Sepasang
Pedang Iblis
Cipt: Kho Ping Ho
Serial Bu Kek Sian
Su (8)
Kuil tua itu berdiri di tepi Sungai Fen-ho, di lembah
antara Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san, di sebelah selatan kota
Taigoan. Sunyi sekali keadaan di sekitar tempat itu, sunyi dan kuno sehingga
kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan keadaan alam yang
sunyi dan liar di sekelilingnya. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang
percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan
siluman.
Akan
tetapi, pada sore hari itu, keadaan di sekeliling kuil tampak amat menyeramkan
karena ada bayangan-bayangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan
bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk
mengadakan persiapan sesuatu. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan
itu sama sekali bukanlah setan melainkan manusia-manusia, sungguhpun
manusia-manusia yang menyeramkan karena mereka yang berjumlah lima orang itu
bertubuh tinggi besar, bersikap kasar dan berwajah liar. Gerakan mereka tidak
seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan kekuatan yang jauh
lebih daripada manusia-manusia biasa. Golok besar yang terselip di punggung dan
golok lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang
yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan ilmu silat dan senjata
mereka.
Memang
sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang
sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah terkenal
bertahun-tahun lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian mereka amat
tinggi karena mereka ini yang berjuluk Fen-ho Ngo-kwi (Lima Iblis Sungai
Fen-ho) adalah anak buah yang sudah menerima gemblengan dari mendiang
Kang-thouw-kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal dengan nama poyokan Setan
Botak itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti
hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu.
“Twako,
tidak kelirukah kita? Apakah benar kuil ini yang dimaksudkan dalam pesan Gak-locianpwe?”
Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat besar di
dagunya, bertanya kepada orang tertua di antara mereka yang matanya besar
sebelah.
“Tidak
salah lagi,” jawab orang tertua Fen-ho Ngo-kwi yang usianya kurang lebih lima
puluh tahun itu sambil memandang ke arah kuil tua. “Satu-satunya kuil tua di
tepi Sungai Fen-ho di daerah ini hanya satu inilah. Akan tetapi sungguh heran,
mengapa kelihatan sunyi dan kosong?”
“Lebih
baik kita serbu saja ke dalam!” kata Si Tahi Lalat sambil mencabut goloknya.
Twakonya
mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, siap untuk menyerbu. Pimpinan
rombongan itu menggerakkan tangan kepada adik-adiknya dan berkata, “Kau masuk
dari pintu belakang, dan kau dari jendela kiri, kau dari jendela kanan,
seorang menjaga di luar dan aku yang akan menerjang dari pintu depan!” Mereka
berpencar, gerakan mereka gesit dan ringan sekali. Kuil itu telah dikurung.
Pemimpin itu memberi isarat dengan tangan dan mereka menyerbu memasuki kuil
dari empat jurusan.
Tiba-tiba
tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang kuil. Sinar-sinar
hitam ini adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari baja.
Lima orang tinggi besar kaget sekali, cepat menggerakkan golok mereka
menangkis.
“Cring-cring-tranggg....!”
Terdengar suara nyaring dan golok mereka itu patah semua, disusul suara jerit
lima orang itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari sambaran
senjata-senjata rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu. Mereka roboh
dengan dahi pecah karena masing-masing terkena senjata rahasia yang menancap di
antara alis mereka. Tubuh mereka berkelojotan, mulut mereka mengeluarkan suara
mengorok dan akhirnya tubuh mereka berhenti bergerak, tak bernyawa lagi. Hanya
darah mereka yang bergerak mengucur keluar dari dahi!
Dari
belakang dan depan kuil berlompatan keluarlah dua orang kakek sambil
tertawa-tawa. Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti kurang makan,
pantasnya mereka adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan senjata rahasia
sekali lepas dapat merobohkan dan menewaskan lima orang bajak Fen-ho Ngo-kwi,
menjadi bukti bahwa dua orang ini tentu orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian yang hebat. Begitu mudahnya mereka memhunuh anak buah dan juga
murid-murid mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi, benar-benar sukar dipercaya!
“Heh-heh,
Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita! Sungguh
menjemukan!” kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga seperti tengkorak
dibungkus kulit tipissaja. Ia bertolak pinggang
memandang mayat-mayat para bajak setelah melompat dengan gerakan seperti
terbang cepatnya.
Kakek
ke dua yang tadi bersembunyi di belakang kuil, juga melompat cepat dan ia
membelalakkan kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia kelihatan selalu
tidur memejamkan mata. “Tentu masih ada lagi saingan lain, Suheng. Bukankah
Pangcu berpesan agar kita hati-hati? Pesanan itu menandakan bahwa di sini tentu
terdapat banyak lawan pandai.” katanya, juga bertolak pinggang. Tampak pada
lengan kanan kedua orang kakek ini lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya
dicacah pada kulit lengan mereka.
“Heh-heh,
Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang Thian-liong-pang? Selama negeri
dalam perang, kita tidak bergerak akan tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau
partai-partai lain hancur dan rusak oleh perang, partai kita malah makin kuat.
Sekarang tibalah saatnya Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu
menginginkan bocah itu, siapa yang akan berani menentang?”
Si
Mata Sipit mengangguk-angguk. “Engkau benar, Suheng. Keinginan Pangcu kita
merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapapun juga. Yang menentangnya
berarti mati, seperti lima orang kasar ini. Thian-liong-pang adalah partai
terbesar dan terkuat di dunia untuk masa kini.”
“Awas,
Sute....!” Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru dan keduanya cepat mengelak,
dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan karena secara tiba-tiba
sekali ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil akan tetapi yang
menyambar amat cepat dan kuatnya, masing-masing tiga batang menyambar ke arah
leher, ulu hati, dan pusar mereka! Jalan satu-satunya hanya mengelak seperti
yang mereka lakukan tadi karena untuk menyambut hui-to-hui-to yang meluncur
secepat itu, sungguh amat berbahaya sekali.
Dua
orang anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan mereka
menggerakkan tangan dan meluncurlah sinar-sinar hitam dari senjata rahasia
bintang mereka ke arah datangnya hui-to tadi. Senjata rahasia mereka itu tadi
sudah terbukti keampuhannya ketika merobohkan lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan
tetapi betapa terkejut hati mereka ketika melihat betapa enam buah hui-to yang
luput menyerang mereka tadi kini terbang kembali amat cepatnya dan dari
samping enam golok kecil itu menyambari bintang-bintang mereka. Terdengar suara
keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang golok kecil bersama
bintang-bintang baja itu runtuh semua ke atas tanah. Biarpun dua orang anggauta
Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan ini, namun hati mereka lega bahwa
bintang-bintang baja mereka ternyata tidak kalah kuat sehingga hui-to-hui-to
itu pun runtuh, tanda bahwa tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga lawan yang
belum tampak. Mereka segera meloncat bangun dan Si Mata Sipit memaki,
“Keparat
curang, siapa engkau?”
Dari
balik rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil tersenyum
mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun, berjenggot dan kumisnya
kecil panjang, bajunya berlengan lebar. Yang wanita juga berusia empat puluh tahun
lebih, rambutnya diikat dengan saputangan sutera putih, juga lengan bajunya
lebar. Yang amat mengerikan pada dua orang ini adalah warna kulit mereka. Yang
wanita kulitnya, dari mukanya sampai kulit lengannya, berwarna jambon
kemerahan, sedangkan yang laki-laki kulitnya berwarna ungu kebiruan! Sungguh
sukar mencari orang berkulit dengan warna seperti itu, seolah-olah kulit tubuh
mereka itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya kulit, bahkan mata
mereka pun berwarna seperti kulit mereka!
“Ha-ha-ha,
tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang Thian-liong-pang amat sombong,
dan ternyata ucapan mereka besar-besar. Ha-ha-ha!” Laki-laki berkulit
“Gentong
kosong berbunyi nyaring, orang bodoh bermulut besar. Apa anehnya?” Wanita
berkulit jambon itu menyambung, bersungut-sungut dan memandang kepada dua
orang murid Thian-liong-pang dengan pandang mata merendahkan.
Dua
orang murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata terbuka
lebar. Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit laki-laki dan
wanita itu, kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya masih membayangkan
rasa kaget dan heran.
“Ji-wi....
Ji-wi.... dari Pulau Neraka....?”
Kini
kedua orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu mereka saling
pandang. Kemudian laki-laki bermuka ungu itu menghadapi kedua orang
Thian-liong-pang dan menjura, “Ahh, kiranya Thian-liong-pang memiliki mata yang
tajam sekali. Pantas terkenal sebagai partai besar! Kami tidak pernah turun ke
dunia ramai, kini sekali muncul Ji-wi telah dapat mengenal kami. Sungguh
mengagumkan sekali!” Dia lalu mengeluarkan suara yang aneh, nyaring sekali
dan terdengar seperti suara burung. Dari dalam hutan di belakangnya terdengar
suara siulan yang sama dan tak lama kemudian tampaklah belasan orang berlarian
datang ke tempat itu seperti terbang cepatnya. Setelah dekat, dua orang
Thian-liong-pang memandang dengan mata terbelalak karena kulit belasan orang
ini pun aneh sekali, delapan orang berkulit hitam dan delapan orang pula
berkulit merah tua!
Si
Muka Tengkorak lalu bersuit nyaring dan dari sebelah belakangnya muncul pula
serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua puluh orang! Kedua
rombongan kini berhadapan dengan sikap siap siaga menanti perintah
bertanding. Akan tetapi, kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi,
“Ha-ha-ha,
kiranya Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami mendapat
perintah agar tidak memancing pertempuran dengan fihak lain, apalagi dengan
fihak Thian-iiong-pang. Kami datang hanya untuk menjemput anak yang berada di
dalam kuil.”
“Nanti
dulu, sobat!” Si Muka Tengkorak berkata. “Kami pun menerima tugas dari Pangcu
(Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada di dalam kuil. Dan
Thian-liong-pang tidak ingin bermusuhan, apalagi dengan fihak Ji-wi, karena
sudah menjadi cita-cita Thian-liong-pang untuk bersahabat dan menyatukan semua
partai persilatan.”
“Hemmm,
bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan buktinya? Kami
melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti) membunuh lima
orang ini,” Si Muka Ungu mencela.
Murid
Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling ke arah mayat lima orang
Fen-ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh. “Mereka hanyalah bajak-bajak sungai yang
hina, tidak masuk hitungan. Apalagi mereka itu merupakan golongan yang patut
dibasmi. Harap Ji-wi dapat mengerti dan membedakan.”
“Sudahlah!”
Si Wanita bermuka jambon mencela. “Kami tidak peduli akan semua urusan kalian.
Kami datang hendak mengambil anak itu. Marilah Suheng, kita lekas melaksanakan
tugas!” Ia sudah bergerak maju hendak memasuki kuil.
“Eh,
eh, nanti dulu, Toanio!” Kini Si Mata Sipit maju menghalang. “Terang bahwa
Thian-liong-pang tidak ingin bermusuh, akan tetapi agaknya dalam urusan ini
di antara kita ada pertentangan. Kami pun bertugas untuk mengambil bocah itu.”
“Bagus!
Kalau begitu, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat membereskan pertentangan
ini!” Wanita bermuka jambon itu membentak. Suhengnya juga memandang marah dan
enam belas orang anak buah mereka semua sudah mencabut pedang.
“Srat-srat-sratttt!”
“Sing-sing-sing!”
Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut pedang dan
golok.
Dua
orang murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat tangan
memberi isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudien Si Muka Tengkorak
menjura dan berkata kepada dua orang aneh yang mereka anggap tokoh-tokoh dari
Pulau Neraka itu.
“Harap
Ji-wi menghindarkan pertempuran yang tidak perlu. Memang kita semua sebagai
utusan-utusan harus melaksanakan tugas kita, dan kita masing-masing dua orang
merupakan penanggung jawab yang tidak perlu menarik anak buah dalam
pertempuran.”
“Hemm,
maksudmu bagaimana?” tanya wanita bermuka jambon menantang.
“Kita
mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat dibereskan
secara orang-orang gagah.”
“Maksudmu
sebagai orang-orang gagah mengadu ilmu?” tantang Si Wanita.
“Begitulah.
Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam kuil
kepada yang menang. Setuju?”
“Akur!
Majulah!” Si Wanita menantang.
Dua
orang Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si Muka
Tengkorak memandang ke sekeliling. Kedua pasukan sudah mundur jauh dan
setengah bersembunyi di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. “Tempat ini kurang
lega untuk bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!” katanya dan ia
menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang. Dengan gerakan seenaknya
ia mendorong dan pohon itu tumbang, mengeluarkan suara hiruk-pikuk.
“Benar,
harus disingkirkan pohon-pohon ini!” kata Si Mata Sipit dan dia pun
menghampiri sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suhengnya. Sebentar saja
enam batang pohon sudah mereka tumbangkan!
Para
anggauta Thian-liong-pang barsorak memberi semangat sedangkan para anak buah
yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandnng tarbelalak, kagum akan
kekuatan hebat dua orang Thian-liong-pang itu. Akan tetapi, laki-laki bermuka
ungu dan wanita bermuka jambon itu tertawa mengejek.
“Batu-batu
ini pun menghalang gerakan pertandingan!” kata Si Wanita muka jambon dan
kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar anak kerbau itu
terbang seperti sepotong batu kerikil dilempar saja. Suhengnya juga melakukan
ini dan sebentar saja ada delapan buah batu beterbangan! Anak buah mereka kini
bersorak-sorak dan giliran anak buah Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri
hatinya. Betapa kuat kedua orang aneh itu!
“Bagus!
Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!” kata Si Mata
Sipit dan seperti dikomando saja, empat orang itu telah saling serang dengan
hebat. Keempat orang ini tidak memegang senjata dan hal ini juga menunjukkan
bahwa tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi. Pukulan dan tendangan kaki
mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, dan angin
menderu ketika mereka saling pukul sehingga rumput dan daun pohon bergoyang
seperti diamuk badai!
Wanita
muka jambon bertanding melawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si Mata Sipit
lebih besar sehingga wanita itu tidak berani langsung menangkis atau mengadu
lengan, akan tetapi wanita itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, juga
gerakannya jauh lebih cepat sehingga pertandingan itu amat seru. Di lain
fihak, pertandingan antara Si Muka Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi
karena tenaga mereka seimbang. Berkali-kali mereka keduanya terdorong mundur,
akan tetapi secepat kilat sudah maju lagi dan melanjutkan pertandingan mereka.
Pada
waktu itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang baru muncul
sejak bangsa Mancu menyerang ke selatan. Selama perang berlangsung,
Thian-liong-pang tidak mau melibatkan diri, bahkan diam-diam memupuk tenaga
mereka dan memperdalam ilmu silat. Puluhan tahun yang lalu, Thian-liong-pang
yang berpusat di Yen-an, di kaki Lu-liang-san sebelah barat, Thian-liong-pang
menjadi sebuah partai golongan hitam, diselewengkan oleh ketuanya di waktu itu
yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti) dengan murid-muridnya yang
jahat sebanyak dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga).
Akan tatapi, semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu kakek itu sendiri,
seorang laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong kembali
ke jalan lurus. Tentang Siangkoan Li ini dapat dibaca dalam cerita “Mutiara Hitam”. Kemudian bertahun-tahun
Thian-liong-pang diketuai oleh orang-orang yang gagah perkasa dan tinggi ilmu
silatnya. Ilmu silat mereka itu adalah ilmu keturunan dari dua orang kakek
sakti yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Makin
lama ketua-ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan Li, memperdalam
ilmu kesaktian dari kedua orang kakek sakti itu sehingga kini para pimpinan
Thian-liong-pang merupakan orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Dua orang
ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima, namun ilmu kepandaian mereka sudah
hebat sekali.
Adapun
dua orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat mereka masih amat
rendah di kalangan penghuni Pulau Neraka yang merupakan keluarga besar
orang-orang aneh. Warna-warna pada muka mereka menandakan bahwa tingkat mereka
masih rendah, namun toh mereka sudah dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang
tokoh Thian-liong-pang tingkat lima! Anak buah Pulau Neraka semua kulitnya
berwarna hitam atau merah. Warna hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu
disusul merah sebagai tingkat lebih tinggi, kemudian biru, ungu, hijau dan
jambon. Makin terang warna itu, makin tinggilah tingkat kepandaiannya! Namun
pada masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah dongeng saja
karena sudah ratusan tahun tidak pernah muncul. Nama Pulau Neraka disejajarkan
dalam rahasia dan keanehannya dengan Pulau Es, bahkan lebih tua lagi! Dua
orang tokoh Thian-liong-pang itupun hanya mendengar “dongeng” dari ketua
mereka, tentang warna-warna aneh kulit para penghuni Pulau Neraka maka tadi
mereka dapat menduga tepat!
Pertandingan
masih berlangsung dengan hebatnya, dan tak seorang pun di antara mereka pada
saat-saat yang amat berbahaya bagi nyawa mereka itu ingat akan anak yang mereka
jadikan rebutan dan yang menjadi bahan pertandingan-pertandingan itu, bahkan
yang menyebabkan kematian lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu?
Bocah
itu adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka bulat dengan
kulit putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh keberanian, berusia kurang
lebih lima tahun! Sudah lebih dari tiga bulan anak itu hidup seorang diri di
dalam kuil tua! Benar amat mentakjubkan keberanian anak ini. Tadinya dia
tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan tetapi semenjak ibunya pergi
meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang diri di tempat
sunyi ini. Namun dia tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh, mencari
makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak bisa mendapatkan
buah-buahan atau tidak dapat menangkap binatang, ia hanya makan daun-daun muda
ditambah air gunung! Akan tetapi kalau ada binatang kelinci lewat, tentu binatang
itu dapat ia bunuh dengan sambitan batu karena anak ini pandai menyambit, dan
tenaganya mengagumkan. Tidaklah aneh kalau diketahui bahwa semenjak kecil ia
digembleng oleh ibunya yang sakti. Ibunya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai
yang berhasil mencuri ilmu-ilmu aneh dari Siauw-lim-pai, mempelajari ilmu-ilmu
aneh ini secara mengawur sehingga mempengaruhi jiwanya, membuatnya setengah
gila. Kegilaannya ini bukan semata karena dia keliru mempelajari ilmu-ilmu
rahasia dari Siauw-lim-pai, melainkan terutama sekali karena tekanan jiwanya
ketika dia dahulu dicemarkan oleh mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat
Si Setan Botak (baca ceritaPendekar Super
Sakti). Nama wanita ini adalah Bhok Khim, dahulu merupakan seorang di
antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan
dia berjuluk Bi-kiam (Pedang Cantik)!
Di
dalam ceritaPendekar Super Sakti
telah dituturkan bahwa Bhok Khim yang meninggalkan puteranya di kuil tua itu
pergi mancari Gak Liat dan berhasil membalas dendam dengan membunuh Setan
Botak, akan tetapi dia sendiri pun tewas oleh musuh besar yang memperkosanya
itu (bacaPendekar Super Sakti).
Demikianlah,
anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam kuil, dan semenjak tadi
dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di luar
kuil. Dia melihat kamatian Fen-ho Ngo-kwi yang mengerikan, kemudian
menyaksikan pertandingen antara dua orang tokoh Thian-liong-pang melawan dua
orang tokoh Pulau Neraka. Anak ini amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia
bahwa semua orang di luar itu memperebutkan dia! Akan tetapi dia tidak tahu
mengapa dan juga di dalam hatinya dia tidek berpihak kepada siapa-siapa, hanya
ingin melihat siapa di antara mereka yang paling lihai. Ibunya juga seorang
berilmu tinggi, maka karena sejak kecil dikenalkan dengan ilmu silat, kini
sepasang matanya yang bening dan tajam itu menonton pertandingan dengan hati
amat tertarik.
Cuaca
menjadi semakin gelap dengan datangnya malam akan tetapi pertandingan antara
dua orang jagoan itu masih berlangsung seru. Masing-masing telah terkena
pukulan dua tiga kali dari lawan akan tetapi mereka belum ada yang roboh dan
masih terus bertanding terus, biarpun napas mereka mulai terengah dan uap putih
mengepul dari kepala mereka.
“Omitohud....!
Mengapa kalian bertanding mati-matian di sini? Apa yang telah terjadi?”
Tiba-tiba terdengar teguran dibarengi munculnya seorang hwesio yang tinggi
kurus. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya selalu muram tampaknya, namun
suaranya penuh wibawa.
Akan
tetapi empat orang yang tengah bertanding, tidak mempedulikannya dan hwesio
ini menarik napas panjang.
“Aaahhh,
jalan damai banyak sekali, mengapa menempuh jalan kekerasan yang hanya akan
membahayakan keselamatan? Kepandaian Cu-wi yang tinggi ini pasti dipelajari
susah payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan digunakan untuk mengadu
nyawa?” Setelah berkata demikian, hwesio ini melangkah maju, kedua tangannya
dikembangkan ke kanan kiri dan.... empat orang yang sedang bertanding itu
tiba-tiba terhuyung mundur oleh dorongan tenaga dahsyat, namun sukar ditahan!
Otomatis pertandingan terhenti dan empat orang itu dengan napas sengal-sengal
memandang kepada hwesio yang amat tua dan kurus itu.
“Maaf,
maaf, pinceng terpaksa menghentikan pertandingan. Ada urusan dapat
didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling bunuh?”
“Losuhu
siapakah?” Si Muka Tengkorak bertanya, sikapnya menghormat karena dia maklum
bahwa hwesio itu adalah seorang berilmu yang amat lihai.
“Pinceng
adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua bertanding
dengan mereka?” Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut menyaksikan warna kulit dua
orang tokoh Pulau Neraka yang biarpun cuaca mulai gelap masih tampak warna
mereka yang menyolok mengingatkan dia akan “dongeng” tentang penghuni Pulau
Neraka!
Si
Muka Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata, “Kiranya Losuhu adalah
seorang tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah utusan-utusan
Thian-liong-pang dan kedua orang sahabat ini pun utusan-utusan dari Pulau
Neraka.” Mendengar ini, hwesio tua itu tercengang dan ia kembali memandang
kedua orang itu dengan penuh perhatian. Hatinya bertanya-tanya. Kalau begitu,
benarkah dongeng yang didengarnya tentang Pulau Neraka? Kalau mereka itu sudah
turun ke dunia ramai, bersama dengan turunnya tokoh-tokoh Thian-liongpang
yang kabarnya tidak lagi mau beruruaan dengan dunia ramai, tentu dunia ini
akan menjadi benar-benar ramai!
“Mengapa
Cu-wi bertempur?”
“Kami
sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang berada di dalam
kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa kami hendak menentukan
dalam pibu (adu kepandaian) yang adil.”
“Omitohud!
Betapa anehnya dunia ini....!” Hwesio tua itu berkata. Dia adalah Siauw Lam
Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak penting di Siauw-lim-pai.
Akan tetapi dia adalah seorang yang sakti, karena selama puluhan tahun dia
menjadi pelayan Kian Ti Hosiang, supek dari Ketua Siauw-lim-pai yang memiliki
ilmu seperti dewa! “Lama sekali pinceng mengikuti jejak murid perempuan
Siauw-lim-pai dan akhirnya di tempat ini untuk mengambil puteranya yang
ditinggalkan! Anak itu adalah putera dari Bhok Khim, seorang murid
Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya Siauw-lim-pai yang berhak untuk mendidiknya.
Harap Cu-wi menghentikan pertempuran dan membiarkan pinceng sebagai hwesio
Siauw-lim-si untuk membawanya pulang ke Siauw-lim-si.” Setelah berkata demikian,
hwesio itu dengan tenang melangkah menuju ke kuil.
“Tahan....!”
Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang tadi saling serang
dan berbareng mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka. Dari
tempat persembunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau Neraka dan dua
puluh orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat sekali mendekati
kuil. Hwesio tua itu memandang penuh perhatian, agaknya siap untuk menolong
anak di dalam kuil kalau orang-orang itu menggunakan kekerasan. Akan tetapi,
rombongan Thian-liong-pang itu sibuk melemparlemparkan benda hitam di seputar
kuil. sedangkan anak buah Pulau Neraka melempar-lemparkan cairan merah di seputar
kuil. Begitu benda cair yang mereka siramkan itu mengenai tanah, mengepullah
asap kemerahan yang berbau harum bercampur amis!
Sementara
itu, anak laki-laki yang sejak tadi memandang dari dalam kuil, ketika
menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan dengan mudah,
mengerti bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka hatinya condong untuk
ikut dengan hwesio itu yang dianggapnya peling lihai di antara orang-orang aneh
yang berada di luar kuil. Lebih-lebih lagi ketika ia mendengar keterangan
hwesio itu bahwa ibunya adalah anak murid Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah diceritakan
ibunya, dan bahwa hwesio itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu saja ia
memilih hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang melempar-lemparkan benda
hitam dan cairan merah yang kini mengepulkan asap dan tanah yang tersiram
benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti mendidih, ia cepat
keluar dari dalam kuil dan muncul di depan.
“Berhenti....!”
Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya, mendorong ke depan, ke arah
anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan anak itu masih jauh, akan tetapi
angin dorongan tangannya membuat anak itu terjengkang dan jatuh terlentang
kembali ke dalam kuil. “Anak, jangan keluar, berbahaya sekali! Asap itu
beracun!” teriak Siauw Lam Hwesio dan bocah yang ternyata cerdik ini segera
mengerti dan kembali ia bersembunyi di dalam kuil sambil mengintai dari
tempatnya yang tadi.
Siauw
Lam Hwesio mengeluh, “Omitohud, alangkah kejinya!” Ia kini dapat melihat jelas
bahwa benda-benda hitam itu adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang
yang berduri runcing sekali dan kini benda-benda itu bertebaran di sekeliling
kuil, menghalang jalan masuk dalam jarak lebar. Mengertilah ia bahwa
benda-benda itu tentulah mengandung racun pula dan amat runcing sehingga akan
menembus sepatu. Sedikit saja kulit terluka oleh benda-benda ini, tentu akan
menimbulkan bahaya kematian! Adapun benda cair yang dapat “membakar” tanah dan
mengeluarkan asap kemerahan berbau harum amis itu pun merupakan racun yang
berbahaya. Jalan menuju ke kuil itu terhalang oleh racun-racun yang lihai!
“Omitohud....!
Kalian ternyata mengandung niat buruk dan berkeras hendak menghalangi pinceng
mengambil putera keturunan murid Siauw-lim-pai itu. Hemm...., baiklah, kita
sama melihat saja siapa yang akan dapat mengambil anak itu sekarang!” Setelah
berkata demikian hwesio kurus ini duduk bersila menghadap kuil, jelas bahwa
biarpun sikapnya tenang namun ia sudah mengambil keputusan untuk merintangi
siapa saja memasuki kuil!
Sementara
itu, malam telah tiba dan rombongan Thian-liong-pang memisahkan diri, berada di
sebelah kiri, sedangkan rombongan Pulau Neraka berada di sebelah kanan. Agaknya
mereka itu tidak ada yang berani turun tangan lebih dulu karena sama-sama
maklum bahwa pihak lain tentu akan merintangi mereka mengambil anak yang berada
di dalam kuil! Kalau saja tidak muncul hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu,
tentu terjadi pertempuran di antara mereka, memperebutkan anak tadi! Akan
tetapi kini mereka tahu bahwa siapa pun yang turun tangan lebih dulu, tidak
hanya akan menghadapi rombongan lawan, melainkan juga menghadapi hwesio yang
mereka tahu tak boleh dipandang ringan. Maka mereka diam saja mengatur siasat
sambil membuat api unggun dan berbisik-bisik mengatur dan mencari siasat!
Api
unggun mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin, padahal tidak ada angin
bertiup sedikit juga. Selagi kedua rombongan itu terbelalak kaget, tiba-tiba
muncul seorang laki-laki yang keadaannya amat menyeramkan hati mereka.
Laki-laki itu masih muda, berwajah tampan akan tetapi sebelah kakinya, yang kiri
buntung! Laki-laki itu tahu-tahu telah berdiri di situ, bersandar pada tongkat
bututnya dan yang amat mengherankan adalah rambutnya yang dibiarkan
riap-riepan, akan tetapi rambut yang tebal panjang itu berwarna putih semua!
Orang-orang
kedua rombongan ini adalah orang-orang yang selama bertahun-tahun tidak pernah
terjun ke dunia ramai, maka mereka tadi tidak mengenal Siauw Lam Hwesio dan
tidak mengenal pula siapa gerangan pemuda berkaki buntung itu. Padahal pemuda
ini jauh lebih terkenal daripada hwesio Siauw-lim-pai itu, karena dia ini bukan
lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau juga terkenal dengan
sebutan Pendekar Siluman oleh mereka yang pernah menjadi korban kesaktian dan
ilmu sihirnya yang mengerikan!
Para
pembaca cerita “Pendekar Super Sakti”
tentu telah tahu betapa di dalam hidupnya yang kurang lebih dua puluh lima
tahun itu, pendekar ini mengalami banyak sekali tekanan batin dan yang terakhir
sekali batinnya amat tertekan dan kesengsaraan serta kekecewaannya dalam hidup
membuat rambutnya semua menjadi putih! Kini datang untuk memenuhi permintaan
mendiang Bhok Khim pada saat wanita itu akan melepaskan napas terakhir. Bhok
Kim telah meminta kepadanya agar Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini
suka merawat dan mendidik puteranya yang ditinggalkan di kuil tua ini!
Di
dalam bagian terakhir cerita “Pendekar
Super Sakti” telah diceritakan betapa Suma Han ini setelah melaksanakan
pernikahan adik angkatnya, Lulu yang menikah dengan Hoa-san Gi Hiap Wan Si
Kiat, lalu pergi meninggalkan dunia ramai untuk merantau dan berusaha melupakan
segala pengalaman hidupnya yang penuh derita batin. Akan tetapi ia tidak
melupakan pesan Bhok Kim, maka ia lalu menuju ke tempat yang dikatakan oleh
Bhok Kim dalam pesan terakhirnya. Akan tetapi betapa heran hatinya ketika ia
melihat dua rombongan orang berada di tempat itu dan lebih-lebih lagi herannya
ketika ia mengenal hwesio tua kurus kering yang duduk bersila di depan kuil. Ia
mengenal hwesio ini ketika dahulu bersama adik angkatnya ia mengunjungi kuil
Siauw-lim-si, bertemu dengan hwesio sakti Kian Ti Hosiang dan pelayannya, yaitu
Siauw Lam Hwesio yang kini duduk bersila di tempat itu! Sejenak pendekar
berkaki buntung ini menyapukan pandang matanya ke arah kuil dan keningnya
berkerut ketika ia melihat senjata-senjata rahasia dan kepulan-kepulan asap
kemerahan yang dapat ia lihat di bawah sinar api unggun kedua rombongan. Akan
tetapi ia lalu menghampiri Siauw Lam Hwesio, menjura dan berkata.
“Maaf,
kalau saya tidak salah mengenal, bukankah Locianpwe ini Siauw Lam Hwesio dari
Siauw-lim-si?”
Hwesio
tua itu bersila sambil samadhi memejamkan kedua matanya, namun seluruh panca
inderanya ia tujukan untuk menjaga kuil sehingga setiap gerakan ke arah kuil
pasti akan diketahui olehnya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika
tahu-tahu ada suara orang menegur di depannya, padahal dia sama sekali tidak
mendengar gerakan orang datang, apalegi sampai mendekatinya! Hal ini saja dapat
dibayangkan betapa hebat kemajuan yang didapat pendekar ini semenjak dia
mengunjungi Siauw-lim-si beberapa tahun yang lalu. Dan memang tidak
mengherankan apabila gerakannya begitu halus dan ringan karena Pendekar Super
Sakti tni bergerak dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun!
Mula-mula
Siauw Lam Hwesio tidak mengenal Suma Han. Dahulu, ketika pendekar itu
mengunjungi Siauw-lim-si, pemuda itu belum buntung kaki kirinya. Akan tetapi,
karena kunjungan pemuda itu amat mengesankan dan karena wajah dan rambut
panjang itu hanya berubah warnanya, Siauw Lam Hwesio segera merangkap kedua
tangan di depan dada dan berkata penuh takjub.
“Omitohud....!
Terpujilah nama Buddha yang Maha Pengasih! Kiranya Sicu berada di sini pula?
Dan kaki kiri Sicu....? Ah, syukurlah.... sungguh pinceng ikut merasa bahagia
melihat kaki kiri Sicu sudah buntung!”
Ucapan
hwesio itu cukup lantang dan karena keadaan di situ amat sunyi, maka semua
orang kedua rombongan mendengar ucapan itu. Mereka saling pandang dan merasa
heran, diam-diam mereka menganggap betapa ucapan hwesio tua itu kurang ajar dan
tidak patut. Memang, bagi yang tidak mengerti, tentu saja amat tidak pantas
mendengar orang merasa bahagia melihat orang terbuntung kakinya! Suma Han,
pendekar itu pun merasa heran, akan tetapi sama sekali tidak tersinggung, hanya
merasa heran mengapa hwesio tua ini mengerti bahwa buntungnya kaki kirinya
merupakan hal yang amat menguntungkan baginya! Maka ia pun segera menekuk
lutut kaki tunggalnya dan duduk bersila di depan hwesio itu sambil bertanya,
“Locianpwe!
Bagaimana Locianpwe tahu akan keadaan kaki saya?”
Hwesio
itu tersenyum dan memandang pendekar sakti itu. “Lupakah Sicu akan pesan
mendiang Kian Ti Hosiang?”
“Aahhhhh....!
Locianpwe yang sakti itu telah meninggal dunia? Sungguh saya merasa menyesal
sekali....!”
“Omitohud....!
Mengapa, Sicu? Beliau telah bebas daripada kesengsaraan, mengapa disesalkan?
Tentu Sicu masih ingat betapa dahulu Beliau memberi nasihat kepada Sicu agar
membuntungi kaki kiri Sicu, bukan? Nah, setelah Sicu pergi, pinceng tidak
dapat menahan keheranan hati dan mengajukan pertanyaan yang hanya dapat dijawab
singkat oleh Kian Ti Hosiang bahwa kalau kaki kiri Sicu tidak dibuntungi, Sicu
takkan dapat berusia panjang....! Maka, pinceng sekarang ikut merasa bahagia
melihat betapa Sicu telah diselamatkan daripada ancaman bahaya maut.”
Suma
Han mengangguk-angguk dan memuji. “Betapa sakti mendiang Kian Ti Hosiang!
Betapa tajam penglihatannya, sungguh saya merasa kagum sekali. Sekarang,
bolehkah saya bertanya mengapa Locianpwe berada di sini? Dan Siapa pula kedua
rombongan itu? Dan keadaan di sekeliling kuil itu? Apa yang telah terjadi,
Locianpwe?”Hwesio tua itu menghela napas panjang. “Ruwet sekali, Sicu....!
Putera seorang murid Siauw-lim-pai berada di dalam kuil dan sudah menjadi
tugas pinceng untuk merawat dan mendidiknya. Akan tetapi ternyata
rombongan-rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka datang pula dengan
niat yang sama, yaitu mengambil anak itu sesuai dengan perintah Ketua-ketua
mereka. Entah mengapa mereka hendak mengambil anak itu. Mereka lalu mengurung
kuil dengan racun dan kami semua mengambil keputusan untuk mencegah masing-masing
mengambil anak itu. Susahnya, pinceng tidak mau menggunakan kekerasan karena
pinceng tidak ingin menarik Siauw-lim-pai bermusuhan dengan Thian-liong-pang
maupun Pulau Neraka.” Dengan singkat Siauw Lam Hwesio menuturkan peristiwa
yang terjadi
Suma
Han mendengarkan penuh keheranan. Kemudian ia berkata lirih agar tidak
terdengar oleh orang-orang di kedua rombongan, “Locianpwe, terus terang saja,
kedatangan saya ini pun dengan maksud untuk mengambil anak itu, putera mendiang
Bhok-toanio.”
Hwesio
itu terkejut, memandang tajam akan tetapi jantungnya berdebar aneh ketika
pandang matanya bertemu dengan pandang mata pendekaritu.
Ia bergidik. Pandang mata pendekar ini benar-benar hebat, bukan seperti
mata manusia! “Mengapa, Sicu?” tanyanya lirih.
“Saya
datang atas permintaan Bhok-toanio sendiri dalam pesannya terakhir.” Suma Han
lalu menceritakan pesanan Bhok Khim kepadanya setelah wanita itu tidak berhasil
meninggalkan pesan kepada kedua orang suhengnya yaitu Khu Cen Thiam dan Liem
Sian.
Siauw
Lam Hwesio mengangguk-angguk dan mencela murid-murid Siauw-lim-pai itu.
“Mereka terlalu dipengaruhi perasaan, tidak ingat lagi akan perikemanusiaan.
Betapa bodohnya dan pinceng memuji kemuliaan hati Sicu. Kalau begitu, baiklah,
biar anak itu ikut bersama Sicu.”
“Tidak,
Locianpwe. Setelah Locianpwe berada di sini, sudah sepatutnya kalau putera
Bhok-toanio itu ikut bersama Locianpwe. Saya sendiri hidup sebatangkara, miskin
papa tidak mempunyai rumah. Saya khawatir kalau-kalau anak itu hanya akan
menderita dan terlantar bersama saya. Sebaiknya dia ikut dengan Locianpwe agar
mendapat didikan yang baik dan kelak bisa menjadi seorang manusia yang
berguna. Pula, Bhok-toanio menyerahkan anak itu kepada saya hanya karena
terpaksa dan di sana tidak ada orang lain lagi. Locianpwe atau lebih tepat
Siauw-lim-pai lebih berhak atas diri anak itu.”
Hwesio
tua itu mengangguk-angguk. “Sicu benar. Anak keturunan orang itu perlu sekali
mendapat didikan yang benar agar tidak menjadi seorang sesat seperti....
darah keturunannya. Akan tetapi, bagaimana pinceng dapat mengambil anak itu
tanpa menanam permusuhan dengan mereka?” Hwesio itu memandang ke arah dua
rombongan.
Ucapan
terakhir hwesio itu tentang darah keturunan sesat, menikam ulu hati Suma Han.
Akan tetapi hanya sebentar karena perasaan tertusuk ini segera tenggelam dan
lenyap dalam kekosongan hatinya. Dia pun seorang yang mempunyai darah
keturunan sesat, bahkan nenek moyangnya, bangsawan yang ber-she Suma, terkenal
sebagai orang-orang jahat! Dia kini menoleh ke arah dua rombongan, melihat
betapa pemimpin kedua rombongan itu, yang terdiri dari dua orang duduk
bercakap-cakap di dekat api unggun masing-masing sedangkan anak buah mereka
membuat api unggun sendiri dalam jarak yang agak jauh, siap menanti perintah
mereka.
“Harap
Locianpwe jangan khawatir. Saya mempunyai akal untuk mengundurkan mereka.”
“Sicu,
ingat. Pinceng tidak menghendaki kekerasan, apalagi penumpahan darah. Kehidupan
putera Bhok Khim tidak boleh dimulai dengan penumpahan darah dan pembunuhan!”
Suma
Han tersenyum, mengangguk. “Saya mengerti, Locianpwe. Harap Locianpwe
menyerahkan hal ini kepada saya.” Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan
terpincang-pincang meninggalkan hwesio itu yang memandang bengong melihat
pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Dua
orang Thian-liong-pang duduk di depan api unggun, membicarakan pemuda berkaki
tunggal yang pergi terpincang-pincang dan lenyap dalam gelap. Si Muka Tengkorak
berkata lirih. “Sebaiknya dia pergi. Aku sudah khawatir kalau-kalau dia
membantu Si Hwesio.”
“Hemm,
bocah berkaki buntung seperti itu bisa apakah? Andaikata membantu Si Hwesio
Siauw-lim-pai, seorang di antara anak buah kita tentu dapat membinasakannya!”
kata Si Mata Sipit.
“Ahh,
Sute. Jangan memandang rendah dia. Tidakkah kau melihat sinar matanya tadi?
Hihhh, seperti mata setan! Dan rambutnya yang putih semua itu! Dia seperti
siluman saja. Ngeri aku melihatnya!”
“Ah,
Suheng! Andaikata dia siluman sekalipun, aku tidak takut kepadanya! Kalau dia
berani muncul, kutabas batang lehernya dengan pedang ini!” Si Mata Sipit
mengeluarkan sebatang pedang yang tadi tidak dipergunakannya ketika menghadapi
dua orang Pulau Neraka. “Dia tentu bukan orang Siauw-lim-pai dan menurut pesan
Pangcu, hanya orang-orang partai besar saja yang harus kita indahkan dan jaga
jangan sampai kita bentrok dengan mereka. Atau kubuntungi lagi kaki
tunggalnya, hendak kulihat dia bisa berbuat apa?”
Tiba-tiba
terdengar suara lirih di depan mereka, “Ha-ha-ha, aku memang siluman.
Pendekar Siluman! Kalian mau bisa berbuat apa terhadap aeorang siluman? Bocah
itu putera murid Siauw-lim-pai, harus ikut dengan hwesio Siauw-lim-si. Kalau
kalian masih banyak ribut, kutelan kalian hidup-hidup!”
Dua
orang itu terbelalak kaget. Suara itu datang dari dalam api unggun! Mereka
menatap api unggun dan tampak oleh mereka betapa asap api unggun menebal,
bergulung ke atas dan.... asap tebal itu membentuk tubuh seorang raksasa!
Makin lama makin jelaslah bentuk itu dan muncullah seorang raksasa yang
besarnya tiga empat kali ukuran manusia biasa, raksasa yang wajahnya presis
pemuda berkaki buntung tadi, kakinya buntung, tongkat butut di tangannya,
rambutnya riap-riapan putih dan kini “raksasa” itu mengulur tangan kanan hendak
menangkap mereka!
“Huuuuhhh....!
Sii.... siluman....!” Si Mata Sipit terloncat kaget, lupa akan ancamannya,
bahkan pedangnya terlepas dari tangan yang menggigil.
“Siluman....
siluman raksasa....!” Si Muka Tengkorak juga melompat bangun.
Mukanya
sendiri seperti tengkorak, seperti siluman yang tentu akan menimbulkan rasa
ngeri di hati orang yang melihatnya, akan tetapi kini dia berdiri terbelalak,
kedua kakinya menggigil. Kemudian kedua orang jagoan ini lari terbirit-birit
diturut oleh anak buahnya yang juga melihat “siluman raksasa” itu!
Keributan
ini terdengar oleh rombongan Pulau Neraka. Mereka menjadi terheran-heran
melihat rombongan lawan itu lari pontang-panting sambil berteriak-teriak ada
siluman! Karena mereka tidak melihat sesuatu, mereka diam-diam mentertawakan
rombongan Thian-liongpang yang mereka anggap pengecut dan penakut, seperti
sekumpulan anak-anak kecil yang ketakutan dan melihat yang bukan-bukan di dalam
tempat sunyi itu.
“Hi-hik,
sungguh lucu! Mereka itu mengaku sebagai orang-orang Thian-liong-pang dan
kabarnya Thian-liong-pang mempunyai banyak orang pandai. Sekarang, di tempat
sunyi ini mereka ketakutan dan lari karena melihat siluman?” Wanita bermuka
jambon tertawa.
“Huh!
Siluman? Kita dari Pulau Neraka sudah lama dianggap manusia-manusia siluman
maka tentu saja kita tidak takut siluman. Lebih baik lagi kalau mereka
melarikan diri sehingga pekerjaan kita menjadi ringan. Besok pagi kita harus
dapat membawa lari anak itu dari sini!” kata laki-laki muka ungu sambil menaruh
lagi ranting kayu kering untuk membesarkan api unggun.
“Tapi....
bagaimana dengan hwesio tua itu? Dia tentu akan merintangi kita dan tentu kita
akan mendapat teguran kalau kita terpaksa harus membunuhnya. Kalau tidak
dibunuh, bagaimana kita bisa mengambil bocah itu?” Sumoinya membantah.
“Apa
sukarnya? Kita boleh menggunakan akal. Dia hanya seorang diri, dan kita
berjumlah banyak. Kita atur begini....” Dia kini bicara bisik-bisik. “Biarlah
besok kutantang dia. Dia toh tidak akan dapat memasuki kuil. Kutantang dia
bertanding, dan selagi aku melawan dia, engkau bersama anak buah kita menyerbu
ke kuil, membawa lari bocah itu!”
“Akan
tetapi dia lihai sekali, Suheng. Bagaimana kalau Suheng kalah?”
“Kalau
dia terlalu lihai, engkau membantuku dan biar anak buah kita yang menyerbu ke
dalam kuil. Kita keroyok dia dan setelah bocah itu dapat dirampas, kita
tinggalkan dia. Apa sukarnya?”
“Akan
tetapi.... senjata-senjata rahasia kaum Thian-liong-pang itu. Berbahaya sekali.”
“Hemm,
mereka telah lari cerai-berai. Kita berjumlah banyak. Suruh anak buah kita
membersihkan senjata-senjata rehasia yang tersabar di depan kuil. Besok setelah
matahari terbit, kita bergerak serentak dan pasti berhasil.”
“Aihh,
Suheng lupa akan bocah buntung tadi. Bagaimana kalau dia muncul?”
“Biarkan
dia muncul! Kita takut apa? Sikapnya saja menyeramkan, akan tetapi bocah itu
bukan setan, hanya manusia biasa, manusia yang cacad pula. Dengan kakinya yang
hanya sebuah, dia bisa apa? Apakah engkau takut, Sumoi?”
“Aku?
Takut? Hi-hi-hik! Lucu sekali, Suheng. Sejak kapan aku takut kepada bocah
buntung seperti dia itu?” Wanita muka jambon itu bangkit berdiri, mendekati
api unggun dan membesarkan api unggun sambil berkata lagi, “untuk membuktikan
bahwa aku tidak takut, kalau benar dia berani muncul, akan kupenggal lehernya
dan kubawa pulang kepalanya untuk hiasan dinding di kamarku....”
Tiba-tiba
ia berhenti bicara, matanya terbelalak, tangannya masih memegeng ranting
membesarkan api, mulutnya terbuka lebar. Juga suhengnya sudah meloncat
berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Ternyata di atas api unggun telah
berdiri pemuda buntung yang mereka bicarakan tadi, akan tetapi pemuda buntung
itu tubuhnya tinggi besar seperti raksasa. Selagi kedua orang Pulau Neraka ini
tertegun, terdengar “raksasa” itu berkata, suaranya besar parau.
“Engkau
akan menabas kepalaku dan hendak membawa kepalaku sebagai oleh-olah? Untuk
hiasan dinding kamar? Nah, ini kuberikan kepalaku kepadamu!” Raksasa itu
menjambak rambutnya sendiri, membetot dan.... kepala raksasa itu copot dan
kini tergantung di tangan kanannya yang diulur untuk menyerahkan kepala itu
kepada wanita bermuka jambon!
“Cel....
celaka.... ib.... iblisssss....!” Wanita itu melompat ke belakang, menahan air
kencingnya yang hampir keluar saking takutnya. Suhengnya sudah mendahuluinya
lari terbirit-birit. Keduanya kini lari pontang-panting dan anak buah mereka
juga lari sambil berteriak-teriak karena mereka dikejar seorang raksasa yang
memegangi kepalanya yang copot!
Siauw
Lam Hwesio hanya melihat betapa kedua rombongan itu secara aneh melarikan
diri, padahal dia hanya melihat Suma Han menghampiri mereka dan bicara lirih,
Hwesio tua ini sudah memiliki banyak pengalaman, dan juga dia memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi apa yang disaksikannya itu benar-benar
membuat ia tidak mengerti, kagum dan menarik napas panjang lalu berbisik,
“Omitohud....!
Dia itu.... manusia ataukah siluman....?” Akan tetapi diam-diam ia merasa
bersyukur bahwa kedua rombongan itu telah pergi sehingga besok akan memudahkan
baginya membawa pergi putera Bhok Khim. Dia tidak berani memasuki kuil malam
itu karena masih ada bahaya racun mengancam. Besok setelah matahari bersinar,
baru ia akan mencari akal untuk memasuki kuil dan menghindarkan diri daripada
bahaya racun yang mengancam. Dia tidak melihat Suma Han muncul lagi, maka
diam-diam ia bersyukur dan berterima kasih lalu melanjutkan samadhinya sambil
memasang perhatian kalau-kalau ada musuh yang berniat buruk memasuki kuil malam
itu.
Akan
tetapi malam itu tidak ada terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, ketika embun
pagi telah mulai terusir pergi oleh sinar matahari yang kemerahan dan cuaca
sudah mulai terang, Siauw Lam Hwesio membuka matanya dan bangkit berdiri. Akan
tetapi, suara di sebelah belakang membuat ia menengok dan alangkah kecewa dan
cemas hati hwesio ini ketika melihat bahwa kedua rombongan dari
Thian-liong-pang dan Pulau Neraka itu ternyata masih berada di situ, biarpun
kini dalam jarak yang agak jauh dan ternyata kedua rombongan itu kini menjadi
satu! Agaknya, keduanya telah bicara tentang siluman dan bersepakat untuk
menghadapi rintangan menakutkan itu bersama! Kini, setelah malam terganti pagi
dan melihat hwesio tua telah bangkit berdiri, merekapun berindap-indap mulai
mendekati kuil!
Melihat
ini, Siauw Lam Hwesio berkata, “Apakah kalian masih belum mau pergi dan
membiarkan pinceng mengambil putera murid Siauw-lim-pai?”
Si
Muka Tengkorak, tokoh Thian-liong-pang itu berseru, “Tidak bisa! Kami tidak
boleh membiarkan engkau mengambil anak itu!”
Laki-laki
bermuka ungu juga berkata, “Losuhu, biarpun engkau dibantu siluman, kami tidak
takut! Kami bersama akan menghadapi siluman itu, baru kemudian kita bicara
tentang anak yang kita perebutkan!”
“Hemm,
pinceng sebetulnya tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi
hendaknya kalian ingat bahwa sekali ini, Siauw-lim-pai bertindak untuk
urusannya sendiri karena anak itu adalah anak dari murid Siauw-lim-pai, berarti
masih keluarga Siauw-lim-pai. Maka apabila pinceng mengambil anak itu dan Cu-wi
menghalangi, berarti bahwa Cu-wi yang mencari permusuhan dengan
Siauw-lim-pai, bukan pinceng yang sengaja menimbulkan pertentangan!”
“Ha-ha-ha,
Siauw Lam Hwesio. Setelah matahari bersinar dan tidak ada Pendekar Siluman
yang main sulap lagi, kini bicaramu lunak sekali. Siapa bicara tentang
permusuhan antara partai? Sekarang adalah urusan pribadi di antara kita! Siauw
Lam Hwesio, aku menantangmu bertanding, apakah engkau berani?”
“Omitohud!
Selamanya pinceng tidak pernah minta bantuan orang lain. Kalau semalam kalian
lari pontang-panting karena Suma-sicu, hal itu adalah kehendak pendekar itu
sendiri. Dan selamanya pinceng tidak pernah mengadakan pibu dengan siapa
juga. Sekarang pinceng tidak ingin berurusan dengan kalian, baik atas nama
partai maupun perorangan. Pinceng hendak mengambil anak itu!”
“Eh,
hwesio penakut! Aku menantangmu, apakah kau tidak berani? Apakah keberanianmu
hanya mengandalkan Pendekar Siluman? Di mana dia sekarang? Seekor siluman akan
lari kalau melihat sinar matahari, apakah semalam itu bukan siluman ciptaan
ilmu hitammu sendiri!” Wanita muka jambon mengejek.
Tiba-tiba
terdengar suara dari dalam kuil. “Siapa mencari Pendekar Siluman? Aku berada di
sini!” Tiba-tiba pintu kuil terbuka dan muncullah Suma Han, terpincang-pincang
sambil memondong seorang anak laki-laki yang memandang kepadanya dengan wajah
berseri. Suma Han terpincang-pincang sampai depan kuil, ditonton oleh semua
orang yang memandang terbelalak karena senjata-senjata rahasia itu masih
bertebaran di situ dan asap kemerahan masih mengepul tipis! Tiba-tiba Suma Han
menggerakkan kaki tunggalnya dan bagi para anak buah kedua rombongan, tubuh
pendekar kaki buntung itu lenyap. Akan tetapi, dua orang tokoh Pulau Neraka dan
dua orang tokoh Thian-liong-pang, juga Siauw Lam Hwesio, melihat betapa pemuda
buntung itu mencelat ke atas tinggi sekali, berjungkir balik lima kali di
udara melewati asap kemerahan dan meluncur turun di dekat mereka tanpa mengeluarkan
suara sedikitpun.
“Hebat....!
Menyenangkan sekali....!” Anak laki-laki dalam pondongan Suma Han yang diajak
mencelat tinggi lalu berjungkir balik lima kali itu tidak menjadi cemas, bahkan
bertepuk-tepuk tangan dan bersorak kegirangan! Ia masih bersorak ketika Suma
Han menurunkannya ke atas tanah.
“Siapa
mencari aku? Aku Pendekar Siluman berada di sini! Dengarkanlah wahai kalian
orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka! Aku sama sekali
bukan pembantu Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai! Aku bertindak atas
kehendakku sendiri dan semua yang kulakukan adalah menjadi tanggung jawabku
sendiri! Aku mengambil anak ini dan kuserahkan kepada Siauw-lim-pai karena aku
menganggap anak ini sudah seharusnya ikut dengan Siauw-lim-pai. Kalau ada di
antara kalian yang tidak menerima, jangan menyalahkan Siauw Lam Hwasio, akan
tetapi akulah yang bertanggun jawab!” Surna Han lalu mandorong tubuh anak itu
yang mencelat ke arah Siauw Lam Hwesio! Hwesio tua itu menerimanya dan
memondongnya.
“Tidak!
Aku lebih suka ikut denganmu, Paman Buntung!” Bocah itu berkata.
“Hemm,
dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka sudah menjadi
kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak menjadi seorang manusia
yang berguna. Jangan membantah lagi!” Di dalam suara Suma Han terkandung
wibawa yang membuat anak itu tidak berani lagi membantahnya. “Locianpwe, harap
membawa pergi anak itu dan Lociapwe sudah tidak ada urusan lagi dengan mereka
ini. Sayalah yang bertanggung jawab dalam urusan ini!”
“Omitohud....!
Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu,” Siauw Lam Hwesio
lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu, diikuti pandang mata semua
orang, namun tidak ada yang berani bergerak menghalanginya pergi.
Tiba-tiba
dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan mereka bergerak.
Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan tangan dan berhamburan
senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru bintang dan golok-golok terbang.
Akan tetapi tiba-tiba tubuh Suma Han lenyap dari depan mata mereka. Ketika
senjata-senjata itu sudah lewat dan golok-golok terbang sudah kembali ke
tangan pemiliknya, kiranya tubuh pendekar butung itu tadi mencelat ke udara
dan kini sudah kembali di tempatnya, berdiri tersenyum pahit sambil bersandar
pada tongkat bututnya!
“Serbu....!”
bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.
“Tangkap!”
pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buahnya.
Kini
puluhan macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han. Pendekar ini
menggerakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke sana sini, tongkatnya berkelebatan
dan terdengarlah bunyi nyaring berkali-kali susul-menyusul dan tampak
senjata-senjata itu beterbangan dalam keadaan patah-patah.
Empat
orang pimpinan kedua rombongan itu marah sekali, mereka maju serentak mengirim
pukulan dengan pengerahan tenaga sin-kang mereka. Kini Suma Han mendorongkan
kedua tangan ke depan, mengempit tongkatnya dan empat orang itu terdorong
mundur, terhuyung-huyung akhirnya terbanting keras. Mereka merayap bangun dan
wajah mereka berubah, gentar dan heran.
“Siapaka
engkau, hai pemuda yang luar biasa?” Si Muka Tengkorak dari Thian-lion-pang
bertanya.
“Namaku
Suma Han!” jawab Pendekar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali tidak
merasa bangga akan namanya.
“Engkau
datang dari partai manakah dan siapa julukanmu? Kami perlu tahu untuk kami
laporkan kepada Ketua kami!” tanya tokoh Pulau Neraka yang bermuka ungu.
Suma
Han memandang orang ini, kemudian memandang orang-orang dari Pulau Neraka
yang mukanya berwarnawarni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini adalah
orang-orang aneh sekali, tentu mempunyai ketua yang luar biasa pula. Tidak
baik menanam bibit permusuhan dengan mereka, maka ia sengaja berkelakar,
“Kalian
sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Adapun partaiku? Tidak ada
partai, tempatku adalah Pulau Es!”
Di
luar sangkaan Suma Han, mendengar ini, rombongan muka berwarna itu
mengeluarkan seruan kaget sekali dan serentak dua orang pimpinan itu
menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han, diturut oleh semua anak buahnya.
“Mohon diampunkan kelancangan hamba sekalian yang tidak mengenal sehingga telah
berani bersikap kurang ajar terhadap To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es!”
Tentu
saja Suma Han terkejut sekali, akan tetapi hatinya girang karena hal itu
berarti bahwa sikap bermusuh mereka telah habis. “Sudahlah, harap kalian jangan
bersikap sungkan. Di antara kita tidak ada permusuhan apa-apa, dan kuharap
saja di masa depan kita tidak akan saling bentrok. Harap sampaikan salamku
kepada Ketua Thian-liong-pang dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!”
Setelah berkata demikian, Suma Han sengaja mengerahkan kepandaiannya sehingga
dalam sekejap mata saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan mereka
semua. Para anak buah dua rombongan itu bengong terheran-heran dan penuh kekaguman,
apalagi kalau mereka teringat akan peristiwa malam tadi dan nama besar
Pendekar Siluman mulai saat itu makin terkenal, bahkan semenjak hari itu, Suma
Han lebih dikenal sebagai Pendekar Siluman daripada Pendekar Super Sakti!
***
“Adikmu
yang seperti setan itu hanya mendatangkan malapetaka saja! Sungguh celaka!
Kalau tahu begini, sampai mati pun tidak sudi aku mengambil engkau menjadi
isteriku! Adikmu itu telah berani melarikan Puteri Nirahai dari istana!
Celaka, sekarang kita tentu akan tertimpa bencana karena engkau adalah cicinya!”
Giam Cu, panglima tinggi besar brawok itu menggebrak meja dan melotot kepada
isterinya yang memandangnya dengan mata terbelalak dan air mata bercucuran.
Isterinya yang muda dan cantik itu adalah Sie Leng, atau lebih tepat Suma Leng,
kakak perempuan dan satu-satunya saudara kandung dari Suma Han. Dalam cerita “Pedekar Super Sakti” telah diceritakan
bahwa Suma Leng ini, ketika masih dara remaja, telah diperkosa dan diculik
oleh panglima Mancu dan kemudian diambil menjadi isterinya karena panglima itu
ternyata jatuh cinta kepada karbannya ini.
“Kalau
dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri, sama sekali
tiada sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau ribut-ribut?” Suma Leng
membantah, akan tetapi ia menjadi cemas menyaksikan sikap suaminya kepadanya
yang amat berubah ini. Baru sekarang suaminya yang biasanya memperlihatkan
sikap kasih sayang, kelihatan marah-marah dan sinar kebencian terpancar dari
mata
“Tiada
sangkut pautnya katamu?” Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya
menghantam permukaan meja. “Brakkk!” Meja itu pecah‑pecah menjadi beberapa
potong! “Semua orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka
tentu kita sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat! Gara‑gara
engkau mempunyai adik siluman, aku pun akan turut celaka pula.” Wajah panglima
itu menjadi pucat teringat akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri. “Kecuali
kalau....”
Suma
Leng mendapat firasat buruk, jantungnya berdebar ketika mendengar kalimat
terakhir yang tidak lengkap itu keluar perlahan‑lahan dari mulut suaminya,
dengan nada yang rendah dan lirih. “....kecuali kalau apa....?” tanyanya. Akan
tetapi pertanyaannya ini disusul jerit mengerikan karena tiba‑tiba
berkelebat sinar menyilaukan dan tahu‑tahu ujung pedang di tangan Giam Cu telah
menembus dada isterinya yang biasanya amat dicintanya itu!
Suma
Leng terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dada yang tertusuk
pedang. “Kau.... kau....” ia terengah‑engah, terhuyung ke belakang.
Sedetik
Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya dengan
keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan diri. “Terpaksa,
demi keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)....”
“Ibu....!
Ibuuuuu....!” Seorang anak perempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari
dari dalam. Seorang kanak‑kanak memiliki perasaan yang amat tajam dan halus
sekali apalagi dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang dekat
sehingga anak perempuan yang biasanya diasuh oleh para pelayan, kini
seperti digerakkan sesuatu yang mujijat, meronta dan berlari mencari ibunya!
“Kwi
Hong....!” Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.
“Ibuuuu....!”
Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu, memasuki kamar dan berlari
menghampiri ibunya. Akan tetapi tiba‑tiba tangan Panglima Giam menyambar
tengkuknya dan bocah itu meronta dan menangis dalam pondongan ayahnya. “Aku mau
Ibu....! Lepaskan, akan turut Ibu....!”
“Husshh!
Ibumu jahat dan nakal, engkau turut Ayah saja!” Panglima Giam Cu membentak
dalam usahanya menghibur anaknya secara kaku dan kasar.
“Tidakkkk....!
Aku mau Ibu...., mau Ibu....!” Anak itu meronta‑ronta.
“Kwi
Hong.... Kwi Hong.... engkau.... hati‑hatilah anakku.... ohhhh!” Suma Leng
menghembuskan napas terakhir dan bagaikan digerakkan sesuatu, anak itu
menjerit dan menangis sekerasnya.
“Diam!
Kutampar engkau kalau tidak mau diam!” Giam Cu membentak akan tetapi anak itu
tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah dan benar‑benar
menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu.
Para
pelayan datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan mereka
menggeletak di lantai dengan dada tertembus pedang dan tidak bernyawa lagi.
Giam Cu menerangkan. “Dia membunuh diri karena malu mengingat adiknya Suma Han
yang menjadi siluman kaki buntung dan menimbulkan keributan di istana.”
Para
pelayan mengundurkan diri sambil memondong Kwi Hong dan ramailah berita
tentang kematian isteri panglima ini yang membunuh diri. Berita ini tentu saja
terdengar oleh Kaisar dan tepat seperti yang diperhitungkan Giam Cu, dia tidak
diganggu oleh Istana berhubung dengan perbuatan Suma Han yang melarikan Puteri
Nirahai karena orang yang menjadi kakak pemuda buntung itu telah membunuh diri!
Akan
tetapi, tentu saja penghuni gedung panglima ini dapat menduga bahwa nyonya
majikan mereka sama sekali tidak membunuh diri, melainkan dibunuh oleh Giam‑ciangkun.
Namun mereka tidak berani bicara tentang itu. Pula, andaikata Kaisar mendengar
bahwa kematian kakak perempuan Suma Han itu disebabkan oleh pembunuhan Giam
Cu, hal ini bahkan akan memperbesar kepercayaan pihak istana terhadap kesetiaan
Giam Cu!
Kurang
lebih empat bulan kemudian, pada suatu malam yang sunyi, menjelang tengah
malam, Panglima Giam Cu terbangun dari tidurnya. Ia terkejut sekali melihat
bayangan orang dalam kamarnya. Cepat ia mendorong tubuh wanita muda yang
montok dan hangat itu, yang menjadi kekasihnya semenjak isterinva tewas, dan
dengan hanya berpakaian dalam ia meloncat turun dari pembaringan. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal orang yang berdiri di dalam
kamarnya itu, seorang lakilaki muda berkaki tunggal, bertongkat, rambutnya
riap‑riapan berwarna putih semua. Suma Han! Memang benarlah. Suma Han atau Si
Pendekar Siluman yang berada di dalam kamar itu. Setelah berhasil
menyelamatkan putera Bhok Khim di kelenteng tua itu dan menyerahkan anak itu
kepada Siauw Lam Hwesio, pendekar ini diam‑diam pergi ke kota raja untuk
mengunjungi encinya dan minta diri karena ia mengambil keputusan untuk
pergi mencari Pulau Es dan menghabiskan sisa hidupnya di tempat itu. Ia
ingin bertemu dengan encinya untuk terakhir kalinya. Dapat dibayangkan betapa
kaget dan duka hatinya mendengar bahwa encinya itu telah mati membunuh diri
beberapa bulan yang lalu, yaitu beberapa hari setelah ia melarikan Puteri
Nirahai dari penjara!
Karena
merasa penasaran dan ingin menyelidiki, maka pada tengah malam itu Suma Han
mempergunakan kepandaiannya memasuki kamar cihunya (kakak iparnya).
Sebelum Giam Cu hilang kagetnya, Suma Han telah menggerakkan tongkat dan
sekali totokan membuat tubuh Giam Cu tak dapat digerakkan lagi. Wanita muda
yang telanjang bulat itu terbangun dan hendak menjerit, namun kembali Suma Han
menotok sehingga wanita itu roboh lemas kembali ke atas kasur.
Suma
Han menatap wajah cihunya, kemudian terdengar suaranya lirih penuh wibawa yang
aneh, “Ceritakan sebab kematian Enci Leng!”
Seperti
dalam mimpi, yang membuat ia ketakutan setengah mati, panglima itu mendengar
suaranya sendiri, suara yang agaknya tak dapat ia kendalikan dan kuasai lagi,
yang bicara tanpa dapat dicegahnya, “Dia mati kubunuh, kutusuk pedang dari dada
tembus ke punggungnya.”
Suma
Han memejamkan mata sejenak untuk “menelan” kemarahan yang menyesak dada,
kemudian membuka lagi matanya dan bertanya, “Mengapa engkau membunuhnya?
Bukankah engkau amat sayang sekali kepada Enci Leng?”
Seperti
sebuah arca yang mendadak bisa bicara, terdengar panglima itu menjawab, “Aku
masih sayang kepadanya.... tapi.... aku harus membunuhnya. Itulah jalan satu‑satunya
bagiku untuk menyelamatkan diri dari kemarahan Kaisar karena perbuatan
adiknya. Aku menyesal.... akan tetapi terpaksa....!”
Suma
Han menarik napas panjang, kemudian berkelebat keluar dari kamar itu. Tak lama
kemudian, tampaklah tubuhnya mencelat‑celat di atas wuwungan rumah‑rumah kota
raja meloncati tembok kota keluar dari kota raja. Akan tetapi sekarang lengan
kanannya memondong seorang anak kecil yang terbungkus selimut merah tebal.
Seorang bocah yang masih tidur, yakni Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun
lebih, tidur nyenyak tidak tahu bahwa dia telah dibawa pergi pamannya
meninggalkan gedung ayahnya, meninggalkan kota raja, bahkan meninggalkan dunia
ramai!
Memang,
semenjak perbuatan terakhir yang kembali menggemparkan kota raja karena semua
orang menemukan Giam-ciangkun dalam keadaan berubah ingatan dan puteri
panglima itu lenyap sehingga orang‑orang mulai menduga bahwa ini tentu
perbuatan Pendekar Siluman, diperkuat oleh kesaksian selir panglima itu yang
melihat laki‑laki buntung dalam kamar, semenjak itulah Suma Han lenyap dari
dunia ramai. Akhirnya Kaisar menghentikan usahanya untuk mencari pendekar ini,
juga sudah putus harapan untuk dapat menemukan kembali Puteri Nirahai yang
hilang. Banyak sekali urusan yang lebih penting daripada hilangnya puteri
dari selir ini. Terutama sekali urusan penumpasan para pemberontak di Se-cuan.
Setelah berhasil mengadakan persekutuan dengan Pangeran Kiu yang bersaing
dengan Raja Muda Bu Sam Kwi, dan bersekutu pula dengan Tibet, pasukan‑pasukan
Mancu kembali melakukan penyerbuan dan tekanan-tekanan di Se-cuan terus‑menerus
dilakukan. Pihak pejuang yang melawan kekuasaan pemerintah Mancu melakukan
perlawanan mati‑matian. Akan tetapi, berkat siasat yang dilakukan Puteri
Nirahai dahulu, yaitu mendekati dan menjanjikan perdamaian dengan para tokoh
kang‑ouw, kini perlawanan Bu Sam Kwi kehilangan bantuan orang‑orang pandai dari
dunia kang‑ouw sehingga makin lama pertahanannya menjadi makin lemah.
Memang
patut dikagumi keuletan pertahanan pihak Se-cuan yang pantang mundur. Bahkan
matinya Raja Muda Bu Sam Kwi masih belum meruhtuhkan semangat perlawanan
pasukan Se-cuan. Mereka terus mengadakan perlawanan gigih dan barulah setelah
melakukan perang lagi selama empat tahun lebih, pada tabun 1681 semua pertahanan
dapat dihancurkan dan Se-cuan dapat direbut oleh tentara Mancu. Dengan jatuhnya
Se-cuan, berhenti pula perang dan mulai saat itulah pemerintah Mancu dapat
menguasai seluruh Tiong‑goan.
Ternyata
pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi cukup bijaksana dan
ternyata pula bahwa orang-orang Mancu tidak hanya pandai perang,
melainkan pandai pula mengatur pemerintahan. Untuk menundukkan semangat
perlawanan bangsa pribumi, pemerintah mengadakan peraturan yang keras. Model
pakaian diganti dan rakyat dianjurkan bahkan kadang‑kadang dengan kekerasan,
untuk merobah model pakaian Mancu. Rambut harus dibiarkan panjang dan
dikuncir. Selain ini, diadakan pula larangan membawa senjata tajam. Namun di
samping kekerasan ini, pemerintah pun menjalankan siasat lunak yang menyenangkan
hati rakyat. Korupsi dan penyuapan diberantas, kejahatan dihukum keras.
Pribumi yang memiliki kepandaian mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan‑jabatan
penting. Kebudayaan ditingkatkan dan dipelihara. Rakyat mulai merasa lega
karena biarpun negara dijajah bangsa asing, namun penghidupan mereka kini lebih
tenteram dan keselamatan mereka terjamin. Terutama sekali karena bangsa Mancu
tidak menganggap mereka sebagai pendatang atau orang asing, tidak mengangkut
kekayaan di bumi yang dijajah itu ke Mancu, melainkan melebur diri menjadi
rakyat dari negara itu. Para pembesar dan bangsawan mempelajari kebudayaan
Tiongkok bahkan keluarga mereka mulai berbicara dalam bahasa bangsa jajahannya
ini.
Keadaan
yang mulai tenteram inilah maka timbul kembali partai‑partai persilatan yang
tadinya tenggelam dan menyembunyikan diri. Karena sekarang tidak ada lagi
“musuh rakyat” yang harus mereka lawan dengan ilmu kepandaian mereka, mulailah
lagi timbul penyakit lama kaum kang‑ouw ini, yaitu berlumba untuk menjagoi di
dunia persilatan! Mulai kambuh kembali penyakit ingin mencari dan menguasai
semua pusaka-pusaka peninggalan tokoh‑tokoh persilatan yang sakti,
memperebutkan pusaka-pusaka untuk memperkuat kedudukan masing‑masing agar
dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia kang‑ouw. Dalam pandangan kaum kang‑ouw
ini, pemerintah yang baru mendatangkan kesan baik, maka sebagian ada yang
menghambakan diri kepada pemerintah untuk memperkokoh kedudukan dan kemuliaan.
Namun, kaum persilatan yang memang berwatak aneh itu merupakan petualang‑petualang
yang haus akan ketegangan‑ketegangan, maka lebih banyak lagi yang tidak
mengikatkan diri dengan pemerintah dan hidup bebas seperti yang ditempuh nenek
moyang mereka di dunia kang‑ouw.
Lima
tahun telah lewat dengan aman dan tenteram. Tidak terjadi ketegangan di dunia
kang‑ouw selama lima tahun itu. Namun ada terdengar berita bahwa terjadi
perubahan‑perubahan yang amat hebat di dalam partai-partai besar. Agaknya
partai-partai besar itu selama lima tahun ini sibuk dengan urusan dalam partai
sendiri, tentang penggantian ketua, dewan pimpinan dan lain‑lain, juga
memperkuat kedudukan untuk menghadapi “sesuatu” yang dibisik‑bisikkan sebagai
hal amat gawat! Karena itu, di dalam ketenangan itu bersembunyi sesuatu yang
sewaktu‑waktu akan meledak di dunia kang‑ouw! Api dalam sekam yang setiap saat
dapat berkobar! Bisul yang makin lama makin membesar, siap untuk pecah! Ada
terdengar berita bahwa kini para tokoh‑tokoh besar di dunia kang-ouw mulai
mengincar kedudukan dan tingkat di dunia persilatan. Hal ini tidak mengherankan
karena bukankah tokoh-tokoh lama sudah lenyap dan banyak yang mengundurkan
diri tanpa pamit? Akan tetapi, semua orang kang‑ouw tahu bahwa perebutan
tingkat di dunia kang‑ouw tidak kalah ramainya dengan perebutan saingan sebuah
kerajaan!
Selama
lima tahun itu, Siauw-lim-pai juga mengalami kejadian‑kejadian penting. Pertama
adalah meninggalnya Kian Ti Hosiang tokoh tertua dari Siauwlim‑pai, disusul
setahun kemudian dengan meninggalnya Ceng San Hwesio Ketua Siauw‑lim‑pai.
Setelah dua orang tokoh ini meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi
pimpinan yang ditakuti, maka terjadilah guncangan-guncangan akibat perebutan
kekuasaan dan anak muridnya terpecah karena mempertahankan pilihan calon ketua
masing-masing. Dan di dalam keributan dan guncangan itu, Siauw Lam Hwesio turun
tangan. Hwesio tua ini sebetulnya hanyalah seorang hwesio yang kedudukannya
rendah, dan tidak pernah mencampuri urusan partai. Akan tetapi oleh kerena dia
bekas pelayan Kian Ti Hosiang dan semua hwesio tahu bahwa Siauw Lam Hwesio
mewarisi ilmu kepandaian Kian Ti Hosiang sehingga jarang ada murid Siauw-lim‑pai
lain yang mampu mengimbangi tingkatnya, maka ketika Siauw Lam Hwesio turun
tangan melerai, nasihatnya ditaati. Apalagi karena Siauw Lam Hwesio yang
biasanya pendiam dan sabar itu agaknya menjadi marah sekali menyaksikan
perebutan kekuasaan antara saudara seperguruan, sehingga terlontarlah kata-kata
dan keputusannya.
“Tidak
mau insaf jugakah kalian betapa nama kita sebagai pendeta‑pendeta menjadi
bahan ejekan dan kecaman dunia? Betapa banyak orang‑orang yang berpakaian
seperti pendeta namun kelakuannya amat jahat. Mereka itu sebetulnya hanyalah
penjahat‑penjahat yang menyembunyikan diri dalam pakaian pendeta, akan tetapi
perbuatan mereka itu telah mencemarkan nama kita. Sekarang, kalian sebagai
pendeta‑pendeta aseli, sebagai hwesio‑hwesio murid Siauw‑lim‑si yang semenjak
kecil digembleng dengan ilmu dan kebatinan, ternyata masih tidak mampu
menguasai nafsu akan kemuliaan dan kedudukan sehingga kedudukan ketua saja
diperebutkan! Kalau begitu, apa artinya kalian menggunduli rambut kepala? Apa
artinya kepala gundul akan tetapi hatinya berbulu? Sungguh mencemarkan dan
memalukan perbuatan kalian ini sehingga pinceng sendiri merasa malu untuk
berpakaian pendeta dan menggunduli kepala. Nah, mulai sekarang biarlah aku
tidak menjadi pendeta lagi, kepalaku tidak gundul lagi agar jangan dikira aku
pun seorang busuk menyamar sebagai pendeta hwesio!” Setelah berkata demikian,
Siauw Lam Hwesio mengeluarkan ilmunya yang mujijat. Seluruh tubuhnya menggigil
dan kulit tubuhnya mengeluarkan keringat dan.... di permukaan kepalanya yang
gundul licin itu tiba-tiba tumbuh rambut yang panjangnya ada dua senti! Juga
ketika ia menggerakkan tubuh, pakaian pendeta yang menempel di tubuhnya hancur
berantakan!
Melihat
kesaktian yang hebat ini, para murid Siauw-lim‑pai tunduk dan dapatlah kini
dipilih seorang ketua baru tanpa adanya pertentangan. Anak laki-laki putera
Bhok Kim yang dibawa ke kuil Siauw‑lim‑si oleh kakek itu, kini telah menjadi
muridnya dan tinggal pula di Siauw-lim‑si membantu pekerjaan gurunya sebagai
pelayan. Semua hwesio di kuil itu sayang kepada Bun Beng, demikian nama anak
itu, karena bocah itu amat rajin dan penurut, pula memiliki kecerdikan yang
luar biasa dengan wajahnya yang tampan dan sepasang matanya yang bening
tajam.
Semenjak
peristiwa hebat di mana Siauw Lam Hwesio menumbuhkan rambutnya itu, dia
bersama Bun Beng masih tinggal di dalam kuil, di bagian belakang dan
mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, membersihkan kuil, mengisi air, menyapu
dan lain‑lain, dibantu muridnya.
Pada
malam itu, setelah makan malam dan mengaso, Bun Beng melihat wajah gurunya
muram. Gurunya memang tidak pernah berseri mukanya, akan tetapi biasanya wajah
gurunya itu hanya dingin saja, tidak seperti malam ini jelas membayangkan
kemuraman. Kakek itu kini rambutnya telah panjang sampai lewat pundak, jenggot
dan kumisnya juga panjang. Rambut dan jenggot itu telah putih semua, seperti
benang‑benang perak, dan pakaiannya sederhana sekali.
“Suhu,
apakah yang mengganggu pikiran Suhu?” Bun Beng bertanya ketika guru dan murid
ini duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka.
Kakek
yang kini tidak menggunakan sebutan hwesio lagi melainkan hanya Kakek Siauw Lam
saja, memandang muridnya sambil menyembunyikan kekaguman hatinya dari sinar
matanya. Benar seorang bocah yang luar biasa, pikirnya. Selama lima tahun ini,
dalam pelajaran sastera semua kitab kuno yang berada di perpustakaan kuil
habis “dilahapnya”, sedangkan dalam pelajaran ilmu silat, bocah ini memiliki
bakat yang mentakjubkan. Sekali diajar terus dapat mengerti dan menguasai! Hal
ini masih belum mengagumkan hati kakek Siauw Lam, yang mengagumkan hatinya
benar‑benar adalah pandangan yang amat luas dari bocah ini. Usia Bun Beng baru
sepuluh tahun lebih, akan tetapi bocah ini sudah dapat mengerti bahwa saat itu
dia sedang menderita gangguan pikiran! Bukan main!
Kakek
itu menarik napas panjang, lalu menjawab, “Betapa pikiran takkan terganggu
kalau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, muridku? Semenjak dunia
berkembang, manusia selalu menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri sehingga
timbullah hal‑hal yang saling merugikan di antara manusia. Kita yang
mempelajari ilmu silat, sedikit banyak mempunyai pertalian dengan dunia persilatan.
Karena itu, mendengar akan keruhnya dunia kang‑ouw pada saat ini, mau tidak
mau hatiku menjadi pilu dan penuh kekhawatiran akan terjadi
bentrokan-bentrokan hebat di antara para pendekar sehingga akan mengorbankan
nyawa banyak orang gagah secara sia‑sia belaka.”
“Apakah
yang terjadi di dunia kang‑ouw, Suhu?”
Tampaknya
memang aneh mendengar seorang kakek tua membicarakan urusan dunia kang‑ouw
dengan seorang anak laki‑laki berusia sepuluh tahun lebih. Akan tetapi karena
Kakek Siauw Lam maklum bahwa Bun Beng bukanlah bocah biasa, tanpa ragu‑ragu
lagi ia lalu bercerita,
“Dunia
kang‑ouw yang selama ini tampak tenteram dan penuh damai, kini mulai geger
dengan adanya berita yang amat mengejutkan. Pertama, lenyapnya pusaka‑pusaka
peninggalan keluarga Suling Emas yang amat dipuja oleh kaum kang‑ouw, baik
dari golongan hitam maupun putih. Kedua, lenyapnya sepasang pusaka yang
menggiriskan, yaitu Sepasang Pedang Iblis! Hanya diketahui bahwa kuburan kedua
orang Siang‑mo‑kiam tahu‑tahu dibongkar orang dan diduga bahwa Sepasang
Pedang Iblis yang tentu berada dengan sisa jenazah kedua orang pemiliknya itu
telah diambil pembongkar kuburan. Kalau pusaka‑pusaka peninggalan Suling Emas
amat dipuja dunia kang‑ouw sebagai pusaka‑pusaka keramat yang patut dihormat,
adalah Sepasang Pedang Iblis merupakan pusaka yang mengerikan dan menakutkan
karena munculnya Sepasang Pedang Iblis itu berarti munculnya pula geger dan
keributan di dunia kang‑ouw. Hal ke tiga adalah berita tentang ditemukannya
kitab‑kitab warisan keluarga Bu Kek Siansu dan kabar yang menghebohkan adalah
bahwa kini pemerintah telah menguasai peta penyimpanan pusaka-pusaka itu.
Karena pendengaran orang kang‑ouw amat tajam, kini sudah diketahui pula bahwa
tempat itu adalah sebuah di antara pulau‑pulau karang kecil di tengah-tengah
Sungai Huang‑ho yang sudah dekat dengan muaranya di Teluk Po-hai. Nah, dengan
adanya berita ini, aku menduga bahwa tentu tokoh‑tokoh kang‑ouw yang memiliki
kepandaian tinggi sedang berlumba untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu, tentu
ramailah Sungai Huang-ho di daerah itu.”
“Daerah
mana, Suhu?”
“Kabarnya
sesudah melewati Terusan Besar, bahkan sesudah lewat kota Cin-an, di sebelah
timurnya, hanya beberapa puluh li saja dari pantai laut.”
“Siapa
sajakah yang akan muncul, Suhu? Apakah.... Pendekar Siluman juga akan hadir?”
Selama lima tahun ini, tak pernah Bun Beng dapat melupakan Pendekar Siluman
berkaki buntung yang pernah menolongnya. Sudah sering kali ia bertanya kepada
suhunya tentang diri Suma Han, akan tetapi gurunya agaknya enggan bicara
tentang Pendekar Siluman itu.
“Entahlah,
mana aku tahu siapa yang akan muncul? Hanya kabarnya sekarang ini di dunia kang‑ouw
telah muncul banyak sekali orang yang memiliki kesaktian luar biasa.”
“Seperti
Pendekar Siluman?”
Kakek
itu memandang muridnya, sinar matanya tersenyum. “Mungkin lebih! Biarpun aku
hanya mendengar beritanya saja, namun kabarnya kini Thian‑liong-pang mempunyai
seorang ketua yang kepandaiannya seperti dewa! Dan juga bermunculan tokoh‑tokoh
dari Pulau Neraka yang kabarnya mempunyai kepandaian seperti iblis-iblis
neraka sendiri. Tentang ketuanya, belum pernah ada orang melihatnya, penuh
rahasia seperti ketua baru Thian‑liong‑pang! Ketua dua partai ini hanya
kabarnya saja yang sudah keluar ke dunia kang‑ouw, namun mungkin jarang ada
yang pernah melihat mereka. Di samping Thian‑liong‑pang dan pulau Neraka, kini
bahkan muncul kabar tentang partai baru, yaitu penghuni-penghuni Pulau Es!”
“Pendekar
Siluman....?” Bun Beng makin tertarik.
“Entahlah.
Tentang pulau Es ini lebih mengherankan lagi dan penuh rahasia. Tidak ada yang
tahu pula siapa ketuanya, namun kabarnya, anak buahnya pun sudah memiliki
kesaktian luar biasa. Apalagi ketuanya!”
Mendengar
penuturan tentang dunia kang‑ouw dengan banyak keanehannya itu, hati Bun Beng
tertarik bukan main. Kalau gurunya bicara, pandang matanya seolah‑olah melekat
dan tergantung pada bibir gurunya untuk mengikuti gerak-gerik agar jangan ada
sepatah pun kata yang terlewat oleh penangkapannya. Kalau gurunya berhenti, ia
pun termenung dan pikirannya melayang-layang jauh sekali.
Biarpun
Kakek Siauw Lam hanya mendengarkan penuturan anak murid Siauw‑lim‑pai yang
juga mendengarnya sebagai kabar angin saja, namun sesungguhnya kabar itu banyak
yang benar. Memang telah terjadi hal‑hal luar biasa di dunia kang‑ouw selama
beberapa tahun ini.
Pertama
adalah tentang lenyapnya pusaka‑pusaka keluarga Suling Emas. Pusaka‑pusaka ini,
termasuk senjata keramat Pendekar Sakti Suling Emas yang berbentuk sebatang
suling emas yang indah, tadinya tersimpan di tanah kuburan keluarga Suling Emas
yang terletak di daerah Khitan. Tanah kuburan ini terjaga keras oleh seorang
tokoh sakti yang disegani karena selain dia bekas pelayan keturunan terakhir keluarga
pendekar itu, juga berkali‑kali merobohkan orang-orang yang berusaha merampas
pusaka-pusaka itu. Di dalam cerita “Pendekar
Super Sakti” telah diceritakan ketika Puteri Nirahai mengunjungi kuburan
itu untuk meminjam suling emas guna mempengaruhi kaum kang‑ouw, puteri ini pun
kewalahan menghadapi penjaga yang sakti itu. Penjaga itu adalah kakek bongkok
Gu Toan yang setia, yang menjaga kuburan keluarga Suling Emas, membela seluruh
pusaka, lebih‑lebih daripada membela nyawanya sendiri! Akan tetapi geger
pertama mengguncang dunia kang-ouw ketika pada suatu hari, kakek bongkok Gu
Toan itu terdapat sudah tak bernyawa lagi tanpa terluka di depan pintu pagar
kuburan, dan semua pusaka telah lenyap tanpa bekas!
Dunia
kang‑ouw geger, para tokoh saling mencurigai, saling menyelidik namun pusaka‑pusaka
itu tak pernah dapat ditemukan jejaknya! Keguncangan ini belum juga reda, dunia
kang‑ouw sudah digegerkan oleh guncangan ke dua, yaitu ketika tokoh‑tokoh tua
menemukan kuburan Siang‑mo‑kiam telah dibongkar orang dan Sepasang Pedang
Iblis yang diduga berada di dalam kuburan itu telah lenyap. Atau lebih tepat
lagi tidak ada yang tahu sebelumnya bahwa Siang-mo‑kiam telah tewas, menduga
bahwa setelah dua orang iblis jantan betina itu tewas namun Sepasang Pedang
Iblis tak dapat ditemukan pada sisa mayat mereka, tentulah Sepasang Pedang
Iblis itu telah terjatuh ke tangan orang lain. Dan hal ini berarti BAHAYA!
Telah
diceritakan dalam cerita “Pendekar
Super Sakti” bahwa yang mengubur jenazah Siang‑mo‑kiam itu adalah Suma
Han dan adik angkatnya, Lulu gadis Mancu. Siang-mo‑kiam merupakan sepasang
kakek dan nenek yang aneh sekali, dan keanehan itu agaknya terpengaruh oleh
Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai riwayat menyeramkan aneh. Dahulu, puluhan
tahun, bahkan ratusan tahun yang lalu, di jamannya Pendekar Wanita Sakti
Mutiara Hitam puteri Pendekar Suling Emas sepasang pedang itu dibuat oleh
sepasang kakek nenek berbangsa India yang amat sakti, aneh dan ganas sekali.
Karena mereka berdua kalah dalam pertandingan melawan Pendekar Wanita Mutiara
Hitam, maka keduanya lalu membayar taruhan mereka, yaitu membuatkan sepasang
pedang, masing‑masing membuat sebatang untuk Mutiara Hitam (Ceritanya yang
jelas dapat di baca dalam ceritaIstana
Pulau Es ).
Cara
pembuatan pedang itu luar biasa sekali. Bahannya dari dua bongkah logam aneh
milik Mutiara Hitam dan kedua orang kakek nenek India itu yang selalu berlumba
tidak mau saling mengalah, kini berlumba dalam membuat pedang. Bentuk pedang
serupa karena memang contohnya diberikan oleh Mutiara Hitam, maka keduanya lalu
bersaing untuk membuat pedang yang lebih ampuh! Untuk ini, mereka tidak segan‑segan
untuk mengorbankan anak‑anak kecil yang diambil darahnya untuk dijadikan
“bumbu” dalam “memasak” pedang! Bahkan akhirnya, persaingan itu memuncak
sedemikian rupa sehingga kakek dan nenek itu saling bunuh dengan pedang mereka
pada saat Mutiara Hitam datang hendak mengambilnya!
Kemudian,
Sepasang Pedang Iblis itu terjatuh ke tangan dua orang murid Mutiara Hitam laki‑laki
dan perempuan. Sejarah berulang. Mereka ini yang sebetulnya saling mencinta,
saling bersaing tidak mau kalah sehingga berubah menjadi ganas sekali dan
akhirnya, sebagai kakek dan nenek, mereka pun tewas oleh pedang masing‑masing!
Jenazah kedua kakek dan nenek murid Mutiara Hitam ini dikubur oleh Suma Han dan
Lulu, dan kedua orang yang pada waktu itu masih amat muda itu mengubur pula
Sepasang Pedang Iblis bersama dua jenazah itu.
Demikian
riwayat singkat Sepasang Pedang Iblis yang dituturkan jelas dalam ceritaIstana Pulau Es , dan kini sepasang
pedang itu lenyap pula. Bagaimana dunia kang‑ouw tidak akan menjadi geger
karenanya?
Bukan
hanya lenyapnya pusaka Keluarga Suling Emas dan Sepasang Pedang Iblis saja
yang menggegerkan dunia kang-ouw dan kaum persilatan, akan tetapi berita
tentang ditemukannya kitab‑kitab pusaka warisan keluarga Bu Kek Siansu tidak
kalah hangatnya. Nama Bu Kek Siansu, orang kang-ouw manakah yang tidak
mengenalnya? Pendekar Sakti Suling Emas banyak menerima ilmu dari kakek sakti
yang dianggap manusia dewa itu! Bahkan banyak tokoh‑tokoh sakti dari golongan
hitam juga memperoleh ilmu dari Bu Kek Siansu karena dahulu kabarnya setiap
tahun Bu Kek Siansu “turun” ke dunia untuk membagi‑bagikan ilmu kepada mereka
yang berjodoh dengannya! Ilmu‑ilmu mujijat yang dimiliki kaum sesat, seperti
Hwi-yang Sin‑ciang (Tangan Sakti Inti Api) dan Swat‑im Sin‑ciang (Tangan Sakti
Inti Salju) kabarnya juga berasal dari ilmu yang diberikan oleh Bu Kek Siansu!
Maka kalau sekarang tersiar berita bahwa kitab‑kitab pusaka peninggalan
keluarga Bu Kek Siansu ditemukan, tentu saja dunia kang‑ouw menjadi geger!
Dengan
kabar terakhir tentang ditemukannya peta yang menunjukkan tempat penyimpanan
pusaka‑pusaka dan kitab‑kitab oleh pemerintah, menjadi puncak ketegangan dan
kehebohan sehingga memancing keluar orang-orang sakti yang selama ini lebih
suka menyembunyikan diri di dalam gua‑gua rahasia, di dalam pulau‑pulau
terasing, atau di puncak-puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia.
“Suhu,
teecu mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan bertemu dengan
tokoh‑tokoh sakti!” Tiba-tiba Bun Beng berkata setelah termenung sejenak.
Kakek
Siauw Lam terkejut, memandang muridnya dengan alis berkerut, “Ah, apakah
kaukira hal itu merupakan main-main? Kalau para tokoh itu sudah bertemu dan
saling memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat
itu amat jauh dari sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan
ancaman bahaya maut!”
“Suhu,
tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa
memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi teecu, selain
menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu untuk bertemu
dengan orang‑orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan permintaan teecu ini.”
Kakek
itu sudah cukup mengenal watak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu.
Muridnya ini, di samping bakat‑bakat dan watak‑watak lainnya, juga memiliki
keberanian yang tidak lumrah dimiliki anak kecil, di samping kekerasan hati
yang pantang mundur kalau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma
saja, bahkan memberi kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya.
Dia mengerti bahwa kalau dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi
penasaran dan ada kemungkinan akan minggat! Maka ia lalu menarik napas panjang
sambil berkata, “Hemmmm.... terserah kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah
engkau benar‑benar berani menempuh segala bahaya itu.”
“Suhu,
terima kasih! Besok pagi‑pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!”
Bun Beng menjadi gembira sekali dan cepat membuat persiapan untuk melakukan
perjalanan jauh yang selamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam‑diam
merasa kagum sekali dan tersenyum di dalam hati.
Waktu
lima tahun memang merupakan waktu yang cukup lama dalam kehidupan manusia,
dan waktu ini cukup untuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal‑hal
yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw‑lim‑pai yang mengalami perubahan hebat
sehingga perubahan besar menimpa diri Siauw Lam Hwesio yang kini telah
meninggalkan kependetaannya dan menjadi orang biasa karena kekecewaannya
menyaksikan keributan yang terjadi di antara murid‑murid Siauw‑lim‑pai
sendiri.
Perubahan
besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekuasaan alam telah
mempermainkan penghidupannya, dan agaknya memang semenjak kecil Suma Han
ditakdirkan untuk mengalami banyak hal‑hal pahit yang membuat dia dalam usia
semuda itu sudah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan
keramaian dunia sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia.
Untuk dapat mengikuti pengalaman‑pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti
perjalanannya yang penuh pengalaman dahsyat.
Setelah
berhasil merampas keponakannya, Giam Kwi Hong yang berusia hampir empat
tahun, puteri dari mendiang encinya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han
lalu melarikan diri ke timur. Kwi Hong masih tidur nyenyak dalam pondongannya
dan baru pada keesokan harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam
pondongan seorang laki-laki yang tak dikenalinya, anak itu menangis dan Suma
Han mulai bingung. Susah payah dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia‑sia
karena anak itu menjerit‑jerit mencari ibunya!
“Diamlah,
Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik.” Berulang kali ia menghibur dengan suara halus
dan penuh rasa kasihan teringat akan encinya yang telah meninggal dunia.
“Lihat, kucarikan buah-buah, kembang....!” Sibuklah dia meloncat dan berlari
ke sana‑sini, memetik buah‑buah dan kembang, ditumpuknya di depan anak yang ia
dudukkan di atas rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.
“Ibuuu....!
Aku mau turut Ibu.... hi‑hi-hikk....!” Kwi Hong menangis terus tanpa
mempedulikan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok‑gosok kedua
matanya dengan punggung tangan.
Suma
Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menjadi makin
bingung. Tak pernah disangkanya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin
dia begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia
membujuk‑bujuk tanpa hasil.
“Aduh, Kwi
Hong.... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku adalah
adik Ibumu, aku Paman Han....!”
Tangan
yang menggosok‑gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu
memandangnya, tangisnya terhenti sebentar. Betapa indah mata itu, Suma Han
memandang kagum, seolah-olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin
bening dan bersih!
“Paman
Han Han....?”
Suma
Han tersenyum lebar, “Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah menceritakan kepadamu.
Aku Paman Han Han....!” Ia tertawa lega, akan tetapi kembali ia tertegun
bingung melihat Kwi Hong lagi-lagi menangis sedih.
“Ibuku....!
Mana Ibuku....! Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!”
Celaka!
Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang sudah mati? Dan
tidak mungkin pula menerangkan kepada bocah sekecil ini bahwa ibunya telah
mati. Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba‑tiba ia
melihat seekor kelinci bergerak di antara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat
ia meloncat dan sekali sambar ia sudah berhasil menangkap kelinci putih itu.
“Kwi
Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!” Suma Han
memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong. Anak itu memandang,
tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya, memondong
kelinci sambil tersenyum dan berkata.
“Kelinci
cantik....!”
Baru
sekarang Suma Han merasa betapa hatinya lega dan girang bukan main sehingga
mau rasanya ia menari-nari dan menyanyi‑nyanyi! Ia mencium pipi anak itu dan
berkata, “Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Pamanmu akan mencarikan
binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah buah ini. Nih, Paman
kupaskan kulitnya, manis sekali, makanlah!”
Kwi
Hong suka makan buah itu, apalagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit
kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga
dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan
menuju ke pantai laut di mana dahulu ia mendarat bersama Lulu ketika mereka
berdua meninggalkan Pulau Es. Dia hendak kembali ke Pulau Es itu bersama Kwi
Hong.
Setelah
melakukan perjalanan berpekan‑pekan lamanya dan seringkali dia terpaksa
menggunakan kekuatan mujijatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu
terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa,
pada suatu senja tibalah Suma Han dan keponakannya di tepi pantai yang terjal
sekali. Air laut kebiruan tampak dari atas seperti permadani biru terbentang
luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat
itu. Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang ke kanan kiri dan mulailah
ia mengenal daerah ini. Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di sanalah dia
bersama Lulu, tiba‑tiba tubuh Suma Han menjadi lemas dan hatinya makin
kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan
Lulu, tahulah dia bahwa semenjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang.
Sampai kini pun hanyalah Lulu yang ia cinta, sepenuh jiwa raganya dan ia rela
menderita asal adiknya itu hidup bahagia.
“Lulu,
semoga engkau selalu hidup bahagia!” Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.
“Paman
Han Han, kau bilang apa?”
Kwi
Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam
kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang
dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan
sepotong‑sepotong, terdengar lucu sekali.
“Ah,
tidak, Paman tidak bilang apa-apa.” kata Suma Han sambil mengambung pipi
keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.
“Paman
tangkapkan binatang lagi! Kelinci lagi.... kelinciku lari!”
“Di
sini mana ada kelinci?”
“Uh‑hu‑huk,
minta kelinci....!” Kwi Hong yang selalu dituruti permitaannya oleh Suma Han,
dalam waktu sebulan lebih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti
agaknya bahwa kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi maka
sekarang pun ia mempergunakan “senjatanya” yang lihai ini!
“Di
sini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting.... eh
kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutangkapkan kepiting, ya?”
“Tidak,
tidak mau.... hi‑hi‑hik, mau kelinci!” Kwi Hong menendang‑nendangkan kaki dan
menggeleng‑gelengkan kepala sambil mewek.
Suma
Han menarik napas panjang. “Baiklah, baiklah.... eh, rewel benar anak ini.” Ia
menurunkan Kwi Hong yang seketika sudah berhenti menangis ketika mendengar
pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali pamannya sanggup
pasti akan dipenuhinya.
“Lihat
baik‑baik, nih, aku menjadi kelinci!” Suma Han menggunakan ilmunya yang mujijat,
mempengaruhi keponakannya sendiri seketika Kwi Hong tertawa‑tawa gembira
melihat seekor kelinci putih besar di depannya. Ia lupa sama sekali kepada
pamannya yang sudah lenyap. Sambil tertawa‑tawa ia lalu mengelus‑elus kepala
kelinci itu dan menarik‑narik telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang.
Suma Han menahan kegelian hatinya ketika kepalanya dielus-elus dan kedua
telinganya dijewer‑jewer tangan kecil itu!
“Paman....!
Paman Han Han....!” Tiba‑tiba Kwi Hong memandang ke atas dan telunjuknya
menuding‑nuding ke atas. “Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan
burung....!” Anak itu kini sudah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri,
memandang ke atas dan menuding-nuding sambil berteriak‑teriak.
Suma
Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula memandang ke atas.
Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar‑besar
sekali sedang bertanding di angkasa dengan serunya!
“Heran
sekali!” Serunya. “Burung garuda dan rajawali....!”
“Tangkapkan
burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu....!” Kwi Hong bersorak.
Akan
tetapi sekali ini Suma Han tidak memperhatikan permintaan keponakannya karena
ia tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang
burung‑burung garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apalagi sekarang dua
ekor burung itu sedang berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil
mengeluarkan suara melengking yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan
dahsyat di angkasa!
Akan
tetapi, serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawali itu
bodol dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garuda itu pun
mengeluarkan lengking nyaring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun
dan hinggap di atas sebatang pohon besar tak jauh dari situ.
“Paman,
tangkapkan burung.... hi‑hi-hik....!” Kwi Hong menangis ketika melihat dua
ekor burung itu lenyap.
“Baiklah,
jangan menangis. Kau duduk saja di sini, ya? Paman hendak mencoba untuk
menangkap burung itu.” Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap burung semata‑mata
memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sendiri pun amat
tertarik oleh burung garuda perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap burung
raksasa itu! Cepat tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya
yang hebat, pendekar ini meloncat naik ke atas pohon.
Burung
garuda itu besar sekali! Tingginya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya
besar kuat dan paruhnya menyeramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya
yang agak kusut karena pertandingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada
seorang manusia mendekatinya.
Dengan
sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda, menggunakan
lengannya merangkul leher sambil berseru, “Sin‑eng (Garuda Sakti), kita
bersahabat!”
Tentu
saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha
memutar leher untuk menyerang, akan tetapi lengan yang memeluknya demikian
kuat sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh
dan tiba‑tiba meloncat ke atas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk
di atas punggungnya! Melihat ini, Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan
melambai-lambaikan kedua tangannya.
“Bagus....!
Bagus sekali....! Paman, aku ikut....! Aku ikut terbang naik burung....!”
Suma
Han yang selamanya baru sekali ini mengalami naik burung raksasa, tidak
merasa takut hanya khawatir kalau-kalau burung itu membawanya terbang jauh
meninggalkan Kwi Hong. “Sin‑eng, turunlah, kita jemput anak itu....!” Akan
tetapi burung garuda itu dalam ketakutannya terbang meluncur terus membubung
tinggi ke angkasa, seakan‑akan hendak membawa terbang Suma Han ke bulan yang
pada senja hari itu sudah mulai tampak!
Suma
Han mulai cemas dan memandang ke bawah. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa
hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar
ke arah Kwi Hong yang masih berteriak‑teriak dan melambai-lambaikan kedua
tangannya. Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding
dan dikalahkan oleh garuda putih yang ditungganginya.
“Celaka....!”
Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh kaki rajawali dan
mendengar bocah itu berteriak‑teriak menangis ketakutan.
“Sin‑eng,
demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!” Suma Han mencengkeram leher garuda dan memaksa
kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan tetapi
karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun. Suma Han
menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, “Sin‑eng, kejar
rajawali itu. Cepat....!”
Agaknya
burung garuda itu biarpun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat mengenal
mahluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut ke
mana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si
Burung Rajawali yang terbang cepat ke arah lautan! Tanpa dikomando lagi,
burung garuda itu terbang mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama
kemudian, tersusullah burung rajawali yang mencengkeram Kwi Hong. Anak itu
masih menjerit‑jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han melihat bahwa yang
dicengkeram rajawali itu adalah punggung baju Kwi Hong. Kalau baju itu robek,
atau kalau rajawali itu melepaskan cengkeramannya! Ia memandang ke bawah dan
bergidik. Di bawah hanya tampak air melulu, air kebiruan dari laut yang amat
luas, mengerikan dengan ombak besar membuih!
“Sin‑eng,
terbang ke bawahnya, serang dia dari bawah, selamatkan anak itu!” Suma Han
mendorong kepala garuda. Garuda itu menyerbu ke depan, menukik ke bawah tubuh
rajawali. Dengan gerakan tangkas sekali Suma Han mengulur tangan kanannya dan
tongkatnya memukul kaki yang mencengkeram. Rajawali memekik kesakitan, kaki
yang mencengkeram kena dipukul, cengkeramannya terlepas dan nyaris tubuh Kwi
Hong terlepas dari sambaran tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan
tiba-tiba dan amat tangkasnya, mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh
Kwi Hong!
“Sin‑eng
yang baik, terima kasih!” Suma Han bersorak ketika ia mengambil keponakannya
dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama sekali tidak
luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengkeram untuk menolong!
Kwi
Hong masih menangis ketika dipangku Suma Han di atas punggung garuda. “Paman,
burung itu nakal....!”
Suma
Han menghela napas lega. Bocah ini benar amat mengagumkan. Biarpun mengalami
hal yang begitu menakutkan, tidak pingsan dan tidak ketakutan. Ia memandang
rajawali yang kini melarikan diri terbang jauh, sedangkan ketika ia mencari‑cari
dengan pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Di mana‑mana air melulu dan cuaca
mulai gelap, malam mulai tiba!
“Sin‑eng
yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!” Berkali-kali Suma Han membujuk,
kini tidak lagi ia berani “mengemudi” leher burung itu karena dia sendiri tidak
tahu mana arah daratan. Burung itu terbang terus, cepat sekali dan terpaksa
Suma Han menyerahkan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapapun juga,
pasti burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan
tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil
berkata, “Bagus....! Bulan bagus....!”
Suma
Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimutkan tubuh
keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka bertumbuk
dengan angin yang amat besar dan dingin. Namun, dapat dibayangkan betapa cemas
hatinya karena burung itu terbang terus seolah‑olah tidak akan berhenti lagi!
Ia khawatir kalau‑kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini
keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang
terbentang di bawah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka
itu masih lautan atau daratan!
Semalam
suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti
setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, untung baginya
karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar‑benar
akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!
Ketika
matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyataan bahwa
mereka terbang di atas sekumpulan pulau‑pulau di lautan luas! Jantungnya
berdebar tegang. Pulau‑pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau
Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah utara. Hal ini dapat ia ketahui
dengan melihat munculnya matahari di sebelah kanannya.
Setelah
beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulauan itu lenyap
jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak
keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini
mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar
saja burung itu melayang turun menuju ke pulau. Tiba-tiba burung garuda
mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu terdengar
pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan tampaklah seekor
burung garuda lain, terbang ke atas menyambut kedatangan mereka! Burung garuda
yang terbang menyambut ini kelihatan bingung dan kaget ketika melihat betapa
di punggung temannya duduk dua orang manusia, dia mengeluarkan bunyi nyaring
berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik‑pekik
pendek seperti orang bertanya dan menjawab. Suma Han menjadi geli hatinya dan
sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu tentulah
garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manusia
maupun binatang sama saja, yang betina lebih “cerewet”!
Dua
ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es.
Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah terbangun. Begitu
menginjak tanah yang dingin sekali, Kwi Hong menggigil kedinginan. Akan tetapi
Suma Han begitu turun di atas pulau, tak dapat menahan lagi keharuannya dan
pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu! Usianya
belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan,
namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya, mungkin! Bukan hal
ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat
di mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun‑tahun, penuh kebahagiaan.
Kini Lulu telah tiada di sampingnya lagi!
“Paman
Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?” Tiba‑tiba Kwi Hong
menghampiri den memeluk leher Suma Hen yang duduk di atas tanah. Mendengar ini,
Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat
perlu karena kalau ditahan‑tahan dapat menyebabkan luka di dalam tubuhnya dan
menimbulkan penyakit.
Terdengar
suara lirih dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat betape dua ekor
burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang turut berduka cita!
Melihat ini, timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil
melompat bangun dan tersenyum!
“Kwi
Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es.
Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita
hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin‑eng yang
setia!”
“Tapi
Ibu....?”
“Kelak
kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-eng yang
telah mengantar kita ke sini!” Suma Han berloncatan ke pantai pulau sambil
menggendong Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja Suma Han membunuh banyak
ikan besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung
garuda yang mengikuti mereka ke pantai. Dua ekor burung itu girang sekali dan
melahap ikan‑ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah
sukar mencari ikan‑ikan di dalam air dan mereka harus mencari makanan di
pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap binatang dengan susah payah. Kini
ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang sekali.
Demikianlah,
untuk kedua kalinya, Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, kini bersama Kwi
Hong yang digembleng sehingga akhirnya, bocah itu dapat bertahan melawan hawa
dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat
membunuhnya. Sepasang burung garuda menjadi jinak dan ternyata mereka ini
adalah sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang
tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han. Untuk mencari bahan makanan, Suma
Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau‑pulau
lain di mana tumbuh buah‑buah dan bahan‑bahan makanan, juga binatang‑binatang
hutan. Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi mencari bahan makanan,
sekali cari cukup untuk dua tiga bulan. Bahan‑bahan makanan itu tidak akan
mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang dingin.
Kwi
Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik.
Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia sudah
berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbangkan
tinggi di angkasa, di antara awan-awan putih!
Hanya
satu hal yang menjadi ganjalan di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah
puas hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyendiri di situ
sampai mati sekalipun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan
dengan manusia lain! Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana
dengan perkembangan jiwanya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli
didik dan di tempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat
dijadikan teman pergaulan Kwi Hong?
Kurang
lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari
seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan
untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak melihat‑lihat
keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke
timur, tidak seperti biasanya menuju ke sekelompok pulau yang subur di
selatan.
Tiba‑tiba
pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam
seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna hitam. Hatinya tertarik dan ia
menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas
ia sudah melihat pemandangan yang memanaskan hatinya. Di atas perahu itu
terdapat empat puluh orang laki‑laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat
pada tiang‑tiang besi yang sengaja didirikan di perahu, dan mereka ini sedang
disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki‑laki dan seorang wanita yang mukanya
berwarna jambon sedangkan laki‑laki itu semua mukanya berwarna ungu! Di atas
dek tampak beberapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka
mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang‑orang Pulau Neraka! Suma Han
tertarik sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang
berada di perahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat
seorang manusia menunggang seekor burung garuda.
Akan
tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di
antara empat puluh orang laki-laki dan wanita yang ditawan itu sebagian besar
adalah bekas saudara‑saudara seperguruannya, yaitu anak murid In‑kok-san
(Lembah Mega) di Gunung Tai‑hang-san! Bahkan di antara enam belas orang wanita
tawanan itu terdapat bekas sucinya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah
menjadi seorang wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Adapun
para tawanan yang lain tentu bukan orang‑orang sembarangan pula, dapat dilihat
dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biarpun
dirantai dan dicambuki! Diam‑diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia
tahu bahwa anak murid In‑kok‑san, bekas murid‑murid mendiang Ma‑bin Lo‑mo
Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk golongan hitam, memiliki
kepandaian tinggi dan mereka adalah pejuang‑pejuang yang kemudian membalik dan
memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang‑orang
tua mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri (baca ceritaPendekar Super Sakti). Bagaimana
mereka yang begini banyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang‑orang Pulau
Neraka itu? Biarpun ia tahu bahwa laki‑laki bermuka ungu dan perempuan bermuka
jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian
banyaknya orang‑orang yang berilmu tinggi! Betapapun juga, dia harus menolong
mereka!
Garuda
putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di
bawah dapat melihat jelas laki‑laki berambut riap‑riapan putih dan berkaki
buntung yang menunggang garuda itu.
“Dia....
Pendekar Siluman....!” Seruan ini keluar dari mulut laki‑laki muka ungu dan
wanita muka jambon yang pernah bertemu dengan Suma Han ketika mereka
memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua.
Juga
para murid In‑kok‑san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu hanya
memandang dengan heran dan jantung berdebar. Benar bahwa Suma Han pernah
menjadi murid In‑kok‑san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng Ciu-san‑li
bersama tiga orang murid In‑kok-san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi
telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma‑bin Lo‑mo dan dengan Toat‑beng
Ciu‑sian‑li. Bahkan kedua orang datuk In‑kok‑san itu tewas di tangan bekas
murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung oleh Toat-beng Ciu‑sian-li
(baca ceritaPendekar Super Sakti
)! Biarpun bekas saudara seperguruan, namun sekarang tidak mungkin
menganggapnya saudara seperguruan lagi tidak ada hubungannya sama sekali dan
mereka pun sudah mendengar bahwa laki‑laki muda yang buntung ini memiliki ilmu
kepandaian seperti setan!
Kini
burung garuda sudah melayang turun di atas dek perahu dan semua orang makin
kagum mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat besar, setinggi
manusia.
“Wah,
dia tidak kalah besar dengan Tiauw‑ong (Rajawali)!” Terdengar seorang di
antara anak buah perahu itu berseru dan diam‑diam Suma Han menduga bahwa
tentulah burung rajawali yang dahulu pernah dikalahkan garudanya itu adalah
binatang peliharaan Pulau Neraka!
“Pendekar
Siluman, mau apa engkau datang ke sini? Bukankah kau dahulu bilang bahwa
engkau tidak mencari permusuhan? Harap jangan mencampuri urusan kami!” Laki‑laki
muka ungu sudah maju dan menegurnya.
Suma
Han yang sudah meloncat turun dari punggung garuda dan berdiri tenang
mengerling ke arah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada laki‑laki muka
ungu itu.
“Aku
melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini ditawan?”
“Ini
adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri. Ataukah ada
hubungan antara To‑cu (Majikan Pulau) Pulau Es dengan seorang di antara
tawanan ini? Kalau benar demikian, kami bersedia membebaskannya.”
Diam‑diam
Suma Han merasa geli di dalam hatinya. Dahulu, secara tidak sengaja ia mengaku
tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau Neraka dan siapa sangka,
sekarang hal itu benar‑benar telah terbukti dan dia menjadi penghuni atau
majikan dari Pulau Es!
Mendengar
pertanyaan Si Muka Ungu yang setengah menghormat dan takut setengah penasaran
menentangnya itu, Suma Han kembali mengerling ke arah para tawanan. Timbul
sebuah pikiran yang membuat jantungnya berdebar. Bukankah dia sedang bingung
memikirkan masa depan Kwi Hong yang tidak mempunyai teman? Para tawanan ini
rata-rata adalah seorang gagah, bahkan wanita‑wanitanya, terutama sekah Phoa
Ciok Lin, adalah wanita‑wanita yang memiliki wajah cantik dan pandang mata gagah
pula. Melihat bahwa mereka yang bukan murid In‑kok‑san tertawan bersama murid‑murid
In‑kok‑san yang kesemuanya pejuang‑pejuang gagah perkasa, tentulah orang‑orang
ini pun bukan penjahat‑penjahat dan tergolong pejuang yang gagah pula.
“Kalian
mau tahu apa hubunganku dengan mereka ini? Mereka ini adalah anak buahku, anak
buah Pulau Es! Kalian berani menawan mereka?”
Mendengar
ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah, bukan hanya
wajah para anak buah Pulau Neraka, juga para tawanan memandang dengan
bingung. Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepada para
tawanan, suaranya mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah‑olah menanyakan
hal yang amat kecil artinya.
“Katakanlah,
kalian lebih senang menjadi anak buah Pulau Es di bawah pimpinanku ataukah
ingin ikut dengan rombongan Pulau Neraka?”
Tiba‑tiba
seorang yang bertubuh gemuk, berjenggot panjang, rambutnya dikuncir,
menjawab, “Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, siapa sudi
menjadi budak paksaan Pulau Neraka?” Empat puluh orang itu serentak menjawab
dan menyatakan keinginan hati mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya
Phoa Ciok Lin dan beberapa orang anak murid In‑kok‑san yang membungkam agaknya
masih segan untuk menyatakan menjadi anak buah laki-laki buntung itu.
Pada
saat itu, laki‑laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah
keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi
memang demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh
orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian
lebih tinggi daripada mereka semua. Dan hal itu terbukti pula dari sikap jerih
dan pandang mata penuh kekhawatiran dari para tawanan ketika Si Muka Hijau ini
keluar.
Suma
Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan
seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang
menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersiap dan mereka
mengatur barisan yang aneh karena warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka
hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau
hanya ada seorang saja, kakek tinggi kurus itulah.
Setelah
berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat
mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mujijat dari Suma Han. Dia
segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat,
“Tidak
kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?”
“Benar.”
jawab Suma Han. “Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?”
“Aaaahh,
hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan
tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah berhasil mengumpulkan
empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum
pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami
melapor bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana
ini?”
Suma
Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, “Tadinya mereka bukan apa-apa,
akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku
menuntut agar mereka dibebaskan!”
Sepasang
alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di mukanya makin
keruh. “Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak
berani lancang menentang kehendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba
menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang
dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua
kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan
hanya dengan kepandaian pula pihak lain dapat merampasnya!”
Diam-diam
Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang
keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang
terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka
hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk
Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau
Neraka. Bukan main!
“Hemm,
kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?” Suma Han bertanya,
sikapnya dingin.
“Mana
berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan
tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau
hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang
petugas yang baik.”
“Ah,
kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang
tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari
kita menentukan tingkat kepandaian!” Biarpun mulutnya berkata demikian, akan
tetapi sikap Suma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding
karena dia masih berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, ditopang tongkatnya
yang dipegang di tangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui
siapapun juga, sejak tadi telah melancarkan serangan hebat! Suma Han mengerti
bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan dan dia
menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka
kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tidak menghendaki
terjadinya hal ini, maka dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya
yang aneh, mengandalkan kekuatan mujijat yang tersembunyi di dalam kemauannya
dan dipancarkan melalui pandang matanya.
“Singgg....!”
Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang
sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar-getar
itu saja sudah membuktikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang
memiliki kepandaian tinggi.
“Maaf,
To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar.”
Biarpun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk hatinya dia tidak
memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini
ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, berkaki buntung
sebelah dan tidak memegang senjata.
“Orang
tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat
menggigitmu sendiri. Kauseranglah, aku telah siap!” kata Suma Han sambil
mengerahkan kekuatan mujijatnya melalui mata.
Para
tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan
khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua
tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya
secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan
senjata, bahkan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk
membantu kakinya yang hanya sebuah!
Adapun
Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali. Biarpun bocah
buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda, dan mengaku sebagai Majikan
Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk
Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, namun tidak patut
menghadapinya dengan sikap merendahkan seperti itu.
“To-cu
sambut pedang hamba!” Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat cepat sekali
ketika pedang itu meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan
Si Muka Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan dari jauh sudah
menyambar hawa dingin ke arah leher Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya
berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis
hanya memandang dengan mata seperti mengeluarkan kilat.
“Hayaaaa....!”
Tiba-tiba Si Muka Hijau memekik dan matanya terbelalak penuh kengerian karena
ia melihat betapa pedang di tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor
ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang
merah menggigit ke arah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati,
memekik dan miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan
kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan,
melepaskan ekor “ular” dan terhuyung-huyung ke belakang memegangi lehernya dan
matanya memandang “ular” yang jatuh ke atas lantai perahu.
Bagi
orang lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi
melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher
Suma Han. Mengapa sebelum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali
tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk
lehernya sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung,
melepaskan pedangnya yang terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan
darah!
“Ilmu
siluman....!” Si Muka Hijau berteriak ketika kini matanya melihat bahwa
“ular” tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri!
Mendengar
ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap mengeroyok Suma Han.
Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya
lalu berkata,
“Siapa
lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?”
Semua
anak buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah
menjadi raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya menjadi tiga buah
dan lengannya menjadi enam buah biarpun kakinya masih tetap satu! Melihat ini,
mereka menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan
segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahului mereka
berlutut.
“Mohon
To-cu sudi mengampunkan hamba semua dan biarlah kami melaporkan kepada To-cu
kami bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-cu Pulau Es karena kami tak
sanggup melawannya.” kata Si Muka Hijau.
“Hemm,
kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun
tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?”
Si
Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil
diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan
seorang wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang
sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan kini dipegang oleh
para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon
memegang dayung. Perahu kecil itu didayung cepat sekali, Si Muka Hijau berdiri
di ujung belakang memegang tambang dan.... belasan orang anak buahnya meloncat
ke air dan dapat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya Si Muka Hijau
itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan
ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan kayu diikat dengan kaki
mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka
itu. Hebat pula cara enam orang itu mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan
itu sudah jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di
belakang mereka!
Suma
Han kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan dengan
golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu
menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawanan. Di antara
mereka itu, termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan diri berlutut menghadap
Suma Han. Akan tetapi, anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han
mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara dingin.
“Siapa
yang suka menjadi anak buahku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap
berlutut. Yang tidak mau, takkan dipaksa!”
Sedetik
pandang matanya bertemu dengan pandang mata Phoa Ciok Lin bekas sucinya.
Namun wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan berturut-turut para
murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang
laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang
mereka dan Si Muka Pucat berkata,
“Aku
mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan tetapi
engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku
tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa
yang takut mati?”
Suma
Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di
antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia
tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si
Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia
memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu (baca ceritaPendekar Super Sakti ). Hemm, orang ini
pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman.
“Aku
tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak
buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!”
“Pergi
ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai.”
Suma
Han memandang tajam dengan alis berkerut. “Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk
berdebat. Pilih satu di antara dua. Tinggal di perahu dan menjadi anak buah
Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!”
“Engkau....
iblis siluman.... keji!” Lo Hoat memaki.
“Pergilah
atau harus kulempar keluar?”
“Manusia
rendah, coba kaulempar kalau....” Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan
Suma Han bergerak sedikit dan.... tubuh itu terlempar keluar dari perahu dan
jatuh tercebur ke air!
“Apakah
kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?” tanya Suma Han
kepada dua orang murid In-kok-san.
“Engkau
adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu menjadi majikan dan
berlutut di depanmu?” seorang di antara mereka membantah. “Kami adalah
orang-orang yang memiliki kegagahan, bukan berjiwa rendah!”
“Orang
yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku
bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua
pilihan. Tunduk kepadaku atau.... keluar dari perahu ini!”
“Lebih
baik mati!” Dua orang itu meloncat keluar dari perahu dan kemba1i air laut
muncrat ketika tubuh mereka menimpa air. Mereka yang berlutut memandang ke
arah air dengan muka pucat, menyaksikan tiga orang itu berjuang dan
bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh
mereka.
“Pasangkan
layar, kita berangkat!” kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga orang itu. “Aku
menjadi penunjuk jalan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana garuda
terbang!”
Mereka
yang berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka telah
diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah
disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan mereka akan
benar-benar seperti di neraka!
Tentu
saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biarpun
pendekar ini dijuluki Pendekar Siluman! Apalagi, nama Pulau Es merupakan daya
tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu diidamkan oleh
tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di mana terdapat
pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es,
tentu saja mereka menerimanya dengan hati girang.
Perahu
hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah
gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang
perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih
termangu-mangu, teringat akan nasib dua orang saudara seperguruan yang
ditinggalkan dan bergulat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak
dapat menyalahkan Suma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu
kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi
ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak
membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan
jalan hidup terbuka lebar.
Demikianlah
tiga puluh orang gagah kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulan-bulan
tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai
menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru mereka! Suma Han mengajarkan
ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian dasar dan bakat mereka
masing-masing sehingga kepandaian mereka meningkat secara hebat. Tentu saja
yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih
pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak
dimanjakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya
dalam hal ilmu silat, Suma Han turun tangan sendiri mengajar keponakannya.
Kini
Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan
sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di antara
mereka itu ada yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara sederhana
namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok
Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua,
majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang manusia mulia seperti dewa
yang mereka hormati, taati dan juga cintai! Namun, Suma Han tetap
menyembunyikan diri, lebih sering dia bersamadhi di dalam ruangan Istana Pulau
Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam
Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan mencari bahan makanan
tentu saja kini dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur semua urusan,
ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau, sedangkan Yap
Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini
bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan juga dari watak dan
pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang
lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.
Demikianlah
selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang
dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai terdengar namanya di
dunia kang-ouw.
***
“Suhu....!
Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak
mengajak pulang ke Siauw-lim-si?” Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja
hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya.
Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan
masuk keluar hutan. Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api
unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan
muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan
perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.
“Muridku,
apa kaukira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini?
Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu.
Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara
tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana.”
Wajah
Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira
dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, “Terima kasih, Suhu.
Terima kasih!”
Kakek
Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya.
“Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan.”
Guru
dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng
dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun,
“Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan
dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan
berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu
kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak
seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah
kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau
berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat
tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang
kaupelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya
denganmu. Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti
itu, hemmm.... mungkin kepandaian yang kumiliki sekalipun sama sekali tidak
ada artinya.”Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang
terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada
tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun, selamanya gurunya
tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu ada benarnya
pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan
hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu
Sejenak
mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga
seorang murid Siauw-lim-pai, dan amatlihai. Ia
teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua
oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hendak pergi.
“Bun
Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku
tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang
lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku.”
Ternyata
kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling
memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada
gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau
menerangkan hanya berkata, “Belajarlah yang rajin, dan kelak engkau akan tahu
sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu.”
Sekarang
timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih
usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biarpun kini suhunya
itu menemaninya.
“Suhu,
harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah
mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena
kalau masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya dari pengetahuan teecu.
Maka, teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau masih hidup, di manakah
Ibu? Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?”
Melihat
suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, “Suhu, harap Suhu
jangan khawatir mengatakan andaikata Ibuku telah mati. Telah terlalu lama
teecu menganggap Ibu telah tidak ada, dan keraguan ini lebih menyiksa daripada
mendengar kenyataannya.”
Bukan
main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka
ia pun lalu menjawab, “Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah
tewas, Bun Beng.”
Bun
Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak
gemetar ketika ia bertanya, “Apakah Ibu gagal membalas dendam dan tewas di
tangan musuh besarnya?”
“Tidak
muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi
musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, mereka keduanya
tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak
lagi memikirkan Ibumu?”
“Baik,
Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau
menjawab kalau teecu menanyakan Ayah.”
Berat
rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak mau
membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah
anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir sejenak, ia
menjawab tenang, “Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng.”
“Oohhh....!”
Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berduka karena
memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. “Tahukah Suhu, siapa nama
Ayah teecu?”
“Namanya....
Gak Liat.”
Bun
Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk hatinya
dengan dua huruf besar-besar. “Jadi teecu she Gak? Pantas dulu Ibu mengatakan
bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak....”
“Dan
engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?” Kakek itu memandang tajam wajah
muridnya yang disinari api unggun.
“Tentu
saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu....” Suara ini agak
tersendat oleh keharuan.
Kakek
itu memegang pundak Bun Beng. “Kematian orang bukanlah hal yang patut
disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pasti akan
mati, dan mati berarti terbebas daripada duka nestapa dan derita perasaan di
waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi
seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan
kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup
senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendiri. Langit
adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut
apa?”
Anak
itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!
“Terima
kasih, Suhu. Apalagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan
tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia
ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti,
seperti.... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga sakti sekali, tidak tahu siapa
lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?”
Gurunya
tertawa. “Tidak salah kata-katamu. Dunia ini penuh orang sakti. Dan Pendekar
Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka, dibandingkan dengan dia,
ahhh.... Suhumu ini bukan apa-apa.”
“Suhu
terlalu merendahkan diri. Teecu tidak percaya!”
“Memang,
sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah
hati bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh
kemajuan pesat, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh
kesombongannya sendiri. Namun, bicara tentang Pendekar Super Sakti yang kini
kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang
mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat tinggi-tinggi
sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ilmu
sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sukar membayangkan mencari orang yang
dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita
melanjutkan perjalanan. Kelak engkau tentu akan dapat bertemu dengan mereka
dan membuktikan sendiri bagaimana lihai mereka itu.”
Membayangkan
para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang ayah bundanya dan
malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar
sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!
Pada
keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama
gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan
segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama
setiap kota, dusun, bahkan sungai!
Ketika
mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng
mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika
suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan
nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian
pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya!
“Eh,
eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah salah
mengenal orang!” Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka
bangkit.
Akan
tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara
mereka yang bertubuh bongkok segera berkata, “Kami dari Pek-lian-kai-pang selamanya
tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apalagi terhadap
Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang
ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu.”
Mendengar
bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian-kai-pang, atau lebih tepat hanya
sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih yang terkenal
itu, setelah Pek-lian-kai-pang terbasmi oleh Pemerintah Mancu (bacaPendekar Super Sakti ), kakek Siauw Lam
tidak membantah lagi dan berkata,
“Kami
berdua ingin menonton keramaian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari
perahu untuk disewa.” Wajah tiga orang pengemis itu berubah, kaget dan pucat.
“Ke.... ke sana....! Aih, Locianpwe, di antara kami dan para nelayan, siapakah
yang berani pergi ke sana dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi
tentu saja Locianpwe lain lagi, dan kalau saja kami berkepandaian tinggi
seperti Locianpwe, agaknya takkan dapat menahan keinginan hati menonton
keramaian itu. Locianpwe membutuhkan perahu? Kami mempunyai sebuah, boleh
Locianpwe pakai. Kalau mencari sewa, kami kira tidak ada nelayan yang mau
menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah, Locianpwe.” Ketiga orang jembel
tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh lagi
padahal tadi begitu menghormat. Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan
hal ini mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek
jembel itu dan Bun Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai agak
menyendiri dan jauh tempat ramai tiga orang kakek jembel itu berhenti dan
menunjuk ke sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.
“Itulah
perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi perahu
Locianpwe. Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe.” Tiga orang
kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan anehnya
gurunya juga tidak menyatakan terima kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi
tidak puas atas sikap gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agaknya Kakek Siauw
Lam dapat melihat isi hati muridnya maka ia berkata.
“Di
dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah
benda adalah milik bersama, terutama kalau dipergunakan untuk kebutuhan
mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu
dibalas dengan terima kasih, hal itu hanya akan menimbulkan ketidakpuasan si
pemberi yang menganggap orang itu bersikap sungkan seperti orang asing bukan
segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan menganggap
bahwa aku sombong dan tidak mau menganggap mereka sebagai segolongan!”
Bun
Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu,
pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang
buruk akan tetapi kokoh kuat, dengan tihang layar dari bambu dan
layar-layarnya banyak yang sudah ditambali, seperti pakaian tiga orang kakek
jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik, akan tetapi lumayan dan cukup
kuat!
Kakek
Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan
dayung menggerakkan perahu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama
makin ke tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung. Mula-mula memang sukar
sekali, apalagi kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia
menjadi bissa dan dapat menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti
arus air ke timur dan Kakek Siauw Lam mengembangkan sebuah layar kecil untuk
membantu lajunya perahu.
Bun
Beng benar-benar mereka gembira. Selamanya belum pernah ia berlayar dan
sekali berlayar dia belajar mendayung dan mengemudikan perahu! Ternyata jauh
lebih enak melakukan perjalanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau
melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki. Juga pemandangan alamnya tidak
kalah menariknya karena di kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan
diseling pegunungan dan hutan-hutan liar menghijau.
Pada
suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di sebuah tikungan yang menurun.
Arus airnya kuat dan berobah ganas, berombak dan mengandung banyak putaran air
sehingga Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung.
Setelah menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat
berdiri dan menuding ke depan sambil berkata.
“Suhu,
lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala,
siapakah mereka itu?”
“Kau
tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan jangan
mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai
persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap menunggu-nunggu.”
Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang karena dia dapat merasakan
betapa suasana amat panas dan sewaktu-waktu dapat meledak perpecahan di antara
orang-orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
Setelah
perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk duduk diam saja,
mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan tengah. Banyak
perahu malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu
itu memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu bertumbukan, tentu
akan terjadi keributan itu.
Ketika
kakek Siauw Lam dapat membaca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena
ternyata bahwa yang berkumpul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah
rombongan bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal
pada masa itu dan yang tidak saja menjadi bajak di muara Sungai Huang-ho,
bahkan kadang-kadang turun ke laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai!
Akan tetapi kakek ini bersikap tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar
memperlambat lajunya perahu mereka.
Tiba-tiba
tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang
menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti berbunyi :
Dari
delapan penjuru muncul harimau dan naga datang ke muara memperebutkan mustika.
yang
merasa dirilya bukan harimau atau naga pergilah jangan mencari jalan ke
neraka!”
Kakek
Siauw Lam masih tetap tenang, bahkan kini ia menggunakan tongkatnya
dipukul-pukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main.
Tongkatnya menerbitkan suara berirama lalu terdengarlah kakek ini bernyanyi :
“Harimau
dan naga memperebutkan mustika biarlah! Sang Kucing tidak menghendaki apa-apa
hanya menonton menggunakan mata sendiri
siapa
yang ambil peduli?”
Bun
Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan
dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa
tongkat suhunya yang dipermainkan di air itu selain menerbitkan suara
berirama, juga menimbulkan gelombang yang membuat perahu-perahu penghalang itu
terombang-ambing, bahkan terdorong minggir!
Juga para
pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat,
maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan mereka semua berdiri di
kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat kedua tangan ke depan dada ketika
perahu kecil itu lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, kini bernyanyi pula,
suaranya lantang :
“Burung
terbang dapat dipanahikan berenang dapat dijala binatang lari dapat dijebak!
Kami
yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti yang menunggang angin dan mega.
Maaf,
maaf, maaf!”
Akan
tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang membantu muridnya
mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang
itu. Setelah beberapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun
Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.
“Eh,
Suhu! Apakah artinya semua nyanyiara tadi? Sikap mereka begitu menakutkan akan
tetapi Suhu hanya bernyanyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?”
Kakek
itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. “Gerombolan bajak dapat
mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja
menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua
Hek-liong-pang yang sekarang ini bukan orang sembarangan!”
“Bajak?
Apakah mereka itu bajak, Suhu?”
Gurunya
mengangguk. “Mereka adalah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang mengganas
di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyindirkan bahwa di muara
sungai kini sedang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan naga
dan harimau memperebutkan mustika yang agaknya dimaksudkan pusaka-pusaka itu.
Dan mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu
mendekat karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua merekapun merupakan
seorang di antara mereka yang dianggap naga harimau!”
Bun
Beng mengangguk-angguk. “Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai
kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biarpun kucing, bukan sembarang
kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu
bukan sembarang kucing melainkan seekor naga yang menunggang angin dan mega!
Bukankah begitu, Suhu?”
Gurunya
mengangguk. “Nyanyian mereka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan minta
maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Nabi Khong Hu Cu yang
ditujukan kepada Nabi Lo Cu setelah kedua nabi itu saling berjumpa dan
bercengkerama.”
Perahu
melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit,
diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan
waktu dengan berlatih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia
pergunakan untuk berlatih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan
berseru,
“Suhu....!
Di atas tebing itu.... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf besarnya
berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya
berjaga-jaga di daerah ini!”
“Ssst,
kita sudah hampir sampai. Simpan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita
tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian
terjadi karena dikabarkan bahwa tempat rahasia penyimpanan pusaka berada di situ.
Agaknya tentara negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari darat.
Cepat, kita minggirkan perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang
yang menonjol itu!” Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga
perahu mereka meluncur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali
dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel batu karang dan
tidak hanyut.
Malam
tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu
sebagai bekal. Angkasa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti
lewatnya malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.
“Suhu,
kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?”
“Berbahaya!
Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi baru
kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh tidak baik kalau kita
melibatkan diri dengan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat
melihat keadaan dan menyesuaikan diri.”
“Suhu,
selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang
dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum menceritakan
keadaan mereka kepada teecu.”
“Yang
mukanya berwarna merah adalah anak buah dari Pulau Neraka.”
“Pulau
Neraka? Sungguh menyeramkan namanya. Di mana itu, Suhu?”
“Sampai
sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan mendengarnya pun
baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh rahasia seperti Pulau
Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, sungguhpun
tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak
buahnya, tentu saja. Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan
dan mencari, karena kabarnya pusaka peninggalan Bu Kek Siansu berada di sana.
Namun tidak pernah ada yang berhasil. Adapun Pulau Neraka ini sebenarnya hanya
dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama.
Kabarnya sebuah pulau yang amat berbahaya, tidak dapat didatangi manusia, penuh
dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun, bahkan buah-buahan,
tetumbuhan dan batu-batuan di sana beracun semua! Maka, amatlah mengagetkan
ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang kesemuanya berwarna-warni kulit
tubuhnya! Mengerikan!”
“Wah,
hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?”
Kakek
itu menggeleng kepala. “Ketika aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu
di kuil tua, aku terkejut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka
bukan warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agaknya, melihat keadaan
mereka dahulu itu, makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi
tingkatnya. Dan kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki
kepandaian seperti iblis! Akan tetapi entahlah tak pernah ada orang yang
bertemu dengannya. Bahkan anak buah mereka pun baru sekali itu kulihat. Aku
pun masih heran memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak
merampasmu, sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!”
Bun
Beng makin tertarik dan makin terheran-heran. “Kalau tokoh-tokoh yang lain itu
siapakah, Suhu?”
“Mereka
juga bukan orang-orang sembarangan. Ternyata mereka yang hanya merupakan anak
buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka.
Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru
sekarang muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena
tokoh-tokohnya berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang
aneh sekali yang ilmu kepandaiannya tidak lumrah manusia!”
“Kalau
begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang
muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pusaka-pusaka
itu! Siapa yang akan mampu menandingi mereka?”
Kakek
itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Aaahh, kau tidak tahu
tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya
dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak
sekali terdapat orang-orang pandai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri
malah memiliki kepandaian menggila! Kini, setelah ada umpan berupa berita
pusaka-pusaka itu, hem, aku hendak melihat apakah orang-orang sakti itu tidak
tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali. Dan jangan kira pihak
lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang
pandai, dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat.
Apalagi ada kudengar bahwa koksu mempunyai dua orang pembantu yang ilmu
kepandaiannya sukar dikatakan sampai di mana tingginya. Mereka itu jarang
dikenal orang kepandaiannya, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah dua
orang pendeta Lama dari Tibet, aku dapat menduga bahwa tentu ilmu kepandaiannya
luar biasa sekali.”
Dengan
hati penuh keheranan dan kekaguman, Bun Beng mendengarkan penuturan suhunya
dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menanti dengan hati
tidak sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu memandang wajah muridnya
di bawah bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang
diri.
“Bocah
ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya? Agaknya dia
ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di
tempat ini. Hemm.... semoga dia kelak akan dapat berdiri di atas kebenaran,
keadilan dan menjadi hamba kebajikan, mencuci noda ayah bundanya.” Kakek ini
pun lalu duduk bersila, bersamadhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya
yang tua.
***
Sementara
itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, seorang kakek
berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh
tiga orang panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang
sembarangan karena dialah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat
oleh Kaisar sebagai pengganti Puteri Nirahai yang lenyap. Kakek botak ini
tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, seorang keturunan
India akan tetapi memakai nama Tiong-hoa. Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya
Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali dan
setelah mendemonstrasikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan semua jago kerajaan,
dia diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan kerajaan. Im-kan
Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan
tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus
dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk
menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga
tajam itu rupanya telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan
merasa khawatir kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.
Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun memblokir kedua tebing di kanan kiri muara dari mana
mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu
Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pembantunya. Dua
orang pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang
pendeta Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Di
dalam ceritaPendekar Super Sakti
, dua orang pendeta Lama ini sudah muncul sebagai orang-orang yang sakti dan
sukar dicari tandingannya. Adapun tiga orang panglima yang berpakaian perang
dan kelihatan gagah perkasa itu pun bukan sembarangan orang, melainkan
jagoan-jagoan tingkat tinggi yang mengepalai pasukan pengawal istana!
“Maaf
Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan
saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa memberi kesempatan kepada
mereka sehingga membahayakan pasukan yang akan kita ambil? Bukankah lebih baik
kita turun tangan mengusir mereka, kalau mereka membangkang, apa sukarnya menangkap
dan membasmi mereka sebagai pemberontak?” Tanya Bhe Ti Kong, panglima yang
tampan, tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan bermata lebar,
pantas menjadi seorang panglima besar atau jenderal yang kosen. Dua orang
panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan pertanyaan ini
karena mereka pun merasa penasaran. Hanya kedua orang pendeta Lama itu yang
duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi
jawaban Im-kan Seng-jin.
Kakek
botak yang tubuhnya tinggi kurus itu tersenyum memandang si penanya, kemudian
mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk sehingga mengeluarkan bunyi
krak-krok-krok! “Tahukah kalian apa yang menyebabkan bunyi ini jika buku-buku
jari ditekuk? Yang mendatangkan bunyi adalah pecahnya gelembung-gelembung yang
terhimpit! Heh-heh-heh, Bhe-goanswe (Jenderal Bhe), sebagai seorang panglima
perang tentu engkau sudah tahu akan siasat-siasat perang, bukan? Ada saatnya
menyerang, ada pula saatnya mundur dan ada saatnya bersabar menanti kesempatan
baik. Menghadapi partai-partai orang kang-ouw sekarang ini, aku mengambil
siasat menanti dan melihat (wait and see)! Mengertikah kalian semua mengapa
kita harus menanti dan melihat apa yang akan mereka kerjakan?”
Kelima
orang pembantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong berkata lagi,
“Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini? Mereka adalah
orang-orang kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat tokoh-tokoh sakti,
akan tetapi selama ini mereka tidak mengambil sikap bermusuh terhadap
pemerintah. Kalau sekarang kita mempergunakan kekuasaan minta mereka mundur,
tentu mereka tidak membantah. Menurut para penyelidik, mereka itu bukan hanya
tertarik untuk mendapatkan pusaka-pusaka, melainkan juga menggunakan kesempatan
ini untuk berpibu, mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang pantas
disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi! Segala perkara kosong itu
perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?”
Jenderal
Bhe Ti Kong ini semenjak kecil adalah orang peperangan, maka sikapnya jujur
dan keras, siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat plintat-plintut
menggunakan akal bulus.
Im-kan
Seng-jin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah, Bhe-goanswe.
Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua pendapatmu itu keliru dan
meleset!”
Melihat
sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong menunduk, dan
suaranya perlahan ketika ia berkata, “Tentu Koksu yang benar, saya mohon
penjelasan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan siasat
Koksu!”
“Pertama,
perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanyalah menunjukkan
kepulauan ini sebagai penunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku, jelas
menandakan bahwa tempat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai
dari tempat ini, yaitu pulau-pulau yang berada di tengah muara. Karena belum
diketahui jelas di mana tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan
mencari-cari, perlu apa kita mendahului mereka mencari dan membiarkan mereka
diam-diam mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita
dapatkan! Daripada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu
hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan untuk kita. Kalau secara
kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap! Kalau tidak
demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan
ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali
mengintai mangsanya! Bagaimana pendapat kalian?”
Lima
orang pembantu itu mengangguk-angguk tanda setuju.
“Kalau
mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memusuhi
pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan mengusir
mereka sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepada
pemerintah? Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka? Pertama, mereka
akan membenci dan memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka tentu penasaran dan akan
mengintai gerak-gerik kita dalam mencari pusaka.”
Kembali
lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan
pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.
“Tentang
mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin
berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi
pemerintah! Selain itu hemmm.... aku pun ingin sekali menonton pibu. Ha-ha,
tak dapat disangkal pula bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini
menjadi gatal-gatal kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya
kalau kita pun meramaikan pibu mereka itu? Kita berlima.... heh-heh, berenam
dengan aku maksudku, agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan
menggembirakan sekali, ha-ha!”
Kini
dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun
ingin sekali menyaksikan, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian kaum
kang-ouw yang terkenal dan terutama sekali dia yang nanti terpilih menjadi
datuk nomor satu!
Ketika
perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersamadhi
dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, karena Kakek
Siauw Lam sadar dari samadhinya karena ia mendengar suara perlahan di
permukaan air, suara sebuah perahu meluncur datang mendekati perahunya! Namun
kakek itu pura-pura tidak tahu dan duduk bersila dengan tenangnya, hanya
diam-diam ia bersiap-siap menjaga diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya
mengancam. Dari gerakan perahu ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada
enam orang meloncat ke atas perahunya, dan orang-orang ini brarpun memiliki
gin-kang yang tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan.
Maka dia tetap pura-pura tidak tahu.
“Kita
sergap dan ikat,” bisik seorang di antara mereka. Legalah hati kakek Siauw Lam
karena bisikan itu mempunyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan ditangkap,
tidak dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak melakukan
perlawanan.
“Heiii!
Apa ini? Lepaskan....!” Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika ia terbangun
dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya, “Suhu....!”
“Diamlah,
Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat.” kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.
“Tidak
berniat jahat mengapa membelenggu kita?” Bun Beng membantah, terheran-heran.
Kini
guru dan murid itu telah dibelenggu kedua tangan mereka ke belakang dan
mereka melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas
perahu.
“Engkau
benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton
keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan
tetapi juga tidak mau merampas hak seorang penonton. Mari, kalian akan
mendapat tempat yang amat baik sehingga akan dapat menonton dengan enak,
ha-ha!” Tubuh guru dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu
mereka yang mereka dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar yang
berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap mereka meminggirkan perahu,
disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan membawa sebatang pedang di
punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan biarpun usianya paling
banyak empat puluh lima tahun, namun mudah diduga bahwa dia tentulah pemimpin
dari orang-orang ini.
“Lemparkan
mereka di pantai, kemudian cepat sembunyikan perahu dan kembali bersembunyi di
tempat semula,” kata orang berpedang itu setelah melempar pandang kepada Kakek
Siauw Lam.
“Baik,
Pangcu,” jawab anak buahnya akan tetapi orang berpedang itu sudah berkelebat cepat
sekali, lenyap dari situ. Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan
ditinggalkan di pantai pulau itu, kemudian enam orang bersama perahunya
pergi. Semua ini dilakukan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap.
Keadaan
sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu pergi. Bun Beng
memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk
anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai di mana mereka ditinggalkan itu yang
datar akan tetapi dari tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain, di sekeliling
pulau itu tentu merupakan tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat
kenyataan bahwa pulau itu berada di muara paling ujung, dan sudah berbatasan
dengan laut sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing
karang pulau itu di sebelah luar. Ketika berusaha memandang ke seberang, yaitu
di kanan kiri sungai yang telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat
beberapa sinar api berkelap-kelip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak
ada manusianya, pada hal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu, mungkin
di atas pulau dan sudah terang sekali di seberang, di tebing-tebing tinggi,
penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti, penuh pula dengan pasukan
pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia teringat akan keadaan dirinya dan
suhunya.
“Suhu,
teecu masih tidak mengerti mengapa Suhu tidak melawan? Kita ini dibelenggu dan
dilepaskan di sini, apa sih kehendak mereka? Apakah benar-benar kita disuruh
menonton akan tetapi tidak boleh bergerak maka dibelenggu seperti ini?”
“Sabar
dan tenanglah, Bun Beng. Engkau pergi hendak mencari pengalaman, ingat? Nah,
justru pengalaman-pengalaman yang tidak enaklah yang merupakan pengalaman tak
terlupakan dan mengandung banyak pelajaran. Mereka itu tidak berniat jahat,
karena kalau demikian, tentu tadi mereka akan membunuh kita dan tentu saja aku
tidak akan membiarkan mereka berbuat begitu. Mereka hanya menangkap kita dan
buktinya kita ditinggalkan di sini.”
“Akan
tetapi.... mengapa, Suhu? Apa maksudnya semua?”
“Aku
sendiri tidak tahu dengan pasti, hanya dapat menduga-duga saja. Kalau dugaanku
tidak meleset terlalu jauh, kita sekarang bukan menjadi penonton lagi, Bun
Beng, melainkan ikut pula main dalam keramaian ini, bahkan menjadi pemegang
peran babak pertama dalam adegan pembukaan!”
Bun,
Beng membelalakkan matanya. “Apa maksud Suhu?”
“Agaknya
para partai dan tokoh kang-ouw yang sudah berkumpul dengan sembunyi-sembunyi
di sekitar tempat ini, merasa ragu-ragu untuk memulai keramaian ini, melihat
adanya pasukan-pasukan pemerintah yang sudah memblokir tempat ini. Mereka
mengambil sikap menunggu dan melihat, tidak ada yang berani memulai karena
resiko dan bahayanya amat besar. Selain adanya saingan yang berat dan banyak
jumlahnya, di sini terdapat pula pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh
koksu. Hal ini tentu saja bukan merupakan hal sepele yang boleh dibuat
main-main. Oleh karena itu, dengan adanya kita sebagai orang luar atau katakan
penonton, maka mereka mendapat kesempatan baik untuk menarik kita dan kita
dijadikan semacam umpan, atau lebih tepat merupakan sumbu untuk meledakkan
keramaian! Mereka semua bersembunyi, dan kita mereka taruh di sini yang dapat
dilihat dari semua penjuru kalau matahari sudah muncul nanti. Kehadiran kita
ini pasti menarik semua orang dan tentu akan ada yang mulai muncul sehingga
pesta dapat dimulai!”
“Hemm,
kurang ajar sekali mereka!” Bun Beng mengomel. “Kalau aku mereka jadikan umpan,
masih tidak mengapa. Akan tetapi mereka berani menangkap dan membelenggu Suhu!
Siapakah mereka yang menangkap kita tadi, Suhu?”
“Melihat
sikap mereka dalam menggunakan perahu, kiranya tidak salah kalau aku menduga
bahwa mereka adalah pimpinan Hek-liong-pang yang membantu ketua mereka dalam
usaha perebutan ini. Si Kumis yang berpedang tadi lihai dan cepat sekali
gerakannya dan disebut Pangcu (Ketua), agaknya dialah Ketua Hek-liong-pang.
Hek-liong-pang merupakan kekuasaan tidak resmi di muara ini, dan dalam istilah
dunia kang-ouw, sekali ini keramaian mengambil tempat di wilayah atau daerah
kekuasaan Hek-liong-pang. Tegasnya, sekarang ini dapat dianggap bahwa
Hek-liong-pang menjadi tuan rumah! Tuan rumah yang bukan hanya ingin menjadi
penonton saja, bahkan ingin sekali memegang peran utama dan mendapatkan pusaka
yang diperkirakan terdapat di dalam daerah operasi mereka! Maka melihat betapa
keramaian dapat membeku gagal dengan munculnya begitu banyak pasukan
pemerintah, Hek-liong-pang kini mengambil prakarsa untuk menyalakan sumbu yang
akan meledakkan keramaian, yaitu kita inilah.”
“Sekarang,
apa yang akan Suhu lakukan? Apakah kita akan mandah begini saja?”
Kakek
itu tersenyum lebar. Semenjak Siauw Lam Hwesio menjadi Kakek Siauw Lam dan
memelihara rambut, wajahnya yang dahulu selalu dingin membeku itu kini mulai
tampak sinarnya dan terutama sekali kalau bicara dengan muridnya, ia mulai
banyak tersenyum. Memang muridnya tidak seperti bocah biasa. Anak ini jalan
pikirannya seperti orang tua, tidak kekanak-kanakan lagi, dan kecerewetannya
menanyakan segala macam hal menandakan bahwa anak ini mempunyai hasrat besar
untuk maju.
Bhe
Ti Kong menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu, dan
melayanglah tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya dengan mudah dan
kakek botak tinggi kurus ini meraba-raba dan mengukur-ukur kepala Bun Beng
dengan jari-jari tangannya, dikilani dengan ibu jari dan telunjuk, diukur dari
depan ke belakang, dari kanan ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian
dipijit-pijit bagian-bagian kepala Bun Beng.
Wajahnya
menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala anak itu, Im-kan
Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka kelopak matanya, kemudian
menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu terpaksa membuka mulutnya, memeriksa
dalam mulut, kemudian menaruh tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya
memegang nadi tangan Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar, wajahnya
berseri.
“Aaaahhhh,
Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih darahnya murni, dan
kepalanya....! Hebat....! Rongga otaknya luas, daya tangkapnya kuat,
semangatnya besar jalan darahnya lancar, isi dadanya sempurna semua!
Benar-benar seorang sin-tong (anak ajaib) yang sukar ditemukan keduanya! Wah,
kalau dia sudah kuberi makan obat kuat secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat
aku melaksanakan ilmu peninggalan guruku, I-jwe-hoan-hiat (Ganti Sumsum Tukar
Darah)!”
Tiga
orang panglima itu tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan tetapi
Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li Lama memandang
Bun Beng dengan sinar mata kasihan lalu menundukkan muka, sedangkan Thian Tok
Lama lalu berkata perlahan.
“Omitohud....,
semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!”
“Heh-heh-heh!
Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan tentang dosa saja!
Bagi orang-orang seperti kami, dosa adalah soal ke dua, yang terpenting adalah
memanfaatkan segala macam demi kepentingan dan kemajuan kita. Ha-ha-ha! Eh,
Sin-tong, siapa namamu?”
“Aku
bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!” Bun Beng
meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti apa artinya
I-jwe-hoan-hiat. Kalau dia mengerti tentu akan merasa ngeri, betapa tabah pun
hatinya, karena ilmu itu adalah ilmu hitam yang amat keji, yaitu Si Kakek ini
hendak menyedot darah dan sumsum Bun Beng dalam keadaan hidup-hidup untuk
menggantikan sumsum dan darahnya sendiri yang sudah lemah dan kotor!
“Engkau
mau pergi? Nah, pergilah kalau dapat!” Koksu itu melepaskan pegangannya. Bun
Beng menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi.... tubuhnya tak dapat
bergerak maju, kedua kakinya tak dapat digerakkan seolah-olah tertahan oleh
sesuatu yang tidak nampak!
“Ha-ha-ha!
Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini engkau harus selalu
ikut bersamaku, tidak boleh berpisah sedikitpun. Tidur pun harus di sampingku.
Hayo, ikut dengan kami menonton pibu, heh-heh-heh!”
Tubuh
Bun Beng didorong dan.... kedua kakinya dapat dipakai berjalan mengikuti
rombongan itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan diri, mendadak
kedua kakinya tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa ngeri. Tentu kakek aneh
ini menggunakan ilmu iblis, pikirnya.
“Bun
Beng....!”
“Suhu....!”
Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya Kakek Siauw Lam
di depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika mendengar Bun Beng menyebut
kakek itu sebagai gurunya.
“Bun
Beng, ke sinilah engkau!” Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya, hatinya
gelisah melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.
“Teecu....
teecu tidak bisa, Suhu....!” kata Bun Beng sambil berusaha menggerakkan kedua
kakinya.
“Siapa
bilang tidak bisa? Majulah engkau ke sini!” Kakek Siauw Lam yang sudah melihat
bahwa Bun Beng sebenarnya tertahan oleh hawa sin-kang yang keluar dari tangan
koksu itu, menggerakkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan
sin-kangnya. Terdengar suara bercuitan dan.... tiba-tiba tubuh Bun Beng
terdorong ke depan, ke arah gurunya.
“Heh-heh,
boleh juga tua bangka ini.” Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa untuk
menyembunyikan kagetnya, kemudian ia pun menggerakkan kedua tangan ke depan.
Terjadilah tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun Beng
merasa betapa tubuhnya ditarik ke depan dan ke belakang. Akan tetapi
akhirnya.... ia tertarik ke belakang dan tangan koksu itu sudah menangkap
pundaknya sambil tertawa-tawa.
Bukan
main kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tak disangkanya bahwa koksu itu ternyata
memiliki kekuatan sin-kang yang luar biasa sekali! Maka ia cepat menjura dan
berkata, “Mohon Paduka suka melepaskan murid hamba yang tidak berdosa, dan
maafkan hamba yang tidak tahu diri berani berlaku lancang.”
“Heh-heh,
engkau guru bocah ini?”
“Benar,
Taijin.”
“Siapa
namamu?”
“Nama
hamba Siauw Lam, seorang anggauta Siauw-lim-pai.” Kakek itu sengaja
menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh, karena pada waktu itu,
pemerintah tidak mau bermusuhan dengan partai-partai persilatan besar,
terutama Siauw-lim-pai yang kuat.
Tiba-tiba
Thian Tok Lama mengerutkan alis dan berkata, “Seingat pinceng, yang bernama
Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di Siauw-lim-pai!”
