulang?” Im-yang Seng‑cu menegur muridnya karena mengira bahwa tentu terjadi percekcok­an antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah.

Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka. “Percuma, Suhu. Hatinya keras sekali dan kepergi­annya merupakan hal yang sudah dita­han‑tahannya selama dua tahun, semen­jak teecu menikah dengannya.”

“Aihh, bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling men­cinta?”

“Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu bahkan sampai saat ini pun teecu tak pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi.... dia.... ah, kasihan Lulu.... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han....”

“Suma Han? Dia kakaknya!”

“Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru setelah melangsungkan perni­kahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan menyesal, Lulu sudah berusa­ha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk membalas cinta kasih tee­cu, aduh kasihan dia.... semua gagal, cin­tanya terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin men­derita....”

“Dan semua itu dia ceritakan kepada­mu?” Im‑yang Seng‑cu bertanya dengan mata terbelalak, terheran‑heran mende­ngar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk akal itu.

“Tidak pernah, sampai ketika ia per­gi, Suhu. Dia meninggalkan surat, me­ngakui segala isi hatinya dan minta tee­cu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali kepada teecu.”

“Mau ke mana dia?”

“Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han.”

“Si Pemuda Keparat Suma Han!” Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.

“Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini.... juga Lulu tidak ber­salah. Sejak dahulu teecu sudah mendu­ga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila‑gila kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi....”

“Tidak bersalah, katamu? Kalau me­mang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan adiknya menikah dengan­mu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm.... hanya mereka atau aku yang boleh hidup lebih lama di dunia ini!”

“Suhu!” Wan Sin Kiat membujuk suhunya, akan tetapi Im‑yang Seng‑cu berkeras karena merasa betapa peristi­wa itu merupakan penghinaan dan peng­hancuran kehidupan muridnya yang diang­gapnya sebagai anaknya sendiri.

Dapat dibayangkan betapa hancur ha­ti guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia mendengar bahwa Hoa‑san Gi­-hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia. Menurut be­rita yang didengar oleh Im‑yang Seng­cu, muridnya itu berperang seperti orang gila tidak mengenal mundur lagi sehing­ga diam‑diam ia mengerti bahwa murid­nya sengaja menyerahkan nyawa, menca­ri mati dalam perang. Hatinya seperti ditusuk pedang dan biarpun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati sebagai se­orang patriot sejati, namun dia berduka sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!

Mendengar penuturan Im‑yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk.

Im‑yang Seng‑cu bangkit berdiri. “Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!”

Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im‑yang Seng‑cu, melainkan memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih, “Hemm.... kalau begitu.... dia agak­nya....” Ucapan ini diulang beberapa kali.

Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara Thian Tok Lama,

“Suma‑taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng.”

Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah‑olah tidak mendengar kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan terdengar suaranya lirih berulang-ulang. “Aihhh.... tentu dia....!”

Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggap­nya memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan Suma Han dan mak­lum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar pen­deta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan.

“Suma‑taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To‑cu terkenal dari Pu­lau Es, maka mengajukan permintaan secara baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai penghormatan Koksu!”

Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im‑yang Seng‑cu, “Ha‑ha‑ha! Penghor­matan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!”

Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng‑cu dengan sikap marah, akan tetapi pendeta Tibet yang cerdik ini ti­dak mau melayani karena dia tahu bah­wa menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kalau dibantu kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han.

“Koksu berpendapat bahwa karena Taihiap‑lah orangnya yang dahulu mengu­burkan jenazah Siang‑mo Kiam‑eng (Se­pasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah Kok­su Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun, kare­na pembuat pedang itu adalah nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma‑taihiap untuk mengembalikan pedang‑pedang itu kepada yang berhak.”

Akan tetapi Suma Han mengangguk-­angguk dan bicara seorang diri. “Benar, tak salah lagi, tentu dia....”

“Orang ini terlalu sombong!” Tiba‑tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju. “Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?” Setelah membentak demikian, Bhe‑ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan me­maksanya tunduk.

“Plakk! Auggghhh....!” Tubuh tinggi besar Bhe‑ciangkun terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Ia melon­cat bangun dengan muka pucat dan ta­ngan kirinya memijit‑mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pun­dak Suma Han. Pendekar Super Sakti itu masih berdiri tak bergerak, termenung seolah‑olah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima kerajaan men­cengkeram pundak, Bhe‑ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar biasa panas­nya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting.

Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan gerakan otomatis ke­duanya lalu menggerakkan tangan memu­kul dari jarak jauh. Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menye­rang Suma Han yang masih berdiri ter­menung, seolah‑olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan ma­ut jarak jauh yang amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sin-kang itu seperti “menembus” tubuh Suma Han lewat begitu saja dan “kraaakkk!” Sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak bergoyang! Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-­heran dan penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sin-kang melawan serangan mereka, bahkan andaikata mengalahkan sin-kang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan. Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin pu­kulan mereka hanya lewat saja seolah­-olah tubuh itu terbuat daripada uap ham­pa! Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju den menggunakan dorongan telapak tangan mereka menghan­tam dada Suma Han dari kanan kiri!

 “Buk! Bukk!” Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!

“Ha‑ha‑ha‑ha! Kiranya utusan‑utusan koksu kerajaan adalah pelawak‑pelawak yang pandai membadut, pandai menari jungkir balik!” Im‑yang Seng‑cu bersorak dan bertepuk tangan seperti orang ka­gum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung.

Dua orang pendeta Lama itu melon­cat bangun dan memandang Im‑yang Seng‑cu dengan mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biarpun Suma Han kelihatannya diam tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga mereka­lah yang “terpukul” oleh hawa sin-kang yang melindungi tubuh Suma Han. Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sak­ti itu. Akan tetapi, yang mereka hadapi sekarang ini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat daripa­da dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga menda­tangkan rasa jerih. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul ka­rena malu kepada Im‑yang Seng‑cu yang mengejek mereka.

“Im‑yang Seng‑cu, engkau sungguh se­orang yang tak tahu diri! Di muara Huang‑ho Koksu telah mengampuni nya­wamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima pukulan pin­ceng!” Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng‑cu yang cepat meloncat ke samping karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan Hek‑in­hui‑hong‑ciang, ketika memukul tubuh­nya agak merendah, perutnya yang gen­dut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru. Pukulan­nya bukan hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!

Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im‑yang Seng‑cu, Thai Li Lama yang juga marah sekali terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut dari kiri dengan pukulan Sin‑kun-hoat‑lek yang tidak ka­lah ampuh dan dahsyatnya dibanding de­ngan Hek‑in‑hui‑hong‑ciang.

“Ayaaa....!” Biarpun diancam bahaya maut, Im‑yang Seng‑cu masih dapat me­ngejek sambil melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik. “Kedua pe­lawak ini selain lucu juga gagah sekali!” Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan naf­su mereka kembali menyerang. Im‑yang Seng‑cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apalagi dikeroyok dua.

“Plak.... krekkkk!” Ujung tongkat di tangan Im‑yang Seng‑cu patah dan ia terhuyung ke belakang. Thai Li Lama mengejarnya dengan pukulan maut.

Tiba‑tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama yang sedang menyerang Im‑yang Seng‑cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan tangan.

“Bresss!” Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat ditangkis Thai Li Lama. Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat anta­ra burung garuda dengan pendeta ini, se­dangkan Thian Tok Lama kembali sudah menerjang dan mendesak Im‑yang Seng-cu dengan Pukulan Hek‑in‑hui‑hong­-ciang yang merupakan cengkeraman ma­ut.

Im‑yang Seng‑cu adalah seorang be­kas tokoh Hoa‑san‑pai yang sudah mem­pelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai se­kali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melam­paui tingkat Ketua Hoa‑san‑pai sendiri! Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar‑benar bertemu tan­ding yang amat kuat. Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memi­liki kepandaian tinggi ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat‑sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh‑tokoh Tibet. Biarpun hoat‑sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat‑sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memper­kuat sin-kangnya dan menambah kewiba­waannya menghadapi lawan. Dalam hal tenaga sin-kang, Im‑yang Seng‑cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im‑yang Seng‑cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng‑cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya! Setelah sa­ling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im‑yang Seng‑cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri sa­ja, tidak mampu balas menyerang. Ha­nya ada sebuah keuntungan yang mem­buat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gem­bira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.

Seperti juga Im‑yang Seng‑cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus me­ngakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mam­pu menyerang burung itu kalau Si Garu­da terbang tinggi, akan tetapi biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu me­luncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpen­tal oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama! Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan mulailah garuda putih itu mencampuri pekik kemarahannya dengan bunyi tanda gentar.

Sementara itu, Suma Han masih ber­diri bersandar tongkatnya. Sinar mata­nya memandang kosong dan bibirnya bergerak‑gerak, “Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk apakah engkau mengambil pusaka­-pusaka itu....? Lulu.... satu‑satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hi­dup bahagia di samping suami dan anak­mu.... akan tetapi.... engkau menghancur­kan kebabagiaanmu sendiri.... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa....? Mengapa....?” Biarpun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa‑apa, namun bulu mata­nya basah dan jari‑jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas‑remas, pera­saan hatinya menangis dan mengeluh.

Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sen­diri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng‑cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah. Dia adalah seorang panglima, sudah biasa mengatur siasat­-siasat perang, siasat untuk mencari kemenangan dalam pertempuran. Melihat keadaan pihaknya ini, tentu saja Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah dan terancam bahaya ikutnya Pendekar Siluman itu dalam pertempuran. Melihat Suma Han termenung seperti orang mimpi, ia menghampiri perlahan‑lahan dan mencabut senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing dan kuat. Bhe Ti Kong bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan apa yang hendak dilakukan ini semata‑mata dianggap sebagai siasat untuk kemenang­an pihaknya. Biasanya dalam pertempur­an perang, tidak ada istilah curang atau pengecut, yang ada hanyalah mengadu siasat demi mencapai kemenangan. Seka­rang pun, ketika ia berindap‑indap meng­hampiri Suma Han dari belakang dengan senjata di tangan, satu‑satunya yang memenuhi hatinya hanyalah ingin melihat pihaknya menang.

Setelah tiba di belakang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan menyerang. Panglima tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat, senja­tanya juga berat dan kuat sekali, maka serangan yang dilakukannya itu menusuk­kan tombak runcing ke punggung Suma Han, merupakan serangan maut yang mengerikan dan agaknya tidak mungkin dapat dihindarkan lagi!

 “Wirrrr....!” Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma Han. Akan tetapi, pada waktu itu, ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super Sakti atau Pendekar Si­luman, To‑cu dari Pulau Es ini, sudah “mendarah daging” sehingga boleh dibi­lang setiap bagian kulit tubuhnya memi­liki kepekaan yang tidak lumrah. Perasa­an di bawah sadarnya seolah‑olah telah bangkit bekerja setiap detik sehingga jangankan baru sedang melamun, bahkan biarpun dia sedang tidur nyenyak seka­lipun, perasaan ini bekerja melindungi seluruh tubuhnya dari bahaya yang meng­ancam dari luar. Pada saat itu, pikiran­nya sedang melayang‑layang, seluruh panca inderanya sedang ikut melayang-­layang pula bersama pikirannya sehingga dia seperti tidak tahu sama sekali akan segala yang terjadi di sekelilingnya, tidak tahu betapa garuda tunggangannya dan Im‑yang Seng‑cu didesak hebat oleh Thian Tok Lama den Thai Li Lama. Akan tetapi, ketika ada senjata menyambar punggung mengancam keselamatannya, perasaan di bawah sadar itu meng­guncang kesadarannya dengan kecepatan melebihi cahaya!

 “Suuuuutttt!” Bhe Ti Kong berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri kare­na tiba‑tiba orang yang diserangnya itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak olehnya hanyalah bayangan berkelebat cepat menyambar ke arah Thian Tok Lama yang mendesak Im‑yang Seng‑cu, kemudian bayangan itu mencelat ke arah Thai Li Lama yang bertanding dan tahu-­tahu tubuh kedua orang pendeta Lama itu terhuyung‑huyung ke belakang dan mereka berdiri dengan wajah pucat me­mandang Suma Han yang sudah berdiri bersandar tongkat dan memandang mere­ka berdua dengan sinar mata tajam ber­pengaruh. Keduanya telah kena didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menu­suk tulang dan biarpun kedua orang pen­deta ini sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja mereka itu menggigil dan wajah mereka yang pucat menjadi agak biru, gigi mereka saling beradu mengeluarkan bunyi! Setelah mengerahkan sin-­kang beberapa lamanya, barulah mereka itu dapat mengusir rasa dingin dan tahu­lah mereka bahwa kalau Si Pendekar Super Sakti menghendaki, serangan tadi tentu akan membuat nyawa mereka melayang!

“Katakan kepada koksu kerajaan Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun bahwa To‑cu Pulau Es tidak tahu‑menahu tentang Sepasang Pedang Iblis! Nah, pergilah dan jangan mengganggu orang-orang yang tidak bersalah!”

Thian Tok Lama menghela napas panjang. Pemuda buntung itu hebat luar bia­sa dan ucapan seorang yang sakti seper­ti itu tentu saja tidak membohong. Ia menjura dan berkata,

“Baiklah dan harap To‑cu sudi memaafkan kelancangan kami,” Ia memberi isyarat kepada Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu.

Keadaan menjadi sunyi. Garuda putih kini hinggap di atas cabang pohon, me­nyisiri bulu‑bulunya dengan paruh sambil kadang‑kadang memandang ke arah majikannya. Im‑yang Seng‑cu yang masih mengatur pernapasannya yang agak terengah karena tadi ia terlampau banyak mempergunakan tenaga untuk melindungi dirinya dari desakan hebat Thian Tok Lama, kini melangkah maju mendekati Suma Han memandang penuh perhatian ke arah wajah yang sudah menunduk kem­bali itu lalu berkata.

“Suma Han, mari kita lanjutkan urus­an di antara kita. Sudah kuceritakan semua tentang sebabnya mengapa hari ini aku harus membunuhmu atau terbu­nuh olehmu. Karena engkau, kedua orang muridku tewas dan orang‑orang yang kucinta di dunia ini habis. Jangan ber­kepalang tanggung, hayo kau tewaskan aku pula atau engkaulah yang akan mati di tanganku!”

Tanpa mengangkat mukanya yang tunduk, Suma Han membuka pelupuk ma­tanya yang menunduk. Sinar matanya bagaikan kilat menyambar wajah kakek itu, membuat hati Im‑yang Seng‑cu ter­getar. Diam‑diam kakek ini kagum bukan main. Manusia berkaki satu yang berdiri di depannya adalah seorang ma­nusia yang amat luar biasa!

“Benarkah Locianpwe begitu bodoh ataukah hanya pura‑pura bodoh? Ada kemenangan dalam diri manusia yang melebihi segala makhluk, yaitu perbuat­an dengan pamrih demi kebahagiaan orang lain. Bahkan rela berkoban demi kebahagiaan orang lain. Sudah tentu saja akibatnya bermacam‑macam sesuai de­ngan kehendak Tuhan, namun menilai perbuatan bukanlah dilihat akibatnya, melainkan ditinjau pamrihnya.”

Im‑yang Seng‑cu tersenyum dan me­nyembunyikan kegembiraannya di balik kata‑kata mengejek. “Suma Han, semua perbuatan memang berakibat dan hanya seorang gagah sajalah yang berani mem­pertanggung jawabkan setiap perbuatan­nya! Kepandaianmu amat tinggi dan aku sudah kehilangan tongkatku, namun ja­ngan mengira bahwa aku akan gentar melawanmu. Jangan bersembunyi di ba­lik kata‑kata yang muluk‑muluk. Mari kita selesaikan!”

Suma Han menghela napas panjang. “Kalau sekeras itu kehendak Locianpwe, demi penyesalan hatiku telah mengaki­batkan kesengsaraan orang‑orang yang kucinta, silakan Locianpwe!”

“Bagus! Nah, sambutlah ini!” Dengan wajah yang tiba‑tiba berubah girang bu­kan main, Im‑yang Seng‑cu meloncat maju, tangan kanannya dengan pengerah­an sin-kang sekuatnya menghantam dada Suma Han.

“Dessss!” Tubuh Suma Han terlem­par sampai lima meter, tongkat yang di­pegangnya terlepas dan ia roboh terguling, mulutnya muntahkan darah segar.

Seketika wajah Im‑yang Seng‑cu men­jadi pucat sekali. Kegirangan lenyap da­ri wajahnya dan ia meloncat mendekati. “Celaka! Keparat engkau, Suma Han! Engkau telah menipuku....! Ahhhh.... eng­kau akan membuat aku mati menjadi setan penasaran.... selamanya aku.... belum pernah memukul orang yang tidak melawan. Kenapa engkau tidak melawan? Celaka.... aiiiihhh.... celaka....!”

Tiba‑tiba terdengar pekik keras dan bayangan putih menyambar dari atas. Garuda putih telah menyambar dan cakarnya mencengkeram pundak Im‑yang Seng­-cu, tubuh kakek itu dibawa ke atas lalu dibanting lagi ke bawah.

“Brukkk!” Im‑yang Seng‑cu tertawa, pundaknya luka berdarah. “Bagus....! Ba­gus sekali, garuda sakti! Hayo lekas se­rang lagi. Hayo bunuh aku.... ha‑ha‑ha! Majikanmu yang gila tidak mau membu­nuhku, mati di tanganmu cukup terhor­mat. Marilah!” Ia menantang-nantang sambil tertawa dan bangkit berdiri terhuyung‑huyung.

Garuda putih menyambar lagi ke bawah dengan penuh kemarahan.

“Pek‑eng, berhenti!” Tiba‑tiba Suma Han membentak, suaranya mengandung getaran dahsyat dan burung itu tidak jadi menyerang Im‑yang Seng‑cu, melainkan hinggap di atas tanah dekat Suma Han dan mendekam, mengeluarkan suara men­cicit sedih dan takut.

Im‑yang Seng‑cu membanting‑banting kakinya ke atas tanah. “Suma Han, eng­kau benar‑benar kejam! Engkau berkali-kali mengecewakan hatiku! Engkau mene­rima pukulanku tanpa melawan, membu­at aku menjadi seorang manusia yang rendah dan hina! Dan sekarang engkau melarang burungmu menyerangku. He, Pendekar Super Sakti! Apakah setelah engkau berjuluk Pendekar Siluman hati­mu pun menjadi kejam seperti hati si­luman? Apakah engkau akan puas menyak­sikan aku hidup merana menanti datang­nya maut menjemput nyawaku yang su­dah tidak betah tinggal di tubuh sialan ini?”

“Locianpwe,” Suma Han berkata lirih sambil mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan baju. “Locianpwe datang dengan niat membunuhku. Pukul­anmu tadi cukup keras akan tetapi be­lum cukup untuk melukai aku, apalagi membunuh. Kalau masih belum puas, ma­ri, pukul lagi, Locianpwe.”

“Engkau tidak melawan?”

Suma Han menggeleng kepala. “Bagai­mana harus melawan? Locianpwe hendak membunuhku karena kesalahanku terha­dap Lulu dan Sin Kiat, dan biarpun tidak kusengaja, memang aku telah bersalah terhadap mereka. Kalau Locianpwe mau membunuhku, lakukanlah!”

Im‑yang Seng‑cu membanting‑banting kakinya lagi. “Kau.... kau....!” Dan kakek ini mengusap‑usap kedua matanya kere­na kedua mata itu menitikkan air mata!

“Locianpwe, ketika garuda menye­rangmu, Locianpwe tidak melawan pula, menyambut maut dengan tertawa‑tawa. Locianpwe rela mati karena merasa ber­salah memukul orang yang tidak mela­wan. Locianpwe rela mati demi memba­las kesengsaraan orang‑orang yang Lo­cianpwe cinta. Kalau semulia itu hati­mu, apakah aku yang muda tidak boleh menirunya?”

“Kau.... kau siluman!”

“Locianpwe, aku mengerti bahwa se­sungguhnya Locianpwe tidak ingin mem­bunuhku, melainkan mengharapkan kema­tian di tanganku. Tak mungkin aku melakukan hal itu, Locianpwe. Sekarang, hanya ada dua pikhan bagi Locianpwe. Membunuhku tanpa kulawan, atau kita sudahi saja urusan ini, biarlah kita berdua melanjutkan hidup dengan kesengsa­raan batin menjadi derita. Bukankah hi­dup ini menderita? Bukankah penderita­an batin merupakan pengalaman hidup yang paling berharga? Bagaimana, Lo­cianpwe? Kalau belum puas memukulku, silakan ulangi kembali!”

Suma Han terpincang‑pincang maju mendekati sambil memasang dadanya, Im‑yang Seng‑cu mundur‑mundur seperti ngeri didekati sesuatu yang akan dapat membuat ia menyesal selamanya. “Tidak.... tidak.... jangan dekati aku....!” Kemudian ia menutup mukanya dengan kedua tangan.

“Kalau begitu, selamat tinggal, Lo­cianpwe. Locianpwe agaknya lebih suka menghukum batinku, karena sesungguh­nya kalau Locianpwe membunuhku, ber­arti membebaskan aku daripada penye­salan dan kesengsaraan batin. Selamat tinggal!” Suma Han mengambil tongkat­nya, meloncat ke atas punggung garuda dan terdengarlah kelepak sayap diba­rengi angin bertitip dan Majikan Pulau Es itu sudah membubung tinggi dibawa terbang garuda putih.

Im‑yang Seng‑cu menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat, alianya ber­kerut dan sampai lama ia memu­tar pikirannya. Tiba‑tiba ia tertawa, “Ha‑ha‑ha! Untuk ke sekian kalinya aku kalah! Ahhh, bagaimana bocah setan itu tahu bahwa aku akan merasa girang ma­ti di tangannya? Aihh, celaka memang nasibku. Keinginan terakhir mati di tangan Pendekar Super Sakti gagal, bahkan aku yang hampir saja membunuhnya sehingga penderitaanku akan bertambah makin be­rat. Buka main....! Dia itu.... seorang ma­nusia yang luar biasa.... Ahh, kalau saja Tuhan dapat mengabulkan setiap permin­taan manusia, biarlah sekali ini si manusia Im‑yang Seng‑cu mohon agar Tuhan sudi mengobati penderitaan batin Suma Han dan melimpahkan kebahagiaan kepa­danya. Dia manusia sejati, manusia ber­budi luhur.... pendekar di antara segala pendekar....!”

“Ha‑ha‑ha! Kalau dia pendekar di antara segala pendekar, engkau adalah pe­ngecut di antara segala pengecut hina, Im‑yang Seng‑cu!”

Im‑yang Seng‑cu terkejut, menoleh dan memandang terbelalak kepada se­orang laki‑laki muda yang berdiri di de­pannya. Laki‑laki ini usianya masih mu­da, belum lebih tiga puluh tahun, wajah­nya tampan dan gerak‑geriknya halus, pakaiannya menunjukkan bahwa dia ada­lah seorang terpelajar, pakaian pelajar yang bersih dan rapi. Akan tetapi yang mengejutkan hati Im‑yang Seng‑cu ada­lah sepasang mata di wajah tampan itu. Mata itu mempunyai sinar yang mengeri­kan, seperti mata orang gila, namun ju­ga mempunyai wibawa yang tajam berpengaruh dan aneh. Bukan mata manusia, seperti itulah patutnya mata setan! Biar­pun pakaiannya seperti seorang pelajar, namun di punggung orang muda itu tampak gagang sebatang pedang, gagang ­pedang hitam dengan ronce benang hitam pula.

Biarpun hati Im‑yang Seng‑cu terkejut dan heran, namun dia marah mendengar orang yang tak dikenalnya ini memaki­nya sebagai pengecut di antara segala pengecut hina. Bagi seorang kang‑ouw, seorang yang menjunjung kegagahan, makian pengecut merupakan makian yang paling rendah menghina.

“Orang muda, kulihat pakaianmu sebagai seorang terpelajar, patutnya eng­kau tahu akan tata susila dan sopan san­tun. Kulihat pedangmu di punggung, pa­tutnya engkau tahu akan sikap kegagahan di dunia kang‑ouw. Akan tetapi eng­kau datang‑datang memaki orang tua, patutnya engkau seorang biadab yang sombong. Siapakah engkau?”

Pemuda itu tersenyum lebar. Senyum yang manis dan membuat wajahnya mak­in tampan, akan tetapi seperti yang tersembunyi di balik keindahan matanya, juga di balik senyumnya ini bersembunyi sifat aneh yang mendirikan bulu roma, sifat kejam dan penuh kebencian terha­dap sekelilingnya!

“Im‑yang Seng‑cu, belasan tahun yang lalu seringkali engkau memondong dan menimangku, bahkan yang terakhir eng­kau mengajarkan Ilmu Pukulan Hoa‑san Kun‑hoat kepadaku sebagai pembayaran taruhan karena engkau kalah bermain catur melawan Ayahku.”

Terbelalak kedua mata Im‑yang Seng‑cu dan ia memandang penuh perhatian, kemudian berseru.

“Siancai....! Kiranya engkau Tan‑siucai (Sastrawan Tan) dari Nan-king....!”

Pemuda tampan itu mengangguk‑angguk dan senyumnya makin kejam, “Betul, aku adalah Tan Ki atau Tan‑siucai dari Nan-king.”

“Tapi.... tapi.... ah, bagaimana Ayahmu?”

“Ayah telah meninggal dunia.”

“Ahhh! Sahabatku yang baik, kiranya engkau lebih bahagia daripada aku, beta­pa rinduku bermain catur sampai lima hari lima malam melawanmu....!”

“Tak usah khawatir, Im‑yang Seng‑cu, sebentar lagi pun engkau akan menyusul Ayah akan tetapi tempatmu di neraka, tidak di sorga seperti Ayah!”

Keharuan Im‑yang Seng‑cu mendengar akan kematian sahabatnya, dan kegirang­annya bertemu dengan pemuda itu, lenyap berganti penasaran dan keheran­an melihat sikap Tan‑siucai.

“Apakah maksudmu dengan ucapan dan sikapmu ini? Engkau dehulu meng­anggap aku sebagai paman dan bersikap hormat. Sekarang engkau bersikap kurang ajar, bahkan berani memaki‑maki aku. Apa artinya ini?”

“Artinya, orang tua pengecut! Aku datang untuk membunuhmu!”

Im‑yang Seng‑cu memandang terbela­lak, kemudian tertawa bergelak, merasa betapa lucunya peristiwa ini. Baru saja dia menemui Suma Han dengan niat un­tuk membunuhnya dan kini pemuda yang dianggap keponakannya sendiri, yang di­jodohkan dengan muridnya, mendiang Lu Soan Li, kini datang‑datang berniat membunuhnya!

“Tertawalah selagi engkau masih da­pat tertawa, Im‑yang Seng‑cu,” Tan‑siu­cai mengejek.

“Orang muda, aku tidak takut mati. Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau tiba‑tiba bersikap seperti ini?”

“Dengarlah agar engkau tidak mati penasaran. Engkau seorang pengecut besar karena engkau tidak dapat membubuh Pendekar Siluman. Akulah yang kelak akan membunuhnya sayang aku datang terlambat, kalau tidak tentu dia sudah kubunuh sekarang. Engkau telah menyia-nyiakan kewajibanmu menjaga tunangan­ku, membiarkan tunanganku melakukan penyelewengan dari ikatan jodoh dengan­ku. Membiarkan tunanganku yang tercin­ta itu mengorbankan diri untuk pemuda lain, membiarkannya mencinta pemuda lain. Kemudian, setelah bertemu dengan Pendekar Siluman, engkau tidak berhasil membunuhnya. Engkau pengecut besar dan harus mampus!”

Im‑yang Seng‑cu menjadi marah se­kali. “Kau sudah gila! Betapa manusia dapat menjaga perasaan hati manusia lain? Kalau muridku, Soan Li yang ma­lang, mencinta Suma Han, itu adalah haknya. Dan sekarang aku tahu bahwa memang seribu kali lebih baik mencinta Suma Han daripada mencinta seorang gila macam engkau. Aku sudah mendengar bahwa kau mendendam atas kematian Soan Li, dan sudah kuperingatkan Suma Han tentang ini. Akan tetapi kalau alasanmu seperti itu, engkau gila dan bagai­mana kau akan dapat membunuh aku? Ha‑ha‑ha, betapa tolol dan sombongnya engkau Tan Ki!”

“Engkau tadi hendak menyerahkan nyawa di tangan burung garuda bahkan engkau sengaja ingin mati di tangan Suma Han. Apakah engkau tidak ingin mati di tanganku?”

“Ha‑ha‑ha! Gila! Gila engkau! Tentu saja aku tidak sudi mati di tanganmu!” Kakek itu tertawa‑tawa, lupa betapa anehnya sikap ini. Tadi ia ingin mati, sekarang ada orang akan membunuhnya, dia marah‑marah!

“Mau atau tidak, tetap saja engkau akan mati di tanganku, Im‑yang Seng-cu!” Sambil berkata demikian, Tan-siucai sudah menerjang maju dengan tangan kirinya. Tangan ini menampar, kelihatan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan tamparan itu membuat Im-yang Seng-cu terkejut dan cepat me­ngelak. Dia terheran bukan main karena tamparan itu adalah tamparan yang me­ngandung tenaga dalam amat kuat!

Akan tetapi Tan‑siucai tidak mem­beri kesempatan kepadanya untuk berhe­ran karena kini sudah mendesak lagi dengen dua pukulan beruntun, tangan kiri mencengkeram ubun‑ubun disusul tangan kanan yang menyodok ke ulu hati. Serangan yang dahsyat, serangan maut yang berbau ilmu silat tinggi dan lihai sekali.

“Aihhh!” Im‑yang Seng‑cu meloncat ke belakang, timbul rasa penasaran kare­na dia tidak mengenal jurus yang dilaku­kan bekas pelajar yang dahulu lemah itu. Maka ia pun balas menerjang dengan pukulan‑pukulan dahsyat yang dapat di­elakkan secara mudah oleh Tan‑siucai. Pertandingan seru terjadi dan biarpun agaknya Tan‑siucai telah digembleng orang sakti dengan ilmu silat aneh dan telah memiliki tenaga sin-kang yang ku­at, namun menghadapi seorang kakek se­perti Im‑yang Seng‑cu, pemuda itu ke­walahan juga.

“Ha‑ha‑ha, bagaimana engkau akan dapat membunuhku, pemuda gila?” Im-yang Seng‑cu mengejek. Biarpun diam-diam ia terkejut den terheran‑heran ka­rena mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini benar‑benar tinggi den aneh, namun dia merasa yakin bahwa untuk dapat membunuhnya, tidaklah be­gitu mudah.

“Begini, Im‑yang Seng‑cu!” Tan‑siucai menjawab dan tiba‑tiba tangan kirinya dibuka dan didorongkan ke arah muka kakek itu sambil mulutnya membentak, “Diam!”

Hebat bukan main bentakan dan gerakan tangan itu karena secara aneh sekali, tiba‑tiba Im‑yang Seng‑cu tak dapat menggerakkan kaki tangannya seolah‑olah tubuhnya telah berubah menjadi batu. Dan pada saat itu, tangan kanan Tan-siucai telah bergerak ke belakang, tam­pak sinar hitam berkelebat dan pedang hitam di tangannya telah meluncur den ambles ke dalam perut Im‑yang Seng‑cu, tepat di bawah ulu hati. Ketika pemuda itu mencabut pedangnya, darah menyem­bur keluar dari perut dan karena ketika mencabut pedangnya digerakkan ke bawah, perut itu robek den isi perutnya keluar.

Barulah Im‑yang Seng‑cu dapat berge­rak, kedua tangannya otomatis bergerak ke depan, yang kiri mendekap luka, yang kanan memukul ke depan. Angin pukulan kuat membuat pemuda itu terhuyung ke belakang. Baju depannya merah terkena percikan darah yang menyembur dari perut kakek itu.

Im-yang Seng‑cu terhuyung‑huyung, matanya terbelalak, mulutnya berkata,

“Celaka.... ingin mati di tangan pendekar.... kini mampus di tangan setan.... benar‑benar tubuh sial....!” Ia berusaha menubruk maju dengan loncatan cepat ke arah Tan‑shicai, untuk memberi se­rangan terakhir. Akan tetapi Tan‑siucai mengelak den tubuh kakek itu terjerem­bab ke atas tanah tanpa nyawa lagi.

“Heh‑heh‑heh!” Dari balik sebatang pohon muncul dengan cara seperti setan seorang yang berkulit hitam. Orang ini bertubuh tinggi sekali, tinggi dan kurus. Kulitnya hitam mengkilap, kedua kaki­nya telanjang. Usianya sukar ditaksir, akan tetapi tentu tidak kurang dari enam puluh tahun. Dahinya lebar, hidungnya panjang melengkung, sepasang matanya lebar dan bersinar‑sinar aneh, mulutnya hampir tak tampak tertutup jenggot dan kumis yang putih. Kedua telinganya memakai anting‑anting perak berbentuk cincin. Rambutnya yang sudah lebih banyak putihnya itu tertutup sor­ban berwarna kuning. Tubuhnya hanya dibalut kain kuning pula yang menutup tubuh seperti cawat dan setengah dada.

“Cukup baik gerak tangan kirimu dan bentakanmu cukup berhasil. Sayang ge­rakan pedangmu tidak tepat. Lihat, pakaianmu terkena darah. Sungguh me­malukan aku yang menjadi gurumu, heh-heh!” Kata orang itu yang dapat diduga tentu datang dari barat karena bentuk muka, warna kulit, dan gaya bicaranya.

“Mohon petunjuk Guru,” kata Tan-siucai, alisnya berkerut tanda tidak senang hati dicela gurunya.

 “Membunuh lawan terkena percikan darahnya, amatlah tidak baik dan engkau tadi membuka kesempatan lawan untuk menyerang sehingga kau terhu­yung. Untung kepandaian orang ini tidak amat hebat. Kalau lebih hebat, apakah kau tidak akan celaka karena pukulan terakhir orang yang sudah menghadapi maut? Serahkan pedangmu, dan lihat ba­ik‑baik!”

Tan-siucai menyerahkan pedangnya. Pedang hitam itu oleh kakek ini lalu di­selipkan di bawah kain yang membelit pundaknya. Kemudian ia mengampiri ma­yat Im‑yang Seng‑cu, dipandangnya seje­nak kemudian tiba‑tiba tangan kirinya dengan telapak menghadap ke arah ma­yat digerakkan, mulutnya mengeluarkan pekik aneh dan.... mayet itu tiba‑tiba berdiri di depannya. Darah masih mengu­cur dari perut mayat Im‑yang Seng‑cu yang terbuka dan ususnya terurai keluar.

“Diam....!” Kakek itu membentak se­perti yang dilakukan oleh muridnya tadi, tampak sinar hitam berkelebat menjadi gulungan sinar yang mengitari tubuh ma­yat itu. Kakek itu sudah meloncat ke belakang mayat dan.... tubuh Im‑yang Seng‑cu yang sudah tak bernyawa lagi itu kini roboh menjadi enam potong! Ke­dua lengan dan kedua kakinya terpisah, dan lehernya juga telah terbabat putus!

“Nah, dengan begini, engkau tidak memberi kesempatan lawan untuk me­ngirim serangan. Mula‑mula kedua lengan lalu kaki dan leher yang harus kaubabat putus, bukan menusuk perut seperti tadi. Dan jangan lupa untuk bergerak melon­cat ke belakang, berlawanan dengan me­nyemburnya darah dari tubuhnya! Ah, sampai lupa. Hayo cepat, kita tampung racun kuning!”

Mendengar ini, Tan‑siucai lalu meng­gunakan kakinya, mengungkit bagian-bagian tubuh mayat itu sehingga terlem­par ke atas cabang pohon, ditumpuk di situ. Kemudian kakek berkulit hitam itu menuangkan cairan obat dari sebuah bo­tol ke atas tumpukan potongan tubuh mayat yang segera mencair. Mula‑mula seperti terbakar mendidih, kemudian dari tumpukan daging dan tulang itu mene­tes‑netes cairan kuning yang segera ditampung oleh Tan‑siucai ke dalam sebu­ah botol melengkung berwarna merah. Hebat sekali obat itu. Dalam waktu be­beberapa menit saja semua daging, tulang dan pakaian bekas tubuh Im‑yang Seng‑cu mencair dan hanya menjadi se­perempat botol cairan kuning yang ken­tal! Setelah tubuh itu habis sama sekali dan menutup botol dengan sumbat dan menyimpannya, guru dan murid yang aneh itu pergi dari situ.

Tan‑siucai atau Tan Ki ini adalah bekas tunangan Hoa‑san Kiam‑li (Pende­kar Pedang Wanita dari Hoa‑san) Lu Soan Li murid Im‑yang Seng‑cu. Dia tinggal di Nan-king. Setelah dia mende­ngar akan kematian tunangannya yang dicinta dan dibanggakan, pemuda yang sudah tidak berayah ibu ini lalu pergi merantau. Dendam dan sakit hati membuat dia seperti gila dan akhirnya secara kebetulan dia berjumpa dengan kakek dari Nepal yang bernama Maharya itu yang kemudian mengambilnya seba­gai murid. Kakek Maharya, seorang sakti dari Nepal, tidak hanya tertarik kepada Tan‑siucai karena melihat bakat pada diri pemuda itu, juga tertarik mendengar kisah pemuda itu yang menaruh dendam kepada Pendekar Siluman. Di samping ini, sebagai seorang asing yang baru datang ke Tiong‑goan, dia membutuhkan seorang pembantu dan pengajar bahasa. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja pemuda itu merupakan seorang guru bahasa yang ba­ik.

Demikianlah selama bertahun‑tahun Tan Ki atau Tan‑siucai merantau bersa­ma gurunya, menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang aneh, juga menerima pelajaran ilmu sihir yang merupakan keisti­mewaan gurunya. Tujuan mereka hanya dua. Pertama memenuhi kebutuhan Ma­harya, yaitu mencari Sepasang Pedang Iblis, dan kedua memenuhi kebutuhan Ten‑siucai, mencari Im‑yang Seng‑cu dan Pendekar Siluman untuk membalas den­dam kematian tunangannya! Secara tak tersangka-sangka mereka tiba di hutan itu dan hampir saja sekaligus Tan‑siucai dapat bertemu dengan dua orang yang dimusuhinya, akan tetapi dia terlambat karena Pendekar Siluman telah mening­galkan tempat itu. Betapapun juga, dia berhasil membunuh seorang musuhnya, yaitu Im‑yang Seng‑cu yang dahulunya adalah sahabat ayahnya, bahkan orang yang telah mengikatkan jodoh antara dia dan Lu Soan Li. Akan tetapi, kare­na jalan pikirannya yang telah gila, Im‑yang Seng‑cu dianggap biang keladi kematian tunangannya sehingga berhasil dia bunuh secara mengerikan.

***

Siapa yang mengatakan bahwa kese­lamatan diri seseorang, mati hidupnya tergantung sepenuhnya kepada dirinya sendiri, menandakan bahwa dia belum sadar akan kekuasaan tertinggi yang tak dapat ditambah maupun dikurangi, kekua­saan tertinggi yang menggerakkan matahari, bulan dan bintang‑bintang sampai debu‑debu terkecil dalam cahaya mata­hari, kekuasaan yang menumbuhkan po­hon‑pohon raksasa sampai setiap jenggot di dagu pada kekuasaan tertinggi yang menguasai atas mati dan hidup.

Kalau yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, kekuasaan apa pun di dunia tidak akan dapat menawar‑nawar. Sebaliknya kalau dikehendaki-Nya seseorang hidup, tidak ada pula kekuasaan di dunia yang akan dapat menghentikan hi­dup orang itu. Hal‑hal yang kelihatan tidak mungkin bagi akal manusia, sama sekali bukan merupakan hal tidak mung­kin bagi kekuasaan itu.

Kekuasaan tertinggi dan ajaib ini memperlihatkan kekuasaannya pula keti­ka Bun Beng terlempar ke dalam pusar­an air. Sebelum dia, tokoh Pulau Neraka yang ahli dalam air dan bertenaga be­sar juga terjatuh ke dalam pusaran air itu. Dengan segala kemahiran dan kekuatannya, anggauta Pulau Neraka itu ber­usaha melawan pusaran air yang mengha­yutkan dan menyeretnya ke dalam pusaran yang amat kuat, namun usahanya menyelamatkan diri itu sia‑sia belaka dan tubuhnya hancur dihempaskan pada batu‑batu karang. Akan tetapi sebalik­nya dengan Bun Beng. Ketika anak ini jatuh ke tengah pusaran air dan merasa ada kekuatan dahsyat dari pusaran itu menyedot tubuhnya ke bawah, sedikit pun dia tidak melawan akan tetapi bahkan inilah yang membuat dia selamat!

Air pusing yang mempunyai daya sedot amat dahsyat itu seketika “menelan” tubuh Bun Beng, disedot ke bawah lalu dihayutkan dengan kecepatan yang luar biasa di bawah permukaan air. Biarpun Bun Beng yang cerdik sebelum terbanting ke air telah menyedot napas sebanyaknya, namun tak lama kemudian ia pingsan selagi tubuhnya masih dihanyutkan dengan cepat sekali melalui terowongan di dalam gunung batu karang.

Ketika anak itu siuman kembali, ia telah menggeletak di antara batu‑batu besar yang halus permukaannya, sebagian tubuhnya yang bawah terbenam air di an­tara batu dan untung bahwa dia terhem­pas ke tempat itu dengan muka di atas air. Ia membuka mata, tubuhnya terasa nyeri semua dan dinginnya luar biasa sehingga ia menggigil. Sudah matikah aku, pikirnya ngeri. Ia bangkit duduk, memandang ke sekeliling. Tidak, dia belum mati dan berada di lambung sebuah gunung yang tertutup kabut tebal. Dia duduk dan memandang terheran‑heran.

Bagaimana ia dapat sampai di lambung gunung? Kekuasaan alam memang penuh mujijat. Kiranya ada terowongan yang meng­hubungkan tempat itu dengan pusaran air di mana ia terjatuh, sebuah tero­wongan di dalam tubuh gunung. Pusaran air itu tercipta oleh permainan angin yang memasuki terowongan, menimbulkan daya berpusing yang amat kuat se­hingga menyedot air dan menciptakan air berpusing yang amat menakutkan.

“Nguk‑nguk‑nguk! Huk! Huk! Hukkk!”

Bun Beng terkejut dan menoleh ke kanan kiri. Di tempat seperti ini, bagai­mana bisa terdengar suara anjing? Biasa­nya anjing hanya berkeliaran di tempat datar, bukan di pegunungan di batu‑batu karang seperti ini, dekat air sungai. Akan tetapi hatinya juga girang karena biasanya anjing‑anjing itu dipelihara orang yang dapat ia mintai tolong.

“Huk‑huk‑huk! Ggrrrrr.... nguk‑nguk!”

Bun Beng menoleh ke kanan dan seketika ia terloncat bangun. Dari atas batu besar turun beberapa ekor binatang aneh yang kepalanya seperti kera! Kiranya yang menyalak‑nyalak dan menggereng-gereng itu adalah binatang yang aneh ini, setengah kera setengah anjing (kera baboon). Ketika melihat binatang aneh itu merayap turun dengan gerak‑gerik seperti manusia, moncong anjing mereka mengeluarkan suara anjing dan kera campur aduk, melihat pinggul mereka berlenggang‑lenggok, pinggul yang tidak berekor akan tetapi ada dagingnya me­nonjol merah, mau tidak mau Bun Beng tertawa geli. Lucu memang tampaknya binatang‑binatang itu.

Akan tetapi kegelian hatinya segera berubah menjadi kemarahan ketika bina­tang‑binatang itu mengelilinginya kemu­dian meraba‑raba dan merenggutkan pa­kaiannya yang basah sambil mengeluar­kan bunyi ngak‑ngik‑nguk tidak karuan. Bun Beng melepaskan tangan seekor kera yang menjambak‑jambak rambutnya. Kera itu mengeluarkan teriakan marah dan Bun Beng dikeroyok! Lengan‑lengan yang panjang berbulu lebat itu mengeroyoknya, merenggut pakaian dan men­jambak rambut. Bun Beng jatuh terduduk, seekor kera hendak menggigitnya dari depan. Ia mengayun tangan menam­par.

“Plakk! Nguuuuk‑nguk!” Kera itu ter­pelanting dan memekik marah sekali, se­dangkan kera‑kera lain sudah menubruk Bun Beng dari belakang. Terdengar bu­nyi kain robek dan setelah meronta-ron­ta dan membagi‑bagi pukulan ke kanan kiri, akhirnya Bun Beng berdiri dalam keadaan telanjang bulat! Pakaiannya robek‑robek tidak karuan diperebutkan oleh sekumpulan kera itu. Marahlah Bun Beng dan ia lalu mengamuk, kaki ta­ngannya bergerak dan beberapa eker kera terpelanting terkena tendangan dan pukulannya. Akan tetapi tubuh binatang-binatang ini kuat sekali dan mereka kini kini juga marah, meloncat bangun dan mengeroyok Bun Beng.

Tiba‑tiba terdengar pekik dahsyat dan kera‑kera baboon itu seketika menghentikan pengeroyokan dan mundur. Bun Beng menengok dan seekor kera yang lebih besar daripada sekumpulan kera yang mengeroyok dan menelanjanginya. Kera itu dengan kedua lengan panjangnya, melangkah maju menghampirinya, moncongnya mengeluarkan suara mengge­reng den mendesis, matanya yang kecil memandangnya penuh amarah. Gerak-geriknya seperti orang menantang. Ke­ra‑kera lain melonjak‑lonjak den berte­puk tangan, seperti sekumpulan anak-anak yang menjagoi kera besar ini. Ta­hulah Bun Beng bahwa dia ditantang oleh kera besar, maka dia pun lalu me­masang kuda‑kuda dan membentak.

“Kera anjing keparat! Majulah! Siapa takut padamu?”

Kera besar itu agaknya juga tahu bahwa Bun Beng marah kepadanya, kare­na ia segera meringis dan mengeluarkan bunyi marah. “Ngukk....! Kerr....!”

“Monyet buruk! Majulah! Siapa takut padamu?” Bun Beng menantang dan dia telah melompat ke kiri, mencari tempat yang lebih rata karena dia maklum bah­wa binatang kera amat lincah dan kalau harus bertanding di tempat berbatu sam­bil berloncatan, mana dia mampu me­nang?

Kera itu menggereng lagi dan melon­cat, sekaligus ia menyerang Bun Beng dengan ganas, menubruk sambil menceng­keram dan moncongnya dibuka lebar siap menggigit. Bun Beng sudah bersiap, cepat ia mengelak dengan meloncat ke kanan, sambil tidak lupa mengayun kaki kirinya menendang ke arah perut kera.

“Bukkk!” Tendangan Bun Beng adalah tendangan seorang anak laki-laki yang sejak kecil terlatih, maka tidak dapat disebut lemah, namun ketika kakinya mengenai perut binatang itu, kakinya yang menendang terpental seperti me­nendang bola karet!

“Monyet lutung! Kau kuat sekali!” Ia berseru marah dan kera itu seolah-olah tertawa, terkekeh sedangkan kera-kera lain tetap bertepuk tangan dan berjing­krak tidak teratur.

Kera besar itu kembali sudah menu­bruk, bahkan kedua lengannya yang pan­jang tidak hanya membuat gerakan men­cengkeram ngawur seperti lajimnya dila­kukan oleh binatang kera yang tidak tahu akan seni bersilat, melainkan kedua tangan berjari panjang penuh bulu itu melakukan pukulan dengan telapak ta­ngan terbuka.

“Wuuut! Wuuuutt!” Kedua tangan itu menyambar berturut-turut dan hanya dengan kegesitannya mengelak saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari tamparan yang amat kuat itu. Dia mulai marah dan agaknya Bun Beng tidak akan patut mengaku sebagai murid mendiang Siauw Lam Hwesio kalau dia harus me­ngakui keunggulan seekor binatang kera. Akan percuma sajalah gemblengan yang         dilakukan Kakek Siauw-lim-pai itu kepadanya beberapa tahun. Di sam­ping latihan ilmu silat dan menghimpun tenaga serta rahasia penggunaan tenaga, juga Bun Beng menerima petunjuk-petun­juk yang mempertajam otaknya sehingga dalam menghadapi bahaya dan lawan tangguh dia dapat mempergunakan siasat. Dia mengerti bahwa dalam hal tenaga kasar dia tidak akan dapat mengimbangi kera yang lebih kuat daripada seorang manusia dewasa itu. Juga dari penga­lamannya ketika menendang perut tadi dia maklum bahwa kera itu memiliki kulit yang tebal dan kuat serta otot-otot yang membuat tubuhnya kebal. Dia tidak boleh sembarangan menyerang melainkan harus menggunakan siasat mencari bagi­an yang lemah.

Namun, kini dia terdesak terus. Kera ­besar itu agaknya merasa penasaran. Dia dapat mengalahkan seekor harimau dengan mudah, masa kini tidak mampu merobohkan seorang manusia kecil yang lemah ini dalam waktu singkat? Akan percuma saja dia menjadi kera bangkot­an, jagoan yang paling kuat dan paling ditakuti di antara rombongan kera ba­boon di situ! Maka sambil mendengus-dengus marah dia memperhebat serang­annya, setiap kali tubrukannya luput di­sambung dengan terkaman lain yang ce­pat dan kuat, sedikit pun tidak membe­ri kesempatan kepada Bun Beng untuk membalas. Tak dapat dibantah bahwa memang Bun Beng terlatih ilmu silat na­mun dia sama sekali belum memiliki pengalaman bertempur tanpa aturan dan secara nekat itu. Dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana-sini, menangkis sedapatnya dan sudah dua kali ia terkena tamparan yang membuat pipinya merah membengkak dan mata­nya berkunang kepalanya pening! Meli­hat ini kera-kera yang lain mengeluarkan suara seperti sekumpulan bocah ber­sorak-sorak, dan kera jagoan itu menjadi makin buas.

“Blekkkk!” Sebuah tamparan dengan lengan kanan berbulu yang amat keras dapat ditangkis oleh Bun Beng, akan tetapi karena dia kalah tenaga, tampar­an itu masih menembus tangkisannya dan mengenai pundak kirinya. Bun Beng mengaduh, tulang pundaknya seperti re­muk rasanya, kiut-miut nyeri bukan main dan dia roboh terjengkang tanpa dapat ditahan pula.

“Gerrrr....!” Kera besar menggereng dan menubruk tubuh lawan yang sudah telentang tidak berdaya itu. Dalam ke­adaan penuh bahaya ini, keadaan Bun Beng sebagai manusia membuktikan ke­unggulannya. Dia memiliki akal dan da­lam detik-detik berbahaya itu ia meng­gunakan akalnya. Ketika melihat kera besar menubruk, dia menggulingkan tu­buhnya sampai tiga kali dan tidak lupa tangannya mencengkeram tanah dan ber­hasil menggenggam tanah. Pada saat kera menubruk lagi, tangannya bergerak dan tanah yang digenggamnya itu melun­cur, menyambut muka si Kera yang ten­tu saja tidak memiliki akal untuk men­duga serangan ini. Matanya tetap melo­tot penuh geram kemenangan sehingga kedua matanya merupakan sasaran tepat, kemasukan butiran-butiran pasir tanah.

“Auurrghh....!” Kera itu memekik-mekik dan menggunakan kedua tangan menggosok matanya. Tentu saja karena cara menggosoknya kaku, pasir tanah itu makin dalam masuk ke mata dan makin nyeri rasanya. Kesempatan ini ti­dak disia-siakan oleh Bun Beng. Dia sudah meloncat bangun dan menghujan­kan pukulan tendangan ke tubuh si Kera. Namun dia tidak memukul sembarangan, melainkan memilih tempat yang lemah, memukul ke arah hidung, mata, dan teli­nga sedangkan tendangannya mengarah sambungan lutut dan pusar. Tentu saja kera besar yang masih setengah mati menggosoki matanya, menjadi sasaran serangan dan tubuhnya terguling-guling. Ia mengeluarkan suara seperti menangis dan akhirnya ia berlutut di atas tanah, menutupi kepalanya dengan kedua mata­nya bercucuran air mata!

Dari gerak-gerik ini Bun Beng dapat menduga bahwa lawannya sudah menye­rah kalah, maka ia memandang dengan muka berseri, berdiri tegak dan bertolak pinggang, merasa gagah menjadi jagoan sampai dia lupa bahwa tubuhnya sama sekali tidak tertutup pakaian, telanjang bulat karena semua pakaiannya sudah habis terkoyak tangan-tangan jahil rom­bongan kera tadi!

Kera-kera yang tadinya menonton pertandingan, kini berlarian datang dan Bun Beng sudah siap untuk “mengamuk” kalau dia dikeroyok. Akan tetapi, kera-kera itu kini tidak menyerangnya, hanya memegang-megang lengannya, kakinya, rambutnya dan bahkan ada yang mencium-ciumnya dari kaki sampai kepala tanpa melewatkan sedikitpun bagian tubuhnya sehingga dia merasa girang akan tetapi geli dan jijik! Agaknya air mata yang banyak keluar dari sepasang mata kera besar telah mencuci bersih mata itu, kini kera besar dapat membuka matanya yang berubah merah dan dia pun merangkul dan menciumi Bun Beng! Mengertilah anak ini bahwa semenjak sa­at ia berhasil “mengalahkan” jagoan kera baboon, dia telah diaku sebagai “seekor” di antara mereka! Dia telah diterima menjadi anggauta kera baboon.

Semenjak saat itu, mulailah penghi­dupan baru yang sama sekali asing bagi Bun Beng! Dia hidup di antara sekumpul­an kera baboon, bertelanjang, bulat, men­cari makan, bermain-main dan berayun-ayun di dahan-dahan pohon dan di batu-batu gunung persis seekor kera. Hanya bedanya, dan kadang-kadang timbul pe­nyesalan di hatinya akan perbedaan ini bahwa dia tidak berbulu seperti “kawan-kawannya” sehingga sering kali dia men­derita kedinginan. Namun, lambat laun ia dapat membiasakan diri dan tubuhnya menjadi kebal akan hawa dingin. Sebagai seorang mahluk yang berakal, dalam mencari makanan dan lain-lain tentu sa­ja dia paling menang, sehingga tidak lama kemudian dia dicontoh oleh kera kera itu dan seolah-olah menjadi pemimpin mereka. Apalagi semenjak dia me­ngalahkan jagoan kera, dia dianggap pa­ling kuat dan teman-temannya tidak ada yang berani mencoba-coba dengan dia!Selama beberapa bulan hidup di anta­ra sekumpulan kera, Bun Beng menda­patkan sebuah kenyataan yang amat ber­kesan di hatinya. Semenjak dia dijadikan rebutan para tokoh kang-ouw sehingga terdapat pertentangan dan terjadi pem­bunuhan, kemudian disusul pengalaman-pengalaman di mana dia menyaksikan permusuhan antar manusia yang menga­kibatkan pembunuhan-pembunuhan mengerikan, ia mendapat kenyataan betapa manusia merupakan sekumpulan makhluk yang amat kejam dan sama sekali tidak mempuyai rasa setia kawan terhadap se­sama manusia.

Kini, hidup di antara se­kumpulan kera yang dianggap sebagai bi­natang bodoh dan tidak berakal, dia me­nemukan perbedaan yang amat menyolok. Sekumpulan kera ini hidup amat rukun dan penuh setia kawan. Memang benar bahwa di antara mereka kadang-kadang terjadi perkelahian, namun perkelahian ini hanya terbatas dalam mengadu keku­atan sampai seekor di antara mereka me­ngaku kalah. Yang menang tidak akan menindas, yang kalah tidak akan me­naruh dendam dan tidak ada rasa meng­ganjal di antara mereka! Akan te­tapi seekor saja terganggu, sekelompok akan maju bertanding dan membela! Se­ekor saja celaka, yang lain akan turun tangan tanpa pamrih. Tidak ada di anta­ra mereka yang memonopoli sesuatu. Buah-buah yang bergantungan, air yang mengalir, tidak ada yang menuntut seba­gai hak pribadinya. Memang, mereka ini tidak pandai berbasa-basi, tidak pandai bermanis muka, tidak pandai bersopan-santun dan tidak pandai melakukan se­gala kepalsuan-kepalsuan lain yang sudah menjadi “pakaian” manusia. Betapa liar mereka itu, betapa bebas dan bahagia karena mereka tidak mengejar kesenang­an, tidak mengejar kebahagiaan seperti manusia sehingga kesenangan dan kebaha­giaan dengan sendirinya datang kepada mereka! Mereka tidak mengenal kecewa karena tidak mengharap, tidak bertemu duka, karena tidak mencari suka. Beta­pa wajar dan betapa dekat dengan alam, betapa dekat dengan kekuasaan alam!

Di samping menemukan hal-hal yang mendatangkan kesan di hatinya yang timbul dari pengetahuannya ketika dahulu membaca kitab-kitab filsafat, juga Bun Beng menemukan dan mempelajari ke­pandaian-kepandaian aneh yang mereka miliki sebagai anugerah langsung dari alam tanpa mereka pelajari, yaitu kece­katan, ketrampilan yang belum tentu dapat dimiliki manusia yang sengaja mempelajarinya bertahun-tahun! Dengan menyatukan diri di tengah-tengah mere­ka, dalam beberapa bulan saja Bun Beng dapat berloncatan di atas karang di tebing-tebing yang curam, memanjat po­hon-pohon besar dan loncat berayun dari dahan ke dahan. Juga ia dapat menge­nal pengetahuan anugerah alam tentang daun-daun dan akar-akar obat yang di­pergunakan kera-kera itu untuk mengobati luka-luka, keracunan dan lain-lain.

Selama enam bulan Bun Beng hidup di tengah-tengah kera itu, mengalami hal-hal yang amat luar biasa. Setelah setengah tahun hidup bertelanjang bulat seperti itu, dia menjadi terbiasa dan kadang-kadang kalau ia teringat akan per­adaban manusia, ia menjadi geli sendiri. Betapa dia akan dianggap kurang susila, kurang ajar, tidak tahu malu dan seba­gainya oleh manusia-manusia beradab! Dari manakah timbulnya rasa malu ka­lau telanjang dan terlihat orang lain? Mengapa pula harus malu? Perasaan ma­lu ini adalah buatan manusia sendiri! Buktinya, tidak ada seorang pun anak-anak yang merasa malu dilihat bertelan­jang. Setelah kepada anak itu ditanam­kan pengertian bahwa bertelanjang dili­hat orang adalah memalukan, barulah tim­bul perasaan malu ini! Andaikata tidak ada penanaman pengertian ini, kiranya tidak akan timbul pula perasaan malu.

Musim dingin tiba, akan tetapi Bun Beng yang bertelanjang bulat itu tidak menderita kedinginan. Kulit tubuhnya su­dah terlatih sedikit demi sedikit sehing­ga kebal. Akan tetapi, perasaan dan ke­sadarannya sebagai manusia tidak pernah hilang dan hanya karena terpaksa tidak ada pakaian saja maka dia berte­lanjang bulat di antara sekumpulan kera baboon. Ketika pada suatu hari dia ber­sama sekawanan kera itu menyerang dan membunuh beberapa ekor harimau, Bun Beng menguliti harimau yang dibu­nuhnya dan kulit harimau itu ia pakai untuk menutupi tubuhnya bagian bawah. Bukan terdorong oleh rasa malu atau penahan dingin, melainkan dengan penu­tup bawah itu dia terhindar dari ganggu­an semut dan nyamuk yang tidak dapat mengganggu kera-kera itu karena kulit mereka tertutup bulu. Dan setelah ia memakai cawat kulit harimau, kawanan kera itu kelihatan lebih segan dan takut kepadanya! Kulit-kulit harimau yang lain ia simpan untuk cadangan cawat atau persediaan kalau sewaktu-waktu ia me­merlukannya.

Pada suatu hari, para kera itu me­ngeluarkan bunyi cecowetan seperti biasa kalau mengajak pergi ke suatu tempat. Sudah banyak macam suara kera itu yang merupakan isyarat-isyarat dan dapat dimengerti oleh Bun Beng, maka sekali ini, menyaksikan sikap mereka seolah-olah mereka hendak melakukan sesuatu yang besar dan aneh, Bun Beng segera mengi­kuti mereka. Kera-kera itu memasuki guha di antara batu karang dan mema­suki terowongan di dalam gunung yang cukup lebar. Mula-mula terowongan itu gelap, akan tetapi makin jauh makin terang dan anehnya, mulailah Bun Beng merasa betapa ada hawa panas keluar dari dalam. Hatinya mulai tegang dan ia mengikuti terus. Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan yang merupakan ruangan yang luas di dalam gunung. Sinar matahari masuk melalui celah-celah batu gunung yang merupa­kan dinding tinggi sekali. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sumber air panas! Air keluar dari sumber di dalam gunung ini, mengucur keluar dari celah-celah dua batu besar, mengeluarkan uap saking panasnya. Akan tetapi, Bun Beng tidak memperhatikan itu semua karena ia terbelalak memandang ke sebelah ka­nan, tak jauh dari sumber air panas itu dan merasa seolah-olah ia sedang dalam mimpi. Apakah yang ia lihat?

Pemandangan yang amat luar biasa! Di situ, menempel pada dinding batu, terdapat sebuah kursi batu yang jelas bukan buatan alam, melainkan berbekas tangan manusia. Kursi itu besar sekali, terbuat daripada batu persegi yang di­tumpuk-tumpuk, dan di atas kursi itu duduk seekor kera tua besar sekali yang memakai pakaian. Kalau melihat peman­dangan ini di kota, tentu Bun Beng akan tertawa geli dan menganggap kera itu sebagai peliharaan pemain komidi bina­tang. Seekor kera tua duduk di kursi memakai jubah yang sepatutnya dipakai seorang pendeta, jubah berwarna kuning yang sudah koyak-koyak, terutama di ujung kedua lengannya. Dan kera tua berbaju itu memandangnya dengan muka berseri, tanda senang hati, sikap yang sudah dikenal Bun Beng. Kera tua itu agaknya senang melihatnya, dan mon­congnya yang lebar itu berkemak-kemik, telunjuknya menuding-nuding!

Kawanan kera melewati kursi itu sambil membungkuk-bungkuk, mata me­lirik-lirik penuh sikap takut terhadap kera tua yang berpakaian. Akan tetapi mereka tidak mempedulikan “kakek” ke­ra itu dan sambil cecowetan riuh rendah dan penuh kegembiraan mereka masuk ke dalam air panas yang mengalir seper­ti sebatang sungai kecil. Bun Beng masih tertarik dan terpesona oleh karena kera tua yang aneh itu, akan tetapi ketika be­rapa ekor kera mulai menarik-nariknya diajak mandi, timbul pula kegembiraan­nya. Cepat ditanggalkannya cawat kulit harimau dan ia pun masuk ke dalam anak sungai yang airnya panas. Betapa nik­matnya mandi dan merendam tubuh di air yang panas itu! Merupakan penawar yang nyaman setelah diserang musim di­ngin di luar. Dan air panas itu benar-benar mendatangkan rasa nyaman sekali di tubuhnya, seolah-olah mengandung se­suatu yang memiliki daya mujijat menguatkan tubuh. Mengertilah ia kini bahwa sumber air panas itu merupakan sema­cam “air obat” yang dimanfaatkan oleh kera-kera itu agaknya setahun sekali, yaitu di waktu musim dingin tiba. Yang amat mengherankan hatinya dan tidak dimengerti adalah munculnya kera tua berpakaian pendeta itu!

Setelah puas mandi air panas, Bun Beng mengenakan cawat kulit harimau­nya lagi dan mulailah ia mendekati ke­ra tua untuk menyelidiki keadaannya yang aneh. Ketika ia mendapat kenyata­an bahwa kera itu ternyata sudah amat tua dan lumpuh, ia merasa kasihan dan terharu. Wajah kera itu begitu penuh pengertian dan sekiranya kera tua itu dapat bicara, tentu dia akan dapat mendengar dongeng yang menarik dari mulut kera itu. Dan kembali ia menyaksiken kesetiakawanan yang hebat. Agaknya ke­ra tua iku menjadi semacam “juru kunci” atau penunggu sumber air panas dan se­lamanya tinggal di situ. Adapun untuk keperluan setiap harinya, dia tidak perlu bingung karena kera-kera baboon setiap beberapa hari sekali ternyata mengirim buah-buah dan makanan untuk si Tua ini.

Melihat betapa kera tua itu pandai berpakaian dan sikapnya jauh lebih “jinak” dibandingkan dengan kera-kera lain, Bun Beng percaya bahwa tentu kera tua ini tidak asing dengan manusia. Maka dia menjadi lebih berani dan ketika ia melihat sebuah ruangan dari batu ka­rang di belakang kursi besar itu, tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki ruangan itu. Hal pertama yang menarik hatinya ukir-ukiran huruf dinding batu. Goresannya dalam dan biarpun sudah banyak lumut­nya, masih mudah dibaca karena ukiran itu selain dalam juga besar.

“Di musim dingin,perut gunung mengeluarkan air panas di musim panas,perut gunung mengeluarkan air di­ngindingin menciptakan panas, panas menimbulkan dinginkeajaiban apa lagi yang dikehen­daki manusia untuk membuktikan ke­kuasaan alam?”

Bun Beng belum dapat menangkap keindahan kata-kata itu namun ia dapat mengagumi coretan yang indah dan kuat. Tidak salah lagi, tentu di sini pernah tinggal seorang pertapa yang pandai dan mungkin sekali kera tua itu adalah binatang peliharaannya! Ia memeriksa lagi dan di dalam sebuah peti batu ia menemukan beberapa stel pakaian kasar. Di atas meja batu tampak sepasang pedang dan sebuah kitab yang tua sekali. Jan­tungnya berdebar penuh ketegangan. Ter­ingat ia akan pertentangan di muara Su­ngai Huang-ho. Bukankah di antara pusa­ka yang dicari dan diperebutkan itu disebut-sebut pula “Sepasang Pedang Iblis”? Dan kitab itu, mungkin sebuah di antara kitab-kitab pusaka yang dicari oleh tokoh-tokoh kang-ouw? Ia mende­kati meja dan memandang penuh perha­tian dengan hati tegang. Ia merasa seperti ada yang memandangnya dan ke­tika ia menengok, benar saja kera tua itu sedang menoleh dan memandangnya penuh perhatian, sungguhpun pada wajah yang tua itu tidak tampak kemarahan. Maka ia makin berani dan tak dapat menahan keinginan tahunya. Dirabanya gagang kedua pedang yang bersarung indah itu, kemudian diangkatnya perlahan-lahan pedang yang lebih panjang, lalu mencabut gagang pedang dari sarungnya. Baru tercabut sebagian saja, ia sudah cepat-cepat memasukkannya kembali dengan kaget karena pedang itu menge­luarkan sinar kilat yang membuat bulu tengkuknya meremang. Dengan hati-hati ia meletakkan pedang itu kembali, lalu mencoba untuk melihat pedang ke dua yang lebih pendek. Kembali ia terkejut karena pedang ini pun mengeluarkan sinar kilat yang menyilaukan mata.

 “Aihhhh....!” Ia menahan napas memandang dua batang pedang yang berada di atas meja, hatinya ngeri dan kagum. Tidak salah lagi, pedang itu tentulah pe­dang pusaka yang amat ampuh! Inikah yang disebut Sepasang Pedang Iblis? Ahh, kelihatannya indah sekali, sama sekali tidak pantas disebut pedang iblis karena yang memakai nama “Iblis” tentu­lah buruk menakutkan! Kini ia memper­hatikan kitab tua itu, mengambilnya dan membuka sampulnya. Sam-po-cin-keng, demikianlah huruf-huruf indah yang ter­tulis di halaman pertama. Ia membuka-buka lembarannya dan ternyata itu ada­lah sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang amat luar biasa, semua ada tiga macam. Anak ini tidak tahu bahwa di tangannya itu adalah sebuah kitab raha­sia yang amat hebat. Tiga ilmu silat pusaka yang tergabung dalam kitab itu bukanlah pelajaran ilmu silat biasa kare­na Sam-po-cin-keng adalah tiga macam ilmu dahsyat yang di jaman dahulu dicipta oleh ketua dan pendiri Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan)! Ilmu ini kemudian menurun kepada pute­rinya yang bernama Liu Lu Sian berju­luk Tok-siauw-kui (Iblis Cantik Beracun) yang bukan lain adalah ibu kandung pendekar sakti Suling Emas!

Ketika kawanan kera meninggalkan tempat sumber air panas itu, Bun Beng ikut pula keluar, akan tetapi tidak lupa ia membawa sepasang pedang, kitab dan satu stel pakaian! Ketika ia lewat di depan kursi besar, ia menjura ke arah kera tua sambil berkata, “Kakek kera, terima kasih atas pemberian benda-benda pusaka ini.”

Kera itu menyeringai dan mengang­guk! Agaknya kera ini seperti mendapat firasat bahwa memang bocah itu berjo­doh dengan benda-benda itu, ataukah memang dia telah menerima pesan dari orang yang meninggalkan benda-benda itu agar kalau ada orang datang dan mengambil benda-benda itu berarti te­lah berjodoh! Tidak ada yang tahu kare­na kera itu hanya pandai meniru berpa­kaian, tidak pandai bicara!

Bun Beng mulai tekun membaca ki­tab kuno dan mempelajari isinya. Namun amat sukar baginya untuk mengerti isi­nya karena memang ilmu silat yang di­ajarkan di dalam kitab itu adalah ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dan tak mungkin dapat dimengerti begitu saja oleh Bun Beng yang masih belum ada pengalaman. Namun, karena pada dasarnya dia memang rajin dan berhati keras, biarpun tidak mengerti, dia tetap membaca bahkan menghafalkan huruf-huruf yang tertulis dalam kitab itu sam­pai hafal di luar kepala! Memang demi­kianlah cara orang jaman dahulu mem­pelajari kitab. Anak-anak semenjak me­ngenal huruf diharuskan membaca kitab-kitab pelajaran Nabi Khong-hu-cu yang amat sukar dimengerti anak kecil. Na­mun, anak-anak itu dengan rajin mengha­fal sehingga ada yang sampai hafal di luar kepala akan semua ujar-ujar dalam kitab suci tanpa mengerti makna yang sesungguhnya! Hal ini sama sekali bukan tidak ada faedahnya, karena di samping memperkaya perbendaharaan kata-kata dan huruf-huruf yang banyak jumlahnya, juga hafalan ayat-ayat itu kalau si anak sudah dewasa, perlahan-lahan akan dapat dimengertinya dan yang terpenting diujudkan dalam praktek hidupnya.

Dua bulan kemudian, ketika Bun Beng sedang menyambung-nyambung ku­lit harimau dan ujungnya ia ikat dengan tali pohon yang kuat, ia mendengar ka­wanan kera berteriak-teriak di tepi te­bing yang curam. Dia tidak tertarik dan melanjutkan pekerjaannya. Bun Beng kini sudah memakai pakaian, yaitu pakai­an yang dibawanya dari ruangan dekat sumber air panas. Dia sedang mencoba untuk membuat sayap tiruan. Sudah la­ma ia bercita-cita menuruni tebing yang amat curam itu, akan tetapi jangankan dia, bahkan kawanan kera itu saja tidak ada yang berani menuruni tebing yang demikian terjalnya. Jalan satu-satunya hanyalah “terbang” turun dan timbullah akalnya ketika ia menyaksikan burung-burung dengan enaknya naik turun me­layang-layang di dekat tebing yang cu­ram. Kalau saja dia dapat terbang melayang seperti burung-burung itu! Keingin­an inilah yang membuatnya pada saat itu bekerja keras. Dia sudah mencoba dengan memegangi keempat ujung kulit harimau meloncat dari atas pohon dan kulit harimau yang terbuka itu menahan peluncuran tubuhnya sehingga ia dapat hinggap di atas tanah dengan lunak! Ki­ni ia hendak membuat “sayap” yang be­sar dengan menyambung-nyambung kulit harimau dan mengikat keempat ujungnya dengan tali yang kuat. Dengan “sayap” ini dia hendak memerikaa keadaan di bawah tebing karena sering ia melihat bayangan-bayangan bergerak di bawah jauh sekali, seperti bayangan manusia! Juga beberapa kali dia melihat burung besar sekali terbang ke bawah tebing itu. Mungkin sekali dia akan dapat kem­bali ke dunia ramai kalau bisa menuruni tebing itu. Adapun tebing-tebing yang lain semua buntu, merupakan jurang-jurang yang tiada habisnya.

Setelah sayap tiruan itu jadi dan mendengar kawanan kera itu makin ri­but, ia tertarik juga den cepat ia meng­hampiri. Kera-kera itu melihat ke bawah sambil menunjuk-nunjuk. Bun Beng juga memandang dan tampak olehnya jauh di bawah sana, banyak bayangan-bayangan atau titik-titik yang bergerak-gerak. Ter­jadi perang di bawah sana! Dia tidak dapat memandang tegas dan ia menduga-duga apakah mata kawanan kera itu da­pat memandang lebih jelas?

Inilah saat untuk “terbang melayang” turun, pikirnya. Bergegas ia lalu meng­ambil kitab kuno yang ia masukkan di balik bajunya, menyimpan pula sepasang pedang di balik baju di punggung, kemu­dian ia mengikatkan tali tiga ujung ke pinggang dan memegangi tali ke empat dengan tangan kiri.

Melihat Bun Beng mendekati tepi tebing membawa “sayap” aneh itu, kera-kera menjadi bingung. Mereka itu lalu memekik-mekik katika Bun Beng tiba-tiba meloncat dari pinggir tebing yang amat curamnya. Ada yang menutupi muka, ada yang menjerit-jerit akan tetapi ada pula yang menari-nari! Bun Beng yang sudah nekat itu merasa beta­pa tubuhnya meluncur ke bawah lalu tertahan, pinggangnya sakit karena tali-tali yang mengikat pinggang menegang, akan tetapi dia girang sekali karena mendapat kenyataan betapa “sayap” di atasnya mengembang!

“Selamat tinggal, kawan-kawanku yang baik!” Ia melambai ke atas dan melihat betapa kera-kera baboon itu makin lama makin kecil sedangkan tubuhnya terus meluncur perlahan ke bawah. Tiba-tiba “sayapnya” terguncang oleh angin. Celaka, pikirnya. Mudah-mudahan tidak ada angin kencang yang akan menghancurkan “sayapnya” dan menghempaskan ke batu karang yang menjadi dinding tebing cu­ram itu. Untung baginya, angin tidak kencang dan tak lama kemudian ia su­dah dapat melihat orang-orang yang ber­ada di bawah. Dan dugaannya ketika berada di atas tebing tadi ternyata tidak meleset. Dia melihat orang-orang sedang bertempur di bawah itu. Dari atas ia melihat belasan orang laki-laki yang tampan dan gagah, semua berpedang sedang sibuk menahan amukantiga orang yang rambutnya riap-riapan dan bersen­jatakebutan . Ilmu silat tiga orang ini hebat buikan main sehingga biarpun orang-orang gagah berpedang itu lebih be­sar jumlahnya, namun mereka terdesak hebat, bahkan banyak yang sudah terlu­ka. Namun, dengan semangat gagah me­reka itu terus mempertahankan diri. Se­orang di antara belasan orang gagah itu yang bertubuh tinggi, dan yang tampak­nya paling lihai memutar pedang mena­han amukan seorang di antara tiga lawan bersenjata kebutan yang lihai itu. Kebut­an di tangan Si Brewok yang rambutnya panjang itu kecil saja, namun kakek yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini menggerakkan kebutan secara istime­wa sehingga senjata kecil ini berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung yang mengancam tubuh orang gagah itu dari delapan penjuru! Tiba-tiba orang tinggi itu berseru kaget ketika pedang­nya kena digulung kebutan dan teram­pas. Pedang terlepas dari tangannya dan agaknya dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dari cengkeraman maut melalui kebutan. Pada saat itu, dia melihat tu­buh Bun Beng yang melayang-layang tu­run, maka terdengarlah seruannya de­ngan wajah girang.

“Thai-song.... tolonglah kami....!”

Seruan ini disusul oleh pekik-pekik kegirangan dari orang-orang gagah yang sedang terdesak dan Bun Beng mende­ngar teriakan-teriakan mereka.

“Cee-thian Thai-seng datang meno­long kita....!”

“Dewa kita Kauw Cee Thian datang!”

“Benar! Dia tentu penjelmaan Sun Go Kong....!”

Bun Beng terbelalak keheranan. Be­narkah mereka itu menganggap dia Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong, juga dise­but Cee-thian Thai-seng tokoh dongeng raja kera yang maha sakti dalam dongeng See-yu-ki? Hampir ia tertawa bergelak, akan tetapi melihat wajah mereka yang berseri penuh harapan dan melihat mere­ka dalam keadaan terancam itu tidak mungkin main-main, timbul kenakalannya. Bun Beng yang mengerti bahwa tentu dia disangka seorang “manusia bersayap” lalu mengeluarkan pekik melengking yang agaknya terdengar amat nyaring oleh orang-orang di bawah itu. Tiga orang berambut panjang yang riap-riapan itu memandang dan wajah mereka berubah pucat.

“Ihhh....! Siluman di siang hari....!” Mereka berseru kemudian mereka berke­lebat pergi melarikan diri terbirit-birit karena ngeri dan takut melihat siluman terbang itu!

Setelah melihat tiga orang itu melarikan diri, baru sekarang Bun Beng melihat dengan hati penuh kengerian beta­pa tubuhnya meluncur turun dan tanah di bawah seolah-olah mulut raksasa be­sar yang akan mencaploknya. Saking nge­rinya, dia meneruskan jeritannya meleng­king, akan tetapi sekali ini bukan jerit pura-pura untuk menakuti orang, melain­kan jerit sungguh-sungguh. Untung ia masih ingat untuk mengembangkan ta­ngannya yang memegang tali sehingga “sayap” itu terbuka lebih lebar, menam­pung hawa menahan peluncuran tubuh­nya. Biarpun demikian, masih saja dia terbanting dan tentu dia akan terluka kalau saja dia tldak cepat mengguling­kan tubuhnya sampai terguling-guling dan baru dapat meloncat berdiri dengan ke­pala pening dan mata berkunang. Akan tetapi, ia tertegun menyaksikan belasan orang gagah itu telah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepadanya, tidak berani mengangkat muka memandang!

Bun Beng mengerutkan alisnya. Gila­kah orang-orang ini? Ataukah dia yang sudah gila?

“Hamba sekalian menghaturkan ba­nyak terima kasih, bukan saja karena pertolongan Thai-seng, terutama sekali karena Paduka sudah sudi memperlihat­kan diri kepada hamba sekalian.”

Hampir saja Bun Beng tertawa kalau tidak melihat sikap mereka yang penuh kesungguhan. Ia sukar untuk memperca­ya apa yang dilihatnya dan didengarnya. Mereka berjumlah sembilan belas orang, tua muda, laki-laki semua dan rata-rata bersikap gagah. Mengapa orang-orang gagah ini bersikap begini aneh dan menganggap dia sebagai penjelmaan Sun Go Kong Si Raja Kera dalam dongeng See-yu?

“Cuwi sekalian telah saiaa sangka. Aku sungguh mati bukan; Sun Go Kong, metainkan aecrcang anak bfasa she Gak bernama Bun Beng. Harap Cu-wi suka berdiri dan jangan berlutut membuat aku merasa canggung dan malu saje.”

Orang bertubuh tinggi yang bicara tadi, yang ternyata edalah pemimpin rombongan orang: itu, mengangkat muka, demikian pula kawan-kawannya, meman­

dang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh keraguan dan agaknya tidak percaya akan kata-kata Bun Beng sehing­ga mereka masih tetap berlutut.

Bun Beng menunduk dan memandang tubuhnya sendiri, lalu tertawa. Memang pakaiannya amat aneh, dart kaln kuning yang tidak berlengan berkaki, hanya membungkus dari leher ke paha, apa­lagi dia         bersayep”! Sambil tertawa ia menanggalkan sayap tiruan itu dan berkata,

“Lihatlah baik-baik, Cu-wi. Aku ada­lah seorang anak biasa yang meloncat
dari atas sana menggunakan sayap tiru­an dari kulit harimaul Aku bernama Gak Bun Beng dan siapakah Cu-wi? Berdiri­lah agar kita dapat bicara dengan- enak.”Kini sembilan belas orang itu bang­kit berdiri dan memandang Bun Beng
dengan penuh keheranan, kekaguman dan tidak percaya. Bagaimana mungkin mere­ka dapat percaya bahwa anak itu adalah seorang anak biasa saja padahal mereka tadi menyaksikan sendiri betapa anak itu muncul seperti seorang dewa dan

telah berhasil membuat tiga orang la­wan mereka lari tunggang langgang tan­pa melakukan gerakan apa-apa? Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka mau juga percaya akan keterangan Bun Beng dan mereka kini memandang. kagum sekali. Biarpun, bukan Sun' Go Kong, anak ini adalah seorang anak luer biasaµ dan telah “me­nyelamatkan” nyawa mereka yang tadl terancam maut. Orang ttnggi besar ltu menjura dan berkata,

“Harap Siauw-enghiong (Pendekar Cl­lik) suka memaafkan kami yang salah menduga. Betapapun juga karena engkau datang dari atas sana, kami yakin bah­wa engkau tentu bukanlah seorang anak sembarangan, apalagi engkau telah me­nyelamatkan kami sembilan belas orang saudara. Terimalah rasa syukur dan teri­ma kasih kami. Gak-enghiong, den mu­dah-mudahan kami akan berkesempatan membalasnya.”

Bun Beng menjadi malu melihat sikap orang-orang itu yang amat sopan dansungkan. Ia balas menjura dan berkata,

“Harap Cu-wi jangan bersikap sungkan. Aku sama sekali tidak merasa telah me­nolong kalian. Menghadapi tiga orang liar yang lihai itu, aku seorang bocah bisa berbuat apakah? Hanya kebetulan saja kehadiranku mengejutkan dan menakutkan mereka. Siapakah mereka itu dan menga­pa menyerang Cu-wi? Siapa pula Cu-wi yang tinggal di tempat sunyi ini?”

“Panjang ceritanya, Gak-inkong (Tu­an Penolong Gak). Karena engkau ada­lah seorarng penolong, bagimu tidak ada yang dirahasiakan lagi. Akan tetapi ma­rilah kita bersama kami ke tempat ting­gal kami agar kita dapet bicara dengan leluasa.”

Bun Beng lalu neengikuti mereka me­nuju ke tempat tinggal mereka yang ternyata terdiri dari guha-guha besar yang banyak terdapat di kaki guaung itu. Guha-guha itu mereka jadikan tem­pat tinggal, juga sekaligas merupakan tempat perlindungan yang kuat karena jalan masuk gua itu tertutup oleh pintu besi yang kokoh kuat.

Bun Beng mendapat penghormatan yang sungguh-sungguh dari sembilan be­las orang itu agaknya menganggap hu­tang budi sebagai hal yang amat pen­ting. Anak ini sampai merasa canggung dan tidak enak hati, akan tetapi dia terpaksa menerima keramahan mereka, menerima dan memakai pakaian yang me­reka beri kemudian bersama mereka ma­kan minum sambil mendengarkan penuturan Si Jangkung yang bernama Ciu Toan dan menjadi pemimpin mereka itu. Ciu Toan yang menganggap Bun Beng seba­gai tuan penolong dan penyelamat nya­wa mereka, menceritakan semua keada­an mereka, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik akan tetapi juga ter­heran-heran karena di dalam penuturan Ciu Toan banyak terdapat hal yang aneh-aneh.

Sembilan belas orang gagah itu, bu­kanlah orang-orang sembarangan, melain­kan orang-orang yang pernah menggem­parkan dalam perang terakhir melawan pemerintah Ceng yang dikuasai oleh bangsa Mancu. Nama mereka amat terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gigih dan gagah perkasa, dan pada waktu itu, me­reka masih bergabung dalam sebuah pa­sukan kecil yang terkenal dengan nama Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang. Me­reka dahulu berjumlah tiga puluh orang yang di antaranya adalah saudara-sauda­ra kandung, saudara-saudara misan yang semua mengangkat saudara dan bersum­pah untuk bersama-sama sekuat tenaga menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika pertahanan terakhir terhadap ba­la tentara Mancu di Se-cuan hancur dan daerah ini jatuh pula ke tangan Pemerin­tah Ceng, pasukan kecil yang terkenal gagah perkasa ini pun mengalami kehan­curan. Dari jumlah tiga puluh orang ha­nya tinggal sembilan belas orang saja. Karena tak dapat bertahan lagi mengha­dapi bala tentara Mancu yang amat be­sar dan kuat, mereka terpaksa melari­kan diri. Sepak terjang mereka selama perlawanan menghadapi bala tentara Ceng sedemikian hebat dan terkenalnya sehingga setelah daerah itu ditundukkan, Pemerintah Ceng lalu mencari sisa-sisa Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang ini.

Tentu saja untuk menangkap dan meng­hukum mereka yang telah mendatangkan kerugian banyak terhadap pasukan-pasu­kan Mancu. Sembilan belas orang ini menjadi orang-orang buruan yang terpak­sa menyembunyikan diri. Karena penge­jaran dan pencaharian dilakukan oleh orang-orang pandai yang diutus oleh Ke­rajaan Mancu, maka sembilan belas orang yang dipimpin Ciu Toan itu akhirnya bersembunyi di kaki gunung itu dan sudah hampir dua tahun mereka tinggal di tempat itu.

“Cu-wi adalah orang-orang gagah per­kasa, mengapa tadi bersikap begitu aneh dan menganggap aku sebagai Sun Go Kong?” Tanya Bun Beng yang merasa kagum sekali terhadap orang-orang itu yang biarpun kalah perang tetap tidak mau tunduk kepada pemerintah penjajah.

Ciu Toan menjadi merah mukanya, akan tetapi ia menjawab juga, “Kami.... kami menjadi pemuja-pemuja Dewa Sun Go Kong setelah berada di sini, dan.... tadinya kami mengira bahwa kembali be­liaulah yang telah menyelamatkan kami seperti yang terjadi dua tahun yang lalu.”

Bun Beng membelalakkan matanya. “Apa? Benarkah Cu-wi pernah diselamat­kan oleh.... oleh.... Raja Kera Sun Go Kong?”

Dengan alis berkerut dan wajah sung­guh-sungguh Ciu Toan berkata, “Memang sukar dipercaya bagi yang tidak mengala­minya sendiri. Dewa Sun Go Kong diang­gap sebagai tokoh dongeng, akan tetapi kami percaya bahwa beliau memang ada dan di puncak tebing penuh rahasia itu­lah tempat pertapaannya. Kami sudah mengalaminya sendiri,” Kemudian Ciu Toan menceritakan pengalaman mereka dua tahun yang lalu, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik sekali.

Ketika sembilan belas orang buruan itu baru beberapa hari tinggal di situ dan sedang sibuk membuat tempat ting­gal di guha-guha, pada suatu pagi mere­ka diserbu dan dikepung oleh segerom­bolan perampok yang memang sebelum mereka datang menguasai daerah kaki pegunungan itu. Jumlah para perampok ada lima puluh orang lebih dan terjadi­lah pertempuran hebat yang mengancam keselamatan sembilan belas orang ini. Mereka melakukan perlawanan gigih, karena keahlian mereka adalah berperang, sedangkan dalam pertandingan perorang­an ilmu kepandaian mereka tidak terla­lu luar biasa, maka mereka terdesak hebat oleh para perampok yang berte­kad membunuh semua orang yang mere­ka anggap hendak merebut wilayah ke­kuasaan para perampok itu. Dalam kea­daan terdesak dan banyak di antara me­reka telah terluka, tiba-tiba dari atas tebing menyambar batu-batu kecil yang merobohkan para perampok itu. Anehnya, batu-batu kecil ini tidak mengenai para bekas pejuang, dan yang mengenai tubuh para perampok tidak sampai membunuh mereka, hanya tepat mengenai jalan darah yang membuat para perampok tergu­ling dan lumpuh untuk sementara. Para perampok menjadi panik karena mereka diserang secara aneh oleh lawan yang tidak dapat mereka lihat. Apalagi kalau mereka ingat bahwa dari tempat setinggi itu sampai penyerangnya tidak tampak, orang dapat merobohkan mereka yang sedang bergerak dan bertempur dengan kerikil-kerikil kecil yang mengenai jalan darah, dapat dibayangkan betapa sakti­nya si penyambit batu-batu kecil! Karena jerih, para perampok melarikan diri dan semenjak itu tidak berani lagi datang mengganggu para bekas pejuang.

Ciu Toan dan teman-temannya meng­obati luka yang mereka derita dan mere­ka pun merasa heran sekali. Mereka mencoba untuk mendaki tebing karena merasa yakin bahwa di puncak tebing tentu tinggal seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi terpaksa mereka mengurungkan niat ini karena tebing itu tidak mungkin didaki, terlalu terjal, tinggi dan licin sekali. Mereka hanya berhasil mendaki sampai seperem­pat saja dan terpaksa menghentikan usa­ha mereka. Akan tetapi, selagi mereka beristirahat dengan peluh bercucuran, mereka melihat bayangan seperti bayang­an manusia berloncatan mendaki tebing itu dengan kecepatan luar biasa sekali.

“In-kong (Tuan Penolong).... harap su­di menemui kami....!” Mereka berteriak-teriak, namun bayangan itu sebentar sa­ja lenyap di puncak tebing. Kemudian terdengar suara dari atas, lirih saja na­mun amat jelas terdengar oleh mereka.

 “Turunlah kalian, tidak boleh naik ke sini!”

Karena memang mereka merasa ti­dak mungkin dapat mendaki tebing tanpa dilarang sekalipun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena terheran-heran menyaksikan ba­yangan tadi. Seorang manusia, betapa pun pandainya, mana mungkin mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang saja? Dan suara dari atas itu, seolah-olah orangnya berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa penjaga gunung yang te­lah menolong mereka. Dan selagi mere­ka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni lereng tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru kaget sambil me­nuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang dan melihat seekor kera be­sar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir puncak tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua ta­ngan seolah-olah menyuruh mereka ce­pat turun!

Ciu Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mere­ka tidak meragukan lagi bahwa kera be­sar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau bukan Sun Go Kong yang me­miliki kesaktian sehebat itu? Di dunia ini mana ada kera yang berpakaian pen­deta yang sakti luar biasa dan yang da­pat mengeluarkan kata-kata seperti ma­nusia? Kecuali Sun Go Kong!

Demikianlah, sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing tinggi itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyer­bu, mereka semua itu lari ketakutan karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu kecil dan bahkan pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang me­lumpuhkan mereka! Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Il­mu Silat Kera Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi andalan mereka untuk menjaga diri!

“Demikianlah Gak-inkong, maka keti­ka engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong kami. Sungguhpun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap per­caya bahwa Sun Go Kong berada di pun­cak tebing itu.” Ciu Toan mengakhiri ceritanya yang amat luar biasa itu.

“Bolehkah aku melihat kitab kecil itu?” Bun Beng bertanya.

“Tentu saja.” jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu. Bun Beng ha­nya melihat tulisan pada halaman perta­ma yang berbunyi “Sin-kauw-kun-hoat” dan kini dia merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab “Sam-po-cin-keng” yang dimilikinya. Dia sekarang mengerti bahwa yang menolong para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang tinggal di sumber air panas, dan agaknya yang tampak oleh mereka ada­lah kera tua yang berpakaian pendeta dan yang sekarang, entah mengapa mungkin karena tuanya, telah lumpuh! Akan tetapi, melihat kesungguhan mere­ka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau membuka rahasia itu dan diam saja.

“Dan tiga orang berambut riap-riap­an yang menyerang kalian itu siapakah?”

“Kami sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami,” jawab Ciu Toan. “Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi.”

“Thian-liong-pang?” Bun Beng terke­jut dan teringat akan pengalamannya di muara Huang-ho. Dia pun tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang. “Mengapa mereka datang menyerbu? Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?”

Ciu Toan menggeleng kepala. “Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apa­pun juga. Mereka datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, ya­itu hendak menarik secara paksa agar kami suka masuk menjadi anggauta Thian-liong-pang.”

“Aneh sekali!” Bun Beng berkata.

“Memang Thian-liong-pang kini terke­nal sebagai perkumpulan yang kuat, me­miliki tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa orang-orang kang-ouw menjadi anggauta mereka, bahkan kadang-kadang menculik ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!”

“Sungguh luar biasa!” Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita can­tik tokoh Thian-liong-pang yang dijum­painya di muara Huang-ho itu.

“Betapapun aneh dan luar biasa, na­mun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang anak kecil bersikap seperti eng­kau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing! Engkau.... engkau tentu.... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?”

Bun Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa saja, hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu ceri­ta ini akan merupakan cemohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa karena orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun Go Kong? Ber­terus terang tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana?

“Cu-wi-enghiong dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu yang merantau tanpa tuju­an dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing. Karena aku tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhir­nya aku mendapatkan akal, meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang ke bawah sini.”

Orang-orang itu memandangnya tak percaya. “Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan dari kulit harimau!”

Bun Beng tersenyum dan menjawab, “Aku mempunyai sedikit kepandaian un­tuk merobohkan dan membunuh bebera­pa ekor harimau.”

“Hebat...., hebat....! Inkong tentu mu­rid seorang sakti!” Mereka memandang kagum.

“Memang guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia.” Bun Beng mena­rik napas panjang, hatinya memang ber­duka kalau mengingat akan gurunya, ju­ga merasa sakit hati atas kematian su­hunya yang amat mengerikan.

“Bolehkah kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?”

“Mendiang Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai.”

“Ajhhh....! Kiranya Inkong murid ka­kek yang sakti itu?” Orang-orang itu menjadi makin kagum dan gembira seka­li dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat. “Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya Inkong di sini kami me­rasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang.....” Tiba-tiba Ciu Toan ber­henti bicara dan mukanya berubah.

“Dua puluh lima orang?” Bun Beng mencela. “Kulihat hanya ada sembilan belas orang. Mana yang enam orang lagi?”

Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja. “Kami.... kami tadinya.... bersi­sa dua puluh lima orang, akan tetapi sa­yang.... enam orang telah meninggal du­nia di sini....” Ia pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram. Biarpun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kema­tian enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka cerita­kan kepada orang lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.

Bun Beng yang tidak tahu harus per­gi ke mana, menerima penawaran mere­ka dan dia tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini daripada tinggal di atas dan menjadi “seekor” di antara sekumpulan kera itu, pikirnya. Dia mendapatkan sebuah kamar di guha dan di situ dia menyimpan se­pasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sa­wah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki gunung.

Akan tetapi beberaga hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepa­da Bun Beng untuk mencari “akar obat-obatan”. Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka menolak. “Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak boleh kami minta bantuan siapapun juga.” kata Ciu Toan.

“Mengapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang kalian cari?”

Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mere­ka muram dan seperti orang ketakutan. “Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang ini. Harap suka menung­gu di sini, kami hanya akan pergi sela­ma tiga hari.”

Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergi­lah kesembilan belas orang itu, memba­wa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Se­telah pada hari ke tiga dia tidak meli­hat mereka kembali, Bun Beng kehabis­an kesabarannya dan dia pun meninggal­kan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang lalu. Hari masih pagi ke­tika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Silu­man. Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pende­kar Siluman merupakan idam-idaman ha­tinya. Ia kagum dan tertarik sekali kepa­da pendekar kaki buntung itu. Jantung­nya makin berdebar keras ketika ia me­lihat burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena ja­raknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang memi­liki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar Siluman?

Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sem­bilan belas orang bekas pejuang dan ki­ni ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana burung itu beterbangan di atas­nya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi.

Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan merasa heran sekali. Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan di depan mereka berjajar sepuluh buah ke­ranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka laku­kan itu? Ciu Toan berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan. Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa bu­rung itu bukanlah garuda putih tunggang­an Pendekar Siluman, bahkan tampak pu­la olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung besar itu adalah se­orang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah memberi kesempat­an kepada penunggangnya untuk menje­nguk ke bawah karena ia terbang miring, kemudian membubung lagi sambil me­nyambar dua buah keranjang dengan ke­dua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih tetap berlutut dan Bun Beng masih ber­sembunyi memandang dengan jantung berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?

Tak lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang di atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain. Empat ekor burung itu menu­kik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi akar dan daun-daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keran­jang yang diterbangkan sedangkan sebu­ah keranjang lagi yang isinya hanya se­dikit, hampir kosong, tidak diangkat per­gi.

“Kenapa hanya sembilan keranjang yang sebuah kosong?” Tiba-tiba terdengar bentakan dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang du­duk di atas punggung rajawali.

Sembilan belas orang itu menjadi pu­cat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.

“Maaf.... kami.... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan te­tapi karena setiap tiga bulan diambil te­rus, hasilnya makin kurang dan hanya mendapatkan sembilan keranjang....”

“Bohong! Malas!” Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga Bun Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah. “Kalian bera­ni menentang dan membantah perintah kami? Tidak cukup murahkah nyawa ka­lian semua ditebus dengan akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali? Siapa yang bertanggung jawab akan ke­kurangan ini?”

Sembilan belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat menjawab hanya menggumam­kan kata-kata mohon maaf.

“Diam semua!” Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. “Siapa yang bertanggung jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman dari kami?”

Tiba-tiba Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia mene­ngadah memandang anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berka­ta nyaring, “Aku, Ciu Toan, yang ber­tanggung jawab atas kekurangan ini, sau­dara-saudaraku tidak ada yang bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!”

Anak itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Nah, kalau begitu, menunggu apalagi? Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali mero­bek-robek perutmu?”

“Tidak! Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan sau­dara-saudaraku, biarlah saat ini aku me­nerima hukuman!” Tiba-tiba Ciu Toan mencabut pedangnya dan langsung menggorok leher sendiri!

“Ciu-twako....!” Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah, sedangkan para bekas peju­ang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh Ciu Toan ter­huyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!

“Keparat! Setan....!” Bun Beng menge­pal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh masih terdengar gema su­ara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak, menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan.

“Kalian ini orang-orang gagah ma­cam apa? Mengapa tidak bangkit mela­wan bocah setan yang menunggang bu­rung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri? Apa artinya ini semua?” Bun Beng membanting-banting kakinya dengatn marah.

“Sssttt.... In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah Ciu-twako dan nanti kami akan ceritakan semua.” jawab seorang di anta­ra mereka dengan sikap takut-takut. Biarpun Bun Beng marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun terpaksa dia menurut karena mereka itu tidak ada yang mau menjawab perta­nyaannya. Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara se­kedarnya, Bun Beng mendengar penutur­an delapan belas orang itu.

“Agaknya Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan dari Majikan Pulau Nera­ka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang mampu menolong.....” ka­ta mereka sambil menarik napas dengan muka berduka sekali.

“Pulau Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?”

Orang tertua dari para pejuang itu mengangguk. “Sudah amat lama terjadi­nya. Ketika kami mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggauta Pulau Neraka yang membutuhkan akar jin-som dan daun pencuci darah yang banyak terdapat di hutan itu. Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang dan kami keroyok, pada waktu itu ju­mlah kami masih dua puluh lima orang, dia terluka dan melarikan diri. Akan tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang tokoh Pulau Neraka yang bermu­ka kuning, kami dikalahkan dan dipaksa menukar nyawa dengan penyerahan sepu­luh keranjang akar dan daun obat setiap tiga bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah dua kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat sukar mengumpulkan akar dan daun obat seki­an banyaknya. Tiga orang saudara kami tewas tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua orang terpaksa membunuh diri seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang Ciu-twako yang mengorbankan diri.”

Bun Beng mengepal tinjunya, penasar­an sekali. “Mengapa kalian tidak mela­wan?”

Orang itu menggeleng kepala. “Mela­wan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami ti­dak berdaya sama sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan.­ Ciu-twako membunuh diri untuk meno­long saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi pemimpin, ten­tu akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya.....”

Bun Beng menggeleng-geleng kepala­nya. “Sungguh menjemukan kalau begitu, kenapa Cu-wi tidak pergi saja mening­galkan tempat ini?”

“Pergi ke mana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang pemerintah penjajah untuk menangkap kami,” jawab orang itu penuh duka.

Bun Beng bangkit berdiri dan meman­dang orang-orang itu dengan hati pena­saran. Dia masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat sikap orang-orang yang dianggap­nya gagah perkasa ini, hilang kesabaran­nya.

“Cu-wi sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut dikagumi, akan tetapi seka­rang mengapa begini..... pengecut? Se­orang gagah lebih mengutamakan kehor­matan daripada nyawa! Lebih baik mela­wan penindas sampai mati daripada membiarkan diri dihina dan ditindas se­perti yang dilakukan orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa lebih baik ma­ti sebagai seekor harimau daripada hi­dup sebagai seekor babi?”

Delapan belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah mu­ram, pemimpin baru mereka, yang tertua, berkata. “Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk negara dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu kapan dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak berdaya, melawan berarti mati semua. Kalau kami menak­luk, berarti hanya beberapa orang teran­cam bahaya mati, masih ada sisanya untuk menanti kesempatan melakukan perlawanan terhadap penjajah Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami hanya untuk urusan pribadi.”

Jawaban ini membuat Bun Beng ter­tegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-orang ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan karena mereka itu takut melawan bukan karena takut ma­ti, melainkan takut kalau mereka mati dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah menjadi cita-cita hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia me­ngatur persiapan untuk menghadapi bo­cah penunggang rajawali dari Pulau Nera­ka yang dibencinya itu.

Diam-diam Bun Beng menyembunyi­kan sepasang pedangnya ke dalam sebu­ah guha kecil yang tidak dipakai, menu­tup guha dengan batu dan menanam rumput alang-alang di depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu dibakarnya. Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan de­lapan belas orang itu yang kini sibuk mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu penyetoran tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka. Tiga bulan kemu­dian ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di tempat biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya burung-burung rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun Beng telah berada di dalam sebuah di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia telah memasuki keran­jang yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena ia me­maksa mereka untuk diperbolehkan mem­bantu mereka ketika ia menyusul mere­ka ke hutan.

Bun Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan mengalami hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa. Dia telah melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil, orang-orang Pulau Neraka ikut pula memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa di antara ayah­nya yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan Pulau Neraka ten­tu ada hubungannya, karena ibunya se­orang tokoh Siauw-lim-pai, tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka. Kini, mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu datang dari Pulau Neraka tim­bul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, di mana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan obat-obatan de­ngan memeras dan menekan bekas-bekas patriot atau pejuang itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa perbuatannya amat berbahaya bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak merasa takut. Ka­lau bocah sombong dan angkuh itu bera­ni menunggang di punggung rajawali, mengapa dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di dalam keranjang akar obat?

Ketika menanti di dalam keranjang jantung Bun Beng berdebar keras, khawa­tir kalau-kalau ada di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang memeriksa keranjang. Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah ke­ranjang bahwa ke delapan belas orang itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak memperhatikan sepu­luh buah keranjang yang kini terisi penuh semua.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sa­yap di atas pohon-pohon. Burung-burung itu telah terbang datang! Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya dan menu­tupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar tegang. Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa terbang rendah di atas keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa isi keranjang dari tutup yang berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap terdengar makin keras, burung rajawali mulai menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang itu! Keranjang di mana Bun Beng ber­sembunyi mendapat giliran terakhir. Ha­tinya lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya terangkat dan terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membu­bung tinggi!

Agak pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan tetapi kalau teringat kepa­da anak yang menunggang rajawali terbang, ia menguatkan hatinya dan meng­gigit bibir. Entah berapa lama dia diter­bangkan dan kini dia tidak merasa pe­ning atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu ia “terbang” sendiri di atas tebing, tidaklah begini mengerikan karena dia dapat melihat sekelilingnya, tidak seperti sekarang men­dekam di dalam keranjang.

Tiba-tiba ia mendengar suara keras sekali dan baru ia tahu bahwa rajawali yang menggondol keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mende­ngar pula pekik rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki! Bun Beng ter­heran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok? Sa­king herannya, ia membuka tutup keran­jeng dan betapa kagetnya ketika me­nyaksikan pemandangan yang amat hebat. Di angkasa itu, anak laki-laki yang ang­kuh dari Pulau Neraka sedang bertan­ding melawan seorang anak perempuan sebaya yang menunggang seekor burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang dan ber­tanding mati-matian sambil saling mema­ki! Juga burung garuda itu membantu penunggang masing-masing, saling ber­tempur mempergunakan cakar dan paruh!

Tiba-tiba Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Silu­man mencari muridnya? Murid perempu­an? Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman! Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman oto­matis tertumpah kepada murid perempu­an pendekar itu, apalagi lawan anak perempuan itu adalah anak laki-laki yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sam­pai lupa menutupkan kembali tutup ke­ranjang, lupa bahwa keranjang yang di­dudukinya itu dicengkeram oleh kaki rajawali yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan pandai memaki!

“Iblis cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di tanganku!” Bentak anak perempuan itu.

“Ha-ha-ha, kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pe­dangku akan membuat kau terguling, dan tubuhmuakan hancur gepeng terban­ting ke bawah!” Anak laki-laki itu balas memaki.

“Mampuslah!” Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri mencengkeram bulu leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena tubuhnya condong ke depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan lawan.

“Tranggg!” Anak laki-laki itu menang­kis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang lawan dan langsung me­nikam dada!

“Celaka....!” Anak laki-laki itu berte­riak, lalu menggerakkan tubuhnya melon­cat ke kanan. Dalam kegugupannya menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas punggung raja­walinya yang sedang terbang, maka keti­ka ia meloncat ke kanan, otomatis tu­buhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!

Betapapun bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali, padahal tanah di bawah sedemi­kian jauhnya sampai hampir tidak tam­pak teraling awan! Akan tetapi, anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga rajawali tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan berhasil memegang kaki ra­jawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak perempuan itu marah dan kem­bali mendoyongkan tubuh ke depan untuk menusukkan pedangnya. Sambil bergan­tungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-laki itu menangkis.

“Cringgg!” Sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api ber­pijar.

Melihat kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnyamenghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak, akan tetapi paruh garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga banyak bulu burung rajawali membodol dan berham­buran melayang. Rajawali memekik dan terbang menjauh, dikejar oleh burung ga­ruda.

Agaknya melihat kawannya bertem­pur, rajawali yang mencengkeram keran­jang Bun Beng hendak membantu. Keti­ka garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam dari be­lakang, menggunakan kaki kiri dan pa­ruhnya karena kaki kanannya mencengke­ram keranjang terisi Bun Beng. Garuda putih tak sempat menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu dia harus menghadapi serangan balasan la­wannya yang marah. Melihat ini, anak perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung rajawali ini menggerakkan paruhnya me­nangkis.

“Trangg....! Aihhhh.... pedangku!” Anak perempuan itu berteriak marah dan ka­get karena pedangnya terpental, terle­pas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan awan.

Kini burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua ekor burung rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan tentu berhasil merontok­kan beberapa helai bulu lawan. Menyak­sikan kegarangan garuda ini, kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengeli­lingi dan mengancam. Kini anak laki-laki itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan yang sudah tak bersenjata lagi.

“Ha-ha-ha-ha, kuntilanak kecil! Eng­kau telah terkurung sekarang. Mana ke­garanganmu tadi? Hayo bersumbarlah se­karang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kaukira semua orang takut kepada penghuni Pulau Es? Ha, ha, mu­kamu sudah pucat! Betapapun juga, wajahmu manis sekali. Kalau kau menye­rah dan ikut bersamaku ke tempatku, aku akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku min­ta upah dan balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali di de­pan kakiku, menyebut aku Koko yang baik kemudian membiarkan aku menci­um kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan sahabatku dan.....”

“Tutup mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar aku mati, Suhu tentu akan mencari­mu dan merobek mulutmu serta membu­nuhi semua nenek moyangmu, kalau eng­kau begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan tempatmu?”

Gadis cilik itu terpaksa harus miring­kan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk menghindarkan diri dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu berhasil dia tangkis dengan tendangan mengarah pergelaingan tangan, namun anak laki-laki itu sudah cepat menarik kembali tangannya sambil menyeringai.

“Ha-ha-ha! Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan engkau menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia Gurumu, bukan? Ha-ha-ha, tunggu saja. Kelak pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau Es, termasuk Pendekar Siluman.”

“Keparat sombong! Aku tahu seka­rang! Engkau tentu seorang di antara anggauta Thian-liong-pang yang sombong!”

“Heh-heh-heh, boleh kauterka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!”

“Dia dari Pulau Neraka!” Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahan­nya lagi sehingga ia lµpa diri dan berte­riak.

“Hahh....?” Kini anak laki-iaki itu memandang dan baru tahu bahwa keran­jang terakhir itu bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi seorang anak laki-laki! “Kau.... siapa....?”

Sementara itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, “Aha, kiranya eng­kau keturunan orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!”

Bun Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah mu­rid Pendekar Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor rajawali membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan menghantam ke arah perut raja­wali yang membawa keranjangnya.

“Bukkk!” Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia mempelajari Sam po-cin-keng. Tenaga sin-kangnya bertambah kuat sekali berkat bertelanjang selama setengah ta­hun dan mempelajari ilmu silat yang mu­jijat. Begitu terkena hantaman ini, raja­wali memekik dan otomatis cengkeramannya pada keranjang itu terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia su­kar bernapas! Akan tetapi rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan Bun Beng, segera kabur terbang secepatnya. Ditinggalkan kawannya, burung rajawali pertama menjadi jerih, juga anak laki-laki itu agaknya menjadi jerih setelah rahasianya terbu­ka, maka ia menyuruh burungnya ter­bang pergi meninggalkan garuda dan anak perempuan yang menungganginya. Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha mengikuti keran­jang terisi anak laki-laki yang jatuh de­ngan pandangan matanya. Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap ditelan awan, maka ia menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang pergi juga dengan ce­pat sekali.

“Bibi Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!” Bisik anak perempuan itu kepada garudanya. Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, ada­lah Giam Kwi Hong, keponakan dan ju­ga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke Pulau Es di mana dia digembleng oleh pendekar sakti itu sebagai muridnya. Karena dia amat disa­yang oleh gurunya yang juga menjadi pa­mannya, dan karena semua penghuni Pu­lau Es juga sayang dan takut kepada­nya, maka Kwi Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani meninggalkan Pulau Es di luar tahu gu­runya. Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk meninggalkan pulau dan memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak besar akan beron­tak karena larangan itu justru menim­bulkan daya tarik dan gairah untuk me­ngetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong menunggang garuda betina putih meninggalkan pulau untuk “melihat-lihat”.

Garuda itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa le­lah setelah bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristi­rahat. Burung ini biarpun terlatih dan kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang bergerak menurutkan kebu­tuhan tubuhnya. Dia lelah dan harus ber­istirahat sebelum melanjutkan penerbang­an ke Pulau Es yang jauh.

Karena lelah kedua-duanya, baik ga­ruda itu maupun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari depan tampak dua titik hi­tam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong melompat turun dari pung­gung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di atas dan ternyata itu ada­lah dua ekor burung rajawali, ditung­gagi oleh anak laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu meluncur turun dan tak lama kemudian hinggap tak jauh dari situ.

Melihat bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan te­tapi wanita itu menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbeleng­gu kedua kaki dan paruhnya sehingga ti­dak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak dan tubuhnya meronta-ronta.

“Diam engkau!” Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, se­kali tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya lagi.

“Setan! Kau apakan burungku....?” Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.

“Inikah anak perempuan itu?” Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang cepat mengangguk.

“Dialah kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!” Berkata demikian, anak laki-laki itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang cepat mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak laki-laki itu.

“Engkau setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar kaubawa semua penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!” Kwi Hong balas memaki dan kini biarpun bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat. Setelah turun dari pung­gung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu lebih muda darinya, maka ke­beraniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap anak kecil?

Ilmu silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan paman atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia me­miliki sin-kang yang jauh lebih kuat dari­pada lawannya, di samping gerakan gin-kangnya yang membuat tubuhnya ringan dan gesit bukan main. Biarpun lawannya memegang pedang, namun setelah ber­tanding tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik penuh perhatian, kini dia mulai mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu sibuk memutar-mutar pedang­nya menjaga diri dari serangan yang datang bertubi-tubi dari segala pihak itu.

 “Mundur kau!” Tiba-tiba wanita can­tik itu mendorongkan tangannya dan tu­buh Kwi Hong terpental ke belakang. Dia marah sekali.

“Engkau siluman!” Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur, juga tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak memungkinkan dia lari ke manapun juga!

“Bocah liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?” Wa­nita itu bertanya, suaranya dingin sekali.

Kwi Hong mengangkat muka meman­dang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali, dengan se­pasang matanya yang lebar, bening dan bersinar tajam akan tetapi juga menge­rikan. Tubuhnya ramping dan padat, di­tutup pakaian yang serba hitam sehing­ga wajahnya yang sudah putih menjadi makin jelas warna putihnya. Diam-diam Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih su­su, bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putih­nya kapur!

“Benar, aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Seba­iknya engkau yang memiliki ilmu silu­man jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal.”

“Heh-heh, kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?” Anak laki-laki itu mengejek.

“Keng In! Diam engkau!” Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.

“Ah, jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau Neraka?”

Wanita cantik bermuka putih itu mengangguk.

“Tidak salah, akulah Majikan Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersama­ku ke Pulau Neraka”

“Aku tidak sudi!” Kwi Hong melotot dengan berani.

Wanita itu tersenyum dan makin he­ranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya yang putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh wajahnya. Cantik dan manis bukan main!

“Mau tidak mau harus ikut.”

“Ahh, tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai me­maksa seorang anak kecil? Kalau eng­kau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kaulawan Guruku, tentu da­lam sepuluh jurus engkau mati!”

“Anak, engkau menarik! Engkau pe­nuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih belum dapat mengatasi kega­lakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tidak pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?”

“Aku Giam Kwi Hong!”

Wanita itu mengerutkan kening. “Eng­kau masih mempunyai hubungan keluar­ga dengan Gurumu?”

Kwi Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga. “Benar! Nah, engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku ten­tu akan marah kepadamu.”

Kembali wanita itu tersenyum. “Me­mang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Silu­man berani datang ke Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!”

Kwi Hong hendak meronta dan meno­lak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan disam­but lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah dibawa mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali hitam dari sutera yang mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan totokannya pun bebas pula.

“Pulanglah engkau lapor majikanmu!” Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang agaknya maklum akan kelihai­an wanita itu karena dia memekik kesa­kitan lalu terbang ke arah timur. Wani­ta itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak laki-laki bernama Keng In yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya.

Dari atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah pulau di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menja­di lawan Pulau Es yang kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya. Setelah burung itu berada di atas pulau hitam, tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwar­na hijau gelap mendekati biru sehingga dari atas tampak hitam, apalagi karena di atas pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau. Kedua burung rajawali itu melun­cur turun dan setelah tidak begitu ting­gi tampak oleh Kwi Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang merupakan tebing-tebing batu karang, sedangkan secara aneh sekali ombak besar menghantam tepi pantai dengan dahsyat dari segala penjuru. Dia bergidik. Pulau yang buruk dan menyeramkan. Bagaimana mungkin ada perahu dapat mendarat di pulau ini kalau ombaknya demikian be­sar? Tentu perahu itu akan dihempaskan ke batu karang dan hancur lebur!

Kini tampak rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang hitam pula, atau dicat hitam? Dan begi­tu burung itu menukik turun dan hinggap di pekarangan sebuah rumah besar seper­ti istana, tampak banyak orang berlari­an datang menyambut.

Tiba-tiba Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak yang bernama Keng In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya yang mengaku Majikan Pulau Neraka itu wajahnya ber­warna putih seperti kapur, seperti dicat putih. Kini, orang-orang yang lari berda­tangan itu memiliki wajah yang berane­ka warna. Ada yang mukanya berwarna hitam seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu, hijau, kuning. Akan tetapi terbanyak adalah warna-warna yang gelap, sedangkan muka yang berwar­na terang, terutama yang kuning, tidak banyak. Tidak ada seorang pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita ibu Keng In itu.

“Hi-hi-hik! Alangkah lucunya. Me­ngapa kalian penghuni-penghuni Pulau Neraka mencat muka kalian? Apakah hari ini akan diadakan pesta dan pang­gung sandiwara dan kalian semua ikut bermain?”

Semua orang yang datang menyam­but To-cu mereka itu melotot mendengar ucapan ini. Seorang wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda sehingga warna ini amat menguntungkan karena menambah kecantikannya, bertanya.

“Twanio, siapakah bocah kurang ajar ini?”

Dari pandang mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini mewakili suara hati semua orang.

“Dia? Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman....”

Mendengar wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disuka­nya, Kwi Hong memotong cepat, “Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa ta­ding, To-cu dari Pulau Es yang terkenal di seluruh pelosok dunia!”

Akan tetapi ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena mendengar disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau Neraka sudah menjadi amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata me­reka jelas tampak betapa mereka itu terkejut dan jerih. Melihat ini, Kwi Hong melanjutkan kata-katanya.

“Awas kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini beserta seluruh penghu­ninya!”

Akan tetapi Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, “Kwi Hong, eng­kau anak kecil tahu apa? Tidak perlu membuka mulut besar karena aku senga­ja membawamu ke sini agar Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia akan mampu merampasmu kembali. Dan eng­kau bebas di sini, mau ke mana pun boleh.”

Kwi Hong cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita mukra putih itu. “Aku boleh pergi?”

Wanita itu tersenyum. “Silakan!”

“Terima kasih!” Kwi Hong lalu me­loncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan rumah itu.

“Biarkan dia pergi ke mana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar dia ti­dak sampai celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata rahasia. Begitu ada burung garuda muncul di atas pulau, sambut dengan anak panah dan senjata-senjata rahasia, terutama anak panah berapi. Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos masuk ke Pulau Neraka, aku sendiri yang akan menandinginya!”

Para penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua mere­ka. Mereka kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti sudah lama mereka dengar dan mereka rata-rata merasa jerih terhadap pendekar itu. Yang kelihatan tenang hanyalah Si Ketua dan beberapa orang yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka yang mukanya ber­warna kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat dilakukan siang malam, dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan dengan rapi.

Dengan hati girang Kwi Hong berlari keluar dari kelompok bangunan itu, me­masuki sebuah hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu demikian baik hati sehingga dia diperbolehkan per­gi begitu saja! Tiba-tiba ia berhenti ber­lari dan memandang terbelalak ke depan karena di depannya menghadang barisan ular yang berwarna merah dan hitam,bukan main banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka mengeluarkan suara mendesis-desis dan tampak uap hitam keluar dari moncong mereka! Kwi Hong meng­gigil dan cepat membelok ke kanan, akan tetapi di mana pun penuh ular, demikian pula di kiri. Terpaksa ia memutar tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Meli­hat sebuah hutan lain yang berdekatan, dia masuk dan hatinya lega karena ti­dak melihat ular seekor pun. Akan tetapi,hutan ini amat gelap dan tidak ada lo­rong bekas kaki manusia, maka ia ma­suk secara ngawur saja. Tiba-tiba terde­ngar suara mengaungyang makin lama makin keras. Suara itu seolah-olah datang dari segenap penjuru, membuat telinga­nya serasa akan pecah dan kepalanya pening. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba ia melihat ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan mengejarnya! Celaka, pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari begitu saja. Tentu akan mengejarnya dengan kecepatan ter­bang dan kalau dia dikeroyok, celaka! Ia membalikkan tubuhnya dan lari hen­dak keluar dari hutan. Akan tetapi beta­pa kagetnya ketika dia tidak tahu lagi mana jalan keluar. Lama ia berlari ce­pat dengan ribuan lebah terbang menge­jarnya, dan dia masih belum keluar dari hutan, bahkan mungkin tersesat makin dalam!

Ketika lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan wangi. Makin takutlah dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah binatang ber­bisa, jangankan dikeroyok begitu banyak. Disengat oleh seekor pun bisa berbahaya. Saking bingung dan gugupnya, ia tersan­dung dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah sudah mengiang di atas kepalanya sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong menggunakan kedua tangan menutupi ke­palanya. Kedua matanya dipejamkan dan hatinya mengeluh, “Mati aku sekarang!”

Akan tetapi, tiba-tiba suara itu meng­hilang berbareng dengan timbulnya suara melengking tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Ribuan ekor lebah berbisa itu benar-benar telah pergi dan tampak olehnya sesosok bayangan seorang laki-laki tua bermuka hijau pupus berkelebat pergi ke arah kiri. Dia mengerti bahwa tentu orang itu mengusir lebah dengan tiupan suling, maka ia pun mengikuti bayangan orang Pulau Neraka yang menolongnya itu. Benar dugaannya, orang itu meme­gang suling dan agaknya sengaja menan­ti dia karena beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal. Kira­nya jalan keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk. Laki-laki tua itu membelok ke kiri, ke kanan, sampai ber­ulang kali, ada kalanya seperti memutar dan bahkan mengambil arah yang berten­tangan dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti terus dan betapa girang serta he­ran hatinya ketika dalam waktu seben­tar saja dia sudah keluar dari hutan!

Akan tetapi kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat mengerti bahwa ten­tu kakek itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong dia, maka kembali ia merasa berterima kasih dan tidak me­ngerti mengapa Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu mula-mula menculik­nya kemudian kini membolehkan dia pergi malah menyuruh orang menolongnya dari bahaya maut. Dia berjalan terus, mengambil jurusan yang berlawanan dengan hutan-hutan yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang berbatu dan ke sanalah ia menuju. Biarpun batu-batu itu kelihatan hitam menyeramkan, namun dia tidak takut. Dia harus keluar dan pergi dari pulau ini.

Kakinya mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan men­daki pegunungan kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba di bagi­an yang paling tinggi, tampaklah air laut membentang luas jauh di depan ba­wah. Dari tempat itu kelihatan air laut tenang dan hanya di pantai tampak membuas putih. Hatinya menjadi girang, akan tetapi begitu ia mulai menuruni ba­tu-batu itu, tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara menggereng yang meng­getarkan batu karang yang diinjaknya. Ketika ia memandang ke bawah, ia ter­pekik dan mukanya menjadi pucat. Di depannya, di antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-biatang yang ben­tuknya seperti cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari dua meter sam­pai tiga meter. Ada ratusan ekor banyak­nya, baris memenuhi jalan di depannya, dengan mulut terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak gigi yang runcing mengerikan.

“Ohhhh....!” Kwi Hong cepat memba­likkan tubuhnya dan lari pergi dengan maksud mengambil jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu. Dilihat­nya daerah yang penuh dengan tanam­an menjalar dan kelihatannya bersih, tidak terdapat binatang-banatang buas.

Ke sinilah ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika kakinya menyentuh tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat dan tanaman itu seperti hidup! Ujung ranting-ranting tanaman yang lemas dan panjang itu seperti tangan-tangan setan menyergap­nya dan melibat seluruh tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah memiliki daya menempel dan menyedot.

Kwi Hong meronta-ronta, mengguna­kan kekuatan kaki tangannya untuk me­lepaskan diri, namun sia-sia karena lilit­an “tangan-tangan” tanaman itu makin erat saja. Dan dilihatnya tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah bergerak-gerak seolah-olah tanaman-tanaman itu hidup dan kini berusaha untuk melepas­kan diri dari tanah dan mengeroyoknya!

“Iiiihhh....!” Ia menjerit ketika sehelai di antara “tangan-tangan” itu merayap dan akan melilit lehernya.

Pada saat itu tampak berkelebat si­nar hitam, terdengar suara keras dan tanaman yang melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya. Begitu jebol, tannaman itu seolah-olah kehilangan te­naganya dan dengan mudah Kwi Hong melepaskan diri lalu meloncat menjauhi tanaman-tanaman berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit bagian tubuh yang terlilit tadi terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman itu pun mengandung racun jahat!

Dia tidak peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi, ha­nya dapat menduga bahwa tentu bayang­an itu yang tadi menolongnya. Dia lari cepat, ingin menjauhi tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini hanya tinggal satu jurusan lagi yang dapat ia ambil. Kembali ke belakang berarti kembali ke perkampungan penghuni. Ke kiri berarti memasuki hutan-hutan yang penuh bina­tang-binatang berbisa, di antaranya ular-ular dan lebah yang telah dijumpainya. Entah binatang-binatang berbisa menge­rikan apa lagi yang berada di situ, dia tidak mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti dia harus melalui tanaman-tanaman hidup itu atau binatang-bina­tang cecak raksasa! Kini dia berlari ke depan, satu-satunya daerah yang belum dilaluinya. Tampak dari atas daerah ini seperti daerah aman karena tidak tam­pak tanaman, tidak ada binatang hidup, melainkan pasir bersih yang terus membentang sampai ke laut. Itulah agaknya jalan keluar!

Betapa girang hatinya ketika ia su­dah menuruni pegunungan dan tiba di dae­rah pasir itu. Bersih tidak ada bahaya. Biarpun dia sudah lelah sekali dan napas­nya masih terengah karena merasa ngeri oleh pengalamannya tadi, namun dalam girangnya Kwi Hong tidak merasakan kelelahannya dan ia berlari terus, hen­dak mencapai tepi laut secepatnya. Pasir yang terbentang luas dan selalu tertim­pa sinar matahari itu terasa hangat dan lunak.

“Aihhhh....!” Tiba-tiba Kwi Hong men­jerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai selutut tingginya. Cepat ia berusaha menarik kaki kirinya yang ter­jeblos ini ke atas, akan tetapi begitu ia mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan pasir dan menarik kaki kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah, malah melewati lututnya! Ia terkejut sekali, mengerahkan tenaga un­tuk keluar. Akan tetapi, makin banyak ia mengeluarkan tenaga, makin dalam ke­dua kakinya amblas ke dalam pasir se­hingga setelah tubuhnya masuk ke pasir sampai pinggang, Kwi Hong diam tak berani bergerak lagi dan hanya meman­dang ke sekeliling dengan mata terbelalak seperti kelinci masuk perangkap! Keadaan sekelilingnya sunyi, yang ada hanya pasir dan terdengar lapat-lapat mendeburnya ombak di pantai depan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan ke­ras. Ia memutar tubuh atas dan terbela­lak memandang dengan hati penuh kengerian. Seekor binatang seperti anjing hu­tan datang berlari, matanya merah, mon­congnya menggereng-gereng dan binatang itulari ke arah dia terbenam di pasir! Tak dapat diragukan lagi niat yang ter­bayang di mata binatang itu, tentu akan menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula ke dalam pasir, hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini binatang itu melolong-lolong, meronta-ronta namun tubuhnya makin amblas ke bawah. Makin dalam sehingga yang tampak hanya lehernya saja. Binatang itu memandang kepada­nya dengan marah dan gerengannya ma­kin hebat. Seolah-olah terasa oleh Kwi Hong hawa panas yang menyembur dari mulut yang terbuka lebar itu. Kwi Hong hampir pingsan, matanya tak pernah berkedip memandang binatang itu yang ternyata adalah seekor anjing srigala yang berbulu hitam. Tubuh binatang itu makin amblas, lolongannya makin dah­syat dan akhirnya gerengannya berhenti karena kepalanya mulai terbenam, mu­lutnya kemasukan pasir, hidungnya, ma­tanya dan akhirnya yang tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih bergerak-gerak dalam sekarat. Akhirnya ke­dua ujung telinganya itu pun lenyap. Bi­natang itu telah ditelan pasir, tanpa me­ninggalkan bekas!

 “Tolong....!” Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa tubuhnya makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu. Ber­diri bulu kuduknya karena timbul dugaan­nya bahwa srigala itu telah menjadi se­tan dan kini setan penasaran itu mena­rik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat itu memang amat berbahaya daripada daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya lain tampak di de­pan mata, sedikitnya orang dapat men­jaga diri. Akan tetapi bahaya pasir ini tidak tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi, sekali orang terperosok ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan menyedot tubuh sampai terbe­nam di dalamnya dan tentu saja akan mati!

Karena panik dan tubuhnya mene­gang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam sampai ke dada! Tiba-tiba terdengar suara “wirrrr!” Dan sinar hitam menyambar, tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar dari pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik bermuka putih. Ma­jikan Pulau Neraka, telah berdiri kurang lebih sepuluh meter di sebelah kanan­nya dan menggunakan tali sutera hitam untuk membetotnya. Sebentar saja tubuh­nya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke depan kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.

“Ohhhh.... ahhhh....” Kwi Hong me­rangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di pinggangnya yang ramping sambil me­mandang kepadanya.

“Aku mengerti sekarang.....” Kwi Hong berkata marah. “Kiranya engkau tidak sebaik yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak akan dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermain­kan aku!”

“Sudah puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun belum tentu dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi baha­ya-bahaya yang lebih hebat daripada yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun, binatang-binatang sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya mengandung bisa maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur manusia hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kuta­han di sini untuk melihat apakah Guru­mu akan mampu merampasmu kembali.”

Kwi Hong bergidik, kemudian berku­rang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam dunia kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing datangnya lawan dengan pen­culikan seperti yang dilakukan atas diri­nya. Betapapun juga, ia harus mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik.

“Sungguh mengherankan. Kalau Pulau Neraka ini begini berbahaya, melebihi gambaran neraka sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?” Tanyanya sambil memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah warna pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan ini.

“Engkau takkan mengerti. Marilah ki­ta pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar bukan?”

Kwi Hong mengerutkan keningnya. “Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?”

“Engkau anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman....”

“Pendekar Super Sakti!” Kwi Hong memotong.

Wanita aneh itu tersenyum. “Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau be­bas, tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan senang sekali kalau engkau menja­di muridku, menjadi teman puteraku.”

“Aku tidak sudi! Terutama sekali ti­dak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar itu!”

Sejenak wanita itu mengerutkan alis­nya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarah­annya dan berkata. “Dia nakal dan man­ja, akan tetapi tidak kurang ajar. Mari­lah!”

Kwi Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat mengherankan. Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan tetapi sebentar saja mere­ka sudah tiba di depan gedung besar seperti istana yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-laki bernama Keng In itu datang berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan mengejek.

“Aha, engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!”

“Keng In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan meng­ganggu Kwi Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kau­ajak dia bermain-main dengan baik, akan tetapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai engkau mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan membela­mu!” Wanita itu berkata dan Keng In membelalakkan mata memandang ibunya seperti orang kaget dan heran karena selamanya ibunya tidak pernah menegur­nya dengan kata-kata keras, kemudian wajahnya menjadi muram dan kecewa, mulutnya merengut, akan tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih, “Baik, Ibu.”

Di dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau seka­rang, pikirnya! Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam saja dan tidak membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang menyeramkan itu, Kwi Hong tadinya tidak mengharapkan ma­kanan yang baik. Akan tetapi betapa heran dia dan juga girang hatinya keti­ka menghadapi meja, dia melihat hi­dangan yang serba lezat dan mahal! Ba­ru masakan ikan udang dan kepiting ser­ta penghuni laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum daging binatang darat dan sayur mayur yang serba leng­kap. Benar-benar seperti hidangan dalam istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak malu-malu, Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji ka­rena selain serba lengkap, juga masakan­nya amat enak, tidak kalah oleh masak­an di Pulau Es!

Sudah satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlaku­an yang baik, mendapat kamar di sebe­lah kiri, kamar ketuanya sendiri dengan pintu tembusan. Keng In tinggal di ka­mar sebelah kanan. Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak mengawasi sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mem­pertahankan apabila Suma Han datang! Namun Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana dia pergi, perlu ada yang diam-diam mengawasinya, ter­utama tokoh-tokoh muka kuning yang kedudukannya sudah tinggi.

Mentaati perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bah­kan setelah kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan itu dari Keng In. Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan, jumlahnya ada sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa sehingga hanya menta­ati perintah wanita majikan pulau, pute­ranya, dan empat orang tokoh muka ku­ning saja. Terhadap perintah lain orang, burung-burung ini tidak peduli, apalagi terhadap perintah Kwi Hong yang mere­ka anggap sebagai musuh! Maka lenyap­lah harapan Kwi Hong untuk dapat me­larikan dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu. Demikian ter­latih burung-burung itu sehingga mereka tidak mau menerima makanan yang dl­berikan Kwi Hong.

Pulau itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu ­adalah anak-anak dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di situ seolah-olah menjadi semacam “pangeran”. Betapapun juga, ada beberapa orang di antara me­reka yang menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan pula dengan Kwi Hong.

“Semua orang di sini mengecat muka­nya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?” Pada suatu hari Kwi Hong berta­nya kepada Keng In.

“Mengecat muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni Pulau Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah sin-kang mereka me­ningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu kepandaian dan kedu­dukan mereka.”

“Ahh, kalau begitu, Ibumu yang mem­punyai warna putih merupakan orang yang paling pandai?”

“Tentu saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul pa­ra tokoh bermuka kuning dan merah mu­da, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggauta yang sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sin-kang yang khas sehingga ada warna timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggauta paling rendah yang belum berhasil memi­liki sin-kang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal di pulau, melainkan di sekitar Pulau Nera­ka, yaitu di pulau-pulau kecil dan sewak­tu-waktu kalau tenaga mereka dibutuh­kan, baru mereka dipanggil. Yang berha­sil, mula-mula mukanya hitam, lalu me­rah dan selanjutnya, jangan kau meman­dang rendah. Warna-warna itu menanda­kan bahwa kami telah memiliki sin-kang khas Pulau Neraka yang amat lihai!”

“Hemmm..... dan engkau sendiri menga­pa belum memiliki warna pada muka­mu?”

Keng In mengerutkan alisnya. “Sebe­lum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak boleh mempelajari sin-kang itu, bi­sa membahayakan nyawanya. Sin-kang itu dilatih dengan minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari mereka yang sudah berwarna muka­nya boleh tinggal di sini.”

Kwi Hong teringat akan segala ma­cam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini dan dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mendengar cara berlatih sin-kang sambil minum racun itu, dia dapat membayang­kan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa gurunya akan mampu menandingi mere­ka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu Keng In.

“Kenapa begitu jahat, memaksa orang-orang di gunung mengumpulkan obat-obat setiap bulan?”

“Eh, kau tahu juga?”

“Tentu saja, kalau tidak masa aku menyerangmu. Aku telah menyelidiki secara diam-diam di punggung garudaku dan menyaksikan kesibukan mereka, me­lihat pula betapa di antara mereka ada yang membunuh diri karena tidak dapat mengumpulkan akar dan daun obat se­cukupnya. Mengapa kau begitu jahat?”

“Itu adalah perintah Ibuku. Mereka itu terlalu sombong, tidak mau menga­lah bahkan melukai anggauta kami yang mencari obat. Kami amat membutuhkan akar-akar dan daun-daun obat itu. Eng­kau melihat sendiri keadaan di pulau ini. Banyak racun yang berbahaya meng­ancam kami, bahkan hawa yang kami hisap setiap saat telah keracunan. Tan­pa obat-obat yang tepat untuk memusnahkan racun, bagaimana kami bisa hidup?”

Kwi Hong mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan tidak bisa menyalah­kan mereka. Gadis cilik yang hidup di Pulau Es ini pun mengerti akan kebenar­an yang dipergunakan sebagai hak yang lebih kuat untuk hidup kalau perlu de­ngan menekan atau membunuh yang lemah. Hukum rimba berlaku di tempat-tempat yang berbahaya di mana mahluk harus menjaga diri sendiri dari bahaya­bahaya yang mengancam dan di mana satu-satunya yang dibutuhkan hanya ke­kuatan dan kemenangan! Keadaan seper­ti itu memaksa manusia mengandalkan kekuatan untuk hidup dan hal ini menjadi kebiasaan membentuk watak orang-orang kang-ouw yang tidak suka akan segala macam aturan!

***

Ketika Suma Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana Pulau Es, tiga orang pembantu utamanya yang menyambutnya memandang dengan penuh perhatian. Terutama sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala pengurus bagian dalam, seorang wanita muda yang cantik jelita, memandang wajah Suma Han dengan mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Dia melihat sesuatu pada wajah yang menjadi pujaan hatinya.

Dia tahu bahwa pendekar yang dika­guminya itu menderita tekanan batin yang hebat sekali. Biarpun pendekar itu dapat menutupinya dengan hati sehingga tidak tampak sedikitpun ketegangan urat syarafnya, namun wajah yang tampan itu terselubung kemurungan yang amat mendalam.

Yap Sun, wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima puluh tahun itu pun mengerti bahwa majikan­nya sedang berduka, demikian pula Thung Sik Lun, sutenya yang kurus. Namun pandangan mereka tidak setajam Phoa Ciok Lin yang lebih menggunakan pera­saan hatinya.

“Kami mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia. Apakah To-cu juga tidak berhasil?” Yap Sun melapor dan sekaligus bertanya sungguhpun dia sudah menduga bahwa kemurungan wajah majikannya itu tentu karena Kwi Hong tak berhasil ditemu­kan.

Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat pan­dang mata Phoa Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah mem­bayangkan perasaan hatinya yang terhim­pit, pikirnya. “Bocah itu benar-benar membikin repot banyak orang. Aku tidak berhasil menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku menjelajah tanpa hasil. Biarlah kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah bosan merantau tentu akan pulang juga.” Sambil berkata demi­kian, Suma Han lalu melangkah masuk ke dalam Istana Pulau Es yang kuno na­mun kini bersih itu, diikuti oleh Phoa Ciok Lin yang sejak tadi hanya menyam­but kedatangan Suma Han dengan pan­dang matanya yang bening.

“Kusediakan makan, Taihiap?”

Suma Han menggeleng. “Aku tidak lapar.”

“Ingin beristirahat? Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu disediakan minum? Minum apakah?”

“Tidak usah repot Ciok Lin dan teri­ma kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin.... menyendiri.” Suma Han menjatuh­kan diri di atas sebuah kursi dan me­nyandarkan tongkatnya di meja.

Ciok Lin tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang lemas, wajahnya penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih berdiri tanpa bergerak, Suma Han meng­angkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan Suma Han menunduk kembali.

“Ciok Lin, maaf. Kautinggalkan aku, aku ingin menyendiri.” katanya.

Gadis yang usianya sebaya, hanya le­bih muda setahun dari Majikan Pulau Es itu, menahan napas menekan hati yang perih. “Baiklah, Taihiap.....” Ia membalik­kan tubuh dan melangkah pergi dengan muka menunduk.

“Ciok Lin....” Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa pemban­tunya ini selain amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan kadang-kadang ada sinar mata memancar keluar dari sepasang mata yang membuat dia khawatir karena sinar mata itu jelas membayangkan sinar kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah bersikap sedingin itu setelah orang menyambut­nya demikian ramah dan penuh perhati­an.

Dengan gerakan cepat, gadis itu me­mutar tubuh. “Ada apakah, Taihiap?”

Suma Han tersenyum minta maaf, dan mulutnya terkata. “Aku memang tidak lapar, akan tetapi akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air dingin dari sumber.”

Wajah yang manis itu berseri gembira. “Baik, Taihiap, segera kuambilkan!” Dan kini tubuh gadis itu tidak melangkah perlahan dengan muka menunduk lagi, melainkan berkelebat dan lenyap laksana menghilang saja. Suma Han tersenyum seorang diri. Perempuan! Sungguh lebih mudah mengukur dalamnya lautan daripa­da mengukur dalamnya hati perempuan. Semenjak kecil ia hidup bersama Lulu adiknya, mengira bahwa dia sudah mengenal adik angkatnya itu lahir batin. Siapa kira kenyataan menunjukkan bah­wa dia sama sekali tidak mengenal isi hatinya sehingga segala jerih payah yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu ma­lah berakibat sebaliknya seperti yang ia harapkan. Dia berhasil mengawinkan adiknya dengan Wan Sin Kiat, seorang pemuda pilihan, tampan dan gagah per­kasa, berbudi mulia dan berjiwa pende­kar. Akan tetapi, siapa kira, pernikahan itu malah merupakan kesengsaraan bagi Lulu yang kemudian nekat meninggalkan suaminya bersama anaknya sehingga Wan Sin Kiat membunuh diri dengan cara berjuang sampai mati! Semua itu karena Lulu mencinta dia? Benarkah seperti yang dikatakan Im-yang Seng-cu? Dan dia.... sudah lama namun diang­gapnya terlambat ketika ia merasa yakin bahwa satu-satunya cinta kasih murni yang berada di hatinya adalah untuk Lulu seorang!

Semenjak pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita ten­tang Lulu, Suma Han mengalami pukul­an batin yang amat hebat, lebih hebat daripada kekhawatirannya tentang keper­gian Kwi Hong. Semenjak itu, dia tidak pernah makan, minum atau tidur sehing­ga ketika ia tiba di istana Pulau Es, tu­buhnya menjadi kurus, mukanya sayu dan agak pucat. Kini menghadapi sikap Phoa Ciok Lin, pembantunya yang setia, hatinya terasa makin perih. Kalau mung­kin, dia minta dijauhkan daripada kait­an kasih sayang dengan wanita! Betapa banyaknya penderitaan batin yang ia alami karena hubungan kasih sayang ini yang hanya tampaknya saja manis, namun sesungguhnya mengandung kepahit­an yang sampai lama terasa di hati.

Berkelebatnya bayangan menyadarkan­nya dari lamunan dan Ciok Lin telah berdiri di depannya, membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar yang baru diambilnya dari sumber air di atas pegunungan pulau itu. Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu kepandaian Ciok Lin telah meningkat dengan hebat dan kini dapat dipercaya menjadi orang kedua di Pulau Es jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia memandang wajah itu dan diam-diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah mengambil air dari gu­nung yang cukup jauh, bahkan telah men­cuci muka, bersisir, dalam waktu yang amat cepat!

Suma Han menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu me­minumnya. Segar dingin terasa sampai ke perutnya.

“Terima kasih, Ciok Lin.”

“Tambah lagi, Taihiap?”

“Cukup, letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri.”

Sejenak Ciok Lin meragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka memandang wajah yang bayangannya sudah terukir di hatinya itu. “Taihiap, dalam kepergian Taihiap mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa dengan kenalan lama?”

Suma Han membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik, “Ciok Lin, mengapa kau menduga demikian?”

Ciok Lin menarik napas panjang lalu berkata, “Semenjak saya berada di sini, saya melihat Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan laut yang tidak tersentuh angin. Akan tetapi seka­rang laut itu bergelombang dan digelap­kan awan. Apa lagi yang menimbulkan kecuali pertemuan dengan kenalan lama dan dipaksa mengenang peristiwa-peristi­wa lalu?”

Suma Han menghela napas, “Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Se­kali berkunjung ke dunia ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati terdengar. Akan tetapi sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba melupa­kan semua itu. Yang terpenting adalah soal perginya Kwi Hong. Harap engkau suka meninggalkan aku sendiri.”

“Baiklah, Taihiap.” Sekali ini Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan kata-katanya sendiri. Melu­pakan? Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan dendam Tan-siucai bekas tunang­an Lu Soan Li yang katanya mendendam kepadanya, urusan perebutan pusaka-pusaka yang lenyap. Semua itu dapat dengan mudah ia lupakan karena memang tidak dipikirkannya lagi. Akan tetapi Lulu....! Dapatkah ia melupakan Lulu? Kalau adik angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya, tentu dia akan dapat melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia karena adik yang dicintanya itu hidup bahagia. Akan teta­pi sekarang? Kebahagiaan itu berantak­an dan betapa mungkin ia dapat melupa­kannya? Apalagi karena perginya Lulu meninggalkan suaminya itu menimbulkan dugaan di hatinya bahwa tentu Lulu yang telah melakukan hal yang menghebohkan dan menggegerkan dunia kang-ouw. Sia­pa lagi yang dapat membongkar kuburan dan membawa pergi Sepasang Pedang Iblis? Hanya dia dan Lulu yang mengeta­hui di mana adanya sepasang pedang itu dikubur. Di mana sekarang adanya Lulu dan anaknya? Jangan-jangan...., ah, dia teringat akan ketua Thian-liong-pang, wanita yang mukanya diselubungi kain itu. Bentuk tubuhnya, suaranya, dan sinar mata dari balik selubung itu! Mengapa dia begitu bodoh? Tentu Lulu orangnya! Akan tetapi kalau benar Lulu, mengapa menantangnya? Dan ilmu kepandaiannya pun hebat sekali. Orang seperti Lulu memungkinkan terjadinya segala hal aneh. Dia tidak akan merasa heran kalau tiba-tiba Lulu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya sendiri! Yang amat mengherankan hatinya, kalau benar ketua Thian-liong-pang itu Lulu adanya, mengapa menantang dia? Menga­pa seperti hendak memusuhinya?

Sampai tiga hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika pada pagi hari itu ia mengambil kepu­tusan untuk pergi lagi meninggalkan Pu­lau Es, pertama untuk mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk menyelidiki Thian-liong-pang karena ia merasa penasaran kalau belum membuka selubung muka Ketua itu untuk melihat apakah dugaan­nya tidak salah, tiba-tiba terdengar se­ruan-seruan di luar istana.

“Garuda betina datang....!”

“Nona Kwi Hong tidak bersama dia....!”

Seruan‑seruan itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi Hong, berarti bahwa telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau keponakannya itu! Akan tetapi Suma Han tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina sudah berada di pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu menyambut. Melihat Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan mengeluarkan suara seperti rintihan, kemudian meloncat ke atas terbang dan turun lagi mendekam, terbang lagi dan mendekam lagi.

Suma Han menghampiri, “Apakah Nona ditawan orang?”

Garuda itu mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan mendekam lagi. Suma Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata, “Agaknya Kwi Hong ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan menolongnya. Jaga pulau baik-baik, aku pergi takkan lama.” Setelah berkata demikian ia menggapai dengan tangan kirinya. Garuda jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya, Su­ma Han telah mencelat ke atas pung­gung garuda jantan yang terbang tinggi mengejar garuda betina yang telah men­dahuluinya.

Garuda betina yang menjadi penunjuk jalan terbang tinggi di atas lautan kemu­dian mengelilingi sekumpulan pulau-pulau kecil. Di tengah kumpulan pulau itu tampak sebuah pulau hitam.

“Hemm, agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa lancang dan beraninya mereka!” Suma Han menjadi gemas dan menyuruh garu­danya menukik ke bawah. Adapun garu­da betina yang kelihatannya jerih, hanya mengikuti dari belakang.

Suma Han adalah seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik. Ka­lau penghuni Pulau Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka itu ki­ni telah siap untuk menyambut kedatang­annya, karena sudah tentu mereka ini ta­hu bahwa dia akan menolong muridnya. Kenyataan bahwa garuda betina pulang tanpa menderita luka merupakan bukti bahwa penghuni Pulau Neraka sengaja memancingnya datang dan harus berlaku hati-hati sekali. Dari atas dia melihat pulau yang belum pernah dikunjungi, hanya didengarnya saja dongengnya itu. Pendaratan ke pulau itu hanya mungkin dilakukan dari angkasa, karena pulau itu dikurung lautan yang bergelom­bang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap perahu yang mencoba untuk menda­rat. Tentu kini penjagaan ketat dilaku­kan untuk menyambut kedatangannya

lewat angkasa menunggang burung, pi­kirnya. Justru tempat yang berbahaya, yang tidak mungkin didarati, yaitu mela­lui lautan, merupakan tempat yang terbe­bas daripada penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh garudanya terbang rendah di atas laut dekat tebing karang yang airnya berombak besar.

Setelah burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung burung, melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu disambar ombak dan mengambang. Bagaikan seekor bu­rung, tubuh Suma Han menyusul tongkat­nya dan kaki tunggalnya sudah hinggap di atas tongkat yang terombang‑ambing ombak. Dengan menekuk lutut ia menggunakan kedua tangannya sebagai dayung sehingga tongkatnya meluncur ke pinggir mendekat karang. Pada saat itu, ombak dari belakangnya mendorong pula sehing­ga tubuhnya meluncur ke depan, ke arah tebing batu karang yang agaknya akan menerima dan menghancurkan tubuh Pen­dekar Super Sakti ini. Namun Suma Han telah memperhitungkan dan ia sudah mendahului meloncat dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun sambil menyambar tongkatnya. Ketika tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke depan, ke arah batu karang dan meng­gunakan tenaganya untuk mencelat ke ke atas, menotok lagi dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali loncatan ia telah dapat sampai di puncak tebing dengan selamat. Ia menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung garuda pelihara­annya itu telah hinggap dengan selamat di sebuah batu karang yang menonjol, tidak tampak dari darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor burung itu yang mengerti akan siasatnya yang menyuruh mereka bersembunyi dan menanti isya­ratnya.

Dari atas tebing yang tinggi ini, Pen­dekar Super Sakti memeriksa keadaan pulau. Hemm, benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan ter­atur oleh tangan ahli karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari tempat dia mendarat, kalau hendak memasuki pulau harus melalui hutan-hutan yang gelap dan pohon-pohonnya diatur mencurigakan, seperti lorong menyesatkan dan banyak bagian yang serupa sehingga memasuki hutan itu tentu akan membingungkan orang dan akan menyesatkan. Pula, mungkin di dalam hutan itu bersembunyi binatang-binatang jahat yang berbisa. Dari sebelah kiri melewati daerah yang seperti rawa, amat luas dan penuh alang-alang tinggi. Daerah itu amat ber­bahaya karena melalui rawa yang tertu­tup oleh alang‑alang orang tak mampu menjaga diri sebaiknya, apalagi kalau sampai terjeblos ke dalam lumpur dan diserang banyak binatang buas. Dari se­belah kanan melalui pegunungan karang yang ditumbuhi tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan sunyi namun malah mencurigakan sekali karena biasa­nya, di tempat-tempat yang diatur orang-­orang pandai seperti pulau itu, tempat yang kelihatan paling aman biasanya justru merupakan tempat yang paling berbahaya. Adapun pendaratan dari sebe­rang sana, berlawanan dengan tempat ia mendarat, orang harus melalui daerah yang penuh pasir, kelihatan bersih sunyi dan aman, namun ia merasa yakin bahwa tempat itu pun amat berbahaya karena selain pendatang tidak akan dapat ber­sembunyi dan nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar tentang pasir ber­gerak yang dapat menyedot benda berge­rak ke dalamnya. Dia mendarat tanpa perhitungan karena memang belum me­ngenal keadaan. Nasib saja yang menen­tukan dan setelah ia mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau itu dari situ pula, melalui hutan-hutan gelap yang kelihatan paling berbahaya itu.

Sampai beberapa lama dia memerik­sa seluruh hutan itu dari atas, mengha­fal letak-letak kelompok pohon yang beraneka macam dan memperhatikan mata angin dengan melihat letak mataha­ri. Melihat arah matahari, dia tahu bahwa dia telah mendarat di bagian se­latan dan untuk menuju ke tengah hutan yang ia yakin tentu menjadi markas atau sarang penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke utara. Tiba-tiba Suma Han menggerakkan tubuh menyelinap ke balik batu karang menonjol, menyembunyikan diri dan mengintai. Tidak salah lagi, yang terbang di atas itu adalah seekor burung rajawali yang besarnya me­nandingi garudanya dan di punggung raja­wali itu duduk seorang manusia. Burung itu terbang berputaran di atas pulau, maka tahulah dia bahwa orang yang menunggang rajawali itu, yang terlalu jauh untuk dapat dilihat besar kecilnya atau laki-laki perempuannya, tentu sedang melakukan pengintaian atau pemeriksaan. Setelah burung itu menukik turun dan lenyap di balik pohon-pohon, ia lalu ke­luar dari tempat sembunyinya. Sekali lagi ia memandang keadaan hutan yang akan dilaluinya, kemudian tubuhnya ber­gerak ke depan cepat sekali, dengan loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, da­lam kecepatannya yang luar biasa, Suma Han selalu tetap waspada dan hati-hati karena dia maklum betapa berbahaya daerah yang tak dikenalnya itu.

Dia kini sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup rapat oleh daun-daun lebat sehingga su­kar untuk melihat di mana adanya mata­hari. Namun, dari sinar matahari yang menerobos ke bawah ia dapat memperhi­tungkan dan dia terus maju menuju ke arah utara. Dia tidak mau membelok melainkan lurus bergerak ke depan. Ka­lau keadaan sedemikian gelapnya dan ia merasa kehilangan arah, Suma Han mencelat ke atas pohon besar dan melihat letak matahari, lalu turun lagi dan me­lanjutkan perjalanannya.

Tiba-tiba ia berhenti bergerak. “Ular....” bisiknya dan ia sudah siap. Penciuman­nya yang tajam dapat menangkap bau amis ular-ular itu, juga pendengarannya dapat menangkap suara mendesis-desis dari depan. Namun dia tidak gentar dan melanjutkan perjalanan ke depan. Hutan yang gelap dan mudah menyesatkan orang itu kini terganti dengan bagian yang terbuka, ada seratus meter luasnya dan di tempat inilah berkumpulnya ular­-ular itu, kemudian di seberang sana di­sambung pula dengan hutan lain.

Suma Han berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum sekali. Dari mana saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang selain amat banyak jumlahnya, ada ribuan ekor, juga amat banyak macamnya, semua terdiri dari ular-ular berbisa! Dia menge­nal beberapa ekor ular yang gigitannya amat berbahaya, sekali gigit tentu me­renggut nyawa. Dan melihat ular-ular yang beraneka macam itu, dengan warna yang bermacam-macam pula, timbul rasa sayang di hati Suma Han. Sayang kalau kumpulan ular berbisa yang begitu lengkap di bumi! Pula, dia tidak mempunyai niat sedikitpun juga untuk melakukan pembunuhan dan pengrusakan di pulau ini. Pertama, dia belum melihat bukti bahwa Kwi Hong di tahan di Pulau ini. Ke dua, andaikata benar demikian, penghuni Pulau Neraka hanya melakukan hal itu untuk memancing dia datang, tentu Kwi Hong tidak diganggu karena buktinya, burung garuda betina pun tidak dilukai. Kalau orang tidak berniat buruk, mengapa dia harus melakukan pembunuhan dan pengrusakan.

Kini ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini mendesis-desis dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok manusia yang berani datang ke tempat itu. Suma Han mengukur dengan pandang matanya. Kalau bukan dia yang datang ke tempat itu, agaknya sukar untuk melewati ular-ular yang memenuhi dareah sepanjang seratus meter itu, kecuali dengan membunuh mereka semua. Untuk meloncati jarak yang sekian jauhnya, biar dia seorang ahli ilmu Soan-hong-lui-kun sekalipun, tentu tidak mungkin. Akan tetapi dengan tongkatnya, ditambah ilmunya dia tidak merasa menghadapi kesukaran. Dia tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai gerak-geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular itu. Maka dia lalu meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia tidak bertongkat, tentu terpaksa kakinya akan menyentuh tanah dan ada bahaya di sambar ular-ular itu. Akan tetapi dengan cekatan dan mudah ia menotolkan tongkatnya ke atas tanah diantara ular-ular yang menjadi kalang kabut berusaha menyerang tongkatnya. Dengan kekuatan tangannya yang memegang tongkat, begitu tongkat menotol tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Beberapa ekor ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu terpelanting dan kembali Suma Han menggunakan tongkatnya menotol tanah dan tubuhnya mencelat lagi. Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa loncatan saja Suma Han telah tiba di seberang daerah ular dengan selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia berdiri dan membalikkan tu­buh sambil tersenyum memandangi ular­-ular yang menjadi kacau dan membalik, mencari lawan.

“Begini sajakah halangan memasuki pulau?” kata Suma Han sambil melanjut­kan perjalanan, ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui hutan di depan yang tidak begitu gelap seperti hutan pertama.

Tiba‑tiba seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras dan dari dalam semak‑semak meloncat kelu­ar puluhan anjing serigala yang mengeluarkan bau harum dan amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat sambil memperhatikan. Kembali ia merasa ka­gum. Srigala‑srigala hitam ini benar­-benar merupakan sekumpulan binatang yang aneh. Bulunya hitam mengkilap dan indah, moncongnva panjang dan mengingat akan bau yang keluar dari moncong mereka, menandakan bahwa binatang bu­as ini pun berbisa.

“Bukan main! Benar‑benar segala ma­cam binatang berbisa bersarang di pulau ini.” pikir Suma Han. Melihat betapa ka­wanan srigala itu banyak sekali, gerakan mereka gesit, maka agaknya akan mele­lahkan kalau harus berlari‑lari dan meng­elak menghindari mereka yang tentu akan terus mengejar‑ngejarnya. Dengan demikian maka perjalanannya akan kacau dan banyak bahayanya dia akan tersesat. Maka cepat ia mencelat ke atas pohon, berjongkok dengan kaki tunggalnya di atas dahan pohon, sejenak memandang srigala‑srigala yang berusaha meloncat-loncat untuk mencapainya. Pemandangan ini lucu bagi Suma Han, maka tanpa terasa lagi ia tertawa, kemudian melanjutkan perjalanannya melalui pohon‑pohon. Ka­rena pohon‑pohon itu tumbuh berdekat­an, amat mudah bagi seorang yang ber­ilmu tinggi seperti dia untuk berloncat­an dari dahan ke dahan dan dari pohon ke pohon, selalu mengambil arah ke utara atau menganankan matahari pagi.

Akan tetapi baru saja terbebas dari serangan gerombolan srigala hitam, da­tanglah serombongan lebah hitam yang terbang berbondong‑bondong dan mengeroyoknya! Suma Han terkejut, dapat men­duga bahwa sengatan lebah ini pun ten­tu berbisa. Dia memutar lengan kiri, sehingga timbul angin yang digerakkan hawa sin-kangnya sehingga lebah‑lebah yang mendekatinya terbawa hanyut oleh angin itu. Akan tetapi karena dahan­-dahan, ranting‑ranting dan daun‑daun menghalanginya, dia tidak dapat berge­rak dengan leluasa. Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah berbahaya, kalau meloncat turun, gerombolan srigaia hitam tentu akan menerkamnya. Maka Suma Han cepat meloncat dengan penge­rahan ilmu Soan‑hong‑lui‑kun. Karena dia meloncat‑loncat dengan selalu dike­jar lebah‑lebah yanng terbang cepat, tentu saja dia tidak dapat memperhati­kan arah lagi dan dia hanya berloncatan cepat dengan niat keluar dari hutan dan mencari tempat terbuka di mana dia akan dapat menghalau lebah‑lebah itu dengan mudah. Sambil berloncatan dan kadang‑kadang memutar lengan kiri un­tuk meruntuhkan lebah‑lebah itu, diam­-diam ia memuji dan mulailah dia tidak berani memandang rendah para penghuni Pulau Neraka!

Akhirnya dia berhasil juga keluar da­ri hutan itu, di tempat terbuka dan de­ngan hati lega ia mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing srigala su­dah tak tampak lagi, tentu tidak sang­gup mengejar dia yang berloncatan dari pohon ke pohon sedemikian cepatnya dan kehilangan jejak penciuman. Akan tetapi, kawanan lebah itu masih terus menge­jarnya. Suma Han meloncat turun dari pohon terakhir dan sudah siap. Ketika lebah‑lebah itu terbang datang, dia lalu menanggalkan jubahnya dan memutar jubah dengan tangan kanannya sedang­kan tangan kiri tetap memegangi tong­katnya. Kalau dengan tangan saja gerak­an Suma Han sudah mampu mendatang­kan angin yang menyambar dahsyat apa­lagi kini menggunakan jubah. Angin bertiup keras dan lebah‑lebah itu terbawa angin yang digerakkan oleh jubah di ta­ngan Suma Han, sama sekali tidak mam­pu mendekati pendekar itu, bahkan ketika Suma Han membuat gerakan memu­tar dengan tangannya, jubahnya menim­bulkan angin berpusing yang membuat lebah‑lebah itu terseret angin yang ber­putaran ke atas sampai tinggi!

Tiba‑tiba terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi suling di­tiup secara istimewa dan menyusul suara ini, datanglah berbondong‑bondong lebah‑lebah hitam dari segenap penjuru mengeroyok dan mengurung Suma Han!

“Setan....!” Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat menge­mudi perasaan lebah‑lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena kalau lebah­-lebah itu datang makin banyak, mana mungkin dia dapat menghindarkan diri tanpa membasmi mereka, hal yang tak diinginkannya. Dengan hati mengkal Suma Han lalu mengerahkan khi-kangnya dan keluarlah lengkingan yang tinggi dan lebih nyaring daripada suara suling itu sambil jubah di tangannya masih te­rus diputarnya. Usahanya berhasil baik sekali karena lebah‑lebah itu menjadi kacau‑balau. Makin nyaring lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han, ma­kin kacaulah mereka tidak tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke atas, ada yang ke bawah, ke kanan kiri depan belakang, bahkan ada yang terbang membalik dari arah mereka datang! Adapun lebah‑lebah yang terlalu dekat dengan Suma Han, membubung tinggi dan menjadi pening sehingga lebah‑lebah itu berjatuhan, bergerak‑gerak dan merayap­rayap di atas tanah karena untuk semen­tara mereka tidak kuasa terbang, bah­kan merayappun berputaran seperti anak-­anak yang mabok setelah bermain putar-­putaran!

Suara suling terhenti dan melihat bahwa lebah‑lebah itu kini sudah pergi dalam keadaan kacau, Suma Han meng­hentikan lengkingannya dan putaran jubahnya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang ditinggalkan dan letak matahari, hatinya mendongkol karena ternyata dalam melarikan diri ta­di, dia tidak lari ke utara melainkan tersesat lari ke barat!

Karena tidak ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat ke atas pohon di pinggir hutan yang baru di­tinggalkan. Ketika ia memandang ke utara, hatinya girang karena dari tem­pat itu dia sudah dapat melihat sekelom­pok bangunan berwarna hitam. Akan tetapi, dari tempat itu menuju ke bangunan terdapat pasukan‑pasukan menghadang jalan.

“Hemm, kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri menyambutku. Bagus!” Dia lalu melayang turun dan mempergunakan ilmunya berloncatan cepat menuju ke utara. Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi rintangan dan akhirnya ia tiba di lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh tujuh orang yang mukanya berwarna biru muda. Mereka berpakaian seragam dan membentuk barisan sembilan kali tiga, bersenjatakan tombak pan­jang yang ada rantainya di ujung.

Suma Han sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para anak buah Pulau Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh orang bermuka biru muda, Suma Han mengo­mel di dalam hatinya.

“Orang‑orang Pulau Neraka sungguh memandang rendah kepadaku!”

Sebagai To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau kedatang­annya hanya disambut oleh pasukan ber­muka biru muda, warna yang tentu hanya menduduki tingkat ke empat atau ke lima. Maka diapun tidak mau bicara me­layani mereka, melainkan terus saja me­langkah dengan kaki tunggalnya ke depan seolah‑olah dua puluh tujuh orang itu hanya arca‑arca yang tidak bernyawa dan tidak ada artinya!

Melihat sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara mereka berseru aneh memberi aba‑aba dan tiga pasukan dari sembilan orang berjumlah dua puluh tujuh orang itu menggerakkan senjata, ada yang menye­rang dengan tombak, ada pula yang membalikkan tombak dan menyabat dengan rantai baja di ujung gagang tombak. Se­rangan mereka amat cepat dan kuat se­hingga terdengar angin bersuitan me­nyambar ke arah Suma Han yang menja­di sasaran dari tombak‑tombak runcing dan rantai‑rantai berat itu.

Namun, Suma Han masih berloncatan terus ke depan seolah‑olah tidak peduli akan serangan mereka, akan tetapi sete­lah senjata‑senjata itu datang dekat, dia memutar tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk ketika semua senjata itu bertemu tongkat, bertemu dan terus melekat, rantai membelit‑belit tongkat dan ujung tombak tak dapat ditarik kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan sen­jata karena telapak tangan mereka tera­sa dingin membeku. Yang bersikeras mempertahankan senjatanya, menjerit dan memegangi tangan yang terpaksa mele­paskan tombak karena kulit telapak ta­ngan mereka berdarah! Dengan tenang Suma Han melangkah terus, menggerakkan tongkatnya dan belasan batang tombak terpelanting ke kanan ki­ri, terpelanting keras sekali, ada yang meluncur seperti anak panah dan hilang di antara pohon‑pohon, ada pula yang menancap di atas tanah sampai setengah­nya lebih!

Mereka yang telah menyerang, belas­an orang itu, meritih‑rintih, dan mereka yang belum menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Karena maklum bahwa menyerang seperti kawan‑kawannya tadi tidak akan berhasil sedangkan lawan telah melewati hadangan pasukan mereka, belasan orang sisa yang kehilangan tombak lalu meng­gerakkan tombak mereka, melontarkan kuat‑kuat sehingga kini ada belasan yang meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing menyerang ke arah tubuh be­lakang Suma Han!

Seperti tadi, Suma Han tenang‑tenang saja, tidak menengok sama sekali sehing­ga seolah‑olah sekali ini dia akan cela­ka oleh belasan batang tombak yang meluncur secara kuat, cepat dan tepat ke arah punggungnya. Akan tetapi sete­lah ujung tombak‑tombak itu tinggal be­berapa senti lagi dari punggungnya, tubuhnya membalik, tangan kanannya mengibas ke depan dan.... belasan batang tombak itu runtuh dan semua menancap ke atas tanah di depan kakinya, berja­jar‑jajar rapi seperti diatur. Kemudian ia membalikkan tubuh lagi dan berjalan maju terpincang‑pincang dibantu tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

“Pendekar Siluman.... kepandaiannya seperti iblis....” Pasukan muka biru muda itu berbisik dan saling pandang de­ngan mata terbelalak.

Kini pada sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi, pasu­kan yang terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus. Hemm, pi­kirnya, setingkat lebih tinggi, akan teta­pi tetap saja dia tidak puas dan merasa dipandang rendah. Dia dapat menduga bahwa tingkat tertinggi tentu berwarna putih, dan warna yang mendekati putih adalah warna kuning. Kalau Si Ketua merasa terlalu tinggi untuk menghadang sendiri, sedikitnya dia harus mengutus tokoh‑tokoh bermuka kuning untuk meng­hadapinya. Akan tetapi muka hijau pu­pus? Hemmm, kalian terlalu memandang rendah To‑cu Pulau Es, padahal orang­-orang Pulau Neraka dahulunya hanyalah orang‑orang buangan dari Pulau Es!

“Haiii! Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?” Seorang di antara mereka bertanya.

Akan tetapi, seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka bicara melainkan melangkah maju terpincang-­pincang ke depan, tidak mempedulikan delapan belas orang yang bersenjata masing‑masing sebatang golok besar itu, sedangkan tangan kiri mereka siap mendekati kantung di pinggang yang ia du­ga tentu berisi senjata rahasia berbisa!

Melihat sikap Suma Han, delapan belas orang itu lalu membuka barisan dan mengurung. Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti itu membuat mereka hati‑hati sekali sehingga kurungan itu mengikuti gerakan Su­ma Han yang melangkah maju. Tiba‑tiba seorang diantara mereka berseru keras dan terdengar goloknya berdesing me­nyambar, diikuti oleh golok‑golok lain yang menyambar secara berturut-turut. Hemm, kepandaian mereka ini sedikit­nya tiga kali lipat daripada tingkat pasu­kan pertama yang bermuka biru muda tadi, pikir Suma Han. Ketika semua go­lok menyerangnya, tiba‑tiba tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga delapan belas orang yang tiba-­tiba kehilangan lawan itu mengira dia pandai menghilang! Akan tetapi mereka segera melihat ke atas dan delapan be­las buah tangan kiri bergerak.

“Ciat‑ciat‑ciatt!” Belasan batang pi­sau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah seluruh bagian tubuh Suma Han.

“Trang-cring‑cring‑trang....!” Semua pisau itu terpental dan melayang jauh ke segenap penjuru karena ditangkis oleh segulung sinar dari tongkat yang diputar sedangkan tubuh Suma Han sudah mela­yang turun lagi. Delapan belas orang itu kembali menerjang, sinar golok mereka berkeredepan menyilaukan mata. Suma Han memutar tongkatnya sambil menge­rahkan tenaga. Terdengar suara hiruk pi­kuk dan setelah suara itu lenyap, delapan belas orang itu berdiri bengong meman­dangi gagang golok di tangan yang sudah tidak ada goloknya lagi karena senjata mereka telah patah semua!

Ketika mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung itu sudah berloncatan ke depan. Me­reka tidak berani mengejar karena selain mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar itu, juga di depan terdapat pasukan penjaga lain yang lebih tinggi tingkat­nya.

Kini Suma Han melihat pasukan ter­diri dari sembilan orang yang bermuka merah muda, yaitu tiga wanita dan enam pria, masing‑masing memegang senjata Siang‑kiam (Sepasang Pedang).

“To‑cu dari Pulau Es, perlahan dulu!” seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan berambut panjang riap‑riapan sampai ke pundak, menegurnya.

“Kalian ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?” Suma Han bertanya, sikapnya tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan sambil mengerahkan Im‑kang sehingga sembilan orang yang mendengar suara ini, tergetar jantung­nya dan menggigil kedinginan. Akan te­tapi dengan pengerahan sin-kang, mereka dapat mengusir rasa dingin itu dan kini pasukan itu terpecah menjadi tiga, ma­sing‑masing tiga orang, seorang wanita dan dua orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini mengurung Suma Han dari de­pan, kanan dan kiri.

“Kami adalah murid‑murid tingkat dua!” jawab kakek itu.

“Hemm, Ketua kalian membuang-­buang waktu saja. Mengapa tidak dia sen­diri saja yang maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang lebih kuat?”

“Orang muda yang sombong!” Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya menudingkan pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik akan tetapi sinar matanya liar dan ganas. “Biarpun engkau To‑cu Pulau Es, akan tetapi engkau masih muda, ka­kimu buntung, tidak selayaknya bersikap sombong seperti itu. Lihat pedang!” Wanita itu sudah menyerang, disusul dua orang temannya.

Melihat gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari kitab‑kitab peninggalan Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus yang ampuh akan tetapi sayang bahwa gerak­an mereka kurang sempurna.

“Hemmm, mengapa begitu melakukan jurus Siang-liong-jio‑seng (Sepasang Na­ga Berebut Bintang)?” Dengan tongkat­nya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan kanannya meraih dan secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak itu telah pindah ke tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya dan memutar sepasang pe­dang dengan kedua tangan. “Beginilah mestinya! Dalam perebutan antara sepa­sang naga, yang kanan harus mengalah karena biasanya lawan memperhatikan tangan kanan sehingga yang kiri dapat melakukan serangan tiba‑tiba yang me­ngacaukan lawan. Jangan menitik berat­kan gerakan pedang kanan!”

Sementara itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan mereka terampas dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini cepat menerjang dengan pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan sepasang pedang dengan jurus Siang‑liong‑jio‑seng yang amat dikenal oleh mereka itu dan anehnya, biarpun mereka mengenal baik jurus ini, berturut‑turut mereka berseru kaget karena terdengar kain robek dan tiba‑tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat lenyap, yang tinggal hanya sepasang pedang rampasan itu menancap di tanah, den ketika mereka saling pan­dang, tampaklah betapa pakaian mereka telah robek dan berlubang di dua tem­pat, yaitu di ulu hati dan perut! Sebagai ahli‑ahli pedang yang sudah tinggi ting­katnya, sembilan orang bermuka merah muda ini maklum bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki, mereka tentu telah roboh dengan jantung tertembus pedang dan sudah tewas semua! Maka mereka hanya dapat menghela napas dan memandang pendekar kaki buntung yang kini telah berjalan terpincang‑pincang menuju ke penjagaan terakhir, yaitu empat orang kakek bermuka kuning.

Empat orang kakek itu usianya rata-­rata sudah lima puluh tahun lebih, sikap­nya gagah dan angker, pakaiannya seder­hana, dengan jubah panjang dan rambut serta jenggot mereka panjang, kaki me­reka telanjang tak bersepatu den tangan mereka hanya bersenjatakan sebatang tongkat kecil yang panjangnya satu sete­ngah meter, terbuat dari kayu hitam atau ranting yang lemas. Melihat ke­adaan ini, Suma Han bersikap hati­-hati karena dia dapat menduga bahwa tentu empat orang kakek ini adalah to­koh‑tokoh tingkat satu, hanya di bawah Sang Ketua dan telah memiliki ilmu ke­pandaian yang amat tinggi. Hanya ia merasa heran mengapa jumlah mereka ada empat orang, tidak enam atau tiga karena semenjak pasukan pertama, peng­huni Pulau Neraka itu menggunakan bentuk barisan tiga bintang yang dapat diluaskan menjadi masing‑masing pasu­kan sembilan orang namun pada dasarnya masih mempergunakan bentuk baris­an tiga bintang dengan gerakan segi tiga. Dia tidak tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu bermuka kuning itu ada enam orang, yang seorang telah me­ninggal dunia sedangkan yang seorang lagi kini sedang merantau atas perintah Ketua mereka untuk menyelidiki keada­an kang‑ouw yang geger karena hilang­nya pusaka‑pusaka yang diperebutkan setelah pasukan Pulau Neraka mengalami kegagalan di muara Sungai Huang‑ho dahulu. Oleh karena itu, kini hanya ting­gal empat orang saja yang menghadapi­nya sebagai penjagaan terakhir dan me­reka pun kini menjaga di depan bangun­an besar yang menjadi istana dari maji­kan Pulau Neraka.

Setelah melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma Han lalu menghadapi empat orang itu dan berkata,

“Melalui garuda betina peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku da­tang, dan sekarang aku datang untuk menjemput muridku. Harap Su‑wi Lo­cianpwe suka menyampaikan kepada To­-cu Pulau Neraka agar mengembalikan muridku kepadaku.”

Empat orang kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang pen­dekar buntung itu dari kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub karena baru sekarang mereka melihat pendekar yang terkenal di seluruh dunia itu, yang ternyata tidak kelihatan luar biasa, bahkan hanya merupakan seorang pemuda yang cacad! Betapapun juga, melihat sikap dan sinar matanya, mereka bergidik dan maklum bahwa pemuda di depan mereka ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Seorang di anta­ra mereka yang rambutnya sudah ham­pir putih semua, segera mengangkat ke­dua tangan depan dada sambil berkata, “To‑cu dari Pulau Es sudah dapat tiba di sini membuktikan bahwa nama besarnya bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, sudah menjadi tugas kami untuk menjaga di sini dan kalau To‑cu hendak menjemput murid dan bertemu dengan To‑cu kami, harus melalui tong­kat kecil kami.”

Suma Han mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Hemm.... agaknya To‑cu Pulau Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian hendak menguji kepandaianku? Nah, lihat baik‑baik, biar­pun kalian berempat, apakah aku kalah banyak?” Suara Suma Han mengandung getaran yang dahsyat dan berpengaruh. Tiba‑tiba empat orang kakek itu meman­dang terbelalak dan bingung karena di depan mereka kini bukan hanya ada se­orang pemuda kaki buntung, melainkan pemuda itu telah berubah menjadi dela­pan orang kembar! Tentu saja mereka terkejut sekali dan betapa pun mereka mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh mujijat itu, tetap saja pandang­an mereka tidak berubah, lawan telah menjadi dua kali lipat lebih banyak dari­pada jumlah mereka! Karena bingung, empat orang kakek itu lalu menggerakkan ranting di tangan mereka, menghan­tam Suma Han yang terdekat. Akan tetapi, biarpun ranting mereka mengenai tepat tubuh lawan, mereka seolah‑olah menghantam bayangan saja dan ranting itu “lewat” menembus tubuh orang yang diserang. Hal ini memang tidak menghe­rankan karena yang mereka serang itu bukanlah tubuh Suma Han yang aseli, melainkan bayangan yang timbul karena pengaruh kekuatan ilmu merampas se­mangat dan pikiran orang yang dilaku­kan Suma Han. Selagi mereka terheran-heran, Suma Han yang aseli telah meng­gerakkan tongkatnya, empat kali meno­tok dan empat orang kakek itu mengeluh dan jatuh terduduk di atas tanah dalam keadaan lumpuh!

“Sudah kalian lihat kepandaian To‑cu dari Pulau Es?” Suma Han berkata dan kini empat orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja, berdiri di depan mereka, bersandar pada tongkat dan tangan kanan bertolak pinggang!

Tiba‑tiba terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun pintunya tertutup itu, “Kalau To‑cu Pulau Es memang gagah perkasa dan super sakti, jangan mengandalkan ilmu silu­man!”

Suma Han memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak saking herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang kakek tingkat satu ini, tentu To‑cu dari Pulau Neraka merupakan seorang kakek yang menyeramkan dan lebih mendekati iblis daripada manusia. Akan tetapi suara yang keluar dari istana hitam itu, yang ia duga tentulah seorang To‑cu pulau itu, adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring dan merdu! Bukan suara seorang kakek kasar, juga pasti bukan suara seorang nenek‑nenek karena suara seperti itu tentu hanya dimiliki seorang wanita yang masih muda. Mungkinkah ini? Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang wanita muda? Suma Han tidak akan percaya kalau saja dia tidak teringat akan Ketua Thion‑liong‑pang. Bu­kankah Ketua Thian‑liong‑pang yang berkerudung itu pun wanita muda dan yang dia kini yakin tentu Lulu, adik angkatnya? Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan yang paling terkenal dan kuat kini dipimpin oleh wanita‑wani­ta muda! Benar‑benar merupakan hal yang sukar dipercaya. Betapapun juga, mendengar ucapan itu wajahnya menjadi merah. Dia tadi memang memperguna­kan kekuatan batinnya yang menguasai empat orang lawan melalui sinar mata dan suaranya dan hal itu dia lakukan ha­nya karena dia enggan bertanding mela­wan mereka. Menghadapi pasukan‑pasukan tingkat rendahan tadi, dia masih dapat melalui mereka tanpa melukai seorang pun. Akan tetapi, dari gerakan empat orang kakek ini dia maklum bahwa dia menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan untuk me­ngalahkan empat orang ini tanpa melu­kainya merupakan hal yang tidak mudah ia lakukan. Maka ia mengambil cara pa­ling mudah, yaitu mengalahkan mereka dengan mengandalkan ilmu kepandaian­nya yang mujijat, yang kini telah menca­pai tingkat amat tinggi setelah ia menerima gemblengan dan petunjuk terakhir dari manusia dewa Koai Lojin. Sekarang To‑cu Pulau Neraka mencela dan menge­jeknya, kalau dia tidak memperlihatkan kepandaiannya, tentu saja dia akan merasa malu sekali.

“Begitukah yang kalian kehendaki? Nah, Su‑wi Locianpwe, bangunlah!” Tong­katnya bergerak dan empat orang kakek muka kuning itu dapat bergerak kembali dan mereka melompat bangun. Kini me­reka bersikap hati‑hati sekali. To‑cu Pulau Es ini benar‑benar hebat. Sebagai To‑cu Pulau Es yang kenamaan, menye­but mereka “locianpwe” ini saja sudah membuktikan bahwa To‑cu Pulau Es ini adalah seorang yang rendah hati dan karenanya dapat dibayangkan betapa ting­gi ilmunya.

“Maaf, kami hanya pelaksana tugas!” Kakek beruban berkata sebagai pernyata­an kesungkanan hati mereka, juga ucap­an ini merupakan pembuka serangan kare­na secepat kilat empat orang itu sudah menyerang Suma Han dari empat pen­juru!

Suma Han cepat menggerakkan tubuh­nya, menggunakan Soan‑hong‑lui‑kun un­tuk mengelak, akan tetapi tiga orang di antara mereka mengayun tongkat ke atas dan menghujankan serangan ke atas tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk turun! Sedangkan yang seorang tetap “menutup” bagian bawah dengan serangan cepat, rantingnya diputar se­perti kitiran sehingga berubah menjadi gulungan sinar. Suma Han terkejut bu­kan main. Teringat ia akan gaya serang­an bibi gurunya, Maya, ketika mengha­dapi ibu gurunya, Khu Siauw Bwee. Mungkinkah tiga orang kakek ini telah mempelajari ilmu yang khusus dicipta oleh Maya untuk menghadapi Soan‑hong­-lui‑kun? Namun dia tidak diberi kesem­patan untuk banyak berheran, terpaksa ia menggerakkan tongkatnya menotok ranting yang terdekat dan menggunakan tenaga pertemuan senjata itu untuk men­celat lagi ke samping, kemudian sambil memutar tongkat menangkis keempat senjata lawan ia turun lagi ke atas ta­nah. Segera ia dikurung dan diserang lagi. Suma Han memutar tongkat melin­dungi tubuh sambil memperhatikan gaya permainan para pengeroyoknya dan me­ngukur tingkat kepandaian mereka.

Dia kagum sekali. Ranting di tangan mereka itu kadang‑kadang berubah mene­gang keras seperti baja, kadang‑kadang lemas seperti cambuk dan gerakan mere­ka amat ringan dan cepat, tenaga sin-kang mereka pun amat kuat. Dibandingkan dengan pembantunya, Yap Sun, agaknya tingkat setiap orang kakek muka kuning ini lebih tinggi, akan tetapi dibanding­kan dengan Phoa Chok Lin yang dia gembleng sendiri, pembantu utamanya itu lebih menang setingkat. Betapapun juga, kalau Ciok Lin yang menghadapi pengeroyokan ini, tentu pembantunya itu akan kalah!

Yang amat membikin dia penasaran dan kewalahan adalah ilmu silat mereka yang istimewa digerakkan untuk mengha­dapi Soan‑hong‑lui‑kun. Biasanya, dengan ilmu gerak kilatnya ini, dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan‑lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi sekarang, biarpun dia memiliki gerakan kilat yang jauh lebih cepat daripada ge­rakan mereka, namun keempat orang itu selalu mendahuluinya, menutup lubang-lubang ke mana dia dapat mencelat sehingga Soan‑hong‑lui‑kun tak dapat ia mainkan dengan leluasa, bahkan se­ringkali macet dan tertutup di tengah jalan. Terpaksa Suma Han mengeluarkan kepandaiannya, memutar tongkatnya melindungi tubuh sehingga beberapa kali terdengar suara keras bertemunya tong­kat dengan empat batang ranting itu.

Kalau begini keadaannya, aku hanya akan dapat menang dengan merobohkan mereka, dan hal ini berarti bahwa em­pat orang itu akan terluka. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka sam­bil mengeluarkan lengking panjang, tiba-­tiba tubuh Suma Han mencelat ke bela­kang, membiarkan empat orang itu me­ngejarnya dan dengan gerakan cepat ia menancapkan tongkat di tanah kemudi­an kedua lengannya ia lonjorkan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan lalu membuat gerakan mendorong.

“Aihhh....!” Empat orang yang sedang menerjang maju itu terhenti gerakannya dan terpental mundur sampai dua lang­kah. Tubuh mereka menggigil karena ada hawa dingin menyambar mereka. Cepat mereka pun berdiri melonjorkan kedua lengan sambil mengerahkan sin-kang. Dengan mempersatukan tenaga, mereka mampu mengusir hawa dingin yang menyerang, bahkan berusaha mem­balas dengan pukulan sin‑kang jarak jauh. Akan tetapi, tiba‑tiba mereka terkejut sekali karena dorongan hawa dingin yang menekan dan yang berhasil mereka lawan itu tiba‑tiba berubah menjadi hawa yang amat panas seperti ada api menerjang mereka. Cepat mereka menyesuaikan diri dengan pengerahan sin‑kang men­cipta tenaga dingin. Namun kembali serangan hawa sin-kang dari majikan Pulau Es itu berubah dingin, dan sebelum mereka berempat menyesuaikan diri kembali berubah dan terus berubah‑ubah sehingga keempat orang itu akhirnya menjadi kacau pengerahan sin‑kangnya, mempengaruhi jalan darah dan mereka terhuyung‑huyung lalu roboh pingsan! Suma Han menghentikan pengerahan sin‑kangnya dan tiba‑tiba dari dalam is­tana itu menyambar sesosok tubuh manu­sia berpakaian hitam dengan kecepatan yang luar biasa.

Menduga bahwa orang yang gerakan­nya secepat kilat ini tentu Ketua Pulau Neraka, maka melihat tubuh itu melun­cur dan mengirim pukulan ke arah dada­nya, Suma Han tidak berani memandang rendah dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis.

“Dukkk!” Ia terkejut karena orang itu pun mempergunakan Im‑kang yang amat kuat sehingga terasa olehnya hawa dingin menyerangnya. Pertemuan dua lengan yang sama‑sama mempergunakan Im‑kang itu hebat sekali, membuat Suma Han terpental selangkah ke belakang akan tetapi lawannya juga terpental tiga langkah! Sebelum Suma Han dapat meli­hat jelas, orang itu telah menubruk lagi dengan pukulan kedua tangan terbuka. Dia cepat mengangkat kedua tangannya menerima telapak tangan lawan.

“Plakkk!” Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat, dua muka berha­dapan dan dua pasang mata bertemu pandang.

Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Suma Han akan sekaget ketika ia melihat wajah yang putih itu. Ia menarik kembali kedua tangannya, meloncat mundur dengan kaki tunggalnya, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergerak me­manggil.

“Lulu....!” Kaki tunggalnya menggigil sehingga ia jatuh berlutut memegang tongkatnya.

“Han‑koko....!” Wanita bermuka putih yang bukan lain adalah Lulu itu menu­bruk maju dan berlutut pula.

“Lulu.... Moi‑moi....!” Suma Han memandang wajah cantik yang kini menjadi putih warnanya, memandang sepasang mata bintang yang bercucuran air mata. “Lulu Adikku....”

“Aku bukan adikmu Han-koko!”

“Ohhh....” Suma Han mengeluh, mereka saling pandang kemudian saling me­meluk, berdekapan seolah‑olah hendak menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini menyesak dada. Akan tetapi Suma Han segera dapat menguasai hatinya dan melepaskan pelukan, memegang kedua pundak Lulu dan memandang wa­jah itu.

“Lulu‑moi‑moi.... jadi engkaukah To-cu Pulau Neraka? Ahhh.... Moi‑moi, mengapa begini....?”

“Karena engkau, Koko! Karena engkau kejam, engkau tega kepadaku!”

“Lulu, jangan berkata demikian. Engkau satu‑satunya orang yang kusayang di dunia ini, sejak dahulu sampai seka­rang. Mengapa engkau melarikan diri meninggalkan suamimu? Tahukah engkau bahwa dia menjadi sengsara dan mem­bunuh diri dengan berjuang sampai mati? Ahhh, Lulu....!”

“Aku tahu! Dan semua itu terjadi karena engkau, Koko. Engkau kejam dan tega kepadaku, meninggalkan aku! Kita sama dibesarkan di Pulau Es, akan teta­pi engkau tinggal di sana melupakan aku, padahal seharusnya kita berdua yang tinggal di sana. Engkau memaksa aku menikah dengan orang yang tidak kucinta, engkau meninggalkan aku dengan hati remuk, juga membuat hatiku han­cur, kebahagiaanku musnah. Butakah engkau, atau pura‑pura tidak tahu bahwa semenjak dahulu, hanya engkau satu­satunya pria yang kucita?”

“Ahh.... Lulu....!”

“Dan perasaanku meyakinkan bahwa engkau pun cinta kepadaku.... Tidak! Jangan katakan bahwa cintamu adalah cinta saudara! Engkau menipu hati sen­diri dan sebaliknya daripada menyambung cinta kasih antara kita menjadi perjodoh­an engkau malah memaksa aku berjodoh dengan orang lain, sedangkan engkau sendiri rela pergi dengan hati hancur! Engkau menghancurkan kebahagiaan hati kita berdua! Pura‑pura tidak tahukah eng­kau bahwa semenjak dahulu, sampai sekarang, ya, sampai saat ini, aku ha­nya akan bahagia kalau menjadi iste­rimu! Koko Han Han, jawablah, engkau tentu ingin menerima aku sebagai isterimu, bukan?”

Suma Han, Pendekar Super Sakti yang telah memiliki kekuatan batin luar biasa itu, kini hampir pingsan. Cinta merupa­kan kekuatan yang maha hebat, yang mengalahkan segala kekuatan di dunia ini. Jantungnya seperti diremas‑remas, seluruh tubuhnya menggigil dan kedua matanya basah.

“Lulu.... aku.... aku telah dijodohkan oleh Subo dengan Nirahai.... dan dia.... diapun meninggalkan aku....”

Lulu meloncat berdiri dan melangkah mundur, sejenak dadanya berombak me­nahan kemarahan yang timbul karena cemburu. “Hemmm.... dan engkau lebih mencinta Suci Nirahai daripada aku?”

Suma Han juga bangkit berdiri dengan kaki lemas. Dia memandang wajah Lulu kemudian menghela napas dan menunduk, “Lulu.... aku.... aku...., ahh, bagaimana aku harus menjawab? Semenjak dahulu aku cinta padamu, cinta lahir baiin, dengan seluruh jiwa ragaku. Akan tetapi engkau adikku, maka aku mengalah. Ke­mudian, Subo menjodohkan aku dengan Nirahai, dan dia.... dia mirip denganmu. Karena sudah menjadi isteriku, bagaima­na aku tidak mencinta dia? Akan tetapi engkau.... ahhhh, aku mencinta kalian berdua, Lulu.... sungguhpun cintaku terha­dapmu tiada bandingnya di dunia ini.... akan tetapi engkau.... ah, engkau adalah isteri Sin Kiat dan....”

“Han‑koko! Engkau masih lemah se­perti dulu! Ahhhh, pria mulia yang bo­doh! Pria gagah perkasa yang lemah! Selalu mengalah, membiarkan diri sendiri merana, berniat membahagiakan orang dengan pengorbanan diri akan tetapi ma­lah menimbulkan kesengsaraan kepada semua orang! Aku mencintamu, Koko, akan tetapi aku adalah seorang wanita! Aku tidak sudi lagi bertekuk lutut dan meminta‑minta! Tidak, lebih baik mati! Aku sudah bersumpah untuk memilih dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isteri­mu atau menjadi musuhmu! Tidak ada pilihan lain!”

“Lulu.... Lulu....!” Suma Han menge­luh, hatinya bingung bukan main.

“Ibu....!”

“Paman....!”

Keng In dan Kwi Hong berlari‑lari keluar dari istana hitam. Keng In meng­hampiri ibunya dan Kwi Hong mengham­piri pamannya. Kehadiran kedua orang anak ini mengembalikan kesadaran dan ketenangan Suma Han dan Lulu. Suma Han memandang keponakan atau murid­nya itu, menegur,

“Bagus sekali perbuatanmu, ya!”

Kwi Hong berlutut di depan paman­nya dan berkata penuh rasa takut, “Pa­man.... aku tadinya sudah akan pulang, akan tetapi ditangkap Bibi ini. Harap Paman maafkan aku dan memberi hajar­an kepadanya!”

“Ibu, apakah dia ini To‑cu Pulau Es, Pendekar Siluman? Mengapa Ibu tidak menghajarnya?” Keng In bertanya kepa­da ibunya.

Lulu tidak menjawab, hanya meraba kepala anaknya dan pandang matanya tidak pernah lepas dari wajah Suma Han. Suma Han menghela napas dan berkata kepada Kwi Hong. “Berdirilah, mari kita pulang.” Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi memanggil burung ga­ruda. Tak lama kemudian, tampaklah dua ekor burung itu terbang dengan ce­pat ke tempat itu lalu meluncur turun di depan Suma Han.

“Lulu, aku pergi....”

Lulu tidak menjawab, hanya meng­angguk, sinar matanya membuat Suma Han tidak kuat memandang lebih lama lagi. Ia menghela napas lagi, meloncat ke punggung garuda jantan sedangkan Kwi Hong meloncat ke punggung garuda betina, kemudian dua ekor burung itu terbang cepat meninggalkan pulau, di­ikuti pandang mata Lulu dan Keng In.

“Ibu, mengapa membiarkan mereka pergi?”

Lulu menunduk, tidak menjawab, ha­tinya tertusuk oleh pertanyaan itu. Mengapa dia membiarkan Suma Han per­gi? Membiarkan harapan dan kebahagia­annya terbawa pergi bersama orang yang dicintanya itu?

“Toanio, mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?” Tiba‑tiba seorang di antara empat kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu kini te­lah siuman dari pingsannya dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong naik dua ekor burung garuda yang terbang pergi dari tempat itu.

Lulu memandang mereka. “Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita me­ngalahkan dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri? Alangkah rendah dan memalukan. Lain kali masih banyak waktu untuk kuhancurkan dia. Dia itu musuhku! Musuhku....!” Akan tetapi Lulu cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan Keng In dan berjalan memasuki istananya. Setelah ia berada seorang diri kamarnya, Ketua Pulau Neraka ini me­lempar diri di atas pembaringan, mene­lungkup dan menyembunyikan mukanya yang menangis itu di atas bantal.

“Koko.... ahhhh, Han‑koko.... engkau masih lemah seperti dulu....! Kalau eng­kau tidak mau berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di tanganmu.... kau tunggu saja....!”

Mengapa Lulu tiba‑tiba menjadi ma­jikan Pulau Neraka? Agar tidak membingungkan, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari pergi meninggalkan suaminya, Wan Sin Kiat atau yang terkenal dengan julukan Hoa-san Gi‑hiap (Pendekar Budiman dari Hoa­san).

Semenjak Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa‑san Gi‑hiap Wan Sin Kiat, kemudian ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian Su­ma Han dengan ratap tangis dan mera­sa betapa semangatnya dan seluruh keba­hagiaan hatinya terbawa pergi oleh ka­kak angkatnya itu (baca ceritaPende­kar Super Sakti). Semenjak itu, dia hi­dup menderita kesengsaraan batin dan barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak angkatnya itu pria yang dicintanya dan betapa dia telah melaku­kan kesalahan yang besar dalam hidupnya dengan menerima dijodohkan dengan Wan Sin Kiat. Dia suka kepada Sin Kiat dan kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi suaminya ini, akan tetapi dia tidak dapat mencintanya sebagai seorang isteri mencinta suami karena kini dia merasa yakin bahwa dia hanya dapat mencinta Suma Han seorang yang tak mungkin diganti dengan pria lain. Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan de­ngan Sin Kiat, sudah bersumpah di depan meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya mempergunakan kebijaksanaan dan ber­usaha untuk mencinta suaminya, melaya­ninya sebagaimana kewajiban seorang isteri yang baik. Namun, sampai dia me­lahirkan seorang anak, tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat, tidak dapat melupakan Suma Han, bahkan ma­kin berat penderitaan batinnya yang menjerit‑jerit ingin dekat dengan pria yang dicintanya itu. Suaminya juga mak­lum dan merasa akan keadaan isterinya itu, dan akhirnya, karena tidak kuat la­gi, Lulu membawa anaknya pergi me­ninggalkan suaminya.

Dengan niat hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke Pulau Es, dia melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan te­tapi Lulu sekarang tidak seperti dahulu ketika masih kanak‑kanak bersama Han Han (Suma Han) melakukan perjalanan, kini setelah menjadi murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat dan dia dapat me­lakukan perjalanan cepat.

Betapapun juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau Es. Maka Lulu yang tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan perjalanannya dengan mengira‑ira saja, sambil mengingat‑ingat perjalanannya dahulu ketika meninggalkan Pulau Es bersama Suma Han. Banyak daerah yang sudah ia lupakan, maka di luar tahunya, dia tersesat sampai memasuki daerah Khitan! Pada suatu pagi, dia melihat se­buah tanah kuburan yang luas, tanah ku­buran yang megah dan terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan itu adalah tanah kuburan keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika melihat seorang ka­kek bongkok yang lihai bertanding mela­wan seorang tinggi besar kurus berkulit hitam memakai sorban. Ia teringat akan penuturan sucinya, Puteri Nirahai, tentang penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai dan bongkok benama Gu Toan. Kini melihat kakek bongkok itu dan keadaan tanah kuburan, ia sege­ra menduga bahwa tentu inilah kuburan keluarga Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa berpihak kepada kakek bongkok. Setelah menggendong Keng In erat‑erat di punggungnya, Lulu menca­but pedangnya dan meloncat ke gelang­gang pertempuran sambil berseru,

“Apakah Locianpwe yang bernama Gu Toan?”

Kakek bongkok itu sedang didesak he­bat oleh orang India tinggi kurus yang amat lihai, namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh. “Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Suci Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoinya, murid Subo Maya.”

“Ahhh.... kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka‑pusaka dan pergi dari sini. Bawa pusaka‑pusaka itu.”

Lulu tertegun dan bingung. “Pusaka apa....?”

“Dessss!” Tubuh Gu Toan terguling-­guling karena dia terkena pukulan di pundaknya oleh tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat bangun lagi dan mulutnya menyemburkan darah segar.

Melihat ini, Lulu menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi orang India itu mendorongkan tangan kiri ke depan dan Lulu terhuyung‑huyung!

“Jangan bantu aku! Lekas kaubuka batu di belakang kuburan Suling Emas, ambil semua pusaka dan bawa pergi. Cepat....!” Kakek Gu Toan kembali ber­kata dan menerjang orang India itu de­ngan nekat. Kakek itu mempergunakan bahasa selatan yang dimengerti oleh Lulu, akan tetapi agaknya tidak dime­ngerti oleh kakek India itu yang menja­di marah dan mengamuk dengan kaki tangannya yang panjang‑panjang.

Maklum bahwa menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting daripada nya­wa kakek bongkok itu, apalagi teringat bahwa pusaka‑pusaka peninggalan Suling Emas adalah pusaka yang diperebutkan semua orang kang‑ouw, Lulu cepat me­loncat dan meneliti batu nisan kuburan satu demi satu. Akan tetapi tidak sukar dan tidak lama dia mencari karena batu nisan kuburan Suling Emas adalah yang terbesar dan berada di tengah‑tengah. Cepat dia menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah kuburan dan dengan tenaga sin-kang dia mendorong batu besar yang berada di situ. Batu tergeser dan di bawahnya terdapat sebuah lubang. Cepat diraihnya sebuah peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya. Ketika ia meloncat bangun, ia melihat Si Bong­kok kembali terhuyung‑huyung terkena pukulan lawannya yang lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok ber­seru.

“Lekas pergi! Lekas lari.... pusaka itu menjadi milikmu....!”

Mendengar ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan kesela­matan anak di gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Beberapa hari kemudian ketika ia membuka peti kuning, ia men­dapatkan kitab‑kitab pelajaran ilmu silat tinggi, yaitu ilmu‑ilmu yang dipelajari Suling Emas dari Bu Kek Siansu dan telah ditulis sebagai kitab oleh Suling Emas. Ilmu silat Kim‑kong‑sin‑hoat, Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-kiam-hoat dan Lo-hai-san-hoat. Selain empat buah ki­tab ilmu silat tinggi ini, terdapat pula sebuah kipas, kipas pusaka milik mendi­ang Suling Emas! Lulu teringat bahwa pusaka Suling Emas dahulu dipinjam oleh Nirahai. Dia menjadi girang sekali dan sambil melanjutkan perjalanannya menca­ri Pulau Es yang ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari ilmu-­ilmu itu. Karena dia telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pada dasarnya dia memiliki sin-kang luar biasa dari latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu‑ilmu itu cepat dapat dikuasai­nya.

Akhirnya, setelah melakukan perjalan­an berbulan-bulan menempuh segala ma­cam kesukaran, tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat dia dan Suma Han mendarat dahulu ketika mere­ka meninggalkan Pulau Es (Baca ceritaPendekar Super Sakti). Tempat itu su­nyi sekali, tidak ada manusia dan tentu saja tidak tampak nelayan, maka dengan tekun dan sabar Lulu membuat sebuah perahu dari batang pohon. Biarpun dia memiliki tenaga yang hebat, namun se­bagai seorang wanita yang tidak pernah melakukan pekerjaan berat, tentu saja pembuatan perahu ini memakan waktu berbulan-bulan. Dengan nekat ia lalu me­luncurkan perahunya ke tengah lautan dan hanya mengandalkan dayung dan kedua tangannya untuk mendayung perahu, pergi mencari Pulau Es, atau lebih te­pat lagi, pergi mencari Suma Han, laki­-laki yang dicintanya. Tekadnya, kalau tidak dapat mencari Suma Han dan hidup di samping pria ini, lebih baik mati saja!

Dalam pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah ke­tidakmampuan mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan hebat bagi Lulu dan anaknya, jauh lebih hebat daripada ketika dia melakukan perjalanan darat. Beberapa kali badai dan taufan mengancam nyawa, mengombang­-ambingkan perahu hampir tenggelam. Dalam keadaan seperti itu, Lulu hanya dapat menangis, mendekap puteranya dan menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta pertolongan dari orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan belum menghendaki dia mati, biarpun badai seperti itu, Lulu dan puteranya tetap selamat!

Karena serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana arah tujuannya, dan tidak tahu di mana adanya Pulau Es! Jangankan itu, bahkan dia tidak tahu lagi di mana letaknya daratan yang sudah tidak tampak lagi dari tengah lautan. Dia tidak takut ke­laparan karena dengan kepandaiannya, mudah saja baginya untuk menangkap ikan dan memanggang dagingnya, minuman pun tidak kurang karena kini selain air hujan, ia dapat pula minum dari gumpal­an es yang kadang-kadang terdapat di atas permukaan air laut. Hanya mengha­dapi amukan badai, dia benar-benar ti­dak berdaya dan hanya mampu menangis, menyebut-nyebut nama Suma Han.

Pada suatu pagi, tiba-tiba dia mende­ngar suara melengking di atas perahu dan betapa kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar sekali beterbangan di atas perahu sambil me­ngeluarkan suara melengking-lengking panjang. Tiba-tiba burung itu menyam­bar ke bawah, agaknya hendak mener­kam Keng In yang berada di atas papan perahu.

“Prakkk!” Dayung di tangan Lulu han­cur, akan tetapi burung itu pun terpen­tal dan terbang ke atas sambil meme­kik marah.

“Keparat jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun kalau kau berani!” Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil memaki­-maki. Dia menyambar Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka anak dan peti itu dia ikat kuat-kuat di punggungnya, tangannya mencabut pe­dang, siap menghadapi burung rajawali yang agaknya masih penasaran dan beterbangan mengelilingi atas perahu kecil.

Burung rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah menyakitinya. Lulu mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat dan juga pan­dai sekali bertempur, karena kuku-kuku jari kakinya diulur seperti pisau-pisau runcing menangkis sambil mencengkeram.

“Crakkkk.... aihhh!” Lulu menjerit dan meloncat ke belakang. Kuku jari kaki kiri burung itu patah terbabat pedang, akan tetapi cengkeraman kaki kanannya berhasil merampas pedang dan melukai sedikit lengan tangan Lulu! Sambil ter­bang berputaran, burung itu memekik-­mekik kesakitan dan juga saking marah­nya pedang rampasan dilepaskan dan jatuh ke dalam laut, kemudian ia siap untuk menyerang lagi.

Biarpun marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia berlaku cerdik. Dilolosnya sabuk sutera dari ping­gang dan begitu burung itu menyambar turun, Lulu menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas merupakan sinar putih, ujung sabuk dengan tepat melibat leher burung dan ia meloncat ke atas menga­yun dirinya dengan sabuk itu. Di lain sa­at, Lulu telah duduk di atas punggung rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat se­hingga leher burung itu tercekik!

“Menyerahlah! Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu sampai patah!” Lulu membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu leher, se­dangkan tangan kanannya menarik ujung sabuk yang telah melibat leher burung. Burung itu meronta-ronta, berusaha memutar kepala untuk mematuk orang yang menduduki punggungnya, namun Lulu lebih cepat lagi menghantam kepala bu­rung itu dengan telapak tangan kiri. Se­telah burung itu megap-megap hampir kehabisan napas, Lulu mengendurkan ce­kikannya dan kembali membentak.

“Hayo terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!”

Setelah beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu agaknya merasa bahwa dia telah bertemu mah­luk yang lebih kuat, maka sambil menge­luh panjang ia tidak meronta lagi, melainkan terbang dengan lurus dan cepat menuju ke utara. Lulu girang bukan main. Kalau burung ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah mencari Pulau Es dengan menunggang burung raksasa ini daripada naik perahu kecil yang sela­lu dilanda ombak!

“Eh, Tiauw-ko (Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang bersahabat. Tolong­lah terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es, kau tahu?”

Akan tetapi burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara? Kalau dia mengalami kesukaran dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi adalah sarangnya, maka biarpun kini dia tidak berani lagi membantah atau melawan penunggangnya, otomatis dia terbang secepatnya menuju ke sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!

Pada waktu itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak dikenal orang. Para penghuninya, biarpun memiliki ilmu kepandaian yang lihai namun merupakan keturunan orang‑orang buangan yang selamanya mengasingkan diri di tempat ini. Pemimpin mereka adalah orang‑orang yang memiliki kepandaian paling tinggi, dan pada waktu itu, yang menjadi pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang ilmunya tinggi sekali. Seorang di antara mereka yang paling tua menjadi pemimpin pertama sedangkan lima orang lain menjadi pem­bantu‑pembantunya. Karena hidup ter­asing, keadaan mereka lebih menyerupai kehidupan orang‑orang yang masih biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya ter­buat daripada kulit‑kulit binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata‑rata memiliki ilmu silat tinggi, bahkan banyak di antara mereka yang turun‑temurun mempelajari huruf‑huruf sehingga pada waktu itu mereka mengenal huruf‑huruf yang kuno yang dipergunakan ratusan ta­hun yang lalu dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.

Ketika Lulu melihat burung yang di­tungganginya itu terbang di atas sebuah pulau hitam yang kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata, “Tiauw‑ko, itu bukan Pulau Es! Pulau Es kelihatan putih bersih, tidak seperti ini. Kau ke­liru memilih tempat!”

Akan tetapi rajawali yang tidak me­ngerti kata‑kata ini, tetap saja terbang merendah dan tiba‑tiba Lulu melihat gerakan orang‑orang di atas pulau, juga dia melihat bangunan‑bangunan aneh. Melihat di bawah ada orang, dia girang sekali. Mungkin sekali penghuni pulau di bawah ini akan dapat memberi kete­rangan tentang Pulau Es, dan siapa tahu kalau‑kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka mengantar de­ngan perahu. Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya ini pun amat berbahaya!

“Turunlah! Turun ke tempat orang­-orang itu!” Lulu menepuk‑nepuk leher rajawali dan burung itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu cepat merangkul lehernya. Anaknya mu­lai menangis.

“Diamlah, Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang....” Lulu menghibur dan menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di punggung.

Akan tetapi betapa kaget dan heran­nya ketika burung rajawali sudah ter­bang rendah, ia melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di bawah itu bermacam-macam warnanya, tidak lumrah manusia karena ada yang hitam, merah, hijau, biru dan kuning! Akan tetapi karena burung itu sudah hinggap di atas tanah, ia lalu melompat turun de­ngan gerakan ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung rajawali yang merasa punggungnya tidak ditunggangi lagi, memekik girang lalu terbang ke atas membubung tinggi, masih memekik-mekik.

Orang-orang yang aneh itu mengha­dapi Lulu dan memandang penuh perha­tian. Enam orang kakek yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di antara mereka yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih berkata, suaranya ka­ku dan aneh, akan tetapi Lulu masih dapat menangkap artinya.

“Toanio siapakah? Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?”

Kini Lulu yang terbelalak keheranan. “Orang buangan dari Pulau Es? Apa mak­sudmu? Aku justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau itu?”

“Kami tidak tahu dan mau apa eng­kau mencari Pulau Es?”

“Aku mau mencari sahabatku di sana!”

“Sahabatnya di Pulau Es!” Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini memandang Lulu dengan geram. Hal ini mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya mereka ini adalah orang-orang yang membenci Pulau Es, entah apa se­babnya. Melihat mereka sudah siap-siap dengan mencabut bermacam senjata, Lulu cepat bertanya,

“Kalian siapakah? Dan pulau apakah ini?”

Kakek itu menjawab, “Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari Pu­lau Es. Pulau ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es, dan sekali waktu, pasti kami akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh kami di Pulau Es!”

Hati Lulu makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik. Han Han (Suma Han) telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biarpun dia me­rasa yakin bahwa kakak angkatnya itu pun mencintainya, namun telah tega mengawinkan dia dengan orang lain! Se­karang setelah ia melarikan diri dari sua­minya, mengingat akan watak kakak ang­katnya itu, tentu dia akan dimarahi dan belum tentu kakak angkat itu mau me­nerimanya. Akan tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang ini! Dia kelak akan dapat memperlihatkan bahwa dia pun bukan orang sembarangan, dan dia akan menginsafkan kakak angkatnya itu! Apalagi karena sekarang dia telah menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggal­an Suling Emas.

“Bagus!” tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. “Kalau begitu, biarlah aku akan memimpin kalian untuk me­nyerbu Pulau Es!”

Terdengar suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata, “Engkau katakan tadi bahwa engkau hendak mencari saha­batmu di Pulau Es?”

“Benar, akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat kalian? Aku akan memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar kalian menjadi orang pandai dan beradab, tidak seperti sekarang ini!”

“Perempuan muda, bicaramu tekebur sekali! Engkau anggap kami ini orang apa mudah saja mengangkat seorang pemimpin seperti engkau? Biarpun engkau da­tang secara aneh menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang kepandaian, hemm.... agaknya melawan orang tingkat terendah dari kami saja belum tentu engkau menang!”

Semenjak gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati. Kini mendengar kata-kata itu, naik darahnya. “Siapa yang paling tinggi tingkatnya di sini?”

Kakek bermuka kuning itu tertawa.

“Aku!”

“Baik. Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apa­kah aku cukup berharga menjadi ketua di sini?”

Kembali terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu. Kakek itu mengelus jenggotnya dan ber­kata, “Perempuan muda, engkau sungguh lancang. Akan tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini dia diangkat menjadi pemimpin. Aku orang pertama di sini, kalau engkau bisa mengalahkan aku, tentu saja engkau patut menjadi pemimpin.”

“Bagus! Kalau begitu, kautunggu se­bentar!” Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya. Keng In, anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis kare­na lapar, maka dia lalu menyusui anak­nya, ditonton oleh semua orang yang berada di situ dengan heran. Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang disusui ka­rena Sang Ibu yang sudah berubah warna kulitnya berarti telah mempunyai darah yang beracun sehingga anak-anak diberi makanan buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan makanan lain.

Setelah menyusui anaknya yang lan­tas tertidur saking lelahnya, Lulu melon­cat bangun dan menggulung lengan baju­nya, menghadapi kakek itu. Dia teringat pedangnya yang sudah jatuh ke laut, maka dia bertanya,

“Engkau hendak bertanding dengan senjata apa?”

“Perempuan muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau tidak bersenjata, biarlah kuhadapi eng­kau dengan tangan kosong pula. Bahkan kalau engkau bersenjata pun, aku sang­gup menghadapimu dengan tangan ko­song!” Setelah berkata demikian, kakek muka kuning itu lalu menancapkan ran­tingnya di atas tanah, kemudian kakinya yang telanjang itu melangkah maju menghampiri Lulu.

“Bagus, kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan serang­lah!” Biarpun Lulu mempergunakan kata­-kata dan sikap sombong, namun sebenarnya dia cerdik dan diam-diam dia waspa­da karena dia dapat menduga bahwa orang-orang aneh ini tentu memiliki kepandaian yang aneh pula.

“Perempuan muda, jaga seranganku!” Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya menyambar.

“Wuuuuttt!” Angin keras menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena tepat seperti telah diduganya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang hebat. Namun dia tidak gentar dan dengan mudah ia mengelak dengan loncatan ringan kemudian dari samping kakinya menendang ke arah lambung lawan.“Plakk!” Kakek itu menangkis dan dia berseru kaget. Sama sekali tidak di­sangkanya bahwa perempuan muda itu memiliki tendangan yang demikian he­bat sehingga tangkisannya yang dapat mematahkan balok itu ketika mengenai kaki, terasa nyeri sedangkan wanita itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia bahwa wanita itu tidak bersombong kosong, maka mulai dia menerjang bagaikan angin ribut, cepat dan kuat setiap pukulannya. Lulu merasa girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki untuk mengukur tenaga dan biarpun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu bah­wa sin-kangnya yang dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi tenaga ka­kek ini. Maka dia pun kini melawan de­ngan pengerahan tenaga, bahkan dia mu­lai mainkan ilmu-ilmu silat baru yang ia pelajari dari kitab peninggalan Suling Emas. Berkali-kali kakek itu berseru kaget dan heran ketika mengenal ilmu si­lat yang dasarnya sama dengan ilmunya sendiri, hanya dia tidak mengenal perubahan-perubahannya yang jauh lebih he­bat daripada kepandaiannya. Ketika Lulu mencoba untuk mainkan Kim-kong Sin-kun, dia masih mampu menahan, akan tetapi ketika Lulu merobah ilmunya dan mencoba mainkan Hong-in-bun-hoat, ka­kek itu berseru kaget dan terdesak hebat.

Dia hanya melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang menulis huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya serangan kedua tangan itu luar biasa sekali, dan kuat­nya bukan main sehingga angin pukulan­nya saja membuat dia tergetar. Memang demikianlah sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera Angin dan Awan), yang dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang. Ilmu ini mendasarkan pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti menjadi sifat huruf-huruf itu, coretannya sesuai dengan makna hurufnya seperti lukisan, akan tetapi kalau coretan-coretan itu dilakukan sebagai gerakan menyerang, hebatnya bukan ma­in!

Setelah mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah “coretan” tak ter­sangka-sangka dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki pertahanan Si Kakek dan jari-jari yang lembut itu me­ngenai pangkal lengan.

“Cusss!”

“Aduhhh....!” Kakek itu terhuyung-­huyung ke belakang dan dari pangkal lengannya keluar darah. Baju kulit hari­mau beserta kulit dan daging pangkal lengan itu terkuak oleh jari tangan Lulu!

“Toanio, tidak kusangka ilmu kepan­daianmu hebat bukan main! Akan tetapi aku belum kalah! Hadapi rantingku ini!” Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit sekali kakek yang sudah terlu­ka itu menyambar rantingnya lalu me­nerjang maju.

“Cuittt.... tar-tar-tar....!” Senjata yang hanya merupakan ranting kayu itu ternyata lemas sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak dan mengan­cam kepala Lulu dari empat penjuru!

Kalau saja Lulu tahu bahwa sekali terke­na ujung ranting itu dia akan menderita luka berbisa yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan mendatangkan bahaya. Untung dia tidak tahu sehingga dia dapat bersikap tenang, mengelak ke sana sini sambil berusaha merampas ran­ting!

Akan tetapi tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung dipergunakan untuk menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke kiri, dan ranting itu sudah meledak lagi ber­ubah lemas menyambarnya seperti lecut­an cambuk. Diserang secara aneh oleh senjata yang dapat lemas dan berubah kaku ini, Lulu menjadi sibuk sekali. Un­tung bahwa dia pernah digembleng oleh Maya dalam hal ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sehingga kini tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata istimewa lawan itu.

Para penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu, kini menjadi bengong dan terbelalak kagum. Biarpun wanita itu terdesak, namun jelas tampak oleh mereka betapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan lebih tinggi ting­katnya daripada kakek yang menjadi ke­tua mereka!

Payah juga Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi pena­saran dan marah karena sama sekali ti­dak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Tubuhnya terus dikejar ujung ranting yang menghalangi dia melakukan serangan. Sayang dia tidak mempunyai senjata. Tiba-tiba ia teringat. Di dalam peti kuning terdapat sebuah senjata kipas peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah mempelajari ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah di antara kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan kipas itu, Teringat akan ini, dia berseru. “Tahan senjata!”

Kakek itu berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, namun belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan! Ka­rena dia menyerang terus menerus dan belum pernah ia melakukan pertandingan selama itu, napasnya memburu dan ham­pir putus, mukanya sebentar merah se­bentar pucat, membuat muka yang ber­warna kuning itu sebentar tua sebentar muda warnanya.

“Apakah engkau menyerah kalah?” kakek itu menegur.

Lulu meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu ber­diri lagi menghadapi lawannya. “Belum ada setitik darahku keluar, bagaimana aku menyerah kalah? Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah dan menjadi pembantuku, karena kalau aku mengguna­kan senjataku ini, engkau pasti akan kalah.”

“Senjata.... kipas....?” Kakek itu mengerti kipas dari dongeng nenek moyang dan sebagian besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat kipas selama­nya, juga mendengar pun belum, maka mereka memandang terheran-heran.

“Benar, inilah senjataku saat ini!”

“Toanio, engkau lihai, akan tetapi jangan main-main. Menurut dongeng nenek moyang, kipas hanyalah dipergunakan oleh para siucai (mahasiswa) dan wanita cantik untuk menyilirkan badan dan me­nuliskan sajak serta gambar. Bagaimana kini akan kaupergunakan sebagai sen­jata?”

“Lopek, engkau lupa bahwa engkau sendiri mempergunakan senjata yang ti­dak semestinya, hanya sebatang ranting. Karena itu tentu engkau mengerti bahwa makin sederhana senjatanya, makin berbahaya. Awaslah terhadap kipas pusa­kaku ini. Ingat, Kwan Im Pouwsat dengan kipasnya sanggup menundukkan seribu satu macam siluman!”

Kakek itu melotot marah dan sambil mengeluarkan suara melengking-lengking dia menerjang maju. Jantung Lulu terge­tar hebat oleh suara lengkingan itu, ma­ka tahulah dia bahwa kakek itu memper­gunakan khi-kang untuk mempengaruhi­nya. Hanya orang yang sudah tinggi il­munya saja yang mampu mengeluarkan suara seperti itu, suara yang dimiliki binatang-binatang besar tanpa latihan, seperti yang dimiliki singa atau harimau sehingga sekali menggereng, jantung calon korbannya tergetar dan kakinya le­mas tak mampu lari lagi. Lulu juga mengeluarkan suara teriakan melengking yang tinggi mengatasi suara kakek itu dan dia cepat menggerakkan kipasnya ketika ranting itu menerjangnya. Dan ternyatalah bahwa senjata kipas ini amat tepat untuk menghadapi senjata ranting yang kadang-kadang menjadi pecut kadang­-kadang menjadi tombak baja itu! Dengan ilmu sakti Lo-hai-san-hoat, kipasnya da­pat dikembangkan dan dikebutkan mengha­lau ujung ranting, kemudian disusul de­ngan totokan-totokan mengunakan ujung gagang kipas.

Kakek yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi makin repot. Kini dia­lah yang terdesak karena rantingnya ka­lau dibuat lemas, selalu terdorong angin kebutan kipas sehingga gerakannya ka­cau bahkan tak dapat ia kuasai lagi, se­dangkan kalau dibikin kaku, tangkisan gagang kipas membuat kedua telapak tangannya panas dan perih.

Dengan gerengan marah kakek itu menusukkan rantingnya yang menjadi kaku. Lulu sudah mendengar anaknya menangis lagi, agaknya sadar dari tidurnya, maka dia ingin mempercepat keme­nangannya. Melihat ujung ranting datang, dia cepat menggerakkan kipasnya dengan kedua gagang menggunting dengan jurus ilmu kipas yang disebut Siang-in-toan­-san (Sepasang Awan Memotong Gunung). Ujung ranting itu terjepit dan tidak da­pat dicabut kembali! Kakek itu terkejut, menggereng dan hanya menggunakan ta­ngan kiri memegang ranting sedangkan tangan kanannya melayang ke depan di­barengi langkah kakinya, langsung mengi­rim pukulan ke arah dada Lulu. Pukulan yang antep sekali karena kakek itu mengerahkan sin-kangnya!

“Hemmm!” Lulu mendengus, tangan kirinya didorongkan ke depan, telapak tangannya menerima kepalan lawan sam­bil mengerahkan sin-kang yang dilatih di Pulau Es dan yang ini telah men­capai tingkat tinggi.

“Desss!” Kepalan tangan kakek itu menempel di telapak tangan Lulu. Lulu mengerahkan napas memperkuat Im-kang. Tiba-tiba kakek itu menggigil tubuhnya, menarik tangannya, terhuyung ke belakang dan “uaaakkk!” dia muntah darah dan ro­boh terguling dalam keadaan pingsan!

Keadaan menjadi sunyi sekali. Tak seorang pun bergerak, hanya memandang penuh takjub seolah-olah belum dapat percaya bahwa pemimpin mereka dikalahkan wanita muda itu! Yang terdengar ha­nya tangis Keng In. Lulu berdiri tegak. Kipas terkembang di depan dada, tangan kiri terbuka jarinya di atas kepala, si­kapnya gagah dan menyeramkan.

“Masih adakah yang tidak mau mene­rima aku menjadi Ketua Pulau Neraka?” Suaranya dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang sehingga menggetarkan jantung semua orang.

Para penghuni Pulau Neraka itu tidak ada yang bergerak, semua memandang kepada lima orang kakek bermuka ku­ning yang menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi lima orang kakek ini juga tidak bergerak melainkan memandang kepada yang roboh pingsan. Perlahan-lahan kakek tua itu siuman, membuka mata, bangkit duduk dan memandang ke­pada Lulu, kemudian ia berlutut dan berkata,

“Mulai saat ini, Toanio adalah pe­mimpin kami!”

Mendengar ini, lima orang kakek mu­ka kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diikuti semua penghuni Pulau Neraka dan terdengarlah seruan-seruan mereka.

“Toanio....!”

“To-cu....!”

Lulu tersenyum. “Baiklah, aku girang sekali bahwa kalian suka mengangkat aku menjadi ketua. Aku berjanji akan me­mimpin kalian dan menurunkan ilmu se­hingga tidak saja kalian akan mempero­leh kemajuan, juga akan menjadi penghu­ni Pulau Neraka yang akan meng­gemparkan dunia! Sekarang, lebih dulu aku minta makanan untuk aku dan anak­ku.”

Demikianlah, mulai saat itu Lulu menjadi ketua mereka. Dia menjalankan peraturan baru, menghapuskan pantangan keluar pulau, bahkan dia menyebarkan pembantu-pembantunya yang pandai un­tuk keluar pulau dan mencari bahan pa­kaian untuk mereka semua, mencari kebutuhan-kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia-manusia beradab.

Dia menurunkan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu-ilmu dari keempat ki­tab dia simpan sebagai kepandaian priba­dinya. Bahkan dia melatih diri dan mempelajari ilmu keturunan penghuni Pulau Neraka sehingga dia melatih sin-kang dengan minum racun-racun tumbuh-tum­buhan dan binatang-binatang di pulau itu sehingga setelah mencapai tingkat ter­tinggi, dalam beberapa tahun saja wajah­nya berwarna putih kapur! Juga dia men­didik Keng In dengan penuh kasih sayang sehingga bocah ini menjadi manja. Burung-burung rajawali juga ia taklukkan sehingga dapat dipergunakan untuk bina­tang tunggangannya.

Kemajuan yang dicapai oleh Pulau Neraka amat hebat. Karena Lulu mengu­tus pasukan-pasukannya keluar pulau, sebentar saja mereka terlibat dengan orang-orang kang-ouw dan mulailah nama Pulau Neraka terkenal sebagai kekuatan yang menakutkan.

Ketika puteranya yang bertugas mengumpulkan akar dan daun obat un­tuk keperluan penghuni menolak bahaya dari keracunan datang melapor akan munculnya seorang anak perempuan murid Majikan Pulau Es, Lulu cepat berangkat sendiri dan menangkap Kwi Hong. Sudah lama ia berkeinginan mengunjungi Pulau Es, akan tetapi karena merasa belum cukup kuat, ia selalu menunda. Dari penyelidikan orang-orangnya, ia mendengar bahwa Suma Han telah menjadi majikan Pulau Es dan bahwa di sana terdapat banyak anak buahnya, banyak pula terda­pat wanita-wanita cantik yang gagah perkasa dan betapa Pulau Es seolah-olah merupakan sebuah kerajaan kecil. Mende­ngar ini, makin sakit rasa hati Lulu ka­rena dia menganggap bahwa Han Han (Suma Han) kejam dan lupa kepadanya. Bukankah sepantasnya kalau Suma Han mencari dan mengajak dia hidup baha­gia di Pulau Es? Dialah yang berhak tinggal di Pulau Es, di samping Suma Han!

Ketika ia memancing Suma Han se­hingga Pendekar Super Sakti itu datang berkunjung ke Pulau Neraka, mengalah­kan semua orangnya, dia melihat betapa Suma Han masih selemah dahulu. Jelas bahwa pria itu mencintanya, akan tetapi pria itu tidak memperlihatkan kejantan­an, tidak memperlihatkan kekuasaannya untuk menundukkannya, bahkan seperti juga dulu, rela pergi dengan hati menderita!

Herankah kita apabila Lulu menangis terisak-isak semalam itu dan di dalam hatinya berjanji untuk memusuhi Suma Han yang telah merampas hatinya, ke­mudian mengecewakan hatinya dan menghancurkan harapan serta kebahagia­annya? Apalagi ketika dia mendengar bahwa pria idaman hatinya itu telah dijodohkan dengan Nirahai, sucinya. Dia akan memusuhi Suma Han, dan akan mencari Nirahai. Dia tidak takut seka­rang terhadap sucinya yang lihai itu, bahkan dia pun tidak takut terhadap Suma Han yang belum sempat diujinya itu. Setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, dia tidak takut terhadap siapapun juga! Rasa kemarahan yang bangkit karena cemburu ini akhirnya mengalahkan kesedihannya dan membuat majikan Pulau Neraka yang digambarkan seperti iblis itu dapat tidur pulas dengan bantal masih basah air mata!

***

“Siuuuutttt.... byurrrr!”

“Lihat, Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?” Seorang gadis cilik yang berpakaian serba merah, ber­usia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas lautan.

“Hemmm, manakah? Ahhh, kau be­nar. Benda apakah itu? Hiiii, Ciangkun, suruh dekatkan perahu dan coba kau am­bil benda itu!” kata laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berpakaian me­wah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di atas sebuah perahu yang me­wah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa penumpangnya adalah seorang bangsawan.

Memang demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah seorang pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang berpesiar di laut­an utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang menumpangi tiga buah perahu lain. Adapun gadis cilik berpakaian merah yang berwajah cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang bernama Milana.

Atas perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang di­tumpangi pangeran itu didayung mende­kati benda yang terapung di laut. Sete­lah agak dekat, Milana berseru, “Sebuah keranjang! Dan ada orangnya di dalam!”

“Hemmm, agaknya dia sudah mati....!” Pangeran Jenghan berseru melihat se­orang anak laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa lagi.

Memang itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika ke­ ranjangnya dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang melun­cur dengan cepatnya, Bun Beng pingsan. Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada ke­betulan kedua, yang pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu kalau tidak ke­betulan lagi dia jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan dia tidak akan tertolong.

Kepala pengawal segera menggerak­kan tangan kanannya dan tampaklah sehe­lai tali meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat sekali ujung tali itu mem­belit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari pingsannya. Anak ini terke­jut ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada di tengah laut. Lebih lagi kagetnya ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya itu terangkat ke atas seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya dia telah disambar la­gi oleh burung rajawali!

“Brukkkk!” Keranjang yang diterbang­kan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala pengawal Mongol itu terban­ting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar keluar, bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun de­ngan kepala pening, bangkit berdiri terhu­yung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat berlutut dan meme­gangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan memejamkan mata­nya.

“Sungguh ajaib! Eh, anak, engkau sia­pakah dan mengapa bisa jatuh dari la­ngit dalam sebuah keranjang?”

Suara yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat Bun Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan mem­buka mata memandang. Dilihatnya se­orang laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita berpakaian merah. Ia memandang ke sekeliling. Kiranya dia ber­ada di atas sebuah perahu besar dan tak jauh dari situ kelihatan tiga buah pera­hu lain. Mengertilah dia bahwa keran­jangnya jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini. Ma­ka perlahan dia bangkit berdiri, kemudi­an membungkuk dan menjawab.

“Namaku Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas. Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke sini. Aku telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah meneri­ma ucapan terima kasihku.”

Sejenak semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi su­nyi. Cerita anak ini terlalu aneh, apalagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap sederhana dan halus akan teta­pi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran Jenghan! Para penga­wal sudah mengerutkan alis hendak ma­rah karena dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan tidak menghormat kepada junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum dan mengangkat kedua lengan ke atas.

“Ajaib....! Ajaib....! Seolah‑olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa? Amat aneh ceri­tamu, sukar dipercaya!”

Bun Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar diperca­ya. Orang ini telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya, semenjak terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara ka­wanan kera kemudian bertemu dengan para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang bertanding sambil menunggang garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan lebih tidak di­percaya lagi. Dia tidak suka bercerita banyak tentang dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan saja, maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.

“Saya sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam keranjang ini. Tiba‑tiba saya terkejut dan ternyata bahwa ke­ranjang yang saya tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena ketakutan, saya meronta­-ronta dan akhirnya keranjang itu dilepas­kan dan saya jatuh ke sini.”

Pangeran Jenghan mengangguk‑angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pange­ran ini masih kurang percaya. Akan tetapi dia berkata, “Hemm, engkau ten­tu kaget dan lelah, juga lapar. Pakaian­mu robek‑robek. Ciangkun, beri dia ma­kan dan suruh istirahat di bagian bela­kang kapal.”

Bun Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap dan serba mahal. Kemudi­an dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa lelah sekali, tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di bagian belakang.

Bun Beng terbangun oleh suara nya­nyian merdu. Ia membuka mata dan me­noleh. Kiranya yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian me­rah yang dilihatnya tadi. Anak itu berdi­ri di atas papan, di pinggir perahu, me­mandang ke angkasa yang biru indah, dan suaranya amat merdu ketika bernya­nyi. Akan tetapi, bagi Bun Beng, yang amat mengherankan adalah nyanyian itu. Kata‑kata dalam nyanyian itu bukanlah nyanyian kanak‑kanak bahkan mengan­dung makna dalam seperti sajak dalam kitab‑kitab kuno. Ia mendengarkan pe­nuh perhatian tanpa menggerakkan tu­buhnya yang masih terlentang.

“Betapa ajaib alam duniasegala sesuatu bergerak sewajarnya menuju ke arah titik sempurnamatahari memindahkan air samudra memenuhi segala kebutuhan di darat dibantu hembusan angin yang kuat setelah melaksanakan tugas muliaair kembali ke asalnyasemua itu digerakkan oleh cintaapa akan jadinya dengan alam semesta tanpa cinta?”

Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyi­kan kata‑kata seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-­kata tanpa tahu artinya.

“Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura‑pura masih ti­dur?”

Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu bisa tahu bahwa dia su­dah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.

“Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?” Bun Beng melom­pat berdiri dan bertanya.

Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepa­sang mata yang mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.

“Apa kaukira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?”

“Kalau tidak mempunyai mata di be­lakang, bagaimana engkau bisa tahu bah­wa aku telah bangun dari tidur?”

“Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biarpun se­dikit, gerakan tubuhmu terdengar oleh­ku.”

Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan pandai bernyanyi dengan suara mer­du ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sin‑kang! Teringatlah ia akan cara pengawal me­naikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan orang‑orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak laki‑laki Pulau Neraka itu! Akan tetapi, kare­na dia sendiri pun sejak kecil telah di­gembleng orang‑orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak memperli­hatkan kekagumannya, bahkan pura‑pura tidak tahu bahwa anak perempuan ini memiliki kepandaian.

“Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!” Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak perempuan itu memandang­nya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perde­batan agar dia dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai daripada anak itu!

Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama sekali tidak marah, bah­kan tersenyum manis sekali dan bertanya. “Bagian manakah yang kau katakan nga­wur?”

“Semuanya! Maksudku, engkau bernya­nyi seperti burung, tanpa mengerti ar­tinya! Misalnya kalimat yang mengata­kan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?”

Mata itu bersinar lembut ketika men­jawab, “Gak Bun Beng, ketika aku di­ajar menyanyikan kata‑kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah ka­sih sayang murni yang menguasai selu­ruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak, seluruhnya dapat hi­dup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat daripada Tuhan yang menguasai seluruh alam!”

Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih.... ingusan! Ia penasaran dan menyerang lagi.

“Engkau hanya meniru-niru, belum ten­tu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!”

Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membaysngksn perasaan kasihan! “Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu? Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang mem­butuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tum­buh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di selu­ruh tubuhmu tanpa kau sengaja, perna­pasanmu yang terus bekerja tanpa kausa­dari dalam tidurpun, semua itu digerak­kan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih sayang? Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga. Bunga tanpa bergerak mencip­takan buah, dan buahpun akan jatuh sen­diri dan bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda‑benda itu tanpa bergerak telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?”

Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!

“Eh.... oh.... maafkan, kiranya engkau benar‑benar hebat! Siapakah yang menga­jarkan kepadamu akan semua pengetahu­an itu?” Ia berhenti sebentar lalu mene­ngok ke arah bilik perahu besar. “Ten­tu.... laki‑laki yang berpakaian mewah tadi, ya?”

Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala. “Bukan dia. Yang mengajarkan semua itu adalah Ibuku sen­diri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar se­ringkali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa menja­wab. Dan kau tahu.... Ibu selalu mengu­curkan air matanya kalau menyanyikan itu.”

Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang begitu halus! Tentu ibu­nya orang luar biasa pula. “Benarkah? Bagaimana nyanyian itu?”

“Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau se­orang anak yang aneh, yang datang tiba‑tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan cinta kasih­nya.”

“Aihh, mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam....”

“Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Ke­kuasaan apa yang membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau kebetulan di­jatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau terto­long? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?”

Bun Beng terdesak. “Baiklah.... baiklah...., engkau benar. Akan tetapi, orang sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak menger­ti artinya, tentu aku mengerti,” Bun Beng membusungkan dadanya karena ki­ni timbul kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengarti­kannya, berarti dia menang!

Anak perempuan itu ragu‑ragu seje­nak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik. Kemudian dia menghela napas dan berkata, “Sudah kukatakan bahwa engkau seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjan­jilah bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapapun juga tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali kepada­ku.”

“Engkau takut dimarahi?”

“Tidak. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sam­pai Ibu menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku.”

Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh anak ini! Rasa takut da­lam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah cinta kasih. Namun ra­sa sedih dalam hati seorang anak meli­hat ibunya berduka dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni!

Dia menelan ludah, “Engkau.... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku ber­janji, aku bersumpah tidak akan mence­ritakan kepada lain orang.”

Anak perempuan itu tersenyum. “Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan sia‑sia. Nah, dengarlah nya­nyian istimewa Ibuku!”

 “Cinta kasih menguasai alam semes­tasuci murni dan penuh mesra namun mengapa....

hatiku merana....

jiwaku dahaga akan cinta....?

aihhh.... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?

cinta.... cintaku....

mengapa engkau begitu tega....?”

Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat betapa air mata bercu­curan dari sepasang mata anak perem­puan itu yang kini terisak‑isak.

“Engkau.... engkau menangis....?” ta­nyanya, suaranya serak.

Anak perempuan itu menoleh, mengu­sap air matanya dan mengangguk, “Aku.... aku teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu.”

Bun Beng mengerutkan alisnya, berpi­kir. Kemudian ia berkata, “Ahh, aku mengerti! Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh.... maaf, tentu mencinta Ayahmu. Di mana Ayah­mu?”

Anak perempuan itu bengong dan mengangguk‑angguk. “Aihhh.... agaknya engkau benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku. Ibu sela­lu kelihatan berduka dan hanya mengata­kan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau me­ngatakan di mana adanya Ayah dan sia­pa namanya, hanya menyuruh aku bersa­bar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah.”

“Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi! Eh, siapakah namamu?”

“Namaku Milana.”

“Bagus sekali!”

“Apakah yang bagus?”

“Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?”

Milana menggeleng kepala, “Ibu melarang aku menganggap diriku keturunan bangsawan, biarpun Paman Jenghan ada­lah seorang pangeran Mongol. Aku disu­ruh ikut di Kerajaan Mongol untuk mem­pelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi ke mana akan tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menje­ngukku dan menurunkan pelajaran‑pela­jaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng.”

“Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernya­nyi dan mempelajari kesusasteraan, ten­tu engkau belajar ilmu silat pula.”

“Benar, keluarga istana Mongol pe­nuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandai­an Ibu yang amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepan­daian Ibu, kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepat­an seperti menghilang. Kadang‑kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu se­bangsa dewi, bukan manusia biasa....”

“Milana....!”

Mereka terkejut dan menengok. “Pa­man memanggilku.” Anak perempuan itu berlari menuju ke bilik perahu besar, di­ikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat ke­sibukan di perahu itu dan semua penga­wal memegang senjata. Juga para penga­wal di tiga buah perahu kecil siap de­ngan senjata mereka.

Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya. “Lekas kau sembunyi di bilik kapal. Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali‑kali keluar dari bilik kalau belum aman.”

“Apakah yang terjadi, Paman?” Milana bertanya.

“Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu‑perahu mereka sudah tampak da­tang. Cepat sembunyi!” Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu memasuki bilik kapal, di­ikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bi­lik ditutup dan Pangeran itu meloncat keluar.

“Mau apakah bajak‑bajak laut itu?” Di dalam bilik, Milana bertanya kepada Bun Beng.

“Hemm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan membunuh kita.”

Mata yang bening itu terbelalak, mu­ka yang manis itu menjadi agak pucat.

“Mengapa? Bukankah mereka itu juga manusia?”

Bun Beng tersenyum pahit. “Pujian­mu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada mahluk di dunia ini yang se­jahat, sekejam, dan seganas manusia.”

“Ohhh....! Akan tetapi.... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia.”

“Kalau begitu engkau belum berpe­ngalaman, Milana. Berhati‑hatilah kalau engkau berhadapan dengan sesama manu­sia dan simpan saja kepercayaanmu ten­tang cinta kasih itu di dalam hati. Tu­han memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya melimpah, akan tetapi manu­sia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu. Mengapa Pamanmu menyem­bunyikan kita? Kalau memang ada serbu­an bajak, aku lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seri­bu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati‑matian di luar sana daripada mati sebagai tikus‑tikus terjepit di tempat ini!”

“Aku.... aku tidak pernah bertempur!”

“Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?”

Milana menggeleng kepala. “Aku.... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!”

“Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?”

“Lebih baik dibunuh daripada mem­bunuh.”

Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng‑geleng kepalanya. “Wah‑wah­-wah, bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepa­damu?”

“Kata Ibu untuk menjaga diri dari marabahaya.”

“Nah, sekarang marabahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!”

“Tapi dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!”

“Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita.”

“Kau.... kau berani membunuh orang?”

“Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?”

“Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?”

Bun Beng tertawa. “Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal ke­kejaman manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!” Dan memang pada saat itu sudah terdengar teriakan‑teriakan di antara berdencing­nya senjata‑senjata yang beradu.

Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa empat buah perahu me­reka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah bajak menyerang. Pa­mannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan karena ke­pandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terlu­ka atau tewas. Akan tetapi, jumlah anak buah bajak itu banyak sekali dan mere­ka mulai menggunakan api untuk memba­kar empat buah perahu itu! Keadaan menjadi kacau balau dan para pengawal kewalahan karena selain menghadapi ser­buan bajak yang amat banyak, juga me­reka harus memadamkan api yang mulai membakar di sana‑sini sambil meroboh­kan para bajak yang membakari perahu.

“Paman Pangeran....!” Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak laut. Melihat seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu dari belakang Pangeran itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia menghantam dengan jurus dari ilmu si­lat yang dipelajari dari tiga buah kitab rahasia Sam‑po‑cin‑keng. Kebetulan seka­li jurusnya ini adalah jurus pukulan yang menggunakan tenaga sin‑kang yang dipusatkan pada telapak tangan.

“Bukkk!” Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak selagi tubuh Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya terlepas dan mulutnya muntahkan darah segar, lalu tubuhnya terguling roboh berkelojot­an!

Melihat ini, Pangeran Jenghan terke­jut dan kagum, lalu berteriak, “Lekas kauselamatkan Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!” Sambil ber­teriak begini, Pangeran itu memutar pedangnya menangkis hujan senjata para bajak.

Bun Beng mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan akan celakalah mereka semua. Memang sebaiknya menyelamatkan Milana lebih dulu. Cepat ia menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir kiri. Di situ memang terdapat sebuah perahu kecil yang biasanya dipergunakan untuk para pengawal mencari ikan, atau me­mang disediakan kalau sewaktu‑waktu keadaan membutuhkan. Bun Beng mele­paskan ikatan perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia melempar perahu ke bawah. Tanpa menghiraukan jeritan Mi­lana yang merasa ngeri, ia menyambar tangan anak perempuan itu dan dibawa­nya meloncat ke bawah menyusul pera­hu kecil. Untung bahwa Bun Beng bersi­kap tenang sehingga loncatannya tepat jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskan­nya dua batang dayung yang terikat di pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu melawan ombak menjauhi perahu besar yang mulai terbakar.

“Paman....! Paman Pangeran....!” Mila­na berteriak dan menangis.

 “Milana, dalam keadaan seperti ini kita harus masing‑masing mencari kese­lamatan sendiri.”

“Tapi.... tapi Paman Pengeran....”

“Dia seorang berilmu tinggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andai­kata kita menolong pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba me­larikan perahu sebelum terlihat oleh bajak‑bajak itu.”

Dengan sepenuh tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana memandang ke arah asap‑asap mengepul hitam yang menutupi perahu‑perahu be­sar pamannya sambil menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari perahu­-perahu yang kebakaran ketika tiba‑tiba Milana menjerit. Bun Beng memandang dan ia pun terkejut melihat dua buah tangan manusia muncul dan air dan memegang pinggiran perahu kecil. Ketika kepala orang itu muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah seorang di anta­ra para anak buah bajak laut yang jatuh ke laut. Orang itu tidak terluka dan pandang matanya beringas menyeramkan.

“Lepas!” Bun Beng membentak, menggunakan dayungnya menghantam ke arah tangan terdekat!

“Aughhh....!” Orang itu berteriak ke­sakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul dan dari bibir perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, me­mukul ke arah tangan kanan yang masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan-­gerakan ini membuat perahu kecil menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan itu yang terkena hantaman da­yung bahkan dayungnya tertangkap oleh tangan kanan bajak itu, terus ditarik kuat‑kuat sehingga tubuh Bun Beng ter­seret dan jatuh ke air!

“Bun Beng....!” Milana menjerit.

Bun Beng marah sekali. Biarpun bu­kan ahli, namun dia pandai berenang, ma­ka ia menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih dipegang­nya.

“Plakkk!” Dayungnya menghantam mu­ka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik dan terdorong mundur. Mata­nya melotot marah penuh dengan sinar kebencian dan kalau anak itu dapat di­terkamnya, tentu akan dibunuhnya. Bun Beng sudah dapat menangkap pinggiran perahu lagi. Karena gugup dan hendak cepat‑cepat naik ke perahu, dayungnya terlepas dan hanyut, sedangkan bajak itu sambil memaki‑maki berenang cepat se­kali mengejarnya. Dalam hal ilmu renang tentu saja Bun Beng tidak dapat mela­wan kepandaian seorang bajak laut! Ma­ka ia bergegas hendak naik ke perahu agar dari dalam perahu dia dapat mela­wan orang yang masih berada di air itu.

“Heh‑heh‑heh!” Tiba‑tiba, entah dari­mana datangnya, seorang kakek yang tertawa‑tawa meloncat ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung perahu, ujung yang lain di mana Bun Beng dan Milana berada, terangkat tinggi ke atas seolah‑olah kakek itu beratnya melebihi berat seekor gajah bengkak! Bun Beng cepat memegang lengan Milana yang hampir terlempar ke luar, sambil dengan sebelah tangan memegangi pinggiran pe­rahu erat‑erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan terbelalak.

“Heh‑heh‑heh!” Tiba‑tiba ujung di mana Bun Beng dan Milana duduk, me­luncur lagi ke bawah dengan cepat se­kali.

“Prakkk!” Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak sehingga pecah berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak merupa­kan kepala lagi melainkan berubah se­onggok benda putih berlepotan darah.

“Ihhhh....!” Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua ta­ngan sambil menangis.

“He‑he‑he, takut? He‑he‑he!” Kakek itu tertawa‑tawa seolah‑olah merasa senang sekali melihat Milana ketakutan. “Aku akan membikin kalian lebih takut lagi, ha‑ha‑ha!” Dan dengan sebatang ran­ting yang berada di tangan kirinya, kakek itu mendayung perahu dan.... perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa!

Bun Beng memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan longgar, kedua kakinya telanjang. Usia­nya tentu sudah tujuh puluh lebih, dengan rambut dan jenggot putih riap‑riap­an, matanya melotot lebar dan selalu tertawa‑tawa. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah kulit tubuhnya! Dari muka, tangan dan kakinya, semua ber­kulit kuning sekali! Bukan kuning seperti kulit orang biasa, melainkan kuning yang aneh, seperti dicat, kuning sampai ke kukunya dan warna matanya! Maka ter­ingatlah Bun Beng akan keanehan warna kulit orang‑orang Pulau Neraka dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah se­orang tokoh Pulau Neraka.

Dugaan Bun Beng memang tepat. Ka­kek ini adalah seorang di antara lima orang kakek kulit kuning yang merupa­kan tokoh‑tokoh tingkat tertinggi di Pulau Neraka, di bawah ketuanya. Dan memang dia adalah seorang tokoh sakti yang diutus oleh Majikan Pulau Neraka untuk mengadakan penyelidikan di luar pulau. Kakek ini selain sakti, juga me­miliki watak yang amat aneh, mendekati gila sehingga sering kali melakukan hal-­hal yang menggegerkan dunia kang‑ouw. Kini melihat dua orang anak dalam pe­rahu, timbul keanehan wataknya dan dia seolah-olah hendak menakut‑nakuti ke­dua orang bocah itu.

Perahu itu meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya cepat, malah sengaja dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya seperti akan teng­gelam, ada kalanya ujung yang diduduki dua orang anak‑anak itu terangkat ting­gi kemudian dihempaskan ke bawah se­perti akan tenggelam! Milana menjerit-­jerit dan memeluk Bun Beng yang berpe­gang kuat‑kuat pada pinggiran perahu.

“Heh‑heh‑heh, pemandangan indah....! Indah....!” Kakek itu terkekeh‑kekeh keti­ka perahunya meluncur cepat mengeli­lingi tempat pertempuran.

Biarpun keadaannya sendiri berbaha­ya dan perahu itu sewaktu‑waktu dapat membuat mereka terlempar ke luar, Bun Beng masih sempat memperhatikan ke­adaan pertempuran dan melihat betapa pangeran dan para pengawal masih melakukan perlawanan mati‑matian namun perahu mereka telah terbakar sebagian.

“Kakek, apakah engkau tidak kenal takut?” Bun Beng tiba‑tiba bertanya.

“Aku? Takut? Ha‑ha‑ha‑ha! Heh‑heh-­heh!”

Sambil berkata demikian, perahu me­luncur cepat sekali menuju ke sebuah yang terbakar! Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu akan menubruk perahu yang bernyala‑nyala, bahkan Bun Beng sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang, menjadi pucat dan memandang terbelalak ke depan, melihat betapa perahu terbakar itu se­olah‑olah mulut seekor naga mengeluar­kan api hendak menelan perahu mereka.

“Celaka....!” teriak Bun Beng.

“Ha‑ha‑ha‑heh‑heh‑heh!” Kakek itu tertawa dan tiba‑tiba perahu itu membelok dengan kecepatan luar biasa sehing­ga miring dan hampir terguling, akan tetapi dapat menghindari tabrakan de­ngan perahu terbakar.

“Ha‑ha‑ha! Aku takut?”

“Memang beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku tidak percaya bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap bajak-­bajak laut yang demikian ganas, kejam dan jumlahnya amat banyak. Aku be­rani memastikan bahwa engkau tentu takut mengganggu mereka dan kalau engkau yang melawan mereka di atas perahu yang terbakar itu, tentu engkau akan terkencing‑kencing di celanamu, kencing kuning pula!”

Tiba‑tiba kakek itu meloncat berdiri dan mencak‑mencak. “Memang kencing­ku kuning! Kau bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah itu? Kau tung­gu dan lihat saja betapa mudah aku membasmi mereka!” Setelah berkata de­mikian, kakek itu menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah melesat ke arah perahu besar yang terbakar, di mana Pangeran Jenghan bersama pengawalnya masih mati‑matian melawan serbuan para bajak.

Tentu saja hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyam­bar sepotong dayung dari banyak kayu‑kayu pecahan perahu yang terapung di dekat perahunya, kemudian secepat mungkin dia mendayung perahu kecil menjauhi pertempuran. Tanpa menghiraukan kedua tangannya yang menjadi le­lah sekali, Bun Beng mendayung terus dan tiba‑tiba datang ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya. Menda­yung lagi tidak mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung untuk mencegah perahunya terguling. Milana tidak menangis lagi, bahkan anak ini pun sudah menyambar sebatang da­yung dan ia membantu Bun Beng men­dayung. Kini melihat perahu diombang­-ambingkan ombak, dia membantu Bun Beng menahan agar perahu tidak tergu­ling. Akan tetapi dia tidak kelihatan takut, padahal keadaan mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya daripada tadi. Hal ini mengherankan hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara keras untuk mengatasi suara angin ribut.

“Milana, engkau tidak takut?”

Milana memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala.

Bun Beng menjadi heran. “Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?”

Milana membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin sehingga Bun Beng berteriak, “Bi­cara yang keras, aku tidak dengar!”

Milana tertawa, “Ribut‑ribut begini kau mengajak orang mengobrol!”

Bun Beng mendongkol akan tetapi ju­ga geli hatinya. Anak ini benar‑benar amat luar biasa, “Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini tabah?”

“Tadi bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan ke­kejaman manusia saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih, an­daikata ombak‑ombak ini menelan kita pun sama sekali tidak mengandung hati benci atau marah!”

Bun Beng bengong sehingga lupa me­ngerjakan dayungnya. Perahu terputar, hampir terguling dan mendengar Mila­na malah tertawa‑tawa. Cepat ia menggerakkan dayung dan mengomel.

“Bocah ajaib dia ini!”

Setelah ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menja­di girang dan bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka berdua melompat turun dan lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu dan keduanya duduk di atas pasir.

“Di mana kita ini?” Bun Beng berta­nya.

“Aku pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang tentu akan dapat menceritakan di mana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh, semoga Paman Pangeran dan para pengawal selamat.”

 “Jangan khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak akan terbasmi dan mereka selamat.”

Tiba‑tiba Milana tertawa geli.

“Eh, kenapa tertawa?”

“Kakek itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan tertarik sekali kalau kelak kuceritakan.”

“Tentu saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka.”

“Ihhh....! Pulau Neraka? Aku sudah mendengar itu, penghuninya adalah manusia‑manusia aneh seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari Pulau Neraka?”

“Kulit tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang‑orang Pulau Neraka.”

“Eh, betulkah? Engkau benar luar biasa, Bun Beng.”

“Tidak, biasa saja. Mari kita pergi.”

“Engkau hendak ke mana?”

“Eh, bagaimana lagi? Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian.... kemudian.... hem.... aku tidak tahu ke mana nanti.”

“Eh, bagaimana ini? Apakah engkau tidak hendak pulang?”

“Pulang ke mana?”

“Ke mana lagi? Ke rumahmu tentu!”

“Aku tidak punya rumah.”

Milana menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng. “Tidak punya rumah? Dan Ayah Bundamu....?”

“Aku tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua.”

“Aihhh....!” Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya membayangkan perasaan iba yang mendalam. “Kasihan engkau, Bun Beng. Dan tidak mempunyai saudara?”

Bun Beng merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan dia tidak merasa kasihan kepada dirinya sendiri! “Aku tidak punya siapa‑siapa, apa salahnya dengan itu?” Dia menunjuk ke arah seekor burung camar yang terbang. “Dia itu pun tidak punya siapa‑siapa, toh dapat hidup. Dan pohon itu tidak punya siapa‑siapa, tetap tumbuh segar.”

“Ahhhh, burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak saudara-saudaranya di sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak mempunyai siapa-siapa. Bun Beng, aku mau menjadi saudaramu, dan biarlah Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku menjadi Pamanmu....”

“Sudahlah, Milana. Aku tidak ingin apa‑apa. Engkau anak yang amat baik hati. Mari kita lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada pegunungan, tentu di sana ada penghuninya yang dapat memberi keterangan kepada kita dan menunjukkan jalan.”

Mereka berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak menolak dan diam‑diam dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik hati ini. Akan tetapi setelah mereka mendaki pegunungan itu, ternyata gunung itu penuh dengan batu‑batu besar dan tidak nampak dusun di situ.

“Begini sunyi.... tidak ada tampak rumah orang....” kata Milana, kecewa.

“Nanti dulu! Lihat di sana itu. Ada orang.... eh, malah ada orang menunggang binatang yang besar luar biasa!” Milana menengok dan ia pun berseru girang, “Benar! Ada orang dan dia me­nunggang seekor gajah! Sunguh luar biasa!”

“Gajah? Aku sudah pernah mendengar namanya. Gajahkah binatang itu?”

“Benar. Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi orang itu.”

“Hebat! Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita lihat!” Mereka berlari menu­runi puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika merea sudah tiba dekat, tiba‑tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti. Keduanya terkejut bukan main menyaksikan pemandangan di depan itu sehingga sampai lama mereka tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya Milana berbisik dengan napas tertahan, “Lihat...., dia.... kakek Pulau Neraka itu....”

“Sssttt....!” Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari bela­kang. “Jangan ribut..... orang berkaki tunggal itu.... dia Pendekar Siluman To-cu Pulau Es.... dan itu muridnya.....”

Memang amat mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh mereka. Kakek bermuka kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini ber­hadapan dengan seorang kakek tua ren­ta yang bersorban dan berjenggot pan­jang, tangan kiri memegang sebuah sen­jata yang aneh, gagangnya berduri dan ujungnya merupakan bulan sabit, menung­gang seekor gajah yang amat besar. Akan tetapi kakek muka kuning tidak kalah anehnya. Agaknya untuk mengim­bangi kedudukan kakek bersorban yang tinggi di atas punggung gajah, dia kini menggunakan jangkungan atau egrang. Yaitu dua batang bambu panjang yang di tengahnya diberi cabang untuk injak­an kaki. Dengan berdiri di cabang itu dan menggunakan dua batang bambu se­bagai pengganti kedua kaki, dia kini sa­ma tingginya dengan Si Kakek Bersorban! Mereka agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah batu berdiri Pendekar Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng tangan seorang anak perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak perempuan pe­nunggang garuda yang berkelahi dengan anak Pulau Neraka dahulu!

Kwi Hong, murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan Milana, akan tetapi karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan itu sudah saling serang, dia tertarik dan menengok lagi menonton pertandingan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Han menyusul ke Pulau Nera­ka dan berhasil membawa muridnya itu. Mereka meninggalkan Pulau Neraka me­nunggang dua ekor burung garuda dan ketika dari atas Suma Han melihat orang menunggang gajah, hatinya tertarik ma­ka dia lalu turun di pegunungan itu, dan bersama Kwi‑Hong diam‑diam menghampiri dan menonton pertandingan yang amat menarik hatinya antara kakek penunggang gajah dan kakek muka kuning yang gerak‑geriknya lucu dan lihai!

“Heh‑heh‑heh!” Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak‑gerakkan ke­dua bambu yang telah menyambung ka­kinya. “Kita sudah sama tinggi sekarang. Hayo, kau mau apa? Lekas turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau benar‑benar seorang sahabat dan aku akan mengampunimu!”

“Sadhu‑sadhu‑sadhu!” Kakek bersor­ban itu berkata lirih. “Berbulan‑bulan da­ri negara barat sejauh itu, belum pernah bertemu orang yang begini nekad. Sahabat, gajah tunggangan ini adalah sahabatku yang telah berjasa besar, ma­ti hidup dia bersamaku, tidak mungkin kuberikan kepadamu. Pergilah, sahabat, dan jangan pergunakan kepandaian yang kaupelajari puluhan tahun itu untuk me­lakukan hal yang tidak baik.”

“Heh‑heh‑heh! Apa tidak baik? Apa baik? Yang menguntungkan dan menye­nangkan, itu baik! Yang merugikan dan menyusahkan itu tidak baik! Kalau eng­kau berikan gajah itu kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kauberikan, engkau ti­dak baik dan terpaksa kurampas, heh­-heh‑heh‑heh!”

“Aahh, betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu terba­lik sama sekali. Justeru yang mengun­tungkan dan menyenangkan diri pribadi itulah sumber segala ketidakbaikan.”

“Waaaah, cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan‑wejang­anmu. Hayo turun!”

Kakek muka kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba‑tiba bambu pan­jang yang kanan menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi, kakek itu menekuk tubuh ke depan se­hingga sambaran bambu itu luput dan lewat di atas kepalanya.

“Sadhu‑sadhu‑sadhu, terpaksa aku membela diri!” Kakek bersorban mengge­rakkan tangan kanan, dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan. Angin pu­kulan yang dahsyat menyambar dan biarpun kakek muka kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh ke kanan, tetap saja terdorong dan terhuyung-­huyung, kedua bambunya bergoyang­-goyang.

Karena ia memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba‑tiba dia meiihat Suma Han yang berdiri menonton dengan te­nang. Setelah mendapat kanyataan bah­wa orang Pulau Neraka itu hendak me­rampas binatang tunggangan orang, Suma Han merasa tidak senang. Apalagi kalau mengingat bahwa orang itu adalah pem­bantu Lulu, dia makin penasaran. Masa Lulu dibantu oleh orang yang berwatak perampok hina, mau merampas binatang tunggangan seorang kakek yang datang dari jauh? Tongkatnya bergerak men­congkel batu dua kali.

“Trak! Trak!”

Kakek muka kuning berseru kaget ke­tika tiba‑tiba bambu yang menyambung kedua kakinya itu patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun sebagian karena dia mengenal Pendekar Siluman yang biarpun belum pernah dijumpainya, akan tetapi sudah banyak didengarnya. Ia cepat meloncat turun se­belum terbanting jatuh karena kedua bambunya patah, kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri tanpa menengok lagi.

Melihat itu, Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia ber­henti bersorak ketika melihat gajah be­sar itu terhuyung dan roboh ke depan, membawa tubuh kakek bersorban ikut roboh! Tubuh Suma Han melesat ke depan bagaikan seekor burung garuda dan dia sudah berhasil menyambar tubuh kakek bersorban itu dari bahaya terban­ting dan tertindih tubuh gajah yang kini berkelojotan lalu diam, tak bernyawa lagi. Dan dengan kaget Suma Han men­dapat kenyataan bahwa kakek bersorban itu ternyata lumpuh kedua kakinya!

 “Ah, gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?” Kakek itu mengeluh, kemudian berkata kepada Suma Han. “Orang muda yang gagah perkasa, turunkanlah aku.”

Suma Han menurunkan kakek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu bersilang. Kakek itu duduk di atas ta­nah, wajahnya pucat dan napasnya ter­engah, “Gajah itu.... dia memang sudah sakit.... dia menderita karena lelah.... melakukan tugasnya sampai mati. Akan tetapi aku.... ah, aku pun hampir mati akan tetapi tugasku jauh daripada se­lesai....! Aku hampir kehabisan tenaga saking lelah, perjalanan ini terlalu jauh untuk orang setua aku, dan tadi.... ter­paksa aku mengerahkan tenaga dalam yang amat kuperlukan untuk kesehatan­ku. Aihhh, orang muda perkasa, sinar matamu membuktikan bahwa engkau bu­kan manusia biasa. Siapakah engkau yang begini lihai?”

“Kakek yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es....”

“Hah? Pendekar Super Sakti? Pendekar Siluman To‑cu dari Pulau Es? Ya Tuhan, kalau engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan tugas hamba, hamba akan mati tenteram!”

Suma Han mengerutkan alisnya, “Kakek, siapakah engkau dan urusan apa yang membuatmu susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?”

“Aku Nayakavhira.... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang Iblis.... adikku, Maharya telah mendahu­luiku untuk mencari sepasang pedang itu. Kalau terjatuh ke tangannya, akan gegerlah dunia dan terancamlah banyak nyawa manusia! Aku.... aku berkewajiban untuk merampas dan memusnahkan Sepa­sang Pedang Iblis. Akan tetapi.... aku tidak sanggup lagi.... ahh, Pendekar Super Sakti, engkau tolonglah aku....”

Kembali Suma Han mengerutkan alisnya, “Bagaimana aku harus menolongmu, Nayakayhira?”

“Senjataku ini.... terbuat dari logam yang akan menandingi dan mengalahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi kare­na bentuknya seperti ini, tidak akan ada orang di sini yang dapat memainkannya. Akan kubuat menjadi pedang.... biarlah kelak kauberikan kepada siapa yang ber­jodoh untuk menindih dan menaklukkan Sepasang Pedang Iblis.... kaubantulah aku.... buatkan pondok, perapian.... aku tidak kuat lagi, engkau tolonglah aku, buatlah sebatang pedang dari senjataku ini....”

Suma Han mengangguk‑angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang dahulu dia tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh, akan mendatangkan urusan begini hebat! “Aku suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat pedang.”

“Aku adalah ahli membuat pedang.... seperti nenek moyangku.... aku yang akan memberi petunjuk, engkau yang mem­buat. Tolonglah.... Taihiap.... demi.... demi perikemanusian!”

“Kakek yang baik, biarlah aku mem­bantumu!” Tiba‑tiba Bun Beng meloncat maju mendekati kakek itu. Kakek ber­sorban itu membelalakkan mata meman­dang Bun Beng dengan heran, Suma Han menengok. Dia sudah tahu akan kehadir­an kedua orang anak itu akan tetapi ka­rena terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek itu dan belum me­nanya dua orang anak yang datang di tempat itu secara aneh. Kini melihat sikap anak laki‑laki itu, diam‑diam ia memperhatikan dan menjadi kagum. Di lain pihak, ketika melihat sinar mata Pen­dekar Siluman itu ditujukan kepadanya dan mereka bertemu pandang, kuncuplah hati Bun Beng dan otomatis dia menjatuhkan diri berlutut.

“Siapakah engkau?”

“Paman, dia adalah anak laki‑laki yang telah menolongku ketika aku dike­royok rajawali. Bocah dalam keranjang!”

Suma Han makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi Hong diserang putera Lulu dengan raja­wali dan dikeroyok muncul seekor burung rajawali yang mencengkeram keranjang berisi seorang anak laki‑laki yang mem­bantunya dengan memukul rajawali itu sehingga cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang bersama anak itu jatuh ke laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara yang mengandung ke­sungguhan menawarkan jasa baiknya hen­dak membantu Si Kakek India membuat pedang. Bukan main!

“Siapa namamu?” Tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena dia melihat suatu yang luar biasa pada diri anak laki‑laki ini.

“Saya adalah anak yang dahulu dito­long oleh Taihiap dari dalam kuil tua tepi Sungai Fen‑ho di lembah Pegunung­an Tai‑hang‑san dan Lu‑liang‑san....”

Suma Han benar‑benar terkejut se­hingga ia bangkit berdiri. “Kau....?”

“Benar, Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng.”

Suma Han menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar‑benar amat luar biasa pertemuan ini! “Di ma­na suhumu Siauw Lam Hwesio?”

“Suhu.... telah meninggal dunia, terbu­nuh oleh Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sengit oleh Bun Beng.

“Sadhu‑sadhu‑sadhu....” Tiba‑tiba kakek itu berkata, “Bhong Ji Kun ada­lah Koksu Pemerintah Mancu.... dia.... dia itu adalah muridku....”

“Kau....!” Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.

“Bun Beng, jangan lancang!” Tiba‑tiba Suma Han membentak dan Bun Beng menjatuhkan diri berlutut lagi. “Tai­hiap.... teecu harus membalas kematian Suhu!”

“Hemmm, sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam. Dendam menimbulkan watak kejam sehingga sembarangan saja engkau akan mencelaka­kan orang tanpa pertimbangan lagi.”

Sementara itu, kakek tua itu mena­rik napas panjang. Sungguh ajaib, dapat bertemu dengan anak ini! Muridku itu memang telah menyeleweng dan perja­lananku ini di samping hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga tadinya akan kupergunakan untuk mengingatkan dia, kalau perlu menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah engkau menolongku?”

Suma Han tidak menjawab, melain­kan bertanya kepada Bun Beng, “Bagaimana dengan engkau, Bun Beng? Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini sekarang?”

“Teecu sudah berjanji, tentu teecu penuhi!”

Suma Han tersenyum. “Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapa­kah anak perempuan itu, Bun Beng?”

Milana yang sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan kata‑kata Suma Han. Dia sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh perhatian. Tadi dia mendengar dari Bun Beng bah­wa laki‑laki gagah perkasa berkaki satu yang rambutnya putih semua dan wajah­nya muram menimbulkan iba itu adalah Pendekar Siluman, To‑cu dari Pulau Es yang amat terkenal!

“Apakah engkau yang berjuluk Pende­kar Siluman yang hebat itu?” Tanyanya, suaranya halus dan wajahnya berseri. Suma Han tersenyum, sekaligus tertarik rasa sukanya kepada bocah yang cantik jelita itu.

“Benar, anak manis. Engkau siapa­kah?”

“Namaku Milana, aku keponakan Pangeran Jenghan dari Kerajaan Mongol. Kami sedang berpesiar di kapal, diserbu bajak laut dan aku diselamatkan oleh Bun Beng.”

Hati Suma makin kagum kepada Bun Beng. Hemm, biarpun putera seorang datuk kaum sesat seperti Kang‑thouw-­kwi Gak Liat dan dilahirkan karena da­tuk itu memperkosa Bhok Kim, namun ternyata bocah ini mempunyai bakat la­hir batin yang baik. Tentu menuruni wa­tak ibunya, seorang di antara Kang-lam Sam‑eng tokoh Siauw‑lim‑pai yang perkasa itu (baca ceritaPendekar Super Sakti).

“Marilah kalian ikut bersamaku mem­bantu Nayakavhira. Kwi Hong, kau ajaklah dua orang anak ini.”

Suma Han memondong tubuh kakek bersorban dan mencari tempat yang ada pohonnya. Di situ dia lalu membangun sebuah pondok, mempersiapkan landasan dan keperluan pembuatan pedang. Bun Beng yang sudah berjanji membantu itu ditugaskan mengumpulkan kayu bakar karena menurut Nayakavhira pembuatan pedang itu membutuhkan banyak sekali kayu bakar untuk membuat api yang se­panas‑panasnya.

Berhari‑hari lamanya Suma Han sibuk di dalam pondok membuat pedang di bawah petunjuk kakek Nayakavhira yang lumpuh. Tiga orang anak itu sama sekali tidak boleh memasuki pondok yang pa­nasnya luar biasa karena api besar di­nyalakan siang malam tak pernah ber­henti. Bun Beng juga bekerja setiap hari mencari kayu bakar, sedangkan Kwi Hong bermain‑main dengan Milana yang berwa­tak halus dan sebentar saja sudah dapat menarik rasa sayang di hati Kwi Hong yang wataknya kasar. Kedua orang anak perempuan ini jauh berbeda wataknya. Kwi Hong yang lebih tua beberapa tahun, berwatak jenaka, riang gembira, galak dan pandai bicara. Sebaliknya Mi­lana berwatak halus, lemah lembut dan pendiam, hati‑hati dalam bicara agar ja­ngan sampai menyingung perasaan orang lain. Namun, berkat kehalusan budi Mila­na yang pandai mengalah, mereka berdua dapat bersahabat dengan rukun.

Di dalam pondok itu terjadi hal yang tentu akan amat mengherankan tiga orang anak itu kalau saja mereka dapat melihatnya. Kakek Nakavhira duduk bersila di atas tanah, seperti arca tidak bergerak dan hawa panas di dalam pon­dok itu tak mungkin akan dapat terta­han oleh manusia biasa. Suma Han menanggalkan baju atasnya dan sibuk membakar senjata yang bentuknya seper­ti bulan sabit itu di dalam api. Sudah tiga hari tiga malam logam itu dibakar, tetap saja masih utuh, tidak dapat mem­bara. Kakek itu berkali‑kali minta di­tambah api karena kurang besar sehing­ga setiap tumpukan kayu bakar yang di­kumpulkan Bun Beng, selalu habis sehing­ga tidak ada cadangan sama sekali, membuat anak itu tidak berani berhenti karena khawatir kehabisan kayu bakar!

Kakek Nayakavhira mengeluarkan be­berapa macam obat yang dioleskan pada logam putih itu, namun setelah lewat lima hari tetap juga logam itu belum membara. Kakek itu menjadi bingung dan prihatin sekali.

“Ya Tuhan, akan gagalkah usaha ham­ba?” Keluhnya berkali‑kali sehingga Su­ma Han menjadi kasihan. Juga pendekar ini merasa penasaran sekali. Sedangkan batu bintang saja dapat dibakar sampai mencair, yaitu ketika dia masih kecil dan menjadi pelayan Kang‑thouw‑kwi Gak Liat (baca ceritaPendekar Super Sakti), masa logam ini dibakar dalam api sampai lima hari lima malam belum juga membara? Teringat akan masa ke­cilnya, ia teringat kepada Bun Beng yang sibuk mengumpulkan kayu di luar pondok. Dahulu dia menjadi pelayan Gak Liat, dan sekarang, secara kebetulan, putera Gak Liat itu bekerja keras mela­yaninya! Demikianlah nasib mempermain­kan manusia!

Ia teringat akan batu bintang, ter­ingat akan latihan Hwi‑yang Sin‑ciang. Hwi‑yang Sin‑ciang! Bukankah sin‑kang yang mujijat dan yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu mengandung hawa panas yang mujijat? Mengapa tidak ia pergunakan untuk coba‑coba? Dia meme­gang gagang senjata kakek yang aneh itu. Senjata itu terbuat daripada baja yang aneh sebagai gagang berduri, ada­pun ujungnya yang berbentuk bulan sabit berwarna putih itulah yang akan diolah menjadi pedang. Suma Han mengerahkan Hwi‑yang Sin‑ciang sehingga wajahnya yang selama lima hari lima malam berdekatan dengan api tidak berubah apa­-apa, kini setelah mengerahkan Hwi‑yang Sin‑ciang sekuatnya, muka itu berubah merah. Dan perlahan‑lahan, logam putih berbentuk bulan sabit itu menjadi merah membara!

“Kakek Nayakavhira, aku berhasil!” Teriaknya girang.

Kakek yang sudah kehabisan semangat itu membuka matanya dan seketika wajahnya berseri! “Hebat....! Biarkan sampai merah tua seluruhnya, baru digembleng!” Teriaknya dan semangatnya kembali. Ma­tanya bersinar-sinar.

Suma Han tidak mau bicara tentang penggunaan Hwi‑yang Sin‑ciang dan kini setelah logam itu dapat membara, pa­nasnya api sudah cukup untuk membikin bara menjadi tua. Tak lama kemudian logam itu sudah menjadi merah sekali.

“Cepat letakkan di landasan dan gembleng sampai bentuknya menjadi pan­jang membungkus gagang senjataku.”

“Membungkus gagang?” Suma Han bertanya.

“Benar. Logam putih itu hanya merupakan lapisan luar saja. Gembleng sampai lebar dan tipis sepanjang sete­ngah kaki. Cepat!” Suara kakek itu ge­metar penuh gairah.

Otomatis Suma Han mematuhi perintah ini karena dia sendiri sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang pembuatan pedang. Biarpun dia bukan seorang pandai besi, bahkan memegang martil dan menggembleng logam memba­ra pun baru sekali itu selama hidupnya, namun pendekar ini memiliki tenaga yang melebihi tenaga seratus orang dengan sin‑kangnya yang hebat, maka tentu sa­ja gemblengannya juga amat kuat sehing­ga tak lama kemudian logam yang mem­bara itu sudah menjadi lebar tipis sepan­jang tiga setengah kaki.

“Bagus! Hebat....! Untuk menggembleng itu biarpun dalam keadaan sehat, tentu baru dapat kuselesaikan dalam waktu tiga hari. Akan tetapi engkau hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja. Benar‑benar sukar dicari pendekar sakti seperti engkau, Suma‑taihiap. Logam itu telah mendingin, bakar lagi sampai membara dan akulah yang akan menggemblengnya membungkus gagang.”

Kembali Suma Han menurut dan sekali ini, karena logam itu sudah pernah membara, panasnya api cukup membuat logam itu menjadi merah lagi. Akan te­tapi kakek itu mengatakan belum cukup. “Dia harus dibakar selama satu malam sampai melunak agar mudah digem­bleng membungkus gagang, apalagi tena­gaku sekarang banyak berkurang.”

Pada keesokan harinya, ketika terdengar bunyi martil menghimpit logam di atas besi landasan sampai berdentang-­dentang, dikerjakan sendiri oleh Kakek Nayakavhira yang dibuatkan tempat du­duk tinggi oleh Suma Han dan ditonton oleh pendekar sakti itu. Selama menyaksikan kakek itu bekerja, diam‑diam Suma Han merasa kagum dan barulah dia tahu betapa sulitnya membuat sebatang pe­dang pusaka! Dalam menempa dan menggembleng ini, kakek itu bekerja seperti dalam samadhi sehingga setiap tempaan merupakan gerakan suci seperti seorang bersembahyang. Maka Suma Han menonton penuh perhatian dan penuh hor­mat.

“Bun Beng, mengasolah. Lihat, tum­pukan kayu di belakang pondok sudah cukup banyak. Dan mendengar suara ber­dentang itu, agaknya mereka tidak mem­butuhkan terlalu banyak kayu lagi. Lihat sepagi ini tubuhmu sudah berkeringat!” Kwi Hong menegur Bun Beng yang bertelanjang baju dan sejak pagi buta telah menebangi kayu.

“Benarkah? Ah, kalau begitu aku mau beristirahat sebentar!” Bun Beng lalu du­duk di atas batu dan menyusuti peluh­nya.