Kakek
Siauw Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hormat sambil berkata,
“Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan tetapi sudah
bertahun-tahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang biasa, Kakek Siauw
Lam pelayan Kuil Siauw-lim-pai.”
Mendengar
ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan alis mereka
berkerut. Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang hwesio telah
mengundurkan diri dari kependetaannya, hal ini mendatangkan kesan di hati
mereka bahwa kakek itu adalah seorang durhaka dan berkhianat terhadap agama!
“Kakek
Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan
mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!”
“Tidak,
Suhu, dia tidak sayang kepada teecu! Dia hendak menggunakan teecu sebagai
syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!”
Im-kan
Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan seketika wajah
Kakek Siauw Lam menjadi pucat, matanya menyinarkan api kemarahan.
“Taijin,
harap jangan menghina murid
Siauw-lim-pai. Kembalikan
muridku!” Bentaknya.
Im-kan
Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah. “Apa? Engkau pelayan kuil berani
menentang aku? Berani melawan koksu kerajaan?”
“Saya
tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan biar dewa
sekalipun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!” Kakek itu sudah marah sekali
karena ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau hendak dijadikan syarat orang
melaksanakan ilmu iblis itu.
“Ha-ha-ha,
Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!” Im-kan Seng-jin berkata.
Kedua
orang Lama itu memang sudah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini keduanya lalu
menerjang maju dari kanan kiri, mengirim pukulan-pukulan dahsyat sekali. Dari
kiri Thian Tok Lama memukul dengan Ilmu Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin
keras menyambar disertai uap hitam, adapun dari kanan Thai Li Lama juga
memukul dengan pukulan sakti Sin-kun-hoat-lek!
Melihat
datangnya pukulan yang mengandung hawa sakti amat dahsyatnya itu Kakek Siauw
Lam terkejut dan maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat
dan harus dilawan mati-matian, terutama untuk menolong muridnya. Maka ia pun
mengerahkan sin-kangnya, mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan
jari tangan terbuka dan menerima pukulan kedua lawan itu dengan telapak
tangannya.
“Plak!
Plak!” Telapak tangan mereka bertemu dan melekat. Tiga orang itu berdiri tak
bergerak, saling beradu telapak tangan yang mengeluarkan hawa sakti dan
terjadilah adu tenaga sakti yang amat dahsyat! Beberapa menit lamanya ketiga
orang kakek ini berdiri tegak tak bergerak akan tetapi lambat-laun tubuh kedua
orang Lama itu bergoyang-goyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam masih tegak,
sama sekali tidak terguncang, hanya dari rambut kepalanya mengepul uap putih
dan mukanya pucat.
“Orang
Siauw-lim-pai memang hebat....!” Terdengar Im-kan Seng-jin berkata perlahan.
Sebetulnya, dia tidak berniat memusuhi Siauw-lim-pai akan tetapi karena dia
tidak mau kehilangan Bun Beng, dia mengambil keputusan pendek. Tiba-tiba ia
menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke arah dada Kakek Siauw Lam. Angin
yang keras dan panas menyambar ke depan, tenaga yang tidak nampak menghantam
dada Kakek Siauw Lam yang tentu saja tidak dapat mengelak atau menangkis karena
dia sedang terhimpit oleh tenaga kedua orang Lama yang sudah hampir ia
kalahkan itu.
“Uahhh....!”
Kakek Siauw Lam tergetar tubuhnya dan dari mulutnya tersembur darah segar,
akan tetapi matanya mendelik memandang Im-kan Seng-jin dan dia masih tetap mempertahankan
himpitan kedua orang Lama, sedikit pun tidak berkurang tenaga sin-kangnya
biarpun sudah menderita luka parah!
Tiba-tiba
Bhe Ti Kong mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya meloncat maju, tampak
sinar berkilat ketika ia menggerakkan senjatanya yang istimewa yaitu sebuah
tombak gagang pendek.
“Cappp!”
Tombak itu menusuk lambung Kakek Siauw Lam sampai tembus!
“Suhuuu....!”
Bun Beng menjerit, akan tetapi kedua kakinya tetap saja tak dapat digerakkan.
Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia melihat betapa suhunya roboh,
mengerang perlahan lalu terdiam, tak bergerak lagi.
Sejenak
enam orang itu termangu-mangu, agaknya merasa tidak enak dengan adanya
kejadian itu. Betapapun juga, yang mereka bunuh adalah seorang tokoh
Siauw-lim-pai!
“Ambil
racun penghancur, lenyapkan mayatnya!” Im-kan Seng-jin berkata dan dua orang
panglima cepat membuka bungkusan koksu itu, mengeluarkan sebuah guci, membuka
tutupnya dan menuangkan benda cair berwarna putih perak ke atas tubuh Kakek
Siauw Lam yang menjadi mayat.
“Suhuuuu....!”
Bun Beng masih terbelalak sambil menjerit memanggil nama suhunya sampai jari
tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan membuat ia tak mampu menjerit
lagi. Dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak betapa mayat suhunya
itu cepat sekali mencair, “dimakan” benda cair putih itu dan terciumlah bau
yang asam dan tajam menusuk hidung. Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip
melihat betapa mayat suhunya itu habis dan mencair sampai ke
tulang-tulangnya, tidak ada bekasnya sedikitpun juga karena cairannya diserap
oleh tanah, dan yang tinggal hanyalah tanah basah yang berbau racun itu. Dua
titik air mata tanpa dirasakannya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi Bun Beng
tidak menangis. Tidak, sedikit pun dia tidak terisak, biarpun kedukaan
menyesak di dada, karena kedukaannya dikalahkan rasa kebenciannya terhadap
empat orang itu. Berganti-ganti sinar matanya seperti dua titik api hendak
membakar tubuh Im-kan Seng-jin, Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan
Bhe Ti Kong. Terutama sekali Bhong Ji Kun dan lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong.
Karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itulah yang membunuh suhunya! Akan
tetapi, enam orang itu tidak mempedulikannya. Setelah mayat Kakek Siauw Lam
lenyap, bergegas mereka mengajak Bun Beng menuju ke arah lapangan yang
dijadikan medan pertandingan.
Kedua
orang kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju orang-orang
sakti yang memasuki medan laga untuk berpibu, namun kesemuanya dikalahkan oleh
Kakek Yap Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua orang menjadi gentar dan kini
pihak Thian-liong-pang dan rombongan Pulau Neraka sudah mulai berbisik-bisik,
agaknya mereka ini yang tadi nampak tenang-tenang saja sudah mulai
memperbincangkan siapa yang akan mereka ajukan untuk menandingi dua orang kakek
Pulau Es yang sakti itu. Agaknya pihak Thian-liong-pang yang merasa penasaran
dan dua orang kakek dari pihak ini sudah melompat maju.
“Mundur!”
Suara ini melengking nyaring dan tiba-tiba tampak sinar yang sebetulnya
adalah bayangan putih seorang manusia yang melayang turun dari atas tebing dan
hinggap di depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa mengeluarkan suara, seperti
seekor burung saja. Semua orang memandang dan terbelalak melihat seorang wanita
berpakaian sutera putih dengan sabuk sutera biru, bentuk tubuh yang ramping
padat dan menggairahkan. Akan tetapi kepala wanita ini tertutup oleh kedok
sutera putih seluruhnya, merupakan sebuah kantung yang ditutupkan di kepala
sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua buah lubang dari mana berpancar
sinar mata yang indah, bening, namun mengandung hawa dingin dan tajam seperti
ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang tersembul keluar dari lengan baju,
amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus seperti tangan seorang puteri
yang kerjanya setiap hari hanya merenda dan berhias! Akan tetapi, semua orang
berhenti menduga-duga dan mengerti bahwa wanita berkedok itu tentulah ketua
yang penuh rahasia dari Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari sikap para
rombongan Thian-liong-pang yang serta merta menjatuhkan diri berlutut
menghadap ke arah wanita berkerudung itu.
Tanpa
diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah menonton di situ,
bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal yang segera membentuk
barisan yang siap menanti komando. Akan tetapi wanita berkerudung itu tidak
mempedulikan semua ini. Dari balik kerudung keluar suara yang merdu dan
halus, akan tetapi nyaring dan begitu dingin membuat semua orang menggigil.
“Apakah
kalian berdua ini utusan Pulau Es?”
Yap
Sun sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa, akan tetapi
seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa ketua yang
disohorkan memiliki ilmu kepandaian seperti iblis itu ternyata hanyalah
seorang wanita, bahkan melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, dia hampir
berani memastikan bahwa wanita ini tentu masih muda! Akan tetapi, teringat akan
majikannya sendiri yang juga hanya pemuda malah buntung kakinya, ia
menyingkirkan keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.
“Tidak
keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini
adalah utusan dari Pulau Es.”
“Bagus!
Sudah cukup Pulau Es memperlihatkan kegarangannya. Sekarang robohlah!” Ucapan
ini disusul dengan serangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh
wanita ini telah menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang membawa
angin halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin
hebatlah karena itu menunjukkan kekuatan sin-kang yang sudah tinggi. Akan tetapi
dia dan sutenya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah
membuktikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali
ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat
mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak
saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.
“Dukk!
Dukk!”
Sukar
sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua
orang kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu,
tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah mereka dapat
meloncat bangun dengan muka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sutenya
bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini
keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.
“Bagus!
Kalian boleh juga!” Kata wanita berkerudung itu dan terjadilah pertandingan
yang amat hebat. Kedua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat,
pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka dapat
dielakkan oleh Si Wanita berkerudung. Berkali-kali kedua orang kakek itu
mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa wanita itu
mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serangan
mereka!
Karena
penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan telapak
tangannya, juga sutenya mengimbangi serangan suhengnya itu, dari pihak yang
berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya. “Aiiihhhh!” Dan tubuhnya
mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga sin-kang itu luput. Ia melayang
ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam
pisau belati. Sambil bertolak pinggang ia bertanya.
“Bukankah
itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat
Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan
Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?”
Yap
Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jerih terhadap pukulan
tenaga inti api dan pukulan sutenya dengan tenaga inti es, maka ia berkata.
“Apakah Pangcu yang terhormat jerih menghadapinya?”
“Aihhh,
sombong! Siapa takut? Majulah!”
Kedua
orang tokoh Pulau Es itu menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mereka yang
amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat.
Adapun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak,
menjadi terkejut sekali.
“Gak
Liat adalah Ayahku....!” Teriaknya perlahan dan karena Im-kan Seng-jin amat
tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun
Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya dicengkeram tangan
yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya tangan Panglima Bhe Ti Kong
yang memegang.
“Pegang
dia, jangan sampai dia lari!” kata Im-kan Seng-jin tidak mau terganggu karena
dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.
Memang
hebat pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu
tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan
besar. Biarpun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu
tiga puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan
Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh
wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil berkata.
“Sesungguhnya
aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku
jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es datang, aku tidak
suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa keluar sendiri. Hayo
katakan, di mana majikanmu Pendekar Siluman Si Kaki Buntung itu? Kalau dia
tidak keluar, kuambil daun telingamu!”
Tiba-tiba
terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor
burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena
pertandingan, diikuti suara yang bergema, “Siapakah mencari aku?”
Semua
orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna
putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan tangan kiri memegang
tongkat butut, meloncat turun dari punggung garuda raksasa yang berdiri gagah
itu. Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan
Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua
Thian-liong-pang, memandang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap
Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di
depan Suma Han sambil berkata dengan nada melaporkan penuh penyesalan,
“Maaf,
To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon
keputusan To-cu.”
Akan
tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mempedulikan,
juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan
mulutnya berkata penuh sesal.
“Aku
mencari dia.... ah, di manakah kalau tidak di sini?” Kemudian dia berteriak,
suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi. “Hong-ji (Anak Hong)! Di mana
engkau? Hayo cepat ke sini....!”
Suaranya
bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua
orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu
dengan Suma Han (baca ceritaPendekar
Super Sakti), memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian
pria muda buntung ini. Adapun mereka yang sudah lama mendengar nama Pendekar
Siluman akan tetapi baru sekarang bertemu, memandang takjub dan
terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa saja,
bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki
Pendekar Siluman? Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biarpun
rambutnya putih dan panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan
penuh wibawa. Tentu kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini
bergidik ngeri.
“Ke
manakah perginya Siocia, To-cu?” Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh
kekhawatiran.
“Dia
pergi dari Pulau Es, membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di
sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?”
“Pendekar
Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua
Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di antara kita yang patut
menjadi pemimpin dunia persilatan!” Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang
masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.
Mendengar
suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia
mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang mengaku Ketua
Thian-liong-pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa
dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah dikalahkan
oleh Ketua Thian-liong-pang. Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar
Siluman ini menggenggam ujung segumpal rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan
kaki, tubuhnya berputar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih
belum dapat berdiri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula,
ditodong belati oleh wanita berkerudung.
Seperti
orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan bertanya, suaranya
perlahan namunjelas terdengar satu-satu oleh semua
orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan
dingin. “Engkau siapa....?” Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah
hendak membuka kerudung dan menjenguk wajah si wanita. Tanpa disadarinya,
wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dan sinar
mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api.
“Akulah
Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk mengadu
ilmu di sini!”
Akan
tetapi Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak
dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan.
“Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong.
Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya bocah
berandalan itu!”
Wajah
Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada
pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan
ringan. Melihat ini wanita berkerudung itu menggerakkan sedikit pundaknya,
tanda bahwa ia terkejut.
“Pendekar
Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan mati!”
Ia menggerakkan pisau belatinya.
“Paman
Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?” Suma Han berseru dan tangan
kanannya bergerak. Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus
menyambar ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh
wanita berkerudung. Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak,
melainkan memutar pisaunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari
terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi wanita itu tampak tercengang dan marah
ketika melihat bahwa yang ditangkisnya itu hanyalah segumpal rambut yang
membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung Sik Lun, ternyata kakek itu
telah lenyap! Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia
putus dengan tangan dipakai menyerang Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi
hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia
mendorongkan tangan kanannya ke arah tubuh pembantunya, yang terlempar dan
bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut! Kini semua orang
yang menyaksikan terbelalak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat
dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan dalam jarak
begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus dari penodongan Ketua
Thian-liong-pang.
“Pulanglah
kalian dan cari Si Bengal!” Kata Pendekar Siluman kepada dua pembantunya. Yap
Sun dan Thung Sik Lun mengangguk dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari
tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke
punggung garuda putih!
“Haiii!
Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa tidak minum
arak dulu denganku untuk belajar kenal?” Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
berseru. “Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari koksu kerajaan!” Tangan
kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak
merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang
melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya. Jarak antara koksu
itu dengan Pendekar Siluman cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan
betapa saktinya koksu itu dan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang ia
pergunakan!
Suma
Han hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi
tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan memutar ke depan.
Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak
begitu jauh dan.... terdengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu
runtuh semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti
Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat
membuat benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!
“Pendekar
Siluman, mau lari ke mana engkau?” Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita berkerudung
itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.
“Cet-cet-cet-cet....!”
Tiga belas batang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari
mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han.
Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam
tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli
melempar senjata rahasia. Suma Han menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan
dan.... ketiga belas batang pisau itu seolah-olah tertarik oleh besi magnit
dan kesemuanya melayang menuju ke tongkat di tangan Suma Han dan menancap
semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.
“Aku
tidak sempat main-main dengan kalian!” Terdengar Suma Han berkata, tongkatnya
digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pemiliknya secara
berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat
yang besar, akan tetapi dengan pukulan sin-kang, Ketua Thian-liong-pang itu
membuat sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah
berlutut memberi hormat kepadanya! Sepasang mata bening di balik lubang
kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah mulai
terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap membuat debu
beterbangan!
Tiba-tiba
terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak seorang laki-laki
tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya
kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan dan tangannya melontarkan
sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum
terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit
kedua kaki burung garuda tadi. Betapa kaget hati semua orang ketika melihat
benda itu adalah seekor ular yang pajang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu
semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh
garuda! Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua
orang berkhawatir. Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi,
kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda
itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke
bawah, ke arah laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk
cakar berkuku tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang! Laki-laki
itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah
kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali, dia memapaki pedang
dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.
“Krekkk!”
Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah. Sebelum
laki-laki anggauta Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda
hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh
laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya
sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat.
Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat
garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke
bawah, jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu dengan air laut.
“Celaka....!
Air pusaran maut!” Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka.
Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau
pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran air. Namun
tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat dikenal para
nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang
mendatangkan maut mengerikan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama
sekali tidak ada artinya. Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan
akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing,
karena pusarannya makin lama makin melebar!
Semua
orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini sudah terbang
jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghilang. Wanita
berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas
tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
masih cantik jelita dan gerakannya tangkas.
“Tidak
ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini.” Katanya
dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari mana dia
tadi melayang turun, kelihatannya marah dan penasaran sekali.
“Haiiii!
Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!” Koksu berseru,
suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh
itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu
terdengar suara merdu.
“Seperti
juga Pendekar Siluman saya tidak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!”
Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas,
kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman. Majikan Pulau Es dan Ketua
Thian-liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka
merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan dua orang itu
bertanding silat! Kalau keduanya saling mengadu kepandaian, atau menghadapi
koksu yang sakti itu, tentulah mereka akan menyaksikan
pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!
Ketika
melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
tertawa bergelak. “Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru
dunia! Setelah kini berkumpul di sini bukankah bermaksud untuk mengadu
kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjutkanlah. Pemerintah
tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan
maju karena lawan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi
pembantu-pembantu kami cukup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku
mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani
menghadapinya boleh maju, jangan khawatir, pertandingan melawan panglima
kerajaan sekali ini tidak akan dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan
jaman perang, dan ini adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang menjunjung
tinggi kegagahan. Bhe-goanswe, majulah!” Dengan wajah berseri gembira Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.
Bhe
Ti Kong adalah seorang jendral perang. Biarpun ia memiliki ilmu silat yang
tinggi, namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, sebagai
seorang tentara, tentu saja dia selalu akan mentaati perintah atasan, maka
setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara
tiga panglima pengawal itu, ia lalu meloncat ke tengah lapangan dan mencabut
senjatanya yang dahsyat, yaitu tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan
runcing sekali.
Bun
Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar
tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan lima tahun yang
lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gembira sekali dan
ingin tadi ia berteriak memanggil. Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang
menyebalkan dan amat dibencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga
membungkam mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu
mengeluarkan suara pula. Betapa bencinya! Kini Pendekar Siluman itu telah pergi
jauh, bahkan wanita berkerudung yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah
pergi pula! Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak
berlagak dalam pertandingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru
sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita
berkerudung, kalau memang gagah! Akan tetapi, hatinya lega juga setelah kini
ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut gendut itu. Biarpun panglima
ini masih memegangi lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Panglima Bhe
tadi. Agaknya panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng maka
pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa
apakah? Pula, ia amat tertarik untuk menyaksikan rekannya memasuki pibu, hal
yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal!
Tiba-tiba
dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar
yang bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak terang menandakan
bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus tadi, yang ini
tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi. Dan agaknya kini para tokoh Pulau
Neraka yang semenjak tadi belum maju, menjadi penasaran. Apalagi melihat
seorang anggauta mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan. Mereka marah
sekali, akan tetapi yang membunuh teman mereka adalah burung garuda putih
tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi sehingga mereka
tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka. Agaknya kemarahan itu akan
dilampiaskan dalam pibu ini. Apalagi koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu
ini merupakan pertandingan perorangan, andaikata tidak demikian pun, mana
orang-orang Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut
terhadap pemerintah atau siapapun juga!
Laki-laki
tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri,
mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam.
Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali putih. Kulitnya,
dari muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat
menyeramkan.
“Aku
Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!” Katanya dan tanpa menanti
jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan pedangnya yang amat
panjang. Gerakannya kuat dan cepat, juga aneh sekali berbeda dengan ilmu
pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak
pendeknya.
“Cringggg....!”
Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa
telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka
ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya.
Bun
Beng menonton, akan tetapi pikirannya melayang-layang teringat kepada
Pendekar Siluman dan wanita berkerudung yang mengaku sebagai Ketua
Thian-liong-pang. Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut nama
ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu. Dan
pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung sebagai
ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pendekar Siluman kepada utusannya. Kalau begitu
ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Dan setidaknya, tentu ayahnya
bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa
dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihormati
orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak
memeliharanya!
Ketika
ia melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang dibencinya,
Panglima Bhe Ti Kong, terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya.
Akan tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sungguh
mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik. Si
Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh senjata tombak pendek! Mengertilah Bun
Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu bermain
curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti
orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri.
Ia teringat akan ilmunya Sia-kun-hoat, maka ia segera menggerakkan ilmu ini
secara diam-diam, kemudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang
memegangnya bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia
cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.
“Heiii....!
Pergi ke mana....?” Panglima gendut terkejut, akan tetapi Bun Beng sudah
meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima
Bhe Ti Kong yang telah ikut membunuh suhunya, membuat Bun Beng pada saat itu
tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin
mendesak hebat dengan tombak pendeknya. Para pembunuh suhunya adalah empat
orang yang lihai bukan main. Apalagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu,
mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian
Suhunya? Akan tetapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti
tiga kakek itu, apalagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang
dia turun tangan membalas kematian suhunya, menunggu sampai kapan? Hanya inilah
yang memenuhi pikiran Bun Beng, maka begitu ia berhasil membebaskan diri dari
pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan
otot, ia segera meloncat dan menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong
yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!
“Manusia
curang! Rasakan pembalasanku!” Bun Beng membentak sambil meloncat dan
menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut. Memang hatinya
marah sekali, bukan hanya karena kematian suhunya yang dikeroyok secara
curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini sekarang dapat
mendesak lawan karena dibantu oleh koksu. Dan memang sebenarnyalah dugaan Bun
Beng ini. Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak, oleh tokoh Pulau
Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan
juga khawatir sekali. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi
kedudukannya dan akan membikin dia malu. Dia tidak menyalahkan Bhe Ti Kong
yang terdesak lawan karena memang orang Pulau Neraka itu memiliki ilmu pedang
yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan
gerakan orang itu, mempelajari dasar dan intinya, kemudian ia memberi nasihat
kepada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati
nasihat ini, benar saja, ia dapat mendesak lawan dengan tombaknya.
Serangan
seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi
seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Akan tetapi karena Bun Beng melakukan
penyerangan selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu
amat berbahaya. Apalagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan
seorang anak yang telah bertahun digembleng oleh seorang tokoh sakti
Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia mengalihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu
dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda. Akan tetapi Bhe Ti Kong
adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat, maka dia tidak
menjadi gugup. Dengan gerakan cepat ia menyerang lawan dari bawah sambil
merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang
memukul ke arah kepalanya. Serangan Bun Beng mengenai tempat kosong dan tubuh
anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong. Panglima ini berhasil
mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat memutar kaki menendang ke
belakang. Namun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini maka cepat anak
itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan. Biarpun hanya membagiperhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan
Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar terang menyambar bergulung-gulung dan
pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat
memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia
membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga.
Bun
Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan
mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.
“Bocah
setan! Jangan mencampuri pertandinganku!” Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka
biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa
tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si
Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.
“Lepaskan,
aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!” Ia meronta-ronta
dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah
mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu ternyata
lihai sekali. Biarpun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat
melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan
Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak
pendeknya itu menyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi.
Si
Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakan pedang,
tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun,
gerakannya ini membuat ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di
tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung kirinya.
“Crottt....!”
Tangan
Bhe Ti Kong yang sudah biasa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam
perang sehingga entah berapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak,
kini secara otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet
itu robek kulitnya dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat keluar!
Si Muka Biru mengeluarkan gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar
ususnya dan mengalungkan usus yang panjang itu ke lehernya, kemudian ia
melanjutkan pertempuran melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi
apa-apa dengan dirinya!
Semua
orang yang menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, terbelalak ngeri dan juga
kagum, kecuali para anggauta Pulau Neraka sendiri tentunya. Mereka ini sejak
tadi diam tak bergerak menonton pertandingan, wajah yang beraneka warna itu
tidak menunjukkan sesuatu, dingin-dingin saja. Memang aneh sekali orang-orang
Pulau Neraka ini. Keadaan mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw
yang terkenal dan banyak pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa
gerangan orang-orang yang kulitnya berwarna aneh itu.
Thian
Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terkenal, akan
tetapi mereka berasal dari Tibet maka tentu saja tidak mengenal orang-orang
Pulau Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka
bertanya kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka.
Koksu
Kerajaan Mancu itu mengelus jenggotnya, menarik napas panjang lalu menjawab
tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung
hebat. “Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya mendengar-dengar
saja dari kabar angin. Kabarnya, di jaman dahulu, entah berapa ratus tahun yang
lalu, terdapat kerajaan-kerajaan kecil di atas pulau-pulau yang banyak
tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja kecil itu terdapat keluarga raja
yang amat sakti, kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa-dewa, bahkan merekamenamakan dirinya keluarga dewa!”
“Aihhh,
apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti manusia dewa dan
katanya datang dari Pulau Es?” Thai Li Lama bertanya, masih serem mengenangkan
munculnya Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.
“Entahlah,
aku tidak pernah mendengar tentang dia. Menurut kabar, kerajaan dewa itu
memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan
pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau
Neraka.”
“Mengapa
namanya begitu serem?” Thian Tok Lama bertanya.
“Entahlah,
hanya kabarnya yang membocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila dari
Pulau Neraka mengoceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering
disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di
sana.”
“Hemm,
aneh. Kalau tidak ada manusia dapat hidup di sana, mengapa sekarang muncul
banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?” Thian Tok Lama mencela.
“Tidak
ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi,” kata koksu yang kini kembali
mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghebat. Si Muka
Biru itu biarpun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin
hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong
terdesak!
Pengetahuan
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya
kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat
dalam keterangannya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan
Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan
tahun tiada buktinya, baru kini muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian
luar biasa dan keadaan yang amat aneh.
Memang
benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat
pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu
adalah keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es, yaitu kerajaan yang
menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu! Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada
ubahnya seperti neraka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga
mengandung racun begitu keluar dari sumbernya. Dan banyak di situ tumbuh
pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon yang ranting-rantingnya dapat
membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau manusia, pohon-pohon yang
mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya menguning dan rontok,
menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika. Kadang-kadang timbul
kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun
dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apalagi sampai
terhisap, baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk. Semua ini masih
ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan
ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap
yang berbisa di samping binatang-binatang liar yang buas. Betapapun tingginya
kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat
bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun penuh
dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana.
Akan
tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Siansu, yaitu yang
bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki
sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih
lunak dan memiliki perasaan kasihan. Dia maklum bahwa semua orang hukuman dari
Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak
dapat menahan kesengsaraan Pulau Neraka dan paling lama dapat hidup setahun.
Oleh karena itu, ketika pada suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar
dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka
yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.
Demikianlah,
dengan bekal itu, Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan karena telah
mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyelamatkan para
orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung
puluhan tahun, di Pulau Neraka terdapat sekelompok keluarga yang hebat!
Ratusan tahun kemudian, sekeluarga besar menghuni pulau ini dan menjadi
orang-orang pandai yang amat aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia
ramai. Kepandaian mereka turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran
di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya
merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan pergunakan demi
keuntungan mereka! Racun-racun dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan
keadaan yang penuh tantangan itu membuat mereka makin ulet dan kuat. Namun,
perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ratusan
tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata
mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat,
mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali
terjadi perang di antara mereka.
Demikianlah
sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari
Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal
ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun maka yang ia ceritakan
kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka
kembali teralih kepada jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan
seorang anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat
kepandaiannya itu.
Sementara
itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru, terlempar dan
terbanting jatuh ke atas tanah, namun karena tubuhnya terlatih, ia cepat
menggelinding dan meloncat bangun. Tiba-tiba pundaknya dicengkeram orang dan
ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah menangkapnya
kembali.
“Hemm,
bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!” Cengkeraman pada
pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakitan.
“Lepaskan
aku!” Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh
tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit,
akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau kuat baginya.
“Kalau
engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!” Panglima itu menghardik. “Lihat
ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?”
Bun
Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau
dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri.
Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang
memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke
arahnya. Ia mengenal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil
Ketua Thian-liong-pang, seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun
berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau
Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapapun juga tentu
mempunyai perasaan yang lebih halus daripada orang-orang lain yang aneh ini,
pikir Bun Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu.
Akan tetapi dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu. Berteriak-teriak minta
tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin
wanita yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita
Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari
orang-orang Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan
setan. Tadinya ketika ia menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu
orang Pulau Neraka muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.
Pandang
mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena pulau kecil itu
kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima
orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suhengnya, yaitu
Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau
saja tidak dibantu oleh gurunya yang kini telah tewas. Tadi dia masih melihat
lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti
yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih
lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau. Dan
memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga mereka tidak
tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan
kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak
meninggalkan bekas! Biarpun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai
orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam
Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek mereka yang menyelamatkan mereka,
mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu. Juga banyak tokoh-tokoh yang
mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu, selain segan berurusan
dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau Neraka dan
orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk bentrok
dengan orang-orang pemerintah.
Ketika
Bun Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat rombongan
Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi,
sepuluh orang anggauta Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan
pengawal. Adapun beberapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan,
hanya masih ada beberapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap
hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jerih dan
sungkan terlibat. Dengan demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak
mau kalah hanya tinggal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang
belum turun tangan, rombongan Pulau Neraka yang seorang di antara tokohnya
masih bertanding mati-matian dengan seorang panglima dari rombongan orang
pemerintah.
Tidak
ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja
ia dapat membebaskan diri. Ia mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu
menonton pertandingan dengan sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan
kanan yang mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang
mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tidak pernah mengendur. Agaknya
pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar
ususnya itu amat menegangkan hati panglima gendut ini sehingga Bun Beng
melihat betapa perutnya yang gendut, bergerak-gerak seirama dengan dengusan
napasnya.
Tiba-tiba
Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.
“Tukkk!”
Biarpun
yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras
sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang
tertarik oleh pertandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan
menjadi kaget sekali. Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya
tanpa melepaskan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela
melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan.
Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari
Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan. Baju Si Muka Biru sudah
basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat.
Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia menangkis dengan pedangnya, disusul
hantaman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe
Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas
dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya! Bhe Ti Kong berseru
keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi tetap saja ujung pedang
menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan daging
terobek. Panglima ini terus menggelundung, namun pedang itu sudah berkelebat
lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh
lawan yang masih bergulingan.
“Aihhhh....!”
Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan,
matanya mendelik dan ia melepaskan napas terakhir dalam keadaan tubuh
menegang kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya
pedangnya sendiri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh
lawan sehingga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di
lehernya. Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan Bhe Ti
Kong tertolong nyawanya.
Si
Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biarpun rasa tulang
keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.
“Addd....
duhhhh....!” Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih. Kiranya Bun Beng
menjadi gemas dan marah, karena tidak dapat memukul, telah menggunakan giginya
untuk menggigit kulit perut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut
kaget sekali, lupa sesaat melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri
menekan perut dan tangan kanan menampar Bun Beng.
“Plakkk....!”
Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting namun biar kepalanya
terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat meloncat
dan lari sekuatnya dengan loncatan-loncatan jauh ke arah wanita
Thian-liong-pang.
“Heee!
Lari ke mana kau, bocah setan?” Panglima gendut mengejar dengan langkah
panjang.
Dengan
pandang mata masih berkunang Bun Beng menjatuhkan diri berlutut di depan
wanita Thian-liong-pang sambil berkata, “Enci yang baik, Enci yang cantik
jelita dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!”
Wanita
itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin akan tetapi bibirnya tersenyum
sedikit. Agaknya, betapapun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari
sifat dan watak aselinya. Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh
Thian-liong-pang yang luar biasa, tetap saja seorang wanita yang paling senang
mendengar pujian. Biarpun yang menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita,
enci yang baik dan yang gagah perkasa hanya seorang bocah, namun bocah itu
adalah seorang laki-laki dan di situ terdapat banyak orang yang mendengar
pujian itu. Hati siapa takkan merasa senang? Wanita ini merupakan seorang
kepercayaan Ketua Thian-liong-pang biarpun kedudukannya hanya sebagai kepala
pelayan wanita. Dia memang cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam
sinarnya, hidung mancung dan mulut kecil mungil dengan bibir yang manis.
Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan
berjuntai ke bawah. Pakaiannya dari sutera halus berwarna merah muda dengan
baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat membayangkan tonjolan-tonjolan
tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah masak.
Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam putih.
Namun
wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang panglima kerajaan
hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia
menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menambah kemanisan
wajahnya dan memang maksud ini berhasil, sambil berkata dingin.
“Bocah,
mengapa aku harus mencampuri urusanmu? Pergilah!” Sambil berkata demikian,
wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir. Pada saat itu, panglima gendut
datang menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertangkap kembali. Akan
tetapi, gerakan tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh
Bun Beng terlempar seperti daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima
gendut itu luput dan ia menubruk tanah.
Karena
dia tadi sudah memastikan bahwa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika
tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah dengan perut
gendutnya lebih dulu.
“Ngekk!”
Panglima itu meringis dan napasnya menjadi sesak, akan tetapi kemarahannya
meluap. Dia tidak tahu bahwa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun
Beng, mengira bahwa bocah itu telah mengelak maka ia meloncat bangun sambil
memaki.
“Anak
Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai tertangkap
nanti!”
Ia
mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau
Neraka untuk minta bantuan.
“Mohon
bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!”
Akan
tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa
marah sekali karena kehilangan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng
sehingga bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Panglima Gendut.
Panglima ini bukan orang sembarangan, memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi
karena perutnya terlalu besar dan ia jarang latihan berlari, kini
mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng, besar-benar membuat
kewalahan. Mulailah ia melakukan serangan pukulan jarak jauh yang membuat Bun
Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi masih sempat mengelak dan
meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun Beng yang menjadi sibuk
sekali dan hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan
luar biasa sehingga biarpun kulit tubuhnya sudah babak belur, tetap saja ia
dapat menghindarkan diri dari tangkapan panglima gendut.
Tiba-tiba
sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin mempergunakan
akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi baginya, lebih baik
terjatuh ke tangan
Thian-liong-pang atau Pulau Neraka daripada menjadi korban kekejian koksu yang
dibencinya itu. Meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, menjatuhkan
diri berlutut di depan wanita itu sambil berseru.
“Harap
bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah Sungai
Fen-ho lima tahun yang lalu!”
Mendengar
ini, semua anggauta Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka memandang penuh
perhatian, bahkan wanita itu melangkah maju sambil mengeluarkan suara
terheran.
“Kau....
kau she apa?”
“Aku
she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim....”
Pada
saat itu, panglima gendut meloncat datang dan menubruk, akan tetapi wanita
itu mengibaskan tangannya membentak, “Pergilah!”
Tubuh
panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba
tartahan dun terbanting ke bawah. Brukkk! Ia terengah-engah dan setengah
kelengar (pingsan) karena napasnya sesak. Sambil mengeluh ia merangkak bangun,
membusungkan dada dan membentak,
“Nyonya....
eh, Nona.....” Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam dan
sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah
bersuami ataukah masih gadis. “Kau tidak boleh membelanya, dia adalah tawanan
Koksu!”
“Tidak
peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!” Wanita itu berkata, suaranya dingin
menantang.
“Apa?
Kau berani menentang Koksu?” Panglima gendut yang merasa malu karena
terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.
“Aku
tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlindung kepada
Thian-liong-pang, tidak boleh diganggu siapapun juga.” Wanita itu berkata dan
jelas bahwa dia masih merasa segan untuk bermusuh dengan koksu maka
mempergunakan alasan yang sudah menjadi peraturan Thian-liong-pang, atau secara
halus ia berlindung di balik nama perkumpulannya.
Pada
saat itu terdengar pekik mengerikan sehingga semua orang menoleh dan sempat
melihat dua orang pengawal roboh terguling dengan tubuh hangus begitu tangan
mereka menyentuh mayat tokoh Pulau Neraka bermuka biru. Pengawal lain
melompat dekat dan terdengar bentakan koksu, “Jangan sentuh!”
Kiranya
dua orang pengawal tadi hendak menyingkirkan mayat itu atas perintah
komandannya karena adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pemandangan
yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun
tangan. Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si
Muka Biru dari Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan tewas dan tubuh mereka
mereka menjadi hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat
masih mampu membunuh dua orang lawan! Hal ini adalah karena racun yang
terkandung di tubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang
Pulau Neraka.
Muka
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia melangkah lebar,
menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat
itu.
“Jangan
ganggu jenazah Suheng kami!” Teriak dua orang bermuka biru tua dari rombongan
Pulau Neraka sambil bergerak maju, akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan
bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh
terlentang seperti disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus
membentak mereka mundur. Sambil menyeringai dan mengatur napas kedua orang
itu mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini telah mulai mencair dimakan
benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.
“Taijin,
bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!” Panglima gendut
memberi hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke arah wanita yang tadi
menghalangi dia menangkap Bun Beng.
Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun mengerutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari
kerongkongannya terdengar dengus marah, “Huhhh....?”
Semua
anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-pang
dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Kiranya kini sembilan
orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung lima orang Thian-liong-pang
itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat
orang temannya, sama sekali tidak peduli dan mereka berlima sedang mengurung
Bun Beng sambil membujuk dan mendesak anak itu.
“Gak
Bun Beng, engkau telah menjadi calon anggauta termuda Thian-liong-pang. Memang
Pangcu (Ketua) menghendaki demikian, maka sekarang bersumpahlah engkau
menurut peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggauta kami!
Engkau berikan lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan
engkau harus mengucapkan sumpah mengikuti aku!” Wanita cantik itu sudah
mengeluarkan sebatang jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang
anggauta lain menyingsingkan lengan baju Bun Beng.
“Tidak....!
Aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang!” Bun Beng berteriak dan
meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak
dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya mengejutkan lima orang
Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik.
“Kalau
begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?”
“Aku....
aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak
ingin menjadi anggauta....”
“Engkau
harus menjadi anggauta kami, mau atau tidak!” Wanita itu membentak.
“Tidak....
tidak.... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!”
“Ha-ha-ha-ha.
Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang menakuti anak kecil.”
Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pupus warna kulitnya
tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki berusia lima putuh tahun, menjadi
pemimpin rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara
kawan-kawannya, dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai.
Sikapnya halus, suaranya halus dan pakaiannya seperti sasterawan!
Akan
tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang
tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Mancu yang
sudah menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan
Thian-liong-pang terkajut karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar
memiliki tenaga sakti yang hebat sekali sehingga untuk melindungi jantung
mereka tarpaksa harus mengerahkan tenaga sakti melawan pengaruh getaran yang
ditimbulkan oleh suara ketawa itu.
“Ha-ha-ha-ha!
Sungguh kebetulan sekali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi, akan
tetapi agaknya kini kalian dan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka hendak
memperebutkannya pula. Baiklah bukankah kita berkumpul sebagai orang-orang
gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik.
Biarlah bocah ini dijadikan taruhan di antara kita tiga rombongan! Setiap
rombongan mengajukan dua orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya
keluar sebagai pemenang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?”
Ucapan kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh
koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentahg saja sudah cukup
baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!
Dalam
keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka maklum bahwa
menentang tidak menguntungkan pihaknya. Mereka sedang berebut dan munghadapi
pihak lawan ini saja sudah berat, apalagi kalau sampai rombongan karajaan itu
membantu lawan! Daripada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik
menerima usul itu karena mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut
koksu kerajaan ini, yang didengar banyak telinga, tentu dapat diperaaya
sepenuhnya.
“Baik,
kami setuju!” Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.
“Kami
setuju!” Kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka. “Kami mengajukan dua orang
jago, aku sendiri dan Suteku ini!” Saorang tinggi besar seperti raksasa yang
mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya daripada pemimpin
rombongan, meloncat keluar.
Wanita
cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan. “Aku adalah
pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa
untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggungjawab dan
biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seoreng jago saja,
yaitu aku sendiri.”
“Ahh,
mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua
orang lawan sekaligus!” Si Muka Hijau mencela.
Wanita
itu tersenyum mengejek. “Melihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah
memiliki kedudukan di Pulau Neraka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku
masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak keberatan
untuk melawan kalian berdua sekaligus!”
Dua
orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata melotot karena
ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali, akan tetapi
sebagai orang-orang berkepandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu
amat lihai, kalau tidak demikian, tentu tidak akan berani bersikap sesombong
itu.
“Ha-ha-ha-ha,
benar-benar Cu-wi para wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat gagah dan
mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama
dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi
dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama melayani
dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu melawan
wanita gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar
sebagai pemenang, boleh membawa pergi dan memiliki bocah itu.”
Ucapan
ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka
sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok Lama yang gendut
sudah menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang
bertubuh kurus dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang. Sementara
itu Bun Beng yang dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempedulikan
karena semua orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pulau itu.
Bun
Beng mendekati tebing dan memandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeliling pulau
kecil itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga ke mana pun ia pergi, ia
akan berhadapan dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga
perahu hanyalah bagian di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk
pusaran air yang amat mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang
anggauta Pulau Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan
muka pucat dan membalikkan tubuh menonton pertempuran yang telah dimulai.
Pertempuran
yang amat dahsyat. Semua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan menonton
dengan hati tegang jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun
dari pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh
sakti yang memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali.
Dua
orang tokoh Pulau Neraka bermuka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok
Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan mereka aneh
sekali dan kedua orang itu agaknya bersilat dengan membentuk tin (barisan)
karena gerakan mereka teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau
pimpinan rombongan Pulau Neraka menyerang dari atas, sutenya yang tinggi besar
itu menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok Lama menyerang yang satu, yang
lain tentu cepat membantu kawan. Biarpun maklum bahwa pendeta Tibet itu sakti
sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai
jago-jago kelas tinggi. Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama maju
tanpa senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang
dengan tangan kosong. Namun, bukan tangan sembarangan, karena kini tangan
mereka telah berubah menjadi senjata yang amat ampuh, mengandung hawa beracun
dan mengeluarkan uap kehijauan! Dengan dua pasang tangan beracun yang aneh
itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan serangan-serangan dahsyat dari kanan
kiri secara bertubi-tubi dan bergantian.
Thian
Tok Lama bukanlah seorang tokoh biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang
tokoh besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama
Thai Li Lama yang menjadi sutenya, dia telah menjagoi selama puluhan tahun di
dunia barat dan telah mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh. Maka
begitu melihat gerakan kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka
itu mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan yang ia duga hanya
terdapat di Pulau Neraka, maka tidak boleh dipandang ringan karena kalau tidak
mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh tangan itu dapat mendatangkan
maut. Maka hwesio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak mau mengadu tangan
dengan kedua orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka dengan
elakan-elakan atau dengan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin
kuat sekali menolak setiap serangan lawan. Betapapun juga, karena terlalu
hati-hati, tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak, lebih banyak bertahan
daripada menyerang. Setelah bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok
Lama maklum bahwa dalam ilmu silat maupun tenaga sin-kang, dia tidak perlu
khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi, akan tetapi karena dia jerih
terhadap racun di tangan kedua lawannya, maka kelebihannya tertutup dan dia
terdesak. Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan suara gerengan
yang keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya
dengan keras sekali sambil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan
bajunya menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah
mundur karena biarpun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki
Thian Tok Lama, mengenai batu karang pun dapat hancur!
Begitu
kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya, menggerakkan
tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi seperti kokok
ayam bertelur. “Kok-kok-kok-kok!” Dan tangan kanannya kini berubah menjadi
biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat
menyambar disertai hawa panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.
“Aihhh!”
Dua orang tokoh Pulau Neraka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas
untuk menghindarkan pukulan dahsyat itu aambil balas memukul. Kini Thian Tok
Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin hebat dan kesudahannya
ternyata mambuat keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang Pulau Neraka
itulah yanng terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari sambaran angin
pukulan dahsyat Thian Tok Lama. Pendeta Lama yang gendut ini telah
mempergunakan ilmu pukulannya yang amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang,
yaitu pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu hitam sehingga pukulan itu
mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat
yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Adapun
pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita Thian-liong-pang merupakan pertandingan
yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan seorang sembarangan dalam
Thian-liong-pang. Memang benar bahwa dia kini menjadi kepala pelayan pribadi
Pangcu yang mukanya berkerudung. Akan tetapi dahulunya dia adalah seorang tokoh
yang penting dari Thian-liong-pang. Wanita ini masih merupakan keturunan
pendiri Thian-liong-pang, biarpun hanya merupakan cucu buyut luar. Dia bernama
Tang Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suaminya
tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang. Sebagai bekas
isteri dari seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang, apalagi dia sendiri
pun keturunan nenek moyang Thian-liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat
kedudukan penting di dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat
yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang. Ketika pada suatu hari
muncul Si Wanita berkerudung, wanita berkedok yang tak dikenal oleh siapapun
juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah, kemudian
mengangkat diri sendiri menjadi pangcu, Wi Siang terpilih menjadi kepala
pelayan pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu
Wi Siang digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepandaiannya
meningkat tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada semua tokoh
Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan! Akan tetapi, sekarang keadaannya
menjadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua
baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para pengurus
Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah,
melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.
Pangcu
baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya
disesuaikan dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang mempunyai bakat yang
baik sekali dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu
dia diberi ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua baru itu memang
mengenal segala macam ilmu silat sehingga kadang-kadang membingungkan dan
mengherankan hati para pembantunya. Bahkan ilmu silat keturunan
Thian-liong-pang pun dikenalnya baik!
Kini,
menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh.
Thai Li Lama di samping suhengnya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu
kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian
Tok Lama. Di samping ilmu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli
ilmu hitam yang kuat sekali. Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu
merampas semangat orang atau menundukkan kemauan orang dengan kekuatan gaib.
Tentu saja amat jarang ia mempergunakan ilmu hitamnya ini karena dengan ilmu
silatnya saja, jarang ada lawan mampu menandinginya.
Tadinya
Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biarpun mengaku sebagai tokoh
Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling banyak tiga
puluh tahun lebih! Dan pula seorang wanita, sampai di mana kehebatannya?
Karena memandang rendah dalam gebrakan-gebrakan pertama, Thai Li Lama hanya
menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang untuk menyerang dan menangkis.
Akan tetapi, betapa kaget hati pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba saja
bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah memukul dari atas
belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.
“Omitohud....!”
Ia berseru dan cepat ia memutar kedua tangan melindungi kepala dan pundak.
Namun wanita itu sudah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah
mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya.
Sambil
meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai
bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah sembarang orang yang
dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki gin-kang yang amat
mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga
bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia masih kalah jauh! Maka dia lalu
mendengus pendek dan mulailah ia memasang kuda-kuda, dan mengerahkan sin-kang
sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar, angin dahsyat bertiup
mendahului tangannya menyambar ke arah lawan. Kakek ini yang maklum akan
kelihaian lawan, tidak segan-segan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu
Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang kuat sekali,
juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran aneh
mempengaruhi lawan.
“Tas!”
Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindarkan oleh Wi
Siang yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut
dipukulkan.“Tass! Tass!” Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi
mengenai tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan kiri dan
tiba-tiba wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan kiri
menusuk ke arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram ke
lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali datangnye sehingga
Thai Li Lama terkejut bukan main. Untuk menghadapi serangan maut yang amat
cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi, maka hwesio ini terpaksa melempar
tubuh ke belakang dan terus bergulingan! Bagaikan seekor burung walet cepatnya,
wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan serangan dari atas ke arah tubuh
yang bergulingan. Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat, yang khusus
diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat
Sakti Burung Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan gin-kang yang amat
cepat sehingga membingungkan lawan.
Repot
sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia terus diserang
dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergulingan, maka dia
sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus
terus bergulingan sambil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya.
Keadaan sungguh berbahaya dan biarpun tingkat kepandaiannya mssih lebih
tinggi dari pada lawan, namun karena posisinya sudah rusak seperti itu, dengan
bergulingan terus mana mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya
terus-menerus? Gerakan Wi Siang amat cepatnya, ke mana pun ia menggulingkan
diri pergi, tubuh wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan
mengirim serangan maut.
Tiba-tiba
Thai Li Lama mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul
bentakan keras. “Mundurrrr....!”
Hebat
bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang
yang menonton, bahkan banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki
melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepadanya dan ada tenaga
rahasia yang mendorong mereka mundur. Apalagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang
yang langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu. Wanita ini memekik aneh dan
tubuhnya mencelat mundur seolah-olah ia kaget menghadapi semburan seekor ular
berbisa. Saat itu dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan
setelah meloncat bangun, baru Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan
pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju lagi sambil
membentak.
“Pendeta
siluman!”
Akan
tetapi Thai Li Lama juga marah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia
harus bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi
terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya bergantian dengan ilmu pukulan
Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita
ini mengenal bahaya maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap
mengirim serangan susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan
suara aneh dan amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.
“Engkau
sudah lelah sekali....! Kedua kakimu sukar digerakkan....!”
Aneh!
Tiba-tiba Wi Siang berdiri terbelalak, tak mampu menggerakkan kedua kakinya
dan tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking
lelahnya.
“Pendeta
curang.... kau menggunakan ilmu siluman....!” Yang berteriak ini adalah Bun
Beng. Anak ini sejak tadi menonton pertandingan dengan hati tertarik dan ia
amat kagum menyaksikan sepak terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai
Li Lama membentak “mundur” dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang
cerdik ini maklum bahwa pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh,
maka ia menjadi penasaran dan mendekati pertempuran. Kini, melihat betapa
wanita yang dikaguminya itu terpengaruh oleh suara Thai Li Lama, ia memaki dan
meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama! Gerakannya ini membuat Tang Wi
Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah. Pendeta ini menggerakkan
tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat tinggi ke atas, akan
tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara langsung disambar angin
pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan.... melayang
melalui tebing menuju ke air pusaran maut!
Semua
orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan memandang ke arah
tubuh Bun Beng yang melayang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang
sepandai koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng. Semua mata
terbelalak ngeri ketika melihat betapa tubuh anak itu terjun ke bawah dan
terlempar tepat ke arah tengah-tengah air pusaran maut yang mengerikan itu
dengan kepala lebih dulu! Mereka menahan napas dan koksu membanting-banting
kaki saking kecewa dan menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju
ke jurang maut yang tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Bun
Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan
diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut terbuka lebar dan ia
tahu bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya? Dia diperebutkan oleh tiga
kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada
kekuasaan yang paling besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya.
Maka tanpa menjerit sedikit pun ia membiarkan tubuhnya terbanting di tengah-tengah
pusaran air.
“Byurrr!”
Sebelum
tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas
sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya. Begitu tubuhnya menyentuh air,
terus saja tubuhnya ditarik ke bawah oleh pusat air yang berpusing itu. Bun
Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melakukan perlawanan,
bahkan menyerahkan dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air,
menahan napasnya. Semua orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat
betapa anak yang terjatuh tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung
dihisap dan ditarik ke dalam, lenyap seketika! Mereka masih memandang tanpa
berkedip, menanti dengan dugaan bahwa tubuh anak itu tentu akan timbul
kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi, ditunggu
sampai lama, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali, seolah-olah lenyap dan
habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.
“Celaka....
celaka....!” Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting kakinya dengan
muka merah saking marahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada di pulau
dengan pandang matanya. “Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan
kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu
aku! Kalian ini orang-orang kang-ouw suka mencari ribut yang membuat
pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!”
Semua
orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu.
Alangkah bedanya sikap kakek botak itu dengan tadi sebelum Bun Beng terlempar
ke dalam pusaran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi
sekarang, mendadak saja marah-marah.
“Teruskan
pibu! Aku masih belum kalah!” Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata
dengan suara dingin.
“Kami
pun belum kalah! Yang menang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus
pergi!” Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak
mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Thian Tok Lama dan Thai Li
Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi koksu menggoyangkan
tangan dengan sikap tidak sabar sambil berkata.
“Sudah,
sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan? Anak itu telah mampus
ditelan pusaran air, dan pulau ini.... dibutuhkan kerajaan. Harap semua pergi
dari sini sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan kubasmi
semua!”
Semua
orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang marah.
Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang macam
apa! Keadaan menjadi sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa memecahkan
kesunyian, disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu :
“Aku....!
Aku....! Aku....!
Pujaanku!
Milikku! Hakku!
Keluargaku,
sahabatku, hartaku, namaku!
Kurangkul
dia yang menguntungkan aku
Kupukul
dia yang merugikan aku
Yang
terpenting di dunia dan akhirat adalah
Aku....!
Aku....! Aku....!”
Semua
orang terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang menyanyikan
kata-kata aneh itu. Yang bernyanyi ini agaknya belum lama datang, dan tak
seorang pun melihat kedatangannya, karena tadi mereka semua sedang tertarik
menonton pertandingan yang seru disusul kejadian mengerikan yang menimpa diri
Bun Beng. Orang itu adalah seorang kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana
namun kedua kakinya telanjang tak bersepatu. Wajahnya berseri pandang matanya
tajam penuh kejujuran dan tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga.
“Im-yang
Seng-cu....!” Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik
ketika mengenal kakek itu. Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang
tokoh aneh yang tadinya merupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena
sikap dan wataknya yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pimpinan Hoa-san-pai
sendiri sehingga Im-yang Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan
merantau mengelilingi dunia sehingga ilmu kepandaiannya makin meningkat
hebat. Karena kesukaannya mempelajari ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah
yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai yang murtad, sungguhpun para
pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak
terjang seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama
Hoa-san-pai, dan bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membuat
ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada Ketua Hoa-san-pai
sendiri!
“Ha-ha-ha-ha!
Dunia ini menjadi ramai, manuaia saling makan melebihi binatang paling buas,
semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu,
Koksu yang mulia?”
Karena
sikapnya tetap menghormat bahkan ia menjura dengan hormat kepada Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun biarpun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak
menjadi marah. Apalagi koksu pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka
ia lalu miringkan kepala melirik dan bertanya.
“Apakah
orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?”
“Tidak
salah, Koksu. Orang-orang menyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguhpun sebenarnya
aku pun hanyalah AKU, seperti setiap orang di antara kalian semua, dan kita
memiliki penyakit yang sama, penyakit AKU!”
Karena
ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak
senang, “Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu? Apa pula maksud
kedatanganmu?”
Im-yang
Seng-cu membelalakkan matanya dan tersenyum lebar. “Sudah begitu jelas masih
belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa yang terjadi dalam
penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke AKU-an
itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini? Memilih
seorang bengcu (pemimpin rakyat)? Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan
sudah kautangkap dan dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu untuk
mengakui bahwa sasaran utama bukanlah perebutan bengcu, melainkan untuk
memperebutkan pusaka-pusaka keramat yang kabarnya lenyap dan berada di pulau
ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena terdorong oleh
ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?”
“Hemm,
Im-yang Seng-cu, omonganmu terlalu besar dan main sikat sama rata saja. Engkau
mengenal aku dan tahu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa
kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan sebagai utusan!” Koksu
itu membantah.
“Kami
pun datang sebagai utusan!” Teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.
Ramailah
semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelanjang kaki ini
tertawa bergelak, “Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat kesalahan
sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sendiri
merupakan kekuatan yang jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi
sekalian. Cu-wi semua mengaku sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi
datang ke sini. Akan tetapi utusan siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah
Kaisarmu, kerajaan dan negaramu, bukan?”
“Tentu
saja!”
“Nah,
apa bedanya itu? Manusia selalu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku,
rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan
tdak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela
ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan dunia akan aman,
manusia akan hidup penuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap
pula istilah milikku, hakku dan aku-aku lain lagi.”
“Wah-wah,
Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang
suci di dunia ini!” Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.
“Ha-ha-ha-ha!
Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan penyakit kalian, yaitu
penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi
oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang
dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan watak manusia yang amat licik dan
rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan,
bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan lain
orang. Betapa rendahnya!”
“Hemmm,
apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?” Karena kakek aneh ini tidak menyerang
seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai tertarik. Tidak
mengadu ilmu silat, mengadu filsafat juga boleh karena dia pun bukan seorang
yang buta tentang filsafat.
“Maksudku
sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan
menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat
penderitaan orang lain! Hiburan yang paling manjur bagi seorang yang sengsara
adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih
sengsara dari padanya. Mengapa begini? Inilah jahatnya sifat AKU yang
menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu
berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih jelas, orang yang
mempunyai keluarga tercinta sakit parah akan menderita kesengsaran batin yang
hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu
tidak ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarga-Nya yang
sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling
membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling membela AKU-nya
pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram hidupnya karena dikuasai
oleh AKU-nya inilah, tidak sadar bahwa yang menguasainya itu bukanlah AKU
SEJATI, melainkan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani.
Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangisnya!” Im-yang Seng-cu lalu
berdongak dan bernyanyi.
“Aku
sudah bosan!
Aku
sudah muak!
Terbelenggu
dalam sangkar darah daging!
Setiap
saat aku dipaksa
menyaksikan
tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila
Tawa-tangis,
suka-duka,
marah-sesal,
suka-duka....
bebaskan
aku dari semua ini....!”
“Omitohud!
Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang
beragama yang selalu berusaha untuk hidup bersih dan suci, ucapanmu itu
merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!” Seorang hwesio berkata
dengan alis berkerut. Dia adalah seorang hwesio yang berada dalam rombongan
Bu-tong-pai dan yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang
Seng-cu itu membuat hwesio ini tidak sabar lagi untuk berdiam diri. “Engkau
tidak boleh menyamaratakan semua manusia, Im-yang Sengcu. Manusia ada yang
bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada yang bersih dan untuk
mencapai kepintaran dan keberaihan batinnya. Jalan satu-satunya hanyalah
mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum agamanya.”
Im-yang
Seng-cu tertawa dan memberi hormat kepada hwesio gendut itu. “Maaf, tentu yang
kaumaksudkan itu adalah agama-Mu, bukan?”
“Tentu
saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha,” Jawab hwesio itu.
“Hemm,
pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa
baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pemeluk
agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia
makin parah. Semua agama adalah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang
sekali, orang-orangnya yang menyalahgunakan sehingga pelajaran kebaikan
seringkali dipergunakan untuk saling menghina dan saling menyalahkan. Maaf,
Lo-suhu, aku tidak akan menyinggung pelajaran agama karena aku yakin bahwa semua
agama itu mengajarkan kebaikan, tidak ada kecualinya! Akan tetapi, orang yang
merasa dirinya paling bersih adalah orang yang kotor karena perasaan diri
paling bersih ini sudah merupakan kekotoran! Ada gambaran yang paling tepat
untuk itu. Seseorang yang melihat tahi akan menutup hidungnya, merasa jijik
dan muak, sama sekali dia lupa bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh
tahi! Orang yang merasa dirinya paling pintar sesungguhnya adalah
sebodoh-bodohnya orang, karena perasaan diri pintar ini sudah merupakan
kebodohan! Orang yang merasa dirinya paling kuat sesungguhnya adalah orang
yang lemah, karena kesombongannya akan membuatnya lengah. Karena sifat
mementingkan AKU-nya, maka manusia berlumba mengejar kemenangan dalam apapun
juga, saling serang saling bunuh. Dalam perkelahian, yang mati dianggap kalah,
yang hidup dianggap menang. Yang hidup ini agaknya lupa bahwa dia pun kelak
akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan siapa dapat memastikan bahwa yang
menang akan lebih bahagia daripada yang kalah dan mati? Ha-ha-ha, kalau manusia
ingat akan semua ini, aku tanggung manusia akan berpikir dulu sebelum memperebutkan
kemenangan!”
Filsafat
yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati mereka yang
mendengarkan.
“Im-yang
Seng-cu, ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang sombong sekali!”
Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. “Kabarnya engkau adalah seorang tokoh
Hoa-san-pai. Beginikah pelajaran To-kouw yang dianut oleh para tosu
Hoa-san-pai?” Sambil berkata demikian, koksu ini melirik ke arah rombongan
orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu ini sudah mendengar bahwa Im-yang Seng-cu
adalah orang yang dianggap murtad oleh Hoa-san-pai, dan Koksu yang cerdik ini
sengaja menimbulkan perpecahan atau memanaskan keadaan!
“Dia
bukan orang Hoa-san-pai!” Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari rombongan
Hoa-san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh
pendek dan jenggotnya yang sudah putih itu pun dipotong pendek. Tosu ini
memandang tajam ke arah Im-yang Seng-cu dan sikapnya penuh wibawa.
Im-yang
Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat. “Aihh, kiranya Suheng Lok Seng
Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute....”
“Pinto
mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali tidak ada
hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi diakui sebagai
seorang murid Hoa-san-pai!”
Semua
orang memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan mata bersinar.
Tahu rasa engkau sekarang, orang sombong, pikirnya. Akan tetapi Im-yang
Seng-cu tetap berseri wajahnya dan tenang sikapnya ketika menjawab,
“Lok
Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang tokoh
Hoa-san-pai. Aku berusaha untuk menjadi manusia bebas, akan tetapi....
hemm.... betapa sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri
sudah tidak bebas. Kita terbelenggu oleh kebudayaan, oleh agama, oleh
hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk menyerimpung kaki manusia
sendiri. Di mana kebebasan? Aihhhh, aku pun rindu kebebasan, seperti Aku
sejati....!”
Jawaban
itu membuat Lok Seng Cu membungkam, karena memang orang yang dianggap murtad
ini tidak pernah menyeret-nyeret nama Hoa-san-pai dalam setiap sepak
terjangnya, dan kalau tadi dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah koksu yang mengatakan,
bukan pengakuan Im-yang Seng-cu sendiri.
Karena
pembakarannya tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin ia “menangkap”
Im-yang Seng-cu untuk memancing-mancing kalau-kalau kakek aneh ini akan
mengeluarkan ucapan yang menyinggung, sehingga dapat dijadikan alasan untuk
menyerangnya. “Im-yang Sengcu, apa pula artinya perkataanmu bahwa manusia
kehilangan kebebasan karena terbelenggu oleh hukum-hukum yang diadakan manusia
sendiri?”
Im-yang
Seng-cu menghela napas panjang. “Inilah yang membuat hatiku selalu menjadi
gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri,
membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga
beberapa ribu tahun lagi manusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum!
Betapa bayi takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini?
Begitu terlahir, tubuhnya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul
peraturan dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hukum ada pelanggaran,
diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti tentang
kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!”
“Seorang
manusia yang tidak mentaati peraturan berarti melanggar kesusilaan, melanggar
kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang rendah) yang akan berbuat seperti
itu!” Yang berkata demikian adalah Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang
kosen dan jujur itu. Sebagian besar para pembesar dan panglima Kerajaan Ceng
(Kerajaan Mancu) mempelajari Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara
tentang filsafat, Bhe Ti Kong tertarik lalu mengajukan bantahan atas
pendirian Im-yang Seng-cu tadi.
Im-yang
Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk, “Bagus sekali, Ciangkun. Memang
tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat! Sekali lagi aku katakan
bahwa aku hanya menyesalkan keadaan hidup manusia, bukan sekali-sekali
menganjurkan agar semua orang melanggar hukum dan peraturan-peraturan yang
sudah ada. Aku sendiri sampai sekarang masih memakai pakaian dan
peraturan-peraturan masih tetap kupegang karena seperti juga semua manusia,
aku pun dihinggapi penyakit ke-AKU-an sehingga rela melakukan hidup dalam
kepalsuan-kepalsuan dan tidak wajar. Seperti semua agama, telah kukatakan tadi,
Agama Khong Hu Cu juga mengajarkan segala kebaikan, merupakan
pelajaran-pelajaran yang benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit
manusia yang mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran
itu dalam sepak terjang hidupnya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu
bersabda bahwa seorang Kuncu hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang
Siauw-jin hanya mengejar keuntungan! Nah, Nabi Khongcu sendiri telah maklum
akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu memperingatkan manusia yang
selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan lahiriah! Kukatakan tadi
bahwa begitu terlahir, bayi telah dibelenggu kain-kain penutup tubuh. Kalau
pakaian dimaksudkan untuk melindungi tubuh, hal yang hanya timbul karena
kebiasaan, karena sesungguhnya kalau tidak dibiasakan pun tidak apa-apa, maka
apa hubungannya dengan kesusilaan dan kesopanan?”
“Wah,
orang yang tidak mau berpakaian dan bertelanjang bulat adalah orang yang tak
tahu malu dan tidak sopan!” Seorang membantah dan karena semua orang
berpendapat demikian, tidak ada yang peduli siapa yang mengeluarkan bantahan
itu tadi.
Im-yang
Seng-cu tertawa, “Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka anggapan itu muncul
setelah orang menciptakan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar dan
palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan sama sekali
tidak berpakaian itu dianggap tak tahu malu dan tidak sopan? Ha-ha-ha, kulihat
Cu-wi kini mulai dapat mengerti apa yang kumaksudkan. Bayi, manusia cilik itu
tadinya wajar dan tidak mengenal hukum kesusilaan, maka tidak bisa dianggap
rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya, dapatkah dianggap melanggar?
Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah dimaki-maki. Dengan
demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk membelenggu kaki tangan manusia
sendiri, membatasi kebebasan dan kewajaran hidup? Timbulnya segala kesalahan
adalah karena melanggar hukum, dan timbulnya segala pelanggaran hukum adalah
karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum takkan ada
pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia
terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesucian dan
kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang
menimbulkan kedosaan.”
Tiba-tiba
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu,
engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mendengarkan kata-katamu.
Apakah engkau datang untuk berkhotbah? Ataukah hendak menyebarkan agama baru?”
“Tidak,
Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenarnya, mengajak
semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan
keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri,
Koksu. Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai
berpura-pura? Kalau memang pemerintah melarang semua orang gagah mencari
pusaka-pusaka yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan
saja. Akan tetapi hendaknya diingat bahwa mencari pusaka-pusaka lama dan
memperebutkannya adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah
sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih
memberontak!”
Muka
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah. “Memang sesungguhnyalah! Kami
telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda
apa saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh
menentangku!” Sambil berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan
sikap menantang.
Im-yang
Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang. “Im-kan Seng-jin, siapa yang dapat
melawanmu? Aku sendiri sudah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu kepalan
memperebutkan permainan.” Dia lalu menghadapi semua orang yang masih berada di
situ sambil berkata nyaring, “Harap Cu-wi sekalian pulang ke tempat
masing-masing. Biarpun belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin
bahwa pusaka-pusaka yang lenyap itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek
bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai itu mati
terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat dilakukan
oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah berhasil
merampas pusaka masa orang sakti itu lalu meninggalkannya begitu saja di
tempat ini? Mustahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai banyak
pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk
mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!”
Im-yang
Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit,
dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan alis
berkerut karena merasa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Koksu ini mengerti benar akan politik yang dijalankan Pemerintah Ceng, yaitu
ingin membaiki para tokoh-tokoh kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian
mereka, bukannya memusuhi mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontakan
karena Kerajaan Mancu mengerti benar bahwa rakyat masih belum mau tunduk
kepada pemerintah penjajah dan di dalam hati amat membenci pemerintah Ceng.
Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa “ditelanjangi”
oleh Im-yang Seng-cu, juga karena alasan yang dikatakan oleh bekas tokoh
Hoa-san-pai tentang pusaka-pusaka itu tepat, maka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
lalu mengerahkan pasukannya untuk sekali lagi melakukan pencarian di pulau
itu, bukan mencari pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau itu,
melaikan mencari petunjuk-petunjuk selanjutnya karena jejak yang didapatkannya
hanya sampai di pulau itu. Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka bekerja,
hasilnya sia-sia sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan
hati mengkal dan memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh
diandalkan, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, untuk merantau di dunia
kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari kabar dan cepat-cepat memberi
laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada tokoh kang-ouw yang mendapatkan
pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka Sepasang Pedang Iblis.
Mengapakah
koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis? Sebenarnya, sebagai
seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan
sepasang pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggalan keluarga
Suling Emas yang amat keramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka
di dunia ini, ia ingin sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan
hanya karena dia mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah
menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, juga karena masih ada
hubungan antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu! Sepasang Pedang
Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara Hitam yang
kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mutiara Hitam. Kedua
pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki
dan wanita yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru
mau membuatkan sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua
bongkah logam yang jatuh dari langit! Kedua orang India ini bernama Mahendra
dan Nila Dewi (baca ceritaIstana Pulau
Es). Adapun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang
peranakan India dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu masih
ada hubungan keluarga! Biarpun Mahendra dan Nila Dewi yang dianggap suami
isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang sudah jauh, akan tetapi
sedikit banyak ada hubungan darah sehingga kini Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas Sepasang Pedang Iblis buatan kakek
dan neneknya.
Demikianlah,
kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang Pedang Iblis
dan untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya
menjadi sebab kehilangan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi
itu, tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri.
***
Sesosok
bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan bunyi kelepak sayap terdengar
disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar
dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas
tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar
keluhannya lirih ditujukan kepada si Burung Garuda.
“Pek-eng
(Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh.... kenapa selama
hidupku aku harus menderita kehilangan selalu....?”
Burung
itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala
Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya.
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan
julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pendekar sakti ini
belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biarpun wajahnya masih tampan dan
segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini
memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!
“Pek-eng....”
katanya lirih bisik‑bisik sambil mengelus leher burung itu, “siapa yang
mempunyai, dia yang akan kehilangan....”
“Nguk‑nguk....” Garuda
itu mengeluarkan suara lirih, seolah‑olah ikut berduka.
“Engkau
pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi
bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak
mempunyai orang‑orang yang kucinta....! Ahhh, betapa bahagianya orang yang
tidak mempunyai apa‑apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa!
Siapa bilang yang punya lebih senang daripada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu!
Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang
yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir
kehilangan apa‑apa!”
Suma
Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu
beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To‑cu (Majikan Pulau) Pulau
Es ini di samping kesaktiannya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan
aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia‑manusia
biasa. Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun,
selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai
berhari‑hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum!
Garuda
putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas, lalu terbang
ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah
melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua
mahluk yang sama‑sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu
sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya angin mampermainkan ujung-ujung daun
pohon.
Dalam
keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di
waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang
mendalam, apalagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu
selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini
setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis‑garis dan bayangan gelap, membuat
wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian
bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal‑hal yang sudah
wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka maupun duka!
Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan
penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang
nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap
dari dalam hati dan pikiran.
“Suma
Han, bangunlah!” Tiba‑tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran
kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata. Dengan malas ia bangkit
dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah berdiri
seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat berujung
kepala naga itu bukan lain adalah Im‑yang Seng‑cu! Namun ia bersikap tak acuh
dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit
berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek
itu, kemudian menunduk, seolah‑olah enggan untuk berurusan dan memang
sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan
dengan siapapun juga. Betapapun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang
tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im‑yang Seng-cu adalah guru dari
orang‑orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap
menundukkan muka.
“Locianpwe
Im‑yang Seng‑cu, apakah yang Locianpwe kehendaki maka perlu membangunkan saya
yang sedang mengaso?”
“Apa
yang kukehendaki? Ha‑ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku
sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak
membunuhmu!”
Suma
Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli.
Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im‑yang Seng‑cu
terpaksa mengejapkan mata karena merasa seolah‑olah ada sinar yang menusuk‑nusuk
keluar dari sepasang mata Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan
tetapi sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar
ketika ia menarik napas panjang.
“Ada
akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada
sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini
lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hendak membunuh saya.”
Suaranya tetap tenang.
Im‑yang
Seng‑cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya, tidak ada seujung rambut pun
rasa senang di hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman
untuk membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu
mengalahkan pendekar muda ini maupun karena memang dia selalu merasa suka dan
kagum kepada Suma Han.
“Tentu
ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang
tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguhpun ada orang
yang takkan dapat melupakannya, yaitu Tan-siucai....”
Suma
Han memejamkan matanya dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang
menggetar, “Mohon Locianpwe jangan menyebut‑nyebut namanya lagi....” Di
depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini
membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hoa‑san
Kiam‑li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa‑san) Lu Soan Li adalah murid ke dua
Im‑yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot,
seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bahkan kemudian telah
mengorbankan nyawanya untuk dia! Lu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan
menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu
tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.
“Suma
Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali
telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia
ini, kusayang seperti anak‑anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab
kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali
membunuhmu atau mati di tanganmu!”
Suma
Han merasa seolah‑olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi
sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata,
“Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?”
Pendekar
Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa
tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu
yang amat dicintanya, bahkan merupakan satu‑satunya orang yang paling
dicintanya di dunia ini. Telah lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika
adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang berjuluk Hoa‑san Gi‑Hiap (Pendekar
Budiman dari Hoa‑san) yaitu murid pertama Im‑yang Seng‑cu! Siapa lagi yang
merupakan dua orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu? Adapun
tentang pertanyaan Im‑yang Seng‑cu tentang dendam yang dikandung di hati orang
yang benama Tan-siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli. Dia tahu bahwa Tan‑siucai
adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena dia tidak merasa berdosa
terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka
dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan
tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa malapetaka....!
“Locianpwe,
saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan
Lulu!” Kembali Suma Han berkata, sungguhpun sikap dan suaranya tenang, namun
jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.
“Kau
mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau
tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau sebaliknya aku yang
mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!” Kakek itu lalu
menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk
di depannya, siap mendengarkan penuturan kakek itu.
Im‑yang
Seng‑cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima
tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im‑yang Seng‑cu sebagai wali
pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan
Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan
walinya (baca ceritaPendekar Super Sakti
). Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu
tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.
Akan
tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan
berduka. Memang pada bulan‑bulan pertama dia agak terhibur oleh limpahan kasih
sayang Wan Sin Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan‑bulan berikutnya hiburan
suaminya tidak dapat menyembuhkan kedukaan hatinya, seolah‑olah semua
kegembiraan hidupnya terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-lebih
setelah Lulu melahirkan seorang anak laki‑laki, hubungan suami isteri ini
kelihatan makin merenggang.
Im‑yang
Seng‑cu yang seringkali mengunjungi muridnya, dapat melihat kerenggangan ini,
akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami
isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu melahirkan anak, pada
suatu hari Im‑yang Seng‑cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat
Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini
benar‑benar mengejutkan hati kakek itu yang mengenal betul kegagahan muridnya.
“Sin
Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga daripada
darahnya, jangan dibuang‑buang!” Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat
muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu‑sedu. Wan Sin Kiat menyusut
air matanya dan menekan kedukaan hatinya.
“Ceritakan
apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa
yang menimpanya, baik maupun buruk, secara gagah pula!”
“Maaf,
Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apapun juga, akan tetapi ini.... ah,
Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!”
“Apa....?”
Im‑yang Seng‑cu terkejut juga mendengar ini. “Dan puteramu?”
“Dibawanya
pergi.”
“Kenapa
tidak kaukejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera mengejar dan
membujuknya pulang?” Im-yang Seng‑cu menegur muridnya karena mengira bahwa
tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah.
Akan
tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka. “Percuma, Suhu. Hatinya
keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah ditahan‑tahannya
selama dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya.”
“Aihh,
bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?”
“Teecu
memang mencintanya dengan jiwa raga teecu bahkan sampai saat ini pun teecu tak
pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi.... dia.... ah,
kasihan Lulu.... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu,
melainkan kepada Han Han....”
“Suma
Han? Dia kakaknya!”
“Itulah
soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru
setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan
menyesal, Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk
membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan dia.... semua gagal, cintanya
terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin menderita....”
“Dan
semua itu dia ceritakan kepadamu?” Im‑yang Seng‑cu bertanya dengan mata
terbelalak, terheran‑heran mendengar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk
akal itu.
“Tidak
pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat, mengakui segala
isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi
dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan
mau kembali kepada teecu.”
“Mau
ke mana dia?”
“Dia
tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han
Han.”
“Si
Pemuda Keparat Suma Han!” Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.
“Jangan,
Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini.... juga Lulu tidak bersalah. Sejak
dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat
itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila‑gila
kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi....”
“Tidak
bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan
adiknya menikah denganmu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu
kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm.... hanya mereka atau aku yang boleh
hidup lebih lama di dunia ini!”
“Suhu!”
Wan Sin Kiat membujuk suhunya, akan tetapi Im‑yang Seng‑cu berkeras karena
merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan penghancuran kehidupan
muridnya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Dapat
dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia
mendengar bahwa Hoa‑san Gi-hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur
di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara
Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia.
Menurut berita yang didengar oleh Im‑yang Sengcu, muridnya itu berperang
seperti orang gila tidak mengenal mundur lagi sehingga diam‑diam ia mengerti
bahwa muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari mati dalam perang. Hatinya
seperti ditusuk pedang dan biarpun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya
muridnya itu memilih mati sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka
sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!
Mendengar
penuturan Im‑yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya
tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk.
Im‑yang
Seng‑cu bangkit berdiri. “Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus dosamu.
Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini
akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau
menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!”
Akan
tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im‑yang Seng‑cu,
melainkan memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih, “Hemm.... kalau
begitu.... dia agaknya....” Ucapan ini diulang beberapa kali.
Pada
saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li
Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar
suara Thian Tok Lama,
“Suma‑taihiap,
pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka
menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng.”
Akan
tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak
mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah‑olah tidak mendengar
kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan
terdengar suaranya lirih berulang-ulang. “Aihhh.... tentu dia....!”
Thian
Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggapnya memandang
rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan
Suma Han dan maklum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan
tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut.
Terdengar pendeta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh
hutan.
“Suma‑taihiap!
Koksu menghormati Taihiap sebagai To‑cu terkenal dari Pulau Es, maka
mengajukan permintaan secara baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka
menghargai penghormatan Koksu!”
Suma
Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im‑yang Seng‑cu,
“Ha‑ha‑ha! Penghormatan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan palsu.
Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!”
Thian
Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng‑cu dengan sikap marah, akan tetapi
pendeta Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu bahwa
menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kalau dibantu
kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata
lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han.
“Koksu
berpendapat bahwa karena Taihiap‑lah orangnya yang dahulu menguburkan jenazah
Siang‑mo Kiam‑eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang
itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil
sepasang pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang
Iblis adalah Koksu Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu
adalah nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma‑taihiap
untuk mengembalikan pedang‑pedang itu kepada yang berhak.”
Akan
tetapi Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri. “Benar, tak salah
lagi, tentu dia....”
“Orang
ini terlalu sombong!” Tiba‑tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju.
“Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?”
Setelah membentak demikian, Bhe‑ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke
arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan memaksanya tunduk.
“Plakk!
Auggghhh....!” Tubuh tinggi besar Bhe‑ciangkun terlempar ke belakang dan
terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka pucat dan tangan
kirinya memijit‑mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pundak Suma
Han. Pendekar Super Sakti itu masih berdiri tak bergerak, termenung seolah‑olah
tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar
Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu
tangan panglima kerajaan mencengkeram pundak, Bhe‑ciangkun merasa tangannya
seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar biasa panasnya dan ada
daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting.
Melihat
kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira
bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan
gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.
Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menyerang Suma Han yang masih
berdiri termenung, seolah‑olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan
pukulan maut jarak jauh yang amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar
terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sin-kang itu
seperti “menembus” tubuh Suma Han lewat begitu saja dan “kraaakkk!” Sebatang
pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan itu, akan
tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak bergoyang! Hal ini
membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-heran dan penasaran. Kalau
lawan itu menggunakan tenaga sin-kang melawan serangan mereka, bahkan andaikata
mengalahkan sin-kang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan. Akan tetapi
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin pukulan
mereka hanya lewat saja seolah-olah tubuh itu terbuat daripada uap hampa!
Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju den menggunakan dorongan telapak
tangan mereka menghantam dada Suma Han dari kanan kiri!
“Buk!
Bukk!” Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua
orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong
tadi!
“Ha‑ha‑ha‑ha!
Kiranya utusan‑utusan koksu kerajaan adalah pelawak‑pelawak yang pandai
membadut, pandai menari jungkir balik!” Im‑yang Seng‑cu bersorak dan bertepuk
tangan seperti orang kagum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di
panggung.
Dua
orang pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im‑yang Seng‑cu dengan
mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biarpun Suma Han kelihatannya diam
tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah
jari tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan
telapak tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan
berhasil memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga merekalah yang
“terpukul” oleh hawa sin-kang yang melindungi tubuh Suma Han. Tentu saja
keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu
akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Akan tetapi, yang mereka hadapi
sekarang ini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat
daripada dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga
mendatangkan rasa jerih. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul karena
malu kepada Im‑yang Seng‑cu yang mengejek mereka.
“Im‑yang
Seng‑cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara Huang‑ho Koksu
telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau
terima pukulan pinceng!” Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng‑cu yang cepat
meloncat ke samping karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang
dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan Hek‑inhui‑hong‑ciang, ketika memukul
tubuhnya agak merendah, perutnya yang gendut makin menggembung dan dari dalam
perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan
tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan hanya mendatangkan angin
dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!
Melihat
betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im‑yang Seng‑cu, Thai Li
Lama yang juga marah sekali terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah
menyambut dari kiri dengan pukulan Sin‑kun-hoat‑lek yang tidak kalah ampuh dan
dahsyatnya dibanding dengan Hek‑in‑hui‑hong‑ciang.
“Ayaaa....!”
Biarpun diancam bahaya maut, Im‑yang Seng‑cu masih dapat mengejek sambil
melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik. “Kedua pelawak ini
selain lucu juga gagah sekali!” Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama
menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin
berkobar dan dengan nafsu mereka kembali menyerang. Im‑yang Seng‑cu tentu saja
repot bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di
antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apalagi dikeroyok dua.
“Plak....
krekkkk!” Ujung tongkat di tangan Im‑yang Seng‑cu patah dan ia terhuyung ke
belakang. Thai Li Lama mengejarnya dengan pukulan maut.
Tiba‑tiba
tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama
yang sedang menyerang Im‑yang Seng‑cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat
menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan
tangan.
“Bresss!”
Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat
ditangkis Thai Li Lama. Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah
pertandingan hebat antara burung garuda dengan pendeta ini, sedangkan Thian
Tok Lama kembali sudah menerjang dan mendesak Im‑yang Seng-cu dengan Pukulan
Hek‑in‑hui‑hong-ciang yang merupakan cengkeraman maut.
Im‑yang
Seng‑cu adalah seorang bekas tokoh Hoa‑san‑pai yang sudah mempelajari banyak
macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya.
Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat
kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya
malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa‑san‑pai sendiri! Akan tetapi sekali
ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar‑benar bertemu tanding yang amat kuat.
Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi
ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat‑sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh
tokoh‑tokoh Tibet. Biarpun hoat‑sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah
sekuat ilmu Hoat‑sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sin-kangnya dan
menambah kewibawaannya menghadapi lawan. Dalam hal tenaga sin-kang, Im‑yang
Seng‑cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama
mengurangi kegesitannya dan Im‑yang Seng‑cu lebih gesit dan ringan, namun
sekali ini Im-yang Seng‑cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat
aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya! Setelah saling serang puluhan
jurus lamanya, akhirnya Im‑yang Seng‑cu terdesak dan hanya mundur sambil
mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah
keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia
bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok
Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti
juga Im‑yang Seng‑cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama
mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li
Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi,
akan tetapi biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan
menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan
dan pukulan Thai Li Lama! Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini
serangannya makin mengendur, bahkan mulailah garuda putih itu mencampuri pekik
kemarahannya dengan bunyi tanda gentar.
Sementara
itu, Suma Han masih berdiri bersandar tongkatnya. Sinar matanya memandang
kosong dan bibirnya bergerak‑gerak, “Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk
apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu....? Lulu.... satu‑satunya sinar
bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup
bahagia di samping suami dan anakmu.... akan tetapi.... engkau menghancurkan
kebabagiaanmu sendiri.... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku.
Mengapa....? Mengapa....?” Biarpun wajah yang tampan itu masih tidak
membayangkan perasaan apa‑apa, namun bulu matanya basah dan jari‑jari tangan
yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas‑remas, perasaan
hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe
Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri
ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super
sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya
yang bertanding melawan Im-yang Seng‑cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua
orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si
Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah. Dia
adalah seorang panglima, sudah biasa mengatur siasat-siasat perang, siasat
untuk mencari kemenangan dalam pertempuran. Melihat keadaan pihaknya ini, tentu
saja Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah dan terancam bahaya ikutnya
Pendekar Siluman itu dalam pertempuran. Melihat Suma Han termenung seperti
orang mimpi, ia menghampiri perlahan‑lahan dan mencabut senjatanya yang
mengerikan, yaitu sebatang tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing
dan kuat. Bhe Ti Kong bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan
apa yang hendak dilakukan ini semata‑mata dianggap sebagai siasat untuk
kemenangan pihaknya. Biasanya dalam pertempuran perang, tidak ada istilah
curang atau pengecut, yang ada hanyalah mengadu siasat demi mencapai
kemenangan. Sekarang pun, ketika ia berindap‑indap menghampiri Suma Han dari
belakang dengan senjata di tangan, satu‑satunya yang memenuhi hatinya hanyalah
ingin melihat pihaknya menang.
Setelah
tiba di belakang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan menyerang.
Panglima tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat, senjatanya juga
berat dan kuat sekali, maka serangan yang dilakukannya itu menusukkan tombak
runcing ke punggung Suma Han, merupakan serangan maut yang mengerikan dan
agaknya tidak mungkin dapat dihindarkan lagi!
“Wirrrr....!”
Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma Han.
Akan tetapi, pada waktu itu, ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super Sakti
atau Pendekar Siluman, To‑cu dari Pulau Es ini, sudah “mendarah daging”
sehingga boleh dibilang setiap bagian kulit tubuhnya memiliki kepekaan yang
tidak lumrah. Perasaan di bawah sadarnya seolah‑olah telah bangkit bekerja
setiap detik sehingga jangankan baru sedang melamun, bahkan biarpun dia sedang
tidur nyenyak sekalipun, perasaan ini bekerja melindungi seluruh tubuhnya dari
bahaya yang mengancam dari luar. Pada saat itu, pikirannya sedang melayang‑layang,
seluruh panca inderanya sedang ikut melayang-layang pula bersama pikirannya
sehingga dia seperti tidak tahu sama sekali akan segala yang terjadi di
sekelilingnya, tidak tahu betapa garuda tunggangannya dan Im‑yang Seng‑cu
didesak hebat oleh Thian Tok Lama den Thai Li Lama. Akan tetapi, ketika ada
senjata menyambar punggung mengancam keselamatannya, perasaan di bawah sadar
itu mengguncang kesadarannya dengan kecepatan melebihi cahaya!
“Suuuuutttt!”
Bhe Ti Kong berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri karena tiba‑tiba orang
yang diserangnya itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak olehnya hanyalah
bayangan berkelebat cepat menyambar ke arah Thian Tok Lama yang mendesak Im‑yang
Seng‑cu, kemudian bayangan itu mencelat ke arah Thai Li Lama yang bertanding
dan tahu-tahu tubuh kedua orang pendeta Lama itu terhuyung‑huyung ke belakang
dan mereka berdiri dengan wajah pucat memandang Suma Han yang sudah berdiri
bersandar tongkat dan memandang mereka berdua dengan sinar mata tajam berpengaruh.
Keduanya telah kena didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menusuk tulang
dan biarpun kedua orang pendeta ini sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja
mereka itu menggigil dan wajah mereka yang pucat menjadi agak biru, gigi mereka
saling beradu mengeluarkan bunyi! Setelah mengerahkan sin-kang beberapa
lamanya, barulah mereka itu dapat mengusir rasa dingin dan tahulah mereka
bahwa kalau Si Pendekar Super Sakti menghendaki, serangan tadi tentu akan
membuat nyawa mereka melayang!
“Katakan
kepada koksu kerajaan Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun bahwa To‑cu Pulau Es tidak
tahu‑menahu tentang Sepasang Pedang Iblis! Nah, pergilah dan jangan mengganggu
orang-orang yang tidak bersalah!”
Thian
Tok Lama menghela napas panjang. Pemuda buntung itu hebat luar biasa dan
ucapan seorang yang sakti seperti itu tentu saja tidak membohong. Ia menjura
dan berkata,
“Baiklah
dan harap To‑cu sudi memaafkan kelancangan kami,” Ia memberi isyarat kepada
Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu.
Keadaan
menjadi sunyi. Garuda putih kini hinggap di atas cabang pohon, menyisiri bulu‑bulunya
dengan paruh sambil kadang‑kadang memandang ke arah majikannya. Im‑yang Seng‑cu
yang masih mengatur pernapasannya yang agak terengah karena tadi ia terlampau
banyak mempergunakan tenaga untuk melindungi dirinya dari desakan hebat Thian
Tok Lama, kini melangkah maju mendekati Suma Han memandang penuh perhatian ke
arah wajah yang sudah menunduk kembali itu lalu berkata.
“Suma
Han, mari kita lanjutkan urusan di antara kita. Sudah kuceritakan semua
tentang sebabnya mengapa hari ini aku harus membunuhmu atau terbunuh olehmu.
Karena engkau, kedua orang muridku tewas dan orang‑orang yang kucinta di dunia
ini habis. Jangan berkepalang tanggung, hayo kau tewaskan aku pula atau engkaulah
yang akan mati di tanganku!”
Tanpa
mengangkat mukanya yang tunduk, Suma Han membuka pelupuk matanya yang
menunduk. Sinar matanya bagaikan kilat menyambar wajah kakek itu, membuat hati
Im‑yang Seng‑cu tergetar. Diam‑diam kakek ini kagum bukan main. Manusia
berkaki satu yang berdiri di depannya adalah seorang manusia yang amat luar
biasa!
“Benarkah
Locianpwe begitu bodoh ataukah hanya pura‑pura bodoh? Ada kemenangan dalam diri
manusia yang melebihi segala makhluk, yaitu perbuatan dengan pamrih demi kebahagiaan
orang lain. Bahkan rela berkoban demi kebahagiaan orang lain. Sudah tentu saja
akibatnya bermacam‑macam sesuai dengan kehendak Tuhan, namun menilai perbuatan
bukanlah dilihat akibatnya, melainkan ditinjau pamrihnya.”
Im‑yang
Seng‑cu tersenyum dan menyembunyikan kegembiraannya di balik kata‑kata
mengejek. “Suma Han, semua perbuatan memang berakibat dan hanya seorang gagah
sajalah yang berani mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya! Kepandaianmu
amat tinggi dan aku sudah kehilangan tongkatku, namun jangan mengira bahwa aku
akan gentar melawanmu. Jangan bersembunyi di balik kata‑kata yang muluk‑muluk.
Mari kita selesaikan!”
Suma
Han menghela napas panjang. “Kalau sekeras itu kehendak Locianpwe, demi
penyesalan hatiku telah mengakibatkan kesengsaraan orang‑orang yang kucinta,
silakan Locianpwe!”
“Bagus!
Nah, sambutlah ini!” Dengan wajah yang tiba‑tiba berubah girang bukan main, Im‑yang
Seng‑cu meloncat maju, tangan kanannya dengan pengerahan sin-kang sekuatnya
menghantam dada Suma Han.
“Dessss!”
Tubuh Suma Han terlempar sampai lima meter, tongkat yang dipegangnya terlepas
dan ia roboh terguling, mulutnya muntahkan darah segar.
Seketika
wajah Im‑yang Seng‑cu menjadi pucat sekali. Kegirangan lenyap dari wajahnya
dan ia meloncat mendekati. “Celaka! Keparat engkau, Suma Han! Engkau telah
menipuku....! Ahhhh.... engkau akan membuat aku mati menjadi setan
penasaran.... selamanya aku.... belum pernah memukul orang yang tidak melawan.
Kenapa engkau tidak melawan? Celaka.... aiiiihhh.... celaka....!”
Tiba‑tiba
terdengar pekik keras dan bayangan putih menyambar dari atas. Garuda putih
telah menyambar dan cakarnya mencengkeram pundak Im‑yang Seng-cu, tubuh kakek
itu dibawa ke atas lalu dibanting lagi ke bawah.
“Brukkk!”
Im‑yang Seng‑cu tertawa, pundaknya luka berdarah. “Bagus....! Bagus sekali,
garuda sakti! Hayo lekas serang lagi. Hayo bunuh aku.... ha‑ha‑ha! Majikanmu
yang gila tidak mau membunuhku, mati di tanganmu cukup terhormat. Marilah!”
Ia menantang-nantang sambil tertawa dan bangkit berdiri terhuyung‑huyung.
Garuda
putih menyambar lagi ke bawah dengan penuh kemarahan.
“Pek‑eng,
berhenti!” Tiba‑tiba Suma Han membentak, suaranya mengandung getaran dahsyat
dan burung itu tidak jadi menyerang Im‑yang Seng‑cu, melainkan hinggap di atas
tanah dekat Suma Han dan mendekam, mengeluarkan suara mencicit sedih dan
takut.
Im‑yang
Seng‑cu membanting‑banting kakinya ke atas tanah. “Suma Han, engkau benar‑benar
kejam! Engkau berkali-kali mengecewakan hatiku! Engkau menerima pukulanku
tanpa melawan, membuat aku menjadi seorang manusia yang rendah dan hina! Dan
sekarang engkau melarang burungmu menyerangku. He, Pendekar Super Sakti! Apakah
setelah engkau berjuluk Pendekar Siluman hatimu pun menjadi kejam seperti hati
siluman? Apakah engkau akan puas menyaksikan aku hidup merana menanti datangnya
maut menjemput nyawaku yang sudah tidak betah tinggal di tubuh sialan ini?”
“Locianpwe,”
Suma Han berkata lirih sambil mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan
baju. “Locianpwe datang dengan niat membunuhku. Pukulanmu tadi cukup keras
akan tetapi belum cukup untuk melukai aku, apalagi membunuh. Kalau masih belum
puas, mari, pukul lagi, Locianpwe.”
“Engkau
tidak melawan?”
Suma
Han menggeleng kepala. “Bagaimana harus melawan? Locianpwe hendak membunuhku
karena kesalahanku terhadap Lulu dan Sin Kiat, dan biarpun tidak kusengaja,
memang aku telah bersalah terhadap mereka. Kalau Locianpwe mau membunuhku,
lakukanlah!”
Im‑yang
Seng‑cu membanting‑banting kakinya lagi. “Kau.... kau....!” Dan kakek ini mengusap‑usap
kedua matanya kerena kedua mata itu menitikkan air mata!
“Locianpwe,
ketika garuda menyerangmu, Locianpwe tidak melawan pula, menyambut maut dengan
tertawa‑tawa. Locianpwe rela mati karena merasa bersalah memukul orang yang
tidak melawan. Locianpwe rela mati demi membalas kesengsaraan orang‑orang
yang Locianpwe cinta. Kalau semulia itu hatimu, apakah aku yang muda tidak
boleh menirunya?”
“Kau....
kau siluman!”
“Locianpwe,
aku mengerti bahwa sesungguhnya Locianpwe tidak ingin membunuhku, melainkan
mengharapkan kematian di tanganku. Tak mungkin aku melakukan hal itu,
Locianpwe. Sekarang, hanya ada dua pikhan bagi Locianpwe. Membunuhku tanpa
kulawan, atau kita sudahi saja urusan ini, biarlah kita berdua melanjutkan
hidup dengan kesengsaraan batin menjadi derita. Bukankah hidup ini menderita?
Bukankah penderitaan batin merupakan pengalaman hidup yang paling berharga?
Bagaimana, Locianpwe? Kalau belum puas memukulku, silakan ulangi kembali!”
Suma
Han terpincang‑pincang maju mendekati sambil memasang dadanya, Im‑yang Seng‑cu
mundur‑mundur seperti ngeri didekati sesuatu yang akan dapat membuat ia
menyesal selamanya. “Tidak.... tidak.... jangan dekati aku....!” Kemudian ia
menutup mukanya dengan kedua tangan.
“Kalau
begitu, selamat tinggal, Locianpwe. Locianpwe agaknya lebih suka menghukum
batinku, karena sesungguhnya kalau Locianpwe membunuhku, berarti membebaskan
aku daripada penyesalan dan kesengsaraan batin. Selamat tinggal!” Suma Han
mengambil tongkatnya, meloncat ke atas punggung garuda dan terdengarlah
kelepak sayap dibarengi angin bertitip dan Majikan Pulau Es itu sudah
membubung tinggi dibawa terbang garuda putih.
Im‑yang
Seng‑cu menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat, alianya berkerut dan sampai
lama ia memutar pikirannya. Tiba‑tiba ia tertawa, “Ha‑ha‑ha! Untuk ke sekian
kalinya aku kalah! Ahhh, bagaimana bocah setan itu tahu bahwa aku akan merasa
girang mati di tangannya? Aihh, celaka memang nasibku. Keinginan terakhir mati
di tangan Pendekar Super Sakti gagal, bahkan aku yang hampir saja membunuhnya
sehingga penderitaanku akan bertambah makin berat. Buka main....! Dia itu....
seorang manusia yang luar biasa.... Ahh, kalau saja Tuhan dapat mengabulkan
setiap permintaan manusia, biarlah sekali ini si manusia Im‑yang Seng‑cu mohon
agar Tuhan sudi mengobati penderitaan batin Suma Han dan melimpahkan
kebahagiaan kepadanya. Dia manusia sejati, manusia berbudi luhur.... pendekar
di antara segala pendekar....!”
“Ha‑ha‑ha!
Kalau dia pendekar di antara segala pendekar, engkau adalah pengecut di antara
segala pengecut hina, Im‑yang Seng‑cu!”
Im‑yang
Seng‑cu terkejut, menoleh dan memandang terbelalak kepada seorang laki‑laki
muda yang berdiri di depannya. Laki‑laki ini usianya masih muda, belum lebih
tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan gerak‑geriknya halus, pakaiannya
menunjukkan bahwa dia adalah seorang terpelajar, pakaian pelajar yang bersih
dan rapi. Akan tetapi yang mengejutkan hati Im‑yang Seng‑cu adalah sepasang
mata di wajah tampan itu. Mata itu mempunyai sinar yang mengerikan, seperti
mata orang gila, namun juga mempunyai wibawa yang tajam berpengaruh dan aneh.
Bukan mata manusia, seperti itulah patutnya mata setan! Biarpun pakaiannya
seperti seorang pelajar, namun di punggung orang muda itu tampak gagang
sebatang pedang, gagang pedang hitam dengan ronce benang hitam pula.
Biarpun
hati Im‑yang Seng‑cu terkejut dan heran, namun dia marah mendengar orang yang
tak dikenalnya ini memakinya sebagai pengecut di antara segala pengecut hina.
Bagi seorang kang‑ouw, seorang yang menjunjung kegagahan, makian pengecut
merupakan makian yang paling rendah menghina.
“Orang
muda, kulihat pakaianmu sebagai seorang terpelajar, patutnya engkau tahu akan
tata susila dan sopan santun. Kulihat pedangmu di punggung, patutnya engkau
tahu akan sikap kegagahan di dunia kang‑ouw. Akan tetapi engkau datang‑datang
memaki orang tua, patutnya engkau seorang biadab yang sombong. Siapakah
engkau?”
Pemuda
itu tersenyum lebar. Senyum yang manis dan membuat wajahnya makin tampan, akan
tetapi seperti yang tersembunyi di balik keindahan matanya, juga di balik
senyumnya ini bersembunyi sifat aneh yang mendirikan bulu roma, sifat kejam dan
penuh kebencian terhadap sekelilingnya!
“Im‑yang
Seng‑cu, belasan tahun yang lalu seringkali engkau memondong dan menimangku,
bahkan yang terakhir engkau mengajarkan Ilmu Pukulan Hoa‑san Kun‑hoat kepadaku
sebagai pembayaran taruhan karena engkau kalah bermain catur melawan Ayahku.”
Terbelalak
kedua mata Im‑yang Seng‑cu dan ia memandang penuh perhatian, kemudian berseru.
“Siancai....!
Kiranya engkau Tan‑siucai (Sastrawan Tan) dari Nan-king....!”
Pemuda
tampan itu mengangguk‑angguk dan senyumnya makin kejam, “Betul, aku adalah Tan
Ki atau Tan‑siucai dari Nan-king.”
“Tapi....
tapi.... ah, bagaimana Ayahmu?”
“Ayah
telah meninggal dunia.”
“Ahhh!
Sahabatku yang baik, kiranya engkau lebih bahagia daripada aku, betapa rinduku
bermain catur sampai lima hari lima malam melawanmu....!”
“Tak
usah khawatir, Im‑yang Seng‑cu, sebentar lagi pun engkau akan menyusul Ayah
akan tetapi tempatmu di neraka, tidak di sorga seperti Ayah!”
Keharuan
Im‑yang Seng‑cu mendengar akan kematian sahabatnya, dan kegirangannya bertemu
dengan pemuda itu, lenyap berganti penasaran dan keheranan melihat sikap Tan‑siucai.
“Apakah
maksudmu dengan ucapan dan sikapmu ini? Engkau dehulu menganggap aku sebagai
paman dan bersikap hormat. Sekarang engkau bersikap kurang ajar, bahkan berani
memaki‑maki aku. Apa artinya ini?”
“Artinya,
orang tua pengecut! Aku datang untuk membunuhmu!”
Im‑yang
Seng‑cu memandang terbelalak, kemudian tertawa bergelak, merasa betapa lucunya
peristiwa ini. Baru saja dia menemui Suma Han dengan niat untuk membunuhnya
dan kini pemuda yang dianggap keponakannya sendiri, yang dijodohkan dengan
muridnya, mendiang Lu Soan Li, kini datang‑datang berniat membunuhnya!
“Tertawalah
selagi engkau masih dapat tertawa, Im‑yang Seng‑cu,” Tan‑siucai mengejek.
“Orang
muda, aku tidak takut mati. Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau tiba‑tiba
bersikap seperti ini?”
“Dengarlah
agar engkau tidak mati penasaran. Engkau seorang pengecut besar karena engkau
tidak dapat membubuh Pendekar Siluman. Akulah yang kelak akan membunuhnya
sayang aku datang terlambat, kalau tidak tentu dia sudah kubunuh sekarang.
Engkau telah menyia-nyiakan kewajibanmu menjaga tunanganku, membiarkan
tunanganku melakukan penyelewengan dari ikatan jodoh denganku. Membiarkan
tunanganku yang tercinta itu mengorbankan diri untuk pemuda lain,
membiarkannya mencinta pemuda lain. Kemudian, setelah bertemu dengan Pendekar
Siluman, engkau tidak berhasil membunuhnya. Engkau pengecut besar dan harus
mampus!”
Im‑yang
Seng‑cu menjadi marah sekali. “Kau sudah gila! Betapa manusia dapat menjaga
perasaan hati manusia lain? Kalau muridku, Soan Li yang malang, mencinta Suma
Han, itu adalah haknya. Dan sekarang aku tahu bahwa memang seribu kali lebih
baik mencinta Suma Han daripada mencinta seorang gila macam engkau. Aku sudah
mendengar bahwa kau mendendam atas kematian Soan Li, dan sudah kuperingatkan
Suma Han tentang ini. Akan tetapi kalau alasanmu seperti itu, engkau gila dan
bagaimana kau akan dapat membunuh aku? Ha‑ha‑ha, betapa tolol dan sombongnya
engkau Tan Ki!”
“Engkau
tadi hendak menyerahkan nyawa di tangan burung garuda bahkan engkau sengaja
ingin mati di tangan Suma Han. Apakah engkau tidak ingin mati di tanganku?”
“Ha‑ha‑ha!
Gila! Gila engkau! Tentu saja aku tidak sudi mati di tanganmu!” Kakek itu
tertawa‑tawa, lupa betapa anehnya sikap ini. Tadi ia ingin mati, sekarang ada
orang akan membunuhnya, dia marah‑marah!
“Mau
atau tidak, tetap saja engkau akan mati di tanganku, Im‑yang Seng-cu!” Sambil
berkata demikian, Tan-siucai sudah menerjang maju dengan tangan kirinya. Tangan
ini menampar, kelihatan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan tamparan itu
membuat Im-yang Seng-cu terkejut dan cepat mengelak. Dia terheran bukan main
karena tamparan itu adalah tamparan yang mengandung tenaga dalam amat kuat!
Akan
tetapi Tan‑siucai tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berheran karena
kini sudah mendesak lagi dengen dua pukulan beruntun, tangan kiri mencengkeram
ubun‑ubun disusul tangan kanan yang menyodok ke ulu hati. Serangan yang
dahsyat, serangan maut yang berbau ilmu silat tinggi dan lihai sekali.
“Aihhh!”
Im‑yang Seng‑cu meloncat ke belakang, timbul rasa penasaran karena dia tidak
mengenal jurus yang dilakukan bekas pelajar yang dahulu lemah itu. Maka ia pun
balas menerjang dengan pukulan‑pukulan dahsyat yang dapat dielakkan secara
mudah oleh Tan‑siucai. Pertandingan seru terjadi dan biarpun agaknya Tan‑siucai
telah digembleng orang sakti dengan ilmu silat aneh dan telah memiliki tenaga
sin-kang yang kuat, namun menghadapi seorang kakek seperti Im‑yang Seng‑cu,
pemuda itu kewalahan juga.
“Ha‑ha‑ha,
bagaimana engkau akan dapat membunuhku, pemuda gila?” Im-yang Seng‑cu mengejek.
Biarpun diam-diam ia terkejut den terheran‑heran karena mendapat kenyataan
bahwa ilmu silat pemuda ini benar‑benar tinggi den aneh, namun dia merasa yakin
bahwa untuk dapat membunuhnya, tidaklah begitu mudah.
“Begini,
Im‑yang Seng‑cu!” Tan‑siucai menjawab dan tiba‑tiba tangan kirinya dibuka dan
didorongkan ke arah muka kakek itu sambil mulutnya membentak, “Diam!”
Hebat
bukan main bentakan dan gerakan tangan itu karena secara aneh sekali, tiba‑tiba
Im‑yang Seng‑cu tak dapat menggerakkan kaki tangannya seolah‑olah tubuhnya
telah berubah menjadi batu. Dan pada saat itu, tangan kanan Tan-siucai telah
bergerak ke belakang, tampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitam di
tangannya telah meluncur den ambles ke dalam perut Im‑yang Seng‑cu, tepat di
bawah ulu hati. Ketika pemuda itu mencabut pedangnya, darah menyembur keluar
dari perut dan karena ketika mencabut pedangnya digerakkan ke bawah, perut itu
robek den isi perutnya keluar.
Barulah
Im‑yang Seng‑cu dapat bergerak, kedua tangannya otomatis bergerak ke depan, yang
kiri mendekap luka, yang kanan memukul ke depan. Angin pukulan kuat membuat
pemuda itu terhuyung ke belakang. Baju depannya merah terkena percikan darah
yang menyembur dari perut kakek itu.
Im-yang
Seng‑cu terhuyung‑huyung, matanya terbelalak, mulutnya berkata,
“Celaka....
ingin mati di tangan pendekar.... kini mampus di tangan setan.... benar‑benar
tubuh sial....!” Ia berusaha menubruk maju dengan loncatan cepat ke arah Tan‑shicai,
untuk memberi serangan terakhir. Akan tetapi Tan‑siucai mengelak den tubuh
kakek itu terjerembab ke atas tanah tanpa nyawa lagi.
“Heh‑heh‑heh!”
Dari balik sebatang pohon muncul dengan cara seperti setan seorang yang
berkulit hitam. Orang ini bertubuh tinggi sekali, tinggi dan kurus. Kulitnya
hitam mengkilap, kedua kakinya telanjang. Usianya sukar ditaksir, akan tetapi
tentu tidak kurang dari enam puluh tahun. Dahinya lebar, hidungnya panjang
melengkung, sepasang matanya lebar dan bersinar‑sinar aneh, mulutnya hampir tak
tampak tertutup jenggot dan kumis yang putih. Kedua telinganya memakai anting‑anting
perak berbentuk cincin. Rambutnya yang sudah lebih banyak putihnya itu tertutup
sorban berwarna kuning. Tubuhnya hanya dibalut kain kuning pula yang menutup
tubuh seperti cawat dan setengah dada.
“Cukup
baik gerak tangan kirimu dan bentakanmu cukup berhasil. Sayang gerakan
pedangmu tidak tepat. Lihat, pakaianmu terkena darah. Sungguh memalukan aku
yang menjadi gurumu, heh-heh!” Kata orang itu yang dapat diduga tentu datang
dari barat karena bentuk muka, warna kulit, dan gaya bicaranya.
“Mohon
petunjuk Guru,” kata Tan-siucai, alisnya berkerut tanda tidak senang hati
dicela gurunya.
“Membunuh
lawan terkena percikan darahnya, amatlah tidak baik dan engkau tadi membuka
kesempatan lawan untuk menyerang sehingga kau terhuyung. Untung kepandaian
orang ini tidak amat hebat. Kalau lebih hebat, apakah kau tidak akan celaka
karena pukulan terakhir orang yang sudah menghadapi maut? Serahkan pedangmu,
dan lihat baik‑baik!”
Tan-siucai
menyerahkan pedangnya. Pedang hitam itu oleh kakek ini lalu diselipkan di
bawah kain yang membelit pundaknya. Kemudian ia mengampiri mayat Im‑yang Seng‑cu,
dipandangnya sejenak kemudian tiba‑tiba tangan kirinya dengan telapak
menghadap ke arah mayat digerakkan, mulutnya mengeluarkan pekik aneh dan.... mayet
itu tiba‑tiba berdiri di depannya. Darah masih mengucur dari perut mayat Im‑yang
Seng‑cu yang terbuka dan ususnya terurai keluar.
“Diam....!”
Kakek itu membentak seperti yang dilakukan oleh muridnya tadi, tampak sinar
hitam berkelebat menjadi gulungan sinar yang mengitari tubuh mayat itu. Kakek
itu sudah meloncat ke belakang mayat dan.... tubuh Im‑yang Seng‑cu yang sudah
tak bernyawa lagi itu kini roboh menjadi enam potong! Kedua lengan dan kedua
kakinya terpisah, dan lehernya juga telah terbabat putus!
“Nah,
dengan begini, engkau tidak memberi kesempatan lawan untuk mengirim serangan.
Mula‑mula kedua lengan lalu kaki dan leher yang harus kaubabat putus, bukan
menusuk perut seperti tadi. Dan jangan lupa untuk bergerak meloncat ke
belakang, berlawanan dengan menyemburnya darah dari tubuhnya! Ah, sampai lupa.
Hayo cepat, kita tampung racun kuning!”
Mendengar
ini, Tan‑siucai lalu menggunakan kakinya, mengungkit bagian-bagian tubuh mayat
itu sehingga terlempar ke atas cabang pohon, ditumpuk di situ. Kemudian kakek
berkulit hitam itu menuangkan cairan obat dari sebuah botol ke atas tumpukan
potongan tubuh mayat yang segera mencair. Mula‑mula seperti terbakar mendidih,
kemudian dari tumpukan daging dan tulang itu menetes‑netes cairan kuning yang
segera ditampung oleh Tan‑siucai ke dalam sebuah botol melengkung berwarna
merah. Hebat sekali obat itu. Dalam waktu bebeberapa menit saja semua daging,
tulang dan pakaian bekas tubuh Im‑yang Seng‑cu mencair dan hanya menjadi seperempat
botol cairan kuning yang kental! Setelah tubuh itu habis sama sekali dan
menutup botol dengan sumbat dan menyimpannya, guru dan murid yang aneh itu
pergi dari situ.
Tan‑siucai
atau Tan Ki ini adalah bekas tunangan Hoa‑san Kiam‑li (Pendekar Pedang Wanita
dari Hoa‑san) Lu Soan Li murid Im‑yang Seng‑cu. Dia tinggal di Nan-king.
Setelah dia mendengar akan kematian tunangannya yang dicinta dan dibanggakan,
pemuda yang sudah tidak berayah ibu ini lalu pergi merantau. Dendam dan sakit
hati membuat dia seperti gila dan akhirnya secara kebetulan dia berjumpa dengan
kakek dari Nepal yang bernama Maharya itu yang kemudian mengambilnya sebagai
murid. Kakek Maharya, seorang sakti dari Nepal, tidak hanya tertarik kepada Tan‑siucai
karena melihat bakat pada diri pemuda itu, juga tertarik mendengar kisah pemuda
itu yang menaruh dendam kepada Pendekar Siluman. Di samping ini, sebagai
seorang asing yang baru datang ke Tiong‑goan, dia membutuhkan seorang pembantu
dan pengajar bahasa. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja pemuda itu merupakan
seorang guru bahasa yang baik.
Demikianlah
selama bertahun‑tahun Tan Ki atau Tan‑siucai merantau bersama gurunya,
menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang aneh, juga menerima pelajaran ilmu
sihir yang merupakan keistimewaan gurunya. Tujuan mereka hanya dua. Pertama
memenuhi kebutuhan Maharya, yaitu mencari Sepasang Pedang Iblis, dan kedua
memenuhi kebutuhan Ten‑siucai, mencari Im‑yang Seng‑cu dan Pendekar Siluman
untuk membalas dendam kematian tunangannya! Secara tak tersangka-sangka mereka
tiba di hutan itu dan hampir saja sekaligus Tan‑siucai dapat bertemu dengan dua
orang yang dimusuhinya, akan tetapi dia terlambat karena Pendekar Siluman telah
meninggalkan tempat itu. Betapapun juga, dia berhasil membunuh seorang
musuhnya, yaitu Im‑yang Seng‑cu yang dahulunya adalah sahabat ayahnya, bahkan
orang yang telah mengikatkan jodoh antara dia dan Lu Soan Li. Akan tetapi, karena
jalan pikirannya yang telah gila, Im‑yang Seng‑cu dianggap biang keladi
kematian tunangannya sehingga berhasil dia bunuh secara mengerikan.
***
Siapa
yang mengatakan bahwa keselamatan diri seseorang, mati hidupnya tergantung
sepenuhnya kepada dirinya sendiri, menandakan bahwa dia belum sadar akan
kekuasaan tertinggi yang tak dapat ditambah maupun dikurangi, kekuasaan
tertinggi yang menggerakkan matahari, bulan dan bintang‑bintang sampai debu‑debu
terkecil dalam cahaya matahari, kekuasaan yang menumbuhkan pohon‑pohon
raksasa sampai setiap jenggot di dagu pada kekuasaan tertinggi yang menguasai
atas mati dan hidup.
Kalau
yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, kekuasaan apa pun di dunia tidak
akan dapat menawar‑nawar. Sebaliknya kalau dikehendaki-Nya seseorang hidup,
tidak ada pula kekuasaan di dunia yang akan dapat menghentikan hidup orang
itu. Hal‑hal yang kelihatan tidak mungkin bagi akal manusia, sama sekali bukan
merupakan hal tidak mungkin bagi kekuasaan itu.
Kekuasaan
tertinggi dan ajaib ini memperlihatkan kekuasaannya pula ketika Bun Beng
terlempar ke dalam pusaran air. Sebelum dia, tokoh Pulau Neraka yang ahli
dalam air dan bertenaga besar juga terjatuh ke dalam pusaran air itu. Dengan
segala kemahiran dan kekuatannya, anggauta Pulau Neraka itu berusaha melawan
pusaran air yang menghayutkan dan menyeretnya ke dalam pusaran yang amat kuat,
namun usahanya menyelamatkan diri itu sia‑sia belaka dan tubuhnya hancur
dihempaskan pada batu‑batu karang. Akan tetapi sebaliknya dengan Bun Beng.
Ketika anak ini jatuh ke tengah pusaran air dan merasa ada kekuatan dahsyat
dari pusaran itu menyedot tubuhnya ke bawah, sedikit pun dia tidak melawan akan
tetapi bahkan inilah yang membuat dia selamat!
Air
pusing yang mempunyai daya sedot amat dahsyat itu seketika “menelan” tubuh Bun
Beng, disedot ke bawah lalu dihayutkan dengan kecepatan yang luar biasa di
bawah permukaan air. Biarpun Bun Beng yang cerdik sebelum terbanting ke air
telah menyedot napas sebanyaknya, namun tak lama kemudian ia pingsan selagi
tubuhnya masih dihanyutkan dengan cepat sekali melalui terowongan di dalam
gunung batu karang.
Ketika
anak itu siuman kembali, ia telah menggeletak di antara batu‑batu besar yang
halus permukaannya, sebagian tubuhnya yang bawah terbenam air di antara batu
dan untung bahwa dia terhempas ke tempat itu dengan muka di atas air. Ia
membuka mata, tubuhnya terasa nyeri semua dan dinginnya luar biasa sehingga ia
menggigil. Sudah matikah aku, pikirnya ngeri. Ia bangkit duduk, memandang ke
sekeliling. Tidak, dia belum mati dan berada di lambung sebuah gunung yang
tertutup kabut tebal. Dia duduk dan memandang terheran‑heran.
Bagaimana
ia dapat sampai di lambung gunung? Kekuasaan alam memang penuh mujijat. Kiranya
ada terowongan yang menghubungkan tempat itu dengan pusaran air di mana ia
terjatuh, sebuah terowongan di dalam tubuh gunung. Pusaran air itu tercipta
oleh permainan angin yang memasuki terowongan, menimbulkan daya berpusing yang
amat kuat sehingga menyedot air dan menciptakan air berpusing yang amat
menakutkan.
“Nguk‑nguk‑nguk!
Huk! Huk! Hukkk!”
Bun
Beng terkejut dan menoleh ke kanan kiri. Di tempat seperti ini, bagaimana bisa
terdengar suara anjing? Biasanya anjing hanya berkeliaran di tempat datar,
bukan di pegunungan di batu‑batu karang seperti ini, dekat air sungai. Akan
tetapi hatinya juga girang karena biasanya anjing‑anjing itu dipelihara orang
yang dapat ia mintai tolong.
“Huk‑huk‑huk!
Ggrrrrr.... nguk‑nguk!”
Bun
Beng menoleh ke kanan dan seketika ia terloncat bangun. Dari atas batu besar
turun beberapa ekor binatang aneh yang kepalanya seperti kera! Kiranya yang
menyalak‑nyalak dan menggereng-gereng itu adalah binatang yang aneh ini,
setengah kera setengah anjing (kera baboon). Ketika melihat binatang aneh itu
merayap turun dengan gerak‑gerik seperti manusia, moncong anjing mereka
mengeluarkan suara anjing dan kera campur aduk, melihat pinggul mereka
berlenggang‑lenggok, pinggul yang tidak berekor akan tetapi ada dagingnya menonjol
merah, mau tidak mau Bun Beng tertawa geli. Lucu memang tampaknya binatang‑binatang
itu.
Akan
tetapi kegelian hatinya segera berubah menjadi kemarahan ketika binatang‑binatang
itu mengelilinginya kemudian meraba‑raba dan merenggutkan pakaiannya yang
basah sambil mengeluarkan bunyi ngak‑ngik‑nguk tidak karuan. Bun Beng
melepaskan tangan seekor kera yang menjambak‑jambak rambutnya. Kera itu
mengeluarkan teriakan marah dan Bun Beng dikeroyok! Lengan‑lengan yang panjang
berbulu lebat itu mengeroyoknya, merenggut pakaian dan menjambak rambut. Bun
Beng jatuh terduduk, seekor kera hendak menggigitnya dari depan. Ia mengayun
tangan menampar.
“Plakk!
Nguuuuk‑nguk!” Kera itu terpelanting dan memekik marah sekali, sedangkan kera‑kera
lain sudah menubruk Bun Beng dari belakang. Terdengar bunyi kain robek dan
setelah meronta-ronta dan membagi‑bagi pukulan ke kanan kiri, akhirnya Bun
Beng berdiri dalam keadaan telanjang bulat! Pakaiannya robek‑robek tidak karuan
diperebutkan oleh sekumpulan kera itu. Marahlah Bun Beng dan ia lalu mengamuk,
kaki tangannya bergerak dan beberapa eker kera terpelanting terkena tendangan
dan pukulannya. Akan tetapi tubuh binatang-binatang ini kuat sekali dan mereka
kini kini juga marah, meloncat bangun dan mengeroyok Bun Beng.
Tiba‑tiba
terdengar pekik dahsyat dan kera‑kera baboon itu seketika menghentikan
pengeroyokan dan mundur. Bun Beng menengok dan seekor kera yang lebih besar
daripada sekumpulan kera yang mengeroyok dan menelanjanginya. Kera itu dengan
kedua lengan panjangnya, melangkah maju menghampirinya, moncongnya mengeluarkan
suara menggereng den mendesis, matanya yang kecil memandangnya penuh amarah.
Gerak-geriknya seperti orang menantang. Kera‑kera lain melonjak‑lonjak den
bertepuk tangan, seperti sekumpulan anak-anak yang menjagoi kera besar ini. Tahulah
Bun Beng bahwa dia ditantang oleh kera besar, maka dia pun lalu memasang kuda‑kuda
dan membentak.
“Kera
anjing keparat! Majulah! Siapa takut padamu?”
Kera
besar itu agaknya juga tahu bahwa Bun Beng marah kepadanya, karena ia segera
meringis dan mengeluarkan bunyi marah. “Ngukk....! Kerr....!”
“Monyet
buruk! Majulah! Siapa takut padamu?” Bun Beng menantang dan dia telah melompat
ke kiri, mencari tempat yang lebih rata karena dia maklum bahwa binatang kera
amat lincah dan kalau harus bertanding di tempat berbatu sambil berloncatan,
mana dia mampu menang?
Kera
itu menggereng lagi dan meloncat, sekaligus ia menyerang Bun Beng dengan
ganas, menubruk sambil mencengkeram dan moncongnya dibuka lebar siap
menggigit. Bun Beng sudah bersiap, cepat ia mengelak dengan meloncat ke kanan,
sambil tidak lupa mengayun kaki kirinya menendang ke arah perut kera.
“Bukkk!”
Tendangan Bun Beng adalah tendangan seorang anak laki-laki yang sejak kecil
terlatih, maka tidak dapat disebut lemah, namun ketika kakinya mengenai perut
binatang itu, kakinya yang menendang terpental seperti menendang bola karet!
“Monyet
lutung! Kau kuat sekali!” Ia berseru marah dan kera itu seolah-olah tertawa, terkekeh
sedangkan kera-kera lain tetap bertepuk tangan dan berjingkrak tidak teratur.
Kera
besar itu kembali sudah menubruk, bahkan kedua lengannya yang panjang tidak
hanya membuat gerakan mencengkeram ngawur seperti lajimnya dilakukan oleh
binatang kera yang tidak tahu akan seni bersilat, melainkan kedua tangan
berjari panjang penuh bulu itu melakukan pukulan dengan telapak tangan
terbuka.
“Wuuut!
Wuuuutt!” Kedua tangan itu menyambar berturut-turut dan hanya dengan
kegesitannya mengelak saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari tamparan yang
amat kuat itu. Dia mulai marah dan agaknya Bun Beng tidak akan patut mengaku
sebagai murid mendiang Siauw Lam Hwesio kalau dia harus mengakui keunggulan
seekor binatang kera. Akan percuma sajalah gemblengan yang dilakukan
Kakek Siauw-lim-pai itu kepadanya beberapa tahun. Di samping latihan ilmu
silat dan menghimpun tenaga serta rahasia penggunaan tenaga, juga Bun Beng
menerima petunjuk-petunjuk yang mempertajam otaknya sehingga dalam menghadapi
bahaya dan lawan tangguh dia dapat mempergunakan siasat. Dia mengerti bahwa
dalam hal tenaga kasar dia tidak akan dapat mengimbangi kera yang lebih kuat
daripada seorang manusia dewasa itu. Juga dari pengalamannya ketika menendang
perut tadi dia maklum bahwa kera itu memiliki kulit yang tebal dan kuat serta
otot-otot yang membuat tubuhnya kebal. Dia tidak boleh sembarangan menyerang
melainkan harus menggunakan siasat mencari bagian yang lemah.
Namun,
kini dia terdesak terus. Kera besar itu agaknya merasa penasaran. Dia dapat
mengalahkan seekor harimau dengan mudah, masa kini tidak mampu merobohkan
seorang manusia kecil yang lemah ini dalam waktu singkat? Akan percuma saja dia
menjadi kera bangkotan, jagoan yang paling kuat dan paling ditakuti di antara
rombongan kera baboon di situ! Maka sambil mendengus-dengus marah dia
memperhebat serangannya, setiap kali tubrukannya luput disambung dengan
terkaman lain yang cepat dan kuat, sedikit pun tidak memberi kesempatan
kepada Bun Beng untuk membalas. Tak dapat dibantah bahwa memang Bun Beng
terlatih ilmu silat namun dia sama sekali belum memiliki pengalaman bertempur
tanpa aturan dan secara nekat itu. Dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak
ke sana-sini, menangkis sedapatnya dan sudah dua kali ia terkena tamparan yang
membuat pipinya merah membengkak dan matanya berkunang kepalanya pening! Melihat
ini kera-kera yang lain mengeluarkan suara seperti sekumpulan bocah bersorak-sorak,
dan kera jagoan itu menjadi makin buas.
“Blekkkk!”
Sebuah tamparan dengan lengan kanan berbulu yang amat keras dapat ditangkis
oleh Bun Beng, akan tetapi karena dia kalah tenaga, tamparan itu masih
menembus tangkisannya dan mengenai pundak kirinya. Bun Beng mengaduh, tulang
pundaknya seperti remuk rasanya, kiut-miut nyeri bukan main dan dia roboh
terjengkang tanpa dapat ditahan pula.
“Gerrrr....!”
Kera besar menggereng dan menubruk tubuh lawan yang sudah telentang tidak
berdaya itu. Dalam keadaan penuh bahaya ini, keadaan Bun Beng sebagai manusia
membuktikan keunggulannya. Dia memiliki akal dan dalam detik-detik berbahaya
itu ia menggunakan akalnya. Ketika melihat kera besar menubruk, dia
menggulingkan tubuhnya sampai tiga kali dan tidak lupa tangannya mencengkeram
tanah dan berhasil menggenggam tanah. Pada saat kera menubruk lagi, tangannya
bergerak dan tanah yang digenggamnya itu meluncur, menyambut muka si Kera yang
tentu saja tidak memiliki akal untuk menduga serangan ini. Matanya tetap melotot
penuh geram kemenangan sehingga kedua matanya merupakan sasaran tepat, kemasukan
butiran-butiran pasir tanah.
“Auurrghh....!”
Kera itu memekik-mekik dan menggunakan kedua tangan menggosok matanya. Tentu
saja karena cara menggosoknya kaku, pasir tanah itu makin dalam masuk ke mata
dan makin nyeri rasanya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bun Beng. Dia
sudah meloncat bangun dan menghujankan pukulan tendangan ke tubuh si Kera.
Namun dia tidak memukul sembarangan, melainkan memilih tempat yang lemah,
memukul ke arah hidung, mata, dan telinga sedangkan tendangannya mengarah sambungan
lutut dan pusar. Tentu saja kera besar yang masih setengah mati menggosoki
matanya, menjadi sasaran serangan dan tubuhnya terguling-guling. Ia
mengeluarkan suara seperti menangis dan akhirnya ia berlutut di atas tanah,
menutupi kepalanya dengan kedua matanya bercucuran air mata!
Dari
gerak-gerik ini Bun Beng dapat menduga bahwa lawannya sudah menyerah kalah,
maka ia memandang dengan muka berseri, berdiri tegak dan bertolak pinggang,
merasa gagah menjadi jagoan sampai dia lupa bahwa tubuhnya sama sekali tidak
tertutup pakaian, telanjang bulat karena semua pakaiannya sudah habis terkoyak
tangan-tangan jahil rombongan kera tadi!
Kera-kera
yang tadinya menonton pertandingan, kini berlarian datang dan Bun Beng sudah
siap untuk “mengamuk” kalau dia dikeroyok. Akan tetapi, kera-kera itu kini
tidak menyerangnya, hanya memegang-megang lengannya, kakinya, rambutnya dan
bahkan ada yang mencium-ciumnya dari kaki sampai kepala tanpa melewatkan
sedikitpun bagian tubuhnya sehingga dia merasa girang akan tetapi geli dan
jijik! Agaknya air mata yang banyak keluar dari sepasang mata kera besar telah
mencuci bersih mata itu, kini kera besar dapat membuka matanya yang berubah
merah dan dia pun merangkul dan menciumi Bun Beng! Mengertilah anak ini bahwa
semenjak saat ia berhasil “mengalahkan” jagoan kera baboon, dia telah diaku
sebagai “seekor” di antara mereka! Dia telah diterima menjadi anggauta kera
baboon.
Semenjak
saat itu, mulailah penghidupan baru yang sama sekali asing bagi Bun Beng! Dia
hidup di antara sekumpulan kera baboon, bertelanjang, bulat, mencari makan,
bermain-main dan berayun-ayun di dahan-dahan pohon dan di batu-batu gunung
persis seekor kera. Hanya bedanya, dan kadang-kadang timbul penyesalan di
hatinya akan perbedaan ini bahwa dia tidak berbulu seperti “kawan-kawannya”
sehingga sering kali dia menderita kedinginan. Namun, lambat laun ia dapat
membiasakan diri dan tubuhnya menjadi kebal akan hawa dingin. Sebagai seorang
mahluk yang berakal, dalam mencari makanan dan lain-lain tentu saja dia paling
menang, sehingga tidak lama kemudian dia dicontoh oleh kera kera itu dan
seolah-olah menjadi pemimpin mereka. Apalagi semenjak dia mengalahkan jagoan
kera, dia dianggap paling kuat dan teman-temannya tidak ada yang berani
mencoba-coba dengan dia!Selama beberapa bulan hidup di antara sekumpulan kera,
Bun Beng mendapatkan sebuah kenyataan yang amat berkesan di hatinya. Semenjak
dia dijadikan rebutan para tokoh kang-ouw sehingga terdapat pertentangan dan
terjadi pembunuhan, kemudian disusul pengalaman-pengalaman di mana dia
menyaksikan permusuhan antar manusia yang mengakibatkan pembunuhan-pembunuhan
mengerikan, ia mendapat kenyataan betapa manusia merupakan sekumpulan makhluk
yang amat kejam dan sama sekali tidak mempuyai rasa setia kawan terhadap sesama
manusia.
Kini,
hidup di antara sekumpulan kera yang dianggap sebagai binatang bodoh dan
tidak berakal, dia menemukan perbedaan yang amat menyolok. Sekumpulan kera ini
hidup amat rukun dan penuh setia kawan. Memang benar bahwa di antara mereka
kadang-kadang terjadi perkelahian, namun perkelahian ini hanya terbatas dalam
mengadu kekuatan sampai seekor di antara mereka mengaku kalah. Yang menang
tidak akan menindas, yang kalah tidak akan menaruh dendam dan tidak ada rasa
mengganjal di antara mereka! Akan tetapi seekor saja terganggu, sekelompok
akan maju bertanding dan membela! Seekor saja celaka, yang lain akan turun
tangan tanpa pamrih. Tidak ada di antara mereka yang memonopoli sesuatu.
Buah-buah yang bergantungan, air yang mengalir, tidak ada yang menuntut sebagai
hak pribadinya. Memang, mereka ini tidak pandai berbasa-basi, tidak pandai
bermanis muka, tidak pandai bersopan-santun dan tidak pandai melakukan segala
kepalsuan-kepalsuan lain yang sudah menjadi “pakaian” manusia. Betapa liar mereka
itu, betapa bebas dan bahagia karena mereka tidak mengejar kesenangan, tidak
mengejar kebahagiaan seperti manusia sehingga kesenangan dan kebahagiaan
dengan sendirinya datang kepada mereka! Mereka tidak mengenal kecewa karena
tidak mengharap, tidak bertemu duka, karena tidak mencari suka. Betapa wajar
dan betapa dekat dengan alam, betapa dekat dengan kekuasaan alam!
Di
samping menemukan hal-hal yang mendatangkan kesan di hatinya yang timbul dari
pengetahuannya ketika dahulu membaca kitab-kitab filsafat, juga Bun Beng
menemukan dan mempelajari kepandaian-kepandaian aneh yang mereka miliki
sebagai anugerah langsung dari alam tanpa mereka pelajari, yaitu kecekatan,
ketrampilan yang belum tentu dapat dimiliki manusia yang sengaja mempelajarinya
bertahun-tahun! Dengan menyatukan diri di tengah-tengah mereka, dalam beberapa
bulan saja Bun Beng dapat berloncatan di atas karang di tebing-tebing yang
curam, memanjat pohon-pohon besar dan loncat berayun dari dahan ke dahan. Juga
ia dapat mengenal pengetahuan anugerah alam tentang daun-daun dan akar-akar
obat yang dipergunakan kera-kera itu untuk mengobati luka-luka, keracunan dan
lain-lain.
Selama
enam bulan Bun Beng hidup di tengah-tengah kera itu, mengalami hal-hal yang
amat luar biasa. Setelah setengah tahun hidup bertelanjang bulat seperti itu,
dia menjadi terbiasa dan kadang-kadang kalau ia teringat akan peradaban
manusia, ia menjadi geli sendiri. Betapa dia akan dianggap kurang susila,
kurang ajar, tidak tahu malu dan sebagainya oleh manusia-manusia beradab! Dari
manakah timbulnya rasa malu kalau telanjang dan terlihat orang lain? Mengapa
pula harus malu? Perasaan malu ini adalah buatan manusia sendiri! Buktinya,
tidak ada seorang pun anak-anak yang merasa malu dilihat bertelanjang. Setelah
kepada anak itu ditanamkan pengertian bahwa bertelanjang dilihat orang adalah
memalukan, barulah timbul perasaan malu ini! Andaikata tidak ada penanaman
pengertian ini, kiranya tidak akan timbul pula perasaan malu.
Musim
dingin tiba, akan tetapi Bun Beng yang bertelanjang bulat itu tidak menderita
kedinginan. Kulit tubuhnya sudah terlatih sedikit demi sedikit sehingga
kebal. Akan tetapi, perasaan dan kesadarannya sebagai manusia tidak pernah
hilang dan hanya karena terpaksa tidak ada pakaian saja maka dia bertelanjang
bulat di antara sekumpulan kera baboon. Ketika pada suatu hari dia bersama
sekawanan kera itu menyerang dan membunuh beberapa ekor harimau, Bun Beng
menguliti harimau yang dibunuhnya dan kulit harimau itu ia pakai untuk
menutupi tubuhnya bagian bawah. Bukan terdorong oleh rasa malu atau penahan
dingin, melainkan dengan penutup bawah itu dia terhindar dari gangguan semut
dan nyamuk yang tidak dapat mengganggu kera-kera itu karena kulit mereka
tertutup bulu. Dan setelah ia memakai cawat kulit harimau, kawanan kera itu
kelihatan lebih segan dan takut kepadanya! Kulit-kulit harimau yang lain ia
simpan untuk cadangan cawat atau persediaan kalau sewaktu-waktu ia memerlukannya.
Pada
suatu hari, para kera itu mengeluarkan bunyi cecowetan seperti biasa kalau
mengajak pergi ke suatu tempat. Sudah banyak macam suara kera itu yang
merupakan isyarat-isyarat dan dapat dimengerti oleh Bun Beng, maka sekali ini,
menyaksikan sikap mereka seolah-olah mereka hendak melakukan sesuatu yang besar
dan aneh, Bun Beng segera mengikuti mereka. Kera-kera itu memasuki guha di
antara batu karang dan memasuki terowongan di dalam gunung yang cukup lebar.
Mula-mula terowongan itu gelap, akan tetapi makin jauh makin terang dan
anehnya, mulailah Bun Beng merasa betapa ada hawa panas keluar dari dalam.
Hatinya mulai tegang dan ia mengikuti terus. Tak lama kemudian mereka tiba di
ujung terowongan yang merupakan ruangan yang luas di dalam gunung. Sinar
matahari masuk melalui celah-celah batu gunung yang merupakan dinding tinggi
sekali. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sumber air panas! Air keluar dari
sumber di dalam gunung ini, mengucur keluar dari celah-celah dua batu besar,
mengeluarkan uap saking panasnya. Akan tetapi, Bun Beng tidak memperhatikan itu
semua karena ia terbelalak memandang ke sebelah kanan, tak jauh dari sumber
air panas itu dan merasa seolah-olah ia sedang dalam mimpi. Apakah yang ia
lihat?
Pemandangan
yang amat luar biasa! Di situ, menempel pada dinding batu, terdapat sebuah
kursi batu yang jelas bukan buatan alam, melainkan berbekas tangan manusia.
Kursi itu besar sekali, terbuat daripada batu persegi yang ditumpuk-tumpuk,
dan di atas kursi itu duduk seekor kera tua besar sekali yang memakai pakaian.
Kalau melihat pemandangan ini di kota, tentu Bun Beng akan tertawa geli dan
menganggap kera itu sebagai peliharaan pemain komidi binatang. Seekor kera tua
duduk di kursi memakai jubah yang sepatutnya dipakai seorang pendeta, jubah
berwarna kuning yang sudah koyak-koyak, terutama di ujung kedua lengannya. Dan
kera tua berbaju itu memandangnya dengan muka berseri, tanda senang hati, sikap
yang sudah dikenal Bun Beng. Kera tua itu agaknya senang melihatnya, dan moncongnya
yang lebar itu berkemak-kemik, telunjuknya menuding-nuding!
Kawanan
kera melewati kursi itu sambil membungkuk-bungkuk, mata melirik-lirik penuh
sikap takut terhadap kera tua yang berpakaian. Akan tetapi mereka tidak
mempedulikan “kakek” kera itu dan sambil cecowetan riuh rendah dan penuh
kegembiraan mereka masuk ke dalam air panas yang mengalir seperti sebatang
sungai kecil. Bun Beng masih tertarik dan terpesona oleh karena kera tua yang
aneh itu, akan tetapi ketika berapa ekor kera mulai menarik-nariknya diajak
mandi, timbul pula kegembiraannya. Cepat ditanggalkannya cawat kulit harimau
dan ia pun masuk ke dalam anak sungai yang airnya panas. Betapa nikmatnya
mandi dan merendam tubuh di air yang panas itu! Merupakan penawar yang nyaman
setelah diserang musim dingin di luar. Dan air panas itu benar-benar
mendatangkan rasa nyaman sekali di tubuhnya, seolah-olah mengandung sesuatu
yang memiliki daya mujijat menguatkan tubuh. Mengertilah ia kini bahwa sumber
air panas itu merupakan semacam “air obat” yang dimanfaatkan oleh kera-kera
itu agaknya setahun sekali, yaitu di waktu musim dingin tiba. Yang amat
mengherankan hatinya dan tidak dimengerti adalah munculnya kera tua berpakaian
pendeta itu!
Setelah
puas mandi air panas, Bun Beng mengenakan cawat kulit harimaunya lagi dan
mulailah ia mendekati kera tua untuk menyelidiki keadaannya yang aneh. Ketika
ia mendapat kenyataan bahwa kera itu ternyata sudah amat tua dan lumpuh, ia
merasa kasihan dan terharu. Wajah kera itu begitu penuh pengertian dan
sekiranya kera tua itu dapat bicara, tentu dia akan dapat mendengar dongeng
yang menarik dari mulut kera itu. Dan kembali ia menyaksiken kesetiakawanan
yang hebat. Agaknya kera tua iku menjadi semacam “juru kunci” atau penunggu
sumber air panas dan selamanya tinggal di situ. Adapun untuk keperluan setiap
harinya, dia tidak perlu bingung karena kera-kera baboon setiap beberapa hari
sekali ternyata mengirim buah-buah dan makanan untuk si Tua ini.
Melihat
betapa kera tua itu pandai berpakaian dan sikapnya jauh lebih “jinak”
dibandingkan dengan kera-kera lain, Bun Beng percaya bahwa tentu kera tua ini
tidak asing dengan manusia. Maka dia menjadi lebih berani dan ketika ia melihat
sebuah ruangan dari batu karang di belakang kursi besar itu, tanpa ragu-ragu
lagi dia memasuki ruangan itu. Hal pertama yang menarik hatinya ukir-ukiran
huruf dinding batu. Goresannya dalam dan biarpun sudah banyak lumutnya, masih
mudah dibaca karena ukiran itu selain dalam juga besar.
“Di
musim dingin,perut gunung mengeluarkan air panas di musim panas,perut gunung
mengeluarkan air dingindingin menciptakan panas, panas menimbulkan
dinginkeajaiban apa lagi yang dikehendaki manusia untuk membuktikan kekuasaan
alam?”
Bun
Beng belum dapat menangkap keindahan kata-kata itu namun ia dapat mengagumi
coretan yang indah dan kuat. Tidak salah lagi, tentu di sini pernah tinggal
seorang pertapa yang pandai dan mungkin sekali kera tua itu adalah binatang
peliharaannya! Ia memeriksa lagi dan di dalam sebuah peti batu ia menemukan
beberapa stel pakaian kasar. Di atas meja batu tampak sepasang pedang dan
sebuah kitab yang tua sekali. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Teringat
ia akan pertentangan di muara Sungai Huang-ho. Bukankah di antara pusaka yang
dicari dan diperebutkan itu disebut-sebut pula “Sepasang Pedang Iblis”? Dan
kitab itu, mungkin sebuah di antara kitab-kitab pusaka yang dicari oleh
tokoh-tokoh kang-ouw? Ia mendekati meja dan memandang penuh perhatian dengan
hati tegang. Ia merasa seperti ada yang memandangnya dan ketika ia menengok,
benar saja kera tua itu sedang menoleh dan memandangnya penuh perhatian,
sungguhpun pada wajah yang tua itu tidak tampak kemarahan. Maka ia makin berani
dan tak dapat menahan keinginan tahunya. Dirabanya gagang kedua pedang yang
bersarung indah itu, kemudian diangkatnya perlahan-lahan pedang yang lebih
panjang, lalu mencabut gagang pedang dari sarungnya. Baru tercabut sebagian
saja, ia sudah cepat-cepat memasukkannya kembali dengan kaget karena pedang itu
mengeluarkan sinar kilat yang membuat bulu tengkuknya meremang. Dengan
hati-hati ia meletakkan pedang itu kembali, lalu mencoba untuk melihat pedang
ke dua yang lebih pendek. Kembali ia terkejut karena pedang ini pun
mengeluarkan sinar kilat yang menyilaukan mata.
“Aihhhh....!”
Ia menahan napas memandang dua batang pedang yang berada di atas meja, hatinya
ngeri dan kagum. Tidak salah lagi, pedang itu tentulah pedang pusaka yang amat
ampuh! Inikah yang disebut Sepasang Pedang Iblis? Ahh, kelihatannya indah
sekali, sama sekali tidak pantas disebut pedang iblis karena yang memakai nama
“Iblis” tentulah buruk menakutkan! Kini ia memperhatikan kitab tua itu,
mengambilnya dan membuka sampulnya. Sam-po-cin-keng, demikianlah huruf-huruf
indah yang tertulis di halaman pertama. Ia membuka-buka lembarannya dan
ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang amat luar biasa,
semua ada tiga macam. Anak ini tidak tahu bahwa di tangannya itu adalah sebuah
kitab rahasia yang amat hebat. Tiga ilmu silat pusaka yang tergabung dalam
kitab itu bukanlah pelajaran ilmu silat biasa karena Sam-po-cin-keng adalah
tiga macam ilmu dahsyat yang di jaman dahulu dicipta oleh ketua dan pendiri
Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan
Delapan)! Ilmu ini kemudian menurun kepada puterinya yang bernama Liu Lu Sian
berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cantik Beracun) yang bukan lain adalah ibu
kandung pendekar sakti Suling Emas!
Ketika
kawanan kera meninggalkan tempat sumber air panas itu, Bun Beng ikut pula
keluar, akan tetapi tidak lupa ia membawa sepasang pedang, kitab dan satu stel
pakaian! Ketika ia lewat di depan kursi besar, ia menjura ke arah kera tua
sambil berkata, “Kakek kera, terima kasih atas pemberian benda-benda pusaka
ini.”
Kera
itu menyeringai dan mengangguk! Agaknya kera ini seperti mendapat firasat
bahwa memang bocah itu berjodoh dengan benda-benda itu, ataukah memang dia
telah menerima pesan dari orang yang meninggalkan benda-benda itu agar kalau
ada orang datang dan mengambil benda-benda itu berarti telah berjodoh! Tidak
ada yang tahu karena kera itu hanya pandai meniru berpakaian, tidak pandai
bicara!
Bun
Beng mulai tekun membaca kitab kuno dan mempelajari isinya. Namun amat sukar
baginya untuk mengerti isinya karena memang ilmu silat yang diajarkan di
dalam kitab itu adalah ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dan tak mungkin
dapat dimengerti begitu saja oleh Bun Beng yang masih belum ada pengalaman.
Namun, karena pada dasarnya dia memang rajin dan berhati keras, biarpun tidak
mengerti, dia tetap membaca bahkan menghafalkan huruf-huruf yang tertulis dalam
kitab itu sampai hafal di luar kepala! Memang demikianlah cara orang jaman
dahulu mempelajari kitab. Anak-anak semenjak mengenal huruf diharuskan
membaca kitab-kitab pelajaran Nabi Khong-hu-cu yang amat sukar dimengerti anak
kecil. Namun, anak-anak itu dengan rajin menghafal sehingga ada yang sampai
hafal di luar kepala akan semua ujar-ujar dalam kitab suci tanpa mengerti makna
yang sesungguhnya! Hal ini sama sekali bukan tidak ada faedahnya, karena di
samping memperkaya perbendaharaan kata-kata dan huruf-huruf yang banyak
jumlahnya, juga hafalan ayat-ayat itu kalau si anak sudah dewasa,
perlahan-lahan akan dapat dimengertinya dan yang terpenting diujudkan dalam
praktek hidupnya.
Dua
bulan kemudian, ketika Bun Beng sedang menyambung-nyambung kulit harimau dan
ujungnya ia ikat dengan tali pohon yang kuat, ia mendengar kawanan kera
berteriak-teriak di tepi tebing yang curam. Dia tidak tertarik dan melanjutkan
pekerjaannya. Bun Beng kini sudah memakai pakaian, yaitu pakaian yang
dibawanya dari ruangan dekat sumber air panas. Dia sedang mencoba untuk membuat
sayap tiruan. Sudah lama ia bercita-cita menuruni tebing yang amat curam itu,
akan tetapi jangankan dia, bahkan kawanan kera itu saja tidak ada yang berani
menuruni tebing yang demikian terjalnya. Jalan satu-satunya hanyalah “terbang”
turun dan timbullah akalnya ketika ia menyaksikan burung-burung dengan enaknya
naik turun melayang-layang di dekat tebing yang curam. Kalau saja dia dapat
terbang melayang seperti burung-burung itu! Keinginan inilah yang membuatnya
pada saat itu bekerja keras. Dia sudah mencoba dengan memegangi keempat ujung
kulit harimau meloncat dari atas pohon dan kulit harimau yang terbuka itu
menahan peluncuran tubuhnya sehingga ia dapat hinggap di atas tanah dengan
lunak! Kini ia hendak membuat “sayap” yang besar dengan menyambung-nyambung
kulit harimau dan mengikat keempat ujungnya dengan tali yang kuat. Dengan
“sayap” ini dia hendak memerikaa keadaan di bawah tebing karena sering ia
melihat bayangan-bayangan bergerak di bawah jauh sekali, seperti bayangan
manusia! Juga beberapa kali dia melihat burung besar sekali terbang ke bawah
tebing itu. Mungkin sekali dia akan dapat kembali ke dunia ramai kalau bisa
menuruni tebing itu. Adapun tebing-tebing yang lain semua buntu, merupakan
jurang-jurang yang tiada habisnya.
Setelah
sayap tiruan itu jadi dan mendengar kawanan kera itu makin ribut, ia tertarik
juga den cepat ia menghampiri. Kera-kera itu melihat ke bawah sambil
menunjuk-nunjuk. Bun Beng juga memandang dan tampak olehnya jauh di bawah sana,
banyak bayangan-bayangan atau titik-titik yang bergerak-gerak. Terjadi perang
di bawah sana! Dia tidak dapat memandang tegas dan ia menduga-duga apakah mata
kawanan kera itu dapat memandang lebih jelas?
Inilah
saat untuk “terbang melayang” turun, pikirnya. Bergegas ia lalu mengambil
kitab kuno yang ia masukkan di balik bajunya, menyimpan pula sepasang pedang di
balik baju di punggung, kemudian ia mengikatkan tali tiga ujung ke pinggang
dan memegangi tali ke empat dengan tangan kiri.
Melihat
Bun Beng mendekati tepi tebing membawa “sayap” aneh itu, kera-kera menjadi
bingung. Mereka itu lalu memekik-mekik katika Bun Beng tiba-tiba meloncat dari
pinggir tebing yang amat curamnya. Ada yang menutupi muka, ada yang
menjerit-jerit akan tetapi ada pula yang menari-nari! Bun Beng yang sudah nekat
itu merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah lalu tertahan, pinggangnya sakit
karena tali-tali yang mengikat pinggang menegang, akan tetapi dia girang sekali
karena mendapat kenyataan betapa “sayap” di atasnya mengembang!
“Selamat
tinggal, kawan-kawanku yang baik!” Ia melambai ke atas dan melihat betapa
kera-kera baboon itu makin lama makin kecil sedangkan tubuhnya terus meluncur
perlahan ke bawah. Tiba-tiba “sayapnya” terguncang oleh angin. Celaka,
pikirnya. Mudah-mudahan tidak ada angin kencang yang akan menghancurkan
“sayapnya” dan menghempaskan ke batu karang yang menjadi dinding tebing curam
itu. Untung baginya, angin tidak kencang dan tak lama kemudian ia sudah dapat
melihat orang-orang yang berada di bawah. Dan dugaannya ketika berada di atas
tebing tadi ternyata tidak meleset. Dia melihat orang-orang sedang bertempur di
bawah itu. Dari atas ia melihat belasan orang laki-laki yang tampan dan gagah,
semua berpedang sedang sibuk menahan amukantiga
orang yang rambutnya riap-riapan dan bersenjatakebutan
. Ilmu silat tiga orang ini hebat buikan main sehingga biarpun orang-orang
gagah berpedang itu lebih besar jumlahnya, namun mereka terdesak hebat, bahkan
banyak yang sudah terluka. Namun, dengan semangat gagah mereka itu terus
mempertahankan diri. Seorang di antara belasan orang gagah itu yang bertubuh
tinggi, dan yang tampaknya paling lihai memutar pedang menahan amukan seorang
di antara tiga lawan bersenjata kebutan yang lihai itu. Kebutan di tangan Si
Brewok yang rambutnya panjang itu kecil saja, namun kakek yang usianya kurang
lebih lima puluh tahun ini menggerakkan kebutan secara istimewa sehingga
senjata kecil ini berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung yang mengancam
tubuh orang gagah itu dari delapan penjuru! Tiba-tiba orang tinggi itu berseru
kaget ketika pedangnya kena digulung kebutan dan terampas. Pedang terlepas
dari tangannya dan agaknya dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dari
cengkeraman maut melalui kebutan. Pada saat itu, dia melihat tubuh Bun Beng
yang melayang-layang turun, maka terdengarlah seruannya dengan wajah girang.
“Thai-song....
tolonglah kami....!”
Seruan
ini disusul oleh pekik-pekik kegirangan dari orang-orang gagah yang sedang
terdesak dan Bun Beng mendengar teriakan-teriakan mereka.
“Cee-thian
Thai-seng datang menolong kita....!”
“Dewa
kita Kauw Cee Thian datang!”
“Benar!
Dia tentu penjelmaan Sun Go Kong....!”
Bun
Beng terbelalak keheranan. Benarkah mereka itu menganggap dia Kauw Cee Thian
atau Sun Go Kong, juga disebut Cee-thian Thai-seng tokoh dongeng raja kera
yang maha sakti dalam dongeng See-yu-ki? Hampir ia tertawa bergelak, akan
tetapi melihat wajah mereka yang berseri penuh harapan dan melihat mereka
dalam keadaan terancam itu tidak mungkin main-main, timbul kenakalannya. Bun
Beng yang mengerti bahwa tentu dia disangka seorang “manusia bersayap” lalu
mengeluarkan pekik melengking yang agaknya terdengar amat nyaring oleh
orang-orang di bawah itu. Tiga orang berambut panjang yang riap-riapan itu
memandang dan wajah mereka berubah pucat.
“Ihhh....!
Siluman di siang hari....!” Mereka berseru kemudian mereka berkelebat pergi
melarikan diri terbirit-birit karena ngeri dan takut melihat siluman terbang
itu!
Setelah
melihat tiga orang itu melarikan diri, baru sekarang Bun Beng melihat dengan
hati penuh kengerian betapa tubuhnya meluncur turun dan tanah di bawah
seolah-olah mulut raksasa besar yang akan mencaploknya. Saking ngerinya, dia
meneruskan jeritannya melengking, akan tetapi sekali ini bukan jerit pura-pura
untuk menakuti orang, melainkan jerit sungguh-sungguh. Untung ia masih ingat
untuk mengembangkan tangannya yang memegang tali sehingga “sayap” itu terbuka
lebih lebar, menampung hawa menahan peluncuran tubuhnya. Biarpun demikian,
masih saja dia terbanting dan tentu dia akan terluka kalau saja dia tldak cepat
menggulingkan tubuhnya sampai terguling-guling dan baru dapat meloncat berdiri
dengan kepala pening dan mata berkunang. Akan tetapi, ia tertegun menyaksikan belasan
orang gagah itu telah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepadanya, tidak
berani mengangkat muka memandang!
Bun
Beng mengerutkan alisnya. Gilakah orang-orang ini? Ataukah dia yang sudah
gila?
“Hamba
sekalian menghaturkan banyak terima kasih, bukan saja karena pertolongan
Thai-seng, terutama sekali karena Paduka sudah sudi memperlihatkan diri kepada
hamba sekalian.”
Hampir
saja Bun Beng tertawa kalau tidak melihat sikap mereka yang penuh kesungguhan.
Ia sukar untuk mempercaya apa yang dilihatnya dan didengarnya. Mereka
berjumlah sembilan belas orang, tua muda, laki-laki semua dan rata-rata
bersikap gagah. Mengapa orang-orang gagah ini bersikap begini aneh dan
menganggap dia sebagai penjelmaan Sun Go Kong Si Raja Kera dalam dongeng
See-yu?
“Cuwi
sekalian telah saiaa sangka. Aku sungguh mati bukan; Sun Go Kong, metainkan
aecrcang anak bfasa she Gak bernama Bun Beng. Harap Cu-wi suka berdiri dan
jangan berlutut membuat aku merasa canggung dan malu saje.”
Orang
bertubuh tinggi yang bicara tadi, yang ternyata edalah pemimpin rombongan
orang: itu, mengangkat muka, demikian pula kawan-kawannya, meman
dang
kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh keraguan dan agaknya tidak percaya akan
kata-kata Bun Beng sehingga mereka masih tetap berlutut.