“Aku akan masak air, tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman untuk­mu!” Kwi Hong lalu berlari‑lari kecil meninggalkan Bun Beng. Setelah bekerja keras sejak pagi, tubuhnya lelah dan ki­ni duduk bersandar batu disiliri angin pagi, Bun Beng merasa nyaman sekali sehingga tak terasa lagi ia memejamkan matanya. Sudah hampir setengah bulan dia berada di situ sejak pertemuannya dengan Pendekar Siluman dan Kakek Nayakavhira, dan selama itu setiap hari dia bekerja keras dalam usahanya mem­bantu kakek itu membuat pedang pusaka. Kini ia merasa lelah sekali dan mengan­tuk.

Entah berapa lama ia tertidur, tiba­-tiba ia merasa pundaknya diguncang tangan halus dan terdengar suara Kwi Hong. “Ihhh, pemalas. Berhenti sebentar saja sudah tertidur pulas! Bun Beng, mi­numlah ini. Bukan air teh akan tetapi daun ini lebih sedap dan kata Paman da­pat memulihkan tenaga. Minumlah!”

Bun Beng merasa malas untuk bangun, akan tetapi pundaknya ditarik sehingga ia terduduk dan ketika ia membuka se­dikit matanya, ia melihat Kwi Hong yang membangunkannya bahkan kini anak pe­rempuan itu menempelkan secawan mi­numan ke bibirnya!

“Bun Beng, lihat betapa indahnya bunga ini.... indah harum kupetik untuk­mu....” Tiba‑tiba Milana menghentikan kata‑kata dan langkah kakinya ketika melihat Kwi Hong sedang memberi mi­num Bun Beng dengan sikap mesra. Mi­lana memandang sejenak, kemudian memejamkan mata, membuang muka, me­lempar kembang di tangannya kemudian membalikkan tubuh dan pergi dari situ tanpa berkata-kata. Sambil melangkah pergi dia cepat‑cepat menghapus dua butir air mata yang bergantung di bulu matanya. Anak perempuan ini sama sekali tidak mengerti mengapa dia menjadi berduka, dan dia tidak tahu sama sekali bahwa setan cemburu yang selalu siap menggoda hati manusia, terutama sekali hati wanita, telah mulai menyentuh ha­tinya. Dia hanya merasa kecewa karena pagi itu dia sengaja mencari bunga yang paling indah di dalam hutan untuk dipe­tiknya dan diberikan kepada Bun Beng yang ia tahu tentu sedang bekerja keras. Dengan hati penuh kegembiraan dia membawa bunga itu dan berlari‑lari mencari Bun Beng, membayangkan beta­pa girangnya Bun Beng menerima pemberiannya, betapa anak laki‑laki itu akan tersenyum kepadanya, memandang dengan matanya yang tajam dan tentu akan ter­pancing kata‑kata pujian dari Bun Beng kepadanya. Dia tidak pernah merasa bo­san mendengar pujian‑pujian dari mulut Bun Beng. “Milana, engkau baik sekali! Milana engkau manis sekali!” dan seba­gainya. Akan tetapi kegembiraannya mem­buyar seperti awan tipis ditiup angin ke­tika tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Hong dengan sikap mesra memberi minum Bun Beng!

Milana sendiri tidak mengerti me­ngapa dia harus kecewa. Dia bersahabat baik dengan Kwi Hong yang dianggapnya seperti encinya sendiri, yang dianggap­nya sebagai seorang saudara yang lebih tua darinya, lebih pandai dan dia pun ta­hu bahwa sebagai murid Pendekar Silu­man, Kwi Hong memiliki kepandaian si­lat jauh lebih tinggi dari padanya, bah­kan menurut pengakuan Bun Beng, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Bun Beng! Mengapa kini hatinya menjadi ke­cewa dan demikian tidak enak menyak­sikan sikap mesra Kwi Hong kepada Bun Beng?

Bun Beng yang masih setengah mengan­tuk dan tadi menurut saja diberi minum, dengan mata setengah terpejam, dapat melihat bayangan Milana yang pergi lagi sambil membuang bunga setangkai di atas tanah. Matanya terbuka lebar me­mandang bunga itu dan dia lalu sadar akan keadaan dirinya yang seperti anak kecil diberi minum.

“Terima kasih, Kwi Hong, biar kuminum sendiri,” katanya sambil menerima cawan minuman itu. Kwi Hong memberi­kan cawannya dan memandang dengan wajah berseri ketika Bun Beng minum dan kelihatan nikmat. Tentu saja nikmat minum‑minuman sedap hangat itu di pa­gi hari.

“Eh, mana dia tadi?” Kwi Hong bertanya sambil menengok.

“Siapa?” Bun Beng pura‑pura bertanya.

“Milana! Aku mendengar dia datang tadi. Mana dia?”

“Ah, aku tidak melihat dia,” kata Bun Beng sambil menutupi muka dengan cawan, meneguk habis minumannya se­dangkan matanya melirik ke arah setangkai bunga yang terletak sunyi di atas tanah.

“Terima kasih, Kwi Hong. Engkau baik sekali.” Bun Beng mengembalikan cawan kosong yang diterima Kwi Hong dengan wajah girang. Memang itulah yang dinanti‑nantinya. Untuk menerima pujian Bun Beng itu, dia mau melakukan pekerjaan yang lebih berat daripada membuatkan secawan minuman!

“Bun Beng, mulai sekarang, engkau tidak perlu mencari kayu bakar lagi.”

“Ahh, mengapa?”

 “Pedang pusaka itu sudah selesai! Paman tadi berpesan agar engkau tidak perlu mengumpulkan kayu bakar lagi, akan tetapi pedang itu akan ditapai oleh Kakek Nayakavhira beberapa hari lamanya. Paman telah pergi karena Kakek itu tidak mau diganggu, dan Paman per­gi mencari sepasang garuda kami karena dipanggil‑panggil tak kunjung datang.”

“Dan kita....?”

“Kita harus menunggu di sini sampai Paman kembali. Eh, Bun Beng, setelah pedang selesai, engkau tentu akan ikut Paman ke Pulau Es, bukan?”

Bun Beng berpikir sejenak. Alangkah akan senang hatinya kalau dapat pergi ke tempat Pendekar Siluman dan menja­di muridnya. Akan tetapi ia teringat kepada Milana. Mana mungkin dia me­ninggalkan Milana di tempat itu begitu saja? Dia ingin sekali pergi bersama Pendekar Siluman, akan tetapi dia tidak boleh meninggalkan anak perempuan itu. Lebih dulu dia harus mengantarkan Mila­na sampai dapat pulang ke tempat tinggalnya, yaitu di Kerajaan Mongol.

“Aku harus mengantar Milana lebih dulu pulang ke Mongol,” katanya.

Kwi Hong tertawa. “Apa sukarnya? Dengan adanya Paman dan dengan me­nunggang garuda, sebentar saja kita akan dapat mengantar Milana. Eh, di mana anak, itu? Milana....! Milana....!”

“Aku di sini....! Aku datang....!” terdengar jawaban Milana dan tampaklah anak itu datang berlari menghampiri mereka. Wajahnya sudah cerah kembali karena panggilan suara Kwi Hong sudah mengu­sir rasa kecewa hatinya.

“Milana, pedang telah selesai dibuat dan sekarang Bun Beng tidak perlu men­cari kayu bakar lagi. Kita dapat bermain‑main sambil menanti sampai Kakek itu selesai menapai pedang pusaka. Biar kusimpan dulu cawan ini!” Kwi Hong berlari pergi membawa cawan kosong.

Bun Beng memakai bajunya, lalu mengambil setangkai bunga dari atas ta­nah, mencium bunga yang indah itu sam­bil berkata, “Milana, terima kasih atas pemberian bunga ini. Engkau sungguh seorang anak yang baik hati....”

Wajah Milana berseri kemudian ber­ubah merah ketika Bun Beng mendekatinya.

“Kalau sudah selesai, tentu engkau akan diajak pergi oleh Suma‑taihiap.” kata Milana perlahan. “Engkau akan se­kaligus mendapatkan seorang sahabat yang manis seperti Kwi Hong.”

“Ah, mana mungkin! Aku harus mengantarmu lebih dulu pulang ke Mo­ngol,” jawab Bun Beng tiba‑tiba merasa kasihan kepada anak itu dan mendekati.

“Biarkanlah, aku capat mencari jalan pulang sendiri.”

“Tidak Milana. Sebelum mengantar engkau pulang, aku tidak mau pergi me­ninggalkanmu di sini. Pula, kurasa Suma-­taihiap akan suka mengantarmu pulang dengan naik burung garudanya. Setelah kau tiba dengan selamat di sana, baru­lah aku akan suka ikut dan belajar ilmu kepadanya.”

“Bun Beng, mengapa engkau begini baik kepadaku?” Milana bertanya, meng­angkat muka memandang dengan hati terharu.

Bun Beng tersenyum. “Apa kaukira engkau kalah baik? Engkaulah yang ber­sikap amat baik terhadap aku. Engkau keluarga istana raja, dan aku hanya se­orang anak sebatangkara yang miskin, namun sikapmu baik sekali. Bagaimana aku tidak akan bersikap baik kepadamu? Lupakah kau akan pelajaran tentang cin­ta kasih? Kalau engkau menganjurkan cinta kasih antara manusia, agaknya ma­nusia seperti inilah yang paling pantas dicinta.”

Percakapan mereka adalah percakapan kanak‑kanak yang meniru‑niru pela­jaran filsafat, maka tentu saja “cinta” yang mereka sebut‑sebut tidak ada hu­bungannya dengan cinta antara laki‑laki dan perempuan dewasa. Betapapun juga, ada sesuatu yang aneh terasa di hati mereka.

“Mengapa begitu, Bun Beng? Apa bedanya aku dengan orang lain?”

“Hemm, entahlah. Mungkin karena engkau.... manis sekali.”

Milana makin girang dan ia tersenyum tidak tahu betapa Kwi Hong telah da­tang dan melihat mereka berdiri berha­dapan demikian akrab dan melihat Bun Beng memegangi setangkai bunga indah dan mereka tidak tahu betapa Kwi Hong yang keras hati itu meman­dang dengan mata bersinar‑sinar penuh iri dan cemburu! Kwi Hong sendiri be­lum tahu tentang arti cinta antara pria dan wanita, namun tanpa disengaja dia merasa amat tidak senang menyaksikan keakraban antara Bun Beng dan Milana!

Akan tetapi Kwi Hong menyembunyi­kan rasa tidak senangnya ketika ia berlari menghampiri mereka dan berkata. “Nah, sekarang tiba waktunya kita ber­main‑main dan marilah kita memperlihat­kan ilmu yang kita pelajari. Aku ingin sekali melihat ilmu silatmu, Milana. Agaknya engkau tentu telah mempela­jari ilmu silat yang tinggi. Gerakan ka­kimu amat ringan dan tanganmu cekat­an. Marilah kita main‑main dan mengu­kur kepandaian masing‑masing untuk me­nambah pengalaman dan pengetahuan.”

“Ah, mana mungkin aku dapat me­nandingimu, Kwi Hong? Engkau adalah murid To‑cu dari Pulau Es yang terke­nal, Pendekar Super sakti, sedangkan aku hanya seorang yang sebulan sekali saja menerima latihan dari Ibu. Dalam satu dua jurus saja aku tentu akan ro­boh!”

“Aihhh, mengapa kau merendahkan diri, Milana? Aku yakin kepandaianmu tentu sudah cukup tinggi. Pula, kita ha­nya main‑main dan hitung‑hitung berla­tih, tidak bertanding sungguh‑sungguh, mana perlu saling merobohkan?”

“Kwi Hong, ilmu silat adalah ilmu untuk menjaga diri, ada unsur bertahan akan tetapi juga selalu mengandung unsur menyerang. Kalau dipergunakan da­lam pertandingan, mana bisa main‑main lagi? Kepalan tangan dan tendangan ka­ki tidak mempunyai mata. Pula, selama hidupku, belum pernah aku mengguna­kan ilmu yang kupelajari untuk bertan­ding. Tidak, aku mengaku kalah!”

Kwi Hong menjadi kecewa sekali. Ti­dak ada seujung rambut dalam hatinya ingin merobohkan atau melukai Milana, hanya memang dia ingin mengalahkan anak itu di depan Bun Beng untuk menda­pat pujian! “Milana, untuk apa engkau mempelajari ilmu kalau kau takut mempergunakan?” Ia mendesak.

Bun Beng yang sudah mengenal wa­tak halus Milana, merasa kasihan. Dia tidak menyalahkan Kwi Hong, karena ia maklum bahwa orang yang mempelajari ilmu silat tentu senang bertanding silat dan ia pun tahu bahwa bukan niat Kwi Hong untuk melukai Milana. Tentu saja Kwi Hong belum mengenal watak Mila­na yang sama sekali berlawanan dengan ilmu silat itu maka ia melangkah maju dan berkata,

“Kwi Hong, Milana tidak mau bertanding mengadu ilmu. Wataknya terlalu ha­lus untuk bertanding. Kalau engkau ingin berlatih, marilah kulayani, biar terbuka mataku dan bertambah pengetahuanku menerima pelajaran dari murid Suma­-taihiap yang sakti.”

Dalam ucapan ini, Bun Beng sama sekali tidak menyalahkan Kwi Hong, ha­nya ingin menolong Milana yang kelihat­an terpojok. Akan tetapi, hati Kwi Hong tersinggung dengan kata‑kata bahwa wa­tak Milana terlalu halus, sama dengan mengatakan bahwa wataknya adalah kasar! Dengan kedua pipi merah ia lalu menjawab singkat.

“Baiklah. Mari!” Setelah berkata demikian ia lalu menerjang maju dengan serangan ke arah dada Bun Beng!

Bun Beng cepat mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi gerak­an Kwi Hong amat cepatnya dan anak ini sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan lain yang amat cepat. Bun Beng terkejut, tak sempat mengelak lagi ma­ka ia lalu menggerakkan tangan menang­kis.

“Dukk!” Kwi Hong merasa lengannya agak nyeri, akan tetapi Bun Beng terhuyung ke belakang. Dalam hal tenaga sin-kang dia kalah kuat oleh Kwi Hong yang menerima latihan sin‑kang istimewa dari Suma Han di Pulau Es! Dan Kwi Hong yang merasa lengannya nyeri itu menja­di penasaran mengira bahwa Bun Beng agaknya memiliki kepandaian tinggi ma­ka dia lalu menyerang terus dengan gencar.

Bun Beng menggerakkan kaki tangan, mempertahankan diri dengan ilmu silat dari Siauw‑lim‑pai yang ia pelajari dari mendiang suhunya, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi lewat belasan jurus, dia ter­desak hebat dan setiap kali terpaksa menangkis, dia terpental atau terhuyung.

“Wah, Kwi Hong.... aku menyerah ka­lah!” Bun Beng berseru sambil menangkis lagi.

“Dukk!” Kembali Kwi Hong merasa lengannya nyeri. Biarpun sin‑kangnya lebih kuat, namun kulit lengannya tidak sekeras dan sekuat Bun Beng yang sela­ma setengah tahun hidup seperti kera liar dalam keadaan telanjang bulat. Ia makin penasaran.“Mengadu ilmu tidak perlu mengalah. Bun Beng, keluarkan kepandaianmu, ba­laslah menyerang, jangan mempertahan­kan saja!” Kwi Hong melanjutkan serang­annya lebih cepat lagi sehingga Bun Beng menjadi repot sekali. Karena serangan bertubi‑tubi itu amat cepat dan dahsyat, terpaksa ia dalam keadaan setengah sa­dar, telah menggerakkan kaki tangannya menurutkan ilmu dalam tiga kitab Sam­-po‑cin‑keng. Dia menangkis dengan gerakan membentuk lingkaran dengan kaki tangannya dan dari samping ia mengirim pukulan balasan, hanya mendorong ke arah pundak Kwi Hong dan dia berhasil! Pundak Kwi Hong terkena dorongannya sehingga anak perempuan itu terhuyung.

 “Kau hebat juga!” Biarpun mulutnya memuji, namun hati Kwi Hong menjadi panas. Dia menerjang lagi lebih hebat. Memang watak Kwi Hong keras dan tidak mau kalah. Dia merasa bahwa seba­gai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti dia tidak akan terkalahkan oleh anak‑anak lain!

Bun Beng menjadi sibuk sekali. Biarpun dia mainkan ilmu silat yang dipela­jari dari kitab orang sakti yang ia temu­kan di dalam sumber air panas di guha rahasia, namun isi kitab itu lebih ia kua­sai teorinya saja, sedangkan isinya be­lum ia mengerti benar. Apalagi kini Kwi Hong benar‑benar mengeluarkan kepan­daiannya. Ilmu silat yang dia pelajari da­ri Suma Han adalah ilmu silat tingkat tinggi dan anak ini setiap hari berlatih dengan para penghuni Pulau Es maka tentu saja serangan‑serangannya amat hebat!

“Plakkk!” Punggung Bun Beng kena ditampar. Dia terhuyung akan tetapi ber­kat semua penderitaan tubuhnya yang membuat tubuhnya kuat, dia tidak roboh dan dapat menangkis pukulan susulan. Kembali dia didesak hebat sampai mun­dur‑mundur dan hanya mampu mengelak menangkis, sedangkan Kwi Hong seperti seekor harimau betina mem­punyai keinginan untuk merobohkan Bun Beng. Kalau sudah kalah, tentu Bun Beng tidak berani merendahkannya dan akan menghargainya seperti yang ia inginkan!

“Kwi Hong, sudahlah....!” berkali‑kali Milana menjerit ketika melihat betapa Bun Beng mulai terkena pukulan bebera­pa kali. Biarpun bukan pukulan yang membahayakan, namun cukup membuat Bun Beng beberapa kali terhuyung dan mengaduh. Tiba‑tiba Bun Beng menerjang dengan nekat! Sudah menjadi watak Bun Beng sebagai seorang anak yang ti­dak mengenal takut dan pantang menye­rah! Apa lagi baru menerima pukulan-pukulan seperti itu, biarpun diancam maut sekalipun dia pantang menyerah dan akan melakukan perlawanan. Dia sudah mengalah, akan tetapi karena Kwi Hong agaknya bersikeras untuk meroboh­kannya, dia menjadi naik darah dan kini Bun Beng menerjang hebat dengan ilmu barunya secara sedapat‑dapatnya. Biar­pun gerakannya seperti ngawur, namun kakinya berhasil mengenai lutut Kwi Hong sehingga gadis cilik yang merasa kaki kirinya tiba‑tiba lemas itu hampir jatuh! Dia meloncat tinggi kemudian menukik turun dan menyerang Bun Beng dari atas dengan kedua tangan. Bun Beng terkejut, berusaha menangkis, namun ha­nya berhasil menangkis serangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya dapat menotok pundak Bun Beng, membuat pemuda cilik itu terguling.

“Kwi Hong, jangan lukai Bun Beng!” Tiba‑tiba Milana yang sejak tadi ber­teriak‑teriak mencegah pertandingan, sudah menerjang maju.

“Wuuuut....! Plakkk!” Terjangan Mila­na cepat sekali, akan tetapi Kwi Hong masih sempat menangkis sehingga kedua­nya terhuyung mundur.

“Hemm, kiranya engkau boleh juga!” Kwi Hong yang sudah menjadi marah karena menyesal bahwa dia telah merobohkan Bun Beng dan tentu Bun Beng akan marah kepadanya, sebaliknya suka kepada Milana yang membelanya, kini menyerang Milana yang cepat mengelak dan balas menyerang! Kiranya anak yang berwatak halus ini memiliki gerak­an yang indah dan ringan sekali sehing­ga pukulan‑pukulan Kwi Hong dapat ia elakkan semua. Betapapun juga, dia se­gera terdesak hebat karena agaknya da­lam keringanan tubuh saja dia dapat menandingi, sedangkan dalam ilmu silat dan tenaga, dia kalah banyak.

Biarpun Milana bergerak dengan ge­sit, tidak urung dia terkena dorongan ta­ngan Kwi Hong yang mengenai pinggang­nya sehingga ia terpelanting jatuh.

“Kwi Hong, kau terlalu!” Bun Beng menubruk Kwi Hong, akan tetapi cepat Kwi Hong mengelak menjatuhkan diri sambil menendang.

“Bukk!” Paha Bun Beng terkena tendangan dan untuk kedua kalinya dia ja­tuh tersungkur.

“Kwi Hong! Apa yang kaulakukan ini?” Tiba‑tiba tampak bayangan berkelebat dan Suma Han telah berada di situ. Melihat pamannya, seketika lenyap kemarahan dari hati Kwi Hong, terganti rasa takut. “Paman, kami hanya main­-main....”

“Main‑main?” Suma Han memandang Bun Beng yang telah bangun dan menge­but‑ngebutkan pakaiannya yang kotor. Juga Milana telah bangun dan meman­dang dengan wajah tenang.

“Karena menganggur, kami berlatih silat.” kata pula Kwi Hong.

“Hemm....” Suma Han tetap memandang Bun Beng dan Milana penuh seli­dik. Melihat sikap pendekar itu dan me­lihat betapa Kwi Hong ketakutan, Bun Beng lalu cepat berkata.

“Kami hanya berlatih.”

Milana juga berkata, “Kwi Hong ha­nya melatih saya, Suma‑taihiap.”

Suma Han mengerutkan keningnya, wa­jahnya yang biasanya sudah muram itu kini tampak seolah‑olah ada sesuatu yang mengesalkan hatinya. Tanpa menjawab ia lalu meloncat dan tubuhnya berkele­bat memasuki pondok.

Kwi Hong memandang kepada Bun Beng dan Milana, kemudian dengan suara penuh penyesalan berkata, “Maafkan aku, kalian baik sekali.”

Tiba‑tiba terdengar bunyi lengking keras dari dalam pondok dan tubuh Suma Han meloncat keluar, tahu‑tahu sudah tiba di dekat mereka bertiga, matanya mengeluarkan sinar marah ketika ia me­negur.

“Kalian tidak melihat orang datang ke pondok?”

Tiga orang anak itu memandang Suma Han dengan heran, kemudian menggeleng kepala, Suma Han menghela napas panjung. “Kalian hanya bermain‑main sa­ja, sedangkan sepasang garuda dibunuh orang dan pedang pusaka lenyap dari pondok.”

Tiga orang anak itu terkejut bukan main, “Pek‑eng dibunuh....?” Kwi Hong bertanya dan suaranya terdengar bahwa dia menahan tangisnya.

“Mati terpanah. Tidak mudah kedua burung itu dipanah, tentu pemanahnya seorang yang berilmu tinggi. Dan selagi kalian main‑main, pedang pusaka dicuri orang.”

“Kakek Nayakavhira....?” Tanya Milana.

“Dia telah meninggal dunia.”

“Ohh! Dia dibunuh?” Bun Beng berte­riak kaget.

Suma Han menggeleng kepala. “Dia mati selagi bersamadhi. Sungguh celaka, ada orang berani mempermainkan aku secara keterlaluan. Kalian di sini saja, jangan main‑main, bantu aku pasang ma­ta, lihat‑lihat kalau ada orang. Aku akan memperabukan jenazah Nayakavhira.” Suma Han lalu membakar pondok itu setelah menumpuk sisa kayu bakar ke dalam pondok dan meletakkan jenazah kakek yang masih bersila itu di atasnya.

Pondok terbakar oleh api yang bernyala‑nyala besar. Suma Han berdiri te­gak memandang, dan tiga orang itu juga memandang dengan hati kecut. Sungguh tidak mereka sangka terjadi hal‑hal yang demikian hebat. Selain dua ekor burung garuda terbunuh orang, juga pedang pusaka yang dibuat sedemikian susah pa­yah itu dicuri orang dari pondok tanpa mereka ketahui sama sekali. Timbul pe­nyesalan besar di dalam hati Kwi Hong karena andaikata dia tidak memaksa Bun Beng dan Milana bertempur, tentu mereka lebih waspada dan dapat meli­hat orang yang memasuki pondok dan mencuri pedang pusaka. Andaikata mere­ka bertiga tidak dapat mencegah pencu­ri itu melarikan pedang, sedikitnya me­reka akan dapat menceritakan pamannya bagaimana macamnya orang yang mencu­ri pedang. Sekarang pedang tercuri tan­pa diketahui siapa pencurinya!

Keadaan di situ menjadi sunyi sekali karena Suma Han dan tiga orang anak itu tidak bergerak, memandang pondok yang dibakar. Hanya suara api memba­kar kayu terdengar jelas mengantar asap yang membubung tinggi ke atas. Tiba-­tiba tiga orang anak terkejut ketika mendengar suara ketawa melengking yang menggetarkan isi dada mereka. Pantas­nya iblis sendiri yang mengeluarkan sua­ra seperti itu, yang datang dari timur seperti terbawa angin, bergema di seki­tar daerah itu. Lebih kaget lagi hati mereka bertiga ketika melihat tubuh Suma Han berkelebat cepat dan lenyap dari situ, meninggalkan suara perlahan namun jelas terdengar oleh mereka. “Ka­lian tinggal di sini, jangan pergi!”

Selagi tiga orang itu bengong saling pandang dengan muka khawatir, tiba‑tiba terdengar suara tertawa halus dan berkelebat bayangan orang. Tahu‑tahu di situ muncul seorang laki‑laki yang berwajah tampan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti siucai dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Melihat munculnya orang yang tertawa-­tawa ini, Bun Beng memandang penuh perhatian dan dia melihat sebatang pedang bersinar putih tanpa gagang terse­lip di ikat pinggang orang itu. Anak yang cerdik ini segera dapat menduga bahwa tentu orang ini mencuri pedang, dan pedang bersinar putih yang terselip dan ditutupi jubah namun masih tampak se­dikit itu adalah pedang pusaka yang dicurinya.

“Engkau pencuri pedang!” Bentaknya marah dan tanpa mempedulikan sesuatu, Bun Beng sudah menubruk ke depan. Akan tetapi sebuah tendangan tepat mendorong dadanya dan ia roboh terjeng­kang.

“Ha‑ha‑ha! Memang aku yang mengam­bil pedang pusaka. Dan siapa di antara kalian berdua yang menjadi murid pe­rempuan Pendekar Siluman?”

Kwi Hong yang mendengar pengakuan itu sudah menjadi marah sekali. Ini­lah orangnya yang membikin kacau dan membikin marah gurunya atau pamannya, pikirnya. Ia bergerak maju sambil mem­bentak,

“Aku adalah murid Pendekar Super Sakti! Maling hina, kembalikan pedang!”

Akan tetapi sambil tertawa‑tawa, laki‑laki tampan itu membiarkan Kwi Hong memukulnya dan ketika kepalan tangan gadis cilik itu mengenai perutnya, Kwi Hong merasa seperti memukul kapas saja. Ia terkejut, akan tetapi tiba‑tiba lengannya sudah ditangkap, tubuhnya di­kempit dan sambil tertawa laki‑laki itu sudah meloncat dan lari pergi.

“Tahan....!” Milana berseru dan meloncat ke depan, akan tetapi sekali orang itu mengibaskan lengan kirinya, tubuk Milana terpelanting dan roboh terguling. Bun Beng sudah bangkit lagi, tidak peduli akan kepeningan kepalanya dan dia mengejar secepat mungkin. Namun, laki­-laki itu berloncatan cepat sekali dan su­dah menghilang. Bun Beng teringat akan suara ketawa dari arah timur tadi, ma­ka dia lalu mengejar ke timur.

Milana merangkak bangun, menggo­yang‑goyang kepalanya yang pening. Ia mengangkat muka memandang, akan te­tapi tidak tampak lagi laki‑laki yang menculik Kwi Hong, juga tidak tampak bayangan Bun Beng. Dia menduga tentu Bun Beng melakukan pengejaran, maka dia pun meloncat bangun dan mengejar ke timur karena seperti Bun Beng, dia tadi mendengar suara ketawa dari timur.

Tentu saja baik Bun Beng maupun Milana tertinggal jauh sekali oleh laki-­laki yang menculik Kwi Hong karena orang itu memiliki ilmu kepandaian ting­gi sehingga kedua orang anak itu selain tertinggal juga masing‑masing melaku­kan pengejaran secara ngawur tanpa me­ngetahui ke mana larinya si penculik dan pencuri pedang itu.

Penculik berpakaian sasterawan itu bukan lain adalah Tan Ki atau Tan­-siucai yang sudah miring otaknya! Sete­lah berhasil membunuh Im‑yang Seng‑cu yang dipersalahkan karena Im‑yang Seng­-cu tidak membalas dendam dan membu­nuh Pendekar Siluman, Tan‑siucai bersama gurunya yang aneh dan amat lihai itu lalu melanjutkan perjalanan mencari Pendekar Siluman yang kabarnya menja­di To‑cu Pulau Es. Secara kebetulan sekali, ketika mereka berjalan di sepan­jang pesisir lautan utara untuk menyeli­diki di mana adanya Pulau Es, pada sua­tu hari mereka melihat dua ekor burung garuda putih beterbangan.

“Guru, bukankah burung‑burung itu adalah garuda putih yang amat besar­-besar. Seperti kita dengar, tunggangan Suma Han juga burung garuda putih. Sia­pa tahu burung‑burung itu adalah tunggangannya?” Kata Tan‑siucai.

“Hemm, burung yang indah dan he­bat. Sebaiknya ditangkap!” Kata Mahar­ya memandang kagum, kemudian ia mengambil sebuah batu sebesar geng­gaman tangan dan melontarkan batu itu ke arah seekor daripada dua burung garu­da putih yang terbang rendah. Dua ekor burung itu memang benar burung‑burung peliharaan Suma Han yang ditinggalkan di tempat itu ketika Kwi Hong hendak menonton kakek menunggang gajah. Ka­rena lama majikan mereka tidak me­manggil, kedua burung garuda itu menja­di kesal dan beterbangan sambil menyam­bari ikan yang berani mengambang di permukaan laut, juga mencari binatang-­binatang kecil yang dapat mereka jadi­kan mangsa.

Lontaran batu dari tangan Maharya amat kuatnya sehingga batu itu melun­cur seperti peluru ke arah burung garu­da betina. Burung ini sudah terlatih, melibat ada sinar menyambar ke arahnya, ia lalu menangkis dengan cakarnya. Akan tetapi, biarpun batu itu hancur oleh cakarnya, burung itu memekik kesa­kitan karena tenaga lontaran yang kuat itu membuat kakinya terluka. Dia menja­di marah sekali, mengeluarkan lengking panjang sebagai tanda marah dan me­nyambar turun ke bawah dengan kecepatan kilat, mencengkeram kepala Ma­harya yang berani mengganggunya!

“Eh, burung jahanam!” Maharya me­nyumpah ketika terjangan itu membuat ia terkejut dan hampir jatuh, sungguh­pun dia dapat mengelak dengan loncatan ke kiri.

“Tidak salah lagi, tentu tunggangan Pendekar Siluman!” Kata Tan‑siucai. “Kalau burung liar mana mungkin begitu lihai? Guru, kita bunuh saja burung­burung ini!” Setelah berkata demikian, Tan Ki mengeluarkan sebatang panah, memasang pada sebuah gendewa kecil. Menjepretlah tali gendewa dan sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan kilat menyambar burung garuda betina yang masih terbang rendah. Burung itu berusaha mengelak dan menangkis dengan sayapnya, namun anak panah itu dilepas oleh tangan yang kuat sekali, menembus sayap dan menancap dada! Burung itu memekik dan melayang jatuh, terbanting di atas tanah, berkelojotan dan mati!

Burung garuda jantan menjadi marah sekali, mengeluarkan pekik nyaring dan menyambar ke bawah hendak menyerang Tan‑siucai. Namun sambil tertawa, Tan Ki sudah melepas sebatang anak panah lagi. Garuda ini pun mencengkeram, namun anak panah itu tetap saja menem­bus dadanya dan burung ini pun roboh tewas! Dua ekor burung garuda yang terjatuh kini tewas di tangan seorang berotak miring yang lihai sekali.

Tan‑siucai dan gurunya kini merasa yakin bahwa tentu kedua ekor burung garuda itu adalah binatang tunggangan Pendekar Siluman seperti yang mereka dengar diceritakan orang‑orang kang‑ouw. Maka mereka berlaku hati‑hati, menyelidiki daerah itu dan akhirnya dari jauh mereka melihat pondok di mana menge­pul asap dan terdengar bunyi martil ber­dencing. Mereka tidak berlaku sembrono, hanya mengintip dengan sabar dan da­pat menduga bahwa Pendekar Siluman tentu berada di pondok itu, sedangkan seorang di antara dua orang anak perempuan yang bermain‑main di luar dengan seorang anak laki-laki tentulah muridnya seperti yang dikabarkan orang.

Tadinya Tan‑siucai hendak mengajak gurunya menyerbu dan membunuh musuh yang dibencinya itu, yang dianggap te­lah merampas tunangannya. Akan tetapi ketika Maharya mendapatkan bangkai gajah besar tak jauh dari tempat itu, dia menahan niat ini.

“Kalau tidak salah, gajah ini adalah binatang tunggangan kakakku Nayakavhira! Jangan‑jangan tua bangka itu pun ber­ada di dalam pondok bersama Pendekar Siluman. Aahhh, tidak salah lagi, tentu dia. Dan suara berdencing itu. Tentu Si Tua Bangka membuatkan pedang pusaka untuk Pendekar Siluman! Huh, dia selalu menentangku! Kalau aku tidak bisa mem­bunuhnya, tentu dia akan mendahului aku merampas Sepasang Pedang Iblis! Kita harus berhati‑hati. Aku tidak takut menghadapi Pendekar Siluman kaki bun­tung yang disohorkan orang itu. Akan tetapi tua bangka Nayakavhira itu lihai sekali dan terhadap dia kita tidak dapat menggunakan ilmu sihir. Kita menanti saja dan kalau ada kesempatan baik, baru kita menyerbu.”

Ketika melihat Suma Han keluar da­ri pondok dan meninggalkan tiga orang anak, Maharya lalu mengajak muridnya diam‑diam, menggunakan kesempatan selagi tiga orang anak itu bertempur untuk menyelundup ke dalam pondok. “Dia tentu sedang samadhi menapai pe­dang, inilah kesempatan baik karena Pendekar Siluman sedang keluar. Kau ambil pedangnya, biar aku yang mengha­dapi Nayakavhira!”

Akan tetapi, ketika mereka mema­suki pondok, mereka melihat bahwa Nayakavhira telah mati dalam keadaan masih duduk bersila di pondok, di depan­nya menggeletak sebatang pedang ber­sinar putih yang belum ada gagangnya. Tentu saja Maharya menjadi girang seka­li dan Tan‑siucai mengambil pedang pusaka itu. Diam‑diam mereka keluar dari pondok dan mengintai dari tempat persembunyian mereka. Mereka melihat Suma Han datang lagi kemudian melihat Suma Han membakar pondok untuk memperabukan ­jenazah Nayakavhira.

“Bagus! Sekarang biar aku memancing dia pergi, hendak kucoba sampai di mana kepandaiannya. Kau menjaga di sini, kalau dia sudah pergi, kauculik mu­ridnya. Dengan demikian, akan lebih mu­dah engkau membalas dendam.”

Demikianlah, dari tempat jauh di sebelah timur Maharya mengeluarkan suara ketawa sehingga memancing da­tangnya Suma Han, sedangkan Tan‑siucai berhasil menculik Kwi Hong! Pada hake­katnya, Tan‑siucai bukanlah seorang yang jahat atau kejam. Akan tetapi pada wak­tu itu, otaknya sudah miring karena den­damnya dan karena dia memaksa diri mempelajari ilmu sihir dari Maharya. Maka dia pun tidak membunuh Bun Beng dan Milana, hal yang akan mudah dan dapat ia lakukan kalau dia berhati ke­jam. Dia mengempit tubuh Kwi Hong sambil lari menyusul gurunya dan terke­keh mengerikan.

“Lepaskan aku! Keparat, lepaskan aku! Kalau tidak, Pamanku akan menghancurkan kepalamu!”

“Heh‑heh‑heh, Pamanmu? Gurumu se­kalipun, Si Pendekar Buntung kakinya itu, tidak akan mampu membunuhku, bahkan dia yang kini akan mampus di ta­ngan Guruku. Siapa Pamanmu, heh?”

“Tolol! Pamanku ialah guruku Suma Han Pendekar Super Sakti, To‑cu dari Pulau Es! Lepaskan aku!”

Saking herannya bahwa anak perempuan itu bukan hanya murid, akan tetapi juga keponakan musuh besar­nya, Tan‑siucai melepaskan Kwi Hong dan memandang dengan mata terbelalak. “Engkau keponakannya? Keponakan dari mana, heh?”

Kwi Hong mengira bahwa orang gila ini takut mendengar bahwa dia keponak­an gurunya, maka dia berkata, “Guruku adalah adik kandung mendiang Ibuku.”

Tan‑siucai tertawa. “Ha‑ha‑ha‑ha! Ke­betulan sekali! Dia telah membunuh ke­kasihku, tunanganku, calon isteriku. Biar dia lihat bagaimana rasanya melihat keponakannya kubunuh di depan matanya. Heh‑heh‑heh!”

Kwi Hong memandang marah. “Setan keparat! Engkau gila! Diriku tidak mem­bunuh siapa‑siapa dan jangan kira engkau akan dapat terlepas dari tangannya kalau kau berani menggangguku!”

“Engkau mau lari? Heh‑heh‑heh, lari­lah kalau mampu. Lihat, api dari tangan­ku sudah mengurungmu, bagaimana kau bisa lari?”

Kwi Hong memandang dan ia terpekik kaget melihat betapa kedua tangan yang dikembangkan itu benar‑benar mengelu­arkan api yang menyala‑nyala dan mengurung di sekelilingnya! “Setan.... engkau setan....!” Ia memaki akan tetapi hatinya merasa takut dan ngeri.

“Ha‑ha‑ha, hayo ikut bersamaku. Aku tidak mau terlambat melihat musuh be­sarku mati di tangan Guruku!”

Tan‑siucai menubruk hendak menang­kap Kwi Hong. Anak ini menjerit dan tanpa mempedulikan api yang bernyala-­nyala di sekelilingnya, ia meloncat me­nerjang api. Dan terjadilah hal yang mengherankan hatinya. Ketika mener­jang, api itu tidak membakarnya, bah­kan tidak ada lagi! Seolah‑olah melihat api tadi hanya terjadi dalam mimpi! Ma­ka ia berbesar hati lari terus.

“Hei‑hei.... mau lari ke mana, heh?” Tan‑siucai mengejar dan agaknya dalam kegilaannya ia merasa senang memper­mainkan Kwi Hong, mengejar sambil menggertak menakut‑nakuti, tidak sege­ra menangkapnya, padahal kalau dia mau, tentu saja dia dapat menangkap dengan mudah dan cepat. Lagaknya seperti se­ekor kucing yang hendak mempermain­kan seekor tikus. Membiarkannya lari du­lu untuk kemudian ditangkap dan diga­nyangnya.

Tan-siucai hanya hendak menakut-nakuti saja karena anak itu adalah keponakan dan murid musuh besarnya, tidak mempunyai maksud sedikit pun juga di hatinya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Mungkin dia akan benar-benar membunuh Kwi Hong di depan Suma Han, namun hal itu pun akan dilakukan semata-mata untuk menyakiti hati mu­suh besar yang telah merampas dan dianggap membunuh kekasihnya!

“Heh-heh-heh, mau lari ke mana kau?” Sekali meloncat, tiba-tiba tubuh­nya melesat ke depan dan sambil terta­wa-tawa ia telah tiba menghadang di depan Kwi Hong!

“Ihhhhh!” Kwi Hong menjerit kaget penuh kengerian, akan tetapi dia tidak takut dan menghantam perut orang itu.

“Cessss!” Tangannya mengenai perut yang lunak seolah-olah tenaganya amblas ke dalam air, maka Kwi Hong lalu mem­balikkan tubuh dan melarikan diri ke lain jurusan.

“Heh-heh-heh, larilah yang cepat, larilah kuda cilik, lari! Ha-ha-ha!” Tan-siucai tertawa-tawa dan mengejar lagi dari belakang. Berkali-kali ia mempermainkan Kwi Hong dengan loncat mengha­dang di depan anak itu.

Ketika ia sudah merasa puas mem­permainkan sehingga Kwi Hong mulai terengah-engah kelelahan, tiba-tiba Tan-siucai tersentak kaget karena tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang wanita yang mukanya berkerudung menyeram­kan!

Biarpun Tan-siucai kini telah menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, na­mun kemiringan otaknya membuat dia kadang-kadang seperti kanak-kanak. Be­gitu melihat munculnya seorang wanita berkerudung, agaknya ia teringat akan cerita-cerita yang dibacanya tentang setan-setan dan iblis, maka mukanya berubah pucat dan ia membalikkan tubuh­nya melarikan diri sambil menjerit, “Ada setan....!”

“Aduhhh....!” Ia menjerit dan tubuh­nya terpental karena pinggulnya telah ditendang dari belakang. Kini wanita berkerudung itulah yang keheranan. Ten­dangannya tadi disertai sin-kang yang ku­at, yang akan meremukkan batu karang dan orang di dunia kang-ouw jarang ada yang sanggup menerima tendangannya itu tanpa menderita luka berat atau bah­kan mati. Akan tetapi orang gila itu hanya menjerit tanpa menderita luka sedikit pun. Bahkan kakinya merasakan pinggul yang lunak seperti karet busa!

“Eh, kau.... kau bukan setan? Kakimu menginjak tanah, terang bukan setan! Ke­parat, kau berani menendang aku? Tung­gu ya, aku akan menangkap dulu anak itu!” Tan-siucai melangkah hendak me­nangkap lengan Kwi Hong yang masih berdiri terengah-engah dan juga memandang wanita berkerudung itu dengan ma­ta terbelalak.

“Jangan ganggu dia!” Tiba-tiba wanita itu membentak, suaranya merdu namun dingin dan mengandung getaran kuat.

Tan-siucai sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak menen­tangnya maka ia membusungkan dada dan menudingkan telunjuknya. “Aihh, ki­ranya engkau hendak menentangku, ya? Sungguh berani mati. Engkau tidak tahu aku siapa? Awas, kalau aku sudah ma­rah, tidak peduli lagi apakah engkau wa­nita atau pria, berkerudung atau tidak, sekali bergerak aku akan mencabut nya­wamu!”

Wanita berkerudung itu mendengus penuh hinaan, “Siapa takut padamu? Ten­tu saja aku tahu engkau siapa. Engkau adalah seorang yang tidak waras, berotak miring yang menakut-nakuti seorang anak perempuan. Kalau aku tidak ingat bah­wa engkau adalah seorang gila, apakah kaukira tidak sudah tadi-tadi kupukul kau sampai mampus? Nah, pergilah. Aku memaafkanmu karena engkau gila dan tinggalkan anak ini.”

Tan-siucai sudah lenyap kegilaannya dan ia marah sekali. “Engkau yang gila! Engkau perempuan lancang, hendak mencampuri urusan orang lain dan eng­kau memakai kerudung penutup muka. Hayo buka kerudungmu dan lekas minta ampun kepadaku!”

“Agaknya selain gila, engkau pun su­dah bosan hidup. Nah, mampuslah!” Tiba-tiba wanita berkerudung itu menerjang maju dengan cepat sekali, tahu-tahu tangannya sudah mengirim totokan maut ke arah ulu hati Tan-siucai. Tan-siucai telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dia terkejut sekali karena mak­lum bahwa totokan itu dapat membunuh­nya dan bahwa gerakan wanita itu sela­in cepat seperti kilat juga mengandung sin-kang yang luar biasa! Dia tidak bera­ni main-main lagi, tahu bahwa lawannya adalah seorang pandai, maka cepat ia menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga.

“Desss!” Tubuh Tan-siucai terguling saking hebatnya benturan tenaga itu dan ia cepat meloncat bangun sambil mengi­rim serangan balasan penuh marah.

“Hemm, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian!” Wanita berkerudung itu berseru dan menyambut pukulan Tan-siucai dengan sambaran tangan ke arah pergelangan lawan. Tan-siucai tidak mau lengannya ditangkap maka ia menghenti­kan pukulannya dan tiba-tiba kakinya menendang, sebuah tendangan yang men­datangkan angin keras mengarah pusar lawan.

“Wuuuttt!” Wanita itu miringkan tu­buh membiarkan tendangan lewat dan secepat kilat kakinya mendorong bela­kang kaki yang sedang menendang itu. Gerakan ini amat aneh dan Tan-siucai tak dapat mengelak lagi. Kakinya yang luput menendang itu terdorong ke atas, membawa tubuhnya sehingga ia terlem­par ke atas seperti dilontarkan.

“Aiiihhh....!” Tan-siucai berteriak akan tetapi wanita itu kagum juga me­nyaksikan betapa lawannya yang gila itu ternyata memiliki gin-kang yang tinggi sehingga mampu berjungkir balik di uda­ra dan turun ke tanah dengan keadaan kakinya tegak berdiri.

Adapun Tan-siucai yang makin kaget dan heran menyaksikan gerakan wanita berkerudung itu, teringat akan sesuatu dan membentak, “Aku mendengar bah­wa Ketua Thian-liong-pang adalah....”

“Akulah Ketua Thian-liong-pang!” Wa­nita itu memotong dan menerjang lagi, gerakannya cepat sekali sehingga sukar diikuti pandang mata dan Tan-siucai terpaksa meloncat mundur dengan kaget.

“Singggg....!” Tampak sinar hitam ber­kelebat dan tahu-tahu tangan Tan-siucai telah mencabut pedang hitamnya, tam­pak sinar hitam bergulung-gulung dengan dahsyatnya.

Diam-diam Ketua Thian-liong-pang itu kaget dan heran. Bagaimana tiba-tiba muncul seorang siucai gila seperti ini padahal di dunia kang-ouw tidak per­nah terdengar namanya. Namun dia ti­dak gentar sedikitpun juga. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian siucai tampan yang gila ini amat tinggi, akan tetapi tidak terlampau tinggi. Maka ia pun menghadapinya dengan kedua tangan kosong saja. Tubuhnya berkelebatan menyelinap di antara sinar pedang hitam dan mengirim pukulan sin-kang bertubi-tubi sehingga hawa pukulan itu saja cukup membuat Tan-siucai terhuyung mundur dan kacau permainan pedangnya! Ketika dengan rasa penasaran ia membabat kedua kaki wanita itu, Ketua Thian-liong-pang mencelat ke atas, ujung kakinya menen­dang tenggorokan lawan, Tan-siucai mi­ringkan kepala dengan kaget sekali.

“Aduhhh....!” Ia menjerit dan roboh terguling-guling, tulang pundaknya yang tersentuh ujung sepatu wanita terasa hendak copot, nyeri sampai menusuk ke jantung rasanya.

“Pangcu dari Thian-liong-pang, lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas, berlututlah!” tiba-tiba Tan-siucai menuding dengan pedangnya, melakukan ilmu hitamnya, untuk menguasai sema­ngat dan pikiran lawannya melalui ge­rakan, suara dan pandang matanya. Namun, Ketua Thian-liodg-pang itu me­makai kerudung di depan mukanya sehingga tidak dapat dikuasai oleh pandang matanya, adapun suaranya yang mengan­dung getaran khi-kang hebat itu masih kalah kuat oleh sin-kang lawan. Kini wanita itu tertawa merdu, ketawa yang bukan sembarang ketawa karena suara ketawanya digerakkan dengan sin-kang dari pusar sehingga membawa getaran yang amat kuat. Gelombang getaran ini menyentuh hati Tan-siucai sehingga dia ikut pula tertawa bergelak di luar ke­mauannya. Mendengar suara ketawanya sendiri, Tan-siucai terkejut dan cepat ia menindas rasa ingin ketawa itu, pe­dangnya membacok dari atas!

“Manusia berbahaya perlu dibasmi!” Tiba-tiba Ketua Thian-liorg-pang itu ber­kata dan tangan kirinya bergerak dari atas, ketika pedang itu tiba ia menjepit pedang dari atas dengan jari tangannya yang ditekuk! Bukan main hebatnya ilmu ini yang tentu saja hanya mampu dilaku­kan oleh orang yang kepandaiannya sudah tinggi sekali dan sin-kangnya sudah amat kuat. Tan-siucai terkejut, berusaha me­narik pedang namun pedang itu seperti dijepit oleh tang baja dan sama sekali tidak mampu ia gerakkan. Saat itu Ketua Thian-liong-pang sudah menyodokkan jari-jari tangan kanannya ke arah perut Tan-siucai yang kalau mengenai sasaran tentu akan mengoyak kulit perut!

“Aiihhhh....!” Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu memekik, pekik seorang wanita yang terkejut dan ngeri, kemudi­an tubuhnya meloncat jauh ke belakang, sepasang mata di balik kerudung itu terbelalak.

Tan-siucai yang tadinya sudah hilang harapan dan maklum bahwa dia teran­cam bahaya maut, menjadi kaget dan girang sekali melihat wanita sakti itu meloncat mundur, tidak jadi membunuh­nya. Saking girangnya, gilanya kumat dan ia meloncat pergi sambil tertawa-tawa, “Ha-ha-ha, engkau tidak tega membunuhku, ha-ha-ha!”

Ketua itu masih bengong dan mem­biarkan Si Gila pergi. Tentu saja dia tadi meloncat ke belakang bukan karena tidak tega membunuh Tan-siucai, mela­inkan ketika tangannya hampir mengenai perut lawan, tiba-tiba ada sinar putih yang luar biasa keluar dari balik jubah bagian perut. Sinar putih ini mengandung hawa mujijat sehingga mengagetkan Ke­tua Thian-liong-pang yang maklum bahwa sinar yang mengandung hawa seperti itu hanyalah dimiliki sebuah pusaka yang maha ampuh!

“Sayang engkau melepaskan Si Gila itu,” Kwi Hong berkata ketika melihat Tan-siucai menghilang.

Ketua Thian-liong-pang itu agaknya baru sadar akan kehadiran Kwi Hong. Dia menoleh dan memandang anak itu, di dalam hatinya merasa suka dan ka­gum. Anak yang bertulang baik, berhati keras dan penuh keberanian.

“Sudah cukup kalau engkau terbebas darinya,” ia berkata. “Anak, engkau sia­pakah dan mengapa engkau ditangkap Si Gila?”

“Aku tidak tahu dengan orang apa aku bicara. Apakah engkau tidak mau membuka kerudungmu sehingga aku da­pat memanggilmu dengan tepat?” Kwi Hong bertanya, memandang muka berke­rudung itu dan diam-diam ia kagum ka­rena dia sudah mendengar akan nama besar Thian-liong-pang dan tadi pun sudah menyaksikan sendiri kelihatan wani­ta ini sehingga timbul keinginan untuk melihat bagaimana kalau wanita ini ber­tanding melawan pamannya!

Wanita itu menggeleng kepala. “Tidak seorang pun boleh melihat mukaku, ke­cuali.... kecuali.... yah, tak perlu kau tahu. Sebut saja aku Bibi. Engkau siapa­kah?”

“Bibi yang perkasa, aku adalah Giam Kwi Hong, murid dan juga keponakan dari To-cu Pulau Es.”

“Pendekar Siluman....!” Wanita berke­rudung itu bertanya, jelas kelihatan ter­kejut bukan main. Besar rasa hati Kwi Hong. Semua orang mengenal pamannya, mengenal dan takut. Agaknya wanita perkasa ini tidak terkecuali, maka ia menjadi bangga, tersenyum dan mengang­guk.

“Benar, dan Si Gila itu tadi sengaja menculikku karena dia memusuhi Paman Suma Han. Katanya Pamanku membunuh kekasihnya, tunangannya. Kurasa dia bohong karena dia gila. Kalau saja Pa­man tidak dipancing pergi, mana dia mampu menculikku?”

“Di mana Pamanmu sekarang? Apa yang terjadi?”

“Paman sedang membuat pedang pu­saka bersama kakek yang bernama Naya­kavhira. Pedang sudah jadi dan karena Kakek itu hendak menapai pedang, Pa­man pergi untuk mencari garuda kami. Paman datang dan mengatakan bahwa se­pasang garuda dibunuh orang, kemudian ternyata bahwa pedang pusaka itu lenyap. Baru tadi kuketahui bahwa pedang yang baru jadi diambil oleh Si Gila. Maka sayang tadi kaulepaskan dia, seharusnya pedang itu dirampas dulu, Bibi.”

“Ahhhh....!” Ketua Thian-liong-pang itu kagum bukan main. Kiranya benar dugaannya. Si Gila itu menyelipkan seba­tang pedang pusaka yang amat ampuh di pinggangnya. Dia menyesal mengapa ta­di tidak mengejar dan merampas pedang itu.

“Ketika Paman membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira yang kedapatan sudah mati tua di pondok, ada suara ketawa. Paman cepat pergi mencari dan tiba-tiba muncul Si Gila itu, dan aku diculik.....”

“Hemm.... kalau begitu Pamanmu tidak jauh dari sini. Mari kuantar engkau me­nyusulnya.” Tanpa menanti jawaban, wa­nita itu memegang lengan Kwi Hong dan anak ini kagum bukan main. Kembali dia membandingkan wanita ini dengan pa­mannya, karena digandeng dan dibawa lari seperti terbang seperti sekarang ini hanya pernah ia alami ketika dia diba­wa lari pamannya.

Tiba-tiba wanita itu berhenti dan me­nuding ke depan. Kwi Hong memandang dan terbelalak heran menyaksikan pa­mannya itu sedang duduk bersila di atas tanah, tongkatnya melintang di atas ka­ki tunggal, kedua tangannya dengan ta­ngan terbuka dilonjorkan, matanya terpe­jam dan dari kepalanya keluar uap putih yang tebal! Adapun kira-kira sepuluh me­ter di depannya tampak seorang kakek bersorban seperti Nayakavhira, hanya be­danya kalau Kakek Nayakavhira berkulit putih, orang ini berkulit hitam arang, memakai anting-anting di telinga, hidungnya seperti paruh kakatua, jenggotnya panjang dan dia pun bersila seperti Suma Han dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada dan matanya melo­tot lebar, juga dari kepalanya keluar uap tebal. Baik Suma Han maupun kakek hitam itu sama sekali tidak bergerak se­olah-olah mereka telah menjadi dua bu­ah arca batu!

“Paman....!” Tiba-tiba mulut Kwi Hong didekap tangan Ketua Thian-liong-pang yang berbisik.

“Anak bodoh, tidak tahukah engkau bahwa Pamanmu sedang bertempur mati-matian melawan kakek sakti itu? Mere­ka mengadu sihir dan kalau engkau mengganggu Pamanmu, dia bisa celaka. Kau tunggu saja di sini sampai pertem­puran selesai, baru boleh mendekati Pamanmu. Aku mau pergi!” Setelah berka­ta demikian, sekali berkelebat, Ketua Thian-liong-pang itu lenyap dari belakang Kwi Hong yang tidak mempedulikannya lagi karena perhatiannya tertumpah ke­pada pamannya.

Kwi Hong sama sekali tidak tahu bahwa sebelum dia tiba di tempat itu, Bun Beng telah lebih dulu melihat per­tandingan yang amat luar biasa itu, ber­sembunyi di tempat lain dan memandang dengan napas tertahan dan mata terbe­lalak. Dibandingkan dengan Kwi Hong, dia jauh lebih terheran karena apa yang dilihatnya tidaklah sama dengan apa yang dilihat Kwi Hong! Kalau Kwi Hong ha­nya melihat pamannya duduk bersila melonjorkan kedua lengan ke depan mengha­dapi kakek hitam yang bersila dan merangkapkan tangan depan dada, Bun Beng melihat betapa di antara kedua orang sakti yang duduk bersila tak bergerak seperti arca itu terdapat seorang Suma Han ke dua yang sedang bertanding dengan hebatnya melawan seorang kakek hitam ke dua pula, seolah-olah bayangan mereka yang sedang bertanding!

Mengapa bisa begitu? Mengapa kalau Kwi Hong tidak melihat ada yang bertanding? Karena dia baru saja tiba sehingga dia tidak dikuasai pengaruh mujijat seperti yang dialami Bun Beng. Ketika Bun Beng berlari secepatnya mengejar Tan-siucai yang menculik Kwi Hong secara ngawur ke timur karena dia sudah tertinggal jauh sehingga penculik itu ti­dak tampak bayangannya lagi dan na­pasnya mulai memburu, dia melihat Su­ma Han sedang bertanding melawan se­orang kakek hitam. Pertandingan yang amat hebat dan cepat sekali sehingga pandang mata Bun Beng menjadi kabur dan kepalanya pening. Dia melihat beta­pa tubuh Pendekar Siluman itu mencelat ke sana ke mari sedangkan tubuh kakek hitam itu berputaran seperti sebuah gasing. Begitu cepat pertandingan itu se­hingga dia tidak dapat mengikuti dengan pandang matanya. Dia tidak berani mem­perlihatkan diri biarpun ketika melihat Suma Han dia menjadi girang sekali dan ingin menceritakan tentang Kwi Hong yang diculik orang. Menyaksikan pertan­dingan yang hebat itu dia lupa segala, lupa akan Kwi Hong yang diculik orang dan ia menonton sambil bersembunyi de­ngan mata terbelalak.

Tiba-tiba kakek itu terlempar sam­pai sepuluh meter jauhnya dan terdengar kakek itu berkata, “Pendekar Siluman, engkau hebat sekali. Tetapi aku masih belum kalah. Lihat ini!” Kakek itu lalu duduk bersila, merangkapkan kedua ta­ngan depan dada sambil mengeluarkan bunyi menggereng hebat sekali dan.... hampir Bun Beng berseru kaget ketika melihat betapa dari kepala kakek itu mengepul uap kehitaman tebal dan mun­cul seorang kakek ke dua, persis seperti seorang kakek itu sendiri!

“Maharya, engkau hendak mengadu kekuatan batin? Baik, aku sanggup mela­yanimu!” Kata Suma Han yang segera duduk bersila dan juga dari kepalanya mengepul uap putih yang tebal dan dari uap ini terbentuklah seorang Suma Han kedua yang bergerak maju menghadapi “bayangan” kakek hitam, kemudian kedua bayangan itu bertanding dengan hebat! Suma Han melonjorkan kedua tangan ke depan dan gerakan bayangannya menjadi makin cepat dan kuat! Bun Beng yang terkena getaran pengaruh mujijat, dapat melihat kedua bayangan yang bertanding itu, yang tidak dapat tampak oleh Kwi Hong yang baru tiba.

Bun Beng yang dapat menyaksikan pertandingan aneh itu, dengan mata ter­belalak dan muka pucat menonton. Ia melihat gerakan bayangan kakek itu aneh, berloncatan menyerang bayangan Suma Han dengan jari-jari tangannya. Kedua tangan hanya menggunakan dua buah jari, telunjuk dan tengah, untuk menusuk-nusuk dengan cepat sekali, sedangkan kedua ka­kinya berloncatan seperti gerakan kaki katak. Terdengar bunyi angin bercuitan ketika kedua tangannya menusuk-nusuk. Namun gerakan bayangan Suma Han yang tidak bertongkat itu tetap tenang biarpun cepatnya membuat mata Bun Beng sukar mengikutinya. Bayangan Pen­dekar Super Sakti ini mencelat ke sana-sini menghindarkan semua tusukan jari tangan lawan, bahkan membalas dengan pukulan kedua tangan yang mendatang­kan angin sehingga kain panjang lebar yang menjadi pakaian kakek hitam, hanya dibelitkan, berkibar oleh angin pukulan itu.

Tubuh kedua bayangan itu seolah-olah tidak menginjak tanah, kadang-kadang keduanya membubung tinggi dan bertan­ding di udara, kemudian turun lagi ke atas tanah. Bun Beng yang menonton pertandingan itu menjadi bingung, sukar mengikuti gerakan kedua bayangan itu sehingga dia tidak tahu siapa yang men­desak dan siapa yang terdesak. Hanya dia melihat Suma Han yang bersila itu masih duduk tenang tak bergerak sedikit juga, kedua mata dipejamkan. Sedangkan kakek hitam yang bersila itu matanya makin melotot mukanya mulai berpeluh dan kedua tangan yang dirangkapkan di depan dada itu bergoyang menggigil se­dikit. Dan biarpun ada pertempuran yang demikian hebatnya, tidak terdengar suara sedikit pun juga. Keadaan sunyi sekali, sama sunyinya seperti yang dirasakan Kwi Hong yang hanya melihat dua orang sakti itu duduk bersila berhadapan tanpa bergerak. Baik Kwi Hong maupun Bun Beng yang masing-masing bersembunyi di tempat terpisah dan tidak saling melihat, merasa khawatir karena saking sunyinya, mereka itu hanya mendengar suara pernapasan mereka sendiri yang tertahan-tahan!

Sementara itu, mereka yang saling bertanding mengadu kesaktian mengerah­kan seluruh kekuatan batin untuk meng­himpit lawan. Diam-diam Maharya terke­jut bukan main. Kalau tadi, ketika ia memancing Pendekar Siluman ke tempat itu kemudian ia tantang dan serang, da­lam pertandingan silat dia terdesak bah­kan sampai terdorong dan terlempar ja­uh, dia tidak menjadi penasaran karena memang dia sudah mendengar berita bahwa Pendekar Siluman memiliki ilmu silat yang luar biasa dan tenaga sin-kang yang dahsyat. Maka dia lalu mengambil cara lain, yaitu menghadapi lawannya dengan ilmu sihir dan ia merasa yakin pasti akan dapat menang. Dia terkenal di negaranya sebagai seorang ahli sihir yang tangguh. Akan tetapi, betapa ka­getnya ketika ia melihat Pendekar Silu­man menandinginya dengan ilmu yang sama, bahkan kini ia merasa betapa kekuatan batinnya terdesak hebat!

Kakek ini merasa penasaran sekali. Dalam hal mengadu kekuatan raga, dia tidak pernah menemui tanding, apalagi dalam mengadu kekuatan batin. Kini, berhadapan dengan seorang lawan muda yang patut menjadi cucunya, dia selalu tertindih kalah lahir batin! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan itu dan dengan geram ia menggerakkan mu­lut yang tertutup kumis itu berkemak-kemik, mengerahkan segala kekuatannya dan pandang mata yang melotot itu se­olah-olah mengeluarkan api!

Bun Beng yang kebetulan memandang kakek yang duduk bersila itu hampir berteriak kaget melihat betapa sepasang mata kakek itu seperti mengeluarkan api! Dia cepat menengok ke arah Suma Han dan melihat betapa pendekar itu ke­lihatan mengerutkan alis, tidak tenang seperti tadi, dan kedua lengannya yang dilonjorkan itu tergetar seolah-olah hen­dak menambah tenaga yang keluar dari sepasang telapak tangannya.

Memang Suma Han juga terkejut se­kali ketika tiba-tiba ia merasa betapa kekuatan kakek lawannya itu menjadi berlipat! Hawa panas menyerangnya se­hingga ia cepat mengerahkan inti sari dari Swat-im Sin-kang. Setelah kedua te­naga panas dan dingin itu saling dorong-mendorong, akhirnya dia merasa betapa hawa panas berkurang. Keningnya tidak berkerut lagi, akan tetapi tampak bebe­rapa tetes keringat membasahi dahi Su­ma Han. Benar-benar hebat lawannya itu, pikirnya. Belum pernah selama hi­dupnya dia bertemu dengan seorang la­wan sehebat Kakek Maharya ini! Kalau dalam hal ilmu silat dia hanya memang sedikit saja, dalam hal ilmu yang didasari kekuatan batin, dia tidak berani menga­takan lebih kuat! Hanya yang mengun­tungkan dirinya, kekuatan batin yang di­milikinya adalah pembawaan dirinya, dibentuk oleh kekuatan alam dan dima­tangkan dengan ilmu sin-kang dan pela­jaran yang ia terima menurut petunjuk Koai-lojin. Sedangkan kekuatan batin kakek lawannya itu dikuasainya oleh la­tihan-latihan yang puluhan tahun lama­nya. Betapapun hebat usaha manusia, mana mampu menandingi kekuatan dan kekuasaan alam? Maka dalam pertanding­an ini, Suma Han yang mengandalkan te­naga batin dari kekuasaan alam, sukar untuk dikalahkan oleh kakek yang telah menjadi datuk dalam ilmu sihir itu.

Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tampak tiga sinar putih yang menyilaukan mata menyambar ke arah tubuh kakek hitam itu, menyambar muka di antara mata, ulu hati dan pusar!

“Eigghhhh....!” Kakek itu mengeluar­kan suara menggereng seperti harimau, tangannya yang tadinya dirangkap di de­pan dada bergerak dan mulutnya terbuka. Bun Beng terbelalak menyaksikan betapa kakek itu telah menangkap tiga sinar itu yang ternyata adalah tiga batang pi­sau, ditangkap dengan kedua tangan, sedangkan yang menyambar muka telah digigitnya! Bayangan kakek yang bertan­ding melawan bayangan Suma Han telah lenyap masuk kembali ke kepala kakek itu, demikian pula bayangan Suma Han telah lenyap. Sekali menggerakkan tubuh, kakek itu sudah meloncat berdiri dan tampak tiga sinar menyambar ke arah kirinya ketika ia melontarkan tiga ba­tang pisau itu ke arah dari mana da­tangnya pisau-pisau tadi. Kemudian ia meloncat jauh dan lenyap, hanya terde­ngar suaranya.

“Pendekar Siluman! Lain kali kita lanjutkan!”

Sunyi keadaan di situ setelah kakek itu menghilang. Suma Han bangkit berdi­ri bersandar kepada tongkatnya, meno­leh ke arah dari mana datangnya pisau-pisau tadi dan berkata, suaranya dingin dan penuh wibawa seperti orang marah.

“Siapa yang telah berani lancang tu­run tangan tanpa diminta?”

Daun bunga bergerak dan muncullah seorang wanita amat cantik jelita dari balik rumpun, berdiri di depan Suma Han tanpa berkata-kata. Keduanya sa­ling pandang dan berseru, suaranya menggetar penuh perasaan,

“Nirahai....!”

“Han Han....!”

Keduanya berdiri saling pandang dan sungguhpun dalam suara mereka terkan­dung kerinduan yang mendalam, namun keduanya hanya saling pandang dan dari kedua mata wanita cantik itu menetes air mata berlinang-linang.

“Han Han, bertahun-tahun aku menan­ti akan tetapi engkau tidak kunjung da­tang menyusulku. Sampai kapankah aku harus menanti? Sampai dunia kiamat? Han Han, aku isterimu!”

“Nirahai, engkau.... telah pergi me­ninggalkan aku, membuat hatiku mera­na....”

“Memang aku pergi, akan tetapi eng­kau tidak melarang!”

“Aku.... ah, aku tidak ingin memaksa­mu.... aku.... ahh....”

“Han Han, engkau laki-laki lemah! Engkau suami yang hanya tunduk dan mengekor kepada isteri, engkau pria yang tidak tahu isi hati wanita. Engkau.... ahh, sakit hatiku melihatmu....!”

“Nirahai....!” Suma Han melangkah maju dan merangkul wanita itu. Nirahai tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya, membiarkan Suma Han mengelus rambutnya, “Nirahai, aku cinta padamu. Demi Tuhan, aku cinta padamu.... akan tetapi karena engkau mempu­nyai cita-cita, aku merelakan engkau pergi....”

“Ibuuuu....!” Terdengar teriakan girang dan muncullah Milana berlarian. Mende­ngar teriakan ini, Nirahai melepaskan pelukan Suma Han dan menyambut Milana dengan tangan terbuka, lalu memon­dong anak itu dan menciuminya penuh kegirangan, “Milana....! Anakku....! Ahhh, sukur engkau selamat. Betapa gelisah ha­tiku mendengar laporan Pamanmu tentang malapetaka di laut itu!”

Suma Han memandang dengan wajah pucat sekali. “Milana!” Dia membentak, suaranya mengguntur, mengagetkan Kwi Hong dan Bun Beng di tempat persembunyian masing-masing di mana kedua orang anak ini tertegun menyaksikan adegan pertemuan antara Suma Han dan isterinya yang tidak mereka sangka-sangka itu. “Engkau perempuan rendah, isteri tidak setia! Engkau meninggalkan aku dan tahu-tahu telah mempunyai se­orang anak! Ahhh, betapa menyesal ha­tiku telah mentaati perintah mendiang Subo....!” Setelah berkata demikian dengan pandang mata penuh jijik dan kebencian, Suma Han membalikkan tubuhnya dan pergi berjalan terpincang-pincang me­ninggalkan Nirahai. Nirahai menjadi pu­cat, terbelalak dan menurunkan Milana yang berdiri memeluk pinggang ibunya dan bertanya.

“Ibu....! Dia siapa....? Mengapa To-cu Pulau Es itu marah-marah kepadamu?”

Nirahai menangis mengguguk. “Dia.... dia Ayahmu....” Suaranya gemetar dan ia menutupi mukanya dengan kedua ta­ngan, menangis tersedu-sedu.

Milana cepat menoleh, kemudian lari meninggalkan ibunya, mengejar Suma Han sambil menjerit. “Ayaaahhh....! Ayah....!”

Mendengar jeritan anak itu, cepat Suma Han membalik, mengira bahwa dia tentu akan melihat munculnya laki-laki yang menjadi ayah dari anak Nirahai itu. Akan tetapi, ia menjadi bingung dan terheran-heran ketika melihat anak itu mengejarnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan memeluk kakinya sambil menangis dan memanggil-manggil. “Ayaahh.... ayaahku....!”

Suma Han terbelalak memandang bo­cah yang menangis memeluki kaki tung­galnya, kemudian mengangkat muka memandang Nirahai yang masih menangis tersedu-sedu menutupi muka dengan ke­dua tangan sambil berlutut di atas ta­nah.

“Heh....! Apa....! Bagaimana....? Eng­kau.... anak siapa....?”

“Ayah.... engkau Ayahku.... aku anak Ayah dan Ibu.....” Milana mengangkat muka.

Tubuh Suma Han menggigil dan ia menyambar tubuh Milana, diangkat dan dipondongnya. “Anakku? Engkau.... anak­ku....?” Ia menciumi muka bocah itu. Milana tertawa dengan air mata bercu­curan, merangkul leher pendekar yang dikagumi dan yang dirindukan itu.

Suma Han berpincang melangkah ke depan Nirahai. “Nirahai.... benarkah ini? Dia.... dia ini.... anakku....?”

Nirahai mengangguk, mengusap air matanya. “Ketika kita saling berpisah.... aku mengandung dan.... terlahirlah Mila­na.... anak kita....”

“Nirahai, engkau kejam, engkau tidak adil. Diam-diam saja engkau memeliha­ra anak kita sampai begini besar. Tidak memberitahukan kepadaku, tidak menyu­sulku. Betapa kejam engkau.”

Nirahai meloncat bangun, pandang ma­tanya penuh penasaran. “Siapa yang ke­jam? Engkaulah yang kejam, lemah dan canggung! Engkau tidak pernah menca­riku, tidak pernah menyusulku ke Mongol!”

Melihat ayah bundanya cekcok, Mila­na yang berada di pondongan ayahnya itu berkata. “Ayah, marilah engkau ikut bersama kami....”

“Dan menjadi seorang Pangeran Mo­ngol? Ha-ha, nanti dulu! Aku tidak sudi! Semestinya ibumu yang ikut bersamaku ke Pulau Es. Nirahai, maukah engkau?”

Akan tetapi Nirahai memandang de­ngan muka merah dan berapi. “Tidak sudi! Kini aku tidak mau menyembah-nyembah minta kaubawa. Dan hanya de­ngan paksaan saja engkau akan dapat membawaku ke sana. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kaubiarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah! Milana, mari kita pergi!”

 “Tidak boleh, Nirahai. Milana ini anakku. Sudah terlalu lama dia kaupeli­hara sendiri, terlalu lama kaupisahkan dari Ayahnya. Aku akan membawa dia, tak peduli engkau suka ikut atau tidak!”

“Ayah....! Aku tidak mau meninggal­kan Ibu!” Milana merosot turun dari pon­dongan dan hendak lari kepada ibunya. Akan tetapi Suma Han mendengus ma­rah, lengan kanannya menyambar tubuh Milana, dikempitnya dan dia lalu pergi dengan cepat meninggalkan Nirahai.

“Han Han....!” Nirahai menjerit dan mengejar. Namun Suma Han tidak pedu­li, wajahnya keruh, matanya hampir ter­pejam, kaki tunggalnya melangkah terus ke depan.

“Lepaskan aku! Ayahhhh.... aku tidak mau meninggalkan Ibu....!” Milana men­jerit-jerit. Akan tetapi Suma Han terus saja melangkah tanpa mempedulikan jerit anaknya.

Tiba-tiba Bun Beng meloncat dan menghadang di depan Suma Han, berdiri tegak dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran, “Suma-taihiap! Seorang pen­dekar seperti Taihiap tidak boleh berla­ku begini! Memisahkan anak dari ibunya adalah perbuatan jahat! Kalau Taihiap berkepandaian, mengapa tidak memba­wa Ibunya sekalian?”

Suma Han terbelalak, mukanya ber­ubah merah saking marahnya. “Gak Bun Beng! Engkau anak tidak syah dari da­tuk kaum sesat Kang-touw-kwi Gak Liat, berani engkau bersikap seperti ini kepadaku! Sebelum menutup mata, Ibumu berpesan kepadaku untuk menyelamatkanmu, dan sekarang engkau mengatakan aku jahat?”

Jantung Bun Beng seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan ini. Ayahnya seorang datuk kaum sesat? Dia anak tidak syah? Tidak ada ucapan yang le­bih menyakiti hatinya dari pada ini dan tidak ada kenyataan yang akan lebih menghancurkan hatinya. Namun kekerasan hati Bun Beng membuat ia tetap ber­diri tegak dan berkata,

“Keturunan orang macam apa adanya aku, Suma-taihiap, tetap saja aku mela­rang engkau memisahkan Milana dari Ibunya! Biar akan kaubunuh aku siap!” Sikap Bun Beng gagah sekali biarpun kedua matanya kini mengalirkan butiran-butiran air mata.

“Han Han....! Kaubunuh aku dulu sebe­lum melarikan anakku!” Nirahai telah meloncat menghadang pula di depan Su­ma Han, mencabut sebatang pedang siap untuk mengadu nyawa! Juga kedua mata wanita cantik ini bercucuran air mata.

“Paman....!” Kwi Hong yang sejak ta­di memandang dengan tubuh gemetar saking tegang hatinya, kini berani melon­cat keluar dan menghampiri Suma Han, berlutut sambil menangis.

“Ayah.... aku tidak mau berpisah dari Ibu....!” Milana yang masih dikempit oleh lengan ayahnya itu pun meratap sambil menangis.

Suma Han berdiri seperti berubah menjadi arca. Suara isak tangis menusuk-nusuk telinganya terus ke hati, linangan air mata seperti butiran-butiran mutiara itu mempesonanya. Kekuatan batin dan kekerasan hatinya mencair, seperti salju tertimpa sinar matahari.

Tidak ada suara bagi manusia di du­nia ini melebihi kekuasaan suara tangis! Tangis adalah suara jeritan hati dan ji­wa. Tangis adalah suara pertama yang dikenal dan suara pertama yang keluar dari mulut manusia. Tangis merupakan suara pertama dari manusia tanpa dipelajarinya. Begitu terlahir, suara perta­ma dari manusia adalah tangis. Tangis merupakan suara langsung dari dalam sehingga setiap orang anak yang terlahir di segenap penjuru dunia mempunyai suara tangis yang sama. Tangis adalah satu-satunya suara yang mampu menem­bus jantung dan menyentuh batin manusia, juga dengan ratap tangis orang berusaha menghubungkan diri dengan Tuhan!

Lemas seluruh urat syaraf di tubuh Suma Han mendengar isak tangis empat orang manusia itu. Tubuh Milana dilepaskan dan anak ini berlari kepada ibunya, merangkul dan menangis. Nirahai lalu memondong puterinya, memandang kepa­da Suma Han dan berkata,

“Selama engkau masih menjadi se­orang laki-laki yang berwatak lemah, aku tidak akan sudi turut bersamamu bahkan aku akan mengimbangi kerajaan­mu di Pulau Es!” Setelah berkata demi­kian, Nirahai meloncat dan berlari ce­pat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.

Suma Han menundukkan mukanya. Untuk ke dua kalinya dia terpukul. Per­tama kali ketika bertemu dengan Lulu yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia dicela dan dimarahi. Kini, bertemu dengan isterinya, Nirahai, kembali dia dicela dan dimusuhi. Benar-benar dia tidak mengerti isi hati wanita!

“Kwi Hong, kita pulang!” Dia berka­ta, menggandeng tangan Kwi Hong dan berlari pergi cepat.

Bun Beng menjadi bengong. Dia tidak menyesal ditinggal seorang diri, akan te­tapi dia masih merasa sakit hatinya mendengar ucapan Suma Han tadi. Masih terngiang di telinga kata-kata pendekar yang tadinya amat dikaguminya itu, “Engkau anak tidak syah dari datuk ka­um sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat!”

Bun Beng menunduk, mencari-cari jawaban ke bawah akan tetapi rumput dan tanah yang diinjaknya tidak dapat memberi jawaban. Ayahnya seorang datuk kaum sesat? Dan dia anak tidak syah? Apa artinya ini?

“Ah, mengapa aku menjadi lemah begi­ni? Apa peduliku tentang asal-usulku? Aku adalah seorang manusia, dan aku menjadi mausia bukan atas kehendakku! Aku sudah ada dan aku harus bangga dengan keadaanku, harus berjuang mem­pertahankan keadaanku dan menyempurnakan keadaanku! Mereka itu pun hanya manusia-manusia yang ternyata bukan terbebas daripada derita, bukan bersih daripada cacad! Kekalahanku dari orang-orang sakti seperti Pendekar Siluman, isterinya, pencuri pedang, dan kakek-kakek sakti seperti mendiang Nayakavhira dan Maharya tadi hanyalah kalah pandai dalam penguasaan ilmu! Akan tetapi ilmu dapat dipelajari! Mereka semua itu, dahulu sebelum mempelajari ilmu pun tidak bisa apa-apa seperti dia! Dan dia masih muda, apalagi sedikit-sedikit per­nah mempelajari ilmu, dan ada kitab yang telah dihafal namun belum dilatih­nya dengan sempurna, ada sepasang pedang yang disembunyikan di puncak tebing. Sepasang pedang pusaka! Pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, seperti pedang yang dibuat oleh Suma Han. Jangan-jangan itu adalah Sepasang Pedang Iblis yang mereka cari-cari bahkan yang khusus dibuatkan pedang lawannya oleh Nayakavhira. Biarlah. Biar, andaikata sepasang pedang itu adalah Sepasang Pedang Iblis, kelak dia akan memperli­hatkan kepada dunia bahwa di tangannya, sepasang pedang itu tidak akan menjadi senjata yang dipakai melakukan perbuatan jahat!

Bangkit semangat Bun Beng dan mulailah dia meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Siauw-lim-pai. Dia harus melapor akan kematian suhunya kepada pimpinan Siauw-lim-si dan mempelajari ilmu dengan tekun karena menurut penu­turan mendiang suhunya, kalau mempela­jari benar-benar secara sempurna dan memang ada jodoh ilmu silat dari Siauw-lim-pai tidak kalah oleh ilmu silat lain di dunia ini. Pernah gurunya bercerita tentang tokoh Siauw-lim-pai bernama Kian Ti Hosiang yang memiliki tingkat kepandaian luar biasa tingginya sehing­ga saking tinggi ilmu kepandaiannya, sampai tidak mau lagi melayani orang bertanding, bahkan tidak mau membalas andaikata dia dilukai atau dibunuh seka­lipun! Pernah pula gurunya bercerita tentang manusia dewa Bu Kek Siansu yang selain tidak mau bertempur melu­kai apalagi membunuh orang lain, bahkan sering kali menurunkan ilmunya kepada siapa saja yang kebetulan bertemu de­ngannya, yang dianggap sudah jodoh, tanpa memandang apakah orang itu ter­masuk golongan baik ataupun jahat, ber­sih ataupun kotor! Sikap manusia dewa ini seperti sikap kasih sayang alam, di mana sinar matahari tidak menyembu­nyikan sinarnya dari atas kepada orang jahat maupun orang baik, di mana po­hon-pohon tidak menyembunyikan bunga dan buahnya dari uluran tangan orang jahat maupun orang baik! Kemudian gu­runya bercerita pula tentang manusia aneh Koai-lojin yang kabarnya malah masih suka muncul biarpun belum tentu ada seorang di antara sepuluh ribu to­koh kang-ouw yang dijumpai manusia aneh ini, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang seperti dewa pula na­mun tidak mau bertempur, melukai, apa­lagi membunuh orang.

Dia masih muda. Dunia masih lebar. Masa depannya masih terbentang luas. Mengapa langkah hidupnya harus terha­lang oleh masa lalu mengenai diri orang tuanya! Baik maupun jahat orang tua­nya, biarlah. Hal itu sudah lalu dan yang ia hadapi adalah masa depan. Masa lalu penuh kejahatan akan tetapi masa depan penuh kebaikan, bukankah hal itu jauh lebih menang daripada masa lalu penuh kebaikan namun masa depan penuh kejahatan? Apa arti bersih masa lalu akan tetapi amat kotor di masa depan, dan biarlah dia menganggap masa lalu seba­gai alam mimpi, sungguhpun dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di masa lalu, yang terjadi dengan ayah bun­danya.

Makin dijalankan pikirannya, makin lapanglah dadanya dan langkahnya pun tegap, wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar. Setelah dia berhasil tiba di kuil Siauw-lim-si dan mencerita­kan tentang kematian suhunya, berita ini diterima dingin oleh para hwesio pimpinan Siauw-lim-pai yang mengang­gap bahwa kakek itu sudah bukan se­orang anggauta Siauw-lim-pai lagi. Akan tetapi mengingat bahwa Gak Bun Beng adalah putera seorang tokoh wanita Siauw-lim-pai, dan betapapun juga Siauw Lam Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, para pim­pinan Siauw-lim-pai tidak berkeberatan menerima Bun Beng. Pemuda cilik itu mulai berlatih dengan giat disamping bekerja keras seperti yang pernah dilakukan gurunya, yaitu menjadi pelayan, tu­kang kebun, dan pekerjaan apa saja un­tuk melayani keperluan kuil dan mem­bantu para hwesio.

Nirahai, bekas puteri Raja Mancu yang berwatak keras dan berilmu tinggi itu kini sudah berhenti menangis. Ke­kerasan hatinya dapat menindih kedukaan dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menghadapi orang yang dicintanya namun yang selalu mengalah dan berwa­tak lemah itu dengan kekerasan. Di tengah jalan, dia menurunkan puterinya untuk memakai sebuah kerudung menutupi kepalanya. Melihat ini, Milana ter­kejut dan heran.

 “Ibu, mengapa Ibu memakai itu?”

Dari dalam kerudung itu terdengar ja­waban suara dingin seolah-olah ibunya telah berubah tiba-tiba setelah berkerudung, “Milana, mulai saat ini engkau akan turut bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah Ketua Thian-liong-pang dan tidak seorang pun boleh melihat mukaku kecuali engkau.”

Milana memandang kepala berkeru­dung itu dengan mata terbelalak, “Ibu....! Engkau Ketua Thian-liong-pang yang ter­kenal itu....? Akan tetapi mengapa....?” Hati anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang tidak segan-segan melakukan sega­la macam kekejaman sehingga ditakuti dunia kang-ouw.

“Diamlah. Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada ki­ta! Engkau ikut bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!” Dia menggandeng tangan Milana dan lari cepat sekali.

Adapun Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepan­jang jalan tidak pernah bicara. Wajah­nya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah garis-garis derita pada wajahnya. Karena sepasang burung garuda sudah tewas, mereka melakukan perja­lanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari sebuah perahu yag dibelinya dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es.

Dalam pelayaran ini, barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dia mendengarkan cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri pedang pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siu­cai itu tadinya menculiknya yang kemudi­an dikalahkan oleh Nirahai dan melari­kan diri membawa pedang pusaka.

“Aihhhh.... kiranya dia....!” Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi dirinya sendiri dan orang lain. Apa­kah dia yang harus menebus dosa yang dilakukan nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya?

“Apakah Paman mengenal Siucai gila itu?”

“Banyak yang sudah kauketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pa­manmu sekarang, seorang yang penuh no­da dalam hidupnya. Orang gila itu agak­nya tidak salah lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi murid Maharya. Aku belum pernah melihat orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar.”

“Paman, dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!”

Suma Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di depan matanya seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh, berbisik dalam pelukan­nya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa, yang telah ber­korban untuk dia, dan sebelum menghem­buskan napas terakhir mengaku cinta. Gadis itu adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusa­ka, hampir berhasil menculik Kwi Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki kekuatan batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!

“Dia tidak membohong, Kwi Hong. Biarpun aku tidak membunuh tunangan­nya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahh, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat untuk menundukkan Sepa­sang Pedang Iblis.”

“Kenapa Paman hendak pulang? Bu­kankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas kembali pedang itu?”

Kembali Suma Han menggeleng kepa­la. “Semangatku lemah, aku tidak mem­punyai nafsu untuk berbuat apa-apa, ke­cuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai sekarang engkau harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa mendatang amat berat dengan munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali kau melarikan diri dari pulau lagi karena aku tidak akan mengampun­kanmu lagi.”

Demikianlah, dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-perte­muannya dengan Lulu dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang per­tama karena dicintanya semenjak kecil, yang ke dua karena telah menjadi iste­rinya, bahkan menjadi ibu dari anaknya, Suma Han mengajak keponakannya pu­lang ke Pulau Es. Dia lalu memerintah­kan anak buahnya untuk tidak mencam­puri urusan luar, hanya melatih diri dan memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia melatih il­mu kepada Kwi Hong dengan penuh ke­tekunan sehingga anak perempuan ini memperolah kemajuan yang pesat sekali.

***

Semenjak jatuhnya pertahanan ter­akhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan seba­gai sisa kekuatan dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun setelah Bu Sam Kwi tewas, yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan besar di da­ratan Tiongkok yang kini dikuasai seluruh­nya oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerin­tah yang dipimpin oleh Bangsa Mancu. Sebentar saja kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat laun makin berkuranglah rasa kebencian dan permu­suhan dari rakyat terhadap pemerintah penjajah ini. Hal ini adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu amat pandai menyesuaikan diri dengan keada­an dan kebudayaan di Tiongkok. Mereka itu biarpun menjadi penjajah menyaksi­kan kenyataan betapa besar dan hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya, menerima kebudayaan itu bahkan melebur diri mereka seperti kedaan para pribu­mi. Mereka mempelajari bahasa pribumi, bahkan anak isterinya mempergunakan bahasa ini sehingga dalam satu keturun­an saja anak-anak mereka sudah tidak pandai lagi berbahasa Mancu dan meng­anggap bahasa Han sebagai bahasa me­reka sendiri!

Kerajaan Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang dan mencapai puncak kecemerlang­annya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi yang memerintah dari tahun 1663 sampai 1722. Kaisar ini adalah seorang ahli negara yang cakap, pandai dan bijaksana. Di samping ini dia pun seorang ahli perang yang mengagumkan sehingga semua operasinya berhasil dengan baik, juga tidak terdapat rasa tidak puas di antara petugas-petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun penggemar kebuda­yaan sehingga berhasil menarik pula hati para sasterawan pribumi yang men­dapat penghargaan dalam bidangnya.

Di bawah pimpinan Kaisar ini, Tiong­kok mencapai kekuasaan yang amat be­sar, jauh lebih besar daripada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan kiranya malah lebih besar daripada keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan Tang. Pertama-tama Kaisar Kang Hsi mengerahkan perhatian untuk membasmi gerombolan-gerombolan dan pemberontak-pemberotak, menghabis­kan semua perlawanan sehingga perang dihentikan dan keamanan dapat dikem­balikan. Dalam keadaan aman, rakyat dapat bekerja dengan tenang dan pemba­ngunan dapat dilaksanakan sebaiknya. Namun, setelah gerombolan-gerombolan di dalam negeri dapat ditumpas semua, Kaisar Kang Hsi harus menghadapi perlawanan dari negara-negara tetangga yang tidak mengakui kedaulatan keraja­an baru ini. Maka dikirimnyalah tentara besar sampai jauh ke selatan dan barat daya sehingga banyak negara di selatan dan barat daya ditundukkan dan terpak­sa mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng, bahkan mengaku takluk dan setiap tahun membayar atau mengirim upeti sebagai tanda takluk. Di antara negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai, Vietnam, Kamboja, bahkan termasuk pula Malaysia!

Akan tetapi, selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam nege­ri untuk memakmurkan kehidupan rak­yat yang baru saja dilanda perang itu, meningkatkan dan memperkembangkan kesenian melukis, sastera, dan lain-lain di samping mempergiat pembangunan, datang lagi gangguan yang memaksa Kaisar ini menggerakkan bala tentara dan mencurahkan sebagian perhatiannya ke utara, di mana bangsa Mongol mulai ber­gerak dan memberontak terhadap peme­rintah Mancu. Seperti telah diceritakan dan menjadi catatan sejarah, ketika bangsa Mancu mulai bergerak ke selatan, mereka dibantu dengan gigih oleh bang­sa Mongol sebagai bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih ingin menguasai kembali bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya sendiri sudah hancur, bangsa Mongol tahu diri dan membonceng bangsa Mancu, namun ha­rus diakui bahwa kekuatan bala tentara menjadi amat besar dan hebat berkat bantuan pasukan-pasukan Mongol ini. Akan tetapi, setelah bangsa Mancu ber­kuasa dan membangun Kerajaan Ceng, dengan tidak melupakan dan memberi kedudukan istimewa kepada bangsa Mo­ngol sebagai bangsa serumpun dan se­tingkat, mulailah bangsa Mongol merasa kecewa. Bangsa Mongol melihat kecen­derungan bangsa Mancu yang melebur diri dengan kebiasaan orang-orang Han sehingga makin lama mereka itu menja­di makin erat hubungannya dengan rak­yat, sedangkan rakyat masih tidak dapat melupakan penjajahan bangsa Mongol yang banyak menyengsarakan rakyat da­hulu. Maka bangsa Mongol merasa ma­kin lama makin tersudut, maka mulailah pemberontakan bangsa ini terhadap bang­sa Mancu.

Pemberontakan meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di ambang kekalahannya. Sehingga begitu Se-cuan sudah dijatuhkan, kembali peme­rintah Mancu yang dipimpin oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi pembe­rontakan yang besar dan gigih yang dipimpin oleh seorang pangeran Mongol yang bernama Galdan.

Sepuluh tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara Pendekar Super Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat menyedihkan dan mengharukan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, na­mun juga tak dapat dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat masing-masing bertalian dengan keadaan dan pengalaman. Dalam waktu selama itu, banyak memang yang telah terjadi di dunia, khususnya di dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan geger berhu­bung dengan adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol. Kem­bali dunia kang-ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng, ada pu­la yang membantu pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa Mongol, melainkan kesempatan itu mereka perguna­kan untuk melawan penjajah. Akan teta­pi karena tidak ada peristiwa penting terjadi atas diri para tokoh penting ce­rita ini yang berdiam di tempat masing-masing menggembleng murid atau anak masing-masing, maka biarlah waktu sepu­luh tahun itu kita lewati saja.

Pemberontakan bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi berlarut-larut karena selain bangsa Mo­ngol memang memiliki bala tentara yang terlatih dan kuat, mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia kang-ouw. Bah­kan banyak pula orang sakti dari negara-negara tetangga yang dipaksa mengirim upeti kepada Pemerintah Ceng, diam-diam membantu bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas dendam atas kekalahan negaranya.

Di dunia persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti telah diceritakan tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan “perang” sendiri, menggunakan kesempatan selagi pemerin­tah kurang memperhatikan keadaan me­reka karena pemerintah sendiri sedang sibuk menghadapi musuh kuatnya, yaitu pasukan-pasukan Mongol. Pula, pemerin­tah juga mempunyai banyak kaki tangan di antara golongan kang-ouw ini sehingga mereka menyerahkan penguasaan keada­an kepada kaki tangan mereka yang da­lam hal ini diwakili dan dipimpin oleh Koksu sendiri dengan para pembantunya yang lain!

Namun yang lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah nama besar Thian-liong-pang yang kabar­nya makin kuat saja sehingga tidak ada pihak yang berani main-main kalau bertemu dengan orang Thian-liong-pang. Bahkan banyak yang sudah menjadi jerih kalau mendengar nama Thian-liong-pang yang diketuai seorang wanita aneh ber­kerudung yang memiliki ilmu silat dah­syat. Banyak sudah ketua-ketua partai persilatan merasai kelihaian Thian-liong-pang. Banyak yang dikalahkan oleh to­koh-tokoh Thian-liong-pang, padahal ke­tuanya sendiri belum pernah maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita yang kabarnya memiliki ilmu yang sukar dica­ri bandingnya! Terdengar berita bahwa Thian-liong-pang mempunyai niat meng­gabungkan partai-partai persilatan di bawah naungan Thian-liong-pang, seolah-olah perkumpulan ini hendak menyaingi gerakan Pemerintah Ceng yang menaklukkan negara-negara tetangga yang tak­luk dan mengakui kedaulatannya serta berlindung di bawah naungannya dengan membayar upeti setiap tahun! Tentu sa­ja niat ini menemukan banyak tentang­an. Terutama partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan tahun seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan besar, tentu saja mereka ini tidak sudi menja­di “anak buah” Thian-liong-pang!

Selagi dunia kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang, tersiar lagi berita yang menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah muncul lagi. Orang-orang Pulau Neraka dengan warna-warni muka mereka yang aneh menimbulkan kegon­cangan di mana-mana karena mereka itu memang sengaja mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan tokoh-tokoh kang-ouw!

Yang tetap tidak terdengar hanya Pu­lau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw melihat munculnya orang dari Pulau Es bahkan mendengar berita pun tidak, ka­rena Pulau Es agaknya sudah mutus­kan hubungan mereka dengan dunia luar pulau mereka bertahun-tahun.

Di antara partai-partai persilatan be­sar yang heboh oleh berita-berita itu, ­Siauw-lim-pai sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, paling banyak cabang-cabangnya, paling banyak kuil-kuilnya, tersebar di mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat banyak pula. Belum pernah ada partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai. Bahkan orang-orang Thian­liong-pang agaknya juga tidak berani sembarangan main gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi bentrokan, hal itu hanya terjadi antara anak murid sa­ja dan pihak Siauw-lim-pai yang meme­gang keras disiplin di antara anak murid­nya, dengan biiaksana dapat memadam­kan bentrokan-bentrokan kecil itu dengan menghukum anak murid sendiri yang me­lakukan pelanggaran.

Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tinggi besar berusia lima puluh lima ta­hun lebih berjuluk Ceng Jin Hosiang. Biarpun tubuhnya tinggi besar menyeram­kan, namun wataknya halus dan hwesio tua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali, dan kitab-kitab kuno yang mengandung pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi, sukar sekali dipelajari sehingga hanya sedikit saja yang mampu menguasai isi­nya. Ketika Kian Ti Hosiang masih hi­dup, dialah satu-satunya hwesio di Siauw-lim-pai yang benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu yang tinggi-tinggi dan sukar dipelajari itu. Ki­ni, karena bakatnya dan menurut keperca­yaan lingkungan Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah yang dapat mengua­sai sebagian dari isi kitab-kitab su­ci dan rahasia itu. Sungguhpun belum dapat dibandingkan dengan Kian Ti Hosiang, namun setidaknya tingkat kepandaian Ceng Jin Hosiang jauh melampaui saudara-saudaranya, bahkan dia memiliki tingkat lebih tinggi daripada mendiang Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang lalu.

Selain lihai ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang memi­liki kewaspadaan. Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang Siauw-lim-pai di mana Bun Beng bekerja sebagai pelayan. Melihat Bun Beng dia tertarik sekali, apalagi ketika mendengar bahwa anak itu adalah putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok- Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh Bun Beng untuk ikut bersamanya ke kuil pusat Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang melihat ba­kat yang baik sekali, juga hati nurani­nya membisikkan bahwa anak ini “berjo­doh” dengannya, maka dia lalu mengam­bil Bun Beng sebagai murid. Selama dela­pan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya sudah menerima gem­blengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak ini memperoleh kemajuan yang luar biasa.

“Bun Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kaunanti-nanti dan baru seka­rang pinceng ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk maluaskan pengetahuan dan mengambil jalanmu sendiri tanpa kekangan dari peraturan di sini yang pinceng adakan,” kata Ketua Siauw-lim-pai yang duduk bersila dihadap muridnya yang ia panggil menghadap.

Dapat dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama sekali ia ingin untuk diperbolehkan kelu­ar dari kuil, namun gurunya selalu me­larang dan mengatakan belum tiba saat­nya. Padahal semua ilmu yang diajarkan gurunya telah dipelajarinya semua.

“Terima kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa gembira sekali.”

Hwesio tua itu mengangguk dan ter­tawa. “Pinceng tahu dan tidak menya­lahkan engkau. Usiamu sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang pemuda, engkau yang tidak berbakat sebagai pen­deta tentu bernafsu sekali untuk berke­lana di dunia ramai. Kepandaianmu sudah mencapai tingkat lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang kuketahui belum kuajar­kan kepadamu. Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang matang latihan, akan tetapi kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi engkau sudah akan melampaui aku.”

“Teecu berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan Suhu.”

“Sudahlah, tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang hal yang amat penting. Setelah engkau ber­hasil mempelajari ilmu dari pinceng, su­dah menguasai ilmu-ilmu itu, lalu sete­lah engkau meninggalkan ini, semua il­mu yang kaukuasai itu hendak kauper­gunakan apakah?”

Ditanya secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, un­tuk apakah dia mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama bertahun-tahun? Tiba-tiba teringat akan kematian Siauw Lam Hwesio, gurunya yang perta­ma, yang juga terhitung supek dari Ceng Jin Hosiang, maka dengan hati tetap ia menjawab,

“Ilmu yang teecu kuasai berkat bim­bingan Suhu akan teecu pergunakan un­tuk mencari musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas dendam kematiannya di tangan mereka!”

“Omitohud...., sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi engkau keliru kalau memiliki niat seper­ti itu, Bun Beng. Dan pinceng akan me­larangmu meninggalkan kuil kalau seperti itu pendapat dan cita-citamu.”

Bun Beng terkejut bukan main, ce­pat ia membungkuk sampai dahinya me­nyentuh lantai sambil berkata, “Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu bodoh dan mohon petunjuk Suhu bagaimana ba­iknya.”

Hwesio itu tertawa. “Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng ajarkan kepadamu itu hanya akan kau­pergunakan untuk membunuh orang, ha­nya untuk membalas dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka mengajarkan­nya. Tidak, Bun Beng. Menaruh dendam menimbulkan kebencian, dan kebencian melahirkan perbuatan-perbuatan kejam dan jahat! Orang gagah tidak boleh di­permainkan oleh perasaan pribadi, tidak boleh menjadi mata gelap karena den­dam. Kalau kau bicara tentang dendam, mengapa kau tidak mendendam atas kematian Ayahmu dan Ibumu?”

Bun Beng tertegun. Tak pernah ter­pikirkan hal ini olehnya, apalagi setelah ia mendengar kata-kata Pendekar Silu­man bahwa ayahnya adalah seorang datuk kaum sesat! “Karena teecu tidak ta­hu bagaimana Ayah Bunda teecu tewas dan mengapa.”

“Kalau kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah eng­kau juga akan mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kauba­las dan bunuh pula?”

Bun Beng terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tan­pa ragu-ragu ia menjawab, “Agaknya begitulah!”

“Baik, sekarang kaubalaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya. Ayahmu telah tewas dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu. Nah, bagaimana?”

Biarpun Bun Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya su­dah kuat sekali, tidak urung mukanya berubah sedikit mendengar keterangan ini. Dia tidak mampu menjawab dan ha­nya menunduk, penuh pemasrahan kepa­da suhunya.

“Omitohud....! Seorang gagah tidak bo­leh menurutkan nafsu hati, melainkan harus selalu tenang seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang, maka nafsu tidak akan mudah mengganggu dan segala tindakan kita dapat dilakukan dengan tepat, menurutkan hasil pertim­bangan pikiran dan akal budi. Sekarang kau melihat contoh tidak baiknya orang mendendam karena kematian orang tua atau pun guru. Orang tua maupun guru hanyalah manusia-manusia biasa. Bagai­mana kalau kematian mereka itu dikare­nakan perbuatan mereka yang jahat? Andaikata orang tuamu menjadi penjahat besar yang terbunuh oleh pendekar budi­man, apakah engkau juga lalu mencari untuk membalas dendam kepada pendekar itu? Kalau demikian, engkau sama sekali bukan anak berbakti, melainkan sebalik­nya karena engkau makin mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan engkau bukan orang gagah karena eng­kau telah menyimpang dari hukum tak tertulis dalam jiwa orang gagah yaitu membela kebenaran! Karena itu, hapus­kan dendam dari hatimu, sedikitpun ti­dak boleh ada sisanya. Kalau kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang yang dahulu membunuh Supek Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenar­an dan karena mereka orang-orang ja­hat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena balas dendam.”

Bun Beng cepat memeluk kaki guru­nya. “Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi se­perti buta, tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah Suhu.”

“Aahhh, pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang bunuh-membunuh. Akan tetapi, kehidupan se­orang gagah di dunia kang-ouw di mana terdapat kekacauan yang disebabkan orang-orang sesat, agaknya hal itu tidak dapat dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun Beng, jauhilah perbuatan membunuh. Engkau akan lebih berjasa mengingatkan seorang sesat kembali ke jalan benar da­ripada membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya satu lagi pesan pinceng. Ja­ngan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam perang, karena Siauw-lim-pai me­nentang perang. Dan jangan sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai dengan permusuhan dengan pihak lain. Mengerti?”

“Baik Suhu, teecu akan mentaati pe­rintah Suhu.”

“Hemm...., kalau sampai kaulanggar, agaknya pinceng sendiri yang akan tu­run tangan menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah.”

Bun Beng minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat membawa bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa senjata. Dengan memiliki kepandaian seperti ting­katnya sekarang, dia tidak membutuhkan senjata lagi.

Setelah jauh meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang yang disimpannya di puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang penyembah Sun Go Kong. Juga kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang sudah dihafalnya dan yang sekarang secara diam-diam telah dilatihnya sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan ilmu-ilmu si­lat tinggi dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk menyelami Sam-po- cin-keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhunya karena ilmu silat itu amat ganas dan pantasnya hanya di­pelajari kaum sesat! Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu sehingga di luar pengetahuannya sendiri, kalau dia mem­pergunakan iimu itu, agaknya Ceng Jin Hosiang sendiri belum tentu akan dapat menandinginya!

Di dalam perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosan­nya dia bertanya-tanya tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali ke­tika mendengar akan sepak terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya mulai menculik tokoh-tokoh penting dari partai-partai persilatan! Juga dia mendengar akan munculnya tokoh-tokoh aneh dari Pulau Neraka yang sudah beberapa kali dahulu ia jumpai, maka diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau dia bertemu dengan kaum Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, dia akan menentang mereka! Hatinya bersyukur ketika ia men­dengar keterangan bahwa kini tidak ada terdengar pergerakan dari Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak mau mencampuri segala keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Sian­su yang lenyap, yang dahulu diperebut­kan, kini tidak terdengar lagi.

Yang amat menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang. Mengapa mereka itu menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai untuk beberapa hari lamanya kemudian mereka itu dibe­baskan kembali? Apa yang tersembunyi di balik perbuatan aneh ini? Untuk mengambil sepasang pedangnya terlam­pau jauh, maka dia akan lebih dulu me­nyelidiki keadaan Thian-liong-pang dan kalau memang mereka itu melakukan penculikan-penculikan, hal ini akan di­tentangnya. Inilah kewajiban pertama dalam perjalanannya sebagai seorang pendekar!

Dalam perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah rumah penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan perjalanan jauh dan perlu beristirahat. Niat­nya akan bermalam di situ semalam, baru besok pagi akan melanjutkan perja­lanan karena malam itu hujan membuat dia segan untuk bermalam di luar seperti biasanya dia bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk sawah. Dia ingin makan kenyang dan minum sedikit arak, kemu­dian tidur nyenyak dalam sebuah bilik tanpa gangguan.

Akan tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih mendengar suara isak tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga dan mendapat kenya­taan bahwa tangis itu adalah tangis se­orang wanita yang ditahan-tahan, suara­nya seperti tertutup bantal. Dia menja­di bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang membutuhkan pertolongannya. Akan tetapi yang perlu ditolong adalah seorang wanita, dan hari telah tengah malam, bagaimana mungkin dia boleh memasuki kamar seorang wanita? Dia sudah me­masang telinga baik-baik dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lain dalam kamar sebelah itu, hanya si wanita yang menangis. Karena suara isak ter­tahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun Beng tak dapat menahan lagi lalu membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat keluar jendela terus melayang ke atas genteng. Dia berniat untuk mengintai dari atas dan melihat apakah yang terjadi dan mengapa wanita itu menangis.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia me­layang ke atas genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah penginap­an. Dia membuka genteng di atas kamar sebelah dengan hati-hati sekali. Akan te­tapi baru saja dia menjenguk ke dalam dan melihat seorang wanita muda rebah di atas pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar itu padam dan dia mendengar bersiutnya angin senjata rahasia dengan cepat dan kuat serta tepat sekali me­nyambar ke arah lubang genteng!

“Ciut-ciut-ciuutt!” Tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap tiga batang piauw itu dengan tangan kirinya.

 “Bangsat Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!” terdengar suara wanita memaki disusul menyam­barnya sesosok tubuh ke atas dan lubang itu jebol ditabrak seorang gadis yang berpakaian serba kuning. Gerakan gadis itu cepat dan ringan sekali, kini sudah berdiri di depan Bun Beng dengan pedang di tangan dan langsung mengirim tusuk­an ke arah dada Bun Beng.

“Wuuuttt.... plakkk!” Dengan tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari samping dan telapak tangannya kini tepat mengenai pedang yang me­nempel pada telapak tangannya! Gadis itu berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya namun sia-sia. Pedang­nya melekat di telapak tangan pemuda tampan yang berdiri tenang memandang­nya itu. Juga di bawah sinar bulan yang muncul setelah hujan berhenti tadi, ga­dis itu melihat tiga batang piauwnya berada di tangan kiri pemuda itu. Cela­ka, pikirnya! Yang datang adalah seorang tokoh Thian-liong pang yang memiliki il­mu kepandaian tinggi sekali.

“Mau apa lagi? Bunuhlah aku!” tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.

“Tenang dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama se­kali bukan!”

Nona yang usianya kurang lebih dela­pan belas tahun itu memandang penuh perhatian lalu membentak, “Siapa mau percaya?”

Bun Beng tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerah­kan tiga batang piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat seolah-olah ia khawatir kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng menggulung le­ngan bajunya, dan berkata, “Periksalah! Adakah gambar naga di lengan kanan­ku? Bukankah kata orang, semua anggau­ta Thian-liong-pang dicacah lengan ka­nannya dengan gambar naga kecil?”

“Huh!” Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang ha­lus itu sehingga ia terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki sin-kang yang demikian hebat, “Kalau bukan ang­gauta Thian-liong-pang, agaknya engkau seorang yang lebih hina lagi, seorang jai-hwa-cat!”

Bun Beng mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya. “Aihhh! Jai-hwa-cat? Adakah tampangku seper­ti penjahat cabul? Dan pakaianku? Aih, engkau terlalu sekali, Nona. Ataukah engkau hanya main-main?”

“Kalau bukan jai-hwa-cat atau penja­hat, mau apa tengah malam buta mem­buka genteng kamar orang dan mengin­tai ke dalam?” Gadis itu menyerang dengan kata-kata sungguhpun dia gendiri mulai ragu-ragu apakah orang muda yang bersikap wajar dan halus ini seorang penjahat.

Bun Beng tertawa. “Salahku...., salah­ku....! Puas kau sekarang!” Dia menunjuk hidung sendiri. “Inilah upahnya kalau terlalu ingin memperhatikan orang lain! Terus terang saja, Nona, aku tadi sedang tidur nyenyak ketika terganggu.... eh, maaf, memang telingaku terlalu perasa, terlalu peka sehingga aku terbangun oleh tangismu. Aku menjadi curiga dan ingir sekali tahu mengapa di tengah malam buta ada wanita menangis. Aku hendak mengintai untuk melihat apa yang terja­di, sama sekali bukan berniat jahat, bolehkah aku mengetahui, mengapa kau menangis? Ahh, tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang. Buktinya, eng­kau menyangka aku orang Thian-liong-pang....”

Bun Bang menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak!

“Eh, eh, bagaimana ini....? Salahkah omonganku sehlngga menyinggung perasa­anmu?”

Gadis itu masih menangis lalu men­jatuhkan diri berlutut di depan Bun Beng. Tentu saja Bun Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat ba­ngun, merasa tidak pantas menyentuh tu­buh seorang gadis. “Eh, eh...., Nona. Bangkitlah, jangan begitu....!”

“Mohon maaf atas kesalahanku tadi.... dan mohon pertolongan Taihiap yang berkepandaian tinggi untuk menyelamatkan Ayahku.....”

“Aku bukan seorang taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku ber­janji akan menolong. Ayahmu mengapakah? Harap kau suka berdiri agar enak kita bicara.”

Gadis itu bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.

“Nah, ceritakanlah apa yang terjadi,” kata pula Bun Beng. Kini sinar bulan makin terang dan tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat manis wajah­nya, wajah manis yang membayangkan kegagahan yang agak pudar oleh tangis tadi.

“Namaku adalah Ang Siok Bi....”

“Nama yang bagus....” Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu me­mandangnya tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut, maka ter­ingatlah ia betapa tidak tepatnya ucap­an yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya itu karena ia kagum meman­dang wajah yang manis.

“Eh, maksudku.... teruskan ceritamu, Nona Ang....” Sambungnya cepat-cepat dan gugup.

“Ayahku adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua Bu-tong-pai....”

“Aihh! Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku berlaku kurang hormat....” Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada sambil membungkuk.

Siok Bi, gadis itu biarpun baru ber­usia delapan belas tahun, namun dia su­dah banyak merantau dan sebagai se­orang pendekar wanita yang muda dan cantik, tentu dia banyak mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap laki-laki. Maka kini alisnya berkerut ke­tika ia menyaksikan sikap Bun Beng yang agaknya sama sekali tidak mempeduli­kan ceritanya, melainkan tertarik dan kagum kepadanya! Tadi telah ia saksi­kan kelihaian pemuda itu dan timbul harapannya untuk minta pertolongannya, akan tetapi kini melihat sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu jangan-jangan pemu­da ini adalah seorang jai-hwa-cat yang bersikap halus dan yang sedang mempermainkannya!

“Taihiap, harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang suka mengulur tangan menolong orang yang sedang tertimpa malapetaka ataukah seorang dari kaum sesat?”

Bun Beng yang tadinya tersenyum de­ngan hati tertarik memperhatikan gerak-gerik dan terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu kelihatan amat manis, menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tentu saja tidak sa­dar akan sikapnya sendiri karena memang tidak dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia berada di dalam kuil mempelajari ilmu, tiap hari hanya bergaul dan berte­mu dengan para hwesio. Yang dilihatnya hanyalah muka para hwesio dengan kepa­la gundul, sama sekali tidak indah da­lam pandangannya. Kini, sekali keluar mengembara bertemu dengan wajah be­gini manis, hati siapa tidak akan terpi­kat?

“Ang-siocia, ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?”

“Pandang matamu itulah!” Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya menjadi merah. Betapapun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, na­mun dia masih seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak terbebas daripa­da sifat wanita yang ingin dipuji dan di­kagumi, apalagi oleh seorang pemuda setampan dan segagah Bun Beng!

“Pandang mataku? Aihhh.... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah? Engkau aneh sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!” Dan Bun Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.

“Ketika ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi ha­ri tadi.” Gadis itu berhenti bercerita. Bun Beng yang masih memejamkan ma­tanya itu menanti sebentar, lalu sebagai komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara,

“Hemmm....!” Lalu menanti lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.

“Mengapa diam?”

“Agaknya Taihiap tidak menaruh per­hatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau Taihiap tidak sudi menolong, aku.... aku pun tidak mau memaksa.” Suara itu ter­dengar menjauh dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah ber­lari pergi!

Sekali menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok Bi. “Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan ceritamu dan ingin menolong Ayahmu.”

Diam-diam Siok Bi terkejut dan ka­gum. Dia hanya melihat bayangan berke­lebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan berkata,

“Aku bicara kepada orang yang meme­jamkan mata seolah-olah tidak peduli, mana.... enak hatiku?”

Tiba-tiba Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memi­liki watak periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata, “Wah, benar-benar aku tidak mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu de­ngan membuka mata, pandang mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kauanggap aku tidak peduli, ha­bis bagaimana? Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai niat hati yang tidak baik terhadapmu! Ayah­mu dan engkau pagi tadi beristirahat dalam hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”

Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu, Bun Beng bicara sungguh-sungguh, akan tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki ma­ta dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu “na­kal” dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjut­kan.

“Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang. Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, me­reka lalu memaksa Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!”

 “Hemm, sungguh kurang ajar!” Bun Beng membentak dan gadis itu menda­pat kenyataan betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang ter­senyum. “Tentu engkau dan Ayahmu menghajar mereka!”

“Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dike­royok dan dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng.”

“Apa? Dikerangkeng dan kau diam saja?”

Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu sudah marah lagi. “Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka amat lihai. Aku ro­boh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai di sini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk me­nyerbu ke Thian-liong-pang membebas­kan Ayah. Akan tetapi.... ah, akan ma­kan waktu lama, mungkin terlambat.... dan aku sangsi apakah aku dapat mela­wan Thian-liong-pang yang amat kuat itu?”

“Ke mana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?”

“Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke utara....”

“Aku akan mengejar mereka!” Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.

Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak, “Tunggu, Taihiap! Aku be­lum tahu namamu dan aku ikut....!”

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. “Jangan ikut, kau­ tunggu saja di sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!”

Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pe­muda itu! Ia menarik napas panjang. “Hebat dia....!” Kemudian ia pun mengam­bil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan penginapan un­tuk mengejar ke utara. Benar juga pe­muda itu, pikirnya. Kalau aku ikut, ten­tu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia mem­bayangkan wajah tampan yang selalu tersenyum bibirnya dan berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya ten­tang diri ayahnya agak berkurang kare­na ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw.­ Benar kata ayahnya bahwa sekarang ba­nyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.

Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti be­rita yang didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar ke­terlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong Ke­tua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia mempergunakan ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang sehingga tubuhnya seperti terbang di atas rumput seolah-olah ti­dak menginjak tanah dan tubuhnya lenyap, yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju ke utara!

Akan tetapi karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan ha­rinya menjelang senja, barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang yang menawan Ketua Bu-tong-pai. Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang, sebanyak empat orang mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerang­keng di mana yang tampak hanya sebu­ah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya ke­pala dan kedua tangan yang tampak ke­luar dari dalam kerangkeng yang terbu­at daripada papan tebal dan beroda dua.

Bun Beng mempercepat larinya, se­bentar saja dia telah melewati rombong­an empat orang itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan itu berhenti dan empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga orang tua bermu­ka gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun Beng.

Ketika Bun Beng memperhatikan empat orang itu diam-diam terkejut. Me­mang benarlah berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan sikapnya menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bphwa mere­ka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh. Seorang di antara mereka ada­lah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga muka­nya itu mirip tengkorak, namun sepa­sang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar tajam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang pedang. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehe­lai tali yang mengkilap seperti sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar mata­nya membayangkan keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip sebatang pedang. Biarpun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat diduga bahwa tentu ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.

Akan tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka kembar! Dan kedua­nya pun memegang sepasang senjata ge­lang yang dipasangi lima duri meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan angkuh itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang bu­as dan merekalah yang langsung melon­cat maju menghadapi Bun Beng. Seorang di antara mereka membentak,

“Bocah sinting, siapa kau berani ber­sikap kurang ajar?”

“Minggir kau sebelum kupatahkan ke­dua kakimu!” Orang ke dua membentak pula.

Bun Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil me­lirik ke arah kerangkeng, dia bertanya, “Apakah kalian ini penculik-penculik dari Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua Bu-tong-pai?”

“Benar orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini. Lebih baik pergilah karena aku sudah merasar kalah dan ingin menghadap Ketua Thian-liong-pang!” Kakek di kerangkeng itu berkata.

“Bocah tak tahu diri! Ketahuilah bah­wa kami benar dari Thian-liong-pang. Nah, setelah mendengar nama perkum­pulan kami, engkau tidak lekas mengge­linding pergi?”

Bun Beng dengan sikap tenang meng­gerakkan pundaknya, memandang kepada kedua orang kakek kembar yang muka­nya bengis mengerikan itu sambil berka­ta, “Sebenarnya aku mau pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku yang berada di sini tidak membolehkan aku pergi sebelum kalian membebaskan Ang Lojin!”

Mendengar ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke se­keliling mereka. Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang ajar ini mempunyai empat orang sahabat. Kalau empat orang itu hadir di sekitar mereka tanpa mereka ketahui, dapat dibayangkan betapa lihai empat orang itu. Apalagi setelah mereka memandang ke sekeliling tidak dapat melihat gerak-gerik orang di situ, mereka menjadi ma­kin hati-hati karena hal itu hanya me­nandakan bahwa empat orang sahabat pemuda ini benar-benar lihai.

“Orang muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat bica­ra dengan mereka!” Seorang di antara kakek kembar berkata, sedangkan tokoh Thian-liong-pang muda sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng sedangkan kakek bermuka tengkorak, sekali meng­gerakkan kaki tubuhnya sudah melayang ke atas tempat yang agak tinggi, di atas batu-batu. Agaknya seorang muda menja­ga kerangkeng itu dan si kakek bermuka tengkorak menjadi penjaga di tempat tinggi. Sikap mereka yang tenang dan muka yang angkuh itu menimbulkan dugaan di hati Bun Beng bahwa tingkat mereka berdua itulah yang sesungguhnya tinggi, lebih tinggi daripada tingkat se­pasang kakek kembar yang menghadapi­nya. Hal ini pun menjadi tanda bahwa mereka memandang rendah kepadanya sehingga untuk menghadapinya cukup oleh kedua kakek kembar yang rendah ting­katnya!

Bun Beng tertawa dan berkata, “Mau berkenalan dengan empat orang sahabat­ku? Awas, mereka lihai sekali, kalau ka­lian berkenalan dengan mereka, tentu kalian akan mereka robohkan dengan mu­dah!”

“Tak perla banyak menggertak!” Ben­tak kakek kembar ke dua, akan tetapi tidak urung dia dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri dengan sikap agak gentar. “Lekas suruh mereka keluar!”

“Mereka sudah berada di sini, di de­panmu, apakah kalian buta?”

Kini kedua kakek kembar itu terbela­lak, dan benar-benar menjadi jerih. Ka­lau ada empat orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat melihatnya, hal itu hanya berarti bahwa empat orang itu bukanlah manusia, melainkan iblis-iblis. Teringatlah mereka akan orang­orang Pulau Neraka, musuh utama mere­ka yang mereka takuti, akan tetapi pe­muda ini kulit mukanya biasa saja, ten­tu bukan anggauta Pulau Neraka. Ah, tentu hanya gertakan saja, akal bulus, akal kanak-kanak untuk menakut-nakuti mereka!

“Bocah, jangan main-main engkau!” Se­orang di antara mereka membentak.

“Inilah mereka!” Bun Beng melonjor­kan kaki tangannya bergantian ke depan.

Muka kedua kakek kembar itu menja­di merah, mata mereka melotot dan karena kepala mereka botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang pernah menjadi kawan-kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip kera-kera itu!

Akan tetapi sebagai anggauta-anggau­ta Thian-liong-pang yang banyak penga­laman, menyaksikan sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka dan yang amat tenang itu, dua orang kakek kembar tidak mau sembrono. Seorang di antara mereka melangkah maju dan me­negur.

“Orang muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari Thian-liong-pang? Apa yang kauperbuat ini hanya dapat dicuci dengan darahmu dan ditebus dengan nyawamu. Maka sebelum mampus, mengakulah siapa engkau!”

Bun Beng menggelengkan kepala. “Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang kalian yang akan kalah, dan andaikata aku sampai mati pun, biarlah namaku menjadi rahasia dan setan penasaran, rohku akan mengejar-ngejar Thian-liong-pang!”

“Keparat!” Kakek yang berada di de­pannya sudah menerjang dengan senjata­nya yang aneh dan kiranya senjata ge­lang berduri itu digenggam dengan duri-durinya di depan, digerakkan secara ce­pat dan kuat sekali menghantam ke arah muka Bun Beng yang masih bertolak pinggang.

“Heeitt! Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam,” kata Bun Beng, dengan mudah ia mengelak ke kanan dan biarpun matanya melirik ke arah orang di depannya sambil tersenyum mengejek, namun telinganya dicurahkan untuk mengikuti gerakan kakek ke dua yang telah melompat ke belakangnya.

Ketua Bu-tong-pai yang sudah mera­sai kelihaian orang-orang itu, menjadi gelisah sekali. Ia berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak ter­kenal yang jelas hendak menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan celaka. Pemuda itu akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia saja dan hal inilah yang menggeli­sahkan hatinya, sama sekali bukan dia tidak mempunyai harapan tertolong. Su­dah banyak tokoh kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh orang-orang Thian-liong-pang untuk dihadapkan Ketua me­reka. Belum pernah ada tokoh yang dibu­nuh, maka dia tidak merasa khawatir akan keselamatan dirinya sungguhpun ada hal yang lebih hebat lagi dalam pe­ristiwa ini, lebih hebat dan penting dari­pada keselamatan dirinya, yaitu kesela­matan nama besar Bu-tong-pai yang terancam dan dihina! Kini pemuda yang hendak menolong dirinya itu terlalu sem­brono dan berani mati mempermainkan orang-orang Thian-liong-pang, maka dia tidak akan merasa heran kalau nanti me­lihat pemuda itu roboh dan tewas di de­pan matanya.

“Orang muda, awas senjata itu bera­cun dan berbahaya! Larilah!” teriaknya ketika melihat betapa pemuda itu dise­rang dari depan dan belakang dengan dahsyat.

“Jangan khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai menakut-na­kuti anak kecil saja!” Jawab Bun Beng sambil menggunakan gin-kangnya untuk melesat ke sana ke mari mengelak sam­bil tersenyum. Dia sudah melihat bahwa biarpun ilmu silat kedua kakek itu aneh sekali, gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak terlalu cepat dan kuat bagi­nya dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka dengan mudah walaupun dia ber­tangan kosong.

Ketua Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu benar-benar bukan hanya pandai mem­permainkan orang, melainkan juga memi­liki gerakan yang amat kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah dengan ba­ik sekali sehingga semua serangan kedua orang itu selalu mengenai angin kosong.

“Wuuuttt! Wah, galak amat!” Bun Beng miringkan kepala untuk menghin­darkan hantaman gelang berduri dari belakang, berbareng ia mengirim ten­dangan ke depan mengarah sambungan lutut lawan di depan jari tangannya menyentil senjata yang melayang di depan hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah sebuah di antara lima dari duri-duri gelang sam­bil mengerahkan sin-kang sekuatnya.

“Cringgg!” Dan kakek itu memekik kaget. Ternyata duri yang disentil jari itu telah patah dan telapak tangannya terasa panas dan perih sekali. Hampir saja ia melepaskan sebuah gelangnya dan ia melompat ke belakang. Juga ka­kek di depan Bun Beng yang diserang tendangan tadi cepat melompat ke bela­kang. Mereka menjadi marah dan penasaran. Kakek yang di belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah, tangan kirinya bergerak dan gelang berduri yang kehilangan sebuah durinya itu tiba-tiba meluncur ke arah Bun Beng, berputaran dan mengeluarkan suara bercuitan.

“Bagus....!” Bun Beng diam-diam ka­gum juga. Kiranya, senjata ini bukan ha­nya dipergunakan untuk menyerang de­ngan dipegangi, melainkan juga dapat menjadi senjata rahasia yang dilontarkan. Dia mengelak dan lebih kagum lagi ha­tinya melihat betapa gelang yang ber­putaran menyambar kepalanya itu sete­lah luput dari sasarannya, kini dapat membalik dan kembali ke tangan pemi­liknya!

Dia cepat membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya, Bun Beng sudah memukul dengan tela­pak tangannya, pukulan jarak jauh dengan pengerahan sin-kangnya.

“Wuuuttt!” Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung mundur. Akan tetapi kakek ke dua yang kini berada di belakang Bun Beng sudah melontarkan gelang kanan ke arah pung­gung pemuda itu.

“Awasss....!” Ketua Bu-tong-pai berte­riak kaget. Namun tanpa memutar tu­buhnya, Bun Beng mengulur tangan dan berhasil menangkap senjata itu, seolah-olah di belakang tubuhnya terdapat mata ke tiga!

“Senjata yang buruk!” Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan yang mahir seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan senja­ta itu! Tentu saja bukan demikian kenya­taannya. Hanya karena dia telah digem­bleng oleh Ketua Siauw-lim-pai dan te­lah mempelajari delapan belas macam senjata, dan pernah pula diajar cara mempergunakan senjata gelang yang jarang dipakai di dunia kang-ouw, maka dia tidak asing dengan senjata ini, pula karena memang bakat yang dimiliki pemuda itu luar biasa sekali.

“Trang-cring-tranggg....!” Tiga kali ge­lang berduri di tangan kedua orang ka­kek itu bertemu dan gelang kiri kakek yang di belakangnya patah menjadi tiga bertemu dengan gelang di tangan Bun Beng.

“Heh-heh-heh, sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi adil namanya, seorang satu! Masih mau dilanjutkan?” Dia menantang dan mengejek.

“Tahan dulu!” Tiba-tiba kakek tua yang bermuka tengkorak melayang da­tang dan gerakannya membuat Bun Beng bersikap hati-hati karena melihat cara meloncatnya saja tingkat kepandaian kakek muka tengkorak ini sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan sepasang kakek kembar yang kasar.

Akan tetapi dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu dengan tertawa, “Apakah engkau mau mengeroyok pula? Marilah, biar lebih ramai!”

Kakek muka tengkorak itu tidak ma­rah, hanya tetap tenang dan dingin keti­ka berkata, “Thian-liong-pang tidak per­nah memusuhi Siauw-lim-pai, apakah kini Siauw-lim-pai mendahului langkah mengu­mumkan perang terhadap Thian-liong-pang?”

Mendengar ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam pan­dang matanya sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Juga ka­kek Ketua Bu-tong-pai terkejut dan ce­pat berkata,

“Orang muda yang gagah. Kalau eng­kau seorang murid Siuw-lim-pai, harap menyingkir. Aku tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam urus­an ini.”

Bun Beng merasa penasaran. Dia sen­diri sudah dipesan oleh gurunya agar ja­ngan melibatkan Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah ia mundur dan membiarkan Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang terutama se­kali, haruskah dia mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis itu? Memba­yangkan betapa sinar mata yang indah itu menjadi kecewa, murung dan bahkan mungkin menangis lagi, dia tidak tahan dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai? Ilmu silat di dunia ini tidak terhitung banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya satu, yaitu mendasar segala gerakan pada pembe­laan diri dan penyerangan. Kalau ada gerakan yang mirip dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, apa anehnya?”

Akan tetapi kakek bermuka tengko­rak itu tidak puas. “Orang muda, apa­kah engkau hendak menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?”

“Aku tidak menyangkal apa-apa.”

“Kalau begitu mengakulah, engkau murid partai mana?”

“Aku pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung ba­nyaknya sehingga aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini ilmu silat Siauw-lim-pai?” Setelah berkata demiki­an, Bun Beng menggerakkan gelang ber­duri di tangannya, sekali memutar lengan dia telah menyerang dua orang kakek kembar sekaligus.

“Trang-cring....!” Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan.... kedua senjata mereka patah-patah.

“Ah.... ini adalah jurus ilmu silat ka­mi....!” Kakek kembar berseru dan cepat menerjang marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di tangan.

Bun Beng tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh se­perti yang dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng pernah mempelajari ilmu silat gelang berduri dua orang kakek kembar itu? Tentu sa­ja tidak. Melihat pun baru sekali itu. Akan tetapi Bun Beng memiliki daya ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dia sudah mengerti dan dapat mengingat serta menirunya! Dia tadi ke­tika menghadapi pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya masih jauh lebih rendah darinya, mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan gerak­an mereka sehingga kini ia dapat meni­runya dengan baik, sungguhpun tentu saja hanya kelihatannya saja sama, pada­hal dasar yang menjadi landasan jurus-jurus itu lain sama sekali!

Kalau dua orang kakek kembar men­jadi terkejut dan marah karena pemuda itu selain merampas senjata mereka, ju­ga memukul mereka dengan ilmu mere­ka sendiri, adalah kakek muka tengkorak menjadi heran sekali. Kalau murid Siauw-lim-pai, yang rata-rata angkuh dan mengandalkan ilmu sendiri, tidak mungkin mau melakukan jurus-jurus ilmu silat dua orang kakek kembar itu. Dia pun menda­pat kenyataan bahwa kakek kembar bu­kan lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi tanda dengan mata kepada kawan-kawannya.

Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang muda itu sudah menyambar, didahului sinar hi­jau pedangnya, bagaikan bintang jatuh, sinar ini menyerbu ke arah Bun Beng.

“Bagus!” Bun Beng memuji, benar-be­nar memuji karena gerakan orang yang tampan itu tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak. Kakek muka tengkorak juga menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning sehingga dalam se­kejap mata Bun Beng sudah harus melesat ke sana-sini menghindarkan dirinya ditem­bus dua sinar pedang yang amat dahsyat. Dia masih sempat memperhatikan dengan hati cemas ketika melihat bahwa kakek kembar sudah meninggalkannya dan mendorong pergi kerangkeng di mana Ketua Bu-tong-pai tertawan.

“Berhenti!” Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur cepat, berputaran mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kerangkeng.

“Krakkkk!” Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi. Akan tetapi, dua orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal, mereka lalu mengangkat kerangkeng, menggotongnya dan berlari pergi secepatnya. Bun Beng tak dapat mengejar karena dia didesak oleh dua sinar pedang yang amat cepat dan berbahaya sehingga dia harus mencurahkan perhatiannya untuk melawan dua orang pengeroyok baru yang lihai ini.

Dua orang itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah menge­rahkan kepandaiannya, dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang bertangan ko­song ini, namun tetap saja pemuda itu tidak dapat didesak karena selalu dapat mengelak cepat, bahkan balas menyerang mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin memperketat pengepungan dan mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-pai. Namun Bun Beng ti­dak mau dipancing dan tiba-tiba ia ber­seru keras, tubuhnya berkelebatan di antara sinar-sinar itu dan ia menyerang dengan ilmu silat yang ganasnya seperti ilmu setan! Dua orang itu terdesak mun­dur dan makin terheran. Pemuda ini me­miliki ilmu silat yang aneh, pikir mere­ka. Biarpun agak “berbau” dasar ilmu si­lat Siauw-lim-pai, namun jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena melihat keganasannya lebih mirip ilmu silat go­longan sesat! Tentu dia seorang tokoh yang amat lihai dan tinggi kedudukannya, pikir mereka.

Memang Bun Beng telah memperguna­kan jurus-jurus ilmu silat dari Sam-po-cin-keng yang bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong Menyerbu Baris­an) sehingga kedua orang itu tentu saja tidak mengenal ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini! Dua orang itu memberi isyarat lalu Si Kakek berkata. “Kami tidak ingin bermusuhan dengan Siauw-lim-pai!” Setelah berkata demiki­an, mereka melesat jauh dan lari pergi.

Bun Beng penasaran. Dia tidak ber­nafsu untuk mengalahkan dua orang itu, apalagi membunuhnya, akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai. Ma­ka dia pun lalu melompat dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak menyusul me­reka, hanya membayangi dari jauh. Agaknya kedua orang itu juga sengaja memancing Bun Beng karena mereka itu berlari tidak secepat yang mereka dapat lakukan. Hal ini pertama untuk memberi kesempatan kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke sarang mereka, ke dua kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan menarik perha­tian Ketua mereka!

Bun Beng bukan seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitung­kan keadaan, maka dia pun dapat men­duga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya. Namun dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah mencari sarang mere­ka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin dan lain-lain tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan perbuatan-perbuatan menculik orang-orang penting itu!

Sebetulnya apakah yang terjadi de­ngan Thian-liong-pang sehingga kini per­kumpulan besar itu melakukan perbuatan aneh itu, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua partai persilatan? Sesungguhnya, tidaklah terjadi perubahan di Thian-liong-pang. Ketuanya masih tetap Si Wa­nita berkerudung yang makin lama makin hebat ilmu kepandaiannya itu. Seperti kita ketahui, wanita berkerudung yang aneh dan penuh rahasia ini, yang mukanya tidak pernah kelihatan oleh siapa pun juga, bahkan para pembantunya yang bertingkat paling tinggi pun tidak ada yang pernah melihatnya, bukan lain ada­lah Nirahai, puteri Kaisar Kang Hsi sen­diri yang terlahir dari selir berdarah Khitan campuran Mongol!

Ketika ia dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya dan bibi gurunya, yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri Suma Han, hatinya girang bukan main. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada Pende­kar Super Sakti yang berkaki tunggal itu. Namun betapa kecewanya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suami yang dicintainya itu tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol sehingga mere­ka berpisah dengan hati hancur (baca ceritaPendekar Super Sakti). Dengan rasa hati berat karena sesungguhnya wa­nita ini amat mencinta suaminya, Nirahai berangkat ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa ia telah mengandung! Ingin ia kembali ke selatan mencari sua­minya untuk memberi tahu hal ini, na­mun keangkuhannya sebagai bekas puteri kaisar mencegahnya. Dia amat mencinta Suma Han, bahkan telah berkorban de­ngan kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia telah kecewa karena setelah berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhir­nya dia menjadi seorang buruan! Pukul­an batin ke dua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang dibelanya itu ternya­ta tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di hatinya bahwa cinta kasih dalam hati Suma Han akan mem­buat suaminya itu kelak menyusulnya ke Mongol.

Namun harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai bertahun-tahun ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap saja tidak ada kabar berita dari suaminya! Betapa­pun juga, wanita yang keras hati ini te­tap tidak mau pergi mencari suaminya. Kalau memang suaminya tidak mencin­tainya, dengan bukti tidak pernah menyu­sulnya, biarlah dia akan memperlihatkan bahwa dia tidak kalah keras hati! Maka dia lalu meninggalkan puterinya kepada Pangeran Jenghan yaitu keponakan yang berkekuasaan besar dari Pangeran Galdan, dan dia sendiri merantau ke selatan. Ka­rena dia mendengar bahwa suaminya telah menjadi Majikan Pulau Es, maka dia la­lu membuat perkumpulan yang kelak da­pat ia pergunakan untuk menandingi na­ma besar Pulau Es, dan dipilihlah Per­kumpulan Thian-liong-pang.

Di dalam cerita “Pendekar Super Sakti” telah diceritakan tentang watak dan sifat Puteri Nirahai yang gagah perkasa, angkuh dan tidak pernah mau kalah, di samping kecantikannya yang luar biasa dan ilmu kepandaiannya yang amat ting­gi. Mati-matian ia membela Suma Han yang dicintainya, bahkan ia telah mengor­bankan nama, kedudukan dan kehormat­annya untuk pendekar kaki tunggal yang dikaguminya itu. Sebesar itu cintanya, sebesar itu pula sakit hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suaminya itu tidak mempedulikannya, tidak menyu­sulnya, bahkan tak pernah mencarinya sampai dia melahirkan seorang puteri! Rasa sakit hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan bahwa dalam hal kepan­daian dan kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya! Pergilah wanita sakti ini meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia menjatuhkan pilihan­nya kepada Perkumpulan Thian-liong-pang!

Perkumpulan Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah mengalami jatuh bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan meru­pakan sebuah perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih dari seratus tahun dan pendirinya dahulu ada­lah seorang kakek yang berjuluk Sin Seng Losu (Kakek Bintang Sakti) yang beril­mu tinggi karena dia adalah murid ke­ponakan dari Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara datuk kaum sesat yang amat sakti. Ketika perkumpulan ini terjatuh ke tangan mantu Sin Seng Losu yang bernama Siangkoan Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan tergolong perkumpulan bersih yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, setelah Siangkoan Bu tewas dan perkumpulan itu dipimpin oleh murid Sin Seng Losu yang bernama Ma Kiu berju­luk Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebe­las orang sutenya maka kembali Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat ditakuti karena tidak segan melakukan kejahatan mengandal­kan kekuasaan mereka. Terutama sekalr Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka adalah Ma Kiu dan sute-sutenya yang merajalela di dunia kang-ouw. Dalam keadaan seperti itu muncullah Siangkoan Li, putera men­diang Siangkoan Bu atau cucu dari Sin Seng Losu yang dengan bantuan Mutiara Hitam menentang para paman gurunya (baca ceritaMutiara Hitam). Siangkoan Li ini lihai bukan main karena dia telah diterima menjadi murid dua orang kakek sakti yang setengah gila, yang berjuluk Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hanya sayang sekali, Siangkoan Li yang tadinya merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa, bahkan menjadi sahabat baik Mutiara Hitam dan jatuh cinta ke­pada pendekar wanita perkasa itu, tidak hanya mewarisi kesaktian kedua orang gu­runya, akan tetapi juga mewarisi kega­nasan dan kegilaannya!

Siangkoan Li mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang di mana dia menjadi ketuanya dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang penuh rahasia. Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak ada yang berani lancang tangan mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang hidup­nya aneh dan penuh rahasia. Ilmu silat para anggauta Thian-liong-pang rata-rata amat tinggi dan dasar ilmu kepandaian mereka bersumber ilmu-ilmu yang aneh dan luar biasa dari Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, atau lebih tepat dari Siangkoan Li yang menyebarkan kepan­daian itu kepada para anak buah dan murid-muridnya. Setelah Siangkoan Li meninggal dunia dalam keadaan mende­rita batin karena cintanya yang gagal terhadap Mutiara Hitam dan selamanya tidak mau menikah, dalam puluhan ta­hun terjadilah pergantian ketua baru beberapa kali dan mulailah terjadi ke­kacauan di dalam perkumpulan ini kare­na perebutan kursi ketua! Dan semenjak itu, selalu ada ketegangan di antara para murid-murid kepala atau dewan pimpinan mereka yang selalu berusaha memperkuat diri untuk merampas kedudukan ketua.

Keadaan ini menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka, yaitu setiap tahun diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan berpibu, menga­du kepandaian dan siapa yang paling pandai di antara mereka, tidak peduli wanita atau pria, tidak peduli saudara tua atau saudara muda dalam perguruan, dia yang berhak menjadi ketua sampai lain tahun diadakan pibu lagi di mana dia harus mempertahankan kedudukannya dengan taruhan nyawa! Ya, dalam pibu antara orang-orang liar ini sering kali terjadi pembunuhan. Mereka tidak segan saling membunuh di antara saudara sen­diri untuk memperebutkan kursi ketua yang amat mereka rindukan karena kur­si itu berarti kemuliaan, kemewahan, kehormatan dan nama besar!

Ketika Nirahai mendatangi perkum­pulan yang hendak dipilihnya sebagai syarat untuk menandingi kebesaran Pu­lau Es yang dipimpin oleh Suma Han, suaminya yang dianggapnya menyia-nyia­kan dan menyakitkan hatinya itu tepat terjadi di waktu Thian-liong-pang sedang mengadakan pibu tahunan yang selalu terjadi di ruangan belakang gedung perkumpulan yang amat luas dan terkurung pagar tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing sehing­ga orang yang berkepandaian tinggi seka­lipun jarang ada yang dapat melompat pagar tembok itu. Seperti biasa, pibu diadakan di pekarangan luas yang diku­rung oleh anak buah Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian, ketegangan dan juga kegembiraan kare­na mereka itu tentu saja mempunyai pi­lihan calon ketua masing-masing sehing­ga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang menonton adu jago. Bahkan di antara anak buah itu ada yang berta­ruh, bukan hanya bertaruh uang dan barang berharga, bahkan ada yang mempertaruhkan isterinya!

Pada waktu itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua akan tetapi juga berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil Cin-bun yang le­taknya di lembah Sungai Huang-ho, di sebelah utara kota Cin-bun di Propinsi Shantung. Para penduduk Cin-bun mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak ada yang berani mencampuri, bah­kan mendekati kelompok bangunan besar yang dilingkungi pagar tembok bertom­bak itu pun merupakan hal yang berba­haya bagi mereka. Para pembesar peme­rintah Mancu pun tidak ada yang berani mencampuri, dan mereka ini sudah me­nerima perintah dari atasan bahwa pe­merintah tidak ingin menciptakan permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka pemerintah daerah yang mengawasi gerak-gerik mereka dan selama perkum­pulan itu tidak melakukan perbuatan yang menentang pemerintah, pemerintah pun lebih suka untuk berbaik dengan mereka. Menentang pun berarti tentu akan menimbulkan pemberontakan baru dan pemerintah tidak menghendaki hal ini karena setiap pemberontakan merupakan bahaya besar, dapat merupakan api yang membakar semangat perlawanan rakyat yang dijajah.

Pada waktu itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua ratus orang lebih, sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada pula yang tinggal di dusun-dusun sekitar Propinsi Shantung dan membuka cabang-cabang Thian-liong-pang. Akan tetapi pada waktu itu, semua pimpinan cabang berkumpul pula di pusat untuk menyak­sikan pemilihan ketua baru melalui pibu, bahkan di antara mereka ada yang ingin ­melihat-lihat barangkali tingkat kepan­daian mereka sudah cukup untuk dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.

Dua ratus orang lebih anggauta Thian-liong-pang sudah berkumpul dan suasana menjadi riang gembira karena para anggauta itu sibuk saling bertaruh memilih jago masing-masing. Para pim­pinan rendahan yang mendapat tempat di bangku rendah yang berjajar di depan anak buah itu hanya mendengarkan ting­kah anak buah mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka ini tentu saja tidak be­rani bertaruh seperti yang dilakukan anak buah mereka, hanya diam-diam mereka pun mempunyai pilihan masing-masing karena mereka sendiri masih merasa terlalu rendah tingkat kepandaiannya untuk coba-coba berpibu yang berarti mempertaruhkan nyawa.

Adapun pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas kur­si-kursi di tingkat atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan tempat pibu itu oleh lima buah anak tangga di mana ditaruh kursi gading untuk Sang Ketua, diapit-apit beberapa buah kursi untuk para pimpinan yang tinggi tingkatnya dan mereka inilah yang menjadi calon-calon penantang ketua lama. Pada wak­tu itu tampak lima orang pemimpin ting­gi yang telah duduk dengan tubuh tegak dan sikap angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah mereka itu masing-masing telah merasa yakin akan mem­peroleh kemenangan dalam pibu yang hendak diadakan. Kursi gading untuk Ketua masih kosong karena Ketuanya belum keluar, sedangkan seperangkat alat tetabuhan yang dipukul perlahan menyemarakkan suasana seperti dalam pesta.

Orang pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang menye­ramkan. Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua pelipisnya di­sambung dengan jenggot yang melingkari wajahnya, kumisnya juga tipis seperti ku­mis singa. Tubuhnya kekar penuh membayangkan tenaga yang amat kuat biar­pun kakek ini usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah berwarna putih, namun warna ini menambah keangkerannya kare­na membuat mukanya lebih mirip muka singa. Sepasang matenya yang lebar menyinarkan cahaya kilat menyeramkan, namun sikapnya pendiam, pakaiannya se­derhana dan dia duduk seperti seekor si­nga kekenyangan yang mengantuk! Kakek ini sebenarnya merupakan saudara seper­guruan tertua dan bahkan menjadi suheng dari Ketua yang sekarang, namun kare­na dia seorang berjiwa perantau dan petualang, maka dia tidak mempunyai nafsu untuk merebut kedudukan ketua, sungguhpun dalam hal kepandaian, masih sukar ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan Sang Ketua. Kakek ini sudah tidak dikenal lagi nama aselinya, lebih dikenal julukannya yang menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Ber­muka Singa)!

Orang ke dua juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepala­nya gundul akan tetapi dia bukanlah se­orang hwesio karena dia berjenggot dan berkumis dan berpakaian seperti seorang pelajar, bersikap halus namun matanya liar seperti mata orang yang tidak wa­ras pikirannya. Kelihatannya kakek gun­dul ini lemah, duduk memegangi lengan kursi dan kadang-kadang kedua tangannya bergerak menggigil seperti orang buyuten, kepalanya bergerak-gerak sendi­ri tanpa disadari mengangguk-angguk dan mulutnya kadang-kadang tersenyum geli seolah-olah ada setan tak tampak membadut di depannya. Namun jangan dianggap remeh kakek ini karena dia pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari Sai-cu Lo-mo. Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menye­ramkan dari suhengnya karena di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin dan Kilat)!

Orang ke tiga adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tinggi besar tubuhnya, wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi, matanya me­lotot jarang berkedip, hidungnya besar merah tanda sifat gila perempuan, pa­kaiannya seperti seorang jago silat dan di punggungnya tampak gagang sebatang golok besar. Inilah Twa-to Sin-seng (Bin­tang Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat disegani dan ditakuti karena watak­nya yang kasar, terbuka, dan kurang ajar terhadap wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!

Orang ke empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, wa­jahya tampan sekali, bahkan begitu ha­lus gerak-geriknya, begitu merah bibir­nya dan begitu tajam memikat kerling matanya sehingga dia lebih mirip seorang wanita! Sepasang pedang tergantung di pinggangnya, pakaiannya biru, dari ba­han sutera halus dan laki-laki tampan ini termasuk seorang yang pesolek. Sa­yangnya, sinar matanya yang bagus itu mengandung kekejaman dan juga kesombongan yang memandang rendah semua orang! Dia ini pun bukan orang biasa dan merupakan di antara para pemimpin tinggi yang telah membuat nama Thian-­liong-pang menjadi nama besar dan te­nar.

Pedangnya amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui‑beng‑kiam (Pedang Pengejar Arwah), namanya Liauw It Ban. Kalau suhengnya, Ma Chun, terkenal sebagai seorang laki‑laki gila perempuan dan suka mempermainkan wanita, Liauw It Ban ini lebih hebat lagi karena dia seorang mata keranjang yang berwatak sadis, senang sekali menyiksa wanita yang menjadi korbannya! Betapapun juga, dia dan suhengnya tidak pernah mengumbar hawa nafsu iblis itu di daerah sendiri karena mereka tunduk akan perintah ketua mereka agar tidak mengotorkan nama Thian-liong‑pang di daerah sendiri sehingga tidak mendapat kesan buruk terhadap pemerintah. Karena itu, namanya lebih tersohor di daerah lain di luar propinsi.

Orang ke lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar Thian‑liong-­pang karena dia paling tidak patut men­jadi anggauta dewan pimpinan perkum­pulan besar itu. Dia adalah seorang wa­nita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun usianya, cantik manis dengan pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya yang sudah matang. Wanita ini merupakan saudara seperguruan termuda, namun dia memiliki ilmu kepandaian di luar ilmu keturunan ilmu para Pim­pinan Thian‑liong‑pang karena dia telah menerima ilmu‑ilmu dari mendiang suaminya, seorang murid dari Bu‑tong‑pai yang lihai. Suaminya tewas setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua sehing­ga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang, adalah seorang janda kembang yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin sekali memetiknya. Teruta­ma sekali kedua orang suhengnya sendi­ri, Ma Chun dan Liauw It Ban yang pa­da waktu itu pun seringkali melayang­kan sinar mata ke arahnya. Bahkan beberapa kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang matanya menyapu tubuh sumoi­nya yang penuh gairah. Liauw It Ban ju­ga memandang dengan sinar mata penuh gairah, akan tetapi ia tersenyum‑senyum dan memasang aksi setampan mungkin untuk menundukkan hati sumoinya yang sudah menjadi janda itu. Namun, Tang Wi Siang duduk dengan tenang dan sikap­nya dingin sekali, seperti sebongkah es membeku. Namun, di luar tahu lain orang, diam‑diam ia menyapukan pan­dang matanya yang tajam itu ke arah Liauw It Ban, suhengnya yang tampan. Dahulu sebelum suaminya tewas, dia ti­dak mempedulikan suhengnya yang tam­pan ini, bahkan sebelum ia menikah, ia tidak pernah melayani rayuan suheng­nya. Akan tetapi sekarang, setelah seta­hun lamanya dia menjanda, setelah me­rasa tersiksa hatinya karena kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah dinikmatinya hanya beberapa ta­hun lamanya, diam‑diam sering jantung­nya berdebar kalau membayangkan su­hengnya yang tampan itu menggantikan mendiang suaminya!

Lima orang inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh‑tokoh utama dari Thian‑liong‑pang dan memang mereka berenam memiliki kepandaian yang tinggi, memiliki keistimewaan masing-­masing sehingga sukar untuk dikatakan siapa di antara mereka yang paling lihai. Dan kini, sudah dapat dibayangkan bah­wa dalam pibu perebutan kedudukan ke­tua, lima orang inilah yang akan berani maju untuk berpibu melawan Sang Ke­tua, karena selain mereka, siapa lagi yang akan berani maju?

Tiba‑tiba tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba‑aba dari komandan upacara, yaitu seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan munculnya Sang Ke­tua. Semua anggauta Thian‑liong‑pang serentak bangkit memberi hormat, dan lima orang itulah yang berdiri dengan tenang dan biasa menyambut munculnya Si Ketua yang ditunggu‑tunggu sejak tadi. Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya Ketua Thian‑liong-pang karena memang patutlah orang ini menjadi ketua. Tubuhnya tinggi besar se­perti raksasa sehingga Ma Chun yang tinggi besar itu hanya setinggi pundaknya! Ketua Thian‑liong‑pang ini tinggi­nya seimbang dengan besar tubuhnya. Langkahnya lebar dan berat seperti lang­kah seekor gajah, lantai sampai terge­tar dibuatnya. Pakaiannya mentereng akan tetapi ketat dan membayangkan tonjolan otot‑otot yang besar. Kedua lengannya sampai ke jari tangannya pe­nuh bulu hitam kasar, kepalanya yang besar juga berambut hitam kasar seperti kawat-kawat baja. Alisnya tebal hampir persegi, matanya bulat dengan manik mata hitam amat kecil sehingga kelihatannnya mata itu putih semua, hidungnya kecil akan tetapi mulutnya besar seperti terobek kedua ujungnya. Jenggot dan ku­misnya dipotong pendek, kaku seperti si­kat kawat! Kulitnya yang kelihatannya tebal seperti kulit badak itu berkerut-­kerut, agak hitam mengingatkan orang akan kulit buaya yang tebal, keras, dan lebat! Inilah dia Phang Kok Sek, Ketua Thian‑liong‑pang yang telah mewarisi Hwi‑tok‑ciang (Tangan Racun Api) dari leluhur Thian‑liong‑pang, yaitu Lam‑kek Sian‑ong! Tahun yang lalu, dalam pibu dia telah menewaskan ketua lama yang menjadi paman gurunya sendiri, mene­waskan pula suami Tan Wi Siang dan beberapa orang lain lagi, bahkan melukai Ma Chun yang menjadi sutenya.

Dengan gerakan kedua tangannya yang kaku Ketua ini mempersilakan sau­dara‑saudara seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri menduduki kur­si gading, dan semua anak buah lalu du­duk pula, para pemimpin rendah duduk di bangku dan para anggauta duduk di atas lantai yang terbuat dan batu perse­gi yang lebar, keras dan berwarna hitam. Seperti biasa, mereka itu merupa­kan setengah lingkaran menghadap ke arah tempat para pimpinan duduk, ya­itu di atas anak tangga dan di depan atau sebelah bawah anak tangga itu me­rupakan ruangan yang sengaja dikosong­kan karena di situlah biasanya diadakan pibu antara pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua baru karena memiliki ilmu kepandaian tertinggi. Tempat pibu yang berbahaya karena lantai ubin batu itu amat keras sehing­ga sekali terbanting, tulang bisa patah, apalagi kalau kepala yang terbanting bisa pecah!

Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua baru, Thian‑liong‑pangcu yang bertubuh seper­ti raksasa memberi isyarat dengan kedua tangan ke atas, menyuruh semua orang tidak mengeluarkan suara berisik. Sete­lah keadaan menjadi hening, dia bangkit berdiri dan mengucapkan kata‑kata yang sudah dikenal baik oleh semua anggauta.

“Saudara sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan ke­tua baru seperti yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan pimpinan. Aku sendiri sebagai ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute, dan Sumoiku sebagai anggauta dewan pimpinan telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan ketua baru pada hari ini sesuai dengan kebiasaan dan peraturan perkumpulan kita. Seperti telah menjadi kebiasaan Thian‑liong‑pang pula, aku sebagai ketua harus mempertahankan kedudukanku se­bagai ketua dan dia yang dapat mengalahkan aku dan kemudian keluar sebagai orang terkuat, dialah yang berhak men­jadi ketua baru tanpa ada tantangan da­ri siapapun juga dan memiliki hak mutlak untuk menjadi Ketua Thian‑liong‑pang. Luka atau mati dalam pibu tidak boleh mengakibatkan dendam dan kebencian di antara saudara seperkumpulan, karena pibu ini diadakan bukan karena urusan pribadi, melainkan untuk pemilihan ke­tua dan demi kepentingan dan nama besar Thian‑liong‑pang. Aku sudah selesai bicara dan di antara para anggauta bia­sa dan pimpinan yang ingin memasuki pibu, harap berdiri dan menyatakan pendapatnya.” Setelah berkata demikian, Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk kembali, kedua lengannya yang besar ditaruh di atas lengan kursi gading, tubuhnya memenuhi kursi itu dan pandang matanya menyapu semua orang yang hadir penuh tantangan. Namun diam‑diam ia melirik ke arah dua orang suhengnya, yaitu Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang. Ketua ini tidak gentar menghadapi dua orang su­tenya dan seorang sumoinya karena merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan mereka. Namun dia me­ngerti bahwa kalau dua orang suhengnya itu memasuki pibu, dia harus berhati-­hati karena akan bertemu lawan yang berat.

Sai‑cu Lo‑mo yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang perantau dan sejak dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi ketua karena baginya, menjadi ketua berarti harus selalu berada di Thian‑liong‑pang dan agaknya dia tidak mau mengorban­kan kesukaannya merantau dengan men­jadi ketua. Adapun Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi, belum pernah mengikuti pibu pemilihan ketua, lebih senang duduk termenung, atau ber­samadhi atau diam‑diam melatih ilmu silatnya, kalau tidak tentu dia tengge­lam dalam kitab‑kitab kuno karena dia adalah seorang kutu buku yang karena terlalu suka membaca tanpa mempedulikan waktu, sampai kadang‑kadang mata­nya basah dan merah, sedangkan kedua tangannya menggigil buyuten! Betapapun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa suhengnya yang ke dua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia masih belum berani memastikan apakah dia akan menang melawan Ji‑suhengnya ini.

Karena ada kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat twa‑suhengnya, Sai‑cu Lo‑mo sebagai orang pertama yang bangkit ber­diri dari kursi di ujung sebelah kanan­nya. Juga para anggauta menjadi heran dan tegang karena maklum bahwa kalau yang tua‑tua ini sudah ikut pibu, tentu akan ramai sekali pertandingan antara saudara‑saudara seperguruan itu.

Sai‑cu Lo‑mo mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum bi­cara, kemudian ia berkata, “Harap semua saudara jangan salah menduga. Aku le­bih suka merantau di alam bebas daripa­da harus terikat di atas kursi gading sebagai ketua! Sekarang pun aku masih belum mengubah kesenanganku dan aku tidak akan mengikuti pibu pemilihan ketua, hanya ada sedikit hal yang perlu kuke­mukakan. Siapa pun yang akan menjadi ketua baru, mulai sekarang harus dapat mengendalikan Thian‑liong‑pang dengan baik, mencegah penyelewengan para ang­gauta yang hanya akan merusak nama besar Thiang‑liong‑pang. Hentikan per­buatan‑perbuatan maksiat yang rendah dan yang menyeret Thian‑liong‑pang ke lembah kehinaan, karena kita bukanlah angauta‑anggauta perkumpulan rendah, bukan segerombolan penjahat‑penjahat kecil yang mengandalkan nama perkumpulan untuk melakukan perbuatan menji­jikkan seperti yang sering kudengar yaitu berlaku sewenang‑wenang, memperkosa wanita, dan sebagainya. Kalau perbuatan-­perbuatan ini tidak dihentikan, kalau Ketua baru tidak mampu mengendalikan, hemmm.... aku tidak mengancam, akan tetapi terpaksa aku akan turun tangan menantangnya dan mungkin akan timbul hasratku untuk menjadi ketua!” Setelah berkata demikian, kakek muka singa itu duduk kembali dan melenggut seperti orang hendak tidur!

Keadaan menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik‑bisik di antara para ang­gauta yang sebagian besar merasa ter­singgung dan tidak senang dengan ucap­an itu. Adapun Phang Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya, terasa panas seperti baru saja menerima tamparan.

“Cocok sekali!” Tiba‑tiba Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang berseru dan bangkit dari kursinya, suaranya tinggi nyaring sungguh tidak sesuai dengan sikapnya yang tenang dan kelihatan lemah. “Ja­ngan membikin malu nenek moyang kita yang gagah perkasa, Siangkoan Li Su‑couw yang pernah menjadi sahabat baik pendekar wanita sakti Mutiara Hitam!” Setelah berkata demikian, Lui‑hong Sin­ciang Chie Kang duduk kembali.

Biarpun ucapan kedua orang suhengnya itu merupakan tamparan dan teguran ter­sembunyi, yang ditujukan kepadanya, na­mun hati Phang Kok Sek menjadi lega karena jelas bahwa kedua orang suheng­nya itu tidak mau memasuki pibu mem­perebutkan kursi ketua! Kini tinggal dua orang sutenya dan seorang sumoinya, karena selain mereka bertiga, siapa lagi yang berani memasuki pibu? Dia meli­rik ke arah kedua orang sutenya dan su­moinya.

Hampir berbareng, Twa‑to Sin‑seng Ma Chun dan Cui‑beng‑kiam Liauw It Ban bangkit berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil ber­kata,

“Aku hendak memasuki pibu!” kata Ma Chun.

“Dan aku juga ingin mencoba‑coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!” kata Liauw It Ban.

Setelah kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri. Jan­da muda yang cantik jelita ini berkata tenang, “Aku ingin memasuki pibu, akan tetapi hendaknya Pangcu dan sekalian Suheng dan saudara sekalian maklum bahwa aku merasa tidak cukup untuk menjadi ketua....”

“Sumoi, aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!” Tiba‑tiba Liauw It Ban berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti. Kedua pipi wanita itu berubah merah, jantung­nya berdebar karena maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu, apalagi ketika ia melihat banyak mulut terse­nyum‑senyum maklum, membuat dia merasa lebih jengah lagi.

“Terima kasih, Liauw‑suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi ketua, juga jangan disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena mendendam atas kematian mendiang suamiku. Sama sekali tidak, aku memasuki pibu setelah sela­ma ini aku melatih diri memperdalam ilmu silat dan semata‑mata hanya untuk mempertebal keyakinan bahwa orang yang menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku sehingga boleh dipercaya dan di­andaikan utuk menjunjung nama dan ke­hormatan Thian‑liong‑pang!”

Girang sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam‑diam ia mengambil keputusan untuk memaafkan sumoinya yang cantik itu dan tidak membu­nuhnya. Akan tetapi kedua orang sute­nya Ma Chun dan Liauw It Ban harus ia tewaskan dalam pibu itu karena kalau sekali ini mereka gagal, pada lain ke­sempatan tentu mereka itu akan menco­ba lagi dan hal ini merupakan bahaya terus‑menerus bagi kedudukannya. Ia se­gera bangkit berdiri dan berkata,

“Terima kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha memperbaiki keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah mende­ngar, yang memasuki pibu untuk kedu­dukan ketua baru hanyalah Ma‑sute dan Liauw‑sute, sedangkan Sumoi hanya akan menguji kepandaian Ketua baru yang berhasil keluar sebagai pemenang dalam pibu ini. Kurasa tidak ada orang lain la­gi yang akan memasuki pibu hari ini!”

“Ada!” Tiba‑tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita! “Akulah yang akan memasuki pibu memperebut­kan kedudukan ketua Thian‑liong‑pang!”

Semua orang menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang wanita yang kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu‑tahu telah berdiri di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk? Semua pintu masih tertutup, dan tempat itu dikelilingi tembok yang tinggi dan atasnva di­pasangi tombak‑tombak runcing mengandung racun!

“Engkau siapa?” Phang Kok Sek mem­bentak dengan suara menggeledek kare­na marah.

Terdengar suara ketawa kecil di ba­lik kerudung sutera itu dan dengan lang­kah tenang wanita berkerudung itu me­masuki ruangan sampai di bagian tengah yang kosong, di bawah anak tangga ke­mudian berkata,

“Pangcu, siapa aku bukanlah hal pen­ting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin tahu juga, akulah calon Ketua ba­ru dari Thian‑liong‑pang, calon Ketua kalian. Aku memasuki pibu untuk mendapatkan kedudukkan Ketua Thian‑liong-­pang.”

Phang Kok Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita berkerudung itu. “Tidak mungkin! Eng­kau telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, engkau sebagai orang luar be­rani memasuki tempat ini tanpa ijin, ke­salahan ini saja sudah patut dihukum dengan kematian. Ke dua, pibu keduduk­an Ketua Thian‑liong‑pang hanya dilaku­kan di antara anggauta sendiri, tidak bo­leh dicampuri orang dari luar! Hayo, buka kedokmu dan perkenalkan dirimu. Karena engkau seorang wanita, mungkin sekali kami dapat memberi ampun.”

Kembali wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup membuat tulang punggung yang mendengarnya terasa dingin. “Phang Kok Sek, biarpun engkau telah menjadi Ketua Thian‑liong‑pang, ternyata engkau agaknya tidak tahu atau lupa akan seja­rah Thian‑liong‑pang dan riwayat tokoh­-tokoh besarnya di waktu dahulu. Dahulu, pendekar besar Siongkoan Li telah diusir dari Thian‑liong‑pang, dan dianggap seba­gai orang luar karena perbuatan‑perbuat­annya yang menentang Thian‑liong‑pang dan karena menjadi murid dari kedua Sian‑ong Kutub Utara dan Selatan. Akan tetapi kemudian dia kembali dan meram­pas Thian‑liong‑pang menjadi ketuanya! Bukankah itu berarti seorang luar dapat menjadi Ketua Thian‑liong‑pang? Dan lu­pakah engkau kepada Gurumu sendiri, Guru semua anggauta dewan pimpinan Thian‑liong‑pang ini? Siapakah Guru ka­lian? Bukankah guru kalian mendiang Kim-sin‑to Sai‑kong adalah seorang per­tapa dari Kun‑lun‑san yang sama sekali bukan anggauta Thian‑liong‑pang tadi­nya?”

Keenam pimpinan Thian‑liong‑pang terkejut sekali. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua rahasia itu yang menjadi rahasia moyang para pimpinan Thian‑liong‑pang?

“Siapakah engkau?” Kembali Phang Kok Sek bertanya.

“Aku adalah calon Thian‑liong‑pang­cu,” wanita berkerudung menjawab.

Tiba‑tiba Sai‑cu Lo‑mo berkata sete­lah menatap sepasang mata di balik ke­rudung itu dengan tajam. “Toanio, siapa pun adanya engkau, caramu masuk dan sikapmu menunjukkan bahwa engkau se­orang pemberani. Akan tetapi ketahuilah bahwa seorang yang ingin menjadi Ketua Thian‑liong‑pang bukanlah melalui pibu, melainkan merupakan perampas perkum­pulan yang harus lebih dahulu mengalahkan seluruh pimpinan....”

“Memang aku datang untuk mengalahkan kalian semua atau siapa saja yang menentangku menjadi Ketua Thian‑liong­-pang!” Wanita itu menjawab seenaknya. “Nah, aku menyatakan diriku sebagai Ketua Thian‑liong‑pang yang baru! Siapa yang akan menentang? Boleh maju!”

Para anggauta Thian‑liong‑pang memandang dengan hati tegang dan juga gembira karena mereka merasa yakin bahwa munculnya wanita aneh ini akan mengakibatkan pertandingan yang amat menarik. Tadinya mereka sudah merasa kecewa ketika mendengar ucapan Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang karena maklum bahwa dua orang tua itu tidak memasuki pibu sehingga pertan­dingan yang akan terjadi di antara Ketua dan dua orang sutenya dan seorang su­moinya tidak akan menarik hati.

Sementara itu, melihat sikap wanita berkerudung, enam orang pimpinan Thian‑liong‑pang menjadi marah dan diam‑diam Phang Kok Sek memberi tan­da dengan matanya kepada Cui‑beng-­kiam Liauw It Ban. Mereka berenam adalah orang‑orang yang berkedudukan tinggi pula, maka biarpun mereka ditan­tang, mereka merasa malu untuk maju mengeroyok. Pula, Phang Kok Sek yang cerdik sengaja menyuruh sutenya maju, selain untuk menyaksikan dan mengukur kepandaian wanita berkerudung juga an­daikata terjadi sesuatu dengan diri Liauw It Ban hanya berarti bahwa dia kehilang­an seorang di antara saingan‑saingannya!

Akan tetapi betapa kaget hatinya, dan juga para pimpinan lain ketika wanita itu mendahului Liauw It Ban yang hendak bangun menghadapi Si Pedang Pengejar Roh itu sambil berkata, “Nah, engkau sudah menerima perintah Suheng­mu untuk melawan aku. Majulah!”

Bukan main tajamnya pandang mata di balik kerudung sutera itu sehingga isyarat Sang Ketua dengan matanya da­pat ia tangkap! Liauw It Ban meloncat bangun dan ketika tangan kanannya ber­gerak, tampak sinar berkelebat, pedangnya telah berada di tangan kanan. Ia tersenyum mengejek, melintangkan pe­dang depan dada dan menggunakan telun­juk kirinya menuding ke arah muka berkerudung itu.

“Perempuan sombong! Agaknya engkau belum mengenal aku, maka engkau bera­ni membuka mulut besar! Lebih selamat bagimu kalau engkau membuka kerudung­mu agar dapat kulihat wajahmu. Kalau wajahmu sehebat tubuhmu, hemm.... agaknya aku masih dapat mengampuni­mu asal engkau tahu bagaimana harus membalas budi, ha‑ha!”

Betapa kagetnya ketika laki‑laki ber­usia tiga puluh tahun yang tampan dan pesolek ini mendengar suara dari balik kerudung, suara yang merdu namun me­ngandung ejekan,

“Cui‑beng‑kiam Liauw It Ban, siapa tidak mengenal orang rendah seperti engkau ini? Engkau orang ke lima dari enam Pimpinan Thian‑liong‑pang, dan sudah cu­kup engkau mengotorkan Thian‑liong-pang dengan perbuatan‑perbuatanmu yang kotor, memperkosa wanita‑wanita baik-­baik, menyiksa orang. Engkau seorang penjahat cabul yang berhati keji dan se­sungguhnya engkau tidak patut menjadi tokoh Thian‑liong‑pang. Kedatanganku memang untuk menjadi Ketua Thian­-liong‑pang dan sekaligus membersihkan Thian‑liong‑pang dari monyet‑monyet ko­tor macam engkau!”

“Singggg....!” Tampak sinar kilat keti­ka pedang di tangan Liauw It Ban me­nyambar ke arah leher wanita berkeru­dung. Namun, dengan gerakan mudah seka­li wanita itu mengelak, bahkan terdengar tertawa mengejek. Tidak percuma Liauw It Ban mendapat julukan Cui‑beng‑kiam (Pedang Pengejar Roh) karena begitu pe­dangnya luput, sudah membalik lagi dengan serangan ke dua yang merupakan sebuah tusukan ke arah dada wanita berkerudung itu.

Semua pimpinan Thian‑liong‑pang terbelalak kaget ketika menyaksikan gerak­an wanita berkerudung itu. Wanita itu mengangkat tangan kirinya dan dua buah jari tangannya, telunjuk dan ibu jari, menjepit ujung pedang yang menusuk­nya dengan mudah sekali dan.... betapa pun Liauw It Ban menarik, pedangnya tidak dapat terlepas dari jepitan dua buah jari itu!

“Begini sajakah Pedang Pengejar Roh? Tentu roh tikus saja yang dapat dikejarnya. Hi‑hik!” Wanita berkerudung itu mengejek.

“Perempuan siluman!” Liauw It Ban membentak, tangan kanannya menyam­bar ke depan, menghantam ke arah muka wanita yang tertutup kerudung su­tera itu.

“Plakk! Krekkk.... aduuuhhhh!” Liauw It Ban menjerit kesakitan ketika tangan kanan wanita itu menyambut pukulannya dengen telapak tangan, terus menceng­keram sehingga tulang‑tulang jari tangan Liauw It Ban yang terkepal itu patah-­patah dan remuk!

“Krak.... cepppp! Auggghhh....” Wanita itu tidak berhenti sampai di situ sa­ja, tangan kirinya yang menjepit ujung pedang membuat gerakan, pedang patah ujungnya dan sekali mengibaskan tangan kiri, ujung pedang itu meluncur dan am­blas memasuki dada Liauw It Ban sam­pai tembus ke punggung. Liauw It Ban melepaskan pedang mendekap dadanya dan roboh terjengkang, tewas di saat itu juga. Wanita berkerudung menendang dan mayat itu melayang ke atas anak tangga, ke arah Ketua Thian-liong‑pang!

Phang Kok Sek menyambut mayat itu, memeriksa sebentar dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Kalau saja Liauw It Ban tewas dalam sebuah pertandingan yang dapat membuka rahasia gerakan wanita itu dan yang kiranya dapat ia tandingi tentu ia akan merasa girang kehilangan seorang saingan. Akan tetapi kematian sutenya itu demikian aneh, hanya dalam dua gebrakan saja sehingga dia sama sekali tidak dapat mengukur sampai di mana tingginya ke­pandaian wanita itu, dan hal ini merupa­kan penghinaan bagi Thian‑liong‑pang yang ditakuti oleh semua tokoh kang‑ouw. Biarpun dia belum dapat mengukur dan mengenal ilmu wanita berkerudung, na­mun ia tahu bahwa wanita itu amat sakti, kalau tidak tak mungkin sutenya yang ilmu kepandaiannya tidak kalah jauh olehnya itu dapat tewas semudah itu. Maka ia cepat memberi isyarat dan berseru.

“Serbu....!”

Dua ratus orang anak buah Thian‑liong‑pang dipimpin oleh komandan ma­sing‑masing, serentak bangkit. Tiba-tiba terdengar suara lengking panjang yang menulikan telinga, disusul oleh berkele­batnya bayangan yang berputar ke arah mereka yang mengurungnya dan.... semua orang terbelalak memandang dua belas orang yang roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi! Kiranya wanita itu sudah bergerak cepat dan merobohkan setiap orang yang berada paling depan dari para pengurung, entah bagaimana cara­nya karena dua belas orang yang roboh dan tewas itu tidak terluka sama sekali.

“Para anggauta Thian‑liong‑pang, dengarlah! Aku datang bukan untuk membunuh kalian, melainkan untuk memimpin kalian. Kalau aku datang akan membasmi, betapa mudahnya! Aku akan menjadikan Thian‑liong‑pang sebuah per­kumpulan terbesar dan terkuat di selu­ruh dunia, sekuat Pulau Es dengan peng­huni‑penghuninya!”

Mendengar ini, terutama melihat cara wanita itu merobohkan dua belas orang teman mereka, para anggauta itu serentak mundur dan menjadi ragu‑ragu. Hal ini menimbulkan kemarahan besar di hati para pimpinan.

“Perempuan rendah, berani engkau membunuh Suteku?” Twa‑to Sin‑seng Ma Chun berteriak dan tangan kirinya bergerak.

“Cuit‑cuit‑cuit.... cap‑cap‑cappp!” Tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menyambar ke arah tubuh wanita berke­rudung, namun semua dapat ditangkap oleh wanita itu dengan jepitan jari‑jari tangannya. Wanita itu terkekeh, mengum­pulkan tiga buah senjata rahasia itu di tangan kirinya, mengepal dan terdengar suara keras. Ketika ia membuka tangan­nya, tiga buah senjata rahasia bintang yang terbuat dari baja dan diberi racun itu telah hancur berkeping‑keping dan dibuang ke atas lantai!

Twa‑to Sin‑seng Ma Chun marah se­kali, mencabut golok besarnya dan me­nerjang maju. Tang Wi Siang yang meli­hat Liauw It Ban, suheng yang mengge­rakkan gairahnya itu terbunuh, menjadi marah dan ia pun sudah mencabut pe­dang dan membantu Ma Chun mengero­yok wanita itu.

Sinar golok dan pedang menyambar-nyambar seperti kilat, mengurung tubuh wanita berkerudung, akan tetapi anehnya, tak pernah kedua senjata ini menyentuh ujung baju Si Wanita yang bergerak de­ngan mudah dan ringan seolah‑olah tubuhnya berubah menjadi uap. Dikeroyok oleh dua orang yang lihai itu wanita ini malah terkekeh‑kekeh dan masih dapat berkata‑kata sambil mengelak ke sana ke mari.

“Twa‑to Sin‑ceng Ma Chun, engkau pun bukan manusia baik‑baik. Engkau mata keranjang, sombong, kasar dan mengan­dalkan kepandaian yang tidak seberapa....”

“Perempuan rendah! Kalau aku dapat menangkapmu, aku bersumpah akan me­nelanjangimu dan memperkosamu di depan mata seluruh anggauta Thian­-liong‑pang.... aughhh....!” Tubuh yang tinggi besar itu terlempar, goloknya terpental dan ketika semua orang meman­dang, tampak tanda tiga buah jari mem­biru di dahi Ma Chun yang sudah tewas itu!

“Engkau.... manusia kejam....!” Tang Wi Siang menjerit dan pedangnya mener­jang dengan hebatnya. Tingkat kepandai­an Tang Wi Siang kalau dibandingkan tingkat Ma Chun dan Liauw It Ban, da­pat dikatakan sama, akan tetapi setelah ia mempelajari ilmu pedang dari suami­nya yang telah tiada, ia dapat memperhebat ilmu pedangnya dengan gerakan dasar dari Bu‑tong‑pai. Maka sekali ini dalam keadaan marah, pedangnya mengeluarkan bunyi berdesing‑desing dan menyerang wanita berkerudung itu secara bertubi‑tubi.

“Tang Wi Siang, bagus sekali engkau telah mempelajari ilmu dasar dari Bu­-tong‑pai. Aku tidak akan membunuhmu karena aku memilih engkau menjadi wa­kilku dalam memimpin Thian‑liong‑pang!”

“Tutup mulutmu! Aku baru mengakui orang kalau sudah dapat mengalahkan aku!”

“Wanita bodoh, tak tahukah engkau, betapa mudahnya itu? Kau tadi menga­takan bahwa engkau akan menguji kepan­daian setiap Ketua Thian‑liong‑pang­, nah, sekarang boleh menguji aku yang akan menjadi junjunganmu dan juga gurumu. Lihat baik‑baik, dalam tiga ju­rus aku akan mengalahkanmu!”

Biarpun pada saat itu juga dia sudah yakin betapa saktinya wanita berkerudung itu, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang menjadi penasaran. Wanita aneh itu te­lah mengenal baik‑baik keadaan Thian-­liong-pang, mengenal riwayat perkumpulan ini, bahkan mengenal semua nama dan julukan para pimpinan Thian‑liong­-pang berikut watak mereka. Dan kini menantangnya akan mengalahkan dalam tiga jurus! Apakah dia dianggap seorang anak kecil yang tidak mempunyai kepan­daian apa‑apa? Rasa penasaran membu­at dia marah dan merasa dianggap ren­dah dan hina, maka ia berteriak keras,

“Manusia yang bersembunyi di bela­kang kerudung seperti siluman! Kalau kau dapat mengalahkan aku dalam tiga jurus, aku tidak patut menjadi wakilmu, lebih patut mampus atau menjadi pela­yanmu!”

“Bagus! Engkau sendiri yang memilih menjadi pelayan!” Wanita aneh itu tidak menjawab akan tetapi pada saat itu Tang Wi Siang sudah menerjang dengan pedangnya, menggunakan jurus Hui-po-liu‑hong (Air Terjun Terbang Bianglala Melengkung). Jurus ini adalah jurus ilmu pedang Bu‑tong‑pai yang amat indah dan berbahaya, menjadi aneh dan lebih berbahaya lagi karena gerakannya telah dicampur dengan gerakan ilmu aseli dari Thian‑liong‑pang, yaitu ketika pedang menyambar membacok ke arah muka la­wan dilanjutkan dengan gerakan memba­bat leher dari kanan ke kiri dengan gerakan melengkung, tangan kiri Tang Wi Siang menyusul dengan pukulan sakti yang disebut Touw‑sim‑ciang (Pukulan Menembus Jantung), semacam pukulan yang digerakkan dengan tenaga sin‑kang dan dapat menggetarkan isi dada meng­hancurkan jantung dan paru‑paru!

 “Siuuuttt.... wirr‑wirrr‑wirrrr....!” Wi Siang hanya melihat berkelebatnya ba­yangan wanita berkerudung itu ke kanan, kiri dan serangannya luput! Dengan kaget dan penasaran ia melanjutkan serangan­nya secara beruntun, yaitu dengan jurus Sian‑li‑touw‑so (Sang Dewi Menenun) dan terakhir dengan jurus Sian‑li‑sia‑kwi (Sang Dewi Memanah Setan). Mula‑mula pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar‑lingkar mengurung tubuh wanita berkerudung dan menye­rangnya dari arah yang mengelilingi la­wan itu. Wi Siang maklum bahwa lawan­nya memiliki gin‑kang yang luar biasa, dapat bergerak cepat seperti terbang, maka ia berusaha mengurungnya dengan sinar pedang. Seperti yang telah diduga­nya, wanita itu tiba‑tiba mencelat ke atas untuk menghindarkan diri dari ling­karan sinar pedang. Saat ini sudah dinanti‑nanti oleh Wi Siang maka ia lalu menyerang dengan jurus ke tiga, jurus ter­akhir jurus Sian‑li‑sia‑kwi ini hebat seka­li, dilakukan dengan melontarkan pedang ke arah bayangan lawan yang mencelat ke atas, Wi Siang amat cerdik. Dia diba­tasi hanya sampai tiga jurus. Kalau da­lam tiga jurus wanita berkerudung itu tidak mampu mengalahkannya, berarti dia dianggap menang! Inilah yang menye­babkan dia mengambil keputusan untuk menggunakan jurus Sian‑li‑sia‑kwi dalam jurus terakhir karena selagi mencelat di udara dan diserang oleh pedangnya yang meluncur seperti anak panah, bagaimana wanita itu dapat merobohkannya?

Betapa kaget, heran dan juga girang­nya ketika ia melihat lawannya itu, agaknya berkeinginan keras untuk mengalahkannya dalam jurus ini malah melun­cur turun dan menyambut pedang yang menyambar itu! Makin girang lagi hati Wi Siang melihat pedangnya tepat me­ngenai dada Si Wanita berkerudung sehingga ia tertawa girang penuh kemenangan.

Tiba‑tiba suara ketawanya terhenti dan tubuhnya terguling ke atas lantai tanpa dapat bangun lagi karena seluruh kaki tangannya lemas setelah jalan darah di pundak terkena totokan wanita itu! Ketika pedangnya tadi mengenai dada Si Wanita berkerudung, terdengar bunyi keras dan pedangnya telah patah, kemu­dian sebelum ia dapat memulihkan keka­getan hatinya, tahu‑tahu tangan wanita berkerudung telah menotok pundaknya dengan tubuh masih meluncur dari atas. Tang Wi Siang bukanlah seorang bodoh. Kini dia merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu benar‑benar memi­liki kesaktian yang luar biasa, bahkan ia dapat menduga bahwa biarpun seluruh anggauta dan pimpinan Thian‑liong‑pang maju mengeroyok sekali pun, mereka ti­dak akan dapat mengalahkan wanita ini.

“Bangkitlah, Wi Siang!” Wanita berkerudung yang sudah mengenalnya itu menggerakkan tangan dan tiba‑tiba Wi Siang merasa tenaganya sudah pulih kembali. Dia tidak meloncat bangun, me­lainkan bangkit berlutut di depan wani­ta itu sambil berkata.

“Saya menyatakan takluk dan siap memenuhi semua perintah Pangcu!”

Tiba‑tiba terdengar suara bercuitan keras dibarengi menyambarnya benda­-benda yang mengeluarkan sinar ke arah Si Wanita berkerudung. Itulah senjata rahasia yang dilepas oleh kedua tangan Phang Kok Sek, Ketua Thian‑liong‑pang yang sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Sekaligus dia telah menyerang dengan senjata rahasia ber­bentuk bintang, senjata rahasia yang khas dari Thian‑liong‑Pang dan tentu sa­ja dalam mempergunakan senjata rahasia bintang ini, Phang Kok Sek merupakan seorang ahli yang pandai. Tujuh belas buah senjata rahasia terbang me­nyambar seperti berlumba menuju ke sasaran masing‑masing yaitu tujuh belas jalan darah terpenting di bagian tubuh depan dari Si Wanita berkerudung.

Namun wanita berkerudung itu me­miliki kecepatan yang amat hebat. Betapapun cepat datangnya senjata‑senjata rahasia yang menyerangnya, gerakannya mengelak lebih cepat lagi. Hanya tam­pak tubuhnya berkelebat dan tahu‑tahu ia telah lenyap. Ketika orang memandang ke atas, tubuhnya telah menempel di langit‑langit ruangan itu seperti kelela­war besar bergantungan pada pohon.

Phang Kok Sek yang selain marah sekali juga maklum bahwa kalau tidak dapat segera melenyapkan wanita berke­rudung ini kedudukannya terancam, sudah meloncat ke atas dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke arah tubuh lawan yang masih menempel di langit‑langit.

“Braakkk!”

Hebat bukan main pukulan itu, pukulan Hwi‑tok‑ciang selain amat dahsyat juga mengandung hawa panas membakar dan berbisa pula. Langit‑langit ruangan itu jebol dilanda hawa pukulan dahsyat ini. Akan tetapi, bagaikan seekor ca­pung ringannya, tubuh wanita berkeru­dung sudah mengelak dan melayang tu­run. Ketika tubuhnya lewat dekat tubuh Phang Kok Sek, wanita itu mengirim se­buah tendangan ke arah dada Phang Kok Sek.

Tingkat kepandaian Pang Kok Sek jauh lebih tinggi daripada tingkat kepan­daian dua orang sutenya yang tewas dan seorang sumoinya yang telah dikalahkan lawan. Tendangan itu cepat dan tidak terduga‑duga, dilepas selagi tubuh mere­ka berada di tengah udara, akan tetapi dengan jalan melempar tubuh ke bela­kang dan berjungkir balik, Phang Kok Sek berhasil menyelamatkan nyawanya dan hanya ujung bajunya saja yang ro­bek kena diserempet ujung kaki lawan. Hal ini membuktikan betapa lihai wani­ta itu dan Phang Kok Sek sudah melon­cat ke bawah dengan muka berubah.

“Ji‑wi Suheng! Siluman ini telah membunuh Ma‑sute dan Liauw-sute, dan beberapa orang anak buah, apakah kali­an masih tinggal diam saja?” Sambil menegur kedua orang suhengnya, Phang Kok Sek sudah menyambar senjatanya yang hebat, yaitu sebatang tombak cagak bergagang baja yang besar dan berat dari sudut belakang tempat duduknya.

Karena wanita berkerudung itu adalah orang luar dan yang terang‑terangan hendak merampas Thian‑liong‑pang, se­menjak tadi memang Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang mengang­gapnya sebagai musuh. Akan tetapi, mengingat akan kedudukan dan tingkat mereka yang sudah tinggi di dunia kang-­ouw, mereka masih merasa ragu‑ragu dan malu untuk mengeroyok seorang wa­nita. Kini menyaksikan kelihaian wanita itu yang benar‑benar amat luar biasa dan mendengar teguran Sang Ketua, kedua orang kakek ini sudah bangkit dan meloncat ke depan. Mereka tidak meme­gang senjata dan memang kedua orang kakek ini lebih mengandalkan kepada ka­ki tangannya daripada senjata. Biarpun bertangan kosong, namun kepandaian mereka hebat dan kaki tangan mereka ini jauh lebih berbahaya daripada segala macam senjata yang tajam runcing.

Sai‑cu Lo‑mo yang tertua di antara mereka bertiga dan juga sudah berpengalaman dan memiliki tingkat yang paling tinggi, kini berhadapan dengan wanita berkerudung, memandang tajam seperti hendak menembus kerudung itu dengan pandang matanya, lalu berkata,

“Nona, engkau masih begini muda te­lah memiliki kepandaian yang hebat dan sikap yang aneh sekali. Bukalah keru­dungmu, perkenalkan dirimu dan jelas­kan apa sebabnya engkau mengacau di Thian‑liong‑pang dan membunuh orang-­orang yang sama sekali tidak ada permusuhan denganmu?”

Sepasang mata di belakang dua lubang di kerudung itu bersinar‑sinar dan biar­pun mulutnya tidak tampak, jelas dapat diduga bahwa wanita itu tersenyum. Ma­ta itu memandang kepada Sai‑cu Lo‑mo dan Chie Kang bergantian, kemudian ber­kata,

“Sai‑cu Lo‑mo, dan Lui‑hong Sin-­ciang Chie Kang, aku mengenal siapa kalian berdua dan tadi aku sudah mendengar kalian mengeluarkan isi hati kalian! Hanya kalian berdualah yang patut men­jadi Ketua dan Pimpinan Thian‑liong-­pang, akan tetapi mengapa kalian tidak pernah mau menjadi Ketua? Aku tahu, karena kalian merasa enggan menjadi Ketua dari perkumpulan yang makin ru­sak oleh sepak terjang anak buahnya! Thian-liong‑pang makin bobrok dan kali­an tidak mau nama kalian kelak terse­ret ke dalam lumpur kehinaan karena menjadi Ketuanya! Betapa pengecut! Be­tapapun juga, aku suka kalian memban­tuku kelak, maka aku tidak akan mem­bunuh kalian berdua. Tak perlu aku memperkenalkan diri, cukup kalau kalian ketahui bahwa akulah Ketua kalian yang baru, karena aku hendak memimpin Thian‑liong‑pang menjadi sebuah perkum­pulan yang besar dan kuat, lebih besar dan lebih kuat daripada para penghu­ni Pulau Es. Adapun Phang Kok Sek Si Raksasa tolol yang tidak segan‑segan mengorbankan saudara-saudaranya untuk memperebutkan kursi ketua ini, dia tidak berguna dan akan kulenyapkan....”

“Siluman betina!” Phang Kok Sek su­dah menerjang maju, menusukkan tombak cagaknya yang panjang, besar dan berat ke arah perut wanita berkerudung itu.

“Takkk!” Wanita itu tidak mengelak, tidak berkisar dari tempat dia berdiri hanya mengangkat kaki kirinya dan ujung kakinya itu menendang ke arah tombak, tepat mengenai belakang mata tombak sehingga tusukan itu menyeleweng dan Phang Kok Seng merasa tangannya bergetar hebat.

Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang yang menjadi merah muka­nya mendengar ucapan wanita berkerudung itu sudah menerjang maju pula. Mereka merasa berkewajiban untuk me­nentang wanita ini, bukan sekali‑kali un­tuk membantu demi keselamatan pribadi Phang Kok Sek, namun demi menjaga nama Thian‑liong‑pang dan sebagai to­koh‑tokoh Thian‑liong‑pang melihat orang luar mengacau perkumpulan itu.

“Wussss.... ciattt!” Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang yang kepalanya gundul dan kelihatan lemah sekali seperti seorang sasterawan yang menjadi botak karena terlalu banyak berpikir dan menjadi bu­yuten tangannya karena terlalu banyak menulis, begitu menyerang telah memperlihatkan kedahsyatannya. Kedua tangannya bergerak dengan mantep dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali sehingga serangannya itu membuat kedua tangannya seolah‑olah berubah menjadi baja tajam yang membelah udara menge­luarkan suara mengerikan. Melihat keli­haian kakek gundul ini, diam‑diam wani­ta berkerudung menjadi kagum karena ia maklum bahwa orang ini kalau menja­di pembantunya akan merupakan seorang pembantu yang boleh diandalkan!

Biarpun keadaan wanita berkerudung ini merupakan rahasia bagi semua orang Thian‑liong‑pang, namun kita tahu bah­wa dia itu bukan lain adalah Nirahai. Nirahai, puteri Kaisar ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, apalagi setelah digembleng oleh mendiang Nenek Maya (baca ceritaPendekar Super Sak­ti), tingkat kepandaiannya sudah hebat sekali. Tentu saja serangan Chie Kang itu baginya bukan apa‑apa dan dengan mudah ia dapat mengelak ke kiri di mana dia tahu Sai‑cu Lo‑mo sudah siap dengan serangannya yang ia duga tentu tidak kalah hebatnya dengan Si Kakek gundul.

“Wirrr‑wirrr‑wirrr.... plak‑plak‑plak!”

Nirahai makin girang hatinya. Tiga serangan berantai yang diluncurkan Sai­-cu Lo‑mo dengan ujung lengan bajunya itu hebat bukan main. Ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga yang lebih kuat daripada kedua tangan Chie Kang dan dia maklum bahwa ujung lengan baju itu cukup dahsyat untuk menghancurkan batu karang ydng keras! Akan tetapi, Sai‑cu Lo‑mo lebih kaget lagi karena tiga kali ujung lengan bajunya ditangkis oleh ujung jari‑jari tangan wanita itu dengan kibasan yang membuat dia mera­sa seluruh lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa dia telah bertemu dengan la­wan yang jauh lebih kuat daripada dia dan para sutenya!

“Syuuutt.... serrr‑serrr‑serrr!” Tombak panjang menyambar dari belakang, menu­suk lambung Nirahai disusul meluncurnya tiga buah senjata rahasia bintang. Cara Phan Kok Sek menyerang ini saja sudah membuktikan akan kelicikan wataknya, menggunakan kesempatan selagi Nirahai menghadapi dua orang suhengnya yang lihai, menyerang dari be­lakang, bukan hanya dengan tombaknya yang dahsyat, juga dengan pelepasan am-gi (senjata rahasia).

Nirahai menjadi marah. Kedua tangannya bergerak cepat dan tahu‑tahu tiga buah senjata rahasia itu telah ia tangkap dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyambar dan berha­sil menangkap leher tombak ketika ia miring ke kiri dan tombak itu meluncur dekat lambungnya. Tangan kirinya diayun dan tiga buah senjata rahasia itu me­nyambar ke arah pemiliknya!

Sebagai seorang ahli melepas senjata rahasia Sin‑seng‑ci tentu saja Phang Kok Sek dapat menghindarkan diri dan cepat meloncat ke atas dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangan masih memegangi gagang tombaknya. Gerakannya ini cepat dan indah sekali sehingga tiga batang Sin‑seng‑ci menyambar lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi dia tidak tahu akan kelihaian lawan. Begitu tubuhnya meloncat, Nirahai mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang memegang gagang tombak itu ke atas. Phang Kok Sek terkejut dan berusaha menahan dengan kedua tangan, namun dia kalah kuat dan terdengar te­riakan mengerikan ketika gagang tom­bak itu menerobos dan menusuk perut Phang Kok Sek sampai tembus ke punggungnya. Sekali menggerakkan tangan, Nirahai melemparkan tombak bersama tubuh Ketua Thian‑liong‑pang yang tak bernyawa lagi itu ke samping dan oto­matis kedua tangannya sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri yang dilakukan Sai‑cu Lo‑mo dan Chie Kang.

Dalam melakukan tangkisan ini, Nira­hai sudah mengerahkan tenaga pada te­lapak tangannya, maka begitu telapak tangannya bertemu dengan tangan kedua lawan, dua orang itu berseru kaget kare­na tangan mereka melekat pada telapak tangan yang berkulit halus itu, tak da­pat ditarik kembali. Mereka maklum bahwa wanita berkerudung ini sengaja menantang mereka mengadu sin‑kang maka kedua kakek itu dengan kedua kaki terpentang lebar cepat mengerahkan sin‑kang melalui tangan mereka untuk merobohkan lawan.

Terjadilah adu tenaga sin‑kang yang hebat. Kedua kakek itu berdiri dengan kaki terpentang tubuh agak membungkuk, sedangkan Nirahai yang berdiri di tengah, kedua tangannya terkembang ke kanan kiri menahan tangan kedua lawan, kaki­nya terpentang sedikit dan tubuhnya te­gak. Semua orang menonton dengan ha­ti tegang, mengira bahwa wanita berke­rudung itu tentu akan terhimpit di te­ngah‑tengah oleh dua kekuatan raksasa yang amat dahsyat!

Namun, Nirahai yang memiliki tingkatan lebih tinggi, bersikap tenang-tenang saja, dari kedua tangan lawan di kanan ki­rinya, menerobos tenaga sin‑kang yang kuat sekali melalui kedua lengannya yang terkembang. Wanita cerdik ini tidak me­lawan sehingga kedua lawannya terkejut dan heran, tiba‑tiba mereka tersentak kaget ketika ada tenaga amat kuat menahan dorongan sin‑kang mereka, Seje­nak kedua orang itu mengerahkan semangat dan tenaga dalam dan ketika mereka melihat betapa wanita itu keli­hatannya enak‑enak saja tanpa mengerahkan tenaga, barulah mereka sadar bahwa mereka kena diakali! Kiranya la­wan mereka itu sengaja mempertemukan kedua tenaga sakti dari kanan kiri sehingga Sai‑cu Lo‑mo dan Chie Kang ber­tanding sendiri, saling dorong dengan tenaga sin‑kang melalui tubuh Si Wanita berkerudung yang seolah‑olah hanya me­nyediakan dirinya menjadi arena pertan­dingan sambil menonton seenaknya!

Mereka sadar dan cepat hendak me­narik tenaga sakti mereka, namun ter­lambat karena pada saat itu, Nirahai su­dah menggunakan tenaganya sendiri, menggunakan kesempatan selagi kedua orang saling dorong sehingga tenaga sin­-kang mereka terpusat kemudian mereka menarik kembali tenaga ketika sadar bahwa sesungguhnya mereka itu saling gempur antara saudara sendiri. Ketika kedua orang kakek itu menarik kembali tenaga sin‑kang, saat itulah Nirahai me­nyerang mereka dengan tenaga sakti yang amat dahsyat. “Cukup, rebahlah!”

Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang tak dapat mempertahankan diri lagi, begitu Nirahai menarik kedua lengannya mereka roboh dan biarpun mereka sudah berusaha sekuatnya untuk tidak terguling, tetap saja mereka jatuh berlutut dan cepat memejamkan mata sambil mengatur pernapasan. Tenaga sin‑kang mereka sendiri yang tadi mere­ka tarik telah menghantam dada mereka karena didorong oleh tenaga wanita ber­kerudung itu, membuat dada terasa sakit dan pernapasan menjadi sesak. Yang membuat mereka heran dan bingung ada­lah keadaan lengan kanan mereka yang menjadi lumpuh seolah‑olah tulang pun­dak lengan dalam keadaan terkunci, sa­ma sekali tidak dapat digerakkan!

“Wi Siang, bantulah kedua orang Su­hengmu itu. Kautotok jalan darah Hong-hu‑hiat di pundak kanan mereka masing-­masing dua kali.” Nirahai berkata kepada Tang Wi Siang yang berdiri menon­ton pertandingan tadi penuh kagum. Ia mengangguk, menghampiri kedua orang suhengnya dan tanpa ragu-ragu menotok belakang pundak kanan mereka dua kali seperti yang diperintahkan wanita berke­rudung itu.

Begitu terkena totokan dua kali, ja­lan darah mereka normal kembali dan lengan kanan dapat digerakkan. Kini, kedua orang kakek itu benar‑benar tun­duk dan merasa yakin bahwa wanita ber­kerudung itu benar‑benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Timbul rasa kagum dan suka di hati mereka untuk mengangkatnya menjadi ketua, ka­rena dengan ketua sehebat ini, Thian-­liong‑pang pasti akan menjadi sebuah per­kumpulan yang kuat dan terpandang. Maka mereka lalu berlutut di depan Nirahai sambil berkata,

“Pangcu!”

Terdengar sorak sorai dari para ang­gauta yang kini sudah pula berlutut menghadap Si Wanita berkerudung yang tersenyum di balik kerudungnya, Nirahai mengangkat, kedua lengan ke atas dan suara sorakan itu terhenti. Keadaan menjadi sunyi dan semua orang mendengarkan ucapan dari balik kerudung, ucapan yang halus merdu namun berwi­bawa,

“Mulai saat ini Thian‑liong‑pang di ba­wah pimpinanku harus menjadi sebuah perkumpulan yang kuat, dihormati dan disegani di seluruh dunia kang‑ouw. Un­tuk dapat menjadi kuat, kalian semua harus menggembleng diri dan memper­tinggi tingkat ilmu silat yang akan kuajarkan kepada kalian semua, sesuai dengan tingkat masing‑masing. Untuk men­jadi perkumpulan yang disegani, Thian­-liong‑pang harus menunjukkan kegagahan dan kekuatannya menundukkan semua pi­hak yang menentang kita, dan untuk dapat dihormat, Thian‑liong‑pang harus bersih daripada segala perbuatan yang jahat. Tidak boleh ada penyelewengan lagi, tidak boleh ada perampokan, penin­dasan dan lain perbuatan jahat lagi. Semua perbuatan yang dilakukan oleh anggauta, harus sesuai dengan peraturan-­peraturan yang akan kuadakan. Setiap pelanggar akan menerima hukuman berat!”

Mendengar perintah pertama yang ke­luar dari mulut wanita berkerudung itu, diam‑diam Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang menjadi girang se­kali. Sai‑cu Lo‑mo demikian kagum dan gembiranya sehingga ia mengangkat tangan kanan ke atas sambil berteriak, “Hidup Pangcu kita!”

Semua anggauta juga tertegun mende­ngar perintah tadi, tentu saja yang bi­asanya mengumbar nafsu, diam‑diam menjadi gentar dan khawatir kalau‑kalau dia akan mangalami nasib sial dan dihu­kum seperti para pimpinan mereka yang kini masih menggeletak di situ menjadi mayat. Maka, mendengar seruan Sai‑cu Lo‑mo, serentak semua anggauta berte­riak, “Hidup pangcu....!” Bahkan mereka yang tadinya suka mengandalkan nama besar Thian‑liong‑pang untuk melakukan penindasan dan perbuatan‑perbuatan jahat, berteriak paling keras!

“Sekarang singkirkan dan urus jenazah mereka ini baik‑baik, kuburkan seba­gaimana mestinya. Sai‑cu Lo‑mo, Lui­-hong Sin‑ciang Chie Kang, kalian berdua kuangkat menjadi pembantu‑pembantuku, sedangkan Tang Wi Siang, sesuai dengan kehendaknya sendiri menjadi pelayanku yang paling kupercaya. Mari kita masuk dan merundingkan segala urusan mengenai Thian‑liong‑pang. Aku ingin mende­ngar, hal apa saja yang dihadapi Thian-­liong-pang saat ini.”

Nirahai diiringkan oleh tiga orang pembantunya memasuki gedung menuju ke ruangan dalam. Tak seorang pun pela­yan diijinkan masuk ketika empat orang ini mengadakan perundingan, sedangkan para anak buah Thian‑liong‑pang sibuk mengurus mayat‑mayat yang bergelim­pangan di ruangan tadi. Mereka, juga pa­ra pelayan, saling berbisik membicara­kan Ketua partai yang penuh rahasia itu.Nirahai dengan tenang mendengarkan pelaporan tiga orang pembantunya me­ngenai keadaan Thian‑liong‑pang. Segala macam urusan mengenai perkumpulan ini diceritakan oleh Sai‑cu Lo‑mo dan Lui­-hong Sin‑ciang Chie Kang, sedangkan Tang Wi Siang yang duduk di dekat Ni­rahai hanya mendengarkan dan bersikap sebagai seorang pelayan.

 “Tiga buah perkumpulan yang menen­tang kita, mudah dibereskan. Aku akan mendatangi mereka dan menundukkan mereka. Hal‑hal lain dijalankan seperti biasa, akan tetapi harus disesuaikan dengan peraturan‑peraturan yang akan kuadakan. Hanya satu hal yang menghe­rankan hatiku. Kau tadi menceritakan tentang usaha Thian‑liong‑pang yang ga­gal dalam memperebutkan seorang anak bernama Gak Bun Beng. Benarkah utus­an kita itu dikalahkan oleh Pendekar Siluman dan anak itu akhirnya dibawa oleh Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai?”

“Benar, Pangcu,” jawab Sai‑cu Lo‑mo. Nirahai mengerutkan keningnya. “Anak ini.... Gak Bun Beng, ada hubungan apakah dengan Thian‑liong‑pang sehingga perkumpulan kita harus berusaha merebutnya?”

Sai‑cu Lo‑mo menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang seperti jenggot singa itu. “Maaf, Pangcu. Se­sungguhnya, dengan perkumpulan kita tidak ada hubungan apa‑apa dan mendiang Ketua kami hanya memenuhi permintaan saya, karena sesungguhnya sayalah yang mempunyai hubungan dengan anak itu. Anak itu masih cucu keponakan saya sendiri.”

“Hemmm..... begitukah? Coba jelaskan, siapa sebenarnya anak itu, dia anak si­apa dan bagaimana hubugannya dengan­mu, Lo‑mo? Kalau kuanggap penting, percayalah, aku yang akan mendapatkan­nya untukmu. Tentang Pendekar Siluman, jangan khawatir, aku akan dapat mengha­dapinya!”

Bahkan Wi Siang sendiri diam‑diam menjadi kaget mendengarkan ini. Berani menentang Pendekar Siluman? Benarkah Ketuanya yang baru ini memiliki kesak­tian yang demikian hebat sehingga berani menentang Pendekar Siluman? Baru mendengar cerita para anggauta Thian-liong‑pang tentang Pendekar Siluman yang bisa pian-hoa (merobah diri) menja­di raksasa dan menjadi setan tanpa kepala saja sudah membuat semua orang gagah di Thian‑liong‑pang ngeri dan serem!

Sai‑cu Lo-mo dan Chie Kang juga kaget dan sambil memandang wajah yang tertutup kerudung itu, Sai‑cu Lo‑mo menjawab, “Dia adalah putera dari kepo­nakan saya yang bernama Bhok Khim, murid Siauw‑lim‑pai.”

“Hemmm.... Bhok Kim yang berjuluk Bi‑kiam, seorang di antara Kang‑lam Sam‑eng?”

“Betul, Pangcu,” jawab Sai‑cu Lo‑mo makin kagum dan terheran bagaimana wanita berkerudung ini agaknya tahu akan segala hal dan mengenal semua orang. Maka dia tidak menyembunyi­kan dirinya lagi dan menyambung, “Saya dahulu bernama Bhok Toan Kok, Bhok Kim adalah anak tunggal adikku....”

Akan tetapi agaknya Nirahai tidak mempedulikannya dan seperti orang me­lamun karena mengingat, berkata, “Dan bocah itu she Gak? Hem.... tentu anak dari Kang‑thouw‑kwi Gak Liat Si Setan Botak....”

Tiga orang tokoh Thian‑liong‑pang itu terbelalak, makin heran dan kagum. Sai‑cu Lo‑mo berteriak, “Bagaimana Pangcu dapat mengetahuinya....?”

Nirahai memandangnya. “Aku tahu, dan Gak Liat yang memperkosa Bhok Kim sehingga wanita itu dihukum di Siauw-lim‑pai, kemudian melahirkan anak dan.... mereka berdua kemudian saling bunuh. Hemm.... jadi engkau ingin mengambil cucu keponakanmu itu, Sai‑cu Lo‑mo? Apa perlunya? Anak itu adalah keturunan Gak Liat, datuk kaum sesat!”

Sai‑cu Lo‑mo menarik napas panjang. “Betapapun juga, dia adalah cucu keponakan saya, Pangcu.”

Nirahai mengangguk, “Baiklah, urusan anak itu kita tunda dulu saja. Aku tidak ingin melibatkan Thian‑liong‑pang hanya karena urusan keturunan Gak Liat. Beta­papun juga, kalau engkau mendengar di mana adanya bocah itu sekarang, dan ada kemungkinan merebutnya, aku suka membantumu. Tahukah engkau di mana dia itu sekarang?”

“Dia menjadi murid di Siauw-lim-si.”

Nirahai menggeleng kepala. “Kalau Siauw‑lim‑si kita tidak dapat berbuat se­suatu, Lo-mo. Ibu anak itu adalah murid Siauw‑lim‑pai, sudah semestinya kalau anaknya menjadi murid Siauw‑lim‑pai pu­la. Jangan mengira bahwa aku takut menghadapi Siauw‑lim‑pai, akan tetapi apa perlunya kita menyeret perkumpulan menjadi musuh Siauw‑lim‑pai yang amat kuat hanya karena memperebutkan se­orang anak, apalagi anak keturunan seorang seperti Gak Liat?”

Diam‑diam Sai‑cu Lo‑mo harus mem­benarkan pendapat pangcunya ini. Tiba­-tiba ia mengangkat kepala dan berkata, “Pangcu.... maaf.... hati saya akan selalu gelisah kalau tidak menyatakannya se­karang. Kalau saya tidak keliru menduga.... saya dapat mengenal siapa kiranya Pangcu!”

Nirahai menoleh ke arah Chie Kang dan bertanya, “Bagaimana dengan eng­kau, Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang? Apa­kah engkau pun dapat menduga siapa aku?”

Chie Kang terkejut. Dia pun sedang berpikir‑pikir. Kalau wanita berkerudung itu tidak memperlihatkan sikap mengenal semua orang, bahkan mengetahui segala hal yang bagi banyak tokoh kang‑ouw merupakan rahasia, maka di dunia ini kiranya hanya ada seorang saja wanita seperti itu, akan tetapi diam‑diam dia terkejut dan tidak percaya bahwa pang­cunya yang baru adalah orang itu! Kini dia makin gugup mendengar pertanyaan itu dan menjawab, “Saya.... saya hanya menduga‑duga akan tetapi tidak berani memastikannya. Pribadi Pangcu penuh rahasia, sukar untuk diduga....”

Nirahai tersenyum di balik kerudung­nya. “Sai‑cu Lo‑mo, aku dapat menjenguk isi hatimu. Dugaanmu itu agaknya tidak keliru. Engkau den Chie Kang te­lah kuangkat menjadi pembantu‑pemban­tuku yang setia dan boleh dipercaya, se­dangkan Wi Siang menjadi pelayan dan pengawalku. Hanya kalian bertiga saja­lah yang boleh mengetahui siapa sebe­narnya aku. Akan tetapi, kalau sampai seorang di antara kalian berani membo­corkan rahasiaku, tanganku sendiri yang akan membunuhnya! Nah, agar hati kalian tidak ragu‑ragu lagi, kalian boleh mengenalku.” Berkata demikian, wanita berkerudung itu membuka kerudungnya, dan tampaklah wajahnya yang cantik je­lita, wajah puteri Kaisar Mancu. Puteri Nirahai yang pernah menggemparkan seluruh dunia kang‑ouw sebagai pemimpin pasukan‑pasukan pemerintah yang membasmi para pemberontak! Tiga orang to­koh Thian‑liong‑pang itu belum pernah bertemu muka sendiri dengan Nirahai, akan tetapi nama besar puteri ini sudah lama mereka dengar. Kini mendapat ke­nyataan bahwa yang menjadi Ketua mereka adalah puteri yang terkenal itu, yang berdiri dengan cantik dan agungnya, dengan sepasang mata yang amat berwi­bawa memandang kepada mereka dengan mulut yang berbentuk indah itu terse­nyum halus, mereka serta‑merta menja­tuhkan diri berlutut di depan Nirahai.

“Harap Paduka suka mengampunkan hamba sekalian yang tidak mengenal Puteri yang mulia,” kata Sai‑cu Lo‑mo mewakili saudara‑saudaranya.

“Bangunlah kalian!” Tiba‑tiba Nirahai membentak dan ketika mereka dengan kaget bangkit berdiri memandang, Nira­hai telah memakai lagi kerudungnya, menutupi mukanya yang cantik, dan kini dari sepasang lubang di depan kerudung, matanya memandang marah.

“Mulai saat ini, kalian tidak boleh sekali‑kali menyebutku Puteri, dan jangan membocorkan rahasia ini! Aku adalah Pangcu (Ketua) Thian‑liong‑pang dan kalian sebut saja aku Pangcu. Nah, mari kita duduk dan melanjutkan perundingan demi kemajuan perkumpulan kita.”

Demikianlah, semenjak hari itu, Nira­hai menjadi Ketua Thian‑liong‑pang. Ke­cuali tiga orang pembantunya itu, tak se­orang pun di antara para anggauta Thian‑liong‑pang mengetahui bahwa Ke­tua mereka yang diliputi penuh rahasia, yang selalu menyembunyikan muka di belakang kerudung, yang memiliki ilmu kepandaian hebat seperti iblis, sebenarnya adalah Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu. Nirahai menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada tiga orang pembantunya sehingga dalam waktu dua tahun saja, Sai‑cu Lo-mo, Lui­hong Sin‑ciang Chie Kang, dan Tang Wi Siang telah memperoleh kemajuan yang amat hebat, tingkat mereka naik jauh lebih tinggi daripada sebelumnya, akan tetapi watak mereka pun berubah, penuh rahasia seperti watak Ketua mereka. Para anak buah Thian‑liong‑pang juga dilatih ilmu silat oleh tiga orang tokoh ini sehingga pasukan Thian‑liong‑pang kini menjadi pasukan yang hebat, setiap orang anggautanya memiliki kepandaian tinggi.

Seperti telah diceritakan di bagian depan tadinya Nirahai menitipkan pute­rinya, Milana, kepada Pangeran Jenghan di Kerajaan Mongol. Selama membangun dan memperkuat Thian‑liong‑pang bebe­rapa tahun, dia meninggalkan puterinya itu dan hanya kira‑kira sebulan sekali dia pergi ke Mongol mengunjungi puteri­nya. Milana sama sekali tidak tahu bah­wa ibunya adalah Ketua Thian‑liong­-pang yang amat terkenal itu. Baru sete­lah Nirahai mengajaknya ke Thian‑liong-­pang anak perempuan ini tahu bahwa ibunya adalah wanita berkerudung, Ketua Thian‑liong‑pang yang menggemparkan dunia kang‑ouw. Juga kini Milana tahu, dengan hati penuh kebanggaan namun ju­ga kedukaan, bahwa ayahnya adalah Pendekar Siluman, To‑cu dari Pulau Es yang agaknya berselisih paham dengan ibunya sehingga ayah bundanya itu sa­ling berpisah, bahkan timbul gejala sa­ling bertentangan!

Pertemuannya dengan suaminya, Suma Han, mendatangkan rasa duka yang hebat di hati Nirahai. Dia adalah seorang pu­teri kaisar, seorang wanita yang mempu­nyai harga diri tinggi sekali. Betapapun besar cinta kasihnya kepada Suma Han, namun sikap suaminya itu membuatnya berduka. Dia tidak mau menyembah­-nyembah minta dibawa, sungguh rasa rindunya kadang‑kadang menyesak di dada. Dia ingin memperlihatkan bahwa kalau Suma Han tidak membutuhkan dia, dia pun tidak akan merangkak‑rangkak mengejar suaminya! Keangkuhan ini mem­buat dia amat menderita, membuat cin­tanya kadang‑kadang berubah menjadi kebencian, membuat dia ingin menan­dingi kebesaran suaminya, menandingi kepandaiannya. Dalam pertemuannya dua kali dengan Suma Han, pertama ketika tokoh‑tokoh kang‑ouw memperebutkan rahasia pusaka di Sungai Huang‑ho, ke dua baru‑baru ini, Nirahai maklum bah­wa dalam ilmu kesaktian dia masih belum mampu menandingi Suma Han. Biarpun Perkumpulan Thian‑liong‑pang kini menjadi amat kuat dan agaknya pa­ra pembantu dan anak buahnya tidak kalah hebat oleh anak buah Pulau Es, namun kalau dia sendiri tidak mampu menandingi Suma Han, semua akan sia-­sia belaka. Tidak ada seorang pun di Thian‑liong‑pang yang akan kuat bertan­ding dengan Suma Han. Maka dia harus mempertinggi ilmu‑ilmunya.

Terutama sekali Nirahai ingin me­lihat puterinya, Milana menjadi se­orang yang lebih pandai daripadanya. Ke­inginan untuk menjadi seorang yang lebih sakti dari Suma Han inilah yang membuat Nirahai melakukan hal-hal yang amat berani, di antaranya ialah menculik to­koh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua per­kumpulan silat yang diundang atau kalau tidak mau dipaksa mengunjungi Thian-liong-pang! Untuk apa? Sebaiknya kita sekarang mengikuti perjalanan Gak Bun Beng yang sedang mengunjungi Thian-liong-pang dengan mengikuti bayangan dua orang tokoh Thian-liong-pang dengan hati-hati karena dia maklum bahwa ke­dua orang itu sedang memancingnya un­tuk memasuki markas besar perkumpul­an yang terkenal itu.

Markas Thian-liong-pang yang menja­di pusat perkumpulan itu merupakan se­kumpulan bangunan besar, dikelilingi oleh dinding batu yang tingginya dua kali tinggi manusia. Di tempat ujung dinding temboknya terdapat tempat di mana tampak penjaga yang melakukan penjaga­an siang malam sehingga sarang perkum­pulan itu seperti benteng tentara saja. Pintu gerbang yang lebar terbuat dari kayu tebal berlapis besi, dijaga pula oleh selosin orang.

Pintu gerbang terbuka ketika dua orang tokoh Thian-liong-pang tiba di situ, akan tetapi begitu kedua orang itu masuk melalui pintu gerbang, daun pintu tertutup kembali dari dalam. Bun Beng memeriksa keadaan pintu gerbang yang amat kuat dan dinding tembok yang tinggi. Ia tersenyum. Agaknya, orang-orang Thian-liong-pang itu terlalu me­mandang rendah kepadanya. Apa artinya dinding tembok setinggi itu baginya? Le­bih tinggi lagi pun dia akan mampu me­lompatinya. Dia maklum bahwa mereka tentu sudah menantinya, akan tetapi dia tidak takut. Dia harus memasuki sarang Thian-liong-pang, menolong Ketua Bu-tong-pai, mungkin menolong banyak orang lagi yang terculik dan menjadi tawanan di tempat itu. Pula, dia sudah mengambil keputusan bulat untuk mene­mui Ketua Thian-liong-pang dan mene­gurnya agar tidak melakukan penculikan-penculikan. Dia maklum bahwa orang-orang Thian-liong-pang amat lihai, apa­lagi ketuanya yang pernah ia lihat di pu­lau Sungai Huang-ho beberapa tahun yang lalu. Ia masih bergidik kalau teringat akan wanita berkerudung yang amat lihai itu. Akan tetapi, kepandaiannya sekarang ti­dak seperti dahulu, kini dia telah dewa­sa dan berilmu tinggi, kalau dia tidak menentang perbuatan sewenang-wenang ini, untuk apa dia mempelajari ilmu sampai bertahun-tahun? Pula, dia ter­ingat betapa tokoh wanita Thian-liong-pang dahulu bersikap baik kepadanya, dan rata-rata orang Thian-liong-pang tidak­lah seganas orang Pulau Neraka. Selain kenyataan itu, juga dalam perjalanannya dia tidak pernah mendengar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan orang jahat, tidak pernah melakukan kejahatan. Kalau sekarang mereka menculik ketua-ketua perkumpulan dan tokoh-tokoh kang-ouw tentu ada rahasia di balik perbuatan mereka itu dan dia harus membongkar rahasia itu dan berusaha menghentikan perbuatan mereka.

Akan tetapi Bun Beng bukan seorang yang sembrono. Dia maklum bahwa me­loncat begitu saja pada siang hari itu merupakan perbuatan yang amat berba­haya. Tidak, dia tidak berani bersikap sembarangan. Maka dia mundur kembali dan mengintai dari jauh, menanti sampai malam tiba karena dia mengambil kepu­tusan untuk memasuki sarang naga itu setelah hari menjadi gelap.

Setelah hari berganti malam, Bun Beng berindap-indap mendekati dinding yang mengurung sarang Thian-liong-pang. Ia sudah memilih bagian kiri di ujung, sebelah kiri pintu gerbang, untuk melon­cat masuk. Tiba-tiba ia mendengar sua­ra tambur dan gembreng di sebelahda­lam. Ia berhenti di bawah dinding dan mendengarkan penuh perhatian. Apakah Thian-liong-pang mengadakan pesta? Hemm, bukan, bantah hatinya. Tambur dan gembreng itu dipukul seperti kalau dipergunakan untuk mengiringi orang bermain silat! Agaknya mereka sedang berlatih silat. Dia tidak akan merasa heran kalau mereka telah siap menanti­nya, bahkan dia menduga bahwa tentu gerak-geriknya sejak tadi telah diintai. Namun dia tidak peduli. Sekarang atau dia akan terlambat.

Dengan gerakan indah Bun Beng me­loncat. Tubuhnya melayang ke atas dan kedua kakinya hinggap di atas dua ujung tombak, gerakannya amat ringan seolah-olah seekor burung garuda yang besar. Ia merasa heran sekali karena tidak ada anak panah atau senjata orang menyam­butnya. Di bawah tidak tampak orang menjaga, hanya tampak genteng bangun­an-bangunan dan tampak sinar penerang­an yang besar, terutama di depan sebu­ah bangunan terbesar di situ. Tampak pula orang-orang hilir mudik, akan tetapi tidak ada yang menengok, seakan-akan mereka itu hanya orang-orang dusun yang tidak paham ilmu silat dan tidak tahu akan kedatangannya. Bun Beng merasa penasaran. Apakah pihak Thian-liong-pang menganggap dia begitu rendah se­hingga tidak pantas untuk menjaga dan menghebohkan kedatangannya? Ia mela­yang turun dari tembok, hinggap di atas genteng, kemudian melayang turun pula ke bagian samping bangunan besar yang agaknya saat itu menjadi pusat keramai­an.

Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, tahu-tahu di depannya telah ber­diri seorang kakek yang berkata tenang.

“Selamat datang, Siauw-hiap dari Siauw-lim-pai. Biarpun caramu masuk tidak selayaknya, namun mengingat bah­wa Siauw-hiap adalah seorang murid Siauw-lim-pai, Pangcu kami mempersila­kan Siauw-hiap untuk duduk sebagai tamu menonton pertunjukan kami. Ka­mi menerima Siauw-hiap sebagai se­orang tamu yang terhormat, ataukah.... Siauw-hiap lebih suka dianggap sebagai seorang pencuri yang rendah?”

Bun Beng memandang orang itu yang ternyata adalah seorang kakek berkepa­la gundul, berjenggot dan berkumis, pa­kaiannya seperti seorang sasterawan, usianya kurang lebih enam puluh tahun, suaranya tinggi nyaring akan tetapi si­kapnya halus dan seperti orang lemah. Mendengar ucapan itu, Bun Beng terse­nyum.

“Terserah kepada Thian-liong-pang akan menganggap aku sebagai apa. Akan tetapi karena aku ingin bertemu dengan Pangcu kalian, dan melihat betapa aku disambut sebagai tamu, biarlah aku me­nerima sambutan ini.”

“Kalau begitu, silakan Siauw-hiap!” kata kakek itu.

Bun Beng berjalan dengan sikap tenang menuju ke ruangan depan bangunan be­sar diiringkan oleh kakek gundul. Kini mengertilah dia mengapa dia tidak di­sambut sebagai musuh dan tidak diserang. Kiranya Thian-liong-pang agaknya merasa enggan bermusuhan dengan Siauw-lim-pai, dan hanya karena memandang Siauw-lim-pai maka dia disambut dengan manis budi. Dia mengerti bahwa andaikata kedua orang tokoh yang menawan Ke­tua Bu-tong-pai tadi tidak mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang ia miliki dan tidak melaporkan bahwa dia seorang murid Siauw-lim-pai, tentu penyambut­an mereka akan lain sekali.

Ketika kakek gundul itu mengajaknya memasuki ruangan depan yang luas dan diterangi banyak lampu gantung besar, dia cepat melayangkan pandang matanya menyapu keadaan di situ. Ruangan itu luas sekali dan terdapat anak tangga di sebelah dalam. Di atas anak tangga itu terdapat ruangan lain dan tampaklah se­orang wanita berkerudung duduk di atas sebuah kursi besar yang lantainya ditila­mi kulit seekor biruang. Wanita berkeru­dung yang dikenalnya sebagai Ketua Thian-liong-pang yang dahulu pernah da­tang ke Sungai Huang-ho itu duduk dengan sikap tenang, kedua kakinya mengin­jak kepala biruang yang berada di bawah kursinya, di sebelah kanan wanita ini du­duk seorang kakek yang mukanya seper­ti seekor singa, kursinya agak kecil dibandingkan dengan kursi Si Wanita ber­kerudung. Di sebelah kanan agak belakang Ketua Thian-liong-pang ini berdiri seorang wanita cantik yang dikenal pula oleh Bun Beng sebagai wanita yang dahulu mewakili Thian-liong-pang di Sungai Huang-ho. Sedangkan di belakang, agak mundur, berdiri seorang wanita lain yang juga cantik, pakaiannya seperti wanita lihai yang berdiri di sebelah kanan Ketua itu.

“Silakan duduk di sini, Siauw-hiap,” kata kakek gundul sambil mempersilakan Bun Beng duduk di atas kursi dekat anak tangga. Akan tetapi Bun Beng tidak segera duduk, hanya berdiri dengan terhe­ran-heran memandang ke arah para ta­mu yang duduk menghadap ke arah Ketua, dengan kursi-kursi yang diatur setengah lingkaran mengurung ruangan di bawah anak tangga, sedangkan para penabuh tambur dan gembreng berdiri paling ujung. Dia tidak peduli dan tidak melihat betapa Ketua Thian-lipng-pang sama sekali tidak mengacuhkannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat Ang-lojin, Ketua Bu-tong-pai yang akan ditolongnya itu, duduk pula di antara para tamu de­ngan sikap tenang dan sama sekali ti­dak menoleh kepadanya! Mengapa orang itu seperti tidak mengenalinya? Mustahil kalau tidak mengenal atau tidak tahu bahwa kedatangannya untuk menolong ketua itu! Atau pura-pura tidak kenal? Ah, ini pun tidak mungkin. Bukankah dua orang tokoh Thian-liong-pang sudah tahu betapa di tengah jalan dia berusaha me­nolong Ketua Bu-tong-pai itu? Tentu hal ini sudah dilaporkannya pula kepada Ke­tua Thian-liong-pang. Apa perlunya lagi Ketua Bu-tong-pai berpura-pura? Dia pun tidak mau berpura-pura karena hal ini berarti bahwa dia takut, maka dia lalu menghampiri Ketua Bu-tong-pai dan me­negur.

“Ang-locianpwe, engkau baik-baik saja­kah?”

Kakek itu memandangnya akan teta­pi sinar matanya seperti tidak menge­nalnya sama sekali. Dia hanya mengang­guk tanpa menjawab! Bun Beng menjadi penasaran sekali. Mengapa Ketua Bu-tong-pai bersikap seperti ini? Padahal susah payah ia berusaha menolongnya dan di jalan tadi sikapnya tidak sedingin ini!

 “Locianpwe, apakah kau lupa kepada­ku?” Ia menegur lagi.

Kakek itu kembali memandangnya dengan sikap tidak acuh, lalu menjawab dengan suara ragu-ragu, “Siapakah? Maaf, aku tidak mengenalmu.” Setelah berkata demikian kakek ini kembali membuang muka menonton dua orang yang sedang bertanding di bawah anak tang­ga, memandang penuh perhatian seperti yang dilakukan oleh semua orang yang duduk di situ. Makin heran Bun Beng ketika melihat betapa para tamu yang sebagian besar terdiri dari kakek-kakek yang kelihatannya berilmu tinggi itu sa­ma sekali tidak menoleh kepadanya, seolah-olah dia hanya seekor lalat saja! Dengan hati mengkal Bun Beng lalu du­duk di atas kursi yang ditunjuk oleh ka­kek gundul. Kakek ini pun duduk di atas sebuah kursi di sebelah kanan Bun Beng. Seorang pelayan datang menyuguhkan arak kepada Bun Beng, akan tetapi pemuda ini menolak dan menyuruh taruh arak dengan guci dan cawannya di atas meja. Pelayan itu lalu memenuhi meja di depan kakek gundul dan Bun Beng dengan hidangan-hidangan seperti yang memenuhi meja-meja lain pula.

Kini Bun Beng memperhatikan para tamu yang duduk di situ. Ada belasan orang, tepatnya empat belas orang tamu yang melihat sikapnya adalah orang-orang berkepandaian tinggi, akan tetapi sikap mereka dingin dan tak acuh seperti si­kap Ketua Bu-tong-pai. Di depan mere­ka ini pun terdapat meja penuh makan­an dan mereka semua menonton pertan­dingan sambil makan minum. Di bela­kang para tamu duduk pula banyak orang dan di antara mereka Bun Beng menge­nal dua orang tokoh yang pernah dila­wannya siang tadi, yaitu mereka yang menculik Ketua Bu-tong-pai. Sedangkan di belakang rombongan yang duduk ini, yang jumlahnya juga belasan orang, nampak puluhan orang berdiri menonton. Sepasang kakek kembar yang lihai dan yang menggotong kerangkeng Ketua Bu-tong-pai tampak di antara mereka yang berdiri. Diam-diam Bun Beng menduga-duga dan dia terkejut. Agaknya sepa­sang kakek kembar itu adalah anggauta­anggauta rendahan saja, sedangkan ka­kek muka tengkorak dan pemuda tam­pan adalah anggauta yang lebih tinggi. Kakek gundul yang duduk di sebelahnya yang tadi menyambutnya, tentu lebih tinggi kedudukannya, apalagi kakek mu­ka singa dan wanita cantik yang duduk dan berdiri di dekat Ketua Thian-liong-pang. Kalau sepasang kakek kembar yang demikian lihai itu saja menjadi anggau­ta rendahan, dapat dibayangkan betapa lihai kakek gundul di sebelahnya ini, apalagi kakek muka singa, dan lebih-lebih ketuanya! Bun Beng bersikap hati-hati dan tidak mau bergerak, hendak melihat perkembangannya karena dia sungguh-sungguh bingung dan terheran-heran mengapa Ang-lojin yang tadinya diculik sekarang menjadi tamu dan bersikap tidak mengenalnya? Kini Bun Beng mulai memperhatikan dua orang yang bertanding dan kembali dia tercengang. Yang bertanding dengan golok dan pedang itu bukanlah orang-orang sembarangan! Laki-i berusia empat puluh tahun yang berkepala besar dan bersenjata golok itu memiliki ilmu golok yang amat hebat, sedangkan kakek kurus yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu memi­liki ilmu pedang yang amat tinggi pula. Diam-diam ia menonton dan mencurah­kan perhatiannya. Bun Beng banyak mengenal ilmu silat, bahkan dahulu guru­nya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, telah membuka rahasia tentang dasar-dasar gerakan ilmu silat-ilmu silat ting­gi yang dimiliki oleh partai-partai besar. Maka setelah menonton belasan jurus, Bun Beng mengenal bahwa Si Pemain golok itu tentulah seorang tokoh Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang amat terkenal karena kehebatan ilmu golok mereka, sedangkan Si Pemain pedang itu tidak salah lagi tentulah se­orang tokoh besar dari Hoa-san-pai kare­na ilmu pedang yang dimainkannya tidak salah lagi adalah Hoa-san Kiam-sut! Dia menjadi heran buka main. Mengapa dua orang tokoh dari Sin-to-pang dan Hoa-san-pai bertanding di tempat ini? Dan selain ditonton oleh banyak tamu dan orang-orang Thian-liong-pang sambil maka minum, juga diiringi tambur dan gembreng!

Pertandingan itu berjalan dengan seru dan jelas tampak betapa tokoh Sin-to-pang mulai terdesak, bahkan pundaknya telah terluka goresan pedang. Kalau semua tamu memandang dengan sikap dingin, demikian pula para tokoh Thian-liong-pang, hanya Bun Heng seoranglah yang menonton dengan hati tegang.

“Cukup....!” Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, namun penuh wibawa keluar dari balik kerudung yang me­nyembunyikan kepala Ketua Thian-liong-pang. Seketika tambur dan gembreng berhenti dan kedua orang yang bertan­ding itu pun meloncat mundur menghen­tikan gerakan masing-masing! Bahkan kini seorang kakek yang agaknya merupakan ahli pengobatan Thian-liong-pang, menghampiri tokoh Sin-to-pang yang seperti bekas lawannya telah duduk kembali di kursi masing-masing, kemudian mengobati luka di pundak tokoh ini.

Bun Beng memandang bengong. Ham­pir dia tidak dapat percaya akan dugaan­nya yang agaknya tidak dapat salah lagi. Kedua orang tokoh itu diadu! Seperti dua ekor jangkrik diadu! Betapa mungkin ini? Mengapa mereka sudi? Dan agaknya mereka berdua tadi bukanlah pasangan pertama yang diadu. Selagi ia menduga-duga dengan bingung, terdengar suara merdu dari balik kerudung.

“Ang-lojin dari Bu-tong-pai dan Tok-ciang Siucai dari Lam-hai-pang, harap suka maju dan memperlihatkan kepandai­an!”

Jantung Bun Beng berdebar tegang.

“Siauw-hiap, silakan mencoba hidang­an!” Tiba-tiba kakek gundul berkata.

“Terima kasih, aku tidak lapar,” jawab Bun Beng tanpa mengalihkan pan­dang matanya dari Ketua Bu-tong-pai yang kini telah bangkit berdiri dari kur­sinya dan melangkah maju ke tempat pertandingan dengan sikap tanpa ragu-ragu dan wajah tidak membayangkan sesuatu.

“Kalau begitu, silakan minum seca­wan arak sebagai penyambutan dari Pangcu kami,” kata pula kakek itu yang sudah bangkit dan menyodorkan secawan arak penuh kepada Bun Beng.

Mendengar ini, Bun Beng menoleh ke kiri, ke arah Ketua Thian-liong-pang dan ia melihat betapa sepasang mata di ba­lik lubang kerudung itu tertuju kepada­nya dengan sinar tajam. Tanpa menja­wab ia menerima cawan arak dan minum arak itu habis sekali teguk. Hampir ia tersedak, tubuhnya terasa nyaman hangat setelah ia minum arak tadi. Kepalanya menjadi agak pening sehingga diam-diam ia terkejut sekali. Tak mungkin secawan arak membuat ia mabok!

“Harap Siauw-hiap minum secawan lagi sebagai penyuguhan dari Thian-liong-pang,” kata pula kakek gundul.

“Cukup, aku tidak ingin minum lagi, ingin menonton pertandingan!” kata Bun Beng dengan hati-hati, dan biarpun ia menjadi curiga sekali, pikirannya dipu­tar untuk menduga apa yang terdapat di dalam arak yang diminumnya tadi, namun ia menujukan pandang matanya ke depan, ke arah Ketua Bu-tong-pai yang kini telah berhadapan dengan se­orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tinggi kurus tampan dengan pakaian seperti seorang siucai (gelar sasterawan).

“Harap Ji-wi suka mulai pertanding­an tangan kosong! Awas, Ang-lojin, lawanmu adalah seorang yang memiliki Tok-ciang (Tangan Beracun), harus dila­wan dengan jurus-jurus simpananmu!” Terdengar pula suara halus dingin Ketua Thian-liong-pang.

Betapa heran hati Bun Beng ketika ia melihat dua orang itu, seperti dua ekor jangkerik atau ayam aduan, telah mulai saling serang tanpa banyak cakap lagi! Pemuda yang dipanggil juluk­annya sebagai Tok-ciang Siucai (Sastera­wan Tangan Beracun) telah membuka serangan setelah menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan tangan terbuka dan telapak tangannya berwarna keme­rahan! Serangan pertama ini merupakan tamparan dengan tangan kiri ke arah muka lawan disusul dorongan telapak ta­ngan kanan ke arah dada! Cepat sekali gerakannya dan kalau diingat bahwa ke­dua telapak tangannya mengandung ha­wa beracun, dapat dibayangkan betapa dahsyat dan berbahaya serangan ini.

Namun Ang-lojin adalah Ketua Bu-tong-pai yang tentu saja memiliki ting­kat ilmu silat yang sudah amat tinggi. Dengan tenang namun tidak kalah cepat­nya, ia mengelak dengan geseran kaki ke kiri sambil mengibaskan tangan ka­nan ke kanan menangkis dan dari sam­ping, tiba-tiba kaki kanannya melakukan tendangan menyerong ke arah perut siucai itu.

“Bagus sekali!” tiba-tiba kakek muka singa memuji tendangan itu dan memang Bun Beng juga dapat melihat betapa indah dan berbahayanya serangan balasan Ketua Bu-tong-pai yang dilakukan dengan cekat­an. Tok-siang Siucai ternyata juga lihai karena sambil merobah kaki melangkah mundur tangan kirinya dapat menangkis serangan itu dengan melemparkan ke kanan. Namun, tiba-tiba tendangan kaki ka­nan dari Ketua Bu-tong-pai itu telah disusul dengan tendangan kaki kiri yang digerakkan dengan memutar dari belakang, kembali tendangan ini menyerong dan yang diarah adalah lutut kanan lawan! Si Pemuda kaget, mundur selangkah menyelamatkan lututnya, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai terus melakukan tendangan kedua kakinya, cepat dan kuat sekali se­hingga kedua kakinya yang kelihatan banyak saking cepatnya itu menimbulkan suara angin.

“Hemmmm.... Soan-hong-twi.... seperti itukah?” Ucapan Ketua Thian-liong-pang ini lirih sekali dan agaknya tidak terdengar oleh orang lain, akan tetapi Bui Beng yang sejak tadi memperhatikannya, biarpun hanya dengan pendengaran karena matanya ditujukan untuk mengikuti pertandingan, dapat menangkap kata-katanya. Jantung Bun Beng makin berdebar. Para tokoh kang-ouw itu, termasuk Ketua Bu-tong-pai yang baru saja ditawan, semua menjadi begitu jinak dan penurut dan.... arak yang secawan saja sudah membuat dia mabok.... bukan tidak mungkin ada hubungannya! Dia baru minum secawan saja sudah pening dan seolah-olah semangatnya mengendor, dan kakek gundul itu tadi berusaha membu­at dia minum lebih banyak! Kemudian, para tokoh yang saling bertanding mati-matian dan dengan bersungguh hati, Ke­tua Thian-liong-pang yang menonton dan memberi komentar! Hemm, seolah-olah ada sinar terang memasuki kepala Bun Beng, namun pengaruh arak membuat keningnya berdenyut-denyut sehingga sukar bagi dia untuk memutar otaknya, tidak seperti biasa. Betapapun juga, Bun Beng mengerahkan seluruh pikirannya un­tuk melakukan penyelidikan, mengambil kesimpulan-kesimpulan dan mengumpul­kan dugaan-dugaan.

Pertandingan antara Ketua Bu-tong-pai dan tokoh-tokoh Lam-hai-pang ber­langsung makin seru. Akan tetapi Bun Beng mendapat kenyataan yang menye­nangkan hatinya. Ternyata ayah Ang Siok Bi, yaitu Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, biarpun kini mau saja diadu seperti jangkerik, tetap memiliki watak yang baik, sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ketua partai persilatan be­sar. Pemuda bertangan ganas itu jelas melakukan serangan-serangan berbahaya dan mematikan, namun Ketua Bu-tong-pai itu banyak mengalah dan biarpun terpaksa mengeluarkan jurus-jurus sim­panan dari Bu-tong-pai untuk menyela­matkan diri, namun serangan balasan­nya tidak bersungguh-sungguh seolah-olah dia enggan untuk mencelakai lawan, tidak mau melukai hebat, apalagi mem­bunuh. Hal ini tentu saja dapat ia lihat karena banyak lowongan baik tidak di­pergunakan oleh kakek itu. Kalau Ang-lojin menghendaki, tentu tidak sampai tiga puluh jurus lawannya dapat dirobohkan dengan pukulan-pukulan istimewanya.

Betapapun juga, tingkat pemuda itu kalah tinggi dan kini dia selalu terdesak mundur. Ketika sebuah tendangan kilat menyerempat pinggang pemuda itu dan membuatnya terhuyung miring, kalau Ang-lojin mau tentu mudah baginya menyerang dengan pukulan maut. Namun kakek ini hanya mendorong pundak pemuda itu dan membuatnya roboh terjengkang.

“Cukup!” teriak Ketua Thian-liong-pang. “Tok-ciang Siucai, harap mundur dan Pek-eng Sai-kong harap maju untuk melayani Ang-lojin dengan senjata. Ang-lojin, ilmu silat tangan kosong Bu-tong-pai hebat, harap perlihatkan ilmu silat­mu dengan senjata. Bukankah Siang-kiam (Sepasang Pedang) menjadi keistimewaan Bu-tong-pai? Silakan!”

Berkata demikian, Ketua Thian-liong-pang ini menggerakkan tangan kirinya dan sepasang pedang melayang ke arah Ang-lojin. Ketua Bu-tong-pai ini tidak menjawab melalnkan menerima sepasang pedang itu dengan gerakan indah. Bun Beng melihat munculnya seorang pende­ta berpakaian lebar dan bermuka penuh brewok telah menerima sebatang toya dari tangan kakek muka singa yang du­duk di sebelah kanan Ketua Thian-liong-pang.

“Pek-eng Sai-kong, kami telah me­nyaksikan dan mengagami ilmu toyamu. Harap jangan sungkan-sungkan, pergunakan jurus-jurus yang paling hebat, teru­tama jurus kedua puluh tujuh Pek-eng-coan-ci (Garuda Putih Menyabetkan Ekor). Hati-hati, ilmu siang-kiam Bu-tong-pai amat lihai!” Dalam suara dari balik ke­rudung itu terkandung kegembiraan be­sar. Bun Beng makin berdebar karena di dalam otaknya yang kacau oleh pe­ngaruh arak memabokkan, ia kini mulai dapat menyingkap tabir yang merahasia­kan semua peristiwa yang aneh yang dihadapinya.

Kembali terjadi pertandingan dan sekali ini lebih hebat menegangkan dari­pada tadi. Sai-kong itu amat kuat, toya­nya benar-benar berbahaya dan teringat­lah Bun Beng akan sebuah aliran yang menamakan dirinya Pek-eng-pang (Toya Garuda Putih) yang merupakan sekelom­pok orang gagah yang sesungguhnya me­miliki dasar ilmu toya Siauw-lim-pai namun telah dicampur-aduk dengan ilmu silat golongan hitam! Jadi saikong ini adalah seorang tokoh Pek-eng-pang! Ia memandang penuh perhatian karena dia­pun ingin sekali menyaksikan bagaimana ilmu toya Siauw-lim-pai yang telah diro­bah itu!

Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika toya bertemu dengan pedang, dan tampaklah sinar toya yang kuning bergu­lung-gulung menjadi satu dengan sinar pedang yang putih. Sekali ini, Ketua Bu-tong-pai harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena yang menjadi la­wannya adalah orang terpandai dari Pek-eng-pang! Biarpun Ketua Bu-tong-pai ini tidak mempunyai hati yang kejam tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, namun sekali ini mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan ke­pandaiannya, karena kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi korban toya yang ganas.

Bun Beng mengepal ujung lengan kur­sinya. Diam-diam ia telah siap sedia un­tuk menolong kalau Ketua Bu-tong-pai terancam bahaya. Biarpun dia kini dapat menduga bahwa saikong itu, seperti juga Ketua Bu-tong-pai, hanya berperan seperti dua ekor jangkerik aduan, namun tetap saja hatinya berpihak kepada Ang-lojin. Bukan semata-mata karena kakek itu adalah ayah Ang Siok Bi yang cantik, biarpun hal ini sedikit banyak menjadi sebab juga, akan tetapi terutama sekali karena ilmu toya Siauw-lim-pai yang te­lah berubah itu menurut keterangan su­hunya dibawa lari oleh seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad!

“Hyaaatttt....!” Tiba-tiba saikong itu membentak keras dan Bun Beng diam-diam terkejut sekali sehingga tanpa disa­darinya ia telah meremas patah ujung lengan kursinya, siap untuk disambitkan kalau Ang-lojin terancam bahaya! Dan memang hebat sekali jurus yang kini di­pergunakan oleh Sai-kong itu dalam penyerangannya. Itulah jurus dari ilmu toya Siauw-lim-pai, hal ini diketahui jelas oleh Bun Beng, akan tetapi jurus itu telah dirobah sedemikian rupa sehing­ga selain lihai juga menjadi ganas dan licik sekali. Toya itu menyodok ke arah pusar lawan dengan cepatnya, dan begitu Ang-lojin menangkis dengan pedang kiri, tiba-tiba tubuh saikong itu tergu­ling ke depan, lalu tubuhnya menggelin­ding ke arah lawan, tongkat atau toya itu diputar menyerampang kaki lawan dilanjutkan dengan sodokan ke atas, mengarah mata dibarengi dengan tendangan ke arah anggauta tubuh di bawah pusar. Serangan yang mematikan!

Namun Ang-lojin tidak menjadi gugup menghadapi jurus yang oleh Ketua Thian-liong-pang disebut Pek-eng-coan-ci tadi dan terpaksa dia pun mengeluarkan ju­rus simpanannya. Kedua pedangnya mela­kukan gerakan menggunting dan begitu berhasil menjepit toya, tubuhnya terang­kat ke atas dengan kaki ke atas, kemu­dian ia berjungkir balik, melepaskan je­pitan toya dan sambil menukik turun, sepasang pedangnya melakukan gerakan menyerang dari kanan kiri, lagi-lagi menggunting bagian leher dan pinggang lawan denngan sepasang pedang!

“Heh, itukah Siang-in-toan-san (Sepa­sang Awan Memutuskan Gunung)?” terde­ngar Ketua Thian-liong-pang berseru li­rih namun dapat terdengar cukup jelas oleh Bun Beng.

Saikong itu kaget sekali dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang sambil memutar toya membentuk lingkaran melindungi tubuh ia dapat menyelamatkan diri, akan tetapi ia terkejut dan sampai terhuyung-huyung. Kini ia berteriak lagi dan tiba-tiba tubuhnya membalik, sikapnya seperti hendak me­nyerang, akan tetapi tiba-tiba sambil membalik ini toyanya meluncur terlepas dari tangan, merupakan anak panah rak­sasa yang menyambar ke arah tubuh Ang-lojin.

“Trakkk!” Toya itu menyeleweng dan menancap di atas lantai di depan Ang-lojin yang tadi saking tak menyangka hampir saja menjadi korban toya.

“Cukup! Harap Ji-wi kembali ke kur­si masing-masing!” Terdengar Ketua Thian-liong-pang berkata sambil meman­dang ke arah Bun Beng yang sudah bang­kit berdiri. Semua orang Thian-liong-pang kini menoleh ke arah Bun Beng, maklum bahwa Ketua mereka marah sekali kepada tamu muda yang dengan lancang telah menimpuk toya dengan ujung lengan kursi yang dipatahkan.

“Chie Kang, berapa cawankah tamu Siauw-lim-pai itu minum arak?” terde­ngar wanita berkerudung bertanya kepada kakek gundul. Bagi orang yang tidak tahu, tentu Ketua itu apakah tamu mudanya terlalu banyak minum arak se­hingga mabok dan melakukan kelancang­an itu. Akan tetapi Bun Beng yang su­dah dapat menduga, hanya tersenyum, apalagi ketika mendengar kakek gundul menjawab,

“Dia hanya minum secawan, menolak untuk minum lagi, Pangcu.”

“Dan untung bahwa aku hanya minum secawan, kalau tidak tentu aku pun akan kaujadikan jangkerik aduan, bukan begi­tu, Thian-liong-pangcu?” Bun Beng kini menghadapi Ketua itu dengan sikap tenang, sedikitpun tidak gentar, mulut­nya tersenyum mengejek.

Biarpun wajah itu tidak tampak, na­mun sepasang muta yang tampak dari kedua lubang itu mengeluarkan sinar berapi, tanda bahwa Ketua ini marah sekali. Sejenak hening di situ, hening yang penuh ketegangan, dirasakan be­nar oleh semua anggauta Thian-liong-pang. Kalau Ketua mereka sudah marah, tentu akan terjadi hal yang mengerikan.

“Orang muda, karena engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai dan kami tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai, maka perbuatanmu menye­rang dua pembantu kami, kami maafkan. Bahkan kami menerimamu sebagai se­orang tamu terhormat, biarpun engkau masuk seperti seorang pencuri. Akan te­tapi jangan mengira bahwa karena eng­kau seorang murid Siauw-lim-pai lalu boleh berbuat sesuka hatimu dan lan­cang!”

Bun Beng mengangkat dadanya dan memandang Ketua itu dengan sikap menantang.

“Thian-liong-pangcu! Aku datang bu­kan sebagai utusan Siauw-lim-pai, me­melainkan atas nama pribadi yang ingin mengingatkanmu bahwa perbuatanmu ti­dak baik dan kuminta engkau segera menghentikan perbuatanmu itu!”

“Eh, bocah sombong. Perbuatan apa yang kau maksudkan?” Suara Ketua Thian-liong-pang mengandung keheranan karena dia benar-benar merasa bahwa di dunia ini terdapat seorang pemuda yang begini tidak tahu diri berapi menentangnya secara terang-terangan, bah­kan menegurnya seperti seorang dewasa menegur seorang kanak-kanak!

“Hemmm, perlukah dijelaskan lagi? Baiklah agar jangan aku dikatakan bica­ra mengawur dan menuduh kosong, baik kukatakan bahwa aku sudah mengetahui rahasia semua penculikan yang dilakukan Thian-liong-pang terhadap para tokoh kang-ouw. Engkau menculik mereka, ter­masuk Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, ke­mudian kauberi mereka minuman arak yang mengandung racun perampas ingat­an, mungkin yang pengaruhnya hanya un­tuk sementara saja. Kemudian, selagi para Locianpwe yang bernasib malang ini kehilangan ingatan mereka, kaujadikan mereka jangkerik-jangkerik aduan karena engkau ingin mengetahui rahasia ilmu silat simpanan mereka yang terpak­sa harus mereka pergunakan dalam pertandingan untuk menyelamatkan diri. Bukankah begitu?”

Keadaan makin tegang dan semua anggauta Thian-liong-pang menganggap pemuda lancang itu menjadi calon mayat, karena mana mungkin Ketua mere­ka membiarkan saja kekurangajaran se­perti itu? Akan tetapi, sikap dan ucap­an Bun Beng menimbulkan kekaguman di hati Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu. Memang wanita ini sebagai seorang sakti, akan selalu kagum terhadap orang yang gagah berani, yang menganggap nyawa sebagai hal yang ringan, menganggap kematian sebagai hal sepele, mengang­gap bahaya bukan apa-apa dalam mem­bela kebenaran yang dipercayanya. Hanya ada keraguan di hatinya apakah pemuda ini bersikap sedemikian berani terdorong sifat gagah yang aseli, ataukah hanya untuk bersombong saja terdorong oleh nama besar Siauw-lim-pai.

“Bocah sombong! Kalau benar begitu, mengapa? Apa kehendakmu?”

“Pangcu, aku hanya memperingatkan bahwa engkau main-main dengan api! Engkau menanam permusuhan dengan se­luruh dunia kang-ouw dengan perbuatan­mu ini. Aku minta agar engkau meng­hentikan perbuatan ini dan membebas­kan semua tawanan.”

“Hemm, tanpa kauminta, semua saha­bat yang menjadi tamuku akan kubebas­kan. Kau memperingatkan agar kami menghentikan perbuatan kami. Kalau aku menolak peringatanmu ini, habis kau mau apa?”

“Terpaksa aku akan menantangmu bertanding! Aku tahu bahwa engkau sakti, Thian-liong-pangcu, akan tetapi demi membela kebenaran, demi kesela­matan seluruh tokoh kang-ouw, aku siap mengorbankan nyawa!”

“Keparat cilik! Engkau sombong se­kali! Pangcu, ijinkan saya membasmi bocah sombong ini!” Tan Wi Siang sudah meloncat maju dengan marah sekali.

“Wi Siang, mundurlah!” Ketua Thian-liong-pang membentak, “Bocah ini mem­punyai ketabahan besar, atau memang hanya seorang bocah sombong yang mengandalkan nama Siauw-lim-pai. Biar Paman Chie Kang saja yang melayani­nya!”

“Baik, Pangcu!” Lui-hong Sin-ciang Chie Kang sudah meloncat maju. Kakek gudul ini sudah sejak tadi merasa marah menyaksikan sikap Bun Beng, “Eh, orang muda yang tidak mengenal kebaikan orang! Majulah, ingin kulihat sampai di mana kepandaianmu!” katanya dengan suara yang tinggi nyaring.

“Chie Kang, jangan bunuh dia, kau tahu apa yang harus kaulakukan!”

“Hemmm,” Bun Beng mengejek. “Aku pun tahu, Pangcu! Tentu engkau hendak mempelajari pula jurus-jurus simpanan dari Siauw-lim-pai, bukan? Ha, sekali ini engkau akan kecelik!”

Kembali Nirahai tertegun. Bocah ini selain memiliki keberanian yang luar bia­sa, juga amat cerdik seolah-olah menge­tahui semua isi hatinya. Terhadap bocah seperti ini, dia harus berlaku hati-hati. Diam-diam ia menduga-duga siapakah gerangan bocah ini. Apakah Ketua Siauw-lim-pai yang mendengar akan penculikan-penculikan yang dilakukannya, sengaja mengirim seorang muridnya yang dapat dipercaya untuk melakukan penye­lidikan? Dia maklum bahwa di Siauw-lim-pai terdapat banyak orang pandai, maka dia tidak pernah berurusan dengan Siauw-lim-pai, bahkan memesan kepada para anak buah untuk menjauhkan diri dari permusuhan dengan partai itu. Akan tetapi Ketua Siauw-lim-pai yang mengambil langkah pertama memusuhi Thian-liong-pang, hemmm, dia pun tidak takut!

Lui-hong Sin-ciang Chie Kang mak­lum akan maksud Ketuanya dan kata-kata Bun Beng yang dengan tepat membongkar niat Ketuanya membuat ia ma­kin marah. Sambil menggereng ia telah menerjang maju, sengaja mengeluarkan jurus berbahaya untuk memaksa lawan muda itu mengeluarkan jurus simpanan dari Siauw-lim-pai agar dapat dilihat oleh Ketuanya.

Memang apa yang dilontarkan oleh Bun Beng sebagai tuduhan tadi tepat sekali. Nirahai sengaja menculik tokoh-tokow kang-ouw, kemudian membius mereka dengan arak beracun, mengadu mereka untuk dapat mempelajari gerak­an yang aseli dari jurus-jurus terlihai semua partai yang hanya dikenalnya bagian teorinya saja. Dia ingin memperdalam ilmu silatnya sedemikian rupa da­lam persiapannya menghadapi suaminya, Suma Han atau Pendekar Siluman, juga Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!

Menghadapi terjangan kakek gundul, Bun Beng terkejut. Hebat bukan main serangan lawannya yang menubruk de­ngan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dari atas dan bawah dengan getaran hawa yang membuktikan tenaga sin-kang kuat. Untuk menggunakan ilmu silat Siauw-lim-pai dia tidak mau, kare­na dia tidak ingin kalau Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu “mencuri” jurus-jurus pilihan dengan melihat dia mainkan jurus itu. Akan tetapi terjang­an kakek gundul yang menjadi lawannya benar-benar amat berbahaya. Maka ia cepat mengerahkan gin-kangnya dan ha­nya mengelak ke sana ke mari tanpa mainkan jurus pilihan Siauw-lim-pai! Un­tung bahwa dalam hal gin-kang, dia da­pat mengatasi gerakan kakek itu sehing­ga sampai belasan jurus ia mampu meng­hindarkan semua terjangan kakek itu dengan hanya mengandalkan illmunya meringankan tubuh!

“Heh, kau masih keras kepala, ya?” Chie Kang mendengus marah menyaksi­kan lawannya itu benar-benar tidak mengeluarkan jurus Siauw-lim-pai dan hanya mengelak ke sana-sini. Ia mero­bah serangannya, kini dia mengerahkan sin-kang dan menyerang dengan gerakan lambat, namun kedua tangannya menda­tangkan angin yang bergulung-gulung menghadang semua jalan keluar Bun Beng! Pemuda itu terkejut, maklum bah­wa menghadapi penyerangan seperti itu tidak mungkin baginya untuk hanya mengandalkan gin-kang saja. Maka ia berseru keras, tubuhnya melakukan ge­rakan aneh sekali, tubuhnya menyeruduk ke depan, kedua tangannya membentuk lingkaran-lingkaran aneh sekaligus menghalau semua serangan lawan dan berbalik kedua tangannya yang seolah-olah berubah menjadi banyak sekali itu mengirim pukulan dari semua penjuru!

“Aihhhh....!” Chie Kang berteriak, berusaha mengelak namun tetap saja pundaknya terkena tangan Bun Beng sehingga ia terhuyung ke belakang, Bun Beng mendesak ke depan untuk mengirim pukulan yang akan merobohkan lawan.

Tiba-tiba tampak bayangan berkele­bat, kedua tangan Bun Beng tertolak ke samping, dan sebelum Bun Beng sempat menjaga diri, tahu-tahu ia telah terguling roboh. Tubuhnya jatuh terlentang dan tahu-tahu kaki kiri Ketua Thian-liong-pang telah menginjak dadanya! Bun Beng merasa betapa kaki yang kecil itu seperti gunung beratnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi, dan maklumlah pe­muda ini bahwa sekali wanita itu mengerahkan tenaga, dadanya akan pecah! Na­mun dia tidak takut dan memandang dengan mata melotot.

“Bocah sombong! Dari mana engkau mempelajari ilmu tadi?”

Biarpun dia sudah tidak berdaya dan hanya menanti maut yang berada di telapak kaki wanita itu, namun Bun Beng merasakan kegirangan dan kepuasan besar karena ia mendapat kenyataan bahwa wanita sakti ini tidak mengerti jurusnya tadi!

“Ha-ha-ha-ha! Thian-liong-pangcu, mau bunuh, lekas bunuhlah. Siapa takut mati dan siapa takut padamu? Engkau memang pandai seperti iblis, akan tetapi juga menyeleweng dan jahat seperti iblis. Memangengkau iblis, kalau tidak, tentu engkau tidak akan menyembunyikan mu­kamu di belakang kerudung! Akan tetapi, biarpun engkau iblis sendiri yang ma­sih belum puas dan ingin mencuri ilmu silat seluruh orang kang-ouw, tetap saja engkau tidak menang melawan Pendekar Siluman dari Pulau Es! Ha-ha-ha, eng­kau akan dipermainkan lagi seperti dulu di Sungai Fen-ho, seperti yang telah kusaksikan sendiri. Ha-ha-ha!”

Bun Beng merasa betapa kaki itu makin berat menindih dadanya. Ia meme­jamkan mata, menanti datangnya maut, akan tetapi kaki itu tidak menginjak te­rus, bahkan turun dari dadanya dan tiba-tiba rambutnya yang dikuncir itu terjam­bak, tubuhnya terangkat dan dipaksa bangkit. Ia kini berdiri di depan wanita itu, melihat sepasang mata di balik ke­rudung yang seolah-olah hendak memba­karnya.

“Siapa engkau? Siapa....?” Wanita itu membentak, kini suaranya tidak halus merdu lagi, melainkan melengking nya­ring penuh kemarahan.

“Aku akan mati, perlu apa menyem­buyikan nama? Aku Gak Bun Beng....”

“Ya Tuhan....!” Bun Beng mendengar suara ini dari atas anak tangga, akan tetapi dia tidak tahu siapa yang berseru kaget itu karena Ketua Thian-liong-pang di depannya tiba-tiba tertawa menghina.

“Hi-hik, kiranya anak haram, keturun­an Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak datuk kaum sesat? Pantas.... pan­tas....! Engkau jahat, melebihi Ayahmu yang tidak sah. Manusia macammu ini tidak layak hidup!”

Nirahai mengangkat tangan kanannya, siap menghantam kepala Bun Beng. Seka­li ini, karena Bun Beng sudah berdiri dan tidak seperti tadi, diinjak tak mam­pu berkutik, tentu saja tidak sudi mam­pus begitu saja tanpa melawan.

“Plakkk!” Hantaman dengan telapak wanita itu berhasil dia tangkis dengan jurus Sam-po-cin-keng dan biarpun tubuhnya terlempar sampai lima meter jauhnya, ia berhasil menangkis dan ti­dak terluka. Dia sudah meloncat bangun lagi, siap melawan mati-matian.

“Pangcu....!” Tiba-tiba terdengar te­riakan keras dan berkelebatlah tubuh ka­kek bermuka singa menghadang tubuh Nirahai yang sudah berjalan mengham­piri Bun Beng dengan mata berkilat penuh penasaran.

“Sai-cu Lo-mo, minggirlah engkau! Bocah ini harus kubunuh!” bentak ke­tuanya.

“Pangcu, ampunkanlah.... dia cucu kepo­nakan saya, satu-satunya keturunan saya, bagaimana Pangcu tega untuk mem­basmi keturunan saya? Ampunkanlah, atau Pangcu bunuh saya sekalian!”

Mendengar ini, tiba-tiba lemaslah tu­buh Nirahai dan ia memandang wajah pembantunya yang berlutut di depan kakinya. Bu Beng berdiri memandang de­ngan mata terbelalak! Dia cucu kepo­nakan kakek bermuka singa itu?

“Sudahlah! Tidak dibunuh pun tidak mengapa, akan tetapi harus suka menja­di anggauta kita.”

 “Apa? Aku menjadi anggauta Thian-liong-pang, membantu kalian menculiki orang-orang gagah untuk dicuri kepandai­annya? Terima kasih, lebih baik mati!” Bun Beng membentak sambil membanting kakinya penuh kemarahan.

Sai-cu Lo-mo cepat meloncat ke de­pan Bun Beng sambil membentak penuh teguran, “Gak Bun Beng, engkau tidak boleh berkata begitu! Engkau adalah cu­cu keponakanku sendiri, harus mentaati kata-kataku.”

Bun Beng memandang kakek itu pe­nuh perhatian. “Locianpwe, sejak kapan­kah aku menjadi cucu keponakanmu dan siapakah Locianpwe?”

“Aku adalah Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, mendiang Ibumu Bhok Khim, ada­lah keponakanku.”

Diam-diam Bun Beng merasa terha­ru. Baru sekali ini dia bertemu dengan orang yang ada hubungan keluarga dengannya, akan tetapi dia bertanya penuh rasa penasaran.

“Kalau benar demikian mengapa baru sekarang Locianpwe mengaku sebagai Pa­man Kakekku?”

Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang. “Engkau tidak tahu, Bun Beng. Aku telah berusaha merampasmu dengan me­ngirim anak buah Thian-liong-pang dahulu ke kuil tua, dekat Sungai Fen-ho, akan tetapi usahaku gagal, engkau di­rampas oleh Pendekar Siluman dan dibe­rikan kepada orang Siauw-lim-pai. Seka­rang kebetulan sekali kita dapat berkum­pul, engkau menurutlah, tinggal di sini menjadi anggauta kami, mempelajari ilmu dari Pangcu dan membuat jasa.”

“Maaf, Kakek, hal ini tidak dapat ku­lakukan. Bukan sekali-kali aku tidak me­mandang perhubungan keluarga antara kita. Aku tahu engkau seorang yang ba­ik dan telah berusaha menyelamatkan aku, akan tetapi untuk menjadi anggauta Thian-liong-pang aku tidak sudi. Terse­rah kepada Thian-liong-pangcu, hendak membebaskan aku bersama para tokoh kang-ouw di sini atau hendak membunuh­ku!”

“Sai-cu Lo-mo, mengingat dia cucu keponakanmu, aku tidak membunuhnya. Akan tetapi dia harus menjadi anggauta kita atau mati!” terdengar Nirahai ber­kata, suaranya dingin dan mengandung keputusan yang tidak dapat dibantah lagi.

Sai-cu Lo-mo menjadi bingung sekali. Dia ingin menyelamatkan keturunannya ini, akan tetapi maklum bahwa pemuda ini memiliki keberanian dan kenekatan yang sukar ditundukkan dan ia maklum pula bahwa kalau Pangcunya marah, ti­dak ada seorang pun berani membantah­nya. Lalu ia mendapatkan akal dan ber­kata.

“Pangcu, ampunkan saya dan ampun­kan dia yang masih muda. Kalau dia ti­dak mau, biar dia kita tawan dan perla­han-lahan saya akan membujuknya.”

Terdengar jawaban dengan suara ke­sal, “Sesukamulah.....”

Sai-cu Lo-mo menjadi girang sekali. “Bun Beng, dengarlah betapa baiknya Ketua kita. Engkau menurutlah, Cucuku!”

“Maaf, aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang! Biarpun Ayahku yang tidak pernah kukenal itu disebut seorang datuk kaum sesat, namun aku bukanlah orang sesat!”

“Bocah bandel, kalau begitu aku akan menawanmu!” Sai-cu Lo-mo membentak dan menubruk ke depan hendak menang­kap Bun Beng. Akan tetapi, Bun Beng sudah mengelak cepat dan ketika kakek itu menyusul dengan serangan totokan untuk merobohkannya, dia cepat menangkis.

“Plak-plak!” Bun Beng terpental ke belakang dan Sai-cu Lo-mo terhuyung. Diam-diam Bun Beng terkejut, maklum bahwa orang yang mengaku kakeknya ini memang memiliki kepandaian dan tena­ga lebih hebat daripada kakek gundul yang berhasil ia kalahkan tadi.

Di lain pihak, Sai-cu Lo-mo juga ka­gum. Kiranya cucu keponakannya ini benar tangguh, pantas saja sutenya kalah. “Gak Bun Beng, berani engkau melawan kakekmu sendiri?”

“Aku tidak melawan seorang kakek­ku, melainkan melawan orang-orang Thian-liog-pang.” jawab Bun Beng tegas.

“Engkau benar tak tahu diri dan sombong!” Sai-cu Lo-mo kini menerjang dengan hebatnya. Bun Beng terpaksa menggerakkan kaki tangan melawan dan kembali dia menggunakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng. Begitu ia mainkan ju­rus-jurus aneh ilmu silat ini, Sai-cu Lo-mo mengeluarkan seruan kaget dan kakek ini terdesak hebat! Melihat gerakan pe­muda itu Nirahai menjadi kagum dan tertarik sekali. Dia telah melihat dan mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, akan tetapi belum pernah ia me­nyaksikan ilmu silat tangan kosong se­perti yang dimainkan pemuda itu. Sung­guhpun gerak kaki pemuda itu mempu­nyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang sudah matang, namun jurus itu bukanlah jurus ilmu silat Siauw-lim-pai.

“Wi Siang kaubantulah Lo-mo menang­kap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia mengeluarkan seluruh ilmunya,” bisiknya dengan tertarik sekali sambil duduk kembali ke atas kursinya untuk menon­ton dan mempelajari jurus-jurus yang dimainkan Bun Beng.

Tang Wi Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu per­nah menolongnya ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau Sungai Huang-ho dan hampir celaka oleh ilmu sihir Lama itu. Dia meloncat dan me­nyerang Bun Beng dengan gerakan lin­cah sekali.

Bun Beng terkejut. Dia maklum bah­wa wanita ini memiliki gerakan yang ce­pat luar biasa dan mungkin lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo. Dan memang dugaannya benar, Tang Wi Siang menjadi orang yang paling disayang dan dipercaya oleh Nirahai di antara para pembantunya, maka wanita itu dia beri pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi daripada pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang telah dia beri Ilmu Silat Yancu-sinkun (Ilmu Silat Burung Walet) yang mengan­dalkan gerakan gin-kang tinggi sekali. Menghadapi Sai-cu Lo-mo saja dia sudah merasa berat, bukan hanya karena kakek itu lihai sekali, juga ia merasa enggan untuk melukai orang tua paman ibunya ini. Sekarang ditambah lagi dengan Tang Wi Siang, dia benar-benar menjadi ter­ancam hebat. Gerakan penyerangan Wi Siang demikian cepatnya seolah-olah ke­dua lengan wanita itu berubah menjadi enam dan karena Bun Beng harus menja­ga jangan sampai ia tertawan oleh ka­kek itu, sebuah totokan tangan kiri wa­nita itu ke arah lehernya tak dapat ia elakkan lagi. Akan tetapi, ternyata ta­ngan itu tidak dilanjutkan menotok, ha­nya mendorong pundaknya sehingga ia terpental dekat anak tangga. Ia melon­cat lagi dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua Thian-liong-pang yang sedang memandangnya penuh perhatian, ia menjadi terkejut sekali dan sadar bahwa Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu Lo-mo tentu hanya mendesaknya agar dia mengeluarkan se­mua jurus ilmunya, yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua itu hendak menyaksi­kan dan mencuri ilmu itu dengan jalan melihat gerakan-gerakannya!

Bun Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapapun juga, dia takkan mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun tangan, be­tapapun dia melawan akan percuma sa­ja, maka dia mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan ilmunya agar tidak dicuri oleh Ketua itu. Tak mungkin eng­kau akan dapat mencuri jurus-jurus sim­panan Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng, pikirnya dan kini ia melawan de­ngan gerakan sederhana sehingga dalam belasan jurus saja ia telah roboh terto­tok oleh Sai-cu Lo-mo.

Nirahai menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa pe­muda bandel itu sengaja tidak memper­lihatkan jurus-jurus aneh itu, dan senga­ja membiarkan dirinya tertangkap!

“Lempar dia ke dalam penjara di bawah tanah!” bentak Ketua Thian-liong-pang. “Jangan keluarkan sebelum dia mentaati perintah!”

Sai-cu Lo-mo terkejut dan meman­dang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata ketuanya jelas menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam saja melihat tubuh pemuda itu diseret oleh dua orang petugas yang membawa ke tempat tahanan di bawah tanah yang letaknya di sebelah belakang kompleks bangunan-bangunan sarang Thian-liong-pang.

Biarpun tubuhnya sudah lemas terto­tok, ketika ia diseret pergi, Bun Beng masih mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang, “Lanjutkan pesta dan pertan­dingan!” Dia merasa puas dapat menang­kap kemarahan dan kejengkelan dalam suara itu. Dia telah kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw, namun sedikitnya dia telah berhasil membuat Ketua Thian-liong-pang kecewa, terhina dan marah-marah!

Tahanan di bawah tanah itu amat menyeramkan. Dua orang petugas yang kini menggotong tubuh Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong ba­wah tanah yang menurun melalui anak tanga batu. Lorong yang gelap dan di tiap tikungan terdapat pintu besi yang terjaga oleh dua orang anggauta Thian-liong-pang. Setelah melalui tujuh pintu, sampailah mereka di sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng dilempar ke dalam kamar ini.

Bun Beng tidak memperhatikan tem­pat itu, juga tidak peduli ketika pintu kamar itu ditutup dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha membebaskan totokan agar jalan darah­nya mengalir normal kembali. Dia mak­lum bahwa tanpa usaha ini pun, akhir­nya totokan itu akan punah, akan tetapi, hal itu akan makan waktu beberapa jam lamanya. Akhirnya dia berhasil memu­lihkan kembali jalan darahnya dan ia bangkit duduk, bersila dan menghimpun tenaga karena mulai saat itu dia harus berlaku hati-hati dan tenaganya harus pulih untuk meghadapi segala kemungkin­an. Ktirang lebih sejam lamanya dia ber-siulian, tidak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Setelah tenaganya pulih dan batinnya tenang kembali, barulah Bun Beng menghentikan samadhinya dan membuka mata. Mula-mula yang ia da­pati adalah bahwa kamar itu agak gelap, remang-remang dan lembab. Kemudian setelah membiasakan matanya dalam cuaca yang remang-remang itu, ia bang­kit berdiri dan mulai menyelidiki kamar tahanan.

Sebuah kamar berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi, langit-langitnya juga batu, tingginya dari lan­tai ada empat meter. Tidak ada jendela­nya, hanya terdapat sebuah pintu dari mana dia dilempar masuk. Pintu ini kecil hanya cukup dimasuki satu orang, dan terbuat dari baja tebal yang masuk ke dalam dinding batu. Kokoh kuat pin­tu itu, tak mungkin dibongkar. Bun Beng menarik napas panjang karena sekali pan­dang saja dia maklum bahwa tidak mungkin lolos dari tempat ini mengguna­kan tenaga membongkar pintu atau men­jebol dinding. Harus mencari akal. Na­mun, andaikata dia dapat keluar, bagai­mana ia dapat lolos dari Thian-liong-pang? Lorong itu saja mempunyai tujuh buah pintu yang terjaga, belum lagi diingat bahwa kalau dapat keluar dari lo­rong bawah tanah, di atas sana masih ada tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama sekali Ketuanya!

“Aku harus bersabar dan melihat per­kembangan selanjutnya,” akhirnya ia menghibur diri sendiri. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh, ksrena selain Sai-cu Lo-mo mengaku sebagai kakeknya itu tidak su­ka melihat keturunannya terbunuh, juga Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin se­kali mendapatkan ilmu silatnya, teruta­ma sekali Sam-po-cin-keng! Betapapun, dia masih memiliki ilmu sebagai “modal” untuk hidup! Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu mencari tempat duduk di lantai yang enak. Akan tetapi, mana ada tempat du­duk yang enak? Lantai itu terbuat dari batu pula, kasar dan agak basah karena selalu ada air menitik turun dan di atas lantai tampak rangka-rangka manusia berserakan! Bun Beng mengerutkan ke­ningnya. Ada tujuh buah tengkorak ma­nusia di dalam kamar mereka itu. Siapa tahu mungkin lebih banyak lagi, tersem­bunyi di balik batu-batu berlumut. Dia tidak peduli, akan tetapi, rangka-rangka manusia di situ memperingatkannya bahwa kalau dia tidak mentaati perintah Ketua Thian-liong-pang dan tidak mau menjadi anggautanya, tanpa dibunuh pun dia akan mati di tempat ini, seperti rangka-rangka itu! Akan tetapi, mung­kinkah kakek muka singa yang telah bera­ni mati membelanya itu akan membiar­kan dia mati?

Tidak! Dia tidak boleh mati kela­paran di tempat ini. Dia harus ber­usaha untuk keluar dari neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidik­an. Mula-mula dia memeriksa pintu itu dan mencoba tenaganya. Namun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mung­kin ia menjebol pintu yang amat kuat itu. Dia lalu memeriksa dinding batu. Dinding yang amat kokoh, batu bertum­puk dengan tanah yang keras. Kokoh ku­at tak mungkin dibongkar dengan ta­ngan kosong.

Siapa tahu, akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau mereka, terutama kakek muka singa, ti­dak menghendaki dia mati, tentu mere­ka akan mengirim makanan dan minum­an. Dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibiarkan mati begitu saja sebelum dlbujuk. Maka ia menghentikan pemerik­saannya dan kembali duduk di sudut ka­mar itu, bersila dan bersamadhi. Ter­ingat ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Sudah berkali-kali, semen­jak terseret oleh pusaran maut air Su­rgai Huang-ho, dia terancam bahaya maut, bahkan terpaksa harus hidup di antara sekumpulan monyet, dibawa ter­bang burung raksasa dan jatuh terlepas ke atas laut, namun selalu dia tertolong! Kalau Thian menghendaki, sekali ini pun dia tentu akan selamat. Teringat akan kekuasaan Tuhan, Bun Beng menjadi te­nang. Manusia hidup tergantung dari ke­kuasaan Tuhan, mutlak dan seluruhnya! Tanpa kekuasaan Tuhan, manusia tak mungkin dapat hidup. Detik jantung yang memompa darah ke seluruh bagian tu­buh, pernapasan yang memberi makan darah, semua berjalan otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam tidur sekalipun, detik jantung dan pompa paru-paru te­tap bekerja, siapa yang mengerjakannya kalau bukan kekuasaan Tuhan?

Dalam keadaan sunyi gelap mengha­dapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng makin dekat dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan wejangan-wejangan gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan Tuhan dan betapa lemahnya manusia, betapa tidak ada artinya. Ingin ia tertawa karena geli hatinya kalau teringat akan wejang­an suhunya dahulu. Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan kelemahan manusia?

Orang yang merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh orang, demikian antara lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki puluhan ribu rambut dan bulu di tubuhhya, namun mengatur pertumbuhan sehelai rambut atau bulunya saja dia tidak mampu! Jangankan mengatur pertumbuhan kuku, mengatur detik jantung, menentukan ma­ti hidupnya! Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah manusia dapat hidup dan mati!

Pelajaran seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar kepercayaannya kepada Tuhan sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya maut, karena ia sudah merasa yakin sepenuh­nya, bahkan sudah berkali-kali menga­laminya dalam hidup, bahwa apa pun yang terjadi, baru dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki. Katau Tuhan meng­hendaki dia mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menghin­darkannya dari kematian. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki dia hidup, juga tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membuat dia mati! Apalagi hanya kekuasaan manusia, biar dia sesakti Ketua Thian-liong-pang sekalipun. Teringat akan semua ini Bun Beng tertawa. Ingin dia bertanya kepada Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu apakah dia mampu mengatur pertumbuhan ram­but-rambutnya, tidak usah semua, sehe­lai saja!