Bun
Beng menunduk dan memandang tubuhnya sendiri, lalu tertawa. Memang pakaiannya
amat aneh, dart kaln kuning yang tidak berlengan berkaki, hanya membungkus dari
leher ke paha, apalagi
dia bersayep”! Sambil
tertawa ia menanggalkan sayap tiruan itu dan berkata,
“Lihatlah
baik-baik, Cu-wi. Aku adalah seorang anak biasa yang meloncat
dari atas sana menggunakan sayap tiruan dari kulit harimaul Aku bernama Gak
Bun Beng dan siapakah Cu-wi? Berdirilah agar kita dapat bicara dengan-
enak.”Kini sembilan belas orang itu bangkit berdiri dan memandang Bun Beng
dengan penuh keheranan, kekaguman dan tidak percaya. Bagaimana mungkin mereka
dapat percaya bahwa anak itu adalah seorang anak biasa saja padahal mereka tadi
menyaksikan sendiri betapa anak itu muncul seperti seorang dewa dan
telah
berhasil membuat tiga orang lawan mereka lari tunggang langgang tanpa
melakukan gerakan apa-apa? Akan tetapi setelah mereka memandang penuh
perhatian, mereka mau juga percaya akan keterangan Bun Beng dan mereka kini
memandang. kagum sekali. Biarpun, bukan Sun' Go Kong, anak ini adalah seorang
anak luer biasaµ dan telah “menyelamatkan” nyawa mereka yang tadl terancam
maut. Orang ttnggi besar ltu menjura dan berkata,
“Harap
Siauw-enghiong (Pendekar Cllik) suka memaafkan kami yang salah menduga.
Betapapun juga karena engkau datang dari atas sana, kami yakin bahwa engkau
tentu bukanlah seorang anak sembarangan, apalagi engkau telah menyelamatkan
kami sembilan belas orang saudara. Terimalah rasa syukur dan terima kasih
kami. Gak-enghiong, den mudah-mudahan kami akan berkesempatan membalasnya.”
Bun
Beng menjadi malu melihat sikap orang-orang itu yang amat sopan dansungkan. Ia balas menjura dan berkata,
“Harap
Cu-wi jangan bersikap sungkan. Aku sama sekali tidak merasa telah menolong
kalian. Menghadapi tiga orang liar yang lihai itu, aku seorang bocah bisa
berbuat apakah? Hanya kebetulan saja kehadiranku mengejutkan dan menakutkan
mereka. Siapakah mereka itu dan mengapa menyerang Cu-wi? Siapa pula Cu-wi yang
tinggal di tempat sunyi ini?”
“Panjang
ceritanya, Gak-inkong (Tuan Penolong Gak). Karena engkau adalah seorarng
penolong, bagimu tidak ada yang dirahasiakan lagi. Akan tetapi marilah kita
bersama kami ke tempat tinggal kami agar kita dapet bicara dengan leluasa.”
Bun
Beng lalu neengikuti mereka menuju ke tempat tinggal mereka yang ternyata
terdiri dari guha-guha besar yang banyak terdapat di kaki guaung itu. Guha-guha
itu mereka jadikan tempat tinggal, juga sekaligas merupakan tempat perlindungan
yang kuat karena jalan masuk gua itu tertutup oleh pintu besi yang kokoh kuat.
Bun
Beng mendapat penghormatan yang sungguh-sungguh dari sembilan belas orang itu
agaknya menganggap hutang budi sebagai hal yang amat penting. Anak ini sampai
merasa canggung dan tidak enak hati, akan tetapi dia terpaksa menerima
keramahan mereka, menerima dan memakai pakaian yang mereka beri kemudian
bersama mereka makan minum sambil mendengarkan penuturan Si Jangkung yang
bernama Ciu Toan dan menjadi pemimpin mereka itu. Ciu Toan yang menganggap Bun
Beng sebagai tuan penolong dan penyelamat nyawa mereka, menceritakan semua
keadaan mereka, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik akan tetapi
juga terheran-heran karena di dalam penuturan Ciu Toan banyak terdapat hal
yang aneh-aneh.
Sembilan
belas orang gagah itu, bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan
orang-orang yang pernah menggemparkan dalam perang terakhir melawan pemerintah
Ceng yang dikuasai oleh bangsa Mancu. Nama mereka amat terkenal sebagai pejuang-pejuang
yang gigih dan gagah perkasa, dan pada waktu itu, mereka masih bergabung dalam
sebuah pasukan kecil yang terkenal dengan nama Pasukan Tiga Puluh Batang
Pedang. Mereka dahulu berjumlah tiga puluh orang yang di antaranya adalah
saudara-saudara kandung, saudara-saudara misan yang semua mengangkat saudara
dan bersumpah untuk bersama-sama sekuat tenaga menentang penjajah Mancu. Akan
tetapi, ketika pertahanan terakhir terhadap bala tentara Mancu di Se-cuan
hancur dan daerah ini jatuh pula ke tangan Pemerintah Ceng, pasukan kecil yang
terkenal gagah perkasa ini pun mengalami kehancuran. Dari jumlah tiga puluh
orang hanya tinggal sembilan belas orang saja. Karena tak dapat bertahan lagi
menghadapi bala tentara Mancu yang amat besar dan kuat, mereka terpaksa
melarikan diri. Sepak terjang mereka selama perlawanan menghadapi bala tentara
Ceng sedemikian hebat dan terkenalnya sehingga setelah daerah itu ditundukkan,
Pemerintah Ceng lalu mencari sisa-sisa Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang ini.
Tentu
saja untuk menangkap dan menghukum mereka yang telah mendatangkan kerugian
banyak terhadap pasukan-pasukan Mancu. Sembilan belas orang ini menjadi
orang-orang buruan yang terpaksa menyembunyikan diri. Karena pengejaran dan
pencaharian dilakukan oleh orang-orang pandai yang diutus oleh Kerajaan Mancu,
maka sembilan belas orang yang dipimpin Ciu Toan itu akhirnya bersembunyi di
kaki gunung itu dan sudah hampir dua tahun mereka tinggal di tempat itu.
“Cu-wi
adalah orang-orang gagah perkasa, mengapa tadi bersikap begitu aneh dan
menganggap aku sebagai Sun Go Kong?” Tanya Bun Beng yang merasa kagum sekali
terhadap orang-orang itu yang biarpun kalah perang tetap tidak mau tunduk
kepada pemerintah penjajah.
Ciu
Toan menjadi merah mukanya, akan tetapi ia menjawab juga, “Kami.... kami
menjadi pemuja-pemuja Dewa Sun Go Kong setelah berada di sini, dan.... tadinya
kami mengira bahwa kembali beliaulah yang telah menyelamatkan kami seperti
yang terjadi dua tahun yang lalu.”
Bun
Beng membelalakkan matanya. “Apa? Benarkah Cu-wi pernah diselamatkan oleh....
oleh.... Raja Kera Sun Go Kong?”
Dengan
alis berkerut dan wajah sungguh-sungguh Ciu Toan berkata, “Memang sukar
dipercaya bagi yang tidak mengalaminya sendiri. Dewa Sun Go Kong dianggap
sebagai tokoh dongeng, akan tetapi kami percaya bahwa beliau memang ada dan di
puncak tebing penuh rahasia itulah tempat pertapaannya. Kami sudah
mengalaminya sendiri,” Kemudian Ciu Toan menceritakan pengalaman mereka dua
tahun yang lalu, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik sekali.
Ketika
sembilan belas orang buruan itu baru beberapa hari tinggal di situ dan sedang
sibuk membuat tempat tinggal di guha-guha, pada suatu pagi mereka diserbu dan
dikepung oleh segerombolan perampok yang memang sebelum mereka datang menguasai
daerah kaki pegunungan itu. Jumlah para perampok ada lima puluh orang lebih dan
terjadilah pertempuran hebat yang mengancam keselamatan sembilan belas orang
ini. Mereka melakukan perlawanan gigih, karena keahlian mereka adalah
berperang, sedangkan dalam pertandingan perorangan ilmu kepandaian mereka
tidak terlalu luar biasa, maka mereka terdesak hebat oleh para perampok yang
bertekad membunuh semua orang yang mereka anggap hendak merebut wilayah kekuasaan
para perampok itu. Dalam keadaan terdesak dan banyak di antara mereka telah
terluka, tiba-tiba dari atas tebing menyambar batu-batu kecil yang merobohkan
para perampok itu. Anehnya, batu-batu kecil ini tidak mengenai para bekas
pejuang, dan yang mengenai tubuh para perampok tidak sampai membunuh mereka,
hanya tepat mengenai jalan darah yang membuat para perampok terguling dan
lumpuh untuk sementara. Para perampok menjadi panik karena mereka diserang
secara aneh oleh lawan yang tidak dapat mereka lihat. Apalagi kalau mereka
ingat bahwa dari tempat setinggi itu sampai penyerangnya tidak tampak, orang
dapat merobohkan mereka yang sedang bergerak dan bertempur dengan
kerikil-kerikil kecil yang mengenai jalan darah, dapat dibayangkan betapa saktinya
si penyambit batu-batu kecil! Karena jerih, para perampok melarikan diri dan
semenjak itu tidak berani lagi datang mengganggu para bekas pejuang.
Ciu
Toan dan teman-temannya mengobati luka yang mereka derita dan mereka pun
merasa heran sekali. Mereka mencoba untuk mendaki tebing karena merasa yakin
bahwa di puncak tebing tentu tinggal seorang sakti yang telah menolong mereka.
Akan tetapi terpaksa mereka mengurungkan niat ini karena tebing itu tidak
mungkin didaki, terlalu terjal, tinggi dan licin sekali. Mereka hanya berhasil
mendaki sampai seperempat saja dan terpaksa menghentikan usaha mereka. Akan
tetapi, selagi mereka beristirahat dengan peluh bercucuran, mereka melihat
bayangan seperti bayangan manusia berloncatan mendaki tebing itu dengan
kecepatan luar biasa sekali.
“In-kong
(Tuan Penolong).... harap sudi menemui kami....!” Mereka berteriak-teriak,
namun bayangan itu sebentar saja lenyap di puncak tebing. Kemudian terdengar
suara dari atas, lirih saja namun amat jelas terdengar oleh mereka.
“Turunlah
kalian, tidak boleh naik ke sini!”
Karena
memang mereka merasa tidak mungkin dapat mendaki tebing tanpa dilarang
sekalipun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena
terheran-heran menyaksikan bayangan tadi. Seorang manusia, betapa pun
pandainya, mana mungkin mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang
saja? Dan suara dari atas itu, seolah-olah orangnya berbisik di dekat telinga
mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa penjaga gunung yang telah menolong
mereka. Dan selagi mereka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni
lereng tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka
berseru kaget sambil menuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang dan
melihat seekor kera besar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir puncak
tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua tangan seolah-olah
menyuruh mereka cepat turun!
Ciu
Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mereka tidak
meragukan lagi bahwa kera besar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau
bukan Sun Go Kong yang memiliki kesaktian sehebat itu? Di dunia ini mana ada
kera yang berpakaian pendeta yang sakti luar biasa dan yang dapat
mengeluarkan kata-kata seperti manusia? Kecuali Sun Go Kong!
Demikianlah,
sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing tinggi
itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan
perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyerbu, mereka semua itu lari
ketakutan karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu
kecil dan bahkan pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang melumpuhkan
mereka! Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata
adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat Kera
Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi andalan mereka untuk
menjaga diri!
“Demikianlah
Gak-inkong, maka ketika engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak
ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong
kami. Sungguhpun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap
percaya bahwa Sun Go Kong berada di puncak tebing itu.” Ciu Toan mengakhiri
ceritanya yang amat luar biasa itu.
“Bolehkah
aku melihat kitab kecil itu?” Bun Beng bertanya.
“Tentu
saja.” jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu. Bun Beng hanya melihat
tulisan pada halaman pertama yang berbunyi “Sin-kauw-kun-hoat” dan kini dia
merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab “Sam-po-cin-keng” yang
dimilikinya. Dia sekarang mengerti bahwa yang menolong para bekas pejuang ini
adalah manusia sakti yang tinggal di sumber air panas, dan agaknya yang tampak
oleh mereka adalah kera tua yang berpakaian pendeta dan yang sekarang, entah
mengapa mungkin karena tuanya, telah lumpuh! Akan tetapi, melihat kesungguhan
mereka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau membuka rahasia itu dan diam saja.
“Dan
tiga orang berambut riap-riapan yang menyerang kalian itu siapakah?”
“Kami
sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami,” jawab Ciu Toan.
“Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal memiliki
tokoh-tokoh berilmu tinggi.”
“Thian-liong-pang?”
Bun Beng terkejut dan teringat akan pengalamannya di muara Huang-ho. Dia pun
tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang. “Mengapa mereka datang
menyerbu? Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?”
Ciu
Toan menggeleng kepala. “Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu
bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apapun juga. Mereka
datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, yaitu hendak menarik
secara paksa agar kami suka masuk menjadi anggauta Thian-liong-pang.”
“Aneh
sekali!” Bun Beng berkata.
“Memang
Thian-liong-pang kini terkenal sebagai perkumpulan yang kuat, memiliki
tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa
orang-orang kang-ouw menjadi anggauta mereka, bahkan kadang-kadang menculik
ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!”
“Sungguh
luar biasa!” Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita cantik tokoh
Thian-liong-pang yang dijumpainya di muara Huang-ho itu.
“Betapapun
aneh dan luar biasa, namun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang anak
kecil bersikap seperti engkau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing!
Engkau.... engkau tentu.... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?”
Bun
Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada
dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa
saja, hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu cerita ini akan
merupakan cemohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa
karena orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong
terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun
Go Kong? Berterus terang tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana?
“Cu-wi-enghiong
dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu yang
merantau tanpa tujuan dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing.
Karena aku tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhirnya aku
mendapatkan akal, meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang
ke bawah sini.”
Orang-orang
itu memandangnya tak percaya. “Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan dari
kulit harimau!”
Bun
Beng tersenyum dan menjawab, “Aku mempunyai sedikit kepandaian untuk
merobohkan dan membunuh beberapa ekor harimau.”
“Hebat....,
hebat....! Inkong tentu murid seorang sakti!” Mereka memandang kagum.
“Memang
guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia.” Bun Beng menarik napas
panjang, hatinya memang berduka kalau mengingat akan gurunya, juga merasa
sakit hati atas kematian suhunya yang amat mengerikan.
“Bolehkah
kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?”
“Mendiang
Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai.”
“Ajhhh....!
Kiranya Inkong murid kakek yang sakti itu?” Orang-orang itu menjadi makin
kagum dan gembira sekali dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat.
“Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya Inkong
di sini kami merasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang.....” Tiba-tiba
Ciu Toan berhenti bicara dan mukanya berubah.
“Dua
puluh lima orang?” Bun Beng mencela. “Kulihat hanya ada sembilan belas orang.
Mana yang enam orang lagi?”
Ciu
Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa
disengaja. “Kami.... kami tadinya.... bersisa dua puluh lima orang, akan
tetapi sayang.... enam orang telah meninggal dunia di sini....” Ia pun
terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram. Biarpun masih kecil Bun Beng
dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kematian enam orang saudara
mereka itu yang agaknya tidak akan mereka ceritakan kepada orang lain. Maka
dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.
Bun
Beng yang tidak tahu harus pergi ke mana, menerima penawaran mereka dan dia
tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini daripada
tinggal di atas dan menjadi “seekor” di antara sekumpulan kera itu, pikirnya.
Dia mendapatkan sebuah kamar di guha dan di situ dia menyimpan sepasang pedang
dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sawah atau berburu
binatang di sekitar hutan di kaki gunung.
Akan
tetapi beberaga hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepada Bun
Beng untuk mencari “akar obat-obatan”. Ketika Bun Beng menyatakan hendak
membantu, mereka menolak. “Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting
dan tidak boleh kami minta bantuan siapapun juga.” kata Ciu Toan.
“Mengapa
tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang
kalian cari?”
Mereka
saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mereka muram dan
seperti orang ketakutan. “Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang
ini. Harap suka menunggu di sini, kami hanya akan pergi selama tiga hari.”
Tanpa
memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergilah kesembilan
belas orang itu, membawa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan
merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Setelah pada
hari ke tiga dia tidak melihat mereka kembali, Bun Beng kehabisan
kesabarannya dan dia pun meninggalkan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan
di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang lalu. Hari masih pagi ketika
Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang besar sekali
beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia
mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Siluman.
Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pendekar
Siluman merupakan idam-idaman hatinya. Ia kagum dan tertarik sekali kepada
pendekar kaki buntung itu. Jantungnya makin berdebar keras ketika ia melihat
burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar
duduk seorang manusia! Karena jaraknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang
yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang memiliki
binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar Siluman?
Saking
girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sembilan belas
orang bekas pejuang dan kini ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana
burung itu beterbangan di atasnya, hutan yang agak gundul karena di situ
banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi.
Akan
tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia
terkejut dan merasa heran sekali. Kiranya sembilan belas orang itu berada di
situ, kesemuanya berlutut dan di depan mereka berjajar sepuluh buah keranjang
yang kini sudah terisi akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka lakukan itu?
Ciu Toan berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan. Ketika ia
mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat burung
besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu. Kini tampak jelas
oleh Bun Beng bahwa burung itu bukanlah garuda putih tunggangan Pendekar
Siluman, bahkan tampak pula olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung
besar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan
angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah
memberi kesempatan kepada penunggangnya untuk menjenguk ke bawah karena ia
terbang miring, kemudian membubung lagi sambil menyambar dua buah keranjang
dengan kedua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu
masih tetap berlutut dan Bun Beng masih bersembunyi memandang dengan jantung
berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?
Tak
lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang
di atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain.
Empat ekor burung itu menukik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi
akar dan daun-daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keranjang yang
diterbangkan sedangkan sebuah keranjang lagi yang isinya hanya sedikit,
hampir kosong, tidak diangkat pergi.
“Kenapa
hanya sembilan keranjang yang sebuah kosong?” Tiba-tiba terdengar bentakan dari
atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang duduk di atas
punggung rajawali.
Sembilan
belas orang itu menjadi pucat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.
“Maaf....
kami.... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan tetapi karena
setiap tiga bulan diambil terus, hasilnya makin kurang dan hanya mendapatkan
sembilan keranjang....”
“Bohong!
Malas!” Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga Bun
Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah. “Kalian berani menentang dan
membantah perintah kami? Tidak cukup murahkah nyawa kalian semua ditebus
dengan akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali? Siapa yang bertanggung
jawab akan kekurangan ini?”
Sembilan
belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat menjawab
hanya menggumamkan kata-kata mohon maaf.
“Diam
semua!” Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. “Siapa yang bertanggung
jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman dari kami?”
Tiba-tiba
Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia menengadah memandang
anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berkata nyaring, “Aku, Ciu
Toan, yang bertanggung jawab atas kekurangan ini, saudara-saudaraku tidak ada
yang bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!”
Anak
itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Nah, kalau begitu, menunggu apalagi?
Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali merobek-robek
perutmu?”
“Tidak!
Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan saudara-saudaraku,
biarlah saat ini aku menerima hukuman!” Tiba-tiba Ciu Toan mencabut pedangnya
dan langsung menggorok leher sendiri!
“Ciu-twako....!”
Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah, sedangkan
para bekas pejuang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh Ciu
Toan terhuyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!
“Keparat!
Setan....!” Bun Beng mengepal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah
di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh
masih terdengar gema suara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak,
menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan.
“Kalian
ini orang-orang gagah macam apa? Mengapa tidak bangkit melawan bocah setan
yang menunggang burung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri? Apa
artinya ini semua?” Bun Beng membanting-banting kakinya dengatn marah.
“Sssttt....
In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah
Ciu-twako dan nanti kami akan ceritakan semua.” jawab seorang di antara mereka
dengan sikap takut-takut. Biarpun Bun Beng marah dan hampir tak dapat menahan
kesabarannya, namun terpaksa dia menurut karena mereka itu tidak ada yang mau
menjawab pertanyaannya. Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan
dengan upacara sekedarnya, Bun Beng mendengar penuturan delapan belas orang
itu.
“Agaknya
Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan
dari Majikan Pulau Neraka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang
mampu menolong.....” kata mereka sambil menarik napas dengan muka berduka
sekali.
“Pulau
Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?”
Orang
tertua dari para pejuang itu mengangguk. “Sudah amat lama terjadinya. Ketika
kami mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggauta
Pulau Neraka yang membutuhkan akar jin-som dan daun pencuci darah yang banyak
terdapat di hutan itu. Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya
seorang dan kami keroyok, pada waktu itu jumlah kami masih dua puluh lima
orang, dia terluka dan melarikan diri. Akan tetapi, beberapa hari kemudian
datang seorang tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, kami dikalahkan dan
dipaksa menukar nyawa dengan penyerahan sepuluh keranjang akar dan daun obat
setiap tiga bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah
dua kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat sukar
mengumpulkan akar dan daun obat sekian banyaknya. Tiga orang saudara kami
tewas tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua
orang terpaksa membunuh diri seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran
obat kurang. Sekarang Ciu-twako yang mengorbankan diri.”
Bun
Beng mengepal tinjunya, penasaran sekali. “Mengapa kalian tidak melawan?”
Orang
itu menggeleng kepala. “Melawan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan
main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami tidak berdaya sama
sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan. Ciu-twako membunuh
diri untuk menolong saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi
pemimpin, tentu akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya.....”
Bun
Beng menggeleng-geleng kepalanya. “Sungguh menjemukan kalau begitu, kenapa
Cu-wi tidak pergi saja meninggalkan tempat ini?”
“Pergi
ke mana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang
pemerintah penjajah untuk menangkap kami,” jawab orang itu penuh duka.
Bun
Beng bangkit berdiri dan memandang orang-orang itu dengan hati penasaran. Dia
masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat
sikap orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa ini, hilang kesabarannya.
“Cu-wi
sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut
dikagumi, akan tetapi sekarang mengapa begini..... pengecut? Seorang gagah
lebih mengutamakan kehormatan daripada nyawa! Lebih baik melawan penindas
sampai mati daripada membiarkan diri dihina dan ditindas seperti yang
dilakukan orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu
mengatakan bahwa lebih baik mati sebagai seekor harimau daripada hidup
sebagai seekor babi?”
Delapan
belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah muram, pemimpin baru
mereka, yang tertua, berkata. “Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk negara
dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu kapan
dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak berdaya,
melawan berarti mati semua. Kalau kami menakluk, berarti hanya beberapa orang
terancam bahaya mati, masih ada sisanya untuk menanti kesempatan melakukan
perlawanan terhadap penjajah Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami
hanya untuk urusan pribadi.”
Jawaban
ini membuat Bun Beng tertegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-orang
ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan
karena mereka itu takut melawan bukan karena takut mati, melainkan takut kalau
mereka mati dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah
menjadi cita-cita hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia
mengatur persiapan untuk menghadapi bocah penunggang rajawali dari Pulau Neraka
yang dibencinya itu.
Diam-diam
Bun Beng menyembunyikan sepasang pedangnya ke dalam sebuah guha kecil yang
tidak dipakai, menutup guha dengan batu dan menanam rumput alang-alang di
depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu
dibakarnya. Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan delapan belas orang itu
yang kini sibuk mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang
sebelum waktu penyetoran tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka.
Tiga bulan kemudian ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di tempat
biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya burung-burung
rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun Beng telah berada
di dalam sebuah di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia telah
memasuki keranjang yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan
karena ia memaksa mereka untuk diperbolehkan membantu mereka ketika ia
menyusul mereka ke hutan.
Bun
Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia
diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan mengalami
hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa. Dia telah
melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil,
orang-orang Pulau Neraka ikut pula memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti
bahwa di antara ayahnya yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan
Pulau Neraka tentu ada hubungannya, karena ibunya seorang tokoh
Siauw-lim-pai, tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka. Kini,
mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu
datang dari Pulau Neraka timbul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, di
mana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan obat-obatan dengan memeras dan
menekan bekas-bekas patriot atau pejuang itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa
perbuatannya amat berbahaya bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak
merasa takut. Kalau bocah sombong dan angkuh itu berani menunggang di
punggung rajawali, mengapa dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di
dalam keranjang akar obat?
Ketika
menanti di dalam keranjang jantung Bun Beng berdebar keras, khawatir
kalau-kalau ada di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang
memeriksa keranjang. Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah keranjang
bahwa ke delapan belas orang itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama
sekali tidak memperhatikan sepuluh buah keranjang yang kini terisi penuh
semua.
Tiba-tiba
terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sayap di atas
pohon-pohon. Burung-burung itu telah terbang datang! Bun Beng cepat merendahkan
tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar
tegang. Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa
terbang rendah di atas keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa
isi keranjang dari tutup yang berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap
terdengar makin keras, burung rajawali mulai menyambar dan membawa terbang
keranjang-keranjang itu! Keranjang di mana Bun Beng bersembunyi mendapat
giliran terakhir. Hatinya lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya
terangkat dan terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membubung tinggi!
Agak
pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan
tetapi kalau teringat kepada anak yang menunggang rajawali terbang, ia
menguatkan hatinya dan menggigit bibir. Entah berapa lama dia diterbangkan
dan kini dia tidak merasa pening atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai
biasa! Kalau dahulu ia “terbang” sendiri di atas tebing, tidaklah begini
mengerikan karena dia dapat melihat sekelilingnya, tidak seperti sekarang mendekam
di dalam keranjang.
Tiba-tiba
ia mendengar suara keras sekali dan baru ia tahu bahwa rajawali yang menggondol
keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mendengar pula pekik
rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki!
Bun Beng terheran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok?
Saking herannya, ia membuka tutup keranjeng dan betapa kagetnya ketika menyaksikan
pemandangan yang amat hebat. Di angkasa itu, anak laki-laki yang angkuh dari
Pulau Neraka sedang bertanding melawan seorang anak perempuan sebaya yang
menunggang seekor burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama
memegang pedang dan bertanding mati-matian sambil saling memaki! Juga burung
garuda itu membantu penunggang masing-masing, saling bertempur mempergunakan
cakar dan paruh!
Tiba-tiba
Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung
tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Siluman mencari
muridnya? Murid perempuan? Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman!
Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman otomatis tertumpah kepada
murid perempuan pendekar itu, apalagi lawan anak perempuan itu adalah anak
laki-laki yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sampai lupa menutupkan kembali
tutup keranjang, lupa bahwa keranjang yang didudukinya itu dicengkeram oleh
kaki rajawali yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil
mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan
pandai memaki!
“Iblis
cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di
tanganku!” Bentak anak perempuan itu.
“Ha-ha-ha,
kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pedangku akan
membuat kau terguling, dan tubuhmuakan hancur
gepeng terbanting ke bawah!” Anak laki-laki itu balas memaki.
“Mampuslah!”
Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri mencengkeram bulu
leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena tubuhnya condong ke
depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan lawan.
“Tranggg!”
Anak laki-laki itu menangkis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu
secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang
lawan dan langsung menikam dada!
“Celaka....!”
Anak laki-laki itu berteriak, lalu menggerakkan tubuhnya meloncat ke kanan.
Dalam kegugupannya menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di
atas punggung rajawalinya yang sedang terbang, maka ketika ia meloncat ke
kanan, otomatis tubuhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!
Betapapun
bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri
juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali,
padahal tanah di bawah sedemikian jauhnya sampai hampir tidak tampak teraling
awan! Akan tetapi, anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga
rajawali tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan
berhasil memegang kaki rajawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak
perempuan itu marah dan kembali mendoyongkan tubuh ke depan untuk menusukkan
pedangnya. Sambil bergantungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-laki itu
menangkis.
“Cringgg!”
Sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api berpijar.
Melihat
kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnyamenghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali
cepat mengelak, akan tetapi paruh garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya
sehingga banyak bulu burung rajawali membodol dan berhamburan melayang.
Rajawali memekik dan terbang menjauh, dikejar oleh burung garuda.
Agaknya
melihat kawannya bertempur, rajawali yang mencengkeram keranjang Bun Beng
hendak membantu. Ketika garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini
sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah
sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam dari belakang, menggunakan
kaki kiri dan paruhnya karena kaki kanannya mencengkeram keranjang terisi Bun
Beng. Garuda putih tak sempat menghadapi lawan dari belakang ini karena pada
saat itu dia harus menghadapi serangan balasan lawannya yang marah. Melihat
ini, anak perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua.
Burung rajawali ini menggerakkan paruhnya menangkis.
“Trangg....!
Aihhhh.... pedangku!” Anak perempuan itu berteriak marah dan kaget karena
pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan
awan.
Kini
burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua ekor burung
rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan
tentu berhasil merontokkan beberapa helai bulu lawan. Menyaksikan kegarangan
garuda ini, kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengelilingi dan
mengancam. Kini anak laki-laki itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan
yang sudah tak bersenjata lagi.
“Ha-ha-ha-ha,
kuntilanak kecil! Engkau telah terkurung sekarang. Mana kegaranganmu tadi?
Hayo bersumbarlah sekarang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kaukira
semua orang takut kepada penghuni Pulau Es? Ha, ha, mukamu sudah pucat!
Betapapun juga, wajahmu manis sekali. Kalau kau menyerah dan ikut bersamaku ke
tempatku, aku akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu
aku minta upah dan balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut
dan mengangguk-angguk delapan kali di depan kakiku, menyebut aku Koko yang
baik kemudian membiarkan aku mencium kedua pipimu, engkau bahkan akan
kujadikan sahabatku dan.....”
“Tutup
mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar aku mati,
Suhu tentu akan mencarimu dan merobek mulutmu serta membunuhi semua nenek
moyangmu, kalau engkau begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan tempatmu?”
Gadis
cilik itu terpaksa harus miringkan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya
ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk
menghindarkan diri dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu
berhasil dia tangkis dengan tendangan mengarah pergelaingan tangan, namun anak
laki-laki itu sudah cepat menarik kembali tangannya sambil menyeringai.
“Ha-ha-ha!
Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan engkau
menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia Gurumu, bukan?
Ha-ha-ha, tunggu saja. Kelak pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau
Es, termasuk Pendekar Siluman.”
“Keparat
sombong! Aku tahu sekarang! Engkau tentu seorang di antara anggauta
Thian-liong-pang yang sombong!”
“Heh-heh-heh,
boleh kauterka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!”
“Dia
dari Pulau Neraka!” Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahannya lagi
sehingga ia lµpa diri dan berteriak.
“Hahh....?”
Kini anak laki-iaki itu memandang dan baru tahu bahwa keranjang terakhir itu
bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi seorang anak laki-laki!
“Kau.... siapa....?”
Sementara
itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, “Aha, kiranya engkau keturunan
orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!”
Bun
Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah murid
Pendekar Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor
rajawali membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan
menghantam ke arah perut rajawali yang membawa keranjangnya.
“Bukkk!”
Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia
mempelajari Sam po-cin-keng. Tenaga sin-kangnya bertambah kuat sekali berkat
bertelanjang selama setengah tahun dan mempelajari ilmu silat yang mujijat.
Begitu terkena hantaman ini, rajawali memekik dan otomatis cengkeramannya pada
keranjang itu terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan
kecepatan yang membuat ia sukar bernapas! Akan tetapi rajawali itu sendiri
yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan Bun Beng, segera kabur terbang
secepatnya. Ditinggalkan kawannya, burung rajawali pertama menjadi jerih, juga
anak laki-laki itu agaknya menjadi jerih setelah rahasianya terbuka, maka ia
menyuruh burungnya terbang pergi meninggalkan garuda dan anak perempuan yang
menungganginya. Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha
mengikuti keranjang terisi anak laki-laki yang jatuh dengan pandangan
matanya. Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap
ditelan awan, maka ia menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang
pergi juga dengan cepat sekali.
“Bibi
Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita
pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!” Bisik anak perempuan itu
kepada garudanya. Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, adalah Giam Kwi
Hong, keponakan dan juga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super
Sakti, To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke
Pulau Es di mana dia digembleng oleh pendekar sakti itu sebagai muridnya.
Karena dia amat disayang oleh gurunya yang juga menjadi pamannya, dan karena
semua penghuni Pulau Es juga sayang dan takut kepadanya, maka Kwi Hong
memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani meninggalkan Pulau Es di
luar tahu gurunya. Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk
meninggalkan pulau dan memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah
agak besar akan berontak karena larangan itu justru menimbulkan daya tarik
dan gairah untuk mengetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi
Hong menunggang garuda betina putih meninggalkan pulau untuk “melihat-lihat”.
Garuda
itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa lelah setelah
bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik
turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristirahat. Burung
ini biarpun terlatih dan kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang
bergerak menurutkan kebutuhan tubuhnya. Dia lelah dan harus beristirahat
sebelum melanjutkan penerbangan ke Pulau Es yang jauh.
Karena
lelah kedua-duanya, baik garuda itu maupun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari
depan tampak dua titik hitam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong
melompat turun dari punggung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di
atas dan ternyata itu adalah dua ekor burung rajawali, ditunggagi oleh anak
laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan yang seekor lagi ditunggangi oleh
seorang wanita yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu meluncur turun dan tak
lama kemudian hinggap tak jauh dari situ.
Melihat
bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan tetapi wanita
itu menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang
menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbelenggu kedua kaki
dan paruhnya sehingga tidak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak
dan tubuhnya meronta-ronta.
“Diam
engkau!” Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, sekali
tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya
lagi.
“Setan!
Kau apakan burungku....?” Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan kedua
tangan terkepal.
“Inikah
anak perempuan itu?” Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang
cepat mengangguk.
“Dialah
kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!” Berkata demikian, anak laki-laki
itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang cepat
mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak laki-laki
itu.
“Engkau
setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar kaubawa semua
penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!” Kwi Hong balas memaki dan kini
biarpun bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat. Setelah
turun dari punggung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu lebih
muda darinya, maka keberaniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap anak
kecil?
Ilmu
silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan
paman atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia memiliki
sin-kang yang jauh lebih kuat daripada lawannya, di samping gerakan gin-kangnya
yang membuat tubuhnya ringan dan gesit bukan main. Biarpun lawannya memegang
pedang, namun setelah bertanding tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik
penuh perhatian, kini dia mulai mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu
sibuk memutar-mutar pedangnya menjaga diri dari serangan yang datang
bertubi-tubi dari segala pihak itu.
“Mundur
kau!” Tiba-tiba wanita cantik itu mendorongkan tangannya dan tubuh Kwi Hong
terpental ke belakang. Dia marah sekali.
“Engkau
siluman!” Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah
ada dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur,
juga tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak
memungkinkan dia lari ke manapun juga!
“Bocah
liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?” Wanita itu
bertanya, suaranya dingin sekali.
Kwi
Hong mengangkat muka memandang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian
hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan
memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga
puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali, dengan sepasang matanya
yang lebar, bening dan bersinar tajam akan tetapi juga mengerikan. Tubuhnya
ramping dan padat, ditutup pakaian yang serba hitam sehingga wajahnya yang
sudah putih menjadi makin jelas warna putihnya. Diam-diam Kwi Hong bergidik.
Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih susu, bukan pula putih
karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putihnya kapur!
“Benar,
aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Sebaiknya engkau
yang memiliki ilmu siluman jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa
lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal.”
“Heh-heh,
kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?” Anak laki-laki itu
mengejek.
“Keng
In! Diam engkau!” Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.
“Ah,
jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau
Neraka?”
Wanita
cantik bermuka putih itu mengangguk.
“Tidak
salah, akulah Majikan Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersamaku ke Pulau
Neraka”
“Aku
tidak sudi!” Kwi Hong melotot dengan berani.
Wanita
itu tersenyum dan makin heranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya
yang putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya
mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh
wajahnya. Cantik dan manis bukan main!
“Mau
tidak mau harus ikut.”
“Ahh,
tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai memaksa seorang
anak kecil? Kalau engkau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kaulawan
Guruku, tentu dalam sepuluh jurus engkau mati!”
“Anak,
engkau menarik! Engkau penuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih belum
dapat mengatasi kegalakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tidak
pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?”
“Aku
Giam Kwi Hong!”
Wanita
itu mengerutkan kening. “Engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan
Gurumu?”
Kwi
Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga. “Benar! Nah,
engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku tentu akan marah
kepadamu.”
Kembali
wanita itu tersenyum. “Memang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia
mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Siluman berani datang ke
Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!”
Kwi
Hong hendak meronta dan menolak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu
tubuhnya terlempar ke depan disambut lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah
dibawa mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali
hitam dari sutera yang mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan
totokannya pun bebas pula.
“Pulanglah
engkau lapor majikanmu!” Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang agaknya
maklum akan kelihaian wanita itu karena dia memekik kesakitan lalu terbang ke
arah timur. Wanita itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong
yang dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak
laki-laki bernama Keng In yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya.
Dari
atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah
pulau di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menjadi
lawan Pulau Es yang kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat
pulau-pulau mati yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya. Setelah burung itu berada
di atas pulau hitam, tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwarna
hijau gelap mendekati biru sehingga dari atas tampak hitam, apalagi karena di
atas pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau.
Kedua burung rajawali itu meluncur turun dan setelah tidak begitu tinggi
tampak oleh Kwi Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang merupakan
tebing-tebing batu karang, sedangkan secara aneh sekali ombak besar menghantam
tepi pantai dengan dahsyat dari segala penjuru. Dia bergidik. Pulau yang buruk
dan menyeramkan. Bagaimana mungkin ada perahu dapat mendarat di pulau ini kalau
ombaknya demikian besar? Tentu perahu itu akan dihempaskan ke batu karang dan
hancur lebur!
Kini
tampak rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang hitam pula,
atau dicat hitam? Dan begitu burung itu menukik turun dan hinggap di
pekarangan sebuah rumah besar seperti istana, tampak banyak orang berlarian
datang menyambut.
Tiba-tiba
Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak yang bernama Keng
In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya yang mengaku Majikan Pulau
Neraka itu wajahnya berwarna putih seperti kapur, seperti dicat putih. Kini,
orang-orang yang lari berdatangan itu memiliki wajah yang beraneka warna. Ada
yang mukanya berwarna hitam seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu,
hijau, kuning. Akan tetapi terbanyak adalah warna-warna yang gelap, sedangkan
muka yang berwarna terang, terutama yang kuning, tidak banyak. Tidak ada
seorang pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita ibu Keng In itu.
“Hi-hi-hik!
Alangkah lucunya. Mengapa kalian penghuni-penghuni Pulau Neraka mencat muka
kalian? Apakah hari ini akan diadakan pesta dan panggung sandiwara dan kalian
semua ikut bermain?”
Semua
orang yang datang menyambut To-cu mereka itu melotot mendengar ucapan ini.
Seorang wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda sehingga warna ini amat
menguntungkan karena menambah kecantikannya, bertanya.
“Twanio,
siapakah bocah kurang ajar ini?”
Dari
pandang mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini
mewakili suara hati semua orang.
“Dia?
Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman....”
Mendengar
wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disukanya, Kwi Hong
memotong cepat, “Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa tading, To-cu dari
Pulau Es yang terkenal di seluruh pelosok dunia!”
Akan
tetapi ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena mendengar
disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau Neraka sudah
menjadi amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata mereka jelas tampak
betapa mereka itu terkejut dan jerih. Melihat ini, Kwi Hong melanjutkan
kata-katanya.
“Awas
kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini
beserta seluruh penghuninya!”
Akan
tetapi Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, “Kwi Hong, engkau anak
kecil tahu apa? Tidak perlu membuka mulut besar karena aku sengaja membawamu
ke sini agar Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia akan mampu merampasmu
kembali. Dan engkau bebas di sini, mau ke mana pun boleh.”
Kwi
Hong cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita mukra putih itu. “Aku boleh
pergi?”
Wanita
itu tersenyum. “Silakan!”
“Terima
kasih!” Kwi Hong lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan rumah
itu.
“Biarkan
dia pergi ke mana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar dia tidak sampai
celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata rahasia. Begitu ada burung
garuda muncul di atas pulau, sambut dengan anak panah dan senjata-senjata
rahasia, terutama anak panah berapi. Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos
masuk ke Pulau Neraka, aku sendiri yang akan menandinginya!”
Para
penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua mereka. Mereka
kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti sudah lama mereka dengar
dan mereka rata-rata merasa jerih terhadap pendekar itu. Yang kelihatan tenang
hanyalah Si Ketua dan beberapa orang yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka
yang mukanya berwarna kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat
dilakukan siang malam, dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan
dengan rapi.
Dengan
hati girang Kwi Hong berlari keluar dari kelompok bangunan itu, memasuki
sebuah hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu demikian baik hati
sehingga dia diperbolehkan pergi begitu saja! Tiba-tiba ia berhenti berlari
dan memandang terbelalak ke depan karena di depannya menghadang barisan ular
yang berwarna merah dan hitam,bukan main
banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka mengeluarkan suara mendesis-desis dan
tampak uap hitam keluar dari moncong mereka! Kwi Hong menggigil dan cepat
membelok ke kanan, akan tetapi di mana pun penuh ular, demikian pula di kiri.
Terpaksa ia memutar tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Melihat sebuah hutan
lain yang berdekatan, dia masuk dan hatinya lega karena tidak melihat ular
seekor pun. Akan tetapi,hutan ini amat gelap dan
tidak ada lorong bekas kaki manusia, maka ia masuk secara ngawur saja.
Tiba-tiba terdengar suara mengaungyang makin lama
makin keras. Suara itu seolah-olah datang dari segenap penjuru, membuat telinganya
serasa akan pecah dan kepalanya pening. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba ia
melihat ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan mengejarnya! Celaka,
pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari begitu saja. Tentu
akan mengejarnya dengan kecepatan terbang dan kalau dia dikeroyok, celaka! Ia
membalikkan tubuhnya dan lari hendak keluar dari hutan. Akan tetapi betapa
kagetnya ketika dia tidak tahu lagi mana jalan keluar. Lama ia berlari cepat
dengan ribuan lebah terbang mengejarnya, dan dia masih belum keluar dari
hutan, bahkan mungkin tersesat makin dalam!
Ketika
lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan wangi. Makin
takutlah dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah binatang berbisa,
jangankan dikeroyok begitu banyak. Disengat oleh seekor pun bisa berbahaya.
Saking bingung dan gugupnya, ia tersandung dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah
sudah mengiang di atas kepalanya sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong
menggunakan kedua tangan menutupi kepalanya. Kedua matanya dipejamkan dan
hatinya mengeluh, “Mati aku sekarang!”
Akan
tetapi, tiba-tiba suara itu menghilang berbareng dengan timbulnya suara
melengking tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Ribuan
ekor lebah berbisa itu benar-benar telah pergi dan tampak olehnya sesosok
bayangan seorang laki-laki tua bermuka hijau pupus berkelebat pergi ke arah
kiri. Dia mengerti bahwa tentu orang itu mengusir lebah dengan tiupan suling,
maka ia pun mengikuti bayangan orang Pulau Neraka yang menolongnya itu. Benar
dugaannya, orang itu memegang suling dan agaknya sengaja menanti dia karena
beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal. Kiranya jalan
keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk. Laki-laki tua itu membelok
ke kiri, ke kanan, sampai berulang kali, ada kalanya seperti memutar dan
bahkan mengambil arah yang bertentangan dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti
terus dan betapa girang serta heran hatinya ketika dalam waktu sebentar saja
dia sudah keluar dari hutan!
Akan
tetapi kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat mengerti bahwa tentu
kakek itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong dia, maka kembali ia merasa
berterima kasih dan tidak mengerti mengapa Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu
mula-mula menculiknya kemudian kini membolehkan dia pergi malah menyuruh orang
menolongnya dari bahaya maut. Dia berjalan terus, mengambil jurusan yang
berlawanan dengan hutan-hutan yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang
berbatu dan ke sanalah ia menuju. Biarpun batu-batu itu kelihatan hitam
menyeramkan, namun dia tidak takut. Dia harus keluar dan pergi dari pulau ini.
Kakinya
mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan mendaki pegunungan
kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba di bagian yang paling
tinggi, tampaklah air laut membentang luas jauh di depan bawah. Dari tempat
itu kelihatan air laut tenang dan hanya di pantai tampak membuas putih. Hatinya
menjadi girang, akan tetapi begitu ia mulai menuruni batu-batu itu, tiba-tiba
ia tersentak kaget mendengar suara menggereng yang menggetarkan batu karang
yang diinjaknya. Ketika ia memandang ke bawah, ia terpekik dan mukanya menjadi
pucat. Di depannya, di antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-biatang
yang bentuknya seperti cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari dua
meter sampai tiga meter. Ada ratusan ekor banyaknya, baris memenuhi jalan di
depannya, dengan mulut terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak gigi yang
runcing mengerikan.
“Ohhhh....!”
Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan lari pergi dengan maksud mengambil
jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu. Dilihatnya daerah yang
penuh dengan tanaman menjalar dan kelihatannya bersih, tidak terdapat binatang-banatang
buas.
Ke
sinilah ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika kakinya
menyentuh tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat dan tanaman
itu seperti hidup! Ujung ranting-ranting tanaman yang lemas dan panjang itu
seperti tangan-tangan setan menyergapnya dan melibat seluruh tubuhnya dengan
kekuatan yang luar biasa, seolah-olah memiliki daya menempel dan menyedot.
Kwi
Hong meronta-ronta, menggunakan kekuatan kaki tangannya untuk melepaskan
diri, namun sia-sia karena lilitan “tangan-tangan” tanaman itu makin erat
saja. Dan dilihatnya tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah bergerak-gerak
seolah-olah tanaman-tanaman itu hidup dan kini berusaha untuk melepaskan diri
dari tanah dan mengeroyoknya!
“Iiiihhh....!”
Ia menjerit ketika sehelai di antara “tangan-tangan” itu merayap dan akan
melilit lehernya.
Pada
saat itu tampak berkelebat sinar hitam, terdengar suara keras dan tanaman yang
melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya. Begitu jebol, tannaman
itu seolah-olah kehilangan tenaganya dan dengan mudah Kwi Hong melepaskan diri
lalu meloncat menjauhi tanaman-tanaman berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit
bagian tubuh yang terlilit tadi terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman
itu pun mengandung racun jahat!
Dia
tidak peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi, hanya
dapat menduga bahwa tentu bayangan itu yang tadi menolongnya. Dia lari cepat,
ingin menjauhi tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini hanya tinggal satu
jurusan lagi yang dapat ia ambil. Kembali ke belakang berarti kembali ke
perkampungan penghuni. Ke kiri berarti memasuki hutan-hutan yang penuh binatang-binatang
berbisa, di antaranya ular-ular dan lebah yang telah dijumpainya. Entah
binatang-binatang berbisa mengerikan apa lagi yang berada di situ, dia tidak
mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti dia harus melalui tanaman-tanaman
hidup itu atau binatang-binatang cecak raksasa! Kini dia berlari ke depan,
satu-satunya daerah yang belum dilaluinya. Tampak dari atas daerah ini seperti
daerah aman karena tidak tampak tanaman, tidak ada binatang hidup, melainkan
pasir bersih yang terus membentang sampai ke laut. Itulah agaknya jalan keluar!
Betapa
girang hatinya ketika ia sudah menuruni pegunungan dan tiba di daerah pasir itu.
Bersih tidak ada bahaya. Biarpun dia sudah lelah sekali dan napasnya masih
terengah karena merasa ngeri oleh pengalamannya tadi, namun dalam girangnya Kwi
Hong tidak merasakan kelelahannya dan ia berlari terus, hendak mencapai tepi
laut secepatnya. Pasir yang terbentang luas dan selalu tertimpa sinar matahari
itu terasa hangat dan lunak.
“Aihhhh....!”
Tiba-tiba Kwi Hong menjerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai
selutut tingginya. Cepat ia berusaha menarik kaki kirinya yang terjeblos ini ke
atas, akan tetapi begitu ia mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan
pasir dan menarik kaki kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah, malah
melewati lututnya! Ia terkejut sekali, mengerahkan tenaga untuk keluar. Akan
tetapi, makin banyak ia mengeluarkan tenaga, makin dalam kedua kakinya amblas
ke dalam pasir sehingga setelah tubuhnya masuk ke pasir sampai pinggang, Kwi
Hong diam tak berani bergerak lagi dan hanya memandang ke sekeliling dengan
mata terbelalak seperti kelinci masuk perangkap! Keadaan sekelilingnya sunyi,
yang ada hanya pasir dan terdengar lapat-lapat mendeburnya ombak di pantai
depan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras. Ia memutar tubuh atas dan
terbelalak memandang dengan hati penuh kengerian. Seekor binatang seperti
anjing hutan datang berlari, matanya merah, moncongnya menggereng-gereng dan
binatang itulari ke arah dia terbenam di pasir!
Tak dapat diragukan lagi niat yang terbayang di mata binatang itu, tentu akan
menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan dengan mata
terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula ke dalam pasir,
hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini binatang itu
melolong-lolong, meronta-ronta namun tubuhnya makin amblas ke bawah. Makin
dalam sehingga yang tampak hanya lehernya saja. Binatang itu memandang kepadanya
dengan marah dan gerengannya makin hebat. Seolah-olah terasa oleh Kwi Hong
hawa panas yang menyembur dari mulut yang terbuka lebar itu. Kwi Hong hampir pingsan,
matanya tak pernah berkedip memandang binatang itu yang ternyata adalah seekor
anjing srigala yang berbulu hitam. Tubuh binatang itu makin amblas, lolongannya
makin dahsyat dan akhirnya gerengannya berhenti karena kepalanya mulai
terbenam, mulutnya kemasukan pasir, hidungnya, matanya dan akhirnya yang
tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih bergerak-gerak dalam sekarat.
Akhirnya kedua ujung telinganya itu pun lenyap. Binatang itu telah ditelan
pasir, tanpa meninggalkan bekas!
“Tolong....!”
Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa tubuhnya
makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu. Berdiri bulu
kuduknya karena timbul dugaannya bahwa srigala itu telah menjadi setan dan
kini setan penasaran itu menarik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa
tempat itu memang amat berbahaya daripada daerah lain di pulau itu. Ancaman
bahaya lain tampak di depan mata, sedikitnya orang dapat menjaga diri. Akan
tetapi bahaya pasir ini tidak tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi,
sekali orang terperosok ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan
menyedot tubuh sampai terbenam di dalamnya dan tentu saja akan mati!
Karena
panik dan tubuhnya menegang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam
sampai ke dada! Tiba-tiba terdengar suara “wirrrr!” Dan sinar hitam menyambar,
tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali sutera hitam dan
tubuhnya ditarik keluar dari pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik
bermuka putih. Majikan Pulau Neraka, telah berdiri kurang lebih sepuluh meter
di sebelah kanannya dan menggunakan tali sutera hitam untuk membetotnya.
Sebentar saja tubuhnya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke depan kaki
wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.
“Ohhhh....
ahhhh....” Kwi Hong merangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia
berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di
pinggangnya yang ramping sambil memandang kepadanya.
“Aku
mengerti sekarang.....” Kwi Hong berkata marah. “Kiranya engkau tidak sebaik
yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak akan
dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermainkan aku!”
“Sudah
puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun belum tentu
dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu
bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lebih
hebat daripada yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun,
binatang-binatang sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya
mengandung bisa maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur manusia
hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kutahan di sini untuk melihat
apakah Gurumu akan mampu merampasmu kembali.”
Kwi
Hong bergidik, kemudian berkurang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam
dunia kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing
datangnya lawan dengan penculikan seperti yang dilakukan atas dirinya. Betapapun
juga, ia harus mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik.
“Sungguh
mengherankan. Kalau Pulau Neraka ini begini berbahaya, melebihi gambaran neraka
sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?” Tanyanya sambil
memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah
warna pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan
ini.
“Engkau
takkan mengerti. Marilah kita pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar
bukan?”
Kwi
Hong mengerutkan keningnya. “Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan
engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?”
“Engkau
anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman....”
“Pendekar
Super Sakti!” Kwi Hong memotong.
Wanita
aneh itu tersenyum. “Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau bebas,
tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan
senang sekali kalau engkau menjadi muridku, menjadi teman puteraku.”
“Aku
tidak sudi! Terutama sekali tidak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar
itu!”
Sejenak
wanita itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan
sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarahannya dan
berkata. “Dia nakal dan manja, akan tetapi tidak kurang ajar. Marilah!”
Kwi
Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan
tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat
mengherankan. Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan
tetapi sebentar saja mereka sudah tiba di depan gedung besar seperti istana
yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-laki bernama Keng In itu datang
berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan
mengejek.
“Aha,
engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!”
“Keng
In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan mengganggu Kwi
Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kauajak dia
bermain-main dengan baik, akan tetapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai
engkau mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan membelamu!” Wanita
itu berkata dan Keng In membelalakkan mata memandang ibunya seperti orang kaget
dan heran karena selamanya ibunya tidak pernah menegurnya dengan kata-kata
keras, kemudian wajahnya menjadi muram dan kecewa, mulutnya merengut, akan
tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih, “Baik, Ibu.”
Di
dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau sekarang, pikirnya!
Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam
saja dan tidak membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang
menyeramkan itu, Kwi Hong tadinya tidak mengharapkan makanan yang baik. Akan
tetapi betapa heran dia dan juga girang hatinya ketika menghadapi meja, dia
melihat hidangan yang serba lezat dan mahal! Baru masakan ikan udang dan
kepiting serta penghuni laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum
daging binatang darat dan sayur mayur yang serba lengkap. Benar-benar seperti
hidangan dalam istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak
malu-malu, Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam
memuji karena selain serba lengkap, juga masakannya amat enak, tidak kalah
oleh masakan di Pulau Es!
Sudah
satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlakuan yang
baik, mendapat kamar di sebelah kiri, kamar ketuanya sendiri dengan pintu
tembusan. Keng In tinggal di kamar sebelah kanan. Agaknya Ketua Pulau Neraka
itu hendak mengawasi sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mempertahankan
apabila Suma Han datang! Namun Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana
dia pergi, perlu ada yang diam-diam mengawasinya, terutama tokoh-tokoh muka
kuning yang kedudukannya sudah tinggi.
Mentaati
perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bahkan setelah
kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya
cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan
itu dari Keng In. Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang
dijinakkan, jumlahnya ada sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian
rupa sehingga hanya mentaati perintah wanita majikan pulau, puteranya, dan
empat orang tokoh muka kuning saja. Terhadap perintah lain orang,
burung-burung ini tidak peduli, apalagi terhadap perintah Kwi Hong yang mereka
anggap sebagai musuh! Maka lenyaplah harapan Kwi Hong untuk dapat melarikan
dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu. Demikian terlatih
burung-burung itu sehingga mereka tidak mau menerima makanan yang dlberikan
Kwi Hong.
Pulau
itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan
orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu adalah anak-anak
dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di
situ seolah-olah menjadi semacam “pangeran”. Betapapun juga, ada beberapa orang
di antara mereka yang menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan pula
dengan Kwi Hong.
“Semua
orang di sini mengecat mukanya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?” Pada
suatu hari Kwi Hong bertanya kepada Keng In.
“Mengecat
muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni Pulau
Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah
sin-kang mereka meningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu
kepandaian dan kedudukan mereka.”
“Ahh,
kalau begitu, Ibumu yang mempunyai warna putih merupakan orang yang paling
pandai?”
“Tentu
saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul para tokoh
bermuka kuning dan merah muda, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna
mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggauta
yang sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sin-kang yang khas sehingga
ada warna timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggauta paling rendah yang
belum berhasil memiliki sin-kang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu
belum boleh tinggal di pulau, melainkan di sekitar Pulau Neraka, yaitu di
pulau-pulau kecil dan sewaktu-waktu kalau tenaga mereka dibutuhkan, baru
mereka dipanggil. Yang berhasil, mula-mula mukanya hitam, lalu merah dan
selanjutnya, jangan kau memandang rendah. Warna-warna itu menandakan bahwa
kami telah memiliki sin-kang khas Pulau Neraka yang amat lihai!”
“Hemmm.....
dan engkau sendiri mengapa belum memiliki warna pada mukamu?”
Keng
In mengerutkan alisnya. “Sebelum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak
boleh mempelajari sin-kang itu, bisa membahayakan nyawanya. Sin-kang itu
dilatih dengan minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari
mereka yang sudah berwarna mukanya boleh tinggal di sini.”
Kwi
Hong teringat akan segala macam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini
dan dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan mendengar cara berlatih sin-kang sambil minum racun itu,
dia dapat membayangkan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa
yakin bahwa gurunya akan mampu menandingi mereka semua, bahkan Si Wanita Muka
Putih ibu Keng In.
“Kenapa
begitu jahat, memaksa orang-orang di gunung mengumpulkan obat-obat setiap
bulan?”
“Eh,
kau tahu juga?”
“Tentu
saja, kalau tidak masa aku menyerangmu. Aku telah menyelidiki secara diam-diam
di punggung garudaku dan menyaksikan kesibukan mereka, melihat pula betapa di
antara mereka ada yang membunuh diri karena tidak dapat mengumpulkan akar dan
daun obat secukupnya. Mengapa kau begitu jahat?”
“Itu
adalah perintah Ibuku. Mereka itu terlalu sombong, tidak mau mengalah bahkan
melukai anggauta kami yang mencari obat. Kami amat membutuhkan akar-akar dan
daun-daun obat itu. Engkau melihat sendiri keadaan di pulau ini. Banyak racun
yang berbahaya mengancam kami, bahkan hawa yang kami hisap setiap saat telah
keracunan. Tanpa obat-obat yang tepat untuk memusnahkan racun, bagaimana kami
bisa hidup?”
Kwi
Hong mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan tidak bisa menyalahkan mereka.
Gadis cilik yang hidup di Pulau Es ini pun mengerti akan kebenaran yang
dipergunakan sebagai hak yang lebih kuat untuk hidup kalau perlu dengan
menekan atau membunuh yang lemah. Hukum rimba berlaku di tempat-tempat yang
berbahaya di mana mahluk harus menjaga diri sendiri dari bahayabahaya yang
mengancam dan di mana satu-satunya yang dibutuhkan hanya kekuatan dan
kemenangan! Keadaan seperti itu memaksa manusia mengandalkan kekuatan untuk
hidup dan hal ini menjadi kebiasaan membentuk watak orang-orang kang-ouw yang
tidak suka akan segala macam aturan!
***
Ketika
Suma Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana Pulau Es, tiga
orang pembantu utamanya yang menyambutnya memandang dengan penuh perhatian.
Terutama sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala pengurus bagian dalam,
seorang wanita muda yang cantik jelita, memandang wajah Suma Han dengan
mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Dia melihat sesuatu pada
wajah yang menjadi pujaan hatinya.
Dia
tahu bahwa pendekar yang dikaguminya itu menderita tekanan batin yang hebat
sekali. Biarpun pendekar itu dapat menutupinya dengan hati sehingga tidak
tampak sedikitpun ketegangan urat syarafnya, namun wajah yang tampan itu
terselubung kemurungan yang amat mendalam.
Yap
Sun, wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima puluh tahun
itu pun mengerti bahwa majikannya sedang berduka, demikian pula Thung Sik Lun,
sutenya yang kurus. Namun pandangan mereka tidak setajam Phoa Ciok Lin yang
lebih menggunakan perasaan hatinya.
“Kami
mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia. Apakah To-cu
juga tidak berhasil?” Yap Sun melapor dan sekaligus bertanya sungguhpun dia
sudah menduga bahwa kemurungan wajah majikannya itu tentu karena Kwi Hong tak
berhasil ditemukan.
Suma
Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat pandang mata
Phoa Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah membayangkan
perasaan hatinya yang terhimpit, pikirnya. “Bocah itu benar-benar membikin
repot banyak orang. Aku tidak berhasil menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku
menjelajah tanpa hasil. Biarlah kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah
bosan merantau tentu akan pulang juga.” Sambil berkata demikian, Suma Han lalu
melangkah masuk ke dalam Istana Pulau Es yang kuno namun kini bersih itu,
diikuti oleh Phoa Ciok Lin yang sejak tadi hanya menyambut kedatangan Suma Han
dengan pandang matanya yang bening.
“Kusediakan
makan, Taihiap?”
Suma
Han menggeleng. “Aku tidak lapar.”
“Ingin
beristirahat? Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu
disediakan minum? Minum apakah?”
“Tidak
usah repot Ciok Lin dan terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin....
menyendiri.” Suma Han menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan menyandarkan
tongkatnya di meja.
Ciok
Lin tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang lemas,
wajahnya penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih berdiri tanpa
bergerak, Suma Han mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan Suma
Han menunduk kembali.
“Ciok
Lin, maaf. Kautinggalkan aku, aku ingin menyendiri.” katanya.
Gadis
yang usianya sebaya, hanya lebih muda setahun dari Majikan Pulau Es itu,
menahan napas menekan hati yang perih. “Baiklah, Taihiap.....” Ia membalikkan
tubuh dan melangkah pergi dengan muka menunduk.
“Ciok
Lin....” Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa pembantunya ini
selain amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan kadang-kadang ada sinar
mata memancar keluar dari sepasang mata yang membuat dia khawatir karena sinar
mata itu jelas membayangkan sinar kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah
bersikap sedingin itu setelah orang menyambutnya demikian ramah dan penuh
perhatian.
Dengan
gerakan cepat, gadis itu memutar tubuh. “Ada apakah, Taihiap?”
Suma
Han tersenyum minta maaf, dan mulutnya terkata. “Aku memang tidak lapar, akan
tetapi akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air dingin dari
sumber.”
Wajah
yang manis itu berseri gembira. “Baik, Taihiap, segera kuambilkan!” Dan kini
tubuh gadis itu tidak melangkah perlahan dengan muka menunduk lagi, melainkan
berkelebat dan lenyap laksana menghilang saja. Suma Han tersenyum seorang diri.
Perempuan! Sungguh lebih mudah mengukur dalamnya lautan daripada mengukur
dalamnya hati perempuan. Semenjak kecil ia hidup bersama Lulu adiknya, mengira
bahwa dia sudah mengenal adik angkatnya itu lahir batin. Siapa kira kenyataan
menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak mengenal isi hatinya sehingga segala
jerih payah yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu malah berakibat
sebaliknya seperti yang ia harapkan. Dia berhasil mengawinkan adiknya dengan
Wan Sin Kiat, seorang pemuda pilihan, tampan dan gagah perkasa, berbudi mulia
dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, siapa kira, pernikahan itu malah merupakan
kesengsaraan bagi Lulu yang kemudian nekat meninggalkan suaminya bersama
anaknya sehingga Wan Sin Kiat membunuh diri dengan cara berjuang sampai mati!
Semua itu karena Lulu mencinta dia? Benarkah seperti yang dikatakan Im-yang
Seng-cu? Dan dia.... sudah lama namun dianggapnya terlambat ketika ia merasa
yakin bahwa satu-satunya cinta kasih murni yang berada di hatinya adalah untuk
Lulu seorang!
Semenjak
pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita tentang Lulu, Suma
Han mengalami pukulan batin yang amat hebat, lebih hebat daripada
kekhawatirannya tentang kepergian Kwi Hong. Semenjak itu, dia tidak pernah
makan, minum atau tidur sehingga ketika ia tiba di istana Pulau Es, tubuhnya
menjadi kurus, mukanya sayu dan agak pucat. Kini menghadapi sikap Phoa Ciok
Lin, pembantunya yang setia, hatinya terasa makin perih. Kalau mungkin, dia
minta dijauhkan daripada kaitan kasih sayang dengan wanita! Betapa banyaknya
penderitaan batin yang ia alami karena hubungan kasih sayang ini yang hanya
tampaknya saja manis, namun sesungguhnya mengandung kepahitan yang sampai lama
terasa di hati.
Berkelebatnya
bayangan menyadarkannya dari lamunan dan Ciok Lin telah berdiri di depannya,
membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar yang baru diambilnya dari
sumber air di atas pegunungan pulau itu. Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu
kepandaian Ciok Lin telah meningkat dengan hebat dan kini dapat dipercaya
menjadi orang kedua di Pulau Es jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia
memandang wajah itu dan diam-diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah
mengambil air dari gunung yang cukup jauh, bahkan telah mencuci muka,
bersisir, dalam waktu yang amat cepat!
Suma
Han menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu meminumnya.
Segar dingin terasa sampai ke perutnya.
“Terima
kasih, Ciok Lin.”
“Tambah
lagi, Taihiap?”
“Cukup,
letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri.”
Sejenak
Ciok Lin meragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka memandang wajah
yang bayangannya sudah terukir di hatinya itu. “Taihiap, dalam kepergian
Taihiap mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa dengan kenalan lama?”
Suma
Han membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik, “Ciok Lin, mengapa
kau menduga demikian?”
Ciok
Lin menarik napas panjang lalu berkata, “Semenjak saya berada di sini, saya
melihat Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan laut yang tidak tersentuh
angin. Akan tetapi sekarang laut itu bergelombang dan digelapkan awan. Apa
lagi yang menimbulkan kecuali pertemuan dengan kenalan lama dan dipaksa
mengenang peristiwa-peristiwa lalu?”
Suma
Han menghela napas, “Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Sekali berkunjung
ke dunia ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati terdengar. Akan tetapi
sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba melupakan semua itu. Yang
terpenting adalah soal perginya Kwi Hong. Harap engkau suka meninggalkan aku sendiri.”
“Baiklah,
Taihiap.” Sekali ini Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan
kata-katanya sendiri. Melupakan? Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan dendam
Tan-siucai bekas tunangan Lu Soan Li yang katanya mendendam kepadanya, urusan perebutan
pusaka-pusaka yang lenyap. Semua itu dapat dengan mudah ia lupakan karena
memang tidak dipikirkannya lagi. Akan tetapi Lulu....! Dapatkah ia melupakan
Lulu? Kalau adik angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya,
tentu dia akan dapat melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia karena
adik yang dicintanya itu hidup bahagia. Akan tetapi sekarang? Kebahagiaan itu
berantakan dan betapa mungkin ia dapat melupakannya? Apalagi karena perginya
Lulu meninggalkan suaminya itu menimbulkan dugaan di hatinya bahwa tentu Lulu
yang telah melakukan hal yang menghebohkan dan menggegerkan dunia kang-ouw. Siapa
lagi yang dapat membongkar kuburan dan membawa pergi Sepasang Pedang Iblis?
Hanya dia dan Lulu yang mengetahui di mana adanya sepasang pedang itu dikubur.
Di mana sekarang adanya Lulu dan anaknya? Jangan-jangan...., ah, dia teringat
akan ketua Thian-liong-pang, wanita yang mukanya diselubungi kain itu. Bentuk
tubuhnya, suaranya, dan sinar mata dari balik selubung itu! Mengapa dia begitu
bodoh? Tentu Lulu orangnya! Akan tetapi kalau benar Lulu, mengapa menantangnya?
Dan ilmu kepandaiannya pun hebat sekali. Orang seperti Lulu memungkinkan
terjadinya segala hal aneh. Dia tidak akan merasa heran kalau tiba-tiba Lulu
memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya sendiri! Yang amat
mengherankan hatinya, kalau benar ketua Thian-liong-pang itu Lulu adanya,
mengapa menantang dia? Mengapa seperti hendak memusuhinya?
Sampai
tiga hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika pada pagi
hari itu ia mengambil keputusan untuk pergi lagi meninggalkan Pulau Es,
pertama untuk mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk menyelidiki
Thian-liong-pang karena ia merasa penasaran kalau belum membuka selubung muka
Ketua itu untuk melihat apakah dugaannya tidak salah, tiba-tiba terdengar seruan-seruan
di luar istana.
“Garuda
betina datang....!”
“Nona
Kwi Hong tidak bersama dia....!”
Seruan‑seruan
itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi Hong, berarti bahwa
telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau keponakannya itu! Akan tetapi Suma
Han tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina
sudah berada di pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu
menyambut. Melihat Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan mengeluarkan
suara seperti rintihan, kemudian meloncat ke atas terbang dan turun lagi
mendekam, terbang lagi dan mendekam lagi.
Suma
Han menghampiri, “Apakah Nona ditawan orang?”
Garuda
itu mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan mendekam lagi.
Suma Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata, “Agaknya Kwi Hong
ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan menolongnya. Jaga pulau
baik-baik, aku pergi takkan lama.” Setelah berkata demikian ia menggapai dengan
tangan kirinya. Garuda jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya,
Suma Han telah mencelat ke atas punggung garuda jantan yang terbang tinggi
mengejar garuda betina yang telah mendahuluinya.
Garuda
betina yang menjadi penunjuk jalan terbang tinggi di atas lautan kemudian
mengelilingi sekumpulan pulau-pulau kecil. Di tengah kumpulan pulau itu tampak
sebuah pulau hitam.
“Hemm,
agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa lancang dan
beraninya mereka!” Suma Han menjadi gemas dan menyuruh garudanya menukik ke
bawah. Adapun garuda betina yang kelihatannya jerih, hanya mengikuti dari
belakang.
Suma
Han adalah seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik. Kalau
penghuni Pulau Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka itu kini
telah siap untuk menyambut kedatangannya, karena sudah tentu mereka ini tahu
bahwa dia akan menolong muridnya. Kenyataan bahwa garuda betina pulang tanpa
menderita luka merupakan bukti bahwa penghuni Pulau Neraka sengaja memancingnya
datang dan harus berlaku hati-hati sekali. Dari atas dia melihat pulau yang
belum pernah dikunjungi, hanya didengarnya saja dongengnya itu. Pendaratan ke
pulau itu hanya mungkin dilakukan dari angkasa, karena pulau itu dikurung
lautan yang bergelombang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap perahu yang
mencoba untuk mendarat. Tentu kini penjagaan ketat dilakukan untuk menyambut
kedatangannya
lewat
angkasa menunggang burung, pikirnya. Justru tempat yang berbahaya, yang tidak
mungkin didarati, yaitu melalui lautan, merupakan tempat yang terbebas
daripada penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh garudanya terbang
rendah di atas laut dekat tebing karang yang airnya berombak besar.
Setelah
burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung burung,
melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu disambar ombak dan
mengambang. Bagaikan seekor burung, tubuh Suma Han menyusul tongkatnya dan
kaki tunggalnya sudah hinggap di atas tongkat yang terombang‑ambing ombak.
Dengan menekuk lutut ia menggunakan kedua tangannya sebagai dayung sehingga
tongkatnya meluncur ke pinggir mendekat karang. Pada saat itu, ombak dari
belakangnya mendorong pula sehingga tubuhnya meluncur ke depan, ke arah tebing
batu karang yang agaknya akan menerima dan menghancurkan tubuh Pendekar Super
Sakti ini. Namun Suma Han telah memperhitungkan dan ia sudah mendahului
meloncat dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun sambil menyambar tongkatnya. Ketika
tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke depan, ke arah
batu karang dan menggunakan tenaganya untuk mencelat ke ke atas, menotok lagi
dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali loncatan ia telah dapat sampai di
puncak tebing dengan selamat. Ia menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung
garuda peliharaannya itu telah hinggap dengan selamat di sebuah batu karang
yang menonjol, tidak tampak dari darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor
burung itu yang mengerti akan siasatnya yang menyuruh mereka bersembunyi dan
menanti isyaratnya.
Dari
atas tebing yang tinggi ini, Pendekar Super Sakti memeriksa keadaan pulau.
Hemm, benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan teratur oleh
tangan ahli karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari tempat dia mendarat,
kalau hendak memasuki pulau harus melalui hutan-hutan yang gelap dan
pohon-pohonnya diatur mencurigakan, seperti lorong menyesatkan dan banyak
bagian yang serupa sehingga memasuki hutan itu tentu akan membingungkan orang
dan akan menyesatkan. Pula, mungkin di dalam hutan itu bersembunyi
binatang-binatang jahat yang berbisa. Dari sebelah kiri melewati daerah yang
seperti rawa, amat luas dan penuh alang-alang tinggi. Daerah itu amat berbahaya
karena melalui rawa yang tertutup oleh alang‑alang orang tak mampu menjaga
diri sebaiknya, apalagi kalau sampai terjeblos ke dalam lumpur dan diserang
banyak binatang buas. Dari sebelah kanan melalui pegunungan karang yang
ditumbuhi tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan sunyi namun malah
mencurigakan sekali karena biasanya, di tempat-tempat yang diatur orang-orang
pandai seperti pulau itu, tempat yang kelihatan paling aman biasanya justru
merupakan tempat yang paling berbahaya. Adapun pendaratan dari seberang sana,
berlawanan dengan tempat ia mendarat, orang harus melalui daerah yang penuh
pasir, kelihatan bersih sunyi dan aman, namun ia merasa yakin bahwa tempat itu
pun amat berbahaya karena selain pendatang tidak akan dapat bersembunyi dan
nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar tentang pasir bergerak yang dapat
menyedot benda bergerak ke dalamnya. Dia mendarat tanpa perhitungan karena
memang belum mengenal keadaan. Nasib saja yang menentukan dan setelah ia
mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau itu dari situ pula, melalui
hutan-hutan gelap yang kelihatan paling berbahaya itu.
Sampai
beberapa lama dia memeriksa seluruh hutan itu dari atas, menghafal
letak-letak kelompok pohon yang beraneka macam dan memperhatikan mata angin
dengan melihat letak matahari. Melihat arah matahari, dia tahu bahwa dia telah
mendarat di bagian selatan dan untuk menuju ke tengah hutan yang ia yakin
tentu menjadi markas atau sarang penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke
utara. Tiba-tiba Suma Han menggerakkan tubuh menyelinap ke balik batu karang
menonjol, menyembunyikan diri dan mengintai. Tidak salah lagi, yang terbang di
atas itu adalah seekor burung rajawali yang besarnya menandingi garudanya dan
di punggung rajawali itu duduk seorang manusia. Burung itu terbang berputaran
di atas pulau, maka tahulah dia bahwa orang yang menunggang rajawali itu, yang
terlalu jauh untuk dapat dilihat besar kecilnya atau laki-laki perempuannya,
tentu sedang melakukan pengintaian atau pemeriksaan. Setelah burung itu menukik
turun dan lenyap di balik pohon-pohon, ia lalu keluar dari tempat sembunyinya.
Sekali lagi ia memandang keadaan hutan yang akan dilaluinya, kemudian tubuhnya
bergerak ke depan cepat sekali, dengan loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, dalam
kecepatannya yang luar biasa, Suma Han selalu tetap waspada dan hati-hati
karena dia maklum betapa berbahaya daerah yang tak dikenalnya itu.
Dia
kini sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup rapat oleh
daun-daun lebat sehingga sukar untuk melihat di mana adanya matahari. Namun,
dari sinar matahari yang menerobos ke bawah ia dapat memperhitungkan dan dia
terus maju menuju ke arah utara. Dia tidak mau membelok melainkan lurus
bergerak ke depan. Kalau keadaan sedemikian gelapnya dan ia merasa kehilangan
arah, Suma Han mencelat ke atas pohon besar dan melihat letak matahari, lalu
turun lagi dan melanjutkan perjalanannya.
Tiba-tiba
ia berhenti bergerak. “Ular....” bisiknya dan ia sudah siap. Penciumannya yang
tajam dapat menangkap bau amis ular-ular itu, juga pendengarannya dapat
menangkap suara mendesis-desis dari depan. Namun dia tidak gentar dan melanjutkan
perjalanan ke depan. Hutan yang gelap dan mudah menyesatkan orang itu kini
terganti dengan bagian yang terbuka, ada seratus meter luasnya dan di tempat
inilah berkumpulnya ular-ular itu, kemudian di seberang sana disambung pula
dengan hutan lain.
Suma
Han berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum sekali. Dari
mana saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang selain amat banyak
jumlahnya, ada ribuan ekor, juga amat banyak macamnya, semua terdiri dari
ular-ular berbisa! Dia mengenal beberapa ekor ular yang gigitannya amat
berbahaya, sekali gigit tentu merenggut nyawa. Dan melihat ular-ular yang
beraneka macam itu, dengan warna yang bermacam-macam pula, timbul rasa sayang
di hati Suma Han. Sayang kalau kumpulan ular berbisa yang begitu lengkap di
bumi! Pula, dia tidak mempunyai niat sedikitpun juga untuk melakukan pembunuhan
dan pengrusakan di pulau ini. Pertama, dia belum melihat bukti bahwa Kwi Hong
di tahan di Pulau ini. Ke dua, andaikata benar demikian, penghuni Pulau Neraka
hanya melakukan hal itu untuk memancing dia datang, tentu Kwi Hong tidak
diganggu karena buktinya, burung garuda betina pun tidak dilukai. Kalau orang
tidak berniat buruk, mengapa dia harus melakukan pembunuhan dan pengrusakan.
Kini
ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini
mendesis-desis dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok manusia
yang berani datang ke tempat itu. Suma Han mengukur dengan pandang matanya.
Kalau bukan dia yang datang ke tempat itu, agaknya sukar untuk melewati
ular-ular yang memenuhi dareah sepanjang seratus meter itu, kecuali dengan
membunuh mereka semua. Untuk meloncati jarak yang sekian jauhnya, biar dia
seorang ahli ilmu Soan-hong-lui-kun sekalipun, tentu tidak mungkin. Akan tetapi
dengan tongkatnya, ditambah ilmunya dia tidak merasa menghadapi kesukaran. Dia
tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai
gerak-geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular itu.
Maka dia lalu meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia tidak
bertongkat, tentu terpaksa kakinya akan menyentuh tanah dan ada bahaya di
sambar ular-ular itu. Akan tetapi dengan cekatan dan mudah ia menotolkan
tongkatnya ke atas tanah diantara ular-ular yang menjadi kalang kabut berusaha
menyerang tongkatnya. Dengan kekuatan tangannya yang memegang tongkat, begitu
tongkat menotol tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Beberapa ekor
ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu terpelanting dan kembali Suma
Han menggunakan tongkatnya menotol tanah dan tubuhnya mencelat lagi.
Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa loncatan saja Suma Han telah tiba
di seberang daerah ular dengan selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia
berdiri dan membalikkan tubuh sambil tersenyum memandangi ular-ular yang
menjadi kacau dan membalik, mencari lawan.
“Begini
sajakah halangan memasuki pulau?” kata Suma Han sambil melanjutkan perjalanan,
ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui hutan di depan yang tidak begitu
gelap seperti hutan pertama.
Tiba‑tiba
seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras dan dari dalam
semak‑semak meloncat keluar puluhan anjing serigala yang mengeluarkan bau
harum dan amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat sambil memperhatikan.
Kembali ia merasa kagum. Srigala‑srigala hitam ini benar-benar merupakan
sekumpulan binatang yang aneh. Bulunya hitam mengkilap dan indah, moncongnva
panjang dan mengingat akan bau yang keluar dari moncong mereka, menandakan
bahwa binatang buas ini pun berbisa.
“Bukan
main! Benar‑benar segala macam binatang berbisa bersarang di pulau ini.” pikir
Suma Han. Melihat betapa kawanan srigala itu banyak sekali, gerakan mereka
gesit, maka agaknya akan melelahkan kalau harus berlari‑lari dan mengelak
menghindari mereka yang tentu akan terus mengejar‑ngejarnya. Dengan demikian
maka perjalanannya akan kacau dan banyak bahayanya dia akan tersesat. Maka
cepat ia mencelat ke atas pohon, berjongkok dengan kaki tunggalnya di atas
dahan pohon, sejenak memandang srigala‑srigala yang berusaha meloncat-loncat
untuk mencapainya. Pemandangan ini lucu bagi Suma Han, maka tanpa terasa lagi
ia tertawa, kemudian melanjutkan perjalanannya melalui pohon‑pohon. Karena
pohon‑pohon itu tumbuh berdekatan, amat mudah bagi seorang yang berilmu
tinggi seperti dia untuk berloncatan dari dahan ke dahan dan dari pohon ke
pohon, selalu mengambil arah ke utara atau menganankan matahari pagi.
Akan
tetapi baru saja terbebas dari serangan gerombolan srigala hitam, datanglah
serombongan lebah hitam yang terbang berbondong‑bondong dan mengeroyoknya! Suma
Han terkejut, dapat menduga bahwa sengatan lebah ini pun tentu berbisa. Dia
memutar lengan kiri, sehingga timbul angin yang digerakkan hawa sin-kangnya
sehingga lebah‑lebah yang mendekatinya terbawa hanyut oleh angin itu. Akan
tetapi karena dahan-dahan, ranting‑ranting dan daun‑daun menghalanginya, dia
tidak dapat bergerak dengan leluasa. Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah
berbahaya, kalau meloncat turun, gerombolan srigaia hitam tentu akan
menerkamnya. Maka Suma Han cepat meloncat dengan pengerahan ilmu Soan‑hong‑lui‑kun.
Karena dia meloncat‑loncat dengan selalu dikejar lebah‑lebah yanng terbang
cepat, tentu saja dia tidak dapat memperhatikan arah lagi dan dia hanya
berloncatan cepat dengan niat keluar dari hutan dan mencari tempat terbuka di
mana dia akan dapat menghalau lebah‑lebah itu dengan mudah. Sambil berloncatan
dan kadang‑kadang memutar lengan kiri untuk meruntuhkan lebah‑lebah itu, diam-diam
ia memuji dan mulailah dia tidak berani memandang rendah para penghuni Pulau
Neraka!
Akhirnya
dia berhasil juga keluar dari hutan itu, di tempat terbuka dan dengan hati
lega ia mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing srigala sudah tak tampak
lagi, tentu tidak sanggup mengejar dia yang berloncatan dari pohon ke pohon
sedemikian cepatnya dan kehilangan jejak penciuman. Akan tetapi, kawanan lebah
itu masih terus mengejarnya. Suma Han meloncat turun dari pohon terakhir dan
sudah siap. Ketika lebah‑lebah itu terbang datang, dia lalu menanggalkan
jubahnya dan memutar jubah dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap
memegangi tongkatnya. Kalau dengan tangan saja gerakan Suma Han sudah mampu
mendatangkan angin yang menyambar dahsyat apalagi kini menggunakan jubah.
Angin bertiup keras dan lebah‑lebah itu terbawa angin yang digerakkan oleh
jubah di tangan Suma Han, sama sekali tidak mampu mendekati pendekar itu,
bahkan ketika Suma Han membuat gerakan memutar dengan tangannya, jubahnya
menimbulkan angin berpusing yang membuat lebah‑lebah itu terseret angin yang
berputaran ke atas sampai tinggi!
Tiba‑tiba
terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi suling ditiup secara
istimewa dan menyusul suara ini, datanglah berbondong‑bondong lebah‑lebah hitam
dari segenap penjuru mengeroyok dan mengurung Suma Han!
“Setan....!”
Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat mengemudi perasaan
lebah‑lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena kalau lebah-lebah itu datang
makin banyak, mana mungkin dia dapat menghindarkan diri tanpa membasmi mereka,
hal yang tak diinginkannya. Dengan hati mengkal Suma Han lalu mengerahkan
khi-kangnya dan keluarlah lengkingan yang tinggi dan lebih nyaring daripada
suara suling itu sambil jubah di tangannya masih terus diputarnya. Usahanya
berhasil baik sekali karena lebah‑lebah itu menjadi kacau‑balau. Makin nyaring
lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han, makin kacaulah mereka tidak
tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke atas, ada yang ke bawah, ke
kanan kiri depan belakang, bahkan ada yang terbang membalik dari arah mereka
datang! Adapun lebah‑lebah yang terlalu dekat dengan Suma Han, membubung tinggi
dan menjadi pening sehingga lebah‑lebah itu berjatuhan, bergerak‑gerak dan
merayaprayap di atas tanah karena untuk sementara mereka tidak kuasa terbang,
bahkan merayappun berputaran seperti anak-anak yang mabok setelah bermain
putar-putaran!
Suara
suling terhenti dan melihat bahwa lebah‑lebah itu kini sudah pergi dalam
keadaan kacau, Suma Han menghentikan lengkingannya dan putaran jubahnya, lalu
tubuhnya mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang ditinggalkan dan letak
matahari, hatinya mendongkol karena ternyata dalam melarikan diri tadi, dia
tidak lari ke utara melainkan tersesat lari ke barat!
Karena
tidak ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat ke atas pohon
di pinggir hutan yang baru ditinggalkan. Ketika ia memandang ke utara, hatinya
girang karena dari tempat itu dia sudah dapat melihat sekelompok bangunan
berwarna hitam. Akan tetapi, dari tempat itu menuju ke bangunan terdapat
pasukan‑pasukan menghadang jalan.
“Hemm,
kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri
menyambutku. Bagus!” Dia lalu melayang turun dan mempergunakan ilmunya
berloncatan cepat menuju ke utara. Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi
rintangan dan akhirnya ia tiba di lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh
tujuh orang yang mukanya berwarna biru muda. Mereka berpakaian seragam dan
membentuk barisan sembilan kali tiga, bersenjatakan tombak panjang yang
ada rantainya di ujung.
Suma
Han sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para anak buah Pulau
Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang warna mukanya, makin
tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh orang bermuka biru muda,
Suma Han mengomel di dalam hatinya.
“Orang‑orang
Pulau Neraka sungguh memandang rendah kepadaku!”
Sebagai
To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau kedatangannya hanya
disambut oleh pasukan bermuka biru muda, warna yang tentu hanya menduduki
tingkat ke empat atau ke lima. Maka diapun tidak mau bicara melayani mereka,
melainkan terus saja melangkah dengan kaki tunggalnya ke depan seolah‑olah dua
puluh tujuh orang itu hanya arca‑arca yang tidak bernyawa dan tidak ada
artinya!
Melihat
sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara mereka berseru
aneh memberi aba‑aba dan tiga pasukan dari sembilan orang berjumlah dua puluh
tujuh orang itu menggerakkan senjata, ada yang menyerang dengan tombak, ada pula
yang membalikkan tombak dan menyabat dengan rantai baja di ujung gagang tombak.
Serangan mereka amat cepat dan kuat sehingga terdengar angin bersuitan menyambar
ke arah Suma Han yang menjadi sasaran dari tombak‑tombak runcing dan rantai‑rantai
berat itu.
Namun,
Suma Han masih berloncatan terus ke depan seolah‑olah tidak peduli akan
serangan mereka, akan tetapi setelah senjata‑senjata itu datang dekat, dia
memutar tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk ketika semua senjata itu
bertemu tongkat, bertemu dan terus melekat, rantai membelit‑belit tongkat dan
ujung tombak tak dapat ditarik kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan
dan terpaksa melepaskan senjata karena telapak tangan mereka terasa dingin
membeku. Yang bersikeras mempertahankan senjatanya, menjerit dan memegangi
tangan yang terpaksa melepaskan tombak karena kulit telapak tangan mereka
berdarah! Dengan tenang Suma Han melangkah terus, menggerakkan tongkatnya dan
belasan batang tombak terpelanting ke kanan kiri, terpelanting keras sekali,
ada yang meluncur seperti anak panah dan hilang di antara pohon‑pohon, ada pula
yang menancap di atas tanah sampai setengahnya lebih!
Mereka
yang telah menyerang, belasan orang itu, meritih‑rintih, dan mereka yang belum
menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Karena
maklum bahwa menyerang seperti kawan‑kawannya tadi tidak akan berhasil
sedangkan lawan telah melewati hadangan pasukan mereka, belasan orang sisa yang
kehilangan tombak lalu menggerakkan tombak mereka, melontarkan kuat‑kuat
sehingga kini ada belasan yang meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing
menyerang ke arah tubuh belakang Suma Han!
Seperti
tadi, Suma Han tenang‑tenang saja, tidak menengok sama sekali sehingga seolah‑olah
sekali ini dia akan celaka oleh belasan batang tombak yang meluncur secara
kuat, cepat dan tepat ke arah punggungnya. Akan tetapi setelah ujung tombak‑tombak
itu tinggal beberapa senti lagi dari punggungnya, tubuhnya membalik, tangan
kanannya mengibas ke depan dan.... belasan batang tombak itu runtuh dan semua
menancap ke atas tanah di depan kakinya, berjajar‑jajar rapi seperti diatur.
Kemudian ia membalikkan tubuh lagi dan berjalan maju terpincang‑pincang dibantu
tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
“Pendekar
Siluman.... kepandaiannya seperti iblis....” Pasukan muka biru muda itu
berbisik dan saling pandang dengan mata terbelalak.
Kini
pada sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi, pasukan yang
terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus. Hemm, pikirnya,
setingkat lebih tinggi, akan tetapi tetap saja dia tidak puas dan merasa
dipandang rendah. Dia dapat menduga bahwa tingkat tertinggi tentu berwarna
putih, dan warna yang mendekati putih adalah warna kuning. Kalau Si Ketua
merasa terlalu tinggi untuk menghadang sendiri, sedikitnya dia harus mengutus
tokoh‑tokoh bermuka kuning untuk menghadapinya. Akan tetapi muka hijau pupus?
Hemmm, kalian terlalu memandang rendah To‑cu Pulau Es, padahal orang-orang
Pulau Neraka dahulunya hanyalah orang‑orang buangan dari Pulau Es!
“Haiii!
Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?” Seorang di
antara mereka bertanya.
Akan
tetapi, seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka bicara melainkan
melangkah maju terpincang-pincang ke depan, tidak mempedulikan delapan belas
orang yang bersenjata masing‑masing sebatang golok besar itu, sedangkan tangan
kiri mereka siap mendekati kantung di pinggang yang ia duga tentu berisi
senjata rahasia berbisa!
Melihat
sikap Suma Han, delapan belas orang itu lalu membuka barisan dan mengurung.
Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti itu membuat mereka
hati‑hati sekali sehingga kurungan itu mengikuti gerakan Suma Han yang
melangkah maju. Tiba‑tiba seorang diantara mereka berseru keras dan terdengar
goloknya berdesing menyambar, diikuti oleh golok‑golok lain yang menyambar
secara berturut-turut. Hemm, kepandaian mereka ini sedikitnya tiga kali lipat
daripada tingkat pasukan pertama yang bermuka biru muda tadi, pikir Suma Han.
Ketika semua golok menyerangnya, tiba‑tiba tubuhnya mencelat ke atas
sedemikian cepatnya sehingga delapan belas orang yang tiba-tiba kehilangan
lawan itu mengira dia pandai menghilang! Akan tetapi mereka segera melihat ke
atas dan delapan belas buah tangan kiri bergerak.
“Ciat‑ciat‑ciatt!”
Belasan batang pisau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah seluruh bagian
tubuh Suma Han.
“Trang-cring‑cring‑trang....!”
Semua pisau itu terpental dan melayang jauh ke segenap penjuru karena ditangkis
oleh segulung sinar dari tongkat yang diputar sedangkan tubuh Suma Han sudah
melayang turun lagi. Delapan belas orang itu kembali menerjang, sinar golok
mereka berkeredepan menyilaukan mata. Suma Han memutar tongkatnya sambil mengerahkan
tenaga. Terdengar suara hiruk pikuk dan setelah suara itu lenyap, delapan
belas orang itu berdiri bengong memandangi gagang golok di tangan yang sudah
tidak ada goloknya lagi karena senjata mereka telah patah semua!
Ketika
mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung itu sudah
berloncatan ke depan. Mereka tidak berani mengejar karena selain mereka maklum
bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar itu, juga di depan terdapat
pasukan penjaga lain yang lebih tinggi tingkatnya.
Kini
Suma Han melihat pasukan terdiri dari sembilan orang yang bermuka merah muda,
yaitu tiga wanita dan enam pria, masing‑masing memegang senjata Siang‑kiam
(Sepasang Pedang).
“To‑cu
dari Pulau Es, perlahan dulu!” seorang di antara mereka yang usianya sudah lima
puluh tahun lebih dan berambut panjang riap‑riapan sampai ke pundak,
menegurnya.
“Kalian
ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?” Suma Han bertanya, sikapnya
tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan sambil mengerahkan Im‑kang
sehingga sembilan orang yang mendengar suara ini, tergetar jantungnya dan
menggigil kedinginan. Akan tetapi dengan pengerahan sin-kang, mereka dapat
mengusir rasa dingin itu dan kini pasukan itu terpecah menjadi tiga, masing‑masing
tiga orang, seorang wanita dan dua orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini
mengurung Suma Han dari depan, kanan dan kiri.
“Kami
adalah murid‑murid tingkat dua!” jawab kakek itu.
“Hemm,
Ketua kalian membuang-buang waktu saja. Mengapa tidak dia sendiri saja yang
maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang lebih kuat?”
“Orang
muda yang sombong!” Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya menudingkan
pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik akan tetapi sinar
matanya liar dan ganas. “Biarpun engkau To‑cu Pulau Es, akan tetapi engkau
masih muda, kakimu buntung, tidak selayaknya bersikap sombong seperti itu.
Lihat pedang!” Wanita itu sudah menyerang, disusul dua orang temannya.
Melihat
gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari kitab‑kitab peninggalan
Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus yang ampuh akan tetapi sayang
bahwa gerakan mereka kurang sempurna.
“Hemmm,
mengapa begitu melakukan jurus Siang-liong-jio‑seng (Sepasang Naga Berebut
Bintang)?” Dengan tongkatnya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan
kanannya meraih dan secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak
itu telah pindah ke tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya dan
memutar sepasang pedang dengan kedua tangan. “Beginilah mestinya! Dalam perebutan
antara sepasang naga, yang kanan harus mengalah karena biasanya lawan
memperhatikan tangan kanan sehingga yang kiri dapat melakukan serangan tiba‑tiba
yang mengacaukan lawan. Jangan menitik beratkan gerakan pedang kanan!”
Sementara
itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan mereka terampas
dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini cepat menerjang dengan
pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan sepasang pedang dengan jurus
Siang‑liong‑jio‑seng yang amat dikenal oleh mereka itu dan anehnya, biarpun
mereka mengenal baik jurus ini, berturut‑turut mereka berseru kaget karena
terdengar kain robek dan tiba‑tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat
lenyap, yang tinggal hanya sepasang pedang rampasan itu menancap di tanah, den
ketika mereka saling pandang, tampaklah betapa pakaian mereka telah robek dan
berlubang di dua tempat, yaitu di ulu hati dan perut! Sebagai ahli‑ahli pedang
yang sudah tinggi tingkatnya, sembilan orang bermuka merah muda ini maklum
bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki, mereka tentu telah roboh dengan
jantung tertembus pedang dan sudah tewas semua! Maka mereka hanya dapat
menghela napas dan memandang pendekar kaki buntung yang kini telah berjalan
terpincang‑pincang menuju ke penjagaan terakhir, yaitu empat orang kakek
bermuka kuning.
Empat
orang kakek itu usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih, sikapnya
gagah dan angker, pakaiannya sederhana, dengan jubah panjang dan rambut serta
jenggot mereka panjang, kaki mereka telanjang tak bersepatu den tangan mereka
hanya bersenjatakan sebatang tongkat kecil yang panjangnya satu setengah
meter, terbuat dari kayu hitam atau ranting yang lemas. Melihat keadaan ini,
Suma Han bersikap hati-hati karena dia dapat menduga bahwa tentu empat orang
kakek ini adalah tokoh‑tokoh tingkat satu, hanya di bawah Sang Ketua dan telah
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia merasa heran mengapa
jumlah mereka ada empat orang, tidak enam atau tiga karena semenjak
pasukan pertama, penghuni Pulau Neraka itu menggunakan bentuk barisan tiga
bintang yang dapat diluaskan menjadi masing‑masing pasukan sembilan orang
namun pada dasarnya masih mempergunakan bentuk barisan tiga bintang dengan
gerakan segi tiga. Dia tidak tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu
bermuka kuning itu ada enam orang, yang seorang telah meninggal dunia
sedangkan yang seorang lagi kini sedang merantau atas perintah Ketua mereka
untuk menyelidiki keadaan kang‑ouw yang geger karena hilangnya pusaka‑pusaka
yang diperebutkan setelah pasukan Pulau Neraka mengalami kegagalan di muara
Sungai Huang‑ho dahulu. Oleh karena itu, kini hanya tinggal empat orang
saja yang menghadapinya sebagai penjagaan terakhir dan mereka pun kini
menjaga di depan bangunan besar yang menjadi istana dari majikan Pulau
Neraka.
Setelah
melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma Han lalu
menghadapi empat orang itu dan berkata,
“Melalui
garuda betina peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku datang, dan
sekarang aku datang untuk menjemput muridku. Harap Su‑wi Locianpwe suka
menyampaikan kepada To-cu Pulau Neraka agar mengembalikan muridku kepadaku.”
Empat
orang kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang pendekar buntung
itu dari kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub karena baru sekarang mereka
melihat pendekar yang terkenal di seluruh dunia itu, yang ternyata tidak
kelihatan luar biasa, bahkan hanya merupakan seorang pemuda yang cacad!
Betapapun juga, melihat sikap dan sinar matanya, mereka bergidik dan maklum
bahwa pemuda di depan mereka ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian
amat hebat. Seorang di antara mereka yang rambutnya sudah hampir putih semua,
segera mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata, “To‑cu dari Pulau Es
sudah dapat tiba di sini membuktikan bahwa nama besarnya bukan omong kosong
belaka. Akan tetapi, sudah menjadi tugas kami untuk menjaga di sini dan kalau
To‑cu hendak menjemput murid dan bertemu dengan To‑cu kami, harus melalui tongkat
kecil kami.”
Suma
Han mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Hemm.... agaknya To‑cu Pulau
Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian hendak menguji kepandaianku? Nah,
lihat baik‑baik, biarpun kalian berempat, apakah aku kalah banyak?” Suara Suma
Han mengandung getaran yang dahsyat dan berpengaruh. Tiba‑tiba empat orang
kakek itu memandang terbelalak dan bingung karena di depan mereka kini bukan
hanya ada seorang pemuda kaki buntung, melainkan pemuda itu telah berubah
menjadi delapan orang kembar! Tentu saja mereka terkejut sekali dan betapa pun
mereka mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh mujijat itu, tetap saja
pandangan mereka tidak berubah, lawan telah menjadi dua kali lipat lebih
banyak daripada jumlah mereka! Karena bingung, empat orang kakek itu lalu
menggerakkan ranting di tangan mereka, menghantam Suma Han yang terdekat. Akan
tetapi, biarpun ranting mereka mengenai tepat tubuh lawan, mereka seolah‑olah
menghantam bayangan saja dan ranting itu “lewat” menembus tubuh orang yang
diserang. Hal ini memang tidak mengherankan karena yang mereka serang itu
bukanlah tubuh Suma Han yang aseli, melainkan bayangan yang timbul karena
pengaruh kekuatan ilmu merampas semangat dan pikiran orang yang dilakukan
Suma Han. Selagi mereka terheran-heran, Suma Han yang aseli telah menggerakkan
tongkatnya, empat kali menotok dan empat orang kakek itu mengeluh dan jatuh
terduduk di atas tanah dalam keadaan lumpuh!
“Sudah
kalian lihat kepandaian To‑cu dari Pulau Es?” Suma Han berkata dan kini empat
orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja, berdiri di depan mereka,
bersandar pada tongkat dan tangan kanan bertolak pinggang!
Tiba‑tiba
terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun pintunya tertutup
itu, “Kalau To‑cu Pulau Es memang gagah perkasa dan super sakti, jangan
mengandalkan ilmu siluman!”
Suma
Han memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak saking
herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang kakek tingkat
satu ini, tentu To‑cu dari Pulau Neraka merupakan seorang kakek yang
menyeramkan dan lebih mendekati iblis daripada manusia. Akan tetapi suara yang
keluar dari istana hitam itu, yang ia duga tentulah seorang To‑cu pulau itu,
adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring dan merdu! Bukan suara seorang
kakek kasar, juga pasti bukan suara seorang nenek‑nenek karena suara seperti
itu tentu hanya dimiliki seorang wanita yang masih muda. Mungkinkah ini?
Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang wanita muda? Suma Han tidak
akan percaya kalau saja dia tidak teringat akan Ketua Thion‑liong‑pang. Bukankah
Ketua Thian‑liong‑pang yang berkerudung itu pun wanita muda dan yang dia kini
yakin tentu Lulu, adik angkatnya? Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan
yang paling terkenal dan kuat kini dipimpin oleh wanita‑wanita muda! Benar‑benar
merupakan hal yang sukar dipercaya. Betapapun juga, mendengar ucapan itu
wajahnya menjadi merah. Dia tadi memang mempergunakan kekuatan batinnya yang
menguasai empat orang lawan melalui sinar mata dan suaranya dan hal itu dia
lakukan hanya karena dia enggan bertanding melawan mereka. Menghadapi pasukan‑pasukan
tingkat rendahan tadi, dia masih dapat melalui mereka tanpa melukai seorang
pun. Akan tetapi, dari gerakan empat orang kakek ini dia maklum bahwa dia
menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan untuk mengalahkan
empat orang ini tanpa melukainya merupakan hal yang tidak mudah ia lakukan.
Maka ia mengambil cara paling mudah, yaitu mengalahkan mereka dengan
mengandalkan ilmu kepandaiannya yang mujijat, yang kini telah mencapai
tingkat amat tinggi setelah ia menerima gemblengan dan petunjuk terakhir dari
manusia dewa Koai Lojin. Sekarang To‑cu Pulau Neraka mencela dan mengejeknya,
kalau dia tidak memperlihatkan kepandaiannya, tentu saja dia akan merasa malu
sekali.
“Begitukah
yang kalian kehendaki? Nah, Su‑wi Locianpwe, bangunlah!” Tongkatnya bergerak
dan empat orang kakek muka kuning itu dapat bergerak kembali dan mereka
melompat bangun. Kini mereka bersikap hati‑hati sekali. To‑cu Pulau Es ini
benar‑benar hebat. Sebagai To‑cu Pulau Es yang kenamaan, menyebut mereka
“locianpwe” ini saja sudah membuktikan bahwa To‑cu Pulau Es ini adalah seorang
yang rendah hati dan karenanya dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya.
“Maaf,
kami hanya pelaksana tugas!” Kakek beruban berkata sebagai pernyataan
kesungkanan hati mereka, juga ucapan ini merupakan pembuka serangan karena
secepat kilat empat orang itu sudah menyerang Suma Han dari empat penjuru!
Suma
Han cepat menggerakkan tubuhnya, menggunakan Soan‑hong‑lui‑kun untuk
mengelak, akan tetapi tiga orang di antara mereka mengayun tongkat ke atas dan
menghujankan serangan ke atas tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk turun!
Sedangkan yang seorang tetap “menutup” bagian bawah dengan serangan cepat,
rantingnya diputar seperti kitiran sehingga berubah menjadi gulungan sinar.
Suma Han terkejut bukan main. Teringat ia akan gaya serangan bibi gurunya,
Maya, ketika menghadapi ibu gurunya, Khu Siauw Bwee. Mungkinkah tiga orang
kakek ini telah mempelajari ilmu yang khusus dicipta oleh Maya untuk menghadapi
Soan‑hong-lui‑kun? Namun dia tidak diberi kesempatan untuk banyak berheran,
terpaksa ia menggerakkan tongkatnya menotok ranting yang terdekat dan
menggunakan tenaga pertemuan senjata itu untuk mencelat lagi ke samping,
kemudian sambil memutar tongkat menangkis keempat senjata lawan ia turun lagi
ke atas tanah. Segera ia dikurung dan diserang lagi. Suma Han memutar tongkat
melindungi tubuh sambil memperhatikan gaya permainan para pengeroyoknya dan mengukur
tingkat kepandaian mereka.
Dia
kagum sekali. Ranting di tangan mereka itu kadang‑kadang berubah menegang
keras seperti baja, kadang‑kadang lemas seperti cambuk dan gerakan mereka amat
ringan dan cepat, tenaga sin-kang mereka pun amat kuat. Dibandingkan dengan
pembantunya, Yap Sun, agaknya tingkat setiap orang kakek muka kuning ini lebih
tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan Phoa Chok Lin yang dia gembleng
sendiri, pembantu utamanya itu lebih menang setingkat. Betapapun juga, kalau
Ciok Lin yang menghadapi pengeroyokan ini, tentu pembantunya itu akan kalah!
Yang
amat membikin dia penasaran dan kewalahan adalah ilmu silat mereka yang
istimewa digerakkan untuk menghadapi Soan‑hong‑lui‑kun. Biasanya, dengan ilmu
gerak kilatnya ini, dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan‑lawan yang
mengeroyoknya. Akan tetapi sekarang, biarpun dia memiliki gerakan kilat yang
jauh lebih cepat daripada gerakan mereka, namun keempat orang itu selalu
mendahuluinya, menutup lubang-lubang ke mana dia dapat mencelat sehingga Soan‑hong‑lui‑kun
tak dapat ia mainkan dengan leluasa, bahkan seringkali macet dan tertutup di
tengah jalan. Terpaksa Suma Han mengeluarkan kepandaiannya, memutar tongkatnya
melindungi tubuh sehingga beberapa kali terdengar suara keras bertemunya tongkat
dengan empat batang ranting itu.
Kalau
begini keadaannya, aku hanya akan dapat menang dengan merobohkan mereka, dan
hal ini berarti bahwa empat orang itu akan terluka. Dia tidak menghendaki hal
ini terjadi, maka sambil mengeluarkan lengking panjang, tiba-tiba tubuh Suma
Han mencelat ke belakang, membiarkan empat orang itu mengejarnya dan dengan
gerakan cepat ia menancapkan tongkat di tanah kemudian kedua lengannya ia
lonjorkan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan lalu
membuat gerakan mendorong.
“Aihhh....!”
Empat orang yang sedang menerjang maju itu terhenti gerakannya dan terpental
mundur sampai dua langkah. Tubuh mereka menggigil karena ada hawa dingin
menyambar mereka. Cepat mereka pun berdiri melonjorkan kedua lengan sambil mengerahkan
sin-kang. Dengan mempersatukan tenaga, mereka mampu mengusir hawa dingin yang
menyerang, bahkan berusaha membalas dengan pukulan sin‑kang jarak jauh. Akan
tetapi, tiba‑tiba mereka terkejut sekali karena dorongan hawa dingin yang
menekan dan yang berhasil mereka lawan itu tiba‑tiba berubah menjadi hawa yang
amat panas seperti ada api menerjang mereka. Cepat mereka menyesuaikan diri
dengan pengerahan sin‑kang mencipta tenaga dingin. Namun kembali serangan hawa
sin-kang dari majikan Pulau Es itu berubah dingin, dan sebelum mereka berempat
menyesuaikan diri kembali berubah dan terus berubah‑ubah sehingga keempat orang
itu akhirnya menjadi kacau pengerahan sin‑kangnya, mempengaruhi jalan darah dan
mereka terhuyung‑huyung lalu roboh pingsan! Suma Han menghentikan pengerahan
sin‑kangnya dan tiba‑tiba dari dalam istana itu menyambar sesosok tubuh manusia
berpakaian hitam dengan kecepatan yang luar biasa.
Menduga
bahwa orang yang gerakannya secepat kilat ini tentu Ketua Pulau Neraka, maka
melihat tubuh itu meluncur dan mengirim pukulan ke arah dadanya, Suma Han
tidak berani memandang rendah dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis.
“Dukkk!”
Ia terkejut karena orang itu pun mempergunakan Im‑kang yang amat kuat sehingga
terasa olehnya hawa dingin menyerangnya. Pertemuan dua lengan yang sama‑sama
mempergunakan Im‑kang itu hebat sekali, membuat Suma Han terpental selangkah ke
belakang akan tetapi lawannya juga terpental tiga langkah! Sebelum Suma Han
dapat melihat jelas, orang itu telah menubruk lagi dengan pukulan kedua tangan
terbuka. Dia cepat mengangkat kedua tangannya menerima telapak tangan lawan.
“Plakkk!”
Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat, dua muka berhadapan dan dua
pasang mata bertemu pandang.
Kalau
ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Suma Han akan
sekaget ketika ia melihat wajah yang putih itu. Ia menarik kembali kedua
tangannya, meloncat mundur dengan kaki tunggalnya, wajahnya pucat, matanya
terbelalak dan bibirnya bergerak memanggil.
“Lulu....!”
Kaki tunggalnya menggigil sehingga ia jatuh berlutut memegang tongkatnya.
“Han‑koko....!”
Wanita bermuka putih yang bukan lain adalah Lulu itu menubruk maju dan
berlutut pula.
“Lulu....
Moi‑moi....!” Suma Han memandang wajah cantik yang kini menjadi putih warnanya,
memandang sepasang mata bintang yang bercucuran air mata. “Lulu Adikku....”
“Aku
bukan adikmu Han-koko!”
“Ohhh....”
Suma Han mengeluh, mereka saling pandang kemudian saling memeluk, berdekapan
seolah‑olah hendak menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini menyesak dada.
Akan tetapi Suma Han segera dapat menguasai hatinya dan melepaskan pelukan,
memegang kedua pundak Lulu dan memandang wajah itu.
“Lulu‑moi‑moi....
jadi engkaukah To-cu Pulau Neraka? Ahhh.... Moi‑moi, mengapa begini....?”
“Karena
engkau, Koko! Karena engkau kejam, engkau tega kepadaku!”
“Lulu,
jangan berkata demikian. Engkau satu‑satunya orang yang kusayang di dunia ini,
sejak dahulu sampai sekarang. Mengapa engkau melarikan diri meninggalkan
suamimu? Tahukah engkau bahwa dia menjadi sengsara dan membunuh diri dengan
berjuang sampai mati? Ahhh, Lulu....!”
“Aku
tahu! Dan semua itu terjadi karena engkau, Koko. Engkau kejam dan tega
kepadaku, meninggalkan aku! Kita sama dibesarkan di Pulau Es, akan tetapi
engkau tinggal di sana melupakan aku, padahal seharusnya kita berdua yang
tinggal di sana. Engkau memaksa aku menikah dengan orang yang tidak kucinta,
engkau meninggalkan aku dengan hati remuk, juga membuat hatiku hancur,
kebahagiaanku musnah. Butakah engkau, atau pura‑pura tidak tahu bahwa semenjak
dahulu, hanya engkau satusatunya pria yang kucita?”
“Ahh....
Lulu....!”
“Dan
perasaanku meyakinkan bahwa engkau pun cinta kepadaku.... Tidak! Jangan katakan
bahwa cintamu adalah cinta saudara! Engkau menipu hati sendiri dan sebaliknya
daripada menyambung cinta kasih antara kita menjadi perjodohan engkau malah
memaksa aku berjodoh dengan orang lain, sedangkan engkau sendiri rela pergi
dengan hati hancur! Engkau menghancurkan kebahagiaan hati kita berdua! Pura‑pura
tidak tahukah engkau bahwa semenjak dahulu, sampai sekarang, ya, sampai saat
ini, aku hanya akan bahagia kalau menjadi isterimu! Koko Han Han, jawablah,
engkau tentu ingin menerima aku sebagai isterimu, bukan?”
Suma
Han, Pendekar Super Sakti yang telah memiliki kekuatan batin luar biasa itu,
kini hampir pingsan. Cinta merupakan kekuatan yang maha hebat, yang
mengalahkan segala kekuatan di dunia ini. Jantungnya seperti diremas‑remas,
seluruh tubuhnya menggigil dan kedua matanya basah.
“Lulu....
aku.... aku telah dijodohkan oleh Subo dengan Nirahai.... dan dia.... diapun
meninggalkan aku....”
Lulu
meloncat berdiri dan melangkah mundur, sejenak dadanya berombak menahan
kemarahan yang timbul karena cemburu. “Hemmm.... dan engkau lebih mencinta Suci
Nirahai daripada aku?”
Suma
Han juga bangkit berdiri dengan kaki lemas. Dia memandang wajah Lulu kemudian
menghela napas dan menunduk, “Lulu.... aku.... aku...., ahh, bagaimana aku
harus menjawab? Semenjak dahulu aku cinta padamu, cinta lahir baiin, dengan
seluruh jiwa ragaku. Akan tetapi engkau adikku, maka aku mengalah. Kemudian,
Subo menjodohkan aku dengan Nirahai, dan dia.... dia mirip denganmu. Karena
sudah menjadi isteriku, bagaimana aku tidak mencinta dia? Akan tetapi
engkau.... ahhhh, aku mencinta kalian berdua, Lulu.... sungguhpun cintaku terhadapmu
tiada bandingnya di dunia ini.... akan tetapi engkau.... ah, engkau adalah
isteri Sin Kiat dan....”
“Han‑koko!
Engkau masih lemah seperti dulu! Ahhhh, pria mulia yang bodoh! Pria
gagah perkasa yang lemah! Selalu mengalah, membiarkan diri sendiri merana,
berniat membahagiakan orang dengan pengorbanan diri akan tetapi malah
menimbulkan kesengsaraan kepada semua orang! Aku mencintamu, Koko, akan tetapi
aku adalah seorang wanita! Aku tidak sudi lagi bertekuk lutut dan meminta‑minta!
Tidak, lebih baik mati! Aku sudah bersumpah untuk memilih dua kenyataan dalam
hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu! Tidak ada pilihan lain!”
“Lulu....
Lulu....!” Suma Han mengeluh, hatinya bingung bukan main.
“Ibu....!”
“Paman....!”
Keng
In dan Kwi Hong berlari‑lari keluar dari istana hitam. Keng In menghampiri
ibunya dan Kwi Hong menghampiri pamannya. Kehadiran kedua orang anak ini
mengembalikan kesadaran dan ketenangan Suma Han dan Lulu. Suma Han memandang
keponakan atau muridnya itu, menegur,
“Bagus
sekali perbuatanmu, ya!”
Kwi
Hong berlutut di depan pamannya dan berkata penuh rasa takut, “Paman.... aku
tadinya sudah akan pulang, akan tetapi ditangkap Bibi ini. Harap Paman maafkan
aku dan memberi hajaran kepadanya!”
“Ibu,
apakah dia ini To‑cu Pulau Es, Pendekar Siluman? Mengapa Ibu tidak
menghajarnya?” Keng In bertanya kepada ibunya.
Lulu
tidak menjawab, hanya meraba kepala anaknya dan pandang matanya tidak pernah
lepas dari wajah Suma Han. Suma Han menghela napas dan berkata kepada Kwi Hong.
“Berdirilah, mari kita pulang.” Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi
memanggil burung garuda. Tak lama kemudian, tampaklah dua ekor burung itu
terbang dengan cepat ke tempat itu lalu meluncur turun di depan Suma Han.
“Lulu,
aku pergi....”
Lulu
tidak menjawab, hanya mengangguk, sinar matanya membuat Suma Han tidak kuat
memandang lebih lama lagi. Ia menghela napas lagi, meloncat ke punggung garuda
jantan sedangkan Kwi Hong meloncat ke punggung garuda betina, kemudian dua ekor
burung itu terbang cepat meninggalkan pulau, diikuti pandang mata Lulu dan
Keng In.
“Ibu,
mengapa membiarkan mereka pergi?”
Lulu
menunduk, tidak menjawab, hatinya tertusuk oleh pertanyaan itu. Mengapa dia
membiarkan Suma Han pergi? Membiarkan harapan dan kebahagiaannya terbawa
pergi bersama orang yang dicintanya itu?
“Toanio,
mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?” Tiba‑tiba seorang di antara empat
kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu kini telah siuman dari
pingsannya dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong naik dua ekor burung garuda
yang terbang pergi dari tempat itu.
Lulu
memandang mereka. “Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita mengalahkan
dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri? Alangkah rendah dan memalukan.
Lain kali masih banyak waktu untuk kuhancurkan dia. Dia itu musuhku!
Musuhku....!” Akan tetapi Lulu cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan
Keng In dan berjalan memasuki istananya. Setelah ia berada seorang diri
kamarnya, Ketua Pulau Neraka ini melempar diri di atas pembaringan, menelungkup
dan menyembunyikan mukanya yang menangis itu di atas bantal.
“Koko....
ahhhh, Han‑koko.... engkau masih lemah seperti dulu....! Kalau engkau tidak
mau berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di tanganmu.... kau tunggu
saja....!”
Mengapa
Lulu tiba‑tiba menjadi majikan Pulau Neraka? Agar tidak membingungkan,
sebaiknya kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari pergi meninggalkan
suaminya, Wan Sin Kiat atau yang terkenal dengan julukan Hoa-san Gi‑hiap
(Pendekar Budiman dari Hoasan).
Semenjak
Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa‑san Gi‑hiap Wan Sin Kiat, kemudian
ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian Suma Han dengan ratap
tangis dan merasa betapa semangatnya dan seluruh kebahagiaan hatinya terbawa
pergi oleh kakak angkatnya itu (baca ceritaPendekar
Super Sakti). Semenjak itu, dia hidup menderita kesengsaraan batin dan
barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak angkatnya itu pria yang
dicintanya dan betapa dia telah melakukan kesalahan yang besar dalam hidupnya
dengan menerima dijodohkan dengan Wan Sin Kiat. Dia suka kepada Sin Kiat dan
kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi suaminya ini, akan tetapi dia tidak
dapat mencintanya sebagai seorang isteri mencinta suami karena kini dia merasa
yakin bahwa dia hanya dapat mencinta Suma Han seorang yang tak mungkin diganti
dengan pria lain. Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan dengan Sin Kiat,
sudah bersumpah di depan meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya mempergunakan
kebijaksanaan dan berusaha untuk mencinta suaminya, melayaninya sebagaimana
kewajiban seorang isteri yang baik. Namun, sampai dia melahirkan seorang anak,
tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat, tidak dapat melupakan Suma Han,
bahkan makin berat penderitaan batinnya yang menjerit‑jerit ingin dekat dengan
pria yang dicintanya itu. Suaminya juga maklum dan merasa akan keadaan
isterinya itu, dan akhirnya, karena tidak kuat lagi, Lulu membawa anaknya
pergi meninggalkan suaminya.
Dengan
niat hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke Pulau Es, dia
melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan tetapi Lulu sekarang
tidak seperti dahulu ketika masih kanak‑kanak bersama Han Han (Suma Han)
melakukan perjalanan, kini setelah menjadi murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat
dan dia dapat melakukan perjalanan cepat.
Betapapun
juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau Es. Maka Lulu yang
tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan perjalanannya dengan
mengira‑ira saja, sambil mengingat‑ingat perjalanannya dahulu ketika
meninggalkan Pulau Es bersama Suma Han. Banyak daerah yang sudah ia lupakan,
maka di luar tahunya, dia tersesat sampai memasuki daerah Khitan! Pada suatu
pagi, dia melihat sebuah tanah kuburan yang luas, tanah kuburan yang megah
dan terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan itu adalah tanah kuburan
keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika melihat seorang kakek bongkok yang
lihai bertanding melawan seorang tinggi besar kurus berkulit hitam memakai
sorban. Ia teringat akan penuturan sucinya, Puteri Nirahai, tentang penjaga
kuburan keluarga Suling Emas yang lihai dan bongkok benama Gu Toan. Kini
melihat kakek bongkok itu dan keadaan tanah kuburan, ia segera menduga bahwa
tentu inilah kuburan keluarga Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa
berpihak kepada kakek bongkok. Setelah menggendong Keng In erat‑erat di
punggungnya, Lulu mencabut pedangnya dan meloncat ke gelanggang pertempuran
sambil berseru,
“Apakah
Locianpwe yang bernama Gu Toan?”
Kakek
bongkok itu sedang didesak hebat oleh orang India tinggi kurus yang amat
lihai, namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh. “Bagaimana engkau bisa
tahu?”
“Suci
Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoinya, murid Subo Maya.”
“Ahhh....
kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka‑pusaka dan pergi dari
sini. Bawa pusaka‑pusaka itu.”
Lulu
tertegun dan bingung. “Pusaka apa....?”
“Dessss!”
Tubuh Gu Toan terguling-guling karena dia terkena pukulan di pundaknya oleh
tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat bangun lagi dan mulutnya
menyemburkan darah segar.
Melihat
ini, Lulu menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi orang India itu mendorongkan
tangan kiri ke depan dan Lulu terhuyung‑huyung!
“Jangan
bantu aku! Lekas kaubuka batu di belakang kuburan Suling Emas, ambil semua
pusaka dan bawa pergi. Cepat....!” Kakek Gu Toan kembali berkata dan menerjang
orang India itu dengan nekat. Kakek itu mempergunakan bahasa selatan yang
dimengerti oleh Lulu, akan tetapi agaknya tidak dimengerti oleh kakek India
itu yang menjadi marah dan mengamuk dengan kaki tangannya yang panjang‑panjang.
Maklum
bahwa menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting daripada nyawa kakek bongkok
itu, apalagi teringat bahwa pusaka‑pusaka peninggalan Suling Emas adalah pusaka
yang diperebutkan semua orang kang‑ouw, Lulu cepat meloncat dan meneliti batu
nisan kuburan satu demi satu. Akan tetapi tidak sukar dan tidak lama dia
mencari karena batu nisan kuburan Suling Emas adalah yang terbesar dan berada
di tengah‑tengah. Cepat dia menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah
kuburan dan dengan tenaga sin-kang dia mendorong batu besar yang berada di
situ. Batu tergeser dan di bawahnya terdapat sebuah lubang. Cepat diraihnya
sebuah peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya. Ketika ia meloncat
bangun, ia melihat Si Bongkok kembali terhuyung‑huyung terkena pukulan
lawannya yang lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok berseru.
“Lekas
pergi! Lekas lari.... pusaka itu menjadi milikmu....!”
Mendengar
ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan keselamatan anak di
gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Beberapa hari kemudian ketika ia membuka peti kuning, ia mendapatkan kitab‑kitab
pelajaran ilmu silat tinggi, yaitu ilmu‑ilmu yang dipelajari Suling Emas dari
Bu Kek Siansu dan telah ditulis sebagai kitab oleh Suling Emas. Ilmu silat Kim‑kong‑sin‑hoat,
Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-kiam-hoat dan Lo-hai-san-hoat. Selain empat buah kitab
ilmu silat tinggi ini, terdapat pula sebuah kipas, kipas pusaka milik mendiang
Suling Emas! Lulu teringat bahwa pusaka Suling Emas dahulu dipinjam oleh
Nirahai. Dia menjadi girang sekali dan sambil melanjutkan perjalanannya mencari
Pulau Es yang ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu itu.
Karena dia telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pada dasarnya
dia memiliki sin-kang luar biasa dari latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu‑ilmu
itu cepat dapat dikuasainya.
Akhirnya,
setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan menempuh segala macam kesukaran,
tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat dia dan Suma Han mendarat
dahulu ketika mereka meninggalkan Pulau Es (Baca ceritaPendekar Super Sakti). Tempat itu sunyi sekali, tidak ada
manusia dan tentu saja tidak tampak nelayan, maka dengan tekun dan sabar Lulu
membuat sebuah perahu dari batang pohon. Biarpun dia memiliki tenaga yang
hebat, namun sebagai seorang wanita yang tidak pernah melakukan pekerjaan
berat, tentu saja pembuatan perahu ini memakan waktu berbulan-bulan. Dengan
nekat ia lalu meluncurkan perahunya ke tengah lautan dan hanya mengandalkan
dayung dan kedua tangannya untuk mendayung perahu, pergi mencari Pulau Es, atau
lebih tepat lagi, pergi mencari Suma Han, laki-laki yang dicintanya.
Tekadnya, kalau tidak dapat mencari Suma Han dan hidup di samping pria ini,
lebih baik mati saja!
Dalam
pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah ketidakmampuan
mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan hebat bagi Lulu dan
anaknya, jauh lebih hebat daripada ketika dia melakukan perjalanan darat.
Beberapa kali badai dan taufan mengancam nyawa, mengombang-ambingkan perahu
hampir tenggelam. Dalam keadaan seperti itu, Lulu hanya dapat menangis,
mendekap puteranya dan menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta
pertolongan dari orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan
belum menghendaki dia mati, biarpun badai seperti itu, Lulu dan puteranya tetap
selamat!
Karena
serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana arah
tujuannya, dan tidak tahu di mana adanya Pulau Es! Jangankan itu, bahkan dia
tidak tahu lagi di mana letaknya daratan yang sudah tidak tampak lagi dari
tengah lautan. Dia tidak takut kelaparan karena dengan kepandaiannya, mudah
saja baginya untuk menangkap ikan dan memanggang dagingnya, minuman pun tidak
kurang karena kini selain air hujan, ia dapat pula minum dari gumpalan es yang
kadang-kadang terdapat di atas permukaan air laut. Hanya menghadapi amukan
badai, dia benar-benar tidak berdaya dan hanya mampu menangis, menyebut-nyebut
nama Suma Han.
Pada
suatu pagi, tiba-tiba dia mendengar suara melengking di atas perahu dan betapa
kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar sekali beterbangan
di atas perahu sambil mengeluarkan suara melengking-lengking panjang.
Tiba-tiba burung itu menyambar ke bawah, agaknya hendak menerkam Keng In yang
berada di atas papan perahu.
“Prakkk!”
Dayung di tangan Lulu hancur, akan tetapi burung itu pun terpental dan
terbang ke atas sambil memekik marah.
“Keparat
jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun kalau kau
berani!” Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil memaki-maki. Dia
menyambar Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka anak dan peti
itu dia ikat kuat-kuat di punggungnya, tangannya mencabut pedang, siap
menghadapi burung rajawali yang agaknya masih penasaran dan beterbangan
mengelilingi atas perahu kecil.
Burung
rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah menyakitinya.
Lulu mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu. Akan tetapi, sungguh
tidak disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat dan juga pandai sekali
bertempur, karena kuku-kuku jari kakinya diulur seperti pisau-pisau runcing
menangkis sambil mencengkeram.
“Crakkkk....
aihhh!” Lulu menjerit dan meloncat ke belakang. Kuku jari kaki kiri burung itu
patah terbabat pedang, akan tetapi cengkeraman kaki kanannya berhasil merampas
pedang dan melukai sedikit lengan tangan Lulu! Sambil terbang berputaran, burung
itu memekik-mekik kesakitan dan juga saking marahnya pedang rampasan
dilepaskan dan jatuh ke dalam laut, kemudian ia siap untuk menyerang lagi.
Biarpun
marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia berlaku cerdik.
Dilolosnya sabuk sutera dari pinggang dan begitu burung itu menyambar turun,
Lulu menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas merupakan sinar putih, ujung
sabuk dengan tepat melibat leher burung dan ia meloncat ke atas mengayun
dirinya dengan sabuk itu. Di lain saat, Lulu telah duduk di atas punggung
rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat sehingga leher burung itu tercekik!
“Menyerahlah!
Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu sampai patah!” Lulu
membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu leher, sedangkan tangan
kanannya menarik ujung sabuk yang telah melibat leher burung. Burung itu
meronta-ronta, berusaha memutar kepala untuk mematuk orang yang menduduki
punggungnya, namun Lulu lebih cepat lagi menghantam kepala burung itu dengan
telapak tangan kiri. Setelah burung itu megap-megap hampir kehabisan napas,
Lulu mengendurkan cekikannya dan kembali membentak.
“Hayo
terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!”
Setelah
beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu agaknya merasa bahwa
dia telah bertemu mahluk yang lebih kuat, maka sambil mengeluh panjang ia
tidak meronta lagi, melainkan terbang dengan lurus dan cepat menuju ke utara.
Lulu girang bukan main. Kalau burung ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah
mencari Pulau Es dengan menunggang burung raksasa ini daripada naik perahu
kecil yang selalu dilanda ombak!
“Eh,
Tiauw-ko (Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang bersahabat. Tolonglah
terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es, kau tahu?”
Akan
tetapi burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara? Kalau dia mengalami
kesukaran dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi adalah sarangnya,
maka biarpun kini dia tidak berani lagi membantah atau melawan penunggangnya,
otomatis dia terbang secepatnya menuju ke sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!
Pada
waktu itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak dikenal orang.
Para penghuninya, biarpun memiliki ilmu kepandaian yang lihai namun merupakan
keturunan orang‑orang buangan yang selamanya mengasingkan diri di tempat ini.
Pemimpin mereka adalah orang‑orang yang memiliki kepandaian paling tinggi, dan
pada waktu itu, yang menjadi pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang
ilmunya tinggi sekali. Seorang di antara mereka yang paling tua menjadi
pemimpin pertama sedangkan lima orang lain menjadi pembantu‑pembantunya.
Karena hidup terasing, keadaan mereka lebih menyerupai kehidupan orang‑orang
yang masih biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya terbuat daripada kulit‑kulit
binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata‑rata memiliki ilmu silat tinggi,
bahkan banyak di antara mereka yang turun‑temurun mempelajari huruf‑huruf
sehingga pada waktu itu mereka mengenal huruf‑huruf yang kuno yang dipergunakan
ratusan tahun yang lalu dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.
Ketika
Lulu melihat burung yang ditungganginya itu terbang di atas sebuah pulau hitam
yang kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata, “Tiauw‑ko, itu bukan Pulau
Es! Pulau Es kelihatan putih bersih, tidak seperti ini. Kau keliru memilih
tempat!”
Akan
tetapi rajawali yang tidak mengerti kata‑kata ini, tetap saja terbang merendah
dan tiba‑tiba Lulu melihat gerakan orang‑orang di atas pulau, juga dia melihat
bangunan‑bangunan aneh. Melihat di bawah ada orang, dia girang sekali. Mungkin
sekali penghuni pulau di bawah ini akan dapat memberi keterangan tentang Pulau
Es, dan siapa tahu kalau‑kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka
mengantar dengan perahu. Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya
ini pun amat berbahaya!
“Turunlah!
Turun ke tempat orang-orang itu!” Lulu menepuk‑nepuk leher rajawali dan burung
itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu cepat merangkul lehernya.
Anaknya mulai menangis.
“Diamlah,
Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang....” Lulu menghibur dan
menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di punggung.
Akan
tetapi betapa kaget dan herannya ketika burung rajawali sudah terbang rendah,
ia melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di bawah itu bermacam-macam
warnanya, tidak lumrah manusia karena ada yang hitam, merah, hijau, biru dan
kuning! Akan tetapi karena burung itu sudah hinggap di atas tanah, ia lalu
melompat turun dengan gerakan ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung
rajawali yang merasa punggungnya tidak ditunggangi lagi, memekik girang lalu
terbang ke atas membubung tinggi, masih memekik-mekik.
Orang-orang
yang aneh itu menghadapi Lulu dan memandang penuh perhatian. Enam orang kakek
yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di antara mereka yang usianya
sudah tujuh puluh tahun lebih berkata, suaranya kaku dan aneh, akan tetapi
Lulu masih dapat menangkap artinya.
“Toanio
siapakah? Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?”
Kini
Lulu yang terbelalak keheranan. “Orang buangan dari Pulau Es? Apa maksudmu?
Aku justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau itu?”
“Kami
tidak tahu dan mau apa engkau mencari Pulau Es?”
“Aku
mau mencari sahabatku di sana!”
“Sahabatnya
di Pulau Es!” Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini
memandang Lulu dengan geram. Hal ini mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya
mereka ini adalah orang-orang yang membenci Pulau Es, entah apa sebabnya.
Melihat mereka sudah siap-siap dengan mencabut bermacam senjata, Lulu cepat
bertanya,
“Kalian
siapakah? Dan pulau apakah ini?”
Kakek
itu menjawab, “Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari Pulau Es. Pulau
ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es, dan sekali waktu,
pasti kami akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh kami di Pulau Es!”
Hati
Lulu makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik. Han Han (Suma
Han) telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biarpun dia merasa yakin bahwa
kakak angkatnya itu pun mencintainya, namun telah tega mengawinkan dia dengan
orang lain! Sekarang setelah ia melarikan diri dari suaminya, mengingat akan
watak kakak angkatnya itu, tentu dia akan dimarahi dan belum tentu kakak
angkat itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang
ini! Dia kelak akan dapat memperlihatkan bahwa dia pun bukan orang sembarangan,
dan dia akan menginsafkan kakak angkatnya itu! Apalagi karena sekarang dia
telah menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas.
“Bagus!”
tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. “Kalau begitu, biarlah aku akan
memimpin kalian untuk menyerbu Pulau Es!”
Terdengar
suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata, “Engkau katakan tadi bahwa
engkau hendak mencari sahabatmu di Pulau Es?”
“Benar,
akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat kalian? Aku akan
memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar kalian menjadi orang pandai
dan beradab, tidak seperti sekarang ini!”
“Perempuan
muda, bicaramu tekebur sekali! Engkau anggap kami ini orang apa mudah saja
mengangkat seorang pemimpin seperti engkau? Biarpun engkau datang secara aneh
menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang kepandaian, hemm.... agaknya
melawan orang tingkat terendah dari kami saja belum tentu engkau menang!”
Semenjak
gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati. Kini mendengar
kata-kata itu, naik darahnya. “Siapa yang paling tinggi tingkatnya di sini?”
Kakek
bermuka kuning itu tertawa.
“Aku!”
“Baik.
Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apakah aku
cukup berharga menjadi ketua di sini?”
Kembali
terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu. Kakek itu
mengelus jenggotnya dan berkata, “Perempuan muda, engkau sungguh lancang. Akan
tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini dia diangkat menjadi
pemimpin. Aku orang pertama di sini, kalau engkau bisa mengalahkan aku, tentu
saja engkau patut menjadi pemimpin.”
“Bagus!
Kalau begitu, kautunggu sebentar!” Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya. Keng
In, anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis karena lapar, maka
dia lalu menyusui anaknya, ditonton oleh semua orang yang berada di situ
dengan heran. Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang disusui karena Sang Ibu
yang sudah berubah warna kulitnya berarti telah mempunyai darah yang beracun
sehingga anak-anak diberi makanan buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan
makanan lain.
Setelah
menyusui anaknya yang lantas tertidur saking lelahnya, Lulu meloncat bangun
dan menggulung lengan bajunya, menghadapi kakek itu. Dia teringat pedangnya
yang sudah jatuh ke laut, maka dia bertanya,
“Engkau
hendak bertanding dengan senjata apa?”
“Perempuan
muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau tidak bersenjata,
biarlah kuhadapi engkau dengan tangan kosong pula. Bahkan kalau engkau
bersenjata pun, aku sanggup menghadapimu dengan tangan kosong!” Setelah
berkata demikian, kakek muka kuning itu lalu menancapkan rantingnya di atas
tanah, kemudian kakinya yang telanjang itu melangkah maju menghampiri Lulu.
“Bagus,
kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan seranglah!” Biarpun
Lulu mempergunakan kata-kata dan sikap sombong, namun sebenarnya dia cerdik
dan diam-diam dia waspada karena dia dapat menduga bahwa orang-orang aneh ini
tentu memiliki kepandaian yang aneh pula.
“Perempuan
muda, jaga seranganku!” Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya
menyambar.
“Wuuuuttt!”
Angin keras menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena tepat
seperti telah diduganya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang hebat. Namun
dia tidak gentar dan dengan mudah ia mengelak dengan loncatan ringan kemudian
dari samping kakinya menendang ke arah lambung lawan.“Plakk!” Kakek itu
menangkis dan dia berseru kaget. Sama sekali tidak disangkanya bahwa perempuan
muda itu memiliki tendangan yang demikian hebat sehingga tangkisannya yang
dapat mematahkan balok itu ketika mengenai kaki, terasa nyeri sedangkan wanita
itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia bahwa wanita itu tidak bersombong kosong,
maka mulai dia menerjang bagaikan angin ribut, cepat dan kuat setiap
pukulannya. Lulu merasa girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki
untuk mengukur tenaga dan biarpun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu bahwa
sin-kangnya yang dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi tenaga kakek
ini. Maka dia pun kini melawan dengan pengerahan tenaga, bahkan dia mulai
mainkan ilmu-ilmu silat baru yang ia pelajari dari kitab peninggalan Suling
Emas. Berkali-kali kakek itu berseru kaget dan heran ketika mengenal ilmu silat
yang dasarnya sama dengan ilmunya sendiri, hanya dia tidak mengenal
perubahan-perubahannya yang jauh lebih hebat daripada kepandaiannya. Ketika
Lulu mencoba untuk mainkan Kim-kong Sin-kun, dia masih mampu menahan, akan
tetapi ketika Lulu merobah ilmunya dan mencoba mainkan Hong-in-bun-hoat,
kakek itu berseru kaget dan terdesak hebat.
Dia
hanya melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang
menulis huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya serangan kedua tangan itu
luar biasa sekali, dan kuatnya bukan main sehingga angin pukulannya saja
membuat dia tergetar. Memang demikianlah sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera
Angin dan Awan), yang dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan
pedang. Ilmu ini mendasarkan pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti
menjadi sifat huruf-huruf itu, coretannya sesuai dengan makna hurufnya seperti
lukisan, akan tetapi kalau coretan-coretan itu dilakukan sebagai gerakan
menyerang, hebatnya bukan main!
Setelah
mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah “coretan” tak tersangka-sangka
dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki pertahanan Si Kakek dan
jari-jari yang lembut itu mengenai pangkal lengan.
“Cusss!”
“Aduhhh....!”
Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang dan dari pangkal lengannya keluar
darah. Baju kulit harimau beserta kulit dan daging pangkal lengan itu terkuak
oleh jari tangan Lulu!
“Toanio,
tidak kusangka ilmu kepandaianmu hebat bukan main! Akan tetapi aku belum
kalah! Hadapi rantingku ini!” Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit
sekali kakek yang sudah terluka itu menyambar rantingnya lalu menerjang maju.
“Cuittt....
tar-tar-tar....!” Senjata yang hanya merupakan ranting kayu itu ternyata lemas
sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak dan mengancam kepala Lulu
dari empat penjuru!
Kalau
saja Lulu tahu bahwa sekali terkena ujung ranting itu dia akan menderita luka
berbisa yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan mendatangkan bahaya.
Untung dia tidak tahu sehingga dia dapat bersikap tenang, mengelak ke sana sini
sambil berusaha merampas ranting!
Akan
tetapi tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung
dipergunakan untuk menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke kiri, dan
ranting itu sudah meledak lagi berubah lemas menyambarnya seperti lecutan
cambuk. Diserang secara aneh oleh senjata yang dapat lemas dan berubah kaku
ini, Lulu menjadi sibuk sekali. Untung bahwa dia pernah digembleng oleh Maya
dalam hal ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sehingga kini tubuhnya
berkelebatan di antara gulungan sinar senjata istimewa lawan itu.
Para
penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu, kini menjadi
bengong dan terbelalak kagum. Biarpun wanita itu terdesak, namun jelas tampak
oleh mereka betapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan
lebih tinggi tingkatnya daripada kakek yang menjadi ketua mereka!
Payah
juga Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi penasaran dan
marah karena sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Tubuhnya terus dikejar ujung ranting yang menghalangi dia melakukan serangan.
Sayang dia tidak mempunyai senjata. Tiba-tiba ia teringat. Di dalam peti kuning
terdapat sebuah senjata kipas peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah
mempelajari ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah
di antara kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan kipas itu, Teringat akan
ini, dia berseru. “Tahan senjata!”
Kakek
itu berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya,
namun belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan! Karena dia menyerang
terus menerus dan belum pernah ia melakukan pertandingan selama itu, napasnya
memburu dan hampir putus, mukanya sebentar merah sebentar pucat, membuat muka
yang berwarna kuning itu sebentar tua sebentar muda warnanya.
“Apakah
engkau menyerah kalah?” kakek itu menegur.
Lulu
meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu berdiri lagi
menghadapi lawannya. “Belum ada setitik darahku keluar, bagaimana aku menyerah
kalah? Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah dan menjadi pembantuku, karena
kalau aku menggunakan senjataku ini, engkau pasti akan kalah.”
“Senjata....
kipas....?” Kakek itu mengerti kipas dari dongeng nenek moyang dan sebagian
besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat kipas selamanya, juga
mendengar pun belum, maka mereka memandang terheran-heran.
“Benar,
inilah senjataku saat ini!”
“Toanio,
engkau lihai, akan tetapi jangan main-main. Menurut dongeng nenek moyang, kipas
hanyalah dipergunakan oleh para siucai (mahasiswa) dan wanita cantik untuk
menyilirkan badan dan menuliskan sajak serta gambar. Bagaimana kini akan
kaupergunakan sebagai senjata?”
“Lopek,
engkau lupa bahwa engkau sendiri mempergunakan senjata yang tidak semestinya,
hanya sebatang ranting. Karena itu tentu engkau mengerti bahwa makin sederhana
senjatanya, makin berbahaya. Awaslah terhadap kipas pusakaku ini. Ingat, Kwan
Im Pouwsat dengan kipasnya sanggup menundukkan seribu satu macam siluman!”
Kakek
itu melotot marah dan sambil mengeluarkan suara melengking-lengking dia
menerjang maju. Jantung Lulu tergetar hebat oleh suara lengkingan itu, maka
tahulah dia bahwa kakek itu mempergunakan khi-kang untuk mempengaruhinya.
Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja yang mampu mengeluarkan suara
seperti itu, suara yang dimiliki binatang-binatang besar tanpa latihan, seperti
yang dimiliki singa atau harimau sehingga sekali menggereng, jantung calon
korbannya tergetar dan kakinya lemas tak mampu lari lagi. Lulu juga
mengeluarkan suara teriakan melengking yang tinggi mengatasi suara kakek itu
dan dia cepat menggerakkan kipasnya ketika ranting itu menerjangnya. Dan
ternyatalah bahwa senjata kipas ini amat tepat untuk menghadapi senjata ranting
yang kadang-kadang menjadi pecut kadang-kadang menjadi tombak baja itu! Dengan
ilmu sakti Lo-hai-san-hoat, kipasnya dapat dikembangkan dan dikebutkan menghalau
ujung ranting, kemudian disusul dengan totokan-totokan mengunakan ujung gagang
kipas.
Kakek
yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi makin repot. Kini dialah yang
terdesak karena rantingnya kalau dibuat lemas, selalu terdorong angin kebutan
kipas sehingga gerakannya kacau bahkan tak dapat ia kuasai lagi, sedangkan
kalau dibikin kaku, tangkisan gagang kipas membuat kedua telapak tangannya
panas dan perih.
Dengan
gerengan marah kakek itu menusukkan rantingnya yang menjadi kaku. Lulu sudah
mendengar anaknya menangis lagi, agaknya sadar dari tidurnya, maka dia ingin
mempercepat kemenangannya. Melihat ujung ranting datang, dia cepat
menggerakkan kipasnya dengan kedua gagang menggunting dengan jurus ilmu kipas
yang disebut Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memotong Gunung). Ujung ranting
itu terjepit dan tidak dapat dicabut kembali! Kakek itu terkejut, menggereng
dan hanya menggunakan tangan kiri memegang ranting sedangkan tangan kanannya
melayang ke depan dibarengi langkah kakinya, langsung mengirim pukulan ke
arah dada Lulu. Pukulan yang antep sekali karena kakek itu mengerahkan
sin-kangnya!
“Hemmm!”
Lulu mendengus, tangan kirinya didorongkan ke depan, telapak tangannya menerima
kepalan lawan sambil mengerahkan sin-kang yang dilatih di Pulau Es dan
yang ini telah mencapai tingkat tinggi.
“Desss!”
Kepalan tangan kakek itu menempel di telapak tangan Lulu. Lulu mengerahkan
napas memperkuat Im-kang. Tiba-tiba kakek itu menggigil tubuhnya, menarik tangannya,
terhuyung ke belakang dan “uaaakkk!” dia muntah darah dan roboh terguling
dalam keadaan pingsan!
Keadaan
menjadi sunyi sekali. Tak seorang pun bergerak, hanya memandang penuh takjub
seolah-olah belum dapat percaya bahwa pemimpin mereka dikalahkan wanita muda
itu! Yang terdengar hanya tangis Keng In. Lulu berdiri tegak. Kipas terkembang
di depan dada, tangan kiri terbuka jarinya di atas kepala, sikapnya gagah dan
menyeramkan.
“Masih
adakah yang tidak mau menerima aku menjadi Ketua Pulau Neraka?” Suaranya
dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang sehingga menggetarkan jantung semua
orang.
Para
penghuni Pulau Neraka itu tidak ada yang bergerak, semua memandang kepada lima
orang kakek bermuka kuning yang menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi lima
orang kakek ini juga tidak bergerak melainkan memandang kepada yang roboh
pingsan. Perlahan-lahan kakek tua itu siuman, membuka mata, bangkit duduk dan
memandang kepada Lulu, kemudian ia berlutut dan berkata,
“Mulai
saat ini, Toanio adalah pemimpin kami!”
Mendengar
ini, lima orang kakek muka kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diikuti semua
penghuni Pulau Neraka dan terdengarlah seruan-seruan mereka.
“Toanio....!”
“To-cu....!”
Lulu
tersenyum. “Baiklah, aku girang sekali bahwa kalian suka mengangkat aku menjadi
ketua. Aku berjanji akan memimpin kalian dan menurunkan ilmu sehingga tidak
saja kalian akan memperoleh kemajuan, juga akan menjadi penghuni Pulau Neraka
yang akan menggemparkan dunia! Sekarang, lebih dulu aku minta makanan untuk
aku dan anakku.”
Demikianlah,
mulai saat itu Lulu menjadi ketua mereka. Dia menjalankan peraturan baru,
menghapuskan pantangan keluar pulau, bahkan dia menyebarkan
pembantu-pembantunya yang pandai untuk keluar pulau dan mencari bahan pakaian
untuk mereka semua, mencari kebutuhan-kebutuhan hidup sebagaimana layaknya
manusia-manusia beradab.
Dia
menurunkan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu-ilmu dari keempat kitab dia
simpan sebagai kepandaian pribadinya. Bahkan dia melatih diri dan mempelajari
ilmu keturunan penghuni Pulau Neraka sehingga dia melatih sin-kang dengan minum
racun-racun tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang di pulau itu sehingga
setelah mencapai tingkat tertinggi, dalam beberapa tahun saja wajahnya
berwarna putih kapur! Juga dia mendidik Keng In dengan penuh kasih sayang
sehingga bocah ini menjadi manja. Burung-burung rajawali juga ia taklukkan
sehingga dapat dipergunakan untuk binatang tunggangannya.
Kemajuan
yang dicapai oleh Pulau Neraka amat hebat. Karena Lulu mengutus
pasukan-pasukannya keluar pulau, sebentar saja mereka terlibat dengan
orang-orang kang-ouw dan mulailah nama Pulau Neraka terkenal sebagai kekuatan
yang menakutkan.
Ketika
puteranya yang bertugas mengumpulkan akar dan daun obat untuk keperluan
penghuni menolak bahaya dari keracunan datang melapor akan munculnya
seorang anak perempuan murid Majikan Pulau Es, Lulu cepat berangkat sendiri dan
menangkap Kwi Hong. Sudah lama ia berkeinginan mengunjungi Pulau Es, akan
tetapi karena merasa belum cukup kuat, ia selalu menunda. Dari penyelidikan
orang-orangnya, ia mendengar bahwa Suma Han telah menjadi majikan Pulau Es dan
bahwa di sana terdapat banyak anak buahnya, banyak pula terdapat wanita-wanita
cantik yang gagah perkasa dan betapa Pulau Es seolah-olah merupakan sebuah
kerajaan kecil. Mendengar ini, makin sakit rasa hati Lulu karena dia
menganggap bahwa Han Han (Suma Han) kejam dan lupa kepadanya. Bukankah
sepantasnya kalau Suma Han mencari dan mengajak dia hidup bahagia di Pulau Es?
Dialah yang berhak tinggal di Pulau Es, di samping Suma Han!
Ketika
ia memancing Suma Han sehingga Pendekar Super Sakti itu datang berkunjung ke
Pulau Neraka, mengalahkan semua orangnya, dia melihat betapa Suma Han masih
selemah dahulu. Jelas bahwa pria itu mencintanya, akan tetapi pria itu tidak
memperlihatkan kejantanan, tidak memperlihatkan kekuasaannya untuk
menundukkannya, bahkan seperti juga dulu, rela pergi dengan hati menderita!
Herankah
kita apabila Lulu menangis terisak-isak semalam itu dan di dalam hatinya
berjanji untuk memusuhi Suma Han yang telah merampas hatinya, kemudian
mengecewakan hatinya dan menghancurkan harapan serta kebahagiaannya? Apalagi
ketika dia mendengar bahwa pria idaman hatinya itu telah dijodohkan dengan
Nirahai, sucinya. Dia akan memusuhi Suma Han, dan akan mencari Nirahai. Dia
tidak takut sekarang terhadap sucinya yang lihai itu, bahkan dia pun tidak
takut terhadap Suma Han yang belum sempat diujinya itu. Setelah dia mewarisi
ilmu-ilmu dari Suling Emas, dia tidak takut terhadap siapapun juga! Rasa
kemarahan yang bangkit karena cemburu ini akhirnya mengalahkan kesedihannya dan
membuat majikan Pulau Neraka yang digambarkan seperti iblis itu dapat tidur
pulas dengan bantal masih basah air mata!
***
“Siuuuutttt....
byurrrr!”
“Lihat,
Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?” Seorang gadis cilik yang
berpakaian serba merah, berusia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil
menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas
lautan.
“Hemmm,
manakah? Ahhh, kau benar. Benda apakah itu? Hiiii, Ciangkun, suruh dekatkan
perahu dan coba kau ambil benda itu!” kata laki-laki berusia tiga puluhan
tahun yang berpakaian mewah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di atas
sebuah perahu yang mewah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa
penumpangnya adalah seorang bangsawan.
Memang
demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah seorang
pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang
berpesiar di lautan utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang
menumpangi tiga buah perahu lain. Adapun gadis cilik berpakaian merah yang
berwajah cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang
bernama Milana.
Atas
perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti
para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang ditumpangi
pangeran itu didayung mendekati benda yang terapung di laut. Setelah agak
dekat, Milana berseru, “Sebuah keranjang! Dan ada orangnya di dalam!”
“Hemmm,
agaknya dia sudah mati....!” Pangeran Jenghan berseru melihat seorang anak
laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa
lagi.
Memang
itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika ke ranjangnya
dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang meluncur dengan
cepatnya, Bun Beng pingsan. Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga
menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada kebetulan kedua, yang
pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu kalau tidak kebetulan lagi dia
jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu keranjangnya sebentar lagi akan
tenggelam dan dia tidak akan tertolong.
Kepala
pengawal segera menggerakkan tangan kanannya dan tampaklah sehelai tali
meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat
sekali ujung tali itu membelit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari
pingsannya. Anak ini terkejut ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada
di tengah laut. Lebih lagi kagetnya ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya
itu terangkat ke atas seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya
dia telah disambar lagi oleh burung rajawali!
“Brukkkk!”
Keranjang yang diterbangkan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala
pengawal Mongol itu terbanting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar
keluar, bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun dengan kepala pening,
bangkit berdiri terhuyung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat
berlutut dan memegangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan
memejamkan matanya.
“Sungguh
ajaib! Eh, anak, engkau siapakah dan mengapa bisa jatuh dari langit dalam
sebuah keranjang?”
Suara
yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat Bun
Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan membuka mata memandang.
Dilihatnya seorang laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di
samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita
berpakaian merah. Ia memandang ke sekeliling. Kiranya dia berada di atas
sebuah perahu besar dan tak jauh dari situ kelihatan tiga buah perahu lain.
Mengertilah dia bahwa keranjangnya jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong
oleh orang-orang ini. Maka perlahan dia bangkit berdiri, kemudian membungkuk
dan menjawab.
“Namaku
Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas.
Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke
sini. Aku telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah menerima ucapan
terima kasihku.”
Sejenak
semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi sunyi. Cerita
anak ini terlalu aneh, apalagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap
sederhana dan halus akan tetapi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama
sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran Jenghan! Para pengawal sudah
mengerutkan alis hendak marah karena dianggapnya sikap anak ini kurang ajar
dan tidak menghormat kepada junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum
dan mengangkat kedua lengan ke atas.
“Ajaib....!
Ajaib....! Seolah‑olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk
bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa
terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa? Amat aneh ceritamu, sukar
dipercaya!”
Bun
Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar dipercaya. Orang ini
telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya,
semenjak terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara kawanan kera
kemudian bertemu dengan para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid
Pendekar Siluman yang bertanding sambil menunggang garuda melawan anak iblis
dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan lebih tidak dipercaya lagi. Dia
tidak suka bercerita banyak tentang dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan
kesulitan saja, maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.
“Saya
sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam
keranjang ini. Tiba‑tiba saya terkejut dan ternyata bahwa keranjang yang saya
tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena
ketakutan, saya meronta-ronta dan akhirnya keranjang itu dilepaskan dan saya
jatuh ke sini.”
Pangeran
Jenghan mengangguk‑angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh
selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pangeran ini
masih kurang percaya. Akan tetapi dia berkata, “Hemm, engkau tentu kaget dan
lelah, juga lapar. Pakaianmu robek‑robek. Ciangkun, beri dia makan dan suruh
istirahat di bagian belakang kapal.”
Bun
Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap
dan serba mahal. Kemudian dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa
lelah sekali, tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di
bagian belakang.
Bun
Beng terbangun oleh suara nyanyian merdu. Ia membuka mata dan menoleh.
Kiranya yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian merah yang
dilihatnya tadi. Anak itu berdiri di atas papan, di pinggir perahu, memandang
ke angkasa yang biru indah, dan suaranya amat merdu ketika bernyanyi. Akan
tetapi, bagi Bun Beng, yang amat mengherankan adalah nyanyian itu. Kata‑kata
dalam nyanyian itu bukanlah nyanyian kanak‑kanak bahkan mengandung makna dalam
seperti sajak dalam kitab‑kitab kuno. Ia mendengarkan penuh perhatian tanpa
menggerakkan tubuhnya yang masih terlentang.
“Betapa
ajaib alam duniasegala sesuatu bergerak sewajarnya menuju ke arah titik
sempurnamatahari memindahkan air samudra memenuhi segala kebutuhan di darat
dibantu hembusan angin yang kuat setelah melaksanakan tugas muliaair kembali ke
asalnyasemua itu digerakkan oleh cintaapa akan jadinya dengan alam semesta
tanpa cinta?”
Bun
Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyikan kata‑kata
seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-kata tanpa
tahu artinya.
“Gak
Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura‑pura masih tidur?”
Bun
Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan
itu bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara
dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak
membalikkan tubuh.
“Eh,
apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?” Bun Beng melompat berdiri dan
bertanya.
Anak
perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang mata yang
mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid
Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu,
tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.
“Apa
kaukira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?”
“Kalau
tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah
bangun dari tidur?”
“Bunyi
pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biarpun sedikit,
gerakan tubuhmu terdengar olehku.”
Bun
Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan
pandai bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran yang tajam luar
biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sin‑kang! Teringatlah
ia akan cara pengawal menaikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang
perahu ini merupakan orang‑orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini
bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau
anak laki‑laki Pulau Neraka itu! Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak
kecil telah digembleng orang‑orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak
memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura‑pura tidak tahu bahwa anak perempuan
ini memiliki kepandaian.
“Nyanyianmu
tadi sungguh ngawur!” Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak
perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu
mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perdebatan agar dia
dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai daripada anak itu!
Bun
Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu
sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan bertanya. “Bagian
manakah yang kau katakan ngawur?”
“Semuanya!
Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti artinya! Misalnya
kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung
engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang
cinta?”
Mata
itu bersinar lembut ketika menjawab, “Gak Bun Beng, ketika aku diajar
menyanyikan kata‑kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan
aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah kasih sayang
murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini,
kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan mahluk, baik yang bergerak maupun
yang tidak, seluruhnya dapat hidup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat
daripada Tuhan yang menguasai seluruh alam!”
Kembali
Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu
keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih.... ingusan! Ia penasaran
dan menyerang lagi.
“Engkau
hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau
benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!”
Kini
anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membaysngksn
perasaan kasihan! “Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu?
Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah
kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan
mengaliri segala yang membutuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara
yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua
itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau
sengaja, pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kausadari dalam tidurpun,
semua itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih
sayang? Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air
menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga.
Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buahpun akan jatuh sendiri dan
bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda‑benda itu tanpa bergerak
telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta
kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?”
Kini
Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!
“Eh....
oh.... maafkan, kiranya engkau benar‑benar hebat! Siapakah yang mengajarkan
kepadamu akan semua pengetahuan itu?” Ia berhenti sebentar lalu menengok ke
arah bilik perahu besar. “Tentu.... laki‑laki yang berpakaian mewah tadi, ya?”
Akan
tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala. “Bukan dia. Yang mengajarkan semua
itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan
tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar seringkali
dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu
menggeleng kepala tanpa menjawab. Dan kau tahu.... Ibu selalu mengucurkan air
matanya kalau menyanyikan itu.”
Bun
Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang
begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula. “Benarkah? Bagaimana
nyanyian itu?”
“Sebetulnya
tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau seorang anak yang
aneh, yang datang tiba‑tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri
melalui kekuasaan cinta kasihnya.”
“Aihh,
mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam....”
“Burung
rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Kekuasaan apa yang
membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau
kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau
tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?”
Bun
Beng terdesak. “Baiklah.... baiklah...., engkau benar. Akan tetapi, orang
sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu
sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak mengerti
artinya, tentu aku mengerti,” Bun Beng membusungkan dadanya karena kini timbul
kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik
yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya, berarti dia
menang!
Anak
perempuan itu ragu‑ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik.
Kemudian dia menghela napas dan berkata, “Sudah kukatakan bahwa engkau seorang
anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjanjilah bahwa
engkau takkan menceritakan kepada siapapun juga tentang nyanyian Ibu ini,
karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali kepadaku.”
“Engkau
takut dimarahi?”
“Tidak.
Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sampai Ibu
menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku.”
Keharuan
meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh
anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah
cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang anak melihat ibunya berduka
dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni!
Dia
menelan ludah, “Engkau.... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku berjanji,
aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada lain orang.”
Anak
perempuan itu tersenyum. “Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan sia‑sia.
Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!”
“Cinta
kasih menguasai alam semestasuci murni dan penuh mesra namun mengapa....
hatiku
merana....
jiwaku
dahaga akan cinta....?
aihhh....
haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?
cinta....
cintaku....
mengapa
engkau begitu tega....?”
Bun Beng
berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat
betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak perempuan itu yang kini
terisak‑isak.
“Engkau....
engkau menangis....?” tanyanya, suaranya serak.
Anak
perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk, “Aku.... aku
teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena
tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu.”
Bun
Beng mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata, “Ahh, aku mengerti!
Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh.... maaf, tentu
mencinta Ayahmu. Di mana Ayahmu?”
Anak
perempuan itu bengong dan mengangguk‑angguk. “Aihhh.... agaknya engkau benar,
Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku. Ibu selalu kelihatan
berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah
seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau mengatakan di mana
adanya Ayah dan siapa namanya, hanya menyuruh aku bersabar karena kelak tentu
akan bertemu dengan Ayah.”
“Nah,
benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi!
Eh, siapakah namamu?”
“Namaku
Milana.”
“Bagus
sekali!”
“Apakah
yang bagus?”
“Namamu
itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?”
Milana
menggeleng kepala, “Ibu melarang aku menganggap diriku keturunan bangsawan,
biarpun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku disuruh ikut di
Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi ke mana akan
tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menjengukku
dan menurunkan pelajaran‑pelajaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan
berpesiar ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan
engkau, Bun Beng.”
“Ibumu
tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi dan
mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula.”
“Benar,
keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi
menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandaian Ibu yang
amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepandaian Ibu,
kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepatan seperti
menghilang. Kadang‑kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi,
bukan manusia biasa....”
“Milana....!”
Mereka
terkejut dan menengok. “Paman memanggilku.” Anak perempuan itu berlari menuju
ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat kesibukan di
perahu itu dan semua pengawal memegang senjata. Juga para pengawal di tiga
buah perahu kecil siap dengan senjata mereka.
Pangeran
Jenghan menyongsong keponakannya. “Lekas kau sembunyi di bilik kapal. Engkau
juga, Bun Beng. Jangan sekali‑kali keluar dari bilik kalau belum aman.”
“Apakah
yang terjadi, Paman?” Milana bertanya.
“Kita
akan diserang sekawanan bajak! Perahu‑perahu mereka sudah tampak datang. Cepat
sembunyi!” Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu
memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bilik ditutup dan
Pangeran itu meloncat keluar.
“Mau
apakah bajak‑bajak laut itu?” Di dalam bilik, Milana bertanya kepada Bun Beng.
“Hemm,
namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan
membunuh kita.”
Mata
yang bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.
“Mengapa?
Bukankah mereka itu juga manusia?”
Bun
Beng tersenyum pahit. “Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau
jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada mahluk di dunia ini yang sejahat,
sekejam, dan seganas manusia.”
“Ohhh....!
Akan tetapi.... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia.”
“Kalau
begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati‑hatilah kalau engkau
berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu tentang cinta
kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya
melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu.
Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada serbuan bajak, aku
lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seribu kali lebih
baik mati sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati‑matian di luar
sana daripada mati sebagai tikus‑tikus terjepit di tempat ini!”
“Aku....
aku tidak pernah bertempur!”
“Kulihat
kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?”
Milana
menggeleng kepala. “Aku.... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu
silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!”
“Dan
kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?”
“Lebih
baik dibunuh daripada membunuh.”
Bun
Beng membelalakkan mata dan menggeleng‑geleng kepalanya. “Wah‑wah-wah,
bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepadamu?”
“Kata
Ibu untuk menjaga diri dari marabahaya.”
“Nah,
sekarang marabahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!”
“Tapi
dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!”
“Mari
kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku
yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita.”
“Kau....
kau berani membunuh orang?”
“Tentu
saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?”
“Bun
Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?”
Bun
Beng tertawa. “Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal kekejaman
manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!” Dan memang
pada saat itu sudah terdengar teriakan‑teriakan di antara berdencingnya
senjata‑senjata yang beradu.
Ketika
kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat
betapa empat buah perahu mereka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak
buah bajak menyerang. Pamannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan
gigih dan karena kepandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang
tinggi, banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam
keadaan terluka atau tewas. Akan tetapi, jumlah anak buah bajak itu banyak
sekali dan mereka mulai menggunakan api untuk membakar empat buah perahu itu!
Keadaan menjadi kacau balau dan para pengawal kewalahan karena selain
menghadapi serbuan bajak yang amat banyak, juga mereka harus memadamkan api
yang mulai membakar di sana‑sini sambil merobohkan para bajak yang membakari
perahu.
“Paman
Pangeran....!” Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak
laut. Melihat seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu dari
belakang Pangeran itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia menghantam
dengan jurus dari ilmu silat yang dipelajari dari tiga buah kitab rahasia Sam‑po‑cin‑keng.
Kebetulan sekali jurusnya ini adalah jurus pukulan yang menggunakan tenaga sin‑kang
yang dipusatkan pada telapak tangan.
“Bukkk!”
Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak selagi tubuh
Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya terlepas dan mulutnya
muntahkan darah segar, lalu tubuhnya terguling roboh berkelojotan!
Melihat
ini, Pangeran Jenghan terkejut dan kagum, lalu berteriak, “Lekas kauselamatkan
Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!” Sambil berteriak begini,
Pangeran itu memutar pedangnya menangkis hujan senjata para bajak.
Bun
Beng mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan akan
celakalah mereka semua. Memang sebaiknya menyelamatkan Milana lebih dulu. Cepat
ia menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir kiri. Di situ memang
terdapat sebuah perahu kecil yang biasanya dipergunakan untuk para pengawal
mencari ikan, atau memang disediakan kalau sewaktu‑waktu keadaan membutuhkan.
Bun Beng melepaskan ikatan perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia
melempar perahu ke bawah. Tanpa menghiraukan jeritan Milana yang merasa ngeri,
ia menyambar tangan anak perempuan itu dan dibawanya meloncat ke bawah
menyusul perahu kecil. Untung bahwa Bun Beng bersikap tenang sehingga
loncatannya tepat jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskannya dua batang
dayung yang terikat di pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu melawan
ombak menjauhi perahu besar yang mulai terbakar.
“Paman....!
Paman Pangeran....!” Milana berteriak dan menangis.
“Milana,
dalam keadaan seperti ini kita harus masing‑masing mencari keselamatan
sendiri.”
“Tapi....
tapi Paman Pengeran....”
“Dia
seorang berilmu tinggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andaikata kita
menolong pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba melarikan perahu
sebelum terlihat oleh bajak‑bajak itu.”
Dengan
sepenuh tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana memandang ke arah
asap‑asap mengepul hitam yang menutupi perahu‑perahu besar pamannya sambil
menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari perahu-perahu yang kebakaran
ketika tiba‑tiba Milana menjerit. Bun Beng memandang dan ia pun terkejut
melihat dua buah tangan manusia muncul dan air dan memegang pinggiran perahu
kecil. Ketika kepala orang itu muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah
seorang di antara para anak buah bajak laut yang jatuh ke laut. Orang itu
tidak terluka dan pandang matanya beringas menyeramkan.
“Lepas!”
Bun Beng membentak, menggunakan dayungnya menghantam ke arah tangan terdekat!
“Aughhh....!”
Orang itu berteriak kesakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul
dan dari bibir perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, memukul ke arah tangan
kanan yang masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan-gerakan ini membuat
perahu kecil menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan itu yang
terkena hantaman dayung bahkan dayungnya tertangkap oleh tangan kanan bajak
itu, terus ditarik kuat‑kuat sehingga tubuh Bun Beng terseret dan jatuh ke
air!
“Bun
Beng....!” Milana menjerit.
Bun
Beng marah sekali. Biarpun bukan ahli, namun dia pandai berenang, maka ia
menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih dipegangnya.
“Plakkk!”
Dayungnya menghantam muka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik dan
terdorong mundur. Matanya melotot marah penuh dengan sinar kebencian dan kalau
anak itu dapat diterkamnya, tentu akan dibunuhnya. Bun Beng sudah dapat
menangkap pinggiran perahu lagi. Karena gugup dan hendak cepat‑cepat naik ke
perahu, dayungnya terlepas dan hanyut, sedangkan bajak itu sambil memaki‑maki
berenang cepat sekali mengejarnya. Dalam hal ilmu renang tentu saja Bun Beng
tidak dapat melawan kepandaian seorang bajak laut! Maka ia bergegas hendak
naik ke perahu agar dari dalam perahu dia dapat melawan orang yang masih
berada di air itu.
“Heh‑heh‑heh!”
Tiba‑tiba, entah darimana datangnya, seorang kakek yang tertawa‑tawa meloncat
ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung perahu, ujung yang lain di mana
Bun Beng dan Milana berada, terangkat tinggi ke atas seolah‑olah kakek itu
beratnya melebihi berat seekor gajah bengkak! Bun Beng cepat memegang lengan
Milana yang hampir terlempar ke luar, sambil dengan sebelah tangan memegangi
pinggiran perahu erat‑erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan
terbelalak.
“Heh‑heh‑heh!”
Tiba‑tiba ujung di mana Bun Beng dan Milana duduk, meluncur lagi ke bawah
dengan cepat sekali.
“Prakkk!”
Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak sehingga pecah
berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak merupakan kepala lagi
melainkan berubah seonggok benda putih berlepotan darah.
“Ihhhh....!”
Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil
menangis.
“He‑he‑he,
takut? He‑he‑he!” Kakek itu tertawa‑tawa seolah‑olah merasa senang sekali
melihat Milana ketakutan. “Aku akan membikin kalian lebih takut lagi, ha‑ha‑ha!”
Dan dengan sebatang ranting yang berada di tangan kirinya, kakek itu mendayung
perahu dan.... perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa!
Bun
Beng memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan longgar,
kedua kakinya telanjang. Usianya tentu sudah tujuh puluh lebih, dengan rambut
dan jenggot putih riap‑riapan, matanya melotot lebar dan selalu tertawa‑tawa.
Akan tetapi yang amat luar biasa adalah kulit tubuhnya! Dari muka, tangan dan
kakinya, semua berkulit kuning sekali! Bukan kuning seperti kulit orang biasa,
melainkan kuning yang aneh, seperti dicat, kuning sampai ke kukunya dan
warna matanya! Maka teringatlah Bun Beng akan keanehan warna kulit orang‑orang
Pulau Neraka dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah seorang tokoh Pulau
Neraka.
Dugaan
Bun Beng memang tepat. Kakek ini adalah seorang di antara lima orang kakek
kulit kuning yang merupakan tokoh‑tokoh tingkat tertinggi di Pulau Neraka, di
bawah ketuanya. Dan memang dia adalah seorang tokoh sakti yang diutus oleh
Majikan Pulau Neraka untuk mengadakan penyelidikan di luar pulau. Kakek ini
selain sakti, juga memiliki watak yang amat aneh, mendekati gila sehingga
sering kali melakukan hal-hal yang menggegerkan dunia kang‑ouw. Kini melihat
dua orang anak dalam perahu, timbul keanehan wataknya dan dia seolah-olah
hendak menakut‑nakuti kedua orang bocah itu.
Perahu
itu meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya cepat, malah
sengaja dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya seperti akan tenggelam,
ada kalanya ujung yang diduduki dua orang anak‑anak itu terangkat tinggi
kemudian dihempaskan ke bawah seperti akan tenggelam! Milana menjerit-jerit
dan memeluk Bun Beng yang berpegang kuat‑kuat pada pinggiran perahu.
“Heh‑heh‑heh,
pemandangan indah....! Indah....!” Kakek itu terkekeh‑kekeh ketika perahunya
meluncur cepat mengelilingi tempat pertempuran.
Biarpun
keadaannya sendiri berbahaya dan perahu itu sewaktu‑waktu dapat membuat mereka
terlempar ke luar, Bun Beng masih sempat memperhatikan keadaan pertempuran dan
melihat betapa pangeran dan para pengawal masih melakukan perlawanan mati‑matian
namun perahu mereka telah terbakar sebagian.
“Kakek,
apakah engkau tidak kenal takut?” Bun Beng tiba‑tiba bertanya.
“Aku?
Takut? Ha‑ha‑ha‑ha! Heh‑heh-heh!”
Sambil
berkata demikian, perahu meluncur cepat sekali menuju ke sebuah yang terbakar!
Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu akan menubruk perahu yang
bernyala‑nyala, bahkan Bun Beng sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk
bersikap tenang, menjadi pucat dan memandang terbelalak ke depan, melihat betapa
perahu terbakar itu seolah‑olah mulut seekor naga mengeluarkan api hendak
menelan perahu mereka.
“Celaka....!”
teriak Bun Beng.
“Ha‑ha‑ha‑heh‑heh‑heh!”
Kakek itu tertawa dan tiba‑tiba perahu itu membelok dengan kecepatan luar biasa
sehingga miring dan hampir terguling, akan tetapi dapat menghindari tabrakan
dengan perahu terbakar.
“Ha‑ha‑ha!
Aku takut?”
“Memang
beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku tidak percaya
bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap bajak-bajak laut yang
demikian ganas, kejam dan jumlahnya amat banyak. Aku berani memastikan
bahwa engkau tentu takut mengganggu mereka dan kalau engkau yang melawan mereka
di atas perahu yang terbakar itu, tentu engkau akan terkencing‑kencing di
celanamu, kencing kuning pula!”
Tiba‑tiba
kakek itu meloncat berdiri dan mencak‑mencak. “Memang kencingku kuning! Kau
bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah itu? Kau tunggu dan lihat
saja betapa mudah aku membasmi mereka!” Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan
kaki dan tubuhnya sudah melesat ke arah perahu besar yang terbakar, di mana
Pangeran Jenghan bersama pengawalnya masih mati‑matian melawan serbuan para
bajak.
Tentu
saja hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyambar sepotong
dayung dari banyak kayu‑kayu pecahan perahu yang terapung di dekat perahunya,
kemudian secepat mungkin dia mendayung perahu kecil menjauhi pertempuran. Tanpa
menghiraukan kedua tangannya yang menjadi lelah sekali, Bun Beng mendayung
terus dan tiba‑tiba datang ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya.
Mendayung lagi tidak mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung
untuk mencegah perahunya terguling. Milana tidak menangis lagi, bahkan anak ini
pun sudah menyambar sebatang dayung dan ia membantu Bun Beng mendayung. Kini
melihat perahu diombang-ambingkan ombak, dia membantu Bun Beng menahan agar
perahu tidak terguling. Akan tetapi dia tidak kelihatan takut, padahal keadaan
mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya daripada tadi. Hal ini mengherankan
hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara keras untuk mengatasi suara angin
ribut.
“Milana,
engkau tidak takut?”
Milana
memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala.
Bun
Beng menjadi heran. “Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?”
Milana
membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin sehingga Bun
Beng berteriak, “Bicara yang keras, aku tidak dengar!”
Milana
tertawa, “Ribut‑ribut begini kau mengajak orang mengobrol!”
Bun
Beng mendongkol akan tetapi juga geli hatinya. Anak ini benar‑benar amat luar
biasa, “Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini tabah?”
“Tadi
bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan kekejaman
manusia saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih, andaikata ombak‑ombak
ini menelan kita pun sama sekali tidak mengandung hati benci atau marah!”
Bun
Beng bengong sehingga lupa mengerjakan dayungnya. Perahu terputar, hampir
terguling dan mendengar Milana malah tertawa‑tawa. Cepat ia menggerakkan
dayung dan mengomel.
“Bocah
ajaib dia ini!”
Setelah
ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menjadi girang dan
bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka berdua melompat turun
dan lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu dan keduanya duduk di atas
pasir.
“Di
mana kita ini?” Bun Beng bertanya.
“Aku
pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang tentu akan
dapat menceritakan di mana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh, semoga Paman
Pangeran dan para pengawal selamat.”
“Jangan
khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak
akan terbasmi dan mereka selamat.”
Tiba‑tiba
Milana tertawa geli.
“Eh,
kenapa tertawa?”
“Kakek
itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan
tertarik sekali kalau kelak kuceritakan.”
“Tentu
saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka.”
“Ihhh....!
Pulau Neraka? Aku sudah mendengar itu, penghuninya adalah manusia‑manusia aneh
seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari Pulau Neraka?”
“Kulit
tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang‑orang Pulau Neraka.”
“Eh,
betulkah? Engkau benar luar biasa, Bun Beng.”
“Tidak,
biasa saja. Mari kita pergi.”
“Engkau
hendak ke mana?”
“Eh,
bagaimana lagi? Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian....
kemudian.... hem.... aku tidak tahu ke mana nanti.”
“Eh,
bagaimana ini? Apakah engkau tidak hendak pulang?”
“Pulang
ke mana?”
“Ke
mana lagi? Ke rumahmu tentu!”
“Aku
tidak punya rumah.”
Milana
menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng. “Tidak punya rumah? Dan
Ayah Bundamu....?”
“Aku
tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua.”
“Aihhh....!”
Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya membayangkan perasaan iba yang
mendalam. “Kasihan engkau, Bun Beng. Dan tidak mempunyai saudara?”
Bun
Beng merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan dia tidak
merasa kasihan kepada dirinya sendiri! “Aku tidak punya siapa‑siapa, apa
salahnya dengan itu?” Dia menunjuk ke arah seekor burung camar yang terbang.
“Dia itu pun tidak punya siapa‑siapa, toh dapat hidup. Dan pohon itu tidak
punya siapa‑siapa, tetap tumbuh segar.”
“Ahhhh,
burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak saudara-saudaranya di
sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak mempunyai siapa-siapa. Bun
Beng, aku mau menjadi saudaramu, dan biarlah Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku
menjadi Pamanmu....”
“Sudahlah,
Milana. Aku tidak ingin apa‑apa. Engkau anak yang amat baik hati. Mari kita
lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada pegunungan, tentu di sana ada
penghuninya yang dapat memberi keterangan kepada kita dan menunjukkan jalan.”
Mereka
berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak menolak dan diam‑diam
dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik hati ini. Akan tetapi setelah
mereka mendaki pegunungan itu, ternyata gunung itu penuh dengan batu‑batu besar
dan tidak nampak dusun di situ.
“Begini
sunyi.... tidak ada tampak rumah orang....” kata Milana, kecewa.
“Nanti
dulu! Lihat di sana itu. Ada orang.... eh, malah ada orang menunggang binatang
yang besar luar biasa!” Milana menengok dan ia pun berseru girang, “Benar! Ada
orang dan dia menunggang seekor gajah! Sunguh luar biasa!”
“Gajah?
Aku sudah pernah mendengar namanya. Gajahkah binatang itu?”
“Benar.
Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi
orang itu.”
“Hebat!
Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita
lihat!” Mereka berlari menuruni puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika merea
sudah tiba dekat, tiba‑tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti.
Keduanya terkejut bukan main menyaksikan pemandangan di depan itu sehingga
sampai lama mereka tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya Milana berbisik
dengan napas tertahan, “Lihat...., dia.... kakek Pulau Neraka itu....”
“Sssttt....!”
Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari belakang. “Jangan
ribut..... orang berkaki tunggal itu.... dia Pendekar Siluman To-cu Pulau
Es.... dan itu muridnya.....”
Memang
amat mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh mereka. Kakek
bermuka kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini berhadapan dengan
seorang kakek tua renta yang bersorban dan berjenggot panjang, tangan kiri
memegang sebuah senjata yang aneh, gagangnya berduri dan ujungnya merupakan
bulan sabit, menunggang seekor gajah yang amat besar. Akan tetapi kakek muka
kuning tidak kalah anehnya. Agaknya untuk mengimbangi kedudukan kakek
bersorban yang tinggi di atas punggung gajah, dia kini menggunakan jangkungan
atau egrang. Yaitu dua batang bambu panjang yang di tengahnya diberi cabang
untuk injakan kaki. Dengan berdiri di cabang itu dan menggunakan dua batang
bambu sebagai pengganti kedua kaki, dia kini sama tingginya dengan Si Kakek
Bersorban! Mereka agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah batu
berdiri Pendekar Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng
tangan seorang anak perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak perempuan penunggang
garuda yang berkelahi dengan anak Pulau Neraka dahulu!
Kwi
Hong, murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan Milana, akan
tetapi karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan itu sudah saling
serang, dia tertarik dan menengok lagi menonton pertandingan. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Suma Han menyusul ke Pulau Neraka dan berhasil
membawa muridnya itu. Mereka meninggalkan Pulau Neraka menunggang dua ekor
burung garuda dan ketika dari atas Suma Han melihat orang menunggang gajah,
hatinya tertarik maka dia lalu turun di pegunungan itu, dan bersama Kwi‑Hong
diam‑diam menghampiri dan menonton pertandingan yang amat menarik hatinya
antara kakek penunggang gajah dan kakek muka kuning yang gerak‑geriknya lucu
dan lihai!
“Heh‑heh‑heh!”
Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak‑gerakkan kedua bambu yang telah
menyambung kakinya. “Kita sudah sama tinggi sekarang. Hayo, kau mau apa? Lekas
turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau benar‑benar seorang sahabat dan
aku akan mengampunimu!”
“Sadhu‑sadhu‑sadhu!”
Kakek bersorban itu berkata lirih. “Berbulan‑bulan dari negara barat sejauh
itu, belum pernah bertemu orang yang begini nekad. Sahabat, gajah tunggangan
ini adalah sahabatku yang telah berjasa besar, mati hidup dia bersamaku, tidak
mungkin kuberikan kepadamu. Pergilah, sahabat, dan jangan pergunakan kepandaian
yang kaupelajari puluhan tahun itu untuk melakukan hal yang tidak baik.”
“Heh‑heh‑heh!
Apa tidak baik? Apa baik? Yang menguntungkan dan menyenangkan, itu baik! Yang
merugikan dan menyusahkan itu tidak baik! Kalau engkau berikan gajah itu
kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kauberikan, engkau tidak baik dan terpaksa
kurampas, heh-heh‑heh‑heh!”
“Aahh,
betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu terbalik sama
sekali. Justeru yang menguntungkan dan menyenangkan diri pribadi itulah sumber
segala ketidakbaikan.”
“Waaaah,
cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan‑wejanganmu. Hayo
turun!”
Kakek
muka kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba‑tiba bambu panjang yang kanan
menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi, kakek itu menekuk
tubuh ke depan sehingga sambaran bambu itu luput dan lewat di atas kepalanya.
“Sadhu‑sadhu‑sadhu,
terpaksa aku membela diri!” Kakek bersorban menggerakkan tangan kanan, dengan
jari tangan terbuka mendorong ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar
dan biarpun kakek muka kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh ke kanan,
tetap saja terdorong dan terhuyung-huyung, kedua bambunya bergoyang-goyang.
Karena
ia memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba‑tiba dia meiihat Suma Han yang
berdiri menonton dengan tenang. Setelah mendapat kanyataan bahwa orang Pulau
Neraka itu hendak merampas binatang tunggangan orang, Suma Han merasa tidak
senang. Apalagi kalau mengingat bahwa orang itu adalah pembantu Lulu, dia
makin penasaran. Masa Lulu dibantu oleh orang yang berwatak perampok hina, mau
merampas binatang tunggangan seorang kakek yang datang dari jauh? Tongkatnya
bergerak mencongkel batu dua kali.
“Trak!
Trak!”
Kakek
muka kuning berseru kaget ketika tiba‑tiba bambu yang menyambung kedua kakinya
itu patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun sebagian karena dia
mengenal Pendekar Siluman yang biarpun belum pernah dijumpainya, akan tetapi
sudah banyak didengarnya. Ia cepat meloncat turun sebelum terbanting jatuh
karena kedua bambunya patah, kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri
tanpa menengok lagi.
Melihat
itu, Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti bersorak
ketika melihat gajah besar itu terhuyung dan roboh ke depan, membawa tubuh
kakek bersorban ikut roboh! Tubuh Suma Han melesat ke depan bagaikan seekor
burung garuda dan dia sudah berhasil menyambar tubuh kakek bersorban itu dari
bahaya terbanting dan tertindih tubuh gajah yang kini berkelojotan lalu diam,
tak bernyawa lagi. Dan dengan kaget Suma Han mendapat kenyataan bahwa kakek
bersorban itu ternyata lumpuh kedua kakinya!
“Ah,
gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?” Kakek itu mengeluh, kemudian berkata
kepada Suma Han. “Orang muda yang gagah perkasa, turunkanlah aku.”
Suma
Han menurunkan kakek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu bersilang.
Kakek itu duduk di atas tanah, wajahnya pucat dan napasnya terengah, “Gajah
itu.... dia memang sudah sakit.... dia menderita karena lelah.... melakukan
tugasnya sampai mati. Akan tetapi aku.... ah, aku pun hampir mati akan tetapi
tugasku jauh daripada selesai....! Aku hampir kehabisan tenaga saking lelah,
perjalanan ini terlalu jauh untuk orang setua aku, dan tadi.... terpaksa aku
mengerahkan tenaga dalam yang amat kuperlukan untuk kesehatanku. Aihhh, orang
muda perkasa, sinar matamu membuktikan bahwa engkau bukan manusia biasa.
Siapakah engkau yang begini lihai?”
“Kakek
yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es....”
“Hah?
Pendekar Super Sakti? Pendekar Siluman To‑cu dari Pulau Es? Ya Tuhan, kalau
engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan tugas hamba, hamba
akan mati tenteram!”
Suma
Han mengerutkan alisnya, “Kakek, siapakah engkau dan urusan apa yang membuatmu
susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?”
“Aku
Nayakavhira.... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang Iblis....
adikku, Maharya telah mendahuluiku untuk mencari sepasang pedang itu. Kalau
terjatuh ke tangannya, akan gegerlah dunia dan terancamlah banyak nyawa
manusia! Aku.... aku berkewajiban untuk merampas dan memusnahkan Sepasang
Pedang Iblis. Akan tetapi.... aku tidak sanggup lagi.... ahh, Pendekar Super
Sakti, engkau tolonglah aku....”
Kembali
Suma Han mengerutkan alisnya, “Bagaimana aku harus menolongmu, Nayakayhira?”
“Senjataku
ini.... terbuat dari logam yang akan menandingi dan mengalahkan Sepasang Pedang
Iblis. Akan tetapi karena bentuknya seperti ini, tidak akan ada orang di sini
yang dapat memainkannya. Akan kubuat menjadi pedang.... biarlah kelak
kauberikan kepada siapa yang berjodoh untuk menindih dan menaklukkan Sepasang
Pedang Iblis.... kaubantulah aku.... buatkan pondok, perapian.... aku tidak
kuat lagi, engkau tolonglah aku, buatlah sebatang pedang dari senjataku
ini....”
Suma
Han mengangguk‑angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang dahulu dia
tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh, akan mendatangkan
urusan begini hebat! “Aku suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat
pedang.”
“Aku
adalah ahli membuat pedang.... seperti nenek moyangku.... aku yang akan memberi
petunjuk, engkau yang membuat. Tolonglah.... Taihiap.... demi.... demi
perikemanusian!”
“Kakek
yang baik, biarlah aku membantumu!” Tiba‑tiba Bun Beng meloncat maju mendekati
kakek itu. Kakek bersorban itu membelalakkan mata memandang Bun Beng dengan
heran, Suma Han menengok. Dia sudah tahu akan kehadiran kedua orang anak itu
akan tetapi karena terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek itu dan
belum menanya dua orang anak yang datang di tempat itu secara aneh. Kini
melihat sikap anak laki‑laki itu, diam‑diam ia memperhatikan dan menjadi kagum.
Di lain pihak, ketika melihat sinar mata Pendekar Siluman itu ditujukan
kepadanya dan mereka bertemu pandang, kuncuplah hati Bun Beng dan otomatis dia
menjatuhkan diri berlutut.
“Siapakah
engkau?”
“Paman,
dia adalah anak laki‑laki yang telah menolongku ketika aku dikeroyok rajawali.
Bocah dalam keranjang!”
Suma
Han makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi Hong diserang
putera Lulu dengan rajawali dan dikeroyok muncul seekor burung rajawali yang
mencengkeram keranjang berisi seorang anak laki‑laki yang membantunya dengan
memukul rajawali itu sehingga cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang
bersama anak itu jatuh ke laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara
yang mengandung kesungguhan menawarkan jasa baiknya hendak membantu Si Kakek
India membuat pedang. Bukan main!
“Siapa
namamu?” Tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena dia melihat
suatu yang luar biasa pada diri anak laki‑laki ini.
“Saya
adalah anak yang dahulu ditolong oleh Taihiap dari dalam kuil tua tepi Sungai
Fen‑ho di lembah Pegunungan Tai‑hang‑san dan Lu‑liang‑san....”
Suma
Han benar‑benar terkejut sehingga ia bangkit berdiri. “Kau....?”
“Benar,
Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng.”
Suma
Han menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar‑benar amat luar biasa
pertemuan ini! “Di mana suhumu Siauw Lam Hwesio?”
“Suhu....
telah meninggal dunia, terbunuh oleh Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun, Thian
Tok Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!” Ucapan ini dikeluarkan
dengan suara sengit oleh Bun Beng.
“Sadhu‑sadhu‑sadhu....”
Tiba‑tiba kakek itu berkata, “Bhong Ji Kun adalah Koksu Pemerintah Mancu....
dia.... dia itu adalah muridku....”
“Kau....!”
Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Bun
Beng, jangan lancang!” Tiba‑tiba Suma Han membentak dan Bun Beng menjatuhkan
diri berlutut lagi. “Taihiap.... teecu harus membalas kematian Suhu!”
“Hemmm,
sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam. Dendam menimbulkan watak
kejam sehingga sembarangan saja engkau akan mencelakakan orang tanpa
pertimbangan lagi.”
Sementara
itu, kakek tua itu menarik napas panjang. Sungguh ajaib, dapat bertemu dengan
anak ini! Muridku itu memang telah menyeleweng dan perjalananku ini di samping
hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga tadinya akan kupergunakan untuk
mengingatkan dia, kalau perlu menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah engkau
menolongku?”
Suma
Han tidak menjawab, melainkan bertanya kepada Bun Beng, “Bagaimana dengan
engkau, Bun Beng? Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini sekarang?”
“Teecu
sudah berjanji, tentu teecu penuhi!”
Suma
Han tersenyum. “Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapakah anak
perempuan itu, Bun Beng?”
Milana
yang sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan kata‑kata Suma Han.
Dia sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh perhatian. Tadi dia
mendengar dari Bun Beng bahwa laki‑laki gagah perkasa berkaki satu yang
rambutnya putih semua dan wajahnya muram menimbulkan iba itu adalah Pendekar
Siluman, To‑cu dari Pulau Es yang amat terkenal!
“Apakah
engkau yang berjuluk Pendekar Siluman yang hebat itu?” Tanyanya, suaranya
halus dan wajahnya berseri. Suma Han tersenyum, sekaligus tertarik rasa sukanya
kepada bocah yang cantik jelita itu.
“Benar,
anak manis. Engkau siapakah?”
“Namaku
Milana, aku keponakan Pangeran Jenghan dari Kerajaan Mongol. Kami sedang
berpesiar di kapal, diserbu bajak laut dan aku diselamatkan oleh Bun Beng.”
Hati
Suma makin kagum kepada Bun Beng. Hemm, biarpun putera seorang datuk kaum sesat
seperti Kang‑thouw-kwi Gak Liat dan dilahirkan karena datuk itu memperkosa
Bhok Kim, namun ternyata bocah ini mempunyai bakat lahir batin yang baik.
Tentu menuruni watak ibunya, seorang di antara Kang-lam Sam‑eng tokoh Siauw‑lim‑pai
yang perkasa itu (baca ceritaPendekar
Super Sakti).
“Marilah
kalian ikut bersamaku membantu Nayakavhira. Kwi Hong, kau ajaklah dua orang
anak ini.”
Suma
Han memondong tubuh kakek bersorban dan mencari tempat yang ada pohonnya. Di
situ dia lalu membangun sebuah pondok, mempersiapkan landasan dan keperluan
pembuatan pedang. Bun Beng yang sudah berjanji membantu itu ditugaskan
mengumpulkan kayu bakar karena menurut Nayakavhira pembuatan pedang itu
membutuhkan banyak sekali kayu bakar untuk membuat api yang sepanas‑panasnya.
Berhari‑hari
lamanya Suma Han sibuk di dalam pondok membuat pedang di bawah petunjuk kakek
Nayakavhira yang lumpuh. Tiga orang anak itu sama sekali tidak boleh memasuki
pondok yang panasnya luar biasa karena api besar dinyalakan siang malam tak
pernah berhenti. Bun Beng juga bekerja setiap hari mencari kayu bakar,
sedangkan Kwi Hong bermain‑main dengan Milana yang berwatak halus dan sebentar
saja sudah dapat menarik rasa sayang di hati Kwi Hong yang wataknya kasar.
Kedua orang anak perempuan ini jauh berbeda wataknya. Kwi Hong yang lebih tua
beberapa tahun, berwatak jenaka, riang gembira, galak dan pandai bicara.
Sebaliknya Milana berwatak halus, lemah lembut dan pendiam, hati‑hati dalam
bicara agar jangan sampai menyingung perasaan orang lain. Namun, berkat
kehalusan budi Milana yang pandai mengalah, mereka berdua dapat bersahabat
dengan rukun.
Di
dalam pondok itu terjadi hal yang tentu akan amat mengherankan tiga orang anak
itu kalau saja mereka dapat melihatnya. Kakek Nakavhira duduk bersila di atas
tanah, seperti arca tidak bergerak dan hawa panas di dalam pondok itu tak
mungkin akan dapat tertahan oleh manusia biasa. Suma Han menanggalkan baju
atasnya dan sibuk membakar senjata yang bentuknya seperti bulan sabit itu di
dalam api. Sudah tiga hari tiga malam logam itu dibakar, tetap saja masih utuh,
tidak dapat membara. Kakek itu berkali‑kali minta ditambah api karena kurang
besar sehingga setiap tumpukan kayu bakar yang dikumpulkan Bun Beng, selalu
habis sehingga tidak ada cadangan sama sekali, membuat anak itu tidak berani
berhenti karena khawatir kehabisan kayu bakar!
Kakek
Nayakavhira mengeluarkan beberapa macam obat yang dioleskan pada logam putih
itu, namun setelah lewat lima hari tetap juga logam itu belum membara. Kakek
itu menjadi bingung dan prihatin sekali.
“Ya
Tuhan, akan gagalkah usaha hamba?” Keluhnya berkali‑kali sehingga Suma Han
menjadi kasihan. Juga pendekar ini merasa penasaran sekali. Sedangkan batu
bintang saja dapat dibakar sampai mencair, yaitu ketika dia masih kecil dan
menjadi pelayan Kang‑thouw‑kwi Gak Liat (baca ceritaPendekar Super Sakti), masa logam ini dibakar dalam api
sampai lima hari lima malam belum juga membara? Teringat akan masa kecilnya,
ia teringat kepada Bun Beng yang sibuk mengumpulkan kayu di luar pondok. Dahulu
dia menjadi pelayan Gak Liat, dan sekarang, secara kebetulan, putera Gak Liat
itu bekerja keras melayaninya! Demikianlah nasib mempermainkan manusia!
Ia
teringat akan batu bintang, teringat akan latihan Hwi‑yang Sin‑ciang. Hwi‑yang
Sin‑ciang! Bukankah sin‑kang yang mujijat dan yang sudah dikuasainya dengan
sempurna itu mengandung hawa panas yang mujijat? Mengapa tidak ia pergunakan
untuk coba‑coba? Dia memegang gagang senjata kakek yang aneh itu. Senjata itu
terbuat daripada baja yang aneh sebagai gagang berduri, adapun ujungnya yang
berbentuk bulan sabit berwarna putih itulah yang akan diolah menjadi pedang.
Suma Han mengerahkan Hwi‑yang Sin‑ciang sehingga wajahnya yang selama lima hari
lima malam berdekatan dengan api tidak berubah apa-apa, kini setelah
mengerahkan Hwi‑yang Sin‑ciang sekuatnya, muka itu berubah merah. Dan perlahan‑lahan,
logam putih berbentuk bulan sabit itu menjadi merah membara!
“Kakek
Nayakavhira, aku berhasil!” Teriaknya girang.
Kakek
yang sudah kehabisan semangat itu membuka matanya dan seketika wajahnya
berseri! “Hebat....! Biarkan sampai merah tua seluruhnya, baru digembleng!”
Teriaknya dan semangatnya kembali. Matanya bersinar-sinar.
Suma
Han tidak mau bicara tentang penggunaan Hwi‑yang Sin‑ciang dan kini setelah
logam itu dapat membara, panasnya api sudah cukup untuk membikin bara menjadi
tua. Tak lama kemudian logam itu sudah menjadi merah sekali.
“Cepat
letakkan di landasan dan gembleng sampai bentuknya menjadi panjang membungkus
gagang senjataku.”
“Membungkus
gagang?” Suma Han bertanya.
“Benar.
Logam putih itu hanya merupakan lapisan luar saja. Gembleng sampai lebar dan
tipis sepanjang setengah kaki. Cepat!” Suara kakek itu gemetar penuh gairah.
Otomatis
Suma Han mematuhi perintah ini karena dia sendiri sama sekali tidak mempunyai
pengetahuan tentang pembuatan pedang. Biarpun dia bukan seorang pandai besi,
bahkan memegang martil dan menggembleng logam membara pun baru sekali itu
selama hidupnya, namun pendekar ini memiliki tenaga yang melebihi tenaga
seratus orang dengan sin‑kangnya yang hebat, maka tentu saja gemblengannya
juga amat kuat sehingga tak lama kemudian logam yang membara itu sudah
menjadi lebar tipis sepanjang tiga setengah kaki.
“Bagus!
Hebat....! Untuk menggembleng itu biarpun dalam keadaan sehat, tentu baru dapat
kuselesaikan dalam waktu tiga hari. Akan tetapi engkau hanya membutuhkan waktu
beberapa jam saja. Benar‑benar sukar dicari pendekar sakti seperti engkau, Suma‑taihiap.
Logam itu telah mendingin, bakar lagi sampai membara dan akulah yang akan
menggemblengnya membungkus gagang.”
Kembali
Suma Han menurut dan sekali ini, karena logam itu sudah pernah membara,
panasnya api cukup membuat logam itu menjadi merah lagi. Akan tetapi kakek itu
mengatakan belum cukup. “Dia harus dibakar selama satu malam sampai melunak
agar mudah digembleng membungkus gagang, apalagi tenagaku sekarang banyak
berkurang.”
Pada
keesokan harinya, ketika terdengar bunyi martil menghimpit logam di atas besi landasan
sampai berdentang-dentang, dikerjakan sendiri oleh Kakek Nayakavhira yang
dibuatkan tempat duduk tinggi oleh Suma Han dan ditonton oleh pendekar sakti
itu. Selama menyaksikan kakek itu bekerja, diam‑diam Suma Han merasa kagum dan
barulah dia tahu betapa sulitnya membuat sebatang pedang pusaka! Dalam menempa
dan menggembleng ini, kakek itu bekerja seperti dalam samadhi sehingga setiap
tempaan merupakan gerakan suci seperti seorang bersembahyang. Maka Suma Han
menonton penuh perhatian dan penuh hormat.
“Bun
Beng, mengasolah. Lihat, tumpukan kayu di belakang pondok sudah cukup banyak.
Dan mendengar suara berdentang itu, agaknya mereka tidak membutuhkan terlalu
banyak kayu lagi. Lihat sepagi ini tubuhmu sudah berkeringat!” Kwi Hong menegur
Bun Beng yang bertelanjang baju dan sejak pagi buta telah menebangi kayu.
“Benarkah?
Ah, kalau begitu aku mau beristirahat sebentar!” Bun Beng lalu duduk di atas
batu dan menyusuti peluhnya.
“Aku
akan masak air, tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman untukmu!” Kwi Hong
lalu berlari‑lari kecil meninggalkan Bun Beng. Setelah bekerja keras sejak
pagi, tubuhnya lelah dan kini duduk bersandar batu disiliri angin pagi, Bun
Beng merasa nyaman sekali sehingga tak terasa lagi ia memejamkan matanya. Sudah
hampir setengah bulan dia berada di situ sejak pertemuannya dengan Pendekar
Siluman dan Kakek Nayakavhira, dan selama itu setiap hari dia bekerja keras
dalam usahanya membantu kakek itu membuat pedang pusaka. Kini ia merasa lelah
sekali dan mengantuk.
Entah
berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia merasa pundaknya diguncang tangan halus
dan terdengar suara Kwi Hong. “Ihhh, pemalas. Berhenti sebentar saja sudah
tertidur pulas! Bun Beng, minumlah ini. Bukan air teh akan tetapi daun ini
lebih sedap dan kata Paman dapat memulihkan tenaga. Minumlah!”
Bun
Beng merasa malas untuk bangun, akan tetapi pundaknya ditarik sehingga ia
terduduk dan ketika ia membuka sedikit matanya, ia melihat Kwi Hong yang
membangunkannya bahkan kini anak perempuan itu menempelkan secawan minuman ke
bibirnya!
“Bun
Beng, lihat betapa indahnya bunga ini.... indah harum kupetik untukmu....”
Tiba‑tiba Milana menghentikan kata‑kata dan langkah kakinya ketika melihat Kwi
Hong sedang memberi minum Bun Beng dengan sikap mesra. Milana memandang sejenak,
kemudian memejamkan mata, membuang muka, melempar kembang di tangannya
kemudian membalikkan tubuh dan pergi dari situ tanpa berkata-kata. Sambil
melangkah pergi dia cepat‑cepat menghapus dua butir air mata yang bergantung di
bulu matanya. Anak perempuan ini sama sekali tidak mengerti mengapa dia menjadi
berduka, dan dia tidak tahu sama sekali bahwa setan cemburu yang selalu siap
menggoda hati manusia, terutama sekali hati wanita, telah mulai menyentuh hatinya.
Dia hanya merasa kecewa karena pagi itu dia sengaja mencari bunga yang paling
indah di dalam hutan untuk dipetiknya dan diberikan kepada Bun Beng yang ia
tahu tentu sedang bekerja keras. Dengan hati penuh kegembiraan dia membawa
bunga itu dan berlari‑lari mencari Bun Beng, membayangkan betapa girangnya Bun
Beng menerima pemberiannya, betapa anak laki‑laki itu akan tersenyum kepadanya,
memandang dengan matanya yang tajam dan tentu akan terpancing kata‑kata pujian
dari Bun Beng kepadanya. Dia tidak pernah merasa bosan mendengar pujian‑pujian
dari mulut Bun Beng. “Milana, engkau baik sekali! Milana engkau manis sekali!”
dan sebagainya. Akan tetapi kegembiraannya membuyar seperti awan tipis ditiup
angin ketika tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Hong dengan sikap mesra
memberi minum Bun Beng!
Milana
sendiri tidak mengerti mengapa dia harus kecewa. Dia bersahabat baik dengan
Kwi Hong yang dianggapnya seperti encinya sendiri, yang dianggapnya sebagai
seorang saudara yang lebih tua darinya, lebih pandai dan dia pun tahu bahwa
sebagai murid Pendekar Siluman, Kwi Hong memiliki kepandaian silat jauh lebih
tinggi dari padanya, bahkan menurut pengakuan Bun Beng, jauh lebih tinggi
daripada kepandaian Bun Beng! Mengapa kini hatinya menjadi kecewa dan demikian
tidak enak menyaksikan sikap mesra Kwi Hong kepada Bun Beng?
Bun
Beng yang masih setengah mengantuk dan tadi menurut saja diberi minum, dengan
mata setengah terpejam, dapat melihat bayangan Milana yang pergi lagi sambil
membuang bunga setangkai di atas tanah. Matanya terbuka lebar memandang bunga
itu dan dia lalu sadar akan keadaan dirinya yang seperti anak kecil diberi
minum.
“Terima
kasih, Kwi Hong, biar kuminum sendiri,” katanya sambil menerima cawan minuman
itu. Kwi Hong memberikan cawannya dan memandang dengan wajah berseri ketika
Bun Beng minum dan kelihatan nikmat. Tentu saja nikmat minum‑minuman sedap
hangat itu di pagi hari.
“Eh,
mana dia tadi?” Kwi Hong bertanya sambil menengok.
“Siapa?”
Bun Beng pura‑pura bertanya.
“Milana!
Aku mendengar dia datang tadi. Mana dia?”
“Ah,
aku tidak melihat dia,” kata Bun Beng sambil menutupi muka dengan cawan,
meneguk habis minumannya sedangkan matanya melirik ke arah setangkai bunga
yang terletak sunyi di atas tanah.
“Terima
kasih, Kwi Hong. Engkau baik sekali.” Bun Beng mengembalikan cawan kosong yang
diterima Kwi Hong dengan wajah girang. Memang itulah yang dinanti‑nantinya.
Untuk menerima pujian Bun Beng itu, dia mau melakukan pekerjaan yang lebih
berat daripada membuatkan secawan minuman!
“Bun
Beng, mulai sekarang, engkau tidak perlu mencari kayu bakar lagi.”
“Ahh,
mengapa?”
“Pedang
pusaka itu sudah selesai! Paman tadi berpesan agar engkau tidak perlu
mengumpulkan kayu bakar lagi, akan tetapi pedang itu akan ditapai oleh Kakek
Nayakavhira beberapa hari lamanya. Paman telah pergi karena Kakek itu tidak mau
diganggu, dan Paman pergi mencari sepasang garuda kami karena dipanggil‑panggil
tak kunjung datang.”
“Dan
kita....?”
“Kita
harus menunggu di sini sampai Paman kembali. Eh, Bun Beng, setelah pedang
selesai, engkau tentu akan ikut Paman ke Pulau Es, bukan?”
Bun
Beng berpikir sejenak. Alangkah akan senang hatinya kalau dapat pergi ke tempat
Pendekar Siluman dan menjadi muridnya. Akan tetapi ia teringat kepada Milana.
Mana mungkin dia meninggalkan Milana di tempat itu begitu saja? Dia ingin
sekali pergi bersama Pendekar Siluman, akan tetapi dia tidak boleh meninggalkan
anak perempuan itu. Lebih dulu dia harus mengantarkan Milana sampai dapat
pulang ke tempat tinggalnya, yaitu di Kerajaan Mongol.
“Aku
harus mengantar Milana lebih dulu pulang ke Mongol,” katanya.
Kwi
Hong tertawa. “Apa sukarnya? Dengan adanya Paman dan dengan menunggang garuda,
sebentar saja kita akan dapat mengantar Milana. Eh, di mana anak, itu?
Milana....! Milana....!”
“Aku
di sini....! Aku datang....!” terdengar jawaban Milana dan tampaklah anak itu
datang berlari menghampiri mereka. Wajahnya sudah cerah kembali karena
panggilan suara Kwi Hong sudah mengusir rasa kecewa hatinya.
“Milana,
pedang telah selesai dibuat dan sekarang Bun Beng tidak perlu mencari kayu
bakar lagi. Kita dapat bermain‑main sambil menanti sampai Kakek itu selesai
menapai pedang pusaka. Biar kusimpan dulu cawan ini!” Kwi Hong berlari pergi
membawa cawan kosong.
Bun
Beng memakai bajunya, lalu mengambil setangkai bunga dari atas tanah, mencium
bunga yang indah itu sambil berkata, “Milana, terima kasih atas pemberian
bunga ini. Engkau sungguh seorang anak yang baik hati....”
Wajah
Milana berseri kemudian berubah merah ketika Bun Beng mendekatinya.
“Kalau
sudah selesai, tentu engkau akan diajak pergi oleh Suma‑taihiap.” kata Milana
perlahan. “Engkau akan sekaligus mendapatkan seorang sahabat yang manis
seperti Kwi Hong.”
“Ah,
mana mungkin! Aku harus mengantarmu lebih dulu pulang ke Mongol,” jawab Bun
Beng tiba‑tiba merasa kasihan kepada anak itu dan mendekati.
“Biarkanlah,
aku capat mencari jalan pulang sendiri.”
“Tidak
Milana. Sebelum mengantar engkau pulang, aku tidak mau pergi meninggalkanmu di
sini. Pula, kurasa Suma-taihiap akan suka mengantarmu pulang dengan naik
burung garudanya. Setelah kau tiba dengan selamat di sana, barulah aku akan
suka ikut dan belajar ilmu kepadanya.”
“Bun
Beng, mengapa engkau begini baik kepadaku?” Milana bertanya, mengangkat muka
memandang dengan hati terharu.
Bun
Beng tersenyum. “Apa kaukira engkau kalah baik? Engkaulah yang bersikap amat
baik terhadap aku. Engkau keluarga istana raja, dan aku hanya seorang anak
sebatangkara yang miskin, namun sikapmu baik sekali. Bagaimana aku tidak akan
bersikap baik kepadamu? Lupakah kau akan pelajaran tentang cinta kasih? Kalau
engkau menganjurkan cinta kasih antara manusia, agaknya manusia seperti inilah
yang paling pantas dicinta.”
Percakapan
mereka adalah percakapan kanak‑kanak yang meniru‑niru pelajaran filsafat, maka
tentu saja “cinta” yang mereka sebut‑sebut tidak ada hubungannya dengan cinta
antara laki‑laki dan perempuan dewasa. Betapapun juga, ada sesuatu yang aneh
terasa di hati mereka.
“Mengapa
begitu, Bun Beng? Apa bedanya aku dengan orang lain?”
“Hemm,
entahlah. Mungkin karena engkau.... manis sekali.”
Milana
makin girang dan ia tersenyum tidak tahu betapa Kwi Hong telah datang dan
melihat mereka berdiri berhadapan demikian akrab dan melihat Bun Beng
memegangi setangkai bunga indah dan mereka tidak tahu betapa Kwi Hong yang
keras hati itu memandang dengan mata bersinar‑sinar penuh iri dan cemburu! Kwi
Hong sendiri belum tahu tentang arti cinta antara pria dan wanita, namun tanpa
disengaja dia merasa amat tidak senang menyaksikan keakraban antara Bun Beng
dan Milana!
Akan
tetapi Kwi Hong menyembunyikan rasa tidak senangnya ketika ia berlari
menghampiri mereka dan berkata. “Nah, sekarang tiba waktunya kita bermain‑main
dan marilah kita memperlihatkan ilmu yang kita pelajari. Aku ingin sekali
melihat ilmu silatmu, Milana. Agaknya engkau tentu telah mempelajari ilmu silat
yang tinggi. Gerakan kakimu amat ringan dan tanganmu cekatan. Marilah kita
main‑main dan mengukur kepandaian masing‑masing untuk menambah pengalaman dan
pengetahuan.”
“Ah,
mana mungkin aku dapat menandingimu, Kwi Hong? Engkau adalah murid To‑cu dari
Pulau Es yang terkenal, Pendekar Super sakti, sedangkan aku hanya seorang yang
sebulan sekali saja menerima latihan dari Ibu. Dalam satu dua jurus saja aku
tentu akan roboh!”
“Aihhh,
mengapa kau merendahkan diri, Milana? Aku yakin kepandaianmu tentu sudah cukup
tinggi. Pula, kita hanya main‑main dan hitung‑hitung berlatih, tidak
bertanding sungguh‑sungguh, mana perlu saling merobohkan?”
“Kwi
Hong, ilmu silat adalah ilmu untuk menjaga diri, ada unsur bertahan akan tetapi
juga selalu mengandung unsur menyerang. Kalau dipergunakan dalam pertandingan,
mana bisa main‑main lagi? Kepalan tangan dan tendangan kaki tidak mempunyai
mata. Pula, selama hidupku, belum pernah aku menggunakan ilmu yang kupelajari
untuk bertanding. Tidak, aku mengaku kalah!”
Kwi
Hong menjadi kecewa sekali. Tidak ada seujung rambut dalam hatinya ingin
merobohkan atau melukai Milana, hanya memang dia ingin mengalahkan anak itu di
depan Bun Beng untuk mendapat pujian! “Milana, untuk apa engkau mempelajari
ilmu kalau kau takut mempergunakan?” Ia mendesak.
Bun
Beng yang sudah mengenal watak halus Milana, merasa kasihan. Dia tidak
menyalahkan Kwi Hong, karena ia maklum bahwa orang yang mempelajari ilmu silat
tentu senang bertanding silat dan ia pun tahu bahwa bukan niat Kwi Hong untuk melukai
Milana. Tentu saja Kwi Hong belum mengenal watak Milana yang sama sekali
berlawanan dengan ilmu silat itu maka ia melangkah maju dan berkata,
“Kwi
Hong, Milana tidak mau bertanding mengadu ilmu. Wataknya terlalu halus untuk
bertanding. Kalau engkau ingin berlatih, marilah kulayani, biar terbuka mataku
dan bertambah pengetahuanku menerima pelajaran dari murid Suma-taihiap yang
sakti.”
Dalam
ucapan ini, Bun Beng sama sekali tidak menyalahkan Kwi Hong, hanya ingin
menolong Milana yang kelihatan terpojok. Akan tetapi, hati Kwi Hong
tersinggung dengan kata‑kata bahwa watak Milana terlalu halus, sama dengan
mengatakan bahwa wataknya adalah kasar! Dengan kedua pipi merah ia lalu
menjawab singkat.
“Baiklah.
Mari!” Setelah berkata demikian ia lalu menerjang maju dengan serangan ke arah
dada Bun Beng!
Bun
Beng cepat mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi gerakan Kwi Hong
amat cepatnya dan anak ini sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan lain
yang amat cepat. Bun Beng terkejut, tak sempat mengelak lagi maka ia lalu
menggerakkan tangan menangkis.
“Dukk!”
Kwi Hong merasa lengannya agak nyeri, akan tetapi Bun Beng terhuyung ke
belakang. Dalam hal tenaga sin-kang dia kalah kuat oleh Kwi Hong yang menerima
latihan sin‑kang istimewa dari Suma Han di Pulau Es! Dan Kwi Hong yang merasa
lengannya nyeri itu menjadi penasaran mengira bahwa Bun Beng agaknya memiliki
kepandaian tinggi maka dia lalu menyerang terus dengan gencar.
Bun
Beng menggerakkan kaki tangan, mempertahankan diri dengan ilmu silat dari Siauw‑lim‑pai
yang ia pelajari dari mendiang suhunya, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi lewat
belasan jurus, dia terdesak hebat dan setiap kali terpaksa menangkis, dia
terpental atau terhuyung.
“Wah,
Kwi Hong.... aku menyerah kalah!” Bun Beng berseru sambil menangkis lagi.
“Dukk!”
Kembali Kwi Hong merasa lengannya nyeri. Biarpun sin‑kangnya lebih kuat, namun
kulit lengannya tidak sekeras dan sekuat Bun Beng yang selama setengah tahun
hidup seperti kera liar dalam keadaan telanjang bulat. Ia makin penasaran.“Mengadu
ilmu tidak perlu mengalah. Bun Beng, keluarkan kepandaianmu, balaslah
menyerang, jangan mempertahankan saja!” Kwi Hong melanjutkan serangannya
lebih cepat lagi sehingga Bun Beng menjadi repot sekali. Karena serangan
bertubi‑tubi itu amat cepat dan dahsyat, terpaksa ia dalam keadaan setengah sadar,
telah menggerakkan kaki tangannya menurutkan ilmu dalam tiga kitab Sam-po‑cin‑keng.
Dia menangkis dengan gerakan membentuk lingkaran dengan kaki tangannya dan dari
samping ia mengirim pukulan balasan, hanya mendorong ke arah pundak Kwi Hong
dan dia berhasil! Pundak Kwi Hong terkena dorongannya sehingga anak perempuan
itu terhuyung.
“Kau
hebat juga!” Biarpun mulutnya memuji, namun hati Kwi Hong menjadi panas. Dia
menerjang lagi lebih hebat. Memang watak Kwi Hong keras dan tidak mau kalah.
Dia merasa bahwa sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti dia tidak
akan terkalahkan oleh anak‑anak lain!
Bun
Beng menjadi sibuk sekali. Biarpun dia mainkan ilmu silat yang dipelajari dari
kitab orang sakti yang ia temukan di dalam sumber air panas di guha rahasia,
namun isi kitab itu lebih ia kuasai teorinya saja, sedangkan isinya belum ia
mengerti benar. Apalagi kini Kwi Hong benar‑benar mengeluarkan kepandaiannya.
Ilmu silat yang dia pelajari dari Suma Han adalah ilmu silat tingkat tinggi
dan anak ini setiap hari berlatih dengan para penghuni Pulau Es maka tentu saja
serangan‑serangannya amat hebat!
“Plakkk!”
Punggung Bun Beng kena ditampar. Dia terhuyung akan tetapi berkat semua
penderitaan tubuhnya yang membuat tubuhnya kuat, dia tidak roboh dan dapat
menangkis pukulan susulan. Kembali dia didesak hebat sampai mundur‑mundur dan
hanya mampu mengelak menangkis, sedangkan Kwi Hong seperti seekor harimau
betina mempunyai keinginan untuk merobohkan Bun Beng. Kalau sudah kalah, tentu
Bun Beng tidak berani merendahkannya dan akan menghargainya seperti yang ia
inginkan!
“Kwi
Hong, sudahlah....!” berkali‑kali Milana menjerit ketika melihat betapa Bun
Beng mulai terkena pukulan beberapa kali. Biarpun bukan pukulan yang
membahayakan, namun cukup membuat Bun Beng beberapa kali terhuyung dan
mengaduh. Tiba‑tiba Bun Beng menerjang dengan nekat! Sudah menjadi watak Bun
Beng sebagai seorang anak yang tidak mengenal takut dan pantang menyerah! Apa
lagi baru menerima pukulan-pukulan seperti itu, biarpun diancam maut sekalipun
dia pantang menyerah dan akan melakukan perlawanan. Dia sudah mengalah, akan
tetapi karena Kwi Hong agaknya bersikeras untuk merobohkannya, dia menjadi
naik darah dan kini Bun Beng menerjang hebat dengan ilmu barunya secara sedapat‑dapatnya.
Biarpun gerakannya seperti ngawur, namun kakinya berhasil mengenai lutut Kwi
Hong sehingga gadis cilik yang merasa kaki kirinya tiba‑tiba lemas itu hampir
jatuh! Dia meloncat tinggi kemudian menukik turun dan menyerang Bun Beng dari
atas dengan kedua tangan. Bun Beng terkejut, berusaha menangkis, namun hanya
berhasil menangkis serangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya dapat menotok
pundak Bun Beng, membuat pemuda cilik itu terguling.
“Kwi
Hong, jangan lukai Bun Beng!” Tiba‑tiba Milana yang sejak tadi berteriak‑teriak
mencegah pertandingan, sudah menerjang maju.
“Wuuuut....!
Plakkk!” Terjangan Milana cepat sekali, akan tetapi Kwi Hong masih sempat
menangkis sehingga keduanya terhuyung mundur.
“Hemm,
kiranya engkau boleh juga!” Kwi Hong yang sudah menjadi marah karena menyesal
bahwa dia telah merobohkan Bun Beng dan tentu Bun Beng akan marah kepadanya,
sebaliknya suka kepada Milana yang membelanya, kini menyerang Milana yang cepat
mengelak dan balas menyerang! Kiranya anak yang berwatak halus ini memiliki
gerakan yang indah dan ringan sekali sehingga pukulan‑pukulan Kwi Hong dapat
ia elakkan semua. Betapapun juga, dia segera terdesak hebat karena agaknya dalam
keringanan tubuh saja dia dapat menandingi, sedangkan dalam ilmu silat dan
tenaga, dia kalah banyak.
Biarpun
Milana bergerak dengan gesit, tidak urung dia terkena dorongan tangan Kwi
Hong yang mengenai pinggangnya sehingga ia terpelanting jatuh.
“Kwi
Hong, kau terlalu!” Bun Beng menubruk Kwi Hong, akan tetapi cepat Kwi Hong
mengelak menjatuhkan diri sambil menendang.
“Bukk!”
Paha Bun Beng terkena tendangan dan untuk kedua kalinya dia jatuh tersungkur.
“Kwi
Hong! Apa yang kaulakukan ini?” Tiba‑tiba tampak bayangan berkelebat dan Suma
Han telah berada di situ. Melihat pamannya, seketika lenyap kemarahan dari hati
Kwi Hong, terganti rasa takut. “Paman, kami hanya main-main....”
“Main‑main?”
Suma Han memandang Bun Beng yang telah bangun dan mengebut‑ngebutkan
pakaiannya yang kotor. Juga Milana telah bangun dan memandang dengan wajah
tenang.
“Karena
menganggur, kami berlatih silat.” kata pula Kwi Hong.
“Hemm....”
Suma Han tetap memandang Bun Beng dan Milana penuh selidik. Melihat sikap
pendekar itu dan melihat betapa Kwi Hong ketakutan, Bun Beng lalu cepat
berkata.
“Kami
hanya berlatih.”
Milana
juga berkata, “Kwi Hong hanya melatih saya, Suma‑taihiap.”
Suma
Han mengerutkan keningnya, wajahnya yang biasanya sudah muram itu kini tampak
seolah‑olah ada sesuatu yang mengesalkan hatinya. Tanpa menjawab ia lalu
meloncat dan tubuhnya berkelebat memasuki pondok.
Kwi
Hong memandang kepada Bun Beng dan Milana, kemudian dengan suara penuh
penyesalan berkata, “Maafkan aku, kalian baik sekali.”
Tiba‑tiba
terdengar bunyi lengking keras dari dalam pondok dan tubuh Suma Han meloncat
keluar, tahu‑tahu sudah tiba di dekat mereka bertiga, matanya mengeluarkan
sinar marah ketika ia menegur.
“Kalian
tidak melihat orang datang ke pondok?”
Tiga
orang anak itu memandang Suma Han dengan heran, kemudian menggeleng kepala,
Suma Han menghela napas panjung. “Kalian hanya bermain‑main saja, sedangkan
sepasang garuda dibunuh orang dan pedang pusaka lenyap dari pondok.”
Tiga
orang anak itu terkejut bukan main, “Pek‑eng dibunuh....?” Kwi Hong bertanya
dan suaranya terdengar bahwa dia menahan tangisnya.
“Mati
terpanah. Tidak mudah kedua burung itu dipanah, tentu pemanahnya seorang yang
berilmu tinggi. Dan selagi kalian main‑main, pedang pusaka dicuri orang.”
“Kakek
Nayakavhira....?” Tanya Milana.
“Dia
telah meninggal dunia.”
“Ohh!
Dia dibunuh?” Bun Beng berteriak kaget.
Suma
Han menggeleng kepala. “Dia mati selagi bersamadhi. Sungguh celaka, ada orang
berani mempermainkan aku secara keterlaluan. Kalian di sini saja, jangan main‑main,
bantu aku pasang mata, lihat‑lihat kalau ada orang. Aku akan memperabukan
jenazah Nayakavhira.” Suma Han lalu membakar pondok itu setelah menumpuk sisa
kayu bakar ke dalam pondok dan meletakkan jenazah kakek yang masih bersila itu
di atasnya.
Pondok
terbakar oleh api yang bernyala‑nyala besar. Suma Han berdiri tegak memandang,
dan tiga orang itu juga memandang dengan hati kecut. Sungguh tidak mereka
sangka terjadi hal‑hal yang demikian hebat. Selain dua ekor burung garuda
terbunuh orang, juga pedang pusaka yang dibuat sedemikian susah payah itu dicuri
orang dari pondok tanpa mereka ketahui sama sekali. Timbul penyesalan besar di
dalam hati Kwi Hong karena andaikata dia tidak memaksa Bun Beng dan Milana
bertempur, tentu mereka lebih waspada dan dapat melihat orang yang memasuki
pondok dan mencuri pedang pusaka. Andaikata mereka bertiga tidak dapat
mencegah pencuri itu melarikan pedang, sedikitnya mereka akan dapat
menceritakan pamannya bagaimana macamnya orang yang mencuri pedang. Sekarang
pedang tercuri tanpa diketahui siapa pencurinya!
Keadaan
di situ menjadi sunyi sekali karena Suma Han dan tiga orang anak itu tidak
bergerak, memandang pondok yang dibakar. Hanya suara api membakar kayu
terdengar jelas mengantar asap yang membubung tinggi ke atas. Tiba-tiba tiga
orang anak terkejut ketika mendengar suara ketawa melengking yang menggetarkan
isi dada mereka. Pantasnya iblis sendiri yang mengeluarkan suara seperti itu,
yang datang dari timur seperti terbawa angin, bergema di sekitar daerah itu.
Lebih kaget lagi hati mereka bertiga ketika melihat tubuh Suma Han berkelebat
cepat dan lenyap dari situ, meninggalkan suara perlahan namun jelas
terdengar oleh mereka. “Kalian tinggal di sini, jangan pergi!”
Selagi
tiga orang itu bengong saling pandang dengan muka khawatir, tiba‑tiba terdengar
suara tertawa halus dan berkelebat bayangan orang. Tahu‑tahu di situ muncul
seorang laki‑laki yang berwajah tampan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
berpakaian seperti siucai dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Melihat
munculnya orang yang tertawa-tawa ini, Bun Beng memandang penuh perhatian dan
dia melihat sebatang pedang bersinar putih tanpa gagang terselip di ikat
pinggang orang itu. Anak yang cerdik ini segera dapat menduga bahwa tentu orang
ini mencuri pedang, dan pedang bersinar putih yang terselip dan ditutupi jubah
namun masih tampak sedikit itu adalah pedang pusaka yang dicurinya.
“Engkau
pencuri pedang!” Bentaknya marah dan tanpa mempedulikan sesuatu, Bun Beng sudah
menubruk ke depan. Akan tetapi sebuah tendangan tepat mendorong dadanya dan ia
roboh terjengkang.
“Ha‑ha‑ha!
Memang aku yang mengambil pedang pusaka. Dan siapa di antara kalian berdua
yang menjadi murid perempuan Pendekar Siluman?”
Kwi
Hong yang mendengar pengakuan itu sudah menjadi marah sekali. Inilah orangnya
yang membikin kacau dan membikin marah gurunya atau pamannya, pikirnya. Ia
bergerak maju sambil membentak,
“Aku
adalah murid Pendekar Super Sakti! Maling hina, kembalikan pedang!”
Akan
tetapi sambil tertawa‑tawa, laki‑laki tampan itu membiarkan Kwi Hong memukulnya
dan ketika kepalan tangan gadis cilik itu mengenai perutnya, Kwi Hong merasa
seperti memukul kapas saja. Ia terkejut, akan tetapi tiba‑tiba lengannya sudah
ditangkap, tubuhnya dikempit dan sambil tertawa laki‑laki itu sudah meloncat
dan lari pergi.
“Tahan....!”
Milana berseru dan meloncat ke depan, akan tetapi sekali orang itu mengibaskan
lengan kirinya, tubuk Milana terpelanting dan roboh terguling. Bun Beng sudah
bangkit lagi, tidak peduli akan kepeningan kepalanya dan dia mengejar secepat
mungkin. Namun, laki-laki itu berloncatan cepat sekali dan sudah menghilang.
Bun Beng teringat akan suara ketawa dari arah timur tadi, maka dia lalu
mengejar ke timur.
Milana
merangkak bangun, menggoyang‑goyang kepalanya yang pening. Ia mengangkat muka
memandang, akan tetapi tidak tampak lagi laki‑laki yang menculik Kwi Hong,
juga tidak tampak bayangan Bun Beng. Dia menduga tentu Bun Beng melakukan
pengejaran, maka dia pun meloncat bangun dan mengejar ke timur karena seperti
Bun Beng, dia tadi mendengar suara ketawa dari timur.
Tentu
saja baik Bun Beng maupun Milana tertinggal jauh sekali oleh laki-laki yang
menculik Kwi Hong karena orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga
kedua orang anak itu selain tertinggal juga masing‑masing melakukan pengejaran
secara ngawur tanpa mengetahui ke mana larinya si penculik dan pencuri pedang
itu.
Penculik
berpakaian sasterawan itu bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang sudah
miring otaknya! Setelah berhasil membunuh Im‑yang Seng‑cu yang dipersalahkan
karena Im‑yang Seng-cu tidak membalas dendam dan membunuh Pendekar Siluman,
Tan‑siucai bersama gurunya yang aneh dan amat lihai itu lalu melanjutkan
perjalanan mencari Pendekar Siluman yang kabarnya menjadi To‑cu Pulau Es.
Secara kebetulan sekali, ketika mereka berjalan di sepanjang pesisir lautan
utara untuk menyelidiki di mana adanya Pulau Es, pada suatu hari mereka
melihat dua ekor burung garuda putih beterbangan.
“Guru,
bukankah burung‑burung itu adalah garuda putih yang amat besar-besar. Seperti
kita dengar, tunggangan Suma Han juga burung garuda putih. Siapa tahu burung‑burung
itu adalah tunggangannya?” Kata Tan‑siucai.
“Hemm,
burung yang indah dan hebat. Sebaiknya ditangkap!” Kata Maharya memandang
kagum, kemudian ia mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan dan
melontarkan batu itu ke arah seekor daripada dua burung garuda putih yang
terbang rendah. Dua ekor burung itu memang benar burung‑burung peliharaan Suma
Han yang ditinggalkan di tempat itu ketika Kwi Hong hendak menonton kakek
menunggang gajah. Karena lama majikan mereka tidak memanggil, kedua burung
garuda itu menjadi kesal dan beterbangan sambil menyambari ikan yang berani
mengambang di permukaan laut, juga mencari binatang-binatang kecil yang dapat
mereka jadikan mangsa.
Lontaran
batu dari tangan Maharya amat kuatnya sehingga batu itu meluncur seperti
peluru ke arah burung garuda betina. Burung ini sudah terlatih, melibat ada
sinar menyambar ke arahnya, ia lalu menangkis dengan cakarnya. Akan tetapi,
biarpun batu itu hancur oleh cakarnya, burung itu memekik kesakitan karena
tenaga lontaran yang kuat itu membuat kakinya terluka. Dia menjadi marah
sekali, mengeluarkan lengking panjang sebagai tanda marah dan menyambar turun
ke bawah dengan kecepatan kilat, mencengkeram kepala Maharya yang berani
mengganggunya!
“Eh,
burung jahanam!” Maharya menyumpah ketika terjangan itu membuat ia terkejut
dan hampir jatuh, sungguhpun dia dapat mengelak dengan loncatan ke kiri.
“Tidak
salah lagi, tentu tunggangan Pendekar Siluman!” Kata Tan‑siucai. “Kalau burung
liar mana mungkin begitu lihai? Guru, kita bunuh saja burungburung ini!”
Setelah berkata demikian, Tan Ki mengeluarkan sebatang panah, memasang pada
sebuah gendewa kecil. Menjepretlah tali gendewa dan sebatang anak panah
meluncur dengan kecepatan kilat menyambar burung garuda betina yang masih
terbang rendah. Burung itu berusaha mengelak dan menangkis dengan sayapnya,
namun anak panah itu dilepas oleh tangan yang kuat sekali, menembus sayap dan
menancap dada! Burung itu memekik dan melayang jatuh, terbanting di atas tanah,
berkelojotan dan mati!
Burung
garuda jantan menjadi marah sekali, mengeluarkan pekik nyaring dan menyambar ke
bawah hendak menyerang Tan‑siucai. Namun sambil tertawa, Tan Ki sudah melepas
sebatang anak panah lagi. Garuda ini pun mencengkeram, namun anak panah itu
tetap saja menembus dadanya dan burung ini pun roboh tewas! Dua ekor burung
garuda yang terjatuh kini tewas di tangan seorang berotak miring yang lihai
sekali.
Tan‑siucai
dan gurunya kini merasa yakin bahwa tentu kedua ekor burung garuda itu adalah
binatang tunggangan Pendekar Siluman seperti yang mereka dengar diceritakan
orang‑orang kang‑ouw. Maka mereka berlaku hati‑hati, menyelidiki daerah itu dan
akhirnya dari jauh mereka melihat pondok di mana mengepul asap dan terdengar
bunyi martil berdencing. Mereka tidak berlaku sembrono, hanya mengintip dengan
sabar dan dapat menduga bahwa Pendekar Siluman tentu berada di pondok itu,
sedangkan seorang di antara dua orang anak perempuan yang bermain‑main di luar
dengan seorang anak laki-laki tentulah muridnya seperti yang dikabarkan orang.
Tadinya
Tan‑siucai hendak mengajak gurunya menyerbu dan membunuh musuh yang dibencinya
itu, yang dianggap telah merampas tunangannya. Akan tetapi ketika Maharya
mendapatkan bangkai gajah besar tak jauh dari tempat itu, dia menahan niat ini.
“Kalau
tidak salah, gajah ini adalah binatang tunggangan kakakku Nayakavhira! Jangan‑jangan
tua bangka itu pun berada di dalam pondok bersama Pendekar Siluman. Aahhh,
tidak salah lagi, tentu dia. Dan suara berdencing itu. Tentu Si Tua Bangka
membuatkan pedang pusaka untuk Pendekar Siluman! Huh, dia selalu menentangku!
Kalau aku tidak bisa membunuhnya, tentu dia akan mendahului aku merampas
Sepasang Pedang Iblis! Kita harus berhati‑hati. Aku tidak takut menghadapi
Pendekar Siluman kaki buntung yang disohorkan orang itu. Akan tetapi tua
bangka Nayakavhira itu lihai sekali dan terhadap dia kita tidak dapat
menggunakan ilmu sihir. Kita menanti saja dan kalau ada kesempatan baik, baru
kita menyerbu.”
Ketika
melihat Suma Han keluar dari pondok dan meninggalkan tiga orang anak, Maharya
lalu mengajak muridnya diam‑diam, menggunakan kesempatan selagi tiga orang anak
itu bertempur untuk menyelundup ke dalam pondok. “Dia tentu sedang samadhi
menapai pedang, inilah kesempatan baik karena Pendekar Siluman sedang keluar.
Kau ambil pedangnya, biar aku yang menghadapi Nayakavhira!”
Akan
tetapi, ketika mereka memasuki pondok, mereka melihat bahwa Nayakavhira telah
mati dalam keadaan masih duduk bersila di pondok, di depannya menggeletak
sebatang pedang bersinar putih yang belum ada gagangnya. Tentu saja Maharya
menjadi girang sekali dan Tan‑siucai mengambil pedang pusaka itu. Diam‑diam
mereka keluar dari pondok dan mengintai dari tempat persembunyian mereka.
Mereka melihat Suma Han datang lagi kemudian melihat Suma Han membakar pondok
untuk memperabukan jenazah Nayakavhira.
“Bagus!
Sekarang biar aku memancing dia pergi, hendak kucoba sampai di mana
kepandaiannya. Kau menjaga di sini, kalau dia sudah pergi, kauculik muridnya.
Dengan demikian, akan lebih mudah engkau membalas dendam.”
Demikianlah,
dari tempat jauh di sebelah timur Maharya mengeluarkan suara ketawa sehingga
memancing datangnya Suma Han, sedangkan Tan‑siucai berhasil menculik Kwi Hong!
Pada hakekatnya, Tan‑siucai bukanlah seorang yang jahat atau kejam. Akan
tetapi pada waktu itu, otaknya sudah miring karena dendamnya dan karena dia
memaksa diri mempelajari ilmu sihir dari Maharya. Maka dia pun tidak membunuh
Bun Beng dan Milana, hal yang akan mudah dan dapat ia lakukan kalau dia berhati
kejam. Dia mengempit tubuh Kwi Hong sambil lari menyusul gurunya dan terkekeh
mengerikan.
“Lepaskan
aku! Keparat, lepaskan aku! Kalau tidak, Pamanku akan menghancurkan kepalamu!”
“Heh‑heh‑heh,
Pamanmu? Gurumu sekalipun, Si Pendekar Buntung kakinya itu, tidak akan mampu
membunuhku, bahkan dia yang kini akan mampus di tangan Guruku. Siapa Pamanmu,
heh?”
“Tolol!
Pamanku ialah guruku Suma Han Pendekar Super Sakti, To‑cu dari Pulau Es!
Lepaskan aku!”
Saking
herannya bahwa anak perempuan itu bukan hanya murid, akan tetapi juga keponakan
musuh besarnya, Tan‑siucai melepaskan Kwi Hong dan memandang dengan mata
terbelalak. “Engkau keponakannya? Keponakan dari mana, heh?”
Kwi
Hong mengira bahwa orang gila ini takut mendengar bahwa dia keponakan gurunya,
maka dia berkata, “Guruku adalah adik kandung mendiang Ibuku.”
Tan‑siucai
tertawa. “Ha‑ha‑ha‑ha! Kebetulan sekali! Dia telah membunuh kekasihku,
tunanganku, calon isteriku. Biar dia lihat bagaimana rasanya melihat
keponakannya kubunuh di depan matanya. Heh‑heh‑heh!”
Kwi
Hong memandang marah. “Setan keparat! Engkau gila! Diriku tidak membunuh siapa‑siapa
dan jangan kira engkau akan dapat terlepas dari tangannya kalau kau berani
menggangguku!”
“Engkau
mau lari? Heh‑heh‑heh, larilah kalau mampu. Lihat, api dari tanganku sudah
mengurungmu, bagaimana kau bisa lari?”
Kwi
Hong memandang dan ia terpekik kaget melihat betapa kedua tangan yang
dikembangkan itu benar‑benar mengeluarkan api yang menyala‑nyala dan mengurung
di sekelilingnya! “Setan.... engkau setan....!” Ia memaki akan tetapi hatinya
merasa takut dan ngeri.
“Ha‑ha‑ha,
hayo ikut bersamaku. Aku tidak mau terlambat melihat musuh besarku mati di
tangan Guruku!”
Tan‑siucai
menubruk hendak menangkap Kwi Hong. Anak ini menjerit dan tanpa mempedulikan
api yang bernyala-nyala di sekelilingnya, ia meloncat menerjang api. Dan
terjadilah hal yang mengherankan hatinya. Ketika menerjang, api itu tidak
membakarnya, bahkan tidak ada lagi! Seolah‑olah melihat api tadi hanya terjadi
dalam mimpi! Maka ia berbesar hati lari terus.
“Hei‑hei....
mau lari ke mana, heh?” Tan‑siucai mengejar dan agaknya dalam kegilaannya ia
merasa senang mempermainkan Kwi Hong, mengejar sambil menggertak menakut‑nakuti,
tidak segera menangkapnya, padahal kalau dia mau, tentu saja dia dapat
menangkap dengan mudah dan cepat. Lagaknya seperti seekor kucing yang hendak
mempermainkan seekor tikus. Membiarkannya lari dulu untuk kemudian ditangkap
dan diganyangnya.
Tan-siucai
hanya hendak menakut-nakuti saja karena anak itu adalah keponakan dan murid
musuh besarnya, tidak mempunyai maksud sedikit pun juga di hatinya untuk
melakukan sesuatu yang tidak baik. Mungkin dia akan benar-benar membunuh Kwi
Hong di depan Suma Han, namun hal itu pun akan dilakukan semata-mata untuk
menyakiti hati musuh besar yang telah merampas dan dianggap membunuh
kekasihnya!
“Heh-heh-heh,
mau lari ke mana kau?” Sekali meloncat, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan
dan sambil tertawa-tawa ia telah tiba menghadang di depan Kwi Hong!
“Ihhhhh!”
Kwi Hong menjerit kaget penuh kengerian, akan tetapi dia tidak takut dan
menghantam perut orang itu.
“Cessss!”
Tangannya mengenai perut yang lunak seolah-olah tenaganya amblas ke dalam air,
maka Kwi Hong lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri ke lain jurusan.
“Heh-heh-heh,
larilah yang cepat, larilah kuda cilik, lari! Ha-ha-ha!” Tan-siucai
tertawa-tawa dan mengejar lagi dari belakang. Berkali-kali ia mempermainkan Kwi
Hong dengan loncat menghadang di depan anak itu.
Ketika
ia sudah merasa puas mempermainkan sehingga Kwi Hong mulai terengah-engah
kelelahan, tiba-tiba Tan-siucai tersentak kaget karena tampak bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang wanita yang mukanya
berkerudung menyeramkan!
Biarpun
Tan-siucai kini telah menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, namun
kemiringan otaknya membuat dia kadang-kadang seperti kanak-kanak. Begitu
melihat munculnya seorang wanita berkerudung, agaknya ia teringat akan
cerita-cerita yang dibacanya tentang setan-setan dan iblis, maka mukanya
berubah pucat dan ia membalikkan tubuhnya melarikan diri sambil menjerit, “Ada
setan....!”
“Aduhhh....!”
Ia menjerit dan tubuhnya terpental karena pinggulnya telah ditendang dari
belakang. Kini wanita berkerudung itulah yang keheranan. Tendangannya tadi
disertai sin-kang yang kuat, yang akan meremukkan batu karang dan orang di
dunia kang-ouw jarang ada yang sanggup menerima tendangannya itu tanpa
menderita luka berat atau bahkan mati. Akan tetapi orang gila itu hanya menjerit
tanpa menderita luka sedikit pun. Bahkan kakinya merasakan pinggul yang lunak
seperti karet busa!
“Eh,
kau.... kau bukan setan? Kakimu menginjak tanah, terang bukan setan! Keparat,
kau berani menendang aku? Tunggu ya, aku akan menangkap dulu anak itu!”
Tan-siucai melangkah hendak menangkap lengan Kwi Hong yang masih berdiri
terengah-engah dan juga memandang wanita berkerudung itu dengan mata
terbelalak.
“Jangan
ganggu dia!” Tiba-tiba wanita itu membentak, suaranya merdu namun dingin dan
mengandung getaran kuat.
Tan-siucai
sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak menentangnya maka ia
membusungkan dada dan menudingkan telunjuknya. “Aihh, kiranya engkau hendak
menentangku, ya? Sungguh berani mati. Engkau tidak tahu aku siapa? Awas, kalau
aku sudah marah, tidak peduli lagi apakah engkau wanita atau pria,
berkerudung atau tidak, sekali bergerak aku akan mencabut nyawamu!”
Wanita
berkerudung itu mendengus penuh hinaan, “Siapa takut padamu? Tentu saja aku
tahu engkau siapa. Engkau adalah seorang yang tidak waras, berotak miring yang
menakut-nakuti seorang anak perempuan. Kalau aku tidak ingat bahwa engkau
adalah seorang gila, apakah kaukira tidak sudah tadi-tadi kupukul kau sampai
mampus? Nah, pergilah. Aku memaafkanmu karena engkau gila dan tinggalkan anak
ini.”
Tan-siucai
sudah lenyap kegilaannya dan ia marah sekali. “Engkau yang gila! Engkau
perempuan lancang, hendak mencampuri urusan orang lain dan engkau memakai
kerudung penutup muka. Hayo buka kerudungmu dan lekas minta ampun kepadaku!”
“Agaknya
selain gila, engkau pun sudah bosan hidup. Nah, mampuslah!” Tiba-tiba wanita
berkerudung itu menerjang maju dengan cepat sekali, tahu-tahu tangannya sudah
mengirim totokan maut ke arah ulu hati Tan-siucai. Tan-siucai telah memiliki
ilmu kepandaian tinggi, namun dia terkejut sekali karena maklum bahwa totokan
itu dapat membunuhnya dan bahwa gerakan wanita itu selain cepat seperti kilat
juga mengandung sin-kang yang luar biasa! Dia tidak berani main-main lagi,
tahu bahwa lawannya adalah seorang pandai, maka cepat ia menangkis dengan
tangan kanan sambil mengerahkan tenaga.
“Desss!”
Tubuh Tan-siucai terguling saking hebatnya benturan tenaga itu dan ia cepat
meloncat bangun sambil mengirim serangan balasan penuh marah.
“Hemm,
kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian!” Wanita berkerudung itu berseru dan
menyambut pukulan Tan-siucai dengan sambaran tangan ke arah pergelangan lawan.
Tan-siucai tidak mau lengannya ditangkap maka ia menghentikan pukulannya dan
tiba-tiba kakinya menendang, sebuah tendangan yang mendatangkan angin keras
mengarah pusar lawan.
“Wuuuttt!”
Wanita itu miringkan tubuh membiarkan tendangan lewat dan secepat kilat
kakinya mendorong belakang kaki yang sedang menendang itu. Gerakan ini amat
aneh dan Tan-siucai tak dapat mengelak lagi. Kakinya yang luput menendang itu
terdorong ke atas, membawa tubuhnya sehingga ia terlempar ke atas seperti
dilontarkan.
“Aiiihhh....!”
Tan-siucai berteriak akan tetapi wanita itu kagum juga menyaksikan betapa
lawannya yang gila itu ternyata memiliki gin-kang yang tinggi sehingga mampu
berjungkir balik di udara dan turun ke tanah dengan keadaan kakinya tegak
berdiri.
Adapun
Tan-siucai yang makin kaget dan heran menyaksikan gerakan wanita berkerudung
itu, teringat akan sesuatu dan membentak, “Aku mendengar bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah....”
“Akulah
Ketua Thian-liong-pang!” Wanita itu memotong dan menerjang lagi, gerakannya
cepat sekali sehingga sukar diikuti pandang mata dan Tan-siucai terpaksa
meloncat mundur dengan kaget.
“Singggg....!”
Tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu tangan Tan-siucai telah mencabut
pedang hitamnya, tampak sinar hitam bergulung-gulung dengan dahsyatnya.
Diam-diam
Ketua Thian-liong-pang itu kaget dan heran. Bagaimana tiba-tiba muncul seorang
siucai gila seperti ini padahal di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar
namanya. Namun dia tidak gentar sedikitpun juga. Dia maklum bahwa tingkat
kepandaian siucai tampan yang gila ini amat tinggi, akan tetapi tidak terlampau
tinggi. Maka ia pun menghadapinya dengan kedua tangan kosong saja. Tubuhnya
berkelebatan menyelinap di antara sinar pedang hitam dan mengirim pukulan
sin-kang bertubi-tubi sehingga hawa pukulan itu saja cukup membuat Tan-siucai
terhuyung mundur dan kacau permainan pedangnya! Ketika dengan rasa penasaran ia
membabat kedua kaki wanita itu, Ketua Thian-liong-pang mencelat ke atas, ujung
kakinya menendang tenggorokan lawan, Tan-siucai miringkan kepala dengan kaget
sekali.
“Aduhhh....!”
Ia menjerit dan roboh terguling-guling, tulang pundaknya yang tersentuh ujung
sepatu wanita terasa hendak copot, nyeri sampai menusuk ke jantung rasanya.
“Pangcu
dari Thian-liong-pang, lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas,
berlututlah!” tiba-tiba Tan-siucai menuding dengan pedangnya, melakukan ilmu
hitamnya, untuk menguasai semangat dan pikiran lawannya melalui gerakan,
suara dan pandang matanya. Namun, Ketua Thian-liodg-pang itu memakai kerudung
di depan mukanya sehingga tidak dapat dikuasai oleh pandang matanya, adapun
suaranya yang mengandung getaran khi-kang hebat itu masih kalah kuat oleh
sin-kang lawan. Kini wanita itu tertawa merdu, ketawa yang bukan sembarang
ketawa karena suara ketawanya digerakkan dengan sin-kang dari pusar sehingga
membawa getaran yang amat kuat. Gelombang getaran ini menyentuh hati Tan-siucai
sehingga dia ikut pula tertawa bergelak di luar kemauannya. Mendengar suara
ketawanya sendiri, Tan-siucai terkejut dan cepat ia menindas rasa ingin ketawa
itu, pedangnya membacok dari atas!
“Manusia
berbahaya perlu dibasmi!” Tiba-tiba Ketua Thian-liorg-pang itu berkata dan
tangan kirinya bergerak dari atas, ketika pedang itu tiba ia menjepit pedang
dari atas dengan jari tangannya yang ditekuk! Bukan main hebatnya ilmu ini yang
tentu saja hanya mampu dilakukan oleh orang yang kepandaiannya sudah tinggi
sekali dan sin-kangnya sudah amat kuat. Tan-siucai terkejut, berusaha menarik
pedang namun pedang itu seperti dijepit oleh tang baja dan sama sekali tidak
mampu ia gerakkan. Saat itu Ketua Thian-liong-pang sudah menyodokkan jari-jari
tangan kanannya ke arah perut Tan-siucai yang kalau mengenai sasaran tentu akan
mengoyak kulit perut!
“Aiihhhh....!”
Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu memekik, pekik seorang wanita yang
terkejut dan ngeri, kemudian tubuhnya meloncat jauh ke belakang, sepasang mata
di balik kerudung itu terbelalak.
Tan-siucai
yang tadinya sudah hilang harapan dan maklum bahwa dia terancam bahaya maut,
menjadi kaget dan girang sekali melihat wanita sakti itu meloncat mundur, tidak
jadi membunuhnya. Saking girangnya, gilanya kumat dan ia meloncat pergi sambil
tertawa-tawa, “Ha-ha-ha, engkau tidak tega membunuhku, ha-ha-ha!”
Ketua
itu masih bengong dan membiarkan Si Gila pergi. Tentu saja dia tadi meloncat
ke belakang bukan karena tidak tega membunuh Tan-siucai, melainkan ketika
tangannya hampir mengenai perut lawan, tiba-tiba ada sinar putih yang luar
biasa keluar dari balik jubah bagian perut. Sinar putih ini mengandung hawa
mujijat sehingga mengagetkan Ketua Thian-liong-pang yang maklum bahwa sinar
yang mengandung hawa seperti itu hanyalah dimiliki sebuah pusaka yang maha
ampuh!
“Sayang
engkau melepaskan Si Gila itu,” Kwi Hong berkata ketika melihat Tan-siucai
menghilang.
Ketua
Thian-liong-pang itu agaknya baru sadar akan kehadiran Kwi Hong. Dia menoleh
dan memandang anak itu, di dalam hatinya merasa suka dan kagum. Anak yang
bertulang baik, berhati keras dan penuh keberanian.
“Sudah
cukup kalau engkau terbebas darinya,” ia berkata. “Anak, engkau siapakah dan
mengapa engkau ditangkap Si Gila?”
“Aku
tidak tahu dengan orang apa aku bicara. Apakah engkau tidak mau membuka
kerudungmu sehingga aku dapat memanggilmu dengan tepat?” Kwi Hong bertanya,
memandang muka berkerudung itu dan diam-diam ia kagum karena dia sudah
mendengar akan nama besar Thian-liong-pang dan tadi pun sudah menyaksikan
sendiri kelihatan wanita ini sehingga timbul keinginan untuk melihat bagaimana
kalau wanita ini bertanding melawan pamannya!
Wanita
itu menggeleng kepala. “Tidak seorang pun boleh melihat mukaku, kecuali....
kecuali.... yah, tak perlu kau tahu. Sebut saja aku Bibi. Engkau siapakah?”
“Bibi
yang perkasa, aku adalah Giam Kwi Hong, murid dan juga keponakan dari To-cu
Pulau Es.”
“Pendekar
Siluman....!” Wanita berkerudung itu bertanya, jelas kelihatan terkejut bukan
main. Besar rasa hati Kwi Hong. Semua orang mengenal pamannya, mengenal dan
takut. Agaknya wanita perkasa ini tidak terkecuali, maka ia menjadi bangga,
tersenyum dan mengangguk.
“Benar,
dan Si Gila itu tadi sengaja menculikku karena dia memusuhi Paman Suma Han.
Katanya Pamanku membunuh kekasihnya, tunangannya. Kurasa dia bohong karena dia
gila. Kalau saja Paman tidak dipancing pergi, mana dia mampu menculikku?”
“Di
mana Pamanmu sekarang? Apa yang terjadi?”
“Paman
sedang membuat pedang pusaka bersama kakek yang bernama Nayakavhira. Pedang
sudah jadi dan karena Kakek itu hendak menapai pedang, Paman pergi untuk
mencari garuda kami. Paman datang dan mengatakan bahwa sepasang garuda dibunuh
orang, kemudian ternyata bahwa pedang pusaka itu lenyap. Baru tadi kuketahui
bahwa pedang yang baru jadi diambil oleh Si Gila. Maka sayang tadi kaulepaskan
dia, seharusnya pedang itu dirampas dulu, Bibi.”
“Ahhhh....!”
Ketua Thian-liong-pang itu kagum bukan main. Kiranya benar dugaannya. Si Gila
itu menyelipkan sebatang pedang pusaka yang amat ampuh di pinggangnya. Dia
menyesal mengapa tadi tidak mengejar dan merampas pedang itu.
“Ketika
Paman membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira yang kedapatan
sudah mati tua di pondok, ada suara ketawa. Paman cepat pergi mencari dan
tiba-tiba muncul Si Gila itu, dan aku diculik.....”
“Hemm....
kalau begitu Pamanmu tidak jauh dari sini. Mari kuantar engkau menyusulnya.”
Tanpa menanti jawaban, wanita itu memegang lengan Kwi Hong dan anak ini kagum
bukan main. Kembali dia membandingkan wanita ini dengan pamannya, karena
digandeng dan dibawa lari seperti terbang seperti sekarang ini hanya pernah ia
alami ketika dia dibawa lari pamannya.
Tiba-tiba
wanita itu berhenti dan menuding ke depan. Kwi Hong memandang dan terbelalak
heran menyaksikan pamannya itu sedang duduk bersila di atas tanah, tongkatnya
melintang di atas kaki tunggal, kedua tangannya dengan tangan terbuka
dilonjorkan, matanya terpejam dan dari kepalanya keluar uap putih yang tebal!
Adapun kira-kira sepuluh meter di depannya tampak seorang kakek bersorban
seperti Nayakavhira, hanya bedanya kalau Kakek Nayakavhira berkulit putih,
orang ini berkulit hitam arang, memakai anting-anting di telinga, hidungnya
seperti paruh kakatua, jenggotnya panjang dan dia pun bersila seperti Suma Han
dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada dan matanya melotot lebar, juga
dari kepalanya keluar uap tebal. Baik Suma Han maupun kakek hitam itu sama
sekali tidak bergerak seolah-olah mereka telah menjadi dua buah arca batu!
“Paman....!”
Tiba-tiba mulut Kwi Hong didekap tangan Ketua Thian-liong-pang yang berbisik.
“Anak
bodoh, tidak tahukah engkau bahwa Pamanmu sedang bertempur mati-matian melawan
kakek sakti itu? Mereka mengadu sihir dan kalau engkau mengganggu Pamanmu, dia
bisa celaka. Kau tunggu saja di sini sampai pertempuran selesai, baru boleh
mendekati Pamanmu. Aku mau pergi!” Setelah berkata demikian, sekali
berkelebat, Ketua Thian-liong-pang itu lenyap dari belakang Kwi Hong yang tidak
mempedulikannya lagi karena perhatiannya tertumpah kepada pamannya.
Kwi
Hong sama sekali tidak tahu bahwa sebelum dia tiba di tempat itu, Bun Beng
telah lebih dulu melihat pertandingan yang amat luar biasa itu, bersembunyi
di tempat lain dan memandang dengan napas tertahan dan mata terbelalak.
Dibandingkan dengan Kwi Hong, dia jauh lebih terheran karena apa yang
dilihatnya tidaklah sama dengan apa yang dilihat Kwi Hong! Kalau Kwi Hong hanya
melihat pamannya duduk bersila melonjorkan kedua lengan ke depan menghadapi
kakek hitam yang bersila dan merangkapkan tangan depan dada, Bun Beng melihat
betapa di antara kedua orang sakti yang duduk bersila tak bergerak seperti arca
itu terdapat seorang Suma Han ke dua yang sedang bertanding dengan hebatnya
melawan seorang kakek hitam ke dua pula, seolah-olah bayangan mereka yang
sedang bertanding!
Mengapa
bisa begitu? Mengapa kalau Kwi Hong tidak melihat ada yang bertanding? Karena
dia baru saja tiba sehingga dia tidak dikuasai pengaruh mujijat seperti yang
dialami Bun Beng. Ketika Bun Beng berlari secepatnya mengejar Tan-siucai yang
menculik Kwi Hong secara ngawur ke timur karena dia sudah tertinggal jauh
sehingga penculik itu tidak tampak bayangannya lagi dan napasnya mulai
memburu, dia melihat Suma Han sedang bertanding melawan seorang kakek hitam.
Pertandingan yang amat hebat dan cepat sekali sehingga pandang mata Bun Beng
menjadi kabur dan kepalanya pening. Dia melihat betapa tubuh Pendekar Siluman
itu mencelat ke sana ke mari sedangkan tubuh kakek hitam itu berputaran seperti
sebuah gasing. Begitu cepat pertandingan itu sehingga dia tidak dapat
mengikuti dengan pandang matanya. Dia tidak berani memperlihatkan diri biarpun
ketika melihat Suma Han dia menjadi girang sekali dan ingin menceritakan
tentang Kwi Hong yang diculik orang. Menyaksikan pertandingan yang hebat itu
dia lupa segala, lupa akan Kwi Hong yang diculik orang dan ia menonton sambil
bersembunyi dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba
kakek itu terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan terdengar kakek itu
berkata, “Pendekar Siluman, engkau hebat sekali. Tetapi aku masih belum kalah.
Lihat ini!” Kakek itu lalu duduk bersila, merangkapkan kedua tangan depan dada
sambil mengeluarkan bunyi menggereng hebat sekali dan.... hampir Bun Beng
berseru kaget ketika melihat betapa dari kepala kakek itu mengepul uap
kehitaman tebal dan muncul seorang kakek ke dua, persis seperti seorang kakek
itu sendiri!
“Maharya,
engkau hendak mengadu kekuatan batin? Baik, aku sanggup melayanimu!” Kata Suma
Han yang segera duduk bersila dan juga dari kepalanya mengepul uap putih yang
tebal dan dari uap ini terbentuklah seorang Suma Han kedua yang bergerak maju
menghadapi “bayangan” kakek hitam, kemudian kedua bayangan itu bertanding
dengan hebat! Suma Han melonjorkan kedua tangan ke depan dan gerakan
bayangannya menjadi makin cepat dan kuat! Bun Beng yang terkena getaran
pengaruh mujijat, dapat melihat kedua bayangan yang bertanding itu, yang tidak
dapat tampak oleh Kwi Hong yang baru tiba.
Bun
Beng yang dapat menyaksikan pertandingan aneh itu, dengan mata terbelalak dan
muka pucat menonton. Ia melihat gerakan bayangan kakek itu aneh, berloncatan
menyerang bayangan Suma Han dengan jari-jari tangannya. Kedua tangan hanya
menggunakan dua buah jari, telunjuk dan tengah, untuk menusuk-nusuk dengan
cepat sekali, sedangkan kedua kakinya berloncatan seperti gerakan kaki katak.
Terdengar bunyi angin bercuitan ketika kedua tangannya menusuk-nusuk. Namun
gerakan bayangan Suma Han yang tidak bertongkat itu tetap tenang biarpun
cepatnya membuat mata Bun Beng sukar mengikutinya. Bayangan Pendekar Super
Sakti ini mencelat ke sana-sini menghindarkan semua tusukan jari tangan lawan,
bahkan membalas dengan pukulan kedua tangan yang mendatangkan angin sehingga
kain panjang lebar yang menjadi pakaian kakek hitam, hanya dibelitkan, berkibar
oleh angin pukulan itu.
Tubuh
kedua bayangan itu seolah-olah tidak menginjak tanah, kadang-kadang keduanya
membubung tinggi dan bertanding di udara, kemudian turun lagi ke atas tanah.
Bun Beng yang menonton pertandingan itu menjadi bingung, sukar mengikuti gerakan
kedua bayangan itu sehingga dia tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa yang
terdesak. Hanya dia melihat Suma Han yang bersila itu masih duduk tenang tak
bergerak sedikit juga, kedua mata dipejamkan. Sedangkan kakek hitam yang
bersila itu matanya makin melotot mukanya mulai berpeluh dan kedua tangan yang
dirangkapkan di depan dada itu bergoyang menggigil sedikit. Dan biarpun ada
pertempuran yang demikian hebatnya, tidak terdengar suara sedikit pun juga.
Keadaan sunyi sekali, sama sunyinya seperti yang dirasakan Kwi Hong yang hanya
melihat dua orang sakti itu duduk bersila berhadapan tanpa bergerak. Baik Kwi
Hong maupun Bun Beng yang masing-masing bersembunyi di tempat terpisah dan
tidak saling melihat, merasa khawatir karena saking sunyinya, mereka itu hanya
mendengar suara pernapasan mereka sendiri yang tertahan-tahan!
Sementara
itu, mereka yang saling bertanding mengadu kesaktian mengerahkan seluruh
kekuatan batin untuk menghimpit lawan. Diam-diam Maharya terkejut bukan main.
Kalau tadi, ketika ia memancing Pendekar Siluman ke tempat itu kemudian ia
tantang dan serang, dalam pertandingan silat dia terdesak bahkan sampai
terdorong dan terlempar jauh, dia tidak menjadi penasaran karena memang dia
sudah mendengar berita bahwa Pendekar Siluman memiliki ilmu silat yang luar
biasa dan tenaga sin-kang yang dahsyat. Maka dia lalu mengambil cara lain,
yaitu menghadapi lawannya dengan ilmu sihir dan ia merasa yakin pasti akan
dapat menang. Dia terkenal di negaranya sebagai seorang ahli sihir yang tangguh.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat Pendekar Siluman menandinginya
dengan ilmu yang sama, bahkan kini ia merasa betapa kekuatan batinnya terdesak
hebat!
Kakek
ini merasa penasaran sekali. Dalam hal mengadu kekuatan raga, dia tidak pernah
menemui tanding, apalagi dalam mengadu kekuatan batin. Kini, berhadapan dengan
seorang lawan muda yang patut menjadi cucunya, dia selalu tertindih kalah lahir
batin! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan itu dan dengan geram ia
menggerakkan mulut yang tertutup kumis itu berkemak-kemik, mengerahkan segala
kekuatannya dan pandang mata yang melotot itu seolah-olah mengeluarkan api!
Bun
Beng yang kebetulan memandang kakek yang duduk bersila itu hampir berteriak
kaget melihat betapa sepasang mata kakek itu seperti mengeluarkan api! Dia
cepat menengok ke arah Suma Han dan melihat betapa pendekar itu kelihatan
mengerutkan alis, tidak tenang seperti tadi, dan kedua lengannya yang
dilonjorkan itu tergetar seolah-olah hendak menambah tenaga yang keluar dari
sepasang telapak tangannya.
Memang
Suma Han juga terkejut sekali ketika tiba-tiba ia merasa betapa kekuatan kakek
lawannya itu menjadi berlipat! Hawa panas menyerangnya sehingga ia cepat
mengerahkan inti sari dari Swat-im Sin-kang. Setelah kedua tenaga panas dan
dingin itu saling dorong-mendorong, akhirnya dia merasa betapa hawa panas
berkurang. Keningnya tidak berkerut lagi, akan tetapi tampak beberapa tetes
keringat membasahi dahi Suma Han. Benar-benar hebat lawannya itu, pikirnya.
Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang lawan sehebat Kakek
Maharya ini! Kalau dalam hal ilmu silat dia hanya memang sedikit saja, dalam
hal ilmu yang didasari kekuatan batin, dia tidak berani mengatakan lebih kuat!
Hanya yang menguntungkan dirinya, kekuatan batin yang dimilikinya adalah
pembawaan dirinya, dibentuk oleh kekuatan alam dan dimatangkan dengan ilmu
sin-kang dan pelajaran yang ia terima menurut petunjuk Koai-lojin. Sedangkan
kekuatan batin kakek lawannya itu dikuasainya oleh latihan-latihan yang
puluhan tahun lamanya. Betapapun hebat usaha manusia, mana mampu menandingi
kekuatan dan kekuasaan alam? Maka dalam pertandingan ini, Suma Han yang
mengandalkan tenaga batin dari kekuasaan alam, sukar untuk dikalahkan oleh
kakek yang telah menjadi datuk dalam ilmu sihir itu.
Tiba-tiba
terdengar suara bercuitan dan tampak tiga sinar putih yang menyilaukan mata
menyambar ke arah tubuh kakek hitam itu, menyambar muka di antara mata, ulu
hati dan pusar!
“Eigghhhh....!”
Kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau, tangannya yang
tadinya dirangkap di depan dada bergerak dan mulutnya terbuka. Bun Beng
terbelalak menyaksikan betapa kakek itu telah menangkap tiga sinar itu yang
ternyata adalah tiga batang pisau, ditangkap dengan kedua tangan, sedangkan
yang menyambar muka telah digigitnya! Bayangan kakek yang bertanding melawan
bayangan Suma Han telah lenyap masuk kembali ke kepala kakek itu, demikian pula
bayangan Suma Han telah lenyap. Sekali menggerakkan tubuh, kakek itu sudah
meloncat berdiri dan tampak tiga sinar menyambar ke arah kirinya ketika ia
melontarkan tiga batang pisau itu ke arah dari mana datangnya pisau-pisau
tadi. Kemudian ia meloncat jauh dan lenyap, hanya terdengar suaranya.
“Pendekar
Siluman! Lain kali kita lanjutkan!”
Sunyi
keadaan di situ setelah kakek itu menghilang. Suma Han bangkit berdiri
bersandar kepada tongkatnya, menoleh ke arah dari mana datangnya pisau-pisau
tadi dan berkata, suaranya dingin dan penuh wibawa seperti orang marah.
“Siapa
yang telah berani lancang turun tangan tanpa diminta?”
Daun
bunga bergerak dan muncullah seorang wanita amat cantik jelita dari balik
rumpun, berdiri di depan Suma Han tanpa berkata-kata. Keduanya saling pandang
dan berseru, suaranya menggetar penuh perasaan,
“Nirahai....!”
“Han
Han....!”
Keduanya
berdiri saling pandang dan sungguhpun dalam suara mereka terkandung kerinduan
yang mendalam, namun keduanya hanya saling pandang dan dari kedua mata wanita
cantik itu menetes air mata berlinang-linang.
“Han
Han, bertahun-tahun aku menanti akan tetapi engkau tidak kunjung datang
menyusulku. Sampai kapankah aku harus menanti? Sampai dunia kiamat? Han Han,
aku isterimu!”
“Nirahai,
engkau.... telah pergi meninggalkan aku, membuat hatiku merana....”
“Memang
aku pergi, akan tetapi engkau tidak melarang!”
“Aku....
ah, aku tidak ingin memaksamu.... aku.... ahh....”
“Han
Han, engkau laki-laki lemah! Engkau suami yang hanya tunduk dan mengekor kepada
isteri, engkau pria yang tidak tahu isi hati wanita. Engkau.... ahh, sakit
hatiku melihatmu....!”
“Nirahai....!”
Suma Han melangkah maju dan merangkul wanita itu. Nirahai tersedu dan
menyembunyikan muka di dada suaminya, membiarkan Suma Han mengelus rambutnya,
“Nirahai, aku cinta padamu. Demi Tuhan, aku cinta padamu.... akan tetapi karena
engkau mempunyai cita-cita, aku merelakan engkau pergi....”
“Ibuuuu....!”
Terdengar teriakan girang dan muncullah Milana berlarian. Mendengar teriakan
ini, Nirahai melepaskan pelukan Suma Han dan menyambut Milana dengan tangan
terbuka, lalu memondong anak itu dan menciuminya penuh kegirangan,
“Milana....! Anakku....! Ahhh, sukur engkau selamat. Betapa gelisah hatiku
mendengar laporan Pamanmu tentang malapetaka di laut itu!”
Suma
Han memandang dengan wajah pucat sekali. “Milana!” Dia membentak, suaranya
mengguntur, mengagetkan Kwi Hong dan Bun Beng di tempat persembunyian
masing-masing di mana kedua orang anak ini tertegun menyaksikan adegan
pertemuan antara Suma Han dan isterinya yang tidak mereka sangka-sangka itu.
“Engkau perempuan rendah, isteri tidak setia! Engkau meninggalkan aku dan
tahu-tahu telah mempunyai seorang anak! Ahhh, betapa menyesal hatiku telah
mentaati perintah mendiang Subo....!” Setelah berkata demikian dengan pandang
mata penuh jijik dan kebencian, Suma Han membalikkan tubuhnya dan pergi berjalan
terpincang-pincang meninggalkan Nirahai. Nirahai menjadi pucat, terbelalak
dan menurunkan Milana yang berdiri memeluk pinggang ibunya dan bertanya.
“Ibu....!
Dia siapa....? Mengapa To-cu Pulau Es itu marah-marah kepadamu?”
Nirahai
menangis mengguguk. “Dia.... dia Ayahmu....” Suaranya gemetar dan ia menutupi
mukanya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu.
Milana
cepat menoleh, kemudian lari meninggalkan ibunya, mengejar Suma Han sambil
menjerit. “Ayaaahhh....! Ayah....!”
Mendengar
jeritan anak itu, cepat Suma Han membalik, mengira bahwa dia tentu akan melihat
munculnya laki-laki yang menjadi ayah dari anak Nirahai itu. Akan tetapi, ia
menjadi bingung dan terheran-heran ketika melihat anak itu mengejarnya,
kemudian menjatuhkan diri berlutut dan memeluk kakinya sambil menangis dan
memanggil-manggil. “Ayaahh.... ayaahku....!”
Suma
Han terbelalak memandang bocah yang menangis memeluki kaki tunggalnya,
kemudian mengangkat muka memandang Nirahai yang masih menangis tersedu-sedu
menutupi muka dengan kedua tangan sambil berlutut di atas tanah.
“Heh....!
Apa....! Bagaimana....? Engkau.... anak siapa....?”
“Ayah....
engkau Ayahku.... aku anak Ayah dan Ibu.....” Milana mengangkat muka.
Tubuh
Suma Han menggigil dan ia menyambar tubuh Milana, diangkat dan dipondongnya.
“Anakku? Engkau.... anakku....?” Ia menciumi muka bocah itu. Milana tertawa
dengan air mata bercucuran, merangkul leher pendekar yang dikagumi dan yang
dirindukan itu.
Suma
Han berpincang melangkah ke depan Nirahai. “Nirahai.... benarkah ini? Dia....
dia ini.... anakku....?”
Nirahai
mengangguk, mengusap air matanya. “Ketika kita saling berpisah.... aku
mengandung dan.... terlahirlah Milana.... anak kita....”
“Nirahai,
engkau kejam, engkau tidak adil. Diam-diam saja engkau memelihara anak kita
sampai begini besar. Tidak memberitahukan kepadaku, tidak menyusulku. Betapa
kejam engkau.”
Nirahai
meloncat bangun, pandang matanya penuh penasaran. “Siapa yang kejam?
Engkaulah yang kejam, lemah dan canggung! Engkau tidak pernah mencariku, tidak
pernah menyusulku ke Mongol!”
Melihat
ayah bundanya cekcok, Milana yang berada di pondongan ayahnya itu berkata.
“Ayah, marilah engkau ikut bersama kami....”
“Dan
menjadi seorang Pangeran Mongol? Ha-ha, nanti dulu! Aku tidak sudi! Semestinya
ibumu yang ikut bersamaku ke Pulau Es. Nirahai, maukah engkau?”
Akan
tetapi Nirahai memandang dengan muka merah dan berapi. “Tidak sudi! Kini aku
tidak mau menyembah-nyembah minta kaubawa. Dan hanya dengan paksaan saja
engkau akan dapat membawaku ke sana. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah
cukup menderita dan sakit hati karena kaubiarkan, seolah-olah aku bukan
isterimu. Engkau laki-laki lemah! Milana, mari kita pergi!”
“Tidak
boleh, Nirahai. Milana ini anakku. Sudah terlalu lama dia kaupelihara sendiri,
terlalu lama kaupisahkan dari Ayahnya. Aku akan membawa dia, tak peduli engkau
suka ikut atau tidak!”
“Ayah....!
Aku tidak mau meninggalkan Ibu!” Milana merosot turun dari pondongan dan
hendak lari kepada ibunya. Akan tetapi Suma Han mendengus marah, lengan kanannya
menyambar tubuh Milana, dikempitnya dan dia lalu pergi dengan cepat
meninggalkan Nirahai.
“Han
Han....!” Nirahai menjerit dan mengejar. Namun Suma Han tidak peduli, wajahnya
keruh, matanya hampir terpejam, kaki tunggalnya melangkah terus ke depan.
“Lepaskan
aku! Ayahhhh.... aku tidak mau meninggalkan Ibu....!” Milana menjerit-jerit.
Akan tetapi Suma Han terus saja melangkah tanpa mempedulikan jerit anaknya.
Tiba-tiba
Bun Beng meloncat dan menghadang di depan Suma Han, berdiri tegak dan suaranya nyaring
penuh rasa penasaran, “Suma-taihiap! Seorang pendekar seperti Taihiap tidak
boleh berlaku begini! Memisahkan anak dari ibunya adalah perbuatan jahat!
Kalau Taihiap berkepandaian, mengapa tidak membawa Ibunya sekalian?”
Suma
Han terbelalak, mukanya berubah merah saking marahnya. “Gak Bun Beng! Engkau
anak tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-touw-kwi Gak Liat, berani engkau
bersikap seperti ini kepadaku! Sebelum menutup mata, Ibumu berpesan kepadaku
untuk menyelamatkanmu, dan sekarang engkau mengatakan aku jahat?”
Jantung
Bun Beng seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan ini. Ayahnya seorang datuk kaum
sesat? Dia anak tidak syah? Tidak ada ucapan yang lebih menyakiti hatinya dari
pada ini dan tidak ada kenyataan yang akan lebih menghancurkan hatinya. Namun
kekerasan hati Bun Beng membuat ia tetap berdiri tegak dan berkata,
“Keturunan
orang macam apa adanya aku, Suma-taihiap, tetap saja aku melarang engkau
memisahkan Milana dari Ibunya! Biar akan kaubunuh aku siap!” Sikap Bun Beng
gagah sekali biarpun kedua matanya kini mengalirkan butiran-butiran air mata.
“Han
Han....! Kaubunuh aku dulu sebelum melarikan anakku!” Nirahai telah meloncat
menghadang pula di depan Suma Han, mencabut sebatang pedang siap untuk mengadu
nyawa! Juga kedua mata wanita cantik ini bercucuran air mata.
“Paman....!”
Kwi Hong yang sejak tadi memandang dengan tubuh gemetar saking tegang hatinya,
kini berani meloncat keluar dan menghampiri Suma Han, berlutut sambil
menangis.
“Ayah....
aku tidak mau berpisah dari Ibu....!” Milana yang masih dikempit oleh lengan
ayahnya itu pun meratap sambil menangis.
Suma
Han berdiri seperti berubah menjadi arca. Suara isak tangis menusuk-nusuk
telinganya terus ke hati, linangan air mata seperti butiran-butiran mutiara itu
mempesonanya. Kekuatan batin dan kekerasan hatinya mencair, seperti salju
tertimpa sinar matahari.
Tidak
ada suara bagi manusia di dunia ini melebihi kekuasaan suara tangis! Tangis
adalah suara jeritan hati dan jiwa. Tangis adalah suara pertama yang dikenal
dan suara pertama yang keluar dari mulut manusia. Tangis merupakan suara
pertama dari manusia tanpa dipelajarinya. Begitu terlahir, suara pertama dari
manusia adalah tangis. Tangis merupakan suara langsung dari dalam sehingga
setiap orang anak yang terlahir di segenap penjuru dunia mempunyai suara tangis
yang sama. Tangis adalah satu-satunya suara yang mampu menembus jantung dan
menyentuh batin manusia, juga dengan ratap tangis orang berusaha menghubungkan
diri dengan Tuhan!
Lemas
seluruh urat syaraf di tubuh Suma Han mendengar isak tangis empat orang manusia
itu. Tubuh Milana dilepaskan dan anak ini berlari kepada ibunya, merangkul dan
menangis. Nirahai lalu memondong puterinya, memandang kepada Suma Han dan
berkata,
“Selama
engkau masih menjadi seorang laki-laki yang berwatak lemah, aku tidak akan
sudi turut bersamamu bahkan aku akan mengimbangi kerajaanmu di Pulau Es!”
Setelah berkata demikian, Nirahai meloncat dan berlari cepat sekali, sebentar
saja lenyap dari situ.
Suma
Han menundukkan mukanya. Untuk ke dua kalinya dia terpukul. Pertama kali
ketika bertemu dengan Lulu yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia dicela
dan dimarahi. Kini, bertemu dengan isterinya, Nirahai, kembali dia dicela dan
dimusuhi. Benar-benar dia tidak mengerti isi hati wanita!
“Kwi
Hong, kita pulang!” Dia berkata, menggandeng tangan Kwi Hong dan berlari pergi
cepat.
Bun
Beng menjadi bengong. Dia tidak menyesal ditinggal seorang diri, akan tetapi
dia masih merasa sakit hatinya mendengar ucapan Suma Han tadi. Masih terngiang
di telinga kata-kata pendekar yang tadinya amat dikaguminya itu, “Engkau anak
tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat!”
Bun
Beng menunduk, mencari-cari jawaban ke bawah akan tetapi rumput dan tanah yang
diinjaknya tidak dapat memberi jawaban. Ayahnya seorang datuk kaum sesat? Dan
dia anak tidak syah? Apa artinya ini?
“Ah,
mengapa aku menjadi lemah begini? Apa peduliku tentang asal-usulku? Aku adalah
seorang manusia, dan aku menjadi mausia bukan atas kehendakku! Aku sudah ada
dan aku harus bangga dengan keadaanku, harus berjuang mempertahankan keadaanku
dan menyempurnakan keadaanku! Mereka itu pun hanya manusia-manusia yang
ternyata bukan terbebas daripada derita, bukan bersih daripada cacad!
Kekalahanku dari orang-orang sakti seperti Pendekar Siluman, isterinya, pencuri
pedang, dan kakek-kakek sakti seperti mendiang Nayakavhira dan Maharya tadi
hanyalah kalah pandai dalam penguasaan ilmu! Akan tetapi ilmu dapat dipelajari!
Mereka semua itu, dahulu sebelum mempelajari ilmu pun tidak bisa apa-apa seperti
dia! Dan dia masih muda, apalagi sedikit-sedikit pernah mempelajari ilmu, dan
ada kitab yang telah dihafal namun belum dilatihnya dengan sempurna, ada
sepasang pedang yang disembunyikan di puncak tebing. Sepasang pedang pusaka!
Pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, seperti pedang yang dibuat oleh Suma
Han. Jangan-jangan itu adalah Sepasang Pedang Iblis yang mereka cari-cari
bahkan yang khusus dibuatkan pedang lawannya oleh Nayakavhira. Biarlah. Biar,
andaikata sepasang pedang itu adalah Sepasang Pedang Iblis, kelak dia akan
memperlihatkan kepada dunia bahwa di tangannya, sepasang pedang itu tidak akan
menjadi senjata yang dipakai melakukan perbuatan jahat!
Bangkit
semangat Bun Beng dan mulailah dia meninggalkan tempat itu untuk kembali ke
Siauw-lim-pai. Dia harus melapor akan kematian suhunya kepada pimpinan
Siauw-lim-si dan mempelajari ilmu dengan tekun karena menurut penuturan
mendiang suhunya, kalau mempelajari benar-benar secara sempurna dan memang ada
jodoh ilmu silat dari Siauw-lim-pai tidak kalah oleh ilmu silat lain di dunia
ini. Pernah gurunya bercerita tentang tokoh Siauw-lim-pai bernama Kian Ti
Hosiang yang memiliki tingkat kepandaian luar biasa tingginya sehingga saking
tinggi ilmu kepandaiannya, sampai tidak mau lagi melayani orang bertanding,
bahkan tidak mau membalas andaikata dia dilukai atau dibunuh sekalipun! Pernah
pula gurunya bercerita tentang manusia dewa Bu Kek Siansu yang selain tidak mau
bertempur melukai apalagi membunuh orang lain, bahkan sering kali menurunkan
ilmunya kepada siapa saja yang kebetulan bertemu dengannya, yang dianggap
sudah jodoh, tanpa memandang apakah orang itu termasuk golongan baik ataupun
jahat, bersih ataupun kotor! Sikap manusia dewa ini seperti sikap kasih sayang
alam, di mana sinar matahari tidak menyembunyikan sinarnya dari atas kepada
orang jahat maupun orang baik, di mana pohon-pohon tidak menyembunyikan bunga
dan buahnya dari uluran tangan orang jahat maupun orang baik! Kemudian gurunya
bercerita pula tentang manusia aneh Koai-lojin yang kabarnya malah masih suka
muncul biarpun belum tentu ada seorang di antara sepuluh ribu tokoh kang-ouw
yang dijumpai manusia aneh ini, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang
seperti dewa pula namun tidak mau bertempur, melukai, apalagi membunuh orang.
Dia
masih muda. Dunia masih lebar. Masa depannya masih terbentang luas. Mengapa
langkah hidupnya harus terhalang oleh masa lalu mengenai diri orang tuanya!
Baik maupun jahat orang tuanya, biarlah. Hal itu sudah lalu dan yang ia hadapi
adalah masa depan. Masa lalu penuh kejahatan akan tetapi masa depan penuh
kebaikan, bukankah hal itu jauh lebih menang daripada masa lalu penuh kebaikan
namun masa depan penuh kejahatan? Apa arti bersih masa lalu akan tetapi amat
kotor di masa depan, dan biarlah dia menganggap masa lalu sebagai alam mimpi,
sungguhpun dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di masa lalu, yang
terjadi dengan ayah bundanya.
Makin
dijalankan pikirannya, makin lapanglah dadanya dan langkahnya pun tegap,
wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar. Setelah dia berhasil tiba di
kuil Siauw-lim-si dan menceritakan tentang kematian suhunya, berita ini
diterima dingin oleh para hwesio pimpinan Siauw-lim-pai yang menganggap bahwa
kakek itu sudah bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai lagi. Akan tetapi
mengingat bahwa Gak Bun Beng adalah putera seorang tokoh wanita Siauw-lim-pai,
dan betapapun juga Siauw Lam Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang
berilmu tinggi, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak berkeberatan menerima Bun
Beng. Pemuda cilik itu mulai berlatih dengan giat disamping bekerja keras
seperti yang pernah dilakukan gurunya, yaitu menjadi pelayan, tukang kebun,
dan pekerjaan apa saja untuk melayani keperluan kuil dan membantu para
hwesio.
Nirahai,
bekas puteri Raja Mancu yang berwatak keras dan berilmu tinggi itu kini sudah
berhenti menangis. Kekerasan hatinya dapat menindih kedukaan dan diam-diam ia
mengambil keputusan untuk menghadapi orang yang dicintanya namun yang selalu
mengalah dan berwatak lemah itu dengan kekerasan. Di tengah jalan, dia
menurunkan puterinya untuk memakai sebuah kerudung menutupi kepalanya. Melihat
ini, Milana terkejut dan heran.
“Ibu,
mengapa Ibu memakai itu?”
Dari
dalam kerudung itu terdengar jawaban suara dingin seolah-olah ibunya telah
berubah tiba-tiba setelah berkerudung, “Milana, mulai saat ini engkau akan
turut bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah
Ketua Thian-liong-pang dan tidak seorang pun boleh melihat mukaku kecuali
engkau.”
Milana
memandang kepala berkerudung itu dengan mata terbelalak, “Ibu....! Engkau
Ketua Thian-liong-pang yang terkenal itu....? Akan tetapi mengapa....?” Hati
anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang
tidak segan-segan melakukan segala macam kekejaman sehingga ditakuti dunia
kang-ouw.
“Diamlah.
Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada kita! Engkau ikut
bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!” Dia menggandeng tangan
Milana dan lari cepat sekali.
Adapun
Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepanjang jalan tidak
pernah bicara. Wajahnya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah
garis-garis derita pada wajahnya. Karena sepasang burung garuda sudah tewas,
mereka melakukan perjalanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari
sebuah perahu yag dibelinya dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan
mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu
Pulau Es.
Dalam
pelayaran ini, barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dia mendengarkan
cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri pedang
pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siucai itu tadinya
menculiknya yang kemudian dikalahkan oleh Nirahai dan melarikan diri membawa
pedang pusaka.
“Aihhhh....
kiranya dia....!” Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala yang
dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi dirinya
sendiri dan orang lain. Apakah dia yang harus menebus dosa yang dilakukan
nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya?
“Apakah
Paman mengenal Siucai gila itu?”
“Banyak
yang sudah kauketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pamanmu sekarang,
seorang yang penuh noda dalam hidupnya. Orang gila itu agaknya tidak salah
lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi murid Maharya. Aku belum pernah
melihat orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar.”
“Paman,
dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon
isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!”
Suma
Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di depan matanya
seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas
karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh,
berbisik dalam pelukannya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu
mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa,
yang telah berkorban untuk dia, dan sebelum menghembuskan napas terakhir
mengaku cinta. Gadis itu adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh
Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu
muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusaka, hampir berhasil menculik Kwi
Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki kekuatan
batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!
“Dia
tidak membohong, Kwi Hong. Biarpun aku tidak membunuh tunangannya, akan tetapi
dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahh, sungguh
aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia
telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat
untuk menundukkan Sepasang Pedang Iblis.”
“Kenapa
Paman hendak pulang? Bukankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas
kembali pedang itu?”
Kembali
Suma Han menggeleng kepala. “Semangatku lemah, aku tidak mempunyai nafsu
untuk berbuat apa-apa, kecuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai
sekarang engkau harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa
mendatang amat berat dengan munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali
kau melarikan diri dari pulau lagi karena aku tidak akan mengampunkanmu lagi.”
Demikianlah,
dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-pertemuannya dengan Lulu
dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang pertama karena dicintanya
semenjak kecil, yang ke dua karena telah menjadi isterinya, bahkan menjadi ibu
dari anaknya, Suma Han mengajak keponakannya pulang ke Pulau Es. Dia lalu
memerintahkan anak buahnya untuk tidak mencampuri urusan luar, hanya melatih
diri dan memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia
melatih ilmu kepada Kwi Hong dengan penuh ketekunan sehingga anak perempuan
ini memperolah kemajuan yang pesat sekali.
***
Semenjak
jatuhnya pertahanan terakhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan sebagai sisa kekuatan
dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun setelah Bu Sam Kwi tewas,
yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan besar di daratan Tiongkok yang
kini dikuasai seluruhnya oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang dipimpin
oleh Bangsa Mancu. Sebentar saja kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat
laun makin berkuranglah rasa kebencian dan permusuhan dari rakyat terhadap
pemerintah penjajah ini. Hal ini adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu
amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan di Tiongkok.
Mereka itu biarpun menjadi penjajah menyaksikan kenyataan betapa besar dan
hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya, menerima kebudayaan itu bahkan
melebur diri mereka seperti kedaan para pribumi. Mereka mempelajari bahasa
pribumi, bahkan anak isterinya mempergunakan bahasa ini sehingga dalam satu
keturunan saja anak-anak mereka sudah tidak pandai lagi berbahasa Mancu dan
menganggap bahasa Han sebagai bahasa mereka sendiri!
Kerajaan
Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang dan mencapai
puncak kecemerlangannya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi yang memerintah dari
tahun 1663 sampai 1722. Kaisar ini adalah seorang ahli negara yang cakap,
pandai dan bijaksana. Di samping ini dia pun seorang ahli perang yang
mengagumkan sehingga semua operasinya berhasil dengan baik, juga tidak terdapat
rasa tidak puas di antara petugas-petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun
penggemar kebudayaan sehingga berhasil menarik pula hati para sasterawan
pribumi yang mendapat penghargaan dalam bidangnya.
Di
bawah pimpinan Kaisar ini, Tiongkok mencapai kekuasaan yang amat besar, jauh
lebih besar daripada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan kiranya malah lebih besar
daripada keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan Tang. Pertama-tama Kaisar Kang Hsi
mengerahkan perhatian untuk membasmi gerombolan-gerombolan dan
pemberontak-pemberotak, menghabiskan semua perlawanan sehingga perang
dihentikan dan keamanan dapat dikembalikan. Dalam keadaan aman, rakyat dapat
bekerja dengan tenang dan pembangunan dapat dilaksanakan sebaiknya. Namun,
setelah gerombolan-gerombolan di dalam negeri dapat ditumpas semua, Kaisar Kang
Hsi harus menghadapi perlawanan dari negara-negara tetangga yang tidak mengakui
kedaulatan kerajaan baru ini. Maka dikirimnyalah tentara besar sampai jauh ke
selatan dan barat daya sehingga banyak negara di selatan dan barat daya
ditundukkan dan terpaksa mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng, bahkan mengaku
takluk dan setiap tahun membayar atau mengirim upeti sebagai tanda takluk. Di
antara negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai,
Vietnam, Kamboja, bahkan termasuk pula Malaysia!
Akan
tetapi, selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam negeri untuk
memakmurkan kehidupan rakyat yang baru saja dilanda perang itu, meningkatkan
dan memperkembangkan kesenian melukis, sastera, dan lain-lain di samping
mempergiat pembangunan, datang lagi gangguan yang memaksa Kaisar ini
menggerakkan bala tentara dan mencurahkan sebagian perhatiannya ke utara, di
mana bangsa Mongol mulai bergerak dan memberontak terhadap pemerintah Mancu.
Seperti telah diceritakan dan menjadi catatan sejarah, ketika bangsa Mancu
mulai bergerak ke selatan, mereka dibantu dengan gigih oleh bangsa Mongol
sebagai bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih ingin menguasai
kembali bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya sendiri sudah hancur,
bangsa Mongol tahu diri dan membonceng bangsa Mancu, namun harus diakui bahwa
kekuatan bala tentara menjadi amat besar dan hebat berkat bantuan
pasukan-pasukan Mongol ini. Akan tetapi, setelah bangsa Mancu berkuasa dan
membangun Kerajaan Ceng, dengan tidak melupakan dan memberi kedudukan istimewa
kepada bangsa Mongol sebagai bangsa serumpun dan setingkat, mulailah bangsa
Mongol merasa kecewa. Bangsa Mongol melihat kecenderungan bangsa Mancu yang
melebur diri dengan kebiasaan orang-orang Han sehingga makin lama mereka itu
menjadi makin erat hubungannya dengan rakyat, sedangkan rakyat masih tidak
dapat melupakan penjajahan bangsa Mongol yang banyak menyengsarakan rakyat dahulu.
Maka bangsa Mongol merasa makin lama makin tersudut, maka mulailah
pemberontakan bangsa ini terhadap bangsa Mancu.
Pemberontakan
meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di ambang kekalahannya.
Sehingga begitu Se-cuan sudah dijatuhkan, kembali pemerintah Mancu yang
dipimpin oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi pemberontakan yang besar
dan gigih yang dipimpin oleh seorang pangeran Mongol yang bernama Galdan.
Sepuluh
tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara Pendekar Super
Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat menyedihkan dan
mengharukan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, namun juga tak dapat
dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat masing-masing bertalian
dengan keadaan dan pengalaman. Dalam waktu selama itu, banyak memang yang telah
terjadi di dunia, khususnya di dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan
geger berhubung dengan adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol.
Kembali dunia kang-ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng, ada
pula yang membantu pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa Mongol,
melainkan kesempatan itu mereka pergunakan untuk melawan penjajah. Akan tetapi
karena tidak ada peristiwa penting terjadi atas diri para tokoh penting cerita
ini yang berdiam di tempat masing-masing menggembleng murid atau anak
masing-masing, maka biarlah waktu sepuluh tahun itu kita lewati saja.
Pemberontakan
bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi berlarut-larut
karena selain bangsa Mongol memang memiliki bala tentara yang terlatih dan
kuat, mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia kang-ouw. Bahkan banyak
pula orang sakti dari negara-negara tetangga yang dipaksa mengirim upeti kepada
Pemerintah Ceng, diam-diam membantu bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas
dendam atas kekalahan negaranya.
Di
dunia persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti telah
diceritakan tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan “perang” sendiri,
menggunakan kesempatan selagi pemerintah kurang memperhatikan keadaan mereka
karena pemerintah sendiri sedang sibuk menghadapi musuh kuatnya, yaitu
pasukan-pasukan Mongol. Pula, pemerintah juga mempunyai banyak kaki tangan di
antara golongan kang-ouw ini sehingga mereka menyerahkan penguasaan keadaan
kepada kaki tangan mereka yang dalam hal ini diwakili dan dipimpin oleh Koksu
sendiri dengan para pembantunya yang lain!
Namun
yang lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah nama besar
Thian-liong-pang yang kabarnya makin kuat saja sehingga tidak ada pihak yang
berani main-main kalau bertemu dengan orang Thian-liong-pang. Bahkan banyak
yang sudah menjadi jerih kalau mendengar nama Thian-liong-pang yang diketuai
seorang wanita aneh berkerudung yang memiliki ilmu silat dahsyat. Banyak
sudah ketua-ketua partai persilatan merasai kelihaian Thian-liong-pang. Banyak
yang dikalahkan oleh tokoh-tokoh Thian-liong-pang, padahal ketuanya sendiri
belum pernah maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita yang kabarnya memiliki
ilmu yang sukar dicari bandingnya! Terdengar berita bahwa Thian-liong-pang
mempunyai niat menggabungkan partai-partai persilatan di bawah naungan
Thian-liong-pang, seolah-olah perkumpulan ini hendak menyaingi gerakan
Pemerintah Ceng yang menaklukkan negara-negara tetangga yang takluk dan
mengakui kedaulatannya serta berlindung di bawah naungannya dengan membayar
upeti setiap tahun! Tentu saja niat ini menemukan banyak tentangan. Terutama
partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan tahun seperti Siauw-lim-pai,
Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan besar, tentu saja
mereka ini tidak sudi menjadi “anak buah” Thian-liong-pang!
Selagi
dunia kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang, tersiar lagi berita
yang menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang selama
bertahun-tahun ini tidak pernah muncul lagi. Orang-orang Pulau Neraka dengan
warna-warni muka mereka yang aneh menimbulkan kegoncangan di mana-mana karena
mereka itu memang sengaja mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan
tokoh-tokoh kang-ouw!
Yang
tetap tidak terdengar hanya Pulau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw melihat
munculnya orang dari Pulau Es bahkan mendengar berita pun tidak, karena Pulau
Es agaknya sudah mutuskan hubungan mereka dengan dunia luar pulau mereka
bertahun-tahun.
Di
antara partai-partai persilatan besar yang heboh oleh berita-berita itu, Siauw-lim-pai
sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang Siauw-lim-pai adalah sebuah partai
persilatan yang amat besar, paling banyak cabang-cabangnya, paling banyak
kuil-kuilnya, tersebar di mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat
banyak pula. Belum pernah ada partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai.
Bahkan orang-orang Thianliong-pang agaknya juga tidak berani sembarangan main
gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi bentrokan, hal itu hanya terjadi
antara anak murid saja dan pihak Siauw-lim-pai yang memegang keras disiplin
di antara anak muridnya, dengan biiaksana dapat memadamkan
bentrokan-bentrokan kecil itu dengan menghukum anak murid sendiri yang melakukan
pelanggaran.
Pada
waktu itu, yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tinggi besar
berusia lima puluh lima tahun lebih berjuluk Ceng Jin Hosiang. Biarpun
tubuhnya tinggi besar menyeramkan, namun wataknya halus dan hwesio tua ini
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali,
dan kitab-kitab kuno yang mengandung pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi, sukar
sekali dipelajari sehingga hanya sedikit saja yang mampu menguasai isinya.
Ketika Kian Ti Hosiang masih hidup, dialah satu-satunya hwesio di
Siauw-lim-pai yang benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu yang
tinggi-tinggi dan sukar dipelajari itu. Kini, karena bakatnya dan menurut
kepercayaan lingkungan Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah yang dapat
menguasai sebagian dari isi kitab-kitab suci dan rahasia itu. Sungguhpun
belum dapat dibandingkan dengan Kian Ti Hosiang, namun setidaknya tingkat
kepandaian Ceng Jin Hosiang jauh melampaui saudara-saudaranya, bahkan dia
memiliki tingkat lebih tinggi daripada mendiang Ceng San Hwesio Ketua
Siauw-lim-pai yang lalu.
Selain
lihai ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang memiliki
kewaspadaan. Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang Siauw-lim-pai di mana
Bun Beng bekerja sebagai pelayan. Melihat Bun Beng dia tertarik sekali, apalagi
ketika mendengar bahwa anak itu adalah putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok-
Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh
Bun Beng untuk ikut bersamanya ke kuil pusat Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang
melihat bakat yang baik sekali, juga hati nuraninya membisikkan bahwa anak
ini “berjodoh” dengannya, maka dia lalu mengambil Bun Beng sebagai murid.
Selama delapan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya sudah menerima
gemblengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak ini memperoleh
kemajuan yang luar biasa.
“Bun
Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kaunanti-nanti dan baru sekarang
pinceng ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk maluaskan
pengetahuan dan mengambil jalanmu sendiri tanpa kekangan dari peraturan di sini
yang pinceng adakan,” kata Ketua Siauw-lim-pai yang duduk bersila dihadap
muridnya yang ia panggil menghadap.
Dapat
dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama sekali ia
ingin untuk diperbolehkan keluar dari kuil, namun gurunya selalu melarang dan
mengatakan belum tiba saatnya. Padahal semua ilmu yang diajarkan gurunya telah
dipelajarinya semua.
“Terima
kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa gembira sekali.”
Hwesio
tua itu mengangguk dan tertawa. “Pinceng tahu dan tidak menyalahkan engkau.
Usiamu sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang pemuda, engkau yang tidak
berbakat sebagai pendeta tentu bernafsu sekali untuk berkelana di dunia
ramai. Kepandaianmu sudah mencapai tingkat lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang
kuketahui belum kuajarkan kepadamu. Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang
matang latihan, akan tetapi kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi
engkau sudah akan melampaui aku.”
“Teecu
berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan Suhu.”
“Sudahlah,
tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang hal yang amat
penting. Setelah engkau berhasil mempelajari ilmu dari pinceng, sudah
menguasai ilmu-ilmu itu, lalu setelah engkau meninggalkan ini, semua ilmu
yang kaukuasai itu hendak kaupergunakan apakah?”
Ditanya
secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, untuk apakah dia
mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama bertahun-tahun? Tiba-tiba
teringat akan kematian Siauw Lam Hwesio, gurunya yang pertama, yang juga
terhitung supek dari Ceng Jin Hosiang, maka dengan hati tetap ia menjawab,
“Ilmu
yang teecu kuasai berkat bimbingan Suhu akan teecu pergunakan untuk mencari
musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas dendam kematiannya di
tangan mereka!”
“Omitohud....,
sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi engkau keliru kalau
memiliki niat seperti itu, Bun Beng. Dan pinceng akan melarangmu meninggalkan
kuil kalau seperti itu pendapat dan cita-citamu.”
Bun
Beng terkejut bukan main, cepat ia membungkuk sampai dahinya menyentuh lantai
sambil berkata, “Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu bodoh dan mohon petunjuk
Suhu bagaimana baiknya.”
Hwesio
itu tertawa. “Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng ajarkan kepadamu
itu hanya akan kaupergunakan untuk membunuh orang, hanya untuk membalas
dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka mengajarkannya. Tidak, Bun Beng.
Menaruh dendam menimbulkan kebencian, dan kebencian melahirkan
perbuatan-perbuatan kejam dan jahat! Orang gagah tidak boleh dipermainkan oleh
perasaan pribadi, tidak boleh menjadi mata gelap karena dendam. Kalau kau
bicara tentang dendam, mengapa kau tidak mendendam atas kematian Ayahmu dan
Ibumu?”
Bun
Beng tertegun. Tak pernah terpikirkan hal ini olehnya, apalagi setelah ia
mendengar kata-kata Pendekar Siluman bahwa ayahnya adalah seorang datuk kaum
sesat! “Karena teecu tidak tahu bagaimana Ayah Bunda teecu tewas dan mengapa.”
“Kalau
kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah engkau juga akan
mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kaubalas dan bunuh pula?”
Bun
Beng terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tanpa
ragu-ragu ia menjawab, “Agaknya begitulah!”
“Baik,
sekarang kaubalaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya. Ayahmu telah tewas
dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu. Nah, bagaimana?”
Biarpun
Bun Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya sudah kuat sekali,
tidak urung mukanya berubah sedikit mendengar keterangan ini. Dia tidak mampu
menjawab dan hanya menunduk, penuh pemasrahan kepada suhunya.
“Omitohud....!
Seorang gagah tidak boleh menurutkan nafsu hati, melainkan harus selalu tenang
seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang, maka nafsu tidak akan mudah
mengganggu dan segala tindakan kita dapat dilakukan dengan tepat, menurutkan
hasil pertimbangan pikiran dan akal budi. Sekarang kau melihat contoh tidak
baiknya orang mendendam karena kematian orang tua atau pun guru. Orang tua
maupun guru hanyalah manusia-manusia biasa. Bagaimana kalau kematian mereka
itu dikarenakan perbuatan mereka yang jahat? Andaikata orang tuamu menjadi
penjahat besar yang terbunuh oleh pendekar budiman, apakah engkau juga lalu
mencari untuk membalas dendam kepada pendekar itu? Kalau demikian, engkau sama
sekali bukan anak berbakti, melainkan sebaliknya karena engkau makin
mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan engkau bukan orang gagah
karena engkau telah menyimpang dari hukum tak tertulis dalam jiwa orang gagah
yaitu membela kebenaran! Karena itu, hapuskan dendam dari hatimu, sedikitpun
tidak boleh ada sisanya. Kalau kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang yang
dahulu membunuh Supek Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenaran dan
karena mereka orang-orang jahat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena
balas dendam.”
Bun
Beng cepat memeluk kaki gurunya. “Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi seperti
buta, tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk mentaati semua
perintah Suhu.”
“Aahhh,
pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang bunuh-membunuh.
Akan tetapi, kehidupan seorang gagah di dunia kang-ouw di mana terdapat
kekacauan yang disebabkan orang-orang sesat, agaknya hal itu tidak dapat
dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun Beng, jauhilah perbuatan membunuh. Engkau akan
lebih berjasa mengingatkan seorang sesat kembali ke jalan benar daripada
membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya satu lagi pesan pinceng. Jangan
sekali-kali engkau melibatkan diri dalam perang, karena Siauw-lim-pai menentang
perang. Dan jangan sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai dengan
permusuhan dengan pihak lain. Mengerti?”
“Baik
Suhu, teecu akan mentaati perintah Suhu.”
“Hemm....,
kalau sampai kaulanggar, agaknya pinceng sendiri yang akan turun tangan
menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah.”
Bun
Beng minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat membawa
bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa senjata. Dengan
memiliki kepandaian seperti tingkatnya sekarang, dia tidak membutuhkan senjata
lagi.
Setelah
jauh meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang yang disimpannya
di puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang penyembah Sun Go Kong. Juga
kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang sudah dihafalnya dan yang sekarang
secara diam-diam telah dilatihnya sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan
ilmu-ilmu silat tinggi dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk
menyelami Sam-po- cin-keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhunya
karena ilmu silat itu amat ganas dan pantasnya hanya dipelajari kaum sesat!
Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu sehingga di luar pengetahuannya sendiri,
kalau dia mempergunakan iimu itu, agaknya Ceng Jin Hosiang sendiri belum tentu
akan dapat menandinginya!
Di
dalam perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosannya dia
bertanya-tanya tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali ketika
mendengar akan sepak terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya mulai menculik
tokoh-tokoh penting dari partai-partai persilatan! Juga dia mendengar akan
munculnya tokoh-tokoh aneh dari Pulau Neraka yang sudah beberapa kali dahulu ia
jumpai, maka diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau dia bertemu dengan
kaum Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, dia akan menentang mereka! Hatinya
bersyukur ketika ia mendengar keterangan bahwa kini tidak ada terdengar
pergerakan dari Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak mau
mencampuri segala keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab
peninggalan Bu Kek Siansu yang lenyap, yang dahulu diperebutkan, kini tidak
terdengar lagi.
Yang
amat menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang. Mengapa mereka itu
menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai untuk beberapa hari lamanya
kemudian mereka itu dibebaskan kembali? Apa yang tersembunyi di balik
perbuatan aneh ini? Untuk mengambil sepasang pedangnya terlampau jauh, maka
dia akan lebih dulu menyelidiki keadaan Thian-liong-pang dan kalau memang
mereka itu melakukan penculikan-penculikan, hal ini akan ditentangnya. Inilah
kewajiban pertama dalam perjalanannya sebagai seorang pendekar!
Dalam
perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah rumah
penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan perjalanan jauh dan
perlu beristirahat. Niatnya akan bermalam di situ semalam, baru besok pagi
akan melanjutkan perjalanan karena malam itu hujan membuat dia segan untuk
bermalam di luar seperti biasanya dia bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk
sawah. Dia ingin makan kenyang dan minum sedikit arak, kemudian tidur nyenyak
dalam sebuah bilik tanpa gangguan.
Akan
tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih mendengar suara
isak tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga dan mendapat kenyataan
bahwa tangis itu adalah tangis seorang wanita yang ditahan-tahan, suaranya
seperti tertutup bantal. Dia menjadi bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang
membutuhkan pertolongannya. Akan tetapi yang perlu ditolong adalah seorang
wanita, dan hari telah tengah malam, bagaimana mungkin dia boleh memasuki kamar
seorang wanita? Dia sudah memasang telinga baik-baik dan mendapat kenyataan
bahwa tidak ada orang lain dalam kamar sebelah itu, hanya si wanita yang
menangis. Karena suara isak tertahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun Beng
tak dapat menahan lagi lalu membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat keluar
jendela terus melayang ke atas genteng. Dia berniat untuk mengintai dari atas
dan melihat apakah yang terjadi dan mengapa wanita itu menangis.
Dengan
kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia melayang ke
atas genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah penginapan. Dia membuka
genteng di atas kamar sebelah dengan hati-hati sekali. Akan tetapi baru saja
dia menjenguk ke dalam dan melihat seorang wanita muda rebah di atas
pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar itu padam dan dia mendengar bersiutnya
angin senjata rahasia dengan cepat dan kuat serta tepat sekali menyambar ke
arah lubang genteng!
“Ciut-ciut-ciuutt!”
Tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap tiga batang
piauw itu dengan tangan kirinya.
“Bangsat
Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!” terdengar suara wanita
memaki disusul menyambarnya sesosok tubuh ke atas dan lubang itu jebol
ditabrak seorang gadis yang berpakaian serba kuning. Gerakan gadis itu cepat
dan ringan sekali, kini sudah berdiri di depan Bun Beng dengan pedang di tangan
dan langsung mengirim tusukan ke arah dada Bun Beng.
“Wuuuttt....
plakkk!” Dengan tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari samping dan
telapak tangannya kini tepat mengenai pedang yang menempel pada telapak
tangannya! Gadis itu berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya namun
sia-sia. Pedangnya melekat di telapak tangan pemuda tampan yang berdiri tenang
memandangnya itu. Juga di bawah sinar bulan yang muncul setelah hujan berhenti
tadi, gadis itu melihat tiga batang piauwnya berada di tangan kiri pemuda itu.
Celaka, pikirnya! Yang datang adalah seorang tokoh Thian-liong pang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Mau
apa lagi? Bunuhlah aku!” tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.
“Tenang
dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama sekali bukan!”
Nona
yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu memandang penuh perhatian
lalu membentak, “Siapa mau percaya?”
Bun
Beng tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerahkan tiga
batang piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat seolah-olah ia
khawatir kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng menggulung lengan bajunya, dan
berkata, “Periksalah! Adakah gambar naga di lengan kananku? Bukankah kata
orang, semua anggauta Thian-liong-pang dicacah lengan kanannya dengan gambar
naga kecil?”
“Huh!”
Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang halus itu
sehingga ia terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki sin-kang yang
demikian hebat, “Kalau bukan anggauta Thian-liong-pang, agaknya engkau seorang
yang lebih hina lagi, seorang jai-hwa-cat!”
Bun
Beng mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya. “Aihhh!
Jai-hwa-cat? Adakah tampangku seperti penjahat cabul? Dan pakaianku? Aih,
engkau terlalu sekali, Nona. Ataukah engkau hanya main-main?”
“Kalau
bukan jai-hwa-cat atau penjahat, mau apa tengah malam buta membuka genteng
kamar orang dan mengintai ke dalam?” Gadis itu menyerang dengan kata-kata
sungguhpun dia gendiri mulai ragu-ragu apakah orang muda yang bersikap wajar
dan halus ini seorang penjahat.
Bun
Beng tertawa. “Salahku...., salahku....! Puas kau sekarang!” Dia menunjuk
hidung sendiri. “Inilah upahnya kalau terlalu ingin memperhatikan orang lain!
Terus terang saja, Nona, aku tadi sedang tidur nyenyak ketika terganggu.... eh,
maaf, memang telingaku terlalu perasa, terlalu peka sehingga aku terbangun oleh
tangismu. Aku menjadi curiga dan ingir sekali tahu mengapa di tengah malam buta
ada wanita menangis. Aku hendak mengintai untuk melihat apa yang terjadi, sama
sekali bukan berniat jahat, bolehkah aku mengetahui, mengapa kau menangis? Ahh,
tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang. Buktinya, engkau menyangka aku
orang Thian-liong-pang....”
Bun
Bang menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis
terisak-isak!
“Eh,
eh, bagaimana ini....? Salahkah omonganku sehlngga menyinggung perasaanmu?”
Gadis
itu masih menangis lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun Beng. Tentu
saja Bun Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat bangun, merasa tidak
pantas menyentuh tubuh seorang gadis. “Eh, eh...., Nona. Bangkitlah, jangan begitu....!”
“Mohon
maaf atas kesalahanku tadi.... dan mohon pertolongan Taihiap yang berkepandaian
tinggi untuk menyelamatkan Ayahku.....”
“Aku
bukan seorang taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku berjanji akan
menolong. Ayahmu mengapakah? Harap kau suka berdiri agar enak kita bicara.”
Gadis
itu bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.
“Nah,
ceritakanlah apa yang terjadi,” kata pula Bun Beng. Kini sinar bulan makin
terang dan tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat manis wajahnya, wajah
manis yang membayangkan kegagahan yang agak pudar oleh tangis tadi.
“Namaku
adalah Ang Siok Bi....”
“Nama
yang bagus....” Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu memandangnya
tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut, maka teringatlah ia
betapa tidak tepatnya ucapan yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya itu
karena ia kagum memandang wajah yang manis.
“Eh,
maksudku.... teruskan ceritamu, Nona Ang....” Sambungnya cepat-cepat dan gugup.
“Ayahku
adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua
Bu-tong-pai....”
“Aihh!
Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku berlaku kurang
hormat....” Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada
sambil membungkuk.
Siok
Bi, gadis itu biarpun baru berusia delapan belas tahun, namun dia sudah
banyak merantau dan sebagai seorang pendekar wanita yang muda dan cantik,
tentu dia banyak mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap laki-laki. Maka
kini alisnya berkerut ketika ia menyaksikan sikap Bun Beng yang agaknya sama
sekali tidak mempedulikan ceritanya, melainkan tertarik dan kagum kepadanya!
Tadi telah ia saksikan kelihaian pemuda itu dan timbul harapannya untuk minta
pertolongannya, akan tetapi kini melihat sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu
jangan-jangan pemuda ini adalah seorang jai-hwa-cat yang bersikap halus dan
yang sedang mempermainkannya!
“Taihiap,
harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang suka mengulur
tangan menolong orang yang sedang tertimpa malapetaka ataukah seorang dari kaum
sesat?”
Bun
Beng yang tadinya tersenyum dengan hati tertarik memperhatikan gerak-gerik dan
terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu kelihatan amat manis,
menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tentu saja tidak sadar akan
sikapnya sendiri karena memang tidak dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia
berada di dalam kuil mempelajari ilmu, tiap hari hanya bergaul dan bertemu
dengan para hwesio. Yang dilihatnya hanyalah muka para hwesio dengan kepala
gundul, sama sekali tidak indah dalam pandangannya. Kini, sekali keluar
mengembara bertemu dengan wajah begini manis, hati siapa tidak akan terpikat?
“Ang-siocia,
ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?”
“Pandang
matamu itulah!” Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya menjadi
merah. Betapapun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, namun dia masih
seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak terbebas daripada sifat wanita
yang ingin dipuji dan dikagumi, apalagi oleh seorang pemuda setampan dan
segagah Bun Beng!
“Pandang
mataku? Aihhh.... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah? Engkau aneh
sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!” Dan
Bun Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.
“Ketika
ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan
di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi hari tadi.” Gadis
itu berhenti bercerita. Bun Beng yang masih memejamkan matanya itu menanti
sebentar, lalu sebagai komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara,
“Hemmm....!”
Lalu menanti lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.
“Mengapa
diam?”
“Agaknya
Taihiap tidak menaruh perhatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau Taihiap tidak
sudi menolong, aku.... aku pun tidak mau memaksa.” Suara itu terdengar menjauh
dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah berlari pergi!
Sekali
menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok Bi.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan ceritamu
dan ingin menolong Ayahmu.”