Betapapun juga, Tuhan takkan meno­long manusia yang tidak berusaha meno­long dirinya sendiri. Usaha atau iktiar merupakan kewajiban manusia yang se­kali-kali tidak boleh dihentikan selama dia hidup. Adapun akan jadinya, terse­rah kepada kekuasaan Tuhan, akan teta­pi dia harus berusaha menyelamatkan di­ri. Kalau Tuhan menghendaki dia mati akan matilah dia. Mati dibunuh Ketua Thian-liong-pang, atau mati kelaparan di situ, atau mati dalam usahanya me­nyelamatkan diri, semua itu hanya dija­dikan lantaran atau jalan, dipilih oleh Tuhan sebagai penyebab kematiannya.

Pikiran ini membuat Bun Beng men­jadi tenang sekali, sedikit pun dia tidak merasa khawatir karena hatinya telah bebas daripada keinginan hidup atau ma­ti, sudah ia serahkan seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia hanya memutar otaknya mencari jalan keluar, bagaima­na harus menggunakan akal.

Setelah keadaan di dalam kamar tahan­an itu gelap pekat, tanda tentu di luar ada api penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya, terlentang di atas lantai batu yang lembab dan ter­tidurlah dia karena hatinya tenang. Sinar yang membuat keadaan gelap pekat itu menjadi remang-remang membangunkannya. Ia menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit menerangi kamar itu berbe­da dengan cahaya semalam, cahaya ma­tahari yang putih dengan cahaya lampu kemerahan.

Sebuah kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala Sai-cu Lo-mo! Kemudian, tangan kakek itu di­ulurkan di antara jeruji, membawa dua potong roti kering yang panjang dan se­guci air.

Bun Beng dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam kata-kata kakek itu. Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua lengan kakek yang diulur masuk melalui jeruji besi. Apa gunanya? Dia tidak akan dapat me­maksa kakek ini, dan tidak dapat pula mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.

“Terima kasih.” Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering. Dua potong roti itu cukup baginya untuk me­ngenyangkan perutnya, kemudian ia mi­num air jernih yang menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum, Bun Beng yang melihat kakek itu masih berdiri di luar pintu dan sejak tadi memandangnya bertanya.

“Sampai berapa lama aku akan dita­han di sini? Apakah makanan dan mi­numan diberi racun perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu si­lat untuk dipelajari Pangcumu?”

Sai-cu Lo-mo menggeleng kepalanya. “Tidak, Bun Beng. Engkau adalah cucu­ku, engkau dianggap sebagai orang sendi­ri, tidak perlu Pangcu mempelajari ilmu­mu yang kelak akan ditukar dengan il­mu yang lebih tinggi oleh Pangcu sendi­ri. Bun Beng, tidak tahukah engkau bah­wa kami bermaksud baik kepadamu? Engkau cucuku, hanya satu-satunya, maka engkau tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi anggauta Thian-liong-pang, engkau malah akan mempero­leh kedudukan tinggi, sesuai dengan ke­pandaianmu.”

Bun Beng menggeleng kepala. Biar­pun dia harus berusaha meloloskan diri, akan tetapi tak pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan merendahkan diri menjadi anggauta Thian-liong-pang yang ia anggap amat jahat dan keji!

“Percuma saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi angauta Thian-liong-pang, hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil keluar dari sini, aku tetap akan menentang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw.”

 “Ahhh, engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang yang bijak­sana, sama sekali bukan orang jahat. Bah­kan dia telah merobah Thian-liong-pang dari kesesatannya, kembali ke jalan benar. Kalau dia melakukan penculikan atas di­ri tokoh-tokoh kang-ouw itu sekali-kali bukan dengan niat mencelakakan mereka, melainkan hendak mempelajari dan me­nyaksikan jurus-jurus rahasia mereka yang telah diketahui Pangcu bagian teo­rinya saja. Kemudian mereka dibebaskan kembali. Pangcu adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat!”

“Hemmm, kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?”

“Pangcu tidak akan menggunakan il­mu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun, kemudian menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau Es.”

Bun Beng mengerutkan keningnya. “Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku kagum dan suka kepada Pendekar Silu­man yang aku yakin adalah seorang yang selain sakti, juga amat bijaksana. Kalau Pangcumu memusuhi Pendekar Siluman, sudah pasti sekali aku berpihak kepada Majikan Pulau Es itu!”

Sai-cu Lo-mo kelihatan berduka. “Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau me­nyusahkan hati seorang tua seperti aku? Apa perlunya engkau mencampuri sega­la urusan yang tiada sangkut-pautnya denganmu? Engkau menyerah dan taat­lah, dan aku bersumpah bahwa kelak engkau tidak akan menyesal. Akan kau lihat sendiri kebaikan Thian-liong-pang!”

“Maaf, aku tetap tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang.”

“Bun Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya ada­lah mentaati Pangcu dan aku hanya di­perbolehkan membujukmu selama tiga hari. Kalau selama itu engkau belum menurut, engkau akan menjadi tahanan di sini selamanya! Dan engkau.... engkau akan mati dengan sia-sia....”

“Menyesal sekali. Aku lebih memilih bahaya mati daripada harus menuruti ke­hendak Pangcumu yang seperti iblis itu!”

Kakek itu menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka. Selama tiga hari terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun Beng tidak mau menuruti bujukannya. Bahkan pemuda itu kini tekun dengan penyelidikannya. Dibongkarnya batu-batu di lantai di antara tulang-tulang rangka manusia dan ia menemukan sebuah ka­pak bergagang panjang. Tentu ini meru­pakan senjata dari seorang di antara mereka yang telah menjadi rangka itu. Kemudian ia memeriksa dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih berlumut dan dingin sekali. Kalau ia menempelkan telinganya di situ, mendengar bunyi air berkerosok. Hal ini menimbulkan du­gaan bahwa tentu dinding ini yang pa­ling tipis sehingga dia dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan tetapi mengapa ada air di balik dinding ini?

Setelah hari ke tiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan sia-sia, kakek itu tidak muncul lagi. Se­tiap malam ada seorang penjaga melemparkan roti kering dan guci air ke da­lam kamar tahanan. Dan mulailah Bun Beng bekerja. Dengan kapak gagang pan­jang itu dimulai membongkar batu din­ding kanan sekuat tenaga. Dia bekerja setelah penjaga melemparkan makanan. Setelah menghabiskan roti dan air, mu­lailah dia menghantami dinding batu de­ngan kapaknya. Dia mempunyai waktu sehari semalam lamanya. Besok malam, barulah ada penjaga datang untuk mem­beri makanan dan minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam ini, ka­rena kalau tidak, tentu penjaga akan melihatnya dan dia akan ketahuan, yang berarti gagal!

Bun Beng bekerja dengan semangat menyala-nyala. Tak pernah sedetikpun ia beehenti dan dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang sudah le­cet-lecet dan otot-otot lengannya yang menggelepar-gelepar di dalam daging.

Ia terus menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu dinding dapat ia bongkar, batu itu keras sekali dan sema­lam suntuk dia hanya dapat membong­kar sedalam satu meter. Namun belum tampak tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis! Pada keesokan harinya Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, seluruh pi­kiran, perhatian, dan tenaga dikerahkan untuk menghantami batu-batu dengan kapaknya. Dia tidak tahu berapa lama dia bekerja, hanya bahwa dia harus ber­lomba dengan waktu. Betapapun juga, hatinya mulai risau ketika dinding yang tadinya jelas itu mulai tampak suram tanda bahwa hari telah mulai sore dan sebentar lagi malam akan tiba dan ber­arti Si Penjaga akan datang mengantar roti dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan ini, Bun Beng mem­perhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini sudah ia gali se­dalam dua meter lebih, tingginya seukur­an tubuhnya. Batu-batu berserakan di dalam kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di kanan kiri dan belakangnya.

Malam tiba. Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan, sinar lampu penerangan seperti biasa. Tak lama lagi penjaga tentu muncul. Bun Beng menghentikan kapaknya yang menjadi panas karena terus menerus menghantam batu keras. Dia terduduk, terengah-engah dan menghapus peluh sambil mengasah otak. Bagaimana seka­rang? Dinding terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya setebal perut gunung! Dan Si Penjaga sebentar lagi datang! Akan terbuang sia-sialah usaha­nya yang mati-matian selama sehari se­malam! Tubuhnya penat sekali, perutnya lapar dan kerongkongannya kering, haus. Lapar dan haus! Teringat akan ini, Bun Beng meloncat bangun dan lari ke pintu, menempelkan tubuhnya ke pintu yang le­barnya hanya sebesar orang. Kedua le­ngannya ia keluarkan dari celah-celah jeruji baja, mukanya ia tempelkan pada jeruji dan matanya mengerling ke arah datangnya penjaga.

Ketika ia melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng berteriak-teriak memaki, “Penjaga kepa­rat! Mengapa begitu lama? Aku sudah kelaparan dan hampir mati kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air itu ke sini! Keparat jahanam engkau!”

Penjaga itu berhenti dan tertawa. “Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu akan akal bulusmu!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin mera­pat pada jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji uengan kedua lengan di ka­nan kiri mukanya. “Apa.... apa maksud­mu?”

Kembali penjaga itu tertawa dan ber­diri agak jauh sehingga Bun Beng tidak akan mampu menjangkau dengan tangan­nya. “Ha-ha-ha, apa kaukira aku bodoh? Engkau tentu ingin agar aku mendekat sehingga engkau dapat menangkapku dan membunuhku, bukan?”

Rasa lega menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak, “Memang aku ingin sekali mencekik lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!”

“Jangan mimpi, aku lebih cerdik dari­mu. Begitu melihat engkau di pintu, aku sudah curiga karena biasanya engkau ti­dak mengacuhkan roti dan air yang kubawa untukmu. Tentu engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka aku ti­dak mau mendekat. Nah, nih, kau tangkap roti dan airmu. Ha-ha-ha!” Penjaga itu melemparkan roti dan guci air ke arah kedua tangan Bun Beng. Dengan sengaja Bun Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya, akan tetapi guci air itu luput dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya tumpah.

“Jahanam, lekas ambilkan air untuk­ku. Aku haus sekali!” Bun Beng berte­riak-teriak akan tetapi penjaga itu ter­tawa.

“Rasakan kau!” katanya sambil ber­jalan pergi!

Bun Beng cepat mengambil kapak­nya dan lupa makan. Dia mulai lagi be­kerja, hatinya lega. Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya sehari se­malam lagi! Batu-batu itu mulai mudah dibongkar karena tanahnya lembek dan basah, bahkan kini ada air menetes-netes memasuki kamar. Dia menggali terus penuh semangat.

Pada keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan kini jelas terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada batu bergerak, kapaknya terayun ke arah ba­tu itu dan.... “krasak-krasak byuuuurrrr.”

Bun Beng cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada din­ding dekat lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong oleh ma­suknya air seperti dituang. Bun Beng berdiri mepet dinding dengan muka pu­cat. Bahaya yang datang mengancamnya ini tidak kalah mengerikan. Memang be­nar dia telah berhasil membobol dinding, akan tetapi ternyata di belakang dinding itu adalah air yang entah berapa banyak­nya, yang kini membanjiri kamar tahan­an. Bun Beng tidak mau panik, dan otak otaknya bekerja cepat. Kalau dia menero­bos lubang itu, tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang menerjang masuk, maka ia hanya mepet dinding de­kat lubang sambil mencengkeram dinding batu dengan kedua tangannya. Dia mak­lum bahwa kalau kamar itu telah penuh, air akan terus menerobos keluar melalui celah-celah jeruji pintu. Akan tetapi, mengingat bahwa lubang itu tidak begi­tu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka tekanan air dari luar lu­bang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan kenekatan luar biasa, Bun Beng menanti sampai kamar itu penuh, air naik dengan cepatnya sampai ke le­her, dia memejamkan mata dan mengum­pulkan napas sepenuh paru-parunya sam­bil menanti.

Bun Beng memang cerdik. Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang dinding selain air menerjang masuk, ten­tu dia akan terseret dan terbanting kem­bali sehingga membahayakan keselamatannya. Sebentar saja air menjadi penuh dan Bun Beng yang telah tenggelam di dalam air itu merasa betapa dorongan air dari lubang dinding yang jebol itu tidak begitu kuat lagi. Cepat ia melepaskan cengkeraman tangannya pada din­ding, berenang ke arah lubang dengan tangan meraba-raba karena ketika ia membuka matanya, dia tidak dapat melihat apa-apa, air itu keruh dan akhirnya ia dapat meraba dinding yang jebol. Ia merangkak, berpegangan pada pinggiran lubang, terus merayap keluar lubang itu. Ketika ia meluncur ke depan, tubuhnya terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa dia berada di air yang dalam, entah te­laga, sungai atau laut! Tak mungkin la­utan, pikirnya, karena air tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke atas, bahkan membantu dengan kaki ta­ngannya karena dia harus dapat tiba di permukaan air. Dadanya seperti akan meledak karena sudah terlalu lama dia menahan napas!

Betapa girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di permukaan air. Ia membuka mulut dan menghi­sap napas banyak-banyak sampai dada­nya terasa nyeri. Ia terengah-engah, ber­ganti napas dan membuka kedua mata­nya. Kiranya ia telah tiba di permukaan sebuah sungai yang amat lebar, sungai yang selain lebar juga dalam, dan air­nya keruh. Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia muncul, yaitu di tengah-tengah, ia melihat kedua tepi­nya jauh sekali.

“Aduhh....!” Tiba-tiba secara otomatis Bun Beng mengerahkan sin-kang membu­at kakinya keras karena kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan gigitan itu dengan sin-kangnya yang membuat kaki kirinya kebal, akan tetapi kini mahluk yang mengigitnya itu meronta dan hendak menyeretnya ke bawah.

Bun Beng menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor ikan menggigit kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.

“Ikan keparat!” Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya. Ikan itu men­celat karena gigitannya terlepas dan ka­rena dia tidak dapat tahan lama di atas permukaan air. Akan tetapi kini Bun Beng melihat suara hiruk pikuk di kanan kirinya, air berguncang dan suaranya berkecipak, tampaklah kepala-kepala dan ekor-ekor banyak ikan besar mengurung­nya dan menyerangnya dari depan, kanan kiri dan belakang!

Bun Beng makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele yang tidak bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap dan matanya seperti mata orang yang licik, gerakannya cepat sekali. Biasanya ikan macam ini merupakan bahan hidangan yang lezat, baik dipanggang maupun di­masak atau digoreng sekalipun. Biasanya melihat seekor ikan seperti ini di darat menimbulkan selera. Akan tetapi pada saat itu, agaknya selera ikan-ikan itulah yang timbul melihat tubuh Bun Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda dengan yang biasanya dilihat Bun Beng, amatlah be­sarnya. Belum pernah ia melihat ikan lele sedemikian besarnya, biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan lele, karena tidak mempunyai kumis!

Bun Beng tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai mengamuk. Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerang­nya dari depan sehingga tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian ka­ki tangannya bekerja memukul dan menendang ikan-ikan itu.

“Aupp....!” Karena lupa bahwa dia bu­kan sedang berada di darat, maka begitu dia main silat di air, tubuhnya tengge­lam dan dia gelagapan. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya dan kini setelah tubuh atasnya timbul, ia hanya menggu­nakan kedua tangan saja untuk memukul dan mendorong ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya dia pergunakan untuk men­ahan tubuhnya agar tidak tenggelam.

Bun Beng adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, dan kalau hanya dikeroyok oleh ikan-ikan se­perti itu saja, agaknya dia akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya dengan mudah. Akan tetapi itu kalau di darat. Kalau di air, dialah yang repot sekali. Kepandaiannya berenang di air amat terbatas, bukan termasuk ahli, tentu saja dibandingkan dengan ikan-ikan yang me­mang hidupnya di air dia kalah jauh dan sebentar saja Bun Beng menjadi gelagap­an dan sudah beberapa kali tubuhnya terkena gigitan ikan-ikan kelaparan itu.

Celaka, keluhnya. Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah diancam bahaya air, dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini dia kembali menghadapi maut di mulut ikan lele! Benar-benar menyebalkan bahaya yang sekali ini mengancamnya. Betapa tidak menyebalkan kalau dia harus mati di mulut ikan-ikan lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele itulah yang mati di mulut manusia. Betapa memalukan, se­orang pendekar mati dikeroyok ikan lele! Tidak, dia tidak mau mati begitu re­meh! Bun Beng melawan sedapatnya sambil berusaha berenang ke tepi sungai itu.

Tiba-tiba terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap. Bun Beng mendengar ini, akan tetapi dia ti­dak dapat mengalihkan perhatiannya terhadap pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar tubuh menghantam seekor ikan dengan tangan kanannya, membuat ikan itu terlempar dalam keadaan mati karena kepalanya pecah.

Tiba-tiba saja, seperti munculnya ta­di, ikan-ikan itu menyelam dan lenyap, kecuali beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum Bun Beng sem­pat sadar akan datangnva bahaya lain, tahu-tahu pundaknya terasa nyeri dan tubuhnya melayang ke atas!

Bun Beng terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar kelepak sayap burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia duga dan khawatirkan, pundaknya telah dicengke­ram oleh kaki seekor burung rajawali yang besar dan ia dibawa terbang ting­gi sekali!

“Sialan!” Bun Beng menyumpahi diri­nya. Terlepas dari mulut ikan lele, kini masuk ke dalam cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa dirinya se­lalu ditimpa kemalangan dan diancam bahaya maut yang mengerikan? Teringat ia akan pengalamannya dahulu ketika ia diterbangkan seekor burung dan dia bersembunyi di dalam keranjang. Dia memandang penuh perhatian dan keningnya berkerut. Celaka! Burungnya yang itu, itu juga! Burung rajawali milik Pulau Neraka! Tak salah lagi, dia mengenal modelnya. Wah, wah, kalau burungnya ada, tentu pemiliknya ada. Bocah laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji dan sadis! Sekarang tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam daripada dahulu.

Hampir saja Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan di atas tanah. Ia melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang ting­gi sekali sehingga sungai yang besar itu kini tampak jelas seperti seekor naga jauh di bawah. Dan burung itu tidak lagi berada di atas sungai. Kalau dia memukul dan terlepas dari cengkeram­an, tentu dia akan jatuh terbanting ke atas tanah dan remuk semua tulangnya! Maka ia lalu meraih ke atas dan tangan­nya memegang kaki burung erat-erat sambil melepaskan cengkeraman kaki burung yang masih mencengkeram pun­daknya. Kini dialah yang memegang ka­ki burung, tidak berani melepaskan karena hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya.

Tiba-tiba ia melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat datang dari jauh. Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking keras. Ce­laka, pikirnya, tak salah lagi tentulah bocah setan itu yang datang menung­gang burungnya. Masih terlalu jauh un­tuk dapat dilihat apakah burung yang terbang datang itu ada penunggangnya atau tidak. Dia memutar otaknya, men­cari akal apa yang harus dilakukannya kalau sampai pemuda setan itu betul-betul datang. Kalau saja dia bisa naik ke atas punggung burung ini, dia akan mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan. Sama-sama menunggang burung, barulah ramai dan sebanding kalau bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki burung, tentu saja dia tidak dapat melakukan perlawanan dengan baik, paling-paling dia hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sebelah tangan yang sebelah lagi harus ia pergunakan untuk bergantungan pada kaki burung.

Tiba-tiba burung yang membawanya itu pun melengking keras, lengking tan­da kemarahan dan ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat, hati Bun Beng agak lega karena tidak tampak ada penunggangnya. Akan tetapi, kelegaan hatinya itu menjadi berubah seketika ketika kedua ekor burung itu sudah saling serang dengan hebatnya. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung yang baru datang adalah seekor burung garuda putih. Dia mengenal bu­rung itu. Burung tunggangan Pendekar Siluman. Burung garuda dari Pulau Es! Tentu saja dua ekor burung yang menjadi musuh lama itu kini saling terjang mati-matian, saling cakar, saling patuk, saling kabruk sambil mengeluarkan sua­ra melengking menulikan telinga.

Bun Beng yang celaka dalam perta­rungan antar dua ekor burung raksasa itu. Betapa tidak? Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di dalam pertandingan itu, kedua ekor burung sa­ling terjang sehingga tubuh Bun Beng terbawa, terguncang, bahkan dia menjadi korban terkaman burung garuda yang tentu saja tidak dapat membedakan dia dari kaki burung lawan.

Bun Beng yang masih bergantung pa­da kaki rajawali menjadi serba salah. Mau membantu garuda putih dengan me­mukul tubuh rajawali, berarti dia seper­ti memukul diri sendiri. Kalau rajawali itu jatuh, bukankah berarti dia sendiri pun jatuh jatuh ke bawah? Mau memban­tu burung rajawali, dapat ia lakukan dengan jalan memukul garuda putih di waktu dua ekor burung itu saling kabruk, hatinya tidak mengijinkan karena dalam pertandingan antara kedua ekor burung itu otomatis dia berpihak kepada garuda putih yang menjadi peliharaan Pendekar Siluman yang ia kagumi. Membantu raja­wali salah, membantu garuda pun tidak mungkin. Diam saja juga tidak baik ka­rena dialah yang palnng payah dalam pertadingan angkasa itu.

Bun Beng benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini, kena patuk, kena cakar sehingga ia luka-luka dan tubuh­nya terasa sakit-sakit, pakaiannya banyak yang terkoyak. Ini benar-benar menyiksa hatinya. Dalam pertadingan biasa, biar­pun melawan musuh yang jauh lebih pan­dai, sedikitnya dia bisa melawan, balas menyerang, atau kalau sudah merasa kalah, dapat melarikan diri. Akan teta­pi sekarang ini sama sekali dia tidak berdaya. Membalas tidak bisa, melin­dungi tubuh sendiri pun tidak sempurna, melarikan diri pun.... mana mungkin? Habislah ikhtiar sebagai manusia dan dalam keadaan seperti itu, tidak lain jalan lagi kecuali menyerahkan nasib ke tangan Tuhan! Dia hanya dapat menggunakan sebelah tangan untuk menangkis setiap ada bahaya patukan, cengkeraman atau kabrukan sayap yang mempunyai tenaga kwintalan!

Dalam pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya terdesak hebat. Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah. Hal ini tidak mengherankan. Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari Pulau Es yang terlatih itu merupakan lawan be­rat baginya, apalagi sekarang sebelah kakinya diganduli orang, tentu saja hal ini membuat gerakannya kurang leluasa sehingga dia lebih banyak menerima pa­tukan dan cengkeraman. Karena itu, sambil mengeluarkan suara melengking bingung, seperti seekor ayam dikejar-kejar anak kecil, rajawali raksasa itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang diganduli Bun Beng, berusaha melepas­kan orang yang menjadi pengganggu ge­rakannya. Bun Beng maklum akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak su­di disuruh turun begitu saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat yang tingginya ribuan kaki! Maka ia malah menggunakan tenaganya untuk memegang kaki rajawali itu sekuat mungkin se­hingga biarpun rajawali itu berusaha un­tuk menendangkan kakinya tubuh Bun Beng tetap saja tidak terlepas dari kaki­nya.

Namun, kini keadaan Bun Beng ma­kin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga diri dari serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali dan tanpa disengaja menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini berusaha melepaskannya, Bun Beng harus mengha­dapi dua serangan, yaitu dari garuda yang masih menyerang secara ngawur sehing­ga dirinya ikut diserang, dan dari raja­wali yang hendak menendang dirinya supaya terlepas.

Tubuh Bun Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya terlepas. Betapapun juga, dia tidak bera­ni memegang kaki rajawali itu dengan dua tangannya, karena tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga diri, me­nangkis terjangan garuda. Kepalanya menjadi pening dan tangan kirinya tera­sa penat sekali. Kalau sudah tidak kuat, dia mengganti tangan kiri dengan tangan kanan yang menggandul, sedangkan ta­ngan kirinya yang penat itu ia perguna­kan untuk melindungi tubuhnya dari ter­jangan garuda putih.

Ketika burung garuda menyambar lagi, kini dari bawah, agaknya garuda yang cerdik itu melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya, paruh dan cakar garuda yang menerjang perut raja­wali itu otomatis mengabruk pula tubuh Bun Beng yang tergantung.

“Celaka....!” Pemuda itu berseru ke­ras dan betapapun ia hendak memperta­hankan, tak mungkin ia menangkis se­rangan garuda sehebat itu hanya dengan tangan yang sudah penat. Gerakan me­nyelamatkan dirinya secara otomatis membuat ia menggunakan pula tangan kanan, lupa bahwa tangan kanannya tak boleh dilepaskan dari kaki rajawali. Be­gitu ia menggerakkan tangan kanan me­lepaskan kaki rajawali, tentu saja tubuh­nya terlepas dan melayang ke bawah.

“Mampus aku sekarang....!” Ia mengo­mel karena jengkel akan kebodohannya sendiri, akan tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang, “....kalau Tuhan menghendaki....!”

Akan tetapi betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh meluncur ke bawah sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah yang berbatu? Betapapun lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai tubuhnya yang meluncur turun cepat sekali, seperti ba­tu disambitkan.

Bukan main herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan mata ini seperti dalam mimpi ia meli­hat wajah yang berubah-ubah. Pertama wajah Milana, kemudian berubah menja­di wajah Kwi Hong, dan berubah lagi menjadi wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai. Gila, ia menyumpah. Menga­pa dalam menghadapi maut yang agak­nya sekali ini tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya jadi kacau-balau dan ia teringat akan gadis-gadis itu? Ini­kah yang disebut watak mata keranjang seorang pria? Ayahnya memperkosa ibu­nya! Ayahnya dan ibunya saling bunuh! Anak haram, kata Ketua Thian-liong-pang. Anak seorang datuk kaum sesat, seringkali ia mendengarnya. Dan dia ma­sih cucu keponakan seorang tokoh Thian-liong-pang yang mukanya seperti singa. Orang macam apakah dia? Mati pun ti­dak ada yang kehilangan. Pikiran ini membuat dia makin tenang, karena ia berpendapat bahwa orang seperti dia ini kalau terus hidup pun hanya akan mengalami kesengsaraan dan penghina­an, mengalami tekanan batin dan tidak dihargai orang. Satu-satunya orang yang paling baik terhadapnya adalah suhunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi suhunya itu telah dibunuh secara mengerikan oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang tinggi kurus itu bersama pembantu-pembantu­nya. Tidak, dia tidak boleh mati! Biar­pun kalau hidup ia mengalami kesengsa­raan batin, akan tetapi dia harus hidup untuk menuntut balas atas kematian Siauw Lam Hwesio yang demikian me­nyedihkan! Dan dia masih meninggalkan sepasang pedang pusaka yang belum diam­bilnya. Sayang kalau pedang itu tersia-sia hilang di tempat rahasia itu. Kini timbul keinginan hatinya untuk menye­rahkan pedang itu kepada Pendekar Silu­man, satu-satunya orang yang dikagumi­nya di antara seluruh tokoh sakti di du­nia ini.

“Aku tidak mau mati dulu!” Bun Beng berteriak diluar kesadarannya dan tiba-tiba ia melihat seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka, apakah ia dikejar dua ekor burung tadi? Ah, tidak, burung ini berada di bawahnya, bergerak-gerak terbang menyongsongnya, tentu akan menyerangnya pula. Dalam keadaan melayang dan meluncur turun ini, se­dangkan menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu, bagaimana ia akan dapat mem­pertahankan diri kalau burung raksasa ini menyerangnya? Ah, dia akan tertolong kalau dapat menangkap burung itu. Asal dapat menangkapnya, entah merangkul lehernya atau merangkul kakinya, pen­deknya dia harus dapat mengunakan bu­rung itu sebagai penyelamatnya dari ke­jatuhan yang tak dapat disangsikan lagi akan kehancuran tubuhnya. Kalau tadi timbul kengerian karena takut diserang burung baru ini, sekarang dia malah mengharap agar burung itu benar-benar menyerangnya. Karena kalau dia yang harus menuju ke burung itu, tentu saja tidak mungkin. Tanpa sayap mana mung­kin dia bisa mengatur meluncurnya itu?

Makin dekat.... dan Bun Beng kembali menyumpah, “Dasar awak sialan!” Yang disangkanya burung raksasa itu ternyata hanyalah sebuah layangan besar sekali. Memang bentuknya seperti burung, bah­kan dilukis seperti burung, akan tetapi tetap saja benda itu hanya sebuah layang-layang yang biasa menjadi permainan seorang kanak-kanak! Apa artinya sebu­ah layang-layang baginya dalam keadaan terancam bahaya maut seperti itu? Se­akan-akan malah mengejeknya, bergerak-gerak ke kanan kiri dipermainkan angin.

Melihat betapa layang-layang itu berge­rak-gerak seperti seekor burung yang menari-nari mengejeknya, timbul rasa panas di hati Bun Beng. Memang dia terancam bahaya maut, akan tetapi se­dikit pun dia tidak takut. Mengapa harus diejek? Karena dia tidak berdaya membalas, kalau dia dapat tentu akan ditang­kapnya layang-layang itu dan dicabik-cabiknya, maka Bun Beng hanya meme­jamkan matanya dan membiarkan tubuh­nya meluncur terus ke bawah.

Teringat ia ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali terbang dan berada di dalam keranjang, akan te­tapi di bawahnya adalah laut luas sehing­ga dia terjatuh dengan empuk. Hanya satu perbedaannya, kalau dahulu di wak­tu dia masih kecil dia menjadi pingsan ketika meluncur turun, kini dia dapat mempertahankan diri dan tidak menjadi pingsan. Hal ini karena sin-kangnya su­dah bertambah jauh lebih kuat, maka ia merasa dadanya sesak dan sukar berna­pas namun ia masih dapat menahannya dan masih dalam keadaan sadar sepenuh­nya, merasakan betapa tubuhnya mela­yang turun dengan kecepatan yang me­ngerikan.

Tiba-tiba ia merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka mata, ia melihat bahwa kedua kakinya terlibat oleh sehelai tali yang cukup besar, sebe­sar kelingking. Tubuhnya yang bergan­tung itu bergoyang ke kanan kiri, akan tetapi tidak melucur ke bawah lagi. Ia melihat ke atas, di atas kepalanya, tidak begitu tinggi, hanya sejauh lima enam meter, tampak layang-layang rak­sasa tadi bergerak-gerak.

“Setan! Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si ke­parat!” Tiba-tiba Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan ma­ta terbelalak ia melihat bahwa di ba­wah layang-layang itu tampak seorang kakek berdiri di tali-temali layang-layang, seorang kakek yang bertubuh pen­dek, berjenggot panjang dengan rambut terurai lepas, melambai tertiup angin. Yang membuat ia terkejut adalah wajah­nya berwarna kekuningan mendekati pu­tih, hanya karena jenggot dan rambut­nya sudah berwarna putih perak maka wajahnya tampak menguning! Seorang tokoh Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Orang dari mana lagi kalau bukan dari Pulau Neraka yang memiliki kulit kuning seperti dicat itu?

Timbul harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali la­yang-layang, tentu ia pun dapat. Harap­an untuk hidup membuat Bun Beng sadar dan cepat-cepat ia menggunakan kedua tangannya memegang tali layang-layang dengan erat, kemudian melepaskan kaki­nya dari belitan dan membalikkan tubuh sehingga kini dia bergantung pada tali layang-layang itu, kedua tangannya me­megang erat dan kedua kakinya ia libat­kan. Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu makin kacau gerakan­nya, bergoyang ke kanan kiri, kadang-kadang menukik turun dengan kecepatan mengerikan dan mengeluarkan bunyi angin bercuitan.

 “Setan! Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau datang mengacau layang-layangku, heh? Lekas.... wah celaka, pindahkan berat tu­buhmu ke kanan, injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke atas. Wah-wah.... celaka, bisa terus layang-layang ini. Sialan, kau merampas kegembiraan­ku!”

Tidak usah dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa ba­hayanya “menunggang” layang-layang de­ngan bergantungan pada talinya. Ketika layang-layang itu menukik turun, dia menjadi ngeri sekali. Mengertilah dia bahwa kakek Pulau Neraka yang aneh itu tadi “mengemudikan” layang-layang secara aneh dan biarpun di dalam hati­nya dia tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka yang dianggapnya jahat, namun mendengar perintah itu, otomatis dia mentaatinya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanyalah orang senasib sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau ber­hasil sama-sama selamat. Dia mengerah­kan tenaganya ke kanan menginjak tali layang-layang dan mengenjot tubuh ke atas. Benar saja, layang-layang yang ke­hilangan gandulan dan bobot di bawah itu segera menghentikan gerakan menu­kik ke bawah, kepalanya kgmbali ke atas dan kini layang-layang itu menjadi “odek” (bergoyang-goyang ke kanan kiri cepat sekali) membuat tubuh Bun Beng terbawa goyang-goyang membuat kepala­nya pening karena tubuhnya seperti diko­cok ke kanan kiri.

“Setan udara! Apakah engkau sudah bosan hidup? Jangan pegang erat-erat, layang-layang menjadi odek tidak karu­an, sialan!”

Biarpun dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka ber­dua tergantung dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan bertanya.

“Habis bagaimana, Kakek yang baik?”

“Wah-wah, kau mulai menjilat-jilat, ya? Heiii, bukankah aku pernah melihat tampangmu?”

Bun Beng menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik ke bawah, dia mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh perhatian dan.... teringatlah ia bersama Mi­lana ditolong oleh kakek muka kuning yang aneh. Kiranya inilah orangnya! Tak salah lagi. Biarpun kini kelihatan lebih tua dan memakai sepatu pula, tidak ber­telanjang kaki macam dulu, namun sikap aneh kakek itu malah bertambah dan si­kap inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi dia pun teringat betapa dalam pertemuan-pertemuan pertama itu dia telah mengakali kakek ini untuk dapat melarikan diri bersama Milana, maka ia menganggap bahwa tidaklah cerdik untuk mengakuinya.

“Aku tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe.”

“Ahhh, bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm.... kalau saja engkau su­dah tua dan kepalamu botak.... heiii, kau mau ke mana?”

Bun Beng tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah dan maklum bahwa kalau dia me­rosot turun melalui tali layang-layang itu, dia akan dapat sampai ke bumi dan dapat membebaskan diri. Maka kini dia mulai melorot turun sambil berkata, “Locianpwe, aku mau turun, tidak kera­san di sini!”

“Eh, eh, enak saja! Mana bisa?” Ka­kek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba layang-layang itu menukik ke kiri, kemu­dian membuat gerakan melingkar sehing­ga tali itu pun menggantung dan ikut pula berputar.

“Wuuuttt!”

“Aihhh....!” Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan, bergantung pada tali agar jangan sampai terkena pa­tukan layang-layang yang menyambar ke arah tubuhnya! Serangan aneh layang-layang itu luput, akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan kepandaiannya yang dahsyat, tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia meloncat turun dan akan hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tubuhnya, menarik-narik tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang itu menjadi kacau balau gerakannya.­

“Eh.... Ohh.... setan cilik! Jangan kacau layanganku!” Kakek itu terkejut dan memaki-maki.

Bun Beng tersenyum. “Kalau Locian­pwe tetap menyerangku, aku pun akan tetap menarik-narik tali layangan sam­pai putus, biar kita berdua mampus!”

“Eh, jangan, eh.... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?”

“Masa bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Akan te­tapi Locianpwe akan terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke neraka!”

“Hahh-ho kalau neraka memang tem­patku. Akan tetapi jangan.... biarlah kita berjanji, aku tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan menarik-narik talinya.”

“Aku berjanji tak akan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan menghalangi aku turun.”

“Wah, perjanjian kentut! Mana bisa begitu? Aku tidak menyerangmu dan kau tidak menarik-narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah lagi kau kubiarkan turun berarti kau minta dua memberi satu. Mana adil?”

“Kalau aku tidak boleh turun, apa ar­tinya perjanjian ini? Locianpwe mau me­nang sendiri saja. Aku hendak turun, Lo­cianpwe menghalang, maka aku menarik tali. Kalau Locianpwe tidak melayani aku turun, aku tidak akan menarik tali­nya, itu baru adil namanya.”

“Wah, monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha, nah, kau turunlah, hendak kulihat bagai­mana!” Tiba-tiba angin bertiup keras sekali membuat layang-layang itu terbang miring ke kiri.

“Wuuuutttt....!”

“Aihhh, celaka. Jangan erat-erat me­megang talinya, longgar-longgar saja, kau mengganggu kendaliku!” Kakek itu memindahkan berat tubuhnya dan melon­cat ke pinggir kanan layang-layang itu.

“Siuuuttt....!” Kini layang-layang mi­ring ke kanan dengan cepatnya sehing­ga tubuh Bun Beng terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan, membuat ke­palanya pening dan jantungnya berdebar penuh kengerian.

“Aku mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak akan menyerangku!” Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada kakek yang ia tahu amat cerdik dan curang itu.

“Apa? Bersumpah?” Kakek itu terta­wa-tawa dan kini layang-layang kemba­li telah lurus dan tenang. “Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah dan lima puluh kali melanggarnya, kini di­tambah satu kali sumpah untuk dilang­gar lima kali, tidak mengapalah!”

“Wah, sumpah seperti itu apa harga­nya?” Bun Beng mendongkol sekali dan maklum bahwa sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa geli juga. Kakek ini curang ataukah ju­jur? Mengapa kebiasaan melanggar sum­pah dia katakan secara terus terang ma­cam itu? Tidak curang tidak jujur, me­lainkan gila agaknya!

“Kalau begitu, biar kutarik putus ta­li ini!” katanya dan mulai menarik-narik lagi.

“Eit-eit-eiitt....! Jangan! Biarlah, tan­pa sumpah-sumpahan. Kau boleh turun tanpa kuhalangi, akan tetapi kau harus memberitahukan namamu.”

Bun Beng berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat. Orang-orang Pulau Neraka tentulah bukan golongan bersih, maka apa salahnya kalau dia mengaku? Sesama kaum tentulah tidak ada pertentangan.

“Baiklah, Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng....”

“Astaga! Engkau bocah yang dulu ku­cari-cari? Bocah yang ditinggalkan Ibumu di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho? Ha-ha-ha, engkau putera Gak Liat Si Botak! Pantas saja aku seperti per­nah melihat macammu, kiranya anak Si Gak Liat, Si Setan Botak. Ha-ha-ha-heh-heh-heh!” Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan memegangi tali layang-layang, tangan kiri menekan-nekan perutnya.

Mengkal sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu. “Kakek gila, engkau terlalu menghina orang! Si­apa sih engkau yang begini sombong? Dan apa hubunganmu dengan Ayah Bun­daku?”

“Ha-ha-heh-heh-heh!” Kakek itu ma­sih terpingkal-pingkal bahkan saking geli hatinya, air matanya bercucuran di atas pipinya yang kuning. “Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia kang-ouw aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan tetapi aku baru bebera­pa tahun merantau. Dalam perantauanku yang pertama, kebetulan sekali aku ber­temu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat Ayahmu, kami bertanding dan aku mem­buat dia payah sampai terkencing-ken­cing! Ha-ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia mengangkat aku sebagai kakak angkat! Lalu dia menceritakan bahwa yang membuat dia sering kali tak dapat tidur adalah perbuatan­nya atas diri Bhok Kim murid Siauw-lim-pai. Dia mendengar kabar bahwa wanita itu melahirkan seorang putera sebagai akibat perbuatannya yang memperkosa wanita itu. Dia berpesan agar aku kelak mengambil anaknya itu sebagai anak angkat. Ha-ha-ha, biarpun hasil perkosa­an, namun Gak Liat amat sayang kepa­da anaknya karena memang dia tidak pernah punya keturunan. Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas ber­sama Ibumu, aku lalu menyuruh anak bu­ahku untuk merampasmu, akan tetapi....”

“Anak buahmu keok semua oleh Pen­dekar Siluman! Sudahlah, aku tidak per­lu mendengar lebih lanjut. Eh, apakah Locianpwe ini Majikan Pulau Neraka?”

Kakek itu mengangguk. “Aku memang Ketua Pulau Neraka.... eh, maksudku, be­kas ketua.”

Bun Beng tidak ingin tahu lebih ba­nyak tentang pulau itu, maka ia lalu melorot terus sambil berkata, “Sudahlah. Aku sudah mengaku namaku, sekarang aku akan turun.”

“Wah, mana bisa? Kalau kau turun kemudian kau memutuskan tali layang-layang dari bawah, bukankah aku yang cia-lat?”

Bun Beng berhenti dan memandang ke atas, alisnya terangkat. “Apakah Lo­cianpwe tidak percaya kepadaku? Aku bukanlah orang yang curang seperti Lo­cianpwe!”

“Heh-heh-heh, siapa tahu? Engkau anak Setan Botak dan dalam hal kelicik­an, kecurangan dan segala macam sifat busuk ini, di dunia tidak ada yang me­nyamai dia, siapa tahu sifat liciknya menurun kepadamu. Tunggu, aku pun akan turun!”

Bun Beng tidak peduli dan melanjut­kan usahanya merosot turun melalui tali layang-layang, akan tetapi tiba-tiba ka­kek itu berteriak.

“Wah, celaka tiga belas! Taufan da­tang....!”

Teriakan itu dikeluarkan dengan su­ara keras dan penuh rasa kaget, membuat Bun Beng menengok. Dari jauh tam­pak awan hitam datang cepat sekali dan tak lama kemudian, layang-layang itu meliuk ke kiri dengan kekuatan yang he­bat.

“Lekas kita turun, Locianpwe!”

“Tidak bisa, terlambat! Lekas kau na­ik ke sini kalau mau selamat!”

Bun Beng tidak mau menurut dan hendak merosot terus, akan tetapi tiba-tiba tali layang-layang itu menegang dan bergetar hebat sehingga hampir sa­ja ia tidak kuat bertahan memeganginya karena telapak tangannya terasa nyeri bukan main. Maklumlah ia bahwa kakek itu tidak membohong, maka kini dia mu­lai merayap naik melalui tali layang-layang.

“Cepat pegang tanganku!” Kakek itu berkata, napasnya agak terengah karena dia yang kini mengulurkan tangan untuk membantu Bun Beng naik, harus mengendalikan layang-layang yang menjadi liar itu dengan sebelah tangan saja. Bun Beng memegang tangan itu dan dia ditarik naik.

“Berdiri di sini, dan pegang tali-te­mali di atasmu dengan tangan, hati-hati jangan banyak bergerak dan jangan terla­lu erat. Turut dan contoh saja aku!” Kakek itu tidak dapat bicara banyak ka­rena kini angin taufan telah mengamuk hebat, membuat layang-layang itu men­jadi seperti seekor kuda binal dan tidak dapat dikendalikan lagi. Layang-layang itu kadang-kadang naik makin tinggi, tinggi sekali sampai melengkung seperti akan membalik dari arah angin, kemudi­an terdorong kembali ke belakang dan talinya menegang, meliuk ke kiri sampai seperti tak pernah berakhir, kemudian terdorong ke kanan dan ada kalanya me­nukik ke bawah secara mengerikan kare­na kecepatannya luar biasa. Suara angin bercuitan menulikan telinga, dan tali layang-layang itu juga mengeluarkan bu­nyi berdering-dering seperti sehelai tali yang-kim ditabuh, suaranya kadang-ka­dang rendah sesuai dengan tinggi rendah­nya getaran yang disebabkan oleh tarik­an layang-layang yang terbawa angin taufan.

Kakek itu memaki-maki Bun Beng. “Sialan! Bodoh seperti kerbau engkau! Begini lho! Tekan kaki kanan ke depan, cepat. Bantu aku dong! Bagaimana sih? Setan cilik tolol kau! Dengar baik-baik, jangan sampai layang-layang terus menu­kik, dan jangan sekali-kali menentang arah angin langsung. Bisa celaka kita! Pindahkan tenaga ke kaki kiri, kaki ka­nan lepas, tangan kanan menarik tali di atas, cepat! Nah, sekarang kaki kanan yang menekan, tangan kiri menarik. Hayo, seperti bermain layar, akan tetapi jauh lebih sukar, seratus kali lebih sukar!”

Payah juga Bun Beng mengikuti ge­rakan dan perintah kakek itu. Tenaga yang dipergunakan untuk melawan kekuatan angin ini merupakan tenaga selu­ruhnya, itu pun hampir tidak ada arti­nya terhadap kekuatan angin yang maha dahsyat itu. Kini kakek itu memerintah­kan agar tenaga dirobah-robah, bagaima­na mungkin begitu mudah? Hampir bebe­rapa detik harus dirobah lagi. Bun Beng merasa seluruh tubuhnya ngilu dan sakit-sakit, kedua kakinya menggigil dan ke­dua tangannya gemetar, hampir tak kuat memegang tali-temali layang-layang lebih lama lagi.

“Tolol! Jangan berhenti! Aku sendiri mana kuat mengemudikan layang-layang ini? Kalau tidak ada engkau di sini, ten­tu aku dapat, akan tetapi ditambah be­ratmu, benar-benar repot!”

Sementara itu, angin bertiup makin keras, kini malah disertai kilat menyam­bar-nyambar, halilintar bermain-main di atas dan kanan kiri mereka. Cuaca menjadi gelap, bahkan kini percikan air-air halus yang amat kuat sehingga seperti berubah menjadi laksaan jarum-jarum ke­cil menerjang mereka.

“Celaka.... celaka....!” Kakek itu ma­kin repot dan jelas bahwa dia ketakutan. Bun Beng yang biasanya senang mengha­dapi maut, menyaksikan sikap kakek itu ketularan rasa takut. Memang keadaan amat mengerikan, dibawa oleh layang-layang dan dipermainkan angin taufan, halilintar dan hujan seperti itu!

“Dengar baik-baik kalau kau tidak ingin mati turut perintahku dan pelajari agar jangan sampai gagal. Taufan ini berbahaya sekali, untuk turun sekarang tidak mungkin. Satu-satunya jalan hanya mengemudikan layang-layang ini sebaik mungkin agar tidak sampai menukik turun atau talinya putus.” Kakek itu su­kar sekali bicara dengan jelas karena kencangnya angin meniup terbang suara­nya. Terpaksa ia lalu merangkul Bun Beng dan berteriak.

“Rangkul aku dan dekatkan telinga­mu pada mulutku!”

Setelah Bun Beng melakukan perintah ini, Kwi-bun Lo-mo lalu membisikkan pe­lajaran sedikit demi sedikit caranya menggerakkan tenaga pada kaki dan ta­ngan, mengatur bobot, memindah-mindah­kan tenaga dalam untuk mengimbangi serangan angin yang amat dahsyat. Bun Beng mendengarkan dengan penuh perha­tian, kemudian sekalian mempraktekkan pelajaran itu mencontoh gerakan kakek aneh dan membantunya mengemudikan layang-layang. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan berbahaya itu dia telah menerima pelajaran ilmu ra­hasia yang amat hebat, yaitu Ilmu Hoan-sin-kang (Memindahkan Tenaga Sakti) yang tidak hanya dapat dipergunakan untuk mengemudikan layang-layang me­lawan serangan angin taufan yang maha dahsyat, akan tetapi juga merupakan il­mu yang dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan berat yang memiliki sin-kang amat kuat! Ilmu ini merupakan ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Ketua atau Majikan Pulau Neraka, dan selain Si Ketua sendiri, hanya kakek inilah orang ke dua yang memilikinya, maka dia berani main-main dengan maut di tempat berbahaya itu, yaitu bermain dan mengemudikan layang-layang.

Mati-matian kedua orang itu bertem­pur dengan angin taufan, bersama-sama mengemudikan layang-layang yang mere­ka paksa untuk menuruti kehendak mere­ka, melawan kehendak angin. Sampai se­tengah hari lamanya angin taufan me­ngamuk dan selama setengah hari itu merupakan latihan yang amat hebat ba­gi Bun Beng, latihan terberat yang per­nah ia alami selama hidupnya, akan te­tapi karena keadaan yang memaksa, demi menolong nyawa, dalam ilmu sepen­dek itu dia telah berhasil memetik inti dari ilmu ini!

Menjelang senja, barulah angin tau­fan itu mereda, hujan pun berhenti. De­ngan pakaian basah kuyup, kedua orang itu terengah-engah berdiri di atas tali dan berpegang pada tali layang-layang yang juga basah semua dan luntur gam­barnya. Mereka kehabisan tenaga dan kini hanya mengandalkan kaki tangan yang sudah gemetar karena penat, tubuh menggigil kedinginan dan kehabisan tena­ga. Akan tetapi kakek itu menyeringai tersenyum lebar memandang Bun Beng.

“Engkau hebat, orang muda. Ha-ha-ha, tidak percuma engkau menjadi pute­ra Gak Liat, heh-heh-heh!”

Melihat betapa kakek itu bicara sebe­narnya, tidak mengolok-olok dan mema­ki-maki lagi, Bun Beng berkata sungguh-sungguh. “Locianpwe yang hebat dan aku kagum sekali. Sebetulnya, macam apa­kah mendiang Ayah itu?”

“Gak Liat? Ya begitulah, seorang manusia seperti aku dan engkau ini,” jawab kakek itu seenaknya.

“Tapi, banyak orang menyebutnya seorang jahat. Dan Locianpwe sendiri ta­di mengatakan dia seorang yang licik dan curang.”

“Memang dia licik dan curang, no­mor satu di dunia mengenai kelicikan­nya. Akan tetapi kalau tidak licik, ma­na mungkin dia menjadi datuk kaum se­sat? Tanpa kelicikan, mana mungkin da­pat menonjol di dunia hitam?” Biarpun kakek itu mulai memuji ayahnya, namun pujian ini mendatangkan rasa tak puas di hati Bun Beng. Bagaimana hatinya akan senang dan puas kalau ayahnya dipuji sebagai seorang yang paling licik di dunia, sebagai seorang to­koh, bahkan datuk kaum sesat?

“Sudahlah, Locianpwe. Terima kasih atas pertolonganmu, aku hendak turun sekarang.”

Setelah berkata demikian, Bun Beng merosot turun dan biarpun kedua tela­pak tangannya menjadi panas karena te­naganya sudah hambir habis, namun ra­sa nyeri itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan kesengsaraan selama se­tengah hari tadi dan ia merosot terus.

“He, tunggu! Apa kaukira aku selama­nya akan tinggal di sini? Aku pun mau turun!” Kakek itu bergegas turun pula dari tali layang-layang yang kini ter­bang dengan anteng dibawa angin semi­lir halus. Keduanya lalu merosot turun melalui tali layang-layang yang amat tinggi itu. Demikian tingginya layang-layang itu sehingga Bun Beng melihat pohon-pohon amat kecil di bawah, seper­ti rumput saja. Ia bergidik. Bukan main kakek bermuka kuning itu, main-main dengan maut seperti itu. Apa sih senang­nya bermain-main dengan layang-layang yang begitu tinggi? Memang menegang­kan, seperti seekor burung garuda terbang di angkasa, akan tetapi bagaimana kalau tali layang-layang putus? Bagaimana kalau kehabisan angin dan layang-layang itu melayang turun? Benar-benar perma­inan yang berbahaya dan gila!

“Ha, Bun Beng, aku girang sekali dapat bertemu denganmu. Aku akan da­pat memenuhi permintaan mendiang Ayahmu. Ikutlah bersamaku dan engkau akan memperoleh kepandaian hebat, apa­lagi kalau Pangcu kami bersedia mem­bimbingmu. Ketua kami adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti....”

“Iblis!” Bun Beng menyambung. “Ke­tua Pulau Neraka tentu seorang iblis.”

“Ha-ha! Engkau seperti Ayahmu. Memang benar kepandaiannya hebat se­perti iblis sendiri.”

Bun Beng tidak menjawab dan menca­ri akal bagaimana dia akan dapat mem­bebaskan diri dari kakek yang melorot turun di atasnya itu. Dia tidak sudi menjadi anggauta Pulau Neraka seperti dia tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang. Biar dia dijanji akan diberi pelajaran ilmu yang tinggi, yang tidak diragukannya lagi, akan tetapi satu-satu­nya yang ia mau menjadi gurunya hanya­lah Pendekar Siluman! Kalau Pendekar Siluman yang mengajaknya ke Pulau Es, tentu dia tidak akan menolak, bahkan akan menjadi girang sekali. Kini dia mencari akal bagaimana dapat melari­kan diri dari kakek itu. Dia mempercepat gerakan kaki tangannya melorot tu­run, akan tetapi kakek itu tetap berada dekat di atas kepalanya!

Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan ke bawah. “Heiii....! Bangkotan busuk, penge­cut laknat, jangan curang kau! Tunggu sampai aku turun dan kita boleh bertan­ding sampai selaksa jurus!”

Bun Beng cepat memandang ke ba­wah dan ia juga terkejut sekali. Di ba­wah sana, ia melihat bahwa tali layang-layang itu oleh Si Kakek aneh diikatkan pada sebatang pohon besar dan ujung ta­li malah dikaitkan kuat-kuat pada sebu­ah batu karang yang kokoh. Kiranya se­telah kakek itu berhasil menaikkan la­yang-layangnya sampai tinggi sekali, ia mengikat tali itu di sana kemudian agak­nya kakek itu lalu memanjat ke atas melalui tali layang-layang untuk kemudi­an bermain-main di atas! Dan kini di dekat pohon itu tampak seorang kakek bersorban dengan tubuh dibelit-belit ka­in kuning seperti mendiang Kakek Naya­kavhira pembuat pedang yang dahulu datang menunggang gajah dan juga per­nah bertanding dengan kakek muka ku­ning ini! Di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki tampan dan yang membuat Bun Beng merasa terkejut adalah ketika melihat betapa kakek bersorban itu menghampiri tali layang-layang dan agaknya hendak memutus tali itu!

“Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa berge­lak dan agaknya Kwi-bun Lo-mo baru ta­hu bahwa kakek bersorban itu bukanlah kakek India penunggang gajah yang dulu pernah bertempur dengannya. Tentu sa­ja Bun Beng mengerti bahwa kakek di bawah itu bukan Nayakavhira karena biarpun hampir sama, kakek di bawah itu lebih tinggi dan kurus, juga kulitnya lebih hitam.

“Setan India! Jangan curang, tunggu aku turun kalau berani!” Kembali Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil melorot ma­kin cepat mengikuti Bun Beng, akan te­tapi jarak antara mereka dengan tanah masih terlampau tinggi sehingga kalau sekarang tali itu diputus, mereka akan celaka!

“Bun Beng, kau melorot sambil bergantung. Jangan menghalangi aku. Kalau dia berani memutus tali, akan kuarah­kan jatuhku ke tubuh si keparat itu!” Kwi-bun Lo-mo berseru dan Bun Beng melanjutkan gerakannya merosot sambil bergantung ke bawah.

“Ha-ha-ha, kalian berdua bermain-main dengan maut. Nah, mampuslah!” Orang India yang tertawa-tawa itu meloncat dekat dan menggerakkan tangan hendak memutus tali layang-layang. Bun Beng sudah merasa ngeri, apalagi sete­lah kini mengenal kakek India itu sebagai kakek sakti yang pernah bertanding me­lawan Pendekar Siluman, pertadingan yang amat luar biasa di mana kedua orang sakti itu mempergunakan ilmu sihir sehingga yang bertanding adalah bayang­an atau semangat mereka! Celaka, pikir­nya, andaikata mereka dapat turun juga, ia merasa ragu-ragu apakah Kwi-bun Lo-mo mampu menandingi kakek yang memiliki ilmu sihir itu! Dan laki-laki yang berada di belakang kakek bersor­ban itu pun dia kenal, karena laki-laki itulah yang dahulu pernah menculik Kwi Hong, laki-laki berpakaian sasterawan yang setengah gila dan yang mencuri pe­dang pusaka buatan Kakek Nayakavhira!

Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan halus,

“Iblis tua keparat!”

Muncullah seorang dara yang gerakan­nya gesit sekali. Bayangannya didahului sinar dari pedangnya yang ia pergunakan untuk menerjang kakek bersorban dengan gerakan luar biasa, pedangnya memben­tuk lingkaran pada ujungnya seolah-olah hendak mengguratkan lingkaran pada dada kakek bersorban. Menghadapi se­rangan hebat ini, kakek ini berseru kaget dan cepat meloncat mundur, tidak men­dapat kesempatan untuk memutus tali layang-layang. Namun dara itu terus menyerangnya dengan gerakan luar bia­sa, pedangnya lenyap menjadi sinar bergulung-gulung yang seolah-olah merupa­kan awan atau kabut menggulung tubuh kakek bersorban!

“Hayo cepat turun!” Kwi-bun Lo-mo berseru. Tanpa diperintah pun Bun Beng sudah mempercepat gerakannya merosot terun dan bukan main lega hatinya sete­lah kedua kakinya merasai tanah yang teguh dan kuat. Hampir saja ia terhu­yung karena setelah kini menginjak ta­nah, tubuhnya masih terasa ringan seolah-olah tak berobah, seperti orang mabok arak. Akan tetapi semenjak tadi pan­dang matanya tidak terlepas dari dara yang masih menyerang kakek bersorban. Bukan main hebatnya terjangan gadis itu dan jantung Bun Beng berdebar tegang. Ketika ia mengenal dara itu. Biar­pun kini telah menjadi seorang gadis de­wasa yang amat cantik, namun tidak sa­lah iagi, dia itu adalah Giam Kwi Hong, murid atau juga keponakan Pendekar Siluman! Kakek bersorban itu, yang Bun Beng tahu amat sakti, sampai terdesak mundur, repot mengelak dari sambaran pedang di tangan Kwi Hong.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau bukan tua bangka penunggang gajah!” Kwi-bun Lo-mo tertawa dan pada saat Maharya, kakek India itu mencelat ke kanan un­tuk menjauhi sinar pedang Kwi Hong dan berada dekat dengannya, Kwi-bun Lo-mo cepat menghantamnya dengan kedua lengan didorongkan ke depan. Ter­dengar bunyi bersuit dan angin menyam­bar ke arah kakek bersorban yang cepat mendorongkan pula kedua tangannya me­nangkis.

“Dessss!” Dua tenaga sin-kang raksa­sa bertemu dan kedua orang kakek itu terpental ke belakang.

“Wah-wah, kau hebat juga....!” Kwi-bun Lo-mo berseru kaget.

“Mundur kalian bertiga....!” Tiba-tiba Maharya membentak, suaranya mengge­ledek penuh wibawa yang aneh dan ba­gaikan menanti perintah yang tak dapat dibantah lagi karena segala kemauan ha­ti mereka dikuasai perintah ini, Kwi-bun Lo-mo, Kwi Hong dan Bun Beng otoma­tis meloncat mundur sampai lima meter!

“Locianpwe, Nona Kwi Hong, awas dia mempunyai ilmu sihir! Jangan me­mandang matanya dan jangan mende­ngar suaranya!” Bun Beng cepat berteri­ak, kemudian ia mendahului menerjang laki-laki yang sejak tadi hanya menonton Maharya bertanding dengan Kwi Hong. Laki-laki ini bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang tadi bengong me­mandang Kwi Hong dengan penuh gairah. Dia tadi tidak membantu karena tentu saja ia percaya penuh akan kesaktian gu­runya. Akan tetapi melihat betapa dua orang yang secara aneh turun dari tali layang-layang itu bukan orang semba­rangan pula, apalagi kini Bun Beng me­loncat maju dan menyerangnya dengan gerakan dahsyat, dia terkekeh, meman­dang rendah pemuda itu dan mengelak sambil balas menyerang.

Bun Beng menjadi heran melihat gerakan lawan yang luar biasa, kedua kaki lawan tidak meninggalkan tanah, akan tetapi tubuhnya bisa meliuk-liuk dengan lemas, seperti sebatang pohon cemara pecut tertiup angin. Tubuh atas itu meliuk ke kiri, kemudian membalik sambil balas menye­rang dengan tangan kanan menghantam perutnya. Ketika ia menangkis dan menggeser kaki kanan, tahu-tahu tangan kiri lawan sudah mencengkeram kepalanya, hal yang luar biasa sekali mengi­ngat bahwa tangan kiri lawannya itu berada dalam posisi jauh. Tangan kiri itu tiba-tiba memanjang, seperti karet yang dapat mulur dan tahu-tahu jari-jari­nya telah dekat dengan kepalanya.

“Eh....!” Ia berseru dan cepat melon­cat mundur sambil melepas tendangan ke arah lengan yang sudah ditarik kem­bali oleh Tan-siucai sambil terkekeh-kekeh.

Sementara itu Kwi Hong yang terhe­ran-heran mendengar pemuda tampan itu menyebut namanya, teringat bahwa Maharya memang pandai ilmu sihir, ma­ka otomatis ia pun mentaati peringatan pemuda itu, tidak mau memandang ma­ta kakek bersorban dan dengan kekuatan batinnya ia “menulikan” telinga agar jangan mendengar bentakan Si Kakek tu­kang sihir yang mengandung penuh daya melumpuhkanitu. Ia sudah menerjang maju lagi dengan tusukan pedangnya, di­susul serangkaian serangan hebat yang membuat Maharya kembali terdesak.

Kwi-bun Lo-mo yang kini sudah da­pat menguasai dirinya kembali setelah tadi terpengaruh sihir Maharya, merasa kagum kepada Bun Beng yang semuda itu sudah tahu akan ilmu kakek bersor­ban. Dia pun maklum bahwa ilmu sihir semacam I-hun-to-hoat untuk mempenga­ruhi pikiran orang mengandalkan kekuat­an pandang mata dan getaran suara yang mengandung sin-kang kuat sekali, maka apabila dapat mengelakkan pandang ma­ta dan suara itu tentu sihir itu tidak akan mempunyai daya kekuatan. Maka iapun menutup pendengaran dan meng­hindarkan pertemuan pandang mata, lalu tertawa mengejek.

“Heh-heh-heh, kau dukun dari Hima­laya yang busuk, tanpa sebab kau hen­dak memutus tali layang-layangku. Se­karang kau kena kutuk para dewamu, bertemu dengan seorang pemuda yang cerdik, seorang dara yang lihai sekali, dan aku yang akan mengirim nyawamu kembali ke puncak Himalaya!”

Sambil mengejek demikian, Kwi-bun Lo-mo maju pula menerjang, membantu Kwi Hong. Karena tokoh Pulau Neraka ini pun maklum bahwa Maharya bukan­lah seorang lemah, bukan hanya mengan­dalkan ilmu sihirnya melainkan memiliki ilmu kepandaian hebat pula dan bertena­ga sin-kang kuat sekali, maka begitu menyerang ia pun mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus khas dari Pulau Neraka, kedua tangannya tiba-tiba berubah menjadi lunak seperti kapas, namun di balik telapak tangan yang menjadi lu­nak ini tersembunyi kekuatan dahsyat yang akan merusak sebelah dalam tubuh lawan jika bertemu dengan tangan lunak ini. Sesuai dengan namanya yaitu Toat-beng-bian-kun (Tangan Lemas Mencabut Nyawa), ilmu ini adalah ilmu baru yang diterimanya dari Ketua Pulau Neraka. Karena ilmu pukulan tangan kosong ini telah digabung dengan ilmu khas keturun­an Pulau Neraka, yaitu hawa dan tena­ga beracun yang membuat warna kulit mereka berubah, maka tentu saja pukul­an-pukulan tangan yang kelihatannya lemas tak bertenaga dan lunak itu mengandung bahaya mengerikan dan se­tiap gerakan merupakan maut bagi la­wan! Maharya yang biasanya memandang rendah setiap lawan, kini terkejut sekali. Biarpun tadi ia kelihatan terdesak oleh gulungan sinar pedang Kwi Hong yang seperti kilat menyambar-nyambar, na­mun dia tidak gentar dan menghadapi dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, setelah sekali menangkis dan lengannya tersentuh tangan Kwi-bun Lo-mo yang mengandunng Ilmu Toat-beng-bian-kun dan membuat lengannya panas dan ga­tal, ia terkejut bukan main, berteriak keras dan melompat mundur sambil menggerakkan kedua tangannya ke sebe­lah dalam pakaiannya. Kini ia telah me­megang sepasang senjata yang amat aneh. Tangan kirinya kini telah memakai sarung tangan yang berkilauan seperti emas, sedangkan tangan kanannya meme­gang seekor ular putih yang kecil dan panjangnya hanya dua kaki, akan tetapi ular putih itu masih hidup!

“Ha-ha-ha, dukun hitam, apa engkau mau main sulap mencari uang kecil? Bukan di sini tempatnya, melainkan di pasar! Aku tidak mempunyai uang kecil sepeser pun, apalagi yang besar!” Sam­bil tertawa mengejek, Kwi-bun Lo-mo menerjang lagi dengan tangannya yang beracun, maklum bahwa pertemuan yang satu kali tadi, biarpun tentu saja tidak akan melukai lawan yang begitu pandai akan tetapi sedikitnya membuat hati la­wan gentar.

Kwi Hong yang tidak banyak bicara sudah menusukkan lagi pedangnya. Kini Maharya tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kiri yang bersa­rung tangan emas itu menangkap pedang. Bukan main kagetnya Kwi Hong karena merasa pedangnyatergetar. Ia menarik kembali pedangnya dan pada saat itu Maharya melepas pedang sambil menggunakan tenaga sin-kang mendorong.

“Aihhh!” Hanya dengan melempar tu­buh ke belakang dan berjungkir balik di udara sampai lima kali Kwi Hong dapat menghindarkan diri dari tolakan tenaga sin-kang yang dapat melukai isi dadanya itu! Ia terkejut dan maklum bahwa sela­in sarung tangan yang dipakai kakek India itu tidak mempan senjata, juga bahwa tenaga kakek itu masih jauh me­lampaui tenaganya sendiri! Kini Kwi-bun Lo-mo sudah menerjang maju mengguna­kan tangan kanan memukul dengan ta­ngan lunaknya yang beracun untuk memberi kesempatan gadis berpedang itu memulihkan kedudukannya. Maharya mengangkat tangan kiri, menangkis pukulan itu dan tangan kanannya digerak­kan.

“Plakkk!” Kedua tangan bertemu dan Kakek Kwi-bun Lo-mo terkejut karena tangan bersarung emas itu kiranya sang­gup menerima pukulan Toat-beng-bian-kun, dan kini secara tiba-tiba ular yang dipegang ekornya itu melayang dan me­nyambar lehernya dengan mulut terbuka lebar, mendesis dan menggigit! Ia cepat miringkan kepalanya akan tetapi tetap saja ular itu dapat menggigit pundaknya.

“Mampus kau!” Maharya berseru gi­rang.

“Ha-ha-ha, gigitan cacing itu enak sekali rasanya, menambah vitamin di tu­buhku. Suruh dia gigit lagi, dukun India! Ha-ha-ha!” Biarpun pundaknya mengelu­arkan sedikit darah, akan tetapi Kwi-bun Lo-mo masih tertawa-tawa. Di dalam tubuhnya yang berkulit kuning itu telah mengalir darah yang penuh racun, mana dia takut akan segala gigitan ular bera­cun?

Kakek India itu kaget dan dengan marah ia lalu menyerang kedua orang pengeroyoknya, bukan hanya ularnya yang terayun-ayun mengancam lawan dengan gigitan beracun, juga tangan kirinya yang tidak takut menghadapi senjata tajam atau pukulan beracun itu merupakan ta­ngan maut yang setiap saat menyambar hendak mencabut nyawa lawan.

Tan-siucai yang tadinya memandang rendah Bun Beng, menjadi terkejut bu­kan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar lihai se­kali ilmu silatnya. Tadinya ia mengang­gap bahwa seorang muda seperti itu akan mudah ia robohkan dengan ilmunya “tangan panjang,” yaitu lengan yang dapat ia ulur. sampai hampir dua kali panjang normal. Banyak sudah lawan yang roboh oleh ilmunya ini karena tidak menyangka-nyangka bahwa tangan itu dapat mu­lur seperti karet. Akan tetapi, pemuda itu hanya sebentar saja terkejut, kemu­dian sudah dapat menjaga diri dan mengirim serangan dengan jurus-jurus yang dahsyat, yang mendatangkan angin keras dan membuat Tan-siucai bingung. Maklum bahwa ia berhadapan dengan murid orang pandai, Tan-siucai berteriak keras dan tampaklah sinar hitam ketika ia mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang mengeluarkan bau amis se­perti telur itik membusuk. Dengan pe­dangnya ini ia menerjang dan mengobat-abitkan pedang, merupakan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Beng.

Bun Beng memang tadinya terkejut menyaksikan lengan yang bisa mulur pan­jang. Akan tetapi kemudian ia menda­pat kenyataan bahwa lawannya itu biar­pun bertenaga kuat dan memiliki ilmu aneh tidaklah seberat yang ia kira dan tidak memiliki dasar ilmu silat yang tangguh. Maka ia sudah mendesak dengan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang kuat se­hingga dua kali memukul bahu kanan dan menendang paha kiri lawan. Biarpun pu­kulan dan tendangan ini meleset dan tu­buh lawan memiliki kekebalan setidak­nya lawannya menjadi panik sehingga mencabut pedang hitam! Bun Beng tidak menjadi jerih, bahkan ia makin lega ha­tinya. Gerakan pedang itu lebih didorong rasa marah daripada gerakan ilmu pedang yang tinggi nilainya, maka bagi­nya, pedang hitam itu tidaklah sebahaya tangan kosong yang dapat mulur mungkret tadi. Biarpun lengan itu masih dapat mulur, akan tetapi karena disambung pedang, lebih mudah dapat dilihat arah gerakannya, tidak seperti kalau kosong dapat mencengkeram, menangkap mendo­rong atau memukul, sukar sekali diduga.

Namun, harus ia akui bahwa lawan­nya mainkan pedang secara aneh dan isti­mewa, dengan ilmu pedang yang tidak dikenalnya sama sekali. Pedang itu sela­lu datang menyerangnya dengan tiupan angin, dan bukan hanya pedang yang menyerangnya melainkan selalu dibarengi dengan pukulan atau tendangan, seolah-olah seluruh daya serang lawan dikum­pulkan untuk menghantamnya, Bun Beng harus mengandalkan kelincahan tu­buhnya yang segera pulih kembali begitu ia menghadapi bahaya. Kalau begini te­rus, bagaimana aku bisa menang, pikir­nya. Serangan lawan ini mengingatkan ia akan serangan angin taufan ketika ia berada di atas layang-layang bersama Kwi-bun Lo-mo. Serangan angin taufan! Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran kakek Pulau Neraka itu untuk mengha­dapi serangan angin taufan. Perhatikan dari mana angin menyerang, jangan me­nentang, ikuti tiupannya akan tetapi ha­rus dapat kau kendalikan sehingga mu­dah untuk menyimpang. Pindahkan hawa dan tenaga sakti sesuai dengan serangan angin, jangan biarkan kita terseret akan tetapi berusaha selalu berada di atasnya, menunggang angin. Demikianlah antara lain inti pelajaran yang ia terima di atas layang-layang sambil mencontoh ge­rakan kakek Pulau Neraka. Kini, serang­an-serangan lawannya dengan pedang hi­tam itu seperti angin, mengapa tidak ia coba mengatasinya dengan pelajaran baru di atas layang-layang?

 “Wuuuutttt!” Tan-siucai kembali me­nyerang dengan hebat, dengan semangat menyala dan keyakinan bahwa dia tentu akan dapat membunuh pemuda yang su­dah tak mampu balas menyerang itu. Pedang hitamnya menusuk dada, tangan kirinya mendorong dengan pukulan ke arah pusar, dan kaki kanannya sudah si­ap menyusulkan tendangan!

Bun Beng tidak menggunakan cara mengelak seperti tadi. Dengan ilmu ba­ru menundukkan angin taufan, tubuhnya yang tadinya miring, dengan kaki kanan di depan itu, ia pindahkan kaki dan te­naga pada kaki kiri, lalu kedua tangannya diangkat ke atas seolah-olah ia me­megangi tali-temali layang-layang dan tubuhnya meloncat ke atas tinggi sekali sehingga pukulan dan tusukan lewat di bawah kakinya yang ditekuk ke dada. Tendangan lawan menyusul, ia terima dengan kedua kakinya, menginjak kaki lawan yang menendang dan meminjam te­naga ini ia ayun tubuhnya ke atas dan meluncur ke depan melalui atas kepala lawan, kemudian membalik dan memin­dahkan tenaga lagi ke kaki kiri yang tu­run menginjak lawan.

“Plakk! Augg....!” pundak kanan Tan-siucai terkena injakan kaki Bun Beng, lumpuh rasa seluruh lengan kanannya dan pedang hitam itu terlepas. Bun Beng cepat turun menyambar dan pedang hi­tam telah berada di tangannya!

Tan-siucai membalik dan matanya merah saking marahnya memandang Bun Beng yang kini tersenyum-senyum me­megang pedang hitam! Ia girang sekali karena dengan ilmu barunya itu ia ber­hasil! Pemuda ini memang cerdik sekali sehingga dia dapat menggunakan ilmu baru yang bagi orang lain tentu hanya dapat dipergunakan untuk mengendalikan layang-layang melawan angin taufan itu untuk melawan musuh yang lihai.

Sambil tersenyum, ia lalu menubruk maju dan menyerang Tan-siucai dengan pedang hitam. Tan-siucai memekik, ta­ngan kirinya bergerak dan sinar putih yang amat terang menyilaukan mata ber­kelebat menangkis pedang.

“Cringggg!” kini Bun Beng yang ka­get bukan main karena pedang hitam rampasan itu telah patah menjadi dua!

“Hok-mo-kiam....!” Ia berseru keras dan cepat menjatuhkan diri bergulingan karena pedang putih yang kini berada di tangan lawan itu, setelah membabat patah pedangnya, sinarnya masih terus menerjangnya! Ia meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak. Tak salah lagi, tentu itulah Hok-mo-kiam, pedang yang dibuat oleh Kakek Nayaka­vhira dan yang dicuri oleh pemuda sin­ting ini bersama gurunya, Kakek Mahar­ya! Gentar juga hati Bun Beng menyak­sikan pedang bersinar putih yang me­ngandung penuh wibawa mujijat itu, dan ia siap siaga berkelahi mati-matian, mengandalkan kelincahannya karena apa artinya pedang buntung yang toh patah lagi kalau bertemu dengan Hok-mo-kiam? Ia tahu bahwa Pendekar Siluman dan mendiang Kakek Nayakavhira mem­beri nama Hok-mo-kiam (Pedang Penak­luk Iblis) pada pedang itu, yang khusus dibuat untuk menundukkan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Teringatlah ia akan sepasang pedang bersinar kilat yang ia simpan di dalam guha rahasia di tem­pat tinggal para pemuja Sun-go-kong.

“Kembalikan pedang itu!” Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah meninggalkan Kakek Maharya, menyerang Tan-siucai dengan pedang di tangannya. Serangan yang hebat seka­li, dilakukan dengan tubuh masih mela­yang di udara, dengan kecepatan seperti kilat menyambar didorong oleh tenaga sin-kang yang kuat sekali.

Biarpun otaknya sinting, Tan-siucai mengenal serangan maut, dia lalu meng­geser kaki ke kiri, menggerakkan pe­dangnya menangkis sambil mendorongkan tangan kirinya untuk mencegah dara per­kasa itu memukulnya.

“Tranggg!” Tampak bunga api mun­crat dan Tan-siucai memekik kaget, pe­dangnya terlepas akan tetapi cepat-cepat ia sambar kembali karena gadis itu ti­dak sempat menyerangnya lagi. Ternya­ta bahwa kini Kwi Hong juga hanya me­megang sebatang pedang buntung, persis seperti yang dialami Bun Beng. Dengan mata terbelalak, Kwi Hong memandang pedangnya dan diam-diam ia merasa amat kagum akan keampuhan Hok-mo-kiam yang dibuat oleh Kakek Nayaka­vhira itu. Pedangnya adalah pemberian pamannya, sebatang pedang pusaka yang cukup ampuh, namun sekali bertemu de­ngan Hok-mo-kiam menjadi patah! Pada­hal sudah jelas bahwa dia menang tenaga dan pedang di tangan Tan-siucai itu sampai terlepas. Ia makin marah dan penasaran, bertekad untuk merampas kembali pedang yang dahulu dicuri oleh orang itu, tubuhnya menerjang maju de­ngan pukulan-pukulan kilat yang biar­pun Tan-siucai memegang sebatang pe­dang pusaka, akan berbahaya sekali bagi sasterawan sinting itu.

“Plakkk!” Pukulan Kwi Hong tertang­kis oleh tangan Maharya yang bersarung tangan. Kiranya kakek ini sudah melon­cat meninggalkan Kwi-bun Lo-mo untuk melindungi muridnya, terutama menjaga agar pedang pusaka itu tidak terampas lawan.

“Ho-ho, kau hendak lari ke mana, dukun keparat?” Kwi-bun Lo-mo tertawa dan melompat pula mengejar. Kini per­tandingan menjadi kacau-balau dan akhir­nya kini Bun Beng dan Kwi-bun Lo-mo mengeroyok Maharya, sedangkan Kwi Hong masih bertanding melawan Tan-siucai. Karena maklum bahwa gadis itu berbahaya sekali, Tan-siucai memutar pedangnya dan berlindung di balik gu­lungan sinar pedang. Benar saja, sinar pedang itu demikian hebat dan mengan­dung wibawa yang amat kuat sehingga biar Kwi Hong lihai, gadis ini tidak be­rani sembrono mendesak maju, melain­kan berusaha mencari lowongan tanpa terancam sinar pedang yang ia tahu amat ampuh.

“Nona yang perkasa! Bun Beng, mun­dur!” Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak keras dan terdengarlah ledakan disusul membubungnya asap hitam yang tebal, menggelapkan keadaan di situ. Ternyata kakek Pulau Neraka ini telah melempar sebuah senjata rahasia khas Pulau Nera­ka, senjata peledak yang mengeluarkan asap hitam beracun.

Kwi Hong dan Bun Beng melompat mundur, melihat betapa di tempat berdi­rinya dua orang lawan itu kini tertutup oleh asap hitam. Ketika asap membuyar tertiup angin dan mereka memandang, ternyata Tan-siucai dan Maharya telah lenyap dari tempat itu, tanpa meninggalkan bekas.

Kwi-bun Lo-mo mengerutkan alisnya, mengomel. “Sialan! Mereka benar-benar amat lihai dapat menyelamatkan diri dari asap beracun. Dukun India itu be­nar-benar merupakan lawan yang lebih tangguh daripada dukun penunggang ga­jah. Hayaa....!”

Kwi Hong melangkah maju dan menu­dingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. “Tua bangka lancang! Kenapa kau melenyapkan mereka?” Tanpa me­nanti jawaban, dengan pedang buntungnya ia menyerang Kwi-bun Lo-mo. Serangan­nya hebat sekali dan pedang buntungnya itu masih amat berbahaya, membabat ke arah perut kakek itu yang tentu akan tersayat robek kalau sampai terkena.

“Aihhh....!” Kwi-bun Lo-mo meloncat ke belakang dengan mata terbelalak dan balas menyerang sambil memaki, “Gadis liar, siluman galak!” Kwi Hong miring­kan tubuh dan membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik kembali lengannya.

“Tahan....!” Bun Beng berseru. “Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!”

“Membantu apa? Dia.... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Nera­ka!”

“Hemm, memang aku dari Pulau Ne­raka, habis kau mau apa?” Kakek itu menantang dengan marah.

“Aku mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!” Kembali Kwi Hong menyerang.

“Iblis betina tak tahu diri!” Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi dan diam-diam ter­kejut karena biarpun pedangnya sudah buntung, nona ini merupakan lawan yang amat tangguh, gerakannya cepat, ilmu pedangnya aneh dan tenaga sin-kangnya amat kuat, dapat diduga dari suara ber­cuitan ketika pedang buntung menyam­bar. Terpaksa dia mencelat lagi ke ka­nan untuk menghindar.

“Tahan! Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pu­lau Es!” Bun Beng berseru.

“Apa....?” Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak. “Be.... betulkah....?”

“Aku mengenalnya, masa membo­hong?”

Kwi Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya. “Kakek sial­an! Apa kau pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalianculik ke Pulau Neraka?”

Kakek itu menggeleng kepala. “Aku mendengar akan peristiwa itu, akan teta­pi aku sedang merantau keluar pulau, tidak tahu.... maaf.... aku tidak berani mengganggu murid Pendekar Siluman tanpa seijin To-cu kami....”

“Tidak peduli, kau harus mampus!” Kwi Hong menyerang lagi. Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh ke belakang, kemudi­an melarikan diri! Kakek ini pernah merasai kelihaian Pendekar Siluman ketika ia bertanding melawan Nayakavhira, maka kini mendengar bahwa gadis ini murid pendekar sakti itu, dia menyangka bah­wa tentu Pendekar Siluman berada pula di situ, pula tanpa seijin To-cu, Majikan­nya, mana dia berani mengganggu mu­rid Majikan Pulau Es?

Kwi Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan berkata, “Sudahlah, Nona, perlu apa dikejar orang yang tidak mau melawan? Dahulu pun, Pamanmu tidak mengejar­nya.”

Kwi Hong berhenti, karena maklum bahwa dia pun tak dapat menyusul kakek yang lari seperti terbang cepatnya itu, apalagi kalau ia ingat bahwa kakek itu memiliki senjata rahasia peledak yang mengandung asap beracun berbahaya.

“Hemm, aku mengenalmu sekarang,” katanya sambil memandang wajah pemu­da itu. “Engkau Gak Bun Beng....”

Bun Beng menjura sambil tersenyum. “Kuharap selama ini Nona dalam keada­an baik dan kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari Pamanmu. Selamat!”

“Engkau mengejek?” Kwi Hong mem­bentak marah.

Bun Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini marah-marah? Dia menggelengkan ke­pala tanpa dapat menjawab.

“Engkau mengejek, ya? Karena aku tidak mampu merampas kembali pedang itu, karena pedangku patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek Pulau Neraka!” Pandang mata itu seperti me­ngeluarkan api yang menyerang Bun Beng, dia mundur ketika dara itu melangkah maju dengan muka merah saking jeng­kel oleh kegagalannya. “Hayo katakan engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!”

“Tidak! Tidak....! Wah, siapa menge­jek, Nona? Sama sekali aku tidak mengejek. Bukan salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu gu­runya, kakek India itu, tentu Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan pedang­nya terampas.”

Mendengar kata-kata ini, agak berku­rang kemarahan Kwi Hong. Ia memban­ting kaki dan memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya ke atas tanah sambil mengomel. “Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku karena pedang ini!”

Melihat wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan penyesalan dan kedukaan besar, ha­ti Bun Beng tergerak. Teringatlah ia akan sepasang pedang yang ditinggalkan­nya di guha rahasia di tempat para pe­muja Sun-go-kong, maka serta merta ia berkata,

“Harap Nona jangan berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat, bahkan yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw.”

“Sepasang pedang yang.... Pedang Iblis?” Kwi Hong memotong, matanya terbelalak, kedukaannya lenyap seketika.

Bun Beng mengangguk. “Agaknya be­nar Sepasang Pedang Iblis yang kudapat­kan secara kebetulan sekali. Kini kusim­pan di dalam guha rahasia. Kalau Nona suka, akan kuberikan sebatang kepada Nona, yang pendek. Pedang itu mengelu­arkan sinar kilat yang mendirikan bulu roma sehingga aku tidak berani menca­but seluruhnya, agaknya tidak kalah am­puh oleh pedang yang dicuri Tan-siucai tadi.”

“Benarkah itu? Paman juga mencari-cari pedang itu! Benarkah akan kauberikan kepadaku?” Sikap Kwi Hong berubah sama sekali, agaknya dia tidak ingat la­gi akan kemarahan dan kedukaan hati­nya, wajahnya berseri dan sepasang ma­tanya mengeluarkan cahaya, amat indah­nya seperti sepasang bintang pagi dalam pandangan Bun Beng.

“Benar, Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang.”

Tiba-tiba wajah yang cerah itu kem­bali agak muram oleh berkerutnya sepa­sang alis yang hitam kecil melengkung itu. “Bun Beng, bagaimana engkau bisa mendapatkan Siang-mo-kiam? Seluruh dunia kang-ouw mencari dan mempere­butkannya. Bagaimana tiba-tiba kau bisa mengatakan kepadaku bahwa engkau me­nemukan pedang-pedang itu?” Dalam per­tanyaan ini terkandung keraguan dan ketidakpercayaan.

“Aku mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terja­tuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho.” Dengan singkat Bun Beng menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia menyimpan sepasang pedang itu, juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng.

Kwi Hong mendengarkan dengan alis berkerut.

“Jadi ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?”

“Benar, aku tidak sempat bercerita, pula pada waktu itu memang aku hen­dak merahasiakannya dari siapapun juga.”

“Hemm, kalau begitu, mengapa seka­rang mendadak engkau ingin memberi­kan sebatang kepadaku? Apa sebabnya?” Sambil berkata demikian, Kwi Hong me­mandang dengan sinar mata tajam pe­nuh selidik. Bun Beng kagum bukan ma­in. Mata itu...., bukan kepalang indah­nya! Sejenak ia menentang pandang ma­ta itu penuh kagum, akan tetapi sinar mata itu seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk, menembus mata sampai ke jantung! Terpaksa ia menun­dukkan pandang matanya.

“Mengapa....? Aihh, tak terpikir olehku.... hemm, agaknya karena melihat pe­dangmu patah, Nona. Karena melihat engkau berduka tadi....”

“Heh, omong kosong! Mengapa menda­dak engkau menaruh perhatian seperti itu kepadaku? Apa hubungannya keduka­anku denganmu? Engkau merasa kasih­an? Alasan yang dangkal dan kosong!” Kembali di dalam suaranya terkandung kecurigaan dan ketidakpercayaan.

Cepat Bun Beng membantah. “Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya.... pertama karena Nona telah menyelamat­kan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona keburu turun tangan, bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau tali la­yangan itu diputus oleh kakek tadi? Un­tuk membalas budi Nona yang telah me­nyelamatkan nyawaku, apa artinya pem­berian sebatang pedang? Pula, kedua memang aku merasa amat kagum kepa­da Paman Nona, dan satu-satunya orang di dunia ini yang aku ingin agar pedang yang diperebutkan itu dimilikinya, ada­lah Paman Nona, Pendekar Super Sakti. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan Nona, bahkan Nona telah menolong­ku sehingga ada alasan bagiku untuk menyerahkan pedang.”

Kwi Hong mengangguk-angguk, wajah­nya kembali cerah dan ia mulai percaya kepada Bun Beng. Pemuda ini girang se­kali menyaksikan perubahan wajah itu, memandang penuh kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk itu. Tiba-tiba wajah itu diangkat, pandang mata mereka saling bertaut dan dengan jan­tung berdebar Bun Beng melihat betapa alis yang bagus itu kembali dikerutkan, lalu terdengar suara gadis itu memben­tak marah.

“Aku tidak percaya kepadamu!”

Mula-mula Bun Beng tertegun, kemu­dian ia menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekesalan dan kedukaan hati. “Hemm, agaknya Nona curiga kepa­daku?”

“Siapa tahu kalau-kalau engkau ini amat licik dan curang dan sengaja hen­dak menipuku?”

Bun Beng merasa jantungnya perih seperti ditusukpedang. Ia mengangguk dan menjawab, “Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku mengingat bahwa aku adalah anak seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang? Su­dah banyak aku mendengar makian itu.”

“Tidak peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu. Hanya siapa mau percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul dengan seo­rang iblis Pulau Neraka? Engkau datang bersama dia, tentu sahabat baiknya, atau siapa tahu engkau sudah menjadi anggau­ta Pulau Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam, tentu engkau juga bukan orang baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?”

Lega hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung ayahnya. Alasan yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia cepat-cepat menuturkan pengalamannya semenjak ia ditawan oleh Thian-liong-pang sampai berhasil lolos, dikeroyok ikan, diterkam rajawali yang kemudian bertempur melawan garuda dan akhirnya terlepas.

“Ketika melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang yang dikemudikan oleh kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku berkenalan dengan dia dan kami sama-sama turun setelah terhindar dari angin taufan dan terancam maut oleh kakek India yang akan memutus tali. Untung Nona muncul dan menyerangnya.”

Penuturan Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi Hong melongo.

“Wah-wah.... hebat sekali pengalaman­mu!” Ia duduk di atas rumput. “Engkau menjadi tawanan Thian-liong-pang? Bu­ka main! Dan berhasil lolos? Eh, cerita­kanlah, Bun Beng. Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang yang terkenal sekali amat kuat itu? Aku mende­ngar banyak orang pandai dan sakti di sana, bahkan tidak kalah saktinya oleh orang-orang Pulau Neraka!”

Melihat wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan bekas-bekas kecurigaan dan ketidakper­cayaan tidak tampak lagi, Bun Beng duduk pula di atas rumput. Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan merasa seperti telah menjadi sahabat lama.

Dengan terus terang Bun Beng men­ceritakan pengalamannya ketika berusa­ha menolong Ketua Bu-tong-pai dan me­lihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu oleh Ketua Thian-liong-pang untuk dicu­ri jurus simpanan mereka yang terpaksa digunakan dalam pertandingan itu. Kemu­dian betapa dia diaku sebagai cucu kepo­nakan Si Muka Singa dan akan dijadikan anggauta. Akan tetapi ia menolak dan akhirnya di jebloskan dalam penjara di bawah tanah.

“Sama sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang besar di mana banyak terdapat ikan rak­sasa yang hampir saja membunuhku. Ka­lau tahu begitu, agaknya belum tentu aku berani membobol dinding itu. Heran, sungai apakah itu?”

Kwi Hong yang tertarik sekali berka­ta. “Apakah kau tidak tahu? Kini kita berada di lembah Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di kota Cie-bun, di sebelah utara kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar akan perbu­atan Thian-liong-pang menculik orang-orang kang-ouw. Sayang Paman melarang aku bentrok dengan orang Thian-liong-pang, kalau tidak aku akan menyerbu ke sana. Hemm.... kalau Paman mendengar bahwa orang-orang kang-ouw itu diculik untuk dicuri ilmu mereka tentu Paman akan tertarik sekali. Eh, Bun Beng, di manakah adanya guha rahasia di mana engkau menyembunyikan Siang-mo-kiam?”

“Aku tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan ke sana kalau sudah melihat bentuk gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang ketika aku di­bawa terbang burung rajawali yang ke­mudian bertanding dengan burung garuda yang kunaiki itu, dan aku terlepas ke bawah, aku jatuh ke dalam laut.”

Kwi Hong memutar otaknya. “Hemm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari ke sana. Sayang burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya, kalau tidak, tentu dengan mudah kita bisa mencari sambil menunggang pek-eng.”

“Apakah tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es? Aku tadi melihat burung garuda putih menyerang rajawali yang mencengkeramku.”

“Benarkah? Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi. Aku baru saja keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman setelah ber­ulang-ulang aku minta supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke kota raja menca­ri dan menengok kuburan Ibuku. Akan tetapi sekarang bertemu denganmu, seba­iknya kita mencari Siang-mo-kiam, baru akan pergi ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum gelap, Bun Beng.”

“Baiklah, Nona.”

Mereka bangkit dan Kwi Hong berka­ta mencela. “Jangan sebut Nona, kenapa kau begini merendah? Menjemukann be­nar!”

“Habis, aku harus menyebut apa?”

“Apa kau tidak tahu namaku? Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan merendah seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja na­maku!”

“Baiklah.... Kwi Hong.” Hati Bun Beng girang sekali. Dara ini cantik menarik dan membuat hatinya berdebar aneh, membuat ia ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengannya. Pula, gadis inilah satu-satunya orang yang tidak me­nyebut-nyebut tentang kejahatan ayah­nya. Dan yang lebih dari semua itu, ga­dis ini adalah murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, orang yang dika­gumi dan dipuja di dalam hati. “Tempat itu dahulu kutemukan setelah aku terja­tuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang aneh dan terletak dekat laut. Tentu tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita men­cari jejak mulai dari pulau di tengah muara sungai dari mana aku terlempar dan jatuh ke dalam pusaran maut.”

“Baik, memang mestinya begitu. Ka­lau tidak dapat menemukan tempat itu melalui darat, kita harus mengikutije­jakmu dahulu melalui pusaran maut.”

Bun Beng terbelalak. “Apa....? Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!”

Gadis itu memandangnya dan menggeleng kepala. “Engkau pun tidak mati, bu­kan? Nah, kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat itu melalui pusaran maut dengan selamat, mengapa sekarang tidak?”

“Ah, dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan aku setengah pingsan ketika terbawa pusar­an, agaknya memang Tuhan tidak meng­hendaki aku mati di waktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke sana, hiiiiiih.... ngeri sekali, aku tidak berani.”

Kwi Hong cemberut. “Kalau kau ti­dak berani, aku berani! Pedang Siang-mo-kiam itu terlalu penting untuk dibi­arkan di tempat itu. Terlalu berharga untuk dicari dengan taruhan nyawa. Ka­lau bisa kudapatkan dan kuperlihatkan kepada Paman, tentu dia akan girang sekali karena Paman pernah bilang bah­wa kalau sepasang pedang iblis itu sam­pai muncul di dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar untuk ditundukkan dan di dunia pasti akan kacau balau dan kejahatan merajalela. Nah, kau tahu be­tapa besarnya arti kedua pedang itu, dan betapa pentingnya untuk didapatkan kembali.”

Mereka mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk jalan sampai mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam sudah ti­ba ketika mereka sampai di tepi sungai.

“Kita bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan,” kata ga­dis itu.

Bun Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi sungai itu sunyi senyap, akan tetapi me­nyenangkan sekali bagi Bun Beng. Tem­patnya bersih, tanahnya tertutup rumput hijau seperti permadani, pohon-pohon dan bunga-bunga mendatangkan bau yang se­dap dan segar, dan bulan hampir bulat muncul tak lama kemudian, membuat tempat itu menjadi indah, romantis, dan menyenangkan. Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang membuat keadaan menja­di demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena kalau tidak ada gadis itu di sana, belum tentu tempat sunyi ini akan tampak seindah malam itu!

Mereka duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng duduk melamun, merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah ia menga­lami kebahagiaan, merasa betapa senang­nya hidup!

“Eh, Bun Beng, kenapa melamun saja kau?”

Bun Beng terkejut dan sadar dari la­munanpya yang mengangkatnya ke angka­sa. Ia memandang dan tidak dapat men­jawab karena sepasang mata yang terke­na sinar api unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.

“Apa perutmu tidak lapar?” Gadis itu bertanya ketika melihat pemuda itu ha­nya melongo.

Mendengar ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab perta­nyaan itu. Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil memaki dalam hati kepada perutnya yang tak ta­hu malu. Memang ia merasa lapar seka­li. Apalagi hawa begitu nyaman, peman­dangan begitu indah, membuat perut yang kosong terasa sekali.

“Heiii! Bagaimana?” Gadis itu kembali bertanya, menahan geli hatinya kare­na telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap perut yang berkokok tadi.

“He? Apa?” Bun Beng bertanya gu­gup, masih merasa malu oleh perutnya.

“Lapar tidak?”

“Lapar sekali, Kwi Hong tapi.... ma­kan apa....?”

“Betapa bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?”

Bun Beng teringat dan meloncat ba­ngun. “Tepat sekali! Mengapa aku begi­tu bodoh dan pelupa? Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus membalas dendam, setidaknya kutangkap seekor, kupanggang sampai matang dan kita ganyang dagingnya!” Setelah berka­ta demikian, ia lari ke pinggir sungai dan langsung meloncat ke sungai.

“Byurrrr!” Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa ter­pingkal-pingkal dan menggeleng-geleng kepala. “Sungguh orang aneh,” gumamnya sambil berdiri di pinggir sungai menonton Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu saja dengan ke­dua tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak dicopot!

Akan tetapi ia kagum ketika tak la­ma kemudian Bun Beng sudah muncul lagi, memondong seekor ikan yang besar­nya sebantal dan melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu menggelepar-gelepar di darat dan Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu mendarat pula, tersenyum lebar, pakaiannya basah kuyup, air mene­tes-netes dari seluruh pakaiannya, ram­butnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher.

“Aihh, ikan besar ini mana bisa kita menghabiskannya? Dan bagaimana pula membersihkan isi perutnya, kaulah yang melakukannya itu, nanti aku yang me­manggangnya.”

“Jangan khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karang pun cukup tajam dan runcing.” Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras, menghampiri ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia segera membelah perut ikan dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke sungai dan membersihkan kulit ikan yang tak bersisik itu dengan gosokan batu karang.

Kwi Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari mulut sampai menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun sam­bil menanti Bun Beng mencuci tangan­nya ke air sungai. Setelah pemuda itu duduk dekat api, dia mencela.

“Kau ini aneh sekali, mengapa me­nangkap ikan begitu saja dengan mema­kai pakaian lengkap? Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin se­kali. Sebaiknya kaubuka dan peras pakai­anmu, panggang dekat api biar kering.”

Muka Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggal­kan pakaian di depan gadis itu? “Biar­lah, diperas begini pun bisa, dan kalau aku duduk dekat api, sebentar juga ke­ring.” Ia memeras rambut dan pakaian­nya, melepas sepatunya dan menggeser duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik kepadanya dengan pandang mata penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali. Kadang-kadang pendiam dan canggung, akan tetapi gerak-geriknya amat menarik hatinya.

Bau sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang se­lera mulut dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu lalu menyerbu daging ikan yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya separuh terma­kan oleh mereka. Terpaksa sisanya me­reka buang lagi ke sungai.

“Sayang air sungai begitu kotor, ba­gaimana bisa minum?” Kwi Hong berta­nya sambil mencuci tangannya yang pe­nuh minyak ikan, juga mengusap bibir­nya dengan air sungai, kemudian meng­gosoknya dengan saputangan.

“Aku akan mencari buah!” Berkata demikian, Bun Beng meloncat dan lari pergi, mencari-cari pohon yang ada bu­ahnya. Sampai jauh ia meninggalkan te­pi sungai itu dan untung bahwa bulan bersinar terang sehingga akhirnya sete­lah payah mencari-cari, ia datang lagi membawa beberapa butir buah yang sudah masak.

Kemudian, keduanya duduk mengha­dapi api unggun yang menjadi makin besar setelah ditambah daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat, perut yang kenyang, membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di belakang telapak tangannya.

 “Ahhh, aku ingin tidur. Kau berjaga­lah dulu, Bun Beng sambil mengeringkan pakaianmu. Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di tempat seperti ini, apalagi baru saja kita bertemu dengan siucai sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua tidur semua tanpa ada yang menjaga.”

“Baik, kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu.”

Kwi Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya, miring menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua mata­nya. Bun Beng kini berani menatap wa­jah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut yang agak mawut dan sebagian terurai menutup pipi dan dahi, melihat bulu ma­ta yang menjadi panjang dan tebal mem­bentuk bayang-bayang di pipi, hidung yang mancung dan cupingnya bergerak sedikit ketika bernapas dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap terkena minyak daging ikan, ia merasa terharu sekali. Ia membandingkan wajah ini de­ngan wajah Ang Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang pernah menarik hati­nya. Keduanya sama cantik dan memi­liki daya tarik masing-masing. Akan te­tapi, melihat Kwi Hong tertidur tak jauh di depannya, ia harus mengaku bahwa Kwi Hong lebih cantik jelita. Teringat­lah ia betapa dalam keadaan mengha­dapi maut, hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong, wajah Siok Bi dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wa­jah Kwi Hong dan Milana di waktu mere­ka masih kecil. Betapa jauh perbedaan­nya setelah ia bertemu dengan Kwi Hong sekarang, demikian cantik dan me­narik!

Tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri di dalam batinnya. Mengapa ia membayangkan wajah wanita-wanita can­tik? Celaka, inikah yang membuat ayah­nya dahulu memperkosa ibunya? Ia bergi­dik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu! Keparat! Ingin ia menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikir­an busuk itu. Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya telah disebut datuk kaum sesat, tentu merupakan se­orang yang sesat kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu! Biarpun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa, bukan untuk dipermain­kan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong.

Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih dan helaan napas itu mem­buat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah berdenyut ke­ras.

Memang tidak terlalu dapat disalah­kan kalau Bun Beng diamuk nafsu bera­hi dan cinta. Usianya sudah cukup dewa­sa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia sebanyak itu, tentu saja tim­bul perasaan ini dan masih mengagum­kan bahwa dia dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil dia tidak per­nah menerima pendidikan tentang susila, tidak pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri. Untung bahwa ia digem­bleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya cukup kuat, biarpun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng. Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia berke­ras hati untuk menebus semua kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik, bukan menambah kotor nama ayahnya dengan perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya.

Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas lembut. Bibir itu setengah terbuka, seperti tersenyum me­nantang!

Betapa cantik jelitanya, betapa ga­gah perkasanya. Tadi telah dia saksikan sendiri betapa lihai gadis ini. Dia sendi­ri meragukan apakah dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti! Tiba-tiba Bun Beng tertegun dan mengerutkan alisnya. Keponakan Pendekar Siluman! Aihhh, dia telah melamun terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami kepo­nakan Majikan Pulau Es? Mentertawa­kan! Dia, seorang anak yatim-piatu, bah­kan disebut anak haram, putera mendi­ang datuk kaum sesat yang disebut Setan Botak, mana mungkin berjodoh dengan keponakan Majikan Pulau Es yang ber­kedudukan tinggi?

“Aihhhh, pikiran yang bukan-bukan,” ia menarik napas panjang, berusaha mengusir keinginan hati yang tak mung­kin terpenuhi itu. Ia memaksa diri un­tuk mengalihkan keinginan hatinya. Ba­gaimana kalau Milana? Lebih tak masuk di akal! Tanpa disengaja, ia telah menyaksikan peristiwa hebat yang mungkin menjadi rahasia Pendekar Siluman, Mila­na adalah puteri Pendekar Siluman itu! Puterinya dari seorang ibu yang amat cantik dan amat sakti! Lebih tidak mungkin lagi. Baik Kwi Hong, apalagi Milana, tidak mungkin menjadi jodohnya. Kedudukan mereka terlalu tinggi bagi­nya, seperti merindukan bintang-bintang di langit saja! Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong atau Milana, kalau dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu tinggi untuknya. Puteri Ketua Bu-tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang hari! Tidak ada harapan seujung rambut pun!

“Dasar manusia tak tahu diri engkau!” Bun Beng berbisik dan menjambak kun­cirnya, merasa terpukul dan rendah. Ia merenung memandang api unggun, diam-diam mengeluh dan menyalahkan ayah bundanya yang telah tiada.

“Sudahlah, aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan kepada mereka semua, kepada dunia kang-ouw bahwa biarpun ayahku seorang manusia sejahat-jahat dan serendah-rendahnya, aku tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu melaku­kan hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!”

Pikiran ini sedikitnya menghibur hati­nya yang perih. Terhiburlah dia bahwa kini dia akan menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es. Sepasang pedang itu diperebutkan oleh orang sedu­nia kang-ouw, bahkan Pendekar Siluman sendiri mencari-cari tanpa hasil. Kini dia yang berhasil menemukannya dan menye­rahkan sebuah di antaranya kepada mu­rid dan keponakan Majikan Pulau Es, bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang besar? Dan dia akan melangkah le­bih jauh lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang besar, biarpun saat itu dia belum tahu apa gerangan hal-hal yang be­sar itu.

Bun Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar. Pakaian­nya sudah kering dan ia merasa tubuh­nya hangat. Malam telah amat larut, akan tetapi dia tidak mau membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang berjaga sam­pai pagi. Tidak tega dia mengganggu ga­dis itu yang tidur dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada batang pohon, kadang-kadang menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu tidak padam.

Pada keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan malam mulai terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong bangun dari tidurnya. Ia mengusap kedua mata­nya dan begitu membuka mata melihat bahwa malam telah berganti pagi, meli­hat pula Bun Beng masih duduk bersan­dar pohon dekat api unggun, ia melon­cat bangun dan membentak.

“Bun Beng, kau terlalu sekali!”

Bun Beng tersenyum, dia tidak mera­sa aneh lagi menyaksikan sikap gadis yang begitu mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah, kemudian marahnya berganti sikap ramah. Benar-benar seorang gadis yang penuh sema­ngat berapi-api, “Maaf, Kwi Hong, apakah salahku?”

“Masih bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk, mem­biarkan orang tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kaubangunkan aku agar aku berganti melakukan penjagaan?”

“Aah, tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau.... tidurmu enak benar, tidak tega aku membangunkanmu.”

Gadis itu memandang aneh. “Menga­pa kau menyiksa diri untukku? Kau ti­dak tidur sama sekali?”

Ucapan “karena aku cinta padamu” sudah berada di ujung lidah Bun Beng, na­mun cepat ditelannya kembali. “Aku du­duk beristirahat sama dengan tidur. Urusan kecil ini masa mesti dibesar-besarkan?”

“Biarpun urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil. La­in kali aku tidak mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau membikin aku merasa tidak enak saja!” Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu pergi men­cari sumber air untuk mencuci muka. Setelah ia kembali, ia melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air Sungai Huang-ho.

“Mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Kwi Hong dan berangkatlah mere­ka menuju ke jurusan timur, ke arah muara Sungai Huang-ho. Tak lama kemu­dian Bun Beng mengenal daerah di ma­na dahulu dia dan suhunya, mendiang Siauw Lam Hwesio, berperahu menuju ke muara sungai. Peristiwa beberapa ta­hun yang lalu seperti terjadi kemarin saja dan teringat akan nasib gurunya, mukanya menjadi berduka dan ia menarik napas panjang.

“Mengapa kau berduka?” Tiba-tiba Kwi Hong bertanya tidak galak lagi se­perti tadi, melainkan halus dan menaruh khawatir.

 “Aku teringat kepada mendiang Guru­ku, Siauw Lam Hwesio. Dia tewas seca­ra menyedihkan sekali.” Dia lalu mence­ritakan tentang kematian gurunya di tangan koksu negara dan kaki tangannya. Kemudian menutup ceritanya, “Aku ha­rus membalas kematian Suhu. Kelak aku harus mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan tiga orang pembantunya yang ikut membunuh Suhu, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong!”

Kwi Hong mendengarkan penuh perha­tian, kemudian menghela napas panjang. “Wah, musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Kedua orang pendeta La­ma itu menurut Paman memiliki ilmu kepandaian tinggi apalagi Im-kan Seng-jin! Lawan-lawan yang amat berat dan sakti.”

“Aku tidak takut dan aku harus men­cari mereka.”

“Aku pun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu, Bun Beng.”

Bun Beng menoleh dan mereka ber­pandangan. Melihat sinar mata penuh ra­sa syukur dan berterima kasih dari pe­muda itu, Si Dara membuang muka de­ngan perasaan jengah. “Biarpun mereka bukan musuhmu, aku pun akan menen­tang mereka dan Thian-liong-pang, dan Pulau Neraka!” katanya menambahkan, seolah-olah hendak mengalihkan perhati­an Bun Beng bahwa dia menentang mereka bukan semata-mata untuk memban­tu Si Pemuda.

Mereka berjalan terus, berjalan ce­pat karena mereka kini mempergunakan ilmu lari cepat setelah Bun Beng menga­takan bahwa pulau di muara sungai itu tidak jauh lagi.

“Nah, itu dia pulaunya, dan di sana­lah pusaran maut itu!” Bun Beng berteriak menuding dan mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana tampak pulau kecil di tengah muara yang dahu­lu menjadi medan pertempuran. Dari pantai itu tampak pula pusaran air dan Bun Beng masih bergidik ngeri melihat air berputar-putar itu, teringat akan pengalamannya beberapa tahun yang lalu.

“Lihat, Kwi Hong. Ketika terjadi per­tandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas tebing itu, tepat jatuh di pu­saran maut.”

Kwi Hong mengerutkan alisnya. “Hemmm...., dan setelah kau keluar dari lorong air kau mendarat di lambung gu­nung katamu dahulu? Gunung yang de­kat dengan muara ini hanya sebelah sa­na itu. Kita harus menyeberang!”

Tempat itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu ne­layan pencari ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari pedang-pedang itu tidak melalui pusaran air, cepat berlari ke bawah dan akhirnya dapat memanggil seorang tukang perahu. Dengan biaya ri­ngan mereka dapat diseberangkan oleh nelayan itu dan melanjutkan perjalanan mendaki gunung karang yang sukar dila­lui. Namun berkat kepandaian mereka, mereka dapat juga mendaki dan setelah tiba di sebuah puncak batu karang yang tinggi, Bun Beng meloncat naik dan me­mandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya ia berseru giiang. “Nah, di sa­na itu agaknya, di seberang jurang lebar itu. Benar, tak salah lagi, itu yang tampak seperti gerombolan tentulah hutan-hutan di mana mereka mencari akar dan daun obat! Dari sanalah aku diter­bangkan rajawali. Nah, sungai berada di sana dan gunung yang puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang.... ahhh, ti­dak salah lagi. Mari kita ke sana!”

Akan tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus mahal sekali untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar. Kadang-kadang mereka harus menuruni jurang yang amat dalam, melalui perjalanan yang curam dan kadang-kadang mereka harus menda­ki batu karang yang runcing tajam mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan. Sepatu mereka juga pecah-pecah. Malam itu terpaksa mereka harus berma­lam di antara batu-batu karang gundul dan terpaksa melalui malam dingin seka­1i tanpa api unggun karena di daerah di mana mereka bermalam itu tidak terda­pat sepotong pun kayu. Juga perut mere­ka lapar bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi. Kini Kwi Hong me­maksa Bun Beng supaya tidur lebih dulu, akan tetapi betapa mendongkol dan me­nyesal hati Bun Beng ketika dia terbangun, ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu “membalas dendam” tidak mau membangunkannya dan berjaga se­malam suntuk. Ia mendongkol dan juga terharu sekali. Mereka baru saja melaku­kan perjalanan yang melelahkan namun gadis itu bersikeras berjaga semalam suntuk.

“Aihh, Kwi Hong. Mengapa kau begi­ni sungkan, sedangkan kita telah menja­di sahabat dan mengalami kesukaran bersama?”

“Tidak akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka kalau merasa diri tidak adil. Setelah memba­las, tentu saja hatiku lega dan lain kali kau harus tidak bersikap mengalah dan sungkan pula seperti yang kaulakukan malam kemarin.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Ma­kin dekat tempat itu, makin yakinlah hati Bun Beng bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang muda ini mendaki tebing tinggi menuju ke da­ratan di atas di mana dahulu para pemu­ja Sun-go-kong menyerahkan keranjang-keranjang obat kepada burung-burung ra­jawali dari Pulau Neraka! Baru saja mereka meloncat ke puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar banyak senjata rahasia yang ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan. Dengan mudah keduanya mengelak dan Bun Beng berte­riak.

“Harap Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!”

Dari balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka me­lihat Bun Beng, orang-orang itu berteri­ak sambil lari menghampiri dan semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. “Ah, kiranya Gak-inkong yang datang! Kami bersyukur sekali, In-kong. Kami melihat betapa In-kong diterbangkan burung rajawali dan mengira Gak-inkong sudah tewas....!”

Bun Beng tersenyum lebar. “Memang nyaris aku tewas, syukur Tuhan belum menghendaki demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?”

“Terima kasih, In-kong. Semenjak pe­ristiwa dahulu itu, kami tidak lagi mengalami gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami.”

Mendengar ini, Bun Beng melirik ke­pada Kwi Hong dan gadis ini yang su­dah mendengar tentang para pemuja Si­luman Kera itu tersenyum. Gadis ini sebagai murid Pendekar Super Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,

“Sun-go-kong hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian me­nyembah dan memujanya? Betapa bodoh­nya kalian ini orang-orang tua memuja tokoh dongeng kanak-kanak!”

Delapan belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi Hong dengan alis berkerut tanda tidak senang hati. “Hemm, Nona yang masih muda...., kalau saja engkau tidak datang bersama Gak-inkong dan menjadi sahabat­nya, tentu kami tidak membiarkan kau berkata selancang itu. Semua dewa yang dipuja memang hanyalah tokoh dongeng. Yang penting bukanlah tokoh dongeng­nya, melainkan hati si pemujanya! Gak-inkong, apakah Nona ini sahabatmu? Ka­lau bukan, dia tidak kami perkenankan berada di sini!”

Bun Beng diam-diam merasa menye­sal mengapa Kwi Hong berlancang mu­lut, namun dia pun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bica­ra terang-terangan menurutkan kata ha­tinya. “Dia sahabat baikku, harap Cu-wi suka memaafkannya.”

Wajah delapan belas orang itu menja­di cerah kembali dan mereka sudah me­maafkan Kwi Hong. Bahkan seorang di antara mereka, yang termuda, maju dan berkata sambil tertawa, “Sahabat baik Gak-inkong? Ha-ha cocok sekali. Cantik jelita dan patut menjadi sisihan In-kong yang tampan....”

“Plak! Aduh!” Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak oleh tamparan Kwi Hong. Ge­rakan tangan dara itu cepat bukan ma­in sehingga orang yang ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar, disangkanya ada halilintar menyambar pipinya! Teman-temannya menjadi ma­rah dan mereka sudah mengepal tinju, siap mengeroyok Kwi Hong sungguhpun diam-diam mereka terheran-heran. Mere­ka telah mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan oleh Dewa Sun-go-kong kepada mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan sehingga mere­ka semua adalah ahli-ahli mengelak pu­kulan. Mengapa teman mereka tadi begi­tu mudah kena ditampar oleh dara ini?

“Tahan, Cu-wi sekalian! Nona ini ada­lah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es, harap Cu-wi tidak menimbul­kan pertentangan!”

“Murid Pendekar Siluman....?” Terdengar seruan-seruan mereka dan semua orang memandang dengan mata terbela­lak. Sebagai pejuang, tentu saja mereka sudah mendengar nama Pendekar Silu­man yang dulu pernah menggegerkan musuh di Se-cuan dan orang tertua dari mereka segera mengangkat tangan mem­beri hormat kepada Kwi Hong sambil berkata,

“Mohon maaf, karena tidak menge­nal kami bersikap kurang hormat kepada Lihiap.” Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya, “Setelah bertahun-tahun In-kong meninggalkan kami, seka­rang In-kong datang dengan tiba-tiba, apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?”

Bun Beng tersenyum. “Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku da­tang hanya untuk menengok dan teruta­ma sekali untuk mengambil sesuatu yang dahulu kusimpan di tempat ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku bersama No­na ini akan mencari dan mengambil sen­diri benda yang kusimpan itu.”

Orang-orang itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang di­simpan oleh Bun Beng di situ, akan te­tapi orang tertua dari mereka menjawab, “Silakan In-kong.”

“Mari, Kwi Hong!” kata Bun Beng dengan sikap gembira. Nona itu pun me­rasa gembira dan hatinya tegang, me­lompat dan mengikuti Bun Beng mening­galkan tebing itu, berlari-lari ke arah gunung di mana terdapat guha-guha ba­tu yang sebagian besar tertutup alang-alang tinggi dan lebat.

Dengan hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah gu­ha ini yang jauh juga dari tebing sehing­ga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong itu tidak tampak lagi, kemudian dengan mudah ia mencari guha kecil yang ia tutup dengan tumpukan sehingga sama sekali tidak kelihatan dari luar. Tanpa berkata sesuatu ia membongkar batu-batu itu, dibantu oleh Kwi Hong yang juga menjadi tegang hatinya. Siapa yang tidak berdebar hatinya kalau mengi­ngat bahwa Sepasang Pedang Iblis itu berada di belakang tumpukan batu? Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan orang sedunia kang-ouw, bahkan yang di­cari-cari tanpa hasil oleh pamannya!

Setelah tumpukan batu yang menu­tupi guha itu terbongkar semua, Bun Beng berseru girang melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia menge­nal itu, sehelai baju yang dipakai mem­bungkus sepasang pedang. Baju itu sudah rusak dan kotor sekali, akan tetapi dengan penuh gairah Bun Beng menariknya dan dengan kedua tangan gemetar ia membuka bungkusan kain butut. Ternya­ta sepasang pedang itu masih utuh, seba­tang agak pendek, sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk gagang dan sarung pedangnya serupa. Ia menyerah­kan yang pendek kepada Kwi Hong tan­pa bicara.

Bersama-sama mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang.

“Yang pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)....” kata Kwi Hong setelah membaca huruf-huruf di pedang­nya.

“Dan ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)....” kata Bun Beng.

“Tepat seperti yang diceritakan Pa­man, ini adalah sepasang....”

“Sepasang Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!”

Bun Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang mereka itu. Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan bi­cara tadi adalah kakek India bersorban bersama muridnya Si Siucai Sinting! Bun Beng maklum bahwa mereka menghadapi bahaya besar dan dalam beberapa detik saja otaknya bekerja cepat, lalu ia ber­bisik kepada Kwi Hong. “Kau bawa se­mua pedang ini, serahkan Pamanmu, bi­ar aku menahan....”

“Tidak....” Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang diang­surkan kepadanya, “kita pergunakan pe­dang ini untuk melawan bersama. Pula, kalau kita masing-masing memegang sa­tu, pedang itu berpencar dan kalau terampas orang tidak keduanya.”

“Ha-ha-ha-ha! Orang-orang muda, su­dah lama aku mencari Sepasang Pedang Iblis, dan melihat gerak-gerikmu kema­rin, aku sudah curiga maka diam-diam kami membayangi kalian. Siapa kira, benar saja kalian telah menemukan Sepa­sang Pedang Iblis, ha-ha-ha-ha!”

“Maharya!” Tiba-tiba Kwi Hong mem­bentak marah. “Seorang tua bangka ma­cam engkau ini apakah tidak tahu pera­turan dunia kang-ouw? Dalam berlomba mencari pusaka, siapa yang mendapat­kannya berarti sudah berjodoh! Kami su­dah mendapatkannya dan pusaka ini adalah milik kami!”

“Ha-ha-ha, bocah perempuan sungguh tajam matamu, dapat mengenal aku! Akan tetapi engkau tidak tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang pedang itu adalah hak milikku. Karena itu, su­dah semestinya kalian berikan kepada Maharya!” kakek India yang kini sudah pandai bicara bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.

“Sombong dan pembohong besar eng­kau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah milik pribadi Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan Pa­manku, To-cu dari Pulau Es. Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan kepada ke­dua muridnya, kemudian ditemukan oleh Paman dan dikubur bersama jenazah ke­dua murid Mutiara Hitam. Setelah itu lenyap dan akhirnya kami yang menemu­kannya kembali. Bagaimana kau berani bilang menjadi milikmu? Tak tahu malu!”

Sasterawan sinting itu meloncat ke depan. “Ah, dia ini keponakan Suma Han si jahanam keparat? Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar terasa oleh Suma Han siluman keparat itu!”

Kwi Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah sasterawan itu. “Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan kepada­ku tentang engkau! Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan sebagai se­orang wanita pendekar yang gagah per­kasa, akan tetapi engkau ini manusia gila telah menyalahkan Paman, bahkan menjadi murid kakek iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Sekarang harus kaukemba­likan pedang pusaka itu atau kau akan mampus di tanganku!”

“Ha-ha-ha! Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak, engkau tidak tahu. Biarpun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas perintah Mutiara Hitam, akan tetapi pembuatnya adalah Kakekku Mahendra, maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih baik kalian berikan sepasang pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku untuk membebaskan kalian berdua.”

“Singggg!”

“Sratttt!”

Tampak dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pe­dang masig-masing. Sinar ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan Kwi Hong sendiri. Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking girangnya. “Sa­dhu! Sepasang Pedang Iblis yang mulia!” Ia berkata, kemudian menoleh kepada mu­ridnya, “Pergunakan Hok-mo-kiam, mari kita rampas sepasang pedang ini!” Ia sendiri sudah memakai sarung tangan emas dan mengeluarkan senjata hidup­nya, yaitu ular putih yang berbahaya.

“Kwi Hong, kauhadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar aku menghalau kakek iblis ini!” kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban ia sudah menerjang maju, menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar seperti kilat me­nyambar. Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang tidak berani sem­barangan menangkis karena ia maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu be­nar-benar merupakan sebatang pedang yang amat ampuh. Bun Beng tidak memberi hati, meloncat ke depan dan mela­kukan serangan bertubi-tubi. Dia harus dapat menahan kakek ini untuk memberi kesempatan kepada Kwi Hong mengha­dapi Tan-siucai yang lebih lemah diban­dingkan dengan gurunya yang sakti ini.

Sementara itu, Tan-siucai sudah men­cabut Hok-mo-kiam dan tampak sinar kilat yang lebih terang daripada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan tetapi tidak mendatangkan wibawa yang mendirikan bulu roma seperti sepasang pedang itu yang telah menghisap darah entah bera­pa ribu manusia. Kwi Hong cepat me­nerjang maju dengan Li-mo-kiam di ta­ngan, melakukan tusukan dan girang se­kali ketika merasa betapa pedang itu seolah-olah menambah tenaga pada ta­ngannya, begitu ringan dan seperti te­lah mendahului jurus yang ia mainkan untuk menyerang, seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah lawan! Benar-benar sebatang pedang yang amat luar biasa!

“Cringggg....!” Bunga api berpijar me­nyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedang­nya tergetar, seolah-olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang la­wan. Padahal dia merasa bahwa dia ma­sih menang tenaga menghadapi Tan-siu­cai. Maka ia menjadi waspada dan teri­ngat bahwa pamannya dan mendiang Ka­kek Nayakavhira memang sengaja men­ciptakan Hok-mo-kiam untuk mengha­dapi dan melawan Sepasang Pedang Iblis! Di lain pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir terlepas dari ta­ngannya ketika beradu dengan pedang la­wan, lengannya tergetar dan ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali meng­hadapi keponakan Pendekar Siluman yang memiliki sin-kang amat kuat itu.

Setelah kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng harus mengaku dalam hati bahwa ting­kat kepandaiannya masih belum cukup untuk menandingi lawan yang sakti ini. Pantas saja kakek ini dahulu berani meng­hadapi Pendekar Siluman, kiranya memang memiliki gerakan aneh dan setiap gerakan tangannya mengandung hawa yang panas dan di balik hawa panas ini masih ada pengaruh mujijat yang membuat bu­lu tengkuk meremang seperti bukan ma­nusia yang ia lawan, melainkan iblis sen­diri. Bau harum aneh memuakkan yang keluar dari tubuh kakek tinggi kurus itu benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Untung bahwa sekali ini Bun Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga memiliki wibawa amat mujijat seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga pengaruh pedang iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh ka­kek India. Kalau dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu melawan sampai lama menghadapi kakek yang selain mahir il­mu silat aneh juga mahir ilmu sihir itu. Bun Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan se­luruh tenaga dan mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya, namun ka­kek itu selalu dapat mengelak dan me­nangkis dari samping dengan tangan kiri yang bersarung emas, sedangkan ular putih yang berbahaya itu menyambar-nyambar hendak menggigit, bahkan me­nyemburkan uap putih dengan suara men­desis-desis. Karena maklum bahwa sem­buran uap putih itu berbisa, Bun Beng kadang-kadang menahan napas dan mendorong dengan tangan kiri mengguna­kan hawa sin-kang untuk mengusir uap putih. Pertandingan berlangsung makin seru dan mati-matian. Bun Beng melihat mulut kakek itu berkemak-kemik, kemu­dian terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Ia terkejut bukan main, mera­sa betapa suara ketawa itu seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa dingin seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerah­kan sin-kang untuk menahan perasaan itu, dan ketika ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak dengan serangan kedua tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika kakek itu kembali terta­wa, ia terdorong oleh rasa yang amat kuat untuk ikut tertawa! Bun Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini mempergunakan sihir, maka ia melawan sekuat tenaga namun tetap saja mulut­nya tersenyum!

Mendadak sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun Beng merasa jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi seluruh hatinya dan betapapun ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Ia makin kaget dan diam-diam berseru “celaka!” Maklum dia bahwa dia tidak akan menang menghadapi kakek ini dan biarpun dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat mempertahankan di­ri sampai lama, namun akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat khawatir, bukan mengkhawatirkan dirinya melainkan mengkhawatirkan diri Kwi Hong.

“Kwi Hong....!” Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah ular yang sudah mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini tangan yang bersarung emas itu mencengkeram ke arah pusarnya.

“Cringgg!” Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya yang terlindung sarung tangan itu terasa panas.

 “Kwi Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu....!” Bun Beng berteriak dan memutar pedangnya melindungi tubuh se­cepatnya. Ia mengerahkan kekuatan ba­tinnya untuk menulikan telinga terhadap suara yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi tidak mungkin ia menutup matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang dengan sinar mata Ma­harya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala!

Kwi Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak mau peduli. Mana mugkin dia melarikan diri? Dia sedang mendesak Tan-siucai yang biarpun memegang Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh olehnya. Kalau Sasterawan sinting itu tidak memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi mampus di ujung Li-mo-kiam. Apalagi ketika gadis ini me­ngerling dengan sudut matanya dan me­lihat betapa Bun Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin tidak mau me­larikan diri. Dia harus merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu Bun Beng mengeroyok kakek yang sakti itu. Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan mempertahankan Sepasang Pedang Iblis, bahkan lebih penting daripada kese­lamatan Bun Beng yang terancam oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak Tan-siucai yang kini memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak sukar untuk menembusnya.

Tiba-tiba Tan-siucai tertawa aneh dan terdengar suaranya, “Ha-ha-hi-hi, Nona manis, engkau melawan siapa? Aku su­dah lenyap, bayanganku tidak tampak olehmu, siapa yang kaulawan? Apakah kau gila?”

Kwi Hong terkejut bukan main kare­na benar-benar bayangan lawannya itu le­nyap dan tidak tampak olehnya. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang Hok-mo-kiam yang terang seperti caha­ya sinar matahari. Hampir saja sinar pedang mengenai lehernya kalau ia tidak cepat-cepat menjatuhkan diri karena dalam keadaan kaget dan bingung men­cari musuhnya tadi ia bersikap lengah. Terdengar suara tertawa Tan-siucai dan sukar bagi Kwi Hong untuk menentukan dari mana datangnya suara tertawa ini karena bayangan orangnya tidak kelihat­an. Ia teringat bahwa sebagai murid ka­kek sakti ahli sihir itu Tan-siucai pan­dai pula main sihir, maka ia mengerah­kan sin-kang sekuatnya, sin-kang yang di­latihnya di Pulau Es sehingga ia dapat menggabungkan hawa Im dan Yang di tu­buh, menguatkan hatinya dan kini tam­paklah olehnya bahwa Tan-siucai masih berada di tempatnya yang tadi, memutar pedang dan mendesaknya.

“Cring-trang-trang.... aihhh....!” Tan-siucai terkejut dan untung ia masih da­pat menangkis sambil terhuyung ke bela­kang. Ia maklum bahwa gadis itu dapat melihatnya, maka ia mengerahkan seluruh ilmu sihirnya sehingga kini bayangannya kadang-kadang lenyap, kadang-kadang tampak oleh Kwi Hong. Hal ini membu­at Kwi Hong terdesak hebat dan timbul rasa gentar di hatinya. Yang dilawannya memiliki ilmu setan, bagaimana ia da­pat melawan orang yang pandai menghi­lang? Sedikit saja ia mengurangi penge­rahan sin-kangnya, bayangan lawan lenyap. Terpaksa ia membagi tenaganya, sebagian untuk melawan pengaruh sihir sehingga kadang-kadang ia dapat melihat bayangan lawan, kadang-kadang tidak.

“Kwi Hong, larilah cepat.... laporkan Pamanmu....!” Kembali ia mendengar te­riakan Bun Beng.

“Ha-ha-ha, heh-heh, benar sekali. Kalau kau sudah mati nanti, terbangkan rohmu kepada Si Keparat Suma Han, suruh dia ke sini menerima kematian, ha-ha!”

“Iblis busuk!” Kwi Hong menyerang cepat sekali ketika ia dapat melihat bayangan Tan Ki yang tertawa-tawa. Siucai itu cepat menangkis, akan tetapi Kwi Hong hanya melakukan serangan tusukan sebagai pancingan saja, karena cepat sekali kakinya menendang.

“Desss! Aduhhh.... keparat!” Tan-siucai terkena tendangan di samping pinggulnya dan terlempar ke belakang. Kwi Hong cepat mengejar, akan tetapi kare­na tendangan itu tidak tepat kenanya dan hanya melemparkan tubuh Tan-siucai dan mengagetkan saja, maka Tan-siucai sudah dapat memutar pedang melindungi tubuhnya sambil meloncat bangun.

“Siapa yang kau serang? Aku lenyap sama sekali dari penglihatanmu!” Ucap­an ini berulang kali diucapkan Tan-siucai dengan suara menggetar dan kembali Kwi Hong kadang-kadang kehilangan ba­yangan lawan, membuat ia terdesak lagi.

“Kwi Hong.... larilah.... lekas....!” Bun Beng yang sudah pening oleh pengaruh sihir Maharya, berteriak sekuat tenaga. Ia mengandalkan ilmu pedang Siauw-lim-pai, mainkan bagian yang bertahan se­hingga tubuhnya terlindung gulungan si­nar pedang kilat. Dia dapat menahan serangan ular dan tangan bersarung emas, akan tetapi tekanan kekuatan mu­jijat dari sihir Maharya benar-benar membuat dia pening dan hanya dengan kebulatan tekadnya dan kemauannya saja untuk mempertahankan diri, pedang Lam-mo-kiam dan terutama melindungi Kwi Hong maka ia masih dapat berta­han.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan delapan belas orang pemuja Sun-go-kong yang mendengar pertempuran dan teriakan-teriakan Bun Beng kini telah berada di situ. Tanpa diminta dan tanpa komando, delapan belas orang ini sudah menerjang maju membantu Bun Beng dan Kwi Hong!

Akan tetapi, begitu sebagian besar mereka mengeroyok Maharya, kakek itu mengeluarkan gerengan keras yang meng­getarkan seluruh urat syaraf, dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan lima orang sudah roboh susul-menyusul terkena hantaman tangan kiri bersarung emas sehingga pecah kepalanya dan se­bagian terkena gigitan ular putih di ta­ngan kanan kakek itu! Mereka yang mengeroyok Tan-siucai juga mengalami hal yang menyedihkan. Mereka menyer­bu, tidak tahu akan keampuhan sinar pedang Hok-mo-kiam sehingga begitu kena disambar sinar ini, tiga orang ro­boh dan tewas seketika! Delapan belas orang maju dan dalam sekejap mata sa­ja delapan orang dari mereka tewas! Sisanya, yang sepuluh orang, menjadi ka­get, berduka dan marah bukan main menyaksikan teman-teman mereka tewas sedemikian mudahnya, maka dengan ne­kat mereka maju untuk membalas den­dam atau untuk tewas sekalian.

“Cu-wi, mundur....!” Bun Beng mence­gah, akan tetapi sia-sia, mereka malah makin nekat.

“Ha-ha-ha, kalian yang sudah keha­bisa tenaga dan setengah lumpuh, mau melawanku?” Maharya berteriak.

“Jangan dengarkan!” Bun Beng yang melihat kakek itu membuka mulut lebar memperingatkan, namun terlambat. Sepu­luh orang itu tiba-tiba merasa kedua kaki mereka lemas tak bertenaga dan pa­da saat itu, menyambarlah sinar-sinar hitam dari tangan Tan-siucai dan Mahar­ya. Itulah jarum-jarum hitam beracun dan tentu saja sepuluh orang yang sudah terpengaruh sihir itu tidak mampu mengelak lagi. Mereka mengeluh dan roboh dengan muka berubah menghitam dan nyawa melayang menyusul delapan orang teman mereka. Dalam sekejap mata sa­ja, seluruh pemuja Sun-go-kong, bekas pejuang yang gigih tewas di tangan Ma­harya dan Tan-siucai dengan amat mudah dan secara sia-sia!

“Kakek iblis yang kejam!” Bun Beng berteriak marah, dan tiba-tiba permain­an pedangnya berubah, ia telah mainkan ilmu rahasia yang dipelajarinya dari Kitab Sam-po-cin-keng, dan ternyata aki­batnya hebat sekali. Maharya berteriak kaget, berusaha menangkis dengan tangan kirinya karena lingkaran-lingkaran aneh yang dibuat oleh sinar pedang Bun Beng membuat dia menjadi bingung.

“Brettt....! Ihhh!” Kakek Maharya mencelat mundur, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, kemarahannya memuncak ketika ia melihat betapa sarung tangannya terobek sedikit dan tela­pak tangannya berdarah!

“Lihat api....!” Kakek itu membentak.

Karena girang melihat hasil serangannya, Bun Beng menjadi lengah sehingga ia mendengar suara ini, melihat pula be­tapa kakek itu menggerakkan tangan kiri sambil mendorong ke arahnya dan.... ia melihat pula api berkobar meluncur ke arah tubuhnya. Bun Beng terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi bola api itu terus mengejarnya dari atas, Bun Beng cepat memutar pedangnya dan pada sa­at ia sibuk melawan bola api yang se­perti hidup itu, tiba-tiba tangan bersa­rung emas telah menghantam punggung­nya dengan sebuah tamparan keras.

“Plakkk!” Bun Beng berseru kaget dan tubuhnya terguling-guling, napasnya seperti tersumbat. Sadarlah dia bahwa kembali dia menjadi korban sihir, dan bo­la api itu sebetulnya tidak ada maka dia sampai kena dipukul. Dengan marah ia melompat bangun dan jurus pertahan­an dari Sam-po-cin-keng telah menutup tubuhnya sehingga Maharya tidak dapat menyusulkan serangan maut kepada la­wan yang telah terluka itu.

“Kwi Hong.... lari....!” teriakan Bun Beng sekali ini terdengar lirih karena dadanya sesak dan napasnya terengah. Kwi Hong terkejut sekali, menoleh dan melihat betapa pemuda itu makin terde­sak hebat. Ia marah bukan main karena belum juga mampu mengalahkan Tan-siucai.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa nya­ring dari atas disusul menyambarnya bayangan hitam yang besar. Bunyi kele­pak sayap bercampur dengan pekik me­lengking dan tertawa nyaring memenuhi udara ketika bayangan hitam itu me­nyambar ke arah Bun Beng dan Maharya yang sedang bertempur. Sinar putih pan­jang dua buah, seperti dua ekor ular putih yang amat panjang, menyambar ke arah tangan Bun Beng sedangkan paruh besar burung rajawali menyambar ke arah tangan Maharya yang memegang ular putih.

Bun Beng berteriak kaget ketika tiba-tiba tangan kanannya menjadi lemas ter­kena totokan sinar putih dan selagi dia belum sempat mengembalikan tenaga un­tuk memegang gagang pedang erat-erat, Pedang Lam-mo-kiam telah terlibat tali putih dan terlepas dari tangannya. Ju­ga Maharya berseru keras ketika tiba-tiba ia diserang oleh pukulan sayap dan selagi ia mengelak, ular putih telah ter­lempar dari tangannya. Dua orang yang sedang bertanding ini melompat mundur, memandang ke atas dan tampaklah oleh mereka seorang pemuda tampan menung­gang seekor rajawali raksasa sedang ter­tawa-tawa memegangi pedang Lam-mo-kiam di tangan kanan dan ular putih yang dirampas rajawali di tangan kiri!

 “Iblis cilik dari Pulau Neraka!” Bun Beng memaki. “Kembalikan pedangku!”

Pemuda di atas punggung rajawali itu hanya tertawa mengejek dan pada saat itu, segumpal asap hitam yang dilepas oleh Maharya secara diam-diam menye­rang muka Bun Beng. Pemuda ini gelagap­an, menyedot asap hitam dan seketika kepalanya pening, pandang matanya ge­lap dan ia terhuyung-huyung.

“Desss!” Kembali punggungnya dihan­tam tangan kiri Maharya dan ia roboh terguling. Namun ia masih sempat berte­riak, “Kwi Hong, lari....!” Kemudian ia merangkak bangun duduk bersila meme­jamkan mata dan berusaha mengusir pe­ngaruh asap beracun yang membuatnya pening dan lemas, apalagi punggungnya yang telah dua kali dihantam oleh tangan kiri Maharya yang lihai membuat napas­nya sesak.

Maharya yang tadinya menyangka bahwa pemuda di punggung rajawali yang datang itu mungkin akan mengeroyok­nya, telah merobohkan Bun Beng lebih dulu, kemudian kini ia mengacungkan tangannya ke atas. “Bocah setan, tak peduli engkau dari Pulau Neraka, turunlah sebelum engkau dan rajawalimu mampus di tangan Pendeta Sakti Maharya!”

Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera To-cu Pulau Neraka. Ia tertawa dan memainkan ular putih di tangan kirinya. “Heh-heh, setan tua. Ular putihmu ini baik sekali, tentu kdu dapat­kan di Himalaya, bukan?”

Diam-diam Maharya terkejut juga. Ular putihnya itu adalah seekor binatang yang racunnya ampuh sekali. Jarang ada orang sakti yang akan mampu menahan racun binatang itu dan sudah bertahun-tahun ia memelihara dan melatihnya se­hingga ular itu akan menjadi ganas kalau dipegang orang lain. Mengapa kini di tangan pemuda itu, ularnya menjadi ji­nak sekali? Namun tidak peduli anak se­tan dari mana pemuda itu, dia harus merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan ular putih. Ia menggerakkan tangan­nya dan sinar hitam menyambar ke arah burung rajawali yang terbang rendah.

Pemuda itu memutar pedang Lam-mo-kiam dan burung rajawali mengibas­kan sayapnya, namun tetap saja ada sebatang jarum mengenai kaki burung itu sehingga burung itu memekik keras dan terhuyung.

“Crakk!” Pedang Lam-mo-kiam berge­rak dan kaki burung yang terkena jarum hitam itu telah dibuntungi penunggang­nya!

“Setan tua itu membikin kakimu pu­tus, hek-tiauw (rajawali hitam), hayo ki­ta bunuh dia!” Pemuda itu berseru dan rajawali itu sudah menyambar turun de­ngan penuh kemarahan. Disambar oleh cakar dan paruh, dihantam oleh sayap yang besar ditambah lagi serangan pe­dang Lam-mo-kiam dan ular putihnya sendiri benar-benar Maharya menjadi ka­get bukan main. Ia menggulingkan tubuh­nya ke atas tanah dan hanya dengan ja­lan bergulingan ini ia terbebas dari baha­ya maut.

Sementara itu, ketika Kwi Hong me­lihat penunggang burung rajawali, muka­nya berubah dan ia merasa gelisah seka­li. Tentu saja dia mengenal Wan Keng In dan maklum bahwa pemuda Pulau Ne­raka itu merupakan musuh besar, sehing­ga tentu akan menambah lawannya. Sa­at itu ia melihat Bun Beng terguling dan mendengar pesan terakhir pemuda itu. Tidak baik melawan terus, pikirnya. Me­lawan berarti akan kalah dan pedang Li-mo-kiam akan terampas pula. Apa arti­nya melawan kalau tidak akan dapat menolong Bun Beng dan merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan Pedang Hok-mo-kiam? Lebih baik seperti yang diminta Bun Beng, melarikan diri selagi ada ke­sempatan, kemudian melapor kepada pamannya karena kalau bukan pamannya sendiri yang turun tangan, bagaimana mungkin pedang-pedang itu dapat diram­pas kembali? Alisnya berkerut dan hati­nya terasa sakit sekali ketika mengerling ke arah Bun Beng yang terpaksa ha­rus ia tinggalkan. Ia berseru keras, pe­dangnya menyerang ganas sehingga Tan-siucai kaget dan meloncat mundur. Ke­tika ia memandang ke depan, gadis la­wannya itu telah meloncat-loncat jauh dan melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar gurunya berteriak,

“Tan Ki.... bantu aku....!”

Ia menengok dan terkejut sekali me­lihat pemuda yang menunggang burung rajawali itu sambil terkekeh-kekeh me­nyerang gurunya dari atas, menyambari gurunya seperti seekor burung memper­mainkan tikus! Ia menjadi marah dan ma­ju menyerang dengan pedangnya ketika pemuda di atas punggung rajawali itu kembali turun menyambar.

“Tranggg....! Bukk!” Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru kaget dan rajawalinya memekik kesakitan dan terbang tinggi. Pemuda itu kaget karena pedang laki-laki yang menangkisnya itu ternyata dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan tangannya tergetar, se­dangkan pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah mengenai paha ra­jawali itu. Wan Keng In yang sudah me­meriksa pedangnya dan maklum bahwa secara tidak terduga-duga dia telah men­dapatkan sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang dicari-cari ibunya, ti­dak mau menempuh bahaya menghadapi dua orang di bawah yang ternyata lihai itu, apalagi kini rajawalinya terluka be­rat, sebelah kakinya buntung dan bercu­curan darah sedangkan pahanya juga ter­luka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu rajawalinya akan kuat mem­bawanya terbang ke Pulau Neraka, ma­ka ia lalu menyuruh rajawalinya terbang tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.

Maharya menyumpah-nyumpah. “Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia membawa lari ularku!”

“Dan Lam-mo-kiam juga dirampas­nya. Semua ini kesalahan pemuda sialan itu! Kita bunuh saja dia!” Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam ke arah leher Bun Beng yang masih duduk bersi­la mengatur pernapasan. Karena tidak sanggup membela diri lagi, Bun Beng tetap tidak bergerak, menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.

“Jangan!” Tiba-tiba Maharya berteri­ak dan Tan Ki menahan pedangnya, me­noleh dan memandang gurunya dengan heran.

“Mengapa? Apakah Guru menaruh ka­sihan kepada bedebah ini?”

“Ha-ha-ha, hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku robek, ularku lenyap dan Lam-mo-kiam juga hi­lang. Aku senang bukan main melihat dia mampus, akan tetapi amat enaklah kalau kau membunuhnya begitu saja. Kita harus membuat dia mati perlahan-lahan, biar dia menderita sampai empat puluh hari, mati tidak hidup pun bukan, baru benar-benar mampus, ha-ha-ha!”

Tan-siucai tertawa geli. “Maksudmu bagaimana, Guru?”

“Begini!” Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya yang memakai sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng maklum bahwa dirinya diserang, akan tetapi tu­buhnya lemas, tenaganya habis sehingga melawan pun hanya akan menyiksa diri, maka dia diam saja menerima hantaman maut.

“Cusss! Cusss!” Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang pinggang, kanan kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan se­suatu, hanya rasa pegal di tempat yang ditotok.

“Ha-ha-ha, aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan membalikkan hawa kundalini, dia akan keracunan, kedua kakinya akan lumpuh, darahnya perlahan-lahan akan kotor dan menghitam dan dia setiap hari akan menderita hebat, sedikit demi sedikit nyawanya terancam, sampai empat puluh hari. Dia mati sekerat demi sekerat, ha-ha!”

Tan-siucai juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika melihat betapa dua kali totokan gurunya itu ti­dak membuat Bun Beng kesakitan. “Ter­lalu enak kalau dia tidak diberi rasa, dan hatiku tidak puas kalau tidak menyiksa­nya tanpa membunuhnya.”

Gurunya mengangguk. “Asal jangan kau pergunakan sin-kang agar tidak membunuhnya, sesukamulah.”

“Kalau tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan Pende­kar Siluman sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!” Tan-siucai mengayun kakinya, tanpa menggunakan tenaga sin-kang menendang ke arah ulu hati Bun Beng.

“Ngekkk!” Biarpun tidak mengguna­kan sin-kang, namun tendangan yang keras itu membuat Bun Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.

“Desss!” Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak sepatu. Ketika injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan kepa­la sehingga bangkit duduk lagi, Tan-siucai menendang yang kiri.

“Desss!” Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang, kepalanya pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya bengkak-bengkak dan membiru.

Tan-siucai tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan langkah lebar ia menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah kedua lutut Bun Beng, menendang keras sekali.

“Krak! Krak!”

Tanpa mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya ter­lepas!

“Cukup, kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh hari. Mari kita pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari tangan kita. Kita kejar bocah perempuan itu!” Guru dan murid itu sambil tertawa-tawa puas lalu berlari, bayangan mereka berkelebat dan tempat itu menjadi sunyi sekali. Tubuh Bun Beng menggeletak menelungkup dalam keadaan pingsan, sedangkan tak jauh dari situ delapan belas buah mayat para pemuja Sun-go-kong malang-melintang! Menyeramkan sekali keadaan di situ, apalagi ketika tampak beberapa ekor burung gagak hi­tam beterbangan dan berputaran di atas tempat itu, agaknya mereka sudah men­cium bau mayat dan darah.

Bun Beng sadar dan membuka mata­nya ketika ia merasa pipinya sakit se­perti ditusuk-tusuk pedang. Betapa men­dongkol dan marah hatinya ketika ia melihat dua ekor burung gagak mema­tuki darah dari pipinya. Sekali mengibas dengan tangan, dua ekor burung itu terpental dan mati seketika. Gerakan ini membuat burung-burung gagak yang lain terbang ke atas dan Bun Beng bergidik. Burung-burung keparat itu pesta mema­tuki mayat-mayat, makan daging dan darah dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu. Dengan hati terharu ia memandang ke sekeliling. Hatinya merasa sengsara sekali menyaksikan delapan be­las orang itu telah menjadi mayat, dan lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur jenazah mereka. Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambung­an lutut kedua kakinya terlepas dan nye­ri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia mengeluh dan bangkit du­duk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah di paha untuk melenyapkan rasa nyeri di lututnya, kemudian sedapat mungkin ia mengurut lutut-lututnya. Ke­mudian ia menggerakkan kedua tangannya, mengesot dan setengah merangkak meninggalkan tempat itu. Dia harus per­gi dari situ, tidak tega ia menyaksikan mayat-mayat itu dimakan burung. Mere­ka telah mati dalam membelanya. Ia menoleh sebentar dengan air mata membasahi bulu matanya ia berbisik, “Sahabat-sahabatku sekalian, aku ber­sumpah kalau masih dapat sembuh dan hidup, aku akan membalas kematian ka­lian kepada Maharya dan Tan Ki.” Kemu­dian ia merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuh­nya terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia telah terluka hebat dan jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat setiap buku tulang terasa seperti ditusuki jarum.

Susah payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang terjal itu? Ah, bagaimana pula nasib Kwi Hong? Mudah-mudahan dia dapat melarikan diri, pikirnya dan ia menjadi agak lega. Biarpun dia mati, tentu Pen­dekar Super Sakti akan membalaskan sakit hatinya. Bertambah pula musuh-musuhnya, musuh yang amat sakti. Mu­suh-musuh pertamanya, Koksu Negara Im-kan Seng-jin dan para pembantunya sudah merupakan lawan yang berat dan belum dapat ia jumpai, kini muncul pu­la musuh-musuh yang tidak kalah sakti­nya, yaitu Tan Ki dan gurunya yang pan­dai ilmu sihir! Dan dia maklum bahwa guru dan murid itu telah membuat dia menjadi seorang cacad dan tinggal me­nunggu maut. Pukulan beracun itu tak­kan dapat ia obati, apalagi dengan kedua kaki tak dapat dipakai berjalan, apa da­yanya? Namun dia tidak putus asa, ti­dak mau putus asa. Selagi ia masih hi­dup, dia akan berusaha menyembuhkan luka-lukanya, berusaha pergi dari tem­pat berbahaya ini!

Malam itu Bun Beng mengalami ma­lam yang paling sengsara. Ia berusaha duduk bersila bersiulian, namun tetap saja ia tidak dapat mengerahkan tenaga­nya. Begitu ia mengerahkan sin-kang, perutnya terasa panas seperti dibakar dan seluruh tubuh terasa gatal-gatal. Ia hanya dapat melatih pernapasan, meng­hirup udara segar, itu pun tidak dapat ia tarik ke pusar seperti biasa karena hal ini juga menimbulkan rasa nyeri yang sama. Semalam ia tidak tidur dan kalau ia teringat akan malam penuh bahagia bersama Kwi Hong, ia tersenyum pahit. Baru kemarin ia mengalami malam yang paling bahagia selama hidupnya, duduk menghadapi api unggun, menatap wajah gadis itu yang tidur nyenyak dan mera­sa betapa dunia menjadi amat indah. Ki­ni perubahan itu seperti sorga dan nera­ka. Ia teringat akan wejangan Siauw Lam Hwesio bahwa memang demikian­lah hidup. Sorga dan neraka penghidupan muncul dan lenyap saling berganti!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi se­kali setelah terang tanah, Bun Beng me­lanjutkan usahanya menuruni bukit de­ngan merangkak perlahan-lahan. Betapa ia dapat melakukan perjalanan cepat kalau ia hanya mengandalkan kedua ta­ngannya untuk menarik tubuhnya secara mengesot?

Tubuhnya terasa makin panas. Darah yang mengalir ke kepalanya seolah-olah membakar kepala dan menjelang tengah hari ia tidak kuat lagi. Ia rebah di ba­wah sebatang pohon dalam keadaan sete­ngah pingsan. Ketika ia meletakkan pipi­nya yang masih membengkak dan nyeri berdenyut-denyut itu ke atas tanah berumput yang dingin basah, ia merasa betapa nikmatnya tidur seperti itu. Ingin ia tidak dapat bangun kembali, rebah se­perti itu untuk selamanya!

Sebuah kaki bersepatu membalikkan tubuhnya yangmenelungkup. Ia terlen­tang dan pandang matanya berkunang. Dalam keadaan setengah pingsan ia meli­hat beberapa orang berdiri mengeli­linginya dan jantungnya berdebar penuh kemarahan ketika ia mengenal seorang di antara mereka adalah pemuda Pulau Neraka, si penunggang rajawali! Bagai­mana pemuda ini bisa muncul kembali?

Pemuda yang datang bersama dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah tua itu adalah Wan Keng In. Pe­muda ini tadinya hendak kembali ke Pulau Neraka menunggang rajawali yang terluka parah. Hatinya girang mendapat­kan Lam-mo-kiam, akan tetapi juga ke­cewa karena dia tidak dapat mengalah­kan kakek India dan sasterawan yang menjadi murid kakek itu. Kecewa karena dia tidak bisa mendapatkan pedang Li-mo-kiam karena ibunya tentu akan gi­rang sekali kalau dia bisa mendapatkan Sepasang Pedang Iblis itu, bukan hanya yang jantan, pula, dia pun ingin sekali mendapatkan pedang Si Sasterawan yang mampu menandingi Lam-mo-kiam.

Dengan hati girang Wan Keng In me­lihat seekor burung rajawalinya terbang di udara. Ia bersuit nyaring dan ketika rajawali itu terbang dekat, ia lalu pin­dah ke atas punggung rajawali yang sehat. Ketika ia terbang rendah di pantai, ia melihat sebuah perahu hitam, perahu Pulau Neraka. Cepat ia turun dan ter­nyata perahu itu adalah perahu yang ditumpangi dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah. Biarpun ia agak ke­cewa mendapat kenyataan bahwa yang berada di perahu hanyalah dua orang anggauta rendahan yang tidak dapat ba­nyak diandalkan, namun ia girang juga dan cepat mengajak mereka untuk pergi ke bukit itu. Dia harus menyelidiki bu­kit itu. Siapa tahu pusaka-pusaka yang yang lain berada di situ.

Demikianlah, ketika di tengah jalan ia melihat Bun Beng yang menggeletak setengah pingsan, alisnya berkerut. “Ini­lah orangnya yang memegang pedang yang kurampas. Kepandaiannya lumayan juga. Eh, orang yang terluka parah, aku akan mengobatimu sampai sembuh, akan tetapi katakanlah, dari mana engkau mendapatkan Siang-mo-kiam? Dan mana yang sebatang lagi?”

Mendengar pertanyaan ini, Bun Beng menggeleng kepala tanpa menjawab. Biarpun benar-benar pemuda Pulau Neraka ini akan dapat menyembuhkannya, dia tetap tidak sudi memberi tahu kepada pemuda yang dibencinya itu tentang se­pasang pedang iblis yang kini telah dirampasnya sebatang. Lebih baik dia mati daripada memberi tahu bahwa pedang yang sebuah lagi dipegang Kwi Hong. Kalau pemuda ini naik burung rajawali mengejar dan mencari Kwi Hong dari atas, gadis itu bisa terancam bahaya!

“Apakah engkau mendapatkannya di bukit ini? Apakah ada pusaka lain lagi? Kitab pelajaran kuno? Kulihat engkau menderita pukulan beracun yang amat berbahaya!” Wan Keng In mendesak lagi, akan tetapi Bun Beng menggeleng kepa­la dan memejamkan mata, tidak menja­wab.

Keng In menggerakkan jari tangan­nya menotok pundak Bun Beng dan pemu­da yang sudah terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak. “Kalian bawa dia ke perahu dan bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk mengorek rahasia darinya. Dia lihai, akan tetapi dia terluka parah dan sudah kuto­tok. Akan tetapi, kalian harus tetap ber­hati-hati membawanya, jangan sampai gagal. Aku akan menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup mencurigakan.”

“Baik, Kong-cu (Tuan Muda).” Dua orang anggauta Pulau Neraka yang ber­muka merah itu lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan memba­wanya turun dari bukit. Semetara itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan tetapi dia hanya me­nemukan mayat delapan belas orang ga­gah itu dan biarpun dia telah mencari sampai sehari penuh, dia tidak menemu­kan apa-apa kecuali sebuah kitab kecil pelajaran Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat. Biarpun yang ditemukan sama sekali bu­kan pusaka-pusaka yang diharapkan na­mun kitab ini ia kantongi dan ia bawa pergi setelah ia bersuit memanggil bu­rung rajawali yang mengikuti perjalan­nya bersama dua orang anggauwnya da­ri atas.

Sementara itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke pantai sunyi di mana mereka menyembunyi­kan perahu mereka, kemudian merebah­kan Bun Beng di dekat perahu dan me­layarkan ke laut. Bun Beng masih ber­usaha sedapat mungkin untuk membebas­kan totokan. Dia memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia dibawa ke Pulau Neraka! Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih tidak mau, apalagi menjadi tawanan yang luka be­rat seperti sekarang ini, dan dibawa ke sana hanya untuk dipaksa mengaku ten­tang Sepasang Pedang Iblis! Ia harus da­pat melepaskan diri, karena kalau sampai ia dibawa ke Pulau Neraka, habis­lah harapannya. Bagaimana ia akan da­pat keluar dari pulau itu? Daripada hi­dup tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati sekarang karena berusaha me­lepaskan diri. Memang sukar mencari ja­lan bebas mengingat akan luka-lukanya, tubuhnya yang lemah dan kakinya yang tak dapat dipergunakan. Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu, pertama-tama dia harus dapat membebaskan to­tokan itu lebih dulu. Kedua kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan tetapi ia masih mempunyai kedua tangan!Lautan utara ini sunyi sekali. Hanya ada beberapa buah layar kecil tampak dari jauh, yaitu layar para nelayan yang untuk mencari nafkah hidupnya berani menempuh jarak jauh dan menentang an­caman bahaya maut di tengah laut yang kadang-kadang amat ganas itu. Setelah perahu meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil membebaskan diri dari to­tokan. Dia mengeluh karena setelah kini berada di perahu dan di tengah laut, an­daikata ia dapat membebaskan diri dari dua orang itu sekalipun, habis apa yang dapat ia lakukan? Dengan hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di pinggir geladak, menggunakan kesempat­an selagi dua orang itu sibuk dengan ke­mudi danlayar. Ia menjangkau langkan dan menarik tubuhnya ke atas untuk mengintai keluar. Sunyi di luar, tidak tampak perahu lain. Akan tetapi di ke­jauhan itu.... ah, ada sebuah perahu kecil di sana, dengan seorang penumpangnya.

Kalau saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu orang itu seorang nela­yan biasa yang akan suka menolongnya. Untung bahwa perahu layar Pulau Nera­ka ini sedang meluncur menuju ke pe­rahu kecil di kejauhan itu.

“Heeiii.... kau mau ke mana....?” Se­orang bermuka merah yang kumisnya pan­jang melintang berteriak sambil meloncat dekat. Ia takut kalau-kalau tawanan itu meloncat keluar perahu. Kalau sampai mereka kehilangan tawanan itu, hidup atau mati tentu kong-cu akan marah se­kali dan mengingat akan hukumannya, mereka bergidik.

“Kau tidak boleh ke mana-mana, ha­yo kembali ke sini!” Si Muka Merah ber­kumis itu menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.

“Dessss! Augghhhh....!” Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan secara tiba-tiba itu mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biarpun Bun Beng terluka, namun pukulannya itu cukup ku­at untuk memecahkan kepala anggauta Pulau Neraka tingkat rendahan itu sehingga tubuhnya terjerembab dalam keadaan tak bernyawa lagi!

“Heiii.... keparat, apa yang kaulaku­kan?” Orang ke dua cepat meloncat ba­ngun tidak peduli lagi akan kemudi, pe­rahu mulai terombang-ambing. Ia lari mendekati, kaget menyaksikan temannya telah tewas dan dengan marah ia menca­but golok lalu menyerbu Bun Beng yang masih duduk bersandar langkan. Melihat serbuan golok ini, Bun Beng maklum bahwa dia harus bekerja cepat. Ia tidak mempedulikan dada dan perutnya yang menjadi panas dan nyeri sekali, terpak­sa ia mengerahkan tenaga seadanya dan tubuhnya mencelat ke atas, tangannya yang kiri memukul pergelangan tangan kanan lawan sehingga goloknya terlepas, tangan kanannya menampar pelipis.

“Plakk!” Orang itu roboh tanpa me­ngeluh. Bun Beng juga terbanting jatuh di atasgeladak. Ia melihat betapa pera­hu itu dengan layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring. Sekilas pandang ia melihat perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali lagi ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya mencelat ke atas keluar dari langkan.

“Jebuuuurrrr....!” Bun Beng terban­ting ke permukaan air laut dengan kepa­la lebih dulu. Bun Beng gelagapan, ber­usaha untuk berenang, akan tetapi orang yang kedua kakinya sudah tak dapat di­gerakkan, yang tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana mungkin dapat berenang? Dia hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena pengerahan tena­ga tadi membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali, tetap saja gerak­an tangannya kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam sehingga terpaksa mi­num air laut yang asin.

Tiba-tiba Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya tim­bul kembali ke permukaan air, kini ti­dak tenggelam lagi sehingga ia dapat menggunakan kedua tangan untuk mengha­pus mukanya yang gelagapan. Kuncir rambutnya terlibat dan dijambak ke atas, terasa pedas akan tetapi dia tidak marah karena hal ini malah menolongnya, membuat dia tidak tenggelam. Akan tetapi ketika perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke belakang dan ia menoleh, ma­tanya terbelalak dan ia mendongkol juga karena ternyata yang mengait rambut­nya adalah ujung pancing yang tangkai­nya dipegang oleh seorang wanita di atas sebuah perahu kecil! Dia memang dito­long, akan tetapi cara menolong itu be­nar-benar menghina sekali, seolah-olah dia hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia seperti menjadi seekor ikan aneh yang terkena pancing!

Betapapun juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya melayang dan terja­tuh ke dalam perahu, di atas geladak yang sempit. Ia terengah-engah, meme­jamkan mata, terasa betapa seluruh tu­buhnya sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng mengeluh lirih.

“Hemmm, engkau telah tiga perem­pat mati, rusak luar dalam.... hemmm, sungguh kasihan orang yang tak tahu di­ri, berani menentang Pulau Neraka. Aahh, kakinya lumpuh pula.... heran, da­lam keadaan begini, bagaimana dia bisa membunuh dua orang Pulau Neraka bermuka merah?”

Suara itu halus dan merdu sekali se­hingga Bun Beng merasa seolah-olah mimpi. Ia cepat membuka matanya dan.... segera dipejamkannya kembali. Sudah matikah dia? Beginikah rasanya mati dan bertemu bidadari? Kalau sudah mati, kenapa tubuhnya masih terasa nye­ri semua dan kakinya masih tak dapat ia gerakkan? Kalau masih hidup, bagaimana mungkin ia bertemu bidadari di tengah lautan? Celaka, jangan-jangan dewi pen­jaga lautan. Kalau manusia biasa, tak mungkin begitu cantik seperti bidadari, begitu halus, suaranyapun tidak seperti suara manusia, begitu merdu seperti orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang manusia semuda dan secantik jelita itu seorang diri saja di tengah lautan?

“Eh, aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin, mukanya rusak begini mana bisa dikenal? Aihhhh, dia terkena pukulan beracun yang luar biasa! Aduh kasihan sekali, siapa sih orang yang malang ini....?”

Mendengar suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak terasa pula kedua mata Bun Beng men­jadi panas dan dua butir air mata berti­tik turun. Tanpa membuka matanya ia berkata, “Mohon pertolongan Pouwsat (Dewi).... hamba masih belum ingin mati karena masih banyak tugas yang harus hamba laksanakan....! Harap Pouwsat tidak kepalang menolong hamba....!”

“Aihhhh.... otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya penderitaan yang hebat ini membuat otaknya menja­di berubah miring. Tidak mengherankan, jarang ada orang di dunia ini masih dapat hidup setelah mengalami luka-luka pa­rah luar dalam seperti dia ini. Aihhhh, sungguh sialan. Memancing setengah ha­ri tidak mendapat ikan besar, hanya be­berapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar orang yang tidak waras luar dalam dan pikirannya, apa yang harus kulakukan dengan dia?”

Bun Beng menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas, ki­ranya benar seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar ucap­an terakhir itu, ia menghela napas dan berkata,

“Kalau kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan akukemba­li ke laut. Siapa sih yang minta pertolonganmu tadi?”

“Aihhh.... masih bisa marah? Jelas mi­ring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku selalu harus bertemu dengan orang yang jatuh ke laut? Sungguh aneh jaman seka­rang ini banyak orang terapung-apung di laut.”

Kini Bun Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya. Memang Bun Beng boleh dimaafkan ka­lau tadi menyangka wanita ini dewi laut atau bidadari karena memang dia seorang dara yang luar biasa cantiknya. Tubuh­nya tinggi ramping dengan bentuk tubuh yang hebat, wajahnya begitu jelita se­perti gambar, kulitnya putih halus seper­ti salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak begitu lemah gemulai seperti batang pohon liu tertiup angin, pakaian­nya indah sekali sesuai dengan orangnya, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu digelung tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat da­ri mutiara. Seorang dara yang.... bukan main.

Akan tetapi, begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng ke­duanya berseru,

“Nona Milana....!”

“Engkau.... Gak-twako.... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya engkau Gak Bun Beng! Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini, Gak-twako?”

Bun Beng menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk bangkit duduk. Ia menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut Milana membantunya duduk di atas geladak. Se­jenak mereka saling pandang. Milana de­ngan penuh rasa kasihan. Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan juga tidak enak hati karena ia berjumpa dengan dara yang sejak kecil berwatak halus ini da­lam keadaan seperti itu. Dara itu kini telah dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak. Bukan main! Seorang dara tujuh belas tahun yang seper­ti dewi kahyangan! Debar jantung Bun Beng mengatasi segala rasa nyeri dan pemuda ini cepat mengalihkan pandang matanya, menunduk dan menghela napas panjang.

“Panjang sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas.... aku dilukai oleh se­orang kakek India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang gila....”

“Ohhh? Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu? Yang mencuri Pedang Hok-mo-kiam?”

“Benar, Nona Milana, engkau masih ingat itu semua? Ingat akan pengalaman kita bertahun-tahun yang lalu itu....?”

“Tentu saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning, kemudian sampai kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh, Gak-twako, kenapa mereka melukaimu seper­ti ini? Ini namanya sengaja menyiksa, mengapa kau tidak dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?”

“Gara-gara Sepasang Pedang Iblis....” jawabnya dan kembali ia merintih dan menyeringai karena dadanya terasa sakit sekali.

“Sepasang Pedang Iblis?” Milana ber­seru kaget sekali.

“Benar dan aauuggghh....” Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan te­naga tadi ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali dan ia ro­boh pingsan!

Ketika Bun Beng siuman kembali, ia berada di atas kuda, di belakangnya du­duk Milana. Rasa nyeri menguak ke se­luruh tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengatasi debar jantungnya ketika ia merasa betapa tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk oleh Milana. Bukan main! Di atas segala rasa nyeri, terasa oleh­nya kehangatan dan kelunakan tubuh dara itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan ingin pingsan terus!

Akan tetapi dara itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman. Didorongnya tubuh Bun Beng ke depan. “Bagaimana, Gak-twako? Apakah kau kuat menunggang kuda bersamaku? Harap kaupertahankan, engkau harus men­dapat perawatan yang baik. Agaknya Ibu akan dapat menolongmu....” Gadis itu bicara halus dan penuh iba.

Bun Beng memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan perlahan. “Aihhh.... aku menyusahkan eng­kau saja, Nona. Ibumu seorang sakti, akan tetapi aku merasa sangsi apakah Beliau akan dapat menyembuhkan aku. Menurut kata kakek India itu, dalam waktu empat puluh hari aku akan mati sekerat demi sekerat. Melihat rasanya tubuhku, dia agaknya tidak membohong. Darahku te­lah keracunan, tidak ada yang akan da­pat menyembuhkanku. Aahh, semua salah­ku sendiri, terlalu menurutkan kata ha­ti tanpa mempertimbangkan dan tanpa menyadari bahwa kepandaianku masih amat rendah. Aku berani mengacau Thian-liong-pang.... itulah mula-mula se­gala malapetaka yang menimpa diriku....”

“Apa? Kau mengacau Thian-liong-pang?” Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana mendengar ini. Thian-liong-pang adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang. Akan tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia tidak dapat mencerita­kannya kepada siapapun juga. “Mengapa kau memusuhi Thian-liong-pang?”

“Perkumpulan iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh kang-ouw untuk dicuri ilmu mereka. Hemm, dan Ketuanya amat ganas, ke­jam, licik dan sakti. Kiranya hanya Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es saja yang akan dapat membas­mi Thian-liong-pang....!”

“Gak-twako, orang tidak perlu men­campuri urusan orang lain kalau belum diketahuinya betul keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua Thian-liong-pang sehingga dia kaumaki ganas, kejam, licik dan sakti? Kurasa, orang seperti engkau sekalipun akan dapat salah sang­ka, maka sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan orang-orang lain, ter­utama Thian-liong-pang atau Pulau Nera­ka. Mereka amat berpengaruh dan lihai, tidak ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani lancang menentang mereka.”

Bun Beng mengerutkan alisnya. Me­ngapa puteri Pendekar Super Sakti, yang tentu memiliki ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika menolongnya dengan kail, mengeluarkan ucap­an begitu jerih terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka? Dia merasa penasar­an melihat sikap Milana seperti ketakutan.

“Nona, kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, mengapa kau menolongku? Lebih baik kalau kautinggalkan aku di sini saja!”

Milana tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng bergerak hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi pe­muda itu karena kakinya lumpuh dan te­naganya habis. “Gak-twako, engkau benar-benar seorang yang amat tinggi hati! Aku menolongmu dengan hati tulus ikhlas dan kosong tanpa pamrih, hanya berda­sarkan perasaan iba yang akan kulaku­kan terhadap siapapun juga yang membutuhkan pertolongan seperti engkau. Me­ngapa harus kudasarkan kepada perasaan takut atau tidak? Twako, apakah eng­kau menganggap aku seorang pengecut dan penakut yang akan membiarkan orang terluka parah seperti engkau begi­tu saja tanpa berusaha mengobati dan menolongmu?”

Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak mengan­dung kemarahan atau penyesalan sehing­ga diam-diam Bun Beng merasa terkejut dan teringatlah ia betapa ucapannya ta­di kasar dan menyakitkan hati. Maka ia cepat berkata,

“Maafkan aku, Nona. Bukan sekali-kali aku bermaksud bahwa Nona seorang penakut, hanya.... aku telah dianggap musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan ka­um Pulau Neraka agaknya juga memu­suhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan merasa berdosa dan menyesal ka­lau engkau akan dimusuhi mereka pula karena engkau telah menolongku! Aku tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar. Biarlah aku saja yang menjadi korban keganasan mereka, jangan sam­pai engkau terancam pula oleh bahaya.”

Milana tersenyum. “Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan aku tidak akan membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu oleh siapapun juga. Kurasa engkau belum mengenal betul Thian-liong-pang. Menurut penda­patku, Thian-liong-pang, kumaksudkan ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau duga. Perbuatannya yang aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu ada latar belakangnya.”

“Aku sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga dalam keadaan mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar mereka mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua itu! Dan engkau keliru kalau menganggap Thian-liong-pang tidak jahat! Anak buahnya adalah iblis-iblis yang kejam, yang suka membunuh orang tanpa berkejap mata.”

“Kurasa tidak demikian, Twako. Ka­lau anak buah Thian-liong-pang ada yang menyeleweng, hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua, karena tentu yang menyeleweng akan dihukum. Adapun Ke­tua itu sendiri, andaikata sampai mem­bunuh orang, tentu ada sebab-sebabnya yang memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia jahat seperti iblis. Hanya eng­kaulah yang belum mengenalnya betul.”

“Heii, kau seperti membelanya!” Bun Beng berkata penasaraan. “Engkau tidak tahu, aku telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di bawah tanah. Nyaris aku dibunuhnya kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu Lo-mo yang mengaku masih paman kakekku itu tidak membu­juk Ketua Thian-liong-pang!”

“Ahhh, jadi begitukah?” Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia men­dengar bahwa pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!

“Nona, agaknya engkau mengenal be­tul keadaan Thian-liong-pang!”

“Sedikit banyak aku sudah mende­ngar tentang perkumpulan itu, Twako. Siapakah orangnya yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang terkenal? Sudahlah, engkau perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat penguat badan, pencuci darah dan penyambung tulang patah. Akan tetapi, racun yang mengan­cam keselamatan nyawamu tak dapat ku­obati, agaknya Ibu akan dapat menolong­mu, akan tetapi....” Milana menjadi bingung dan sangsi. Betapa mungkin ibu­nya akan suka menolong pemuda yang sudah memusuhi Thian-liong-pang ini?

“Akan tetapi apa, Nona?”

“Aku.... aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan obatku harus kugodok, maka kita mem­butuhkan alat dapur. Di depan ada se­buah dusun, di sana kau dapat beristira­hat, Twako.”

Kuda itu dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah gadis yang duduk di belakangnya itu tidak me­lihat betapa wajah itu penuh kekhawa­tiran. Juga keadaannya tidak memung­kinkan dia setajam biasa, penglihatan maupun pendengarannya, sehingga dia tidak tahu bahwa mereka berdua diba­yangi oleh beberapa orang. Akan tetapi Milana tahu akan hal ini maka gadis itu menjadi gelisah, apalagi karena dari ge­rakan dan tanda para pengejar itu dia tahu bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya!

Dalam keadaan setengah sadar kare­na menderita luka hebat itu, Bun Beng diturunkan dari atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang rumah­nya disewa gadis itu, dan dibaringkan di atas sebuah dipan kayu sederhana da­lam ruangan rumah yang sederhana pula. Setelah petani itu meninggalkan rumah­nya yang telah dibayar sewanya secara royal oleh Milana untuk waktu seminggu, Milana sibuk memasak obat, kemudian mencuci muka Bun Beng dengan air ha­ngat, membersihkan darah dari pipi dan bibir, menaruh obat luka di tempat yang terobek sepatu Tan-siucai kemudian memberi obat yang telah dimasaknya.

Bun Beng menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wa­jar karena hal itu dapat ia harapkan da­ri setiap orang manusia yang masih me­miliki kasih sayang di antara manusia. Bukan, bukan pertolongan itu yang mengharukan hatinya, melainkan sentuhan-sentuhan jari tangan yang demikian lem­but, pandang mata yang demikian halus, perhatian yang demikian penuh dicurahkan kepada dirinya. Kalau wajah itu ti­dak demikian cantik jelita dan masih amat muda, tentu dia tidak akan yakin bahwa yang merawatnya itu bukan ibunya! Hanya ibunya sendiri sajalah agak­nya yang akan merawat anaknya seperti itu!

“Nah, biarpun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu, setidak­nya engkau akan merasa tenang dan ti­dak begitu menderita nyeri lagi, Twako. Dan obat yang kugosokkan pada lutut­mu itu, dalam waktu sepekan tentu akan memulihkan kembali sambungan kedua lututmu sehingga engkau akan dapat berjalan lagi.”

“Nona Milana.... terima kasih. Engkau....!”

“Husshhh.... tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh....” Gadis itu menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi Bun Beng karena dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh kegelisahan. Dia bukan seorang ahli pe­ngobatan, namun sedikit pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia tahu bahwa pemuda itu menderita luka keracunan yang amat hebat. Biarpun dia tahu ibunya sakti, namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan pemuda itu. Yang membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng memusuhi Thian-liong-pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya?

Bun Beng dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengan­dung pula obat tidur. Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga batang lilin di tempat lilin kuno yang tergantung di sudut ruangan. Beberapa kali dia meli­hat berkelebatnya bayangan orang di lu­ar rumah dan dia tahu bahwa itu adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya. Bahkan dia mengenal pula siapa yang memimpin rombongan delapan orang Thian-liong-pang itu, ialah se­pasang kakak beradik kembar yang amat lihai. Dia tahu bahwa dua orang kembar itu, Su Kak Liong dan Su Kak Houw, adalah dua orang kepercayaan ibunya dan sudah sering diutus melaku­kan hal-hal berbahaya di luar perkum­pulan yang selalu dilaksanakan dengan hasil baik. Sejak kecil Milana tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan urusan Thian-liong-pang, namun karena dia di­gembleng ilmu oleh ibunya sendiri, dia tahu bahwa kepandaian dua orang kem­bar ini hanya bertingkat sedikit di ba­wah tingkat pembantu-pembantu ibunya seperti Lui-hong Sin-ciang Chie Kang atau Sai-cu Lo-mo sendiri! Apalagi Su Kak Houw, setelah lengan kanannya lum­puh dalam sebuah pertempuran melawan orang pandai, menerima sebuah ilmu pu­kulan yang amat dahsyat dari ibunya. Ilmu ini didasari latihan khusus pada jari dan telapak tangan kiri dengan pengerah­an sin-kang dan gerakan khusus pula, membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar biasa kuatnya, dapat dipakai me­nangkis senjata-senjata logam yang kuat dan tajam, bahkan tangan itu dapat dipa­kai membacok seperti sebatang golok ta­jam. Karena inilah maka dia terkenal sebagai Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah julukan yang lucu dan aneh karena selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan golok dalam pertan­dingan, apalagi membunuh orang dengan golok. Dia hanya menggunakan lengan kirinya, namun lawannya yang terluka atau tewas, roboh dengan luka-luka se­perti dibacok sebatang golok besar yang tajam!

Biarpun maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya de­lapan orang termasuk Si Kembar, Mila­na bersikap tenang-tenang saja. Dia me­rasa yakin bahwa selama Bun Beng ber­ada bersamanya, tak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang yang akan be­rani turun tangan! Maka dia pura-pura tidak tahu akan kehadiran mereka, sung­guhpun dia tahu pula bahwa Si Kembar itu sengaja beberapa kali bergerak di depan jendela supaya terlihat oleh Mila­na dan supaya ditegur oleh puteri Ketua Thian-liong-pang itu. Namun, dia tidak mau menegur mereka dan terus melan­jutkan mempersiapkan makan dan minum sederhana untuk Bun Beng dan dia sen­diri.

Dugaan Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam orang anggauta Thian-liong-pang tingkat pertengahan, bertugas melakukan penyelidikan dan pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos dari tempat tahanan di bawah tanah. Dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati mereka ketika melihat pemuda itu dalam keadaan luka berat, naik kuda bersama puteri Ketua mereka! Tentu saja hal ini membuat mereka bingung dan tidak ber­gerak turun tangan, bahkan menegur saja mereka tidak berani! Mereka merasa ngeri memikirkan kemungkinan hu­kuman yang akan dijatuhkan Ketua Thian-liong-pang terhadap mereka kalau mereka mengganggu Milana! Sampai la­ma mereka memancing agar ditegur lebih dulu oleh Milana sehingga mereka dapat melapor akan tugas yang mereka terima dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi sungguh membuat mereka makin bingung ketika dara itu sama sekali tidak peduli seolah-olah tidak melihat me­reka. Akhirnya, kedua orang saudara kembar itu mengambil keputusan untuk memasuki pondok dan langsung menghadap Milana!

Ketika dua orang laki-laki yang mu­kanya menyeramkan, rambutnya awut-awutan itu muncul dari pintu pondok pa­da keesokan harinya, Bun Beng sudah bangun dari tidurnya, merasa tubuhnya ti­dak begitu tersiksa lagi oleh rasa nyeri, sungguhpun kedua kakinya masih lumpuh tak dapat digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak memulihkan tenaga di tubuh bagian atas.

Tampak olehnya Milana sedang me­masak air di sudut pondok. Bun Beng me­narik napas panjang dan hal ini terde­ngar oleh dara itu yang segera menoleh memandang dan tersenyum manis.

“Engkau sudah bangun? Bagaimana tubuhmu?”

Sejenak Bun Beng tak mampu menja­wab, lehernya seperti tercekik. Sejak malam tadi, Milana kelihatan sibuk te­rus mengurus dan merawat dirinya. Apa­kah tidak tidur semalam? Dan melihat gadis itu di pagi hari ini, membuat Bun Beng terpesona. Belum pernah dia meli­hat wajah secantik itu. Bukan main! Me­remehkan segala kecantikan yang pernah dilihat sebelumnya. Milana memiliki ke­cantikan yang aneh, tidak seperti biasa dan mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada wajah selaksa orang gadis cantik lainnya.

“Aihh, kenapa engkau diam saja, Twako?”

Bun Beng menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali. “Maaf.... eh, aku.... aku sedang memikirkan bahwa sesungguh­nya tidak perlu engkau bersusah payah untuk aku, Nona. Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak layak menerima kebaik­an yang berlebihan ini, membuat aku berhutang budi dan.... bagaimana aku akan mampu membalasmu?”

Milana tersenyum lebar. “Ya jangan dibalas karena aku tidak menghutang­kan apa-apa!” Sebelum pemuda itu men­jawab, Milana mendahului dengan sikap dan suara bersungguh-sungguh, “Gak-twako, mengapa engkau masih saja memperlihatkan sikap sungkan? Bukan­kah kita berdua telah mengenal sejak kecil dahulu? Kalau seandainya aku yang tertimpa bencana seperti engkau sekarang ini dan bertemu denganmu, apakah engkau tidak akan sudi menolongku?”

“Ah, tentu saja!” jawab Bun Beng ce­pat.

“Kalau melihat engkau sungkan-sung­kan seperti ini, agaknya engkau pun ten­tu akan segan dan sungkan menolongku.”

“Demi Tuhan! Tidak, Nona. Aku akan melaksanakan apa saja, kalau perlu me­ngorbankan nyawa untuk menolongmu!”

Milana tersenyum lagi dan membung­kuk. “Terima kasih, Twako. Nah, kalau begitu kita sama-sama, bukan? Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada hanya kebetulan saja engkau yang membutuh­kan pertolongan dan aku yang dapat me­nolongmu dan.... ohhhh!” Milana cepat membalikkan tubuh memandang kepada dua orang pembantu ibunya yang mema­suki pondok itu dengan sikap takut-takut. Bun Beng juga bangkit duduk di atas di­pan, memandang kepada dua orang itu, sikapnya tenang.

“Kalian mau apa?” Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia tidak khawatir kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun Beng, tentu tidak akan berani selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi dia lebih khawatir kalau munculnya orang-orang itu akan membuka rahasianya, yaitu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, bahwa ibunya yang su­dah dikenal Bun Beng sebagai isteri Pendekar Super Sakti itulah sesungguh­nya Ketua Thian-liong-pang!

Kedua orang itu cepat menjura de­ngan penuh kehormatan kepada Milana kemudian Su Kak Liong, yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya lebih tua beberapa jam daripada Su Kak Houw, berkata hormat.

“Harap Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami melaksanakan perintah Pangcu ter­paksa....”

“Cukup! Pergilah, aku tidak mau di­ganggu!” Milana membentak marah dan kedua orang itu menjadi pucat, saling memandang dengan bingung. Yang lebih bingung lagi adalah Bun Beng. Kini dia mengenal kedua orang itu yang hadir ketika dia berada di Thian-liong-pang. Tak salah lagi, mereka adalah dua orang to­koh Thian-liong-pang dan agaknya utus­an dari Ketua Thian-liong-pang, akan te­tapi mengapa mereka bersikap begitu hormat dan takut-takut terhadap Milana?

Su Kak Liong mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihat­kannya kepada Milana yang seketika menjadi pucat. Dara itu menutup mulut dengan jari tangan seolah-olah hendak menahan jeritnya, matanya terbelalak memandang ke arah benda kecil di atas telapak tangan Su Kak Liong yang ter­nyata adalah sebuah benda besi hitam berbentuk tengkorak kecil sekali.

“Ohhh....         tidak....!” Milana         berseru lirih.

“Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan mengha­dapi rintangan apa pun, karena kegagal­an kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi memaafkan kelan­cangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk melaksana­kan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!”

Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum bah­wa sekali kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini sekalipun tidak akan berani menghalangi tugas mereka. Maka, begitu mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati pemba­ringan Bun Beng, dilanjutkan dengan ter­jangannya yang dahsyat, sekalipun meng­gunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat mem­bacok putus baja dan besi, yang membu­at dia dijuluki Toat-beng-to karena se­olah-olah tangan kirinya berubah menja­di sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!

Menghadapi serangan yang amat dah­syat ini, Bun Beng kehabisan akal dan biarpun dia mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawa­nya begitu saja, namun ia maklum bah­wa dia terancam bahaya maut. Akan tetapi, angin pukulan yang amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serang­an badai dan cara menyelamatkan layang-layang berikut dirinya.

 “Menghadapi serangan angin yang le­bih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara langsung.” demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi pe­tunjuk untuk mengatasi. “Kosongkan te­nagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia menyambar, kemu­dian belokkan dan buang ke depan. Pas­ti layang-layang ini akan dapat mengu­asainya.”

Teringat akan pelajaran yang berkele­bat di dalam benaknya pada detik nya­wanya terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran itu. Dia memba­talkan niatnya hendak menangkis sam­baran tangan kiri tokoh Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat me­nyambar ke arah lehernya, otomatis tu­buhnya yang duduk itu meliuk ke bela­kang dan tenaganya sendiri cepat menga­lir ke bagian tubuhnya yang kiri bersa­ma arus tenaga yang datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa lengan di seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan ki­rinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.

“Crakkkk....!” Terdengar jerit menge­rikan. Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah lengan kiri la­wan itu yang kini telah buntung! Ternya­ta bahwa babatan tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya! Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mujijat dari Pu­lau Neraka, yaitu ilmu “memindahkan tenaga” yang amat hebat. Adapun korban pertama dari ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguhpun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana. Ke­tika tadi Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehe­batan tangan kiri Su Kak Houw, cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw tadi terhenti. Andaikata tidak demikian, biarpun ilmu baru Bun Beng mujijat, na­mun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum lengan Su Kak Houw buntung!

Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. De­ngan muka pucat Su Kak Liong meman­dang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lum­puh kedua kakinya itu yang membuntung­kan lengan adiknya yang lihai.

“Kami hanya melaksanakan tugas pe­rintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melapor­kan peristiwa ini kepada Pangcu dan mo­hon pengadilan.” Setelah berkata demiki­an, Su Kak Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Nona....” Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri hebat yang menyesak­kan dada.

Milana menoleh kepadanya. “Aihh, Twako. Ilmu mujijat apakah yang kau pergunakan tadi....? Ehhh.... kau kena­pa....?” Gadis itu meloncat dekat pem­baringan di mana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelung­kupkan mukanya ke pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!

“Kau.... kau terluka....!” Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan saputa­ngan.

Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak. “Sudahlah, Nona.... lebih baik kautinggalkan aku di sini.... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku, dan.... kau akan dimusuhi Thian-liong-pang.... tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, seorang yang sudah tiga perempat mati.”

“Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku, jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti akan kulawan!”

Biarpun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu melalui kunang­-kunang yang menari di depan matanya.

“Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi.... aku hanya akan suka mene­rima budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka yang ting­gi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang? Harap Nona suka ber­terus terang agar aku tidak menjadi bi­ngung dan ragu-ragu.”

Milana menjadi merah mukanya. Sam­pai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng dan melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah dia bahwa tiada guna­nya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya kalau tidak berte­rus terang.

“Gak-twako, sesungguhnya hal ini me­rupakan rahasia besar bagiku. Akan teta­pi, karena engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang, se­baiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku.... aku adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi itu bu­kan lain adalah Ibuku sendiri.”

“Ohhhh....!” Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia terjengkang dan rebah ping­san di atas pembaringannya!

Ketika siuman kembali Bun Beng me­rasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu sesak lagi dan kedua kaki­nya seolah-olah makin mati. Tubuhnya tergoncang-goncang dan ketika ia mem­buka mata, kiranya ia telah berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.

“Ohhhh.... engkau hendak membawaku ke mana, Nona?”

“Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?”

“Aihhh, mana aku berani, Nona Mila­na? Engkau adalah puteri Pendekar Su­per Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pu­lau Es yang amat terhormat, sakti dari mulia. Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh du­nia! Aihhhh.... Nona, sungguh aku terke­jut setengah mati mendengar bahwa Ke­tua Thian-liong-pang adalah Ibumu. Seka­rang.... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona.”

“Hemm, kenapa? Karena engkau di­musuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan melindungimu dan men­carikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu.” Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan yang tak mungkin dibelokkan oleh apapun juga.

“Tapi Thian-liong-pang....?”

“Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan kuhadapi mereka se­mua!”

“Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri? Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perin­tah Ibumu!”

“Tidak peduli!”

Ingin Bun Beng memandang wajah ga­dis itu, akan tetapi karena Milana du­duk di belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berde­katan. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka un­tuk melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia membera­nikan diri berkata,

“Nona Milana, engkau berkeras meno­longku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah sekali kepadamu, Nona.”

“Biarlah, aku tidak takut.”

Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, de­tak jantungnya sendiri lebih keras dari­pada derap kaki kuda.

“Nona Milana....”

“Ah, telingaku menjadi sakit mende­ngar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja namaku, tanpa nona.”

“Maaf, aku tidak berani. Nona Mila­na, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak kecil digembleng ilmu keke­rasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan. Kini kita berdua mengha­dapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari ke­inginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Ku­harap kau suka menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?”

Hening pula sejenak, kemudian terde­ngar Milana balas bertanya,

“Apa maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti.”

“Nona, mengapa engkau lebih membe­ratkan aku daripada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah besar terhadap Ibumu se­hingga kini Ibumu mengutus orang-orang­nya untuk membunuhku. Akan tetapi mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan melawan Ibumu sendi­ri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu?”

Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis berkerut, agaknya sukar ba­ginya menemukan jawaban untuk perta­nyaan Bun Beng itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terde­ngar ia menjawab,

“Sukar sekali menjawab pertanyaan­mu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya aku sadar akan kekejam­an Thian-liong-pang, sadar akan kese­satan Ibu dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?”

Bun Beng menggeleng kepala. “Aku ti­dak puas, Nona, karena jawaban itu ter­lalu dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau ha­rus menunggu sampai berjumpa dengan­ku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentang­nya dan membela orang lain. Maaf, No­na. Coba engkau bayangkan andaikata bukan aku yang kaujumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kau­kenal, apakah engkau juga akan membe­lanya dari Ibumu dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja dan tidak ada seorang pun yang kaubela? Mengapa justru aku yang kaubela sehing­ga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu? Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya, Nona?”

Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar Milana tertawa halus suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi kegugupannya. “Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai men­jadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak me­ngerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebab­nya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku.”

“Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku, lalu timbul hasrat untuk me­nolongku, melindungiku mati-matian bah­kan rela bertentangan dengan Ibu sen­diri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!”

“Heiiiii.... aduuuhhh....!”

Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring yang membuat kuda­nya meringkik dan mengangkat kaki de­pan ke atas dan tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!

“Ohhh, Twako.... kau tidak apa-apa?” Milana cepat meloncat turun dan berlu­tut di dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.

Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit du­duk dengan menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandang­an. “Aku mohon maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara menurut­kan suara hati. Maafkanlah aku yang lan­cang mulut.”

“Engkau orang aneh!” Milana menyam­bar kedua lengan Bun Beng dan memba­wanya melompat ke atas kuda lagi. “Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang minta maaf.”

“Tentu saja, karena aku jatuh oleh ka­getnya kuda, kuda kaget oleh lengkingan­mu, dan engkau melengking oleh ucapan­ku. Jadi biang keladinya adalah aku sen­diri, maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf.”

“Kata-katamu tadi tidak perlu dimin­takan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kaumaksudkan? Yang ada dalam ha­tiku hanyalah perasaan ingin menolong­mu. Apakah itu cinta yang mendorong­nya ataukah perasaan lain, aku tidak ta­hu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kula­wan, karena timbul penasaran dan kema­rahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan teran­cam maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli ten­tang cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta.”

Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya. “Wah, aku sendiri tidak tahu tentang itu, Nona, aku sendiri pun belum mengenal cinta....”

“Ah, kau bohong, Twako!”

“Sungguh mati!”

“Usiamu tentu telah banyak, setidak­nya beberapa tahun lebih tua daripada aku yang baru tujuh belas tahun.”

“Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku.... aku belum pernah.... eh, maksudku mengalami cinta, dan.... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama tidak tahu tentang cinta, akan te­tapi sudah berani bicara. Mana bisa?” Bun Beng tertawa dan Milana juga ter­tawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa beta­pa gembira hatinya. Aneh sekali! Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, se­dikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa ber­duka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya masih lumpuh, dada­nya masih nyeri, akan tetapi rasa gembi­ra mengalahkan semua ini.

“Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu.”

“Hemm, semua itu gara-gara Sepa­sang Pedang Iblis....”

“Ehhhh? Sepasang Pedang Iblis? Di mana kedua pedang pusaka itu?”

Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini pun terkena pu­la wabah “demam Sepasang Pedang Iblis” yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi perebutan sejak dahulu. “Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku lagi, sungguhpun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona.”

“Ahhh, suaramu itu! Apa kaukira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!”

“Eh, kenapa begitu?”

“Ibu tentu akan girang sekali meneri­ma sepasang pedang itu, dan akan berte­rima kasih kepadamu. Ibu tentu akan su­ka mengampunimu bahkan akan mengo­batimu sampai sembuh. Betapapun juga kalau dapat mengatakan di mana adanya pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau ter­luka hebat?”

“Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya Maharya dengan murid­nya....”

“Aihhhh....! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?”

Bun Beng mengangguk. “Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina ku­berikan kepada Nona Giam Kwi Hong dan....”

“Aihhhh! Enci Kwi Hong?” Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika melanjutkan, “Kau.... berikan pedang itu kepadanya?”

Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk. “Pedang betina kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas....”

“Oleh Tan Ki dan Maharya?”

“Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka.”

“Ohhh....!” Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka! “Bagaimana bisa demikian?”

Bun Beng lalu menceritakan penga­lamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemu­da lihai dari Pulau Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan dengan hati terta­rik bercampur kecewa.

“Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong se­hingga dapat dibawanya lari. Sayang bah­wa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana.”

Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia membandingkan Kwi Hong segan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona, bahkan marah-marah se­hingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan nama­nya saja. Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu saja. Dara ini dengan sikap­nya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!

 “Gak-twako, engkau tentu tahu bah­wa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusa­ka-pusaka itu, mengapa dengan mudah saja kauberikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?”

Bun Beng termenung mendengar per­tanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab, mengerutkan ke­ning berpikir, kemudian baru ia menja­wab setelah berpikir lama, “Kurasa tidak aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang? Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan mengapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil Sepasang Pedang Iblis. Ke dua, karena dia adalah murid Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itu­lah sebabnya.”

Hening sejenak sebelum Milana berta­nya lagi. “Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci Kwi Hong?”

“Hahh....?” Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air. “Apa.... apa maksudmu, No­na....?”

“Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang di­perebutkan seluruh orang kang-ouw. To­koh-tokoh besar di dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk men­dapatkan sebatang di antaranya. Akan te­tapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?”

“Ahhhh, Nona Milana! Engkau membu­at aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti, bahkan dia adalah keponak­an Beliau! Mana mungkin dan mana pan­tas aku jatuh cinta kepadaya? Tidak, Nona, harap tidak menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepa­da gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Maji­kan Pulu Es yang kuhormati.”

Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pan­dang mata Milana termenung ketika ia mendengar jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kuda­nya menuruni lembah gunung, memasuki hutan ke dua yang besar dan agak ge­lap. Hatinya tenang saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia su­dah memasuki wilayah di luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bah­wa ibunya melarang anak buahnya mela­kukan sesuatu di luar wilayah kekuasaan­nya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan. Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar itu, di sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.

“Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?”

Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap, “Ya.... ya.... begitulah.”

“Misalnya.... terhadap diriku, bagaima­na? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako.”

Bun Beng terbelalak, jantungnya berde­bar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya. “Ahhh.... mana aku berani, Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku...., aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!”

Milana merasa terharu. “Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku tidak menilai seseorang kare­na keturunannya, karena wajahnya mau­pun karena kepandaian atau kedudukan­nya. Cinta adalah urusan hati, bukan urus­an mata, urusan batin, bukan urusan lahir.”

Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata yang sukar sekali un­tuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan hatinya bertanya.

“Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanya­an ini. Apakah Nona mencintaku?”

Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tu­buh dara itu betapa Milana agak geme­tar mendengar pertanyaan itu, akan te­tapi jawaban yang keluar dengan halus itu tetap tenang. “Aku tidak tahu, Twa­ko. Bagaimana aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk mem­bela dan menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu, Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?”

Bun Beng tidak dapat menjawab. Ku­da itu berjalan terus, perlahan-lahan dan keduanya diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan ke arah pohon-po­hon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta di antara daun-daun pohon, di antara sinar matahari dan ba­yangan benda-benda yang bersinar oleh cahaya matahari. Dahulu ketika ia me­ngenangkan wajah tiga orang wanita, wa­jah Kwi Hong, wajah Ang Siok Bi pute­ri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah merenungkan tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemu­an antara Pendekar Super Sakti dan iste­rinya, Nirahai yang ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya ter­menung dan mulailah ia berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu?

“Cinta adalah penyakit!” Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, ti­dak hanya mengejutkan hati Milana, ju­ga mengagetkan Bun Beng sendiri kare­na kata-katanya sendiri itu seperti ter­lompat keluar tanpa disadarinya.

“Apa? Cinta adalah penyakit?” Mila­na berseru keras.

Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul di saat itu. “Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan pe­nyakit-penyakit baru. Cinta yang dike­nal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bu­kan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu be­laka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau keinginan tidak terkabul, juga tim­bul penyakit-penyakit baru seperti cem­buru, kecewa dan lain-lain. Ketidakco­cokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan ke mana larinya cinta? Ketidakpuasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan kekecewaan, ke mana larinya cinta? Cemburu yang me­nimbulkan kebencian, ke mana larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, ter­utama oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau ke­nyataan sebaliknya, terbanglah cinta­nya.”

Milana membelalakkan mata, bergi­dik ngeri. “Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa tidak demikian buruk se­perti yang kausangka, atau karena kau belum merngenal, kau lalu mengawur sa­ja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan naf­su semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apa pun, rela menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya.”

“Hemm, di mana ada keinginan, tim­bullah kekecewaan. Keretakan pun terja­dilah seperti Ibu dan Ayahmu, eh, ma­af....!” Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah matanya mengenai kere­takan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.

“Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta. Suka sama dinikmati, duka sa­ma dipikul. Itulah cinta....”

Bun Beng menarik napas panjang. “Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perju­angan menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasa­annya yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang meng­gunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan sehingga memancing datangnya pertentangan dan persoalan....”

“Sssstt.... ada orang....” Tiba-tiba Mi­lana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka, ternyata muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya keren dan menyeramkan.

Milana menahan kudanya dan mengha­dapi lima orang itu dengan pandang ma­ta penuh wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lum­puh dari pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring,

“Kalian berlima menghadang perjalan­anku, ada maksud apakah?”

Seorang di antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hor­mat sambil menjawab, “Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memak­lumi kedudukan dan keadaan kami seba­gai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintahkan untuk menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat mengha­rapkan agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan Pangcu yang ber­kuasa penuh.”

“Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan me­lidungi Gak Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membo­lehkan kalian menangkap atau membu­nuhnya. Habis, kalian mau apa?”

 “Srat-srat-sing-sing!” Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.

“Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami me­layarrg secara sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andaikata kami tewas sekalipun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggauta Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai ang­gauta setia daripada anggauta yang mur­tad tidak menurut perintah Ketua.”

“Hemm, jadi kalian hendak melawan­ku?” Milana membentak.

“Bukan melawan Siocia, hanya menja­lankan tugas kami.”

“Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu sendiri,” kata Bun Beng.

“Tidak! Aku akan melindugimu dengan taruhah apapun juga.”

“Kalau begitu, biarlah aku mengha­dapi mereka, kaularikan saja kuda ini!” bisik Bun Beng.

Lima orang itu sudah berpencar me­ngurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-tiba seorang di antara me­reka yang berada di sebelah kiri, menggerakkan goloknya membacok ke arah tu­buh Bun Beng. Pemuda ini yang menggan­tungkan tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti ge­rakan golok, menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya bergerak membuang ke depan cepat me­ngenai punggung golok itu.

“Krekkk!” Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang ga­gangnya menjadi kaku sehingga sisa go­lok itu terlepas pula. Orangnya melon­cat mundur sambit menjerit kaget. Orang ke dua menerjang, disusul orang ke tiga, ke empat dan ke lima. Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh pu­teri Ketua mereka, maka gerakan mere­ka kaku dan tidak leluasa. Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya mem­babat dan memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.

Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun ter­huyung, ada yang patah tulang lengan­nya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-cepat oleh Milana! Mereka hanya berdiri be­ngong, terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimain­kan pemuda yang hanya dapat menggerak­kan tubuh bagian atas itu!

“Gak-twako, hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih mampu mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya tidak akan kuat melawanmu!”

Bun Beng menarik napas panjang. “Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu, sekarang kita berte­mu lawan tangguh.”

Dara itu memandang dan ketika me­lihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berka­ta, “Wah, bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?”

“Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kauting­galkan aku, biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau Neraka.”

“Sudah! Jangan ulangi lagi perminta­an seperti itu, Twako. Apa kaukira aku takut menghadapi Pulau Neraka? Kau­lihat saja!” Sambil berkata demikian, Milana mempercepat larinya kuda meng­hampiri kakek yang berdiri tegak itu.

“Berhenti!” Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khi-kang sehing­ga terdengar suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu meringkik dan me­nunduk, keempat kakinya gemetar, mata­nya liar ketakutan.

“Orang tua, apa kehendakmu menghen­tikan perjalananku?” Milana bertanya, sedikit pun tidak merasa takut.

Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama se­kali tidak terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Ia menudingkan tongkat hitam­nya ke arah Bun Beng dan berkata, “No­na muda, aku menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari Pulau Neraka.”

“Aku tidak peduli apakah engkau di­suruh setan muda ataukah setan tua da­ri Pulau Neraka, dan aku tidak menen­tang siapa-siapa. Pemuda ini adalah se­orang sahabatku, dan siapa pun tidak bo­leh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu kami!”

Sinar mata kakek itu berapi-api, tan­da bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang ren­dah Pulau Neraka, akan tetapi nona mu­da ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat si­kap ini, cepat Bun Beng yang bermak­sud menyelamatkan Milana berkata,

“Locianpwe dari Pulau Neraka agak­nya tidak tahu siapa Nona ini. Dia ada­lah puteri dari Thian-liong-pangcu.”

Sinar mata marah itu lenyap, tergan­ti oleh keheranan dan kekagetan. “Aahhhh? Puteri Pangcu dari Thian-liong-pang?”

Milana tersenyum. “Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!”

Kakek bermuka merah muda itu men­jadi bimbang. Biarpun dia tidak pernah takut terhadap lawan yang bagaimana­pun, akan tetapi mendengar nama puteri Ketua Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan ma­in-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah me­mesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es. Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andaikata bukan puteri Ke­tua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.

“Maaf, Nona,” akhirnya dia menjura, “Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat. Aku tidak sekali-kali ingin ber­tentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan mennghaturkan teri­ma kasih kepadamu.”

“Aku tidak butuh terima kasih Kongcumu yang jahat! Minggirlah!” Milana menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila to­koh Pulau Neraka itu menyerangnya.

Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipu­kulkan ke arah kepala Bun Beng. Pemu­da ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan menyerang­nya, sebaliknya menghantam ke bawah.

“Prokkk!” Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersi­nar-sinar penuh kemarahan, tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu.

Kakek muka merah muda itu terke­jut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar tongkat, mengebutkan le­ngan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat terbebas daripada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali tampak sinar-sinar me­rah menyambar dari tangan Milana.

“Ayaaa....!” Kakek itu berjungkir ba­lik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang jarum menancap di ram­butnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya se­ujung rambut selisihnya! Ia mengeluar­kan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memang­gil bala bantuan karena menghadapi pu­teri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu.

Melihat ini, Milana cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia berlari cepat sekali se­perti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi. Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawa­nya melarikan diri. Yang paling membu­at dia tidak enak, jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya un­tuk digendong di belakang punggung!

Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus. Biarpun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang, namun mereka berte­kad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka. Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena menggendong tu­buh Bun Beng. Andaikata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki sin-kang sedemikian he­batnya itu.

“Nona, di depan itu kumelihat mena­ra tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau tidak terhalang olehku, ten­tu Nona akan mampu menghadapi mere­ka,” kata Bun Beng yang tidak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu bah­wa Si Nona jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya.

“Aku sedang menuju ke sana,” jawab Milana “Lari mereka cepat sekali!”

Menara dari kuil tua itu sudah tam­pak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebe­lah belakangnya.

Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang di antara mereka berseru.

“Nona, lepaskan pemuda itu!” Dia sudah menggerakkan tangannya dan se­batang tali panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya menotok jalan darah. Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ke­tika melihat tali seperti cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!

“Haiiiittt!” Milana sudah menghenti­kan kakinya, memutar tubuh dan tangan­nya cepat menangkap tali yang membe­lit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sin-kang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba.

“Brettt!” Tali itu putus dan tubuh ka­kek Pulau Neraka terhuyung ke depan. Milana tidak mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan ti­ga orang itu sudah meloncat dekat, sen­jata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa tali di ta­ngannya sebagai senjata, kakek ke dua menggerakkan sebatang pedang, sedang­kan kakek pertama menggerakkan tong­kathya.

“Cuat-cuat-cuattt!” Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang hui-to (go­lok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki me­reka. Mereka tiba-tiba berhenti berge­rak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata ter­belalak dan muka pucat.

Milana yang menoleh dan melihat ini, menjadi kaget akan tetapi juga girang sekali. “Ibuku di sana....!” Ia berseru, ke­mudian mendaki sebuah tangga yang me­nuju ke atas menara. Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya tinggal tembok­nya saja, agaknya atapnya sudah roboh. Ketika Bun Beng mendengar ini, jantung­nya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja dilepas un­tuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak sejengkal.

Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dile­pas oleh Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menye­rang Pendekar Super Sakti. Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita ber­kerudung itu bukan lain adalah ibu Mi­lana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari Pendekar Super Sakti! Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh ka­sihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh duka sehingga dimusuhi oleh iste­ri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi ten­tang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini.

Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa mereka saling berpisah? Menga­pa si isteri yang tercinta itu seolah-oleh hendak memusuhi suami yang ter­cinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran sekali. Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami? Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, me­miliki kebaikan yang cukup berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar. Dia menjadi penasaran dan kalau tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana!

Dengan cepat namun hati-hati kare­na menggendong Bun Beng, Milana me­manjat tangga itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai mena­ra. Tubuh ramping dengan kepala berke­rudung, Ketua Thian-liong-pang!

“Ibu....!” Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibu­nya.

“Locianpwe....” Bun Beng juga mem­beri hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.

“Milana! Apa yang kaulakukan ini?” suara merdu halus yang keluar dari ba­lik kerudung itu penuh teguran. “Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah kita sendiri?”

“Ibu.... aku.... tidak mungkin membiar­kan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu. Harap Ibu suka mengampunkan­nya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu tidak menolongnya, dia akan mati....”

“Biar saja mati anak setan ini! Ka­lau dia tidak mati keracunan, aku sendi­ri akan turun tangan membunuhnya!”

“Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah....” Milana berkata penuh permohonan.

“Kau malah berani menyebut Ibu ke­padaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau hendak membuka rahasia....”

“Locianpwe, harap jangan menyalah­kan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepa­danya, saya sudah dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Su­per....”

“Wuuutttt....!” Tangan wanita berkeru­dung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat menyambar tubuh Bun Beng.

“Ibu....!” Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga terhindar dari baha­ya maut.

“Anak setan, kaukira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kaubuat di Thian-liong-pang, mungkin aku dapat mengempunimu. Akan tetapi engkau telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!”

Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk bersila, meluncur ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.

“Plak-plak-plak....” Ia berhasil me­nangkis, namun lengan sampai ke pun­daknya terasa nyeri dan hampir lumpuh.

“Ibu.... jangan....!” Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat dara itu terlempar.

Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan me­ledak. Dia sudah siap, duduk dan me­mandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak akan puas sebe­lum mengeluarkan isi hatinya.

“Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi mengapa Locian­pwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Lo­cianpwe menjauhkan diri daripadanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut ber­sama suaminya ke mana pun dia pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulus seperti Pendekar Super Sakti?”

 “Anak setan, lancang mulut, keparat!” Wanita berkerudung itu membentak.

“Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apalagi saya telah terluka dan keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locian­pwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di sana?”

“Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahat­an Ayahmu!” Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuh­nya sudah mencelat lagi ke atas.

“Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sa­kit hati orang lain, apalagi merusak hi­dup suami dan anak seperti yang Lo­cianpwe lakukan!”

Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik kerudung itu terdengar suara menggetar, “Bocah setan! Kau tahu apa? Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pende­kar Siluman yang kaupuja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak pe­duli, tidak mau mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis per­hatiannya? Hemm, kaukira aku selemah itu? Tidak, aku akan menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat daripada Pulau Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia da­lam pertandingan! Akan tetapi kau.... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan engkau harus mampus!”

“Ibu! Jangan...., jangan....!” Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng.

Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran, kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya. “Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?”

“Ibu....!”

“Locianpwe, engkau terlalu keji menu­duh anakmu! Orang macam aku ini, ke­turunan seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memi­liki watak halus penuh budi luhur seperti ayahnya.”

“Ibu, harap jangan bunuh dia.... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan membuka rahasia Ibu.... ber­sumpahlah, Twako....”

Bun Beng menarik napas panjang. “Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati juga, perlu apa aku bersum­pah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibu­mu? Akan tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Se­lama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka.”

“Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkan­lah dia, Ibu.”

Melihat sikap puterimu ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas cinta kasih. Puterinya men­cinta anak Gak Liat? Betapa rendah­nya! Dia tahu betapa berbahayanya cin­ta kasih kalau sudah menguasai hati wa­nita. Maka jalan terbaik hanyalah membu­nuh Bun Beng sebelum terlambat, sebe­lum cinta kasih yang baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.

“Minggir kau....!” Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping. Ketua Thian-liong-pang ini la­lu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan ta­ngannya yang ampuh.

“Wuuuutttt!”

Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu sa­ja menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut. Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya de­ngan didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus ge­rakan tangan lawan, menggerakkan tu­buh miring ke kanan, kemudian tangan­nya sendiri yang dipenuhi aliran tenaga­nya sendiri ditambah tenaga lawan, da­ri samping menangkis dengan pukulan dahsyat.

“Dessss....!”

“Aihhhh, pukulan apa ini....!” Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya yang tertangkis secara hebatnya tadi dan memandang Bun Beng dari ba­lik kerudungnya. “Bukan main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku mempelajari gerakanmu yang muji­jat tadi. Sekarang terimalah kematian­mu!” Dia menerjang lagi, kini kedua ta­ngannya bergerak dari dua arah berla­wanan sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk menggunakan ilmunya memindahkan tenaga. Apalagi, ilmu itu pun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil, lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka jalan satu-satunya hanyalah meng­gulingkan tubuhnya. Karena maklum bah­wa serangan Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh sin-kang di tubuh­nya untuk menggulingkan tubuhnya. Tiga kali pukulan ketua yang amat lihai itu luput dan Bun Beng yang merasa pundak­nya terlanggar angin pukulan yang amat kuat, mempercepat gerakannya berguling­an. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke pinggir menara dan terlempar ke ba­wah dari tempat yang amat tinggi itu. Masih didengarnya jerit Milana dan se­lanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan Tuhan, maklum bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting remuk di bawah sana! Bun Beng sudah memejamkan ma­ta, menanti datangnya maut.

Akan tetapi, ia mendarat dengan em­puk, bukan terbanting ke atas tanah ber­batu, melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram ba­ju di punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang laki-laki yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan berwiba­wa, tenang dan tidak kelihatan tua. Wa­jah.... Pendekar Super Sakti yang meman­dangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang diliputi pen­deritaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik jelita!

“Taihiap....! Ah, Taihiap telah meno­long nyawaku....!” Bun Beng berkata, ter­haru, girang akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang, yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas me­nara.

“Bun Beng, mengapa engkau jatuh da­ri atas sana? Dan.... ahhh, kau terluka hebat....”

Suma Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. “Engkau terkena pukulan beracun yang hebat se­kali. Siapakah yang melukaimu? Apakah masih berada di atas sana?”

Bun Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Ten­tu akan hebat akibatnya, dia pikir, ma­ka dia menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong mengayun tubuhnya meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan cepat seperti berlarian ke atas.

“Kwi Hong, jangan lancang!” Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya su­dah melayang naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, me­layang ke atas menara! Bun Beng ka­gum bukan main menyaksikan ini, ma­tanya sampai berkunang melihat tubuh pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya berde­bar tidak karuan. Apa akan terjadi ka­lau suami isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat ke­nyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya?

Ia melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tam­pak Kwi Hong turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil ber­kata, “Di atas tidak ada orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?”

Sebelum Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi. “Buka bajumu, biar kuperiksa dulu sebelum kau bercerita,” katanya dengan suara halus.

Bun Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang ting­gal sebuah, Suma Han memeriksa keada­an Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata,

“Keji sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?”

Bun Beng lalu menceritakan penga­lamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.

“Ah, mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?” Kwi Hong mence­la dan membanting kakinya. “Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan ter­luka seperti ini!”

 “Kwi Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi mungkin engkau akan mende­rita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan ceritamu.”

Bun Beng melanjutkan ceritanya, be­tapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera dari Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawan­an, akan tetapi dia dapat menyelamat­kan diri. Untuk mencegah agar dia ti­dak usah bicara tentang Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Milana.

Suma Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut ce­rita Bun Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apa­kah Lulu telah keliru mendidik putera­nya? Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat menjadi seorang jahat! Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu itu. Dia tidak memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya makin ber­duka. Betapa tidak akan duka dan pe­rih hatinya kalau ia terigat kepada Lulu? Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang dicintanya, namun keadaan memaksa mereka berpisah, bah­kan kini timbul rasa sakit hati dalam perasaan Lulu terhadapnya!

“Ahhh, engkau menderita bukan ma­in, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari atas menara?” Kwi Hong bertanya.

Bun Beng menjadi bingung. “Aku...., aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Ne­raka karena aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua kakiku lumpuh, tentu sa­ja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku sampai di menara ini, ber­sembunyi di atas menara. Aku menderi­ta sekali, tidak berani turun, dan lukaku tak mungkin dapat sembuh. Daripada perlahan-lahan menghadapi kematian yang menyiksa seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku.... aku mengambil keputusan terjun dan mati di sini!”

“Aihhh, pengecut!” Kwi Hong berte­riak ngeri.

“Kwi Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai mencela!” kata Suma Han yang ke­mudian memandang Bun Beng. “Betapa­pun juga, cara melarikan diri dari pende­ritaan dengan jalan membunuh diri ada­lah perbuatan bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil itu.”

Tanpa menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki kuil tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu. Dapat dibayangkan betapa lihainya untuk dapat pergi bersama pute­rinya, tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti yang demikian lihai? Dan betapa cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, kare­na kalau sampai bertemu dengan maji­kan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada artinya lagi kalau pendekar ini me­lihat Milana dan tentu akan dapat men­duga siapa adanya wanita di balik keru­dung itu.

Suma Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut ka­ki dan memberi obat, kemudian mulai­lah pendekar sakti ini mempergunakan sin-kangnya yang luar biasa kuatnya un­tuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng. Pemuda itu disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya, menempelkan ke­dua telapak tangan di punggung pemuda itu. Sampai sehari lamanya Bun Beng merasa betapa dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan, di­ngin dan panas! Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia ini agaknya tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sin-kang seperti yang dimi­liki oleh Majikan Pulau Es ini!

Semalam suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan harinya, barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiar­kan dirinya diobati, merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia merasa dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia cepat menelung­kup dan menghaturkan terima kasih. Su­ma Han mengangkatnya bangun, duduk, dan sambil minum air hangat yang dibu­at oleh Kwi Hong, Suma Han berkata,

“Aku telah berhasil membersihkan se­mua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng. Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengo­batinya. Aku mendengar bahwa satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat me­lawan semua keracunan darah, hanya terdapat di Pulau Neraka....”

“Ohhhh...!” Kwi Hong berteriak, ter­kejut sekali. “Paman, bagaimana kita bi­sa mengambil ke sana?”

Suma Han menggeleng kepala. “Tak mungkin kita ke sana tanpa menimbul­kan keributan. Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat he­bat, biarpun dia tidak akan tersiksa se­perti kalau hawa beracun masih di tu­buhnya, namun dalam waktu paling lama setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh racun, dapat membuat dia menjadi gila atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh tubuhnya!”

“Aihhh....!” Kembali Kwi Hong berse­ru.

Akan tetapi Bun Beng bersikap te­nang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma Han yang memandangnya. “Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biarpun Taihiap tak dapat mengo­bati, saya tidak merasa penasaran. Ka­lau memang sudah ditakdirkan saya ma­ti karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya tanpa keluhan. Saya sudah merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa seorang mulia seperti Taihiap sudi memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan memberi pertolongan.”

Suma Han mengerutkan alisnya. Ter­lalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati sia-sia. Akan tetapi, beta­papun juga, dia tidak memiliki keberani­an untuk berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!

“Jangan putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar petunjuk bagaimana engkau da­pat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah sendiri ke Pu­lau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai sembuh.”

“Akan tetapi.... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam. Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!”

“Coba sajalah. Dengan suratku, eng­kau akan djterima dengan baik.” Suma Han lalu mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus surat itu dan menyerahkan­nya kepada Bun Beng. “Sekarang, mari kuantar kau ke pantai dan mencari pera­hu!”

Bun Beng tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang luar biasa seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya menda­pat perhatian dari Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga tidak mau banyak ca­kap karena maklum bahwa hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun, diam-diam gadis ini merasa tidak setuju melihat be­tapa pemuda yang menderita luka berat itu disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka. Biarpun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat mengenal watak pemuda ini, wa­tak yang keras dan tidak mau mengalah, apalagi kalau menghadapi kejahatan. Wa­tak seperti itu akan mendatangkan baha­ya kalau pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh dan lihai. Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berla­yar ke sana. Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda itu menghadapi ben­cana?

Betapapun juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga guru­nya. Ia kehilangan watak galaknya ka­lau berhadapan dengan pamannya, maka semua kekhawatiran dan ketidaksetuju­an hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia keluarkan melalui mulut. Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan Bun Beng su­dah duduk di perahu itu, memegang ke­mudi dengan sepeti besar roti kering dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata perlahan, “Hati-hatilah, Bun Beng....!”

“Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang pedang itu. Sepasang Pe­dang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan tetapi sebatang di anta­ranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang da­ri tanganmu pula. Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewa­jibanmulah untuk menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, ja­rang dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kauberikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu.”

“Suma-taihiap, saya berjanji bahwa kalau saya dapat sembuh, saya akan me­ngerahkan seluruh akal dan tenaga un­tuk merampas kembali Hok-mo-kiam, un­tuk membasmi Tan-siucai dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk memba­las dendam atas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio.”

“Hemm, cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permu­suhan. Semoga engkau akan dapat menga­tasi itu semua, Bun Beng. Nah, berang­katlah!”

Setelah memberi hormat kepada pen­dekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu, Bun Beng mendayung perahu­nya ke tengah dan setelah angin bertiup membuat layarnya berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang me­mandangnya dari pantai itu hanya tam­pak seperti dua buah titik dan akhirnya lenyap.

Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar di mana perahunya sekarang bera­da akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan Besar untuk kemu­dian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui laut­an yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan merupakan tempat berbahaya sekali. Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat akan pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang. Akan tetapi kalau ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolqng dia dan Milana di atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri. Betapapun anehnya, betapapun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia ti­dak bisa membenci kakek muka kuning itu, biarpun dia tahu bahwa kakek itu adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka menolong­nya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah.... jangan-jangan kakek muka kuning itulah Majikan Pulau Nera­ka? Ah, tidak mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan Pulau Ne­raka? Pemuda itu selain tampan juga pe­solek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak bersepa­tu. Betapapun juga, kakek muka kuning itu tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka.

Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai Huang-ho. Dia mera­sa berterima kasih sekali kepada Pende­kar Super Sakti karena setelah diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersam­bung lagi, tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi. Akan te­tapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka. Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya amat som­bong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa pe­muda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan. Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka. Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Ne­raka tidak bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pu­lau Es? Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati di mana sa­ja daripada di Pulau Neraka, lebih dahu­lu harus mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan menya­kitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak berdaya terhadap penghuni-peng­huni Pulau Neraka yang demikian lihai­nya.

Tidak, dia tidak mau ke Pulau Nera­ka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu ke mana dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke tempat di mana terda­pat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan lamanya! Tempat itulah yang men­jadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati di sana, hanya sekum­pulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada seorang pun manu­sia lain yang akan melihat keadaannya.

Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biarpun penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut, membiar­kan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia akan sampai di tempat itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali dibenturkan pada ba­tu-batu di bawah air oleh tenaga pusar­an air, tubuhnya akan remuk. Apa beda­nya? Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!

Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu, sampailah dia dekat pulau dan lang­sung ia mengemudikan perahu menuju ke sebelah selatan pulau di mana terdapat pusaran maut.

“Haiiii....! Orang muda, jangan ke sana.... berbahaya....!” Beberapa orang nelayan dari perahu masing-masing ber­teriak-teriak memperingatkan Bun Beng, akan tetapi pemuda ini tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan dia agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah menurunkan layar dan mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pu­saran air, diikuti pandang mata terbela­lak dan muka pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua nelayan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kasih­an ketika melihat perahu dengan orang muda itu dicengkeram pusaran air, pera­hunya berputar-putar dan tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh pemu­da itu lenyap ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya menggeleng-geleng kepala melanjut­kan pekerjaan mereka, diam-diam menca­tat bahwa pusaran maut itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing dengan dae­rah itu dan tidak tahu bahwa di situ terdapat pusaran air yang amat berbaha­ya.

Dalam keadaan setengah pingsan, se­telah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa oleh pusaran air yang me­nyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuh­nya dihanyutkan oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa tubuh­nya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan karena dia mak­lum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikitpun sehingga tubuhnya seperti sehelai daun yang menurut sa­ja. Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tem­pat ini, tahu-tahu ia mendapatkan diri­nya telah berada di mulut sebuah guha. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan pakaian­nya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah di sana-sini, agaknya karena ter­bentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu menghanyutkan tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit du­duk, memandang ke sekelilingnya yang hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata dia berada di mulut guha yang amat besar dan di sebelah kirinya terdapat air man­cur yang mengeluarkan bunyi gemuruh. Ia menarik napas lega. Dua kali ia me­masuki pusaran maut, dan dua kali seca­ra mujijat dia selamat! Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan kiri, menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah menge­royoknya kemudian menjadi sahabat-saha­batnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja di situ, tidak tam­pak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun yang bergemuruh. Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat di mana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahu­lu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang ada hanya air terjun itulah. Melihat le­tak dia mendarat, dia dapat menduga bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepala­nya akan pecah!

Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pu­saran air itu. Ini adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipa­kai berdiri. Ia merangkak dengan hati-hati memasuki guha itu yang ternyata amat dalam dan setelah merangkak seja­uh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan mata­hari menyinari tempat terbuka yang lu­as itu. Sunyi sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka itu!

Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terda­pat sebuah kitab! Tentu ada manusia­nya, karena lilin itu menyala, menyorot­kan sinarnya ke atas meja yang tertu­tup bayangan batu dinding tinggi! Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari se­belah kiri, Bun Beng menahan napas ke­tika melihat bahwa orang itu adalah se­orang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat raha­sia, agaknya menjadi tempat persembu­nyian Ketua Thian-liong-pang!

Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar te­gang. Ia segera mengenal wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya keti­ka wanita ini bertemu dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak mere­ka, Milana! Hatinya diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, se­perti Milana dan kelihatan masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.

“Singgg....!” Wanita itu mencabut se­batang pedang, kemudian menghampiri meja dan membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja. Agaknya dia mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu dibiar­kan terbuka, dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan bi­arpun digerakkan perlahan, pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, na­ik turun suaranya ketika gerakan-gerak­annya berubah sehingga seperti saling ditiup melagu! Kemudian wanita itu me­langkah ke belakang tiga tindak dan ma­inkan jurus dengan cepat. Bukan main! Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terhe­ran-heran adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!

Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah ber­silat pedang beberapa lamanya, mengu­lang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan dan terde­ngar suaranya penuh penyesalan. “Kepa­rat! Selalu terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apa­nya yang kurang?” Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya, melon­tarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.

“Wuuuttt.... singggg....!” Pedang ter­bang melayang ke arah Bun Beng!

“Ceppp!” Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, me­nancap sampai tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang beberapa sentimeter lagi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tu­buh ke belakang, terlentang dan tak be­rani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Ia hanya terlentang tan­pa berani berkutik, memandang ke arah ujung pedang itu.

Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih keadaannya yang secara aneh se­perti orang terserang dari dalam tubuh sendiri dan membuatnya tadi terhuyung.

“Sratttt!” Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh penasaran dan kecewa.

“Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sin-kang telah kupelajari, gerakan pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening dan napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ke tiga belas itu? Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya, macet pada jurus ke ti­ga belas!”

Dengan jantung masih berdebar te­gang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil lebih itu agaknya menerobos te­rowongan guha dan menimbulkan suaraa gemuruh sehingga gerakannya tidak da­pat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia melihat wanita itu menyimpan kemba­li pedangnya, memakai kerudung penutup kepala, kemudian dengan langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pin­tu besi yang tertutup oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong sebu­ah batu di ujung kanan dan terbukalah daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali.

Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya, khawatir kalau-kalau wani­ta itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat dibayangkan, apa yang akan terja­di kalau dia bertemu dengan wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksa­nya, siapa yang dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu?

Setelah hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan muncul, Bun Beng merangkak kelu­ar dari belakang batu menghampiri me­ja. Lututnya sudah tak terasa nyeri, hanya masih lemah, maka dengan berpe­gang pada meja, ia dapat mengangkat tubuh berdiri. Dengan tangan kiri mena­han, menekan ujung meja, tangan kanan­nya memeriksa kitab yang terletak di atas meja itu. Kitab yang tidak berjudul, akan tetapi di dalamnya terkandung pe­lajaran samadhi menghimpun sin-kang yang aneh, dan di bagian belakangnya ter­dapat pelajaran ilmu silat pedang yang gerakan-gerakannya mirip dengan gerakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng.

Bun Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan tidak ada jalan keluar baginya berarti bahwa agaknya dia harus tinggal di situ, sam­pai kematian merenggutnya. Daripada termenung memikirkan nasib, dia seba­gai seorang penggemar ilmu silat, tentu saja kitab itu merupakan hiburan besar baginya, untuk mengisi kekosongan. Mu­lailah ia membaca bagian pertama, bagi­an berlatih sin-kang. Dia sudah banyak melatih sin-kang dengan cara samadhi yang berlainan, yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, di mana dia me­nerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Ke­mudian ia pun mempelajari cara sama­dhi dam melatih sin-kang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara tersendiri, sungguhpun mirip dengan cara yang diajarkan di Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbe­daan cara perkembangannya.

Setelah membaca dan menghafal ba­gian terdepan, yaitu cara bersamadhi, ia berhenti dan membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman dua puluh, karena perut­nya terasa lapar sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada seba­tang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang. Dia mu­lai merangkak di antara batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warna­nya agak kemerahan dan baunya amis se­perti darah.

Bun Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu warnanya merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begi­tu ia dekatkan ke mulut, bau amis mem­buat ia muak dan dia tidak jadi mema­kannya. Kemudian ia teringat akan ucap­an mendiang suhunya mengenai manusia, di antaranya tentang cara manusia ma­kan. Terngiang di telinganya suara gurunya itu,

“Bun Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi perten­tangan dalam batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan diken­dalikan oleh nafsunya. Penggunaan pan­ca indrianya sudah tidak pada tempat­nya lagi. Lihat saja kalau manusia ma­kan. Apakah sebetulnya maksud dari ma­kan? Apakah manfaat dan kegunaannya?”

“Agar perut yang lapar menjadi ke­nyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu,” jawabnya dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun.

“Benar, dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pe­ngertian itu hanya menjadi hafalan ko­song belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam hidup. Manusia makan bukan untuk perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu, bukan sang perut yang diingat di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan manfaatnya bagi sang perut lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang mulut sehingga hi­langlah arti sesungguhnya daripada ma­kan. Maka timbullah bermacam perten­tangan batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi akan arti makan bagi perut, melainkan mencu­rahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut atau tidak.”

Sekarang dia baru mengerti akan te­patnya ucapan suhunya itu, dan ia mengingat akan wejangan selanjutnya.

“Seperti juga dengan mulut, manusia menyalahgunakan mata, telinga, hidung dan semua panca indrianya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya daripada se­mua anggauta yang menjadi alat hidup itu sehingga semuanya dikuasai oleh naf­su ingin nikmat, ingin senang tanpa men­jenguk faedahnya. Maka selalu mencari pemandangan yang indah-indah dan me­rangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga selalu mencari pendengaran yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu men­cium yang sedap-sedap bagi nafsu, tan­pa mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian, hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti, hanya menjadi gerak pemuasan sang nafsu, menjadi bu­dak pengabdi keinginan nafsu belaka!”

Teringat akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi jernih dan dapat menang­kap arti daripada ucapan suhunya itu, baru terbuka mata batinnya. Ia meman­dang lagi jamur di tangannya, kemudian dengan menekan nafsu yang menguasai hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya, dan dimakanlah jamur itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasa­nya karena tidak mau lagi dikuasai naf­su, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi. Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai ke sudut dan membuang air besar di antara batu-batu basah, demikian hebat perutnya terku­ras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur yang dima­kannya itu tentulah mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak merasa menyesal, juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi kematian. Mati sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya?

Bun Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-ngiang diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepala­nya yang dipukuli dengan irama teratur? Dia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan kepalanya tidak dipu­kuli orang. Akan tetapi suara itu masih terus berbunyi, mengiang-ngiang dan ber­detak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang terdengar mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak adalah denyut jantungnya! Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya.

Akan tetapi, biarpun dia menanti da­tangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak datang menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah akhir­nya lenyap. Jalan darahnya normal kem­bali. Ia bangkit duduk dan aneh, lutut­nya tidak selemas tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih terasa kenyang.

Wajah pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhunya lagi, dan dia tidak peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya kalau perutnya membutuhkan. Dia tidak perlu khawatir akan kebutuh­an air. Di banyak tempat terdapat air bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari celah-celah batu. Dan jamur merah banyak sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan bertahun-tahun karena tentu akan tumbuh lagi. Jamur itu yang jelas mengenyangkan perutnya.

Makin giranglah hatinya setelah men­dapat kenyataan bahwa kini perutnya ti­dak mulas lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur, dan ke­dua lututnya cepat sekali sembuh, tena­ganya pulih.

Pada hari ke tiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan samadhi seperti yang diajarkan di dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi dan mengetahui kalau wani­ta itu muncul, dia menumpuk beberapa batu sebesar kepalan tangan di depan pintu rahasia. Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu itu tentu akan runtuh dan mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi.

Kekuasaan Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan belum menghendaki seseo­rang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa disadarinya. Demikian­lah pula dengan keadaan Bun Beng. Pe­muda ini sudah jelas keracunan darah­nya, dan Pendekar Sakti Suma Han sen­diri sudah memeriksa dan menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat hidup pa­ling lama setengah tahun saja! Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada ma­kanan lain kecuali jamur merah, dan karena sadar akan wejangan mendiang suhunya, Bun Beng nekat makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu mengandung racun yang amat kuat. Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu dengan racun di dalam darahnya aki­bat perbuatan Pendeta Maharya dan betapa ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang sifatnya bertentangan sehingga saling membunuh! Andaikata Bun Beng tidak keracunan darahnya, tentu dia akan mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi “obat” yang menghilangkan ancaman maut oleh ra­cun yang berada dalam darahnya. Tentu saja Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa kesehatannya pulih kembali dengan cepat.

Dengan hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua Thian-liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebu­lan sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng cepat ber­sembunyi dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu selalu macet kalau berlatih ilmu pe­dang sampai ke jurus tiga belas! Selalu terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat, napasnya menjadi sesak.

Dengan tekun Bun Beng melatih sin-kang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian pelajaran ini selesai di­latihnya dan dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kangnya meningkat secara luar biasa se­kali, beberapa kali lipat lebih kuat daripada sebelum ia berlatih. Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri dengan sin-kang menurut petun­juk kitab itu, dia kini mampu melaku­kan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan dan mudah, bahkan dia dapat me­lakukan gerakan dengan cara ilmu memindahkan tenaga dengan tepat sekali. Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia berlatih dengan batu besar yang ia lon­tarkan ke atas. Ketika batu itu melun­cur ke arah tubuhnya, ia mengikuti ge­rakan batu itu, mengerahkan sin-kang ke ujung tangan yang berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran ba­tu itu ditambah sin-kangnya sendiri menghantam dari samping, membuat ba­tu itu pecah berantakan!

Setelah selesai melatih sin-kang, mu­lailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat dalam kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki ge­rakan yang hampir sama dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri, menggunakan pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu karang yang banyak terdapat di tempat itu. Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan dia melatih setiap jurus dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya ketika ilmu pedang yang hampir serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata setiap jurusnya merupa­kan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-keng! Agaknya ilmu pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menan­dingi Sam-po-cin-keng!

Untuk setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ke tiga belas, dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih jurus ke tiga belas ini, dia da­pat mainkan jurus itu dengan baik dan tidak terjadi sesuatu dengan dirinya, seperti yang diderita oleh Ketua Thian-liong-pang! Bun Beng menjadi tercengang dan termenung setelah selesai melatih ju­rus ke tiga belas ini. Mengapa dia bisa mainkan dengan baik sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh lebih lihai daripada dia itu tidak mampu? Pemuda ini tidak tahu bahwa kini ilmu sin-kangnya sudah amat tinggi, hampir menan­dingi sin-kang Ketua itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal karena tidak me­nguasai peraturan pernapasan ketika mempelajari jurus ke tiga belas itu! Adapun Bun Beng sendiri, biarpun tidak mempelajari pernapasannya karena kitab itu tidak lengkap namun dia telah mem­pelajari pengaturan napas ketika main­kan Sam-po-cin-keng sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan Sam-po-cin-keng, bahkan menjadi imbangan­nya. Dengan girang sekali Bu Beng men­dapat kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada di tempat itu, dan kese­hatannya terasa makin baik! Dia telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu dia sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti. Pendekar itu tidak mungkin membohonginya. Jamur itu! Kini ia da­pat menduga bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya, maka diam-diam ia menjadi girang dan bersyukur sekali.

Sampai tiga bulan lebih ia mempela­jari ilmu pedang dan akhirnya ia da­pat mainkan semua jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sa­dar bahwa ketika ia mainkan batu kecil panjang seperti pedang itu, terde­ngar suara nyaring melengking dan tam­pak sinar berkelebatan yang mengandung hawa sebentar panas sebentar dingin!

Selama itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini telah selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah keinginan hatinya untuk kelu­ar dari tempat itu. Tak mungkin dia se­lamanya akan tinggal di tempat itu se­telah kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi bagaimana mungkin dia da­pat keluar dari situ?

Dia bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari dimakannya itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai mencoba jamur lain karena se­lain jamur merah, di situ terdapat jamur putih, biru, hijau dan lain-lain. Selama ini yang dimakannya hanyalah ja­mur merah yang amis karena ternyata bahwa jamur itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia sehing­ga tidak kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk mencoba jamur yang lain.

Pertama-tama dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berben­tuk segi lima ujungnya meruncing se­perti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng duduk ber­sandar batu karang dan merasa betapa selain mengantuk, juga tubuhnya makin lama makin terasa panas! Mula-mula ra­sa panas hangat-hangat ini nyaman seka­li, dan ada perasaan girang luar biasa di dalam hatinya. Akan tetapi makin la­ma, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat syaraf menegang dan dia menjadi gelisah bukan main. Dorongan hasrat nafsu berahi yang amat hebat membakar tubuhnya, membuat dia menderita hebat sekali, gelisah dan bingung, mengerang-ngerang seperti orang dibakar perlahan-lahan, berguling­an ke sana-sini untuk melawan dan me­nekan hasrat yang meluap-luap itu. Ter­bayanglah di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita dari Milana, Kwi Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Ter­bayang olehnya betapa mereka itu bergan­ti-ganti tersenyum, bersikap manis dan bergema di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.

“Aduhhh.... gila! Aku telah gila....!” Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya, membuat nafsu berahinya makan memuncak.

Semalam suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum perah dia alami. Dia merasa tersiksa se­kali, akan tetapi juga diam-diam mera­sa beruntung bahwa pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya, apa yang akan terjadi andaikata di waktu itu ada seorang di antara tiga orang gadis itu yang berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan lagi! Setelah matahari terbit pada keesokan harinya, barulah dia terbebas daripada siksaan menggila itu. Seluruh tubuhnya terasa lemah dan lelah sekali, akan tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantung­nya normal kembali. Ia cepat mandi di bawah air terjun di depan guha, membi­arkan air terjun menyiram kepala dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar.

Ketika dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjan­ji tidak akan mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa jamur-jamur di situ mengandung daya yang demikian mujijat.

Ia kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah jamur-jamur ini? Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi? Betapapun juga, hatinya takkan pernah merasa puas sebelum ia mencobanya. Dia telah makan jamur merah selama setengah tahun di tempat itu dan akibat­nya malah menguntungkan dirinya. Dia telah pula mencoba jamur putih yang bi­arpun membuat dia tersiksa hebat sema­lam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak merugikannya. Apa salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain?

Dengan hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia su­dah kapok, tidak berani makan banyak sehingga andaikata jamur itu beracun pu­la, pengaruh racunnya tidak terlalu he­bat. Dan jamur ini lezat rasanya! Tidak berbau, dan rasanya gurih seperti di­garami!

Dengan jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur biru itu. Suara air terjun bergemuruh terdegar dari situ. Tiba-tiba ia terbelalak, kemudian memejamkan matanya. Apakah ini? Mabokkah dia? Suara air bergemuruh itu kini lain se­kali didengarnya. Seperti berubah menja­di berlagu dan berirama! Begitu indah­nya, seolah-olah bukan suara air terjun, melainkan selosin macam alat musik ditabuh oleh tangan orang-orang ahli! Seperti dalam mimpi, Bun Beng membi­arkan pikirannya melayang-layang ter­buai dan seolah-olah diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang ber­ubah menjadi musik merdu itu.

“Aihh, jangan-jangan aku telah menja­di gila sekarang,” pikirnya dan ia cepat membuka matanya. Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang kini menjadi berwarna-war­ni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah bentuknya dan begitu pe­nuh rasa seni! Benarkah semua ini? Tem­pat itu dalam pandang matanya seolah-olah menjadi berbeda sekali, menjadi se­perti.... ah, agaknya sorga begitulah macamnya! Dia menggerakkan kaki ta­ngannya dan hampir dia berteriak. Dia seperti melayang-layang! Dia masih du­duk di situ, akan tetapi merasa seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di antara sinar matahari yang berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara mega-mega di angkasa.

Di antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar mentakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan keadaan sekitarnya, se­mua nampak indah, bahkan dia tidak kaget atau tidak takut ketika melihat pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita berkerudung meloncat keluar da­ri pintu, dan terdengar wanita itu berse­ru kaget dan meloncat cepat, tahu-tahu telah berdiri di depannya. Bun Beng me­mandangnya dengan tersenyum manis dan ramah, senyum sewajarnya seolah-olah dia bertemu dengan seorang saha­bat lama, atau seorang bidadari kahyang­an. Memang pantasnya bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biarpun ke­palanya ditutupi kerudung, namun keli­hatannya pantas dan serasi dengan tu­buhnya!

“Kau....? Gak Bun Beng....?” Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan, kekagetan dan juga kema­rahan.

Bun Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh kegirangan dan kejujuran ketika ia berkata, “Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng. Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia dan sehat se­perti saya!”

Agaknya jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa akan kemarahannya. “Ba­gaimana kau bisa berada di sini?”

“Saya? Saya terbang.... heh-heh, sa­ya.... saya hanyut oleh air sorga, sampai di sini, senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini.... heh-heh....”

Sepasang mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkeru­dung itu, mengerutkan alisnya. Heran se­kali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke sini? Dia melihat sikap dan mendengar bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi gila!

Pada dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar kebajikan dari kitab-kitab kesusasteraan kuno yang penuh filsafat di samping ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum pemberontak yang amat disegani. Memang wataknya berubah menjadi di­ngin karena tekanan batin setelah dia berpisah dari suaminya, Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena merasa disia-siakan suaminya yang tercinta itu membuat dia menjadi makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan mengubahnya menjadi seorang yang ber­watak kejam. Dia tadinya bermaksud membunuh Bun Beng, karena pemuda ini selain telah mengacaukan Thian-liong-pang dan telah membunuh orang-orang­nya, juga telah mengetahui rahasianya bahwa Ketua Thian-liong-pang yang se­lalu menyembunyikan keadaan dirinya di balik kerudung, sebetulnya adalah is­teri Pendekar Super Sakti. Di samping itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah anak haram dari datuk sesat Gak Liat, maka dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Akan teta­pi, ketika tanpa disangka-sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat rahasianya ini dalam keadaan seperti orang gila, dia menjadi tidak tega untuk membunuhnya dan merasa kasihan di samping keheranannya bahwa pemuda itu yang tadinya ia lihat lum­puh dan terluka hebat, masih belum mati, bahkan tidak lumpuh lagi.

“Bocah gila, berapa lama engkau berada di sini?”

“Ha-ha-ha, Lociapwe baru tahu se­karang, ya? Saya sudah lama sekali di sini, sudah setengah tahun. Ha-ha.... su­dah habis kitab itu saya pelajari....!”

“Apa....? Kau....!” Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengke­ram ke arah pundak Bun Beng.

“Wuuutttt.... heeeiiihhh!” Dengan ge­rakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan tubuhnya dan Nirahai berturut-turut melanjutkan cengkeraman­nya sampai tiga kali, tetap saja ia men­cengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan mudah. Diam-diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan gesitnya itu.

“Heii, tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!” Bun Beng mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan, seolah-olah melayang-layang. Sedikitnya tidak ada pikiran takut, kha­watir atau apa saja karena pikiran itu kosong, pandang matanya menjadi te­rang, pikirannya terang dan ia merasa seolah-olah dunia, semua benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu telah berubah sama sekali, semua kelihat­an menyenangkan hati! Inilah akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengan­dung racun yang hebat dan luar biasa, lebih hebat daripada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini mem­pengaruhi syaraf dalam otak, membuat dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu. Segala rasa khawatir, ta­kut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan ingatan. Pikiran menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain. Maka setelah pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini, dalam keadaan kosong dan bersih pikir­an mereka jadi terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya maka sega­la hal tampak, terdengar, dan terasa amat indah oleh Bun Beng, karena jauh berbeda daripada biasa. Pikiran yang dibebani segala macam kekhawatiran, ke­takutan dan macam-macam perasaan lain mengeruhkan pandangan dan pende­ngaran, seperti yang diderita oleh se­mua manusia. Namun, dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi ke­nyataan yang lain daripada biasanya.

“Locianpwe, saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan sekali?”

Nirahai yang sudah mengangkat ta­ngan itu menurunkan lagi tangannya dan memandang tajam penuh keraguan. Je­las bahwa bocah ini lebih gesit daripada dahulu ketika membuat kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya, seperti orang yang mi­ring otaknya. Mana mungkin dia berada di sini selama setengah tahun tanpa dia ketahui? Apalagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi, siapa tahu?

“Kau sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu pe­dangnya?” Ia bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil melatih ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal dalam jurus ke tiga belas dan seterusnya!

"Heh-heh, tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ke tiga belas dan ke empat belas."

"Apa....?" Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini dapat tahu akan hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama berada di sini dan telah mempelajari isi kitab!

"Dan engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu? Ahh, siapa mau percaya omongananmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak mempunyai."

"Saya mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil panjang menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar.

"Gak Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut...."

"Aihh, namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan main! Locianpwe tentu ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"

Nirahai mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.

"Terutama jurus ke tiga belas dan seterusnya, bukan?"

Kembali Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam keadaan terpengaruh racun jamur biru itu, ketika pikiran Bun Beng kosong bersih, pandang matanya menjadi tajam luar biasa.

"Nah, lihatlah, Locianpwe!" Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang mulai dari jurus ke tiga belas. Gerakannya demikian gesit dan sempurna sehingga Nirahai memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati karena dia mendapat kenyataan betapa Bun Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus itu, ke tiga belas sampai terakhir, dengan lancar, sempurna, dan sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah dialaminya. Pedang batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup, dan terasalah olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari angin pedang batu itu!

"Hebat....! Luar biasa....!" Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar. Tiba-tiba wanita itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun Beng yang merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk sama sekali sehingga dia tidak mengelak maupun menangkis.

"Cuss!" Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan tetapi masih memandang ke arah wanita itu dengan senyum menghias bibir, seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan rasa senang yang luar biasa!

Setelah menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari jurus ke tiga belas. Pemuda itu dapat memainkannya, masa dia tidak? Tingkat kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi daripada pemuda itu, buktinya pemuda itu dapat dirobohkannya sekali totok. Mungkin karena dia takut-takut, maka dia tidak pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak menghentikan gerakannya kalau ada kepeningan dan sesak dada menyerangnya.

Dalam keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini ia dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di bagian pengaturan napas. Dia melihat dan mengetahui ini, akan tetapi karena dia kagum akan keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu, dia diam saja, hanya memandang dengan mulut tersenyum. Nirahai bersilat dengan gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut, kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, akan tetapi dia nekat melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung, napasnya terengah, namun dia masih dapat bermain sampai jurus ke dua puluh dan tiba-tiba ia mengeluarkan keluhan pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!

Bun Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya ia sadar. Totokan itu tanpa disengaja oleh Nirahai, telah membuyarkan pengaruh racun jamur biru. Makin sadar, makin terkejutlah Bun Beng teringat akan semua yang telah terjadi tadi. Teringat pula dia akan keadaannya setelah makan jamur biru dan dia menjadi bengong. Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia berani bersikap seperti mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak menjadi takut? Kini timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol totokan dan jalan darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.

Ah, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar dari tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar, membayangkan kemungkinan dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari akal, ia cepat melepaskan kerudung penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga menanggalkan jubah luar seperti mantel yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan dingin, tidak lupa mengambil pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh Ketua yang pingsan itu, menghampiri pintu rahasia. Dia sudah tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di sudut dan pintu itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi kepalanya, mengenakan jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si Ketua yang telah diambilnya. Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki pintu rahasia. Ketika ia menengok ke arah tubuh yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-jamur di sebelah kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik. Jamur-jamur merah telah menolongnya, jamur putih membuat dia teragsang berahi hebat, dan jamur biru.... ah, dia bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah sebaliknya? Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang? Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan membela diri mati-matian, dan besar kemungkinan dia akan terbunuh. Kalau begitu, belum tentu jamur biru itu mencelakakannya, bahkan sebaliknya, telah menolongnya sehigga akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan membuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.

Pintu rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang, ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu mulai naik melalui tangga batu dan terus naik. Ketika ia keluar dari pintu terakhir, kiranya lorong itu menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di tengah-tengah tanah pekuburan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika di kanan kiri lobang kuburan itu berdiri belasan orang tokoh Thian-liong-pang tingkat tertinggi! Untung ia ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang. Satu-satunya yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah suaranya. Akan tetapi, mengingat betapa anehnya watak Ketua Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan suara dan siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini? Dia akan menutup mulut, tidak mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang sedang berduka, marah, atau sedang bertapa.... bisu!

Melihat Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan besi yang atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan lagi sehingga kini kuburan itu kelihatan seperti kuburan biasa.

Melihat Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata,

"Harap Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena tempat kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."

"Apa....?" Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita itu, sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah kata-kata saja, dengan suara ditinggikan, Bun Beng tidak melihat adanya bahaya dikenal perbedaannya.

"Mereka berjumlah lima orang, dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang berwarna terang, dan agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa hendak berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka berada di dalam ruangan tamu dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."

Bun Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi Siang yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir akan keselamatan Milana. Maka dia hanya mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai perintah agar mereka mengantarkan ke tempat tamu.

Sikap ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja hendak muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal dan diantar oleh para pembantunya. Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan diikuti oleh Bun Beng yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal tanah kuburan ini. Kalau dia sudah sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang terletak di lembah Sungai Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena dia pernah berada di situ sebagai "tamu" kemudian sebagai tawanan.

Kctika tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong dan duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus, ungu muda, dan merah muda, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke arah "Sang Ketua" dan seorang di antara mereka yang bermuka merah muda dan berkepala gundul kelimis seperti lilin, berkata,

"Kami dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat kepada Thian-liong-pangcu."

Bun Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai kepada Tang Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng tidak berkata-kata, hanya menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan menggerakan kepalanya diangkat sedikit, sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang mewakilinya bicara dengan para tamu itu.

Tang Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita yang cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya lalu berkata nyaring.

"Ketua kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup murah hati dan menerima kedatangan kalian. Sekarang, harap kalian suka bicara setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan kalian datang mengunjungi Thian-liong-pang!"

Lima orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali. Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah utusan pribadi Ketua atau Majikan mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang menerima mereka tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti memandang sangat rendah!

Si Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk pendek, segera berkata,

"Saya Kong To Tek bersama Sute Chi Song." Dia menuding ke arah orang muka merah muda ke dua yang tubuhnya gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian melanjutkan, "ditemani tiga orang para sute yang satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan To-cu kami, selain datang menghaturkan hormat kepada Ketua Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena itu, To-cu kami mohon agar Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal ini, To-cu menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau tidak, berarti benar bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik, maka tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami belum pernah ada yang dapat diculik."

Keadaan menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah. Yang hadir di ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang, Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, dan beberapa orang lagi yang kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang ke arah Ketua mereka, menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar lima orang Pulau Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu. Akan tetapi, Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu Thian-liong-pang, kemudian menuding ke arah lima tamu itu. Jelas maksudnya bahwa "Sang Ketua" yang tiba-tiba menjadi "pendiam" itu memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu yang menantangnya berpibu.

"Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang dengan suara nyaring. "Andaikata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas untuk dilayaninya sendiri. Apalagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau Neraka berniat baik, mengapa mesti menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini cukup tersedia tenaga untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan, kami para pembantunya sudah cukup untuk membuka mata kalian bahwa Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"

Bun Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka dilanjutkannya, "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, dan kami akan menandingi!"

Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan berkata, "Aaahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan kami? Cukup mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar kita coba-coba sebentar agar Pangcu dari Thian-liong-pang menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau Neraka sudah cukup berharga untuk ditandingi sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan kami sebagai utusan majikan kami untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu, bukan untuk mengadakan pibu (pertandingan silat), maka biarlah kami hanya mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan saya sendiri. Sute, majulah dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima petunjuk Thian-liong-pangcu sendiri."

Laki-laki gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi "Ketua" Thian-liong-pang dan menjura sambil berkata,

"Thian-liong-pangcu, saya Chi Song, orang dari kalangan tirgkat tiga di Pulau Neraka, mohon petunjuk darimu."

Tang Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke arah Ketuanya sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di antara kami untuk meghadapinya."

Seingat Bun Beng, orang paling lihai sesudah Ketua Thian-liong-pang dalam perkumpulan itu, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali, Paman kakeknya, Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar ini, sebagai sute Si Gundul, tentu tidak selihai Si Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song ini dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang. Dia mengharapkan agar kedua orang "pembantunya" itu akan memperoleh kemenangan sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan karena kalau dua orang itu kalah, apalagi dia sendiri! Dan kalau dia turun tangan, tentu akan terbuka rahasianya. Hal ini akan menimbulkan keributan, sebaliknya kalau dua orang tokoh Thian-liong-pang itu dapat "membereskan" kedua orang Pulau Neraka itu, tentu urusan menjadi selesai dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan tempat berbahaya itu. Kalau sampai berlama-lama, kemudian muncul Milana, apalagi kalau sampai muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di dalam tempat rahasia, wah, tentu celaka dia! Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu Lo-mo.

Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti muka singa ini, yang pakaiannya sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk dan kelihatan lenggat-lenggut mengantuk setelah dia tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha! Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan memilih saya untuk memberi hadiah beberapa gebugan kepada Si Muka Merah ini!" Dia melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan, keduanya saling pandang dengan sinar mata tajam menyelidik, seperti tingkah dua ekor ayam yang hendak bertanding.

Chi Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata, "Kalau tidak salah dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal itu!"

"Ha-ha-ha! Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik lekas berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan, buntutmu lalu angkat kaki dari sini!"

Chi Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata menghina. Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau Neraka, apalagi bersama suhengnya saat itu menjadi utusan Majikannya, tentu saja dia maklum bahwa kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata memancing panasnya hati karena kemarahan merupakan langkah yang keliru dan merugikan dalam menghadapi pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum dan berkata,

"Kebetulan sekali, Sai-cu Lo-mo. Biarpun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum berhasil menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang tokoh Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya aku khawatir, kalau sampai engkau kalah oleh seorang tak terkenal seperti Chi Song ini, hal itu tentu akan menimbulkan malu besar!"

"Ha-ha-ha, engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil memanaskan hati lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"

Chi Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan berkilau. "Engkau lebih tua daripada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku mengalah. Mulailah!"

"Apa? Biarpun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!" Kedua orang ini memang cerdik dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi seorang ahli silat kelas tinggi, menyerang lebih dulu tidak menguntungkan.

"Baik, sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak dan tiba-tiba seluruh tubuhnya tergetar kedua tangannya bergerak perlahan, tadinya kedua tangan dirangkap di depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua telapak tangan saling membesut, yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di atas kepala, yang kanan terus bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk tanah di bawah perut, warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak tua, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini. Melihat ini, Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sin-kang yang mujijat dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan anehlah kalau sin-kang lawannya itu mengandung hawa beracun yang dahsyat. Maka dia cepat memasang kuda-kuda, pandang matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan, siap menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Ketuanya, yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Iblis dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa). Kedua kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi tubuhnya dari lutut ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik turun dengan lutut ditekuk, juga berputar ke kanan kiri, namun matanya tak pernah meninggalkan lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang maklum bahwa dua orang kakek itu sedang saling mencari sasaran.

"Haiiiitttt....ttt!" Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka, menyambar atas dan bawah bertubi-tubi dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.

"Hiaaaahhhh!" Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan kiri, kedua kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi delapan), kedua tangannya juga menangkis dengan pengerahan sin-kang, yaitu menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa pukulan tangannya sendiri karena dia maklum betapa bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan mengeluarkan bau amis dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!

Bun Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua orang itu kurang cepat, akan tetapi tenaga sin-kang yang terkandung dalam pukulan-pukulan mereka membuat ia bergidik. Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga sin-kangnya kini telah meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa dia tidak akan sanggup menghadapi pukulan dengan tenaga sin-kang seperti yang dilakukan oleh Chi Song atau paman kakeknya.

Pertandingan berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan lawan dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya adalah ilmu silat lama yang dahulu menjadi ilmunya pendekar wanita sakti Mutiara Hitam. Namun, berkat pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan jurus yang diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya, dibandingkan dengan kehebatan ilmuilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu, kini lebih dahsyat lagi!

"Plak-plak-dukkkk!" Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka beradu dan disusul tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat menjatuhkan diri dan bergulingan kemudian meloncat bangun kembali, tepat pada saat lawannya yang tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke belakang sampai lima kali den kini juga sudah berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam jarak hampir sepuluh meter!

Chi Song menjadi penasaran sekali. Dia telah menggunakan pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan tenaga yang amat besar, sama besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena kakek bermuka singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin, tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat terpengaruh oleh hawa pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat sekali.

"Ha-ha-ha, orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut tinggal di neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.

"Heaaaaaahhhhhhtt!" Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas dengan tendangan kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa. Inilah keistimewaannya Si Tinggi Besar muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo terkejut sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja menyerempet pundaknya. Betapapun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki kiri dan membetot ke bawah sehingga biarpun dia terhuyung oleh tendangan itu, tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai berdebuk dan kalau saja Chi Song tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu Lo-mo yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya.

"Ha-ha-ha, tendangannya luar biasa sekali. Ahh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat. Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau Es, tentu Pulau Es akan dapat dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo berkata memuji.

"Uhhh, kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu tidak mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja sama dengan To-cu kami!"

Hati Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau Neraka untuk menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini daripada harus memusuhi Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia sudah meloncat dari atas kursinya. Dia hampir berteriak karena loncatannya itu luar biasa cepat dan ringannya, sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia tidak cepat berjungkir balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di depan Chi Song! Gerakannya amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya turun tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka dapat bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai, untuk menyerang Pulau Es yang amat mereka segani dan takuti.

"Bagus, Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri? Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"

Bun Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

Karena sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras dan cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala yang berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu memindahkan tenaga, make dengan tenang dia menarik kepalanya ke belakang dan begitu tangan lawan menyambar dekat, dia mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan, namun dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.

"Dukkk....!"

Tubuh Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari belakang, mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia tak dapat menahan lagi tubuhnya terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah tenaga amat dahsyat dari "Ketua" Thian-liong-pang.

"Ehhhh...., bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru dengan mata terbelalak.

Chi Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk rasanya. "Tidak salah lagi," katanya heran. "Itulah ilmu memindahkan tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo saja yang dapat melakukannya!"

Bun Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab, hanya berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu pun tak pernah mendengar bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Neraka!

"Aku masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan dia sudah melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga meloncat dan sengaja membuang diri ke belakang ketika tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari samping dengan cara memindahkan tenaga lawan, dia menendang betis kanan Chi Song.

"Plakk! Aduhhhh....!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu terpincang-pincang dia menghampiri kursinya, menjauhkan diri duduk di atas kursi, menyeringai kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya, dipijit-pijitnya, karena selain tulang betisnya patah, juga urat-uratnya rusak sehingga terasa nyeri bukan main, menusuk-nusuk sampai ke jantung!

Kong To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura, "Pangcu benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan menggunakan ilmu memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan hanya diketahui oleh To-cu kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan kami!"

Bun Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan diangkat ke depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan tetapi, teringat bahwa dia adalah seorang "ketua" di saat itu, amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan, maka dengan nekat ia lalu mengerahkan sin-kang yang dilatihnya selama enam bulan di dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang, menyalurkannya ke dada dan menerima hantaman tenaga sin-kang dari kedua tangan lawan itu.

Kong To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh lawan, bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak terengah dan dadanya sesak!

Bun Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya disertai tenaga sin-kang dan.... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Diam-diam Bun Beng merasa kaget dan heran sendiri, hampir dia tidak percaya bahwa sin-kangnya telah meningkat sedemikian hebatnya! Dengan mukanya yang merah muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata terbelalak.

Adu tenaga sin-kang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan para anggauta Pulau Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan dengan kibasan lengan baju saja membuat Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang marah menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat melangkah maju dan berkata,

"Pangcu, serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia, barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan pentungan besar?" Ucapan terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcunya yang bertingkat jauh lebih tinggi itu turun tangan sendiri, Bun Beng mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya, sengaja mendemonstrasikan sin-kangnya. Tidak tampak kakinya bergerak, hanya lengan bajunya dikebutkan dan.... tubuhnya melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk kembali ke atas kursi Ketua! Melihat ini, para anggauta Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan Tang Wi Siang dan yang lain-lain melongo karena mereka mendapat kenyataan betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai daripada biasanya! Mereka girang dan mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia, melalui lorong yang pintu masuknya adalah kuburan tua itu.

Tang Wi Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan telunjuknya dan memaki. "Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis, akan tetapi kenyataannya engkau curang, berani engkau lancang menyerang Pangcu kami dengan serangan gelap! Pangcu kami tadi sudah mengampuni nyawa tak berharga sutemu itu!" Dia menuding ke arah Chi Song yang duduk di kursi dengan muka cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat karena masih nyeri. "Akan tetapi agaknya aku tidak akan dapat mengampunimu!"

Si Gundul itu tersenyum lebar dan menjura. "Aih, maaf, karena kami memang sengaja hendak mohon petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku sengaja menyerangnya. Pangcumu hebat bukan main, namun sayang, dia menghadapi seranganku dengan ilmu lain, bukan ilmu dari kami seperti ketika dia mengalahkan Sute. Kalau engkau hendak mewakili Pangcumu, silakan. Akan tetapi jangan marah kalau aku sampai kesalahan tangan!"

"Chih, sombongnya! Kaukira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang, kepala pelayan Pangcu Thian-liong-pang? Majulah dan terima kematianmu!"

Si Gendut Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas. "Aih, celaka sekali! Hari ini aku benar-benar menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh datang hanya dihadapkan seorang pelayan. Kalau tidak bisa menang, memang aku tidak layak hidup lagi! Kouwnio, terimalah seranganku!" Tiba-tiba Si Gundul ini menerjang dengan gerakan yang cepat sekali. Sungguh tak disangka-sangka bahwa orang yang gendut pendek sehingga kelihatan seperti seekor katak itu, memiliki gerakan kaki tangan amat cepat sehingga dilihat begitu saja, kedua pasang tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi masing-masing tiga pasang!

Namun, kalau hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang masih cantik dan bertubuh ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam hal gin-kang, kiranya Si Gundul itu kini bertemu gurunya! Justru dalam hal gin-kang inilah Wi Siang menerima gemblengan Nirahai karena memang dia mempunyai bakat. Oleh Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu, Wi Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu silat yang mengandalkan gin-kang sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung terbang, sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet). Maka keceliklah Kong To Tek ketika tiba-tiba bayangan lawannya berkelebat dan lenyap! Hanya ada angin bertiup melalui atas kepalanya ke belakang, maka cepat ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya telah berada di belakangnya. Ia terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan kecepatannya karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli gin-kang yang jauh lihai daripadanya. Kini dia melakukan serangan dengan kaki tangannya, tidak mengandalkan kecepatan lagi, melainkan mengandalkan tenaga sin-kangnya. Baik hantaman tangan maupun tendangan kakinya didahului angin yang mengeluarkan bunyi mencicit seperti sebatang golok atau pedang yang memecah angin! Hebat bukan main tenaga Si Gundul ini, Wi Siang juga maklum bahwa mungkin dia lebih cepat, juga ilmu silatnya lebih tinggi, namun belum tentu dia dapat menandingi kekuatan sin-kang Si Gundul yang benar-benar kuat itu.

"Hehhh!" Kong To Tek mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah lambung kiri Wi Siang. Wanita ini cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang, akan tetapi tangan kiri orang gundul itu sudah menonjok atau mendorong dengan telapak kanannya ke arah dada! Wi Siang kembali mengandalkan kecepatan mengelak dengan miringkan tubuh, akan tetapi angin pukulan yang menyerempet pundaknya masih saja membuat dia terhuyung ke samping.

Marahlah wanita ini, "Haiiikkk!" Ia mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong To Tek memutar tubuh, Wi Siang sudah membalas serangannya dengan pukulan Touw-sim-ciang (Pukulan Menembus Jantung) yang bukan main ampuhnya.

"Hehhh!" Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya.

"Dukk!" Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya.

"Keparat!" Wi Siang membentak marah sekali dan kini di mainkan ilmu silatnya dengan gerak cepat Yang-cu Sin-kun, dan mengirim pukulan Touw-sim-ciang yang kalau mengenai tubuh lawan dengan tepat, tentu akan merenggut nyawanya. Menghadapi kecepatan yang luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan, apalagi karena dia pun maklum kalau dadanya sampai terkena pukulan itu, kekebalannya takkan dapat melindunginya. Maka dia mulai terdesak hebat dan Bun Beng dapat melihat bahwa tak lama lagi Si Gundul itu akan roboh oleh "pelayannya" yang benar-benar amat tangkas dan lihai itu.

Ketika Wi Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan bertubi-tubi, tiba-tiba tubuh Si Gundul yang pendek itu merendah, seperti merangkak sehingga kedudukannya seperti seekor katak berkaki empat karena kedua tangannya menapak tanah, dan dari perutnya keluar suara melalui kerongkongan.

"Kok-kok-kok!"

Tiba-tiba dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal berwarna putih kehitaman, lingkaran-lingkaran uap yang menyerang ke atas ke arah tubuh Wi Siang! Wanita ini kaget sekali. Dia mengelak, akan tetapi celana pada betis kanannya terkena uap dan terasa olehnya betapa kulit betisnya panas, perih dan gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia ingin sekali menggaruk dan pada saat itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu tiba-tiba diangkat ke atas dan dua kali tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh lawan dengan bunyi "kok-kok!" maka menyambarlah angin pukulan yang dahsyat bukan main ke arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget, mengelak dengan cara melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik beberapa kali. Dia dapat menghindarkan pukulan maut itu, akan tetapi kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh merangkak seperti katak, mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan kerongkongannya mengeluarkan bunyi seperti katak besar.

Diserang seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan gin-kangnya untuk melesat ke sana-sini, namun karena dia maklum akan bahayanya uap itu, dia tidak berani mendekat dan terpaksa harus mengelak terus tanpa dapat balas menyerang, sedangkan lawannya itu menyelingi semburan uapnya dengan pukulan-pukulan dari bawah yang mengandung tenaga mujijat!

Bun Beng sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul itu benar-benar amat berbahaya, pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan Wi Siang dengan muka gelisah harus meloncat ke sana ke mari menghindarkan diri dari uap-uap itu dan pukulan-pukulan maut yang dilancarkan oleh manusia seperti katak itu. Maka sekali lagi dia mencelat dari atas kursinya dan pada saat itu Wi Siang sedang meloncat pula ke atas menghindarkan sebuah pukulan. Betapapun cepat gerakan Wi Siang namun bagi Bun Beng kelihatannya biasa saja. Ketika tubuhnya dekat dengan tubuh Wi Siang di udara, ia cepat menyambar dengan "pembantunya" itu dan sekali sentak tubuh Wi Siang terlempar melayang ke tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan cepat-cepat merobek celana bagian betisnya. Ternyata kulit betisnya telah "termakan" racun dalam uap tadi, kelihatan merah totol-totol. Cepat ia mengambil obat anti racun dan menggosok betisnya dengan obat itu. Namun rasa gatal, panas dan perih masih belum lenyap.

Ketika Kong To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau membuang waktu. Ketika Bun Beng meloncat turun, ia sudah menyambut dengan serangan uap dari mulutnya, tubuhnya merangkak maju dengan "empat kaki", dari kerongkongannya keluar suara berkokok seperti katak buduk, dan uap kehitaman menyerang Bun Beng. Namun pemuda ini, mengingat akan niat orang-orang Pulau Neraka agar dikalahkan dengan ilmunya sendiri, cepat merendahkan diri seperti merangkak pula, mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan dia meniup ke arah uap yang melingkar-lingkar itu.

"Kok-kok-kok....!" Si Gendut berkokok.

"Wush-wushhh-wushhh!" Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong, kembali ke arah penyerangnya!

Tentu saja Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka uap itu tidak mempengaruhi kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan ketika uap-uap itu membuyar dan menghantam mukanya sendiri. Cepat ia mengangkat kedua tangannya, melakukan pukulan ke depan mendorong dengan tenaga mujijat. Bun Beng juga mendorongkan kedua tangannya, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga dorongan kakek gundul itu bukan mengandung sin-kang sewajarnya dan selain amat kuat juga mengandung hawa beracun yang mujijat pula. Tentu merupakan latihan sin-kang yang disertai penggunaan racun yang banyak terdapat di Pulau Neraka, pikirnya, maka ketika Bun Beng merasa betapa dorongan kakek itu dapat membahayakan, cepat ia membuang diri ke samping, menggunakan ilmu memindahkan tenaga, ketika hawa dorongan lewat ia cepat membarengi dengan kibasan lengannya yang sudah menjadi berganda tenaganya itu ke arah muka Si Gendut Gundul.

"Kok-kok!" Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena hantaman ujung lengan baju Bun Beng.

"Plakkk!" Kembali Bun Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga sin-kang berganda itu ketika mengenai pundak lawan yang mengeluarkan bunyi seperti katak, terasa seperti membentur benteng baja dan membalik! Sementara itu, Si Kakek Gundul yang merasa terlindung oleh ilmu kataknya yang mujijat, mempercepat bunyi berkokok di tenggorokannya dan siap menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng berkelebat dan lenyap, tahu-tahu tubuh "ketua" ini sudah melayang turun ke atas punggung lawan yang sedang merangkak sambil berkokok itu.

"Kok-kok-kok.... ngekkkk! Brooottt!" Kakek gundul itu yang tadinya mengeluarkan bunyi seperti katak, ketika kedua kaki Bun Beng menginjak punggung disertai tenaga sin-kang yang membuat tubuhnya seperti menjadi laksaan kati beratnya, tak dapat menahan sehingga terdengar suara "ngek!" dan tiba-tiba disambung suara memberobot keras sekali dari tubuh belakangnya! Kiranya Bun Beng dapat menaksir di mana letak kelemahan manusia yang berlagak katak ini, maka begitu punggung terinjak kuat, hawa sakti yang membuat kakek itu berkokok dan menghembuskan uap, terpencet keluar tanpa dapat ditahannya lagi dan hawa itu menerobos melalui mulut belakang. Terdengar suara di sana-sini dan semua orang menutupi hidungnya, kecuali orang-orang Pulau Neraka, karena hawa yang keluar dari "mulut belakang" kakek itu benar-benar amat hebat.... baunya! Akibat racun yang terkandung di dalamnya sehingga bau itu memenuhi ruangan tamu.

Kakek gundul itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini digotong oleh teman-temannya ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah meloncat kembali ke kursinya dan duduk dengan tenang. Diam-diam ia merasa girang sekali dan kini yakinlah dia bahwa penderitaannya selama setengah tahun di dalam tempat rahasia itu telah menyembuhkan luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia memperoleh kemajuan yang amat hebat, baik dalam gin-kang, sin-kang, dan ilmu silat! Maka tenanglah hatinya karena kini dia merasa dapat menjaga diri terhadap siapapun juga.

Chi Song terpincang-pincang menghampiri "ketua" dan dengan kaki kanan berjinjit ia menjura. "Banyak terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh Thian-liong-pangcu. Biarlah kami kembali melaporkan semua peristiwa ini kepada To-cu kami."

Setelah memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin tiga orang temannya yang menggotong tubuh suhengnya yang masih pingsan. Akan tetapi baru saja mereka itu tiba di pintu ruangan, tampak berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus nyaring.

"Setan-setan Pulau Neraka berani mengacau di sini?"

Terdengar suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To Tek tadi terpelanting ke kanan kiri sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar pula, akan tetapi malah membuatnya siuman dan ia mengeluh panjang. Chi Song yang melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita dan yang datang-datang menerjang dan merobohkan orang-orangnya, menjadi kaget, apalagi ketika dara itu telah menerjang maju dan menonjok ke arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar diikuti pandang mata. Dia mengelak, namun karena kakinya pincang dan gerakan dara itu cepat sekali, bahunya terkena pukulan dan ia terpelanting. Melihat betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan tidak tewas oleh pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah.

"Srattt!" Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba lengannya diraba orang dan tahu-tahu Bun Beng sudah berada di situ, menyentuh lengannya untuk mencegahnya turun tangan membunuh orang-orang Pulau Neraka. Bun Beng terpaksa turun tangan mencegah ketika melihat betapa Milana, dara jelita itu, hendak melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para tamu yang tentu dianggap oleh dara itu mengacau di Thian-liong-pang, apalagi karena dara itu pernah bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka ketika menggendongnya dahulu.

Melihat sentuhan pada lengannya, Milana menoleh.

"Ibu....!" Ia berkata dan menyarungkan pedangnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh lima orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari situ secepatnya.

Bun Beng cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah muncul! Dia harus cepat-cepat pergi dari situ tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi terlambat. Milana yang terheran-heran menyaksikan sikap ibunya, cepat menghampiri, memandang ke arah sepasang mata di balik lubang kerudung kepala itu dan tiba-tiba ia berseru hampir menjerit.

"Engkau.... engkau bukan Ibuku!" Dara ini menjadi pucat mukanya, dan semua tokoh Thian-liong-pang mencelat bangun dari tempat duduknya masing-masing.

"Jubah itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung Ibuku. Akan tetapi engkau bukan Ibuku! Siapa engkau? Dan.... ohhh.... di mana Ibu? Kauapakan dia....?"

Milana mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para tokoh Thian-liong-pang mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi Siang lalu mengeluarkan suara bersuit keras sebagai tanda bahaya dan segera tempat itu dikurung oleh puluhan orang anggauta Thian-liong-pang yang masih bingung dan tidak mengerti mengapa Tang-kouwnio memberi tanda bahaya sedangkan tamu-tamu dari Pulau Neraka telah dikalahkan dan telah melarikan diri keluar dari Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget dan heran hati mereka ketika melihat Milana dan para tokoh itu dengan senjata di tangan mengurung Sang Ketua sendiri!

"Buka kerudungmu!" Milana membentak lagi.

"Hayo perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan Pangcu kami!" Tang Wi Siang membentak dan barulah para anak buah Thian-liong-pang dapat mengerti dengan hati penuh kaget dan heran bahwa orang yang berkerudung seperti Ketua mereka itu kiranya adalah orang palsu!

"Nona, maafkan aku....!" Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya.

"Kau....?" Milana berseru kaget sekali. Dia girang melihat Bun Beng yang disangkanya tentu telah mati oleh luka-lukanya biarpun ketika terjatuh dari menara ditolong oleh Pendekar Super Sakti, kini masih hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat menyambarnya dan membawanya pergi ketika melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu disambar oleh Pendekar Super Sakti.

"Aku tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!" Ibunya berbisik penuh duka dan marah ketika Milana berusaha menahan ibunya agar suka bertemu dengan ayah kandungnya itu, dan ibunya terus membawanya lari secepat kilat tanpa diketahui oleh Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es itu.

Dan kini, Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di samping rasa girang yang amat besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia bertanya, "Engkau....? Bagaimana ini....? Di mana Ibu?"

"Maaf, Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di bawah sana, karena ingin membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung dan jubah ini...., maafkan aku...."

Akan tetapi Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak mencari ibunya yang pingsan di tempat rahasia. Dia sudah tahu akan tempat rahasia itu dan sudah tahu jalannya sungguhpun dia dan siapapun juga dilarang dan tidak pernah pergi ke sana. Sementara itu, para tokoh Thian-liong-pang yang kini mengenal Bun Beng menjadi marah dan segera menyerangnya, karena dia dianggap sebagai musuh Thian-liong-pang, seorang pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos. Tentu saja hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak bergerak dan memandang bengong kepada cucu keponakannva itu. Selain dia tidak mau membunuh cucu keponakan, satu-satunya keturunannya biarpun hanya cucu luar, juga dia kagum bukan main, teringat betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan tokoh-tokoh lihai dari Pulau Neraka secara demikian mudahnya! Padahal, hanya kurang lebih setahun yang lalu, pemuda itu masih belum sedemikian hebat ilmu kepandaiannya!

Tang Wi Siang yang bersenjata pedang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan pukulan badainya, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata golok sudah menerjang Bun Beng dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat. Bun Beng yang menghadapi pengeroyokan ini cepat menggerakkan kaki tangannya, berkelebat ke sana-sini dan tangannya bergerak menangkis atau mendorong dan.... empat orang pengeroyok itu terjengkang dan ada yang terguling, ada pula yang terhuyung seperti pohon-pohon disapu angin ribut!

Melihat akibat tangkisan dan dorongannya, Bun Beng terkejut sendiri dan dia menggunakan kesempatan ini untuk meloncat ke atas, melalui kepala orang-orang yang mengepungnya, menendangi senjata-senjata yang ditujukan ke arahnya dan terus melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela.

"Kejar!" Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.

"Berhenti! Tahan senjata!" terdengar seruan melengking disusul masuknya seorang wanita berkerudung yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang sendiri, bersama Milana yang menggandeng tangan ibunya. "Jangan kejar dia, biarkan dia pergi.... ahhh....!" Nirahai terhuyung dan cepat dibimbing oleh puterinya menuju ke kursinya. Semua tokoh menghentikan gerakan mereka, menghadap Ketua mereka dan memandang penuh kekhawatiran karena melihat tanda-tanda bahwa Ketua mereka mengalami luka dan kelihatan lemah.