Diam-diam
Siok Bi terkejut dan kagum. Dia hanya melihat bayangan berkelebat dan
tahu-tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan
berkata,
“Aku
bicara kepada orang yang memejamkan mata seolah-olah tidak peduli, mana....
enak hatiku?”
Tiba-tiba
Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memiliki watak
periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata, “Wah, benar-benar
aku tidak mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu dengan membuka
mata, pandang mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kauanggap aku
tidak peduli, habis bagaimana? Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak
mempunyai niat hati yang tidak baik terhadapmu! Ayahmu dan engkau pagi tadi
beristirahat dalam hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”
Kini
sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang
jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu,
Bun Beng bicara sungguh-sungguh, akan tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan
bibirnya seperti orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda
ini memiliki mata dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum,
sehingga tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu “nakal” dan bibirnya tersenyum
kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjutkan.
“Selagi
kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang.
Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, mereka lalu memaksa
Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!”
“Hemm,
sungguh kurang ajar!” Bun Beng membentak dan gadis itu mendapat kenyataan
betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang tersenyum. “Tentu
engkau dan Ayahmu menghajar mereka!”
“Itulah
yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dikeroyok dan
dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng.”
“Apa?
Dikerangkeng dan kau diam saja?”
Kalau
belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis
itu sudah marah lagi. “Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka
amat lihai. Aku roboh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama
sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan
akhirnya aku sampai di sini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan,
mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk menyerbu ke Thian-liong-pang
membebaskan Ayah. Akan tetapi.... ah, akan makan waktu lama, mungkin
terlambat.... dan aku sangsi apakah aku dapat melawan Thian-liong-pang yang
amat kuat itu?”
“Ke
mana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?”
“Di
luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke
utara....”
“Aku
akan mengejar mereka!” Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.
Siok
Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia
berteriak, “Tunggu, Taihiap! Aku belum tahu namamu dan aku ikut....!”
Akan
tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki
kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. “Jangan ikut, kau tunggu saja
di sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!”
Mendengar
suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan
memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia
melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pemuda itu! Ia
menarik napas panjang. “Hebat dia....!” Kemudian ia pun mengambil pakaian dari
kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan penginapan untuk mengejar ke utara.
Benar juga pemuda itu, pikirnya. Kalau aku ikut, tentu perjalanannya tidak
dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi
besar dan ia membayangkan wajah tampan yang selalu tersenyum bibirnya dan
berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya tentang diri ayahnya agak
berkurang karena ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat
menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah
merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw. Benar kata ayahnya bahwa sekarang
banyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa,
tentu termasuk pemuda itu.
Bun
Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti berita yang
didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar
berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar keterlaluan,
seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya
Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong Ketua
Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu.
Dengan
kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia mempergunakan
ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang sehingga
tubuhnya seperti terbang di atas rumput seolah-olah tidak menginjak tanah dan
tubuhnya lenyap, yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur
cepat menuju ke utara!
Akan
tetapi karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan harinya
menjelang senja, barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang
yang menawan Ketua Bu-tong-pai. Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang,
sebanyak empat orang mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerangkeng di
mana yang tampak hanya sebuah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan
yang terbelenggu. Hanya kepala dan kedua tangan yang tampak keluar dari dalam
kerangkeng yang terbuat daripada papan tebal dan beroda dua.
Bun
Beng mempercepat larinya, sebentar saja dia telah melewati rombongan empat
orang itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak
pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan
itu berhenti dan empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian.
Juga orang tua bermuka gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun
Beng.
Ketika
Bun Beng memperhatikan empat orang itu diam-diam terkejut. Memang benarlah
berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan sikapnya
menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bphwa mereka tentulah
orang-orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh. Seorang
di antara mereka adalah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak
berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga mukanya itu mirip
tengkorak, namun sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar tajam, dan di
punggungnya tampak tergantung sebatang pedang. Orang ke dua masih muda, paling
banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di
atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehelai tali yang
mengkilap seperti sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar matanya
membayangkan keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip
sebatang pedang. Biarpun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat
diduga bahwa tentu ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.
Akan
tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar
membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka
kembar! Dan keduanya pun memegang sepasang senjata gelang yang dipasangi lima
duri meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan
angkuh itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti
binatang buas dan merekalah yang langsung meloncat maju menghadapi Bun Beng.
Seorang di antara mereka membentak,
“Bocah
sinting, siapa kau berani bersikap kurang ajar?”
“Minggir
kau sebelum kupatahkan kedua kakimu!” Orang ke dua membentak pula.
Bun
Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil melirik ke arah
kerangkeng, dia bertanya, “Apakah kalian ini penculik-penculik dari
Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua
Bu-tong-pai?”
“Benar
orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini.
Lebih baik pergilah karena aku sudah merasar kalah dan ingin menghadap Ketua
Thian-liong-pang!” Kakek di kerangkeng itu berkata.
“Bocah
tak tahu diri! Ketahuilah bahwa kami benar dari Thian-liong-pang. Nah, setelah
mendengar nama perkumpulan kami, engkau tidak lekas menggelinding pergi?”
Bun
Beng dengan sikap tenang menggerakkan pundaknya, memandang kepada kedua orang
kakek kembar yang mukanya bengis mengerikan itu sambil berkata, “Sebenarnya
aku mau pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku yang berada di sini
tidak membolehkan aku pergi sebelum kalian membebaskan Ang Lojin!”
Mendengar
ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke sekeliling mereka.
Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang ajar ini mempunyai empat
orang sahabat. Kalau empat orang itu hadir di sekitar mereka tanpa mereka
ketahui, dapat dibayangkan betapa lihai empat orang itu. Apalagi setelah mereka
memandang ke sekeliling tidak dapat melihat gerak-gerik orang di situ, mereka
menjadi makin hati-hati karena hal itu hanya menandakan bahwa empat orang
sahabat pemuda ini benar-benar lihai.
“Orang
muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat bicara dengan
mereka!” Seorang di antara kakek kembar berkata, sedangkan tokoh
Thian-liong-pang muda sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng sedangkan kakek
bermuka tengkorak, sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang ke atas
tempat yang agak tinggi, di atas batu-batu. Agaknya seorang muda menjaga
kerangkeng itu dan si kakek bermuka tengkorak menjadi penjaga di tempat tinggi.
Sikap mereka yang tenang dan muka yang angkuh itu menimbulkan dugaan di hati
Bun Beng bahwa tingkat mereka berdua itulah yang sesungguhnya tinggi, lebih
tinggi daripada tingkat sepasang kakek kembar yang menghadapinya. Hal ini pun
menjadi tanda bahwa mereka memandang rendah kepadanya sehingga untuk
menghadapinya cukup oleh kedua kakek kembar yang rendah tingkatnya!
Bun
Beng tertawa dan berkata, “Mau berkenalan dengan empat orang sahabatku? Awas,
mereka lihai sekali, kalau kalian berkenalan dengan mereka, tentu kalian akan
mereka robohkan dengan mudah!”
“Tak
perla banyak menggertak!” Bentak kakek kembar ke dua, akan tetapi tidak urung
dia dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri dengan sikap agak
gentar. “Lekas suruh mereka keluar!”
“Mereka
sudah berada di sini, di depanmu, apakah kalian buta?”
Kini
kedua kakek kembar itu terbelalak, dan benar-benar menjadi jerih. Kalau ada
empat orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat melihatnya, hal itu hanya
berarti bahwa empat orang itu bukanlah manusia, melainkan iblis-iblis.
Teringatlah mereka akan orangorang Pulau Neraka, musuh utama mereka yang
mereka takuti, akan tetapi pemuda ini kulit mukanya biasa saja, tentu bukan
anggauta Pulau Neraka. Ah, tentu hanya gertakan saja, akal bulus, akal
kanak-kanak untuk menakut-nakuti mereka!
“Bocah,
jangan main-main engkau!” Seorang di antara mereka membentak.
“Inilah
mereka!” Bun Beng melonjorkan kaki tangannya bergantian ke depan.
Muka
kedua kakek kembar itu menjadi merah, mata mereka melotot dan karena kepala
mereka botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang pernah menjadi
kawan-kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip kera-kera itu!
Akan
tetapi sebagai anggauta-anggauta Thian-liong-pang yang banyak pengalaman,
menyaksikan sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka dan yang amat tenang
itu, dua orang kakek kembar tidak mau sembrono. Seorang di antara mereka
melangkah maju dan menegur.
“Orang
muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari Thian-liong-pang? Apa
yang kauperbuat ini hanya dapat dicuci dengan darahmu dan ditebus dengan
nyawamu. Maka sebelum mampus, mengakulah siapa engkau!”
Bun
Beng menggelengkan kepala. “Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang kalian yang
akan kalah, dan andaikata aku sampai mati pun, biarlah namaku menjadi rahasia
dan setan penasaran, rohku akan mengejar-ngejar Thian-liong-pang!”
“Keparat!”
Kakek yang berada di depannya sudah menerjang dengan senjatanya yang aneh dan
kiranya senjata gelang berduri itu digenggam dengan duri-durinya di depan,
digerakkan secara cepat dan kuat sekali menghantam ke arah muka Bun Beng yang
masih bertolak pinggang.
“Heeitt!
Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam,” kata Bun Beng, dengan mudah
ia mengelak ke kanan dan biarpun matanya melirik ke arah orang di depannya
sambil tersenyum mengejek, namun telinganya dicurahkan untuk mengikuti gerakan
kakek ke dua yang telah melompat ke belakangnya.
Ketua
Bu-tong-pai yang sudah merasai kelihaian orang-orang itu, menjadi gelisah
sekali. Ia berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak terkenal yang
jelas hendak menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa pemuda itu
tentu akan celaka. Pemuda itu akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia saja dan
hal inilah yang menggelisahkan hatinya, sama sekali bukan dia tidak mempunyai
harapan tertolong. Sudah banyak tokoh kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh
orang-orang Thian-liong-pang untuk dihadapkan Ketua mereka. Belum pernah ada
tokoh yang dibunuh, maka dia tidak merasa khawatir akan keselamatan dirinya
sungguhpun ada hal yang lebih hebat lagi dalam peristiwa ini, lebih hebat dan
penting daripada keselamatan dirinya, yaitu keselamatan nama besar
Bu-tong-pai yang terancam dan dihina! Kini pemuda yang hendak menolong dirinya
itu terlalu sembrono dan berani mati mempermainkan orang-orang
Thian-liong-pang, maka dia tidak akan merasa heran kalau nanti melihat pemuda
itu roboh dan tewas di depan matanya.
“Orang
muda, awas senjata itu beracun dan berbahaya! Larilah!” teriaknya ketika
melihat betapa pemuda itu diserang dari depan dan belakang dengan dahsyat.
“Jangan
khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai menakut-nakuti anak kecil
saja!” Jawab Bun Beng sambil menggunakan gin-kangnya untuk melesat ke sana ke
mari mengelak sambil tersenyum. Dia sudah melihat bahwa biarpun ilmu silat
kedua kakek itu aneh sekali, gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak
terlalu cepat dan kuat baginya dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka
dengan mudah walaupun dia bertangan kosong.
Ketua
Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu benar-benar
bukan hanya pandai mempermainkan orang, melainkan juga memiliki gerakan yang
amat kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah dengan baik sekali sehingga
semua serangan kedua orang itu selalu mengenai angin kosong.
“Wuuuttt!
Wah, galak amat!” Bun Beng miringkan kepala untuk menghindarkan hantaman
gelang berduri dari belakang, berbareng ia mengirim tendangan ke depan mengarah
sambungan lutut lawan di depan jari tangannya menyentil senjata yang melayang
di depan hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah sebuah di
antara lima dari duri-duri gelang sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya.
“Cringgg!”
Dan kakek itu memekik kaget. Ternyata duri yang disentil jari itu telah patah
dan telapak tangannya terasa panas dan perih sekali. Hampir saja ia melepaskan
sebuah gelangnya dan ia melompat ke belakang. Juga kakek di depan Bun Beng
yang diserang tendangan tadi cepat melompat ke belakang. Mereka menjadi marah
dan penasaran. Kakek yang di belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah,
tangan kirinya bergerak dan gelang berduri yang kehilangan sebuah durinya itu
tiba-tiba meluncur ke arah Bun Beng, berputaran dan mengeluarkan suara
bercuitan.
“Bagus....!”
Bun Beng diam-diam kagum juga. Kiranya, senjata ini bukan hanya dipergunakan
untuk menyerang dengan dipegangi, melainkan juga dapat menjadi senjata rahasia
yang dilontarkan. Dia mengelak dan lebih kagum lagi hatinya melihat betapa
gelang yang berputaran menyambar kepalanya itu setelah luput dari sasarannya,
kini dapat membalik dan kembali ke tangan pemiliknya!
Dia
cepat membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya, Bun Beng
sudah memukul dengan telapak tangannya, pukulan jarak jauh dengan pengerahan
sin-kangnya.
“Wuuuttt!”
Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung mundur. Akan tetapi
kakek ke dua yang kini berada di belakang Bun Beng sudah melontarkan gelang
kanan ke arah punggung pemuda itu.
“Awasss....!”
Ketua Bu-tong-pai berteriak kaget. Namun tanpa memutar tubuhnya, Bun Beng
mengulur tangan dan berhasil menangkap senjata itu, seolah-olah di belakang
tubuhnya terdapat mata ke tiga!
“Senjata
yang buruk!” Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan yang mahir
seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan senjata itu! Tentu
saja bukan demikian kenyataannya. Hanya karena dia telah digembleng oleh
Ketua Siauw-lim-pai dan telah mempelajari delapan belas macam senjata, dan
pernah pula diajar cara mempergunakan senjata gelang yang jarang dipakai di
dunia kang-ouw, maka dia tidak asing dengan senjata ini, pula karena memang
bakat yang dimiliki pemuda itu luar biasa sekali.
“Trang-cring-tranggg....!”
Tiga kali gelang berduri di tangan kedua orang kakek itu bertemu dan gelang
kiri kakek yang di belakangnya patah menjadi tiga bertemu dengan gelang di
tangan Bun Beng.
“Heh-heh-heh,
sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi adil namanya, seorang
satu! Masih mau dilanjutkan?” Dia menantang dan mengejek.
“Tahan
dulu!” Tiba-tiba kakek tua yang bermuka tengkorak melayang datang dan
gerakannya membuat Bun Beng bersikap hati-hati karena melihat cara meloncatnya
saja tingkat kepandaian kakek muka tengkorak ini sama sekali tidak boleh
dibandingkan dengan sepasang kakek kembar yang kasar.
Akan
tetapi dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu dengan
tertawa, “Apakah engkau mau mengeroyok pula? Marilah, biar lebih ramai!”
Kakek
muka tengkorak itu tidak marah, hanya tetap tenang dan dingin ketika berkata,
“Thian-liong-pang tidak pernah memusuhi Siauw-lim-pai, apakah kini
Siauw-lim-pai mendahului langkah mengumumkan perang terhadap
Thian-liong-pang?”
Mendengar
ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam pandang matanya
sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Juga kakek Ketua
Bu-tong-pai terkejut dan cepat berkata,
“Orang
muda yang gagah. Kalau engkau seorang murid Siuw-lim-pai, harap menyingkir.
Aku tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam urusan ini.”
Bun
Beng merasa penasaran. Dia sendiri sudah dipesan oleh gurunya agar jangan
melibatkan Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah ia mundur dan
membiarkan Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang terutama sekali, haruskah
dia mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis itu? Membayangkan betapa sinar
mata yang indah itu menjadi kecewa, murung dan bahkan mungkin menangis lagi,
dia tidak tahan dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai?
Ilmu silat di dunia ini tidak terhitung banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya
satu, yaitu mendasar segala gerakan pada pembelaan diri dan penyerangan. Kalau
ada gerakan yang mirip dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, apa anehnya?”
Akan
tetapi kakek bermuka tengkorak itu tidak puas. “Orang muda, apakah engkau
hendak menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?”
“Aku
tidak menyangkal apa-apa.”
“Kalau
begitu mengakulah, engkau murid partai mana?”
“Aku
pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung banyaknya
sehingga aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini ilmu silat
Siauw-lim-pai?” Setelah berkata demikian, Bun Beng menggerakkan gelang berduri
di tangannya, sekali memutar lengan dia telah menyerang dua orang kakek kembar
sekaligus.
“Trang-cring....!”
Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan.... kedua senjata mereka patah-patah.
“Ah....
ini adalah jurus ilmu silat kami....!” Kakek kembar berseru dan cepat
menerjang marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di tangan.
Bun
Beng tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh seperti yang
dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng pernah mempelajari ilmu
silat gelang berduri dua orang kakek kembar itu? Tentu saja tidak. Melihat pun
baru sekali itu. Akan tetapi Bun Beng memiliki daya ingatan yang kuat sekali
sehingga sekali melihat dia sudah mengerti dan dapat mengingat serta menirunya!
Dia tadi ketika menghadapi pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya
masih jauh lebih rendah darinya, mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan
gerakan mereka sehingga kini ia dapat menirunya dengan baik, sungguhpun tentu
saja hanya kelihatannya saja sama, padahal dasar yang menjadi landasan
jurus-jurus itu lain sama sekali!
Kalau
dua orang kakek kembar menjadi terkejut dan marah karena pemuda itu selain
merampas senjata mereka, juga memukul mereka dengan ilmu mereka sendiri,
adalah kakek muka tengkorak menjadi heran sekali. Kalau murid Siauw-lim-pai,
yang rata-rata angkuh dan mengandalkan ilmu sendiri, tidak mungkin mau
melakukan jurus-jurus ilmu silat dua orang kakek kembar itu. Dia pun mendapat
kenyataan bahwa kakek kembar bukan lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi
tanda dengan mata kepada kawan-kawannya.
Tiba-tiba
terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang muda itu sudah
menyambar, didahului sinar hijau pedangnya, bagaikan bintang jatuh, sinar ini
menyerbu ke arah Bun Beng.
“Bagus!”
Bun Beng memuji, benar-benar memuji karena gerakan orang yang tampan itu
tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak. Kakek muka tengkorak juga
menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning sehingga dalam sekejap mata Bun
Beng sudah harus melesat ke sana-sini menghindarkan dirinya ditembus dua sinar
pedang yang amat dahsyat. Dia masih sempat memperhatikan dengan hati cemas
ketika melihat bahwa kakek kembar sudah meninggalkannya dan mendorong pergi
kerangkeng di mana Ketua Bu-tong-pai tertawan.
“Berhenti!”
Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur cepat, berputaran
mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kerangkeng.
“Krakkkk!”
Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi. Akan tetapi, dua
orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal, mereka lalu mengangkat
kerangkeng, menggotongnya dan berlari pergi secepatnya. Bun Beng tak dapat
mengejar karena dia didesak oleh dua sinar pedang yang amat cepat dan berbahaya
sehingga dia harus mencurahkan perhatiannya untuk melawan dua orang pengeroyok
baru yang lihai ini.
Dua
orang itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah mengerahkan
kepandaiannya, dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang bertangan kosong ini,
namun tetap saja pemuda itu tidak dapat didesak karena selalu dapat mengelak
cepat, bahkan balas menyerang mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin
memperketat pengepungan dan mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu
mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-pai. Namun Bun Beng tidak mau dipancing dan
tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya berkelebatan di antara sinar-sinar itu dan
ia menyerang dengan ilmu silat yang ganasnya seperti ilmu setan! Dua orang itu
terdesak mundur dan makin terheran. Pemuda ini memiliki ilmu silat yang aneh,
pikir mereka. Biarpun agak “berbau” dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, namun
jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena melihat keganasannya lebih mirip
ilmu silat golongan sesat! Tentu dia seorang tokoh yang amat lihai dan tinggi
kedudukannya, pikir mereka.
Memang
Bun Beng telah mempergunakan jurus-jurus ilmu silat dari Sam-po-cin-keng yang
bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong Menyerbu Barisan) sehingga
kedua orang itu tentu saja tidak mengenal ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini!
Dua orang itu memberi isyarat lalu Si Kakek berkata. “Kami tidak ingin
bermusuhan dengan Siauw-lim-pai!” Setelah berkata demikian, mereka melesat
jauh dan lari pergi.
Bun
Beng penasaran. Dia tidak bernafsu untuk mengalahkan dua orang itu, apalagi
membunuhnya, akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai. Maka dia pun
lalu melompat dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak menyusul mereka, hanya
membayangi dari jauh. Agaknya kedua orang itu juga sengaja memancing Bun Beng
karena mereka itu berlari tidak secepat yang mereka dapat lakukan. Hal ini
pertama untuk memberi kesempatan kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke
sarang mereka, ke dua kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan
menarik perhatian Ketua mereka!
Bun
Beng bukan seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitungkan keadaan,
maka dia pun dapat menduga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya.
Namun dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah
mencari sarang mereka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang
Lojin dan lain-lain tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar
menghentikan perbuatan-perbuatan menculik orang-orang penting itu!
Sebetulnya
apakah yang terjadi dengan Thian-liong-pang sehingga kini perkumpulan besar
itu melakukan perbuatan aneh itu, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua
partai persilatan? Sesungguhnya, tidaklah terjadi perubahan di
Thian-liong-pang. Ketuanya masih tetap Si Wanita berkerudung yang makin lama
makin hebat ilmu kepandaiannya itu. Seperti kita ketahui, wanita berkerudung
yang aneh dan penuh rahasia ini, yang mukanya tidak pernah kelihatan oleh siapa
pun juga, bahkan para pembantunya yang bertingkat paling tinggi pun tidak ada
yang pernah melihatnya, bukan lain adalah Nirahai, puteri Kaisar Kang Hsi sendiri
yang terlahir dari selir berdarah Khitan campuran Mongol!
Ketika
ia dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya dan bibi
gurunya, yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri Suma Han, hatinya
girang bukan main. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada Pendekar Super Sakti
yang berkaki tunggal itu. Namun betapa kecewanya ketika ia mendapat kenyataan
bahwa suami yang dicintainya itu tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol
sehingga mereka berpisah dengan hati hancur (baca ceritaPendekar Super Sakti). Dengan rasa hati
berat karena sesungguhnya wanita ini amat mencinta suaminya, Nirahai berangkat
ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa ia telah mengandung! Ingin ia kembali
ke selatan mencari suaminya untuk memberi tahu hal ini, namun keangkuhannya
sebagai bekas puteri kaisar mencegahnya. Dia amat mencinta Suma Han, bahkan
telah berkorban dengan kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia telah
kecewa karena setelah berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhirnya dia menjadi
seorang buruan! Pukulan batin ke dua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang
dibelanya itu ternyata tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di
hatinya bahwa cinta kasih dalam hati Suma Han akan membuat suaminya itu kelak
menyusulnya ke Mongol.
Namun
harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai bertahun-tahun
ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap saja tidak ada kabar
berita dari suaminya! Betapapun juga, wanita yang keras hati ini tetap tidak
mau pergi mencari suaminya. Kalau memang suaminya tidak mencintainya, dengan
bukti tidak pernah menyusulnya, biarlah dia akan memperlihatkan bahwa dia
tidak kalah keras hati! Maka dia lalu meninggalkan puterinya kepada Pangeran
Jenghan yaitu keponakan yang berkekuasaan besar dari Pangeran Galdan, dan dia
sendiri merantau ke selatan. Karena dia mendengar bahwa suaminya telah menjadi
Majikan Pulau Es, maka dia lalu membuat perkumpulan yang kelak dapat ia
pergunakan untuk menandingi nama besar Pulau Es, dan dipilihlah Perkumpulan
Thian-liong-pang.
Di
dalam cerita “Pendekar Super Sakti”
telah diceritakan tentang watak dan sifat Puteri Nirahai yang gagah perkasa,
angkuh dan tidak pernah mau kalah, di samping kecantikannya yang luar biasa dan
ilmu kepandaiannya yang amat tinggi. Mati-matian ia membela Suma Han yang
dicintainya, bahkan ia telah mengorbankan nama, kedudukan dan kehormatannya
untuk pendekar kaki tunggal yang dikaguminya itu. Sebesar itu cintanya, sebesar
itu pula sakit hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suaminya itu tidak
mempedulikannya, tidak menyusulnya, bahkan tak pernah mencarinya sampai dia
melahirkan seorang puteri! Rasa sakit hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan
bahwa dalam hal kepandaian dan kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya!
Pergilah wanita sakti ini meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia
menjatuhkan pilihannya kepada Perkumpulan Thian-liong-pang!
Perkumpulan
Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah mengalami jatuh
bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan merupakan sebuah
perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih dari seratus tahun dan
pendirinya dahulu adalah seorang kakek yang berjuluk Sin Seng Losu (Kakek
Bintang Sakti) yang berilmu tinggi karena dia adalah murid keponakan dari
Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara datuk kaum sesat yang amat sakti. Ketika
perkumpulan ini terjatuh ke tangan mantu Sin Seng Losu yang bernama Siangkoan
Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan tergolong perkumpulan bersih
yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, setelah Siangkoan
Bu tewas dan perkumpulan itu dipimpin oleh murid Sin Seng Losu yang bernama Ma
Kiu berjuluk Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebelas orang sutenya maka kembali
Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat ditakuti karena
tidak segan melakukan kejahatan mengandalkan kekuasaan mereka. Terutama sekalr
Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka adalah Ma Kiu dan
sute-sutenya yang merajalela di dunia kang-ouw. Dalam keadaan seperti itu
muncullah Siangkoan Li, putera mendiang Siangkoan Bu atau cucu dari Sin Seng
Losu yang dengan bantuan Mutiara Hitam menentang para paman gurunya (baca
ceritaMutiara Hitam). Siangkoan
Li ini lihai bukan main karena dia telah diterima menjadi murid dua orang kakek
sakti yang setengah gila, yang berjuluk Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.
Hanya sayang sekali, Siangkoan Li yang tadinya merupakan seorang pemuda tampan
yang gagah perkasa, bahkan menjadi sahabat baik Mutiara Hitam dan jatuh cinta
kepada pendekar wanita perkasa itu, tidak hanya mewarisi kesaktian kedua orang
gurunya, akan tetapi juga mewarisi keganasan dan kegilaannya!
Siangkoan
Li mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang di mana dia menjadi ketuanya
dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang penuh rahasia.
Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak ada
yang berani lancang tangan mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang
yang hidupnya aneh dan penuh rahasia. Ilmu silat para anggauta
Thian-liong-pang rata-rata amat tinggi dan dasar ilmu kepandaian mereka
bersumber ilmu-ilmu yang aneh dan luar biasa dari Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek
Sian-ong, atau lebih tepat dari Siangkoan Li yang menyebarkan kepandaian itu
kepada para anak buah dan murid-muridnya. Setelah Siangkoan Li meninggal dunia
dalam keadaan menderita batin karena cintanya yang gagal terhadap Mutiara
Hitam dan selamanya tidak mau menikah, dalam puluhan tahun terjadilah
pergantian ketua baru beberapa kali dan mulailah terjadi kekacauan di dalam
perkumpulan ini karena perebutan kursi ketua! Dan semenjak itu, selalu ada
ketegangan di antara para murid-murid kepala atau dewan pimpinan mereka yang
selalu berusaha memperkuat diri untuk merampas kedudukan ketua.
Keadaan
ini menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka, yaitu setiap
tahun diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan berpibu, mengadu kepandaian
dan siapa yang paling pandai di antara mereka, tidak peduli wanita atau pria,
tidak peduli saudara tua atau saudara muda dalam perguruan, dia yang berhak menjadi
ketua sampai lain tahun diadakan pibu lagi di mana dia harus mempertahankan
kedudukannya dengan taruhan nyawa! Ya, dalam pibu antara orang-orang liar ini
sering kali terjadi pembunuhan. Mereka tidak segan saling membunuh di antara
saudara sendiri untuk memperebutkan kursi ketua yang amat mereka rindukan
karena kursi itu berarti kemuliaan, kemewahan, kehormatan dan nama besar!
Ketika
Nirahai mendatangi perkumpulan yang hendak dipilihnya sebagai syarat untuk
menandingi kebesaran Pulau Es yang dipimpin oleh Suma Han, suaminya yang
dianggapnya menyia-nyiakan dan menyakitkan hatinya itu tepat terjadi di waktu
Thian-liong-pang sedang mengadakan pibu tahunan yang selalu terjadi di ruangan
belakang gedung perkumpulan yang amat luas dan terkurung pagar tembok yang
tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing sehingga orang yang
berkepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang dapat melompat pagar tembok
itu. Seperti biasa, pibu diadakan di pekarangan luas yang dikurung oleh anak
buah Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian, ketegangan dan juga
kegembiraan karena mereka itu tentu saja mempunyai pilihan calon ketua
masing-masing sehingga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang menonton
adu jago. Bahkan di antara anak buah itu ada yang bertaruh, bukan hanya
bertaruh uang dan barang berharga, bahkan ada yang mempertaruhkan isterinya!
Pada
waktu itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua akan tetapi
juga berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil Cin-bun yang letaknya
di lembah Sungai Huang-ho, di sebelah utara kota Cin-bun di Propinsi Shantung.
Para penduduk Cin-bun mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak ada
yang berani mencampuri, bahkan mendekati kelompok bangunan besar yang
dilingkungi pagar tembok bertombak itu pun merupakan hal yang berbahaya bagi
mereka. Para pembesar pemerintah Mancu pun tidak ada yang berani mencampuri,
dan mereka ini sudah menerima perintah dari atasan bahwa pemerintah tidak
ingin menciptakan permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka pemerintah
daerah yang mengawasi gerak-gerik mereka dan selama perkumpulan itu tidak
melakukan perbuatan yang menentang pemerintah, pemerintah pun lebih suka untuk
berbaik dengan mereka. Menentang pun berarti tentu akan menimbulkan
pemberontakan baru dan pemerintah tidak menghendaki hal ini karena setiap
pemberontakan merupakan bahaya besar, dapat merupakan api yang membakar
semangat perlawanan rakyat yang dijajah.
Pada
waktu itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua ratus orang
lebih, sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada pula yang tinggal di
dusun-dusun sekitar Propinsi Shantung dan membuka cabang-cabang
Thian-liong-pang. Akan tetapi pada waktu itu, semua pimpinan cabang berkumpul
pula di pusat untuk menyaksikan pemilihan ketua baru melalui pibu, bahkan di
antara mereka ada yang ingin melihat-lihat barangkali tingkat kepandaian
mereka sudah cukup untuk dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.
Dua
ratus orang lebih anggauta Thian-liong-pang sudah berkumpul dan suasana menjadi
riang gembira karena para anggauta itu sibuk saling bertaruh memilih jago
masing-masing. Para pimpinan rendahan yang mendapat tempat di bangku rendah
yang berjajar di depan anak buah itu hanya mendengarkan tingkah anak buah mereka
sambil tersenyum-senyum. Mereka ini tentu saja tidak berani bertaruh seperti
yang dilakukan anak buah mereka, hanya diam-diam mereka pun mempunyai pilihan
masing-masing karena mereka sendiri masih merasa terlalu rendah tingkat
kepandaiannya untuk coba-coba berpibu yang berarti mempertaruhkan nyawa.
Adapun
pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas kursi-kursi di
tingkat atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan tempat pibu itu oleh lima
buah anak tangga di mana ditaruh kursi gading untuk Sang Ketua, diapit-apit
beberapa buah kursi untuk para pimpinan yang tinggi tingkatnya dan mereka
inilah yang menjadi calon-calon penantang ketua lama. Pada waktu itu tampak
lima orang pemimpin tinggi yang telah duduk dengan tubuh tegak dan sikap
angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah mereka itu masing-masing telah
merasa yakin akan memperoleh kemenangan dalam pibu yang hendak diadakan. Kursi
gading untuk Ketua masih kosong karena Ketuanya belum keluar, sedangkan
seperangkat alat tetabuhan yang dipukul perlahan menyemarakkan suasana seperti
dalam pesta.
Orang
pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang menyeramkan.
Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua pelipisnya disambung dengan
jenggot yang melingkari wajahnya, kumisnya juga tipis seperti kumis singa.
Tubuhnya kekar penuh membayangkan tenaga yang amat kuat biarpun kakek ini
usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah
berwarna putih, namun warna ini menambah keangkerannya karena membuat mukanya
lebih mirip muka singa. Sepasang matenya yang lebar menyinarkan cahaya kilat
menyeramkan, namun sikapnya pendiam, pakaiannya sederhana dan dia duduk
seperti seekor singa kekenyangan yang mengantuk! Kakek ini sebenarnya
merupakan saudara seperguruan tertua dan bahkan menjadi suheng dari Ketua yang
sekarang, namun karena dia seorang berjiwa perantau dan petualang, maka dia
tidak mempunyai nafsu untuk merebut kedudukan ketua, sungguhpun dalam hal
kepandaian, masih sukar ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan Sang
Ketua. Kakek ini sudah tidak dikenal lagi nama aselinya, lebih dikenal
julukannya yang menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa)!
Orang
ke dua juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepalanya gundul
akan tetapi dia bukanlah seorang hwesio karena dia berjenggot dan berkumis dan
berpakaian seperti seorang pelajar, bersikap halus namun matanya liar seperti
mata orang yang tidak waras pikirannya. Kelihatannya kakek gundul ini lemah,
duduk memegangi lengan kursi dan kadang-kadang kedua tangannya bergerak
menggigil seperti orang buyuten, kepalanya bergerak-gerak sendiri tanpa
disadari mengangguk-angguk dan mulutnya kadang-kadang tersenyum geli
seolah-olah ada setan tak tampak membadut di depannya. Namun jangan dianggap
remeh kakek ini karena dia pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari
Sai-cu Lo-mo. Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menyeramkan dari
suhengnya karena di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan
Sakti Angin dan Kilat)!
Orang
ke tiga adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tinggi besar
tubuhnya, wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi, matanya melotot
jarang berkedip, hidungnya besar merah tanda sifat gila perempuan, pakaiannya
seperti seorang jago silat dan di punggungnya tampak gagang sebatang golok
besar. Inilah Twa-to Sin-seng (Bintang Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat
disegani dan ditakuti karena wataknya yang kasar, terbuka, dan kurang ajar
terhadap wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!
Orang
ke empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, wajahya
tampan sekali, bahkan begitu halus gerak-geriknya, begitu merah bibirnya dan
begitu tajam memikat kerling matanya sehingga dia lebih mirip seorang wanita!
Sepasang pedang tergantung di pinggangnya, pakaiannya biru, dari bahan sutera
halus dan laki-laki tampan ini termasuk seorang yang pesolek. Sayangnya, sinar
matanya yang bagus itu mengandung kekejaman dan juga kesombongan yang memandang
rendah semua orang! Dia ini pun bukan orang biasa dan merupakan di antara para
pemimpin tinggi yang telah membuat nama Thian-liong-pang menjadi nama besar
dan tenar.
Pedangnya
amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui‑beng‑kiam (Pedang Pengejar Arwah),
namanya Liauw It Ban. Kalau suhengnya, Ma Chun, terkenal sebagai seorang laki‑laki
gila perempuan dan suka mempermainkan wanita, Liauw It Ban ini lebih hebat lagi
karena dia seorang mata keranjang yang berwatak sadis, senang sekali menyiksa
wanita yang menjadi korbannya! Betapapun juga, dia dan suhengnya tidak pernah
mengumbar hawa nafsu iblis itu di daerah sendiri karena mereka tunduk akan
perintah ketua mereka agar tidak mengotorkan nama Thian-liong‑pang di daerah
sendiri sehingga tidak mendapat kesan buruk terhadap pemerintah. Karena itu,
namanya lebih tersohor di daerah lain di luar propinsi.
Orang
ke lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar Thian‑liong-pang karena
dia paling tidak patut menjadi anggauta dewan pimpinan perkumpulan besar itu.
Dia adalah seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun
usianya, cantik manis dengan pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan
lekuk lengkung tubuhnya yang sudah matang. Wanita ini merupakan saudara
seperguruan termuda, namun dia memiliki ilmu kepandaian di luar ilmu keturunan
ilmu para Pimpinan Thian‑liong‑pang karena dia telah menerima ilmu‑ilmu dari
mendiang suaminya, seorang murid dari Bu‑tong‑pai yang lihai. Suaminya tewas
setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua
sehingga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang, adalah seorang janda kembang
yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin sekali memetiknya. Terutama
sekali kedua orang suhengnya sendiri, Ma Chun dan Liauw It Ban yang pada
waktu itu pun seringkali melayangkan sinar mata ke arahnya. Bahkan beberapa
kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang matanya menyapu tubuh sumoinya
yang penuh gairah. Liauw It Ban juga memandang dengan sinar mata penuh gairah,
akan tetapi ia tersenyum‑senyum dan memasang aksi setampan mungkin untuk
menundukkan hati sumoinya yang sudah menjadi janda itu. Namun, Tang Wi Siang
duduk dengan tenang dan sikapnya dingin sekali, seperti sebongkah es membeku.
Namun, di luar tahu lain orang, diam‑diam ia menyapukan pandang matanya yang
tajam itu ke arah Liauw It Ban, suhengnya yang tampan. Dahulu sebelum suaminya
tewas, dia tidak mempedulikan suhengnya yang tampan ini, bahkan sebelum ia
menikah, ia tidak pernah melayani rayuan suhengnya. Akan tetapi sekarang,
setelah setahun lamanya dia menjanda, setelah merasa tersiksa hatinya karena
kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah dinikmatinya hanya
beberapa tahun lamanya, diam‑diam sering jantungnya berdebar kalau
membayangkan suhengnya yang tampan itu menggantikan mendiang suaminya!
Lima
orang inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh‑tokoh utama dari
Thian‑liong‑pang dan memang mereka berenam memiliki kepandaian yang tinggi,
memiliki keistimewaan masing-masing sehingga sukar untuk dikatakan siapa di
antara mereka yang paling lihai. Dan kini, sudah dapat dibayangkan bahwa dalam
pibu perebutan kedudukan ketua, lima orang inilah yang akan berani maju untuk
berpibu melawan Sang Ketua, karena selain mereka, siapa lagi yang akan berani
maju?
Tiba‑tiba
tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba‑aba dari komandan upacara, yaitu
seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan munculnya Sang Ketua. Semua
anggauta Thian‑liong‑pang serentak bangkit memberi hormat, dan lima orang
itulah yang berdiri dengan tenang dan biasa menyambut munculnya Si Ketua yang
ditunggu‑tunggu sejak tadi. Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya
Ketua Thian‑liong-pang karena memang patutlah orang ini menjadi ketua. Tubuhnya
tinggi besar seperti raksasa sehingga Ma Chun yang tinggi besar itu hanya
setinggi pundaknya! Ketua Thian‑liong‑pang ini tingginya seimbang dengan besar
tubuhnya. Langkahnya lebar dan berat seperti langkah seekor gajah, lantai
sampai tergetar dibuatnya. Pakaiannya mentereng akan tetapi ketat dan
membayangkan tonjolan otot‑otot yang besar. Kedua lengannya sampai ke jari
tangannya penuh bulu hitam kasar, kepalanya yang besar juga berambut hitam
kasar seperti kawat-kawat baja. Alisnya tebal hampir persegi, matanya bulat
dengan manik mata hitam amat kecil sehingga kelihatannnya mata itu putih semua,
hidungnya kecil akan tetapi mulutnya besar seperti terobek kedua ujungnya.
Jenggot dan kumisnya dipotong pendek, kaku seperti sikat kawat! Kulitnya yang
kelihatannya tebal seperti kulit badak itu berkerut-kerut, agak hitam
mengingatkan orang akan kulit buaya yang tebal, keras, dan lebat! Inilah dia
Phang Kok Sek, Ketua Thian‑liong‑pang yang telah mewarisi Hwi‑tok‑ciang (Tangan
Racun Api) dari leluhur Thian‑liong‑pang, yaitu Lam‑kek Sian‑ong! Tahun yang
lalu, dalam pibu dia telah menewaskan ketua lama yang menjadi paman gurunya
sendiri, menewaskan pula suami Tan Wi Siang dan beberapa orang lain lagi,
bahkan melukai Ma Chun yang menjadi sutenya.
Dengan
gerakan kedua tangannya yang kaku Ketua ini mempersilakan saudara‑saudara
seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri menduduki kursi gading, dan
semua anak buah lalu duduk pula, para pemimpin rendah duduk di bangku dan para
anggauta duduk di atas lantai yang terbuat dan batu persegi yang lebar, keras
dan berwarna hitam. Seperti biasa, mereka itu merupakan setengah lingkaran
menghadap ke arah tempat para pimpinan duduk, yaitu di atas anak tangga dan di
depan atau sebelah bawah anak tangga itu merupakan ruangan yang sengaja dikosongkan
karena di situlah biasanya diadakan pibu antara pimpinan untuk menentukan
siapa yang berhak menjadi ketua baru karena memiliki ilmu kepandaian
tertinggi. Tempat pibu yang berbahaya karena lantai ubin batu itu amat keras
sehingga sekali terbanting, tulang bisa patah, apalagi kalau kepala yang
terbanting bisa pecah!
Seperti
sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua baru, Thian‑liong‑pangcu
yang bertubuh seperti raksasa memberi isyarat dengan kedua tangan ke atas,
menyuruh semua orang tidak mengeluarkan suara berisik. Setelah keadaan menjadi
hening, dia bangkit berdiri dan mengucapkan kata‑kata yang sudah dikenal baik
oleh semua anggauta.
“Saudara
sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru
seperti yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan pimpinan. Aku
sendiri sebagai ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute, dan Sumoiku sebagai
anggauta dewan pimpinan telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan ketua baru
pada hari ini sesuai dengan kebiasaan dan peraturan perkumpulan kita. Seperti
telah menjadi kebiasaan Thian‑liong‑pang pula, aku sebagai ketua
harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dan dia yang dapat
mengalahkan aku dan kemudian keluar sebagai orang terkuat, dialah yang berhak
menjadi ketua baru tanpa ada tantangan dari siapapun juga dan memiliki hak
mutlak untuk menjadi Ketua Thian‑liong‑pang. Luka atau mati dalam pibu tidak
boleh mengakibatkan dendam dan kebencian di antara saudara seperkumpulan,
karena pibu ini diadakan bukan karena urusan pribadi, melainkan untuk pemilihan
ketua dan demi kepentingan dan nama besar Thian‑liong‑pang. Aku sudah selesai
bicara dan di antara para anggauta biasa dan pimpinan yang ingin memasuki
pibu, harap berdiri dan menyatakan pendapatnya.” Setelah berkata demikian,
Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk kembali, kedua lengannya yang
besar ditaruh di atas lengan kursi gading, tubuhnya memenuhi kursi itu dan
pandang matanya menyapu semua orang yang hadir penuh tantangan. Namun diam‑diam
ia melirik ke arah dua orang suhengnya, yaitu Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang
Chie Kang. Ketua ini tidak gentar menghadapi dua orang sutenya dan seorang
sumoinya karena merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan mereka. Namun dia
mengerti bahwa kalau dua orang suhengnya itu memasuki pibu, dia harus berhati-hati
karena akan bertemu lawan yang berat.
Sai‑cu
Lo‑mo yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang perantau dan sejak
dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi ketua karena baginya, menjadi
ketua berarti harus selalu berada di Thian‑liong‑pang dan agaknya dia tidak mau
mengorbankan kesukaannya merantau dengan menjadi ketua. Adapun Lui‑hong Sin‑ciang
Chie Kang adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi, belum pernah mengikuti
pibu pemilihan ketua, lebih senang duduk termenung, atau bersamadhi atau diam‑diam
melatih ilmu silatnya, kalau tidak tentu dia tenggelam dalam kitab‑kitab kuno
karena dia adalah seorang kutu buku yang karena terlalu suka membaca tanpa
mempedulikan waktu, sampai kadang‑kadang matanya basah dan merah, sedangkan
kedua tangannya menggigil buyuten! Betapapun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa
suhengnya yang ke dua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia masih
belum berani memastikan apakah dia akan menang melawan Ji‑suhengnya ini.
Karena
ada kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat twa‑suhengnya,
Sai‑cu Lo‑mo sebagai orang pertama yang bangkit berdiri dari kursi di ujung
sebelah kanannya. Juga para anggauta menjadi heran dan tegang karena maklum
bahwa kalau yang tua‑tua ini sudah ikut pibu, tentu akan ramai sekali
pertandingan antara saudara‑saudara seperguruan itu.
Sai‑cu
Lo‑mo mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum bicara, kemudian
ia berkata, “Harap semua saudara jangan salah menduga. Aku lebih suka merantau
di alam bebas daripada harus terikat di atas kursi gading sebagai ketua!
Sekarang pun aku masih belum mengubah kesenanganku dan aku tidak akan mengikuti
pibu pemilihan ketua, hanya ada sedikit hal yang perlu kukemukakan. Siapa pun
yang akan menjadi ketua baru, mulai sekarang harus dapat mengendalikan Thian‑liong‑pang
dengan baik, mencegah penyelewengan para anggauta yang hanya akan merusak nama
besar Thiang‑liong‑pang. Hentikan perbuatan‑perbuatan maksiat yang rendah dan
yang menyeret Thian‑liong‑pang ke lembah kehinaan, karena kita bukanlah angauta‑anggauta
perkumpulan rendah, bukan segerombolan penjahat‑penjahat kecil yang
mengandalkan nama perkumpulan untuk melakukan perbuatan menjijikkan seperti
yang sering kudengar yaitu berlaku sewenang‑wenang, memperkosa wanita, dan
sebagainya. Kalau perbuatan-perbuatan ini tidak dihentikan, kalau Ketua baru
tidak mampu mengendalikan, hemmm.... aku tidak mengancam, akan tetapi terpaksa
aku akan turun tangan menantangnya dan mungkin akan timbul hasratku untuk
menjadi ketua!” Setelah berkata demikian, kakek muka singa itu duduk kembali
dan melenggut seperti orang hendak tidur!
Keadaan
menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik‑bisik di antara para anggauta yang
sebagian besar merasa tersinggung dan tidak senang dengan ucapan itu. Adapun
Phang Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya, terasa panas seperti baru
saja menerima tamparan.
“Cocok
sekali!” Tiba‑tiba Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang berseru dan bangkit dari
kursinya, suaranya tinggi nyaring sungguh tidak sesuai dengan sikapnya yang
tenang dan kelihatan lemah. “Jangan membikin malu nenek moyang kita yang gagah
perkasa, Siangkoan Li Su‑couw yang pernah menjadi sahabat baik pendekar wanita
sakti Mutiara Hitam!” Setelah berkata demikian, Lui‑hong Sinciang Chie Kang
duduk kembali.
Biarpun
ucapan kedua orang suhengnya itu merupakan tamparan dan teguran tersembunyi,
yang ditujukan kepadanya, namun hati Phang Kok Sek menjadi lega karena jelas
bahwa kedua orang suhengnya itu tidak mau memasuki pibu memperebutkan kursi
ketua! Kini tinggal dua orang sutenya dan seorang sumoinya, karena selain
mereka bertiga, siapa lagi yang berani memasuki pibu? Dia melirik ke arah
kedua orang sutenya dan sumoinya.
Hampir
berbareng, Twa‑to Sin‑seng Ma Chun dan Cui‑beng‑kiam Liauw It Ban bangkit
berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil berkata,
“Aku
hendak memasuki pibu!” kata Ma Chun.
“Dan
aku juga ingin mencoba‑coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!” kata Liauw It
Ban.
Setelah
kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri. Janda muda yang
cantik jelita ini berkata tenang, “Aku ingin memasuki pibu, akan tetapi
hendaknya Pangcu dan sekalian Suheng dan saudara sekalian maklum bahwa aku
merasa tidak cukup untuk menjadi ketua....”
“Sumoi,
aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!” Tiba‑tiba Liauw It Ban
berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti. Kedua pipi wanita itu
berubah merah, jantungnya berdebar karena maklum apa yang tersembunyi di balik
ucapan itu, apalagi ketika ia melihat banyak mulut tersenyum‑senyum maklum,
membuat dia merasa lebih jengah lagi.
“Terima
kasih, Liauw‑suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi ketua, juga jangan
disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena mendendam atas kematian mendiang
suamiku. Sama sekali tidak, aku memasuki pibu setelah selama ini aku melatih
diri memperdalam ilmu silat dan semata‑mata hanya untuk mempertebal keyakinan
bahwa orang yang menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang
lebih tinggi dariku sehingga boleh dipercaya dan diandaikan utuk menjunjung
nama dan kehormatan Thian‑liong‑pang!”
Girang
sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam‑diam ia mengambil keputusan
untuk memaafkan sumoinya yang cantik itu dan tidak membunuhnya. Akan tetapi
kedua orang sutenya Ma Chun dan Liauw It Ban harus ia tewaskan dalam pibu itu
karena kalau sekali ini mereka gagal, pada lain kesempatan tentu mereka itu
akan mencoba lagi dan hal ini merupakan bahaya terus‑menerus bagi
kedudukannya. Ia segera bangkit berdiri dan berkata,
“Terima
kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha memperbaiki
keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah mendengar, yang
memasuki pibu untuk kedudukan ketua baru hanyalah Ma‑sute dan Liauw‑sute,
sedangkan Sumoi hanya akan menguji kepandaian Ketua baru yang berhasil keluar
sebagai pemenang dalam pibu ini. Kurasa tidak ada orang lain lagi yang akan
memasuki pibu hari ini!”
“Ada!”
Tiba‑tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita! “Akulah yang akan
memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua Thian‑liong‑pang!”
Semua
orang menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang wanita yang
kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu‑tahu telah berdiri di dalam ruangan
itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk? Semua pintu masih tertutup, dan tempat
itu dikelilingi tembok yang tinggi dan atasnva dipasangi tombak‑tombak runcing
mengandung racun!
“Engkau
siapa?” Phang Kok Sek membentak dengan suara menggeledek karena marah.
Terdengar
suara ketawa kecil di balik kerudung sutera itu dan dengan langkah tenang
wanita berkerudung itu memasuki ruangan sampai di bagian tengah yang kosong,
di bawah anak tangga kemudian berkata,
“Pangcu,
siapa aku bukanlah hal penting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin tahu
juga, akulah calon Ketua baru dari Thian‑liong‑pang, calon Ketua kalian. Aku
memasuki pibu untuk mendapatkan kedudukkan Ketua Thian‑liong-pang.”
Phang
Kok Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita berkerudung
itu. “Tidak mungkin! Engkau telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, engkau
sebagai orang luar berani memasuki tempat ini tanpa ijin, kesalahan ini saja
sudah patut dihukum dengan kematian. Ke dua, pibu kedudukan Ketua Thian‑liong‑pang
hanya dilakukan di antara anggauta sendiri, tidak boleh dicampuri orang dari
luar! Hayo, buka kedokmu dan perkenalkan dirimu. Karena engkau seorang wanita,
mungkin sekali kami dapat memberi ampun.”
Kembali
wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup membuat tulang
punggung yang mendengarnya terasa dingin. “Phang Kok Sek, biarpun engkau telah
menjadi Ketua Thian‑liong‑pang, ternyata engkau agaknya tidak tahu atau lupa
akan sejarah Thian‑liong‑pang dan riwayat tokoh-tokoh besarnya di waktu
dahulu. Dahulu, pendekar besar Siongkoan Li telah diusir dari Thian‑liong‑pang,
dan dianggap sebagai orang luar karena perbuatan‑perbuatannya yang menentang
Thian‑liong‑pang dan karena menjadi murid dari kedua Sian‑ong Kutub Utara dan
Selatan. Akan tetapi kemudian dia kembali dan merampas Thian‑liong‑pang
menjadi ketuanya! Bukankah itu berarti seorang luar dapat menjadi Ketua Thian‑liong‑pang?
Dan lupakah engkau kepada Gurumu sendiri, Guru semua anggauta dewan pimpinan
Thian‑liong‑pang ini? Siapakah Guru kalian? Bukankah guru kalian mendiang
Kim-sin‑to Sai‑kong adalah seorang pertapa dari Kun‑lun‑san yang sama sekali
bukan anggauta Thian‑liong‑pang tadinya?”
Keenam
pimpinan Thian‑liong‑pang terkejut sekali. Bagaimana orang ini dapat mengetahui
semua rahasia itu yang menjadi rahasia moyang para pimpinan Thian‑liong‑pang?
“Siapakah
engkau?” Kembali Phang Kok Sek bertanya.
“Aku
adalah calon Thian‑liong‑pangcu,” wanita berkerudung menjawab.
Tiba‑tiba
Sai‑cu Lo‑mo berkata setelah menatap sepasang mata di balik kerudung itu
dengan tajam. “Toanio, siapa pun adanya engkau, caramu masuk dan sikapmu
menunjukkan bahwa engkau seorang pemberani. Akan tetapi ketahuilah bahwa
seorang yang ingin menjadi Ketua Thian‑liong‑pang bukanlah melalui pibu,
melainkan merupakan perampas perkumpulan yang harus lebih dahulu mengalahkan
seluruh pimpinan....”
“Memang
aku datang untuk mengalahkan kalian semua atau siapa saja yang menentangku
menjadi Ketua Thian‑liong-pang!” Wanita itu menjawab seenaknya. “Nah, aku
menyatakan diriku sebagai Ketua Thian‑liong‑pang yang baru! Siapa yang akan
menentang? Boleh maju!”
Para
anggauta Thian‑liong‑pang memandang dengan hati tegang dan juga gembira karena
mereka merasa yakin bahwa munculnya wanita aneh ini akan mengakibatkan
pertandingan yang amat menarik. Tadinya mereka sudah merasa kecewa ketika
mendengar ucapan Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang karena maklum
bahwa dua orang tua itu tidak memasuki pibu sehingga pertandingan yang akan
terjadi di antara Ketua dan dua orang sutenya dan seorang sumoinya tidak akan
menarik hati.
Sementara
itu, melihat sikap wanita berkerudung, enam orang pimpinan Thian‑liong‑pang
menjadi marah dan diam‑diam Phang Kok Sek memberi tanda dengan matanya kepada
Cui‑beng-kiam Liauw It Ban. Mereka berenam adalah orang‑orang yang
berkedudukan tinggi pula, maka biarpun mereka ditantang, mereka merasa malu
untuk maju mengeroyok. Pula, Phang Kok Sek yang cerdik sengaja menyuruh sutenya
maju, selain untuk menyaksikan dan mengukur kepandaian wanita berkerudung juga
andaikata terjadi sesuatu dengan diri Liauw It Ban hanya berarti bahwa dia
kehilangan seorang di antara saingan‑saingannya!
Akan
tetapi betapa kaget hatinya, dan juga para pimpinan lain ketika wanita itu
mendahului Liauw It Ban yang hendak bangun menghadapi Si Pedang Pengejar Roh
itu sambil berkata, “Nah, engkau sudah menerima perintah Suhengmu untuk
melawan aku. Majulah!”
Bukan
main tajamnya pandang mata di balik kerudung sutera itu sehingga isyarat Sang
Ketua dengan matanya dapat ia tangkap! Liauw It Ban meloncat bangun dan ketika
tangan kanannya bergerak, tampak sinar berkelebat, pedangnya telah berada di
tangan kanan. Ia tersenyum mengejek, melintangkan pedang depan dada dan
menggunakan telunjuk kirinya menuding ke arah muka berkerudung itu.
“Perempuan
sombong! Agaknya engkau belum mengenal aku, maka engkau berani membuka mulut
besar! Lebih selamat bagimu kalau engkau membuka kerudungmu agar dapat kulihat
wajahmu. Kalau wajahmu sehebat tubuhmu, hemm.... agaknya aku masih dapat
mengampunimu asal engkau tahu bagaimana harus membalas budi, ha‑ha!”
Betapa
kagetnya ketika laki‑laki berusia tiga puluh tahun yang tampan dan pesolek ini
mendengar suara dari balik kerudung, suara yang merdu namun mengandung ejekan,
“Cui‑beng‑kiam
Liauw It Ban, siapa tidak mengenal orang rendah seperti engkau ini? Engkau
orang ke lima dari enam Pimpinan Thian‑liong‑pang, dan sudah cukup engkau
mengotorkan Thian‑liong-pang dengan perbuatan‑perbuatanmu yang kotor,
memperkosa wanita‑wanita baik-baik, menyiksa orang. Engkau seorang penjahat
cabul yang berhati keji dan sesungguhnya engkau tidak patut menjadi tokoh
Thian‑liong‑pang. Kedatanganku memang untuk menjadi Ketua Thian-liong‑pang dan
sekaligus membersihkan Thian‑liong‑pang dari monyet‑monyet kotor macam
engkau!”
“Singggg....!”
Tampak sinar kilat ketika pedang di tangan Liauw It Ban menyambar ke arah
leher wanita berkerudung. Namun, dengan gerakan mudah sekali wanita itu
mengelak, bahkan terdengar tertawa mengejek. Tidak percuma Liauw It Ban
mendapat julukan Cui‑beng‑kiam (Pedang Pengejar Roh) karena begitu pedangnya
luput, sudah membalik lagi dengan serangan ke dua yang merupakan sebuah tusukan
ke arah dada wanita berkerudung itu.
Semua
pimpinan Thian‑liong‑pang terbelalak kaget ketika menyaksikan gerakan wanita
berkerudung itu. Wanita itu mengangkat tangan kirinya dan dua buah jari
tangannya, telunjuk dan ibu jari, menjepit ujung pedang yang menusuknya dengan
mudah sekali dan.... betapa pun Liauw It Ban menarik, pedangnya tidak dapat
terlepas dari jepitan dua buah jari itu!
“Begini
sajakah Pedang Pengejar Roh? Tentu roh tikus saja yang dapat dikejarnya. Hi‑hik!”
Wanita berkerudung itu mengejek.
“Perempuan
siluman!” Liauw It Ban membentak, tangan kanannya menyambar ke depan, menghantam
ke arah muka wanita yang tertutup kerudung sutera itu.
“Plakk!
Krekkk.... aduuuhhhh!” Liauw It Ban menjerit kesakitan ketika tangan kanan
wanita itu menyambut pukulannya dengen telapak tangan, terus mencengkeram
sehingga tulang‑tulang jari tangan Liauw It Ban yang terkepal itu patah-patah
dan remuk!
“Krak....
cepppp! Auggghhh....” Wanita itu tidak berhenti sampai di situ saja, tangan
kirinya yang menjepit ujung pedang membuat gerakan, pedang patah ujungnya dan
sekali mengibaskan tangan kiri, ujung pedang itu meluncur dan amblas memasuki
dada Liauw It Ban sampai tembus ke punggung. Liauw It Ban melepaskan pedang
mendekap dadanya dan roboh terjengkang, tewas di saat itu juga. Wanita
berkerudung menendang dan mayat itu melayang ke atas anak tangga, ke arah Ketua
Thian-liong‑pang!
Phang
Kok Sek menyambut mayat itu, memeriksa sebentar dan mukanya menjadi merah
saking marahnya. Kalau saja Liauw It Ban tewas dalam sebuah pertandingan yang
dapat membuka rahasia gerakan wanita itu dan yang kiranya dapat ia tandingi
tentu ia akan merasa girang kehilangan seorang saingan. Akan tetapi kematian
sutenya itu demikian aneh, hanya dalam dua gebrakan saja sehingga dia sama
sekali tidak dapat mengukur sampai di mana tingginya kepandaian wanita itu,
dan hal ini merupakan penghinaan bagi Thian‑liong‑pang yang ditakuti oleh
semua tokoh kang‑ouw. Biarpun dia belum dapat mengukur dan mengenal ilmu wanita
berkerudung, namun ia tahu bahwa wanita itu amat sakti, kalau tidak tak
mungkin sutenya yang ilmu kepandaiannya tidak kalah jauh olehnya itu dapat
tewas semudah itu. Maka ia cepat memberi isyarat dan berseru.
“Serbu....!”
Dua
ratus orang anak buah Thian‑liong‑pang dipimpin oleh komandan masing‑masing,
serentak bangkit. Tiba-tiba terdengar suara lengking panjang yang menulikan
telinga, disusul oleh berkelebatnya bayangan yang berputar ke arah mereka yang
mengurungnya dan.... semua orang terbelalak memandang dua belas orang yang
roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi! Kiranya wanita itu sudah bergerak cepat
dan merobohkan setiap orang yang berada paling depan dari para pengurung, entah
bagaimana caranya karena dua belas orang yang roboh dan tewas itu tidak
terluka sama sekali.
“Para
anggauta Thian‑liong‑pang, dengarlah! Aku datang bukan untuk membunuh
kalian, melainkan untuk memimpin kalian. Kalau aku datang akan membasmi, betapa
mudahnya! Aku akan menjadikan Thian‑liong‑pang sebuah perkumpulan terbesar dan
terkuat di seluruh dunia, sekuat Pulau Es dengan penghuni‑penghuninya!”
Mendengar
ini, terutama melihat cara wanita itu merobohkan dua belas orang teman mereka,
para anggauta itu serentak mundur dan menjadi ragu‑ragu. Hal ini menimbulkan
kemarahan besar di hati para pimpinan.
“Perempuan
rendah, berani engkau membunuh Suteku?” Twa‑to Sin‑seng Ma Chun berteriak dan
tangan kirinya bergerak.
“Cuit‑cuit‑cuit....
cap‑cap‑cappp!” Tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menyambar ke arah
tubuh wanita berkerudung, namun semua dapat ditangkap oleh wanita itu dengan
jepitan jari‑jari tangannya. Wanita itu terkekeh, mengumpulkan tiga buah
senjata rahasia itu di tangan kirinya, mengepal dan terdengar suara keras.
Ketika ia membuka tangannya, tiga buah senjata rahasia bintang yang terbuat
dari baja dan diberi racun itu telah hancur berkeping‑keping dan dibuang ke
atas lantai!
Twa‑to
Sin‑seng Ma Chun marah sekali, mencabut golok besarnya dan menerjang maju.
Tang Wi Siang yang melihat Liauw It Ban, suheng yang menggerakkan gairahnya
itu terbunuh, menjadi marah dan ia pun sudah mencabut pedang dan membantu Ma
Chun mengeroyok wanita itu.
Sinar
golok dan pedang menyambar-nyambar seperti kilat, mengurung tubuh wanita
berkerudung, akan tetapi anehnya, tak pernah kedua senjata ini menyentuh ujung
baju Si Wanita yang bergerak dengan mudah dan ringan seolah‑olah tubuhnya
berubah menjadi uap. Dikeroyok oleh dua orang yang lihai itu wanita ini malah
terkekeh‑kekeh dan masih dapat berkata‑kata sambil mengelak ke sana ke mari.
“Twa‑to
Sin‑ceng Ma Chun, engkau pun bukan manusia baik‑baik. Engkau mata keranjang,
sombong, kasar dan mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa....”
“Perempuan
rendah! Kalau aku dapat menangkapmu, aku bersumpah akan menelanjangimu dan
memperkosamu di depan mata seluruh anggauta Thian-liong‑pang.... aughhh....!”
Tubuh yang tinggi besar itu terlempar, goloknya terpental dan ketika semua
orang memandang, tampak tanda tiga buah jari membiru di dahi Ma Chun yang
sudah tewas itu!
“Engkau....
manusia kejam....!” Tang Wi Siang menjerit dan pedangnya menerjang dengan
hebatnya. Tingkat kepandaian Tang Wi Siang kalau dibandingkan tingkat Ma Chun
dan Liauw It Ban, dapat dikatakan sama, akan tetapi setelah ia mempelajari
ilmu pedang dari suaminya yang telah tiada, ia dapat memperhebat ilmu
pedangnya dengan gerakan dasar dari Bu‑tong‑pai. Maka sekali ini dalam keadaan
marah, pedangnya mengeluarkan bunyi berdesing‑desing dan menyerang wanita
berkerudung itu secara bertubi‑tubi.
“Tang
Wi Siang, bagus sekali engkau telah mempelajari ilmu dasar dari Bu-tong‑pai.
Aku tidak akan membunuhmu karena aku memilih engkau menjadi wakilku dalam
memimpin Thian‑liong‑pang!”
“Tutup
mulutmu! Aku baru mengakui orang kalau sudah dapat mengalahkan aku!”
“Wanita
bodoh, tak tahukah engkau, betapa mudahnya itu? Kau tadi mengatakan bahwa
engkau akan menguji kepandaian setiap Ketua Thian‑liong‑pang, nah, sekarang
boleh menguji aku yang akan menjadi junjunganmu dan juga gurumu. Lihat baik‑baik,
dalam tiga jurus aku akan mengalahkanmu!”
Biarpun
pada saat itu juga dia sudah yakin betapa saktinya wanita berkerudung itu,
namun di dalam hatinya Tang Wi Siang menjadi penasaran. Wanita aneh itu telah
mengenal baik‑baik keadaan Thian-liong-pang, mengenal riwayat perkumpulan ini,
bahkan mengenal semua nama dan julukan para pimpinan Thian‑liong-pang berikut
watak mereka. Dan kini menantangnya akan mengalahkan dalam tiga jurus! Apakah
dia dianggap seorang anak kecil yang tidak mempunyai kepandaian apa‑apa? Rasa
penasaran membuat dia marah dan merasa dianggap rendah dan hina, maka ia
berteriak keras,
“Manusia
yang bersembunyi di belakang kerudung seperti siluman! Kalau kau dapat
mengalahkan aku dalam tiga jurus, aku tidak patut menjadi wakilmu, lebih patut
mampus atau menjadi pelayanmu!”
“Bagus!
Engkau sendiri yang memilih menjadi pelayan!” Wanita aneh itu tidak menjawab
akan tetapi pada saat itu Tang Wi Siang sudah menerjang dengan pedangnya,
menggunakan jurus Hui-po-liu‑hong (Air Terjun Terbang Bianglala Melengkung).
Jurus ini adalah jurus ilmu pedang Bu‑tong‑pai yang amat indah dan berbahaya,
menjadi aneh dan lebih berbahaya lagi karena gerakannya telah dicampur dengan
gerakan ilmu aseli dari Thian‑liong‑pang, yaitu ketika pedang menyambar
membacok ke arah muka lawan dilanjutkan dengan gerakan membabat leher dari
kanan ke kiri dengan gerakan melengkung, tangan kiri Tang Wi Siang menyusul
dengan pukulan sakti yang disebut Touw‑sim‑ciang (Pukulan Menembus Jantung),
semacam pukulan yang digerakkan dengan tenaga sin‑kang dan dapat menggetarkan
isi dada menghancurkan jantung dan paru‑paru!
“Siuuuttt....
wirr‑wirrr‑wirrrr....!” Wi Siang hanya melihat berkelebatnya bayangan wanita
berkerudung itu ke kanan, kiri dan serangannya luput! Dengan kaget dan
penasaran ia melanjutkan serangannya secara beruntun, yaitu dengan jurus Sian‑li‑touw‑so
(Sang Dewi Menenun) dan terakhir dengan jurus Sian‑li‑sia‑kwi (Sang Dewi
Memanah Setan). Mula‑mula pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang
melingkar‑lingkar mengurung tubuh wanita berkerudung dan menyerangnya dari
arah yang mengelilingi lawan itu. Wi Siang maklum bahwa lawannya memiliki gin‑kang
yang luar biasa, dapat bergerak cepat seperti terbang, maka ia berusaha
mengurungnya dengan sinar pedang. Seperti yang telah diduganya, wanita itu
tiba‑tiba mencelat ke atas untuk menghindarkan diri dari lingkaran sinar
pedang. Saat ini sudah dinanti‑nanti oleh Wi Siang maka ia lalu menyerang
dengan jurus ke tiga, jurus terakhir jurus Sian‑li‑sia‑kwi ini hebat sekali,
dilakukan dengan melontarkan pedang ke arah bayangan lawan yang mencelat ke
atas, Wi Siang amat cerdik. Dia dibatasi hanya sampai tiga jurus. Kalau dalam
tiga jurus wanita berkerudung itu tidak mampu mengalahkannya, berarti dia
dianggap menang! Inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan untuk
menggunakan jurus Sian‑li‑sia‑kwi dalam jurus terakhir karena selagi mencelat
di udara dan diserang oleh pedangnya yang meluncur seperti anak panah,
bagaimana wanita itu dapat merobohkannya?
Betapa
kaget, heran dan juga girangnya ketika ia melihat lawannya itu, agaknya
berkeinginan keras untuk mengalahkannya dalam jurus ini malah meluncur turun
dan menyambut pedang yang menyambar itu! Makin girang lagi hati Wi Siang
melihat pedangnya tepat mengenai dada Si Wanita berkerudung sehingga ia
tertawa girang penuh kemenangan.
Tiba‑tiba
suara ketawanya terhenti dan tubuhnya terguling ke atas lantai tanpa dapat
bangun lagi karena seluruh kaki tangannya lemas setelah jalan darah di pundak
terkena totokan wanita itu! Ketika pedangnya tadi mengenai dada Si Wanita
berkerudung, terdengar bunyi keras dan pedangnya telah patah, kemudian sebelum
ia dapat memulihkan kekagetan hatinya, tahu‑tahu tangan wanita berkerudung
telah menotok pundaknya dengan tubuh masih meluncur dari atas. Tang Wi Siang
bukanlah seorang bodoh. Kini dia merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu
benar‑benar memiliki kesaktian yang luar biasa, bahkan ia dapat menduga bahwa
biarpun seluruh anggauta dan pimpinan Thian‑liong‑pang maju mengeroyok sekali
pun, mereka tidak akan dapat mengalahkan wanita ini.
“Bangkitlah,
Wi Siang!” Wanita berkerudung yang sudah mengenalnya itu menggerakkan tangan
dan tiba‑tiba Wi Siang merasa tenaganya sudah pulih kembali. Dia tidak meloncat
bangun, melainkan bangkit berlutut di depan wanita itu sambil berkata.
“Saya
menyatakan takluk dan siap memenuhi semua perintah Pangcu!”
Tiba‑tiba
terdengar suara bercuitan keras dibarengi menyambarnya benda-benda yang
mengeluarkan sinar ke arah Si Wanita berkerudung. Itulah senjata rahasia yang
dilepas oleh kedua tangan Phang Kok Sek, Ketua Thian‑liong‑pang yang sudah tak
dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Sekaligus dia telah menyerang dengan
senjata rahasia berbentuk bintang, senjata rahasia yang khas dari Thian‑liong‑Pang
dan tentu saja dalam mempergunakan senjata rahasia bintang ini, Phang Kok Sek
merupakan seorang ahli yang pandai. Tujuh belas buah senjata rahasia terbang menyambar
seperti berlumba menuju ke sasaran masing‑masing yaitu tujuh belas jalan darah
terpenting di bagian tubuh depan dari Si Wanita berkerudung.
Namun
wanita berkerudung itu memiliki kecepatan yang amat hebat. Betapapun cepat
datangnya senjata‑senjata rahasia yang menyerangnya, gerakannya mengelak lebih
cepat lagi. Hanya tampak tubuhnya berkelebat dan tahu‑tahu ia telah lenyap.
Ketika orang memandang ke atas, tubuhnya telah menempel di langit‑langit
ruangan itu seperti kelelawar besar bergantungan pada pohon.
Phang
Kok Sek yang selain marah sekali juga maklum bahwa kalau tidak dapat segera
melenyapkan wanita berkerudung ini kedudukannya terancam, sudah meloncat ke
atas dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke
arah tubuh lawan yang masih menempel di langit‑langit.
“Braakkk!”
Hebat
bukan main pukulan itu, pukulan Hwi‑tok‑ciang selain amat dahsyat juga
mengandung hawa panas membakar dan berbisa pula. Langit‑langit ruangan itu
jebol dilanda hawa pukulan dahsyat ini. Akan tetapi, bagaikan seekor capung
ringannya, tubuh wanita berkerudung sudah mengelak dan melayang turun. Ketika
tubuhnya lewat dekat tubuh Phang Kok Sek, wanita itu mengirim sebuah tendangan
ke arah dada Phang Kok Sek.
Tingkat
kepandaian Pang Kok Sek jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian dua
orang sutenya yang tewas dan seorang sumoinya yang telah dikalahkan lawan.
Tendangan itu cepat dan tidak terduga‑duga, dilepas selagi tubuh mereka berada
di tengah udara, akan tetapi dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan
berjungkir balik, Phang Kok Sek berhasil menyelamatkan nyawanya dan hanya ujung
bajunya saja yang robek kena diserempet ujung kaki lawan. Hal ini membuktikan
betapa lihai wanita itu dan Phang Kok Sek sudah meloncat ke bawah dengan
muka berubah.
“Ji‑wi
Suheng! Siluman ini telah membunuh Ma‑sute dan Liauw-sute, dan beberapa orang
anak buah, apakah kalian masih tinggal diam saja?” Sambil menegur kedua orang
suhengnya, Phang Kok Sek sudah menyambar senjatanya yang hebat, yaitu sebatang
tombak cagak bergagang baja yang besar dan berat dari sudut belakang tempat
duduknya.
Karena
wanita berkerudung itu adalah orang luar dan yang terang‑terangan hendak
merampas Thian‑liong‑pang, semenjak tadi memang Sai‑cu Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang
Chie Kang menganggapnya sebagai musuh. Akan tetapi, mengingat akan kedudukan
dan tingkat mereka yang sudah tinggi di dunia kang-ouw, mereka masih merasa
ragu‑ragu dan malu untuk mengeroyok seorang wanita. Kini menyaksikan kelihaian
wanita itu yang benar‑benar amat luar biasa dan mendengar teguran Sang Ketua,
kedua orang kakek ini sudah bangkit dan meloncat ke depan. Mereka tidak memegang
senjata dan memang kedua orang kakek ini lebih mengandalkan kepada kaki
tangannya daripada senjata. Biarpun bertangan kosong, namun kepandaian mereka
hebat dan kaki tangan mereka ini jauh lebih berbahaya daripada segala macam
senjata yang tajam runcing.
Sai‑cu
Lo‑mo yang tertua di antara mereka bertiga dan juga sudah berpengalaman dan
memiliki tingkat yang paling tinggi, kini berhadapan dengan wanita berkerudung,
memandang tajam seperti hendak menembus kerudung itu dengan pandang matanya,
lalu berkata,
“Nona,
engkau masih begini muda telah memiliki kepandaian yang hebat dan sikap yang
aneh sekali. Bukalah kerudungmu, perkenalkan dirimu dan jelaskan apa sebabnya
engkau mengacau di Thian‑liong‑pang dan membunuh orang-orang yang sama sekali
tidak ada permusuhan denganmu?”
Sepasang
mata di belakang dua lubang di kerudung itu bersinar‑sinar dan biarpun
mulutnya tidak tampak, jelas dapat diduga bahwa wanita itu tersenyum. Mata itu
memandang kepada Sai‑cu Lo‑mo dan Chie Kang bergantian, kemudian berkata,
“Sai‑cu
Lo‑mo, dan Lui‑hong Sin-ciang Chie Kang, aku mengenal siapa kalian berdua dan
tadi aku sudah mendengar kalian mengeluarkan isi hati kalian! Hanya kalian
berdualah yang patut menjadi Ketua dan Pimpinan Thian‑liong-pang, akan tetapi
mengapa kalian tidak pernah mau menjadi Ketua? Aku tahu, karena kalian merasa
enggan menjadi Ketua dari perkumpulan yang makin rusak oleh sepak terjang anak
buahnya! Thian-liong‑pang makin bobrok dan kalian tidak mau nama kalian kelak
terseret ke dalam lumpur kehinaan karena menjadi Ketuanya! Betapa pengecut! Betapapun
juga, aku suka kalian membantuku kelak, maka aku tidak akan membunuh kalian
berdua. Tak perlu aku memperkenalkan diri, cukup kalau kalian ketahui bahwa
akulah Ketua kalian yang baru, karena aku hendak memimpin Thian‑liong‑pang
menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, lebih besar dan lebih kuat
daripada para penghuni Pulau Es. Adapun Phang Kok Sek Si Raksasa tolol yang
tidak segan‑segan mengorbankan saudara-saudaranya untuk memperebutkan kursi
ketua ini, dia tidak berguna dan akan kulenyapkan....”
“Siluman
betina!” Phang Kok Sek sudah menerjang maju, menusukkan tombak cagaknya yang
panjang, besar dan berat ke arah perut wanita berkerudung itu.
“Takkk!”
Wanita itu tidak mengelak, tidak berkisar dari tempat dia berdiri hanya
mengangkat kaki kirinya dan ujung kakinya itu menendang ke arah tombak, tepat
mengenai belakang mata tombak sehingga tusukan itu menyeleweng dan Phang Kok
Seng merasa tangannya bergetar hebat.
Sai‑cu
Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang yang menjadi merah mukanya mendengar
ucapan wanita berkerudung itu sudah menerjang maju pula. Mereka merasa berkewajiban
untuk menentang wanita ini, bukan sekali‑kali untuk membantu demi keselamatan
pribadi Phang Kok Sek, namun demi menjaga nama Thian‑liong‑pang dan sebagai tokoh‑tokoh
Thian‑liong‑pang melihat orang luar mengacau perkumpulan itu.
“Wussss....
ciattt!” Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang yang kepalanya gundul dan kelihatan lemah
sekali seperti seorang sasterawan yang menjadi botak karena terlalu banyak
berpikir dan menjadi buyuten tangannya karena terlalu banyak menulis, begitu
menyerang telah memperlihatkan kedahsyatannya. Kedua tangannya bergerak dengan
mantep dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali sehingga serangannya itu
membuat kedua tangannya seolah‑olah berubah menjadi baja tajam yang membelah
udara mengeluarkan suara mengerikan. Melihat kelihaian kakek gundul ini, diam‑diam
wanita berkerudung menjadi kagum karena ia maklum bahwa orang ini kalau menjadi
pembantunya akan merupakan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Biarpun
keadaan wanita berkerudung ini merupakan rahasia bagi semua orang Thian‑liong‑pang,
namun kita tahu bahwa dia itu bukan lain adalah Nirahai. Nirahai, puteri
Kaisar ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, apalagi setelah
digembleng oleh mendiang Nenek Maya (baca ceritaPendekar Super Sakti), tingkat kepandaiannya sudah hebat
sekali. Tentu saja serangan Chie Kang itu baginya bukan apa‑apa dan dengan
mudah ia dapat mengelak ke kiri di mana dia tahu Sai‑cu Lo‑mo sudah siap dengan
serangannya yang ia duga tentu tidak kalah hebatnya dengan Si Kakek gundul.
“Wirrr‑wirrr‑wirrr....
plak‑plak‑plak!”
Nirahai
makin girang hatinya. Tiga serangan berantai yang diluncurkan Sai-cu Lo‑mo
dengan ujung lengan bajunya itu hebat bukan main. Ujung lengan bajunya itu
mengandung tenaga yang lebih kuat daripada kedua tangan Chie Kang dan dia
maklum bahwa ujung lengan baju itu cukup dahsyat untuk menghancurkan batu
karang ydng keras! Akan tetapi, Sai‑cu Lo‑mo lebih kaget lagi karena tiga kali
ujung lengan bajunya ditangkis oleh ujung jari‑jari tangan wanita itu dengan
kibasan yang membuat dia merasa seluruh lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa
dia telah bertemu dengan lawan yang jauh lebih kuat daripada dia dan para
sutenya!
“Syuuutt....
serrr‑serrr‑serrr!” Tombak panjang menyambar dari belakang, menusuk lambung
Nirahai disusul meluncurnya tiga buah senjata rahasia bintang. Cara Phan Kok
Sek menyerang ini saja sudah membuktikan akan kelicikan wataknya, menggunakan
kesempatan selagi Nirahai menghadapi dua orang suhengnya yang lihai, menyerang
dari belakang, bukan hanya dengan tombaknya yang dahsyat, juga dengan
pelepasan am-gi (senjata rahasia).
Nirahai
menjadi marah. Kedua tangannya bergerak cepat dan tahu‑tahu tiga buah senjata
rahasia itu telah ia tangkap dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya
menyambar dan berhasil menangkap leher tombak ketika ia miring ke kiri dan
tombak itu meluncur dekat lambungnya. Tangan kirinya diayun dan tiga buah
senjata rahasia itu menyambar ke arah pemiliknya!
Sebagai
seorang ahli melepas senjata rahasia Sin‑seng‑ci tentu saja Phang Kok Sek dapat
menghindarkan diri dan cepat meloncat ke atas dengan kedua kaki di atas dan
kepala di bawah, kedua tangan masih memegangi gagang tombaknya. Gerakannya ini
cepat dan indah sekali sehingga tiga batang Sin‑seng‑ci menyambar lewat di
bawah tubuhnya. Akan tetapi dia tidak tahu akan kelihaian lawan. Begitu
tubuhnya meloncat, Nirahai mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang
memegang gagang tombak itu ke atas. Phang Kok Sek terkejut dan berusaha menahan
dengan kedua tangan, namun dia kalah kuat dan terdengar teriakan mengerikan
ketika gagang tombak itu menerobos dan menusuk perut Phang Kok Sek sampai
tembus ke punggungnya. Sekali menggerakkan tangan, Nirahai melemparkan tombak
bersama tubuh Ketua Thian‑liong‑pang yang tak bernyawa lagi itu ke samping dan
otomatis kedua tangannya sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri yang
dilakukan Sai‑cu Lo‑mo dan Chie Kang.
Dalam
melakukan tangkisan ini, Nirahai sudah mengerahkan tenaga pada telapak
tangannya, maka begitu telapak tangannya bertemu dengan tangan kedua lawan, dua
orang itu berseru kaget karena tangan mereka melekat pada telapak tangan yang
berkulit halus itu, tak dapat ditarik kembali. Mereka maklum bahwa wanita
berkerudung ini sengaja menantang mereka mengadu sin‑kang maka kedua kakek itu
dengan kedua kaki terpentang lebar cepat mengerahkan sin‑kang melalui tangan
mereka untuk merobohkan lawan.
Terjadilah
adu tenaga sin‑kang yang hebat. Kedua kakek itu berdiri dengan kaki terpentang
tubuh agak membungkuk, sedangkan Nirahai yang berdiri di tengah, kedua tangannya
terkembang ke kanan kiri menahan tangan kedua lawan, kakinya terpentang
sedikit dan tubuhnya tegak. Semua orang menonton dengan hati tegang, mengira
bahwa wanita berkerudung itu tentu akan terhimpit di tengah‑tengah oleh dua
kekuatan raksasa yang amat dahsyat!
Namun,
Nirahai yang memiliki tingkatan lebih tinggi, bersikap tenang-tenang saja, dari
kedua tangan lawan di kanan kirinya, menerobos tenaga sin‑kang yang kuat
sekali melalui kedua lengannya yang terkembang. Wanita cerdik ini tidak melawan
sehingga kedua lawannya terkejut dan heran, tiba‑tiba mereka tersentak kaget
ketika ada tenaga amat kuat menahan dorongan sin‑kang mereka, Sejenak kedua
orang itu mengerahkan semangat dan tenaga dalam dan ketika mereka melihat
betapa wanita itu kelihatannya enak‑enak saja tanpa mengerahkan tenaga,
barulah mereka sadar bahwa mereka kena diakali! Kiranya lawan mereka itu
sengaja mempertemukan kedua tenaga sakti dari kanan kiri sehingga Sai‑cu Lo‑mo
dan Chie Kang bertanding sendiri, saling dorong dengan tenaga sin‑kang melalui
tubuh Si Wanita berkerudung yang seolah‑olah hanya menyediakan dirinya menjadi
arena pertandingan sambil menonton seenaknya!
Mereka
sadar dan cepat hendak menarik tenaga sakti mereka, namun terlambat karena
pada saat itu, Nirahai sudah menggunakan tenaganya sendiri, menggunakan
kesempatan selagi kedua orang saling dorong sehingga tenaga sin-kang mereka
terpusat kemudian mereka menarik kembali tenaga ketika sadar bahwa sesungguhnya
mereka itu saling gempur antara saudara sendiri. Ketika kedua orang kakek itu
menarik kembali tenaga sin‑kang, saat itulah Nirahai menyerang mereka dengan
tenaga sakti yang amat dahsyat. “Cukup, rebahlah!”
Sai‑cu
Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang tak dapat mempertahankan diri lagi,
begitu Nirahai menarik kedua lengannya mereka roboh dan biarpun mereka sudah
berusaha sekuatnya untuk tidak terguling, tetap saja mereka jatuh berlutut dan
cepat memejamkan mata sambil mengatur pernapasan. Tenaga sin‑kang mereka
sendiri yang tadi mereka tarik telah menghantam dada mereka karena didorong
oleh tenaga wanita berkerudung itu, membuat dada terasa sakit dan pernapasan
menjadi sesak. Yang membuat mereka heran dan bingung adalah keadaan lengan
kanan mereka yang menjadi lumpuh seolah‑olah tulang pundak lengan dalam
keadaan terkunci, sama sekali tidak dapat digerakkan!
“Wi
Siang, bantulah kedua orang Suhengmu itu. Kautotok jalan darah Hong-hu‑hiat di
pundak kanan mereka masing-masing dua kali.” Nirahai berkata kepada Tang Wi
Siang yang berdiri menonton pertandingan tadi penuh kagum. Ia mengangguk,
menghampiri kedua orang suhengnya dan tanpa ragu-ragu menotok belakang pundak
kanan mereka dua kali seperti yang diperintahkan wanita berkerudung itu.
Begitu
terkena totokan dua kali, jalan darah mereka normal kembali dan lengan kanan
dapat digerakkan. Kini, kedua orang kakek itu benar‑benar tunduk dan merasa
yakin bahwa wanita berkerudung itu benar‑benar memiliki ilmu kepandaian yang
amat luar biasa. Timbul rasa kagum dan suka di hati mereka untuk mengangkatnya
menjadi ketua, karena dengan ketua sehebat ini, Thian-liong‑pang pasti akan
menjadi sebuah perkumpulan yang kuat dan terpandang. Maka mereka lalu berlutut
di depan Nirahai sambil berkata,
“Pangcu!”
Terdengar
sorak sorai dari para anggauta yang kini sudah pula berlutut menghadap Si
Wanita berkerudung yang tersenyum di balik kerudungnya, Nirahai mengangkat,
kedua lengan ke atas dan suara sorakan itu terhenti. Keadaan menjadi sunyi dan
semua orang mendengarkan ucapan dari balik kerudung, ucapan yang halus merdu
namun berwibawa,
“Mulai
saat ini Thian‑liong‑pang di bawah pimpinanku harus menjadi sebuah perkumpulan
yang kuat, dihormati dan disegani di seluruh dunia kang‑ouw. Untuk dapat
menjadi kuat, kalian semua harus menggembleng diri dan mempertinggi tingkat
ilmu silat yang akan kuajarkan kepada kalian semua, sesuai dengan tingkat
masing‑masing. Untuk menjadi perkumpulan yang disegani, Thian-liong‑pang
harus menunjukkan kegagahan dan kekuatannya menundukkan semua pihak yang
menentang kita, dan untuk dapat dihormat, Thian‑liong‑pang harus bersih
daripada segala perbuatan yang jahat. Tidak boleh ada penyelewengan lagi, tidak
boleh ada perampokan, penindasan dan lain perbuatan jahat lagi. Semua
perbuatan yang dilakukan oleh anggauta, harus sesuai dengan peraturan-peraturan
yang akan kuadakan. Setiap pelanggar akan menerima hukuman berat!”
Mendengar
perintah pertama yang keluar dari mulut wanita berkerudung itu, diam‑diam Sai‑cu
Lo‑mo dan Lui‑hong Sin‑ciang Chie Kang menjadi girang sekali. Sai‑cu Lo‑mo
demikian kagum dan gembiranya sehingga ia mengangkat tangan kanan ke atas
sambil berteriak, “Hidup Pangcu kita!”
Semua
anggauta juga tertegun mendengar perintah tadi, tentu saja yang biasanya
mengumbar nafsu, diam‑diam menjadi gentar dan khawatir kalau‑kalau dia akan
mangalami nasib sial dan dihukum seperti para pimpinan mereka yang kini masih
menggeletak di situ menjadi mayat. Maka, mendengar seruan Sai‑cu Lo‑mo,
serentak semua anggauta berteriak, “Hidup pangcu....!” Bahkan mereka yang
tadinya suka mengandalkan nama besar Thian‑liong‑pang untuk melakukan
penindasan dan perbuatan‑perbuatan jahat, berteriak paling keras!
“Sekarang
singkirkan dan urus jenazah mereka ini baik‑baik, kuburkan sebagaimana
mestinya. Sai‑cu Lo‑mo, Lui-hong Sin‑ciang Chie Kang, kalian berdua kuangkat
menjadi pembantu‑pembantuku, sedangkan Tang Wi Siang, sesuai dengan kehendaknya
sendiri menjadi pelayanku yang paling kupercaya. Mari kita masuk dan
merundingkan segala urusan mengenai Thian‑liong‑pang. Aku ingin mendengar, hal
apa saja yang dihadapi Thian-liong-pang saat ini.”
Nirahai
diiringkan oleh tiga orang pembantunya memasuki gedung menuju ke ruangan dalam.
Tak seorang pun pelayan diijinkan masuk ketika empat orang ini mengadakan
perundingan, sedangkan para anak buah Thian‑liong‑pang sibuk mengurus mayat‑mayat
yang bergelimpangan di ruangan tadi. Mereka, juga para pelayan, saling
berbisik membicarakan Ketua partai yang penuh rahasia itu.Nirahai dengan
tenang mendengarkan pelaporan tiga orang pembantunya mengenai keadaan Thian‑liong‑pang.
Segala macam urusan mengenai perkumpulan ini diceritakan oleh Sai‑cu Lo‑mo dan
Lui-hong Sin‑ciang Chie Kang, sedangkan Tang Wi Siang yang duduk di dekat Nirahai
hanya mendengarkan dan bersikap sebagai seorang pelayan.
“Tiga
buah perkumpulan yang menentang kita, mudah dibereskan. Aku akan mendatangi
mereka dan menundukkan mereka. Hal‑hal lain dijalankan seperti biasa, akan
tetapi harus disesuaikan dengan peraturan‑peraturan yang akan kuadakan. Hanya
satu hal yang mengherankan hatiku. Kau tadi menceritakan tentang usaha Thian‑liong‑pang
yang gagal dalam memperebutkan seorang anak bernama Gak Bun Beng. Benarkah
utusan kita itu dikalahkan oleh Pendekar Siluman dan anak itu akhirnya dibawa
oleh Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai?”
“Benar,
Pangcu,” jawab Sai‑cu Lo‑mo. Nirahai mengerutkan keningnya. “Anak ini.... Gak
Bun Beng, ada hubungan apakah dengan Thian‑liong‑pang sehingga perkumpulan kita
harus berusaha merebutnya?”
Sai‑cu
Lo‑mo menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang seperti jenggot singa
itu. “Maaf, Pangcu. Sesungguhnya, dengan perkumpulan kita tidak ada hubungan
apa‑apa dan mendiang Ketua kami hanya memenuhi permintaan saya, karena
sesungguhnya sayalah yang mempunyai hubungan dengan anak itu. Anak itu masih
cucu keponakan saya sendiri.”
“Hemmm.....
begitukah? Coba jelaskan, siapa sebenarnya anak itu, dia anak siapa dan
bagaimana hubugannya denganmu, Lo‑mo? Kalau kuanggap penting, percayalah, aku
yang akan mendapatkannya untukmu. Tentang Pendekar Siluman, jangan khawatir,
aku akan dapat menghadapinya!”
Bahkan
Wi Siang sendiri diam‑diam menjadi kaget mendengarkan ini. Berani menentang
Pendekar Siluman? Benarkah Ketuanya yang baru ini memiliki kesaktian yang
demikian hebat sehingga berani menentang Pendekar Siluman? Baru mendengar
cerita para anggauta Thian-liong‑pang tentang Pendekar Siluman yang bisa
pian-hoa (merobah diri) menjadi raksasa dan menjadi setan tanpa kepala saja
sudah membuat semua orang gagah di Thian‑liong‑pang ngeri dan serem!
Sai‑cu
Lo-mo dan Chie Kang juga kaget dan sambil memandang wajah yang tertutup
kerudung itu, Sai‑cu Lo‑mo menjawab, “Dia adalah putera dari keponakan saya
yang bernama Bhok Khim, murid Siauw‑lim‑pai.”
“Hemmm....
Bhok Kim yang berjuluk Bi‑kiam, seorang di antara Kang‑lam Sam‑eng?”
“Betul,
Pangcu,” jawab Sai‑cu Lo‑mo makin kagum dan terheran bagaimana wanita
berkerudung ini agaknya tahu akan segala hal dan mengenal semua orang. Maka dia
tidak menyembunyikan dirinya lagi dan menyambung, “Saya dahulu bernama Bhok
Toan Kok, Bhok Kim adalah anak tunggal adikku....”
Akan
tetapi agaknya Nirahai tidak mempedulikannya dan seperti orang melamun karena
mengingat, berkata, “Dan bocah itu she Gak? Hem.... tentu anak dari Kang‑thouw‑kwi
Gak Liat Si Setan Botak....”
Tiga
orang tokoh Thian‑liong‑pang itu terbelalak, makin heran dan kagum. Sai‑cu Lo‑mo
berteriak, “Bagaimana Pangcu dapat mengetahuinya....?”
Nirahai
memandangnya. “Aku tahu, dan Gak Liat yang memperkosa Bhok Kim sehingga wanita
itu dihukum di Siauw-lim‑pai, kemudian melahirkan anak dan.... mereka berdua
kemudian saling bunuh. Hemm.... jadi engkau ingin mengambil cucu keponakanmu
itu, Sai‑cu Lo‑mo? Apa perlunya? Anak itu adalah keturunan Gak Liat, datuk kaum
sesat!”
Sai‑cu
Lo‑mo menarik napas panjang. “Betapapun juga, dia adalah cucu keponakan saya,
Pangcu.”
Nirahai
mengangguk, “Baiklah, urusan anak itu kita tunda dulu saja. Aku tidak ingin
melibatkan Thian‑liong‑pang hanya karena urusan keturunan Gak Liat. Betapapun
juga, kalau engkau mendengar di mana adanya bocah itu sekarang, dan ada
kemungkinan merebutnya, aku suka membantumu. Tahukah engkau di mana dia itu
sekarang?”
“Dia
menjadi murid di Siauw-lim-si.”
Nirahai
menggeleng kepala. “Kalau Siauw‑lim‑si kita tidak dapat berbuat sesuatu,
Lo-mo. Ibu anak itu adalah murid Siauw‑lim‑pai, sudah semestinya kalau anaknya
menjadi murid Siauw‑lim‑pai pula. Jangan mengira bahwa aku takut menghadapi
Siauw‑lim‑pai, akan tetapi apa perlunya kita menyeret perkumpulan menjadi musuh
Siauw‑lim‑pai yang amat kuat hanya karena memperebutkan seorang anak, apalagi
anak keturunan seorang seperti Gak Liat?”
Diam‑diam
Sai‑cu Lo‑mo harus membenarkan pendapat pangcunya ini. Tiba-tiba ia
mengangkat kepala dan berkata, “Pangcu.... maaf.... hati saya akan selalu
gelisah kalau tidak menyatakannya sekarang. Kalau saya tidak keliru
menduga.... saya dapat mengenal siapa kiranya Pangcu!”
Nirahai
menoleh ke arah Chie Kang dan bertanya, “Bagaimana dengan engkau, Lui‑hong Sin‑ciang
Chie Kang? Apakah engkau pun dapat menduga siapa aku?”
Chie
Kang terkejut. Dia pun sedang berpikir‑pikir. Kalau wanita berkerudung itu
tidak memperlihatkan sikap mengenal semua orang, bahkan mengetahui segala hal
yang bagi banyak tokoh kang‑ouw merupakan rahasia, maka di dunia ini kiranya
hanya ada seorang saja wanita seperti itu, akan tetapi diam‑diam dia terkejut
dan tidak percaya bahwa pangcunya yang baru adalah orang itu! Kini dia makin
gugup mendengar pertanyaan itu dan menjawab, “Saya.... saya hanya menduga‑duga
akan tetapi tidak berani memastikannya. Pribadi Pangcu penuh rahasia, sukar
untuk diduga....”
Nirahai
tersenyum di balik kerudungnya. “Sai‑cu Lo‑mo, aku dapat menjenguk isi hatimu.
Dugaanmu itu agaknya tidak keliru. Engkau den Chie Kang telah kuangkat menjadi
pembantu‑pembantuku yang setia dan boleh dipercaya, sedangkan Wi Siang
menjadi pelayan dan pengawalku. Hanya kalian bertiga sajalah yang boleh
mengetahui siapa sebenarnya aku. Akan tetapi, kalau sampai seorang di antara
kalian berani membocorkan rahasiaku, tanganku sendiri yang akan membunuhnya!
Nah, agar hati kalian tidak ragu‑ragu lagi, kalian boleh mengenalku.” Berkata
demikian, wanita berkerudung itu membuka kerudungnya, dan tampaklah wajahnya
yang cantik jelita, wajah puteri Kaisar Mancu. Puteri Nirahai yang pernah
menggemparkan seluruh dunia kang‑ouw sebagai pemimpin pasukan‑pasukan
pemerintah yang membasmi para pemberontak! Tiga orang tokoh Thian‑liong‑pang
itu belum pernah bertemu muka sendiri dengan Nirahai, akan tetapi nama besar
puteri ini sudah lama mereka dengar. Kini mendapat kenyataan bahwa yang menjadi
Ketua mereka adalah puteri yang terkenal itu, yang berdiri dengan cantik dan
agungnya, dengan sepasang mata yang amat berwibawa memandang kepada mereka
dengan mulut yang berbentuk indah itu tersenyum halus, mereka serta‑merta
menjatuhkan diri berlutut di depan Nirahai.
“Harap
Paduka suka mengampunkan hamba sekalian yang tidak mengenal Puteri yang mulia,”
kata Sai‑cu Lo‑mo mewakili saudara‑saudaranya.
“Bangunlah
kalian!” Tiba‑tiba Nirahai membentak dan ketika mereka dengan kaget bangkit
berdiri memandang, Nirahai telah memakai lagi kerudungnya, menutupi mukanya
yang cantik, dan kini dari sepasang lubang di depan kerudung, matanya memandang
marah.
“Mulai
saat ini, kalian tidak boleh sekali‑kali menyebutku Puteri, dan jangan
membocorkan rahasia ini! Aku adalah Pangcu (Ketua) Thian‑liong‑pang dan kalian
sebut saja aku Pangcu. Nah, mari kita duduk dan melanjutkan perundingan demi
kemajuan perkumpulan kita.”
Demikianlah,
semenjak hari itu, Nirahai menjadi Ketua Thian‑liong‑pang. Kecuali tiga orang
pembantunya itu, tak seorang pun di antara para anggauta Thian‑liong‑pang
mengetahui bahwa Ketua mereka yang diliputi penuh rahasia, yang selalu
menyembunyikan muka di belakang kerudung, yang memiliki ilmu kepandaian hebat
seperti iblis, sebenarnya adalah Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu.
Nirahai menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada tiga orang pembantunya
sehingga dalam waktu dua tahun saja, Sai‑cu Lo-mo, Luihong Sin‑ciang Chie
Kang, dan Tang Wi Siang telah memperoleh kemajuan yang amat hebat, tingkat
mereka naik jauh lebih tinggi daripada sebelumnya, akan tetapi watak mereka pun
berubah, penuh rahasia seperti watak Ketua mereka. Para anak buah Thian‑liong‑pang
juga dilatih ilmu silat oleh tiga orang tokoh ini sehingga pasukan Thian‑liong‑pang
kini menjadi pasukan yang hebat, setiap orang anggautanya memiliki kepandaian
tinggi.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan tadinya Nirahai menitipkan puterinya,
Milana, kepada Pangeran Jenghan di Kerajaan Mongol. Selama membangun dan
memperkuat Thian‑liong‑pang beberapa tahun, dia meninggalkan puterinya itu dan
hanya kira‑kira sebulan sekali dia pergi ke Mongol mengunjungi puterinya.
Milana sama sekali tidak tahu bahwa ibunya adalah Ketua Thian‑liong-pang yang
amat terkenal itu. Baru setelah Nirahai mengajaknya ke Thian‑liong-pang anak
perempuan ini tahu bahwa ibunya adalah wanita berkerudung, Ketua Thian‑liong‑pang
yang menggemparkan dunia kang‑ouw. Juga kini Milana tahu, dengan hati penuh
kebanggaan namun juga kedukaan, bahwa ayahnya adalah Pendekar Siluman, To‑cu
dari Pulau Es yang agaknya berselisih paham dengan ibunya sehingga ayah
bundanya itu saling berpisah, bahkan timbul gejala saling bertentangan!
Pertemuannya
dengan suaminya, Suma Han, mendatangkan rasa duka yang hebat di hati Nirahai.
Dia adalah seorang puteri kaisar, seorang wanita yang mempunyai harga diri
tinggi sekali. Betapapun besar cinta kasihnya kepada Suma Han, namun sikap
suaminya itu membuatnya berduka. Dia tidak mau menyembah-nyembah minta dibawa,
sungguh rasa rindunya kadang‑kadang menyesak di dada. Dia ingin memperlihatkan
bahwa kalau Suma Han tidak membutuhkan dia, dia pun tidak akan merangkak‑rangkak
mengejar suaminya! Keangkuhan ini membuat dia amat menderita, membuat cintanya
kadang‑kadang berubah menjadi kebencian, membuat dia ingin menandingi
kebesaran suaminya, menandingi kepandaiannya. Dalam pertemuannya dua kali
dengan Suma Han, pertama ketika tokoh‑tokoh kang‑ouw memperebutkan rahasia
pusaka di Sungai Huang‑ho, ke dua baru‑baru ini, Nirahai maklum bahwa dalam
ilmu kesaktian dia masih belum mampu menandingi Suma Han. Biarpun Perkumpulan
Thian‑liong‑pang kini menjadi amat kuat dan agaknya para pembantu dan anak
buahnya tidak kalah hebat oleh anak buah Pulau Es, namun kalau dia sendiri
tidak mampu menandingi Suma Han, semua akan sia-sia belaka. Tidak ada seorang
pun di Thian‑liong‑pang yang akan kuat bertanding dengan Suma Han. Maka dia
harus mempertinggi ilmu‑ilmunya.
Terutama
sekali Nirahai ingin melihat puterinya, Milana menjadi seorang yang lebih pandai
daripadanya. Keinginan untuk menjadi seorang yang lebih sakti dari Suma Han
inilah yang membuat Nirahai melakukan hal-hal yang amat berani, di antaranya
ialah menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua perkumpulan silat yang
diundang atau kalau tidak mau dipaksa mengunjungi Thian-liong-pang! Untuk apa?
Sebaiknya kita sekarang mengikuti perjalanan Gak Bun Beng yang sedang
mengunjungi Thian-liong-pang dengan mengikuti bayangan dua orang tokoh
Thian-liong-pang dengan hati-hati karena dia maklum bahwa kedua orang itu
sedang memancingnya untuk memasuki markas besar perkumpulan yang terkenal
itu.
Markas
Thian-liong-pang yang menjadi pusat perkumpulan itu merupakan sekumpulan
bangunan besar, dikelilingi oleh dinding batu yang tingginya dua kali tinggi
manusia. Di tempat ujung dinding temboknya terdapat tempat di mana tampak
penjaga yang melakukan penjagaan siang malam sehingga sarang perkumpulan itu
seperti benteng tentara saja. Pintu gerbang yang lebar terbuat dari kayu tebal
berlapis besi, dijaga pula oleh selosin orang.
Pintu
gerbang terbuka ketika dua orang tokoh Thian-liong-pang tiba di situ, akan
tetapi begitu kedua orang itu masuk melalui pintu gerbang, daun pintu tertutup
kembali dari dalam. Bun Beng memeriksa keadaan pintu gerbang yang amat kuat dan
dinding tembok yang tinggi. Ia tersenyum. Agaknya, orang-orang Thian-liong-pang
itu terlalu memandang rendah kepadanya. Apa artinya dinding tembok setinggi
itu baginya? Lebih tinggi lagi pun dia akan mampu melompatinya. Dia maklum
bahwa mereka tentu sudah menantinya, akan tetapi dia tidak takut. Dia harus
memasuki sarang Thian-liong-pang, menolong Ketua Bu-tong-pai, mungkin menolong
banyak orang lagi yang terculik dan menjadi tawanan di tempat itu. Pula, dia
sudah mengambil keputusan bulat untuk menemui Ketua Thian-liong-pang dan menegurnya
agar tidak melakukan penculikan-penculikan. Dia maklum bahwa orang-orang
Thian-liong-pang amat lihai, apalagi ketuanya yang pernah ia lihat di pulau
Sungai Huang-ho beberapa tahun yang lalu. Ia masih bergidik kalau teringat akan
wanita berkerudung yang amat lihai itu. Akan tetapi, kepandaiannya sekarang tidak
seperti dahulu, kini dia telah dewasa dan berilmu tinggi, kalau dia tidak
menentang perbuatan sewenang-wenang ini, untuk apa dia mempelajari ilmu sampai
bertahun-tahun? Pula, dia teringat betapa tokoh wanita Thian-liong-pang dahulu
bersikap baik kepadanya, dan rata-rata orang Thian-liong-pang tidaklah seganas
orang Pulau Neraka. Selain kenyataan itu, juga dalam perjalanannya dia tidak
pernah mendengar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan orang jahat, tidak pernah
melakukan kejahatan. Kalau sekarang mereka menculik ketua-ketua perkumpulan dan
tokoh-tokoh kang-ouw tentu ada rahasia di balik perbuatan mereka itu dan dia
harus membongkar rahasia itu dan berusaha menghentikan perbuatan mereka.
Akan
tetapi Bun Beng bukan seorang yang sembrono. Dia maklum bahwa meloncat begitu
saja pada siang hari itu merupakan perbuatan yang amat berbahaya. Tidak, dia
tidak berani bersikap sembarangan. Maka dia mundur kembali dan mengintai dari
jauh, menanti sampai malam tiba karena dia mengambil keputusan untuk memasuki
sarang naga itu setelah hari menjadi gelap.
Setelah
hari berganti malam, Bun Beng berindap-indap mendekati dinding yang mengurung
sarang Thian-liong-pang. Ia sudah memilih bagian kiri di ujung, sebelah kiri
pintu gerbang, untuk meloncat masuk. Tiba-tiba ia mendengar suara tambur dan
gembreng di sebelahdalam. Ia berhenti di bawah
dinding dan mendengarkan penuh perhatian. Apakah Thian-liong-pang mengadakan
pesta? Hemm, bukan, bantah hatinya. Tambur dan gembreng itu dipukul seperti
kalau dipergunakan untuk mengiringi orang bermain silat! Agaknya mereka sedang
berlatih silat. Dia tidak akan merasa heran kalau mereka telah siap menantinya,
bahkan dia menduga bahwa tentu gerak-geriknya sejak tadi telah diintai. Namun
dia tidak peduli. Sekarang atau dia akan terlambat.
Dengan
gerakan indah Bun Beng meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan kedua kakinya
hinggap di atas dua ujung tombak, gerakannya amat ringan seolah-olah seekor
burung garuda yang besar. Ia merasa heran sekali karena tidak ada anak panah
atau senjata orang menyambutnya. Di bawah tidak tampak orang menjaga, hanya
tampak genteng bangunan-bangunan dan tampak sinar penerangan yang besar,
terutama di depan sebuah bangunan terbesar di situ. Tampak pula orang-orang
hilir mudik, akan tetapi tidak ada yang menengok, seakan-akan mereka itu hanya
orang-orang dusun yang tidak paham ilmu silat dan tidak tahu akan kedatangannya.
Bun Beng merasa penasaran. Apakah pihak Thian-liong-pang menganggap dia begitu
rendah sehingga tidak pantas untuk menjaga dan menghebohkan kedatangannya? Ia
melayang turun dari tembok, hinggap di atas genteng, kemudian melayang turun
pula ke bagian samping bangunan besar yang agaknya saat itu menjadi pusat
keramaian.
Akan
tetapi begitu kakinya menginjak tanah, tahu-tahu di depannya telah berdiri
seorang kakek yang berkata tenang.
“Selamat
datang, Siauw-hiap dari Siauw-lim-pai. Biarpun caramu masuk tidak selayaknya,
namun mengingat bahwa Siauw-hiap adalah seorang murid Siauw-lim-pai, Pangcu
kami mempersilakan Siauw-hiap untuk duduk sebagai tamu menonton pertunjukan
kami. Kami menerima Siauw-hiap sebagai seorang tamu yang terhormat,
ataukah.... Siauw-hiap lebih suka dianggap sebagai seorang pencuri yang
rendah?”
Bun
Beng memandang orang itu yang ternyata adalah seorang kakek berkepala gundul,
berjenggot dan berkumis, pakaiannya seperti seorang sasterawan, usianya kurang
lebih enam puluh tahun, suaranya tinggi nyaring akan tetapi sikapnya halus dan
seperti orang lemah. Mendengar ucapan itu, Bun Beng tersenyum.
“Terserah
kepada Thian-liong-pang akan menganggap aku sebagai apa. Akan tetapi karena aku
ingin bertemu dengan Pangcu kalian, dan melihat betapa aku disambut sebagai
tamu, biarlah aku menerima sambutan ini.”
“Kalau
begitu, silakan Siauw-hiap!” kata kakek itu.
Bun
Beng berjalan dengan sikap tenang menuju ke ruangan depan bangunan besar
diiringkan oleh kakek gundul. Kini mengertilah dia mengapa dia tidak disambut
sebagai musuh dan tidak diserang. Kiranya Thian-liong-pang agaknya merasa
enggan bermusuhan dengan Siauw-lim-pai, dan hanya karena memandang
Siauw-lim-pai maka dia disambut dengan manis budi. Dia mengerti bahwa andaikata
kedua orang tokoh yang menawan Ketua Bu-tong-pai tadi tidak mengenal dasar
ilmu silat Siauw-lim-pai yang ia miliki dan tidak melaporkan bahwa dia seorang
murid Siauw-lim-pai, tentu penyambutan mereka akan lain sekali.
Ketika
kakek gundul itu mengajaknya memasuki ruangan depan yang luas dan diterangi
banyak lampu gantung besar, dia cepat melayangkan pandang matanya menyapu
keadaan di situ. Ruangan itu luas sekali dan terdapat anak tangga di sebelah
dalam. Di atas anak tangga itu terdapat ruangan lain dan tampaklah seorang
wanita berkerudung duduk di atas sebuah kursi besar yang lantainya ditilami
kulit seekor biruang. Wanita berkerudung yang dikenalnya sebagai Ketua
Thian-liong-pang yang dahulu pernah datang ke Sungai Huang-ho itu duduk dengan
sikap tenang, kedua kakinya menginjak kepala biruang yang berada di bawah
kursinya, di sebelah kanan wanita ini duduk seorang kakek yang mukanya seperti
seekor singa, kursinya agak kecil dibandingkan dengan kursi Si Wanita berkerudung.
Di sebelah kanan agak belakang Ketua Thian-liong-pang ini berdiri seorang
wanita cantik yang dikenal pula oleh Bun Beng sebagai wanita yang dahulu
mewakili Thian-liong-pang di Sungai Huang-ho. Sedangkan di belakang, agak
mundur, berdiri seorang wanita lain yang juga cantik, pakaiannya seperti wanita
lihai yang berdiri di sebelah kanan Ketua itu.
“Silakan
duduk di sini, Siauw-hiap,” kata kakek gundul sambil mempersilakan Bun Beng
duduk di atas kursi dekat anak tangga. Akan tetapi Bun Beng tidak segera duduk,
hanya berdiri dengan terheran-heran memandang ke arah para tamu yang duduk
menghadap ke arah Ketua, dengan kursi-kursi yang diatur setengah lingkaran
mengurung ruangan di bawah anak tangga, sedangkan para penabuh tambur dan
gembreng berdiri paling ujung. Dia tidak peduli dan tidak melihat betapa Ketua
Thian-lipng-pang sama sekali tidak mengacuhkannya, akan tetapi dapat
dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat Ang-lojin, Ketua Bu-tong-pai
yang akan ditolongnya itu, duduk pula di antara para tamu dengan sikap tenang
dan sama sekali tidak menoleh kepadanya! Mengapa orang itu seperti tidak
mengenalinya? Mustahil kalau tidak mengenal atau tidak tahu bahwa kedatangannya
untuk menolong ketua itu! Atau pura-pura tidak kenal? Ah, ini pun tidak
mungkin. Bukankah dua orang tokoh Thian-liong-pang sudah tahu betapa di tengah
jalan dia berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai itu? Tentu hal ini sudah
dilaporkannya pula kepada Ketua Thian-liong-pang. Apa perlunya lagi Ketua
Bu-tong-pai berpura-pura? Dia pun tidak mau berpura-pura karena hal ini berarti
bahwa dia takut, maka dia lalu menghampiri Ketua Bu-tong-pai dan menegur.
“Ang-locianpwe,
engkau baik-baik sajakah?”
Kakek
itu memandangnya akan tetapi sinar matanya seperti tidak mengenalnya sama
sekali. Dia hanya mengangguk tanpa menjawab! Bun Beng menjadi penasaran
sekali. Mengapa Ketua Bu-tong-pai bersikap seperti ini? Padahal susah payah ia
berusaha menolongnya dan di jalan tadi sikapnya tidak sedingin ini!
“Locianpwe,
apakah kau lupa kepadaku?” Ia menegur lagi.
Kakek
itu kembali memandangnya dengan sikap tidak acuh, lalu menjawab dengan suara
ragu-ragu, “Siapakah? Maaf, aku tidak mengenalmu.” Setelah berkata demikian
kakek ini kembali membuang muka menonton dua orang yang sedang bertanding di
bawah anak tangga, memandang penuh perhatian seperti yang dilakukan oleh semua
orang yang duduk di situ. Makin heran Bun Beng ketika melihat betapa para tamu
yang sebagian besar terdiri dari kakek-kakek yang kelihatannya berilmu tinggi
itu sama sekali tidak menoleh kepadanya, seolah-olah dia hanya seekor lalat
saja! Dengan hati mengkal Bun Beng lalu duduk di atas kursi yang ditunjuk oleh
kakek gundul. Kakek ini pun duduk di atas sebuah kursi di sebelah kanan Bun
Beng. Seorang pelayan datang menyuguhkan arak kepada Bun Beng, akan tetapi
pemuda ini menolak dan menyuruh taruh arak dengan guci dan cawannya di atas
meja. Pelayan itu lalu memenuhi meja di depan kakek gundul dan Bun Beng dengan
hidangan-hidangan seperti yang memenuhi meja-meja lain pula.
Kini
Bun Beng memperhatikan para tamu yang duduk di situ. Ada belasan orang,
tepatnya empat belas orang tamu yang melihat sikapnya adalah orang-orang
berkepandaian tinggi, akan tetapi sikap mereka dingin dan tak acuh seperti sikap
Ketua Bu-tong-pai. Di depan mereka ini pun terdapat meja penuh makanan dan mereka
semua menonton pertandingan sambil makan minum. Di belakang para tamu duduk
pula banyak orang dan di antara mereka Bun Beng mengenal dua orang tokoh yang
pernah dilawannya siang tadi, yaitu mereka yang menculik Ketua Bu-tong-pai.
Sedangkan di belakang rombongan yang duduk ini, yang jumlahnya juga belasan
orang, nampak puluhan orang berdiri menonton. Sepasang kakek kembar yang lihai
dan yang menggotong kerangkeng Ketua Bu-tong-pai tampak di antara mereka yang
berdiri. Diam-diam Bun Beng menduga-duga dan dia terkejut. Agaknya sepasang
kakek kembar itu adalah anggautaanggauta rendahan saja, sedangkan kakek muka
tengkorak dan pemuda tampan adalah anggauta yang lebih tinggi. Kakek gundul
yang duduk di sebelahnya yang tadi menyambutnya, tentu lebih tinggi
kedudukannya, apalagi kakek muka singa dan wanita cantik yang duduk dan
berdiri di dekat Ketua Thian-liong-pang. Kalau sepasang kakek kembar yang
demikian lihai itu saja menjadi anggauta rendahan, dapat dibayangkan betapa
lihai kakek gundul di sebelahnya ini, apalagi kakek muka singa, dan lebih-lebih
ketuanya! Bun Beng bersikap hati-hati dan tidak mau bergerak, hendak melihat
perkembangannya karena dia sungguh-sungguh bingung dan terheran-heran mengapa
Ang-lojin yang tadinya diculik sekarang menjadi tamu dan bersikap tidak
mengenalnya? Kini Bun Beng mulai memperhatikan dua orang yang bertanding dan
kembali dia tercengang. Yang bertanding dengan golok dan pedang itu bukanlah
orang-orang sembarangan! Laki-i berusia empat puluh tahun yang berkepala besar
dan bersenjata golok itu memiliki ilmu golok yang amat hebat, sedangkan kakek
kurus yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu memiliki ilmu pedang
yang amat tinggi pula. Diam-diam ia menonton dan mencurahkan perhatiannya. Bun
Beng banyak mengenal ilmu silat, bahkan dahulu gurunya yang pertama, Siauw Lam
Hwesio, telah membuka rahasia tentang dasar-dasar gerakan ilmu silat-ilmu silat
tinggi yang dimiliki oleh partai-partai besar. Maka setelah menonton belasan
jurus, Bun Beng mengenal bahwa Si Pemain golok itu tentulah seorang tokoh
Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang amat terkenal karena kehebatan ilmu
golok mereka, sedangkan Si Pemain pedang itu tidak salah lagi tentulah seorang
tokoh besar dari Hoa-san-pai karena ilmu pedang yang dimainkannya tidak salah
lagi adalah Hoa-san Kiam-sut! Dia menjadi heran buka main. Mengapa dua orang
tokoh dari Sin-to-pang dan Hoa-san-pai bertanding di tempat ini? Dan selain
ditonton oleh banyak tamu dan orang-orang Thian-liong-pang sambil maka minum, juga
diiringi tambur dan gembreng!
Pertandingan
itu berjalan dengan seru dan jelas tampak betapa tokoh Sin-to-pang mulai
terdesak, bahkan pundaknya telah terluka goresan pedang. Kalau semua tamu
memandang dengan sikap dingin, demikian pula para tokoh Thian-liong-pang, hanya
Bun Heng seoranglah yang menonton dengan hati tegang.
“Cukup....!”
Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, namun penuh wibawa keluar dari balik
kerudung yang menyembunyikan kepala Ketua Thian-liong-pang. Seketika tambur
dan gembreng berhenti dan kedua orang yang bertanding itu pun meloncat mundur
menghentikan gerakan masing-masing! Bahkan kini seorang kakek yang agaknya
merupakan ahli pengobatan Thian-liong-pang, menghampiri tokoh Sin-to-pang yang
seperti bekas lawannya telah duduk kembali di kursi masing-masing, kemudian
mengobati luka di pundak tokoh ini.
Bun
Beng memandang bengong. Hampir dia tidak dapat percaya akan dugaannya yang
agaknya tidak dapat salah lagi. Kedua orang tokoh itu diadu! Seperti dua ekor
jangkrik diadu! Betapa mungkin ini? Mengapa mereka sudi? Dan agaknya mereka
berdua tadi bukanlah pasangan pertama yang diadu. Selagi ia menduga-duga dengan
bingung, terdengar suara merdu dari balik kerudung.
“Ang-lojin
dari Bu-tong-pai dan Tok-ciang Siucai dari Lam-hai-pang, harap suka maju dan
memperlihatkan kepandaian!”
Jantung
Bun Beng berdebar tegang.
“Siauw-hiap,
silakan mencoba hidangan!” Tiba-tiba kakek gundul berkata.
“Terima
kasih, aku tidak lapar,” jawab Bun Beng tanpa mengalihkan pandang matanya dari
Ketua Bu-tong-pai yang kini telah bangkit berdiri dari kursinya dan melangkah
maju ke tempat pertandingan dengan sikap tanpa ragu-ragu dan wajah tidak
membayangkan sesuatu.
“Kalau
begitu, silakan minum secawan arak sebagai penyambutan dari Pangcu kami,” kata
pula kakek itu yang sudah bangkit dan menyodorkan secawan arak penuh kepada Bun
Beng.
Mendengar
ini, Bun Beng menoleh ke kiri, ke arah Ketua Thian-liong-pang dan ia melihat
betapa sepasang mata di balik lubang kerudung itu tertuju kepadanya dengan
sinar tajam. Tanpa menjawab ia menerima cawan arak dan minum arak itu habis
sekali teguk. Hampir ia tersedak, tubuhnya terasa nyaman hangat setelah ia
minum arak tadi. Kepalanya menjadi agak pening sehingga diam-diam ia terkejut
sekali. Tak mungkin secawan arak membuat ia mabok!
“Harap
Siauw-hiap minum secawan lagi sebagai penyuguhan dari Thian-liong-pang,” kata
pula kakek gundul.
“Cukup,
aku tidak ingin minum lagi, ingin menonton pertandingan!” kata Bun Beng dengan
hati-hati, dan biarpun ia menjadi curiga sekali, pikirannya diputar untuk
menduga apa yang terdapat di dalam arak yang diminumnya tadi, namun ia
menujukan pandang matanya ke depan, ke arah Ketua Bu-tong-pai yang kini telah
berhadapan dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
tinggi kurus tampan dengan pakaian seperti seorang siucai (gelar sasterawan).
“Harap
Ji-wi suka mulai pertandingan tangan kosong! Awas, Ang-lojin, lawanmu adalah
seorang yang memiliki Tok-ciang (Tangan Beracun), harus dilawan dengan
jurus-jurus simpananmu!” Terdengar pula suara halus dingin Ketua
Thian-liong-pang.
Betapa
heran hati Bun Beng ketika ia melihat dua orang itu, seperti dua ekor jangkerik
atau ayam aduan, telah mulai saling serang tanpa banyak cakap lagi! Pemuda yang
dipanggil julukannya sebagai Tok-ciang Siucai (Sasterawan Tangan Beracun)
telah membuka serangan setelah menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan tangan
terbuka dan telapak tangannya berwarna kemerahan! Serangan pertama ini
merupakan tamparan dengan tangan kiri ke arah muka lawan disusul dorongan
telapak tangan kanan ke arah dada! Cepat sekali gerakannya dan kalau diingat
bahwa kedua telapak tangannya mengandung hawa beracun, dapat dibayangkan
betapa dahsyat dan berbahaya serangan ini.
Namun
Ang-lojin adalah Ketua Bu-tong-pai yang tentu saja memiliki tingkat ilmu silat
yang sudah amat tinggi. Dengan tenang namun tidak kalah cepatnya, ia mengelak
dengan geseran kaki ke kiri sambil mengibaskan tangan kanan ke kanan menangkis
dan dari samping, tiba-tiba kaki kanannya melakukan tendangan menyerong ke
arah perut siucai itu.
“Bagus
sekali!” tiba-tiba kakek muka singa memuji tendangan itu dan memang Bun Beng
juga dapat melihat betapa indah dan berbahayanya serangan balasan Ketua
Bu-tong-pai yang dilakukan dengan cekatan. Tok-siang Siucai ternyata juga
lihai karena sambil merobah kaki melangkah mundur tangan kirinya dapat
menangkis serangan itu dengan melemparkan ke kanan. Namun, tiba-tiba tendangan
kaki kanan dari Ketua Bu-tong-pai itu telah disusul dengan tendangan kaki kiri
yang digerakkan dengan memutar dari belakang, kembali tendangan ini menyerong
dan yang diarah adalah lutut kanan lawan! Si Pemuda kaget, mundur selangkah
menyelamatkan lututnya, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai terus melakukan tendangan
kedua kakinya, cepat dan kuat sekali sehingga kedua kakinya yang kelihatan
banyak saking cepatnya itu menimbulkan suara angin.
“Hemmmm....
Soan-hong-twi.... seperti itukah?” Ucapan Ketua Thian-liong-pang ini lirih
sekali dan agaknya tidak terdengar oleh orang lain, akan tetapi Bui Beng yang sejak
tadi memperhatikannya, biarpun hanya dengan pendengaran karena matanya
ditujukan untuk mengikuti pertandingan, dapat menangkap kata-katanya. Jantung
Bun Beng makin berdebar. Para tokoh kang-ouw itu, termasuk Ketua Bu-tong-pai
yang baru saja ditawan, semua menjadi begitu jinak dan penurut dan.... arak
yang secawan saja sudah membuat dia mabok.... bukan tidak mungkin ada
hubungannya! Dia baru minum secawan saja sudah pening dan seolah-olah
semangatnya mengendor, dan kakek gundul itu tadi berusaha membuat dia minum
lebih banyak! Kemudian, para tokoh yang saling bertanding mati-matian dan
dengan bersungguh hati, Ketua Thian-liong-pang yang menonton dan memberi
komentar! Hemm, seolah-olah ada sinar terang memasuki kepala Bun Beng, namun
pengaruh arak membuat keningnya berdenyut-denyut sehingga sukar bagi dia untuk
memutar otaknya, tidak seperti biasa. Betapapun juga, Bun Beng mengerahkan
seluruh pikirannya untuk melakukan penyelidikan, mengambil
kesimpulan-kesimpulan dan mengumpulkan dugaan-dugaan.
Pertandingan
antara Ketua Bu-tong-pai dan tokoh-tokoh Lam-hai-pang berlangsung makin seru.
Akan tetapi Bun Beng mendapat kenyataan yang menyenangkan hatinya. Ternyata
ayah Ang Siok Bi, yaitu Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, biarpun kini mau saja
diadu seperti jangkerik, tetap memiliki watak yang baik, sesuai dengan
kedudukannya sebagai seorang ketua partai persilatan besar. Pemuda bertangan
ganas itu jelas melakukan serangan-serangan berbahaya dan mematikan, namun
Ketua Bu-tong-pai itu banyak mengalah dan biarpun terpaksa mengeluarkan
jurus-jurus simpanan dari Bu-tong-pai untuk menyelamatkan diri, namun
serangan balasannya tidak bersungguh-sungguh seolah-olah dia enggan untuk
mencelakai lawan, tidak mau melukai hebat, apalagi membunuh. Hal ini tentu
saja dapat ia lihat karena banyak lowongan baik tidak dipergunakan oleh kakek
itu. Kalau Ang-lojin menghendaki, tentu tidak sampai tiga puluh jurus lawannya
dapat dirobohkan dengan pukulan-pukulan istimewanya.
Betapapun
juga, tingkat pemuda itu kalah tinggi dan kini dia selalu terdesak mundur.
Ketika sebuah tendangan kilat menyerempat pinggang pemuda itu dan membuatnya
terhuyung miring, kalau Ang-lojin mau tentu mudah baginya menyerang dengan
pukulan maut. Namun kakek ini hanya mendorong pundak pemuda itu dan membuatnya
roboh terjengkang.
“Cukup!”
teriak Ketua Thian-liong-pang. “Tok-ciang Siucai, harap mundur dan Pek-eng
Sai-kong harap maju untuk melayani Ang-lojin dengan senjata. Ang-lojin, ilmu
silat tangan kosong Bu-tong-pai hebat, harap perlihatkan ilmu silatmu dengan
senjata. Bukankah Siang-kiam (Sepasang Pedang) menjadi keistimewaan
Bu-tong-pai? Silakan!”
Berkata
demikian, Ketua Thian-liong-pang ini menggerakkan tangan kirinya dan sepasang
pedang melayang ke arah Ang-lojin. Ketua Bu-tong-pai ini tidak menjawab melalnkan
menerima sepasang pedang itu dengan gerakan indah. Bun Beng melihat munculnya
seorang pendeta berpakaian lebar dan bermuka penuh brewok telah menerima
sebatang toya dari tangan kakek muka singa yang duduk di sebelah kanan Ketua
Thian-liong-pang.
“Pek-eng
Sai-kong, kami telah menyaksikan dan mengagami ilmu toyamu. Harap jangan
sungkan-sungkan, pergunakan jurus-jurus yang paling hebat, terutama jurus
kedua puluh tujuh Pek-eng-coan-ci (Garuda Putih Menyabetkan Ekor). Hati-hati,
ilmu siang-kiam Bu-tong-pai amat lihai!” Dalam suara dari balik kerudung itu
terkandung kegembiraan besar. Bun Beng makin berdebar karena di dalam otaknya
yang kacau oleh pengaruh arak memabokkan, ia kini mulai dapat menyingkap tabir
yang merahasiakan semua peristiwa yang aneh yang dihadapinya.
Kembali
terjadi pertandingan dan sekali ini lebih hebat menegangkan daripada tadi.
Sai-kong itu amat kuat, toyanya benar-benar berbahaya dan teringatlah Bun
Beng akan sebuah aliran yang menamakan dirinya Pek-eng-pang (Toya Garuda Putih)
yang merupakan sekelompok orang gagah yang sesungguhnya memiliki dasar ilmu
toya Siauw-lim-pai namun telah dicampur-aduk dengan ilmu silat golongan hitam!
Jadi saikong ini adalah seorang tokoh Pek-eng-pang! Ia memandang penuh
perhatian karena diapun ingin sekali menyaksikan bagaimana ilmu toya
Siauw-lim-pai yang telah dirobah itu!
Terdengar
suara nyaring berkali-kali ketika toya bertemu dengan pedang, dan tampaklah
sinar toya yang kuning bergulung-gulung menjadi satu dengan sinar pedang yang putih.
Sekali ini, Ketua Bu-tong-pai harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena
yang menjadi lawannya adalah orang terpandai dari Pek-eng-pang! Biarpun Ketua
Bu-tong-pai ini tidak mempunyai hati yang kejam tidak ingin melukai apalagi
membunuh lawan, namun sekali ini mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya, karena kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi
korban toya yang ganas.
Bun
Beng mengepal ujung lengan kursinya. Diam-diam ia telah siap sedia untuk
menolong kalau Ketua Bu-tong-pai terancam bahaya. Biarpun dia kini dapat
menduga bahwa saikong itu, seperti juga Ketua Bu-tong-pai, hanya berperan
seperti dua ekor jangkerik aduan, namun tetap saja hatinya berpihak kepada
Ang-lojin. Bukan semata-mata karena kakek itu adalah ayah Ang Siok Bi yang
cantik, biarpun hal ini sedikit banyak menjadi sebab juga, akan tetapi terutama
sekali karena ilmu toya Siauw-lim-pai yang telah berubah itu menurut
keterangan suhunya dibawa lari oleh seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad!
“Hyaaatttt....!”
Tiba-tiba saikong itu membentak keras dan Bun Beng diam-diam terkejut sekali
sehingga tanpa disadarinya ia telah meremas patah ujung lengan kursinya, siap
untuk disambitkan kalau Ang-lojin terancam bahaya! Dan memang hebat sekali
jurus yang kini dipergunakan oleh Sai-kong itu dalam penyerangannya. Itulah
jurus dari ilmu toya Siauw-lim-pai, hal ini diketahui jelas oleh Bun Beng, akan
tetapi jurus itu telah dirobah sedemikian rupa sehingga selain lihai juga
menjadi ganas dan licik sekali. Toya itu menyodok ke arah pusar lawan dengan
cepatnya, dan begitu Ang-lojin menangkis dengan pedang kiri, tiba-tiba tubuh
saikong itu terguling ke depan, lalu tubuhnya menggelinding ke arah lawan,
tongkat atau toya itu diputar menyerampang kaki lawan dilanjutkan dengan
sodokan ke atas, mengarah mata dibarengi dengan tendangan ke arah anggauta
tubuh di bawah pusar. Serangan yang mematikan!
Namun
Ang-lojin tidak menjadi gugup menghadapi jurus yang oleh Ketua Thian-liong-pang
disebut Pek-eng-coan-ci tadi dan terpaksa dia pun mengeluarkan jurus
simpanannya. Kedua pedangnya melakukan gerakan menggunting dan begitu berhasil
menjepit toya, tubuhnya terangkat ke atas dengan kaki ke atas, kemudian ia
berjungkir balik, melepaskan jepitan toya dan sambil menukik turun, sepasang
pedangnya melakukan gerakan menyerang dari kanan kiri, lagi-lagi menggunting
bagian leher dan pinggang lawan denngan sepasang pedang!
“Heh,
itukah Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memutuskan Gunung)?” terdengar Ketua
Thian-liong-pang berseru lirih namun dapat terdengar cukup jelas oleh Bun
Beng.
Saikong
itu kaget sekali dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang sambil memutar
toya membentuk lingkaran melindungi tubuh ia dapat menyelamatkan diri, akan
tetapi ia terkejut dan sampai terhuyung-huyung. Kini ia berteriak lagi dan
tiba-tiba tubuhnya membalik, sikapnya seperti hendak menyerang, akan tetapi
tiba-tiba sambil membalik ini toyanya meluncur terlepas dari tangan, merupakan
anak panah raksasa yang menyambar ke arah tubuh Ang-lojin.
“Trakkk!”
Toya itu menyeleweng dan menancap di atas lantai di depan Ang-lojin yang tadi
saking tak menyangka hampir saja menjadi korban toya.
“Cukup!
Harap Ji-wi kembali ke kursi masing-masing!” Terdengar Ketua Thian-liong-pang
berkata sambil memandang ke arah Bun Beng yang sudah bangkit berdiri. Semua
orang Thian-liong-pang kini menoleh ke arah Bun Beng, maklum bahwa Ketua mereka
marah sekali kepada tamu muda yang dengan lancang telah menimpuk toya dengan
ujung lengan kursi yang dipatahkan.
“Chie
Kang, berapa cawankah tamu Siauw-lim-pai itu minum arak?” terdengar wanita
berkerudung bertanya kepada kakek gundul. Bagi orang yang tidak tahu, tentu
Ketua itu apakah tamu mudanya terlalu banyak minum arak sehingga mabok dan
melakukan kelancangan itu. Akan tetapi Bun Beng yang sudah dapat menduga,
hanya tersenyum, apalagi ketika mendengar kakek gundul menjawab,
“Dia
hanya minum secawan, menolak untuk minum lagi, Pangcu.”
“Dan
untung bahwa aku hanya minum secawan, kalau tidak tentu aku pun akan kaujadikan
jangkerik aduan, bukan begitu, Thian-liong-pangcu?” Bun Beng kini menghadapi
Ketua itu dengan sikap tenang, sedikitpun tidak gentar, mulutnya tersenyum
mengejek.
Biarpun
wajah itu tidak tampak, namun sepasang muta yang tampak dari kedua lubang itu
mengeluarkan sinar berapi, tanda bahwa Ketua ini marah sekali. Sejenak hening
di situ, hening yang penuh ketegangan, dirasakan benar oleh semua anggauta
Thian-liong-pang. Kalau Ketua mereka sudah marah, tentu akan terjadi hal yang
mengerikan.
“Orang
muda, karena engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai dan kami tidak mempunyai
permusuhan dengan Siauw-lim-pai, maka perbuatanmu menyerang dua pembantu kami,
kami maafkan. Bahkan kami menerimamu sebagai seorang tamu terhormat, biarpun
engkau masuk seperti seorang pencuri. Akan tetapi jangan mengira bahwa karena
engkau seorang murid Siauw-lim-pai lalu boleh berbuat sesuka hatimu dan lancang!”
Bun
Beng mengangkat dadanya dan memandang Ketua itu dengan sikap menantang.
“Thian-liong-pangcu!
Aku datang bukan sebagai utusan Siauw-lim-pai, memelainkan atas nama pribadi
yang ingin mengingatkanmu bahwa perbuatanmu tidak baik dan kuminta engkau
segera menghentikan perbuatanmu itu!”
“Eh,
bocah sombong. Perbuatan apa yang kau maksudkan?” Suara Ketua Thian-liong-pang
mengandung keheranan karena dia benar-benar merasa bahwa di dunia ini terdapat
seorang pemuda yang begini tidak tahu diri berapi menentangnya secara
terang-terangan, bahkan menegurnya seperti seorang dewasa menegur seorang
kanak-kanak!
“Hemmm,
perlukah dijelaskan lagi? Baiklah agar jangan aku dikatakan bicara mengawur
dan menuduh kosong, baik kukatakan bahwa aku sudah mengetahui rahasia semua
penculikan yang dilakukan Thian-liong-pang terhadap para tokoh kang-ouw. Engkau
menculik mereka, termasuk Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, kemudian kauberi
mereka minuman arak yang mengandung racun perampas ingatan, mungkin yang
pengaruhnya hanya untuk sementara saja. Kemudian, selagi para Locianpwe yang
bernasib malang ini kehilangan ingatan mereka, kaujadikan mereka jangkerik-jangkerik
aduan karena engkau ingin mengetahui rahasia ilmu silat simpanan mereka yang
terpaksa harus mereka pergunakan dalam pertandingan untuk menyelamatkan diri.
Bukankah begitu?”
Keadaan
makin tegang dan semua anggauta Thian-liong-pang menganggap pemuda lancang itu
menjadi calon mayat, karena mana mungkin Ketua mereka membiarkan saja
kekurangajaran seperti itu? Akan tetapi, sikap dan ucapan Bun Beng
menimbulkan kekaguman di hati Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu. Memang
wanita ini sebagai seorang sakti, akan selalu kagum terhadap orang yang gagah
berani, yang menganggap nyawa sebagai hal yang ringan, menganggap kematian
sebagai hal sepele, menganggap bahaya bukan apa-apa dalam membela kebenaran
yang dipercayanya. Hanya ada keraguan di hatinya apakah pemuda ini bersikap
sedemikian berani terdorong sifat gagah yang aseli, ataukah hanya untuk
bersombong saja terdorong oleh nama besar Siauw-lim-pai.
“Bocah
sombong! Kalau benar begitu, mengapa? Apa kehendakmu?”
“Pangcu,
aku hanya memperingatkan bahwa engkau main-main dengan api! Engkau menanam
permusuhan dengan seluruh dunia kang-ouw dengan perbuatanmu ini. Aku minta
agar engkau menghentikan perbuatan ini dan membebaskan semua tawanan.”
“Hemm,
tanpa kauminta, semua sahabat yang menjadi tamuku akan kubebaskan. Kau
memperingatkan agar kami menghentikan perbuatan kami. Kalau aku menolak
peringatanmu ini, habis kau mau apa?”
“Terpaksa
aku akan menantangmu bertanding! Aku tahu bahwa engkau sakti,
Thian-liong-pangcu, akan tetapi demi membela kebenaran, demi keselamatan
seluruh tokoh kang-ouw, aku siap mengorbankan nyawa!”
“Keparat
cilik! Engkau sombong sekali! Pangcu, ijinkan saya membasmi bocah sombong
ini!” Tan Wi Siang sudah meloncat maju dengan marah sekali.
“Wi
Siang, mundurlah!” Ketua Thian-liong-pang membentak, “Bocah ini mempunyai
ketabahan besar, atau memang hanya seorang bocah sombong yang mengandalkan nama
Siauw-lim-pai. Biar Paman Chie Kang saja yang melayaninya!”
“Baik,
Pangcu!” Lui-hong Sin-ciang Chie Kang sudah meloncat maju. Kakek gudul ini
sudah sejak tadi merasa marah menyaksikan sikap Bun Beng, “Eh, orang muda yang
tidak mengenal kebaikan orang! Majulah, ingin kulihat sampai di mana
kepandaianmu!” katanya dengan suara yang tinggi nyaring.
“Chie
Kang, jangan bunuh dia, kau tahu apa yang harus kaulakukan!”
“Hemmm,”
Bun Beng mengejek. “Aku pun tahu, Pangcu! Tentu engkau hendak mempelajari pula
jurus-jurus simpanan dari Siauw-lim-pai, bukan? Ha, sekali ini engkau akan
kecelik!”
Kembali
Nirahai tertegun. Bocah ini selain memiliki keberanian yang luar biasa, juga
amat cerdik seolah-olah mengetahui semua isi hatinya. Terhadap bocah seperti
ini, dia harus berlaku hati-hati. Diam-diam ia menduga-duga siapakah gerangan
bocah ini. Apakah Ketua Siauw-lim-pai yang mendengar akan penculikan-penculikan
yang dilakukannya, sengaja mengirim seorang muridnya yang dapat dipercaya untuk
melakukan penyelidikan? Dia maklum bahwa di Siauw-lim-pai terdapat banyak
orang pandai, maka dia tidak pernah berurusan dengan Siauw-lim-pai, bahkan
memesan kepada para anak buah untuk menjauhkan diri dari permusuhan dengan
partai itu. Akan tetapi Ketua Siauw-lim-pai yang mengambil langkah pertama
memusuhi Thian-liong-pang, hemmm, dia pun tidak takut!
Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang maklum akan maksud Ketuanya dan kata-kata Bun Beng yang
dengan tepat membongkar niat Ketuanya membuat ia makin marah. Sambil
menggereng ia telah menerjang maju, sengaja mengeluarkan jurus berbahaya untuk
memaksa lawan muda itu mengeluarkan jurus simpanan dari Siauw-lim-pai agar
dapat dilihat oleh Ketuanya.
Memang
apa yang dilontarkan oleh Bun Beng sebagai tuduhan tadi tepat sekali. Nirahai
sengaja menculik tokoh-tokow kang-ouw, kemudian membius mereka dengan arak
beracun, mengadu mereka untuk dapat mempelajari gerakan yang aseli dari
jurus-jurus terlihai semua partai yang hanya dikenalnya bagian teorinya saja.
Dia ingin memperdalam ilmu silatnya sedemikian rupa dalam persiapannya
menghadapi suaminya, Suma Han atau Pendekar Siluman, juga Pendekar Super Sakti
Majikan Pulau Es!
Menghadapi
terjangan kakek gundul, Bun Beng terkejut. Hebat bukan main serangan lawannya
yang menubruk dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dari atas dan
bawah dengan getaran hawa yang membuktikan tenaga sin-kang kuat. Untuk
menggunakan ilmu silat Siauw-lim-pai dia tidak mau, karena dia tidak ingin
kalau Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu “mencuri” jurus-jurus pilihan
dengan melihat dia mainkan jurus itu. Akan tetapi terjangan kakek gundul yang
menjadi lawannya benar-benar amat berbahaya. Maka ia cepat mengerahkan
gin-kangnya dan hanya mengelak ke sana ke mari tanpa mainkan jurus pilihan
Siauw-lim-pai! Untung bahwa dalam hal gin-kang, dia dapat mengatasi gerakan
kakek itu sehingga sampai belasan jurus ia mampu menghindarkan semua
terjangan kakek itu dengan hanya mengandalkan illmunya meringankan tubuh!
“Heh,
kau masih keras kepala, ya?” Chie Kang mendengus marah menyaksikan lawannya
itu benar-benar tidak mengeluarkan jurus Siauw-lim-pai dan hanya mengelak ke
sana-sini. Ia merobah serangannya, kini dia mengerahkan sin-kang dan menyerang
dengan gerakan lambat, namun kedua tangannya mendatangkan angin yang
bergulung-gulung menghadang semua jalan keluar Bun Beng! Pemuda itu terkejut,
maklum bahwa menghadapi penyerangan seperti itu tidak mungkin baginya untuk
hanya mengandalkan gin-kang saja. Maka ia berseru keras, tubuhnya melakukan gerakan
aneh sekali, tubuhnya menyeruduk ke depan, kedua tangannya membentuk
lingkaran-lingkaran aneh sekaligus menghalau semua serangan lawan dan berbalik
kedua tangannya yang seolah-olah berubah menjadi banyak sekali itu mengirim
pukulan dari semua penjuru!
“Aihhhh....!”
Chie Kang berteriak, berusaha mengelak namun tetap saja pundaknya terkena
tangan Bun Beng sehingga ia terhuyung ke belakang, Bun Beng mendesak ke depan
untuk mengirim pukulan yang akan merobohkan lawan.
Tiba-tiba
tampak bayangan berkelebat, kedua tangan Bun Beng tertolak ke samping, dan
sebelum Bun Beng sempat menjaga diri, tahu-tahu ia telah terguling roboh.
Tubuhnya jatuh terlentang dan tahu-tahu kaki kiri Ketua Thian-liong-pang telah
menginjak dadanya! Bun Beng merasa betapa kaki yang kecil itu seperti gunung
beratnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi, dan maklumlah pemuda ini
bahwa sekali wanita itu mengerahkan tenaga, dadanya akan pecah! Namun dia
tidak takut dan memandang dengan mata melotot.
“Bocah
sombong! Dari mana engkau mempelajari ilmu tadi?”
Biarpun
dia sudah tidak berdaya dan hanya menanti maut yang berada di telapak kaki
wanita itu, namun Bun Beng merasakan kegirangan dan kepuasan besar karena ia
mendapat kenyataan bahwa wanita sakti ini tidak mengerti jurusnya tadi!
“Ha-ha-ha-ha!
Thian-liong-pangcu, mau bunuh, lekas bunuhlah. Siapa takut mati dan siapa takut
padamu? Engkau memang pandai seperti iblis, akan tetapi juga menyeleweng dan jahat
seperti iblis. Memangengkau iblis, kalau tidak,
tentu engkau tidak akan menyembunyikan mukamu di belakang kerudung! Akan
tetapi, biarpun engkau iblis sendiri yang masih belum puas dan ingin mencuri
ilmu silat seluruh orang kang-ouw, tetap saja engkau tidak menang melawan
Pendekar Siluman dari Pulau Es! Ha-ha-ha, engkau akan dipermainkan lagi
seperti dulu di Sungai Fen-ho, seperti yang telah kusaksikan sendiri.
Ha-ha-ha!”
Bun
Beng merasa betapa kaki itu makin berat menindih dadanya. Ia memejamkan mata,
menanti datangnya maut, akan tetapi kaki itu tidak menginjak terus, bahkan
turun dari dadanya dan tiba-tiba rambutnya yang dikuncir itu terjambak,
tubuhnya terangkat dan dipaksa bangkit. Ia kini berdiri di depan wanita itu,
melihat sepasang mata di balik kerudung yang seolah-olah hendak membakarnya.
“Siapa
engkau? Siapa....?” Wanita itu membentak, kini suaranya tidak halus merdu lagi,
melainkan melengking nyaring penuh kemarahan.
“Aku
akan mati, perlu apa menyembuyikan nama? Aku Gak Bun Beng....”
“Ya
Tuhan....!” Bun Beng mendengar suara ini dari atas anak tangga, akan tetapi dia
tidak tahu siapa yang berseru kaget itu karena Ketua Thian-liong-pang di
depannya tiba-tiba tertawa menghina.
“Hi-hik,
kiranya anak haram, keturunan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak datuk
kaum sesat? Pantas.... pantas....! Engkau jahat, melebihi Ayahmu yang tidak
sah. Manusia macammu ini tidak layak hidup!”
Nirahai
mengangkat tangan kanannya, siap menghantam kepala Bun Beng. Sekali ini,
karena Bun Beng sudah berdiri dan tidak seperti tadi, diinjak tak mampu
berkutik, tentu saja tidak sudi mampus begitu saja tanpa melawan.
“Plakkk!”
Hantaman dengan telapak wanita itu berhasil dia tangkis dengan jurus
Sam-po-cin-keng dan biarpun tubuhnya terlempar sampai lima meter jauhnya, ia
berhasil menangkis dan tidak terluka. Dia sudah meloncat bangun lagi, siap
melawan mati-matian.
“Pangcu....!”
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan berkelebatlah tubuh kakek bermuka
singa menghadang tubuh Nirahai yang sudah berjalan menghampiri Bun Beng dengan
mata berkilat penuh penasaran.
“Sai-cu
Lo-mo, minggirlah engkau! Bocah ini harus kubunuh!” bentak ketuanya.
“Pangcu,
ampunkanlah.... dia cucu keponakan saya, satu-satunya keturunan saya,
bagaimana Pangcu tega untuk membasmi keturunan saya? Ampunkanlah, atau Pangcu
bunuh saya sekalian!”
Mendengar
ini, tiba-tiba lemaslah tubuh Nirahai dan ia memandang wajah pembantunya yang
berlutut di depan kakinya. Bu Beng berdiri memandang dengan mata terbelalak!
Dia cucu keponakan kakek bermuka singa itu?
“Sudahlah!
Tidak dibunuh pun tidak mengapa, akan tetapi harus suka menjadi anggauta
kita.”
“Apa?
Aku menjadi anggauta Thian-liong-pang, membantu kalian menculiki orang-orang
gagah untuk dicuri kepandaiannya? Terima kasih, lebih baik mati!” Bun Beng
membentak sambil membanting kakinya penuh kemarahan.
Sai-cu
Lo-mo cepat meloncat ke depan Bun Beng sambil membentak penuh teguran, “Gak
Bun Beng, engkau tidak boleh berkata begitu! Engkau adalah cucu keponakanku
sendiri, harus mentaati kata-kataku.”
Bun
Beng memandang kakek itu penuh perhatian. “Locianpwe, sejak kapankah aku
menjadi cucu keponakanmu dan siapakah Locianpwe?”
“Aku
adalah Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, mendiang Ibumu Bhok Khim, adalah
keponakanku.”
Diam-diam
Bun Beng merasa terharu. Baru sekali ini dia bertemu dengan orang yang ada
hubungan keluarga dengannya, akan tetapi dia bertanya penuh rasa penasaran.
“Kalau
benar demikian mengapa baru sekarang Locianpwe mengaku sebagai Paman Kakekku?”
Sai-cu
Lo-mo menarik napas panjang. “Engkau tidak tahu, Bun Beng. Aku telah berusaha
merampasmu dengan mengirim anak buah Thian-liong-pang dahulu ke kuil tua,
dekat Sungai Fen-ho, akan tetapi usahaku gagal, engkau dirampas oleh Pendekar
Siluman dan diberikan kepada orang Siauw-lim-pai. Sekarang kebetulan sekali
kita dapat berkumpul, engkau menurutlah, tinggal di sini menjadi anggauta
kami, mempelajari ilmu dari Pangcu dan membuat jasa.”
“Maaf,
Kakek, hal ini tidak dapat kulakukan. Bukan sekali-kali aku tidak memandang
perhubungan keluarga antara kita. Aku tahu engkau seorang yang baik dan telah
berusaha menyelamatkan aku, akan tetapi untuk menjadi anggauta Thian-liong-pang
aku tidak sudi. Terserah kepada Thian-liong-pangcu, hendak membebaskan aku
bersama para tokoh kang-ouw di sini atau hendak membunuhku!”
“Sai-cu
Lo-mo, mengingat dia cucu keponakanmu, aku tidak membunuhnya. Akan tetapi dia
harus menjadi anggauta kita atau mati!” terdengar Nirahai berkata, suaranya
dingin dan mengandung keputusan yang tidak dapat dibantah lagi.
Sai-cu
Lo-mo menjadi bingung sekali. Dia ingin menyelamatkan keturunannya ini, akan
tetapi maklum bahwa pemuda ini memiliki keberanian dan kenekatan yang sukar
ditundukkan dan ia maklum pula bahwa kalau Pangcunya marah, tidak ada seorang
pun berani membantahnya. Lalu ia mendapatkan akal dan berkata.
“Pangcu,
ampunkan saya dan ampunkan dia yang masih muda. Kalau dia tidak mau, biar dia
kita tawan dan perlahan-lahan saya akan membujuknya.”
Terdengar
jawaban dengan suara kesal, “Sesukamulah.....”
Sai-cu
Lo-mo menjadi girang sekali. “Bun Beng, dengarlah betapa baiknya Ketua kita.
Engkau menurutlah, Cucuku!”
“Maaf,
aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang! Biarpun Ayahku yang tidak
pernah kukenal itu disebut seorang datuk kaum sesat, namun aku bukanlah orang
sesat!”
“Bocah
bandel, kalau begitu aku akan menawanmu!” Sai-cu Lo-mo membentak dan menubruk
ke depan hendak menangkap Bun Beng. Akan tetapi, Bun Beng sudah mengelak cepat
dan ketika kakek itu menyusul dengan serangan totokan untuk merobohkannya, dia
cepat menangkis.
“Plak-plak!”
Bun Beng terpental ke belakang dan Sai-cu Lo-mo terhuyung. Diam-diam Bun Beng
terkejut, maklum bahwa orang yang mengaku kakeknya ini memang memiliki
kepandaian dan tenaga lebih hebat daripada kakek gundul yang berhasil ia
kalahkan tadi.
Di
lain pihak, Sai-cu Lo-mo juga kagum. Kiranya cucu keponakannya ini benar
tangguh, pantas saja sutenya kalah. “Gak Bun Beng, berani engkau melawan
kakekmu sendiri?”
“Aku
tidak melawan seorang kakekku, melainkan melawan orang-orang Thian-liog-pang.”
jawab Bun Beng tegas.
“Engkau
benar tak tahu diri dan sombong!” Sai-cu Lo-mo kini menerjang dengan hebatnya.
Bun Beng terpaksa menggerakkan kaki tangan melawan dan kembali dia menggunakan
Ilmu Silat Sam-po-cin-keng. Begitu ia mainkan jurus-jurus aneh ilmu silat ini,
Sai-cu Lo-mo mengeluarkan seruan kaget dan kakek ini terdesak hebat! Melihat
gerakan pemuda itu Nirahai menjadi kagum dan tertarik sekali. Dia telah
melihat dan mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, akan tetapi belum
pernah ia menyaksikan ilmu silat tangan kosong seperti yang dimainkan pemuda
itu. Sungguhpun gerak kaki pemuda itu mempunyai dasar ilmu silat
Siauw-lim-pai yang sudah matang, namun jurus itu bukanlah jurus ilmu silat
Siauw-lim-pai.
“Wi
Siang kaubantulah Lo-mo menangkap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia
mengeluarkan seluruh ilmunya,” bisiknya dengan tertarik sekali sambil duduk
kembali ke atas kursinya untuk menonton dan mempelajari jurus-jurus yang
dimainkan Bun Beng.
Tang
Wi Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu pernah
menolongnya ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau Sungai Huang-ho
dan hampir celaka oleh ilmu sihir Lama itu. Dia meloncat dan menyerang Bun
Beng dengan gerakan lincah sekali.
Bun
Beng terkejut. Dia maklum bahwa wanita ini memiliki gerakan yang cepat luar
biasa dan mungkin lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo. Dan memang dugaannya
benar, Tang Wi Siang menjadi orang yang paling disayang dan dipercaya oleh
Nirahai di antara para pembantunya, maka wanita itu dia beri pelajaran ilmu
silat yang lebih tinggi daripada pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang
telah dia beri Ilmu Silat Yancu-sinkun (Ilmu Silat Burung Walet) yang mengandalkan
gerakan gin-kang tinggi sekali. Menghadapi Sai-cu Lo-mo saja dia sudah merasa
berat, bukan hanya karena kakek itu lihai sekali, juga ia merasa enggan untuk
melukai orang tua paman ibunya ini. Sekarang ditambah lagi dengan Tang Wi
Siang, dia benar-benar menjadi terancam hebat. Gerakan penyerangan Wi Siang
demikian cepatnya seolah-olah kedua lengan wanita itu berubah menjadi enam dan
karena Bun Beng harus menjaga jangan sampai ia tertawan oleh kakek itu,
sebuah totokan tangan kiri wanita itu ke arah lehernya tak dapat ia elakkan
lagi. Akan tetapi, ternyata tangan itu tidak dilanjutkan menotok, hanya
mendorong pundaknya sehingga ia terpental dekat anak tangga. Ia meloncat lagi
dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua Thian-liong-pang yang
sedang memandangnya penuh perhatian, ia menjadi terkejut sekali dan sadar bahwa
Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu Lo-mo tentu hanya mendesaknya agar dia
mengeluarkan semua jurus ilmunya, yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua itu
hendak menyaksikan dan mencuri ilmu itu dengan jalan melihat gerakan-gerakannya!
Bun
Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapapun juga, dia
takkan mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun tangan, betapapun dia
melawan akan percuma saja, maka dia mengambil keputusan untuk tidak
memperlihatkan ilmunya agar tidak dicuri oleh Ketua itu. Tak mungkin engkau
akan dapat mencuri jurus-jurus simpanan Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng,
pikirnya dan kini ia melawan dengan gerakan sederhana sehingga dalam belasan
jurus saja ia telah roboh tertotok oleh Sai-cu Lo-mo.
Nirahai
menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa pemuda bandel
itu sengaja tidak memperlihatkan jurus-jurus aneh itu, dan sengaja membiarkan
dirinya tertangkap!
“Lempar
dia ke dalam penjara di bawah tanah!” bentak Ketua Thian-liong-pang. “Jangan
keluarkan sebelum dia mentaati perintah!”
Sai-cu
Lo-mo terkejut dan memandang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata ketuanya jelas
menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam saja melihat tubuh
pemuda itu diseret oleh dua orang petugas yang membawa ke tempat tahanan di
bawah tanah yang letaknya di sebelah belakang kompleks bangunan-bangunan sarang
Thian-liong-pang.
Biarpun
tubuhnya sudah lemas tertotok, ketika ia diseret pergi, Bun Beng masih
mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang, “Lanjutkan pesta dan pertandingan!”
Dia merasa puas dapat menangkap kemarahan dan kejengkelan dalam suara itu. Dia
telah kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw, namun sedikitnya dia
telah berhasil membuat Ketua Thian-liong-pang kecewa, terhina dan marah-marah!
Tahanan
di bawah tanah itu amat menyeramkan. Dua orang petugas yang kini menggotong
tubuh Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong bawah tanah yang menurun
melalui anak tanga batu. Lorong yang gelap dan di tiap tikungan terdapat pintu
besi yang terjaga oleh dua orang anggauta Thian-liong-pang. Setelah melalui
tujuh pintu, sampailah mereka di sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng
dilempar ke dalam kamar ini.
Bun
Beng tidak memperhatikan tempat itu, juga tidak peduli ketika pintu kamar itu
ditutup dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha membebaskan
totokan agar jalan darahnya mengalir normal kembali. Dia maklum bahwa tanpa
usaha ini pun, akhirnya totokan itu akan punah, akan tetapi, hal itu akan makan
waktu beberapa jam lamanya. Akhirnya dia berhasil memulihkan kembali jalan
darahnya dan ia bangkit duduk, bersila dan menghimpun tenaga karena mulai saat
itu dia harus berlaku hati-hati dan tenaganya harus pulih untuk meghadapi
segala kemungkinan. Ktirang lebih sejam lamanya dia ber-siulian, tidak
mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Setelah tenaganya pulih dan batinnya
tenang kembali, barulah Bun Beng menghentikan samadhinya dan membuka mata.
Mula-mula yang ia dapati adalah bahwa kamar itu agak gelap, remang-remang dan
lembab. Kemudian setelah membiasakan matanya dalam cuaca yang remang-remang
itu, ia bangkit berdiri dan mulai menyelidiki kamar tahanan.
Sebuah
kamar berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi, langit-langitnya juga
batu, tingginya dari lantai ada empat meter. Tidak ada jendelanya, hanya
terdapat sebuah pintu dari mana dia dilempar masuk. Pintu ini kecil hanya cukup
dimasuki satu orang, dan terbuat dari baja tebal yang masuk ke dalam dinding
batu. Kokoh kuat pintu itu, tak mungkin dibongkar. Bun Beng menarik napas
panjang karena sekali pandang saja dia maklum bahwa tidak mungkin lolos dari
tempat ini menggunakan tenaga membongkar pintu atau menjebol dinding. Harus
mencari akal. Namun, andaikata dia dapat keluar, bagaimana ia dapat lolos
dari Thian-liong-pang? Lorong itu saja mempunyai tujuh buah pintu yang terjaga,
belum lagi diingat bahwa kalau dapat keluar dari lorong bawah tanah, di atas
sana masih ada tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama sekali
Ketuanya!
“Aku
harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya,” akhirnya ia menghibur
diri sendiri. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh,
ksrena selain Sai-cu Lo-mo mengaku sebagai kakeknya itu tidak suka melihat
keturunannya terbunuh, juga Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin sekali
mendapatkan ilmu silatnya, terutama sekali Sam-po-cin-keng! Betapapun, dia
masih memiliki ilmu sebagai “modal” untuk hidup! Dengan pikiran ini, hatinya
menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu mencari tempat duduk di lantai yang
enak. Akan tetapi, mana ada tempat duduk yang enak? Lantai itu terbuat dari
batu pula, kasar dan agak basah karena selalu ada air menitik turun dan di atas
lantai tampak rangka-rangka manusia berserakan! Bun Beng mengerutkan keningnya.
Ada tujuh buah tengkorak manusia di dalam kamar mereka itu. Siapa tahu mungkin
lebih banyak lagi, tersembunyi di balik batu-batu berlumut. Dia tidak peduli,
akan tetapi, rangka-rangka manusia di situ memperingatkannya bahwa kalau dia
tidak mentaati perintah Ketua Thian-liong-pang dan tidak mau menjadi
anggautanya, tanpa dibunuh pun dia akan mati di tempat ini, seperti
rangka-rangka itu! Akan tetapi, mungkinkah kakek muka singa yang telah berani
mati membelanya itu akan membiarkan dia mati?
Tidak!
Dia tidak boleh mati kelaparan di tempat ini. Dia harus berusaha untuk keluar
dari neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidikan. Mula-mula dia
memeriksa pintu itu dan mencoba tenaganya. Namun segera mendapat kenyataan
bahwa tidak mungkin ia menjebol pintu yang amat kuat itu. Dia lalu memeriksa
dinding batu. Dinding yang amat kokoh, batu bertumpuk dengan tanah yang keras.
Kokoh kuat tak mungkin dibongkar dengan tangan kosong.
Siapa
tahu, akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau mereka,
terutama kakek muka singa, tidak menghendaki dia mati, tentu mereka akan
mengirim makanan dan minuman. Dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibiarkan
mati begitu saja sebelum dlbujuk. Maka ia menghentikan pemeriksaannya dan
kembali duduk di sudut kamar itu, bersila dan bersamadhi. Teringat ia akan
semua pengalamannya di waktu kecil. Sudah berkali-kali, semenjak terseret oleh
pusaran maut air Surgai Huang-ho, dia terancam bahaya maut, bahkan terpaksa
harus hidup di antara sekumpulan monyet, dibawa terbang burung raksasa dan
jatuh terlepas ke atas laut, namun selalu dia tertolong! Kalau Thian
menghendaki, sekali ini pun dia tentu akan selamat. Teringat akan kekuasaan
Tuhan, Bun Beng menjadi tenang. Manusia hidup tergantung dari kekuasaan
Tuhan, mutlak dan seluruhnya! Tanpa kekuasaan Tuhan, manusia tak mungkin dapat
hidup. Detik jantung yang memompa darah ke seluruh bagian tubuh, pernapasan
yang memberi makan darah, semua berjalan otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam
tidur sekalipun, detik jantung dan pompa paru-paru tetap bekerja, siapa yang
mengerjakannya kalau bukan kekuasaan Tuhan?
Dalam
keadaan sunyi gelap menghadapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng makin dekat
dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan wejangan-wejangan gurunya yang
pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan Tuhan dan betapa lemahnya manusia,
betapa tidak ada artinya. Ingin ia tertawa karena geli hatinya kalau teringat
akan wejangan suhunya dahulu. Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan
kelemahan manusia?
Orang
yang merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh orang, demikian
antara lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki puluhan ribu rambut dan
bulu di tubuhhya, namun mengatur pertumbuhan sehelai rambut atau bulunya saja
dia tidak mampu! Jangankan mengatur pertumbuhan kuku, mengatur detik jantung,
menentukan mati hidupnya! Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah
manusia dapat hidup dan mati!
Pelajaran
seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar kepercayaannya kepada Tuhan
sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya maut, karena ia sudah merasa
yakin sepenuhnya, bahkan sudah berkali-kali mengalaminya dalam hidup, bahwa
apa pun yang terjadi, baru dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki. Katau Tuhan
menghendaki dia mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menghindarkannya
dari kematian. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki dia hidup, juga tidak ada
kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membuat dia mati! Apalagi hanya
kekuasaan manusia, biar dia sesakti Ketua Thian-liong-pang sekalipun. Teringat
akan semua ini Bun Beng tertawa. Ingin dia bertanya kepada Ketua
Thian-liong-pang yang sakti itu apakah dia mampu mengatur pertumbuhan rambut-rambutnya,
tidak usah semua, sehelai saja!
Betapapun
juga, Tuhan takkan menolong manusia yang tidak berusaha menolong dirinya
sendiri. Usaha atau iktiar merupakan kewajiban manusia yang sekali-kali tidak
boleh dihentikan selama dia hidup. Adapun akan jadinya, terserah kepada
kekuasaan Tuhan, akan tetapi dia harus berusaha menyelamatkan diri. Kalau
Tuhan menghendaki dia mati akan matilah dia. Mati dibunuh Ketua
Thian-liong-pang, atau mati kelaparan di situ, atau mati dalam usahanya menyelamatkan
diri, semua itu hanya dijadikan lantaran atau jalan, dipilih oleh Tuhan
sebagai penyebab kematiannya.
Pikiran
ini membuat Bun Beng menjadi tenang sekali, sedikit pun dia tidak merasa
khawatir karena hatinya telah bebas daripada keinginan hidup atau mati, sudah
ia serahkan seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia hanya memutar otaknya mencari
jalan keluar, bagaimana harus menggunakan akal.
Setelah
keadaan di dalam kamar tahanan itu gelap pekat, tanda tentu di luar ada api
penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya, terlentang di atas
lantai batu yang lembab dan tertidurlah dia karena hatinya tenang. Sinar yang
membuat keadaan gelap pekat itu menjadi remang-remang membangunkannya. Ia
menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit
menerangi kamar itu berbeda dengan cahaya semalam, cahaya matahari yang putih
dengan cahaya lampu kemerahan.
Sebuah
kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala Sai-cu Lo-mo!
Kemudian, tangan kakek itu diulurkan di antara jeruji, membawa dua potong roti
kering yang panjang dan seguci air.
Bun
Beng dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam kata-kata kakek
itu. Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua lengan kakek yang diulur
masuk melalui jeruji besi. Apa gunanya? Dia tidak akan dapat memaksa kakek
ini, dan tidak dapat pula mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.
“Terima
kasih.” Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering. Dua potong roti
itu cukup baginya untuk mengenyangkan perutnya, kemudian ia minum air jernih
yang menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum, Bun Beng yang melihat kakek
itu masih berdiri di luar pintu dan sejak tadi memandangnya bertanya.
“Sampai
berapa lama aku akan ditahan di sini? Apakah makanan dan minuman diberi racun
perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu silat untuk dipelajari
Pangcumu?”
Sai-cu
Lo-mo menggeleng kepalanya. “Tidak, Bun Beng. Engkau adalah cucuku, engkau
dianggap sebagai orang sendiri, tidak perlu Pangcu mempelajari ilmumu yang
kelak akan ditukar dengan ilmu yang lebih tinggi oleh Pangcu sendiri. Bun
Beng, tidak tahukah engkau bahwa kami bermaksud baik kepadamu? Engkau cucuku,
hanya satu-satunya, maka engkau tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi
anggauta Thian-liong-pang, engkau malah akan memperoleh kedudukan tinggi,
sesuai dengan kepandaianmu.”
Bun
Beng menggeleng kepala. Biarpun dia harus berusaha meloloskan diri, akan
tetapi tak pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan merendahkan
diri menjadi anggauta Thian-liong-pang yang ia anggap amat jahat dan keji!
“Percuma
saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi angauta Thian-liong-pang,
hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil keluar dari sini, aku
tetap akan menentang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw.”
“Ahhh,
engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang yang bijaksana, sama sekali
bukan orang jahat. Bahkan dia telah merobah Thian-liong-pang dari
kesesatannya, kembali ke jalan benar. Kalau dia melakukan penculikan atas diri
tokoh-tokoh kang-ouw itu sekali-kali bukan dengan niat mencelakakan mereka,
melainkan hendak mempelajari dan menyaksikan jurus-jurus rahasia mereka yang
telah diketahui Pangcu bagian teorinya saja. Kemudian mereka dibebaskan
kembali. Pangcu adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat!”
“Hemmm,
kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?”
“Pangcu
tidak akan menggunakan ilmu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun, kemudian
menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau Es.”
Bun
Beng mengerutkan keningnya. “Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku kagum dan
suka kepada Pendekar Siluman yang aku yakin adalah seorang yang selain sakti,
juga amat bijaksana. Kalau Pangcumu memusuhi Pendekar Siluman, sudah pasti
sekali aku berpihak kepada Majikan Pulau Es itu!”
Sai-cu
Lo-mo kelihatan berduka. “Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau menyusahkan hati
seorang tua seperti aku? Apa perlunya engkau mencampuri segala urusan yang
tiada sangkut-pautnya denganmu? Engkau menyerah dan taatlah, dan aku bersumpah
bahwa kelak engkau tidak akan menyesal. Akan kau lihat sendiri kebaikan
Thian-liong-pang!”
“Maaf,
aku tetap tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang.”
“Bun
Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya adalah
mentaati Pangcu dan aku hanya diperbolehkan membujukmu selama tiga hari. Kalau
selama itu engkau belum menurut, engkau akan menjadi tahanan di sini selamanya!
Dan engkau.... engkau akan mati dengan sia-sia....”
“Menyesal
sekali. Aku lebih memilih bahaya mati daripada harus menuruti kehendak
Pangcumu yang seperti iblis itu!”
Kakek
itu menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka. Selama tiga
hari terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun Beng tidak mau
menuruti bujukannya. Bahkan pemuda itu kini tekun dengan penyelidikannya.
Dibongkarnya batu-batu di lantai di antara tulang-tulang rangka manusia dan ia
menemukan sebuah kapak bergagang panjang. Tentu ini merupakan senjata dari
seorang di antara mereka yang telah menjadi rangka itu. Kemudian ia memeriksa
dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih berlumut dan dingin sekali. Kalau
ia menempelkan telinganya di situ, mendengar bunyi air berkerosok. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa tentu dinding ini yang paling tipis sehingga dia
dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan tetapi mengapa ada air di balik
dinding ini?
Setelah
hari ke tiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan sia-sia, kakek
itu tidak muncul lagi. Setiap malam ada seorang penjaga melemparkan roti
kering dan guci air ke dalam kamar tahanan. Dan mulailah Bun Beng bekerja.
Dengan kapak gagang panjang itu dimulai membongkar batu dinding kanan sekuat
tenaga. Dia bekerja setelah penjaga melemparkan makanan. Setelah menghabiskan
roti dan air, mulailah dia menghantami dinding batu dengan kapaknya. Dia
mempunyai waktu sehari semalam lamanya. Besok malam, barulah ada penjaga datang
untuk memberi makanan dan minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam
ini, karena kalau tidak, tentu penjaga akan melihatnya dan dia akan ketahuan,
yang berarti gagal!
Bun
Beng bekerja dengan semangat menyala-nyala. Tak pernah sedetikpun ia beehenti
dan dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang sudah lecet-lecet dan
otot-otot lengannya yang menggelepar-gelepar di dalam daging.
Ia
terus menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu dinding dapat ia bongkar,
batu itu keras sekali dan semalam suntuk dia hanya dapat membongkar sedalam
satu meter. Namun belum tampak tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis!
Pada keesokan harinya Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak mempedulikan
apa-apa lagi, seluruh pikiran, perhatian, dan tenaga dikerahkan untuk
menghantami batu-batu dengan kapaknya. Dia tidak tahu berapa lama dia bekerja,
hanya bahwa dia harus berlomba dengan waktu. Betapapun juga, hatinya mulai
risau ketika dinding yang tadinya jelas itu mulai tampak suram tanda bahwa hari
telah mulai sore dan sebentar lagi malam akan tiba dan berarti Si Penjaga akan
datang mengantar roti dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan
ini, Bun Beng memperhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini
sudah ia gali sedalam dua meter lebih, tingginya seukuran tubuhnya. Batu-batu
berserakan di dalam kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di kanan
kiri dan belakangnya.
Malam
tiba. Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan, sinar lampu
penerangan seperti biasa. Tak lama lagi penjaga tentu muncul. Bun Beng
menghentikan kapaknya yang menjadi panas karena terus menerus menghantam batu
keras. Dia terduduk, terengah-engah dan menghapus peluh sambil mengasah otak.
Bagaimana sekarang? Dinding terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya
setebal perut gunung! Dan Si Penjaga sebentar lagi datang! Akan terbuang
sia-sialah usahanya yang mati-matian selama sehari semalam! Tubuhnya penat
sekali, perutnya lapar dan kerongkongannya kering, haus. Lapar dan haus!
Teringat akan ini, Bun Beng meloncat bangun dan lari ke pintu, menempelkan
tubuhnya ke pintu yang lebarnya hanya sebesar orang. Kedua lengannya ia
keluarkan dari celah-celah jeruji baja, mukanya ia tempelkan pada jeruji dan
matanya mengerling ke arah datangnya penjaga.
Ketika
ia melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng berteriak-teriak
memaki, “Penjaga keparat! Mengapa begitu lama? Aku sudah kelaparan dan hampir
mati kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air itu ke sini! Keparat jahanam
engkau!”
Penjaga
itu berhenti dan tertawa. “Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu
akan akal bulusmu!”
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin merapat pada
jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji uengan kedua lengan di kanan kiri
mukanya. “Apa.... apa maksudmu?”
Kembali
penjaga itu tertawa dan berdiri agak jauh sehingga Bun Beng tidak akan mampu
menjangkau dengan tangannya. “Ha-ha-ha, apa kaukira aku bodoh? Engkau tentu
ingin agar aku mendekat sehingga engkau dapat menangkapku dan membunuhku,
bukan?”
Rasa
lega menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak, “Memang aku ingin sekali
mencekik lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!”
“Jangan
mimpi, aku lebih cerdik darimu. Begitu melihat engkau di pintu, aku sudah
curiga karena biasanya engkau tidak mengacuhkan roti dan air yang kubawa
untukmu. Tentu engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka aku tidak mau
mendekat. Nah, nih, kau tangkap roti dan airmu. Ha-ha-ha!” Penjaga itu
melemparkan roti dan guci air ke arah kedua tangan Bun Beng. Dengan sengaja Bun
Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya, akan tetapi guci air itu luput
dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya tumpah.
“Jahanam,
lekas ambilkan air untukku. Aku haus sekali!” Bun Beng berteriak-teriak akan
tetapi penjaga itu tertawa.
“Rasakan
kau!” katanya sambil berjalan pergi!
Bun
Beng cepat mengambil kapaknya dan lupa makan. Dia mulai lagi bekerja, hatinya
lega. Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya sehari semalam lagi!
Batu-batu itu mulai mudah dibongkar karena tanahnya lembek dan basah, bahkan
kini ada air menetes-netes memasuki kamar. Dia menggali terus penuh semangat.
Pada
keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan kini jelas
terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada batu bergerak,
kapaknya terayun ke arah batu itu dan.... “krasak-krasak byuuuurrrr.”
Bun
Beng cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada dinding dekat
lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong oleh masuknya air
seperti dituang. Bun Beng berdiri mepet dinding dengan muka pucat. Bahaya yang
datang mengancamnya ini tidak kalah mengerikan. Memang benar dia telah
berhasil membobol dinding, akan tetapi ternyata di belakang dinding itu adalah
air yang entah berapa banyaknya, yang kini membanjiri kamar tahanan. Bun Beng
tidak mau panik, dan otak otaknya bekerja cepat. Kalau dia menerobos lubang
itu, tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang menerjang masuk, maka ia
hanya mepet dinding dekat lubang sambil mencengkeram dinding batu dengan kedua
tangannya. Dia maklum bahwa kalau kamar itu telah penuh, air akan terus
menerobos keluar melalui celah-celah jeruji pintu. Akan tetapi, mengingat bahwa
lubang itu tidak begitu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka
tekanan air dari luar lubang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan
kenekatan luar biasa, Bun Beng menanti sampai kamar itu penuh, air naik dengan
cepatnya sampai ke leher, dia memejamkan mata dan mengumpulkan napas sepenuh
paru-parunya sambil menanti.
Bun
Beng memang cerdik. Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang dinding
selain air menerjang masuk, tentu dia akan terseret dan terbanting kembali sehingga
membahayakan keselamatannya. Sebentar saja air menjadi penuh dan Bun Beng yang
telah tenggelam di dalam air itu merasa betapa dorongan air dari lubang dinding
yang jebol itu tidak begitu kuat lagi. Cepat ia melepaskan cengkeraman
tangannya pada dinding, berenang ke arah lubang dengan tangan meraba-raba
karena ketika ia membuka matanya, dia tidak dapat melihat apa-apa, air itu
keruh dan akhirnya ia dapat meraba dinding yang jebol. Ia merangkak,
berpegangan pada pinggiran lubang, terus merayap keluar lubang itu. Ketika ia
meluncur ke depan, tubuhnya terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa dia berada
di air yang dalam, entah telaga, sungai atau laut! Tak mungkin lautan,
pikirnya, karena air tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke atas,
bahkan membantu dengan kaki tangannya karena dia harus dapat tiba di permukaan
air. Dadanya seperti akan meledak karena sudah terlalu lama dia menahan napas!
Betapa
girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di permukaan air. Ia
membuka mulut dan menghisap napas banyak-banyak sampai dadanya terasa nyeri.
Ia terengah-engah, berganti napas dan membuka kedua matanya. Kiranya ia telah
tiba di permukaan sebuah sungai yang amat lebar, sungai yang selain lebar juga
dalam, dan airnya keruh. Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia
muncul, yaitu di tengah-tengah, ia melihat kedua tepinya jauh sekali.
“Aduhh....!”
Tiba-tiba secara otomatis Bun Beng mengerahkan sin-kang membuat kakinya keras
karena kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan gigitan itu
dengan sin-kangnya yang membuat kaki kirinya kebal, akan tetapi kini mahluk
yang mengigitnya itu meronta dan hendak menyeretnya ke bawah.
Bun
Beng menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor ikan
menggigit kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.
“Ikan
keparat!” Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya. Ikan itu mencelat
karena gigitannya terlepas dan karena dia tidak dapat tahan lama di atas
permukaan air. Akan tetapi kini Bun Beng melihat suara hiruk pikuk di kanan
kirinya, air berguncang dan suaranya berkecipak, tampaklah kepala-kepala dan
ekor-ekor banyak ikan besar mengurungnya dan menyerangnya dari depan, kanan
kiri dan belakang!
Bun
Beng makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele yang tidak
bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap dan matanya seperti
mata orang yang licik, gerakannya cepat sekali. Biasanya ikan macam ini
merupakan bahan hidangan yang lezat, baik dipanggang maupun dimasak atau digoreng
sekalipun. Biasanya melihat seekor ikan seperti ini di darat menimbulkan
selera. Akan tetapi pada saat itu, agaknya selera ikan-ikan itulah yang timbul
melihat tubuh Bun Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda dengan yang biasanya dilihat
Bun Beng, amatlah besarnya. Belum pernah ia melihat ikan lele sedemikian
besarnya, biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan lele, karena
tidak mempunyai kumis!
Bun
Beng tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai mengamuk.
Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerangnya dari depan
sehingga tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian kaki tangannya
bekerja memukul dan menendang ikan-ikan itu.
“Aupp....!”
Karena lupa bahwa dia bukan sedang berada di darat, maka begitu dia main silat
di air, tubuhnya tenggelam dan dia gelagapan. Cepat ia menggerakkan kedua
kakinya dan kini setelah tubuh atasnya timbul, ia hanya menggunakan kedua
tangan saja untuk memukul dan mendorong ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya
dia pergunakan untuk menahan tubuhnya agar tidak tenggelam.
Bun
Beng adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, dan kalau
hanya dikeroyok oleh ikan-ikan seperti itu saja, agaknya dia akan dapat
mengalahkan para pengeroyoknya dengan mudah. Akan tetapi itu kalau di darat.
Kalau di air, dialah yang repot sekali. Kepandaiannya berenang di air amat
terbatas, bukan termasuk ahli, tentu saja dibandingkan dengan ikan-ikan yang memang
hidupnya di air dia kalah jauh dan sebentar saja Bun Beng menjadi gelagapan
dan sudah beberapa kali tubuhnya terkena gigitan ikan-ikan kelaparan itu.
Celaka,
keluhnya. Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah diancam bahaya air,
dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini dia kembali menghadapi maut
di mulut ikan lele! Benar-benar menyebalkan bahaya yang sekali ini
mengancamnya. Betapa tidak menyebalkan kalau dia harus mati di mulut ikan-ikan
lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele itulah yang mati di mulut manusia.
Betapa memalukan, seorang pendekar mati dikeroyok ikan lele! Tidak, dia tidak
mau mati begitu remeh! Bun Beng melawan sedapatnya sambil berusaha berenang ke
tepi sungai itu.
Tiba-tiba
terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap. Bun Beng
mendengar ini, akan tetapi dia tidak dapat mengalihkan perhatiannya terhadap
pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar tubuh menghantam seekor ikan
dengan tangan kanannya, membuat ikan itu terlempar dalam keadaan mati karena
kepalanya pecah.
Tiba-tiba
saja, seperti munculnya tadi, ikan-ikan itu menyelam dan lenyap, kecuali
beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum Bun Beng sempat sadar
akan datangnva bahaya lain, tahu-tahu pundaknya terasa nyeri dan tubuhnya
melayang ke atas!
Bun
Beng terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar kelepak
sayap burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia duga dan
khawatirkan, pundaknya telah dicengkeram oleh kaki seekor burung rajawali yang
besar dan ia dibawa terbang tinggi sekali!
“Sialan!”
Bun Beng menyumpahi dirinya. Terlepas dari mulut ikan lele, kini masuk ke
dalam cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa dirinya selalu ditimpa
kemalangan dan diancam bahaya maut yang mengerikan? Teringat ia akan
pengalamannya dahulu ketika ia diterbangkan seekor burung dan dia bersembunyi
di dalam keranjang. Dia memandang penuh perhatian dan keningnya berkerut.
Celaka! Burungnya yang itu, itu juga! Burung rajawali milik Pulau Neraka! Tak
salah lagi, dia mengenal modelnya. Wah, wah, kalau burungnya ada, tentu
pemiliknya ada. Bocah laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji dan
sadis! Sekarang tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam
daripada dahulu.
Hampir
saja Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan di atas tanah.
Ia melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang tinggi sekali
sehingga sungai yang besar itu kini tampak jelas seperti seekor naga jauh di
bawah. Dan burung itu tidak lagi berada di atas sungai. Kalau dia memukul dan
terlepas dari cengkeraman, tentu dia akan jatuh terbanting ke atas tanah dan
remuk semua tulangnya! Maka ia lalu meraih ke atas dan tangannya memegang kaki
burung erat-erat sambil melepaskan cengkeraman kaki burung yang masih
mencengkeram pundaknya. Kini dialah yang memegang kaki burung, tidak berani melepaskan
karena hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya.
Tiba-tiba
ia melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat datang dari jauh.
Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking keras. Celaka, pikirnya, tak
salah lagi tentulah bocah setan itu yang datang menunggang burungnya. Masih
terlalu jauh untuk dapat dilihat apakah burung yang terbang datang itu ada
penunggangnya atau tidak. Dia memutar otaknya, mencari akal apa yang harus
dilakukannya kalau sampai pemuda setan itu betul-betul datang. Kalau saja dia
bisa naik ke atas punggung burung ini, dia akan mendapat kesempatan untuk
menghadapi lawan. Sama-sama menunggang burung, barulah ramai dan sebanding
kalau bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki burung, tentu saja dia tidak
dapat melakukan perlawanan dengan baik, paling-paling dia hanya bisa melindungi
tubuhnya dengan sebelah tangan yang sebelah lagi harus ia pergunakan untuk
bergantungan pada kaki burung.
Tiba-tiba
burung yang membawanya itu pun melengking keras, lengking tanda kemarahan dan
ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat, hati Bun Beng agak
lega karena tidak tampak ada penunggangnya. Akan tetapi, kelegaan hatinya itu
menjadi berubah seketika ketika kedua ekor burung itu sudah saling serang dengan
hebatnya. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung yang baru datang adalah
seekor burung garuda putih. Dia mengenal burung itu. Burung tunggangan
Pendekar Siluman. Burung garuda dari Pulau Es! Tentu saja dua ekor burung yang
menjadi musuh lama itu kini saling terjang mati-matian, saling cakar, saling
patuk, saling kabruk sambil mengeluarkan suara melengking menulikan telinga.
Bun
Beng yang celaka dalam pertarungan antar dua ekor burung raksasa itu. Betapa
tidak? Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di dalam pertandingan
itu, kedua ekor burung saling terjang sehingga tubuh Bun Beng terbawa,
terguncang, bahkan dia menjadi korban terkaman burung garuda yang tentu saja
tidak dapat membedakan dia dari kaki burung lawan.
Bun
Beng yang masih bergantung pada kaki rajawali menjadi serba salah. Mau
membantu garuda putih dengan memukul tubuh rajawali, berarti dia seperti
memukul diri sendiri. Kalau rajawali itu jatuh, bukankah berarti dia sendiri
pun jatuh jatuh ke bawah? Mau membantu burung rajawali, dapat ia lakukan
dengan jalan memukul garuda putih di waktu dua ekor burung itu saling kabruk,
hatinya tidak mengijinkan karena dalam pertandingan antara kedua ekor burung
itu otomatis dia berpihak kepada garuda putih yang menjadi peliharaan Pendekar
Siluman yang ia kagumi. Membantu rajawali salah, membantu garuda pun tidak
mungkin. Diam saja juga tidak baik karena dialah yang palnng payah dalam
pertadingan angkasa itu.
Bun
Beng benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin. Tubuhnya menjadi
bulan-bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini, kena patuk, kena cakar
sehingga ia luka-luka dan tubuhnya terasa sakit-sakit, pakaiannya banyak yang
terkoyak. Ini benar-benar menyiksa hatinya. Dalam pertadingan biasa, biarpun
melawan musuh yang jauh lebih pandai, sedikitnya dia bisa melawan, balas
menyerang, atau kalau sudah merasa kalah, dapat melarikan diri. Akan tetapi
sekarang ini sama sekali dia tidak berdaya. Membalas tidak bisa, melindungi
tubuh sendiri pun tidak sempurna, melarikan diri pun.... mana mungkin? Habislah
ikhtiar sebagai manusia dan dalam keadaan seperti itu, tidak lain jalan lagi
kecuali menyerahkan nasib ke tangan Tuhan! Dia hanya dapat menggunakan sebelah
tangan untuk menangkis setiap ada bahaya patukan, cengkeraman atau kabrukan
sayap yang mempunyai tenaga kwintalan!
Dalam
pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya terdesak
hebat. Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah. Hal ini tidak
mengherankan. Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari Pulau Es yang
terlatih itu merupakan lawan berat baginya, apalagi sekarang sebelah kakinya
diganduli orang, tentu saja hal ini membuat gerakannya kurang leluasa sehingga
dia lebih banyak menerima patukan dan cengkeraman. Karena itu, sambil mengeluarkan
suara melengking bingung, seperti seekor ayam dikejar-kejar anak kecil,
rajawali raksasa itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang diganduli Bun Beng,
berusaha melepaskan orang yang menjadi pengganggu gerakannya. Bun Beng maklum
akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak sudi disuruh turun begitu
saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat yang tingginya ribuan kaki!
Maka ia malah menggunakan tenaganya untuk memegang kaki rajawali itu sekuat
mungkin sehingga biarpun rajawali itu berusaha untuk menendangkan kakinya
tubuh Bun Beng tetap saja tidak terlepas dari kakinya.
Namun,
kini keadaan Bun Beng makin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga diri dari
serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali dan tanpa disengaja
menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini berusaha melepaskannya, Bun
Beng harus menghadapi dua serangan, yaitu dari garuda yang masih menyerang
secara ngawur sehingga dirinya ikut diserang, dan dari rajawali yang hendak
menendang dirinya supaya terlepas.
Tubuh
Bun Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya terlepas.
Betapapun juga, dia tidak berani memegang kaki rajawali itu dengan dua
tangannya, karena tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga diri, menangkis
terjangan garuda. Kepalanya menjadi pening dan tangan kirinya terasa penat
sekali. Kalau sudah tidak kuat, dia mengganti tangan kiri dengan tangan kanan
yang menggandul, sedangkan tangan kirinya yang penat itu ia pergunakan untuk
melindungi tubuhnya dari terjangan garuda putih.
Ketika
burung garuda menyambar lagi, kini dari bawah, agaknya garuda yang cerdik itu
melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya, paruh dan cakar garuda yang
menerjang perut rajawali itu otomatis mengabruk pula tubuh Bun Beng yang
tergantung.
“Celaka....!”
Pemuda itu berseru keras dan betapapun ia hendak mempertahankan, tak mungkin
ia menangkis serangan garuda sehebat itu hanya dengan tangan yang sudah penat.
Gerakan menyelamatkan dirinya secara otomatis membuat ia menggunakan pula tangan
kanan, lupa bahwa tangan kanannya tak boleh dilepaskan dari kaki rajawali. Begitu
ia menggerakkan tangan kanan melepaskan kaki rajawali, tentu saja tubuhnya
terlepas dan melayang ke bawah.
“Mampus
aku sekarang....!” Ia mengomel karena jengkel akan kebodohannya sendiri, akan
tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang, “....kalau Tuhan
menghendaki....!”
Akan
tetapi betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh meluncur ke
bawah sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah yang berbatu?
Betapapun lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai tubuhnya yang meluncur
turun cepat sekali, seperti batu disambitkan.
Bukan
main herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan mata ini
seperti dalam mimpi ia melihat wajah yang berubah-ubah. Pertama wajah Milana,
kemudian berubah menjadi wajah Kwi Hong, dan berubah lagi menjadi wajah Ang
Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai. Gila, ia menyumpah. Mengapa dalam menghadapi
maut yang agaknya sekali ini tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya
jadi kacau-balau dan ia teringat akan gadis-gadis itu? Inikah yang disebut
watak mata keranjang seorang pria? Ayahnya memperkosa ibunya! Ayahnya dan
ibunya saling bunuh! Anak haram, kata Ketua Thian-liong-pang. Anak seorang
datuk kaum sesat, seringkali ia mendengarnya. Dan dia masih cucu keponakan
seorang tokoh Thian-liong-pang yang mukanya seperti singa. Orang macam apakah
dia? Mati pun tidak ada yang kehilangan. Pikiran ini membuat dia makin tenang,
karena ia berpendapat bahwa orang seperti dia ini kalau terus hidup pun hanya
akan mengalami kesengsaraan dan penghinaan, mengalami tekanan batin dan tidak
dihargai orang. Satu-satunya orang yang paling baik terhadapnya adalah suhunya
yang pertama, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi suhunya itu telah dibunuh secara
mengerikan oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang tinggi
kurus itu bersama pembantu-pembantunya. Tidak, dia tidak boleh mati! Biarpun
kalau hidup ia mengalami kesengsaraan batin, akan tetapi dia harus hidup untuk
menuntut balas atas kematian Siauw Lam Hwesio yang demikian menyedihkan! Dan
dia masih meninggalkan sepasang pedang pusaka yang belum diambilnya. Sayang
kalau pedang itu tersia-sia hilang di tempat rahasia itu. Kini timbul keinginan
hatinya untuk menyerahkan pedang itu kepada Pendekar Siluman, satu-satunya
orang yang dikaguminya di antara seluruh tokoh sakti di dunia ini.
“Aku
tidak mau mati dulu!” Bun Beng berteriak diluar kesadarannya dan tiba-tiba ia
melihat seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka, apakah ia dikejar dua
ekor burung tadi? Ah, tidak, burung ini berada di bawahnya, bergerak-gerak
terbang menyongsongnya, tentu akan menyerangnya pula. Dalam keadaan melayang
dan meluncur turun ini, sedangkan menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu,
bagaimana ia akan dapat mempertahankan diri kalau burung raksasa ini
menyerangnya? Ah, dia akan tertolong kalau dapat menangkap burung itu. Asal
dapat menangkapnya, entah merangkul lehernya atau merangkul kakinya, pendeknya
dia harus dapat mengunakan burung itu sebagai penyelamatnya dari kejatuhan
yang tak dapat disangsikan lagi akan kehancuran tubuhnya. Kalau tadi timbul
kengerian karena takut diserang burung baru ini, sekarang dia malah mengharap
agar burung itu benar-benar menyerangnya. Karena kalau dia yang harus menuju ke
burung itu, tentu saja tidak mungkin. Tanpa sayap mana mungkin dia bisa
mengatur meluncurnya itu?
Makin
dekat.... dan Bun Beng kembali menyumpah, “Dasar awak sialan!” Yang disangkanya
burung raksasa itu ternyata hanyalah sebuah layangan besar sekali. Memang
bentuknya seperti burung, bahkan dilukis seperti burung, akan tetapi tetap
saja benda itu hanya sebuah layang-layang yang biasa menjadi permainan seorang
kanak-kanak! Apa artinya sebuah layang-layang baginya dalam keadaan terancam
bahaya maut seperti itu? Seakan-akan malah mengejeknya, bergerak-gerak ke
kanan kiri dipermainkan angin.
Melihat
betapa layang-layang itu bergerak-gerak seperti seekor burung yang menari-nari
mengejeknya, timbul rasa panas di hati Bun Beng. Memang dia terancam bahaya
maut, akan tetapi sedikit pun dia tidak takut. Mengapa harus diejek? Karena
dia tidak berdaya membalas, kalau dia dapat tentu akan ditangkapnya
layang-layang itu dan dicabik-cabiknya, maka Bun Beng hanya memejamkan matanya
dan membiarkan tubuhnya meluncur terus ke bawah.
Teringat
ia ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali terbang dan berada di
dalam keranjang, akan tetapi di bawahnya adalah laut luas sehingga dia
terjatuh dengan empuk. Hanya satu perbedaannya, kalau dahulu di waktu dia
masih kecil dia menjadi pingsan ketika meluncur turun, kini dia dapat
mempertahankan diri dan tidak menjadi pingsan. Hal ini karena sin-kangnya sudah
bertambah jauh lebih kuat, maka ia merasa dadanya sesak dan sukar bernapas
namun ia masih dapat menahannya dan masih dalam keadaan sadar sepenuhnya,
merasakan betapa tubuhnya melayang turun dengan kecepatan yang mengerikan.
Tiba-tiba
ia merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan kini tubuhnya
tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka mata, ia melihat bahwa
kedua kakinya terlibat oleh sehelai tali yang cukup besar, sebesar kelingking.
Tubuhnya yang bergantung itu bergoyang ke kanan kiri, akan tetapi tidak
melucur ke bawah lagi. Ia melihat ke atas, di atas kepalanya, tidak begitu
tinggi, hanya sejauh lima enam meter, tampak layang-layang raksasa tadi
bergerak-gerak.
“Setan!
Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si keparat!”
Tiba-tiba Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan mata terbelalak
ia melihat bahwa di bawah layang-layang itu tampak seorang kakek berdiri di
tali-temali layang-layang, seorang kakek yang bertubuh pendek, berjenggot
panjang dengan rambut terurai lepas, melambai tertiup angin. Yang membuat ia
terkejut adalah wajahnya berwarna kekuningan mendekati putih, hanya karena
jenggot dan rambutnya sudah berwarna putih perak maka wajahnya tampak
menguning! Seorang tokoh Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Orang dari mana lagi
kalau bukan dari Pulau Neraka yang memiliki kulit kuning seperti dicat itu?
Timbul
harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali layang-layang,
tentu ia pun dapat. Harapan untuk hidup membuat Bun Beng sadar dan cepat-cepat
ia menggunakan kedua tangannya memegang tali layang-layang dengan erat,
kemudian melepaskan kakinya dari belitan dan membalikkan tubuh sehingga kini
dia bergantung pada tali layang-layang itu, kedua tangannya memegang erat dan
kedua kakinya ia libatkan. Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu
makin kacau gerakannya, bergoyang ke kanan kiri, kadang-kadang menukik turun
dengan kecepatan mengerikan dan mengeluarkan bunyi angin bercuitan.
“Setan!
Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau datang mengacau
layang-layangku, heh? Lekas.... wah celaka, pindahkan berat tubuhmu ke kanan,
injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke atas. Wah-wah.... celaka, bisa
terus layang-layang ini. Sialan, kau merampas kegembiraanku!”
Tidak
usah dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa bahayanya
“menunggang” layang-layang dengan bergantungan pada talinya. Ketika
layang-layang itu menukik turun, dia menjadi ngeri sekali. Mengertilah dia
bahwa kakek Pulau Neraka yang aneh itu tadi “mengemudikan” layang-layang secara
aneh dan biarpun di dalam hatinya dia tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka
yang dianggapnya jahat, namun mendengar perintah itu, otomatis dia mentaatinya.
Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanyalah orang
senasib sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau berhasil sama-sama
selamat. Dia mengerahkan tenaganya ke kanan menginjak tali layang-layang dan
mengenjot tubuh ke atas. Benar saja, layang-layang yang kehilangan gandulan
dan bobot di bawah itu segera menghentikan gerakan menukik ke bawah, kepalanya
kgmbali ke atas dan kini layang-layang itu menjadi “odek” (bergoyang-goyang ke
kanan kiri cepat sekali) membuat tubuh Bun Beng terbawa goyang-goyang membuat
kepalanya pening karena tubuhnya seperti dikocok ke kanan kiri.
“Setan
udara! Apakah engkau sudah bosan hidup? Jangan pegang erat-erat, layang-layang
menjadi odek tidak karuan, sialan!”
Biarpun
dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka berdua tergantung
dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan bertanya.
“Habis
bagaimana, Kakek yang baik?”
“Wah-wah,
kau mulai menjilat-jilat, ya? Heiii, bukankah aku pernah melihat tampangmu?”
Bun
Beng menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik ke bawah,
dia mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh perhatian dan....
teringatlah ia bersama Milana ditolong oleh kakek muka kuning yang aneh.
Kiranya inilah orangnya! Tak salah lagi. Biarpun kini kelihatan lebih tua dan
memakai sepatu pula, tidak bertelanjang kaki macam dulu, namun sikap aneh
kakek itu malah bertambah dan sikap inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi
dia pun teringat betapa dalam pertemuan-pertemuan pertama itu dia telah
mengakali kakek ini untuk dapat melarikan diri bersama Milana, maka ia
menganggap bahwa tidaklah cerdik untuk mengakuinya.
“Aku
tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe.”
“Ahhh,
bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm.... kalau saja engkau sudah tua dan
kepalamu botak.... heiii, kau mau ke mana?”
Bun
Beng tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah
dan maklum bahwa kalau dia merosot turun melalui tali layang-layang itu, dia
akan dapat sampai ke bumi dan dapat membebaskan diri. Maka kini dia mulai
melorot turun sambil berkata, “Locianpwe, aku mau turun, tidak kerasan di sini!”
“Eh,
eh, enak saja! Mana bisa?” Kakek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba
layang-layang itu menukik ke kiri, kemudian membuat gerakan melingkar sehingga
tali itu pun menggantung dan ikut pula berputar.
“Wuuuttt!”
“Aihhh....!”
Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan, bergantung pada tali agar
jangan sampai terkena patukan layang-layang yang menyambar ke arah tubuhnya!
Serangan aneh layang-layang itu luput, akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan
kepandaiannya yang dahsyat, tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia
meloncat turun dan akan hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan
tubuhnya, menarik-narik tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang
itu menjadi kacau balau gerakannya.
“Eh....
Ohh.... setan cilik! Jangan kacau layanganku!” Kakek itu terkejut dan
memaki-maki.
Bun
Beng tersenyum. “Kalau Locianpwe tetap menyerangku, aku pun akan tetap
menarik-narik tali layangan sampai putus, biar kita berdua mampus!”
“Eh,
jangan, eh.... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?”
“Masa
bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Akan tetapi
Locianpwe akan terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke neraka!”
“Hahh-ho
kalau neraka memang tempatku. Akan tetapi jangan.... biarlah kita berjanji,
aku tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan menarik-narik talinya.”
“Aku
berjanji tak akan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan
menghalangi aku turun.”
“Wah,
perjanjian kentut! Mana bisa begitu? Aku tidak menyerangmu dan kau tidak
menarik-narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah lagi kau
kubiarkan turun berarti kau minta dua memberi satu. Mana adil?”
“Kalau
aku tidak boleh turun, apa artinya perjanjian ini? Locianpwe mau menang
sendiri saja. Aku hendak turun, Locianpwe menghalang, maka aku menarik tali.
Kalau Locianpwe tidak melayani aku turun, aku tidak akan menarik talinya, itu
baru adil namanya.”
“Wah,
monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha, nah, kau
turunlah, hendak kulihat bagaimana!” Tiba-tiba angin bertiup keras sekali
membuat layang-layang itu terbang miring ke kiri.
“Wuuuutttt....!”
“Aihhh,
celaka. Jangan erat-erat memegang talinya, longgar-longgar saja, kau
mengganggu kendaliku!” Kakek itu memindahkan berat tubuhnya dan meloncat ke
pinggir kanan layang-layang itu.
“Siuuuttt....!”
Kini layang-layang miring ke kanan dengan cepatnya sehingga tubuh Bun Beng
terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan, membuat kepalanya pening dan
jantungnya berdebar penuh kengerian.
“Aku
mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak akan
menyerangku!” Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada kakek yang ia
tahu amat cerdik dan curang itu.
“Apa?
Bersumpah?” Kakek itu tertawa-tawa dan kini layang-layang kembali telah lurus
dan tenang. “Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah dan lima puluh kali
melanggarnya, kini ditambah satu kali sumpah untuk dilanggar lima kali, tidak
mengapalah!”
“Wah,
sumpah seperti itu apa harganya?” Bun Beng mendongkol sekali dan maklum bahwa
sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa geli juga. Kakek
ini curang ataukah jujur? Mengapa kebiasaan melanggar sumpah dia katakan
secara terus terang macam itu? Tidak curang tidak jujur, melainkan gila
agaknya!
“Kalau
begitu, biar kutarik putus tali ini!” katanya dan mulai menarik-narik lagi.
“Eit-eit-eiitt....!
Jangan! Biarlah, tanpa sumpah-sumpahan. Kau boleh turun tanpa kuhalangi, akan
tetapi kau harus memberitahukan namamu.”
Bun
Beng berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat. Orang-orang Pulau
Neraka tentulah bukan golongan bersih, maka apa salahnya kalau dia mengaku?
Sesama kaum tentulah tidak ada pertentangan.
“Baiklah,
Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng....”
“Astaga!
Engkau bocah yang dulu kucari-cari? Bocah yang ditinggalkan Ibumu di kuil tua
di lembah Sungai Fen-ho? Ha-ha-ha, engkau putera Gak Liat Si Botak! Pantas saja
aku seperti pernah melihat macammu, kiranya anak Si Gak Liat, Si Setan Botak.
Ha-ha-ha-heh-heh-heh!” Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan memegangi
tali layang-layang, tangan kiri menekan-nekan perutnya.
Mengkal
sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu. “Kakek gila, engkau
terlalu menghina orang! Siapa sih engkau yang begini sombong? Dan apa
hubunganmu dengan Ayah Bundaku?”
“Ha-ha-heh-heh-heh!”
Kakek itu masih terpingkal-pingkal bahkan saking geli hatinya, air matanya
bercucuran di atas pipinya yang kuning. “Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia kang-ouw
aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan tetapi aku baru beberapa tahun merantau. Dalam
perantauanku yang pertama, kebetulan sekali aku bertemu dengan Kang-thouw-kwi
Gak Liat Ayahmu, kami bertanding dan aku membuat dia payah sampai
terkencing-kencing! Ha-ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia
mengangkat aku sebagai kakak angkat! Lalu dia menceritakan bahwa yang membuat
dia sering kali tak dapat tidur adalah perbuatannya atas diri Bhok Kim murid
Siauw-lim-pai. Dia mendengar kabar bahwa wanita itu melahirkan seorang putera
sebagai akibat perbuatannya yang memperkosa wanita itu. Dia berpesan agar aku
kelak mengambil anaknya itu sebagai anak angkat. Ha-ha-ha, biarpun hasil
perkosaan, namun Gak Liat amat sayang kepada anaknya karena memang dia tidak
pernah punya keturunan. Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas bersama
Ibumu, aku lalu menyuruh anak buahku untuk merampasmu, akan tetapi....”
“Anak
buahmu keok semua oleh Pendekar Siluman! Sudahlah, aku tidak perlu mendengar
lebih lanjut. Eh, apakah Locianpwe ini Majikan Pulau Neraka?”
Kakek
itu mengangguk. “Aku memang Ketua Pulau Neraka.... eh, maksudku, bekas ketua.”
Bun
Beng tidak ingin tahu lebih banyak tentang pulau itu, maka ia lalu melorot
terus sambil berkata, “Sudahlah. Aku sudah mengaku namaku, sekarang aku akan
turun.”
“Wah,
mana bisa? Kalau kau turun kemudian kau memutuskan tali layang-layang dari
bawah, bukankah aku yang cia-lat?”
Bun
Beng berhenti dan memandang ke atas, alisnya terangkat. “Apakah Locianpwe
tidak percaya kepadaku? Aku bukanlah orang yang curang seperti Locianpwe!”
“Heh-heh-heh,
siapa tahu? Engkau anak Setan Botak dan dalam hal kelicikan, kecurangan dan
segala macam sifat busuk ini, di dunia tidak ada yang menyamai dia, siapa tahu
sifat liciknya menurun kepadamu. Tunggu, aku pun akan turun!”
Bun
Beng tidak peduli dan melanjutkan usahanya merosot turun melalui tali
layang-layang, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak.
“Wah,
celaka tiga belas! Taufan datang....!”
Teriakan
itu dikeluarkan dengan suara keras dan penuh rasa kaget, membuat Bun Beng
menengok. Dari jauh tampak awan hitam datang cepat sekali dan tak lama
kemudian, layang-layang itu meliuk ke kiri dengan kekuatan yang hebat.
“Lekas
kita turun, Locianpwe!”
“Tidak
bisa, terlambat! Lekas kau naik ke sini kalau mau selamat!”
Bun
Beng tidak mau menurut dan hendak merosot terus, akan tetapi tiba-tiba tali
layang-layang itu menegang dan bergetar hebat sehingga hampir saja ia tidak
kuat bertahan memeganginya karena telapak tangannya terasa nyeri bukan main.
Maklumlah ia bahwa kakek itu tidak membohong, maka kini dia mulai merayap naik
melalui tali layang-layang.
“Cepat
pegang tanganku!” Kakek itu berkata, napasnya agak terengah karena dia yang
kini mengulurkan tangan untuk membantu Bun Beng naik, harus mengendalikan
layang-layang yang menjadi liar itu dengan sebelah tangan saja. Bun Beng memegang
tangan itu dan dia ditarik naik.
“Berdiri
di sini, dan pegang tali-temali di atasmu dengan tangan, hati-hati jangan
banyak bergerak dan jangan terlalu erat. Turut dan contoh saja aku!” Kakek itu
tidak dapat bicara banyak karena kini angin taufan telah mengamuk hebat,
membuat layang-layang itu menjadi seperti seekor kuda binal dan tidak dapat
dikendalikan lagi. Layang-layang itu kadang-kadang naik makin tinggi, tinggi
sekali sampai melengkung seperti akan membalik dari arah angin, kemudian
terdorong kembali ke belakang dan talinya menegang, meliuk ke kiri sampai
seperti tak pernah berakhir, kemudian terdorong ke kanan dan ada kalanya menukik
ke bawah secara mengerikan karena kecepatannya luar biasa. Suara angin
bercuitan menulikan telinga, dan tali layang-layang itu juga mengeluarkan bunyi
berdering-dering seperti sehelai tali yang-kim ditabuh, suaranya kadang-kadang
rendah sesuai dengan tinggi rendahnya getaran yang disebabkan oleh tarikan
layang-layang yang terbawa angin taufan.
Kakek
itu memaki-maki Bun Beng. “Sialan! Bodoh seperti kerbau engkau! Begini lho!
Tekan kaki kanan ke depan, cepat. Bantu aku dong! Bagaimana sih? Setan cilik
tolol kau! Dengar baik-baik, jangan sampai layang-layang terus menukik, dan
jangan sekali-kali menentang arah angin langsung. Bisa celaka kita! Pindahkan
tenaga ke kaki kiri, kaki kanan lepas, tangan kanan menarik tali di atas,
cepat! Nah, sekarang kaki kanan yang menekan, tangan kiri menarik. Hayo,
seperti bermain layar, akan tetapi jauh lebih sukar, seratus kali lebih sukar!”
Payah
juga Bun Beng mengikuti gerakan dan perintah kakek itu. Tenaga yang
dipergunakan untuk melawan kekuatan angin ini merupakan tenaga seluruhnya, itu
pun hampir tidak ada artinya terhadap kekuatan angin yang maha dahsyat itu.
Kini kakek itu memerintahkan agar tenaga dirobah-robah, bagaimana mungkin
begitu mudah? Hampir beberapa detik harus dirobah lagi. Bun Beng merasa
seluruh tubuhnya ngilu dan sakit-sakit, kedua kakinya menggigil dan kedua
tangannya gemetar, hampir tak kuat memegang tali-temali layang-layang lebih
lama lagi.
“Tolol!
Jangan berhenti! Aku sendiri mana kuat mengemudikan layang-layang ini? Kalau
tidak ada engkau di sini, tentu aku dapat, akan tetapi ditambah beratmu,
benar-benar repot!”
Sementara
itu, angin bertiup makin keras, kini malah disertai kilat menyambar-nyambar,
halilintar bermain-main di atas dan kanan kiri mereka. Cuaca menjadi gelap,
bahkan kini percikan air-air halus yang amat kuat sehingga seperti berubah
menjadi laksaan jarum-jarum kecil menerjang mereka.
“Celaka....
celaka....!” Kakek itu makin repot dan jelas bahwa dia ketakutan. Bun Beng
yang biasanya senang menghadapi maut, menyaksikan sikap kakek itu ketularan
rasa takut. Memang keadaan amat mengerikan, dibawa oleh layang-layang dan
dipermainkan angin taufan, halilintar dan hujan seperti itu!
“Dengar
baik-baik kalau kau tidak ingin mati turut perintahku dan pelajari agar jangan
sampai gagal. Taufan ini berbahaya sekali, untuk turun sekarang tidak mungkin.
Satu-satunya jalan hanya mengemudikan layang-layang ini sebaik mungkin agar
tidak sampai menukik turun atau talinya putus.” Kakek itu sukar sekali bicara
dengan jelas karena kencangnya angin meniup terbang suaranya. Terpaksa ia lalu
merangkul Bun Beng dan berteriak.
“Rangkul
aku dan dekatkan telingamu pada mulutku!”
Setelah
Bun Beng melakukan perintah ini, Kwi-bun Lo-mo lalu membisikkan pelajaran
sedikit demi sedikit caranya menggerakkan tenaga pada kaki dan tangan,
mengatur bobot, memindah-mindahkan tenaga dalam untuk mengimbangi serangan
angin yang amat dahsyat. Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian,
kemudian sekalian mempraktekkan pelajaran itu mencontoh gerakan kakek aneh dan
membantunya mengemudikan layang-layang. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam
keadaan berbahaya itu dia telah menerima pelajaran ilmu rahasia yang amat
hebat, yaitu Ilmu Hoan-sin-kang (Memindahkan Tenaga Sakti) yang tidak hanya
dapat dipergunakan untuk mengemudikan layang-layang melawan serangan angin
taufan yang maha dahsyat, akan tetapi juga merupakan ilmu yang dapat
dipergunakan untuk menghadapi lawan berat yang memiliki sin-kang amat kuat!
Ilmu ini merupakan ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Ketua atau Majikan Pulau
Neraka, dan selain Si Ketua sendiri, hanya kakek inilah orang ke dua yang
memilikinya, maka dia berani main-main dengan maut di tempat berbahaya itu,
yaitu bermain dan mengemudikan layang-layang.
Mati-matian
kedua orang itu bertempur dengan angin taufan, bersama-sama mengemudikan
layang-layang yang mereka paksa untuk menuruti kehendak mereka, melawan
kehendak angin. Sampai setengah hari lamanya angin taufan mengamuk dan selama
setengah hari itu merupakan latihan yang amat hebat bagi Bun Beng, latihan
terberat yang pernah ia alami selama hidupnya, akan tetapi karena keadaan
yang memaksa, demi menolong nyawa, dalam ilmu sependek itu dia telah berhasil
memetik inti dari ilmu ini!
Menjelang
senja, barulah angin taufan itu mereda, hujan pun berhenti. Dengan pakaian
basah kuyup, kedua orang itu terengah-engah berdiri di atas tali dan berpegang
pada tali layang-layang yang juga basah semua dan luntur gambarnya. Mereka
kehabisan tenaga dan kini hanya mengandalkan kaki tangan yang sudah gemetar
karena penat, tubuh menggigil kedinginan dan kehabisan tenaga. Akan tetapi
kakek itu menyeringai tersenyum lebar memandang Bun Beng.
“Engkau
hebat, orang muda. Ha-ha-ha, tidak percuma engkau menjadi putera Gak Liat,
heh-heh-heh!”
Melihat
betapa kakek itu bicara sebenarnya, tidak mengolok-olok dan memaki-maki lagi,
Bun Beng berkata sungguh-sungguh. “Locianpwe yang hebat dan aku kagum sekali.
Sebetulnya, macam apakah mendiang Ayah itu?”
“Gak
Liat? Ya begitulah, seorang manusia seperti aku dan engkau ini,” jawab kakek
itu seenaknya.
“Tapi,
banyak orang menyebutnya seorang jahat. Dan Locianpwe sendiri tadi mengatakan
dia seorang yang licik dan curang.”
“Memang
dia licik dan curang, nomor satu di dunia mengenai kelicikannya. Akan tetapi
kalau tidak licik, mana mungkin dia menjadi datuk kaum sesat? Tanpa
kelicikan, mana mungkin dapat menonjol di dunia hitam?” Biarpun kakek itu
mulai memuji ayahnya, namun pujian ini mendatangkan rasa tak puas di hati Bun
Beng. Bagaimana hatinya akan senang dan puas kalau ayahnya dipuji sebagai
seorang yang paling licik di dunia, sebagai seorang tokoh, bahkan datuk kaum
sesat?
“Sudahlah,
Locianpwe. Terima kasih atas pertolonganmu, aku hendak turun sekarang.”
Setelah
berkata demikian, Bun Beng merosot turun dan biarpun kedua telapak tangannya
menjadi panas karena tenaganya sudah hambir habis, namun rasa nyeri itu bukan
apa-apa kalau dibandingkan dengan kesengsaraan selama setengah hari tadi dan
ia merosot terus.
“He,
tunggu! Apa kaukira aku selamanya akan tinggal di sini? Aku pun mau turun!”
Kakek itu bergegas turun pula dari tali layang-layang yang kini terbang dengan
anteng dibawa angin semilir halus. Keduanya lalu merosot turun melalui tali
layang-layang yang amat tinggi itu. Demikian tingginya layang-layang itu
sehingga Bun Beng melihat pohon-pohon amat kecil di bawah, seperti rumput
saja. Ia bergidik. Bukan main kakek bermuka kuning itu, main-main dengan maut
seperti itu. Apa sih senangnya bermain-main dengan layang-layang yang begitu
tinggi? Memang menegangkan, seperti seekor burung garuda terbang di angkasa,
akan tetapi bagaimana kalau tali layang-layang putus? Bagaimana kalau kehabisan
angin dan layang-layang itu melayang turun? Benar-benar permainan yang
berbahaya dan gila!
“Ha,
Bun Beng, aku girang sekali dapat bertemu denganmu. Aku akan dapat memenuhi
permintaan mendiang Ayahmu. Ikutlah bersamaku dan engkau akan memperoleh
kepandaian hebat, apalagi kalau Pangcu kami bersedia membimbingmu. Ketua kami
adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti....”
“Iblis!”
Bun Beng menyambung. “Ketua Pulau Neraka tentu seorang iblis.”
“Ha-ha!
Engkau seperti Ayahmu. Memang benar kepandaiannya hebat seperti iblis
sendiri.”
Bun
Beng tidak menjawab dan mencari akal bagaimana dia akan dapat membebaskan
diri dari kakek yang melorot turun di atasnya itu. Dia tidak sudi menjadi
anggauta Pulau Neraka seperti dia tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang.
Biar dia dijanji akan diberi pelajaran ilmu yang tinggi, yang tidak
diragukannya lagi, akan tetapi satu-satunya yang ia mau menjadi gurunya hanyalah
Pendekar Siluman! Kalau Pendekar Siluman yang mengajaknya ke Pulau Es, tentu
dia tidak akan menolak, bahkan akan menjadi girang sekali. Kini dia mencari
akal bagaimana dapat melarikan diri dari kakek itu. Dia mempercepat gerakan
kaki tangannya melorot turun, akan tetapi kakek itu tetap berada dekat di atas
kepalanya!
Tiba-tiba
Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan ke bawah. “Heiii....!
Bangkotan busuk, pengecut laknat, jangan curang kau! Tunggu sampai aku turun
dan kita boleh bertanding sampai selaksa jurus!”
Bun
Beng cepat memandang ke bawah dan ia juga terkejut sekali. Di bawah sana, ia
melihat bahwa tali layang-layang itu oleh Si Kakek aneh diikatkan pada sebatang
pohon besar dan ujung tali malah dikaitkan kuat-kuat pada sebuah batu karang
yang kokoh. Kiranya setelah kakek itu berhasil menaikkan layang-layangnya
sampai tinggi sekali, ia mengikat tali itu di sana kemudian agaknya kakek itu
lalu memanjat ke atas melalui tali layang-layang untuk kemudian bermain-main
di atas! Dan kini di dekat pohon itu tampak seorang kakek bersorban dengan
tubuh dibelit-belit kain kuning seperti mendiang Kakek Nayakavhira pembuat
pedang yang dahulu datang menunggang gajah dan juga pernah bertanding dengan
kakek muka kuning ini! Di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki tampan
dan yang membuat Bun Beng merasa terkejut adalah ketika melihat betapa kakek
bersorban itu menghampiri tali layang-layang dan agaknya hendak memutus tali
itu!
“Ha-ha-ha!”
Kakek itu tertawa bergelak dan agaknya Kwi-bun Lo-mo baru tahu bahwa kakek
bersorban itu bukanlah kakek India penunggang gajah yang dulu pernah bertempur
dengannya. Tentu saja Bun Beng mengerti bahwa kakek di bawah itu bukan
Nayakavhira karena biarpun hampir sama, kakek di bawah itu lebih tinggi dan
kurus, juga kulitnya lebih hitam.
“Setan
India! Jangan curang, tunggu aku turun kalau berani!” Kembali Kwi-bun Lo-mo
berteriak sambil melorot makin cepat mengikuti Bun Beng, akan tetapi jarak
antara mereka dengan tanah masih terlampau tinggi sehingga kalau sekarang tali
itu diputus, mereka akan celaka!
“Bun
Beng, kau melorot sambil bergantung. Jangan menghalangi aku. Kalau dia berani
memutus tali, akan kuarahkan jatuhku ke tubuh si keparat itu!” Kwi-bun Lo-mo
berseru dan Bun Beng melanjutkan gerakannya merosot sambil bergantung ke bawah.
“Ha-ha-ha,
kalian berdua bermain-main dengan maut. Nah, mampuslah!” Orang India yang
tertawa-tawa itu meloncat dekat dan menggerakkan tangan hendak memutus tali
layang-layang. Bun Beng sudah merasa ngeri, apalagi setelah kini mengenal
kakek India itu sebagai kakek sakti yang pernah bertanding melawan Pendekar
Siluman, pertadingan yang amat luar biasa di mana kedua orang sakti itu
mempergunakan ilmu sihir sehingga yang bertanding adalah bayangan atau
semangat mereka! Celaka, pikirnya, andaikata mereka dapat turun juga, ia merasa
ragu-ragu apakah Kwi-bun Lo-mo mampu menandingi kakek yang memiliki ilmu sihir
itu! Dan laki-laki yang berada di belakang kakek bersorban itu pun dia kenal,
karena laki-laki itulah yang dahulu pernah menculik Kwi Hong, laki-laki
berpakaian sasterawan yang setengah gila dan yang mencuri pedang pusaka buatan
Kakek Nayakavhira!
Tiba-tiba
berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan halus,
“Iblis
tua keparat!”
Muncullah
seorang dara yang gerakannya gesit sekali. Bayangannya didahului sinar dari
pedangnya yang ia pergunakan untuk menerjang kakek bersorban dengan gerakan
luar biasa, pedangnya membentuk lingkaran pada ujungnya seolah-olah hendak
mengguratkan lingkaran pada dada kakek bersorban. Menghadapi serangan hebat
ini, kakek ini berseru kaget dan cepat meloncat mundur, tidak mendapat
kesempatan untuk memutus tali layang-layang. Namun dara itu terus menyerangnya
dengan gerakan luar biasa, pedangnya lenyap menjadi sinar bergulung-gulung
yang seolah-olah merupakan awan atau kabut menggulung tubuh kakek bersorban!
“Hayo
cepat turun!” Kwi-bun Lo-mo berseru. Tanpa diperintah pun Bun Beng sudah
mempercepat gerakannya merosot terun dan bukan main lega hatinya setelah kedua
kakinya merasai tanah yang teguh dan kuat. Hampir saja ia terhuyung karena
setelah kini menginjak tanah, tubuhnya masih terasa ringan seolah-olah tak
berobah, seperti orang mabok arak. Akan tetapi semenjak tadi pandang matanya
tidak terlepas dari dara yang masih menyerang kakek bersorban. Bukan main
hebatnya terjangan gadis itu dan jantung Bun Beng berdebar tegang. Ketika ia
mengenal dara itu. Biarpun kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat
cantik, namun tidak salah iagi, dia itu adalah Giam Kwi Hong, murid atau juga
keponakan Pendekar Siluman! Kakek bersorban itu, yang Bun Beng tahu amat sakti,
sampai terdesak mundur, repot mengelak dari sambaran pedang di tangan Kwi Hong.
“Ha-ha-ha-ha,
kiranya engkau bukan tua bangka penunggang gajah!” Kwi-bun Lo-mo tertawa dan
pada saat Maharya, kakek India itu mencelat ke kanan untuk menjauhi sinar
pedang Kwi Hong dan berada dekat dengannya, Kwi-bun Lo-mo cepat menghantamnya
dengan kedua lengan didorongkan ke depan. Terdengar bunyi bersuit dan angin
menyambar ke arah kakek bersorban yang cepat mendorongkan pula kedua tangannya
menangkis.
“Dessss!”
Dua tenaga sin-kang raksasa bertemu dan kedua orang kakek itu terpental ke
belakang.
“Wah-wah,
kau hebat juga....!” Kwi-bun Lo-mo berseru kaget.
“Mundur
kalian bertiga....!” Tiba-tiba Maharya membentak, suaranya menggeledek penuh wibawa
yang aneh dan bagaikan menanti perintah yang tak dapat dibantah lagi karena
segala kemauan hati mereka dikuasai perintah ini, Kwi-bun Lo-mo, Kwi Hong dan
Bun Beng otomatis meloncat mundur sampai lima meter!
“Locianpwe,
Nona Kwi Hong, awas dia mempunyai ilmu sihir! Jangan memandang matanya dan
jangan mendengar suaranya!” Bun Beng cepat berteriak, kemudian ia mendahului
menerjang laki-laki yang sejak tadi hanya menonton Maharya bertanding dengan
Kwi Hong. Laki-laki ini bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang tadi
bengong memandang Kwi Hong dengan penuh gairah. Dia tadi tidak membantu karena
tentu saja ia percaya penuh akan kesaktian gurunya. Akan tetapi melihat betapa
dua orang yang secara aneh turun dari tali layang-layang itu bukan orang sembarangan
pula, apalagi kini Bun Beng meloncat maju dan menyerangnya dengan gerakan
dahsyat, dia terkekeh, memandang rendah pemuda itu dan mengelak sambil balas
menyerang.
Bun
Beng menjadi heran melihat gerakan lawan yang luar biasa, kedua kaki lawan
tidak meninggalkan tanah, akan tetapi tubuhnya bisa meliuk-liuk dengan lemas,
seperti sebatang pohon cemara pecut tertiup angin. Tubuh atas itu meliuk ke
kiri, kemudian membalik sambil balas menyerang dengan tangan kanan menghantam
perutnya. Ketika ia menangkis dan menggeser kaki kanan, tahu-tahu tangan kiri
lawan sudah mencengkeram kepalanya, hal yang luar biasa sekali mengingat bahwa
tangan kiri lawannya itu berada dalam posisi jauh. Tangan kiri itu tiba-tiba
memanjang, seperti karet yang dapat mulur dan tahu-tahu jari-jarinya telah
dekat dengan kepalanya.
“Eh....!”
Ia berseru dan cepat meloncat mundur sambil melepas tendangan ke arah lengan
yang sudah ditarik kembali oleh Tan-siucai sambil terkekeh-kekeh.
Sementara
itu Kwi Hong yang terheran-heran mendengar pemuda tampan itu menyebut namanya,
teringat bahwa Maharya memang pandai ilmu sihir, maka otomatis ia pun mentaati
peringatan pemuda itu, tidak mau memandang mata kakek bersorban dan dengan
kekuatan batinnya ia “menulikan” telinga agar jangan mendengar bentakan Si
Kakek tukang sihir yang mengandung penuh daya melumpuhkanitu. Ia sudah menerjang maju lagi dengan tusukan
pedangnya, disusul serangkaian serangan hebat yang membuat Maharya kembali
terdesak.
Kwi-bun
Lo-mo yang kini sudah dapat menguasai dirinya kembali setelah tadi terpengaruh
sihir Maharya, merasa kagum kepada Bun Beng yang semuda itu sudah tahu akan
ilmu kakek bersorban. Dia pun maklum bahwa ilmu sihir semacam I-hun-to-hoat
untuk mempengaruhi pikiran orang mengandalkan kekuatan pandang mata dan
getaran suara yang mengandung sin-kang kuat sekali, maka apabila dapat
mengelakkan pandang mata dan suara itu tentu sihir itu tidak akan mempunyai
daya kekuatan. Maka iapun menutup pendengaran dan menghindarkan pertemuan
pandang mata, lalu tertawa mengejek.
“Heh-heh-heh,
kau dukun dari Himalaya yang busuk, tanpa sebab kau hendak memutus tali
layang-layangku. Sekarang kau kena kutuk para dewamu, bertemu dengan seorang
pemuda yang cerdik, seorang dara yang lihai sekali, dan aku yang akan mengirim
nyawamu kembali ke puncak Himalaya!”
Sambil
mengejek demikian, Kwi-bun Lo-mo maju pula menerjang, membantu Kwi Hong. Karena
tokoh Pulau Neraka ini pun maklum bahwa Maharya bukanlah seorang lemah, bukan
hanya mengandalkan ilmu sihirnya melainkan memiliki ilmu kepandaian hebat pula
dan bertenaga sin-kang kuat sekali, maka begitu menyerang ia pun mengerahkan
tenaga dan menggunakan jurus khas dari Pulau Neraka, kedua tangannya tiba-tiba
berubah menjadi lunak seperti kapas, namun di balik telapak tangan yang menjadi
lunak ini tersembunyi kekuatan dahsyat yang akan merusak sebelah dalam tubuh
lawan jika bertemu dengan tangan lunak ini. Sesuai dengan namanya yaitu
Toat-beng-bian-kun (Tangan Lemas Mencabut Nyawa), ilmu ini adalah ilmu baru
yang diterimanya dari Ketua Pulau Neraka. Karena ilmu pukulan tangan kosong ini
telah digabung dengan ilmu khas keturunan Pulau Neraka, yaitu hawa dan tenaga
beracun yang membuat warna kulit mereka berubah, maka tentu saja pukulan-pukulan
tangan yang kelihatannya lemas tak bertenaga dan lunak itu mengandung bahaya
mengerikan dan setiap gerakan merupakan maut bagi lawan! Maharya yang
biasanya memandang rendah setiap lawan, kini terkejut sekali. Biarpun tadi ia
kelihatan terdesak oleh gulungan sinar pedang Kwi Hong yang seperti kilat
menyambar-nyambar, namun dia tidak gentar dan menghadapi dengan tangan kosong
saja. Akan tetapi, setelah sekali menangkis dan lengannya tersentuh tangan
Kwi-bun Lo-mo yang mengandunng Ilmu Toat-beng-bian-kun dan membuat lengannya
panas dan gatal, ia terkejut bukan main, berteriak keras dan melompat mundur
sambil menggerakkan kedua tangannya ke sebelah dalam pakaiannya. Kini ia telah
memegang sepasang senjata yang amat aneh. Tangan kirinya kini telah memakai
sarung tangan yang berkilauan seperti emas, sedangkan tangan kanannya memegang
seekor ular putih yang kecil dan panjangnya hanya dua kaki, akan tetapi ular
putih itu masih hidup!
“Ha-ha-ha,
dukun hitam, apa engkau mau main sulap mencari uang kecil? Bukan di sini
tempatnya, melainkan di pasar! Aku tidak mempunyai uang kecil sepeser pun,
apalagi yang besar!” Sambil tertawa mengejek, Kwi-bun Lo-mo menerjang lagi
dengan tangannya yang beracun, maklum bahwa pertemuan yang satu kali tadi,
biarpun tentu saja tidak akan melukai lawan yang begitu pandai akan tetapi
sedikitnya membuat hati lawan gentar.
Kwi
Hong yang tidak banyak bicara sudah menusukkan lagi pedangnya. Kini Maharya
tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kiri yang bersarung tangan emas
itu menangkap pedang. Bukan main kagetnya Kwi Hong karena merasa pedangnyatergetar. Ia menarik kembali pedangnya dan pada
saat itu Maharya melepas pedang sambil menggunakan tenaga sin-kang mendorong.
“Aihhh!”
Hanya dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik di udara sampai
lima kali Kwi Hong dapat menghindarkan diri dari tolakan tenaga sin-kang yang
dapat melukai isi dadanya itu! Ia terkejut dan maklum bahwa selain sarung
tangan yang dipakai kakek India itu tidak mempan senjata, juga bahwa tenaga
kakek itu masih jauh melampaui tenaganya sendiri! Kini Kwi-bun Lo-mo sudah
menerjang maju menggunakan tangan kanan memukul dengan tangan lunaknya yang
beracun untuk memberi kesempatan gadis berpedang itu memulihkan kedudukannya.
Maharya mengangkat tangan kiri, menangkis pukulan itu dan tangan kanannya
digerakkan.
“Plakkk!”
Kedua tangan bertemu dan Kakek Kwi-bun Lo-mo terkejut karena tangan bersarung
emas itu kiranya sanggup menerima pukulan Toat-beng-bian-kun, dan kini secara
tiba-tiba ular yang dipegang ekornya itu melayang dan menyambar lehernya
dengan mulut terbuka lebar, mendesis dan menggigit! Ia cepat miringkan
kepalanya akan tetapi tetap saja ular itu dapat menggigit pundaknya.
“Mampus
kau!” Maharya berseru girang.
“Ha-ha-ha,
gigitan cacing itu enak sekali rasanya, menambah vitamin di tubuhku. Suruh dia
gigit lagi, dukun India! Ha-ha-ha!” Biarpun pundaknya mengeluarkan sedikit
darah, akan tetapi Kwi-bun Lo-mo masih tertawa-tawa. Di dalam tubuhnya yang berkulit
kuning itu telah mengalir darah yang penuh racun, mana dia takut akan segala
gigitan ular beracun?
Kakek
India itu kaget dan dengan marah ia lalu menyerang kedua orang pengeroyoknya,
bukan hanya ularnya yang terayun-ayun mengancam lawan dengan gigitan beracun,
juga tangan kirinya yang tidak takut menghadapi senjata tajam atau pukulan
beracun itu merupakan tangan maut yang setiap saat menyambar hendak mencabut
nyawa lawan.
Tan-siucai
yang tadinya memandang rendah Bun Beng, menjadi terkejut bukan main ketika
mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali ilmu silatnya.
Tadinya ia menganggap bahwa seorang muda seperti itu akan mudah ia robohkan
dengan ilmunya “tangan panjang,” yaitu lengan yang dapat ia ulur. sampai hampir
dua kali panjang normal. Banyak sudah lawan yang roboh oleh ilmunya ini karena
tidak menyangka-nyangka bahwa tangan itu dapat mulur seperti karet. Akan
tetapi, pemuda itu hanya sebentar saja terkejut, kemudian sudah dapat menjaga
diri dan mengirim serangan dengan jurus-jurus yang dahsyat, yang mendatangkan
angin keras dan membuat Tan-siucai bingung. Maklum bahwa ia berhadapan dengan
murid orang pandai, Tan-siucai berteriak keras dan tampaklah sinar hitam ketika
ia mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang mengeluarkan bau amis seperti
telur itik membusuk. Dengan pedangnya ini ia menerjang dan mengobat-abitkan
pedang, merupakan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Beng.
Bun
Beng memang tadinya terkejut menyaksikan lengan yang bisa mulur panjang. Akan
tetapi kemudian ia mendapat kenyataan bahwa lawannya itu biarpun bertenaga
kuat dan memiliki ilmu aneh tidaklah seberat yang ia kira dan tidak memiliki
dasar ilmu silat yang tangguh. Maka ia sudah mendesak dengan jurus-jurus
Siauw-lim-pai yang kuat sehingga dua kali memukul bahu kanan dan menendang
paha kiri lawan. Biarpun pukulan dan tendangan ini meleset dan tubuh lawan
memiliki kekebalan setidaknya lawannya menjadi panik sehingga mencabut pedang
hitam! Bun Beng tidak menjadi jerih, bahkan ia makin lega hatinya. Gerakan
pedang itu lebih didorong rasa marah daripada gerakan ilmu pedang yang tinggi
nilainya, maka baginya, pedang hitam itu tidaklah sebahaya tangan kosong yang
dapat mulur mungkret tadi. Biarpun lengan itu masih dapat mulur, akan tetapi karena
disambung pedang, lebih mudah dapat dilihat arah gerakannya, tidak seperti
kalau kosong dapat mencengkeram, menangkap mendorong atau memukul, sukar
sekali diduga.
Namun,
harus ia akui bahwa lawannya mainkan pedang secara aneh dan istimewa, dengan
ilmu pedang yang tidak dikenalnya sama sekali. Pedang itu selalu datang
menyerangnya dengan tiupan angin, dan bukan hanya pedang yang menyerangnya
melainkan selalu dibarengi dengan pukulan atau tendangan, seolah-olah seluruh
daya serang lawan dikumpulkan untuk menghantamnya, Bun Beng harus mengandalkan
kelincahan tubuhnya yang segera pulih kembali begitu ia menghadapi bahaya.
Kalau begini terus, bagaimana aku bisa menang, pikirnya. Serangan lawan ini
mengingatkan ia akan serangan angin taufan ketika ia berada di atas
layang-layang bersama Kwi-bun Lo-mo. Serangan angin taufan! Tiba-tiba ia
teringat akan pelajaran kakek Pulau Neraka itu untuk menghadapi serangan angin
taufan. Perhatikan dari mana angin menyerang, jangan menentang, ikuti
tiupannya akan tetapi harus dapat kau kendalikan sehingga mudah untuk
menyimpang. Pindahkan hawa dan tenaga sakti sesuai dengan serangan angin,
jangan biarkan kita terseret akan tetapi berusaha selalu berada di atasnya,
menunggang angin. Demikianlah antara lain inti pelajaran yang ia terima di atas
layang-layang sambil mencontoh gerakan kakek Pulau Neraka. Kini, serangan-serangan
lawannya dengan pedang hitam itu seperti angin, mengapa tidak ia coba
mengatasinya dengan pelajaran baru di atas layang-layang?
“Wuuuutttt!”
Tan-siucai kembali menyerang dengan hebat, dengan semangat menyala dan
keyakinan bahwa dia tentu akan dapat membunuh pemuda yang sudah tak mampu
balas menyerang itu. Pedang hitamnya menusuk dada, tangan kirinya mendorong
dengan pukulan ke arah pusar, dan kaki kanannya sudah siap menyusulkan
tendangan!
Bun
Beng tidak menggunakan cara mengelak seperti tadi. Dengan ilmu baru
menundukkan angin taufan, tubuhnya yang tadinya miring, dengan kaki kanan di
depan itu, ia pindahkan kaki dan tenaga pada kaki kiri, lalu kedua tangannya
diangkat ke atas seolah-olah ia memegangi tali-temali layang-layang dan
tubuhnya meloncat ke atas tinggi sekali sehingga pukulan dan tusukan lewat di
bawah kakinya yang ditekuk ke dada. Tendangan lawan menyusul, ia terima dengan
kedua kakinya, menginjak kaki lawan yang menendang dan meminjam tenaga ini ia
ayun tubuhnya ke atas dan meluncur ke depan melalui atas kepala lawan, kemudian
membalik dan memindahkan tenaga lagi ke kaki kiri yang turun menginjak lawan.
“Plakk!
Augg....!” pundak kanan Tan-siucai terkena injakan kaki Bun Beng, lumpuh rasa
seluruh lengan kanannya dan pedang hitam itu terlepas. Bun Beng cepat turun
menyambar dan pedang hitam telah berada di tangannya!
Tan-siucai
membalik dan matanya merah saking marahnya memandang Bun Beng yang kini
tersenyum-senyum memegang pedang hitam! Ia girang sekali karena dengan ilmu
barunya itu ia berhasil! Pemuda ini memang cerdik sekali sehingga dia dapat
menggunakan ilmu baru yang bagi orang lain tentu hanya dapat dipergunakan untuk
mengendalikan layang-layang melawan angin taufan itu untuk melawan musuh yang
lihai.
Sambil
tersenyum, ia lalu menubruk maju dan menyerang Tan-siucai dengan pedang hitam.
Tan-siucai memekik, tangan kirinya bergerak dan sinar putih yang amat terang
menyilaukan mata berkelebat menangkis pedang.
“Cringggg!”
kini Bun Beng yang kaget bukan main karena pedang hitam rampasan itu telah
patah menjadi dua!
“Hok-mo-kiam....!”
Ia berseru keras dan cepat menjatuhkan diri bergulingan karena pedang putih
yang kini berada di tangan lawan itu, setelah membabat patah pedangnya,
sinarnya masih terus menerjangnya! Ia meloncat bangun dan memandang dengan mata
terbelalak. Tak salah lagi, tentu itulah Hok-mo-kiam, pedang yang dibuat oleh
Kakek Nayakavhira dan yang dicuri oleh pemuda sinting ini bersama gurunya,
Kakek Maharya! Gentar juga hati Bun Beng menyaksikan pedang bersinar putih
yang mengandung penuh wibawa mujijat itu, dan ia siap siaga berkelahi
mati-matian, mengandalkan kelincahannya karena apa artinya pedang buntung yang
toh patah lagi kalau bertemu dengan Hok-mo-kiam? Ia tahu bahwa Pendekar Siluman
dan mendiang Kakek Nayakavhira memberi nama Hok-mo-kiam (Pedang Penakluk
Iblis) pada pedang itu, yang khusus dibuat untuk menundukkan Siang-mo-kiam
(Sepasang Pedang Iblis). Teringatlah ia akan sepasang pedang bersinar kilat
yang ia simpan di dalam guha rahasia di tempat tinggal para pemuja
Sun-go-kong.
“Kembalikan
pedang itu!” Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah
meninggalkan Kakek Maharya, menyerang Tan-siucai dengan pedang di tangannya.
Serangan yang hebat sekali, dilakukan dengan tubuh masih melayang di udara,
dengan kecepatan seperti kilat menyambar didorong oleh tenaga sin-kang yang
kuat sekali.
Biarpun
otaknya sinting, Tan-siucai mengenal serangan maut, dia lalu menggeser kaki ke
kiri, menggerakkan pedangnya menangkis sambil mendorongkan tangan kirinya
untuk mencegah dara perkasa itu memukulnya.
“Tranggg!”
Tampak bunga api muncrat dan Tan-siucai memekik kaget, pedangnya terlepas
akan tetapi cepat-cepat ia sambar kembali karena gadis itu tidak sempat
menyerangnya lagi. Ternyata bahwa kini Kwi Hong juga hanya memegang sebatang
pedang buntung, persis seperti yang dialami Bun Beng. Dengan mata terbelalak,
Kwi Hong memandang pedangnya dan diam-diam ia merasa amat kagum akan keampuhan
Hok-mo-kiam yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira itu. Pedangnya adalah pemberian
pamannya, sebatang pedang pusaka yang cukup ampuh, namun sekali bertemu dengan
Hok-mo-kiam menjadi patah! Padahal sudah jelas bahwa dia menang tenaga dan
pedang di tangan Tan-siucai itu sampai terlepas. Ia makin marah dan penasaran,
bertekad untuk merampas kembali pedang yang dahulu dicuri oleh orang itu,
tubuhnya menerjang maju dengan pukulan-pukulan kilat yang biarpun Tan-siucai
memegang sebatang pedang pusaka, akan berbahaya sekali bagi sasterawan sinting
itu.
“Plakkk!”
Pukulan Kwi Hong tertangkis oleh tangan Maharya yang bersarung tangan. Kiranya
kakek ini sudah meloncat meninggalkan Kwi-bun Lo-mo untuk melindungi muridnya,
terutama menjaga agar pedang pusaka itu tidak terampas lawan.
“Ho-ho,
kau hendak lari ke mana, dukun keparat?” Kwi-bun Lo-mo tertawa dan melompat
pula mengejar. Kini pertandingan menjadi kacau-balau dan akhirnya kini Bun
Beng dan Kwi-bun Lo-mo mengeroyok Maharya, sedangkan Kwi Hong masih bertanding
melawan Tan-siucai. Karena maklum bahwa gadis itu berbahaya sekali, Tan-siucai
memutar pedangnya dan berlindung di balik gulungan sinar pedang. Benar saja,
sinar pedang itu demikian hebat dan mengandung wibawa yang amat kuat sehingga
biar Kwi Hong lihai, gadis ini tidak berani sembrono mendesak maju, melainkan
berusaha mencari lowongan tanpa terancam sinar pedang yang ia tahu amat ampuh.
“Nona
yang perkasa! Bun Beng, mundur!” Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak keras dan
terdengarlah ledakan disusul membubungnya asap hitam yang tebal, menggelapkan
keadaan di situ. Ternyata kakek Pulau Neraka ini telah melempar sebuah senjata
rahasia khas Pulau Neraka, senjata peledak yang mengeluarkan asap hitam
beracun.
Kwi
Hong dan Bun Beng melompat mundur, melihat betapa di tempat berdirinya dua
orang lawan itu kini tertutup oleh asap hitam. Ketika asap membuyar tertiup
angin dan mereka memandang, ternyata Tan-siucai dan Maharya telah lenyap dari
tempat itu, tanpa meninggalkan bekas.
Kwi-bun
Lo-mo mengerutkan alisnya, mengomel. “Sialan! Mereka benar-benar amat lihai
dapat menyelamatkan diri dari asap beracun. Dukun India itu benar-benar
merupakan lawan yang lebih tangguh daripada dukun penunggang gajah.
Hayaa....!”
Kwi
Hong melangkah maju dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu.
“Tua bangka lancang! Kenapa kau melenyapkan mereka?” Tanpa menanti jawaban,
dengan pedang buntungnya ia menyerang Kwi-bun Lo-mo. Serangannya hebat sekali
dan pedang buntungnya itu masih amat berbahaya, membabat ke arah perut kakek
itu yang tentu akan tersayat robek kalau sampai terkena.
“Aihhh....!”
Kwi-bun Lo-mo meloncat ke belakang dengan mata terbelalak dan balas menyerang
sambil memaki, “Gadis liar, siluman galak!” Kwi Hong miringkan tubuh dan
membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik
kembali lengannya.
“Tahan....!”
Bun Beng berseru. “Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!”
“Membantu
apa? Dia.... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Neraka!”
“Hemm,
memang aku dari Pulau Neraka, habis kau mau apa?” Kakek itu menantang dengan
marah.
“Aku
mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!” Kembali Kwi Hong
menyerang.
“Iblis
betina tak tahu diri!” Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi dan diam-diam terkejut
karena biarpun pedangnya sudah buntung, nona ini merupakan lawan yang amat
tangguh, gerakannya cepat, ilmu pedangnya aneh dan tenaga sin-kangnya amat
kuat, dapat diduga dari suara bercuitan ketika pedang buntung menyambar.
Terpaksa dia mencelat lagi ke kanan untuk menghindar.
“Tahan!
Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es!” Bun
Beng berseru.
“Apa....?”
Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak. “Be.... betulkah....?”
“Aku
mengenalnya, masa membohong?”
Kwi
Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya. “Kakek sialan! Apa kau
pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalianculik
ke Pulau Neraka?”
Kakek
itu menggeleng kepala. “Aku mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi aku
sedang merantau keluar pulau, tidak tahu.... maaf.... aku tidak berani
mengganggu murid Pendekar Siluman tanpa seijin To-cu kami....”
“Tidak
peduli, kau harus mampus!” Kwi Hong menyerang lagi. Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh
ke belakang, kemudian melarikan diri! Kakek ini pernah merasai kelihaian
Pendekar Siluman ketika ia bertanding melawan Nayakavhira, maka kini mendengar
bahwa gadis ini murid pendekar sakti itu, dia menyangka bahwa tentu Pendekar
Siluman berada pula di situ, pula tanpa seijin To-cu, Majikannya, mana dia
berani mengganggu murid Majikan Pulau Es?
Kwi
Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan berkata,
“Sudahlah, Nona, perlu apa dikejar orang yang tidak mau melawan? Dahulu pun,
Pamanmu tidak mengejarnya.”
Kwi
Hong berhenti, karena maklum bahwa dia pun tak dapat menyusul kakek yang lari
seperti terbang cepatnya itu, apalagi kalau ia ingat bahwa kakek itu memiliki
senjata rahasia peledak yang mengandung asap beracun berbahaya.
“Hemm,
aku mengenalmu sekarang,” katanya sambil memandang wajah pemuda itu. “Engkau
Gak Bun Beng....”
Bun
Beng menjura sambil tersenyum. “Kuharap selama ini Nona dalam keadaan baik dan
kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari Pamanmu. Selamat!”
“Engkau
mengejek?” Kwi Hong membentak marah.
Bun
Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini marah-marah?
Dia menggelengkan kepala tanpa dapat menjawab.
“Engkau
mengejek, ya? Karena aku tidak mampu merampas kembali pedang itu, karena pedangku
patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek Pulau Neraka!” Pandang mata itu
seperti mengeluarkan api yang menyerang Bun Beng, dia mundur ketika dara itu
melangkah maju dengan muka merah saking jengkel oleh kegagalannya. “Hayo
katakan engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!”
“Tidak!
Tidak....! Wah, siapa mengejek, Nona? Sama sekali aku tidak mengejek. Bukan
salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu gurunya, kakek India
itu, tentu Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan pedangnya terampas.”
Mendengar
kata-kata ini, agak berkurang kemarahan Kwi Hong. Ia membanting kaki dan
memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya ke atas tanah sambil
mengomel. “Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku karena pedang ini!”
Melihat
wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan penyesalan dan
kedukaan besar, hati Bun Beng tergerak. Teringatlah ia akan sepasang pedang
yang ditinggalkannya di guha rahasia di tempat para pemuja Sun-go-kong, maka
serta merta ia berkata,
“Harap
Nona jangan berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat, bahkan
yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw.”
“Sepasang
pedang yang.... Pedang Iblis?” Kwi Hong memotong, matanya terbelalak,
kedukaannya lenyap seketika.
Bun
Beng mengangguk. “Agaknya benar Sepasang Pedang Iblis yang kudapatkan secara
kebetulan sekali. Kini kusimpan di dalam guha rahasia. Kalau Nona suka, akan
kuberikan sebatang kepada Nona, yang pendek. Pedang itu mengeluarkan sinar
kilat yang mendirikan bulu roma sehingga aku tidak berani mencabut seluruhnya,
agaknya tidak kalah ampuh oleh pedang yang dicuri Tan-siucai tadi.”
“Benarkah
itu? Paman juga mencari-cari pedang itu! Benarkah akan kauberikan kepadaku?”
Sikap Kwi Hong berubah sama sekali, agaknya dia tidak ingat lagi akan
kemarahan dan kedukaan hatinya, wajahnya berseri dan sepasang matanya
mengeluarkan cahaya, amat indahnya seperti sepasang bintang pagi dalam
pandangan Bun Beng.
“Benar,
Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang.”
Tiba-tiba
wajah yang cerah itu kembali agak muram oleh berkerutnya sepasang alis yang
hitam kecil melengkung itu. “Bun Beng, bagaimana engkau bisa mendapatkan
Siang-mo-kiam? Seluruh dunia kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Bagaimana
tiba-tiba kau bisa mengatakan kepadaku bahwa engkau menemukan pedang-pedang
itu?” Dalam pertanyaan ini terkandung keraguan dan ketidakpercayaan.
“Aku
mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terjatuh ke
dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho.” Dengan singkat Bun Beng menceritakan
semua pengalamannya, akan tetapi sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia
menyimpan sepasang pedang itu, juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng.
Kwi
Hong mendengarkan dengan alis berkerut.
“Jadi
ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?”
“Benar,
aku tidak sempat bercerita, pula pada waktu itu memang aku hendak
merahasiakannya dari siapapun juga.”
“Hemm,
kalau begitu, mengapa sekarang mendadak engkau ingin memberikan sebatang
kepadaku? Apa sebabnya?” Sambil berkata demikian, Kwi Hong memandang dengan
sinar mata tajam penuh selidik. Bun Beng kagum bukan main. Mata itu....,
bukan kepalang indahnya! Sejenak ia menentang pandang mata itu penuh kagum,
akan tetapi sinar mata itu seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk,
menembus mata sampai ke jantung! Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
“Mengapa....?
Aihh, tak terpikir olehku.... hemm, agaknya karena melihat pedangmu patah,
Nona. Karena melihat engkau berduka tadi....”
“Heh,
omong kosong! Mengapa mendadak engkau menaruh perhatian seperti itu kepadaku?
Apa hubungannya kedukaanku denganmu? Engkau merasa kasihan? Alasan yang
dangkal dan kosong!” Kembali di dalam suaranya terkandung kecurigaan dan
ketidakpercayaan.
Cepat
Bun Beng membantah. “Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya.... pertama
karena Nona telah menyelamatkan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona keburu turun
tangan, bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau tali layangan itu
diputus oleh kakek tadi? Untuk membalas budi Nona yang telah menyelamatkan
nyawaku, apa artinya pemberian sebatang pedang? Pula, kedua memang aku merasa
amat kagum kepada Paman Nona, dan satu-satunya orang di dunia ini yang aku
ingin agar pedang yang diperebutkan itu dimilikinya, adalah Paman Nona,
Pendekar Super Sakti. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan Nona, bahkan
Nona telah menolongku sehingga ada alasan bagiku untuk menyerahkan pedang.”
Kwi
Hong mengangguk-angguk, wajahnya kembali cerah dan ia mulai percaya kepada Bun
Beng. Pemuda ini girang sekali menyaksikan perubahan wajah itu, memandang
penuh kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk itu. Tiba-tiba wajah itu
diangkat, pandang mata mereka saling bertaut dan dengan jantung berdebar Bun
Beng melihat betapa alis yang bagus itu kembali dikerutkan, lalu terdengar
suara gadis itu membentak marah.
“Aku
tidak percaya kepadamu!”
Mula-mula
Bun Beng tertegun, kemudian ia menarik napas panjang, wajahnya membayangkan
kekesalan dan kedukaan hati. “Hemm, agaknya Nona curiga kepadaku?”
“Siapa
tahu kalau-kalau engkau ini amat licik dan curang dan sengaja hendak
menipuku?”
Bun
Beng merasa jantungnya perih seperti ditusukpedang.
Ia mengangguk dan menjawab, “Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku
mengingat bahwa aku adalah anak seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang?
Sudah banyak aku mendengar makian itu.”
“Tidak
peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu. Hanya siapa mau
percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul dengan seorang iblis
Pulau Neraka? Engkau datang bersama dia, tentu sahabat baiknya, atau siapa tahu
engkau sudah menjadi anggauta Pulau Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam,
tentu engkau juga bukan orang baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?”
Lega
hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung ayahnya.
Alasan yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia cepat-cepat
menuturkan pengalamannya semenjak ia ditawan oleh Thian-liong-pang sampai
berhasil lolos, dikeroyok ikan, diterkam rajawali yang kemudian bertempur
melawan garuda dan akhirnya terlepas.
“Ketika
melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang yang dikemudikan
oleh kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku berkenalan dengan dia dan
kami sama-sama turun setelah terhindar dari angin taufan dan terancam maut oleh
kakek India yang akan memutus tali. Untung Nona muncul dan menyerangnya.”
Penuturan
Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi
Hong melongo.
“Wah-wah....
hebat sekali pengalamanmu!” Ia duduk di atas rumput. “Engkau menjadi tawanan
Thian-liong-pang? Buka main! Dan berhasil lolos? Eh, ceritakanlah, Bun Beng.
Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang yang terkenal sekali amat kuat
itu? Aku mendengar banyak orang pandai dan sakti di sana, bahkan tidak kalah
saktinya oleh orang-orang Pulau Neraka!”
Melihat
wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan bekas-bekas
kecurigaan dan ketidakpercayaan tidak tampak lagi, Bun Beng duduk pula di atas
rumput. Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan merasa seperti telah
menjadi sahabat lama.
Dengan
terus terang Bun Beng menceritakan pengalamannya ketika berusaha menolong
Ketua Bu-tong-pai dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu oleh Ketua
Thian-liong-pang untuk dicuri jurus simpanan mereka yang terpaksa digunakan
dalam pertandingan itu. Kemudian betapa dia diaku sebagai cucu keponakan Si
Muka Singa dan akan dijadikan anggauta. Akan tetapi ia menolak dan akhirnya di
jebloskan dalam penjara di bawah tanah.
“Sama
sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang besar di mana
banyak terdapat ikan raksasa yang hampir saja membunuhku. Kalau tahu begitu,
agaknya belum tentu aku berani membobol dinding itu. Heran, sungai apakah itu?”
Kwi
Hong yang tertarik sekali berkata. “Apakah kau tidak tahu? Kini kita berada di
lembah Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di kota Cie-bun, di
sebelah utara kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar akan perbuatan
Thian-liong-pang menculik orang-orang kang-ouw. Sayang Paman melarang aku
bentrok dengan orang Thian-liong-pang, kalau tidak aku akan menyerbu ke sana.
Hemm.... kalau Paman mendengar bahwa orang-orang kang-ouw itu diculik untuk
dicuri ilmu mereka tentu Paman akan tertarik sekali. Eh, Bun Beng, di manakah
adanya guha rahasia di mana engkau menyembunyikan Siang-mo-kiam?”
“Aku
tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan ke sana kalau sudah melihat bentuk
gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang ketika aku dibawa
terbang burung rajawali yang kemudian bertanding dengan burung garuda yang
kunaiki itu, dan aku terlepas ke bawah, aku jatuh ke dalam laut.”
Kwi
Hong memutar otaknya. “Hemm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari ke sana. Sayang
burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya, kalau tidak, tentu
dengan mudah kita bisa mencari sambil menunggang pek-eng.”
“Apakah
tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es? Aku tadi melihat burung garuda putih
menyerang rajawali yang mencengkeramku.”
“Benarkah?
Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi. Aku baru saja
keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman setelah berulang-ulang aku
minta supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke kota raja mencari dan menengok
kuburan Ibuku. Akan tetapi sekarang bertemu denganmu, sebaiknya kita mencari
Siang-mo-kiam, baru akan pergi ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum
gelap, Bun Beng.”
“Baiklah,
Nona.”
Mereka
bangkit dan Kwi Hong berkata mencela. “Jangan sebut Nona, kenapa kau begini
merendah? Menjemukann benar!”
“Habis,
aku harus menyebut apa?”
“Apa
kau tidak tahu namaku? Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan merendah
seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja namaku!”
“Baiklah....
Kwi Hong.” Hati Bun Beng girang sekali. Dara ini cantik menarik dan membuat
hatinya berdebar aneh, membuat ia ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap
dengannya. Pula, gadis inilah satu-satunya orang yang tidak menyebut-nyebut
tentang kejahatan ayahnya. Dan yang lebih dari semua itu, gadis ini adalah
murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, orang yang dikagumi dan dipuja di
dalam hati. “Tempat itu dahulu kutemukan setelah aku terjatuh ke dalam pusaran
maut di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang aneh dan terletak dekat laut. Tentu
tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita mencari jejak mulai dari pulau di
tengah muara sungai dari mana aku terlempar dan jatuh ke dalam pusaran maut.”
“Baik,
memang mestinya begitu. Kalau tidak dapat menemukan tempat itu melalui darat,
kita harus mengikutijejakmu dahulu melalui
pusaran maut.”
Bun
Beng terbelalak. “Apa....? Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!”
Gadis
itu memandangnya dan menggeleng kepala. “Engkau pun tidak mati, bukan? Nah,
kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat itu melalui
pusaran maut dengan selamat, mengapa sekarang tidak?”
“Ah,
dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan aku setengah
pingsan ketika terbawa pusaran, agaknya memang Tuhan tidak menghendaki aku
mati di waktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke sana, hiiiiiih.... ngeri
sekali, aku tidak berani.”
Kwi
Hong cemberut. “Kalau kau tidak berani, aku berani! Pedang Siang-mo-kiam itu
terlalu penting untuk dibiarkan di tempat itu. Terlalu berharga untuk dicari
dengan taruhan nyawa. Kalau bisa kudapatkan dan kuperlihatkan kepada Paman,
tentu dia akan girang sekali karena Paman pernah bilang bahwa kalau sepasang
pedang iblis itu sampai muncul di dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar
untuk ditundukkan dan di dunia pasti akan kacau balau dan kejahatan merajalela.
Nah, kau tahu betapa besarnya arti kedua pedang itu, dan betapa pentingnya
untuk didapatkan kembali.”
Mereka
mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk jalan sampai
mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam sudah tiba ketika
mereka sampai di tepi sungai.
“Kita
bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan,” kata gadis itu.
Bun
Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi sungai itu
sunyi senyap, akan tetapi menyenangkan sekali bagi Bun Beng. Tempatnya
bersih, tanahnya tertutup rumput hijau seperti permadani, pohon-pohon dan
bunga-bunga mendatangkan bau yang sedap dan segar, dan bulan hampir bulat
muncul tak lama kemudian, membuat tempat itu menjadi indah, romantis, dan
menyenangkan. Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang membuat keadaan menjadi
demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena kalau tidak ada gadis itu di
sana, belum tentu tempat sunyi ini akan tampak seindah malam itu!
Mereka
duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng duduk melamun,
merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah ia mengalami kebahagiaan,
merasa betapa senangnya hidup!
“Eh,
Bun Beng, kenapa melamun saja kau?”
Bun
Beng terkejut dan sadar dari lamunanpya yang mengangkatnya ke angkasa. Ia
memandang dan tidak dapat menjawab karena sepasang mata yang terkena sinar
api unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.
“Apa
perutmu tidak lapar?” Gadis itu bertanya ketika melihat pemuda itu hanya
melongo.
Mendengar
ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab pertanyaan itu.
Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil memaki dalam hati kepada
perutnya yang tak tahu malu. Memang ia merasa lapar sekali. Apalagi hawa
begitu nyaman, pemandangan begitu indah, membuat perut yang kosong terasa
sekali.
“Heiii!
Bagaimana?” Gadis itu kembali bertanya, menahan geli hatinya karena telinganya
yang berpendengaran tajam dapat menangkap perut yang berkokok tadi.
“He?
Apa?” Bun Beng bertanya gugup, masih merasa malu oleh perutnya.
“Lapar
tidak?”
“Lapar
sekali, Kwi Hong tapi.... makan apa....?”
“Betapa
bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?”
Bun
Beng teringat dan meloncat bangun. “Tepat sekali! Mengapa aku begitu bodoh
dan pelupa? Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus membalas dendam,
setidaknya kutangkap seekor, kupanggang sampai matang dan kita ganyang
dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia lari ke pinggir sungai dan langsung
meloncat ke sungai.
“Byurrrr!”
Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa terpingkal-pingkal
dan menggeleng-geleng kepala. “Sungguh orang aneh,” gumamnya sambil berdiri di
pinggir sungai menonton Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu
saja dengan kedua tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak
dicopot!
Akan
tetapi ia kagum ketika tak lama kemudian Bun Beng sudah muncul lagi, memondong
seekor ikan yang besarnya sebantal dan melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu
menggelepar-gelepar di darat dan Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu
mendarat pula, tersenyum lebar, pakaiannya basah kuyup, air menetes-netes dari
seluruh pakaiannya, rambutnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher.
“Aihh,
ikan besar ini mana bisa kita menghabiskannya? Dan bagaimana pula membersihkan
isi perutnya, kaulah yang melakukannya itu, nanti aku yang memanggangnya.”
“Jangan
khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karang pun cukup tajam dan
runcing.” Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras,
menghampiri ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia
segera membelah perut ikan dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke
sungai dan membersihkan kulit ikan yang tak bersisik itu dengan gosokan batu
karang.
Kwi
Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari mulut sampai
menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun sambil menanti Bun
Beng mencuci tangannya ke air sungai. Setelah pemuda itu duduk dekat api, dia
mencela.
“Kau
ini aneh sekali, mengapa menangkap ikan begitu saja dengan memakai pakaian
lengkap? Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin sekali.
Sebaiknya kaubuka dan peras pakaianmu, panggang dekat api biar kering.”
Muka
Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggalkan pakaian di
depan gadis itu? “Biarlah, diperas begini pun bisa, dan kalau aku duduk dekat
api, sebentar juga kering.” Ia memeras rambut dan pakaiannya, melepas
sepatunya dan menggeser duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik
kepadanya dengan pandang mata penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali.
Kadang-kadang pendiam dan canggung, akan tetapi gerak-geriknya amat menarik
hatinya.
Bau
sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang selera mulut
dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu lalu menyerbu daging
ikan yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya separuh termakan oleh mereka.
Terpaksa sisanya mereka buang lagi ke sungai.
“Sayang
air sungai begitu kotor, bagaimana bisa minum?” Kwi Hong bertanya sambil
mencuci tangannya yang penuh minyak ikan, juga mengusap bibirnya dengan air
sungai, kemudian menggosoknya dengan saputangan.
“Aku
akan mencari buah!” Berkata demikian, Bun Beng meloncat dan lari pergi,
mencari-cari pohon yang ada buahnya. Sampai jauh ia meninggalkan tepi sungai
itu dan untung bahwa bulan bersinar terang sehingga akhirnya setelah payah
mencari-cari, ia datang lagi membawa beberapa butir buah yang sudah masak.
Kemudian,
keduanya duduk menghadapi api unggun yang menjadi makin besar setelah ditambah
daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat, perut yang kenyang,
membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di belakang telapak tangannya.
“Ahhh,
aku ingin tidur. Kau berjagalah dulu, Bun Beng sambil mengeringkan pakaianmu.
Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di tempat seperti ini, apalagi baru
saja kita bertemu dengan siucai sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua
tidur semua tanpa ada yang menjaga.”
“Baik,
kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu.”
Kwi
Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya, miring
menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua matanya. Bun Beng kini
berani menatap wajah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia sendiri tidak
mengerti, menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut yang agak mawut dan
sebagian terurai menutup pipi dan dahi, melihat bulu mata yang menjadi panjang
dan tebal membentuk bayang-bayang di pipi, hidung yang mancung dan cupingnya
bergerak sedikit ketika bernapas dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap
terkena minyak daging ikan, ia merasa terharu sekali. Ia membandingkan wajah
ini dengan wajah Ang Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang pernah menarik
hatinya. Keduanya sama cantik dan memiliki daya tarik masing-masing. Akan tetapi,
melihat Kwi Hong tertidur tak jauh di depannya, ia harus mengaku bahwa Kwi Hong
lebih cantik jelita. Teringatlah ia betapa dalam keadaan menghadapi maut,
hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong, wajah Siok Bi
dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wajah Kwi Hong dan
Milana di waktu mereka masih kecil. Betapa jauh perbedaannya setelah ia
bertemu dengan Kwi Hong sekarang, demikian cantik dan menarik!
Tiba-tiba
Bun Beng mengutuk diri sendiri di dalam batinnya. Mengapa ia membayangkan wajah
wanita-wanita cantik? Celaka, inikah yang membuat ayahnya dahulu memperkosa
ibunya? Ia bergidik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk
tubuh wanita yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu!
Keparat! Ingin ia menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang
berisi pikiran busuk itu. Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya
telah disebut datuk kaum sesat, tentu merupakan seorang yang sesat
kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal
seperti itu! Biarpun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi
perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan
terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa,
bukan untuk dipermainkan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah,
betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong.
Kwi
Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih
dan helaan napas itu membuat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng
terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah
berdenyut keras.
Memang
tidak terlalu dapat disalahkan kalau Bun Beng diamuk nafsu berahi dan cinta.
Usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia
sebanyak itu, tentu saja timbul perasaan ini dan masih mengagumkan bahwa dia
dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil dia tidak pernah menerima
pendidikan tentang susila, tidak pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri.
Untung bahwa ia digembleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya
cukup kuat, biarpun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat ia condong untuk
melakukan perbuatan menyeleweng. Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia
berkeras hati untuk menebus semua kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik,
bukan menambah kotor nama ayahnya dengan perbuatan seperti yang pernah
dilakukan ayahnya.
Betapa
bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya
tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah
terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas
lembut. Bibir itu setengah terbuka, seperti tersenyum menantang!
Betapa
cantik jelitanya, betapa gagah perkasanya. Tadi telah dia saksikan sendiri
betapa lihai gadis ini. Dia sendiri meragukan apakah dia akan mampu melawan
Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini
adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti! Tiba-tiba Bun Beng tertegun
dan mengerutkan alisnya. Keponakan Pendekar Siluman! Aihhh, dia telah melamun
terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami keponakan Majikan
Pulau Es? Mentertawakan! Dia, seorang anak yatim-piatu, bahkan disebut anak
haram, putera mendiang datuk kaum sesat yang disebut Setan Botak, mana mungkin
berjodoh dengan keponakan Majikan Pulau Es yang berkedudukan tinggi?
“Aihhhh,
pikiran yang bukan-bukan,” ia menarik napas panjang, berusaha mengusir
keinginan hati yang tak mungkin terpenuhi itu. Ia memaksa diri untuk
mengalihkan keinginan hatinya. Bagaimana kalau Milana? Lebih tak masuk di
akal! Tanpa disengaja, ia telah menyaksikan peristiwa hebat yang mungkin
menjadi rahasia Pendekar Siluman, Milana adalah puteri Pendekar Siluman itu!
Puterinya dari seorang ibu yang amat cantik dan amat sakti! Lebih tidak mungkin
lagi. Baik Kwi Hong, apalagi Milana, tidak mungkin menjadi jodohnya. Kedudukan
mereka terlalu tinggi baginya, seperti merindukan bintang-bintang di langit
saja! Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi
kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong atau
Milana, kalau dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu tinggi
untuknya. Puteri Ketua Bu-tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang hari! Tidak ada
harapan seujung rambut pun!
“Dasar
manusia tak tahu diri engkau!” Bun Beng berbisik dan menjambak kuncirnya,
merasa terpukul dan rendah. Ia merenung memandang api unggun, diam-diam
mengeluh dan menyalahkan ayah bundanya yang telah tiada.
“Sudahlah,
aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan kepada mereka
semua, kepada dunia kang-ouw bahwa biarpun ayahku seorang manusia sejahat-jahat
dan serendah-rendahnya, aku tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa
aku mampu melakukan hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!”
Pikiran
ini sedikitnya menghibur hatinya yang perih. Terhiburlah dia bahwa kini dia
akan menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada murid dan keponakan
Majikan Pulau Es. Sepasang pedang itu diperebutkan oleh orang sedunia
kang-ouw, bahkan Pendekar Siluman sendiri mencari-cari tanpa hasil. Kini dia
yang berhasil menemukannya dan menyerahkan sebuah di antaranya kepada murid
dan keponakan Majikan Pulau Es, bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang
besar? Dan dia akan melangkah lebih jauh lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang
besar, biarpun saat itu dia belum tahu apa gerangan hal-hal yang besar itu.
Bun
Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar. Pakaiannya sudah
kering dan ia merasa tubuhnya hangat. Malam telah amat larut, akan tetapi dia
tidak mau membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang berjaga sampai pagi. Tidak
tega dia mengganggu gadis itu yang tidur dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada
batang pohon, kadang-kadang menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu
tidak padam.
Pada
keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan malam mulai
terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong bangun dari tidurnya.
Ia mengusap kedua matanya dan begitu membuka mata melihat bahwa malam telah
berganti pagi, melihat pula Bun Beng masih duduk bersandar pohon dekat api
unggun, ia meloncat bangun dan membentak.
“Bun
Beng, kau terlalu sekali!”
Bun
Beng tersenyum, dia tidak merasa aneh lagi menyaksikan sikap gadis yang begitu
mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah, kemudian marahnya
berganti sikap ramah. Benar-benar seorang gadis yang penuh semangat
berapi-api, “Maaf, Kwi Hong, apakah salahku?”
“Masih
bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk, membiarkan orang
tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kaubangunkan aku agar aku berganti
melakukan penjagaan?”
“Aah,
tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau.... tidurmu enak benar,
tidak tega aku membangunkanmu.”
Gadis
itu memandang aneh. “Mengapa kau menyiksa diri untukku? Kau tidak tidur sama sekali?”
Ucapan
“karena aku cinta padamu” sudah berada di ujung lidah Bun Beng, namun cepat
ditelannya kembali. “Aku duduk beristirahat sama dengan tidur. Urusan kecil
ini masa mesti dibesar-besarkan?”
“Biarpun
urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil. Lain kali aku
tidak mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau membikin aku merasa tidak
enak saja!” Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu pergi mencari sumber air untuk
mencuci muka. Setelah ia kembali, ia melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air
Sungai Huang-ho.
“Mari
kita melanjutkan perjalanan,” kata Kwi Hong dan berangkatlah mereka menuju ke
jurusan timur, ke arah muara Sungai Huang-ho. Tak lama kemudian Bun Beng
mengenal daerah di mana dahulu dia dan suhunya, mendiang Siauw Lam Hwesio,
berperahu menuju ke muara sungai. Peristiwa beberapa tahun yang lalu seperti
terjadi kemarin saja dan teringat akan nasib gurunya, mukanya menjadi berduka
dan ia menarik napas panjang.
“Mengapa
kau berduka?” Tiba-tiba Kwi Hong bertanya tidak galak lagi seperti tadi,
melainkan halus dan menaruh khawatir.
“Aku
teringat kepada mendiang Guruku, Siauw Lam Hwesio. Dia tewas secara
menyedihkan sekali.” Dia lalu menceritakan tentang kematian gurunya di tangan
koksu negara dan kaki tangannya. Kemudian menutup ceritanya, “Aku harus
membalas kematian Suhu. Kelak aku harus mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
dan tiga orang pembantunya yang ikut membunuh Suhu, Thian Tok Lama, Thai Li
Lama dan Bhe Ti Kong!”
Kwi
Hong mendengarkan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang. “Wah,
musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Kedua orang pendeta Lama itu menurut
Paman memiliki ilmu kepandaian tinggi apalagi Im-kan Seng-jin! Lawan-lawan yang
amat berat dan sakti.”
“Aku
tidak takut dan aku harus mencari mereka.”
“Aku
pun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu,
Bun Beng.”
Bun
Beng menoleh dan mereka berpandangan. Melihat sinar mata penuh rasa syukur
dan berterima kasih dari pemuda itu, Si Dara membuang muka dengan perasaan
jengah. “Biarpun mereka bukan musuhmu, aku pun akan menentang mereka dan
Thian-liong-pang, dan Pulau Neraka!” katanya menambahkan, seolah-olah hendak
mengalihkan perhatian Bun Beng bahwa dia menentang mereka bukan semata-mata
untuk membantu Si Pemuda.
Mereka
berjalan terus, berjalan cepat karena mereka kini mempergunakan ilmu lari
cepat setelah Bun Beng mengatakan bahwa pulau di muara sungai itu tidak jauh
lagi.
“Nah,
itu dia pulaunya, dan di sanalah pusaran maut itu!” Bun Beng berteriak
menuding dan mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana tampak pulau
kecil di tengah muara yang dahulu menjadi medan pertempuran. Dari pantai itu
tampak pula pusaran air dan Bun Beng masih bergidik ngeri melihat air
berputar-putar itu, teringat akan pengalamannya beberapa tahun yang lalu.
“Lihat,
Kwi Hong. Ketika terjadi pertandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas
tebing itu, tepat jatuh di pusaran maut.”
Kwi
Hong mengerutkan alisnya. “Hemmm...., dan setelah kau keluar dari lorong air
kau mendarat di lambung gunung katamu dahulu? Gunung yang dekat dengan muara
ini hanya sebelah sana itu. Kita harus menyeberang!”
Tempat
itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu nelayan
pencari ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari pedang-pedang itu tidak
melalui pusaran air, cepat berlari ke bawah dan akhirnya dapat memanggil
seorang tukang perahu. Dengan biaya ringan mereka dapat diseberangkan oleh
nelayan itu dan melanjutkan perjalanan mendaki gunung karang yang sukar dilalui.
Namun berkat kepandaian mereka, mereka dapat juga mendaki dan setelah tiba di
sebuah puncak batu karang yang tinggi, Bun Beng meloncat naik dan memandang ke
sekeliling, mencari-cari. Akhirnya ia berseru giiang. “Nah, di sana itu
agaknya, di seberang jurang lebar itu. Benar, tak salah lagi, itu yang tampak
seperti gerombolan tentulah hutan-hutan di mana mereka mencari akar dan daun
obat! Dari sanalah aku diterbangkan rajawali. Nah, sungai berada di sana dan
gunung yang puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang.... ahhh, tidak salah
lagi. Mari kita ke sana!”
Akan
tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus mahal sekali
untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar. Kadang-kadang mereka harus
menuruni jurang yang amat dalam, melalui perjalanan yang curam dan
kadang-kadang mereka harus mendaki batu karang yang runcing tajam
mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan. Sepatu mereka juga pecah-pecah.
Malam itu terpaksa mereka harus bermalam di antara batu-batu karang gundul dan
terpaksa melalui malam dingin seka1i tanpa api unggun karena di daerah di mana
mereka bermalam itu tidak terdapat sepotong pun kayu. Juga perut mereka lapar
bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi. Kini Kwi Hong memaksa Bun Beng
supaya tidur lebih dulu, akan tetapi betapa mendongkol dan menyesal hati Bun
Beng ketika dia terbangun, ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu
“membalas dendam” tidak mau membangunkannya dan berjaga semalam suntuk. Ia
mendongkol dan juga terharu sekali. Mereka baru saja melakukan perjalanan yang
melelahkan namun gadis itu bersikeras berjaga semalam suntuk.
“Aihh,
Kwi Hong. Mengapa kau begini sungkan, sedangkan kita telah menjadi sahabat
dan mengalami kesukaran bersama?”
“Tidak
akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka kalau merasa diri
tidak adil. Setelah membalas, tentu saja hatiku lega dan lain kali kau harus
tidak bersikap mengalah dan sungkan pula seperti yang kaulakukan malam
kemarin.”
Mereka
melanjutkan perjalanan. Makin dekat tempat itu, makin yakinlah hati Bun Beng
bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang muda ini mendaki tebing
tinggi menuju ke daratan di atas di mana dahulu para pemuja Sun-go-kong
menyerahkan keranjang-keranjang obat kepada burung-burung rajawali dari Pulau
Neraka! Baru saja mereka meloncat ke puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar
banyak senjata rahasia yang ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan.
Dengan mudah keduanya mengelak dan Bun Beng berteriak.
“Harap
Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!”
Dari
balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka melihat Bun
Beng, orang-orang itu berteriak sambil lari menghampiri dan semua menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki pemuda itu. “Ah, kiranya Gak-inkong yang datang!
Kami bersyukur sekali, In-kong. Kami melihat betapa In-kong diterbangkan burung
rajawali dan mengira Gak-inkong sudah tewas....!”
Bun
Beng tersenyum lebar. “Memang nyaris aku tewas, syukur Tuhan belum menghendaki
demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?”
“Terima
kasih, In-kong. Semenjak peristiwa dahulu itu, kami tidak lagi mengalami
gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami.”
Mendengar
ini, Bun Beng melirik kepada Kwi Hong dan gadis ini yang sudah mendengar
tentang para pemuja Siluman Kera itu tersenyum. Gadis ini sebagai murid
Pendekar Super Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa ragu-ragu lagi ia
berkata,
“Sun-go-kong
hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian menyembah dan memujanya?
Betapa bodohnya kalian ini orang-orang tua memuja tokoh dongeng kanak-kanak!”
Delapan
belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi Hong dengan
alis berkerut tanda tidak senang hati. “Hemm, Nona yang masih muda...., kalau
saja engkau tidak datang bersama Gak-inkong dan menjadi sahabatnya, tentu kami
tidak membiarkan kau berkata selancang itu. Semua dewa yang dipuja memang
hanyalah tokoh dongeng. Yang penting bukanlah tokoh dongengnya, melainkan hati
si pemujanya! Gak-inkong, apakah Nona ini sahabatmu? Kalau bukan, dia tidak
kami perkenankan berada di sini!”
Bun
Beng diam-diam merasa menyesal mengapa Kwi Hong berlancang mulut, namun dia
pun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bicara terang-terangan
menurutkan kata hatinya. “Dia sahabat baikku, harap Cu-wi suka memaafkannya.”
Wajah
delapan belas orang itu menjadi cerah kembali dan mereka sudah memaafkan Kwi
Hong. Bahkan seorang di antara mereka, yang termuda, maju dan berkata sambil
tertawa, “Sahabat baik Gak-inkong? Ha-ha cocok sekali. Cantik jelita dan patut
menjadi sisihan In-kong yang tampan....”
“Plak!
Aduh!” Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak oleh
tamparan Kwi Hong. Gerakan tangan dara itu cepat bukan main sehingga orang
yang ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar, disangkanya ada
halilintar menyambar pipinya! Teman-temannya menjadi marah dan mereka sudah
mengepal tinju, siap mengeroyok Kwi Hong sungguhpun diam-diam mereka
terheran-heran. Mereka telah mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan
oleh Dewa Sun-go-kong kepada mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan
sehingga mereka semua adalah ahli-ahli mengelak pukulan. Mengapa teman mereka
tadi begitu mudah kena ditampar oleh dara ini?
“Tahan,
Cu-wi sekalian! Nona ini adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es,
harap Cu-wi tidak menimbulkan pertentangan!”
“Murid
Pendekar Siluman....?” Terdengar seruan-seruan mereka dan semua orang memandang
dengan mata terbelalak. Sebagai pejuang, tentu saja mereka sudah mendengar
nama Pendekar Siluman yang dulu pernah menggegerkan musuh di Se-cuan dan orang
tertua dari mereka segera mengangkat tangan memberi hormat kepada Kwi Hong
sambil berkata,
“Mohon
maaf, karena tidak mengenal kami bersikap kurang hormat kepada Lihiap.”
Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya, “Setelah bertahun-tahun In-kong
meninggalkan kami, sekarang In-kong datang dengan tiba-tiba, apakah yang dapat
kami lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?”
Bun
Beng tersenyum. “Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku datang hanya
untuk menengok dan terutama sekali untuk mengambil sesuatu yang dahulu
kusimpan di tempat ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku bersama Nona ini akan
mencari dan mengambil sendiri benda yang kusimpan itu.”
Orang-orang
itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang disimpan oleh Bun Beng
di situ, akan tetapi orang tertua dari mereka menjawab, “Silakan In-kong.”
“Mari,
Kwi Hong!” kata Bun Beng dengan sikap gembira. Nona itu pun merasa gembira dan
hatinya tegang, melompat dan mengikuti Bun Beng meninggalkan tebing itu,
berlari-lari ke arah gunung di mana terdapat guha-guha batu yang sebagian
besar tertutup alang-alang tinggi dan lebat.
Dengan
hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah guha ini yang jauh
juga dari tebing sehingga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong itu tidak tampak
lagi, kemudian dengan mudah ia mencari guha kecil yang ia tutup dengan tumpukan
sehingga sama sekali tidak kelihatan dari luar. Tanpa berkata sesuatu ia
membongkar batu-batu itu, dibantu oleh Kwi Hong yang juga menjadi tegang
hatinya. Siapa yang tidak berdebar hatinya kalau mengingat bahwa Sepasang
Pedang Iblis itu berada di belakang tumpukan batu? Sepasang Pedang Iblis yang
diperebutkan orang sedunia kang-ouw, bahkan yang dicari-cari tanpa hasil oleh
pamannya!
Setelah
tumpukan batu yang menutupi guha itu terbongkar semua, Bun Beng berseru girang
melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia mengenal itu, sehelai baju
yang dipakai membungkus sepasang pedang. Baju itu sudah rusak dan kotor sekali,
akan tetapi dengan penuh gairah Bun Beng menariknya dan dengan kedua tangan
gemetar ia membuka bungkusan kain butut. Ternyata sepasang pedang itu masih
utuh, sebatang agak pendek, sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk
gagang dan sarung pedangnya serupa. Ia menyerahkan yang pendek kepada Kwi Hong
tanpa bicara.
Bersama-sama
mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf kecil yang terukir di dekat
gagang.
“Yang
pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)....” kata Kwi Hong setelah
membaca huruf-huruf di pedangnya.
“Dan
ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)....” kata Bun Beng.
“Tepat
seperti yang diceritakan Paman, ini adalah sepasang....”
“Sepasang
Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!”
Bun
Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang mereka itu.
Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan bicara tadi
adalah kakek India bersorban bersama muridnya Si Siucai Sinting! Bun Beng
maklum bahwa mereka menghadapi bahaya besar dan dalam beberapa detik saja
otaknya bekerja cepat, lalu ia berbisik kepada Kwi Hong. “Kau bawa semua
pedang ini, serahkan Pamanmu, biar aku menahan....”
“Tidak....”
Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang diangsurkan kepadanya,
“kita pergunakan pedang ini untuk melawan bersama. Pula, kalau kita
masing-masing memegang satu, pedang itu berpencar dan kalau terampas orang
tidak keduanya.”
“Ha-ha-ha-ha!
Orang-orang muda, sudah lama aku mencari Sepasang Pedang Iblis, dan melihat
gerak-gerikmu kemarin, aku sudah curiga maka diam-diam kami membayangi kalian.
Siapa kira, benar saja kalian telah menemukan Sepasang Pedang Iblis,
ha-ha-ha-ha!”
“Maharya!”
Tiba-tiba Kwi Hong membentak marah. “Seorang tua bangka macam engkau ini
apakah tidak tahu peraturan dunia kang-ouw? Dalam berlomba mencari pusaka,
siapa yang mendapatkannya berarti sudah berjodoh! Kami sudah mendapatkannya
dan pusaka ini adalah milik kami!”
“Ha-ha-ha,
bocah perempuan sungguh tajam matamu, dapat mengenal aku! Akan tetapi engkau tidak
tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang pedang itu adalah hak milikku.
Karena itu, sudah semestinya kalian berikan kepada Maharya!” kakek India yang
kini sudah pandai bicara bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.
“Sombong
dan pembohong besar engkau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah milik pribadi
Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan Pamanku, To-cu dari
Pulau Es. Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan kepada kedua muridnya,
kemudian ditemukan oleh Paman dan dikubur bersama jenazah kedua murid Mutiara
Hitam. Setelah itu lenyap dan akhirnya kami yang menemukannya kembali.
Bagaimana kau berani bilang menjadi milikmu? Tak tahu malu!”
Sasterawan
sinting itu meloncat ke depan. “Ah, dia ini keponakan Suma Han si jahanam
keparat? Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar terasa oleh Suma
Han siluman keparat itu!”
Kwi
Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah sasterawan
itu. “Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan kepadaku tentang engkau!
Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan sebagai seorang wanita pendekar
yang gagah perkasa, akan tetapi engkau ini manusia gila telah menyalahkan
Paman, bahkan menjadi murid kakek iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan
mencuri pedang Hok-mo-kiam. Sekarang harus kaukembalikan pedang pusaka itu
atau kau akan mampus di tanganku!”
“Ha-ha-ha!
Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak, engkau tidak tahu.
Biarpun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas perintah Mutiara Hitam, akan tetapi
pembuatnya adalah Kakekku Mahendra, maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih
baik kalian berikan sepasang pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku
untuk membebaskan kalian berdua.”
“Singggg!”
“Sratttt!”
Tampak
dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pedang masig-masing.
Sinar ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan Kwi Hong sendiri.
Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking girangnya. “Sadhu! Sepasang
Pedang Iblis yang mulia!” Ia berkata, kemudian menoleh kepada muridnya,
“Pergunakan Hok-mo-kiam, mari kita rampas sepasang pedang ini!” Ia sendiri
sudah memakai sarung tangan emas dan mengeluarkan senjata hidupnya, yaitu ular
putih yang berbahaya.
“Kwi
Hong, kauhadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar aku menghalau
kakek iblis ini!” kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban ia sudah menerjang
maju, menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar seperti
kilat menyambar. Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang tidak berani
sembarangan menangkis karena ia maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu benar-benar
merupakan sebatang pedang yang amat ampuh. Bun Beng tidak memberi hati,
meloncat ke depan dan melakukan serangan bertubi-tubi. Dia harus dapat menahan
kakek ini untuk memberi kesempatan kepada Kwi Hong menghadapi Tan-siucai yang
lebih lemah dibandingkan dengan gurunya yang sakti ini.
Sementara
itu, Tan-siucai sudah mencabut Hok-mo-kiam dan tampak sinar kilat yang lebih
terang daripada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan tetapi tidak mendatangkan
wibawa yang mendirikan bulu roma seperti sepasang pedang itu yang telah
menghisap darah entah berapa ribu manusia. Kwi Hong cepat menerjang maju
dengan Li-mo-kiam di tangan, melakukan tusukan dan girang sekali ketika
merasa betapa pedang itu seolah-olah menambah tenaga pada tangannya, begitu
ringan dan seperti telah mendahului jurus yang ia mainkan untuk menyerang,
seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah lawan! Benar-benar
sebatang pedang yang amat luar biasa!
“Cringggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan
Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedangnya tergetar,
seolah-olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang lawan. Padahal
dia merasa bahwa dia masih menang tenaga menghadapi Tan-siucai. Maka ia
menjadi waspada dan teringat bahwa pamannya dan mendiang Kakek Nayakavhira
memang sengaja menciptakan Hok-mo-kiam untuk menghadapi dan melawan Sepasang
Pedang Iblis! Di lain pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir
terlepas dari tangannya ketika beradu dengan pedang lawan, lengannya tergetar
dan ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali menghadapi keponakan Pendekar
Siluman yang memiliki sin-kang amat kuat itu.
Setelah
kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng harus mengaku
dalam hati bahwa tingkat kepandaiannya masih belum cukup untuk menandingi
lawan yang sakti ini. Pantas saja kakek ini dahulu berani menghadapi Pendekar
Siluman, kiranya memang memiliki gerakan aneh dan setiap gerakan tangannya
mengandung hawa yang panas dan di balik hawa panas ini masih ada pengaruh
mujijat yang membuat bulu tengkuk meremang seperti bukan manusia yang ia
lawan, melainkan iblis sendiri. Bau harum aneh memuakkan yang keluar dari
tubuh kakek tinggi kurus itu benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Untung
bahwa sekali ini Bun Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga memiliki wibawa
amat mujijat seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga pengaruh
pedang iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh kakek India. Kalau
dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu melawan
sampai lama menghadapi kakek yang selain mahir ilmu silat aneh juga mahir ilmu
sihir itu. Bun Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan
seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya, namun
kakek itu selalu dapat mengelak dan menangkis dari samping dengan tangan kiri
yang bersarung emas, sedangkan ular putih yang berbahaya itu menyambar-nyambar
hendak menggigit, bahkan menyemburkan uap putih dengan suara mendesis-desis.
Karena maklum bahwa semburan uap putih itu berbisa, Bun Beng kadang-kadang
menahan napas dan mendorong dengan tangan kiri menggunakan hawa sin-kang untuk
mengusir uap putih. Pertandingan berlangsung makin seru dan mati-matian. Bun
Beng melihat mulut kakek itu berkemak-kemik, kemudian terdengar suara kakek
itu tertawa bergelak. Ia terkejut bukan main, merasa betapa suara ketawa itu
seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa dingin
seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerahkan sin-kang untuk menahan
perasaan itu, dan ketika ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak dengan
serangan kedua tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika kakek itu
kembali tertawa, ia terdorong oleh rasa yang amat kuat untuk ikut tertawa! Bun
Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini mempergunakan sihir, maka ia
melawan sekuat tenaga namun tetap saja mulutnya tersenyum!
Mendadak
sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun Beng merasa
jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi seluruh hatinya dan
betapapun ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Ia
makin kaget dan diam-diam berseru “celaka!” Maklum dia bahwa dia tidak akan
menang menghadapi kakek ini dan biarpun dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat
mempertahankan diri sampai lama, namun akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat
khawatir, bukan mengkhawatirkan dirinya melainkan mengkhawatirkan diri Kwi
Hong.
“Kwi
Hong....!” Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah ular yang
sudah mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini tangan yang bersarung
emas itu mencengkeram ke arah pusarnya.
“Cringgg!”
Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya yang
terlindung sarung tangan itu terasa panas.
“Kwi
Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu....!” Bun Beng berteriak dan memutar
pedangnya melindungi tubuh secepatnya. Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk
menulikan telinga terhadap suara yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi
tidak mungkin ia menutup matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang
dengan sinar mata Maharya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala!
Kwi
Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak mau peduli.
Mana mugkin dia melarikan diri? Dia sedang mendesak Tan-siucai yang biarpun
memegang Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh olehnya.
Kalau Sasterawan sinting itu tidak memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi
mampus di ujung Li-mo-kiam. Apalagi ketika gadis ini mengerling dengan sudut
matanya dan melihat betapa Bun Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin
tidak mau melarikan diri. Dia harus merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu
Bun Beng mengeroyok kakek yang sakti itu. Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan
hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan mempertahankan Sepasang
Pedang Iblis, bahkan lebih penting daripada keselamatan Bun Beng yang terancam
oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak Tan-siucai yang kini
memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi gulungan sinar kilat yang
menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak sukar untuk menembusnya.
Tiba-tiba
Tan-siucai tertawa aneh dan terdengar suaranya, “Ha-ha-hi-hi, Nona manis,
engkau melawan siapa? Aku sudah lenyap, bayanganku tidak tampak olehmu, siapa
yang kaulawan? Apakah kau gila?”
Kwi
Hong terkejut bukan main karena benar-benar bayangan lawannya itu lenyap dan
tidak tampak olehnya. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang Hok-mo-kiam yang
terang seperti cahaya sinar matahari. Hampir saja sinar pedang mengenai
lehernya kalau ia tidak cepat-cepat menjatuhkan diri karena dalam keadaan kaget
dan bingung mencari musuhnya tadi ia bersikap lengah. Terdengar suara tertawa
Tan-siucai dan sukar bagi Kwi Hong untuk menentukan dari mana datangnya suara
tertawa ini karena bayangan orangnya tidak kelihatan. Ia teringat bahwa
sebagai murid kakek sakti ahli sihir itu Tan-siucai pandai pula main sihir,
maka ia mengerahkan sin-kang sekuatnya, sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es
sehingga ia dapat menggabungkan hawa Im dan Yang di tubuh, menguatkan hatinya
dan kini tampaklah olehnya bahwa Tan-siucai masih berada di tempatnya yang
tadi, memutar pedang dan mendesaknya.
“Cring-trang-trang....
aihhh....!” Tan-siucai terkejut dan untung ia masih dapat menangkis sambil
terhuyung ke belakang. Ia maklum bahwa gadis itu dapat melihatnya, maka ia
mengerahkan seluruh ilmu sihirnya sehingga kini bayangannya kadang-kadang
lenyap, kadang-kadang tampak oleh Kwi Hong. Hal ini membuat Kwi Hong terdesak
hebat dan timbul rasa gentar di hatinya. Yang dilawannya memiliki ilmu setan,
bagaimana ia dapat melawan orang yang pandai menghilang? Sedikit saja ia
mengurangi pengerahan sin-kangnya, bayangan lawan lenyap. Terpaksa ia membagi
tenaganya, sebagian untuk melawan pengaruh sihir sehingga kadang-kadang ia
dapat melihat bayangan lawan, kadang-kadang tidak.
“Kwi
Hong, larilah cepat.... laporkan Pamanmu....!” Kembali ia mendengar teriakan
Bun Beng.
“Ha-ha-ha,
heh-heh, benar sekali. Kalau kau sudah mati nanti, terbangkan rohmu kepada Si
Keparat Suma Han, suruh dia ke sini menerima kematian, ha-ha!”
“Iblis
busuk!” Kwi Hong menyerang cepat sekali ketika ia dapat melihat bayangan Tan Ki
yang tertawa-tawa. Siucai itu cepat menangkis, akan tetapi Kwi Hong hanya
melakukan serangan tusukan sebagai pancingan saja, karena cepat sekali kakinya
menendang.
“Desss!
Aduhhh.... keparat!” Tan-siucai terkena tendangan di samping pinggulnya dan
terlempar ke belakang. Kwi Hong cepat mengejar, akan tetapi karena tendangan
itu tidak tepat kenanya dan hanya melemparkan tubuh Tan-siucai dan mengagetkan
saja, maka Tan-siucai sudah dapat memutar pedang melindungi tubuhnya sambil
meloncat bangun.
“Siapa
yang kau serang? Aku lenyap sama sekali dari penglihatanmu!” Ucapan ini
berulang kali diucapkan Tan-siucai dengan suara menggetar dan kembali Kwi Hong
kadang-kadang kehilangan bayangan lawan, membuat ia terdesak lagi.
“Kwi
Hong.... larilah.... lekas....!” Bun Beng yang sudah pening oleh pengaruh sihir
Maharya, berteriak sekuat tenaga. Ia mengandalkan ilmu pedang Siauw-lim-pai,
mainkan bagian yang bertahan sehingga tubuhnya terlindung gulungan sinar
pedang kilat. Dia dapat menahan serangan ular dan tangan bersarung emas, akan
tetapi tekanan kekuatan mujijat dari sihir Maharya benar-benar membuat dia
pening dan hanya dengan kebulatan tekadnya dan kemauannya saja untuk
mempertahankan diri, pedang Lam-mo-kiam dan terutama melindungi Kwi Hong maka
ia masih dapat bertahan.
Tiba-tiba
terdengar suara hiruk-pikuk dan delapan belas orang pemuja Sun-go-kong yang
mendengar pertempuran dan teriakan-teriakan Bun Beng kini telah berada di situ.
Tanpa diminta dan tanpa komando, delapan belas orang ini sudah menerjang maju
membantu Bun Beng dan Kwi Hong!
Akan
tetapi, begitu sebagian besar mereka mengeroyok Maharya, kakek itu mengeluarkan
gerengan keras yang menggetarkan seluruh urat syaraf, dan terdengarlah
teriakan-teriakan mengerikan dan lima orang sudah roboh susul-menyusul terkena
hantaman tangan kiri bersarung emas sehingga pecah kepalanya dan sebagian
terkena gigitan ular putih di tangan kanan kakek itu! Mereka yang mengeroyok
Tan-siucai juga mengalami hal yang menyedihkan. Mereka menyerbu, tidak tahu
akan keampuhan sinar pedang Hok-mo-kiam sehingga begitu kena disambar sinar
ini, tiga orang roboh dan tewas seketika! Delapan belas orang maju dan dalam
sekejap mata saja delapan orang dari mereka tewas! Sisanya, yang sepuluh
orang, menjadi kaget, berduka dan marah bukan main menyaksikan teman-teman
mereka tewas sedemikian mudahnya, maka dengan nekat mereka maju untuk membalas
dendam atau untuk tewas sekalian.
“Cu-wi,
mundur....!” Bun Beng mencegah, akan tetapi sia-sia, mereka malah makin nekat.
“Ha-ha-ha,
kalian yang sudah kehabisa tenaga dan setengah lumpuh, mau melawanku?” Maharya
berteriak.
“Jangan
dengarkan!” Bun Beng yang melihat kakek itu membuka mulut lebar memperingatkan,
namun terlambat. Sepuluh orang itu tiba-tiba merasa kedua kaki mereka lemas
tak bertenaga dan pada saat itu, menyambarlah sinar-sinar hitam dari tangan
Tan-siucai dan Maharya. Itulah jarum-jarum hitam beracun dan tentu saja
sepuluh orang yang sudah terpengaruh sihir itu tidak mampu mengelak lagi.
Mereka mengeluh dan roboh dengan muka berubah menghitam dan nyawa melayang
menyusul delapan orang teman mereka. Dalam sekejap mata saja, seluruh pemuja
Sun-go-kong, bekas pejuang yang gigih tewas di tangan Maharya dan Tan-siucai
dengan amat mudah dan secara sia-sia!
“Kakek
iblis yang kejam!” Bun Beng berteriak marah, dan tiba-tiba permainan pedangnya
berubah, ia telah mainkan ilmu rahasia yang dipelajarinya dari Kitab
Sam-po-cin-keng, dan ternyata akibatnya hebat sekali. Maharya berteriak kaget,
berusaha menangkis dengan tangan kirinya karena lingkaran-lingkaran aneh yang
dibuat oleh sinar pedang Bun Beng membuat dia menjadi bingung.
“Brettt....!
Ihhh!” Kakek Maharya mencelat mundur, wajahnya sebentar pucat sebentar merah,
kemarahannya memuncak ketika ia melihat betapa sarung tangannya terobek sedikit
dan telapak tangannya berdarah!
“Lihat
api....!” Kakek itu membentak.
Karena
girang melihat hasil serangannya, Bun Beng menjadi lengah sehingga ia mendengar
suara ini, melihat pula betapa kakek itu menggerakkan tangan kiri sambil
mendorong ke arahnya dan.... ia melihat pula api berkobar meluncur ke arah
tubuhnya. Bun Beng terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi bola api itu terus
mengejarnya dari atas, Bun Beng cepat memutar pedangnya dan pada saat ia sibuk
melawan bola api yang seperti hidup itu, tiba-tiba tangan bersarung emas
telah menghantam punggungnya dengan sebuah tamparan keras.
“Plakkk!”
Bun Beng berseru kaget dan tubuhnya terguling-guling, napasnya seperti
tersumbat. Sadarlah dia bahwa kembali dia menjadi korban sihir, dan bola api
itu sebetulnya tidak ada maka dia sampai kena dipukul. Dengan marah ia melompat
bangun dan jurus pertahanan dari Sam-po-cin-keng telah menutup tubuhnya
sehingga Maharya tidak dapat menyusulkan serangan maut kepada lawan yang telah
terluka itu.
“Kwi
Hong.... lari....!” teriakan Bun Beng sekali ini terdengar lirih karena dadanya
sesak dan napasnya terengah. Kwi Hong terkejut sekali, menoleh dan melihat
betapa pemuda itu makin terdesak hebat. Ia marah bukan main karena belum juga
mampu mengalahkan Tan-siucai.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa nyaring dari atas disusul menyambarnya bayangan hitam
yang besar. Bunyi kelepak sayap bercampur dengan pekik melengking dan tertawa
nyaring memenuhi udara ketika bayangan hitam itu menyambar ke arah Bun Beng
dan Maharya yang sedang bertempur. Sinar putih panjang dua buah, seperti dua
ekor ular putih yang amat panjang, menyambar ke arah tangan Bun Beng sedangkan
paruh besar burung rajawali menyambar ke arah tangan Maharya yang memegang ular
putih.
Bun
Beng berteriak kaget ketika tiba-tiba tangan kanannya menjadi lemas terkena
totokan sinar putih dan selagi dia belum sempat mengembalikan tenaga untuk
memegang gagang pedang erat-erat, Pedang Lam-mo-kiam telah terlibat tali putih
dan terlepas dari tangannya. Juga Maharya berseru keras ketika tiba-tiba ia
diserang oleh pukulan sayap dan selagi ia mengelak, ular putih telah terlempar
dari tangannya. Dua orang yang sedang bertanding ini melompat mundur, memandang
ke atas dan tampaklah oleh mereka seorang pemuda tampan menunggang seekor
rajawali raksasa sedang tertawa-tawa memegangi pedang Lam-mo-kiam di tangan
kanan dan ular putih yang dirampas rajawali di tangan kiri!
“Iblis
cilik dari Pulau Neraka!” Bun Beng memaki. “Kembalikan pedangku!”
Pemuda
di atas punggung rajawali itu hanya tertawa mengejek dan pada saat itu,
segumpal asap hitam yang dilepas oleh Maharya secara diam-diam menyerang muka
Bun Beng. Pemuda ini gelagapan, menyedot asap hitam dan seketika kepalanya
pening, pandang matanya gelap dan ia terhuyung-huyung.
“Desss!”
Kembali punggungnya dihantam tangan kiri Maharya dan ia roboh terguling. Namun
ia masih sempat berteriak, “Kwi Hong, lari....!” Kemudian ia merangkak bangun
duduk bersila memejamkan mata dan berusaha mengusir pengaruh asap beracun
yang membuatnya pening dan lemas, apalagi punggungnya yang telah dua kali
dihantam oleh tangan kiri Maharya yang lihai membuat napasnya sesak.
Maharya
yang tadinya menyangka bahwa pemuda di punggung rajawali yang datang itu
mungkin akan mengeroyoknya, telah merobohkan Bun Beng lebih dulu, kemudian
kini ia mengacungkan tangannya ke atas. “Bocah setan, tak peduli engkau dari
Pulau Neraka, turunlah sebelum engkau dan rajawalimu mampus di tangan Pendeta
Sakti Maharya!”
Pemuda
itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera To-cu Pulau Neraka. Ia tertawa dan
memainkan ular putih di tangan kirinya. “Heh-heh, setan tua. Ular putihmu ini
baik sekali, tentu kdu dapatkan di Himalaya, bukan?”
Diam-diam
Maharya terkejut juga. Ular putihnya itu adalah seekor binatang yang racunnya
ampuh sekali. Jarang ada orang sakti yang akan mampu menahan racun binatang itu
dan sudah bertahun-tahun ia memelihara dan melatihnya sehingga ular itu akan
menjadi ganas kalau dipegang orang lain. Mengapa kini di tangan pemuda itu,
ularnya menjadi jinak sekali? Namun tidak peduli anak setan dari mana pemuda
itu, dia harus merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan ular putih. Ia
menggerakkan tangannya dan sinar hitam menyambar ke arah burung rajawali yang
terbang rendah.
Pemuda
itu memutar pedang Lam-mo-kiam dan burung rajawali mengibaskan sayapnya, namun
tetap saja ada sebatang jarum mengenai kaki burung itu sehingga burung itu
memekik keras dan terhuyung.
“Crakk!”
Pedang Lam-mo-kiam bergerak dan kaki burung yang terkena jarum hitam itu telah
dibuntungi penunggangnya!
“Setan
tua itu membikin kakimu putus, hek-tiauw (rajawali hitam), hayo kita bunuh
dia!” Pemuda itu berseru dan rajawali itu sudah menyambar turun dengan penuh
kemarahan. Disambar oleh cakar dan paruh, dihantam oleh sayap yang besar
ditambah lagi serangan pedang Lam-mo-kiam dan ular putihnya sendiri
benar-benar Maharya menjadi kaget bukan main. Ia menggulingkan tubuhnya ke
atas tanah dan hanya dengan jalan bergulingan ini ia terbebas dari bahaya
maut.
Sementara
itu, ketika Kwi Hong melihat penunggang burung rajawali, mukanya berubah dan
ia merasa gelisah sekali. Tentu saja dia mengenal Wan Keng In dan maklum bahwa
pemuda Pulau Neraka itu merupakan musuh besar, sehingga tentu akan menambah
lawannya. Saat itu ia melihat Bun Beng terguling dan mendengar pesan terakhir
pemuda itu. Tidak baik melawan terus, pikirnya. Melawan berarti akan kalah dan
pedang Li-mo-kiam akan terampas pula. Apa artinya melawan kalau tidak akan
dapat menolong Bun Beng dan merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan Pedang
Hok-mo-kiam? Lebih baik seperti yang diminta Bun Beng, melarikan diri selagi
ada kesempatan, kemudian melapor kepada pamannya karena kalau bukan pamannya
sendiri yang turun tangan, bagaimana mungkin pedang-pedang itu dapat dirampas
kembali? Alisnya berkerut dan hatinya terasa sakit sekali ketika mengerling ke
arah Bun Beng yang terpaksa harus ia tinggalkan. Ia berseru keras, pedangnya
menyerang ganas sehingga Tan-siucai kaget dan meloncat mundur. Ketika ia
memandang ke depan, gadis lawannya itu telah meloncat-loncat jauh dan
melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar gurunya berteriak,
“Tan
Ki.... bantu aku....!”
Ia
menengok dan terkejut sekali melihat pemuda yang menunggang burung rajawali
itu sambil terkekeh-kekeh menyerang gurunya dari atas, menyambari gurunya
seperti seekor burung mempermainkan tikus! Ia menjadi marah dan maju
menyerang dengan pedangnya ketika pemuda di atas punggung rajawali itu kembali
turun menyambar.
“Tranggg....!
Bukk!” Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru kaget dan rajawalinya
memekik kesakitan dan terbang tinggi. Pemuda itu kaget karena pedang laki-laki
yang menangkisnya itu ternyata dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan
tangannya tergetar, sedangkan pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah
mengenai paha rajawali itu. Wan Keng In yang sudah memeriksa pedangnya dan
maklum bahwa secara tidak terduga-duga dia telah mendapatkan sebatang di
antara Sepasang Pedang Iblis yang dicari-cari ibunya, tidak mau menempuh bahaya
menghadapi dua orang di bawah yang ternyata lihai itu, apalagi kini rajawalinya
terluka berat, sebelah kakinya buntung dan bercucuran darah sedangkan pahanya
juga terluka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu rajawalinya akan kuat
membawanya terbang ke Pulau Neraka, maka ia lalu menyuruh rajawalinya terbang
tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.
Maharya
menyumpah-nyumpah. “Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia membawa lari ularku!”
“Dan
Lam-mo-kiam juga dirampasnya. Semua ini kesalahan pemuda sialan itu! Kita
bunuh saja dia!” Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam ke arah leher Bun
Beng yang masih duduk bersila mengatur pernapasan. Karena tidak sanggup
membela diri lagi, Bun Beng tetap tidak bergerak, menyerahkan nasibnya kepada
Tuhan.
“Jangan!”
Tiba-tiba Maharya berteriak dan Tan Ki menahan pedangnya, menoleh dan
memandang gurunya dengan heran.
“Mengapa?
Apakah Guru menaruh kasihan kepada bedebah ini?”
“Ha-ha-ha,
hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku robek, ularku lenyap
dan Lam-mo-kiam juga hilang. Aku senang bukan main melihat dia mampus, akan
tetapi amat enaklah kalau kau membunuhnya begitu saja. Kita harus membuat dia
mati perlahan-lahan, biar dia menderita sampai empat puluh hari, mati tidak
hidup pun bukan, baru benar-benar mampus, ha-ha-ha!”
Tan-siucai
tertawa geli. “Maksudmu bagaimana, Guru?”
“Begini!”
Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya yang memakai
sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng maklum bahwa dirinya
diserang, akan tetapi tubuhnya lemas, tenaganya habis sehingga melawan pun
hanya akan menyiksa diri, maka dia diam saja menerima hantaman maut.
“Cusss!
Cusss!” Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang
pinggang, kanan kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan sesuatu, hanya
rasa pegal di tempat yang ditotok.
“Ha-ha-ha,
aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan membalikkan hawa
kundalini, dia akan keracunan, kedua kakinya akan lumpuh, darahnya
perlahan-lahan akan kotor dan menghitam dan dia setiap hari akan menderita
hebat, sedikit demi sedikit nyawanya terancam, sampai empat puluh hari. Dia
mati sekerat demi sekerat, ha-ha!”
Tan-siucai
juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika melihat betapa dua
kali totokan gurunya itu tidak membuat Bun Beng kesakitan. “Terlalu enak
kalau dia tidak diberi rasa, dan hatiku tidak puas kalau tidak menyiksanya
tanpa membunuhnya.”
Gurunya
mengangguk. “Asal jangan kau pergunakan sin-kang agar tidak membunuhnya,
sesukamulah.”
“Kalau
tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan Pendekar
Siluman sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!” Tan-siucai mengayun kakinya,
tanpa menggunakan tenaga sin-kang menendang ke arah ulu hati Bun Beng.
“Ngekkk!”
Biarpun tidak menggunakan sin-kang, namun tendangan yang keras itu membuat Bun
Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.
“Desss!”
Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak sepatu. Ketika
injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan kepala sehingga bangkit
duduk lagi, Tan-siucai menendang yang kiri.
“Desss!”
Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang, kepalanya
pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya bengkak-bengkak dan membiru.
Tan-siucai
tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan langkah lebar ia
menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah kedua lutut Bun Beng,
menendang keras sekali.
“Krak!
Krak!”
Tanpa
mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya terlepas!
“Cukup,
kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh hari. Mari kita
pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari tangan kita. Kita
kejar bocah perempuan itu!” Guru dan murid itu sambil tertawa-tawa puas lalu
berlari, bayangan mereka berkelebat dan tempat itu menjadi sunyi sekali. Tubuh
Bun Beng menggeletak menelungkup dalam keadaan pingsan, sedangkan tak jauh dari
situ delapan belas buah mayat para pemuja Sun-go-kong malang-melintang!
Menyeramkan sekali keadaan di situ, apalagi ketika tampak beberapa ekor burung
gagak hitam beterbangan dan berputaran di atas tempat itu, agaknya mereka
sudah mencium bau mayat dan darah.
Bun
Beng sadar dan membuka matanya ketika ia merasa pipinya sakit seperti
ditusuk-tusuk pedang. Betapa mendongkol dan marah hatinya ketika ia melihat
dua ekor burung gagak mematuki darah dari pipinya. Sekali mengibas dengan
tangan, dua ekor burung itu terpental dan mati seketika. Gerakan ini membuat
burung-burung gagak yang lain terbang ke atas dan Bun Beng bergidik. Burung-burung
keparat itu pesta mematuki mayat-mayat, makan daging dan darah dari luka-luka
di tubuh mayat-mayat itu. Dengan hati terharu ia memandang ke sekeliling.