"Jangan memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus kalian akui bahwa di telah menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang sehingga kita tidak sampai mengalami penghinaan dari Pulau Neraka!"

Bun Beng yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang itu, merasa malu sendiri. Dia lalu meloncat kembali memasuki ruangan itu, menjura di depan Nirahai sambil berkata,

"Teecu mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan Locianpwe karena keadaan terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk kecuali ingin bebas dari dalam.... neraka di bawah sana."

Nirahai tersenyum di batik kerudungnya. "Tidak apa, Bun Beng. Semua kesalahanmu kulupakan, mengingat engkau telah membela nama baikku dan nama baik Thian-liong-pang. Bahkan untuk jasamu itu, aku akan menghadiahkan apa yang kauminta. Ajukanlah permintaanmu, kalau engkau suka, dan aku akan berusaha memenuhinya."

Berdebar jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan rasa permusuhan dari hati wanita aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja sudah merupakan suatu hadiah yang amat besar artinya baginya. Akan tetapi ia teringat akan keadaan para tokoh kang-ouw yang terculik, terutama sekali teringat akan Ang-lojin atau Ang Thian Pa, Ketua Bu-tong-pai, ayah dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata,

"Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Teecu tidak menginginkan sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan.... kalau Locianpwe tidak keberatan, teecu mohon sudilah Locianpwe membebaskan para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu di sini."

Kembali Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Permintaanmu cukup pantas, bahkan cocok dengan keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan mempelajari ilmu lain yang pada hakekatnya sama dasarnya, dan sekarang tinggal beberapa saja yang masih menjadi tamu kami. Wi Siang, bebaskan mereka dan biarkan mereka pulang sekarang juga, masing-masing beri kuda dan perbekalan secukupnya. Bun Beng, bangkitlah dan saksikanlah sendiri terpenuhinya permintaanmu."

Dengan hati girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama kemudian dia sudah keluar lagi mengiringkan lima orang "tamu", di antaranya Ang Thian Pa. Mereka ini adalah orang-orang yang selalu memperlihatkan sifat menentang sehingga masih belum dibebaskan oleh Thian-liong-pang. Akan tetapi setelah kini mereka dibebaskan, bahkan disertai perlengkapan dan kuda, mereka merasa lega dan berterima kasih kepada Ketua Thian-liong-pang yang selama ini memperlakukan mereka dengan baik sungguhpun mereka itu merupakan tamu yang terpaksa!

Seorang demi seorang menjura dengan hormat kepada Nirahai sambil berpamit dan mengucapkan terima kasih. Ketika tiba giliran Ang Thian Pa sebagai orang terakhir, kakek ini menjura dan berkata,

"Selama berbuan-bulan saya menerima kebaikan Thian-liong-pangcu, mudah-mudahan di lain kesempatan Bu-tong-pai dapat membalas kebaikan-kebaikan itu."

"Kami yang minta maaf kepadamu, Ang-lojin," kata Nirahai.

Tiba-tiba Ang Thian Pa melihat Bun Beng dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut dan dia berkata kepada pemuda itu, "Dahulu kusangka seorang taihiap yang budiman, berani menentang kejahatan dan membela yang tertindas. Kiranya engkau adalah seorang di antara tokoh Thian-liong-pang agaknya. Hemm, benar-benar aku telah salah lihat....!" Ia menghela napas panjang penuh kekecewaan dan penasaran.

Wajah Bun Beng menjadi merah sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa.

"Ang-lojin, memang engkau telah salah lihat dan salah menduga. Gak Bun Beng bukanlah orang Thian-liong-pang dan ketahuilah bahwa atas permintaannyalah maka saat ini engkau kami bebaskan."

Kakek itu terkejut, lalu menghampiri Bun Beng dan menjura penuh hormat. "Ahhh, maafkanlah mataku yang benar-benar telah lamur, Taihiap. Dan untuk menebus kebodohanku yang tak dapat menghargai kebaikan orang, biarlah kusampaikan apa-apa yang menjadi idaman hatiku semenjak aku berada di sini. Yaitu.... jika kiranya Taihiap belum berkeluarga dan sudi menerima, aku.... ingin menyerahkan puteri tunggalku sebagai jodoh Taihiap!"

Hampir saja Bun Beng mencelat dari tempat ia berdiri saking kagetnya mendengar ini. Mukanya menjadi makin merah dan terbayanglah wajah Siok Bi yang cantik manis. Dia dijodohkan dengan dara yang manis itu! Begitu saja! Akan tetapi, sambil menahan debaran jantungnya dia balas menjura dan berkata,

"Ang-locianpwe.... banyak terima kasih atas kebaikan Locianpwe.... akan tetapi soal itu.... hemm.... soal jodoh.... eh, belum terpikir olehku, karenanya, bukan aku menolak, hanya.... tak mungkin aku dapat menerima hal yang amat penting bagi hidupku itu. Aku akan menganggap saja bahwa tadi Locianpwe tidak pernah bicara apa-apa tentang perjodohan."

Kakek itu menghela napas panjang. "Memang anakku tidak cukup berharga untuk seorang seperti engkau, Taihiap. Hanya aku masih menaruh harapan besar, kalau memang berjodoh kelak tentu akan terjadi. Aku dan anakku akan selalu menanti kunjunganmu, Taihiap." Setelah berkata demikian, sekali lagi kakek itu menjura kepada Nirahai lalu meninggalkan ruangan itu.

"Aku pun mohon diri, Locianpwe. Nona Milana, selamat tinggal. Banyak terima kasih atas semua kebaikan Locianpwe dan nona yang telah dilimpahkan kepada diriku, semoga kelak aku dapat membalas itu semua." Tergesa-gesa Bun Beng meloncat keluar dari tempat itu karena dia merasa tidak enak sekali akan "pinangan" Ketua Bu-tong-pai tadi yang disampaikan di depan banyak orang, terutama di depan Milana!

Nirahai yang masih belum sembuh benar akibat salah latihan segera membubarkan anak buahnya dan masuk ke dalam ruangan dalam digandeng oleh Milana yang merasa khawatir akan keadaan ibunya.

Bubarlah para anggauta Thian-liong-pang dan mereka membicarakan Bun Beng dengan penuh kagum dan keheranan. Terutama sekali Sai-cu Lo-mo, termenung dengan hati tegang dan penuh kegembiraan ketika mendapat kenyataan betapa cucu keponakannya telah menjadi seorang yang amat lihai, dan betapa Ketuanya suka mengampunkan pemuda itu. Timbul pula pikirannya bahwa mengingat akan perlindungan dan pembelaan Milana terhadap cucu keponakannya itu seperti yang ia dengar dari para anak buah Thian-liong-pang yang melakukan pengejaran terhadap Bun Beng yang dipimpin oleh kedua orang saudara kembar Su Kak Liong dan Su Kak Houw, alangkah baiknya kalau cucu luarnya itu dijodohkan dengan puteri Pangcu! Biarpun dengan hati takut-takut dan berdebar tegang, beberapa hari kemudian dia memberanikan hatinya menghadap Nirahai dan menyampaikan niatnya itu, yaitu meminang Milana untuk cucu keponakannya Gak Bun Beng!

Sampai lama Ketua Thian-liong-pang itu tidak bergerak dari kursinya, sedangkan Sai-cu Lo-mo yang menanti jawaban duduk menundukkan muka dengan hati berdebar. Dia tidak dapat menduga apa yang akan menjadi jawaban Sang Ketua yang wataknya aneh sekali itu, bahkan dia tidak akan merasa heran kalau sebagai jawaban, wanita berkerudung itu melancarkan serangan dan membunuhnya! Akhirnya terdengar wanita itu menjawab, suaranya halus akan tetapi dingin, membuat Sai-cu Lo-mo yang mendengarnya terasa sakit seperti tertusuk dan menjadi beku.

"Sai-cu Lo-mo, sudah kaupikir masak-masak pinanganmu ini? Kalau mengingat akan dirimu, dan akan keponakanmu, mendiang Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, memang tidak mengecewakan dan patut dipertimbangkan pinanganmu itu. Akan tetapi, apakah kau sengaja atau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Si Setan Botak, datuk kaum sesat Gak Liat yang merupakan manusia iblis? Yang lebih dari itu pula, apakah kau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng terlahir sebagai anak yang tidak syah, terlahir dari perbuatan keji, yaitu pemerkosaan yang dilakukan Gak Liat terhadap Bhok Khim? Dan engkau masih berani mengajukan lamaran untuk pemuda itu, melamar anakku?"

"Maafkan kelancangan saya, Pangcu...." Sai-cu Lo-mo berkata, suaranya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena kedukaan hatinya. Bukan saja lamarannya ditolak, bahkan ia diingatkan akan keadaan Bun Beng yang dianggap hina dan rendah. Di dalam hatinya ia memberontak. Apakah kesalahan cucu keponakannya itu dalam hal pemerkosaan dan kelahiran tidak syah? Apa hubungannya dengan seorang ayah seperti Gak Liat? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah.

Nirahai dapat mengerti kedukaan hati pembantunya ini, maka dia berkata lagi,

"Lo-mo, engkau hanya mengenal aku sebagai Ketuamu, hanya mengenal aku sebagai puteri Kaisar. Kalau engkau tahu siapa Ayah puteriku, engkau akan berpikir seribu kali sebelum mengajukan lamaran itu. Nah, mundurlah!"

Jantung Sai-cu Lo-mo berdebar. Sering kali dia menduga-duga siapa sebenarnya suami Ketuanya ini. Dia memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu, dan hatinya terasa berat sekali. Sepanjang pengetahuannya, Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu belum pernah menikah! Akan tetapi dikabarkan secara bisik-bisik bahwa puteri itu melarikan diri dari istana bersama Pendekar Super Sakti! Apakah Milana puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai? Ia bergidik, ngeri memikirkan bahwa dia telah berani meminang anak dari Panglima Puteri Nirahai, puteri Kaisar, dan anak dari Ketua Pulau Es, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti! Tentu saja dia tidak akan berani melakukan pinangan itu sekiranya dia tahu bahwa Ketuanya masih merasa dirinya sebagai puteri Kaisar, dan sekiranya dia tahu bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti!

Baik Nirahai sendiri maupun Sai-cu Lo-mo tidak tahu bahwa percakapan mereka tadi terdengar oleh Milana. Dara ini tadinya hendak mengunjungi ibunya, dan dia berhenti mendengarkan dari luar ketika melihat Sai-cu Lo-mo menghadap ibunya. Ketika ia mendengar jawaban ibunya, Milana merasa jantungnya seperti ditusuk. Cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu kembali ke kamarnya dan menghapus beberapa titik air mata yang membasahi pipinya. Dia menganggap ibunya terlalu menghina Bun Beng! Tidak ingatkah ibunya bahwa Gak Bun Beng tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai keturunan Gak Liat, sama seperti dia yang tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai puteri Pendekar Super Sakti dan cucu Kaisar? Mengapa ibunya masih memandang keturunan dan kedudukan, setelah kesengsaraannya yang dialami ibunya karena kedudukannya sebagai puteri Kaisar?

Milana tidak kecewa karena penolakan ibunya. Dia tidak terlalu ingin, bahkan tidak ada keinginan sama sekali menjadi isteri siapapun juga, tidak ingin menjadi isteri Bun Beng. Juga, dia tidak tahu apakah dia cinta kepada pemuda itu atau tidak. Yang jelas, dia suka kepada Bun Beng dan merasa kasihan kepadanya. Apalagi kini ibunya sendiri menghina pemuda itu, dia merasa penasaran sekali dan rasa kasihan di dalam hatinya makin mendalam. Melihat hati ibunya yang rela menderita dan memaksa memisahkan diri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, melihat sepak terjang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw sungguhpun kini usaha itu telah dihentikan ibunya dan semua tokoh telah dibebaskan, Milana merasa bosan tinggal di situ dan dia ingin sekali bertemu dengan Bun Beng, melakukan perjalanan bersama pemuda itu. Tiba-tiba ia teringat akan musuh-musuh Bun Beng, teringat pula betapa pedang Hok-mo-kiam terampas oleh Tan-siucai dan Maharya, teringat pedang Lam-mo-kiam yang terampas oleh putera Pulau Neraka. Betapa banyak tugas yang dihadapi Bun Beng. Akan senang sekali kalau ia dapat membantu pemuda itu.

Pada keesokan harinya, Nirahai tak melihat puterinya. Milana telah pergi dari situ tanpa pamit dan biarpun Nirahai menyebar anak buahnya untuk mencari, usahanya sia-sia belaka, Milana tetap lenyap tanpa memberi tahu ke mana perginya dan apa tujuannya. Nirahai hanya dapat menarik napas panjang dan menyesali sikapnya yang terlalu memanjakan anak itu. Hanya dia tidak khawatir karena maklum bahwa tingkat kepandaian puterinya itu sudah cukup tinggi sehingga takkan mudah diganggu orang jahat. Mengapa puterinya tidak berterus terang saja kalau ingin merantau? Tanpa pamit begini, sedikit banyak membuat dia tidak tenang.

***

Pendekar Super Sakti Suma Han dan Giam Kwi Hong keponakannya juga muridnya, berdiri di pantai laut. Sebuah perahu layar putih, perahu Pulau Es yang menjemput mereka, telah menanti.

"Kwi Hong, pedang itu tidak patut kaubawa-bawa. Engkau tidak layak memegang senjata laknat seperti itu." Pendekar Super Sakti berkata halus sambil memandang pedang Lam-mo-kiam yang tergantung di punggung keponakannya.

Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, bukankah seluruh tokoh kang-ouw mencari Sepasang Pedang Iblis? Bahkan Paman sendiri dahulu pernah menyatakan kepadaku akan mencari Sepasang Pedang Iblis sampai dapat? Setelah sekarang sebatang di antaranya berada di tanganku, mengapa Paman berkata demikian? Harap beri penjelasan karena saya tidak mengerti."

Pendekar Super Sakti menarik napas panjang dan berdiri menekan tongkatnya.

"Memang semua pendekar, baik dari golongan bersih maupun kotor, ingin sekali memperoleh sepasang pedang yang ampuh dan mujijat itu, tentu saja dengan maksud agar sepasang pedang itu dapat membantu mereka mengangkat nama, mengandalkan keampuhannya. Akan tetapi aku mencari pedang itu dengan maksud untuk kulenyapkan selama-lamanya agar tidak menimbulkan keributan lagi di dunia."

Tangan kanan Kwi Hong mengelus sarung pedangnya, alisnya berkerut.

"Mengapa, Paman? Mengapa hendak dilenyapkan?"

"Engkau tidak mengerti. Riwayat Sepasang Pedang Iblis itu busuk sekali. Sungguhpun yang membuatnya adalah atas perintah mendiang pendekar wanita Mutiara Hitam, namun sepasang pedang itu telah dimasuki pengaruh roh jahat dari pembuat-pembuatnya berdasarkan ilmu hitam sehingga sepasang murid Mutiara Hitam pun menjadi korban saling bunuh. Akulah yang mula-mula menemukan mereka saling bunuh, kasihan mereka...." Suma Han termenung, teringat akan masa lalu di waktu dia masih kecil dan mendapatkan Sepasang Pedang Iblis (baca cerita Pendekar Super Sakti). Akan tetapi bukan kakek dan nenek murid Mutiara Hitam yang terbayang olehnya, melainkan wajah Lulu, adik angkatnya, juga wanita yang paling dicintanya, yang sekarang menjadi Majikan Pulau Neraka, dia menghela napas panjang. "Aku menguburkan jenazah mereka berikut Sepasang Pedang Iblis. Kemudian sepasang pedang itu lenyap dan kini yang sebatang terjatuh di tanganmu. Bagaimana hatiku akan tenang kalau engkau bersenjata pedang jahat itu?"

"Akan tetapi, Paman, bukankah Paman pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang baik atau jahat? Saya rasa demikian pula dengan senjata. Baik atau jahatnya tergantung daripada si pemakai, bukankah demikian? Kalau pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, maka jahatlah dia, kalau dipergunakan untuk kebaikan, apakah juga jahat namanya? Maaf, Paman, bukan sekali-kali saya hendak membantah kehendak Paman. Kalau Paman menghendaki, saya akan menanggalkan pedang ini dan terserah hendak Paman apakan pedang ini. Akan tetapi, pedang ini adalah pemberian Bun Beng, dan...." Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan mukanya.

Suma Han memandang tajam, kemudian menarik napas panjang dan berkata, "Ah, hampir aku lupa bahwa engkau bukan kanak-kanak lagi, Kwi Hong. Engkau telah dewasa, sudah terlalu dewasa malah. Anak baik, apakah engkau mencinta Bun Beng?"

Kwi Hong tidak menjawab, mukanya merah sekali, kemudian ia mengangkat muka berkata tanpa berani menentang pandang mata pamannya, "Saya tidak tahu, Paman. Hanya.... saya pikir.... tidak baik kalau menyia-nyiakan pemberian orang, apalagi kalau dilenyapkan begitu saja.... dan dia sudah begitu baik kepada saya ketika bertemu dengan Tan-siucai dan Maharya, rela mengorbankan diri terluka hebat. Aihhh, mungkin sekarang dia.... dia.... dia telah.... mati...."

"Jangan khawatir. Mati hidup manusia berada di tangan Tuhan. Kalau dia sampai di Pulau Neraka dan menyerahkan suratku, saya yakin dia akan tertolong. Nah, biarlah sementara ini kau bawa pedang itu, apalagi engkau harus menjaga keamanan Pulau Es. Aku hendak pergi mencari Tan-siucai dan Maharya, perlu kuambil kembali Hok-mo-kian, karena kalau ada pedang itu padaku, aku tidak khawatir lagi kalau-kalau Sepasang Pedang Iblis akan menimbulkan bencana. Nah, berangkatlah dan hati-hati menjaga pulau."

Kwi Hong berangkat naik perahu dan setelah perahu itu berlayar menuju ke utara sampai jauh sekali dan hanya tampak sebagai sebuah titik yang kadang-kadang lenyap oleh naik turunnya ombak, Pendekar Super Sakti lalu membalikkan tubuhnya dan melesat pergi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk menjodohkan Kwi Hong dengan Bun Beng. Dia melihat anak keturunan Gak Liat itu mempunyai watak yang baik sekali. Dia tidak mengingat akan keburukan watak ayah Bun Beng, karena bukankah ayah Kwi Hong sendiri, perwira Mancu, Giam Cu, tidak lebih baik daripada Si Setan Botak Gak Liat? Akan tetapi, ia tahu bahwa pikiran itu terlalu jauh melayang karena keadaan Bun Beng sendiri belum diketahui bagaimana keadaannya, sedangkan lukanya amat berbahaya.

Pada waktu itu, Kerajaan Mancu yang mendirikan Wangsa Ceng, mengalami kemajuan amat pesatnya, menjadi sebuah negara besar yang amat kuat. Bintang Kerajaan Mancu ini mulai naik dengan pesat, menjadi cemerlang ketika pemerintahannya berada di tangan Kaisar Kang Hsi (1663-1722). Kaisar ini ternyata adalah seorang yang berbakat dan ahli untuk menjadi pemimpin. Dia seorang jendral perang yang amat pandai mempergunakan tenaga-tenaga ahli, sehingga semua perlawanan rakyat, baik dari kaum patriot yang mempertahankan tanah air dari penjajahan bangsa Mancu, sampai gerombolan-gerombolan bersenjata yang sebetulnya hanyalah perampok-perampok yang berdalih perjuangan, dapat dihancurkan satu demi satu. Daerah Se-cuan yang dipertahankan oleh Bu Sam Kwi yang gigih melawan bangsa Mancu, juga dapat direbut dan semua perlawanan dipatahkan dalam tahun 1681. Setelah Se-cuan jatuh, maka kerajaan Mancu boleh dibilang menguasai seluruh Tiongkok, bahkan jauh lebih luas lagi daripada wangsa yang sudah-sudah.

Bangsa Mongol yang dahulunya membantu penyerbuan bangsa Mancu ke selatan, merasa kecewa oleh politik Bangsa Mancu dan merasa kurang diberi bagian keuntungan, lalu memberontak. Namun, pemberontakan-pemberontakan yang amat gigih dan kuat itu pun dapat dihancurkan oleh pemerintah Ceng di bawah Kaisar Kang Hsi dan akibat perang ini seluruh Mongolia jatuh dan dikuasai bangsa Mancu. Bahkan dalam mengejar sisa-sisa pasukan Mongol bala tentara Mancu memasuki daerah Tibet dan menguasai pula. Makin luaslah daerah kekuasaan Kerajaan Ceng. Batas-batasnya sampai di seluruh Mancuria, Mongolia luar, Sin-kiang, Tibet dan seluruh daerah selatan Tiongkok. Bahkan di dalam perang-perang perbatasan yang mendatang, Kerajaan Ceng ini telah menaklukkan negara-negara tetangga, di antaranya Afganistan, Kasmir, Nepal, Birma, Muangthai, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. Negara-negara ini mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Tiongkok dan menyatakannya dengan membayar upeti!

Kaisar Kang Hsi bukan hanya pandai dalam hal kemiliteran, juga dalam urusan politik dan sipil dia ternyata seorang ahli. Kaum koruptor diberantas sehingga pemerintahannya bersih dari perbuatan korupsi dan penyuapan, hal yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya, yang tak pernah dapat diberantas oleh kerajaan-kerajaan yang lain. Pemerintahan yang sehat dan jujur disusun, kaum penjilat dienyahkan, hukuman-hukuman berat dikenakan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan jahat.

Di sarnping ini, Kaisar Kang Hsi menghargai kebudayaan Tiongkok. Kebudayaan itu diperkembangluaskan, bahkan dia mengundang sasterawan-sasterawan dan ahli-ahli pikir untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahannya. Tentu saja undangan dan sikap Kaisar ini mendapat sambutan yang hangat dari kaum terpelajar, dan sekaligus merobah pandangan mereka yang tadinya benci akan penjajahan terhadap bangsa Mancu ini. Membanjirlah kaum sasterawan dari pelbagai daerah ke Pe-king yang menjadi kota raja, dan mereka diterima oleh Kaisar Kang Hsi, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian masing-masing. Bukan hanya kaum sasterawan yang mendapat kedudukan, juga Kaisar yang bijaksana ini memberi kesempatan kepada kaum kang-ouw, kepada ahli-ahli silat yang pandai, untuk membantu pemerintahnya, menerima mereka dan memberi kedudukan-kedudukan yang menjamin kemewahan dan kecukupan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa Kaisar ini mempunyai barisan yang amat kuat, yang bukan hanya terdiri dari pasukan-pasukan Mancu yang sudah tergembleng oleh perang, juga dibantu oleh orang-orang pandai dari dunia kang-ouw.

Setelah keadaan dalam negeri menjadi aman, semua pemberontak telah ditumpas dan orang-orang kang-ouw banyak menggabung dan mengabdi kepada kerajaan baru ini, mulailah Kaisar Kang Hsi memperhatikan persoalan dalam istana. Sudah lama dia merasa tak senang dengan hilangnya puterinya, yaitu Nirahai yang pernah berjasa besar ketika Kerajaan Mancu sedang berhadapan dengan banyak orang pandai yang memberontak. Dan semua itu adalah gara-gara seorang pendekar bernama Suma Han, yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.

Setelah Pulau Formosa dikalahkan dan diduduki oleh Kerajaan Ceng, Kang Hsi mulai memikirkan hal ini dan berkeinginan hendak mengirim pasukan menyerbu Pulau Es, menangkap Suma Han yang dianggap telah memperkosa dan mencemarkan nama dan kehormatan Kerajaan Ceng, dan menarik kembali Puteri Nirahai ke lingkungan istana. Selain ini, Kaisar yang mempunyai banyak sekali pembantu terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini, mendengar akan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu dan Koai-lojin, yang kabarnya berada di Pulau Es.

Pada suatu hari, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, yaitu orang yang diangkat menjadi koksu dalam urusan pengumpulan orang-orang kang-ouw, menghadap Kaisar bersama dua orang tamu. Bhong Ji Kun ini adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, seorang peranakan India yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dialah yang menjadi "orang pertama" di antara jagoan istana, bahwa dia pula yang membentuk barisan pengawal kaisar istana. Koksu ini mempunyai dua orang pembantu yang lihai pula, yaitu Thian The Lama dan Thian Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang jarang dapat menemukan tanding.

Ketika Kaisar menerima kunjungan Koksunya, Kaisar memandang dengan wajah tertarik kepada dua orang yang datang bersama Bong Ji Kun itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, berwajah tampan dan bersikap halus berpakaian sebagai sasterawan, bersama seorang kakek India yang berpakaian sederhana, seperti biasa kaum pertapa India, hanya kain panjang yang dibelit-belitkan tubuh, bertelanjang kaki, dan bersorban. Ketika Kaisar mendengar bahwa kakek India itu yang bernama Maharya adalah paman guru Sang Koksu sendiri, bukan main girang hati Kaisar ini dan segera memerintahkan Bhong Ji Kun untuk menerima Maharya sebagai tamu agung dan memberi segala pelayanan, juga apabila dikehendaki mengangkatnya sebagai penasehat dalam urusan keamanan. Juga murid pendeta itu yang diperkenalkan sebagai Tan Ki, seorang siucai yang selain ahli dalam hal ilmu silat, juga ahli sastera, diberi kedudukan, mencatat dan mengurus keperluan semua pasukan pengawal. Tentu saja guru dan murid ini merasa girang sekali dan berlutut menyembah menghaturkan terima kasih.

Dengan masuknya Maharya menjadi pembantu kerajaan, tentu saja kedudukan kerajaan menjadi makin kuat, apalagi selain Maharya dan Tan-siucai, banyak pula orang pandai dari pelbagai aliran dan golongan masuk menjadi pengawal-pengawal dan panglima-panglima pengawal.

Setelah mendapat bantuan Maharya, Bhong Ji Kun baru merasa besar hatinya dan dia menerima perintah Kaisar dengan penuh kepercayaan, untuk menyerbu Pulau Es. Tadinya dia selalu menangguhkan niat Kaisar ini dengan alasan bahwa Pendekar Siluman dari Pulau Es amatlah saktinya dan pelayaran menuju ke pulau itu berbahaya sekali. Namun, kini dengan bantuan paman gurunya yang dalam ilmu kepandaian bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia sendiri, dia menyanggupi perintah itu, lalu mempersiapkan pasukan yang amat kuat, terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dikepalai panglima-panglima pilihan pula. Dari barisan armada lautan, koksu menerima beberapa buah kapal yang cukup besar dan kuat, ditangani oleh anak buah yang ahli dalam pelayaran.

Berangkatlah pasukan yang terdiri dari tigaratus orang itu, selain dipimpin oleh para panglima pilihan, juga dikepalai sendiri oleh Bhong Ji Kun, Maharya, Tan-siucai, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan beberapa orang pandai yang menjadi pembantu koksu itu. Lima buah kapal besar melayarkan mereka menuju ke utara, seolah-olah sebuah armada yang hendak menyerbu daerah musuh! Perintah Kaisar adalah, menawan Pendekar Super Sakti Suma Han berikut semua anak buahnya, atau membunuh kalau mereka melawan, menduduki Pulau Es, dan merampas semua pusaka yang berada di pulau itu!

Tidaklah mudah bagi kapal-kapal perang Ceng itu untuk dapat menemukan Pulau Es, akan tetapi anak buah kapal-kapal itu dipimpin oleh nakhoda kapal yang berpengalaman, dan kapal-kapal itu menjelajah ke utara, di antara pulau-pulau yang banyak terdapat di sana. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah terlalu jauh ke utara sehingga di utara pulau-pulau itu terdapat Pulau Neraka yang namanya menggetarkan dunia orang gagah!

Pulau Neraka hanya kelihatan sebagai sebuah pulau menghitam yang menyeramkan, dengan batu-batu karang menonjol di permukaan laut sekitar pulau sehingga amat berbahaya bagi kapal atau perahu yang berani mendekatinya. Namun, karena yang mereka cari adalah Pulau Es, maka lima kapal itu tidak memperhatikan pulau-pulau lain, hanya meneliti kalau-kalau terdapat pulau yang berwarna putih, yang permukaannya tertutup es dan salju.

Setelah hilir mudik sampai tiga pekan lamanya, pada suatu malam, sewaktu kapal-kapal itu terpaksa membuang jangkar dan melewatkan malam yang dingin di bawah sinar bulan purnama, tiba-tiba terdengar teriakan dari atas tiang di mana terdapat penjaga-penjaga yang mempergunakan teropong. Pada waktu itu, teropong merupakan barang baru yang telah dimiliki oleh pasukan Kerajaan Ceng.

Mendengar teriakan ini panglima pengawal Bhe Ti Kong yang kebetulan malam itu mengepalai penjagaan, cepat meloncat dan memanjat tangga tali menuju ke atas.

"Apa yang kaulihat?" tanyanya.

"Ciangkun, harap periksa di sebelah timur itu!" si penjaga berkata, menyerahkan teropongnya.

Bhe Ti Kong menerima teropong dan mengarahkan alat itu ke timur. Dia berseru kaget dan heran! "Lekas beritahu kepada Koksu!"

Penjaga itu cepat menuruni tangga tali dan melapor kepada Bhong Ji Kun yang sedang duduk makan minum dan bercakap-cakap dengan para pembantunya di ruangan kapal besar.

"Hamba melapor kepada Taijin bahwa di sebelah timur kelihatan benda mencorong yang aneh sekali. Hamba diutus Bhe-ciangkun untuk melapor kepada Taijin."

Mendengar ini, Im-kan Seng-jin, diikuti oleh Maharya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan-siucai bergegas keluar menghampiri tiang besar yang ujung atasnya dipergunakan untuk tempat penjaga memeriksa keadaan dengan teropong.

Bergantian Bhong Ji Kun, Maharya, dan kedua orang Lama meloncat dan melayang ke atas untuk memeriksa benda aneh di timur itu dengan teropong, sedangkan Tan-siucai terpaksa naik seperti yang dilakukan Bhe Ti Kong tadi, yaitu dengan melalui tangga tali. Hanya bedanya, kalau Bhe Ti Kong memanjat biasa, adalah siucai itu naik cepat sekali, seperti berloncatan dibantu oleh tangga itu.

"Ahh, tak salah lagi. Tentu itulah Pulau Es!" kata. Im-kan Seng-jin setelah turun kembali. Benda yang tampak oleh mereka itu adalah benda besar panjang yang mencorong tertimpa sinar bulan, berkilauan putih seperti kaca. Hanya pulau yang tertutup es sajalah yang dapat mengeluarkan pantulan sinar bulan seperti itu. Kalau siang tidak tampak karena sinar matahari terlaiu terang. Akan tetapi, sinar bulan yang lembut membuat cuaca remang-remang dan karena itu pantulan sinar bulan dapat tampak.

"Besok pagi kita menuju ke sana. Kalau benar di sana letak Pulau Es, setelah mendekati, lima kapal harus dipencar dan mengurung pulau. Pasukan dibagi dan dari sekarang kita harus mengatur rencana," kata Bhong Ji Kun yang segera mengumpulkan semua pembantu dan para panglima pemimpin pasukan. Malam itu juga dia membagi pasukan menjadi lima bagian dipimpin oleh komandan masing-masing, juga masing-masing pembantunya mengepalai pasukan sekapal. Kapal pertama dipimpin oleh koksu sendiri, ke dua oleh Maharya, ke tiga dan ke empat oleh kedua orang Lama, sedangkan kapal terakhir oleh Tan-siucai. Malam itu juga, mereka yang ditugaskan pindah ke kapal masing-masing dan semua pasukan mempersiapkan diri, yang tidak tugas jaga diperbolehkan tidur agar besok menjadi segar jika menghadapi pertempuran.

***

Kwi Hong yang berlayar di atas perahunya, mengaso di dalam bilik perahu, membiarkan perahu-perahu itu dilayarkan oleh lima orang anak buah Pulau Es. Ketika perahu itu tiba di tepi pantai, sebuah perahu kecil meluncur cepat menyambutnya. Perahu ini didayung oleh seorang pemuda tampan bertubuh tinggi besar, dan di dalam perahu penuh dengan ikan besar. Pemuda ini adalah Thung Ki Lok, putera dari Thung Sik Lun tokoh Pulau Es, sute dari Yap Sun. Usianya sudah dua puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Di punggungnya tergantung sebatang golok besar yang tajam mengkilap, dan tangannya memegang sebuah jala ikan. Melihat perahu itu dan melihat Kwi Hong berdiri di kepala perahu, dia melempar jala di atas ikan-ikannya, kemudian mendayung perahunya cepat sekali menyambut.

Ketika perahu besar yang ditumpangi Kwi Hong menempel di darat, pemuda itu meloncat ke atas perahu, membawa seekor ikan yang besarnya sepaha orang, ikan yang kulitnya keemasan dan amat gemuk sehingga dalam keadaan mentah saja sudah kelihatan enak!

"Selamat datang, Nona. Sungguh besar sekali untungmu, begitu pulang aku berhasil mendapatkan seekor kakap merah yang lezat. Nah, kupersembahkan ikan ini kepadamu, Nona!" kata Thung Ki Lok sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan bersih.

Hati Kwi Hong yang sedang kesal karena selalu memikirkan Bun Beng yang dikhawatirkan keadaannya, menjadi makin sebal melihat penyambutan yang amat ramah ini. Dia tahu bahwa sudah bertahun-tahun pemuda putera pembantu pamannya ini menaruh hati kepadanya. Sungguhpun Ki Lok tidak pernah membuka rahasia hatinya dengan kata-kata, namun dari gerak-geriknya, dari pandang matanya, dari suaranya, jelas menyatakan bahwa pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini jatuh cinta kepadanya. Anehnya, hal ini membuat Kwi Hong selalu merasa jengkel dan tidak senang!

"Terima kasih, Lok-ko. Aku lelah dan ingin mengaso, malas untuk masak-masak," katanya sambil melompat ke darat. Sejenak Ki Lok melongo, namun dengan senyum yang tak pernah meninggalkan mukanya, dia meloncat pula mengikuti dan menghadang di depan Kwi Hong sambil berkata,

"Biarkan kumasakkan untukmu, Nona. Engkau suka ikan panggang, bukan? Akan kupanggang untukmu, kuberi bumbu yang enak. Harap kau jangan makan dulu, tunggu sampai ikan ini matang dan...."

"Sudahlah, Lok-ko, kaumakan sendiri ikan yang dengan susah payah kautangkap itu, kau makan bersama ayahmu. Aku tiada nafsu makan. Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat ke depan dan berlari ke tengah pulau.

Tinggal Ki Lok yang berdiri dengan ikan di tangan, dipondong di atas kedua lengannya, dan berdiri melongo memandang bayangan gadis itu yang lenyap di antara pohon-pohon.

"Thung-kongcu, wanita itu seperti burung dara, kalau didiamkan mendekat, kalau didekati terbang menjauh. Lihatlah...." Seorang di antara anak buah Pulau Es menuding ke arah pulau.

Ki Lok sadar, mukanya menjadi merah dan ia menengok ke tengah pulau itu. Musim ini, di mana banyak sinar matahari, pulau itu ditumbuhi beberapa macam pohon sehingga kelihatannya lebih hidup daripada di musim dingin yang membuat pulau itu gundul sama sekali.

Di antara pohon-pohon ia melihat Kwi Hong sedang berhadapan dengan seorang pemuda, bercakap-cakap. Ki Lok membalikkan tubuhnya, meloncat ke dalam perahu, melempar ikan kakap merah di antara tumpukan ikan-ikan lain lalu mendayung perahunya menjauhi perahu yang baru tiba. Lima orang tukang perahu itu hanya menghela napas panjang karena mereka pun maklum bahwa seolah-olah terjadi perebutan antara Thung Ki Lok dan Kwee Sui, seorang pemuda tampan anak keluarga Pulau Es yang diambil murid oleh Phoa-toanio, yaitu Phoa Ciok Lin wakil majikan Pulau Es untuk urusan dalam. Namun semua orang maklum bahwa terhadap kedua orang muda yang seolah-olah bersaing memperebutkan cinta gadis cantik murid Pulau Es itu, Kwi Hong bersikap acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang memperlihatkan dengan jelas bahwa dia tidak senang menghadapi rayuan mereka.

Pemuda yang kini menyambut kedatangan Kwi Hong itu adalah Kwee Sui. Dia berusia dua puluh enam tahun, tubuhnya tidak tinggi besar seperti Ki Lok, akan tetapi sedang dan wajahnya tampan sekali, juga dalam hal bicara dan mengambil hati, dia lebih pandai daripada saingannya yang agak kaku. Memang sifat kedua orang pemuda itu jauh berlainan, sungguhpun keduanya sama tampan dan sama gagah. Semenjak kecil, Ki Lok suka bekerja di luar, yaitu mencari ikan menentang panasnya matahari dan melawan serangan ombak laut, berjuang melawan alam di samping mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya terbuka dan jujur, pemberani dan agak kaku. Sebaliknya, Kwee Sui yang menjadi murid Phoa Ciok Lin, dapat mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi karena gurunya adalah wakil Pendekar Super Sakti, bahkan Phoa Ciok Lin adalah murid dari iblis betina Toat-beng Ciu-sian-li yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw. Di samping ilmu silat, Kwee Sui juga suka belajar ilmu sastera dan ia selalu mengenakan pakaian bersih dengan potongan seorang sasterawan.

"Hong-moi, engkau baru pulang? Dan di mana Pamanmu, Suma-taihiap, mengapa tidak ikut pulang?" demikian Kwee Sui menyambut dengan sikap ramah. Sebagai murid Phoa Ciok Lin, dia lebih dekat dalam pergaulannya dengan Kwi Hong dan menyebutnya moi-moi (adik), tidak seperti Ki Lok yang menyebutnya nona. Adapun semua anggauta Pulau Es, menyebut taihiap (pendekat besar) kepada Suma Han yang tidak pernah suka disebut To-cu (majikan pulau) atau pangcu (ketua perkumpulan).

"Paman masih banyak urusan, aku disuruh pulang lebih dulu."

"Ahh, engkau tentu lelah. Biar kusuruh koki menyediakan makanan yang paling kausukai, Hong-moi. Inginkah kau mandi air hangat? Biar kusuruh pelayan menyediakan...."

"Terima kasih, Sui-ko, tak usah repot-repot, kalau aku perlu, aku akan menyuruh sendiri," jawab Kwi Hong singkat, mulai tak senang hatinya. Datang-datang dia disambut oleh rayuan-rayuan kedua orang pemuda itu, betapa menyebalkan!

"Eh, engkau mendapatkan pedang baru, Hong-moi? Bukan main indahnya sarung pedang itu.... ihh, bolehkah aku melihatnya?"

Kwi Hong meraba gagang pedangnya dan menghunusnya separuh.

"Ayaaaa....!" Kwee Sui meloncat ke belakang sampai tiga meter lebih dan mukanya berubah. Matanya silau ketika tadi melihat pedang yang baru dihunus setengahnya, dan ia bergidik setelah Kwi Hong menyarungkan kembali pedangnya. Gadis itu tersenyum, setidaknya dia girang betapa pemuda itu terkejut dan kagum bukan main melihat Li-mo-kiam. Dia merasa bangga akan pedang itu.

"Bukan main, Hong-moi. Pedang pusaka apakah itu? Luar biasa sekali, baru sinarnya saja agaknya sudah dapat membunuh orang!"

"Hemm, tentu saja ampuh. Pedang ini adalah Li-mo-kiam, sebuah di antara Siang-mo-kiam."

"Sepasang Pedang Iblis....?" Kwee Sui terbelalak dan matanya lebar memandang ke arah pedang yang tergantung dalam sarung pedang di pinggang Kwi Hong. "Yang sebatang lagi mana, Hong-moi? Apakah dibawa Taihiap?"

Kwi Hong hanya menggeleng kepala. "Tidak perlu banyak bertanya, Sui-ko. Sudahlah, aku ingin bertemu Bibi Phoa kemudian beristirahat." Gadis itu lalu meninggalkan Kwee Sui yang masih berdiri terlongong.

"Sepasang Pedang Iblis...." Pemuda itu berbisik dan bergidik, akan tetapi hatinya ingin sekali melihat dan memegang pedang yang amat terkenal dan yang ia dengar diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu.

Setelah bertemu dengan Phoa Ciok Lin, Kwi Hong berkata, "Bibi, dalam pelayaranku pulang, aku melihat dari jauh lima buah kapal perang, tentu milik pemerintah dan entah apa yang mereka cari di daerah ini. Harap Bibi suka perintahkan anak buah melakukan penjagaan lebih ketat, aku amat lelah ingin beristirahat."

Phoa Ciok Lin mengerutkan alisnya mendengar penuturan ini. "Lima buah kapal perang pemerintah? Apa gerangan yang dicarinya di daerah ini?"

"Subo, biarlah teecu pergi menyelidiki!" Tiba-tiba terdengar suara Kwee Sui yang ternyata menyusul masuk dan mendengar percakapan gurunya dengan Kwi Hong itu.

"Baiklah, lakukan penyelidikan dan usahakan untuk mengetahui apa kehendak mereka mendatangi daerah ini. Akan tetapi, jangan kau lancang memancing keributan dengan mereka. Taihiap tidak menghendaki kita terlibat dalam permusuhan dengan pihak manapun juga."

"Baik, Subo, teecu mengerti."

Setelah Kwee Sui berangkat, Phoa Ciok Lin lalu mengumpulkan tokoh-tokoh Pulau Es terutama sekali Yap Sun dan Thung Sik Lun, juga Thung Ki Lok, untuk mengatur penjagaan yang lebih ketat menjaga di sekitar pulau, kalau-kalau ada pihak musuh yang akan mendarat. Maka sibuklah semua penduduk Pulau Es, mereka melakukan penjagaan dan siap menghadapi segala kemungkinan selagi majikan mereka tidak berada di pulau.

Sementara itu, Kwee Sui seorang diri mendayung perahu kecil, meninggalkan pulau melalui celah-celah rahasia yang hanya diketahui oleh penghuni Pulau Es, biarpun pemuda ini tidak sepandai Ki Lok dalam hal mendayung perahu, namun karena semenjak kecil dia berada di atas pulau yang dikelilingi lautan dan karena tenaga sin-kangnya amat kuat, maka perahu itu meluncur cepat sekali ketika ia menggerakkan dayungnya. Dia tidak melihat adanya perahu besar atau kapal di situ, maka setelah mengelilingi pulau sehingga malam tiba, Kwee Sui mendayung perahunya ke pinggir, kemudian turun ke laut sebelah barat yang sunyi lalu tertidur dalam perlindungan dua buah batu besar. Dia pulas dan mimpi bertemu dengan Kwi Hong yang dalam mimpi itu suka menyambut rayuan cinta kasihnya. Hal ini terjadi karena sebelum tidur hatinya penuh kekecewaan akan sikap gadis itu yang belum pernah sedikit pun mau menghargai sikap manisnya. Kadang-kadang timbul iri hatinya karena mengira bahwa dia kalah bersaing dengan Ki Lok, akan tetapi ketika tadi ia dalam persembunyiannya menyaksikan betapa sikap Kwi Hong juga dingin saja bahkan menolak mentah-mentah pemberian ikan oleh pemuda itu, hatinya menjadi lega dan harapannya timbul kembali.

Kwee Sui enak mimpi sehingga dia tidak tahu bahwa malam telah terganti pagi, dan tidak tahu pula bahwa di depannya telah berdiri seorang pendeta berkepala gundul dan bertubuh gendut bundar. Pendeta ini bukan lain adalah Thian Tok Lama yang amat lihai. Dia mendapat tugas memimpin kapal yang mendekati Pulau Es di pagi hari itu dari sebelah barat dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan dua potong papan diikatkan di bawah sepatunya, pendeta sakti ini dapat mendarat tanpa diketahui oleh seorang pun penjaga Pulau Es!

Para penjaga hanya melihat betapa lima buah kapal itu mendekati dan mengurung pulau, akan tetapi tidak berani mendarat. Tentu saja tak seorang pun di antara mereka menyangka ada orang dari kapal yang dapat "berjalan" di atas air seperti yang dilakukan Thian Tok Lama dengan bantuan dua potong papan di bawah kakinya. Apalagi pendeta Lama ini mendarat ketika cuaca masih gelap.

Melihat seorang pemuda tidur pulas di pantai dan sebuah perahu kecil terikat di situ, Thian Tok Lama merasa girang sekali. Dia memang ingin menangkap seorang penghuni Pulau Es untuk ditanyai keterangan dan dipaksa menjadi petunjuk jalan, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menotok jalan darah di belakang leher Kwee Sui. Pemuda ini terkejut, terbangun, akan tetapi tidak dapat bergerak lagi karena kedua pasang kaki tangannya lumpuh dan dia tidak dapat mengeluarkan suara! Thian Tok Lama memanggul tubuh pemuda itu kemudian meloncat ke air dan "meluncur" dengan ayunan tubuhnya sehingga kedua potong papan di kakinya itu seperti dua buah perahu kecil yang diinjaknya. Tenaga ayunan kedua lengannya yang digerakkan amat kuat sehingga dia meluncur cepat, kalau dilihat dari jauh tentu membuat orang menduga bahwa pendeta ini berlari di atas air!

Kwee Sui sendiri terbelalak penuh keheranan menyaksikan kepandaian pendeta yang amat luar biasa ini. Jantungnya berdebar dan otaknya yang cerdik segera bekerja. Ia dapat menduga bahwa tentu pendeta ini datang dari kapal-kapal itu, tentu seorang tokoh kerajaan yang berilmu tinggi. Kalau yang datang itu adalah musuh dan memiliki orang-orang yang begini sakti, tentu akan celakalah penghuni Pulau Es, pikirnya. Apalagi pada waktu itu, Pendekar Super Sakti tidak berada di atas pulau. Dia harus berlaku cerdik dan akan menyaksikan dulu bagaimana perkembangannya karena itu ia masih belum mengerti mengapa pendeta lihai ini menawannya.

langsung kepada Im-kan Seng-jin Bong Ji Kun. Ketika Kwee Sui melihat koksu yang berpakaian indah gemerlapan, melihat para panglima pengawal dan pasukan pengawal di kapal besar yang bertopi besi berpakaian perang dan bersenjata lengkap, hatinya menjadi gentar. Biarpun ilmu kepandaiannya cukup tinggi, namun pemuda ini belum ada pengalaman bertempur, pula, melihat kepandaian Thian Tok Lama, dia sudah menjadi ketakutan. Kalau sebuah kapal saja mempunyai pasukan yang lebih dari lima puluh orang jumlahnya, dan ada orang-orang yang berilmu begitu tinggi, apalagi kalau lima buah kapal itu datang menyerang semua. Dapat dipastikan bahwa Pulau Es akan hancur!

Koksu menggerakkan tangan dan hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan menyambar ke arah pundak Kwee Sui dan.... pemuda ini merasa betapa totokan di tubuhnya terbebas. Bukan main kagetnya. Ilmu semacam ini, gurunya sendiri pun tidak mampu melakukannya, kecuali barangkali Pendekar Super Sakti. Tahulah dia bahwa pembesar yang berpengaruh dan berwibawa ini tentu memiliki kepandaian lebih tinggi lagi daripada Si Pendeta yang menghormat ketika menceritakan betapa di pantai barat itu sunyi tidak tampak penjaga, dan hanya bertemu dengan pemuda yang sedang tidur lalu ditangkapnya itu.

"Berlututlah engkau!" Seorang pengawal membentak dan menodongkan tombaknya di punggung Kwee Sui. "Engkau berhadapan dengan Koksu Pemerintah yang Mulia!"

Sebagai seorang terpelajar, tentu saja Kwee Sui mengerti apa artinya kedudukan koksu ini. Seorang yang amat berkuasa, boleh dibilang nomor dua sesudah raja di bidang keamanan, tentu saja seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Maka tanpa ragu-ragu ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Pemuda ini banyak membaca tentang sejarah dan kesusasteraan, diam-diam dia ingin sekali menggunakan kepandaiannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan, menjadi seorang berpangkat yang dihormati ribuan orang, hidup serba mewah dan penuh kesenangan! Maka, begitu kini berhadapan dengan Koksu Negara, tentu saja dia hersikap hormat sekali.

"Harap Taijin sudi mengampunkan hamba yang entah telah melakukan kesalahan apa sehingga dihadapkan kepada Taijin," katanya dengan bahasa yang teratur baik.

"Ha-ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun mengelus jenggotnya dan ketika kepalanya bergerak naik turun, botaknya yang kelimis itu mengkilap tersinar cahaya matahari yang masuk melalui jendela di ruangan kapal itu. "Tadinya kusangka bahwa penghuni-penghuni Pulau Es adalah manusia-manusia setengah liar, atau seperti siluman-siluman sehingga pemimpinnya dijuluki Pendekar Siluman. Kiranya orang muda ini cukup tampan, berpakaian baik dan bersikap sopan dengan bahasa yang terpelajar. Eh, orang muda, engkau siapakah dan apa kedudukanmu di Pulau Es?"

"Nama hamba Kwee Sui, hamba hanyalah seorang biasa saja yang kebetulan mendapat kehormatan menjadi murid dari Subo Phoa Ciok Lin, wakil Taihiap untuk urusan pulau."

"Eh, kiranya engkau orang penting juga! Tentu kepandaianmu cukup hebat kalau engkau murid kuasa pulau. Akan tetapi mengapa ketika ditangkap engkau tidak melawan?" Bhong Ji Kun membentak curiga.

"Hamba memang telah mempelajari sedikit ilmu, akan tetapi mana mungkin hamba dapat melawan Losuhu yang lihai ini? Selain hamba sedang tidur sehingga dapat ditotoknya, juga andaikata hamba tahu bahwa Losuhu adalah utusan Taijin, bagaimana hamba berani melawan?"

"Hemm, engkau pandai bicara. Katakan, mengapa engkau tidak berani melawan utusanku?"

"Setelah mengetahui bahwa Taijin adalah Koksu Negara, sampai mati pun hamba tidak akan berani melawan. Untuk apa hamba mempelajari sedikit kepandaian? Bukan lain hanya untuk memenuhi idam-idaman hati hamba, yaitu apabila ada kesempatan, hamba ingin mengabdikan diri kepada pemerintah."

Bhong Ji Kun membuka lebar matanya, kemudian mengangguk-angguk. "Hemm, demikiankah sesungguhnya? Nah, tentang kedudukan untukmu boleh kita bicarakan kemudian, sekarang yang terpenting, hendak kulihat apakah engkau benar-benar ingin mengabdikan diri. Apakah Pendekar Siluman berada di pulau?"

"Tidak, Taijin. Taihiap sedang bepergian, entah ke mana."

Wajah Koksu itu kelihatan girang. Tanpa adanya Pendekar Super Sakti yang ditakuti, tentu mudah menaklukkan penghuni pulau itu. Kelak, menghadapi Pendekar Siluman sendirian saja tanpa anak buah, tentu akan lebih mudah. Dan pemuda ini kelihatannya amat ingin memperoleh kedudukan, maka tentu akan dapat membantunya dengan baik.

"Siapa yang sekarang berada di Pulau Es? Siapa tokoh-tokohnya yang menjaga keamanan di sana dan berapa banyak penghuninya?"

"Selain Subo Phoa Ciok Lin, juga tentu saja di sana terdapat Paman Yap Sun, Paman Thung Sik Lun, puteranya yaitu Thung Ki Lok, dan terutama sekali, di sana ada juga murid Taihiap, atau keponakannya sendiri, Nona Giam Kwi Hong. Hanya merekalah yang menjadi tokoh-tokoh terpandai di Pulau Es, selebihnya hanyalah anak buah yang jumlahnya laki perempuan dan tua muda kurang lebih seratus orang. Belasan orang di antara mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Subo dahulu sebelum menjadi penghuni Pulau Es, yaitu menurut Subo, adalah murid-murid Toat-beng Ciu-sian-li."

"Ah-ah! Murid-murid In-kok-san yang memberontak?" kata Koksu dengan kaget.

"Benar, Taijin. Akan tetapi sekarang, tidak ada sedikit pun niat memberontak dalam hati para penghuni Pulau Es. Bolehkah hamba mengetahui, mengapa Taijin membawa pasukan ke Pulau Es?"

Bhong Ji Kun memandang tajam kepada pemuda itu. Sekarang ujian terakhir bagi Kwee Sui dan Koksu itu sudah siap untuk mengirim pukulan apabila pemuda itu memperlihatkan sikap memberontak. "Kami hendak menangkap Pendekar Siluman dan pembantu-pembantunya, dan kami hendak menduduki Pulau Es."

"Ahhhh....!" Kwee Sui terkejut bukan main, dan kalau saja dia tidak sangat cerdik, tentu dia sudah mengamuk. Akan tetapi, pemuda ini hanya memperlihatkan kekagetan, kemudian bertanya, hati-hati.

"Maaf, Taijin. Akan tetapi.... apakah kesalahan kami? Apakah dosa para penghuni Pulau Es?"

"Tak perlu kau tahu, ini adalah perintah Kaisar! Kalau mereka melawan, akan dibunuh! Bagaimana pendapatmu?"

"Taijin, hamba kira tidak akan ada yang melawan, kecuali kalau Taihiap berada di Pulau. Kalau sampai mereka melawan.... aihhh, hamba tidak dapat membayangkan akibatnya. Subo memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga kedua Peman Yap Sun dan Thung Sik Lun amat lihai, belum lagi belasan orang saudara seperguruan Subo. Dan terutama sekali Nona Kwi Hong.... ahhh, Taijin tidak tahu, dia luar biasa lihainya, telah mewarisi ilmu dari Suma-taihiap. Lebih lagi, baru-baru ini dia telah memperoleh Li-mo-kiam sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis."

"Sepasang Pedang Iblis?" Hampir semua tokoh yang hadir dalam kapal itu berseru, yaitu yang berada di kapal koksu itu adalah Sang Koksu sendiri, Thian Tok Lama yang menghadap, dan para panglima.

"Bagus sekali! Kami akan menundukkan atau membunuh mereka, pedang itu dan semua pusaka di Pulau Es harus dirampas untuk kerajaan!"

Tiba-tiba Kwee Sui memberi hormat dan berkata, "Mohon Koksu sudi mempercaya hamba. Hamba sanggup membantu, sehingga pasukan-pasukan pemerintah tidak mengalami kesukaran memasuki Pulau Es yang tidak mudah diserbu, dan hamba akan mencuri Li-mo-kiam dari tangan Nona Giam Kwi Hong, kemudian membantu Taijin menghadapi mereka yang melawan, dan akan membujuk agar mereka tidak melawan dan menyerah saja, akan tetapi hamba mohon janji Taijin."

"Ha-ha-ha, orang muda. Aku mengerti, jangan khawatir, kalau berhasil penyerbuan ini dan jasamu besar, tentu aku akan melapor kepada Kaisar dan engkau akan memperoleh anugerah pangkat sesuai dengan kepandaianmu."

"Hamba percaya akan hal itu, Taijin, akan tetapi ada satu hal yang hamba minta kepada Taijin sebelum Taijin mengerahkan pasukan menyerbu Pulau Es...."

"Hemmm, apa permintaanmu? Katakanlah, akan kami pertimbangkan."

"Hamba.... hamba mencinta Giam Kwi Hong, karena itu.... harap dia jangan dilukai apalagi dibunuh.... jika menjadi tawanan supaya diserahkan kepada hamba.... hamba akan berterima kasih sekali dan selamanya akan menyerahkan jiwa raga hamba mengabdi kepada pemerintah di bawah pimpinan Taijin."

Koksu itu tertawa bergelak dan tanpa banyak tanya lagi dia mengerti akan isi hati pemuda itu. Tak salah lagi, pikirnya, tentu cinta pemuda ini ditolak oleh murid Pendekar Siluman. Sungguh kebetulan sekali dan amat menguntungkan terlaksananya tugasnya karena andaikata tidak ada persoalan itu, belum tentu pemuda ini mau membantunya demikian mudah.

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dari bawah kapal dan seorang pemuda tinggi besar yang pakaiannya basah semua, dengan sebatang golok besar di tangan kanan, telah berdiri di situ memandang ke arah Kwee Sui dengan mata terbelalak marah, kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Kwee Sui sambil membentak.

"Manuaia she Kwee yang berbudi rendah! Seekor anjing yang setiap hari diberi makan dan dipelihara, masih memiliki kesetiaan. Akan tetapi engkau ini manusia lebih hina daripada anjing, setelah segala kebaikan yang kau terima dari Majikan Pulau Es, sekarang pada kesempatan pertama hendak mengkhianatinya! Bedebah!"

Para pengawal sudah mengurung pemuda itu, dan Thian Tok Lama sudah melangkah maju, akan tetapi Im-kan Seng-ji Bhong Ji Kun berseru, "Tahan dan jangan serang dia!" Lalu Koksu ini menoleh kepada Kwee Sui, "Kwee-sicu, siapakah dia itu dan kenapa dia marah-marah kepadamu?"

Muka Kwee Sui sudah merah sekali saking malu dan marahnya. Tak disangkanya bahwa saingannya itu berada di sini dan mendengarkan ucapannya tadi. Sudah kepalang, pikirnya. Tentu saingannya menyelidiki kapal dengan jalan berenang karena memang dia seorang ahli renang yang luar biasa.

"Taijin, dia itulah Thung Ki Lok putera Paman Thung Sik Lun. Dia memang membenci hamba karema dia pun jatuh cinta kepada Giam Kwi Hong."

"Ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun tertawa bergelak, di dalam hatinya dia mengejek Pendekar Siluman. Kiranya Pulau Es hanya dihuni oleh pemuda-pemuda macam ini, karena tergila-gila kepada seorang wanita, telah melakukan hal-hal yang bodoh, pikirnya. "Kwee-sicu, setelah engkau berjanji untuk membuat jasa kepada kerajaan. Nah, kuperintahkan engkau menghadapi dia!"

Kwee Sui melompat berdiri dan Thian Tok Lama menyerahkan pedangnya yang tadi dirampas oleh pendeta Lama itu. Dengan pedang di tangan, Kwee Sui menghampiri Ki Lok dan berkata, "Ki Lok, engkau memang sudah bosan hidup. Telah lama ingin sekali aku memenggal batang lehermu, akan tetapi karena di pulau, tidak ada kesempatan bagi kita mengadu nyawa. Sekarang, kita hanya berdua di sini, mari kita tentukan siapa di antara kita yang hendak hidup!"

"Hemm, manusia hina! Karena engkau telah menjadi anjing penjilat musuh, maka berani bicara besar! Apa kaukira aku takut menghadapi macammu dan para majikan barumu?"

"Tutup mulutmu yang busuk!" Kwee Sui marah sekali dan sudah menerjang dengan pedangnya. Ki Lok menangkis dengan goloknya.

"Tranggg....!" Tangan Kwee Sui tergetar dan memang dia maklum akan besarnya tenaga yang dimiliki Ki Lok, namun dia tidak gentar karena dia memiliki gerakan yang lebih cepat dan gesit. Segera ia menyerang lagi menggerakkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa sehingga pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar dan menyerang Ki Lok.

Karena Kwee Sui digembleng oleh Phoa Ciok Lin yang lihai, tentu saja ilmu silatnya lebih lihai daripada Ki Lok. Tingkatnya lebih tinggi, terutama sekali gin-kangnya. Akan tetapi Ki Lok memiliki keberanian yang luar biasa, membuatnya selalu tenang dan biarpun gerakan goloknya tidak secepat gerakan pedang di tangan lawan, namun karena dia menggerakkannya dengan tenang dan dengan tenaga yang besar maka dia dapat melindungi tubuhnya dengan baik.

Bhong Ji Kun menonton pertandingan ini dengan hati girang. Dia mendapat kenyataan bahwa Kwee Sui memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi kalau dibandingkan dengan kepandaian para panglimanya, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Panglima Bhe Ti Kong yang dipercayanya. Boleh juga, pikirnya. Pemuda ini akan merupakan pembantu yang boleh diandalkan, hampir setingkat dengan kepandaian Tan-siucai! Dan pertandingan ini merupakan ujian terakhir bagi pemuda itu! Kalau pemuda she Kwee itu benar-benar bertekad bulat untuk menghambakan diri kepada kerajaan, tentu tidak akan segan-segan membunuh kawannya sendiri, kawan sepulau!

Pertandingan berlangsung mati-matian dan seru karena Ki Lok juga berusaha untuk membunuh Kwee Sui, bukan semata-mata karena memperebutkan Kwi Hong, sama sekali tidak. Demi nona itu yang diperebutkan cintanya, dia tidak akan begitu rendah untuk mengadu nyawa dengan Kwee Sui. Kalau dia sekarang berusaha membunuhnya adalah karena melihat kenyataan bahwa Kwee Sui hendak mengkhianati Pulau Es. Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan mulailah Ki Lok terdesak oleh sinar pedang Kwee Sui, dan ia hanya dapat menangkis dan mengelak tanpa dapat balas menyerang. Ki Lok mundur terus sampai di pinggir kapal, kakinya tersangkut tali dan ia terjengkang. Saat itu, dua kali sinar pedang berkelebat.

"Crat-crat!" Darah mengucur keluar dari pangkal lengan kanan dan dada kiri Ki Lok. Pemuda ini terjengkang ke belakang, goloknya terpental dan tubuhnya tarlempar keluar kapal. Air muncrat ke atas dan tubuh pemuda tinggi besar itu tenggelam dan lenyap. Yang tampak hanya sedikit air laut yang berwarna merah oleh darahnya.

Sejenak Kwee Sui memandang ke air, sambil menyimpan kembali pedangnya. Ketika mendengar suara Bhong Ji Kun tertawa, dia membalik dan menjatuhkan diri lagi berlutut di depan koksu itu.

"Bagus! Kepandaianmu lumayan dan engkau telah membuktikan kesetiaanmu. Nah, sekarang bagaimana baiknya menurut rencanamu agar kami dapat mendarat?"

"Perkenankan hamba kembali ke pulau. Hamba akan memberi tanda-tanda dengan sobekan-sobekan kain putih yang menunjukkan jalan masuk yang aman, bebas dari jebakan-jebakan. Akan hamba coba untuk membujuk mereka agar menyerah, akan tetapi kalau mereka tidak mau, terserah kalau Taijin hendak membunuh mereka yang melawan. Hamba akan berusaha mencuri Li-mo-kiam dan harap Taijin jangan lupa agar jangan membunuh Nona Kwi Hong andaikata dia nekat melawan."

"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Kalau dia melawan akan kami tawan dia untukmu. Akan tetapi selain pedang Li-mo-kiam, kau harus mengumpulkan pusaka-pusaka Pulau Es agar jangan sampai mereka sembunyikan atau hancurkan. Kelak engkau akan diberi anugerah besar dan kedudukan yang cukup tinggi."

"Baik, Taijin. Hamba mohon sebuah perahu kecil agar hamba dapat mendarat lebih dulu."

"Kau beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat menyerbu dengan aman."

"Baik!"

Kwee Sui lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah diturunkan oleh pasukan, kemudian mendayung perahu itu ke darat dengan jantung berdebar. Biarpun dia telah berhasil membunuh Ki Lok, namun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia telah bermain dengan api, dan kalau dia teringat kepada Pendekar Super Sakti, dia bergidik. Tidak apa, pikirnya, menghibur diri sendiri. Kalau serbuan itu berhasil dan dia tinggal di kota raja, membantu koksu yang memiliki banyak orang pandai, dia tentu aman dari pembalasan Pendekar Super Sakti. Dan Kwi Hong, si cantik manis yang membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan dan diserahkan kepadanya, hemm.... dia akan memaksanya menjadi isterinya, mau atau tidak! Kalau dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi, aman dan terjamin keselamatannya, sudah memperoleh diri Kwi Hong yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik daripada "mati kering" di tempat dingin itu, di Pulau Es, hanya dapat memandang Kwi Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan.

Setelah mendapatkan perahunya Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain putih di tempat-tempat tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau sebagaimana yang telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil memasang kain putih dia memasuki pulau dan langsung menghadapi gurunya yang masih berunding dengan Kwi Hong bagaimana sebaiknya menghalau musuh kalau memang kapal-kapal yang mendekati pulau itu benar-benar musuh yang berniat buruk.

"Wah, lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai kusuruh Ki Lok pergi menyusulmu. Di mana Ki Lok?" Begitu dia datang, gurunya menegurnya.

"Celaka sekali, Subo." Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap air matanya.

"Eh, ada apakah?" Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu cengeng. "Lekas ceritakan!"

"Liok-te telah tewas mereka bunuh....!"

"Apa....?" Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang tentu menjadi terkejut sekali mendengar bahwa putera tunggalnya telah tewas dibunuh orang. "Bagaimana terjadinya?" Suaranya gemetar, akan tetapi kakek yang gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya mukanya saja yang pucat sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat.

Karena khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki Lok, Kwee Sui kembali menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong yang terbelalak kaget sampai tidak bisa bicara apa-apa ketika mendengar betapa pemuda yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh musuh.

"Teecu dapat mendekati sebuah di antara kapal mereka dan semalam suntuk teecu bersembunyi sambil berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi teecu dapat merayap naik dah selagi teecu hendak mencuri pembicaraan mereka, tiba-tiba tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan mencaci-maki, mengusir kapal-kapal itu supaya menjauhi Pulau Es."

"Ahhh.... dia selalu keras hati dan terlalu berani...!" Terdengar Thung Sik Lun mengeluh sambil menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik air mata.

"Ahhh, kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!" Kwi Hong mengepal tinju, suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati.

"Lanjutkan ceritamu. Mereka itu siapakah?" Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.

"Celaka sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Koksu Negara yang amat sakti! Dia membawa tentara yang banyak sekali, ada tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu menyaksikan sendiri betapa dalam satu jurus saja Lok-te telah roboh dan terlempar ke laut! Dari kata-kata Koksu itu kepada Lok-te teecu mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau Es dan akan membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu mengharap kebijaksanaan Subo dan Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang sakti itu."

"Pengecut!" Phoa Ciok Lin membentak marah. "Kau sebagai muridku mengusulkan agar kita menakluk saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa perlawanan?"

"Ohhh, tidak.... tidak.... mana teecu berani? Teecu hanya menyampaikan hasil penyelidikan teecu dan mohon pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo dan Hong-moi tentu saja teecu taati dan teecu siap membantu dengan taruhan nyawa teecu!"

Phoa Ciok Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia menoleh kepada Kwi Hong sambil bertanya, "Hong-ji (Anak Hong), karena Taihiap tidak ada di sini, bagaimana pendapatmu?"

Kwi Hong mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam. "Bagaimana pendapatku? Adakah pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka bunuh, Bibi? Pendapat kita satu-satunya hanyalah mempertahankan pulau, melawan mati-matian! Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"

Dua orang kakek itu mengangguk. "Tidak ada jalan lain lagi," jawab Yap Sun.

"Saya siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah dilakukan anakku!" kata Thung Sik Lun terharu.

"Bagus, kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!" kata Kwi Hong penuh semangat.

Phoa Ciok Lin yang lebih berpengalaman daripada Kwi Hong karena dia adalah seorang bekas pejuang, cepat berkata, "Kita bagi anak buah menjadi empat. Aku sendiri memimpin anak buah menjaga pantai barat, engkau memimpin anak buah menjaga pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji (Anak Sui), memimpin penjagaan di utara, Paman Thung memimpin penjagaan di selatan. Adapun Paman Yap memimpin sisa anak buah untuk menghadapi serbuan kapal ke lima, darimanapun datangnya. Kebetulan kita di sini berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi lima buah kapal itu yang agaknya telah mengurung pulau. Mari kita berjuang membela pulau sampai titik darah terakhir!"

Mereka lalu keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah, membagi menjadi lima dan segera berangkat ke tempat penjagaan masing-masing. Ketika Kwi Hong sedang sibuk mengatur pasukannya, tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata,

"Hong-moi, maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Sekarang kita menghadapi musuh yang kuat dan entah kita akan dapat saling berjumpa lagi atau tidak. Maka sebagai ucapan selamat berpisah dan selamat berjuang, aku lebih dulu mohon kau suka memaafkan semua kesalahanku."

Kwi Hong tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak mengeluarkan kata-kata merayu dan mengambil hatinya, dan agaknya dalam ancaman bahaya ini Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka dia berkata halus, "Sui-ko, mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka memaafkan kalau engkau bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa. Pula, siapa bilang bahwa kita akan kalah? Lihat saja kita akan hancurkan mereka semua!"

"Mudah bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi langit. Juga mudah bagi Subo dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah, tingkat kepandaianku masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja demikian mudah terbunuh apalagi aku? Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti pedangmu itu, Hong-moi, agaknya aku akan dapat mengamuk dan tidak akan mudah dikalahkan musuh!"

"Hemm, yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."

"Kalau begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku? Percayalah aku akan menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di tangan, aku tidak takut menghadapi koksu sendiri sekalipun!" Kwee Sui berkata penuh semangat. "Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam pemberian Taihiap."

Kwi Hong ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan pemuda itu tak dapat disangkal kebenarannya, dengan ramah ia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada Kwee Sui.

"Demi mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepadamu, Sui-ko. Akan tetapi hati-hatilah terampas musuh. Aku percaya, dengan pedang yang ampuh dan mujijat ini, kelihaianmu akan menjadi lipat ganda."

"Terima kasih.... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat berpisah, mudah-mudahan kita akan saling dapat berjumpa pula." Kwee Sui menerima Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan dipimpinnya pasukan itu menuju ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya. Diam-diam ia tersenyum lega. Pasti kita akan saling berjumpa lagi, Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri baik engkau mau atau tidak!

Setelah membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil bersembunyi, Kwee Sui diam-diam meloloskan diri dan mulai bekerja sibuk memberi tanda kain putih di pantai itu, kemudian ia menyusup ke timur dan ke selatan untuk memberi tanda-tanda robekan kain putih.

"Haiiii....!" Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat sembunyinya dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka tegur itu adalah Kwee Sui, mereka terheran-heran.

"Kwee-kongcu.... apa yang sedang kaulakukan itu?" Seorang di antara mereka menegur.

Kwee Sui terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat adanya orang lain, secepat kilat dia mencabut pedang Li-mo-kiam.

Dua orang itu tak sempat berteriak karena sinar pedang itu saja sudah membuat mereka menggigil dan bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain saat sinar kilat berkelebat dan kepala mereka menggelinding putus dari leher, terbabat Li-mo-kiam! Pedang yang sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai melepaskan dahaganya dan ketika Kwee Sui memandang pedang itu dengan hati penuh kebanggaan, ia melihat pedang itu lebih bersinar-sinar lagi setelah mencium darah manusia. Hebatnya, pedang yang telah membabat putus dua leher manusia itu sedikit pun tidak ternoda merah, seolah-olah darah telah mencucinya lebih cemerlang dan bersih.

"Li-mo-kiam.... hebat....!" Kwee Sui mencium pedang itu lalu menyarungkannya kembali, kemudian menyeret dua orang itu ke balik batu dan menguruk mayat mereka berikut dua buah kepala mereka dengan salju. Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus dengan injakan kakinya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.

Baru saja ia selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba terdengar sorak-sorai disambut teriakan-teriakan gegap gempita dan tahulah dia bahwa pasukan-pasukan pemerintah telah mulai menyerbu! Memang koksu telah mengabarkan kepada pimpinan kapal masing-masing bahwa di darat telah ada pembantu mereka yang memasang tanda kain-kain putih yang harus dijadikan petunjuk untuk menyerbu ke pulau itu.

Terjadilah perang yang hebat dan di lima penjuru pulau itu! Para pasukan pemerintah dapat menyerbu pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas dari tempat-tempat yang dipasangi jebakan dan alat rahasia berkat petunjuk robekan kain-kain putih yang dipasang oleh Kwee Sui. Melihat ini, para penghuni Pulau Es terpaksa menyambut mereka dengan senjata dan terjadi perang yang mati-matian. Biarpun jumlah penghuni pulau kalah banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih tinggi, namun para penghuni menang kuat dalam tenaga sin-kang. Selama tinggal di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih sin-kang dengan menghimpun Im-kang sehingga tenaga mereka mengandung hawa dingin yang lebih kuat daripada para penyerbu. Para penyerbu rata-rata menggigil kedinginan, bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau Es, akan tetapi juga karena benturan senjata dengan para penghuni Pulau Es itu dilandasi Im-kang yang membuat para lawan selalu terserang hawa dingin yang menusuk tulang.

Serangan serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es tidak dapat saling membantu karena mereka itu menghadang musuh masing-masing yang menyerbu dari lima jurusan. Bahkan Yap Sun sendiri kini bersama pasukannya telah menghadapi serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tan Ki atau Tan-siucai.

"Ha-ha-ha, kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan pasukan pemerintah?"

"Selamanya Pulau Es tidak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang pemerintah menyerang kami, terpaksa kami akan mempertahankan pulau mati-matian!" jawab kakek Yap Sun dengan suara keren.

"Ha-ha-ha! Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap pemerintah akan tetapi majikan kalian berdosa besar sekali, karena itu kalian pun ikut berdosa kalau melawan."

"Orang muda, engkau berpakaian seperti sasterawan namun memimpin pasukan! Terang bahwa engkau tergolong penjilat penjajah. Tak perlu banyak cakap lagi, siapa takut kepada engkau dan pasukanmu? Anak-anak, serang mereka!" Kakek Yap Sun memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah anak buahnya yang berjumlah hanya tiga puluh orang menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia sendiri sudah menerjang maju dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian sasterawan itu.

Tan-siucai terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari kedua tangan kakek itu. Memang Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan sakti yang amat hebat, karena di dalam tenaga ini terkandung hawa sakti yang melebihi api panasnya, dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat menerimanya.

"Bagus!" Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah mencabut sebatang pedang yang berwarna hitam. Inilah senjatanya yang dibuat oleh gurunya sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang yang ampuh karena diberi racun yang merendam pedang itu sampai bertahun-tahun sehingga pedang itu berwarna hitam! Sambil mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki mengelebatkan pedangnya. Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek ini pun maklum akan berbahayanya pedang itu yang mengeluarkan bau amis, namun dia tidak gentar. Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka mengeluarkan hawa pukulan yang dapat menangkis dan mendorong mundur sinar pedang itu sehingga Tan Ki terpaksa meloncat lagi dan menyerang dari lain jutusan. Sementara itu, pasukan kedua pihak sudah saling serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding mati-matian di mana setiap orang anak buah Pulau Es dikeroyok dua orang lawan.

Ternyata hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang kebetulan bertemu lawan yang seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu lawan berat dan keadaan mereka terdesak hebat. Phoa Ciok Lin, yang merupakan orang ke dua setelah Kwi Hong dalam hal kelihaian ilmu silatnya, bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Thai Li Lama, pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa Ciok Lin terpaksa harus mengeluarkan semua ilmunya, mengeluarkan seluruh gin-kang dan ilmu silatnya untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang mengandung campuran hawa mujijat dari ilmu hitam. Berkali-kali Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang amat berwibawa, membuat wanita sakti itu kewalahan dan hampir celaka karena hampir saja dia tidak dapat menahan pengaruh bentakan-bentakan yang mengandung ilmu hitam I-hun-to-hoat (hypnotism) itu. Untung bahwa sebagai pembantu istimewa yang telah digembleng oleh Pendekar Siluman, dia memiliki batin yang kuat sehingga dengan segala kekuatan batinnya dia masih berhasil mempertahankan diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat, seperti juga anak buahnya yang terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama.

Thung Sik Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki keistimewaan gerak cepat, lebih payah lagi karena dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh pendeta India, Kakek Maharya yang tentu saja jauh lebih lihai daripada dia! Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun menyerangnya dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang dapat membikin beku darah di tubuh lawan. Namun Kakek Maharya menerima pukulannya dengan enak saja dan begitu tangan kiri Thung Sik Lun mendarat di dada yang kerempeng itu, tangan Thung Sik Lun tak dapat ditarik kembali, melekat dan tersedot oleh dada kerempeng itu! Thung Sik Lun terkejut, cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan Im-kang sekuatnya memukul ke pusar.

"Desss!" Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik kembali.

"Heh-heh-heh!" Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menjambak rambut di ubun-ubun kepala Thung Sik Lun, mencengkeram dan begitu dia mencabut, kepala itu berikut kulit dan tulang kepala bagian ubun-ubun copot! Otak dan darah mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan menggelogok darah campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima air sejuk! Setelah darah berhenti mengucur dan Maharya melepaskan sin-kangnya, tubuh Thung Sik Lun yang sudah tak bernyawa lagi itu terguling! Tentu saja robohnya pimpinan ini membikin kacau para anak buah Pulau Es. Di antara mereka banyak yang roboh dan mereka bergidik ngeri menyaksikan kematian pimpinan mereka, maka mereka cepat mengundurkan diri ke tengah pulau sambil menahan majunya musuh-musuh dengan senjata rahasia mereka yang ampuh, yaitu butiran-butiran es yang dingin sekali, yang dapat mereka kumpulkan dan gali dari lorong bawah tanah di belakang Istana Pulau Es! Hujan butiran es yang dingin ini sedikit banyak menghambat kemajuan para penyerang dan memungkinkan mereka untuk mundur dan mengatur pertahanan lagi tanpa pimpinan.

Thian Tok Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee Sui. Akan tetapi ketika anak buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut kedatangan pendeta gundul itu tertawa-tawa dan mereka berdua itu bercakap-cakap sambil berjalan ke darat, mereka menjadi kacau. Apalagi ketika Kwee Sui berseru.

"Kita tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik menyerah saja tentu diampuni!"

Mendengar ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka semua adalah orang-orang yang setia, bahkan di antara mereka banyak terdapat bekas pejuang yang menentang penjajahan Mancu, maka mendengar seruan ini, maklumlah mereka bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka mereka segera melawan sambil mundur ke tengah pulau, juga mempertahankan diri dengan serangan butiran-butiran es dingin.

Yang berat seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri. Gadis perkasa yang penuh semangat ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biarpun Bhong Ji Kun masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan kelihaian paman gurunya, Maharya, namun bagi Kwi Hong dia telah merupakan lawan yang amat berat, apalagi tentu saja pasukan yang dipimpin Koksu ini adalah pasukan pengawal yang paling kuat!

Kwi Hong juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus berkepala botak yang memakai pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang disebut koksu oleh Kwee Sui. Cepat dia mencabut Pek-kong-kiam sehingga tampak sinar putih menyilaukan mata dari pedang yang berlapis perak ini.

Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar Siluman, Nona? Pantas.... pantas...., banyak pemuda yang tergila-gila kepadamu. Kiranya engkau benar-benar cantik jelita, sungguh tidak disangka di pulau kosong seperti ini dapat tumbuh setangkai mawar yang begini cantik...."

"Keparat, tutup mulutmu yang busuk!" Kwi Hong marah sekali dan pedangnya menyambar menjadi sinar yang panjang dan besar.

"Hehhh....!" Bhong Ji Kun terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona itu dapat menggerakkan pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat bahwa dara yang jelita ini adalah murid Pendekar Super Sakti. Dia sendiri merasa jerih terhadap pendekar itu, yang menurut pendapat paman gurunya memang memiliki kesaktian sukar dilawan. Kalau gurunya sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat dipandang ringan, sungguhpun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis dan kelihatan lemah. Maka ia pun cepat memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu anak buah Pulau Es, dan dia sendiri sudah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang aneh, yairu sebatang pecut kuda yang berwarna merah dan panjangnya ada tiga meter, gagangnya terbuat dari emas dihias permata! Koksu ini di waktu kecilnya, di India, pernah bekerja sebagai seorang penggembala kuda, maka dia suka sekali mempergunakan cambuk kuda, apalagi di waktu dia menyiksa lawan. Sebetulnya dia memiliki banyak senjata yang ia keluarkan sesuai dengan keadaan lawan. Melihat Kwi Hong cukup lincah dan lihai memegang pedang pusaka, maka dia pun mengeluarkan cambuknya. Cambuk ini digulung di dekat gagang dan jika perlu dapat dipergunakan menyerang lawan yang tiga meter jauhnya, juga amat cocok untuk menghadapi senjata tajam, untuk melibat dan merampas.

"Tar-tar-tar!" Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur turun, mengirim totokan-totokan berantai ke arah jalan darah di leher, tengkuk dan kedua pundak Kwi Hong.

"Haiiiittt!" Kwi Hong melengking nyaring. Pedangnya diputar cepat di atas kepala, membentuk sinar seperti payung melindungi tubuh atasnya, dan tangan kirinya sudah menyodok ke depan, mengirim pukulan jarak jauh ke arah uluhati lawan. Bukan main kagetnya hati koksu itu. Gerakan pedang gadis itu benar-benar membendung serangan cambuknya, dan kini pukulan tangan kiri itu mengandung hawa dingin yang terasa menghantam dadanya, terus menyerang ke jantung!

"Hehhhh!" Ia mengerahkan sin-kang, mengeraskan perut dan dada, menahan pukulan jarak jauh itu sambil menarik pecutnya, dan sekali pergelangan tangannya bergerak, ujung pecutnya menyambar dari bawah hendak melibat kaki Kwi Hong.

Gadis ini melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan pecahan dari Siang-mo Kiam-sut seperti yang diajarkan pamannya, dan tangan kirinya tidak lupa mengirim pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara bergantian. Koksu itu makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini, pikirnya. Belum pernah ia menghadapi lawan seorang muda yang begini lihai. Yang membuatnya kagum sekali bukan hanya kegesitan dara itu, melainkan terutama sekali sin-kangnya yang kuat dan aneh. Betapa mungkin gadis semuda ini sudah dapat membagi kedua lengannya dengan saluran hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau tangan kanannya melancarkan pukulan berhawa dingin, pedangnya terasa mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya kalau dari tangan kiri menyambar hawa panas, pedangnya menjadi dingin luar biasa!

Timbul dalam pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia akan menawannya hidup-hidup, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee Sui yang telah berjasa, akan tetapi juga kalau dia dapat membujuk gadis itu membantu pemerintah tentu kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui, mudah diselesaikan, karena baginya, gadis ini lebih berharga sepuluh kali dari pemuda itu!

Akan tetapi, pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih mudah daripada melaksanakannya. Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat tinggi dan menghadapi Koksu itu, dia hanya kalah matang dan kalah pengalaman. Namun, gadis ini telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang sebetulnya kalau sudah dilatih sematang koksu itu, tidak akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun! Biarpun koksu itu jauh lebih berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk tidak roboh di tangan gadis ini, apalagi untuk menawannya hidup-hidup! Kwi Hong yang kini percaya akan laporan Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat, bersilat dengan hati-hati sekali. Diam-diam dia agak menyesal mengapa dia tadi menyerahkan Li-mo-kiam kepada Kwee Sui. Kalau dia menggunakan pedang mujijat itu, agaknya dia masih akan mampu mengalahkan lawan yang jauh lebih berpengalaman ini. Akan tetapi, dia lalu teringat akan keadaan pemuda itu sendiri, dan keadaan bibinya, dan kedua orang pamannya. Kalau mereka itu pun menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah Pulau Es. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat mengalahkan koksu ini dan dapat membantu kawan-kawannya. Namun, tidaklah mudah, karena sesungguhnya, tingkatnya masih kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.

Pada saat Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya itu, bahkan Thung Sik Lun telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari pantai, tampak sebuah perahu kecil yang dijalankan dengan pesat, didayung oleh seorang pemuda tampan yang memandang ke arah Pulau Es penuh takjub, kemudian memandang ke arah kapal-kapal besar itu dengan alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah Gak Bun Beng.

Setelah Bun Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan untuk mencari Pulau Neraka. Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu, dia tidak takut pergi ke Pulau Neraka untuk mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka dan minta kembali pedang Lam-mo-kiam yang dahulu dirampasnya. Surat dan peta yang ia terima dari Pendekar Super Sakti telah lenyap ketika ia terjun ke pusaran maut, akan tetapi ia masih ingat sedikit gambaran itu. Pokoknya, di sebelah utara melewati sekelompok pulau kecil yang berjajar seperti baris!

Demikianlah, karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa disadarinya pada siang hari itu layar perahunya yang terbawa angin membuat perahunya melaju cepat membawanya sampai ke dekat Pulau Es! Melihat pulau yang putih itu dan melihat kapal-kapal besar, dia terheran-heran dan menggulung layar, lalu mendayung perahunya dengan hati-hati mendekati pulau.

"Tolongggg....!"

Tiba-tiba teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri dan menahan perahunya. Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah berenang menuju ke perahunya. Ketika Bun Beng melihat bahwa orang itu ternyata luka parah, cepat ia mendayung perahunya mendekat, lalu menyambar baju di punggungnya dan menariknya ke atas perahu. Ternyata orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir saja tidak kuat lagi, lukanya oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah kehilangan banyak darah. Ia memandang dengan napas terengah-engah kepada Bun Beng, lalu berkata.

"Sahabat, siapa pun adanya engkau.... tolonglah.... tolonglah cari Taihiap...."

"Taihiap siapa? Dan engkau siapa?"

"Taihiap.... To-cu Pulau Es.... katakan.... ahhh, katakan.... pulau Es diserbu pasukan pemerintah.... Koksu Negara.... dan si pengkhianat Kwee Sui.... pulau kami terancam.... aaahhhh...." Pemuda yang gagah perkasa itu menghembuskan napas terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng mendengar ucapantadi. Ia merebahkan kepala yang tadi dipangkunya, dan mengangkat mukanya memandang ke pulau itu. Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik pemerintah yang menyerbu Pulau Es di waktu Pendekar Super Sakti tidak ada? Dan Koksu Negara. Si laknat Bhong Ji Kun!

Bun Beng cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga perahunya meluncur cepat sekali ke pulauitu. Ia kini mendengar suara hiruk-pikuk di atas pulau, suara orang bertempur. Ketika ia melihat tanda robekan kain yang diikatkan pada tetumbuhan di pantai, ia lalu mendarat. Tentu itu merupakan tanda penunjuk jalan, pikirnya. Setelah mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu di mana menggeletak mayat Ki Lok, Bun Beng melompat ke darat dan berlari cepat ke tengah pulau. Tepat seperti diduganya, ia melihat kain-kain putih dan segera memasuki pulau melalui jalan kecil di mana ada tanda-tanda kain putih itu sehingga sebentar saja dia telah berada di tengahpulau. Ia melihat pertempuran hebat, dan melihat betapa perajurit-perajurit seragam yang tentu adalah pasukan pemerintah mendesak dan mengejar penghuni pulau yang mengundurkan diri ke tengah pulau.

Pada saat itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding mati-matian melawan Bhong Ji Kun, tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan Kwee Sui. Melihat betapa gadis itu mengadakan perlawanan yang hebat terhadap koksu, Thian Tok Lama segera meloncat dan membantu. Dikeroyok dua oleh koksu dan Lama itu, tentu saja Kwi Hong terdesak hebat. Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama Thian Tok Lama.

"Sui-ko, bantu aku....!" teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton sambil tersenyum.

Seketika mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat dan tadi sengaja meminjam pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak, dan setelah memutar pedangnya membuat kedua orang lawannya mundur, ia lalu melompat ke arah Kwee Sui sambil memaki.

"Engkau pengkhianat hina!"

Akan tetapi, tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit lengannya yang memegang pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan tubuh, Thian Tok Lama telah memukulnya dari belakang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang.

"Desss!" Angin pukulan yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong membuat gadis itu roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh ujung pecut koksu. Dia memandang rendah Thian Tok Lama sehingga kena terpukul, tidak tahu bahwa ilmu kepandaian Lama itu setingkat dengan kepandaian Bhong Ji Kun.

"Ha-ha-ha, bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia lolos," kata Bhong Ji Kun kepada Kwee Sui, "Dan pedang Li-mo-kiam....?"

"Sudah di sini!" jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya.

"Baik, bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu hilang."

Kwee Sui girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu dan membawanya lari ke pantai, di mana terdapat perahunya, lalu ia membawa tubuh itu ke atas kapal besar.

Setelah Kwi Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau, dikejar oleh pasukan pemerintah. Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi Tan-siucai dengan gigih, terpaksa roboh pula, ketika tiba-tiba muncul Kakek Maharya yang sudah mengejar sampai ke situ. Maharya marah sekali melihat betapa muridnya belum mampu merobohkan kakek itu.

"Bodoh, kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?" teriaknya sambil menonton pertandingan itu, tidak mau membantu muridnya.

Tan Ki yang mendengar seruan gurunya itu, tertawa, tangan kirinya mencabut pedang di pinggangnya. Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun berteriak mengerikan ketika berbareng dengan sinar kilat pedang itu yang menangkis tangannya, lengannya sebatas siku menjadi buntung! Kakek itu menggigit bibir, menggunakan tangan kirinya menerjang terus, dan kembali sinar kilat berkelebat dan lengan kirinya juga terbabat buntung! Pedang mujijat itu berkelebat lagi, terdengar teriakan ngeri dan tubuh Yap Sun terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh pedang Hok-mo-kiam dan nyawanya melayang!

Tan Ki menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada suhunya, "Saya memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan yang boleh juga."

"Sudah, mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya. Kulihat wanita itu lihai juga."

Memang, hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan perlawanan terhadap Thai Li Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini mengamuk, mendesak pendeta itu dengan pedang yang sudah sejak tadi ia pergunakan karena dia tidak mampu mengalahkan lawan dengan tapgan kosong.

Tiba-tiba muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok Lin yang setengah tua itu masih cantik, segera meloncat maju. "Eh, manis, kenapa engkau nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota raja tentu senang!"

Phoa Ciok Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang hitam yang dipergunakan Tan Ki.

"Tranggg!" Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan seluruh lengan kanannya tergetar.

"Wah, lihai juga....!" serunya.

"Hemmm....!" Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan angin pukulan yang kuat berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit dan terlempar ke belakang. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan, lalu meloncat bangun lagi dan mengambil keputusan nekat untuk melawan musuh-musuh lihai itu sampai napas terakhir.

Maharya memukul lagi, "Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!" Maharya terhuyung ke belakang, memandang terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat ia terhuyung ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman, dia tidak akan heran. Tadi pun ia mengira, bahwa Pendekar Siluman muncul, kiranya seorang pemuda yang bertangan kosong!

"Toanio, harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!" kata Bun Beng.

"Eh, dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!" Tiba-tiba Tan Ki berseru kaget. Maharya menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat tenaganya, mengapa sekarang begini lihai? Dengan penuh hati penasaran, dia menerjang lagi, kini mengirim dorongan dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Bun Beng. Pemuda ini yang sudah percaya penuh akan kekuatan sendiri, kembali menyambut telapak tangan itu dengan dorongan telapak tangan pula.

"Plakkkk!" Dua telapak tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan itu yang seolah-olah melekat. Maharya berseru keras sebelah tangannya memukul lagi akan tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap. Demikian cepat gerakan pemuda ini yang sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya menotok ke arah ubun-ubun kepala Maharya.

"Aeeehhhh....!" Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan, wajahnya yang berkulit hitam itu menjadi agak pucat, keringat dingin mengucur karena dia maklum bahwa hampir saja nyawanya melayang!

"Serbu....!" Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju. Phoa Ciok Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa adanya itu, sungguhpun wajah pemuda tampan itu seperti pernah dilihatnya. Tentu saja dia pernah melihat Bun Beng, yaitu ketika terjadi pertempuran di pulau muara Huang-ho. Akan tetapi ketika itu Bun Beng masih kecil sehingga dia tidak mengenalnya lagi. Sebaliknya Bun Beng masih mengenal Ciok Lin maka serunya.

"Phoa-toanio, mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!"

Ciok Lin melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang dahulu diperebutkan di pulau muara Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar Siluman akan dirampas dan dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng, putera Gak Liat dan Bi-kiam Bhok Khim. Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar saja anak buahnya terdesak sehingga kocar-kacir dan banyak yang sudah roboh. Juga ia melihat betapa anak buah dari pantai lain telah mundur ke tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es, dikejar pasukan pemerintah. Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk, membantu anak buahnya merobohkan banyak tentara pengawal pemerintah.

"Hancurkan mereka, serbu Istana Pulau Es!" teriak Maharya. "Biar aku melayani bocah sombong ini!" Sambil berkata demikian, Maharya yang merasa bahwa pemuda itu tidak akan dapat ia kalahkan mengandalkan tenaga sin-kang, sudah mencabut keluar sebuah senjata yang aneh. Senjatanya itu bergagang pendek, dan berbentuk bulan sabit yang pinggirnya tajam sekali dan kedua ujungnya yang melengkung amat runcing.

"Sing-sing-sing....!" Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk menyerang. Namun Bun Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut karena dia telah mainkan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng yang mujijat. Berkali-kali Maharya mengeluarkan seruan kaget dan heran. Pemuda itu benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat yang amat ajaib, yang dia kenal mempunyai dasar-dasar ilmu silat golongan kaum sesat! Sementara itu, Bun Beng yang melihat betapa Thai Li Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong Ji Kun mulai memimpin pasukan membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat tinggal para anak buah Pulau Es yang kewalahan, menjadi khawatir sekali.

"Orang muda, engkau merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!" Tiba-tiba Maharya membentak, menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng terpecah karena mengkhawatirkan keadaan Pulau Es.

Bun Beng otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia teringat ketika kakek India membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya yang aneh. Untung pada detik terakhir Bun Beng teringat lagi. Dia sudah mengerahkan sin-kang dan menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar tubuh ke belakang sehingga bacokan itu luput.

"Dar! Dar! Blengggg....!"

Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asep hitam bergulung-gulung. Beberapa orang perajurit pemerintah roboh, bahkan Maharya sendiri cepat meloncat ke belakang ketika ada sebuah benda hitam menyambar kepalanya. Sambaran itu luput dan benda itu menghantem tanah, meledak dan mengeluarkan asap hitam.

Bun Beng meloncat bangun. Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu. Dia cepat berlari ke arah Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan, terjadi ledakan-ledakan yang merobohkan perajurit pemerintah. Pasukan pemerintah menjadi kacau balau, lari bersembunyi, ada yang bertiarap. Bahkan Koksu dan rombongannya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang dapat meledak sehingga mereka sibuk mengelak ke sana sini. Bun Beng mengerti bahwa ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia mengenal alat-alat ledak itu seperti yang biasa dipergunakan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia tidak peduli dan cepat menghampiri rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin oleh Phoa Ciok Lin. Mereka ini sama sekali tidak diserang alat-alat peledak sehingga mudah diduga bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu bermaksud membantu anak buah Pulau Es.

"Phoa-toanio....! Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Di mana adanya Kwi Hong?"

"Ahhh, menurut laporan anak buahnya, dia.... tertawan, dikhianati orang kita sendiri dan dibawa ke kapal di sebelah timur pulau."

"Kwee Sui....?" Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya tadi.

"Eh, bagaimana engkau tahu? Engkau.... Gak Bun Beng, bukan?"

"Benar, Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain jalan, bawa keluar dari pulau ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi Hong!" Baru saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Phoa Ciok Lin melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera membawa anak buahnya memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah tanah istana. Dia sendiri bersama orang yang dapat diandalkan menjaga di depan, melihat betapa pasukan musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan yang asapnya mengandung racun itu sehingga banyak anggauta pasukan yang roboh tewas. Akhirnya Bhong Ji Kun terpaksa menarik mundur pasukannya dan memerintahkan kembali ke kapal masing-masing agar tidak jatuh lebih banyak korban sedangkan musuh yang melepas bahan-bahan ledakan itu tidak tampak sama sekali.

Bhong Ji Kun mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak berunding membicarakan munculnya Gak Bu Beng dan pelempar peledak yang asapnya hitam beracun itu. Begitu naik ke kapal dia menjenguk ke ruangan bawah, lega melihat betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di atas bangku dengan wajah muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ bersama selusin orang perajurit. Gadis itu memaki-maki Kwee Sui, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan berusaha membujuknya dengan suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan berunding dengan Maharya di geladak kapal. Senja telah datang akan tetapi sinar keemasan matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk dan bicara dengan serius.

"Bocah itu hebat juga," terdengar Maharya berkata. "Sungguh mengherankan sekali, belum ada setahun aku melawan dia, kepandaiannya masih belum begitu hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya dalam waktu tiga bulan dia mampus. Bagaimana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan kepandaiannya malah demikian hebat?"

"Hemmm, mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman," jawab Bhong Ji Kun sambil mengelus jenggotnya. "Akan tetapi yang aneh adalah pelempar peluru peledak yang mengandung asap beracun itu. Apakah dia Pendekar Siluman sendiri? Dia tentu lihai bukan main."

"Ah, Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti itu," jawab Maharya.

"Benar, dan sepanjang pendengaranku, yang bisa menggunakan senjata rahasia macam itu adalah orang Pulau Neraka."

"Akan tetapi, tidak mungkin," bantah Maharya. "Bukankah Pulau Neraka selalu bertentangan dengan Pulau Es?"

Selagi dua orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan perahunya dan terjun ke air, berenang lalu bergantung kepada rantai jangkar. Dia merayap naik, akan tetapi melihat Maharya dan Bhong Ji Kun berada di situ, di atas geladak dia tidak berani naik. Melihat musuh-musuh besarnya ini, ingin sekali dia meloncat dan membuat perhitungan. Bhong Ji Kun telah membunuh gurunya, dan dengan Maharya dia mempunyai perhitungan lain. Akan tetapi, kedatangannya ini adalah untuk menolong Kwi Hong, kalau dia meloncat dan menerjang kedua orang yang dia tahu amat lihai itu, harapannya untuk menulong Kwi Hong tentu akan buyar. Maka dia menanti kesempatan baik dan bersembunyi di rantai jangkar, mepet di badan kapal.

"Sebaiknya besok pagi kita sendiri bersama kedua orang Lama turun ke pulau melakukan penyelidikan," kata Maharya. "Kita harus mengetahui siapa orangnya yang begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru peledak itu."

"Kebakaran....!" terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang tiba di atas bilik kapal dan tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji Kun terkejut, apalagi ketika mendengar suara dari atas.

"Akulah yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"

Keduanya meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di tali-temali layar dekat tiang besar, tampak tubuh seorang wanita bergantung pada tali, bergantung dengan kedua kakinya sedangkan kepalanya tergantung di bawah, rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di bawah sinar matahari senja, wanita berpakaian hitam yang bermuka putih sekali itu benar-benar amat menyeramkan, apalagi kehadirannya dengan cara bergantung terbalik seperti itu!

Baik Maharya maupun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita yang bergantung seperti itu, yang hanya memperlihatkan kemahiran gin-kang luar biasa yang mampu mereka lakukan juga. Yang mengejutkan mereka adalah kehadiran wanita itu yang tidak mereka ketahui sama sekali! Siapakah wanita itu?

Dia bukan lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar Super Sakti (baca cerita Pendekar Super Sakti)! Bagaimana Lulu yang menjadi majikan Pulau Neraka dapat hadir di situ, membantu anak buah Pulau Es yang diserbu pasukan pemerintah? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita meninjau keadaan Pulau Neraka di mana telah terjadi perubahan besar sekali.

Putera Lulu bernama Wan Keng In, telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas atau delapan belas tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena semenjak kecil digembleng oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu memanjakan puteranya itu, apalagi setelah ia mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan Sin Kiat, sengaja membunuh diri dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu.

Pada suatu hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu seringkali keluar dari Pulau Neraka menunggang burung rajawali dan biarpun berkali-kali Lulu memarahinya, namun anak itu yang amat manja selalu melanggar larangannya. Ketika Keng In pulang, dia menghampiri ibunya dan tertawa-tawa bangga, lalu menepuk pinggangnya di mana tergantung sebatang pedang bersarung indah sambil berkata,

"Ibu, coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang ini. Ibu selalu melarang aku merantau, kalau aku tidak merantau, mana mungkin mendapatkan pusaka ini?"

Lulu mengerutkan alisnya memandang. "Hemm, engkau mendapatkan sebatang pedang baru. Pedang apakah yang kaubanggakan itu?"

"Lihat, Ibu!"

"Singggg....!"

"Aihhhh....!" Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika pedang itu dicabut, dan ada hawa yang menyeramkan keluar dari sinar pedang itu. "Itu.... itu.... seperti Sepasang Pedang Iblis!"

"Ha-ha-ha! Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian, pedang jantan, sebatang di antara sepasang Pedang Iblis yang berhasil kurampas!"

"Siang-mo-kiam....!" Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan menangis.

"Han-koko....! Ah, Han-koko.... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu.... Sepasang Pedang Iblis....!"

Keng In menarik napas panjang. "Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut dia? Aku muak mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko! Hemmm, tentu Si Pendekar Siluman yang bernama Suma Han itu, bukan? Dia telah banyak membuat Ibu menderita. Teringat olehku betapa dahulu, ketika aku masih kecil, Ibu sering mimpi dan menyebut-nyebut namanya. Aku telah mendapatkan pedang Lam-mo-kiam, aku akan mencari dia dan akan kubunuh dia dengan pedang ini agar tidak menyusahkan hati Ibu pula!"

"Keng In....!"

"Aku tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu? Kakinya buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu, mengapa dia membiarkan Ibu merana di sini? Dan mengapa pula Ibu seringkali menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar kelak dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah membenci dia? Betapapun juga, Pendekar Siluman dari Pulau Es itu telah banyak membikin Ibu menderita, maka pada suatu hari aku pasti akan menantangnya dan akan membunuhnya dengan pedang ini."

"Keng In.... kau.... kau tidak mengerti.... jangan kau bicara demikian. Tak perlu engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara. Sedangkan kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya, apalagi engkau. Kaukira akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"

Terdengar oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama Pendekar Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab, "Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan diri. Mungkin Ibu masih belum mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang anakmu."

"Singggg.... cuit....!" Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam, lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan dahsyatnya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang mencuat ke udara, kadang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung, indah dan hebat bukan main sampai membuat Lulu melongo keheranan. Dia tidak mengenal ilmu pedang itu dan harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan puteranya itu betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In menghentikan permainannya dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya yang tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya,

"Bagaimana pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman itu?"

Lulu masih terbelalak memandang wajah puteranya. "Keng In, anakku...., dari mana engkau mempelajari ilmu pedang itu?"

Keng In tertawa, lalu berkata, "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan masih banyak lagi. Di antaranya ini, harap Ibu lihat!" Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik beberapa kali di udara. Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat, kedua tangannya telah menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat terbangnya itu. Keng In tertawa-tawa, melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia menghampiri sebatang pohon sambil berkata, "Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!" Setelah berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.

"Prakkkk!"

Pohon itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biarpun hanya ada angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya yang gundul tanpa sehelai daun pun!

Lulu terkejut bukan main. Gin-kang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir melalui tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi juga amat dahsyat, membuktikan adanya sin-kang yang mengandung hawa beracun jahat!

"Keng In! Darimana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!"

Keng In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata, "Ibu, sebetulnya aku harus merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa aku membuka rahasia. Ibu, telah beberapa tahun ini aku menjadi murid Cui-beng Koai-ong."

"Siapakah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"

Keng In tertawa. "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat ke tiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian luar biasa, melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang sebenarnya menjadi tokoh-tokoh pertama dan ke dua dari Pulau Neraka, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang aneh yang tidak pernah mau memperebutkan kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat mereka."

"Hehh....? Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah mendengar tentang dua orang itu? "Siapa mereka dan di mana mereka sekarang?"

"Ibu, mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan sekali aku bertemu dengan dia di tempat sembunyinya ketika beberapa tahun yang lalu dia kembali ke Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi muridnya sehingga memperoleh kemajuan besar."

"Dan yang ke dua?"

"Menurut Suhu, orang ke dua itu adalah sutenya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau Neraka. Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu dengan Susiok itu, julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya aneh dan angin-anginan sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya untuk mengumbar wataknya yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"

Lulu menjadi makin penasaran. "Di mana mereka? Aku ingin mencoba kepandaian mereka. Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau Neraka."

"Jangan, Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"

"Ya, mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama Pulau Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"

"Ha-ha-ha! Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apalagi terhadap manusia lain, kecuali.... eh, terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan Ibu memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu menyerang ke sana, tentu mereka akan turun tangan membantu. Mereka hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan Pulau Es untuk menantang Pendekar Siluman!"

"Ohhhh!" Lulu menjadi pucat wajahnya. Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan hendak memusuhi Suma Han. Betapa mungkin? Betapa mungkin dia memusuhi dan membenci orang yang ia cintai itu? Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu, semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia perlihatkan kepada bekas kakak angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan sudah patut untuk memperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar besar seperti Suma Han. Apalagi setelah ia mendengar bahwa Suma Han menjadi suami Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat daripada Nirahai! Sekarang ternyata tokoh-tokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak memperalatnya dan puteranya, putera tunggal yang dia cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid dari tokoh pertama Pulau Neraka! Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka, yang menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es dan terang-terangan menantang Suma Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan orang-orang Pulau Neraka. Suma Han harus memilih, membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri!

Dengan hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa memberi tahu siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan pelayaran mencari Pulau Es di mana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han (baca cerita Pendekar Super Sakti).

Kedatangannya di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap pulau itu. Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu terhadap Suma Han lenyap terganti oleh kemarahan terhadap para penyerbu yang mendahuluinya, yang dianggapnya pengecut, melakukan penyerbuan terhadap sebuah pulau yang sedang ditinggal majikannya. Maka dia lalu diam-diam membantu anak buah Pulau Es, melepas senjata rahasia peledak yang berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan hati penuh kemarahan diam-diam Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas senjata rahasia pembakar dan memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada tali layar dengan tubuh berjungkir, kepada Koksu Bhong Ji Kun dan Maharya.

"Wanita iblis....!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah.

Maharya sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah senjata rahasia berbentuk gelang yang berputar cepat ke arah kepala wanita yang menggantung di atas itu.

"Wiirrr.... singggg....!" Senjata rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah gelang biasa berwarna putih, akan tetapi karena pelemparnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini seperti peluru terkendali, kalau luput dapat berputar kembali dan menyerang lawan seperti benda hidup! Juga suaranya yang berdesing, mengaung seperti gasing berlubang itu dapat mendatangkan panik kepada lawan.

Menghadapi serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan seolah-olah tidak melihatnya. Akan tetapi ketika gelang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba ujung rambutnya yang riap-riapan itu seperti hidup, seperti ujung cambuk yang bergerak ke bawah menerima gelang itu, terus melibatnya sehingga gelang itu berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba, kepala Lulu bergerak sedikit dan gelang itu menyambar dengan kecepatan kilat ke bawah, ke arah Maharya! Pendeta India ini terkejut bukan karena diserang oleh senjatanya sendiri karena dengan mudah ia dapat mengelak sehingga gelang itu mengenai papan geladak dan amblas ke bawah, melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang muncul secara aneh itu.

"Toanio, siapakah engkau?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menegur. Pembesar ini pun maklum bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan, maka dia mengambil siasat halus. "Dan mengapa pula Toanio membela Pulau Es dan menentang kami dari pemerintah?"

Lulu tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis sungguhpun usianya sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi karena keadaannya seperti itu dan mukanya berwarna putih sekali, maka dia seperti mayat tersenyum, menimbulkan rasa ngeri kepada mereka yang memandang dari bawah.

"Aku siapa tak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu ketenteraman daerah ini, berlaku curang menyerang tempat yang sedang ditinggal pergi pemiliknya!"

"Wanita sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?" Maharya membentak marah.

Lulu tidak menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal senjata rahasianya.

"Kalau benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"

"Tak mungkin!" Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab. "Pulau Neraka tak pernah saling bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho telah saling bertentangan. Tidak mungkin kalau Toanio dari Pulau Neraka dan mau membantu penghuni Pulau Es!"

"Mengapa tidak! Kalau kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula Pulau Neraka!"

Mendengar ini, marahlah koksu itu. "Perempuan pemberontak! Berani kau menentang pemerintah? Semua pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau Neraka, adalah wilayah kekuasaan kerajaan! Tangkap pemberontak!"

Para panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang itu, dan terdengar Lulu tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di atac tiba-tiba melayang turun, seperti seekor burung menyambar. Para anak buah pasukan menggerakkan senjata, akan tetapi tiba-tiba mereka menjerit dan robohlah empat orang, tombak mereka patah-patah!

"Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan serangan dahsyat, bahkan Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan yang luar biasa, yaitu senjata aneh bulan sabit yang bergagang pendek.

"Siuuuuttt.... singgg!"

Lulu bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh seorang perwira di belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar. Ketika menendang, lengan kiri Lulu menjepit tombak perwira itu, kini tombak itu ia lontarkan menembus perut tubuh perwira yang masih melayang di udara! Semua perajurit menjadi gentar menyaksikan kelihaian wanita itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun dan Maharya sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Seorang perwira cepat memberi isyarat kepada kapal-kapal lain untuk datang membantu, maka bergeraklah dua buah kapal yang berdekatan, mendekati kapal yang sedang terbakar itu. Sebagian para perajurit sibuk memadamkan api yang membakar bilik kapal.

Cuaca sudah mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan cambuk di tangan Koksu dan senjata bulan sabit di tangan kakek India, maka ia selalu menghindar dengan gerakan lincah sekali, merobohkan banyak perajurit dengan pukulan dan tendangan. Ketika koksu kembali melancarkan serangan dengan cambuknya, Lulu berhasil menangkap ujung cambuk. Koksu malah melangkah dekat dan menghantamkan tangan kirinya dengan pengerahan sin-kang, Lulu menerima dengan ilmu sakti Toat-beng-bian-kun.

"Cessss!" Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa telapak tangan kirinya bertemu dengan tangan yang lunak sekali sehingga semua tenaganya amblas seperti tenggelam. Lulu telah melepaskan ujung cambuk dan tangan kirinya melayang ke arah pelipis kanan lawan.

Koksu terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya telah datang menolong, membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran angin senjata ini membuat Lulu terpaksa membatalkan pukulannya dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke belakang, kemudian dia terus berloncatan dan sekali melayang dari pinggir kapal, dia telah berada di kapal ke dua yang datang mendekat.

"Dar-darrrr....!" Dua buah senjata rahasia dilepasnya mengenai bilik kapal ke dua sehingga menimbulkan kebakaran. Kapal ke dua ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini menyambut kedatangan Lulu dengan serangan maut, sekaligus memukul dengan Ilmu Hek-in-hwi-hong-ciang. Tubuhnya merendah dan perutnya mengeluarkan bunyi. Lulu baru saja melontarkan senjata-senjata rahasianya, terkejut sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi, karena dia kalah dulu, tangkisannya kurang tepat dan tubuhnya terhuyung, dadanya terasa agak sakit. Marahlah wanita ini dan dia menghadapi Lama itu dengan Ilmu Hong-in-bun-hoat yang amat lihai. Ilmu ini adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis di udara, sesuai dengan namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastera Angin dan Awan). Namun setiap coretan merupakan gerak tangkisan maupun serangan yang mengandung tenaga sin-kang mujijat. Thian Tok Lama segera terdesak dan kalau saja tidak cepat datang Maharya dan Bhong Ji Kun yang melompat ke kapal itu, tentu dia terancam bahaya hebat. Kini munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan kembali wanita ini mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menyelinap di antara para pasukan dan merobohkan mereka. Adanya pasukan yang mengepungnya ini malah merupakan rintangan bagi tiga orang sakti itu, karena andaikata tidak ada anak buah pasukan, tentu Lulu akan dapat mereka kejar, kepung dan robohkan dengan pengeroyokan mereka bertiga.

Selagi pertandingan yang kacau-balau mengejar dan mengepung Majikan Pulau Neraka itu terjadi di geladak tiga buah kapal di mana Lulu berpindah-pindah dengan loncatannya dan kini yang mengeroyoknya ditambah lagi dengan Thai Li Lama, di ruangan bawah kapal induk pimpinan Bhong Ji Kun tadi terjadi hal lain yang mendatangkan kegemparan baru.

Para perajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui, telah menerima perintah untuk tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan menjaga Kwi Hong yang dianggap seorang tawanan penting. Kwee Sui dan para penjaga yang selosin orang banyaknya itu tenang-tenang saja sungguhpun di geladak terjadi keributan, apalagi ketika mendengar bahwa yang mengacau hanyalah seorang wanita. Betapapun lihainya musuh itu, dia percaya takkan mampu menandingi koksu yang dibantu orang-orang sakti dan pula di atas terdapat banyak sekali pasukan. Maka dia enak-enak saja menjaga dan maki-makian Kwi Hong dilayani sambil tertawa saja.

"Pengkhianat Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, yang lebih dulu kuhancurkan adalah kepalamu!" Kwi Hong memaki-maki.

"Hong-moi, manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus? Kalau tidak ada aku, apa kaukira masih dapat hidup sampai sekarang ini? Kurasa semua tokoh Pulau Es sekarang telah menjadi mayat! Ingatlah, kita tidak mungkin melawan pemerintah, itu namanya pemberontakan! Tenanglah, dan mari kita bersama menikmati hidup di kota raja, di mana aku akan menjadi seorang pembesar dan engkau menjadi isteriku, menjadi nyonya besar yang terhormat dan kucinta, Manis."

"Keparat! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam engkau!"

Kwee Sui tertawa, "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi isteriku!"

"Anjing, pengkhianat hina!"

Akan tetapi Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu merebahkan diri dengan senang hati, membayangkan kemuliaan dan kesenangan yang akan didapatnya, membayangkan betapa dia akan memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu, baik dengan jalan halus maupun dengan kekerasan. Selosin orang perajurit yang berjaga juga mengantuk. Mereka itu lelah sekali setelah bertempur sejak pagi dan kini masih harus menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka mengantuk dan mereka itu duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak yang mereka peluk, ada pula yang meletakkan kepala di atas meja. Sebentar saja di antara mereka sudah ada yang mendengkur, bahkan Kwee Sui juga mendengkur dengan enaknya.

Kwi Hong yang tubuhnya masih lemas akibat totokan, melihat para penjaganya melenggut dan tertidur, mulai berusaha melepaskan ikatan kedua lengannya yang ditelikung ke belakang. Namun, selain ikatan itu kuat sekali, juga tenaganya belum pulih sehingga sia-sia saja ia meronta. Tiba-tiba Kwi Hong menghentikan usahanya ketika mendengar suara. Matanya terbelalak memandang papan ruangan itu yang bergerak. Penutup lubang papan itu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan paling bawah, bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka dari bawah. Muncullah sebuah kepala orang. Hampir saja Kwi Hong berteriak kaget. Di bawah sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun Beng!

"Sssttt....!" Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis itu diam.

Ketika terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Dia dapat menduga bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang melepas senjata rahasia peledak itu muncul lagi dan membikin kacau di atas geladak. Kesempatan yang baik, pikirnya. Dia lalu menggunakan tenaganya, memecah papan di tubuh kapal, di atas permukaan air, dan setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia merangkak masuk. Dia tiba di ruangan paling bawah yang sunyi, tak seorang pun tampak manusia di sini. Ruangan bawah itu penuh dengan bahan-bahan makan dan air minum, kiranya dijadikan tempat persediaan ransum pasukan itu. Melalui anak tangga, dia berjalan naik, kemudian membuka penutup papan dari bawah. Ketika ia melihat Kwi Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba di tempat yang tepat, karena memang dia bermaksud untuk menolong gadis itu.

Kwi Hong menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui yang tidur mendengkur. Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui seperti bukan seorang perajurit atau panglima, dia dapat menduga. Agaknya orang inilah yang mengkhianati Pulau Es.

Dia meloncat dan pada saat itu, karena dia lupa menutupnya kembali penutup papan, penutup itu menutup kembali, menimbulkan suara keras.

Para penjaga terbangun, gelagapan dan ketika mereka melihat seorang pemuda tak dikenal di situ, mereka cepat meloncat bangun dan siap dengan tombak di tangan.

Kwee Sui juga melompat bangun. Siapa kau....?" bentaknya. "Tangkap dia!"

Dua orang penjaga menubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang biasa saja. Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan dua orang perajurit itu roboh tanpa dapat berkutik lagi karena telah tewas! Penjaga-penjaga yang lain menjadi marah, dan baru mengerti bahwa pemuda itu seorang yang lihai, maka segera mereka gedebag-gedebug menyerang dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini tubuh Bun Beng berkelebatan dan terdengar pekik berturut-turut bersama robohnya empat orang perajurit terdepan.

"Keparat!" Kwee Sui memaki dan "singgg....!" dia telah menghunus Li-mo-kiam!

Para perajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru kaget, "Li-mo-kiam!"

"Betul, dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!" Kwi Hong berseru. Mendengar ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang perajurit dan menerjang maju ke arah Kwee Sui. Pemuda ini sudah marah sekali. Biarpun dia tahu bahwa pemuda itu yang muncul secara tak terduga ini lihai, namun dia tidak takut. Dia adalah seorang murid Pulau Es yang berkepandaian tinggi, apalagi dia memegang sebatang pedang mujijat. Cepat dia menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan suara berdesing nyaring.

Bun Beng cepat mengelak. Biarpun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi, namun berhadapan dengan Bun Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut menghadapi ilmu kepandaian Kwee Sui, akan tetapi dia ngeri menyaksikan sinar kilat pedang Li-mo-kiam itu, sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai wibawa menyeramkan.

Melihat lawannya mengelak cepat seperti orang jerih, Kwee Sui tertawa dan merasa bangga, cepat ia menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak dan tiba-tiba dia tersandung mayat seorang perajurit, roboh terjengkang. Kwi Hong mengerti akan siasat ini, pandang matanya yang tajam dapat membedakan roboh buatan dan roboh sungguh-sungguh. Akan tetapi untuk membentu berhasilnya siasat Bun Beng, dia sengaja menjerit. Kwee Sui girang sekali, cepat menubruk.

"Ceppp.... auggghhh....!"

Pedang Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam dada dan jantung Kwee Sui! Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan pedangnya, Bun Beng yang pura-pura jatuh tadi cepat miringkan tubuh kemudian kakinya melayang dari samping tepat mengenai lengan kanan Kwee Sui yang memegang pedang sehingga pedang itu terpental membalik dan masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai menembus ke punggung!

Bun Beng cepat meloncat bangun,sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia sudah menyambar gagang pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti pancuran dari dada dan punggung Kwee Sui. Matanya terbelalak memandang ke arah Kwi Hong, kemudian robohlah pemuda yang khianat ini dengan mata masih terbelalak sungguhpun nyawanya telah melayang.

Bun Beng menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan daripada ketika Kwee Sui menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga yang tinggal empat orang itu roboh dengan tubuh putus menjadi dua potong. Tanpa membuang waktu lagi Bun Beng segera meloncat mendekati Kwi Hong, membabat putus belenggunya, kemudian melihat keadaan gadis yang lemas itu dia lalu menotok dua jalan darah di punggung dan pundak. Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan dia.... menubruk Bun Beng sambil menangis!

Bun Beng gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mengelus rambut yang halus itu, yang berada di dadanya. Ia merasa betapa air mata gadis itu membasahi baju dan menembus ke dada.

"Tenanglah, Kwi Hong. Mengapa menangis?"

"Pulau kami.... ah.... bagaimana nasib mereka....?" Kwi Hong terisak, tiba-tiba ia sadar betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa tangan itu membelai dan mengusap rambutnya dengan mesra. Teringat akan ini, cepat ia merenggutkan tubuhnya dari atas dada Bun Beng, melompat ke belakang dan memandang Bun Beng dengan mata terbelalak penuh kemarahan!

"Kenapa.... kenapa kau memelukku....?"

"Ehhh....!"

"Kenapa kau membelai rambutku?"

"Ohhh....!"

"Gak Bun Beng, kau.... hendak kurang ajar padaku, ya?"

Bun Beng hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.

"Hayo jawab!"

"Ehh.... ohhh.... Kwi Hong, bagaimana ini? Kau.... kau menangis dan aku merasa bingung, ikut berduka dan terharu.... kenapa kau menuduhku kurang ajar?"

Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan, dan ia sadar kembali. Tadi kedukaan dan kebingungan yang menyusul kegelisahannya, bercampur dengan rasa kaget dan girang melihat kenyataan bahwa Bun Beng yang disangkanya mati ternyata masih hidup, bahkan lebih dari itu, telah menolongnya dan kelihatan begitu lihai. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu, membuat dia bingung dan ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan membelai rambutnya, ia menjadi marah-marah tidak karuan. Setelah sadar ia mengeluh. "Ohhhh...." lalu menangis lagi.

"Sudahlah, Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini sebelum mereka turun. Agaknya di atas geladak terjadi keributan, kurasa orang yang menolong anak buahmu di pulau sekarang telah turun tangan lagi membikin kacau di atas kapal-kapal ini."

"Yang menolong anak buah Pulau Es? Siapa....?"

"Nanti kuceritakan, mari ikut denganku." Bun Beng lalu menyambar tangannya setelah menyerahkan pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu melarikan diri melalui penutup papan ruangan itu ke bawah.

Kali ini Kwi Hong menurut saja, bahkan dia berbisik, "Bun Beng, kaumaafkan kelakuanku tadi...."

Mereka turun ke ruangan bawah kemudian keluar melalui lubang di badan kapal dan meloncat ke perahu kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan yang berada di atas tiga buah kapal itu, dibantu oleh pasukan dari dua kapal lain yang sudah datang, sedang sibuk memadamkan kebakaran dan malam itu gelap sehingga Bun Beng dan Kwi Hong dapat mendayung perahu menuju ke pulau tanpa terlihat mereka. Agaknya mereka itu sibuk memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi adanya pertempuran.

Ketika Bun Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat lalu berlari cepat, dari sebuah perahu hitam kecil tampak Lulu memandang mereka. Wanita ini menghela napas lalu mendayung perahunya meninggalkan perairan itu, kembali ke Pulau Neraka.

Ketika mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang jenazahnya ditinggalkan di pantai oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi. Gadis ini menjadi makin berduka ketika bertemu dengan Phoa Ciok Lin yang terluka sedikit pundaknya, mendengar betapa Yap Sun, Thung Sik Lun, dan banyak lagi paman-pamannya telah tewas dalam pertempuran. Anak buah Pulau Es yang tadinya berjumlah seratus orang lebih hanya tinggal lima puluh orang, termasuk anak-anak.

"Biarkan mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!" Kwi Hong berkata dengan air mata membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan sebelah kiri dan pedang Li–mo-kiam berkilauan di tangan kanan.

"Kurasa tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka dipimpin oleh orang-orang pandai."

"Apa kau takut? Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah takut menghadapi mereka!" Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa kalau tidak ada pertolongan Bun Beng entah bagaimana jadinya dengan anak buah Pulau Es, dan terutama dengan dia sendiri.

"Hong-ji, jangan begitu!" Phoa Ciok Lin berkata. "Bun Beng telah berbuat banyak sekali untuk kita, dan kurasa kata-katanya memang benar. Kalau kita melawan, biarpun dibantu Bun Beng yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu berarti akan mengorbankan semua sisa anak buah Pulau Es. Kita bertiga agaknya dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi bagaimana dengan anak buah kita? Apakah masih kurang banyak jatuhnya korban di pihak kita? Lebih baik kita melarikan diri meninggalkan pulau ini sambil menanti kembalinya Taihiap."

"Lari....? Dan Istana....?"

"Kita bawa lari semua pusaka istana," kata pula Ciok Lin.

"Memang itu benar sekali, Kwi Hong." Bun Beng berkata tenang. "Kalau kita melawan, selain anak buah Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka tanpa kita dapat banyak melindungi karena kita sendiri tentu berhadapan dengan lawan-lawan tangguh, juga pusaka-pusaka Istana Pulau Es akan terampas oleh mereka. Agaknya itulah yang menyebabkan Koksu membawa pasukan datang menyerbu Pulau Es."

Menghadapi bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun tidak ingin kelak dipersalahkan pamannya kalau sampai terjadi pusaka-pusaka dirampas pasukan pemerintah dan semua anak buah tewas. Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin pergilah semua sisa penghuni Pulau Es, menggunakan semua perahu kecil yang tersembunyi. Mereka lari dengan perahu-perahu itu melalui utara, semua berjumlah sepuluh buah perahu kecil.

Pada keesokan harinya, pelarian-pelarian yang tergesa sehingga tidak ada kesempatan menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas, melihat bahwa lima buah kapal besar itu melakukan pengejaran. Mereka menjadi panik, akan tetapi Ciok Lin dengan tenang memberi aba-aba, menjadi petunjuk jalan paling depan. Perahu-perahu itu memasuki sekumpulan es terapung yang seperti bukit-bukit kecil. Mereka mengambil jalan berbelak-belok, jalan yang hanya diketahui oleh Ciok Lin. Lima buah kapal itu mengejar, namun terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka karena kapal-kapal yang besar itu terhalang oleh bukit-bukit es dan tidak mungkin memasuki jalan air sempit di antara bukit-bukit es itu. Dengan penasaran Bhong Ji Kun lalu memerintahkan anak buahnya mendarat lagi di Pulau Es. Yang ada di situ hanyalah mayat-mayat kedua pihak yang bergelimpangan. Pondok-pondok kecil dibakar, istana dirampok, dikuras habis benda-benda berharga dari istana itu, kemudian istana itu dibakar habis! Tamatlah istana Pulau Es, dan pulau itu kini tampak menyedihkan sekali, menjadi gundul karena pohon-pohon yang tidak berapa banyak tumbuh di situ ikut pula terbakar habis!

Dengan marah sekali karena semua usahanya gagal bahkan kehilangan banyak pasukan, kerusakan kapal-kapal, dan hanya mendapatkan barang-barang rampasan berupa harta benda yang tidak seberapa, tanpa ada benda-benda pusaka yang diharapkan, Bhong Ji Kun memerintahkan anak buahnya berlayar pulang ke daratan.

Sementara itu, Phoa Ciok Lin membawa anak buahnya ke daratan pulau, akan tetapi sebelah utara dan mereka bersembunyi di pantai yang penuh dengan tebing-tebing curam dan guha-guha yang sunyi. Tempat persembunyian yang paling aman dan tempat itu pun hanya diketahui oleh Pendekar Super Sakti.

Setelah mengantar sisa anak buah Pulau Es ke tempat persembunyianya, Bun Beng lalu berpamit. Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika dia dipamiti. Mereka berdiri di tepi laut dan wajah gadis itu masih muram penuh kedukaan memikirkan nasib Pulau Es.

"Engkau hendak pergi ke manakah, Bun Beng?" Tanyanya, suaranya gemetar dan pandang matanya sayu. Bun Beng hanya mengira bahwa sikap gadis ini karena kedukaannya.

"Aku hendak pergi ke kota raja. Aku harus dapat merampas kembali Hok-mo-kiam yahg dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya, juga aku harus membuat perhitungan dengan mereka yang telah membunuh Suhu. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhe Ti Kong, bukan hanya karena telah membunuh Suhu, akan tetapi juga karena penyerbuan mereka ke Pulau Es."

Kwi Hong menghela napas panjang. Ingin sekali dia ikut bersama pemuda ini, akan tetapi dia maklum bahwa hal itu tidak pantas, maka dia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dari pinggangnya, menyerahkannya kepada Bun Beng sambil berkata, "Kauterimalah kembali pedang ini, Bun Beng. Pedang ini perlu bagimu untuk melaksanakan tugasmu yang amat berbahaya itu. Mereka adalah orang sakti dan...."

"Tidak usah, Kwi Hong. Aku telah memberikan pedang itu kepadamu, bagaimana dapat kuterima kembali? Ataukah.... engkau tidak suka menerima pemberianku?"

"Tidak sama sekali, akan tetapi...."

"Sudahlah. Kau bersama Bibi Phoa menjaga di sini, melindungi sisa anak buah Pulau Es sambil menanti datangnya Suma-taihiap. Kalau bertemu di dalam perjalananku, tentu akan kusampaikan kepadanya akan segala peristiwa yang terjadi di Pulau Es. Selamat tinggal, sampai jumpa pula, Kwi Hong."

Kwi Hong mengangguk dan ketika pemuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, Kwi Hong berdiri memandang dan termenung. Tak disadarinya, dua titik air mata turun ke atas kedua pipinya. Mengapa hatinya terasa berat berpisah dengan pemuda itu? Apakah benar seperti pertanyaan pamannya dahulu bahwa dia mencinta Bun Beng? Dia merasa suka, kagum, kasihan kepada pemuda itu dan ingin selalu berdekatan, merasa berat ditinggalkan. Inikah cinta?

"Hong-ji, dia adalah seorang pemuda yang amat baik."

Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan cepat pula menghapus dua titik air mata dari pipinya. Ia melihat Phoa Ciok Lin telah berdiri di situ. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah sekali.

"Apa.... apa maksudmu, Bibi....?"

Wanita itu menarik napas panjang menjawab. "Engkau cinta padanya, Hong-ji, dan aku tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang pemuda yang baik, pantas mendapatkan cinta seorang gadis sepertimu, dan kurasa.... dia pun mencintamu, Hong-ji"

"Bibi....!"

"Jangan marah, aku bicara karena kenyataan dan aku cukup awas melihat keadaan kalian orang-orang muda. Cinta memang amat berkuasa dan aneh, Hong-ji." Kembali dia menarik napas panjang dan pandang matanya sayu seperti orang melamun. "Cinta dapat membuat orang menjadi halus perasaannya, menjadi seorang yang mau mengorbankan apa saja, sampai nyawanya. Akan tetapi mampu pula membuat orang menjadi kejam, menjadi mudah putus asa, akan tetapi juga dapat membuat orang menjadi tahan derita...."

Kwi Hong memandang wanita itu dengan terharu. "Seperti engkau sendiri, Bibi. Bukankah engkau mencinta Pamanku, mencinta dengan seluruh badan dan nyawamu?"

Phoa Ciok Lin menjatuhkan diri duduk di atas batu karang dan merenung ke arah lautan. Dia mengangguk dan terdengar suaranya lirih, "Benar, tak perlu kusembunyikan. Akan tetapi apa gunanya mencinta sebelah pihak? Salahku sendiri, orang yang tak tahu diri. Akan tetapi aku tidak kasihan kepada diriku sendiri, Hong-ji, melainkan kasihan kepada Pamanmu. Pamanmu jauh lebih sengsara dan menderita daripada aku, gara-gara dua orang wanita yang dicintanya.... hemmm.... cinta dapat mendatangkan neraka dunia bagi orang yang gagal. Semoga engkau kelak tidak gagal bersama Gak Bun Beng, Hong-ji...."

"Bibi....!" Kwi Hong maju menubruk dan merangkul wanita itu dan kedua orang itu saling peluk dan menangis, bukan hanya menangis karena urusan cinta, melainkan menangisi Pulau Es yang hancur berantakan.

***

Penyerangan ke Pulau Es dan hancurnya pulau itu oleh pasukan-pasukan pemerintah menggegerkan dunia persilatan. Ternyata koksu, atas nama pemerintah telah unjuk gigi dan terjadilah perubahan hebat di dunia persilatan. Kalau dahulu Pulau Es membuat semua orang kang-ouw gemetar, kini menjadi bahan tertawaan mereka. Kiranya Pulau Es tidaklah sekuat yang mereka duga.

Kemudian Bhong Ji Kun yang merasa penasaran karena kegagalan di Pulau Es, hanya berhasil menghancurkan pulau itu, menimpakan kemarahannya kepada Pulau Neraka. Dia lalu berangkat lagi, membawa lima belas buah kapal dan seribu orang anggauta pasukan, berangkat lagi berlayar ke utara mencari Pulau Neraka! Dengan petunjuk jalan para nelayan di lautan utara, akhirnya dia berhasil menemukan Pulau Neraka, akan tetapi apa yang didapatinya? Pulau itu telah kosong! Semua penghuni Pulau Neraka telah lebih dulu menyingkirkan diri dan meninggalkan pulau itu, seolah-olah mengejek Koksu. Bhong Ji Kun marah, membakar pulau itu, kemudian kembali ke kota raja dengan tangan hampa.

Memang Lulu telah lebih dulu mengungsikan anak buahnya ke daratan. Dia maklum bahwa tentara pemerintah pasti akan menyerbu Pulau Neraka, maka lebih dulu dia memerintahkan anak buahnya mengungsi ke daratan. Kini Pulau Es dan Pulau Neraka tidak ada lagi, atau lebih tepat kosong dan sudah terbakar, semua penghuninya telah lari dan semua orang menduga bahwa larinya tentu ke daratan di mana mereka dapat bersembunyi dengan mudah.

Mendengar ini, Nirahai menjadi marah dan mendongkol sekali kepada Koksu. Bertahun-tahun dia menggembleng diri, memperkuat perkumpulan Thian-liongpang untuk sewaktu-waktu menyerang ke Pulau Es, untuk menandingi kekuatan Pulau Es dan kelihaian Suma Han. Kini didahului oleh pasukan pemerintah! Juga dia harus mengakui di dalam hatinya bahwa dia merasa sakit hati mendengar Pulau Es dibakar. Benar-benar watak wanita yang kecewa dalam cinta amat aneh. Dia sendiri ingin menyerbu Pulau Es, mengalahkan suaminya. Kini mendengar tempat suaminya diobrak-abrik orang lain, dia marah-marah dan sakit hati! Apalagi ketika ia mendengar bahwa pasukan Koksu itu atas perintah kaisar sendiri, mengertilah dia apa yang menjadi sebab penyerbuan itu. Tentu Kaisar, ayahnya sendiri, masih merasa dendam terhadap Suma Han yang melarikannya (baca ceritaPendekar Super Sakti), maka kini hendak menangkap Suma Han, atau agaknya lebih tepat lagi, hendak mencari dia! Diam-diam Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. Tentu ayahnya itu, Kaisar dan kaki tangannya, tidak pernah mimpi bahwa Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia itu adalah Puteri Nirahai yang dicari-cari!

Ketika mereka mendengar akan penyerbuan tentara ke Pulau Neraka, dia makin penasaran lagi. Tadinya Thianliong-pang dianggap sebagai perkumpulan paling kuat dan yang menjadi tandingannya hanyalah Pulau Es dan Pulau Neraka. Kini kedua pulau itu telah dihancurkan pemerintah, siapa lagi yang akan menjadi tandingan Thian-liong-pang? Sekaranglah saatnya dia memperlihatkan kekuatan dan menjagoi dunia kang-ouw. Setelah berunding dengan para pembantunya, maka Thian-liong-pang membuat pengumuman dan mengundang seluruh partai dan semua golongan putih dan hitam, untuk memenuhi undangan Thian-liong-pang di mana akan diberi kesempatan kepada semua jago silat dunia untuk membuktikan siapa yang patut menjadi datuk pertama di dunia persilatan dan perkumpulan mana yang patut disebut perkumpulan terkuat. Untuk keperluan ini, Thian-liong-pang memilih tempat di kaki Pegunungan Ciung-lai-san, di daerah Se-cuan, bekas daerah pertahanan pemberontak Bu Sam Kwi. Daerah ini selain sunyi, juga merupakan daerah tandus seperti gurun pasir dan jauh dari kota maupun dusun.

Beberapa hari sebelum hari yang ditentukan untuk pertemuan itu, pihak Thian-liong-pang telah berkumpul di tempat itu. Mereka membangun sebuah pondok gubuk yang tingginya dua puluh meter. Kemudian, lima puluh orang anggauta Thian-liong-pang pilihan, berkumpul dengan dipimpin oleh Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, Tang Wi Siang dan para wanita pelayan yang lihai, serta beberapa orang tokoh Thian-liong-pang lain seperti Su Kak Liong, saudara kembar yang kehilangan adiknya, karena adiknya, Toat-beng-to Su Kak Houw, telah tewas ketika hendak membunuh Bun Beng dan banyak orang yang menjadi tokoh Thian-liong-pang pula. Adapun Nirahai sendiri bersama Milana baru datang ke tempat itu sehari sebelumnya dan keduanya meloncat naik dan memasuki gubuk yang tinggi, menutupkan pintunya dan tidak tampak dari luar.

Seperti diketahui, Milana meninggalkan ibunya tanpa pamit untuk mencari Bun Beng. Akan tetapi sebelum niat hatinya tercapai, dia mendengar pula berita akan dihancurkannya Pulau Es oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dara ini mengkhawatirkan ayahnya dan dia cepat pulang untuk mengabarkan hal itu kepada ibunya.

Semenjak pagi pada hari yang ditentukan itu, datanglah berbondong-bondong pasukan orang-orang kang-ouw dari pelbagai aliran dan partai persilatan. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai yang terdiri dari belasan orang hwesio, dan Kun-lun-pai yang diwakili oleh kaum tosu, Bu-tong-pai yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Ang-lojin atau Ang Thian Pa bersama puterinya yang menarik perhatian karena cantiknya, Ang Siok Bi. Hadir pula dari Partai Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain, yaitu dari partai-partai aliran bersih. Dari kaum perampok dan golongan hitam juga banyak yang hadir, di antaranya dari Hek-liong-pang, Hek-kai-pang perkumpulan pengemis baju hitam, dan Hui-houw-pai perkumpulan harimau terbang, Sin-to-pang perkumpulan ahli golok, Lam-hai-pang, dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka itu sudah mengenal nama Thian-liong-pang, mereka menjadi jerih dan hanya datang untuk melihat-lihat, karena semenjak Pemerintah Mancu berdiri dan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho, tidak ada perkumpulan kang-ouw yang berani lagi mengadakan pertemuan macam ini, apalagi pertemuan besar ini. Adapun pihak golongan bersih, hanya datang karena merasa sungkan kepada Thian-liong-pang, dan juga ingin menyaksikan sendiri seperti apa macamnya Ketua Thian-liong-pang yang disohorkan memiliki kepandaian seperti iblis, yang melampaui kehebatan para datuk golongan hitam maupun putih!

Karena tanah di tempat pertemuan itu tandus, setiap ada rombongan baru datang berkuda, tentu dari jauh tampak debu mengebul tinggi. Ada pula yang memikul ketua-ketua mereka dengan tandu, dan ada pula yang datang berkuda. Sebagian besar di antara mereka itu kini memelihara rambut yang dikuncir, sesuai dengan peraturan pemerintah baru. Akan tetapi ada pula yang tidak mau mentaati peraturan ini dan masih menyanggul rambutnya atau membiarkan saja panjang terurai seperti tampak pada para anggauta Thian-liong-pang dan para anggauta perkumpulan kaum sesat. Tentu saja peraturan ini tidak berlaku bagi para tosu yang semenjak dahulu mempunyai mode tersendiri dalam menyanggul rambut mereka, dan para hwesio yang semenjak dahulu memang tidak berambut kepalanya!

Kedatangan rombongan tamu dari segenap penjuru itu disambut oleh para anak buah Thian-liong-pang yang berkumpul mengelilingi gubuk tinggi, berbaris rapi menghadap keluar. Setiap tokoh yang melihat tamu datang dari depan, cepat menyambut dengan hormat sambil menjura. Di antara para orang kang-ouw itu, baik pihak tuan rumah maupun para tamu, tidak menduga sama sekali bahwa pertemuan orang dunia persilatan ini tidak luput dari pengawasan pemerintah. Bahkan banyak mata-mata pemerintah yang lihai menyeludup masuk, menyamar sebagai rombongan orang kang-ouw. Lebih hebat lagi, Koksu Bhong Ji Kun sendiri bersama pembantu-pembantunya telah siap menyerbu dengan pasukannya yang seribu orang banyaknya, begitu terdapat tanda dari para penyelidiknya. Bhong Ji Kun bukan seorang bodoh, dan tentu saja dia tidak akan memusuhi orang-orang kang-ouw, apalagi partai-partai besar yang oleh pemerintah, bankan diharapkan kerja sama mereka. Pemerintah yang telah berhasil memelihara keamanan setelah menundukkan semua kerusuhan, tidak akan memancing kekecewaan dan pemberontakan baru dengan jalan menindas orang-orang kang-ouw. Tidak, Bhong Ji Kun tidak akan mengganggu Thian-liong-pang yang merupakan perkumpulan besar yang berpengaruh, atau mengganggu tamu-tamunya. Akan tetapi, yang diincarnya adalah orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka.

Kalau sampai mereka yang berhasil melarikan diri dari kedua pulau itu berani muncul di situ, barulah dia akan mengerahkan pasukan dan pembantu-pembantunya untuk menyerbu dan menangkapi mereka dengan dalih memberontak. Dengan menangkapi para penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka, dia mengharapkan akan dapat memaksa mereka menyerahkan pusaka-pusaka dari kedua pulau itu, terutama dari Pulau Es. Untuk maksud inilah Bhong Ji Kun menyiapkan pasukan dan pembantu-pembantunya.

Akan tetapi, belum juga rencana ini memperoleh hasil, rombongan Koksu ini telah mengalami hal yang menggemparkan, yang membuat Bhong Ji Kun marah bukan main karena dia telah kehilangan dua orang pembantunya yang setia dan dapat diandalkan, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai, dan Thai Li Lama!

Hal itu terjadi ketika dia dan pembantu-pembantunya bersembunyi di dalam hutan-hutan di lereng Pegunungan Ciung-lai-san, mengurung dan mengawasi daerah tandus di kaki gunung yang dijadikan tempat pertemuan oleh Thian-liong-pang itu. Karena daerah pengawasan itu amat luas, mereka berpencar, demikian pula para pasukan yang hanya beristirahat di hutan-hutan sambil bersiap-siap menanti perintah kalau saat penyerbuan tiba.

Sehari sebelum pertemuan tiba, pasukan pemerintah telah bersembunyi di hutan lereng Pegunungan Ciung-lai-san itu, di antara mereka tampak Tan-siucai. Tan-siucai yang masih penasaran karena belum berhasil membalas dendam kepada Suma Han yang dianggap telah menyebabkan kematian tunangannya, yaitu Lu Soan Li, sekali ini mengharapkan benar agar Suma Han muncul di tempat pertemuan. Dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan musuh besar yang dianggap telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya itu, namun dia percaya penuh kepada gurunya yang kini telah bergabung dengan orang-orang sakti seperti kedua Lama dan Koksu. Dengan hadirnya tokoh-tokoh sakti ini dibantu oleh seribu orang pasukan, mustahil kalau musuh besarnya itu akhirnya tidak akan tewas! Dia ingin sekali memberi pukulan maut terakhir kepada Suma Han, dengan tusukan kedua pedangnya, pedang hitam dan Hok-mo-kiam yang dibanggakannya.

Karena menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, waktu dirasakan merayap amat lambat, Tan-siucai pergi berjalan-jalan seorang diri di dalam hutan yang dianggapnya tempat yang paling aman. Seribu orang pasukan menjaga di situ, dan dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, tentu saja dia tidak takut akan munculnya ular atau harimau. Dengan wajah berseri penuh harapan, apalagi mengingat akan kedudukannya sebagai pembantu koksu yang membuat hidupnya terjamin dan penuh kemewahan dan kemuliaan, membuat dia dengan mudah memperoleh pakaian mewah dan indah, makanan serba lezat, tidak kekurangan uang, dan boleh dikata memungkinkannya untuk berganti teman wanita setiap malam. Tan-siucai melangkah perlahan mengagumi pohon-pohon dan kembang-kembang yang sedang mekar di dalam hutan itu. Dia berjalan perlahan, hati-hati agar pakaiannya yang indah dari sutera halus itu tidak sampai kotor oleh debu tanah atau tersangkut tetumbuhan berduri. Senja hampir tiba, sinar matahari tidak begitu panas lagi dan angin senja mulai bertiup seolah-olah menyampaikan selamat jalan kepada matahari yang mulai condong ke barat, sebentar lagi akan meninggalkan permukaan bumi sebelah sini.

Karena dipenuhi harapan menggembirakan, Tan-siucai tersenyum-senyum, kemudian bersenandung. Akan terjadi penyerbuan, dan dia girang mendapat kesempatan lagi mengerjakan pedang hitamnya, memenggal leher orang, menusuk jantung lawan dari dada sampai menembus punggung, melihat darah segar menyemprot keluar! Ha, dia akan berpesta pora dengan pedangnya, di samping menyaksikan terlaksananya dendam terhadap Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Ha-ha, dia tertawa sendiri kalau teringat akan Pulau Es. Biarpun dia belum berhasil membunuh musuh besar ini, namun menyaksikan tempatnya dihancurkan dan dibakar, anak buahnya banyak yang tewas dan selebihnya terpaksa melarikan diri menjadi buronan, dia sudah merasa girang dan puas sekali.

"Tan-siucai, engkau kelihatan gembira sekali!" Tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakangnya.

Tan-siucai menghentikan senandungnya dan mengira bahwa yang menegurnya tentu seorang di antara panglima pasukan, sambil membalikkan tubuh dia tertawa dan berkata, "Hidup hanya satu kali di dunia, mengapa tidak gembira?" Akan tetapi ketika melihat bahwa yang berhadapan dengannya adalah seorang pemuda tampan yang tersenyum-senyum, pemuda yang tubuhnya sedang, pakaiannya sederhana, kuncirnya tebal hanya sebuah bergantung ke depan melalui pundak, seorang pemuda yang sama sekali bukan panglima, bukan perajurit.

"Engkau.... siapa....?" Tan-siucai agak tergagap karena heran, namun segera menyangka bahwa tentu orang ini penduduk di lereng Pegunungan itu.

Pemuda itu memperlebar senyumnya. "Aku setan penjaga gunung yang telah lama menanti kesempatan ini untuk mencabut nyawamu!"

Tan-siucai kaget dan marah mendengar ini, namun dia menjadi kaget lagi ketika tiba-tiba tangan kiri pemuda sederhana itu dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah mukanya, menyerang kedua matanya. Gerakan pemuda itu cepat bukan main, dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Tan-siucai tentu saja tidak membiarkan kedua matanya dicongkel orang begitu saja. Dia cepat menarik tubuh atas ke belakang.

"Plakk! Rrrttt"

"Heiii....! Kembalikan pedangku!" Tan-siucai berseru marah dan kaget sekali ketika merasa betapa pedang Hok-mo-kiam yang selalu terselip di pinggangnya kini telah dirampas pemuda itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana sampai dapat diambil dari pinggangnya. Hanya terasa olehnya ketika ia menarik tubuh atas ke belakang untuk menghindarkan tusukan pada matanya pedang itu diserobot dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu pedang itu lenyap dari pinggangnya.

Dengan mata terbelalak marah Tan-siucai melihat pemuda itu tersenyum-senyum sambil mengikatkan sarung pedang ke punggungnya. Sikapnya demikian tenang sambil tersenyum-senyum, seolah-olah pemuda itu sedang memasang pedangnya sendiri, bukan bolehnya merampas punya orang lain.

"Kembalikan pedangku, keparat!" Tan-siucai membentak.

Pemuda itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Seperti diceritakan di bagian depan, setelah berpisah dari Kwi Hong di pantai lautan utara, Bun Beng pergi ke kota raja untuk mencari musuh-musuhnya. Setibanya di kota raja, kebetulan sekali ia melihat pasukan besar dipimpin oleh musuh-musuhnya! Dia melihat Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Maharya, Tan-siucai, Bhe Ti Kong dan para panglima pengawal meninggalkan kota raja dengan berkuda dan melakukan perjalanan cepat sekali. Melihat ini, Bun Beng tak berani turun tangan. Tak mungkin dia turun tangan selagi orang-orang sakti itu berkumpul dan masih dilindungi oleh pasukan yang besarnya kurang lebih seribu orang! Maka Bun Beng lalu membayangi pasukan itu yang ternyata melakukan perjalanan jauh sekali sampai berpekan-pekan. Dan akhirnya pasukan itu bersembunyi di dalam hutan, di lereng Pegunungan Ciung-lai-san. Juga Bun Beng yang terus membayangi, mendengar akan pertemuan tokoh-tokoh dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang di kaki pegunungan itu. Diam-diam dia merasa heran. Apalagi yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai, ibu Milana dan isteri Pendekar Super Sakti yang telah menjadi Ketua Thian-liong-pang itu? Apakah yang akan dilakukan wanita sakti yang cantik jelita, yang menjadi aneh dan mengerikan sekali wataknya akibat terputusnya cinta dan mengalami kekecewaan itu?

Akan tetapi karena tujuan Bun Beng adalah mencari kesempatan untuk pertama-tama merampas kembali Hok-mo-kiam, baru kemudian mencari kesempatan untuk membuat perhitungan kepada musuh-musuhnya, maka dia tidak mempedulikan lagi urusan Thian-liong-pang. Akhirnya, setelah membayangi pasukan itu selama beberapa pekan, pada menjelang senja hari itu dia berkesempatan menemui Tan-siucai seorang diri dan berhasil merampas Hok-mo-kiam secara mudah setelah dia melakukan serangan pancingan dengan tangan kiri tadi, membuat Tan Ki menarik tubuh atas ke belakang dan pinggang depannya tidak terlindung.

"Heiii! Tulikah engkau? Kembalikan pedangku!" sekali lagi Tan Ki membentak.

Bun Beng tersenyum tenang. "Pedangmu yang manakah? Hok-mo-kiam ini bukanlah pedangmu. Lupakah engkau bahwa engkau mencuri pedang ini dengan menipu Pendekar Super Sakti keluar meninggalkan pondok. Kemudian engkau bersama Gurumu Maharya itu bahkan membunuh Kakek Nayakavhira yang membuat pedang ini? Dan engkau sekarang masih berkulit muka tebal mengaku bahwa Hok-mo-kiam adalah pedangmu?"

"Setan! Siapa engkau....?" Tan Ki menjadi terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu, sekaligus dia mencabut pedang hitamnya.

"Tidak penting kauketahui aku siapa, Tan-siucai. Hanya perlu kauketahui bahwa pedang ini akan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Suma-taihiap."

"Engkau ingin mampus!" Tan Ki membentak dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya menjadi nyaring dan terdengar sampai jauh. Memang, orang yang licik ini sengaja mengeluarkan suara keras agar terdengar oleh yang lain dan membantunya menghadapi perampas pedangnya. Setelah membentak, pedangnya berkelebat, sinar hitam menyambar ke arah tubuh Bun Beng.

Tan-siucai bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Kakek Maharya, dan selain ilmu pedangnya aneh dan cepat, diapun memiliki sin-kang yang sudah kuat sekali. Namun, bagi Bun Beng dia merupakan lawan yang ringan. Bun Beng yang melihat pedang hitam menyambar ke arah lehernya, hanya miringkan kepala sedikit, dan berbareng tangan kanannya menampar.

"Plakkk!" Bun Beng menampar perlahan saja dan mengenai pipi kiri Tan-siucai, akan tetapi biarpun perlahan, cukup membuat Tan-siucai terbanting dan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun lagi dengan kepala nanar, pipinya telah menjadi bengkak membiru dan semua giginya di pinggir kiri copot! Sambil meludahkan gigi dan darah, Tan Ki memandang dengan marah sekali, namun hatinya menjadi jerih karena dalam gebrakan pertama itu saja sudah terbukti betapa lihainya pemuda ini. Teringatlah ia akan cerita tentang pemuda yang membela penghuni Pulau Es, yang mengamuk dengan hebat, bahkan dapat melayani gurunya. Mukanya menjadi pucat teringat akan ini dan dia sudah menoleh ke kanan kiri dan menengok ke belakang, mengharapkan datangnya bala bantuan. Tak salah lagi tentu inilah pemuda yang sakti itu!

"Tan Ki, tamparanku tadi hanya untuk hukumanmu mencuri Pedang Hok-mo-kiam. Semestinya mengingat akan pembunuhan terhadap Kakek Nayakavhira, kemudian penculikan terhadap Nona Giam Kwi Hong, ditambah lagi engkau ikut menyerbu dan membunuh anak buah Pulau Es, engkau sudah pantas dibunuh seratus kali! Akan tetapi, yang berhak memutuskan hukuman adalah Pendekar Super Sakti, dan aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, maka biarlah sekali ini aku tidak membunuhmu dan hanya merampas kembali Hok-mo-kiam. Nah, pergilah!"

Akan tetapi, tentu saja Tan Ki tidak mau pergi meninggalkan orang yang telah merampas Hok-mo-kiam, juga dia tidak berani menyerang lagi. Dia masih menanti datangnya bantuan dan pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Thai Li Lama. Hatinya menjadi besar, keberaniannya bangkit dan dia membentak nyaring.

"Engkau pembela Pulau Es! Engkau pula yang melarikan murid Pendekar Siluman!" Sambil membentak demikian dia menyerang lagi dengan ganas, mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus maut. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang meluncur cepat dan kuat, menusuk ke arah tenggorokan Bun Beng terus digoreskan ke bawah untuk menyusul serangan itu kalau-kalau gagal. Menghadapi ini, dan melihat datangnya Thai Li Lama yang lihai, Bun Beng menjadi marah sekali. Kalau dia tidak cepat turun tangan dan cepat pergi dari situ sampai semua tokoh lawan datang dan pasukan dikerahkan, dia bisa celaka. Tangan kanannya bergerak ketika ia melangkah mundur untuk mengelak. Tampak sinar kilat yang luar biasa ketika Hok-mo-kiam terhunus, disusul sinar kilat menyambar ke depan.

"Trakkk....!" Tan Ki menjerit nyaring dan roboh. Pedang hitamnya patah menjadi dua oleh Hok-mo-kiam dan sinar kilat itu masih terus menembus dadanya. Tan-siucai berkelojotan dan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan kalau diingat bahwa dia dahulu adalah seorang sasterawan yang amat pandai, yang berwatak baik ketika menjadi tunangan Lu Soan Li. Sayang dendam kebencian membuat dia menyeleweng apalagi setelah dia menjadi murid Maharya dan ilmu yang dipelajarinya membuat dia menjadi tidak normal alias agak miring otaknya. Kebencian dapat menyeret manusia ke dalam kesesatan, karena kebencian menimbulkan perbuatan kejam, menimbulkan kekerasan dan kekeruhan batin.

"Jahanam....!" Teriakan ini keluar dari mulut Thai Li Lama, disusul dengan pukulan geledek, yaitu Ilmu Sin-kun-hoat-lek yang telah mengandung tenaga sin-kang kuat, juga mengandung hawa mujijat dari ilmu hitamnya.

Bun Beng cepat meloncat ke belakang menghindar. Dilihatnya Thai Li Lama telah banyak berubah. Kepalanya masih tetap gundul, akan tetapi di bagian bawah kepala dibiarkan tumbuh. Dengan demikian, pendeta Lama yang dahulunya gundul kelimis itu kini seperti seorang yang botak, juga jubahnya yang merah terbuat dari kain sutera!

"Haiiiittt, lihat siapa aku? Orang muda, berlututlah engkau di depan Thai Li lama, orang kepercayaan Koksu!" Suaranya amat berpengaruh, pandang matanya seperti menyeluarkan sinar mujijat.

Bun Beng merasa tubuhnya menggigil dan matanya seperti melekat pada sepasang mata yang seperti mata setan itu, kakinya lemas dan lututnya tak dapat ditahannya lagi, tertekuk dan dia jatuh berlutut! Tiba-tiba berkelebat di otaknya bahwa ini tidaklah sewajarnya, seperti ketika ia berhadapan dengan Maharya. Teringat pula dia akan ilmu sihir yang dimiliki golongan sesat ini. Cepat ia menggigit bibirnya sampai berdarah dan rasa nyeri ini melepaskan dia daripada ikatan pandang mata yang melekat! Cepat ia mengalihkan pandang mata ke bawah, menulikan telinganya dari suara di luar dan keadaannya pulih kembali. Pada saat itu, dia merasa hawa yang amat panas menggerayang ke arah kepalanya, maklum bahwa dia terancam bahaya maut karena tangan kiri pendeta itu mencengkeram ubun-ubun kepalanya selagi dia berlutut!

"Hyyaaaaaahhhhh!" Bun Beng membentak nyaring melengking dan sinar kilat berkelebat dari bawah.

"Crokk! Auggghhhh....!" Thai Li Lama mencelat ke belakang dan darah mengucur keluar dari lengan kirinya yang telah terbabat buntung oleh Hok-mo-kiam!

Sepasang mata Thai Li Lama mendelik dan ia mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas. Kemudian dia meloncat tinggi lalu meluncur ke arah Bun Beng dengan kedua kakinya bergerak-gerak melakukan tendangan-tendangan maut bertubi-tubi dari atas, menuju ke arah ubun-ubun, pelipis tenggorokan dan tengkuk. Sekali saja terkena tendangan itu, takkan dapat bertahan Bun Beng, biarpun dia memiliki tenaga sin-kang yang bagaimana kuatnya.

Bun Beng maklum akan kedahsyatan serangan ini, dan diam-diam merasa ngeri melihat kakek yang lengan kirinya buntung itu seolah-olah tidak merasakan nyeri, dan masih dapat menyerangnya sedemikian hebat. Cepat ia meloncat mundur ke kanan kiri menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu. Namun gerakan kedua kaki itu aneh sekali, sama sekali tidak dikenal oleh Bun Beng dan dia tidak tahu perkembangannya atau lanjutan geraknya, maka betapa pun cepatnya ia mengelak, tetap saja pundaknya terkena dorongan tumit kaki ketika kaki Thai Li Lama membalik yang merupakan lanjutan serangan tendangannya. Biarpun tulang pundaknya tidak patah, namun hawa dorongan itu membuat Bun Beng terpelanting dan roboh miring. Pundaknya terasa setengah lumpuh dan pada saat itu, Thai Li Lama yang terkekeh seperti iblis itu telah melayang turun, kaki kanannya bergerak menginjak ke arah perut Bun Beng, injakan maut karena dalam gerakan menginjak dari atas ini mengandung tenaga yang bukan main besarnya. Kalau sampai perut pemuda itu terkena injakan, tentu akan hancur isi perutnya!

"Crokkk....! Aaiiiihhhh!" Sinar kilat pedang Hok-mo-kiam yang digerakkan oleh Bun Beng dalam keadaan terancam maut itu, menyambar dan membabat kaki yang menginjak. Buntunglah kaki kanan itu sebatas betis dan Thai Li Lama berdiri dengan kaki kiri, matanya terbelalak berapi-api, mulutnya mengeluarkan busa, keadaannya mengerikan sekali. Darah mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung dan dari kaki kanan yang buntung di bawah lutut itu. Namun, dia masih dapat terpincang-pincang menghampiri Bun Beng!

Bun Beng membenci pendeta Lama ini yang merupakan seorang di antara mereka yang telah membunuh Siauw Lam Hwesio, gurunya, akan tetapi kini menyaksikan keadaan Lama itu, dia merasa ngeri dan juga kasihan. Untuk menghentikan penderitaan orang yang menjadi musuhnya itu, dia cepat menubruk ke depan dan ketika sinar kilat berkelebat, pedang Hok-mo-kiam telah menembus ulu hati Thai Li Lama sampai menembus punggung. Bun Beng cepat hendak mencabut kembali pedang itu, akan tetapi tiba-tiba pendeta Lama itu yang sudah buntung lengan kirinya, buntung pula kaki kanannya, dan tertusuk tembus dadanya, masih dapat mengeluarkan bentakan nyaring, dari mulutnya menyembur darah segar dan tangan kanan berhasil memukul punggung Bun Beng dengan tamparan yang mengandung ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek.

"Blukkk!"

"Auuuhhh....!" Darah segar menyembur keluar dari mulut Bun Beng dan pemuda ini terguling roboh, berbareng dengan robohnya tubuh Thai Li Lama yang telah menjadi mayat!

Bun Beng mengeluh panjang, rasa nyeri dari punggung sampai ke dada menyesakkan napasnya. Dia maklum bahwa pukulan dahsyat tadi telah melukainya akan tetapi pikirannya masih terang. Dia harus cepat pergi! Telah tampak bayangan para anak buah pasukan yang mendengar bentakan-bentakan tadi mendatangi di antara pohon-pohon. Cepat ia menghampiri mayat Thai Li Lama, bergidik menyaksikan bekas musuh ini, mencabut Hok-mo-kiam, kemudian melarikan diri dari tempat itu secepat mungkin, keluar dari hutan dan dilindungi kegelapan malam yang tiba, dia berhasil meninggalkan para pengejarnya. Setelah aman dan tidak ada pengejaran lagi Bun Beng duduk bersila di bawah pohon dalam hutan besar dekat puncak gunung, dan mengatur pernapasannya, mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sin-kangnya untuk mengobati luka di dalam dadanya yang terguncang oleh pukulan dahsyat itu. Setahun yang lalu, sebelum dia melatih sin-kang di dalam lorong rahasia dari kitab yang dipelaiari oleh Ketua Thian-liong-pang, kalau terkena pukulan seperti itu, tentu nyawanya telah melayang!

Demikianlah, dapat dibayangkan betapa marah hati Im-kan Seng-in Bhong Ji Kun ketika ia mendapatkan dua orang pembantunya tewas seperti itu. Di tempat itu, di mana terdapat dia sendiri dan paman gurunya, Maharya yang sakti, bersama seribu orang perajurit pasukan pengawal, dua orang pembantunva yang dipercaya dan boleh diandalkan, terutama Thai Li Lama, tewas dalam keadaan mengerikan dan tak seorang pun tahu siapa yang telah membunuh kedua orang itu! Thian Tok Lama berduka sekali akan kematian sutenya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan marah dan siapakah yang akan dibalas kalau tak seorang pun mengetahui siapa pembunuh sutenya?

"Mudah saja! Pedang Hok-mo-kiam telah dirampasnya dari tangan muridku. Siapa yang memegang pedang itu, dialah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Aku bersumpah untuk membunuh iblis terkutuk itu!" Maharya yang juga amat berduka akan kematian muridnya, terutama sekali akan terampasnya Hok-mo-kiam oleh orang lain, mengepal tinju.

"Yang dapat melakukan ini tentulah orang yang berkepandaian tinggi sekali," kata Bhong Ji Kun setelah memerintahkan anak buahnya mengurus dan mengubur kedua jenazah itu. "Tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, akan tetapi siapakah? Banyak tokoh kang-ouw sedang berada di sekitar tempat ini untuk menghadiri pertemuan besok pagi. Pasti seorang di antara mereka yang melakukannya."

Thian Lok Lama menggeleng kepalanya yang gundul. "Pinceng rasa bukan seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani melakukan pembunuhan-pembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan Tan-siucai adalah orang-orangnya pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya tentulah orang-orang yang telah menentang kita di Pulau Es."

"Ahhh, wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?" Maharya bertanya.

Thian Tok Lama mengangguk. "Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah menjadi lihai bukan main itu."

"Gak Bun Beng?" Bhong Ji Kun menyambung.

Thian Tok Lama mengangguk. "Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa ilmunya dan mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia melakukan hal-hal yang tidak lumrah."

"Hemmm, siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."

"Pendekar Siluman....?" Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya terkejut dan wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat akan Pendekar Super Sakti itu? Kalau dia yang datang, memang tidak perlu diherankan lagi kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai!

"Lebih banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan keyakinanku bahwa Pendekar Super Sakti yang datang sore tadi. Akan tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang kita sedang menunggu munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau Neraka, bukan? Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah menandinginya, dan ternyata dia tidaklah lebih lihai daripada saya, atau boleh dibilang tingkat kami sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin dan Thian Tok Lama, tentu mudah saja mengalahkannya."

"Akan tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan oleh wanita Pulau Neraka itu?"

Maharya menggeleng kepala. "Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau Neraka yang disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah ada kerja sama, dan kalau dia dahulu turun tangan, sama sekali bukan untuk membantu Pulau Es, hanya karena marah bahwa daerahnya dilanggar. Andaikata dia maju pula, bersama pemuda itu, tidak perlu kita takut. Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, dan seribu orang pasukan merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang Pendekar Siluman!"

Biarpun kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang cukup mengejutkan, namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih besar. Malam itu tidak ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya, setelah mengirim rombongan mata-mata yang menyamar sebagai orang-orang kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para pembantunya mengintai tanah tandus yang dijadikan tempat pertemuan itu dari atas lereng terdekat, mempergunakan teropong den memeriksa keadaan.

Tang Wi Siang yang mewakili ketuanya, setelah semua tamu berkumpul, berkata dengan suara nyaring,

"Cu-wi sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang pada Cu-wi sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi sekalian yang dianggap mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat persahabatan dan untuk mendengarkan usul Pangcu yang akan disampaikan oleh Pangcu sendiri. Silakan Cu-wi mendengarkan!"

Pintu pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua Thian-liong-pang yang mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua orang memandang dan mereka yang pernah diculik dan pernah berhadapan dengan ketua itu, memandang dengan muka merah masih merasa penasaran akan tetapi juga dengan hati jerih karena mereka tahu akan kelihaian wanita itu. Adapun mereka yang belum pernah bertemu dengan tokoh ini, memandang dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, sedangkan orangnya pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga semua orang ingin melihat bagaimana wajah yang bersembunyi di balik kerudung itu. Sudah tuakah? Ah, tak mungkin, tubuh wanita itu biarpun tersembunyi di balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh seorang wanita tua! Dan tangan yang tersembul dari balik lengan baju itu berkulit halus, berjari kecil meruncing dengan kuku yang kemerahan, terpelihara baik-baik! Sepasang mata yang memandang dari balik lubang kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa serem dan menundukkan hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa, mata seorang manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan!

Nirahai, wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri memandang sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang hadir, mengenal mereka dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan mana mereka itu. Dia merasa kecewa bukan main ketika tidak melihat adanya rombongan Pulau Neraka dan Pulau Es! Benar-benar menggemaskan, pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul? Dan di mana adanya tokoh-tokoh Pulau Neraka? Tanpa mengalahkan keduanya itu, nama Thian-liong-pang takkan terangkat naik! Dan tiba-tiba ia melihat rombongan terdiri dari belasan orang yang tak dapat ia duga dari partai atau golongan mana. Matanya mengeluarkan sinar penuh kecurigaan, akan tetapi dia tidak menyatakan sesuatu, hanya mulai dengan bicaranya yang singkat, halus merdu namun terdengar sampai jauh karena ia keluarkan dengan pengerahan khi-kang yang luar biasa kuatnya.

"Cu-wi sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus menentukan perkumpulan mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan tokoh mana yang patut dijadikan pemimpin yang dapat disebut Bengcu (pemimpin rakyat). Kami setelah mempelajari dan meneliti keadaan, minta Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang sebagai perkumpulan induk, dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada di antara Cu-wi yang dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi Bengcu daripada aku. Kalau ada di antara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!"

Bukan main tekeburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua orang memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguhpun tidak ada yang berani membantah dengan keras. Hanya terdengar suara-suara kontra, dan dari golongan para hwesio dan tosu terdengarlah ucapan-ucapan,

"Omitohud...."

"Siancai....!"

Nirahai bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu memang dia sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya. Setelah bertahun-tahun dia menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri ilmu-ilmu dari lain partai, dia menganggap bahwa tidak akan ada orang lagi yang dapat menandinginya, dan satu-satunya yang dia anggap merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han dan Ketua Pulau Neraka yang belum pernah dia jumpai.

"Cu-wi, negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan. Karena itu, kalau kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan tidak mempunyai seorang pemimpin yang mempersatukan kita, bagaimana kita semua dapat menghadapi urusan-urusan besar? Tanpa pemimpin selalu hanya akan timbul pertentangan-pertentangan di antara kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban. Karena itu, lebih baik sekarang kita berhadapan secara gagah, memilih seorang Bengcu yang tepat dan korban-korban dalam perebutan dan pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang kalah dan tewas, mati sebagai seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada Cu-wi bagaimana menghadapinya!"

Setelah berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu pondok segera ditutup lagi.

"Ibu, mengapa Ibu melakukan semua ini?" Di dalam pondok itu, Milana berbisik kepada Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat dari muka dan lehernya. Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu berselimut awan kesengsaraan batin.

"Untuk memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka." Jawabnya pendek lalu mengenakan kerudung kepalanya lagi.

Milana menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik. "Ibu.... begitu.... begitu bencikah Ibu kepada Ayah....?"

Mata di balik kerudung itu memancarkan api. "Benci? Tidak ada orang yang lebih kubenci di dunia ini!"

Milana merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan hening dan tiba-tiba Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak tertahan. Ibunya telah terisak menangis! Milana terharu, menggerakkan tangan menyentuh tangan ibunya dan berbisik lagi

"Ibu.... sangat cintakah kepada Ayah....?"

Nirahai memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya diam dan mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding pondok mereka dapat melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan Siauw-lim-pai melangkah maju dan berkata nyaring sambil memandang pondok di atas.

 “Thian-liong-pangcu! Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk menyampaikan penyesalan Siauw-lim-pai akan sepak terjang Thian-liong-pang selama ini yang melakukan pencu­likan-penculikan terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau ikut-ikut dalam soal pemilihan Bengcu, dan tidak akan mengakui Bengcu manapun juga karena Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin mena­nam permusuhan. Hanya menjadi kewa­jiban Siauw-lim-pai untuk menegur perkumpulan yang bertindak sewenang-we­nang, dan kalau teguran Siauw-lim-pai ini tidak menyenangkan hati Pangcu, pin­ceng sebagai wakil Siauw-lim-pai siap mempertanggungjawabkannya!”

Setelah hwesio tinggi kurus itu mun­dur, majulah seorang tosu berambut pu­tih dari rombongan Hoa-san, dan dia pun berteriak nyaring.

“Pinto mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute kami Bhong Tek-cu yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto mewakili Hoa-san-pai untuk minta Thian-liong­-pangcu mempertangungjawabkan perbuat­an itu sekarang ini! Tentang pemilihan Bengcu, Hoa-san-pai tidak akan mencam­purinya!”

Setelah melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut majulah Ang-lo-jin Ketua Bu-tong-pai yang ber­kata, “Saya sebagai ketua Bu-tong-pai merasa terhina atas perlakuan Thian­-liong-pang yang lalu, maka saya minta pertanggungan jawab Thian-liong-pangcu di tempat terbuka ini!” Dan dengan alas­an yang sama pula majulah wakil-wakil dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai.

Melihat perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa kali dia memandang ke atas seolah­-olah mengharapkan ketuanya turun ta­ngan. Tak lama kemudian terdengar su­ara Ketua Thian-liong-pang.

“Wi Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?”

Dengan suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya par­tai yang menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab, “Dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai, semua enam partai!”

Tiba-tiba pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang. “Ha­nya enam partai saja? Ataukah masih ada lagi? Harap Cu-wi yang ingin men­coba kepandaianku, tidak malu-malu, nyatakan saja terus terang!”

Setelah tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata, “Para wakil dari enam partai yang minta pertanggungan jawab, persilakan maju!”

Dari Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan seorang tosu, dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang suhengnya, mu­rid dari ayahnya, sedangkan dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai, masing-masing maju tiga orang wakil yang merupakan murid-murid kepala. Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia merasa malu hati dan tidak enak kalau sebagai ketua dia harus maju sendiri. Dengan demikian, wakil dari enam par­tai itu berjumlah tiga belas orang, mu­rid-murid kepala dari partai-partai yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

“Bagus! Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan jawab­ku, ada tiga belas orang telah berkum­pul. Dan untuk membuktikan bahwa aku sebagai calon Bengcu mempunyai tang­gung jawab dan kepandaian untuk me­mimpin Cu-wi sekalian, aku akan meng­hadapi Cu-wi sekaligus. Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!” Setelah ber­kata demikian tampak tubuh wanita berkerudung itu melayang dari atas pondok yang tinggi itu bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke arah tiga belas orang itu.

Mereka ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka mencabut senjata mereka. Namun Nira­hai tidak menghunus pedangnya yang masih tergantung di punggungnya, tubuh­nya terus meluncur dan bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah mereka. Tiga belas orang itu menggerakkan senja­ta masing-masing menyambut bayangan tubuh yang menyambar-nyambar itu, de­mikian cepat gerakan wanita ini sehingga sukar diikuti pandangan mata. Tampak bayangan tubuhnya berkelebat di antara sinar senjata itu dan terdengarlah bunyi berkerontangan, senjata-senjata ter­pental dan ketiga belas orang mengelu­arkan teriakan kaget disusul robohnya tu­buh mereka seorang demi seorang, ce­pat sekali sampai ketiga belas orang itu semua terpelanting roboh! Dan tubuh wanita berkerudung itu berdiri di tengah tengah, antara mereka yang roboh ke kanan kiri, ada yang terlentang, ada yang menelungkup, ada yang miring.

Tiga belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang me­nyaksikan kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan tangan kosong, wanita berkerudung itu benar-benar telah me­ngalahkan mereka dan hebatnya mereka tidak terluka hebat, hanya roboh oleh dorongan-dorongan tenaga sin-kang yang amat kuat dan didahului kecepatan yang tidak tampak oleh mata mereka! Ang Siok Bi yang tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik kini bang­kit bersama yang lain-lain, memandang wanita berkerudung itu dengan muka pucat dan diam-diam mereka semua me­ngakui bahwa kalau wanita itu menghen­daki, kalau wanita itu menggunakan sen­jata atau melakukan pukulan yang be­rat, tentu mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!

“Nah, Cu-wi sudah menyaksikan bah­wa aku telah berani mempertanggungja­wabkan semua perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang. Ketahuilah bahwa semua tokoh yang pernah menjadi tamu kami, tidak ada yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa penasaran? Seka­rang, menggunakan kesempatan ini, aku mengajak siapa saja di antara Cu-wi yang masih penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali kutujukan ke­pada Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!”

Tantangan ini tidak ada yang bera­ni menjawab, dan mereka semua saling pandang, mencari ke kanan kiri mengha­rapkan munculnya dua jago yang selama ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw, yaitu Ketua Pulau Neraka yang tak pernah ada yang melihatnya, dan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Namun, tidak tampak mata hidung ke­dua orang tokoh itu, bahkan tidak tam­pak seorang pun tokoh dari kedua pulau itu. Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona, menyaksikan kelihaian Ketua Thian-liong-pang, sedang­kan tiga belas orang yang kalah tadi mengambil senjata masing-masing dan kembali ke kelompok mereka, tidak ada yang berani melawan lagi karena masing-masing maklum bahwa mereka bukan­lah tandingan wanita berkerudung yang hebat bukan main itu.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa da­ri rombongan orang yang tak dikenal Nirahai yaitu rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya. “Ha-ha-ha! Pulau Es sudah terbasmi, sedangkan Pu­lau Neraka pun penghuninya sudah me­larikan diri semua, bukankah Ketua Thian-liong-pang sama dengan menan­tang angin kosong?”

Lima belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun. Mereka terdiri dari panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan yang se­telah tiba di situ sekarang berkumpul menjadi sekelompok. Hati mereka besar dan mereka berani bicara karena mengandalkan pasukan yang berada di sekeli­ling tempat itu. Pula, mereka sengaja mengeluarkan kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing keluarnya toKoh-tokoh mereka seperti yang dike­hendaki oleh Koksu.

Nirahai memutar tubuhnya mengha­dapi rombongan itu, kemudian sekali kakinya tampak bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata di balik kerudung itu menyambar-nyam­bar tajam,

“Kalian siapakah? Dari golongan dan partai apa?” tanyanya tiba-tiba, suara­nya dingin.

Seorang di antara mereka yang ting­gi besar dan brewok, agaknya merasa tidak senang menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia menja­wab sambil mengangkat dada, suaranya tegas dan nyaring, “Kami adalah orang-orang kang-ouw perantau yang tertarik mendengar pertemuan ini dan ingin me­lihat-lihat. Apakah hal ini dilarang?”

“Hemmm! Memang undangan kami di­tujukan kepada semua orang kang-ouw, tentu saja tidak ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian te­lah berani menghina Pulau Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki ke­pandaian yang lebih tinggi daripada me­reka! Aku akan suka sekali mencoba dan melayani kepandaian kalian yang telah berani bicara besar di sini.”

Lima belas orang itu adalah pangli­ma-panglima yang biasanya membagi pe­rintah dan dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi sikap Ketua Thian-liong-pang, mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa mereka diper­lakukan seperti itu oleh siapapun juga!

“Heiii! Thian-liong-pangcu! Kalau ka­mi menghina Pulau Es dan Pulau Nera­ka, apa hubungannya itu dengan Thian-liong-pang? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berani melawan pe­merintah, maka dihancurkan dan dibas­mi! Kami rasa Thian-liong-pang tidaklah seperti iblis-iblis Pulau Neraka dan.... augghhhh....!”

Tiga orang di antara rombongan itu yang berdiri paling depan, roboh dan te­was seketika, terkena sambaran sinar hi­tam yang tiba-tiba saja melayang ke arah si pembicara dan dua orang teman­nya.

“Thian-liong-pangcu! Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?”

Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah berada di situ!

Nirahai cepat membalikkan tubuh dan “srattt!” Dia telah mencabut pedang­nya, akan tetapi dia tidak memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga orang tadi adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambit­kan dengan tenaga dahsyat sekali! Tan­pa menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia berkata,

“Thian Tok Lama, kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang se­ngaja kaukirim untuk melakukan penye­lidikan?” Suaranya dingin sekali akan te­tapi matanya masih ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh.

Thian Tok Lama terkejut bukan ma­in. Benar-benar seorang yang aneh se­kali Ketua Thian-liong-pang ini, selain kepandaiannya tinggi, ternyata begitu bertemu telah mengenalnya!

“Benar!” jawabnya. “Akan tetapi me­reka dan kami bertugas untuk menyelidiki orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang ke sini. Kiranya tiga orang penyelidik kami ma­lah kau bunuh!”

Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah seper­ti meletus dan tampak debu dan uap me­ngepul tinggi. Tanah itu terbuka dan tampak.... sebuah peti mati yang perla­han-lahan terbuka dan dari dalam peti mati itu bangkit sesosok mayat yang se­perti baru saja hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua renta, berkepala bo­tak, bertubuh kurus dan dalam keada­an.... telanjang bulat! Mukanya pucat, persis muka mayat yang tidak mempu­nyai darah sama sekali.

Jangankan para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri, bah­kan Thian Tok Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan mata terbelalak.

“Mayat hidup” itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti bayi, lalu meloncat keluar dari dalam peti mati. “Uhk-uhk-uhk.... anak-anak kecil berani menghina Pulau Neraka. Akulah orang Pulau Neraka dan yang membu­nuh, heh-heh.... maleh semua yang bera­ni menghina akan kubunuh.” Tiba-tiba saja, mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu “terbang” ke arah rom­bongan panglima yang tinggal sepuluh orang lagi. Kelihatannya seperti terbang karena gerakannya luar biasa sekali cepatnya, seolah-olah kedua kakinya ti­dak menginjak tanah. Melihat gin-kang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai ter­belalak, dan Thian Tok Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Ti­bet karena dia menyangka bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang mun­cul dari bawah tanah!

Bukan main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah merangkul empat orang panglima. Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai dan.... dijambaknya rambut kepala mere­ka itu seorang demi seorang, diputarnya dan ditarik sehingga.... kepala itu coplok, lehernya putus, darah menyembur kelu­ar. Tiga orang lainnya hanya melongo dan pucat, seolah-olah tak mampu berge­rak dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga seorang demi seorang putuslah lehernya. Mayat mereka dilempar-lem­parkan oleh Si Mayat Hidup yang sudah bergerak maju lagi ke arah sisa para panglima. Enam orang panglima sudah mendapatkan kembali kesadarannya, mak­lum akan datangnya bahaya mengancam, maka mereka itu sudah menghunus pe­dang atau golok masing-masing. Melihat Si Mayat Hidup menerjang maju, mere­ka membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali tidak mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan.

“Tak-tok.... bak-buk....!” Senjata-senja­ta itu mengenai tubuh, akan tetapi semua terpental seperti mengenai tubuh dari karet yang ulat, kenyal dan keras! Dan kembali empat orang telah dirangkul, “dicopot” kepala mereka dari badan dan mayat mereka dilemparkan. Darah mem­banjir ke mana-mana, dan tubuh serta muka kakek itu telah berlumuran darah segar! Melihat ini, dua orang panglima sisa yang sepuluh orang tadi, membuang senjata mereka dan hendak lari.

“Heh-heh, anak-anak nakal, hendak lari ke mana? Ke sinilah bersama Ka­kek!” Mayat hidup itu berkata, dan ta­ngan kanannya menggapai ke arah dua orang panglima yang sedang lari dan.... sungguh aneh, kedua orang itu biarpun kelihatan masih menggerakkan kedua kaki untuk lari, namun mereka bukan­nya maju ke depan melainkan.... mun­dur ke belakang seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan membetotnya ke arah mayat hidup itu!

Akan tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama su­dah meloncat ke depan dan sudah me­masang kuda-kuda setengah berjongkok, perutnya berbunyi dan tangan kanannya berubah biru. Kemudian, dengan penge­rahan tenaga sin-kang, dia memukul ke arah punggung mayat hidup itu.

“Dessss!” Mayat hidup itu terlem­par sampai tiga meter, akan tetapi ti­dak roboh dan membalikkan tubuh, mu­lutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama terkejut bukan main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya terlempar, akan tetapi tenaganya tidak dapat menembus tubuh itu!

“Heh-heh-heh!” Mayat hidup itu me­lihat awan hitam yang keluar dari ta­ngan Thian Tok Lama yang memukul tadi. “Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang? Eh, Gundul, kepandaianmu lumayan juga!”

Tiba-tiba tampak bayangan berkele­bat dan tubuh Nirahai telah berhadapan dengan mayat hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya. “Orang tua, benarkah engkau dari Pulau Nera­ka? Apakah engkau Ketua Pulau Nera­ka?” Bertanya demikian, Nirahai mengki­rik ngeri, bukan karena gentar menyak­sikan kelihaian mayat hidup itu, melainkan dia merasa jijik berhadapan dengan seorang laki-laki yang telanjang bulat, biarpun laki-laki itu seorang kakek.

Mayat hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya seolah-olah pukulan dahsyat tadi hanya menim­bulkan rasa gatal. “Banyak orang pandai sekarang! Aku bukan ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang yang paling tua di Pulau Neraka. Aku adalah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)!”

“Cui-beng Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu menantangmu untuk mengadu ke­pandaian. Jagalah seranganku!” Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah da­da mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa mayat hidup yang kini dia percaya adalah se­orang kakek yang masih hidup itu sama sekali tidak mengelak.

“Crokkk!” Pedang yang mengenai da­da itu menempel dan tidak dapat menan­cap, dan tangan kakek itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai. Gerakannya cepat dan aneh se­kali.

“Aihhhh!” Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping, kemudi­an mengirim serangan lagi, memilih ba­gian yang lemah, yaitu leher kakek itu. Kembali Si Kakek Aneh tidak menangkis, membiarkan pedang membacok lehernya sambil tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!

“Plakk!” Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir saja lambung Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat mengelak de­ngan gerakan yang amat cepat.

“Hayaaaa....! Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!” Kakek itu terkekeh memuji.

Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji Kun telah datang menyerbu! Dari tero­pongnya Bhong Ji Kun menyaksikan be­tapa orang-orangnya tewas secara me­ngerikan. Maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat, dia lalu mengerah­kan pasukannya menyerbu, sedangkan dia sendiri bersama Maharya lari men­dahului untuk membantu Thian Tok La­ma yang sudah ia suruh turun terlebih dahulu tadi.

Melihat ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam perten­tangan dengan pemerintah, lalu mengun­durkan diri dan pergi dari tempat itu. Adapun para anak buah Thian-liong-pang yang mengira bahwa pasukan-pasukan itu hendak menyerbu mereka, sudah menyambut dan terjadilah perang tanding di mana banyak sekali pasukan roboh dan tewas menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai itu.

 “Dia telah membunuh orang-orang kita!” Thian Tok Lama menuding ke arah kakek telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai. Untung bahwa Ketua Thian-liong-pang ini memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga cengkeraman-cengkeraman dan pukulan-pukulan Cui-beng Koai-ong selalu mengenai angin ko­song belaka, akan tetapi semua bacokan Nirahai tiada gunanya, tidak dapat me­lukai tubuh kurus kering yang kebal itu. Nirahai menjadi makin penasaran dan ti­dak mau mengalah begitu saja. Kini pe­dangnya berubah menjadi sinar yang ber­gulung-gulung, sebagian melindungi tu­buhnya, sebagian lagi melakukan serang­an-serangan kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata kakek telanjang.

“Heeehhh,         kau         lihai....!”      Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus menangkis sinar pedang yang ber­gulung-gulung itu dengan kedua tangannya. Betapapun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin mata­nya dicokel keluar oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji yang menyembunyikan ke­marahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin berdesir-desir menyambar ke­luar dari kedua tangannya.

Nirahai diam-diam terkejut dan ha­rus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian se­perti kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan gin-kang­nya untuk selalu menghindarkan diri, mengerahkan sin-kangnya untuk mela­wan sambaran angin pukulan dahsyat itu.

Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah seorang dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong! Bhong Ji Kun mengguna­kan pecutnya yang menyambar-nyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek te­lanjang dengan ujung pecut. Maharya su­dah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan menyerang hebat, meniru taktik Nira­hai menyerang ke arah kedua mata, se­dangkan Thian Tok Lama tetap memper­gunakan Ilmu Pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang biarpun tidak dapat melukai lawan, namun sedikitnya pukulan ini da­pat membuat lawan terlempar. Dan se­telah dia mengerahkan pukulan-pukulan­nya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata tidak berani sembarangan mene­rimaa pukulan ampuh itu.

Dikeroyok empat orang yang demiki­an saktinya, betapapun lihai, Cui-beng Koai-ong kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa, “Heh-heh-heh, banyak orang hebat!”

Maharya menyaksikan kehebatan ka­kek telanjang itu, menjadi penasaran dan ia membentak, “Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!”

“Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!” Cui-beng Koai-ong dengan berani meman­dang muka dan menentang mata Maharya.

“Engkau merasa kakimu lumpuh, re­bahlah!”

“Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?”

Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama seka­li tidak mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihir­nya membalik, seolah-olah terbentur pa­da benteng yang aneh dan kuat!

Cui-beng Koai-ong terdesak hebat, dan anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, ada­lah orang-orang Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipim­pin oleh para panglima! Betapapun lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka man­di keringat dan terdesak.

Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja gerakan dara ini dan se­bentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua orang panglima ro­boh oleh sambaran pedangnya. Pertan­dingan makin hebat dan kacau balau.

“Aku ikut....! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!” Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nereka yang suka merantau. Begitu ma­suk, dia lelu secara ngawur menerjang, membantu twa-suhengnya dan disambut oleh Thian Tok Lama.

Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute deri mayat hi­dup tentu lihai sekali, maka datang-datang, dia memapakinya dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!

“Wah berbahaya....” Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilma memindahkan tenaga, sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olsh memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemilik­nya sendiri, ditambah tenaganya sendiri.

“Omitohud....!” Thian Tok Lama sem­pat menarik kembali tangannya dan men­celat mundur, kalau tidak tentu lengan­nya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini. Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan teta­pi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan pukul­an. Memang tingkatnya maaih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang mempunysi banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahan­kan dirinya.

“Wah-wah-wah, ada pesta besar! Sam-te engkau tidak akan menang melawan Si Gundul itu. Berikan kepadaku!” Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhu­yung-huyung ke belakang. Melihat ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan teta­pi mukanya selalu tertawa, matanya le­bar sekali dan rambutnya riap-riapan.

“Tua bangka gila, engkau siapa?” Ma­harya membentak sambil melintangkan senjatanya bulan sabit.

“Ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa-tawa. Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul, seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan twa-suhengnya sendiri segan menghadapi sutenya ini yang biarpun tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya. Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetepi dia ja­uh lebih lihai!

Kini pasukan pemerintah mulai me­ngeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biar­pun pasukan itu seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka, namun jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sutenya kewa­lahan juga, apalagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan. Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan me­reka seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menda­pat lswan yang tangguh dalam dari Ma­harya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja mereka menjadi repot juga!

“Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar? Sucouw nakal sekali, tidak menurut omongan teecu!” Tiba-tiba berke­lebat bayangan oreng dan muncullah se­orang pemuda tampan.

Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan menuju ke medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang perajurit segera mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus se­olah-olah tidak melihat atau tidak mem­pedulikan mereka, matanya tetap me­mandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun.

Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para perajurit menjadi marah dan berba­reng mereka menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan senjata, menye­rangnya dari enam penjuru.

“Singggg.... sratttt!” Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan.... enam orang itu dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi si­nar kilat tadi. Kini tampak pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali pedangnya yang bersinar kilat, melanjut­kan langkah seolah-olah tak pernah ter­jadi apa-apa. Para perajurit lalnnya me­mandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan tetapi juga gentar!

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nera­ka yang bermuka kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biarpun dia masih tertawa-tawa, sekali ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu memin­dahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang sehingga tubuhnya terpen­tal, bergulingan dan dari mulutnya ter­pancar darah segar.

“Eh, Sam-te, kau terluka?” Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini meloncat dekat, menghampiri dan tidak mempe­dulikan lagi Maharya yang mengejarnya.

“Heh-heh-heh, ji-suheng, aku.... aku pamit.... mendahuluimu....” Kwi-bun Lo­mo terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.

“Wuuuttt!” Senjata bulan sabit di ta­ngan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek Siauw-jin menggulingkan diri mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.

“Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melan­jutkan hukuman di dunia, ya?”

“Heh-heh, Ji-suheng. Kau.... kau pe­san apa....?”

“Pesan tempat! Kaupesankan untukku satu tempat yang baik, ya?” Kembali Bu-tek Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.

“Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh.... akan kupesankan untukmu, Ji-suheng.... dekat aku...., heh-heh....” Dan terputuslah kata-kata kakek muka kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.

“Aihhhh.... Sam-sute, jangan lupa lho....!” Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi, marah bukan main meli­hat betapa lawannya melayaninya sam­bil omong-omong seenaknya dengan orang lain yang mau mati!

“Siuuuutttt.... wessss....!” Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak ketika menyentuh tanah di dekat Maharya! Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk putih, kemudian me­ledakkan senjata rahasia dan.... jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau sangit yang me­menuhi tempat pertandingan itu.

“Sucouw, mari kita pergi saja!” Pe­muda tampan itu kini sudah berada de­kat suhunya yang masih dikeroyok dua.

“Aihhhh! Orang baru enak-enak ber­canda, kauganggu saja!” Kakek telanjang itu mengomel. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, pu­tera Majikan Pulau Neraka yang menja­di muridnya, telah menyambar tangan­nya kemudian mengajak suhunya melom­pat jauh. Nirahai dan Bhong Ji Kun hen­dak mengejar, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan.... asap hitam membu­bung tinggi, membentuk tirai yang ge­lap dan mengeluarkan bau yang memuak­kan, terpaksa Nirahai dan Bhong Ji Kun mundur lagi.

“Wah-wah, keringat kalian bau seka­li! Aku tidak tahan lagi....!” Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata dan dia pun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah mulai me­ngeroyoknya. Dia ini pun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hi­tam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para perajurit yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pu­lau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya ma­sih bertanding melawan para perajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok La­ma, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.

“Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!” katanya kepada Bhong Ji Kun.

“Hemm, Thian-liong-pang sudah bera­ni memberontak, akan kami hancurkan!” jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok La­ma.

“Bhong Ji Kun, aku mau bicara, ma­ri ikut ke atas!” Tubuh Nirahai mela­yang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.

“Kalian jangan ikut!” Nirahai mem­bentak ke bawah ketika melihat Mahar­ya dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula. “Apakah kalian tidak percaya kepadaku!”

Bhong Ji Kun berkata ke bawah, “Ja­ngan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-pangcu!” Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.

Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka. “Bhong-koksu lihat siapa aku!”

Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik je­lita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata, “Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang.”

Nirahai memasangkan kerudungnya kembali. “Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Ne­raka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!”

Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk me­loncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,

“Semua pasukan! Hentikan pertempur­an dan mundur!”

Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring. “Wi Siang, hentikan pertempur­an!”

Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang bertanding, dan seketika mereka masing-masing kedua pihak mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang maklum bahwa ibunya tentu tidak meng­hendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memim­pin orang-orangnye mundur dan mengeli­lingi gubuk. Adapun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, ke­pada wanita berkerudung, menjura dan berkata,

“Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pembe­rontak, maka kami mohon diri!”

Nirahai mengangkat tangan melam­bai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan meninggalkan yang te­was. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat itu.

“Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati luka­mu!” kata Nirahai setelah melompat tu­run dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksa­sa, telah buntung. Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disam­bar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk mela­wan pasukan pemerintah!

“Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek.” Nirahai memuji sambil menaruh bubuk obat dan memba­lut lengan yang buntung itu. “Jangan khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sen­diri akan menurunkan ilmu kepadamu.”

Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat me­reka, benar saja Nirahai mengajarkan il­mu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai daripada sebelum lengannya bun­tung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.

Padang tandus yang gersang itu ki­ni berubah sunyi mengerikan. Di seke­liling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!

Menjelang senja, seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan me­masuki padang tandus itu. Orang ini ada­lah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersamadhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng bangkit. Hari telah menjadi sore dan tiba-tiba dia melihat beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas.

“Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Tenanglah, dan bahwa aku turun ke sana.” Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw. Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali. Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tihang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara. Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya!

Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah me­mandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya. Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia setelah menja­di mayat pun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini? Kemba­li dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digali­nya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima buah mayat selubang, tanpa membedakan pa­kaian mereka. Ketika ia melihat setum­puk mayat yang telah menjadi arang, se­buah mayat yang agaknya terbakar, tan­pa mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek je­naka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-la­yang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengu­bur pula arang bekas mayat itu. Sam­pai jauh malam barulah selesai dia me­nguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan mening­galkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah. Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perin­tah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki tangannya dan.... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga! Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apalagi kalau dia ter­ingat kepada Milana. Mengapa gadis se­perti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela na­pas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.

“Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang berperang saling bunuh-membu­nuh seperti yang dilakukan manusia, mahluk yang merasa diri paling suci itu?”

Kuda itu tentu saja tidak bisa men­jawab, akan tetapi tepukan-tepukan pe­nuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.

***

Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi pantai utara, menanti kedatang­an Pendekar Super Sakti sampai bebera­pa lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Mereka menjadi pri­hatin sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat guha itu merupa­kan tempat persembunyian yang baik. Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke daratan untuk mendapatkan segala ke­perluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan daging mereka tidak kekurang­an karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan terdapat bina­tang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin hanya menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk na­ik ke daratan mencari kebutuhan mere­ka dengan pesan keras agar jangan sam­pai ada orang tahu tentang keadaan me­reka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.

Yang paling menderita batinnya ada­lah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak be­tah lagi tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ.

Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari ikan atau berburu bina­tang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, di­ikat dengan tali. Sebagian tali terlepas dan terseret peti yang terbawa ombak. Kwi Hong cepat lari menghampiri keti­ka peti terbawa sampai ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat. Memang cukup berat dan diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh ke laut, kemudian oleh ombak terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya.

Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya penutup itu. Dengan pengerah­an tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup rapat itu.

“Braaaakkkk....!” Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak sabar lagi.

“Haiiiihhhh....!” Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, oto­matis kedua tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya ter­belalak memandang ke dalam peti. Biar­pun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan sekalipun, namun sekali ini dia benar-benar terke­jut dan ngeri karena tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah.... mayat! Hati siapa takkan terkejut mem­buka peti yang dikira berisi barang ber­harga, ternyata terisi mayat seorang ka­kek tua yang pakaiannya masih baru akan tetapi potongannya tidak karuan itu?

“Iihhh.... hiiihhhh....!” Kwi Hong men­jerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar, kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang matanya sendiri.

Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam itu bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak bergigi itu menyeringai dan tertawa.

“Heh-heh-heh-heh-heh!” Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!

Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah mahluk hidup, bukan mayat yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberanian­nya timbul kembali. Ia segera meman­dang penuh perhatian dan mendapat ke­nyataan bahwa biarpun kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi ku­rus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah kabur membuat mata itu seperti berwarna pu­tih semua.Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini menyem­bunyikan diri saja! Barulah sesudah tan­pa disengaja dia bertemu dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya di Pu­lau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan lagi dengan dunia ra­mai, bahkan dengan dunia kang-ouw.

Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat pertapaan yang paling digemari­nya adalah di dalam peti-peti mati be­kas mayat yang sudah tua sekali sehing­ga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka ma­nusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan kelaku­annya yang tidak lumrah manusia! Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang menjadi muridnya itu saja yang dapat mengua­sainya dengan bujukan-bujukan bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi anak kecil. Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin me­mikirkan Pulau Neraka yang dibumiha­nguskan oleh pasukan-pasukan pemerin­tah. Akan tetapi kakek itu nekat dan muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di da­lam peti mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbul­kan geger! Anehnya, kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul pula dua orang sutenya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang mengakibatkan tewas­nya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap kembali tanpa pamit!

Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia lupa akan penutur­an muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumihanguskan oleh pasukan pemerin­tah. Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam pe­tinya sehingga peti yang merupakan pe­rahu, dan tempat tidur itu, terbawa om­bak sampai minggir dan secara kebetul­an saja dia bertemu dengan Kwi Hong.

“Heh-heh-ha-ha-ha,bocah         kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau agaknya minta dihajar!” Cui­-beng Koai-ong yang sudah berdiri di de­pan Kwi Hong menegur dan biarpun dari kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mu­lutnya yang tak bergigi lagi itu cembe­rut, dan kedua kakinya bergantian diban­ting-banting ke atas pasir seperti se­orang anak kecil kalau marah dan kecewa.

Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata,

“Mohon maaf sebanyaknya, Locian­pwe. Karena tidak tahu maka saya bera­ni mengganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu....”

“Hayo berlutut dan mengaku kakek­mu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau mengampunimu!” Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa. Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja dia tidak sudi mengaku kakek itu seba­gai sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontar­kan kepada nama besar Pendekar Super Sakti.

“Locianpwe,” jawabnya dengan suara dingin, “saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Lo­cianpwe tidak menuntut yang terlalu be­rat. Locianpwe bukan sucouw saya, ti­dak mugkin saya mau mengakui Locian­pwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!” Setelah berkata demikian, Kwi Hong membalik­kan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan kakek yang menimbulkan ra­sa ngeri di hatinya itu.

“Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai Sucouw!”

Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima enam langkah, setelah mening­galkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya, tiba-tiba tubuhnya ter­henti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga mujijat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mujijat itu menyedot dan menahannya dari belakang!

Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sin-kangnya dan dia memaksa diri me­langkah ke depan. Kakinya dapat dige­rakkan, namun langkahnya tetap di tem­pat, sama sekali tidak dapat maju se­jengkal pun!

“Heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo kembali ke sini!”

Makin kagetlah Kwi Hong ketika tu­buhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan, hampir terjengkang. Cepat ia membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan kiri, dari mana menyambar tenaga yang dahsyat, yang menariknya, maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan orang yang memillki ilmu kepan­daian luar biasa dan yang tidak berniat baik terhadap dirinya. Dia merasa me­nyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia akan dapat melawan lebih ba­ik. Betapapun juga, melihat betapa ka­kek itu menyeringai mengerikan dan tu­buhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong membentak marah,

“Kiranya engkau iblis yang jahat!” Dia lalu meloncat ke depan dan memu­kul dengan tenaga Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh dari gadis perkasa ini.

“Cieeettt.... bukkk....!” Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bang­kit lagi sambil menggigil.

“Ihhh, dingin....! Eh, apakah kau dari Pulau Es?” tanyanya.

Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Namun kakek itu hanya terpental, dan cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia ketahui bah­wa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut.

“Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Maji­kan Pulau Es. Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin marah Pamanku!”

Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menye­ringai dan dari kerongkongannya keluar suara terkekeh, akan tetapi biji mata­nya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!

“Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan sekali. Sudah lama aku rindu untuk me­ngadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan muridnya, da­pat kuukur sampai di mana kehebatannya!” setelah berkata demikian, kakek itu menyerang!

Serangannya amat luar biasa, tubuh­nya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat ke arah Kwi Hong, kaki tangannya bergerak kacau akan tetapi tahu-tahu kedua tangan yang jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim li­ma kali totokan secara bertubi-tubi. Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat, atau semacam ulat yang ka­lau hendak meloncat selalu menekuk dan mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia meng­gerakkan tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapapun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok dan tubuhnya men­jadi iemas lumpuh.

 “Heh-heh-heh! Tidak seberapa!” Ka­kek yang mengerikan itu terkekeh, ta­ngannya bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar. Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah ber­hasil menotoknya lalu membebaskan to­tokan itu agar dia dapat melawan lagi. Perasaan ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia menjadi penasaran dan biarpun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan serangan cepat, mengunakan i1­mu silat yang ia pelajari dara paman­nya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun. Akan teta­pi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang aseli karena ilmu mujijat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebu­ah. Pendekar Super Sakti telah mencip­ta sebuah ilmu silat yang dasarnya mema­kai ilmu itu, akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki dua. Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sa­na ke mari dan pukulan kedua tangan­nya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang dirobah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.

“Hebat.... hebat.... eh, ilmu apa ini?” Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari dan kadang-kadang membe­ri komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu, “Eh, panas.... Hwi-yang Sin-ciang, ya? Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha, akan tetapi bukan apa-apa bagiku!”

“Plak! Plak!” Ketika Kwi Hong memu­kul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya dan.... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat terle­pas lagi seperti tersedot oleh hawa yang mujijat. Tubuhnya masih berada di uda­ra, kedua kaki ke atas dan kedua ta­ngannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!

“Heh-heh-heh!” Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangan­nya, tubuh Kwi Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang. Untung bahwa da­ra ini memiliki gin-kang yang sudah cu­kup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan kedua kaki yang ditekuk lututnya terle­bih dulu, tidak sampai terbanting. Kwi Hong melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Le­bih baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia meng­gunakan pedang itu dan dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari!

“Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi ke mana?”

Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biarpun kedua kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia dan kakek itu ada tu­juh meter jauhnya! Bulu tengkuknya ber­diri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian manusia!

Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh. Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka yang datang, dia le­bih celaka lagi! Dikerahkannya tenaga sin-kangnya, namun tetap saja tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh girang mempermainkan dara itu.

Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun seorang laki-laki berka­ki buntung sebelah. Pendekar Super Sak­ti Suma Han! Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanan­nya didorongkan ke depan di antara ke­ponakannya dan kakek itu. Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan “terpu­tuslah” tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hi­dungnya yang kecil mancung itu men­cium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor, akan tetapi kulit tubuhnya tidak sampai ter­luka. Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia melihat pamannya telah berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung rajawali yang kini bertengger di batu karang dan kelihatan tenang-tenang saja. Pamannya­lah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!

Suma Han berdiri dengan kaki tung­galnya, bersandar tongkat dan meman­dang kakek kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun memandang dan agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebetah sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti benang-benang perak itu.

“Kau.... kau.... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es....?” Kakek itu berta­nya, suaranya agak gemetar!

Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab dan sedang meneliti ka­kek di depannya. Dia tidak mengenal ka­kek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka yang pucat tak berda­rah, dan sukar sekali menaksir usia ka­kek ini, tentu lebih dari seratus tahun! Juga kulit pembungkus tulang tanpa da­ging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manu­sia, maka dia bersikap hati-hati. Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut!

“Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!”

Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut ke­palanya, kemudian terdengar dia berta­nya dengan suara halus dan hormat,

“Locianpwe siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?”

Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata, “Aku sudah meme­nuhi sumpah dan kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka sudah minta maaf. Sekarang, karena kita ber­temu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!”

“Locianpwe dari Pulau Neraka?” Su­ma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia merasa heran sekali. “Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?”

“Ketua Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka, ha-ha-ha! Kamilah yang sebetul­nya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua, aku Cui-beng Koai-ong dan Suteku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?”

Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu. “Mengapa Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?”

“Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman, ka­rena dia itu adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biar­kan saja! Kami senenek moyang kami telah disumpah untuk menjadi orang bu­angan dari Pulau Es, tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin? Maka kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah meru­pakan umpan agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es. Sayang, ke­tika kau berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Suteku sedang pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau Neraka, kita sama-sama         tidak berpulau, sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratus­an tahun itu kita selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayar­nya!”

“Nanti dulu, Locianpwe! Setelah Pu­lau Neraka dibumihanguskan oleh pasu­kan pemerintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?” Suma Han masih khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya.

“Dia? Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh dia, akan tetapi mengingat bah­wa puteranya menjadi muridku, maka.... eh, sudahlah, banyak ngobrol. Hayo kau­kalahkan aku!” Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju dengan gerak­an aneh namun ganas dan dahsyat seka­li ke depan, Suma Han mencelat ke atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek itu debu mengepul menandakan betapa he­batnya pukulan tadi.

“Kwi Hong, pergilah, tempat ini ber­bahaya untukmu!” Suma Han berkata ketika melihat keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya. Mendengar kata-kata yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak menyaksikan paman­nya yang sudah bertanding dengan kakek itu. Matanya menjadi silau dan pandang matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nya­wa saja, dan sama sekali tidak akan menguntungkan pamannya. Li-mo-kiam, sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini, Kwi Hong lalu mening­galkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma Han menjadi agak le­ga hatinya. Lawannya ini berbahaya se­kali, biarlah andaikata dia sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa ju­ga melihat betapa keponakannya itu lari seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata bernyali demikian kecil.

“Desss!” Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat ber­tumbukan ketika Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, ke­duanya terdorong mundur sampai lima langkah.

“Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan de­ngan kesaktian Bu Kek Siansu. Aku ma­sih sanggup menandingimu, ha-ha!” Ka­kek itu tertawa dan siap menerjang la­gi.

“Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Su­ma Han biarpun tinggal di Pulau Es dan menjadi pemimpin di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke Pulau Nera­ka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan tetapi perlu apa kita bertanding mati-ma­tian sedangkan kita mengalami nasib yang sama? Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita ha­rus saling gempur sendiri?”

“Cukup banyak bicara! Dendam Pu­lau Neraka yang turun-temurun harus di­lunasi sekarang juga!” Kakek itu memben­tak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang, atau seperti seba­tang tombak dilontarkan menuju ke tu­buh Suma Han. Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya men­jejak tanah dan tubuhnya sudah mence­lat ke atas mengelak. Kakek itu mena­han luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah mengirim pukulan derhsyat yang tidak da­pat ditariknya kembali, dan terus hawa pukulan itu menghantam jauh ke depan.

“Brakkkk!” Batu karang di mana bu­rung rajawali bertengger itu hancur. Bu­rung itu terbang dan memekik ketakut­an, kemudian hinggap di atas batu ka­rang yang lebih tinggi lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan.

“Bukan main.” Suma Han diam-diam memuji, “Kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.”

Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang, Ilmu Soan-hong-lui-kun membu­at tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari, seolah-olah seekor kum­bang yang beterbangan di atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga berkali-kali kakek itu mengelu­arkan seruan memuji.

“Bukkk!” Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia hanya tergetar saja dan ter­huyung, sama sekali tidak terluka, pada­hal tamparan Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan seba­tang pohon yang besarnya setubuh manusia!

Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena de­ngan Ilmunya Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandingi­nya dalam hal kecepatan, juga dalam hal tenaga sin-kang, keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya keti­ka mereka tadi mengadu tenaga dan sa­ling terpental ke belakang. Akan tetapi kakek ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menye­rang dengan tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.

Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok ke­pala kakek itu. Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat tongkat­nya mengenai kepala dan diam-diam Su­ma Han menyesal karena sesungguhnya dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.

 “Trakkk!”

Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan teta­pi sama sekali tidak terluka! Bukan ma­in! Kalau kekebalannya itu sudah menja­lar sampai ke kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana dia harus menga­lahkan kakek ini. Satu-satunya jalan ba­ginya hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu. Dan dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang mata­nya yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan pu­kulan maupun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat ditangkis dengan le­ngan tangannya yang biarpun hanya tu­lang terbungkus kulit, namun amat kuat dan kebal itu.

Diam-diam Suma Han menghela na­pas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan dapat menang? Tu­buh lawan tak dapat dia lukai, sedang­kan dia selalu harus mengelak dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu, sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat bertahan kalau begini?

Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong ju­ga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat cepatnya, mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit ke bu­kit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk me­nyerang dengan tepat.

Tiba-tiba Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan sebelah kakinya, kedua lengannya berse­dekap dan tongkatnya dikempit. Tiba-tiba dari ubun-ubun kepala Pendekar Siluman itu keluar bayangan Suma Han yang memegang tongkat dan bergerak-gerak hendak melawan kakek itu. Seje­nak kakek itu melongo, kemudian terke­keh-kekeh dan tanpa mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma Han yang masih bersila.

“Aihhhh!” Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini juga kebal terhadap kekuatan mujijat! Dia mencoba lagi, mengerahkan pandang matanya dan membentak,

“Cui-beng Koai-ong, robohlah!” De­ngan tongkatnya ia menuding dan baik dalam sinar mata, maupun dalam suara dan gerakan tangannya itu terkandung hawa mujijat yang amat berpengaruh.

“Heh-heh, nanti dulu. Aku belum ka­lah mana mau roboh?” jawab kakek itu dan menyerang terus.

Suma Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mujijat dalam diri­nya, tidak mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali bertapa di antara mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia itu, sehingga dia te­lah memiliki kekebalan terhadap segala pengaruh batin dan ilmu sihir.

Pertandingan dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan ilmu-ilmunya yang tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan, batu-batu karang yang berdekatan pecah berantak­an dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tumbang, mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari jauh, pantasnya ada dua ekor gajah yang mengamuk dan sa­ling serang itu, bukan seorang kakek yang seperti mayat hidup dan seorang yang sebelah kakinya buntung.

“Heh-heh, aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!” Tiba-tiba kakek itu berkata dan.... dia melem­par tubuh ke belakang, kakinya mencelat ke depan dan menendang bergantian ke arah muka dan pusar Suma Han. Pende­kar ini terkejut sekali, merendahkan tubuh mengelak tendangan ke mukanya dan menangkis dengan tangan kirinya ke arah kaki yang menendang pusar.

“Desss!” Tubuh kakek itu terpelan­ting dan dia bergulingan sambil menye­ringai, akan tetapi ia segera bergulingan dan rebah terlentang! Suma Han menja­di girang karena maklum bahwa dia me­nemukan titik kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada telapak kakinya. Buktinya, kalau bagian tubuh lain amat kebal, te­lapak kaki itu ketika bertemu dengan tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan bahwa telapak kakek itu tidaklah sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah mencelat ke atas dan melihat kakek itu rebah terlentang, dia segera meluncur turun dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya men­dorong ke atas.

“Wusss.... bukkk!” Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke atas tanah, akan tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan main akan ilmu kakek yang aneh ini. Kiranya dengan tubuh terlentang itu, pukulan Si Kakek menjadi berlipat ganda kuatnya, seolah-olah kakek itu telah memperguna­kan daya tahan bumi!

Dan kakek itu tertawa, tetap terlen­tang. “Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong berloncatan itu sekarang!”

Suma Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik se­kali. Kelihaian Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak kaki tunggal yang memantul menurut keseim­bangan tubuh yang berkaki satu, dan dengan kecepatan itu membingungkan lawan dan dapat mengirim serangan tiba-tiba dari samping, depan atau belakang lawan. Kini kakek itu hanya rebah ter­lentang, tentu saja tubuh bagian bela­kang terlindung tanah, juga sukar menye­rang dari kanan kiri. Satu-satunya tem­pat untuk diserang hanyalah depan dan yang depan ini terlindung oleh kedua tangan kakek yang mempunyai kekuatan lipat ganda setelah rebah terlentang itu. Benar-benar sukar mengalahkan kakek ini. Namun Suma Han yang juga mera­sa penasaran, masih terus menyerang dengan tongkat dan tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek itu sambil “tiduran” seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan tu­run berdiri ke atas tanah, tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu meluncur dan menyerangnya dengan dahsyat, ba­gaikan tombak besar dilontarkan kepada­nya! Dan kalau dia menggunakan Soan-hong-lui-kun, kembali kakek itu rebah terlentang!

Dua ratus jurus lewat dan pertan­dingan antara dua manusia sakti dan aneh itu masih berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan belum ada yang terdesak. Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han bertemu dengan lawan yang begini lihai, yang kesaktiannya mengatasi semua lawan sak­ti yang pernah dilawannya.

“Heh-heh-heh, kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba se­karang kau terima ini!” Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba mengeluar­kan pekik dahsyat yang mendirikan bulu roma, tidak seperti manusia lagi dan tu­buhnya sudah mencelat dan menubruk ke arah Suma Han dengan kedua tangan terpentang. Dari kedua tangan itu me­nyambar hawa yang berputar-putar seperti angin puyuh dan Suma Han mak­lum bahwa kalau dia mengelak, ada ba­hayanya dia terkena sambaran angin pukulan itu. Jalan satu-satunya yang pa­ling aman adalah menyambut pukulan itu, mengadu sin-kang, keras lawan ke­ras. Apalagi dia memang sudah bosan untuk terus bermain kucing-kucingan dengan kakek ini, maka jalan satu-satu­nya untuk menentukan kemenangan ha­nyalah mengadu tenaga sin-kang yang ia percaya tidak akan kalah mengingat bahwa dia telah berlatih sampai matang di Pulau Es.

Suma Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangannya menerima dorongan kakek itu.

“Jieeetttt!” Dua pasang tangan berte­mu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk, saling mengerahkan sin-kang yang mengalir penuh melalui kedua pasang tangan mereka. Pertandingan ma­ti-matian terjadi karena kini tidak ada lagi istilah mengelak. Yang ada hanya saling menekan dan mendorong, dan sia­pa kalah kuat tentu akan binasa!

Kedua orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu nya­wa, lebih mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Keduanya berdiri tanpa bergerak, tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Akan tetapi kalau orang melihat kedua kaki Si Kakek dan kaki tunggal Pendekar Su­per Sakti, orang akan terkejut melihat kaki mereka itu amblas ke dalam tanah sampai selutut! Lebih dari setengah jam mereka mengadu sin-kang ini. Dari ubun-ubun kepala Suma Han keluar uap putih, sedangkan dari kepala botak kakek itu mengepul uap kehitaman. Muka kedua orang sakti itu penuh keringat yang be­sar-besar dan mata mereka saling pan­dang tanpa berkedip.

Pada saat itu tampak bayangan ber­kelebat dan Kwi Hong telah datang de­ngan pedang di tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat. Li-mo-kiam sebatang dari Sepasang Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi, Kwi Hong yang melihat betapa pamannya mengadu sin-kang dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya, lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu.

Cui-beng Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti kilat yang mendatangkan hawa yang mujijat itu, tahulah dia bahwa pedang itu meru­pakan pusaka yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik mengerikan, dari mulutnya menyembur darah merah ke arah muka Suma Han. Pendekar sakti ini kaget, cepat dia pun mengerahkan tenaganya sekuatnya mendorong, mem­barengi gerakan kakek itu yang juga mendorong dan keduanya terpental ke belakang, sedangkan pedangnya tidak mengenai sasaran. Melihat pamannya ter­pental dan terhuyung, juga kakek itu terhuyung, Kwi Hong cepat menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata kakek itu. Sekali ini, Cui-beng Koai-ong tidak berani menangkis, hanya cepat me­ngelak dan tangannya meluncur ke de­pan, hendak merampas pedang sedang­kan tangan kanannya mencengkeram ke­pala Kwi Hong.

Dara itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir terampas sembil melempar tubuh ke be­lakang, namun tetap saja pundaknya tersentuh jari tangan kakek itu dan ia ter­pelanting, merasa betapa seluruh pundak kirinya seperti lumpuh!

“Heh-heh-heh, pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!”

Kakek ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar pedang melindungi tubuhnya. Untung ia melakukan hal ini karena kalau hanya mengelak, tentu dia akan celaka. Kece­patannya masih kalah jauh, tidak dapat mengelak hawa sin-kang kakek yang lu­ar biasa itu. Akan tetapi begitu ia me­mutar pedang, membuat pedang itu membentuk gulungan sinar yang merupa­kan perisai bagi tubuhnya, kakek itu ti­dak berani menyerangnya.

Suma Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa hawa panas menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan napas dan tahulah dia bahwa adu tena­ga tadi telah membuat dia terluka sebelah dalam tubuhnya! Dia tidak tahu bah­wa kakek itu pun terluka di sebelah dalam, dan karena Si Kakek nekat menyerang Kwi Hong maka tidak tampak bah­wa kakek itu pun terluka.

Karena khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan melarikan diri karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka Suma Han berkata, “Kwi Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!”

Biarpun seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong, akan tetapi tanpa ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari gulung­an sinar pedang itu meluncur sinar kilat yang membabat ke arah telapak kedua kaki Cui-beng Koai-ong! Kakek ini ka­get, sama sekali tidak mengira bahwa rahasianya telah diketahui Suma Han, maka tentu saja dia tidak mau membiar­kan bagian tubuhnya yang tidak begitu kebal itu tertusuk atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang itu, terpaksa ia mengibaskan tangannya menangkis.

“Crakkk!” Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari kelingking tangan kiri kakek itu pun ter­babat putus oleh Li-mo-kiam! Anehnya, tidak ada darah keluar dari luka itu!

Si Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma Han cepat meloncat pula ke depan.

“Bresss!” Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar lagi ke belakang. Suma Han merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, akan tetapi kakek itu masih dapat bang­kit dengan cepat. Kwi Hong melihat bahwa pamannya tetap duduk di atas tanah, akan tetapi kakek itu pun berdi­rinya bergoyang-goyang tidak tegak lagi. Melihat ini, dan karena hatinya besar menyaksikan betapa pedangnya dapat membuntungi kelingking lawan, ia me­nerjang lagi, menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah kepala. Kini dia me­rasa yakin bahwa pedangnya akan dapat menembus kekebalan kakek luar biasa itu.

“Trangggg.... aihhhh!” Kwi Hong men­jerit kaget ketika pedangnya tertolak ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah yang memegang pedang persis pedang­nya sendiri, hanya agak lebih panjang! Ternyata pedang pemuda itu sanggup menandingi pedangnya dan ia teringat kini wajah yang tampan itu, dan ingat pula akan cerita Bun Beng, bahwa pe­dang Lam-mo-kiam terampas oleh pute­ra Pulau Neraka.

“Kau....? Keparat....!” Dia membentak.

Akan tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan kirinya, kemudian setelah me­mandang dengan mata mendelik penuh kebencian kepada Suma Han, lalu melon­cat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, meninggalkan pantai itu.

“Tunggu,         jahanam....!” Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.

“Kwi Hong, jangan kejar....!” Suma Han berseru. Dara itu berhenti, mene­ngok dan terkejutlah dia ketika melihat pamannya muntahkan darah segar dari mulutnya.

“Aihhh, Paman....!” Ia meloncat meng­hampiri.

Akan tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuh­nya. “Tidak apa-apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi gerakannyapun hebat. Kalau kau menge­jar, bisa berbahaya.... coba ambilkan tongkatku....”

Kwi Hong mencabut tongkat paman­nya dan menyerahkan kepadanya. “Mari kita menemui bibimu Phoa Ciok Lin....” katanya menuding dan dari utara tam­pak Phoa Ciok Lin datang berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang tokoh Pulau Es yang membawa senjata. Mereka su­dah mendengar dari Kwi Hong akan munculnya kakek sakti dan hendak mem­bantu. Alis Ciok Lin berkerut penuh ke­khawatiran ketika ia melihat Suma Han terluka, namun Suma Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung rajawali yang segera terbang turun.

“Rajawali Pulau Neraka....” katanya tersenyum duka. “Beterbangan bingung kehilangan tempat, dapat kutundukkan.... kau pelihara baik-baik Kwi Hong. Mari kita ke tempat kalian.... aku perlu mengaso....”

Dengan perawatan penuh perhatian dan teliti oleh Phoa Ciok Lin, Suma Han mengobati sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur napas dan bersamadhi. Dia seringkali tampak ter­menung memikirkan perkembangan hidup­nya yang makin diselimuti kesukaran dan kegagalan. Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia teringat akan Nirahai dan Lulu, dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan pemerintah. Di dalam perjalanannya, dia mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah hancur dan terbakar. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat anak buahnya yang telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma Han mengubur semua mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan pulau itu dan cepat menuju ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar bahwa pulau ini pun menjadi sasaran penyerbuan pasu­kan pemerintah pula. Juga di pulau ini dia melihat kehancuran, hanya tidak ada sebuah pun mayat di situ. Di pulau inilah ia bertemu dengan rajawali yang da­pat ia tundukkan ketika rajawali yang kebingungan itu menyerangnya. Kemudi­an dia menunggang rajawali, dengan ni­at untuk mencari Maharya, merampas Hok-mo-kiam dan menghukum orang-orang yang telah menghancurkan kedua pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu Bhong Ji Kun. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemui mereka karena mere­ka itu pergi ke Cui-lai-san, di mana di­adakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas undangan Thian-liong-pang.

Suma Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari udara. Dia tidak akan mau mencam­puri, karena dia maklum bahwa pasukan pemerintah pasti tidak akan mudah di­lawannya dan dia harus menanti kesem­patan yang lebih baik untuk menghadapi Bhong Ji Kun dan pembantu-pembantu­nya, tanpa ribuan orang pasukan yang menjaganya. Maka terbanglah rajawali itu ke utara, di mana dia tahu tentu bersembunyi sisa anak buahnya di pantai utara yang telah ia beritahukan Phoa Ciok Lin sebagai tempat mengungsi kalau terjadi sesuatu di Pulau Es. Memang jauh sebelum peristiwa menyedih­kan di Pulau Es, Suma Han telah ber­siap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat pergi mengungsi karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak buah Pulau Neraka bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang yang makin besar ke­kuasaan dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap memusuhi Pulau Es.

Demikianlah, secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya teran­cam oleh kakek yang amat lihai sehing­ga akhirnya dia sendiri terluka. Kurang lebih sebulan kemudian, sembuhlah luka­nya, akan tetapi kembali Suma Han ha­rus mengalami tekanan batin ketika mendengar bahwa Kwi Hong telah me­ninggalkan tempat itu tanpa pamit, ti­dak tahu ke mana perginya dan tak seorangpun mengetahui apa kehendak dara yang kadang-kadang memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu, Suma Han menghela napas panjang.

“Biarlah, dia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya aku khawatir, dengan pedang itu di tangan­nya, akan terjadi banyak bencana. Mu­dah-mudahan saja tidak demikianlah.”

 “Taihiap, mengapa kau tidak minta saja pedang itu? Sepasang Pedang Iblis adalah pedang yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji me­miliki dasar yang baik dan kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan pe­dang itu benar-benar mengandung hawa yang mengerikan.”

“Hemmm, betapa mungkin kuminta? Pedang itu adalah pemberian Gak Bun Beng, aku tidak berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke tangan Tuhan, dan aku sendiri akan mencari Hok-mo-kiam, karena hanya dengan Hok-mo-kiam sajalah Sepasang Pedang Iblis dapat ditundukkan. Yang berada di ta­ngan Kwi Hong kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan tetapi yang berada di dangan anak itu....” Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah pemuda tampan murid Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian. Pemuda itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!

“Anak yang mana, Taihiap? Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?”

Suma Han mengangguk “Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka....”

“Aihhhh....!” Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia sampai lupa diri dan menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar akan hal ini, cepat-cepat dia menarik kembali tangannya dan menarik napas panjang. “Putera.... Lulu....?”

Suma Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan orang lain, seperti bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak kecil ada­lah wanita inilah. Tentu Kwi Hong telah menceritakan semua pengalamannya ke­tika terculik di Pulau Neraka.

“Lalu.... bagaimana baiknya, Taihiap?”

“Aku harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku harus menghajar mereka yang menghancurkan Pulau Es dan Pulau Ne­raka. Aku harus mencari Lulu dan Nira­hai.... dan aku akan mengumpulkan Sepa­sang Pedang Iblis untuk kuhancurkan agar kelak jangan menimbulkan banyak keributan lagi di dunia ini,” kata Suma Han dengan suara tegas.

Ciok Lin menghela napas panjang lagi. “Mudah-mudahan kau berhasil, Tai­hiap. Terutama sekali.... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan berhasil berkumpul lagi dengan mereka....” Terde­ngar suara wanita itu yang mengandung isak tertahan. Kini Suma Han yang menggerakkan tangan memegang lengan­nya.

“Ciok Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung di dalam hatimu, dan aku merasa betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku. Akan tetapi, engkau pun tentu tahu pu­la akan keadaan hatiku, Ciok Lin. Andai­kata tidak ada kedua orang wanita itu di dunia ini, aku tentu akan berbahagia sekali hidup bersamamu. Akan tetapi, mereka....”

Phoa Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehtngga dua titik air mata yang bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa diri tersenyum dan memaksa wajahnya berseri ketika berkata.

“Taihiap, saya mengerti bahwa hidup­mu hanya untuk Lulu dan Nirahai.... dan saya bukanlah seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya akan merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup baha­gia bsrsama mereka.”

Suma Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh rasa syukur dan berterima kasih. “Eng­kau seorang wanita yang amat mulia, Ciok Lin,” katanya dan kata-kata ini memang keluar setulusnya dari dalam hati. Dia maklum bahwa cinta kasih se­perti yang terdapat di hati Ciok Lin terhadap dirinya itulah yang mcrupakan cinta kasih murni, cinta yang bebas dari rasa sayang diri, bersih dari rasa ingin memiliki dan ingin senang untuk diri sendiri, melainkan seratus prosen ditujukan untuk melihat orang yang dicinta ber­bahagia.

Phoa Ciok Lin makin berseri wajah­nya. Dia maklum bahwa biarpun semen­jak tinggal di Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah yang tiada keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula sia­pa orang yang dicintainya. Dia tahu bah­wa tak mungkin dia dapat mengharap­kan cinta kasih Suma Han terhadap diri­nya. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau dapat bersahabat dengan pendekar ini, apalagi dianggap sebagai seorang sahabat yang baik! Me­lihat betapa pelimpahan cintanya mem­buat pendekar itu makin merasa berdo­sa dan berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan pertanyaan yang serius.

“Taihiap, kalau engkau pergi menca­ri Hok-mo-kiam dan memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah dengan anak buah kita? Agaknya pada waktu seka­rang, tidak mungkin lagi bagi kita untuk kembali ke Pulau Es, dan untuk membi­arkan mereka tinggal di tempat ini seba­gai buronan yang bersembunyi, amat menyengsarakan mereka pula. Apakah yang harus saya lakukan, Taihiap?”

“Engkau benar, Ciok Lin. Memang te­lah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahu­lu aku tidak bermaksud mendirikan se­buah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya karena kasihan melihat anak murid In-kok-san dan para be­kas pejuang yang tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau yang banyak peng­huninya dan aku dianggap sebagai Ma­jikan atau Ketua Pulau Es. Karena pulau kita terkenal, maka timbullah penen­tang-penentangnya dan hal itu sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, sete­lah kini pulau kita dihancurkan pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pu­lau Es. Kau keluarkan semua pusaka dan harta yang dapat kaularikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu kepada me­reka agar mereka dapat menggunakan­nya sebagai modal dan hidup di dunia ramai, membentuk keluarga yang baha­gia. Semua itu kuserahkan kepadamu untuk mengatur seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin.”

“Ohhh, saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan terbaik. Akan tetapi, me­ngerjakan perintah Taihiap itu dapat sa­ya selesaikan sebentar saja, harap Tai­hiap suka menyaksikannya dan mening­galkan kata-kata perpisahan untuk mere­ka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya untuk.... pergi bersama Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan menemukan kembali kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan mengganggu, saya.... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang Taihiap cinta, selama-lamanya....”

“Ciok Lin, harap jangan bicara seper­ti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan. Bhong-koksu dan teman-teman­nya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan, apalagi kini muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini menyembunyi­kan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin. Engkau be­lumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu. Engkau ma­sih belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk sebu­ah keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan, biarlah aku pergi lebih dulu sekarang ju­ga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenang­kan.” Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu untuk membantah, Suma Han me­nekankan tongkatnya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang duduk anteng di atas punggung rajawali itu.

Phoa Ciok Lin kini tidak dapat me­nahan lagi air matanya yang turun ber­cucuran ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan kedua tangan sedangkan mulut­nya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. “Duhai, Suma Han.... betapa aku dapat menikah dengan orang lain? Apa artinya hidup bagiku kalau harus berpisah dari sampingmu?”

Beberapa hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembu­nyian para penghuni Pulau Es itu menja­di sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi mencari jalan hidup masing-masing dan orang terakhir yang mening­galkan tempat itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi masih cantik, berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar matanya mengan­dung kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang wanita ber­ilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang kang-ouw!

Ke mana perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah la­ma sekali dia terdorong oleh hasrat un­tuk pergi meninggalkan pantai laut, per­gi merantau. Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun Beng! Semenjak dia dito­long oleh pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada pemuda itu.

Setelah pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus mambantu Ciok Lin mon­jaga para anak buah Pulau Es yang mangungai di situ, menanti sampai pa­mannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biarpun pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis bertanding me­lawan kakek yang seperti mayat hidup itu, numun dia percaya bahwa pamannya yang sakit akan dapat sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di situ, tanaga bantuannya tidak dibutuhkan lagi.

Dengan sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong meninggalkan pantai, melakukan perjalanan ce­pat barlari-larian menuju ke selatan, melalui sepanjang pantai laut. Dia mera­sa gembira, merasa bebas seperti seekor burung di angkasa. Dia akan memperlihatkan kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Su­per Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa yang akan memba­las terhadap mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es! Dia akan mem­perlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu memberi pe­dang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya ka­rena dengan pedang itu, dia akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan membas­mi penjahat-penjahat, akan melakukan hal-hal yang lebih hebat daripada yang telah dilakukan oleh guru dan paman­nya, Pendekar Siluman!

Langkahnya cepat sesuai dengan ha­tinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang usianya sudah cukup dewa­sa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan sinar matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun! Wajahnya bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua di belakang ke­pala, dijadikan dua buah kuncir yang be­sar dan dibiarkan bermain-main di punggung dan pundaknya kalau dia berjalan. Anak rambut halus berjuntai di atas da­hi dan di depan kedua telinganya, me­lingkar indah seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-sinar penuh gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bah­kan ada sinar memandang rendah kepa­da segala apa yang dihadapinya. Hidung­nya mancung dan mulutnya dijaga sepa­sang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali berubah-ubah, kalau terse­nyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut amat menyeramkan se­perti awan gelap mengandung kilat. Pakaiannya terbuat daripada sutera berwar­na yang halus mahal, akan tetapi ben­tuknya sederhana. Betapapun juga, sega­la macam pakaian yang menempel di tu­buh itu takkan mungkin mampu menyem­bunyikan bentuk tubuh dara yang sudah padat dan masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat, seolah-olah hendak memberontak dari kungkungan pakaian yang mengurungnya. Ketika dia berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa dibuat-buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh keserasian, mengandung daya tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata kaum pria!

Setelah melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi Liau-neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat daripada musuh-musuh yang harus dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau Es itu datang dari kota raja dan dipimpin oleh Koksu ne­gara yang tentu berdiam di kota raja? Sebelum Bun Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es mengungsi, pemuda itu sudah menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang memban­tu Koksu menghancurkan Pulau Es. Mere­ka adalah kedua orang Lama yang menu­rut pamannya amat lihai dan adalah mu­suh-musuh lama pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama dan ditam­bah lagi dua orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya! Dia harus mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk membalas kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk berusaha meram­pas kembali Hok-mo-kiam dari tangan Si Sasterawan Gila, Tan-siucai. Dia mak­lum bahwa semua lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan teta­pi dia tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan siapapun juga. Bahkan kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu melawan dan mendesaknya! Apalagi yang lain-lain itu! Siapa lagi musuh-musuhnya? Demi­kian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan perjalanannya. O, ya! Thian-liong-pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang yang menurut kabar adalah perkum­pulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang pernah menculiknya adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang pamannya untuk memusuhi.... eh, siapa namanya? Oh, dia ingat sekarang. Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan me­musuhi Bibi Lulu, akan tetapi bocah kurang ajar itu!

Kwi Hong menggigit bibirnya dengan gemas kalau teringat kepada Wan Keng In! Bocah itu tentu putera Bibi Lulu, pi­kirnya. Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu ketika masih kecil saja sudah na­kal luar biasa. Apalagi sekarang! Dan ketika menolong Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam berada di tangan­nya! Dia harus mengalahkan bocah itu dan merampas Lam-mo-kiam karena se­betulnya Bun Beng yang berhak atas pedang itu!

Hari telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu me­masuki dusun Kang-san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu ma­suk ke sebuah restoran di pinggir jalan.

Ketika para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandang­nya dengan terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki memandangnya terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia alami semenjak dia berusia lima belas tahun dan melakukan perantauannya keluar Pulau Es. Mula-mula memang dia marah-marah dan seringkali dia menghajar pe­milik mata yang memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing meli­hat daging itu, akan tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak mengacuhkan lagi ketika semua laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyam­but kehadirannya dengan mata terbela­lak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi Hong bahwa dia adalah seorang dara yang can­tik menarik. Teringat akan ini, makin girang hatinya karena terbayang oleh­nya betapa di antara sekian banyaknya mata laki-laki yang bengong mengagumi­nya terdapat sepasang mata Bun Beng! Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.

“He, Bung Pelayan! Ke sinilah!” Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga berdiri di sudut melongo memandangnya.

Ketika ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aih, pandang mata mereka itu tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm, apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka apa sih? Tak puas hati Kwi Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia mem­bentak,

“Heii, mengapa semua orang meman­dangku seperti anjing-anjing takut di­gebuk?”

Seketika mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pan­dang mata ke bawah, bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.

“Maaf.... maaf.... Lihiap. Kami.... eh, kami tidak apa-apa, hanya kagum meli­hat kegagahan Lihiap....”

“Hushhh! Bohong kamu!” Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja. “Kressss!” Ujung meja kayu itu patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu hancur menjadi tepung! “Hayo terus te­rang bicara kalau hidungmu tidak lebih keras daripada kayu ini!” Kwi Hong men­desis lirih, akan tetapi penuh ancaman.

Otomatis tangan kiri Si Pelayan me­raba hidungnya, matanya melotot me­mandang tangan dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan re­muk kalau kena dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah sampai kepala dan leher­nya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa dapat mengeluarkan sua­ra, akhirnya dapat juga dia bicara,

“Maafkan saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum melihat Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu se­ring kali muncul gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. En­tah betapa banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama beberapa hari terjadi pertan­dingan-pertandingan yang menggegerkan penduduk, terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu melihat Lihlap, kami menyangka bahwa Lihiap tentulah se­orang di antara mereka dan kami kagum sekali.”

Kwi Hong sudah menjadi sabar kem­bali. “Hemm, buka mata lebar-lebar se­belum menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi godok istimewa!”

“Istimewa? Maksud Lihiap....?”

“Bodoh! Bakmi istimewa berarti pa­kai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!”

“Eh, araknya pakai telur?” Pelayan itu melongo.

“Tolol kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di sini.” Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya tidak marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang dianggapnya bodoh itu, apalagi ada beberapa orang tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli biarpun mereka me­nyembunyikan tawa mereka dengan menutupi muka atau memutar tubuh mem­belakanginya.

Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong dan pada saat itu ter­dengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara derap kaki kuda itu ber­henti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para penunggang kuda yang duduk tegak di atas punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan pimpinan me­reka adalah seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong tertarik sekali.

“Siapakah mereka itu?” tanyanya kepa­da pelayan yang sedang menaruh pesanan­nya ke atas meja dengan sikap hormat.

“Ah, sekarang saya yakin bahwa No­na bukanlah seorang di antara mereka. Mereka itulah rombongan yang saya ce­ritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun ini, setiap malam terjadi per­tandingan dan pada keesokan harinya tampak macam-macam orang bergelimpangan.”

“Mayat-mayat siapa?”

“Orang-orang yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini.”

“Apakah rombongan itu orang jahat?”

“Sukar dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin mereka selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan tetapi, kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka itu memiliki kepandaian seperti iblis!”

“Hemmm....” Kwi Hong mulai me­nyumpit bakminya, akan tetapi sebelum memasukkannya ke mulutnya yang kecil dia bertanya lagi, “Rombongan orang apa­kah itu! Dan apa namanya?”

“Saya tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang yang....”

“Hem, Thian-liong-pang?” Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti dan Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan. “Kudengar tadi kuda mereka berhenti tak jauh dari sini, mereka ke mana?”

“Mereka bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini, hanya terpisah tujuh ru­mah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu, terpaksa harus meninggalkan pengi­napan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada belasan orang. Hemm, hati para penduduk men­jadi gelisah terus selama mereka berada di sini, Nona. Sungguhpun kami tidak pernah diganggunya, akan tetapi semen­jak mereka datang, suasana menjadi pe­nuh ketegangan dan hati siapa tidak akan menjadi ngeri kalau melihat hampir seti­ap malam terjadi pembunuhan? Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi tentang mereka.” Pelayan itu pergi dan Kwi Hong menjadi panas hatinya. Hemm, orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini? Harus dia selidiki!

Malam hari itu Kwi Hong menyem­bunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandai­annya meloncat ke atas genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus oerloncatan, mengerahkan gin-kangnya sehingga kedua kakinya tidak menimbul­kan suara gaduh, terus berlompatan menuju ke rumah penginapan di mana bermalam orang-orang Thian-liong-pang yang akan dia selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan rumah, kelihatan sunyi sekali.

Tiba-tiba Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian gelap ketika pandang ma­tanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang dari sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng mempergunakan gin-kang yang cukup lumayan. Ketika mereka lewat de­kat, Kwi Hong dapat memandang wajah mereka di bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan yang menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang. Mereka ada­lah tiga orang laki-laki setengah tua, yang dua orang berpakaian seperti pera­nakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang berpakaian seorang pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah mengherankan karena di dusun itu yang termasuk Propinsi Liu-neng, daerah utara, banyak terdapat orang-orang bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan te­tapi yang membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka. Mereka tentu bu­kan orang biasa, karena mereka menggu­nakan jalan di atas genteng seperti dia. Tentu mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong un­tuk melakukan hal ini karena tingkat gin-kang mereka itu masih jauh di bawahnya sehingga dia dapat membayangi me­reka tanpa mereka ketahui.

Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke rumah penginapan di ma­na orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi tempat yang akan diselidiki­nya. Apakah tiga orang itu anggauta rombongan mereka?

Pertanyaan ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara mereka, yang berpakaian sas­terawan atau pelajar, berseru nyaring,

“Manusia-manusia penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhia­nat bangsa! Keluarlah kalian! Kami ber­tiga, Sepasang Biruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok, datang untuk membalas kematian kawan-kawan seper­juangan kami!”

Kwi Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ dan memandang ke depan pe­nuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut Thian-liong-pang se­bagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang ini dan mengapa pu­la Thian-liong-pang mereka sebut peng­khianat bangsa? Sepanjang pendengaran­nya Thian-liong-pang adalah sebuah per­kumpulan yang besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah perkumpulan atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah pengkhianat bangsa. Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka dia mengambil keputusan untuk mendengarkan dan me­nonton saja tanpa mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti bahwa Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah dia akan turun tangan membasmi mereka!

Tiba-tiba suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang berpakaian sasterawan yang ber­nama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil Besi) itu, “Heeiii, kali­an orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah pemberontak hina yang mengguna­kan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk mengelabuhi mata rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang yang mencari kedudukan dan ke­sempatan untuk merampok? Kalau sudah bosan hidup, turunlah!”

“Ha-ha-ha! Orang lain boleh jadi ta­kut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Biruang dari Utara tidak takut kepada siapapun juga!” Seorang di an­tara kedua orang peranakan Mongol ta­di tertawa bergelak, perutnya yang gen­dut berguncang.

“Kalian hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang berani!” kemba­li suara halus tadi menantang.

Tiga orang itu mencabut senjata ma­sing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok men­cabut sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat dari­pada besi, sedangkan kedua orang Mo­ngol itu mencabut sepasang tombak pendek masing-masing, kemudian ketiganys melayang turun ke pekarangan be­lakang rumah penginapan yang diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan cepat, se­perti tiga ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di atas tanah, ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar melindungi tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan. Aksn tetapi ternyata ti­dak ada senjata rahasia yang menyam­bar ke arah mereka, bahkan dengan si­kap tenang sekali muncullah tiga orang kakek yang rambutnya panjang riap-riap­an dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu dan menyambut mereka de­ngan senyum mengejek.

Kwi Hong cepat menyelinap dekat dan mendekam di atas wuwungan, sam­bil bersembunyi mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti menga­pa Thian-liong-pang bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu tidaklah bermusuh­an pribadi, melainkan karena urusan pe­merintah dan agaknya jelas bahwa Thian-liong-pang berada di pihak yang memban­tu pemerintah sedangkan dua orang Mo­ngol dan sasterawan itu adalah penen­tang-penentang pemerintah. Akan tetapi Kwi Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu ber­pesan agar dia tidak mencampuri urusan pemerintah.

“Urusan yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet,” demikian antara lain pamannya berpesan, “ka­rena itu jangan sekali-kali engkau melibat­kan diri dengan urusan pemerintah. Ba­nyak terjadi pertentangan dan permusuh­an karena pro atau anti suatu pemerin­tahan yang hanya terseret oleh rasa per­tentangan golongan ataupun terdorong oleh ambisi pribadi untuk mencari kedu­dukan saja. Di dalam perebutan keduduk­an itu terdapat lika-liku yang amat ruwet.”

Tidaklah mengherankan kalau Pende­kar Super Sakti memesan muridnya atau keponakannya ini agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena perta­ma-tama, Kwi Hong sendiri adalah pute­ri seorang pembesar Mancu. Apalagi ka­jau diingat isterinya sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik ang­katnya, wanita yang dicintanya sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Man­cu. Bagaimana dia dapat menentang pemerintah Mancu?

Kwi Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang itu kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan kosong. Gerakan Sepasang Biruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang tombak pendek di tangan mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan mereka dahsyat sekali. Adapun permainan sepasang pit di tangan sasterawan itu halus gerakannya namun juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sasterawan setengah tua itu.

Namun diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biarpun mereka bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga puluh jurus saja Kwi Hong sudah dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama sekali bukanlah tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang saja sudah sedemikian hebat, apa­lagi kalau belasan orang Thian-liong-pang keluar semua! Dan pemimpin mere­ka tentu lihai bukan main!

Kwi Hong tidak tahu siapa yang be­nar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah itu dan tadinya diapun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana. Akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja dengan mengantar nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apalagi mengingat akan penuturan pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh banyak orang. Tangan kanannya meraba gen­teng, memecah tiga potong yang digeng­gamnya dan dia berseru ke bawah,

“Sia-sia membuang nyawa dengan ne­kat bukanlah perbuatan gagah, melain­kan perbuatan goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri tidak mau pergi, lebih tolol lagi!”

Tiba-tiba tiga sinar hitam kecil me­nyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang yang sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi hanya seorang sa­ja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh lalu meloncat bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena tertotok sambitan potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat betapa tiga orang lawan mereka yang lihai di­serang secara gelap, tiga orang penyer­bu itu cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru,

“Terima kasih atas pertolongan Li­hiap!” Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun ta­ngan, tentu mereka akan tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas gen­teng, ketiganya lalu pergi lari secepat­nya menghilang di dalam kegelapan malam.

“Manusia sombong yang lancang ta­ngan!” Tiba-tiba terdengar bentakan nya­ring dan halus dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul muncul­nya banyak orang yang dipimpin oleh se­orang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih terang karena di antara mereka ada yang membawa lampu.

Kwi Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal ta­kut. Di dasar hatinya dia sudah mempu­nyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang yang menurut penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan per­kumpulan besar yang bersikap memusuhi Pulau Es, kini, melihat munculnya dara yang amat cantik dan yang memakinya, dia menjadi marah dan balas memaki,

“Kaliankah orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya Thian-liong-pang adalah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, ki­ranya tiga orang kalian tadi sama sekali tidak ada gunanya!”

“Bocah sombong!” Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepan­daian yang lebih tinggi daripada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga pe­nyerbu dan yang dipukul mundur oleh potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong. Dengan gerakan jungkir balik, ke­duanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biarpun mereka menyerang dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka menda­tangkan angin keras dan merupakan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang kuat!

Namun Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih sin‑kang di Pulau Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sin‑kang yang jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan itu, cepat ia merobah kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan itu tidak datang dari belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa menggeser kakinya, dia mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya sambil membentak.

“Pergilah kalian!”

Dua orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan pukulan dengan pengerahan sin-kang agar gadis yang berani menghina Thian‑liong‑pang ini dapat dirobohkan sekali serang.

“Desss! Desss!” Kedua pukulan mere­ka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak, akan tetapi betapa kaget ha­ti mereka ketika tenaga sin‑kang mereka hanyut dan lenyap, sedangkan dari te­lapak tangan yang halus lunak itu kelu­ar hawa dingin yang demikian hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui le­ngan mereka sehingga mereka merasa lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin lu­ar biasa membuat mereka menggigil, te­rus hawa dingin itu merayap menuju ke dada. Mereka berusaha mempertahankan diri, namun dorongan hawa dingin yang lu­ar biasa itu membuat tubuh mereka ter­pelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha mengerahkan gin‑kang, akan tetapi karena rasa dingin tadi membuat tubuh mereka seperti ka­ku, mereka masih terbanting ke atas tanah sehingga seorang di antara mere­ka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk merintih‑rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras!

Tiba‑tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam me­luncur ke atas dengan cepat sekali. Si­nar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur keras seperti seekor ular pan­jang yang hidup, ujungnya bergerak‑ge­rak dan menotok ke arah kedua mata Kwi Hong! Karena cuaca di atas tidak­lah begitu terang, Kwi Hong tak dapat melihat ujung tali hitam dan hanya me­nangkap suara dan anginnya, maka dia terkejut bukan main, cepat ia menggerak­kan kedua tangannya ke depan muka, selain untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda panjang yang menyam­barnya itu.

Kiranya dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk menyerang Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di atas itu hendak me­nangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat menggerakkan pergelangan tangannya dan tiba‑tiba ujung tali di atas itu tidak jadi melanjutkan se­rangan ke arah mata, melainkan melun­cur ke bawah dan tahu‑tahu telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali seca­ra tiba‑tiba ke bawah!

“Aihhh!” Kwi Hong terkejut bukan main. Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa ketika kakinya dibelit, tahu‑tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari atas wu­wungan genteng! Karena tarikan itu tiba-­tiba dan juga tenaga tarikan berdasarkan sin‑kang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi Hong tak dapat memperta­hankan kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya terpelanting, jatuh ke bawah!

“Haiiiitttt!” Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehing­ga tubuhnya tertahan dan kini terjadilah tarik‑menarik! Dara di sebelah bawah meggunakan kedua tangan yang meme­gang tali untuk menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang pada wuwung­an genteng, mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan disam­but oleh pengeroyokan orang‑orang Thian‑liong‑pang. Dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan jatuh ke bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia mempertahankan diri mati‑matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang pada wuwungan.

Tarik‑menarik terjadi. Betapapun ju­ga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba‑tiba wuwungan genteng itu ti­dak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan wuwungan itu ambrol, gen­teng‑gentengnya runtuh ke bawah disu­sul tubuh Kwi Hong yang melayang tu­run pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya wuwungan itu membuat orang‑orang Thian‑liong‑pang yang berada di bawah menjadi kaget dan takut tertimpa maka mereka melon­cat dan menyingkir. Dengan berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka lipatan ujung tali pada kakinya dan ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian‑liong‑pang yang memukulnya, ia cepat menangkis.

“Plak! Plak!”

Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkis­annya membuat kedua orang itu terpen­tal, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu memiliki sin-kang yang amat kuat.

“Tar‑tar‑tar‑tar!”

Ujung tali panjang itu meledak‑ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana‑sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat‑tem­pat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi‑tubi itu. Sementa­ra itu, para anggauta Thian‑liong‑pang sudah siap dan mencabut senjata masing­-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian‑liong‑pang benar-­benar bekerja sama dengan pemerintah dan biarpun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan paman­nya? Dia melepaskan lagi gagang Li‑mo-­kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.

Empat orang anggauta Thian‑liong‑pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara! Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan me­mang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahu­lu! Kini semua orang hanya berdiri me­longo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kege­lapan malam.

Milana, dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran se­kali. Apalagi ketika tiba‑tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap ka­ki kuda di sebelah belakang rumah pe­nginapan, mukanya menjadi merah.

“Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!”

Anak buah Thian‑liong‑pang cepat ber­lari‑larian dan di dalam malam gelap itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Mila­na, Kwi Hong telah meloncat ke bela­kang penginapan dan melihat banyak ku­da di kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melari­kan diri naik kuda curian itu! Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan me­larikan diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang‑orang Thian‑liong‑pang untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.

Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar‑benar telah menghina dan mempermainkan Thian‑liong‑pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah ka­lau diberi kesempatan untuk bertanding secara benar‑benar. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu! Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang-­ouw yang tentu memusuhi Thian‑liong‑pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya mela­kukan pengejaran dengan berkuda pula.

Kwi Hong tidak kalah penasaran di­bandingkan dengan Milana. Sambil mema­cu kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengo­mel seorang diri panjang pendek. Sung­guh menggemaskan hati! Mengapa ham­pir saja dia celaka di tangan seorang da­ra remaja? Menurut penglihatannya, biar­pun tidak begitu jelas, hanya melihat da­ri atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang can­tik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda daripada dia. Seorang dara rema­ja belasan tahun! Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkan kepan­daiannya? Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada banding­annya? Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, menga­pa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian‑liong‑pang saja hampir keok? Hemm, kalau saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa pena­saran sekali. Akan tetapi, diam‑diam dia merasa ragu apakah dia benar‑benar akan menang melawan gadis kecil ber­sama belasan orang pembantunya yang rata‑rata memiliki kepandaian tinggi.

“Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!” Kwi Hong berjebi. “Kalau main keroyokan, mereka pengecut! Kalau ma­ju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan mereka semua!”

Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang‑bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah mata­hari mulai muncul dari balik daun‑daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena tidak terde­ngar sejak lewat tengah malam tadi su­ara derap kaki kuda yang mengejarnya.

Dia memasuki hutan sambil menjalan­kan kudanya perlahan‑lahan. Biarpun dia tidak tidur semalam suntuk, namun tu­buhnya terasa segar tertimpa sinar ma­tahari pagi dan memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyam­but munculnya matahari. Pohon‑pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rum­put‑rumput hijau segar membasah dan kadang‑kadang tampak berkelebatnya se­ekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak‑semak.

Kwi Hong tersenyum gembira. Beta­pa indahnya pemandangan di dalam hu­tan di waktu pagi, setelah berbulan­-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-­burung yang berkicauan dan saling berkejaran. Tiba‑tiba alisnya berkerut keti­ka ia melihat seekor burung jantan me­ngejar‑ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit‑cuit amat gembira. Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gem­bira tadi menjadi muram. Ia menghela na­pas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut‑larut ter­menung kalau saja matanya tidak terta­rik oleh serombongen orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seke­tika ia lupa akan kekesalan hatinya ter­ingat Bun Beng tadi dan kini dia meng­hentikan kudanya, menanti orang‑orang dan memandang penuh perhatian.

Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan se­telah mereka datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-­orang itu berwarna-warni. Orang‑orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia su­dah tahu akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mere­ka yang seperti dicat itu. Sebagian be­sar adalah orang‑orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda. Ah, ternyata bukanlah orang‑orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah me­ngerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenya­taan bahwa rombongan itu adalah orang­-orang Pulau Neraka melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati ber­ukuran kecil, agaknya untuk seorang ka­nak‑kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-­lain mengiringkan dari belakang.

Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang‑orang Pulau Nera­ka, hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik angkat paman­nya akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah dicu­lik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apala­gi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu melihat orang‑orang yang mukanya ber­aneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, ke­heranannya lebih besar daripada keti­daksenangannya maka dia lalu berkata nyaring.

“Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang ma­ti dan hendak kalian bawa ke mana peti mati itu?”

Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki‑laki tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu su­dah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang‑orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat pen­ting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang.

Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, “Bocah sombong, su­dah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!”

“Heiii, apa engkau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?” Kwi Hong membentak marah.

“Setelah bertemu dengan kami, me­ngenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?”

“Keparat! Engkaulah yang patut mam­pus!” Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot.

Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena me­reka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda yang ka­lau terkena tentu akan pecah!

“Tar! Tar!” Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak maupun menangkis, melainkan mengele­batkan perut kudanya, mendahului mere­ka dengan serangan pecut. Biarpun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sin‑kangnya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan me­ngarah muka mereka yang berwarna ku­ning tua!

“Plak! Plak! Aiiihhh....!” Dua orang itu cepat menangkis dan hendak men­cengkeram ujung pecut, akan tetapi da­pat dibayangkan betapa kaget hati mere­ka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!

“Dari mana datangnya bocah som­bong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?” Orang tinggi besar ber­muka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju. Biarpun jarak di anta­ra mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Ting­gi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghan­tam ke arah kuda yang ditungangi ga­dis itu.

“Wuuuuutttt! Siuuut!”

Kwi Hong terkejut. Bukan main hebat­nya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan mengandung bau amis seper­ti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, akan tetapi terdengar kudanya mering­kik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.

“Berani kau membunuh kudaku?” Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke bawah, cambuknya digerak­kan bertubi‑tubi ke arah kepala dan tu­buh Si Gundul Pendek yang sibuk menge­lak sambil bergulingan.

 “Tar‑tar‑tar‑tar!” Biarpun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana‑sini, namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sam­pai kepala gundulnya lecet dan bajunya robek‑robek. Namun temannya sudah me­nerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang meninggalkan Si Gundul dan siap meng­hadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya berge­rak dan berbareng dengan bunyi mende­sing nyaring tampaklah sinar kilat berke­lebat membuat lima belas orang itu ter­kejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.

“Pe.... dang.... Iblis....!” Si Tinggi Be­sar bermuka merah muda berseru kaget.

“Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!” Kwi Hong menantang.

“Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup‑hidup, per­gunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia ma­rah!”

Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk menangkapnya hidup‑hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah meno­long dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apalagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang‑orang ini menjadi menurun dan ia membanting ka­kinya sambil berseru, “Sudahlah, aku mau pergi saja!”

Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggauta Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li‑mo‑kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengar­lah suare nyaring berulang‑ulang disusul teriakan‑teriakan kaget kerena semua senjata enam orang itu patah‑patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan te­rus lari dengan cepat sekali!

Karena takut kalau‑kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakuken pe­ngejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri de­ngan bibir cemberut karena pertemuan­nya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya den kejengkelan­nya? Betapapun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat meng­hadapi Bibi Lulu apabila wanita itu mun­cul. Hal ini tentu akan membuat paman­nya marah sekali, sungguhpun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekalipun. Apalagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bah­kan ingin sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam‑mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In ber­dua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam‑mo‑kiam dan ia berikan ke­pada Bun Beng!

Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bah­wa bukit itu merupakan sebuah tanah pekuburan yang luas sekali! Di sana tam­pak batu‑batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.

Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus, dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu dan untuk berla­ri terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh‑musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba‑tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kaki­nya otomatis berhenti, bahkan kini ke­dua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut? Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan ta­kut kalau tiba‑tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh‑kekeh di tengah tanah kuburan, sedang­kan orangnya tidak tampak. Suara keta­wa itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang ter­tawa! Kwi Hong seorang gadis pembera­ni, akan tetapi baru dua kali ini dia be­nar‑benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Ke dua adalah seka­rang ini. Tempat itu demikian sunyi, ti­dak terdengar suara seorang pun manu­sia. Dan tiba‑tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana‑mana, mengelilinginya!

Ah, mana ada setan! Gadis ini berpi­kir sambil menekan rasa takutnya. Dahu­lu pun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apalagi di waktu pagi ini, mana ada iblis bera­ni muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khi-kang itu terdengar bergema ke sekeli­lingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga pendengar­annya untuk mencari darimana datang­nya sumber suara ketawa itu.

Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema sua­ra yang mengandung khi‑kang amat kuat, sedangkan sumbernya dari.... sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi! Suara keta­wa dari kuburan kuno? Apalagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau sa­ja dia tidak merasa malu. Biarpun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagai­mana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang-­langgang macam itu betapa akan mema­lukan sekali! Tidak, daripada menang­gung malu lebih baik menghadapi kenya­taan, biarpun dia harus berhadapan de­ngan iblis di siang hari sekalipun!

“Heh‑heh‑heh‑heh, hayo.... biar kecil, hati­nya besar, hi‑hi‑hik!”

Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar‑benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat ku­buran itu.

“Krik‑krik‑krik!”

“Krek‑krek‑krek!”

Eh, ada suara dua ekor jangkerik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apalagi ketika kembali terdengar orang tak tam­pak itu bicara sendiri.

“Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biar­pun kecil mrica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha‑ha‑ha!”

Dengan berindap‑indap Kwi Hong ma­ju menghampiri dan hampir saja dia ter­tawa terkekeh‑kekeh saking lega dan geli rasa hatinya ketika melihat bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali duduk seorang diri di atas tanah depan bong‑pai tua sambil mengadu jangkerik di atas telapak tangan kirinya!

Kakek itu sudah amat tua, sukar di­taksir berapa usianya. Rambutnya yang riap‑riapan, kumisnya, jenggotnya, se­mua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali‑temali melibat‑libat kakinya ke atas, lucu dan kacau. Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, se­perti tubuh seorang kanak‑kanak saja! Biarpun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkerik di atas telapak tangannya, pandang mata­nya bersinar‑sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu ter­belalak.

Kwi Hong melangkah maju perlahan­-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas telapak tangan kiri ka­kek itu terdapat dua ekor jangkerik yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili‑kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkerik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang ke dua adalah seekor jangkerik hitam yang tu­buhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih besar.

Kwi Hong duduk perlahan‑lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkerik diadu. Ten­tu saja pernah dia melihat jangkerik akan tetapi tidak tahu bahwa jangke­rik dapat diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkerik itu. Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak‑gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang‑binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Teruta­ma sekali pasangan kuda‑kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!

“Hayo, Si Kecil Merah, biarpun kecil jangan mau kalah! Serang....!” Kakek itu tiba‑tiba melepaskan kili‑kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkat­nya kili‑kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkerik itu tidak terhalang kili-­kili dan mereka saling terkam! Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia me­lihat dua ekor jangkerik itu benar‑benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkerik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkerik kemerahan atau coklat lebih kecil terdo­rong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkerik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan berputar‑putaran di atas telapak ta­ngan kakek itu seolah‑olah seorang jago­an yang menantang tanding di atas pang­gung luitai (panggung adu silat)!

“Wah, Si Hitam itu hebat!” Kwi Hong berkata lirih memuji.

“Puhh! Hebat apanya?” Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. “Kalau bukan kau datang menga­getkan Si Kecil Merah takkan kalah!”

Melihat sikap kakek itu marah‑marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena jangkerik kecil itu kalah. Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. “Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sin­ting, memang jangkerik yang kecil be­gitu mana bisa menang?”

“Siapa bilang tidak bisa menang? Kaukira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!”

“Plak! Plok!”

Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat ka­kek itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu‑tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan teta­pi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat me­nampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.

“Prokkk!” Kakek itu meremas ujung batu bong‑pai dan Kwi Hong meman­dang dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sin‑kangnya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi me­remasnya hancur, tanpa sedikit pun keli­hatan mengerahkan tenaga, benar‑benar hebat! Maklumlah dia berhadapan de­ngan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangai­nya!

Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-­sungut itu telah menaruh jangkerik hi­tam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian me­nyambar jangkerik hitam kemerahan yang kalah tadi.

“Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar som­bong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!” Dia bersungut‑sungut, mengomel marah‑marah tidak karuan.

“Kau harus dijantur biar besar hatimu!” Kakek itu mencabut sehelai ram­but yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuang­nya. “Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkerik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!”

Biarpun Kwi Hong merasa mendong­kol bukan main, namun dia mulai terta­rik untuk menyaksikan bagaimana cara­nya kakek itu dapat memaksa jangke­rik kecil maju dan mengalahkan jangke­rik besar. Biarpun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya ram­but itu ke arah kakek yang menerima­nya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan. Diam‑diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih lu­ar biasa tajamnya, sehingga dapat me­nangkap dengan jepitan jari tangan sehelai ram­but yang melayang. Kini kakek itu tidak bersungut‑sungut lagi, malah wajah­nya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkerik kecil merah itu pada selakang kakinya. Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkerik itu dijantur diputar‑putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya­ kakek itu mulutnya berkemak‑kemik de­kat dengan tubuh jangkerik yang berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak‑kemik, akan tetapi tiba‑tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.

“Cuh! Cuh! Cuh!” Ludah‑ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkerik merah.

“Awas kau kalau kalah lagi!” Kakek itu berkata. “Harus kuberi tambahan se­mangat!” Ia lalu bangkit berdiri, men­jengking dan menaruh jangkerik yang ma­sih tergantung di bawah rambut itu de­pan pantatnya, “Busssshh!” Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkerik merah.

“Ihhh....!” Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil memijit hidung. Ken­tut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah “gemblengan” yang diberikan kakek itu pada jangkerik merah benar‑benar man­jur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.

Kembali kakek itu membalikkan tela­pak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung pertandingan antara kedua ekor jangkerik itu. Jangkerik merah sudah dile­pas dari rambut yang menjanturnya, di­taruh di atas telapak tangan kiri kakek itu. Jangkerik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari‑nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak na­nar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkerik timbul kemarahan­nya, buktinya ketika kakek itu memain­kan kili‑kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar‑lebar dan menyerang kili‑kili, sayapnya berkem­bang dan mengerik sumbang!

“Ha‑ha‑ha‑heh‑heh, bagus! Sekarang kau harus menang!” Kakek itu berkata lalu mengambil jangkerik hitam dan me­naruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili‑kilinya, kakek itu terus mengili jangkerik merah yang makin ga­nas dan bergerak maju menghampiri jangkerik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.

“Wah, kau licik! Kenapa jangkerik hi­tamnya tidak dikili?” Kwi Hong tidak dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jang­kerik kecil dan berlaku curang.

“Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kaukili dia!” kakek itu membentak marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangke­rik, gadis ini berjebi dan tidak menja­wab, hanya memandang saja.

Biarpun tidak diganggu kili‑kili, men­dengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik dan juga mengerik, menan­tang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong berso­rak bangga, akan tetapi dia menahan di­ri, takut kalau‑kalau kakek sinting itu marah lagi.

Setelah kedua jangkerik itu berhadap­an dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili‑kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkerik itu saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar‑benar lebih nekat cara berkelahi­nya, dan agaknya gemblengan kakek ta­di ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti da­lam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapapun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke ping­gir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.

Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah‑marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai pecah‑pecah dan re­muk‑remuk, debu beterbangan ke atas.

“Sialan! Pengecut! Penakut! Kau mem­bikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah, harus menang. Harus kata­ku, tahu? Kalau perlu aku akan meng­gemblengmu selama hidupku sampai kau menang!”

Kembali dia menaruh jangkerik hi­tam di dalam lubang den mulailah ia melakukan “penggemblengan” ke dua ter­hadap jangkerik kecil merah. Cara menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan keta­wa. Benar‑benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mem­punyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jang­kerik gemblengan kakek itu benar‑benar akan dapat menang satu kali saja. Ka­lau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan pe­dangnya.

Kakek itu benar‑benar seperti sin­ting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai perawakan ti­dak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula da­lam adu jangkerik ini. Dia akan penasar­an terus kalau Si Kecil belum memang, karena dia melihat seolah‑olah Si Kecil itu adalah dia sendiri. Kini dia membe­nam‑benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam.... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu me­rosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu‑sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkerik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas ta­nah. Tentu saja payah jangkerik merah kecil itu berenang di lautan kencing, se­dangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih men­cium bau sengak seperti cuka lama, apalagi jangkerik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing! Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam‑benam­kan jangkerik jagoannya sampai sete­ngah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya si­uman di bawah sinar matahari, kemudi­an mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkerik itu.

Anehnya, ketika jangkerik itu digoda kili‑kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul‑betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!

“Bagus, kau kini tidak mengenal ta­kut lagi!”

Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biarpun sudah dihisap tanah masih meninggalkan bau lumayan, karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bah­kan kini dia duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkerik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkerik kecil itu mundur terus!

“Kalau sekali ini kalah, kugencet de­ngan batu kepalamu!” Kakek itu mengo­mel dan Kwi Hong menaruh kasihan ke­pada jangkerik kecil merah itu.

“Kek, tahan pantatnya dengan kili-­kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan keburu dia jatuh ke ba­wah!” Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar‑benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diing­kal‑ingkal (didesak‑desak) oleh Si Besar itu dapat menang.

Kakek itu tidak menjawab, akan te­tapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan kili‑kili untuk menahan pantat jangkerik kecil merah yang terdo­rong terus ke belakang. Setelah kili‑kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati‑matian, dan kedua jangkerik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!

Jangkerik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkerik kecil yang sudah luka‑luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkerik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlen­tang dan si Besar Hitam masih menggi­git dan nongkrong di atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbe­lalak dan perasaannya tertusuk. Akan tetapi tiba‑tiba jangkerik kecil yang ke­hilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkerik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan ti­ba‑tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat. Akibatnya, tubuh jangkerik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkerik kecil merah yang masih ber­ada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak‑gerak ke sana ke mari, seolah‑olah menantang lawan!

“Hebat dia....!” Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang ka­kek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!

Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang‑orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terhe­ran‑heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan meletak­kan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun.

Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempeduli­kan mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main. “Heh‑heh‑ha‑ha‑ha, kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!” katanya sambil melepaskan jangkerik itu ke dalam se­mak‑semak. Kemudian dia menari-nari ke­girangan, tertawa‑tawa dan bergulingan ke sana‑sini, mendekati bangkai jangkerik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!

“Heh‑heh, kaukira yang besar harus menang? Ha‑ha‑ha!”

Ketika ia bergulingan itu, tanpa dise­ngaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini disalahartikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apalagi dia melihat bah­wa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba‑tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan kedua tangan dan bagaikan kilat cepat­nya, kedua kakinya menyepak ke bela­kang persis gaya jangkerik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari ba­wah ke arah tubuh Kwi Hong!

Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis.

“Desss!” Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh ting­gi dan “temangsang” di atas dahan‑dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!

Kakek sinting itu berseru kaget. “Heiii....! Wah, mengapa kau mau saja kusepak?” Secepat burung terbang, tu­buhnya melayang ke atas tanpa mengin­jak dahan pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia ter­longong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.

Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira, “Ha‑ha‑ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus un­tuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha‑ha!” Tiba‑tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di si­tu, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.

“Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan gang­gu aku yang sedang bergembira!”

Kwi Hong kembali terheran‑heran. Orang‑orang Pulau Neraka yang tidak rendah tingkatnya itu, mengangguk‑ang­guk dan seperti anjing digebah mereka pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpul­an pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!

“Heh‑heh‑heh, mereka itu menjemu­kan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu.”

Kwi Hong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!”

“Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang ti­dak sopan!”

“Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkerik atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari ju­rus menyepak seperti jangkerik atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?”

“Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau mempelajari jurus-­jurus ilmu silat? Bukankah untuk mero­bohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, se­mua jurus yang pernah kaupelajari juga tidak sopan! Hayoh coba kau bantah!” kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak ber­tengkar.

“Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!”

“Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?”

“Engkau, kakek sinting, apa kaukira aku tidak tahu bahwa engkau tokoh Pulau Neraka?”

“Dari mana kau tahu?”

“Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!” Kwi Hong ti­dak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang‑orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.

 “Ada apa dengan mukaku? Tidak ber­warna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah, lihatlah!” Kwi Hong ham­pir menjerit ketika melihat betapa mu­ka kakek itu tiba‑tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.

“Apa kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat.

“Atau biru? Hijau? Kuning?”

Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah‑ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah‑olah ada yang menge­catnya berganti‑ganti, dan akhirnya ber­ubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.

“Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!” Kwi Hong berkata.

“Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu‑tong‑san, atau dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! jangan sombong kau, gadis gede....”

“Jangan sebut‑sebut aku gede! Apa kaukira engkau ini masih bocah?”

“Eh‑eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?”

“Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja! Kau benar‑benar men­jengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?”

“Heh‑heh‑heh, kejengkelan bukan da­tang dari luar, melainkan dari dalam ba­tinmu sendiri, digerakkan oleh pikiran­mu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw‑jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah da­tuk Pulau Neraka.... heh‑heh‑heh... haa? Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh.... pedangmu itu....! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!”

Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!

“Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo‑kiam (Pedang Iblis Betina), sedang­kan Lam‑mo‑kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus dikembali­kan kepadaku. Sekarang setelah kita sa­ling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!”

“Mengadu nyawa? Heh‑heh‑heh, bo­leh! Boleh sekali! Akan tetapi kita ha­rus bertaruh, tanpa pertaruhan aku ti­dak sudi susah‑susah keluarkan keringat!”

Biarpun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. “Bu‑tek Siauw‑jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah akan mati, mana bisa memenuhi pembayaran?”

“Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kaupandang rendah tadi untuk menghadapi pedang­mu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah den engkau harus me­nemani aku dikubur hidup‑hidup selama seminggu!”

Kwi Hong bergidik. “Gila! Itu sama saja dengan mati!”

“Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali‑kali dikubur hidup‑hidup, sampai sekarang kok tidak mati? Dikubur hidup-­hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?”

Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan ha­tinya dan berkata, “Kalau kau yang ka­lah?”

“Kalau aku yang kalah tak usah bica­ra lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu. Pedangmu Li‑mo‑kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh daripada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum ha­bis darahku. Nah, kau mulai.”

Kwi Hong menjadi serba susah. Biarpun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya diapun tidak tega. Biarpun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting den aneh, sama sekali tidak ke­lihatan jahat, bahkan kegalakannya ter­hadap orang‑orang Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main‑main atau pura‑pura saja. Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia ber­gidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Na­mun, demi menjaga nama dan kehormat­an paman dan gurunya, dia harus me­nang. Apalagi dia memegang Li‑mo­kiam dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkerik tadi.

“Lihat pedang!” bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh keti­ka Li‑mo‑kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mujijat dan mengandung hawa maut.

“Hayaaaa....!” Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sam­baran pedang.

Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan serangan bertubi‑tubi kepada tubuh kecil yang bergu­lingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang‑kadang da­pat mencelat ke sana-sini seperti jangke­rik meloncat. Namun sedikitpun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkerik! Malah dia repot sekali harus menge­lak terus karena pedang Li‑mo‑kiam ada­lah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.

Tiba‑tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba‑tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas ken­tut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya. Sedetik sudah terlalu la­ma bagi kakek sinting itu untuk mengge­rakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tu­buh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menen­dang gagang pedang sehingga pedang Li-­mo‑kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.

Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah “terbang” ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai, “Nah, kau kalah, muridku.”

Kwi Hong menerima pedangnya, menyarungkan pedang dan menjawab, “Bu­-tek Siauw‑jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu.”

“Apa kaukira aku tidak tahu? Kauang­gap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa‑apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu me­ngapa aku ingin menurunkan ilmu‑ilmuku kepadamu?”

Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. “Aku tidak tahu.”

“Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!”

“Bagaimana? Aku tidak mengerti.”

“Kami bertiga, Suheng Cui‑beng Koai-­ong, aku dan Sute Kwi‑bun Lo‑mo Ngo Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-­baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu se­bagai murid. Bocah itu pandai sekali, apalagi kini memegang Lam‑mo‑kiam, tentu tidak ada yang melawannya. Kebe­tulan engkau bertemu dengan aku, eng­kau memegang Li‑mo‑kiam, engkau na­kal dan cocok dengan aku, dan dasar il­mumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepada­mu, kelak engkaulah yang akan mengha­dapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengi­ngatkannya mengalahkan muridnya oleh muridku!”

 “Tanpa kauberi pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah som­bong itu!”

“Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-­ilmu dari Suheng, apa kaukira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena dia pun mem­punyai pedang yang sama ampuhnya.”

“Pedang curian!”

“Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya kalau kau tidak mampu menandingi ilmunya?”

“Siauw‑jin.... ehh.... wah, namamu benar‑benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!”

“Heh‑heh‑heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw‑jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw‑jin, ha, ha!”

“Bu‑tek Siauw‑jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruh­an kita, aku suka mempelajari ilmu yang akan kauberikan kepadaku, biarpun untuk itu aku harus dikubur hidup‑hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kaupergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?”

“Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu.... heh‑heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah laki‑laki, entah siapa aku tidak kenal. Li‑mo‑kiam diberikan kepadamu dan Lam‑mo‑kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan meram­pas kembali pedang itu memusuhi­nya. Engkau harus menemani aku diku­bur hidup‑hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sin‑kang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih samadhi dan sin-kang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu‑ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baru­ku tadi, yang kaukatakan tidak sopan.”

“Ilmu tendangan jangkerik?”

“Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malape­taka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang ja­uh lebih kuat, dalam keadaan tak ter­duga‑duga seperti yang dilakukan jangke­rik kecil tadi. Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?”

Kwi Hong mengangguk. “Aku akan mempelajari semua ilmu yang kauberi­kan.”

“Bagus, sekarang kaucarilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuh­mu yang gede.”

“Mencari peti mati? Ke mana?”

“Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di dalam kuburan­-kuburan itu bukankah terisi peti‑peti mati?”

Kwi Hong terbelalak ngeri. “Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!”

“Isinya hanya rangka yang sudah la­puk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapapun kokoh kuat petinya, mayat­nya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia‑sia hanya untuk pa­mer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik da­pat kaupergunakan!”

Kwi Hong menggeleng‑geleng kepala. “Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerang­ka manusia!”

“Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?” kakek itu bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Mun­cullah mereka berbondong‑bondong dari tempat mereka duduk menanti.

“Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua.” Bu‑tek Siauw‑jin meme­rintah. 

“Aihhh.... Ji‑tocu (Majikan Pulau ke Dua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti untuk To‑cu,” kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berke­pala gundul. Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pu­kulan beracun diikuti semburan asap da­ri mulutnya yang amat berbahaya.

“Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini be­lum ada! Lihat baik‑baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa‑suheng, tahu? Namanya Kwi.... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?”

“Kwi Hong, Giam Kwi Hong,” kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.

“Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!”

Kwi Hong memandang dengan hati penuh kengerian betapa orang-orang itu membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangka manusianya dikeluarkan lalu peti mati kosong itu digotong de­kat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat ma­yat?

“Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!” kakek itu kembali memberi perintah dan belasan orang Pu­lau Neraka itu cepat melakukan perin­tah Bu-tek Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menga­nga dan menantang dalam pandang ma­ta Kwi Hong.

“Lekas kau masuk ke dalam petimu!” Kwi Hong menggelengkan kepalanya. “Eh, apa kau takut?”

Melihat semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, “Siapa bi­lang aku takut? Aku hanya merasa ji­jik, peti mati itu kotor!”

Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!

“Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang masih hidup! Hayo ce­pat masuk, atau engkau hendak memban­tah perintah Gurumu dan tidak meme­menuhi janji?”

Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia ti­dak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mence­gahnya?

“Kalau sudah di dalam peti, bagaima­na engkau bisa melatihku?” Dia menco­ba menggunakan alasan menolak.

“Bodoh! Biarpun di dalam peti, apa kaukira aku tidak bisa memberi petun­juk? Hayo cepat, mereka ini sudah me­nanti untuk mengubur kita.”

Dengan jantung berdebar penuh ta­kut dan tegang, terpaksa Kwi Hong me­masuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang tebal. “Brakkk!” papan tebal itu bobol dan ber­lobang ditembus telapak tangannya, ke­mudian dipasanglah sebatang bambu pan­jang yang sudah dilubangi. “Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!” kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.

Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya hitam pekat! Ia me­rasa betapa peti mati di mana ia ber­baring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini ba­tang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi daripada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.

Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari da­lam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak bu­ahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu de­ngan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang men­jadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Adapun ka­kek sinting itu sama sekali tidak meng­gunakan bambu untuk lubang hawa.

Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari “kuburan” itu, karena kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak bo­leh diganggu dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak berani menjaga terlalu dekat, ka­rena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biarpun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar perca­kapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih “aman” menjaga di tempat yang agak jauh, akan tetapi siang ma­lam mereka bergilir menjaga dan mem­perhatikan kuburan itu.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara berdebuknya tanah bergumpal-gum­pal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudi­an sunyi, sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang me­nyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari batang bambu yang tentu sa­ja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya matahari masuk bersama hawa. Makin ngeri hati Kwi Hong. Lu­bang bambu itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup.... ihh, dia bergidik dan mendadak saja na­pasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!

“Kakek sinting....!” Dia memaki ge­mas. “Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau se­tanku belum mencekik lehermu sampai putus!”

Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, sua­ra dari balik kubur! “Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas, apalagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, eng­kau muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa se­gar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih pernapasan, samadhi dan menghimpun sin-kang dari hawa inti sari bumi....”

Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang ter­dengar jelas sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istime­wa, kemudian mencobanya dalam prak­tek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk ber­napas di dalam ruang tertutup di bawah tanah!

“Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami to­koh-tokoh dan datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua kesukar­an dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupa­kan hal yang mustahil apalagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan ha­wa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa ne­nek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun ma­sih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan sa­tu-satunya untuk menyelamatkan diri ha­nyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara berlatih seperti ini! Me­ngapa dilakukan dalam sebuah peti ma­ti? Karena dari sebuah peti kunolah di­temukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang ii antara nenek moyang kami bersembunyi di dalam ta­nah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam ta­nah ketika dia menggali lubang, dia me­nemukan ukiran-ukiran dan coretan-co­retan di dalam peti mati itu yang ternya­ta adalah ilmu-ilmu rahasia yang agak­nya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biarpun sifat­nya berbeda, namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es.”

Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu, berlatih de­ngan penuh ketekunan dan penuh kete­katan, tidak merasa ngeri atau takut la­gi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.

Sebetulnya apakah yang terjadi de­ngan orang-orang Pulau Neraka? Menga­pa mereka berada di situ dan bagaima­na pula dengan Lulu yang menjadi Ke­tua Pulau Neraka? Seperti telah diceri­takan di bagian depan, pasukan pemerin­tah menyerbu Pulau Neraka dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.

Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rom­bongan perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya, Wan Keng In, pada waktu ter­jadi penyerbuan itu, tidak berada di pu­lau karena memang puteranya itu pergi bersama gurunya yang belum pernah di­jumpai Lulu. Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir seratus lima pu­luh orang penghuni Pulau Neraka itu ti­ba di pantai, ternyata Wan Keng In te­lah berada di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.

“Ibu, kulihat dari jauh asap menge­pul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak membawa anak buah kita ke ma­na? Apa yang telah terjadi?”

“Pulau kita diserbu pasukan pemerin­tah. Untung aku telah menduganya ter­lebih dahulu dan membawa anak buah me­larikan diri,” jawab Lulu.

“Ahh, mengapa melarikan diri? Me­ngapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan? Sungguh memalukan sekali, la­ri terbirit-birit seperti serombongan pe­ngecut. Bukankah Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?”

Lulu memandang puteranya dengan marah. “Enak saja mencela! Engkau sen­diri mengapa tidak datang melihat pu­lau kita terancam? Bagaimana kita mampu melawan pasukan pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan pasu­kan itu dipimpin oleh orang-orang beril­mu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi panglima yang lihai.”

“Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, ma­sa takut menghadapi mereka?” Keng In membantah.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai. “Ha-ha-ha, Ketua bone­ka seperti Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku? Engkaulah yang dapat menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!”

Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas sepinggang, makin lama air makin dangkal dan ma­kin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di atas pasir menghampiri me­reka sambil tertawa-tawa. Melihat ka­kek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apalagi memandang! Melihat ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.

“Orang tua, agaknya engkau yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja? Karena engkau takut terhadap Pende­kar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai umpan? Kakek yang sombong dan pengecut, hendak ku­lihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!”

“Ibu, jangan....!” Wan Keng In berse­ru kaget ketika melihat ibunya mener­jang maju dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat. Memang Lulu sudah marah se­kali, maka begitu dia menyerang, dia te­lah menggunakan jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri di­ngin yang kanan panas, adalah tenaga inti mujijat yang dahulu dia latih ber­sama kakak angkatnya di Pulau Es.

“Desss! Dessss!”

Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan te­tapi kakek setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan do­rongan tangan, hanya terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu menja­di makin penasaran dan sambil mengelu­arkan suara melengking dia sudah me­nerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.

“Ibu, jangan! Kau takkan menang!” Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu karena ibunya sudah melancarkan se­rangannya dengan amat cepat dan dah­syat kepada Cui-beng Koai-ong yang nemandang dengan mulut menyeringai. “Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilerang, jangan dihalangi, biarlah!” Ka­kek itu berkata dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu menjadi makin pena­saran dan marah.

“Plak! Plek!” Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek itu, melekat dan terjadi­lah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan itu sedang terbakar!

“Suhu, harap jangan bunuh Ibu....” Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawan­annya terhadap kakek yang amat sakti itu.

Akan tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan dia mengerahkan se­luruh sin-kangnya untuk menyerang ka­kek itu, sedangkan Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh-kekeh senang karena maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya.

Sementara itu, para anggauta Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu, memandang dengan mata ter­belalak. Mereka itu suka dan tunduk ke­pada Lulu yang selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada Cui-beng Koai-ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Pemuda ini menjadi pucat wajahnya. Untuk menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan tetapi kalau ti­dak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mo­hon kepada gurunya dan ibunya menghen­tikan pertandingan itu.

Kini Lulu maklum bahwa sesungguh­nya, puteranya tidak sombong kalau me­ngatakan bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh te­naga sin-kangnya tersedot dan tidak ber­daya, bahkan kini kedua telapak tangan­nya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia mampu menariknya atau melepaskan­nya dari telapak tangan lawan. Rasa nyeri yang hebat mulai terasa oleh ta­ngannya, namun Lulu mengerahkan selu­ruh daya tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menye­rah kalah dan mengambil keputusan un­tuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bu­kan hanya uap dari hawa sin-kang, me­lainkan asap dari telapak tangannya yang mulai terbakar dan terciumlah bau yang hangus dan sangit!

“Suhu, harap maafkan Ibuku....!” Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya. Akan tetapi sekali meng­gerakkan kaki kiri, tubuh Keng In ter­lempar dan gurunya berkata,

“Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di ta­nganku, ha-ha-ha!”

Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sin-kangnya ma­kin lama makin menjadi lemah, tubuh­nya mulai gemetar dan dia maklum bah­wa dia tidak akan dapat bertahan lama lagi. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.

“Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keter­laluan! Orang sudah berjasa, mengganti­kan kita memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita lagi, apakah tidak memalukan?”

Tahu-tahu muncullah segrang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan kata-katanya, “Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa lagi?”

Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang seper­ti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang sudah menjadi hitam terbakar, ma­tanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek yang telah menolongnya.

“Apakah engkau yang bernama Bu­-tek Siauw-jin?” tanyanya secara lang­sung, sedikitpun tidak menaruh hormat karena biarpun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya, namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang te­lah mempermainkannya, membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!

 “Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhor­mat, seorang siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat ini, Suhengku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka me­maafkannya.”

Muka Lulu menjadi merah sekali. Ber­hadapan dengan kedua orang kakek yang demikian aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya sama sekali. “Keng In, hayo kita pergi!” bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri sam­bil menundukkan mukanya.

“Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi me­ninggalkan Suhu. Aku masih mempelajari ilmu dan.... menurut Suhu...., aku ditun­juk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka.”

“Wan, Keng In! Engkau anakku! Eng­kau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi meninggalkan setan-setan ini!” Lulu membentak lagi.

“Aku tidak mau pergi, Ibu.” Keng In membantah.

“Kau...., lebih berat kepada mereka ini daripada kepada Ibumu?”

“Maaf, Ibu. Kita sudah banyak men­derita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderi­ta. Bagaimana Ibu akan dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?”

“Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pu­lau Es, muridku. Biarpun dia telah men­derita karena Pendekar Siluman, ternya­ta dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau ta­hu akan isi hati wanita, biarpun wanita itu Ibumu sendiri?” Cui-beng Koai-ong berkata.

“Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya? Su­heng sendiri sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah mempunyai seorang murid. Apa artinya ini?” Bu-tek Siauw-jin men­cela suhengnya yang tertawa-tawa tadi.

“Siauw-jin! Engkau mau apa mencela­ku? Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak apa mencampurinya? Kalau suka boleh lihat kalau tidak suka boleh minggat!”

“Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggar­nya! Kita sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kaularang juga akan per­cuma saja. Lebih baik kau pergi meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suhengku yang manis ini turun ta­ngan terhadapmu, biarpun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan nyawa­mu.”

“Dia benar.... dia benar...., pergilah!” Cui-beng Koai-ong mengomel.

Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu, yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu kedua orang kakek itu se­berti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi me­reka, maka setelah sekali lagi meman­dang ke arah puteranya yang tetap me­nundukkan muka, Lulu segera meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu. Hanya satu tujuan hidupnya sekarang, yaitu mencari Suma Han dan mohon per­tolongan kgkak angkatnya juga satu-satu­nya pria yang dicintanya itu, untuk turun tangan menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!

Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang te­lah kehilangan pulau itu, para anak bu­ah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka, menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biarpun terhitung sute dari Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suhengnya itu, lalu pergi sambil menyu­ruh lima belas orang anak buah memba­wa sebuah peti mati kosong untuk berla­tih di tempat yang akan dipilihnya sen­diri.

Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apalagi setelah kakek pendek ini tahu bahwa gadis itu adalah keponak­an dan juga murid Pendekar Super Sakti.

Karena kalahdalam pertarungan, ju­ga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru, menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, samadhi dan mengumpulkan sin-kang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun, dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!

Ilmu samadhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan kini dia ajarkan kepa­da Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mujijat. Sesungguhnya latihan inilah yang mendatangkan kekuatan sin-kang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang to­koh Pulau Neraka yang selalu menyem­bunyikan diri itu. Ilmu mujijat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka. Orang sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia “membunuh diri” de­ngan jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Ne­raka. Akan tetapi, rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebe­lum mati, menciptakan ilmu mujijat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di sebelah dalam peti matinya! Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang me­nyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang ber­bisa dan hawa berbisa di Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya sehingga yang ter­akhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin! Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki il­mu ini.

Tidak sembarang orang dapat mengu­asai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti Bumi itu karena caranya ber­latih amat menyeramkan dan memperta­ruhkan nyawa. Wan Keng In sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih belum berani melatih diri dengan ilmu mujijat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ke tiga di du­nia ini yang melatih diri dengan Ilmu Inti Bumi!

Para anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak be­rani mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka sudah me­ngenal dua orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu, karena bagi dua orang datuk itu, apalagi Cui-beng Koai-ong, membunuh manusia seperti membunuh nyamuk saja, dan watak me­reka sukar sekali diikuti. Mereka mak­lum bahwa sebelum kakek pendek itu keluar dari dalam tanah, mereka harus menjaga dengan mati-matian agar jangan sampai kuburan itu diganggu orang. Ka­lau kakek dan muridnya yang baru itu sudah keluar dari dalam tanah, barulah mereka bebas dari tugas berat ini, ke­cuali tentu saja kalau ada perintah ba­ru dari kakek pendek yang aneh itu.

Pada malam hari ke tiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terke­jut ketika melihat munculnya serombong­an orang yang mereka kenal sebagai orang-orang Thian-liong-pang! Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang di­pimpin oleh seorang dara remaja yang cantik jelita dan yang mereka kenal se­bagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan. Laki-laki berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan tetapi sikap semua anggauta rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri kelihatan bersi­kap manis kepadanya. Orang ini adalah seorang tokoh baru yang telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga Ketua perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang dahsyat kepada­nya, yang membuat dia bahkan lebih lihai daripada sebelum lengan kirinya buntung! Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali dengan lengan kanannya. Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya sehingga lengannya itu lebih lihai daripada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang berju­luk Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang ke dua sesudah Tang Wi Siang di Thian-liong-pang. Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih berbahaya kare­na sambaran tangan kanannya atau per­mainan tongkat kuningan dengan tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya.

Orang-orang Pulau Neraka yang se­dang bertugas menjaga “kuburan” Bu-tek Siau-jin dan muridnya yang sedang ber­latih di bawah tanah, tidak berani men­cari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan yang amat lihai. Rombongan Pu­lau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh Pulau Neraka yang bermuka merah mu­da yang pernah diutus oleh Ketua mereka mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang dan secara mudah dirobohkan oleh “ketua” Thian-liong-pang yang di luar tahu mereka pada waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng. Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang dipimpin oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isya­rat dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini berkumpul dan beristira­hat di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat persembunyian orang-orang Pulau Neraka.

Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya lewat dan kebetulan ber­istirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata bahwa sampai malam ti­ba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh!

Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka. Mereka ingin sekali meli­hat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan latihannya agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur orang-orang Thian-liong-pang atau me­ninggalkan tempat itu. Sekarang mereka merasa serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu, dan tidak tahu apa­kah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembu­nyi dan tidak menentu ini mereka mera­sa tidak enak hati sekali.

Pada keesokan harinya, setelah mata­hari mulai tampak berseri mengusir em­bun pagi yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah tujuh orang hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.

“Bigus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata Thian-liong-pang masih merupa­kan seburh perkumpulan besar yang su­ka memegang janjinya!” Seorang di anta­ra para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, ta­ngan kanan memegang hud-tim (kebutan) berkata sambil berkata tenang.

“Thian-liong-pang selamanya meme­gang janji dan ssjak dahulu adalah per­kumpulan besar yang tiada bandingnya!” Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu dengan sinar matanya yang lembut. “Memenuhi perminta­an para sahabat di dunia kang-ouw un­tuk mengadakan pertemuan, kami meng­gunakan tempat yang sunyi ini agar di antara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukun manusia lain karena di sini yang tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili Ketua Thian-liong-pang berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah dutang, apa­kah kehendak Cu-wi mengajukan tantangan kepada pihak kami untuk mengada­kan pertemuan?”

Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata, “Omitohud...., seorang dara remaja yang lembut me­nyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang! Nona, di manakah Ketua Thian-liong-pang sendiri? Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis mu­da seperti Nona?”

Milana cepat menjura dengan hor­mat, hatinya tidak enak menghadapi si­kap hwesio yang agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Seringkali dia terpaksa merasa canggung dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya. Biarpun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak me­nang sendiri dari perkumpulan yang di­pimpin ibunya, membuat gadis yang me­miliki dasar watak halus itu merasa canggung dan tidak enak.

“Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat semba­rangan hadir dalam setiap pertemuan, apalagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun tidak datang memim­pin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh ka­rena itu, Ketua kami mewakilkan kepa­da kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan yang diadakan di tempat ini.”

Hwesio itu mengangguk-angguk, na­mun pada wajahnya yang halus itu ma­sih terbayang ketidakpuasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpul­an atau partai persilatan yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-tokoh bukan tingkat rendah, hanya di­sambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!

“Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkan pinceng mengetahui, kedudukan apa yang Nona miliki di Thian-liong-pang?”

“Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu ba­nyak bicara! Nona kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak mewa­kili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!” Tiba-tiba Si Le­ngan Buntung itu sudah meloncat maju dan tangan tunggalnya sudah melintang­kan toyanya di depan dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya mena­kutkan.

Para hwesio kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata, “Omi­tohud...., maafkan pinceng yang tidak ta­hu bahwa Nona adalah puteri Thian­-liong-pangcu sendiri! Kalau begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng ada­lah Ceng Sim Hwesio, murid kepala da­ri Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai.”

“Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka menuntut agar diadakan perte­muan dengan pihak kami.” Milana cepat bertanya mendahului Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biarpun jarang bicara, sekali mengeluarkan sua­ra, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!

“Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian­-liong-pang yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw, merampas kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain....”

“Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami pandang sebagai perkumpulan sahabat!” Milana cepat membantah. “Sedangkan mengenai urusan dengan to­kbh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri.”

Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ke­tua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu, “Tepat sekali ucapan Noda dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri urusan itu, bukan? Akan tetapi semenjak perte­muan yang menghebohkan di Pegunungan Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan se­kali ini karena menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus mencampurinya!”

“Harap Lo-suhu suka memberi penje­lasan!” Milana berkata halus akan teta­pi nyaring karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibu­nya dicela orang lain.

“Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki ta­ngan Pemerintah Mancu! Dengan meng­hambakan diri kepada pemerintah penja­jah untuk menindas bangsa sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kega­gahan dan berarti salah menggunakan perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat.”

Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.

“Kiang-lopek, mundur dan jangan tu­run tangan sebelum ada perintah!”

Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa mem­bantah ia melangkah mundur, sedangkan para anggauta Thian-liong-pang lainnya sudah marah dan bersiap turun tangan begitu ada perintah.

 “Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum menyelidiki terlebih dahulu sebe­lum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang baik terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa kami membantu pemerintah da­lam menghadapi para pemberontak. Bu­kankah hal itu berarti bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan keadaan dan yang hanya akan memancing timbul­nya perang yang menyengsarakan penghi­dupan rakyat jelata? Ataukah.... mungkin ­Siauw-lim-pai bahkan memihak pem­berontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar kedudukan, peram­pok-perampok yang berkedok pejuang?”

Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan. Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata, “Perju­angan melawan penjajah, di manapun juga di dunia ini, adalah perjuangan ka­um patriot pembela bangsa dan tidak boleh dikotori dengan tuduhan keji me­makai dalih apapun juga. Kami tidak bersekutu dengan kaum patriot dan pe­juang yang kalian anggap sebagai pembe­rontak, akan tetapi kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah mencelakakan bangsa sendiri yang berju­ang menurut keyakinan dan kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta kepa­da Thian-liong-pang, mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orsng gagah, untuk mundur dan jangan mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri.”

Tentu saja hati Milana manjadi panas mendengar ucapan itu, betapapun juga baik kata-kata itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat menyelami kebenaran kata-kata itu, tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagaimana ia dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerin­tah penjajah? Dia sendiri adalah cucu Kaisar! Di dalam pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang berhak dan patut memimpin seluruh Tiongkok karena telah menunjukkan kebesaran dan kele­bihannya! Mana bisa disamakan atau dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu? Dia percaya sepenuhnya bahwa pe­merintah Kerajaan Ceng-tiauw memba­wa rakyat kepada kemakmuran dan ke­majuan, sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari kesempatan menggendutkan perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan untuk menghalalkan kejahatan mereka!

“Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang untuk mundur dan tidak bo­lah membantu pemerintah membersihkan para pemberontak, dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak per­mintaannmu itu, dan kami akan tetap melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rak­yat daripada kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pembe­rontak!”

“Kalau begitu, Thian-liong-pang me­nentang kepada Siauw-lim-pai!” Hwesio bermuka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus Ceng Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluar­kan sinar berkilat.

“Habis, engkau mau apa?” Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di ta­ngan kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.

“Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang tidak akan tunduk terhadap siapapun juga dalam menentukan sikap akan urusan kami dengan pemerintah!” Milana berkata.

“Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena semua tokohnya memi­liki ilmu kepandaian tinggi!” kata Ceng Sim Hwesio yang mulai panas hatinya.

“Ilmu kepandaian curian semua!” Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.

“Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan Siauw-lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan sikap ti­dak bersahabat. Karena itu, karena ka­mi yang menyediakan tempat ini, berar­ti kami menjadi pihak pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi dari sini, pertemuan telah selesai!” Milana berkata marah.

“Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada Siauw-lim-pai!” Ceng Sim Hwe­sio berkata. “Setelah kedua belah pihak bertemu, bicara tanpa ada hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesem­patan ini untuk saling menguji sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian ma­sing-masing. Biarpun kami hanya bertujuh dan jumlah kalian dua kali lebih ba­nyak, kami tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang mengadakan pertandingan menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!”

“Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?” Bok Sam meloncat sambil memutar toyanya.

“Trang-trangg....!” Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!

“Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!” Milana lalu menyebutkan nama enam orang pembantu yang dipilihnya, terma­suk Si Lengan Buntung, kemudian bersa­ma enam orang pembantunya ia mengha­dapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan pedang di depan dada dan berkata,

“Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?”

“Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan! Kouwnio (Nona) yang perka­sa, biarlah pertemuan ini kita akhiri de­ngan menguji kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan ka­mi kepada Ketua kami.”

“Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!” Kemudian dia menoleh kepada para pembantunya, “Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya seke­dar menguji ilmu. Aku tidak perkenan­kan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-orang tua yang keras kepala ini!”

“Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!” Ceng Sim Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu sudah menerjang maju. Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua lengan baju­nya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak kalah oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak, ujung lengan baju yang panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki di depan tangannya.

“Wuuuut.... wuuuutttt!” Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana. Ketika dara ini dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang kemudian memba­lik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemim­pin rombongan, hwesio itu telah diha­dapi oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru di an­tara mereka. Milana tersenyum, mak­lum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja turun tangan menan­dingi hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai di antara rombongan lawan sehingga nona muda puteri Ketuanya itu tidak akan bekerja terlalu keras!

Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menang­kis toya Si Lengan Buntung. Namun la­wan ini terlalu lemah baginya dan da­lam belasan jurus saja Milana sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya dapat menge­lak dan sibuk menangkis dengan sepa­sang senjatanya seolah-olah di tangan Milanabukan terdapat sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan.

Sementara itu, lima orang hwesio la­innya sudah pula bertanding melawan li­ma orang pembantu Milana dan terjadi­lah pertandingan yang seru di tanah ku­buran. Melihat bahwa ternyata anggauta Thian-liong-pang yang berada di situ sa­ma sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali kepada puteri Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata hebat bukan main.

Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang, diban­dingkan dengan pertandingan lain di an­tara kedua rombongan itu. Biarpun le­ngannya hanya sebuah, namun toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itu pun ti­dak mampu mendesaknya dengan kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersi­lat dengan amat hati-hati. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi, dengan dasar yang ko­koh kuat dan boleh dikata di antara se­mua ilmu silat yang sesungguhnya ber­sumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain. Hal ini adalah karena para pengem­bang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri da­ri hwesio-hwesio yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pela­jaran guru-guru mereka. Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena tokoh-tokohnya terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petu­alang yang banyak merantau sehingga di sana sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka masukkan da­lam ilmu silat mereka sehingga makin lama, biarpun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-macam co­raknya, juga tidak kalah lihainya, na­mun makin menjauh dari dasar atau sumbernya. Karena inilah, maka ilmu si­lat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan yang paling aseli, tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.

Ceng Sim Hwesio adalah murid kepa­la dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Sebetul­nya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan maupun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih ma­tang, juga tenaga saktinya tidak kalah kuat. Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh gemblengan khusus dari Ke­tua Thian-liong-pang, dan ilmu yang di­milikinya adalah ilmu golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerak­an mengandung tipu daya yang aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti Ceng Sim Hwesio.

Ketika dengan gerakan yang kuat se­pasang lengan baju hwesio itu menyam­bar ke arah toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu dengan sepa­sang lengan bajunya untuk merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepas­kan toyanya dan menggunakan kesematan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempu­nyai ilmu dahsyat “telapak tangan go­lok” itu telah membabat ke arah pundak Ceng Sim Hwesio!

Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya se­kali. Untuk menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, se­pasang ujung lengan bajunya sudah meli­bat toya, maka jalan satu-satunya bagi­nya hanyalah miringkan tubuh dan mene­rima hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil mengerahkan sin-kangnya.

“Desss!”

Hebat bukan main pukulan tangan mi­ring dari Bok Sam ini. Dia telah mene­rima latihan khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggal­nya itu amat dahsyat. Bukan seperti ta­ngan yang mengandung tenaga sin-kang biasa yang dapat memecahkan batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai memba­cok putus leher manusia! Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat sehingga menjadi kebal, tubuh hwe­sio itu tergetar hebat dan biarpun dia tidak terluka karena “bacokan” tangan itu dilawan oleh sin-kangnya, namun dia roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya pada toya terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang menggunakan toya untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.

“Pinceng sudah kalah, perlu apa me­nodong dan mengancam? Kalau mau bu­nuh, lakukanlah, pinceng tidak takut mati!” kata Ceng Sim Hwesio yang me­rasa terhina dengan penodongan toya di atas dadanya itu.

Milana yang sudah merobohkan lawan­nya dan sedang meloncat ke atas sebuah kuburan untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah merobohkan dua orang pembantunya berturut-turut cepat berseru,

“Kiang-lopek! Jangan lancang membunuh!”

Bok Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia menodong hanya untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung to­yanya bergerak cepat menotok jalan da­rah di pundak Ceng Sim Hwesio, mem­buat hwesio itu mengeluh dan tak dapat bergerak lagi.

Sementara itu, hwesio muka tengko­rak yang memegang kebutan dan tasbih, ternyata dengan gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula seorang anggauta Thian-liong-pang yang tadi me­nerjangnya dengan sebatang pedang, ge­rakan hwesio ini hebat sekali, dan be­gitu memandang, tahulah Bok Sam bah­wa hwesio kurus itu ternyata jauh lebih lihai daripada Ceng Sim Hwesio! Hwesio kurus itu telah merobohkan tiga orang temannya dan seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain. Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal dia, puteri Ketuanya, dan seorang pembantu lagi, yai­tu Su Kak Liong yang masih bertanding seru melawan seorang hwesio pendek bersenjata toya. Biarpun dia lihai, Su Kak Liong terdesak juga oleh dua orang pengeroyoknya. Milana sudah menerjang hwesio kurus yang bersenjata hud-tim dan tasbih, dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio lain yang bersenjata pedang. Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam membiarkan Milana menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat meloncat ke de­pan membantu Su Kak Liong. Begitu Si Lengan Buntung ini maju, keadaan beru­bah sama sekali. Hwesio pendek yang bersenjata toya sama sekali bukan tan­dingan Si Lengan Buntung, biarpun senjata mereka serupa dan hwesio itu mengguna­kan kedua tangannya untuk mainkan senjatanya. Dalam belasan jurus saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan iagi, toyanya patah menjadi dua dan dia ro­boh dengan sambungan lutut terlepas karena hantaman toya lawan. Juga hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh oleh Su Kak Liong, terluka pun­daknya.

Bok Sam cepat meloncat dan mem­bantu Milana yang masih dikeroyok dua. Ternyata hwesio kurus bermuka tengko­rak itu benar-benar lihai sekali. Per­mainan kombinasi sepasang senjatanya yang aneh memiliki gerakan-gerakan aneh dan tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan senjata-senjatanya amat kuat. Kebutan di tangan kanan itu kadang-kadang lemas dan dipergunakan untuk membelit pedang untuk merampas­nya, akan tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan kaku bulu-bulunya sehingga dapat dipergunakan untuk meno­tok jalan darah. Sedangkan tasbihnya menyelingi gerakan kebutan dengan sam­baran-sambaran ke arah kepala lawan. Milana terkejut dan tertarik sekali. Dia sudah mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai maka dia menjadi heran sekali ketika melihat bahwa dasar ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai, bahkan mendekati ilmu silat dari barat!

Setelah kini Bok Sam maju memban­tunya dan menghadapi hwesio yang ber­senjata pedang, Milana mendapat kesem­patan untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu lawan satu dan de­ngan mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa, Milana dapat memancing hwesio itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai.

Tiba-tiba untuk kesekian kalinya, tas­bih menyambar dari udara, mengeluarkan bunyi bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri hwesio kurus, dan melayang-layang seperti seekor burung me­nyambar ke arah kepala Milana. Dara ini tidak menjadi gugup. Tadi pun dia pernah diserang seperti itu dan ketika ia mengelak, tasbih itu dapat kembali ke tangan lawan! Kini dia sengaja meng­gunakan pedangnya menangkis dengan hantaman miring dari samping ke arah tasbih sambil membagi perhatian ke depan karena selagi tasbih itu melayang turun, hud-tim di tangan kanan lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan mengi­rim penyerangan cepat sekali.

 “Cringgg!”

Milana terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan ternya­ta bahwa tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan terus melibat pedangnya. Kiranya tasbih itu dilempar dengan gerakan berputar sehingga ketika ditangkis terus melibat! Padahal pada saat itu kebutan di tangan kanan hwesio itu telah meluncur datang, ujung kebut­an bergerak cepat sekali seolah-olah ber­ubah menjadi banyak dan mengirim to­tokan Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh Milana dan pinggang ke atas.

“Wuuuuttt.... singgg!” Milana menggu­nakan gin-kangnya, tubuhnya mencelat ke atas, pedang dikelebatkan dengan pengerahan sin-kang sehingga tasbih yang melilit pedangnya itu terlepas menyam­bar ke depan, menangkis ke arah kebut­an.

“Wuuuut!” Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap tasbihnya, dan sudah siap untuk me­nerjang lagi sambil diam-diam memuji ketangkasan dara itu.

“Tahan!” Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di depan dada. “Siapa engkau? Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang hwesio tokoh Siauw-lim-pai!”

Hwesio itu tersenyum mengejek, ke­mudian memandang kepada enam orang hwesio yang semua telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya memban­tu dia mengeroyok Milana, telah roboh pula di tangan Bok Sam yang kini sudah berdiri dengan memegang toya tegak lurus di depannya, siap untuk menerjang­nya. Enam orang temannya sudah kalah semua, tinggal dia seorang, sedangkan di pihak Thian-liong-pang masih ada ti­ga orang termasuk nona muda yang amat lihai dan Si Lengan Buntung yang juga lihai sekali itu.

“Pinceng Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi pinceng adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang dari barat dan mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah merendahkan diri menjadi kaki tangan pemerintah pen­jajah, pinceng dan para sahabat ini....”

“Aihh, kiranya engkau seorang pembe­rontak dari Tibet, bukan?” Milana memo­tong, dan hwesio itu kelihatan terkejut.

“Bagaimana Nona dapat menyangka demikian?”

“Aku mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk, akan tetapi banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu engkau adalah seorang di antara mereka yang ingin memberontak, maka kini engkau menghasut para Lo-suhu dari Siauw-lim-pai untuk menentang kami. Hemm, Mo Kong Hosiang, karena engkau bukan orang Siauw-lim-pai, maka urusan anta­ra engkau dan kami lain lagi. Engkau seorang pemberontak dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi pemberon­tak.”

“Ha-ha-ha, perempuan sombong! Kaukira pinceng takut....?” Baru sampai di sini ucapannya, terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah menerjang maju dengan dahsyat, menggerakkan to­yanya menusuk ke arah dada hwesio kurus itu.

Mo Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangan­nya yang menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Se­rangan berbahaya ini dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang itu. Sekali ini, pertandingan terjadi lebih he­bat daripada tadi karena kalau tadi ma­sing-masing pihak masih menjaga agar jangan sampai menjatuhkan pukulan maut kepada pihak lawan, kini kedua orang ini bertanding dengan niat membunuh!

Milana sudah mengukur tingkat ke­pandaian hwesio kurus itu, maka kini ia mengerutkan alis menyaksikan kelancang­an Bok Sam yang terlalu berani turun tangan. Dia maklum bahwa pembantu ibunya itu memiliki ilmu yang boleh di­andalkan, akan tetapi dia khawatir ka­lau pembantu ibunya itu bukan tan­dingan Mo Kong Hosiang yang amat lihai. Biarpun hatinya tidak senang menyaksikan kelancangan dan kekerasan hati Bok Sam, namun karena dia tahu bah­wa Si Buntung ini mendahuluinya bukan hanya karena keras hati akan tetapi ju­ga karena menyayangnya menghadapi la­wan tangguh, maka di lubuk hatinya Milana merasa tidak tega dan tidak mau membiarkan Si Lengan Buntung itu menghadapi bahaya maut. Diam-diam ia bersiap sedia untuk menolong apabila pembantu ibunya itu terancam bahaya.

Kiang Bok Sam bukan seorang bo­doh. Begitu terjadi saling serang bebera­pa jurus saja, tahulah dia bahwa lawan­nya ini benar-benar amat lihai, sama se­kali tidak boleh disamakan dengan Ceng Sim Hwesio. Gerakan hud-tim itu membi­ngungkan hatinya karena amat cepat dan aneh, selain itu, juga hud-tim yang kadang-kadang lemas kadang-kadang ka­ku itu membuat dia sukar sekali mendu­ga gerakan serangan lawan. Namun, dia tidak menjadi jerih dan toyanya di­putar amat cepatnya ketika dia memba­las dengan serangan-serangan maut yang tidak kalah hebatnya. Permainan toya­nya yang khusus diturunkan oleh Ketua Thian-liong-pang kepadanya memang dah­syat sekali, apalagi di balik toya ini ter­sembunyi lengan tunggal yang memiliki keampuhan luar biasa. Toya ini selain merupakan senjata, juga merupakan se­macam kedok yang menyembunyikan sen­jatanya yang paling utama dan ampuh, yaitu tangan kanannya. Lawan biasanya akan memandang rendah apabila dia ke­hilangan toyanya, dan hal ini pun tadi telah mengakibatkan robohnya Ceng Sim Hwesio.

Mo Kong Hosiang maklum bahwa la­wan yang berbahaya adalah Si Buntung ini dan nona muda itu, maka dia harus dapat merobohkan seorang di antara me­reka baru dia mempunyai harapan timtuk keluar dari pertandingan dengan selamat. Maka kini melihat gerakan toya Si Lengan Buntung, dia memandang rendah. Si Buntung ini memang amat cepat dan kuat sin-kangnya, namun masih jauh ka­lau dibandingkan lawannya dengan nona muda yang cantik itu. Dia harus dapat mengalahkan lawannya dengan cepat. Ti­ba-tiba hwesio kurus itu mengeluarkan suara bentakan melengking sehingga ter­kejutlah lawannya karena bentakan ini mengandung tenaga khi-kang yang meng­getarkan jantung. Pada saat itu, hud-tim di tangan Mo Kong Hosiang meluncur ke depan, menjadi lemas dan telah melibat ujung toya yang tadi menusuk ke arah dadanya, sedangkan tasbih di tangan ki­rinya sudah dilontarkannya ke atas dan kiri tasbih itu meluncur turun ke arah kepala lawan selagi lawan masih terke­jut dan berusaha membetot toyanya.

“Sinngggg.... tranggg!” Tasbih itu pu­tus dan runtuh ke atas tanah, kesambar pedang yang dilontarkan oleh Milana. Pedang itu pun runtuh ke atas tanah, akan tetapi telah berhasil menyelamat­kan Si Lengan Buntung dari ancaman maut!

Pada saat itu Bok Sam melepaskan toyanya dan hal ini dianggap oleh Mo Kong Hosiang sebagai kemenangan. Dia berseru girang walaupun tadi kaget melihat tasbihnya runtuh, dengan gerak kilat tangan kirinya menghantam ke arah lawan. Pukulannya cepat dan keras bu­kan main sehingga didahului oleh hawa pukulan yang kuat. Seperti juga Ceng Sim Hwesio, hwesio dari Tibet ini telah salah menduga keadaan lawan. Disangka­nya bahwa Si Lengan Buntung itu hanya mengandalkan toyanya, maka begitu to­ya terlepas dianggapnya Si Lengan Bun­tung itu menjadi tak berdaya dan lemah. Maka hwesio kurus itu hanya tersenyum mengejek ketika Bok Sam menggerakkan lengan tangannya menangkis dengan tangan terbuka miring.

“Krakkkk....!”

Mo Kong Hosiang berteriak kaget se­tengah mati ketika pergelangan tangan­nya terasa nyeri dan tulangnya ternyata patah begitu berternu dengan tangan mi­ring lawan.

“Celaka....!” Dia cepat meloncat ke belakang, lengan kirinya tergantung lum­puh karena tulangnya patah, namun hud-timnya berhasil merampas toya. Kini dia menggerakkan hud-timnya dan toya itu meluncur seperti anak panah yang besar ke arah Bok Sam!

“Wuuuttt.... wirrrr!” Tiba-tiba toya yang meluncur itu berhenti dan tertarik ke atas oleh sinar hitam yang meluncur cepat dari tangan Milana. Kiranya dara perkasa ini telah menggunakan sebatang tali sutera, sebuah di antara senjatanya yang amat lihai, dilontarkannya tali itu dan berhasil menangkap toya! Kini toya itu telah kembali ke tangan pemi­liknya yang mengangguk sebagai tanda terima kasih kepada Milana. Lontaran toya tadi benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya sehingga kalau tidak di­tolong Milana, tentu dia akan celaka, setidaknya terluka.

Sambil menggereng seperti seekor harimau terluka, Bok Sam menerjang maju dan terpaksa dilawan oleh Mo Kong Hosiang yang keadaannya tidak berbeda jauh dengan lawannya. Kalau lawannya itu hanya menggunakan lengan kanan ka­rena lengan kirinya buntung, hwesio Ti­bet ini pun hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya lumpuh dan patah tulangnya.

Maklum bahwa selain terluka parah, juga di samping lawannya yang lihai ini masih terdapat puteri Ketua Thian-liong-pang yang lebih lihai lagi, maka Mo Kong Hosiang berlaku nekat, menubruk maju dengan dahsyat, hendak mengadu nyawa dan mengajak lawannya mati bersama! Akan tetapi Bok Sam tentu saja tidak suka nekat seperti lawannya karena dia sudah berada di pihak lebih kuat. Meng­hadapi terjangan nekat ini, dia mengayun toyanya menangkis dengan pengerah­an tenaga sekuatnya.

“Desss! Krakkk!” Hud-tim dan hoya di tangan kedua orang lawan itu patah menjadi dua disusul pekik Mo Kong Ho­siang yang roboh terjengkang karena da­danya terkena pukulan tangan kanan Bok Sam yang amat ampuh. Biarpun dengan sin-kangnya dia masih dapat mem­buat dadanya kebal, namun getaran he­bat membuat jantungnya pecah dan isi dadanya rusak sehingga hwesio Tibet ini tewas seketika!

Milana cepat menyuruh anak buahnya mundur, kemudian dia menghampiri enam orang hwesio Siauw-lim-pai yang sudah bangkit berdiri saling bantu. Ceng Sim Hwesio berdiri dengan muka pucat.

“Ceng Sim Hwesio, engkau tadi telah mendengar sendiri bahwa kami membu­nuh Mo Kong Hosiang bukan sebagai se­orang tokoh Siauw-lim-pai karena menu­rut pengakuannya sendiri, dia bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai. Kami membunuhnya sebagai seorang pemberon­tak. Adapun Cu-wi Lo-suhu, enam orang anggauta Siauw-lim-pai telah kalah da­lam ujian kepandaian melawan kami, hal ini kami rasa sudah sewajarnya, apalagi kalau diingat bahwa yang menantang mengadu ilmu adalah pihak Siauw-lim-pai sendiri. Harap saja Lo-suhu ti­dak akan memutarbalikkan kenyataan ini dalam laporan Lo-suhu kepada Ketua Siauw-lim-pai.”

Ceng Sim Hwesio tersenyum pahit lalu menghela napas panjang. “Biarpun Mo Kong Hosiang bukan anggauta Siauw-lim-pai, namun dia adalah seorang sauda­ra kami, sudah sepatutnya kalau kami membawa pergi jenazahnya. Tentang urusan antara kita, hemmm.... kami su­dah kalah, tidak perlu banyak bicara la­gi! Selamat tinggal, mudah-mudahan da­lam pertemuan mendatang kami akan lebih berhasil.” Setelah berkata demikian, Ceng Sim Hwesio mengajak anak buahnya pergi sambil menggotong jenazah Mo Kong Hosiang.

Rombongan Pulau Neraka yang ber­sembunyi sambil menonton, melihat bah­wa biarpun pihak Thian-liong-pang mem­peroleh kemenangan, akan tetapi rom­bongan itu tidak meninggalkan tempat itu, hanya mengobati empat orang ang­gauta yang terluka dalam pertandingan tadi. Bahkan mereka bermalam lagi di tempat itu melakukan penjagaan secara bergiliran.

Kiranya, bukan hanya dari partai per­silatan Siauw-lim-pai saja yang datang. Pada keesokan harinya datang pula rom­bongan orang-orang kang-ouw yang juga mempunyai niat yang sama dengan rom­bongan Siauw-lim-pai, yaitu mereka me­nentang Thian-liong-pang yang oleh du­nia kang-ouw dianggap telah menyeleweng dari peraturan kang-ouw, yaitu telah mencampurkan diri dengan urusan poli­tik, bahkan telah mengekor dan meng­hambakan diri kepada pemerintah pen­jajah. Betapapun juga, partai-partai persilatan besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw itu biar tidak secara terang-terangan memberontak atau me­nentang pemerintah penjajah, namun di dalam hati mereka masih berpihak kepa­da orang-orang yang memberontak terha­dap kaum penjajah. Oleh karena itu, mendengar betapa Thian-liong-pang mem­bantu pihak pemerintah, nnengejar-nge­jar pemberontak dan membasmi mereka, golongan kang-ouw menjadi marah dan sengaja menentang Thian-liong-pang!

Setiap hari terjadilah pertempuran di tanah kuburan itu dan karena di pi­hak Thian-liong-pang terdapat Si Lengan Buntung yang amat lihai dan puteri Ke­tua Thian-liong-pang yang sukar mene­mui tandingan, maka pihak Thian-liong-pang selalu dapat menang dan mengusir musuh-musuh mereka dengan alasan yang sama seperti yang mereka kemukakan kepada Siauw-lim-pai. Pihek yang mera­sa penasaran mereka lawan dengan me­ngadu kepandaian.

Rombongan Pulau Neraka sekarang mengerti mengapa Bu-tek Siauw-jin, da­tuk mereka yang aneh sekali wataknya itu memilih tempat ini untuk berlatih! Kiranya kakek yang tidak lumrah manu­sia biasa itu agaknya sudah tahu bahwa tempat itu dijadikan gelanggang pertan­dingan oleh Thian-liong-pang yang me­nyambut musuh-musuhnya, maka dia se­ngaja memilih tempat itu yang dianggapnya menarik! Kalau tidak untuk keperluan ini, apa perlunya kakek itu menyuruh belasan orang Pulau Neraka menggotong-gotong peti mati kosong itu sam­pai ratusan mil jauhnya? Padahal untuk latihan itu, di mana-mana pun ada ta­nah, di mana-mana pun ada tanah kubur­an! Diam-diam para anak buah Pulau Neraka merasa mendongkol sungguhpun tentu saja tidak berani menyatakan ini, karena mereka berada dalam keadaan serba salah, setiap hari harus menyaksi­kan ketegangan-ketegangan tanpa berani berkutik.

Akhirnya terlewat jugalah jarak wak­tu sepekan yang dibutuhkan oleh Bu-tek Siauw-jin untuk latihan bersama murid­nya! Akan tetapi, tepat pada hari ter­akhir itu terjadi pula pertandingan anta­ra Thian-liong-pang dan rombongan Hoa-san-pai yang terdiri dari orang-orang pandai sebanyak sepuluh orang! Seperti juga ketika menyambut rombongan Siauw-lim-pai, Milana mewakili ibunya mem­beri alasan-alasan kuat, dan perbantahan itu berakhir dengan adu kepandaian pu­la, karena pihak Hoa-san-pai itu adalah murid-murid Thian Cu Cin-jin Ketua Hoa-san-pai yang memiliki ilmu kepan­daian tinggi. Pertandingan hebat terjadi sampai lewat tengah hari dan berakhir dengan kemenangan pihak Thian-liong-pang, akan tetapi biarpun orang-orang Hoa-san-pai itu dapat diusir pergi dalam keadaan luka-luka, Pihak Thian-liong-pang sendiri kehilangan seorang anggau­tanya yang terluka terlalu parah sehtng­ga nyawanya tidak tertolong lagi dan tewas tak lama setelah rombongan Hoa-san-pai pergi!

Melihat betapa pihak musuh tiada hentinya datang menantang mereka, Mi­lana merasa penasaran dan juga berduka sekali, apalagi setelah melihat di pihak­nya jatuh korban seorang tewas dan li­ma orang masih luka-luka.

“Lebih baik kita meninggalkan tem­pat ini membuat laporan kepada Pang­cu,” katanya kepada Bok Sam.

“Sebaiknya demikian, Nona. Akan te­tapi karena kebetulan kita berada di ta­nah kuburan, sebaiknya kita mengubur je­nazah anak buah kita yang tewas itu di tempat ini.”

Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi menganggap bahwa memang se­baiknya demikian sehingga mereka tidak perlu membawa-bawa jenazah. “Terserah kepadamu, Kiang-lopek, akan tetapi di tempat jauh dari kota ini, bagaimana kau bisa mendapatkan sebuah peti mati?”

Si Lengan Buntung itu menengok ke kanan kiri yang penuh dengan batu ni­san dan gundukan tanah kuburan. “Hemm, banyak tersedia peti mati di sini, me­ngapa mesti susah-susah mencari tem­pat jauh? Biar aku mencarikan sebu­ah peti mati yang masih baik untuk je­nazah kawan klta.” Si Lengan Buntung ini lalu mengajak beberapa orang anak buahnya mencari kuburan yang masih belum begitu lama sehingga peti mati di dalamnya tentu belum rusak pula.

Tentu saja perhatian mereka segera tertarik oleh gundukan tanah yang masih baru, yaitu kuburan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong! Tanah yang digundukkan di situ baru sepekan lamanya.

“Bagus, ini kuburan baru sekali! Ten­tu peti matinya pun masih baik. Hayo kita gali dan keluarkan peti matinya!” Bok Sam berkata dengan wajah berseri, berbeda dengan biasanya yang selalu kelihatan muram. Memang dia merasa gembira mendapatkan kuburan yang baru itu, hal yang sama sekali tidak di­sangka-sangkanya karena tanah kuburan itu penuh dengan kuburan-kuburan yang sudah tua sekali.

Setelah berkata demikian, Si Lengan Buntung ini mempelopori anak buahnya, menggunakan tangannya menggempur gundukan tanah dan sekali tangan tung­galnya mendorong, gundukan tanah yang baru itu terbongkar dan tampaklah se­buah peti meti di bawahnya, berjajar dengan sebuah peti mati lain yang ma­sih tertutup tanah. Peti mati yang tam­pak itu adalah peti mati Kwi Hong!

“Heii, keparat! Tahan....!”

Orang-orang Thian-liong-pang terkejut dan mereka semua melihat dengan mata terbelalak ketika belasan orang Pulau Neraka muncul dari kanan kiri. Benar-benar mengejutkan melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu bermunculan di tanah kuburan itu, tidda ubahnya seperti setan-setan kuburan. Si Lengan Satu yang kehilangan lengan kirinya dalam pertandingan melawan orang-orang Pulau Neraka, segera me­ngenal musuh-musuh lama ini, maka dia terkejut dan marah sekali.

“Gerombolan Iblis Pulau Neraka! Apakah kalian kembali hendak menggang­gu urusan Thian-liong-pang?” bentaknya marah sekali.

Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang berkepala gundul bermuka merah muda dan bertubuh gendut pendek, me­nyeringai ketika menjawab. “Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sudah sepekan kami berada di sini menyaksi­kan sepak terjang kalian dan kami diam-diam saja. Siapa sudi mencampuri urus­an orang lain yang tidak harum? Akan tetapi kalian berani mengganggu kuburan yang kami jaga, tentu saja kami turun tangan. Kuburan yang satu ini berada di bawah pengawasan kami dan tidak ada seorang pun manusia atau iblis bo­leh mengganggunya. Kalau kalian membutuhkan peti mati, boleh mencari ku­buran lain!”

“Kau sudah bosan hidup!” Bok Sam membentak dan langsung menerjang ke depan, disambut oleh Kong To Tek se­hingga terjadilah perkelahian yang seru antara kedua tokoh ini. Ternyata ilmu kepandaian mereka seimbang sehingga pertandingan itu hebat bukan main. Anak buah Thian-liong-pang yang lain sudah pula bertanding melawan anak buah Pu­lau Neraka.

Perkelahian itu segera terdengar oleh Milana dan anak buahnya, maka dara ini cepat membawa anak buahnya menyerbu dan kembali tempat itu menjadi medan perang kecil-kecilan yang dahsyat seka­li. Milana mempunyai rasa tidak suka kepada Pulau Neraka, maka kini meli­hat betapa orang-orang dengan muka beraneka warna itu bertempur melawan orang-orangnya, dia segera terjun ke me­dan pertandingan dan sepak terjang dara ini membuat orang-orang Pulau Neraka terdesak hebat. Bok Sam yang bertan­ding melawan Kong To Tek merupakan tandingan seimbang dan seru, akan teta­pi Si Gundul Kong To Tek itu mulai ter­desak karena lawannya menggunakan pukulan-pukulan Ilmu Telapak Tangan Golok yang dahsyat bukan main. Kong To Tek terkenal dengan ilmunya memu­kul sambil berjongkok dan dari mulutnya keluar asap beracun. Namun karena dia pernah mengacau ke Thian-liong-pang dan kepandaiannya ini sudah diketahui oleh Bok Sam, Si Lengan Buntung dapat menjaga diri dan selalu meloncat tinggi melampaui kepala lawan yang berjongkok itu, kemudian membalik dan melancar­kan pukulan-pukulan maut dengan lengan tunggalnya yang ampuh bukan main.

Adapun orang ke dua yang lihai dalam rombongan Pulau Neraka itu adalah Chi Song, tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar dan berperut gendut. Chi Song ini memiliki dua macam ilmu sim­panan yang hebat dan pernah pula dia bersama Kong To Tek mengacau Thian-liong-pang dan akhirnya dikalahkan oleh Gak Bun Beng yang pada waktu itu me­nyamar sebagai Ketua Thian-liong-pang.

Dua ilmu simpanannya itu memang dah­syat, yaitu Ilmu Pukulan Beracun yang berbahaya sekali. Kalau dia mendorong dengan telapak tangan terbuka, dari te­lapak tangannya menyambar uap bera­cun yang dapat merobohkan lawan sebe­lum pukulannya sendiri mengenai sasar­an. Adapun keistimewaannya yang ke dua adalah ilmu tendangan yang dah­syat, yang dilakukan sambil meloncat sehingga dinamakan Tendangan Terbang. Banyak lawan yang dapat menghindarkan diri dari pukulannya yang beracun roboh oleh tendangan dahsyat yang amat ce­pat dan tidak terduga-duga datangnya ini. Biarpun tingkat kepandaiannya ma­sih kalah sedikit dibandingkan dengan Kong To Tek, namun Chi Song bukanlah seorang tokoh rendahan saja di Pulau Neraka.

Sial baginya, sekali ini dia bertemu dengan Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang! Betapapun lihainya, dan biarpun dia telah dibantu oleh tiga orang untuk mengeroyok Milana, tetap saja dia dan kawan-kawannya dihajar babak belur oleh tali sutera hitam yang dimainkan sebagai cambuk tangan Milana! Kalau dara re­maja ini menghendaki, tentu dengan mu­dah dia dapat menyebar maut di antara rombongan orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi biarpun dia puteri Ke­tua Thian-liong-pang yang terkenal ber­watak keras dan ganas, pada hakekatnya Milana memiliki watak halus dan tidak tega membunuh orang kalau tidak seca­ra terpaksa sekali. Dia tidak suka kepa­da orang-orang Pulau Neraka, akan teta­pi karena yang mengeroyoknya hanya orang-orang yang tingkatnya jauh lebih rendah daripadanya, dia tidak mau menu­runkan tangan maut, dan hanya mengha­jar mereka dengan lecutan-lecutan tali suteranya sehingga mereka itu terdesak mundur, bahkan beberapa kali Chi Song roboh bergulingan, pakaiannya robek-ro­bek dan kulitnya lecet-lecet.

Sepak terjang Milanna ini hebat seka­li, membuat para anak buah Pulau Nera­ka menjadi kacau balau. Apalagi ketika Bok Sam berhasil melukai pundak Kong To Tek dengan Telapak Tangan Goloknya sehingga tokoh gundul Pulau Neraka itu terpaksa mundur untuk mengobati luka­nya dan Si Lengan Buntung itu kini me­ngamuk secara lebih hebat daripada Milana karena Si Lengan Buntung ini ti­dak menaruh segan-segan untuk membu­nuh atau menimbulkan luka parah di an­tara pengeroyoknya, pihak Pulau Neraka benar-benar terdesak hebat dan hanya main mundur.

Tiba-tiba terdengar pekik dari atas, disusul kelepak sayap dan seekor burung rajawali hitam menyambar turun, lang­sung mencengkeram ke arah Si Lengan Buntung Kiang Bok Sam yang sedang mengamuk dan menyebar maut di anta­ra orang-orang Pulau Neraka!

“Haiiiitttt!” Bok Sam berseru kaget, cepat dia melempar tubuh ke bawah dan bergulingan di atas tanah. Burung rajawali mengejar dan menyambar. Tiba-tiba Bok Sam meloncat bangun, tangan kanannya bergerak memukul ke arah sebuah di antara sepasang cakar yang menyambarnya.

“Desssss!” Burung rajawali itu memekik keras, akan tetapi tubuh Bok Sam juga terlempar bergulingan sampai jauh. Kiranya ketika kaki burung itu bertemu dengan pukulan Telapak Tangan Golok, ada sebuah tangan lain yang mendorong ke bawah dengan kekuatan yang amat dahsyat, yang selain menyelamatkan kaki burung itu, juga membuat tubuh Si Le­ngan Buntung bergulingan. Burung itu hinggap di atas tanah dan dari punggung­nya meloncat seorang pemuda yang ber­tubuh jangkung dan berwajah tampan sekali. Kemudian burung itu terbang ke atas, hinggap di atas cabang pohon.

Su Kak Liong, tokoh Thian-liong-pang yang melihat betapa hampir saja Bok Sam celaka oleh pemuda dengan burung rajawalinya ini, menerjang maju dengan sebatang golok besar. Pemuda itu sedang berdiri sambil bertolak ping­gang memandang ke sekeliling, sama sekali tidak memperhatikan atau mempe­dulikan terjangan Su Kak Liong dengan golok, juga dia tidak meraba gagang pedangnya yang tersembunyi di balik ju­bahnya yang panjang. Sikapnya tenang sekali, alisnya yang tebal agak berkerut, matanya bergerak ke kanan kiri, mulut­nya tersenyum simpul seperti orang me­ngejek, namun sikapnya angkuh seolah-olah dia memandang rendah kepada se­mua orang yang berada di sekelilingnya. Golok di tangan Su Kak Liong menyam­bar dekat, hampir menyentuh lehernya. Tiba-tiba tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya, pemuda itu membalikkan tubuh atas, tangan kirinya bergerak me­nangkap golok yang sedang menyambar, dijepit di antara jari tangannya sehingga golok itu tiba-tiba terhenti gerakannya. Su Kak Liong memandang dengan mata terbelalak hampir tidak percaya bahwa ada orang mampu menyambut hantaman goloknya dengan jari tangan menjepitnya sedemikian rupa sehingga dia tidak mampu lagi menggerakkan goloknya. Matanya masih tetap terbelalak akan te­tapi mulutnya mengeluarkan pekik menyeramkan dan segera disusul menyem­burnya darah segar ketika tangan kanan pemuda itu menepuk ulu hatinya dan se­ketika robohlah Su Kak Liong dalam keadaan tak bernyawa lagi!

“Keparat....! Kau berani membunuh­nya? Rasakan pembalasanku!” Bok Sam yang melihat peristiwa ini, menjadi ma­rah bukan main. Biarpun dia maklum bahwa pemuda itu benar-benar lihai se­kali, namun dia tidak menjadi gentar. Ke­marahannya membuat ia lupa diri dan dengan nekat dia menerjang maju, ta­ngan tunggalnya diangkat ke atas kepa­la dengan telapak tangan terbuka, dia sudah mengerahkan tenaga Telapak Ta­ngan Golok dan siap membacokkan ta­ngannya ke arah kepala pemuda itu. Si Pemuda tetap berdiri dan kini bahkan melongo memandang ke arah Milana yang mengamuk dengan sabuk suteranya, sama sekali tidak mempedulikan makian dan serangan Si Lengan Buntung yang ki­ni menggunakan Ilmu Telapak Tangan Golok sekuatnya itu!

“Plakkk!” ketika tangan kanan Bok Sam itu sudah dekat kepalanya, Si Pe­muda tiba-tiba mengangkat tangan ka­nannya ke atas, melindungi kepala dan menyambut pukulan itu sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dan me­lekat!

Bok Sam mengerahkan seluruh tena­ganya, tenaga sin-kang yang istimewa untuk ilmunya Telapak Tangan Golok, namun betapapun dia menekan, tetap sa­ja tangan pemuda itu tidak dapat dido­rongnya, bahkan dia tidak dapat lagi melepaskan tangannya dari telapak tangan Si Pemuda. Kemarahannya memuncak. Pemuda inilah yang telah membuntungi lengan kirinya maka tadi dia marah se­kali dan telah mengerahkan seluruh tena­ga untuk membalas dendam dan membu­nuhnya. Siapa kira, kini pukulannya yang istimewa disambut oleh pemuda itu se­enaknya saja dan dia tidak mampu me­narik kembali tangannya. Dengan kema­rahan meluap, Bok Sam lalu mengguna­kan kepalanya. Untuk menggunakan ta­ngan kiri, dia sudah tidak mempunyai lengan kini, menggunakan kedua kaki, jarak mereka terlalu dekat karena ta­ngan mereka sudah saling melekat, ma­ka satu-satunya yang dapat dia perguna­kan untuk menyerang musuh yang paling dibencinya ini adalah menggunakan kepalanya! Dengan menunduk, dia lalu membenturkan kepalanya dengan sekuat tenaga ke arah dada pemuda itu!

Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera dari Ketua Pulau Nera­ka, murid yang amat lihai dari Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Ne­raka! Melihat serangan kepala ini, Wan Keng In tetap tenang bahkan dia melon­cat sedikit ke atas sehingga kepala lawan tidak mengenai dada, melainkan me­ngenai perutnya.

“Capppp!” Perut itu mengempis dan kepala itu menancap di perut sampai setengahnya, tak dapat dicabut kembali.

Bok Sam merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, seolah-olah telah memasuki tempat perapian. Makin lama makin panas. Dia meronta-ronta akan tetapi karena tangan kanannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu, kepalanya sudah terjepit di rongga perut, yang bergerak hanya pinggul dan kedua kakinya yang menendang-nendang tanah!

“Manusia tak tahu diri, mampuslah!” Pemuda itu menggumam sambil menge­rahkan tenaga mujijat di rongga perut­nya. Terdengar bunyi keras ketika kepa­la Bok Sam retak-retak oleh tekanan perut yang amat kuat itu dan ketika Wan Keng In melontarkan tubuh Si Le­ngan Buntung dengan jalan mengembung­kan perutnya, tubuh itu telah menjadi mayat dengan kepalanya retak-retak dan berwarna kehitaman!

Semua ini dilakukan oleh Wan Keng In tanpa mengalihkan pandang matanya dari Milana yang masih menghajar orang-orang Pulau Neraka dengan tali suteranya yang meledak-ledak di udara seperti cambuk.

Pandang matanya menjadi berseri, mulutnya tersenyum ketika ia melang­kah dengan tenang, menghampiri tempat pertempuran itu, seolah-olah dia terpe­sona oleh gerak-gerik tubuh yang tinggi semampai dan lemah gemulai itu, oleh wajah yang amat cantik manis, bahkan amukan Milana pada saat itu menambah kejelitaan dalam pandang mata Wan Keng In ketika ia melangkah terus makin dekat.

“Aduhai, Nona yang cantik jelita se­perti dewi kahyangan! Siapakah gerang­an engkau?”

Para anak buah Pulau Neraka yang terdesak hebat oleh rombongan Thian-liong-pang kini menjadi girang bukan ma­in ketika melihat munculnya Wan Keng In. Terdengar seruan di antara mereka.

“Siauw-tocu (Majikan Muda Pulau) telah datang!”

Ketika mendengar seruan ini, Milana menengok dan kalau tadinya dia terhe­ran mendengar kata-kata yang dianggap­nya menyenangkan akan tetapi juga ku­rang ajar itu kini dia kaget bukan main. Kiranya pemuda ini adalah Majikan Mu­da Pulau Neraka! Teringat ia akan cerita Bun Beng kepadanya dan marahlah hatinya. Pemuda ini yang telah merampas pedang Lam-mo-kiam dari tangan Bun Beng. Ketika ia memandang, baru seka­rang tampak olehnya bahwa Su Kak Liong dan Bok Sam telah menggeletak menjadi mayat! Tahulah dia bahwa dua orang pembantunya yang paling lihai itu telah tewas, dan melihat munculnya pemuda Pulau Neraka ini, mudah diduga bahwa tentu mereka tewas di tangan pemuda ini.

Agaknya Wan Keng In dapat mendu­ga isi hati Milana ketika melihat dara jelita itu memandang ke arah mayat ke dua orang tokoh Thian-liong-pang dengan wajah berubah, maka dia tertawa lalu ­berkata, “Ha-ha-ha, jangan kaget, Nona manis. Kedua orang itu telah berani me­nyerangku, terpaksa aku bunuh mereka. Orang-orang macam itu sungguh tidak patut menjadi pembantu-pembantumu. Nona, siapakah engkau? Heran sekali di dunia ini bisa terdapat seorang dara se­cantik jelita engkau, dan selama ini aku tidak pernah bertemu denganmu. Nona, baru sekali ini hatiku tergetar hebat dengan seorang wanita. Aku yakin, eng­kaulah satu-satunya wanita yang dicipta­kan di dunia ini, khusus untuk menjadi pasanganku!”

Bukan main marahnya hati Milana. Tak dapat disangkal lagi, pemuda itu amat tampan menarik, masih muda, seba­ya dengannya, pakaiannya indah, kulit mukanya putih bersih, matanya bersinar-sinar, pendeknya dia seorang pemuda yang tampan gagah sukar dicari kedua­nya. Akan tetapi sinar matanya yang agak aneh itu mengandung sesuatu yang mengerikan, sedangkan kata-kata dan sikapnya membuat Milana merasa muak dan membangkitkan perasaan tidak se­nang yang mendekatkan kebencian.

“Jadi engkau adalah bocah Pulau Ne­raka yang amat jahat itu? Engkau yang merampas pedang Lam-mo-kiam milik Gak Bun Beng?”

Wan Keng In mengerutkan alisnya yang tebal hitam. “Eh, engkau menge­nal Gak Bun Beng? Dia sudah mati, bukan? Engkau siapa, Nona?”

“Siauw-to-cu, dia adalah puteri Ke­tua Thian-liong-pang. Dia lihai sekali,” seorang anggauta Pulau Neraka tiba-tiba berkata sambil mencoba untuk bangkit. Tulang kakinya pecah terkena cambukan tali sutera Milana tadi.

“Aihhhh, kiranya puteri Ketua Thian-liong-pang? Pantas saja cantik jelita dan lihai. Sungguh tepat kalau begitu. Engkau puteri Ketua Perkumpulan Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh du­nia, aku pun putera Majikan Pulau Nera­ka yang tidak kalah terkenalnya. Sung­guh merupakan jodoh yang setimpal sekali!”

“Tutup mulutmu yang kotor!” Milana memaki dan tangannya bergerak.

“Tar-tar!” Ujung tali sutera hitam melecut di udara dan menyambar ke arah kedua pelipis kepala Wan Keng In dengan kecepatan kilat. Sekali ini, Mila­na bukan sekedar menggerakkan senjata untuk menghajar, melainkan dia membe­ri serangan totokan yang merupakan serangan maut.

Biasanya Wan Keng In memandang rendah kepada semua orang. Akan teta­pi begitu bertemu dengan Milana, entah bagaimana, hatinya tertarik seperti besi tertarik oleh besi sembrani. Belum per­nah selama hidupnya dia tertarik oleh wanita seperti itu. Dia bukan seorang mata keranjang sungguhpun dia biasa disanjung wanita dan biasanya dia me­mandang rendah wanita-wanita cantik yang dianggapnya belum cukup untuk du­duk berdampingan dengannya! Sekali ini, begitu melihat Milana, dia tergila-gila. Ketika dia menyaksikan gerakan ujung tali sutera, dia menjadi makin gembira dan kagum. Gerakan ini bukanlah gerak­an sembarangan dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan!

 “Engkau hebat, Nona!” Dia memuji akan tetapi cepat ia miringkan kepala un­tuk menghindarkan totokan maut itu, kemudian tangannya cepat menyambar untuk menangkap ujung tali sutera hi­tam.

“Cuiittt.... taaar!”

Lihai sekali Milana bermain tali sute­ra yang digerakkan seperti pecut itu. Begitu totokannya pada pelipis yang ber­tubi-tubi menyerang pelipis kanan-kiri itu tidak mengenai sasaran, bahkan ham­pir dicengkeram oleh tangan Wan Keng In, dara itu telah membuat gerakan dengan pergelangan tangannya dan ujung tali su­tera itu sudah melecut dan menotok ke arah jalan darah di pergelangan tangan yang hendak menangkapnya!

“Trikkkk!”

“Engkau memang hebat, Nona ma­nis!” Keng In kembali memuji sambil tersenyum lebar. Akan tetapi Milana ki­ni terkejut bukan main. Pemuda itu ta­di telah menggunakan jari telunjuknya untuk menyentik ujung tali suteranya yang menotok ke arah pergelangan ta­ngan. Gerakan itu demikian tepat menge­nai ujung tali sutera sehingga ujung tali terpental. Hanya orang yang telah memi­liki ilmu kepandaian tinggi saja yang da­pat melakukan hal ini!

Namun, tentu saja Milana tidak men­jadi jerih. Dia tidak pernah mengenal takut dan dia pun sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri. Biarpun tak mungkin dia dapat mewarisi seluruh il­mu kepandaian ibunya yang amat ba­nyak itu, namun kiranya hanya beberapa macam ilmu yang amat tinggi dan terlalu sukar saja yang belum diajarkan ibunya kepadanya dan kalau hanya melawan musuh yang sebaya dengannya saja, kira­nya di dunia ini sukar ada yang akan dapat menandinginya.

“Jahanam busuk, bersiaplah untuk mampus!” bentaknya dan kini terdengar­lah ledakan-ledakan nyaring ketika ujung tali sutera itu menari-nari di tengah udara, membentuk lingkaran-lingkaran yang besar kecil saling telan, kemudian lingkaran-lingkaran hitam itu berjatuhan ke bawah, susul-menyusul dalam serang­kaian serangan maut ke arah tubuh Wan Keng In dengan kecepatan kilat yang menyilaukan mata karena lingkaran itu tidak lagi berupa sabuk atau tali sutera, melainkan tampak seperti sinar hitam saja.

“Bagus sekali....!” Wan Keng In kem­bali memuji dan tiba-tiba tubuhnya ber­gerak lenyap, lalu tampak berkelebatan seperti bayangan setan menari-nari di antara sinar hitam yang bergulung-gulung dan melingkar-lingkar! Wan Keng In tidak mau menggunakan pedangnya yang ampuh. Kalau dia menggunakan pedang Lam-mo-kiam, sekali sambar sa­ja tentu akan putus tali sutera hitam itu. Akan tetapi dia tidak mau mela­kukan hal ini, karena selain dia tidak mau menghina Milana, juga dia ingin memamerkan kepandaiannya. Memang hebat sekali pemuda ini. Gerakannya yang cepat itu hanya membuktikan bah­wa gin-kangnya (ilmu meringanken tu­buh) sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sehingga tubuhnya itu amat ringan dan amat cepat, dapat mengelak dari setiap sambaran sinar tali sutera!

Menyaksikan pertandingan yang amat hebat, luar biasa dan indah dipandang ini, otomatis perkelahian-perkelahian antara rombongan Pulau Neraka dan rombongan Thian-liong-pang terhenti. Mereka me­nonton karena maklum bahwa pertanding­an antara kedua orang muda putera dan puteri ketua masing-masing rombongan itu merupakan pertandingan yang menentukan. Kalah menangnya pertandingan antara kedua orang muda yang lihai bu­kan main itu berarti kalah menangnya pula perang kecil antara kedua rombong­an itu!

Gerakan tali sutera itu makin hebat dan bukan lagi lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu, melainkan bentuk-bentuk segi tiga, segi empat, bahkan ada kalanya sinar itu memben­tuk segi delapan. Ujung sabuk itu me­nyerang dari delapan penjuru, setiap gerakan merupakan totokan maut dan didasari tenaga sin-kang yang sangat kuat. Bukan hanya amat indahnya sinar hitam itu membentuk segi tiga yang ajaib itu, juga gerakannya mengeluarkan bunyi bercuitan, seolah-olah sinar hitam itu hidup! Itulah permainan tali sutera atau sabuk yang gerakannya berdasarkan Ilmu Silat Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) warisan dari kitab-kitab pusaka peninggalan Pendekar Wanita sak­ti Mutiara Hitam! Nirahai telah mencip­takan ilmu dengan tali sutera ini khusus untuk puterinya setelah dia meemperoleh kenyataan bahwa puterinya berbakat ba­ik sekali dalam menggunakan sabuk atau tali sutera halus dan lemas sebagai sen­jata yang ampuh.

Diam-diam Wan Keng In terkejut dan makin kagum. Dia maklum bahwa kalau dia menghadapi permainan tali sutera lawan yang amat lihai ini dengan tangan kosong saja, lama-lama dia ter­ancam bahaya maut. Ternyata tingkat kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang ini benar-benar mengejutkan hati­nya. Kalau dia berpedang, agaknya dia masih akan dapat keluar sebagai peme­nang dengan membabat putus tali itu. Akan tetapi, kalau dia menggunakan pe­dang dan terpaksa merusak tali sutera itu, tentu dara yang menjatuhkan hati­nya itu akan tersinggung dan marah. Sebaliknya kalau hendak menaklukkan da­ra ini dengan tangan kosong, benar-benar merupakan hal yang amat sulit, betapa pun tinggi ilmu kepandaiannya. Dia ha­rus menggunakan akal dan hal ini meru­pakan kelebihan dalam kepala Wan Keng In dibandingkan dengan orang-orang mu­da lainnya. Pemuda ini cerdik bukan main, pandai menggunakan siasat-siasat yang tak terduga-duga dalam keadaan darurat seperti saat itu.

Ketika ujung sabuk atau tali hitam itu untuk kesekian kalinya menotok ke arah jalan darah Kin-ceng-niat di pun­dak kiri, tempat yang tidak begitu berbahaya dan yang dapat ia tutup dengan hawa sin-kang, dia sengaja berlaku lam­bat dan ujung tali sutera itu dengan te­pat menotok pundaknya yang sudah ia tutup jalan darahnya dan terlindung oleh sin-kang yang kuat.

“Prattt!”

Tepat pada saat ujung tali sutera itu menotok pundak, tangan kanan Wan Keng In menyambar dan ia berhasil menangkap ujung tali sutera hitam! Mi­lana terkejut bukan main. Tadinya dia sudah merasa girang karena totokannya berhasil, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa pemuda itu sa­ma sekali tidak menjadi lumpuh, bahkan telah berhasil menangkap ujung tali su­teranya! Namun, Milana tidak menjadi panik. Dia mengerahkan sin-kangnya, mainkan pergelangan tangannya dan de­ngan penyaluran tenaga sin-kang dia menggerakkan tali suteranya dan.... tu­buh Wan Keng In terbawa oleh melun­curnya tali sutera itu ke udara! Milana terus menggerakkan tali suteranya, me­mutar tali itu ke atas, makin lama makin cepat sehingga tubuh Wan Keng In yang masih berada di ujung tali karena pemuda itu tidak mau melepaskan ujung tali sutera, terbawa pula terputar-putar!

Para anak buah rombongan kedua pi­hak yang menjadi penonton dengan ha­ti diliputi penuh ketegangan itu menonton dengan mata terbelalak. Demiki­an tegang rasa hati mereka itu mena­han napas ketika menyaksikan perten­dingan mati-matian yang kelihatannya seperti main-main atau permainan akro­bat yang dilakukan oleh dua orang muda-mudi yang elok dan tampan!

Wan Keng In sengaja membiarkan di­rinya terbawa oleh tali yang diputar-putar itu. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan sin-kang dan menga­du kekuatan dengan dara itu mempere­butkan tali sutera. Akan tetapi hal ini tentu akan mengakibatkan tali itu pu­tus, hal yang tidak dia kehendaki kare­na putusnya tali itu bukan berarti bah­wa dia telah menang, akan tetapi yang jelas gadis itu tentu akan marah dan benci kepadanya. Tidak, dia tidak menggunakan akal itu, melainkan hendak menggunakan akal lain. Kalau dia dapat merayap melalui tali, makin lama makin dekat, tentu akhirnya dia akan berhadap­an dengan dara jelita itu dan kalau su­dah begitu, mudahlah baginya untuk membuat dara itu tidak berdaya tanpa melukainya. Dengan hati-hati dan per­lahan, mulailah Wan Keng In merayap melalui tali yang panjang itu, sedikit demi sedikit, bergantung dengan meng­ganti-ganti tangan sambil tubuhnya ma­sih terputar-putar cepat sekali sehingga dalam pandangan orang lain, tubuhnya berubah menjadi banyak sekali!

Mungkin bagi penonton lain tidak ada yang tahu akan usaha Wan Keng In mendekati lawan dengan cara mera­yap perlahan-lahan melalui tali sutera yang panjang itu, akan tetapi Milana dapat melihat atau lebih tepat lagi da­pat merasakan gerakan lawan yang ber­ada di ujung tali sutera itu. Dara ini tidak bodoh, dan maklum bahwa kalau sampai pemuda itu dapat mendekatinya, belum tentu dia akan dapat menandingi pemuda yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Maka begitu melihat pemuda itu perlahan-lahan merayap dekat, diam-diam Milana menggerakkan tangan kiri­nya dan hanya memutar tali itu dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyusup ke dalam kantung jarumnya dan tampak tiga kali dia menggerakkan tangan kiri­nya ke depan. Gerakan tangan yang ti­dak begitu tampak, karena sambitan ja­rum-jarumnya itu ia lakukan dengan per­gelangan tangan dan jari-jari tangan. Namun, tiga kali tampak sinar halus me­nyambar ke arah tubuh Wan Keng In yang terbawa tali berputaran, sinar ke­merahan halus dari jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi)!

 “Celaka....!” Wan Keng In berseru ka­get ketika melihat menyambarnya sinar halus dan mencium bau harum. Tahulah dia bahwa dia yang sedang diputar-putar seperti kitiran itu kini diserang dengan senjata-senjata rahasia yang amat halus dan mengandung racun yang bahunya ha­rum pula! Namun Wan Keng In selain telah mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi dari ibunya, juga telah menerima gemblengan dari Cui-beng Koai-ong yang sakti, maka biarpun keadaannya itu amat berbahaya, namun dia masih bersikap tenang dan tiba-tiba tubuhnya yang berada di ujung tali sutera itu membuat gerakan berputar pula! Hebat bukan main pemandangan di waktu itu. Tubuh di ujung tali sutera itu berputar­an, sedangkan tali itu sendiri berpu­tar cepat. Dengan gerakan berputaran ini, Wan Keng In dapat menyelamatkan diri dan mengelak dari sambaran jarum-jarum Siang-tok-ciam. Namun dia juga telah menemukan akal baru yang luar biasa dan cerdik sekali.

Dengan pengukuran tenaga yang te­pat, Wan Keng In dapat mengerahkan sin-kangnya dan memberatkan tubuhnya sehingga tiba-tiba tali sutera yang ber­putar itu tak dapat dikuasai lagi oleh kedua tangan Milana dan berputar meli­bat tubuh dara itu.

“Aihhhh....!” Milana menjerit kaget, sadar setelah terlambat karena tali yang berputar cepat itu kini telah membuat beberapa putaran mengelilinginya dan karena tali menurun akibat berat­nya tubuh Wan Keng In, maka tali itu membelit-belit tubuhnya, menelikung kedua lengannya sendiri! Terdengar sua­ra Wan Keng In tertawa-tawa sambil te­rus membuat gerakan mengayun sehingga tali itu biarpun tidak lagi dipegang oleh Milana, masih terus berputar meli­bat tubuh Milana yang berusaha meron­ta-ronta.

“Ha-ha-ha, Nona manis. Bukankah de­ngan begini berarti engkau telah terta­wan olehku seperti tertawannya hatiku olehmu?”

Tiba-tiba terdengar bunyi keras. “Krakkkkk!” dan dari dalam lubang ku­buran tampak bayangan berkelebat, dida­hului sinar kilat menyambar ke arah ta­li sutera.

“Bretttt!” Tali sutera itu putus dan tubuh Wan Keng In yang masih terayun di ujung tali, tentu saja terpelanting. Untung dia masih dapat berjungkir balik sehingga tidak terbanting ke atas tanah.

Milana mempergunakan kesempatan baik itu untuk melepaskan diri. Ketika dia melihat bahwa yang muncul adalah seorang wanita muda yang cantik, segera dia mengenal wanita itu sebagai gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang di rumah penginapan. Dia menjadi terkejut dan khawatir sekali, maka menggu­nakan kesempatan selagi gadis itu ber­hadapan dengan Wan Keng In, dia mem­beri isyarat kepada anak buahnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Anak buahnya pergi sambil membawa jenazah-jenazah para kawan yang menja­di korban. Rombongan Pulau Neraka ti­dak mencegah mereka melarikan diri karena merasa jerih terhadap Milana, apalagi kini tuan muda mereka sedang menghadapi lawan baru berupa dara per­kasa yang galak, murid dari datuk mere­ka yang selama sepekan ini berlatih di dalam tanah kuburan bersama datuk me­reka, Bu-tek Siauw-jin! Mereka menjadi bingung dan tidak berani turut campur, memandang dengan hati penuh ketegang­an.

“Keparat, siapa engkau....? Ehhh, kiranya kau, bocah setan dari Pulau Es? Ha-ha-ha, kukira siapa! Dan Li-mo-kiam masih berada di tanganmu? Bagus....! Kau harus berikan Li-mo-kiam kepadaku, agar dapat kuhadiahkan kepada calon is­teri.... haiiii! Ke mana dia....!” Wan Keng In menoleh dan ketika dia melihat Mila­na sudah tidak berada di situ lagi, dia menjadi bengong dan mencari ke sana-sini dengan pandang matanya.

“Siauw-tocu, mereka telah pergi....!” kata seorang di antara anak buahnya.

“Tolol! Goblok kalian semua! Mengapa boleh pergi? Hayo kita....” belum habis ucapannya Wan Keng In terkejut sekali dan terpaksa dia melempar tubuh terjengkang ke belakang untuk meng­hindarkan sinar kilat yang menyambar tubuhnya. Kiranya Kwi Hong telah menyerang dengan menusukkan Li-mo-kiam ke arah dadanya. Gerakan gadis ini cepat sekali sehingga hampir saja dia menjadi korban. Marahlah Wan Keng In.

“Kau berani melawan aku? Hemm, apa yang kauandalkan? Pedang itu? Baik, kita lihat siapa yang lebih unggul antara murid Pulau Neraka dan murid Pulau Es!”

Setelah berkata demikian, Wan Keng In menggerakkan tangan kanannya, mera­ba punggung di balik jubah. Ketika ta­ngannya diangkat, tampak sinar kilat dan Lam-mo-kiam sudah berada di tangannya!

Kwi Hong amat membenci pemuda ini. Kemarahannya memuncak ketika dia melihat Lam-mo-kiam di tangan pemuda itu. Dia tahu bahwa itu adalah pedang Gak Bun Beng yang dirampas oleh Keng In. Semenjak dia masih belum dewasa, bocah Pulau Neraka ini su­dah menjadi musuhnya.

“Keparat jahanam! Manusia tidak ke­nal malu! Pedang curian kaupamerkan di sini. Bukan aku yang harus menyerah­kan Li-mo-kiam kepadamu, melainkan engkau yang harus memberikan Lam-mo­-kiam itu kepadaku sebelum lehermu putus!”

“Singgggg....!” sinar kilat di tangan Kwi Hong menyambar ke depan, disam­but sinar kilat yang sama di tangan Wan Keng In.

“Wuuuuiiiitttt!”

Dua orang itu terkejut bukan main karena pedang mereka tertolak ke bela­kang sebelum bertemu! Seolah-olah dari sepasang pedang itu timbul hawa yang ajaib yang membuat kedua pedang tidak dapat saling sentuh, melainkan terdo­rong membalik oleh tenaga mujijat tadi!

Namun Kwi Hong tidak mempeduli­kan hal ini dan cepat dia menyerang lagi. Terjadilah perang tanding yang amat hebat, lebih menegangkan daripada pertandingan antara Wan Keng In dan Milana tadi, karena kini kedua orang muda itu mempergunakan sepasang pe­dang yang membuat para penonton me­rasa tubuhnya panas dingin. Baru sinar dan hawa pedang itu telah membuat me­reka yang berada di situ meremang semua bulu di badan dan mengkirik. Hal ini tidaklah mengherankan karena kini yang mengeluarkan sinar adalah Sepasang Pe­dang Iblis yang memiliki hawa mujijat seolah-olah dikendalikan oleh roh-roh dan iblis-iblis yang haus darah!

Memang hebat sekali pertandingan antara kedua orang muda itu. Hebat, menyilaukan mata dan amat aneh sehing­ga menyeramkan para penonton. Betapa tidak aneh kalau kedua orang itu berge­rak cepat sehingga bayangan mereka tertutup gulungan dua sinar pedang yang seperti kilat berkelebatan, akan tetapi sama sekali tidak pernah terdengar suara beradunya senjata? Seolah-olah tidak pernah ada yang menangkis, padahal ke­dua orang itu mainkan pedang secara dahsyat dan ada kalanya untuk menye­lamatkan diri, jalan satu-satunya hanya menangkis. Akan tetapi, begitu seorang di antara mereka menggerakkan pedang menangkis, serangan lawan terhalau oleh tangkisan tanpa kedua pedang itu saling bersentuhan karena keduanya tentu ter­pental oleh tenaga mujijat. Seolah-olah Sepasang Pedang Iblis itu keduanya sa­ling tidak mau bersentuhan.

Sebetulnya, kalau ditilik dasarnya, ilmu silat kedua orang muda ini masih satu sumber. Wan Keng In adalah pute­ra dari Lulu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu dari ibunya ini. Lulu adalah adik angkat Pendekar Super Sak­ti dan biarpun kemudian Lulu menjadi murid Nenek Maya, namun sumber dari ilmu silatnya masih tetap sama, yaitu yang berasal dari Pulau Es, berasal dari Bu Kek Siansu. Tentu saja karena ting­kat kepandaian Pendekar Super Sakti ja­uh lebih tinggi daripada tingkat kepan­daian Lulu, apa yang diajarkan kepada Kwi Hong sebenarnya bermutu lebih tinggi pula daripada pelajaran yang dite­rima Wan Keng In dari ibunya. Akan te­tapi, setelah Keng In digembleng oleh kakek sakti yang tidak seperti manusia, Cui-beng Koai-ong, kepandaian pemuda itu meningkat secara tidak lumrah se­hingga tingkatnya kini bahkan sudah me­lampaui tingkat kepandaian ibunya sendi­ri!

Keng In merasa penasaran sekali. Ka­lau saja tidak mengingat bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dia sudah mengeluarkan ilmu-ilmu­nya yang mujijat, yang ia dapatkan dari gurunya. Akan tetapi dia tidak mau membunuh Kwi Hong. Dia ingin mena­wannya, untuk menunjukkan kepada Ma­jikan Pulau Es yang dibencinya, orang yang telah membikin sengsara hati ibu kandungnya, bahwa dia tidak takut meng­hadapi Pulau Es, dan dia bahkan ingin mempergunakan nona ini untuk meman­cing datangnya Pendekar Siluman untuk bertanding!

Tiba-tiba Wan Keng In mengeluarkan suara gerengan yang tidak lumrah manu­sia. Gerengan yang keluar dari pusar­nya, melalui kerongkongan dan menge­luarkan getaran yang seolah-olahmembuat bumi tergetar! Kwi Hong sendiri men­jadi pucat wajahnya dan biarpun dia te­lah mengerahkan sin-kang, tetap saja jan­tungnya tergetar dan gerakannya tidak tetap. Pada saat itu, ilmu pedang yang dimainkan oleh Keng In telah berubah aneh dan ganas bukan main. Kwi Hong merasa gentar, jantungnya berdebar dan melihat pemuda itu menggerakkan pe­dangnya, ia menjadi pening, seolah-olah ia melihat lawannya menjadi tinggi besar dan menakutkan, gerakannya menjadi lu­ar biasa cepat dan kuatnya! Kalau saja dia tidak sedikit-sedikit memetik gerak­an kilat gurunya, tentu saja sudah kena dicengkeram oleh tangan kiri Keng In yang menyelingi gerakan pedangnya!

 “Hyaaahhh!” tiba-tiba Keng In mem­bentak, tubuhnya secara mendadak ber­gulingan dan pedangnya membabat seca­ra bertubi-tubi ke arah kedua kaki Kwi Hong. Dara ini cepat meloncat-loncat dan menjauhkan diri, akan tetapi tiba-tiba lawannya bangkit dan memukul de­ngan tangan kiri terbuka. Serangkum dorongan telapak tangan ini menyambar ke arah dada Kwi Hong.

“Aihhh!” Dara ini cepat melakukan gerak mendorong yang sama, dengan tangan kirinya, didorongkan ke arah ta­ngan lawan sambil mengerahkan tenaga Inti Es yang dilatihnya di Pulau Es.

“Wesss....!” Dua tenaga raksasa ber­temu di udara, di antara kedua telapak tangan yang terpisah dua kaki saja. Te­naga panas bertemu dengan dingin dan akibatnya Kwi Hong terjengkang ke belakang karena di saat tenaga itu berte­mu kembali Keng In mengeluarkan ge­rengan yang menggetarkan jantung itu. Sebelum dia sempat meloncat, Keng In sudah menotok punnggungnya dan begitu lengan Kwi Hong lemas, cepat pedang Li-mo-kiam telah dirampasnya!

Biarpun tubuhnya sudah menjadi le­mah dan lumpuh, Kwi Hong masih dapat menggunakan mulutnya untuk memaki-maki,

“Pengecut! Curang engkau! Tak tahu malu! Pencuri busuk, hayo kembalikan pedangku dan kita bertanding secara bersih! Kau menggunakan ilmu siluman, keparat busuk!”

“Ikat dia dan bungkam mulutnya!” Keng In berkata sambil membelakangi Kwi Hong, menyimpan Li-mo-kiam disa­tukan dengan Lam-mo-kiam, disembunyi­kan di balik jubahnya. Dia berdiri de­ngan sikap sombong, menengok ke kanan kiri, tersenyum mengejek sambil berkata, mengerahkan khi-kangnya sehingga su­aranya terdengar sampai jauh.

“Haiiii! Pendekar Siluman Si Kaki Buntung! Lihat, muridmu telah kutawan! Kalau kau memang seorang gagah, da­tanglah dan bebaskan muridmu!”

Wajah para anak buah Pulau Neraka menjadi pucat mendengar tantangan yang keluar dari mulut Majikan Muda itu! Betapapun lihainya Tuan Muda mereka itu, namun tidak selayaknya menantang Pendekar Siluman seperti itu! Baru men­dengar nama Pendekar Siluman saja, wa­jah mereka sudah menjadi pucat, apalagi ditantang oleh majikan mereka!

“Kau berani membuka mulut besar karena kau tahu bahwa Pamanku tidak berada di sini! Kalau Pamanku berada di sini, tentu engkau tak berani berna­pas! Jangankan dengan Paman, dengan aku pun kalau engkau tidak berlaku curang, menggunakan ilmu siluman, engkau tak­kan mampu menang. Pengecut busuk, manusia keparat tak tahu malu!”

“Cepat bungkam mulutnya!” Keng In membentak tanpa menoleh. Seorang wanita anggauta Pulau Neraka yang bermuka biru muda, cepat menggunakan sehelai saputangan untuk menutup mulut Kwi Hong, diikatkan ke belakang leher, kemudian dia melanjutkan pekerja­an mengikat tangan Kwi Hong yang di­belenggu dan ditelikung ke belakang punggungnya. Dara itu dalam keadaan setengah lumpuh, tak dapat meronta, hanya membelalakkan mata memandang ke arah punggung Keng In penuh keben­cian dan kemarahan.

“Cepat persiapkan orang-orang me­ngejar rombongan Thian-liong-pang! Pu­teri Ketua Thian-liong-pang itu harus da­pat kutaklukkan!” kata Wan Keng In ke­pada orang-orangnya.

“Bagaimana dengan nona ini, Siauw-tocu....?” Wanita itu bertanya, matanya penuh ketakutan memandang ke arah lubang kuburan ke arah peti yang masih tertutup tanah, peti tempat datuk Pulau Neraka berlatih!

“Bawa dia sebagai tawanan, kalau dia banyak rewel, seret dia! Jangan perbolehkan gadis galak ini banyak tingkah!”

“Siauw-tocu.... akan tetapi.... dia.... dia....”

“Banyak rewel kau!” Wan Keng In membentak, akan tetapi matanya terbelalak kaggt melihat wanita yang tadi bi­cara dan membelenggu serta membung­kam mulut Kwi Hong telah roboh terlen­tang dengan mata mendelik dan nyawa putus! Dan dia melihat Kwi Hong duduk bersila dengan mata dipejamkan dan alis berkerut, seperti orang yang sedang memperhatikan sesuatu. Dan memang pada saat itu, Kwi Hong sedang mende­ngarkan suara yang berbisik-bisik di de­kat telinganya, suara gurunya, Bu-tek Siauw-jin seolah-olah bicara di dekatnya akan tetapi yang sama sekali tidak ber­ada di situ. Ketika tadi dia melihat wa­nita Pulau Neraka itu tiba-tiba roboh terjengkang dan mendengar suara itu, tahulah ia bahwa gurunya telah turun tangan!

“Bocah tolol, mana patut menjadi muridku kalau tertotok dan terbelenggu seperti itu saja tidak mampu melepas­kan diri? Apa sudah lupa akan latihan membangkitkan kekuatan secara otoma­tis mengandalkan tenaga Inti Bumi yang baru saja kaudapatkan dan yang menjadi dasar dari semua tenaga yang ada?”

Kwi Hong memejamkan mata dan mengerahkan semua perhatian akan pe­tunjuk gurunya yang diberikan lewat bi­sikan-bisikan itu. Dia mentaati petunjuk itu dan.... tiba-tiba darahnya mengalir kembali dan totokan itu tertembus oleh hawa Inti Bumi dari dalam! Setelah totok­an terbebas, sekali mengerahkan tenaga belenggunya yang hanya terbuat dari tali itu putus semua dan sekali renggut dia telah melepaskan saputangan yang menutupi mulutnya, kemudian melon­cat berdiri!

Wan Keng In memandang dengan ma­ta terbelalak. Totokannya adalah totok­an yang tidak lumrah, bukan totokan biasa melainkan totokan yang ia latih dari gurunya. Menurut gurunya, tidak ada orang di dunia ini yang akan dapat memulihkan orang yang terkena totokannya karena totokan itu mengandung raha­sia tersendiri. Bahkan menurut gurunya, Pendekar Siluman sendiri pun belum ten­tu mampu membebaskan orang yang ter­totok olehnya. Bagaimana sekarang ga­dis itu, tanpa bantuan, sanggup membebaskan? Kalau hanya memutuskan be­lenggu itu, dia tidak merasa heran, akan tetapi dapat membebaskan diri da­ri totokannya, benar-benar membuat dia menjadi ngeri! Tentu ada yang memberi petunjuk! Otomatis dia menoleh ke ka­nan kiri dan hatinya menjadi kecut. Ja­ngan-jangan Pendekar Siluman yang ditantangnya telah berada di sekitar situ dan memberi petunjuk kepada gadis itu lewat bisikan yang dikirim melalui tenaga khi-kang!

“Pendekar Siluman! Kalau kau sudah datang, mari kita bertanding sampai se­laksa jurus!” Dia menantang sambil mera­ba gagang pedang di balik jubah.

“Tutup mulutmu yang sombong! Aku masih sanggup melawanmu!” Kwi Hong membentak dan tiba-tiba dia menubruk maju, memukul dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada dan pusar. Pu­kulan yang hebat karena kalau tangan kirinya dia menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin, tangan kanan­nya yang menghantam ke pusar dia isi dengan saluran tenaga Hwi-yang Sin-ciang yang panas. Melihat ini, Keng In meloncat ke belakang, akan tetapi tiba-tiba Kwi Hong yang kedua pukulannya lu­put itu telah jatuh ke atas tanah dengan terbalik, kemudian tanpa disangka-sangka kedua kakinya menendang ke belakang dan tepat mengenai paha dan perut Keng In. Tenaga tendangan model sepak kuda ini bukan main kuatnya sehingga biarpun Keng In sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja terlempar sampai lima meter jauhnya!

“Berhasil....!” Kwi Hong bersorak sambil meloncat bangun. Akan tetapi ia segera kecewa karena mendengar bi­sikan gurunya mengomel. “Apa artinya kalau hanya mampu membuat dia ter­lempar? Hayo lawan terus, pergunakan Tenaga Inti Bumi!”

Kwi Hong melihat bahwa Keng In su­dah meloncat turun dan biarpun sepasang mata pemuda itu terbelalak penuh kehe­ranan terhadap ilmu tendangan yang aneh dan tidak patut itu, dia tidak ter­luka dan mukanya yang tampan memba­yangkan kemarahan.

“Engkau sudah bosan hidup!” bentak­nya dan tiba-tiba tubuhnya sudah mence­lat ke depan dan tampak sinar kilat ber­kelebat ketika tangannya mencabut kelu­ar Li-mo-kiam. Sekali ini dia benar-benar mengambil keputusan untuk mem­bunuh gadis itu dengan pedang gadis itu sendiri yang tadi dirampasnya.

“Aahhh....!” Tiba-tiba Keng In berdiri tak bergerak, pedang yang diangkat ke atas kepala itu tidak jadi dilanjutkan gerak serangannya dan dia memandang ke depan dengan muka pucat. Di depan­nya telah berdiri Bu-tek Siauw-jin, Si Kakek Pendek yang tahu-tahu telah ber­ada di depan pemuda itu dengan lengan kiri dilonjorkan, tangan terlentang terbu­ka seperti orang minta-minta!

“Kembalikan pedang muridku itu!”

Sejenak Keng In terbelalak bingung, masih belum dapat menerima ucapan itu. Gadis itu murid susioknya? Teringat dia akan anggauta Pulau Neraka yang tewas secara aneh. Kini mengerti­lah dia. Tentu Bu-tek Siauw-jin yang telah membunuh wanita yang membelenggu Kwi Hong, dan kakek ini pula yang membuat gadis itu mampu membe­baskan diri daripada totokannya!

Keng In adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, akan tetapi meng­hadapi paman gurunya ini yang bahkan disegani oleh Cui-beng Koai-ong sendiri, dia tidak berani melawan. Hanya keraguannyalah yang membuat dia ma­sih belum menyerahkan pedang yang di­minta itu.

“Akan tetapi.... Susiok....”

“Masih berani membantah dan tidak berikan pedang itu kepadaku?”

Cepat dan gugup Keng In menyerah­kan pedang itu yang diterima oleh Bu-tek Siauw-jin dan dilemparkannya pedang itu kepada muridnya. Kwi Hong menyam­but pedang itu dengan hati girang se­kali.

“Maaf, Susiok. Teecu tidak tahu bah­wa dia murid Susiok....”

“Hemmm, sekarang sudah tahu!”

“Tapi.... dia adalah keponakan dan murid Pendekar Siluman!”

“Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh! Dan engkau sendiri siapa, anak siapa? Heh-heh, seti­daknya Pendekar Siluman adalah Maji­kan yang tulen dari Pulau Es!”

Mendengar ucapan ini, wajah Keng In menjadi merah sekali. Dia merasa terhina dan marah, akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya. Dengan ucapan itu, paman gurunya yang ugal-ugalan itu hendak mengingatkan bahwa dia hanyalah putera dari seorang Maji­kan atau Ketua Boneka dari Pulau Nera­ka! Sama saja dengan mengatakan bah­wa paman gurunya itu masih lebih baik daripada gurunya dalam hal menerima murid dan bahwa keponakannya atau murid dari Majikan Pulau Es masih lebih baik daripada putera dari Ketua Bo­neka Pulau Neraka!

“Susiok....!”

“Kau mau apa?”

“Teecu tidak apa-apa, akan tetapi teecu akan menceritakan kepada Suhu tentang keanehan ini.”

“Hemmm, kalau engkau mengira akan dapat mempergunakan Gurumu sebagai perisai maka engkau adalah seorang pengecut dan seorang yang bodoh!”

“Teecu tidak bermaksud mengadu.... hanya...., teecu rasa Susiok telah salah menerima murid....”

“Desssss!” Tiba-tiba tubuh Keng In terpental sampai beberapa meter jauh­nya. Tidak tampak kakek pendek itu menyerang, akan tetapi tahu-tahu pemu­da itu terlempar! Keng In cepat melon­cat berdiri lagi, diam-diam dia terkejut akan tetapi juga lega bahwa susioknya yang aneh itu tidak melukainya.

“Engkau berani memberi kuliah kepa­daku tentang bagaimana mengambil mu­rid?” Bu-tek Siauw-jin membentak.

“Maaf, teecu mohon diri....!”

“Pergilah! Dan ingat, kelak muridku ini yang akan menandingimu!”

Keng In menjura dan meloncat pergi, loncatannya jauh sekali seperti terbang sehingga mengagumkan hati Kwi Hong.

Lebih terkejut lagi gadis ini ketika men­dengar suara bisikan yang halus dan je­las dari jauh, suara pemuda itu.

“Kita sama lihat saja apakah perempuan bodoh ini akan         dapat menan­dingiku!”

Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya dan menoleh kepada para anak buah Pu­lau Neraka yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut semua. “Lekas kalian pergi dari sini, tinggalkan mayat-mayat itu biar dimakan burung gagak!”

Anak buah Pulau Neraka itu menjura, kemudian bangkit dan pergi tanpa me­ngeluarkan kata-kata lagi. Bu-tek Siauw-jin lalu berkata kepada muridnya, suara­nya singkat dan ketus, berbeda dengan biasanya yang suka berkelakar. “Mari ki­ta pergi!” Kwi Hong menurut dan berja­lan mengikuti kakek pendek itu keluar dari tanah kuburan, menuruni bukit ke­cil. Akan tetapi akhirnya dia tidak kuat menahan penasaran hatinya dan berka­ta, “Suhu, bagaimana engkau bersikap be­gitu kejam, membiarkan mayat anak bu­ahmu terlantar di sana dan dimakan ga­gak?”

Mulut kakek itu tidak kelihatan berge­rak, akan tetapi terdengar suara ketawa­nya, seolah-olah suara itu keluar dari perut melalui lubang lain, bukan mulut!

“Heh-heh-heh! Engkau merasa kasih­an kepada mayat yang tidak bernyawa lagi, akan tetapi tidak kasihan kepada burung-burung gagak yang kelaparan!”

Kwi Hong terbelalak. “Suhu! Biarpun sudah menjadi mayat yang tak bernya­wa, akan tetapi itu adalah mayat-mayat manusia! Teecu tidak biasa bersikap ke­jam, sejak kecil diajar supaya berperike­manusiaan oleh paman atau guru teecu!”

Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin menghen­tikan langkahnya dan memandang murid­nya dengan mata lebar dan mulut menyeringai, kemudian dia tertawa berge­lak, “Ha-ha-ha-ha! Semenjak kecil, manu­sia diajar segala macam kebaikan! Manu­sia mana yang sejak kecilnya tidak dia­jar dan dijejali segala macam pelajaran tentang kebaikan oleh ayah bunda atau guru-gurunya? Agama bermunculan dengan para pendetanya. Ahli-ahli kebatinan bermunculan saling bersaing, mereka se­mua berlumba untuk menjejalkan pela­jaran tentang kebaikan kepada manusia-manusia, semenjak manusia masih kecil sampai menjadi kakek-kakek. Akan tetapi, adakah seorang saja manusia yang baik di dunia ini? Setiap orang manusia, menurut ajaran agama masing-masing, berlumba keras dalam teriakan anjuran agar mencinta sesama manusia, namun di dalam hati masing-masing menanam dan memupuk perasaan saling benci, bah­kan yang pertama-tama membenci saing­an masing-masing dalam menganjurkan cinta kasih antar manusia! Gilakah ini? Atau aku yang gila? Ha-ha-ha! Muridku, kalau engkau melakukan kebaikan kare­na ajaran-ajaran itu, bukanlah kebaikan sejati namanya melainkan melaksanakan perintah ajaran itu! Engkau ini manusia ataukah boneka yang hanya bergerak da­lam hidup menurut ajaran-ajaran yang membusuk dan melapuk dalam gudang ingatanmu?”

 “Engkau sendiri dalam pertandingan, dengan enak saja membunuh manusia lain, sama sekali tidak merasa akan kekejaman perbuatanmu, akan te­tapi baru melihat aku meninggalkan ma­yat agar membikin kenyang perut gagak yang kelaparan, kaukatakan kejam! Ha-ha-ha, muridku. Pelajaran pertama bagi manusia umumnya, termasuk aku, adalah mengenal wajah sendiri yang cantik, akan tetapi juga mengenal isi hati dan pi­kiran kita sendiri yang busuk, jangan hanya mengagumi lekuk lengkung tubuh sendiri yang menggairahkan akan tetapi juga mengenal isi perut yang tidak menggairahkan!”

Kwi Hong memandang gurunya dengan sinar mata bingung. Gurunya ini bukan manusia lumrah, bukan orang wa­ras. Tentu agak miring otaknya. Sekali bicara tentang hidup, kacau balau tidak karuan. Maka dia diam saja, kemudian melanjutkan langkah kakinya ketika meli­hat gurunya sudah berjalan kembali de­ngan langkah pendek.

“Kau tentu tidak dapat menangkan Keng In sebelum engkau mahir betul mempergunakan Ilmu Menghimpun Tenaga Inti Bumi. Bocah itu telah berhasil me­warisi kepandaian Suheng. Lihat saja warna mukanya tadi!”

Kwi Hong cemberut dalam hatinya tidak senang dikatakan bahwa dia tidak akan menang menghadapi Keng In. Kini mendengar disebutnya warna muka muda itu dia mengingat-ingat.

“Warna mukanya biasa saja. Mengapa, Suhu?”

“Justru yang biasa itulah yang luar biasa!” Gurunya menjawab dan berjalan terus.

Kwi Hong menoleh, terbelalak tidak mengerti. “Eh, apa maksudmu, Suhu?”

“Begitu bodohkan engkau? Semua mu­rid Pulau Neraka memiliki wajah yang berwarna, apakah engkau lupa? Bahkan Ketua Boneka, ibu bocah itu sendiri, mu­kanya berwarna putih seperti kapur! Itu­lah tanda orang yang memiliki tingkat tertinggi Pulau Neraka yang menjadi akibat himpunan sin-kang yang mengan­dung hawa beracun pulau itu! Bahkan mendiang Sute Ngo Bouw Ek pun muka­nya masih berwarna kuning, berarti bah­wa ibu bocah itu masih setingkat lebih tinggi dari padanya. Hanya aku dan Su­heng Cui-beng Koai-ong saja yang tidak terikat oleh warna muka, bisa mengubah warna muka sesuka hati kami berdua. Hal itu menandakan bahwa kami berdua adalah dapat mengatasi pengaruh hawa beracun Pulau Neraka, dan tingkat kami sudah lebih tinggi. Kalau sekarang Wan Keng In sudah menjadi biasa warna kulit mukanya, hal itu berarti bahwa dia pun sudah terbebas dari pengaruh hawa bera­cun, berarti tingkatnya sudah lebih ting­gi dari tingkat ibunya sendiri!”

“Wah, hebat sekali kalau begitu!” Diam-diam Kwi Hong bergidik. Kalau benar-benar pemuda itu tingkatnya su­dah melampaui tingkat kepandaian Maji­kan Pulau Neraka, benar-benar merupa­kan lawan yang berat! “Teecu meneri­ma gemblengan Suhu, jangan-jangan mu­ka teecu akan menjadi berwarna pula!”

“Heh-heh-heh, jangan bicara gila! Kalau engkau berlatih di atas Pulau Ne­raka, tentu saja engkau akan mengalami keracunan dan mukamu berubah-ubah se­suai dengan tingkatmu sebelum engkau dapat mengatasi hawa beracun itu. Akan tetapi engkau kulatih di luar Pulau Ne­raka. Pula, engkau telah memiliki dasar sin-kang dari Pulau Es yang amat kuat, kiranya engkau hanya akan terpengaruh sedikit dan setidaknya kalau engkau berlatih di sana, engkau mendapatkan war­na putih atau kuning. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus benar-benar men­curahkan perhatian, berlatih dengan te­kun. Melihat kemajuan dan tingkat bo­cah tadi, aku hanya akan menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi saja kepada­mu. Ini pun hanya akan dapat kauandalkan untuk memenangkan pertandingan melawan Keng In kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh hati dan mati­-matian.”

Mereka berjalan terus dan sampai lama keduanya tidak bicara. Tiba-tiba Kwi Hong bertanya, “Suhu, sebetulnya yang mempunyai kepentingan mengalah­kan Wan Keng In itu siapakah? Teecu ataukah Suhu?”

Kakek itu berhenti dan menengok ke­pada muridnya, memandang dengan mata terbelalak kemudian tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, habis kaukira siapa?”

“Teecu tidak mempuyai urusan priba­di dan tidak mempunyai permusuhan lang­sung dengan pemuda Pulau Neraka itu, sungguhpun teecu tidak suka kepadanya. Kalau tidak kebetulan bertemu dengan­nya, teecu tidak bertempur dengannya dan teecu juga tidak akan mencari-cari dia untuk diajak bertanding. Hal itu berarti bahwa kalau teecu mati-matian mempe­lajari ilmu sudah tentu bukan dengan tu­juan untuk semata-mata kelak dipergunakan untuk menandingi orang itu.”

“Kalau begitu, mengapa tadi engkau sudah enak-enak di dalam peti, tahu­-tahu engkau keluar dan menyerangnya?”

“Karena teecu tidak ingin dia men­celakai dara itu.”

“Hemm, bocah puteri Ketua Thian­-liong-pang itu! Mengapa engkau memban­tunya?”

Kwi Hong tak dapat menjawab. Tadi ketika ia membuka peti matinya dan melihat Milana, ia segera mengenal dara itu sebagai Milana, puteri dari paman­nya, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai! Akan tetapi, begitu mendengar bahwa dara itu adalah pute­ri Ketua Thian-liong-pang, dia menjadi ragu-ragu, bahkan teringat bahwa yang hampir mencelakainya ketika dia mengin­tai di rumah penginapan rombongan Thian-liong-pang, yang menggunakan tali sutera hitam panjang, juga gadis itulah! Benarkah gadis itu Milana? Kalau benar Milana, mengapa disebut puteri Ketua Thian-liong-pang? Maka, kini pertanyaan gurunya tak dapat ia menjawabnya se­belum dia yakin benar apakah dara itu Milana atau bukan.

“Teecu.... teecu tidak bisa diam saja melihat seorang gadis terancam bahaya.”

“Ha-ha-ha, cocok dengan semua pela­jaran tentang kebaikan yang kauterima sejak kecil dari Pamanmu?”

Disindir demikian, Kwi Hong diam saja, hanya cemberut. Kemudian dia mendapat kesempatan membalas. “Telah teecu katakan tadi bahwa teecu tidak mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In. Akan tetapi Suhu agaknya bersemangat benar untuk melihat teecu mengalahkan dia! Apakah bukan karena Suhu ingin bersaing dengan Supek Cui­-beng Koai-ong?”

Kakek itu melotot, kemudian menghe­la napas dan membanting-banting kaki­nya seperti sikap seorang anak-anak yang jengkel hatinya. “Sudahlah! Sudahlah! Engkau benar! Memang demikian adanya. Suheng telah melanggar sumpah, meng­ambil murid! Maka aku pun memilih eng­kau sebagai murid untuk kelak kupergu­nakan menandingi muridnya agar Suheng tahu akan kesalahannya! Nah, katakan bahwa engkau tidak mau membantu aku! Tidak usah berpura-pura!”

Kwi Hong tersenyum. Suhunya ini benar-benar seorang yang amat aneh, luar biasa, agak sinting, sakti seperti bu­kan manusia lagi, akan tetapi sikapnya menyenangkan hatinya! Biarpun ugal­-ugalan, akan tetapi entah bagaimana tidak menjadi benci, malah dia suka sekali.

“Suhu, sebagai murid tentu saja tee­cu akan membantu Suhu karena seba­gai seorang guru yang mencinta murid­nya, tentu Suhu juga selalu ingin mem­bantu muridnya seperti teecu, bukan?”

“Wah-wah-wah, dalam satu kalimat saja, engkau mengulang-ulang sebutan guru dan murid beberapa kali sampai aku jadi bingung! Katakan saja, apa yang kau ingin kulakukan untuk membantumu agar kelak engkau pun akan suka mem­bantuku?”

Kwi Hong tersenyum lebar. Biarpun kelihatan sinting, gurunya ini ternyata cerdik sekali dan mudah menjenguk isi hatinya. Dia teringat akan urusan Gak Bun Beng, dan teringat akan niatnya me­ninggalkan pamannya. Dia berniat pergi ke kota raja, membantu Bun Beng menghadapi musuh-musuhnya yang berat, dan juga untuk merampas kembali pedang Hok-mo-kiam yang dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya. Tanpa bantuan seorang sakti seperti gurunya ini, mana mungkin dia akan berhasil menghadapi orang-orang sakti seperti Koksu Negara Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan dua orang pembantunya yang hebat itu, se­pasang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Belum lagi kalau berhadapan dengan Tan-siucai dan gurunya yang sakti, Si Ahli Sihir Maharya!

“Suhu, sebelum bertemu dengan Suhu, teecu telah lebih dulu menjadi keponakan dan murid Pendekar Super Sakti. Berar­ti, biarpun teecu berhutang kepada Su­hu, akan tetapi teecu juga sudah berhu­tang budi kepada Pendekar Super Sakti yang belum teecu balas. Benarkah pen­dapat ini?”

Betapa kaget hati Kwi Hong ketika melihat gurunya itu menggeleng kepala kuat-kuat! “Tidak benar! Tidak betul! Orang yang melibatkan diri dalam hu­tang-piutang budi, baik yang berhutang maupun sebagai yang menghutangkan adalah orang bodoh karena hidupnya ti­dak akan berarti lagi! Katakan saja apa yang akan kaulakukan dan apa yang da­pat kubantu tanpa menyebut tentang hutang-piutang budi segala macam!”

Kwi Hong menelan ludahnya sendiri. Sukar juga menentukan sikap menghadapi seorang sinting dan kukoai (ganjil) seper­ti gurunya ini! Akan tetapi dia teringat akan watak gurunya yang seperti kanak-­kanak ketika mengadu jangkerik, yaitu gurunya tidak bisa menerima kekalahan! Gadis yang cerdik ini segara berkata,

“Suhu, urusan mengalahkan Wan Keng In adalah urusan mudah saja. Asalkan Suhu mau mengajarkan teecu dengan sungguh-sungguh dan teecu akan berla­tih dengan tekun, apa sih sukarnya mengalahkan bocah sombong itu? Akan tetapi teecu mempunyai beberapa orang musuh yang benar-benar amat sukar di­kalahkan, amat sakti, jauh lebih sakti daripada sepuluh orang Wan Keng In. Bahkan, dengan bantuan Suhu sekalipun teecu masih ragu-ragu dan khawatir apa­kah akan dapat mengalahkan mereka....?”

“Uuuuttt! Sialan kau! Aku sudah ma­ju membantu masih khawatir kalah? Ja­ngan main-main kau! Siapa musuh-musuh­mu itu? Asal jangan tiga orang penga­wal Tong Sam Cong saja, masa aku ti­dak mampu kalahkan?”

Yang dimaksudkan oleh kakek itu de­ngan tiga orang pengawal Tong Sam Cong adalah tiga tokoh sakti dalam dongeng See-yu, yaitu tiga orang pengawal Pen­deta muda Tong Sam Cong atau Tong Thai Cu yang melawat ke Negara Barat (India) untuk mencari kitab-kitab Agama Buddha. Mereka itu adalah Si Raja Mo­nyet Sun Go Kong, Si Kepala Babi Ti Pat Kai dan See Ceng.

“Biarpun tidak sesakti para pengawal Tong Thai Cu, akan tetapi teecu sung­guh tidak berani memastikan apakah dengan bantuan Suhu sekalipun teecu akan dapat mengalahkan mereka. Mere­ka itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji­ Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Maharya!” Kwi Hong sengaja tidak menyebut nama Tan-siucai karena untuk menghadapi orang ini tidaklah terlalu be­rat.

Kakek itu tiba-tiba menjadi bengong. “Kau.... bocah begini muda.... sudah mena­nam bibit permusuhan dengan orang-­orang macam mereka itu?”

“Harap Suhu tidak perlu mengalihkan persoalan. Kalau Suhu merasa jerih dan tidak berani membantu teecu mengha­dapi mereka teecu pun tidak dapat me­nyalahkan Suhu karena mereka memang amat sakti. Hanya Paman Suma Han saja kiranya yang akan dapat mengalah­kan mereka.”

Kakek itu tersentuh kelemahannya. Mukanya menjadi merah sekali dan kedua lengannya digerak-gerakkan ke kanan ki­ri. Terdengar suara keras dan empat batang pohon di kanan kirinya tumbang dan roboh terkena pukulan kedua tangan­nya!

“Siapa bilang aku jerih? Kalau Suma Han pamanmu yang buntung itu dapat menandingi mereka, mengapa aku tidak? Haiiii, bocah tolol, kau terlalu meman­dang rendah Gurumu! Lihat saja nanti, aku akan membikin empat orang tua bangka itu terkencing-kencing dan terkentut-kentut minta ampun kepadamu! Haiii! Mengapa kau bermusuh dengan mereka?”

“Pendeta India yang bernama Maharya itu telah membunuh burung-burung garuda peliharaan dan kesayangan teecu di Pulau Es bahkan telah merampas pe­dang pusaka yang teecu amat sayang.”

“Hemm, aku akan hajar dia dan pak­sa dia mengembalikan pedang. Wah, kau mempunyai sebuah pedang pusaka lain lagi? Apakah Pedang Iblis macam yang kau bawa itu? Hati-hati, dengan segala macam pusaka seganas itu, jangan-jangan akan berubah menjadi iblis!”

“Tidak, Suhu. Pedang pusaka itu ada­lah sebatang pedang pusaka sejati yang amat ampuh dan bersih.”

“Heh-heh-heh! Pedang dibuat untuk memenggal leher orang, menusuk tembus dada orang, merobek perut sampai usus­nya keluar, mana bisa dibilang bersih?”

“Adapun Bhong Ji Kun Si Koksu Te­ngik itu, bersama dua orang pembantu­nya Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, mereka adalah orang-orang yang memimpin pasukan membakar Pulau Es. Karena itu mereka adalah musuh-musuh besar teecu dan teecu hanya dapat mengandal­kan bantuan Suhu untuk dapat mengha­jar mereka.”

“Uuut! Bocah bodoh. Setelah engkau mempelajari ilmu dariku dengan tekun dan berhasil baik, apa sih artinya kele­dai-keledai tua beberapa ekor itu? Ti­dak usah kubantu, engkau sendiri sudah cukup, lebih dari cukup untuk mengalah­kan mereka.”

“Akan tetapi, teecu tidak percaya dan tidak akan tenang kalau tidak ber­sama Suhu. Karena itu, marilah kita per­gi ke kota raja mencari mereka, Suhu.”

“Tapi kau harus berlatih....”

“Sambil melakukan perjalanan, teecu akan tekun berlatih.”

“Tapi aku harus mampir dulu ke ka­ki Gunung Yin-san, di dekat padang pa­sir.”

“Ihh, tempat itu tandus dan sunyi, mengapa Suhu hendak ke sana? Tentu di sana tidak ada orangnya.”

“Memang tidak ada orangnya karena aku ke sana bukan untuk mencari orang.”

“Habis, mencari apa?”

“Mencari kelabang!”

“Ihhhh....!”

“Kenapa ihhh? Engkau tidak tahu, kelabang di sana berwarna merah darah, panjangnya satu kaki, besarnya seibu jari kaki!”

“Ihhhh....!” Kwi Hong mengkirik, ma­kin geli dan jijik.

“Eh, masih belum kagum? Racun ke­labang raksasa merah itu tiada kedua­nya di dunia ini. Mengalahkan semua racun yang berada di Pulau Neraka!”

Kwi Hong menahan rasa jijik dan ge­linya agar tidak menyinggung hati guru­nya yang kadang-kadang aneh dan pema­rah itu, maka dia berkata mengangguk-­angguk, “Wah, kalau begitu hebat. Akan tetapi, untuk apa Suhu mencari Kelabang Raksasa Raja Racun itu?”

“Bulan ini adalah musim bertelur, aku hendak menangkap seekor kelabang betina yang akan bertelur. Sebelum te­lur-telur itu dikeluarkan, harus dapat kutangkap dia, karena telur-telur yang masih berada di dalam perutnya itu me­ngandung racun yang paling ampuh kare­na terendam di dalam sumber racun ke­labang itu.”

“Hemm, menarik sekali,” kata Kwi Hong memaksa diri. “Setelah ditangkap, lalu untuk apa, Suhu?”

“Kupotong bagian perut yang penuh telur itu, kemudian kumasak dengan arak merah....”

“Wah, dimasak dengan arak perut pe­nuh telur beracun ganas itu?” Kwi Hong menelan ludah, bukan saking kepingin melainkan untuk menekan rasa muaknya. “Mengapa menyiksa betinanya yang sedang bertelur, Suhu? Bukankah kabar­nya kelabang jantan lebih hebat racunnya?”

“Memang demikian biasanya, akan te­tapi setelah tiba masa kawin disusul masa bertelur, semua racun berkumpul di tempat telur. Kau tidak tahu, kela­bang raksasa di tempat itu mempunyai kebiasaan aneh dan menarik sekali. Di musim kawin, si betina pada saat ber­setubuh menggigit leher si jantan dan menghisap darah si jantan berikut racun­nya sampai tubuh si jantan itu kering dan mati! Diulanginya perkawinan aneh ini sampai dia menghisap habis darah dan racun lima enam ekor jantan, baru­lah perutnya menggendut terisi telur. Nah, di tempat telur itulah berkumpul­nya semua racun!”

Cuping hidung Kwi Hong bergerak-­gerak sedikit karena dia merasa makin muak.

“Suhu mencari barang macam itu, memasaknya dengan arak, untuk Suhu makan?”

Kakek itu menggeleng-geleng kepa­lanya perlahan. “Bukan....!”

Kwi Hong memandang terbelalak. “Habis, untuk apa....?” Hatinya sudah tidak enak.

“Untuk kaumakan!”

“Uuuukhhh!” Kwi Hong mencekik le­her sendiri menahan agar jangan sampai muntah, matanya terbelalak memandang gurunya yang tertawa terkekeh-kekeh.

“Bocah tolol! Jangan memikirkan jijik­nya, akan tetapi pikirkan khasiatnya! Kalau engkau makan itu, segala macam racun di dunia ini tidak akan dapat mempengaruhi tubuhmu, baik racun yang ma­suk melalui darah atau melalui perutmu! Dan racun itu cocok sekali untuk mem­bangkitkan tenaga Inti Bumi yang kaula­tih!”

Kwi Hong tidak dapat membantah la­gi, akan tetapi setiap kali teringat akan perut kelabang penuh telur beracun yang harus dimakannya, perutnya sendi­ri menjadi mual dan dia kepengin mun­tah! Hal ini agaknya amat menyenang­kan kakek itu, sehingga di sepanjang jalan, Bu-tek Siauw-jin selalu mengulangi godaannya dengan menceritakan tentang segala macam kelabang dan binatang-­binatang menjijikkan, hanya untuk membu­at muridnya mual, jijik dan ingin mun­tah! Orang yang aneh luar biasa pula!

Milana melarikan diri bersama sisa anak buahnya. Hatinya kacau dan berdu­ka sekali ketika mereka berhenti di da­lam sebuah hutan dan mengubur jenazah Si Lengan Buntung, Su Kak Liong dan lain-lain anak buahnya yang tewas da­lam pertempuran melawan anak buah Pulau Neraka. Dia merasa penasaran sekali dan mukanya menjadi merah sa­king marah dan malu kalau teringat be­tapa dia dipermainkan oleh pemuda tam­pan, putera Majikan Pulau Neraka yang amat lihai itu. Dia harus melapor kepa­da ibunya dan minta pelajaran ilmu si­lat yang lebih tinggi lagi. Untung gadis tadi menolongnya, kalau tidak tentu dia telah menjadi tawanan. Milana bergidik kalau teringat akan hal itu tak dapat dia membayangkan apa yang akan ter­jadi kalau dia menjadi tawanan pemuda yang gila itu! Thian-liong-pang telah mengalami kekalahan dan penghinaan dari Pulau Neraka. Ibunya sendiri harus turun tangan menghajar orang-orang Pu­lau Neraka.

Setelah selesai mengubur jenazah­-jenazah itu, Milana mengajak sisa anak buahnya yang tinggal delapan orang itu untuk melanjutkan perjalanan malam itu juga. Rombongan ibunya berada di tem­pat yang tidak jauh lagi dari situ. Ting­gal dua hari perjalanan paling lama. Dia tidak akan merasa aman sebelum ber­temu dengan rombongan ibunya. Dua orang pembantu utamanya, Si Lengan Buntung dan Su Kak Liong, serta bebe­rapa orang lagi, telah tewas. Dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang dipimpin pemuda lihai itu sebagai musuh, dia merasa kurang kuat.

Akan tetapi, ketika rombongan ter­diri sembilan orang ini memasuki sebuah hutan pada keesokan harinya, tiba-tiba tampak banyak orang berloncatan dan mereka telah dikurung oleh belasan orang! Milana terkejut, akan tetapi ketika melihat bahwa yang mengurung itu adalah orang-orang yang berpakaian seperti orang kang-ouw, dan bercampur dengan beberapa orang hwesio dan tosu, maklumlah dia bahwa yang mengurung­nya bukan orang-orang Pulau Neraka seperti yang dikhawatirkannya, melain­kan orang-orang kang-ouw!

Milana cepat meloncat maju dan menghunus pedangnya. Tali suteranya telah putus dan ditinggalkan ketika dia hampir tertawan oleh Wan Keng In, ma­ka kini satu-satunya senjata di tangannya hanyalah pedangnya. Melihat bahwa yang memimpin para pengurung itu ada­lah seorang hwesio tinggi besar bersen­jata toya yang berjenggot pendek, dia cepat menghampiri dan berkata, suara­nya nyaring.

“Kami rombongan orang Thian-liong-­pang sudah meninggalkan tempat yang dijadikan tempat pertemuan, hendak kembali ke tempat kami. Mengapa ka­lian masih menghadang di sini? Apa kehendak kalian dan siapakah kalian? Dari partai dan golongan apa?”

“Kami adalah sisa rombongan yang telah dipaksa mundur oleh Thian-liong­-pang, dan karena kami merasa bahwa perjuangan kami sama, maka kami ber­gabung dan mengambil keputusan untuk membasmi Thian-liong-pang yang banyak menimbulkan bencana terhadap perjuang­an orang-orang gagah.” Hwesio itu ber­kata sambil melintangkan toyanya.

“Hemmm.... perjuangan orang-orang gagah apa? Perbuatan kacau para pem­berontak maksudmu?” Milana berkata dengan marah setelah kini dia mendapat kenyataan bahwa sebagian besar di anta­ra orang-orang itu adalah benar anggau­ta rombongan partai-partai yang telah dikalahkan di tanah kuburan. Bahkan tiga orang hwesio itu adalah hwesio-­hwesio Siauw-lim-pai! “Harap kalian su­ka tahu diri! Setelah kalian kalah dalam pertandingan mengadu ilmu di tanah ku­buran, mengapa kalian tidak pulang dan melaporkan kepada Ketua masing-masing akan tetapi malah diam-diam bergabung dan bersekongkol dengan para pemberontak untuk menghadang kami?”

“Orang-orang Thian-liong-pang penji­lat pemerintah asing! Membunuh kalian bagi kami adalah kewajiban orang-orang gagah membunuh anjing-anjing penjilat yang kotor!” Seorang di antara mereka yang berpakaiah seperti orang-orang kang-ouw, yang belum pernah dilihat Milana, membentak dan sudah mener­jang dengan bacokan goloknya. Tentu mereka inilah pemberontak-pemberontak yang aseli, sedangkan para hwesio, tosu dan orang-orang partai hanyalah terba­wa-bawa saja, terhasut oleh kaum pem­berontak yang tentu saja hendak meli­batkan partai-partai besar untuk mem­bantu gerakan mereka.

Milana menangkis serangan golok itu dan segera ia dikeroyok oleh enam orang yang menghujankan serangan. Agaknya para pengeroyok itu sudah mak­lum bahwa dia adalah orang terlihai di antara rombongannya, maka kini yang bertugas mengeroyoknya adalah enam orang yang cukup lihai, bahkan mereka itu semua bersenjata golok besar dan gerakan mereka teratur sekali. Kiranya enam orang itu membentuk sebuah baris­an golok yang cukup kuat! Delapan orang anak buahnya sudah lemah dan lelah, apalagi tiga di antara mereka masih belum sembuh dari luka-luka yang dideri­ta dalam pertandingan yang lalu namun kini terpaksa mereka itu mengangkat senjata melakukan perlawanan.

Milana sendiri sudah lelah dan ku­rang tidur, akan tetapi, permainan pe­dangnya membuat enam orang lawan yang membentuk barisan golok dan mengurungnya itu kewalahan. Maka maju­lah tiga orang hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, ikut mengeroyok dengan senja­ta mereka. Setelah dikeroyok sembilan barulah Milana merasa sibuk juga. Dia masih ingat bahwa tiga orang hwesio hanya terbawa-bawa saja, maka dia tidak ingin membunuh. Justeru inilah yang membuat dia repot, karena sembi­lan orang pengeroyoknya itu sama se­kali tidak memberi kesempatan kepada­nya dan semua serangan mereka adalah serangan maut yang jelas membuktikan akan kebencian mereka kepadanya dan mereka bermaksud membunuhya!

Pertandingan yang berjalan berat se­belah itu tidak berlangsung lama karena di antara delapan orang anak buah Thian-liong-pang, sudah roboh lima orang. Hanya tiga orang yang masih melawan mati-matian, sedangkan Milana sendiri yang dikeroyok sembilan orang, ber­hasil merobohkan tiga orang. Akan tetapi, tiga orang roboh, lima orang da­tang membantu sehingga dara itu terpak­sa harus memutar pedangnya untuk me­lingkari diri dari hujan senjata sebelas orang yang menyambarnya dari segala jurusan.

Pada saat itu terdengar bunyi leng­king yang nyaring dan menyeramkan se­kali. Beberapa pengeroyok terhuyung begitu mendengar lengking itu dan dari atas pohon-pohon meluncur sinar-sinar kecil-kecil merah yang menyambar ke bawah, disusul meloncatnya bayangan orang berkerudung. Hanya delapan orang di antara sebelas orang pengeroyok Mila­na yang berhasil mengelak, sedangkan tiga orang lainnya roboh terkena jarum merah berbau harum yang dilepas oleh orang yang berkedok atau berkerudung itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget ra­sa hati semua orang kang-ouw ketika melihat bahwa yang muncul adalah wa­nita berkerudung yang menyeramkan, Ketua dari Thian-liong-pang! Tak lama kemudian, muncul pula enam orang wa­nita cantik yang menjadi pengawal atau pelayan Ketua itu, dipimpin oleh Tang Wi Siang!

Orang-orang kang-ouw itu terkejut, akan tetapi mereka tidak takut biarpun maklum bahwa kini keselamatan mereka terancam bahaya maut dengan munculnya Ketua Thian-liong-pang bersama enam orang pelayan. Mereka menjadi nekat dan segera Ketua Thian-liong­-pang dan puterinya dikeroyok. Terjadilah pertandingan yang kembali berat sebe­lah, akan tetapi merupakan kebalikan daripada tadi. Kini biarpun jumlahnya masih tetap lebih banyak, rombongan orang kang-ouw itu yang terdesak hebat dan sebentar saja Ketua Thian-liong-­pang yang hanya mengamuk dengan tangan kosong itu telah merobohkan enam orang pengeroyok dengan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat!

Berturut-turut para pengeroyok itu berkurang jumlahnya, bahkan dalam wak­tu singkat saja Milana dan ibunya te­lah berhasil merobohkan semua orang yang mengeroyok mereka! Kini yang ma­sih terus melakukan perlawanan hanya tiga orang hwesio Siauw-lim-pai dan ti­ga orang kang-ouw, termasuk dua orang tosu Hoa-san-pai, yang ditandingi oleh Tang Wi Siang dan teman-temannya. Mereka ini pun sudah terdesak hebat dan agaknya tak lama kemudian akan roboh pula.

Tiba-tiba terdengar bunyi suara me­lengking yang jauh lebih hebat daripada tadi, disusul suara orang yang berpenga­ruh dan membuat semua orang tergetar jantungnya.

“Hentikan pertempuran....!”

Ketua Thian-liong-pang terkejut, menghentikan serangan dan menoleh. Demikian pula tiga orang hwesio Siaw-­lim-pai, dua orang tosu Hoa-san-pai, dan seorang kang-ouw meloncat mundur dan menoleh. Berdebar hati semua orang ketika melihat seorang laki-laki, entah kapan dan dari mana datang­nya, tahu-tahu telah berada di tengah­-tengah mereka, seorang laki-laki yang kaki kirinya buntung, berdiri tegak de­ngan tongkat kayu sederhana membantu kaki tunggalnya. Seorang laki-laki yang berwajah tampan sekali namun tampak diselimuti awan duka yang membuat go­resan mendalam di kulit wajahnya. Dia belum sangat tua, akan tetapi seluruh rambutnya yang dibiarkan berurai di se­keliling kepalanya sampai ke pundak dan punggung, semua telah berwarna putih seperti benang-benang sutera perak.

“Pendekar Super Sakti....!” Seorang to­su Hoa-san-pai berbisik, biarpun bisikan­nya perlahan karena keluar dari hatinya dan tanpa disengaja, namun karena keadaan di saat itu amat sunyi, tidak ada yang bicara atau bergerak, maka suara­nya terdengar jelas.

Laki-laki itu memang Suma Han, atau Pendekar Super Sakti, juga dikenal se­bagai Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Setelah terdengar suara lirih tosu Hoa-san-pai menyebutkan nama julukan pria yang berwajah penuh duka itu, keadaan menjadi makin sunyi.

“Han Han....!”

Suara ini lebih lirih dan oleh teli­nga lain hanya terdengar seperti berkeli­siknya angin di antara daun-daun pohon. Akan tetapi pendekar sakti itu kelihatan terkejut dan tersentak kaget, memandang ke kanan kiri seperti orang mencari-cari kemudian bengong terlongong. Tidak salah­kah telinganya menangkap suara lirih itu? Hanya ada beberapa orang saja yang memanggilnya dengan nama itu, nama kecilnya. Han Han! Dan suara lirih halus merdu itu amat dekat dengan hatinya, seperti suara yang tidak asing baginya, akan tetapi dia tidak yakin suara siapa yang menyebut nama kecilnya semerdu dan sehalus itu! Dia menjadi bingung, ke­mudian teringat akan orang-orang di se­kitarnya. Dia menoleh ke arah wanita berkerudung dan berkata dengan suara keren penuh wibawa.

“Sudah bertahun-tahun aku mende­ngar di dunia kang-ouw tentang keaneh­an Thian-liong-pang yang selalu membi­kin geger dunia kang-ouw, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw, bahkan berita terakhir mengatakan bahwa Thian-liong-­pang membunuhi banyak tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah. Se­karang, kebetulan sekali Pangcu berada di sini dan kebetulan pula aku dapat menyelamatkan nyawa para sahabat ini dari ancaman maut, aku ingin bertanya, apakah maksud Thian-liong-pangcu sebe­narnya dengan semua perbuatan itu?”

Sunyi senyap menyambut ucapan pen­dekar yang ditakuti, dihormati, dan disegani itu. Bahkan Tang Wi Siang sendiri mukanya berubah pucat dan tidak bera­ni mengangkat muka memandang, hanya menundukkan muka saja seolah-olah si­lau kalau memandang wajah yang mem­punyai sepasang mata yang kabarnya da­pat membunuh lawan hanya dengan si­nar mata itu!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang bengis dan ketus, suara yang mem­buat para pendengarnya meremang bulu tengkuknya, karena nadanya dingin melebihi salju, penuh tantangan dan seolah-­olah mengandung kebencian yang amat mendalam,

“Memang benar! Semua keributan di dunia kang-ouw itu akulah yang melaku­kannya! Akulah yang bertanggung jawab! Aku yang memerintahkan anak buahku! Habis, engkau mau apa? Dengarlah baik-­baik! Semua perbuatanku itu memang ku­sengaja untuk menantangmu, agar eng­kau datang menyerbu ke tempatku. Kalau kau berani!”

Semua orang terkejut mendengar ini. Akan tetapi terdengar suara isak terta­han sehingga semua orang menoleh ke arah Milana. Dara itulah yang tadi teri­sak seperti orang tersedak. Akan tetapi, dara itu kini menundukkan mukanya dan semua orang kembali memandang ke arah Pendekar Super Sakti dengan hati tegang, ingin mereka melihat apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua orang hebat itu.

Suma Han sendiri sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ucapan Ketua Thian-liong-pang itu demikian ketus dan bengis terhadap dirinya, maka dia terkejut dan heran sekali. “Apa? Me­nantang dan mengundangku? Mengapa....?”

“Sudah lama aku ingin mencincang hancur engkau! Engkau.... manusia yang tidak berjantung! Manusia tiada perasa­an!”

“Ehhh.... heiiii? Mengapa? Apa.... apa maksudmu?”

“Tak perlu banyak cakap lagi kau!”

Ketua Thian-liong-pang itu segera menyerang dengan hebat. Pedang yang telah dicabutnya, padahal tadi ketika pengeroyokan dia sama sekali tidak per­nah mencabut pedangnya. Kini bergerak cepat sekali, berubah menjadi sinar putih yang bergulung-gulung menerjang ke arah tubuh Pendekar Super Sakti. Seje­nak timbul niat di hati Suma Han untuk benar-benar mencoba dan menguji sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Ketua Thian-liong-pang yang penuh raha­sia ini dan untuk mengenal sumber ilmu kepandaiannya. Akan tetapi dia menjadi bingung juga ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh wanita ber­kerudung itu adalah ilmu pedang cam­puran yang sukar diketahui atau dikenal lagi dasarnya. Segala macam ilmu pe­dang partai besar di dunia persilatan terdapat dalam gerakan ilmu pedang ini! Belum pernah selamanya dia me­nyaksikan ilmu pedang seperti itu, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita itu cepat sekali sedangkan desing suara angin yang terbelah oleh pedang itu sendiri menyatakan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang dimiliki wanita itu! Terpaksa dia menangkis dengan tongkat­nya dan balas menyerang, bukan menye­rang sungguh-sungguh, hanya untuk me­maksa lawan itu mengeluarkan jurus sim­panannya agar dia dapat mengenal dasar ilmu silatnya. Akan tetapi, wanita ber­kerudung itu benar-benar hebat sekali ka­rena sampai belasan jurus, dalam se­rang-menyerang itu, tidak pernah dia memperlihatkan dasar kepandaiannya, melainkan mainkan jurus campuran dari pelbagai ilmu pedang yang sudah “dicu­rinya” dari para tokoh yang pernah dicu­liknya. Memang Nirahai amat lihai dan cerdik. Dari ilmu-ilmu silat yang dilihat­nya, dia dapat mengambil inti sarinya yang terpenting, kemudian menciptakan gabungan yang amat hebat, tentu saja dengan mendasarkan kepandaiannya sen­diri sebagai unsur pokok yang terpen­ting. Karena itu, kini Suma Han tidak dapat mengenal dasar ilmu pedangnya!

Suma Han memang tidak mempunyai niat untuk bertanding mati-matian. Enam orang kang-ouw masih berada di situ, yaitu tiga orang hwesio, dua orang tosu dan seorang kang-ouw yang tentu akan terancam keselamatan mereka ka­lau tidak ditolongnya. Pula, dia sendiri menghadapi banyak urusan besar. Menca­ri Pedang Hok-mo-kiam saja belum ber­hasil. Kalau dia harus melayani tantang­an Ketua Thian-liong-pang yang galak dan entah mengapa selalu memusuhinya dan agaknya amat membencinya itu, ber­arti dia akan melibatkan diri dengan ba­nyak urusan yang memusingkan kepala! Apalagi sekarang terdapat kenyataan bahwa Thian-liong-pang yang diketuai oleh wanita aneh ini, aneh dan amat lihai, telah mengabdi kepada pemerintah! Kalau dia melayani tantangannya, berarti akan menjadi berlarut-larut. Padahal tin­dakan terhadap Koksu dan kaki tangan­nya yang telah menghancurkan Pulau Es tanpa alasan sama sekali! Pertama, dia harus merampas kembali pedang Hok-mo-kiam. Ke dua, dia harus minta pertang­gungan jawab terhadap mereka yang te­lah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Ke tiga, dia harus mencari ta­hu bagaimana dengan keadaan Lulu sete­lah Pulau Neraka dibakar! Ke empat, dia harus menyelidiki pula keadaan iste­rinya, Puteri Nirahai, yang tidak diketa­huinya di mana. Dia sudah merasa amat rindu kepada mereka semua itu. Kepada Lulu, kepada Puteri Nirahai, kepada anaknya dan anak Nirahai yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu!

“Para sahabat kang-ouw, harap lekas pergi dari tempat ini!” Tiba-tiba Suma Han berkata.

“Tahan mereka! Jangan biarkan mere­ka pergi!” Ketua Thian-liong-pang berte­riak pula dari balik kerudungnya dengan suara yang bengis dan nyaring.

“Mengapa tidak biarkan mereka pergi saja....!” Terdengar Milana berkata perlahan. Dara ini semenjak tadi menangis secara diam-diam. Menangis tanpa berani mengeluarkan suara atau air ma­ta, takut kalau ketahuan ibunya. Betapa dia tidak akan menangis, betapa dia tidak akan merasa seperti ditusuk-tusuk pisau jantungnya kalau melihat keadaan seperti itu? Dia tahu bahwa Pendekar Super Sakti itu adalah ayah kandungnya sendiri! Untung bahwa Pendekar Super Sakti tidak mengenalnya, tentu telah lupa karena tentu saja banyak terjadi perbedaan dan perubahan antara dia ke­tika masih kecil dengan dia sekarang yang telah menjadi seorang dara dewa­sa! Betapa tidak akan hancur hatinya melihat ibu kandungnya bertanding dan memusuhi bahkan membenci ayah kan­dungnya sendiri? Ingin sekali dia melon­cat, ingin sekali dia terjun ke dalam ge­langgang pertandingan itu, untuk memi­sah mereka, untuk membujuk ibunya. Akan tetapi dia tidak berani. Kalau dia melakukan hal itu, tentu ibunya akan ma­rah bukan main. Dia tidak boleh membuka rahasia ibunya! Karena itulah dia merasa tertekan perasaannya, merasa berduka sekali dan menangis di dalam hatinya, kemudian, tanpa disadarinya, dia mencela ibunya mengapa tidak membiarkan mereka itu pergi saja? Bukan ha­nya mereka orang-orang kang-ouw itu, akan tetapi terutama sekali ayah kan­dungnya! Kalau memang ibunya tidak suka kepada ayah kandungnya, mengapa harus memusuhinya, tidak membiarkan saja pergi?

Suma Han mendengar suara gadis itu dan diam-diam ia merasa heran. Tadi dia mendengar gadis itu terisak, biar­pun isak yang ditahan, kini mendengar gadis itu berkata demikian. Bukankah ga­dis itu seorang anggauta Thian-liong-pang yang paling penting, bahkan kalau tidak salah pendengarannya tadi sebe­lum ia memperlihatkan diri, gadis itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Puteri wanita berkerudung yang kejam itu! Hemm, jalan satu-satunya untuk mengendalikan Thian-liong-pang adalah puterinya ini. Pikiran ini menyelinap di dalam otaknya dan tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan tenaga.

“Trangggg!”

Ketua Thian-liong-pang terkejut se­kali karena tahu-tahu lawannya lenyap. Tentu saja dia mengenal Pendekar Su­per Sakti dan maklum pula bahwa pende­kar itu telah menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Gerak Kilat Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi yang membuat dia ter­kejut adalah ketika melihat bayangan pendekar itu mencelat ke arah puteri­nya, Milana yang berdiri dengan muka tunduk. Nirahai mengeluarkan keluh perlahan dan otomatis menyimpan pedang­nya, berdiri dengan kedua kaki gemetar!

Milana sendiri kaget setengah mati ketika tiba-tiba tangan kanannya disam­bar dan dipegang oleh tangan kiri Pen­dekar Super Sakti, kemudian tampak si­nar berkelebat ketika ujung tongkat itu telah menodong lehernya.

“Tidak.... tidak.... jangan....!” Milana menjadi pucat, terbelalak memandang laki-laki itu dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali bukan takut terbunuh melainkan merasa ngeri kalau sampai ayah kandungnya itu tidak mengenalnya dan kesalahan tangan membunuhnya. Sebagai seorang dara perkasa yang telah digembleng kegagahan sejak kecil, mati bukan apa-apa baginya, akan tetapi mati di tangan ayah kandungnya sendiri benar-benar merupakan hal mengerikan!

Suma Han sendiri terbelalak kaget melihat wajah cantik jelita itu, yang tertimpa sinar matahari dan kelihatan pucat sekali. Betapa cantiknya dara ini! Tentu amat disayang oleh ibunya. Ketua Thian-liong-pang yang seperti iblis itu!

“Thian-liong-pangcu, lekas kaubebaskan para sahabat kang-ouw itu, kalau tidak, terpaksa kubunuh anakmu di depan matamu!” Suma Han mengancam.

“Kau....! Kau....!” Nirahai tergagap-gagap sehingga mengherankan hati semua orang. Juga Tang Wi Siang merasa heran sekali. Dialah seorang di antara mereka yang mengenal siapa adanya Ketuanya yang selalu berkerudung itu. Pada waktu Nirahai menguasai Thian-liong-pang, setelah mengalahkan semua tokohnya, pernah dia memperkenalkan diri sehingga Tang Wi Siang tahu bahwa Ketuanya adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar sendiri dan tahu bahwa Milana adalah puterinya. Akan tetapi, dia tidak tahu siapa ayah Milana dan dia pun tidak berani bertanya, karena bertanya berarti memancing maut! Dia pun tidak berani ketika Nirahai membantu pemerintah membasmi para pemberontak. Akan tetapi mengapa kini sikap Nirahai demikian berubah? Mengapa kelihatan begitu ketakutan setelah puterinya diancam oleh Pendekar Siluman?

“Pangcu, bolehkah saya suruh mereka pergi saja?” Tang Wi Siang mendekati ketuanya dan bertanya penuh hormat.

Nirahai mengangguk. “Yaaah, suruh mereka pergi.”

“Kalian boleh pergi dari sini!” Tang Wi Siang berkata kepada tiga orang hwesio, dua orang tosu dan seorang kang-ouw yang berpakaian seperti guru silat itu. Mereka berenam segera menjura ke arah Pendekar Super Sakti untuk mengha­turkan terima kasih, akan tetapi Suma Han cepat berkata tanpa menghentikan dorongan tongkatnya dari tenggorokan Milana, “Harap Cu-wi segera pergi!”

Enam orang itu lain membawa jena­zah kawan masing-masing dan pergi dari situ dengan cepat. Setelah bayangan me­reka lenyap, barulah Suma Han berkata, “Thian-liong-pangcu, terpaksa kulakukan hal ini....”

“Kau.... laki-laki pengecut!”

Suma Han menghela napas panjang. “Benar agaknya, akan tetapi ketahuilah bahwa aku melakukan ini bukan karena takut bertanding melawanmu, melainkan karena aku ingin mengambil jalan damai agar tidak jatuh korban-korhan lebih banyak lagi. Sekarang, terpaksaanakmu kubawa dulu, dan baru akan ku­lepaskan dia, kukembalikan kepadamu kalau Thian-liong-pang sudah menghentikan sepak terjangnya yang mengacaukan dunia kang-ouw!”

“Keparat, kembalikan anakku!” Nirahai membentak.

“Pangcu, selamat berpisah!” Suma Han menotok Milana, disambarnya tubuh dara itu dan dia bersuit keras. Burung rajawali hitam menjawab suitannya dari jauh dan terbang menghampiri.

“Suma Han! Kembali kau!” Nirahai mengejar, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat menyusul Suma Han yang berlompatan dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun, kemudian bahkan meloncat ke iatas punggung rajawali yang terbang rendah.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Tang Wi Siang dan teman-temannya ketika mereka semua turut mengejar, mereka tidak melihat lagi Pendekar Siluman yang pergi membawa puteri Ketua mereka naik punggung ra­jawali dan melihat Ketua mereka mende­prok di atas tanah sambil menangis!

Sejenak mereka hanya dapat saling pandang dengan bingung. Akhirnya Tang Wi Siang berlutut dan berkata,

“Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu meng­hendaki, kami seluruh anggauta dan pimpinan Thian-liong-pang sanggup untuk dikerahkan dan mencari serta merampas kembali Nona Milana dari tangan Pende­kar Siluman!”

Nirahai mengangkat mukanya yang berkerudung, menahan isak dan bangkit berdiri. Kedatangan anak buahnya mem­buat dia sadar kembali dan dapat me­nguasai hatinya. Dia terlalu marah kepa­da Suma Han. Butakah mata suaminya itu sehingga tidak mengenal anaknya la­gi? Ataukah.... Suma Han memang senga­ja berpura-pura tidak mengenal Milana dan sengaja membawa Milana pergi untuk mengendalikannya? Betapapun ju­ga, dia menangis bukan karena meng­khawatirkan keselamatan anaknya. Sama sekali tidak! Dia sudah mengenal siapa adanya orang yang pernah menjadi sua­minya itu! Andaikata benar-benar Suma Han lupa bahwa gadis itu anaknya sendi­ri sekalipun, dia tidak usah mengkhawa­tirkan keselamatan Milana. Suma Han adalah seorang pria yang boleh diperca­ya sepenuhnya! Yang dia tangiskan ada­lah sikap Suma Han, orang yang dicintanya sepenuh jiwa raga, akan tetapi juga menimbulkan sakit hati dan bencinya! “Mari kita pulang,” katanya kepada Tang Wi Siang. “Suruh anak buah mengubur semua jenazah itu.”

“Semua, Pangcu? Juga jenazah pihak musuh?”

“Semua! Aku hendak pulang lebih dulu. Jangan melibatkan diri dalam per­tempuran dengan siapapun juga. Kalau sudah selesai, cepat pulang menyusulku.”

“Baik, Pangcu.” Akan tetapi belum habis jawaban Wi Siang, tubuh wanita berkerudung itu telah berkelebat dan le­nyap dari situ. Tang Wi Siang menarik napas dalam. Dia kagum kepada Ketua­nya itu, kagum dan penuh hormat, juga merasa setia dan sayang karena selama ini Nirahai telah bersikap baik sekali kepa­danya bahkan memberinya beberapa il­mu silat yang tinggi. Akan tetapi, sam­pai sekarang belum juga dia dapat me­ngenal watak Ketuanya itu, apalagi tadi ketika Ketuanya itu berhadapan dengan Pendekar Siluman. Dia tahu bahwa Ketuanya amat sakti, semua tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan yang besar tidak ada yang mampu menan­dinginya. Dia ingin sekali menyaksikan, siapa yang lebih sakti antara Ketuanya dan Pendekar Siluman! Hal yang benar-benar amat menarik dan membuat dia ingin sekali tahu, sungguhpun hatinya te­gang dan gelisah memikirkan betapa Ketuanya yang tercinta itu bertanding melawan Pendekar Siluman yang kabar­nya dapat membunuh lawan hanya de­ngan sinar matanya!

Tang Wi Siang sadar dari lamunannya dan ia cepat memerintahkan anak buahnya untuk mengubur semua jenazah yang jatuh menjadi korban dalam pertanding­an tadi. Baru saja selesai dan mereka habis mencuci kaki dan tangan, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah ber­diri di depan mereka! Tang Wi Siang dan lima orang gadis cantik para pelayan pembantunya, siap menghadapi segala ke­mungkinan, sedangkan anak buah Thian-liong-pang bekas pengikut Milana yang tinggal tiga orang jumlahnya, menjadi kaget sekali dan cepat seorang di anta­ra mereka berkata,

“Tang-kouwnio, dia.... dia.... adalah putera Majikan Pulau Neraka....”

Tang Wi Siang terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain ada­lah Wan Keng In, tidak bicara apa-apa, hanya melangkah maju menghampiri Tang Wi Siang dan lima orang gadis pelayan, matanya memandang penuh selidik lalu menengok ke kanan kiri, seperti orang mencari-cari.

Tadinya enam orang wanita itu mengi­ra bahwa pemuda tampan yang disebut sebagai putera Majikan Pulau Neraka ini tentu mata keranjang dan seorang demi seorang, wajah para wanita ini sudah menjadi merah karena malu dan marah. Akan tetapi ketika melihat pemuda itu seperti mencari-cari, mereka menjadi heran.

“Mana dia....?” Tiba-tiba Wan Keng In bertanya, pertanyaan yang ditujukan kepada mereka semua. Suaranya halus dan manis, akan tetapi mengandung sesuatu yang membuat rombongan orang Thian-liong-pang itu bergidik ngeri. Ke­cuali Tang Wi Siang, karena wanita ini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sama sekali tidak takut berhadapan dengan orang yang dikatakan pute­ra Majikan Pulau Neraka. Hanya seorang pemuda remaja, pikirnya.

“Dia siapa yang kaucari?” Tang Wi Siang balas bertanya, suaranya dingin se­kali. Biarpun pangcunya sudah berpesan agar dia tidak membawa orang-orangnya terlibat dalam pertempuran, akan tetapi kalau orang ini tokoh besar Pulau Neraka, tentu saja dia tak tinggal diam.

“Siapa lagi? Nona cantik jelita pute­ri Ketua Thian-liong-pang! Di mana dia? Kalian ini bukankah orang-orang Thian-liong-pang?” Wan Keng In bertanya lagi.

“Benar kami orang-orang Thian-liong-pang. Engkau ini orang Pulau Neraka mencari Nona Majikan kami, ada keper­luan apakah?” Tang Wi Siang membentak marah.

“Hemmm, dia harus menjadi isteriku. Dia calon isteriku!”

“Jahanam bermulut lancang!” Tang Wi Siang marah sekali dan tubuhnya mencelat ka atas lalu turun menyambar dengan serangan dahsyat ke arah kepala Wan Keng In! Wanita itu memang me­miliki ilmu kepandaian istimewa berda­sarkan gin-kang yang luar biasa, yang diajarkan oleh Nirahai kepadanya, yaitu Ilmu Yan-cu-sin-kun. Melihat datangnya serangan yang amat cepat itu, tahu-tahu tangan kiri wanita itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Wan Keng In ter­kejut juga, cepat ia miringkan kepala sambil melangkah mundur. Akan tetapi, Ilmu Silat Yan-cu-si-kun (Silat Sakti Bu­rung Walet) benar-benar hebat sekali, karena begitu pukulannya luput, dan tu­buhnya melayang, cepat sekali tubuh wanita itu sudah berjungkir balik dan tahu-tahu kedua tangannya telah memu­kul lagi dari kanan kiri mengarah kedua pelipis!

“Plak-plak!” Wan Keng In yang ka­get sekali cepat menangkis dan tangkis­an itu membuat tubuh Tang Wi Siang terpelanting! Sekarang wanita inilah yang terkejut. Kiranya pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Dia cepat meloncat dan mengirim Pukulan Touw-sin-ciang (Pukulan Menembus Hati) yang mengan­dung sin-kang kuat.

“Plakk!” kembali Wan Keng In me­nangkis dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sehingga tubuh Tang Wi Siang ter­banting keras.

Marahlah para anak buah Thian-liong-pang yang delapan orang banyaknya itu melihat wanita kepercayaan Ketua mere­ka roboh. Cepat mereka mencabut sen­jata dan menerjang maju, mengeroyok pe­muda lihai itu. Tang Wi Siang juga su­dah meloncat bangun dan mencabut pedangnya, mainkan ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang sudah disempurnakan oleh Ketuanya. Wan Keng In dikeroyok oleh sembilan orang yang semuanya bersen­jata!

Namun pemuda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan dia tersenyum, senyum yang membuat wajahnya makin menarik dan tampan. Dia sama sekali ti­dak mengeluarkan senjata, hanya melon­cat ke sana-sini sambil berkata,

“Hemm, Bibi yang cantik, engkau agaknya yang menjadi pimpinan rombongan ini. Baiklah, aku akan membiarkan kalian menghadap Ketua kalian dan katakan bah­wa aku akan menyembuhkan kalian kalau puterinya dijodohkan dengan aku. Kalau tidak, kalian akan tewas dan seluruh anggauta Thian-liong-pang akan kubasmi, kecuali puteri Ketua yang harus menjadi isteriku, mau atau tidak!”

Tentu saja kata-katanya itu membu­at Tang Wi Siang dan teman-temannya menjadi marah sekali dan mereka tidak dapat menjawab saking marahnya, hanya mempercepat gerakan mereka menye­rang dengan pergerahan tenaga sekuatnya. Ingin mereka mencincang hancur tubuh pemuda yang begitu kurang ajar, hendak memaksa nona mereka menjadi isterinya dan mengancam akan membasmi seluruh anggauta Thian-liong-pang kalau kehen­daknya tidak dipenuhi! Mana di dunia ini ada kesombongan dan kekurangajaran yang sehebat itu?

Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara tertawa seperti ringkik kuda dan tiga orang yang menye­rang paling dekat dengannya tiba-tiba menjadi lemas sehingga mereka tidak mampu mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kiri pemuda itu menepuk punggung mereka, seorang sekali.

“Plak! Plak! Plak!” Tiga orang itu roboh terjungkal dan batuk-batuk, dari mulut mereka keluar darah merah.

Tang Wi Siang marah sekali, mengge­rakkan pedangnya dan menyerbu ke arah perut pemuda itu sambil menggerakkan tangan kiri pula untuk memukul dengan mengerahkan tenaga Touw-sim-ciang ke arah dada kiri Wan Keng In.

Pemuda itu mengelak sedikit untuk menghindarkan tusukan pedang, akan tetapi dia agaknya tidak tahu akan da­tangnya pukulan tangan kiri Wi Siang yang ampuh itu. Tang Wi Siang merasa girang sekali karena pukulannya menge­nai sasaran yang tepat dan betapapun lihainya pemuda itu, pukulannya yang menembus jantung itu tentu akan mero­bohkahnya, atau sedikitnya melukai isi dadanya.

“Plakkk!”

Betapa kaget hati Wi Siang ketika telapak tangannya melekat pada dada kiri pemuda itu yang agaknya sama se­kali tidak merasakan apa-apa dan bah­kan kini tangan kanan pemuda itu telah mencengkeram pergelangan tangannya yang memegang pedang dan sekali memutar tubuhnya terbawa membalik dan sebuah tepukan pada punggungnya membuat Tang Wi Siang terguling, kepalanya terasa pe­ning, tenggorokannya gatal membuat dia terbatuk-batuk dan muntahkan darah merah!

Cepat sekali Wan Keng In bergerak, tubuhnya seperti lenyap dan beruntun ia telah menepuk punggung lima orang ga­dis pelayan pembantu Tang Wi Siang sehingga mereka ini hampir tidak tahu apa yang membuat mereka roboh tergu­ling, dan terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Sembilan orang itu, termasuk Tang Wi Siang yang amat lihai, telah roboh dan terluka oleh Wan Keng In dalam waktu beberapa menit saja! Kalau Tang Wi Siang tidak terkena pancingannya, tidak mengira bahwa pukulan Touw-sim-ciang sama sekali tidak dapat menem­bus kekebalan tubuh Wan Keng In dan kalau wanita itu menggunakan ilmu si­latnya untuk mempertahankan diri, kira­nya biarpun akhirnya dia akan roboh ju­ga, namun sedikitnya pemuda itu harus menggunakan waktu yang lebih lama. Namun, pemuda itu cerdik sekali dan dia sudah tahu akan kelihaian Tang Wi Siang, maka dia sengaja membiarkan di­rinya terpukul untuk dapat merobohkan wanita itu dalam waktu yang lebih cepat.

“Bibi yang cantik, katakanlah kepada Ketuamu bahwa kalau dalam waktu se­bulan dia tidak menerima pinanganku dan tidak mengumumkan bahwa puterinya te­lah menjadi tunangan Wan Keng In dari Pulau Neraka, kalian akan mati dan aku akan datang sendiri ke sana untuk mengambil calon isteriku dan membas­mi Thian-liong-pang. Akan tetapi kalau dia menerima pinanganku, Thian-liong-pang akan menjadi perkumpulan yang terkuat di dunia ini karena bantuanku!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, bayangan pemuda itu lenyap dari dalam hutan.

Tang Wi Siang cepat meloncat ba­ngun, menahan rasa nyeri di dalam dada­nya. Ia melihat bahwa semua anak buah­nya sudah dapat berdiri akan tetapi me­nyeringai tanda bahwa mereka pun men­derita nyeri. Tahulah dia bahwa mereka semua telah terluka di sebelah dalam tubuh oleh tepukan pada punggung tadi.

“Buka bajumu!” Katanya kepada se­orang anggauta Thian-liong-pang pria yang tadi telah dirobohkan. Orang itu membuka bajunya, setelah diperiksa ter­nyata di punggungnya terdapat bekas ja­ri yang berwarna merah!

 “Hemmm, pukulan beracun, seperti yang kuduga,” kata Tang Wi Siang yang memang sudah menduga bahwa tokoh Pu­lau Neraka itu tentu menggunakan pu­kulan beracun. “Manusia sombong itu! Apa dikira Pangcu kita tidak akan da­pat menyembuhkan pukulan beracun ma­cam ini saja? Hayo, kita cepat pulang menyusul Pangcu, membuat laporan agar Pangcu dapat mengobati kita dan mencari si keparat itu untuk diberi hajaran!” Biarpun mulutnya berkata demikian, na­mun di dalam hatinya Tang Wi Siang merasa gelisah dan tegang sekali karena dari pertandingan tadi saja dia sudah maklum bahwa pemuda itu benar-benar memiliki kesaktian yang amat luar biasa! Dengan perasaan tertekan sembilan orang itu melakukan perjalanan tergesa-gesa dan tanpa mengeluarkan kata-kata menyusul Ketua mereka, pikiran mereka tidak pernah terlepas dari tanda tiga bu­ah jari merah yang menempel di pung­gung mereka dan tersembunyi di ba­wah baju masing-masing.
         “Hu-hu-huukkk....!” Milana tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi ketika dia sudah berdua saja dengan Pendekar Super Sakti di atas punggung burung rajawali yang terbang tinggi menembus awan. Mula-mula dia merasa bahagia sekali dapat duduk membonceng ayah kan­dungnya di atas punggung rajawali itu, hal yang sudah lama dia impi-impikan. Akan tetapi dia teringat kembali kepada ibunya, teringat akan peristiwa antara ibu dan ayahnya, akan permusuhan anta­ra ibu dan ayahnya dan akan rahasia ibunya yang tidak diketahui ayahnya. Bagaimana dia dapat bergembira biarpun kini dia dapat membonceng ayah kandung­nya kalau ayahnya itu tidak mengenal dan dia tidak boleh memperkenalkan di­ri? Dia tidak akan memperkenalkan diri sebagai Milana, sebagai puteri Pendekar Super Sakti ini, demi menjaga rahasia ibunya. Betapapun juga dia harus mem­bela ibunya! Dan dia pun kini mendapat kesempatan untuk mengenal dari dekat orang macam apakah yang menjadi ayah kandungnya ini.

“Eh, Nona mengapa engkau mena­ngis?” Tiba-tiba Suma Han bertanya ke­pada dara yang duduk di depannya, membelakanginya ketika ia mendengar dara itu terisak.

“Apakah setelah menjadi tawananmu, aku tidak boleh mdnangis?” Milana bertanya tanpa menoleh.

“Hemm.... wanita dan tangis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tentu saja engkau boleh menangis, akan tetapi kurasa, sebagai puteri seorang ke­tua perkumpukan besar macam Thian-liong-pang, amatlah memalukan kalau harus memperlihatkan kekecilan hati dan menjadi seorang yang cengeng.”

Rasa panas membubung ke dada Mi­lana dan dia menggigit bibir, mengusir sisa tangis yang berada di dalam dada­nya. “Aku tidak cengeng! Aku tidak ke­cil hati!” bantahnya.

Suma Han yang duduk di belakang­nya, tersenyum. Dia maklum bahwa ten­tu puteri Ketua Thian-liong-pang ini membencinya dan menganggapnya musuh, akan tetapi semenjak tadi, dia sudah melihat perbedaan watak yang besar sekali antara Ketua Thian-liong-pang dan puterinya ini. Gadis ini sama sekali tidak berwatak kejam, liar dan ganas seperti ibunya. Sebaliknya dara ini mem­punyai watak lembut, terbukti dari isak­nya dan pencelaannya kepada ibunya ke­tika berada di hutan tadi. Kini, kembali tampak sifat halusnya dengan isak yang tertahan-tahan akan tetapi betapapun juga, ada setitik darah ibunya sehingga dara ini melawan perasaan sendiri dan kini berpura-pura memperlihatkan sikap keras seperti sikap ibunya! Ahh, betapa terbuka keadaan hati dan pikiran dara ini baginya sehingga biarpun dara itu duduk membelakanginya dan dia tidak dapat melihat wajahnya yang memang belum diperhatikannya benar-benar, dia sudah dapat menjenguk isi hati dan mengenal wataknya!

“Kalau begitu mengapa menangis?”

Ih, betapa halus suara ayahnya! Orang yang mempunyai suara halus dan meng­getarkan perasaan yang halus pula itu tak mungkin seorang jahat, biarpun dijuluki Pendekar Siluman sekalipun! Bagai­mana ibunya mencacinya sebagai seorang yang pengecut, tidak berjantung, tiada perasaan?

“Kenapa engkau menawan aku? Apa­kah benar untuk menekan Thian-liong-pang agar tidak membantu pemerintah membasmi para pengacau dan pemberontak lagi?”

Milana merasa betapa orang yang duduk di belakangnya itu menghela na­pas panjang. Ingin sekali dia menengok dan memandang wajah yang menimbul­kan rasa sayang dan kagum di datam hatinya itu, ingin melihat tarikan muka itu dan sinar mata yang aneh itu. Akan tetapi, pada saat itu dia sedang bersan­diwara, harus beraksi seperti orang yang asing sama sekali, yang tidak mengenal Pendekar Super Sakti, maka tidak akan sopanlah sebagai seorang gadis tertawan kalau dia ingin memandang muka pria yang menawan.

“Nona, biarlah engkau mendengar hal yang sesungguhnya. Bukan menjadi pendirianku untuk mempergunakan cara pemerasan seperti ini, untuk mengguna­kan seorang gadis muda sebagai alat un­tuk menekan Thian-liong-pang. Cara ini, tepat seperti pendapat ibumu, adalah ca­ra seorang pengecut. Kalau memang aku berniat menentang Thian-liong-pang, ten­tu akan kupergunakan cara laki-laki, yaitu langsung menentangnya dan menghadapinya seperti seorang gagah, tinggal meli­hat hasilnya, menang atau kalah. Akan tetapi, setelah aku melihatmu di sana tadi.... hemm, aku berpendapat lain dan aku menawanmu dengan maksud lain pula....”

Berdebar keras jantung Milana dsn dia menarik tubuh ke depan agar orang yang berada di belakangnya itu jangan sampai tahu debar jantungnya. Dia lupa bahwa yang duduk di belakangnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesakti­an luar biasa sehingga pendengarannya sudah amat tajam, dapat membedakan debar jantung yang berubah, apalagi dari jarak demikian dekat! Ayah kandungnya ini menawannya bukan untuk diperguna­kan sebagai sandera, bukan untuk meme­ras dan menekan Thian-liong-pang! Habis untuk apa?

“Maksud apalagi kalau bukan untuk menekan Ibuku?” tanyanya, menekan hatinya agar suaranya terdengar biasa. Tentu saja Suma Han dapat membeda­kan pula suara menggetar yang terbawa oleh perasaan tegang itu, dan dia ter­senyum, menduga tentu gadis ini mengira bahwa dia mempunyai niat yang bukan-bukan!

“Ketika aku melihatmu di sana tadi, timbul rasa kasihan di hatiku. Betapa seorang gadis muda yang berdasarkan wa­tak halus dan hati penuh welas asih dan mulia, bergelimang dalam perbuatan-per­buatan rendah yang dilakukan oleh Thian-liong-pang! Kalau dibiarkan saja, akhirnya tentu anak itu akan menjadi rusak dan menjadi seorang wanita yang kejam, liar, ganas dan berwatak iblis, se­perti ibunya yang menjadi Ketua Thian-liong-pang! Karena itu, timbul niatku untuk membawamu pergi dari lingkungan kotor ini!”

Tiba-tiba Milana menoleh dan matanya terbelalak penuh kemarahan. "Tidak! Biarkan aku kembali! Aku tidak peduli, aku lebih senang kalau menjadi seperti Ibu! Dia tidak jahat, engkaulah yang jahat dan kejam! Engkau membiarkan Ibuku merana dan sengsara dalam hidupnya!"

"Hahhh....? Apa maksudmu? Aku membikin Ibumu hidup sengsara?"

Milana terkejut sendiri. Dia telah kelepasan bicara. Cepat ia memutar otak mencari alasan. "Tentu saja engkau telah menculik aku, anaknya, bagaimana Ibu tidak merasa sengsara dalam hidupnya memikirkan keselamatanku?"

"Ah, begitukah? Kalau dia masih mempunyai perasaan seperti seorang ibu biarlah dia sadar bahwa dalam hidupnya, jauh lebih penting memikirkan masa depan puterinya daripada melampiaskan nafsu kemurkaan melalui Thian-liong-pang. Biarlah dia menderita agar dia sadar. Kalau dia sudah sadar, aku pun tentu saja tidak akan suka memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya." Setelah berkata demikian, Suma Han menepuk leher rajawali dan menekan berat tubuhnya ke kiri sehingga burung itu segera menukik ke kiri dan meluncur turun.

Burung itu meluncur cepat sekali sehingga biarpun Milana telah memiliki kepandaian tinggi, dia merasa pening dan ngeri juga. Akan tetapi di depan penawannya, atau bahkan ayah kandungnya, dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya, dan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya, dia bertanya,

"Engkau mau membawa aku ke mana?"

"Engkau takut?"

Wah, ayahnya ini benar-benar amat waspada! "Tidak!" jawabnya, akan tetapi suaranya gemetar juga ketika ia melirik ke bawah dan melihat seolah-olah dia dibawa jatuh ke bawah dengan kecepatan mengerikan!

"Jangan takut, menunggang burung ini lebih aman daripada menunggang seekor kuda."

Milana tidak mejawab lagi karena percuma saja dia hendak menyembunyikan rasa ngerinya. Setelah penculiknya tahu, tidak lagi berpura-pura dan untuk mengusir rasa takutnya, dia memegangi tangan Pendekar Super Sakti yang membiarkannya saja sambil diam-diam tersenyum karena Suma Han maklum betapa ngeri dan takutnya menunggang burung rajawali, apalagi kalau menukik turun, bagi seorang yang belum bisa. Dia sendiri ketika mula-mula menunggang burung garuda di Pulau Es, juga berkunang-kunang dan merasa ngeri!

Burung itu hinggap di atas tanah di luar sebuah dusun. Suma Han meloncat turun diikuti oleh Milana. Suma Han lalu mendorong tubuh burung rajawali itu sehingga terlempar ke atas dan burung itu segera terbang tinggi.

"Mengapa kita turun di sini? Engkau hendak membawaku ke mana?"

Sambil membalikkan tubuhnya rnenghadapi gadis itu Suma Han menjawab, "Kita akan pergi ke...." Tiba-tiba Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya dan dia berdiri dengan mata terbelalak dan mulut agak terbuka seperti terkena pesona ketika memandang wajah dara itu. Baru sekarang dia dapat melihat wajah Milana dengan jelas dan dari jarak dekat. Mulut itu! Mata itu! Mata yang mengandung sinar seolah-olah dua ujung pedang yang amat runcing menusuk sampai ke lubuk hati! Mata dan mulut yang sangat dikenalnya, tidak asing sama sekali baginya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini dia berjumpa dengan puteri Ketua Thian-liong-pang!

"Kau.... kau kenapa, Paman?" Milana bertanya.

Suaranya yang halus itu menyadarkan Suma Han. Dia menarik napas panjang lalu menggunakan kedua telapak tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggosok seluruh mukanya terus ke leher dan ke tengkuknya yang dirasakan meremang tanpa dia ketahui sebabnya.

"Aaahhh.... tidak apa-apa...." Dia menghindarkan pandang matanya bertemu dengan sinar mata gadis itu dan tidak ingin lagi memandeng wajah itu lama-lama karena merasa aneh dan.... ngeri! "Aku hendak membawamu ke kota raja."

"Ke kota raja? Mengapa ke sana, Paman? Apakah engkau sekarang tinggal di kota raja setelah.... setelah.... kudengar...." Karena Pulau Es merupakan tempat tinggal ayah kandungnya, tempat yang sudah lama ia rindukan, maka mendengar betapa pulau itu dibakar, Milana merasa terkejut dan duka, maka sekarang dia pun merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya.

"Setelah Pulau Es dibakar? Tidak, aku tidak tinggal di kota raja atau di mana pun."

"Jadi, engkau sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, Paman?"

Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam merasa betapa aneh keadaan mereka berdua itu. Dia adalah penculik dan gadis itu yang diculik dan ditawannya, akan tetapi mereka bercakap-cakap seperti seorang paman dan keponakannya saja, saling bersimpati dan saling menaruh kasihan!

"Kalau begitu, ke mana Paman hendak ke kota raja?"

"Aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah membakar Pulau Es dan Pulau Neraka, dan aku akan merampas kembali Pedang Hok-mo-kiam...."

"....yang dicuri oleh Pendeta Iblis Maharya dan muridnya?"

"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?" tiba-tiba Suma Han bertanya dan kembali dia merasa jantungnya seperti diguncang ketika memandang wajah yang cantik jelita luar biasa itu.

Ingin rasanya Milana menampar mulutnya sendiri karena kelepasan bicara itu.

"Siapa yang tidak tahu, Paman? Hal itu sudah diketahui di dunia kang-ouw, dan aku mendengar dari Ibuku."

Suma Han tidak merasa heran. Peristiwa itu diketahui oleh orang lain, juga oleh Gak Bun Beng. Andaikata pemuda itu tidak membicarakannya di luar, bisa jadi saja kalau Tan-siucai atau Gurunya membual bahwa mereka telah merampas Hok-mo-kiam dari tangan Pendekar Super Sakti sehingga peristiwa itu diketahui oleh Ketua Thian-liong-pang yang lihai dan berpengaruh.

"Hemm, begitukah? Benar, pedang itu akan kurampas kembali dari tangan mereka. Aku mendengar bahwa kini mereka pun membantu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan berada di kota raja."

"Wah, Paman hendak mencari banyak musuh di kota raja. Bagaimana dengan aku?"

"Engkau ikut saja denganku, tidak akan ada yang berani mengganggu."

"Habis, untuk apa aku ikut kalau hanya disuruh menonton? Apakah Paman.... ingin supaya aku membantu Paman itu?"

Suma Han tertawa. Bocah ini sungguh menyenangkan hatinya. Sikapnya begitu halus dan wajar, sedikitpun juga tidak memperlihatkan sikap bermusuhan padahal jelas bahwa dia telah membawanya secara paksa!

"Tidak, Nona. Engkau ikut saja denganku dan di waktu terluang, aku akan mengajarkan ilmu kepadamu." Hampir saja Milana bersorak saking girang hatinya. Di antara hal-hal yang amat dirindukan adalah belajar ilmu dari ayah kandungnya, dari Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang terkenal di seluruh jagad! Akan tetapi dia menahan diri dan hanya kelihatan betapa bibirnya yang merah dan berbentuk kecil mungil indah itu merekah dalam senyum, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan bersinar-sinar penuh keriangan hati. Hal ini tidak lepas dari pandangan mata Suma Han sehingga diam-diam pendekar ini merasa terharu dan timbul rasa suka yang mendalam di hatinya terhadap gadis ini, timbul pula niat hatinya untuk menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi kepadanya!

"Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali!"

"Ha-ha-ha...!" Suma Han sendiri sampai terkejut. Bertahun-tahun sudah dia tidak pernah tertawa. Akan tetapi kini, tanpa disadarinya, dia telah tertawa begitu bebas, suara ketawa yang langsung keluar dari dalam hatinya. Bocah ini telah menciptakan sesuatu yang amat aneh dalam hatinya!

"Paman, kenapa kau tertawa?"

"Aku.... tertawa....? Ahhh, karena mendengar ucapanmu yang lucu tadi, Nona. Kaubilang aku baik sekali padahal aku adalah penculikmu!"

"Biarpun begitu, sikapmu amat baik kepadaku, Paman dan aku suka ikut bersamamu. Aku merasa bahwa dengan ikut padamu, aku akan mengalami hal-hal yang hebat, dan lagi, menerima pelajaran ilmu dari Pendekar Super Sakti merupakan hal yang amat menyenangkan sekali. Bagaimana aku tidak menjadi gembira dan menganggap Paman seorang
yang amat baik? Nanti kalau bertemu dengan Ibu aku akan meyakinkan hatinya betapa baiknya budi pekerti Paman."

Suma Han menghela napas. "Aaahh.... kalau ada yang menganggap baik tentu ada yang menganggap sebaliknya, yaitu jahat. Dan aku sendiri tidak tahu siapa yang lebih benar di antara mereka yang menyebut baik dan mereka yang menyebutku jahat."

"Bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Paman?"

"Tak usah kaupikirkan. Jangan merusak hatimu yang masih polos itu dengan teka-teki hidup yang tiada habisnya, juga tiada gunanya. Eh, Nona, engkau kuanggap sebagai muridku atau sebagai.... keponakanku sendiri.... ehhh, aku jadi teringat kepada Kwi Hong! Ke mana gerangan perginya bocah bengal yang sukar diurus itu?"

"Kwi Hong? Apakah Paman maksudkan bahwa keponakan Paman yang bernama Kwi Hong pergi tanpa pamit?"

Suma Han mengangguk. "Bocah itu nakal bukan main. Dia pergi merantau tidak menggelisahkan karena ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk menjaga diri. Akan tetapi, dia membawa pergi pedang Li-mo-kiam, itulah yang menggelisahkan hatiku...."

Tiba-tiba Milana meloncat kaget. "Aihhh....! Kalau begitu diakah....?" Terbayang olehnya seorang gadis yang telah menyelamatkannya ketika ia hampir saja tertawan oleh Wan Keng In, seorang gadis yang keluar dari dalam peti mati, dan yang memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat! Gadis itu pula yang telah mengacau di rumah penginapan, menyelidiki keadaan rombongan Thian-liong-pang! Ahh, mengapa dia begitu pelupa? Tentu gadis perkasa itu Kwi Hong!

"Heiii! Apa engkau pernah bertemu dengannya?" Suma Han bertanya kaget.

Milana mengangguk, belum berani membuka mulut karena dia harus menekan perasaannya yang terguncang. Bertemu dengan Kwi Hong dan dia tidak mengenalnya, apakah Kwi Hong juga tidak mengenalnya ketika menyelidiki rumah penginapan? Dan apakah Kwi Hong baru mengenalnya ketika turun tangan menolongnya?

"Aku pernah bertemu dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang bersinar kilat, Paman. Dia pernah menyelidiki rombongan Thian-liong-pang, hampir tertangkap olehku, akan tetapi dia lihai sekali dan dapat meloloskan diri. Kemudian, dia muncul pula bersama orang-orang Pulau Neraka!"

"Ah, kalau begitu bukan Kwi Hong! Tak mungkin dia bersama orang-orang Pulau Neraka."

"Akan tetapi dia telah menolongku ketika aku hampir tertawan oleh pemuda iblis, putera Majikan Pulau Neraka."

"Apa? Coba kauceritakan yang jelas, Nona."

Dengan singkat Milana menceritakan bentrokan yang terjadi antara rombongan Thian-liong-pang yang dipimpinnya melawan rombongan Pulau Neraka. "Mula-mula pihak kami sudah mendekati kemenangan, lalu tiba-tiba muncul pemuda iblis yang lihai itu. Aku hampir saja tertawan olehnya, kemudian muncul gadis itu dari dalam peti mati dan dengan sebatang pedang yang bersinar kilat, dia telah menyelamatkan aku dengan membabat putus tali sutera yang mengikatku. Karena aku maklum bahwa tempat itu berbahaya bagi rombonganku, aku lalu mengajak rombonganku segera pergi meninggalkan tempat itu."

"Dan gadis itu bagaimana?"

"Entah, Paman. Ketika aku pergi, dia sedang bertanding dengan hebatnya melawan pemuda iblis yang juga memegang sebatang pedang yang bersinar kilat!"

"Hemmm, Sepasang Pedang Iblis....!" Suma Han berkata perlahan sambil mengerutkan alisnya.

Milana sudah mendengar dari Gak Bun Beng betapa sepasang pedang itu telah ditemukan Bun Beng. Li-mo-kiam, pedang betina, diberikan oleh Bun Beng kepada Kwi Hong sedangkan yang jantan, Lam-mo-kiam, terampas oleh Wan Keng In putera Majikan Pulau Neraka. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu karena kalau dia menyebut Bun Beng, tentu ayah kandungnya itu akan mengenal dan dengan demikian, rahasia ibunya terbongkar.

"Apakah benar dia itu keponakanmu, Paman?"

"Agaknya begitulah. Dan dia tentu terancam bahaya...." Suma Han menggeleng kepala. "Akan tetapi, dia keluar dari sebuah peti mati, katamu? Hemm.... kalau begitu dia bukan Kwi Hong."

Di dalam hatinya, Milana sekarang merasa yakin bahwa gadis yang meloncat keluar dari peti mati itu pasti Kwi Hong. Setelah diingatkan, kini dia dapat membayangkan wajah gadis itu dan dia merasa yakin bahwa gadis itu, juga gadis yang pernah dia "lasso" kakinya di atas genteng di rumah penginapan, tentu Giam Kwi Hong orangnya! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan, isi hatinya itu.

"Nona, kulanjutkan pertanyaanku yang tadi terganggu oleh persoalan Kwi Hong yang bengal. Aku hendak bertanya, siapakah namamu, Nona?"

Terkejut juga hati Milana mendengar pertanyaan ini. Ayahnya, ayah kandungnya sendiri, menanyakan namanya. Tidakkah amat ganjil ini? Ingin ia berteriak menyebutkan namanya, berteriak mengaku bahwa dia adalah puteri Si Pendekar itu sendiri, ingin ia menangis dan mencela ayahnya yang seolah-olah tidak mempedulikan anaknya! Akan tetapi Milana terpaksa harus menekan keinginan hatinya ini karena dia harus melindungi rahasia ibunya. Entah mengapa ibunya menyembunyikan diri di balik kerudungnya itu, dia sendiri tidak tahu. Entah mengapa ibunya tidak mau berbaik dengan ayahnya, tidak mau mengaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah ibunya, dia sendiri tidak tahu. Betapapun juga, dia harus membela ibunya, harus melindungi rahasianya.

"Paman, panggil saja aku.... Alan...."

"Hemmm, nama palsu, ya?"

Milana mengangguk. "Maaf, Paman. Aku tidak boleh memperkenalkan namaku kepadamu...."

"Aku mengerti. Ibumu selalu bersembunyi di balik kerudung, penuh rahasia, tentu anaknyapun penuh rahasia pula. Tidak mengapalah, Alan, aku akan menyebutmu Alan seperti yang kaukehendaki. Mari kita melanjutkan perjalanan ke kota raja."

"Kenapa tidak menunggang rajawali saja, tidak melelahkan dan lebih cepat?" Milana membantah karena memang amat menyenangkan hatinya menunggang rajawali itu, berboncengan dengan ayahnya.

"Tidak, Alan. Dari sini ke kota hanya perjalanan tiga empat hari saja dan melalui banyak dusun dan kota. Kalau kita menunggang rajawali, tentu akan menarik banyak perhatian orang."

"Dan burung itu sendiri bagaimana?"

"Dia sudah jinak dan dia akan mengikuti aku dari angkasa. Setiap kali kubutuhkan, kupanggil tentu dia datang."

"Sungguh menyenangkan sekali mempunyai binatang peliharaan seperti itu, Paman. Akan tetapi.... aku pernah mendengar bahwa binatang peliharaan Paman di Pulau Es bukan rajawali, melainkan garuda putih."

Suma Han menghela napas teringat akan dua ekor burung garudanya. "Mereka telah tewas di tangan orang-orang yang merampas Hok-mo-kiam. Burung rajawali ini pun dari Pulau Neraka, aku temukan dalam keadaan ketakutan karena Pulau Neraka dibakar. Aku dapat menundukkannya dan sekarang dia sudah jinak dan penurut."

Demikianlah, dua orang itu berjalan memasuki dusun sambil bercakap-cakap. Mereka kelihatan begitu rukun, sama sekali tidak pantas sebagai seorang yang ditawan dan penawannya, lebih patut sebagai keluarga. Namun, hanya Milana seorang yang tahu bahwa mereka adalah anak dan ayah, ayah kandung!

Dua hari kemudian, mereka telah tiba di tapal batas, kota raja hanya tinggal lima puluh li jauhnya, perjalanan setengah hari. Karena mereka datang dari arah utara, mereka melalui daerah yang agak tandus dan pada pagi hari itu, mereka beristirahat di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi, di luar sebuah dusun.

Suma Han mengeluarkan bungkusan roti kering yang tinggal dua potong dan sebuah guci terisi air yang diisi penuh dalam perjalanan tadi. Tanpa bicara dia menyerahkan sepotong roti kering kepada gadis itu, yang diterimanya tanpa berkata-kata pula, akan tetapi tidak segera dimakannya karena Milana kini duduk sambil memandang ayah kandungnya. Pendekar Sakti itu duduk bersandar dinding butut, kaki tunggalnya ditekuk bersila, tongkat melintang di atas pahanya, tangan kiri memegang roti kering sepotong. Melihat gadis itu tidak segera makan rotinya, dia berkata,

"Tinggal ini roti bekalku, akan tetapi perjalanan sudah dekat. Makanlah, Alan."

Namun dara itu tidak mau makan rotinya dan melihat betapa ayah kandungnya itu makan roti kering, kelihatan dipaksakan dan seret melalui kerongkongan, hatinya menjadi terharu sekali.

"Paman, kasihan sekali engkau, hanya makan roti kering tawar dan air! Aku pandai masak, Paman. Aku ingin memasakkan yang enak-enak untuk kau makan."

Suma Han menunda makannya, memandang dara itu dengan heran dan tersenyum. "Engkau aneh sekali. Di tempat sunyi seperti ini, andaikata pandai masak sekalipun, apa yang hendak dimasak? Bahannya tidak ada, bumbu-bumbunya pun tidak ada, yang ada hanya bahan bakar dan api!"

"Di selatan sana sudah tampak sebuah dusun, tentu ada yang menjual bahan dan bumbu. Kalau Paman percaya kepadaku, aku akan ke sana membeli bahan kemudian akan kumasakkan yang enak untuk Paman."

"Percaya? Tentu saja aku percaya kepadamu, Alan."

Wajah Milana berseri dan ia meloncat bangun. "Benarkah Paman percaya kepadaku? Terima kasih, Paman. Aku akan pergi dulu mencari bahan masakan!" Gadis itu membalikkan tubuh dan berlari keluar dari kuil tua.

"Heiii, Alan! Nanti dulu!"

Dara itu berhenti, menengok dan memandang dengan wajah kecewa. "Paman takut kalau aku melarikan diri?"

Suma Han tersenyum, menggeleng kepala dan mengeluarkan sebatang pedang dari buntalannya. "Aku percaya kepadamu, akan tetapi kaubawalah pedang ini untuk membela diri kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Milana. Ayah kandungnya, biarpun belum tahu bahwa dia adalah puterinya, sudah menaruh kepercayaan dan menaruh sayang kepadanya! Cepat ia berlari menghampiri pendekar itu menerima pedangdan menjura, "Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali, selain percaya bahwa aku tidak akan melarikan diri, juga engkau ingat akan keselamatanku." ia memandang pedang di tangannya, mencabut dari sarungnya dan berseru girang. "Ah, pedang pusaka yang indah! Pedang pusaka apakah ini, Paman?"

"Namanya Pek-kong-kiam, dahulu menjadi pegangan keponakanku. Akan tetapi sekarang dia tidak memerlukannya lagi. Pergilah, Alan, dan hati-hatilah."

Alan mengangguk, memasangkan pedang di pinggangnya kemudian berlari-lari kecil meninggalkan kuil itu, dipandang oleh Suma Han dengan bengong.

Setelah bayangan dara itu lenyap, dia menarik napas panjang. "Ahhh, Suma Han, apakah engkau benar-benar memiliki dasar watak yang kotor? Mengapa engkau seperti tergila-gila kepada dara itu?" Ingin pendekar sakti ini menempiling kepalanya sendiri. Ada sesuatu dalam diri dara itu yang amat menarik hatinya, seperti besi sembrani menarik besi! Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia merasa suka sekali, merasa ingin sekali berdekatan selalu, memandang wajah jelita itu, melihat senyum yang cerah dan mata yang lebar seperti matahari kembar itu. Seolah-oleh dia berhadapan dengan seorang yang sudah lama sekali dikenalnya, yang amat dekat dengan hatinya, seolah-olah ada perasaan yang memenuhi hatinya bahwa sudah semestinya dan sewajarnya kalau gadis itu selalu berada di dekatnya!

"Keparat!" Suma Han menepuk tanah di depannya. "Aihhh, Nirahai.... Lulu.... kalianlah yang membuat aku menjadi begini! Aku rindu kepada kalian, rindu akan kasih sayang wanita sehingga begitu bertemu dengan gadis ini aku seperti orang tergila-gila!" Ia mengeluh lalu duduk termenung. "Apakah yang harus kulakukan agar aku dapat berkumpul kembali dengan Nirahai? Dengan Lulu?" Nirahai adalah isterinya, yang ia cinta dan yakin bahwa isterinya itu pun mencintanya. Akan tetapi mengapa sikap Nirahai seaneh itu? Mengapa? Dan Lulu? Dia mencinta adik angkatnya itu, mencintanya dengan sepenuh hatinya, bukan cinta saudara, melainkan cinta seorang pria terhadap wanita yang pertama kali merebut kasihnya. Terkenang dia akan ucapan-ucapan Lulu ketika mereka bertemu di Pulau Neraka. "Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu!" Demikianlah kata Lulu yang masih menggores di hatinya. Tentu saja dia sukar untuk dapat menerima tuntutan Lulu yang selain menjadi adik angkatnya, juga sudah menikah dengan orang lain biarpun kini sudah menjadi janda, dan mengingat bahwa dia sudah menjadi suami Nirahai!

Karena penolakannya, Lulu memusuhinya, sesuai dengan sumpahnya! Akan tetapi, sekarang Pulau Neraka telah dibakar pemerintah, bagaimana nasib wanita yang menjadi cinta pertamanya itu? Bagaimana pula nasib Nirahai? Aihh, sikap Nirahai yang amat aneh, sama anehnya dengan sikap Lulu. Masih terngiang di telinganya suara isterinya itu penuh dengan kemarahan, "Kini aku tidak sudi menyembah-nyembah minta kaubawa! Dan hanya denganpaksaan sa ja engkau akan dapat membawaku ke Pulau Es. Dengan paksaan, kaudengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kaubiarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah, kejam dan canggung!"

Suma Han kembali menarik napas panjang menundukkan muka dan menyangga kepalanya dengan kedua tangan, seolah-olah kepalanya tiba-tiba menjadi amat berat begitu dia terkenang kepada Lulu dan Nirahai. Apa yang harus dia lakukan agar mereka berdua, wanita-wanita yang dicintanya itu dapat berada di sampingnya, menyegarkan rasa dahaga yang selama ini dia derita, menyembuhkan sakit rindu yang selama ini membuat hidupnya tanpa gairah, memenuhi sisa hidupnya dengan kebahagiaan sebagai penebus kesengsaraan yang sudah amat lama dirasakannya?

"Ahh, Lulu...., Nirahai....!" Suma Han merasa jantungnya seperti diremas-emas. Memang demikianlah manusia pada umumnya. Selama hidupnya, semenjak dia mulai mengerti, manusia telah kehilangan kebebasan dan kewajarannya. Mulailah datang kesengsaraan bersama dengan pengertian itu! Mulailah manusia dicengkeram dan dikurung dalam sangkar yang berupa pikiran, berupa gagasan yang dibentuk semenjak dia mengerti. Segala macam gerak dan langkah hidup ditentukan oleh gagasan, oleh pikiran yang bukan lain adalah Sang Aku yang penuh dengan loba, dengki, iri, takut, khawatir, yang kesemuanya timbul karena iba diri, sayang diri yang didorong rasa takut kehilangan kesenangan, kehilangan ketenteraman. Suma Han adalah seorang pendekar besar, pendekar sakti, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Namun semua itu hanyalah duniawi, lahiriah belaka. Karena itu ilmu kepandaiannya tidak akan dapat membebaskan dia daripada duka dan khawatir. Dia berduka mengenakan dua orang wanita yang dicintanya, dan dia khawatir kalau-kalau sisa hidupnya akan tetap merana seperti yang dirasakannya selama ini.

Dua orang wanita yang dia tahu amat mencintanya, akan tetapi yang karena keadaan tidak dapat hidup berdampingan dengannya. Karena keadaankah? Ataukah karena jalan pikiran antara mereka yang tidak cocok? Ataukah mereka berdua yang aneh, apakah dia sendiri yang tidak pandai menundukkan hati wanita? Akan tetapi semenjak masih setengah dewasa dahulu, Lulu selalu menurut akan semua kata-katanya! Mengapa sekarang berbeda? Ah, tentu saja berubah, pikirnya. Dahulu Lulu mentaati segala kata-katanya karena merasa sebagai adik angkatnya, sekarang.... wanita itu cintanya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Teringat akan Lulu, terbayanglah dia akan pertemuannya dengan Lulu di Pulau Neraka, teringat pula tentang Pulau Neraka yang telah dibumihanguskan, dan akan burung rajawali Pulau Neraka yang berhasil ia taklukkan dan jinakkan. Rajawali! Dia terkejut karena tidak melihat burung itu ketika ia tiba-tiba menengadah. Tadi masih tampak burung itu beterbangan di atas kuil, kadang-kadang menyambar turun di depan kuil. Akan tetapi sekarang tidak tampak.

Suma Han mencelat keluar mencari-cari burung itu dengan pandang matanya. Namun tetap saja tidak tampak bayangan burung itu. Suma Han menjadi curiga, lalu mengeluarkan suara melengking nyaring. Suara yang keluar dari dadanya, dengan pengerahan khi-kang sehingga suara panggilan itu bergema sampai jauh sekali. Setelah mengeluarkan suara melengking sampai tiga kali berturut-turut, Suma Han diam tak bergerak menanti jawaban. Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara burung itu, bukan sebagai jawaban panggilan, melainkan suara memekik kemarahan! Dia merasa heran sekali. Suara burung seperti itu hanya dikeluarkann kalau burung itu berhadapan dengan musuh atau terancam bahaya, atau sedang kesakitan!

Khawatir kalau burung itu terancam bahaya, Suma Han lalu mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya berloncatan cepat sekali seperti terbang. Dia tidak memasuki dusun di sebelah selatan kuil karena suara burung itu datangnya dari arah kiri dan kini sudah tampak olehnya dari jauh burungnya sedang bertempur melawan seekor burung lain! Burungnya terdesak karena burung rajawali lainnya yang menjadi lawan itu bertubuh lebih besar. Suma Han mempercepat loncatan-loncatannya mendaki sebuah anak bukit dan tiba-tiba ia berdiri dengan jantung berdebar tegang, matanya tidak lagi memandang ke arah burungnya yang sedang bertempur, melainkan ke bawah karena di situ terjadi pertandingan lain yang lebih menegangkan hatinya. Dia melihat Alan, gadis tawanannya, puteri Ketua Thian-liong-pang itu, sedang bertempur melawan seorang pemuda jangkung yang lebih lihai sekali, ditonton oleh beberapa orang yang mukanya beraneka warna. Anak buah Pulau Neraka! Alan mempergunakan Pek-kong-kiam, menyerang dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuh dara itu lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri yang bergulung-gulung dan berwarna putih. Akan tetapi, pemuda jangkung itu menghadapinya dengan kedua tangan kosong dan kelihatan bersilat seenaknya saja!

Dengan beberapa loncatan tinggi, tubuh Suma Han mencelat dan hinggap di atas atap sebuah podok tua yang berdiri tak jauh dari tempat pertandingan. Jantungnya makin berdegup tegang ketika melihat wajah pemuda tampan itu. Wajah itu mirip sekali dengan mendiang Wan Sin Kiat, suami Lulu! Melihat betapa di situ hadir enam orang yang mukanya berwarna merah muda dan hijau pupus, mudah saja bagi Suma Han untuk menduga, siapa adanya pemuda ini. Tentu inilah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka, putera Lulu dan mendiang Wan Sin Kiat! Bukan main hebatnya gerakan pemuda itu sehingga diam-diam Suma Han merasa kagum sekali. Akan tetapi, melihat senyum dan sinar mata pemuda itu, ada sesuatu yang membuat hati Suma Han kecewa, karena senyum dan sinar mata pemuda itu membayangkan hal yang mengerikan, watak yang aneh dan tak dapat dipercaya! Banyak sudah dia melihat senyum dan sinar mata seperti itu yang hanya dimiliki oleh datuk-datuk golongan sesat. Apalagi ketika mendengar suara pemuda itu ketika berkata mengejek kepada Alan, hatinya makin tidak enak lagi.

"Heh-heh-heh, Nona manis. Mengapa engkau masih nekat melawan aku? Bukankah sudah jelas bahwa engkau bukan lawanku? Dan sejak tadi aku tidak pernah menyerangmu, karena aku tidak ingin melukaimu, tidak ingin mengalahkanmu karena takut kalau engkau meraea tersinggung. Hal ini sudah membuktikan betapa mendalam cintaku kepadamu, Nona!"

"Iblis keji, siapa sudi kepadamu?"

Gadis itu membentak dan mengirim sebuah tusukan ke arah ulu hati pemuda itu. Suma Han yang berada di atas atap melihat betapa tusukan pedang itu hebat sekali dan diam-diam dia terkejut karena mengenal jurus itu berdasarkan Ilmu Pedang Sin-coa-kun (Ilmu Pedang Ular Sakti). Padahal Ilmu Pedang itu adalah sebuah di antara ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Sakti Suling Emas! Akan tetapi ia teringat bahwa ibu dara itu adalah Ketua Thian-liong-pang yang terkenal memiliki dan mengenal segala macam ilmu silat yang diambilnya dengan segala macam cara pula, kalau perlu dengan menculik tokoh-tokoh kang-ouw! Mungkin saja Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa itu berhasil pula mencuri dasar-dasar Sin-coa Kiam-hoat yang bersumber dari Sin-coa-kun.

Akan tetapi dengan kagum Suma Han melihat betapa pemuda itu berhasil mengelak dengan mudah, seolah-olah sudah mengenal jurus ini, kemudian menggunakan Ilmu Pukulan Toat-beng-bian-kun yang amat hebat! Suma Han mengerti bahwa Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas Pencabut Nyawa) merupakan ilmu pukulan yang sakti dan ampuh dari Lulu yang mendapatkan ilmu pukulan ini dari mendiang Nenek Maya yang sakti. Dia sudah siap untuk menyelamatkan gadis itu dari pukulan itu ketika dengan heran dia melihat bahwa pemuda itu bukan mempergunakan pukulan sakti yang semestinya ditujukan ke arah leher itu diselewengkan menjadi sebuah totokan ke arah pundak!

Akan tetapi, hampir Suma Han berseru kaget dan kagum melihat betapa nona itu dapat mengelak secara tepat sekali, yaitu dengan berjongkok dari bawah, kakinya menyambar merupakan sebuah tendangan yang dibarengi dengan sabetan pedang. Kakinya menendang ke arah pusar sedangkan pedangnya menyambar ke arah leher! Yang membuat Suma Han terheran adalah cara gadis itu mengelak dari jurus Toat-beng-bian-kun, demikian tepat dengan berjongkok seolah-olah gadis itu sudah mengenal pula jurus Toat-beng-bian-kun! Apakah Ketua Thian-liong-pang juga sudah berhasil mencuri ilmu peninggalan Nenek Maya itu? Sungguh tidak mungkin! Kalau sudah demikian jauh, tentu Ketua Thian-liong-pang merupakan seorang lawan yang luar biasa dan amat berat!

Setelah melihat dengan jelas bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang, apalagi setelah pemuda itu kini mengeluarkan ilmu dengan gerakan amat aneh, sambil tertawa-tawa mempermainkan dara itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus sebelum diterkamnya, Suma Han lalu melayang dari atas sambil berseru, "Tahan dulu....!"

Pada saat itu Wan Keng In telah berhasil mengempit pedang lawannya di bawah lengan kiri ketika dara itu menusuk dadanya, dan tangan kanannya bergerak menyambar untuk mencengkeram pundak Milana. Melihat ini, Suma Han sudah menggerakkan tongkatnya yang berubah menjadi sinar yang menyambar antara tangan Wan Keng In dan pundak Milana. Melihat sinar ini, Keng In cepat menarik kembali tangannya, dan terpaksa dia melepaskan kempitan pedang itu ketika ada sinar meluncur ke arah dadanya. Ia meloncat mundur dan tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha! Sudah kudengar suara lengkinganmu tadi! Bukankah engkau ini yang berjuluk Pendekar Siluman, bekas Majikan Pulau Es berkaki buntung yang sombong?" Pemuda itu berdiri dengan tegak, kedua tangan bertolak pinggang, pandang matanya yang tajam penuh kebencian, mulutnya tersenyum penuh ejekan.

Enam orang tokoh Pulau Neraka, dua wanita empat pria, menjadi terkejut sekali mendengar ucapan pemuda itu. Mereka berenam sudah menjadi pucat ketika menyaksikan munculnya Pendekar Siluman itu dan mereka sudah menunduk dengan hati tergetar dan jerih. Kini mendengar ucapan tuan muda mereka, benar-benar mereka menjadi kaget dan makin takut karena maklum bahwa siauw-tocu mereka telah mengucapkan penghinaan terhadap Pendekar Super Sakti itu!

Milana juga marah sekali. Yang dimaki buntung sombong adalah ayahnya! Maka dengan muka merah dia sudah menusukkan pedangnya ke arah perut pemuda itu sambil membentak, "Manusia iblis bermulut busuk!"

"Trangggg!" Milana meloncat mundur ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah tongkat Pendekar Super Sakti!

"Bersabarlah dan biarkan aku bicara dengan dia." Suma Han berkata halus ketika melihat dara itu memandangnya dengan mata terbelalak heran.

"Ha-ha-ha-ha, Nona yang cantik jelita! Apakah engkau tidak mengenal keparat ini? Dia adalah Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es musuh besar kami dan musuh besar Thian-liong-pang. Dia adalah musuh kita berdua, Nona! Mari kita berdua membunuh manusia busuk ini!"

Milana ingin berteriak kepada pemuda itu, mengatakan bahwa dia adalah puteri Pendekar Super Sakti, akan tetapi ditahannya karena dia harus melindungi rahasia ibunya, maka terpaksa dia hanya menelan kemarahannya dan tidak menjawab ucapan pemuda itu. Hanya diam-diam dia merasa tidak puas mengapa ayah kandungnya begitu sabar menghadapi pemuda yang demikian menjemukan dan yang telah berani menghina Pendekar Super Sakti.

Tentu saja Milana tidak tahu mengapa Suma Han bersikap demikian sabar terhadap Keng In. Wan Keng In adalah putera Lulu, jangankan mengingat akan ibunya, sedangkan mengingat akan ayahnya, Wan Sin Kiat yang pernah menjadi sahabat baik Suma Han saja, pendekar ini tentu bersikap sabar sekali dan banyak mengalah.

"Engkau tentu Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka, bukan?" Suma Han bertanya dengan suara halus mernandang wajah pemuda itu penuh perhatian dan penyelidikan. Wajah yang amat tampan, bentuk wajahnya seperti wajah Wan Sin Kiat. Mulut dan matanya seperti mulut dan mata Lulu, akan tetapi sungguh sayang sekali, karena persamaan itu hanya pada bentuknya saja, namun sifatnya jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikannya seperti bumi dengan langit. Senyum Lulu adalah senyum yang manis dan membuat dunia makin cerah, senyum yang menimbulkan rasa gembira di hati siapapun juga, membuat orang yang menyaksikan senyum itu ingin tersenyum pula. Sinar mata Lulu adalah sinar mata yang membayangkan kejujuran hati, kepolosan dan kelembutan hati yang wajar dan tidak dibuat-buat. Akan tetapi, senyum pemuda ini mendatangkan rasa ngeri, karena senyumnya biarpun menambah ketampanan wajahnya, mengandung sesuatu yang dingin mengerikan hati orang yang melihatnya. Adapun sinar mata pemuda itu amat tajam menusuk, seolah-olah menjenguk isi hati orang yang dipandangnya, akan tetapi mengandung sifat kejam dan penuh kebencian dan ketidakpercayaan, pandang mata orang yang sama sekali tidak mengenal cinta kasih antara manusia.

"Benar, dan aku pula yang pernah mengalahkan dan menghina muridmu dan keponakanmu! Aku pula yang telah lama menanti munculmu, yang telah menantangmu untuk mengadu nyawa. Kebetulan sekali sekarang kau muncul! Pendekar Siluman Suma Han, aku Wan Keng In pada saat ini menantangmu untuk bertanding mengadu nyawa kalau engkau berani!"

"Siauw-tocu....!" Seorang anak buahnya berseru kaget.

"Plakkk....!" Entah bagaimana digerakkannya, tahu-tahu tangan Keng In telah menampar dan tubuh anak buahnya itu terguling-guling sampai lima meter lebih, kemudian berhasil bangun dengan muka bengkak dan ada tanda lima buah jeri tangan di pipinya!

Mendengar ucapan dan menyaksikan sikap itu, Suma Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Ahh, mengapa Lulu yang berwatak demikian lembut dan menyenangkan, dapat mempunyai anak seperti ini? Wan Sin Kiat bekas sahabatnya dahulu, ayah dari anak ini pun seorang gagah perkasa. Mungkin lebih keras dan liar dibandingkan dengan Lulu, juga berjiwa petualang, akan tetapi tidak jahat apalagi keji.

"Wan Keng In, tahukah engkau, dengan siapa kau bicara?"

"Tentu saja! Dengan Suma Han, Pendekar Super Sakti, juga disebut Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang pandai ilmu sihir. Nah, boleh coba sihir aku, atau boleh kauserang aku dengan ilmu-ilmumu yang katanya setinggi langit itu!"

"Ah, anak muda.... tidak pernahkah ibumu bicara tentang aku....?

"Jangan sebut-sebut nama Ibuku!" tiba-tiba pemuda itu membentak marah sekali, lalu menudingkan telunjuknya ka arah hidung Suma Han sambil berkata dengan keras dan penuh kebencian, "Karena orang macam engkau inilah ibuku menderita sampai belasan tahun, hidup merana dan selalu berduka! Karena orang macam engkaulah maka ibuku sampai menjadi Ketua Pulau Neraka dan aku hidup di pulau itu sejak kecil! Dan karena ibulah maka sekarang aku menantangmu untuk bertanding mati-matian, Suma Han!

"Wan Keng In, tahukah engkau bahwa mendiang Ayahmu, Wan Sin Kiat, adalah seorang sahabat baikku, seperti saudaraku sendiri?"

"Tutup mulutmu yang palsu! Mendiang Ayahku mati karena engkau! Keparat!" Keng In menerjang dengan hebat, menggunakan pedang Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat dan membawa hawa yang mengerikan. Serangan itu dahsyat bukan main, dan hanya dengan menggunakan kelincahan Ilmu Soan-hong-lui-kun saja Suma Han berhasil menghindarkan diri dari sambaran sinar berkilat itu.

"Wan Keng In, Ibumu adalah adik angkatku!"

"Engkau membuat hidupnya sengsara! Kakak angkat macam apa engkau ini? Aku telah mengambil keputusan untuk memusuhimu, dan sekarang aku akan membunuhmu, bukan hanya karena Ibuku, akan tetapi juga karena engkau menghalagi aku membawa pergi Nona calon isteriku ini."

"Orang muda, engkau tersesat. Ibumu akan berduka sekali melihat engkau seperti ini...."

"Tak perlu banyak cakap lagi!" Wan Keng In sudah menerjang lagi dengan lebih hebat lagi karena dia sudah marah, serangannya dahsyat, apalagi kini dia mempergunakan Lam-mo-kiam.

Sinar pedang itu berkilat dan menyambar dengan suara bercuitan. Suma Han merasa berduka sekali melihat putera Lulu seperti itu, cepat ia menggerakkan tongkatnya dan menangkis dari samping agar tongkatnya tidak bertemu dengan mata pedang yang amat ampuh itu.

"Tranggg....!"

Keduanya terloncat mundur akibat benturan hebat antara pedang dan tongkat. Wan Keng In tidak merasa heran ketika merasa betapa lengannya tergetar karena dia sudah mendengar dan maklum bahwa Pendekar Super Sakti merupakan lawan yang amat tangguh dan memiliki tenaga sin-kang yang jarang terdapat tandingannya. Akan tetapi Suma Han terkejut dan kagum bukan main. Pemuda itu benar-benar amat hebat, dan dari benturan antara tongkat dan pedang tadi, dia dapat mengukur kekuatan pemuda itu yang jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan tenaga sin-kang yang dimiliki Lulu!

Biarpun maklum akan ketangguhan lawan, Wan Keng In tidak menjadi gentar, bahkan dia makin marah dan sudah menerjang dengan hebatnya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu pedang yang ia pelajari dari Cui-beng Koai-ong dan dari ibunya, mengerahkan seluruh tenaganya yang mujijat karena gurunya, datuk pertama dari Pulau Neraka telah menggemblengnya dengan latihan-latihan sin-kang yang tidak lumrah sehingga dia menguasai kekuatan sin-kang yang bercampur dengan ilmu hitam.

Begitu pemuda itu mainkan pedangnya, mengerahkan sin-kang menggunakan tangan kiri membantu pedangnya mendorong-dorong ke depan, nampak betapa tubuhnya diliputi kabut hitam dan dari dalam kabut itu mencuat sinar-sinar kilat pedangnya melancarkan serangan maut ke arah Suma Han secara bertubi-tubi.

Hati Pendekar Super Sakti merasa tidak karuan menghadapi serangan ini. Berbagai perasaan bercampur aduk. Dia merasa terharu karena menyaksikan putera Lulu sudah menjadi seorang pemuda dewasa, merasa kagum melihat ilmu silat pemuda ini yang benar-benar amat hebat, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Lulu, dan biarpun dasarnya tidak lebih hebat daripada dasar ilmu silat yang dimiliki Kwi Hong, namun pemuda ini tentu tidak dapat terlawan oleh Kwi Hong karena selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sin-kang yang mengeluarkan kabut hitam, juga cara bertempur pemuda ini nekat dan kejam, mengandung serangan-serangan ganas. Akan tetapi di samping rasa keharuan dan kekaguman ini, dia juga merasa berduka dan marah menyaksikan betapa keponakannya telah tersesat seperti itu.

Sampai puluhan jurus Suma Han menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menghindarkan diri, kadang-kadang mendorong pedang dari samping. Melihat betapa sambaran tangan kiri pemuda itu bahkan tidak kalah lihainya oleh pedang di tangan kanan, diam-diam Suma Han maklum bahwa hanya gerak kilatnya saja yang akan mampu menandingi ilmu pedang pemuda itu! Mengenai tenaga sin-kang, tentu saja dia masih menang beberapa tingkat. Kalau dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun, tentu dia akan dapat menggunakan ujung tongkatnya untuk merobohkan pemuda itu, juga dengan sin-kangnya, dia dapat mengadu tenaga dan menangkan pertandingan. Akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini, tidak tega melukai putera Lulu. Tadinya dia ingin menggunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi hal itu tentu akan membuat pemuda itu tidak tunduk kepadanya, tidak membuatnya dia kapok. Kalau dia ingin supaya pemuda itu menjadi jerih, dia harus menundukkannya dengan ilmu kepandaian.

"Wan Keng In, aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakanlah di mana Ibumu, aku ingin bicara dengannya!"

"Kau harus mati di tanganku, atau boleh kau membunuhku kalau mampu!" Pemuda itu berteriak dan memutar pedangnya dengan cepat, mengirim tusukan ke arah dada Suma Han disusul dorongan telapak tangan kiri dari bawah mengarah pusar.

"Trakkkk....! Plakkk....!"

Suma Han tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menerima pedang itu dari samping sedangkan tangan kanannya menyambut dorongan telapak tangan pemuda itu dengan telapak tangannya pula. Sepasang senjata dan dua buah tangannya itu saling bertemu dan melekat! Keng In terkejut bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa tongkat butut lawannya itu dapat menyambut pedangnya, sedangkan pukulan tangan kirinya mengandung hawa beracun yang amat ampuh, kini telapak tangannya juga disambut oleh telapak tangan Pendekar Siluman, melekat dan tak dapat ia tarik kembali seperti juga pedangnya yang melekat pada tongkat!

"Hemmm...., orang muda, kalau aku tidak mengingat Ibumu, tentu akan kucabut saja tunas buruk seperti engkau ini. Pergilah!" Suma Han yang mempergunakan tenaga sin-kangnya untuk mengatasi pemuda itu, mengerahkan tenaga sakti dan tubuh Wan Keng In terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang. Pemuda itu terhuyung akan tetapi tidak roboh, juga tidak terluka karena memang lawannya tidak ingin melukainya. Wajah yang tampan itu menjadi agak pucat. Wan Keng In seorang pemuda yang keras hati dan tidak mengenal takut, juga dia benci sekali kepada orang yang dianggapnya membikin sengsara ibunya itu. Akan tetapi dia bukan seorang bodoh dan dia maklum bahwa kalau dia berlaku nekat menyerang terus, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Pertandingan membuktikan bahwa belum tiba saatnya dia menentang Pendekar Super Sakti.

Dia harus menyempurnakan dulu ilmu kesaktian yang dia pelajari dari gurunya, Cui-beng Koai-ong. Setelah memandang ke arah Suma Han dengan mata mendelik beberapa menit lamanya, dia mendengus, membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari tempat itu, diikuti lima orang anak buahnya yang pergi tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan sama sekali tidak berani melirik ke arah Pendekar Siluman. Kekalahan tuan muda mereka tadi mereka terima dengan sewajarnya karena memang mereka maklum akan kesaktian pendekar kaki buntung itu.

Suma Han berdiri mengikuti pemuda itu dengan pandang matanya sampai akhirnya bayangan pemuda dan lima orang anak buahnya itu lenyap di balik anak bukit. Tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti bisikan namun cukup jelas, pemuda itu!

"Suma Han, ingat saja engkau! Kalau aku sudah selesai menamatkan ilmuku, kelak akan kucari engkau untuk kita bertanding lagi mati-matian! Biarpun kepandaianmu tinggi seperti siluman, engkau Si Kaki Buntung ini akhirnya tentu akan mampus di tanganku!"

Wajah Suma Han menjadi merah sekali, akan tetapi diam-diam ia makin kagum. Khi-kang yang disalurkan untuk mengeluarkan suara dari jarak jauh itu sudah cukup hebat! Diam-diam dia merasa berduka. Dia tidak akan peduli dan memusingkan kalau dia dimusuhi tokoh-tokoh sesat dari manapun juga dan betapa sakitnya pun. Akan tetapi, dimusuhi pemuda itu, putera Lulu, benar-benar merupakan hal yang membuatnya berduka dan cemas. Sementara itu, tiada habis rasa heran dari hatinya kalau mengingat betapa jujur, halus dan baik watak Lulu, sedangkan Wan Sin Kiat juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, mengapa putera mereka menjadi seorang pemuda iblis seperti itu?

Suma Han menarik napas panjang. Ahh, tidak keliru kiranya bahwa watak manusia dibentuk oleh keadaan sekitarnya. Anak itu semenjak kecil dibawa oleh ibunya ke Pulau Neraka dan tentu saja setiap hari anak itu melihat watak-watak penghuni Pulau Neraka yang terkenal ganas, liar kejam dan palsu. Dan agaknya Lulu sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai Ketua Pulau Neraka, atau mungkin sekali terlalu memanjakan putera tunggalnya itu, sehingga pembentukan watak anak itu sepenuhnya dikuasai oleh keadaan sekelilingnya!

Kembali Suma Han menarik napas panjang. Betapa akan hancur hati Lulu kalau menyaksikan sepak terjang puteranya. Dia tahu bahwa Lulu sendiri mempunyai perasaan hati yang aneh terhadapnya. Bisa mencinta sehingga ingin menjadi isterinya, akan tetapi juga bisa membenci sehingga ingin pula memusuhinya kalau tidak dapat menjadi isterinya. Akan tetapi andaikata menjadi musuhnya, wanita itu tentulah seorang musuh yang gagah perkasa dan jujur dan watak Lulu tak mungkin berubah biarpun sudah menjadi Ketua Pulau Neraka.

"Paman, mengapa Paman berduka?" Tiba-tiba terdengar suara halus di sampingnya.

Suma Han seperti baru sadar dari mimpinya. Dia menoleh dan memaksa bibirnya tersenyum ketika melihat Alan sudah berdiri di situ dan memandangnya dengan sinar matanya yang lembut. Melihat wajah cantik dan sinar mata lembut penuh kasih ini hati Suma Han menjadi makin sakit dan duka. Dara jelita lni adalah puteri ketua Thian-liong-pang, seorang wanita iblis berkerudung yang terkenal jahat dan kejam. Seorang wanita seperti iblis itu dapat mempunyai puteri sebaik ini, mengapa sebaliknya seeang wanita seperti Lulu mempunyai seorang putera sejahat itu?

"Paman, mengapa Paman kelihatan berduka?" Kembali Milana bertanya. Tadi ketika melihat ayahnya bertanding melawan pemuda itu, dia menonton dengan penuh kagum, akan tetapi juga kecewa karena ayahnya membebaskan pemuda itu begitu saja tanpa melukainya sedikitpun. Kemudian ia melihat ayahnya berdiri termenung seperti arca, dengan wajah yang tampan itu sebentar merah sebentar pucat, berkali-kali menghela napas panjang sambil memandang ke depan, ke arah perginya Wan Keng In dan anak buahnya tadi.

"Ohh, tidak apa-apa, Alan. Hanya.... eh, di mana rajawali kita?"

"Dia terbang dikejar oleh rajawali besar tadi, Paman. Dua ekor burung tadi bertanding, dan rajawali peliharaan Paman terdesak dan luka-luka. Mereke bertanding sambil terbang tinggi sehingga aku tidak dapat membantu."

"Hemm, biarlah. Burung itu memang berasal dari Pulau Neraka, agaknya kini ditundukkan kembali oleh bekas majikannya. Alan, bagaimana engkau tadi dapat bertemu dan bertanding dengan dia?"

"Aku sedang menuju ke dusun untuk mencari bahan masakan ketika aku bertemu dengan rombongan Pulau Neraka itu keluar dari dusun. Karena aku tahu betapa jahatnya mereka, aku lalu melarikan diri akan tetapi mereka mengejar dan aku tersusul di sini. Tentu saja aku melawan sedapatku, akan tetapi dia lihai sekali. Paman, mengapa Paman tadi membiarkan dia pergi? Orang seperti itu seperti seekor ular yang beracun dan jahat, kalau tidak dibasmi, tentu kelak hanya akan mencelakai orang lain saja."

Suma Han menarik napas panjang. "Aku tak mungkin dapat membunuhnya, Alan. Engkau tidak tahu.... ahhh...." Wajah pendekar itu kelihatan berduka sekali.

Melihat ini, Milana merasa kasihan kepada ayah kandungnya. Tentu ada sesuatu antara ayah kandungnya dengan Pulau Neraka, ada rahasia yang besar yang membuat ayahnya itu bersikap lunak terhadap Wan Keng In.

"Aku tidak berhasil memasakkan sesuatu untukmu, Paman. Maafkan...."

"Tidak mengapa, Alan. Aku tadi sudah makan roti kering, cukup kenyang. Marilah kita melanjutkan perjalanan. Kota raja tidak jauh lagi, di sana tentu banyak rumah makan besar dan kita dapat makan sepuasnya."

Milana tidak membantah dan berangkatlah mereka berdua menuju ke selatan, ke kota raja. Sebentar saja mereka sudah melalui jalan raya menuju kota raja yang ramai dan tampak banyak penunggang kuda atau kereta-kereta berkuda yang datang dari beberapa jurusan menuju ke kota raja, ada pula yang bersimpang jalan, yaitu mereka yang baru saja meninggalkan kota raja.

Sudah belasan tahun Suma Han tidak pernah muncul di kota raja. Biarpun di dunia kang-ouw nama Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es merupakan nama yang paling menonjol dan amat terkenal, namun jarang ada orang pernah melihat Pendekar Super Sakti, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw sebagian besar belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Apalagi penduduk kota raja! Maka kini Suma Han dengan enak dapat memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang, baik oleh penduduk maupun oleh para perajurit penjaga. Di kota raja, yang sudah lama ditinggalkannya itu, tentu hanya beberapa gelintir orang saja yang pernah bertemu dengannya dan mereka itu adalah orang-orang berkedudukan tinggi seperti Thian Tok Lama, Koksu dan lain-lain yang tentu berada di dalam gedung masing-masing dan tidak pernah berkeliaran di dalam kota.

Milana sendiri tidak asing di kota raja. Sudah sering dia keluar masuk kota raja, akan tetapi dia pun tidak dikenal orang sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang. Oleh karena itu, dia pun memasuki pintu gerbang kota raja di samping Suma Han dengan hati tenteram dan tidak khawatir dikenal orang. Apalagi semenjak dia melakukan perjalanan di samping ayah kandungnya, terutama setelah ayahnya itu menyelamatkan dengan mudah dari tangan Wan Keng In, hati Milana menjadi tenang dan penuh kepercayaan bahwa selama ia berada di samping ayahnya, tidak ada seorang pun yang akan dapat mengganggunya! Wajahnya berseri gembira ketika dia memasuki kota raja dengan ayahnya, penuh kebanggaan karena kiranya tidak banyak orang yang dapat berdampingan dengan Pendekar Super Sakti! Dia bukan hanya berdampingan, bahkan dia adalah puterinya, puteri kandungnya biarpun hal ini masih terpaksa harus dia rahasiakan dari pendekar itu sendiri.

Memang tidak aneh melihat seorang berkaki buntung di waktu itu. Banyak terdapat orang-orang yang menderita cacad akibat perang penyerbuan bala tentara Mancu yang baru saja padam. Seperti halnya perang di bagian mana pun di permukaan bumi ini, semenjak jaman sebelum sejarah sampai sekarang, perang mendatangkan malapetaka yang amat mengenaskan hati. Setelah perang selesai, setelah hati tidak lagi dikuasai oleh nafsu angkara murka, barulah tampak oleh mata kita akan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perang, akibat yang mendirikan bulu roma bagi orang yang masih memiliki sedikit saja cinta kasih dan perikemanusiaan. Setelah perang padam, tampak bangunan-bangunan bekas terbakar, kuburan-kuburan penuh makam baru, anak-anak yatim piatu, janda-janda muda terjerumus ke dalam lembah pelacuran, penderita-penderita cacad yang buntung lengannya, buntung kakinya, luka-luka tubuhnya dan ada pula yang terluka jiwanya menjadi gila, gelandangan-gelandangan karena kehilangan keluarga, kehilangan rumah, kehilangan mata pencarian, dan dari kaum gelandangan ini timbul pengemis-pengemis, pencuri-pencuri, atau ada yang menggabungkan dari dengan perampok-perampok. Malapetaka ini yang tampak oleh mata, masih banyak malapetaka lain yang tidak tampak, namun lebih mengerikan lagi, yaitu akibat perang berupa dendam sakit hati dan iri yang mebjadi bahan penciptaan perang baru!

Tidak ada untungnya, lahir maupun batin, dalam sebuah perang. Keuntungan yang tampak hanyalah keuntungan palsu yang di jadikan hiburan manusia untuk menyelimuti kengerian akibat perang. Pemerintah Mancu yang berhasil merebut tahta kerajaan dan kepemimpinan, mengatakan bahwa mereka mendatangkan kemakmuran bagi rakyat dan telah berhasil menumbangkan kekuasaan pemerintah lama yang penuh kelaliman. Namun, semua itu hampa belaka, karena sungguh tdak mungkin MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DENGAN PEPERANGAN! Bangsa Mancu menggunakan berbagai alasan hiburan untuk perjuangan mereka, yaitu memberantas kelaliman para pemimpin dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat. Akan tetapi, setelah perang berakhir, yang berubah dan berbeda hanyalah sifat dan caranya belaka, namun kelaliman tetap ada, kemakmuran rakyat tetap hanya merupakan janji-janji yang diulur-ulur panjang belaka.

Hal seperti ini akan terus berlangsung selama manusia belum sadar akan perang yang terjadi di dalam diri manusia masing-masing sendiri. Selama segala tindak, segala gerak, segala usaha merupakan akibat langsung dari akal pikir yang paling suka memusatkan segala kepada AKU, diriku, keluargaku, milikku, bangsaku, negaraku, agamaku, dan selanjutnya. Selama AKU menguasai setiap orang manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa segala peristiwa, termasuk perang, merupakan gerakan demi kepentingan Sang AKU. Betapapun banyak selimut yang dipergunakan untuk menyembunyikan dasar "demi aku" ini, yang disebut dengan banyak kata-kata indah seperti perjuangan, kepahlawanan, demi nusa bangsa dan lain-lain, namun sungguh sayang sekali, di dasar dari segala itu bersembunyilah Sang Aku yang sebenarnya menjadi pendorong dari semua gerak hidup. Dan selama AKU bercokol menjadi dasar yang mendorong semua gerak hidup, maka yang timbul hanyalah pertentangan dan persoalan yang mendatangkan kepuasan di satu pihak, kekecewaan di lain pihak, suka duka, iri dengki, dendam dan sebagainya. Setiap tampak akibat yang tidak baik, seluruh manusia sibuk mencarikan kambing hitam agar diri sendiri tetap bersih! Semua manusia lupa bahwa segala macam kemunafikan dan maksiat bukan berada di luar, melainkan berada di dalam diri manusia sendiri! Semua manusia menujukan pandang mata keluar tanpa mengingat untuk menujukan ke dalam biar semenit pun! Bahagialah dia yang menujukan pandang mata ke dalam, menjenguk dan mengenal diri pribadi dengan segala macam isinya, mengenal pikiran sendiri yang membedal ke mana-mana dengan liarnya, tak terkendalikan!

Suma Han dan Milana berjalan seenaknya sambil menikmati pemandangan di kota raja. Pemerintah Mancu telah membangun gedung-gedung besar yang megah dan indah di sepanjang jalan di kota raja sehingga kota raja nampak indah dan megah sekali, melebihi masa yang lalu. Kemajuankah ini? Demikianlah kalau ditonton begitu saja, ditonton keadaan kota rajanya dengan bangunan-bangunan baru yang besar dan indah. Akan tetapi, adakah kemajuan dapat diukur dari keadaan bangunannya, bukan dari keadaan manusianya? Kalau diketahui siapa pemilik gedung-gedung itu, maka akan ditemuilah jawab dari segala sebab timbulnya perang yang semenjak jaman dahulu selalu timbul. Gedung-gedung itu tentu saja dimiliki oleh penguasa yang menang perang! Hanya berganti bangunan baru dan penghuni, dari mereka yang dikalahkan kepada mereka yang menang. Rakyat hanya dapat menonton dan dari menoton ini diharapkan ucapan mereka "kita telah mengalami kemajuan-kemajuan!"

Biarpun banyak terdapat orang berkaki buntung sungguhpun tidak pernah ada yang mengurai rambut seperti Suma Han, apalagi kalau rambutnya yang panjang itu sudah putih semua, dan banyak terdapat gadis-gadis muda yang biasa merantau sebagai gadis-gadis kang-ouw, namun tetap saja Suma Han dan Milana menarik perhatian orang. Laki-laki berkaki buntung itu wajahnya tampan dan belum tua benar, namun rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang sutera perak sedangkan sinar matanya membuat orang-orang yang bertemu pandang, menundukkan muka atau mengalihkan pandang mata dengan tengkuk dingin mengkirik. Adapun dara remaja yang berjalan dl samping laki-laki berkaki buntung ini, dengan wajah berseri tersenyam-senyum, memiliki kecantikan yang luar biasa!

Suma Han melihat betapa banyak orang memandang ke arah mereka penuh perhatian, maka dia lalu mengajak dara itu tintuk memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan menyambut mereka, mata pelayan itu tidak memandang kepada Suma Han yang tidak menarik baginya, melainkan memandang kepada Milana yang benar-benar merupakan pemandangan yang amat menggairahkan hatinya!

"Beri kami dua buah kamar yang berdampingan," kata Suma Han. Pelayan itu terkejut karena tadinya dia merasa seolah-olah terbang di sorga ke tujuh dan berjumpa dengan seorang bidadari Sorga! Ketika ia menoleh dan bertemu pandang dengan Suma Han, dia terkejut sekali, punggungnya seperti disiram air dingin dan dia cepat membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka mengikutinya untuk memilih dua buah kamar yang berdampingan.

Setelah menaruh barang bekal di kamar masing-masing dan makanan siang yang dipesannya dari pelayan dan dihidangkan ke ruangan depan kamar mereka, Suma Han dan Milana duduk di dalam kamar Suma Han, bercakap-cakap.

"Kapankah Paman akan mulai menyelidik dan mencari musuh-musuh Paman?"

"Aku harus berhati-hati, Alan. Musuh-musuhku itu adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dan tentu berada di dalam istana-istana yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal. Menyelidiki di siang hari tidaklah mungkin, bahkan di malam hari pun amat berbahaya karena biarpun pasukan yang baru tidak mengenalku, namun para perwira dan panglima tentu akan mengenalku begitu bertemu denganku. Sesungguhnya, mencari mereka di kota raja amat tidak leluasa bagiku, akan tetapi apa boleh buat, malam nanti aku harus menyelidiki ke lingkungan istana, atau ke rumah Koksu karena di sanalah berkumpulnya musuh-musuhku yang menjadi pembantu Koksu."

"Kalau bertemu dengan mereka, apa yang hendak Paman lakukan?" Tiba-tiba Milana bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, Suma Han termenung dan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku.... aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah merusak Pulau Es dan Pulau Neraka. Selama ini kami tidak pernah menentang pemerintah, mengapa kini mereka menyerbu dan merusak Pulau Es? Selain itu, karena Maharya dan Tan-siucai juga membantu Koksu, tentu mereka berada di sini dan aku hendak minta kembali pedang Hok-mo-kiam yang mereka rampas." Suma Han tidak mau menceritakan niatnya yang lain, yaitu menyelidik dan mencari Nirahai yang disangkanya tentu kembali ke kota raja!

"Paman, di antara musuh-musuhmu itu, siapakah yang paling lihai?"

"Hemm, hal ini agak sukar untuk ditentukan karena hanya beberapa orang di antara mereka yang pernah bertanding melawanku, yaitu Thian-tok Lama, Pendeta Maharya, dan mungkin beberapa orang panglima yang tertua. Dengan Koksu sendiri, aku belum pernah bertanding dan kabarnya dia amat lihai. Akan tetapi, kurasa dia tidaklah selihai Pendeta Maharya. Pendeta dari barat itu benar-benar merupakan lawan yang tangguh, selain lihai sekali ilmu silatnya, juga dia seorang yang memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat."

"Akan tetapi, aku yakin Paman tentu akan dapat mengalahkan mereka!" kata Milana dengan suara tegas dan pandang mata penuh kekaguman ditujukan kepada wajah ayahnya. Melihat pandang mata gadis ini, Suma Han merasa jantungnya berdebar!

"Aku dapat menandingi mereka satu lawan satu, akan tetapi kalau mereka mengeroyok, apalagi dibantu pasukan-pasukan pengawal yang kuat, belum tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi, kedatanganku bukan untuk menantang mereka bertanding, hanya untuk minta kembali pedang dan minta penjelasan dan pertanggungan jawab mereka mengapa Pulau Es dan Pulau Neraka diserbu pasukan pemerintah."

"Mereka tentu akan mengeroyok dan menangkapmu, Paman!"

"Hemm, kalau memang demikian, apa boleh buat, terpaksa aku melawan."

Hati Milana merasa tidak enak sekali. Dia percaya bahwa ayahnya amat sakti, akan tetapi dia tahu bahwa tepat seperti pengakuan ayahnya sendiri, kalau banyak orang sakti maju mengeroyok ditambah pasukan-pasukan pengawal kerajaan, mana mungkin ayahnya yang hanya seorang diri itu kuat bertahan? Baru menyelidiki ke sana saja sudah amat tidak leluasa bagi ayahnya! Berbeda dengan dia! Ibunya adalah bekas puteri Kaisar dan bekas pahlawan yang berkedudukan tinggi, bahkan kini Koksu sendiri sudah tahu, ibunya adalah ketua ketua Thian-liong-pang dan kini Thian-liong-pang bekerja sama dengan Koksu, membantu pemerintah menentang dan membasmi mereka yang hendak memberontak! Kalau dia yang menyelidiki, kalau dia yang pergi kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, minta kebijaksanaan Koksu itu untuk membujuk pembantunya, Maharya mengembalikan Hok-mo-kiam, minta kepada Koksu agar jangan mengeroyok dan menentang Pendekar Super Sakti, tentu harapannya lebih besar. Koksu sudah mengenalnya, juga para pembantunya sudah tahu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang yang kini merupakan sekutu mereka!

"Alan, malam ini aku akan pergi menyelidik. Harap engkau menantiku di sini saja dan jangan kau pergi ke mana-mana. Keadaan di kota raja berbahaya, di sini banyak terdapat orang pandai."

"Apakah Paman tidak mengajakku pergi menyelidiki?"

"Ah, aku hanya akan membawamu ke dalam bahaya, Alan. Dan pula, apa perlunya? Tidak, kautunggu saja di sini, aku pasti akan kembali sebelum pagi."

Milana menunduk. "Baiklah, Paman. Akan tetapi sore ini aku ingin sekali pergi berjalan-jalan melihat pemandangan kota."

"Sesukamulah, akan tetapi harap kau berhati-hati. Engkau masih muda dan cantik jelita, akan banyak menghadapi godaan."

"Aku dapat menjaga diri, Paman. Eh, benarkah pendapat Paman bahwa aku.... cantik?" tanyanya dengan hati girang sekali. Ayahnya sendiri yang memujinya, bagaimana hatinya tidak akan merasa bangga dan senang?

"Engkau adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, Alan."

"Terima kasih atas pujianmu, Paman. Nah, aku akan pergi berjalan-jalan. Harap Paman nanti berhati-hati kalau pergi menyelidiki."

Suma Han mengangguk. "Biarpun aku percaya bahwa dengan kepandaianmu, tidak sembarang orang akan dapat mengganggumu, akan tetapi harap engkau suka bersabar dan jangan menimbulkan keributan, juga jangan terlalu malam kembali ke sini."

Milana mengangguk-angguk dan hatinya terharu. Pendekar itu menasehatinya seperti kepada anaknya sendiri! Padahal dalam pengertian pendekar itu, dia adalah seorang tawanan bahkan puteri musuhnya! Dengan hati senang bercampur haru, Milana pergi meninggalkan rumah penginapan. Tentu saja dia bukan berniat untuk berjalan-jalan, melainkan hendak menjumpai Bhong Ji Kun, Koksu negara yang dia ketahui pula di mana letak gedungnya. Akan tetapi, agar tidak menarik perhatian orang luar, dia pergi berjalan-jalan lebih dahulu dan setelah malam tiba, keadaan cuaca mulai gelap, barulah dia menuju ke gedung Koksu yang megah.

Sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang tentu saja Milana merasa rendah kalau harus datang menghadap Koksu seperti orang biasa. Apalagi kalau ia datang menghadap seperti itu, tentu dia akan berhadapan dengan para penjaga dan diperlakukan seperti orang biasa. Tidak! Dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu saja dia harus bersikap sesuai dengan kedudukan ibunya yang tinggi dan lihai. Dengan kepandaiannya, tidaklah sukar bagi Milana untuk berloncatan ke atas genteng, melalui pagar tembok gedung Koksu dengan gerakan seperti terbang cepatnya sehingga tidak tampak oleh para penjaga dan peronda, kemudian dengan hati-hati dia menyelinap antara bayangan gelap, mencari di mana adanya Koksu pada saat itu.

Masih untung bagi Milana bahwa pada saat itu, para pembantu Koksu yang lihai semua sedang berkumpul di satu tempat, yaitu di ruangan dalam tempat mereka sedang berunding, duduk mengelilingi sebuah meja besar di ruangan itu menghadapi koksu. Andaikata orang-orang lihai seperti Thian Tok Lama, Maharya, para panglima besar seperti Bhe Ti Kong dan lain-lain berada di kamar masing-masing, juga koksu sendiri, maka besar sekali kemungkinan kedatangan Milana akan mereka ketahui semenjak tadi!

Milana berhasil mengintai dari luar jendela ruangan perundingan itu dan dia melihat Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dihadap oleh Thian Tok Lama, Maharya, dan enam orang panglima yang berpakaian gagah. Dia merasa heran tidak melihat kehadiran Thai Li Lama dan Tansiucai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kedua orang lihai ini telah tewas di tangan Gak Bun Beng ketika mereka dahulu bersembunyi dan mengintai pertandingan di gurun tandus yang diadakan oleh Thian-liong-pang.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Milana mendengar ucapan itu. Jantungnya berdebar keras sehingga ia khawatir kalau-kalau suara detak jantungnya akan terdengar oleh mereka yang sedang mengadakan perundingan di sebelah dalam, maka dia menekan dada dengan tangan dan menekan perasaannya, memasang perhatian untuk mendengar terus.

"Akan tetapi dia adalah puteri Kaisar!" terdengar Thian Tok Lama berseru kaget.

"Kalau dia berhasil terbunuh dengan memakai kerudung sebagai Ketua Thian-liong-pang yang kita buatkan bukti-bukti memberontak, andaikata kemudian Kaisar sendiri mendengar bahwa dia puterinya, kiranya Kaisar tidak akan menyalahkan kita. Bahkan akan menutup rahasia itu, karena Kaisar tentu tidak ingin tersiar di luaran bahwa puterinya menjadi ketua Thian-liong-pang yang memberontak!" kata Koksu lagi.

"Memang tepat apa yang dikatakan Koksu," terdengar suara Maharya yang kaku. "Kalau Thian-liong-pang tidak dihancurkan lebih dulu, akan merupakan kekuatan sebagai pembela kaisar dan untuk menghancurkannya, jalan satu-satunya adalah membunuh Ketuanya. Memang dia lihai, akan tetapi menurut penglihatanku, aku sendiri dapat menandinginya, dan kalau aku dibantu okh Thian Tok Lama, aku yakin dia akan dapat dibunuh. Pihak Mongol sudah siap, tinggal menanti isyarat dari kita, kalau sampai terhalang oleh utusan Thian-liong-pang, tentu akan tertunda lagi dan mereka akan patah semangat dan mundur."

"Pihak Tibet juga sudah siap, tinggal menanti komando," kata Thian Tok Lama.

"Nah, kalau begitu, kita harus...." Tiba-tiba Koksu menghentikan kata-katanya karena melihat tubuh Maharya sudah bergerak meloncat ke jendela sambil menyambar senjatanya yang mengerikan, yaitu tombak yang matanya melengkung seperti bulan sabit.

"Braaakkk!" jendela itu hancur berkeping-keping dan terbuka, tubuh Maharya melesat keluar.

"Trang-trang-trang....!" Senjata di tangan Maharya itu ditangkis sampai tiga kali oleh pedang Pek-kong-kiam di tangan Milana.

"Eh, engkau.... Nona....?" Maharya terkejut sekali ketika mengenal bahwa orang yang diserangnya adalah puteri Ketua Thian-liong-pang! Dan pada saat itu, Koksu, Thian Tok Lama dan panglima yang tadi berada di dalam ruangan telah meloncat keluar semua.

Keringat dingin membasahi dahi Milana. Serangan Maharya tadi benar-benar hebat luar biasa. Selain pendeta itu dapat mengetahui kehadirannya di luar jendela, juga begitu meloncat dan menerjang keluar, senjata di tangan pendeta itu telah menyerangnya bertubi-tubi sehingga dia harus cepat-cepat mengelak dan menangkis. Tangan kanannya terasa tergetar hebat ketika dia menangkis senjata tombak bulan sabit di tangan pendeta Maharya tadi.

Kalau saja dia tidak mendengarkan percakapan tadi, tentu Milana tidak menjadi gentar menghadapi mereka yang tentu saja dianggapnya sekutu ibunya.

Akan tetapi sekarang, dia memandang mereka sebagai musuh-musuh yang hendak membunuh ibunya! Tentu saja dia menjadi marah bukan main, kemarahan yang disertai kekhawatiran akan nasib ibunya, lupa akan keadaan dirinya sendiri yang sudah terkurung dan sedang terancam hebat itu.

"Ah, kiranya Nona Milana yang datang. Ada keperluan apakah Nona datang berkunjung ke rumahku?" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bertanya, matanya memandang tajam untuk menyelidiki apakah nona ini tadi mendengar percakapan mereka atau tidak.

Milana bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa dia berada di guha singa yang amat berbahaya. Kalau dia melampiaskan kemarahannya di saat itu, sehingga dia harus bertanding melawan mereka, tentu dia akan celaka. Maka dia memaksa sebuah senyum manis sambil berkata,

"Koksu, aku datang untuk bicara mengenai urusan penting denganmu."

"Ahhh, maafkan penyambutan kami tadi, Nona, karena kami tidak tahu bahwa engkau yang datang. Mari, silakan masuk."

Pintu ruangan itu dibuka lebar dan mereka semua memasuki ruangan. Milana dipersilakan duduk oleh Koksu yang masih ramah sikapnya. "Silakan duduk, Nona Milana dan terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak."

"Terima kasih, tidak usah, Koksu. Aku datang hanya untuk bicara sebentar dan takkan lama di sini," jawab Milana, akan tetapi dia duduk juga melihat semua orang sudah duduk.

"Apakah Nona datang seorang diri? Ataukah dengan Pangcu?" Koksu bertanya, diam-diam mengerling ke arah jendela yang sudah pecah dan terbuka karena ia khawatir kalau-kalau nona ini datang bersama ibunya yang luar biasa lihainya itu.

"Aku datang sendiri untuk.... untuk...." Milana menjadi bingung sekali. Setelah mendengar percakapan tadi dan mendapat kenyataan bahwa mereka semua ini adalah musuh-musuh yang merencanakan pembunuhan terhadap ibunya, lenyap sama sekali keinginannya untuk membujuk Koksu agar menyerahkan Pedang Hok-mo-kiam kepada Pendekar Super Sakti dan agar tidak menentang ayahnya itu. Mana mungkin mereka mau memenuhi permintaannya setelah ternyata bahwa mereka ini bukanlah sahabat melainkan musuh yang berbahaya? Maka ketika hendak menyatakan isi hatinya, dia menjadi ragu-ragu dan gugup.

Tiba-tiba terdengar Maharya membentak. "Engkau tentu sudah sejak tadi datang, bukan? Mengakulah dengan jujur!" Ucapan ini bukan sembarangan, melainkan suara yang disertai sin-kang kuat sekali dan membawa pengaruh sihir yang seolah-olah mencengkeram semua semangat dan kemauan Milana, membuat dara itu tidak berdaya dan di luar kehendaknya sendiri, mulutnya mengeluarkan suara hatinya.

"Memang aku sudah semenjak tadi datang." Milana terkejut sekali mendengar pengakuannya sendiri yang keluar dari hati yang jujur.

"Dan engkau sudah mendengarkan percakapan kami? Hayo, jawab setulusnya!" Kembali Maharya menghardik dengan suara yang bergema aneh dan penuh wibawa.

Milana kini sudah memandang wajah kakek itu dan pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mendelik dan amat tajam. Dia maklum bahwa dia terpengaruh oleh kekuasaan sihir kakek itu, namun betapapun dia mengerahkan sin-kang melawan, tetap saja dia tidak dapat menahan mulutnya yang menjawab, "Benar, aku sudah mendengarkan percakapan kalian."

Koksu mengeluarkan seruan kaget dan kembali terdengar suara Maharya, "Apakah engkau tahu apa yang kami percakapkan? Jawab dan jelaskan!"

Milana kini sudah hampir dapat mengatasi dirinya. Sin-kangnya sudah kuat sehingga dia mampu melawan pengaruh mujijat itu, dan selain ini, dara ini mewarisi sinar mata tajam dari ayahnya sehingga pada dasarnya dia memiliki sinar mata yang amat kuat. Akan tetapi dia belum lolos sama sekali dari cengkeraman kekuasaan sihir Maharya, maka biarpun suaranya sudah lemah tanda bahwa dia hampir dapat menguasai diri dan melawan tenaga mujijat yang mendorongnya untuk mengaku, masih saja terdengar pengakuannya.

"Aku.... aku tahu.... kalian.... hendak membunuh Ibuku.... aihhhh!" Kini Milana sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia meloncat ke belakang sambil mencabut Pedang Pek-kong-kiam yang tadi sudah dia sarungkan kembali. Maklumlah dia bahwa dia sudah terlanjur membuat pengakuan dan maklum bahwa tentu mereka itu tidak akan membiarkan dia pergi menyampaikan rahasia itu kepada Ibunya. Benar dugaannya, karena Koksu sudah berseru,

"Dia harus kita tangkap!" Semua orang bergerak dan bayangan mereka berkelebatan cepat sekali, tahu-tahu Milana telah terkurung dan berada di tengah-tengah. Maharya berada di depannya, Koksu dan Thian Tok Lama di kanan kirinya, sedangkan enam orang panglima berada di belakangnya! Milana berdiri dengan tegak, pedangnya melintang depan dada, tangan kiri terangkat keatas kepala, siap untuk menghadapi serangan mereka. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan menggetar, matanya melirik ke depan, kanan dan kiri, dagunya ditarik keras dan mukanya agak menunduk, kedua kakinya berdiri dengan tumit diangkat sedikit karena dia maklum bahwa menghadapi orang-orang lihai ini dia membutuhkan kecepatan gerak dan gin-kangnya. Sampai agak lama, mereka semua diam tak bergerak seperti arca-arca batu, suasana menjadi amat tegang.

Tiba-tiba Maharya berkata dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Koksu. Koksu ini adalah seorang peranakan India yang sudah menjadi Warga Negara Mancu, akan tetapi karena sejak kecil dia tinggal di Nepal, maka dia tidak mengerti bahasa India dan lebih paham bahasa Nepal. Karena itulah maka Maharya bicara bahasa Nepal kepada murid keponakan itu, "Dia tahu akan rahasia kita, harus kita bunuh sekarang, lebih cepat lebih baik!"

 

Selagi Milana hendak memperlihatkan diri dan menyatakan kedatangannya, tiba-tiba ia mendengar suara Koksu menyebut-yebut nama ibunya! Tentu saja dia cepat menahan diri bahkan menahan napas agar dapat mendengarkan lebih jelas percakapan antara mereka.

"Puteri Nirahai telah menjadi ketua Thian-liong-pang dan telah membantu kita membasmi para pemberontak. Akan tetapi, Kaisar belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah puterinya! Hanya menerima pelaporan bahwa Thian-liong-pang membantu pemerintah. Munculnya Nirahai benar-benar membikin ruwet rencana kita, agaknya dia ingin berbaik kembali dengan Kaisar. Dia lihai sekali dan dapat menggagalkan rencana kita yang sudah hampir masak. Tidak ada jalan lain lagi, dia harus disingkirkan, harus dibunuh!"

Akan tetapi, dalam bahasa Nepal pula yang tak dimengerti oleh Milana dan orang lain kecuali Thian Tok Lama, Koksu berkata, "Jangan dibunuh, dia harus ditangkap untuk memancing dan memaksa ibunya menakluk!"

Menggunakan kesempatan selagi dua orang itu bicara dan yang lain memperhatikan percakapan dalam bahasa asing itu, tiba-tiba Milana meloncat dan memutar pedang Pek-kong-kiam melindungi tubuh dari serangan di bawah kaki sedangkan tubuhnya melayang ke arah jendela untuk melarikan diri.

"Tranggg....!" Tiba-tiba Maharya sudah berkelebat dan mendahului Milana menghadang di depan lubang jendela sehingga ketika Milana menerjang, pendeta itu menangkis dengan senjatanya dan hampir saja Milana melepaskan pedangnya saking kerasnya tangkisan itu yang membuat tangannya tergetar hebat.

Yang lain-lain sudah mengejar dan mengepung, namun Milana sudah memutar pedangnya dan mengamuk dengan hebat. Dia seorang dara yang tak mengenal takut, percaya akan kepandaian sendiri dan dia mengambil keputusan untuk melawan sampai titik darah terakhir. Ia maklum bahwa orang-orang ini adalah musuh-musuh yang tak akan membiarkan ia hidup, maka hanya ada satu jalan baginya, yaitu melawan mati-matian dengan dua kemungkinan, tewas di tangan mereka atau berhasil lolos untuk menyelamatkan ibunya yang terancam bahaya maut!

"Wuuut-wuuuttt....!" Milana terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali untuk meloloskan diri dari sinar merah yang menyambarnya dari samping dan menyilaukan matanya.

"Tar-tar!" Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit berwarna merah yang berada di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum mengejek di depannya.

"Pemberontak hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah.

"Selain hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku! Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di tanganku!" Sambil berkata demikian Milana sudah menerjang maju dengan cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu yang memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut merahnya.

"Singggg....! Tarrr.... brettt!"

"Hayaaaa....!" Bhong Ji Kun berseru kaget. Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis sembarangan saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus. Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek dari Pendekar Sakti Suling Emas (baca cerita Cinta Bernoda Darah dan cerita Suling Emas)! Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena dimainkan oleh seorang dara remaja!

Suara bercuit dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan pedangnya menangkis.

"Tranggg!" Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja terlepas dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke kiri, pedangnya bergerak dan terdengar suara nyaring dua kali ketika ia berhasil membuat dua batang golok patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!

"Ihhh, keparat!" Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok dari belakang, mengarah punggung Milana. Dara itu meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok Lama yang telah berjongkok dan mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.

"Siuuuuutttt!" Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan main. Dia berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan terpaksa dia mengerahkan sin-kang ke arah dada dan perutnya untuk menahan serangan itu.

"Dessss!" Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun. Napasnya sesak, mukanya pucat dan dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di tangan Maharya kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana tentu saja Milana yang tentu tidak membolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan pedangnya menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.

"Gadis berkepala batu!" Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah di tengkuk Milana.

"Haiiiitttt!" Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan pedang menyambar dibiarkannya lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan tetapi tidak berhasil.

"Brett.... auhhhh!" Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha kirinya tampak dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang sedikitnya mewarisi watak keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jerih, bahkan tangannya kanan kiri bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah tiga orang kakek dan empat orang panglima.

"Awas jarum!" teriak Maharya. Untung dia berseru keras sehingga empat orang panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu, jauh lebih rendah tingkat kepandaiannya, dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Koksu, Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar mereka. Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh perlahan dan roboh miring. Pahanya yang kiri terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biarpun tidak amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sin-kangnya tak dapat ia kerahkan.

"Iblis-iblis tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!" Tiba-tiba terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu melalui jendela yang tadi pecah oleh Maharya. Sukar diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah berdiri di situ, berkata halus kepada Milana.

"Bangkitlah dan duduk di punggungku!" Milana girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun, menahan rasa nyeri di paha, perut dan dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya yang panjang di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengannya di atas kedua pundak. Semua gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki, sedikit pun tidak bergoyang dan pandang matanya ditujukan kepada Maharya.

"Hemmm, kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!" katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Akan tetapi hanya kemajuan lahiriah dan duniawi yang kauperoleh, sedangkan batinmu makin mundur dan makin mendekati jurang kehancuran!"

"Pendekar Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kaukira aku takut kepadamu?" jawab Maharya.

Koksu yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan tiga kali untuk memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah suara hiruk pikuk di luar ruangan itu dan puluhan orang pengawal telah mengurung tempat itu dengan ketat, siap utuk melakukan penyerbuan dan pengeroyokan!

"Hemmm, sungguh Koksu negara sekarang ini amat gagah perkasa!" Suma Han mengejek.

Im-kan Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang. "Pendekar Siluman, engkau datang seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau adalah To-cu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau mencampuri urusan kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"

"Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang, sedikitpun tidak kelihatan gentar biarpun menghadapi pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.

"Heh, Pendekar Siluman! Engkau mencariku mau apa?" Maharya membentak, agaknya marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.

"Maharya, perlukah engkau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"

Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu tentulah tidak mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.

"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi tahu kehilangan pedang itu.

"Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula Suma Han.

Bhong Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"

"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya melainkan akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu, dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"

"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah seorang, manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andaikata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."

"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"

"Ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu dan jendela ruangan itu.

"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya. Dia bukan seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin dia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang perajurit pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara para perajurit itu, maka dia mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.

"Jangan harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan senjata di tangan. Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma Han, dan biarpun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam dongeng saja, kini melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu, mereka memandang rendah. Apalagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.

"Rrrrtttttt!!" Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.

"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu berseru memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah membantu kami menangkap pemberontak!"

Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hahya karena seruan Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang membuat mereka pingsan saja.

Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya. Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya daripada senjata tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biarpun mereka mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jerih karena maklum betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang. Maharya berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biarpun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh, namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah! Juga sepasang kakinya "ada kemajuan" seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat daripada emas yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biarpun kakinya beralaskan kelom kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun!

Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh Milana!

Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu, memandang dengan sinar mata aneh dan.... empat orang itu menghentikan serangan mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!

Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar! Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.

Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu! Para panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat, mereka mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar, dan lima orang di antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat sin-kangnya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat bangkit lagi dan pingsan!

"Mundur....!" Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.

Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.

"Dessss!" Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat tenaga dan pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.

"Singggg....!" Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang, mengarah leher Suma Han.

"Awas....!" Milana berseru kaget. Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak orang pandai itu.

"Trangggg!"

"Jangan khawatir, Alan....!" Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang tangguh adalah Maharya, ke dua adalah Koksu inilah.

"Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"

"Awas pukulah Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya biarpun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.

Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara "kok-kok" seperti suara katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han. Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam bergulung-gulung!

Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah dada kanan kiri dan pusar!

Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke depan dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.

Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat. Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap hitam ke dua dan ke tiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat.

Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri, "dipaksa" kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!

Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!

Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapapun cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya. Milana sampai memejamkar mata saking ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!

Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari belakang, kanan atau kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi. Kalau sampai ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan.... ibunya akan celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biarpun dia sendiri tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan untuk memancing kedatangan ibunya? Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya, biarpun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andaikata tidak berhasil sekalipun, yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja.

"Paman.... beritahukan kepada Ibu.... mereka tadi.... berunding untuk membunuh Ibu...." Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran. Tadi pun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?

"Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.

"Tidak.... engkau saja pergi, Paman...." Milana berbisik pula.

Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!

"Trangggg!" Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang diinjaknya terbuka!

Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah!

"Alan....!" Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biarpun lantai itu terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.

"Alan....!" Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak, berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan! Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.

"Hebat bukan main dia....!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.

"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?" Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-kiam.

"Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!" Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih.... aihh! Mengapa aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"

Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran. Hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberitahukan kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"

"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."

Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam kamarnya.

"Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!" Semua yang mendengarkan mengangguk-angguk. "Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biarpun puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai." Kemudian para pendengarnya mengangguk Setelah mendengar pelaporan panglima rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!

Betapapun tinggi dan mahirnya tingkat gin-kang Milana, namun dengan perut dan dada terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha kirinya robek kulitnya, kiranya dia akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jika tidak cepat-cepat Suma Han bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!

Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil membebaskan diri untuk memberitahukan ibunya. Siapa kira, ayahya itu malah menyusulnya ke bawah!

"Aihhhh.... mengapa engkau berada di sini....?" Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.

"Hemm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu hitam.

Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian memberitahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman malah menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, tidak membebaskan diri yang kuyakin dapat Paman lakukan setelah tidak menggendongku?"

Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik dan cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera diobati."

"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman.... eh, maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu...." Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang "bukan apa-apa" dengan dia! "Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"

"Alan yang baik dan bodoh! Biarpun menggendongmu, apa kaukira aku akan begitu mudah mereka robohkan? Tidak, aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Akan tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."

Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, sehingga terusirlah kekecewaannya. Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia anaknya!

"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit....!"

"Hemm, kulit dan daging terobek kaubilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok Lama. Bagian mana yang terkena?"

"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."

"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat yang terpukul untuk menentukan sampai betapa hebat lukanya. Cukup kaubuka sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."

Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biarpun dia terluka parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini, andaikata pendekar ini bukan ayahnya sendiri sekalipun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu. Apalagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.

Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal wataknya!

"Ini.... apakah ini....?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.

Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!

"Itu hanya mata kalung, Paman."

"Mata kalung ini.... burung Hong berbulu hijau.... eh.... aku.... aku pernah melihatnya.... di dada seorang.... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda ini?"

Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini, menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!

"Ini....? Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"

Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti dada gadis ini!

"Ohhh.... maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri. "Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."

Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu luka itu diberi obat bubuk berwama merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!

"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."

"Jangan menyesalkan hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."

Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali.

Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini? Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah?

"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai kalung ini, Paman?"

Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung, "Hemmm...."

Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.

"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia sendiri menjadi kaget.

Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini! Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es. Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!

"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu tergantung di leher.... isteriku."

"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es adalah seorang yang tidak beristeri."

"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."

"Di manakah dia sekarang, Paman?"

"Entah di mana...."

"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana memancing.

Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan aku! Ohh!"

Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri, menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.

"Paman.... jangan.... jangan bersedih...."

Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!

"Kau.... kau menangis?"

Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan keharuan yang membayang di wajahnya karena biarpun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang matanya basah!

"Aku kasihan sekali kepadamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik hati? Mengapa dia begitu kejam?"

"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku.... ah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."

"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu kepadaku."

"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana, meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi To-cu di sana. Dan.... begitulah.... agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh...."

Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya? Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana pun suaminya pergi!

"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"

"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia.... dia telah mempunyai seorang anak perempuan, dia anakku.... anak kami.... dia telah mengandung ketika pergi meninggalkan aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali.

Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu, segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.

"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara ibunya?"

Benar saja, pertanyaan ini membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!

"Engkau sudah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."

Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.

"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"

"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."

"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi To-cu Pulau Neraka yang kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula puteranya memusuhimu dan kulihat dia amat membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi To-cu Pulau Neraka, juga membencimu?"

Suma Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di dunia ini membenciku...."

"Mengapa, Paman?"

"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan segala canggung...."

Milana memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"

Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata setelah gadis itu melepaskan pegangan tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya.

"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi, Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena dia pun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai.... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."

Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan terharu dan penasaran.

"Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai itu, bukan?"

"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."

"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh itu?"

Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan mendesak.

"Bukan cinta kakak angkat?"

"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang ke dua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."

"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."

"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang demikianlah halnya."

"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga menempel lantai.

"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa yang lebih kucinta, sungguhpun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda kami.... heii, ada apakah, Alan?"

Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.

"Ada suara tertawa di bawah lantai!"

Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia telah memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sin-kangnya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat ini!"

Milana bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini, Paman. Kalau tidak percaya, kaudengarlah sendiri!"

Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan.... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!

"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai ini," katanya.

Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena begitupun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!

"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.

"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan siapa teman itu?"

"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkerik di sini. Hayo kita cari dia!"

Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang sibuk mencari jangkerik! Seperti dua orang anak kecil saja!

"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.

"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa menggalinya?"

"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"

"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.

"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan jangkerik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"

"Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja kadang-kadanng kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk kita!"

"Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita, seperti setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di dalam perut?"

"Ihhh! Suhu jorok sekali!"

"Kenapa jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok? Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang ini, masa jangkerik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"

"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkerik itu mungkin kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.

"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"

"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkerik itu mengerik di dalam lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu."

Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau keponakannya itu menyebut "suhu" kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mujijat! Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekalipun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong?

Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu.

***

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In. Kemudian guru dan murid ini menuju ke kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa harus mentaati kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan melalui padang pasir di utara untuk mencari racun kelabang untuk keperluan Kwi Hong sendiri dalam menerima gemblengan ilmu mujijat yang tinggi dari kakek sinting itu.

Mereka tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan tidak ada seorang pun manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong merasa heran bagaimana gurunya dapat menemukan tempat seperti ini. Kadang-kadang mereka melalui hutan yang penuh pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian di pegunungan itu yang gundul tidak ada pohonnya sama sekali, bahkan rumput pun tidak dapat tumbuh di situ seolah-olah tanahnya mengandung racun yang membunuh semua tanaman. Ada pula bagian yang penuh pasir, akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya tinggal batangnya yang besar setinggi tiga empat meter, tanpa daun sehelai pun dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin mencari kelabang!

Kakek itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati itu, memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Di sinilah.... hemmm sudah tercium bau mereka dan tampak bekas mereka...."

Kwi Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau amis yang aneh olehnya.

"Awas udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sin-kang!" kakek itu berkata sambil tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu yang suka berkelakar, Kwi Hong memandang rendah dan bernapas seperti biasa.

"Suhu.... celaka....!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual seperti diaduk dari dalam.

"Wah, bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur pernapasanmu." Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu menempelkan telapak tangan kirinya di punggung, membantu gadis itu mengusir keluar hawa beracun dari dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong mengeluarkan hawa dari perut melalui mulut dan akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.

"Tempat ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan racun kelabang!" kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu berhati-hati sekali, bernapas dengan teratur dan mempergunakan hawa murni dan sin-kangnya.

"Suhu, apa yang berkilauan itu?"

Tiba-tiba Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang sebesar kepalan tangan.

"Hemm, itu batu biasa."

"Ah, tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu mulia."

"Kau tidak percaya? Coba pegang baru kau tahu!"

Kwi Hong, membungkuk, dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba ia berteriak dan melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa panas dan perih. Batu mengadung racun yang luar biasa!

"Ha-ha-ha! Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan tetapi sebetulnya mengandung racun yang berhahaya. Biarpun sih-kangmu sudah kuat, kalau tanganmu terkena racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yanng tepat, lambat laun akan membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit kusta!"

"Kalau sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong menuntut.

"Heh-heh-heh, kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"

"Suhu membiarkan aku keracunan? Mana ada guru seperti ini?"

"Ha-ha-ha! Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun begitu saja, kalau ada aku apa artinya? Biar racun yang seratus kali lebih hebat, selama aku masih menjadi gurumu, engkau tidak akan celaka."

Bu-tek Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya, menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang telapaknya berubah hitam.

Dalam waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu pulih seperti biasa.

"Batu ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin memilikinya.

"Ha-ha-ha! Batu macam ini saja apa artinya? Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu, tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"

Kwi Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memikiki ilmu yang dapat membuat dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang tinggi agar kelak ia dapat menandingi Wan Keng In, pemuda yang amat dibencinya itu!

"Mari kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"

"Hushh! Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang kucari adalah kelabang bunting!"

Kwi Hong menghela napas menyabarkan hatinya. "Baiklah, kelabang bertelur, kelabang bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita menemukannya."

"Tidak begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat sebelum malam tiba!"

"Baik, Suhu." Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.

"Awas, jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua, darahnya sudah kurang manis!"

Di dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena maklum bahwa kecerewetan gurunya itu biarpun dilebih-lebihkan menurut wataknya yang sinting, bukan tidak ada artinya, maka dia hanya mengangguk dan mengingat baik-baik pesan itu lalu meleset pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis itu telah kembali kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan betina yang gemuk-gemuk!

"Eh. kenapa dua ekor?"

"Yang seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"

"Ha-ha-ha-ha, kau pintar sekali!" Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan akan tetapi kakek sinting itu tidak peduli, mencabuti terus sambil berkata,

"Eh, kenapa bengong saja? Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."

Kwi Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya, mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping ayam hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging ayam, kemudian bersama gurunya makan daging panggang sambil menanti datangnya malam gelap.

"Menurut perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja. Setelah ayam itu diseret, barulah kita mengikuti karena para pemenang itu terus akan membawa ayam ini kepada kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu kelabang jantan yang terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"

"Menurut penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."

"Memang, di waktu terjadi perkawinan. Akan tetapi setelah bunting, tidak ada lagi kelabang jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan hadiah-hadiah adalah calon-calon pengantin-pengantin dan calon bangkai karena pada waktu perkawinan mereka pun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"

Kwi Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin, membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri kalau mengingat bahwa dia harus makan perut kelabang yang demikian menyeramkan, yang amat beracun, sedangkan air liurnya saja sudah demikian hebatnya!

Malam tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus. "Setelah bulan purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita padamkan. Betapapun lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu takut melihat cahaya api. Kalau sekarang api kita padamkan, mereka akan bermunculan dan tak hanya ayam dan isi perut ayam yang mereka serang, akan tetapi juga mereka akan menyerang kita."

"Ihhhh....!" Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"

"Apa sukarnya? Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu mengejar."

"Sekarang kita bisa meloncat ke sana, Suhu."

"Dasar bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti ke mana mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"

Sekarang mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu diganyang habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan agaknya dia masih belum puas karena terdengar suara keletak-keletuk bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam pecah-pecah karena gigitannya, untuk diisap sungsumnya!

"Suhu, bulan sudah muncul. Lihat!" Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang ke arah timur, berteriak sambil menudingkan telunjuknya.

"Biarkan dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab guruya yang masih enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam.

Akhirnya bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu. Bu-tek Siauw-jin lalu melemparkan ayam gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di samping isi perut ayam yang dipanggang tadi, kemudian memadamkan api dan mengajak muridnya meloncat ke atas dua batang pohon mati yang berdampingan. Dengan tergesa-gesa karena ngeri, Kwi Hong mendahului gurunya meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas puncak batang pohon mati seperti seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat ke atas dan hinggap di pohon ke dua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dan tempat itu jelas kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena cahaya bulan dengan lembutnya menyinari seluruh tempat itu.

Kurang lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua pekan bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat betapa gurunya itu duduk melenggut di atas puncak batang pohon, tidur-tidur ayam kekenyangan daging ayam. Beberapa kali tubuh kakek itu mendoyong ke sana-sini kelihatannya seperti akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum terguling dan melenggut lagi. Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang setengah mati karena tegang, gurunya enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar dengkurnya perlahan.

Tiba-tiba Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan mendadak terdengar suara gurunya, "Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan hawa beracun. Mereka sudah datang!"

Kwi Hong cepat mengerahkan sin-kang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru dengan hawa murni, matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara. Dilihatnya ayam yang diikat itu masih bergerak-gerak, menggerakkan leher dan berusaha melepaskan diri. Bau makin keras dan dari sebelah kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan, bergerak-gerak mendekat. Kelihatan panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah tampak olehnya bahwa yang datang adalah barisan kelabang yang besar-besar dan panjang-panjang! Karena binatang-binatang itu merayap beriringan dari jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan kelihatan seperti sebuah benda atau ular yang panjang. Tidak kurang dari lima belas ekor kelabang yang kulitnya merah mengkikap, panjangnya masing-masing antara dua puluh sampai tiga puluh senti meter! Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari sepuluh senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa seperti itu!

Barisan kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong. Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan ekor kelabang itu seperti terbang cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar, lalu tak bersuara lagi. Barulah Kwi Hong berani membuka matanya. Ayam itu telah mati, akan tetapi kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling gigit dan saling terjang dengan hebat. Mereka memperebutkan bangkai ayam seperti yang telah dituturkan oleh gurunya! Kwi Hong melirik ke arah gurunya dan melihat kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan menggosok-gosok kedua tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-gerak dan mengeluarkan air liur seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi Hong bergidik! Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor ayam panggang, hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat kelabang-kelabang gemuk, sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia sinting, atau bukan golongan manusia! Betapapun juga, harus dia akui bahwa gurunya amat baik kepadanya, dan ilmu-ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat!

Saking ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati. Empat ekor yang lebih besar dan agaknya luka-luka tidak mempedulikan luka mereka dan dengan lahap mereka kini merasa puas dengan isi perut ayam. Karena isi perut itu cukup banyak terutama ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu memperoleh bagian yang cukup dan dari atas mereka tampak seperti ulat-ulat sutera sedang lahap makan daun murbei!

Kwi Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar sebagai pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan dia benar-bedar tercengang akan kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher ayam, kelabang itu mampu membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat menuju ke sebuah di antara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah lubang di bawah pohon dan lenyap!

"Bagus! Tempatnya di bawah pohon itu! Mari....!" Bu-tek Siauw-jin tertawa girang dan meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun, begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah menahan jerit dan meloncat lagi melihat benda melintang di bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!

"Siapkan pedangmu!" Bu-tek Siauw-jin berbisik. "Aku akan mencabut pohon itu dan kalau engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan ragu-ragu, kaubacok putus bagian kepala dan ekornya, kemudian bagian tengahnya cepat kaumasukkan ke dalam botol ini dan tutup rapat." Kakek itu menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Karena hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan manusia, biar musuhnya amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan merasa gentar seujung rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang yang menggelikan dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang tumbuh di tubuhnya berdiri tegak! Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya, dipersiapkan di tangan kanan yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan pernapasan tetap teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya memenuhi tempat itu. Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri pohon besar di mana kelabang raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap.

Bu-tek Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesat tubuh manusia itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya tiga setengah meter itu. Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu patah-patah dan terjebol berikut tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah dilemparkan jauh oleh kakek sinting.

Hampir Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan kelihatan marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini seperti hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini melihat bahwa kelabang ini besar sekali, perutnya menggembung dan warna kulitnya sama seperti Kelabang-kelabang yang tadi, merah darah akan tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar mengkikap. Sekilas pandang ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas jebolan pohon dan di samping bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar yang tadi membawa bangkai, sudah mati pula. Agaknya Sang "Ratu" kelabang yang bunting ini benar-benar amat ganas. Disanjung dan dirayu oleh kelabang besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah dibalas dengan membunuhnya!

"Kelabang celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali pedangnya berkelebat.

"Cres! Cress!" Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan keras. Andaikata bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia akan kecelik kalau tidak mengerahkan sin-kang, karena kulit kelabang itu ternyata amat tebal. Akan tetapi Li-mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya menggila, maka dua kali sabetan itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat kepala dan dekat ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang itu menggeliat-geliat hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk mengambilnya.

"Bodoh, lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak. Kwi Hong menabahkan hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat itu. Hampir saja dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli dan jijik, seperti memegang ular saja. Akan tetapi karena botol di tangan kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan bagian tubuh yang menggeliat-geliat itu ke dalam botol, menutupkannya rapat-rapat kemudian hendak mengambil kembali pedangnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah ketika tangan kanannya mengambil tubuh kelabang.

"Aihhh....!" Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa seluruh tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!

"Itulah racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!" Gurunya menyerahkan batu hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu menerima batu hijau dan menggenggamnya. Sebentar saja warna tangannya putih kembali, racun yang amat jahat itu disedot habis oleh batu hijau.

"Kau simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaaruhi kulitmu. Akan tetapi kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting, tubuhmu lebih kebal dari racun, lebih hebat daripada batu hijau itu!"

Kakek ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di dalam lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat dibayangkan betapa jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat ekor kelabang besar yang tadi dengan lahap makan isi perut ayam, kini masih melingkar di tempat tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis bersih, dan anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah mati tadi pun lenyap tak tampak bekasnya sama sekali.

"Ha-ha-ha, heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak (pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya sendiri masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar! Engkau makan kelabang bunting, aku mengganyang lima ekor kelabang gembul!" Sambil berkata demikian, kakek sinting itu menggunakan kedua tangannya menangkap empat ekor kelabang itu yang sama sekali tidak melawan atau meronta karena memang sudah tak dapat bergerak saking kenyangnya! Dia mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang terbesar yang mati di dalam lubang betina. Empat kali telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor kelabang itu mati dengan kepala pecah.

"Sebetulnya, daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap, hemmm.... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok saja. Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya sedap dan banyak vitamin! Heh-heh-heh!"

Kwi Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan berkata, "Suhu, aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini...." Dia meletakkan botol terisi kelabang bunting itu ke depan suhunya.

"Eh-eh, bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu yang membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sin-kang yang tiada tandingannya di dunia? Pula, apa kaukira daging kelabang tidak enak?"

"Aku jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"

"Wah-wah, picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging kelabang?"

"Selama hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup "bersih"!

"Itulah tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan menjijikkan? He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru manusia-manusia yang berwatak munafik itu!"

"Hemm, urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak munafik?" Kwi Hong terheran.

"Tentu saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri, sudah mengambil keputusan mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai ada yang mati-matian bersumpah bahwa dia mati-matian membenci dan memusuhi segala setan dan iblis!"

"Tentu saja, Suhu!"

Kakek sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri dan membanting-banting kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah siap menangis! "Apa? Engkau....? Muridku....? Engkau pun ikut-ikutan latah dan munafik? Jadi engkau pun membenci dan memusuhi setan dan iblis? Coba katakan, kenapa kau membenci mereka?"

"Hemm.... karena mereka jahat, karena musuh manusia!"

"Ngawur! Apakah setan dan iblis itu ada? Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan iblis?"

Melihat suhunya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar juga. Dia menggeleng kepala dan menjawab "Tidak pernah ada, Suhu."

"Kau tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka itu ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan membenci mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka jahat dan musuhmu? Eh, bocah tolol. Coba jawab lagi, pernahkah engkau diganggu setan atau iblis? Dicubit? Dipukul? Dimaki atau ditipu? Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau diperlakukan jahat oleh setan atau iblis? Kalau pernah, kapan dan di mana, dan bagaimana? Ceritakan!"

Kwi Hohg melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu, dia tidak dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum pernah bertemu, bagaimana mungkin dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya setan iblis masih merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab dengan kenyataan. Kembali dia menggeleng kepala, "Belum pernah, Suhu!"

"Nah, itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut mengikuti ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret oleh kebiasaan umum yang belum tentu benar. Karena umum biasanya makan daging ayam, maka enak saja engkau makan daging ayam. Karena umum tidak biasa makan daging kelabang, biarpun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja kau bilang tidak enak dan menjijikkan. Munafik!"

Kwi Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biarpun ucapan gurunya kasar dan seenak perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah. "Maaflah, Suhu. Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?" Suaranya halus dan penuh penyesalan itu sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!

"Heh-heh-heh, engkau mau tahu rasanya? Pernahkah engkau makan daging udang?"

"Pernah, bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur pulau terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan tangan dan sering kali anak buah kami menangkap udang-udang besar itu."

"Pernah kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"

"Belum pernah. Bagaimana, Suhu?"

"Wah, kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apalagi udang besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal sampai tidak kelihatan kulitnya, kemudian dipanggang dan dibiarkan sampai tanah liat itu menjadi kering sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya udangnya sudah matang. Kalau sudah tampak uap keluar dari bungkusan tanah yang retak-retak, panggang udang itu boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas dan kulit udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas beruap dan sedap baunya. Rasanya? Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi lunak, sedap manis.... hemm!"

Kwi Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur) mendengar penuturan itu.

"Nah, daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena kalau dipanggang, racunnya banyak yang hilang. Direbus juga enak, coba saja nanti."

Berkuranglah rasa jijik di hati Kwi Hong, Apalagi setelah dia mencari air sungai yang terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya menceritakan kelezatan daging kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang, kepiting, belalang, jangkerik, dan lain binatang yang kulitnya keras.

Kesibukan memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi Hong mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu, sungguhpun sinar bulan banyak membantunya. Akan tetapi, akhirnya masakan-masakan itu selesai di waktu pagi.

"Nah, kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek Siauw-jin. Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging panggang, dan lagi mana ada cuci mulut sebelum makan? Akan tetapi dia tidak membantah dan bersama suhunya, dia mengupas tanah liat yang sudah kering. Benar saja kulit kelabang itu ikut terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih kemerahan dan mengepulkan uap tipis yang sedap. Melihat suhunya makan daging itu dengan lahapnya, Kwi Hong lalu menggigit daging yang dipegangnya dan benar-benar gurunya tidak membohong. Rasanya enak sekali, gurih dan enak manis, seperti daging udang!

"Jangan dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kaumakan daging rebus."

Kwi Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di mana daging kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak dan menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah itu bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau yang amis dan keras.

"Makan dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan khawatir apa pun yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang kaumakan ini bukan hanya daging yang lezat, akan tetapi terutama sekali obat untuk menyempurnakan latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."

Kwi Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai menggigit dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda dengan ketika makan daging kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang direbus kelihatan putih dan besar, juga agak kehitaman di sebelah dalamnya, hitam kehijauan dia tahu adalah racun kelabang yang amat jahat! Rasanya memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Memang ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama sekali oleh bau amis dan keras bahkan bau arak itu pun tidak dapat melenyapkan bau amis. Rasanya memang gurih, akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada rasa keras yang membuat lidah terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah dan menelan. Hanya sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak terlalu besar, lalu ditelannya!

Dia terus memejamkan mata dan biarpun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati karena ini, pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama hawa panas makin hebat sehingga terasa gerah sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah dia merasa tubuhnya dipanggang. Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang berhati keras dan nekat. Dia terus makan sampai akhirnya daging kelabang bunting habis ditelannya.

Kepalanya pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian telapak tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari telapak tangan itu menjalar hawa dingin sejuk yang melawan hawa panas di tubuhnya. Akan tetapi sebentar saja tangan gurunya ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan Swat-im Sin-kang, mengerahkan inti tenaga dingin untuk melawan serangan hawa panas itu. Sin-kangnya sudah amat kuat, apalagi Im-kang yang didapatkannya ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat daripada Im-kang yang disalurkan gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es merupakan puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka yang berlatih di tempat panas.

"Bagus! Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."

"Suhu, aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging...."

"Ih, jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi cukup...."

"Aku sudah kenyang sekali."

"Bodoh, kalau tidak kauisi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari tiga malam?"

"Apa maksudmu, Suhu?"

"Sudahlah, jangan banyak membantah. Makan sisa daging panggang ini dan habiskan!"

Karena maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan itu, bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa makan habis sisa daging panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.

"Sekarang, minum kuah dalam panci itu sampai habis."

"Wah, mana perutku kuat, Suhu? Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak sekali!" Kwi Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan tetapi dia merasa jijik kalau harus minum kuah itu. Baru dagingnya saja tadi sudah begitu memuakkan, apalagi kuahnya!

"Kwi Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting? Andaikata engkau tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak minum kuahnya, kurasa akan sia-sia semua latihanmu. Sari obat berada di dalam kuah inilah!"

Kwi Hong bergidik. Yang dimaksudkan suhunya dengan "sari obat" tentulah sari dan semua racun yang mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat! Sudah terlalu jauh dia melangkah, andaikata mendaki gunung sudah hampir sampai puncaknya. Dia mengangkat panci, membawa bibir panci menempel bibirnya, memejamkan mata, menahan napas agar hidungnya tidak mencium bau yang memuakkan itu, membuka mulut dan menuangkan isi panci itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut! Begitu isinya habis, Kwi Hong mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya dan terguling pingsan! Bu-tek Siauw-jin sudah siap, menerima tubuhnya dan membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah sambil menyeringai dan tersenyum-senyum puas.

"Engkau hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat muridnya kalah oleh muridku!"

Kalau tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya dia akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin maka tadi kakek sinting ini setengah memaksa muridnya menghabiskan daging kelabang panggang agar selama tiga hari tiga malam pingsan itu, muridnya tidak akan terlalu kelaparan!

Pada pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh perlahan dan mumbuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika melihat gurunya duduk bersila tak jauh dari situ sambil memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi Hong cepat bangkit duduk. Segera ia memejamkan kedua matanya karena begitu ia bangkit duduk, matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut keras.

"Jangan tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"

Kwi Hong membuka matanya kembali. "Apa yang terjadi, Suhu? Apakah aku tertidur?"

"Engkau tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam! Dan engkau telah berhasil!"

Kwi Hong teringat kembali. "Aihh! Ketika minum kuah itu.... aku lalu pingsan selama tiga hari tiga malam?"

Kwi Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan ilmu yang mujijat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan diri. Kakek itu benar-benar amat tekun melatih muridnya, bahkan dia kini yang mencarikan makan untuk muridnya agar Si Murid tidak usah menghentikan latihan, dan hanya berhenti kalau perlu makan saja. Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh melatih diri. Karena memang pada dasarnya gadis ini telah memikiki kekuatan sin-kang yang hebat berkat latihan yang ia terima dari Pendekar Super Sakti, maka dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan dapat dikuasai dalam latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan tenaga mujijat ini Bu-tek Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi Hong. Juga dara ini dilatih menggunakan pukulan-pukulan dengan telapak tangan, pukulan yang amat hebat karena hawa pukulannya mengandung ancaman maut, mengandung hawa beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari. Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang semenjak kecil menerima gemblengan-gemblengan pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang bersih, kini telah mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam! Memang benar bahwa segala ilmu dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan, tergantung manusianya. Akan tetapi, ilmu golongan sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan dahsyat, sehingga sekali turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya!

Demikianlah sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di kota raja, dia langsung saja menuju ke gedung koksu, berdiri di depan pintu gerbang karena para penjaga melarang kakek sinting ini masuk. Sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, kakek itu berteriak,

"Heh, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek Siauw-jin! Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena aku tidak pantas lagi menjadi gurunya!"

Para penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang menjadi terkejut karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan mereka tidak mampu bangkit lagi, tubuh mereka menggigil dan mereka hanya dapat memandang dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu bersama dara jelita di sampingnya memasuki pintu gerbang istana koksu seenaknya!

Kwi Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini. Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana koksu di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan terang-terangan menantang sambil berteriak-teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang berpangkat tinggi ditantang begitu saja seperti seorang anak kecil menantang berkelahi anak kecil?

Teriakan yang disertai khi-kang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena bangunan besar itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk! Berbondong-bondong keluarlah pasukan pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka menjadi ragu-ragu ketika melihat bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang kangkung itu hanyalah seorang kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya setinggi pundak dara jelita yang berjalan di sampingnya!

"Manusia lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?" Seorang perwira pengawal membentak.

"Heh-heh! Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja. "Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"

Perwira itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik yang berdiri di sebelahnya dengan wajah dingin sama sekali tidak peduli.

"Wuuuuuttt.... krekkkk!"

"Hayaa.... aduuuuhhh....!" Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala kakek sinting itu!

Para anggauta pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorang pun berani maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para pembantunya juga mendengar gema suara yang mengandung khi-kang kuat itu dan kini berbondong-bondong mereka keluar dari istana. Melihat munculnya koksu, para pasukan lupa akan rasa ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin.

"Tahan....!" Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada koksu, "Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang tidak boleh dibuat main-main!"

"Semua pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!" Koksu berseru dan para panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak turun tangan mengeroyok. Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian Tok Lama bersama lima orang panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju menghampiri kakek pendek dan gadis cantik
itu. Ketika mereka semua mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka siap untuk mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi Hong, murid atau keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu pernah mereka tawan dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah kakek pendek yang tertawa-tawa itu?

Bu-tek Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa kali, akhirnya dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si Maharya yang dulu seringkali bertanding gulat melawan aku di lereng Himalaya?"

Maharya merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu menjawab sambil tertawa pula, "Siauw-jin, engkau masih hidup? Sungguh panjang usiamu!"

"Ha-ha-ha, tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh, Kwi Hong muridku, pernahkah kau mendengar permainan adu tenaga bergulat, yang kalah harus mengeluarkan bunyi seperti kambing sebagai tanda menyerah?"

Kwi Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata penuh kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera turun tangan menyerang dan membalas dendam.

"Belum pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk ini mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"

"Ha-ha-ha, nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku seringkali bergulat dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi kambing menyatakan kalah. Wah, dia pandai benar meniru bunyi kambing, benar-benar seperti kambing tulen, ha-ha-ha!"

"Suhu, kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak kaki orang berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.

Bhong Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-jin yang dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya begitu menghormat dan mengalah. "Harap maafkan kalau saya tidak mengenal Locianpwe yang agaknya sudah mengenal baik Paman Guru Maharya. Kehormatan apakah yang akan Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan ini?" Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super Sakti, mengapa kini menyebut suhu kepada kakek pendek ini? Setelah muncul sebagai murid kakek ini, dia bersikap hati-hati dan sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.

"Ha-ha-ha, engkau murid keponakan Si Maharya? Koksu, kalau begitu engkau tentu murid sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"

"Ahh! Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"

"Ha-ha-ha! Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak mudanya dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya? Aku mendengar dahulu bahwa Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu pemuda tukang penggembala kuda!"

Wajah Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda itu! Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk menghadapi musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya bergerak dan tahu-tahu pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan Koksu dan berpindah ke tangannya.

"Bagus! Engkau penggembala kuda itu? Dan sekarang menggembalakan orang-orang termasuk paman gurunya sendiri? Ha-ha-ha!" Kakek itu mengembalikan pecutnya dan Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas pecutnya tadi saja sudah membuktikan bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!

"Siauw-jin, engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!" Maharya membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan? Ataukah engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini hendak mencoba kepandaianku! Boleh kaucoba, mengenai ilmu silat, ilmu sihir atau ilmu kebatinan!"

"Maharya, kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga engkau!"

"Bocah sombong!" Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi asap itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong hanya tersenyum, sedikit pun tidak mengelak sehingga angin pukulan berikut asap itu mengenai mukanya.

Maharya terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh angin pukulannya maupun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari tangan hendak mencabut pedang, akan tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh lengannya dan tertawa.

"Ha-ha-ha, Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan teka-teki, engkau pun takkan menang. Dahulupun, teka-tekiku yang paling mudah sudah kuberi waktu tiga hari tiga malam engkau masih tidak mampu memecahkannya. Apalagi sekarang! Eh, Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat sederhana saja dia dahulu tidak becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini, biar semua orang mendengar betapa mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari yang hidup, berkepala dan bertubuh lengkap, akan tetapi seluruh anggauta tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua menjadi satu. Nah, apa itu?"

Kwi Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua kelihatan mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para panglima dan para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan tetapi ikut mendengarkan kata-kata Si Kakek Pendek. Melihat ini Maharya terkejut bukan main. Biarpun hanya berupa olok-olok dan teka-teki yang dibuat kelakar, namun suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua orang sehingga mereka semua lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini saja sudah membuktikan betapa kuat sin-kang kakek itu, betapa mujijat dan tidak akan menanglah dia kalau bertanding ilmu sihir! Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara ketawa yang melengking panjang dan bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan penuh keheranan betapa mereka tadi mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak untuk mencari jawaban sebuah teka-teki, sungguh merupakan hal yang janggal sekali pada saat seperti itu!

"Hemm, Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang rendah karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."

"Suhu, apa sih jawabannya? Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"

"Jawabannya? Dengar baik-baik....!"

Kembali semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh perhatian. Maharya terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia mempengaruhi semua orang yang berada di situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu menurut karena mereka semua telah terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek pendek itu. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya saja dan tidak mau melakukan sesuatu, melainkan melanjutkan ucapannya yang sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai perhatian semua orang.

"Jawabannya adalah.... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"

Semua orang memandang heran, termasuk Kwi Hong. "Eh, Suhu, mengapa semut dipelintir?"

"Heh-heh, bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggauta tubuhnya menjadi satu, sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi? Dan semut itu tadinya hidup, maka benda yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari yang hidup dan tentu saja menjadi benda mati!"

Semua orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan seperti anak kecil oleh kakek yang sinting ini.

"Bertanding kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tidak akan menang...."

"Siauw-jin, aku menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba Maharya berkata tegas.

"Heh-heh, begitu? Boleh! Paling-pajing engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku sudah hafal semua."

"Harus memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau berani, kalau tidak aku pun tidak akan memaksamu."

"Wah-wah, semenjak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus? Kalau berdepan, menyembunyikan kepala ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari belakang! Akan tetapi jangan kira aku takut. Nah, apa taruhannya?"

"Begini! Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan engkau harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawabnya, kami akan menerimamu sebagai tamu dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona yang menjadi muridmu ini tentu akan kami pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa menjawab, engkau dan muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak boleh mencari perkara. Aku beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau memikirkan jawabannya, engkau boleh tinggal di dalam kamar tahanan bersama muridmu selama sebulan dengan jaminan makan minum secukupnya. Bagaimana? Beranikah kau menerima tantanganku ini?"

"Ha-ha-ha! Cukup adil! Boleh sekali, akan tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab, segala permintaanku harus kaupenuhi. Permitaanku tidak banyak, hanya menantang Koksu, engkau dan dia ini.... eh, bukankah aku pernah melihat hwesio gendut ini di Tibet? Kalau tidak salah, ada seorang lagi yang kurus kering, dua orang Lama dari Tibet...."

Thian Tok Lama merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud, ingatan Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari Tibet."

"Bagus! Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada Mancu, ya? Luar biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan permintaan muridku adalah.... eh, Kwi Hong, apa permintaanmu kalau aku menang bertaruh? Jangan malu-malu, katakan saja!"

"Suhu," Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. "Mengapa urusan ini dibuat main-main? Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"

"Wah, jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh? Jangan khawatir, aku pasti menang. Nah, kalau aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"

"Permintaanku, pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung hidungnya yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang. Ke dua, Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus membangun kembali pulau itu seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar Super Sakti, menerima segala hukuman dan keputusan yang dijatuhkan oleh Pendekar Super Sakti."

"Nah, bagaimana, Maharya?"

Koksu hendak membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak mungkin dilaksanakan. Biarpun kakek pendek ini lihai bukan main, akan tetapi setelah berani memasuki istananya dan dikurung oleh ratusan pengawal, bahkan kalau dia menggerakkan pasukan sampai ribuan orang pun tidak sukar, perlu apa takut dan mengalah. Akan tetapi Maharya sudah cepat menjawab,

"Boleh! Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu kebatinan."

"Suhu....!" Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata. Sungguh amat bodoh memasuki istana itu, sama dengan memasuki guha harimau. Akan tetapi gurunya tersenyum lebar dan berkata,

"Jangan ragu-ragu, masuk saja. Hendak kulihat apa yang akan dikeluarkan dari perut Maharya!"

Sebagai seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan, Bu-tek Siauw-jin berjalan dengan penuh gaya, dadanya diangkat membusung, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum-senyum dan matanya memandang ke kanan kiri! Akan tetapi Kwi Hong berjalan dengan hati-hati, menunduk dan sepasang matanya yang indah mengerling ke kanan kiri, siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau jebakan musuh.

Koksu kini mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu secara halus, maka dia pun diam saja, hanya diam-diam dia memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan persiapan dan mengerahkan pasukan untuk menjaga dan mengurung. Adapun Maharya diam-diam memperhatikan Bu-tek Siauw-jin. Puluhan tahun yang lalu dia memang pernah bertemu dengan Bu-tek Siauw-jin di lereng Pegunungan Himalaya yang tinggi dan kakek ini dahulu hanya mengaku berjuluk Siauw-jin saja, sebuah "julukan" yang amat aneh dan kiranya orang sedunia, apalagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu, tidak ada yang sudi menggunakannya karena Siauw-jin berarti manusia rendah budi! Dan orang pendek itu sejak dahulu memang berwatak ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki ilmu yang aneh-aneh.

Memang Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat berbeda dengan suhengnya, Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka. Kalau Cui-beng Koai-ong selalu menyembunyikan diri, lebih banyak berdekatan dengan mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia daripada dengan manusia hidup dan mencari ilmu-ilmu hitam di dalam tanah-tanah kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini selain mencari ilmu-ilmu hitam di kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa tujuan dengan menggunakan nama samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa dia datang dari Pulau Neraka. Karena itu, dia telah merantau sampai jauh ke barat, melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan Nepal. Akan tetapi namanya tidak terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah berjumpa dengannya sebagai seocang yang berotak miring atau berwatak sinting. Di lain pihak, biarpun dia sendiri tidak terkenal, namun dalam perantauannya ini Bu-tek Siauw-jin mengenal dunia kang-ouw dan mengenal pula atau setidaknya mendengar nama para tokoh kang-ouw dan tahu akan kelihaian dan keistimewaan mereka.

Mereka telah memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam ruangan itu mengiringkan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya, Koksu, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan belasan orang panglima pengawal. Namun tentu saja dengan diam-diam ruangan itu, juga gedung itu, telah dikurung oleh pasukan yang melakukan penjagaan ketat.

Tanpa dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi, menyambar seguci arak dan minum arak itu tanpa cawan dan tanpa penawaran tuan rumah lagi. Arak itu dituangkan begitu saja ke mulut sampai gucinya kosong! Kemudian ia mengembalikan guci kosong ke atas meja, mengusap bibir dengan ujung lengan baju dekil dan berkata,

"Nah, keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa yang hendak kauajukan untuk kupecahkan dan jawab? Hayo, keluarkan seluruh kepunsuanmu (kepandaianmu)!"

Semua orang mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri di belakang gurunya, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba gagang pedang, wajahnya dingin. Kalau ada orang yang sudah mengenal Kwi Hong sebelum ia menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, tentu kini akan terheran-heran melihat betapa wajah dan sikap dara itu berubah sama sekali. Kini wajah yang dahulu cerah dan riang itu kelihatan muram dan dingin, sikapnya angkuh dan memandang rendah. Tanpa disadarinya oleh dia sendiri, pengaruh ilmu mujijat yang dimilikinya telah menguasai batinnya! Hal ini tidak diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin. Kakek ini adalah seorang yang telah memiliki batin kuat sekali, dan memang memiliki dasar yang baik sehingga dia dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang dipelajarinya. Berbeda dengan suhengnya yang juga tercengkeram oleh pengaruh ilmu hitam. Kini murid kakek ini, Kwi Hong, biarpun semenjak kecil digembleng oleh Pendekar Super Sakti, kini tanpa disadarinya juga mulai berubah sikapnya, menjadi dingin, murung dan kehalusan perasaannya menipis, membuatnya tak pedulian dan kejam.

"Bu-tek Siauw-jin," Maharya mulai bicara sedangkan semua orang mendengarkan penuh ketegangan karena belum pernah mereka yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini menyaksikan pertandingan seaneh ini, pertandingan mengadu pengetahuan tentang ilmu batin! "Segala macam ilmu kepandaian yang dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya kalau manusia tidak mengerti akan hidup dan inti hidup. Karena itu, mengapa kita mesti berkelahi seperti anak kecil untuk menentukan siapa yang lebih unggul? Sebaiknya kita menguji kematangan jiwa. Apakah engkau siap untuk mencoba memecahkan dan menjawab pertanyaanku?"

"Wah, sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu, perlu apa banyak rewel?" Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja merangsang kemarahan lawannya.

"Bu-tek Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"

"Apa lagi?"

"Cukup satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."

"Hemmm...., di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan filsafat yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa masing-masing agama mempunyai jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari sudut pendangan agama apa yang kau kehendaki?"

"Aku tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu akan menghadapi tantangan dari agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar engkau dapat memecahkan ini dengan tepat, disertai dengan alasan-alasan yang kuat, tidak peduli engkau mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar. Hanya aku menghendaki jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang berlaku, benar atau salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu. Kalau salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini dan selamanya tidak boleh mengganggu kami lagi."

Bu-tek Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia dan yang sudah ribuan tahun semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong. "Kwi Hong, monyet kurus ini benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Terpaksa kita harus mengeram di dalam kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."

Kwi Hong cemberut, "Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap Suhu jangan kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa bantuan Suhu sekalipun, aku sanggup untuk membasmi mereka semua ini!" Kwi Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan tampak sinar kilat menyambar di dalam ruangan itu.

"Pedang Iblis....!" Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.

"Hushhh, sarungkan kembali pedangmu, muridku." Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan Kwi Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhunya telah mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas dia menyimpan kembali pedangnya dan menundukkan muka.

"Maharya, engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia, akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam kamar tahanan sebagai tamu yang tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami ke tempat kami!"

Dengan wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua orang itu ke dalam kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak tangga dan terowongan yang amat dalam. Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang ditunjuk, kemudian pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu kerangkeng gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid ini menjadi orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan minum melalui jeruji di atas pintu kamar tahanan.

"Mengapa Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka berada di dalam kamar tahanan.

"Wah, jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk engkau berlatih dan memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apalagi di samping mereka masih ada belasan orang panglima dan mungkin ribuan orang perajurit. Karena itu, sebelum kita turun tangan, engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru lebih dulu, dan mematangkan tenaga sin-kangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya cukup. Dan selain engkau dapat berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan Maharya itu."

Kwi Hong mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di balik watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka dia pun tidak banyak cakap lagi dan berlatih dengan tekunnya di dalam kamar tahanan, kadang-kadang saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin. Adapun kakek ini, untuk melewatkan waktunya, kadang-kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah otak sampai-sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum juga dapat ditemukan, dia lalu bermain-main seperti anak kecil, kadang-kadang mengumpulkan batu dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng sendirian sambil tertawa-tawa.

Telah tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah mengalami kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan tetapi, pertanyaan itu masih belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin! Saking kesalnya, ketika ia mendengar jangkerik, dia girang sekali dan ingin benar dia menangkap jangkerik itu. Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu, percakapan mereka didengarkan oleh Suma Han dan Milana, di dalam kamar tahanan yang berada di atas mereka!

Melihat betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkerik, dan karena keadaan cuaca dalam kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong lalu menyalakan lampu minyak sehingga kamar itu tidak begitu gelap lagi.

"Wah-wah-wah, tidak mau mengerik lagi!" Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu batu-batu yang dicokel keluar dari lantai oleh kakek itu untuk dipakai sebagai gundu. "Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau keadaan terang, tentu saja jangkerik itu mengira hari telah siang dan tidak mau berbunyi."

"Memang sekarang bukan malam, Suhu."

"Benar, akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkerik itu mengira malam dan berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"

"Aihh, Suhu ini aneh-aneh saja! Biarpun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut begitu mana dia mau mengerik? Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang itu, biar dia mengerik sekalipun tentu dari dalam lubang."

"Oya, kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"

"Jangan, Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar lubang, dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya." Kini Kwi Hong mulai tertarik dan ia pun ikut berlutut di dekat suhunya, mereka memandangi lubang jangkerik seolah-olah hal menangkap jangkerik merupakan peristiwa yang terpenting di saat itu!

"Oya, kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau kukencingi, mana jangkerik itu kuat bertahan terkena kencingku? Tentu akan mati pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah atas lubangnya."

Dua orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat keluar seekor jangkerik yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera bersorak girang sambil menggenggam jangkerik itu.

Kwi Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar saja. "Besarkah jangkeriknya, Suhu? Merah atau hitam bulunya?"

Mereka mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.

"Uhhhh!" Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.

"Sialan dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman tangannya. "Ini namanya jangkerik upo (jangkerik kecil pemakan nasi upo)! Jangkerik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti Maharya saja!"

Kakek itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan.... jangkerik kecil itu ditelannya bulat-bulat! Kalamenjingnya bergerak dan berbunyi "ceguk-ceguk!" ketika ia menelan jangkerik itu hidup-hidup!

"Ihhhh! Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkerik hidup-hidup ditelan?" Kwi Hong mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang sebagai guru yang pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa seperti berhadapan dengan seorang anak kecil yang memerlukan teguran-teguran!

"Apa kaubilang? Kotor? Wah, menelan jangkerik mentah dan hidup masih mending. Pernahkah engkau mendengar orang orang sinting menelan cindil (anak tikus) hidup-hidup? Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkerik daripada cindil? Jangkerik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik itu!"

Kwi Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang pandai berdebat ini. Pula, kegembiraannya sudah hilang dan kembali dara itu termenung dengan wajah muram dan dingin.

"Kwi Hong....!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas, seolah-olah Kwi Hong mendengar suara pamannya di dekat telinga dan pamannya seperti berdiri di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.

"Paman....!"

"Kwi Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara Pendekar Super Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.

"Paman, di mana engkau? Suaramu begini dekat....!" Kwi Hong yang merasa bingung itu tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya bahwa dia telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau Neraka ini?

"Ha-ha-ha-ha! Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es yang berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan tetapi sudah bertahun-tahun aku kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang! Ha-ha-ha!"

Karena kakek itu mengerahkan khi-kang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu ke kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang berada di bawah bersama keponakannya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.

"Siapakah Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa penasaran karena tadi keponakannya menyebut "suhu" kepada orang itu.

"Wah-wah, jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah seorang kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di Pulau Neraka."

Suma Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua Thian-liong-pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang begitu lihai dan mengaku sebagai keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang pernah bertemu dan bertanding dengannya, yang amat sakti itu sehingga hampir saja ia celaka? Akan tetapi, mungkinkah Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu? Bukankah kakek iblis itu menjadi guru Wan Keng In? Dia merasa bingung dan hatinya tegang.

"Apakah Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.

"Ha-ha-ha, kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suhengku itu? Tidak, Taihiap. Aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sutenya dan aku mendapat kehormatan besar sekali untuk menjadi guru keponakanmu."

Kwi Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang amat salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali murid Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain? Hal ini sama saja dengan menghina guru atau pamannya itu! Maka, sebelum pamannya mengucapkan sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata dengan pengerahan khi-kang.

"Paman, harap suka mendengarkan penuturanku!" Cepat dia menuturkan pertemuannya dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana dia sampai menjadi muridnya. Betapa gurunya itu biarpun seorang Datuk Pulau Neraka, akan tetapi sikapnya baik sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena kakek itu hendak membantunya menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki kanannya.

"Sayang sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan di sini, dan sudah tiga pekan kami berada di sini, agaknya Suhu belum berhasil! Harap Paman suka mengampunkan aku yang lancang.... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan amat baik, Paman."

Sunyi sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jirt tertawa kecil, agaknya merasa geli mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.

"Bu-tek Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena sudah terlanjur dia menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Pertanyaan apakah yang diajukan oleh Maharya kepadamu? Aku akan membantumu mencarikan jawabannya."

"Bagus! Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-taihiap! Tidak saja tidak marah kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin membantuku memecahkan teka-teki. Wah, kalau engkau benar-benar bisa membantuku memecahkan pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai sahabatku yang paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah : Apakah yang dinamakan Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."

Suma Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit duduk dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana menjawabnya? Dia sudah banyak membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah itu SENG yang merupakan anugerah Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu? Apakah itu TAO seperti yang dimaksudkan dalam Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang disebut-sebut oleh pendeta-pendeta Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar?

Melihat ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut pula duduk di lantai. Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri lagi. Dia duduk bersila dan memikirkan pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri. Hemm, orang-orang tua ini memang aneh! Apa gunanya? Apa untungnya kalau mengetahui AKU SEJATI? Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apapun juga jawabannya, siapa yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah? Adakah manusia yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu? Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada mengapa disebut-sebut? Adanya disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu dengannya!

Kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu. Jangankan mendapatkan jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya. Dia tidak mengenal yang disebut Aku Sejati itu. Mendengar pun baru sekarang! Milana melirik ke arah ayahnya dan melihat pendekar itu masih duduk termenung penuh kesungguhan, dia tidak berani mengganggu, bahkan menjauhinya dan untuk melewatkan waktu Milana meraba-raba dinding untuk memeriksanya dan mencari kemungkinan membobol dinding itu.

Tiba-tiba jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik sekali dan cepat dia menggosok dan membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di atas batu dinding. Maka tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di atas batu. Dengan penuh semangat dan amat tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan setelah bekerja keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat sebaris huruf yang cukup jelas. Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.

"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."

"Apa kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut.

Milana juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu keras-keras, "Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."

Sekali berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran huruf-huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula perlahan kemudian dibacanya lagi agak keras, diulang-ulangi. SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN, KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA. Belum pernah dia bertemu dengan kalimat seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya dengan pertanyaan Maharya! Ia menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat dalam kitab-kitab yang pernah dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya, "Hampir sama dengan makna dalam kitab To-tik-keng ayat pertama!"

Milana yang biarpun sudah banyak membaca namun sejak dahulu memang tidak menaruh minat terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, bertanya, "Bagaimana bunyinya, Paman?"

Suma Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab To-tik-keng seperti yang diingatnya :

"Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.

Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.

Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit.

Dengan Nama adalah ibu segala benda.

Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.

Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya;

keduanya berpasangan walau namanya berbeda;

pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!"

Tiba-tiba Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru, "Wah! Kalau begitu cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta Maharya itu, Paman!"

Suma Han melongo. "Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"

"Jawabannya adalah itu! Tidak ada apa-apa!"

"Ah, masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu, diperkuat pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada persamaan dengan kalimat di dinding itu."

"Justeru keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus menghancurkan pertanyaan itu, Paman"

"Alan, engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding dan ayat pertama To-tik-keng sama sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"

"Sudah jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"

"Husshh! Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada yang memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu dengan Aku-nya yang Sejati!"

"Ah, hal itu tidak mungkin, Paman!"

"Mengapa tidak mungkin?"

"Misalnya aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan siapa pula yang ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu dan yang sejati saling bertemu, yang palsu maupun yang sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman. Karena pikiran mengingat akan pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah mendengar tentang Aku Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati yang bukan lain juga khayalan pikiran sendiri belaka!"

Suma Han mengangguk-angguk. "Hemm.... hemm.... biarpun uraianmu itu tidak berdasarkan filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!" Suma Han termenung, wajahnya makin lama makin terang, dan beberapa kali dia mengangguk-angguk dan menggumam. "Engkau hebat, A1an.... engkau membuka kesadaranku.... engkau membuka mata batinku...."

Milana tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa wajah Pendekar Super Sakti itu kini berubah, berseri dan bersinar seolah-olah kemuraman yang tadinya selalu merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini terusir bersih.

"Terima kasih, Alan....!" Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu dan memeluknya, mencium dahinya. Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan, akan tetapi ketika ayahnya itu mencium dahinya, Milana terisak dan memejamkan matanya. Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan ayah, akan tetapi perasaan ini ditahannya.

Suma Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu dan Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh kebahagiaan.

"Ahhh, siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"

"Apa.... apa maksudmu, Paman?"

"Aku tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban dari segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang mulai menyalakan api penerangan itu, Alan. Biarpun tidak kau sengaja, karena engkau polos, wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah yang menyalakan api penerangan! Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia merindukan kebahagiaan, dia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu. Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja! Ha-ha-ha! Dan semua pelajaran itu.... ha-ha-ha, semua itu sungguh menggelikan. Hanya permainan khayal, lelucon hidup!"

Milana memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa gembira walaupun bingung juga karena tidak mengerti.

"Bagaimana, Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"

"Sudah terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"

"Wah, sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!" Milana berseru sambil memijit-mijit pelipis kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua kata-kata ayahnya.

"Aku sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku, Alan. Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walaupun bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan, bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum budiman di jaman dahulu, memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"

Tiba-tiba dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin. "Heiii! Pendekar Super Sakti, Suma-taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang sudah mendapatkan jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera memberitahukan kepadaku, jangan menjual mahal!"

Suma Han tersenyum, lalu menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan jawablah bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias palsu!"

Hening sampai lama sekali di bawah karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang dianggapnya aneh itu. Kurang lebih seperempat jam kemudian, barulah terdengar suaranya.

"Suma-taihiap, apakah engkau sengaja memperolok-olokkan aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah jawaban!"

"Mengapa bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar filsafat lain. Akan tetapi jawaban ini berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Siapa yang dapat membantah kenyataan? Dengarlah baik-baik, Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah, jawabannya yang dinamakan Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan khayalan pikiran alias palsu!"

"Kenapa begitu?"

"Karena, yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah didengar dari seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan pikiran. Jadi jelas bahwa yang dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan pikiran, palsu."

"Hemm, seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya. Bagaimana kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"

"Bu-tek Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku Sejati, bukan mempersoajkan ada atau tidaknya. Ada atau tidak bukanlah persoalan manusia, bukan persoalan hidup."

"Kau benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma-taihiap, di antara kita sendiri, apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"

"Bu-tek Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidak ada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin, dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku dan engkau dan dia dan mereka!"

"Wah-wah-wah! Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-taihiap! Belum pernah selama hidupku aku mendengar vrang berbicara seperti itu."

"Aku pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu, sekarang mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."

"Kita?"

"Benar, karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"

Terdengar suara ledakan keras ketika Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang lantai dan lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara itu meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin.

Ketika Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali dan baru sekarang dia mengenal gadis itu setelah gadis itu muncul, bersama pamannya. "Kau.... kau.... Milana....!" teriaknya.

Milana juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi? "Kwi Hong....!" katanya dan ia terisak.

"Milana....? Engkau.... engkau.... Alan.... engkau Milana....?" Suma Han merasa seperti disambar petir ketika ia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana. "Aihh, betapa bodohku! Dan ibumu.... Nirahai.... dia.... dia...."

Milana masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya. "Be.... benar Ayah....!"

Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana dan tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi, pintu kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti itu lenyap bersama Milana.

"Paman....!" Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak berada di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan robohnya para pengawal yang menjaga ketika mereka itu secara berani mati mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar Super Sakti.

Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. "Waaah, aku kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru kepadaku. Benar-benar aku merasa malu sekali!" Dia terus menggeleng-geleng kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum, "tsk-tsk-tsk!" tiada hentinya.

"Akan tetapi ilmu yang kauajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.

"Sudahlah, mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring sekali, "Haiii! Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini dan terima jawabankuuuu....!" Bersama Kwi Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja yang sudah ambrol, berjalan seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.

"Ayah.... harap jangan marah, Ayah.... ampunkan aku, Ayah.... dan jangan marah kepada Ibu.... hu-hu-huuuk...." Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk keluar, merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan.

Suma Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk Milana, mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan mengelus-elus rambut yang halus itu.

"Milana.... ah, anakku.... aku seperti buta tidak mengenalmu....! Milana, betapa kejam hati ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang, melakukan hal-hal keji dan menggegerkan dunia kang-ouw? Mengapa dia begitu kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu? Di mana dia? Di mana Nirahai? Aku harus bertemu dengannya dan menegurnya!"

"Ayah, jangan memarahi Ibu...."

"Aku akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."

"Ayah, aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah ingin bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari, Ibu berada di cabang kami dekat kota raja kalau aku tidak salah duga!" Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke markas Thian-liong-pang dekat kota raja yang baru saja didirikan setelah Thian-liong-pang membantu pemerintah.

Para anggauta Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar Super Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka. Mereka yang belum pernah melihat pendekar ini, memandang dengan mata terbelalak ketika teman-temannya yang pernah bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa itulah Pendekar Siluman To-cu Pulau Es yang amat terkenal itu. Andaikata Suma Han datang seorang diri, biarpun jerih, agaknya mereka masih akan menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di luar sebelum mereka melapor kepada ketua mereka. Akan tetapi karena kedatangan pendekar ini bersama Milana, tidak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang yang berani mencegah mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam, dua orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.

"Siocia, apa artinya ini....?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun dari kursinya ketika melihat Suma Han.

"Nona, tahan dulu....!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan ragu-ragu dan bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan terhadap To-cu Pulau Es yang sudah diketahui kelihaiannya itu.

Milana membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua. "Harap kedua kakek suka mundur dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan Thian-liong-pang. Kakek Bhok, di mana Ibu?"

"Di dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang memegang tangan kawannya dan memberi isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan ruangan itu. Sai-cu Lo-mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah diberi tahu oleh ketua mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti, yaitu ketika dia dahulu melamar dara itu untuk cucu keponakannya, Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu, suami Ketua Thian-liong-pang, telah datang dan agaknya rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini, akan tetapi karena maklum bahwa urusan itu adalah urusan keluarga, maka dia menarik tangan Chie Kang dan berkata,

"Chie-sute, mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh kita kalau kita mencampurinya."

"Eh, apa yang terjadi, Suheng?"

"Sssstt, diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."

Suma Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti Milana yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir sebuah anak sungai yang airnya mengalir tenang. Tempat ini adalah pemberian dari Koksu sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan cabang yang terbesar karena dari sinilah dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu pemerintah membasmi para pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.

Tiba-tiba Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang duduk di bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi itu. Seketika kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika ia melihat wanita berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini dia mengenal betul bentuk tubuh Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biarpun mereka telah saling berpisah lama sekali.

"Nirahai....!" Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil ketika dia mencelat ke dekat wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter.

Wanita berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.

"Han Han....!" Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan tetapi dia melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa rahasia telah terbuka oleh Milana. Sekali renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona melihat wajah isterinya itu masih cantik jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia bertemu dengan Nirahai pada waktu Milana berusia tujuh-delapan tahun yang lalu, bahkan masih seperti waktu masih gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka saling berpisah!

"Kau.... kau mau apa datang ke sini....?" Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar dan kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya bergerak seperti hendak menahan tangis.

"Nirahai!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah marah lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang. "Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang telah melakukan segala macam perbuatan keji dan rendah itu?"

Kalau tadinya Nirahai gemetar dan pucat pandang matanya sayu dan dia seperti setangkai kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya menjadi kemerahan, pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak, dada membusung, dagu terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara dingin tegas keras, seperti biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.

"Benar! Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han? Seperti telah kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua Thian-liong-pang sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!" Setelah berkata demikian, Nirahai menggerakkan tangan dan kerudungnya telah menutup mukanya kembali. Dia berdiri dan bertolak pinggang, sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah mengeluarkan sinar berapi yang ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.

"Nirahai! Aku tidak peduli untuk apa kaulakukan itu semua, tidak peduli untuk menantang aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut itu engkau telah menyeret anak kita Milana ke dalam pecomberan! Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak ingat sama sekali akan kepentingan anak kita!"

"Cukup!" Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han dan dia berkata, "Tidak perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengoklah tengkukmu sendiri dan bercerminlah! Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak Milana kulahirkan, pernahkah engkau datang mencarinya? Pernahkah engkau sebagai ayahnya menimang anakmu itu satu kali saja? Engkau melupakan anak kita, engkau hidup dengan angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau Es."

"Sang Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi, begitu sakti seperti dewa! Sekarang setelah Pulau Es hancur, engkau pura-pura mencari anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan aku?"

"Nirahai! Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biarpun aku sekarang sudah tidak punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah ikut bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta, marilah kita melanjutkan sisa hidup ini untuk mendidik anak kita...."

"Tidak sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"

"Nirahai, engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik, sekarang juga aku akan menghancurkan dia, membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!" Dengan wajah pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han membalikkan tubuh dan berloncatan pergi.

"Ayaaaahhh....! Ayaaahh.... tungguuuu....!" Milana menjerit dan meloncat lalu lari mengejar, tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi melainkan terhuyung ke belakang dan berpegang pada batang pohon sambil menangis!

Mendengar jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi ia tetap berdiri tegak, tidak menoleh.

"Ayahh....!" Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu. "Ayah, mengapa Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak menderita karena Ayah. Dan lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam tahanan? Mengapa Ayah menurutkan nafsu hati yang terdorong oleh ingatan? Apakah Ayah kembali hendak memasuki alam penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran sendiri yang palsu? Ayahhh....!"

Lemas seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia menghela napas panjang dan berkata lirih, "Anakku.... engkau jauh lebih bersih daripada aku atau ibumu, aku.... aku hanya manusia lamah.... manusia canggung yang tak tahu lagi apa yang akan kulakukan.... aku tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga cacad batiniah, lemah dan canggung. Mungkin ibumu lebih benar, biarkan aku pergi dulu, Milana...."

"Ayaaahhh....!" Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.

"Ibuuu....!" Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua orang ibu dan anak ini bertangis-tangisan.

"Ibu, mengapa kita menjadi begini?"

Nirahai memeluk puterinya, menahan isaknya. "Entahlah, anakku.... entahlah.... aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan ayahmu...."

"Ibu mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."

"Tidak ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia sudah menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang rusak hanya...."

"Hanya bagaimana, Ibu?"

"Biar dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau buka rahasia kerudungku kepadanya."

"Ah, tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"

"Di kamar tahanan gedung Koksu?" Nirahai menghentikan isaknya, memandang puterinya dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh ayah kadungnya sendiri, menceritakan betapa baik ayah kandungnya itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In kalau tidak ada ayahnya yang menolong, kemudian tentang pengintaiannya ke gedung Koksu.

"Ibu, mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang diadakan oleh Koksu itu sebetulya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela kerajaan."

"Apa....?" Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan kemarahannya mendengar ini. Milana menceritakan sejelasnya akan semua percakapan yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong Ji Kun.

Kemarahan Nirahai memuncak. "Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!" Nirahai meloncat bangun, semua kelemahan akibat keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan semangatnya bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang tegas!

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut memasuki taman, dan dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata,

"Maaf, Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka parah dan perlu segera menghadap Pangcu...."

Nirahai mengangkat tangan ke atas. "Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang telah terjadi?"

Dengan suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan tentang perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan. "Kami tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main, iblis cilik Pulau Neraka itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada punggung kami dan menyuruh kami menghadap Pangcu. Dia.... dia.... mengajukan pinangan kepada Nona Milana.... kalau dalam waktu sebulan Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan Wan Keng In, dia datang membasmi Thian-liong-pang....!"

"Bresss! Krraaaakkk!" Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan Nirahai yang menjadi marah bukan main.

"Bangsat cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang? Bangsat itu harus mampus di tanganku!"

"Harap Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka parah," tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata.

Nirahai meghampiri seorang anggauta Thian-liong-pang yang berlutut di depannya, merobek bajunya dan dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di punggung orang itu.

"Apakah semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.

Tang Wi Siang mengangguk. "Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati, kecuali kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami, demikianlah pesannya."

"Hemm, si keparat!" Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya tidak hebat itu, hanya merupakan "cap" merah dari tiga buah jari tangan. Ia mencoba dengan menyalurkan sin-kang, telapak tangannya ditempelkan di punggung untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.

"Hemm, pukulan beracun ini amat aneh dan aku tidak mengenal racun apa yang terkandung dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."

Sai-cu Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang pisau tajam meruncing terbuat daripada perak. Nirahai menggerakkan ujung pisaunya menggurat tanda tapak jari tangan di punggung orang itu yang menggigit bibir menahan rasa nyeri agar tidak menjerit.

"Aihh....!" Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih perlahan, kemudian tak bergerak sama sekali, dan ketika Nirahai memeriksanya, ternyata dia telah mati!

Tentu saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan teman-temannya yang terluka. Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya dan berkata,

"Pangcu, harap Pangcu bunuh saja saya dengan sekali pukul. Pukulan beracun ini agaknya hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan saya lebih baik mati daripada Nona Milana diperisteri olehnya. Daripada menanggung derita sebulan lamanya, biarlah sekarang saja Pangcu membunuh saya."

Nirahai mengerutkan alisnya. "Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan obatnya. Waktu sebulan masih lama...."

"Percuma saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat menyembuhkan luka beracun itu!"

Nirahai dan semua orang cepat menengok. Mereka sama sekali tidak mendengar ada orang datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik sekali biarpun usianya sudah tidak muda lagi, kurang lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan pada wanita ini yaitu mukanya. Mukanya itu berwarna putih seperti kapur!

Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat wanita ini, timbul rasa kasihan di dalam hati Milana! Gadis ini, dan semua anggauta Thian-liong-pang sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, wajah di dalam kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi pucat sekali ketika dia mengenal wanita bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai mengenalnya karena wanita itu bukan lain adalah sumoinya sendiri ketika mereka berdua dahulu menjadi murid Nenek Maya. Wanita bermuka putih dan amat cantik itu bukan lain adalah Lulu!

"Bibi yang baik, benarkah Bibi akan dapat menyembuhkan mereka ini?" Milana bertanya dan mengagumi wajah yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna putih seperti kapur karena sesungguhnya wanita itu cantik sekali, terutama sekali matanya yang seperti bintang dan yang membuat dia merasa suka adalah karena wajah wanita ini mirip-mirip dengan wajah ibunya yang tersembunyi di balik kerudung.

Wanita ini mengangguk, mukanya tetap dingin sungguhpun sepasang mata yang indah itu memandang Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan suka. "Tentu saja aku dapat menyembuhkan mereka dengan mudah."

Nirahai menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka? Dan ke mana saja selama ini perginya?" Dia lalu melangkah maju, merubah suaranya menjadi suara Ketua Thian-liong-pang yang dingin dan berwibawa,

"Siapakah engkau? Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka mereka ini?"

Lulu menatap muka berkerudung itu, bertemu pandang dan ia kagum melihat sepasang mata yang begitu bersinar-sinar penuh semangat dan wibawa. Orang ini memang patut menjadi Ketua Thian-liong-pang yang terkenal pikirnya.

"Aku merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menyembuhkan mereka ini, biarpun engkau akan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari manapun juga, karena obat penawar racun ini hanya terdapat di Pulau Neraka."

"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?"

Lulu hanya menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat ini, Nirahai bergidik. Dahulu Lulu adalah seorang wanita yang periang, jenaka dan ramah, mengapa sekarang menjadi segunduk es beku, dingin dan mengerikan?

"Pangcu, Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa menyembuhkan mereka!"

Terdengar seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat bangun dan memandang dengan mata terbelalak. "Engkau.... Ketua Pulau Neraka....?"

Lulu mengangguk dan berkata muak, "Bekas.... ketua boneka...."

"Iblis betina!" Para anggauta Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak meloncat bangun dan menyerang Lulu, dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan diikuti pula oleh beberapa orang anak buah Thian-liong-pang lain yang sudah berada di situ. Tidak kurang dari dua puluh orang menyerbu Lulu, ada yang memukul, ada yang mencengkeram, ada yang menendang.

Terdengar suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk ketika tubuh dua puluh orang itu terlempar ke sana-sini dan terbanting keras. Setelah semua penyerang roboh terjengkang, kini tampaklah Lulu yang masih berdiri dengan tenang dan matanya yang indah itu mengerling ke sekelilingnya dengan muka digerakkan ke kanan kiri. Melihat mereka sudah mencabut senjata dan hendak bangkit lagi, Lulu mengangkat kedua lengan ke atas dan berkata, suaranya melengking nyaring dan penuh wibawa karena dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang.

"Tahan....! Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak buahmu yang lancang dan bodoh ini? Kalau aku datang dengan iktikad buruk, perlu apa aku bicara lagi? Tanpa turun tanganpun, dengan membiarkan mereka, anak buahmu yang terluka itu akan mati semua. Kalau aku berniat jahat, perlu apa aku menawarkan penyembuhan?"

Nirahai sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan tetapi dia terlalu heran mendengar Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau Neraka sehingga dia melongo dan tidak sempat melarang anak buahnya menyerang Lulu yang akibatnya amat luar biasa itu, yaitu anak buahnya terjengkang semua dan roboh seperti daun kering tertiup angin.

Kini dia cepat membentak, "Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo mundur semua dan jangan turun tangan kalau tidak ada perintah!" Kemudian Nirahai menghadapi Lulu dan berkata, suaranya masih dingin, "Jadi engkau adalah Majikan Pulau Neraka yang tersohor itu? Hemm, sungguh aneh. Akan tetapi, bicara tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad baikmu. To-cu (Majikan Pulau), kau sembuhkan dulu anak buahku, barulah kita bicara."

Lulu mengangguk dan merasa kagum. "Engkau patut menjadi Ketua Thian-liong-pang. Buka baju kalian bagian punggung dan berlututlah berjajar agar mudah aku mengobati kalian!"

Mereka yang terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan anak buahnya, segera menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang ada tandanya tapak tiga buah jari tangan merah, kemudian berlutut dan berjajar menjadi barisan punggung telanjang yang lucu juga. Kalau keadaan tidak demikian menegangkan, tentu kejadian ini akan menimbulkan ketawa.

Lulu memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah menggunakan pukulan yang mengandung racun akar merah seperti yang diduganya, ketika tadi ia melihat akibat yang menewaskan seorang anggota yang terluka pada waktu Ketua Thian-liong-pang menorehnya dengan pisau untuk melihat darah dan menyelidiki racunnya. Dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hijau. Dengan jari tangan kiri dia memukul punggung itu untuk memunahkan hawa pukulan puteranya, kemudian tangan kanannya melaburkan obat bubuk dan menekankannya ke atas tanda tapak jari merah di punggung. Setelah selesai mengobati semua orang, dia berkata,

"Luka dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan, kemudian dalam waktu sehari akan kering seperti bekas luka yang merobek kulit. Kalian sudah sembuh, hanya sayang seorang di antara kalian tak tertolong." Ia memandang mayat yang masih menggeletak di situ.

Nirahai menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya. "Bagaimana rasanya sebelah dalam tubuhmu?"

"Sesak napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."

Nirahai lalu menjura kepada Lulu dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan To-cu, silakan To-cu masuk ke dalam di mana kita dapat bicara."

Lulu tadi mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan puteranya yang melamar puteri Ketua Thian-liong-pang, maka dia mengangguk karena dia pun ingin bicara akan hal itu. Tanpa bicara, kedua orang wanita aneh itu berjalan menuju ke dalam gedung, hanya diiringkan oleh Milana karena Nirahai memberi isyarat dengan gerak tangan kepada Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain untuk tidak mengganggu mereka.

Tiga orang wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Nirahai berkata,

"Sungguh tidak pernah kusangka-sangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan menerima kunjungan To-cu Pulau Neraka seperti keadaan ini!"

Lulu menarik napas panjang. "Harap jangan menyebut To-cu kepadaku karena sekarang Pulau Neraka sudah tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai anak buah...."

"Akan tetapi, anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!" Milana berkata, membantah.

Kembali Lulu menarik napas panjang. "Itulah yang menyusahkan hatiku. Puteraku itulah.... ahhh, Pangcu. Justeru karena puteraku itulah maka aku sekarang berhadapan denganmu, dan marilah kita bicara sebagai dua orang ibu membicarakan masa depan kedua orang anaknya!"

Diam-diam Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu yang dahulu amat riang gembira dan jenaka itu. Dan kini putera Lulu ingin berjodoh dengan puterinya! Kalau saja keadaan ternyata lain, tidak seperti sekarang ini. Alangkah akan bahagianya peristiwa ini! Akan tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau Neraka, sudah berubah seperti iblis betina, dan puteranya itu, demikian kejam dan kurang ajarnya!

"Maksudmu bagaimana, To-cu?" tanya Nirahai.

"Pangcu, terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk mengobati luka anak buahmu. Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah jalan aku melihat anak buahmu yang terluka oleh pukulan Jari Tangan Merah, sebuah pukulan dari Pulau Neraka. Aku terkejut dan diam-diam aku mengikuti mereka. Setelah mereka masuk ke sini menghadapmu, aku mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah aku tahu akan segala hal yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah Thian-liong-pang, bahkan baru aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku, dan terutama sekali, baru aku tahu bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu dan mengajukan pinangan kepadamu dengan cara itu!"

"Cara yang amat bagus!" Nirahai mencela.

Lulu menarik napas panjang. "Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal itu, Pangcu. Bukankah anak buahmu telah kusembuhkan? Hal itu berarti penebusan kesalahan puteraku. Yang penting sekarang, setelah aku mengetahui bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu, tentu dia inilah puterimu dan aku tidak heran mengapa puteraku jatuh cinta kepada dara yang cantik jelita ini, maka aku mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan lamaran secara resmi."

"Tidak! Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!" Nirahai mengepal tangannya membentuk tinju.

"Sabarlah, Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak menjalaninya, bukan urusan kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi penonton. Yang terpenting adalah anak-anak itu sendiri. Puteraku sudah jelas mencinta puterimu, maka setelah kini puterimu hadir pula, sebaiknya kita mendengar pendapatnya akan pinangan ini. Bukankah sebaiknya begitu?"

Nirahai terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya sudah matang dan sikapnya begitu tenang! Dia merasa kalah bicara, maka sambil menoleh kepada Milana dia bertanya,

"Hemmm, coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu? Maukah kau menerima pinangannya?"

Wajah Milana seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan ia bangkit berdiri. "Aku tidak sudi! Aku.... aku benci kepadanya!" Setelah berkata demikian, Milana membalikkan tubuh dan meloncat pergi dan meninggalkan dua orang wanita itu.

Lulu memejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu membayangkan kedukaan, dan kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di hati Nirahai terhadap bekas sumoinya itu.

"To-cu, kaumaafkan sikap anakku."

Lulu membuka matanya, memandang heran, "Betapa anehnya! Aku mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah seorang iblis betina yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Sekarang, anakku telah melakukan penghinaan kepadamu, dan anakmu baru bersikap sewajarnya seperti itu saja engkau mintakan maaf. Pangcu, apakah engkau ini seorang dewi berkedok iblis, ataukah seorang iblis bertopeng dewi? Aku memuji dan kagum kepada puterimu. Memang seharusnya begitulah sikap orang menghadapi urusan cinta. Kalau cinta mengaku cinta, kalau benci mengaku benci, tidak boleh pura-pura yang akan mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan seperti yang telah kualami!"

Jantung Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik muka seperti topeng berwarna putih itu? Apakah yang dialami oleh Lulu selama berpisah dengannya? Dahulu dia mendengar dari suaminya bahwa Lulu telah menikah dengan Wan Sin Kiat dan tentu Wan Keng In adalah putera Wan Sin Kiat. Apakah kini Wan Sin Kiat juga ikut menjadi pimpinan di Pulau Neraka?

"To-cu, marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari Thian-liong-pang dan engkau To-cu dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara seperti dua orang wanita. Engkau tadi bilang bahwa menghadapi urusan cinta tidak boleh berpura-pura karena akan mengakibatkan kesengsaraan seperti yang kaualami. Maukah engkau menceritakan kepadaku?"

Lulu memandang sepasang mata di balik kerudung itu. "Andaikata engkau membuka kerudungmu dan aku melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu aku lebih baik mati daripada menceritakan isi hatiku. Akan tetapi, berhadapan denganmu aku seperti berhadapan dengan bukan manusia, dan engkau malah ibu dari gadis yang dicinta puteraku! Hemm, kau dengarlah rahasia yang selama ini hanya kusimpan di dalam hatiku saja. Aku membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan akan membawa akibat mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan juga mendatangkan kesengsaraan. Bukan hanya akibat yang menimpa diri sendiri saja, akan tetapi juga menimpa kepada orang lain, kepada keturunan! Aku sendiri mengalaminya. Aku mencinta seseorang, semenjak remaja puteri aku cinta kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan tetapi kami berpura-pura, malu untuk mengaku, sehingga aku dipaksa menikah dengan pria lain yang kusangka dapat kucinta sebagai pengganti dia. Sampai aku mempunyai seorang putera. Akan tetapi sia-sia belaka, aku tidak bisa memindahkan cinta kasih, akhirnya aku meninggalkan suamiku dan suamiku membunuh diri secara tidak langsung dan halus.... dan aku membawa anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling membuat hatiku menyesal, aku telah merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi seperti itu....! Keng In.... akulah yang membuat engkau rusak.... kalau aku tidak menuruti hati yang dirundung kerinduan, dimabuk cinta kasih, dan aku rela berkurban, hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa dan terhormat....!"

Lulu menutup muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya yang tarpancar dari kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak melihat betapa mata di balik kerudung itu memancarkan pandang mata yang aneh sekali. Dia tidak tahu betapa jantung Nirahai seperti diremas-remas mendengar penuturannya itu, biarpun dia tidak menyebut nama karena Nirahai sudah dapat menduga siapakah pria yang dicinta oleh Lulu itu! Suma Han. Tentu saja!

Setelah melihat Lulu dapat menguasai dirinya, Nirahai bertanya dengan suara biasa, namun dengan penekanan hatinya yang berdebar tegar.

"Lalu sekarang bagaimana dengan pria yang kaucinta itu?"

"Dia.... diapun seperti aku, dia.... dia menikah dengan wanita lain!"

"Hemm, dan dia masih mencintaimu?"

"Tentu saja, biarpun dia juga mengaku bahwa dia mencinta isterinya itu."

Jantung Nirahai berdebar makin kencang. Jadi Suma Han telah bertemu dengan Lulu dan mengaku bahwa suaminya itu mencintanya?

"Dan engkau?"

"Aku? Aku sekarang.... benci kepadanya! Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua, yaitu menjadi isterinya atau menjadi musuhnya sampai seorang di antara kami mati!" Lulu menggenggam ujung meja saking gemasnya dan terdengar suara keras. Ujung meja itu hancur dan hangus!

"Kresss!" Terdengar suara keras lain dan ujung meja di depan Nirahai juga hancur menjadi tepung diremas Ketua Thian-liong-pang ini.

Dua orang itu saling pandang. Nirahai bangkit berdiri. "To-cu, sekali lagi terima kasih atas pengobatanmu terhadap anak buahku. Dan sudah jelas bahwa pinangan anakmu itu kami tolak. Kalau engkau hendak menggunakan kekerasan seperti yang dikatakan anakmu, marilah aku siap melayanimu."

"Pangcu, biarpun aku pernah menjadi ketua boneka dari Pulau Neraka, namun dalam urusan cinta kasih, aku tidak mau bersikap keras. Bahkan aku akan menentang tindakan anakku kalau dia berkeras."

"Sesukamulah. Akan tetapi katakan kepadanya, kalau dalam sebulan dia tidak datang memenuhi ancamannya hendak membasmi Thian-liong-pang, aku sendiri yang akan mencari dia untuk memberi hajaran!"

"Hemm, kalau sampai terjadi demikian, sebagai ibu kandungnya sudah pasti aku akan membelanya!"

 “Hemmm, kita sama lihat saja nanti!”

“Pangcu, kuharap saja tidak akan terjadi demikian karena engkau tentu akan mati di tanganku!”

“Itupun sama kita buktikan saja nanti!”

“Selamat tinggal!”

“Selamat berpisah!”

Tubuh Lulu berkelebat dan lenyap dari situ, menerobos jendela ruangan itu dan berloncatan dengan cepat sekali me­ninggalkan markas Thian‑liong‑pang. Perpisahan yang aneh antara dua orang wanita yang aneh! Nirahai duduk terme­nung. Terlalu banyak peristiwa menimpa­nya pada hari itu. Pertemuan dengan suaminya. Disusul munculnya Lulu dengan ceritanya yang hebat! Berita yang dibawa Milana tentang niat jahat koksu, untuk membunuhnya! Terlalu banyak peristiwa hebat yang menghimpit perasaannya, membuat wanita berkerudung yang dita­kuti lawan atau kawan ini termenung sambil menunjang dagu dengan tangan­nya.

***

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita meli­hat dia, pemuda yang berwatak lembut itu, mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban pertandingan besar di daerah tandus di puncak Ciung‑lai‑san di Se‑cuan, di mana diadakan pertemuan oleh Thian‑liong‑pang. Setelah selesai mengubur semua jenazah yang terlantar itu, Bun Beng menunggang kudanya kem­bali dan menjalankan kudanya perlahan menuju ke timur. Dia telah berhasil me­rampas kembali Hok‑mo‑kiam, bahkan berhasil membunuh dua orang di antara musuh‑musuhnya, yaitu Tan‑siucai dan terutama sekali Thai Li Lama. Tadinya dia tidak bermaksud membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap Thai Li Lama karena dia tidak mem­punyai dendam pribadi dengan Tan Ki. Adapun Thai Li Lama merupakan musuh­nya karena Lama ini termasuk mereka yang sudah membunuh gurunya, yaitu Kakek Siauw Lam Hwesio.

Akan tetapi musuh‑musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai daripada Thai Li Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang tentu lebih lihai lagi, Im‑kan Seng-jin Bhong Ji Kun kabarnya memiliki il­mu kepandaian yang lebih hebat. Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik Bun Beng kalau teringat akan kakek ini, yang pernah ia saksikan ketika kakek itu mengadu ilmu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Baru bertemu dan melawan Thai Li Lama saja karena kurang hati‑hati, dia terluka. Dia harus giat melatih diri. Mematangkan ilmu‑ilmunya, teruta­ma yang dia latih di dalam guha rahasia di bawah markas Thian‑liong‑pang di lembah Huang‑ho itu, sebelum dia meng­hadapi musuh‑musuhnya yang sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan Hok‑mo‑kiam, karena pendekar itulah yang berhak atas pedang buatan Kakek Nayakavhira ini. Di sam­ping itu, dia harus mencari pemuda Pu­lau Neraka yang telah merampas Lam-­mo‑kiam!

Bun Beng melakukan perjalanan per­lahan. Dia tidak tergesa‑gesa dan di sepanjang jalan dia terus melatih ilmu­nya. Ketika ia menggunakan Hok‑mo-­kiam untuk melatih ilmu Pedang Lo-thian Kiam‑sut yang amat dahsyat itu, dia menjadi girang karena mendapat kenya­taan betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat pula beratnya sehingga pedang dan tangannya seolah‑olah telah melekat dan bersambung menjadi satu! Barulah hatinya puas setelah dia berhasil mema­inkan seluruh jurus Lo‑thian Kiam‑sut tanpa berhenti. Padahal ilmu pedang ciptaan manusia sakti Koai Lojin itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga Ketua Thian‑liong‑pang sendiri pun tidak mampu memainkan seluruhnya.

Setelah melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan melepas binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, ti­balah Bun Beng di kaki pegunungan Lu-­liang‑san, di tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia selatan. Kota raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia ber­jalan seenaknya, tiba‑tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir dan menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan baju karena tanah yang kering itu mengham­burkan debu tebal ketika barisan kuda itu berlari datang.

Pasukan atau rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa heran karena rombongan ini terdiri dari bermacam‑macam bang­sa yang dapat dilihat dari bentuk pakaian mereka. Ada orang Mongol, ada pula orang Tibet dan banyak di antara mereka adalah orang‑orang Han. Akan tetapi melihat cara mereka menunggang kuda dan duduk dengan tegak, melihat senja­ta‑senjata pedang yang tergantung di punggung, melihat gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa rom­bongan itu terdiri dari orang‑orang yang berkepandaian tinggi.

Setelah rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin, Bun Beng baru menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke barat, ke mana rombongan tadi memba­lapkan kuda. Di dalam hati timbul ke­curigaan dan keheranan. Dia merasa aneh dan tertarik sekali. Orang‑orang Mongol, Tibet, dan orang‑orang Han menjadi satu dalam sebuah rombongan? Aneh sekali! Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu menjadi bangsa yang paling “tinggi” karena bangsa inilah yang berkuasa? Ada terjadi apakah?

Karena hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu lari cepat untuk mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan mendapat keterang­an bahwa baru saja rombongan itu le­wat dan mereka tidak berhenti di dusun itu. Bun Beng membeli makanan, kemu­dian malam itu juga melanjutkan perjalanan karena merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam, dan dari du­sun itu ke timur merupakan hutan lebat, mengapa mereka itu tidak berhenti di dalam dusun?

Ketika dia melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun dan beristirahat di tempat sunyi itu, membuat api unggun dan ma­kan dari perbekalan mereka. Kiranya mereka itu hendak menjauhkan diri dari tempat ramai, maka mereka memilih tempat sunyi itu untuk melewatkan ma­lam daripada di sebuah dusun.

Bun Beng terus membayangi rombong­an ini dan dari percakapan‑percakapan mereka, dia mendengar bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip‑hong yang berada di perbatasan Mongolia, di sebuah utara kota raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan Pangeran Jeng Han dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki Ong dari istana, dia makin tertarik, apalagi ketika mendengar percakapan mereka itu membayangkan sebuah per­sekutuan antara Tibet, Mongol, pejuang­-pejuang Han, dan dari dalam istana sen­diri! Tentu merupakan persekutuan gelap, pikirnya.

Ketika rombongan itu tiba dipersim­pangan jalan, Bun Beng merasa ragu-­ragu. Kalau ke selatan, dia akan sampai di kota raja, tempat yang ditujunya se­mula. Akan tetapi, rombongan itu besuk pagi tentu akan membelok ke kiri, ke utara. Untuk apa dia mengikuti mereka ini? Urusan persekutuan itu tidak mena­rik hatinya karena dia tidak mempunyai sangkut‑paut dengan itu. Akan tetapi, malam itu, ketika ia mengambil kepu­tusan untuk melakukan pengintaian yang terakhir kalinya, dia mendengar perca­kapan yang benar‑benar mengejutkan dan menarik perhatiannya.

Dari percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, me­rencanakan untuk membunuh kaisar dan untuk merampas kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang gagah yang dipusatkan di dekat Cip-­hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat “api abadi”, yaitu daerah sete­ngah tandus di mana terdapat api yang bernyala‑nyala dari tanah dan tak pernah padam selamanya. Tanah di situ sebetul­nya mengandung sumber minyak yang tergali, dan minyak dari tanah itulah yang membuat api tak pernah padam.

Karena Bun Beng merasa benci kepa­da Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka biarpun dia tidak berhasrat menye­lamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus membayangi rombongan itu karena dia ingin menggagalkan per­sekutuan yang dipimpin oleh Koksu mu­suh besarnya itu. Lebih‑lebih ketika dia mendengar bahwa pasukan orang‑orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip‑hong itu merupakan pasukan khusus untuk menghadapi Thian‑liong‑pang! Hemm, mereka juga memusuhi Thian-­liong‑pang dan pasukan ini khusus diper­siapkan untuk melawan orang‑orang Thian‑liong‑pang! Tentu saja Bun Beng menjadi makin tertarik untuk menentang pasukan itu. Ketua Thian‑liong‑pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela Thian‑liong‑pang, atau setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati‑matian menyelamatkannya dari ba­haya maut. Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan budi kebaikan dara ini, selama hidupnya dia tidak akan dapat melupakan dara itu bukan hanya cantik jelitanya, bukan hanya karena dia puteri Pendekar Super Sakti yang dikaguminya, melainkan karena.... dia tidak mungkin dapat melupakan pribadi dara itu! Dia sendiri sampai menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok asmara!

Selama membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan berkuda itu tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah tempat yang su­nyi, merupakan bangunan‑bangunan daru­rat di luar kota yang jauh dari masyara­kat ramai, dikurung pagar yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar.

Bun Beng menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah tinggal puluhan orang sehingga dengan para pendatang itu jumlah me­reka mendekati seratus orang yang ke­semuanya kelihatan berkepandaian tinggi! Setelah malam tiba dan cuaca mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mende­kati pagar, siap untuk meloncat dan me­nyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba‑tiba dia berjongkok dalam gelap ketika melihat berkelebatnya bayangan meloncati pagar. Gerakan orang itu cukup ringan dan lincah dan sekelebatan Bun Beng melihat bahwa orang itu adalah seorang laki‑laki bertubuh kurus jangkung, berusia empat puluhan tahun dan tangan kanan­nya memegang sebatang golok besar.

Bun Beng tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu tentulah bukan anggota rombongan yang tinggal di situ, karena gerakan dan sikapnya seperti seorang pencuri. Diam­-diam Bun Beng meloncat ke atas pagar dan cepat melayang turun ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi orang bergolok itu.

Benar saja dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perla­han‑lahan membuka genteng! Akan teta­pi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas wuwungan menimbulkan sedikit suara, tiba‑tiba Bun Beng melihat bayangan‑bayangan orang meloncat naik ke atas genteng dengan berturut‑turut. Jumlah mereka delapan orang dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat bangun dan mengamuk. Terjadilah pertempuran yang berat sebe­lah. Biarpun gerakan golok pencuri itu cukup lihai, namun menghadapi pengero­yokan belasan orang yang rata‑rata me­miliki ilmu silat yang cukup kuat akhirnya dia roboh, goloknya terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian diringkus, di­ikat kaki dan tangannya dan dibawa masuk ke dalam pondok.

Bun Beng tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih perlu melakukan penyelidikan ke­adaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup luas dan sedikitnya ada dua puluh buah pondok darurat yang dibangun seca­ra sederhana akan tetapi cukup kuat. Di sudut terdapat sebuah bangunan besar dan agaknya malam itu mereka berpesta, diseling suara ketawa‑ketawa laki‑laki dan perempuan. Hemm, kiranya di tem­pat itu disediakan pula wanita‑wanita untuk menghibur pasukan khusus itu, pikir Bun Beng. Dia memutari bangunan­-bangunan itu dan memeriksa ke pekarangan belakang. Di tempat inilah tam­pak beberapa lidah api bernyala‑nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari situ ia melihat sebuah sumur. Ketika ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya men­cium bau keras, bau minyak! Hmm, bu­kan air yang berada di sumur itu agak­nya, melainkan minyak! Benar‑benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat men­jauhi sumur karena menjenguk sebentar saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap minyak itu beracun agaknya!

Tiba‑tiba terdengar suara ribut‑ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tem­pat gelap dan melihat empat orang menyeret pencuri tadi yang sudah dibe­lenggu kaki tangannya. Melihat keadaan pencuri itu tentu dia telah disiksa karena matanya bengkak‑bengkak dan dia tidak mengeluarkan suara apa‑apa kecuali me­rintih perlahan. Empat orang diikuti oleh belasan orang yang tertawa‑tawa geli, seolah‑olah mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang menarik hati.

Dengan hati ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri sial itu di atas sumur, kepalanya di bawah kakinya di atas, ke­mudian mengereknya turun sehingga tampak hanya kakinya di atas permukaan bibir sumur, terikat pada tali timba su­mur. Kaki itu meronta‑ronta dan talinya bergoyang‑goyang sedangkan belasan orang yang mengelilingi sumur itu ter­tawa bergelak‑gelak, kemudian mereka meninggalkan sumur itu sambil tertawa­-tawa, kembali ke dalam pondok, dan ada pula yang agaknya hendak menuju ke pondok di sudut di mana terdengar suara wanita bernyanyi‑nyanyi dan orang‑orang tertawa‑tawa.

Bun Beng tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu, sehingga tidak perlu dia me­ninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk membela seorang pencuri yang tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah orang‑orang itu pergi Bun Beng cepat meloncat mendekati sumur. Malam telah hampir lewat dan sinar kemerahan telah muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat keluar dari tempat itu, maka Bun Beng segera menyambar tali tim­ba dan menarik keluar pencuri sial itu. Orang itu napasnya sudah empas‑empis. Bun Beng mengangkatnya keluar dan merebahkannya ke atas tanah, merenggut putus belenggu kaki tangannya. Orang itu membuka matanya yang bengkak‑beng­kak, tadinya mengira bahwa dia akan disiksa lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berjongkok di dekatnya dan pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya, mulutnya bergerak‑gerak lirih,

“Persekutuan.... hendak membunuh Kaisar.... membunuh Pangcu....”

Bun Beng mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang mata‑mata agaknya!

“Engkau anggota perkumpulan apa?”

“Mereka.... menyiksaku.... aku tidak pernah mengaku.... Thian.... Pangcu akan dibunuh.... auugghh....” Orang itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang anggota Thian‑liong-pang, se­orang mata‑mata Thian‑liong‑pang yang dapat mencium rahasia persekutuan itu, akan tetapi tertangkap dan terbunuh.

Karena tidak dapat berbuat apa‑apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun Beng lalu meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan tetapi dia terlambat karena pada saat itu, terdengar suara orang dan tampak belasan orang keluar dan menuju ke sumur itu sambil membawa ember-­ember besar.

Bun Beng tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengeta­hui apa yang hendak dilakukan orang-­orang itu dengan ember‑ember mereka? Dia melihat ke sekelilingnya dan melihat gentong‑gentong besar berada tak jauh dari sumur. Cepat ia lari menghampiri dan memasuki sebuah di antara gentong-­gentong kosong itu, bersembunyi di situ dan menggunakan jari tangannya menus­uk gentong sehingga berlubang dan ia mengintai dari lubang itu keluar!

“Haiii! Kenapa dia bisa terlepas....?”

“Wah, belenggunya putus semua....”

“Akan tetapi dia sudah mampus!”

“Hemm, orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia orang terkenal dari Thian-­liong‑pang, sayang dia berani menyelidiki kita sehingga mati konyol.”

“Dia tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan belenggu kaki tangannya dan mampus.”

Seorang di antara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki‑laki bertubuh raksasa, bertelanjang dada dan kepalanya gundul akan tetapi muka­nya penuh cambang bauk. Di sebelahnya berjalan seorang tinggi kurus yang mukanya pucat kuning, namun sikapnya me­nunjukkan bahwa dialah pemimpin di situ sedangkan raksasa itu adalah pembantu utamanya.

“Kubur dia di sudut kosong sana!” Terdengar laki‑laki tua kurus itu berkata.

Dua orang menggusur mayat itu, ke­mudian laki‑laki muka pucat itu berkata lagi,

“Hari ini kita menimba sepuluh gen­tong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran Jenghan yang harus dikirim be­sok. Kemudian semua harus bersiap, ka­rena kita hanya menanti datangnya beri­ta dari Koksu saja untuk segera bergerak ke selatan secara menggelap.”

Setelah kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja me­nimba minyak dari dalam sumur dan mengisi gentong‑gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun Beng merasa lega karena dia berada di dalam gentong yang ke enam belas sehingga tidak khawatir akan disiram minyak! Diam-­diam dia memperhatikan orang‑orang yang menimba minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus meninggalkan persekutuan ini atau setidaknya menga­caukan tempat itu? Untuk melawan orang banyak itu, kurang lebih seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi apa gunanya? Orang‑orang itu kelihatan pandai, apalagi Si Kurus muka pucat dan Si Raksasa itu, tentu bukan orang‑orang sembarangan. Kalau dia sekarang meloncat ke luar dan melarikan diri, tentu dia bisa lolos dari tempat itu, akan tetapi dia ingin sekali melihat ke­datangan utusan Koksu dan mendengar perkembangan selanjutnya dan rombongan orang kuat yang sengaja dikumpulkan di tempat itu. Selain menjadi tempat memusatkan calon pasukan istimewa untuk melawan Thian‑liong‑pang, juga agaknya mereka itu sekalian berjaga, menjaga sumber minyak!

Untung bahwa Bun Beng tidak menu­nggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua tiga jam, sepuluh buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian mereka semua pergi untuk membereskan tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik kukacau mereka se­karang, kemudian melihat perkembangan lebih jauh, pikir Bun Beng. Dia belum begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi dia tahu bahwa api bernyala kalau bertemu mi­nyak. Melihat di sekitar sumur itu sudah sunyi, Bun Beng meloncat keluar dari gentong, mengambil sebatang kayu kering mencelupkan kayu itu ke dalam gentong yang penuh minyak, kemudian dengan pedang Hok‑mo‑kiam dia memukul batu di bibir sumur sehingga berpijarlah bunga api yang menyambar kayu itu. Kayu itu bernyala keras seperti yang diduga oleh Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu melemparkan kayu bernyala itu ke dalam sumur!

“Heiii! Tangkap pengacau!” Tiba‑tiba terdengar teriakan keras dan seorang berpakaian Han menyerang Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang itu cukup tangkas karena dia meloncat dari jarak empat meter, sam­bil meloncat pedangnya menusuk ke arah punggung Bun Beng dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga besar.

Pada saat itu, Bun Beng sedang ber­diri tegak, pedang Hok‑mo‑kiam masih terhunus dan berada di tangan kanan, agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia sedang memandang ke arah sumur dengan terbelalak menyaksi­kan betapa ada suara gemuruh keluar dari sumur itu disusul lidah‑lidah api dan asap hitam yang mengantar bau yang menyesakkan napas. Akan tetapi, begitu ujung pedang lawan hampir menyentuh punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang dan tubuh lawan lewat dan tiba‑tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya. Terde­ngar teriakan mengerikan ketika tubuh laki‑laki yang terlanjur meloncat dan kini ditambah dorongan Bun Beng itu meluncur masuk ke dalam sumur yang bernyala‑nyala!

Bun Beng yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang ter­belalak! Tak disangkanya sama sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadi­nya hal mengerikan itu! Dia tidak ber­maksud untuk melempar penyerangnya itu ke dalam sumur untuk dibakar hidup­-hidup!

Teriakan yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan tampaklah berbondong‑bondong penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng tidak mau melarikan diri seperti pencuri karena biarpun dia dikepung, kalau hen­dak meloloskan diri pun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia me­nyimpan kembali pedangnya dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu.

Melihat sikap Bun Beng, orang‑orang itu menjadi ragu‑ragu untuk menyerang. Apalagi karena mereka tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti sampai orang kurus ber­muka pucat itu muncul bersama pemban­tu utamanya, Si Gundul. Orang kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia berasal dari utara.

“Siapakah engkau?” Orang itu berta­nya sambil memandang Bun Beng dengan penuh perhatian.

“Namaku Gak Bun Beng,” jawab Bun Beng sederhana.

“Mau apa engkau datang ke sini? Apakah engkau juga seorang mata‑mata Thian‑liong‑pang?”

Bun Beng menggeleng kepalanya. “Aku tidak disuruh oleh siapapun juga, juga tidak mewakili siapa‑siapa. Aku kebetul­an lewat dan ingin tahu apa yang berada di dalam tempat yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi orang‑orang yang menga­dakan persekutuan!”

Semua orang memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si Tua kurus itu mengangkat ta­ngan menyuruh anak buahnya diam. “Kulihat engkau masih amat muda akan tetapi sikapmu tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali di sini kurang hiburan bagi anak buahku. Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau diberi hiburan pertandingan silat yang sungguh‑sungguh tentu akan menimbulkan kegembiraan.”

“Bagus! Bagus....! Serahkan dia kepa­daku, biar kupatahkan batang lehernya!”

“Tidak, kepadaku saja! Aku ingin me­robek mulut yang sombong itu!”

“Biarkan aku menghancurkan kepala­nya!”

Si Kurus pucat itu kembali mengang­kat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu berkata gagah.

“Kita adalah orang‑orang gagah di dunia kang‑ouw, mengapa bersikap sega­nas itu? Tidak, pertandingan ini akan diadakan satu lawan satu dengan adil. Akan tetapi aku ingin sekali tahu, siapa­kah yang tadi mengeluarkan suara men­jerit?”

Tidak ada seorang pun yang tahu. “Kami sendiri pun tidak tahu. Suara itu terdengar dari sini, akan tetapi ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang diri. Jangan-jangan setan dari mata‑mata itu yang....”

“Hemmm, tak patut orang gagah percaya akan tahyul!” Si Kurus membentak. “Tentu ada yang berteriak tadi, terde­ngarnya seperti teriakan ketakutan. Eh, orang muda she Gak, apakah engkau tahu siapa yang berteriak tadi?”

Bun Beng mengangguk. “Aku tahu, se­bab yang menjerit tadi adalah seorang anak buahmu yang menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini.”

Jawaban ini kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah membakar sumur, masih meng­aku seenaknya dengan begitu tenang!

“Di mana dia sekarang?” Si Kurus bertanya lagi.

“Di dalam sana...!” Bun Beng menu­ding ke arah sumur yang masih bernyala itu.

Kembali suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat tangannya.

“Apakah engkau melemparnya ke da­lam sumur?” tanyanya kepada Bun Beng. Suaranya sudah kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.

“Sama sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk membunuhku sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam sumur.”

Semua orang terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan me­reka yang terbakar hidup‑hidup. Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang.

“Gak Bun Beng, kesalahanmu bertum­puk‑tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat terlarang ini tanpa ijin, seperti maling. Ke dua engkau berani membakar sumur yang kami jaga ini. Ke tiga eng­kau telah membunuh seorang di antara anak buahku. Menurut patut, engkau ha­rus dibunuh sekarang juga. Akan tetapi, melihat engkau masih begini muda dan mengingat bahwa kami adalah orang­-orang gagah yang tidak mau membunuh begitu saja....”

“Kecuali ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata‑mata Thian‑liong-­pang itu, ya?” Bun Beng memotong.

“Hemmm, itu lain lagi. Dia adalah anggauta Thian‑liong-pang, musuh kami. Sedangkan engkau hanya seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Engkau boleh membela nyawamu dalam pertandingan satu lawan satu, tanpa ada pengeroyokan.”

“Hemmm, kalau aku menang aku bo­leh pergi dengan bebas?”

“Kalau sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!” kata Si Kurus dan terdengarlah suara orang‑orang ter­tawa bergelak. Mereka itu tentu saja memandang rendah kepada Bun Beng. Sebagian di antara mereka adalah orang­-orang kang‑ouw dan liok‑lim, dan mereka belum pernah bertemu atau mendengar nama Gak Bun Beng di dunia persilatan.

“Siapa di antara kalian yang berani melawan bocah ini?” Pemimpin kurus itu berseru.

Pertanyaan itu disambut suara sorak-­sorai karena hampir semua orang yang berada di situ mengangkat tangan dan mereka seolah‑olah hendak berebut me­nandingi pemuda itu, bukan hanya untuk membalaskan kematian teman mereka, juga ini merupakan kesempatan bagi me­reka untuk memamerkan kepandaian!

“Locianpwe, mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah‑susah? Agar urusan cepat selesai, suruh pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang, berarti mereka yang berteriak‑teriak itu tentu takkan ada yang berani maju lagi, kalau aku kalah, yah, terserah!”

Si Muka pucat ini agaknya senang se­kali disebut “locianpwe” oleh Bun Beng, maka kembali dia mengangkat tangan menyuruh orang‑orangnya diam, kemudian berkata,

“Ucapan bocah ini benar juga, cukup masuk akal dan bisa diterima. Akan te­tapi, sungguh membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol kalau dia harus maju sendiri melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah seorang ahli silat dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang ke dua sesudah aku di tempat ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta, dan memang ada benarnya juga agar tidak membuang waktu, biarlah aku menyuruh orang ke tiga maju melayanimu beberapa jurus. Agar kauketahui sebelumnya bahwa per­tandingan ini merupakan pibu (adu ke­pandaian) sehingga terluka atau mati bukan merupakan persoalan yang harus disesalkan.”

“Aku mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ke tiga di tempat seperti ini cukup terhormat!”

“Ha‑ha, bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bu­kan anak buahku. He, Thai‑lek‑gu (Ker­bau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka mewakili aku melayani Gak Bun Beng ini!” kata Si Kepala asra­ma yang kurus itu.

Dari dalam rombongan orang‑orang itu muncullah seorang laki‑laki yang membuat Bun Beng hampir tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pen­dek sekali, akan tetapi amat besar dan gendut sehingga seperti bola yang besar. Perutnya besar bulat sehingga bajunya di bagian perut tidak dapat menutupinya dengan baik dan tampaklah kulit perut putih halus membayang di antara kan­cing baju yang terlepas. Kepalanya juga bulat dengan sepasang mata kecil sipit. Kakinya pendek buntek, besar seperti kaki gajah, demikian kedua lengan­nya besar akan tetapi panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia mem­bungkuk sedikit saja, kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua lengan itu mirip sepasang kaki de­pan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau Bertenaga Raksasa, karena memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang bergantung ke bawah itu.

Thai‑lek‑gu langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbu­ka dan terdengar suaranya yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat itu.

“Orang muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah tidak lebih baik engkau cabut pedangmu itu dan memenggal le­hermu sendiri supaya lebih cepat mati dan tidak tersiksa lagi?” Ucapan ini disambut suara tertawa di sana‑sini ka­rena semua orang mengerti bahwa ucap­an itu merupakan ejekan.

Bun Beng tersenyum. “Aku heran se­kali mengapa engkau dijuluki Thai‑lek-­gu, kalau melihat matamu yang kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki Thai‑lek‑ti (Babi Tenaga Raksa­sa), sungguh pun aku masih menyangsikan sekali akan tenagamu.”

Kembali terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai‑lek‑gu yang menjadi bahan tertawa sehingga dia marah sekali. “Bo­cah bermulut lancang! Kematian sudah di depan hidung engkau masih berani kurang ajar terhadap aku?”

“Memang kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung siapa!” Bun Beng meng­gerak‑gerakkan cuping hidungnya, “Me­nurut hidungku, aku tidak mencium ke­matianku, akan tetapi ada bau‑bau tidak enak datang deri tempat kau berdiri!”

Kembali orang‑orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka mengejek dan mempermainkan teman‑temannya yang tidak berani melawan, maka kini mendengar dia diolok‑olok oleh pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan tertawa geli, biarpun mereka semua maklum bahwa tentu pemuda itu akan tewas oleh Si Gendut yang lihai. Karena melihat pe­muda itu menggerak‑gerakkan cuping hidungnya, Thai‑lek‑gu otomatis juga mencium‑cium, akan tetapi karena hidungnya pesek hampir tidak ada ujung­nya, maka tentu saja tidak dapat dige­rak‑gerakkan, hanya lubangnya saja yang menjadi makin lebar. Saking marahnya, dia tidak dapat berkata apa‑apa lagi dan hanya mengeluarkan suara menggereng kemudian secara tiba‑tiba dia menyerang Bun Beng. Biarpun tubuhnya gendut seka­li akan tetapi ternyata gerakannya cepat ketika dia menubruk dengan kedua lengan yang panjang itu terpentang, kemudian menyergap dari kanan kiri hendak me­rangkul tubuh Bun Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk‑tekuk dan dipa­tah‑patahkan semua tulangnya!

“Bresss!” Tiba‑tiba Thai‑lek‑gu men­jadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak mungkin dapat dielakkan lagi, kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak lawan, akan tetapi begitu kedua tangannya meringkus, yang diring­kusnya hanya angin saja dan tubuh pe­muda itu sudah lenyap! Cepat dia mem­balikkan tubuhnya dan ternyata pemuda itu sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan tersenyum‑senyum.

Terkejutlah Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksi­kan betapa dengan amat sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai‑lek‑gu dan meloncat ke atas melewati kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung walet saja di belakang Thai‑lek‑gu.

Juga Thai‑lek‑gu yang bukan merupa­kan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbuk­ti dari gin-kangnya yang istimewa, ber­sikap hati‑hati dan tidak lagi berani me­mandang rendah bahkan dia menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar dapat menghadapi lawan dengan tenang.

Setelah memasang kuda‑kuda, mulai­lah Thai‑lek‑gu membuka serangannya. Tubuhnya seperti menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup oleh perutnya, dan tahu-­tahu kedua lengannya sudah menyambar ke depan bergantian, melakukan pukulan-pukulan yang amat keras sehingga ter­dengar anginnya mengiuk berulang‑ulang.

Bun Beng menurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak cepat sampai tidak tampak, tahu‑tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah lengan lawan, yang kanan mengetuk pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri mengetuk tulang dekat siku.

“Plak! Tukkk!”

“Wadouuhh....!” Thai‑lek‑gu berteriak keras sekali dan cepat meloncat mundur, mulutnya yang amat kecil dibandingkan dengan kepala dan perutnya itu menyeringai kesakitan kedua tangannya sibuk sekali bergerak bergantian, yang kiri mengusap siku kanan, yang kanan menggosok pergelangan tangan kiri. Kulit lengan di kedua tempat itu membiru dan tampak benjolan sebesar telur ayam!

Dengan kemarahan yang meluap‑luap, Thai‑lek‑gu kini menyambar sepasang golok yang dibawakan oleh seorang teman­nya. Sepasang golok ini pantasnya untuk menyembelih babi, dan memang Thai­-lek‑gu ini dahulunya adalah seorang jagal babi!

Betapapun marahnya, Thai‑lek‑gu ini adalah seorang tokoh kang‑ouw yang tahu akan kegagahan, maka sambil me­nahan marah, menggerak‑gerakkan sepa­sang goloknya di depan dada kemudian berhenti depan dada dalam keadaan bersilang dia berseru,

“Hayoh keluarkan senjatamu!”

Bun Beng tersenyum. Dia tidak mem­punyai urusan atau permusuhan pribadi dengan orang‑orang ini dan biarpun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak, namun dia tidak pula ber­pihak kepada Kaisar Mancu. Andaikata mereka ini bukan kaki tangan Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya dia pun tidak mau mengganggu mereka. Apalagi melihat sikap Thai‑lek‑gu yang masih menghargai kegagahan dalam pertandingan ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan yang bertangan kosong, dia mengambil keputusan untuk bersikap lunak terhadap mereka.

“Thai‑lek‑gu, tidak perlu aku mem­pergunakan senjataku sendiri karena eng­kau sudah begitu baik hati untuk menye­diakannya untukku. Nah, seranglah!”

Thai‑lek‑gu memandang heran dan ragu‑ragu. “Orang muda yang sombong, jangan kau main‑main. Sepasang golokku ini sekali keluar, tidak akan masuk sa­rungnya kembali sebelum minum darah lawan. Keluarkan senjatamu!”

“Baiklah, akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kaupinjamkan kepadaku itulah!” Tiba‑tiba Bun Beng nenubruk ke depan dan mengirim serangan kilat, menusukkan jari tangan kirinya ke arah mata lawan.

Thai‑lek‑gu marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok ka­nannya berkelebat membacok ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu tiba‑tiba meren­dahkan diri, gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat di atas kepalanya dan tiba‑tiba Thai‑lek‑gu mengeluarkan seruan tertahan dan meman­dang dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah tersenyum‑senyum me­mandangnya dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas secara cepat dan aneh oleh pemuda itu!

“Nah, sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi pinjam golok ini kepadaku, Thai‑lek‑gu.”

Thai‑lek‑gu marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam segebrakan saja telah berhasil merampas sebatang di antara sepasang goloknya. Hal ini saja membuktikan bah­wa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan me­nerjang ke depan dengan nekat.

“Trang‑trang‑trang....!” Tiga kali Si Pendek gendut menyerang dan tiga kali Bun Beng menangkis tanpa menggeser kaki dari tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi kemana pun golok lawan menyambar, selalu dapat ditangkisnya dan setiap tangkisan membuat Thai‑lek-gu terpental ke belakang. Hal ini menge­jutkan semua orang. Thai‑lek‑gu terkenal memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut‑turut dapat ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai‑lek-gu terpental!

Tentu saja Thai‑lek‑gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke depan, menyerbu dengan golok diang­kat tinggi‑tinggi di atas kepala, kemudi­an golok itu menyambar ke arah leher Bun Beng, dibarengi cengkeraman tangan kiri Thai‑lek‑gu ke arah perutnya! Se­rangan ini dahsyat sekali dan merupakan serangan mati‑matian untuk mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak men­jadi gentar. Dia sengaja mengerahkan tenaganya, menggerakkan golok menang­kis golok lawan, sedangkan tangan kiri­nya menyambut cengkeraman tangan la­wannya dia menotok pergelangan tangan.

“Krekk.... dessss!” Golok di tangan Thai‑lek‑gu patah-patah dan dia menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar ke be­lakang dan lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapapun diusahakannya untuk me­ngatur keseimbangan tubuhnya, tetap saja dia terbanting roboh dan karena kelumpuhan lengan kiri, terpaksa dengan susah payah dia merangkak bangun.

“Maafkan aku dan kukembalikan golokmu. Terima kasih!” Bun Beng melempar golok pinjaman itu yang meluncur ke depan. Semua orang terkejut, mengira bahwa pemuda itu melontarkan goloknya untuk membunuh Thai‑lek‑gu, akan teta­pi golok itu berputaran kemudian melun­cur turun menancap di atas tanah depan pemiliknya.

Tiba‑tiba terdengar suara menggereng seperti seekor biruang marah dan tanah seperti tergetar ketika seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan matanya yang lebar dia memandang Bun Beng, mulut yang tertutup cambang bauk melintang galak itu bergerak‑gerak dan terdengar suaranya yang kaku dan parau,

“Aku Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan seperti engkau. Orang muda, ma­julah kau mari mulai!” Baru saja menghentikan kata‑katanya, raksasa itu sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng. Pemuda ini mengerti bahwa lawannya memiliki te­naga yang amat hebat, hal ini diketahui­nya dari angin sambaran kedua lengan itu. Akan tetapi karena dia memang ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan lawan yang menurut Si Muka Pucat tadi adalah jago nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli gulat, maka dia sengaja bergerak lambat dan mem­biarkan pinggangnya ditangkap. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tahu‑tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat tubuhnya sama sekali tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang meng­angkat tubuhnya ke atas, memutar‑mutar tubuhnya sambil tertawa‑tawa!

“Kiranya tenagamu tidak berapa he­bat, orang muda. Nah, pergilah kau!” Sambil berkata demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan melemparkan tubuh Bun Beng ke depan.

Tanpa dapat dilawan pemuda ini, te­naga dahsyat mendorongnya dan mem­buat tubuhnya meluncur jauh ke depan, seolah‑olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang dengan cepatnya. Namun Bun Beng dapat menguasai diri­nya. Dengan ilmu gin‑kangnya dia ber­jungkir‑balik di tengah udara dan tubuhnya kini membalik dengan tenaga lontaran masih mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah lawannya! Ten­tu saja Gozan menjadi terkejut dan ter­heran melihat pemuda lawannya itu tahu‑tahu telah berkelebat datang dan berdiri di depannya kembali sambil ter­senyum‑senyum mengejek!

“Engkau masih belum pergi? Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!” Gozan membentak dan kini dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan tangannya, seperti otomatis, bergan­tian dan bertubi‑tubi menghujankan pu­kulan dan tendangan ke arah tubuh Bun Beng.

Biarpun gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak yang teratur, dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa tenaga Si Raksasa itu amat besar dan bahwa ter­kena sekali saja oleh pukulan atau ten­dangan itu, amatlah berbahaya. Maka dia mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan kiri dan belakang sampai puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi lelah dan napasnya terengah‑engah. Tiba­-tiba raksasa itu menghentikan serangan­nya dan memandang dengan mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan marah dan dia berkata,

“Orang muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu menjauhkan diri? Kalau tidak be­rani bertanding, kau berlututlah dan mengaku kalah, kalau memang berani balaslah seranganku!”

 “Begitulah kehendakmu? Nah, sambutlah ini!” Bun Beng tersenyum dan memu­kul ke arah dada raksasa itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat itu. Akan tetapi, secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara yang tak terduga‑duga. Gerakan kedua tangan raksasa itu seper­ti gerakan dua ekor ular yang menyam­bar dari kanan kiri dan tahu‑tahu lengan kanan Bun Beng telah ditangkapnya! Ki­ranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan, raksasa itu sama sekali tidak berdaya mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak menggunakan ilmu gulatnya! Sebelum Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali tubuhnya sudah terangkat ke atas, di atas kepala lawan­nya, kemudian dia dibanting ke bawah dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi lemparannya tidak berhasil, kini Gozan mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh lawan, melainkan mem­bantingnya ke atas tanah.

“Wuuuttt.... brukkk.... ngekkk!”

Semua orang terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si Kurus Pucat yang menjadi pemimpin ketika menyak­sikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa tinggi besar tadi kini terkapar di depan kaki Bun Beng, dalam keadaan pingsan! Jelas semua orang melihat tadi betapa tubuh pemuda itu telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba‑tiba keadaannya terbalik, bukan tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si Raksasa itu sendiri? Kiranya Bun Beng sudah bergerak cepat sekali. Ketika tubuhnya dibanting dan lengan kanannya dicengkeram, dia meng­gunakan tangan kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika tubuh raksasa itu menjadi lemas. Dengan gerakan indah sekali, namun cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata, Bun Beng yang masih terdorong oleh tenaga bantingan membalikkan tubuh sehingga kakinya yang lebih dulu tiba di atas tanah, se­dangkan dia menggerakkan kedua tangan yang kini memegang pangkal lengan rak­sasa itu, menggunakan sisa tenaga ban­tingan lawan untuk mengangkat tubuh lawan dan membantingnya, ditambah dengan tenaga sin‑kangnya sendiri. Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak mampu mempertahankan diri dan berat tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat aki­batnya sehingga dia pingsan seketika!

“Wirr.... siuuuuttt....!”

Bun Beng cepat merendahkan tubuh­nya kaget sekali melihat senjata yang menyambarnya. Kiranya Si Muka Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan senjata di tangan orang ini benar‑benar amat luar biasa. Pimpinan orang‑orang gagah itu memegang gagang pancing, lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi yang mengenal Liong Khek, Si Ku­rus muka pucat ini tentu tidak akan heran karena dia memang berasal dari keluarga nelayan. Mungkin mengingat akan asal‑usulnya ini, ditambah lagi bah­wa senjata istimewa ini amat hebat dan jarang dikenal lawan, maka dia memilih­nya sebagai senjatanya.

“Orang muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan bernyawa!” Liong Khek berseru dan me­nerjang maju dengan senjatanya yang aneh.

Bun Beng merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang ahli silat ber­senjata pancing, bahkan mendengar pun belum pernah. Oleh karena itu, dia menyabarkan diri dan ingin sekali meli­hat bagaimana lawannya mempergunakan senjata istimewa itu.

“Singgg.... siuuuttt....!” Kembali sinar kecil itu menyambar dan Bun Beng cepat mengelak mengulur tangan berusaha me­nangkap tali pancing itu. Akan tetapi dengan gerakan pergelangan tangannya, Liong Khek Si Kurus itu telah menarik kembali tali pancingnya, kemudian meloncat maju kan kini mempergunakan gagang pancingnya sebagai senjata tong­kat untuk menusuk lambung Bun Beng.

Pemuda ini mengelak sambil menang­kis dengan lengannya, dengan hati‑hati dan penuh perhatian menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar‑benar hebat dan berbahaya sekali. Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata kail yang terbuat dari baja dan amat runcing melengkung itu kadang‑kadang menyambar ke arah ba­gian‑bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali dapat ditarik kembali kalau talinya digerakkan atau disendal. Bahkan ada kalanya, gagang pancing menyerang dibarengi sambaran mata kail dari lain jurusan! Benar‑benar senjata yang tak tersangka‑sangka ini merupakan senjata yang amat berbahaya kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya.

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang ber­pakaian tentara memasuki markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat Liong Khek bertanding melawan seorang pemuda, komandan pasukan bertanya‑tanya. Ketika mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang mata-­mata, komankan pasukan berkata marah.

“Kalau dia mata‑mata, mengapa tidak dibunuh saja? Hayo serbu!”

Selosin orang tentara itu sudah me­loncat turun dari atas kuda, dan kini bersama orang‑orang gagah yang berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok Bun Beng. Pemuda ini tertawa melengking, mengerahkan khi‑kang sehingga para pengeroyok itu terbelalak kaget, kaki mereka menggigil dan seje­nak mereka tidak dapat bergerak. Juga Liong Khek terkejut sekali ketika suara lengkingan dahsyat itu membuat tubuhnya tergetar. Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya tahu‑tahu sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan senjata pancing­nya telah dirampas pemuda yang luar biasa itu! Ketika terbanting jatuh, mak­lumlah Liong Khek ternyata bahwa pe­muda itu tadi hanya main‑main saja dan bahwa sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!

Bun Beng mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan pakaian dan topinya yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk caping petani yang lebar itu, menalikan tali caping di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di depan dada sehingga buntalan itu ter­gantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini dikerjakan selagi tubuhnya di atas pagar.

Para pengeroyoknya sudah lari me­ngejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang naik ke atas pagar sambil menyerangnya.

“Wuuuttt.... wirrr....!” Dua orang men­jerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing di tangan Bun Beng bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang itu!

Timbul kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia ta­dinya hendak melompat keluar dari tem­pat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran senjata pancing itu, dia ingin mencoba lagi dan kini dia malah melompat turun ke sebelah dalam mar­kas! Tentu saja dia disambut pengeroyok­an puluhan orang itu, termasuk pasukan tentara yang baru tiba.

“Heii, apakah kalian ini anjing‑anjing Koksu?” Bun Beng berteriak sambil me­lompat ke kiri dan menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya.

Kembali dua orang yang menyerbunya roboh terpelanting!

“Kami adalah pengawal‑pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!” bentak Si Komandan pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang‑ouw, tentu pemuda itu akan gentar dan tunduk kalau mendengar nama Koksu.

Akan tetapi pemuda itu malah tertawa bergelak. “Kalau kalian anjing-­anjing pengawal dari Koksu, aku belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!” Kini Bun Beng mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepa­da pasukan itu. Mendengar bahwa pasu­kan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa tidak senangnya.

Empat orang anggauta pasukan roboh pingsan terkena tamparan tangannya, sedangkan dua orang lagi masih menga­duh‑aduh karena muka mereka robek terkait mata kail yang runcing. Akan tetapi, orang‑orang gagah yang dipimpin oleh Liong Khek merasa marah dan merasa terhina bahwa di depan utusan‑utus­an Koksu, mereka tidak mampu menangkap seorang pengacau yang masih muda. Mereka berteriak‑teriak dan mengepung Bun Beng. Pemuda ini menjadi kewalahan juga menghadapi demikian banyaknya pengeroyok. Dia tertawa dan tiba‑tiba tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas atap kandang kuda, senjata pan­cingnya terayun‑ayun di tangan kiri. Dia melihat‑lihat ke bawah, hendak memilih kuda yang terbaik yang terkumpul di situ.

Perwira yang memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu. “Kepung, jangan biarkan dia lolos dengan mencuri kuda!” teriaknya sambil berlari cepat diikuti sisa anak buahnya ke bawah atap di mana Bun Beng berdiri. Koman­dan itu menggerakkan senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.

 “Crappp!” Tombak bercabang itu me­nembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun Beng mengelak, bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.

“Auuuhwww.... aduuuuhhh....!” Mata kail yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait pinggul seorang anak buah pasukan dan sekali tangan kiri Bun Beng digerakkan, tubuh orang yang ter­pancing itu terangkat naik ke atap. Pada saat itu, komandan pasukan dan seorang anak buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan tombak mereka dari bawah mengarah tubuh Bun Beng.

“Crepp! Creppp!”

Dua batang tombak panjang itu me­nembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan mudah sekali, Bun Beng me­loncat menghindar kemudian turun de­ngan kedua kaki, menginjak ujung dua batang tombak yang menembus atap itu! Gagang pancingnya dia gerakkan berpu­tar sehingga tubuh tentara itu pun ter­bawa berputaran, kemudian sambil ter­tawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan. Karena lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak se­hingga dia tertimpa tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling‑guling!

Sebelum komandan itu sempat bangun dan dalam keadaan masih nanar karena kepalanya terbentur keras, tiba‑tiba dia merasa pundaknya dicengkeram dan tahu-tahu pemuda yang dikeroyoknya tadi telah berada di dekatnya, tangan kiri mencengkeram pundak dan tangan kanan menodongnya dengan sebatang tombak. Tombaknya sendiri!

“Mundur semua, kalau tidak, kubunuh perwira ini!” Bun Beng membentak sam­bil menempelkan ujung tombak yang runcing itu ke perut Si Komandan yang menjadi ketakutan, bermuka pucat dan menggigil.

Melihat ini, Si Muka pucat segera memberi aba‑aba kepada anak buahnya untuk mundur. Tentu saja keselamatan komandan pasukan yang menjadi utusan Koksu amatlah penting, dan kini dia ya­kin bahwa pemuda yang mengacau itu benar‑benar seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, terlampau tinggi untuk mereka tandingi dan kalau mereka melanjutkan pertandingan dan pengero­yokan dengan jalan kekerasan, akibatnya akan berbahaya sekali.

“Mundur.... hentikan pertandingan!” teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia melangkah maju menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata,

“Orang muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata‑mata dan tidak memusuhi kami, mengapa engkau membikin kacau dan menangkap seorang pa­nglima dari kota raja?”

Bun Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek, “Ha‑ha‑ha! Kalau ada maling teriak ma­ling, hal itu amat lucu dan dapat dime­ngerti karena Si Maling ingin menyela­matkan diri. Akan tetapi kalau ada pemberontak teriak pemberontak, hal ini sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku bukan seorang penjilat Kaisar, juga bukan seorang pemberontak. Bukan aku yang mengacau di sini, melainkan kalian sendiri yang memaksaku bertan­ding!”

Si Kurus bermuka pucat itu kembali menjura. “Kalau begitu, kami menerima salah, harap engkau suka membebaskan panglima yang menjadi tamu kami.”

“Panglima ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda,” kata pula Bun Beng.

“Seekor kuda....?” Si Kurus memandang tajam.

“Ya, seekor kuda yang paling baik diantara semua kuda di sini.”

Mengertilah Si Kurus. Dia lalu mem­beri aba‑aba kepada anak buahnya untuk mengeluarkan kuda tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar-­benar bagus dan kuat, merupakan kuda pilihan.

“Nah, ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya,” katanya.

Bun Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di atas punggung kuda. Dia se­ngaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat sikap mereka itu. Begitu melihat perwira itu dilepaskan, terjadi gerakan-­gerakan seolah‑olah mereka hendak maju lagi menerjang Bun Beng yang bersikap tenang di atas punggung kudanya. Akan tetapi Si Kurus bermuka pucat mengang­kat tangan kanan ke atas dan membentak,

“Jangan bergerak! Biarkan Gak‑congsu lewat dan keluar dari sini tanpa ganggu­an!”

Bun Beng melarikan kudanya, menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata, “Teri­ma kasih. Pemberontak atau bukan, eng­kau masih mempunyai sifat kegagahan!” Kudanya lari terus keluar dari pintu pa­gar tanpa ada yang merintanginya, dan pemuda ini melanjutkan perjalanan menu­ju ke selatan, ke kota raja.

***

“Haiiii....! Maharya pendeta palsu tu­kang tipu! Hayo keluar kau jangan sem­bunyi saja! Terimalah jawaban teka‑teki­mu. Hayo keluar, kalau tidak, kucabut nanti bulu jenggotmu!”

Yang berteriak‑teriak ini adalah Bu-­tek Siauw‑jin, kakek pendek cebol yang keluar dari tempat tahanannya bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap te­nang, berjalan di samping gurunya. Dia tidak pedulikan gurunya yang berteriak‑teriak karena dia sudah maklum akan watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak lumrah manusia. Dia sendiri tentu saja tidak khawatir keluar dari tempat tahanan, apalagi bersama gurunya yang sakti, sungguhpun dia maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya karena mereka berada di tempat kediaman Koksu, berada di dalam sarang harimau. Ada beberapa orang penjaga yang bingung tidak tahu apa yang harus mereka laku­kan, berlagak hendak mencegah dua orang tahanan ini keluar. Yang berani menghadang hanya empat orang penjaga. Mereka melintangkan tombak menghadang dan berkata,

“Tanpa perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar....!”

Empat kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, empat kali terdengar suara “krekk! plakk!” dan empat batang tombak patah‑patah disusul tubuh empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri! Adapun kakek cebol itu masih berte­riak‑teriak memanggil nama Maharya, seolah‑olah tidak melihat muridnya merobohkan empat orang penghalang tadi. “Maharya pendeta palsu! Di mana engkau? Koksu, suruh pembantumu Si Pendeta konyol itu keluar....!”

“Ser‑serr‑serrr....!”

Tampak sinar menyambar dari kanan kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong menggerak‑gerakkan kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan gurunya dan belasan batang anak panah yang menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.

“Ha‑ha‑ha, Im‑kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi tamu?” Bu‑tek Siauw‑jin tertawa mengejek sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan kanan kiri de­ngan alis berkerut marah.

Daun pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu itu tiba-­tiba terbuka dan muncullah Bhong‑koksu bersama Maharya dan belasan orang pa­nglima yang menjadi kaki tangan dan sekutu Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan tentara yang berjumlah lima puluh orang lebih bersenjata lengkap!

“Heh‑heh‑heh, Siauw‑jin. Engkau ada­lah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani membobol penjara dan merobohkan penjaga. Sungguh tak tahu aturan!” Ma­harya berkata sambil tertawa mengejek.

Bu‑tek Siauw‑jin memandang dengan mata melotot. “Siapa jadi orang hukuman? Kami menjadi tamu! Dan teka‑teki­mu yang palsu itu mudah saja menjawab­nya! Maharya, lekas kauambil pisau penyembelih babi, lekas!”

Karena nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sin‑kang, maka mempunyai wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang men­jadi ahli sihir itu pun sampai terpenga­ruh dan otomatis bertanya heran, “Pisau penyembelih babi? Untuk apa?”

“Ha‑ha‑ha‑ha! Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bu­kankah sudah begitu perjanjian antara kita? Kalau aku bisa menjawab teka­-tekimu, engkau harus memotong ujung hidungmu, kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet.... eh, mana Si Gendut itu, mengapa tidak ikut pula menyongsongku? Dan jangan lupa, Pulau Es dan Pulau Neraka juga harus dibangun kembali!”

“Siauw‑jin, kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani bar­sombong. Orang macam engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu....”

“Apa? Pertayaan licik penuh akal bu­lus dan palsu itu siapa yang tidak dapat menjawabnya? Dengar baik‑baik, Maharya. Aku Sejati yang kautanyakan itu adalah Aku Sejati yang palsu, khayalan pikiran­mu sendiri yang kotor itu, yang hanya meniru‑niru dari orang lain yang sebe­tulnya juga tidak tahu apa‑apa. Semua itu palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!”

 “Ihhh, engkau gila....!” Maharya mem­bentak dengan muka merah.

“Paman guru, perlu apa melayani orang gila ini?” Tiba‑tiba Koksu berkata sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan kiri, kemudian mengangkat cambuk ke atas sebagai aba‑aba. Para panglima melihat ini lalu mencabut senjata mereka dan semua anak buah pasukan tentara pengawal juga siap de­ngan senjata masing‑masing.

“Suhu, teecu rasa tidak perlu melayani mereka ini!” Kwi Hong juga berkata dan tampaklah sinar berkilat mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar pedang Li‑mo‑kiam!

“Serbu....!” Bhong‑koksu mengeluarkan aba‑aba dan menyerbulah pasukan penga­wal dipimpin oleh belasan orang panglima itu. Memang Koksu telah siap, untuk mengeroyok Bu‑tek Siauw‑jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek itu ber­sama muridnya yang memegang pedang mujijat, maka dia sendiri pun telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pe­dang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan sebatang pecut merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.

“Ha‑ha‑ha, pendeta palsu, Koksu pengecut!” Bu‑tek Siauw‑jin tertawa‑tawa ketika melihat pasukan pengawal itu menyerbu. Akan tetapi Kwi Hong tidak seperti gurunya, dara ini sudah berkele­bat ke depan didahului sinar pedangnya yang menyilaukan mata. Para pengawal yang belum mengenal dara dan pedang­nya yang mujijat itu, menerjang dengan senjata tombak, golok atau pedang.

“Singgg.... trang‑trang-krek‑krek‑krekkk....!”

Tombak, golok dan pedang beterbang­an di udara dalam keadaan patah‑patah, disusul pekik kaget dan kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar pedang Li‑mo‑kiam!

Melihat ini, terkejutlah semua anak buah pasukan dan mereka mengurung dan mengeroyok lebih hati‑hati, dipimpin oleh belasan orang panglima yang memi­liki ilmu kepandaian tinggi pula. Karena maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang ringan pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu Kwi Hong tidak bertindak sembrono, dan hanya berdiri di tengah‑tengah, pedang melin­tang depan dada, tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang indah itu saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri menanti gerakan lawan.

Dua belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong‑koksu, yang rata­-rata memiliki kepandaian tinggi, dengan hati‑hati mengurung Kwi Hong dan di belakang mereka bergerak, siap siaga dengan pengurungan yang amat nekat.

Tiba‑tiba terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba-­aba, dan puluhan anak buah mereka se­rentak dua belas orang panglima itu menerjang Kwi Hong dibantu oleh anak buah mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap bersembunyi di balik sinar pedang yang amat menyilaukan mata, seperti kilat menyambar‑nyambar. Dia berhasil mematahkan beberapa batang senjata lawan namun karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum akan keam­puhan pedang di tangan gadis itu, mere­ka bersikap hati‑hati dan tidak mau mengadu senjata sehingga Yang menjadi korban hanya senjata para pengawal yang berani menyerang terlalu dekat. Betapapun juga, Kwi Hong tidak dapat mencu­rahkan perhatian untuk merobohkan la­wan di depan karena dia dikepung ketat dan senjata‑senjata lawan datang bagai­kan hujan di sekeliling tubuhnya, sedang­kan tangan yang menggerakkan senjata-senjata itu pun tangan terlatih dan cukup kuat dan cepat.

Sementara itu, Maharya yang bersen­jata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya setelah dia meninggalkan senja­tanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan sarung tangan emas, sudah menerjang malu melawan Bu‑tek Siauw­-jin dibantu oleh Koksu yang bersenjata­kan pedang di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.

“Ha‑ha‑ha, kalian ini tiada lebih he­nyalah tukang‑tukang keroyok yang men­jijikkan!” Bu‑tek Siauw‑jin tertawa me­ngejek, akan tetapi dia harus cepat-­cepat menghindar dan mengebutkan lengan bajunya karena ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar ganas ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhong‑koksu ke arah ulu hatinya dan sambaran cambuk ke arah ubun‑ubun kepalanya.

“Tarrr....!” Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis, melainkan diterima begitu saja oleh ubun‑ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya, ujung cambuk itu membalik dan telapak tangan Bhong‑koksu lecet-lecet!

“Serang lima tempat dari mata ke bawah!” Maharya berseru dan kini Bhong-­koksu menerjang lagi membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah kedua mata, tenggorokan, pusar, dan bawah pusar!

“Heh‑heh‑heh, Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari‑mari kita main‑main sebentar!” Setelah berkata demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan‑pukulan jarak jauh, kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat, kadang‑kadang mengan­dung hawa panas, kadang‑kakang dingin sehingga Maharya maupun Bhong‑koksu berlaku hati‑hati dan tidak berani meng­hadapi langsung pukulan‑pukulan itu, melainkan mengelak sambil mengirim serangan‑serangan balasan dari samping. Dalam hal ini, hanya cambuk di tangan kiri Bhong‑koksu saja yang lebih berguna karena cambuk itu cukup panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Se­dangkan tubuh Maharya menyambar-nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu‑tek Siauw‑jin mengelak dari sambaran cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya.

Bu‑tek Siauw‑jin masih tertawa‑tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Memang kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan ta­hun meninggalkan senjata, dan hal ini pun tidaklah aneh kalau diingat bahwa dengan kaki tangannya dia sudah cukup kuat menghadapi serangan lawan. Beta­papun juga, menghadapi pengeroyokan dua orang sakti seperti Maharya dan Bhong‑koksu, kakek cebol ini repot juga dan biarpun mulutnya tertawa‑tawa, dia harus memeras keringat untuk menghin­darken diri dari hujan serangan maut itu. Tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan mung­kin tidak ada dua tingkat dari kepandai­an Bhong‑koksu. Untung bagi kakek cebol Pulau Neraka ini babwa dia kebal terhadap ilmu sihir biarpun dia sendiri tidak suka mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Mahar­ya tidak ada artinya kalau ditujukan terhadap Bu‑tek Siauw‑jin dan di sam­ping ini dia menang jauh dalam hal ke­kuatan sin‑kang, maka dia dapat mena­han tekanan dua orang itu dengan tenaga sin‑kangnya.

Dibandingkan dengan gurunya, keadaan Kwi Hong lebih payah. Dua belas orang panglima itu berkepandaian tinggi, dan andaikata hanya mereka yang mengero­yok, kiranya Kwi Hong akan mampu menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua belas orang panglima itu, masih terdapat puluhan, bah­kan kini ratusan orang tentara pengawal yang mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah sekali setelah berhasil merobohkan tiga puluh orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung ketat karena yang datang jauh lebih banyak daripada yang roboh.

Kini, enam orang panglima yang me­lihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat, meninggalkan pimpinan pengero­yokan kepada enam orang temannya dan mereka sendiri lalu membantu Bhong-­koksu menyerbu Bu‑tek Siauw‑jin.

“He‑he‑he, bagus, bagus....! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih menggembirakan....!” Bu‑tek Siauw‑jin tertawa dan tiba‑tiba tubuhnya roboh menelungkup ke depan, berputar dan tahu‑tahu kedua kakinya menendang ke belakang, inilah ilmu yang baru, Si Jeng­kerik menyentik atau Si Kuda menyepak yang didapatkan ketika dia mengadu jengkerik. Serangan ini amat tiba‑tiba dan tidak terduga oleh Maharya dan Bhong‑koksu, sehingga biarpun mereka berdua cepat menghindar, tetap saja angin tendangan kedua kaki itu menyam­bar ke arah muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah sehing­ga muka mereka terkena tanah dan lum­pur! Pada detik‑detik berikutnya, terdengar jerit nyaring dan dua orang pangli­ma roboh tewas terkena tendangan kaki yang kekuatannya tidak kalah oleh se­pakan lima ekor kuda itu! Andaikata Maharya atau Bhong‑koksu yang terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan tetapi dua orang panglima yang tingkat sin‑kangnya kalah jauh itu, terkena sepakon pada dada mereka, seketika tewas dengan tulang‑tulang iga remuk dan jantung ter­getar pecah!

 “Tar‑tar‑tar....!” Cambuk panjang di tangan Bhong‑koksu melecut seperti ha­lilintar menyambar‑nyambar ke arah ke­pala Bu‑tek Siauw‑jin.

“Aihh.... wuuutt!” Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan dicengkeramnya. Tentu saja Bhong-­koksu mempertahankan senjatanya itu dan mereka bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan dapat mulur itu meregang dan tiba‑tiba Bu‑tek Siauw‑jin melepaskan ujung cambuk. Ter­dengar suara nyaring dan ujung cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong‑koksu sendiri! Bhong‑koksu kaget bukan main melepaskan gagang cambuk dan menun­dukkan muka merendahkan tubuh.

“Aduhhh....! Aduhhh....!” Dua orang panglima pembantu yang berdiri di be­lakangnya berteriak dan roboh, merintih­-rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam gagang cambuk sedangkan orang ke dua kulit dadanya robek disambar ujung cambuk.

Dengan kemarahan meluap Bhong‑koksu kini menerjang maju dengan hanya mempergunakan pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan sabitnya.

“Kwi Hong, kau larilah!” Tiba‑tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat mele­wati di atas kepala Bhong‑koksu dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang terdesak hebat dan terkurung ketat. Akan tetapi, begitu tubuhnya te­pat berada di atas kedua orang musuhnya terdengar suara memberobot disusul bau yang cukup membikin Bhong‑koksu dan Maharya merasa muak hendak muntah!

“Tidak, Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!” Kwi Hong yang tahu-­tahu melihat gurunya sudah berada di sampingnya dan dengan mudah mendo­rong‑dorong roboh beberapa orang penge­royok, membantah.

“Hushhh, musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol di sini? Heran sekali pamanmu, Pendekar Siluman itu. Ke mana saja dia minggat dan me­ngapa membiarkan kita dikeroyok tanpa membantu? Hayo kau pergi cari paman­mu, minta bantuannya!”

“Suhu yang harus pergi!”

“Hushhh, aku masih belum kenyang main‑main di sini. Pula, perutku mules ingin buang air besar. Lekas kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan, kalau dia tidak mau membantu aku, kelak akupun tidak sudi membantunya kalau dia membutuhkan tenaga bantuan. Hayo!”

“Tapi, Suhu sendiri....”

“Ihhhh, anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan bandel ini. Pergi, atau minta kugaplok?”

Kwi Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau dia benar‑benar akan di­gaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong‑koksu dan Maharya belum roboh, akan tetapi dia mengerti juga kalau per­tandingan ini dilanjutkan, dia tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan ka­lah.

“Baik, Suhu. Hati‑hati menjaga dirimu Suhu!”

“Weh‑weh! Kaukira aku anak kecil, ya? Pakai ditinggali pesanan segala. Per­gilah, aku membuka jalan!”

Kakek itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap ke­dua lengan dikembangkan dan didorong­kan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke kanan kiri, membuka jalan. Kwi Hong berkelebat ke depan, tubuh­nya dilindungi sinar pedang Li‑mo‑kiam sehingga senjata‑senjata rahasia dan anak panah yang berusaha mencegah dia lari, runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia keluar dari tempat itu.

Kini kemarahan Bhong‑koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu‑tek Siauw‑jin. “Kakek tua bangka keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pe­dangku, aku Im‑kan Seng‑jin takkan mau sudah!”

“Singg.... siuuutt....!” Hampir berba­reng, pedang di tangan Bhong‑koksu me­nyambar dari kanan dan tombak bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri. Namun, tiba‑tiba tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa menahan serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu akan mengguna­nakan jurus tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi mereka kecele karena Si Cebol tua renta itu sama sekali tidak menendang, melainkan terus menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki taman.

“Kejar....!”

“Tangkap....!”

“Bunuh....!” Teriakan‑teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal, akan tetapi yang berkelebat lebih dulu melakukan pengejaran adalah Bhong-­koksu dan Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang besar dan indah itu, akan tetapi tidak tampak bayangan Bu‑tek Siauw‑jin.

“Celaka, jangan‑jangan dia telah ber­hasil melarikan diri....” Bhong‑koksu ber­kata.

“Belum tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi meli­hatnya,” kata Maharya sambil mencari terus ke seluruh taman. Para panglima dan pasukan pengawal yang ikut menge­jar telah tiba di situ pula, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.

“Heiiii, kalian mencari apa? Aku ber­ada di sini!”

Semua orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari‑cari itu berada di atas pohon, duduk ongkang‑ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, pakaiannya tergantung di cabang pohon.

Tentu saja Bhong‑koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri pohon yang berdiri di tepi telaga di dalam taman.

“Aku gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita lanjutkan lagi.” Setelah berkata de­mikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke bawah dan terjun ke dalam air telaga. “Byuuurrr!” Air muncrat tinggi dan sampai lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia muncul lagi yang tampak hanya ke­pala sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di dasarnya terdapat tanah lumpur sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu‑tek Siauw‑jin terbe­nam ke dalam lumpur. Tentu saja muka dan kepalanya penuh lumpur ketika dia tersembul keluar sambil megap‑megap!

“Siauw‑jin, engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah daripada seorang siauw‑jin (manusia hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya hanyut di air!” Maharya ber­seru dan kini semua orang telah mengu­rung telaga itu dengan senjata disiapkan.

Bu‑tek Siauw‑jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air. Air telaga itu jernih sekali, dan di situ terdapat banyak ikan emas peliharaan Koksu. Sambil menyembur-nyemburkan air dari mulut dan menggo­sok kedua matanya, Bu‑tek Siauw‑jin memandang kepada Koksu dan Maharya, terkekeh gembira mempermainkan dan mengejek.

“Ha‑ha‑ha, sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan an­jing peliharaan Maharya pendeta palsu untuk mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh, Bhong‑koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa aku harus mandi dulu?”

Maharya yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu, menahan gejolak kemarahan hatinya. Dia pun tersenyum lebar, sungguhpun senyumnya agak pahit, ke­mudian berkata,

“Tentu saja aku tahu, Siauw‑jin. Me­mang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu agar tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan mayatmu. Biarlah engkau mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu di sini.”

Jawaban itu dikeluarkan dengan suara halus dan ramah, namun sebetulnya me­rupakan ejekan yang menyakitkan hati.

“Bukan! Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau seorang manusia tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan tetapi engkau tidak bisa mengelabuhi aku! Engkau ber­tapa di puncak gunung‑gunung, bukan untuk membersihkan batin melainkan untuk memupuk ilmu agar dapat kauper­gunakan untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau memakai cawat dan pakaian sederhana, makan seadanya, me­mamerkan hidup sederhana, bukan untuk mempertajam pandang mata batin me­lainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah engkau menipu orang, seperti seekor srigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku mandi? Karena sudah terlalu lama aku bertanding dengan ka­lian, dan terlalu banyak kotoran dari kalian mengotori tubuhku. Maka itu ha­rus membersihkan dulu tubuhku agar tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha‑ha‑ha!”

Bhong‑koksu marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba-­aba dan mulailah para panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi itu dengan senjata rahasia. Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang), peluru besi, paku dan lain‑lain ke arah tubuh Bu‑tek Siauw‑jin. Sambil tertawa kakek itu mengelak ke kanan kiri kemudian tenggelam. Karena pergerakannya, tentu saja air menjadi keruh dan tubuhnya tidak tam­pak. Tahu‑tahu dia telah muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua tangannya digerak‑gerakkan menyambit ke daratan. Berhamburanlah air keruh, lumpur dan batu‑batu kecil ke arah para pengurung­nya! Bahkan ada dua buah benda keku­ningan menyambar ke arah muka Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat me­ngelak dan dua buah benda itu dengan tepat mengenai muka dua orang pangli­ma yang berada di belakang Koksu dan Maharya.

“Plok! Plok! Uuhhhgg.... hak.... haek-­haek....!” Dua orang panglima itu muntah‑muntah karena dua “benda” yang mengenai mulut dan hidung mereka itu adalah tahi (kotoran manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu bukan hanya mandi, me­lainkan juga membuang air besar! Kira­nya dia tadi tidak membohong ketika menyuruh muridnya pergi dan dia ingin membuang air besar lebih dulu. Pantas saja dia merendam tubuh bertelanjang bulat dan ketika ia membuang air besar diam‑diam ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan untuk membalas serangan senjata rahasia lawan dengan “senjata rahasia” yang luar biasa itu!

“Ha‑ha‑ha‑ha, benar‑benar anjing yang suka makan tahi!” Bu‑tek Siauw‑jin ter­tawa bergelak, akan tetapi terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak pengurungnya telah datang anak panah seperti hujan menyerang diri­nya. Terjadilah main kucing‑kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani serangan, dia menye­lam, kemudian timbul di lain bagian sambil membalas dengan sambitan batu-­batu dan lumpur. Agaknya permainan ini mendatangkan kegembiraan besar di hati Bu‑tek Siauw‑jin, apalagi ketika dia berhasil mengotori pakaian Koksu dan sorban di kepala Maharya dengan lumpur membuat dua orang sakti itu memaki-­maki dan menyumpah‑nyumpah. Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke kanan kiri sambil menjulurkan lidah.

“Ambil minyak! Kita bakar permukaan telaga!” Tiba‑tiba Bhong‑koksu mengeluarkan perintah. Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup mem­buat Bu‑tek Siauw‑jin terkejut dan kha­watir.

“Wah, itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau begitu!”

Akan tetapi Bhong‑koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka, telah menanti di tepi telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah telaga kembali sam­bil memaki‑maki.

“Kalian cacing‑cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?”

“Singgg.... cuppp....! Wirrrr!”

Maharya dan Bhong‑koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas tanah di depan mereka itu, seba­tang pedang yang tadi meluncur dari atas, menancap di atas tanah depan mereka. Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu‑tahu di depan mereka, dekat pedang di atas tanah tadi, telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thian‑liong‑pang!

“Pa.... paduka....?” Bhong‑koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua Thian-liong‑pang yang di­kenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.

“Aihhh, Ketua Thian‑liong‑pang hendak memberontak?” Maharya juga ber­seru.

“Bhong Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Eng­kaulah yang hendak mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu de­ngan orang‑orang Mongol dan Tibet di­bantu orang‑orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan diperalat Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak merebut tahta kerajaan. Berlututlah engkau peng­khianat busuk agar kutangkap dan kuha­dapkan kaisar!” Ketua Thian‑liong‑pang atau Puteri Nirahai itu membentak de­ngan suaranya yang nyaring.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong‑koksu dan semua panglima yang menjadi kaki tangannya mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk menyembunyikan rasa khawatirnya, Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun tertawa.

“Ha‑ha‑ha! Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang telah mencemarkan nama kerajaan, berpura‑pura hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali, Nirahai, engkau menjadi musuh kerajaan dan hadapilah kematianmu di ujung pedangku sendiri!” Bhong‑koksu melintangkan pedang di depan alisnya sedangkan Maharya telah menggerakkan senjata tombak bulan sabitnya.

“Haiii.... engkaukah Ketua Thian­-liong‑pang? Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi aku Bu‑tek Siauw‑jin tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro‑coro kacoa bau itu aku belum membutuhkan bantuanmu!” Bu‑tek Siauw‑jin berteriak‑te­riak dari tengah telaga, kemudian melon­cat ke darat dekat Ketua Thian‑liong-­pang.

Nirahai, wanita berkerudung itu sece­pat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi dilontarkan menancap tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik ke­rudungnya, mukanya menjadi merah pa­dam melihat betapa kakek cebol di sebelahnya itu bertelanjang bulat!

“Kakek sinting, pergilah!” bentaknya ketus. “Aku tidak butuh bantuanmu!”

Bu‑tek Siauw‑jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak ping­gang, lupa sama sekali betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan sama sekali tidak berpa­kaian! “Wah‑wah‑weh‑weh! Siapa yang membantu dan siapa yang dibantu? Se­belum kau muncul aku sudah mereka keroyok sampai kelelahan dan terpaksa aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau tidak, aku terpaksa harus menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu Maharya!”

Maharya, Bhong‑koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bhong‑koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih berbahaya, bukan ilmunya karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan berbahaya karena Ni­rahai telah mengetahui rahasianya, sudah cepat‑cepat menerjang Nirahai dengan pedangnya. Pedang itu dengan gerakan cepat membabat leher Nirahai, ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang dapat ditangkis pula oleh pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu yang seperti hidup, tahu‑tahu sudah membabat ke arah kedua kaki lawan!

Nirahai maklum bahwa lawannya bu­kan orang sembarangan, melainkan seo­rang ahli silat tinggi yang sakti, maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik ke atas menghindarkan babatan pedang, namun kaki itu tidak hanya mengelak saja, melainkan dari atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada dan muka lawan!

“Wuuut! Wuuutt!”

Bhong‑koksu berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan ka­lau saja dia tidak cepat‑cepat mencelat mundur dan keadaannya yang terdesak itu tertolong oleh majunya tiga orang panglima pembantunya yang mengurung dan menyerang Nirahai sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat mendesak Bbong‑koksu yang dibencinya.

Biarpun dihadapi tiga orang panglima yang rata‑rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, Nirahai masih dapat mencelat melalui mereka dan pedangnya menyam­bar ke arah Maharya yang berada di tempat lebih dekat dengannya daripada Bhong‑koksu yang melompat mundur ta­di. Dia sengaja menyerang pendeta ini karena dia maklum bahwa di antara para pembantu Bhong‑koksu, pendeta inilah yang paling berbahaya.

Pedangnya yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang cepat menggerakkan tom­bak bulan sabitnya sambil membentak, “Robohlah!”

Tangkisan Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi nyaring sekali, dan bentakannya tadi mengandung pengaruh mujijat ilmu sihirnya, namun selain Nirahai telah me­miliki sin‑kang yang amat kuat, juga muka wanita ini terlindung kerudung sehingga sinar mata Maharya yang penuh kekuasaan mujijat itu tidak mempenga­ruhinya. Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan getaran hebat bagi Nira­hai yang cepat mengerahkan sin‑kang melindungi jantungnya. Lebih hebat lagi, tangkisan tombak kepada pedang itu di­sambung dengan meluncurnya tiga batang jarum yang keluar dari leher tombak menyambar ke arah Nirahai!

“Pendeta curang...!” Tiba‑tiba Bu‑tek Siauw‑jin berteriak dan tiga batang ja­rum beracun itu runtuh semua oleh sam­bitan Si Kakek cebol ini yang mengguna­kan lumpur! Sambitan ini menyelamatkan Nirahai sungguh pun belum tentu wanita perkasa ini akan menjadi korban jarum andaikata tidak dibantu Bu‑tek Siauw‑jin, akan tetapi baju Nirahai terkena noda sedikit lumpur.

 “Singgg.... wuuusss.... hayyaaa....!”

Bu‑tek Siauw‑jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba‑tiba pedang Nirahai menyam­bar ke arah lehernya! “Wah‑wah, Ketua Thian‑liong‑pang benar ganas! Diberi madu membalas racun! Ditolong mem­balas dengan niat membunuh!”

“Siapa membutuhkan pertolonganmu? Engkau mengganggu saja!”

“Weh‑weh, sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang melawan mereka ini?”

“Aku tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek tua bangka tak bermalu, baru kita bicara tentang bantuan!” Nirahai terpaksa sudah meninggalkan Bu‑tek Siauw‑jin lagi untuk mengamuk dengan pedangnya karena Bhong‑koksu dan Ma­harya sudah menerjangnya lagi. Suara pedangnya menangkis senjata mereka dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan bertubi‑tubi kemudian terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena sambaran sinar pe­dang wanita berkerudung yang sakti itu.

Bu‑tek Siauw‑jin yang merasa pena­saran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil mengomel meloncat ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa‑gesa mengenakan pakaiannya bebe­rapa kali dia memakai pakaian dengan terbalik! Akhirya selesai juga dia berpa­kaian.

“Thian‑liong‑pangcu! Lihat aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uh‑uh! Pikiran gila yang menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita ber­lomba, siapa lebih banyak merobohkan cacing‑cacing tanah ini!”

Dari atas, tubuh yang cebol itu me­layang turun, berputar‑putar seperti ge­rakan seekor anak burung belajar terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari atas ke arah kepala Maharya. Me­mang pendeta inilah yang dicarinya! Begitu Bu‑tek Siauw‑jin menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri menyambar lengan yang memegang tom­bak bulan sabit, tangan kanan menceng­keram ke arah ubun‑ubun kepala, kedua kaki menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan mulut­nya masih mengeluarkan suara “cuhhh!” meludah ke arah tengkuk Maharya!

Diserang secara luar biasa itu, Ma­harya gelagapan. Dia dapat menyelamat­kan diri dengan memutar senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu bergulingan, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengelak dari air ludah yang berubah menjadi hujan kecil menimpa sebagian dagunya!

“Siauw‑jin manusia kotor!” Dia mem­bentak setelah mencelat berdiri lagi sambil menyerang ganas, dibantu oleh beberapa orang panglima. Bu‑tek Siauw‑jin maklum akan kelihaian Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki tangan untuk mengelak dan menangkis, mulutnya tertawa‑tawa mengomel. “Heh‑heh, kau­kira engkau ini manusia bersih? Mana lebih baik kotor luarnya bersih dalamnya dibandingkan dengan engkau yang bersih luarnya kotor dalamnya? Heh‑heh‑heh! Aku memang Bu‑tek Siauw‑jin, namaku saja sudah manusia rendah, apanya yang aneh kalau aku kotor! Engkau adalah seorang pendeta, baik pakaian maupun namamu menunjukkan bahwa engkau pen­deta, akan tetapi sepak terjangmu sama sekali berlawanan!”

“Mampuslah!” Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan tampak sinar kilat berkelebat. Namun, dengan tubuhnya yang cebol, Bu‑tek Siauw‑jin dapat mencelat ke kiri, kakinya menendang sebatang golok di tangan seorang pengawal yang mencoba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan, diterima oleh pinggul kakek cebol yang digerakkan ke samping.

“Desss! Augghh....!” Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan menabrak dua orang te­mannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling‑guling.

Hanya Maharya dan Bhong‑koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu‑tek Siauw‑jin dan Nirahai secara ber­depan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka yang banyak jumlahnya itu hanya berteriak‑teriak dan membantu mengurung serta menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan kiri atau bela­kang, karena amukan kakek cebol dan wanita berkerudung itu benar‑benar amat dahsyat dan sudah banyak jatuh korban di antara para pengawal yang berani menyerang terlampau dekat.

Memang kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh Bu‑tek Siauw‑jin, sedangkan Bhong‑koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai yang pada tahun‑tahun yang lalu memperoleh kemajuan banyak sekali berkat mengambil inti sari ilmu‑ilmu silat tinggi dari partai‑partai lain.

Akan tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, se­dangkan para panglima yang membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan wanita berkerudung itu terkurung ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya dan Bhong‑koksu. Tiba‑tiba muncul belasan orang Tibet dan Mongol yang memiliki gerakan cepat dan jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi daripada kepandaian para panglima. Mereka adalah bala bantuan yang dida­tangkan oleh seorang panglima dan kini mereka langsung menerjang maju menge­royok Bu‑tek Siauw‑jin dan Nirahai!

Terpaksa dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung saling membelakangi. Bu‑tek Siauw‑jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas sebatang toya dan melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk, lalu dirampas­nya sebatang golok untuk melanjutkan gerakannya melindungi tubuh sendiri dari serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya.

“Kita harus keluar dari sini,” tiba‑tiba Bu‑tek Siauw‑jin berkata kepada Nirahai di belakangnya.

“Hemmm, apakah engkau takut?” Ni­rahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil merobohkan seorang Ne­pal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh berkejotan untuk tak dapat bangun kembali.

 “Siapa takut? Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai se­karang pun tidak muncul batang hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh menghadapi cacing-cacing ini!”

“Aku tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!” Mendengar disebutnya Pen­dekar Super Sakti, Nirahai marah. “Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu.”

“Eh-eh, benar-benar kau wanita som­bong dan galak! Untung bukan isteriku!”

Nirahai terbelalak di balik kerudung­nya dan memutar pedangnya menangkis serangan yang datang bertubi-tubi se­hingga tampak bunga api berpijar menyusul suara berdencing nyaring.

“Apa kau bilang? Mengapa untung?”

“Punya isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!” Bu-tek Siauw-jin berkata lagi. “Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan sombong. Eh, Thian-liong-pang­cu, aku menganjurkan kita keluar dari sini bukan karena takut melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu sedang dihancurkan oleh mereka!”

“Apa....?”

“Bodoh! Apakah engkau melihat pem­bantu-pembantu mereka itu lengkap? Engkau kena dipancing di sini, kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu, akan habislah Thian-liong-pang!”

Karena percakapan itu dilakukan de­ngan suara keras, tentu saja terdengar oleh Bhong-koksu yang tertawa bergelak,

“Si Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang se­dang kami gempur habis, ha-ha!”

“Singgg.... tranggg....!” Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang. Serangan Nirahai tadi benar-benar hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan Bhong-koksu membuat kakek ini terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan. Para pembantunya, orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali. Kini dua orang sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh lawan sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar dari tempat itu, keluar dari ta­man istana Koksu untuk menyelamatkan Thian-liong-pang. Tentu saja Nirahai yang mempunyai keinginan ini, sedangkan Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli akan nasib Thian-liong-pang karena dia sendiri ingin mencari muridnya disamping sudah lelah sekali bertempur sejak tadi. Sudah bosan dia dan ingin menyusul muridnya, ingin bertemu dengan Pende­kar Super Sakti yang dikagumi akan te­tapi yang juga menimbulkan kemendong­kolan hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga membantunya!

Adapun Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari kepungan, berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi sehingga terjadilah per­tandingan yang lebih hebat dan mati-matian.

***

Dugaan Bu-tek Siauw-jin memang be­nar. Biarpun kakek cebol ini kelihatan sinting dan ketolol-tololan, namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada di tempat itu selama bebera­pa hari, mendengar percakapan-percakap­an antara Koksu dan Nirahai, percakap­an-percakapan yang dilakukan para pengawal ketika dia dan muridnya di­tahan, sudah cukup baginya untuk me­ngerti duduknya perkara.

Dugaannya bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman, memang tepat sekali. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang menganggap bahwa kalau Thian-liong-pang belum dihancurkan lebih dahulu, tentu perkumpulan yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi pemberontakan yang diaturnya bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin perkumpulannya itu untuk membela ayahnya kaisar.

Pada saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan tentara dipimpin oleh Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan kanan Koksu, dan beberapa orang panglima yang berkepandaian ting­gi dibantu pula oleh orang-orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan Tibet, menyerbu markas besar Thian-liong-pang di luar kota raja.

Karena puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu dengan persekutuan pembe­rontaknya, maka begitu ibunya mening­galkan markas untuk membuat perhitung­an dengan Koksu, dara perkasa ini telah mengadakan persiapan. Penjagaan dilaku­kan dengan ketat dan dibantu oleh para tokoh Thian-liong-pang, yaitu Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek Muka Singa, dan para pembantu lainnya. Jumlah anak buah Thian-liong-pang bersama para pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu masih ada ku­rang lebih seratus orang. Mereka semua siap sedia menanti perintah dari puteri ketua mereka dan di lain pihak Milana juga menanti kembalinya ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia mak­lum bahwa pasti akan terjadi sesuatu yang hebat berhubungan dengan pembe­rontakan yang diatur oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.

Karena persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang inilah, maka ketika terjadi penyer­buan oleh pasukan pengawal yang dipim­pin oleh Thian Tok Lama, terjadi per­tempuran yang amat seru dan hebat. Pihak Thian-liong-pang mengadakan perlawanan mati-matian dan karena rata-rata anggauta Thian-liong-pang me­miliki ilmu silat yang cukup tangguh, maka biarpun pasukan tentara lebih besar dan lebih kuat, tidak mudah bagi mereka untuk menumpas Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak korban di pihak tentara.

Betapapun juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapa­pun para tokoh Thian-liong-pang membela diri mati-matian, tak seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi pendeta Lama dari Tibet yang kosen ini. Agaknya hanya Milana seoranglah yang hampir dapat mengimbanginya, akan te­tapi pada saat penyerbuan terjadi, Mi­lana telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal dan dua orang Tibet pembantu Thian Tok Lama, sedangkan Lama itu sendiri memimpin orang-orang­nya menyerbu ke dalam dan mengamuk, ditahan oleh Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok. Terjadilah pertandingan dahsyat di sebelah luar dan dalam mar­kas Thian-liong-pang. Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai setengah hari lebih!

Betapa gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua mereka di situ, akhirnya mereka itu runtuh juga. Seorang demi seorang roboh dan tewas, mula-mula Tang Wi Siang tewas oleh Thian Tok Lama, ke­mudian Lui-hong Sin-ciang Chie Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga terluka parah dan hanya karena di situ tidak ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari, bukan karena dia takut mati, melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada ketuanya, apalagi setelah dilihatnya betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian Tok Lama.

Hanya beberapa orang saja yang ber­hasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan seperti juga Sai-cu Lo-mo, para anggauta Thian-liong-pang yang berhasil lolos dan melarikan diri itu menderita luka-luka parah.

Karena telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali da­pat menawan Milana, Thian Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang Thian-liong-pang. Hari telah menjadi sore dan dia hendak cepat-cepat membawa Milana sebagai tawanan ke kota raja. Dara itu merupakan seorang tawanan penting sekali, karena dengan adanya dara itu sebagai sandera, tentu Ketua Thian-liong-pang tidak akan mam­pu berbuat hal-hal yang akan merugikan persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan Bhong-koksu.

Berangkatlah sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas Thian-liong-pang yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota raja. Milana dengan kedua ta­ngan terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke atas punggung seekor kuda, digiring di tengah-tengah mereka dan dikawal sendiri oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok Lama dan para pembantunya. Yang menjadi pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal! Yang ber­sorban dan rata-rata bertubuh tinggi besar. Mereka merasa bangga karena dalam kemenangan ini mereka melihat tanda yang baik bahwa persekutuan mereka akan berhasil, dan kalau kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi bukan ha­nya dari kaisar baru, akan tetapi teruta­ma dari raja-raja mereka sendiri karena Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanji­kan persahabatan, bukan penaklukan se­perti sekarang, kepada Nepal, Mongol dan Tibet.

Karena hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan itu melakukan perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema di dalam hutan dan pasukan yang berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah berlari. Sembilan orang jagoan Nepal yang merasa berjasa dan bergembira, tidak dapat menahan kegembiraan hati mereka dan terdengar­lah suara mereka bernyanyi-nyanyi dalam bahasa Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan mereka mendahului pa­sukan karena memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan janggal sekali suara mereka itu, suara asing yang bergema di sepanjang hutan yang dilalui pasukan itu.

Kadang-kadang suara nyanyi hiruk­ pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan teriakan-teriakan mereka bersendau-gurau. Semua ini diperhatikan dan didengarkan oleh Milana yang duduk dengan sikap tenang di atas kudanya. Dara perkasa ini merasa berduka mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang dan kematian tokoh perkumpulan ibunya. Namun sedikit pun dia tidak merasa ge­lisah atau takut. Hanya terpaksa dia ditawan. Akan tetapi setiap saat ia ber­siap untuk melawan dan memberontak jika terdapat kesempatan. Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya hanyalah ke­adaan ibunya. Ibunya belum tahu akan malapetaka yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu di mana adanya ibunya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam baha­ya besar yang direncanakan oleh Koksu dan kaki tangannya.

Dengan sikap angkuh dan agung Mila­na mengerling kepada Thian Tok Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang menung­gang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang kepercayaan Koksu dan kedua orang ini, terutama Thian Tok Lama, yang mengawal dan menjaganya. Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu, agaknya masih ada harapan baginya un­tuk meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu benar-benar amat lihai.

“Tidak enakkah dudukmu, Nona? Me­nyesal sekali, terpaksa kami membeleng­gu kedua tanganmu.” Terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata.

Milana tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak memandang ke depan seo­lah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapapun juga, dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, malah lebih je­las lagi, puteri dari Puteri Nirahai! Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh lebih tiggi daripada kedudukan seorang panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana dapat duduk dengan tegak dan sikap agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe Ti Kong maupun Thian Tok Lama.

“Hemm, tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak mampu menghadapi ke­kalahan dan berkeras kepala.” Kembali Bhe Ti Kong berkata karena diapun tahu bahwa dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar, merupakan seorang tawanan yang amat penting dan mem­buat dia merasa tidak enak sendiri.

Milana tersenyum mengejek, menger­ling dan berkata, “Perlu apa banyak cerewet? Tunggulah saja kalau sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!”

Pada saat itu, sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan di sebelah depan. Sampai tiga kali terde­ngar jerit mengerikan itu jerit meman­jang, jerit orang yang ketakutan, jerit kematian. Setelah gema suara jerit itu lenyap, yang terdengar hanya derap kaki kuda dan suasana menjadi menyeramkan dan menegangkan sekali.

“Harap Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan penga­walan di belakang. Kumpulkan semua tenaga untuk mengawal dia,” kata Thian Tok Lama.

Bhe Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal, dan pasukan itu bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.

“Apakah yang terjadi? Siapa yang menjerit tadi?” Bhe Ti Kong bertanya.

Para pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu. “Kawan-kawan yang berada di depan tentu akan dapat memberi keterangan nanti,” kata mereka. Mereka adalah tiga orang di antara sembilan jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Adapun yang enam orang lain telah mendahului gerakan pasukan sebagai pelopor dan pembuka jalan, juga sebagai pengawas agar jalan yang akan mereka lalui aman.

Milana tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah antara para panglima dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat tubuhnya terayun-ayun mengikuti gerakan kuda, dan rambut dara yang panjang itu berkibar. Mereka memasuki
bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah mulai suram dan agak gelap.

“Haiii....! Lihat di depan itu....!” Ti­ba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul seruan-seruan kaget para jagoan Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju ke depan di mana tampak seso­sok tubuh orang bersorban membujur di atas tanah.

Milana memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa orang yang rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi. Dugaannya memang tepat. Setelah mereka datang dekat dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti Kong meloncat turun dari kuda memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang di antara para jagoan Nepal yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan seba­tang pisau, pisaunya sendiri yang menja­di kebanggaan para jagoan Nepal itu, menancap di tenggorokannya!

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir berbareng dua orang penunggang kuda itu tiba di situ. Yang datang dari belakang adalah Thian Tok Lama yang telah mendengar akan kematian seorang pembantunya dari Nepal, adapun yang datang dari depan adalah seorang jagoan Nepal lain yang bermuka pucat dan yang begitu datang melapor dengan suara ter­engah-engah kepada Thian Tok Lama, “Celaka.... di depan ada lagi tiga orang teman yang tewas....!”

Thian Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara meng­gereng keras dia melayang turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan me­mandang ke depan, mulutnya mengeluar­kan suara yang nyaring melengking sam­pai bergema di seluruh hutan.

“Pinceng Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah be­gitu berani mati mengganggu kami dan membunuh empat orang anggauta penga­wal pasukan kami?”

Semua orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan keadaan di hutan itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian Tok Lama mengulang teriakannya namun belum juga ada ja­waban.

Suara Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeram­kan itu. “Hem, mengapa kalian begini ketakutan?” Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok orang-orang yang di­bencinya itu. Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh orang-orang Nepal itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu kawan ataukah lawan. Melihat caranya membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat diduga bahwa pembu­nuhnya tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia yakin bukan ibunya yang melakukan hal itu. Cara yang dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya membunuh lawan secara menggelap macam itu. Ibu­nya adalah seorang gagah perkasa sejati sedangkan cara yang dipergunakan pem­bunuh ini menyeramkan penuh rahasia.

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau men­jawab pertanyaan mengejek dari Milana tadi.

“Kalau Nona Milana tidak segera di­bebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor yang tewas, melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku, berarti bosan hidup!”

Diam-diam Milana terkejut dan kece­wa sekali mendengar suara yang dikenal­nya itu. Dia merasa gelisah. Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Ne­pal itu adalah pemuda Pulau Neraka yang amat dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga ditakutinya. Namun tentu saja dara jelita ini tidak memperlihatkan rasa khawatirnya dan masih tetap ber­sikap biasa dan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat dia merasa khawatir.

Tentu saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa orang yang menge­luarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia menduga bahwa tentulah orang itu berniat merampas tawanan. Satu-satunya orang yang ditakutinya di dunia ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan biarpun dia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga amat lihai dan mungkin saja ketua itu tiba-tiba muncul untuk menolong puterinya, namun dengan bantuan para jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat, dia merasa cukup kuat menghadapi bekas puteri kaisar itu.

“Siapa berani main-main dengan pin­ceng? Harap suka keluar untuk bicara!” Kembali Thian Tok Lama mengeluarkan seruan dengan pengerahan khi-kang se­hingga suaranya mengandung getaran berpengaruh.

“Blarrr....!” Sebuah ledakan keras me­ngejutkan semua orang. Tempat itu men­jadi gelap tertutup asap hitam. Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat kuda yang diduduki Mi­lana untuk menjaga jangan sampai dalam keadaan gelap itu tawanan yang penting ini dilarikan orang.

“Pasukan tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini tidak berbahaya....!” Thian Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak mengandung racun. Sedangkan dia sendiri diam-diam berge­rak di dalam asap, memasang mata untuk mencari musuh yang melepas asap hitam tebal. Akan tetapi tidak tampak ada gerakan sesuatu, maka diapun hanya berdiri dan bersikap waspada karena un­tuk bergerak di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar merupakan bahaya, salah-salah bisa menyerang anak buah sendiri.

“Wir-wir-wirrr....!” Asap hitam mem­buyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga tak lama kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai menipis.

Thian Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main me­lihat bahwa angin yang menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua lengan seorang pemu­da tampan yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang ditunggangi Milana, sedangkan seorang panglima tua yang tadi mendekati dan menjaga tawanan telah menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri!

“Keparat, siapa engkau....?” Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang.

Pemuda itu mengangkat tanganka­nannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama merasa seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat, memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!

“Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan tangan menye­rang!”

Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap, bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena sen­ja mulai mendatang dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka kini dia melangkah maju dan me­mandang penuh perhatian.

Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya membayangkan ke­tinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan pertan­dingan! Hatinya menjadi agak lega. Pe­muda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang, sungguhpun dia dan pasukannya tidak dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah itu.

“Orang muda, kalau pinceng tidak sa­lah mengenal orang, engkau adalah orang yang pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?”

Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu. Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau mengacuh­kan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya, memandang jauh.

Pernuda itu adalah Wan Keng In, pu­tera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila kepada Milana itu, mende­ngar pertanyaan Thian Tok Lama terse­nyum dingin dan hanya mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan!

Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apalagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thian-liong-pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi pemuda yang masih amat muda itu.

“Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pa­sukan pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?” Kembali Thian Tok Lama bertanya.

Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, kemudian dia berkata,

“Thian Tok Lama, tak perlu mengger­tak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu pasukan apa ini, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu ber­sama Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kaukira aku tidak melihat betapa kalian membasmi Thian-liong-pang? Sungguh bagus....!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua anggauta pasukan sudah me­raba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum memberi aba-aba, me­reka semua hanya bersiap-siap mengha­dapi pemuda yang mendatangkan suasana menyeramkan itu.

“Orang muda, di pihak siapakah eng­kau berdiri?” Thian Tok Lama meman­cing, tidak mau berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.

“Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!” Wan Keng In menjawab. “Kalian mem­basmi Thian-liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak pinanganku. Akan tetapi engkau telah berani menawan dan menghina tunanganku ini, hemm...., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!”

“Manusia sombong....!” Bhe Ti Kong berseru marah sekali. Panglima ini ada­lah seorang yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang pemuda ber­sikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali.

Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari kudanya dan langsung menye­rang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya melakukan gerakan se­rangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher, dan dada Wan Keng In.

“Plak-plak-plak.... bressss....!”

Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya yang masih berdiri terpen­tang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi menggerakkan tangan kiri, me­nyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak itu menyambar. Tiga kali dia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak menge­royok.

“Thhan....!” Thian Tok Lama mengang­kat tangan ke atas sehingga pasukarinya tidak berani maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek.“Orang muda, engkau siapakah, dan apakah kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu sebagai sahabat.

Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan.” Pendeta itu memang cerdik sekali. Biarpun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di antara pem­bantu-pembantunya melihat pemuda itu secara lihai bukan main telah mengalah­kan Bhe Ti Kong dalam segebrakan saja. Apalagi kalau diingat bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai ini seba­gai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan main dan akan memujinya.

Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah. “Huhh! Kaukira aku ini orang macam apa yang membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan minta maaf ke­pada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir tentang kerja sama yang kausebut-sebut itu.”

Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong itu! Namun, sebagai se­orang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil memperoleh pen­didikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar, bahkan tersenyum dan berkata,

“Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana tidak akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai. Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kai­sar setelah kaisar datang sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya. Akan tetapi, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang sendiri oleh Koksu, harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu yang sudah memperoleh keperca­yaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan nama.”

Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang bia­sanya dimanja menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah menyamakannya de­ngan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita Hong-sin-pong) yang menjadi pujaan semua manu­sia karena kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk kepadanya!

“Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu kare­na aku marah melihat kekasih dan tu­nanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam per­tandingan ini!” Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah mencabut pe­dangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.

“Aihh.... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?”

Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.

“Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Si­cu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu” Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.

Wan Keng In masih melintangkan pe­dangnya di depan dada, alisnya berkerut, kemudian dia menjawab,

“Dengan dua syarat!”

“Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu.”

“Pertama, Nona Milana ini adalah ke­kasih dan tunanganku, tidak boleh di­ganggu dan bahkan harus disyahkan men­jadi isteriku. Ke dua, aku menjadi pembantu langsung dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat mengalahkan kepandaianku!”

Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengang­guk-angguk. “Koksu adalah seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan yang tinggi. Ten­tang Nona ini.... ehhh....!”

Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika tadi Milana mendengar percakapan di antara mereka dan melihat perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas. Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In se­hingga dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan berse­kutu, maka habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemu­da gila itu, dia lalu berusaha mengabur­kan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua tangannya putus.

“Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, ma­nisku, engkau hendak pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku, kekasih....!” Wan Keng In berseru dan tubuhnya sudah me­luncur ke depan cepat sekali.

Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan ne­kat dia lalu menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu ta­ngannya, kini meluncur menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.

“Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?” Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap.

Kuda yang ditunggangi Milana menge­luarkan suara meringkik keras dan roboh berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, se­dangkan tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan me­nyerang pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemu­da itu benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah melon­cat ke depan untuk menyambut tubuh Milana yang terlempar ke atas.

“Ehhhh....?” Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas. Dia merasa kecelik karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihat­an melayang turun, bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika me­lihat bahwa kini Milana telah duduk di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap!

Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah mem­buru ke bawah pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk menjaga di sekeliling pohon agar gadis tawanan itu tidak sam­pai dapat meloloskan diri.

“Milana, manisku, turunlah engkau!” Wan Keng In berkata halus dan dia belum mengenal siapa adanya laki-laki mu­da yang bercakap-cakap dengari dara itu. Akan tetapi baik Milana maupun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan mereka yang me­ngurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap mereka itu, mau tidak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka dan ia merasa heran, dan marah bukan main!

Pemuda yang berada di atas itu bu­kan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemu­da sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para pemberon­tak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.

Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya, terutama sekali Thian Tok La­ma dan Bhe Ti Kong, dua orang di anta­ra mereka yang dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia ter­cengang melihat Wan Keng In dan ia segera mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu. Timbul kemarahan­nya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu, bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati. Tentu saja dia harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya. Akan tetapi, dia mak­lum bahwa menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat dan dipimpin orang-orang pandai itu, apalagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka, bukanlah hal yang mudah. Karena inilah, dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan men­dengarkan mereka.

Mula-mula diapun merasa heran keti­ka mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini akan ber­tanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu. Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan berusaha mengaburkan kuda.

Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar ke atas, Bun Beng cepat me­layang ke atas pohon besar dan menyam­bar lengan dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di de­pannya, di atas dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali, jantungnya berdebar.

“Kau....?” Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.

“Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mere­ka itu kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali di sini.”

Milana menggeleng kepala keras-keras. “Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan aku lari? Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!”

“Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka. Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri melawan.”

“Hemm, Gak-twako. Kau bilang ber­bahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?”

“Nona....”

“Gak-twako, begini sombongkah eng­kau? Sejak dahulu?”

Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar. “Sombong! Aku....?”

“Apa kau tidak suka bersahabat de­nganku?”

“Tentu saja, aku....”

“Sudah mengenal sejak dahulu, meng­apa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku nona? Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?”

“Habis.... habis....?”

“Aku tidak mau kausebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau.... sudah jangan mengenal aku lagi kalau kau be­gini angkuh!”

“Eh...., ohh...., Nona.... eh, Adik Mila­na! Jangan main-main begini....!” Bun Beng menegur, terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!

“Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?”

Bun Beng makin bingung dan meman­dang dengan alis berkerut. Celaka, pikir­nya. Jangan-jangan dara ini keracunan, atau sudah bingungkah pikirannya? Dia mengangguk.

“Aku.... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku.... dan ahh.... kau.... kautolonglah aku, Twako....!” Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!

Tentu saja Bun Beng menjadi be­ngong! Dia tidak tahu bahwa sesungguh­nya Milana telah menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita te­kanan batin yang ditahan-tahannya se­menjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya gu­gur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu tentu saja berduka sekali meli­hat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri men­jadi tawanan, bahkan kemudian ter­jatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang telah terjadi dengan ibu­nya. Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak ter­duga-duga, di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindu­kannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis terse­du-sedu, teringat akan semua kedukaan­nya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat dipercayanya ini.

Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak karuan. Dara yang mena­ngis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.

“Nona.... eh, Moi-moi (Adik).... henti­kan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu dari mereka itu, percaya­lah....”

“Keparat, mampuslah engkau!” Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan goloknya membacok Bun Beng.

“Prakk...., bresss....!”

Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.

“Aku tidak takut.... ah, Twako.... kau tidak tahu.... mereka telah membasmi Thian-liong-pang.... Bibi Tang Wi Siang dan para paman.... mereka telah tewas....”

Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thian-liong-pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong­-pang.

“Mana mungkin? Di mana ibumu?” Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-kawannya itu dapat menan­dingi Ketua Thian-liong-pang yang demi­kian sakti.

“Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan aku tertawan....”

Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menam­par ke bawah.

“Desss....!” Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan teta­pi tubuh Wan Keng In yang tadi melon­cat dan memukul, juga terdorong kemba­li ke bawah ketika pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka itu be­nar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan kekuatan dahsyat!

“Milana,” Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. “Tidak banyak waktu sekarang. Mereka itu benar-benar lihai dan jumlah mereka banyak. Kalau kita berdua melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Eng­kau harus lari lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau me­lompat jauh dari tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam ge­lap. Bawa pedang ini....”

“Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati....”

Bun Beng merasa lehernya seperti di­cekik mendengar ini. “A.... apa....?”

“Gak-twako, apa masih perlu kujelas­kan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan melindungimu ketika kau terluka?”

Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, ta­ngannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana. “Tidak cukup....? Duhai.... terlalu cukup, terlalu banyak.... bahkan itulah yang menyiksa hatiku. Milana.... betapa aku berani menyatakan kekurang­ajaran ini? Akan tetapi...., ah, kata-kata­mu tadi.... Milana, orang yang paling kumuliakan di dunia ini karena baik budi­mu, yang paling kucinta di dunia ini.... maafkan aku.... akan tetapi aku cinta padamu.... dan.... dan kau bilang ingin bertanding di sampingku sampai mati....? Benarkah pendengaranku?”

“Singg....! Krekkk.... plakkk! Aduhhh....!” Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang dengan tombaknya, terpelan­ting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh pukulan Bun Beng yang me­nangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Milana.

Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar terse­nyum. “Gak-twako, mengapa baru seka­rang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang dalam pandang matamu?”

“Milana.... betapa aku berani.... kau.... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang, puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kai­sar sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mende­ngar ucapanmu tadi.... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati.”

 “Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apapun yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!”

“Tidak....! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam bahaya? Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu.... hemmm.... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!”

“Tidak, Twako....”

“Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat memaafkan engkau, memaaf­kan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!” Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir bersorak saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana ter­isak, akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong dan bayangan Milana telah lenyap.

“Thian Tok Lama pendeta palsu!” Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan hendak melakukan pe­ngejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yangdilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang mengejutkan pendeta itu, apalagi ketika dia mengelak sambil me­nangkis, tetap saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya terpelan­ting.

“Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak ke mana engkau?” Bun Beng su­dah meloncat ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari Milana yang lenyap. Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa melayaninya. De­ngan penasaran dan marah Keng In me­ngerahkan tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan telapak tangannya pula.

“Dessss....!”

Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka meng­adu kedua telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke belakang sampai lima meter lebih! Makin pucat wajah Wan Keng In dan biarpun dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang matanya meman­dang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seper­ti itu!

Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia meloncat ke depan lalu membentak,

“Jahanam! Siapa engkau?”

“Plak-plak-dess-dess!” Empat orang anggauta pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak dapat bangkit kembali ter­kena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main. Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh.

Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, ter­senyum mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati Bun Beng dan biarpun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua orang keli­hatan menggembirakan. Agaknya wajah­nya yang berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga, sedang­kan Wan Keng In mulai mengingat-ingat siapa gerangan pemuda tampan berseri-seri yang wajahnya tertimpa cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan.

Selain kebahagiaan karena cinta ka­sihnya terbalas oleh Milana, hal yang sa­ma sekali tidak pernah disangka-sangka­nya, atau diharapkannya itu membuat hatinya riang gembira, juga Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana mendapat kesempat­an untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau Milana sudah selamat, dan pedang Hok­-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sak­ti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apapun juga dengan hati ringan.

“Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau ter­lepas sebelum memberi hajaran kepada­mu! Dan Thian Tok Lama agaknya masih melanjutkan kejahatan-kejahatannya. Su­dah lama aku menanti kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio.”

Ucapan Bun Beng itu agaknya menya­darkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini. Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan pemerintah membasmi pulau itu. Adapun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang telah mene­mukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang rendah akan tetapi yang seka­rang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!

“Manusia she Gak keparat!” Wan Keng In memaki.

“Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu....!”

“Wuuuuttt.... plakkk!” Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama terpelanting keti­ka dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan tetapi dia tidak dapat mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut. Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilaku­kan dengan jari-jari tangan terbuka se­perti cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.

Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal, membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan di­sambitkan menyambut terjangan mereka.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti se­ekor burung garuda, dikeroyok oleh pu­luhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal dan panglima.

Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjata­nya, sebatang golok melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam. Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Ne­pal lain, mengurung Bun Beng. Adapun anak buah pasukan yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang meme­gang obor untuk menerangi tempat yang mulai terselimut malam gelap.

“Kok-kok-kok heeeehhhh!” Perut gen­dut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian disusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memu­kul, tangan kanan menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.

“Singgg.... syet-syet-syettt....!” Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapapun cepat serangan Thian Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.

“Hyaaattt.... singgg.... cing-cing....!”

 “Hemmm....!” Bun Beng mengeluarkan suara kaget dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang dengan kecepatan kilat ketika dia melihat sinar kilat menyambar ganas dengan kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menye­rangnya dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.

“Syuuuuutttt.... singggg!”

Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biarpun dia su­dah bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya serangan Keng In, serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah menyerangnya dengan berbareng. Dua orang Nepal yang bersorban itu me­nyerangnya dengan senjata mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan ka­nan kiri. Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka men­jadi hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menye­rang secara berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!

“Heiiittt!” Bun Beng berseru keras sekali, tubuhnya membuat gerakan ber­pusing, demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari tangannya seca­ra berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan me­nangkis tombak gagang pendek Bhe Ti Kong dengan golok itu setelah meroboh­kan pemilik golok dengan tendangan.

“Tranggg....!”

Bhe Ti Kong berseru kaget dan cepat menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh bangun, terus di­kejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai mu­suh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.

“Singgg....!” Sinar kilat pedang Lam­-mo-kiam yang sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa Bhe Ti Kong.

“Cringgg!” Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong, terkejut melihat sinar kilat, terpaksa membuang diri sam­bil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali bertemu dengan Lam­-mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!

“Trang-trang....!” Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menang­kis dengan golok buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini membuat Thian Tok Lama terhuyung.

Bun Beng menyambitkan golok bun­tungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu sudah menerjang la­gi. Biarpun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur dengan ke­kuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk me­nangkis. Golok buntung itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok buntung, kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, meroboh­kan empat orang panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi mereka dengan tombak di tangan!

Namun, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng be­nar-benar kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap di antara para pengeroyok. ­Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu dleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun Beng yang mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.

Betapapun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan sedikitpun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan terpaksa dia me­ngamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.

Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sam­pai hampir tengah malam! Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk menghindarkan luka senjata, ter­paksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali. Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak, Bun Beng maklum bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengan­dung racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya ber­kurang.

Keadaannya amat berbahaya. Dia ti­dak takut mati, akan tetapi dia akan merasa kecewa kalau belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian dan kepandai­annya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua di antara para pembunuh gurunya.

“Thian Tok Lama, bersiaplah kau me­nyusul Thai Li Lama...!” Tiba-tiba dia berseru ketika melihat lowongan. Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo­-kiam, menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama. Pen­deta itu terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh sau­daranya itu adalah pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng, akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah mengge­rakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya!

Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu, sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In me­ngenai tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.

“Desss....!”

Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng yang menyeleweng, tidak jadi mengenai kepala melainkan menghantam pundak Thian Tok Lama. Biarpun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan muntah darah! Akan tetapi, hantaman yang keras dari Keng In, itupun membuat Bun Beng terjengkang!

Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apalagi melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang di­alami Thian Tok Lama.

Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi, maka terpaksa dia mema­sang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung tombak menyentuh tela­pak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Pengerahan tenaga ini mem­buat dadanya terasa nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari mulutnya, akan tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe Ti Kong yang terdorong ke depan.

“Crappp..... auggghhh....!”

Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa tubuhnya dan betapa da­rah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada musuhnya itu menyi­ram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus tom­baknya sendiri.

“Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia....!” Thian Tok Lama mencegah ketika meli­hat Wan Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.

Wan Keng In menoleh, menahan pe­dang dan mengerutkan alisnya. “Manusia macam dia perlu apa dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak korban....!” Kembali Lam-mo-kiam bergerak.

“Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang te­lah merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di de­pan Koksu untuk meringankan kesalahan kita....”

“Hmm....” Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.

“Desss!”

Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel. “Biarpun nyawanya rangkap, pukulanku ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam.”

Thian Tok Lama juga terluka di da­lam tubuh, akan tetapi tidak membaha­yakan nyawanya. Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.

“Dia sudah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok.”

Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.

“Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu.” Thian Tok Lama membantah dan Wan Keng In men­dengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapapun juga, dia harus ikut dan ber­temu dengan Koksu. Setelah dia menyak­sikan sendiri betapa lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jerih juga. Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian lihainya, apalagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti! Maka dia harus bersikap cerdik dan harus da­pat mencari kawan, dan agaknya kedu­dukannya akan kuat sekali kalau dia dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga mempunyai banyak orang pandai itu.

Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, pergi keluar dari hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama, Wan Keng In. Kini mereka siap dengan senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan Keng In maupun Thian Tok Lama sudah meng­ambil keputusan untuk pertama-tama menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini.

Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia ter­ingat semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sen­diri! Dan dia hanyalah seorang anak haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia! Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi kenyataan yang berbahagia itu? Dan dia telah ber­hasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah bebas! Dia akan menyambut kema­tian atau apapun juga, dengan senyum bahagia!

Ia mengerling ke kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang sebatang golok. Hemm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum berhasil mem­balas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya.

Bun Beng mencoba mengerahkan sin­kangnya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak tertahankan! Tahu­lah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat lagi! Darah mengalir dari dalam leher ke mulut­nya dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin membawa maut. Tentu perbuat­an Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang memu­kulnya. Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada harapan untuk meng­gunakan saat terakhir itu mencoba me­lepaskan diri dan membunuh Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sin-kangnya tentu dia akan mati sebelum sempat bergerak!

Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biarpun agaknya ketika dia pingsan dia menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada saat itu dia belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan harapan. Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan untuk dapat menyelamat­kan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak.

Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang.

Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik.. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia piauw yang runcing. Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini menancap dan melukai kulit daging, ba­rulah mereka terkejut dan menjadi kacau! Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-batang bambu yang pan­jang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu. Terdengar suara berdebuk disusul roboh­nya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam oleh batang bambu.

Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka mengge­rakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu yang besar dan panjang terbang menye­rang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-daunnya. Tentu saja keduanya men­jadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut ter­tembus batang bambu, sedangkan Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas punggung kuda, melintang, sudah lenyap!

“Tawanan lenyap!”

“Kejar....!”

“Tangkap pengacau!”

Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk mereka terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan akhirnya lenyap.

“Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng,” kata Wan Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.

Thian Tok Lama menahan kudanya. “Siapakah dia?”

Wan Keng In menarik napas panjang. “Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau dia muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan sete­lah dia muncul, orang satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!” Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jerih mende­ngar suara ketawa susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama. Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, meng­geleng kepala dan dengan hati risau ter­paksa memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan tetapi pasukannya pun rusak, ta­wanan lenyap dan banyak panglima te­was, termasuk pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.

Sementara itu, jauh dari situ, di da­lam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya!

***

Sementara itu, di dalam istana kaisar sendiri terjadilah hal yang amat hebat dan penting. Kaisar sendiri yang sibuk dengan urusan pemerintahan, dalam usa­hanya untuk mendatangkan kemakmuran kepada rakyat agar pemerintahannya, pemerintah penjajah, mendapat kesan baik di hati rakyat, sama sekali tidak menduga bahwa di antara para pemban­tunya yang paling dipercaya sedang mengatur pemberontakan untuk menjatuh­kannya.

Kaisar Kang Hsi memang seorang kaisar yang pandai. Akan tetapi, sebagai seorang manusia biasa yang tak terlepas daripada kekurangan, Kaisar yang menjadi pembangun dasar-dasar kekuatan peme­rintah Mancu ini mempunyai kelemahan terhadap wanita. Banyak sekali selirnya dan banyak pula anaknya. Karena terlalu banyak inilah maka terjadi perebutan dan iri hati, dan Pangeran Yauw Ki Ong ada­lah seorang di antara putera-puteranya dari selir yang demi cita-cita dan kemurkaannya tidak segan-segan melakukan pengkhianatan dan mengadakan persekutuan untuk memberontak dan mengguling­kan ayahnya sendiri!

Selir yang ratusan orang jumlahnya masih belum memuaskan hati Kaisar yang selalu haus akan wanita muda yang baru. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-sia­kan oleh mereka yang ingin menjilat dan mencari kedudukan lebih tinggi. Mereka selalu mengincar dara-dara muda yang cantik jelita untuk dipergunakan sebagai “persembahan”, tentu saja dengan harapan mendapatkan balas jasa. Kelemahan Kaisar ini menciptakan pembantu-pemban­tu yang palsu dan di samping ini, juga menimbulkan persaingan dan pertentangan di kalangan para selir itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita cantik yang masih muda. Dengan adanya terlalu banyak selir, mereka menderita dan tentu saja akibatnya memungkinkan terjadinya pe­langgaran dan ketidaksetiaan. Untuk mengatasi hal ini, para selir itu dikurung dan dijaga keras oleh pengawal-pengawal yang semua terdiri dari thaikam (manusia kebiri). Penjagaan dan pengawasan keras ini mendatangkan penderitaan lahir batin bagi wanita-wanita muda itu sehingga mereka merupakan segolongan orang yang mudah dihasut untuk membenci Kaisar yang mereka anggap sebagai orang yang menyiksa mereka dan membuat hidup merupakan kesunyian dan kesengsaraan bagi mereka.

Malam hari itu, para selir yang se­perti biasanya melewatkan malam sunyi dengan celoteh, saling berbisik memper­cakapkan Kaisar dengan hati penuh iri, karena malam hari itu, semenjak sore hari, Kaisar telah mengeram dirinya di dalam kamar bersama seorang selir baru! Seorang dara yang kabarnya cantik sekali dan baru malam hari itu mendapat tugas kehormatan melayani Kaisar, seorang dara istimewa karena dara ini adalah persem­bahan dari Koksu sendiri! Menurut berita yang didengar sebagian para selir yang tidak melihat sendiri, mendengar penu­turan para thaikam penjaga, dara itu selain muda remaja, juga memiliki ke­cantikan yang luar biasa, bermata agak kebiruan, hidungnya mancung dan kulitnya putih kemerahan, seorana dara asing dari see-thian (dunia barat)!

Dan sebagai persembahan dari Koksu sendiri, tentu saja dara itu mempunyai kedudukan istimewa. Para thaikam tidak berani bersikap kurang hormat karena takut kepada Koksu, bahkan para selir yang biasanya suka mengeluarkan perasa­an iri mereka terhadap selir lain dengan berani, sekarang hanya berani mempercakapkan selir baru ini dengan bisik-bisik. Semua orang di istana, bahkan para selir dan para pelayan sekalipun, tahu belaka akan kekuasaan Koksu yang ditakuti!

Malam itu memang istimewa. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh para selir dan para thaikam yang bertugas jaga, melainkan terutama sekali oleh Kaisar sendiri. Semenjak Kaisar menerima gadis persembahan Koksu yang datang meng­hadap pagi hari itu, Kaisar merasakan sesuatu yang lain daripada biasa. Belum pernah dia melihat kecantikan seorang dara seperti dara peranakan Nepal ini. Kecantikan yang khas, dan yang sekaligus menjatuhkan rasa sayang dan membangkitkan gairah di hati Kaisar itu. Terang­sang oleh gairah ingin cepat-cepat ber­dua saja dengan Si Jelita ini, Kaisar menunda semua urusan, dan baru saja matahari mengundurkan diri Kaisar sudah memasuki kamar peraduannya yang isti­mewa dan memerintahkan Si Juita datang menghadap dan melayaninya.

Kamar ini luas sekali, berbau harum dan dindingnya yang berwarna hijau muda dihias bunga-bunga dan lukisan-lukisan indah. Lantainya dari batu pualam yang jernih dan satu-satunya perabot kamar itu hanyalah kasur-kasur tebal yang me­menuhi bagian tengah, ditilami kain berbulu yang halus dan hangat, dengan bantal-bantal terhias sarung sutera ber­sulam indah.

Kaisar telah duduk setengah rebah di atas kasur ketika Thaikam kepala membuka pintu kamar. Thaikam berlutut di luar pintu dan tampak seorang dara yang bertubuh tinggi ramping dengan langkah gontai dan lemah lembut. Setelah dara itu memasuki kamar, daun pintu tertutup lagi di belakangnya dan terdengar langkah-langkah halus Thaikam kepala meninggalkan depan pintu disusul sua­ranya berbisik-bisik mengatur penjagaan. Seperti biasa, setiap kali Kaisar berma­lam di kamar ini, di empat penjuru luar kamar selalu dijaga oleh pengawal-penga­wal thaikam yang berkepandaian tinggi, di samping pelayan-pelayan wanita yang berlutut di luar kamar, diam tak berge­rak seperti arca akan tetapi siap untuk memasuki kamar apabila tenaga dan pelayanan mereka dibutuhkan. Empat orang pelayan wanita yang muda dan masih gadis malam itu menjaga di luar kamar, tubuh mereka yang duduk bersim­puh itu tak bergerak, akan tetapi mata mereka kadang-kadang mengerling liar ke arah kamar dan jantung mereka ber­debar penuh ketegangan. Biarpun mata mereka tidak mungkin menembus dinding kamar untuk menyaksikan apa yang ter­jadi di dalam kamar, akan tetapi dinding itu terbuat dari papan kayu tipis halus sehingga telinga mereka dapat mendengar semua suara dari dalam kamar. Suara yang lirih sekalipun, seperti berkereseknya pakaian atau tarikan napas panjang, dapat terdengar jelas!

Dara itu benar-benar cantik luar bia­sa. Kedua kakinya tidak bersepatu, telan­jang dan bersih, tampak putih kemerahan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera longgar, pakaian tidur yang khusus dibuat untuk selir-selir kaisar, hanya merupakan kain sutera tipis menyelimuti tubuh dan membayangkan bentuk tubuh yang padat menggairahkan, penuh lekuk lengkung yang menantang. Ketika dara itu tiba di depan pembaringan yang hanya kasur terletak di atas lantai, dia menjatuhkan diri berlutut, menelungkup se­hingga kedua lengannya rebah di atas lantai di depan kepalanya, pangkal kedua lengan menutupi muka, rambutnya terge­rai lepas di atas lantai. Kulit leher yang putih kemerahan dan halus membayang dari celah-celah rambut yang tersibak, dan sebagian lengan yang dilonjorkan keluar dari selimutan Sutera, tampak putih bersih dan halus bagaikan lilin di­raut!

Kaisar terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, tidak terlalu tinggi atau pendek. Cuping hidungnya bergerak men­cium keharuman yang keluar dari rambut dan leher agak terbuka penutupnya itu, dan dengan suara agak gemetar Kaisar berkata halus,

“Bangunlah....!”

Tubuh yang berlutut setengah mene­lungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi tidak bergerak-gerak itu meng­gigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan tubuh itu bangkit duduk, wajahnya tampak cantik jelita dan segar kemerah­an kedua pipinya, mulut yang amat manis bentuknya membentuk senyum malu, senyum ditahan yang membuat bibir itu gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah terpejam dengan pandangan menunduk sehingga bulu mata yang lentik panjang membentuk bayang-bayang di atas pipi, leher yang panjang itu tampak jelas, kepalanya agak dimiringkan. Kaisar makin terpesona, kini dia duduk dan mengembangkan kedua lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka memperlihatkan dada yang bidang dan perut yang mulai menggendut.

“Juita sayang.... jangan takut dan malu, ke sinilah....” kembali Kaisar ber­bisik.

Muka itu makin meriunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara menggigit sebelah dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan menggunakan kedua lututnya, menghampiri Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah menerkamnya dengan peluk­an penuh gairah.

Para thaikam yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan wajah tidak berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keada­an mereka sebagai orang kebiri telah melenyapkan pula perasaan halus mereka. Mereka berdiri berjaga dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Akan tetapi yang amat tersiksa adalah gadis-gadis pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan menggigit bibir mendengarkan segala kemesraan yang berlangsung di dalam kamar Kaisar. Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah.

Kaisar seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar kegaduhan yang terjadi di luar kamarnya. Padahal, terdengar ben­takan tertahan sebelum para pengawal thaikam itu roboh tewas, dan seorang diantara para gadis pelayan sempat men­jerit kecil sebelum dia roboh pula seper­ti teman-temannya. Kaisar yang tergila-gila kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa di luar kamarnya darah berlepotan membanjiri lantai. Bukan hanya ini saja kelengahan­nya, bahkan dia juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya seperti gila, yang sempat mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan yang halus dan jari-jari tangan yang membalas belaian­nya, juga merupakan maut yang siap mencabut nyawanya! Tanpa terlihat oleh Kaisar, dua buah jari tangan yang halus meruncing dan indah itu kini telah men­jepit sebatang jarum dan jari-jari tangan yang mengandung tenaga kuat itu siap untuk menusukkan jarum ke dalam otak di kepala Kaisar melalui pusat di tengkuk!

Tiba-tiba tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pe­lukan Kaisar itu tiba-tiba mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Tentu saja Kaisar menjadi terkejut sekali, serta-mer­ta meloncat, menyambar pakaiannya dan membalikkan tubuh memandang ke arah pintu. Pintu telah terbuka dan di tengah pintu tampak seorang wanita setengah tua yang cantik, gagah dan mengerikan karena mukanya yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita itu segera menja­tuhkan diri berlutut ke arah Kaisar!

Kaisar yang terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah, “Siapa engkau sungguh berani mati seka­li! Pengawal....!”

 “Hendaknya Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah ter­bunuh dan nyaris Paduka juga terancam maut di tangan perempuan itu.” Wanita bermuka putih itu berkata tanpa mengangkat muka dan dengan sikap hormat, akan tetapi juga dingin.

Kaisar yang sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi membuatnya mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur telentang di atas kasur, dengan sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah tidak bergerak lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis terluka mengeluarkan darah. Akan tetapi bukan tubuh itu dan bukan luka itu yang mem­buat Kaisar terbelalak, melainkan jari tangan yang menjepit sebatang jarum hitam!

“Apa.... apa yang telah terjadi....?” Kaisar tergagap karena merasa heran dan tidak mengerti.

“Harap Sri Baginda mengampunkan hamba yang lancang ini. Persekutuan pemberontak telah merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini adalah seorang kaki tangan Koksu yang bertugas merayu dan membunuh Paduka dengan tusukan jarum beracun. Sedangkan para thaikam pengawal di bagian istana ini telah dibunuh oleh kaki tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa perempuan ini hampir saja mem­bunuh Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi tahu dan turun tangan membunuhnya.”

“Apa....? Pemberontak? Koksu? Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu sungguh besar....!”

Pada saat itu, muncul dua orang ber­sorban di belakang wanita itu. Mereka menggerakkan tangan dan dua batang pisau terbang melumur ke dalam kamar. Wanita itu berseru, tubuhnya mencelat ke depan dan sekali sambar dia telah berhasil menangkap dua batang pisau yang menyerang Kaisar, kemudian dengan kecepatan kilat dia telah menyambitkan pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya. Dua orang Nepal itu memekik dan roboh terjengkang dengan dada tertusuk pisau mereka sendiri!

Kini barulah Kaisar yakin akan kebe­naran kata-kata wanita aneh itu. “Aihhh.... lekas ceritakan dengan singkat, apa yang terjadi!”

“Hamba bernama Lulu dan secara ke­betulan saja hamba tahu akan persekutu­an busuk ini. Pemberontakan direncana­kan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu dan kaki tangan mereka, bahkan di perbatasan utara telah dipersiapkan tentara pemberontak ga­bungan, dibantu orang-orang Nepal, Mo­ngol dan Tibet. Hamba tidak tahu ba­nyak, akan tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka terancam....”

“Hemm, jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu? Engkau wanita Mancu? Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan engkau untuk membasmi para pembunuh di istana puteri ini. Ku­beri kekuasaan kepadamu.”

“Akan tetapi Paduka? Hamba harus menjaga Paduka....”

“Aku akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan khawatir, sebentar lagi pengawal-penga­walku akan membantumu sehingga tidak seorang pun pembunuh akan lolos. Laku­kanlah perintahku!”

Wanita itu yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat lalu berkelebat keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita yang kini telentang menjadi mayat, menghela napas panjang penuh penyesalan, lalu menghilang di balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar menekan tombol di sudut kamar.

Dengan gerakan ringan bagaikan se­ekor burung walet, Lulu meloncat keluar dari dalam kamar. Sambaran senjata ra­hasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan sekali meloncat dia telah naik ke atas sebuah meja. Dari belakang muncullah empat orang bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok me­reka itu berlepotan darah dan dengan ganas mereka menyerang Lulu.

“Sing-sing.... crak-crakkkk!” Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah ter­timpa senjata tajam, akan tetapi Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah berada di belakang dua orang Nepal membalas serangan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.

Dua orang Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan yang bertugas membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka ini terdiri dari dua belas orang Nepal dan tiga orang Han dan semua thaikam yang menjaga di istana bagian puteri ini telah mereka bunuh. Tamparan Lulu dapat mereka elakkan, bahkan mereka memutar tubuh sambil menyerang lagi dengan golok.

Akan tetapi yang mereka hadapi ada­lah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki kesaktian luar biasa. Biarpun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang Nepal itu balas menyerang dengan golok, Lulu sama sekali tidak mengelak bahkan mengembangkan kedua tangan menyambut golok-golok itu.

“Trak-trakkkkkk!”Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok mereka dapat dicengkeram dan patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa kaget, keduanya sudah roboh dengan urat-urat leher putus terkena “bacok” kedua tangan Lulu!

 “Hati-hati, kepung dia....!” Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di sudut. Orang ini, berbeda de­ngan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan agaknya dia sedang asyik minum arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana itu. Kemudian terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal, dan orang-orang bersorban dibantu oleh tiga orang Han yang gerakannya ringan gesit kini mengurung Lulu dengan gerakan teratur. Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu tahu akan kelihaian Lulu dan sudah mengatur anak buahnya untuk mengurung dan membentuk barisan!

Lulu berdiri di tengah-tengah ruangan yang luas, diam tak bergerak, hanya ke­dua matanya saja yang bergerak mengerling ke kanan kiri mengikuti gerak-gerik para pengurungnya. Dia melihat betapa mereka itu membentuk garis pat-kwa dan mulai mengeluarkan suara seperti bernya­nyi atau berdoa! Mula-mula Lulu memandang rendah, sungguhpun dia bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa bergerak, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika suara nyanyian itu makin lama makin tidak enak sekali memasuki telinganya, seperti menusuk-nusuk dan dia mulai menjadi pening!

Yang paling nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu kakek Nepal yang masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng, menonton ke bawah sambil ber­nyanyi-nyanyi memimpin anak buahnya! Lulu tidak tahu bahwa mereka itu mem­pergunakan ilmu hitam untuk menundukkannya.

Tak tertahankan lagi kepeningan ke­palanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya. Pada saat itu, terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara orang-orang Nepal menubruk maju dan menggerakkan senjata mereka. Seorang bersenjata golok, seorang menusuk dengan pisau-pisau belati di kedua tangan, dan orang ke tiga menghantamkan sebuah ruyung!

Lulu merasa pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan datangnya serangan. Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan jerit melengking yang tidak lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia tidak mengelak, melainkan langsung menubruk maju menyambut se­rangan-serangan itu dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke depan!

Tanpa disengaja, Lulu telah mem­buyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung ilmu hitam itu, yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khi-kang saking marah tadi. Akibat dari terjangan­nya yang dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu terpental ke belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Lulu sehingga jari-jari tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada, seorang lagi terlempar oleh tam­paran yang mengenai kepala, sedangkan orang ke tiga terhuyung-huyung mundur ketakutan! Lulu melemparkan orang yang dicengkeram dadanya, kemudian cepat meloncat ke belakang melampaui kepala para pengurungnya karena pada saat itu, sudah datang pula senjata-senjata para pengeroyok menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu yang amat gesit ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh para pengurungnya, demikian cepat laksana kilat menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu telah berada di atas sebuah meja!

Orang-orang Nepal itu cepat mengu­rung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi kini Lulu yang sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah meninggalkan meja dan me­ja itu bergerak menerjang ke kanan kiri, melayang-layang menggantikan kaki wanita perkasa itu! Terjadilah pertempuran yang aneh dan hebat sekali. Karena dia selalu berada di atas meja tidak mudah bagi pengeroyok untuk menyerangnya tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan me­ngandung hawa sin-kang yang dilancarkan Lulu dari atas meja, membuat mereka tak berani mendekat karena siapa yang terlalu dekat, kalau tidak terpelanting oleh pukulan jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum rahasia yang di­lepas oleh bekas Ketua Pulau Neraka itu. Betapapun juga, karena rata-rata orang-orang Nepal itu memiliki kepandai­an tinggi, Lulu juga tidak berani bersikap sembrono dan memandang rendah. Dia selalu membuat mejanya melayang ke luar dari kepungan setiap kali para pe­ngeroyoknya berusaha untuk mengepung­nya. Ketika dia berhasil merobohkan empat orang pula dan pihak pengeroyok mulai menggunakan pisau-pisau terbang, tiba-tiba meja itu melayang ke atas loteng!

Kakek Nepal yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa kepungan anak buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran sekali. Ditenggaknya arak dari guci, kemudian dia bergerak melon­cat menyambut Lulu yang melayang ber­sama mejanya ke atas loteng, dan disem­burkanlah arak dari mulutnya ke arah Lulu.

Wanita ini mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia menghadapi kakek Nepal itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan menyerangnya, Lulu cepat menggerakkan tangan mendorong sambil mengerahkan sin-kang. Uap arak itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main melihat betapa uap itu seo­lah-olah hidup, terpecah-pecah dan seper­ti serombongan ular terbang, terus menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah melontarkan guci yang kosong ke arah meja yang diinjaknya.

“Desss!” Lulu lebih memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia meloncat ke atas meninggalkan mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian di udara dia berjungkir balik, melayang ke arah kakek Nepal melampaui gumpalan uap tadi, langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Bian-kun!

Kakek Nepal itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu me­mandang rendah Lulu, tidak tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang tersohor. Melihat wanita itu dapat menghindarkan serangan uap araknya dan kini melayang sambil memukulnya dengan dorongan telapak tangan yang membawa angin pukulan halus, dia terkekeh, lalu melonjorkan tangan me­nyambut pukulan tangan Lulu dengan niat menangkap tangan wanita itu!

“Plakkk!” Telapak tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu terkekeh makin girang ketika merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam pukulan halus yang amat ber­bahaya. Lulu memperoleh ilmu pukulan mujijat ini dari Nenek Maya yang sakti, dan setelah dia tinggal di Pulau Neraka, pukulan ini diperhebat dengan hawa bera­cun. Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak berapa tinggi ilmunya, biar orang-orang terkuat di dunia kang-ouw jaranglah kiranya yang akan kuat menerima pukulan ini secara terbuka seperti itu. Suara ketawanya tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya se­ketika kaku seperti kemasukan api hali­lintar dan begitu tangan kiri Lulu me­nyusul dengan tamparan mengenai kepa­lanya, kedua telapak tangan yang saling menempel tadi terlepas, tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan muka berubah hitam!

Gegerlah orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya berloncatan mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, mero­bohkan tiga orang lagi. Sementara itu di antara mereka ada yang sudah melihat wanita yang ditugaskan membunuh Kaisar menggeletak tanpa nyawa di dalam ka­mar peraduan, maka maklumlah mereka bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah mereka menjadi panik dan ber­usaha untuk melarikan diri.

Akan tetapi, Lulu yang telah meneri­ma perintah kaisar, tidak membiarkan mereka lolos. Dia selalu berkelebat me­nyerang dan merobohkan lawan yang hendak melarikan diri dan tidak lama kemudian, muncullah pasukan pengawal yang dipimpin oleh Kaisar sendiri dari pintu samping! Pasukan pembunuh menja­di makin kacau, mereka melawan mati-matian akan tetapi akhirnya mereka roboh semua seorang demi seorang!

Pada saat itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang ter­akhir pasukan pembunuh roboh, daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh melayang masuk ke ruangan itu. Lulu memandang kaget ketika mengenal bahwa yang baru masuk melalui jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang si wanita berkerudung bersama dara jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang terhunus!

“Tangkap Ketua Thian-liong-pang, se­kutu pemberontak!” Tiba-tiba kaisar membentak marah. Dia sudah mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang tadinya dia setujui saja karena dia percaya kepada Koksu. Akan tetapi setelah kini ternyata Koksu memberontak, tentu saja Thian-liong-pang juga merupakan pemberontak, dan agak­nya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan pembunuh. Kaisar hanya menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang yang katanya amat lihai dan seorang wanita berkeru­dung yang penuh rahasia.

Mendengar bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata terhunus, mengurung dan hendak menyerang.

“Jangan lancang!” Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil meng­gerakkan tangan kiri dan lima orang pe­ngawal itu terpelanting ke kanan kiri! Melihat ini para pengawal terkejut dan Kaisar sendiri pun kaget sekali.

“Biarkan hamba yang menghadapinya!” Lulu berkata lantang dan sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, da­lam keadaan dan tempat yang jauh ber­lainan dari yang pertama, dua orang wa­nita sakti ini saling berhadapan!

Bagaimanakah Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ bersama puterinya? Seperti kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin menghadapi pengeroyokan Bhong-koksu dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali perwira dan pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu terjadi di dalam taman di istana Koksu dibantu oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang lihai sekali, namun Ni­rahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan banyak orang dalam usaha mereka membobol keluar dari ke­pungan. Tadinya Nirahai berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil membunuh Bhong-koksu yang telah mem­berontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk membunuhnya dan menghancurkan Thian-liong-pang, akan tetapi ketika mendengar betapa pada saat itu Koksu telah mengirim pasukan untuk menyerbu Thian-liong-pang, dia menjadi khawatir sekali dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan bertempur, dia membuka jalan darah untuk keluar dari kepungan.

Kepandaian Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek aneh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, mem­buat kepungan Bhong-koksu dan kaki ta­ngannya kurang kuat dan akhirnya, sete­lah merobohkan banyak lawan, dua orang sakti itu berhasil membobol kepungan dan melarikan diri ke luar dari taman di belakang istana Koksu.

Mereka lari berpencar. Nirahai lang­sung menuju keluar dari kota raja untuk pergi ke markasnya, sedangkan Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja un­tuk mencari jejak muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari tembok kota raja, dia bertemu dengan Milana yang berlari-lari.

“Milana....!” dia memanggil dengan hati tidak enak. Puterinya bertugas men­jaga di markas dan kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan markas Thian-liong-pang.

“Ibu....!” Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai ma­kin tidak enak lagi.

“Apa yang terjadi?” Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang menangis terisak-isak.

Dengan suara terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang dipimpin Thian Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak buah mereka pun sebagian besar tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat melarikan diri. Mendengar penuturan ini Nirahai marah bukan main.

“Anjing pengkhianat Bhong Ji Kun....!” Dia memaki dan mengepal tinju.

“Kita harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu.” Milana berkata penuh sakit hati.

“Bagaimana engkau dapat lolos?” Ti­ba-tiba Nirahai bertanya.

Milana lalu meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng. “Dia memaksa aku melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini untuk diserahkan kepada Ayah.”

“Hemmm...., anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak tersangka. Milana, sekarang juga kita harus menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada kerajaan, membantu ke­rajaan dan membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki tangannya.”

Demikianlah, ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana menjelang pagi. Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai dapat menyelundup ke istana dan langsung menuju ke bangunan istana bagian puteri karena di waktu larut malam seperti itu dia tidak berani mengganggu Kaisar. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat keributan di istana bagian ini, melihat banyak thaikam menggeletak tewas dan banyak pula orang-orang ber­sorban tewas, bahkan di ruangan dalam masih terjadi pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar yang membantu Lulu membunuh orang-orang Nepal.

Ketika mendengar bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Kok­su dan perintah Kaisar untuk membunuh­nya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima orang pengawal yang menyerangnya. Kini Lulu berdiri di de­pannya dengan sikap menantang!

“Hemm, sungguh tak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini, Thian-liong-pangcu! Lebih-lebih lagi tidak ku­sangka bahwa engkau begitu keji dan palsu, bersekutu dengan pemberontak untuk membunuh Kaisar! Setelah berada di depan Sri Baginda, engkau masih banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!” Lulu berkata, dan diam-diam dia merasa tidak suka kepada wanita berkerudung yang telah mengancam puteranya dan yang telah menolak pinangannya itu.

“Kurung para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!” Kaisar berseru lagi ketika dari pintu-pintu ruangan itu bermunculan pengawal-pengawal yang mendengar akan peristiwa di istana ba­gian puteri dan cepat memimpin pasukan untuk membantu. Kini tempat itu penuh dengan pasukan pengawal dan semua pintu dijaga ketat sehingga tidak ada jalan keluar Pagi bagi Nirahai dan Milana.

“Pemberontak rendah, bersiaplah un­tuk mati!” Lulu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang yang sakti, maka begitu menyerang, Lulu telah mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bun-hoat dan tenaga pukulannya adalah Ilmu Toat-beng-bian-kun!

“Plak! Plak! Heiiiittt!”

Lulu melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua Thian-liong-pang itu menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan tenaga pukulan yang sama!

“Aihh, ternyata betul kabar yang ter­siar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri ilmu yang tak tahu malu!” bentak Lulu dengan penuh kemarahan.

“Lulu, betapa bodohnya engkau!” Ti­ba-tiba suara di balik kerudung ini beru­bah halus dan Lulu tersentak kaget.

“Kau.... kau.... siapakah....?”

Pada saat itu, Milana sudah menja­tuhkan diri. berlutut menghadap kepada Kaisar sambil menangis dan berkata,

“Mohon Sri Baginda sudi mengampun­kan hamba dan ibu hamba....! Thian-liong-pang sama sekali bukan pemberontak, bahkan sebaliknya. Thian-liong-pang selalu membantu kerajaan! Karena itulah, baru saja kemarin, Thian-liong-pang di­serbu dan dihancurkan oleh pasukan pemberontak Koksu pengkhianat, para pembantu Ibu tewas semua dan hamba sendiri pun nyaris tewas.... harap Paduka sudi mengampunkan ibu dan Ibu.... Ibu.... selamanya.... setia kepada Paduka....” Mi­lana tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Baru sekarang ini dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih kakeknya sendiri! Dia menangis bukan karena takut melihat ancaman terhadap ibunya dan dia, melainkan merasa berduka dan ter­haru.

Lulu juga mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berke­rudung itu dengan bingung. Kini wanita berkerudung itupun menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar dan terdengar suaranya lantang,

“Sesungguhnyalah apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu, hamba adalah puteri Paduka yang setia....” Nirahai merenggut kerudung yang menutupi mukanya dan tampaklah wajah yang cantik agung dan diliputi penderita­an batin itu.

“Suci (Kakak Seperguruan)....!” Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun tidak pernah diduganya bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah Nirahai!

“Nirahai....!” Kaisar juga berseru gi­rang, lalu melangkah maju. “Aihhh.... jadi engkaukah yang selama ini menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan gadis ini.... dia anakmu....?”

Nirahai menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap dah berlutut di depan Kaisar. “Harap Paduka sudi mengampun­kan hamba, Milana adalah anak hamba dan....”

“....dan dia cucuku! Ahhhhh!” Kaisar menyentuh kepada Milana dengan ujung jari tangannya. “Nirahai, sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, kuserahkan seluruh pengawal. Seperti dahulu, pimpin mereka membersihkan pemberon­tak-pemberontak laknat itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong Ji Kun, seret mereka ke pengadilan! Dan.... wanita ber­nama Lulu ini, siapakah dia? Sumoi-mu?”

 “Dia adalah Lulu, Sumoi hamba dan.... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan kerajaan.” Nirahai berkata dan Lulu sudah menja­tuhkan diri berlutut.

Kaisar mengelus jenggotnya dan me­narik napas panjang. “Hemm...., semua adalah gara-gara perbuatan Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku bahwa Pulau Es dan Pu1au Ne­raka merupakan kekuatan-kekuatan ber­bahaya dan perlu dibasmi, dan aku selalu percaya kepadanya. Apalagi karena aku mengira bahwa engkau berada di Pulau Es.... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah mendengar bujukan Si Palsu itu.”

“Baik Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi kerajaan!” Nirahai berkata dan Lulu ha­nya menundukkan mukanya karena dia benar-benar menjadi bingung sekali sete­lah mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Nirahai. Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila kepada anak Nirahai? Dan anak Nirahai berarti anak.... Han-koko, pikirnya terharu dan terkejut, karena bukankah sucinya itu pernah menjadi isteri Suma Han Si Pendekar Super Sakti?

“Si keparat Bhong Ji Kun yang ber­dosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan tugas dan kekuasaan kepada kalian berdua untuk membasmi pembe­rontak. Setelah itu barulah kita bicara. Nah, terimalah pedangku sebagai lambang kekuasaan tertinggi!” Kaisar meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung Hong, menyerahkan pedang itu kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut. Kemudian, dikawal oleh pengawal-pengawal pribadinya, Kaisar mengundurkan diri dan Nirahai lalu me­ngajak Lulu dan Milana untuk mengatur pasukan bersama para panglima istana yang kini menganggap Nirahai sebagai kepala mereka. Para panglima yang tua tentu saja masih mengenal Nirahai dan mereka girang sekali mendapatkan pim­pinan wanita sakti ini karena yang mere­ka lawan adalah Koksu yang dibantu oleh banyak orang lihai.

Akan tetapi, ketika Nirahai yang di­bantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk membikin pembersihan, ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan semua pembantunya, diam-diam telah lolos dari kota raja dan me­larikan diri ke utara untuk bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan untuk menyerang kerajaan secara terbuka! Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu mengerahkan pasukan, me­lakukan pengejaran ke utara, tetap di­bantu oleh Lulu. Adapun Milana tidak ikut membantu ibunya karena dara ini bersikeras untuk mencari ayahnya, me­nyerahkan pedang Hok-mo-kiam dan juga diam-diam dara ini mengkhawatirkan keadaan Bun Beng yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana nasibnya.

Berangkatlah pasukan besar yang di­pimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan utara untuk mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena mereka menaruh keperca­yaan penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah amat terkenal sebagai seorang pemimpin yang pandai dan gagah perkasa. Apalagi karena Puteri Nirahai adalah puteri kaisar sendiri!

***

Tubuh Bun Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini maklum bahwa dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia tidak tahu siapa kakek ini, dan di dalam gelap tadi dia tidak dapat memperhatikan wajahnya. Kini, bulan sepotong menimpakan cahaya yang cukup terang, akan tetapi dia tergantung di ujung bambu seperti seekor binatang buruan, seperti seekor kijang atau babi hutan yang tertangkap, kaki dan tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang tubuhnya. Dari tempat ia bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan ram­but riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang lucu, seperti menari-nari!

“Heh-heh-heh, tentu akan terjadi pe­rang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul kotor dilanda barisan bala ten­tara yang berbaris. Ramai! Ramai!” Kakek cebol itu lalu mengayun langkah pendek-pendek, berlenggang meniru ge­rakan pasukan berbaris. Bambu panjang yang dipanggulnya, bergerak naik turun dan dipegang seperti tentara memanggul tombak, mulutnya meniru aba-aba ko­mandan pasukan, “Tu-wa! Tu-wa! Tu-wa!”

Diam-diam Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut terangguk-angguk di ujung bambu, membuat kepalanya makin pe­ning! Celaka, pikirnya, kakek cebol ini agaknya sudah terlalu tua dan pikun sehingga berubah seperti kanak-kanak, atau memang otaknya agak miring! Sukar diduga apa yang akan menimpa dirinya yang terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang sakti, sedangkan dia menderita luka dalam yang amat parah sehingga jangankan mempergunakan tena­ga dan kepandaiannya, bahkan melepaskan diri dari belenggu kaki tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap pengerahan sin-kang akan mempercepat nyawanya melayang. Maka diapun tidak bergerak dan tidak bersuara, hanya menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu.

Memang kalau orang belum tiba saat­nya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun Beng. Dia sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi tawanan dan tiada ha­rapan lagi baginya untuk meloloskan diri. Sungguh kebetulan sekali, ketika dia me­nolong Milana, berhasil membebaskan dara itu dan dia sendiri mengamuk, ada sepasang mata yang menonton semua itu dengan penuh rasa kagum. Sepasang mata itu adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Kalau saja Bu-tek Siauw-jin tidak menyaksikan semua peristiwa ketika Bun Beng menyelamatkan Milana di atas pohon, agaknya kakek ini tidak mau mencampuri urusan, apalagi menolong Gak Bun Beng yang sama sekali tidak dikenalnya.

Bukan hanya sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu, menimbulkan kekaguman dan rasa suka, akan tetapi terutama sekali ketika ia menyaksikan dengan penuh keheranan betapa Gak Bun Beng mampu mengha­dapi Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang mengeroyoknya. Dia menyaksikan betapa ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan seandainya pemuda itu tidak menghadapi pedang Lam-mo-kiam di ta­ngan Wan Keng In, agaknya belum tentu pasukan itu dapat menawannya. Sebagai seorang sakti, Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin sekali tahu dari mana pemuda itu memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia mengambil keputusan untuk menculik Bun Beng. Bukan semata-mata karena dia tertarik dan kagum kepada Bun Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa tidak sukanya kepada Wan Keng In, murid suhengnya itu!

Setelah kini Bun Beng dapat diculik­nya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor babi hutan yang tertangkap, diba­wa melanjutkan mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Apalagi ketika matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa pemuda yang ditolongnya itu menderita luka pu­kulan yang amat hebat, dan untuk me­nyembuhkannya bukan merupakan hal yang mudah. Biarlah kuserahkan dia ke pada Pendekar Super Sakti, pikir kakek itu. Ketika Bun Beng dan Milana berca­kap-cakap tentang cinta mereka di atas pohon, kakek ini mencuri dengar, maka dia tahu bahwa pemuda yang dipanggul­nya ini saling mencinta dengan puteri Pendekar Super Sakti. Calon mantu! Ten­tu pendekar itu akan girang kalau dia beri “hadiah” calon mantunya ini!

Bu-tek Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik bukit kecil di mana terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya Pendekar Super Sakti berdiri tegak dengan kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkatnya dan wajahnya diangkat memandang ke arah bulan sepo­tong, diam tak bergerak seperti arca! Rambutnya yang panjang putih itu ter­timpa sinar bulan pucat, menjadi makin mengkilat putih seperti perak. Lengan kanannya menyilang depan dada, berpe­gang pada lengan kiri. Hanya ujung rambutnya yang putih panjang itu saja ber­gerak sedikit tertiup angin malam.

“Brukkkk!” Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun Beng terbanting ke atas tanah, akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang terbanting. Ia tetap miring dan dapat melihat kakek cebol itu berjalan meng­hampiri Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama sekali.

Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat ia kagumi. Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika ia meng­hampiri pendekar kaki buntung itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ter­nyata sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh duka!

Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu sambil menaruh kedua ta­ngan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya berulang kali meng­hela napas panjang, kembali ia mengge­leng-geleng kepala dan berjalan hilir-mu­dik lagi.

Biarpun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang rebah miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting! Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka telah saling mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main kalau sam­pai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu bertanding ilmu melawan Pendekar Siluman! Akan tetapi, sungguh sama se­kali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu bersikap luar biasa sekali. Pen­dekar kaki buntung itu tetap berdiri te­gak sedangkan kakek cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu!

Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.

“Sekali hidupsiapa minta?

segala macam peristiwa menimbulkan suka duka salah siapa? 

Apapun yang terjadi tak mungkin dirobah tiada hubungan dengan suka duka mengapa susah? 

Kakek bulan puntidak selalu sempurna mengapa kecewa? 

Tuhan tidak mengharuskan setan tidak memaksa tawa atau tangis!

Yang senang memang bodoh tapi yang berduka lebih tolol lagi!”

 Kini tubuh Suma Han bergerak. Ter­dengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. “Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang menonton me­mang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela, semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi yang merasakannya sendiri barulah dapat menilai akan ringan beratnya.”

Kakek itu tertawa. “Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Eh, Pendekar Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat daripada bulan itu. Tentu engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu setelah kaurasakan. Kalau begitu, me­ngapa dirasakan?”

“Karena aku ada pikiran.”

“Siapa menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?”

“Tidak ada yang menyuruh.”

“Nah, kalau begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempu­nyai pikiran, apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk memikirkan hal-hal yang menimbulkan duka? Daripada pikiran dipergunakan secara keliru seper­ti itu, jauh lebih baik dipergunakan untuk memikirkan mengapa kita sampai berdu­ka! Karena sesungguhnya, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri itulah!”

“Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas daripada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?” Suma Han menjawab setelah menghela napas panjang.

“Ha-ha-ha, Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan, kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang. Sungguh mengherankan sekali, engkau yang mem­buka hati dan pikiranku di dalam kamar tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku, ternyata engkau sendiri ti­dak tahu akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nye­nyak. Ternyata engkau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan ke­nangan masa lampau. Sungguh kasihan!”

Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali. “Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!” dan pendekar ini menjatuhkan tu­buhnya duduk bersils di atas sebuah batu.

“Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali membuktikan kelemahanmu, eng­kau tidak mau membuka mata melihat keadaan diriku, tidak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan.” Kakek itupun menggerakkan tubuhnya dan “bruuk!” dia sudah duduk pula di atas sebongkah batu besar tak jauh di depan Suma Han.

Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring, mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia menyaksikan, bah­kan mengharapkan terjadinya perang tan­ding di antara dua orang yang memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kece­wa! Ternyata kedua orang itu mulai ber­tanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup. Namun, makin dide­ngar, makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu adalah hal-hal mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbu­kalah mata batin pemuda ini sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.

“Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!” Suma Han menyerang dengan suara mengejek. “Kau seolah-olah memandang rendah ke­pada pikiran yang kaukatakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?”

“Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku selama ini, kita manu­sia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini, keadaan pikiran kita. Memang hidup mem­butuhkan tenaga pikiran untuk mengingat-ingat dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala macam urusan lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup menja­di rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!”

“Trakkk!” Ujung batu yang diduduki Suma Han cuwil oleh tangan Si Pendekar yang mencengkeramnya. “Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu? Hati-hatilah engkau bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak se­nang. Aku tidak ingin kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada keponakanku!”

“Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-taihiap. Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukan­lah aku yang mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang men­jadi biang keladi segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!”

“Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?”

“Seperti kukatakan tadi, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri, karena itu, se­bagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa mau saja diper­budak oleh pikiran?”

“Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikurniai pikiran, mengapa tidak akan kupergunakan?”

“Ha-ha-ha, siapa yang mengurniaimu? Dan siapakah itu yang kausebut aku yang mempunyai pikiran? Pendekar Super Sak­ti, dengarlah baik-baik segala yang hen­dak kukemukakan, karena semua kesadar­an ini kudapat setelah mendengar petun­jukmu di dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian, tanpa kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi pelajaran kepadamu, bukan bermaksud menguliahi. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai daripada aku. Maukah engkau mendengarkan?”

“Bicaralah, kakek aneh.”

“Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. De­ngan sendirinya pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci dan sengsara?”

“Nanti dulu!” Suma Han berkata nya­ring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. “Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran mula-mula mengemudi­kan dan menguasai kita.”

“Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Tidak akan terjadi aki­bat sesuatu yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran masuk dan mengacaunya. Pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan karena pikir­an berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul percekcokan dan lain-lain.”

“Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin, dan memang agaknya tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku, se­hingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentang­an. Benar sekali! Akan tetapi, apa hu­bungannya dengan iri?”

“Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat yang menyenangkan dimi­liki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri tentulah hanya yang menyenangkan saja.”

“Bagaimana dengan dendam dan ben­ci?”

“Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian inipun ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, menge­nangkan hal-hal tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebenci­an kepada seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang, pikiran berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbul­kan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan.”

Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh kesadarannya, na­mun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im dan Yang itu, membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang timbul dari pengertian itu, dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.

“Apa hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?”

“Kedukaan? Hemmmm.... kedukaan­mu?”

Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, se­olah-olah ada sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin lebar-lebar dan menghilangkan segala pengha­lang yang menutupi dirinya sendiri sela­ma ini. Maka pertanyaan itupun mem­buatnya ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab lancar, “Sebelumnya maaf­kan kalau kata-kataku kau anggap tidak tepat. Akupun hanya seorang pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbul­nya duka, bukan? Dan bagaimana keduka­an timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah per­mainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-taihiap?”

Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih, kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup di dunia yang baru. Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran. Suara daun ge­merisik ditiup angin, suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang menyam­but malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak kesunyian melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri. Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap, rasa pegal di kedua lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu, tidak ada kemarin dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!

Dua orang sakti itu masih terus ber­debat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua penge­tahuan filsafat yang dimilikinya, untuk melawan ucapan kaken yang selalu me­ngemukakan fakta apa adanya, bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil pandangan mata batin yang terbuka lebar, tidak lagi di­gelapkan atau dibikin suram oleh segala pendapat dan pelajaran hafalan yang te­lah lalu. Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sin-kang, tentu sekali reng­gut saja akan putus ikatan kaki tangan­nya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu tidak memungkinkan dia mengerahkan sin-kang. Bun Beng perlahan-lahan meng­gulingkan tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai meng­gosok-gosokkan tali pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak berani mengerahkan tenaga dalam, Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya mengandal­kan tenaga luar. Tekun sekali dia me­ngerjakan semua ini sehingga hanya kalau dia berhenti mengaso saja dia da­pat mendengar percakapan dua orang itu sekarang. Baginya, lebih penting melepas­kan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat membuat jalan darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu ini, maka sete­lah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki dan tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua orang sakti itu masih berdebat!

“Memang enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda pende­titaan batin seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku? Terhadap orang seper­ti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya lagi. Kaudengarlah dan coba pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka selama hidupku?” Pendekar Super Sakti yang sedang tenggelam dalam ke­dukaan hebat itu lalu membuka semua rahasia hatinya kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, akan tetapi sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar penuturan semua itu, diapun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tidak disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah seorang yang telah di­landa kepahitan hidup yang demikian hebatnya!

“Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksa­nya untuk menikah dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan kedu­dukannya sebagai puteri kaisar dan pa­nglima besar untuk menjadi isteriku. Namun, hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku karena kami tidak sepaham mengenai jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan ter­hadap isteriku. Aku berusaha mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih terus mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik angkatku yang telah berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang gugur dalam perang kare­na patah hati, dan ternyata adik angkat­ku itu pun menderita karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua Pulau Neraka. Adapun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak perempuan, anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?”

Sejenak keadaan sunyi, yang terde­ngar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan “Wahh, aku sendiri selamanya tidak bera­ni berurusan dengan wanita, Taihiap. Me­nurut dongeng, wanita adalah satu-satu­nya mahluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya mahluk yang paling aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang sanggup menciptakan surga dunia maupun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak tergantung kepada seorang wanita. Memang sekarang kusadari bahwa segalanya tergantung kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau membayangkan betapa daya tarik seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti eng­kau pun roboh dan merana karena wanita, apalagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri aku memikirkannya! Apakah.... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?”

“Agaknya demikianlah.”

“Dan engkau pun mencinta mereka?”

“Sejak dahulu sampai saat ini.”

“Huh, mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa mempertimbangkannya, apalagi memberi nasihat aea yang harus kaulakukan!”

Kembali sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, memikirkan jalan apa yang terbaik menghadapi dua orang wani­ta yang menghancurkan hidup pendekar kaki satu itu. Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring,

“Seorang isteri harus dalam keadaan apapun juga ikut dengan suaminya! Se­orang kekasih harus setia dan ikut ke mana juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki sejati harus tidak lari daripada pertanggungan jawabnya dan tidak meng­ingkari perasaan hatinya sendiri!”

Dua orang sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang masih duduk bersila di atas tanah.

“Ahhh, engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?” Bu-tek Siauw-jin berta­nya heran dan agaknya baru kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.

“Ah, engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!” Suma Han berseru kaget.

Gak Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu. “Ha­rap Suma-taihiap sudi memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan kepada Bu-tek Siauw-jin Locian­pwe yang telah menolong saya.”

“Engkau.... Gak Bun Beng!” Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pe­muda itu di bawah cuaca yang masih remang-remang.

“Ha-ha-ha-ha, sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe (orang tua gagah) pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?”

Bun Beng tak dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan kakek itu melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.

“Tahukah engkau mengapa aku me­nolongnya, Pendekar Siluman? Setelah engkau ceritakan padaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong pemuda ini karena pemuda ini telah menyelamatkan puterimu. Tadi­nya aku tidak tahu bahwa dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan sekali.”

“Milana? Mengapa dia?” Suma Han bertanya kepada Bun Beng.

Bun Beng lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan dia melihat Milana menjadi tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang me­mimpin pasukan menghancurkan Thian-liong-pang. Betapa dia telah berhasil pula mengembalikan pedang Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan kepada Pendekar Super Sakti.

 “Sukur bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa Hok-mo-kiam. Saya menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya, dan Thian Tok Lama. Akhirnya saya roboh dan sebelum terto­long oleh Locianpwe ini, Wan Keng In telah memukul saya dengan pukulan beracun.”

“Heh-heh, agaknya dia memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita pukulan ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah se­tan itu telah memiliki kepandaian tinggi dan tenaganya pun hebat. Nyawamu ter­ancam, Gak Bun Beng,” kata Bu-tek Siauw-jin setelah memeriksa sebentar.

“Tidak, dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadap aku sudah ter­lampau besar sehingga aku rela mengor­bankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan Milana, telah mengemba­likan Hok-mo-kiam, dan.... dan terutama sekali ucapannya tadi telah membuka mata batinku, telah mendatangkan kete­gasan dalam hatiku sehingga lenyaplah segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin, engkau harus mem­bantuku mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan menuntut engkau yang lancang berani mengambil keponakan dan muridku sebagai muridmu,” kata Suma Han.

“Wah-wah, ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini. Dan kalau kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon.”

Bun Beng terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah duduk bersila di depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun
Beng dan berkata, “Kaukerahkan Im-kang di punggungnya, Pendekar Siluman. Aku tahu cara mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suhengku yang amat keji ini.”

Suma Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya dari depan. Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat dia hampir pingsan. Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa itu seolah-olah menghentikan pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa hangat yang amat nyaman. Rasa nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah hitam tiga kali. Baik­nya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di depannya.

Ternyata pengobatan yang hanya di­lakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik. Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk memulihkan tenaga masing-masing. Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang sudah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka, tanpa berani bergerak menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang memakan waktu kurang lebih dua jam.

Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum sekali. Tidak disangka­nya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji, seorang pemuda yang tampan, gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang. Dia teringat akan Kwi Hong dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu dengan pemuda ini. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang bisik-bisik anta­ra puterinya, Milana, dengan Bun Beng, maka hatinya menjadi bimbang.

“Bangkitlah, Bun Beng. Engkau telah sembuh,” katanya perlahan.

Bun Beng memberi hormat kepada mereka. “Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat besar itu.”

“Ha-ha-ha-ha, untuk membalas, eng­kau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua sekarang juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta kembali nyawa yang kaubilang kami berikan kepadamu tadi.”

Ucapan ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng menerima dengan sungguh-­sungguh. “Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi syaratnya.”

Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Me­reka berdua semalam suntuk telah berde­bat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan masing-masing. Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berda­sarkan Im dan Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu, tidak seperti Suma Han yang mem­pergunakan kedua-duanya. Kini, mereka telah merasakan sendiri betapa tenaga sin-kang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng, ternyata dapat digabungkan menjadi satu! Biarpun tidak saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata, keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, memiliki tenaga sin-kang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup menerima gabungan ilmu mereka!

“Bun Beng, kami berdua telah berse­pakat untuk menurunkan inti tenaga ka­mi kepadamu. Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan dengan berhasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba kaumainkan ilmu silat tertinggi yang kaumiliki.”

Bun Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi yang pernah dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia “curi” dari tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ke­tua Thian-liong-pang yang ternyata ada­lah isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai diketahui oleh pendekar ini, apa­kah tidak berbahaya baginya? Tentu dia dianggap pencuri! Akan tetapi kalau tidak dimainkannya, berarti dia menyembunyi­kan sesuatu dan membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia meng­ambil keputusan nekat. Dia tidak sengaja mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-sut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang ia temukan di dalam guha bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempela­jarinya tanpa sengaja mencuri!

“Ilmu itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang,” jawabnya lirih.

“Kau boleh memakai tongkatku ini!” kata Suma Han.

Bun Beng menerima tongkat itu de­ngan jari-jari tangan gemetar. Betapa tidak akan terharu, bangga, dan gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar Super Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan pe­nuh keharuan dia mencium tongkat itu, kemudian memberi hormat kepada kedua orang itu dan mulailah dia meloncat ba­ngun dan mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut. Gerakannya gesit dan ringan bukan main sehingga bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gu­lungan sinar yang dibentuk oleh tongkat itu. Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan betapa sin-kang dari pemuda itu sudah amat kuat.

Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin me­mandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang dan menggeleng­kan kepala saking kagumnya. Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan. Ketika selesai, dia meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, sebatang tongkat yang ternyata cocok Sekali dipergunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat kembali kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah sekali karena pengerahan tenaga yang cukup melelahkan.

“Ha-ha-ha, dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang aneh yang baru kauperlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua menjadi mati kutu!”

Bun Beng menjura, “Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menerta­wakan teecu yang bodoh dan teecu mohon petunjuk.”

“Ah, aku tidak main-main. Ilmu pe­dangmu tadi hebat, kalau ditambah ga­bungan inti tenaga sakti kami.... wah.... agaknya suhengku Cui-beng Koai-ong sendiri harus tunduk kepadamu!”

“Gak Bun Beng, dari mana kau mem­peroleh ilmu pedang tadi?” Tiba-tiba terdengar suara Suma Han, suaranya te­gas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik karena seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus jantungnya!

 “Maafkan, teecu mendapatkannya se­cara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah guha. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan.... dan.... mencuri....”

Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi Suma Han kecewa sekali dan dia berkata, “Mencuri? Dari siapa?”

“Dari Ketua Thian-liong-pang.”

“Heh....?” Dua orang sakti itu ter­belalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget karena tidak menyangka sama sekali.

Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa, ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu. Mendengar ini, kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas panjang dan berkata, “Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang lain. Ini namanya pemba­lasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau, bahwa setelah engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau terhitung sute-ku (adik sepergururuanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa kitab itu adalah pening­galan Suhu Koai-lojin.”

“Ahhhh....!” Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. “Teecu.... teecu.... mana berani....?”

Suma Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bah­wa pemuda ini memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang tidaklah mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.

“Tidak mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi su­teku, ataukah muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa sih artinya segala sebutan kosong? Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin di­temukan oleh orang lain di dunia ini.”

Mulailah kedua orang sakti itu mela­tih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin, sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sin-kang dari Pulau Neraka yang telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka! Karena pada diri Bun Beng sudah terdapat tenaga sin-kang yang mujijat dari jamur-jamur berwarna yang dimakannya ketika dia berada di dalam guha di bawah tanah tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mujijat dari Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya.

Bun Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri siang malam tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu! Melihat hasil ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng bagaimana untuk me­manfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan kosong atau dengan menggunakan senjata lain. Biarpun Suma Han sendiri tidak pernah mempe­lajari ilmu ini, namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin, ditambah pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat berharga itu.

Pada hari ke empat, ketika Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong, menggunakan tenaga sakti se­hingga terdengar suara bercuitan sebagai akibat menyambarnya hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,

“Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa.”

“Ha-ha-ha, tak mungkin ada lawannya lagi!” Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggot­nya, menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu kalah jauh kalau diban­dingkan dengan Bun Beng.

“Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hen­dak pergi.”

Kakek itu menoleh ke kiri, meman­dang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang pe­nuh harapan dan gairah hidup yang be­sar!

“Ke mana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula. Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap.”

Suma Han menarik napas panjang. “Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebe­naran sehingga aku tertinggal jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah me­nempuh hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka.”

“Lulu dan Puteri Nirahai?” kakek itu bertanya.

Suma Han mengangguk. “Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat di­pecahkan oleh pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang ha­nya dapat melamun dan merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan, seperti yang diucap­kan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun kembali bersama mereka.”

Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. “Engkau masih belum setua aku, Suma-taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kaucinta.”

Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih tertawa-tawa dan mengang­guk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah hidupnya kem­bali.

Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan ber­kata,

“Ke manakah perginya Suma-taihiap tadi, Locianpwe?” Biarpun dia tadi ber­latih tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebat­nya tubuh pendekar itu. Dia tetap me­nyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan taihiap kepada Suma Han, karena kedua orang ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau dianggap guru.

“Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali dia, merana selama belas­an tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kita pun harus pergi, Bun Beng.”

“Ke mana, Locianpwe?”

“Kaubantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!”

Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun tidak tahu ke mana per­ginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja, maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak me­ngajaknya ke kota raja. Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah muridnya!

Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng dapat mengimbangi gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.

Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, kea­daan di sana sudah sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu yang mem­berontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan urtuk melaku­kan pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan pemberontak yang sudah dikum­pulkan di perbatasan utara.

Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelun­dup ke dalam istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar tahanan kalau-kalau murid­nya masih “terselip” di situ, namun sia-sia belaka karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya gadis itu.

Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan me­nyelidiki tentang Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan ke mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut ber­sama ibunya untuk membantu. Maka dia pun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.

“Teecu tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi Hong juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak,” kata Bun Beng.

Kakek itu menggeleng kepala. “Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Olah mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia itu kaukatakan tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol semua? Hayolah!” Mereka kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara.

Apakah yang telah terjadi dengan Milana? Dara itu, seperti telah dicerita­kan di bagian depan, tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberon­tak ke utara, melainkan ditinggalkan di kota raja. Tadinya, Puteri Nirahai me­nyuruh puterinya itu mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan kembali Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak yang dia tahu dipimpin oleh banyak orang sakti, terpak­sa dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.

“Biarlah pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu,” pesannya kepada Milana. “Engkau tunggu saja di sini, kalau berte­mu dengan ayahmu, ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para pemberontak yang lihai. Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi, suruh dia membantu kami di utara. Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai untuk menghadapi para pimpinan pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang sakti dari Mongol, Nepal, dan orang Han sendiri.” Setelah kini menjadi seorang panglima kembali, beru­bah sikap Nirahai. Yang terpenting bagi­nya pada saat itu adalah tugasnya, maka sama sekali terlupalah urusan pribadi, sehingga dia tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han. Semua demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.

Akan tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan besar, bukan hanya kegem­biraan kalau dia teringet kepada Gak Bun Beng, pemuda yang dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga kare­na adanya harapan yang timbul di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka itu dapat bersatu kembali, alang­kah bahagianya hidup ini, apalagi di sana ada.... Bun Beng!

Dua hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang diakui, apalagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat dan mendapatkan sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri. Namun, darah petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua Thian-liong-pang, yang sudah biasa bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat tahan lama tinggal di lingkungan tertutup itu. Segera dia telah mengena­kan pakaian ringkasnya lagi sebagai se­orang pendekar, dan melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke luar dan melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayah­nya atau dengan Bun Beng.

Akan tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada sore hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci dan ditakutinya. Wan Keng In! Baru saja Milana meloncat tu­run dari atas pagar tembok, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda tampan itu berdiri dengan senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda itu berdiri seo­rang kakek yang amat mengerikan, kakek kurus kering seperti mayat hidup, yang matanya seperti mata boneka tidak ber­gerak sama sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!

“Sayur di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu, menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang cantik, calon isteriku yang tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak menjemputmu di dalam istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar menyambutku. Terima kasih!”

“Manusia iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk membunuhmu!” Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa ngeri.

“Hemm, sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ter­nyata adalah Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau menjadi isteriku, engkau cucu Kaisar, dan aku.... calon raja di Pulau Neraka. Marilah manis.” Tangan Wan Keng In meraih hendak menangkap ping­gang ramping dara itu. Tentu saja Milana tidak sudi membiarkan tubuhnya dipeluk, dia mencelat ke kanan sambil mengge­rakkan tangan kiri yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Sinar merah menyambar ke arah dada dan pe­rut Wan Keng In dan agaknya pemuda ini tidak tahu bahwa dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula menangkis. Hal ini menggirangkan hati Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan mengenai sasaran dan mero­bohkan lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan. Dara ini menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali akan jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya!

Sambil tertawa, Wan Keng In menca­but jarum-jarum yang menancap di baju­nya, sama sekali tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan dibawanya lari bersama guru­nya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan suara.

“Haiii! Berhenti....!” Dua orang penja­ga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok, mendengar teriakan Milana datang berlari. Ketika mereka melihat siapa yang dipondong dan dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada penjahat menculik cucu Kaisar yang baru yang cantik, puteri dari Panglima Nira­hai!

Mereka berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu memiliki ilmu kepandaian he­bat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan mengejar. Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal itu melihat Si Kakek lari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan tombak mereka, menusuk ke punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan sama sekali.

“Crot! Crot!” Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam, akan tetapi kakek itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu me­luncur ke belakang seperti anak panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika, berkelojotan dengan sinar mata penuh ke­heranan dan kekagetan. Mereka mati dalam keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan tembus punggungnya itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata masing-masing.

“Jahanam, lepaskan aku!” Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat dalam pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya adalah benar-benar dara yang dicintanya, yang membuatnya ter­gila-gila, dara yang hidupnya dan yang selamanya akan menjadi sisihannya, men­jadi permaisurinya di Pulau Neraka!

Beberapa orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia, sebagian lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana. Panglima itu terkejut, terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri Puteri Milana ini kepada Kaisar.

Tentu saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali pute­rinya bersama cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi pemberontak, cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar meme­rintahkan kepada panglimanya untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan membebaskan kembali cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia pun maklum bahwa penculik itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya yang lihai, dan juga Lulu, pergi memimpin pasukan, kira­nya di istana tidak ada orang yang boleh diandalkan memiliki kepandaian tinggi menghadapi penculik itu. Maka segera ditambahkannya,

“Cari Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami, akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!”

Panglima mundur dan sibuk melaksana­kan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin mengejar penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga sia-sia saja mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar ini selesai melatih Bun Beng dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas membasmi pemberotak yang dilakukan Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul ke utara!

Demikianlah, tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan cucunya kembali dari ta­ngan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai ter­dengar oleh Puteri Nirahai, siapa tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan meninggalkan tugasnya membas­mi pemberontak.

Dan ke manakah perginya Giam Kwi Hong? Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin. Setelah mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti Bumi ditambah dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi Hong sekarang menjadi seorang yang luar biasa lihainya. Namun sayang sekali, pe­ngaruh tenaga sakti liar dari Pulau Nera­ka itu mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini datang dari tenaga sakti itu dan dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena memang pedang itu bukanlah pedang sembarangan, melainkan sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup banyak darah ma­nusia tak berdosa, dan dibuatnya pun secara mujijat dan kejam!

Setelah berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhunya, pergi hendak mencari pamannya, Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak ber­hasil, bahkan dia mendengar akan keri­butan di istana dan betapa Koksu ber­hasil melarikan diri keluar dari kota raja. Kwi Hong yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar pula keluar dari kota raja dan dia berhasil mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak dibantu Koksu. Pangeran ini sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah utara, dikawal oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada mereka, termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal. Hati dara ini tadi belum merasa puas. Tadinya ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama gurunya, dia mengamuk dan merobohkan banyak perwira penga­wal kaki tangan Koksu dengan pedang­nya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali pedang berke­lebat, maka dia agak menyesal dan kece­wa ketika gurunya menyuruhnya melari­kan diri dari kepungan. Dia amat membenci Koksu dan Maharya, yang dianggap musuh-musuh besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian, tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan sekali dia dapat menyusul rombongan musuh ini, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik untuk me­muaskan hati dan pedangnya!

Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan, sungguhpun dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya karena di situ ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa pasukan mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw tidak putus asa. Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan kemuliaan, bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selir­nya yang muda-muda, harta bendanya yang berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus melakukan perjalanan melarikan diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!

Pada malam ketiganya, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan perjalanan. Dia sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan karena hampir copot. Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mung­kin juga masih jauh, dan tempat penjaga­an pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak keberatan dan beristirahatlah mereka di sebuah dusun. Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati Pangeran Yauw dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh mereka lebih segar.

Akan tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penga­wal yang menunggang kuda paling depan, roboh dengan tubuh hampir putus menja­di dua potong terbabat kilatan pedang di tangan seorang dara yang cantik na­mun sepak terjangnya ganas bukan main. Koksu dan Maharya bersama para pangli­ma pembantu mereka cepat melarikan kuda ke depan dan di sana mereka me­lihat seorang gadis dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya menyilau­kan mata di tangan, berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan. Dara itu bukan lain adalah Giam Kwi Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Mahar­ya, karena mereka menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!

Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin, “Siauw-jin ma­nusia rendah dan hina, tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembu­nyi di belakang celana muridmu perempuan!”

Sepasang mata Kwi Hong mengeluar­kan sinar berapi karena marahnya men­dengar ucapan menghina yang ditujukan kepada gurunya itu.

“Maharya pendeta iblis!” pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan mata keluar dari ujung pe­dang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya. “Suhu tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa busuk memaki Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu, dan mem­bunuh Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah manusia-manu­sia berakhlak bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi kalian!”

Pangeran Yauw Ki Ong yang menje­nguk keluar dari keretanya melihat gadis itu. Jantungnya berdebar penuh ketegang­an, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya! Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau dia bisa mendapatkan gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.

“Seng-jin, siapakah dia?” bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.

“Dia bernama Giam Kwi Hong, ke­ponakan Majikan Pulau Es dan kini agak­nya menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan tetapi harap Ong-ya tidak khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk menundukkan dan membunuhnya.”

“Jangan dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali? Tentu membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Si­luman Majikan Pulau Es, untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar.”

Sepasang mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang amat baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya, Maharya. Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melang­kah maju bersama Koksu menghampiri Kwi Hong.

 “Bagus, majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus dengan pedangku!” Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.

“Sabarlah, Nona. Kami hendak mem­bicarakan urusan penting dengan Nona. Bersabarlah karena sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesua­tu.” Tiba-tiba Maharya mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan setiap ucapan mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk mempengaruhi gadis itu.

Gelombang getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini, membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang, namun de­ngan pengerahan sin-kangnya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara Koksu lemah lembut,

“Nona, harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama dengan Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang kepada Pulau Neraka, me­lainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan kami.”

“Tidak perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!” Kwi Hong masih dapat mempertahankan diri terhadap ge­taran yang terus dikerahkan oleh Ma­harya untuk mempengaruhi dirinya dan pikirannya. “Memang aku keponakan Majikan Pulau Es, dan aku tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan Pulau Es, mem­bunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal jahat!”

 “Aihhh, harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu, kami hanyalah petugas-petugas saja dari Kaisar. Kaisar­ yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar Siluman pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami hanya ditugas­kan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang keladinya, hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa menyesal se­kali mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim itu! Karena kelalimannya maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit hati oleh Kaisar lalim itu, Nona. Karena itu, apa perlunya antara kita bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar oleh pasukan Kaisar yang dipimpin oleh Ma­jikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-pang? Mereka menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk menghancurkan kita, ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!”

Kwt Hong mulai tergerak hatinya, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, namun terutama sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mujijat. Dia menjadi ragu-ragu sekali. “Hemmm.... begitukah? Paman memang tidak pernah mau dekat dengan kerajaan....”

“Tentu saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Daripada antara kita yang senasib ini terjadi permusuhan, bukanlah jauh lebih baik kalau kita ber­satu menghadapi Kaisar lalim dan mem­balas dendam kita bersama?”

Pengaruh ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan Kwi Hong, dan kini dia men­dengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi. Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,

“Mana mungkin kita melawan pasukan pemerintah?”

“Ha-ha!” Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. “Jangan Nona ragu-ragu, karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan menyaksikan sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau Nona membantu kami, apalagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan Majikan Pulau Es, apa sukarnya menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?”

Kwi Hong teringat. Pamannya menja­di pelarian, bersembunyi dan mengasing­kan diri di Pulau Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia akui bahwa pemerin­tah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang menyakitkan batin.

“Baiklah,” dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. “Aku suka bekerja sama dengan kalian, untuk menghukum Kaisar lalim!”

Pangeran Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada. “Kami me­rasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali mendengar keputus­an Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijak­sana. Selamat datang dan selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki Ong yang tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat, setelah kami berhasil menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa Lihiap yang amat berharga ini!” Ucapan itu dikeluar­kan dengan sikap halus dan sopan, diser­tai pandang mata kagum dan senyum menggerakkan kumis tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan hati perawan cantik perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung rambut sekalipun tidak pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.

Seekor kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini telah menunggang kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama mereka lalu melanjut­kan perjalanan menujuu ke utara di mana terdapat gabungan pasukan anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang Mongol.

Demikianlah, tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada “keramaian” yaitu pengejaran yang dila­kukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Puteri Nirahai terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan menonton keramaian ke sana. Dugaan ini membuat keduanya ti­dak betah tinggal terlalu lama di kota raja dan segera mereka pun melakukan perjalanan cepat menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya Bun Beng memperdalam ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat Pedang Lo-thian Kuam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan tenaga gabungan yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.

Rombongan yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di se­belah utara Peking, lalu menyusuri se­panjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur. Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersem­bunyi di dekat gunung-gunung dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat tersembunyi dan juga liar sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa hari sekali saja meronda di bagian ini. Akan tetapi pada waktu itu, semua pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan penjagaan di tapal batas Tembok Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang sudah diatur sebe­lumnya. Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol untuk menyelundup masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu sendiri.

Di sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan yang tadinya menan­ti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber minyak di mana Bun Beng pernah mengamuk, setelah usaha mereka mem­bunuh Kaisar gagal, sisa para jagoan ini pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di lembah Sungai Luan ini, untuk memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan mereka terdiri dari kurang lebih lima ratus orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol Nepal dan pasukan pengawal Koksu yang rata-rata merupakan perajurit-perajurit pilihan.

Pangeran Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis terhadap nona ini. Pangeran yang sudah banyak penga­laman dengan usianya yang mendekati empat puluh tahun itu tidak mau mela­kukan tindakan yang tergesa-gesa dan sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan bukan seorang wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang can­tik saja, juga terutama sekali ilmu kepandaiannya yang tinggi. Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta, maka dia sekaligus men­dapatkan seorang penghibur yang cantik jelita dan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan! Dia maklum bahwa dengan bantuan Koksu dan Maharya, setelah dara ini dapat dibujuk menggabung, dengan mudah dia dapat menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya, untuk menggagahi tubuh dara ini secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya.

Setelah tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak Pegunungan Merak Merah, rom­bongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka berkumpul, yaitu Pange­ran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan para panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah yang ingin mereka gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan ketat, juga untuk mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk mengetahui gerak-gerik musuh di selatan.

Selesai berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak dengan pasukan pengawal.

“Lihiap tentu belum mengenal daerah ini,” katanya manis. “Di sini banyak se­kali terdapat rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya.”

Kwi Hong tertarik sekali. “Pangeran, apakah dedes itu?”

Sang Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk menimbulkan kesan lebih mendalam, dia menjawab, “Dedes adalah semacam peluh yang keluar dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal keharuman­nya, dan tidak sembarang waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini hanya keluar di waktu se­ekor rusa kesturi datang berahinya dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau harum itu adalah daya penarik untuk mengundang seorang lawan kelaminnya untuk.... hemmm.... untuk bermain cinta.”

Biarpun pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pange­ran Yauw terpesona. Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti itu! Andaikata dia sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan mengeluarkan peluh dedes yang tidak kepalang tanggung banyaknya!

“Di samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menja­ngan muda) amat mahal dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi panjang. Selain binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya, juga dagingnya sedap bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di samping ini, masih terdapat binatang-binatang lain dan ta­nam-tanaman yang belum pernah Nona saksikan sebelumnya. Marilah kita berbu­ru, saya tanggung Nona akan merasa puas dan gembira sekali.”

Dan pangeran itu memang tidak ber­bohong. Pemandangan alam di Pegunung­an Merak Merah itu benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-bunga beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang bambu yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini. Setelah berburu selama sete­ngah hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua ekor rusa yang gemuk dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat dedesnya dan dari yang kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.

Sore hari itu, Pangeran Yauw meng­undang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak dan bermacam masakan daging rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang meng­anggap bahwa pangeran itu adalah seo­rang bangsawan yang sopan dan ramah, sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama pangeran itu, bahkan tertawa memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sa­jak. Kiranya pangeran bangsa Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah mereka makan cukup kenyang dan minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw memanggil pelayan pribadinya dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di dalam sebuah guci batu giok biru itu ditaruh di atas meja.

“Giam-lihiap, ini adalah arak simpan­an yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghor­matan kami dengan tiga cawan arak ini!” Sambil tersenyum Pangeran Yauw me­nuangkan secawan arak dari guci arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum baunya dan ke­tika berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.

“Kami namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!”

Kwi Hong merasa sudah terlalu ba­nyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan ha­rum, akan tetapi juga amat keras sehing­ga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya, membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.

“Masih dua cawan lagi, Lihiap,” kata Sang Pangeran gembira sambil menuang­kan lagi arak ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.

“Maaf, Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi....” Kwi Hong menundukkan mukanya dan menga­tur napas untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya.

“Aihhh, apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?” Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok.

“Bukan begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan tetapi saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini.... biarlah saya minum perlahan-la­han....”

Pangeran itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk. “Aku percaya seorang gagah seperti Lihiap tidak akan mengecewakan hatiku...., biarlah guci arak ini kutinggalkan saja di sini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak kehormatan dariku lagi, bahkan boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisa­nya berikut guci araknya boleh Lihiap kembalikan nanti, aku menanti di ka­mar.... aku mempunyai sebuah benda yang amat berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai hadiah.” Setelah berkata demikian, pangeran itu meninggalkan Kwi Hong dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah seorang mabok.

Kwi Hong menjadi lega hatinya. Ha­rus diakuinya bahwa pangeran itu bersi­kap amat baik kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan tetapi ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan menjadi mabok betul-betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan, kiranya tidak apa-apa. Dia mengangkat guci arak itu dan di­pandangnya di bawah sinar lampu merah yang dipasang di taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang amat indah. Dia tersenyum, meletakkan guci ke atas me­ja, kemudian memandang cawan arak wangi. Cawan yang ke dua! Ketika tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya arak itu sedi­kit demi sedikit, tiba-tiba dara itu me­naruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini membuat arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang meluncur ke arah dirinya. Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada sehelai kertas diikat pada batu, dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya ber­gerak, dia telah meloncat ke arah da­tangnya batu tadi. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, dan ketika dia melanjutkan pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat lima orang tukang kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan pangeran dan para pembesar lainnya. Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu kepada mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya bebera­pa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa agaknya. JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU!

Kwi Hong mengerutkan alisnya, mere­mas hancur kertas itu dan membuangnya sambil memandang ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang? Jelas bukan arak beracun, karena kalau beracun, tentu dia sudah roboh. Pula, mengapa pangeran akan meracuninya? Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan sekutunya untuk menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri­nya. Akan tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini? Dan siapa orangnya? Diukur dari tenaga lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki kepandaian biasa saja!

Biarpun Kwi Hong tidak mempeduli­kan isi tulisan itu dan dia pun tidak ta­kut kalau-kalau dia diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak yang sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci, kemudian dia membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat peristirahatan Pangeran Yauw Ki Ong. Setelah penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong memasuki pondok. Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat pangeran itu dengan pakaian setengah telanjang roboh telen­tang di atas pembaringan dan dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang meng­gosok tubuhnya dengan minyak, sedangkan orang ke dua memijat tubuhnya.

“Ha-ha, engkau telah datang menyu­sulku, Lihiap? Harap kautaruh saja guci itu di atas meja dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini, nanti akan kuambilkan sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat indah, hendak kuhadiahkan untuk­mu.”

Karena sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurang­ajaran, maka Kwi Hong yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur untuk dapat mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya, maka setelah meletak­kan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata,

“Saya hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal hadiah, saya tidak membutuh­kannya dan kalau Ong-ya hendak mem­berikan kepadaku, besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya.” Tanpa menanti jawaban dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pangeran itu yang menjadi kecewa sekali.

Pangeran Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyam­bar guci arak, membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon korbannya itu tidak minum lagi. Biarpun secawan dari arak emas ini sudah cukup untuk merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekalipun, namun agak­nya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat perangsang itu belum cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya membuat dara itu bingung saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh terburu nafsu, dan dia akan mencari ke­sempatan lain untuk melampiaskan niatnya. Dia tersenyum mengusir kekecewa­annya, kemudian merangkul dua orang pelayannya itu sebagai penghibur dan pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam pelukannya.

Selagi Pangeran Yauw Ki Ong teng­gelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita muda itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan Koksu bersama para pembantunya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan hati tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka, tampaklah dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan di dekat markas para pemberontak ini.

Di dalam kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang ber­kelebatan di sekitar tempat itu amat mengerikan. Gerakan mereka cepat lak­sana gerakan iblis sendiri, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa menyeramkan. Karena bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok bayangan itu. Akan tetapi setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahaya­nya yang pucat disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehi­jauan di malam hari yang sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua orang manusia, sungguhpun tidak mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak secepat itu. Seorang di antara mereka bertubuh pendek sekali, rambut­nya panjang riap-riapan membuat kepala­nya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda yang kepa­lanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak buntalan pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik pundaknya ketika dia bersama kakek itu berlon­catan melalui jurang-jurang yang curam. Dilihat dari jauh, oleh mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan saling berkejaran di malam sunyi itu.

Akan tetapi tak lama kemudian tam­paklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang ba­nyak sekali. Susah payah mereka memba­wa senjata-senjata tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang tercecer di jalan.

“Ha-ha-ha, betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegu­gupan mencari-cari senjata mereka!” kata yang muda. Kakek pendek itu pun ter­tawa, akan tetapi dia lalu menengadah dan bernyanyi,

“Senjata adalah benda sialandibenci oleh siapapun juga tidak dipergunakan para bijaksana, Bahkan dalam kemenangan sekalipun senjata tak sedap dipandang mata karena yang mengagungkannya hanyalah pembunuh-pembunuh kejam!

Alat pembunuhan antar manusia menimbulkan kematian terpaksa mendatangkan duka dan air mata dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!”  

“Locianpwe, saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab To-tek-keng! Akan tetapi juga tidak sama....” Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur heran.

“Ha-ha-ha, perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apapun juga seperti se­ekor burung? Yang penting adalah me­ngerti dan melaksanakan, karena pelaksa­naan yang berdasarkan pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala macam senjata, hayo kita buangkan semua senjata di dalam gudang itu!”

Dua orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak dapat diukur dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar ujung, tidak terdengar apa-apa dari tempat mereka berdiri! Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera berlarian lagi menghampiri gudang senjata milik para pemberontak untuk mengangkuti semua senjata yang terkum­pul di situ dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orang penjaga gudang itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca karena sudah tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.

Karena jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan jumlah senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun sak­tinya, kedua orang itu masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, sete­lah bekerja sampai pagi, belum ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam jurang.

Ketika untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu mereka memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah dikurung oleh puluhan orang perajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat lagi, peronda telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu sehingga mereka segera mela­porkan kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa tentu ada mata-mata musuh menyelundup sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang itu datang, mereka telah terkurung!

Tentu saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang perajurit. Apalagi setelah Koksu meneri­ma pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, dia segera mengerah­kan para pembantunya untuk mengeroyok.

 “Wah, repot nih, Bun Beng!” Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke sana-sini di antara serbuan para pera­jurit. “Kita membuang senjata supaya jangan ada perang, malah diperangi!”

“Mari kita keluar, Locianpwe!” Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak mungkin dapat menghadapi penge­royokan hebat itu dengan sikap berkela­kar dan tidak peduli seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu. Dengan gerakan kaki tangannya, Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam gudang senjata, akan tetapi karena Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menendingi semua pengeroyoknya, kadang-kadang terkekeh girang kalau meli­hat beberapa orang terjengkang roboh sendiri setelah memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan benar-benar men­dongkol sekali. Kakek itu agaknya malah girang dan gembira menghadapi pengero­yokan itu, seperti seorang kanak-kanak memperoleh sebuah permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya!

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara teriakan-teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa tempat markas pemberontak itu telah diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan menjadi kacau balau. Koksu dan para pem­bantunya segera lenyap dari situ mening­galkan Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin yang masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu dan teman-temannya, berita penyerbuan pasu­kan pemerintah itu lebih penting, lebih hebat dan harus segera ditanggulangi daripada kekacauan yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini.

Memang benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara mendadak. Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para pemberontak membuat pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya bala bantuan dari barat dan utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka harus menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka akan demikian cepat da­tangnya. Tentu saja Koksu tidak me­nyangka bahwa Puteri Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan ini, seorang puteri yang sudah banyak penga­lamannya dalam menghadapi pasukan pemberontak, seorang yang tidak saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang yang terkenal!

Setelah Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu keluar dari kepungan. Apalagi karena para perajurit yang men­dengar akan penyerbuan tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka meninggalkan dua orang itu untuk membantu teman-teman mengha­dapi pasukan pemerintah. Gudang senjata telah mereka bobol dari belakang dan sisa senjata yang masih berada di dalam gudang telah mereka angkut keluar untuk dipergunakan para pasukan menghadapi musuh.

“Wah, perang telah terjadi?” kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari dalam gudang senjata. Terde­ngar dari situ pekik sorak mereka yang berperang, dan suara senjata yang meng­gegap gempita.

“Mudah-mudahan saja para pemberon­tak segera dapat dihancurkan,” kata Bun Beng sambil berdiri termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Mi­lana. Apakah dara itu ikut berperang membantu ibunya yang memimpin pasu­kan pemerintah itu? Teringat betapa fihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.

“Locianpwe, saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya.”

“Eh, kau mau membantu siapa?”

“Membantu Puteri Nirahai dan puteri­nya.”

“Mengapa? Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?”

“Bukan begitu, Locianpwe. Akan teta­pi, kita sudah melihat bahwa pemberon­tak dipimpin oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah yang menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena itu maka merekalah yang akan saya tentang.”

Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk. “Hemm, boleh kita menonton, akan teta­pi kalau tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang hanya merupakan penyem­belihan antara manusia?”

Bun Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju ke tempat di mana terjadi perang yang amat dahsyat.

Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat mengejutkan, Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan tetapi ketika pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan muncullah seekor gajah yang amat besar. Binatang raksasa inilah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada paling depan segera berha­dapan dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam yang menunggang gajah itu. Pendeta Maharya sendiri me­ngeluarkan aba-aba dan gajah itu menga­muk! Dengan belalainya yang besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang perajurit musuh, membantingnya remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan, membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng. Maharya yang ber­ada di atas gajah itu masih menggerak­kan senjatanya tombak bulan sabit, tam­pak sinar berkelebat dan empat orang perajurit pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca di tempat itu menjadi gelap, debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah pasukan Nepal yang di­pimpin oleh Maharya, menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan!

Pasukan pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung, apalagi ketika dua orang per­wira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh amukan gajah dan me­lihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka makin panik. “Pasukan siluman....!” terdengar te­riakan.

“Pasukan siluman.... laporkan ke induk pasukan!”

Kiranya, pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang dinanti-nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya, Maharya segera menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan Maharya sendiri yang memimpin pasukan istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh pasukan istimewa ini yang menggu­nakan debu dan asap hitam untuk menga­cau musuh. Jumlah mereka sebetulnya hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu terlatih dan mempunyai cara-cara berperang yang aneh, mereka mam­pu mendatangkan kekacauan dan banyak di antara pasukan pemerintah yang roboh menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah, seekor di antaranya yang ditunggangi Maharya sendiri.

“Locianpwe, kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!” Bun Beng berkata, kemarahannya timbul ­menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas membunuh pasukan peme­rintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.

“Ha-ha-ha! Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini, siapa lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?” Bu-tek Siauw-jin tertawa sambil menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.

“Maharya, sejak dahulu engkau men­datangkan keributan saja!” Bun Beng membentak lalu meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan ke arah kepala.

Melihat munculnya pemuda ini, Ma­harya memandang rendah. Biarpun pemu­da itu dia tahu cukup lihai seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu mem­bela Pulau Es ketika pulau itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun, bagi­nya, pemuda itu tidak ada artinya. Yang membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya Bu-tek Siauw-jin tadi.

Kakek pendek itulah yang perlu diperha­tikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan dapat menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia di­bantu oleh gajah-gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apalagi Koksu, Thian Tok Lama, dan banyak tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini harus dibunuh lebih dulu.

“Mampuslah!” Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya bergerak, gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi, menusuk ke arah pusar pemuda itu.

Melihat gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak mem­biarkan dirinya disate gagang tombak.

“Haaiiittt....! Plak! Wiiirrr....!” Tangan Bun Beng menapgkis gagang tombak itu dengan meminjam tenaga tusukan gagang tombak ini, dia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan membuat salto jungkir-balik, kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia menyerang ke arah ubun-ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia menusuk ke arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.

“Aehhhh!” Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan te­linga gajah. Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya. Gerakan ini tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke be­lakang dan otomatis terbebas dari se­rangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu. Dengan geram Maharya menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh pemu­da itu!

Bun Beng tidak merasa kaget meng­hadapi kegagalannya dan melihat serang­an berbahaya ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini, maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak di bawah bulan sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya menyentuh gagang tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran, kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyam­but belalai dengan tusukan dua buah jari tangannya! Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia elakkan di tengah udara.

“Plakkk!” Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat, tubuhnya bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata kecilnya betapa manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas tanah di depannya, gajah itu lalu menghempaskan kedua kakinya hen­dak menginjak tubuh itu sampai lumat. Namun, dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah menyerang Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari tangan kanannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi ber­cuitan ke arah lambung Maharya.

Kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangan!

“Uuuh....!” Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke ka­nan untuk menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukul­an dahsyat, dan pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh pemuda itu yang melayang cepat. Biarpun dia merasa kaget sekali karena tombaknya menyeleweng terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia sudah dapat menggunakan lengannya menangkis dattangnya tamparan tangan Bun Beng ke arah lambungnya itu

“Dess....! Aihhh....!” Maharya kini ter­paksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh dan tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya! Dia tidak terbanting dan masih dapat menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan penasaran. Pemuda itu dapat memaksakannya turun dari pung­gung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan wajah tenang dan topi caping lebar masih di atas kepa­lanya!

“Hemm, orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?”

“Tidak salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa ter­hormat sekali bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!” Bun Beng men­jawab tanpa berani menentang pandang mata pendeta itu. Biarpun dia telah memiliki kekuatan sin-kang yang mujijat, namun dia maklum betapa hebat penga­ruh pandang mata kakek ahli sihir ini, yang dalam ilmu itu bahkan berani me­nentang dan mengadu sihir dengan Pen­dekar Super Sakti. Kalau sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya yang mujijat, dia bisa celaka!

“Gak Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan dirimu? Mengapa?” Suara pendeta itu terdengar halus menimbulkan rasa malu dan iba. Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya dengan tenaga dalam, dan dia menjawab, suaranya lantang,

“Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuang­gap musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila, Tan-siucai, mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu menghancurkan Pulau Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut ditentang.”

“Hok-mo-kiam....? Hemm, karena pe­dang itu, muridku telah tewas, dan pe­dang itu lenyap. Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang muda.”

“Bukan soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu dengan Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak segan-segan untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang, akan tetapi diam-diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kaukira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar dahulu itu?”

Maharya memandang tajam. “Eh? Kau tahu? Kalau begitu.... kau tahu pula tentang kematian Tan Ki dan Thai Li Lama....?”

“Tentu saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah kukembalikan kepada yang berhak.”

Merah muka Maharya dan tombak bulan sabit di tangannya menggetar. “Ja­di.... engkaukah orangnya yang membunuh muridku?”

“Dia mencari kematiannya sendiri....” Bun Beng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah meluncur ketika Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan dan penuh nafsu membunuh. Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan merampas Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya sekali.

“Robohlah! Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!” Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat herpengaruh, namun Bun Beng sama tidak mem­pedulikannya, juga tidak pernah menen­tang pandang mata kakek itu. Dia hanya mengelak dengan cepatnya karena tombak bulan sabit itu bergerak seperti kilat menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan lawan yang tangguh itu.

Sementara itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman bangsa Nepal, menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah. Pasukan pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika tiba-tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana datangnya sehingga banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban anak panah lawan. Melihat ini, Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendQrong ke depan berkali-kali dan dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah-anak panah yang menyambutnya dan yang mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan, dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini menyambar angin yang membuat debu dan asap itu membuyar dan tertiup membalik ke arah para pasukan Nepal sendiri!

Mulailah pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para perajurit pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang campuh yang amat dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu perajurit pemerintah. Bu-tek Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan perajurit-perajurit Nepal yang baginya terlalu lemah itu, dan dia ber­gembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh perwira-perwira Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh binatang itu, namun terlampau berat, mendorongnya pun amat berat dan agak­nya merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan dengan kepala dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.

“Desss!” Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah dan.... binatang raksasa itu terjengkang dan roboh! Dua orang pera­jurit Nepal yang tidak menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan itu, terhimpit perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu, seorang perwira Nepal yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting ping­san!

Amukan kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan istimewa Nepal itu, apalagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu telah roboh oleh Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar. Tadinya anak buah pasukan itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi kakek India itu sendiri se­dang bertanding hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal yang melemah­kan semangat pasukan Nepal ini sebalik­nya mendatangkan semangat baru kepada para perajurit pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.

Pertandingan antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian. Kakek India itu benar-benar amat lihai dan andaikata Bun Beng belum menerima ilmu terkhir dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya dia pun tidak akan mudah untuk dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tentu saja Bun Beng me­miliki dasar yang lebih murni dan lebih tinggi tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak kalah kuat. Ke­kalahannya dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh keunggulannya karena ilmu silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi tingkatnya. Akan tetapi, yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan adalah tenaga mujijat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pan­dang mata dengan lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa beta­pa ada hawa tenaga mujijat menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh yang membuat bulu tengkuk­nya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang disiksa, suara tertawa wanita yang tidak lumrah manusia. Se­olah-olah tempat itu, atau di kanan kiri dan belakang lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan terasa pula sam­baran angin pukulannya!

Bun Beng melawan dengan mati-mati­an. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting itu, biarpun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak pernah melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu, atau hanya sebentar saja kadang-kadang dia mengalihkan perhatian. Dia selalu menjaga dan siap untuk melindungi pemuda yang disukanya itu. Diam-diam kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak terjang Maharya dia harus mengakui bahwa dalam pertan­dingan mati-matian ini, memang hebat sekali pendeta itu dan dia sendiri pun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya. Namun pemuda yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu, dengan tangan kosong mampu menandingi Mahar­ya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih, sedangkan Maharya yang tadinya menunggang gajah bersen­jatakan tombak bulan sabit, kini sudah kehilangan gajahnya dan agaknya tombak­nya itu pun sudah tidak danyak artinya dalam pertempuran hebat itu. Kini Ma­harya telah melolos kalung tasbehnya yang terbuat dari mutiara-mutiara putih yang besar-besar, memegang tombak bulan sabit di tangan kanan tasbeh di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang ganas dan dahsyat dari dua senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya, akan tetapi dia pun sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk membantunya menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi.

Di bagian lain, di balik puncak Pe­gunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan seru lagi karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!

Dalam perang dahsyat ini, Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi Hong tentu saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang dianggap mu­suhnya dan musuh pamannya. Apalagi ketika dia mendapat keterangan dari Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak Koksu. Me­mang sudah dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai petugas, tentu saja dia tidak dapat ter­lalu menyalahkan Koksu, dan Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh pa­mannya. Kini Kaisar mengirim pasukan, apalagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang dan Pulau Neraka yang sejak dahu­lu memang bukan sahabat Pulau Es, bahkan ketika dia masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran, Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk de­ngan pedang Li-mo-kiam di tangannya. Para perajurit pemerintah yang berhadap­an dengan amukan dara perkasa ini men­jadi ngeri karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat putus berikut tubuh pemegangnya!

Betapapun juga, karena jumlah pasu­kan jauh kalah banyak, pasukan pembe­rontak terdesak hebat. Kwi Hong sendiri, biarpun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para perajurit musuh gentar, terpaksa harus mengguna­kan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi tubuhnya karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang bagaikan hujan menye­rangnya.

Koksu merasa girang sekali melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar membantunya. Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan terhadap Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran ini, tidak mung­kin dia akan mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada pangeran ini, dan berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup. Dia pun mengerahkan seluruh pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan mati-matian. Dia mengharapkan agar paman gurunya Ma­harya, yang memimpin pasukan bantuan musuh, dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang membantunya. Namun, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar pelaporan anak buah­nya bahwa pasukan siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari pihak musuh! Sama sekali Koksu tidak me­nyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan itu adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir sekali, apalagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin yang sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar kepada Kwi Hong.

Betapa pun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh terlampau kuat dan jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di dalam pondok­nya, mendekam di atas pembaringannya dengan muka pucat dan dikelilingi para pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai perisai terakhir.

Pasukan pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncul­lah Nirahai dan Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga oleh Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan Koksu. Memang Nira­hai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah mendesak dan hampir menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak, yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan kaki tangannya.

“Yauw Ki Ong, pemberontak laknat!” Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa orang anggauta pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. “Menyerahlah untuk kuseret ke depan kaki Kaisar!”

Yauw Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah ketu­runan Kaisar, berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian Nirahai, maka mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan para pem­bantunya, terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga di situ dan kini mereka meloncat keluar meng­hadapi Nirahai dan Lulu.

“Bhong Ji Kun, manusia rendah! Se­ekor anjing sekalipun akan ingat akan budi orang. Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan India engkau telah di­angkat menjadi Koksu negara. Akan teta­pi engkau tidak berterima kasih malah menjadi pemberontak hina! Manusia ma­cam engkau ini tidak ada harganya untuk hidup!” Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah menggunakan pedangnya menerjang Bhong-koksu. Kakek botak tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di tangan Nirahai yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-kiam, pedang yang dahulunya terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya, kemu­dian pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas ber­sama Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang men­curi atau merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan bekas Ketua Thian-liong-pang ini!

 “Tar-tar.... singgg....!” Pecut kuda ber­bulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar, golok perang di tangan ka­nan Koksu itu menyambar ganas.

“Cringgg.... trakkk!” Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan Hok-mo-kiam, akan tetapi Nira­hai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang karena ujung cam­buk merah sudah mengancam lengannya yang memegang pedang.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba dan menerjang ke depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga Thian Tok Lama dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu. Tidak seperti Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat hebat dan menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat yang amat halus dan tinggi tingkat­nya, serta menggunakan tenaga mujijat Toat-beng-bian-kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun dari Pulau Neraka. Dua orang pembantu Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan berani menyambut pukulan tangan yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka, mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka roboh terjengkang dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian!

Repot juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pan­dai itu sehingga mereka tdak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada pasukan pe­ngawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki pondok untuk membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!

Akan tetapi Nirahai yang berpeman­dangan tajam, dapat menduga akan ke­adaan ini. Melihat Koksu dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah mereka, dia segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke atas wuwungan.

“Yauw Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?” Bentaknya sambil melayang turun membobol genteng.

Tiba-tiba dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terke­jut, maklum bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba menyam­butnya ketika tubuhnya baru saja turun dari atas.

“Tranggg....!” Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti berhasil merusak senjata lawan, kini tergetar hebat!

Juga Nirahai kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang pedang yang amat kuat sehingga tidak patah, apalagi ketika dia melihat seorang gadis cantik dan gagah meme­gang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat! Kedua orang wanita itu, yang satu dara remaja yang lain wanita setengah tua, keduanya sama cantik dan sama keras hati, saling berhadapan dan saling pandang, pedang pusaka yang ampuh menggila di tangan masing-masing!

Kini Nirahai tidak lagi mengenakan kerudung muka sehingga Kwi Hong dapat memandang wajahnya yang cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang dahulu bertemu dengan pamannya, wanita cantik yang kabarnya puteri kerajaan dan menjadi isteri pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri pamannya!

Akan tetapi, Nirahai tidak lagi me­ngenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan Suma Han, ke­adaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan orang lain sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini. Karena dara cantik yang memegang sebatang pedang pusaka ampuh mengeri­kan itu berada di situ dan telah menye­rangnya, sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah lari dari dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang di antara kaki tangan Koksu yang tangguh, maka dia segera menyerangnya.

“Trang-trang-cringggg....!”

Kembali dua orang wanita itu ter­huyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah sedangkan Kwi Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapapun juga, dara itu masih belum mampu me­nandingi tenaga sin-kang yang dimiliki Nirahai, sungguhpun dia telah memper­oleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga api yang muncrat ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam bertemu dengan Li-mo-kiam menyilaukan mata.

Kedatangan Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini, agaknya Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong. Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak buah Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih banyak jum­lahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, perang itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya. Ketika dia menengok dan tidak melihat Koksu dan para pembantu­nya, yaitu Thian Tok Lama dan para jagoan yang berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Ke manakah mereka per­gi? Dia harus mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum ter­lambat. Dengan pikiran ini, Kwi Hong membuka jalan darah dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw dan sekutunya. Kedatangannya tepat se­kali. Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan diri.

“Ahhh, keadaan musuh terlampau ba­nyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri, Lihiap,” kata Koksu begi­tu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam yang berlepotan darah.

“Sebaiknya begitu,” jawab Kwi Hong singkat.

“Akan tetapi, ke manakah kita akan lari? Apakah Nona mempunyai usul yang baik?” Koksu memancing, padahal di da­lam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke.... Pulau Es, pulau yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan aman dari kejaran pemerintah. Tempat itu merupakan tempat yang su­kar didatangi, dan hanya mereka yang tahu jalan saja yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja. Kalau nona ini mau tentu akan dapat membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa tempat itu sudah kosong, dan kalau rombongannya dapat sampai ke tempat itu lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh sebuah tempat pertahanan yang kuat!

“Kalian larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau Es,” jawab Kwi Hong. Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Akan tetapi dia cerdik dan cepat dia menjawab,

“Akan tetapi.... apakah To-cu pulau itu sudi menerima kami? Dan penghuninya....?”

“Pulau itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Pula, kalau paman tahu bahwa kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Pa­man sendiri pun seorang pelarian. Cepat pergilah....!”

Pada saat itu Nirahai datang, melon­cat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya sendiri, ibu dari Milana!

Tentu saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau bermusuhan dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang terus dan karena dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran Yauw, terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa menge­luarkan kata-kata. Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini melegakan hatinya karena kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah keponakan Pendekar Super Sakti, tentu akan menja­di marah sekali sedangkan dia sendiri pun tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap wanita ini. Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah, dan mungkin puteri ini yang memimpin pasukan pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita cantik ini patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan mela­wannya?

Betapa pun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin dan dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan de­ngan Nirahai, dia menjadi repot juga. Apalagi Nirahai menggunakan sebatang pedang pusaka yang amat hebat pula. Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang sanggup menandingi Sepa­sang Pedang Iblis yang ganas. Andaikata Nirahai tidak memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita perkasa ini masih akan repot sekali harus menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-kiam.

Uutung bagi Kwi Hong bahwa dia ti­dak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-tubi dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim bala bantuan beru­pa dua puluh orang lebih pengawal priba­di pangeran yang sudah menyerbu dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Hong untuk mencelat ke luar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai yang di­kepung dan dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan rombongan Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui pegu­nungan dan jurang-jurang.

Sementara itu, pertandingan antara Gak Bun Beng melawan Maharya yang berlangsung amat hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari pinggir sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang menganggur karena pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang pulih kembali semangat mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu lagi kakek ini membantu sehingga kini dia dapat me­nonton dengan enaknya, menonton per­tandingan antara Maharya dan Gak Bun Beng.

“Ha-ha-ha, Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-ha!”

Bu-tek Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya untuk membanggakan dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya menurunkan inti tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan sin-kangnya dengan sin-kang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan “muridnya” saja Maharya tidak mampu menang, apalagi melawan dia yang men­jadi gurunya?

“Siauw-jin, asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku....”

“Heh-heh-heh, siapa sudi mengeroyok­mu?” Bu-tek Siauw-jin mengejek.

Inilah yang dikehendaki Maharya. Be­tapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting itu sudah merupakan janji. Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi dengan hanya bertangan kosong dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia tidak akan mampu mengalahkannya? Untuk mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini sudah diketahuinya sejak, tadi karena pemuda itu sama sekali tidak pernah mau beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Apalagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ, tentu saja dia tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya.

Sebetulnya tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti sinting ini, kalah menang bu­kanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan sudi turun tangan membantu Bun Beng biarpun pemuda itu andaikata ter­ancam bahaya maut kalau pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan per­tempuran yang adil dan pantas. Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu terjebak ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, tentu saja dia akan membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu sihir, tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan dan pe­ngaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi da­lam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa diminta pun dia tidak akan mencampurinya.

Bu-tek Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah siapa yang menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia merasa tegang karena pertan­dingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan seimbang.

“Heeaaahhh!” Tiba-tiba Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena mera­sa penasaran, menubruk maju, tombak bulan sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang meme­gang tasbih sudah siap pula mengirim serangan susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya hendak memperce­pat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan seluruh ke­pandaiannya untuk menyerang.

“Haiitt!” Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran tombak bulan sabit, akan tetapi bukan semata-mata hendak menge­lak saja karena sambil berjungkir-balik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat luar biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang tajam itu. Mahar­ya terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalam­an dalam pertandingan melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimanapun juga, bahkan yang kelihatannya mengerikan, dapat dia man­faatkan sebaiknya demi keuntungannya. Karena itu, dia sengaja tidak mau me­narik tombaknya untuk merampas kemba­li senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan menggunakan kesempatan selagi tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar dada!

Bun Beng sudah siap karena me­mang dia pun sudah menduga bah­wa lawannya tidak akan berhenti di situ saja. Maka dia pun menggerakkan caping­nya untuk menangkis.

“Trakkkk!” Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba lagi di atas tanah. Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan tombaknya dan berbalik merampas topi capingnya. Karena gerakan Maharya ini tidak disangka sama sekali, dan ketika memegang tom­bak lawan dia mengerahkan tenaga, tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan melibat lehernya!

Bun Beng mengerahkan tenaga. Le­hernya tercekik dan terdengar suara la­wannya tertawa. Bun Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar lawan. Maharya yang memegang caping rampas­an, menangkis sodokan gagang tombak itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena tiba-tiba tombaknya ditarik kembali dan kini bagi­an yang tajam berbentuk bulan sabit itu membabat ke atas, ke arah tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.

“Cringgg.... rrrttt!” Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih yang membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu jatuh berserakan.

“Wuuuttt.... brakkkk!”

Pada saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum bahwa dia tidak dapat me­nyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat datangnya caping dengan kecepatan kilat. Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia menekuk kedua lututnya, memberi kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan tombak yang diang­kat melintang dan menerima hantaman caping itu. Hebat bukan main pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak patah-patah, pundak Bun Beng masih terpukul pecahan caping de­mikian kerasnya sehingga tubuhnya ter­guling ke atas tanah.

“Mampuslah!” Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng, akan tetapi pemuda itu dengan sigapnya berhasil mengguling­kan tubuhnya sehingga enam tujuh kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu dapat dihindarkannya. Karena serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan untuk membalas atau meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling, tangannya menyambar tanah dan sambil berguling dia melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biarpun melontarkannya sambil bergulingan, na­mun tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi Maharya. Melihat datangnya sinar hitam ini, ter­paksa Maharya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan tetapi dia sudah siap sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan ke depan.

Maharya sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia sudah terkepung sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga Bu-tek Siauw-jin, hanya menonton. Namun kakek ini maklum bahwa dia telah terkepung dan sukar untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalah­kan pemuda ini dan mengalahkan Bu-tek Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun dalam keadaan terluka pundaknya, dia sudah mengirirn serangan­nya yang paling dahsyat dengan memu­kulkan kedua telapak tangannya yang penuh dengan tenaga sin-kang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu hitamnya.

“Bresss!”