Hatinya merasa sengsara sekali menyaksikan delapan belas orang itu telah
menjadi mayat, dan lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur
jenazah mereka. Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambungan lutut kedua
kakinya terlepas dan nyeri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia
mengeluh dan bangkit duduk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah di
paha untuk melenyapkan rasa nyeri di lututnya, kemudian sedapat mungkin ia
mengurut lutut-lututnya. Kemudian ia menggerakkan kedua tangannya, mengesot
dan setengah merangkak meninggalkan tempat itu. Dia harus pergi dari situ, tidak
tega ia menyaksikan mayat-mayat itu dimakan burung. Mereka telah mati dalam
membelanya. Ia menoleh sebentar dengan air mata membasahi bulu matanya ia
berbisik, “Sahabat-sahabatku sekalian, aku bersumpah kalau masih dapat sembuh
dan hidup, aku akan membalas kematian kalian kepada Maharya dan Tan Ki.” Kemudian
ia merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya
terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia telah
terluka hebat dan jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat setiap buku
tulang terasa seperti ditusuki jarum.
Susah
payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang terjal itu?
Ah, bagaimana pula nasib Kwi Hong? Mudah-mudahan dia dapat melarikan diri,
pikirnya dan ia menjadi agak lega. Biarpun dia mati, tentu Pendekar Super
Sakti akan membalaskan sakit hatinya. Bertambah pula musuh-musuhnya, musuh yang
amat sakti. Musuh-musuh pertamanya, Koksu Negara Im-kan Seng-jin dan para
pembantunya sudah merupakan lawan yang berat dan belum dapat ia jumpai, kini
muncul pula musuh-musuh yang tidak kalah saktinya, yaitu Tan Ki dan gurunya
yang pandai ilmu sihir! Dan dia maklum bahwa guru dan murid itu telah membuat
dia menjadi seorang cacad dan tinggal menunggu maut. Pukulan beracun itu takkan
dapat ia obati, apalagi dengan kedua kaki tak dapat dipakai berjalan, apa dayanya?
Namun dia tidak putus asa, tidak mau putus asa. Selagi ia masih hidup, dia
akan berusaha menyembuhkan luka-lukanya, berusaha pergi dari tempat berbahaya
ini!
Malam
itu Bun Beng mengalami malam yang paling sengsara. Ia berusaha duduk bersila
bersiulian, namun tetap saja ia tidak dapat mengerahkan tenaganya. Begitu ia
mengerahkan sin-kang, perutnya terasa panas seperti dibakar dan seluruh tubuh
terasa gatal-gatal. Ia hanya dapat melatih pernapasan, menghirup udara segar,
itu pun tidak dapat ia tarik ke pusar seperti biasa karena hal ini juga
menimbulkan rasa nyeri yang sama. Semalam ia tidak tidur dan kalau ia teringat
akan malam penuh bahagia bersama Kwi Hong, ia tersenyum pahit. Baru kemarin ia
mengalami malam yang paling bahagia selama hidupnya, duduk menghadapi api
unggun, menatap wajah gadis itu yang tidur nyenyak dan merasa betapa dunia
menjadi amat indah. Kini perubahan itu seperti sorga dan neraka. Ia teringat
akan wejangan Siauw Lam Hwesio bahwa memang demikianlah hidup. Sorga dan
neraka penghidupan muncul dan lenyap saling berganti!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah terang tanah, Bun Beng melanjutkan
usahanya menuruni bukit dengan merangkak perlahan-lahan. Betapa ia dapat
melakukan perjalanan cepat kalau ia hanya mengandalkan kedua tangannya untuk
menarik tubuhnya secara mengesot?
Tubuhnya
terasa makin panas. Darah yang mengalir ke kepalanya seolah-olah membakar
kepala dan menjelang tengah hari ia tidak kuat lagi. Ia rebah di bawah
sebatang pohon dalam keadaan setengah pingsan. Ketika ia meletakkan pipinya
yang masih membengkak dan nyeri berdenyut-denyut itu ke atas tanah berumput
yang dingin basah, ia merasa betapa nikmatnya tidur seperti itu. Ingin ia tidak
dapat bangun kembali, rebah seperti itu untuk selamanya!
Sebuah
kaki bersepatu membalikkan tubuhnya yangmenelungkup.
Ia terlentang dan pandang matanya berkunang. Dalam keadaan setengah
pingsan ia melihat beberapa orang berdiri mengelilinginya dan jantungnya
berdebar penuh kemarahan ketika ia mengenal seorang di antara mereka adalah
pemuda Pulau Neraka, si penunggang rajawali! Bagaimana pemuda ini bisa muncul
kembali?
Pemuda
yang datang bersama dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah tua itu
adalah Wan Keng In. Pemuda ini tadinya hendak kembali ke Pulau Neraka
menunggang rajawali yang terluka parah. Hatinya girang mendapatkan
Lam-mo-kiam, akan tetapi juga kecewa karena dia tidak dapat mengalahkan kakek
India dan sasterawan yang menjadi murid kakek itu. Kecewa karena dia tidak bisa
mendapatkan pedang Li-mo-kiam karena ibunya tentu akan girang sekali kalau dia
bisa mendapatkan Sepasang Pedang Iblis itu, bukan hanya yang jantan, pula, dia
pun ingin sekali mendapatkan pedang Si Sasterawan yang mampu menandingi
Lam-mo-kiam.
Dengan
hati girang Wan Keng In melihat seekor burung rajawalinya terbang di udara. Ia
bersuit nyaring dan ketika rajawali itu terbang dekat, ia lalu pindah ke atas
punggung rajawali yang sehat. Ketika ia terbang rendah di pantai, ia melihat
sebuah perahu hitam, perahu Pulau Neraka. Cepat ia turun dan ternyata perahu
itu adalah perahu yang ditumpangi dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka
merah. Biarpun ia agak kecewa mendapat kenyataan bahwa yang berada di perahu
hanyalah dua orang anggauta rendahan yang tidak dapat banyak diandalkan, namun
ia girang juga dan cepat mengajak mereka untuk pergi ke bukit itu. Dia harus
menyelidiki bukit itu. Siapa tahu pusaka-pusaka yang yang lain berada di situ.
Demikianlah,
ketika di tengah jalan ia melihat Bun Beng yang menggeletak setengah pingsan,
alisnya berkerut. “Inilah orangnya yang memegang pedang yang kurampas.
Kepandaiannya lumayan juga. Eh, orang yang terluka parah, aku akan mengobatimu
sampai sembuh, akan tetapi katakanlah, dari mana engkau mendapatkan
Siang-mo-kiam? Dan mana yang sebatang lagi?”
Mendengar
pertanyaan ini, Bun Beng menggeleng kepala tanpa menjawab. Biarpun benar-benar
pemuda Pulau Neraka ini akan dapat menyembuhkannya, dia tetap tidak sudi
memberi tahu kepada pemuda yang dibencinya itu tentang sepasang pedang iblis
yang kini telah dirampasnya sebatang. Lebih baik dia mati daripada memberi tahu
bahwa pedang yang sebuah lagi dipegang Kwi Hong. Kalau pemuda ini naik burung
rajawali mengejar dan mencari Kwi Hong dari atas, gadis itu bisa terancam
bahaya!
“Apakah
engkau mendapatkannya di bukit ini? Apakah ada pusaka lain lagi? Kitab
pelajaran kuno? Kulihat engkau menderita pukulan beracun yang amat berbahaya!”
Wan Keng In mendesak lagi, akan tetapi Bun Beng menggeleng kepala dan
memejamkan mata, tidak menjawab.
Keng
In menggerakkan jari tangannya menotok pundak Bun Beng dan pemuda yang sudah
terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak. “Kalian bawa dia ke perahu
dan bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk mengorek rahasia darinya.
Dia lihai, akan tetapi dia terluka parah dan sudah kutotok. Akan tetapi,
kalian harus tetap berhati-hati membawanya, jangan sampai gagal. Aku akan
menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup mencurigakan.”
“Baik,
Kong-cu (Tuan Muda).” Dua orang anggauta Pulau Neraka yang bermuka merah itu
lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan membawanya turun dari bukit.
Semetara itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan tetapi dia
hanya menemukan mayat delapan belas orang gagah itu dan biarpun dia telah
mencari sampai sehari penuh, dia tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kitab
kecil pelajaran Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat. Biarpun yang ditemukan sama
sekali bukan pusaka-pusaka yang diharapkan namun kitab ini ia kantongi dan ia
bawa pergi setelah ia bersuit memanggil burung rajawali yang mengikuti
perjalannya bersama dua orang anggauwnya dari atas.
Sementara
itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke pantai sunyi di
mana mereka menyembunyikan perahu mereka, kemudian merebahkan Bun Beng di
dekat perahu dan melayarkan ke laut. Bun Beng masih berusaha sedapat mungkin
untuk membebaskan totokan. Dia memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia
dibawa ke Pulau Neraka! Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih
tidak mau, apalagi menjadi tawanan yang luka berat seperti sekarang ini, dan
dibawa ke sana hanya untuk dipaksa mengaku tentang Sepasang Pedang Iblis! Ia
harus dapat melepaskan diri, karena kalau sampai ia dibawa ke Pulau Neraka,
habislah harapannya. Bagaimana ia akan dapat keluar dari pulau itu? Daripada
hidup tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati sekarang karena berusaha
melepaskan diri. Memang sukar mencari jalan bebas mengingat akan
luka-lukanya, tubuhnya yang lemah dan kakinya yang tak dapat dipergunakan. Akan
tetapi dia tidak memusingkan hal itu, pertama-tama dia harus dapat membebaskan
totokan itu lebih dulu. Kedua kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan
tetapi ia masih mempunyai kedua tangan!Lautan utara ini sunyi sekali. Hanya ada
beberapa buah layar kecil tampak dari jauh, yaitu layar para nelayan yang untuk
mencari nafkah hidupnya berani menempuh jarak jauh dan menentang ancaman
bahaya maut di tengah laut yang kadang-kadang amat ganas itu. Setelah perahu
meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil membebaskan diri dari totokan.
Dia mengeluh karena setelah kini berada di perahu dan di tengah laut, andaikata
ia dapat membebaskan diri dari dua orang itu sekalipun, habis apa yang dapat ia
lakukan? Dengan hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di pinggir
geladak, menggunakan kesempatan selagi dua orang itu sibuk dengan kemudi danlayar. Ia menjangkau langkan dan menarik tubuhnya
ke atas untuk mengintai keluar. Sunyi di luar, tidak tampak perahu lain. Akan
tetapi di kejauhan itu.... ah, ada sebuah perahu kecil di sana, dengan seorang
penumpangnya.
Kalau
saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu orang itu seorang nelayan
biasa yang akan suka menolongnya. Untung bahwa perahu layar Pulau Neraka ini
sedang meluncur menuju ke perahu kecil di kejauhan itu.
“Heeiii....
kau mau ke mana....?” Seorang bermuka merah yang kumisnya panjang melintang
berteriak sambil meloncat dekat. Ia takut kalau-kalau tawanan itu meloncat
keluar perahu. Kalau sampai mereka kehilangan tawanan itu, hidup atau mati
tentu kong-cu akan marah sekali dan mengingat akan hukumannya, mereka
bergidik.
“Kau
tidak boleh ke mana-mana, hayo kembali ke sini!” Si Muka Merah berkumis itu
menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.
“Dessss!
Augghhhh....!” Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan secara tiba-tiba
itu mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biarpun Bun Beng terluka,
namun pukulannya itu cukup kuat untuk memecahkan kepala anggauta Pulau Neraka
tingkat rendahan itu sehingga tubuhnya terjerembab dalam keadaan tak bernyawa
lagi!
“Heiii....
keparat, apa yang kaulakukan?” Orang ke dua cepat meloncat bangun tidak
peduli lagi akan kemudi, perahu mulai terombang-ambing. Ia lari mendekati,
kaget menyaksikan temannya telah tewas dan dengan marah ia mencabut golok lalu
menyerbu Bun Beng yang masih duduk bersandar langkan. Melihat serbuan golok
ini, Bun Beng maklum bahwa dia harus bekerja cepat. Ia tidak mempedulikan dada
dan perutnya yang menjadi panas dan nyeri sekali, terpaksa ia mengerahkan
tenaga seadanya dan tubuhnya mencelat ke atas, tangannya yang kiri memukul
pergelangan tangan kanan lawan sehingga goloknya terlepas, tangan kanannya
menampar pelipis.
“Plakk!”
Orang itu roboh tanpa mengeluh. Bun Beng juga terbanting jatuh di atasgeladak. Ia melihat betapa perahu itu dengan
layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring. Sekilas pandang ia melihat
perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali lagi ia mengerahkan tenaga,
kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya mencelat ke atas keluar dari
langkan.
“Jebuuuurrrr....!”
Bun Beng terbanting ke permukaan air laut dengan kepala lebih dulu. Bun Beng
gelagapan, berusaha untuk berenang, akan tetapi orang yang kedua kakinya sudah
tak dapat digerakkan, yang tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana
mungkin dapat berenang? Dia hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena
pengerahan tenaga tadi membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali,
tetap saja gerakan tangannya kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam
sehingga terpaksa minum air laut yang asin.
Tiba-tiba
Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya timbul kembali ke
permukaan air, kini tidak tenggelam lagi sehingga ia dapat menggunakan kedua
tangan untuk menghapus mukanya yang gelagapan. Kuncir rambutnya terlibat dan
dijambak ke atas, terasa pedas akan tetapi dia tidak marah karena hal ini malah
menolongnya, membuat dia tidak tenggelam. Akan tetapi ketika perlahan-lahan
tubuhnya ditarik ke belakang dan ia menoleh, matanya terbelalak dan ia
mendongkol juga karena ternyata yang mengait rambutnya adalah ujung pancing
yang tangkainya dipegang oleh seorang wanita di atas sebuah perahu kecil! Dia
memang ditolong, akan tetapi cara menolong itu benar-benar menghina sekali,
seolah-olah dia hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia seperti menjadi
seekor ikan aneh yang terkena pancing!
Betapapun
juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya melayang dan terjatuh ke dalam
perahu, di atas geladak yang sempit. Ia terengah-engah, memejamkan mata,
terasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng
mengeluh lirih.
“Hemmm,
engkau telah tiga perempat mati, rusak luar dalam.... hemmm, sungguh kasihan
orang yang tak tahu diri, berani menentang Pulau Neraka. Aahh, kakinya lumpuh
pula.... heran, dalam keadaan begini, bagaimana dia bisa membunuh dua orang
Pulau Neraka bermuka merah?”
Suara
itu halus dan merdu sekali sehingga Bun Beng merasa seolah-olah mimpi. Ia
cepat membuka matanya dan.... segera dipejamkannya kembali. Sudah matikah dia?
Beginikah rasanya mati dan bertemu bidadari? Kalau sudah mati, kenapa tubuhnya
masih terasa nyeri semua dan kakinya masih tak dapat ia gerakkan? Kalau masih
hidup, bagaimana mungkin ia bertemu bidadari di tengah lautan? Celaka,
jangan-jangan dewi penjaga lautan. Kalau manusia biasa, tak mungkin begitu
cantik seperti bidadari, begitu halus, suaranyapun tidak seperti suara manusia,
begitu merdu seperti orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang manusia semuda dan
secantik jelita itu seorang diri saja di tengah lautan?
“Eh,
aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin, mukanya rusak
begini mana bisa dikenal? Aihhhh, dia terkena pukulan beracun yang luar biasa!
Aduh kasihan sekali, siapa sih orang yang malang ini....?”
Mendengar
suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak terasa pula kedua
mata Bun Beng menjadi panas dan dua butir air mata bertitik turun. Tanpa
membuka matanya ia berkata, “Mohon pertolongan Pouwsat (Dewi).... hamba masih
belum ingin mati karena masih banyak tugas yang harus hamba laksanakan....!
Harap Pouwsat tidak kepalang menolong hamba....!”
“Aihhhh....
otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya penderitaan yang hebat ini
membuat otaknya menjadi berubah miring. Tidak mengherankan, jarang ada orang
di dunia ini masih dapat hidup setelah mengalami luka-luka parah luar dalam
seperti dia ini. Aihhhh, sungguh sialan. Memancing setengah hari tidak
mendapat ikan besar, hanya beberapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar
orang yang tidak waras luar dalam dan pikirannya, apa yang harus kulakukan
dengan dia?”
Bun
Beng menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas, kiranya benar
seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar ucapan terakhir itu,
ia menghela napas dan berkata,
“Kalau
kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan akukembali ke laut. Siapa sih yang minta
pertolonganmu tadi?”
“Aihhh....
masih bisa marah? Jelas miring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku selalu harus
bertemu dengan orang yang jatuh ke laut? Sungguh aneh jaman sekarang ini
banyak orang terapung-apung di laut.”
Kini
Bun Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya. Memang Bun
Beng boleh dimaafkan kalau tadi menyangka wanita ini dewi laut atau bidadari
karena memang dia seorang dara yang luar biasa cantiknya. Tubuhnya tinggi
ramping dengan bentuk tubuh yang hebat, wajahnya begitu jelita seperti gambar,
kulitnya putih halus seperti salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak
begitu lemah gemulai seperti batang pohon liu tertiup angin, pakaiannya indah
sekali sesuai dengan orangnya, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu
digelung tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat dari
mutiara. Seorang dara yang.... bukan main.
Akan
tetapi, begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng keduanya
berseru,
“Nona
Milana....!”
“Engkau....
Gak-twako.... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya engkau Gak Bun Beng!
Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini, Gak-twako?”
Bun
Beng menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk bangkit
duduk. Ia menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut Milana
membantunya duduk di atas geladak. Sejenak mereka saling pandang. Milana dengan
penuh rasa kasihan. Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan juga tidak enak hati
karena ia berjumpa dengan dara yang sejak kecil berwatak halus ini dalam
keadaan seperti itu. Dara itu kini telah dewasa, bagaikan setangkai bunga
sedang mekar semerbak. Bukan main! Seorang dara tujuh belas tahun yang seperti
dewi kahyangan! Debar jantung Bun Beng mengatasi segala rasa nyeri dan pemuda
ini cepat mengalihkan pandang matanya, menunduk dan menghela napas panjang.
“Panjang
sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas.... aku dilukai oleh seorang
kakek India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang gila....”
“Ohhh?
Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu? Yang mencuri Pedang
Hok-mo-kiam?”
“Benar,
Nona Milana, engkau masih ingat itu semua? Ingat akan pengalaman kita
bertahun-tahun yang lalu itu....?”
“Tentu
saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning, kemudian sampai
kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh, Gak-twako, kenapa
mereka melukaimu seperti ini? Ini namanya sengaja menyiksa, mengapa kau tidak
dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?”
“Gara-gara
Sepasang Pedang Iblis....” jawabnya dan kembali ia merintih dan menyeringai
karena dadanya terasa sakit sekali.
“Sepasang
Pedang Iblis?” Milana berseru kaget sekali.
“Benar
dan aauuggghh....” Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan tenaga tadi
ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali dan ia roboh
pingsan!
Ketika
Bun Beng siuman kembali, ia berada di atas kuda, di belakangnya duduk Milana.
Rasa nyeri menguak ke seluruh tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengatasi
debar jantungnya ketika ia merasa betapa tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk
oleh Milana. Bukan main! Di atas segala rasa nyeri, terasa olehnya kehangatan
dan kelunakan tubuh dara itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan
ingin pingsan terus!
Akan
tetapi dara itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman.
Didorongnya tubuh Bun Beng ke depan. “Bagaimana, Gak-twako? Apakah kau kuat
menunggang kuda bersamaku? Harap kaupertahankan, engkau harus mendapat
perawatan yang baik. Agaknya Ibu akan dapat menolongmu....” Gadis itu bicara
halus dan penuh iba.
Bun
Beng memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan perlahan.
“Aihhh.... aku menyusahkan engkau saja, Nona. Ibumu seorang sakti, akan tetapi
aku merasa sangsi apakah Beliau akan dapat menyembuhkan aku. Menurut kata kakek
India itu, dalam waktu empat puluh hari aku akan mati sekerat demi sekerat.
Melihat rasanya tubuhku, dia agaknya tidak membohong. Darahku telah keracunan,
tidak ada yang akan dapat menyembuhkanku. Aahh, semua salahku sendiri,
terlalu menurutkan kata hati tanpa mempertimbangkan dan tanpa menyadari bahwa
kepandaianku masih amat rendah. Aku berani mengacau Thian-liong-pang.... itulah
mula-mula segala malapetaka yang menimpa diriku....”
“Apa?
Kau mengacau Thian-liong-pang?” Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana
mendengar ini. Thian-liong-pang adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah
Ketua Thian-liong-pang. Akan tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia
tidak dapat menceritakannya kepada siapapun juga. “Mengapa kau memusuhi
Thian-liong-pang?”
“Perkumpulan
iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh kang-ouw untuk
dicuri ilmu mereka. Hemm, dan Ketuanya amat ganas, kejam, licik dan sakti.
Kiranya hanya Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es saja yang akan dapat
membasmi Thian-liong-pang....!”
“Gak-twako,
orang tidak perlu mencampuri urusan orang lain kalau belum diketahuinya betul
keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua Thian-liong-pang sehingga dia
kaumaki ganas, kejam, licik dan sakti? Kurasa, orang seperti engkau sekalipun
akan dapat salah sangka, maka sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan
orang-orang lain, terutama Thian-liong-pang atau Pulau Neraka. Mereka amat
berpengaruh dan lihai, tidak ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani
lancang menentang mereka.”
Bun
Beng mengerutkan alisnya. Mengapa puteri Pendekar Super Sakti, yang tentu
memiliki ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika menolongnya
dengan kail, mengeluarkan ucapan begitu jerih terhadap Thian-liong-pang dan
Pulau Neraka? Dia merasa penasaran melihat sikap Milana seperti ketakutan.
“Nona,
kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, mengapa kau
menolongku? Lebih baik kalau kautinggalkan aku di sini saja!”
Milana
tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng bergerak
hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi pemuda itu
karena kakinya lumpuh dan tenaganya habis. “Gak-twako, engkau benar-benar
seorang yang amat tinggi hati! Aku menolongmu dengan hati tulus ikhlas dan
kosong tanpa pamrih, hanya berdasarkan perasaan iba yang akan kulakukan
terhadap siapapun juga yang membutuhkan pertolongan seperti engkau. Mengapa
harus kudasarkan kepada perasaan takut atau tidak? Twako, apakah engkau
menganggap aku seorang pengecut dan penakut yang akan membiarkan orang terluka
parah seperti engkau begitu saja tanpa berusaha mengobati dan menolongmu?”
Ucapan
itu dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak mengandung
kemarahan atau penyesalan sehingga diam-diam Bun Beng merasa terkejut dan
teringatlah ia betapa ucapannya tadi kasar dan menyakitkan hati. Maka ia cepat
berkata,
“Maafkan
aku, Nona. Bukan sekali-kali aku bermaksud bahwa Nona seorang penakut,
hanya.... aku telah dianggap musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan kaum Pulau
Neraka agaknya juga memusuhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan merasa
berdosa dan menyesal kalau engkau akan dimusuhi mereka pula karena engkau
telah menolongku! Aku tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar. Biarlah aku
saja yang menjadi korban keganasan mereka, jangan sampai engkau terancam pula
oleh bahaya.”
Milana
tersenyum. “Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan aku tidak akan
membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu oleh siapapun juga. Kurasa
engkau belum mengenal betul Thian-liong-pang. Menurut pendapatku,
Thian-liong-pang, kumaksudkan ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau
duga. Perbuatannya yang aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu
ada latar belakangnya.”
“Aku
sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga dalam keadaan
mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar mereka mengeluarkan
jurus-jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua itu! Dan engkau keliru kalau
menganggap Thian-liong-pang tidak jahat! Anak buahnya adalah iblis-iblis yang
kejam, yang suka membunuh orang tanpa berkejap mata.”
“Kurasa
tidak demikian, Twako. Kalau anak buah Thian-liong-pang ada yang menyeleweng,
hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua, karena tentu yang menyeleweng
akan dihukum. Adapun Ketua itu sendiri, andaikata sampai membunuh orang,
tentu ada sebab-sebabnya yang memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia jahat
seperti iblis. Hanya engkaulah yang belum mengenalnya betul.”
“Heii,
kau seperti membelanya!” Bun Beng berkata penasaraan. “Engkau tidak tahu, aku
telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di bawah tanah. Nyaris aku
dibunuhnya kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu Lo-mo yang mengaku masih paman
kakekku itu tidak membujuk Ketua Thian-liong-pang!”
“Ahhh,
jadi begitukah?” Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia mendengar
bahwa pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!
“Nona,
agaknya engkau mengenal betul keadaan Thian-liong-pang!”
“Sedikit
banyak aku sudah mendengar tentang perkumpulan itu, Twako. Siapakah orangnya
yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang terkenal? Sudahlah, engkau
perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat penguat badan, pencuci darah dan
penyambung tulang patah. Akan tetapi, racun yang mengancam keselamatan nyawamu
tak dapat kuobati, agaknya Ibu akan dapat menolongmu, akan tetapi....” Milana
menjadi bingung dan sangsi. Betapa mungkin ibunya akan suka menolong pemuda
yang sudah memusuhi Thian-liong-pang ini?
“Akan
tetapi apa, Nona?”
“Aku....
aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan obatku harus
kugodok, maka kita membutuhkan alat dapur. Di depan ada sebuah dusun, di sana
kau dapat beristirahat, Twako.”
Kuda
itu dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah gadis yang
duduk di belakangnya itu tidak melihat betapa wajah itu penuh kekhawatiran.
Juga keadaannya tidak memungkinkan dia setajam biasa, penglihatan maupun
pendengarannya, sehingga dia tidak tahu bahwa mereka berdua dibayangi oleh
beberapa orang. Akan tetapi Milana tahu akan hal ini maka gadis itu menjadi
gelisah, apalagi karena dari gerakan dan tanda para pengejar itu dia tahu
bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya!
Dalam
keadaan setengah sadar karena menderita luka hebat itu, Bun Beng diturunkan
dari atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang rumahnya disewa
gadis itu, dan dibaringkan di atas sebuah dipan kayu sederhana dalam ruangan
rumah yang sederhana pula. Setelah petani itu meninggalkan rumahnya yang telah
dibayar sewanya secara royal oleh Milana untuk waktu seminggu, Milana sibuk
memasak obat, kemudian mencuci muka Bun Beng dengan air hangat, membersihkan
darah dari pipi dan bibir, menaruh obat luka di tempat yang terobek sepatu
Tan-siucai kemudian memberi obat yang telah dimasaknya.
Bun
Beng menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wajar karena hal
itu dapat ia harapkan dari setiap orang manusia yang masih memiliki kasih
sayang di antara manusia. Bukan, bukan pertolongan itu yang mengharukan
hatinya, melainkan sentuhan-sentuhan jari tangan yang demikian lembut, pandang
mata yang demikian halus, perhatian yang demikian penuh dicurahkan kepada
dirinya. Kalau wajah itu tidak demikian cantik jelita dan masih amat muda,
tentu dia tidak akan yakin bahwa yang merawatnya itu bukan ibunya! Hanya ibunya
sendiri sajalah agaknya yang akan merawat anaknya seperti itu!
“Nah,
biarpun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu, setidaknya engkau akan
merasa tenang dan tidak begitu menderita nyeri lagi, Twako. Dan obat yang
kugosokkan pada lututmu itu, dalam waktu sepekan tentu akan memulihkan kembali
sambungan kedua lututmu sehingga engkau akan dapat berjalan lagi.”
“Nona
Milana.... terima kasih. Engkau....!”
“Husshhh....
tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh....” Gadis itu
menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi Bun Beng karena
dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh kegelisahan. Dia bukan seorang
ahli pengobatan, namun sedikit pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia
tahu bahwa pemuda itu menderita luka keracunan yang amat hebat. Biarpun dia
tahu ibunya sakti, namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan
pemuda itu. Yang membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng
memusuhi Thian-liong-pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya?
Bun
Beng dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengandung pula obat
tidur. Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga batang lilin di tempat
lilin kuno yang tergantung di sudut ruangan. Beberapa kali dia melihat
berkelebatnya bayangan orang di luar rumah dan dia tahu bahwa itu adalah
orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya. Bahkan dia mengenal pula siapa
yang memimpin rombongan delapan orang Thian-liong-pang itu, ialah sepasang
kakak beradik kembar yang amat lihai. Dia tahu bahwa dua orang kembar itu, Su
Kak Liong dan Su Kak Houw, adalah dua orang kepercayaan ibunya dan sudah sering
diutus melakukan hal-hal berbahaya di luar perkumpulan yang selalu dilaksanakan
dengan hasil baik. Sejak kecil Milana tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan
urusan Thian-liong-pang, namun karena dia digembleng ilmu oleh ibunya sendiri,
dia tahu bahwa kepandaian dua orang kembar ini hanya bertingkat sedikit di bawah
tingkat pembantu-pembantu ibunya seperti Lui-hong Sin-ciang Chie Kang atau
Sai-cu Lo-mo sendiri! Apalagi Su Kak Houw, setelah lengan kanannya lumpuh
dalam sebuah pertempuran melawan orang pandai, menerima sebuah ilmu pukulan
yang amat dahsyat dari ibunya. Ilmu ini didasari latihan khusus pada jari dan
telapak tangan kiri dengan pengerahan sin-kang dan gerakan khusus pula,
membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar biasa kuatnya, dapat dipakai menangkis
senjata-senjata logam yang kuat dan tajam, bahkan tangan itu dapat dipakai
membacok seperti sebatang golok tajam. Karena inilah maka dia terkenal sebagai
Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah julukan yang lucu dan aneh karena
selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan golok dalam pertandingan, apalagi
membunuh orang dengan golok. Dia hanya menggunakan lengan kirinya, namun
lawannya yang terluka atau tewas, roboh dengan luka-luka seperti dibacok
sebatang golok besar yang tajam!
Biarpun
maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya delapan orang
termasuk Si Kembar, Milana bersikap tenang-tenang saja. Dia merasa yakin
bahwa selama Bun Beng berada bersamanya, tak ada seorang pun anggauta
Thian-liong-pang yang akan berani turun tangan! Maka dia pura-pura tidak tahu
akan kehadiran mereka, sungguhpun dia tahu pula bahwa Si Kembar itu sengaja
beberapa kali bergerak di depan jendela supaya terlihat oleh Milana dan supaya
ditegur oleh puteri Ketua Thian-liong-pang itu. Namun, dia tidak mau menegur
mereka dan terus melanjutkan mempersiapkan makan dan minum sederhana untuk Bun
Beng dan dia sendiri.
Dugaan
Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam orang anggauta
Thian-liong-pang tingkat pertengahan, bertugas melakukan penyelidikan dan
pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos dari tempat tahanan di
bawah tanah. Dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati mereka ketika
melihat pemuda itu dalam keadaan luka berat, naik kuda bersama puteri Ketua
mereka! Tentu saja hal ini membuat mereka bingung dan tidak bergerak turun
tangan, bahkan menegur saja mereka tidak berani! Mereka merasa ngeri memikirkan
kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Ketua Thian-liong-pang terhadap
mereka kalau mereka mengganggu Milana! Sampai lama mereka memancing agar
ditegur lebih dulu oleh Milana sehingga mereka dapat melapor akan tugas yang
mereka terima dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi sungguh membuat mereka
makin bingung ketika dara itu sama sekali tidak peduli seolah-olah tidak
melihat mereka. Akhirnya, kedua orang saudara kembar itu mengambil keputusan
untuk memasuki pondok dan langsung menghadap Milana!
Ketika
dua orang laki-laki yang mukanya menyeramkan, rambutnya awut-awutan itu muncul
dari pintu pondok pada keesokan harinya, Bun Beng sudah bangun dari tidurnya,
merasa tubuhnya tidak begitu tersiksa lagi oleh rasa nyeri, sungguhpun kedua
kakinya masih lumpuh tak dapat digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak
memulihkan tenaga di tubuh bagian atas.
Tampak
olehnya Milana sedang memasak air di sudut pondok. Bun Beng menarik napas
panjang dan hal ini terdengar oleh dara itu yang segera menoleh memandang dan
tersenyum manis.
“Engkau
sudah bangun? Bagaimana tubuhmu?”
Sejenak
Bun Beng tak mampu menjawab, lehernya seperti tercekik. Sejak malam tadi,
Milana kelihatan sibuk terus mengurus dan merawat dirinya. Apakah tidak tidur
semalam? Dan melihat gadis itu di pagi hari ini, membuat Bun Beng terpesona.
Belum pernah dia melihat wajah secantik itu. Bukan main! Meremehkan segala
kecantikan yang pernah dilihat sebelumnya. Milana memiliki kecantikan yang
aneh, tidak seperti biasa dan mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada
wajah selaksa orang gadis cantik lainnya.
“Aihh,
kenapa engkau diam saja, Twako?”
Bun
Beng menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali. “Maaf.... eh, aku.... aku
sedang memikirkan bahwa sesungguhnya tidak perlu engkau bersusah payah untuk
aku, Nona. Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak layak menerima kebaikan
yang berlebihan ini, membuat aku berhutang budi dan.... bagaimana aku akan mampu
membalasmu?”
Milana
tersenyum lebar. “Ya jangan dibalas karena aku tidak menghutangkan apa-apa!”
Sebelum pemuda itu menjawab, Milana mendahului dengan sikap dan suara
bersungguh-sungguh, “Gak-twako, mengapa engkau masih saja memperlihatkan sikap
sungkan? Bukankah kita berdua telah mengenal sejak kecil dahulu? Kalau
seandainya aku yang tertimpa bencana seperti engkau sekarang ini dan bertemu
denganmu, apakah engkau tidak akan sudi menolongku?”
“Ah,
tentu saja!” jawab Bun Beng cepat.
“Kalau
melihat engkau sungkan-sungkan seperti ini, agaknya engkau pun tentu akan
segan dan sungkan menolongku.”
“Demi
Tuhan! Tidak, Nona. Aku akan melaksanakan apa saja, kalau perlu mengorbankan
nyawa untuk menolongmu!”
Milana
tersenyum lagi dan membungkuk. “Terima kasih, Twako. Nah, kalau begitu kita
sama-sama, bukan? Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada hanya kebetulan saja
engkau yang membutuhkan pertolongan dan aku yang dapat menolongmu dan....
ohhhh!” Milana cepat membalikkan tubuh memandang kepada dua orang pembantu
ibunya yang memasuki pondok itu dengan sikap takut-takut. Bun Beng juga
bangkit duduk di atas dipan, memandang kepada dua orang itu, sikapnya tenang.
“Kalian
mau apa?” Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia tidak khawatir
kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun Beng, tentu tidak akan
berani selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi dia lebih khawatir kalau
munculnya orang-orang itu akan membuka rahasianya, yaitu bahwa dia adalah
puteri Ketua Thian-liong-pang, bahwa ibunya yang sudah dikenal Bun Beng
sebagai isteri Pendekar Super Sakti itulah sesungguhnya Ketua
Thian-liong-pang!
Kedua
orang itu cepat menjura dengan penuh kehormatan kepada Milana kemudian Su Kak
Liong, yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya lebih tua beberapa jam
daripada Su Kak Houw, berkata hormat.
“Harap
Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami
melaksanakan perintah Pangcu terpaksa....”
“Cukup!
Pergilah, aku tidak mau diganggu!” Milana membentak marah dan kedua orang itu
menjadi pucat, saling memandang dengan bingung. Yang lebih bingung lagi adalah
Bun Beng. Kini dia mengenal kedua orang itu yang hadir ketika dia berada di
Thian-liong-pang. Tak salah lagi, mereka adalah dua orang tokoh
Thian-liong-pang dan agaknya utusan dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi
mengapa mereka bersikap begitu hormat dan takut-takut terhadap Milana?
Su
Kak Liong mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihatkannya
kepada Milana yang seketika menjadi pucat. Dara itu menutup mulut dengan jari
tangan seolah-olah hendak menahan jeritnya, matanya terbelalak memandang ke
arah benda kecil di atas telapak tangan Su Kak Liong yang ternyata adalah
sebuah benda besi hitam berbentuk tengkorak kecil sekali.
“Ohhh.... tidak....!”
Milana berseru lirih.
“Siocia
maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan menghadapi rintangan
apa pun, karena kegagalan kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi,
harap sudi memaafkan kelancangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa
sekali, untuk melaksanakan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!”
Su
Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum bahwa sekali
kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri
ketua ini sekalipun tidak akan berani menghalangi tugas mereka. Maka, begitu
mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat
melompat mendekati pembaringan Bun Beng, dilanjutkan dengan terjangannya yang
dahsyat, sekalipun menggunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan
pengerahan tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja
dan besi, yang membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan
kirinya berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!
Menghadapi
serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng kehabisan akal dan biarpun dia
mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawanya begitu saja,
namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut. Akan tetapi, angin pukulan
yang amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek
muka kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia
akan pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serangan badai dan cara
menyelamatkan layang-layang berikut dirinya.
“Menghadapi
serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara
langsung.” demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi petunjuk
untuk mengatasi. “Kosongkan tenagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke
arah mana dia menyambar, kemudian belokkan dan buang ke depan. Pasti
layang-layang ini akan dapat menguasainya.”
Teringat
akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik nyawanya terancam
maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran
itu. Dia membatalkan niatnya hendak menangkis sambaran tangan kiri tokoh
Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin
amat kuat menyambar ke arah lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk
ke belakang dan tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri
bersama arus tenaga yang datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah
dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa lengan di seluruh
lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti
ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan
kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.
“Crakkkk....!”
Terdengar jerit mengerikan. Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke
samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali
menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak
ke arah lengan kiri lawan itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa babatan
tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas
pangkalnya! Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu
mujijat dari Pulau Neraka, yaitu ilmu “memindahkan tenaga” yang amat hebat.
Adapun korban pertama dari ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah
Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguhpun tadi dia tahu bahwa hal itu
dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana. Ketika tadi Su Kak Houw
melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehebatan tangan kiri Su Kak
Houw, cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak
Houw tadi terhenti. Andaikata tidak demikian, biarpun ilmu baru Bun Beng
mujijat, namun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum
lengan Su Kak Houw buntung!
Su
Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik
kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. Dengan
muka pucat Su Kak Liong memandang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu
puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat
melihat dan tak akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya
itu yang membuntungkan lengan adiknya yang lihai.
“Kami
hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami
tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melaporkan peristiwa ini
kepada Pangcu dan mohon pengadilan.” Setelah berkata demikian, Su Kak Liong
memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.
“Terima
kasih atas pertolonganmu, Nona....” Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri
hebat yang menyesakkan dada.
Milana
menoleh kepadanya. “Aihh, Twako. Ilmu mujijat apakah yang kau pergunakan
tadi....? Ehhh.... kau kenapa....?” Gadis itu meloncat dekat pembaringan di
mana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelungkupkan mukanya ke
pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!
“Kau....
kau terluka....!” Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan
menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan saputangan.
Bun
Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak. “Sudahlah, Nona.... lebih
baik kautinggalkan aku di sini.... pengerahan tenaga tadi memperhebat
penyakitku, dan.... kau akan dimusuhi Thian-liong-pang.... tinggalkan aku, aku
tidak mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, seorang
yang sudah tiga perempat mati.”
“Tidak!
Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat
mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku,
jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini
akan mengganggu pasti akan kulawan!”
Biarpun
dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar
ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu
melalui kunang-kunang yang menari di depan matanya.
“Terserah
kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi.... aku hanya akan suka menerima budimu
dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang
Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu
kepandaian mereka yang tinggi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh
besar dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati
dan takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang?
Harap Nona suka berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan
ragu-ragu.”
Milana
menjadi merah mukanya. Sampai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng dan
melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah
dia bahwa tiada gunanya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya
kalau tidak berterus terang.
“Gak-twako,
sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan tetapi, karena
engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau
telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku
harus menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh
Thian-liong-pang, sebaiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku.... aku
adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu
dikerudungi itu bukan lain adalah Ibuku sendiri.”
“Ohhhh....!”
Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia
terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya!
Ketika
siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu
sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati. Tubuhnya
tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah berada di atas
punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.
“Ohhhh....
engkau hendak membawaku ke mana, Nona?”
“Gak-twako,
kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah
kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu
mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?”
“Aihhh,
mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti,
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat, sakti dari mulia.
Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia!
Aihhhh.... Nona, sungguh aku terkejut setengah mati mendengar bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah Ibumu. Sekarang.... ah, makin keras permintaanku agar
engkau tidak menolongku, Nona.”
“Hemm,
kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan
melindungimu dan mencarikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu.”
Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan
yang tak mungkin dibelokkan oleh apapun juga.
“Tapi
Thian-liong-pang....?”
“Peduli
amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan
kuhadapi mereka semua!”
“Akan
tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri?
Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perintah Ibumu!”
“Tidak
peduli!”
Ingin
Bun Beng memandang wajah gadis itu, akan tetapi karena Milana duduk di
belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu
akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berdekatan.
Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka untuk
melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia memberanikan
diri berkata,
“Nona
Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa
begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah
sekali kepadamu, Nona.”
“Biarlah,
aku tidak takut.”
Hening
sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar
memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, detak
jantungnya sendiri lebih keras daripada derap kaki kuda.
“Nona
Milana....”
“Ah,
telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako.
Sebut saja namaku, tanpa nona.”
“Maaf,
aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak
kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan.
Kini kita berdua menghadapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai
puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari keinginan Ibumu
sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Kuharap kau suka
menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti
ini?”
Hening
pula sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya,
“Apa
maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti.”
“Nona,
mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah
besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus orang-orangnya untuk
membunuhku. Akan tetapi mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak
enggan melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada
Ibumu?”
Kini
suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis
berkerut, agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk pertanyaan Bun Beng
itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terdengar ia menjawab,
“Sukar
sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir,
agaknya aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar akan kesesatan Ibu
dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka
aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh
Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?”
Bun
Beng menggeleng kepala. “Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu terlalu
dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau harus
menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu
cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentangnya dan membela
orang lain. Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan andaikata bukan aku yang
kaujumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kaukenal, apakah engkau
juga akan membelanya dari Ibumu dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang
pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau
mendiamkannya saja dan tidak ada seorang pun yang kaubela? Mengapa justru aku
yang kaubela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan
Ibumu? Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya,
Nona?”
Kini
lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan
jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar
Milana tertawa halus suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara
untuk menutupi kegugupannya. “Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku
sampai menjadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri
tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena
engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebabnya,
Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku.”
“Nona
Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang
hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku,
lalu timbul hasrat untuk menolongku, melindungiku mati-matian bahkan rela
bertentangan dengan Ibu sendiri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!”
“Heiiiii....
aduuuhhh....!”
Tubuh
Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah
mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring
yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas dan
tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!
“Ohhh,
Twako.... kau tidak apa-apa?” Milana cepat meloncat turun dan berlutut di
dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.
Pemuda
itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit duduk dengan
menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandangan. “Aku mohon
maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku
hanya bicara menurutkan suara hati. Maafkanlah aku yang lancang mulut.”
“Engkau
orang aneh!” Milana menyambar kedua lengan Bun Beng dan membawanya melompat
ke atas kuda lagi. “Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang
minta maaf.”
“Tentu
saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh lengkinganmu, dan
engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya adalah aku sendiri,
maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf.”
“Kata-katamu
tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku
tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kaumaksudkan? Yang
ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin menolongmu. Apakah itu cinta yang
mendorongnya ataukah perasaan lain, aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat
akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako.
Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan
kemarahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan terancam
maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak tahu dan tak
dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang cinta, Twako, maka
tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta.”
Seketika
merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak
tampak oleh dara yang duduk di belakangnya. “Wah, aku sendiri tidak tahu
tentang itu, Nona, aku sendiri pun belum mengenal cinta....”
“Ah,
kau bohong, Twako!”
“Sungguh
mati!”
“Usiamu
tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua daripada aku yang baru
tujuh belas tahun.”
“Aku
enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku.... aku belum pernah.... eh,
maksudku mengalami cinta, dan.... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama
tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara. Mana bisa?” Bun
Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa betapa
gembira hatinya. Aneh sekali! Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, sedikit
sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa
khawatir dan tidak merasa berduka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua
kakinya masih lumpuh, dadanya masih nyeri, akan tetapi rasa gembira
mengalahkan semua ini.
“Kau
benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa
engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana
pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu.”
“Hemm,
semua itu gara-gara Sepasang Pedang Iblis....”
“Ehhhh?
Sepasang Pedang Iblis? Di mana kedua pedang pusaka itu?”
Bun
Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini pun terkena pula wabah
“demam Sepasang Pedang Iblis” yang diderita semua orang kang-ouw sehingga
terjadi perebutan sejak dahulu. “Sayang pedang-pedang itu tidak berada di
tanganku lagi, sungguhpun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang
tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona.”
“Ahhh,
suaramu itu! Apa kaukira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja
begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau
Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu
akan tertolong!”
“Eh,
kenapa begitu?”
“Ibu
tentu akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan berterima
kasih kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan mengobatimu
sampai sembuh. Betapapun juga kalau dapat mengatakan di mana adanya
pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah,
Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau terluka
hebat?”
“Yang
melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya
Maharya dengan muridnya....”
“Aihhhh....!
Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek
Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?”
Bun
Beng mengangguk. “Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan
kepada Nona Giam Kwi Hong dan....”
“Aihhhh!
Enci Kwi Hong?” Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya
tiba-tiba berubah lirih ketika melanjutkan, “Kau.... berikan pedang itu
kepadanya?”
Bun
Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk. “Pedang betina
kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas....”
“Oleh
Tan Ki dan Maharya?”
“Bukan,
oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka.”
“Ohhh....!”
Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali
mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah
terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka! “Bagaimana bisa demikian?”
Bun
Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil
sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka
bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda lihai dari Pulau
Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan
dengan hati tertarik bercampur kecewa.
“Untung
bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong sehingga dapat
dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau
tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona
Milana.”
Ucapan
yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong
dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia
membandingkan Kwi Hong segan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona,
bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti
itu dengan namanya saja. Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini
amat halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk
menyebut namanya begitu saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah
lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap
tidak hormat!
“Gak-twako,
engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh
dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusaka-pusaka itu,
mengapa dengan mudah saja kauberikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?”
Bun
Beng termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa
dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat
menjawab, mengerutkan kening berpikir, kemudian baru ia menjawab setelah
berpikir lama, “Kurasa tidak aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang
pedang? Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong,
dan mengapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan
menemaniku mengambil Sepasang Pedang Iblis. Ke dua, karena dia adalah murid
Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya.”
Hening
sejenak sebelum Milana bertanya lagi. “Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci
Kwi Hong?”
“Hahh....?”
Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak
disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan
seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air. “Apa.... apa maksudmu, Nona....?”
“Twako,
semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok
dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang di antara Sepasang
Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di
dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sebatang di
antaranya. Akan tetapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi
Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku
hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?”
“Ahhhh,
Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak
untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti,
bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin dan mana pantas aku jatuh
cinta kepadaya? Tidak, Nona, harap tidak menyangka yang bukan-bukan. Aku
menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepada gurunya dan
pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulu Es yang
kuhormati.”
Tanpa
terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia mendengar
jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kudanya menuruni
lembah gunung, memasuki hutan ke dua yang besar dan agak gelap. Hatinya tenang
saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia sudah memasuki wilayah di
luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bahwa ibunya melarang anak
buahnya melakukan sesuatu di luar wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama
Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu
keperluan. Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar
itu, di sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu
barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.
“Engkau
merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?”
Kembali
pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun
Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap, “Ya.... ya.... begitulah.”
“Misalnya....
terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk
jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako.”
Bun
Beng terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos hati dara
ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya. “Ahhh.... mana aku berani,
Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri
Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku...., aku hanya anak yang tidak syah dari
seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!”
Milana
merasa terharu. “Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku
tidak menilai seseorang karena keturunannya, karena wajahnya maupun karena
kepandaian atau kedudukannya. Cinta adalah urusan hati, bukan urusan mata,
urusan batin, bukan urusan lahir.”
Jantung
Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata
yang sukar sekali untuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang
mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan
hatinya bertanya.
“Maaf,
Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini.
Apakah Nona mencintaku?”
Bun
Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tubuh dara itu
betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu, akan tetapi jawaban yang
keluar dengan halus itu tetap tenang. “Aku tidak tahu, Twako. Bagaimana aku
tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa
suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku,
yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk membela dan menolongmu. Aku
tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu,
Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?”
Bun
Beng tidak dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus, perlahan-lahan dan keduanya
diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke
depan ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta
di antara daun-daun pohon, di antara sinar matahari dan bayangan benda-benda
yang bersinar oleh cahaya matahari. Dahulu ketika ia mengenangkan wajah tiga
orang wanita, wajah Kwi Hong, wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai,
wajah Milana, ia pernah merenungkan tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih
kecil, pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai yang
ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya termenung dan mulailah ia
berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu?
“Cinta
adalah penyakit!” Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tidak hanya
mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri karena
kata-katanya sendiri itu seperti terlompat keluar tanpa disadarinya.
“Apa?
Cinta adalah penyakit?” Milana berseru keras.
Karena
sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul di
saat itu. “Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan penyakit-penyakit
baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut
cinta, bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang
pria saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik.
Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan
itu hanya nafsu belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan
diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau keinginan tidak
terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan
lain-lain. Ketidakcocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan ke
mana larinya cinta? Ketidakpuasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan
kekecewaan, ke mana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan kebencian, ke mana
larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama oleh kaum pria, hanyalah
nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau
kenyataan sebaliknya, terbanglah cintanya.”
Milana
membelalakkan mata, bergidik ngeri. “Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa
tidak demikian buruk seperti yang kausangka, atau karena kau belum merngenal,
kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi
wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai
perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin
dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apa pun, rela menyerahkan badan dan
nyawa untuk laki-laki yang mencintanya.”
“Hemm,
di mana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakan pun terjadilah seperti
Ibu dan Ayahmu, eh, maaf....!” Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah
matanya mengenai keretakan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya,
Nirahai.
“Kau
keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta.
Suka sama dinikmati, duka sama dipikul. Itulah cinta....”
Bun
Beng menarik napas panjang. “Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta
antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang
menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perjuangan
menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup.
Wanita lebih menggunakan perasaannya yang halus, karena itu cintanya lebih
murni, tidak seperti pria yang menggunakan pikirannya sehingga timbullah
dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan sehingga
memancing datangnya pertentangan dan persoalan....”
“Sssstt....
ada orang....” Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka,
ternyata muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya keren dan
menyeramkan.
Milana
menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata penuh
wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena
maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lumpuh dari
pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan
kanan memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring,
“Kalian
berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?”
Seorang
di antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil
menjawab, “Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi kedudukan dan
keadaan kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintahkan untuk
menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat
mengharapkan agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami
adalah utusan-utusan Pangcu yang berkuasa penuh.”
“Tidak.
Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan melidungi Gak Bun
Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membolehkan kalian
menangkap atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?”
“Srat-srat-sing-sing!”
Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.
“Maaf,
Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami melayarrg secara
sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andaikata kami
tewas sekalipun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggauta
Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai anggauta setia
daripada anggauta yang murtad tidak menurut perintah Ketua.”
“Hemm,
jadi kalian hendak melawanku?” Milana membentak.
“Bukan
melawan Siocia, hanya menjalankan tugas kami.”
“Nona
Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu
sendiri,” kata Bun Beng.
“Tidak!
Aku akan melindugimu dengan taruhah apapun juga.”
“Kalau
begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kaularikan saja kuda ini!” bisik Bun
Beng.
Lima
orang itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di tangan.
Tiba-tiba seorang di antara mereka yang berada di sebelah kiri, menggerakkan
goloknya membacok ke arah tubuh Bun Beng. Pemuda ini yang menggantungkan
tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti gerakan golok,
menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh
kemudian tangan kirinya bergerak membuang ke depan cepat mengenai punggung
golok itu.
“Krekkk!”
Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang gagangnya menjadi
kaku sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya meloncat mundur sambit
menjerit kaget. Orang ke dua menerjang, disusul orang ke tiga, ke empat dan ke
lima. Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih
menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua mereka,
maka gerakan mereka kaku dan tidak leluasa. Di lain pihak, Bun Beng yang
melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya
mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua
tangannya membabat dan memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang
lawan itu sendiri.
Terdengar
jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun terhuyung, ada
yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah
dikaburkan cepat-cepat oleh Milana! Mereka hanya berdiri bengong,
terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan
tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu
seperti yang dimainkan pemuda yang hanya dapat menggerakkan tubuh bagian atas
itu!
“Gak-twako,
hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih mampu
mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya.
Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya tidak akan kuat melawanmu!”
Bun
Beng menarik napas panjang. “Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan
itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh.”
Dara
itu memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan
muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berkata, “Wah,
bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?”
“Tidak
salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kautinggalkan aku,
biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret
engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya
dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan
Pulau Neraka.”
“Sudah!
Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kaukira aku takut
menghadapi Pulau Neraka? Kaulihat saja!” Sambil berkata demikian, Milana
mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang berdiri tegak itu.
“Berhenti!”
Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khi-kang sehingga terdengar
suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda
itu meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar, matanya liar ketakutan.
“Orang
tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?” Milana bertanya, sedikit pun
tidak merasa takut.
Kakek
itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali tidak
terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak kelihatan gentar.
Ia menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan berkata, “Nona muda, aku
menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan
aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan
Muda dari Pulau Neraka.”
“Aku
tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua dari Pulau
Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini adalah seorang
sahabatku, dan siapa pun tidak boleh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu
kami!”
Sinar
mata kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di
dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang rendah Pulau
Neraka, akan tetapi nona muda ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan
dan menghina. Melihat sikap ini, cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan
Milana berkata,
“Locianpwe
dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari
Thian-liong-pangcu.”
Sinar
mata marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan. “Aahhhh? Puteri
Pangcu dari Thian-liong-pang?”
Milana
tersenyum. “Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap
Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau
kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih
dulu!”
Kakek
bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biarpun dia tidak pernah takut
terhadap lawan yang bagaimanapun, akan tetapi mendengar nama puteri Ketua
Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri
Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan main-main!
Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau
Neraka yang sudah memesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan
sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es.
Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata
pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andaikata
bukan puteri Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari
Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.
“Maaf,
Nona,” akhirnya dia menjura, “Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat.
Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda
ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka
menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati
Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan mennghaturkan terima kasih kepadamu.”
“Aku
tidak butuh terima kasih Kongcumu yang jahat! Minggirlah!” Milana menyendal
kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila tokoh Pulau
Neraka itu menyerangnya.
Kakek
itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipukulkan ke
arah kepala Bun Beng. Pemuda ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap
mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu
tidak dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya menghantam ke bawah.
“Prokkk!”
Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun
Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan,
tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat
hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang
amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di
tubuh kakek itu.
Kakek
muka merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar
tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat
terbebas daripada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali
tampak sinar-sinar merah menyambar dari tangan Milana.
“Ayaaa....!”
Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang
jarum menancap di rambutnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya
menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya seujung rambut
selisihnya! Ia mengeluarkan pekik melengking dan muncullah dua orang lain,
seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya
kakek itu memanggil bala bantuan karena menghadapi puteri Ketua
Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
Melihat
ini, Milana cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia
berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia
tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi
tiga orang Pulau Neraka tadi. Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa
menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat
membawanya melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak, jengah dan
terharu adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di belakang
punggung!
Cepat
sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar
terus. Biarpun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua
Thian-liong-pang, namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang
tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu
mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka. Mereka
mengejar terus dengan cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua
Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena menggendong tubuh Bun Beng.
Andaikata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka
dapat mengejar dara yang memiliki sin-kang sedemikian hebatnya itu.
“Nona,
di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana.
Kalau tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi mereka,” kata
Bun Beng yang tidak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu bahwa Si Nona
jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya.
“Aku
sedang menuju ke sana,” jawab Milana “Lari mereka cepat sekali!”
Menara
dari kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga
orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebelah
belakangnya.
Ketika
Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang
Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang di antara mereka berseru.
“Nona,
lepaskan pemuda itu!” Dia sudah menggerakkan tangannya dan sebatang tali
panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya
menotok jalan darah. Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ketika melihat
tali seperti cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak
membelit lehernya!
“Haiiiittt!”
Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan tangannya cepat
menangkap tali yang membelit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga
sin-kang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba.
“Brettt!”
Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan. Milana tidak
mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan tiga orang itu
sudah meloncat dekat, senjata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu
memutar sisa tali di tangannya sebagai senjata, kakek ke dua menggerakkan
sebatang pedang, sedangkan kakek pertama menggerakkan tongkathya.
“Cuat-cuat-cuattt!”
Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang
hui-to (golok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau
Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba
berhenti bergerak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu
dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Milana
yang menoleh dan melihat ini, menjadi kaget akan tetapi juga girang sekali.
“Ibuku di sana....!” Ia berseru, kemudian mendaki sebuah tangga yang menuju
ke atas menara. Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak,
tak terpelihara, hanya tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh.
Ketika Bun Beng mendengar ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh ke
bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari
tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia
itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah Ketua
Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja
dilepas untuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak
sejengkal.
Kalau
dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan
merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dilepas oleh
Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar
dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau
belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menyerang
Pendekar Super Sakti. Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung
itu bukan lain adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari
Pendekar Super Sakti! Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh kasihan
kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh duka
sehingga dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar
sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam
ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi tentang cinta. Sungguh
aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini.
Dan
betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa
mereka saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu seolah-oleh hendak
memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran
sekali. Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami?
Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang cukup
berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami
seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu
si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar. Dia menjadi
penasaran dan kalau tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua
Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super
Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana!
Dengan
cepat namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana memanjat tangga itu
dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang
duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai menara. Tubuh ramping dengan
kepala berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
“Ibu....!”
Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya.
“Locianpwe....”
Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.
“Milana!
Apa yang kaulakukan ini?” suara merdu halus yang keluar dari balik kerudung
itu penuh teguran. “Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah
kita sendiri?”
“Ibu....
aku.... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu.
Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau
Ibu tidak menolongnya, dia akan mati....”
“Biar
saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan
turun tangan membunuhnya!”
“Ibu,
kasihanilah dia, ampunkanlah....” Milana berkata penuh permohonan.
“Kau
malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau
hendak membuka rahasia....”
“Locianpwe,
harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe,
akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah
dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Super....”
“Wuuutttt....!”
Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat
menyambar tubuh Bun Beng.
“Ibu....!”
Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga
terhindar dari bahaya maut.
“Anak
setan, kaukira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kaubuat di
Thian-liong-pang, mungkin aku dapat mengempunimu. Akan tetapi engkau telah
mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu
engkau harus mati!”
Tiba-tiba
tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk
bersila, meluncur ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu
menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar
diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.
“Plak-plak-plak....”
Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pundaknya terasa nyeri dan
hampir lumpuh.
“Ibu....
jangan....!” Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat
dara itu terlempar.
Rasa
penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan meledak. Dia
sudah siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia
tidak akan puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.
“Locianpwe!
Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia
seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan
tetapi mengapa Locianpwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang
keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat,
akan tetapi Locianpwe menjauhkan diri daripadanya, membuat hatinya sengsara.
Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut bersama suaminya ke mana pun dia
pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulus
seperti Pendekar Super Sakti?”
“Anak
setan, lancang mulut, keparat!” Wanita berkerudung itu membentak.
“Locianpwe
boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apalagi saya telah terluka dan
keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk
mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati
pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locianpwe
sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang
yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup
bahagia dan damai di sana?”
“Gak
Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan Ayahmu!”
Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuhnya sudah mencelat
lagi ke atas.
“Saya
memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit hati orang
lain, apalagi merusak hidup suami dan anak seperti yang Locianpwe lakukan!”
Tiba-tiba
tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik
kerudung itu terdengar suara menggetar, “Bocah setan! Kau tahu apa? Sebelum
engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pendekar Siluman yang
kaupuja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak
tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah
menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia
tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau mencari
kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis
perhatiannya? Hemm, kaukira aku selemah itu? Tidak, aku akan menandinginya,
aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat daripada Pulau Es! Akan kuserbu
Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan! Akan tetapi kau.... kau anak
Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan
engkau harus mampus!”
“Ibu!
Jangan...., jangan....!” Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun
Beng.
Nirahai,
Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran,
kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya.
“Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?”
“Ibu....!”
“Locianpwe,
engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini, keturunan seorang
penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona
Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memiliki watak halus penuh
budi luhur seperti ayahnya.”
“Ibu,
harap jangan bunuh dia.... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan
membuka rahasia Ibu.... bersumpahlah, Twako....”
Bun
Beng menarik napas panjang. “Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati
juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibumu? Akan
tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Selama hidupku,
aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah
isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka.”
“Ibu,
dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu.”
Melihat
sikap puterimu ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas
cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa rendahnya! Dia tahu
betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah menguasai hati wanita. Maka jalan
terbaik hanyalah membunuh Bun Beng sebelum terlambat, sebelum cinta kasih
yang baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.
“Minggir
kau....!” Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping.
Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke
arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju
karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan
menggunakan tangannya yang ampuh.
“Wuuuutttt!”
Bun
Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja
menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia
teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya
maut. Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya dengan
didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus gerakan
tangan lawan, menggerakkan tubuh miring ke kanan, kemudian tangannya sendiri
yang dipenuhi aliran tenaganya sendiri ditambah tenaga lawan, dari samping
menangkis dengan pukulan dahsyat.
“Dessss....!”
“Aihhhh,
pukulan apa ini....!” Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya
yang tertangkis secara hebatnya tadi dan memandang Bun Beng dari balik
kerudungnya. “Bukan main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku
mempelajari gerakanmu yang mujijat tadi. Sekarang terimalah kematianmu!” Dia
menerjang lagi, kini kedua tangannya bergerak dari dua arah berlawanan
sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk menggunakan ilmunya memindahkan
tenaga. Apalagi, ilmu itu pun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil,
lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka jalan
satu-satunya hanyalah menggulingkan tubuhnya. Karena maklum bahwa serangan
Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh
sin-kang di tubuhnya untuk menggulingkan tubuhnya. Tiga kali pukulan ketua
yang amat lihai itu luput dan Bun Beng yang merasa pundaknya terlanggar angin
pukulan yang amat kuat, mempercepat gerakannya bergulingan. Tiba-tiba tubuhnya
meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke pinggir menara dan
terlempar ke bawah dari tempat yang amat tinggi itu. Masih didengarnya jerit
Milana dan selanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan Tuhan, maklum bahwa
dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting remuk di bawah
sana! Bun Beng sudah memejamkan mata, menanti datangnya maut.
Akan
tetapi, ia mendarat dengan empuk, bukan terbanting ke atas tanah berbatu,
melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram baju di
punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang
laki-laki yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang
rambutnya panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah
itu tampan berwibawa, tenang dan tidak kelihatan tua. Wajah.... Pendekar
Super Sakti yang memandangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata
yang diliputi penderitaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super
Sakti atau Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan
tongkat di tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan
baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik jelita!
“Taihiap....!
Ah, Taihiap telah menolong nyawaku....!” Bun Beng berkata, terharu, girang
akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang,
yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas menara.
“Bun
Beng, mengapa engkau jatuh dari atas sana? Dan.... ahhh, kau terluka
hebat....”
Suma
Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. “Engkau terkena pukulan
beracun yang hebat sekali. Siapakah yang melukaimu? Apakah masih berada di
atas sana?”
Bun
Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan
Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Tentu akan hebat akibatnya, dia pikir, maka
dia menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong
mengayun tubuhnya meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan
cepat seperti berlarian ke atas.
“Kwi
Hong, jangan lancang!” Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang
naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, melayang ke atas menara! Bun
Beng kagum bukan main menyaksikan ini, matanya sampai berkunang melihat tubuh
pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan
melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya berdebar
tidak karuan. Apa akan terjadi kalau suami isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar
Super Sakti mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya?
Ia
melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tampak Kwi Hong
turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil berkata, “Di atas
tidak ada orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?”
Sebelum
Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi. “Buka bajumu, biar
kuperiksa dulu sebelum kau bercerita,” katanya dengan suara halus.
Bun
Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang tinggal
sebuah, Suma Han memeriksa keadaan Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata,
“Keji
sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?”
Bun
Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan
Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.
“Ah,
mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?” Kwi Hong mencela dan
membanting kakinya. “Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan terluka
seperti ini!”
“Kwi
Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi
mungkin engkau akan menderita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan ceritamu.”
Bun
Beng melanjutkan ceritanya, betapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera
dari Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawanan, akan tetapi
dia dapat menyelamatkan diri. Untuk mencegah agar dia tidak usah bicara
tentang Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan
Milana.
Suma
Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut cerita Bun
Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apakah Lulu
telah keliru mendidik puteranya? Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan
Sin Kiat menjadi seorang jahat! Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh
anak Lulu itu. Dia tidak memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan
hatinya makin berduka. Betapa tidak akan duka dan perih hatinya kalau ia
terigat kepada Lulu? Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang
dicintanya, namun keadaan memaksa mereka berpisah, bahkan kini timbul rasa
sakit hati dalam perasaan Lulu terhadapnya!
“Ahhh,
engkau menderita bukan main, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari
atas menara?” Kwi Hong bertanya.
Bun
Beng menjadi bingung. “Aku...., aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Neraka
karena aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua
kakiku lumpuh, tentu saja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku
sampai di menara ini, bersembunyi di atas menara. Aku menderita sekali, tidak
berani turun, dan lukaku tak mungkin dapat sembuh. Daripada perlahan-lahan
menghadapi kematian yang menyiksa seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya,
aku.... aku mengambil keputusan terjun dan mati di sini!”
“Aihhh,
pengecut!” Kwi Hong berteriak ngeri.
“Kwi
Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai mencela!”
kata Suma Han yang kemudian memandang Bun Beng. “Betapapun juga, cara
melarikan diri dari penderitaan dengan jalan membunuh diri adalah perbuatan
bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat mungkin.
Mari kita masuk ke dalam kuil itu.”
Tanpa
menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki kuil
tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena
ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji
kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu. Dapat dibayangkan betapa lihainya
untuk dapat pergi bersama puterinya, tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti
yang demikian lihai? Dan betapa cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, karena
kalau sampai bertemu dengan majikan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada
artinya lagi kalau pendekar ini melihat Milana dan tentu akan dapat menduga
siapa adanya wanita di balik kerudung itu.
Suma
Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut kaki dan
memberi obat, kemudian mulailah pendekar sakti ini mempergunakan sin-kangnya
yang luar biasa kuatnya untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng.
Pemuda itu disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya,
menempelkan kedua telapak tangan di punggung pemuda itu. Sampai sehari lamanya
Bun Beng merasa betapa dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang
berlawanan, dingin dan panas! Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti
bahwa di dunia ini agaknya tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sin-kang
seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es ini!
Semalam
suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan harinya,
barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiarkan dirinya diobati,
merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia
merasa dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia
cepat menelungkup dan menghaturkan terima kasih. Suma Han mengangkatnya
bangun, duduk, dan sambil minum air hangat yang dibuat oleh Kwi Hong, Suma Han
berkata,
“Aku
telah berhasil membersihkan semua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng.
Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun
telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengobatinya. Aku mendengar
bahwa satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat melawan semua keracunan darah,
hanya terdapat di Pulau Neraka....”
“Ohhhh...!”
Kwi Hong berteriak, terkejut sekali. “Paman, bagaimana kita bisa mengambil ke
sana?”
Suma
Han menggeleng kepala. “Tak mungkin kita ke sana tanpa menimbulkan keributan.
Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat hebat, biarpun dia
tidak akan tersiksa seperti kalau hawa beracun masih di tubuhnya, namun dalam
waktu paling lama setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh racun,
dapat membuat dia menjadi gila atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh
tubuhnya!”
“Aihhh....!”
Kembali Kwi Hong berseru.
Akan
tetapi Bun Beng bersikap tenang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma Han
yang memandangnya. “Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biarpun Taihiap
tak dapat mengobati, saya tidak merasa penasaran. Kalau memang sudah
ditakdirkan saya mati karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya
tanpa keluhan. Saya sudah merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa
seorang mulia seperti Taihiap sudi memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan
tangan memberi pertolongan.”
Suma
Han mengerutkan alisnya. Terlalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati
sia-sia. Akan tetapi, betapapun juga, dia tidak memiliki keberanian untuk
berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!
“Jangan
putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar petunjuk
bagaimana engkau dapat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah
sendiri ke Pulau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku
itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai
sembuh.”
“Akan
tetapi.... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam.
Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!”
“Coba
sajalah. Dengan suratku, engkau akan djterima dengan baik.” Suma Han lalu
mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus
surat itu dan menyerahkannya kepada Bun Beng. “Sekarang, mari kuantar kau ke
pantai dan mencari perahu!”
Bun
Beng tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang luar biasa
seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya mendapat
perhatian dari Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga tidak mau banyak cakap
karena maklum bahwa hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia
rahasiakan. Namun, diam-diam gadis ini merasa tidak setuju melihat betapa pemuda
yang menderita luka berat itu disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka.
Biarpun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat
mengenal watak pemuda ini, watak yang keras dan tidak mau mengalah, apalagi
kalau menghadapi kejahatan. Watak seperti itu akan mendatangkan bahaya kalau
pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh dan lihai.
Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berlayar ke sana.
Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda itu menghadapi bencana?
Betapapun
juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga gurunya. Ia kehilangan
watak galaknya kalau berhadapan dengan pamannya, maka semua kekhawatiran dan
ketidaksetujuan hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia keluarkan
melalui mulut. Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan Bun
Beng sudah duduk di perahu itu, memegang kemudi dengan sepeti besar roti
kering dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata
perlahan, “Hati-hatilah, Bun Beng....!”
“Gak
Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang
pedang itu. Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan
tetapi sebatang di antaranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang dari tanganmu pula.
Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewajibanmulah untuk
menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan
kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang
amat ampuh, jarang dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang
sebatang telah kauberikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang
kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam
terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu.”
“Suma-taihiap,
saya berjanji bahwa kalau saya dapat sembuh, saya akan mengerahkan seluruh
akal dan tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam, untuk membasmi Tan-siucai
dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk membalas dendam atas kematian
Suhu Siauw Lam Hwesio.”
“Hemm,
cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permusuhan. Semoga
engkau akan dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah, berangkatlah!”
Setelah
memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu,
Bun Beng mendayung perahunya ke tengah dan setelah angin bertiup membuat
layarnya berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang memandangnya dari
pantai itu hanya tampak seperti dua buah titik dan akhirnya lenyap.
Bun
Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar di mana
perahunya sekarang berada akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati
Terusan Besar untuk kemudian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di
peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan
bahwa dia akan melalui lautan yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung
dan merupakan tempat berbahaya sekali. Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau
Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat akan pemuda tampan dari
Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang. Akan tetapi kalau
ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya itu,
yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolqng dia dan Milana di atas perahu,
kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas layang-layang raksasa, dia
tersenyum sendiri. Betapapun anehnya, betapapun tersohor jahatnya Pulau Neraka,
dia tidak bisa membenci kakek muka kuning itu, biarpun dia tahu bahwa kakek
itu adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka
menolongnya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah.... jangan-jangan
kakek muka kuning itulah Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak mungkin. Bukankah
pemuda tampan itu putera Majikan Pulau Neraka? Pemuda itu selain tampan juga
pesolek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka kuning itu seperti orang gila,
pakaiannya tidak karuan dan tak bersepatu. Betapapun juga, kakek muka kuning
itu tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka.
Dua
hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai
Huang-ho. Dia merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Super Sakti
karena setelah diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat
ia gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersambung lagi, tidak begitu
nyeri rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi. Akan tetapi, selama dua hari
itu, dia berpikir dan mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau
Neraka. Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya
amat sombong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa
pemuda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan. Hanya sedikit
sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka. Bukankah ia
mendengar desas-desus bahwa Pulau Neraka tidak bersahabat dengan Pulau Es?
Bukankah ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi
pula pertentangan dan persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pulau
Es? Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali
lebih rela mati di mana saja daripada di Pulau Neraka, lebih dahulu harus
mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka.
Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak
atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia
tentu takkan banyak berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang
demikian lihainya.
Tidak,
dia tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu ke
mana dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke
tempat di mana terdapat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu
sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan
lamanya! Tempat itulah yang menjadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang
tak pernah dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan
kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati
di sana, hanya sekumpulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada
seorang pun manusia lain yang akan melihat keadaannya.
Tiada
seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu
bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biarpun
penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam
pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia
akan sampai di tempat itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak,
sekali dibenturkan pada batu-batu di bawah air oleh tenaga pusaran air,
tubuhnya akan remuk. Apa bedanya? Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak
setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!
Dengan
keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah
muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu,
sampailah dia dekat pulau dan langsung ia mengemudikan perahu menuju ke
sebelah selatan pulau di mana terdapat pusaran maut.
“Haiiii....!
Orang muda, jangan ke sana.... berbahaya....!” Beberapa orang nelayan dari
perahu masing-masing berteriak-teriak memperingatkan Bun Beng, akan tetapi
pemuda ini tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan
dia agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu
saja menggelikan sekali melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati
tempat itu. Dia malah menurunkan layar dan mendayung perahunya cepat-cepat
menuju ke pusaran air, diikuti pandang mata terbelalak dan muka pucat oleh
para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua
nelayan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu
dengan orang muda itu dicengkeram pusaran air, perahunya berputar-putar dan
tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah
berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan
tubuh pemuda itu lenyap ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas,
kemudian hanya menggeleng-geleng kepala melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam
mencatat bahwa pusaran maut itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia
yang agaknya masih asing dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa di situ
terdapat pusaran air yang amat berbahaya.
Dalam
keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa
oleh pusaran air yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuhnya dihanyutkan
oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali,
ia merasa tubuhnya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan
karena dia maklum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya
hanya dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikitpun
sehingga tubuhnya seperti sehelai daun yang menurut saja. Dalam keadaan
pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia siuman
kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tempat ini, tahu-tahu
ia mendapatkan dirinya telah berada di mulut sebuah guha. Tubuhnya terasa
sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah di
sana-sini, agaknya karena terbentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air
itu menghanyutkan tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk, memandang
ke sekelilingnya yang hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang
dan ternyata dia berada di mulut guha yang amat besar dan di sebelah kirinya
terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh. Ia menarik napas lega.
Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali secara mujijat dia selamat!
Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan kiri, menanti
munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah mengeroyoknya kemudian menjadi
sahabat-sahabatnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja di
situ, tidak tampak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun
yang bergemuruh. Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena
tempat di mana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti
sekarang ini. Dahulu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia dahulu
didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam gunung batu.
Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang ada hanya air terjun
itulah. Melihat letak dia mendarat, dia dapat menduga bahwa tentu dia tadi
terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik.
Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu,
tentu kepalanya akan pecah!
Tidak
salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pusaran air
itu. Ini adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya.
Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipakai berdiri.
Ia merangkak dengan hati-hati memasuki guha itu yang ternyata amat dalam dan
setelah merangkak sejauh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh
batu-batu liar dan matahari menyinari tempat terbuka yang luas itu. Sunyi
sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan
atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun
Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka
itu!
Meja
kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terdapat
sebuah kitab! Tentu ada manusianya, karena lilin itu menyala, menyorotkan
sinarnya ke atas meja yang tertutup bayangan batu dinding tinggi! Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng menahan napas ketika
melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua
Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat rahasia,
agaknya menjadi tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang!
Wanita
itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang
ia membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar tegang. Ia segera
mengenal wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya ketika wanita ini
bertemu dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak mereka, Milana!
Hatinya diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, seperti
Milana dan kelihatan masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena
jarang terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.
“Singgg....!”
Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri meja dan
membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja. Agaknya dia
mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu
dibiarkan terbuka, dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat
gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti seorang mempelajari sebuah jurus
ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan biarpun digerakkan perlahan, pedang
itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, naik turun suaranya ketika
gerakan-gerakannya berubah sehingga seperti saling ditiup melagu! Kemudian
wanita itu melangkah ke belakang tiga tindak dan mainkan jurus dengan cepat.
Bukan main! Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap
menjadi segulung sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi
berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah
persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang ditemukannya
dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!
Tiba-tiba
dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah bersilat
pedang beberapa lamanya, mengulang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu
terhuyung ke depan dan terdengar suaranya penuh penyesalan. “Keparat! Selalu
terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apanya yang
kurang?” Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan
tubuhnya, melontarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui
kepalanya.
“Wuuuttt....
singggg....!” Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!
“Ceppp!”
Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, menancap sampai
tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang
beberapa sentimeter lagi!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tubuh ke
belakang, terlentang dan tak berani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya
pucat. Ia hanya terlentang tanpa berani berkutik, memandang ke arah ujung
pedang itu.
Terdengar
olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih
keadaannya yang secara aneh seperti orang terserang dari dalam tubuh sendiri
dan membuatnya tadi terhuyung.
“Sratttt!”
Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah
dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh
penasaran dan kecewa.
“Kitab
yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sin-kang telah kupelajari, gerakan
pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening
dan napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ke tiga belas itu?
Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya,
macet pada jurus ke tiga belas!”
Dengan
jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari
celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil
lebih itu agaknya menerobos terowongan guha dan menimbulkan suaraa gemuruh
sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia
melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya, memakai kerudung penutup
kepala, kemudian dengan langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam
lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pintu besi yang tertutup oleh beberapa
buah batu besar. Wanita itu mendorong sebuah batu di ujung kanan dan
terbukalah daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali.
Namun,
sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya,
khawatir kalau-kalau wanita itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat
dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu dengan wanita itu.
Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat menduga apa yang
akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu?
Setelah
hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan muncul, Bun
Beng merangkak keluar dari belakang batu menghampiri meja. Lututnya sudah tak
terasa nyeri, hanya masih lemah, maka dengan berpegang pada meja, ia dapat
mengangkat tubuh berdiri. Dengan tangan kiri menahan, menekan ujung meja,
tangan kanannya memeriksa kitab yang terletak di atas meja itu. Kitab yang
tidak berjudul, akan tetapi di dalamnya terkandung pelajaran samadhi
menghimpun sin-kang yang aneh, dan di bagian belakangnya terdapat pelajaran
ilmu silat pedang yang gerakan-gerakannya mirip dengan gerakan Ilmu Silat
Sam-po-cin-keng.
Bun
Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan tidak ada
jalan keluar baginya berarti bahwa agaknya dia harus tinggal di situ, sampai
kematian merenggutnya. Daripada termenung memikirkan nasib, dia sebagai
seorang penggemar ilmu silat, tentu saja kitab itu merupakan hiburan besar
baginya, untuk mengisi kekosongan. Mulailah ia membaca bagian pertama, bagian
berlatih sin-kang. Dia sudah banyak melatih sin-kang dengan cara samadhi yang
berlainan, yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari
Siauw-lim-pai, di mana dia menerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai sendiri,
yaitu Ceng Jin Hosiang. Kemudian ia pun mempelajari cara samadhi dam melatih
sin-kang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini,
pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara tersendiri, sungguhpun mirip
dengan cara yang diajarkan di Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan cara
perkembangannya.
Setelah
membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersamadhi, ia berhenti dan
membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman
dua puluh, karena perutnya terasa lapar sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa
yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada sebatang pun pohon di
situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang. Dia mulai merangkak di antara
batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang
agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan
banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warnanya agak kemerahan dan baunya
amis seperti darah.
Bun
Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu
warnanya merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begitu ia
dekatkan ke mulut, bau amis membuat ia muak dan dia tidak jadi memakannya.
Kemudian ia teringat akan ucapan mendiang suhunya mengenai manusia, di
antaranya tentang cara manusia makan. Terngiang di telinganya suara gurunya
itu,
“Bun
Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi pertentangan
dalam batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan dikendalikan
oleh nafsunya. Penggunaan panca indrianya sudah tidak pada tempatnya lagi.
Lihat saja kalau manusia makan. Apakah sebetulnya maksud dari makan? Apakah
manfaat dan kegunaannya?”
“Agar
perut yang lapar menjadi kenyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu,”
jawabnya dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun.
“Benar,
dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pengertian itu
hanya menjadi hafalan kosong belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam
hidup. Manusia makan bukan untuk perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu,
bukan sang perut yang diingat di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan
manfaatnya bagi sang perut lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang
mulut sehingga hilanglah arti sesungguhnya daripada makan. Maka timbullah
bermacam pertentangan batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang
enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi akan arti makan bagi
perut, melainkan mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak
bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut atau
tidak.”
Sekarang
dia baru mengerti akan tepatnya ucapan suhunya itu, dan ia mengingat akan
wejangan selanjutnya.
“Seperti
juga dengan mulut, manusia menyalahgunakan mata, telinga, hidung dan semua
panca indrianya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya daripada semua anggauta
yang menjadi alat hidup itu sehingga semuanya dikuasai oleh nafsu ingin
nikmat, ingin senang tanpa menjenguk faedahnya. Maka selalu mencari
pemandangan yang indah-indah dan merangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga
selalu mencari pendengaran yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu mencium
yang sedap-sedap bagi nafsu, tanpa mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan
demikian, hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti, hanya menjadi gerak
pemuasan sang nafsu, menjadi budak pengabdi keinginan nafsu belaka!”
Teringat
akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi
jernih dan dapat menangkap arti daripada ucapan suhunya itu, baru terbuka mata
batinnya. Ia memandang lagi jamur di tangannya, kemudian dengan menekan nafsu
yang menguasai hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya, dan
dimakanlah jamur itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasanya karena tidak mau
lagi dikuasai nafsu, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi.
Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan tetapi
tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai ke
sudut dan membuang air besar di antara batu-batu basah, demikian hebat perutnya
terkuras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur yang
dimakannya itu tentulah mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi
dia tidak merasa menyesal, juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia
sedang menghadapi kematian. Mati sekarang atau beberapa bulan lagi, apa
bedanya?
Bun
Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-ngiang
diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepalanya yang
dipukuli dengan irama teratur? Dia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di
situ, dan kepalanya tidak dipukuli orang. Akan tetapi suara itu masih terus
berbunyi, mengiang-ngiang dan berdetak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya
yang terdengar mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak
adalah denyut jantungnya! Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya.
Akan
tetapi, biarpun dia menanti datangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak
datang menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah akhirnya lenyap.
Jalan darahnya normal kembali. Ia bangkit duduk dan aneh, lututnya tidak
selemas tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih terasa kenyang.
Wajah
pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhunya lagi, dan dia
tidak peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya
kalau perutnya membutuhkan. Dia tidak perlu khawatir akan kebutuhan air. Di
banyak tempat terdapat air bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari
celah-celah batu. Dan jamur merah banyak sekali terdapat di situ, tidak akan
habis dimakan bertahun-tahun karena tentu akan tumbuh lagi. Jamur itu yang
jelas mengenyangkan perutnya.
Makin
giranglah hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa kini perutnya tidak mulas
lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur, dan kedua lututnya
cepat sekali sembuh, tenaganya pulih.
Pada
hari ke tiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan samadhi seperti yang diajarkan
di dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi
dan mengetahui kalau wanita itu muncul, dia menumpuk beberapa batu sebesar
kepalan tangan di depan pintu rahasia. Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu
itu tentu akan runtuh dan mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat
bersembunyi.
Kekuasaan
Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan belum
menghendaki seseorang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa
disadarinya. Demikianlah pula dengan keadaan Bun Beng. Pemuda ini sudah jelas
keracunan darahnya, dan Pendekar Sakti Suma Han sendiri sudah memeriksa dan
menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat
hidup paling lama setengah tahun saja! Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada
makanan lain kecuali jamur merah, dan karena sadar akan wejangan mendiang
suhunya, Bun Beng nekat makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu
mengandung racun yang amat kuat. Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu
dengan racun di dalam darahnya akibat perbuatan Pendeta Maharya dan betapa
ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang sifatnya bertentangan sehingga
saling membunuh! Andaikata Bun Beng tidak keracunan darahnya, tentu dia akan
mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi “obat” yang
menghilangkan ancaman maut oleh racun yang berada dalam darahnya. Tentu saja
Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa kesehatannya pulih
kembali dengan cepat.
Dengan
hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua
Thian-liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebulan
sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng cepat bersembunyi
dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu selalu macet
kalau berlatih ilmu pedang sampai ke jurus tiga belas! Selalu terhuyung-huyung
dan mukanya menjadi pucat, napasnya menjadi sesak.
Dengan
tekun Bun Beng melatih sin-kang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian
pelajaran ini selesai dilatihnya dan dengan girang sekali ia mendapat
kenyataan bahwa tenaga sin-kangnya meningkat secara luar biasa sekali,
beberapa kali lipat lebih kuat daripada sebelum ia berlatih. Yang lebih
menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri dengan sin-kang menurut petunjuk
kitab itu, dia kini mampu melakukan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan
dan mudah, bahkan dia dapat melakukan gerakan dengan cara ilmu memindahkan
tenaga dengan tepat sekali. Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia berlatih
dengan batu besar yang ia lontarkan ke atas. Ketika batu itu meluncur ke arah
tubuhnya, ia mengikuti gerakan batu itu, mengerahkan sin-kang ke ujung tangan
yang berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran batu itu ditambah
sin-kangnya sendiri menghantam dari samping, membuat batu itu pecah
berantakan!
Setelah
selesai melatih sin-kang, mulailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat
dalam kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki gerakan yang
hampir sama dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri,
menggunakan pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu karang yang banyak
terdapat di tempat itu. Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan
dia melatih setiap jurus dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya
ketika ilmu pedang yang hampir serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata
setiap jurusnya merupakan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-keng! Agaknya ilmu
pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menandingi
Sam-po-cin-keng!
Untuk
setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ke
tiga belas, dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih
jurus ke tiga belas ini, dia dapat mainkan jurus itu dengan baik dan tidak
terjadi sesuatu dengan dirinya, seperti yang diderita oleh Ketua
Thian-liong-pang! Bun Beng menjadi tercengang dan termenung setelah selesai
melatih jurus ke tiga belas ini. Mengapa dia bisa mainkan dengan baik
sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh lebih lihai daripada dia itu tidak
mampu? Pemuda ini tidak tahu bahwa kini ilmu sin-kangnya sudah amat tinggi,
hampir menandingi sin-kang Ketua itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal
karena tidak menguasai peraturan pernapasan ketika mempelajari jurus ke tiga
belas itu! Adapun Bun Beng sendiri, biarpun tidak mempelajari pernapasannya
karena kitab itu tidak lengkap namun dia telah mempelajari pengaturan napas
ketika mainkan Sam-po-cin-keng sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan
Sam-po-cin-keng, bahkan menjadi imbangannya. Dengan girang sekali Bu Beng mendapat
kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada di tempat itu, dan kesehatannya
terasa makin baik! Dia telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak,
tentu dia sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti.
Pendekar itu tidak mungkin membohonginya. Jamur itu! Kini ia dapat menduga
bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya, maka diam-diam ia menjadi
girang dan bersyukur sekali.
Sampai
tiga bulan lebih ia mempelajari ilmu pedang dan akhirnya ia dapat mainkan
semua jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sadar bahwa
ketika ia mainkan batu kecil panjang seperti pedang itu, terdengar suara
nyaring melengking dan tampak sinar berkelebatan yang mengandung hawa sebentar
panas sebentar dingin!
Selama
itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini
telah selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah
keinginan hatinya untuk keluar dari tempat itu. Tak mungkin dia selamanya
akan tinggal di tempat itu setelah kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi
bagaimana mungkin dia dapat keluar dari situ?
Dia
bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari
dimakannya itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai
mencoba jamur lain karena selain jamur merah, di situ terdapat jamur putih,
biru, hijau dan lain-lain. Selama ini yang dimakannya hanyalah jamur merah
yang amis karena ternyata bahwa jamur itu selain mengenyangkan perut, juga
dapat menahan dia sehingga tidak kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul
keinginan hatinya untuk mencoba jamur yang lain.
Pertama-tama
dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berbentuk segi lima ujungnya
meruncing seperti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya
agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng
duduk bersandar batu karang dan merasa betapa selain mengantuk, juga tubuhnya
makin lama makin terasa panas! Mula-mula rasa panas hangat-hangat ini nyaman
sekali, dan ada perasaan girang luar biasa di dalam hatinya. Akan tetapi makin
lama, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat syaraf
menegang dan dia menjadi gelisah bukan main. Dorongan hasrat nafsu berahi yang
amat hebat membakar tubuhnya, membuat dia menderita hebat sekali, gelisah dan
bingung, mengerang-ngerang seperti orang dibakar perlahan-lahan, bergulingan
ke sana-sini untuk melawan dan menekan hasrat yang meluap-luap itu. Terbayanglah
di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita dari Milana,
Kwi Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Terbayang
olehnya betapa mereka itu berganti-ganti tersenyum, bersikap manis dan bergema
di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
“Aduhhh....
gila! Aku telah gila....!” Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun
tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya,
membuat nafsu berahinya makan memuncak.
Semalam
suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum perah dia
alami. Dia merasa tersiksa sekali, akan tetapi juga diam-diam merasa
beruntung bahwa pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak dapat
membayangkan apa yang akan dilakukannya, apa yang akan terjadi andaikata di
waktu itu ada seorang di antara tiga orang gadis itu yang berada di dekatnya!
Dia tak dapat bertahan lagi! Setelah matahari terbit pada keesokan harinya,
barulah dia terbebas daripada siksaan menggila itu. Seluruh tubuhnya terasa
lemah dan lelah sekali, akan tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantungnya
normal kembali. Ia cepat mandi di bawah air terjun di depan guha, membiarkan
air terjun menyiram kepala dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa
segar.
Ketika
dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjanji tidak akan
mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa
jamur-jamur di situ mengandung daya yang demikian mujijat.
Ia
kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah
jamur-jamur ini? Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi?
Betapapun juga, hatinya takkan pernah merasa puas sebelum ia mencobanya. Dia
telah makan jamur merah selama setengah tahun di tempat itu dan akibatnya
malah menguntungkan dirinya. Dia telah pula mencoba jamur putih yang biarpun
membuat dia tersiksa hebat semalam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak
merugikannya. Apa salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain?
Dengan
hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia sudah kapok,
tidak berani makan banyak sehingga andaikata jamur itu beracun pula, pengaruh
racunnya tidak terlalu hebat. Dan jamur ini lezat rasanya! Tidak berbau, dan
rasanya gurih seperti digarami!
Dengan
jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur
biru itu. Suara air terjun bergemuruh terdegar dari situ. Tiba-tiba ia
terbelalak, kemudian memejamkan matanya. Apakah ini? Mabokkah dia? Suara air
bergemuruh itu kini lain sekali didengarnya. Seperti berubah menjadi berlagu
dan berirama! Begitu indahnya, seolah-olah bukan suara air terjun, melainkan
selosin macam alat musik ditabuh oleh tangan orang-orang ahli! Seperti dalam
mimpi, Bun Beng membiarkan pikirannya melayang-layang terbuai dan seolah-olah
diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang berubah menjadi musik
merdu itu.
“Aihh,
jangan-jangan aku telah menjadi gila sekarang,” pikirnya dan ia cepat membuka
matanya. Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang kini
menjadi berwarna-warni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah
bentuknya dan begitu penuh rasa seni! Benarkah semua ini? Tempat itu dalam
pandang matanya seolah-olah menjadi berbeda sekali, menjadi seperti.... ah,
agaknya sorga begitulah macamnya! Dia menggerakkan kaki tangannya dan hampir
dia berteriak. Dia seperti melayang-layang! Dia masih duduk di situ, akan
tetapi merasa seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di antara sinar matahari
yang berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara
mega-mega di angkasa.
Di
antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar
mentakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan
keadaan sekitarnya, semua nampak indah, bahkan dia tidak kaget atau tidak
takut ketika melihat pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita berkerudung
meloncat keluar dari pintu, dan terdengar wanita itu berseru kaget dan
meloncat cepat, tahu-tahu telah berdiri di depannya. Bun Beng memandangnya
dengan tersenyum manis dan ramah, senyum sewajarnya seolah-olah dia bertemu
dengan seorang sahabat lama, atau seorang bidadari kahyangan. Memang
pantasnya bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biarpun kepalanya
ditutupi kerudung, namun kelihatannya pantas dan serasi dengan tubuhnya!
“Kau....?
Gak Bun Beng....?” Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan,
kekagetan dan juga kemarahan.
Bun
Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh
kegirangan dan kejujuran ketika ia berkata, “Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng.
Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia dan sehat seperti saya!”
Agaknya
jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa
akan kemarahannya. “Bagaimana kau bisa berada di sini?”
“Saya?
Saya terbang.... heh-heh, saya.... saya hanyut oleh air sorga, sampai di sini,
senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini.... heh-heh....”
Sepasang
mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkerudung itu,
mengerutkan alisnya. Heran sekali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke
sini? Dia melihat sikap dan mendengar bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi
gila!
Pada
dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu
adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar
kebajikan dari kitab-kitab kesusasteraan kuno yang penuh filsafat di samping
ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah
dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum
pemberontak yang amat disegani. Memang wataknya berubah menjadi dingin karena
tekanan batin setelah dia berpisah dari suaminya, Pendekar Super Sakti, dan
rasa sakit hati karena merasa disia-siakan suaminya yang tercinta itu membuat
dia menjadi makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan mengubahnya
menjadi seorang yang berwatak kejam. Dia tadinya bermaksud membunuh Bun Beng,
karena pemuda ini selain telah mengacaukan Thian-liong-pang dan telah membunuh
orang-orangnya, juga telah mengetahui rahasianya bahwa Ketua Thian-liong-pang
yang selalu menyembunyikan keadaan dirinya di balik kerudung, sebetulnya
adalah isteri Pendekar Super Sakti. Di samping itu, karena tahu pula bahwa
pemuda ini adalah anak haram dari datuk sesat Gak Liat, maka dianggapnya bahwa anak
itu pun keturunan seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Akan tetapi,
ketika tanpa disangka-sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat
rahasianya ini dalam keadaan seperti orang gila, dia menjadi tidak tega untuk
membunuhnya dan merasa kasihan di samping keheranannya bahwa pemuda itu yang
tadinya ia lihat lumpuh dan terluka hebat, masih belum mati, bahkan tidak
lumpuh lagi.
“Bocah
gila, berapa lama engkau berada di sini?”
“Ha-ha-ha,
Lociapwe baru tahu sekarang, ya? Saya sudah lama sekali di sini, sudah
setengah tahun. Ha-ha.... sudah habis kitab itu saya pelajari....!”
“Apa....?
Kau....!” Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengkeram ke arah
pundak Bun Beng.
“Wuuutttt....
heeeiiihhh!” Dengan gerakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan
tubuhnya dan Nirahai berturut-turut melanjutkan cengkeramannya sampai tiga
kali, tetap saja ia mencengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan
mudah. Diam-diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan
gesitnya itu.
“Heii,
tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!” Bun Beng
mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya
bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan, seolah-olah melayang-layang.
Sedikitnya tidak ada pikiran takut, khawatir atau apa saja karena pikiran itu
kosong, pandang matanya menjadi terang, pikirannya terang dan ia merasa
seolah-olah dunia, semua benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu
telah berubah sama sekali, semua kelihatan menyenangkan hati! Inilah akibat
dia makan jamur biru yang ternyata mengandung racun yang hebat dan luar biasa,
lebih hebat daripada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini mempengaruhi
syaraf dalam otak, membuat dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu.
Segala rasa khawatir, takut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan
ingatan. Pikiran menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain.
Maka setelah pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini, dalam keadaan kosong dan
bersih pikiran mereka jadi terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu
yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya maka segala hal tampak, terdengar,
dan terasa amat indah oleh Bun Beng, karena jauh berbeda daripada biasa.
Pikiran yang dibebani segala macam kekhawatiran, ketakutan dan macam-macam
perasaan lain mengeruhkan pandangan dan pendengaran, seperti yang diderita
oleh semua manusia. Namun, dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi kenyataan
yang lain daripada biasanya.
“Locianpwe,
saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan
sekali?”
Nirahai
yang sudah mengangkat tangan itu menurunkan lagi tangannya dan memandang tajam
penuh keraguan. Jelas bahwa bocah ini lebih gesit daripada dahulu ketika
membuat kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya,
seperti orang yang miring otaknya. Mana mungkin dia berada di sini selama
setengah tahun tanpa dia ketahui? Apalagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan
tetapi, siapa tahu?
“Kau
sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu pedangnya?” Ia
bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil melatih
ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal dalam jurus ke tiga belas dan
seterusnya!
"Heh-heh,
tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ke tiga belas dan
ke empat belas."
"Apa....?"
Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini
dapat tahu akan hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama
berada di sini dan telah mempelajari isi kitab!
"Dan
engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu? Ahh, siapa
mau percaya omongananmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak
mempunyai."
"Saya
mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil panjang
menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar.
"Gak
Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian
Kiam-sut...."
"Aihh,
namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan main! Locianpwe
tentu ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"
Nirahai
mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.
"Terutama
jurus ke tiga belas dan seterusnya, bukan?"
Kembali
Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu
seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam
keadaan terpengaruh racun jamur biru itu, ketika pikiran Bun Beng kosong
bersih, pandang matanya menjadi tajam luar biasa.
"Nah,
lihatlah, Locianpwe!" Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya,
bersilat pedang mulai dari jurus ke tiga belas. Gerakannya demikian gesit dan
sempurna sehingga Nirahai memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati
karena dia mendapat kenyataan betapa Bun Beng benar-benar dapat mainkan
jurus-jurus itu, ke tiga belas sampai terakhir, dengan lancar, sempurna, dan
sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah dialaminya. Pedang
batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup, dan terasalah
olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari angin pedang batu itu!
"Hebat....!
Luar biasa....!" Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat
pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar. Tiba-tiba wanita
itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun Beng
yang merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk sama
sekali sehingga dia tidak mengelak maupun menangkis.
"Cuss!"
Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan
robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan
tetapi masih memandang ke arah wanita itu dengan senyum menghias bibir,
seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan rasa senang yang luar biasa!
Setelah
menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah
menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari
jurus ke tiga belas. Pemuda itu dapat memainkannya, masa dia tidak? Tingkat
kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi daripada pemuda itu, buktinya pemuda itu
dapat dirobohkannya sekali totok. Mungkin karena dia takut-takut, maka dia
tidak pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak menghentikan gerakannya
kalau ada kepeningan dan sesak dada menyerangnya.
Dalam
keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini
ia dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di
bagian pengaturan napas. Dia melihat dan mengetahui ini, akan tetapi karena dia
kagum akan keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu,
dia diam saja, hanya memandang dengan mulut tersenyum. Nirahai bersilat dengan
gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut, kepalanya terasa pening dan dadanya
sesak, akan tetapi dia nekat melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia
agak terhuyung, napasnya terengah, namun dia masih dapat bermain sampai jurus
ke dua puluh dan tiba-tiba ia mengeluarkan keluhan pajang, pedangnya terlepas,
tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!
Bun
Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya
ia sadar. Totokan itu tanpa disengaja oleh Nirahai, telah membuyarkan pengaruh
racun jamur biru. Makin sadar, makin terkejutlah Bun Beng teringat akan semua
yang telah terjadi tadi. Teringat pula dia akan keadaannya setelah makan jamur
biru dan dia menjadi bengong. Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia
berani bersikap seperti mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali
tidak menjadi takut? Kini timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh
tenaga sin-kangnya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol totokan dan jalan
darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua
Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.
Ah,
inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar
dari tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar,
membayangkan kemungkinan dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari akal, ia cepat
melepaskan kerudung penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga menanggalkan
jubah luar seperti mantel yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai
penahan dingin, tidak lupa mengambil pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat
meninggalkan tubuh Ketua yang pingsan itu, menghampiri pintu rahasia. Dia sudah
tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di sudut dan pintu
itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi kepalanya, mengenakan
jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si Ketua yang telah diambilnya. Kemudian
dengan tekad bulat ia memasuki pintu rahasia. Ketika ia menengok ke arah tubuh
yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-jamur di sebelah
kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik. Jamur-jamur merah telah menolongnya,
jamur putih membuat dia teragsang berahi hebat, dan jamur biru.... ah, dia
bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah
sebaliknya? Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua
Thian-liong-pang? Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan membela diri
mati-matian, dan besar kemungkinan dia akan terbunuh. Kalau begitu, belum tentu
jamur biru itu mencelakakannya, bahkan sebaliknya, telah menolongnya sehigga
akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan membuka kesempatan
baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.
Pintu
rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang,
ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah
berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu mulai naik melalui tangga batu
dan terus naik. Ketika ia keluar dari pintu terakhir, kiranya lorong itu
menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di
tengah-tengah tanah pekuburan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika di
kanan kiri lobang kuburan itu berdiri belasan orang tokoh Thian-liong-pang
tingkat tertinggi! Untung ia ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap
tenang. Satu-satunya yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah
suaranya. Akan tetapi, mengingat betapa anehnya watak Ketua Thian-liong-pang,
dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan suara dan siapakah di antara mereka yang
berani bertanya akan hal ini? Dia akan menutup mulut, tidak mengeluarkan
kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang sedang berduka, marah, atau
sedang bertapa.... bisu!
Melihat
Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera
memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati
yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan
besi yang atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan lagi sehingga kini kuburan
itu kelihatan seperti kuburan biasa.
Melihat
Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui
lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata,
"Harap
Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya
Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena
tempat kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."
"Apa....?"
Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita itu,
sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah
kata-kata saja, dengan suara ditinggikan, Bun Beng tidak melihat adanya bahaya
dikenal perbedaannya.
"Mereka
berjumlah lima orang, dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang
berwarna terang, dan agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa
hendak berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka berada di dalam ruangan
tamu dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."
Bun
Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi
Siang yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang.
Timbul kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir akan keselamatan Milana. Maka
dia hanya mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai
perintah agar mereka mengantarkan ke tempat tamu.
Sikap
ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya
mengira bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja
hendak muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal dan diantar oleh para
pembantunya. Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan diikuti oleh Bun Beng
yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal
tanah kuburan ini. Kalau dia sudah sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang
terletak di lembah Sungai Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena
dia pernah berada di situ sebagai "tamu" kemudian sebagai tawanan.
Kctika
tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong
dan duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus,
ungu muda, dan merah muda, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke
arah "Sang Ketua" dan seorang di antara mereka yang bermuka merah
muda dan berkepala gundul kelimis seperti lilin, berkata,
"Kami
dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat
kepada Thian-liong-pangcu."
Bun
Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai kepada
Tang Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng
tidak berkata-kata, hanya menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan
menggerakan kepalanya diangkat sedikit, sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang
mewakilinya bicara dengan para tamu itu.
Tang
Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan
tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita
yang cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya lalu berkata nyaring.
"Ketua
kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih
dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup
murah hati dan menerima kedatangan kalian. Sekarang, harap kalian suka bicara
setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan kalian datang mengunjungi
Thian-liong-pang!"
Lima
orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali.
Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah
utusan pribadi Ketua atau Majikan mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang
menerima mereka tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti memandang sangat
rendah!
Si
Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk
pendek, segera berkata,
"Saya
Kong To Tek bersama Sute Chi Song." Dia menuding ke arah orang muka merah
muda ke dua yang tubuhnya gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian
melanjutkan, "ditemani tiga orang para sute yang satu dua tingkat lebih
rendah sebagai utusan To-cu kami, selain datang menghaturkan hormat kepada
Ketua Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah
mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena itu, To-cu kami mohon agar
Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri. Kalau
ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal ini, To-cu menawarkan kerja
sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau tidak, berarti benar bahwa
Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik,
maka tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami
belum pernah ada yang dapat diculik."
Keadaan
menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah. Yang hadir di
ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang,
Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi
Kang, dan beberapa orang lagi yang kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang
ke arah Ketua mereka, menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar
lima orang Pulau Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu.
Akan tetapi, Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu
Thian-liong-pang, kemudian menuding ke arah lima tamu itu. Jelas maksudnya
bahwa "Sang Ketua" yang tiba-tiba menjadi "pendiam" itu
memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu
yang menantangnya berpibu.
"Ngo-wi
(Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang dengan suara
nyaring. "Andaikata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum
tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas untuk dilayaninya sendiri.
Apalagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau Neraka
berniat baik, mengapa mesti menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini
cukup tersedia tenaga untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun
tangan, kami para pembantunya sudah cukup untuk membuka mata kalian bahwa
Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"
Bun
Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka
dilanjutkannya, "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, dan kami akan
menandingi!"
Kong
To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan
berkata, "Aaahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan
kami? Cukup mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar kita coba-coba sebentar agar
Pangcu dari Thian-liong-pang menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau Neraka
sudah cukup berharga untuk ditandingi sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena
kedatangan kami sebagai utusan majikan kami untuk mencoba kepandaian
Thian-liong-pangcu, bukan untuk mengadakan pibu (pertandingan silat), maka
biarlah kami hanya mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan saya
sendiri. Sute, majulah dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima
petunjuk Thian-liong-pangcu sendiri."
Laki-laki
gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan
melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi "Ketua"
Thian-liong-pang dan menjura sambil berkata,
"Thian-liong-pangcu,
saya Chi Song, orang dari kalangan tirgkat tiga di Pulau Neraka, mohon petunjuk
darimu."
Tang
Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke
arah Ketuanya sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di
antara kami untuk meghadapinya."
Seingat
Bun Beng, orang paling lihai sesudah Ketua Thian-liong-pang dalam perkumpulan
itu, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali, Paman kakeknya,
Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar ini, sebagai sute Si Gundul,
tentu tidak selihai Si Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song ini dilawan oleh
Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang. Dia
mengharapkan agar kedua orang "pembantunya" itu akan memperoleh kemenangan
sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan karena kalau dua orang itu
kalah, apalagi dia sendiri! Dan kalau dia turun tangan, tentu akan terbuka
rahasianya. Hal ini akan menimbulkan keributan, sebaliknya kalau dua orang
tokoh Thian-liong-pang itu dapat "membereskan" kedua orang Pulau
Neraka itu, tentu urusan menjadi selesai dan dengan mudah dia akan cepat
meninggalkan tempat berbahaya itu. Kalau sampai berlama-lama, kemudian muncul
Milana, apalagi kalau sampai muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di
dalam tempat rahasia, wah, tentu celaka dia! Tanpa mengeluarkan sepatah kata
pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu Lo-mo.
Kakek
berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti muka singa ini,
yang pakaiannya sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk dan kelihatan
lenggat-lenggut mengantuk setelah dia tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan
itu. Kini tiba-tiba ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha!
Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan memilih
saya untuk memberi hadiah beberapa gebugan kepada Si Muka Merah ini!" Dia
melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan,
keduanya saling pandang dengan sinar mata tajam menyelidik, seperti tingkah dua
ekor ayam yang hendak bertanding.
Chi
Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata, "Kalau
tidak salah dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal
itu!"
"Ha-ha-ha!
Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik lekas
berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan, buntutmu lalu
angkat kaki dari sini!"
Chi
Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata
menghina. Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau
Neraka, apalagi bersama suhengnya saat itu menjadi utusan Majikannya, tentu
saja dia maklum bahwa kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata memancing
panasnya hati karena kemarahan merupakan langkah yang keliru dan merugikan
dalam menghadapi pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia
tersenyum dan berkata,
"Kebetulan
sekali, Sai-cu Lo-mo. Biarpun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum
berhasil menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang
tokoh Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya
aku khawatir, kalau sampai engkau kalah oleh seorang tak terkenal seperti Chi
Song ini, hal itu tentu akan menimbulkan malu besar!"
"Ha-ha-ha,
engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil
memanaskan hati lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"
Chi
Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan
berkilau. "Engkau lebih tua daripada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku
mengalah. Mulailah!"
"Apa?
Biarpun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan
rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!" Kedua orang ini
memang cerdik dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka
mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi seorang ahli silat kelas tinggi,
menyerang lebih dulu tidak menguntungkan.
"Baik,
sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak dan tiba-tiba
seluruh tubuhnya tergetar kedua tangannya bergerak perlahan, tadinya kedua tangan
dirangkap di depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua telapak
tangan saling membesut, yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di
atas kepala, yang kanan terus bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk tanah di
bawah perut, warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak tua, sepasang
matanya mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara
berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini. Melihat ini, Sai-cu
Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sin-kang yang mujijat
dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan anehlah kalau
sin-kang lawannya itu mengandung hawa beracun yang dahsyat. Maka dia cepat
memasang kuda-kuda, pandang matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan, siap
menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini
sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari
Ketuanya, yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun
(Ilmu Silat Delapan Iblis dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa). Kedua kakinya
terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi tubuhnya dari lutut
ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik turun dengan lutut ditekuk,
juga berputar ke kanan kiri, namun matanya tak pernah meninggalkan lawan.
Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang maklum bahwa dua orang kakek
itu sedang saling mencari sasaran.
"Haiiiitttt....ttt!"
Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah menerjang
maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka, menyambar
atas dan bawah bertubi-tubi dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.
"Hiaaaahhhh!"
Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan kiri, kedua
kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi
delapan), kedua tangannya juga menangkis dengan pengerahan sin-kang, yaitu
menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa pukulan tangannya sendiri karena dia
maklum betapa bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan
mengeluarkan bau amis dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!
Bun
Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua
orang itu kurang cepat, akan tetapi tenaga sin-kang yang terkandung dalam
pukulan-pukulan mereka membuat ia bergidik. Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga
sin-kangnya kini telah meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa dia tidak akan
sanggup menghadapi pukulan dengan tenaga sin-kang seperti yang dilakukan oleh
Chi Song atau paman kakeknya.
Pertandingan
berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan lawan
dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil
ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya
adalah ilmu silat lama yang dahulu menjadi ilmunya pendekar wanita sakti
Mutiara Hitam. Namun, berkat pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat
tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan
jurus yang diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan
mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya, dibandingkan
dengan kehebatan ilmuilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu, kini
lebih dahsyat lagi!
"Plak-plak-dukkkk!"
Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka beradu dan
disusul tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat menjatuhkan
diri dan bergulingan kemudian meloncat bangun kembali, tepat pada saat lawannya
yang tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke belakang sampai lima
kali den kini juga sudah berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang
dalam jarak hampir sepuluh meter!
Chi
Song menjadi penasaran sekali. Dia telah menggunakan pukulan yang mengandung
hawa beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan
tenaga yang amat besar, sama besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh
oleh hawa beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena
kakek bermuka singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga
Khong-in-ban-kin, tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat
terpengaruh oleh hawa pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat
sekali.
"Ha-ha-ha,
orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut tinggal
di neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.
"Heaaaaaahhhhhhtt!"
Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas dengan tendangan
kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa. Inilah keistimewaannya Si Tinggi
Besar muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo terkejut
sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja
menyerempet pundaknya. Betapapun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki
kiri dan membetot ke bawah sehingga biarpun dia terhuyung oleh tendangan itu,
tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai berdebuk dan kalau saja Chi Song
tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song menggelundung dan
meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu Lo-mo yang sudah dapat mengatur keseimbangan
tubuhnya.
"Ha-ha-ha,
tendangannya luar biasa sekali. Ahh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat.
Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau
Es, tentu Pulau Es akan dapat dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo berkata memuji.
"Uhhh,
kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu
tidak mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja
sama dengan To-cu kami!"
Hati
Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau
Neraka untuk menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini
daripada harus memusuhi Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia
sudah meloncat dari atas kursinya. Dia hampir berteriak karena loncatannya itu
luar biasa cepat dan ringannya, sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau
dia tidak cepat berjungkir balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di
depan Chi Song! Gerakannya amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song
mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya turun
tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka dapat bekerja sama dengan
Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai, untuk menyerang Pulau Es yang
amat mereka segani dan takuti.
"Bagus,
Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri?
Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"
Bun
Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Karena
sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras
dan cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala
yang berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu memindahkan tenaga, make
dengan tenang dia menarik kepalanya ke belakang dan begitu tangan lawan
menyambar dekat, dia mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan
lawan, namun dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
"Dukkk....!"
Tubuh
Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari
belakang, mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia
tak dapat menahan lagi tubuhnya terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri
ditambah tenaga amat dahsyat dari "Ketua" Thian-liong-pang.
"Ehhhh....,
bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru
dengan mata terbelalak.
Chi
Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk
rasanya. "Tidak salah lagi," katanya heran. "Itulah ilmu
memindahkan tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo saja yang
dapat melakukannya!"
Bun
Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab,
hanya berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua
Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu pun tak pernah mendengar
bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau
Neraka!
"Aku
masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan
dia sudah melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu
tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga meloncat dan sengaja membuang
diri ke belakang ketika tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari samping dengan
cara memindahkan tenaga lawan, dia menendang betis kanan Chi Song.
"Plakk!
Aduhhhh....!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu terpincang-pincang
dia menghampiri kursinya, menjauhkan diri duduk di atas kursi, menyeringai
kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya, dipijit-pijitnya, karena selain tulang
betisnya patah, juga urat-uratnya rusak sehingga terasa nyeri bukan main,
menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Kong
To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura,
"Pangcu benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan
menggunakan ilmu memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan hanya
diketahui oleh To-cu kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan
kami!"
Bun
Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan
diangkat ke depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan
tetapi, teringat bahwa dia adalah seorang "ketua" di saat itu,
amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan, maka dengan nekat ia
lalu mengerahkan sin-kang yang dilatihnya selama enam bulan di dalam tempat
rahasia Ketua Thian-liong-pang, menyalurkannya ke dada dan menerima hantaman
tenaga sin-kang dari kedua tangan lawan itu.
Kong
To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh
lawan, bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak
terengah dan dadanya sesak!
Bun
Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya
disertai tenaga sin-kang dan.... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke
belakang sampai tiga langkah! Diam-diam Bun Beng merasa kaget dan heran
sendiri, hampir dia tidak percaya bahwa sin-kangnya telah meningkat sedemikian
hebatnya! Dengan mukanya yang merah muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong
To Tek mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang Ketua Thian-liong-pang
dengan mata terbelalak.
Adu
tenaga sin-kang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan
para anggauta Pulau Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan
dengan kibasan lengan baju saja membuat Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang
yang marah menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat melangkah maju dan
berkata,
"Pangcu,
serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia,
barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan
pentungan besar?" Ucapan terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar
seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcunya yang bertingkat jauh
lebih tinggi itu turun tangan sendiri, Bun Beng mengangguk dan kini dia yang
sudah yakin akan kemajuannya, sengaja mendemonstrasikan sin-kangnya. Tidak
tampak kakinya bergerak, hanya lengan bajunya dikebutkan dan.... tubuhnya
melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk kembali ke atas kursi
Ketua! Melihat ini, para anggauta Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan
Tang Wi Siang dan yang lain-lain melongo karena mereka mendapat kenyataan
betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai daripada biasanya! Mereka
girang dan mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia,
melalui lorong yang pintu masuknya adalah kuburan tua itu.
Tang
Wi Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan telunjuknya
dan memaki. "Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis, akan tetapi
kenyataannya engkau curang, berani engkau lancang menyerang Pangcu kami dengan
serangan gelap! Pangcu kami tadi sudah mengampuni nyawa tak berharga sutemu
itu!" Dia menuding ke arah Chi Song yang duduk di kursi dengan muka
cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat karena masih nyeri. "Akan tetapi
agaknya aku tidak akan dapat mengampunimu!"
Si
Gundul itu tersenyum lebar dan menjura. "Aih, maaf, karena kami memang
sengaja hendak mohon petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku sengaja
menyerangnya. Pangcumu hebat bukan main, namun sayang, dia menghadapi
seranganku dengan ilmu lain, bukan ilmu dari kami seperti ketika dia
mengalahkan Sute. Kalau engkau hendak mewakili Pangcumu, silakan. Akan tetapi
jangan marah kalau aku sampai kesalahan tangan!"
"Chih,
sombongnya! Kaukira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang, kepala pelayan Pangcu
Thian-liong-pang? Majulah dan terima kematianmu!"
Si
Gendut Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas. "Aih, celaka sekali! Hari
ini aku benar-benar menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh datang hanya
dihadapkan seorang pelayan. Kalau tidak bisa menang, memang aku tidak layak
hidup lagi! Kouwnio, terimalah seranganku!" Tiba-tiba Si Gundul ini
menerjang dengan gerakan yang cepat sekali. Sungguh tak disangka-sangka bahwa
orang yang gendut pendek sehingga kelihatan seperti seekor katak itu, memiliki
gerakan kaki tangan amat cepat sehingga dilihat begitu saja, kedua pasang tangan
dan kakinya seolah-olah telah menjadi masing-masing tiga pasang!
Namun,
kalau hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang masih cantik
dan bertubuh ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam hal gin-kang,
kiranya Si Gundul itu kini bertemu gurunya! Justru dalam hal gin-kang inilah Wi
Siang menerima gemblengan Nirahai karena memang dia mempunyai bakat. Oleh Ketua
Thian-liong-pang yang sakti itu, Wi Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu
silat yang mengandalkan gin-kang sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti
seekor burung terbang, sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu
Silat Sakti Burung Walet). Maka keceliklah Kong To Tek ketika tiba-tiba
bayangan lawannya berkelebat dan lenyap! Hanya ada angin bertiup melalui atas
kepalanya ke belakang, maka cepat ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya
telah berada di belakangnya. Ia terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan
kecepatannya karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli gin-kang yang
jauh lihai daripadanya. Kini dia melakukan serangan dengan kaki tangannya,
tidak mengandalkan kecepatan lagi, melainkan mengandalkan tenaga sin-kangnya.
Baik hantaman tangan maupun tendangan kakinya didahului angin yang mengeluarkan
bunyi mencicit seperti sebatang golok atau pedang yang memecah angin! Hebat
bukan main tenaga Si Gundul ini, Wi Siang juga maklum bahwa mungkin dia lebih
cepat, juga ilmu silatnya lebih tinggi, namun belum tentu dia dapat menandingi
kekuatan sin-kang Si Gundul yang benar-benar kuat itu.
"Hehhh!"
Kong To Tek mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah lambung kiri
Wi Siang. Wanita ini cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang, akan
tetapi tangan kiri orang gundul itu sudah menonjok atau mendorong dengan
telapak kanannya ke arah dada! Wi Siang kembali mengandalkan kecepatan mengelak
dengan miringkan tubuh, akan tetapi angin pukulan yang menyerempet pundaknya
masih saja membuat dia terhuyung ke samping.
Marahlah
wanita ini, "Haiiikkk!" Ia mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya
mencelat ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong To Tek memutar
tubuh, Wi Siang sudah membalas serangannya dengan pukulan Touw-sim-ciang
(Pukulan Menembus Jantung) yang bukan main ampuhnya.
"Hehhh!"
Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya.
"Dukk!"
Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya.
"Keparat!"
Wi Siang membentak marah sekali dan kini di mainkan ilmu silatnya dengan gerak
cepat Yang-cu Sin-kun, dan mengirim pukulan Touw-sim-ciang yang kalau mengenai
tubuh lawan dengan tepat, tentu akan merenggut nyawanya. Menghadapi kecepatan
yang luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan, apalagi karena dia pun
maklum kalau dadanya sampai terkena pukulan itu, kekebalannya takkan dapat
melindunginya. Maka dia mulai terdesak hebat dan Bun Beng dapat melihat bahwa
tak lama lagi Si Gundul itu akan roboh oleh "pelayannya" yang
benar-benar amat tangkas dan lihai itu.
Ketika
Wi Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan bertubi-tubi,
tiba-tiba tubuh Si Gundul yang pendek itu merendah, seperti merangkak sehingga
kedudukannya seperti seekor katak berkaki empat karena kedua tangannya menapak
tanah, dan dari perutnya keluar suara melalui kerongkongan.
"Kok-kok-kok!"
Tiba-tiba
dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal berwarna putih
kehitaman, lingkaran-lingkaran uap yang menyerang ke atas ke arah tubuh Wi
Siang! Wanita ini kaget sekali. Dia mengelak, akan tetapi celana pada betis
kanannya terkena uap dan terasa olehnya betapa kulit betisnya panas, perih dan
gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia ingin sekali menggaruk dan pada saat
itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu tiba-tiba diangkat ke atas
dan dua kali tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh lawan dengan bunyi
"kok-kok!" maka menyambarlah angin pukulan yang dahsyat bukan main ke
arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget, mengelak dengan cara melempar
tubuh ke belakang dan berjungkir-balik beberapa kali. Dia dapat menghindarkan
pukulan maut itu, akan tetapi kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh
merangkak seperti katak, mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan
kerongkongannya mengeluarkan bunyi seperti katak besar.
Diserang
seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan gin-kangnya untuk melesat
ke sana-sini, namun karena dia maklum akan bahayanya uap itu, dia tidak berani
mendekat dan terpaksa harus mengelak terus tanpa dapat balas menyerang,
sedangkan lawannya itu menyelingi semburan uapnya dengan pukulan-pukulan dari
bawah yang mengandung tenaga mujijat!
Bun
Beng sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul itu
benar-benar amat berbahaya, pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan Wi Siang
dengan muka gelisah harus meloncat ke sana ke mari menghindarkan diri dari
uap-uap itu dan pukulan-pukulan maut yang dilancarkan oleh manusia seperti
katak itu. Maka sekali lagi dia mencelat dari atas kursinya dan pada saat itu
Wi Siang sedang meloncat pula ke atas menghindarkan sebuah pukulan. Betapapun
cepat gerakan Wi Siang namun bagi Bun Beng kelihatannya biasa saja. Ketika
tubuhnya dekat dengan tubuh Wi Siang di udara, ia cepat menyambar dengan
"pembantunya" itu dan sekali sentak tubuh Wi Siang terlempar melayang
ke tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan cepat-cepat merobek celana bagian
betisnya. Ternyata kulit betisnya telah "termakan" racun dalam uap
tadi, kelihatan merah totol-totol. Cepat ia mengambil obat anti racun dan
menggosok betisnya dengan obat itu. Namun rasa gatal, panas dan perih masih
belum lenyap.
Ketika
Kong To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau membuang
waktu. Ketika Bun Beng meloncat turun, ia sudah menyambut dengan serangan uap
dari mulutnya, tubuhnya merangkak maju dengan "empat kaki", dari
kerongkongannya keluar suara berkokok seperti katak buduk, dan uap kehitaman
menyerang Bun Beng. Namun pemuda ini, mengingat akan niat orang-orang Pulau
Neraka agar dikalahkan dengan ilmunya sendiri, cepat merendahkan diri seperti
merangkak pula, mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan dia meniup ke arah
uap yang melingkar-lingkar itu.
"Kok-kok-kok....!"
Si Gendut berkokok.
"Wush-wushhh-wushhh!"
Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong, kembali ke arah
penyerangnya!
Tentu
saja Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka uap itu tidak
mempengaruhi kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan ketika uap-uap itu
membuyar dan menghantam mukanya sendiri. Cepat ia mengangkat kedua tangannya,
melakukan pukulan ke depan mendorong dengan tenaga mujijat. Bun Beng juga
mendorongkan kedua tangannya, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat
kenyataan bahwa tenaga dorongan kakek gundul itu bukan mengandung sin-kang
sewajarnya dan selain amat kuat juga mengandung hawa beracun yang mujijat pula.
Tentu merupakan latihan sin-kang yang disertai penggunaan racun yang banyak
terdapat di Pulau Neraka, pikirnya, maka ketika Bun Beng merasa betapa dorongan
kakek itu dapat membahayakan, cepat ia membuang diri ke samping, menggunakan
ilmu memindahkan tenaga, ketika hawa dorongan lewat ia cepat membarengi dengan
kibasan lengannya yang sudah menjadi berganda tenaganya itu ke arah muka Si
Gendut Gundul.
"Kok-kok!"
Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena hantaman
ujung lengan baju Bun Beng.
"Plakkk!"
Kembali Bun Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga
sin-kang berganda itu ketika mengenai pundak lawan yang mengeluarkan bunyi
seperti katak, terasa seperti membentur benteng baja dan membalik! Sementara
itu, Si Kakek Gundul yang merasa terlindung oleh ilmu kataknya yang mujijat,
mempercepat bunyi berkokok di tenggorokannya dan siap menyerang lagi. Akan
tetapi tiba-tiba Bun Beng berkelebat dan lenyap, tahu-tahu tubuh
"ketua" ini sudah melayang turun ke atas punggung lawan yang sedang
merangkak sambil berkokok itu.
"Kok-kok-kok....
ngekkkk! Brooottt!" Kakek gundul itu yang tadinya mengeluarkan bunyi
seperti katak, ketika kedua kaki Bun Beng menginjak punggung disertai tenaga
sin-kang yang membuat tubuhnya seperti menjadi laksaan kati beratnya, tak dapat
menahan sehingga terdengar suara "ngek!" dan tiba-tiba disambung
suara memberobot keras sekali dari tubuh belakangnya! Kiranya Bun Beng dapat
menaksir di mana letak kelemahan manusia yang berlagak katak ini, maka begitu
punggung terinjak kuat, hawa sakti yang membuat kakek itu berkokok dan
menghembuskan uap, terpencet keluar tanpa dapat ditahannya lagi dan hawa itu
menerobos melalui mulut belakang. Terdengar suara di sana-sini dan semua orang
menutupi hidungnya, kecuali orang-orang Pulau Neraka, karena hawa yang keluar
dari "mulut belakang" kakek itu benar-benar amat hebat.... baunya!
Akibat racun yang terkandung di dalamnya sehingga bau itu memenuhi ruangan
tamu.
Kakek
gundul itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini digotong oleh
teman-temannya ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah meloncat kembali ke
kursinya dan duduk dengan tenang. Diam-diam ia merasa girang sekali dan kini
yakinlah dia bahwa penderitaannya selama setengah tahun di dalam tempat rahasia
itu telah menyembuhkan luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia
memperoleh kemajuan yang amat hebat, baik dalam gin-kang, sin-kang, dan ilmu
silat! Maka tenanglah hatinya karena kini dia merasa dapat menjaga diri
terhadap siapapun juga.
Chi
Song terpincang-pincang menghampiri "ketua" dan dengan kaki kanan berjinjit
ia menjura. "Banyak terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh
Thian-liong-pangcu. Biarlah kami kembali melaporkan semua peristiwa ini kepada
To-cu kami."
Setelah
memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin tiga orang
temannya yang menggotong tubuh suhengnya yang masih pingsan. Akan tetapi baru
saja mereka itu tiba di pintu ruangan, tampak berkelebat bayangan orang dan
terdengar bentakan halus nyaring.
"Setan-setan
Pulau Neraka berani mengacau di sini?"
Terdengar
suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To Tek tadi
terpelanting ke kanan kiri sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar pula, akan
tetapi malah membuatnya siuman dan ia mengeluh panjang. Chi Song yang melihat
munculnya seorang dara yang amat cantik jelita dan yang datang-datang menerjang
dan merobohkan orang-orangnya, menjadi kaget, apalagi ketika dara itu telah
menerjang maju dan menonjok ke arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar
diikuti pandang mata. Dia mengelak, namun karena kakinya pincang dan gerakan
dara itu cepat sekali, bahunya terkena pukulan dan ia terpelanting. Melihat
betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan tidak tewas oleh
pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah.
"Srattt!"
Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba lengannya diraba orang
dan tahu-tahu Bun Beng sudah berada di situ, menyentuh lengannya untuk
mencegahnya turun tangan membunuh orang-orang Pulau Neraka. Bun Beng terpaksa
turun tangan mencegah ketika melihat betapa Milana, dara jelita itu, hendak
melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para tamu yang tentu dianggap oleh
dara itu mengacau di Thian-liong-pang, apalagi karena dara itu pernah
bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka ketika menggendongnya dahulu.
Melihat
sentuhan pada lengannya, Milana menoleh.
"Ibu....!"
Ia berkata dan menyarungkan pedangnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh lima
orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari situ secepatnya.
Bun
Beng cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah muncul!
Dia harus cepat-cepat pergi dari situ tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi
terlambat. Milana yang terheran-heran menyaksikan sikap ibunya, cepat
menghampiri, memandang ke arah sepasang mata di balik lubang kerudung kepala
itu dan tiba-tiba ia berseru hampir menjerit.
"Engkau....
engkau bukan Ibuku!" Dara ini menjadi pucat mukanya, dan semua tokoh
Thian-liong-pang mencelat bangun dari tempat duduknya masing-masing.
"Jubah
itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung Ibuku. Akan
tetapi engkau bukan Ibuku! Siapa engkau? Dan.... ohhh.... di mana Ibu?
Kauapakan dia....?"
Milana
mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para tokoh
Thian-liong-pang mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi Siang lalu
mengeluarkan suara bersuit keras sebagai tanda bahaya dan segera tempat itu
dikurung oleh puluhan orang anggauta Thian-liong-pang yang masih bingung dan
tidak mengerti mengapa Tang-kouwnio memberi tanda bahaya sedangkan tamu-tamu
dari Pulau Neraka telah dikalahkan dan telah melarikan diri keluar dari
Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget dan heran hati mereka ketika melihat
Milana dan para tokoh itu dengan senjata di tangan mengurung Sang Ketua
sendiri!
"Buka
kerudungmu!" Milana membentak lagi.
"Hayo
perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan Pangcu
kami!" Tang Wi Siang membentak dan barulah para anak buah Thian-liong-pang
dapat mengerti dengan hati penuh kaget dan heran bahwa orang yang berkerudung
seperti Ketua mereka itu kiranya adalah orang palsu!
"Nona,
maafkan aku....!" Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang
menutupi kepalanya.
"Kau....?"
Milana berseru kaget sekali. Dia girang melihat Bun Beng yang disangkanya tentu
telah mati oleh luka-lukanya biarpun ketika terjatuh dari menara ditolong oleh
Pendekar Super Sakti, kini masih hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat menyambarnya
dan membawanya pergi ketika melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu disambar
oleh Pendekar Super Sakti.
"Aku
tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!" Ibunya berbisik penuh duka
dan marah ketika Milana berusaha menahan ibunya agar suka bertemu dengan ayah
kandungnya itu, dan ibunya terus membawanya lari secepat kilat tanpa diketahui
oleh Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es itu.
Dan
kini, Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di samping rasa
girang yang amat besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia bertanya,
"Engkau....? Bagaimana ini....? Di mana Ibu?"
"Maaf,
Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di bawah sana,
karena ingin membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung dan jubah ini....,
maafkan aku...."
Akan
tetapi Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak mencari ibunya
yang pingsan di tempat rahasia. Dia sudah tahu akan tempat rahasia itu dan
sudah tahu jalannya sungguhpun dia dan siapapun juga dilarang dan tidak pernah
pergi ke sana. Sementara itu, para tokoh Thian-liong-pang yang kini mengenal
Bun Beng menjadi marah dan segera menyerangnya, karena dia dianggap sebagai
musuh Thian-liong-pang, seorang pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos.
Tentu saja hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak bergerak dan memandang bengong kepada
cucu keponakannva itu. Selain dia tidak mau membunuh cucu keponakan,
satu-satunya keturunannya biarpun hanya cucu luar, juga dia kagum bukan main,
teringat betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan tokoh-tokoh lihai dari Pulau
Neraka secara demikian mudahnya! Padahal, hanya kurang lebih setahun yang lalu,
pemuda itu masih belum sedemikian hebat ilmu kepandaiannya!
Tang
Wi Siang yang bersenjata pedang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan
pukulan badainya, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata golok sudah
menerjang Bun Beng dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat. Bun Beng
yang menghadapi pengeroyokan ini cepat menggerakkan kaki tangannya, berkelebat
ke sana-sini dan tangannya bergerak menangkis atau mendorong dan.... empat
orang pengeroyok itu terjengkang dan ada yang terguling, ada pula yang
terhuyung seperti pohon-pohon disapu angin ribut!
Melihat
akibat tangkisan dan dorongannya, Bun Beng terkejut sendiri dan dia menggunakan
kesempatan ini untuk meloncat ke atas, melalui kepala orang-orang yang
mengepungnya, menendangi senjata-senjata yang ditujukan ke arahnya dan terus
melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela.
"Kejar!"
Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.
"Berhenti!
Tahan senjata!" terdengar seruan melengking disusul masuknya seorang
wanita berkerudung yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang sendiri,
bersama Milana yang menggandeng tangan ibunya. "Jangan kejar dia, biarkan
dia pergi.... ahhh....!" Nirahai terhuyung dan cepat dibimbing oleh
puterinya menuju ke kursinya. Semua tokoh menghentikan gerakan mereka,
menghadap Ketua mereka dan memandang penuh kekhawatiran karena melihat tanda-tanda
bahwa Ketua mereka mengalami luka dan kelihatan lemah.
"Jangan
memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus kalian akui
bahwa di telah menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang sehingga kita tidak
sampai mengalami penghinaan dari Pulau Neraka!"
Bun
Beng yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang
itu, merasa malu sendiri. Dia lalu meloncat kembali memasuki ruangan itu,
menjura di depan Nirahai sambil berkata,
"Teecu
mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan Locianpwe karena
keadaan terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk kecuali ingin bebas dari
dalam.... neraka di bawah sana."
Nirahai
tersenyum di batik kerudungnya. "Tidak apa, Bun Beng. Semua kesalahanmu
kulupakan, mengingat engkau telah membela nama baikku dan nama baik
Thian-liong-pang. Bahkan untuk jasamu itu, aku akan menghadiahkan apa yang
kauminta. Ajukanlah permintaanmu, kalau engkau suka, dan aku akan berusaha
memenuhinya."
Berdebar
jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan rasa permusuhan
dari hati wanita aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja sudah merupakan suatu
hadiah yang amat besar artinya baginya. Akan tetapi ia teringat akan keadaan
para tokoh kang-ouw yang terculik, terutama sekali teringat akan Ang-lojin atau
Ang Thian Pa, Ketua Bu-tong-pai, ayah dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata,
"Terima
kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Teecu tidak menginginkan
sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan.... kalau Locianpwe tidak keberatan,
teecu mohon sudilah Locianpwe membebaskan para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu
di sini."
Kembali
Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Permintaanmu cukup pantas, bahkan
cocok dengan keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan mempelajari ilmu lain
yang pada hakekatnya sama dasarnya, dan sekarang tinggal beberapa saja yang
masih menjadi tamu kami. Wi Siang, bebaskan mereka dan biarkan mereka pulang
sekarang juga, masing-masing beri kuda dan perbekalan secukupnya. Bun Beng,
bangkitlah dan saksikanlah sendiri terpenuhinya permintaanmu."
Dengan
hati girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama kemudian dia
sudah keluar lagi mengiringkan lima orang "tamu", di antaranya Ang
Thian Pa. Mereka ini adalah orang-orang yang selalu memperlihatkan sifat
menentang sehingga masih belum dibebaskan oleh Thian-liong-pang. Akan tetapi
setelah kini mereka dibebaskan, bahkan disertai perlengkapan dan kuda, mereka
merasa lega dan berterima kasih kepada Ketua Thian-liong-pang yang selama ini
memperlakukan mereka dengan baik sungguhpun mereka itu merupakan tamu yang
terpaksa!
Seorang
demi seorang menjura dengan hormat kepada Nirahai sambil berpamit dan
mengucapkan terima kasih. Ketika tiba giliran Ang Thian Pa sebagai orang
terakhir, kakek ini menjura dan berkata,
"Selama
berbuan-bulan saya menerima kebaikan Thian-liong-pangcu, mudah-mudahan di lain
kesempatan Bu-tong-pai dapat membalas kebaikan-kebaikan itu."
"Kami
yang minta maaf kepadamu, Ang-lojin," kata Nirahai.
Tiba-tiba
Ang Thian Pa melihat Bun Beng dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut dan
dia berkata kepada pemuda itu, "Dahulu kusangka seorang taihiap yang
budiman, berani menentang kejahatan dan membela yang tertindas. Kiranya engkau
adalah seorang di antara tokoh Thian-liong-pang agaknya. Hemm, benar-benar aku
telah salah lihat....!" Ia menghela napas panjang penuh kekecewaan dan
penasaran.
Wajah
Bun Beng menjadi merah sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa.
"Ang-lojin,
memang engkau telah salah lihat dan salah menduga. Gak Bun Beng bukanlah orang
Thian-liong-pang dan ketahuilah bahwa atas permintaannyalah maka saat ini
engkau kami bebaskan."
Kakek
itu terkejut, lalu menghampiri Bun Beng dan menjura penuh hormat. "Ahhh,
maafkanlah mataku yang benar-benar telah lamur, Taihiap. Dan untuk menebus
kebodohanku yang tak dapat menghargai kebaikan orang, biarlah kusampaikan
apa-apa yang menjadi idaman hatiku semenjak aku berada di sini. Yaitu.... jika
kiranya Taihiap belum berkeluarga dan sudi menerima, aku.... ingin menyerahkan
puteri tunggalku sebagai jodoh Taihiap!"
Hampir
saja Bun Beng mencelat dari tempat ia berdiri saking kagetnya mendengar ini.
Mukanya menjadi makin merah dan terbayanglah wajah Siok Bi yang cantik manis.
Dia dijodohkan dengan dara yang manis itu! Begitu saja! Akan tetapi, sambil
menahan debaran jantungnya dia balas menjura dan berkata,
"Ang-locianpwe....
banyak terima kasih atas kebaikan Locianpwe.... akan tetapi soal itu....
hemm.... soal jodoh.... eh, belum terpikir olehku, karenanya, bukan aku
menolak, hanya.... tak mungkin aku dapat menerima hal yang amat penting bagi
hidupku itu. Aku akan menganggap saja bahwa tadi Locianpwe tidak pernah bicara
apa-apa tentang perjodohan."
Kakek
itu menghela napas panjang. "Memang anakku tidak cukup berharga untuk
seorang seperti engkau, Taihiap. Hanya aku masih menaruh harapan besar, kalau
memang berjodoh kelak tentu akan terjadi. Aku dan anakku akan selalu menanti
kunjunganmu, Taihiap." Setelah berkata demikian, sekali lagi kakek itu
menjura kepada Nirahai lalu meninggalkan ruangan itu.
"Aku
pun mohon diri, Locianpwe. Nona Milana, selamat tinggal. Banyak terima kasih
atas semua kebaikan Locianpwe dan nona yang telah dilimpahkan kepada diriku,
semoga kelak aku dapat membalas itu semua." Tergesa-gesa Bun Beng meloncat
keluar dari tempat itu karena dia merasa tidak enak sekali akan
"pinangan" Ketua Bu-tong-pai tadi yang disampaikan di depan banyak
orang, terutama di depan Milana!
Nirahai
yang masih belum sembuh benar akibat salah latihan segera membubarkan anak
buahnya dan masuk ke dalam ruangan dalam digandeng oleh Milana yang merasa
khawatir akan keadaan ibunya.
Bubarlah
para anggauta Thian-liong-pang dan mereka membicarakan Bun Beng dengan penuh
kagum dan keheranan. Terutama sekali Sai-cu Lo-mo, termenung dengan hati tegang
dan penuh kegembiraan ketika mendapat kenyataan betapa cucu keponakannya telah
menjadi seorang yang amat lihai, dan betapa Ketuanya suka mengampunkan pemuda
itu. Timbul pula pikirannya bahwa mengingat akan perlindungan dan pembelaan
Milana terhadap cucu keponakannya itu seperti yang ia dengar dari para anak
buah Thian-liong-pang yang melakukan pengejaran terhadap Bun Beng yang dipimpin
oleh kedua orang saudara kembar Su Kak Liong dan Su Kak Houw, alangkah baiknya
kalau cucu luarnya itu dijodohkan dengan puteri Pangcu! Biarpun dengan hati takut-takut
dan berdebar tegang, beberapa hari kemudian dia memberanikan hatinya menghadap
Nirahai dan menyampaikan niatnya itu, yaitu meminang Milana untuk cucu
keponakannya Gak Bun Beng!
Sampai
lama Ketua Thian-liong-pang itu tidak bergerak dari kursinya, sedangkan Sai-cu
Lo-mo yang menanti jawaban duduk menundukkan muka dengan hati berdebar. Dia
tidak dapat menduga apa yang akan menjadi jawaban Sang Ketua yang wataknya aneh
sekali itu, bahkan dia tidak akan merasa heran kalau sebagai jawaban, wanita
berkerudung itu melancarkan serangan dan membunuhnya! Akhirnya terdengar wanita
itu menjawab, suaranya halus akan tetapi dingin, membuat Sai-cu Lo-mo yang
mendengarnya terasa sakit seperti tertusuk dan menjadi beku.
"Sai-cu
Lo-mo, sudah kaupikir masak-masak pinanganmu ini? Kalau mengingat akan dirimu,
dan akan keponakanmu, mendiang Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng
tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, memang tidak mengecewakan dan patut
dipertimbangkan pinanganmu itu. Akan tetapi, apakah kau sengaja atau pura-pura
lupa bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Si Setan Botak, datuk kaum sesat Gak
Liat yang merupakan manusia iblis? Yang lebih dari itu pula, apakah kau
pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng terlahir sebagai anak yang tidak syah,
terlahir dari perbuatan keji, yaitu pemerkosaan yang dilakukan Gak Liat
terhadap Bhok Khim? Dan engkau masih berani mengajukan lamaran untuk pemuda
itu, melamar anakku?"
"Maafkan
kelancangan saya, Pangcu...." Sai-cu Lo-mo berkata, suaranya gemetar,
bukan karena takut, melainkan karena kedukaan hatinya. Bukan saja lamarannya
ditolak, bahkan ia diingatkan akan keadaan Bun Beng yang dianggap hina dan
rendah. Di dalam hatinya ia memberontak. Apakah kesalahan cucu keponakannya itu
dalam hal pemerkosaan dan kelahiran tidak syah? Apa hubungannya dengan seorang
ayah seperti Gak Liat? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah.
Nirahai
dapat mengerti kedukaan hati pembantunya ini, maka dia berkata lagi,
"Lo-mo,
engkau hanya mengenal aku sebagai Ketuamu, hanya mengenal aku sebagai puteri
Kaisar. Kalau engkau tahu siapa Ayah puteriku, engkau akan berpikir seribu kali
sebelum mengajukan lamaran itu. Nah, mundurlah!"
Jantung
Sai-cu Lo-mo berdebar. Sering kali dia menduga-duga siapa sebenarnya suami
Ketuanya ini. Dia memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu,
dan hatinya terasa berat sekali. Sepanjang pengetahuannya, Puteri Nirahai yang
dahulu amat terkenal itu belum pernah menikah! Akan tetapi dikabarkan secara
bisik-bisik bahwa puteri itu melarikan diri dari istana bersama Pendekar Super
Sakti! Apakah Milana puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai? Ia
bergidik, ngeri memikirkan bahwa dia telah berani meminang anak dari Panglima
Puteri Nirahai, puteri Kaisar, dan anak dari Ketua Pulau Es, Pendekar Siluman
atau Pendekar Super Sakti! Tentu saja dia tidak akan berani melakukan pinangan
itu sekiranya dia tahu bahwa Ketuanya masih merasa dirinya sebagai puteri
Kaisar, dan sekiranya dia tahu bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti!
Baik
Nirahai sendiri maupun Sai-cu Lo-mo tidak tahu bahwa percakapan mereka tadi
terdengar oleh Milana. Dara ini tadinya hendak mengunjungi ibunya, dan dia
berhenti mendengarkan dari luar ketika melihat Sai-cu Lo-mo menghadap ibunya.
Ketika ia mendengar jawaban ibunya, Milana merasa jantungnya seperti ditusuk.
Cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu kembali ke kamarnya dan menghapus
beberapa titik air mata yang membasahi pipinya. Dia menganggap ibunya terlalu
menghina Bun Beng! Tidak ingatkah ibunya bahwa Gak Bun Beng tidak pernah minta
untuk dilahirkan sebagai keturunan Gak Liat, sama seperti dia yang tidak pernah
minta untuk dilahirkan sebagai puteri Pendekar Super Sakti dan cucu Kaisar?
Mengapa ibunya masih memandang keturunan dan kedudukan, setelah kesengsaraannya
yang dialami ibunya karena kedudukannya sebagai puteri Kaisar?
Milana
tidak kecewa karena penolakan ibunya. Dia tidak terlalu ingin, bahkan tidak ada
keinginan sama sekali menjadi isteri siapapun juga, tidak ingin menjadi isteri
Bun Beng. Juga, dia tidak tahu apakah dia cinta kepada pemuda itu atau tidak.
Yang jelas, dia suka kepada Bun Beng dan merasa kasihan kepadanya. Apalagi kini
ibunya sendiri menghina pemuda itu, dia merasa penasaran sekali dan rasa
kasihan di dalam hatinya makin mendalam. Melihat hati ibunya yang rela menderita
dan memaksa memisahkan diri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, melihat sepak
terjang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw sungguhpun kini usaha
itu telah dihentikan ibunya dan semua tokoh telah dibebaskan, Milana merasa
bosan tinggal di situ dan dia ingin sekali bertemu dengan Bun Beng, melakukan
perjalanan bersama pemuda itu. Tiba-tiba ia teringat akan musuh-musuh Bun Beng,
teringat pula betapa pedang Hok-mo-kiam terampas oleh Tan-siucai dan Maharya,
teringat pedang Lam-mo-kiam yang terampas oleh putera Pulau Neraka. Betapa
banyak tugas yang dihadapi Bun Beng. Akan senang sekali kalau ia dapat membantu
pemuda itu.
Pada
keesokan harinya, Nirahai tak melihat puterinya. Milana telah pergi dari situ
tanpa pamit dan biarpun Nirahai menyebar anak buahnya untuk mencari, usahanya
sia-sia belaka, Milana tetap lenyap tanpa memberi tahu ke mana perginya dan apa
tujuannya. Nirahai hanya dapat menarik napas panjang dan menyesali sikapnya
yang terlalu memanjakan anak itu. Hanya dia tidak khawatir karena maklum bahwa
tingkat kepandaian puterinya itu sudah cukup tinggi sehingga takkan mudah
diganggu orang jahat. Mengapa puterinya tidak berterus terang saja kalau ingin
merantau? Tanpa pamit begini, sedikit banyak membuat dia tidak tenang.
***
Pendekar
Super Sakti Suma Han dan Giam Kwi Hong keponakannya juga muridnya, berdiri di
pantai laut. Sebuah perahu layar putih, perahu Pulau Es yang menjemput mereka,
telah menanti.
"Kwi
Hong, pedang itu tidak patut kaubawa-bawa. Engkau tidak layak memegang senjata
laknat seperti itu." Pendekar Super Sakti berkata halus sambil memandang
pedang Lam-mo-kiam yang tergantung di punggung keponakannya.
Kwi
Hong mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, bukankah seluruh tokoh kang-ouw
mencari Sepasang Pedang Iblis? Bahkan Paman sendiri dahulu pernah menyatakan
kepadaku akan mencari Sepasang Pedang Iblis sampai dapat? Setelah sekarang
sebatang di antaranya berada di tanganku, mengapa Paman berkata demikian? Harap
beri penjelasan karena saya tidak mengerti."
Pendekar
Super Sakti menarik napas panjang dan berdiri menekan tongkatnya.
"Memang
semua pendekar, baik dari golongan bersih maupun kotor, ingin sekali memperoleh
sepasang pedang yang ampuh dan mujijat itu, tentu saja dengan maksud agar
sepasang pedang itu dapat membantu mereka mengangkat nama, mengandalkan
keampuhannya. Akan tetapi aku mencari pedang itu dengan maksud untuk
kulenyapkan selama-lamanya agar tidak menimbulkan keributan lagi di
dunia."
Tangan
kanan Kwi Hong mengelus sarung pedangnya, alisnya berkerut.
"Mengapa,
Paman? Mengapa hendak dilenyapkan?"
"Engkau
tidak mengerti. Riwayat Sepasang Pedang Iblis itu busuk sekali. Sungguhpun yang
membuatnya adalah atas perintah mendiang pendekar wanita Mutiara Hitam, namun
sepasang pedang itu telah dimasuki pengaruh roh jahat dari pembuat-pembuatnya
berdasarkan ilmu hitam sehingga sepasang murid Mutiara Hitam pun menjadi korban
saling bunuh. Akulah yang mula-mula menemukan mereka saling bunuh, kasihan
mereka...." Suma Han termenung, teringat akan masa lalu di waktu dia masih
kecil dan mendapatkan Sepasang Pedang Iblis (baca cerita Pendekar Super Sakti).
Akan tetapi bukan kakek dan nenek murid Mutiara Hitam yang terbayang olehnya,
melainkan wajah Lulu, adik angkatnya, juga wanita yang paling dicintanya, yang
sekarang menjadi Majikan Pulau Neraka, dia menghela napas panjang. "Aku
menguburkan jenazah mereka berikut Sepasang Pedang Iblis. Kemudian sepasang
pedang itu lenyap dan kini yang sebatang terjatuh di tanganmu. Bagaimana hatiku
akan tenang kalau engkau bersenjata pedang jahat itu?"
"Akan
tetapi, Paman, bukankah Paman pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang baik
atau jahat? Saya rasa demikian pula dengan senjata. Baik atau jahatnya
tergantung daripada si pemakai, bukankah demikian? Kalau pedang ini
dipergunakan untuk kejahatan, maka jahatlah dia, kalau dipergunakan untuk
kebaikan, apakah juga jahat namanya? Maaf, Paman, bukan sekali-kali saya hendak
membantah kehendak Paman. Kalau Paman menghendaki, saya akan menanggalkan
pedang ini dan terserah hendak Paman apakan pedang ini. Akan tetapi, pedang ini
adalah pemberian Bun Beng, dan...." Gadis itu tidak melanjutkan
kata-katanya dan menundukkan mukanya.
Suma
Han memandang tajam, kemudian menarik napas panjang dan berkata, "Ah,
hampir aku lupa bahwa engkau bukan kanak-kanak lagi, Kwi Hong. Engkau telah
dewasa, sudah terlalu dewasa malah. Anak baik, apakah engkau mencinta Bun
Beng?"
Kwi
Hong tidak menjawab, mukanya merah sekali, kemudian ia mengangkat muka berkata
tanpa berani menentang pandang mata pamannya, "Saya tidak tahu, Paman.
Hanya.... saya pikir.... tidak baik kalau menyia-nyiakan pemberian orang,
apalagi kalau dilenyapkan begitu saja.... dan dia sudah begitu baik kepada saya
ketika bertemu dengan Tan-siucai dan Maharya, rela mengorbankan diri terluka
hebat. Aihhh, mungkin sekarang dia.... dia.... dia telah.... mati...."
"Jangan
khawatir. Mati hidup manusia berada di tangan Tuhan. Kalau dia sampai di Pulau
Neraka dan menyerahkan suratku, saya yakin dia akan tertolong. Nah, biarlah
sementara ini kau bawa pedang itu, apalagi engkau harus menjaga keamanan Pulau
Es. Aku hendak pergi mencari Tan-siucai dan Maharya, perlu kuambil kembali
Hok-mo-kian, karena kalau ada pedang itu padaku, aku tidak khawatir lagi
kalau-kalau Sepasang Pedang Iblis akan menimbulkan bencana. Nah, berangkatlah
dan hati-hati menjaga pulau."
Kwi
Hong berangkat naik perahu dan setelah perahu itu berlayar menuju ke utara
sampai jauh sekali dan hanya tampak sebagai sebuah titik yang kadang-kadang
lenyap oleh naik turunnya ombak, Pendekar Super Sakti lalu membalikkan tubuhnya
dan melesat pergi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Diam-diam dia
mengambil keputusan untuk menjodohkan Kwi Hong dengan Bun Beng. Dia melihat
anak keturunan Gak Liat itu mempunyai watak yang baik sekali. Dia tidak
mengingat akan keburukan watak ayah Bun Beng, karena bukankah ayah Kwi Hong
sendiri, perwira Mancu, Giam Cu, tidak lebih baik daripada Si Setan Botak Gak
Liat? Akan tetapi, ia tahu bahwa pikiran itu terlalu jauh melayang karena
keadaan Bun Beng sendiri belum diketahui bagaimana keadaannya, sedangkan
lukanya amat berbahaya.
Pada
waktu itu, Kerajaan Mancu yang mendirikan Wangsa Ceng, mengalami kemajuan amat
pesatnya, menjadi sebuah negara besar yang amat kuat. Bintang Kerajaan Mancu
ini mulai naik dengan pesat, menjadi cemerlang ketika pemerintahannya berada di
tangan Kaisar Kang Hsi (1663-1722). Kaisar ini ternyata adalah seorang yang
berbakat dan ahli untuk menjadi pemimpin. Dia seorang jendral perang yang amat
pandai mempergunakan tenaga-tenaga ahli, sehingga semua perlawanan rakyat, baik
dari kaum patriot yang mempertahankan tanah air dari penjajahan bangsa Mancu,
sampai gerombolan-gerombolan bersenjata yang sebetulnya hanyalah
perampok-perampok yang berdalih perjuangan, dapat dihancurkan satu demi satu.
Daerah Se-cuan yang dipertahankan oleh Bu Sam Kwi yang gigih melawan bangsa
Mancu, juga dapat direbut dan semua perlawanan dipatahkan dalam tahun 1681.
Setelah Se-cuan jatuh, maka kerajaan Mancu boleh dibilang menguasai seluruh
Tiongkok, bahkan jauh lebih luas lagi daripada wangsa yang sudah-sudah.
Bangsa
Mongol yang dahulunya membantu penyerbuan bangsa Mancu ke selatan, merasa
kecewa oleh politik Bangsa Mancu dan merasa kurang diberi bagian keuntungan,
lalu memberontak. Namun, pemberontakan-pemberontakan yang amat gigih dan kuat
itu pun dapat dihancurkan oleh pemerintah Ceng di bawah Kaisar Kang Hsi dan
akibat perang ini seluruh Mongolia jatuh dan dikuasai bangsa Mancu. Bahkan
dalam mengejar sisa-sisa pasukan Mongol bala tentara Mancu memasuki daerah
Tibet dan menguasai pula. Makin luaslah daerah kekuasaan Kerajaan Ceng.
Batas-batasnya sampai di seluruh Mancuria, Mongolia luar, Sin-kiang, Tibet dan
seluruh daerah selatan Tiongkok. Bahkan di dalam perang-perang perbatasan yang
mendatang, Kerajaan Ceng ini telah menaklukkan negara-negara tetangga, di
antaranya Afganistan, Kasmir, Nepal, Birma, Muangthai, Malaysia, Vietnam dan
Kamboja. Negara-negara ini mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Tiongkok dan
menyatakannya dengan membayar upeti!