Bukan main hebatnya pertemuan te­naga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng terjengkang dan bergu­lingan! Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah, maka dia berlaku ne­kat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia menubruk tubuh Bun Beng yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa, mengajak lawan mati bersama. Akan tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya dari kakek Bu-tek Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk, dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari bawah, de­ngan telapak tangan kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.

“Desss....!” Terdengar pekik mengeri­kan ketika tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas, terbanting ke atas ta­nah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah darah segar, kemudian mengejang dan tewas.

Bun Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biarpun luka­nya tidak hebat, namun pukulan dengan caping yang pecah mengenai pundaknya tadi menggetarkan isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan sin-kang. Bu-tek Siauw-jin menoleh kepa­da para perajurit pemerintah yang menonton, lalu membentak ke arah mereka.

“Hayo pergi kalian! Mau apa menon­ton? Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami terpaksa ikut berperang. Sialan!”

Para perajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini dan pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua orang itu tadi bertempur memban­tu mereka, maka mereka tidak berani membantah dan segera meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih mengejar-ngejar pasukan pembe­rontak.

Pasukan pemberontak telah dihancur­kan, sebagian kecil yang merupakan pa­sukan khusus, pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melari­kan diri dan mengawal rombongan pange­ran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang telah kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang tergesa-gesa itu. Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.

Nirahai dan Lulu merasa penasaran sekali. Biarpun pasukan-pasukan pembe­rontak dapat dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, namun biang keladi pemberontak dapat melarikan diri. Ketika mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti yang membantu pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai segera menduga bahwa mereka itu tentu­lah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia mengajak Lulu untuk menda­tangi tempat itu. Ternyata benar dugaan­nya. Gak Bun Beng masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat Nirahai.

“Wah-wah, setelah kerudungnya dibu­ka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa cantiknya!” kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara dengan bekas Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi panglima besar.

“Bu-tek Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal yang membantu pemberon­tak dapat dihancurkan,” kata Nirahai, suaranya tenang saja. Dia bukanlah seo­rang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek sinting ini, apalagi dia sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak lumrah manusia.

“Ha-ha-ha, engkau sendiri pernah me­nolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!”

Agak merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting ini pernah berdiri bertelan­jang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu! Dia melirik ke arah Bun Beng dan bertanya,

“Apakah dia terluka?”

Sebelum Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan memberi hormat. “Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Sukur bahwa Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh....”“Aihh, dialah orangnya yang dahulu membantu Koksu di kapal ketika menye­rang Pulau Es!” Ucapan ini keluar dari mulut Lulu ketika dia memandang mayat Maharya

Mendengar ini, Bu-tek Siauw-jin ter­tawa, “Ha-ha-ha, dia pula yang membas­mi Pulau Neraka akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan pulaunya!”

Lulu mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepa­sang matanya yang lebar dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu. “Siapa engkau?”

Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya, “Muridku inilah yang telah ber­hasil membunuhnya, maka engkau harus berterima kasih kepadanya!”

Lulu melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut. “Bukankah engkau pemuda yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerin­tah?”

Bun Beng memberi hormat dan me­mandang penuh heran, kaget dan kagum. “Dan kalau saya tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang da­hulu melepas bahan-bahan ledak, kemudi­an mengacau di kapal Koksu.”.

“Hemmm, agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana eng­kau hadir dan bercannpur tangan!” Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan main bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian lihai!

“Sungguh aku heran sekali mengapa semua orang muda kauakui sebagai mu­ridmu, Bu-tek Siauw-jin?” Nirahai berta­nya karena sudah mendengar dari puteri­nya bahwa Kwi Hong juga diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin.

Sebelum kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadap­an dengan kakek cebol itu. “Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?” Ketika Nirahai untuk pertama kalinya menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhati­kan karena perhatiannya lebih tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar nama itu dan kemarahan­nya bangkit. “Dan mana yang satu lagi? Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?”

Bu-tek Siauw-jin tertawa. “Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami? Tentu puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!”

“Tua bangka sialan!” Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya menjadi marah mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini. “Kaukira aku takut kepadamu? Biarpun engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau Neraka, aku tidak takut!”

“Lulu, kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!” Nirahai memper­ingatkan Lulu, akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja Lulu dibikin sabar. Dia sudah me­nerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat mengelak, akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil tertawa kakek itu menjauhkan diri ber­gulingan lalu meloncat bangun.

“Eit-eit, sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah pewaris kitab-kitab Pende­kar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati, apakah aku akan melarang suheng menghancurkan engkau? To-cu (Majikan Pulau) yang memiliki warisan senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan), mengapa tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?”

Lulu terbelalak. “Kau.... kau.... tahu akan itu semua?”

“Heh-heh, sehari setelah To-cu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang To-cu bawa, karenanya aku bersikeras melarang suheng turun tangan karena To-cu adalah ahli waris Suling Emas.”

“Lulu!” Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang dengan penuh selidik. “Jadi engkau yang mengambil benda-benda pu­saka itu? Jadi engkau yang membunuh Kakek Gu Toan....?”

Lulu membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang di­alaminya. Di bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mu­lai dengan perantauannya bersama anak­nya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga Suling Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh Kakek Gu Toan dia disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga Suling Emas. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau memperguna­kannya karena ingin menyembunyikan diri di Pulau Neraka sampai niatnya berhasil, yaitu bertemu dengan orang yang dicin­tainya, menjadi isteri orang itu atau menjadi musuh besarnya. Kiranya keadaan menghendaki lain dan semua niat dan cita-citanya hancur berantakan, puteranya menyeleweng menyakitkan hatinya, Pulau Neraka hancur dan Suma Han.... menam­bah sakit hatinya!

“Tidak! Aku tidak membunuhnya. Da­hulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti orang India menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang kurus itu. Bukan lain adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu apakah Kakek Gu Toan mati atau hidup dalam pertandingan itu karena dia minta kepadaku untuk meng­ambil benda-benda pusaka dan melarikan­nya.”

“Di mana benda-benda itu sekarang?” tanya Nirahai.

“Ada kusimpan sebelum Pulau Neraka dihancurkan. Mengapa, Suci?” tanya Lulu, suaranya penuh tantangan.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan sin-kang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara melengking seperti itu.

“Ha-ha-ha! Dia baru datang!” Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu.

Nirahai dan Lulu saling pandang, agak­nya baru menduga setengahnya, dan baru mereka terkejut ketika lengking itu di­susul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat jelas.

“Nirahai....! Lulu....! Kalian memang patut dihajar!”

Wajah Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar ke kanan kiri mencari-cari. Tentu saja kedua orang wanita ini me­ngenal suara itu, suara yang mereka tak­kan lupakan selama hidup mereka, suara yang selalu terdengar oleh telinga mere­ka di waktu mereka melamun atau di waktu mereka bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang dan seolah-olah dalam pandang mata mereka itu terjadi­lah sebuah permufakatan tanpa direnca­nakan atau dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan. Bun Beng memandang dengan hati penuh ketegangan, apalagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita cantik itu. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti marah-marah, dan mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang dikagumi itu dengan jarum-jarum di tangan kiri!

Bagaikan seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas, gerakannya cepat bukan main karena dia telah mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat berge­rak cepat, berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan aneh itu ber­sinar-sinar, kedua pipinya kemerahan dan wajahnya berseri, dagunya mengeras membayangkan kemauan keras yang tidak dapat dibantah, pendekar itu kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.

“Singg.... wir-wir-wir.... siuuuttt....!” Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari kedua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang selain mengandung racun mematikan, juga dilempar dengan penge­rahan tenaga sin-kang sehingga jarum-jarum kecil itu cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali tidak mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, bibirnya tersenyum dan sinar matanya amat tajam.

“Cep-cep-cep, wir-wir-wirrr!”

Jarum-jarum yang saking cepatnya telah menjadi sinar-sinar merah dan hi­tam itu seolah-olah menembus tubuh Suma Han. Padahal, tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh kulitnya, karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju di sekeliling tubuhnya, menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han. Kiranya, biar­pun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan senjata rahasia mereka dengan terarah, sama se­kali tidak ada yang ditujukan kepada tubuh orang yang mereka cinta, melain­kan membidik ke sekeliling tubuhnya.

 “Ihhhh....!” Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak. “Ohhhh....!” Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi mulutnya.

Kedua orang wanita itu kaget sete­ngah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka, rahasia bahwa mereka itu biarpun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi, namun di balik sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehing­ga mereka tidak mau menyerang sungguh sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan karena inilah mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan be­tapa Suma Han sama sekali tidak menge­lak atau menangkis! Mereka maklum bahwa biarpun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekalipun, tak mungkin mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka mengharapakan pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mere­ka dengan kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak sehingga andaikata mereka tadi menyerang sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han telah terkena jarum beracun!

“Kau.... kau mau apa....?” Lulu berta­nya, gagap.

“Pendekar kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?” Nirahai juga menegur, suaranya ketika mPnyebut “Pendekar Kaki Buntung” menyakitkan hati sekali. Akan tetapi Suna Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka lalu terdengar suaranya menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.

“Apa yang kalian lakukan ini? Menga­pa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri dengan urusan negara? Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu dihajar!”

Nirahai dan Lulu terbelalak meman­dang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu bersikap le­mah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan tetapi, di samping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han membangkitkan kema­rahan besar.

“Peduli amat engkau dengan apa yang kami lakukan?” Nirahai balas membentak. “Engkau mau apa kalau kami mencam­puri urusan negara?”

“Tentu saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seo­rang isteri menjadi tanggung jawab sua­minya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi tanggung jawabku! Aku melarang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian dengan urusan pemerintah!”

“Suma Han, enak saja kau bicara!” Lulu membentak marah dan bertolak pinggang. “Nirahai-suci boleh jadi isteri­mu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!”

Suma Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua sendi tulang di tubuh wanita ini. “Lulu, berani engkau bicara seperti itu kepadaku? Engkau adik ang­katku....”

“Aku tidak sudi menjadi adikmu!”

“Aku tahu, biarlah kurubah sebutan, itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga yang kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus menurut kata-kataku!”

Lulu membanting-banting kaki kanan­nya, kebiasaan yang belum juga dapat dihilangkannya semenjak dia masih seo­rang dara remaja! “Tidak tahu malu! Tak tahu malu....!”

“Suma Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk membadut? Ataukah engkau sekarang sudah gila?”

“Ha-ha-ha! Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu....! Lucu....! Belum pernah aku melihat yang selucu ini! Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!” Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa sam­bil memegangi perutnya. Bun Beng yang tadinya merasa tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan meli­hat sikap kakek sinting itu. Di sana-sini terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh ke kanan kiri. Kiranya tempat itu penuh dengan perajurit-pera­jurit anak buah Nirahai yang menonton!

“Keparat kalian semua! Pergi dari sini....!” Suma Han yang menjadi merah mukanya itu membentak ke kanan kiri, ditujukan kepada para perajurit. Para perajurit menjadi kaget, akan tetapi me­reka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada di situ, mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang luar, sungguhpun mereka mende­ngar bisikan-bisikan bahwa yang mengu­sir mereka itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana!

Nirahai menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak, “Kelian pergi! Per­gi....! Pergi jauh dan jangan ada yang mendekat!”

Tentu saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh sekumpulan domba. Mereka terke­jut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan diri dan pergi dari tempat itu. Tak seorang pun berani mendekati tempat itu, biar dengan sembunyi sekali­pun, karena mereka tahu bahwa sembu­nyi pun percuma, tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.

“Nirahai, sekarang kujawab pertanya­anmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku hendak membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus ikut denganku!”

“Tidak sudi!”

“Sudi atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan keributan di mana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang, berkerudung, menggegerkan kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali menjadi panglima pemerintah. Apa-apaan ini?”

“Setan! Kaukira akan mudah saja me­maksaku!” Nirahai hampir menjerit saking marahnya. Mukanya merah, sepasang ma­tanya mendelik dan tangannya sudah meraba gagang pedang Hok-mo-kiam di pingganggnya.

“Lawan saja, Suci. Dia memang se­orang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau, Suci!” Lulu berkata, juga suara­nya terdengar marah sekali.

“Lulu, engkau pun mulai saat ini ha­rus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak mau, engkau harus berada di sampingku untuk selamanya!” kembali Suma Han berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah lagi.

“Apa? Lebih baik aku mati!” Lulu membentak.

“Engkau takkan kubiarkan mati. Ka­lian harus ikut bersamaku dan habis perkara!” kembali Suma Han berkata.

“Sing....!” Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai mener­jang maju menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia pun sudah menyerang de­ngan pukulan-pukulan maut.

“Bagus! Memang aku harus menunduk­kan kalian dengan kekerasan, hal yang semestinya kulakukan sejak dahulu!” Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan tubuhnya sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang dicintanya, dua orang wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia menderita amat hebat! Tongkatnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam, dan dia mengha­dapi dua orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik Nirahai mau­pun Lulu, bukanlah dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang lalu, me­lainkan telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi.

Nirahai dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-mentah sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa terharu, bangga dan juga ba­hagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk hidup bersama mereka! Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han ini, Nirahai dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu sehingga tentu saja kedudukan mereka kuat bukan main, membuat Suma Han yang sudah memper­gunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!

 “Ha-ha-ha, lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti kanak-kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha, ja­ngan mau kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur, biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat sembarangan, tak boleh dipermain­kan. Ha-ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau tidak mampu menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala me­mang semestinya ditundukkan dengan kekerasan. Itulah yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau engkau menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah muak! Hayo, gaplok saja! Wah, ramai....! Ramai....! Ha-ha-ha!” Tiga orang itu saling serang dengan hebat, Bun Beng menonton dengan hati gelisah akan teta­pi Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan menyiram minyak pada api di hati tiga orang itu saling bergantian agaknya ingin melihat pertandingan itu makin seru dan mati-matian. Lagaknya seperti kalau dia mengadu, jangkerik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak, kedua pihak dipujinya juga dicelanya!

“Locianpwe, bagaimana Locianpwe da­pat mengatakan lucu? Teecu tidak meli­hat sesuatu yang lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-be­nar amat berbahaya.” Biarpun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata Bun Beng tidak pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu. Dia kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertan­dingan yang demikian dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari keluarga Suling Emas yang terkenal sepanjang masa itu.

“Eh? Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Me­reka seperti orang gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!”

Bun Beng mengerutkan alisanya dan kini dia mengalihkan pandang matanya dari pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek yang sakti ini demikian memandang rendah cinta? Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh urusan perasaan yang paling halus, ter­utama dia berpendapat seperti itu setelah pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Akan tetapi kakek ini bicara soal cinta seolah-olah cinta merupakan hal yang remeh dan lucu!

“Locianpwe, menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih. Tidak ada yang lebih suci daripada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya lucu?” Suaranya mengan­dung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh, apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?

“Ha-ha-ha, itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta! Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!”

“Wah, teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!” Bun Beng mem­bentak dan mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang. Kini mereka berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding, bukan bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta! “Bagaimana Locianpwe dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari Suma-taihiap terhadap mereka itu palsu?”

“Cinta antara pria dan wanita bukan­lah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari kecocokan sele­ra, baik mengenai ketampanan maupun mengenai watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh dengan keinginan me­nguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, disamping keinginan me­nikmati kepuasan dari hubungan badan yang didorong nafsu berahi. Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena itulah, asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau di­khianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan cemburu. Pen­deknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita yang kauagung-agungkan itu!”

Bun Beng masih penasaran. “Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwa­tak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta se­orang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apapun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!”

“Ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang aku percaya bah­wa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kaucinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tidak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cinta­mu dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?”

“Cintaku takkan berubah....” Bun Beng menjawab akan tetapi jawabannya yang keluar dengan suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan berkata, “Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut pendapat Locianpwe?”

“Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasar­kan kepada kepentingan Si Aku masing-masing.”

“Ah, masa begitu, Locianpwe? Bagai­mana dengan cinta seorang anak kepada ibunya?” Bun Beng mengajukan pertanya­an dengan penuh semangat, karena dia merasa bahwa tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?

“Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang ter­dekat dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia ter­biasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka. Andaikata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku, coba kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih mende­kat kepada suami, isteri, dan anak-anak­nya?”

“Wah, Locianpwe pandai sekali ber­debat. Bagaimana kalau cinta kasih se­orang ibu kepada anaknya? Nah, berani­kah Locianpwe menyangkalnya dan me­ngatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?”

“Memang palsu selama Si Ibu meng­harapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak mem­balas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana ada cinta, di situ tidak mungkin ada keben­cian, kemarahan dan kedukaan.”

“Wah, kalau begitu pendapat Locian­pwe, cinta bukan perasaan manusia bia­sa! Agaknya hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!” Bun Beng membantah.

“Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Se­sungguhnya bukan cinta, melainkan pemu­jaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, kare­nanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka.”

“Haaaiiittt.... desss! Desss!”

Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin ter­paksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai dan Lulu tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh Suma Han mence­lat ke atas dan ketika kedua orang wani­ta itu mengejar dengan loncatan cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap mereka. Mereka me­nangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir terbanting kalau tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai. Melihat ini, Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin.

 “Locianpwe yang begitu pandai me­nguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu, tentunya sudah mempunyai banyak sekali pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang, seorang wanita mak­sud teecu?”

Bu-tek Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa, matanya terbelalak. “Hehhh....? Aku....? Aku mencinta seorang wanita? Gila kau! Aku.... aku belum pernah ter­jeblos ke dalam perangkap asmara!”

“Kalau begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?”

“Bukan karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi dan dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar saja tiga orang itu! Jelas, bukan? Mereka tidak saling men­cinta, dalam arti kata cinta suci, kalau demikian, mana ada duka, mana ada ben­ci, dan mana ada pertempuran seperti sekarang ini?”

“Haiii, Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusa­ha untuk menundukkan mereka ini!” Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh menonton. Dia terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang ini kare­na kini barulah dia tahu bahwa pertan­dingan yang kelihatan mati-matian itu sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu! Biarpun Suma Han melancarkan pukulan-pukulan hebat, namun semua pukulan itu hanya dimak­sudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu bukan untuk merobohkan. Dan lucunya, pedang Hok-mo-kiam itu biarpun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung, sesungguhnya lebih banyak meru­pakan ancaman daripada serangan betul-betul, seolah-olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu betul-betul akan menembus tubuh Suma Han. Demikian pula dengan Lulu, pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh orang yang dicintanya! Tiga orang itu melam­piaskan kemarahan dan kemendongkolan hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan, apalagi saling mem­bunuh!

“Cringgg....! Bun Beng, terimalah pe­dang ini!”

Sebuah tangkisan tongkat yang dige­tarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang Hok-mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda itu tentu tidak akan berani me­nerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan tetap berdiri dengan pe­dang di tangan, memandang penuh per­hatian.

“Kalian benar-benar keras kepala!” Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan menubruk dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita itu, terus diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak melakukan penotokan, tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andaikata mereka hendak mencelakai Suma Han. Kaki tangan mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak, “Lepaskan! Lepaskan aku!” Akan tetapi mereka sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal dalam keadaan seperti itu, kalau mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan mampu menjaga dirinya!

“Tidak akan kulepaskan kalian lagi!” kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.

“Lepaskan aku, kalau tidak, kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!” Lulu berte­riak, tangannya dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.

“Hayo lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di teng­kukmu!” Nirahai mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di tengkuk Suma Han.

Suma Han hanya tersenyum dan keli­hatan gembira sekali. “Biar kalian mem­bunuhku, aku tidak akan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi permintaanku.”

“Manusia tak tahu malu! Apa permin­taanmu?” Nirahai membentak.

“Nirahai, engkau adalah isteriku, ma­ka mau atau tidak, engkau mulai seka­rang harus ikut bersamaku, ke mana pun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku sebagai suamamu!”

“Suma Han! Nirahai-suci mungkin saja kaupaksa karena dia isterimu. Akan teta­pi aku tidak semestinya kaupaksa!” Lulu meronta dan berteriak.

“Kita telah melakukan kekeliruan, biarpun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup bersamaku!” jawab Suma Han, suaranya tegas.

“Suma Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kaucinta? Aku ataukah Lulu-sumoi?” Nirahai menuntut.

“Aku.... aku mencinta kalian berdua, dan aku mau menghabiskan sisa hidupku disamping kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati.”

“Aku tidak sudi menjadi adik angkat­mu!”

“Kalau begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai sekarang menjadi isteriku juga.”

“Gila! Mana mungkin suci mau mene­rima aku sebagai madunya?”

“Lulu-sumoi! Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku pun tidak akan sudi ikut bersamanya.”

“Nirahai-suci....!” Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan mengandung isak.

“Sumoi, sudah semestinya begini....!” Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di atas kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu, saling rangkul sambil menangis.

Bun Beng yang menonton dan men­dengarkan semua ini, menjadi terharu bukan main. Kalau menurutkan perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan dijunjung tinggi itu mendapatkan kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang wanita yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang telah dihimpit duka nestapa dan kesengsaraan selama belasan tahun kini seolah-olah orang-orang yang kelaparan menda­patkan makanan atau orang-orang yang menderita penyakit payah mendapatkan obat, ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang keluar dari lubuk hatinya, Bun Beng menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan berkata,

“Suma-taihiap, teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap ber­tiga!”

“Ha-ha-ha, Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan mengha­turkan selamat, melainkan memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini. Ha-ha-ha! Eh, Suma-taihiap, Pendekar Siluman, tahukah engkau me­ngapa murid kita ini memberi selamat? Karena dia terlalu bahagia melihat orang-orang yang menderita penyakit asmara dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang dilanda penyakit itu. Sekarang biarlah aku mewakili dia, di sini, di depan isteri-isterimu, aku memi­nang puterimu yang bernama.... eh, Bun Beng, siapa nama dara yang kautolong di atas pohon itu?”

Merah muka Bun Beng. Biarpun sinting, kakek ini melakukan hal yang di luar dugaannya sama sekali, maka dia menjawab lirih, “Milana....”

“Oya, puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng. Bagaimana? Bagaimana, Tuan Puteri Nirahai?”

Nirahai yang masih berangkulan de­ngan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang punggung Suma Han, menjawab, “Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan apalagi, sih?”

“Ha-ha-ha, belum apa-apa sudah ber­tobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagaimana Suma-taihiap?”

Suma Han mengerutkan alisnya. Me­nurut rencana hatinya dia ingin menjo­dohkan Kwi Hong dengan pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang men­cintanya.... dan hal ini harus dia selidiki terlebih dahulu. Maka dengan suara tegas ia menjawab,

“Bu-tek Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutus­kan, akan tetapi harus mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun Beng, kaubawalah Hok-mo-kiam itu dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari Milana, dan mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan, biarlah kita bicarakan kelak. Terima kasih atas kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hen­dak pergi, selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh pendekar itu melesat dan lenyap dari situ sambil memanggul tubuh dua orang wanita itu!

“Heeiii.... Pendekar Siluman....! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu dengan­mu....!” Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berte­riak, suaranya melengking nyaring sehing­ga Bun Beng yang berada di dekatnya cepat mengerahkan sin-kang untuk melin­dungi jantungnya. Khi-kang dari kakek ini benar-benar amat luar biasa. Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara Pendekar Super Sakti,

 “Sekarang aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Akan te­tapi sewaktu-waktu boleh datang ke Pulau Es....!”

Bu-tek Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh heran sekali. Semenjak puluhan tahun aku me­nganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar dari nenek moyangku. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap sama sekali. Dan aku ikut puas menyaksikan kebahagiaannya. Orang seperti dia tidak sepatutnya hidup seng­sara.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi, Bun Beng?”

“Seperti yang Locianpwe telah men­dengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari Nona Milana dan mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya Nona Milana, teecu akan ke kota raja dan menyelidikinya dari sana.”

“Memang seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang menjadi calon mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan kembali ke Pulau Neraka. Setelah bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api permusuhan di hatiku padam sama sekali, perlu apa lagi aku berke­liaran di dunia ini? Nah, aku pergi!” Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan berkelebat lenyap dari situ.

“Locianpwe, teecu belum menghatur­kan terima kasih atas segala kebaikan­mu!” Bun Beng mengerahkan khi-kangnya seperti yang dilakukan kakek itu tadi.

Dari jauh terdengar suara ketawa kakek itu. “Ha-ha-ha! Kalau kau meng­haturkan terima kasih, berarti terhapus hutangmu! Dan aku ingin kau membayar hutangmu dengan tiga cawan arak merah kelak, di Pulau Es!”

Bun Beng menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasa­an terharu. Kakek itu boleh jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di dalam kesintingannya, banyak kebaikan daripada keburukan yang muncul dari pribadinya. Setelah memberi hormat ke arah suara kakek itu, Bun Beng bangkit berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam yang tadi tanpa bicara telah dilemparkan ke bawah oleh Nirahai, me­masangkan pedang itu di punggungnya, kemudian mengambil capingnya yang pecah-pecah, membetulkan caping, me­makainya di atas kepala, kemudian menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang kepada mayat-mayat yang malang-melintang memenuhi tempat itu. Dia menghela napas panjang.

“Maharya, maafkan aku. Tidak mung­kin aku dapat mengubur jenazah semua orang yang gugur dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak mungkin kuku­bur sendiri.” Dia lalu meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andaikata hati­nya tidak dikejar oleh keinginan untuk cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda ini terpaksa akan mencoba untuk mengubur jenazah semua korban perang itu!

Di dalam perjalanan menuju ke sela­tan ini, masih terbayang semua peristiwa mengenai Pendekar Super Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia merasa terharu dan girang, juga tidak ­mengerti, merasa heran karena dia pun kini dapat merasakan betapa aneh kela­kuan tiga orang itu. Yang sudah gila diserang penyakit asmara, kata Bu-tek Siauw-jin. Benarkah begitu? Apakah dia sendiri pun akan melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan aneh-aneh kelak karena penyakit asmara ini? Akan tetapi hal yang paling membuat dia tidak mengerti adalah keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita bangsawan, ibu Milana pujaan hatinya itu? Kalau Pende­kar Super Sakti tidak mengambil Lulu sebagai isterinya, dia pun tidak akan sudi ikut bersama suaminya itu!

Tentu saja Bun Beng yang masih mu­da itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu, bagi Nirahai adalah hal yang amat wajar dan lumrah. Dia adalah puteri seorang Kaisar yang mempunyai banyak selir. Bahkan dia sendiri puteri seorang selir. Pada waktu itu kehidupan kekeluargaan seorang bangsawan amat berbeda dengan kehidupan keluarga orang sekarang. Semua bangsawan tentu mem­punyai isteri lebih dari seorang. Bahkan kalau ada seorang bangsawan tidak mem­punyai selir hanya mempunyai seorang isteri saja, hal ini merupakan suatu ke­janggalan dan keanehan besar. Keadaan demikian itu telah menjadi kebiasaan, dan karena biasa inilah maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang biasa, yang sama sekali tidak mendatang­kan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja Nirahai merasa girang sekali mempunyai madu Lulu, sumoinya sendiri dan yang dia tahu telah saling mencinta dengan suaminya sebelum suaminya itu bertemu dengan dia! Di lubuk hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta suaminya daripada dia, dan betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat sekali.

Memang tak dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wa­nita menjadi sumber segala peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi po­ros yang memutar roda penghidupan dengan segala suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara antara pria dan wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia akan berubah sama sekali, dan sukarlah membayangkan akan bagaimana keadaan­nya, sungguhpun kita tidak berani menentukan bahwa perubahan itu buruk adanya!

***

Milana menghentikan gerakannya me­ronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja. Kalau tadinya dia meron­ta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena tubuhnya tertotok lemas, bukan­lah untuk membebaskan diri karena dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin, melainkan untuk menarik perhatian orang. Dia melihat betapa para penjaga yang berusaha menolongnya malah menjadi korban kelihaian dan keganasan Wan Keng In, maka dia berteriak-teriak dan memaki-maki hanya untuk meninggalkan jejak ke mana dia dilarikan agar para petugas istana itu dapat membayangi arah larinya Wan Keng In dan gurunya.

Akan tetapi setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada peno­long datang, harapannya menipis. Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik pemuda Pulau Neraka ini, karena kalau ayah bundanya sudah men­dengar, tentu sekarang mereka sudah mengejar dan menolongnya dari cengke­raman pemuda iblis yang gila ini. Kini dia tidak dapat mengandalkan orang tua­nya, para pengawal, atau siapapun juga. Dia harus menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang dan tidak lagi meronta-ronta. Akan tetapi ketika Wan Keng In dan kakek seperti mayat hidup itu mulai mendaki sebuah gunung dengan gerakan cepat sekali seperti terbang, Milana kembali merasa ngeri. Bagaimana kalau ayah bundanya mencarinya dan kehilangan jejak? Dia tidak memperlihatkan rasa gelisahnya, akan tetapi diam-diam dia merobek-robek saputangannya dan me­lempar-lemparkan robekan saputangan itu di sepanjang jalan menuju ke atas puncak gunung itu.

“Malam hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk, sebaiknya kita beristirahat dan melewatkan malam di sini, Suhu.” Wan Keng In berkata ketika mereka tiba di puncak.

“Sesukamulah,” jawab gurunya tak acuh sambil memandang ke arah barat di mana matahari telah menjadi sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan minyak.

“Nah, engkau manis sekali kalau begi­ni, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan tidak memaki-maki aku lagi.” Keng In berkata kepada dara yang dipondongnya.

“Kalau engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap baik pula, tidak melawan dan tidak memaki. Kauturunkanlah aku, aku bukan anak kecil yang harus dipondong saja.”

Wan Keng In tertawa gembira. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana. Aku tidak akan menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap baik selama engkau tidak memberontak.” Keng In menurunkan tu­buh dara itu, meraba pundaknya dan membebaskan totokannya.

Milana segera duduk di atas rumput dan menyalurkan jalan darahnya untuk memulihkan tenaga. Biarpun dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk mencoba melawan atau melarikan diri. Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan dia bukanlah tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja seorang diri, dia tidak akan mampu melawan atau melarikan diri, apalagi di situ masih ada guru pemuda itu yang amat mengerikan. Tentu gurunya ini sakti seperti iblis sendiri!

“Suhu, lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan? Pilihan teecu (murid) tidak akan meleset, Suhu. Dia cantik jelita, manis, halus, pintar.... pendeknya tidak ada keduanya di dunia ini!” Wan Keng In tersenyum-senyum senang sekali meli­hat Milana tidak memberontak lagi.

 “Huhhh....! Perempuan....!” Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong, kemudian dia membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama sekali tidak bergerak lagi se­olah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu pula. Milana yang melihat gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan suara yang dikeluarkan kakek itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu tiada ubahnya seperti mayat hidup, gerakannya seperti kaku akan te­tapi cepat dan tiba-tiba, amat mengejut­kan. Kelingking jari tangan kiri yang putus separuh itu menambah seram keadaannya.

Sementara itu Wan Keng In dengan wajah berseri telah membuka buntalan, mengeluarkan beberapa potong roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia letakkan di depan Milana dan dia berkata ramah,

“Milana pujaan hatiku, makan dan minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau tidak mau makan atau mi­num sedikit pun, membuat hatiku menja­di tidak enak dan khawatir!”

Milana masih memandang punggung kakek yang duduk di atas batu. “Dia juga tidak pernah makan atau minum selama ini,” katanya perlahan karena memang hatinya selalu bertanya-tanya, kalau dia menderita kelaparan selama dua hari itu karena dia selalu menolak makan atau minum, mengapa kakek itu pun tidak pernah makan minum, bahkan pemuda itu tidak pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu makan minum sendiri kalau Milana menolak.

“Suhu? Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun.”

Kembali Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang seperti itu?

“Aku tidak mau makan dan minum,” katanya lirih.

“Aihhh, jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu? Kalau sampai engkau jatuh sakit, siapa yang susah? Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih sejuk, baru kuambil siang tadi di lereng gunung.”

Ingin rasanya Milana membuat pemu­da itu susah selama hidupnya, akan teta­pi memang benar, dia tidak mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarang pun dia merasa amat haus dan lapar. Akan tetapi dia menahan diri. Kesempatan baik, pikirnya.

“Aku tidak bisa makan seperti ini.” katanya sambil memandang roti kering itu. “Aku biasanya hanya makan nasi dan masakan yang enak.”

“Wah, jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta masakan apa saja, tentu akan kusediakan. Akan tetapi di sini, mana ada nasi dan masakan?”

“Tidak peduli!” Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gem­bira bahwa dia dapat merongrong pemu­da itu, ke dua karena timbul harapannya untuk mencari kesempatan meloloskan diri. “Pendeknya, aku hanya mau makan kalau ada nasi, ada arak dan setidaknya ada daging panggang!”

Wan Keng In memandang dengan ma­ta terbelalak kepada gadis itu, akan teta­pi kemarahannya lenyap ditelan pengli­hatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara itu! Untuk bibir itu saja mau kiranya dia melakukan apapun juga, jangankan hanya mencarikan nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh memetik bintang dari langit sekalipun, kalau dia bisa, tentu akan dilakukannya!

“Aihhh.... bibirmu itu....” Keng In menghela napas dan Milana yang mengira ada sesuatu pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidahnya untuk menji­lati sepasang bibirnya. Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona sam­pai dia melongo memandang dan menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa pemuda itu memuji bibirnya. Seketika sepasang pipinya menjadi kemerahan dan dia memandang dengan tajam.

“Sudahlah! Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!”

“Serrr!” Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang menancap di ulu hatinya.

“Aihhh.... matamu.... dan bibirmu.... eh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya menca­rikan semua itu untukmu, Sayang?” Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak dan sekali berkelebat dia telah lenyap ke dalam hutan di bawah puncak yang sudah mulai gelap.

Berdebar jantung Milana. Pancingan­nya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk memenuhi permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta arak? Pemuda itu tentu akan pergi mencari dusun dan belum tentu akan mendapatkan yang dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan hati-hati Milana melirik ke arah kakek yang me­nimbulkan rasa ngeri di hatinya. Kakek itu masih duduk bersila di atas batu, sama sekali tidak bergerak, bahkan agak­nya bernapas pun tidak. Kakek itu seper­ti arca mati yang sudah melekat dan menjadi satu dengan batu yang diduduki­nya. Bagaimana kalau dia lari sekarang? Akan tetapi dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng In akan menjaga ketat lagi, mung­kin tidak akan membebaskannya dari totokan. Dia memang harus berusaha lari, akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil.

Milana bangkit berdiri dan berjalan-jalan, matanya tak pernah dialihkan dari tubuh kakek yang masih duduk bersila. Dengan memberanikan diri, dia berjalan perlahan melewati depan kakek dan dia melihat bahwa kakek itu duduk bersila sambil memejamkan mata dan.... agaknya benar-benar tidak bernapas! Biarpun cua­ca sudah remang-remang, namun dia masih dapat melihat keadaan kakek itu. Sampai tiga kali dia berjalan perlahan seperti orang melemaskan kaki, mengeli­lingi kakek itu dan berhenti di sebelah belakangnya. Kakek itu sama sekali tidak pernah bergerak apalagi menengok. Milana membungkuk, mengambil sepotong batu, lalu melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan kakek itu, mata­nya memandang tajam. Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali, seolah-olah telah mati, atau telah tidur nyenyak!

Jantung Milana berdebar tegang. Ten­tu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang tidur, atau demikian teng­gelam dalam samadhinya sehingga seperti orang mati. Berindap-indap Milana me­langkah menjauhi kakek itu, mengambil arah yang berlawanan dengan perginya Keng In tadi. Makin lama langkahnya yang gemetar itu menjadi makin tetap, langkah kecil-kecil menjadi makin mele­bar dan karena kakek itu sudah tidak tampak lagi dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi menengok dan selagi dia mengambil keputusan hendak lari, tiba-tiba terdengar suara orang di depannya. Seketika dia menjadi lemas melihat Keng In muncul dengan seekor ayam hutan di tangannya.

 “Aihh, sudah begitu laparkah eng­kau, Sayang? Apakah engkau sengaja menyongsong aku? Lihat, kuperoleh seekor ayam, gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam panggang!”

Milana memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira, “Aku hendak menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat lapar!”

“Aduh kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau memanggangnya untuk kita makan bersa­ma, bukan?”

Milana menahan kemarahan dan keke­cewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan yang gemuk itu, kemudian sengaja berkata, “Ahhh, kenapa hanya ayam saja? Apakah aku hanya kausuruh makan daging panggang? Mana nasinya? Mana araknya? Wan Keng In, aku sudah mulai menurut karena sikapmu yang baik akan tetapi kalau permintaan macam itu saja kau tidak mampu penuhi, apa guna­nya aku tunduk?”

“Wah-wah.... sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar dapat kaupanggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak, jadi tidak ada waktu terbuang sia-sia, bukan?”

Milana tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian meng­angguk.

“Baiklah, Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya? Perutku sudah lapar sekali.”

“Hi-hik, perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?”

Ingin Milana meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan wajahnya. Keng In tertawa kemudian berkelebat pergi, kini menuju ke kanan, agaknya di sebelah sana ter­dapat dusun terdekat.

Kembali berdebar jantung Milana. Se­karanglah saatnya, pikirnya. Tidak boleh membuang waktu lagi. Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In mendapatkan dia tadi sedang melarikan diri, sedang berlari cepat, tentu rahasianya ketahuan dan mungkin sekarang dia sudah rebah terbelenggu atau tertotok. Dia bergidik, kemudian setelah menanti seje­nak agar Keng In berlari cukup jauh ke sebelah kanan puncak, Milana lalu mem­banting bangkai ayam hutan lalu melon­cat melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri puncak.

“Bresss....!” Milana terjengkang dan cepat berjungkir balik agar jangan ter­banting. Ketika dia berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba menghalang di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit karena yang ditabraknya adalah tubuh kakek iblis guru Keng In yang entah bagaimana dan kapan tahu-tahu telah berdiri di situ dengan kedua lengan bersedakap dan kedua mata terpejam!

“Augghhh....!” Milana merintih mena­han rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari lagi.

“Brukkk....!” Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan meman­dang, lagi-lagi kakek iblis itu yang dita­braknya.

“Aihhh....!” Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek yang menyeramkan itu, akan tetapi ke manapun juga dia lari, dia selalu menabrak tubuh kakek berdiri itu, yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di depannya. Rasa ngeri bercampur takut membuat dia marah sekali, dengan nekat dia lalu menghantam dada kakek itu!

“Buk-buk-desss!” Tiga kali dia meng­hantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras seperti baja, sama sekali tidak bergoyang terkena pukulan-pukulan­nya yang disertai sin-kang!

Tiba-tiba rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret. Dengan mata terbelalak Milana memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak rambutnya dan yang menyeretnya. Dia menangis dan mengeluh, sama sekali tidak melawan karena mak­lum bahwa menghadapi kakek ini, dia lebih lemah daripada seorang anak kecil! Setelah tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan jambakannya dan melempar­kan tubuh Milana ke atas rumput, se­dangkan dia sendiri lalu duduk di atas batu, bersila dan meram seperti tadi, seolah-olah telah berubah menjadi arca!

Milana menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah, dan putus harapan serta kecewa. Kini dia memandang kepada kakek itu dengan kemarahan meluap. Biar iblis sekalipun, kakek itu mengha­langinya untuk lari, menggagalkan kesem­patan baik yang diperolehnya.

“Iblis tua bangka....!” Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu, menggunakan jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari tangan kiri menotok ke tengkuk membidik jalan darah kematian, tangan kanan dengan jari terbuka membacok ke arah lambung dengan pengerahan sin-kang. Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga ter­atur dan disertai pengerahan seluruh te­naganya. Dara yang keecewa ini sudah nekat dan hendak membunuh atau ter­bunuh oleh kakek itu!

“Plakkk! Bukkk!”

Milana terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua tangannya terasa nyeri dan lengan­nya seperti lumpuh. Kakek itu menge­luarkan suara mendengus dari hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke belakang dan menotok jalan darah di pun­dak Milana, membuat tubuh dara itu ke­hilangan tenaga dan roboh lemas! Totok­an kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan sama sekali tidak dapat digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia rebah miring dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat mengganggu, akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kepalanya.

Benar seperti dugaan Milana, menje­lang pagi, setelah ayam hutan mulai ber­keruyuk dan cahaya di langit timur sudah mulai muncul, baru Keng In muncul, membawa bungkusan nasi, sayur-mayur, dan seguci arak!

“Milana kekasihku, inilah permintaan­mu.... heiiii! Mengapa kau?” Pemuda itu meletakkan bawaannya, berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang membuat dara itu lemas. Begitu terbebas dari totokan, biarpun tubuhnya masih lemas dan jalan darahnya belum pulih benar, Milana sudah mencelat ba­ngun dan menyerang Wan Keng In!

“Brukkk! Heiii.... mengapa kau ini....?” Keng In cepat menangkap lengan Milana dan merangkulnya, meringkusnya mem­buat dara itu tak mampu melepaskan diri. “Milana bidadariku, pujaan hatiku, kenapa kau....? Mana daging panggang itu dan kenapa kau tertotok?”

Mau rasanya Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa hatinya. Mendengar pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan murid ini.

“Mau tahu? Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!” Ingin dia membohong, ingin dia menjatuhkan fitnah kepada ka­kek itu, mengatakan bahwa kakek itu hendak memperkosanya, akan tetapi ka­rena sejak kecil dia tidak biasa membo­hong kata-kata ini tidak bisar keluar dari mulutnya.

Keng In menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya. “Suhu, apa yang terjadi? Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?”

“Keng In, engkau ini laki-laki macam apa? Tidak semestinya seorang laki-laki membiarkan dirinya dihina perempuan! Kalau kau suka dia dan dia banyak rewel paksa saja!” Milana merasa benci bukan main kepada kakek itu setelah melihat kakek itu bicara tanpa menggerakkan bibir dan mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkan wanita itu. Kalau dia tidak tahu bahwa melawan kakek itu percuma saja, tentu dia sudah menerjang mati-matian.

“Aahh, Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana? Tentu dia tadi hendak melarikan diri maka Suhu meno­toknya, bukan? Wah, jangan sekali-kali engkau melarikan diri, biarpun aku tidak ada. Masih untung bahwa Suhu hanya merobohkanmu, tidak membunuhmu.”

“Aku tidak takut mati!” Milana mem­bentak.

“Huh, perempuan keras hati ini,” kembali kakek itu mengomel. “Dan kau mencinta dia?”

“Benar, Suhu. Aku cinta Milana, aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang tercinta, yang membalas cin­taku, karena itu, sangat mustahil kalau aku harus mengganggu badan atau nya­wanya dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar menghadapi Milana.”

 “Huh, agaknya kau takut mengganggu­nya. Anak siapa dia?”

“Dia bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua Thian-liong-pang.”

“Huh!” Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah.

Milana sudah bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah bu­sung itu, suaranya lantang ketika dia berkata,

“Ibuku tidak hanya Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri Kaisar yang perkasa, dan ayahku adalah Pendekar Super Sakti atau Pende­kar Siluman, To-cu Pulau Es! Kalau ayah bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu mereka akan datang dan mencabut nyawa kalian berdua seperti mencabut rumput saja!”

Kakek yang tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan Keng In juga kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara yang dicintanya itu adalah puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau ma­rah, kemudian tubuhnya mencelat dekat, tangannya bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah cepat.

“Brettt-brett-brettt....!”

Milana menjerit kaget melihat tubuh­nya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali karena tiga kali renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat seluruh pakaiannya, luar dan dalam, terobek dan tanggal semua!

“Suhu....!”

Cui-beng Koai-ong melemparkan pa­kaian itu ke atas tanah. “Perkosa dia! Hayo kauperkosa puteri Pendekar Siluman ini!” katanya kepada Keng In.

Keng In membuka jubah luarnya dan menubruk gadis telanjang bulat yang ma­tanya terbelalak lebar dan mukanya pu­cat, yang dengan sia-sia mencoba untuk menggunakan tangan menutupi tubuhnya, menutupkan jubah itu menyelimuti tubuh Milana. Dengan cepat gadis itu menggu­nakan jubah menutupi tubuhnya dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kebencian akan tetapi juga kengerian.

“Keng In, perkosa dia!” Kembali Cui-beng Koai-ong berkata. “Kalau tidak, aku yang akan melakukannya!”

“Suhu, jangan, Suhu. Aku ingin menda­patkan dia dengan suka rela, aku cinta padanya.”

“Aku tidak peduli kaucinta atau tidak. Saat ini aku ingin melihat engkau mem­perkosa seorang perempuan, dan kau harus melakukan hal itu!”

“Suhu, tunggu....! Ada orang....!” Wan Keng In berseru dan meloncat ke depan. Benar saja tampak bayangan berkelebatan dan muncullah lima orang yang gerakan­nya gesit dan bersikap gagah. Empat orang laki-laki setengah tua yang bersen­jata pedang dan seorang wariita berusia tiga puluhan tahun, juga gagah sikapnya, bersenjata sebatang cambuk.

“Bebaskan Nona itu!” Wanita itu su­dah membentak dan cambuknya bergerak mengeluarkan suara meledak-ledak. Juga empat orang laki-laki itu sudah mener­jang maju, disambut oleh Keng In yang sudah mengeluarkan pedangnya. Begitu pemuda ini mengelebatkan pedangnya, tampak sinar berkilat dan sinar ini me­nyambar ke arah empat orang penyerang­nya.

“Cringgg         trak-trak-trak-trak!” Empat batang pedang di tangan empat orang laki-laki gagah itu patah semua ketika bertemu dengan Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, bahkan disusul robohnya tubuh mereka yang hampir pu­tus menjadi dua potong. Mereka roboh dan tak bergerak lagi, mandi darah mereka sendiri.

Milana tadinya hendak bergerak mem­bantu para penolongnya, akan tetapi ter­paksa mengurungkan niatnya karena teringat akan tubuhnya yang telanjang bulat dan hanya terselimut jubah luar. Kalau dia bergerak, tentu jubahnya ter­buka! Apalagi melihat betapa dalam segebrakan saja Keng In telah membunuh empat orang itu, harapannya lenyap kembali.

Wanita bercambuk itu menjadi kaget dan marah. Cambuknya menyambar ke arah Wan Keng In yang sambil tersenyum telah menyarungkan Lam-mo-kiam kem­bali. Cambuk menyambar dan mengenai leher Keng In, melibat leher dan wanita itu menarik. Namun, tubuh Keng In sama sekali tidak bergoyang, bahkan sekali Keng In menarik leher ke belakang, tubuh wanita itu terhuyung ke depan, tertang­kap oleh pelukan kedua lengan Keng In. Wanita itu hendak meronta, akan tetapi cambuknya sudah mengikat kedua tangan­nya sehingga tidak dapat berkutik.

“Apakah Suhu masih ingin melihat aku memperkosa perempuan?” Keng In yang sengaja tidak membunuh wanita ini kare­na ingin menolong Milana, menoleh kepa­da gurunya.

“Hem, hayo cepat!” gurunya yang gila itu berkata.

Keng In menotok wanita itu sehingga menjadi lemas, kemudian dia menanggal­kan seluruh pakaian wanita itu satu demi satu, melempar-lemparkan pakaian itu kepada Milana sambil berkata, “Milana, kaupakailah pakaiannya, pakaianmu sudah robek semua.”

Milana tidak mengerti apa yang akan terjadi, akan tetapi melihat pakaian itu dilempar-lemparkan kepadanya ia lalu memakainya. Untung bahwa bentuk tubuh wanita itu hanya sedikit lebih besar dari tubuhnya, maka pakaian itu, dari pakaian dalam sampai pakaian luar, dapat dipa­kainya dengan baik. Akan tetapi, betapa kaget dan ngeri hati Milana ketika meli­hat Keng In mulai menanggalkan pakai­annya sendiri kemudian menubruk wanita tawanan yang sudah menggeletak di atas rumput tanpa pakaian itu.

“Kau....!” Milana marah bukan main, lupa diri dan bergerak menyerang Keng In. Akan tetapi, dengan tangan kirinya Keng In menyambar cambuk wanita tadi, menggerakkan cambuk itu sehingga ujungnya menotok pundak Milana yang tergu­ling roboh dan tidak mampu bergerak lagi. Gadis ini mula-mula terbelalak me­mandang penglihatan yang terjadi hanya dua meter di depan matanya, kemudian dia memejamkan matanya dan seluruh tubuhnya menggigil. Hatinya penuh de­ngan kebencian dan dia berjanji untuk membunuh Wan Keng In dan gurunya itu karena dia menganggap mereka itu bukan manusia, kejam melebihi binatang buas, bahkan iblis sendiri belum tentu seganas dan sejahat mereka!

Biarpun dia telah memejamkan matanya, namun Milana tetap saja mendengar rintihan wanita itu. Betapa heran dia setelah beberapa lama, terdengar wanita itu berkata diseling isak, “Aku.... aku akan membantumu.... aku bersedia menjadi pembantumu yang setia.... asal jangan bunuh aku.... ampunkanlah aku...., aku telah berani menentang seorang ga­gah seperti engkau....”

Ucapan itu terhenti, terdengar suara “prakkk!” dan keadaan menjadi sunyi. Tidak terdengar apa-apa lagi. Setelah agak lama, barulah Milana merasa pun­daknya disentuh dan dia terbebas dari totokan. Dibukanya matanya dan dia ter­belalak. Sinar matahari pagi menimpa tubuh yang telanjang bulat, tubuh yang berkulit putih bersih, akan tetapi kini kulit yang putih kuning itu telah berle­potan darah, diantaranya darah yang masih menetes keluar dari kepalanya yang pecah!

“Ihhh....!” Milana menutupi mata de­ngan kedua tangannya.

Wan Keng In yang sudah berpakaian lagi itu merangkulnya dan berbisik, “Ter­paksa kulakukan untuk memuaskan hati Suhu, dan sebagai penggantimu....”

Biarpun masih nanar, Milana maklum apa artinya semua itu, dan kejijikan terhadap Keng In makin menghebat. Direnggutnya secara kasar tubuhnya dari rangkulan Keng In.

Tiba-tiba Wan Keng In meloncat ke atas batu besar di puncak itu, meman­dang ke sekeliling. Kemudian dia mela­yang turun lagi, berkata kepada suhunya yang masih duduk di atas batu, “Suhu, kurang lebih lima puluh orang telah mengurung puncak ini, agaknya teman-teman lima orang itu. Bagaimana baik­nya? Apakah teecu amuk dan bunuh saja mereka?”

“Mana anak buah kita?” Kakek itu berkata tak acuh.

“Belum ada yang muncul, Suhu.”

“Hemmm...., panggil mereka. Suruh mereka basmi anjing-anjing itu!”

Keng In lalu membuat api unggun, terus ditambahi dahan dan daun kering sehingga bernyala besar sekali. Kemudian dia menggunakan tenaga khi-kang untuk meniup dan setiap kali tiup, segumpal asap hitam bergulung-gulung ke angkasa. Beberapa kali dia lakukan hal ini dalam jarak-jarak waktu tertentu. Milana hanya memandang dengan heran. Hatinya tegang. Benarkah ada lima puluh orang mengu­rung tempat ini? Siapakah mereka? Dan siapa pula lima orang yang berusaha me­nolongnya akan tetapi tewas semua ini?

 “Ibuuuuu....!” Tiba-tiba Milana ber­teriak sambil mengerahkan khi-kangnya. Suaranya melengking tinggi dan bergema di seluruh lereng gunung.

“Milana, jangan....!” Keng In meloncat dengan sigapnya, mengejar gadis yang berusaha melarikan diri itu dan seperti ketika pertama kali dia menculik Milana, gadis itu dikempit pinggangnya dan di­panggulnya setelah ditotok lemas.

Milana meronta-ronta tanpa hasil. Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, akan tetapi suara itu mengece­wakan hati Milana karena bukan lengking suara ibunya, bukan pula suara ayahnya yang sudah dikenalnya. Dan ternyata memang bukan karena Keng In segera mengeluarkan teriakan yang sama seba­gai jawaban. Tak lama kemudian Milana mendengar suara hiruk-pikuk orang ber­tanding di sekeliling puncak.

“Suhu, anak buah kita sudah berpesta membunuhi mereka.” Keng In berkata dan gurunya hanya mendengus.

“Tahukah engkau, Milana? Anak buah kita, para penghuni Pulau Neraka, telah datang. Sebentar lagi orang-orang yang mengurung kita tentu akan terbasmi dan kita akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Neraka. Jangan mencoba untuk lari lagi, Manis. Kau tahu hal itu percu­ma, dan pula, bukankah aku sudah bersikap baik terhadapmu? Aku cinta padamu. Milana, berilah cium....” Keng In mendekatkan mulutnya, akan tetapi Milana berkata dengan suara mendesis saking marahnya.

“Aku berjanji takkan melarikan diri, berjanji akan menyerah. Akan tetapi ka­lau kau berani menciumku, berani men­jamahku, biarpun aku tidak dapat melawanmu, aku akan membunuh diri!”

Mulut Keng In yang sudah hampir menyentuh pipi Milana itu ditarik ke belakang.

“Aihhh.... jangan, Manis. Kalau kau­bunuh diri, habis aku bagaimana....” Ucap­annya terdengar tolol dan kekanak-kanak­an, atau seperti ucapan orang yang tidak waras otaknya.

“Kalau begitu, lepaskan aku. Aku takkan lari.”

Keng In cepat menurunkan tubuh Milana dan membebaskan totokannya. Mereka bertiga duduk di situ menanti sampai suara hiruk-pikuk dari senjata beradu dan teriakan kematian diseling sorak kemenangan itu makin berkurang, akhirnya berhenti. Tak lama kemudian tampak bermunculan tiga puluh lebih orang-orang Pulau Neraka yang mukanya berwarna-warni, ada yang merah, biru, hijau, merah muda dan hijau pupus. Me­reka semua menjatuhkan diri berlutut di depan Keng In dan Cui-beng Koai-ong.

“Mohon ampun atas kelambatan kami, Siauw-tocu.”

“Tidak mengapa,” kata Keng In kepa­da seorang kakek berkepala gundul ber­muka merah muda yang memimpin rombongan orang Pulau Neraka itu. “Kong To Tek, siapakah para pengepung tadi dan bagaimana keadaan mereka sekarang?”

“Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang bergabung dengan pengawal-penga­wal yang dipimpin oleh seorang panglima pengawal. Kami telah menyerbu dan me­nurut penglihatan kami, mereka yang jumlahnya lima puluh dua orang telah mati semua, Siauw-tocu. Menanti perin­tah selanjutnya.”

“Bagus! Sediakan sebuah perahu, kami hendak kembali ke Pulau Neraka.”

Orang-orang yang berlutut itu meng­angkat muka dan kelihatan terkejut dan tidak menyangka-nyangka. “Dan kami...., Siauw-tocu?”

“Kalian juga. Kita bangun kembali pulau kita, aku yang memimpin bersama calon isteriku ini, dibantu oleh Suhu.”

Orang-orang itu bersorak girang. “Perahu sudah siap di pantai dekat Gua Naga Hitam, Siauw-tocu.”

Sebentar saja mereka sudah menuntun datang beberapa ekor kuda, yaitu tung­gangan para penyerbu yang telah tewas semua itu. Para pengurung puncak itu memang benar rombongan pengawal dari kota raja yang dipimpin oleh seorang panglima. Rombongan ini berhasil meng­ikuti jejak Wan Keng In dan di sepanjang jalan mereka minta bantuan orang-orang kang-ouw, termasuk empat orang dan seorang wanita yang telah lebih dulu menjadi korban keganasan Wan Keng In itu.

“Apakah Suhu juga hendak menung­gang kuda?” Wan Keng In bertanya ragu kepada suhunya. Biarpun kakek itu guru­nya, namun dia sama sekali tidak menge­nal betul keadaan kakek itu, yang gerak-geriknya penuh rahasia dan tidak pernah mau bercerita tentang dirinya sendiri.

Cui-beng Koai-ong mendengus, kemu­dian sekali berkelebat, tubuhnya yang kaku itu telah lenyap. “Suhu telah pergi lebih dulu ke Pulau Neraka. Hanya kalian kawal kami berdua. Semua orang harus tunduk dan hormat kepada Puteri Milana ini, dia adalah calon isteriku. Siapa yang membuat hatinya tidak senang akan kubunuh!”

Semua orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Neraka dan sebagian di antara mereka sudah mengenal Milana, bahkan sudah pernah bentrok dengan gadis ini ketika Milana memimpin orang-orang Thian-liong-pang. Mereka tahu bahwa Milana adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, maka mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan perkasa itu akan menja­di isteri majikan mereka, hati mereka menjadi terheran-heran, akan tetapi juga girang. Berangkatlah Keng In dengan rombongannya, dan Milana yang tidak mempunyai harapan untuk dapat lolos lagi itu, kini menurut saja. Yang penting baginya sekarang adalah mencegah Keng In memaksanya sebagai isterinya, dan tentang meloloskan diri, akan diatur sebaiknya kalau sudah ada kesempatan terbuka.

Tidak ada halangan terjadi yang menghalangi rombongan ini sampai mere­ka menggunakan perahu melanjutkan perjalanan dan tiba di Pulau Neraka. Milana merasa ngeri melihat keadaan pulau ini. Sebuah pulau liar penuh dengan binatang buas yang beracun, dan biarpun sudah pernah diserbu dan dibakar oleh pasukan pemerintah yang amat kuat, kini tidak kehilangan keangkerannya.

Dia tidak banyak memperlihatkan perlawanan, bahkan membantu ketika Keng In dan anak buahnya membangun kembali bangunan yang telah terbakar. Bahkan dia bersikap baik terhadap Cui-beng Koai-ong yang sudah lebih dulu berada di pulau itu. Dengan perantaraan Keng In, gadis ini malah mulai mempe­lajari ilmu-ilmu aneh dan mujijat dari Cui-beng Koai-ong!

“Aku bersedia menjadi isterimu, de­ngan satu syarat, yaitu ayah bundaku harus menyetujuinya. Sebelum itu, biar kaupaksa sekalipun, aku tidak akan me­nurut dan kalau kau menggunakan paksa­an, aku akan membunuh diri dan rohku akan selalu mengejarmu untuk membalas dendam.” Ucapan Milana yang dikeluarkan dengan sungguh-sungguh ini membuat Keng In maklum bahwa dia harus meme­nuhi permintaan itu sebelum dia dapat menundukkan dara itu agar secara suka rela menjadi isterinya. Dia merasa ter­siksa sekali karena harus menahan nafsu­nya yang kadang-kadang membakar diri­nya. Dia terlalu mencinta Milana dan ingin hidup selamanya di samping wanita ini, maka betapa pun sukarnya, dia akan mengusahakan agar orang tua dara itu menyatakan persetujuannya, kalau perlu dengan kekerasan dan untuk ini dia mengandalkan bantuan gurunya.

Mulailah sebuah kehidupan baru bagi Milana, di atas Pulau Neraka yang se­dang dibangun oleh Keng In, di mana dia dikenal sebagai calon isteri Siauw-tocu, dan di mana dia harus mempergunakan seluruh kecerdikannya untuk menyelamat­kan diri dari gangguan Keng In tanpa menimbulkan kecurigaan pemuda luar biasa itu.

***

Andaikata tidak ada Kwi Hong yang menjadi petunjuk jalan, biarpun Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama dan beberapa orang panglima pembantu­nya pernah melawat ke Pulau Es, namun agaknya perahu mereka itu takkan pernah dapat sampai ke Pulau Es. Berkat petun­juk Kwi Hong, biarpun makan waktu sampai dua pekan, akhirnya sampai juga perahu besar itu dan mendarat di Pulau Es. Kwi Hong melompat ke darat lebih dahulu. Hatinya terharu sekali menyaksi­kan pulau di mana dia tinggal sejak kecil yang kini keadaannya sudah banyak rusak, istana pulau yang dari jauh sudah kelihatan runtuh bekas terbakar. Teringat ia akan pemuda Thung Ki Lok yang mencintanya dan yang tewas oleh peng­khianat Kwee Sui, teringat akan para paman pembantu Pendekar Super Sakti yang tewas dalam pertempuran ketika pasukan pemerintah menyerbu. Hatinya menjadi terharu sekali, akan tetapi tidak ada setitik pun air mata tumpah. Hati dara ini telah mengeras karena gem­blengan-gemblengan pengalamannya.

Para tokoh yang membantu Bhong Ji Kun mengikuti bekas Koksu itu meloncat turun pula. Mereka itu adalah Thian Tok Lama yang mengiringkan Pangeran Yauw Ki Ong yang digandeng oleh dua orang selirnya, yaitu bekas-bekas pelayan yang masih bisa melarikan diri bersamanya, disusul oleh Liong Khek, tokoh kurus muka pucat yang tidak ketinggalan mem­bawa senjatanya yang istimewa yaitu sebatang gagang pancing lengkap dengan tali dan mata kailnya, Gozan jagoan Mongol yang bertubuh tinggi besar seper­ti raksasa, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut bertangan panjang yang bersenjata sepasang golok, dan seorang yang tinggi besar bersenjata tombak panjang. Orang ini sikapnya keren, gerak-geriknya gesit dan dihormat oleh pembantu lainnya. Dia adalah seorang ahli tombak dari selatan, berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) bernama Ciat Leng Souw. Memang ilmu tombak­nya hebat bukan main, juga tenaga sin-kangnya amat kuat sehingga di dalam rombongan itu, kiranya hanya Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama saja yang akan mampu menandingi tombaknya yang lihai! Pantas kalau dia dihormat oleh para pembantu bekas Koksu itu. Selain para jagoan ini, juga ada beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi, dan beberapa orang pelayan biasa, tukang kuda yang bertugas sebagai tukang pera­hu dalam pelayaran itu. Mereka berbon­dong turun dan kasihan sekali para pela­yan yang tidak memiliki kepandaian tinggi karena begitu mendarat di Pulau Es, mereka sudah menderita kedinginan!

Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong yang dikawal Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ini bersama Kwi Hong jumlahnya masih ada dua puluh orang. Segera atas perintah Bhong Ji Kun, mereka mulal membetulkan bekas istana Pulau Es yang telah terbakar itu. Karena istana itu memang besar dan jumlah mereka tidak begitu banyak, maka tempat itu cukup untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Sebuah api unggun yang besar terpaksa harus dinyalakan terus di dalam istana itu melawan hawa dingin.

Ketika Kwi Hong yang telah rindu kepada pulau ini mengadakan peninjauan seorang diri, kesempatan ini dipergunakan oleh Bhong Ji Kun untuk mengajak Pa­ngeran Yauw dan para kaki tangannya untuk berunding. Mereka tadinya mem­bujuk Kwi Hong selain untuk menarik Pendekar Super Sakti di fihak mereka, juga untuk memanfaatkan tenaga gadis itu. Sekarang, setelah Kwi Hong berhasil mengantar mereka ke Pulau Es, mereka harus cepat mengambil keputusan menun­dukkan gadis itu sebelum gadis berwatak keras dan aneh sukar ditundukkan itu berubah pikiran dan memberontak. Akan tetapi diam-diam Bhong Ji Kun dan dibantu oleh Thian Tok Lama dan Sin-jio Ciat Leng Souw, melakukan pe­nyelidikan di sekitar pulau sambil menca­ri-cari pusaka-pusaka Pulau Es itu. Na­mun usaha mereka tidak ada hasilnya maka pada keesokan harinya, Bhong Ji Kun mengundang Kwi Hong untuk mengadakan perundingan. Mereka semua berkumpul di dalam ruangan istana, tentu saja para pelayan dan dua orang selir Pangeran Yauw yang tidak ikut.

Kwi Hong masih belum menyadari keadaannya sehingga dia tidak curiga ketika dipersilakan duduk, di antara Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun, sedangkan Ciat Leng Souw duduk di sebelah bela­kangnya, berhadapan dengan para pangli­ma dan Pangeran Yauw.

“Giam-lihiap, kami berterima kasih sekali bahwa lihiap telah suka membawa kami untuk berlindung di pulau ini. Terpaksa kita semua harus tinggal untuk sementara di sini selama kekuatan pasu­kan kita belum tersusun. Kita harus mengadakan hubungan dengan saudara-saudara di Mongol, Tibet, dan Nepal, juga mengadakan perhubungan baru de­ngan kaum orang gagah di pedalaman yang mendendam sakit hati kepada Kai­sar. Karena itu, sambil menanti keadaan dan untuk menghilangkan rasa kesepian di pulau yang dingin ini kami harap saja Lihiap suka memperlihatkan setia kawan dan suka mengeluarkan kitab-kitab pusaka Pulau Es agar kita bersama dapat mem­pelajarinya untuk menambah pengeta­huan.”

Ucapan Bhong Ji Kun ini terdengar seperti guntur di siang hari oleh Kwi Hong. Sama sekali tidak pernah disangka­nya bahwa bekas Koksu ini akan mengeluarkan pernyataan seperti itu, karena soal pusaka Pulau Es tadinya tidak per­nah disinggung dalam persekutuan dan kerja sama mereka.

“Apa yang kaumaksudkan, Bhong-Kok­su?” Biarpun sekarang bukan Koksu lagi, namun Kwi Hong dan beberapa orang lain masih menyebut Koksu, hal ini adalah karena memang dia dicalonkan sebagai Koksu juga kalau Pangeran Yauw Ki Ong berhasil dengan pemberontakan itu dan merebut tahta kerajaan.

“Maksudku sudah jelas, Nona.” Suara Bhong Ji Kun terdengar halus namun dingin dan penuh ejekan. “Ketika kami bertugas menyerbu pulau ini, kami tidak dapat menemukan pusaka-pusaka yang tersimpan di Istana Pulau Es. Padahal Istana Pulau Es dahulu adalah tempat tinggal Manusia Dewa Bu Kek Siansu yang terkenal. Maka kami merasa yakin bahwa pusaka-pusaka itu tentulah disimpan dan disembunyikan, dan Nona seba­gai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dapat mengetahui tempat penyimpanannya.”

Bukan main marahnya hati Kwi Hong. Mukanya menjadi merah sekali dan sua­ranya lantang ketika dia menjawab,

“Aku tidak mengerti mengapa engkau membawa-bawa urusan pusaka ke dalam kerja sama kita ini, Bhong-koksu. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu akan pusaka yang disimpan. Semua pusaka dan benda berharga Pulau Es telah dibagi-bagikan oleh paman kepada para anggau­ta sebelum dibubarkan, dan kalau kau­maksudkan kitab-kitab, semua itu hanya paman yang mengetahui dan menyimpan­nya.”

“Mustahii Giam-lihiap sebagai murid­nya tidak tahu di mana disembunyikannya kitab-kitab itu? Pinceng (Saya) rasa lebih baik Lihiap memperlihatkan kepada Bhong-koksu sehingga terbuktilah bahwa Lihiap memang benar-benar ingin bekerja sama dengan kami,” kata Thian Tok Lama mendesak.

“Aku tidak tahu! Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Kalau tidak percaya, habis kalian mau apa?” Kwi Hong sudah marah sekali dan kedua tangannya yang berada di atas meja dikepal keras.

“Hemm, Lihiap masih bersikap keras kepada kami. Padahal Lihiap adalah pem­bantu kami dan sebagai pembantu harus taat kepada pimpinan. Perlukah kami harus mengambil jalan kekerasan?”

“Brakkk!” Kwi Hong bangkit berdiri dan menggunakan tangannya menggebrak meja. Alisnya diangkat ketika matanya dilebarkan, memandang dengan sinar ber­api kepada Bhong Ji Kun. “Boleh saja! Siapa takut akan jalan kekerasanmu?”

Pangeran Yauw segera bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Aih-aih...., apa perlunya semua ini? Giam-lihiap, harap suka duduk kembali dan harap suka bersabar. Bhong-koksu, tidak semestinya mendesak Lihiap. Kalau Lihiap bilang tidak tahu tentu benar-be­nar tidak tahu. Giam-lihiap adalah saha­bat kita, bahkan aku telah menganggap­nya sebagai pengawal yang paling kupercaya. Di antara orang sendiri tidak semestinya terjadi keributan hanya karena soal kecil saja.”

Bhong-koksu tersenyum lebar dan cepat dia berdiri dan menjura ke arah Kwi Hong sambil berkata, “Ahh, kami telah terburu nafsu dan harap maafkan kami, Lihiap. Agaknya kekalahan yang kami derita, kemudian keadaan yang pe­nuh kesukaran di sini membuat kami lupa diri. Akan tetapi, hendaknya Lihiap juga tidak selalu memperlihatkan sikap keras. Sikap Lihiap tentu saja menimbulkan keraguan kami dan hanya ada satu jalan kiranya yang akan membuat keraguan ka­mi lenyap sama sekali dan mendatangkan keyakinan di hati kami akan kesetiaka­wanan Lihiap terhadap persekutuan kami.”

Kwi Hong mengira bahwa tentu Koksu itu tetap akan minta pusaka Pulau Es, dan kini dengan jalan halus dan bujukan, maka dengan kemarahan ditahan dia ber­tanya, “Satu jalan apakah yang kaumak­sudkan?”

Koksu melirik ke arah Pangeran Yauw Ki Ong yang tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian berkata, “Pangeran telah membuka rahasia hatinya kepadaku. Semenjak beliau bertemu dengan Lihiap, beliau telah tertarik dan jatuh cinta kepada Lihiap. Maka, Pangeran berkenan mengambil Lihiap sebagai selir, dan tentu saja kelak kalau perjuangan kita berhasil, Lihiap akan diperisteri secara resmi dan besar kemungkinan Lihiap kelak akan menjadi permaisuri.”

Wajah Kwi Hong menjadi pucat seke­tika, kemudian berubah merah. Maklum­lah dia bahwa orang-orang yang disang­kanya sahabat ini ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat jahat terhadap dirinya, dan dia selama ini dikelilingi oleh musuh! Teringatlah dia akan arak suguhan Pangeran Yauw dan tentang surat peringatan yang dikirim secara aneh penuh rahasia oleh orang tak dikenal. Bukan main rasa menyesalnya. Dia telah membantu orang-orang jahat ini! Bahkan dia telah membawa mereka ke Pulau Es! Apakah yang telah dia lakukan? Akan tetapi dia masih menahan sabar dan bangkit berdiri sambil berkata,

“Aku tidak dapat menerima perminta­an itu!”Tentu saja semua ini memang telah direncanakan oleh Bhong Ji Kun, Pange­ran Yauw dan para pembantunya. Sama sekali bukan maksud mereka untuk meng­angkat dara itu menjadi permaisuri. Maksud sesungguhnya adalah kalau sam­pai Kwi Hong dapat diperisteri oleh Pangeran Yauw, otomatis Pendekar Super Sakti tentu kelak akan mau membantu usaha pemberontakan mereka.

Kini melihat sikap Kwi Hong yang dengan keras menolak, Bhong Ji Kun dan para pembantunya meloncat mundur, Pangeran Yauw cepat menyelamatkan diri dan mundur di belakang para jagoan­nya dan mereka membuat gerakan me­ngurung Kwi Hong yang masih berdiri tegak dengan sikap gagah, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan dengan jari-jari terbuka siap di dekat gagang pedang Li-mo-kiam!

“Kalau begitu, jelas engkau tidak berniat baik, maka terpaksa kami harus menggunakan kekerasan!” Bhong Ji Kun berkata sambil mencabut senjatanya, pecut kuda berbulu merah dan sebatang golok besar. Thian Tok Lama juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat pendeta, sebuah senjata baru yang kini selalu dipegangnya karena pendeta ini dalam pengalamannya maklum bahwa kedua tangan kosongnya yang biasanya amat ampuh itu tidak cukup untuk menghadapi seorang lawan tangguh seperti murid Pendekar Super Sakti ini. Sin-jio Ciat Leng Souw Si Tombak Sakti sudah siap pula dengan tombak gagang panjang di­lintangkan di depan dada, demikian pula para tokoh pembantu Koksu yang lain telah pula siap dengan senjata masing-masing mengurung Kwi Hong.

“Bhong-koksu, harap jangan melukai­nya, apalagi membunuhnya,” kata Pange­ran Yauw sebelum mengundurkan diri dari ruangan luas itu.

“Ha-ha, jangan khawatir, Ong-ya. Akan hamba tangkap hidup-hidup untuk Paduka.”

Kemarahan hati Kwi Hong yang terdorong rasa penyesalan besar itu tidak dapat ditahannya lagi. Sambil mengeluar­kan seruan melengking tinggi nyaring, dara perkasa itu sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan dia telah mener­jang Bhong Ji Kun yang amat dibencinya.

Kakek ini cepat mengelak dan masih sempat berseru, “Ingat jangan bentur senjatanya!”

Memang sebelum terjadi pengeroyokan ini, Koksu telah mengatur terlebih dahulu siapa yang akan menghadapi dara ini, dan mereka semua telah diperingatkan untuk tidak mengadu senjata mereka dengan pedang Li-mo-kiam yang amat ampuh itu. Maka semua serangan Kwi Hong hanya dielakkan oleh yang diserangnya, sedangkan teman lain cepat turun tangan menerjang dara itu dari belakang sehing­ga yang diserang oleh Kwi Hong selalu tertolong, sebaliknya dara itu sendiri yang menghadapi serangan serentak dari belakang dan kanan kiri. Terjadilah per­tandingan mati-matian bagi Kwi Hong karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Yang mengepungnya berjumlah sepu­luh orang, dan sebagian besar dari mere­ka yang paling lihai semua memegang senjata panjang. Bhong Ji Kun dengan cambuk merahnya, Thian Tok Lama dengan tongkat pendetanya, Ciat Leng Souw dengan tombak panjangnya, Liong Khek dengan senjata pancingnya, Thai-lek-gu dengan sepasang golok, dan empat panglima lain yang bersenjata pedang. Hanya Gozan yang bertangan kosong, akan tetapi raksasa Mongol ini tidak ikut menerjang maju, hanya siap untuk turun tangan kalau keadaan mengijinkan untuk menangkap dara itu hidup-hidup seperti yang dikehendaki Pangeran Yauw Ki Ong tadi.

Giam Kwi Hong adalah murid Pende­kar Super Sakti, dan dia bahkan sudah digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin, tentu saja ilmu silatnya hebat. Apalagi di tangannya ada Li-mo-kiam yang ampuh, maka andaikata diadakan pertandingan satu lawan satu, kiranya hanya Bhong Ji Kun seoranglah yang akan mampu mengatasinya, sedangkan Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw kiranya akan menghadapi kesukaran hebat untuk dapat mengalahkan dara perkasa ini.

Akan tetapi, kini dia dikepung ketat oleh sepuluh orang, dan mereka itu ber­sikap hati-hati, tidak mau menangkis pedang Li-mo-kiam, melainkan selalu menyerangnya serentak dari belakang kalau dia menyerang seorang di antara mereka. Senjata mereka panjang dan ini masih ditambah oleh pukulan-pukulan sin-kang jarak jauh yang dilontarkan oleh Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama. Tentu saja Kwi Hong menjadi repot sekali, bahkan beberapa kali dia terhu­yung oleh angin pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang dilakukan oleh Thian Tok Lama. Pendeta Tibet ini memang terke­nal sekali dengan ilmu pukulannya ini, pukulan mujijat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh. Tangan kanannya berubah menjadi biru dan setiap kali dia melakukan pemukulan dengan dorongan telapak tangan, dari perutnya terdengar bunyi kok-kok seperti ayam betina habis bertelur, dan dari telapak tangannya menyambar uap hitam!

Yang amat merepotkan Kwi Hong adalah ujung pecut merah Bhong Ji Kun yang menyambar-nyambar dari atas, me­ledak-ledak dan mengancamnya dengan totokan-totokan maut. Namun, Kwi Hong tidak menjadi jerih dan sudah mengambil keputusan untuk bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa. Karena dia maklum bahwa di antara mereka semua, yang paling lihai adalah Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama, maka kedua kakek inilah yang menjadi sasaran utama dari sinar pedangnya.

Dengan gerakan yang amat cepat disertai bentakan nyaring, pedang Li-mo-kiam yang berubah menjadi sinar kilat itu menyambar ke atas lalu meluncur ke arah tenggorokan Thian Tok Lama yang cepat meloncat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang itu mengejar terus. Mata pendeta Tibet itu menjadi silau dan ter­paksa dengan kaget sekali dia menangkis dengan ujung tongkatnya. Sementara itu, Bhong Ji Kun melihat temannya teran­cam bahaya, sudah menggerakkan cambuknya dan ujung pecut ini menyambar ke arah jari-jari tangan kanan Kwi Hong yang menggenggam gagang pedang. Hal ini sudah dijaga oleh Kwi Hong, maka tanpa menghentikan serangannya kepada Thian Tok Lama, dia merobah kedudukan kaki sehingga tubuhnya membalik, tangan kirinya menyambar dan menangkap ujung pecut itu sambil mengerahkan tenaga menahan!

“Crokkk!” Ujang tongkat Thian Tok Lama terbabat patah sedikit dan sinar pedang Li-mo-kiam masih terus menyam­bar tenggorokannya. Pendeta itu berte­riak kaget, terpaksa membuang tubuhnya ke belakang dan bergulingan. Biarpun dia kaget setengah mati, dan ujung tongkat­nya patah, namun dia selamat.

Dengan tangan kiri masih memegang ujung pecut, Kwi Hong menggerakkan pedangnya, yang gagal mengenai Thian Tok Lama untuk menangkis datangnya senjata yang bertubi-tubi. Semua senjata cepat ditarik kembali karena takut ter­babat rusak, akan tetapi tali pancing itu di tangan Liong Khek Si Muka Pucat telah melibat pedang, sedangkan Ciat Leng Souw yang melihat pedang yang ditakuti itu sementara tak dapat dipergu­nakan karena terlibat tali pancing, cepat membabatkan tombaknya ke arah kedua kaki Kwi Hong!

Dara perkasa itu terkejut sekali. Ta­ngan kirinya masih memegang ujung cambuk Bhong Ji Kun dan pedangnya tertahan oleh tali pancing, kini kedua kakinya terancam bahaya diserampang oleh tombak. Maka dia lalu menggunakan tenaga pertahanan cambuk dan tali pan­cing, menggenjot tubuhnya dan meloncat ke atas sehingga sambaran tombak itu lewat di bawah kakinya. Akan tetapi pada saat itu, Gozan yang sejak tadi telah siap menanti saat baik, menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu dan besar itu telah merangkul tubuh Kwi Hong, meringkusnya dengan kekuatan seekor gajah! Sebelum Kwi Hong yang kaget sekali dapat melawan, Koksu telah menotok pundak kirinya se­dangkan gagang tombak Ciat Leng Souw telah mengetuk lututnya. Tubuh dara itu lemas dan dia tidak dapat bergerak lagi, tak dapat melawan ketika kaki tangannya dibelenggu dan dia diseret dan dilempar ke dalam sebuah kamar di istana itu, dipaksa rebah di atas pembaringan dan kaki tangannya dibelenggu pada kaki pembaringan!

Pangeran Yauw minta dengan sangat kepada Koksu agar Kwi Hong tidak di­ganggu, dan hal ini pun dipenuhi oleh Koksu yang melarang para pembantunya mengganggu tawanan itu. Dia masih menaruh harapan besar agar Kwi Hong dapat ditundukkan, karena hal ini akan menguntungkan mereka. Sebaliknya, kalau terpaksa gagal, mereka tentu akan di­musuhi oleh Pendekar Super Sakti dan hal ini tidak menguntungkan usaha pem­berontakan mereka. Karena inilah maka Koksu memerintahkan kepada para pem­bantunya yang melakukan penjagaan untuk mengirim makan minum kepada tawanan itu dan memperlakukannya baik-baik.

Akan tetapi, Kwi Hong sama sekali tidak mau makan, bahkan setiap kali ada yang memasuki kamar tahanan, dia me­maki-maki dan berusaha meronta. Wajah­nya menjadi pucat setelah selama dua hari dua malam dia tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur sama sekali. Mendengar laporan tentang dara itu, Pa­ngeran Yauw menjadi khawatir akan keselamatan Kwi Hong, maka dia meng­ambil keputusan untuk membujuk sendiri.

Demikianlah pada hari ke tiga, sete­lah menyuruh para penjaga menjauhkan diri agar tidak menyaksikan pertemuan itu, Pangeran Yauw seorang diri mema­suki kamar tahanan Kwi Hong. Begitu masuk, pangeran itu mengeluh dan ber­lutut di dekat pembaringan di mana Kwi Hong dibelenggu kaki tangannya.

 “Ahhh, betapa sakit hatiku melihat keadaanmu seperti ini, Nona. Mengapa engkau berkeras kepala? Kalau tidak aku yang minta-minta kepada mereka, tentu engkau telah dibunuh atau diperlakukan lebih mengerikan daripada kematian. Aku yang minta agar kau tidak diganggu dan dilayani sebaiknya, akan tetapi engkau tetap keras hati.”

“Cukup! Mau apa engkau datang ke sini? Mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati? Mendengarkan omonganmu yang beracun lebih mengerikan daripada meng­hadapi maut!”

“Aihh, Kwi Hong.... kenapa engkau besikap begini? Tidakkah engkau melihat bahwa semua kesabaran itu, semua ke­rendahan ini kulakukan karena aku cinta padamu? Karena aku tergila-gila kepada­mu? Engkau menurutlah menjadi isteriku, kelak engkau akan kuangkat menjadi permaisuri, dan....” Suara Pangeran Yauw menurun menjadi bisikan halus, “....sakit hatimu akan terbalas semua. Setelah aku berhasil dengan perjuanganku, aku akan menghukum mampus Bhong-koksu dan semua pembantunya itu, yang telah menghinamu.... kau mau bukan menjadi kekasihku, menjadi permaisuriku, sayang?”

“Cuhhh....!” Kwi Hong meludah dan tepat mengenai pipi kanan pangeran itu.

“Aduhhh....!” Pangeran itu terjengkang dan meraba pipinya yang terasa nyeri seperti dihantam benda keras. Matanya terbelalak penuh kemarahan, telunjuknya menuding ke arah muka Kwi Hong. “Pe­rempuan laknat! Berani engkau meludahi aku? Aku akan menyiksamu untuk peng­hinaan ini! Akan kusuruh semua orang memperkosamu di depan mataku, sampai engkau mampus....!”

Pangeran Yauw tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba sebuah ledakan terdengar dan sinar merah me­nyambar ke lehernya, tubuhnya terangkat ke atas dan ternyata dia telah tergan­tung di ujung cambuk yang dipegang oleh Koksu. Mata pangeran itu mendelik, kaki tangannya bergerak-gerak.

“Hemm.... engkau hendak membunuh kami kelak, ya? Pengkhianat tak tahu malu, tak mengenal budi!” Bhong Ji Kun melemparkan tubuh di ujung cambuk itu kepada Gozan yang bersama yang lain ikut pula masuk, lalu berkata, “Lempar­kan dia dalam keadaan telanjang bulat ke luar!”

Pangeran Yauw berteriak-teriak minta ampun dan melimpahkan janji-janji muluk namun Gozan mengangkatnya seperti seorang mengangkat anak kecil, memba­wanya keluar dari istana. Pangeran itu meronta-ronta, meratap-ratap, namun tidak ada yang suka atau berani meno­longnya. Dengan renggutan-renggutan tangannya yang kuat, Gozan menelan­jangi pangeran itu sehingga tidak ada secarik kain pun yang melindungi tubuh­nya ketika tubuh itu dilempar ke atas salju yang dingin. Pangeran itu berlutut, menyembah-nyembah minta ampun, akan tetapi setiap kali dia hendak lari ke istana mencari tempat berlindung dari hawa dingin, dia ditendang ke luar. Akhirnya suara ratapannya makin lemah dan tak lama kemudian dia sudah rebah meringkuk dengan tubuh beku kedinginan di atas tumpukan salju!

Dua orang pelayan wanita yang tadi­nya menjadi selir pangeran dan yang selalu dipandang dengan sinar mata penuh iri oleh anggauta rombongan yang lain, kini menjadi rebutan di antara para pem­bantu Bhong Ji Kun, kecuali Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw yang telah tua dan satu-satunya nafsu keinginan mereka hanyalah mengejar kedudukan dan kemuliaan. Atas perintah Bhong Ji Kun, dua orang pelayan muda itu harus me­nyerahkan diri kepada Liong Khek Si Muka Pucat dan Gozan raksasa Mongol!

Memang patut dikasihani seorang ma­nusia yang hidupnya dikuasai nafsu-nafsu keinginan seperti Pangeran Yauw Ki Ong. Dia sebagai seorang mahluk manusia de­ngan penghidupannya sama sekali tidak ada artinya, tidak penting lagi karena yang terpenting hanyalah pengejaran segala keinginannya itulah. Ketika tergila-gila kepada Kwi Hong, agaknya pange­ran yang entah sudah berapa ratus kali berganti selir-selir baru itu, bersedia untuk bersumpah bahwa dia mencinta Kwi Hong. Akan tetapi kenyataannya, begitu Kwi Hong menolak cintanya, pe­rasaannya yang disebut cinta itu beru­bahlah menjadi benci yang hebat! Cinta macam itu sungguh tidak ada harganya! Cinta yang begitu mudah merobah diri menjadi benci, hanyalah nafsu berahi, yang nilainya sama rendah dengan benci. Namun, betapa banyaknya orang yang masih belum sadar akan hal ini, meng­anggap dengan penuh keyakinan bahwa perasaan seperti itu adalah cinta! Bahkan cinta suci katanya! Ada yang kalau cintanya ditolak berubah benci. Ada pula yang cintanya ditolak lalu membunuh diri. Ini lebih gila lagi, karena apa yang di sebutnya hanya sama nilainya dengan kegilaan, karena hanya orang yang tidak waras otaknya sajalah yang akan melaku­kan bunuh diri! Bagi mereka yang masih belum sadar ini, cinta mereka sama dengan benci, atau cinta mereka sama dengan gila!

Juga Pangeran Yauw Ki Ong selama hidupnya didorong untuk selalu memper­oleh yang diinginkan. Tidak tahu dia bah­wa nafsu memperoleh ini ujungnya adalah kebosanan. Nafsu memperoleh ini pada awalnya menimbulkan gairah namun pada akhirnya, setelah yang diinginkannya itu diperoleh, berubahlah gairah menjadi kebosanan, dan timbullah pula nafsu mem­peroleh hal atau benda lain lagi. Dengan demikian dia terseret dalam lingkungan setan yang tiada berkeputusan, hidupnya seperti mahluk penasaran yang selalu mengejar-ngejar nafsu yang dibuatnya sendiri. Tidak menyedihkankah hidup se­perti itu, menjadi boneka permainan naf­su keinginan?

Bhong Ji Kun tidak hanya marah kepada Pangeran Yauw Ki Ong yang mengkhianatinya, akan tetapi juga dia marah kepada Kwi Hong yang terang-terangan sampai mati pun tidak akan suka menuruti kehendaknya, yaitu menyerahkan pusaka Istana Pulau Es. Kekece­waan hatinya menimbulkan kemarahan yang membuat dia makin kejam dan ganas, merencanakan hukuman dan siksa­an yang dianggapnya paling keji dan he­bat bagi Kwi Hong.

“Engkau tetap keras kepala, ya? Baiklah ingin kulihat apakah engkau cu­kup keras untuk tidak minta ampun seperti Pangeran Yauw Si Keparat tadi! Dua orang selirnya masih jauh lebih ter­hormat nasibnya daripada perempuan keras kepala macam engkau! Setidaknya mereka menjadi milik pribadi dua orang pembantuku yang berkedudukan tinggi! Akan tetapi engkau! Hemmm, biarpun engkau seorang yang masih perawan, akan tetapi engkau akan kuserahkan kepada para bujang, tukang kuda dan pelayan. Engkau akan menjadi milik me­reka secara bergiliran! Dan siapa yang dapat membuat engkau mengeluh dan menangis akan kuberi hadiah! Ha-ha-ha, ingin sekali aku mendengar teriakanmu seperti yang dilakukan pangeran gila tadi!”

Para bujang yang jumlahnya ada de­lapan orang itu tentu saja menyeringai gembira, biarpun hati mereka merasa agak gentar juga. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu kepandai­an tinggi, akan tetapi, menghambakan diri kepada seorang majikan macam Bhong Ji Kun, tentu saja membuat watak mereka pun tak dapat dikata baik. Sete­lah mendengar keputusan Koksu yang menghadiahkan gadis tawanan itu kepada mereka, dimulai malam nanti, beramai-ramai delapan orang itu sibuk menjadikan Kwi Hong semacam hadiah undian untuk menarik giliran masing-masing!

Kwi Hong yang masih rebah telentang di atas pembaringan, tak dapat melaku­kan sesuatu ketika Bhong Ji Kun meno­tok dua jalan darah di punggungnya yang membuat kaki dan tangannya lemas dan setengah lumpuh. Dia dapat bergerak, akan tetapi tidak mampu mengerahkan tenaga sin-kangnya. Setelah ikatan kaki dan tangannya dilepaskan, dia segera me­loncat. Akan tetapi dia terbanting roboh lagi di atas pembaringan karena selain kedua kaki dan tangannya lemas juga tubuhnya lemah akibat kurang makan, kurang minum, dan kurang tidur. Bhong Ji Kun tertawa bergelak lalu meninggal­kan kamar tahanan itu.

Kwi Hong rebah miring. Dia maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Maklum bahwa mengandalkan tenaganya, tidak mungkin dia menghindarkan diri dari malapetaka. Tanpa dapat mengge­rakkan kaki tangan secara leluasa, tanpa dapat mengerahkan sin-kang, apa dayanya. Kehormatannya terancam dan dia tidak mampu mempertahankan kehormatannya dengan ilmu silat dan tenaga. Akan ha­biskah dia? Tidak adakah harapan lagi baginya? Dan pada saat itu, terbayanglah wajah Gak Bun Beng. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pelupuk mata­nya. Dia mencinta Bun Beng, dan biarpun hanya menjadi rahasia hatinya sendiri, sering kali dia bermimpi berjumpa dengan pemuda itu yang dalam mimpinya juga mencintanya. Beberapa kali dia mimpi bercumbu dengan pemuda itu, bahkan mimpi menjadi isteri pemuda itu. Betapa bahagianya! Akan tetapi semua itu hanya mimpi, dan sekarang dia berada di tepi jurang kehancuran, terancam malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut sendiri dikorbankan oleh Bhong Ji Kun untuk diperkosa secara bergiliran oleh para bujang tanpa dia dapat memperta­hankan diri sama sekali.

“Bun Beng.... ah, Bun Beng...., di mana engkau....?” Kwi Hong mengeluh dan air matanya bercucuran. Apakah dia harus minta ampun kepada Bhong Ji Kun? Akan tetapi tidak mungkin. Hal itu hanya akan menimbulkan bahan penghinaan dari para musuhnya itu, karena dia benar-benar tidak tahu di mana pamannya menyimpan kitab-kitab pusaka Istana Pulau Es. An­daikata dia tahu sekalipun, dia tidak percaya bahwa dengan memberikan kitab-kitab itu dia akan terbebas dari kematian. Orang-orang seperti Bhong Ji Kun dan kaki tangannya sama sekali tidak dapat dipercaya dan mereka itu baru bersikap baik kalau mempunyai maksud tertentu demi keuntungan mereka sendiri. Bukti­nya, Pangeran Yauw sudah merencanakan pembunuhan mereka, dan begitu hal ini diketahui Bhong Ji Kun, dengan kejam pangeran itu dibunuh tanpa ampun lagi. Dia, sebagai murid dan keponakan Pende­kar Super Sakti, musuh besar mereka, mana mungkin bisa mendapatkan ampun? Betapa bodohnya dia! Mudah saja ditipu oleh Bhong Ji Kun!

Malam tiba. Hal ini diketahui Kwi Hong dari lenyapnya sinar matahari yang makin menyuram melalui lubang angin di bawah genting kamar tahanan dan terganti sinar penerangan dari ruangan samping. Cuaca menjadi remang-remang dan jantung Kwi Hong berdebar. Bahaya mulai datang mendekat dan dia mencari akal bagaimana untuk dapat memperta­hankan diri. Yang akan muncul tentulah seorang di antara pelayan yang sebagian besar sudah tua dan lemah. Biarpun dia tidak dapat mengerahkan sin-kang, dan tubuhnya lemas, akan tetapi dia masih menguasai ilmu silat. Dia akan menggu­nakan sedikit tenaga yang ada untuk merobohkan, kalau bisa membunuh setiap orang laki-laki yang berani menjamahnya! Dia tahu caranya. Dengan tendangan perlahan mengenai alat kelaminnya, de­ngan tusukan jari tangan mengenai mata­nya, dua serangan ini saja, betapa pun lemahnya, cukup membuat pengganggunya tak berdaya. Timbul kembali harapannya untuk lolos dari ancaman bahaya ini. Untung bahwa kebencian Bhong Ji Kun kepadanya amat besar sehingga saking inginnya menghinanya sampai serendah-rendahnya, dia tidak diberikan kepada para pembantunya yang memiliki kepandaian tinggi, meiainkan kepada para bujang untuk diperkosa secara bergilir. Kalau dia diberikan kepada seorang se­perti Thai-lek-gu atau Gozan, tentu akan habis harapannya, karena dalam keadaan­nya seperti ini takkan mungkin dia mela­wan seorang di antara mereka. Dia ber­gidik! Membayangkan betapa dia diper­mainkan seorang laki-laki seperti Gozan, raksasa Mongol yang tubuhnya berbulu-bulu sampai ke jari tangan dan lehernya itu!

“Gerriiittt....!” Pintu kamar tahanan terbuka dari luar, bayangan seorang laki-laki agak bongkok memasuki kamar, membalik dan menutupkan kembali daun pintu.

Dengan gerakan otomatis Kwi Hong meloncat dari keadaan berbaring. Dia lu­pa diri maka loncatan itu membuat tubuhnya terbanting lagi ke atas pembaringan. Dia menahan keluhan dan terpaksa bangkit duduk di atas pembaringan dengan mata terbelalak memandang laki-laki itu yang kini sudah membalikkan tubuh lagi menghadapinya sambil menyeringai. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar akan tetapi agak bongkok dan kurus, mukanya penuh brewok yang sudah bercampur uban, usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya tidak karuan dan sepasang matanya bergerak liar, mulutnya menyeringai aneh, Si Gila! Kwi Hong pernah melihat seorang di antara pengu­rus kuda yang keadaannya menyedihkan ini dan oleh teman-teman pelayan lain dia disebut Si Gila. Aihh, benar-benar Bhong Ji Kun ingin merendahkannya sampai yang paling hina sehingga untuk malam pertama itu dia diserahkan kepada pelayan paling mengerikan dan menjijik­kan!

“Heh-heh-heh, ini namanya hukum karma....!” Si Gila itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Kwi Hong, tangan kirinya memegang sebatang tabung bam­bu. Ketika bicara, air ludahnya muncrat-muncrat.

Saking jijiknya, Kwi Hong segera tu­run tangan. Dia turun dari pembaringan, dan menahan napas mengumpulkan semua tenaga yang ada, kemudian melakukan serangan dengan, jari-jari tangan kiri menusuk ke arah mata Si Gila itu, disu­sul gerakan kaki kanannya menendang ke bawah pusar. Biarpun serangannya itu tidak mengandung tenaga sin-kang, dan tidak lebih hanya mengandung tenaga se­orang wanita yang hampir kelaparan, namun kalau mengenai sasaran, mata dan anggauta kelamin, agaknya cukup mem­buat Si Gila itu terjungkal!

“Ehhh....?” Si Gila berseru dan tubuhnya bergerak cepat di luar dugaan Kwi Hong. Tusukan mata dapat dielakkan, tendangan dapat ditangkis dan tubuh Kwi Hong didorong kembali jatuh ke atas pembaringan dalam keadaan telentang! Celaka, pikirnya. Kiranya Si Gila ini bukanlah orang yang lemah. Bahkan ge­rakan-gerakannya tadi jelas membayang­kan gerakan silat yang cukup baik! Habislah harapan Kwi Hong dan dia mu­lai ketakutan ketika Si Gila mencelat dan duduk di pinggir pembaringan sambil terkekeh-kekeh.

“Hukum karma atau bukan.... heh-heh.... aku tidak rela engkau dipermainkan orang. Lebih baik kau mati daripada diperkosa mereka secara bergilir.” Si Gila itu lalu membuka tutup tabung bambu. “Bocah bodoh, kenapa engkau tidak mem­bunuh diri saja....? Apa.... apa engkau memang suka untuk diperkosa secara bergilir oleh mereka?”

Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Orang ini bicaranya tidak karuan, jelas bahwa otaknya miring, akan tetapi isi kata-katanya benar-benar mem­buat dia berdebar. “Apa.... apa maksud­mu....?”

 “Biarpun ibumu diperkosa, akan tetapi pemerkosanya bertanggung ja­wab dan memang mencinta ibumu. Sedangkan mereka yang hendak memperkosamu secara bergiliran hanya ingin mempermain­kanmu, ingin memakaimu seperti orang memakai pakaian yang kalau sudah butut dan rusak dicampakkan begitu saja dan tidak ditoleh lagi!”

“Apa.... apa maksudmu dengan Ibu....?”

“Heh-heh! Ibumu masih perawan tulen ketika diperkosa, seperti engkau.... heh-heh, akan tetapi pemerkosanya bertang­gung jawab, ibumu dijadikan isterinya.... dan engkau terlahir. Biarpun ibumu diperkosa, aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Heh-heh, biarpun aku memperkosa ibumu, aku cinta padanya.... dan aku yang membunuhnya.... heh-heh, akan tetapi.... aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Lebih baik kau mati!”

Si Gila itu menggerakkan tabung bambu dan keluarlah seekor ular merah. Karena disentakkan keluar, ular itu tiba di leher Kwi Hong, akan tetapi begitu dia menyentuh leher Kwi Hong, dipan­dang oleh Si Gila yang terkekeh-kekeh, tiba-tiba ular itu menyambar membalik dan menggigit lengan Si Gila.

“Auggghhh....!” Si Gila memekik dan roboh di atas lantai. “Kwi Hong.... lebih baik kau mati daripada diperkosa.... ahh....” Si Gila itu masih sempat berkata kemu­dian tubuhnya berkelojotan dan ular me­rah ikut bergerak-gerak di lengannya.

Kwi Hong bangkit berdiri, terbelalak dengan muka pucat memandang wajah Si Gila yang berkelojotan itu. Kini ter­ingatlah dia.

“Ayaaahhhh....!” Ia menubruk. Tentu saja! Tentu saja orang ini ayahnya! Dan tentu ayahnya ini pula yang dahulu mem­peringatkannya tentang arak beracun di taman yang disuguhkan Pangeran Yauw. Ayahnya telah menjadi gila, atau berpura-pura gila? Bagaimana mungkin dia mengenal ayahnya, yang ditinggal pergi bersama pamannya ketika dia masih kecil? Apalagi ayahnya yang dahulunya seorang perwira tinggi itu kini telah menjadi tukang kuda yang gila dan pa­kaiannya tidak karuan. Bagaimana dia dapat mengenalnya? Betapapun juga, sampai saat terakhir ayahnya dengan cara gilanya masih berusaha menyelamat­kannya dari perkosaan dan penghinaan, yaitu dengan cara membunuhnya. Tentu ayahnya tidak tahu bahwa di dalam tu­buhnya telah mengalir obat penolak ular merah sehingga begitu mencium kulit lehernya, ular itu menjadi takut dan membalik menggigit Si Gila sendiri! Entah bagaimana ayahnya dapat menang­kap ular dalam tabung itu.

“Ayah....!” Akan tetapi Kwi Hong maklum bahwa ayahnya telah mati. Ra­cun gigitan ular merah memang amat hebat. Bagi yang lemah berakibat kema­tian, bagi yang kuat sekalipun akan mendatangkan pengaruh mujijat, ada yang menjadi terangsang nafsu berahinya, ada pula yang menjadi gila!

Melihat ayahnya, biarpun gila dan menjijikkan akan tetapi tetap ayah kan­dungnya, menggeletak tak bernyawa lagi dan kini wajahnya yang tadi diselubungi kegilaan tampak tenang dan makin jelas persamaannya dengan wajah ayahnya da­hulu, Kwi Hong menjadi marah. Dipegangnya ular itu, ditariknya terlepas dari le­ngan ayahnya, dan akan dibantingnya. Akan tetapi dia teringat dan tiba-tiba wajahnya berseri biarpun air matanya bercucuran ketika dia memandang ayah­nya.

“Ayah, beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Usaha pertolongan Ayah tidak sia-sia, anak berterima kasih, Ayah.” Dia lalu menggerakkan sisa tenaganya, meng­gurat-guratkan tubuh ular pada batu din­ding yang agak kasar sehingga kulit itu pecah terluka dan berdarah. Ular itu sama sekali tidak berani melawan, dan setelah dilepaskan di atas lantai dekat mayat Giam Cu, bekas perwira ayah Kwi Hong yang telah menjadi gila itu, ular berkelojotan dan darah mengucur dari luka-lukanya. Kwi Hong maklum bahwa darah ular merah yang keluar dari seekor ular merah yang masih hidup mempunyai bau yang mengandung daya mengundang ular-ular merah lain.

Telah dituturkan di bagian depan ce­rita ini betapa Giam Cu, panglima tinggi besar brewok yang diwaktu bala tentara Mancu menyerbu ke selatan telah mem­perkosa Sie Leng, gadis enci (kakak pe­rempuan) Pendekar Super Sakti, akan tetapi lalu menculik gadis itu dan menjadikannya sebagai isterinya (baca ceritaPendekar Super Sakti). Dalam pernikahan ini Sie Leng mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Giam Kwi Hong. Keti­ka Pendekar Super Sakti dituduh melari­kan Puteri Nirahai, dalam kekhawatiran­nya tersangkut karena isterinya adalah enci Suma Han, Giam Cu lalu membunuh isterinya sendiri. Perbuatannya ini mem­buat dia menyesal bukan main karena dia memang mencinta isterinya maka setelah Kwi Hong dilarikan Suma Han, perwira tinggi ini menjadi gila! Tentu saja dia tidak dapat menduduki pangkatnya lagi, dan akhirnya orang tidak tahu ke mana dia pergi. Kiranya, setelah gila dan terlantar, tidak ada orang yang mengenalnya lagi, diam-diam bekas per­wira yang gila ini bekerja sebagai tukang kuda di istana Koksu!

Melihat mayat ayahnya, Kwi Hong merasa terharu. Dia mengangkat mayat itu ke atas pembaringan, pekerjaan yang amat sukar bagi tenaganya yang masih lemas itu, kemudian dia duduk bersila, mengumpulkan hawa Swat-im Sin-kang yang dilatihnya sejak kecil, perlahan-la­han dia berusaha memulihkan tenaganya dan membuyarkan pengaruh totokan sambil menanti hasil usahanya memanggil ular-ular dengan darah ular merah tadi.

Betapa girangnya ketika hidungnya mencium bau wangi-wangi yang aneh namun tidak asing baginya, dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan tampaklah ular-ular merah merayap-rayap datang dari segala penjuru, memasuki kamar tahanan itu! Kegirangan Kwi Hong bukan hanya kare­na ular-ular itu dapat melindunginya sehingga orang-orang hendak menggang­gunya tidak berani mendekat, akan teta­pi juga hawa beracun dari ular-ular merah itu mempunyai daya yang mujijat. Hal ini adalah penemuan pamannya dan dia pernah disuruh berlatih sin-kang di antara ular-ular merah ini dan hawa yang bagi orang lain mengandung racun berba­haya itu, baginya adalah memperlancar latihannya. Karena itu, kini dengan ban­tuan hawa beracun, dia makin tekun me­lancarkan jalan darahnya dan menghimpun tenaga sin-kang untuk memulihkan tena­ganya. Dia tetap duduk bersila di lantai, membiarkan pembaringannya ditempati mayat ayahnya. Kalau dia teringat masa lalu, dia terbayang di depan matanya betapa ibu kandungnya dibunuh ayahnya ini, ditusuk dadanya sampai tembus de­ngan pedang, maka ingatan itu membuat dia tidak dapat berduka oleh kematian ayahnya. Namun, melihat betapa setelah tersiksa dan hidup seperti orang gila, namun pada saat-saat terakhir masih berusaha melindungi anaknya, hatinya merasa terharu juga.

“Ular....! Ular....!”

Jeritan-jeritan itu terdengar dari mu­lut para penjaga ketika mereka melihat ular-ular merah, apalagi ketika mereka mengejar ular-ular itu ke kamar tahanan, melihat gadis tawanan itu duduk bersila di atas lantai tengah kamar, dikelilingi ular merah ratusan banyaknya, dan tubuh Si Gila yang menjadi mayat menggeletak di atas pembaringan.

Tak lama kemudian Koksu dan teman-temannya datang. Mereka berada di luar kamar memandang dengan mata terbela­lak.

“Mundur semua! Ular-ular itu bera­cun!” bekas Koksu Bhong Ji Kun berte­riak dan semua orang cepat mundur karena bau harum bercampur amis itu pun membuat mereka muak dan tidak tahan.

Tentu saja kecewa sekali hati Kwi Hong. Tenaganya belum pulih, dan dia sudah ketahuan. Kalau Bhong Ji Kun turun tangan, tentu dia tidak mampu membela diri. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan tersenyum dan menggertak,

“Siapa berani mendekati aku, tentu akan mampus! Bhong Ji Kun, aku ingin sekali melihat apakah engkau berani me­masuki kamar tahanan ini!”

Bhong Ji Kun menggeget giginya. “Perempuan siluman! Lekas kauenyahkan semua ular itu, kalau tidak, kamar ini akan kubakar sampai engkau dan ular-ularmu mati hangus!”

Tentu saja ancaman membunuhnya dengan cara apapun juga tidak menda­tangkan rasa takut di hati Kwi Hong. Dia memang sudah berada di ambang maut, peduli apa dengan segala gertakan? Akan tetapi dia tidak ingin melihat ular-ular itu ikut pula mati terbakar, dan pula, selama masih ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyela­matkan diri. Kalau sudah tidak ada jalan lain, dalam menghadapi penghinaan, kini dia menemukan cara yang paling tepat, seperti yang dikatakan oleh ayah kan­dungnya tadi, yaitu membunuh diri! Ta­kut apa lagi? Ia tersenyum.

 “Bhong Ji Kun, engkau menyuruh aku mengusir ular-ular ini, kalau mereka sudah pergi, engkau akan senang melihat aku diganggu orang-orangmu, bukan? Benar-benar engkau seorang yang amat baik hati. Baiklah, aku akan mengusir ular-ularku. Buka pintu kamar ini agar lebih cepat mereka pergi.”

Bhong Ji Kun sendiri melangkah maju membukakan pintu, sedangkan para pem­bantunya berdiri di belakangnya dengan muka membayangkan kengerian. Mereka sungguh merasa heran mengapa gadis tawanan itu dapat mengumpulkan ular beracun sekian banyaknya dan sama sekali tidak terganggu! Benar-benar seorang gadis yang amat lihai dan tak boleh dipandang rendah.

Kwi Hong mengeluarkan bunyi dengan lidahnya untuk membangkitkan perhatian ular-ular itu, mengambil ular yang terlu­ka dan masih berkelojotan, kemudian tiba-tiba dia melempar ular terluka itu ke arah Bhong Ji Kun sambil membentak,

“Makanlah ini!”

Bhong Ji Kun cepat mengelak, lalu meloncat jauh ke pinggir. Di belakangnya terdengar orang berseru kaget dan ular yang terluka itu ternyata mengenai dada­nya, dan.... semua ular merah yang ber­ada di dalam kamar itu menyerbu keluar dan langsung menyerang Panglima Man­cu yang terkena ular terluka tadi, tubuh­nya penuh dengan ular merah yang lang­sung menggigit. Panglima itu memekik nyaring mengerikan dan roboh berkelojot­an terus tewas seketika!

Bhong Ji Kun sudah meloncat ke da­lam kamar tahanan yang sudah tidak ada ularnya. Kwi Hong meloncat bangun, namun tubuhnya masih belum pulih, masih lemah maka dalam beberapa ge­brakan saja dia telah roboh oleh Bhong Ji Kun yang lihai.

“Gunakan api, usir ular-ular itu!” Bhong Ji Kun berteriak marah. Para pembantunya segera menggunakan api dan benar saja, ular-ular itu segera melarikan diri keluar dari tempat itu. Seperti bina­tang-binatang apa saja di dunia ini, ular-ular itu pun takut sekali akan api yang amat panas itu.

“Bhong-koksu, bunuh saja gadis itu!” Thian Tok Lama berkata dan ucapan ini dibenarkan semua pembantu Bhong Ji Kun. Setelah menyaksikan betapa dalam keadaan lemah saja gadis itu telah ber­hasil mengakibatkan kematian seorang bujang dan seorang panglima, mereka menjadi gentar dan akan selalu cemas sebelum gadis yang berbahaya itu dibunuh.

“Dia sudah kutotok dan takkan dapat bergerak selama semalam suntuk. Me­mang mudah membunuhnya. Akan tetapi kalau dipikir lagi, apa gunanya membu­nuhnya? Kurasa, kalau dia hidup dia lebih berguna daripada kalau dia mati. Siapa tahu gunanya kelak. Biarlah besok kita rundingkan lagi, pendeknya dia harus selalu dijaga ketat agar tidak mendapat kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lagi.”

Keputusan Bhong Ji Kun ini membuat Kwi Hong hampir kehilangan akal dan kehabisan harapan karena selain tertotok, dia pun dibelenggu kaki tangannya, di­lempar ke atas pembaringan dalam kamar tahanan itu, pintunya dipalang dari luar dan di luar pintu selalu ada dua orang pembantu Bhong Ji Kun yang berdiri menjaga dengan bergilir! Andaika­ta dia dapat membebaskan totokan, dia harus membebaskan belenggu, dan masih harus berhadapan dengan dua orang pen­jaga yang berilmu tinggi dan yang tentu akan memanggil datangnya Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang lain! Akan tetapi, kenyataan bahwa dia belum di­bunuh oleh Bhong Ji Kun menimbulkan harapan baru. Hal itu hanya berarti bah­wa bekas Koksu itu masih ingin melihat dia hidup, dan selama masih ada harapan untuk hidup, dia tidak akan putus asa dan tidak akan membunuh diri seperti yang dianjurkan ayah kandungnya. Me­mang amat mudah membunuh diri, tidak memerlukan tenaga dan biarpun dia dibelenggu seperti itu, masih amat mudah membunuh diri. Bagi seorang yang terla­tih seperti dia, menahan napas dan de­ngan paksa menghentikannya sudah cukup untuk membuat nyawanya melayang, atau lebih sederhana lagi, menggigit lidahnya sendiri sampai putus!

Gadis yang keras hati dan tahan uji ini sama sekali tidak tahu bahwa pada keesokan harinya terjadi perubahan yang amat besar, terjadi peristiwa hebat seka­li di Pulau Es. Peristiwa itu dimulai de­ngan munculnya Majikan Pulau Es sendi­ri, Suma Han Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang datang berperahu bersama dua orang wanita sakti, Nirahai dan Lulu, atau kedua orang isterinya yang bersama dia akan memulai hidup baru di pulau itu!

Ketika pagi hari itu Suma Han tiba di Pulau Es dan melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di pantai, pendekar ini mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang isterinya. “Agaknya kita telah didahului tamu-tamu tidak diundang. Jarang ada orang luar berani mendatangi Pulau Es. Nirahai dan Lulu, kita sudah saling berjanji tidak akan mencari urusan di luar, karena aku tahu bahwa kalian masih mempunyai kekerasan hati, maka apa pun yang terjadi nanti, kuharap kalian tinggal diam dan menon­ton saja. Biarlah aku sendiri yang akan menanggulanginya.”

Nirahai dan Lulu saling pandang, ter­senyum dan keduanya mengangguk. Telah terjadi perubahan besar atas diri pria ini, pria berkaki buntung yang mereka cinta dan junjung tinggi. Kalau dahulu Suma Han merupakan seorang pendekar sakti yang berhati lemah, kini mulai tampak kejantanannya, dan pertama-tama kejantanannya itu diperlihatkan dengan menguasai kedua orang isterinya!

Setelah menarik perahu kecil mereka di pantai yang dangkal, ketiganya me­lompat turun ke darat dan berdiri tegak dengan sikap tenang, memandang Bhong Ji Kun yang sudah diberi kabar oleh anak buahnya dan kini berlarian datang me­nyambut bersama seluruh pembantunya, dengan senjata siap di tangan masing-masing. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan berdebar penuh kegeli­sahan hati Bhong Ji Kun ketika melihat bahwa yang datang bukan hanya Pende­kar Super Sakti seorang, melainkan dite­mani oleh Puteri Nirahai bekas Ketua Thian-liong-pang dan Lulu bekas Majikan Pulau Neraka! Baru Pendekar Super Sakti seorang saja sudah merupakan seorang lawan yang amat menakutkan dan amat berat dilawan, apalagi masih ada dua orang wanita sakti itu!

Dengan sikap tenang Suma Han, Nira­hai, dan Lulu berdiri di pantai. Hanya mata mereka yang bergerak, melirik ke arah Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang datang dari kanan kiri. Diam-diam Suma Han merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa yang boleh dicatat sebagai lawan tangguh hanyalah Bhong Ji Kun sendiri, Thian Tok Lama, dan agak­nya orang yang memegang tombak ga­gang panjang itu. Dia merasa sanggup untuk mengatasi mereka. Akan tetapi dia merasa curiga melihat sikap Bhong Ji Kun yang kelihatannya sama sekali tidak takut kepadanya, padahal dia datang bersama Nirahai dan Lulu, sendiri saja sudah cukup untuk menandingi Bhong Ji Kun! Akan tetapi kakek itu begitu berani menyambutriya dengan sikap seolah-olah keadaannya lebih kuat. Tentu ada apa-apanya ini!

“Aha, Pendekar Super Sakti, engkau baru datang? Sudah lama kami mengha­rapkan kedatanganmu!” kata Bhong Ji Kun sambil menekan debar jantungnya.

“Hemm, mengunjungi tempat orang tanpa ijin, dan selagi tempat itu diting­galkan penghuninya. Hanya orang seperti engkaulah yang tidak malu melakukan kedua hal itu, Im-kan Seng-jin,” kata Suma Han dengan suara halus namun nadanya cukup membuat para pembantu Bhong Ji Kun merasa serem. Di antara mereka semua, hanya Ciat Leng Souw seorang yang belum pernah bertemu de­ngan Suma Han, hanya mendengar nama julukannya saja. Kini, melihat bahwa orang yang disohorkan sebagai dewa atau siluman itu, ternyata hanyalah seorang yang wajahnya masih muda dan tampan, rambutnya putih semua, dan sebuah kaki­nya buntung, senjatanya hanya sebatang tongkat butut. Apanya sih yang perlu ditakuti?

Berubah wajah Bhong Ji Kun mende­ngar ucapan itu. “Harap To-cu (Majikan Pulau) tidak salah paham, karena sesungguhnya kedatangan kami ke sini bukan sebagai tamu tidak diundang.”

“Tidak sebagai tamu, melainkan seba­gai pelarian-pelarian perang yang sudah hancur kekuatannya!” Nirahai tak dapat menahan hatinya dan berkata nyaring, akan tetapi tidak melanjutkan karena Lulu menyentuh tangannya, membuat dia teringat akan larangan suaminya!

Bhong Ji Kun menjura ke arah Nira­hai dan Lulu. “Pelarian sementara! Kare­na itulah, maka kami bergembira sekali kini berhadapan dengan Pendekar Super Sakti dan dengan Ji-wi Lihiap (Kedua Wanita Pendekar) yang berilmu tinggi, karena kami yakin bahwa dengan kerja sama antara kami dengan Sam-wi (Anda Bertiga), kekalahan kami akan tertebus dan akhirnya perjuangan kami akan ber­hasil.”

“Apa? Mengajak kami bekerja sa­ma....?” Nirahai kembali berseru saking herannya.

“Aihh, dia sudah gila!” Lulu juga ti­dak dapat menahan untuk berseru heran.

Siapa orangnya tidak akan heran. Dia dan Nirahailah yang memimpin pasukan pe­merintah menghancurkan pemberontak ini, dan sekarang bekas Koksu pemberon­tak itu mengajak mereka untuk bekerja sama memberontak. Hanya orang gila saja yang mengajukan usul demikian.

Akan tetapi Suma Han berpikir lain. Sejak tadi dia sudah curiga menyaksikan sikap Koksu Bhong Ji Kun yang membe­rontak itu sama sekali tidak gentar bahkan kelihatan terlalu berani. Sekarang dengan pertanyaannya itu, yaitu mengu­sulkan kerja sama, bahkan bukan mengusulkan, karena kata-katanya itu seperti menentukan, makin jelas bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat bekas Koksu ini yakin akan kemenangannya!

“Im-kan Seng-jin, apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan suka bekerja sama denganmu? Tidak per­lu bersikap rahasia, katakanlah saja!” Suma Han berkata sambil memandang tajam. Akan tetapi, teringat akan nasihat mendiang Maharya agar berhati-hati menghadapi Pendekar Siluman ini, teruta­ma jangan sekali-kali menentang pandang matanya, sejak tadi Bhong Ji Kun tidak pernah berani bertemu pandang dengan pendekar itu.

Bhong Ji Kun bertepuk tangan, isarat yang memang sudah diatur sebelumnya dan muncullah seorang Mongol raksasa mengempit tubuh Kwi Hong yang kaki tangannya terbelenggu wajahnya pucat dan pakaiannya compang-camping. Bukan main kagetnya Suma Han melihat ini, akan tetapi selain raksasa Mongol itu siap untuk memukul kepala Kwi Hong dengan tangannya yang besar dan kuat, juga Thai-lek-gu yang gendut telah me­loncat ke dekat Gozan dan menodongkan goloknya kepada gadis tawanannya itu! Tidak ada gunanya menggunakan kekeras­an untuk mencoba menolong keponakan­nya, pikir Suma Han. Dia tentu kalah cepat dan andaikata dia dapat membunuh semua orang itu, tentu Kwi Hong akan terbunuh lebih dulu.

“Ahh, Si Jahanam menawan Kwi Hong....!” Lulu berteriak.

Nirahai juga terkejut ketika mende­ngar bahwa murid atau keponakan suami­nya telah menjadi tawanan. Mengertilah dia kini mengapa bekas Koksu itu ber­sikap seberani itu. Kiranya sama sekali bukan gila, melainkan licin dan curang sekali! Melihat betapa Suma Han menggerakkan jari tangan ke arah mereka, maklumlah kedua orang wanita itu bahwa mereka dilarang untuk turun tangan. Dan memang mereka pun sudah cukup cerdik untuk tidak sembarangan turun tangan, karena hal ini berarti kematian bagi Kwi Hong.

“Kwi Hong! Bagaimana engkau bisa tertawan?” Suma Han menegur muridnya.

Air mata bercucuran dari kedua mata Kwi Hong dan suaranya berduka sekali ketika dia menjawab, “Harap Paman tidak mendengarkan permintaan iblis-iblis ini. Biarkan aku mati, Paman, memang sudah patut kalau aku harus mati. Aku telah ditipunya, aku telah bersekutu dengan pemberontak-pemberontak laknat ini, ka­rena menyangka bahwa pemerintah adalah musuh Paman. Setelah pemberontakan gagal, aku malah mengajak mereka menyembunyikan diri ke pulau ini. Akan tetapi, ternyata mereka adalah iblis-iblis yang jahat. Aku telah salah, dan aku rela mati. Harap Paman tidak mengorbankan apa-apa untukku!”

“Wah, dia benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa!” Bhong Ji Kun me­muji. “Akan tetapi kami masih sangsi apakah Pendekar Super Sakti yang terke­nal itu memiliki cukup kegagahan seperti muridnya untuk berkorban demi muridnya. Terserah pilihanmu, To-cu!”

“Jahanam busuk!” Nirahai membentak.

“Keparat hina!” Lulu juga memaki.

Akan tetapi Suma Han mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua orang wanita itu bersabar dan tidak turun ta­ngan. Kemudian dia menghadapi Bhong Ji Kun dan berkata,

“Bhong Ji Kun, engkau tentu mengerti dengan baik bahwa sampai mati sekalipun kami bertiga tidak mau melibatkan diri dalam pemberontakan yang kaupimpin itu. Permintaanmu sebagai pengganti kebebas­an keponakanku sungguh tidak masuk akal. Pikirlah baik-baik sebelum terpaksa kami membasmi kalian sebagai penukar nyawa murid dan keponakanku.”

Diam-diam Bhong Ji Kun mempertim­bangkan. Tidak dapat diragukan lagi, kalau Pendekar Super Sakti mengamuk dibantu dua orang wanita sakti yang en­tah bagaimana kini menjadi baik dengan Pendekar Super Sakti, tentu dia dan se­mua pembantunya ditukar hanya dengan nyawa gadis itu!

“Tentang kerja sama biarlah kita bicarakan kemudian,” kata Bhong Ji Kun yang cerdik itu. “Sekarang kuganti penu­karannya. Pertama kami mau membebas­kan muridmu asal engkau dan dua orang wanita itu tidak mengganggu kami.”

“Sudah tentu! Kalau engkau suka membebaskan Kwi Hong, kami pun tidak akan mengganggumu dan kalian boleh pergi dengan aman,” jawab Suma Han, jawaban yang membuat alis kedua orang wanita sakti itu berkerut. Mereka sama sekali tidak setuju kalau orang-orang macam Bhong Ji Kun dan teman-teman­nya itu dibiarkan pergi begitu saja! Akan tetapi keduanya tidak berani membantah!

Agaknya mereka pun sudah menarik pela­jaran dari pengalaman mereka setelah mereka menderita batin karena asmara gagal selama belasan tahun.

“Dan ke dua, engkau harus menyerah­kan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu yang tentu tadinya berada di Pulau Es kepada kami.”

“Kitab-kitab pusaka Pulau Es tidak berada padaku. Ketika pasukan yang kau­pimpin menyerbu ke sini, pusaka-pusaka itu telah dibawa oleh pembantuku.”

“Hemm, jangan kau main-main dengan nyawa muridmu, To-cu dan amat memalu­kan kalau seorang pendekar dengan kedu­dukan seperti engkau mengeluarkan kata-kata membohong.”

Sepasang mata Suma Han mengeluar­kan cahaya menyambar seperti kilat, membuat Bhong Ji Kun terkejut dan cepat menundukkan muka.

“Bhong Ji Kun, untuk kata-katamu itu saja, dalam lain keadaan sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk menghancur­kan mulutmu!”

Nada dalam suara Pendekar Super Sakti itu membuat wajah bekas Koksu itu menjadi pucat karena dia merasa be­tul betapa penuh wibawa dan bukan ancaman kosong saja kata-kata itu.

“Siapa yang bisa percaya bahwa seo­rang To-cu tidak menyimpan sendiri pusa­ka istananya?” Dia membela diri.

“Pusaka ada di sini....!” Tiba-tiba ter­dengar suara seorang wanita dan bayang­annya berkelebat datang. Kiranya orang ini adalah Phoa Ciok Lin yang datang membawa sebuah peti kayu cendana yang berukir indah. Melihat peti ini, Kwi Hong dengan suara tangisnya berkata,

“Bibi.... jangan.... jangan berikan kepada mereka....! Lebih baik aku mati daripada mengorbankan pusaka-pusaka itu....!”

Phoa Ciok Lin, wakil dalam Pulau Es, pembantu Suma Han yang usianya sebaya dengan kedua isteri pendekar itu, me­ngerling kepada Suma Han dan dua orang isterinya, tersenyum penuh syukur akan tetapi pandang matanya sayu penuh deri­ta batin, kemudian cepat menghampiri bekas Koksu dan berkata, “Im-kan Seng-jin, engkau membutuhkan pusaka Pulau Es? Inilah pusaka-pusaka itu, boleh kuse­rahkan kepadamu asal engkau membebas­kan Kwi Hong lebih dulu!”

Mata Bhong Ji Kun dan kawan-kawan­nya terbelalak penuh gairah memandang ke arah peti berwarna coklat itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun yang sudah biasa melakukan segala macam tipu muslihat, tentu saja menjadi seorang yang tidak mudah percaya dan selalu berprasangka buruk. Memang demikianlah, watak seseo­rang dibentuk oleh kebiasaan dan pengalamannya sendiri. Seorang pembohong akan selalu tidak percaya kepada kata-kata orang lain, seorang penipu akan selalu curiga terhadap semua orang.

“Suma To-cu, benarkah ini peti berisi pusaka Istana Pulau Es?” tanyanya sambil menoleh ke arah Suma Han.

Pendekar ini mengangguk dan suaranya dingin sekali ketika menjawab, “Dia ada­lah wakilku dan kepercayaanku yang membawa pusaka Istana Pulau Es.”

Makin berseri wajah Bhong Ji Kun. “Suma-tocu, aku mau menukar muridmu dengan pusaka-pusaka itu, akan tetapi berjanjilah bahwa engkau tidak akan menghalangi dan merampas kembali kalau peti berisi pusaka telah diserahkan ke­padaku.”

“Aku berjanji!”

“Paman, jangan! Lebih baik aku mati!”

“Diam kau!” Suma Han membentak dan Kwi Hong hanya terisak menangis.

“Im-kan Seng-jin, bebaskan Kwi Hong, baru akan kuserahkan kepadamu peti berisi pusaka ini!” kembali Phoa Ciok Lin mendesak, wajahnya yang cantik itu agak pucat.

Bhong Ji Kun tersenyum lega. Setelah mendapatkan janji Suma Han, siapa lagi yang dia takuti? Dia lalu memberi isya­rat dengan anggukan kepala kepada Gozan dan Thai-lek-gu. Dua orang ini lalu melepaskan belenggu kaki tangan Kwi Hong, lalu mendorong tubuh dara yang sudah lemas dan lemahitu ke arah Pendekar Super Sakti. Kwi Hong jatuh berlutut di depan kaki pamannya, menangis terisak-isak dan tidak berani meng­angkat muka. Suma Han sama sekali ti­dak mempedulikan dia, hanya memandang ke arah Phoa Ciok lin dengan alis ber­kerut dan hati menekan kegelisahan.

“Tawanan telah kubebaskan, berikan peti itu!” Bhong Ji Kun berkata sambil mengulur tangan hendak mengambil peti dari tangan Phoa Ciok Lin. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara ketawa aneh, petinya terlempar ke belakang, ke arah Suma Han, sedangkan dia sendiri seperti gila telah menubruk bekas Koksu itu dengan pukulan kedua tangannya, pukulan maut yang amat berbahaya.

“Ciok Lin, jangan....!” Suma Han ber­seru mencegah pembantunya.

Namun terlambat. Serangan Phoa Ciok Lin yang hebat itu membuat Bhong Ji Kun terkejut bukan main. Untuk menge­lak sudah tiada kesempatan lagi, maka dia hanya dapat menangkis pukulan ke arah pusarnya yang amat berbahaya dan terpaksa menerima tamparan pada dadanya.

“Desss....!”

Phoa Ciok Lin adalah murid nenek yang terkenal sebagai datuk kaum sesat, Toat-beng Ciu-sian-li, maka tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pembantu Pendekar Super Sakti dan memperdalam ilmunya selama bertahun-tahun di Pulau Es. Biarpun ten­tu saja dia masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan bekas Koksu yang sakti itu, namun pukulannya itu pun bukanlah pukulan ringan sehingga tubuh Koksu yang sakti itu sampai roboh terjengkang. Akan tetapi dia sendiri pun terhuyung ke kiri karena daya tolak tenaga sin-kang bekas Koksu yang lihai itu. Dan tampak sinar putih berkelebat disusul keluhan Phoa Ciok Lin yang roboh terguling, dadanya terluka oleh tombak di tangan Sin-jio Ciat Leng Souw yang menyerangnya de­ngan kecepatan kilat sehingga Suma Han sendiri sampai tercengang dan tidak mampu mencegahnya.

“Bibi....!” Kwi Hong menjerit dan meloncat menubruk Phoa Ciok Lin, meng­angkat tubuhnya dan membawanya ke pinggir.

Terdengar suara melengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuh Suma Han telah berada di depan Bhong Ji Kun yang sudah bangkit kembali. Setelah menyerah­kan peti pusaka dalam perlindungan Lulu dan Nirahai, Suma Han dengan marah kini menghadapi bekas Koksu dan para pembantunya.

“Bhong Ji Kun!” Suaranya terdengar tegas dan penuh wibawa sehingga bekas Koksu itu dan para pembantunya meman­dang dengan hati gentar, akan tetapi juga dengan kesiapsiagaan para jagoan yang tahu bahwa mereka menghadapi seorang lawan tangguh. “Sebagai penghuni Pulau Es menghadapi orang-orang yang mengo­torkan pulau, aku menantang kalian untuk mengadu ilmu!”

Bhong Ji Kun tentu saja menjadi pe­nasaran dan marah sekali, juga kecewa. Ia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Ha-ha-ha, Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es yang terkenal itu ternyata hanyalah seorang yang suka bermain curang! Hendak menarik kembali janjinya, melanggar janji seperti seorang yang rendah. Hendak kemana kautaruh mukamu nanti?”

“Bhong Ji Kun, mulutmu lancang seka­li! Kuhancurkan nanti!” Nirahai berteriak marah mendengar suaminya tercinta dimaki orang.

Namun Suma Han bersikap tenang, biarpun pandang matanya tajam menusuk. “Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, siapakah yang curang? Aku tadi berjanji tidak menghalangi apabila pembantuku menye­rahkan peti. Akan tetapi dia tidak me­nyerahkan peti kepadamu, hal itu adalah urusan antara kamu dan dia! Dia menipu­mu dan engkau telah membebaskan Kwi Hong dan mengeroyok pembantuku sam­pai terluka hebat. Perbuatanmu sungguh tidak patut. Antara kita tidak ada per­janjian apa-apa lagi.”

“Ha-ha-ha! Bukankah kau berjanji bah­wa kalau kami membebaskan muridmu, engkau akan membiarkan kami pergi tanpa mengganggu?”

“Benar! Akan tetapi ingat, engkau membebaskan Kwi Hong bukan karena perjanjian antara kita, melainkan karena perjanjianmu dengan Phoa Ciok Lin. Sekarang aku menantang kalian mengadu ilmu, dan kalau kalian tidak berani, aku baru mau melepaskan kalian kalau kalian mau berlutut dan minta ampun kepada kedua orang isteriku!”

Bhong Ji Kun membelalakkan matanya. Kiranya pendekar ini telah akur kembali dengan Puteri Nirahai! Dan Ketua Pulau Neraka itu pun telah menjadi isterinya! Bukan main! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan sesuatu akan pengakuan pen­dekar itu, apalagi mengejek, karena kalau hal itu dia lakukan, tentu dia akan cela­ka di bawah tangan suami isteri, tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu! Kalau harus berlutut minta ampun, benar-benar hal ini amat berat. Dia ada­lah bekas Koksu, bahkan seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw. Demi­kian pun para pembantunya adalah orang-orang gagah yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa.

“Pendekar Siluman!” teriaknya dengan muka merah. “Menyuruh kami berlutut minta ampun sama dengan menyuruh matahari timbul dari barat!”

“Bagus, kalau begitu majulah, dan juga para pembantumu, terutama yang meme­gang tombak cagak gagang panjang itu!” Suma Han melirik ke arah Ciat Leng Souw karena hatinya masih panas meng­ingat betapa pembantunya, Phoa Ciok Lin roboh oleh tombak orang ini.

“Wuuuuttt.... syettt!” Sin-jio Ciat Leng Souw dengan gerakan tangkas sudah me­loncat dan berdiri tegak di depan Suma Han, tombaknya yang panjang itu dipalangkan di depan dada, sikapnya gagah sekali dan matanya menentang lawan sambil memperhatikan keadaan pendekar yang amat terkenal itu, kemudian berkata,

“Pendekar Siluman! Orang lain mungkin takut mendengar namamu, tetapi, aku Sin-jio Ciat Leng Souw sama sekali tidak gentar untuk menghadapimu!”

Suma Han memandang orang tinggi besar itu. Sekelebatan saja matanya yang tajam dapat menaksir keadaan calon la­wan ini. Tentu memiliki tenaga yang amat kuat dan ilmu tombak yang sakti. Sayang bahwa orang gagah ini sampai dapat terbujuk menjadi kaki tangan Bhong Ji Kun. Kalau dia menghendaki, dengan kekuatan sihir, tentu Suma Han akan dapat menundukkan calon lawan ini de­ngan mudah. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Dia telah menunjukkan kegagahannya kepada dua orang isterinya, telah menunjukkan kejantanan dengan memaksa mereka mengikutinya ke Pulau Es. Sekarang pun dia harus memperlihat­kan, tidak hanya kepada kedua isterinya tercinta, akan tetapi juga kepada Bhong Ji Kun dan semua pembpntunya bahwa nama Pendekar Super Sakti sebagai Ma­jikan Pulau Es bukanlah nama kosong belaka, dan bahwa dia, tanpa bantuan siapa pun, akan dapat mempertahankan pulaunya.

“Bagus! Engkau seorang pemberani dan gagah, Ciat Leng Souw, dan tentu ilmu tombakmu lihai sekali. Cobalah robohkan aku seperti engkau merobohkan pembantuku secara membokong tadi!”

Mendengar tantangan yang mengan­dung teguran dan ejekan ini merahlah muka Ciat Leng Souw. Dia adalah seo­rang tokoh yang terkenal di selatan dan belum pernah tombaknya menemui tan­dingan. Kalau tadi dia turun tangan me­lukai Phoa Ciok Lin adalah karena meli­hat wanita itu menggunakan kecurangan dan mengancam keselamatan Bhong Ji Kun. Melihat betapa Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan para orang gagah yang membantu bekas Koksu itu kelihatan gen­tar menghadapi Suma Han, dia sudah merasa penasaran sekali. Dia sudah ba­nyak mendengar nama Pendekar Super Sakti, akan tetapi melihat betapa pende­kar yang disohorkan orang itu hanya seorang yang sederhana dan berkaki buntung, dia makin penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya. Kini ke­sempatan itu tiba. Mendengar ucapan Suma Han, Ciat Leng Souw mengeluarkan suara menggereng dan tombak panjangnya sudah bergerak meluncur dan menyambar ke arah dada Suma Han dengan tusukan kilat.

“Trakk!”

Tombak itu tertangkis oleh tongkat di tangan kiri Suma Han. Benar saja dugaan pendekar buntung itu, tenaga jago dari selatan ini memang kuat sekali. Betapapun juga, kalau Suma Han menghen­daki, dengan pengerahan sin-kangnya yang mujijat, dia akan dapat mengalahkan lawan dalam pertemuan tenaga pertama kali itu. Akan tetapi dia tidak mau me­ngalahkan lawan dengan menggunakan sin-kangnya yang jarang ada tandingannya, juga tidak mau menggunakan kekuatan pandang matanya yang dapat melumpuh­kan pikiran orang. Melihat betapa lawan­nya sudah cepat sekali menarik kembali tombaknya yang tertangkis lalu mengge­rakkan tombak dengan lihai sehingga tampak sinar panjang menyambar-nyam­bar, Suma Han cepat menghindar dan selanjutnya dia mempergunakan ilmunya yang amat dahsyat, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun. Ilmu silat yang mujijat ini merupakan gerakan-gerakan berdasar­kan gin-kang yang hanya dapat dilakukan oleh orang berkaki buntung! Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung ter­bang dan betapa pun Ciat Leng Souw mainkan tombaknya dengan hebat, tetap saja gerakan tombaknya tidak dapat mengikuti berkelebatnya bayangan lawan yang makin lama makin cepat seperti kilat menyambar-nyambar dan sebentar saja kepalanya menjadi pusing dan pan­dang matanya berkunang karena bayangan lawannya menjadi bertambah banyak! Hal ini bukan terjadi karena ilmu sihir, melainkan saking cepatnya Suma Han bergerak.

“Siluman....!” Ciat Leng Souw berseru dan dia mulai merasa gentar.

“Krekkk! Plak! Plak!”

Tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan dari mulutnya mengalir darah segar, tombak­nya patah-patah dan akhirnya dia roboh terguling dan mengeluh. Suma Han telah berdiri dengan tegak, tongkat di tangan dan dia tidak mempedulikan lagi Ciat Leng Souw yang dirobohkan. Pendekar ini dengan sikap tenang menanti majunya jago lain di fihak musuh. Dia telah ber­hasil mengalahkan Ciat Leng Souw tanpa membunuhnya, hanya mematahkan tom­baknya dan dua kali menampar pundak lawan, membuat tulang kedua pundak Ciat Leng Souw patah!

Melihat ini, Gozan, jagoan Mongol yang seperti raksasa, Liong Khek, Si Mu­ka Pucat yang bersenjatakan pancing, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut yang ber­tangan panjang dengan sepasang golok jagal babinya, dan tiga orang panglima kaki tangan Bhong Ji Kun sudah bergerak maju mengurung Suma Han.

“Tak tahu malu!” Lulu membentak.

“Betapa gagahnya, main keroyokan!” Nirahai juga mengejek.

“Biarkan saja tikus-tikus ini, kalian jaga saja peti itu!” Suma Han menoleh kepada dua orang isterinya sambil terse­nyum. Padahal tanpa dia beritahu pun Nirahai dan Lulu tidak akan bergerak membantu suami mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi pengeroyokan itu, suami mereka tidak perlu dibantu, apalagi mereka bertugas menjaga peti pusaka Istana Pulau Es.

Gozan sebagai seorang jagoan Mongol yang juga memandang rendah Suma Han, apalagi dia mengandalkan ilmu gulatnya dan tenaganya, sudah tidak sabar lagi dan sambil memekik dia lari menerjang dan hendak menangkap pendekar kaki buntung itu dengan kedua lengannya yang berotot kuat. Menghadapi serangan ini, Suma Han hanya berdiri tenang saja, bahkan ia ti­dak mengelak sama sekali ketika kedua tangan lawan ini mencengkeram pundak dan pinggangnya. Akan tetapi, betapa terkejut hati Gozan ketika dia merasa seolah-olah jari-jari tangannya menceng­keram baja yang dingin dan keras! Dia mengerahkan tenaga, hendak mengangkat tubuh itu dan membantingnya namun be­tapa pun dia mengerahkan seluruh tena­ganya, tubuh yang hanya berdiri dengan satu kaki itu sama sekali tidak bergoyang.

“Pergilah!” Suma Han membentak sambil menggoyangkan tubuh dengan ge­rakan berputar.

“Krekk! Krekk!” Gozan terpelanting roboh dan mengaduh-aduh, kedua lengan­nya tergantung lumpuh karena sambungan siku dan pergelangan kedua tangannya telah terlepas, terbawa oleh gerakan me­mutar tubuh Pendekar Super Sakti tadi.

Liong Khek dan teman-temannya su­dah menerjang maju, menggunakan senja­ta mereka. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh Suma Han. Pendekar ini tenang-tenarrg saja memegang tongkatnya, kemudian secara tiba-tiba tongkatnya diputar, dan terdengarlah suara nyaring disusul runtuhnya senjata para pengeroyok yang patah-patah dan terpental ke sana-sini, kemudian tampak bayangan Suma Han berkelebat di antana mereka. Para pengeroyok mengeluh panjang pendek dan seorang demi seorang terlempar ke kanan kiri tanpa dapat melawan lagi karena sambaran tongkat Suma Han yang terarah dan dengan tenaga terbatas para penge­royok itu menderita patah tulang, terto­tok lumpuh, atau terluka dalam! Belasan orang itu roboh hanya dalam waktu be­lasan jurus saja! Tadinya memang hanya enam orang yang maju, akan tetapi begi­tu Gozan roboh, semua kaki tangan bekas Koksu itu maju mengeroyok. Kini hanya tinggal Bhong Ji Kun dan Thian Tok La­ma berdua saja masih berdiri dengan muka agak pucat, namun sikap mereka ditenang-tenangkan ketika Suma Han menghadapi mereka.

“Bhong Ji Kun, sekarang aku ingin merasai kelihaianmu. Dan Thian Tok La­ma, kita adalah lawan-lawan lama yang sudah puluhan tahun tak pernah saling mengukur kepandaian. Agaknya engkau telah memperoleh kemajuan hebat, hanya sayangnya, semenjak dahulu kedudukanmu tidak mengalami kemajuan dan selalu menjadi kaki tangan pemberontak!” Wajah Thian Tok Lama menjadi merah mende­ngar ejekan ini, karena memang dia dan sutenya yang sudah tewas, Thai Li Lama, dahulu pernah terlibat pula dalam pembe­rontakan (baca ceritaPendekar Super Sakti).

Thian Tok Lama sudah pernah menga­lami bertanding melawan Pendekar Super Sakti dan dia merasa gentar karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh Majikan Istana Pu­lau Es itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mengaku kalah, apa­lagi di situ ada Bhong Ji Kun yang dia andalkan. Bekas Koksu ini biasanya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri, namun biar dia belum pernah bentrok dan mengadu ilmu melawan Pendekar Super Sakti, nama pendekar ini membuat dia merasa gentar, apalagi setelah menyaksi­kan betapa dengan mudah saja pendekar itu tadi merobohkan semua anak buahnya nyalinya menjadi kecil. Dia memang cer­dik dan dengan suara dibuat-buat agar tidak kentara perasaan jerihnya, dia ber­tanya, “Suma-tocu, apakah engkau me­nantang kami maju berdua? Benarkah engkau berani menghadapi kami berdua tanpa bantuan orang lain?” Berkata demi­kian bekas Koksu itu sengaja melirik ke arah Nirahai dan Lulu. Kalau seorang saja di antara kedua orang wanita sakti itu maju, tentu dia dan Thian Tok Lama takkan mampu menandinginya. Akan teta­pi kalau pendekar kaki buntung sebelah ini dia keroyok bersama Thian Tok Lama dia masih tidak percaya kalau mereka berdua tidak akan mampu keluar sebagai pemenang!

“Bhong Ji Kun manusia pengecut!” Ni­rahai membentak marah. “Beraninya hanya main keroyok. Hayo kau lawan aku kalau memang ada kepandaian!”

“Aku pun siap menghadapimu satu lawan satu!” Lulu juga menantang.

Bhong Ji Kun tersenyum. “Bukan kami yang menantang, melainkan Suma-tocu. Kalau dia tidak berani, kami pun tidak akan memaksa.”

“Im-kan Seng-jin tak perlu banyak ca­kap lagi. Majulah bersama Thian Tok Lama, aku sudah siap menghadapi kalian berdua.” Terdengar Suma Han berkata, suaranya tenang karena dia tidak dapat dipanaskan hatinya oleh sikap dan ucapan Bhong Ji Kun yang cerdik.

“Tar-tar-tar....!” Pecut merah di ta­ngan bekas Koksu itu meledak-ledak di udara. Kini dia bersikap sungguh-sungguh dan telah melangkah maju dengan senjata istimewa itu di tangan. Juga Thian Tok Lama sudah siap, lengan kanannya di ge­rakkan berputaran perlahan dan tangan itu berubah menjadi biru, sedangkan ta­ngan kirinya memegang golok, diacung­kan di atas kepala. Dengan langkah-lang­kah lambat kedua orang itu menghampiri Suma Han sambil mengatur posisi yang baik, pandang mata mereka tidak pernah berkedip ditujukan kepada Pendekar Super Sakti.

Suma Han berdiri dengan sikap tenang sekali, tidak bergerak seperti sebuah arca, tongkat di tangan kiri masih membantu berdirinya kaki tunggal itu, tubuh tegak akan tetapi mukanya menunduk, hanya pandang matanya yang bergerak perlahan mengikuti gerak-gerik kedua orang lawan­nya.

“Hyaaaattt....! Tar-tar-tar-tar....!”

“Haiiittt....! Sing-sing-sing-wuuutttt!”

Serangan yang datang mengikuti pekik yang keluar dari mulut Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama hampir berbareng itu datang bagaikan hujan ke arah tubuh Suma Han. Pecut merah berubah menjadi sinar merah yang menyambar-nyambar dan meledak-ledak seperti halilintar, bertubi-tubi menyambar ke arah kepala dan dada Pendekar Super Sakti. Golok di tangan kiri Thian Tok Lama merupa­kan sinar putih yang bergulung-gulung membabat ke arah kaki tunggal lawan, sedangkan tangan kanannya digerakkan dengan dorongan dahsyat ke arah pusar Suma Han, mengeluarkan uap hitam kare­na pukulan itu adalah pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang (Pukulan Sakti Api Angin dan Uap Hitam), dari perut pendeta La­ma ini keluar suara kok-kok seperti ayam betina habis bertelur!

Suma Han maklum betapa lihainya kedua orang yang mengeroyoknya itu. Dia sudah mengenal kelihaian Thian Tok La­ma dan sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat ilmu kepandaian kakek pendeta dari Tibet ini, akan tetapi dia belum hafal benar akan sifat dan tingkat ilmu silat Bhong Ji Kun, karena itulah maka dia berlaku hati-hati dan tadi ha­nya bersikap menanti dan berjaga-jaga. Setelah melihat kedua orang lawannya secara tiba-tiba dan serentak menerjang­nya secara dahsyat, Suma Han segera mengerahkan tenaga dan mempergunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun. Tubuhnya melesat ke sana-sini, cepatnya melebihi sinar senjata lawan, bagaikan kilat menyambar untuk menghindarkan diri dari serbuan kedua orang lawannya. Ketika tubuhnya dapat lolos dari kurungan serangan kedua orang dan melesat ke udara, tampak sinar merah pecut berkelebat menyambar dari bawah mengejar bayangan Suma Han. Pendekar Super Sakti diam-diam merasa terkejut dan kagum akan kecepatan gerak senjata lawan, namun tidak menjadi gugup, kaki tunggalnya digerakkan dan tubuhnya membalik, tongkatnya menangkis sinar cambuk merah.

“Tarrr....!”

Tampak asap mengepul dari pertemuan dahsyat antara tongkat dan cambuk itu, dan Suma Han sudah melayang turun lagi. Diam-diam dia kagum juga akan kelihaian lawan karena dalam pertemuan tenaga tadi tahulah dia bahwa tenaga sakti bekas Koksu ini lebih kuat daripada Thian Tok Lama! Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membanding lebih lama lagi karena cambuk merah itu sudah meledak-ledak mencari sasaran, sedangkan golok di tangan Thian Tok Lama juga sudah menerjangnya secara bertubi-tubi.

Suma Han menggerakkan tongkatnya, menangkis semua serangan kedua orang pengeroyoknya. Sampai tiga puluh jurus lebih pendekar ini hanya menjaga diri, mengelak dan menangkis untuk menguji lawan. Melihat sikap suami mereka itu, Lulu dan Nirahai hampir kehi­langan kesabaran mereka. Kalau saja mereka menurutkan watak mereka yang dahulu, tentu mereka sudah tadi-tadi turun tangan membunuh bekas Koksu dan pendeta Tibet itu. Akan tetapi mereka merasa takut kepada suami mereka, ta­kut kalau suami mereka marah! Apalagi karena mereka yakin bahwa suami mere­ka tidak akan kalah, maka kedua orang wanita perkasa itu hanya menonton. Peti pusaka Istana Pulau Es terletak di depan kaki mereka. Adapun semua anak buah Bhong Ji Kun biarpun tidak ada yang tewas dan hanya terluka ketika mereka dirobohkan Suma Han, tidak ada yang berani maju lagi membantu Bhong Ji Kun. Mereka hanya menonton dan tentu saja mengharapkan agar dua orang kakek itu dapat mengalahkan Pendekar Super Sakti.

Ternyata harapan mereka itu kosong belaka karena kini Pendekar Super Sakti mulai membuat gerakan balasan dengan tongkatnya. Begitu tongkat di tangan kirinya itu menambah gerakan menangkis dengan serangan dahsyat, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama terdesak hebat dan terpaksa banyak mun­dur karena betapa pun mereka memutar senjata, beberapa kali ujung tongkat itu tahu-tahu telah menyelonong depan hi­dung mereka dan mengancam bagian tubuh yang lemah.

Ini memang siasat Suma Han yang dalam segala hal, juga dalam pertanding­an, bersikap tenang dan penuh perhitung­an. Kalau saja dia tadi tidak bersikap mengalah dan mempertahankan diri, kiranya tidak mudah baginya untuk men­desak kedua orang lawannya yang juga memiliki kepandaian sangat tinggi, ter­utama sekali mendesak Bhong Ji Kun. Akan tetapi, ketika dia hanya memper­tahankan diri selama tiga puluh jurus lebih tadi, diam-diam dia mempelajari dasar gerak kedua orang lawannya, ter­utama sekali gerakan cambuk Bhong Ji Kun, karena dia sudah tahu akan kepan­daian Thian Tok Lama. Tiga puluh jurus cukuplah bagi Pendekar Super Sakti ini, dan setelah mengenal dasar gerakan la­wan, barulah kini dia mengeluarkan ke­pandaiannya untuk menyerang lawan.

Thian Tok Lama merasa cemas karena hal ini memang sudah dikhawatirkannya. Adapun Bhong Ji Kun yang tadinya sudah merasa girang dan memandang rendah lawan ketika dia dan temannya seolah-olah sudah mendesak Suma Han, kini merasa terkejut bukan main. Tongkat pendekar kaki buntung itu gerakannya aneh sekali, sama anehnya dengan gerak­an tubuh pendekar itu yang dapat men­celat ke sana-sini secara luar biasa, dan dari tongkat itu menyambar keluar hawa pukulan yang membuat bekas Koksu ini makin bingung. Tongkat itu kadang-ka­dang kaku melebihi baja, kadang-kadang lemas seperti batang pohon cemara, akan tetapi yang lebih hebat lagi, kadang-kadang mengandung hawa serangan panas dan ada kalanya amat dingin!

Mendadak terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari dalam dada Pen­dekar Super Sakti. Tongkatnya bergerak menyambut golok dan cambuk lawan dan.... tiga buah senjata melekat menjadi satu. Betapa pun Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berusaha menarik kembali sen­jata mereka, sia-sia saja seolah-olah cambuk dan golok sudah menjadi satu dengan tongkat!

“Haiiittt!” Bhong Ji Kun menggunakan tangan kiri memukul dengan telapak tangan didorongkan ke depan.

“Hyaaattt!” Thian Tok Lama sudah menggunakan pula tangan kanannya, me­lakukan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam.

Suma Han maklum akan bahaya maut ini. Pukulan tangan kosong Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tidak kalah ampuhnya dbandingkan dengan Hek-in-hwi-hong-ciang dari pendeta Lama itu. Cepat dia mele­paskan tongkatnya selagi kedua lawannya mencurahkan perhatian pada pukulan mereka, kemudian dengan tubuh tegak pendekar kaki tunggal ini sudah mendo­rongkan pula kedua tangannya ke depan menyambut pukulan kedua lawannya.

“Desss! Desss!”

Tubuh Bhong Ji Kun menggigil dan terhuyung ke belakang. Dia telah terkena hantaman Inti Es yang selain menolak pukulannya sendiri juga dengan kekuatan dahsyat masih mendorongnya. Sedangkan Thian Tok Lama terlempar ke belakang dan terbanting roboh dengan muka merah seperti dibakar. Dia tadi dilawan dengan pukulan panas Inti Api yang luar biasa dahsyat dan kuatnya.

Dengan kemarahan meluap-luap, Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah me­loncat bangun lagi tanpa mempedulikan darah yang menetes keluar dari ujung bibir mereka. Bhong Ji Kun menerjang dengan cambuknya yang tadi sudah ter­lepas dari tongkat Suma Han. Akan teta­pi karena benturan tenaga sakti tadi telah mendatangkan luka di dalam dada­nya, gerakannya tidak sedahsyat tadi dan menghadapi serangan ini, Suma Han yang telah memegang tongkatnya lagi bersikap tenang sekali.

“Tar-tarrr....!” Cambuk merah itu me­nyambar ke arah kepala, ujungnya seperti patuk burung garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Suma Han. Dengan si­kap tenang Suma Han menggerakkan tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar kilat berkeredepan menusuk ke arah dada pedekar itu. Suma Han mengeluarkan seruan kaget, maklum bahwa lawannya menggunakan senjata yang luar biasa ampuhnya, maka sambil menggerakkan tubuh mencelat ke kanan, tongkatnya bergerak menangkis senjata yang berkeredepan itu.

“Cringgg! Trakkk!” Tongkat di tangan Pendekar Super Sakti itu patah menjadi dua bertemu dengan pedang itu.

“Li-mo-kiam....!” Suma Han berteriak kaget dan cepat dia mendorongkan kedua tangannya, yang kiri memukul ke arah pergelangan tangan kiri lawan yang memegang Pedang Iblis itu, sedangkan yang kanan mendorong ke arah dada Bhong Ji Kun.

“Desss! Augghhh....!” Pedang Iblis Betina terlepas dari pegangannya dan cepat disambar oleh Suma Han, sedang­kan tubuh bekas Koksu itu terjengkang seperti dihantam palu godam raksasa yang amat kuat. Mulutnya muntahkan darah segar. Dia terkena pukulan yang mengandung tenaga sakti Inti Api, yang sama sekali tidak diduganya karena dia mengira bahwa lawannya akan mengguna­kan Im-kang seperti tadi. Apalagi dia te­lah mempergunakan Li-mo-kiam yang dirampasnya dari Kwi Hong dan melihat pendekar itu terkejut dan tongkatnya patah, hatinya sudah girang sekali, mem­buat kewaspadaannya berkurang.

“Singggg.... trakkkk! Desss!”

Golok di tangan Thian Tok Lama pa­tah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam, tangan kanan Thian Tok Lama yang melancarkan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang bertemu dengan tangan kiri Suma Han yang menyambutnya dengan Im-kang sehingga pendeta Lama dari Tibet ini terpental sampai beberapa meter jauhnya dan roboh pingsan dengan muka pucat kebiruan!

Suma Han memandang Li-mo-kiam di tangannya, mengebutkan bajunya dan menghampiri Bhong Ji Kun yang sudah merangkak bangun sambil merrngis. Suma Han memandang bekas Koksu itu dan berkata dengan suara dingin penuh wiba­wa, “Bhong Ji Kun, bawa semua kaki tanganmu ke perahumu dan lekas tinggal­kan tempat ini!”

Sambil meringis Bhong Ji Kun bangkit berdiri, mukanya pucat dan mulutnya masih berlepotan darahnya sendiri. Dia memandang ke sekelilingnya. Thian Tok Lama masih pingsan dan anak buahnya tidak seorang pun tewas, akan tetapi semua menderita luka yang membuat mereka tidak berdaya. Dia mengangguk, menarik napas panjang dan berkata, “Engkau hebat. Pendekar Super Sakti. Sekali ini aku mengaku kalah, akan teta­pi tunggu saja, akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini.”

Sambil terhuyung-huyung, bekas Koksu ini mengambil cambuk merahnya, lalu menyuruh anak buahnya membawa teman yang lukanya agak berat, menggotong Thian Tok Lama, kemudian tanpa berkata apa-apa kepada Suma Han dia bersama anak buahnya naik perahu yang segera dilayarkan meninggalkan Pulau Es, me­nuju ke selatan.

“Anjing-anjing macam itu mengapa tidak dibunuh saja?” Baru sekarang Nira­hai membuka mulut mencela suaminya.

“Memang sepantasnya mereka dibunuh, kalau tidak kelak hanya akan menimbul­kan kekacauan saja.” Lulu juga berkata tak puas, dan memandang bekas kakak angkat yang kini menjadi suaminya yang tercinta itu.

Suma Han menarik napas panjang. “Aku kasihan kepada orang-orang sesat seperti itu. Mudah-mudahan kekalahan mereka ini menjadi pelajaran dan mem­buat mereka bertobat. Pula, aku tidak menghendaki pembunuhan di pulau ini, apalagi aku tidak ingin memulai hidup baru kita dengan pembunuhan.”

“Akan tetapi mereka telah membunuh pembantumu!” kata Nirahai.

Suma Han terkejut dan menengok, se­olah-olah baru teringat kepada pembantu­nya yang setia itu. Dengan cepat dia menghampiri, diikuti oleh Nirahai dan Lulu. Mereka bertiga berlutut dekat Phoa Ciok Lin yang masih rebah di atas tanah dipeluki oleh Kwi Hong yang masih me­nangis terisak-isak.

Melihat keadaan Phoa Ciok Lin yang dadanya ditembus tombak, Suma Han maklum bahwa nyawa pembantunya itu tak mungkin ditolong lagi. Melihat murid­nya atau keponakannya, alisnya berkerut. Dara inilah yang menjadi gara-gara, pi­kirnya penuh kekecewaan dan penyesalan.

“Perlu apa engkau menangis lagi? Menangis setelah terlambat tiada guna­nya! Mengapa sebelumnya engkau tidak berpikir panjang dan percaya kepada orang-orang seperti mereka?”

Tangis Kwi Hong semakin meledak ketika dia mendengar suara yang bernada penuh teguran dari pamannya itu. Dia merebahkan tubuh Phoa Ciok Lin perlahan-lahan di atas tanah, kemudian men­jatuhkan diri berlutut di depan Suma Han sambil menangis dan berkata, “Harap Paman bunuh saja aku yang berdosa ini!”

Suma Han memandang tajam, kerut di alisnya makin mendalam. “Hemm, per­nahkah aku mengajarmu bersikap seperti pengecut ini? Setiap orang membuat ke­salahan, dan sikap terbaik adalah menya­dari kesalahan itu, bukan dengan penye­salan yang menimbulkan keinginan untuk bunuh diri! Sekarang aku mempunyai tugas untukmu, kalau engkau melaksana­kan tugas ini dengan baik berarti engkau mempunyai keinginan untuk menebus kesalahanmu. Sanggupkah engkau?”

“Biar harus mengorbankan nyawa, akan saya laksanakan tugas itu, harap Paman lekas beritahukan kepada saya.”

“Kau pergilah meninggalkan pulau ini, carilah Milana sampai dapat, bawa dia ke pulau ini menyusul kami. Juga kause­lidiki di mana adanya Gak Bun Beng yang sudah kusuruh mencari Milana. Mereka telah kami tunangkan dan keduanya harus menyusul kami di sini untuk dilaksanakan pernikahannya. Juga kau harus mencari Wan Keng In, selain minta dia menyerahkan Lam-mo-kiam juga katakan kepada­nya bahwa ibunya telah berada di Pulau Es, menjadi isteriku. Nah, berangkatlah!”

Wajah Kwi Hong seketika pucat ketika dia mendengar perintah ini. Biarpun amat sukar menundukkan Wan Keng In, apalagi memaksanya menyerahkan Lam-mo-kiam dan mengajaknya ke Pulau Es, namun hal itu masih tidak membuat dia terkejut. Yang membuat wajahnya pucat adalah ketika dia mendengar akan pertunangan antara Gak Bun Beng dan Milana! Jan­tungnya seperti ditusuk rasanya dan cepat menundukkan mukanya untuk me­nyembunyikan kepucatan wajahnya dan dua titik air mata yang sudah bergantung di bulu matanya. Dia mengangguk, kemu­dian menerima pedang Li-mo-kiam yang disodorkan pamannya. Tanpa menjawab, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia sudah berlari-lari ke pantai, meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang tadi di­pergunakan oleh Phoa Ciok Lin, dan meluncurkan perahu dengan cepatnya menuju ke utara, melalui celah-celah pegunungan es yang terapung di lautan.

Suma Han berdiri tegak memandang bayangan keponakannya itu dengan alis berkerut. Pendekar Super Sakti ini diam-diam merasa kasihan dan terharu. Dia memang sengaja tadi memberitahukan tentang pertunangan antara Bun Beng dan Milana, karena dia tahu bahwa keponak­annya itu menaruh hati cinta kepada Bun Beng. Dia ingin agar keponakannya yang mudah dibujuk orang jahat itu belajar melihat kenyataan hidup dan menghadapi­nya dengan penuh keberanian! Hal ini akan menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri, membuatnya waspada dan tidak lengah. Mengingat betapa dia telah menggembleng dara itu, dan bahwa Bu-tek Siauw-jin juga sudah menurunkan ilmu kepada keponakannya itu, dia tidak khawatir lagi akan keselamatan Kwi Hong yang tentu sudah cukup kuat untuk men­jaga diri, apalagi dengan Li-mo-kiam di tangannya.

“Taihiap engkau sungguh kejam....!” Mendengar suara Phoa Ciok Lin, Suma Han cepat menengok lalu berlutut di dekat kedua isterinya. Kiranya pembantunya itu telah siuman dari pingsannya dan kini memandang kepadanya dengan muka pucat sekali dan mata sayu. Dengan ter­haru dia, memegang tangan wanita yang sedang sekarat itu tanpa dapat menge­luarkan kata-kata.

“Taihiap, apakah engkau tidak tahu.... bahwa Kwi Hong mencinta Bun Beng seperti.... seperti.... aku mencintamu? Aku bukan seorang muda, aku dapat melihat bahwa cintaku sia-sia, bahwa aku berte­puk sebelah tangan.... dan demi cintaku.... aku bahagia menyaksikan engkau telah dapat berkumpul dengan kedua orang wanita yang kaucinta. Aku.... aku.... demi cintaku kepadamu, aku dengan senang hati suka berkorban, aku akan mati dengan hati tenteram.... akan tetapi Kwi Hong masih muda sekali! Dapatkah dia bersikap seperti aku? Taihiap.... kasihan dia.... entah apa yang akan terjadi dengan dia.... tapi.... aku percaya kepadamu Taihiap, selamat tinggal....!”

Phoa Ciok Lin menghembuskan napas terakhir, dan agaknya kekhawatiran di dalam hatinya mengenai nasib Kwi Hong tidak dapat mengusir kebahagiaan hatinya menyaksikan orang yang amat dikasihinya itu akhirnya dapat berkumpul dengan Lulu dan Nirahai, sehingga tepat seperti yang diucapkannya tadi, dia menghembus­kan napas terakhir dengan senyum di bibirnya!

Suma Han menarik napas panjang, berbisik, “Ciok Lin, akupun cinta padamu, akan tetapi bukan cinta seperti yang kaumaksudkan itu....” Kemudian, dibantu oleh Lulu dan Nirahai yang tidak berkata sesuatu, Suma Han menguburkan jenazah Phoa Ciok Lin di bagian yang paling tinggi di pulau itu agar kuburannya tidak selalu tertimbun oleh salju.

Ketika mereka bertiga berdiri di depan kuburan itu dan kebetulan mereka menghadap ke selatan, mereka melihat udara di selatan amat gelap dan tampak kilat menyambar-nyambar dan awan hitam bergumpal-gumpal amat me­nakutkan. Nirahai yang belum pernah me­nyaksikan penglihatan seperti itu, menjadi ngeri dan memegang tangan suaminya.

“Ihhh! Apakah di sana itu?”

Lulu yang menjawabnya, karena Lulu sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Es ini, “Badai. Di selatan ada badai mengamuk, Suci. Dan anjing-anjing tadi yang di sini mendapat pengampunan, ter­nyata tidak diampuni oleh Tuhan. Mereka tentu tewas semua ditelan badai!”

“Untung bahwa Kwi Hong tadi meng­ambil jalan ke utara.” Suma Han berkata. Dia menggandeng tangan ketua orang wanita itu dan dengan penuh kasih sayang mereka bertiga berjalan bergandengan menuju ke istana Pulau Es, menuju ke hidup baru setelah belasan tahun ketiga orang sakti ini merana oleh cinta yang putus diantara mereka. Mereka tidak memikirkan apa-apa lagi. Mereka hendak melepaskan rindu selama belasan tahun itu, melepaskan dahaga dengan menghirup madu cinta kasih di antara mereka seke­nyang dan sepuas mungkin!

***

Pemuda itu berjalan cepat sekali. Wajahnya berseri dan mulutnya sering ka­li tersenyum menandakan keriangan hati­nya. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. Betapa hatinya tidak akan merasa bangga, bahagia dan riang setelah kini secara resmi dia diterima oleh Pendekar Super Sakti dan isterinya sebagai calon mantu! Dia malah diberi tugas oleh suami isteri itu untuk mencari Milana! Kekasih hatinya! Calon isterinya!

Tersenyum dia membayangkan betapa dara itu akan menjadi merah mukanya, menjadi malu-malu kalau dia nanti men­ceritakan tentang pertunangan mereka! Dan yang lebih daripada segala yang me­nyenangkan hatinya adalah kalau dia mengingat akan pertemuannya dengan Milana yang terakhir kalinya, di mana dara itu dengan jelas membayangkan bah­wa Milana pun membalas cinta kasihnya! Tadinya, kebahagiaannya karena dara itu membalas cintanya masih diliputi awan keraguan kalau-kalau ayah bunda dara itu tidak menyetujui. Akan tetapi seka­rang setelah kedua orang tua itu menya­takan setuju, biarpun belum disahkan, dunia seolah-olah berubah bagi pandang mata Bun Beng! Sinar matahari menjadi lebih cemerlang. Tumbuh-tumbuhan men­jadi lebih segar. Segala yang dipandang­nya, yang didengarnya, menjadi lebih indah menyenangkan.

Bun Beng mempercepat gerakan lari kakinya. Kota raja tidak jauh lagi. Sete­lah keluar dari hutan besar yang terakhir di sebelah utara kota raja ini, dinding yang mengelilingi kota raja sudah akan tampak. Heran sekali dia, mengapa sebelum ini dia tidak melihat keindahan hutan besar ini? Daun-daun kering yang memenuhi tempat itu, yang terinjak oleh kaki­nya terasa lunak, biasanya tampak buruk, sekarang menimbulkan perasaan senang melihatnya, begitu rapi bertumpuk di atas tanah, seperti diatur saja. Dan seo­lah-olah sengaja disebar untuk menjadi permadani yang lunak halus bagi kedua kakinya. Dan baunya! Daun-daun yang sudah membusuk, menjadi sampah, bukan­kah biasanya mendatangkan bau tidak enak? Sekarang kalau dia mencium, ter­ciumlah bau daun-daun busuk itu, akan tetapi sama sekali tidak busuk baunya, bahkan ada kesedapan yang khas! Jelaslah kini olehnya bahwa segala yang disebut indah atau buruk, enak atau tidak, semua tergantung dari keadaan hati seseorang!

Pendapat seperti yang dialami Bun Beng itu menjadi pendapat umum. Akan tetapi selama orang memandang atau mendengar sesuatu dengan penilaian akar baik buruknya yang dipandang atau didengar itu, maka seluruhnya tergantung dari keadaan pikiran dan hati. Karena itu, kita selalu diombang-ambingkan anta­ra suka dan duka, puas dan kecewa dan kalau dihitung dan dijumlah, jauh lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya. Kalau saja kita dapat melepaskan diri dari pengaruh pikiran! Kalau saja kita dapat terbebas dari keinginan, dari pengejaran akan sesuatu yang tidak ada pada kita! Kalau kita terbebas dari rasa khawatir akan kehilangan yang kita senangi dan terbebas dari rasa ta­kut akan sesuatu yang belum terjadi! Kalau demikian halnya, agaknya hidup ini tidaklah seperti yang kita alami seka­rang ini dimana terdapat penuh perten­tangan, penuh persoalan benar atau salah, penuh dengki dan iri hati, penuh benci, dan penuh dengan apa yang kita sebut kesengsaraan lahir maupun batin!

Gak Bun Beng yang sekarang telah menjadi seorang yang memiliki kepandai­an luar biasa berkat gemblengan terakhir yang dilakukan bersama oleh Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin, berlari seperti terbang cepatnya dan se­bentar saja dia telah keluar dari dalam hutan lebat itu. Sejenak dia berhenti untuk memandang tembok yang megah, yang mengelilingi kota raja sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah benteng yang kokoh kuat. Tiba-tiba pandang ma­tanya tertarik akan sesuatu yang berge­rak tak jauh di sebelah depan, di lereng pegunungan sebelah bawah. Seorang manusia! Dan jalannya tidak wajar karena seperti terhuyung-huyung. Bun Beng sege­ra meloncat ke depan dan berlari cepat menuju ke arah orang yang terhuyung-huyung itu.

Orang itu roboh terguling dan menge­luh ketika Bun Beng tiba di sebelah bela­kangnya. Bun Beng cepat berlutut dan mengangkat tubuh bagian atas laki-laki setegah tua itu. Beberapa buah luka yang cukup hebat memenuhi tubuhnya, pakai­annya robek-robek dan berlepotan darah. Keadaan laki-laki itu payah sekali, napas­nya empas-empis.

“Kau kenapa, Paman? Siapa yang menyiksamu seperti ini?” Bun Beng bertanya. Orang itu membuka matanya, akan tetapi pandang matanya seperti orang lamur, manik matanya tidak bercahaya lagi, seperti api yang hampir padam. Mulutnya bergerak, “Semua tewas.... aughhh.... me­reka dari Pulau Neraka.... celaka sekali.... cucu Sri Baginda mereka bawa....”

“Apa? Milana? Paman, jawablah! Apakah Milana yang mereka bawa?”

“Cucu Sri Baginda.... puteri Panglima Nirahai.... diculik pemuda Pulau Neraka dan....” Kepala itu terkulai.

“Ke mana, Paman? Dibawa ke mana?” Bun Beng bertanya mengguncang-guncang tubuh yang sudah lemas itu. Namun tiada jawaban. Bagaimana mayat dapat menjawab?

Bun Beng menghela napas panjang, pandang matanya yang tadinya penuh kebahagiaan kini berubah sama sekali. Penuh kekhawatiran dan kemarahan! Dia tidak mengenal orang ini, betapapun juga, orang ini sudah berjasa kepadanya, men­ceritakan sesuatu tentang Milana, sung­guhpun ceritanya amat tidak menyenangkan. Maka dia segera menggali lubang dan mengubur jenazah orang tak di­kenal itu. Semua ini dilakukannya dengan cepat dan segera dia berlari seken­cangnya memasuki kota raja untuk men­cari berita. Berita itu mudah didengarnya. Semua orang tahu belaka bahwa cucu Kaisar, puteri Panglima Wanita Nirahai yang amat terkenal, telah diculik dan dilarikan orang. Menurut beritanya itu, penculiknya adalah seorang pemuda tam­pan bersama seorang kakek yang seperti mayat.

“Hemmm, siapa lagi kalau bukan Wan Keng In?” Pikir Bun Beng dengan hati panas dan kemarahan berkobar seperti api membuat mukanya kemerahan dan pandang matanya ganas.

Setelah merasa yakin bahwa yang menculik kekasihnya adalah pemuda Pulau Neraka itu, Bun Beng segera meninggal­kan kota raja. Menurut kabar, Kaisar sendiri mengerahkan para pengawal yang berilmu untuk mencari cucunya, bahkan ada berita bahwa Kaisar mengundang Pendekar Super Sakti untuk mengembalikan dara yang diculik orang itu, dengan janji pengampunan bagi pendekar yang tadinya dianggap seorang pemberontak dan buruan itu! Akan tetapi, Bun Beng maklum bahwa tak mungkin dia bisa mendapatkan keterangan di kota raja ke mana larinya Wan Keng In yang menculik kekasihnya.

Setelah memutar otak, akhirnya Bun Beng menduga bahwa kemungkinan besar pemuda Pulau Neraka itu membawa ke­kasihnya ke Pulau Neraka! Atau setidak­nya tentu pemuda iblis itu berkeliaran di utara, di sepanjang pantai. Hatinya menjadi sakit sekali, penuh kecemasan akan keselamatan kekasihnya. Ia khawatir kalau-kalau dia terlambat menolong keka­sihnya.

 “Aihhh! Mengapa aku begini lemah?” Dia mencela diri sendiri. “Terlambat atau tidak, bagaimana nanti keadaannya saja­lah. Yang terpenting, aku harus mencarinya sampai dapat!” Pikiran ini agak meredakan gelombang kecemasan yang melanda hatinya dan mulailah dia mela­kukan perjalanan ke utara kembali, tidak berani melakukan cepat karena dia harus melakukan penyelidikan, bertanya-tanya di sepanjang jalan. Karena dia mengang­gap bahwa orang yang terluka dan tewas ketika bertemu dengannya itu merupakan jejak terakhir dari Milana, dia lalu meng­ambil jalan yang ditempuh orang itu, dari tempat dia bertemu orang itu lalu terus ke utara.

Di sepanjang perjalanan Bun Beng bertanya-tanya dan untuk mencegah tim­bulnya kecurigaan, maka dia bersikap bersahaja. Pakaiannya memang selalu sederhana, dan kini dia selalu memakai sebuah caping bundar yang pinggirannya lebar, sedangkan pedang Hok-mo-kiam tidak pernah tampak dari luar karena dia sembunyikan di balik jubahnya. Dalam penyelidikannya, secara sambil lalu dia bertanya tentang seorang nona muda yang cantik dengan gelung tinggi ke atas kepala, seorang pemuda tampan yang mukanya pucat dan pakaiannya mewah, dan seorang kakek yang kurus seperti mayat. Dia tidak mau menyebut nama-nama.

Biarpun agak sulit baginya untuk memperoleh keterangan yang jelas, ke­cuali beberapa orang yang menuturkan kepadanya pernah melihat tiga orang itu, ada pula yang melihat serombongan orang-orang gagah naik kuda menuju ke utara, bagi Bun Beng sudah cukup untuk mengikuti jejak para penculik yang mem­bawa pergi kekasihnya. Tepat seperti dugaannya, Milana dibawa ke utara! A­khirnya pada suatu pagi, dia tiba di tem­pat bekas pertempuran dan melihat ba­nyak mayat manusia berserakan dan sebagian sudah menjadi kerangka. Hatinya penuh dengan bermacam perasaan. Ada rasa girang karena dia kini yakin bahwa di sinilah terjadinya perang dan di sini pula agaknya orang yang bercerita ten­tang Milana itu terluka. Tentu dia seo­rang di antara pengawal utusan Kaisar yang mengejar para penculik! Ada rasa ngeri menyaksikan betapa di tempat ini telah terjadi penyembelihan manusia yang agaknya dilakukan oleh Wan Keng In dan kakek seperti mayat! Atau mungkin juga ada anak buah Pulau Neraka, karena melihat luka-luka yang diderita oleh orang yang dijumpainya itu, hanyalah luka-luka akibat senjata tajam, sedangkan kalau Wan Keng In sendiri yang turun tangan, apalagi menggunakan Lam-mo-kiam yang dirampas pemuda Pulau Nera­ka itu, tentu tidak memungkinkan orang itu hidup lebih lama lagi. Ada pula rasa yang makin menghebat, yaitu rasa kha­watir. Setelah yakin bahwa Wan Keng In yang menculik Milana, dia merasa khawatir sekali. Kalau penculiknya orang lain, agaknya Milana akan mampu menja­ga diri karena dia tahu bahwa kekasihnya itu adalah seorang dara yang memiliki kepandaian tinggi dan sukar ditandingi orang. Akan tetapi terhadap Wan Keng In, agaknya kekasihnya itu takkan berda­ya mempertahankan keselamatannya!

Dengan hati tidak karuan, Bun Beng cepat melanjutkan perjalanannya ke uta­ra. Setelah matahari condong ke barat, tibalah dia di kaki gunung dan dari tem­pat dia turun sudah tampak sebuah telaga kecil yang airnya jernih kebiruan. Timbul keinginannya untuk menyegarkan tubuhnya yang lelah, mandi di telaga itu. Maka ke sanalah dia menuju.

Ketika tiba dekat telaga mendadak dia berhenti. Di tepi telaga itu terdapat serombongan orang terdiri dari dua belas orang dan di antaranya ada yang mem­bawa bendera, berhadapan dengan seorang laki-laki muda dan agaknya mereka itu sedang bercekcok. Bun Beng merasa ter­tarik hatinya, akan tetapi karena dia tidak tahu urusannya dan tidak mau dianggap lancang mencampuri urusan orang lain, dia menyelinap dekat dan diam-diam dia menonton sambil mende­ngarkan percekcokan mereka. Tanpa se­ngaja dia mendekati tumpukan batu gu­nung yang menyembunyikan sebagian air telaga dan mendengar suara air. Ketika dia menoleh, Bun Beng terbelalak dan seketika mukanya menjadi merah sekali. Betapa jantungnya tidak akan berdebar tegang dan mukanya tidak akan menjadi merah sekali kalau dia melihat seorang wanita muda dan cantik sedang meren­dam tubuh yang mulus dan polos di dalam air telaga? Cepat dia membuang muka dan agak menjauhi tempat itu, bersembunyi di belakang batu gunung dekat telaga, lalu mengintai ke arah la­ki-laki muda berpakaian sederhana yang berhadapan dengan para piauwsu (penga­wal barang) itu.

“Cuwi-piauwsu (para pengawal seka­lian) hendaknya jangan mempersalahkan aku saja!” Terdengar laki-laki muda itu membantah dengan suara keras. “Aku bukanlah seorang tukang pukul yang sem­barangan memukul orang. Kalau sampai kongcu (tuan muda) tadi kupukuli, tentu ada sebab tertentu yang memaksa aku.”

“Hemm, kalau memang ada sebabnya, mengapa engkau tidak menceritakan ke­pada kami? Apakah sebabnya?” tanya kepala piauwsu, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tegap dan bersikap angker.

“Sebabnya tak dapat kuceritakan kepada orang lain!” jawab orang muda itu.

Kakek yang memimpin pengawal angkutan itu memandang tajam dan suaranya terdengar tegas, “Orang muda, jangan kau main-main dengan kami! Chi-kongcu adalah putera Tihu dari Kang-ciu dan kami yang mengawalnya bersama barang-ba­rangnya adalah para pengurus Eng-jiauw-piauwkiok (Ekspedisi Cakar Garuda), anak murid Bu-tong-pai. Lebih baik kau berte­rus terang agar kami mempertimbangkan.”

Wajah orang muda itu kelihatan bim­bang. Kemudian dengan suara terpaksa dia berkata, “Baiklah, biar Cu-wi menge­tahui betapa kotor perbuatan kongcu yang Cu-wi kawal itu. Isteriku sedang mandi di telaga seorang diri, kemudian datang kongcu itu menggodanya. Melihat ini, tentu saja aku tidak dapat membiarkan­nya saja dan memberi hajaran. Nah, bu­kankah hal itu sudah pantas kulakukan?”

Para piauwsu itu mengerutkan alis. Mereka adalah orang-orang gagah yang tentu saja merasa tidak senang mende­ngar perbuatan kongcu itu, sungguhpun di dalam hati, semua pria itu tidak me­rasa heran akan perbuatan itu.

“Sampai sejauh manakah perbuatannya maka engkau memukulinya sehingga mu­kanya bengkak-bengkak dan berdarah?” tanya piauwsu tertua yang tentu saja merasa bertanggungjawab akan kesela­matan putera bangsawan yang dikawalnya. Rombongan mereka tadi berhenti dan mengaso tak jauh dari telaga. Chi-kongcu seorang diri berjalan-jalan ke telaga dan tak lama kemudian kongcu itu datang berlari-lari dengan muka bengkak-bengkak berdarah, mengatakan bahwa dia dipukuli seorang laki-laki dekat telaga.

“Ehh! Apakah Cu-wi (Anda sekalian) tidak menyalahkan perbuatan kongcu ke­parat yang kurang ajar itu?” Laki-laki muda itu balas bertanya dengan muka merah.

“Memang kurang sopan. Akan tetapi apakah yang dilakukannya terhadap iste­rimu?”

“Kalau dia sudah melakukan sesuatu, tentu sudah kubunuh dia! Isteriku, mandi seorang diri, dia datang menghampiri dan menggoda dengan kata-kata tidak sopan.”

“Orang muda, engkau agaknya terlalu mengandalkan kekuatanmu sendiri sehing­ga bersikap galak! Semua perkara harus diperiksa lebih dahulu dengan jelas, jangan sembarangan main hakim sendiri mengan­dalkan kekuatanmu. Kami akui bahwa perbuatan Chi-kongcu tidak patut, sung­guhpun kami masih meragukan mengapa dia sampai berani menggoda seorang wanita yang sedang mandi seorang diri. Entah apa yang telah diucapkannya yang membuat engkau marah dan memukulnya. Apakah yang dikatakannya orang muda?”

“Aku tidak mendengarnya sendiri, hanya kulihat dari jauh dia berkata-kata dan tertawa-tawa kepada isteriku yang sedang mandi, dan isteriku marah-marah kepadanya.”

“Jadi masih belum jelas lagi apa yang diucapkannya. Hemm, biarlah hal yang sudah terjadi tak perlu diributkan lagi. Chi-kongcu telah bersalah mengajak se­orang wanita yang mandi bercakap-cakap, akan tetapi engkau pun terlalu ringan tangan. Kami tidak akan memperpanjang urusan ini kalau engkau suka minta maaf kepadanya.”

“Tidak sudi! Kalau disuruh menambah pemukulan kepadanya aku mau!” Orang muda yang berdarah panas itu membantah.

Ketua piauwsu itu mengerutkan alis­nya. “Orang muda, kami sudah mengam­bil jalan tengah dan banyak mengalah kepadamu, akan tetapi engkau masih ber­keras kepala. Kami terpaksa mencampuri urusan ini karena kewajiban kami untuk mengawal Chi-kongcu! Apakoh engkau tidak memandang muka kami dan hendak menentang kami?”

“Terserah! Aku tidak takut kepada siapa pun untuk menjaga dan melindungi kehormatan isteriku!” Pemuda itu berto­lak pinggang dan bersiap untuk mengha­dapi lawan, sikapnya gagah sekali karena dia merasa gagah telah dapat memper­tahankan kehormatan isterinya.

“Hemm, engkau terlalu memandang rendah murid Bu-tong-pai!” Kakek itu ber­kata dan sudah mengepal tinju.

Dari tempat sembunyinya, Bun Beng dapat melihat jelas dari sikap pemuda itu bahwa dia tidak pandai ilmu silat, sedangkan para piauwsu itu sebagai murid Bu-tong-pai, apalagi kakek itu, tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Maka sebelum terjadi perkelahian yang tentu akan mencelakakan orang muda itu, Bun Beng melompat keluar dari tempat sembunyi­nya dan berdiri tegak di depan kakek pemimpin para piauwsu sambil berkata halus, “Tahan dulu!”

Para piauwsu memandang kepada Bun Beng penuh kecurigaan, juga orang muda itu menoleh dan memandang heran kepa­da pemuda tampan yang menyembunyikan sebagian mukanya di balik caping bundar yang lebar itu.

“Harap Cuwi-piauwsu suka menghabis­kan perkara ini, karena mendengar penu­turan saudara ini, yang bersalah adalah kongcu itu. Kurasa tidak biasanya para tokoh Bu-tong-pai bertindak sewenang-wenang!”

Mendengar ucapan itu, pimpinan piauwsu memandang tajam dan melangkah maju, membungkuk dan bertanya, “Siapa­kah Siauw-sicu (Tuan muda yang gagah) yang mengenal Bu-tong-pai dan ada hu­bungan apa Sicu dengan saudara ini?”

“Namaku Gak Bun Beng dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Twako (Kakak) ini. Aku hanya tidak ingin melihat nama besar Bu-tong-pai direndah­kan oleh para anak muridnya kalau Cu-wi hendak menggunakan kekerasan terhadap Twako yang tidak bersalah ini.”

Ucapan Bun Beng ini membuat para piauwsu menjadi serba salah. Mau marah, terang bahwa pemuda bercaping bundar ini mengangkat tinggi nama Bu-tong-pai, kalau mengalah mereka merasa penasaran sekali karena pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini sama sekali tidak mempunyai nama besar sehingga tidak sepatut­nya kalau mereka mengalah dan menyu­dahi urusan dengan orang muda itu hanya melihat muka seorang pemuda asing yang sama sekali tidak mereka kenal.

“Orang muda she Gak, permintaanmu sungguh berat sebelah. Engkau membujuk kami untuk mengalah, sebaliknya engkau membiarkan orang muda itu yang telah memukuli orang kawalan kami tanpa per­hitungan apa-apa. Mengapa engkau seba­gai seorang penengah yang bijaksana, tidak minta dia untuk mengalah dan min­ta maaf kepada yang dia pukuli sehingga urusan menjadi selesai dengan damai?”

Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata, “Sepanjang pendengaranku tadi, jelas sudah bahwa yang bersalah adalah kongcu itu dan sudah sepatutnya dia mendapatkan hajaran. Sepantasnya Cu-wi sebagai pengawalnya yang lebih mengerti tentang peraturan mintakan maaf untuk­nya kepada sahabat ini, bagaimana mung­kin Saudara ini yang telah mengalami penghinaan malah disuruh minta maaf?”

Pemimpin piauwsu itu kelihatan makin tidak senang. “Gak-sicu, agaknya engkau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga secara lancang mencampuri urusan orang dan sama sekali tidak me­mandang muka kami sebagai piauwsu yang bertanggung jawab terhadap kawalannya dan sebagai anak murid Bu-tong-pai yang siap memaafkan kesalahan orang asalkan orang itu suka mengaku salah dan minta maaf. Kami yakin Sicu mengerti akan hal ini dan melepas tangan terhadap urusan kecil ini.”

Bun Beng menggeleng kepalanya. “Cu-wi sekalian pikirlah baik-baik. Bukan aku yang mengandalkan kepandaian atau saha­bat ini yang bersalah, sebaliknya Cu-wi yang hendak mengukuhi kebaikan sendiri. Seharusnya Cu-wi malah berpandangan bijaksana, menyuruh kongcu kurang ajar itu mohon maaf kepada sahabat ini atas kekurangajarannya terhadap isteri sahabat ini. Dengan demikian baru tepatlah tin­dakan Cu-wi sebagai murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa.”

“Manusia sombong, engkau benar-benar besar kepala, tidak menghormati kami. Baiklah, kita putuskan urusan ini dengan kepandaian!”

“Oho! Cu-wi menantang malah? Sila­kan! Sahabat, mundurlah, engkau bukan tandingan orang-orang gagah ini, biar aku mewakilimu!”

“Bocah sombong, sambutlah ini!” Seo­rang di antara para piauwsu, yang bertu­buh tinggi kurus, sudah menerjang maju dan menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah dada Bun Beng. Melihat gerakan orang itu, Bun Beng maklum bahwa orang kasar itu lebih memiliki tenaga kasar daripada ilmu silat yang tinggi, maka dia pun tidak mau menangkis atau mengelak, bersikap seperti tidak tahu bahwa dia sedang dipukul.

“Bukkkk!”

“Aduuhhh....!” Orang tinggi kurus itu memekik kesakitan dan memegangi tangan kanannya yang membengkak seolah-olah yang dipukulnya tadi adalah benda dari baja yang amat keras.

Bun Beng hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mempedulikan orang yang telah memukulnya tadi melainkan memandang kepada pemimpin rombongan, kakek yang bersikap penuh wibawa itu.

“Hemmm, kiranya engkau memiliki kepandaian juga, orang muda. Pantas engkau bersikap sombong!” Kakek itu melangkah maju. “Biarlah aku memberanikan diri berkenalan dengan tubuhmu yang kebal.”

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), biarkan siauwte (adik) menghadapinya, tidak perlu Twa-suheng sendiri yang maju!” Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara mereka yang usianya hampir lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti orang menderita penyakit, kepalanya kecil dan wajahnya pucat. Melihat adik seperguruannya ini, kakek itu mengangguk, dan berkata, “Boleh engkau mencobanya, Sute. Akan tetapi hati-hatilah orang muda she Gak ini agaknya lihai sehingga dia berani bersikap keras kepala dan sombong.”

“Cu-wi yang keterlaluan, bukan aku atau keras kepala, melainkan Cu-wi sendiri yang enggan mengalah biarpuh fihak Cu-wi bersalah.” Bun Beng membantah dan memandang Si Kurus Muka Pucat itu. Dia maklum bahwa orang yang seperti berpenyakitan itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan orang kasar tadi, maka dia tidak berani memandang rendah dan bersikap hati-hati.

“Orang muda, sambutlah seranganku ini!” Orang kurus itu berseru nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke depan. Tepat seperti yang diduga oleh Bun Beng, gerakan orang itu cepat bukan main, membuktikan bahwa dia memiliki gin-kang yang sudah tinggi tingkatnya, dan dia menyerang Bun Beng bukan mengandalkan tenaga kasar seperti penyerang pertama tadi, melainkan dengan totokan jari tangan ke arah jalan darah di dada kanan dan di pundak kiri Bun Beng, dua totokan sekaligus secara berbareng!

Namun, dari sambaran angin serangan ini, Bun Beng juga sudah dapat mengukur tenaga lawan, maka dia tidak khawatir akan totokan-totokan itu, menutup jalan darahnya di pundak, kemudian dengan tenang sekali dia menyambut tangan yang menotok dadanya dengan totokan jari telunjuk tangan kirinya sedangkan totokan ke arah pundaknya dia terima begitu saja tanpa dielakkan. Jari telunjuk­nya tepat sekali menotok telapak tangan kanan lawan pada saat pundaknya juga terkena totokan tangan kiri Si Kurus Pucat itu.

“Cusss! Desss!”

“Aihhh!”

Si Muka Pucat itu berseru kaget, ce­pat melompat ke belakang, akan tetapi dia terhuyung dan lengan kanannya men­jadi lumpuh sedangkan jari tangan kirinya yang menotok pundak tadi pun merasa nyeri bukan main. Dia meringis dan menggunakan tangan kirinya mengurut-urut lengan kanan yang lumpuh ketika telapak tangannya, pada jalan darah yang berpusat di antara ibu jari dan telunjuk­nya, tertotok oleh telunjuk tangan kiri Bun Beng.

“Minggir semua!” Pemimpin para piauwsu membentak ketika melihat te­man-temannya maju, agaknya hendak mengeroyok Bun Beng. Dia terkejut bukan main melihat betapa pemuda yang ber­topi bundar lebar itu dalam segebrakan saja telah dapat mengalahkan sutenya yang dia tahu bukanlah seorang yang lemah. Mengertilah dia bahwa pemuda itu ternyata merupakan seorang yang berilmu tinggi.

“Orang muda, engkau ternyata lihai bukan main. Biarlah sekarang aku sendiri mewakili Bu-tong-pai untuk mencoba ke­lihaianmu!” Kakek itu menggerakkan ta­ngan kanannya dan terdengar suara “singgg!” ketika sebatang pedang telah dicabutnya. Pedang itu tergetar di tangan kanannya, mengeluarkan cahaya berki­lauan.

“Lo-enghiong (Orang Tua Gagah), aku tidak mau menghadapimu kalau engkau mempergunakan nama Bu-tong-pai. Per­selisihan paham di antara kita ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Bu-tong-pai, melainkansebagai orang-orang saling bertemu di jalan dan bentrok karena mempertahankan kebenaran ma­sing-masing.”

“Terserah kepadamu, akan tetapi ke­luarkanlah senjatamu. Aku ingin menyak­sikan sampai di mana kelihaianmu!” Ka­kek itu melintangkan pedangnya di depan dada dan sikapnya amat menantang. Agaknya kakek itu sudah marah sekali melihat kedua orang adik seperguruannya telah dikalahkan sedemikian mudahnya oleh pemuda yang sama sekali tidak ter­kenal di dunia kang-ouw itu.

Bun Beng tersenyum dan masih bersikap tenang. “Lo-enghiong, bentrokan di antara kita hanyalah kesalahpahaman belaka yang timbul karena Cu-wi (Anda Sekalian) merasa terlalu besar untuk mengalah, sama sekali bukan berarti bah­wa di antara kita terdapat permusuhan besar. Kita sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan pendirian dan kebenaran masing-masing dengan kepalan, mengapa sekarang Lo-enghiong mengeluarkan senjata? Senjata tidak bermata, apakah Lo-enghiong berniat untuk mem­bunuh aku hanya karena perselisihan kecil ini?”

“Orang muda, engkau memiliki ilmu silat yang lihai, apakah engkau berpura-pura tidak tahu bahwa dalam sebuah pibu (pertandingan mengadu ilmu silat), luka-luka atau kematian merupakan hal yang wajar? Sudahlah, tidak perlu kita berke­panjangan dan bicara yang tiada gunanya. Keluarkan senjatamu dan hadapi pedangku. Kalau aku kalah, baik terluka atau tewas dalam tanganmu, berarti pihakku bersalah dalam urusan ini dan kami takkan banyak cakap lagi.”

Bun Beng menarik napas panjang. Me­mang bentrokan ini tak dapat dihindarkan pikirnya. Kakek pemimpin para piauwsu ini memiliki keangkuhan tinggi. Dia merasa serba salah. Kalau dia teringat akan Ang-lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa, ketua Bu-tong-pai, sungguh tidak enak kalau dia harus bentrok dengan anak muridnya. Apalagi kalau dia teringat akan Ang Siok Bi, dara jelita puteri ketua itu, yang pernah hendak dijodohkan dengan dia! Betapapun juga, tidak mungkin dia membiarkan saja para piauwsu ini mene­kan kepada orang muda yang isterinya telah dihina itu. Akan tetapi, tak mung­kin pula dia sampai harus mengeluarkan Hok-mo-kiam seperti menghadapi seorang musuh besar saja.

“Lo-enghiong, engkau yang menghen­daki menggunakan senjata, bukan aku. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak menggunakan pedang, silakan. Aku sendiri hanya akan mengandalkan kaki dan tangan.”

Ucapan yang terus terang ini diterima salah oleh kakek itu. Dia sudah mengelu­arkan pedang, dan pemuda itu tetap hendak menghadapinya dengan tangan kosong saja, berarti pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya. Kemarahannya meluap dan dia membentak, “Pemuda sombong! Kalau begitu, rasakanlah kelihaian Bu-tong-kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)!”

“Singgg.... wirrr.... siuuuttt!”

Sinar pedang berkelebatan, tiga kali kakek itu menyerang, dua kali menusuk dan satu kali membabat. Ketika Bun Beng cepat-cepat menggerakkan tubuhnya, gerakan yang sedikit saja namun sudah dapat menghindarkan tubuhnya dari ketiga serangan itu, kakek murid Bu-tong-pai menjadi terkejut dan penasaran. Pedang­nya diputar cepat sekali sehingga lenyap­lah bentuk pedangnya, berubah menjadi gulungan sinar putih dan hanya kadang-kadang saja tampak bentuk pedang menjadi banyak. Gulungan sinar ini menyam­bar-nyambar dan mengurung tubuh Bun Beng, namun pemuda itu yang tentu saja dapat melihat dengan jelas gerakan pe­dang ini, dengan tepat dapat mengelak ke kiri, kadang-kadang menggunakan tangannya menepuk dan menyampok lengan lawan sehingga gerakan pedang itu menyeleweng. Dengan cara mengelak dan menangkis ini, Bun Beng membiarkan lawannya melakukan penyerangan sampai dua puluh jurus!

“Belum cukupkah, Lo-enghiong?” Bun Beng bertanya. Dia sengaja mengalah dan kalau secara ini kakek itu belum menger­ti bahwa kepandaiannya masih jauh kalah oleh pemuda yang diserangnya, benar-benar benar kakek itu keterlaluan sekali. Demikian pikir Bun Beng. Jago tua Bu-tong-pai itu sama sekali bukan orang bodoh atau nekat. Tentu saja dia sudah tahu. Dia kaget bukan main ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu yang berani menghadapinya dengan tangan kosong, membuat semua serangan pedangnya tidak ada artinya dan dengan mudah sekali menghindarkan semua serangan selama dua puluh jurus tanpa membalas sedikit­pun juga, padahal dia melihat sendiri betapa kesempatan untuk itu banyak terdapat. Dia tahu pula bahwa agaknya akan sukar baginya untuk dapat menang­kan pemuda itu. Namun bagaimana mung­kin dia mundur? Sekali ini, dia bertanding bukan hanya karena urusan pribadi! Karena dia sudah terlanjur mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, maka gerakan pedang­nya yang mainkan Ilmu Pedang Bu-tong-pai itu membuat dia seolah-olah bertan­ding demi nama dan kehormatan Bu-tong-pai! Inilah sebabnya mengapa dengan nekat terus menyerang tanpa memperdulikan peringatan Bun Beng.

“Cukup! Berhentilah!” Bun Beng mem­bentak nyaring, tubuhnya berkelebat ke kiri kemudian sebelum kakek itu sempat membalik, dia sudah mendahuluinya de­ngan sambaran tangan kanannya, dengan terbuka dan miring dipukulkan ke arah pedang dari samping.

“Trakkk!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek Bu-tong-pai itu ketika tiba-tiba tangannya tergetar, gagang pedang yang dipegangnya hampir terlepas dan pedang itu sendiri telah patah menjadi dua po­tong! Mematahkan pedangnya dengan sabetan tangan kosong! Dia terbelalak, akhirnya matanya yang tadi memandang pedang buntung di tangannya, dialihkan memandang kepada Bun Beng. Dia menghela napas panjang. Tahulah dia bahwa biarpun andaikata dia mengeroyok pemuda itu dengan semua saudaranya, mereka tidak akan dapat menangkan pemuda yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah ini.

“Sudahlah. Aku menerima kalah dan tidak berhak bicara lagi!” Dia menjura, kemudian melempar pedang buntungnya dan pergi dari situ, memberi isyarat ke­pada semua saudaranya yang juga tidak berani membantah. Rombongan piauwsu itu melanjutkan perjalanan dengan wajah murung, apalagi kongcu bangsawan yang kena dihajar oleh suami wanita cantik tadi dan para pengawalnya tidak mampu menebus penghinaan dan malu yang di­deritanya!

“Terima kasih, Taihiap. Saya akan menjemput isteri saya untuk bersama-sa­ma menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap!” Orang muda itu cepat lari ke tepi telaga untuk menjem­put isterinya yang tadi masih bersembu­nyi tidak berani naik karena suaminya berkelahi dengan kongcu yang menggodanya. Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia tidak membutuhkan terima kasih, maka menggunakan kesempatan selagi orang itu pergi menjemput isterinya, dia pun menggerakkan kakinya meninggalkan tempat itu.

Pekik melengking yang didengarnya datang dari telaga itu menahan gerak kaki Bun Beng. Dia membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan jauh telah tiba di pinggir telaga, meloncat turun dan memandang dengan mata terbuka lebar kepada suami yang menangisi isterinya itu. Wanita muda cantik yang tadi dilihatnya merendam tubuhnya ke dalam air telaga, kini telah menggeletak tanpa nyawa dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar tanda mati tercekik.

Suami itu menoleh dan dengan suara terisak berkata, “Dia.... dia diperkosa.... dan dibunuh....!”

Bun Beng sudah meloncat lagi ke atas dan berlari cepat sekali melakukan pe­ngejaran. Siapa lagi yang melakukan perbuatan terkutuk itu kalau bukan seorang di antara rombongan piauwsu tadi! Bahkan mungkin sekali kongcu yang melampiaskan dendamnya dengan mem­perkosa dan membunuh Si Isteri selagi suami wanita itu ribut bertengkar dengan para piauwsu. Jahanam, harus kudapatkan pembunuh biadab itu, pikirnya.

Karena Bun Beng mempergunakan il­mu berlari cepat, sebentar saja dia sudah berhasil menyusul rombongan itu. “Ber­henti....!” serunya dengan suara nyaring.

Kakek pemimpin rombongan dan sau­dara-saudaranya terkejut sekali ketika tiba-tiba pemuda bercaping bundar yang lihai itu telah berada di depan mereka tanpa mereka ketahui lewatnya! Kakek itu segera mengangkat tangan menyuruh rombongannya berhenti, di dalam hatinya penuh dugaan mengapa pemuda itu me­ngejar mereka. Menduga bahwa pemuda itu berniat buruk, mungkin seorang pe­rampok tunggal yang hendak merampok barang kawalan dalam kereta, dia sudah meloncat ke depan, menghadapi pemuda itu dengan pandang mata tajam.

“Gak-sicu mengejar kami ada kehendak apakah?”

Bun Beng yang masih marah sekali itu tidak menjawab, hanya matanya ber­gerak memandang ke sekelilingnya, mene­liti para piauwsu seorang demi seorang. Dia tahu bahwa para piauwsu itu tidak ada yang berkesempatan melakukan pem­bunuhan, karena dia melihat mereka itu semua bersiap-siap ketika terjadi perselisihan. Akan tetapi ketika melihat seo­rang pemuda berpakaian mewah menje­nguk keluar dari dalam kereta yang dikawal, pemuda yang pipi kanannya masih bengkak, dia segera mengenjot tubuhnya, meloncat ke dekat kereta, dan sekali menggerakkan tangannya, dia telah menangkap leher baju pemuda berpakaian mewah itu dan menariknya turun dari kereta!

“Ouhh.... ehhh.... ada apa ini....? Para piauwsu, tolong....!” Pemuda bangsawan itu ketakutan dan berteriak-teriak.

 “Gak-sicu, harap lepaskan dia. Apa artinya perbuatanmu ini?”

“Semua mundur! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian para piauwsu, akan tetapi aku ingin bertanya kepada kongcu ini!” Bentak Bun Beng dengan suara nyaring karena marah. Menyaksikan sikap Bun Beng, para piauwsu menghentikan gerakan kaki mereka yang tadinya hendak mengeroyok untuk menolong kongcu pute­ra bangsawan yang mereka kawal. Kini mereka memandang kepada Bun Beng dengan penuh keheranan. Ada urusan apalagi dengan kongcu itu?

Bun Beng menggunakan kekuatan ta­ngannya mengguncang tubuh kongcu itu, kemudian mencengkeram pundaknya dan membentak, “Hayo engkau mengaku, apa yang telah kaulakukan di tepi telaga tadi ketika terjadi pertandingan!”

“Aku.... aku.... tidak melakukan apa-apa.”

“Jangan bohong engkau! Kuhancurkan kepalamu kalau kau membohong!” Bun Beng membentak, makin marah. “Engkau berada di mana ketika terjadi pertanding­an!”

“Aku.... aku berada di dalam kereta.... augghh, lepaskan aku....!”

“Gak Bun Beng! Engkau sungguh ke­terlaluan!” Tiba-tiba kakek pemimpin para piauwsu membentak dan melompat dekat, tangannya sudah memegang seba­tang pedang yang dipinjamnya dari seo­rang sutenya. “Kalau engkau tidak segera melepaskan Chi-kongcu, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”

Bun Beng melepaskan pundak Chi-kongcu, sadar bahwa dia terburu nafsu karena betapa pun mencurigakan keadaan kongcu itu, tanpa bukti tak mungkin dia dapat menyalahkannya begitu saja.

“Aku menuduh dia ini memperkosa dan membunuh isteri saudara muda yang di­ganggunya tadi.”

“Apa....?” Kakek murid Bu-tong-pai itu bertanya dengan kaget sekali.

“Untuk membikin terang perkara pe­nasaran ini, kuharap Cu-wi piauwsu dan Chi-kongcu ini suka kembali ke telaga agar kita bersama melakukan penyelidikan dan yang bersalah harus dihukum!” Bun Beng mengerling kepada Chi-kongcu. Akan tetapi kongcu itu kini mengangkat dada dan berkata penasaran,

“Aku sudah lancang menggoda wanita dengan kata-kata memuji kecantikannya dan untuk itu aku sudah dipukul oleh suaminya. Sekarang, aku tidak tahu-me­nahu tentang perkosaan dan pembunuhan. Hayo kita ke sana dan menyelidiki, aku tidak takut karena aku tidak berdosa!”

Sikap dan kata-kata Chi-kongcu ini membuat Bun Beng makin bingung dan meragu. Akan tetapi dia lega melihat rombongan itu tidak membantah dan suka memenuhi pemintaannya. Beramai-ramai mereka kembali ke tepi telaga.

“Heiiii!”

“Ihhhh!”

Seruan-seruan kaget ini terdengar dari mulut para piauwsu, sedangkan Bun Beng sendiri berdiri memandang dengan mata terbuka lebar. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati pemuda ini melihat dua tubuh yang menggeletak tan­pa nyawa di tepi telaga itu. Tubuh wani­ta muda yang masih telanjang bulat, dan tubuh suaminya yang juga sudah menjadi mayat tanpa luka!

“Gak-sicu, apa maksudmu membawa kami ke sini? Apakah engkau juga hendak mengatakan bahwa orang muda ini dibu­nuh oleh Chi-kongcu atau oleh kami?” Pemimpin piauwsu itu bertanya dengan suara lantang dan bernada tajam.

Bun Beng menggeleng kepala, matanya masih memandang mayat orang muda itu. “Aku tidak mengerti.... tadi dia masih hidup menangisi isterinya....”

“Apakah engkau masih menuduh Chi-kongcu membunuh wanita itu?”

Kembali Bun Beng menggeleng kepala­nya. “Agaknya bukan dia.... sungguh aneh sekali....”

“Sama sekali tidak aneh!”

Suara kakek murid Bu-tong-pai itu membuat Bun Beng menoleh dan meman­dang penuh pertanyaan. “Apa maksudmu, Lo-enghiong?”

“Menurut dugaanku, pembunuh suami isteri ini tentu hanya satu orang, dan agaknya seorang yang lihai sekali tangan­nya, dapat membunuh tanpa menggunakan senjata! Lihat, wanita itu dicekik, dan laki-laki itu tidak terluka, akan tetapi di pelipis kirinya terdapat tanda tapak jari tangan! Jadi, tidak mungkin dilakukan oleh Chi-kongcu yang jelas kalah oleh laki-laki muda ini. Lebih tepat kalau mereka ini dibunuh oleh seorang yang ahli dengan ilmu silat tangan kosong!” Kalimat terakhir ini diucapkan oleh kakek itu dengan nada yang jelas, apalagi keti­ka semua piauwsu itu memandang kepada Bun Beng dengan mata penuh tuduhan!

“Apa? Kalian.... kalian gila kalau me­nuduh aku!”

Chi-kongcu yang berjalan mendekat segera berkata, “Ada saatnya menuduh dan ada saatnya dituduh! Kalau kita ber­dua sama-sama menjadi tertuduh, agaknya keadaanmu lebih berat, Gak-sicu!”

Bun Beng mengerutkan alisnya. “Hemm, kalau aku membunuh mereka, apa gunanya aku mengejar dan menyusul kalian dan kuajak ke sini?”

“Gak-sicu, kami tidak seperti engkau yang suka menuduh orang secara sembarangan saja. Akan tetapi andaikata eng­kau dituduh, perbuatanmu menyusul dan mengajak kami ke sini pun tidak aneh. Mungkin sekali seorang pembunuh akan mempergunakan akal ini untuk menarik kami sebagai saksi akan kebersihannya!”

“Apa? Dan kalian tentu bersedia men­jadi saksi bahwa aku bukanlah pembunuh dua orang ini!”

Kakek itu menggeleng kepala. “Tak mungkin kami menjadi saksi yang sem­brono seperti itu, Sicu. Engkau seorang pemuda yang amat aneh, mencampuri urusan kami, memiliki ilmu silat tangan kosong yang mentakjubkan akan tetapi tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bagai­mana kami berani menanggung bahwa bukan engkau pembunuhnya? Sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa kami menu­duhmu, untuk itu pun masih belum ada bukti dan saksinya.”

Bukan main marahnya Bun Beng. Dia menolong suami isteri itu, dan tadinya berusaha mencari sampai dapat pembunuh wanita muda itu. Siapa kira, sekarang keadaan membuat dia malah menjadi tertuduh, bukan hanya sebagai pembunuh wanita muda itu, juga pembunuh suami­nya!

“Pergi! Pergi kalian!” Bentaknya marah karena dia khawatir kalau-kalau kemarahannya membuat dia kehilangan kesabaran dan menghajar rombongan piauwsu itu. Para piauwsu segera mening­galkan tempat itu dan Bun Beng lalu menggali lubang, mengubur suami isteri yang tidak pernah dikenalnya itu sambil berpikir-pikir siapa gerangan pembunuh suami isteri ini? Mengapa membunuh mereka secara demikian penuh rahasia, dan seolah-olah ada hubungannya dengan dia? Siapakah pembunuh itu, dan apakah Si Pembunuh melakukan hal itu dengan sengaja untuk merusak namanya agar dia disangka seorang pemerkosa dan pem­bunuh?

Dengan hati penuh penasaran Bun Beng tidak segera meninggalkan telaga itu setelah selesai mengubur jenazah sua­mi isteri yang bernasib malang itu. Dia melakukan penyelidikan, tidak hanya di sekitar tempat pembunuhan, bahkan dia lalu melakukan penyelidikan di sekeliling telaga itu. Akan tetapi, para penghuni dusun-dusun di sekitar telaga itu adalah petani-petani sederhana. Ketika dia mencari keterangan dari mereka, terdapat jawaban bahwa suami isteri yang ditanya­kan oleh Bun Beng itu bukanlah penduduk dusun itu.

“Di sini sering kedatangan pelancong-pelancong dan agaknya orang-orang yang kongcu tanyakan itu adalah suami isteri pelancong pula.” Demikian jawaban yang ia dapatkan.

Menjelang malam, perhatian Bun Beng tertarik akan sebuah pondok terpencil yang berada di sebelah timur telaga itu. Pondok ini bukan seperti rumah penduduk dusun yang sederhana, melainkan lebih pantas rumah pondok seorang bangsawan atau hartawan yang sengaja membangun pondok di tempat itu untuk tempat peristirahatan, terbuat dari kayu dan atap­nya dari genteng dicat cukup indah. Pondok terpencil itu sunyi, bahkan keli­hatannya kosong. Bun Beng mengambil keputusan untuk menyelidiki pondok itu dan kalau memang kosong, akan mele­watkan malam itu di dalam pondok.

Akan tetapi ketika dia mendekat, dia melihat penerangan api menyorot keluar dari dalam pondok. Bukan pondok kosong, pikirnya dengan hati tegang. Keadaan pondok ini amat mencurigakan dan siapa tahu pembunuh yang dicarinya berada di dalam pondok ini.

Setelah malam tiba, dengan gerakan ringan sekali Bun Beng menyelinap di bawah bayangan pohon-pohon, mendekati pondok, kemudian setelah mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak melihat atau mendengar sesuatu, Bun Beng me­loncat ke atas genteng pondok itu, cepat dan ringan seperti seekor burung. Tanpa mengeluarkan suara dia melangkah di atas genteng, kemudian menemukan se­buah lubang di antara genteng dan meng­intai ke bawah.

Apa yang dilihatnya di dalam pondok itu membuat dia kecewa dan terheran. Hanya seorang kakek berpakaian seperti sastrawan, dan seorang dara cantik ber­pakaian mewah, dan indah seperti kebia­saan dara-dara bangsawan atau dara har­tawan di kota besar! Keduanya merupa­kan orang-orang yang sukar dituduh melakukan perkosaan dan pembunuhan!

Akan tetapi, siapa tahu? Di dalam dunia kaum sesat, bukan hanya laki-laki muda yang menjadi jai-hwa-cat (penjahat peme­tik bunga atau pemerkosa), bahkan banyak pula kakek-kakek yang suka mem­perkosa wanita muda! Maka dia segera mendekam di atas genteng dan mengintai sambil mendengarkan. Siapa tahu kakek itu seorang penjahat besar yang berpakai­an sastrawan. Buktinya berada di dalam pondok bersama seorang dara cantik, berdua saja!

“Kim Bwee, kenapa kau sering kali menyusul aku ke sini? Bukankah kau lebih senang di kota raja! Tempat ini sepi sekali dan aku tidak mempunyai apa-apa di sini.”

“Mengapa Kong-kong meninggalkan ka­mi dan tinggal di tempat sepi ini? Sejak kecil Kong-kong mendidikku dengan ilmu silat dan ilmu sastera, setelah Kong-kong (Kakek) pergi, tidak ada lagi yang me­ngajarku. Maka aku minta ijin Ayah dan Ibu untuk tinggal bersama Kakek di sini selama satu bulan.”

Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih dan panjang. Dia berusia enam pu­luh lebih, berwajah terang dan ramah, gerak-geriknya halus. “Aneh sekali kau, Kim Bwee. Semua gadis seperti engkau tentu lebih suka tinggal di kota. Pula, semua sudah kuajarkan kepadamu, apalagi dapat kuajarkan sekarang?”

“Sajak-sajak itu, Kong-kong! Sajak buatan Kong-kong membuat aku rindu kepadamu. Aku ingin selama sebulan ini Kong-kong membuatkan sajak-sajak un­tukku!”

“Hemm, engkau sendiri pandai mem­buat sajak yang jauh lebih indah daripada buatanku. Engkau tentu tahu bahwa sajak dibuat orang menurut getaran perasaan masing-masing, tentu saja untuk menu­angkan perasaan itu ke dalam huruf-huruf harus ada kepandaian menguasai seni mengatur kata-kata itu, barulah akan tercipta sajak yang indah. Perasaanmu sebagai wanita jauh lebih halus daripada aku, karenanya engkau lebih pandai membuat sajak yang menyentuh rasa.”

“Ahh, Kong-kong terlalu memuji! Aku senang sekali membaca sajak-sajak Kong-kong yang selalu mengandung kekuatan yang dahsyat dalam menuangkan sesuatu, seolah-olah gerakan pedang tajam yang mengupas segala sesuatu sehingga tidak hanya tampak kulitnya saja melainkan tampak isinya yang paling dalam!”

“Itu adalah hasil dari pandangan sese­orang akan sesuatu yang dilihatnya....”

“Pandangan Kong-kong itulah yang hebat, seolah-olah Kong-kong dapat meli­hat sampai tembus segala sesuatu. Bagai­manakah caranya agar dapat memiliki pandangan seperti itu, Kong-kong?”

“Hanya dengan membebaskan pandang­an itu sendiri, cucuku yang baik. Biasa­nya, kita memandang sesuatu, baik itu benda mati mau pun hidup, binatang mau pun manusia, dengan pandangan yang tidak bebas sama sekali. Kita memandang sesuatu biasanya melalui tabir yang beru­pa prasangka, penilaian, kesimpulan se­hingga pandangan kita menjadi suram, bahkan menjadi palsu karena yang kita pandang bukanlah apa yang ada melainkan tafsiran-tafsiran dari apa yang ada itu. Pandangan kita menjadi dangkal, jangankan menangkap isinya, bahkan menangkap kulitnya saja pun masih belum lengkap.”

Dengan gerakan lucu dara itu mem­belalakkan matanya dan berkata manja, “Aihhh! Aku menjadi bingung, Kong-kong! Coba jelaskan lagi, aku tadi tidak me­ngerti apa yang Kong-kong maksudkan. Apakah cara memandang saja pun ada ilmunya?”

Kakek itu tertawa. “Bukan ilmu, ka­takanlah seni! Seni memandang memang ada, dan juga seni mendengar. Hidup kita ini seluruhnya dipengaruhi oleh keduanya itu, maka sudah sepatutnya kalau kita mengenal akan seni memandang dan seni mendengar ini, yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.”

“Wah, terdengarnya aneh dan lucu, Kong-kong. Masa untuk memandang dan mendengar saja harus ada seninya? Setiap orang bisa memandang atau mendengar, asalkan dia tidak buta dan tidak tuli.”

“Ha-ha-ha, benarkah demikian? Kurasa tidak begitu, cucuku. Di dunia itu lebih banyak orang buta dan tuli, sungguhpun mata dan telinganya tidak rusak. Bahkan sesungguhnya, sudah tidak ada lagi yang disebut memandang atau mendengar sesuatu seperti apa adanya. Yang kita pandang dan dengar adalah bayangan pi­kiran kita, dan bayangan pikiran kita itu tentu saja sama sekali bukan hal yang sesungguhnya, bukan apa adanya.”

“Aku masih bingung, Kong-kong. Coba beri contoh.”

“Biasanya kita mendengarkan dengan pikiran penuh berisi tanggapan, prasangka, penilaian dan kesimpulan. Kalau engkau membaca sesuatu atau mendengarkan aku sekarang ini dengan pikiran penuh tafsir­an, prasangka, penilaian atau kesimpulan akan benar tidaknya, baik buruknya, maka engkau tidak dapat mendengarkan dengan sesungguhnya dan akan kehilangan inti­sarinya. Yang menjadi bagianmu hanyalah pertentangan antara tanggapan-tanggapan­mu, penilaian dan prasangkamu sendiri. Demikian pula kalau engkau memandang sesuatu. Kalau engkau memandang seseo­rang dengan pikiran berisi kenangan akan orang itu di masa lalu, maka pandangan­mu akan terisi penuh dengan prasangka, penilaian dan lain-lain itu sehingga bukan orang itu yang kaupandang, melainkan bayangan melalui kenanganmu! Dengan demikian, timbullah rasa suka, rasa benci, rasa khawatir dan lain-lain! Karena itu kita harus tahu akan seni memandang dan mendengar ini.”

“Akan tetapi, Kong-kong. Bagaimana mungkin mendengar sesuatu tanpa memi­kirkannya, tanpa menilai dan menarik kesimpulan akan baik buruknya, merdu tidaknya apa yang kita dengar itu?”

“Nah, itulah salahnya dengan pende­ngaran kita! Kita menginginkan sesuatu dari apa yang baik ingin kita dengar, yang baik ingin kita dengar terus, yang buruk ingin kita jauhi, maka terjadilah pertentangan dan persoalan! Kita men­dengar suara orang bicara ribut-ribut, merasa bising dan pening. Mengapa? Ka­rena kita tidak mau mendengarnya, tidak suka mendengarnya, menganggap meng­ganggu dan sebagainya. Coba kita mendengarkan tanpa penilaian, mendengar tanpa aku yang mendengar, mendengar apa adanya, takkan timbul gangguan. Demikian pula dengan seni memandang. Kita memandang penuh perhatian, namun tanpa tanggapan, tanpa keinginan, dengan pikiran bebas dan kosong dari kenangan, maka tidak akan ada istilah pandangan menyenangkan atau tidak, dan pandangan kita akan dapat melihat dengan jelas akan sesuatu seperti apa adanya! Menger­tikah engkau?”

Dengan gerakan lucu, gadis itu meng­garuk-garuk kepalanya di belakang telinga kanan. “Dikatakan mengerti, rasanya be­gitu sukar diterima. Dibilang tidak me­ngerti, aku dapat merasakan kebenaran­nya, Kong-kong. Dan.... heiii!” Gadis itu terkejut dan terbelalak karena tiba-tiba kakek itu melontarkan pit (pena bulu) yang tadi dipegangnya itu ke atas. Benda yang biasanya dipergunakan sebagai alat tulis itu melesat ke atas, kini berubah menjadi senjata rahasia yang amat hebat, menembus atap dan menyambar ke arah dada Bun Beng! Pemuda ini tadi mende­ngarkan dengan penuh perhatian. Dia tertarik sekali sehingga lupa keadaan dan lupa diri, lupa bahwa dia mengintai dan mendengarkan percakapan orang lain! Maka begitu dia diserang sambaran pit yang cepat, dia terkejut bukan main, tangannya menyambar cepat dan pit da­pat ditangkapnya! Terkejut juga dia merasakan betapa benda itu menggetar di tangannya, tanda bahwa pelemparnya memiliki sin-kang yang kuat sehingga pit yang sudah menembus atap itu masih mengandung tenaga yang kuat!

“Locianpwe (Orang Tua Gagah) yang berada di bawah harap sudi memaafkan saya atas kelancangan saya....” Bun Beng cepat berkata nyaring karena tidak ingin diserang lagi. Dia sudah merasa bersalah dan kini dia tidak meragukan lagi akan kebersihan kakek itu. Orang yang bicara seperti itu tak mungkin menjadi seorang penjahat keji! Maka tanpa ragu-ragu dia minta maaf.

“Sahabat yang berada di atas harap turun untuk memberi penjelasan!” Suara kakek itu masih bernada halus akan teta­pi terdengar penuh wibawa. Mendengar ini, Bun Beng merasa tidak enak untuk pergi begitu saja. Dia sudah merasa bersalah, maka tanpa menjawab dia lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan hati-hati.

Kakek itu dan cucunya memandang dengan kagum karena gerakan Bun Beng ketika meloncat turun itu sudah membuk­tikan bahwa kepandaian pemuda bercaping lebar itu amat tinggi. Bun Beng cepat membungkuk dan mengangkat kedua ta­ngan depan dada memberi hormat kepada kakek itu, kemudian kepada gadis cantik yang memandangnya dengan sepasang mata indah terbuka lebar.

“Saya Gak Bun Beng mengaku salah, harap Locianpwe sudi memaafkan saya,” kata Bun Beng sambil memberi hormat.

Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya. “Menyadari akan kesalahan sendiri berarti menghapus kesalahan itu. Aku Lu Kiong bukanlah orang yang tak dapat menghabiskan urusan kecil seperti ini. Akan tetapi kulihat engkau bukan penjahat, maka aku merasa penasaran sebelum mendengar penjelasanmu mengapa engkau yang muda dan sopan ini sampai mengintai di atas pondokku.”

Maka dengan singkat berceritalah Bun Beng tentang seorang pemerkosa dan pembunuh yang berkeliaran di daerah telaga itu, betapa pembunuh itu telah melakukan pembunuhan kepada suami isteri pelancong dan bahwa dia berusaha mencari jejak pembunuh itu.

“Saya sudah mencari ke sekeliling te­laga, akan tetapi tidak ada apa-apa di dalam dusun-dusun di sekitar sini. Ketika melihat pondok terpencil ini yang keada­annya berbeda dengan rumah-rumah pen­duduk, timbul kecurigaan saya dan mela­kukan penyelidikan, harap Locianpwe suka memberi maaf.”

“Aaahh, kalau begitu persoalannya, tidak perlu minta maaf, Gak-sicu! Hi­langkan kecurigaanmu terhadap kami. Aku bernama Lu Kiong, seorang pensiunan pengawal Kaisar yapg mengundurkan diri dan ini adalah Lu Kim Bwee, cucuku.”

Wajah Bun Beng menjadi merah sekali dan ia kembali menjura dengan hormat. “Maaf telah berlaku kurang ajar....”

“Tak perlu banyak sungkan, Sicu. Tin­dakanmu benar dan Si Laknat itu harus ditangkap! Kurasa dia tidak akan pergi jauh dari daerah ini. Marilah aku mem­bantumu mencarinya. Kim Bwee, kau menunggu di sini dan berjagalah karena ada penjahat berkeliaran.”

Gadis itu mengangguk dan kakek itu kembali memandang kepada Bun Beng. “Mari kubantu mencari. Sebaiknya kita berpencar, engkau ke kiri dan aku ke kanan mengelilingi telaga dan kembali bertemu di pondokku ini.”

“Baik, dan terima kasih atas bantuan Locianpwe. Harap Locianpwe suka mene­rima kembali ini....” Bun Beng menyerah­kan pit yang tadi menyambarnya.

Kakek Lu Kiong menerimanya sambil tersenyum. “Mudah-mudahan saja penjahat itu tidak akan selihai engkau, Sicu, dan pit-ku akan merobohkannya.”

Keduanya lalu keluar dari pondok. Mereka berpencar dan melakukan penyeli­dikan mengelilingi telaga. Akan tetapi malam itu sunyi dan tidak terjadi sesuatu di sekeliling telaga itu. Biarpun telaga itu tidak sangat luas, akan tetapi mela­kukan penyelidikan pada malam hari dengan mengelilinginya, membutuhkan waktu tidak kurang dari dua jam barulah Bun Beng tiba kembali di depan pondok kakek Lu tanpa hasil.

“Jahanam keparat....!”

Bun Beng kaget bukan main ketika mendengar bentakan nyaring dan halus ini, apalagi ketika ada sinar pedang me­nyambar. Ketika dia cepat mengelak dan melirik, kiranya gadis cucu kakek Lu itulah yang menyerangnya dari kiri, me­nusukkan pedang ke arah dadanya, dan lebih kaget lagi dia ketika dari kanan menyambar angin pukulan dahsyat pula dibarengi bentakan suara kakek Lu. “Ma­nusia iblis!” Hanya dengan kecepatan gerakannya yang luar biasa saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari sambaran sepasang pit yang menotok jalan darahnya secara bertubi dari samping kanannya.

“Eh.... eh.... tahan dulu! Apakah artinya ini, Lu Locianpwe?” Bun Beng berseru kaget dan heran, dan mulai curiga lagi. Jangan-jangan kakek dan cucunya ini yang menjadi pembunuh! Siapa tahu, kakek itu seorang tokoh kaum sesat yang lihai, dan gadis yang dikatakan “cucunya” itu adalah pembantunya!

“Mau bicara apa lagi? Keparat!” Ga­dis itu kembali menyerang dan kini dia mainkan pedang, membacok bertubi-tubi sambil terisak menangis!

“Nona.... eh, tahan dulu....! Setidak­nya.... aku minta penjelasan lebih dulu....!”

“Penjelasan apa lagi? Manusia bia­dab....!” Pedang itu kembali menusuk dengan cepat sekali, namun untuk kese­kian kalinya, dengan mudah Bun Beng mengelak sambil melompat jauh ke be­lakang menghadapi Kakek Lu sambil ber­kata dengan suara penuh penasaran, “Locianpwe, apa artinya ini? Harap jelas­kan, kalau memang aku bersalah aku tidak akan lari dari hukuman!”

Kakek itu berkata halus kepada cucu­nya, “Kim Bwee, tahan dulu senjatamu. Biar aku bicara dengan keparat ini!” Ke­mudian dia menghadapi Bun Beng sedang­kan gadis itu menangis terisak-isak dengan suara penuh kedukaan.

“Gak Bun Beng, sungguh aku tidak mengira bahwa engkau adalah seorang penjahat muda yang curang dan licik. Engkau sengaja memancing aku keluar dari pondok untuk melakukan kekejian yang terkutuk, dan masih engkau berani berpura-pura tidak tahu apa-apa! Kiranya pemerkosa dan pembunuh yang kausebut-sebut tadi bukan iain adalah engkau sendiri keparat!”

“Locianpwe....!”

“Sudahlah, tak perlu sandiwara pula. Sekarang juga engkau harus mengambil keputusan dan pilihan. Menikah dengan cucuku untuk membersihkan namanya atau mati di tangan kami!”

“Locianpwe! Aku.... aku tidak merasa telah melakukan kesalahan....”

“Kong-kong, apa perlunya bicara de­ngan iblis macam dia? Kita bunuh saja dia, kemudian aku akan membunuh diri....!”

“Tunggu dulu, Kim Bwee! Eh, Gak Bun Beng, apakah engkau hendak menyangkal pula bahwa engkau tadi telah sengaja memancing aku pergi, kemudian diam-diam kau datang ke pondok, secara cu­rang menotok roboh cucuku, memadamkan lampu dan memperkosanya?”

“Apa....?” Mata Bun Beng terbelalak lebar dan mukanya pucat sekali. “Aku tidak melakukan hal itu, Locianpwe. Demi Tuhan....!”

“Bangsat!” Kim Bwee menjerit marah. “Apakah kaukira mataku buta? Sebelum lampu dipadamkan, aku masih melihat engkau!”

“Benarkah, Nona? Benarkah engkau melihat aku yang melakukan hal itu?”

“Aku melihat pakaianmu, capingmu. Biar kau menyembunyikan muka, aku masih mengenal bentuk tubuh, pakaian dan capingmu!”

“Fitnah belaka! Aku tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Harap Nona dan Locianpwe suka percaya kepadaku....!”

“Singgg....!” Pedang itu telah menyambar dan dari belakangnya, sepasang pit di tangan kakek itu pun menotoknya. Bun Beng cepat meloncat ke atas, berjungkir-balik dan melesat keluar. Dia maklum bahwa percuma saja menyangkal fitnah itu, percuma saja meyakinkan kakek dan cucunya itu bahwa bukan dia yang mela­kukan perbuatan keji itu. Dia maklum pula bahwa kakek itu memiliki kepandai­an tinggi, dan kalau dia tidak cepat-ce­pat dapat menangkap penjahat yang melakukan semua perbuatan itu, dia akan terus dimusuhi.“Aku bersumpah akan menangkap penjahat yang melakukan kejahatan dan fitnah terhadap diriku itu, Nona!” Setelah berkata demikian, Bun Beng berlari cepat meninggalkan tempat itu. Kakek dan cucunya berusaha mengejar, namun mere­ka tidak dapat menandingi gerakan Bun Beng sehingga sebentar saja pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam

Gadis itu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Tiba-tiba pedang­nya berkelebat ke arah lehernya sendiri.

“Tringgg....!” Pedang itu terlepas dari pegangannya ketika disambar oleh sepa­sang pit yang dilontarkan oleh kakek Lu Kiong.

“Kim Bwee! Jangan putus asa, dan jangan melakukan perbuatan pengecut itu! Kita telah mengetahui namanya, den andaikata aku sendiri tidak mampu me­nangkapnya, aku mempunyai banyak te­man-teman yang berilmu tinggi yang tentu akan suka membantuku mencari Gak Bun Beng dan menuntut dia mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menikah denganmu atau mati di tangan­mu.”

Gadis itu menangis dengan sedih. Be­tapa tidak hancur hatinya? Dia seorang dara yang menjunjung tinggi nama dan kehormatan, cucu dari bekas pengawal Kaisar yang terkenal. Kini dia telah di­nodai orang, seorang muda yang tadinya amat menarik hatinya, dan pemuda itu ternyata seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat yang kejam!

Bukan hanya Kim Bwee dan kakeknya yang berduka dan marah. Bun Beng yang melarikan diri itu pun marah sekali dan andaikata dia dapat berhadapan dengan penjahat yang telah memperkosa Kim Bwee, yang dia duga tentulah penjahat yang membunuh suami isteri di tepi tela­ga siang hari tadi pula, tentu dia akan menerjangnya dan takkan berhenti kalau belum melihat penjahat itu dapat ditang­kap atau dibunuhnya!

Akan tetapi, kemarahannya itu ber­campur dengan keheranan dan juga ke­bingungan. Mengapa penjahat yang tentu amat lihai itu seperti sengaja melakukan kejahatan untuk menjatuhkan fitnah kepa­danya? Agaknya penjahat itu sengaja hendak membikin buruk namanya dan kalau benar demikian, mengapa dan siapakah orang itu? Dia menjadi bingung, tak dapat menduga-duga siapa gerangan orang yang memusuhinya secara diam-diam itu, sukar dia menduga siapa musuh rahasia itu dan dia pun tidak tahu bagai­mana harus mencarinya dan ke mana karena penjahat itu sama sekali tidak meninggalkan jejak. Betapapun juga, dia tidak putus harapan. Setelah dua kali melakukan perbuatan terkutuk yang agak­nya disengaja untuk merusak namanya, tentu penjahat itu takkan berhenti di situ saja. Dia mengharap penjahat itu akan turun tangan lagi untuk menjatuhkan fit­nah, atau bahkan untuk menyerangnya secara langsung agar dia berhadapan muka dengan musuh rahasia itu. Karena tidak tahu harus mencari ke mana, Bun Beng melanjutkan perjalanannya ke utara dalam usahanya mencari kekasihnya yang dia duga tentu diculik oleh Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu.

Dalam perjalanannya ini, Bun Beng bersikap hati-hati sekali karena dia men­duga bahwa tentu musuh rahasianya itu diam-diam membayanginya. Beberapa kali dia mempergunakan kepandaian untuk tiba-tiba membalik dan lari ke belakang, bahkan beberapa kali kalau dia bermalam di losmen, diam-diam dia lolos dari ka­marnya untuk mengintai keluar. Namun tak pernah dia melihat bayangan orang sehingga diam-diam dia merasa khawatir. Apakah musuh rahasia itu tidak memba­yanginya, ataukah kepandaian musuh itu amat luar biasa?

***

“Milana, engkau sungguh kejam dan tidak mengenal budi! Kurang baik bagai­manakah aku terhadap dirimu? Engkau bebas di sini, bahkan selama tiga bulan ini aku membujuk guruku untuk menurun­kan ilmu-ilmu yang tinggi kepadamu. Aku selalu bersabar, mengharapkan engkau akan sadar akan besarnya cintaku, dan membalas perasaanku yang suci murni kepadamu. Akan tetapi ternyata engkau selalu dingin, cintamu tak kunjung datang. Lebih mudah menanti bertitiknya air em­bun daripada menanti balasan kasihmu. Milana, tidak kasihankah engkau kepada­ku?”

Milana yang duduk di atas bangku memandang pemuda tampan yang berlutut di depannya. Dia menghela napas panjang. Harus diakuinya bahwa selama dia berada di Pulau Neraka, Wan Keng In bersikap baik sekali kepadanya, tidak pernah ber­sikap kasar, tidak pernah menyinggung perasaannya, apalagi memaksanya, bahkan selalu berusaha untuk menyenangkan hati­nya. Taman yang indah ini dibuat oleh pemuda itu untuknya! Sebuah pondok yang mungil dibangun pula oleh anak buah Pulau Neraka atas perintah pemuda itu. Semenjak Milana berada di pulau itu, anak buah Pulau Neraka sibuk terus un­tuk menyediakan segala kebutuhan makan dan pakaian dara itu seperti yang dipe­rintahkan Wan Keng In. Bahkan gurunya, Cui-beng Koai-ong yang berwatak aneh itu dapat pula dibujuk oleh Keng In sehingga berkenan menurunkan beberapa macam ilmu silat aneh yang lihai kepada Milana.

“Keng In, engkau tahu bahwa cinta tak mungkin dapat dipaksakan. Cinta tidak mungkin dapat dibiasakan atau di­pelajari! Karena itu, percuma saja engkau membujukku. Aku tidak menyalahkan kalau engkau cinta kepadaku seperti yang sudah ribuan kali kaukatakan kepadaku. Aku malah menaruh iba kepadamu karena cintamu yang hanya sepihak dan sia-sia itu. Keng In, sadarlah engkau. Menurut penuturanmu, di antara engkau dan aku masih ada hubungan keluarga. Ibumu ada­lah adik angkat ayahku, mengapa kita tidak dapat menjadi saudara misan yang baik?”

“Tidak!” Tiba-tiba Keng In meloncat bangun, alisnya berkerut dan dia menekan kemarahan dan kekecewaannya. “Aku tidak ingin menjadi saudaramu! Aku ingin menjadi suamimu! Perlukah ini kuulangi terus? Pula, ibuku hanya saudara angkat ayahmu, jadi tidak ada hubungan darah sama sekali. Engkau harus menjadi isteri­ku, Milana. Aku cinta kepadamu, cinta yang akan kubela dengan darah dan nya­waku.”

“Akan tetapi, aku tidak cinta kepadamu, Wan Keng In.”

“Asal engkau suka menjadi isteriku, dengan suka rela tanpa paksaan, engkau akan dapat mencinta kepadaku kelak.”

“Tidak mungkin!”

“Milana, seorang wanita memang tak mungkin jatuh cinta kepada seorang pria betapa pun pria itu mengusahakannya, akan tetapi hanya kalau wanita itu sudah mencinta seorang pria lain! Apakah eng­kau sudah jatuh cinta kepada seorang pria lain?”

Hati Milana meneriakkan nama Gak Bun Beng akan tetapi mulutnya ditutup rapat dan dia tidak menjawab. Rahasia itu tidak perlu diketahui orang lain, apalagi diketahui Wan Keng In yang kadang-kadang amat dibencinya, kadang-kadang dikasihani itu.

“Sudahlah, Keng In. Kalau kau tidak menganggap aku saudara misanmu, sedi­kitnya kita masih saudara seperguruan. Bukankah aku telah mempelajari beberapa jurus ilmu silat dari gurumu, berarti aku muridnya pula? Aku sudah berjanji kepadamu tidak akan melarikan diri dari pulau ini asal engkau tidak menggangguku. Kalau engkau menggangguku, aku pun tidak akan suka tinggal lebih lama lagi di sini.”

“Aku sama sekali tidak mengganggu­mu, Milana. Berlakulah adil. Aku hanya menghendaki engkau membalas cintaku atau sedikitnya, menerima pinanganku menjadi isteriku. Kita akan merayakan pernikahan kita secara besar-besaran! Semua tokoh dunia ilmu silat, baik golongan putih maupun hitam, akan kuun­dang untuk datang ke sini. Kalau engkau menjadi isteriku, Pulau Neraka akan ku­bangun kembali, akan kutambah anak buahku sampai pulau ini menjadi sebuah kerajaan kecil, aku menjadi rajanya dan engkau menjadi permaisuriku!”

“Pikiran gila! Aku tidak mau!”

“Hemm, apakah engkau ingin aku menggunakan kekerasan memaksamu, Milana?”

Dara itu bangkit berdiri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. “Menggunakan kekerasan? Aku akan me­lawan mati-matian!”

“Ha-ha-ha, Milana! Baru mempelajari sedikit ilmu tambahan dari Suhu, engkau berani melawanku? Mari kita coba-coba!”

Milana memang sudah menduga dengan hati penuh khawatir bahwa sewaktu-waktu pemuda yang seperti miring otaknya ini tentu akan mencoba menggunakan keke­rasan. Karena dia maklum bahwa dia tidak akan dapat menang menghadapi pemuda itu, apalagi di situ terdapat ba­nyak anak buahnya dan ada pula gurunya yang amat lihai, maka dara ini memper­gunakan akal halus, tidak melawan dan sampai tiga bulan lamanya berhasil menghindarkan diri dari gangguan Keng In. Dia mempelajari ilmu dengan maksud untuk memperdalam kepandaiannya agar dapat menghadapi Keng In sambil menan­ti kesempatan baik untuk meloloskan diri dari cengkeraman pemuda iblis yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka itu. Kini tiba saatnya Keng In kehabisan kesabar­annya dan hendak menggunakan kekerasan. Melihat bahwa akhirnya toh dia harus membela diri dengan melawan mati-mati­an, kini Milana tidak berlaku sungkan lagi dan segera menerjang Keng In dengan pukulan maut!

 “Haiitt! Gerakanmu cepat bukan main, Sayangku, akan tetapi bagiku kurang cepat!” Keng In mengelak akan tetapi Milana yang sudah siap secara tiba-tiba membalikkan tubuh dan menyusul dengan hantaman ke dua dari samping mengarah lambung pemuda itu.

“Dess!” Tubuh Keng In terguling dan pemuda itu rebah miring.

Bukan main girangnya hati Milana akan hal yang tak diduga-duganya ini. Dia menang hanya dalam dua gebrakan! Cepat dia menubruk untuk mengirim to­tokan yang melumpuhkan karena betapa­pun juga dia tidak tega untuk membunuh pemuda yang mencintanya dan yang telah bersikap baik kepadanya itu.

“Heh-heh, pukulanmu keras akan teta­pi tidak cukup keras untukku!” Tiba-tiba kedua lengan Keng In merangkul dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh Milana sudah dipeluknya dan hidung pemuda itu sudah mengambung pipinya! Milana terkejut dan marah sekali, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, tubuhnya menjadi lemas dan setengah lumpuh oleh totokan Keng In yang lihai itu.

“Nah, berontaklah kalau bisa! Ha-ha, siapa bilang aku tidak akan dapat mengu­asai dirimu kalau aku mau? Milana, Sayangku, setiap malam aku rindu kepa­damu, setiap saat aku membayangkan betapa akan indahnya kalau kita bermain cinta di taman ini, di tempat terbuka....” Kembali Keng In menciumi muka dan bibir dara yang sudah tak dapat mengelak atau melawan itu.

Dengan hati hancur Milana hanya me­mejamkan matanya. Dia maklum bahwa takkan ada yang mampu mencegah pemu­da itu kalau Keng In hendak memperko­sanya. Bahaya yang lebih hebat daripada maut berada di ambang pintu dan dia sama sekali tidak berdaya. Dia hanya bersumpah di dalam hatinya bahwa kalau Keng In memperkosanya, dia akan men­cari kesempatan membunuh pemuda itu sebelum membunuh diri sendiri. Pada saat terakhir itu terbayanglah wajah Bun Beng dan sedu-sedan naik dari dadanya ke dalam kerongkongannya.

Keng In yang sudah mulai menanggalkan pakaian Milana, tiba-tiba menghenti­kan tangannya, bahkan menutupkan kem­bali pakaian yang sudah terbuka. Entah mengapa, mungkin sedu-sedan Milana itu yang membuat dia mengurungkan kehen­dak hatinya dan ia meninju tanah di sam­ping tubuh Milana. “Tidak! Aku tidak mau mendapatkan dirimu dengan cara ini! Aku mau engkau menyerah kepadaku dengan suka rela! Aku ingin engkau rebah dalam pelukanku dengan bibir tersenyum dan suka membalas ciumanku. Aku ingin eng­kau sebagai seorang kekasih yang hangat dan hidup dalam dekapanku, bukan seba­gai sesosok mayat yang dingin!” Setelah berkata demikian, Keng In menangis dan membebaskan totokan pada tubuh Milana sehingga dara itu dapat bergerak lagi.

Milana menyembunyikan kengerian hatinya. Baru saja dia lolos dari lubang jarum, lolos dari bahaya yang mengerikan. Namun diam-diam dia mengambil kepu­tusan untuk mendahului menyingkirkan pemuda ini, kalau tidak akan berbahaya sekali. Belum tentu Keng In akan sadar seperti tadi!

“Sekali lagi engkau melakukan hal seperti tadi aku akan membunuh diri!” Milana berkata lirih.

Keng In menunduk, “Maafkan aku.... tidak kuulangi lagi....”

Milana membalikkan tubuh dengan ma­rah lalu meninggalkan pemuda itu. Dia maklum bahwa biarpun Keng In kelihatan begitu menyesal, begitu merendah, namun sekali dia menimbulkan kemarahan dan kebencian di dalam hati pemuda itu, tentu pemuda itu tidak akan segan-segan untuk melakukan apa saja terhadap diri­nya, tidak hanya memperkosa bahkan menyiksanya dengan penghinaan lain lagi kemudian membunuhnya. Kalau dia ter­ingat akan perbuatan Keng In ketika memperkosa wanita di depan dia dan gurunya, dia mengkirik (meremang bulu tengkuknya) dan merasa takut sekali. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan yang merupakan penghi­naan hebat, benar-benar dia merasa ngeri dan takut.

“Aku harus membunuhnya!” Demikian dia mengeraskan hatinya. Kalau tidak lekas dibunuh, bagaikan seekor ular ber­bisa, makin lama makin mengerikan dan berbahaya pemuda gila itu. Soalnya seka­rang tinggal siapa yang lebih dulu berge­rak dan berhasil! Biarpun Cui-beng Koai-ong jauh lebih lihai dan berbahaya, akan tetapi kakek itu biasanya tidak peduli kepadanya, sedangkan anak buah Pulau Neraka yang lain akan mudah dapat dia kalahkan. Satu-satunya yang paling mem­bahayakan dan mengancam dia adalah Wan Keng In. Karena itu, dia harus dapat menyingkirkan pemuda itu, harus dapat membunuh pemuda itu!

Milana mulai mencari kesempatan. Untuk mencari kelengahan pemuda itu, agaknya tidak mungkin! Biarpun dalam keadaan tidur nyenyak, kesiapsiagaan sudah mendarah daging di tubuh pemuda yang semenjak kecil tinggal di Pulau Neraka yang penuh bahaya itu. Biarpun sedang tidur pulas, pemuda itu akan mampu mempertahankan diri jika diserang seolah-olah sudah memiliki indra ke enam yang membuat dia dalam tidur sekalipun dapat “mencium” datangnya bahaya! Ka­lau dia harus menggunakan kekerasan secara berdepan, mana mungkin dia dapat menangkan pemuda yang selain lebih li­hai ilmu silatnya, juga amat cerdik itu?

Beberapa hari kemudian, selagi Milana berjalan-jalan di tepi pantai sambil me­mutar otak, tiba-tiba dia melihat gulung­an ombak laut yang seolah-olah membisikkan sesuatu kepadanya. Di laut! Me­ngapa tidak? Kalau di darat dia bukan lawan pemuda itu, belum tentu dia kalah kalau melawan pemuda itu di laut, di air! Semenjak kecil dia memang suka renang, bahkan oleh ibunya dia dilatih menahan napas di dalam air. Biarpun dahulu dia tidak melihat kegunaan ilmu ini, sekarang barulah ilmu di air ini me­nimbulkan harapannya untuk dapat me­ngalahkan Keng In! Memang seringkali, dia mengukur dengan pandang matanya apakah sekiranya dia akan dapat melolos­kan diri dari Pulau Neraka dengan bere­nang. Akan tetapi segera dia membuang jauh-jauh pikiran itu. Melarikan diri dengan jalan berenang pergi dari Pulau Neraka sama saja dengan membunuh diri! Tidak saja lautan disekitar pulau itu amat ganas, juga jarak dari pulau ke daratan besar amat jauhnya, belum lagi bahaya mengerikan dari ikan-ikan raksasa yang akan menghadangnya di tengah laut! Melarikan dengan perahu juga tidak mungkin karena semua perahu dikumpul­kan menjadi satu dan selalu dijaga. Akan tetapi, mengalahkan Keng In di air, ini mungkin sekali! Betapapun juga, dia harus melihat dulu sampai di mana kepandaian Wan Keng In bermain di air. Dia tidak boleh gegabah (sembrono) dan dia tidak boleh gagal kali ini!

Dengan adanya rencana menggunakan akal ini mulai hari itu Milana seringkali berjalan-jalan di tepi laut. Beberapa kali Keng In datang menjumpainya di situ, akan tetapi karena kebetulan pantai itu ramai dan di situ terdapat beberapa orang anak buah Pulau Neraka, Milana terpaksa menunda siasatnya. Pada suatu pagi, ketika Milana sedang duduk terme­nung seorang diri di tepi pantai, merenung ke arah selatan membayangkan ibu­nya dan Bun Beng dengan penuh kerinduan, tiba-tiba terdengar suara Keng In di belakangnya, “Milana, mengapa engkau termenung di sini sepagi ini?”

Milana mengerling ke kanan kiri. Tempat itu sunyi sekali. Inilah kesempat­an baik untuknya. Sambil mengerling ta­jam dia berkata, suaranya sengaja dibuat manja, “Pegilah kau, Keng In. Aku mau mandi.”

Keng In tersenyum nakal. “Mandilah aku tidak akan mengganggumu.”

“Kaukira aku begitu tidak tahu malu? Hemm, kalau kau berkeras, aku dapat saja mandi tanpa melepas pakaian.” Sete­lah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Milana sudah lari menyambut air laut yang didorong gelombang ke pantai pasir. Melihat gadis itu berlari sambil mengembangkan kedua lengan, kelihatan begitu gembira, Keng In tertawa senang. Dia membayangkan betapa akan senang­nya kalau gadis itu sudah menyerah ke­padanya, dan mereka mandi bersama di pinggir laut. Milana tidak berpakaian lengkap seperti sekarang ini. Tentu akan dipondongnya dara itu, dibawa lari me­nyambut ombak sambil bersendau-gurau.

“Heiiii! Milana! Berhenti di situ sa­ja....!” Tiba-tiba dia berseru nyaring melihat betapa Milana terus berlari me­nyambut ombak yang menyerangnya, bah­kan kini gadis itu berenang ke tengah dengan gerak renang yang kaku menanda­kan bahwa gadis itu tidak dapat berenang dengan baik.

“Celaka....!” Keng In berseru penuh kekhawatiran sambil melompat dan lari ke laut ketika dia melihat betapa ombak menyambar tubuh Milana, dilontarkan ke atas dan dihempaskan kembali ke bawah. Tahu-tahu kini tubuh Milana sudah berada agak jauh ke tengah, gadis itu kelihatan ketakutan, tangannya menggapai-gapai dan terdengar jeritannya lemah, “Tolooonggg!”

Tanpa berpikir panjang lagi karena khawatir melihat kekasihnya terancam bahaya maut ditelan ombak atau ikan raksasa, Keng In cepat berenang sekuatnya melawan ombak. Dia sama sekali tidak tahu betapa Milana diam-diam memperhatikan gerakannya ketika dia berenang untuk menolong kekasihnya itu dan tidak tahu betapa gadis itu bersinar-sinar pandang matanya, merasa girang melihat bahwa kepandaiannya berenang biasa saja! Memang Keng In bukanlah seorang ahli renang yang pandai. Dia dapat berenang sekedarnya, dan bukan seorang ahli biarpun sejak kecil dia ting­gal di Pulau Neraka. Hal ini karena ibu­nya selalu melarangnya kalau melihat puteranya yang dimanjakan itu bermain-main di laut, khawatir kalau puteranya dihanyutkan ombak atau diserang ikan besar.

Tentu saja kalau hanya untuk bere­nang menolong Milana, Keng In merasa dapat melakukannya. Dia sama sekali tidak menaruh kecurigaan melihat gadis itu dipermainkan ombak dan berteriak-teriak minta tolong. Kecemasan yang hebat akan kehilangan wanita yang dicintanya itu membuat pemuda yang biasanya cerdik ini menjadi lengah dan sama sekali tidak menduga akan adanya siasat yang dilakukan oleh dara yang masih belum mau menyerah kepadanya itu.

“Milana....! Di mana engkau....?” Keng In berteriak dengan hati penuh kecemasan. Dia sudah tiba di bagian gadis itu tadi dipermainkan ombak dan sekarang dara itu tiba-tiba lenyap, seolah-olah tenggelam!

“Milana....!” Keng In memandang ke kanan dan ke kiri dengan mata liar penuh kekhawatiran.

“Haiii!” Dia berteriak akan tetapi teriakannya segera lenyap ketika tubuh­nya diseret ke bawah. Keng In gelagapan dan cepat menutup mulut menahan napas sambil berusaha untuk menggerakkan kaki kanannya yang telah ditangkap orang dari bawah!

Milana yang tadi menyelam dan kini sudah menangkap sebelah kaki Keng In, mempertahankan. Untuk menyerang lawan ini dengan pukulan, masih terlalu berba­haya karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat, maka dia mempergunakan akal, menangkap kaki lawan dan menyeretnya ke bawah agar pemuda itu tak dapat bernapas dan mati lemas! Terjadilah pergulatan di dalam air laut. Milana berusaha mempertahankan kaki itu dan menarik ke bawah sedangkan Keng In meronta-ronta dan menarik kaki­nya sekuat tenaga agar dapat terlepas. Dia masih belum dapat menduga bahwa Milana yang menangkap kakinya. Dia mengira bahwa kakinya dililit oleh ikan gurita atau ular laut, atau digigit ikan yang besar.

Akan tetapi Milana salah duga kalau dia mengira akan dapat membuat Keng In kehabisan napas dengan cara menarik­nya ke bawah. Pemuda ini biarpun tidak pernah mempelajari ilmu di dalam air, namun sin-kangnya sudah mencapai ting­kat tinggi sekali sehingga dia amat kuat menahan napasnya di dalam air, mungkin tidak kalah kuat dibandingkan dengan Milana sendiri! Karena itulah, usaha Mi­lana untuk membuat pemuda itu lemas kehabisan tenaga tidak berhasil, bahkan tarikan-tarikan kaki Keng In yang amat kuat itu menghabiskan tenaga Milana yang menahannya sehingga akhirnya dia sendiri terbawa timbul ke permukaan air! Hanya bedanya kalau Milana masih dapat menguasai diri dan sadar sepenuhnya, sebaliknya Keng In menderita kegelisahan luar biasa, membuat pemuda itu gelagap­an ketika berhasil timbul di permukaan air dan dia tidak melihat betapa sebuah kepala lain, kepala Milana, juga tersem­bul di belakangnya.

“Dessss!” Milana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia sadar dan dalam ke­adaan segar. Melihat Keng In masih megap-megap dan gelagapan menyedot hawa sebanyaknya, dia sudah mengirim pukulan ke punggung pemuda itu.

“Aduhhhh....!” Keng In berteriak, akan tetapi tiba-tiba rambutnya dijambak (dicengkeram) tangan yang halus dan ke­palanya ditekan ke bawah permukaan air lagi!

Bagaikan orang sekarat, tangan Keng In meraih-raih dan memukul-mukul. Ter­paksa Milana melepaskan cengkeramannya dan menyelam ke bawah, menyambar kaki Keng In dan menyeretnya ke bawah lagi. Sesampainya di dasar laut yang belum begitu dalam, paling dalam empat meter itu, dia melepaskan kaki Keng In sambil mengikuti tubuh lawan yang me­luncur ke atas itu.

“Plak-plak! Desss!” Dua kali tamparan mengenai kepala Keng In dan hantaman ke dua dengan tepat sekali mengenai leher pemuda itu.

“Augghhh....!” Kepala Keng In menjadi pening dan tubuhnya mulai menjadi lemas. Dia masih belum tahu apa yang menye­rangnya. Selagi dia gelagapan, kembali diseret ke bawah tanpa dapat dia lawan, karena kakinya telah dipegang dari bawah bukan hanya satu melainkan keduanya, sekali ini tanpa dicegahnya lagi, Keng In terpaksa banyak menelan air laut, dan kepalanya makin pening, pandang matanya berkunang dan napasnya hampir putus, perutnya makin penuh air.

Milana masih memegangi kaki kiri Keng In. Terpaksa dia melepaskan kaki kanan pemuda itu karena dalam kepanik­annya Keng In menendangkan kaki kanan. Ketika terasa oleh Milana betapa kaki kiri itu berkelojotan, semua kebencian dan kemarahannya lenyap tertutup oleh rasa jijik, ngeri dan juga kasihan! Sungguh jauh bedanya dengan merobohkan lawan dalam pertandingan. Sekali tangan bergerak memukul, atau pedang menem­bus dada lawan, beres. Akan tetapi sekarang, memegang kaki seorang lawan yang berada dalam keadaan sekarat, berkelo­jotan, benar-benar terasa sekali betapa dia akan menjadi seorang pembunuh yang amat kejam! Dalam keadaan seperti itu, terbayanglah dia akan kebaikan Keng In, betapa manis dan ramah sikapnya, betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya, sungguhpun dia tidak dapat membalasnya. Teringat pula dia betapa ibunya adalah seorang puteri Kaisar yang amat terkenal, yang tentu tidak sudi melakukan pembu­nuhan secara pengecut seperti yang seka­rang dilakukannya itu. Apa pula ayahnya! Ayahnya adalah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia! Tidak mungkin ayah kandungnya itu akan sudi melakukan pembunuhan securang yang dilakukannya ini. Kiranya ayah dan ibunya akan lebih suka berkorban nyawa daripada melakukan perbuatan serendah itu!

Teringat akan semua ini, Milana menggigil seluruh tubuhnya. Dilepaskannya kaki yang mulai lemah gerakan sekarat­nya itu sehingga tubuh Keng In meluncur ke atas! Dia juga menggerakkan kaki menyusul ke atas. Dia memang harus membebaskan diri dari kekuasaan Keng In, akan tetapi tidak begini caranya! Un­tuk menyelamatkan diri melakukan pem­bunuhan keji dan curang seperti ini, betapa rendahnya itu! Selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh bayangan Keng In yang dibunuhnya secara pengecut dan curang. Tidak! Dia tidak boleh mela­kukan kecurangan yang rendah dan hina itu!

Ketika kepalanya tersembul ke permu­kaan air dan menyedot napas dalam-da­lam, Milana melihat tubuh Keng In ham­pir tenggelam lagi. Pemuda itu telah pingsan! Cepat dia menyambar rambut pemuda itu yang riap-riapan karena ge­lungnya terlepas, kemudian melawan ombak menyeret tubuh Keng In berenang ke darat.

Sejam kemudian, setelah Milana me­ngeluarkan air dari dalam perut Keng In dengan jalan menindih perut pemuda yang ditelungkupkannya itu sehingga air keluar dari mulutnya, Keng In siuman kembali. Dia membuka matanya dan sebagai seo­rang ahli silat tinggi, biarpun kepalanya masih agak pening, sekali bergerak dia telah meloncat bangun dan siap mengha­dapi lawan! Melihat Milana duduk di atas rumput dengan pakaian masih basah kuyup, dia terheran dan teringatlah dia akan semua yang dialaminya.

“Ahhh, kau.... kau selamat, Milana?” tanyanya.

Milana tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa malunya. Dia ham­pir membunuh pemuda ini dan pertama kali yang keluar dari mulut pemuda itu setelah siuman dari pingsannya adalah menanyakan keselamatannya! Betapa be­sar cinta pemuda itu kepadanya dan betapa besar bencinya kepada pemuda itu. Dan dalam hal perasaan ini, lepas daripada jahat tidaknya kelakuan pemuda itu, dia harus merasa malu! Bukankah cinta merupakan perasaan yang semurni-murninya, sedangkan benci merupakan perasaan yang sekotor-kotornya?

“Tentu saja aku selamat, Keng In. Bermain dalam air merupakan permainan­ku sejak kecil!”

“Ehhhh? Dan engkau tadi hampir saja tenggelam ditelan ombak!”

“Hanya dugaanmu saja, memang aku sengaja memancing engkau agar mengira demikian.”

“Tapi.... tapi.... apakah kau tidak di­serang gurita, atau ular, atau ikan besar seperti yang kualami? Aku.... aku sampai pingsan dan.... entah bagaimana aku dapat selamat sampai di sini. Apakah Suhu yang menolongku?”

Milana menggeleng kepala. “Tidak ada ikan menyerangmu. Yang ada hanya aku. Bukan ikan yang menyerangmu, melainkan aku.”

“Heehhh....?” Keng in terbelalak ka­get. “Engkau yang menarik kakiku, dan engkau memukulku?”

Milana mengangguk. “Dan betapa mu­dahnya kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu.”

“Kenapa tidak? Kenapa aku tidak ma­ti? Kenapa kau tidak membunuhku dan.... siapakah yang menolongku?”

 “Aku yang menyeretmu kembali ke darat selagi engkau pingsan.”

“Mengapa, Milana? Bukankah amat mudah kalau hendak membunuhku yang sudah pingsan? Kenapa kau malah menolongku?”

“Aku bukan seorang pembunuh berda­rah dingin yang kejam seperti engkau, Keng In. Melihat engkau tidak berdaya, aku malah tidak tega membunuhmu dan menyeretmu ke sini.”

“Milana....!” Keng In hendak memeluk dara itu, akan tetapi Milana mengelak. “Itu berarti bahwa engkau pun cinta ke­padaku, Milana! Ha-ha-ha, rela aku mati tiga kali rasanya kalau ditebus dengan cintamu kepadaku.”

“Hemmm, jangan mengira bahwa tidak tega membunuh berarti jatuh cinta. Tidak Keng In. Aku tidak membunuhmu karena aku merasa terlalu rendah dan hina kalau membunuh seorang lawan yang tidak ber­daya. Andaikata aku memiliki kepandaian lebih tinggi darimu, sudah lama engkau tewas olehku dalam sebuah pertandingan. Aku bukan keturunan pengecut!” Setelah berkata demikian, dara ini cepat lari kembali ke pondoknya untuk menukar pakaiannya yang basah kuyup dan ketat menempel di tubuhnya itu.

Keng In terkulai penuh kekecewaan. Harapannya akan cinta kasih Milana yang tadi membubung setinggi gunung kini pecah berantakan dan terhempas rata seperti air tumpah. Dengan perasaan ter­tekan kekecewaan dan kedukaan, pemuda ini pergi menemui Cui-beng Koai-ong, gurunya yang bersamadhi di dalam sebuah gua di pantai Pulau Neraka, kemudian menangisi gurunya sambil minta bantuan gurunya agar kerinduan hatinya terobati dan keinginannya memperoleh Milana dengan penyerahan bulat itu terpenuhi.

Kakek yang seperti mayat itu tidak bergerak, juga tidak membuka matanya. Bahkan bibirnya tidak bergerak, namun ada suara terdengar keluar dari dalam perutnya!

“Goblok engkau untuk jatuh cinta ke­pada seorang wanita! Betapa mungkin memaksakan cinta dalam hati wanita yang selalu mudah berubah seperti angin, sebentar bertiup ke timur sebentar ke barat? Mengikatkan diri dengan wanita berarti membuka pintu neraka yang akan menyiksamu!”

“Biarlah, Suhu. Apa pun akibatnya akan teecu hadapi asal teecu bisa men­dapatkan diri Milana, dapat menerima penyerahan dirinya secara suka rela. Tee­cu tidak dapat melakukan paksaan karena teecu cinta kepadanya, teecu ingin dia menyerah bulat-bulat tanpa paksaan.”

“Hemm, hanya ada satu jalan. Tanpa siasat tak mungkin niatmu terlaksana. Gadis puteri Pendekar Siluman itu memiliki kekerasan di balik kelembutannya, kekerasan melebihi baja yang takkan dapat ditundukkan. Kaucari kumpulan racun di dalam peti simpananku. Pergunakan bubuk racun merah dua bagian dicampur dengan sari racun lima warna, campurkan dalam makanan dan berikan kepadanya.”

“Aihh....! Racun-racun itu adalah pem­bunuh-pembunuh yang tidak ada obatnya, Suhu!”

“Memang demikian. Akan tetapi kalau sudah dicampur dengan takaran itu, akan saling memunahkan dan berubah menjadi racun perampas ingatan. Gadismu itu akan lupa segala kalau kau beri racun campuran itu.”

“Akan tetapi, apa gunanya kalau dia hilang ingatan, Suhu?”

“Tolol! Kalau dia lupa lagi siapa eng­kau, lupa siapa yang dibenci dan dicinta, apa sukarnya?”

“Tapi.... tapi....”

“Sudah! Pergilah, dan jangan ganggu aku!”

Keng In tidak berani membantah lagi. Sampai dua hari lamanya dia termenung memikirkan jalan terbaik. Dia ingin Mi­lana menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya, bukan membuat dara itu se­perti boneka tanpa ingatan! Tiba-tiba dia teringat ketika dahulu bersama Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan pasukan penga­wal menawan Milana. Kemudian muncul Gak Bun Beng, pemuda yang sejak kecil selalu menghadapinya sebagai musuh! Dan pemuda itu telah menyerahkan Hok-mo-kiam kepada Milana, menolong gadis itu membebaskan diri dan rela mengorbankan diri menjadi tawanan. Bahkan dia telah memukul Bun Beng dengan pukulan Toat-beng-tok-ci, akan tetapi Bun Beng yang sudah tak berdaya itu di tengah jalan dapat lolos berkat pertolongan orang sak­ti yang dia sangka tentulah paman guru­nya sendiri, Bu-tek Siauw-jin. Ah, ada hubungan apakah antara Bun Beng dan Milana? Mudah saja diduga bahwa Bun Beng tentu mencinta Milana, kalau tidak, tak mungkin pemuda itu selain menyerah­kan Hok-mo-kiam, juga membiarkan dara itu lolos dengan rela mengorbankan diri­nya sendiri! Akan tetapi bagaimana de­ngan Milana? Cintakah Milana kepada pemuda itu? Dia harus mengetahui lebih dulu akan hal ini sebelum dia mengguna­kan siasat seperti yang dikatakan gurunya.

Beberapa hari kemudian, ketika Milana sedang duduk seorang diri di dalam taman, Keng In datang menghampirinya dan berkata, “Milana, aku amat berterima kasih kepadamu bahwa beberapa hari yang lalu engkau telah menyelamatkan nyawaku ketika aku pingsan di lautan.”

Milana menoleh, kedua pipinya menja­di merah. “Tak perlu kau mangejek, Keng In. Engkau pingsan karena kecuranganku dan aku sama sekali bukan menolongmu, hanya menghentikan niatku untuk mem­bunuhmu secara pengecut.”

“Betapapun juga, aku amat berterima kasih kepadamu, Milana. Aku mengerti engkau tentu jemu melihat betapa aku selalu mengharapkan cintamu. Aku ter­lalu mencinta engkau, Milana dan hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa engkau belum mempunyai pilihan hati. Andaikata engkau telah mencinta seorang pria lain, hemm.... agaknya aku akan tahu diri dan akan mundur.”

Tiba-tiba Milana memendang dengan tajam penuh selidik. “Benarkah itu, Keng In? Apakah engkau akan membebaskan aku kalau aku telah mencinta seorang pria lain?”

“Hemm.... agaknya begitulah. Aku akan malu sekali kalau mengharapkan cinta kasih seorang wanita yang telah mempu­nyai pilihan orang lain. Hal itu akan amat rendah dan memalukan bagi seorang pria gagah. Kalau engkau memang telah jatuh cinta kepada orang lain, aku takkan menjadi penasaran lagi dan mengerti mengapa kau tidak dapat membalas cin­taku.”

“Kalau begitu, Keng In. Dengarlah baik-baik. Aku memang telah mencinta pria lain maka aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas cintamu!”

Kalau saja wajah pemuda itu tidak berwarna pucat selalu, kiranya tentu Mi­lana akan melihat perubahan mukanya. Jantung pemuda itu seperti ditusuk rasa­nya dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk menekan perasaan­nya yang tertusuk.

“Hemm.... benarkah itu, Milana? Atau­kah hanya untuk alasan kosong belaka? Kalau memang benar kata-katamu, engkau harus dapat menyebutkan nama orang yang kau cinta itu.”

“Orangnya sudah kau kenal, Keng In. Dia adalah Gak Bun Beng....”

“Aaahhh....!” Seruan sederhana ini bu­kan karena kaget, melainkan karena ke­marahan yang ditahan-tahannya. Dugaan­nya tidak keliru. Pemuda keparat Gak Bun Beng itu!

“Tapi dia itu anak haram!”

“Wan Keng In! Aku melarangmu me­nyebutnya dengan penghinaan seperti itu!” Milana bangkit berdiri, bertolak pinggang dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Hal ini tambah meyakinkan hati Keng In bahwa benar-benar dara yang dipujanya ini mencinta Bun Beng!

“Memang kenyataannya begitu! Dia putera mendiang tokoh iblis Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagai hasil perkosaan iblis itu kepada seorang murid Siauw-lim-pai!”

“Perbuatan ayah atau ibu tiada sang­kut-pautnya dengan anaknya! Apa pun yang menjadi riwayat hidup orang tuanya, aku tidak peduli dan Gak Bun Beng tetap merupakan satu-satunya pria yang paling baik bagiku, yang ku.... cinta! Nah, aku sudah mengaku, engkau harus memegang janjimu, Wan Keng In!”

Keng In menahan kemarahannya yang meluap-luap, timbul dari cemburu dan iri hati. Dia meninggalkan Milana dan gadis ini diam-diam merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa seorang yang sudah rusak akhlaknya seperti pemuda Pulau Neraka ini, sukar diketahui isi hatinya, dan untuk meloloskan diri dari pulau itu seolah-olah tidak ada kemungkinan lagi. Dia hanya mengharapkan pertolongan dari ibunya, atau ayahnya. Tidak mungkin ayah bunda­nya, juga Gak Bun Beng akan diam saja. Tentu tiga orang itu akan mencarinya dan setiap hari dia mengharap-harap munculnya seorang di antara mereka, atau kalau mungkin ketiganya karena untuk menghadapi Wan Keng In dan guru­nya, kecuali ayahnya, agaknya belum tentu kalau ibunya atau Bun Beng akan dapat menang. Selain mereka bertiga, dia pun mengharapkan pertolongan dari Kai­sar yang menjadi kakeknya. Tentu kakeknya itu kalau mendengar bahwa dia dicu­lik orang akan mengerahkan pasukan mencarinya.

Akan tetapi Milana sama sekali tidak tahu bahwa Wan Keng In akan mengam­bil siasat yang amat keji, yang sama sekali tidak pernah diduganya, yaitu menggunakan racun yang dicampur dalam makanannya. Tanpa disadarinya, semenjak makan hidangan yang dicampuri racun oleh Keng In, lambat laun Milana menja­di makin pelupa dan akhirnya dia telah kehilangan ingatan sama sekali! Hanya samar-samar saja dia masih ingat akan orang-orang yang paling dekat dengan hatinya, yaitu ayah bundanya, dan teruta­ma Gak Bun Beng!

Setelah melihat hasil dari racun se­perti yang diajarkan gurunya sehingga keadaan dara tawanannya itu benar-benar tidak ingat apa-apa lagi, Wan Keng In lalu melanjutkan siasatnya. Malam hari itu dia memasuki kamar pondok Milana, membuka jendela dan sengaja mengeluar­kan suara. “Sstttt.... Milana....!”

Milana yang sudah hampir pulas itu bangun. Biarpun dia lupa ingatan, namun dia tidak kehilangan kepandaiannya dan sedikit suara itu cukup membuat dia ter­bangun dan siap menghadapi bahaya yang mengancam!

“Siapa....?” tegurnya.

“Aku.... Gak Bun Beng!”

“Gak.... Bun.... Beng....?” Milana sudah meloncat turun dari pembaringannya dan dengan mata terbelalak dia melihat laki-laki yang sudah berada di dalam kamarnya itu. Seorang pemuda berpakaian se­derhana, dengan memakai caping bundar lebar. Keadaan dalam kamarnya remang-remang sehingga wajah orang itu tidak nampak jelas, akan tetapi andaikata ke­adaan terang sekalipun, Milana tidak akan mengenal lagi wajah orang yang dicinta­nya itu. Yang jelas teringat olehnya hanyalah nama Gak Bun Beng! Kini meli­hat orang yang selama ini dipikirkan dan dirindukannya telah datang, tentu saja dia girang bukan main!

“Milana.... betapa rinduku kepadamu.... aku cinta padamu, Milana. Aku Gak Bun Beng kekasihmu....”

“Koko....!” Milana berseru lirih dan dalam suaranya ini tercurah seluruh pe­rasaan rindunya. Ketika pemuda itu me­meluknya, Milana menekan mukanya di dada yang bidang itu sambil menangis terisak-isak, tangis kegirangan!

Biarpun pada saat itu Milana berada di bawah pengaruh racun perampas ingat­an, namun perasaannya masih berkesan bahwa dia berada dalam keadaan mengkhawatirkan dan yang dirindukannya hanyalah ayah bundanya dan Gak Bun Beng, maka begitu pemuda itu muncul, tentu saja dia menjadi terharu, lega, dan girang. Kegirangan yang meluap ini mem­buat dia tidak menolak, bahkan menyam­but dengan hangat peluk cium pemuda itu untuk melepaskan rindunya yang menyesak dada.

“Milana, kekasihku.... jiwaku sayang....” Pemuda itu berbisik penuh gairah, men­cium dahi, mata, hidung, bibir dengan penuh kemesraan sedangkan dara itu menyambut dengan mata dipejamkan, pe­nuh penyerahan, penuh kebahagiaan.

Akan tetapi ketika pemuda itu memondongnya ke atas pembaringan, ketika dia merasa betapa tangan pemuda itu bergerak melanggar batas kesusilaan, bahkan mulai berusaha menanggalkan pakaiannya, Milana terkejut bukan main, membuka matanya dan meronta sambil berseru, “Jangan....!”

“Mengapa, Milana? Aku Gak Bun Beng kekasihmu....” Pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In yang menyamar se­bagai Bun Beng, memeluk dan mendesak sambil mencium dengan nafsu berahi yang sudah memuncak ke ubun-ubunnya.

“Jangan....!” Milana kembali menepis tangan yang nakal itu.

“Milana, bukankah kita saling mencin­ta? Kau akan menjadi isteriku, Sayang....”

“Koko, jangan begini! Biarpun kita saling mencinta, akan tetapi kita belum menikah dan aku bukanlah seorang wanita rendahan yang dengan mudah dan murah dapat menyerahkan diri begini saja!” Suara dara itu terdengar tegas bercampur nada tidak senang dan kecewa.

“Milana....!”

Kini Milana meronta, melepaskan diri dan meloncat turun dari atas pembaring­an. Sepasang matanya masih basah oleh air mata kegirangan tadi, akan tetapi alisnya berkerut dan suaranya tegas,

“Gak-koko! Aku menganggap engkau seorang laki-laki yang paling baik di dunia ini, akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak melakukan hal yang amat keji?”

“Milana.... aku cinta padamu....”

“Gak-koko, apa yang hendak kaulaku­kan ini sama sekali bukanlah cinta, me­lainkan nafsu iblis....! Apakah engkau hen­dak mengecewakan hatiku dan menodai kasih sayangku?”

Wan Keng In menekan perasaan yang sudah bergelora. Dia telah menggunakan siasat, meracuni gadis ini agar lupa sega­la, kemudian dia menyamar sebagai Bun Beng. Gadis itu memang tertipu, meng­anggap dia Gak Bun Beng, akan tetapi tetap saja siasatnya tidak berhasil mendapatkan diri dara itu dengan suka rela. Tadinya, kalau sampai usahanya berhasil dan Milana menyerahkan diri kepada “Gak Bun Beng” yang diwakilinya, maka perlahan-lahan dia akan memunahkan racun yang mempengaruhi diri Milana dan kare­na sudah terlanjur menyerahkan diri, ten­tu Milana akan menerima kenyataan bahwa dia telah menjadi milik Wan Keng In! Siapa mengira, biarpun berada dalam keadaan tidak sadar dan lupa ingatan, ternyata gadis itu masih saja tetap mempertahankan kehormatannya, biarpun ter­hadap Gak Bun Beng, pemuda yiang di­cintanya!

“Milana, engkau mengecewakan hati­ku!” Dia membentak marah akan tetapi masih ingat untuk memburukkan nama Gak Bun Beng di depan dara itu. “Berbulan-bulan aku menahan rindu dan sete­lah sekarang kita bertemu, engkau meno­lak pencurahan kasih sayangku. Hemm, apa kaukira tidak ada wanita lain yang akan suka melayani cintaku?” Setelah berkata demikian, Wan Keng In mening­galkan pondok itu.

“Gak-koko....!” Milana menjerit dan mengejar, akan tetapi melihat bayangan pemuda itu lenyap dalam gelap, dia lalu kembali ke dalam kamarnya, menjatuhkan diri ke atas pembaringan dan menangis. Milana merasa bingung sekali. Dunia se­akan-akan menjadi tempat yang tidak menyenangkan baginya. Dia selalu merasa bingung dan meragu, sekarang ditambah lagi dengan tingkah laki-laki yang paling dicintanya, yang demikian tega hendak merenggut kehormatannya dengan paksa!

Sementara itu Wan Keng In marah bukan main. Semua ini gara-gara Gak Bun Beng, pikirnya. Kebenciannya memuncak setelah dia mendengar sendiri betapa Milana mencinta pemuda yang dianggapnya musuh besar itu. Dia harus mencari Gak Bun Beng, dan membunuh­nya! Baru puas rasa hatinya kalau saingan itu lenyap dari permukaan bumi. Dia lalu memanggil Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka berkepala gundul bermuka merah muda yang menjadi orang kepercayaannya, berpesan kepada pembantu ini agar men­jaga Pulau Neraka, melayani kebutuhan gurunya, dan selama dia pergi meninggal­kan pulau agar mencampuri hidangan Milana dengan bubukan obat yang telah disiapkannya, hanya sedikit perlu untuk menjaga agar ingatah dara itu tetap ka­bur dan pelupa! Setelah meninggalkan semua pesan itu, malam itu juga Wan Keng In naik perahu meninggalkan Pulau Neraka.

Beberepa hari kemudian, semenjak Wan Keng In mendarat dan mulai dengan perjalanannya untuk mencari Gak Bun Beng, mulai geger pula dunia kang-ouw dengan munculnya seorang pemuda yang amat kejam dan ganas, yang menyebar maut di antara orang-orang gagah, seo­rang pemuda yang lihai bukan main, yang memegang pedang Lam-mo-kiam dan yang bernama.... Gak Bun Beng!

Tentu saja pemuda itu adalah Wan Keng In! Karena bencinya kepada Bun Beng yang dianggapnya telah merebut hati kekasihnya, dia sengaja menggunakan nama musuhnya untuk malang-melintang, mendatangi perkumpulan-perkumpulan da­ri golongan bersih, membunuh tokoh­tokohnya yang berani melawannya. Seben­tar saja nama Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan) dikenal oleh dunia kang-ouw dengan hati gentar, dan nama Gak Bun Beng yang selalu mengaku keturunan atau putera mendiang datuk kaum sesat Gak Liat itu juga dikenal dengan hati benci. Memang Keng In sengaja memperkenalkan nama Gak Bun Beng sebagai putera Gak Liat. Biarpun Gak Liat sudah meninggal dunia, namun nama Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat amatlah terkenal, maka tidak ada seorang pun yang meragukan lagi bahwa keturunan datuk itu yang bernama Gak Bun Beng tentulah juga jahat sekali seperti ayahnya!

Betapa pun jahat perbuatan Wan Keng In itu, namun hal ini tentu saja tidak disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia menganggap bahwa Bun Beng amat jahat, menghancurkan harapannya, merusak cinta kasihnya, menggagalkan hubungannya de­ngan dara yang dicintanya. Dia mengang­gap Bun Beng semenjak dahulu menantang dan memusuhinya, dan dia menganggap sudah sepatutnya kalau Bun Beng dihu­kumnya, di antaranya dengan merusak namanya di dunia kang-ouw! Dan anggapan Wan Keng In ini bukanlah dibuat-buat. Sudah menjadi kebiasaan kita yang di­anggap lajim bahwa kita menilai seorang dari keturunannya, dari masa lalu, dan karena penilaian inilah maka selalu ter­dapat permusuhan di dunia ini. Wan Keng In sudah mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah seorang anak haram yang lahir dari seorang wanita yang diperkosa oleh Gak Liat Si Datuk kaum sesat. Tentu saja dengan sendirinya dia menganggap rendah Gak Bun Beng, dan dianggapnya seorang yang hina dan sudah sepatutnya kalau jahat!

***

Perahu kecil itu meluncur cepat seka­li di antara gumpalan-gumpalan es besar kecil yang malang-melintang di atas air laut. Dara muda yang mendayung perahu dengan kedua tangannya yang kecil halus namun penuh berisi tenaga sakti itu, mendayung sambil menangis terisak-isak. Dibiarkannya air matanya turun mengalir di sepanjang hidungnya, di kanan kiri hidung terus ke pinggir mulut dan meni­tik turun ke dada melalui dagunya. Mata­nya tak pernah berkejap, memandang ke depan dengan kosong.

Setelah perahu kecil itu keluar dari gumpalan-gumpalan es, layar kecil dipa­sang dan angin mulai menggerakkan pera­hu, dara itu bangkit berdiri, mengemudi­kan layar berdiri termenung seperti arca. Isaknya tak terdengar lagi, akan tetapi air mata masih bertitik turun jarang-jarang. Tangan kiri memegangi tali layar tangan kanan meraba gagang pedang di pinggang.

“Singggg....!” Tampak kilat berkelebat ketika pedang itu tercabut keluar dari sarungnya. Tangan kanan itu membawa pedang di depan dahi, tegak dan seolah-olah hendak diciumnya. Bibir yang halus tipis agak pucat itu bergerak dan terde­ngar suaranya lirih, “Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, aku bersumpah untuk membunuh engkau dan semua kaki ta­nganmu!”

Agaknya sumpah ini meredakan kema­rahan dan kedukaan hati Giam Kwi Hong. Dia menyarungkan kembali pedang Lim-mo-kiam dan duduk di perahu yang me­luncur cepat terdorong angin menuju ke darat. Setelah kini duduk melamun sam­bil memandang ke barat, arah daratan besar, terbayanglah dia akan wajah seo­rang yang selama ini amat dirindukannya. Wajah yang tampan gagah sederhana, wajah Gak Bun Beng! Dia mengeluh keti­ka teringat betapa Gak Bun Beng, pria satu-satunya di dunia ini yang telah ber­hasil merampas kasih hatinya, telah ditunangkan dengan Milana, puteri pa­mannya. Hancurlah hatinya. Musnahlah harapan untuk hidup bahagia!

Memang lucu den janggal sekali ma­nusia dan tingkahnya hidup di dunia ini. Kita sebagai manusia selalu rindu akan kebahagiaan, selalu gandrung dan menge­jar-ngejar apa yang disebut kebahagiaan! Apakah sebenarnya kebahagiaan yang sebutannya dikenal oleh semua orang, yang selalu dicari dan dikejar oleh manusia, akan tetapi yang agaknya tidak ada seorang pun manusia memilikinya itu? Apakah sesungguhnya kebahagiaan? Apakah itu yang disebut hidup bahagia?

Adakah kebahagiaan itu suatu angan-angan kosong yang hanya direka oleh manusia yang merasa tidak bahagia? Ataukah kebahagiaan itu suatu keadaan tertentu yang dapat dirasakan dan diha­yati? Orang dalam keadaan remuk redam hatinya karena kegagalan cinta seperti Kwi Hong, kiranya kebahagiaan berarti kalau dia dapat hidup bersama orang yang dicintanya! Orang yang men­derita sakit berat, agaknya akan meng­anggap bahwa kebahagiaan adalah kalau dia sembuh dari penyakitnya! Orang yang kelaparan tentu akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah sepiring nasi yang akan mengenyangkan perutnya, atau bagi seorang yang kehausan kebahagiaan ada­lah kalau dia dapat meneguk air jernih sejuk sepuas perutnya! Orang yang rindu akan kebahagiaan, yang mengejar-ngejar kebahagiaan, berarti bahwa orang itu tidak mengenal kebahagiaan. Kalau dia tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin dia akan dapat berhasil mencari dan menemukan kebahagiaan? Kalau dalam pencariannya dia menemukan, tentu yang ditemukan itu bukan kebahagiaan, melainkan sesuatu yang diinginkannya, dan sesuatu yang diinginkan kebetulan sesuatu yang sudah dikenalnya atau di­alaminya. Tak dapat disangkal pula kare­na memang kenyataan bahwa terpenuhi­nya keinginan mendatangkan kepuasan, akan tetapi kepuasan ini disusul dengan kebosanan sehingga timbul pula keinginan untuk hal-hal iain yang belum dapat diraihnya. Demikian terus-menerus kita terseret oleh lingkaran setan yang tiada berkeputusan, dan kebahagiaan pun tak kunjung tiba!

Yang terpenting bagi kita adalah un­tuk mengetahui mengapa kita mencari kebahagiaan? Orang yang mencari keba­hagiaan berarti tidak berbahagia, bukan? Kalau sudah bahagia tak mungkin menca­ri kebahagiaan lagi! Kalau kita tidak berbahagia, apa sebabnya kita tidak ber­bahagia? Inilah yang penting! Seperti orang yang mencari kewarasan tentulah orang yang tidak waras! Dan yang pen­ting adalah untuk mengetahui mengapa kita tidak waras, dan apa penyakit yang kita derita. Yang penting adalah menghilangkan penyakit itu, bukannya mengejar kewarasan. Yang penting adalah menghi­langkan penyebab tidak bahagia atau yang biasa disebut derita dan seggsara itu, bukannya mengejar bahagia! Kalau tidak ada lagi yang menyebabkan kita tidak bahagia, maka kebahagiaan tentu ada!

Kwi Hong pun dirusak oleh pikirannya sendiri yang seperti semua manusia, tak pernah mengenal diri dan keadaan sendiri, tak pernah puas dengan keadaan seperti apa adanya. Kekecewaannya mendengar Bun Beng bertunangan dengan Milana, penyesalannya karena dia telah tertipu oleh Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya sehingga dia melakukan kesalahan besar di depan pamannya, membuat dia berduka dan sakit hati. Duka, sakit hati, penye­salan dan kemarahan akhirnya membentuk watak yang keras di dalam hati Kwi Hong. Membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan hidupnya, tidak peduli akan keadaan sekitarnya.

Perahunya meluncur cepat, lebih cepat dari tadi setelah berhasil keluar dari gumpalan es yang mengambang di per­mukaan air kini menuju ke barat, ke arah daratan. Badai yang mengamuk di bagian selatan Pulau Es tidak mencapai tempat yang dilalui Kwi Hong itu, akan tetapi tetap saja pengaruhnya ada pada air laut yang bergelombang, akan tetapi tidak mengganggu Kwi Hong yang pandai me­nguasai perahu layarnya, bahkan perahu itu terdorong pula oleh lajunya ombak.

Lima orang nelayan yang melihat be­tapa di udara sebelah selatan dan timur gelap, tanda bahwa ada badai mengamuk, memandang terheran-heran ketika melihat sebuah perahu layar kecil melaju ke arah pantai. Mereka sendiri sebagai nelayan-nelayan yang berpengalaman, melihat ancaman badai, tidak berani melanjutkan usaha mereka mencari ikan, dan hanya menanti di pantai. Tadinya mereka me­ngira bahwa perahu layar itu tentu milik seorang nelayan yang terserang badai sehingga tersesat sampai ke tempat itu. Akan tetapi betapa kaget dan herannya hati mereka ketika perahu layar itu tiba di pantai, mereka melihat seorang dara yang cantik jelita turun dari perahu layar meloncat ke darat dan sama sekali tidak mempedulikan mereka.

Akan tetapi tiga orang di antara para nelayan itu adalah orang-orang muda yang kasar. Melihat seorang dara cantik sendirian saja turun dari perahu itu, mereka segera menghampiri, dan seorang di antara mereka sudah berseru, “Aiihhh, Nona manis, tunggu dulu!”

“A-ban, jangan ganggu orang!” Dua orang nelayan tua yang tidak ikut maju menegur, akan tetapi A-ban dan dua orang kawannya itu tidak mau peduli akan teguran itu dan berlari mengejar Kwi Hong yang sudah melangkah hendak pergi. Mendengar seruan itu, Kwi Hong menghentikan langkahnya, tanpa menoleh, hanya berdiri tegak seperti arca, akan tetapi sepasang alisnya berkerut dan si­nar matanya mengeluarkan cahaya kilat. Hatinya yang sedang dilanda duka, kece­wa, penyesalan, kemarahan dan sakit hati itu seperti dibakar mendengar orang secara kasar dan kurang ajar menyebutnya nona manis!

Tiga orang nelayan muda itu dengan sikap cengar-cengir sudah tiba di depan Kwi Hong dan mereka makin kagum me­lihat dara ini dari dekat karena Kwi Hong memang memiliki kecantikan yang mengagumkan. Melihat alis itu berkerut dan bibir manis itu cemberut, tiga orang itu tersenyum menyeringai. Mereka me­ngira bahwa wanita ini tentu bersikap “jual mahal” karena jelas bahwa satu kali seruan saja cukup membuat wanita itu berhenti, tanda bahwa “ada kontak”.

“Aihhh, Nona, jangan cemberut. Kalau kau marah makin manis, tidak kuat aku memandangnya!” kata orang pertama.

“Jangan jual mahal ah, berapa sih harganya?” orang ke dua menyambung.

“Kami hanya ingin bicara denganmu, Nona cantik manis, siapakah nama, di mana tempat tinggal, berapa usia, sudah menikah atau belum?” orang ke tiga ber­kata dengan suara dibuat-buat seperti orang bernyanyi.

 “Singgg....! Crat-crat-crat....!”

Tiga orang nelayan itu hanya melihat sinar kilat berkelebat menyambar, mereka tidak sempat lagi terheran karena sinar kilat itu adalah sinar pedang Li-mo-kiam yang sudah menyambar ke arah leher mereka dan robohlah tiga orang ini ber­gelimpangan dengan leher hampir putus dan nyawa melayang, seketika itu juga.

“Ahhh....!” Dua orang nelayan tua memandang terbelalak dan seketika me­reka menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil.

Kwi Hong sendiri terkejut menyaksi­kan akibat kemarahannya. Sejenak dia tertegun dan terheran mengapa tiga orang itu dibunuhnya? Memang mereka kurang ajar, akan tetapi dia sendiri kini merasa betapa dia telah bertindak keter­laluan, karena kesalahan mereka itu belum patut untuk dihukum dengan kemati­an! Dia menyesal, akan tetapi sudah terlambat. Kini mendengar seruan kaget itu dia menoleh dan melihat dua orang nelayan tua berlutut dengan ketakutan, dia lalu berkata, suaranya halus seperti biasa.

“Paman berdua tidak perlu takut. Me­reka ini menghinaku dan sudah mati. Kuburlah mayat mereka dan ini perahuku boleh kalian ambil. Kuberikan kepada kalian.” Setelah berkata demikian, Kwi Hong berkelebat dan sekejap mata saja dia telah meloncat dan berlari jauh, ke­mudian lenyap di antara pohon-pohon. Dua orang kakek itu terbelalak, sampai lama tidak dapat bangkit berdiri mengira bahwa wanita yang turun dari perahu di waktu laut bergelombang itu tentu seo­rang siluman atau iblis penghuni lautan!

Semenjak Li-mo-kiam yang sejak di­ciptakannya selalu haus darah itu berhasil minum darah tiga orang nelayan, pedang iblis itu menjadi makin haus darah. Pengaruhnya ini dengan cepat dan mudah menjalar ke dalam pikiran Kwi Hong yang pada saat itu pun sedang dihimpit sakit hati, dendam, kekecewaan, kemarahan dan kedukaan, sehingga dara ini berubah menjadi seorang dara yang ganas sekali. Pendidikan dasar semenjak dia kecil di Pulau Es, gemblengan yang didapatnya dari Pendekar Super Sakti, tentu saja cukup kuat untuk mencegahnya terseret ke dalam lembah kejahatan. Ti­dak, Giam Kwi Hong masih belum menja­di seorang wanita iblis yang suka mela­kukan kejahatan sebagai kesenangannya, sama sekali tidak. Dia masih berwatak pendekar yang selalu berhasrat menentang kejahatan, akan tetapi perubahan watak­nya itu membuat dia menjadi seorang yang amat kejam dan ganas. Hal ini ter­bukti di sepanjang perjalanannya menuju ke kota raja. Setiap kali dia bertemu dengan orang yang dianggapnya jahat, dengan perampok dan bajak sungai, tentu mereka itu menjadi korban kehausan Li-mo-kiam dan dibasminya semua sampai habis ke akar-akarnya, tidak seorang pun diberi ampun. Maka muncullah nama baru yang amat ditakuti oleh golongan hitam, julukan yang dengan sendirinya diperoleh Kwi Hong karena pedang dan keganasan­nya. Perjalanannya ke kota raja dari Pulau Es ini menggoreskan jejak yang mendalam karena perbuatannya membas­mi para penjahat itu, dan berkumandang­lah nama julukan Mo-kiam Lihiap (Pendekar Wanita Pedang Iblis)!

Karena merasa menyesal sekali bahwa dia telah tertipu oleh para pemberontak sehingga dia melakukan kesalahan besar kepada pamannya, bahkan dialah yang menjadi gara-gara sampai bibi Phoa Ciok Lin tewas, Kwi Hong menjadi seorang pendendam besar dan perasaan ini ditam­bah kekecewaan dan kedukaan membuat dia seorang yang tidak mengacuhkan se­gala sesuatu, dan dia menjadi pula seo­rang pembenci!

Beberapa pekan kemudian tibalah dia di kota raja yang sekarang sudah aman. Dia mulai melakukan penyelidikan dan mendengar betapa pasukan pemberontak sudah hancur sama sekali oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Hal ini tidak menarik hatinya karena dia memang sudah tahu. Yang ingin diketahuinya adalah di mana adanya Milana dan.... terutama sekali Gak Bun Beng. Akhirnya dia berhasil mendapat keterangan yang mengejutkan bahwa Mi­lana, puteri dari Panglima Wanita Nira­hai, cucu dari Kaisar sendiri, telah lama lenyap diculik orang! Tidak ada yang tahu siapa penculiknya dan tidak ada pula yang tahu siapa atau di mana adanya Gak Bun Beng.

Hati Kwi Hong menjadi bimbang. Ka­lau menurut pesan pamannya, dia harus mencari Milana dan Bun Beng. Tapi kini sudah kurang semangatnya untuk melak­sanakan perintah pamannya itu. Apa per­lunya mencari mereka? Mereka bukanlah anak kecil. Bertemu dengan Milana dan Bun Beng, melihat mereka berdua telah menjadi calon suami isteri, hanya akan menusuk perasaannya sendiri saja. Pa­mannya telah membencinya. Kalau dia berhasil menemukan Milana dan Bun Beng, berhasil mengajak mereka pulang ke Pulau Es, tentu dia hanya akan lebih menderita lagi. Lebih baik tidak lagi bertemu dengan Milana, tidak lagi berte­mu dengan pamannya. Dia tidak lagi akan pergi ke Pulau Es!

Kwi Hong menggigit bibir menahan isaknya yang tersedu dari dalam dadanya. Digunakan kekerasan hatinya untuk mena­han menetesnya air mata. Tak perlu dia menangis. Dia bisa hidup sendiri. Memang dia seorang yang sebatangkara, seorang yatim piatu.

Ah, ada gurunya yang ke dua. Bu-tek Siauw-jin! Kakek sinting itulah satu-satu­nya orang yang baik kepadanya. Teringat akan watak kakek yang sinting dan aneh itu, lenyaplah kedukaan hati Kwi Hong dan dia tersenyum geli sendiri. Tentu saja! Dia harus pergi mencari kakek yang menjadi gurunya itu, Bu-tek Siauw-jin, tokoh besar Pulau Neraka. Tentu saja kakek itu kemungkinan besar kembali ke Pulau Neraka.

Berdebar tegang juga hatinya ke­tika ia mengingat akan hal ini. Juga pemuda iblis itu, Wan Keng In, dan gurunya yang mengerikan, kakek Mayat Hidup yang berjuluk Cui-beng Koai-ong, berada di Pulau Neraka! Sungguhpun hal ini pun belum tentu melihat kenyataan betapa pemuda yang menjadi putera bibi Lulu yang kini menjadi isteri pamannya di Pulau Es itu seringkali berkeliaran di daratan besar. Andaikata benar berada di sana dan dia berjumpa dengan pemuda iblis itu, dia pun tidak takut. Dia akan menyampaikan pesan bibi Lulu, memberi tahu bahwa bekas Ketua Pulau Neraka itu kini telah menjadi isteri Majikan Pulau Es dan minta supaya pemuda itu suka menyusul ibunya ke Pulau Es. Akan tetapi kalau pemuda iblis itu tidak mau, dia tidak akan peduli. Kalau pemuda itu masih memusuhinya seperti dahulu, dia tidak takut menghadapinya. Setelah dia menerima gemblengan Bu-tek Siauw-jin dan memegang Li-mo-kiam, tidak takut lagi dia berhadapan dengan pemuda iblis itu atau gurunya sekalipun, atau siapa saja!

Dengan pikiran ini pergilah Kwi Hong meninggalkan kota raja, kembali ke utara dan kini tujuan perjalanan hanya satu, yaitu ke Pulau Neraka! Dia maklum bah­wa tidaklah mudah mencari Pulau Neraka akan tetapi dia pernah dibawa oleh bibi Lulu ke pulau itu, dan dapat mengira-ngirakan di sebelah mana letak Pulau Neraka.

Giam Kwi Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang sunyi. Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari jauh orang-orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam melawan lima orang bersenjata toya panjang. Biarpun ilmu tongkat tiga orang itu aneh dan cukup lihai, namun mengha­dapi pengeroyokan lima orang yang juga memiliki ilmu toya yang mirip-mirip aliran Siauw-lim-pai, mereka bertiga terde­sak hebat.

Kwi Hong tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa pertandingan itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia cepat meloncat ke tengah arena pertan­dingan sambil berseru, “Tahan....!”

Delapan orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda, tentu saja tidak mau berhenti ber­tanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang merasa bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang, mengira bahwa gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka menggerakkan toya mereka dan memben­tak, “Pergi kau!”

“Sing....! Trak-trakkk!” Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.

“Berhenti dan jangan bertempur kata­ku!” Kwi Hong membentak, mengelebat­kan pedangnya. Dua orang pemegang toya yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang, terkejut dan terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka. Toya mereka terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu de­ngan pedang di tangan gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.

“Siapa kau?” Seorang di antara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemim­pin mereka berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung melengkung ke atas. “Mengapa kau bera­ni mencampuri urusan kami?”

“Aku siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan pengecut, mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang dan kalian harus berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan satu, atau tiga lawan tiga.”

“Perempuan muda yang sombong! Be­rani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang, ya? Apakah kau sudah bosan hidup?” Orang yang dandanannya seperti seorang saikong itu membentak.

“Bukan aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!” bentak Kwi Hong yang sudah marah sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.

“Siluman betina, kau boleh bantu tikus tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bo­san hidup!” Orang itu berkata dan mem­beri isyarat kepada empat orang kawannya.

“Tidak perlu dengan mereka, aku sen­diri sudah cukup untuk melenyapkan kali­an orang-orang sombong!” Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah menjadi kilat menyambar-nyambar.

Lima orang itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah dan sekali ini Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan menyambar ganas ke depan. Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima batang tubuh para anggauta Pek-eng-pang dan tewas seketika karena leher mereka ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan ampuh!

Melihat dara itu berdiri tegak me­mandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang kembali sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah disedotnya habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda darah, tidak ada setetes pun, tiga orang anggauta Koai-tung-pang menggigil kakinya.

“Mo-kiam Lihiap....” Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut. “Kami menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap,” kata seorang di antara mereka.

Kwi Hong tersenyum sedikit dan me­nyimpan pedangnya. “Kalian sudah me­ngenalku?”

“Baru sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami. Kami adalah anggauta-anggauta Koai-tung-pang di Bukit Srigala, sudah lama kami selalu diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan kami. Kalau mendengar bah­wa ada lima orang anggauta mereka tewas, tentu mereka akan ke sini dan kami akan celaka.”

“Lima orang telah mati semua, bagai­mana mereka tahu?”

“Lihiap tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang bersembunyi dan melihat kea­daan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata melakukan penyelidikan. Seka­rang orang itu tentu telah melapor dan kami akan celaka, mungkin perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka menda­pat alasan yang kuat. Lima orang ang­gauta mereka tewas, sungguh hebat seka­li....” Pemimpin tiga orang itu berkata dengan suara gemetar mengandung rasa takut.

“Hemmm, kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian? Sama sekali bukan. Aku tidak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena tidak suka melihat per­kelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena mereka menghinaku. Sudahlah!” sebelum tiga orang anggauta Koai-tung-pang itu sempat membantah, tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Tiga orang itu saling pandang dengan muka pucat. “Celaka....!” kata pemimpin mereka, “Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul, paling hebat kita hanya dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka tentu tidak akan membunuh kita. Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita akan celaka, bahkan seluruh Koai-tung-pang tentu akan dihancurkan oleh Pek-eng-pang.”

“Lebih baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!” usul seorang di antara mereka. Tergesa-gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk cepat-cepat melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Srigala yang tidak jauh dari tempat itu.

Kwi Hong sudah melanjutkan perjalan­annya dengan cepat, tidak mempedulikan dan sudah melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya ketikar melihat debu mengepul dari depan dan muncullah sepuluh orang berlari-lari cepat menda­tangi. Mereka dikepalai oleh seorang saikong berjubah lebar yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sepuluh orang itu semua memegang sebatang toya panjang dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Pek-eng-pang, kawan-kawan dari lima orang yang dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat berbahaya karena dara ini telah menjadi marah sekali.

“Dia inilah orangnya!” Seorang di an­tara mereka menuding, agaknya orang inilah yang tadi menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang ang­gauta mereka itu tewas oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.

Mereka sudah tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah, “Nona, benarkah engkau telah membunuh mati lima orang anggauta kami?”

“Kalau benar demikian, kalian mau apakah?”

Saikong itu menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia hendak menyerang. “Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong sekali. Kalau benar demi­kian, mengapa kau membunuh para ang­gauta kami?”

“Mereka telah menghinaku, tentu saja kubunuh.”

“Perempuan rendah, kau sungguh ke­jam. Siluman betina yang harus dienyah­kan dari muka bumi!” Saikong itu berte­riak dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.

“Awas pedangnya tajam sekali!” teriak orang yang tadi mengintai dan melihat betapa toya kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.

Akan tetapi teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah bertemu pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang anggauta terpelanting mandi darah!

“Kurung dan serang! Jangan adukan senjata!” Saikong itu berseru dan dia sendiri menerjang dengan hebatnya. Ge­rakan saikong ini memang hebat, tenaga­nya besar dan permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.

Kwi Hong bersikap tenang dan terpak­sa dia harus mengelak ke sana ke mari karena datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengero­yoknya dari jarak jauh, tidak mau meng­adu senjata dan mengandalkan toya mereka yang panjang untuk menyerang darii segenap penjuru.

Tiba-tiba tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tong­kat hitam. Itulah rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba di situ dan melihat gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua orang di antara mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,

“Pek-eng-pangcu (Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama. Mari kami bantu kalian!”

Kini delapan orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu saja gadis ini menjadi marah sekali. “Bagus! Majulah orang-orang pengkhia­nat dan pengecut!” Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke orang-orang Koai-tung-pang, mengelebat­kan pedangnya dan menggunakan gin-kangnya.

“Singgg-trang-trang-trakk!”

Tiga batang tongkat patah-patah dan dua orang anggauta Koai-tung-pang roboh dan tewas seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Akan tetapi teman-temannya mengurung ketat. Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang Koai-tung-pang yang mengurung, menye­rang dari jarak jauh dan selalu menarik senjata mereka kalau sinar pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi penge­royokan ini, biarpun tidak terdesak, Kwi Hong merasa repot juga.

“Wuuuttt.... singgg.... aughhh....!” Te­riakan saling susul terdengar ketika ada sinar kilat menyambar dari luar kepungan, disusul robohnya dua orang anggauta Pek-eng-pang. Pengepungan menjadi kacau dan mereka cepat membalik. Kiranya di situ telah berdiri seorang pemuda tampan yang memegang sebatang pedang yang serupa dengan pedang yang berada di tangan Kwi Hong, hanya agak lebih pan­jang.

“Nona Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!”

Biarpun Kwi Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu bersikap membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan membentak, “Aku tidak butuh bantuanmu!”

“Ha-ha-ha, betapapun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari kita berlumba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara murid Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!”

“Boleh kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!” jawab Kwi Hong yang segera mengerahkan se­luruh kepandaiannya untuk merobohkan para pengeroyok. Wan Keng In juga tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di ta­ngannya berkelebatan seperti naga sakti mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok itu. Baru mengeroyok gadis pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah lagi pemuda lihai yang membawa Lam-mo-kiam, Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk dan seolah-olah hidup di tangan pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan muncrat dari tubuh yang hampir putus, mayat berserakan dan tak lama kemudian, habislah semua pengero­yok termasuk ketua kedua buah perkum­pulan itu. Tinggal Kwi Hong dan Keng In yang berdiri memandang pedang mere­ka yang sedikit pun tidak bernoda darah biarpun Sepasang Pedang Iblis itu telah minum darah belasan orang!

“Ha-ha-ha! Engkau tidak kecewa menjadi murid Susiok!” Keng In memuji dan bukan pujian kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali membuktikan apakah gadis murid susioknya ini akan mampu menandinginya.

Di lain pihak, Kwi Hong juga terhe­ran-heran melihat sikap Keng In yang lain dari dahulu. Dahulu pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini membantunya dan bersikap ramah.

Dia tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan Lulu. Dengan pedang Li-mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih berserakan di sekitar kakinya dan darah masih bercucuran, dia berkata,

“Wan Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu di sini. Aku membawa pe­san dari ibumu untukmu.”

Berkerut alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan ke mana perginya ibunya, sungguhpun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.

“Di mana kau berjumpa dengan ibuku? Dan apa yang dipesannya? Eh, Nona. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak di antara bangkai-bangkai yang menjijikkan ini?”

“Terserah kepadamu,” jawab Kwi Hong singkat. Keng In meloncat dan ber­lari ke dalam hutan di sebelah kiri, dan Kwi Hong menyusulnya.

Kini mereka berhadapan di bawah sebatang pohon yang besar. “Nah, di sini kan lebih enak. Akan tetapi mengapa kau tidak menyimpan pedangmu?”

Kwi Hong memandang pedang yang masih dipegangnya. “Hemmm, menghadapi engkau yang memegang pedang terhunus, lebih baik aku tidak menyimpan pedang­ku.”

Keng In mengangkat alisnya, meman­dang pedang Lam-mo-kiam di tangannya dan tertawa. “Ha-ha, aku sampai lupa. Agaknya kau curiga kepadaku.” Dia me­nyarungkan pedangnya dan diturut pula oleh Kwi Hong.

“Aku bertemu dengan ibumu di Pulau Es....”

“Apa? Ibuku di Pulau Es?” Keng In benar-benar terkejut sekali karena tidak disangka-sangkanya bahwa ibunya mau pergi ke Pulau Es.

“Benar, tidak itu saja. Malah sekarang Bibi Lulu telah menjadi isteri Paman Suma Han bersama Bibi Nirahai. Mereka bertiga tinggal di Pulau Es sebagai suami isteri.”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati pemuda itu. Kaget, malu, kecewa dan marah. Akhirnya ibunya tunduk juga ke­pada pria yang belasan tahun lamanya membikin sengsara hatinya. Ingin dia marah-marah, ingin dia memaki-maki ibu­nya. Namun Keng In sekarang telah menjadi seorang pemuda yang cerdik dan tidak mau memperlihatkan perasaan hati­nya. Dia hanya menunduk sejenak, kemu­dian ketika dia mengangkat muka lagi, wajahnya sudah biasa dan tenang kembali.

“Apakah pesan Ibu kepadamu untukku?”

Kwi Hong benar-benar tercengang. Sikap Keng In telah berubah sama sekali, jauh bedanya dengan dahulu. Dahulu pe­muda itu seperti iblis, akan tetapi kini bersikap biasa dan bahkan ramah.

“Bibi Lulu hanya berpesan kepadaku, kalau aku bertemu denganmu agar mem­bujukmu supaya engkau suka menyusul ibumu di Pulau Es. Hanya begitulah pesannya.”

Keng In tersenyum, dan Kwi Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan sekali, apalagi kalau tersenyum seperti itu.

“Tentu saja aku harus menyusul Ibu, dan aku harus memberi hormat kepada Ayah tiriku yang sudah lama kukenal nama besarnya itu. Ah, kalau begitu lebih girang hatiku bahwa tadi aku menolongmu. Sekarang kita bukan orang lain lagi. Eng­kau adalah keponakan Pendekar Super Sakti, juga muridnya, sedangkan aku ada­lah anak tirinya. Bukankah dengan demi­kian kita masih dapat dikatakan saudara misan? Apalagi kalau diingat bahwa eng­kau adalah juga murid Susiok Bu-tek Siauw-jin, berarti kita adalah saudara misan seperguruan pula. Enci Giam Kwi Hong, kauterimalah hormatku dan maafkan segala kesalahanku yang lalu.”

Kwi Hong tercengang dan juga menja­di girang. Ternyata pemuda ini sudah berubah menjadi seorang yang baik, tidak seperti dahulu, jahat seperti iblis. Dia tersenyum dan membalas penghormatan Keng In sambil berkata, “Aku juga girang sekali bahwa engkau bersikap baik, Wan Keng In. Dan memang sudah sepatutnya engkau menjadi adikku. Masih teringat olehku ketika masih kecil dahulu, ketika aku ditawan ibumu. Nakalmu bukan main....”

“Wah, Enci Kwi Hong, apakah kau tidak mau melupakan hal yang lalu. Biar­lah aku minta ampun kepadamu.” Dan pemuda itu benar-benar menjatuhkan diri berlutut di atas tanah depan kaki Kwi Hong!

“Ihhh! Jangan begitu, Adikku!” Kwi Hong tertawa, membangunkan Keng In dan keduanya lalu duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah.

“Enci Kwi Hong, bagaimana engkau sampai tiba di tempat ini! Tentu bukan untuk mencari aku di sini!”

Berat rasa hati Kwi Hong untuk me­ngaku bahwa dia tadinya hendak mencari Milana dan Bun Beng, bahkan agak malu pula dia mengatakan bahwa dia hendak ke Pulau Neraka mencari gurunya, karena bukankah Pulau Neraka adalah milik pe­muda ini? Maka dia menjawab,

“Aku hendak mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan semua pembantunya.”

Keng In mengerutkan alisnya. “Hemmm.... mencari mereka ada keperlu­an apakah, Enci Kwi Hong?”

“Aku mau bunuh mereka!”

“Ehh! Ada apa? Mereka itu lihai-lihai sekali! Mengapa kau hendak membunuh mereka?”

“Mereka itu terutama Bhong Ji Kun, ketika masih menjadi pemberontak, telah menipu aku sehingga aku terpikat berse­kutu dengan mereka. Dengan terjadinya hal itu, aku telah melkukan kesalahan besar terhadap pamanku.”

“Hemmm, begitukah? Mereka pun per­nah membujuk aku. Memang mereka harus dibunuh dan aku akan membantumu, Enci Hong! Bahkan aku dapat membawa­mu kepada beberapa orang di antara me­reka.”

“Apa? Benarkah itu, Keng In?”

“Benar, aku tidak membohong. Bebe­rapa hari yang lalu aku melihat beberapa orang anak buah Bhong-koksu itu di dekat pantai Lautan Po-hai, dan agaknya mereka itu bersembunyi di tempat sunyi itu.”

Berseri wajah Kwi Hong. “Benarkah? Bagus, mari kauantar aku ke tempat itu, Keng In. Tentu saja mereka itu harus bersembunyi karena mereka adalah pemberontak yang dikejar-kejar pemerintah.”

“Mari, Enci Hong. Tapi engkau benar-benar sudah tidak benci lagi kepadaku, bukan? Sudah kaumaafkan kesalahanku terhadapmu yang sudah-sudah?”

Kalau memikirkan apa yang telah di­lakukan oleh pemuda ini di masa lalu, memang sukar untuk melupakannya. Akan tetapi manusia tidak selamanya baik atau buruk, karena keadaan manusia itu selalu berubah, pikirnya. Sekarang pemuda ini kelihatan berubah sekali, mungkin hal ini juga terdorong oleh keadaan ibunya yang sudah menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Apalagi pemuda itu jelas ingin membantunya, tentu tidak mempunyai niat buruk.

“Aku tidak lagi memikirkan hal yang lalu, Keng In. Aku percaya kepadamu.”

Wajah yang tampan itu berseri girang dan berangkatlah Kwi Hong mengikuti Keng In menuju ke pantai Lautan Po-hai yang tidak berapa jauh, hanya memakan perjalanan beberapa hari saja dari situ.

Seperti telah disaksikan oleh Suma Han dan kedua orang isterinya, di sebelah selatan Pulau Es terjadi badai yang hebat. Ketika itu, perahu besar yang ditumpangi oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan teman-temannya sedang berlayar ke selatan. Bekas Koksu ini dan teman-temannya telah menderita kekalahan total dan ke­gagalan yang bertubi-tubi sehingga pela­yaran itu dilakukan dengan wajah murung dan hati kesal. Usaha pemberontakan mereka dengan mengangkat Pangeran Yauw Ki Ong gagal sama sekali, dan pangeran itu ternyata mempunyai hati khianat sehingga terpaksa dibunuh oleh Bhong Ji Kun. Setelah tidak ada lagi pangeran itu, tentu saja mereka tidak mempunyai pegangan untuk memberontak. Bahkan di Pulau Es mereka mengalami pukulan hebat lagi, semua dikalahkan mutlak oleh Pendekar Super Sakti sehing­ga mereka mendapatkan pengampunan dan diusir dari pulau sebagai orang-orang yang kalah. Seperti anjing setelah menga­lami gebukan-gebukan! Bagi orang-orang yang terkenal di dunia persilatan seperti mereka itu, tidak ada yang lebih mema­lukan dan merendahkan daripada diam­puni lawan setelah mereka kalah!

Memang mereka sedang sial. Usaha pemberontakan gagal sama sekali, disusul dengan kekalahan pribadi menghadapi Majikan Pulau Es. Kini, selagi mereka bingung ke mana harus pergi dengan pe­rahu mereka karena untuk mendarat amatlah berbahaya setelah mereka kini menjadi orang-orang pelarian, tiba-tiba saja badai datang mengamuk dan menye­rang perahu mereka!

Perahu itu sebetulnya sudah merupa­kan sebuah perahu besar menurut ukuran perahu umumnya. Namun, setelah badai mengamuk menimbulkan gelombang-ge­lombang setinggi anak bukit, perahu itu tidak lebih seperti sebuah mangkuk kecil di tengah telaga. Dan tenaga orang-orang yang biasanya dianggap orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertenaga besar, kini tiada bedanya seperti tenaga semut-semut saja menghadapi tenaga air laut yang digerakkan badai. Perahu dilempar ke sana-sini, dilontarkan ke atas dan diseret kembali ke bawah, diputar-putar dan akhirnya perahu itu pecah berkeping-keping!

Bhong Ji Kun dan anak buahnya tentu saja dalam keadaan seperti itu hanya dapat berusaha menyelamatkan diri ma­sing-masing. Mereka tidak dapat saling melihat ketika perahu itu pecah beran­takan dan mereka terlempar ke lautan yang sedang marah itu. Barulah mereka saling dapat melihat ketika badai telah lewat ke timur dan lautan di bagian itu agak tenang dan ternyata bahwa yang berhasil mencengkeram sebagian tubuh perahu yang pecah, yang hanya merupa­kan beberapa potong papan besar bersam­bung-sambung, hanya ada lima orang saja. Dalam keadaan setengah pingsan, lima orang ini naik ke atas papan-papan ber­sambung itu, terengah-engah. Mereka ini adalah Gozan, orang Mongol yang bertu­buh tinggi besar itu, Liong Khek, Si Mu­ka Pucat bertubuh kurus yang bersenjata pancing. Thai-lek-gu, Si Pendek Gendut bekas jagal babi yang bersenjata sepasang golok, dan dua orang Mongol yang tadinya adalah juru-juru mudi perahu itu.

Berkat pengalaman dan keprigelan dua orang bekas juru mudi inilah, maka pe­cahan perahu yang kini ditumpangi mere­ka berlima itu akhirnya dapat keluar dari daerah badai, kemudian dengan susah payah mereka mendayung mempergunakan papan yang berapung, untuk menggerak­kan perahu istimewa ini ke darat. Dan mereka berhasil setelah melalui perjuang­an mati hidup selama beberapa hari. Mereka berhasil mendarat di tempat sunyi, di pantai Lautan Po-hai dalam keada­an tenaga habis dan hampir mati kela­paran!

Kini mereka sudah hampir dua pekan berada di guha-guha pantai Lautan Po-hai. Tenaga mereka sudah pulih dan pada siang hari itu tiga orang bekas pembantu Koksu bercakap-cakap di depan guha sedangkan dua orang bekas juru mudi kini bertugas sebagai pelayan, memang­gang ikan yang mereka tangkap di tepi laut.

“Sudah lama kita menanti di sini, dan Im-kan Seng-jin belum juga muncul,” kata Liong Khek yang sebagai orang terlihai di antara mereka berlima tentu saja otomatis menjadi pemimpin mereka.

“Dalam badai seperti itu, biarpun me­miliki kepandaian selihai dia, kiranya takkan banyak berdaya,” Thai-lek-gu ber­kata menggeleng-gelengkan kepala, masih ngeri kalau mengenangkan peristi­wa itu. Dia tidak dapat berenang sama sekali, maka dapat dibayangkan betapa takutnya ketika itu, hanya untung oleh ombak dia dilemparkan dekat pecahan perahu sehingga dapat menyelamatkan diri.

“Agaknya dia dan yang lain-lain sudah mati ditelan ikan,” kata Gozan. “Lebih baik kita tinggalkan saja dia. Tempat ini pun masih berbahaya. Kalau sampai ada nelayan yang melihat kita dan melapor­kan, kita akan celaka. Aku sudah khawa­tir sekali ketika beberapa hari yang lalu ada perahu kecil meluncur cepat di laut­an itu.”

“Tak usah khawatir,” Liong Khek ber­kata, “Perahu kecit itu hanya ditumpangi seorang, dan dia agaknya tidak memperhatikan ke sini. Pula, dia sudah pergi beberapa hari yang lalu, kalau memang dia melaporkan, kiranya pada hari itu juga sudah ada pasukan yang datang hen­dak menangkap kita. Akan tetapi, andai­kata demikian, kita takut apa kalau hanya menghadapi pasukan-pasukan biasa?”

“Sekarang lebih baik kita lanjutkan rencana kita,” kata pula Gozan. “Kita dapat pergi ke Mongol melalui dua jalan. Pertama melalui jalan barat, melintasi Propinsi Liao-ning dan melalui Pegunungan Tai-hang-san sebelah utara. Akan tetapi jalan ini berbahaya karena tentu kita akan bertemu dengan para penjaga yang menjaga di Tembok Besar. Jalan ke dua adalah melalui sepanjang Sungai Yalu dan kemudian terus ke barat melalui Mancu.”

 “Melalui Mancu? Gila, bukankah di sana pusatnya bangsa yang menjajah se­karang?”

“Justeru karena itulah maka kita tak­kan diperhatikan, karena tidak akan ada yang mengira bahwa kita berani lewat di sana. Di sana banyak terdapat orang Mongol, maka bagiku aman, juga banyak terdapat orang Han. Dengan menyamar, kita mudah saja melalui Mancu, kemudian ke barat dan menyelinap ke Mongol.” Gozan yang sudah hafal akan seluk-beluk daerahnya itu menggambarkan keadaan dengan coretan-coretan di atas tanah depan kakinya.

“Kalau begitu, besok pagi-pagi kita berangkat pergi!” kata Liong Khek sambil menarik napas panjang.

Tiba-tiba terdedgar suara nyaring merdu, “Tidak usah besok, sekarang pun kalian akan pergi ke neraka!”

Tampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwi Hong dan Keng In! Pemuda itu tersenyum-se­nyum saja dan berdiri di pinggiran dengan kedua tangan bersedekap (terlipat di dada).

Mendengar ucapan Kwi Hong dan ke­tika mereka mengenal dara ini, tiga orang itu sudah meloncat berdiri. “Nona, apa kehendakmu dan apa artinya kata-katamu itu?” Liong Khek bertanya, dan mukanya berubah pucat.

“Aku datang untuk membunuh kalian! Mana Si Keparat Bhong Ji Kun, suruh dia keluar!”

“Dia.... mungkin sudah mati. Perahu kami pecah oleh badai dan yang dapat menyelamatkan diri hanya kami berlima. Nona, kami telah dilepaskan pergi oleh paman Nona. Kami telah dimaafkan....”

“Mungkin Paman memaafkan, akan te­tapi aku tidak! Penghinaan dan tipuan yang kalian lakukan kepadaku hanya da­pat ditebus dengan darah!” Sambil berka­ta demikian Kwi Hong sudah mencabut pedangnya. “Singgg....!” Kilat berkelebat ketika pedang Li-mo-kiam dihunus.

Tiga orang itu menjadi kaget sekali. Liong Khek menoleh dan menghadapi Keng In yang masih berdiri tenang dan tersenyum-senyum. “Wan-taihiap engkau adalah bekas sekutu kami. Harap kau suka membantu kami dan menyuruh nona ini agar tidak memaksa kami bertanding.”

Wan Keng In tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalian ini orang-orang yang tak dapat dipercaya dan berwatak pengecut, maka kalian memang sudah sepatutnya dibunuh. Akan tetapi karena kalian ber­hutang kepada Enci Kwi Hong, biarlah dia yang akan menagihnya. Aku hanya akan melenyapkan dua orang tiada guna itu!” Tiba-tiba tangannya bergerak, tam­pak sinar berkelebat ketika pedang Lam-mo-kiam dicabut dan tubuhnya hanya berkelebat sebentar lalu dia sudah berdiri lagi di tempat tadi, pedangnya sudah disarungkan kembali, akan tetapi dua orang pelayan bekas juru mudi yang tadinya berjongkok dekat perapian karena terganggu pekerjaan mereka memanggang ikan itu telah roboh dengan kepala terpi­sah dari tubuh, lehernya putus disambar sinar pedang Lam-mo-kiam!

Tiga orang itu kaget bukan main dan tahulah mereka bahwa jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah melawan! Melihat sikap pemuda Pulau Neraka yang mereka tahu lihai luar biasa itu, mereka hanya mengharapkan pemuda itu benar-benar memegang kata-katanya dan tidak akan ikut campur, membiarkan dara itu seo­rang diri saja melawan mereka. Kalau begini halnya, mereka masih ada harapan.

Biarpun mereka juga maklum bahwa mu­rid dan keponakan Pendekar Super Sakti ini lihai sekali, namun mereka bertiga masa kalah melawan seorang gadis muda? Apalagi mereka itu telah siap dengan senjata mereka. Gozan yang tak pernah bersenjata itu mengandalkan kedua tangan dan kakinya dan ilmu gulat disamping ilmu silatnya. Thai-lek-gu (Kerbau Berte­naga Besar) pun ketika berhasil menyela­matkan diri, sepasang golok penyembelih babinya masih tergantung di punggung. Adapun Liong Khek sendiri yang kehilangan senjatanya, telah mencuri sebuah pancing dari nelayan di Pantai Po-hai dan sudah membuat senjata pancing baru. Biarpun tidak sekuat buatannya sendiri dahulu, namun cukup untuk diper­gunakan karena memang keistimewaannya adalah mempermainkan senjata aneh ini.

Melihat betapa dua orang itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing, dan Gozan sudah berdiri memasang kuda-kuda dengan kedua lengan dikembangkan seperti seorang yang kerinduan siap memeluk kekasihnya, Kwi Hong menggerakkan pedangnya dan membentak, “Bersiaplah untuk mampus!”

Akan tetapi Liong Khek dan Thai-lek-gu sudah mendahului menggerakkan senja­ta mereka. Sepasang golok Si Gendut Pendek itu menyambar dahsyat dari kanan kiri, dan terdengar suara bersiut nyaring ketika tali pancing itu melecut udara dan mata kailnya membalik, me­nyambar tengkuk Kwi Hong dari belakang.

Kwi Hong maklum akan kelihaian para lawannya, makin dia cepat memutar pe­dang menangkis sepasang golok sambil merendahkan tubuh dan menyelinap ke kiri untuk menghindarkan sambaran mata kail. Si Gendut Pendek itu mengenal Li-mo-kiam, cepat menarik kedua goloknya dan memutar golok itu untuk melanjutkan serangannya, yang kiri menusuk dada, yang kanan menyerampang kaki. Juga Liong Khek sudah menggerakkan tali pancingnya.

Kwi Hong tadi meloncat ke kiri untuk menjauhi Gozan. Biarpun orang Mongol itu bertangan kosong, namun dia maklum akan kelihaian orang ini dengan kedua tangannya. Sekali kena dipegang orang itu, sukarlah untuk dapat lolos lagi. Karena itu dia selalu bergerak menjauhinya agar jangan sampai Gozan mendapat kesempatan menyergapnya dari belakang.

Wan Keng In hanya berdiri tersenyum. Melihat wajah pemuda ini, sukar untuk mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada dan di balik dahi itu. Akan tetapi yang sudah jelas, matanya bergerak me­ngikuti gerak-gerik Kwi Hong, penuh kagum, dan kadang-kadang mata itu de­ngan liarnya melayang ke arah dada, pinggang, kaki dan wajah yang cantik dari gadis itu.

Pertandingan itu berjalan seru dan biarpun dikeroyok tiga, Kwi Hong tetap saja dapat mendesak. Hal ini bukan hanya karena tingkat ilmunya memang jauh lebih tinggi, akan tetapi terutama sekali karena tiga orang itu jerih menghadapi keampuhan Li-mo-kiam yang dahsyat dan mengandung hawa mujijat itu. Betapapun juga, tidaklah terlampau mudah bagi Kwi Hong untuk merobohkan mereka, karena tiga orang itu bertanding untuk mempertahankan nyawa mereka!

Lima puluh jurus telah lewat dan masih belum ada di antara mereka yang terluka, kecuali golok kiri Thai-lek-gu patah ujungnya terbabat Li-mo-kiam. Karena maklum bahwa kalau mereka ha­nya mempertahankan diri saja, lambat laun tentu mereka akan menjadi korban Li-mo-kiam, maka tiga orang itu pun berusaha untuk membalas dan merobohkan gadis yang perkasa itu. Pendeknya, pertandingan itu bagi mereka hanya berarti membunuh atau dibunuh!

Pada saat untuk kesekian kalinya se­pasang golok Thai-lek-gu menyambar, Kwi Hong berusaha menangkis dan me­matahkan golok dan Si Gendut itu me­mang hanya mengacau untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya. Melihat dara itu menggerakkan pedang menghalau golok-golok yang mengancam­nya, Liong Khek menggerakkan pancing­nya yang kini diulur panjang untuk melibat pinggang dan leher dara itu! Kwi Hong memang suddh menanti hal ini ter­jadi karena dia merasa penasaran dan kehilangan sabar setelah sekian lamanya belum juga dapat merobohkan mereka. Begitu tali pancing melecut udara dan menyambar, Kwi Hong menggerakkan tangan kirinya menangkap tali pancing! Liong Khek berseru girang, dan seruan ini merupakan aba-aba bagi kedua orang temannya. Sepasang golok itu menyerang dari kanan kiri, sedangkan Gozan menu­bruk dari belakang!

Kwi Hong mengerahkan sin-kang, me­narik tali pancing dengan tangan kiri, ketika sepasang golok menyambar, kem­bali dia memutar pedangnya dan melepas tali pancing dengan tiba-tiba sehingga mata kail itu meluncur ke arah pemilik­nya! Tentu saja Liong Khek dapat me­nyelamatkan diri dan pada saat pedang Kwi Hong berhenti bergerak karena dua batang golok itu ditarik kembali pada saat yang sama, mata kail itu sudah menyambar ke arah mukanya dan sepasang golok sudah menjepit pedang, sedangkan Gozan menubruk dari belakang, tahu-tahu kedua tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang!

Kwi Hong tidak menjadi gugup. Dia merendahkan tubuh dan dimiringkan, akan tetapi dia tidak mengira bahwa gerakan Gozan memang cepat sekali dan tahu-tahu elakan itu masih belum cukup untuk menghindarkan kedua tangan Gozan dan kini tangan kanan raksasa Mongol itu sudah meraih pinggang Kwi Hong dan lengannya merangkul ketat! Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Pedang yang terjepit sepasang golok itu dia betot sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi. Terdengar suara “krakkk!” ketika sepasang golok itu patah-patah dan pedangnya terus membabat ke belakang.

 “Crokkkk! Aughhh....!” Tubuh Gozan terguling, lengan kanannya putus sebatas pundak akan tetapi lengan yang besar itu masih melingkari pinggang dan jari-jari tangannya masih mencengkeram baju gadis itu!

“Ihhhh!” Kwi Hong bergidik dan me­renggut lengan itu dengan tangan kirinya, membuangnya ke samping.

“Brettt!” Baju di bagian perutnya te­robek oleh jari-jari tangan itu. Untung pakaian dalam hanya ikut terobek sedikit sehingga hanya sedikit bagian kulit perut­nya yang putih bersih itu tampak!

Sambil menutupi bagian robek dengan tangan kiri, Kwi Hong membalikkan tubuh dan pedangnya berkelebat merupakan gulungan sinar pedang yang seperti kilat menyambar di waktu hujan. Tampak darah muncrat dan terdengar pekik-pekik mengerikan ketika tubuh Gozan dan tubuh Thai-lek-gu hampir berbareng roboh de­ngan pinggang hampir terpotong!

Liong Khek menjadi pucat. Maklum bahwa dia tidak dapat melarikan diri, dia menjadi nekat. Mata kailnya menyambar dengan gerakan berputaran, mata kail meluncur turun menyerang ke arah mata Kwi Hong! Dan pada saat berikutnya, dia sendiri telah menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan sin-kang ke arah dada dara itu.

“Heiiittt.... blessss! Aduhhh....!” Kwi Hong telah merubah kedudukannya, sete­ngah berjongkok dengan kecepatan me­ngagumkan sehingga mata kail itu tidak mengenai sasaran, kemudian dari bawah pedangnya meluncur dan amblas mema­suki perut Liong Khek sampai menembus punggung dan secepat kilat tubuh dara itu sudah meloncat ke belakang sambil menarik kembali pedangnya sehingga darah yang muncrat itu tidak sampai mengenai pakaiannya. Liong Khek terhu­yung lalu roboh menelungkup tanpa ber­sambat lagi.

Terdengar orang bertepuk tangan. “Bagus sekali! Kau sungguh hebat Enci Hong!”

Mulutnya memuji akan tetapi matanya mengincar ke arah sebagian perut yang tidak tertutup tadi! Kwi Hong segera menutupi perutnya, mengeluarkan selem­bar saputangan sutera dan menggunakan saputangan itu untuk diikat dan menutupi bagian yang robek.

Kwi Hong menyarungkan pedangnya, memandang tiga buah mayat musuhnya dan dia berlutut, menutupi mukanya, ter­isak sedikit lalu membuka pula kedua tangan yang menutupi muka dan.... ter­tawa!

“Kau hebat, Enci Hong. Tentu kau sudah puas sekarang?”

“Masih belum! Mereka ini hanya kaki tangannya, yang menjadi musuh besar utama adalah Bhong Ji Kun!”

“Akan tetapi agaknya kau kalah dulu oleh badai. Menurut penuturan mereka tadi, perahu mereka pecah oleh badai dan hanya mereka yang selamat.”

Kwi Hong bangkit berdiri, menarik napas panjang. “Sayang sekali kalau be­gitu.”

“Aku tahu bahwa kau mendendam sakit hati hebat, karena itu tadi pun aku tidak mau turun tangan membantumu. Tentu saja aku yakin kau akan menang. Kalau aku membantumu tentu kau akan kecewa.”      

Kwi Hong tersenyum kepadanya. “Terima kasih, Keng In. Engkau baik sekali. Dan melihat engkau begitu baik, benar-benar menimbulkan rasa kasihan di hatiku.”

“Eh, kasihan kepadaku, Enci Hong?” Keng In benar-benar merasa heran. “Me­ngapa engkau merasa kasihan kepadaku?”

Mereka bicara sambil berjalan pergi meninggalkan mayat-mayat itu. Agaknya mereka berjalan asal menjauhi mayat-mayat itu saja, tanpa tujuan tertentu, berjalan sepanjang pantai laut.

Tiba-tiba Kwi Hong menoleh kepada pemuda itu.

“Keng In, bukankah engkau mencinta Milana?”

Keng In terkejut, mengira bahwa Kwi Hong tahu bahwa dia menculik Milana, akan tetapi dia dapat menekan perasaan­nya. “Dugaanmu benar, Enci Hong. Aku mencinta Milana, akan tetapi keadaannya menjadi rusak dan kacau sekarang ini. Milana adalah puteri ayah tiriku, bagai­mana mungkin....?”

“Bukan itu saja.” Kwi Hong menghela napas. Gadis itu merasa hidup sebatang kara, setelah dia menganggap bahwa pa­mannya membencinya, semua orang mem­bencinya, dan tadinya harapannya tertum­pah kepada Bu-tek Siuw-jin. Kini, sebe­lum bertemu dengan gurunya itu dia bertemu dengan Keng In yang bersikap baik, maka dia tidak ingat apa-apa lagi dan mendapatkan seorang yang dapat dia ceritakan segalanya untuk menumpahkan semua kedukaan dan kekecewaannya. “Bukan itu saja, akan tetapi kini Milana lenyap, kabarnya diculik orang....”

“Ehhh....?” Keng In terkejut, benar-benar terkejut bukan pura-pura. Hanya kalau Kwi Hong mengira dia terkejut mendengar dara yang dicintanya hilang, adalah sebenarnya Keng In sendiri terke­jut bukan karena itu, melainkan karena mengira bahwa Kwi Hong benar-benar telah tahu bahwa dia penculiknya! “Di­culik.... siapa....”

“Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Tadinya kusangka engkau, akan tetapi melihat perubahan pada dirimu, tentu bukan kau yang melakukan perbuatan keji itu. Akan tetapi, juga bukan karena Milana diculik orang itu yang membuat aku kasihan kepadamu, Keng In.”

Dapat dibayangkan betapa lega hati Keng In.

“Eh, ada apakah lagi yang lebih hebat dari berita hilangnya Milana itu?”

“Ada yang lebih hebat, dan lebih me­nyedihkan untukmu, juga untukku...., bahwa Milana telah ditunangkan dengan Gak Bun Beng.”

Berita ini benar-benar merupakan pu­kulan hebat bagi Keng In! Di dalam hati­nya seolah-olah ada api membakar dan kalau tadinya dia hanya cemburu karena Milana mencinta Bun Beng, kini cemburu itu makin berkobar karena dara yang dicintanya itu ternyata telah dijodohkan dengan pemuda yang makin dibencinya itu. Akan tetapi dia memang hebat. Se­muda itu dia telah pandai menguasai di­rinya sendiri sehingga dia hanya menun­duk saja, tidak tampak marahnya hanya kelihatan seperti orang yang berduka.

Sampai lama mereka tidak berkata-kata, hanya melangkah terus perlahan-lahan di sepanjang pantai yang dijilati lidah-lidah ombak yang membuih.

“Enci Hong.... kau tadi bilang bahwa hal itu juga menyedihkan hatimu. Mengapa?”

“Tidak mengertikah engkau? Seperti juga engkau, aku mencinta orang yang bukan dijodohkan denganku....”

Keng In menoleh dan menatap tajam wajah yang menunduk itu. “Kau.... kau juga mencinta Bun Beng?”

Kwi Hong mengangguk tanpa menoleh sehingga dia tidak melihat betapa sinar kemarahan membuat wajah tampan itu menjadi menakutkan. Akan tetapi hanya sebentar, karena segera terdengar kata-kata Keng In, halus dan seperti suara orang yang benar-benar berniat jujur dan baik. “Betapapun juga, Enci Hong. Engkau adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti, aku adalah anak tirinya. Kiranya sudah menjadi tugas kewajiban kita untuk mencari siapa penculik Milana dan ke mana dia dibawa pergi.”

Kini Kwi Hong menoleh dengan pan­dang mata terheran-heran. “Kau....? Hen­dak mencari dan menolong Milana? Ahhh, betapa baik hatimu. Sungguh tak kusang­ka! Kau membikin aku merasa malu, Keng In. Aku sendiri tadinya sudah tidak peduli karena kedukaan dan kekecewaan­ku. Kau benar, kita harus mencari dia, harus mencari Bun Beng. Biarpun hati kita dihancurkan, dipatahkan, namun kita harus menemukan mereka dan menyuruh mereka kembali ke Pulau Es.”

“Kalau begitu marilah kita mencari mereka, Enci. Hong! Lihat, Sepasang Pedang Iblis berada di tangan kita! Ha-ha-ha, Siang-mo-kiam telah menggegerkan dunia. Sekali ini pun akan menggegerkan dunia, akan tetapi dengan cara lain! Kita akan bekerja sama, bahu-membahu me­numpas musuh-musuh kita!”

Tentu saja Kwi Hong terbawa oleh kegembiraan Keng In yang mencabut Lam-mo-kiam dan mengangkatnya tinggi-tinggi itu. Dia tidak mengartikan lain dengan sebutan “musuh-musuh kita” maka dia pun mencabut Li-mo-kiam, mengang­katnya di atas kepala dan dengan wajah berseri berseru, “Siang-mo-kiam akan menggegerkan dunia dan musuh-musuh kita akan tertumpas habis!”

Siang hari itu mereka berhenti di da­lam sebuah hutan. Keng In menurunkan bangkai kijang yang tadi diburu dan bangkai kijang yang tadi diburu dan dibunuhnya. Kwi Hong sudah mempersiap­kan bumbu-bumbu yang tadi mereka beli di dusun terakhir di luar hutan. Keng In memilih daging-daging yang lunak dan memberikannya kepada Kwi Hong yang melumurinya dengan bumbu yang sudah diaduk dengan air, kemudian daging-daging itu mulai mereka bakar di atas api unggun.

“Sayang tidak ada nasi,” kata Kwi Hong.

“Makan daging saja asal cukup banyak juga kenyang. Dan aku masih mempunyai simpanan arak,” kata Keng In.

Maka makanlah keduanya. Kwi Hong makan dengan lahap karena hatinya se­nang. Dia merasa mendapatkan teman seperjalanan yang menyenangkan dalam diri Keng In. Dia merasa seolah-olah Keng In memang sejak dahulu adiknya sendiri! Dan ajakan Keng In untuk men­cari Milana dan Bun Beng menimbulkan semangat kembali, tidak seperti sebelum ini, acuh tak acuh. Dunia masih lebar dan bukan hanya Bun Beng seorang laki-laki di dunia ini, sungguhpun sukarlah menemukan ke duanya!

Setelah perutnya penuh dengan daging bakar yang harum dan gurih, dan kepadanya agak ringan oleh arak Keng In yang benar-benar keras, harum dan tua itu, Kwi Hong duduk menyandarkan punggung­nya di bawah pohon besar. Tempat itu teduh sekali, melindunginya dari panas matahari. Angin bertiup dan Kwi Hong yang kelelahan dan kekenyangan itu se­perti dikipasi, tanpa disadarinya lagi dia telah tertidur sambil menyandar batang pohon!

Malam hampir tiba ketika Kwi Hong mengeluh dan membuka matanya. “Augg­ghh.... kepalaku pening....”

Keng In segera mendekati dan berlu­tut di depan Kwi Hong. Dara itu membu­ka matanya, memandang heran. “Di mana aku....? Kau.... kau....?”

“Enci Hong, kau kenapakah? Aku Keng In. Kau kenapa....?”

“Ahhh, Keng In.... hampir aku lupa kepadamu.... entah, kepalaku pening.... aku bingung....”

“Tenanglah, Enci Hong dan jangan khawatir, aku membawa obat untukmu. Rebahlah dan minum obat ini....” Keng In mengeluarkan sebotol obat cair yang berbau harum, memberi gadis itu minum obat ini. Kwi Hong yang berada dalam keadaan setengah ingat itu tidak membantah, dengan penuh kepercayaan dia minum obat itu, kemudian karena kepala­nya pening dan pandang matanya berku­nang, dia tidur lagi dan tak lama kemu­dian dia menjadi pulas.

Melihat dara itu sudah tidur nyenyak, Keng In tersenyum lebar dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh, kemudian dia menyimpan sisa obat yang masih banyak, membesarkan api unggun dan rebah di atas rumput untuk mengaso. Sukar baginya untuk bisa tidur pulas karena pikirannya penuh oleh pengalaman hari itu. Yang selalu terbayang olehnya adalah wajah Bun Beng, dibayangkannya dengan kemarahan dan kebencian besar. Milana mencinta Bun Beng, dan Kwi Hong juga mencinta Bun Beng! Semua orang mencinta Bun Beng dan membencinya! Biarlah dia akan menjadi Gak Bun Beng. Dia akan makan dan menikmati kembangnya, biarlah Bun Beng yang ter­kena durinya! Dia melirik ke arah Kwi Hong. Obat yang diberikannya tadi akan memperkuat obat yang terdahulu, yang berada di dalam araknya, dan obat itu membutuhkan waktu beberapa lama untuk bekerja dengan baik. Masih banyak waktu untuk bersenang-senang, pikirnya dan sambil tersenyum karena hatinya lega, tidurlah Keng In.

Pada keesokan harinya, menjelang pagi, Kwi Hong terbangun. Dia mengejap-ejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosok matanya, mengerutkan alisnya. Di mana dia dan mengapa dia berada di hutan? Cuaca remang-remang dan keada­an sekelilingnya hanya diterangi oleh sinar api unggun. Dia bangkit duduk dan tiba-tiba terdengar suara orang memang­gil, “Kwi Hong....!”

Kwi Hong menoleh ke kanan dan oto­matis tubuhnya bersiap siaga. Biarpun dia tidak ingat apa-apa lagi namun ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya itu menggerakkan tubuh tanpa membutuhkan ingatan lagi!

Melihat munculnya seorang laki-laki muda yang memakai sebuah caping (topi) bundar, dia membentak sambil meloncat berdiri, “Siapa kau?”

Pemuda bercaping bundar itu terbela­lak heran. “Kwi Hong, lupakah engkau kepadaku, kepada laki-laki yang kaucinta dan yang mencintamu? Lihatlah wajahku, lihatlah capingku, apakah kau tidak ingat kepadaku lagi?”

Kwi Hong tercengang keheranan, me­ngerahkan ingatannya untuk mengenal siapa pemuda ini, akan tetapi percuma saja. Ada bayangan di balik otaknya bah­wa dia memang mengenal pemuda ini dan merasa suka kepada wajah yang tampan itu, akan tetapi tidak ingat lagi.

“Aku tidak tahu.... aku tidak ingat.... siapakah engkau....?”

“Kwi Hong, dewiku tersayang. Aku adalah Gak Bun Beng, kekasihmu!”

Mendengar nama Gak Bun Beng ini, Kwi Hong menjadi lemas. “Bun.... Bun Beng! Ahhh, Bun Beng....!” Dan dia menangis sambil jatuh terduduk.

Pemuda itu cepat berlutut di depan­nya dan melingkarkan lengan ke lehernya, memeluknya dengan mesra. Biarpun pada waktu itu ingatan Kwi Hong sudah lenyap sama sekali sehingga dia tidak lagi dapat mengingat bagaimana wajah Bun Beng, akan tetapi mendengar nama itu sudah cukup menggerakkan hatinya, nama yang tak pernah terlupa olehnya. Otomatis, karena hatinya amat tertekan tadinya sebelum dia kehilangan ingatan, dan kini seolah-olah memperoleh obat penawar yang menyejukkan, kedua lengannya balas me­meluk pemuda itu. Mereka berpelukan dan Kwi Hong terisak penuh rasa girang dan lega. Pemuda itu memegang dagunya, mengangkat muka, dan ketika pemuda itu menciumnya, mencium pipinya, hi­dungnya, mulutnya, Kwi Hong hanya mengeluarkan suara rintihan terharu dan memejamkan kedua matanya!

Sebelum kehilangan ingatannya, Kwi Hong merasa betapa hatinya hancur, ter­utama sekali karena Bun Beng yang dicintanya itu dijodohkan dengan Milana. Habis harapannya untuk dapat berjodoh dengan pemuda yang dicintanya itu, dan telah ada kenyataan bahwa pemuda yang dicintanya itu takkan dapat diraih oleh­nya, maka cintanya terhadap pemuda itu seolah-olah bertambah, dan dia merasa rindu sekali kepada Gak Bun Beng. Oleh karena itulah, kerinduan yang masih men­cengkeram bawah sadarnya, kini timbul ketika pemuda yang dicintanya itu telah memeluk dan menciumnya. Tanpa dorong­an rasa rindu yang hebat itu kiranya dia tidak akan menerimanya begitu saja pen­curahan kasih sayang dari seorang pria terhadapnya, keadaan yang sama sekali masih asing baginya ini. Tapi sekarang Kwi Hong sama sekali tidak memberontak bahkan di luar kesadarannya, hidung dan bibirnya bergerak membalas ciuman pe­muda itu dengan gairah yang meluap-luap.

“Kwi Hong.... ah, Kwi Hong.... keka­sihku.... hanya engkaulah wanita yang kucinta....!” Laki-laki itu berbisik sambil memperketat dekapannya dan membawa Kwi Hong rebah di atas rumput.

“Bun Beng.... ohh, Bun Beng....!” Kwi Hong memejamkan matanya dan sama sekali tidak peduli lagi akan apa yang dilakukan oleh pemuda yang dicintanya itu terhadap dirinya. Dia menyerah bulat-bulat, menyerahkan hati dan tubuhnya dengan penuh kerelaan, bahkan dia mem­bantu penyerahan itu karena dia pun membutuhkan kasih sayang pemuda ini. Maka terjadilah hal yang tak dapat di­elakkan lagi dalam keadaan seperti itu. Hanya pohon-pohon, kabut pagi, dan burung-burung yang baru keluar dari sa­rangnya saja yang menjadi saksi akan pencurahan cinta berahi yang berlangsung pada pagi hari di bawah pohon besar itu. Pencurahan nafsu berahi yang terjadi atas kehendak kedua pihak, dengan suka rela, sungguhpun Kwi Hong melakukannya dalam keadaan hilang ingatan dan hanya merasa yakin bahwa dia telah menyerah­kan tubuhnya kepada orang yang dicinta­nya, Gak Bun Beng, dan tidak akan me­rasa menyesal akan apa pun yang menja­di akibatnya. Adapun pemuda itu, yang mudah saja diduga bukan Gak Bun Beng sesungguhnya melainkan Wan Keng In, mula-mula menggunakan siasat ini, me­rampas ingatan Kwi Hong dengan obat pemberian gurunya, kemudian menyamar sebagai Bun Beng, bukan semata-mata untuk menikmati kemesraan tanpa perko­saan bersama Kwi Hong yang cantik dan yang dikaguminya, melainkan didasari oleh niat untuk menghancurkan hidup Bun Beng! Keng In ingin menanam kesan mendalam di hati Kwi Hong bahwa gadis itu telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Beng, dan hal ini tentu saja kelak akan menjadi penghalang bagi Bun Beng untuk melanjutkan perjodohahnya dengan Milana! Akan tetapi, bukan sampai di situ saja rencananya untuk menjebloskan nama baik Bun Beng ke pecomberan.

Setelah mencurahkan kasih sayangnya kepada pemuda yang dicintanya, penga­laman pertama selama hidupnya yang baru sekarang dialami akan tetapi sama sekali tidak disesalkannya itu, Kwi Hong tertidur lagi kelelahan dan kepuasan. Ketika dia bangun lagi, pemuda bertopi bundar itu telah berada di sisinya. Kwi Hong menggeliat, seperti seekor kucing manja, membuka mata dan merangkulkan kedua tangan ke leher laki-laki yang te­lah duduk di dekatnya, menarik muka yang dicintanya itu dan kembali mereka berciuman.

“Hemmm...., Bun Beng.... aku merasa berbahagia sekali....!”

Keng In tertawa dan menarik tangan Kwi Hong bangun. “Hayo bangunlah, kita mandi di telaga dekat sini, kemudian melanjutkan perjalanan.”

 “Eh, ke mana?” Kwi Hong bertanya sambil tersenyum manis, membetulkan pakaiannya yang awut-awutan seperti juga rambutnya, akan tetapi yang bahkan me­nambah keaslian kecantikannya.

“Ke mana lagi, sayang? Bukanlah kita telah menjadi suami isteri, biarpun belum resmi? Aku adalah suamimu, maka kau harus ikut bersamaku.”

Kwi Hong menggeleng-geleng kepala­nya. “Aku tidak ingat lagi.... di mana rumahmu.... akan tetapi aku tidak peduli, Bun Beng. Bersama denganmu, aku akan selalu merasa bahagia, biar kaubawa ke neraka sekalipun!”

Keng In merangkul dan kembali mere­ka berciuman. “Kwi Hong.... pujaan hati­ku.... kalau aku membawamu, bukan ke neraka, melainkan ke sorga. Aku.... aku cinta padamu, Kwi Hong....!” Kalimat terakhir ini menggetarkan jantung Keng In karena dia merasa betapa ucapan itu tidak dibuat-buat seperti kalimat yang lain! Dia benar-benar merasa jatuh cinta kepada Kwi Hong! Sudah beberapa kali dia berhubungan dengan wanita, baik dengan perkosaan maupun dengan suka rela karena kenakalannya, akan tetapi semua itu hanyalah peristiwa badani saja. Anehnya, setelah apa yang terjadi, sete­lah merasa sampai ke dasar dirinya beta­pa Kwi Hong benar-benar menyerahkan segala-galanya dengan kasih sayang yang mesra, agaknya kasih sayang dara itu mencekam perasaannya dan menggugah cintanya pula!

Sambil tertawa-tawa bahagia, mereka berdua mandi di air telaga yang jernih. Mereka mandi dengan telanjang bebas karena di dalam hutan itu sunyi tidak ada orang lain lagi. Dalam kesempatan ini, sambil berendam di dalam air jernih, kembali kedua insan itu mencurahkan perasaan mereka dan mengulangi perbuat­an mereka di bawah pohon tadi. Bagi dua orang yang sedang dimabok asmara, se­perti sepasang pengantin baru, agaknya keduanya tidak pernah merasa puas akan permainan cinta ini.

Keng In yang cerdik itu kini malah merasa khawatir kalau-kalau Kwi Hong sadar dan ingatannya kembali lagi lalu menolak cintanya! Dia mulai merasa khawatir kalau dia akan kehilangan Kwi Hong yang dicintanya ini! Sungguh keada­an menjadi terbalik sama sekali! Karena itu, setiap hari dia selalu mencampurkan obat perampas ingatai ke dalam minuman atau makanan Kwi Hong dan mereka melakukan perjalanan cepat, hanya dise­ling dengan makan, tidur, dan bermain cinta.

Keng In ingin cepat-cepat mengajak Kwi Hong ke Pulau Neraka, di mana dia ingin menjalankan siasatnya selanjutnya untuk merusak hubungan antara Bun Beng dan Milana. Selain itu, juga obat yang dibawanya tidak banyak. Kalau sampal obat itu habis sebelum mereka tiba di Pulau Neraka, tentu akan berbahaya se­kali. Kwi Hong akan sadar kembali dan dia akan menghadapi kesulitan besar.

***

Biarpun Milana masih dapat memper­tahankan harga dirinya dan menolak dengan keras ajakan Keng In yang me­nyamar Gak Bun Beng untuk bermain cinta, namun dara ini merasa berduka sekali. Sepanjang ingatannya, kekasihnya yang bernama Gak Bun Beng itu adalah seorang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan. Akan tetapi siapa kira begitu datang pemuda yang dirindukannya itu hendak melakukan pelanggaran yang amat merendahkan dirinya! Sepeninggal Bun Beng malam itu, dia menangis dan berduka.

Biarpun dia terbebas dari bahaya itu, namun Milana masih tetap menjadi seo­rang yang seperti boneka hidup di Pulau Neraka. Dia masih belum ingat apa-apa karena sebelum pergi Keng In telah memesan kepada anak buahnya yang di­pimpin oleh tokoh Pulau Neraka, Si Gun­dul Kong To Tek untuk setiap hari mem­beri obat perampas ingatan itu dicampur­kan dalam makanan yang disuguhkan kepada Milana.

Pada suatu pagi, Milana duduk ter­menung seorang diri di belakang pondok­nya di Pulau Neraka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa malam tadi, Giam Kwi Hong keponakan dan murid ayahnya telah mendarat di Pulau Neraka bersama Wan Keng In! Andaikata dia melihat mereka mendarat, tentu dia akan menganggap Keng In yang memakai caping itu adalah Bun Beng yang selama ini dia pikirkan dengan hati risau, dan dia tentu tidak akan mengenal lagi Kwi Hong yang ke­adaannya sama dengan dia.

Tiba-tiba muncul Kong To Tek. Biar­pun dia tidak mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kong To Tek bukan merupa­kan orang asing bagi Milana, karena Si Gundul inilah yang melayani segala kebutuhannya. Pernah dia bertanya kepada Kong To Tek, ke mana perginya Gak Bun Beng yang selama itu belum datang, dan dijawab bahwa pemuda itu sedang pergi, akan tetapi tak lama tentu kembali.

“Nona, Gak Bun Beng telah kembali ke pulau ini.” Kong To Tek berkata ke­pada Milana sambil menyeringai. “Dan Nona diharapkan menemuinya di sana.”

Terjadi perang di dalam pikiran Mila­na. Akan tetapi akhirnya, cinta kasih yang sebetulnya tak pernah padam di dalam hatinya itu menang dan dia meng­angguk. “Di mana dia?”

“Di dalam pondok kuning dekat pantai timur, Nona.”

Milana lalu berjalan cepat menuju ke pantai timur. Dia sudah hafal akan ke­adaan di Pulau Neraka dan sebentar saja dia telah tiba di pondok itu. Akan tetapi sunyi saja di luar pondok dan ketika dia mendekat, terdengar olehnya suara orang berbicara dan tertawa, suara seorang laki-laki dan seorang wanita yang bersendau-gurau dan bercintaan. Dia terheran-heran, lalu mengintai dari jendela dari kamar tunggal pondok kecil itu.

Kamar itu terang sekali dan tampak jelas olehnya segala yang terjadi di da­lam kamar. Dia melihat pemuda bertopi bundar, Gak Bun Beng yang dicintanya, sedang bermain cinta dengan seorang wanita cantik, seorang wanita yang se­perti telah dikenalnya akan tetapi dia lupa lagi siapa wanita itu. Melihat adeg­an yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya itu, melihat betapa pria satu-satunya yang dicintanya bermain gila dengan seorang wanita lain, tak tertahan lagi Milana mengeluarkan suara isak ter­tahan, membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu!

Dari dalam kamar di pondok kuning itu, biarpun dia sedang berkasih-kasihan dengan mesra bersama Kwi Hong, Keng In yang sudah mengatur siasat itu maklum bahwa siasatnya berhasil dan dia mendengar isak tertahan tadi. Diam‑diam dia tersenyum bangga ketika menciumi Kwi Hong. Mampuslah kau, Bun Beng, pikirnya. Milana tentu takkan sudi melanjutkan perjodohannya dengan Bun Beng setelah terjadi dua hal itu. Pertama, Bun Beng hendak merayunya dan mengajaknya berjina, ke dua, Bun Beng telah bermain cinta dengan wanita lain! Setelah berhasil, dia akan membebaskan Milana. Biarlah Milana kembali ke daratan dengan bekal kebencian yang meluap bagi Bun Beng! Dan dia sendiri.... dia sudah puas dengan Kwi Hong. Hanya ada satu yang amat membingungkan dan menggelisahkan hati Keng In. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Kwi Hong. Tidak mungkin kalau selamanya dia harus membuat Kwi Hong kehilangan ingatannya seperti seka­rang ini. Obat itu adalah racun yang berbahaya, kalau terus menerus diberikan, menurut gurunya, bisa membuat gadis itu menjadi gila betul‑betul! Akan tetapi, kalau ingatannya kembali dan Kwi Hong mendapat kenyataan bahwa dia telah menyerahkan dirinya bukan kepada Bun Beng, tapi kepada Keng In, apa yang akan terjadi? Apakah Kwi Hong mau menerima nasib? Bagaimana kalau tidak? Dia takut kehilangan wanita yang dicin­tanya! 

Keng In mengusir rasa gelisahnya. Setelah kedua orang itu puas berkasih­-kasihan dan Kwi Hong tertidur di kamar itu, Keng In segera meninggalkan pondok. Masih ada sedikit lagi yang harus dia lakukan sebelum dia membebaskan Milana. Cepat ia pergi ke pondok Milana, mema­kai caping lebar.

Milana sedang duduk menangis di da­lam pondok itu. Ketika mengengar ada orang datang dia menoleh. Melihat bahwa yang datang adalah Bun Beng, dia bang­kit berdiri. “Manusia hina! Gak Bun Beng, hayo kau keluar dari sini!”

Keng In membelalakkan matanya dan kelihatan terkejut. “Milana.... kekasihku, mengapa kau marah‑marah kepadaku?”

“Jahanam, jangan menyebut kekasih kepadaku! Engkau pernah merayuku, hal itu masih dapat dimaafkan, akan tetapi apa yang telah kaulakukan di dalam pon­dok kuning bersama perempuan lacur itu?”

“Milana! Perempuan lacur yang mana kaumaksudkan? Aku datang bersama Giam Kwi Hong! Masa kau tidak mengenal Giam Kwi Hong?” Keng In sengaja mene­kankan nama ini ke dalam ingatan Milana.

“Aku tidak kenal segala Giam Kwi Hong. Yang kulihat adalah bahwa perem­puan tak tahu malu di kamar itu bermain gila denganmu. Aku tidak sudi lagi meli­hat tampangmu. Pergi!”

“Milana! Dia itu bukan perempuan lacur, kalau dia cinta kepadaku, apakah aku harus menolak? Gak Bun Beng bukan laki‑laki yang suka menolak cinta seorang wanita. Giam Kwi Hong adalah murid dan keponakan ayahmu sendiri. Masa kau lupa?”

Milana kelihatan bingung. Ayahnya? Siapa ayahnya? Giam Kwi Hong? Seperti pernah dia mendengar nama ini. Murid dan keponakan ayahnya?

“Siapa? Ayahku....?”

“Ayahmu Pendekar Super Sakti, Pen­dekar Siluman Majikan Pulau Es!”

Disebutnya nama ini seolah‑olah me­rupakan guntur di siang hari memasuki telinga Milana. Inilah kesalahan Keng In. Nama Suma Han sebagai Pendekar Super Sakti telah berakar dalam ingatan Milana yang menjadi puterinya, maka begitu disebut nama ini, biarpun segala hal yang terjadi masih belum diingatnya, namun yang jelas dia tahu bahwa Bun Beng telah menghina ayahnya karena berjina dengan murid dan keponakan ayahnya itu! Ini saja sudah cukup baginya.

“Keparat, kau menghina ayahku!” Ti­ba‑tiba kaki Milana menendang dan se­buah bangku melayang ke arah muka Keng In.

“Haiii!” Keng In memukul bangku itu. “Brakk!” Bangku pecah berantakan akan tetapi Milana sudah menerjang maju dengan pukulan tangannya. Keng In kaget sekali, tidak mengira bahwa Milana me­nyerangnya dengan marah seperti itu. Dia cepat mengelak dan meloncat keluar, di hatinya dia tertawa girang. Milana sudah mulai membenci Gak Bun Beng! Karena tidak ingin melayani Milana yang menga­muk itu, Keng In cepat berlari kembali ke pondok kuning.

Akan tetapi tiba‑tiba dia berhenti dan berdiri terpukau ketika melihat Kwi Hong sudah berdiri di depan pondok de­ngan pedang Li‑mo‑kiam di tangan dan mukanya merah, sepasang matanya berki­lat! Keng In terperanjat, dan bulu teng­kuknya meremang. Sepasang mata yang marah itu ditujukan kepadanya. Apakah karena dia tidak memakai caping bundar yang terlempar jauh ketika dia diserang Milana tadi? Ah, tidak mungkin! Kwi Hong sudah menganggapnya Bun Beng, pakai caping atau pun tidak! Akan tetapi mengapa?

“Wan Keng In! Aku tahu bahwa kau yang menculik Milana. Hayo serahkan Milana padaku!” Kwi Hong berseru dan mengelebatkan Li‑mo‑kiam di tangannya. Keng In terbelalak. Jelas bahwa dara itu adalah Kwi Hong, wanita yang selama hampir dua pekan ini setiap hari bere­nang dalam lautan cinta yang mesra dengan dia! Dan wanita ini selalu meng­anggapnya Gak Bun Beng. Kenapa seka­rang tiba‑tiba menyebutnya Wan Keng In? Sudah sadarkah dia? Tak mungkin! Tadi sebelum pergi, dia sudah menyedia­kan minuman bercampur obat untuk Kwi Hong!

Memang amat mengherankan bagi yang tidak melihat apa yang terjadi de­ngan diri Kwi Hong ketika Keng In pergi tadi. Baru saja Keng In pergi dan Kwi Hong masih tidur pulas dengan wajah membayangkan senyum kepuasan, sesosok tubuh yang pendek menyelinap ke dalam kamar itu membuang isi cawan minuman dan menukarnya dengan benda cair yang dituangkan dari guci arak yang dibawanya. Kemudian bayangan itu menyelinap keluar lagi setelah dia mengguncang kaki Kwi Hong yang terbangun.

Kwi Hong memandang ke kanan kiri, melihat cawan di atas meja. “Bun Beng....?” Dia memanggil akan tetapi tidak ada jawaban. Diambilnya cawan itu dan diminumnya. Tiba‑tiba dia berteriak kaget, meloncat bangun akan tetapi ter­banting jatuh lagi ke atas dipan itu dan jatuh pingsan!

Bayangan pendek yang bukan lain ada­lah seorang kakek tua renta, Bu‑tek Siauw‑jin, masuk ke kamar itu dan meng­geleng kepala sambil mengeluarkan suara “ck‑ck‑ckk!” Dengan perlahan dia lalu mengurut‑urut punggung muridnya itu, di sepanjang tulang punggung dari bawah sampai ke tengkuk.

Kwi Hong siuman, bangkit duduk dan menggoyang‑goyang kepalanya. “Aihhhhh, di mana aku....?”

“Kwi Hong....”

Dia menoleh, terkejut melihat gurunya telah berdiri di kamar itu. Cepat dia meloncat turun dan berlutut, membetulkan pakaiannya yang tidak karuan.

“Suhu! Apa artinya ini? Di mana tee­cu? Dan.... dan.... Bun Beng....” Gadis ini telah pulih kembali ingatannya berkat obat yang diberikan Bu‑tek Siauw‑jin dan urutan tangannya tadi. Dia teringat akan semua yang dialaminya dengan Bun Beng maka dia terkejut melihat gurunya dan tidak melihat kekasihnya di situ.

“Kwi Hong,” suara Bu‑tek Siauw‑jin tidak seperti biasanya, kini terdengar tegas dan sama sekali tidak tampak sen­dau‑guraunya, bahkan alisnya yang putih itu berkerut. “Kau agaknya tidak tahu bahwa kau berada di Pulau Neraka.”

“Ehhh....? Apa teecu mimpi....?” Ada rasa kecewa di hatinya. Kalau hanya mimpi, jadi semua pengalamannya yang luar biasa dengan Bun Beng itu pun ha­nya mimpi?

“Tidak, kau tidak mimpi. Akan tetapi ketahuilah bahwa Milana diculik oleh Wan Keng In, dan kau harus menolongnya keluar dari sini. Awas, dia datang!” Ka­kek itu berkelebat dan lenyap.

Mendengar nama Wan Keng In disebut sebagai penculik Milana, Kwi Hong menjadi terkejut. Kini teringatlah dia betapa Wan Keng In telah membantunya mem­bunuh tiga orang musuhnya, membantu memberi tahu tempat mereka dan betapa dia melakukan perjalanan bersama Wan Keng In. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan bagaimana dia berpisah dan Wan Keng In kemudian bertemu Bun Beng. Di mana sekarang Bun Beng? Betapapun juga, mendengar perintah gurunya, cepat dia membereskan pakaiannya, menyambar Li‑mo‑kiam dan menanti di luar. Begitu dia mengenal Wan Keng In yang datang, dia segera menegurnya.

“Enci Kwi Hong.... kau.... kau.... bagai­mana bisa tahu?”

“Tak perlu kauketahui, pendeknya aku tahu bahwa kau menculik Milana dan aku minta kau segera membebaskannya agar dapat pergi keluar dari Pulau Neraka ini bersamaku. Selain itu, kalau kau berani menjebak Gak Bun Beng, terpaksa aku takkan memandang persahabatan kita lagi. Di mana dia?”

Keng In menahan ketawanya, hatinya girang. Kiranya gadis ini masih belum tahu bahwa Gak Bun Beng yang selama belasan hari ini mabuk dalam peluk ciumnya, adalah dia sendiri! “Oohhh dia? Begini, Enci Kwi Hong. Dahulu, ketika kau melakukan perjalanan bersamaku, di tengah jalan aku bertemu dia dan.... dan...., aku mendengar bahwa Milana di­culik orang maka aku titipkan kau kepa­danya dan aku sendiri lalu mencari Milana, berhasil dan kubawa ke sini.... ada pun.... ada pun dia itu....” Keng In menja­di bingung sekali, bukan hanya karena Kwi Hong secara tiba‑tiba kembali pulih ingatannya, akan tetapi juga karena urus­an menjadi berbalik arah! Kini dia tidak ingin gadis ini pergi meninggalkannya! Maka dia menekan hatinya dan mengam­bil keputusan untuk terang‑terangan saja karena kalau tidak tentu Kwi Hong juga segera pergi meninggalkan dia!

“Begini, Kwi Hong.... dengarlah baik­-baik dan tenangkan hatimu. Kita sama tahu bahwa Milana dan Bun Beng saling mencinta, bahkan mereka telah dijodoh­kan menjadi calon suami isteri. Engkau mencinta Bun Beng dan aku mencinta Milana, akan tetapi cinta kita keduanya gagal. Karena itu, setelah aku melihatmu, aku merasa kasihan, dan.... dan kita ber­dua yang gagal dalam cinta kasih ini bukanlah telah saling menemukan? Aku akan bebaskan Milana, biar dia mencari Bun Beng dan menikah. Aku.... aku akan berbahagia sekali hidup selamanya di sampingmu, Kwi Hong.”

Muka Kwi Hong berubah pucat. Ada firasat tidak enak menyelubungi hatinya. Dia mulai mengingat‑ingat. Cerita Keng In yang pertama tadi tidak masuk akal sama sekali. Pengakuan yang kedua lebih cocok.

“Wan Keng In, jangan main gila kau! Apa maksudmu? Di mana Bun Beng?”

Dengan nada suara sedih penuh kekha­watiran, Keng In menjawab, “Bun Beng tidak ada, Kwi Hong. Yang ada hanya Keng In. Bun Beng adalah milik Milana, akan tetapi Keng In adalah milikmu se­perti engkau milikku, Kwi Hong.”

Wajah itu menjadi makin pucat, jan­tungnya berdebar tegang. “Apa....? Apa maksudmu?”

“Kwi Hong, engkau dan aku adalah sama-sama orang yang tidak disukai orang lain, tidak ada yang mencinta, dan gagal dalam cinta. Engkau dan aku yang menguasai Sepasang Pedang Iblis. Kita berdua dengan Sepasang Pedang Iblis di tangan akan menjagoi seluruh dunia. Kalau kita berdua maju, siapa yang akan dapat menandingi kita? Bahkan pamanmu, Pendekar Super Sakti sendiri belum tentu akan dapat menangkan kita berdua. Kita sudah jodoh, Kwi Hong, dan aku cinta padamu.”

“Apa....? Kau gila, Keng In!”

“Kita berdua telah gila, akan tetapi dalam kegilaan itu kita dapat sepaham, dan kita akan senasib sependeritaan. Kwi Hong, engkau isteriku, engkau telah menjadi isteriku, selama dua pekan ini.... bukankah kita berdua telah saling mencurahkan cinta kasih, demikian nikmat, demikian mesra.... ah, Kwi Hong, dapatkah kau melupakan semua itu? Haruskah hubungan semesra dan sebahagia itu dihentikan untuk mengejar yang tak mungkin didapat?

Kini wajah Kwi Hong menjadi merah sekali, air matanya bercucuran. “Kau.... jadi kau.... kau yang selama ini.... kusang­ka Bun Beng....?”

“Terpaksa aku menyamar sebagai Bun Beng, karena aku ingin mendapatkan diri­mu, cintamu, tanpa perkosaan....”

Terdengar jerit melengking disusul berkelebatnya Li‑mo‑kiam ketika Kwi Hong menyerang Keng In. Pemuda ini cepat menangkis dengan Lam‑mo‑kiam dan bertandinglah mereka. Tidak ada kata‑kata lagi yang keluar dari mulut mereka, karena keduanya maklum bahwa siapa lengah dia binasa. Sepasang Pedang Iblis itu kini benar‑benar beradu kekuatan dan keampuhan yang sama besarnya, digerakkan oleh dua orang muda yang sama lihainya pula. Setelah kini Kwi Hong digembleng oleh Bu‑tek Siauw‑jin, maka dia dapat mengimbangi kelihaian Keng In, karena dengan sin‑kang yang dilatihnya di Pulau Es digabung dengan sin‑kang tenaga Inti Bumi yang belum dikuasainya benar, dia kini memiliki te­naga sakti yang mujijat!

Tiba‑tiba terdengar bentakan nyaring. “Gak Bun Beng manusia hina! Aku harus membunuhmu!” Sebuah caping meluncur ke arah Keng In yang sedang bertanding melawan Kwi Hong. Itu adalah capingnya yang tadi tertinggal di pondok, yang ter­lepas ketika dia diserang Milana dan kini oleh gadis itu dilemparkan dengan pengerahan sin-kang kepadanya. Tidak boleh dipandang ringan caping yang dilemparkan oleh Milana ini. Karena sambitannya mengandung sin‑kang, maka caping itu meluncur dan berputar seperti sebuah cakram baja yang kalau mengenai leher mungkin akan dapat membuat putus leher itu. Akan tetapi tentu saja Keng In yang li­hai tidak menjadi gentar, bahkan meng­gunakan tangan kirinya menyambar capingnya itu dan dipakainya lagi! Dia me­lakukan ini bukan semata‑mata hendak bergurau atau memandang rendah Kwi Hong, melainkan untuk menyakinkan hati Milana yang menganggapnya Bun Beng itu.

Milana yang marah itu tidak peduli mengapa Gak Bun Beng berkelahi melawan wanita yang dijadikan teman bercin­ta tadi dan yang menurut ucapan Bun Beng adalah Giam Kwi Hong murid ayah­nya! Dia sudah marah sekali kepada Bun Beng. Pertama, karena Bun Beng sudah mengecewakan hatinya dengan tingkah lakunya yang buruk. Ke dua, karena Bun Beng telah merusak kehormatan ayahnya dengan berjina bersama murid ayahnya. Dengan kemarahan meluap Milana sudah melolos sabuk suteranya. Karena dia tidak mempunyai senjata, kini dia menggunakan sabuk itu untuk menyerang Bun Beng. Memang senjata ini merupakan senjata ampuh bagi Milana, maka begitu sabuknya meluncur ke udara mengeluar­kan ledakan‑ledakan kecil kemudian me­nyambar turun ke arah Keng In, pemuda itu terkejut bukan main dan cepat‑cepat dia harus meloncat ke kanan untuk me­ngelak sambil mengelebatkan pedangnya menyambar ujung sabuk. Akan tetapi sabuk adalah benda lemas, apalagi berada di tangan seorang ahli, sabuk itu seperti seekor ular hidup dapat mengelit serang­an, dan kalau mengenai pedang, dapat menjadi lunak sehingga lenyaplah daya ketajaman pedang Lam‑mo‑kiam.

Kwi Hong bingung sekali melihat ke­adaan Milana. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Milana juga tidak sadar, entah karena apa, seperti dia sen­diri yang mengira pemuda ini Gak Bun Beng sehingga dia mau.... digauli dan menyerahkan tubuhnya sampai belasan hari lamanya! Teringat akan ini, hampir saja dia menjerit‑jerit menangis dan kemarahannya tersalur ke pedang Li‑mo­-kiam yang mengamuk dahsyat. Bantuan Milana itu ternyata membuat Keng In merasa terdesak juga, akan tetapi pemu­da ini dapat mempertahankan dirinya dengan baik. Baginya, melawan kedua orang wanita cantik itu benar‑benar me­rupakan hal yang tidak menyenangkan. Yang dibenci adalah Bun Beng, dan biar­pun dia sudah “meloncat” Milana, namun di lubuk hatinya masih terdapat cinta kasih yang mendalam sehingga dia tidak suka untuk melukai dara ini. Ada pun terhadap Kwi Hong yang sudah menjadi “isterinya” juga tumbuh cinta yang mesra, dan tentu saja dia pun tidak mau melu­kai, apalagi membunuh Kwi Hong. Pada­hal, kedua orang dara itu menyerang sungguh‑sungguh untuk membunuhnya.

“Huhhh.... gadis‑gadis liar....!” Seruan ini disusul menyambarnya angin dahsyat yang membuat Milana dan Kwi Hong terhuyung ke belakang.

“Suhu, jangan....!” Keng In berseru ketika melihat gurunya Cui‑beng Koai‑ong muncul dan telah menyerang dua orang dara itu dengan dorongan dari jarak jauh. Akan tetapi kakek itu tidak peduli, sam­bil bersungut‑sungut seperti seorang kakek yang marah karena diganggu tidurnya, dia meloncat ke depan seperti ter­bang saja dan kedua tangannya kembali mengirim hantaman dari jarak jauh, kini dengan pengerahan tenaga sakti yang luar blasa.

“Suhu....!” Keng In kembali berteriak kaget.

“Dessss!” Tubuh kedua orang kakek itu terpental ke belakang ketika pukulan dahsyat Cui‑beng Koai‑ong bertemu de­ngan dorongan tangkisan yang dilakukan oleh Bu‑tek Siauw‑jin yang muncul secara­ tiba‑tiba di tempat itu.

Melihat gurunya sudah muncul meng­hadapi kakek mayat hidup yang mengeri­kan itu, Kwi Hong sudah menyerang Keng In lagi. Juga Milana melanjutkan penyerangannya kepada Keng In yang tetap dianggapnya Gak Bun Beng itu. Kini Keng In benar‑benar merasa khawatir sekali, khawatir dan bingung.

 “Haiii, mundur kalian, jangan bantu aku!” Dia membentak Kong To Tek dan teman‑temannya, sisa para anggauta Pulau Neraka, yang sudah maju mengu­rung hendak membantu pemuda ini menghadapi dua orang gadis yang mengamuk itu. Tentu saja para anggauta Pulau Neraka tidak berani maju, dan melihat betapa Cui‑beng Koai‑ong sudah bertan­ding melawan Bu‑tek Siauw‑jin, mereka pun hanya saling pandang dengan bingung. Membantu dua orang kakek yang saling bertanding ini mereka tidak berani, kare­na keduanya merupakan datuk Pulau Neraka, membantu Keng In dibentak. Mereka hanya dapat berdiri menonton dengan wajah tegang dan hati bingung. Akan tetapi yang paling bingung ada­lah Wan Keng In. Dia tidak mengira sama sekali bahwa akan begini jadinya. Siasatnya yang telah dilaksanakan dengan serapi‑rapinya telah rusak berantakan dan semua ini adalah gara-gara kakek pendek sinting yang kini bertanding melawan gurunya itu. Keng In memiliki kecerdikan yang luar biasa sekali. Sambil menahan serangan Kwi Hong dan Milana dengan Lam‑mo‑kiam di tangannya dan menggu­nakan kelincahannya berkelebatan ke sana‑sini, otaknya mulai bekerja dan mempertimbang‑timbangkan keadaan. Ka­lau pertandingan itu dilanjutkan dan gurunya menang atas kakek pendek, gurunya yang sudah “kumat” kemarahan­nya itu tentu tidak mau sudah kalau be­lum membunuh Kwi Hong dan Milana! Hal ini sama sekali tidak dikehendakinya karena dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mencegah gurunya yang berwatak aneh luar biasa itu. Seba­liknya, kalau gurunya kalah, dan hal ini mungkin saja mengingat bahwa susioknya Si Pendek Sinting itu memang memiliki kepandaian yang hebat sekali, kalau guru­nya kalah tentu dia akan terus didesak oleh dua orang wanita ini. Kalau mereka dibantu oleh Bu‑tek Siauw‑jin, bagaimana dia akan dapat meloloskan diri? Dan semua anak buah Pulau Neraka tentu tidak akan ada yang berani membantunya menghadapi Bu‑tek Siauw‑jin. Sungguh celaka, pikirnya. Setelah kedua kakek kakak beradik seperguruan itu bertanding sendiri, keadaan menjadi berbahaya bagi­nya. Gurunya menang pun celaka, gurunya kalah lebih celaka lagi! Inilah namanya urusan yang benar‑benar tidak beres! Kalau tidak cepat‑cepat mengambil tin­dakan yang tepat selagi gurunya dan susioknya (paman gurunya) masih berhan­tam, tentu akan terlambat. Tiada jalan lain, dia harus dapat memancing dua orang gadis ini keluar dari pulau sebelum kedua orang kakek sinting itu saling bunuh!

Dengan kecerdikan yang dapat mem­buat dia memperhitungkannya secara tepat ini, Keng In lalu memutar pedangnya membuat gulungan sinar yang menyilaukan mata, kemudian menggunakan kesempatan selagi dua orang dara itu melangkah mundur, dia meloncat dan melarikan diri!

“Manusia hina hendak lari ke mana kau?” Milana mengejar.

“Urusan di antara kita belum beres!” Kwi Hong juga meloncat dan mengejar.

Keng In lari ke tempat perahu di mana terdapat beberapa buah perahu dan memang dia sengaja melakukan ini agar bukan dia seorang yang dapat keluar dari pulau, melainkan juga dua orang dara itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi pan­tai, pada saat itu tampak sebuah perahu kecil dari mana meloncat ke luar seorang laki‑laki yang juga memakai caping bun­dar. Gak Bun Beng! Melihat munculnya pemuda ini, diam‑diam Keng In terkejut dan mengeluh sendiri. Sungguh sialan dia hari ini!

Sementara itu, ketika Bun Beng yang baru datang melihat Milana, bukan main lega dan girang hatinya. Dia tidak mem­pedulikan apa‑apa lagi dan langsung saja dia menghadang Milana, mengembangkan kedua lengannya dan berkata, “Milana.... terima kasih kepada Tuhan.... engkau ma­sih dalam keadaan selamat.....”

“Kau....? Kau....?” Milana memandang bengong, sebentar memandang Bun Beng, kemudian memandang Keng In yang juga bercaping bundar dan yang sudah lari te­rus kini hanya dikejar Kwi Hong seorang.

“Milana, kekasihku.... aku Bun Beng, lupakah kau....? Apa yang telah terjadi, Milana?” Bun Beng mendekat dan meme­luk dengan kaget dan heran melihat kekasihnya itu tidak mengenalnya.

“Desss!” Sebuah pukulan tangan ka­nan Milana mengenai dada Bun Beng. Dara itu serta merta memukul begitu mendengar nama Bun Beng.

“Aihhh mengapa, Milana?” Bun Beng terjengkang. Biarpun secara otoma­tis sin‑kangnya sudah melindungi dada ketika pukulan tiba, namun karena pukul­an itu tidak tersangka‑sangka, ditambah lagi hatinya yang remuk melihat kekasih­nya seperti tidak mengenalnya, bahkan membenci dan memukulnya, Bun Beng terpukul dan sejenak memandang nanar. Memang Milana masih dipengaruhi obat perampas ingatan. Gadis ini sendiri bingung ketika di depannya ada “Bun Beng” lagi padahal Bun Beng sedang di­kejar. Maka tanpa banyak cakap lagi dia menghantam orang yang mengaku Bun Beng ini. Baginya, yang teringat hanyalah bahwa nama Gak Bun Beng adalah nama yang dibencinya, karena orang itu telah mengkhianati cintanya! Setelah memukul, Milana berlari lagi mengejar Bun Beng pertama yang sudah meloncat ke atas sebuah perahu dan mendayung perahu ke tengah lautan. Kwi Hong juga sudah mendorong perahu kecil. Melihat ini, Milana meloncat jauh dan bagaikan se­ekor burung walet dia sudah tiba di atas perahu Kwi Hong yang sudah mulai me­luncur itu. Melihat Milana, Kwi Hong berkata, “Milana, kau kembalilah. Dia itu Bun Beng kekasihmu, sedangkan yang di depan itu....”

“Tutup mulut dan mari kita kejar jahanam Gak Bun Beng itu!”

“Akan tetapi, Milana....”

“Aku tidak sudi bicara lagi tentang urusanmu. Kau mencintanya, bukan? Aku tidak peduli biar kau seribu kali mencinta Bun Beng!”

“Aih, Milana.... aku.... aku tidak apa‑apa dengan Bun Beng....”

Milana memandang dengan penuh kemarahan. “Apa kaukira mataku ini sudah buta? Kau mau menyangkal bahwa kau berjina dengan laki‑laki di depan itu?” Dia menuding ke arah perahu yang di­tumpangi Keng In.

Kwi Hong terisak, duduk di perahu dan menangis. Apa yang harus dijawabnya? Tak mungkin dia menyangkal. Agaknya Milana sudah melihat sendiri ketika dia bermain cinta dengan Keng In di pondok kuning, Keng In yang disangkanya Bun Beng! Kata‑kata Milana menghancurkan hatinya dan betapapun keras watak gadis ini, karena merasa betapa dia telah ter­perosok ke jurang kehinaan, dia menangis terisak‑isak.

Milana juga menjatuhkan diri duduk di atas langkan perahu di depan Kwi Hong. Gadis itu adalah murid ayahnya. Giam Kwi Hong. Kini mulai samar-samar dia mengingat bahwa ayahnya memang mempunyai seorang keponakan yang men­jadi muridnya sendiri. Dan Bun Beng yang mengaku cinta kepadanya, yang juga di­cintanya itu, di depan matanya sendiri telah berjina dengan gadis ini! Hal ini menusuk perasaannya dan Milana juga menangis. Dua orang gadis itu menangis, membiarkan perahu mereka digerak-­gerakkan ombak. Kemudian keduanya teringat akan Keng In atau yang disangka Bun Beng oleh Milana, maka mereka lalu tanpa bercakap‑cakap lagi mendayung perahu dan mengembangkan layar, mela­kukan pengejaran kepada perahu Keng In yang sudah amat jauh, tinggal menjadi titik hitam di depan itu.

Sementara itu, Bun Beng yang merasa terheran‑heran menyaksikan sikap Milana, tidak melakukan pengejaran karena dia melihat Milana sudah bersama Kwi Hong, tidak perlu dikhawatirkan sama sekali menghadapi Keng In. Buktinya Keng In telah melarikan diri dikejar dua orang dara itu. Kalau dia mengejar Milana, tentu akan timbul salah sangka yang makin besar. Biarlah dia akan menyeli­dikinya kelak apa yang menyebabkan Mi­lana marah‑marah dan memukulnya se­perti itu setelah tadinya dara itu seolah­-olah tidak mengenalnya lagi.

Tiba‑tiba muncul beberapa belas orang yang mukanya beraneka warna dan lang­sung mereka itu mengeroyoknya dengan pelbagai senjata di tangan mereka! Bun Beng mengenal mereka sebagai para penghuni Pulau Neraka yang dipimpin oleh dua orang tokoh yang dikenalnya pula karena dua orang itu dahulu pernah dijumpai dan bahkan dikalahkannya, keti­ka mereka mengacau di Thian‑liong‑pang dan dia menyamar sebagai ketua Thian-liong‑pang. Dua orang yang memimpin delapan belas sisa anak buah Pulau Nera­ka itu bukan lain adalah Kong To Tek yang kepalanya gundul dan mukanya me­rah muda, pendek dan gendut. Orang ke dua adalah Chi Song yang juga gendut akan tetapi tinggi besar, juga mukanya merah muda. Melihat dia diserbu dan dikeroyok, Bun Beng meloncat jauh tinggi melampaui kepala mereka yang berada di belakangnya, kemudian turun ke atas tanah sambil berseru, “Tahan senjata! Aku datang bukan sebagai musuh!”

“Kami mengenalmu. Engkau adalah Gak Bun Beng, musuh besar tuan muda Wan Keng In. Wan‑kongcu sudah memesan bahwa jika bertemu dengan engkau, kami harus membunuhmu!” kata Kong To Tek Si Kepala Gundul. Teman‑temannya sudah mengurung Bun Beng lagi dengan sikap mengancam.

Bun Beng mengangkat tangan ke atas dan berkata nyaring, “Kalian ini apakah tidak dapat membedakan kawan atau lawan? Aku datang untuk menemui Wan Keng In dan Nona Milana, bukan sebagai musuh karena Wan Keng In sekarang te­lah menjadi anggauta keluarga Pulau Es. Kulihat mereka tadi berkejaran, apakah sesungguhnya yang terjadi di pulau ini?”

 “Tidak perlu banyak bicara! Kawan-kawan, serbu....!”

Kong To Tek dan Chi Song sudah me­nerjang maju memelopori teman‑temannya dan begitu maju keduanya telah menggunakan pukulan‑pukulan maut mereka. Kong To Tek Si Gendut pendek gundul ini adalah seorang ahli pukulan beracun yang dilakukannya dengan tubuh merendah seperti berjongkok, perutnya mengeluar­kan bunyi kok‑kok dan mulutnya menge­luarkan uap hitam ketika dia memukul ke arah perut Bun Beng. Pemuda ini sudah mengenal ilmu Si Gundul ini, akan tetapi dia diam saja tidak mengelak atau menangkis. Hanya ketika pukulan menge­nai perutnya, dia mengerahkan sin‑kangnya.

“Cappp!” Tangan beracun itu mema­suki perut, tersedot sampai sebatas per­gelangan tangan dan tidak dapat dicabut kembali! Kong To Tek memekik kesakitan karena selain tangannya terasa panas se­kali, juga hawa beracun itu seperti terto­lak dan menyerang dirinya sendiri melalui lengannya yang tersedot ke dalam perut pemuda itu.

“Haiiiittt!” Chi Song memekik dan tubuhnya sudah mencelat ke depan, se­perti terbang dia mengirim sebuah ten­dangan ke arah kepala Bun Beng. Tentu saja pemuda ini tidak membiarkan kepa­lanya ditendang, dan dengan tangan kiri dia menampar, mengenai tulang kering betis kaki yang menendang.

“Krekkk!”

Tubuh Chi Song terpelanting dan dia mengaduh-aduh karena tulang kering kakinya patah. Pada saat itu, tubuh Kong To Tek terpental ke belakang. Kiranya Bun Beng telah melepaskan tangan yang disedot perutnya tadi sambil menendang. Kong To Tek terbanting dekat Chi Song dan dia pun mengaduh‑aduh karena le­ngannya seperti dibakar dan dalam ke­adaan lumpuh!

Para anak buah Pulau Neraka terkejut dan marah melihat betapa dua orang pemimpin mereka roboh. Mereka adalah orang‑orang yang tak mengenal takut, maka sambil berteriak‑teriak mereka lari menyerbu. Pada saat itu terdengar te­riakan‑teriakan melengking, sedemikian hebat teriak yang mengandung khi‑kang kuat sekali itu sehingga belasan orang Pulau Neraka itu bergelimpangan dan seperti lumpuh sesaat karena getaran suara itu. Bun Beng sendiri cepat menge­rahkan sin‑kangnya karena lengkingan dahsyat itu benar‑benar luar biasa sekali. Dia tidak lagi mempedulikan para anak buah Pulau Neraka dan cepat dia melom­pat dan lari ke arah suara melengking yang luar biasa tadi.

Ketika dia tiba di tengah pulau, dan tiba di tempat dari mana suara lengking­an dahsyat tadi terdengar, dia berdiri terpukau di tempatnya dan tidak bergerak memandang peristiwa hebat yang sedang berlangsung di depan. Ternyata bahwa kakek pendek yang sakti, yang telah menurunkan ilmu bersama‑sama Pendekar Super Sakti kepadanya, yaitu kakek Bu­-tek Siauw‑jin yang berkali‑kali telah menolongnya, sedang bertanding melawan seorang kakek yang lebih tua dan yang mengerikan sekali, seperti seorang mayat hidup, namun yang kesaktiannya tak kalah oleh Si Kakek Pendek yang sinting!

Dan memang pertandingan antara ka­kak beradik seperguruan itu hebat bukan main. Selama ini, mereka tidak pernah bentrok, karena biarpun keduanya adalah datuk‑datuk Pulau Neraka, namun kedua­nya mempunyai kesenangan yang berbeda. Bu‑tek Siauw‑jin adalah seorang petualang dan perantau, jarang berada di Pulau Neraka, sedangkan Cui‑beng Koai‑ong adalah seorang yang suka bertapa, teru­tama bertapa di bawah tanah‑tanah kuburan bersama kerangka dan mayat­-mayat. Dengan cara masing‑masing, keduanya menambah ilmu mereka sehing­ga tidak lumrah manusia lagi. Mereka memang saling tidak menyukai, akan tetapi karena keduanya tahu bahwa masing‑masing memiliki kepandaian hebat, mereka saling merasa segan untuk ben­trok, apalagi karena mereka masih sau­dara seperguruan. Baru setelah Cui‑beng Koai‑ong mengambil Wan Keng In seba­gai murid, timbul pertentangan dalam batin mereka. Bu‑tek Siauw‑jin juga melakukan perbuatan bandingan, mengam­bil Kwi Hong sebagai murid pula! Bahkan lebih dari itu, dia berkenan menurunkan ilmu sin‑kangnya Tenaga Inti Bumi kepa­da Gak Bun Beng. Padahal hal‑hal itu merupakan pantangan bagi datuk‑datuk Pulau Neraka itu. Puncak pertentangan itu terjadi ketika Bu‑tek Siauw‑jin meli­hat suhengnya itu hendak membunuh Kwi Hong, maka dia muncul dan melawan. Andaikata Kwi Hong terbunuh dalam per­tandingan melawan Wan Keng In umpa­manya, kiranya kakek pendek ini tidak akan mau turut campur.

Pertandingan antara mereka memang hebat dan menyeramkan. Tadi mereka bertempur menggunakan ilmu silat masing-masing, saling serang dengan gerakan cepat sehingga bayangan mereka menjadi satu, sukar dibedakan lagi. Namun, sam­pai seratus jurus belum juga ada yang dapat menang. Keduanya menjadi pena­saran dan mengeluarkan pekik melengking dahsyat untuk mempengaruhi lawan, pekik yang saking hebatnya sampai mem­buat para anak buah Pulau Neraka tergu­ling dan yang menarik perhatian Bun Beng tadi. Setelah mengeluarkan pekik itu, kini keduanya berdiri tak berpindah dari tempat mereka dan kalau ditonton oleh yang tidak mengerti tentu akan membuat orang tertawa geli. Kedua orang kakek itu berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter, dan mereka itu menggerak‑gerakkan kedua tangan dengan gerakan memukul dan menangkis, padahal tangan mereka itu saling berjauhan dan tanpa ditangkis pun pukulan itu tidak akan mengenai badan. Akan tetapi, Bun Beng yang melihatnya menjadi kagum dan juga terkejut karena pukulan‑pukulan ja­rak jauh mereka itu sedemikian hebatnya sehingga angin pukulannya sampai terasa oleh dia yang berdiri agak jauh! Tentu saja Bun Beng tidak berani melerai atau mencampuri, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.

Kini tampak kakek mayat hidup itu memukul dengan kedua lengan didorong­kan ke depan dengan dahsyat sekali. Bu-­tek Siauw‑jin juga mendorongkan kedua lengannya ke depan, menyambut serangan suhengnya itu. Bun Beng seperti merasa tergetar dan tahu betapa di saat itu, dua tenaga raksasa mujijat yang amat kuat saling bertemu di udara, di antara kedua orang kakek itu. Tampak betapa keduanya agak tergetar dan bergoyang-goyang tubuh mereka. Kedua lengan mereka tetap dilonjorkan saling dorong dan tubuh me­reka tidak bergerak. Perlahan‑lahan tam­pak uap mengepul dari kepala kedua kakek itu, dan dengan hati kaget Bun Beng melihat betapa muka Bu‑tek Siauw-­jin penuh dengan peluh yang besar‑besar menetes turun, akan tetapi wajah kakek pendek ini tetap berseri, mulutnya ter­senyum. Adapun kakek mayat hidup itu wajahnya keruh dan penuh kemarahan, akan tetapi tidak tampak peluh di muka­nya walaupun uap yang mengepul dari kepalanya sama tebalnya dengan uap yang mengepul dari kepala sutenya.

Pertandingan mengadu tenaga sakti ini benar‑benar amat menegangkan hati Bun Beng sendiri sehingga tanpa disadari­nya, tubuhnya juga mengeluarkan banyak keringat! Dia tidak mempedulikan Kong To Tek dan Chi Song bersama teman­-teman mereka yang sudah tiba di situ pula. Mereka itu sebagai ahli‑ahli silat tahu apa artinya keadaan kedua orang kakek itu, dan mereka memandang de­ngan hati tegang, tidak bergerak bahkan ada yang menahan napas.

Bun Beng yang sudah memiliki sin-kang tinggi, dapat menduga bahwa kakek pendek itu terdesak hebat, napasnya su­dah mulai memburu dan agaknya akan kalah dalam pertandingan ini. Akan teta­pi, Si Mayat Hidup itu pun harus mngerahkan segenap tenaganya dan andaikata kakek cebol itu roboh, agaknya Si Mayat Hidup pun tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah. Maka dia menjadi makin tegang. Dia tidak berani mencam­puri, apalagi karena dalam keadaan se­perti itu, kalau dia mencampuri, selain berbahaya bagi dirinya sendiri, juga berbahaya bagi kedua orang kakek itu. Sedikit saja perhatian mereka teralih, mereka bisa tewas seketika terpukul oleh getaran hawa sakti yang bukan main dahsyatnya.

Tiba‑tiba kakek yang seperti mayat hidup itu mengeluarkan suara menggereng dari perutnya dan darah merah menyem­bur keluar dari mulut, akan tetapi pengerahan tenaga terakhir ini membuat Bu-­tek Siauw‑jin tak mampu bertahan lagi dan dia roboh terjengkang! Si kakek mayat hidup mengeluarkan suara ketawa aneh, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur turun me­nginjak ke arah tubuh sutenya.

Bu-tek Siauw‑jin juga mengeluarkan suara ketawa, kelihatan tangannya ber­gerak menghantam, menyambut kaki yang menginjaknya. Keduanya memekik hebat dan roboh terbanting, dada Bu‑tek Siauw-­jin pecah oleh injakan kaki kiri sedangkan kaki kanan Cui‑beng Koai‑ong hancur oleh pukulan sutenya.

“Heh‑heh.... mampus kau, sute.... heh‑heh.... augh....” Cui‑beng Koai‑ong terke­keh dan menuding ke arah sutenya.

“Ha‑ha.... Suheng.... kau yang melayat atau aku yang melayat, nih....?” Bu‑tek Siauw‑jin juga tertawa sambil menuding ke arah suhengnya.

Cui‑beng Koai‑ong tertawa lagi lalu terkulai dan seperti juga sutenya, kakek ini tewas seketika. Kakek mayat hidup itu telah memiliki kekebalan yang luar biasa, akan tetapi kelemahannya adalah pada telapak kakinya, maka begitu kakinya dipukul hancur, nyawanya melayang. Kakak beradik seperguruan yang keduanya memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu ternyata tewas dalam pertandingan antara mereka sendiri, sebuah pertanding­an yang menggetarkan jantung Bun Beng.

Pemuda itu meloncat dekat, sekali pandang saja dia maklum bahwa keduanya telah tewas. Dia berlutut dekat mayat Bu‑tek Siauw‑jin, mengheningkan cipta sebentar sebagai penghormatan terakhir, kemudian dia bangkit berdiri memutar tubuh lalu pergi dari situ. Anak buah Pulau Neraka hendak menyerbunya, akan tetapi dia membentak, “Mau apa lagi kalian? Lebih baik urus jenazah kedua orang kakek ini!”

Sikap dan ucapan yang nyaring itu membuat mereka ragu‑ragu, apalagi ka­rena kedua orang pemimpin mereka, Kong To Tek dan Chi Song, sudah tidak mampu bertanding lagi. Mereka hanya dapat memandang kepergian Bun Beng seperti sekumpulan serigala yang berniat menge­royok akan tetapi ditindih rasa jerih.

***

Perahu yang ditumpangi Milana dan Kwi Hong tidak mampu mengejar perahu Wan Keng In sehingga akhirnya mereka itu tertinggal jauh. Ketika kedua orang dara ini mencapai tepi pantai dan men­darat, Keng in sudah tidak tampak lagi.

“Milana, dengarlah kata‑kataku baik‑baik. Entah apa yang telah terjadi denganmu, agaknya engkau masih belum mengu­asai ingatanmu, engkau masih belum sadar. Orang yang kita kejar tadi bukan­lah Gak Bun Beng. Dia adalah Wan Keng In, manusia jahat yang harus kita bunuh!”

“Bohong! Aku tahu bahwa engkau mencinta Bun Beng, dan aku melihat dengan mata sendiri bahwa kau.... kau telah....”

“Milana, aku sama sekali tidak melakukan sesuatu dengan Bun Beng. Ketahui­lah, kau dan Gak Bun Beng telah dijo­dohkan, dan kini ayahmu minta agar engkau suka kembali ke Pulau Es bersa­ma Bun Beng....”

“Kwi Hong! Tak perlu engkau mem­bujuk aku dengan segala kebohonganmu! Coba jawab, apa engkau mencinta Wan Keng In?”

“Tidak! Aku akan bunuh keparat jaha­nam itu!”

“Nah, engkau membenci Keng In, dan engkau mencinta Bun Beng. Sekarang katakan, dengan siapa engkau di dalam pondok itu?”

“Dengan.... dengan....” Kwi Hong bi­ngung dan gugup sekali. Maklumlah dia bahwa dia telah masuk perangkap. Kalau dia menjawab bahwa laki‑laki dengan siapa dia bermain cinta di dalam pondok itu adalah Keng In, tentu hal ini berla­wanan dengan pengakuannya bahwa dia membenci Keng In dan akan membunuh­nya. Tentu saja Milana yang ingatannya belum pulih itu menyangka bahwa laki­-laki itu Gak Bun Beng.

“Sudahlah, Kwi Hong, aku sudah me­lihatnya sendiri, tidak perlu kau mem­bohong lagi. Engkau mencinta Bun Beng, bahkan engkau telah menyerahkan dirimu kepadanya, aku tidak peduli lagi!” Milana hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Kwi Hong memegang lengannya dan membujuk,

“Milana, apa pun yang terjadi, marilah kita ke Pulau Es. Biar nanti ayahmu yang memutuskan segalanya. Engkau masih belum sadar....”

Milana merenggutkan lengannya terlepas dari pegangan Kwi Hong. “Cukup! Aku tidak sudi lagi bicara denganmu, perempuan tak tahu malu!” Milana lalu melompat dan pergi meninggalkan Kwi Hong.

Kwi Hong menjatuhkan diri berlutut di atas pasir pantai, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Menangis! “Bedebah kau, Wan Keng In. Aku bersumpah, tak kan berhenti sebelum membunuhmu!” Dia bangkit berdiri dan melangkah dengan terhuyung ke depan, seluruh tubuh terasa lemas karena batin yang tertekan ke­dukaan.

Milana juga lari secepatnya dengan air mata bercucuran. Hatinya remuk ren­dam mengingat akan hubungan cinta kasihnya yang hancur. Perlakuan Bun Beng terhadap dirinya di Pulau Neraka, ketika pemuda yang menjadi pujaan hati­nya itu hendak merayunya dan mengajak­nya bermain cinta, masih dapat dimaaf­kannya biarpun hal itu mengecewakan hatinya. Masih dapat dimaafkan karena mungkin saking rindu dan cintanya, pemuda itu tidak dapat menahan gairah hatinya yang dikuasai nafsu berahinya pada waktu itu. Akan tetapi, melihat Bun Beng berjina dengan Giam Kwi Hong, bagaimana dia dapat memaafkannya? Apalagi mendengar dari mulut Kwi Hong bahwa dia dijodohkan ayahnya dengan Bun Beng. Siapa sudi menjadi isteri seorang laki‑laki mata keranjang seperti itu?

Beberapa hari kemudian setelah mela­kukan perjalanan tanpa tujuan, perlahan-­lahan ingatan Milana kembali karena pengaruh obat beracun itu sedikit demi sedikit lenyap setelah dia terbebas dari Pulau Neraka dan tidak diberi racun setiap hari seperti biasa. Karena kemba­linya ingatannya itu sedikit demi sedikit, Milana tidak merasa akan hal ini. Dia hanya mulai teringat akan keadaan dahu­lu satu demi satu, ingat akan Kaisar yang menjadi kakeknya di kota raja, akan semua orang yang dikenalnya. Semua ingatannya pulih, hanya satu hal yang tidak semestinya, yaitu tentang Bun Beng. Bun Beng sekarang bukanlah Bun Beng dahulu lagi, sekarang menjadi seorang laki‑laki yang dibencinya.

Karena ini, dia tidak mau kembali ke Pulau Es. Dia mendengar dari Kwi Hong bahwa dia dijodohkan dengan Bun Beng oleh ayah bundanya, dan dia tidak akan mau menerimanya. Kalau dia kembali ke Pulau Es, tentu akan terjadi hal yang tidak menyenangkan karena urusan itu. Maka dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, menghadap kakeknya dan tinggal di istana sebagai puteri Kai­sar yang hidup mulia dan terhormat. Dan dia akan mencoba untuk melupakan Bun Beng!

Pada suatu siang selagi Milana berja­lan cepat melalui pegunungan di sebelah utara kota raja, tiba‑tiba muncul belasan orang laki‑laki yang rambutnya digelung ke atas. Mereka itu kelihatan bersikap gagah, dan tidak kasar, akan tetapi jelas bahwa mereka sengaja menghadang di jalan dan pemimpin mereka, seorang laki-laki tinggi kurus berjenggot dan berkumis tipis, mengangkat tangan ke atas menyu­ruh dara itu berhenti.

“Nona harap berhenti dulu!”

Milana mengerutkan alisnya dan dia bertanya, “Kalian ini siapa dan mau apa menghadang orang lewat?”

Si Tinggi Kurus menjawab, “Kami adalah orang‑orang Tiong‑gi‑pang (Per­kumpulan Orang Jujur dan Berbudi) yang mengharapkan sumbangan dari semua orang lewat di sini. Maka harap Nona sudi meninggalkan sekedar sumbangan sebelum Nona melanjutkan perjalanan.”

Milana marah sekali. “Kalian peram­pok?”

Orang itu menggeleng kepala dan para anak buahnya bersikap tidak senang de­ngan sebutan itu. “Kami sama sekali bukan perampok, bahkan kami pembasmi para perampok yang tadinya banyak berkeliaran di tempat ini mengganggu orang‑orang lewat. Akan tetapi perkum­pulan kami membutuhkan biaya‑biaya dan dari siapa lagi kalau tidak dari sumbang­an para dermawan yang lewat? Nona seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri, tentu Nona seorang kang‑ouw dan sudah maklum akan hal ini. Maka harap Nona tidak bersikap pelit. Kami tanggung bahwa dari sini sampai kota raja, tidak akan ada seorang pun perampok yang berani mengganggumu, Nona.”

Tentu saja Milana mengerti dan me­ngenal perkumpulan seperti itu. Dia ada­lah puteri bekas Ketua Thian‑liong‑pang, tentu saja tahu akan segala peristiwa dunia kang‑ouw. Perkumpulan seperti mereka yang menamakan diri Tiong‑gi-­pang ini adalah perkumpulan yang biasa diejek dengan perampok‑perampok halus. Mereka sebetulnya adalah orang‑orang gagah yang bersatu untuk menghadapi dunia hitam para perampok, maling dan lain‑lain. Akan tetapi karena mereka itu tidak mempunyai penghasilan tetap dan perkumpulan mereka tentu saja membu­tuhkan biaya, maka mereka mengambil cara ini untuk menutup kebutuhan mereka yang bersahaja, yaitu dengan jalan “memungut sumbangan” dari para orang le­wat di daerah yang telah mereka “bersih­kan” itu. Akan tetapi pada waktu itu, hati dan pikiran Milana sedang dilanda kekecewaan dan kemarahan karena Bun Beng, maka menghadapi hal yang biasa­nya akan dianggap wajar dan dihadapinya dengan penuh pengertian itu, kini menimbulkan kemarahannya.

“Bilang saja perampok, pakai memutar­-mutar omongan segala. Kalau kalian minta sumbangan kepadaku, aku hanya membawa kaki tanganku yang bisa mem­bagi pukulan dan tendangan! Entah kalian mau atau tidak menerima sumbangan ini!”

Dua belas orang itu adalah laki‑laki gagah, tentu saja mereka menjadi marah sekali mendengar ucapan gadis ini yang amat merendahkan mereka. Betapapun juga, mereka merasa segan untuk turun tangan mengeroyok seorang wanita muda, dan hanya pimpinan mereka yang tinggi kurus itu melangkah maju, matanya terbelalak marah ketika dia membentak,

 “Bocah perempuan sombong! Mungkin kau memiliki sedikit kepandaian silat, akan tetapi hal itu amat tidak baik bagimu, membuatmu sombong sekali mengira di dunia ini tidak ada yang dapat melawanmu! Hemm, kalau memang engkau hanya bisa memberi pukulan dan tendangan, biarlah aku menerima sumbanganmu itu!”

“Kalau begitu, terimalah ini!” Milana yang sedang risau hatinya itu segera me­nerjang maju dan mengirim pukulan‑pu­kulan dengan kecepatan luar biasa. Biar­pun Si laki‑laki Tinggi Kurus itu berusa­ha menangkis dan mengelak, namun dia bukanlah lawan dara yang memiliki ilmu silat tinggi itu dan pukulan bertubi‑tubi dari Milana yang membuatnya terdesak tak mampu membalas serangan, akhirnya mengenai sasaran, pundaknya tertampar dan laki‑laki itu terpelanting!

Melihat ini kawan‑kawannya terkejut, penasaran dan marah sekali. Tanpa diko­mando lagi mereka menyerbu, akan teta­pi tak seorang pun di antara mereka yang menggunakan senjata karena niat mereka hanya untuk menangkap gadis galak itu dan menghadapkannya kepada ketua mereka. Melihat ini, Milana me­ngamuk, akan tetapi dia pun mengerti bahwa pengeroyoknya itu bukanlah orang-­orang jahat kejam karena mereka itu tidak ada yang menggunakan senjata. Maka dia pun hanya memukul dan me­nendang dengan tenaga terbatas agar tidak kesalahan tangan membunuh mereka.

Para pengeroyok itu terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa lihai­nya gadis muda itu. Beberapa orang yang maju lebih dulu terpelanting ke kanan kiri dan mengaduh‑aduh, ada yang patah tulang lengan atau kakinya. Pada saat itu Milana melihat munculnya rombongan orang yang jumlahnya lebih banyak lagi, datang berlari‑larian ke tempat itu. Hati­nya menjadi gemas, dan dia sudah siap untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua!

Tiba‑tiba beberapa orang di antara rombongan yang baru datang itu berseru. “Berhenti semua....! Dia adalah Nona Milana, puteri Ketua Thian‑liong‑pang!”

Mendengar seruan ini, para pengeroyok terkejut dan mundur. Milana juga berhen­ti mengamuk dan memandang mereka yang baru datang itu. Di antara orang-­orang ini dia mengenal beberapa orang anggauta Thian‑liong‑pang! Lima orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di de­pan Milana sambil berkata,

“Harap Nona suka memaafkan kami dan teman‑teman kami, karena tidak tahu maka berani bersikap kurang ajar kepada Nona.”

“Hemm, apa artinya ini? Kenapa kalian menjadi anggauta gerombolan ini?” tanya Milana dengan alis berkerut.

“Harap Nona tidak salah duga. Perkumpulan Tiong‑gi‑pang bukanlah gerom­bolan perampok.... dan perkumpulan ini didirikan oleh Bhok Toan Kok Pangcu (Ketua).”

“Haii....? Sai‑cu Lo‑mo....?”

“Marilah Nona, kuantar menjumpai Pangcu. Ceritanya panjang dan sebaiknya Nona mendengar dari Pangcu sendiri.”

Berdebar jantung Milana. Semua pembantu ibunya telah tewes ketika Thian­-liong‑pang diserbu kaki tangan Koksu. Kiranya Sai‑cu Lo‑mo depat menyelamatkan diri dan sekarang kakek ini selain masih hidup, juga telah menjadi ketua sebuah perkumpulan. Dia mengangguk lalu mengikuti rombongan itu memasuki hutan, dipandang penuh kagum oleh anggauta-­anggauta perkumpulan Tiong‑gi‑pang yang bukan bekas anggauta Thian‑liong‑pang.

Di dalam hutan di lereng bukit itu terdapat bangunan pondok‑pondok seder­hana dan inilah pusat perkumpulan Tiong-­gi‑pang yang jumlahnya kurang lebih lima puluh orang itu. Ketika Milana berhadap­an dengan Sai‑cu Lo‑mo, gadis ini tidak dapat menahan kesedihan dan keharuan­nya. Dia menubruk Sai-cu Lo‑mo sambil menangis.

“Bhok‑kongkong (Kakek Bhok)....!” Dia menangis di pundak itu yang mengelus-­elus kepalanya.

Kakek itu duduk di kursi, kedua kaki­nya telah lumpuh akibat luka‑lukanya ketika Thian‑liong‑pang diserbu oleh anak buah Koksu.

“Nona Milana.... aihhh, Nona....” Sai-cu Lo‑mo juga mengejap‑ngejapkan mata­nya menahan air matanya. Akan tetapi kakek ini dapat menekan perasaannya, lalu menuntun nona itu memasuki pondok. “Mari kita duduk dan bicara, Nona. Kita harus masih bersukur bahwa para pembe­rontak itu dapat dihancurkan oleh ibumu, dan biarpun Thian‑liong‑pang sudah han­cur lebur, namun namanya masih tetap baik sebagai pembela negara, Mari duduk dan ceritakanlah. Saya mendengar bahwa Nona terculik. Saya telah mengerahkan semua anak buah perkumpulan ini untuk membantu dan menyelidiki keadaanmu, namun sia‑sia. Apalagi terdengar berita bahwa engkau diculik orang Pulau Neraka, betulkah ini? Di antara kami tidak ada seorang pun yang tahu di mana letaknya Pulau Neraka itu.”

Milana menghapus air matanya, kemu­dian dia menceritakan kepada pembantu ibunya yang setia itu tentang semua pengalamannya. Betapa dia diculik oleh Wan Keng In, akan tetapi berhasil mem­pertahankan kehormatannya sungguhpun dia tidak berdaya untuk keluar dari Pulau Neraka. Betapa kemudian muncul Giam Kwi Hong dan bersama keponakan dan murid ayahnya itu dia berhasil mendesak Keng In sehingga pemuda itu melarikan diri, sedangkan guru pemuda itu dilawan oleh kakek pendek yang menjadi guru Kwi Hong. Kemudian, kembali dia terisak menangis ketika menceritakan kelakuan Gak Bun Beng kepadanya.

“Menurut kata Enci Kwi Hong, oleh ayahku telah dijodohkan dengan dia, Kek. Akan tetapi.... aku tidak sudi menjadi isteri manusia rendah itu! Dia tidak saja berusaha untuk menyeret aku ke dalam perjinaan yang kotor, akan tetapi dia juga berjina dengan Giam Kwi Hong....” Milana menangis lagi.

Dapat dibayangkan betapa marah, duka dan kecewa hati kakek itu. Gak Bun Beng adalah cucu keponakannya, karena ibu pemuda itu, Bhok Khim, yang dahulu diperkosa oleh Gak Liat Si Iblis Botak sehingga melahirkan Bun Beng (baca ceri­taPendekar Super Sakti) adalah keponakannya. Dan dia pernah melamar Milana untuk Bun Beng, yang ditolak oleh ibu Milana dan yang membuat dia mundur teratur ketika mendengar bahwa ibu Mi­lana bukan saja puteri Kaisar, akan teta­pi ayah Milana adalah Pendekar Super Sakti! Dan sekarang, Pendekar Super Sakti bahkan telah menjodohkan puterinya itu dengan Gak Bun Beng, akan tetapi agaknya Bun Beng telah berubah, telah menjadi seorang pemuda berwatak kotor!

“Nona, benar‑benar terjadikah apa yang kauceritakan itu kepadaku? Menurut penglihatanku, Bun Beng bukanlah seorang berwatak bejat....”

“Kalau aku tidak mengalami sendiri dibujuk rayu olehnya, kalau aku tidak melihat sendiri dia berjina dengan Kwi Hong, aku sendiri tentu tidak percaya, Kek. Akan tetapi aku mengalami sendiri dan melihat sendiri....” Kembali dia ter­isak dan menutupi mukanya.

“Sudahlah, Nona. Aku sendiri kalau kelak bertemu dengannya, akan menegur dan menghajarnya. Biarpun dia lihai, dia adalah cucu keponakanku, dan biarlah aku mati dalam tangannya kalau dia tidak dapat disadarkan. Sekarang, Nona hendak pergi ke mana?”

“Aku hendak mencari ibu....”

“Beliau tidak lagi berada di kota raja, Nona. Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu ikut bersama ayahmu ke Pulau Es.”

Milana menghela napas dan menghapus sisa air matanya, “Aku pun menduga de­mikian ketika Enci Kwi Hong muncul di Pulau Neraka. Akan tetapi.... aku sendiri tidak ingin ke Pulau Es setelah apa yang terjadi semua itu, setelah ayah menjo­dohkan aku dengan orang yang demikian rendah. Aku girang bahwa ibu akhirnya telah bersatu dengan ayah. Aku.... aku.... agaknya tidak ada jalan lain, aku akan ke kota raja menghadap Kaisar....” Dia ragu‑ragu.

“Nona Milana, biarpun Kaisar adalah kakekmu sendiri dan tentu kau akan diterima di istana, akan tetapi dapatkah engkau menyesuaikan diri dengan kehidupan di istana? Nona sudah biasa hidup bebas, mungkinkah Nona hidup terkurung dan terbatas di dalam istana?”

Milana menarik napas panjang. “Aku pun meragukan hal itu, Bhok‑kongkong. Tentu aku tidak kerasan di sana....”

 “Kalau begitu, mengapa Nona tidak tinggal saja bersama kami? Ketika aku berhasil menyelamatkan diri dari serbuan anak buah Koksu pemberontak itu, aku bertemu dengan sisa para anggauta Thian­-liong‑pang, dan bertemu dengan sisa ang­gauta Pek‑eng‑pang yang sudah kehilangan pimpinan. Maka kukumpulkan mereka, kusatukan dan karena aku tidak berani menggunakan nama Thian‑liong‑pang, juga tidak sudi memakai nama Pek‑eng‑pang, aku lalu mendirikan perkumpulan baru bernama Tiong‑gi‑pang untuk menolong mereka, dan untuk mencegah mereka terperosok ke dalam lembah kejahatan. Kami sedang memperbaiki sebuah kuil besar dan kuno di hutan sebelah, Nona. Tempat itu akan menjadi pusat Tiong‑gi-­pang, dan kalau Nona suka tinggal bersa­ma kami, hatiku akan menjadi lega dan girang, juga kehadiran Nona sebagai puteri Ketua Thian‑liong‑pang tentu akan mempengaruhi para anak buah Tiong‑gi-­pang dan mencegah mereka dari penyele­wengan.”

Demikianlah mulai hari itu, Milana tinggal bersama Kakek Sai‑cu Lo‑mo, bekas pembantu utama ibunya di Thian-­liong-pang yang kini telah menjadi pangcu dari perkumpulan Tiong‑gi‑pang.

***

Gadis yang cantik manis dan lincah itu menarik perhatian banyak mata, ter­utama mata laki‑laki, ketika dia mema­suki kota raja. Dia memang manis sekali, sepasang matanya jernih dan tajam me­mandang ke sana‑sini, bukan hanya untuk mengagumi bangunan‑bangunan besar di kota raja melainkan juga dengan penuh selidik pandang matanya menyapu wajah orang‑orang yang dijumpainya, seolah‑olah dia mencari seseorang di kota raja. Pa­kaiannya yang serba kuning itu membung­kus ketat tubuh yang padat berisi dan langsing. Di pinggir pinggul yang padat dan pinggang yang langsing itu tergantung pedang, tanda bahwa dara manis berusia kurang lebih dua puluh tahun ini adalah seorang gadis perantau kang‑ouw yang tidak boleh dipandang ringan!

Gadis baju kuning ini adalah Ang Siok Bi, puteri tunggal ketua Bu‑tong‑pai yaitu Ang‑lojin (Orang Tua Ang) atau Ang Thian Pa. Seperti telah kita ketahui rombongan piauwsu yang pernah bentrok dengan Gak Bun Beng ketika terjadi pe­merkosaan dan pembunuhan suami isteri di dekat telaga, adalah murid‑murid Bu‑tong‑pai. Setelah mereka itu menye­lesaikan tugasnya, pemimpin piauwsu itu lalu menceritakan peristiwa itu kepada Bu‑tong‑pai dan Ang Siok Bi juga hadir dalam pertemuan ini. Ketika mendengar bahwa Gak Bun Beng melakukan perbuat­an keji seperti itu, ketua Bu‑tong‑pai terkejut bukan main dan hampir tidak dapat percaya kalau yang bercerita bukan muridnya yang dipercayanya. Terutama sekali Ang Siok Bi, puterinya. Dara ini telah tahu bahwa dia oleh ayahnya hen­dak dijodohkan dengan Gak Bun Beng, dan sungguhpun pemuda itu belum mene­rima perjodohan ini, namun ayahnya masih selalu mengharapkan terjadinya ikatan jodoh itu. Karena inilah, juga karena dia sendiri pun tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda itu, maka Siok Bi menganggap dirinya sebagai tunangan Gak Bun Beng dan tidak menghiraukan lain laki‑laki lagi, bahkan di dalam lubuk ha­tinya dia mengambil keputusan tidak akan menikah kalau tidak dengan Bun Beng!

Maka, dapat dibayangkan betapa kaget dan hancur hati dara ini mendengar pe­nuturan para piauwsu yang menduga bahwa Gak Bun Beng melakukan hal yang amat keji, memperkosa dan mem­bunuh seorang wanita, membunuh pula suami wanita itu di dekat telaga. Pada keesokan harinya, Ketua Bu‑tong‑pai tidak melihat puterinya dan dia hanya dapat menghela napas, maklum bahwa kepergian puterinya itu tentu ada hu­bungannya dengan penuturan murid Bu‑tong‑pai tentang Gak Bun Beng.

Dugaan Ketua Bu‑tong‑pai ini memang benar. Siok Bi meninggalkan kuil Bu-­tong‑pai untuk pergi mencari Bun Beng, untuk menyatakan sendiri kebenaran pe­nuturan itu. Dia harus bertemu dengan pemuda itu dan akan ditanyai tentang peristiwa yang dituturkan oleh kepala piauwsu itu. Kalau memang benar pemuda itu menjadi seorang penjahat keji, dia akan memusuhinya dan akan diputuskan­nya hubungan batin yang timbul karena janji ayahnya kepada pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak percaya bahwa pemuda yang gagah perkasa itu berubah menjadi seorang penjahat cabul yang berhati kejam.

Tiba‑tiba Siok Bi menghentikan lang­kahnya dan menoleh, memandang kepada seorang pemuda yang bercaping bundar dan berpedang di punggungnya. Gak Bun Beng! Benarkah Gak Bun Beng pemuda itu? Telah lama dia tak bertemu dengan pemuda itu, dan ada kemiripan pemuda yang lewat tadi dengan pemuda idaman hatinya. Dia cepat membalik dan menge­jar. Untuk menegur, dia belum berani karena takut kalau‑kalau dia salah lihat. Pemuda yang tampan itu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang kota raja. Siok Bi terpaksa mengikutinya terus, keluar lagi dari kota raja.

Kesangsiannya lenyap ketika dia melihat pemuda di depan itu kini berlari cepat sekali setelah tiba di luar pintu gerbang kota raja. Siapa lagi kalau bukan Gak Bun Beng yang pandai berlari cepat itu?

“Gak‑taihiap....!” Dia menegur sambil mengejar, mengerahkan gin‑kangnya untuk berlari cepat.

Pemuda itu berlari terus dan betapa pun Siok Bi mengerahkan kepandaiannya, tetap saja tidak mampu mengejarnya! Maka dia berseru lagi, “Gak‑taihiap, aku Ang Siok Bi ingin bicara!”

Pemuda itu berhenti dan membalikkan tubuh. Setelah mereka berhadapan, kem­bali timbul kesangsian di hati Siok Bi. Dia meragu apakah benar‑benar pemuda ini Gak Bun Beng.

“Apakah.... apakah aku berhadapan dengan Gak‑taihiap,” tanyanya sambil menatap wajah yang tampan itu.

Pemuda itu tersenyum. “Agaknya eng­kau mencari Gak Bun Beng, Nona? Aku bukan Gak Bun Beng, akan tetapi aku adalah sababatnya. Nona siapakah dan ada urusan apa mencari Gak Bun Beng?”

“Ahh.... maaf, saya kira engkau Gak Bun Beng. Saya.... saya.... Ang Siok Bi dan saya mencarinya. Tolong beritahu di mana dia?”

“Hemm, dia tidak mudah dijumpai begitu saja, Nona. Siapakah Nona? Akan saya sampaikan kepadanya.”

“Saya adalah tunangannya dari Bu‑tong‑pai.”

Pemuda itu mengangguk‑angguk dan mengerutkan alisnya. “Hemmm.... dari Bu‑tong‑pai? Baik, akan saya sampaikan kepadanya, Nona. Sebaiknya Nona pergi ke kota raja lagi, bermalam di sebuah penginapan. Malam ini dia akan datang mengunjungimu.” Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan sebentar saja sudah berada jauh sekali. Hal ini mengejutkan hati Siok Bi karena dia maklum bahwa kepandaiannya berlari cepat tidak dapat dipakai menandingi ilmu lari cepat pemuda itu! Betapapun juga, hatinya girang. Pemuda itu kiranya sahabat Gak Bun Beng dan kalau sudah disampaikan, tentu Gak Bun Beng akan menjumpainya. Jantungnya berdebar tegang dan dia makin tidak percaya bahwa Gak Bun Beng telah mejadi seorang jahat.

Malam hari itu Siok Bi menanti di dalam kamarnya dengan hati bimbang dan tegang. Kalau dia teringat betapa dia tadi mengaku sebagai tunangan Gak Bun Beng kepada pemuda itu, jantungnya ber­debar dan mukanya terasa panas. Bagai­mana kalau pemuda tadi menyampaikannya kepada Gak Bun Beng? Tunangan? Pemuda itu dahulu menolak usul ayahnya yang hendak menjodohkan mereka. Bagai­mana sekarang secara tak tahu malu dia mengaku tunangannya? Biarlah, setidaknya pengakuannya itu telah membuka rahasia hatinya terhadap Bun Beng!

Menjelang tengah malam, dia mendengar suara di jendela kamarnya. Dia memandang terbelalak dan menegur halus, “Siapa....?”

“Nona Ang Siok Bi, aku adalah Gak Bun Beng. Harap suka membuka jendela.” terdengar suara dari luar, suara yang halus dan mendebarkan jantungnya.

“Tunggu sebentar!” Siok Bi membesarkan api penerangan, kemudian secara tak sadar tangannya membereskan rambutnya yang berjuntai di dahi, kemudian mem­buka daun jendela. Angin menyambar dari luar memadamkan lampu penerangan sehingga keadaan kamar itu menjadi remang‑remang, hanya mendapat sorotan lampu penerangan di luar kamar yang dipasang di ujung lorong. Kemudian tam­pak bayangan seorang pemuda bertopi caping lebar bundar melayang masuk ke dalam kamar itu.

“Eiihh, kenapa kau memadamkan lampu?”

“Ssssttt.... jangan ribut‑ribut, nanti semua tamu terbangun. Nona Ang, ada apakah engkau mencari aku?”

“Gak‑taihiap.... aku sengaja mencarimu untuk bertanya.... eh, kami mendengar pe­nuturan para piauwsu anak murid Bu­-tong‑pai bahwa engkau telah melakukan perbuatan keji. Aku tidak percaya, akan tetapi aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri....”

“Hemm.... Nona, katakan dulu sebelum aku menjawab. Apakah engkau cinta ke­padaku?”

Ditanya demikian yang sama sekali tidak pernah disangkanya, Siok Bi meng­gigil dan suaranya tersendat‑sendat ketika dia berkata, “Aku.... aku.... ahh, aku telah ditunangkan kepadamu oleh ayah....”

“Bagus, Bi‑moi, aku pun cinta kepada­mu. Betapa rinduku kepadamu!” Setelah berkata demikian pemuda itu sudah me­meluknya. Siok Bi hendak membantah dan menolak, akan tetapi suaranya hilang ditelan ciuman pemuda itu. Siok Bi makin terkejut dan hendak mendorong, akan tetapi tiba‑tiba pundaknya ditotok dan dia roboh dengan lemas! Hanya kedua matanya yang terbelalak penuh kengerian ketika dia dipondong oleh pemuda itu dan dilempar ke atas pembaringan. Telinga­nya mendengar suara yang kini terdengar seperti suara iblis, “Kau cinta kepadaku dan aku cinta kepadamu! Apalagi yang lebih menarik daripada itu! Marilah kita mencurahkan cinta kasih kita, dan ten­tang semua perbuatanku dengan wanita lain, tak perlu kauhiraukan, manis!”

Kalau saja dia mampu bergerak, tentu Siok Bi akan melawan mati‑matian, dan kalau saja dia mampu bersuara tentu dia akan menjerit‑jerit dan memaki‑maki. Akan tetapi apa daya, dia tidak mampu bersuara, tidak mampu bergerak sehingga dia hanya mampu menangis ketika pemuda itu mulai menggagahi dirinya. Dia pergi mencari Bun Beng untuk bertanya, untuk membuktikan sendiri apakah benar berita yang disampaikan oleh anak murid Bu‑tong‑pai itu. Siapa mengira, dia kini memperoleh bukti yang mutlak karena dia sendiri menjadi korban kebuasan pemuda yang tadinya dijunjung tinggi itu. Pemuda yang dirindukan dan dicinta dengan diam‑diam kini mendatangkan rasa muak, benci dan dendam!

Menjelang pagi, dalam keadaan hampir pingsan, Siok Bi melihat pemuda itu mendekati jendela dan berkata, “Kalau engkau ingin terus menikmati malam-­malam seperti ini dengan aku, Siok Bi yang manis, datanglah kau ke kuil di atas bukit sebelah utara kota raja dan carilah Tiong‑gi‑pang. Aku menantimu di sana. Sampai jumpa lagi, kekasihku!” Tubuh itu berkelebat dan sekali loncat saja lenyap dari dalam kamar.

Siok Bi hanya dapat menangis! Mena­ngis karena dua hal yang menghancurkan hatinya, yang menghancurkan hidupnya, menghancurkan harapannya. Pemuda yang diharapkan menjadi jodohnya, yang di­tunggunya dengan setia sehingga dia menolak senlua pinangan orang, yang diam‑diam dicintanya, ternyata telah menjadi seorang yang buas dan hina, seorang penjahat cabul yang kejam sekali melebihi iblis! Dan di samping ini, dia telah menjadi korban! Dia telah menjadi seorang yang rusak kehormatannya, tidak mungkin menjadi seorang wanita yang dihormati lagi. Dia harus membalas den­dam ini! Kalau perlu dia akan mengor­bankan nyawa, karena apa artinya hidup ini setelah apa yang terjadi malam tadi? Setelah totokan itu pulih dengan sendiri­nya, Siok Bi juga hanya dapat menangis, bahkan menangis pun tidak berani terlalu keras. Kalau terdengar orang dan ada yang bertanya, apa yang harus dijawab­nya? Peristiwa mengerikan yang menimpa dirinya semalam tidak akan diketahui siapa juga, kecuali dia dan Si Laknat Gak Bun Beng!

Pada keesokan harinya, pagi‑pagi sekali Siok Bi telah meninggalkan rumah penginapan keluar dari kota raja menuju ke utara. Menjelang senja barulah dia dapat menemukan kuil yang dimaksudkan oleh Gak Bun Beng ketika hendak me­ninggalkan kamarnya tadi pagi. Namun Siok Bi bersikap hati‑hati ketika melihat banyak orang keluar masuk di bangunan kuil yang dikelilingi pondok-pondok kecil itu. Tentu mereka ini para anggauta Tiong‑gi‑pang! Dia datang untuk mencari Gak Bun Beng dan untuk membunuhnya! Kalau dia muncul begitu saja, bukan ha­nya usaha membalas dendam itu akan gagal, bahkan dia akan tertawan dan akan menjadi permainan pemuda iblis itu! Dia harus menahan sabar dan baru turun tangan malam nanti! Dengan pikiran ini Siok Bi bersembunyi di dalam hutan, menanti datangnya malam. Dia harus selalu menekan hatinya untuk tidak me­nangis terus. Setiap kali teringat akan malapetaka yang menimpa dirinya, ingin dia menjerit‑jerit dan menangis.

Malam itu sunyi sekali di luar Kuil Tiong‑gi-pang, karena memang kuil itu berada di dalam hutan, tidak mempunyai tetangga. Para anggauta ying sudah lelah karena siang tadi bekerja atau berlatih silat, kini sudah beristirahat di dalam pondok‑pondok kecil yang dibangun di sekeliling kuil. Hanya ada beberapa orang penjaga yang meronda secara bergilir untuk menjaga keselamatan dan keamanan kuil mereka.

Sesosok bayangan berkelebat dan menyelinap di bawah bayangan pohon yang gelap. Bayangan ini adalah Ang Siok Bi yang berhasil melompati pagar yang mengelilingi tempat itu. Dia ingin memasuki kuil dengan diam‑diam, mencari dan membunuh Gak Bun Beng, atau kalau gagal, terbunuh. Akan tetapi, ketika dia menyelinap ke dalam kuil melalui sebuah pintu samping yang terbuka dan tiba di ruangan depan, tiba‑tiba ada suara mene­gurnya, “Siapa?”

Tiga orang penjaga muncul dengan tiba‑tiba, mengejutkan hati Siok Bi, me­reka itu adalah dua orang berpedang dan seorang bersenjata tongkat. Ketika melihat bahwa orang tak terkenal yang berkelebat masuk itu adalah seorang gadis cantik, tiga orang penjaga itu terbelalak heran dan tidak mau sembarangan turun tangan menyerang. Akan tetapi Siok Bi yang mengira bahwa mereka itu tentulah anak buah Gak Bun Beng, sudah mencabut pedangnya dan menerjang tanpa banyak cakap lagi. Dia harus merobohkan mereka ini sebelum yang lain‑lain datang!

“Trang‑trang.... aih....!” Tiga orang itu terkejut, sedapat mungkin menangkis, akan tetapi gerakan Siok Bi yang lincah dan serangannya yang tak tersangka‑sang­ka itu terlalu lihai bagi mereka. Dua orang terluka lengannya dan seorang lagi terluka dadanya oleh sambaran pedang puteri ketua Bu‑tong‑pai yang perkasa ini.

Akan tetapi teriakan mereka mendatangkan tujuh orang penjaga lainnya. Melihat ini, dengan gemas Siok Bi sudah menggerakkan pedangnya mengamuk sam­bil berteriak marah, “Gak Bun Beng ma­nusia busuk! Kiranya engkau pengecut, mengandalkan banyak anak buahmu! Keluarlah kalau kau laki‑laki, kita mengadu nyawa!”

Mendengar seruan ini, penjaga terheran dan mereka menahan senjata sambil melompat mundur, terdengar bentakan nyaring, “Tahan senjata!”

Ang Siok Bi juga menahan pedangnya ketika melihat munculnya seorang dara yang amat cantik dan gagah. Dara ini bukan lain adalah Milana, yang tadi ter­kejut mendengar suara ribut‑ribut dan keluar dari kamarnya. Kebetulan sekali dia mendengar disebutnya nama Gak Bun Beng yang ditantang oleh wanita muda yang mengamuk itu, maka dia cepat menghentikan pertandingan.

Sejenak kedua orang wanita muda itu saling berpandangan. Siok Bi masih me­mandang marah karena menduga bahwa tentu wanita cantik itu kaki tangan Gak Bun Beng pula, sedangkan Milana menduga‑duga siapa wanita yang agaknya memusuhi Gak Bun Beng itu, juga dia terheran‑heran mengapa wanita itu mencari Bun Beng di kuil Tiong-gi-pang.

“Siapakah engkau? Mengapa engkau mengacau Tiong‑gi-pang?” tanyanya. Para anak buah Tiong‑gi‑pang sudah berkumpul dan tiga orang yang terluka itu cepat ditolong dan luka mereka diobati dan dibalut. Dua di antara mereka terpaksa membuka baju agar luka di tubuh mereka dapat dibalut.

Siok Bi yang sudah nekat melintang­kan pedangnya di depan dada sambil menjawab, “Aku Ang Siok Bi, datang untuk menantang ketua kalian bertanding sampai seorang diantara kami tewas. Akan tetapi kalau para anggauta dan kaki tangannya mau ikut maju aku tidak takut!”

“Hemmm, siapa mencari aku?” Tiba­-tiba terdengar suara nyaring dan muncul­lah empat orang anggauta Tiong‑gi-pang yang menggotong Sai‑cu Lo‑mo yang lumpuh. Begitulah ketua ini kalau me­nyambut datangnya orang asing atau tamu, duduk di atas papan yang digotong empat orang anak buahnya. Untuk keper­luan sehari-hari, dia bergerak mengandalkan kedua tangannya saja yang dapat dia pergunakan sebagai pengganti kedua kaki, berjalan dengan tubuh terangkat sedikit ke belakang!

Siok Bi menoleh ke kiri dan meman­dang kakek itu dengan bingung.

“Aku tidak mencari engkau, aku men­cari Ketua Tiong-gi‑pang....”

“Hemm, Nona. Akulah Ketua Tiong­-gi‑pang.”

Siok Bi makin terkejut, lalu menduga bahwa tentu Gak Bun Beng yang tinggal disini bukan ketuanya.

Dengan suara tidak sabar Milana bertanya, “Sebenarnya apakah kehendakmu dan siapa yang kaucari?”

Dengan agak bingung Siok Bi menja­wab, “Aku mencari Si Bedebah Gak Bun Beng. Suruh dia keluar!”

Milana makin tertarik. Tentu ada se­suatu terjadi antara gadis itu dengan Bun Beng. Akan tetapi mengapa mencari Bun Beng di sini?

“Ada urusan apakah engkau mencari Gak Bun Beng?” dia masih bertanya me­mancing.

“Kau tak perlu tahu. Pendeknya aku mencari Gak Bun Beng untuk kubunuh!”

Milana menyarungkan pedang yang tadi sudah dicabutnya. Melihat ini, Siok Bi menjadi heran.

“Engkau salah alamat,” kata Milana. “Gak Bun Beng tidak berada di sini, juga kami bukanlah sahabatnya. Tiong‑gi‑pang tidak pernah ada hubungan apa‑apa de­ngan Gak Bun Beng. Marilah kita bicara di dalam. Kalau engkau mempunyai pena­saran terhadap Gak Bun Beng, agaknya aku akan dapat membantumu.”

Siok Bi makin terheran. Melihat sikap dara jelita itu, sikap Ketua Tiong‑gi‑pang yang lumpuh, sikap para anak buah Tiong‑gi‑pang yang sudah mundur dan agaknya tidak memperlihatkan sikap ber­musuh kepadanya, dia juga menyarungkan pedang di sarung pedang yang kini tergantung di punggungnya. Akan tetapi dia masih ragu‑ragu melihat Milana membuka sebuah pintu batu di atas anak tangga.

Milana yang sudah berada di depan pintu itu menoleh dan berkata, “Engkau demikian gagah berani sudah menyerbu Tiong‑gi‑pang, apakah sekarang menjadi takut untuk memenuhi undanganku masuk ke dalam dan bicara?”

Sai‑cu Lo‑mo yang sudah bersedekap penuh rasa duka itu berkata, “Masuklah, Nona. Kami bukanlah orang‑orang jahat. Kalau kami berniat buruk, perlukah me­mancingmu masuk?”

Siok Bi mengerutkan alisnya dan me­mandang tajam kepada Sai-cu Lo‑mo, kemudian dia menudingkan telunjuknya kepada Ketua Tiong‑gi‑pang itu dan membentak, “Aku pernah melihat engkau. Bukankah engkau seorang tokoh Thian-liong‑pang?”

Sai‑cu Lo‑mo menghela napas, kemudian menjawab, “Dugaanmu benar, Nona. Dan Nona adalah puteri Ketua Bu‑tong-pai, bukan?”

Siok Bi terkejut. Dahulu, ketika Thian‑liong‑pang mengadakan pertemuan besar di puncak Gunung Ciung‑lai‑san di Se‑cuan, dia ikut ayahnya menghadiri pertemuan besar itu. Ayahnya, Ang‑lojin Ketua Bu‑tong‑pai, pernah diculik oleh Thian‑liong‑pang, sehingga perkumpulan itu dapat dikatakan adalah musuhnya!

“Jadi kalian.... kalian ini.... anggauta-­anggauta Thian‑liong‑pang....?” Di samping kekagetan dan kemarahannya, juga ada rasa gentar di hati Siok Bi karena dia maklum betapa lihainya orang‑orang Thian‑liong‑pang.

“Bukan,” jawab Milana. “Thian‑liong-­pang sudah tidak ada lagi dan engkau menjadi tamu dari Tiong‑gi‑pang.”

“Dan kau.... sekarang aku mengenalmu! Engkau adalah puteri cantik dari Ketua Thian‑liong‑pang!” Siok Bi berseru lagi, makin terkejut karena dia tahu bahwa puteri Ketua Thian‑liong-pang memiliki ilmu kepandaian hebat.

Milana tersenyum, “Kalau perkumpul­annya tidak ada, ketuanya pun tentu saja tidak ada. Marilah, apakah engkau masih tidak berani memenuhi undanganku? Di dalam kita bicara tentang manusia bernama Gak Bun Beng itu.”

Tiba‑tiba terdengar bentakan halus dan nyaring, “Gak Bun Beng manusia hina. Hendak lari ke mana engkau?”

Dari jendela melayang masuk sesosok bayangan yang ternyata dia adalah seorang gadis cantik pula, sebaya dengan Siok Bi dan Milana dengan sebatang pedang di tangannya! Gadis ini sejenak bingung memandang Milana, Siok Bi, Sai-­cu Lo‑mo dan para anggauta Tiong‑gi-­pang, kemudian menoleh ke sana‑sini, pandang matanya mencari‑cari, kemudian dia membentak, “Hayo suruh Si jahanam keparat Gak Bun Beng keluar untuk menerima kematiannya!”

Sai‑cu Lo‑mo menutup muka dengan kedua tangan yang tadi disedekapkan sambil mengeluh, “Ya Tuhan.... lagi-lagi Bun Beng....?”

Milana juga merasa tertusuk hatinya. Lagi‑lagi ada orang yang mencari Gak Bun Beng untuk membunuhnya, dan orang ini juga wanita muda cantik jelita! “Gak Bun Beng tidak ada di sini mengapa eng­kau mencarinya ke sini?” Dia menegur ke­pada gadis cantik yang baru datang itu.

Gadis itu mengelebatkan pedangnya dan gaya gerakannya menunjukkan bahwa dia memiliki ilmu pedang yang hebat juga! “Bohong! Baru saja dia lari dan masuk ke sini! Hayo suruh dia keluar, kalau tidak, terpaksa aku akan mengo­brak‑abrik tempat ini!”

Milana terkejut. “Dia di sini?”

Sai‑cu Lo‑mo juga terkejut dan cepat memberi perintah kepada anak buahnya. “Cari bocah setan itu sampai dapat! Periksa semua tempat!”

Dengan cepat mereka semua bergerak pergi, bahkan Sai‑cu Lo‑mo sendiri sudah meloncat dari atas papan yang dipikul empat orang anggautanya, tubuhnya yang lumpuh kakinya itu masih dapat bergerak cepat sekali. Milana juga sudah mencabut pedangnya dan berkelebat lenyap. Tinggal Siok Bi dan gadis itu saling pandang de­ngan bingung. Siok Bi yang berkata, “Sobat, keadaan kita sama. Aku pun mencari manusia keparat Gak Bun Beng di sini, akan tetapi kita berdua salah alamat. Kurasa jahanam itu tidak berada di sini.”

“Tak mungkin! Tadi kuserang, kukejar dan lenyap di tempat ini!” Gadis itu masih penasaran.

“Akan tetapi orang-orang Tiong‑gi‑pang ini bukanlah sahabat Gak Bun Beng. Lihat saja mereka semua marah dan mencari Si Laknat itu,” bantah Siok Bi. Gadis itu menarik napas panjang dan mengangguk.

“Akan tetapi....”

“Biarlah kita menanti sampai mereka kembali. Ketahuilah bahwa para pimpinan Tiong‑gi‑pang ini adalah bekas tokoh­-tokoh Thian‑liong‑pang yang lihai.”

Mendengar ini, gadis ini terkejut juga, dan berdiri dengan bingung. Melihat beta­pa Siok Bi tidak menghunus pedang, dia merasa kikuk dan segera dia menyarung­kan pedangnya pula.

Tak lama kemudian, Milana datang lagi ke tempat itu. Gerakannya membuat Siok Bi dan gadis itu terkejut dan kagum. Seperti gerakan iblis saja, hanya tampak berkelebat dan tahu‑tahu telah berada di situ. Mengertilah mereka berdua bahwa mereka bukan tandingan dara cantik jelita ini!

Milana memandang kepada dara yang baru tiba. “Benarkah katamu tadi bahwa Gak Bun Beng lari, dan lenyap di tempat ini?”

“Aku tidak membohong. Kalau tidak, apa perlunya aku masuk ke sini dan me­ngejarnya?”

Milana mengangguk dan menarik napas panjang. “Kami mencari tanpa hasil dan hal ini memang tidak aneh. Kepandaian Gak Bun Beng tinggi bukan main, dan andaikata kita dapat menemukannya aku masih sangsi apakah kita semua dapat melawannya.”

“Aku tidak takut!” Siok Bi berseru.

“Aku akan mengadu nyawa dengannya!” Gadis itu pun berseru.

Milana mengerutkan alisnya. “Mari kita bicara di dalam. Agaknya aku dapat menduga apa yang telah terjadi dengan kalian.”

Ketika gadis yang baru muncul itu ragu‑ragu, Milana melanjutkan setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, “Bukankah kalian berdua menjadi korban Gak Bun Beng yang telah menjadi jai‑hwa‑cat (penjahat pemerkosa)?”

Seketika wajah kedua orang dara itu menjadi merah sekali. Milana menghela napas panjang. “Ketahuilah, aku bukan sahabat Gak Bun Beng dan kalau benar seperti yang kuduga bahwa kalian menja­di korban kebiadabannya, aku bersedia membantu kalian mencarinya dan meng­hadapinya!”

Siok Bi sudah percaya kepada Milana, maka melihat gadis yang baru datang itu ragu‑ragu, dia berkata, “Sebaiknya kita bicara dengan dia, karena dia ini adalah puteri bekas Ketua Thian‑liong‑pang.”

Gadis itu kelihatan terkejut sekali. “Apa....?” Dia menatap wajah Milana de­ngan tajam. “Kau.... kau.... Puteri Milana cucu Kaisar? Engkau puteri dari Panglima Wanita Nirahai dan.... dan Pendekar Super Sakti?”

Milana terkejut juga melihat betapa gadis itu mengenal ayah bundanya. Dia mengangguk dan bertanya, “Siapakah engkau?”

Gadis itu tiba‑tiba menjatuhkan diri berlutut. “Harap paduka sudi memaafkan saya yang bersikap kurang hormat....”

Siok Bi juga terkejut sekali mendengar itu. Kiranya Ketua Thian‑liong‑pang adalah Puteri Nirahai? Dia memang sudah mendengar kabar angin tentang ini, akan tetapi ayahnya sendiri masih kurang percaya. Dan ternyata bahwa selain pu­teri Kaisar, juga Ketua Thian‑ liong‑pang yang pernah menimbulkan geger itu ada­lah isteri Pendekar Super Sakti! Dia tidak berlutut seperti gadis itu, akan tetapi dia pun bertunduk dan memandang Mila­na dengan segan dan hormat.

Milana merangkul gadis itu dan meng­angkatnya bangkit berdiri. “Tak perlu seperti itu. Aku gadis biasa saja, gadis kang‑ouw seperti kalian. Siapakah nama­mu?”

“Saya Lu Kim Bwee, dari Kong‑kong (Kakek) yang pernah menjadi pengawal Kaisar saya mendengar tentang ibu Padu­ka....”

“Hushh, Enci Kim Bwee, jangan ba­nyak sungkan. Jangan pakai paduka‑padu­ka segala kepadaku. Anggap saja kita ini sahabat‑sahabat yang senasib. Marilah Enci Siok Bi dan Enci Kim Bwee, mari kita masuk ke dalam dan kita bicara tentang manusia jahanam Gak Bun Beng ini.”

Ketiganya memasuki kamar Milana, melalui anak tangga dan daun pintu batu yang tebal itu. Setelah pintu ditutup kembali, dua orang gadis itu tercengang kagum melihat betapa kamar di balik pintu yang menyeramkan itu amat indah dan bersih.

“Ini kamarku sendiri,” Milana berkata. “Aku pun baru dua bulan berada di sini. Duduklah Enci Siok Bi dan Enci Kim Bwee, panggil saja aku Milana.”

Dua orang gadis itu duduk di atas kursi yang indah, kemudian mereka saling pandang. Tidak ada keraguan lagi di hati mereka terhadap dara jelita cucu Kaisar ini.

Milana kembali tersenyum kepada mereka, “Sungguh mengherankan sekali. Enci berdua muncul dalam waktu yang sama dan dengan niat yang sama pula, yaitu mencari Gak Bun Beng, untuk membunuhnya! Ketahuilah bahwa aku pun membenci Gak Bun Beng dan aku berjan­ji akan minta bantuan orang-orang Tiong­-gi‑pang untuk mencari jejak manusia itu, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah aku akan membantu kalian menghadapinya. Untuk kerja sama ini, sebaiknya kalau kita mengetahui keadaan masing‑masing. Nah, sekarang kuminta Enci Siok Bi suka menceritakan pengalamannya, mengapa memusuhi dia, kemudian Enci Kim Bwe, dan kemudian aku sendiri akan menceri­takan pengalamanku.”

Karena di situ hanya ada mereka ber­tiga, ditanya begini Siok Bi menangis. Milana dan Kim Bwee yang melihat Siok Bi menangis, tak dapat menahan kesedih­an hati masing‑masing dan mereka pun menitikkan air mata, teringat akan nasib buruk yang menimpa mereka.

Sambil terisak Siok Bi menceritakan malapetaka yang menimpa dirinya malam tadi di rumah penginapan di kota raja. Betapa dia didatangi Gak Bun Beng da­lam kamarnya dan ditotok tak berdaya kemudian diperkosa. Betapa kemudian dia mencarinya ke Tiong‑gi‑pang, karena Gak Bun Beng menyebut nama perkumpulan ini sebagai tempat tinggalnya. Setelah selesai bercerita dia menangis sesengguk­an.

Milana mengerutkan alisnya dan men­cela, “Enci Siok Bi, mengapa engkau begitu mudah saja membukai jendela ka­mar di waktu malam hari memenuhi permintaan seorang laki‑laki?”

Ang Siok Bi teriak. “Aih.... harap ja­ngan salah sangka adik Milana.... ketahui­lah bahwa semenjak ayah ditolong oleh Gak Bun Beng ketika.... ketika dahulu berada di dalam tahanan.... Thian‑liong-­pang.... ayah mengharapkan agar aku menjadi jodoh orang itu. Dan budi itu tak terlupa oleh kami sehingga aku sudah menganggap diriku sebagai tunangannya, sungguhpun belum resmi dan hanya men­jadi niat sepihak. Tentu saja ketika men­dengar suaranya aku tidak ragu‑ragu untuk membiarkan dia masuk. Akan teta­pi siapa kira.... dia.... dia menjadi iblis....!“

“Keparat....!” Milana menampar meja di depannya sehingga meja itu tergetar. Memang dia marah sekali mendengar pe­nuturan itu, marah kepada Bun Beng.

“Dan bagaimana dengan engkau, Enci Kim Bwee? Apakah engkau juga menjadi korban pemuda biadab itu?” Milana menoleh kepada Lu Kim Bwee.

Sebelum menjawab, Kim Bwee mengu­sap air matanya, kemudian mengangguk. “Sudah agak lama terjadinya, sudah satu bulan lebih, ketika aku berada di pondok kakekku,” Dia lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia dan kakeknya keda­tangan Bun Beng yang tadinya bersikap mencurigakan, mengintai dari atas gen­teng, kemudian betapa pemuda itu mem­bohongi mereka dengan cerita bahwa ada suami isteri terbunuh setelah isterinya diperkosa di dekat telaga. Betapa kakek­nya membantu pemuda itu menyelidiki di sekitar telaga dan kiranya pemuda itu hanya membohong untuk memancing kakeknya keluar dari pondok, kemudian diam‑diam pemuda itu kembali ke pondok dan memperkosanya!

“Baru aku dan kong‑kong tahu bahwa pembunuh suami isteri itu adalah dia sendiri. Aku tak mampu melawan karena dia telah menotokku secara tiba‑tiba....” Kembali Kim Bwee mengusap air matanya. “Semenjak hari itu, aku pergi me­ninggalkan pondok kakek untuk mencari jahanam itu. Tadi aku bertemu dengannya di jalan. Aku menyerangnya, dan dia lari. Ketika kukejar, dia lari ke arah kuil ini dan lenyap.”

“Hemmm, benarkah yang kauserang dan kejar tadi Gak Bun Beng?”

“Cuaca agak gelap, aku tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Akan te­tapi siapa lagi pemuda memakai caping lebar itu kalau bukan dia? Pula, dia mentertawakan aku dan dia yang mem­perkenalkan diri ketika kami bertemu di jalan.”

“Tidak salah lagi, tentu dia!” Siok Bi berseru penuh kemarahan. “Suami isteri yang dibunuh itu setelah isterinya diperkosa di pinggir telaga, memang menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng. Hal ini aku mendengar juga dari murid ayah yang menjadi piauwsu.” Dia lalu mence­ritakan kembali cerita yang didengarnya dari para piauwsu yang bertemu dengan Bun Beng di dekat telaga.

Mendengar semua ini, dapat dibayangkan betapa panas rasa hati Milana. Laki-­laki yang dicintanya, pilihan hatinya, bahkan yang oleh ayahnya dijodohkan dengan dia, kiranya adalah seorang laki-laki jahat sekali. Terhapus sama sekali rasa cinta kasihnya, kini terganti oleh rasa benci yang seperti api bernyala-nyala membakar hatinya. Sambil meng­genggam kedua tangan, dia berkata,

“Kita harus mencari jahanam itu, akan kukerahkan semua anggauta Tiong‑gi‑pang untuk menyelidiki, kalau kita sudah keta­hui tempatnya, kita serang dan bunuh dia.”

Tentu saja Siok Bi dan Kim Bwee menjadi girang. Mendapat bantuan seo­rang seperti Milana, cucu Kaisar, puteri Pendekar Super Sakti, tentu saja amat membesarkan hati. Mereka tahu akan kelihaian Gak Bun Beng dan tadinya mereka pun sudah menduga bahwa andaikata bertemu dengan pemuda itu, tentu mereka yang akan roboh! Kini harapan mereka untuk membalas dendam kepada pria yang menyeret mereka ke dalam jurang kehinaan itu timbul kembali.

Bun Beng masih menaruh harapan bahwa Milana menyesal ketika mendengar gadis itu menjerit. Akan tetapi begitu Milana mencabut pedangnya dan darah muncrat dari luka di dada, gadis itu langsung menyerang lagi, kini pedangnya membabat ke arah leher Bun Beng.

“Aihhh.... Milana....!” Bun Beng terpaksa mengelak dengan hati penuh kece­wa. Dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu benar‑benar tega untuk membunuhnya. Dia lalu menggerakkan kakinya dan me­loncat jauh kemudian melarikan diri.

“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau?”

Milana mengejar, diikuti oleh Siok Bi dan Kim Bwee yang sudah mengambil pedang mereka dan ikut mengejar pula. Akan tetapi dengan beberapa loncatan saja bayangan Bun Beng sudah menghilang di dalam hutan di utara dan lenyap di pegunungan yang penuh hutan lebat itu.

Milana, Siok Bi, dan Kim Bwee mela­kukan pengejaran dan mencari‑cari, na­mun tidak berhasil. Bun Beng lenyap tan­pa meninggalkan jejak. Karena hari telah menjelang senja, terpaksa tiga orang dara ini kembali ke kuil Tong‑gi‑pang dengan hati kecewa sekali.

Pada keesokan harinya, pagi‑pagi se­kali seorang anggauta Tiong‑gi‑pang yang berjaga di luar melaporkan bahwa ada dua orang tamu datang minta bicara de­ngan nona Milana. Mendengar ini, Milana segera keluar dan terkejutlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Wan Keng In dan seorang kakek yang mukanya bopeng dan rusak sehingga kelihatan me­nakutkan sekali. Kakek itu berpakaian seperti seorang pendeta dengan jubah kuning yang lebar, kepalanya ditutup se­buah topi kuning pula, matanya besar sebelah dan hidungnya melesak ke dalam, mulutnya miring. Muka yang amat buruk, bahkan kulit muka itu seperti bekas digerogoti tikus! Wan Keng In seperti biasa berpakaian amat indah dan mewah se­hingga kelihatan makin tampan. Pedang Lam‑mo‑kiam tergantung di punggungnya. Adapun kakek menakutkan itu memegang sebatang tongkat berkepala ukiran naga.

“Kau....?” Milana menegur keras. “Mau apa kau ke sini?”

Wan Keng In tersenyum dan cepat­-cepat dia memberi hormat kepada Milana. “Harap kau suka maafkan kepadaku, Mi­lana. Aku mendengar bahwa engkau bera­da di Tiong‑gi‑pang maka aku cepat datang ke sini untuk menemuimu dan bicara denganmu.”

“Mau bicara apa? Tidak ada urusan apa‑apa di antara kita!”

“Aihh, Milana, harap kau dapat maaf­kan segala kesalahanku dahulu. Aku minta maaf kepadamu dan aku telah sadar akan semua kesalahanku dahulu kepadamu. Aku tahu bahwa cinta tidak dapat dipaksakan, maka aku tidak menyesal bahwa engkau menolak cintaku. Memang sekarang tidak perlu lagi bicara tentang itu karena kita telah menjadi saudara tiri.”

“Apa maksudmu?”

“Aihh, apakah engkau belum tahu? Ibuku kini telah berada di Pulau Es, menjadi isteri ayahmu. Mereka bertiga di Pulau Es. Ayahmu dan ibumu, juga ibuku yang sekarang menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Dengan demikian, bu­kankah kita ini adalah saudara‑saudara tiri? Karena itu, engkau harus dapat memaafkan aku, Milana. Ketahuilah, cin­taku kepadamu telah menjadi cinta seo­rang kakak, dan aku sungguh tidak rela membiarkan engkau adikku dipermainkan dan dihina oleh seorang manusia busuk seperti Gak Bun Beng!”

“Engkau tahu akan hal itu?”

“Tentu saja! Apa aku buta? Aku tahu betapa di Pulau Neraka dia mempermain­kan Kwi Hong, dia hampir pula menye­retmu. Dan ketika aku melakukan per­jalanan, banyak aku mendengar akan per­buatannya yang keji. Bahkan aku mende­ngar pula betapa kemarin engkau bersama dua orang nona menyerangnya tanpa hasil.”

“Aku telah melukai dadanya!”

“Aku pun tahu akan hal itu, karena aku tahu di mana dia sekarang bersem­bunyi.”

“Apa kau tahu? Di mana?”

“Karena itu pulalah aku datang ke sini, Milana. Pertama, untuk menemuimu dan ke dua untuk mengajakmu bersama-­sama mengepung dan membunuh Bun Beng Si Laknat itu. Kau jangan khawatir, ini adalah seorang sahabat baikku yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia sudah berjanji untuk membantu kita menghadapi Bun Beng.”

“Siancai....!” Si Kakek Muka Buruk itu menjura, “Biarpun masih muda, Gak Bun Beng telah melakukan banyak kejahatan dan penghinaan kepada para wanita. Dia pantas dibasmi. Harap Nona tidak khawatir, lohu (aku si tua) Koai‑san‑jin (Kakek Gunung Aneh) akan membantumu meng­hadapi orang jahat.”

Milana menjadi girang. Dia memang maklum bahwa biarpun dibantu Siok Bi dan Kim Bwee, dia tidak akan mampu mengalahkan Bun Beng. Akan tetapi kalau dibantu oleh Keng In yang kepandaiannya jauh melebihinya, apalagi ada bantuan kakek yang seperti setan ini, agaknya Bun Beng yang jahat itu akan dapat di­kalahkan.

“Baiklah, Wan Keng In. Aku percaya kepadamu dan betapapun juga, memang ibumu adalah adik angkat ayahku dan kalau benar sekarang menjadi isteri ayah­ku, berarti kita jadi saudara. Tunggu sebentar, aku akan memanggil Siok Bi dan Kim Bwee.”

Tak lama kemudian, Milana keluar la­gi bersama Siok Bi, Kim Bwee, dan Sai­-cu Lo‑mo yang digotong empat orang anak buahnya. Milana segera memperke­nalkan Keng In dan Koai‑san‑jin kepada dua orang gadis itu dan Ketua Tiong‑gi-­pang. Karena Keng In seorang pemuda tampan yang pandai bersikap halus dan ramah, dua orang dara itu tersipu malu dan merasa suka dan percaya kepada Keng In. Akan tetapi Siok Bi memandang dengan lirikan tajam karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan pemuda ini.

“Kalau tidak salah, kita pernah saling berjumpa, Wan‑enghiong,” akhirnya dia berkata meragu.

Keng In mengangkat kedua alisnya. “Aihh, sungguh saya kurang beruntung tidak pernah bertemu dengan Nona sebe­lumnya. Baru sekali ini kita saling berte­mu. Saya kira Nona berjumpa dengan orang lain.”

“Maaf, saya telah lupa lagi.” Siok Bi berkata sambil menunduk. Tentu dia yang salah lihat, dan setelah dia ingat‑ingat lagi, memang agaknya belum pernah dia bertemu dengan pemuda tampan yang berpakaian indah dan bersikap halus ini.

Sai‑cu Lo‑mo juga memandang mereka dengan mata bersinar tajam. Setelah berkenalan dan menuturkan niat mereka menyerbu Gak Bun Beng yang tempat sembunyinya telah diketahui oleh Keng In, kakek itu berkata, “Sekali ini aku akan ikut sendiri, Nona Milana. Aku ingin melihat cucu keponakan yang murtad itu tewas menerima hukumannya.”

Kakek lumpuh ini meloncat turun dari atas papan, kemudian ikut pergi bersama rombongan itu dengan cara berloncatan menggunakan kedua tangannya. Biarpun dia bergerak secara itu, namun gerakannya cukup cepat.

“Ahhh, Pangcu. Tak mungkin saya melihat Pangcu bergerak seperti itu. Pangcu sudah tua dan saya seorang pe­muda, marilah Pangcu saya gendong saja.”

Tanpa menanti jawaban, Keng In lalu menggendong tubuh Sai‑cu Lo‑mo, dan biarpun dia menggendong tubuh kakek ini, tetap saja Siok Bi dan Kim Bwee yang merasa makin kagum itu harus mengerah­kan seluruh tenaganya untuk dapat lari mendampingi Milana, Keng In, dan Koai-san‑jin.

Di puncak bukit, di sebuah guha yang menghadap jurang yang amat dalam, Bun Beng duduk bersila. Luka di dadanya sama sekali tidak ada artinya, kalau dibandingkan dengan luka di hatinya. Ber­ulang‑ulang dia menarik napas panjang. Dia dapat menduga bahwa tiga orang gadis itu membenci den mendendam ke­padanya bukan tanpa dasar dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Dia tahu bahwa Kim Bwee diperkosa orang yang menggunakan namanya. Dan mungkin se­kali Siok Bi mengalami hal yang sama dengan Kim Bwee. Akan tetapi apa yang terjadi dengan diri Milana? Terlampau ngeri baginya untuk membayangkan apa yang terjadi dengan diri dara yang dicin­tainya itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Jelas bahwa ada orang yang sengaja merusak namanya di depan gadis-­gadis terutama Milana. Ada yang berusa­ha dengan jalan terkutuk, agar dia diben­ci oleh Milana!

Semalam penuh dia tidak dapat tidur, diganggu oleh perasaan yang tertindih. Dia telah ditunangkan dengan Milana, telah diberi tugas untuk mencari Milana, Kwi Hong dan Keng In. Sekarang begitu berjumpa dengan Milana, dia telah dimu­suhi dan hendak dibunuh. Milana tidak main‑main, jelas berniat membunuhnya! Betapa tega hati dara itu kepadanya. Bun Beng merasa berduka sekali dan dia meragukan apakah benar Milana mencin­tanya! Apakah artinya cinta? Kalau benar Milana dahulu itu mencintanya, mengapa kini dapat berubah menjadi benci? Andai­kata benar dia melakukan kesalahan, apa­kah kesalahan ini dapat merobah cinta seorang menjadi benci? Kalau begitu, apa bedanya cinta dengan benci?

Bun Beng termenung kosong, meman­dang ke arah awan yang tergantung di depan kakinya di atas jurang yang curam itu kini pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang cinta! Mulai dia meng­ingat‑ingat dan mencari‑cari.

Bagi manusia umumnya, cinta telah dibagi‑bagi menjadi beberapa macam! Cinta antara pria dan wanita, cinta anta­ra anak dan orang tua, cinta antara sahabat, dan cinta antara manusia dengan Tuhannya! Adakah cinta yang sudah diba­gi‑bagi ini benar‑benar cinta? Seorang wanita, seperti Milana, menyatakan cinta kepada seorang pria seperti dia, akan tetapi cinta itu hidup selama dia diang­gap baik. Sekali dia dianggap buruk, cinta itu berubah menjadi benci! Apakah ini benar cinta? Aku cinta padamu, akan tetapi kau pun harus cinta kepadaku! Aku cinta kepadamu, akan tetapi kau harus baik dan menyenangkan hatiku! Kalau kau tidak cinta kepadaku dan lari kepada orang lain, kalau kau tidak baik dan tidak menyenangkan hatiku, cintaku hilang berubah benci! Cintakah ini, ataukah hanya jual beli seperti benda yang diperjualbelikan di pasar?

Orang tua mencinta anak kalau anak itu menurut, kalau anak itu berbakti, pendeknya kalau anak itu menyenangkan hati orang tuanya. Kalau tidak? Kalau Si Anak pemberontak, put‑hauw (tidak berbakti), murtad dan tidak menyenang­kan hatinya, akan tetapkah cintanya? Atau menjadi marah‑marah dan anaknya dikutuk? Cintakah kalau sudah begini? Demikian pula dengan cinta sahabat. Kalau Si Sahabat menyenangkannya, me­nguntungkannya, baru cinta. Bagaimana kalau sababat itu tidak menyenangkannya, merugikannya? Masih adakah cinta itu? Sama saja. Ini cinta pasar, cinta jual beli, baru cinta kalau “ada apa‑apanya”, ada tebusannya, ada imbalannya!

Bagaimana dengan cinta manusia kepada Tuhannya? Adakah ini baru cinta yang sejati? Kita bersembahyang, mohon berkah, mohon ampun, mohon bimbingan, mohon perlindungan? Segala macam permohonan atau permintaan ini, segala macam tuntunan ini! Cintakah itu? Betul-betulkah hati kita penuh dengan cahaya cinta kasih disaat kita bersembahyang kepada Tuhan? Betul‑betulkah kita ter­ingat dengan penuh kasih kepada Tuhan, ataukah kita hanya ingat kepada kebutuhan sendiri akan berkah, akan pengam­punan, dan lain‑lain itu? Kita mencinta Tuhan hanya karena ingin imbalannya, yaitu berkah, pengampunan, dan lain‑lain. Adakah ini Tuhan yang kita sembah, ataukah berkah‑Nya yang kita harap?

Bun Beng termenung dan pada saat seperti itu, pandang matanya seolah‑olah menjadi terbuka dan jelas tampak olehnya segala kepalsuan manusia. Kepalsuan yang ditutup oleh tabir kebudayaan, peradaban, kesopanan, hukum dan lain‑lain. Semua yang indah‑indah dalam hidup manusia itu hanyalah keindahan yang menyelu­bungi hasrat tersembunyi, yaitu nafsu mementingkan Si Aku masing‑masing! Apa pun yang dilakukan manusia, selalu didasari oleh pusat ini, oleh Si Aku ini. Betapa menyedihkan kenyataan ini.

Teringatlah Bun Beng akan semua pengalamannya, akan pertemuannya de­ngan Pendekar Super Sakti, akan keadaan pendekar sakti itu bersama dua orang wanita yang juga terlibat dalam cengke­raman apa yang mereka sebut cinta dengan pendekar itu. Teringat pula dia akan Bu‑tek Siauw‑jin. Cinta telah me­nimbulkan banyak peristiwa yang ganjil, menimbulkan pertentangan, kesengsaraan dan ketakutan. Benarkah cinta semua itu kalau menimbulkan kesengsaraan, perten­tangan, ketakutan dan kebencian? Atau­kah sesungguhnya hanya nafsu mementingkan diri pribadi dalam mengejar ke­senangan, kenikmatan dan kepuasan belaka yang oleh kita semua disebut cinta kasih? Karena hanya nafsu memen­tingkan diri pribadi sajalah yang akan mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Kalau benar cinta, tidak mungkin mendatangkan kesengsaraan karena cinta adalah keindahan, kebenaran, kesucian, kekekalan!

“Gak Bun Beng manusia busuk, bersiaplah untuk menerima hukumanmu!” Tiba‑tiba terdengar suara bentakan nyaring sekali.

Bun Beng membuka matanya dan mengangkat muka memandang. Kiranya di tempat itu telah muncul tiga orang gadis dan tiga orang laki‑laki yang semua telah memegang senjata, kecuali kakek lumpuh yang dia kenal sebagai kakek yang mengaku paman kakeknya, Sai‑cu Lo-mo, bekas pembantu ibu Milana! Tiga orang dara itu bukan lain adalah Milana, Ang Siok Bi, dan Lu Kim Bwee yang mengeroyok kemarin. Dia terkejut dan cepat meloncat bangun ketika melihat Wan Keng In bersama mereka, dan seo­rang kakek yang mukanya mengerikan, muka yang rusak dan pakaiannya seperti pendeta.

“Milana, apa artinya ini....?” Bun Beng berdiri tegak, memandang dara itu dengan sinar mata penuh duka dan bim­bang.

“Manusia busuk, tidak perlu banyak cakap lagi!” Milana berseru dan pedang­nya sudah digerakkan menusuk dada Gak Bun Beng yang cepat mengelak sambil meloncat ke kiri.

“Sing‑sing‑singgg....!” Pedang di tangan Siok Bi dan Kim Bwee menyambar, di­susul dengan kilatan pedang Lam‑mo‑kiam di tangan Wan Keng In.

“Tranggg....!” Bun Beng terpaksa me­nangkis ketika melihat Pedang Iblis Lam­-mo‑kiam menyambar demikian dahsyatnya. Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Hok‑mo‑kiam bertemu de­ngan Lam‑mo‑kiam, dan Wan Keng In merasa betapa tangannya tergetar hebat. Dia menjadi marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dahsyatnya, kini diban­tu oleh Koai‑san‑jin yang sudah menggerakkan tongkatnya,

“Singgg.... wirrr.... siuuuttt!”

Bun Beng terkejut bukan main. Dia sudah mengenal kelihaian Wan Keng In dan keampuhan pedang Lam‑mo‑kiam, akan tetapi kiranya tongkat di tangan kakek itu tidak kalah dahsyatnya! Kakek bermuka rusak itu ternyata memiliki sin-kang yang amat kuat, dan tongkat berke­pala naga menyambar dengan tenaga yang akan dapat menghancurkan batu karang.

Maklumlah dia bahwa dua orang lawan ini, Wan Keng In dan Si Kakek Muka Buruk, merupakan dua orang lawan yang amat lihai dan yang harus dihadapinya dengan hati‑hati. Sedangkan tiga orang dara itu, terutama sekali Siok Bi dan Kim Bwee, menyerang dengan nekat seperti orang‑orang yang sudah siap untuk membunuh atau dibunuh!

Betapapun juga, hanya Milana seorang yang membuat dia bingung dan tidak da­pat melawan dengan baik. Keroyokan mereka itu sebenarnya masih dapat diha­dapinya dan bahkan dia merasa masih sanggup meloloskan diri atau memperoleh kemenangan biarpun Wan Keng In dan pendeta muka buruk itu lihai bukan main. Akan tetapi adanya Milana di situ yang ikut mengeroyok benar‑benar membuat dia bingung dan gugup. Dia menggunakan Hok‑mo‑kiam, akan tetapi dia selalu menjaga agar pedangnya itu jangan sam­pai menangkis pedang Milana, apalagi menyerang dara itu. Dia hanya menggu­nakan pedangnya untuk menjaga diri dari sambaran Lam‑mo‑kiam dan membalas hanya kepada Keng In dan Si Pendeta Muka Buruk. Dia pun tidak mau menye­rang Siok Bi dan Kim Bwee karena mak­lum bahwa kedua orang dara ini pun hanya menjadi korban orang jahat yang menyamar sebagai dia.

“Milana, dengar dulu keteranganku! Nona Siok Bi dan Nona Kim Bwee, aku tidak bersalah....!”

“Manusia hina!” Milana memaki dan pedangnya sudah menerjang dengan he­batnya dan karena Bun Beng tidak meng­gunakan Hok‑mo‑kiam menangkis, pedang­nya itu sibuk menangkis serangan Lam-­mo‑kiam dan tongkat kakek muka buruk, maka elakannya masih belum cukup menghindarkan diri dan kembali pedang di tangan Milana telah berhasil melukai paha kirinya sehingga celana dan kulit pahanya robek dan berdarah.

“Gak Bun Beng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cerewet lagi!” Wan Keng In mengejek dan Lam-­mo‑kiam di tangannya menyambar dah­syat, dengan bertubi‑tubi menusuk dada dan membabat leher sedangkan dari belakang Bun Beng, tongkat kakek muka buruk menyambar ganas menyerang kedua kaki dan perut pemuda itu.

“Wan Keng In.... aku ada pesanan dari ibumu....”

“Wuuuuttt.... singgg.... tranggg!” Pedang Hok‑mo‑kiam sekali lagi membentur Lam‑mo‑kiam sampai hampir saja tubuh Keng In terpelanting.

 “Desss!” Tongkat kepala naga itu ber­hasil menggebuk pinggang Bun Beng dari belakang. Biarpun Bun Beng sudah kebal tubuhnya oleh sin‑kang gabungan yang dia terima dari Pendekar Super Sakti dan Bu‑tek Siauw‑jin, namun hantaman itu hebat bukan main sehingga Bun Beng muntahkan darah segar dari mulutnya. Hal ini bukan berarti bahwa dia terluka hebat karena sin‑kang yang mujijat telah melindungi bagian dalam tubuhnya. Dia memutar tubuh dan membabatkan pedang Hok‑mo‑kiam, akan tetapi terpaksa me­narik kembali pedangnya itu karena meli­hat Milana sudah bergerak menyerangnya sehingga kalau pedangnya dia lanjutkan, tentu dia akan merusak pedang Milana!

Kembali dia dikepung dengan ketat oleh lima orang itu yang seolah‑olah telah berubah menjadi iblis‑iblis yang haus darah! Diam‑diam Bun Beng mengeluh. Dua orang itu, Wan Keng In dan Si Ka­kek Muka Buruk, terlampau lihai untuk ditandingi dengan setengah hati. Akan tetapi untuk melawan sungguh‑sungguh, gerakannya terbatas oleh adanya Milana di situ dan dua orang gadis yang ikut mengeroyoknya. Kalau saja di situ tidak ada Wan Keng In dan Si Kakek Aneh, tentu ia dapat meloloskan diri, namun Wan Keng In dengan Lam‑mo‑kiam bukan main dahsyatnya, ditambah kakek yang menggerakkan tongkatnya secara lihai sekali.

Sai‑cu Lo‑mo duduk di dekat guha dan menonton dengan alis berkerut dan muka kelihatan berduka sekali. Dia masih ham­pir tidak dapat percaya bahwa pemuda itu telah berubah menjadi seorang jai-­hwa‑cat yang hina, akan tetapi saksi-­saksinya banyak. Tidak mungkin dua orang dara itu membohong, apalagi Milana! Hatinya seperti diremas‑remas dan melihat jalannya pertandingan, hatinya makin perih lagi karena dia maklum bah­wa Bun Beng akan celaka hanya karena pemuda itu tidak mau melukai Milana dan dua orang gadis lain sehingga membuat gerakannya kacau dan terbatas sedangkan Wan Keng In dan kakek muka buruk itu demikian hebat gerakannya.

Dugaan Sai‑cu Lo‑mo memang benar. Beberapa kali Bun Beng terpaksa meneri­ma tusukan pedang Milana dan dua orang gadis sehingga pakaiannya sudah penuh dengan darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, lima orang pengeroyok itu menjadi makin ganas dan suatu saat, lima buah senjata mereka menyambar secara ber­bareng!

“Haiiiihhhh....!” Suara melengking dari mulut Bun Beng ini membuat Siok Bi dan Kim Bwee terpelanting dan pedang Hok­-mo‑kiam berhasil menangkis Lam‑mo-­kiam dan membabat buntung tongkat kepala naga, akan tetapi kembali pedang Milana berhasil membacok pangkal lengannya di bahu kanan, membuat lengan kanannya setengah lumpuh dan tubuh Bun Beng terhuyung ke belakang!

“Mampuslah!” Keng In berteriak girang dan menerjang maju, menggerakkan Lam­-mo‑kiam membacok.

“Cringgg....!” Bunga api berpijar dan Keng In meloncat mundur dengan kaget karena ada pedang lain yang sanggup menangkis pedang Lam-mo-kiam. Ternyata Kwi Hong sudah berdiri di situ dengan pedang Li‑mo‑kiam di tangan! Pantas saja pedang itu kuat menangkis Lam‑mo‑kiam, karena pedang itu adalah Pedang Iblis Betina yang sama ampuhnya dengan Pedang Iblis Jantan!

“Wan Keng In manusia keparat! Milana dengarlah.... Gak Bun Beng tidak ber­salah....”

“Giam Kwi Hong! Tentu saja engkau membela dia setelah engkau menjadi ke­kasihnya!” Milana berteriak penuh ke­marahan.

“Ha‑ha‑ha, benar‑benar pasangan yang amat cocok! Bun Beng adalah anak haram dari Si Datuk sesat Gak Liat, sedangkan Giam Kwi Hong adalah anak haram dari Si Perwira hina Giam Cu yang telah menjadi gila. Ha‑ha‑ha, keduanya anak haram, tentu saja saling membela apalagi setelah menjadi kekasih gelap!”

“Keng In, mulutmu jahat!” Kwi Hong berteriak dan dengan Li‑mo‑kiam di ta­ngan dia menyerang Wan Keng In. Pemu­da Pulau Neraka ini cepat menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia maklum bahwa gadis ini sama sekali ti­dak boleh dipandang ringan. Segera mere­ka bertanding, akan tetapi Kwi Hong terdesak ketika kakek muka buruk sudah maju membantu Keng In. Milana dan dua orang gadis yang merasa sakit hati kepada Bun Beng, sudah menerjang Bun Beng yang kini duduk bersila di atas tanah. Serangan‑serangan mereka itu dia sambut dengan secara terpaksa menggu­nakan Hok‑mo‑kiam.

“Trakk! Trakkk!” Pedang di tangan Siok Bi dan Kim Bwee patah‑patah, ha­nya pedang Milana yang belum beradu dengan Hok‑mo‑kiam sehingga tidak rusak. Namun Siok Bi dan Kim Bwee yang sudah nekat itu terus menerjang dengan kepalan mereka! Terpaksa Bun Beng menangkis dengan lengan kirinya membalik­kan pedangnya agar tidak melukai dua orang dara itu, dan dalam menangkis pun dia tidak mengerahkan tenaga sehingga tidak sampai melukai lengan kedua orang gadis itu. Milana masih berusaha untuk menyerang dengan pedang, akan tetapi melihat betapa dua orang gadis itu mengeroyok Bun Beng sedemikian nekat sehingga ada bahaya pedangnya mengenai tubuh mereka sendiri, dia lalu membalik dan membantu Wan Keng In mengeroyok Kwi Hong!

Kwi Hong sudah terluka oleh pedang Keng In dan tongkat kakek muka buruk, namun dia masih membela diri mati-­matian. Kini Milana maju, dan gadis ini juga amat lihai, maka tentu saja Kwi Hong menjadi makin payah dan dia hanya dapat menangkis sambil mundur terus, tanpa disadarinya bahwa dia mundur ke arah jurang yang berhadapan dengan guha.

“Kwi Hong.... hati-hati belakangmu.... !” Bun Beng berteriak, akan tetapi terlambat. Tubuh Kwi Hong tergelincir ke belakang dan terdengar dara itu menjerit mengerikan ketika tubuhnya terjengkang dan lenyap ke dalam jurang.

“Kwi Hong....!” Tubuh Bun Beng mencelat dengan kecepatan yang luar biasa, dan tahu‑tahu pemuda ini pun sudah me­loncat ke dalam jurang, menyusul Kwi Hong!

Milana terbelalak, dan semua orang menahan napas. Keng In dan kakek muka buruk menghampiri pinggir jurang dan menjenguk ke bawah. Hati Keng In puas sekali karena melihat jurang itu merupa­kan jurang yang dalamnya tak dapat diukur, bahkan tidak nampak dari bawah karena tertutup awan dan halimun!

“Mereka tentu hancur di bawah sana,” kakek muka buruk berkata dengan suara­nya yang agak pelo.

Milana memejamkan matanya yang terasa panas. Di dalam hatinya timbul dua perasaan, perasaan cemburu dan juga perasaan duka. Perbuatan terakhir dari Bun Beng benar‑benar menyakitkan hatinya. Dalam saat terakhir pun Bun Beng membuktikan cinta kasihnya kepada Kwi Hong sehingga rela mati bersama gadis itu meloncat ke dalam jurang!

Dua orang gadis, Siok Bi dan Kim Bwee, berdiri tegak di pinggir jurang, muka mereka pucat sekali. Setelah kini orang yang memperkosa itu terlempar ke dalam jurang dan sudah mesti tewas, hati mereka tidak karuan rasanya. Ada rasa duka, ada rasa sunyi, dan rasa ngeri bagaimana mereka harus menempuh hidup selanjutnya! Hasrat mereka sekarang hanya untuk pulang, untuk menyembunyikan diri!

“Adik Milana, sekarang aku mau pu­lang!” Siok Bi berkata dengan suara mengandung isak, kemudian dia memba­likkan tubuh dan lari pergi meninggalkan tempat itu.

“Aku pun pergi, adik Milana!” Kim Bwee juga berkata, suaranya lirih seperti orang berduka. Gadis ini pun segera lari pergi setelah sekali lagi dia melempar pandang ke arah jurang dengan sinar mata sayu penuh duka.

Milana sendiri sedang tertekan batin­nya, maka dia hanya mengangguk. Pan­dang matanya masih ditujukan ke arah jurang dengan sinar mata kosong.

Wan Keng In terbatuk‑batuk untuk menyadarkan keadaan Milana. “Milana, manusia jahat itu telah tewas dan aku menyesal sekali bahwa Kwi Hong ikut tewas, akan tetapi agaknya lebih baik begitu untuk dia setelah dia terbujuk oleh manusia hina she Gak itu. Marilah kita sekarang pergi ke Pulau Es menemui ayahmu dan ibuku.”

Milana terdesak kaget. “Ke.... ke.... Pulau Es....? Setelah terjadi hal ini?”

Sai‑cu Lo‑mo berloncatan maju. Kedua mata kakek ini masih basah oleh air matanya yang bertitik ketika meli­hat betapa Bun Beng tadi meloncat ke dalam jurang. Semenjak pertandingan itu dimulai, dia merasa terharu sekali dan betapapun juga, dia tidak bisa membenci cucu keponakannya itu. Apa pun yang dituduhkan orang kepada cucunya itu, namun dengan mata kepala sendiri dia melihat betapa Bun Beng adalah seorang laki‑laki sejati, yang tidak mau melukai Milana dan dua orang gadis lainnya, bah­kan yang dalam saat terakhir berusaha menolong Kwi Hong yang terlempar ke dalam jurang! Dia dapat menduga bahwa seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dan kegagahan seperti Bun Beng, tidak mungkin membunuh diri, dan perbuatannya meloncat ke dalam jurang tadi tentu dengan maksud untuk menolong Kwi Hong.

“Nona Milana, memang sebaiknya ka­lau Nona pergi menghadap orang tua Nona dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi ini.” Ucapan Sai‑cu Lo‑mo ini mengandung harapan agar Pendekar Super Sakti sendiri yang akan menangani urusan ini, dan yang akan menentukan apakah hukuman yang dijatuhkan atas diri Bun Beng ini benar. Biarpun Bun Beng sudah tewas, akan tetapi namanya perlu dibersihkan, kalau memang hal itu mungkin.

Milana memandang Sai‑cu Lo‑mo dan dua titik air mata menetes ke arah pipi­nya.

“Kakek, aku.... aku takut kepada Ayah....”

“Mengapa takut, Nona? Ceritakan saja apa yang telah terjadi.”

“Bagaimana aku tidak akan takut? Enci Kwi Hong adalah keponakan dan murid Ayah....”

Wan Keng In berkata, “Milana, sudah kukatakan tadi bahwa kematian Kwi Hong bukanlah karena senjata kita, melainkan karena tergelincir ke dalam jurang.”

“Aku baru mau pergi kalau engkau ikut pula pergi, Bhok‑kongkong.”

Sai‑cu Lo‑mo mengangguk‑angguk. “Baiklah, aku yang akan menjadi saksi agar engkau tidak dimarahi ayah bundamu Nona.”

Maka berangkatlah empat orang itu, Milana, Sai‑cu Lo‑mo, Wan Keng In dan Koai‑san‑jin, ke utara untuk pergi ke Pulau Es.

***

Tubuh Suma Han Pendekar Super Sak­ti kini menjadi agak gemuk dan mukanya kelihatan segar berseri. Dia benar‑benar merasa seperti hidup baru bersama dua orang isterinya di Pulau Es. Biarpun me­reka seolah‑olah hidup mengasingkan diri dari dunia ramai, namun hidup mereka penuh dengan cinta kasih diantara mereka! Memang, kalau hati sudah penuh cinta kasih, orang tidak membutuhkan apa‑apa lagi, dan kalau hati selalu aman tenteram tubuh pun menjadi sehat! Juga di wajah kedua orang wanita cantik itu, Nirahai dan Lulu, membayang kebahagiaan yang membuat wajah mereka berseri dan segar kemerahan kedua pipinya seperti wajah dua orang gadis muda saja!

Siang hari itu, Suma Han dan kedua orang isterinya berdiri di tepi pantai Pulau Es sebelah barat, memandang ke arah sebuah perahu yang meluncur cepat menuju ke Pulau Es, setelah perahu agak dekat dan mereka dapat mengenal dua di antara empat orang yang berada di dalam perahu, Nirahai dan Lulu berseru girang,

“Milana....!”

“Keng In....!”

Suma Han diam saja dan pendekar ini merasa hatinya terusik oleh sesuatu yang tidak menyenangkan. Dia tidak melihat Bun Beng dan Kwi Hong.

“Siapakah dua orang kakek itu?” Dia berkata perlahan seolah‑olah bertanya kepada diri sendiri.

“Seorang di antara mereka adalah Sai-­cu Lo‑mo, bekas pembantuku,” kata Nirahai. “Kakek muka buruk itu entah siapa.”

Lulu juga tidak mengenal kakek muka buruk yang tadinya dia kira Cui‑beng Koai‑ong akan tetapi setelah perahu ma­kin mendekat ternyata bukan. Setelah perahu menempel di pulau, empat orang itu melompat ke darat, Keng In segera lari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Lulu sambil berseru, “Ibu....!”

Bukan main girangnya hati ibu yang seolah‑olah menemukan kembali anaknya ini ketika menyaksikan sikap Keng In. Dia memeluknya dan air matanya bercu­curan.

Milana juga dipeluk oleh Nirahai, akan tetapi dara ini menangis dan menyembu­nyikan mukanya di dada ibunya. Sai-cu Lo‑mo melompat maju dan duduk meng­hadapi Nirahai dan Suma Han, kemudian berkata, “Harap Taihiap dan Pangcu sudi memaafkan saya yang berani lancang mendatangi Pulau Es.”

Nirahai menjawab. “Tidak mengapa Lo‑mo. Kenapa kedua kakimu?”

Sai‑cu Lo‑mo tersenyum. “Akibat pe­nyerbuan yang lalu, Pangcu.”

“Totiang siapakah?” Suma Han berta­nya sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik kepada Koai‑san‑jin yang masih berdiri sambil menundukkan mukanya.

Wan Keng In segera menjawab, “Dia adalah Koai‑san‑jin, seorang pertapa yang telah banyak menolong dan membantu kami, terutama sekali ketika menghadapi Si Jahat Gak Bun Beng.”

Terkejutlah Suma Han, Lulu, dan Ni­rahai mendengar kata‑kata yang menye­but Gak Bun Beng penjahat ini.

“Keng In! Apa maksud kata-katamu ini?” Lulu memegang pundak puteranya sambil memandang tajam. Juga Nirahai dan Suma Han menatap wajah pemuda itu.

“Ibu, aku hanya membantu adik Milana, harap tanyakan kepadanya saja.”

Tiga orang penghuni Pulau Es itu kini semua menoleh dan memandang kepada Milana yang masih menangis, bahkan kini dara itu menangis makin sedih sambil berlutut di atas salju.

Suma Han yang dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal-hal yang hebat sekali, lalu berkata, “Mari kita semua masuk ke istana dan bicara di sana.”

Tanpa berkata-kata, pergilah mereka semua ke istana di tengah pulau, dan Sai‑cu Lo‑mo berloncatan menggunakan kedua tangannya, dipandang dengan penuh iba oleh Nirahai, “Nanti akan kucoba mengobati kedua kakimu, Lo‑mo,” kata­nya lirih dan kakek itu hanya mengang­guk dan tersenyum penuh terima kasih.

Setelah tiba di ruangan dalam Istana Pulau Es dan mereka telah mengambil tempat duduk, Suma Han lalu berkata kepada Milana, “Sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi.” Dia berhenti sebentar dan mengerling ke arah Keng In dan Koai‑san‑jin yang hanya duduk sambil menunduk, kemudian disambungnya, “Dan di mana adanya Gak Bun Beng dan Giam Kwi Hong?”

Milana turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya, menangis lagi. “Ayah, ampunkan saya....”

Suma Han menarik napas panjang dan menyentuh rambut kepala puterinya itu.

“Milana, bersikaplah tenang dan ceri­takan semua.”

“Enci Kwi Hong dan.... dan.... Bun Beng telah tewas, Ayah....”

Terdengar seruan kaget dari mulut Nirahai dan Lulu, dan kalau saja Suma Han tidak memiliki kekuatan batin yang luar biasa, dia pun tentu akan terkejut bukan main mendengar berita hebat ini. Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, yang terdengar hanya isak Milana.

“Ayah.... Ibu.... semua telah saya ceri­takan kepada Sai‑cu Lo‑mo, harap Bhok-­kongkong saja yang mewakili saya men­ceritakan kepada Ayah dan Ibu....”

Suma Han dan Nirahai menoleh kepa­da kakek lumpuh itu dan Nirahai meng­angguk sambil berkata, “Lo‑mo, cerita­kanlah apa yang telah terjadi.”

Sai‑cu Lo‑mo segera menceritakan de­ngan singkat dan jelas, mengulang penu­turan Milana kepadanya, betapa Milana bertemu dengan anak buah Tiong-gi‑pang, kemudian bertemu dengan dia dan betapa dara itu menceritakan semua kejahatan yang dilakukan Gak Bun Beng di Pulau Neraka, merayu dan mengajak berjina dara itu yang ditolaknya, kemudian beta­pa Milana menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa Bun Beng berjina dengan Kwi Hong. Kemudian dia menceritakan munculnya dua orang dara yang juga menjadi korban perkosaan Gak Bun Beng dan betapa ketiga orang dara itu, kemudian dibantu oleh Wan Keng in dan Koai‑san‑jin, berhasil mengepung Bun Beng yang bersembunyi di dalam guha. Akhirnya dia menceritakan peristiwa yang disaksikannya sendiri ketika Kwi Hong membantu Bun Beng sehingga akhirnya kedua orang itu terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam dan diduga tentu sudah tewas.

“Sungguh tidak kusangka....!” Terdengar Lulu memberi komentar setelah mendengar penuturan singkat kakek lum­puh itu.

“Untung engkau masih dapat menjaga kehormatanmu, Milana!” Nirahai meme­luk anaknya.

Suma Han duduk seperti arca kemudian menarik napas panjang. Penuturan itu sungguh tak disangkanya sama sekali, dan andaikata bukan kakek lumpuh itu yang mewakili Milana, agaknya akan sukar dapat dipercaya. Mungkinkah Bun Beng berubah menjadi sejahat itu? Dan Kwi Hong? Anak yang dididiknya sejak kecil?

“Ibu, aku mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Gak Liat datuk kaum sesat yang jahat seperti iblis. Ti­daklah aneh kalau dia pun mewarisi watak ayahnya,” Wan Keng In menghentikan kata-katanya ketika sinar mata Suma Han menyambar seperti kilat ke arahnya. Sinar mata Pendekar Super Sak­ti itu seolah-olah halilintar menyambar dan agaknya pendekar itu dapat menje­nguk dan membaca semua yang terkan­dung di dalam hatinya!

“Keng In, engkau adalah anakku juga dan aku ayahmu. Hayo ceritakan mengapa Milana sampai berada di Pulau Neraka?”

Ditanya begini, seketika wajah Wan Keng In menjadi pucat. Melihat keadaan pemuda itu, Milana yang merasa bahwa Keng In kini telah berubah menjadi baik, bahkan telah membantunya mati‑matian ketika menghadapi Bun Beng, segera ber­kata, “Ayah, karena tidak betah berada di istana di kota raja, saya pergi keluar, dan bertemu dengan dia. Saya menerima ajakannya untuk pergi ke Pulau Neraka.”

Suma Han memandang wajah dara itu, Milana cepat menunduk karena dia pun tidak tahan melihat sinar mata yang se­olah‑olah menembus dadanya itu. Lulu maklum betapa dahulu puteranya amat nakal, maka dia membentak, “Keng In! Hayo kauceritakan dengan terus te­rang. Seorang jantan harus berani menga­kui segala kesesatannya dan pengakuan itu sudah merupakan langkah pertama ke arah perbaikan!”

Mendengar ini, Suma Han memandang Lulu dengan senyum di bibir dan meng­angguk‑angguk. Wan Keng In segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah tirinya itu dan berkata, “Tidak saya sangkal bahwa saya pernah jatuh cinta kepada Adik Milana. Akan tetapi setelah saya mendengar bahwa dia adalah saudara tiri saya, cinta itu berubah menjadi cinta seorang kakak, maka saya membantunya untuk mencari dan menghadapi Gak Bun Beng. Harap Ayah sudi mengampuni semua kesalahan saya.”

Kembali pendekar besar itu menarik napas panjang. “Sudahlah....” katanya untuk menutupi rasa perih di dalam hatinya karena kematian Kwi Hong yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Kemudian dia menoleh kepada Sai-cu Lo-mo dan Koai-san-jin.

“Lo-mo, sebagai bekas pembantu iste­ri saya, bukanlah orang luar dan saya mengucapkan terima kasih atas segala bantuanmu. Juga kepada Koai‑san‑jin Totiang, sebagai seorang tamu kami, saya menghaturkan terima kasih. Ji-wi (Anda Berdua) kami persilakan untuk tinggal di sini selama tiga hari, setelah itu akan kami antar kembali ke darat.”

Dua orang kakek itu menghaturkan terima kasih dan mereka masing‑masing memperoleh sebuah kamar di dalam Istana Pulau Es itu sebagai tamu‑tamu. Akan tetapi karena di istana kuno itu tidak terdapat pelayan, maka tentu saja penyambutan pihak penghuni istana juga amat bersahaja. Betapapun juga Nirahai dan Lulu yang masing‑masing merasa amat berbahagia karena anak mereka telah datang dengan selamat, mempersiapkan perjamuan makan dan membuat masakan‑masakan dari bahan yang memang banyak disediakan di pulau itu, kemudian di malam hari itu, sebagai pe­rayaan kembalinya anak‑anak mereka, mereka menjamu dua orang tamu itu dengan masakan dan arak.

Ketika sore hari tadi, selagi Nirahai, Milana dan Lulu sibuk di dapur mempersiapkan masakan diam‑diam Wan Keng In pergi ke dalam kamar Koai‑san‑jin dan mereka berdua bicara dengan bisik‑bisik, kelihatan serius sekali. Kurang lebih satu jam lamanya dua orang ini bicara bisik-­bisik, kemudian Wan Keng In meninggalkan kamar itu dan pergi ke dapur untuk membantu tiga orang wanita yang sibuk mempersiapkan masakan‑masakan.

Malam itu perjamuan sederhana dila­kukan dengan cukup meriah. Bahkan Suma Han kelihatan gembira dan berseri wajah­nya. Agaknya pendekar ini telah melupa­kan kedukaan hatinya karena kematian Kwi Hong, dan agaknya melihat kedua orang isterinya bergembira, dia pun ikut gembira. Setelah perjamuan selesai yang dilanjutkan dengan omong‑omong, mereka semua pergi beristirahat di kamar masing masing. Sebentar saja keadaan menjadi sunyi, agaknya semua orang kebanyakan minum arak sehingga dapat segera tidur dengan nyenyak.

Akan tetapi, pada keesokan harinya, terjadilah hal yang amat luar biasa. Pen­dekar Super Sakti Suma Han, Nirahai, Lulu, Milana dan Sai‑cu Lo‑mo keluar dari kamar dan berjalan dengan sinar mata kosong! Sai‑cu Lo‑mo juga berlon­catan dengan alis berkerut dan mata bingung, mulutnya tiada hentinya berta­nya. “Di mana aku? Apa yang terjadi? Di mana ini?”

Keluarga Pendekar Super Sakti, kecuali Wan Keng In, juga saling pandang dengan mata kosong seolah‑olah tidak saling mengenal lagi. Mereka lalu duduk di atas kursi dan termenung! Mereka telah kehilangan ingatan!

Wan Keng In dan Koai‑san‑jin saling memandang dan tersenyum lebar, mem­buat wajah Wan Keng In makin tampan akan tetapi wajah kakek itu menjadi makin buruk!

“Bagus sekali, Wan‑taihiap! Racun perampas ingatan itu benar‑benar menga­gumkan sekali!” Koai‑san‑jin berkata memuji.

“Racun ini adalah buatan Suhu Cui­-beng Koai‑ong, tentu saja hebat!” Keng In berkata, “Sekarang, apa yang hendak kaulakukan terhadap mereka, Bhong‑koksu?”

“Heh‑heh‑heh, aku sudah bukan Koksu lagi, melainkan seorang tua bertubuh rusak seperti setan yang hanya ingin me­laksanakan pembalasan dendamku. Serah­kan saja Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai kepadaku, Wan‑taihiap, dan yang lain‑lain terserah kepadamu.”

“Bagus, memang begitulah kehendakku. Aku tidak peduli apa yang akan kaulaku­kan terhadap diri mereka berdua. Aku akan membawa ibuku dan Milana ke Pulau Neraka.”

“Dan Si Lumpuh Sai‑cu Lo‑mo....”

“Dia? Ha-ha, orang sudah lumpuh be­gitu untuk apa? Bunuh saja atau tinggalkan sendiri di sini!”

Mereka berdua tertawa bergelak, gembira karena mereka telah berhasil menundukkan pendekar yang paling hebat di dunia ini. Pendekar Super Sakti bersa­ma isteri‑isterinya yang sakti! Sambil tersenyum‑senyum mereka berdua lalu memasuki ruangan di mana Suma Han, Nirahai, Lulu, Milana dan Sai‑cu Lo‑mo duduk di kursi dengan sinar mata kosong.

 “Suma Han dan Puteri Nirahai, mari­lah kalian ikut bersamaku. Ada urusan penting sekali yang akan kusampaikan kepadamu!” berkata Koai‑san‑jin kepada Suma Han dan Nirahai. Kedua orang ini memandang kepada kakek buruk itu de­ngan bingung dan biarpun mereka bangkit berdiri, namun agaknya mereka ragu‑ragu.

“Lihat, aku adalah Koai‑san‑jin, saha­bat baik kalian! Mari kalian ikut bersa­maku untuk mengambil pusaka Pulau Es yang disimpan di sana!” Kakek itu menuding ke luar.

“Pusaka Pulau Es....?” Suma Han menggumam, kemudian dia melangkah bersama Nirahai mengikuti kakek muka buruk yang mendahului mereka keluar dari istana menuju ke bagian yang paling tinggi dari pulau itu, di sebuah tebing di pantai yang amat curam. Suami pen­dekar itu mengikuti kakek muka buruk dengan gerakan seperti mayat‑mayat hidup!

***

Kita tinggalkan dulu keadaan Pulau Es yang menegangkan karena bahaya maut yang mengancam keluarga Pendekar Super Sakti, dan mari kita melihat bagai­mana dengan keadaan Giam Kwi Hong dan Gak Bun Beng, dua orang muda yang terjungkal ke dalam jurang yang amat curam itu.

Benarkah dugaan Milana bahwa karena cintanya kepada Kwi Hong, Gak Bun Beng sengaja meloncat untuk membunuh diri mengikuti kematian Kwi Hong? Tentu saja sama sekali tidak begitu!

Ketika Bun Beng yang sudah terluka itu melihat Kwi Hong datang menolong­nya dan membelanya, dia merasa terharu dan berterima kasih sekali kepada nona ini. Akan tetapi dapat dibayangkan beta­pa kaget hatinya ketika dia melihat Kwi Hong terdesak hebat dan biarpun dia sudah berteriak memberi peringatan, na­mun terlambat dan tubuh dara itu ter­jengkang masuk ke dalam jurang yang amat curam Bun Beng cepat melompat dan terjun ke dalam jurang dengan niat untuk sedapat mungkin menolong gadis itu.

Lompatan Bun Beng yang amat cepat itu, membuat ia berhasil menyusul tubuh Kwi Hong. Dengan lengan kirinya dia menyambar tubuh itu dan berhasil me­rangkul pinggang gadis itu yang sudah menjadi hampir pingsan karena merasa ngeri terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam itu. Kini tubuh keduanya meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan, Kwi Hong menjadi pingsan ketika pandang matanya menjadi gelap oleh kabut yang menyambutnya di waktu tubuh mereka meluncur ke bawah. Akan tetapi, gadis ini tetap memegang gagang Li-mo-kiam dengan erat dan seolah‑olah tangan kanannya menjadi kaku mencengkeram gagang pedangnya.

Biarpun lengan kirinya memeluk ping­gang Kwi Hong dan lengan kanannya sudah setengah lumpuh oleh luka besar di pangkal lengan, namun tangan kanan Bun Beng masih tetap memegang Hok­-mo‑kiam dan pikirannya masih terang. Dia maklum bahwa kalau dia tidak mam­pu menahan luncuran tubuh mereka ber­dua, mereka tentu akan terbanting ke dasar jurang yang amat dalam dan tidak mungkin lagi dia menyelamatkan nyawa Kwi Hong atau nyawanya sendiri. Betapa pun kuatnya, tubuhnya dan tubuh Kwi Hong tentu akan terbanting remuk. Maka mulailah dia menggerak‑gerakkan pedang di tangan kanannya, menusuk ke kanan kiri secara ngawur karena kanan kirinya gelap bukan main.

Kalau belum tiba saatnya untuk mati, betapapun hebat bahaya mengancam nya­wa seseorang, ada saja jalannya untuk menyelamatkan diri. Bun Beng yang menusuk‑nusukkan pedangnya itu, tiba-tiba mengerahkan tenaga karena pedang­nya menusuk benda keras di sebelah kanannya dan mukanya terasa perih seperti dicambuk. Cepat dia mengumpulkan tena­ga di lengan kanannya dan menggerakkan kedua kakinya untuk menahan luncuran tubuh. Lengannya terasa seperti akan terlepas dari pundak, nyeri bukan main sampai mulutnya mengeluarkan teriakan merintih panjang ketika cengkeraman pada gagang pedangnya itu menghentikan luncuran tubuhnya yang diganduli tubuh Kwi Hong.

Ketika ia sudah dapat mengatasi rasa nyeri yang seolah‑olah merobek seluruh tubuhnya, Bun Beng melihat bahwa tu­buhnya berada di dalam sebuah pohon yang tumbuh di dinding jurang dan pedang Hok‑mo‑kiam tadi secara kebetulan sekali telah dapat menancap di batang pohon itu. Timbul seketika harapannya untuk hidup. Dia mengangkat tubuh yang tadi dikempitnya itu ke atas pundak, menggunakan tangan kirinya untuk meng­ambil pedang Li‑mo‑kiam yang masih tergenggam oleh tangan kanan dara itu, kemudian dia mencari dahan yang cukup besar untuk duduk dan mengatur napas. Pedang Hok‑mo‑kiam dia biarkan menancap dan menembus batang pohon itu, bahkan kini dia menancapkan Li‑mo‑kiam di dahan agar jangan jatuh ke bawah. Ketika dia memandang ke bawah, dia memejamkan matanya penuh kengerian. Kini tampak dasar jurang itu yang meru­pakan sungai atau bekas sungai dangkal, penuh dengan batu‑batu yang besar. Ten­tu tubuhnya dan tubuh Kwi Hong akan hancur kalau jatuh ke bawah sana! Me­mandang ke atas hanya tampak awan menutupi puncak tebing jurang. Akan tetapi dinding jurang itu ternyata banyak ditumbuhi pohon‑pohon kecil dan batu-batu menonjol sehingga memungkinkan orang untuk memanjat ke atas!

Bun Beng memangku Kwi Hong yang masih pingsan. Tak lama kemudian dara itu mengeluh panjang dan membuka matanya. Sebelum dia bergerak, Bun Beng cepat memegang kedua lengannya dan berkata, “Kwi Hong, jangan bergerak! Kita masih hidup, tertolong oleh pohon yang tumbuh di dinding jurang ini. Te­nanglah, kita masih mempunyai harapan besar untuk keluar dari bahaya!”

Kwi Hong membelalakkan matanya, memegang dahan pohon dan menekan perasaannya yang ngeri kalau dia teringat betapa tadi dia terjerumus ke dalam ju­rang! Tahulah dia begitu melihat Bun Beng bahwa pemuda ini yang menolong­nya!

Dia memandang ke bawah dan seperti yang dilakukan Bun Beng tadi, dia meme­jamkan mata, kemudian memandang ke atas, lalu kembali memandang Bun Beng dan menarik napas panjang. Dengan suara halus dia berkata, “Kembali engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku melihat engkau tadi meloncat mengejarku. Gak Bun Beng, mengapa engkau rela memper­taruhkan nyawamu untuk menolongku?” Sepasang mata itu menatap wajah Bun Beng dengan penuh perhatian, dengan tajam sekali seolah‑olah hendak membuka dada menjenguk isi hati pemuda itu.

“Ah, mengapa engkau masih bertanya, Kwi Hong? Tentu saja aku akan menolong siapa yang terancam bahaya. Engkau sen­diri tanpa mempedulikan lawan yang lihai dan banyak jumlahnya, telah membela aku di atas tadi.”

Kwi Hong lalu menarik napas panjang, kemudian berkata, suaranya bernada sedih, “Tentu saja begitu.... mengapa aku me­nyangka yang bukan‑bukan? Tentu saja engkau menolongku bukan karena engkau.... cinta padaku....” Gadis itu meme­jamkan kedua matanya dan mengerutkan alisnya.

Bun Beng menyentuh lengannya, “Kwi Hong.... apa artinya kata‑katamu itu?”

Tanpa membuka matanya Kwi Hong menjawab lirih, “Artinya, Bun Beng.... bahwa semenjak dahulu aku jatuh cinta kepadamu biarpun aku maklum bahwa hal ini tidak mungkin dilanjutkan, bahwa eng­kau mencinta Milana dan.... aku pun men­jadi korban cintaku yang sepihak itu....”

Kwi Hong lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dia telah tertipu oleh rombongan Koksu sehingga membantu mereka dan setelah para pemberontak kalah, dia bahkan mengajak Koksu dan kaki tangannya itu ke Pulau Es! Betapa kemudian pamannya datang bersama kedua orang isteri pamannya, Puteri Nira­hai dan Lulu, dan betapa Koksu dan kaki tangannya dapat dikalahkan oleh paman­nya dan diusir dari Pulau Es. Kemudian dia disuruh oleh pamannya untuk mendari Bun Beng dan Milana.

“Engkau.... engkau telah dijodohkan dengan Milana....”

Bun Beng termenung. “Akan tetapi.... mengapa Milana bersikap seperti itu?”

“Agaknya aku mengerti apa yang telah terjadi,” Kwi Hong menarik napas panjang “Semua gara‑gara Si Jahanam Wan Keng In. Orang itu benar‑benar amat jahat sekali, melebihi iblis!”

Dia lalu menceritakan betapa ia men­dengar bahwa Milana diculik orang. Dia menduga bahwa tentu Wan Keng In yang menculiknya, maka dia menyusul ke Pu­lau Neraka.

“Kembali aku tertipu oleh Wan Keng In, dan.... dan.... di Pulau Neraka.... aihh....” Tiba‑tiba Kwi Hong menangis tersedu-­sedu, teringat betapa dia telah menyerahkan diri dengan suka rela, penuh kemesraan, penuh kehangatan dan kebahagiaan, kepada Wan Keng In yang di­sangkanya adalah Gak Bun Beng!

“Kenapa Kwi Hong? Apa yang terja­di....?”

Diceritakanlah semua secara terus terang oleh Kwi Hong, betapa di tengah jalan dia diberi racun perampas ingatan oleh Keng In, kemudian betapa pemuda Pulau Neraka itu menyamar sebagai Bun Beng dan merayunya sehingga dia menye­rahkan diri dan kehormatannya!

“Tadinya aku tidak tahu sama sekali bahwa ingatanku telah hilang sehingga aku menganggap bahwa orang yang ber­samaku pergi ke Pulau Neraka adalah.... engkau.... dan setelah tiba di Pulau Ne­raka, baru aku sadar namun.... sudah ter­lambat....! Aku melihat Milana juga te­rampas ingatannya, Milana melihat betapa aku ber.... bermain cinta, berjina dengan.... Gak Bun Beng yang sebetulnya adalah Wan Keng In.... semua telah diatur oleh Keng In agar Milana membencimu! Ketika Keng In muncul yang disangka engkau oleh Milana, Milana menyerangnya. Dia lari ketika kau datang.... kami mengejar dan berpisah di daratan....”

Bun Beng bengong memandang Kwi Hong. Melihat Kwi Hong menangis lagi terisak‑isak, menjadi terharu sekali dan merangkul pundak gadis itu.

“Kwi Hong.... mengapa kaulakukan itu....? Mengapa kau begitu mudah menye­rahkan diri kepada seorang pria, biarpun kau mengira pria itu aku orangnya?”

Kwi Hong mengangkat mukanya yang merah dan basah air mata. “Karena aku cinta kepadamu, Bun Beng. Karena aku tahu bahwa tak mungkin menjadi isterimu karena engkau telah dijodohkan dengan Milana. Maka aku rela menyerahkan diri­ku kepadamu.... biarpun tidak usah menjadi isterimu.... akan tetapi.... ya Tuhan, kiranya bukan engkau itu, melainkan Si Jahanam Keng In.” Tiba‑tiba matanya terbelalak lebar dan berseru penuh sema­ngat, “Aku harus membunuhnya! Harus!”

Bun Beng menundukkan mukanya. Mengertilah dia sekarang. Dengan menggu­nakan obat racun perampas ingatan, Wan Keng In telah memperkosa Kwi Hong, kemudian dia pun meracuni Milana sehingga dara itu kehilangan ingatannya pula, maka mudah saja Milana tertipu ketika melihat Keng In dan Kwi Hong bermain cinta, mengira bahwa Keng In adalah dia sendiri sehingga Milana mem­bencinya setengah mati! Dan dia dapat menduga sekarang bahwa yang membunuh suami isteri di pinggir telaga setelah memperkosa isteri itu, tentu bukan lain adalah Wan Keng In pula! Juga yang memperkosa Lu Kim Bwee dan menggu­nakan namanya, tentu pemuda itu yang agaknya amat membencinya dan sengaja memalsukan namanya untuk merusak na­ma baiknya. Hanya dia tidak mengerti mengapa Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong‑pai itu pun ikut membencinya? Dan kakek bermuka buruk itu? Semua ini ada­lah siasat Wan Keng In. Mengapa Wan Keng In demikian membencinya?

“Sungguh heran sekali, mengapa dia begitu membenciku? Mengapa sejak dahu­lu Wan Keng In memusuhi aku dan kini berusaha mati‑matian untuk merusak namaku?”

“Apakah engkau belum dapat mengerti Bun Beng? Dia membencimu karena cem­buru. Dia jatuh cinta kepada Milana, sebaliknya Milana tidak melayaninya karena Milana cinta kepadamu. Itulah sebabnya.”

Bun Beng menggeleng-geleng kepala­nya dan seperti berkata kepada diri sendiri dia berkata. “Cinta....! Betapa ganjil orang yang terkena penyakit ini! Wan Keng In rela melakukan perbuatan yang amat keji, memperkosa, membunuh, untuk merusak namaku gara‑gara cembu­ru dan katanya dia mencinta! Engkau sendiri sampai rela menyerahkan diri dan kehormatan, juga karena cinta! Milana sekarang amat membenciku, siap untuk membunuhku dengan tangannya sendiri, juga gara‑gara benci yang timbul dari cinta! Benarkah semua itu adalah cinta? Begitu buruk, begitu keji dan hinakah cinta yang diagung‑agungkan itu? Atau semua itu sesungguhnya hanya nafsu be­laka yang memakai kedok cinta sehingga bukanlah cinta yang sesungguhnya?”

“Gak Bun Beng, engkau sendiri, bu­kankah engkau mencinta Milana?” Kwi Hong bertanya karena ucapan‑ucapan orang yang dicintanya itu benar‑benar mendatangkan kesan di dasar hatinya.

Bun Beng menarik napas panjang. “Setelah menyaksikan semua peristiwa yang terjadi karena perasaan apa yang disebut cinta, semua kekacauan, pertentangan, permusuhan, penderitaan, yang timbul karena hal yang dinamakan cinta itu, aku sendiri menjadi bingung dan tidak berani mengatakan apakah aku benar‑benar cinta kepada Milana atau kepada siapapun juga. Aku merasa ngeri kalau ternyata kemu­dian bahwa cintaku kepada Milana ternyata sama saja nilainya seperti cinta­-cinta mereka itu! Betapa mengerikan! Aku akan merasa jijik kepada diriku sen­diri kalau cintaku hanya seperti itu! Kwi Hong, aku tidak tahu lagi! Sudahlah, tak perlu kita tenggelam lebih dalam membicarakan urusan cinta yang sulit ini. Yang membuat aku tidak mengerti, mengapa puteri Ketua Bu‑tong‑pai ikut-­ikutan memusuhi aku? Dan pula kakek muka buruk itu....!”

“Aku sendiri tidak tahu mengapa gadis‑gadis itu memusuhimu. Agaknya juga menjadi korban Wan Keng In yang meng­gunakan namamu. Akan tetapi kakek itu.... hemmm, apakah engkau tak dapat men­duganya dia siapa?”

“Siapakah dia?”

“Aku berani bertaruh bahwa dia itu tentu Bhong Ji Kun!”

“Koksu....?” Bun Beng terbelalak, ke­mudian mengingat‑ingat dan mengangguk. “Kau benar! Sekarang aku ingat akan gerakan‑gerakannya! Akan tetapi mukanya.... mengapa menjadi seperti itu?”

“Ketika Koksu dan anak buahnya di­usir oleh paman meninggalkan Pulau Es, mereka menggunakan perahu besar mere­ka ke selatan. Agaknya perahu mereka diserang badai, dan dengan bantuan Wan Keng In sehingga aku makin mudah ter­bujuk dan tertipu olehnya, aku berhasil membunuh tiga orang pembantunya yang berhasil menyelamatkan diri di pantai Po‑hai. Aku tidak melihat Koksu di anta­ra mereka, agaknya Koksu pun berhasil menyelamatkan diri di tempat lain, akan tetapi.... dalam keadaan rusak mukanya seperti itu.”

Bun Beng memandang Kwi Hong dengan muka membayangkan kekhawatiran. “Dan Milana berada bersama Keng In dan Koksu!” 

“Memang berbahaya sekali. Kalau ti­dak segera mendapat pertolongan, tentu Milana akan celaka,” kata Kwi Hong.

“Kalau begitu kita tunggu apalagi Kwi Hong, mari kita mencoba memanjat ke atas dengan bantuan pedang kita.”

Kwi Hong mengangguk, akan tetapi sebelum Bun Beng mulai merayap mem­buka jalan, dia memegang lengan pemuda itu. “Pundakmu terluka parah....”

“Tidak apa, aku dapat bertahan.”

“Bun Beng....”

“Ada apa, Kwi Hong?”

“Tadinya aku sudah bersumpah di da­lam hatiku sendiri bahwa aku tidak akan kembali ke Pulau Es. Sekarang, bersama­mu dan melihat perkembangannya, mau tidak mau iku harus kembali ke sana karena aku menduga bahwa tentu Keng In melanjutkan siasatnya dan mengajak Milana ke Pulau Es. Karena itu, Bun Beng, maukah engkau berjanji....?”

Bun Beng mengerutkan alisnya. Gadis ini telah mengalami hal yang amat me­nyedihkan. “Katakanlah, aku akan memenuhi permintaanmu, Kwi Hong.”

“Aku tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi jodohmu, karena itu, aku hanya minta agar kelak, baik aku dalam keada­an hidup atau sudah mati, sukakah eng­kau berjanji akan.... akan selalu ingat kepadaku, dan tidak akan melupakan aku?”

Bun Beng merasa jantungnya seperti ditusuk. Gadis yang telah tertimpa mala­petaka hebat ini yang agaknya sudah tidak mempunyai gairah hidup, tidak memiliki harapan apa‑apa lagi di dunia dan kebahagiaannya sudah hancur, agaknya menjadi seperti seorang anak kecil! Dengan penuh keharuan dia memegang kedua tangan dara itu. Lalu menunduk dan mencium dahi Kwi Hong sambil berbisik, “Aku berjanji, Kwi Hong, bahwa aku akan mengingatmu selalu. Mana mungkin aku dapat melupakanmu, Kwi Hong?”

Terdengar sedu sedan naik dari dada gadis itu, akan tetapi dia tersenyum, wajahnya berseri dan matanya berkejap-­kejap untuk mengusir dua butir air mata yang mengganggu penglihatannya. “Engkau baik sekali, Bun Beng. Terima kasih....! Nah, mari kita lekas memanjat naik, tunggu apa lagi?” Dalam suara Kwi Hong kini terkandung kegairahan yang aneh, seolah‑olah janji yang diberikan oleh Bun Beng untuk selalu mengingatnya menjadi semacam obat dalam kegelapan yang dihadapinya!

Maka merayap dan memanjatlah kedua orang itu ke atas dengan hati‑hati sekali, berpegang pada akar‑akar dan batang-­batang pohon dan batu‑batu menonjol, dibantu oleh pedang mereka yang dapat ditancapkan pada dinding jurang sehingga dapat dipergunakan sebagai pegangan. Karena keduanya telah memiliki gin‑kang yang tinggi, dan di tangan mereka ter­dapat sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka biarpun amat lambat, perlahan-lahan mereka dapat naik juga meninggalkan pohon penolong mereka itu untuk menuju ke puncak tebing dari mana mereka tadi meluncur jatuh.

Tebing di atas pantai Pulau Es itu amat curam. Dari tepi tebing itu kalau orang menjenguk ke bawah akan tampak gelombang memecah di batu‑batu karang yang meruncing seperti barisan tombak. Dan dalamnya tebing ini tidak kurang dari seribu kaki. Gelombang air laut yang memecah batu karang itu dari atas hanya kelihatan seperti mainan kanak‑kanak saja, Suma Han dah Nirahai berdiri di tepi tebing itu tanpa bergerak, seperti dua buah arca batu, menghadap ke laut. Namun, kakek bermuka setan, Koa-san-­jin, biarpun memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak berani mendorong mereka dari belakang, karena dia maklum bahwa biarpun kedua orang suami isteri itu da­lam keadaan hilang ingatan, namun mereka itu masih tidak kehilangan ilmu kepandaian mereka yang sudah mendarah daging dan kalau sampai gagal, tentu dia akan menghadapi kesulitan besar.

Tanpa bicara, dikeluarkannya dua gulung tali panjang sekali yang memang sudah dipersiapkan lebih dulu untuk me­laksanakan siasat yang sudah direncanakannya bersama Keng In. Ujung kedua tali diikatkannya pada batu karang yang berada di puncak tebing, kemudian kedua tali itu dilepas gulungannya dan dilempar ke bawah tebing. Kedua tali yang panjang itu kurang lebih hanya tiga ratus kaki panjangnya, tampak tergantung di bawah dan bergoyang-goyang terbawa angin.

“Suma Han dan Nirahai, kalian adalah majikan‑majikan Pulau Es. Pusaka‑pusaka Pulau Es berada di dinding tebing ini, kira‑kira tiga ratus kaki dalamnya dari atas, tersembunyi di dalam sebuah guha. Sekarang turunlah kalian melalui tali-tali itu dan bawa peti berisi pusaka‑pusaka itu ke atas sini.”

“Pusaka....?” Suma Han berkata meragu.

“Majikan Pulau Es....?” Nirahai juga berkata dan mengerutkan alisnya.

“Lekas kalian menuruni tali itu kalau tidak, tentu pusaka itu akan diambil orang lain yang akan memanjat dari ba­wah sana. Aku akan menjaga di atas dan menjamin agar tidak ada orang yang mengganggu pekerjaan kalian.”

“Kau.... kau siapakah....?”

“Ha‑ha‑ha, aku adalah sahabat baik kalian. Namaku Bhong Ji Kun!” Kakek itu yang sebetulnya memang bekas Koksu Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun dengan berani memperkenalkan namanya. Menga­pa tidak berani? Sekarang dia tidak perlu menyembunyikan dirinya lagi, karena tetap saja Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai tidak akan mengenal nama lamanya itu.

Suma Han dan Nirahai mengangguk dan keduanya lalu meloncat, menyambar tali dan mulai merayap turun melalui tali‑tali itu. Bhong Ji Kun yang sudah berjongkok di tebing dan menjenguk ke bawah, tersenyum lebar. Makin jauh kedua orang itu merayap, senyumnya makin melebar dan akhirnya dia tertawa bergelak, menggunakan sebatang golok di tangan kanan untuk membacok tali yang tergantung ke bawah. Dan dua buah tali itu putus dan lenyap ke bawah tebing “Ha‑ha‑ha! Puas hatiku sekarang, telah dapat membalas dendam kepada Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, ha‑ha‑ha!” Sekali lagi dia menjenguk dan tidak meli­hat dua orang korbannya karena terlalu dalam, tampak olehnya dua helai tali itu seperti benang kecil di antara gulungan ombak. Dia tertawa lagi kemudian berlari‑lari menuju ke istana Pulau Es.

Ketika dia tiba di istana tua itu, dia melihat Keng In sedang sibuk berkemas, membawa barang‑barang berharga yang dapat dia temukan di istana itu ke dalam sebuah perahu. Milana dan Lulu berdiri bengong, seperti dua orang anak kecil yang tidak tahu apa‑apa.

“Ibu, Milana, ini adalah....”

“Bhong Ji Kun, sahabat baik, heh‑heh!” Bekas koksu itu menyambung dan Keng In juga tertawa karena dia tahu bahwa kini sudah “aman” untuk memperkenalkan kakek itu.

Lulu dan Milana memandang kepada kakek bermuka buruk itu, kelihatan ngeri membayang di wajah mereka.

“Bagaimana? Sudah bereskah mereka?” Keng In bertanya.

Bhong Ji Kun tersenyum menyeringai puas. “Sudah, berkat kecerdikanmu, Wan­-taihiap. Terima kasih! Mereka sudah ter­banting ke bawah tebing, heh‑heh!”

“Hemm, tidak kaubereskan dengan kedua tangan sendiri? Apakah sudah kau­lihat benar bahwa mereka itu sudah tewas?” Keng In mengerutkan alisnya karena biarpun yakin bahwa Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai tak berdaya oleh racun perampas ingatan, namun kedua orang itu terlampau lihai untuk dipandang rendah begitu saja.

“Jangan khawatir. Mereka sedang ber­gantung di tali dan kedua tali itu kupu­tus dengan golokku sendiri. Kulihat tali itu sudah berada di antara ombak di bawah. Mereka tentu tak dapat terbang menghindarkan maut.”

“Hemm, betapapun juga, mari kita lekas pergi dari tempat ini, Seng‑jin. Aku merasa ngeri berada di tempat ini terlalu lama.”

“Aahh, Wan‑taihiap. Takut apa lagi sih? Setelah Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai mati....”

“Bhong Ji Kun pemberontak keparat! Kau bilang apa?” Tiba‑tiba tampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri Giam Kwi Hong dan Gak Bun Beng!

Ketika bekas Koksu itu mendengar bentakan Bun Beng ini, dia terkejut seka­li. Rahasianya sudah diketahui orang, dan dia terkejut melihat pemuda dan gadis yang sudah terjerumus ke dalam jurang sedemikian dalamnya, ternyata belum mati dan tahu‑tahu muncul di tempat itu, juga Wan Keng In berdiri memandang dengan mata terbelalak dan bulu tengkuk bangun berdiri saking seremnya. Apakah dia melihat roh penasaran dari dua orang itu?

Akan tetapi berkelebatnya sinar pedang Hok‑mo‑kiam di tangan Bun Beng dan pedang di tangan Kwi Hong membuktikan bahwa dia tidak ber­hadapan dengan setan penasaran sehingga cepat Keng In mencabut Lam‑mo‑kiam sambil melompat mundur, sedangkan Bhong Ji Kun yang diserang oleh Bun Beng juga sudah meloncat ke belakang menyambar tongkatnya yang ujungnya sudah buntung dan yang tadi ia tancapkan di atas tanah.

Tiba‑tiba terdengar suara melengking nyaring yang amat dahsyat dan ada angin menyambar ke arah Bun Beng dan Kwi Hong. Dua orang muda ini terkejut bukan main, cepat mereka menarik kembali pedang dan meloncat mundur. Dua ba­yangan berkelebat dan.... di situ telah berdiri Suma Han dan Nirahai dengan sikap angker! Suma Han menghampiri Milana dan Lulu, menggunakan telapak tangannya mengusap kepala kedua orang itu dan bagaikan orang baru sadar dari tidur, Lulu memandang ke sekeliling de­ngan heran, sedangkan Milana juga mengeluh, “Ehh.... apa yang telah terjadi....?”

Sementara itu, kedua kaki Bhong Ji Kun menggigil dan matanya melotot se­perti akan terloncat keluar dari pelupuk matanya. Ketika Keng In memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan, kakek ini hanya menggeleng‑geleng kepala seperti orang bodoh, mulutnya ternganga, dan dia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun saking bingung dan herannya.

Tentu saja, baik Keng In maupun Bhong Ji Kun sama sekali tidak tahu bahwa semua kejadian di pagi hari itu adalah hasil dari ilmu sihir Pendekar Super Sakti! Tidaklah mudah untuk meni­pu seorang berilmu tinggi seperti Suma Han! Pendekar ini sudah menaruh curiga dan berlaku hati‑hati sekali. Ketika me­reka makan minum, pendekar ini telah menggunakan sihirnya sehingga dalam pandangan Wan Keng In dan kakek muka buruk, dia dan Nirahai ikut pula makan minum, padahal dia dan isterinya itu sama sekali tidak menjamah makanan dan minuman dalam perjamuan itu. Suma Han sengaja membiarkan Lulu, Milana dan Sai-cu Lo‑mo ikut makan minum agar tidak mencurigakan kedua orang yang dicurigai itu. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hatinya ketika pada keesokan harinya dia melihat Milana, Lulu dan Sai‑cu Lo‑mo menjadi seperti boneka-boneka hidup, kehilangan ingatan mereka! Maka dia dan Nirahai lalu ber­sandiwara, pura‑pura berada dalam keadaan lupa ingatan seperti yang lain dan menurut saja ketika kakek muka buruk mengajak mereka ke atas tebing di pan­tai yang berbahaya itu.

Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun bukan­lah seorang bodoh, dan sekiranya dia tidak mudah merasa girang dan yakin akan berhasilnya obat racun perampas ingatan dari Pulau Neraka, agaknya dia pun tidak begitu mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir yang dipergunakan Suma Han. Ketika berada di puncak tebing, Suma Han kembali mempergunakan ke­kuatan sihirnya sehingga dalam pandangan bekas Koksu itu, dia dan isterinya benar-benar menuruni tali yang kemudian di­bikin putus oleh kakek muka buruk itu! Padahal yang menuruni tali itu hanyalah bayangan kosong belaka! Dan Suma Han bersama Nirahai terkejut bukan main ketika kakek itu mengaku bahwa dia sebenarnya adalah Bhong Ji Kun! Tahulah mereka bahwa kakek ini berhasil menye­lamatkan diri dari serangan badai sehing­ga mukanya rusak, kemudian kembali membonceng Wan Keng In untuk menun­tut balas! Suma Han mencegah Nirahai yang sudah marah sekali dan hendak turun tangan menyerang itu, karena ia tidak menghendaki dia sendiri atau kedua orang isterinya melakukan penyerangan atau pembunuhan lagi.

Diam‑diam mereka mengikuti Bhong Ji Kun ke istana dan mereka melihat munculnya Bun Beng dan Kwi Hong yang langsung menyerang Bhong Ji Kun dan Wan Keng In. Melihat munculnya Bun Beng dan Kwi Hong dada Suma Han te­rasa panas. Tentu saja dia percaya penuh akan penuturan Milana dan dalam pan­dangan matanya, Bun Beng merupakan seorang yang tidak kalah busuknya dibandingkan dengan bekas Koksu itu! Maka dia cepat mencegah Bun Beng dan Kwi Hong turun tangan menyerang, dan se­telah memandang mereka bergantian dengan sinar mata penuh kemarahan se­perti dua bara api yang membakar, tanpa mempedulikan lagi kepada Bhong Ji Kun, Suma Han membentak.

“Gak Bun Beng! Ke sini engkau!”

Mendengar suara Pendekar Super Sak­ti yang dijunjungnya tinggi itu, Bun Beng segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu.

“Cabut Hok‑mo‑kiam!”

Tanpa ragu‑ragu Bun Beng mencabut pedang itu dan tampak sinar berkilat. Tadi ketika melihat Suma Han dan Nira­hai muncul, dia sudah menyarungkan kembali pedangnya.

“Gak Bun Beng, sekarang pergunakan pedang itu untuk membunuh diri! Ataukah harus aku yang mengotorkan tangan membunuh?”

Bun Beng terkejut bukan main. Dia memandang kepada Nirahai, akan tetapi wanita itu pun memandangnya penuh ke­bencian. Juga Lulu memandang kepadanya dengan bayangan jijik di mukanya, se­dangkan Milana sama sekali tidak mem­pedulikannya!

“Semenjak kecil saya telah banyak berhutang budi kepada Suma Locianpwe, maka kalau sekarang Locianpwe meng­hendaki nyawa saya yang tidak berharga, mana saya berani menolak?” Sekali lagi dia memandang ke arah Milana dan Hok-­mo‑kiam digerakkan ke arah lehernya.

“Trangggg....!” Bunga api berpijar ke­tika Li‑mo‑kiam menangkis pedang Hok­-mo‑kiam itu.

“Paman, sungguh tidak adil ini!” Teriak Kwi Hong sambil berlutut di samping Bun Beng.

“Hemmm, bocah hina yang mencemar­kan nama keluarga! Engkau hendak mem­bela kekasihmu?”

“Paman, dengarkan dulu cerita saya! Kalau sudah mendengarkan, mau bunuh Bun Beng, mau bunuh saya, terserah! Saya tidak takut mati, Bun Beng pun tidak takut mati, akan tetapi saya akan mati penasaran melihat Paman melakukan sesuatu yang tidak adil sama sekali!”

Wan Keng In dan Bhong Ji Kun yang maklum bahwa penuturan Kwi Hong akan mencelakakan mereka, segera maju.

“Mereka ini orang‑orang jahat yang tak berhak hidup lagi!” Wan Keng In dan Bhong Ji Kun sudah menerjang ke arah Bun Beng dan Kwi Hong yang masih berlutut.

“Diam kalian! Jangan bergerak!” Pada saat itu, di tubuh Pendekar Super Sakti sedang penuh dengan hawa amarah yang membuat tenaga saktinya timbul dan kuat bukan main. Bentakannya ini seketi­ka membuat Keng In dan Bhong Ji Kun tak mampu bergerak lagi, seperti arca-arca, atau seperti orang tertotok dalam keadaan kaku!

“Coba bicaralah, memang tidak boleh orang mati penasaran!” kata Suma Han kepada Kwi Hong, mulai tertarik me­nyaksikan sikap Kwi Hong dan Bun Beng dibandingkan dengan sikap Wan Keng In dan Bhong Ji Kun.

“Paman dan kedua Bibi tentu telah mendengar penuturan adik Milana dan Paman Sai‑cu Lo‑mo. Mereka berdua itu hanya menjadi korban penipuan keji yang ditujukan untuk menjatuhkan fitnah kotor kepada nama Gak Bun Beng. Terutama sekali adik Milana yang menjadi korban penipuan keji. Semenjak dia diculik oleh Wan Keng In dan dibawa ke Pulau Nera­ka, adik Milana telah diberi obat racun perampas ingatan sehingga dia tidak sadar bahwa dia ditipu oleh Keng In. Wan Keng In menyamar sebagai Gak Bun Beng melakukan perkosaan-perkosaan atas nama Gak Bun Beng sehingga menipu dua orang nona Ang dan Lu.”

“Enci Kwi Hong, percuma saja engkau membelanya. Aku tahu bahwa engkau adalah kekasihnya, tentu saja mati‑matian engkau hendak membelanya. Mataku me­lihat sendiri ketika kalian....”

“Adik Milana, Paman dan kedua Bibi. Harap mendengarkan dengan sabar. Me­mang tidak salah bahwa adik Milana yang sengaja ditipu oleh Keng In menyaksikan saya ber.... jina dengan orang yang dianggapnya Gak Bun Beng, padahal orang itu adalah Wan Keng In sendiri! Adik Milana berada dalam keadaan lupa ingat­an, tentu saja dia tidak mengenal Wan Keng In yang mengaku bernama Gak Bun Beng.”

“Hemmm, kalau engkau mengerti be­gitu jelas, mengapa engkau melakukan hubungan gelap dan kotor dengan Wan Keng In?” Suma Han membentak.

“Saya mengaku salah. Saya pun telah tertipu olehnya, ingatan saya hilang oleh racun obatnya, dan dia mengaku Bun Beng, maka saya.... saya mengira dia Bun Beng, maka saya.... saya.... ah, Paman. Saya sudah melakukan semua penuturan dan agar jelas harap dengarkan pengalaman saya.” Dengan cepat dan singkat namun jelas, Kwi Hong menceritakan semua pengalamannya ketika dia ditugas­kan mencari Milana. Setelah selesai dia menangis dan berkata, “Sekarang terserah kepada Paman, mau bunuh lekas bunuh. Apa artinya hidup saya setelah semuanya dirusak oleh Wan Keng In?”

Wajah Milana menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada Bun Beng. Setelah dia kini dalam keadaan sadar, lapat‑lapat dia dapat mengingat semua pengalamannya di Pulau Neraka, ketika dia diculik, ketika dia hampir membunuh Wan Keng In sampai tiba‑tiba muncul Gak Bun Beng, di pulau itu, hal yang kalau dipikirkan memang tidak masuk akal. Betapa mungkin Bun Beng tiba­-tiba muncul dan merayunya tanpa diketa­hui Keng In dan guru pemuda itu? Betapa mungkin pula Bun Beng dan Kwi Hong muncul berdua di Pulau Neraka hanya untuk bermain cinta di pondok agar kelihatan olehnya? Benar-benar tak masuk di akal. Teringat akan semua itu, dia menjerit lirih, “Oohhhh.... Dia benar....! Enci Kwi Hong benar! Sekarang, sekarang teringat olehku....! Ah, Ayah.... Ibu.... sekarang aku sadar.... bukan Bun Beng yang bersalah akan tetapi Wan Keng In....! Ah, aku telah berdosa besar....!” Sambil menangis Milana meloncat ke atas genteng Istana dan dicabutnya pedangnya.

Sebelum lain orang bergerak, tahu-­tahu Bun Beng juga sudah meloncat mengejar. Pada saat Milana menggerak­kan pedang hendak membacok leher sendiri, Bun Beng menepuk lengan kanan Milana dari belakang dan pedang itu ter­lepas.

“Adik Milana, jangan begitu....!”

Milana berlutut di atas genteng dan pada saat Milana menangis terisak-isak, “Aku berdosa.... aku berdosa....”

“Milana! Turun kau!” Suma Han mem­bentak.

Sambil menangis, Milana meloncat turun dan berlutut di depan ayah dan ibunya.

“Benarkah semua cerita Kwi Hong tadi?”

“Agaknya demikian.... ya benar Ayah...., aku diculik Keng In, hampir diperkosanya akan tetapi aku dapat mempertahankan diri....” Sambil terisak dia menceritakan semua pengalamannya. Setelah Milana selesai bercerita, dia menangis sesenggukan.

“Anak murtad, jahanam keparat!”

Tiba‑tiba Lulu memaki dan tubuhnya su­dah melesat ke arah Keng In, tangannya menampar kepala puteranya itu dan air matanya bercucuran.

“Plak!” Tangan itu ditangkis Suma Han yang sudah mengejar. “Lulu, isteriku yang baik, mundurlah. Kita tidak perlu mengo­torkan tangan, apalagi dia itu puteramu sendiri.” Sambil menangis dan menutupi mukanya Lulu mundur lagi.

Nirahai juga membentak. “Bhong Ji Kun engkau harus mampus!”

“Nirahai, tidak perlu....! Kita menonton saja!”

Pada saat itu, Bhong Ji Kun dan Wan Keng In sudah dapat bergerak kembali. Mereka tadi telah mendengarkan semua dan kini dalam keadaan nekat mereka lalu menerjang maju. Wan Keng In di­sambut oleh Kwi Hong, sedangkan Bhong Ji Kun dihadapi oleh Bun Beng.

“Wan Keng In, aku sudah bersumpah untuk membunuhmu dan membalas peng­hinaamnu yang telah memperkosa diriku!” Kwi Hong berteriak. “Engkau atau aku harus mati untuk melunaskan perhitung­an antara kita.”

Wan Keng In tidak menjawab. Pemuda ini bingung dan gentar bukan main. Ibu­nya tak dapat diharapkan bantuannya, dan di situ terdapat Nirahai dan Suma Han, dua orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi malah daripada ibunya! Karena gentar dan ketakutan, maka kelebihan kepandaiannya atas tingkat Kwi Hong tidaklah menonjol sekali, apalagi karena Kwi Hong kini telah mewarisi ilmu dan tenaga Inti Bumi dari Bu‑tek Siauw‑jin.

Pertandingan antara Bun Beng dan bekas Koksu juga amat seru, akan tetapi segera tampak betapa bekas Koksu itu terdesak hebat. Koksu ini sudah menge­nal keampuhan Hok‑mo‑kiam, maka dia bersikap hati‑hati, tidak mau mengadukan tongkatnya yang sudah buntung ujungnya oleh Hok‑mo‑kiam dahulu. Karena ini, juga karena memang tingkatnya tidak mampu menandingi tingkat Bun Beng yang sudah amat tinggi, dia terdesak dan akhirnya dia bertanding sambil berloncat­an menjauh, mencari jalan untuk melari­kan diri! Bun Beng terus mengejar sehingga akhirnya kakek itu lari sampai di puncak tebing di mana dia tadi “membu­nuh” Suma Han dan Nirahai dan di sini dia tidak dapat lari lagi, terpaksa mem­bela diri mati‑matian.

“Bhong Ji Kun, dosamu sudah bertumpuk‑tumpuk, dan hukuman yang kauderita ketika badai menyerangmu, agaknya tidak membikin kau bertobat!” Bun Beng memperhebat permainan pedangnya.

“Crokkk!” Ujung tongkat di tangan bekas Koksu itu terbabat buntung dan pedang masih terus menyambar lehernya. Terpaksa Koksu pemberontak itu menang­kis lagi karena tidak sempat mengelak. “Krakkk!” Kini tongkat itu patah di tengah dan ujung Hok‑mo‑kiam masih merobek bibir kakek itu sehingga giginya rontok semua! Wajah Bhong Ji Kun men­jadi pucat sekali. Dia menyesal mengapa dia tidak dapat menggunakan senjatanya yang lama, yaitu pecut kuda yang lemas. Senjata itu lebih dapat bertahan kalau dipergunakan untuk menghadapi sebatang pedang pusaka seperti Hok‑mo‑kiam.

“Gak Bun Beng, mari kita mati bersama!” Tiba‑tiba kakek itu menubruk, tu­buhnya melayang seperti seekor burung garuda menyambar mangsanya. Pada saat itu Bun Beng berdiri di tepi tebing, membelakangi tebing. Melihat serangan dahsyat yang amat membahayakan dirinya itu, Bun Beng cepat meloncat ke kiri dan ketika tubuh lawan menyambar di sam­pingnya, pedangnya dikelebatkan. Terdengar teriakan mengerikan ketika kedua tangan Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun terbabat buntung sebatas pergelangan tangan, dan kedua tangan itu terlempar ke bawah tebing menyusul tubuhnya yang sudah terdorong ke depan masuk ke ba­wah tebing karena gagal menyerang tadi.

Suara pekik mengerikan itu masih bergema. Bun Beng menyarungkan Hok­-mo‑kiam dan menghela napas panjang, kemudian dia berlari turun dari puncak tebing, kembali ke depan Istana Pulau Es.

Pertandingan antara Kwi Hong dan Keng In luar biasa ramainya. Kwi Hong bertanding dengan nekat karena memang dia hendak mengadu nyawa, membunuh atau dibunuh! Sebaliknya, Keng In merasa bingung sekali, seperti seekor tikus yang sudah tersudut, tiada jalan lari lagi. Me­nang atau kalah dalam pertandingan me­lawan Kwi Hong, dia akan tetap celaka! Maka dia pun melawan mati-matian sehingga Sepasang Pedang Iblis itu seolah‑olah dua ekor naga yang sedang memperebutkan mustika, gulungan sinarnya saling belit, saling tekan dan saling tindih menyelimuti bayangan mereka! Sinar pedang dari Sepasang Pedang Iblis itu amat menyilaukan mata, seperti halilintar menyambar‑nyambar sehingga Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya memandang dengan takjub di samping ketegangan, kegelisahan, dan ke­dukaan yang melanda hati mereka. Milana masih berlutut, akan tetapi kini dengan muka pucat dia pun menonton pertandingan. Ingin sekali dia membantu Kwi Hong, ingin dia membunuh Wan Keng In yang menjadi biang keladi dari semua ini, akan tetapi tentu saja dia takut bergerak, takut kepada ayahnya dan ibunya. Wajah Lulu yang kini semenjak dia tinggal di Pulau Es menjadi biasa lagi, tampak pucat. Juga Suma Han sendiri dan Nira­hai berubah air mukanya, penuh kete­gangan.

Tiba‑tiba Kwi Hong terpelanting keti­ka pedang mereka saling bertemu dan kaki Keng In berhasil menendang lututnya. Keng In menubruk dengan pedangnya.

“Keng In....! Jangan....!” Lulu berteriak dan hendak meloncat dan mencegah pute­ranya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Suma Han yang melarang isterinya itu mencampuri.

Keng In sama sekali tidak mengira bahwa lawannya telah memiliki tenaga Inti Bumi. Begitu tubuhnya bagian bela­kang menyentuh bumi, Kwi Hong mem­peroleh tenaga yang dahsyat sekali. Tiba-­tiba tubuhnya itu mencelat ke atas me­nyambut serangan Keng In dengan tusuk­an Li‑mo‑kiam.

“Cresss! Cresss!”

Lulu menjerit dan menutupi mukanya ketika melihat darah muncrat dari perut puteranya, sedangkan Milana juga menu­tupi muka melihat darah muncrat pula dari dada Kwi Hong. Kedua orang itu terguling. Perut Keng In masih menjadi sarung pedang Li‑mo‑kiam, sedangkan dada Kwi Hong tertembus pedang Lam-mo‑kiam.

Hampir saja Lulu pingsan, akan tetapi dia merasa lehernya dirangkul orang. Ketika dia mendengar bisikan halus, “Ingat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa....” Lulu terisak. Terbayanglah wanita ini ketika dahulu bersama Suma Han dia menyaksikan kematian dua orang yang memegang Sepasang Pedang Iblis, kemati­an yang presis seperti yang dialami oleh Wan Keng In dan Giam Kwi Hong. Hanya bedanya, kalau kedua orang suheng dan sumoi itu tewas dalam keadaan saling mencinta (baca ceritaPendekar Super Sakti), maka Keng In dan Kwi Hong te­was dalam keadaan saling membenci!

“Keng In....!” Dia mengeluh, lari menghampiri, berlutut di dekat mayat putera­nya dan menangis.

“Enci Kwi Hong.... !” Milana juga berlutut dekat mayat Kwi Hong, menangis terisak‑isak dengan hati penuh rasa iba. Suma Han, Nirahai, Sai‑cu Lo‑mo, dan Gak Bun Beng yang sudah kembali ke tempat itu hanya memandang dengan hati terharu.

Bun Beng berdiri seperti arca. Perasaannya menjadi tidak karuan, pikirannya melayang‑layang. Beginikah akibat cinta? Wan Keng In dan Kwi Hong tewas gara‑gara cinta? Ataukah nafsu belaka? Dan bagaimana dengan perasaan yang tadinya dia anggap cinta antara dia dan Milana? Apakah cinta antara mereka itu pun ke­lak hanya akan mendatangkan derita dan duka?

“Suma-locianpwe, harap sudi menerima kembali Hok-mo‑kiam,” katanya sambil berlutut di depan Suma Han, menyerah­kan pedang Hok‑mo‑kiam dengan sarungnya. “Teecu bersumpah tidak akan meng­gunakan pedang atau senjata apa pun juga lagi. Senjata merupakan benda yang jahat, hanya menimbulkan banjir darah dan ke­matian, permusuhan dan kebencian.”

Suma Han menerima senjata itu, ke­mudian dengan tangan kirinya dia me­nyentuh rambut kepala Bun Beng, katanya perlahan dan halus, “Gak Bun Beng, ayah bundamu boleh merasa bangga dan tenang di alam baka kalau dapat me­nyaksikan sepak terjangmu. Tidak benar­lah kata orang bahwa anak akan mewa­risi watak orang tuanya, terbukti pada dirimu dan pada Wan Keng In.” Dia menarik napas panjang. “Siapa mengira.... Wan Keng In.... ibunya demikian jujur.... ayahnya demikian gagah.... dan engkau....”

“Saya hanya seorang anak haram, Ayah saya seorang datuk kaum sesat, Locianpwe. Saya mohon diri, Suma‑locian­pwe dan maafkan semua kesalahan saya.”

“Bun Beng, engkau hendak ke mana?” Nirahai menegur, “Engkau masih ada urusan dengan kami.... maksudku, dengan Milana....”

Bun Beng cepat memberi hormat sam­bil berlutut. “Harap Ji‑wi Locianpwe sudi memberi ampun kepada saya. Setelah mengalami semua itu, saya berpendapat bahwa saya tidaklah patut menjadi calon jodoh adik Milana! Kalau dilanjutkan, kelak hanya akan menjadi tekanan batin bagi adik Milana. Tidak, Ji‑wi Locianpwe, bukan sekali‑kali saya menolak, melainkan saya telah kehilangan gairah berjodoh setelah melihat semua peristiwa yang menimpa kita semua. Saya kira Ji‑wi Locianpwe akan mengerti dan sudi me­ngampunkan saya.”

Ada dua titik air mata membasahi mata Pendekar Super Sakti. Dia mengerti. Dia tahu betapa pemuda ini sebetulnya mencinta Milana, akan tetapi melihat semua akibat yang amat pahit dari apa yang disebut cinta, pemuda ini merasa kasihan dan khawatir kalau kelak ikatan jodoh itu hanya akan menyengsarakan penghidupan Milana! Karenanya, sebelum terlanjur, pemuda ini merasa lebih baik mengundurkan diri!

Dia hanya mengangguk dan matanya membasah ketika dia memandang bayang­an pemuda itu yang berjalan perlahan menuju ke pantai.

Suma Han mengalihkan perhatiannya kepada Lulu yang masih menangis. Dia melangkah maju, menyentuh pundak iste­rinya itu dan menarik berdiri. Dirangkul­nya Lulu dan dia berkata, “Lulu, cobalah renungkan secara mendalam. Bukankah peristiwa ini menjadi jalan keluar yang terbaik bagi puteramu, bagimu, dan bagi kita semua? Bayangkan apa akan jadinya dengan kita dan puteramu kalau dia tidak tewas, kalau dia masih melanjutkan cara hidupnya seperti yang lalu. Bayangkan betapa kita akan merasa cemas dan prihatin, engkau akan selalu berduka, apalagi melihat Kwi Hong selalu akan memusuhinya. Sekali ini, Sepasang Pedang Iblis bekerja cepat, sudah saling menyudahi riwayat permusuhan mereka sebelum berlarut‑larut.”

Lulu menggigit bibirnya, menelan se­mua kata‑kata yang tak terucapkan, lalu ia hanya menangis dan menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Dia maklum bahwa puteranya telah menyeleweng daripada jalan benar, dan dialah yang bersa­lah, dia yang terlalu memanjakannya dan puteranya menjadi rusak karena berada di Pulau Neraka!

“Milana, bangkitlah!” Suma Han ber­kata kepada puterinya.

Milana bangun dan menghapus air matanya. “Milana, engkau tentu telah merasa akan kesalahanmu. Akan tetapi kesalahanmu itu bukan kau sengaja, maka tidak perlu lagi disesalkan. Engkau harus kembali ke kota raja, engkau harus bela­jar menjadi seorang keturunan bangsawan yang baik, tinggal di istana Kaisar seper­ti yang lalu.”

“Tapi, Ayah....”

“Diam, dan jangan membantah!” Suma Han membentak, “Kehidupan sebagai se­orang perawan kang‑ouw sudah banyak menyeretmu ke dalam kekacauan dan kesengsaraan. Aku akan mencoba meng­obati Sai‑cu Lo‑mo, kemudian setelah dia sembuh, engkau bersama dia harus meninggalkan Pulau Es, dan kau hidup seba­gai seorang puteri cucu Kaisar di kota raja. Tentang perjodohanmu, biar kuse­rahkan kepada kebijaksanaan Kaisar.”

“Ayah....! Ibu....!”

Dengan mengeraskan hatinya Nirahai berkata, “Ayahmu benar, Milana. Lihat ibumu. Betapa banyak penderitaan yang telah kualami setelah aku meninggalkan istana kakekmu Kaisar. Baru sekarang ibumu mendapatkan kebahagiaan bersama ayahmu dan bibimu. Engkau harus menja­di penggantiku, membantu kakekmu dan berjasa bagi negara dan kerajaan. Tentu saja sewaktu‑waktu engkau boleh datang menjenguk orang tuamu di Pulau Es.”

Tanpa bertanya, Milana maklum bahwa ikatan jodoh antara dia dan Bun Beng telah dibatalkan. Hal ini agak melegakan hatinya. Dia memang mencinta Bun Beng, akan tetapi setelah terjadi semua itu, bagaimana mungkin dia akan dapat me­mandang muka Bun Beng lagi? Apa lagi sebagai suaminya? Maka dia hanya dapat menangis dan mengangguk‑angguk.

Setelah jenazah Kwi Hong dan Keng In dimakamkan di Pulau Es, Suma Han dan kedua orang isterinya berusaha mengobati kelumpuhan kedua kaki Sai‑cu Lo‑mo. Akan tetapi ternyata tidak berhasil kare­na kakek itu sudah tua, sukar sekali menyambung tulang‑tulangnya dan membetulkan urat‑uratnya. Terpaksa Suma Han menghentikan usahanya mengobati dan sebagai gantinya dia menurunkan ilmu‑ilmu tinggi yang sesuai untuk dikua­sai seorang yang lumpuh kedua kakinya seperti Sai‑cu Lo‑mo! Sampai hampir enam bulan kakek itu berlatih dengan tekun dan akhirnya dia meninggalkan Pulau Es bersama Milana yang menangis tersedu‑sedu. Pedang Hok‑mo‑kiam diberikan kepada Milana oleh Pendekar Super Sakti, sedangkan Sepasang Pedang Iblis tetap berada di Pulau Es karena pende­kar itu khawatir kalau‑kalau sepasang pedang itu akan terjatuh ke tangan orang lain dan menimbulkan peristiwa‑peristiwa hebat lagi.

Sampai di sini selesailah sudah cerita “Sepasang Pedang Iblis” ini, dan apa bila tiada aral melintang, para penggemar akan dapat berjumpa pula dengan pengarang dalam karangan mendatang. Mudah-­mudahan saja ada bagian‑bagian tertentu dalam karangan Sepasang Pedang Iblis ini yang bermanfaat bagi para penggemar di samping tugasnya sebagai bacaan menghibur yang sederhana.

 

TAMAT

 


No comments:

Post a Comment