Kaisar
Kang Hsi bukan hanya pandai dalam hal kemiliteran, juga dalam urusan politik
dan sipil dia ternyata seorang ahli. Kaum koruptor diberantas sehingga
pemerintahannya bersih dari perbuatan korupsi dan penyuapan, hal yang telah
berlangsung ratusan tahun lamanya, yang tak pernah dapat diberantas oleh
kerajaan-kerajaan yang lain. Pemerintahan yang sehat dan jujur disusun, kaum
penjilat dienyahkan, hukuman-hukuman berat dikenakan kepada orang-orang yang
melakukan perbuatan jahat.
Di
sarnping ini, Kaisar Kang Hsi menghargai kebudayaan Tiongkok. Kebudayaan itu
diperkembangluaskan, bahkan dia mengundang sasterawan-sasterawan dan ahli-ahli
pikir untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahannya. Tentu saja
undangan dan sikap Kaisar ini mendapat sambutan yang hangat dari kaum
terpelajar, dan sekaligus merobah pandangan mereka yang tadinya benci akan
penjajahan terhadap bangsa Mancu ini. Membanjirlah kaum sasterawan dari
pelbagai daerah ke Pe-king yang menjadi kota raja, dan mereka diterima oleh
Kaisar Kang Hsi, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian masing-masing. Bukan
hanya kaum sasterawan yang mendapat kedudukan, juga Kaisar yang bijaksana ini
memberi kesempatan kepada kaum kang-ouw, kepada ahli-ahli silat yang pandai,
untuk membantu pemerintahnya, menerima mereka dan memberi kedudukan-kedudukan
yang menjamin kemewahan dan kecukupan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa
Kaisar ini mempunyai barisan yang amat kuat, yang bukan hanya terdiri dari
pasukan-pasukan Mancu yang sudah tergembleng oleh perang, juga dibantu oleh
orang-orang pandai dari dunia kang-ouw.
Setelah
keadaan dalam negeri menjadi aman, semua pemberontak telah ditumpas dan
orang-orang kang-ouw banyak menggabung dan mengabdi kepada kerajaan baru ini,
mulailah Kaisar Kang Hsi memperhatikan persoalan dalam istana. Sudah lama dia
merasa tak senang dengan hilangnya puterinya, yaitu Nirahai yang pernah berjasa
besar ketika Kerajaan Mancu sedang berhadapan dengan banyak orang pandai yang
memberontak. Dan semua itu adalah gara-gara seorang pendekar bernama Suma Han,
yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai
Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
Setelah
Pulau Formosa dikalahkan dan diduduki oleh Kerajaan Ceng, Kang Hsi mulai
memikirkan hal ini dan berkeinginan hendak mengirim pasukan menyerbu Pulau Es,
menangkap Suma Han yang dianggap telah memperkosa dan mencemarkan nama dan
kehormatan Kerajaan Ceng, dan menarik kembali Puteri Nirahai ke lingkungan
istana. Selain ini, Kaisar yang mempunyai banyak sekali pembantu terdiri dari
orang-orang berilmu tinggi ini, mendengar akan kitab-kitab pusaka peninggalan
Bu Kek Siansu dan Koai-lojin, yang kabarnya berada di Pulau Es.
Pada
suatu hari, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, yaitu orang yang diangkat menjadi
koksu dalam urusan pengumpulan orang-orang kang-ouw, menghadap Kaisar bersama
dua orang tamu. Bhong Ji Kun ini adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi
kurus dan berkepala botak, seorang peranakan India yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali. Dialah yang menjadi "orang pertama" di
antara jagoan istana, bahwa dia pula yang membentuk barisan pengawal kaisar
istana. Koksu ini mempunyai dua orang pembantu yang lihai pula, yaitu Thian The
Lama dan Thian Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang jarang dapat
menemukan tanding.
Ketika
Kaisar menerima kunjungan Koksunya, Kaisar memandang dengan wajah tertarik
kepada dua orang yang datang bersama Bong Ji Kun itu. Seorang laki-laki berusia
empat puluh tahunan, berwajah tampan dan bersikap halus berpakaian sebagai
sasterawan, bersama seorang kakek India yang berpakaian sederhana, seperti biasa
kaum pertapa India, hanya kain panjang yang dibelit-belitkan tubuh,
bertelanjang kaki, dan bersorban. Ketika Kaisar mendengar bahwa kakek India itu
yang bernama Maharya adalah paman guru Sang Koksu sendiri, bukan main girang
hati Kaisar ini dan segera memerintahkan Bhong Ji Kun untuk menerima Maharya
sebagai tamu agung dan memberi segala pelayanan, juga apabila dikehendaki
mengangkatnya sebagai penasehat dalam urusan keamanan. Juga murid pendeta itu
yang diperkenalkan sebagai Tan Ki, seorang siucai yang selain ahli dalam hal
ilmu silat, juga ahli sastera, diberi kedudukan, mencatat dan mengurus
keperluan semua pasukan pengawal. Tentu saja guru dan murid ini merasa girang
sekali dan berlutut menyembah menghaturkan terima kasih.
Dengan
masuknya Maharya menjadi pembantu kerajaan, tentu saja kedudukan kerajaan
menjadi makin kuat, apalagi selain Maharya dan Tan-siucai, banyak pula orang
pandai dari pelbagai aliran dan golongan masuk menjadi pengawal-pengawal dan
panglima-panglima pengawal.
Setelah
mendapat bantuan Maharya, Bhong Ji Kun baru merasa besar hatinya dan dia
menerima perintah Kaisar dengan penuh kepercayaan, untuk menyerbu Pulau Es.
Tadinya dia selalu menangguhkan niat Kaisar ini dengan alasan bahwa Pendekar
Siluman dari Pulau Es amatlah saktinya dan pelayaran menuju ke pulau itu
berbahaya sekali. Namun, kini dengan bantuan paman gurunya yang dalam ilmu
kepandaian bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia sendiri, dia
menyanggupi perintah itu, lalu mempersiapkan pasukan yang amat kuat, terdiri
dari pengawal-pengawal pilihan, dikepalai panglima-panglima pilihan pula. Dari
barisan armada lautan, koksu menerima beberapa buah kapal yang cukup besar dan
kuat, ditangani oleh anak buah yang ahli dalam pelayaran.
Berangkatlah
pasukan yang terdiri dari tigaratus orang itu, selain dipimpin oleh para panglima pilihan,
juga dikepalai sendiri oleh Bhong Ji Kun, Maharya, Tan-siucai, Thian Tok Lama,
Thai Li Lama dan beberapa orang pandai yang menjadi pembantu koksu itu. Lima buah
kapal besar melayarkan mereka menuju ke utara, seolah-olah sebuah armada yang
hendak menyerbu daerah musuh! Perintah Kaisar adalah, menawan Pendekar Super
Sakti Suma Han berikut semua anak buahnya, atau membunuh kalau mereka melawan,
menduduki Pulau Es, dan merampas semua pusaka yang berada di pulau itu!
Tidaklah
mudah bagi kapal-kapal perang Ceng itu untuk dapat menemukan Pulau Es, akan
tetapi anak buah kapal-kapal itu dipimpin oleh nakhoda kapal yang
berpengalaman, dan kapal-kapal itu menjelajah ke utara, di antara pulau-pulau
yang banyak terdapat di sana. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah terlalu jauh
ke utara sehingga di utara pulau-pulau itu terdapat Pulau Neraka yang namanya
menggetarkan dunia orang gagah!
Pulau
Neraka hanya kelihatan sebagai sebuah pulau menghitam yang menyeramkan, dengan
batu-batu karang menonjol di permukaan laut sekitar pulau sehingga amat
berbahaya bagi kapal atau perahu yang berani mendekatinya. Namun, karena yang
mereka cari adalah Pulau Es, maka lima kapal itu tidak memperhatikan
pulau-pulau lain, hanya meneliti kalau-kalau terdapat pulau yang berwarna
putih, yang permukaannya tertutup es dan salju.
Setelah
hilir mudik sampai tiga pekan lamanya, pada suatu malam, sewaktu kapal-kapal
itu terpaksa membuang jangkar dan melewatkan malam yang dingin di bawah sinar
bulan purnama, tiba-tiba terdengar teriakan dari atas tiang di mana terdapat
penjaga-penjaga yang mempergunakan teropong. Pada waktu itu, teropong merupakan
barang baru yang telah dimiliki oleh pasukan Kerajaan Ceng.
Mendengar
teriakan ini panglima pengawal Bhe Ti Kong yang kebetulan malam itu mengepalai
penjagaan, cepat meloncat dan memanjat tangga tali menuju ke atas.
"Apa
yang kaulihat?" tanyanya.
"Ciangkun,
harap periksa di sebelah timur itu!" si penjaga berkata, menyerahkan
teropongnya.
Bhe
Ti Kong menerima teropong dan mengarahkan alat itu ke timur. Dia berseru kaget
dan heran! "Lekas beritahu kepada Koksu!"
Penjaga
itu cepat menuruni tangga tali dan melapor kepada Bhong Ji Kun yang sedang
duduk makan minum dan bercakap-cakap dengan para pembantunya di ruangan kapal
besar.
"Hamba
melapor kepada Taijin bahwa di sebelah timur kelihatan benda mencorong yang
aneh sekali. Hamba diutus Bhe-ciangkun untuk melapor kepada Taijin."
Mendengar
ini, Im-kan Seng-jin, diikuti oleh Maharya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan
Tan-siucai bergegas keluar menghampiri tiang besar yang ujung atasnya
dipergunakan untuk tempat penjaga memeriksa keadaan dengan teropong.
Bergantian
Bhong Ji Kun, Maharya, dan kedua orang Lama meloncat dan melayang ke atas untuk
memeriksa benda aneh di timur itu dengan teropong, sedangkan Tan-siucai
terpaksa naik seperti yang dilakukan Bhe Ti Kong tadi, yaitu dengan melalui
tangga tali. Hanya bedanya, kalau Bhe Ti Kong memanjat biasa, adalah siucai itu
naik cepat sekali, seperti berloncatan dibantu oleh tangga itu.
"Ahh,
tak salah lagi. Tentu itulah Pulau Es!" kata. Im-kan Seng-jin setelah
turun kembali. Benda yang tampak oleh mereka itu adalah benda besar panjang
yang mencorong tertimpa sinar bulan, berkilauan putih seperti kaca. Hanya pulau
yang tertutup es sajalah yang dapat mengeluarkan pantulan sinar bulan seperti
itu. Kalau siang tidak tampak karena sinar matahari terlaiu terang. Akan
tetapi, sinar bulan yang lembut membuat cuaca remang-remang dan karena itu pantulan
sinar bulan dapat tampak.
"Besok
pagi kita menuju ke sana. Kalau benar di sana letak Pulau Es, setelah
mendekati, lima kapal harus dipencar dan mengurung pulau. Pasukan dibagi dan
dari sekarang kita harus mengatur rencana," kata Bhong Ji Kun yang segera
mengumpulkan semua pembantu dan para panglima pemimpin pasukan. Malam itu juga
dia membagi pasukan menjadi lima bagian dipimpin oleh komandan masing-masing,
juga masing-masing pembantunya mengepalai pasukan sekapal. Kapal pertama
dipimpin oleh koksu sendiri, ke dua oleh Maharya, ke tiga dan ke empat oleh
kedua orang Lama, sedangkan kapal terakhir oleh Tan-siucai. Malam itu juga,
mereka yang ditugaskan pindah ke kapal masing-masing dan semua pasukan
mempersiapkan diri, yang tidak tugas jaga diperbolehkan tidur agar besok
menjadi segar jika menghadapi pertempuran.
***
Kwi
Hong yang berlayar di atas perahunya, mengaso di dalam bilik perahu, membiarkan
perahu-perahu itu dilayarkan oleh lima orang anak buah Pulau Es. Ketika perahu
itu tiba di tepi pantai, sebuah perahu kecil meluncur cepat menyambutnya.
Perahu ini didayung oleh seorang pemuda tampan bertubuh tinggi besar, dan di
dalam perahu penuh dengan ikan besar. Pemuda ini adalah Thung Ki Lok, putera
dari Thung Sik Lun tokoh Pulau Es, sute dari Yap Sun. Usianya sudah dua puluh
lima tahun, tampan dan gagah perkasa, mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Di
punggungnya tergantung sebatang golok besar yang tajam mengkilap, dan tangannya
memegang sebuah jala ikan. Melihat perahu itu dan melihat Kwi Hong berdiri di
kepala perahu, dia melempar jala di atas ikan-ikannya, kemudian mendayung
perahunya cepat sekali menyambut.
Ketika
perahu besar yang ditumpangi Kwi Hong menempel di darat, pemuda itu meloncat ke
atas perahu, membawa seekor ikan yang besarnya sepaha orang, ikan yang kulitnya
keemasan dan amat gemuk sehingga dalam keadaan mentah saja sudah kelihatan
enak!
"Selamat
datang, Nona. Sungguh besar sekali untungmu, begitu pulang aku berhasil
mendapatkan seekor kakap merah yang lezat. Nah, kupersembahkan ikan ini kepadamu,
Nona!" kata Thung Ki Lok sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan
gigi yang kuat dan bersih.
Hati
Kwi Hong yang sedang kesal karena selalu memikirkan Bun Beng yang dikhawatirkan
keadaannya, menjadi makin sebal melihat penyambutan yang amat ramah ini. Dia
tahu bahwa sudah bertahun-tahun pemuda putera pembantu pamannya ini menaruh
hati kepadanya. Sungguhpun Ki Lok tidak pernah membuka rahasia hatinya dengan
kata-kata, namun dari gerak-geriknya, dari pandang matanya, dari suaranya,
jelas menyatakan bahwa pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini jatuh cinta
kepadanya. Anehnya, hal ini membuat Kwi Hong selalu merasa jengkel dan tidak
senang!
"Terima
kasih, Lok-ko. Aku lelah dan ingin mengaso, malas untuk masak-masak,"
katanya sambil melompat ke darat. Sejenak Ki Lok melongo, namun dengan senyum
yang tak pernah meninggalkan mukanya, dia meloncat pula mengikuti dan
menghadang di depan Kwi Hong sambil berkata,
"Biarkan
kumasakkan untukmu, Nona. Engkau suka ikan panggang, bukan? Akan kupanggang
untukmu, kuberi bumbu yang enak. Harap kau jangan makan dulu, tunggu sampai
ikan ini matang dan...."
"Sudahlah,
Lok-ko, kaumakan sendiri ikan yang dengan susah payah kautangkap itu, kau makan
bersama ayahmu. Aku tiada nafsu makan. Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat
ke depan dan berlari ke tengah pulau.
Tinggal
Ki Lok yang berdiri dengan ikan di tangan, dipondong di atas kedua lengannya,
dan berdiri melongo memandang bayangan gadis itu yang lenyap di antara
pohon-pohon.
"Thung-kongcu,
wanita itu seperti burung dara, kalau didiamkan mendekat, kalau didekati
terbang menjauh. Lihatlah...." Seorang di antara anak buah Pulau Es
menuding ke arah pulau.
Ki
Lok sadar, mukanya menjadi merah dan ia menengok ke tengah pulau itu. Musim
ini, di mana banyak sinar matahari, pulau itu ditumbuhi beberapa macam pohon
sehingga kelihatannya lebih hidup daripada di musim dingin yang membuat pulau
itu gundul sama sekali.
Di
antara pohon-pohon ia melihat Kwi Hong sedang berhadapan dengan seorang pemuda,
bercakap-cakap. Ki Lok membalikkan tubuhnya, meloncat ke dalam perahu, melempar
ikan kakap merah di antara tumpukan ikan-ikan lain lalu mendayung perahunya
menjauhi perahu yang baru tiba. Lima orang tukang perahu itu hanya menghela
napas panjang karena mereka pun maklum bahwa seolah-olah terjadi perebutan
antara Thung Ki Lok dan Kwee Sui, seorang pemuda tampan anak keluarga Pulau Es
yang diambil murid oleh Phoa-toanio, yaitu Phoa Ciok Lin wakil majikan Pulau Es
untuk urusan dalam. Namun semua orang maklum bahwa terhadap kedua orang muda yang
seolah-olah bersaing memperebutkan cinta gadis cantik murid Pulau Es itu, Kwi
Hong bersikap acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang memperlihatkan dengan jelas
bahwa dia tidak senang menghadapi rayuan mereka.
Pemuda
yang kini menyambut kedatangan Kwi Hong itu adalah Kwee Sui. Dia berusia dua
puluh enam tahun, tubuhnya tidak tinggi besar seperti Ki Lok, akan tetapi
sedang dan wajahnya tampan sekali, juga dalam hal bicara dan mengambil hati,
dia lebih pandai daripada saingannya yang agak kaku. Memang sifat kedua orang
pemuda itu jauh berlainan, sungguhpun keduanya sama tampan dan sama gagah.
Semenjak kecil, Ki Lok suka bekerja di luar, yaitu mencari ikan menentang
panasnya matahari dan melawan serangan ombak laut, berjuang melawan alam di
samping mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya terbuka dan jujur,
pemberani dan agak kaku. Sebaliknya, Kwee Sui yang menjadi murid Phoa Ciok Lin,
dapat mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi karena gurunya adalah wakil
Pendekar Super Sakti, bahkan Phoa Ciok Lin adalah murid dari iblis betina
Toat-beng Ciu-sian-li yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw. Di samping ilmu
silat, Kwee Sui juga suka belajar ilmu sastera dan ia selalu mengenakan pakaian
bersih dengan potongan seorang sasterawan.
"Hong-moi,
engkau baru pulang? Dan di mana Pamanmu, Suma-taihiap, mengapa tidak ikut
pulang?" demikian Kwee Sui menyambut dengan sikap ramah. Sebagai murid
Phoa Ciok Lin, dia lebih dekat dalam pergaulannya dengan Kwi Hong dan
menyebutnya moi-moi (adik), tidak seperti Ki Lok yang menyebutnya nona. Adapun
semua anggauta Pulau Es, menyebut taihiap (pendekat besar) kepada Suma Han yang
tidak pernah suka disebut To-cu (majikan pulau) atau pangcu (ketua
perkumpulan).
"Paman
masih banyak urusan, aku disuruh pulang lebih dulu."
"Ahh,
engkau tentu lelah. Biar kusuruh koki menyediakan makanan yang paling kausukai,
Hong-moi. Inginkah kau mandi air hangat? Biar kusuruh pelayan
menyediakan...."
"Terima
kasih, Sui-ko, tak usah repot-repot, kalau aku perlu, aku akan menyuruh
sendiri," jawab Kwi Hong singkat, mulai tak senang hatinya. Datang-datang
dia disambut oleh rayuan-rayuan kedua orang pemuda itu, betapa menyebalkan!
"Eh,
engkau mendapatkan pedang baru, Hong-moi? Bukan main indahnya sarung pedang
itu.... ihh, bolehkah aku melihatnya?"
Kwi
Hong meraba gagang pedangnya dan menghunusnya separuh.
"Ayaaaa....!"
Kwee Sui meloncat ke belakang sampai tiga meter lebih dan mukanya berubah.
Matanya silau ketika tadi melihat pedang yang baru dihunus setengahnya, dan ia
bergidik setelah Kwi Hong menyarungkan kembali pedangnya. Gadis itu tersenyum,
setidaknya dia girang betapa pemuda itu terkejut dan kagum bukan main melihat
Li-mo-kiam. Dia merasa bangga akan pedang itu.
"Bukan
main, Hong-moi. Pedang pusaka apakah itu? Luar biasa sekali, baru sinarnya saja
agaknya sudah dapat membunuh orang!"
"Hemm,
tentu saja ampuh. Pedang ini adalah Li-mo-kiam, sebuah di antara
Siang-mo-kiam."
"Sepasang
Pedang Iblis....?" Kwee Sui terbelalak dan matanya lebar memandang ke arah
pedang yang tergantung dalam sarung pedang di pinggang Kwi Hong. "Yang
sebatang lagi mana, Hong-moi? Apakah dibawa Taihiap?"
Kwi
Hong hanya menggeleng kepala. "Tidak perlu banyak bertanya, Sui-ko.
Sudahlah, aku ingin bertemu Bibi Phoa kemudian beristirahat." Gadis itu
lalu meninggalkan Kwee Sui yang masih berdiri terlongong.
"Sepasang
Pedang Iblis...." Pemuda itu berbisik dan bergidik, akan tetapi hatinya
ingin sekali melihat dan memegang pedang yang amat terkenal dan yang ia dengar
diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu.
Setelah
bertemu dengan Phoa Ciok Lin, Kwi Hong berkata, "Bibi, dalam pelayaranku
pulang, aku melihat dari jauh lima buah kapal perang, tentu milik pemerintah
dan entah apa yang mereka cari di daerah ini. Harap Bibi suka perintahkan anak
buah melakukan penjagaan lebih ketat, aku amat lelah ingin beristirahat."
Phoa
Ciok Lin mengerutkan alisnya mendengar penuturan ini. "Lima buah kapal
perang pemerintah? Apa gerangan yang dicarinya di daerah ini?"
"Subo,
biarlah teecu pergi menyelidiki!" Tiba-tiba terdengar suara Kwee Sui yang
ternyata menyusul masuk dan mendengar percakapan gurunya dengan Kwi Hong itu.
"Baiklah,
lakukan penyelidikan dan usahakan untuk mengetahui apa kehendak mereka
mendatangi daerah ini. Akan tetapi, jangan kau lancang memancing keributan
dengan mereka. Taihiap tidak menghendaki kita terlibat dalam permusuhan dengan
pihak manapun juga."
"Baik,
Subo, teecu mengerti."
Setelah
Kwee Sui berangkat, Phoa Ciok Lin lalu mengumpulkan tokoh-tokoh Pulau Es
terutama sekali Yap Sun dan Thung Sik Lun, juga Thung Ki Lok, untuk mengatur
penjagaan yang lebih ketat menjaga di sekitar pulau, kalau-kalau ada pihak
musuh yang akan mendarat. Maka sibuklah semua penduduk Pulau Es, mereka
melakukan penjagaan dan siap menghadapi segala kemungkinan selagi majikan
mereka tidak berada di pulau.
Sementara
itu, Kwee Sui seorang diri mendayung perahu kecil, meninggalkan pulau melalui
celah-celah rahasia yang hanya diketahui oleh penghuni Pulau Es, biarpun pemuda
ini tidak sepandai Ki Lok dalam hal mendayung perahu, namun karena semenjak
kecil dia berada di atas pulau yang dikelilingi lautan dan karena tenaga
sin-kangnya amat kuat, maka perahu itu meluncur cepat sekali ketika ia
menggerakkan dayungnya. Dia tidak melihat adanya perahu besar atau kapal di
situ, maka setelah mengelilingi pulau sehingga malam tiba, Kwee Sui mendayung
perahunya ke pinggir, kemudian turun ke laut sebelah barat yang sunyi lalu
tertidur dalam perlindungan dua buah batu besar. Dia pulas dan mimpi bertemu
dengan Kwi Hong yang dalam mimpi itu suka menyambut rayuan cinta kasihnya. Hal
ini terjadi karena sebelum tidur hatinya penuh kekecewaan akan sikap gadis itu
yang belum pernah sedikit pun mau menghargai sikap manisnya. Kadang-kadang
timbul iri hatinya karena mengira bahwa dia kalah bersaing dengan Ki Lok, akan
tetapi ketika tadi ia dalam persembunyiannya menyaksikan betapa sikap Kwi Hong
juga dingin saja bahkan menolak mentah-mentah pemberian ikan oleh pemuda itu,
hatinya menjadi lega dan harapannya timbul kembali.
Kwee
Sui enak mimpi sehingga dia tidak tahu bahwa malam telah terganti pagi, dan
tidak tahu pula bahwa di depannya telah berdiri seorang pendeta berkepala
gundul dan bertubuh gendut bundar. Pendeta ini bukan lain adalah Thian Tok Lama
yang amat lihai. Dia mendapat tugas memimpin kapal yang mendekati Pulau Es di pagi
hari itu dari sebelah barat dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan dua
potong papan diikatkan di bawah sepatunya, pendeta sakti ini dapat mendarat
tanpa diketahui oleh seorang pun penjaga Pulau Es!
Para
penjaga hanya melihat betapa lima buah kapal itu mendekati dan mengurung pulau,
akan tetapi tidak berani mendarat. Tentu saja tak seorang pun di antara mereka
menyangka ada orang dari kapal yang dapat "berjalan" di atas air
seperti yang dilakukan Thian Tok Lama dengan bantuan dua potong papan di bawah
kakinya. Apalagi pendeta Lama ini mendarat ketika cuaca masih gelap.
Melihat
seorang pemuda tidur pulas di pantai dan sebuah perahu kecil terikat di situ,
Thian Tok Lama merasa girang sekali. Dia memang ingin menangkap seorang
penghuni Pulau Es untuk ditanyai keterangan dan dipaksa menjadi petunjuk jalan,
maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menotok jalan darah di belakang leher
Kwee Sui. Pemuda ini terkejut, terbangun, akan tetapi tidak dapat bergerak lagi
karena kedua pasang kaki tangannya lumpuh dan dia tidak dapat mengeluarkan
suara! Thian Tok Lama memanggul tubuh pemuda itu kemudian meloncat ke air dan
"meluncur" dengan ayunan tubuhnya sehingga kedua potong papan di
kakinya itu seperti dua buah perahu kecil yang diinjaknya. Tenaga ayunan kedua
lengannya yang digerakkan amat kuat sehingga dia meluncur cepat, kalau dilihat
dari jauh tentu membuat orang menduga bahwa pendeta ini berlari di atas air!
Kwee
Sui sendiri terbelalak penuh keheranan menyaksikan kepandaian pendeta yang amat
luar biasa ini. Jantungnya berdebar dan otaknya yang cerdik segera bekerja. Ia
dapat menduga bahwa tentu pendeta ini datang dari kapal-kapal itu, tentu
seorang tokoh kerajaan yang berilmu tinggi. Kalau yang datang itu adalah musuh
dan memiliki orang-orang yang begini sakti, tentu akan celakalah penghuni Pulau
Es, pikirnya. Apalagi pada waktu itu, Pendekar Super Sakti tidak berada di atas
pulau. Dia harus berlaku cerdik dan akan menyaksikan dulu bagaimana
perkembangannya karena itu ia masih belum mengerti mengapa pendeta lihai ini
menawannya.
langsung
kepada Im-kan Seng-jin Bong Ji Kun. Ketika Kwee Sui melihat koksu yang
berpakaian indah gemerlapan, melihat para panglima pengawal dan pasukan
pengawal di kapal besar yang bertopi besi berpakaian perang dan bersenjata
lengkap, hatinya menjadi gentar. Biarpun ilmu kepandaiannya cukup tinggi, namun
pemuda ini belum ada pengalaman bertempur, pula, melihat kepandaian Thian Tok
Lama, dia sudah menjadi ketakutan. Kalau sebuah kapal saja mempunyai pasukan
yang lebih dari lima puluh orang jumlahnya, dan ada orang-orang yang berilmu
begitu tinggi, apalagi kalau lima buah kapal itu datang menyerang semua. Dapat
dipastikan bahwa Pulau Es akan hancur!
Koksu
menggerakkan tangan dan hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan
menyambar ke arah pundak Kwee Sui dan.... pemuda ini merasa betapa totokan di
tubuhnya terbebas. Bukan main kagetnya. Ilmu semacam ini, gurunya sendiri pun
tidak mampu melakukannya, kecuali barangkali Pendekar Super Sakti. Tahulah dia
bahwa pembesar yang berpengaruh dan berwibawa ini tentu memiliki kepandaian
lebih tinggi lagi daripada Si Pendeta yang menghormat ketika menceritakan
betapa di pantai barat itu sunyi tidak tampak penjaga, dan hanya bertemu dengan
pemuda yang sedang tidur lalu ditangkapnya itu.
"Berlututlah
engkau!" Seorang pengawal membentak dan menodongkan tombaknya di punggung
Kwee Sui. "Engkau berhadapan dengan Koksu Pemerintah yang Mulia!"
Sebagai
seorang terpelajar, tentu saja Kwee Sui mengerti apa artinya kedudukan koksu
ini. Seorang yang amat berkuasa, boleh dibilang nomor dua sesudah raja di
bidang keamanan, tentu saja seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali! Maka tanpa ragu-ragu ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Pemuda ini
banyak membaca tentang sejarah dan kesusasteraan, diam-diam dia ingin sekali
menggunakan kepandaiannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan, menjadi
seorang berpangkat yang dihormati ribuan orang, hidup serba mewah dan penuh
kesenangan! Maka, begitu kini berhadapan dengan Koksu Negara, tentu saja dia
hersikap hormat sekali.
"Harap
Taijin sudi mengampunkan hamba yang entah telah melakukan kesalahan apa
sehingga dihadapkan kepada Taijin," katanya dengan bahasa yang teratur
baik.
"Ha-ha-ha-ha!"
Bhong Ji Kun mengelus jenggotnya dan ketika kepalanya bergerak naik turun,
botaknya yang kelimis itu mengkilap tersinar cahaya matahari yang masuk melalui
jendela di ruangan kapal itu. "Tadinya kusangka bahwa penghuni-penghuni
Pulau Es adalah manusia-manusia setengah liar, atau seperti siluman-siluman
sehingga pemimpinnya dijuluki Pendekar Siluman. Kiranya orang muda ini cukup
tampan, berpakaian baik dan bersikap sopan dengan bahasa yang terpelajar. Eh,
orang muda, engkau siapakah dan apa kedudukanmu di Pulau Es?"
"Nama
hamba Kwee Sui, hamba hanyalah seorang biasa saja yang kebetulan mendapat
kehormatan menjadi murid dari Subo Phoa Ciok Lin, wakil Taihiap untuk urusan
pulau."
"Eh,
kiranya engkau orang penting juga! Tentu kepandaianmu cukup hebat kalau engkau
murid kuasa pulau. Akan tetapi mengapa ketika ditangkap engkau tidak
melawan?" Bhong Ji Kun membentak curiga.
"Hamba
memang telah mempelajari sedikit ilmu, akan tetapi mana mungkin hamba dapat
melawan Losuhu yang lihai ini? Selain hamba sedang tidur sehingga dapat
ditotoknya, juga andaikata hamba tahu bahwa Losuhu adalah utusan Taijin,
bagaimana hamba berani melawan?"
"Hemm,
engkau pandai bicara. Katakan, mengapa engkau tidak berani melawan
utusanku?"
"Setelah
mengetahui bahwa Taijin adalah Koksu Negara, sampai mati pun hamba tidak akan
berani melawan. Untuk apa hamba mempelajari sedikit kepandaian? Bukan lain
hanya untuk memenuhi idam-idaman hati hamba, yaitu apabila ada kesempatan,
hamba ingin mengabdikan diri kepada pemerintah."
Bhong
Ji Kun membuka lebar matanya, kemudian mengangguk-angguk. "Hemm,
demikiankah sesungguhnya? Nah, tentang kedudukan untukmu boleh kita bicarakan
kemudian, sekarang yang terpenting, hendak kulihat apakah engkau benar-benar
ingin mengabdikan diri. Apakah Pendekar Siluman berada di pulau?"
"Tidak,
Taijin. Taihiap sedang bepergian, entah ke mana."
Wajah
Koksu itu kelihatan girang. Tanpa adanya Pendekar Super Sakti yang ditakuti,
tentu mudah menaklukkan penghuni pulau itu. Kelak, menghadapi Pendekar Siluman
sendirian saja tanpa anak buah, tentu akan lebih mudah. Dan pemuda ini
kelihatannya amat ingin memperoleh kedudukan, maka tentu akan dapat membantunya
dengan baik.
"Siapa
yang sekarang berada di Pulau Es? Siapa tokoh-tokohnya yang menjaga keamanan di
sana dan berapa banyak penghuninya?"
"Selain
Subo Phoa Ciok Lin, juga tentu saja di sana terdapat Paman Yap Sun, Paman Thung
Sik Lun, puteranya yaitu Thung Ki Lok, dan terutama sekali, di sana ada juga
murid Taihiap, atau keponakannya sendiri, Nona Giam Kwi Hong. Hanya merekalah
yang menjadi tokoh-tokoh terpandai di Pulau Es, selebihnya hanyalah anak buah
yang jumlahnya laki perempuan dan tua muda kurang lebih seratus orang. Belasan
orang di antara mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Subo dahulu
sebelum menjadi penghuni Pulau Es, yaitu menurut Subo, adalah murid-murid
Toat-beng Ciu-sian-li."
"Ah-ah!
Murid-murid In-kok-san yang memberontak?" kata Koksu dengan kaget.
"Benar,
Taijin. Akan tetapi sekarang, tidak ada sedikit pun niat memberontak dalam hati
para penghuni Pulau Es. Bolehkah hamba mengetahui, mengapa Taijin membawa
pasukan ke Pulau Es?"
Bhong
Ji Kun memandang tajam kepada pemuda itu. Sekarang ujian terakhir bagi Kwee Sui
dan Koksu itu sudah siap untuk mengirim pukulan apabila pemuda itu
memperlihatkan sikap memberontak. "Kami hendak menangkap Pendekar Siluman
dan pembantu-pembantunya, dan kami hendak menduduki Pulau Es."
"Ahhhh....!"
Kwee Sui terkejut bukan main, dan kalau saja dia tidak sangat cerdik, tentu dia
sudah mengamuk. Akan tetapi, pemuda ini hanya memperlihatkan kekagetan,
kemudian bertanya, hati-hati.
"Maaf,
Taijin. Akan tetapi.... apakah kesalahan kami? Apakah dosa para penghuni Pulau
Es?"
"Tak
perlu kau tahu, ini adalah perintah Kaisar! Kalau mereka melawan, akan dibunuh!
Bagaimana pendapatmu?"
"Taijin,
hamba kira tidak akan ada yang melawan, kecuali kalau Taihiap berada di Pulau.
Kalau sampai mereka melawan.... aihhh, hamba tidak dapat membayangkan
akibatnya. Subo memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga kedua Peman
Yap Sun dan Thung Sik Lun amat lihai, belum lagi belasan orang saudara
seperguruan Subo. Dan terutama sekali Nona Kwi Hong.... ahhh, Taijin tidak
tahu, dia luar biasa lihainya, telah mewarisi ilmu dari Suma-taihiap. Lebih
lagi, baru-baru ini dia telah memperoleh Li-mo-kiam sebatang di antara Sepasang
Pedang Iblis."
"Sepasang
Pedang Iblis?" Hampir semua tokoh yang hadir dalam kapal itu berseru,
yaitu yang berada di kapal koksu itu adalah Sang Koksu sendiri, Thian Tok Lama
yang menghadap, dan para panglima.
"Bagus
sekali! Kami akan menundukkan atau membunuh mereka, pedang itu dan semua pusaka
di Pulau Es harus dirampas untuk kerajaan!"
Tiba-tiba
Kwee Sui memberi hormat dan berkata, "Mohon Koksu sudi mempercaya hamba.
Hamba sanggup membantu, sehingga pasukan-pasukan pemerintah tidak mengalami
kesukaran memasuki Pulau Es yang tidak mudah diserbu, dan hamba akan mencuri
Li-mo-kiam dari tangan Nona Giam Kwi Hong, kemudian membantu Taijin menghadapi
mereka yang melawan, dan akan membujuk agar mereka tidak melawan dan menyerah
saja, akan tetapi hamba mohon janji Taijin."
"Ha-ha-ha,
orang muda. Aku mengerti, jangan khawatir, kalau berhasil penyerbuan ini dan
jasamu besar, tentu aku akan melapor kepada Kaisar dan engkau akan memperoleh
anugerah pangkat sesuai dengan kepandaianmu."
"Hamba
percaya akan hal itu, Taijin, akan tetapi ada satu hal yang hamba minta kepada
Taijin sebelum Taijin mengerahkan pasukan menyerbu Pulau Es...."
"Hemmm,
apa permintaanmu? Katakanlah, akan kami pertimbangkan."
"Hamba....
hamba mencinta Giam Kwi Hong, karena itu.... harap dia jangan dilukai apalagi
dibunuh.... jika menjadi tawanan supaya diserahkan kepada hamba.... hamba akan
berterima kasih sekali dan selamanya akan menyerahkan jiwa raga hamba mengabdi
kepada pemerintah di bawah pimpinan Taijin."
Koksu
itu tertawa bergelak dan tanpa banyak tanya lagi dia mengerti akan isi hati
pemuda itu. Tak salah lagi, pikirnya, tentu cinta pemuda ini ditolak oleh murid
Pendekar Siluman. Sungguh kebetulan sekali dan amat menguntungkan terlaksananya
tugasnya karena andaikata tidak ada persoalan itu, belum tentu pemuda ini mau
membantunya demikian mudah.
Tiba-tiba
tampak bayangan berkelebat dari bawah kapal dan seorang pemuda tinggi besar
yang pakaiannya basah semua, dengan sebatang golok besar di tangan kanan, telah
berdiri di situ memandang ke arah Kwee Sui dengan mata terbelalak marah,
kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Kwee Sui sambil membentak.
"Manuaia
she Kwee yang berbudi rendah! Seekor anjing yang setiap hari diberi makan dan
dipelihara, masih memiliki kesetiaan. Akan tetapi engkau ini manusia lebih hina
daripada anjing, setelah segala kebaikan yang kau terima dari Majikan Pulau Es,
sekarang pada kesempatan pertama hendak mengkhianatinya! Bedebah!"
Para
pengawal sudah mengurung pemuda itu, dan Thian Tok Lama sudah melangkah maju,
akan tetapi Im-kan Seng-ji Bhong Ji Kun berseru, "Tahan dan jangan serang
dia!" Lalu Koksu ini menoleh kepada Kwee Sui, "Kwee-sicu, siapakah
dia itu dan kenapa dia marah-marah kepadamu?"
Muka
Kwee Sui sudah merah sekali saking malu dan marahnya. Tak disangkanya bahwa
saingannya itu berada di sini dan mendengarkan ucapannya tadi. Sudah kepalang,
pikirnya. Tentu saingannya menyelidiki kapal dengan jalan berenang karena
memang dia seorang ahli renang yang luar biasa.
"Taijin,
dia itulah Thung Ki Lok putera Paman Thung Sik Lun. Dia memang membenci hamba
karema dia pun jatuh cinta kepada Giam Kwi Hong."
"Ha-ha-ha!"
Bhong Ji Kun tertawa bergelak, di dalam hatinya dia mengejek Pendekar Siluman.
Kiranya Pulau Es hanya dihuni oleh pemuda-pemuda macam ini, karena tergila-gila
kepada seorang wanita, telah melakukan hal-hal yang bodoh, pikirnya.
"Kwee-sicu, setelah engkau berjanji untuk membuat jasa kepada kerajaan.
Nah, kuperintahkan engkau menghadapi dia!"
Kwee
Sui melompat berdiri dan Thian Tok Lama menyerahkan pedangnya yang tadi
dirampas oleh pendeta Lama itu. Dengan pedang di tangan, Kwee Sui menghampiri
Ki Lok dan berkata, "Ki Lok, engkau memang sudah bosan hidup. Telah lama
ingin sekali aku memenggal batang lehermu, akan tetapi karena di pulau, tidak
ada kesempatan bagi kita mengadu nyawa. Sekarang, kita hanya berdua di sini,
mari kita tentukan siapa di antara kita yang hendak hidup!"
"Hemm,
manusia hina! Karena engkau telah menjadi anjing penjilat musuh, maka berani
bicara besar! Apa kaukira aku takut menghadapi macammu dan para majikan
barumu?"
"Tutup
mulutmu yang busuk!" Kwee Sui marah sekali dan sudah menerjang dengan
pedangnya. Ki Lok menangkis dengan goloknya.
"Tranggg....!"
Tangan Kwee Sui tergetar dan memang dia maklum akan besarnya tenaga yang
dimiliki Ki Lok, namun dia tidak gentar karena dia memiliki gerakan yang lebih
cepat dan gesit. Segera ia menyerang lagi menggerakkan pedangnya dengan
kecepatan luar biasa sehingga pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang
melingkar-lingkar dan menyerang Ki Lok.
Karena
Kwee Sui digembleng oleh Phoa Ciok Lin yang lihai, tentu saja ilmu silatnya
lebih lihai daripada Ki Lok. Tingkatnya lebih tinggi, terutama sekali
gin-kangnya. Akan tetapi Ki Lok memiliki keberanian yang luar biasa, membuatnya
selalu tenang dan biarpun gerakan goloknya tidak secepat gerakan pedang di
tangan lawan, namun karena dia menggerakkannya dengan tenang dan dengan tenaga
yang besar maka dia dapat melindungi tubuhnya dengan baik.
Bhong
Ji Kun menonton pertandingan ini dengan hati girang. Dia mendapat kenyataan
bahwa Kwee Sui memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi kalau
dibandingkan dengan kepandaian para panglimanya, bahkan lebih tinggi daripada
tingkat kepandaian Panglima Bhe Ti Kong yang dipercayanya. Boleh juga,
pikirnya. Pemuda ini akan merupakan pembantu yang boleh diandalkan, hampir
setingkat dengan kepandaian Tan-siucai! Dan pertandingan ini merupakan ujian
terakhir bagi pemuda itu! Kalau pemuda she Kwee itu benar-benar bertekad bulat
untuk menghambakan diri kepada kerajaan, tentu tidak akan segan-segan membunuh
kawannya sendiri, kawan sepulau!
Pertandingan
berlangsung mati-matian dan seru karena Ki Lok juga berusaha untuk membunuh
Kwee Sui, bukan semata-mata karena memperebutkan Kwi Hong, sama sekali tidak.
Demi nona itu yang diperebutkan cintanya, dia tidak akan begitu rendah untuk
mengadu nyawa dengan Kwee Sui. Kalau dia sekarang berusaha membunuhnya adalah
karena melihat kenyataan bahwa Kwee Sui hendak mengkhianati Pulau Es. Seratus
jurus telah lewat dengan cepatnya dan mulailah Ki Lok terdesak oleh sinar
pedang Kwee Sui, dan ia hanya dapat menangkis dan mengelak tanpa dapat balas
menyerang. Ki Lok mundur terus sampai di pinggir kapal, kakinya tersangkut tali
dan ia terjengkang. Saat itu, dua kali sinar pedang berkelebat.
"Crat-crat!"
Darah mengucur keluar dari pangkal lengan kanan dan dada kiri Ki Lok. Pemuda
ini terjengkang ke belakang, goloknya terpental dan tubuhnya tarlempar keluar
kapal. Air muncrat ke atas dan tubuh pemuda tinggi besar itu tenggelam dan
lenyap. Yang tampak hanya sedikit air laut yang berwarna merah oleh darahnya.
Sejenak
Kwee Sui memandang ke air, sambil menyimpan kembali pedangnya. Ketika mendengar
suara Bhong Ji Kun tertawa, dia membalik dan menjatuhkan diri lagi berlutut di
depan koksu itu.
"Bagus!
Kepandaianmu lumayan dan engkau telah membuktikan kesetiaanmu. Nah, sekarang
bagaimana baiknya menurut rencanamu agar kami dapat mendarat?"
"Perkenankan
hamba kembali ke pulau. Hamba akan memberi tanda-tanda dengan sobekan-sobekan
kain putih yang menunjukkan jalan masuk yang aman, bebas dari jebakan-jebakan.
Akan hamba coba untuk membujuk mereka agar menyerah, akan tetapi kalau mereka
tidak mau, terserah kalau Taijin hendak membunuh mereka yang melawan. Hamba
akan berusaha mencuri Li-mo-kiam dan harap Taijin jangan lupa agar jangan
membunuh Nona Kwi Hong andaikata dia nekat melawan."
"Ha-ha-ha,
jangan khawatir. Kalau dia melawan akan kami tawan dia untukmu. Akan tetapi
selain pedang Li-mo-kiam, kau harus mengumpulkan pusaka-pusaka Pulau Es agar
jangan sampai mereka sembunyikan atau hancurkan. Kelak engkau akan diberi
anugerah besar dan kedudukan yang cukup tinggi."
"Baik,
Taijin. Hamba mohon sebuah perahu kecil agar hamba dapat mendarat lebih
dulu."
"Kau
beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat
menyerbu dengan aman."
"Baik!"
Kwee
Sui lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah diturunkan oleh
pasukan, kemudian mendayung perahu itu ke darat dengan jantung berdebar.
Biarpun dia telah berhasil membunuh Ki Lok, namun hatinya merasa tidak enak
sekali. Dia telah bermain dengan api, dan kalau dia teringat kepada Pendekar
Super Sakti, dia bergidik. Tidak apa, pikirnya, menghibur diri sendiri. Kalau
serbuan itu berhasil dan dia tinggal di kota raja, membantu koksu yang memiliki
banyak orang pandai, dia tentu aman dari pembalasan Pendekar Super Sakti. Dan
Kwi Hong, si cantik manis yang membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan dan
diserahkan kepadanya, hemm.... dia akan memaksanya menjadi isterinya, mau atau
tidak! Kalau dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi, aman dan terjamin keselamatannya,
sudah memperoleh diri Kwi Hong yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik
daripada "mati kering" di tempat dingin itu, di Pulau Es, hanya dapat
memandang Kwi Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan.
Setelah
mendapatkan perahunya Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain putih di
tempat-tempat tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau sebagaimana yang
telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil memasang kain putih dia memasuki pulau
dan langsung menghadapi gurunya yang masih berunding dengan Kwi Hong bagaimana
sebaiknya menghalau musuh kalau memang kapal-kapal yang mendekati pulau itu
benar-benar musuh yang berniat buruk.
"Wah,
lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai kusuruh Ki Lok pergi
menyusulmu. Di mana Ki Lok?" Begitu dia datang, gurunya menegurnya.
"Celaka
sekali, Subo." Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap
air matanya.
"Eh,
ada apakah?" Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu
cengeng. "Lekas ceritakan!"
"Liok-te
telah tewas mereka bunuh....!"
"Apa....?"
Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang tentu menjadi
terkejut sekali mendengar bahwa putera tunggalnya telah tewas dibunuh orang.
"Bagaimana terjadinya?" Suaranya gemetar, akan tetapi kakek yang
gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya mukanya saja yang pucat
sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat.
Karena
khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki Lok, Kwee Sui
kembali menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong yang terbelalak kaget
sampai tidak bisa bicara apa-apa ketika mendengar betapa pemuda yang menjadi
sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh musuh.
"Teecu
dapat mendekati sebuah di antara kapal mereka dan semalam suntuk teecu
bersembunyi sambil berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi teecu dapat
merayap naik dah selagi teecu hendak mencuri pembicaraan mereka, tiba-tiba
tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan mencaci-maki, mengusir kapal-kapal
itu supaya menjauhi Pulau Es."
"Ahhh....
dia selalu keras hati dan terlalu berani...!" Terdengar Thung Sik Lun
mengeluh sambil menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik air mata.
"Ahhh,
kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!" Kwi Hong
mengepal tinju, suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati.
"Lanjutkan
ceritamu. Mereka itu siapakah?" Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.
"Celaka
sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan dipimpin sendiri
oleh Koksu Negara yang amat sakti! Dia membawa tentara yang banyak sekali, ada
tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu menyaksikan sendiri betapa dalam
satu jurus saja Lok-te telah roboh dan terlempar ke laut! Dari kata-kata Koksu
itu kepada Lok-te teecu mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau
Es dan akan membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu
mengharap kebijaksanaan Subo dan Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu
melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang sakti itu."
"Pengecut!"
Phoa Ciok Lin membentak marah. "Kau sebagai muridku mengusulkan agar kita
menakluk saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa perlawanan?"
"Ohhh,
tidak.... tidak.... mana teecu berani? Teecu hanya menyampaikan hasil
penyelidikan teecu dan mohon pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo dan
Hong-moi tentu saja teecu taati dan teecu siap membantu dengan taruhan nyawa
teecu!"
Phoa
Ciok Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia menoleh
kepada Kwi Hong sambil bertanya, "Hong-ji (Anak Hong), karena Taihiap
tidak ada di sini, bagaimana pendapatmu?"
Kwi
Hong mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam. "Bagaimana
pendapatku? Adakah pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka bunuh, Bibi?
Pendapat kita satu-satunya hanyalah mempertahankan pulau, melawan mati-matian!
Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"
Dua
orang kakek itu mengangguk. "Tidak ada jalan lain lagi," jawab Yap
Sun.
"Saya
siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah
dilakukan anakku!" kata Thung Sik Lun terharu.
"Bagus,
kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!" kata Kwi Hong
penuh semangat.
Phoa
Ciok Lin yang lebih berpengalaman daripada Kwi Hong karena dia adalah seorang
bekas pejuang, cepat berkata, "Kita bagi anak buah menjadi empat. Aku
sendiri memimpin anak buah menjaga pantai barat, engkau memimpin anak buah
menjaga pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji (Anak Sui), memimpin penjagaan di
utara, Paman Thung memimpin penjagaan di selatan. Adapun Paman Yap memimpin
sisa anak buah untuk menghadapi serbuan kapal ke lima, darimanapun datangnya.
Kebetulan kita di sini berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi
lima buah kapal itu yang agaknya telah mengurung pulau. Mari kita berjuang
membela pulau sampai titik darah terakhir!"
Mereka
lalu keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah, membagi menjadi
lima dan segera berangkat ke tempat penjagaan masing-masing. Ketika Kwi Hong
sedang sibuk mengatur pasukannya, tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata,
"Hong-moi,
maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Sekarang kita menghadapi musuh yang
kuat dan entah kita akan dapat saling berjumpa lagi atau tidak. Maka sebagai
ucapan selamat berpisah dan selamat berjuang, aku lebih dulu mohon kau suka
memaafkan semua kesalahanku."
Kwi
Hong tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak mengeluarkan
kata-kata merayu dan mengambil hatinya, dan agaknya dalam ancaman bahaya ini
Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka dia berkata halus, "Sui-ko,
mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka memaafkan kalau engkau
bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa. Pula, siapa bilang bahwa kita
akan kalah? Lihat saja kita akan hancurkan mereka semua!"
"Mudah
bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi langit. Juga
mudah bagi Subo dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah, tingkat kepandaianku
masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja demikian mudah terbunuh apalagi aku?
Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti pedangmu itu, Hong-moi, agaknya aku
akan dapat mengamuk dan tidak akan mudah dikalahkan musuh!"
"Hemm,
yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."
"Kalau
begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku? Percayalah aku
akan menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di tangan, aku tidak
takut menghadapi koksu sendiri sekalipun!" Kwee Sui berkata penuh
semangat. "Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam pemberian
Taihiap."
Kwi
Hong ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan pemuda itu tak
dapat disangkal kebenarannya, dengan ramah ia lalu melepaskan sarung pedang
Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada Kwee Sui.
"Demi
mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepadamu, Sui-ko. Akan
tetapi hati-hatilah terampas musuh. Aku percaya, dengan pedang yang ampuh dan
mujijat ini, kelihaianmu akan menjadi lipat ganda."
"Terima
kasih.... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat berpisah,
mudah-mudahan kita akan saling dapat berjumpa pula." Kwee Sui menerima
Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan dipimpinnya pasukan itu menuju
ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya. Diam-diam ia tersenyum lega.
Pasti kita akan saling berjumpa lagi, Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri
baik engkau mau atau tidak!
Setelah
membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil bersembunyi,
Kwee Sui diam-diam meloloskan diri dan mulai bekerja sibuk memberi tanda kain
putih di pantai itu, kemudian ia menyusup ke timur dan ke selatan untuk memberi
tanda-tanda robekan kain putih.
"Haiiii....!"
Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat sembunyinya dan ketika
mereka melihat bahwa orang yang mereka tegur itu adalah Kwee Sui, mereka
terheran-heran.
"Kwee-kongcu....
apa yang sedang kaulakukan itu?" Seorang di antara mereka menegur.
Kwee
Sui terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat adanya orang
lain, secepat kilat dia mencabut pedang Li-mo-kiam.
Dua
orang itu tak sempat berteriak karena sinar pedang itu saja sudah membuat
mereka menggigil dan bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain saat sinar
kilat berkelebat dan kepala mereka menggelinding putus dari leher, terbabat
Li-mo-kiam! Pedang yang sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai
melepaskan dahaganya dan ketika Kwee Sui memandang pedang itu dengan hati penuh
kebanggaan, ia melihat pedang itu lebih bersinar-sinar lagi setelah mencium
darah manusia. Hebatnya, pedang yang telah membabat putus dua leher manusia itu
sedikit pun tidak ternoda merah, seolah-olah darah telah mencucinya lebih
cemerlang dan bersih.
"Li-mo-kiam....
hebat....!" Kwee Sui mencium pedang itu lalu menyarungkannya kembali,
kemudian menyeret dua orang itu ke balik batu dan menguruk mayat mereka berikut
dua buah kepala mereka dengan salju. Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus
dengan injakan kakinya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.
Baru
saja ia selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba terdengar
sorak-sorai disambut teriakan-teriakan gegap gempita dan tahulah dia bahwa
pasukan-pasukan pemerintah telah mulai menyerbu! Memang koksu telah mengabarkan
kepada pimpinan kapal masing-masing bahwa di darat telah ada pembantu mereka
yang memasang tanda kain-kain putih yang harus dijadikan petunjuk untuk
menyerbu ke pulau itu.
Terjadilah
perang yang hebat dan di lima penjuru pulau itu! Para pasukan pemerintah dapat
menyerbu pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas dari tempat-tempat yang
dipasangi jebakan dan alat rahasia berkat petunjuk robekan kain-kain putih yang
dipasang oleh Kwee Sui. Melihat ini, para penghuni Pulau Es terpaksa menyambut
mereka dengan senjata dan terjadi perang yang mati-matian. Biarpun jumlah
penghuni pulau kalah banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih
tinggi, namun para penghuni menang kuat dalam tenaga sin-kang. Selama tinggal
di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih sin-kang dengan
menghimpun Im-kang sehingga tenaga mereka mengandung hawa dingin yang lebih
kuat daripada para penyerbu. Para penyerbu rata-rata menggigil kedinginan,
bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau Es, akan tetapi juga karena
benturan senjata dengan para penghuni Pulau Es itu dilandasi Im-kang yang
membuat para lawan selalu terserang hawa dingin yang menusuk tulang.
Serangan
serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es tidak dapat
saling membantu karena mereka itu menghadang musuh masing-masing yang menyerbu
dari lima jurusan. Bahkan Yap Sun sendiri kini bersama pasukannya telah
menghadapi serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tan Ki atau
Tan-siucai.
"Ha-ha-ha,
kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan
pasukan pemerintah?"
"Selamanya
Pulau Es tidak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang pemerintah
menyerang kami, terpaksa kami akan mempertahankan pulau mati-matian!"
jawab kakek Yap Sun dengan suara keren.
"Ha-ha-ha!
Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap pemerintah akan tetapi
majikan kalian berdosa besar sekali, karena itu kalian pun ikut berdosa kalau
melawan."
"Orang
muda, engkau berpakaian seperti sasterawan namun memimpin pasukan! Terang bahwa
engkau tergolong penjilat penjajah. Tak perlu banyak cakap lagi, siapa takut
kepada engkau dan pasukanmu? Anak-anak, serang mereka!" Kakek Yap Sun
memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah anak buahnya yang berjumlah hanya
tiga puluh orang menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia
sendiri sudah menerjang maju dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian
sasterawan itu.
Tan-siucai
terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari kedua tangan kakek
itu. Memang Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar
Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan
sakti yang amat hebat, karena di dalam tenaga ini terkandung hawa sakti yang
melebihi api panasnya, dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat menerimanya.
"Bagus!"
Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah mencabut
sebatang pedang yang berwarna hitam. Inilah senjatanya yang dibuat oleh gurunya
sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang yang ampuh karena diberi racun yang
merendam pedang itu sampai bertahun-tahun sehingga pedang itu berwarna hitam!
Sambil mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki
mengelebatkan pedangnya. Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek ini pun
maklum akan berbahayanya pedang itu yang mengeluarkan bau amis, namun dia tidak
gentar. Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka mengeluarkan hawa pukulan
yang dapat menangkis dan mendorong mundur sinar pedang itu sehingga Tan Ki
terpaksa meloncat lagi dan menyerang dari lain jutusan. Sementara itu, pasukan kedua
pihak sudah saling serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding
mati-matian di mana setiap orang anak buah Pulau Es dikeroyok dua orang lawan.
Ternyata
hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang kebetulan bertemu lawan
yang seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu lawan berat dan keadaan mereka
terdesak hebat. Phoa Ciok Lin, yang merupakan orang ke dua setelah Kwi Hong
dalam hal kelihaian ilmu silatnya, bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh
Thai Li Lama, pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa Ciok Lin
terpaksa harus mengeluarkan semua ilmunya, mengeluarkan seluruh gin-kang dan
ilmu silatnya untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan
Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang mengandung campuran hawa mujijat
dari ilmu hitam. Berkali-kali Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang
amat berwibawa, membuat wanita sakti itu kewalahan dan hampir celaka karena
hampir saja dia tidak dapat menahan pengaruh bentakan-bentakan yang mengandung
ilmu hitam I-hun-to-hoat (hypnotism) itu. Untung bahwa sebagai pembantu
istimewa yang telah digembleng oleh Pendekar Siluman, dia memiliki batin yang
kuat sehingga dengan segala kekuatan batinnya dia masih berhasil mempertahankan
diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat, seperti juga anak buahnya yang
terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama.
Thung
Sik Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki keistimewaan
gerak cepat, lebih payah lagi karena dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin
oleh pendeta India, Kakek Maharya yang tentu saja jauh lebih lihai daripada
dia! Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun menyerangnya dengan
pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang dapat membikin beku darah di tubuh
lawan. Namun Kakek Maharya menerima pukulannya dengan enak saja dan begitu
tangan kiri Thung Sik Lun mendarat di dada yang kerempeng itu, tangan Thung Sik
Lun tak dapat ditarik kembali, melekat dan tersedot oleh dada kerempeng itu!
Thung Sik Lun terkejut, cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan
Im-kang sekuatnya memukul ke pusar.
"Desss!"
Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik
kembali.
"Heh-heh-heh!"
Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menjambak rambut di
ubun-ubun kepala Thung Sik Lun, mencengkeram dan begitu dia mencabut, kepala
itu berikut kulit dan tulang kepala bagian ubun-ubun copot! Otak dan darah
mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan menggelogok darah
campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima air sejuk! Setelah darah
berhenti mengucur dan Maharya melepaskan sin-kangnya, tubuh Thung Sik Lun yang
sudah tak bernyawa lagi itu terguling! Tentu saja robohnya pimpinan ini
membikin kacau para anak buah Pulau Es. Di antara mereka banyak yang roboh dan
mereka bergidik ngeri menyaksikan kematian pimpinan mereka, maka mereka cepat
mengundurkan diri ke tengah pulau sambil menahan majunya musuh-musuh dengan
senjata rahasia mereka yang ampuh, yaitu butiran-butiran es yang dingin sekali,
yang dapat mereka kumpulkan dan gali dari lorong bawah tanah di belakang Istana
Pulau Es! Hujan butiran es yang dingin ini sedikit banyak menghambat kemajuan
para penyerang dan memungkinkan mereka untuk mundur dan mengatur pertahanan
lagi tanpa pimpinan.
Thian
Tok Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee Sui. Akan tetapi
ketika anak buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut kedatangan pendeta gundul
itu tertawa-tawa dan mereka berdua itu bercakap-cakap sambil berjalan ke darat,
mereka menjadi kacau. Apalagi ketika Kwee Sui berseru.
"Kita
tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik
menyerah saja tentu diampuni!"
Mendengar
ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka semua adalah
orang-orang yang setia, bahkan di antara mereka banyak terdapat bekas pejuang
yang menentang penjajahan Mancu, maka mendengar seruan ini, maklumlah mereka
bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka mereka segera melawan sambil mundur ke
tengah pulau, juga mempertahankan diri dengan serangan butiran-butiran es dingin.
Yang
berat seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri. Gadis perkasa yang
penuh semangat ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang dipimpin oleh Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biarpun Bhong Ji Kun masih kalah sedikit kalau
dibandingkan dengan kelihaian paman gurunya, Maharya, namun bagi Kwi Hong dia
telah merupakan lawan yang amat berat, apalagi tentu saja pasukan yang dipimpin
Koksu ini adalah pasukan pengawal yang paling kuat!
Kwi
Hong juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus berkepala botak
yang memakai pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat menduga bahwa tentu
inilah orangnya yang disebut koksu oleh Kwee Sui. Cepat dia mencabut
Pek-kong-kiam sehingga tampak sinar putih menyilaukan mata dari pedang yang
berlapis perak ini.
Bhong
Ji Kun tertawa bergelak. "Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar Siluman,
Nona? Pantas.... pantas...., banyak pemuda yang tergila-gila kepadamu. Kiranya
engkau benar-benar cantik jelita, sungguh tidak disangka di pulau kosong
seperti ini dapat tumbuh setangkai mawar yang begini cantik...."
"Keparat,
tutup mulutmu yang busuk!" Kwi Hong marah sekali dan pedangnya menyambar
menjadi sinar yang panjang dan besar.
"Hehhh....!"
Bhong Ji Kun terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona itu
dapat menggerakkan pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat bahwa dara yang
jelita ini adalah murid Pendekar Super Sakti. Dia sendiri merasa jerih terhadap
pendekar itu, yang menurut pendapat paman gurunya memang memiliki kesaktian
sukar dilawan. Kalau gurunya sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat
dipandang ringan, sungguhpun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis
dan kelihatan lemah. Maka ia pun cepat memerintahkan anak buahnya untuk
menyerbu anak buah Pulau Es, dan dia sendiri sudah mengeluarkan sebuah di
antara senjata-senjatanya yang aneh, yairu sebatang pecut kuda yang berwarna
merah dan panjangnya ada tiga meter, gagangnya terbuat dari emas dihias
permata! Koksu ini di waktu kecilnya, di India, pernah bekerja sebagai seorang
penggembala kuda, maka dia suka sekali mempergunakan cambuk kuda, apalagi di
waktu dia menyiksa lawan. Sebetulnya dia memiliki banyak senjata yang ia
keluarkan sesuai dengan keadaan lawan. Melihat Kwi Hong cukup lincah dan lihai
memegang pedang pusaka, maka dia pun mengeluarkan cambuknya. Cambuk ini
digulung di dekat gagang dan jika perlu dapat dipergunakan menyerang lawan yang
tiga meter jauhnya, juga amat cocok untuk menghadapi senjata tajam, untuk
melibat dan merampas.
"Tar-tar-tar!"
Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur turun, mengirim
totokan-totokan berantai ke arah jalan darah di leher, tengkuk dan kedua pundak
Kwi Hong.
"Haiiiittt!"
Kwi Hong melengking nyaring. Pedangnya diputar cepat di atas kepala, membentuk
sinar seperti payung melindungi tubuh atasnya, dan tangan kirinya sudah
menyodok ke depan, mengirim pukulan jarak jauh ke arah uluhati lawan. Bukan
main kagetnya hati koksu itu. Gerakan pedang gadis itu benar-benar membendung
serangan cambuknya, dan kini pukulan tangan kiri itu mengandung hawa dingin
yang terasa menghantam dadanya, terus menyerang ke jantung!
"Hehhhh!"
Ia mengerahkan sin-kang, mengeraskan perut dan dada, menahan pukulan jarak jauh
itu sambil menarik pecutnya, dan sekali pergelangan tangannya bergerak, ujung
pecutnya menyambar dari bawah hendak melibat kaki Kwi Hong.
Gadis
ini melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan pecahan dari
Siang-mo Kiam-sut seperti yang diajarkan pamannya, dan tangan kirinya tidak
lupa mengirim pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara
bergantian. Koksu itu makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini,
pikirnya. Belum pernah ia menghadapi lawan seorang muda yang begini lihai. Yang
membuatnya kagum sekali bukan hanya kegesitan dara itu, melainkan terutama
sekali sin-kangnya yang kuat dan aneh. Betapa mungkin gadis semuda ini sudah
dapat membagi kedua lengannya dengan saluran hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau
tangan kanannya melancarkan pukulan berhawa dingin, pedangnya terasa
mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya kalau dari tangan kiri menyambar hawa
panas, pedangnya menjadi dingin luar biasa!
Timbul
dalam pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia akan
menawannya hidup-hidup, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee Sui yang
telah berjasa, akan tetapi juga kalau dia dapat membujuk gadis itu membantu
pemerintah tentu kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui, mudah diselesaikan,
karena baginya, gadis ini lebih berharga sepuluh kali dari pemuda itu!
Akan
tetapi, pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih mudah daripada
melaksanakannya. Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat tinggi dan menghadapi
Koksu itu, dia hanya kalah matang dan kalah pengalaman. Namun, gadis ini telah
mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang sebetulnya kalau sudah dilatih
sematang koksu itu, tidak akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun! Biarpun
koksu itu jauh lebih berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus
mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk tidak roboh di tangan gadis
ini, apalagi untuk menawannya hidup-hidup! Kwi Hong yang kini percaya akan
laporan Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat,
bersilat dengan hati-hati sekali. Diam-diam dia agak menyesal mengapa dia tadi
menyerahkan Li-mo-kiam kepada Kwee Sui. Kalau dia menggunakan pedang mujijat
itu, agaknya dia masih akan mampu mengalahkan lawan yang jauh lebih
berpengalaman ini. Akan tetapi, dia lalu teringat akan keadaan pemuda itu
sendiri, dan keadaan bibinya, dan kedua orang pamannya. Kalau mereka itu pun
menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah Pulau Es. Maka dia lalu
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat mengalahkan koksu ini
dan dapat membantu kawan-kawannya. Namun, tidaklah mudah, karena sesungguhnya,
tingkatnya masih kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.
Pada
saat Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya itu, bahkan
Thung Sik Lun telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari pantai, tampak
sebuah perahu kecil yang dijalankan dengan pesat, didayung oleh seorang pemuda
tampan yang memandang ke arah Pulau Es penuh takjub, kemudian memandang ke arah
kapal-kapal besar itu dengan alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah Gak
Bun Beng.
Setelah
Bun Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan untuk mencari
Pulau Neraka. Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk
menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu, dia tidak takut pergi ke Pulau
Neraka untuk mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka dan minta kembali
pedang Lam-mo-kiam yang dahulu dirampasnya. Surat dan peta yang ia terima dari
Pendekar Super Sakti telah lenyap ketika ia terjun ke pusaran maut, akan tetapi
ia masih ingat sedikit gambaran itu. Pokoknya, di sebelah utara melewati
sekelompok pulau kecil yang berjajar seperti baris!
Demikianlah,
karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa disadarinya pada siang
hari itu layar perahunya yang terbawa angin membuat perahunya melaju cepat
membawanya sampai ke dekat Pulau Es! Melihat pulau yang putih itu dan melihat kapal-kapal
besar, dia terheran-heran dan menggulung layar, lalu mendayung perahunya dengan
hati-hati mendekati pulau.
"Tolongggg....!"
Tiba-tiba
teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri dan menahan
perahunya. Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah berenang menuju ke
perahunya. Ketika Bun Beng melihat bahwa orang itu ternyata luka parah, cepat
ia mendayung perahunya mendekat, lalu menyambar baju di punggungnya dan
menariknya ke atas perahu. Ternyata orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir
saja tidak kuat lagi, lukanya oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah
kehilangan banyak darah. Ia memandang dengan napas terengah-engah kepada Bun
Beng, lalu berkata.
"Sahabat,
siapa pun adanya engkau.... tolonglah.... tolonglah cari Taihiap...."
"Taihiap
siapa? Dan engkau siapa?"
"Taihiap....
To-cu Pulau Es.... katakan.... ahhh, katakan.... pulau Es diserbu pasukan
pemerintah.... Koksu Negara.... dan si pengkhianat Kwee Sui.... pulau kami
terancam.... aaahhhh...." Pemuda yang gagah perkasa itu menghembuskan
napas terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng mendengar ucapantadi. Ia merebahkan
kepala yang tadi dipangkunya, dan mengangkat mukanya memandang ke pulau itu.
Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik pemerintah yang menyerbu Pulau Es di
waktu Pendekar Super Sakti tidak ada? Dan Koksu Negara. Si laknat Bhong Ji Kun!
Bun
Beng cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga perahunya
meluncur cepat sekali ke pulauitu.
Ia kini mendengar suara hiruk-pikuk di atas pulau, suara orang
bertempur. Ketika ia melihat tanda robekan kain yang diikatkan pada tetumbuhan
di pantai, ia lalu mendarat. Tentu itu merupakan tanda penunjuk jalan,
pikirnya. Setelah mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu di mana
menggeletak mayat Ki Lok, Bun Beng melompat ke darat dan berlari cepat ke
tengah pulau. Tepat seperti diduganya, ia melihat kain-kain putih dan segera
memasuki pulau melalui jalan kecil di mana ada tanda-tanda kain putih itu
sehingga sebentar saja dia telah berada di tengahpulau. Ia melihat pertempuran hebat, dan melihat
betapa perajurit-perajurit seragam yang tentu adalah pasukan pemerintah
mendesak dan mengejar penghuni pulau yang mengundurkan diri ke tengah pulau.
Pada
saat itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding mati-matian
melawan Bhong Ji Kun, tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan Kwee Sui. Melihat
betapa gadis itu mengadakan perlawanan yang hebat terhadap koksu, Thian Tok
Lama segera meloncat dan membantu. Dikeroyok dua oleh koksu dan Lama itu, tentu
saja Kwi Hong terdesak hebat. Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama
Thian Tok Lama.
"Sui-ko,
bantu aku....!" teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton
sambil tersenyum.
Seketika
mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat dan tadi sengaja
meminjam pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak, dan setelah memutar
pedangnya membuat kedua orang lawannya mundur, ia lalu melompat ke arah Kwee
Sui sambil memaki.
"Engkau
pengkhianat hina!"
Akan
tetapi, tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit lengannya
yang memegang pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan tubuh, Thian Tok
Lama telah memukulnya dari belakang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang.
"Desss!"
Angin pukulan yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong membuat
gadis itu roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh ujung pecut koksu. Dia
memandang rendah Thian Tok Lama sehingga kena terpukul, tidak tahu bahwa ilmu
kepandaian Lama itu setingkat dengan kepandaian Bhong Ji Kun.
"Ha-ha-ha,
bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia lolos," kata
Bhong Ji Kun kepada Kwee Sui, "Dan pedang Li-mo-kiam....?"
"Sudah
di sini!" jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya.
"Baik,
bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu
hilang."
Kwee
Sui girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu dan
membawanya lari ke pantai, di mana terdapat perahunya, lalu ia membawa tubuh
itu ke atas kapal besar.
Setelah
Kwi Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau, dikejar oleh
pasukan pemerintah. Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi Tan-siucai dengan
gigih, terpaksa roboh pula, ketika tiba-tiba muncul Kakek Maharya yang sudah
mengejar sampai ke situ. Maharya marah sekali melihat betapa muridnya belum
mampu merobohkan kakek itu.
"Bodoh,
kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?" teriaknya sambil menonton
pertandingan itu, tidak mau membantu muridnya.
Tan
Ki yang mendengar seruan gurunya itu, tertawa, tangan kirinya mencabut pedang
di pinggangnya. Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun berteriak mengerikan
ketika berbareng dengan sinar kilat pedang itu yang menangkis tangannya,
lengannya sebatas siku menjadi buntung! Kakek itu menggigit bibir, menggunakan
tangan kirinya menerjang terus, dan kembali sinar kilat berkelebat dan lengan
kirinya juga terbabat buntung! Pedang mujijat itu berkelebat lagi, terdengar
teriakan ngeri dan tubuh Yap Sun terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh
pedang Hok-mo-kiam dan nyawanya melayang!
Tan
Ki menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada suhunya,
"Saya memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan yang boleh
juga."
"Sudah,
mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya.
Kulihat wanita itu lihai juga."
Memang,
hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan perlawanan terhadap
Thai Li Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini mengamuk, mendesak pendeta
itu dengan pedang yang sudah sejak tadi ia pergunakan karena dia tidak mampu
mengalahkan lawan dengan tapgan kosong.
Tiba-tiba
muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok Lin yang
setengah tua itu masih cantik, segera meloncat maju. "Eh, manis, kenapa engkau
nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota raja tentu senang!"
Phoa
Ciok Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang
hitam yang dipergunakan Tan Ki.
"Tranggg!"
Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan
seluruh lengan kanannya tergetar.
"Wah,
lihai juga....!" serunya.
"Hemmm....!"
Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan angin pukulan yang
kuat berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit dan terlempar ke belakang.
Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan, lalu meloncat bangun lagi dan mengambil
keputusan nekat untuk melawan musuh-musuh lihai itu sampai napas terakhir.
Maharya
memukul lagi, "Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!" Maharya terhuyung ke
belakang, memandang terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah
menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa
ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat ia terhuyung
ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman, dia tidak akan
heran. Tadi pun ia mengira, bahwa Pendekar Siluman muncul, kiranya seorang
pemuda yang bertangan kosong!
"Toanio,
harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!" kata Bun
Beng.
"Eh,
dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!" Tiba-tiba Tan Ki berseru
kaget. Maharya menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat
tenaganya, mengapa sekarang begini lihai? Dengan penuh hati penasaran, dia
menerjang lagi, kini mengirim dorongan dengan telapak tangan terbuka ke arah dada
Bun Beng. Pemuda ini yang sudah percaya penuh akan kekuatan sendiri, kembali
menyambut telapak tangan itu dengan dorongan telapak tangan pula.
"Plakkkk!"
Dua telapak tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan itu
yang seolah-olah melekat. Maharya berseru keras sebelah tangannya memukul lagi
akan tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap. Demikian cepat gerakan pemuda ini
yang sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya menotok ke arah ubun-ubun
kepala Maharya.
"Aeeehhhh....!"
Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan, wajahnya yang berkulit
hitam itu menjadi agak pucat, keringat dingin mengucur karena dia maklum bahwa
hampir saja nyawanya melayang!
"Serbu....!"
Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju.
Phoa Ciok Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa adanya
itu, sungguhpun wajah pemuda tampan itu seperti pernah dilihatnya. Tentu saja
dia pernah melihat Bun Beng, yaitu ketika terjadi pertempuran di pulau muara
Huang-ho. Akan tetapi ketika itu Bun Beng masih kecil sehingga dia tidak
mengenalnya lagi. Sebaliknya Bun Beng masih mengenal Ciok Lin maka serunya.
"Phoa-toanio,
mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!"
Ciok
Lin melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang dahulu
diperebutkan di pulau muara Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar Siluman akan
dirampas dan dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng, putera Gak Liat dan Bi-kiam Bhok
Khim. Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar saja anak buahnya terdesak sehingga
kocar-kacir dan banyak yang sudah roboh. Juga ia melihat betapa anak buah dari
pantai lain telah mundur ke tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es, dikejar
pasukan pemerintah. Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk, membantu
anak buahnya merobohkan banyak tentara pengawal pemerintah.
"Hancurkan
mereka, serbu Istana Pulau Es!" teriak Maharya. "Biar aku melayani
bocah sombong ini!" Sambil berkata demikian, Maharya yang merasa bahwa
pemuda itu tidak akan dapat ia kalahkan mengandalkan tenaga sin-kang, sudah
mencabut keluar sebuah senjata yang aneh. Senjatanya itu bergagang pendek, dan
berbentuk bulan sabit yang pinggirnya tajam sekali dan kedua ujungnya yang
melengkung amat runcing.
"Sing-sing-sing....!"
Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk
menyerang. Namun Bun Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas
dengan pukulan-pukulan maut karena dia telah mainkan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng
yang mujijat. Berkali-kali Maharya mengeluarkan seruan kaget dan heran. Pemuda
itu benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat yang amat ajaib, yang dia kenal
mempunyai dasar-dasar ilmu silat golongan kaum sesat! Sementara itu, Bun Beng
yang melihat betapa Thai Li Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong Ji
Kun mulai memimpin pasukan membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat
tinggal para anak buah Pulau Es yang kewalahan, menjadi khawatir sekali.
"Orang
muda, engkau merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!" Tiba-tiba Maharya
membentak, menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng terpecah karena
mengkhawatirkan keadaan Pulau Es.
Bun
Beng otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia teringat
ketika kakek India membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya yang aneh.
Untung pada detik terakhir Bun Beng teringat lagi. Dia sudah mengerahkan
sin-kang dan menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar tubuh ke belakang
sehingga bacokan itu luput.
"Dar!
Dar! Blengggg....!"
Tiba-tiba
terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asep hitam bergulung-gulung.
Beberapa orang perajurit pemerintah roboh, bahkan Maharya sendiri cepat
meloncat ke belakang ketika ada sebuah benda hitam menyambar kepalanya.
Sambaran itu luput dan benda itu menghantem tanah, meledak dan mengeluarkan
asap hitam.
Bun
Beng meloncat bangun. Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu. Dia cepat
berlari ke arah Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan, terjadi ledakan-ledakan
yang merobohkan perajurit pemerintah. Pasukan pemerintah menjadi kacau balau,
lari bersembunyi, ada yang bertiarap. Bahkan Koksu dan rombongannya, Thian Tok
Lama, Thai Li Lama dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang dapat
meledak sehingga mereka sibuk mengelak ke sana sini. Bun Beng mengerti bahwa
ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia mengenal alat-alat ledak itu seperti
yang biasa dipergunakan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia tidak peduli dan
cepat menghampiri rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin oleh Phoa Ciok
Lin. Mereka ini sama sekali tidak diserang alat-alat peledak sehingga mudah
diduga bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu bermaksud membantu
anak buah Pulau Es.
"Phoa-toanio....!
Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Di mana
adanya Kwi Hong?"
"Ahhh,
menurut laporan anak buahnya, dia.... tertawan, dikhianati orang kita sendiri
dan dibawa ke kapal di sebelah timur pulau."
"Kwee
Sui....?" Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya
tadi.
"Eh,
bagaimana engkau tahu? Engkau.... Gak Bun Beng, bukan?"
"Benar,
Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain jalan, bawa
keluar dari pulau ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi Hong!" Baru
saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Phoa Ciok Lin
melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera membawa anak buahnya
memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah tanah istana. Dia sendiri
bersama orang yang dapat diandalkan menjaga di depan, melihat betapa pasukan
musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan yang asapnya mengandung racun itu sehingga
banyak anggauta pasukan yang roboh tewas. Akhirnya Bhong Ji Kun terpaksa
menarik mundur pasukannya dan memerintahkan kembali ke kapal masing-masing agar
tidak jatuh lebih banyak korban sedangkan musuh yang melepas bahan-bahan
ledakan itu tidak tampak sama sekali.
Bhong
Ji Kun mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak berunding
membicarakan munculnya Gak Bu Beng dan pelempar peledak yang asapnya hitam
beracun itu. Begitu naik ke kapal dia menjenguk ke ruangan bawah, lega melihat
betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di atas bangku dengan wajah
muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ bersama selusin orang perajurit.
Gadis itu memaki-maki Kwee Sui, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan
berusaha membujuknya dengan suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan
berunding dengan Maharya di geladak kapal. Senja telah datang akan tetapi sinar
keemasan matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk dan bicara dengan
serius.
"Bocah
itu hebat juga," terdengar Maharya berkata. "Sungguh mengherankan
sekali, belum ada setahun aku melawan dia, kepandaiannya masih belum begitu
hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya dalam waktu tiga bulan dia mampus.
Bagaimana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan kepandaiannya malah
demikian hebat?"
"Hemmm,
mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman," jawab Bhong Ji Kun
sambil mengelus jenggotnya. "Akan tetapi yang aneh adalah pelempar peluru
peledak yang mengandung asap beracun itu. Apakah dia Pendekar Siluman sendiri?
Dia tentu lihai bukan main."
"Ah,
Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti
itu," jawab Maharya.
"Benar,
dan sepanjang pendengaranku, yang bisa menggunakan senjata rahasia macam itu
adalah orang Pulau Neraka."
"Akan
tetapi, tidak mungkin," bantah Maharya. "Bukankah Pulau Neraka selalu
bertentangan dengan Pulau Es?"
Selagi
dua orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan perahunya dan
terjun ke air, berenang lalu bergantung kepada rantai jangkar. Dia merayap
naik, akan tetapi melihat Maharya dan Bhong Ji Kun berada di situ, di atas
geladak dia tidak berani naik. Melihat musuh-musuh besarnya ini, ingin sekali
dia meloncat dan membuat perhitungan. Bhong Ji Kun telah membunuh gurunya, dan
dengan Maharya dia mempunyai perhitungan lain. Akan tetapi, kedatangannya ini
adalah untuk menolong Kwi Hong, kalau dia meloncat dan menerjang kedua orang
yang dia tahu amat lihai itu, harapannya untuk menulong Kwi Hong tentu akan
buyar. Maka dia menanti kesempatan baik dan bersembunyi di rantai jangkar,
mepet di badan kapal.
"Sebaiknya
besok pagi kita sendiri bersama kedua orang Lama turun ke pulau melakukan
penyelidikan," kata Maharya. "Kita harus mengetahui siapa orangnya
yang begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru peledak itu."
"Kebakaran....!"
terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang tiba di atas bilik
kapal dan tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji Kun terkejut, apalagi
ketika mendengar suara dari atas.
"Akulah
yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"
Keduanya
meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di tali-temali
layar dekat tiang besar, tampak tubuh seorang wanita bergantung pada tali,
bergantung dengan kedua kakinya sedangkan kepalanya tergantung di bawah,
rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di bawah sinar matahari senja,
wanita berpakaian hitam yang bermuka putih sekali itu benar-benar amat
menyeramkan, apalagi kehadirannya dengan cara bergantung terbalik seperti itu!
Baik
Maharya maupun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita yang
bergantung seperti itu, yang hanya memperlihatkan kemahiran gin-kang luar biasa
yang mampu mereka lakukan juga. Yang mengejutkan mereka adalah kehadiran wanita
itu yang tidak mereka ketahui sama sekali! Siapakah wanita itu?
Dia
bukan lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar
Super Sakti (baca cerita Pendekar Super Sakti)! Bagaimana Lulu yang menjadi
majikan Pulau Neraka dapat hadir di situ, membantu anak buah Pulau Es yang
diserbu pasukan pemerintah? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita meninjau
keadaan Pulau Neraka di mana telah terjadi perubahan besar sekali.
Putera
Lulu bernama Wan Keng In, telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas atau
delapan belas tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena semenjak kecil digembleng
oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu memanjakan puteranya itu, apalagi setelah ia
mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan Sin Kiat, sengaja membunuh diri dalam
perjuangan menentang pemerintah Mancu.
Pada
suatu hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu seringkali keluar dari
Pulau Neraka menunggang burung rajawali dan biarpun berkali-kali Lulu
memarahinya, namun anak itu yang amat manja selalu melanggar larangannya.
Ketika Keng In pulang, dia menghampiri ibunya dan tertawa-tawa bangga, lalu
menepuk pinggangnya di mana tergantung sebatang pedang bersarung indah sambil
berkata,
"Ibu,
coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang ini. Ibu
selalu melarang aku merantau, kalau aku tidak merantau, mana mungkin
mendapatkan pusaka ini?"
Lulu
mengerutkan alisnya memandang. "Hemm, engkau mendapatkan sebatang pedang
baru. Pedang apakah yang kaubanggakan itu?"
"Lihat,
Ibu!"
"Singggg....!"
"Aihhhh....!"
Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika pedang itu dicabut,
dan ada hawa yang menyeramkan keluar dari sinar pedang itu. "Itu....
itu.... seperti Sepasang Pedang Iblis!"
"Ha-ha-ha!
Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian, pedang jantan,
sebatang di antara sepasang Pedang Iblis yang berhasil kurampas!"
"Siang-mo-kiam....!"
Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan
menangis.
"Han-koko....!
Ah, Han-koko.... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu.... Sepasang Pedang
Iblis....!"
Keng
In menarik napas panjang. "Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut dia?
Aku muak mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko! Hemmm, tentu
Si Pendekar Siluman yang bernama Suma Han itu, bukan? Dia telah banyak membuat
Ibu menderita. Teringat olehku betapa dahulu, ketika aku masih kecil, Ibu
sering mimpi dan menyebut-nyebut namanya. Aku telah mendapatkan pedang
Lam-mo-kiam, aku akan mencari dia dan akan kubunuh dia dengan pedang ini agar
tidak menyusahkan hati Ibu pula!"
"Keng
In....!"
"Aku
tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu? Kakinya
buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu,
mengapa dia membiarkan Ibu merana di sini? Dan mengapa pula Ibu seringkali
menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar kelak
dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah
membenci dia? Betapapun juga, Pendekar Siluman dari Pulau Es itu telah banyak
membikin Ibu menderita, maka pada suatu hari aku pasti akan menantangnya dan
akan membunuhnya dengan pedang ini."
"Keng
In.... kau.... kau tidak mengerti.... jangan kau bicara demikian. Tak perlu
engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara.
Sedangkan kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya, apalagi engkau.
Kaukira akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"
Terdengar
oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama Pendekar
Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali
dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab,
"Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan diri. Mungkin Ibu masih belum
mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang
anakmu."
"Singggg....
cuit....!" Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut
Lam-mo-kiam, lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan
dahsyatnya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang
kadang-kadang mencuat ke udara, kadang bergulung-gulung dan membentuk
lingkaran-lingkaran yang saling menyambung, indah dan hebat bukan main sampai
membuat Lulu melongo keheranan. Dia tidak mengenal ilmu pedang itu dan harus
diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan puteranya itu betul-betul dahsyat
sekali. Setelah Keng In menghentikan permainannya dan menyimpan kembali
Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya yang tampan berseri dia menghadapi
ibunya dan bertanya,
"Bagaimana
pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman
itu?"
Lulu
masih terbelalak memandang wajah puteranya. "Keng In, anakku...., dari
mana engkau mempelajari ilmu pedang itu?"
Keng
In tertawa, lalu berkata, "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan
masih banyak lagi. Di antaranya ini, harap Ibu lihat!" Tiba-tiba tubuhnya
melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik beberapa kali di udara.
Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat, kedua tangannya telah
menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat terbangnya itu. Keng In
tertawa-tawa, melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia menghampiri sebatang
pohon sambil berkata, "Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!" Setelah
berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.
"Prakkkk!"
Pohon
itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biarpun hanya ada
angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang
dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya yang gundul tanpa sehelai daun pun!
Lulu
terkejut bukan main. Gin-kang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir
melalui tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi
adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi juga amat dahsyat, membuktikan
adanya sin-kang yang mengandung hawa beracun jahat!
"Keng
In! Darimana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!"
Keng
In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata, "Ibu, sebetulnya aku
harus merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah
memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa aku membuka rahasia. Ibu, telah
beberapa tahun ini aku menjadi murid Cui-beng Koai-ong."
"Siapakah
Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"
Keng
In tertawa. "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak
tahu siapa sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka
kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah
tokoh-tokoh tingkat ke tiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua orang lagi
yang memiliki kesaktian luar biasa, melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang
sebenarnya menjadi tokoh-tokoh pertama dan ke dua dari Pulau Neraka, akan
tetapi mereka itu adalah orang-orang aneh yang tidak pernah mau memperebutkan
kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat mereka."
"Hehh....?
Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah
menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama
bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah mendengar tentang dua orang itu?
"Siapa mereka dan di mana mereka sekarang?"
"Ibu,
mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang
pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan
sekali aku bertemu dengan dia di tempat sembunyinya ketika beberapa tahun yang
lalu dia kembali ke Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi muridnya sehingga
memperoleh kemajuan besar."
"Dan
yang ke dua?"
"Menurut
Suhu, orang ke dua itu adalah sutenya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti
orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau
Neraka. Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu dengan Susiok itu,
julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya
aneh dan angin-anginan sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya
untuk mengumbar wataknya yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"
Lulu
menjadi makin penasaran. "Di mana mereka? Aku ingin mencoba kepandaian
mereka. Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau
Neraka."
"Jangan,
Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain
itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"
"Ya,
mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama
Pulau Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"
"Ha-ha-ha!
Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apalagi terhadap manusia lain,
kecuali.... eh, terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan Ibu
memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu menyerang ke sana, tentu mereka akan
turun tangan membantu. Mereka hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan Pulau
Es untuk menantang Pendekar Siluman!"
"Ohhhh!"
Lulu menjadi pucat wajahnya. Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan
pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan
hendak memusuhi Suma Han. Betapa mungkin? Betapa mungkin dia memusuhi dan
membenci orang yang ia cintai itu? Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan
memperdalam ilmu, semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia
perlihatkan kepada bekas kakak angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah
seorang wanita sembarangan, bahkan sudah patut untuk memperoleh perhatian dan
cinta kasih seorang pendekar besar seperti Suma Han. Apalagi setelah ia
mendengar bahwa Suma Han menjadi suami Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa
dia lebih hebat daripada Nirahai! Sekarang ternyata tokoh-tokoh yang utama dan
sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak memperalatnya dan puteranya, putera
tunggal yang dia cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid dari tokoh
pertama Pulau Neraka! Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka,
yang menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es
dan terang-terangan menantang Suma Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan
orang-orang Pulau Neraka. Suma Han harus memilih, membunuh dia atau menerimanya
sebagai isteri!
Dengan
hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa
memberi tahu siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan
sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini
berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan pelayaran mencari Pulau Es di
mana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han (baca
cerita Pendekar Super Sakti).
Kedatangannya
di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap pulau itu.
Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu terhadap Suma Han lenyap terganti
oleh kemarahan terhadap para penyerbu yang mendahuluinya, yang dianggapnya
pengecut, melakukan penyerbuan terhadap sebuah pulau yang sedang ditinggal
majikannya. Maka dia lalu diam-diam membantu anak buah Pulau Es, melepas
senjata rahasia peledak yang berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan
hati penuh kemarahan diam-diam Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas
senjata rahasia pembakar dan memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada
tali layar dengan tubuh berjungkir, kepada Koksu Bhong Ji Kun dan Maharya.
"Wanita
iblis....!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah.
Maharya
sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah senjata rahasia
berbentuk gelang yang berputar cepat ke arah kepala wanita yang menggantung di
atas itu.
"Wiirrr....
singggg....!" Senjata rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah
gelang biasa berwarna putih, akan tetapi karena pelemparnya adalah seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini seperti
peluru terkendali, kalau luput dapat berputar kembali dan menyerang lawan
seperti benda hidup! Juga suaranya yang berdesing, mengaung seperti gasing
berlubang itu dapat mendatangkan panik kepada lawan.
Menghadapi
serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan seolah-olah tidak
melihatnya. Akan tetapi ketika gelang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba ujung
rambutnya yang riap-riapan itu seperti hidup, seperti ujung cambuk yang
bergerak ke bawah menerima gelang itu, terus melibatnya sehingga gelang itu
berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba, kepala Lulu bergerak sedikit dan gelang
itu menyambar dengan kecepatan kilat ke bawah, ke arah Maharya! Pendeta India
ini terkejut bukan karena diserang oleh senjatanya sendiri karena dengan mudah
ia dapat mengelak sehingga gelang itu mengenai papan geladak dan amblas ke
bawah, melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang muncul
secara aneh itu.
"Toanio,
siapakah engkau?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menegur. Pembesar
ini pun maklum bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan, maka dia mengambil
siasat halus. "Dan mengapa pula Toanio membela Pulau Es dan menentang kami
dari pemerintah?"
Lulu
tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis sungguhpun
usianya sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi karena keadaannya seperti
itu dan mukanya berwarna putih sekali, maka dia seperti mayat tersenyum,
menimbulkan rasa ngeri kepada mereka yang memandang dari bawah.
"Aku
siapa tak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu ketenteraman
daerah ini, berlaku curang menyerang tempat yang sedang ditinggal pergi
pemiliknya!"
"Wanita
sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?" Maharya membentak
marah.
Lulu
tidak menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal
senjata rahasianya.
"Kalau
benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"
"Tak
mungkin!" Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab. "Pulau
Neraka tak pernah saling bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak pertemuan di
pulau muara Huang-ho telah saling bertentangan. Tidak mungkin kalau Toanio dari
Pulau Neraka dan mau membantu penghuni Pulau Es!"
"Mengapa
tidak! Kalau kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula
Pulau Neraka!"
Mendengar
ini, marahlah koksu itu. "Perempuan pemberontak! Berani kau menentang
pemerintah? Semua pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau Neraka, adalah
wilayah kekuasaan kerajaan! Tangkap pemberontak!"
Para
panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang itu, dan
terdengar Lulu tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di atac tiba-tiba
melayang turun, seperti seekor burung menyambar. Para anak buah pasukan
menggerakkan senjata, akan tetapi tiba-tiba mereka menjerit dan robohlah empat
orang, tombak mereka patah-patah!
"Tar-tar-tar!"
Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan serangan dahsyat, bahkan
Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan yang luar biasa, yaitu senjata
aneh bulan sabit yang bergagang pendek.
"Siuuuuttt....
singgg!"
Lulu
bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh seorang
perwira di belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar. Ketika menendang,
lengan kiri Lulu menjepit tombak perwira itu, kini tombak itu ia lontarkan
menembus perut tubuh perwira yang masih melayang di udara! Semua perajurit
menjadi gentar menyaksikan kelihaian wanita itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun dan
Maharya sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Seorang perwira cepat memberi
isyarat kepada kapal-kapal lain untuk datang membantu, maka bergeraklah dua
buah kapal yang berdekatan, mendekati kapal yang sedang terbakar itu. Sebagian
para perajurit sibuk memadamkan api yang membakar bilik kapal.
Cuaca
sudah mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan cambuk di tangan
Koksu dan senjata bulan sabit di tangan kakek India, maka ia selalu menghindar
dengan gerakan lincah sekali, merobohkan banyak perajurit dengan pukulan dan
tendangan. Ketika koksu kembali melancarkan serangan dengan cambuknya, Lulu
berhasil menangkap ujung cambuk. Koksu malah melangkah dekat dan menghantamkan
tangan kirinya dengan pengerahan sin-kang, Lulu menerima dengan ilmu sakti
Toat-beng-bian-kun.
"Cessss!"
Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa telapak tangan kirinya
bertemu dengan tangan yang lunak sekali sehingga semua tenaganya amblas seperti
tenggelam. Lulu telah melepaskan ujung cambuk dan tangan kirinya melayang ke
arah pelipis kanan lawan.
Koksu
terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya telah datang
menolong, membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran angin senjata ini
membuat Lulu terpaksa membatalkan pukulannya dan tubuhnya sudah mencelat lagi
ke belakang, kemudian dia terus berloncatan dan sekali melayang dari pinggir
kapal, dia telah berada di kapal ke dua yang datang mendekat.
"Dar-darrrr....!"
Dua buah senjata rahasia dilepasnya mengenai bilik kapal ke dua sehingga menimbulkan
kebakaran. Kapal ke dua ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini menyambut
kedatangan Lulu dengan serangan maut, sekaligus memukul dengan Ilmu
Hek-in-hwi-hong-ciang. Tubuhnya merendah dan perutnya mengeluarkan bunyi. Lulu
baru saja melontarkan senjata-senjata rahasianya, terkejut sekali dan cepat
menangkis. Akan tetapi, karena dia kalah dulu, tangkisannya kurang tepat dan
tubuhnya terhuyung, dadanya terasa agak sakit. Marahlah wanita ini dan dia
menghadapi Lama itu dengan Ilmu Hong-in-bun-hoat yang amat lihai. Ilmu ini
adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis di udara, sesuai
dengan namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastera Angin dan Awan). Namun
setiap coretan merupakan gerak tangkisan maupun serangan yang mengandung tenaga
sin-kang mujijat. Thian Tok Lama segera terdesak dan kalau saja tidak cepat
datang Maharya dan Bhong Ji Kun yang melompat ke kapal itu, tentu dia terancam
bahaya hebat. Kini munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan
kembali wanita ini mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke
sana-sini menyelinap di antara para pasukan dan merobohkan mereka. Adanya
pasukan yang mengepungnya ini malah merupakan rintangan bagi tiga orang sakti
itu, karena andaikata tidak ada anak buah pasukan, tentu Lulu akan dapat mereka
kejar, kepung dan robohkan dengan pengeroyokan mereka bertiga.
Selagi
pertandingan yang kacau-balau mengejar dan mengepung Majikan Pulau Neraka itu
terjadi di geladak tiga buah kapal di mana Lulu berpindah-pindah dengan
loncatannya dan kini yang mengeroyoknya ditambah lagi dengan Thai Li Lama, di
ruangan bawah kapal induk pimpinan Bhong Ji Kun tadi terjadi hal lain yang
mendatangkan kegemparan baru.
Para
perajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui, telah menerima
perintah untuk tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan menjaga Kwi Hong yang
dianggap seorang tawanan penting. Kwee Sui dan para penjaga yang selosin orang
banyaknya itu tenang-tenang saja sungguhpun di geladak terjadi keributan,
apalagi ketika mendengar bahwa yang mengacau hanyalah seorang wanita. Betapapun
lihainya musuh itu, dia percaya takkan mampu menandingi koksu yang dibantu
orang-orang sakti dan pula di atas terdapat banyak sekali pasukan. Maka dia
enak-enak saja menjaga dan maki-makian Kwi Hong dilayani sambil tertawa saja.
"Pengkhianat
Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, yang lebih dulu kuhancurkan
adalah kepalamu!" Kwi Hong memaki-maki.
"Hong-moi,
manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus? Kalau tidak ada aku, apa
kaukira masih dapat hidup sampai sekarang ini? Kurasa semua tokoh Pulau Es
sekarang telah menjadi mayat! Ingatlah, kita tidak mungkin melawan pemerintah,
itu namanya pemberontakan! Tenanglah, dan mari kita bersama menikmati hidup di
kota raja, di mana aku akan menjadi seorang pembesar dan engkau menjadi
isteriku, menjadi nyonya besar yang terhormat dan kucinta, Manis."
"Keparat!
Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam
engkau!"
Kwee
Sui tertawa, "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi
isteriku!"
"Anjing,
pengkhianat hina!"
Akan
tetapi Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu merebahkan diri
dengan senang hati, membayangkan kemuliaan dan kesenangan yang akan didapatnya,
membayangkan betapa dia akan memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu,
baik dengan jalan halus maupun dengan kekerasan. Selosin orang perajurit yang
berjaga juga mengantuk. Mereka itu lelah sekali setelah bertempur sejak pagi
dan kini masih harus menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka
mengantuk dan mereka itu duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak yang
mereka peluk, ada pula yang meletakkan kepala di atas meja. Sebentar saja di
antara mereka sudah ada yang mendengkur, bahkan Kwee Sui juga mendengkur dengan
enaknya.
Kwi
Hong yang tubuhnya masih lemas akibat totokan, melihat para penjaganya
melenggut dan tertidur, mulai berusaha melepaskan ikatan kedua lengannya yang
ditelikung ke belakang. Namun, selain ikatan itu kuat sekali, juga tenaganya
belum pulih sehingga sia-sia saja ia meronta. Tiba-tiba Kwi Hong menghentikan
usahanya ketika mendengar suara. Matanya terbelalak memandang papan ruangan itu
yang bergerak. Penutup lubang papan itu yang menghubungkan ruangan ini dengan
ruangan paling bawah, bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka dari bawah.
Muncullah sebuah kepala orang. Hampir saja Kwi Hong berteriak kaget. Di bawah
sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun Beng!
"Sssttt....!"
Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis itu
diam.
Ketika
terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga girang sekali.
Dia dapat menduga bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang melepas senjata
rahasia peledak itu muncul lagi dan membikin kacau di atas geladak. Kesempatan
yang baik, pikirnya. Dia lalu menggunakan tenaganya, memecah papan di tubuh
kapal, di atas permukaan air, dan setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia
merangkak masuk. Dia tiba di ruangan paling bawah yang sunyi, tak seorang pun
tampak manusia di sini. Ruangan bawah itu penuh dengan bahan-bahan makan dan
air minum, kiranya dijadikan tempat persediaan ransum pasukan itu. Melalui anak
tangga, dia berjalan naik, kemudian membuka penutup papan dari bawah. Ketika ia
melihat Kwi Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba di tempat yang tepat, karena
memang dia bermaksud untuk menolong gadis itu.
Kwi
Hong menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui yang tidur
mendengkur. Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui seperti bukan
seorang perajurit atau panglima, dia dapat menduga. Agaknya orang inilah yang
mengkhianati Pulau Es.
Dia
meloncat dan pada saat itu, karena dia lupa menutupnya kembali penutup papan,
penutup itu menutup kembali, menimbulkan suara keras.
Para
penjaga terbangun, gelagapan dan ketika mereka melihat seorang pemuda tak
dikenal di situ, mereka cepat meloncat bangun dan siap dengan tombak di tangan.
Kwee
Sui juga melompat bangun. Siapa kau....?" bentaknya. "Tangkap
dia!"
Dua
orang penjaga menubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang biasa
saja. Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan dua orang perajurit itu roboh
tanpa dapat berkutik lagi karena telah tewas! Penjaga-penjaga yang lain menjadi
marah, dan baru mengerti bahwa pemuda itu seorang yang lihai, maka segera
mereka gedebag-gedebug menyerang dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini
tubuh Bun Beng berkelebatan dan terdengar pekik berturut-turut bersama robohnya
empat orang perajurit terdepan.
"Keparat!"
Kwee Sui memaki dan "singgg....!" dia telah menghunus Li-mo-kiam!
Para
perajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru
kaget, "Li-mo-kiam!"
"Betul,
dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!" Kwi Hong berseru.
Mendengar ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang perajurit dan menerjang maju
ke arah Kwee Sui. Pemuda ini sudah marah sekali. Biarpun dia tahu bahwa pemuda
itu yang muncul secara tak terduga ini lihai, namun dia tidak takut. Dia adalah
seorang murid Pulau Es yang berkepandaian tinggi, apalagi dia memegang sebatang
pedang mujijat. Cepat dia menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan pedangnya
yang mengeluarkan sinar kilat dan suara berdesing nyaring.
Bun
Beng cepat mengelak. Biarpun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi, namun
berhadapan dengan Bun Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut menghadapi
ilmu kepandaian Kwee Sui, akan tetapi dia ngeri menyaksikan sinar kilat pedang
Li-mo-kiam itu, sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai wibawa
menyeramkan.
Melihat
lawannya mengelak cepat seperti orang jerih, Kwee Sui tertawa dan merasa
bangga, cepat ia menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak dan tiba-tiba
dia tersandung mayat seorang perajurit, roboh terjengkang. Kwi Hong mengerti
akan siasat ini, pandang matanya yang tajam dapat membedakan roboh buatan dan roboh
sungguh-sungguh. Akan tetapi untuk membentu berhasilnya siasat Bun Beng, dia
sengaja menjerit. Kwee Sui girang sekali, cepat menubruk.
"Ceppp....
auggghhh....!"
Pedang
Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam dada dan
jantung Kwee Sui! Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan pedangnya, Bun Beng
yang pura-pura jatuh tadi cepat miringkan tubuh kemudian kakinya melayang dari
samping tepat mengenai lengan kanan Kwee Sui yang memegang pedang sehingga
pedang itu terpental membalik dan masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai menembus
ke punggung!
Bun
Beng cepat meloncat bangun,sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia sudah menyambar
gagang pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti pancuran dari dada dan
punggung Kwee Sui. Matanya terbelalak memandang ke arah Kwi Hong, kemudian
robohlah pemuda yang khianat ini dengan mata masih terbelalak sungguhpun
nyawanya telah melayang.
Bun
Beng menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan daripada
ketika Kwee Sui menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga yang tinggal empat
orang itu roboh dengan tubuh putus menjadi dua potong. Tanpa membuang waktu
lagi Bun Beng segera meloncat mendekati Kwi Hong, membabat putus belenggunya,
kemudian melihat keadaan gadis yang lemas itu dia lalu menotok dua jalan darah
di punggung dan pundak. Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan dia....
menubruk Bun Beng sambil menangis!
Bun
Beng gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa disadarinya, jari
tangannya mengelus rambut yang halus itu, yang berada di dadanya. Ia merasa
betapa air mata gadis itu membasahi baju dan menembus ke dada.
"Tenanglah,
Kwi Hong. Mengapa menangis?"
"Pulau
kami.... ah.... bagaimana nasib mereka....?" Kwi Hong terisak, tiba-tiba
ia sadar betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa tangan itu membelai dan
mengusap rambutnya dengan mesra. Teringat akan ini, cepat ia merenggutkan
tubuhnya dari atas dada Bun Beng, melompat ke belakang dan memandang Bun Beng
dengan mata terbelalak penuh kemarahan!
"Kenapa....
kenapa kau memelukku....?"
"Ehhh....!"
"Kenapa
kau membelai rambutku?"
"Ohhh....!"
"Gak
Bun Beng, kau.... hendak kurang ajar padaku, ya?"
Bun
Beng hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.
"Hayo
jawab!"
"Ehh....
ohhh.... Kwi Hong, bagaimana ini? Kau.... kau menangis dan aku merasa bingung,
ikut berduka dan terharu.... kenapa kau menuduhku kurang ajar?"
Tiba-tiba
Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan, dan ia sadar
kembali. Tadi kedukaan dan kebingungan yang menyusul kegelisahannya, bercampur
dengan rasa kaget dan girang melihat kenyataan bahwa Bun Beng yang disangkanya
mati ternyata masih hidup, bahkan lebih dari itu, telah menolongnya dan
kelihatan begitu lihai. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu, membuat dia
bingung dan ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan membelai rambutnya, ia
menjadi marah-marah tidak karuan. Setelah sadar ia mengeluh.
"Ohhhh...." lalu menangis lagi.
"Sudahlah,
Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini sebelum mereka
turun. Agaknya di atas geladak terjadi keributan, kurasa orang yang menolong
anak buahmu di pulau sekarang telah turun tangan lagi membikin kacau di atas
kapal-kapal ini."
"Yang
menolong anak buah Pulau Es? Siapa....?"
"Nanti
kuceritakan, mari ikut denganku." Bun Beng lalu menyambar tangannya
setelah menyerahkan pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu melarikan diri
melalui penutup papan ruangan itu ke bawah.
Kali
ini Kwi Hong menurut saja, bahkan dia berbisik, "Bun Beng, kaumaafkan
kelakuanku tadi...."
Mereka
turun ke ruangan bawah kemudian keluar melalui lubang di badan kapal dan
meloncat ke perahu kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan yang berada di
atas tiga buah kapal itu, dibantu oleh pasukan dari dua kapal lain yang sudah
datang, sedang sibuk memadamkan kebakaran dan malam itu gelap sehingga Bun Beng
dan Kwi Hong dapat mendayung perahu menuju ke pulau tanpa terlihat mereka.
Agaknya mereka itu sibuk memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi
adanya pertempuran.
Ketika
Bun Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat lalu berlari
cepat, dari sebuah perahu hitam kecil tampak Lulu memandang mereka. Wanita ini
menghela napas lalu mendayung perahunya meninggalkan perairan itu, kembali ke
Pulau Neraka.
Ketika
mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang jenazahnya
ditinggalkan di pantai oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi. Gadis ini menjadi
makin berduka ketika bertemu dengan Phoa Ciok Lin yang terluka sedikit
pundaknya, mendengar betapa Yap Sun, Thung Sik Lun, dan banyak lagi paman-pamannya
telah tewas dalam pertempuran. Anak buah Pulau Es yang tadinya berjumlah
seratus orang lebih hanya tinggal lima puluh orang, termasuk anak-anak.
"Biarkan
mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!" Kwi Hong berkata
dengan air mata membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan sebelah kiri dan
pedang Li–mo-kiam berkilauan di tangan kanan.
"Kurasa
tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka
dipimpin oleh orang-orang pandai."
"Apa
kau takut? Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah takut
menghadapi mereka!" Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa kalau
tidak ada pertolongan Bun Beng entah bagaimana jadinya dengan anak buah Pulau
Es, dan terutama dengan dia sendiri.
"Hong-ji,
jangan begitu!" Phoa Ciok Lin berkata. "Bun Beng telah berbuat banyak
sekali untuk kita, dan kurasa kata-katanya memang benar. Kalau kita melawan,
biarpun dibantu Bun Beng yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu
berarti akan mengorbankan semua sisa anak buah Pulau Es. Kita bertiga agaknya
dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi bagaimana dengan anak buah kita?
Apakah masih kurang banyak jatuhnya korban di pihak kita? Lebih baik kita
melarikan diri meninggalkan pulau ini sambil menanti kembalinya Taihiap."
"Lari....?
Dan Istana....?"
"Kita
bawa lari semua pusaka istana," kata pula Ciok Lin.
"Memang
itu benar sekali, Kwi Hong." Bun Beng berkata tenang. "Kalau kita
melawan, selain anak buah Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka tanpa kita
dapat banyak melindungi karena kita sendiri tentu berhadapan dengan lawan-lawan
tangguh, juga pusaka-pusaka Istana Pulau Es akan terampas oleh mereka. Agaknya
itulah yang menyebabkan Koksu membawa pasukan datang menyerbu Pulau Es."
Menghadapi
bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun tidak ingin kelak
dipersalahkan pamannya kalau sampai terjadi pusaka-pusaka dirampas pasukan
pemerintah dan semua anak buah tewas. Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin
pergilah semua sisa penghuni Pulau Es, menggunakan semua perahu kecil yang
tersembunyi. Mereka lari dengan perahu-perahu itu melalui utara, semua
berjumlah sepuluh buah perahu kecil.
Pada
keesokan harinya, pelarian-pelarian yang tergesa sehingga tidak ada kesempatan
menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas, melihat bahwa lima buah kapal besar
itu melakukan pengejaran. Mereka menjadi panik, akan tetapi Ciok Lin dengan
tenang memberi aba-aba, menjadi petunjuk jalan paling depan. Perahu-perahu itu
memasuki sekumpulan es terapung yang seperti bukit-bukit kecil. Mereka mengambil
jalan berbelak-belok, jalan yang hanya diketahui oleh Ciok Lin. Lima buah kapal
itu mengejar, namun terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka karena
kapal-kapal yang besar itu terhalang oleh bukit-bukit es dan tidak mungkin
memasuki jalan air sempit di antara bukit-bukit es itu. Dengan penasaran Bhong
Ji Kun lalu memerintahkan anak buahnya mendarat lagi di Pulau Es. Yang ada di
situ hanyalah mayat-mayat kedua pihak yang bergelimpangan. Pondok-pondok kecil
dibakar, istana dirampok, dikuras habis benda-benda berharga dari istana itu,
kemudian istana itu dibakar habis! Tamatlah istana Pulau Es, dan pulau itu kini
tampak menyedihkan sekali, menjadi gundul karena pohon-pohon yang tidak berapa
banyak tumbuh di situ ikut pula terbakar habis!
Dengan
marah sekali karena semua usahanya gagal bahkan kehilangan banyak pasukan,
kerusakan kapal-kapal, dan hanya mendapatkan barang-barang rampasan berupa
harta benda yang tidak seberapa, tanpa ada benda-benda pusaka yang diharapkan,
Bhong Ji Kun memerintahkan anak buahnya berlayar pulang ke daratan.
Sementara
itu, Phoa Ciok Lin membawa anak buahnya ke daratan pulau, akan tetapi sebelah
utara dan mereka bersembunyi di pantai yang penuh dengan tebing-tebing curam
dan guha-guha yang sunyi. Tempat persembunyian yang paling aman dan tempat itu
pun hanya diketahui oleh Pendekar Super Sakti.
Setelah
mengantar sisa anak buah Pulau Es ke tempat persembunyianya, Bun Beng lalu
berpamit. Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika dia dipamiti. Mereka berdiri di
tepi laut dan wajah gadis itu masih muram penuh kedukaan memikirkan nasib Pulau
Es.
"Engkau
hendak pergi ke manakah, Bun Beng?" Tanyanya, suaranya gemetar dan pandang
matanya sayu. Bun Beng hanya mengira bahwa sikap gadis ini karena kedukaannya.
"Aku
hendak pergi ke kota raja. Aku harus dapat merampas kembali Hok-mo-kiam yahg
dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya, juga aku harus membuat perhitungan
dengan mereka yang telah membunuh Suhu. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok
Lama, Thai Li Lama, Bhe Ti Kong, bukan hanya karena telah membunuh Suhu, akan
tetapi juga karena penyerbuan mereka ke Pulau Es."
Kwi
Hong menghela napas panjang. Ingin sekali dia ikut bersama pemuda ini, akan
tetapi dia maklum bahwa hal itu tidak pantas, maka dia lalu melepaskan sarung
pedang Li-mo-kiam dari pinggangnya, menyerahkannya kepada Bun Beng sambil
berkata, "Kauterimalah kembali pedang ini, Bun Beng. Pedang ini perlu
bagimu untuk melaksanakan tugasmu yang amat berbahaya itu. Mereka adalah orang
sakti dan...."
"Tidak
usah, Kwi Hong. Aku telah memberikan pedang itu kepadamu, bagaimana dapat
kuterima kembali? Ataukah.... engkau tidak suka menerima pemberianku?"
"Tidak
sama sekali, akan tetapi...."
"Sudahlah.
Kau bersama Bibi Phoa menjaga di sini, melindungi sisa anak buah Pulau Es
sambil menanti datangnya Suma-taihiap. Kalau bertemu di dalam perjalananku,
tentu akan kusampaikan kepadanya akan segala peristiwa yang terjadi di Pulau
Es. Selamat tinggal, sampai jumpa pula, Kwi Hong."
Kwi
Hong mengangguk dan ketika pemuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu,
Kwi Hong berdiri memandang dan termenung. Tak disadarinya, dua titik air mata
turun ke atas kedua pipinya. Mengapa hatinya terasa berat berpisah dengan
pemuda itu? Apakah benar seperti pertanyaan pamannya dahulu bahwa dia mencinta
Bun Beng? Dia merasa suka, kagum, kasihan kepada pemuda itu dan ingin selalu
berdekatan, merasa berat ditinggalkan. Inikah cinta?
"Hong-ji,
dia adalah seorang pemuda yang amat baik."
Kwi
Hong cepat membalikkan tubuhnya dan cepat pula menghapus dua titik air mata
dari pipinya. Ia melihat Phoa Ciok Lin telah berdiri di situ. Jantungnya
berdebar keras dan mukanya menjadi merah sekali.
"Apa....
apa maksudmu, Bibi....?"
Wanita
itu menarik napas panjang menjawab. "Engkau cinta padanya, Hong-ji, dan
aku tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang pemuda yang baik, pantas
mendapatkan cinta seorang gadis sepertimu, dan kurasa.... dia pun mencintamu,
Hong-ji"
"Bibi....!"
"Jangan
marah, aku bicara karena kenyataan dan aku cukup awas melihat keadaan kalian
orang-orang muda. Cinta memang amat berkuasa dan aneh, Hong-ji." Kembali
dia menarik napas panjang dan pandang matanya sayu seperti orang melamun.
"Cinta dapat membuat orang menjadi halus perasaannya, menjadi seorang yang
mau mengorbankan apa saja, sampai nyawanya. Akan tetapi mampu pula membuat
orang menjadi kejam, menjadi mudah putus asa, akan tetapi juga dapat membuat
orang menjadi tahan derita...."
Kwi
Hong memandang wanita itu dengan terharu. "Seperti engkau sendiri, Bibi.
Bukankah engkau mencinta Pamanku, mencinta dengan seluruh badan dan
nyawamu?"
Phoa
Ciok Lin menjatuhkan diri duduk di atas batu karang dan merenung ke arah
lautan. Dia mengangguk dan terdengar suaranya lirih, "Benar, tak perlu
kusembunyikan. Akan tetapi apa gunanya mencinta sebelah pihak? Salahku sendiri,
orang yang tak tahu diri. Akan tetapi aku tidak kasihan kepada diriku sendiri,
Hong-ji, melainkan kasihan kepada Pamanmu. Pamanmu jauh lebih sengsara dan
menderita daripada aku, gara-gara dua orang wanita yang dicintanya....
hemmm.... cinta dapat mendatangkan neraka dunia bagi orang yang gagal. Semoga
engkau kelak tidak gagal bersama Gak Bun Beng, Hong-ji...."
"Bibi....!"
Kwi Hong maju menubruk dan merangkul wanita itu dan kedua orang itu saling
peluk dan menangis, bukan hanya menangis karena urusan cinta, melainkan
menangisi Pulau Es yang hancur berantakan.
***
Penyerangan
ke Pulau Es dan hancurnya pulau itu oleh pasukan-pasukan pemerintah
menggegerkan dunia persilatan. Ternyata koksu, atas nama pemerintah telah unjuk
gigi dan terjadilah perubahan hebat di dunia persilatan. Kalau dahulu Pulau Es
membuat semua orang kang-ouw gemetar, kini menjadi bahan tertawaan mereka.
Kiranya Pulau Es tidaklah sekuat yang mereka duga.
Kemudian
Bhong Ji Kun yang merasa penasaran karena kegagalan di Pulau Es, hanya berhasil
menghancurkan pulau itu, menimpakan kemarahannya kepada Pulau Neraka. Dia lalu
berangkat lagi, membawa lima belas buah kapal dan seribu orang anggauta
pasukan, berangkat lagi berlayar ke utara mencari Pulau Neraka! Dengan petunjuk
jalan para nelayan di lautan utara, akhirnya dia berhasil menemukan Pulau
Neraka, akan tetapi apa yang didapatinya? Pulau itu telah kosong! Semua
penghuni Pulau Neraka telah lebih dulu menyingkirkan diri dan meninggalkan
pulau itu, seolah-olah mengejek Koksu. Bhong Ji Kun marah, membakar pulau itu,
kemudian kembali ke kota raja dengan tangan hampa.
Memang
Lulu telah lebih dulu mengungsikan anak buahnya ke daratan. Dia maklum bahwa
tentara pemerintah pasti akan menyerbu Pulau Neraka, maka lebih dulu dia
memerintahkan anak buahnya mengungsi ke daratan. Kini Pulau Es dan Pulau Neraka
tidak ada lagi, atau lebih tepat kosong dan sudah terbakar, semua penghuninya
telah lari dan semua orang menduga bahwa larinya tentu ke daratan di mana
mereka dapat bersembunyi dengan mudah.
Mendengar
ini, Nirahai menjadi marah dan mendongkol sekali kepada Koksu. Bertahun-tahun
dia menggembleng diri, memperkuat perkumpulan Thian-liongpang untuk
sewaktu-waktu menyerang ke Pulau Es, untuk menandingi kekuatan Pulau Es dan
kelihaian Suma Han. Kini didahului oleh pasukan pemerintah! Juga dia harus
mengakui di dalam hatinya bahwa dia merasa sakit hati mendengar Pulau Es
dibakar. Benar-benar watak wanita yang kecewa dalam cinta amat aneh. Dia
sendiri ingin menyerbu Pulau Es, mengalahkan suaminya. Kini mendengar tempat suaminya
diobrak-abrik orang lain, dia marah-marah dan sakit hati! Apalagi ketika ia
mendengar bahwa pasukan Koksu itu atas perintah kaisar sendiri, mengertilah dia
apa yang menjadi sebab penyerbuan itu. Tentu Kaisar, ayahnya sendiri, masih
merasa dendam terhadap Suma Han yang melarikannya (baca ceritaPendekar Super
Sakti), maka kini hendak menangkap Suma Han, atau agaknya lebih tepat lagi,
hendak mencari dia! Diam-diam Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. Tentu
ayahnya itu, Kaisar dan kaki tangannya, tidak pernah mimpi bahwa Ketua
Thian-liong-pang yang penuh rahasia itu adalah Puteri Nirahai yang dicari-cari!
Ketika
mereka mendengar akan penyerbuan tentara ke Pulau Neraka, dia makin penasaran
lagi. Tadinya Thianliong-pang dianggap sebagai perkumpulan paling kuat dan yang
menjadi tandingannya hanyalah Pulau Es dan Pulau Neraka. Kini kedua pulau itu
telah dihancurkan pemerintah, siapa lagi yang akan menjadi tandingan
Thian-liong-pang? Sekaranglah saatnya dia memperlihatkan kekuatan dan menjagoi
dunia kang-ouw. Setelah berunding dengan para pembantunya, maka
Thian-liong-pang membuat pengumuman dan mengundang seluruh partai dan semua
golongan putih dan hitam, untuk memenuhi undangan Thian-liong-pang di mana akan
diberi kesempatan kepada semua jago silat dunia untuk membuktikan siapa yang
patut menjadi datuk pertama di dunia persilatan dan perkumpulan mana yang patut
disebut perkumpulan terkuat. Untuk keperluan ini, Thian-liong-pang memilih
tempat di kaki Pegunungan Ciung-lai-san, di daerah Se-cuan, bekas daerah pertahanan
pemberontak Bu Sam Kwi. Daerah ini selain sunyi, juga merupakan daerah tandus
seperti gurun pasir dan jauh dari kota maupun dusun.
Beberapa
hari sebelum hari yang ditentukan untuk pertemuan itu, pihak Thian-liong-pang
telah berkumpul di tempat itu. Mereka membangun sebuah pondok gubuk yang
tingginya dua puluh meter. Kemudian, lima puluh orang anggauta Thian-liong-pang
pilihan, berkumpul dengan dipimpin oleh Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong
Sin-ciang Chi Kang, Tang Wi Siang dan para wanita pelayan yang lihai, serta
beberapa orang tokoh Thian-liong-pang lain seperti Su Kak Liong, saudara kembar
yang kehilangan adiknya, karena adiknya, Toat-beng-to Su Kak Houw, telah tewas
ketika hendak membunuh Bun Beng dan banyak orang yang menjadi tokoh Thian-liong-pang
pula. Adapun Nirahai sendiri bersama Milana baru datang ke tempat itu sehari
sebelumnya dan keduanya meloncat naik dan memasuki gubuk yang tinggi,
menutupkan pintunya dan tidak tampak dari luar.
Seperti
diketahui, Milana meninggalkan ibunya tanpa pamit untuk mencari Bun Beng. Akan
tetapi sebelum niat hatinya tercapai, dia mendengar pula berita akan
dihancurkannya Pulau Es oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dara ini
mengkhawatirkan ayahnya dan dia cepat pulang untuk mengabarkan hal itu kepada
ibunya.
Semenjak
pagi pada hari yang ditentukan itu, datanglah berbondong-bondong pasukan
orang-orang kang-ouw dari pelbagai aliran dan partai persilatan. Bahkan
partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai yang terdiri dari belasan
orang hwesio, dan Kun-lun-pai yang diwakili oleh kaum tosu, Bu-tong-pai yang
dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Ang-lojin atau Ang Thian Pa bersama
puterinya yang menarik perhatian karena cantiknya, Ang Siok Bi. Hadir pula dari
Partai Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain, yaitu dari partai-partai aliran
bersih. Dari kaum perampok dan golongan hitam juga banyak yang hadir, di
antaranya dari Hek-liong-pang, Hek-kai-pang perkumpulan pengemis baju hitam,
dan Hui-houw-pai perkumpulan harimau terbang, Sin-to-pang perkumpulan ahli
golok, Lam-hai-pang, dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena sebagian besar
di antara mereka itu sudah mengenal nama Thian-liong-pang, mereka menjadi jerih
dan hanya datang untuk melihat-lihat, karena semenjak Pemerintah Mancu berdiri
dan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho, tidak ada perkumpulan kang-ouw
yang berani lagi mengadakan pertemuan macam ini, apalagi pertemuan besar ini.
Adapun pihak golongan bersih, hanya datang karena merasa sungkan kepada
Thian-liong-pang, dan juga ingin menyaksikan sendiri seperti apa macamnya Ketua
Thian-liong-pang yang disohorkan memiliki kepandaian seperti iblis, yang
melampaui kehebatan para datuk golongan hitam maupun putih!
Karena
tanah di tempat pertemuan itu tandus, setiap ada rombongan baru datang berkuda,
tentu dari jauh tampak debu mengebul tinggi. Ada pula yang memikul ketua-ketua
mereka dengan tandu, dan ada pula yang datang berkuda. Sebagian besar di antara
mereka itu kini memelihara rambut yang dikuncir, sesuai dengan peraturan
pemerintah baru. Akan tetapi ada pula yang tidak mau mentaati peraturan ini dan
masih menyanggul rambutnya atau membiarkan saja panjang terurai seperti tampak
pada para anggauta Thian-liong-pang dan para anggauta perkumpulan kaum sesat.
Tentu saja peraturan ini tidak berlaku bagi para tosu yang semenjak dahulu
mempunyai mode tersendiri dalam menyanggul rambut mereka, dan para hwesio yang
semenjak dahulu memang tidak berambut kepalanya!
Kedatangan
rombongan tamu dari segenap penjuru itu disambut oleh para anak buah
Thian-liong-pang yang berkumpul mengelilingi gubuk tinggi, berbaris rapi
menghadap keluar. Setiap tokoh yang melihat tamu datang dari depan, cepat
menyambut dengan hormat sambil menjura. Di antara para orang kang-ouw itu, baik
pihak tuan rumah maupun para tamu, tidak menduga sama sekali bahwa pertemuan
orang dunia persilatan ini tidak luput dari pengawasan pemerintah. Bahkan
banyak mata-mata pemerintah yang lihai menyeludup masuk, menyamar sebagai
rombongan orang kang-ouw. Lebih hebat lagi, Koksu Bhong Ji Kun sendiri bersama
pembantu-pembantunya telah siap menyerbu dengan pasukannya yang seribu orang
banyaknya, begitu terdapat tanda dari para penyelidiknya. Bhong Ji Kun bukan
seorang bodoh, dan tentu saja dia tidak akan memusuhi orang-orang kang-ouw,
apalagi partai-partai besar yang oleh pemerintah, bankan diharapkan kerja sama
mereka. Pemerintah yang telah berhasil memelihara keamanan setelah menundukkan
semua kerusuhan, tidak akan memancing kekecewaan dan pemberontakan baru dengan
jalan menindas orang-orang kang-ouw. Tidak, Bhong Ji Kun tidak akan mengganggu
Thian-liong-pang yang merupakan perkumpulan besar yang berpengaruh, atau
mengganggu tamu-tamunya. Akan tetapi, yang diincarnya adalah orang-orang Pulau
Es dan Pulau Neraka.
Kalau
sampai mereka yang berhasil melarikan diri dari kedua pulau itu berani muncul
di situ, barulah dia akan mengerahkan pasukan dan pembantu-pembantunya untuk
menyerbu dan menangkapi mereka dengan dalih memberontak. Dengan menangkapi para
penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka, dia mengharapkan akan dapat memaksa mereka
menyerahkan pusaka-pusaka dari kedua pulau itu, terutama dari Pulau Es. Untuk
maksud inilah Bhong Ji Kun menyiapkan pasukan dan pembantu-pembantunya.
Akan
tetapi, belum juga rencana ini memperoleh hasil, rombongan Koksu ini telah
mengalami hal yang menggemparkan, yang membuat Bhong Ji Kun marah bukan main
karena dia telah kehilangan dua orang pembantunya yang setia dan dapat
diandalkan, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai, dan Thai Li Lama!
Hal
itu terjadi ketika dia dan pembantu-pembantunya bersembunyi di dalam
hutan-hutan di lereng Pegunungan Ciung-lai-san, mengurung dan mengawasi daerah
tandus di kaki gunung yang dijadikan tempat pertemuan oleh Thian-liong-pang
itu. Karena daerah pengawasan itu amat luas, mereka berpencar, demikian pula
para pasukan yang hanya beristirahat di hutan-hutan sambil bersiap-siap menanti
perintah kalau saat penyerbuan tiba.
Sehari
sebelum pertemuan tiba, pasukan pemerintah telah bersembunyi di hutan lereng
Pegunungan Ciung-lai-san itu, di antara mereka tampak Tan-siucai. Tan-siucai
yang masih penasaran karena belum berhasil membalas dendam kepada Suma Han yang
dianggap telah menyebabkan kematian tunangannya, yaitu Lu Soan Li, sekali ini
mengharapkan benar agar Suma Han muncul di tempat pertemuan. Dia maklum bahwa
dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan musuh besar yang dianggap telah
menghancurkan kebahagiaan hidupnya itu, namun dia percaya penuh kepada gurunya
yang kini telah bergabung dengan orang-orang sakti seperti kedua Lama dan
Koksu. Dengan hadirnya tokoh-tokoh sakti ini dibantu oleh seribu orang pasukan,
mustahil kalau musuh besarnya itu akhirnya tidak akan tewas! Dia ingin sekali
memberi pukulan maut terakhir kepada Suma Han, dengan tusukan kedua pedangnya,
pedang hitam dan Hok-mo-kiam yang dibanggakannya.
Karena
menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, waktu dirasakan
merayap amat lambat, Tan-siucai pergi berjalan-jalan seorang diri di dalam
hutan yang dianggapnya tempat yang paling aman. Seribu orang pasukan menjaga di
situ, dan dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, tentu saja dia tidak takut
akan munculnya ular atau harimau. Dengan wajah berseri penuh harapan, apalagi
mengingat akan kedudukannya sebagai pembantu koksu yang membuat hidupnya
terjamin dan penuh kemewahan dan kemuliaan, membuat dia dengan mudah memperoleh
pakaian mewah dan indah, makanan serba lezat, tidak kekurangan uang, dan boleh
dikata memungkinkannya untuk berganti teman wanita setiap malam. Tan-siucai
melangkah perlahan mengagumi pohon-pohon dan kembang-kembang yang sedang mekar
di dalam hutan itu. Dia berjalan perlahan, hati-hati agar pakaiannya yang indah
dari sutera halus itu tidak sampai kotor oleh debu tanah atau tersangkut
tetumbuhan berduri. Senja hampir tiba, sinar matahari tidak begitu panas lagi
dan angin senja mulai bertiup seolah-olah menyampaikan selamat jalan kepada
matahari yang mulai condong ke barat, sebentar lagi akan meninggalkan permukaan
bumi sebelah sini.
Karena
dipenuhi harapan menggembirakan, Tan-siucai tersenyum-senyum, kemudian
bersenandung. Akan terjadi penyerbuan, dan dia girang mendapat kesempatan lagi
mengerjakan pedang hitamnya, memenggal leher orang, menusuk jantung lawan dari
dada sampai menembus punggung, melihat darah segar menyemprot keluar! Ha, dia
akan berpesta pora dengan pedangnya, di samping menyaksikan terlaksananya
dendam terhadap Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan
Pulau Es. Ha-ha, dia tertawa sendiri kalau teringat akan Pulau Es. Biarpun dia
belum berhasil membunuh musuh besar ini, namun menyaksikan tempatnya
dihancurkan dan dibakar, anak buahnya banyak yang tewas dan selebihnya terpaksa
melarikan diri menjadi buronan, dia sudah merasa girang dan puas sekali.
"Tan-siucai,
engkau kelihatan gembira sekali!" Tiba-tiba terdengar suara orang menegur
dari belakangnya.
Tan-siucai
menghentikan senandungnya dan mengira bahwa yang menegurnya tentu seorang di
antara panglima pasukan, sambil membalikkan tubuh dia tertawa dan berkata,
"Hidup hanya satu kali di dunia, mengapa tidak gembira?" Akan tetapi
ketika melihat bahwa yang berhadapan dengannya adalah seorang pemuda tampan
yang tersenyum-senyum, pemuda yang tubuhnya sedang, pakaiannya sederhana,
kuncirnya tebal hanya sebuah bergantung ke depan melalui pundak, seorang pemuda
yang sama sekali bukan panglima, bukan perajurit.
"Engkau....
siapa....?" Tan-siucai agak tergagap karena heran, namun segera menyangka
bahwa tentu orang ini penduduk di lereng Pegunungan itu.
Pemuda
itu memperlebar senyumnya. "Aku setan penjaga gunung yang telah lama
menanti kesempatan ini untuk mencabut nyawamu!"
Tan-siucai
kaget dan marah mendengar ini, namun dia menjadi kaget lagi ketika tiba-tiba
tangan kiri pemuda sederhana itu dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah
mukanya, menyerang kedua matanya. Gerakan pemuda itu cepat bukan main, dan dari
sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Tan-siucai tentu saja tidak
membiarkan kedua matanya dicongkel orang begitu saja. Dia cepat menarik tubuh
atas ke belakang.
"Plakk!
Rrrttt"
"Heiii....!
Kembalikan pedangku!" Tan-siucai berseru marah dan kaget sekali ketika
merasa betapa pedang Hok-mo-kiam yang selalu terselip di pinggangnya kini telah
dirampas pemuda itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana sampai dapat diambil dari
pinggangnya. Hanya terasa olehnya ketika ia menarik tubuh atas ke belakang untuk
menghindarkan tusukan pada matanya pedang itu diserobot dengan kecepatan kilat
dan tahu-tahu pedang itu lenyap dari pinggangnya.
Dengan
mata terbelalak marah Tan-siucai melihat pemuda itu tersenyum-senyum sambil
mengikatkan sarung pedang ke punggungnya. Sikapnya demikian tenang sambil
tersenyum-senyum, seolah-olah pemuda itu sedang memasang pedangnya sendiri,
bukan bolehnya merampas punya orang lain.
"Kembalikan
pedangku, keparat!" Tan-siucai membentak.
Pemuda
itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Seperti diceritakan di bagian depan,
setelah berpisah dari Kwi Hong di pantai lautan utara, Bun Beng pergi ke kota
raja untuk mencari musuh-musuhnya. Setibanya di kota raja, kebetulan sekali ia
melihat pasukan besar dipimpin oleh musuh-musuhnya! Dia melihat Bhong Ji Kun,
Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Maharya, Tan-siucai, Bhe Ti Kong dan para
panglima pengawal meninggalkan kota raja dengan berkuda dan melakukan
perjalanan cepat sekali. Melihat ini, Bun Beng tak berani turun tangan. Tak
mungkin dia turun tangan selagi orang-orang sakti itu berkumpul dan masih
dilindungi oleh pasukan yang besarnya kurang lebih seribu orang! Maka Bun Beng
lalu membayangi pasukan itu yang ternyata melakukan perjalanan jauh sekali
sampai berpekan-pekan. Dan akhirnya pasukan itu bersembunyi di dalam hutan, di
lereng Pegunungan Ciung-lai-san. Juga Bun Beng yang terus membayangi, mendengar
akan pertemuan tokoh-tokoh dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang
di kaki pegunungan itu. Diam-diam dia merasa heran. Apalagi yang akan dilakukan
oleh Puteri Nirahai, ibu Milana dan isteri Pendekar Super Sakti yang telah
menjadi Ketua Thian-liong-pang itu? Apakah yang akan dilakukan wanita sakti
yang cantik jelita, yang menjadi aneh dan mengerikan sekali wataknya akibat
terputusnya cinta dan mengalami kekecewaan itu?
Akan
tetapi karena tujuan Bun Beng adalah mencari kesempatan untuk pertama-tama
merampas kembali Hok-mo-kiam, baru kemudian mencari kesempatan untuk membuat
perhitungan kepada musuh-musuhnya, maka dia tidak mempedulikan lagi urusan
Thian-liong-pang. Akhirnya, setelah membayangi pasukan itu selama beberapa
pekan, pada menjelang senja hari itu dia berkesempatan menemui Tan-siucai
seorang diri dan berhasil merampas Hok-mo-kiam secara mudah setelah dia
melakukan serangan pancingan dengan tangan kiri tadi, membuat Tan Ki menarik
tubuh atas ke belakang dan pinggang depannya tidak terlindung.
"Heiii!
Tulikah engkau? Kembalikan pedangku!" sekali lagi Tan Ki membentak.
Bun
Beng tersenyum tenang. "Pedangmu yang manakah? Hok-mo-kiam ini bukanlah
pedangmu. Lupakah engkau bahwa engkau mencuri pedang ini dengan menipu Pendekar
Super Sakti keluar meninggalkan pondok. Kemudian engkau bersama Gurumu Maharya
itu bahkan membunuh Kakek Nayakavhira yang membuat pedang ini? Dan engkau
sekarang masih berkulit muka tebal mengaku bahwa Hok-mo-kiam adalah
pedangmu?"
"Setan!
Siapa engkau....?" Tan Ki menjadi terkejut dan marah sekali mendengar
ucapan itu, sekaligus dia mencabut pedang hitamnya.
"Tidak
penting kauketahui aku siapa, Tan-siucai. Hanya perlu kauketahui bahwa pedang
ini akan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Suma-taihiap."
"Engkau
ingin mampus!" Tan Ki membentak dengan pengerahan khi-kang sehingga
suaranya menjadi nyaring dan terdengar sampai jauh. Memang, orang yang licik
ini sengaja mengeluarkan suara keras agar terdengar oleh yang lain dan
membantunya menghadapi perampas pedangnya. Setelah membentak, pedangnya
berkelebat, sinar hitam menyambar ke arah tubuh Bun Beng.
Tan-siucai
bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid
Kakek Maharya, dan selain ilmu pedangnya aneh dan cepat, diapun memiliki
sin-kang yang sudah kuat sekali. Namun, bagi Bun Beng dia merupakan lawan yang
ringan. Bun Beng yang melihat pedang hitam menyambar ke arah lehernya, hanya
miringkan kepala sedikit, dan berbareng tangan kanannya menampar.
"Plakkk!"
Bun Beng menampar perlahan saja dan mengenai pipi kiri Tan-siucai, akan tetapi
biarpun perlahan, cukup membuat Tan-siucai terbanting dan bergulingan. Ketika
ia meloncat bangun lagi dengan kepala nanar, pipinya telah menjadi bengkak
membiru dan semua giginya di pinggir kiri copot! Sambil meludahkan gigi dan
darah, Tan Ki memandang dengan marah sekali, namun hatinya menjadi jerih karena
dalam gebrakan pertama itu saja sudah terbukti betapa lihainya pemuda ini.
Teringatlah ia akan cerita tentang pemuda yang membela penghuni Pulau Es, yang
mengamuk dengan hebat, bahkan dapat melayani gurunya. Mukanya menjadi pucat
teringat akan ini dan dia sudah menoleh ke kanan kiri dan menengok ke belakang,
mengharapkan datangnya bala bantuan. Tak salah lagi tentu inilah pemuda yang
sakti itu!
"Tan
Ki, tamparanku tadi hanya untuk hukumanmu mencuri Pedang Hok-mo-kiam.
Semestinya mengingat akan pembunuhan terhadap Kakek Nayakavhira, kemudian
penculikan terhadap Nona Giam Kwi Hong, ditambah lagi engkau ikut menyerbu dan
membunuh anak buah Pulau Es, engkau sudah pantas dibunuh seratus kali! Akan
tetapi, yang berhak memutuskan hukuman adalah Pendekar Super Sakti, dan aku
tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, maka biarlah sekali ini aku tidak
membunuhmu dan hanya merampas kembali Hok-mo-kiam. Nah, pergilah!"
Akan
tetapi, tentu saja Tan Ki tidak mau pergi meninggalkan orang yang telah
merampas Hok-mo-kiam, juga dia tidak berani menyerang lagi. Dia masih menanti datangnya
bantuan dan pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Thai Li Lama.
Hatinya menjadi besar, keberaniannya bangkit dan dia membentak nyaring.
"Engkau
pembela Pulau Es! Engkau pula yang melarikan murid Pendekar Siluman!"
Sambil membentak demikian dia menyerang lagi dengan ganas, mengerahkan seluruh
tenaganya dan menggunakan jurus maut. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam
yang meluncur cepat dan kuat, menusuk ke arah tenggorokan Bun Beng terus
digoreskan ke bawah untuk menyusul serangan itu kalau-kalau gagal. Menghadapi
ini, dan melihat datangnya Thai Li Lama yang lihai, Bun Beng menjadi marah
sekali. Kalau dia tidak cepat turun tangan dan cepat pergi dari situ sampai
semua tokoh lawan datang dan pasukan dikerahkan, dia bisa celaka. Tangan kanannya
bergerak ketika ia melangkah mundur untuk mengelak. Tampak sinar kilat yang
luar biasa ketika Hok-mo-kiam terhunus, disusul sinar kilat menyambar ke depan.
"Trakkk....!"
Tan Ki menjerit nyaring dan roboh. Pedang hitamnya patah menjadi dua oleh
Hok-mo-kiam dan sinar kilat itu masih terus menembus dadanya. Tan-siucai
berkelojotan dan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan kalau diingat bahwa
dia dahulu adalah seorang sasterawan yang amat pandai, yang berwatak baik
ketika menjadi tunangan Lu Soan Li. Sayang dendam kebencian membuat dia
menyeleweng apalagi setelah dia menjadi murid Maharya dan ilmu yang
dipelajarinya membuat dia menjadi tidak normal alias agak miring otaknya.
Kebencian dapat menyeret manusia ke dalam kesesatan, karena kebencian menimbulkan
perbuatan kejam, menimbulkan kekerasan dan kekeruhan batin.
"Jahanam....!"
Teriakan ini keluar dari mulut Thai Li Lama, disusul dengan pukulan geledek,
yaitu Ilmu Sin-kun-hoat-lek yang telah mengandung tenaga sin-kang kuat, juga
mengandung hawa mujijat dari ilmu hitamnya.
Bun
Beng cepat meloncat ke belakang menghindar. Dilihatnya Thai Li Lama telah
banyak berubah. Kepalanya masih tetap gundul, akan tetapi di bagian bawah
kepala dibiarkan tumbuh. Dengan demikian, pendeta Lama yang dahulunya gundul
kelimis itu kini seperti seorang yang botak, juga jubahnya yang merah terbuat
dari kain sutera!
"Haiiiittt,
lihat siapa aku? Orang muda, berlututlah engkau di depan Thai Li lama, orang
kepercayaan Koksu!" Suaranya amat berpengaruh, pandang matanya seperti
menyeluarkan sinar mujijat.
Bun
Beng merasa tubuhnya menggigil dan matanya seperti melekat pada sepasang mata
yang seperti mata setan itu, kakinya lemas dan lututnya tak dapat ditahannya
lagi, tertekuk dan dia jatuh berlutut! Tiba-tiba berkelebat di otaknya bahwa
ini tidaklah sewajarnya, seperti ketika ia berhadapan dengan Maharya. Teringat
pula dia akan ilmu sihir yang dimiliki golongan sesat ini. Cepat ia menggigit
bibirnya sampai berdarah dan rasa nyeri ini melepaskan dia daripada ikatan
pandang mata yang melekat! Cepat ia mengalihkan pandang mata ke bawah,
menulikan telinganya dari suara di luar dan keadaannya pulih kembali. Pada saat
itu, dia merasa hawa yang amat panas menggerayang ke arah kepalanya, maklum
bahwa dia terancam bahaya maut karena tangan kiri pendeta itu mencengkeram
ubun-ubun kepalanya selagi dia berlutut!
"Hyyaaaaaahhhhh!"
Bun Beng membentak nyaring melengking dan sinar kilat berkelebat dari bawah.
"Crokk!
Auggghhhh....!" Thai Li Lama mencelat ke belakang dan darah mengucur
keluar dari lengan kirinya yang telah terbabat buntung oleh Hok-mo-kiam!
Sepasang
mata Thai Li Lama mendelik dan ia mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang
buas. Kemudian dia meloncat tinggi lalu meluncur ke arah Bun Beng dengan kedua
kakinya bergerak-gerak melakukan tendangan-tendangan maut bertubi-tubi dari
atas, menuju ke arah ubun-ubun, pelipis tenggorokan dan tengkuk. Sekali saja
terkena tendangan itu, takkan dapat bertahan Bun Beng, biarpun dia memiliki
tenaga sin-kang yang bagaimana kuatnya.
Bun
Beng maklum akan kedahsyatan serangan ini, dan diam-diam merasa ngeri melihat
kakek yang lengan kirinya buntung itu seolah-olah tidak merasakan nyeri, dan
masih dapat menyerangnya sedemikian hebat. Cepat ia meloncat mundur ke kanan
kiri menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu. Namun gerakan kedua kaki
itu aneh sekali, sama sekali tidak dikenal oleh Bun Beng dan dia tidak tahu
perkembangannya atau lanjutan geraknya, maka betapa pun cepatnya ia mengelak,
tetap saja pundaknya terkena dorongan tumit kaki ketika kaki Thai Li Lama
membalik yang merupakan lanjutan serangan tendangannya. Biarpun tulang
pundaknya tidak patah, namun hawa dorongan itu membuat Bun Beng terpelanting
dan roboh miring. Pundaknya terasa setengah lumpuh dan pada saat itu, Thai Li
Lama yang terkekeh seperti iblis itu telah melayang turun, kaki kanannya
bergerak menginjak ke arah perut Bun Beng, injakan maut karena dalam gerakan
menginjak dari atas ini mengandung tenaga yang bukan main besarnya. Kalau
sampai perut pemuda itu terkena injakan, tentu akan hancur isi perutnya!
"Crokkk....!
Aaiiiihhhh!" Sinar kilat pedang Hok-mo-kiam yang digerakkan oleh Bun Beng
dalam keadaan terancam maut itu, menyambar dan membabat kaki yang menginjak.
Buntunglah kaki kanan itu sebatas betis dan Thai Li Lama berdiri dengan kaki
kiri, matanya terbelalak berapi-api, mulutnya mengeluarkan busa, keadaannya
mengerikan sekali. Darah mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung dan
dari kaki kanan yang buntung di bawah lutut itu. Namun, dia masih dapat
terpincang-pincang menghampiri Bun Beng!
Bun
Beng membenci pendeta Lama ini yang merupakan seorang di antara mereka yang
telah membunuh Siauw Lam Hwesio, gurunya, akan tetapi kini menyaksikan keadaan
Lama itu, dia merasa ngeri dan juga kasihan. Untuk menghentikan penderitaan orang
yang menjadi musuhnya itu, dia cepat menubruk ke depan dan ketika sinar kilat
berkelebat, pedang Hok-mo-kiam telah menembus ulu hati Thai Li Lama sampai
menembus punggung. Bun Beng cepat hendak mencabut kembali pedang itu, akan
tetapi tiba-tiba pendeta Lama itu yang sudah buntung lengan kirinya, buntung
pula kaki kanannya, dan tertusuk tembus dadanya, masih dapat mengeluarkan
bentakan nyaring, dari mulutnya menyembur darah segar dan tangan kanan berhasil
memukul punggung Bun Beng dengan tamparan yang mengandung ilmu pukulan
Sin-kun-hoat-lek.
"Blukkk!"
"Auuuhhh....!"
Darah segar menyembur keluar dari mulut Bun Beng dan pemuda ini terguling
roboh, berbareng dengan robohnya tubuh Thai Li Lama yang telah menjadi mayat!
Bun
Beng mengeluh panjang, rasa nyeri dari punggung sampai ke dada menyesakkan
napasnya. Dia maklum bahwa pukulan dahsyat tadi telah melukainya akan tetapi
pikirannya masih terang. Dia harus cepat pergi! Telah tampak bayangan para anak
buah pasukan yang mendengar bentakan-bentakan tadi mendatangi di antara
pohon-pohon. Cepat ia menghampiri mayat Thai Li Lama, bergidik menyaksikan
bekas musuh ini, mencabut Hok-mo-kiam, kemudian melarikan diri dari tempat itu
secepat mungkin, keluar dari hutan dan dilindungi kegelapan malam yang tiba,
dia berhasil meninggalkan para pengejarnya. Setelah aman dan tidak ada
pengejaran lagi Bun Beng duduk bersila di bawah pohon dalam hutan besar dekat
puncak gunung, dan mengatur pernapasannya, mengumpulkan hawa murni dan
mengerahkan sin-kangnya untuk mengobati luka di dalam dadanya yang terguncang
oleh pukulan dahsyat itu. Setahun yang lalu, sebelum dia melatih sin-kang di
dalam lorong rahasia dari kitab yang dipelaiari oleh Ketua Thian-liong-pang,
kalau terkena pukulan seperti itu, tentu nyawanya telah melayang!
Demikianlah,
dapat dibayangkan betapa marah hati Im-kan Seng-in Bhong Ji Kun ketika ia
mendapatkan dua orang pembantunya tewas seperti itu. Di tempat itu, di mana
terdapat dia sendiri dan paman gurunya, Maharya yang sakti, bersama seribu
orang perajurit pasukan pengawal, dua orang pembantunva yang dipercaya dan
boleh diandalkan, terutama Thai Li Lama, tewas dalam keadaan mengerikan dan tak
seorang pun tahu siapa yang telah membunuh kedua orang itu! Thian Tok Lama
berduka sekali akan kematian sutenya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan
marah dan siapakah yang akan dibalas kalau tak seorang pun mengetahui siapa
pembunuh sutenya?
"Mudah
saja! Pedang Hok-mo-kiam telah dirampasnya dari tangan muridku. Siapa yang
memegang pedang itu, dialah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Aku
bersumpah untuk membunuh iblis terkutuk itu!" Maharya yang juga amat
berduka akan kematian muridnya, terutama sekali akan terampasnya Hok-mo-kiam
oleh orang lain, mengepal tinju.
"Yang
dapat melakukan ini tentulah orang yang berkepandaian tinggi sekali," kata
Bhong Ji Kun setelah memerintahkan anak buahnya mengurus dan mengubur kedua
jenazah itu. "Tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, akan tetapi
siapakah? Banyak tokoh kang-ouw sedang berada di sekitar tempat ini untuk menghadiri
pertemuan besok pagi. Pasti seorang di antara mereka yang melakukannya."
Thian
Lok Lama menggeleng kepalanya yang gundul. "Pinceng rasa bukan seorang di
antara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani melakukan
pembunuhan-pembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan Tan-siucai adalah
orang-orangnya pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya tentulah orang-orang yang
telah menentang kita di Pulau Es."
"Ahhh,
wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?" Maharya bertanya.
Thian
Tok Lama mengangguk. "Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah
menjadi lihai bukan main itu."
"Gak
Bun Beng?" Bhong Ji Kun menyambung.
Thian
Tok Lama mengangguk. "Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa ilmunya
dan mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia melakukan hal-hal
yang tidak lumrah."
"Hemmm,
siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."
"Pendekar
Siluman....?" Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya terkejut
dan wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat akan Pendekar
Super Sakti itu? Kalau dia yang datang, memang tidak perlu diherankan lagi
kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai!
"Lebih
banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan pembunuhan-pembunuhan
ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan keyakinanku bahwa Pendekar Super
Sakti yang datang sore tadi. Akan tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang
kita sedang menunggu munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau
Neraka, bukan? Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah
menandinginya, dan ternyata dia tidaklah lebih lihai daripada saya, atau boleh
dibilang tingkat kami sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin dan Thian Tok Lama,
tentu mudah saja mengalahkannya."
"Akan
tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan
oleh wanita Pulau Neraka itu?"
Maharya
menggeleng kepala. "Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau Neraka yang
disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah ada kerja sama, dan
kalau dia dahulu turun tangan, sama sekali bukan untuk membantu Pulau Es, hanya
karena marah bahwa daerahnya dilanggar. Andaikata dia maju pula, bersama pemuda
itu, tidak perlu kita takut. Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup
tinggi, dan seribu orang pasukan merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang
Pendekar Siluman!"
Biarpun
kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang cukup mengejutkan,
namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih besar. Malam itu tidak
ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya, setelah mengirim rombongan
mata-mata yang menyamar sebagai orang-orang kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para
pembantunya mengintai tanah tandus yang dijadikan tempat pertemuan itu dari
atas lereng terdekat, mempergunakan teropong den memeriksa keadaan.
Tang
Wi Siang yang mewakili ketuanya, setelah semua tamu berkumpul, berkata dengan
suara nyaring,
"Cu-wi
sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang pada Cu-wi
sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi sekalian yang
dianggap mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat persahabatan dan
untuk mendengarkan usul Pangcu yang akan disampaikan oleh Pangcu sendiri.
Silakan Cu-wi mendengarkan!"
Pintu
pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua Thian-liong-pang yang
mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua orang memandang dan mereka yang
pernah diculik dan pernah berhadapan dengan ketua itu, memandang dengan muka
merah masih merasa penasaran akan tetapi juga dengan hati jerih karena mereka
tahu akan kelihaian wanita itu. Adapun mereka yang belum pernah bertemu dengan
tokoh ini, memandang dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar
bahwa Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah
manusia, sedangkan orangnya pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga
semua orang ingin melihat bagaimana wajah yang bersembunyi di balik kerudung
itu. Sudah tuakah? Ah, tak mungkin, tubuh wanita itu biarpun tersembunyi di
balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh seorang wanita tua! Dan tangan
yang tersembul dari balik lengan baju itu berkulit halus, berjari kecil
meruncing dengan kuku yang kemerahan, terpelihara baik-baik! Sepasang mata yang
memandang dari balik lubang kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa
serem dan menundukkan hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa,
mata seorang manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan!
Nirahai,
wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri memandang
sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang hadir, mengenal
mereka dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan mana mereka itu. Dia
merasa kecewa bukan main ketika tidak melihat adanya rombongan Pulau Neraka dan
Pulau Es! Benar-benar menggemaskan, pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul?
Dan di mana adanya tokoh-tokoh Pulau Neraka? Tanpa mengalahkan keduanya itu,
nama Thian-liong-pang takkan terangkat naik! Dan tiba-tiba ia melihat rombongan
terdiri dari belasan orang yang tak dapat ia duga dari partai atau golongan
mana. Matanya mengeluarkan sinar penuh kecurigaan, akan tetapi dia tidak
menyatakan sesuatu, hanya mulai dengan bicaranya yang singkat, halus merdu
namun terdengar sampai jauh karena ia keluarkan dengan pengerahan khi-kang yang
luar biasa kuatnya.
"Cu-wi
sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus menentukan perkumpulan
mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan tokoh mana yang patut dijadikan
pemimpin yang dapat disebut Bengcu (pemimpin rakyat). Kami setelah mempelajari
dan meneliti keadaan, minta Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang
sebagai perkumpulan induk, dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada di
antara Cu-wi yang dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi
Bengcu daripada aku. Kalau ada di antara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!"
Bukan
main tekeburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua orang
memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguhpun tidak ada
yang berani membantah dengan keras. Hanya terdengar suara-suara kontra, dan
dari golongan para hwesio dan tosu terdengarlah ucapan-ucapan,
"Omitohud...."
"Siancai....!"
Nirahai
bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu memang dia
sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya. Setelah bertahun-tahun dia
menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri ilmu-ilmu dari lain partai,
dia menganggap bahwa tidak akan ada orang lagi yang dapat menandinginya, dan
satu-satunya yang dia anggap merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han
dan Ketua Pulau Neraka yang belum pernah dia jumpai.
"Cu-wi,
negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan. Karena itu, kalau
kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan tidak mempunyai seorang
pemimpin yang mempersatukan kita, bagaimana kita semua dapat menghadapi
urusan-urusan besar? Tanpa pemimpin selalu hanya akan timbul
pertentangan-pertentangan di antara kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran
dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban. Karena itu, lebih baik sekarang
kita berhadapan secara gagah, memilih seorang Bengcu yang tepat dan
korban-korban dalam perebutan dan pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang
kalah dan tewas, mati sebagai seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada
Cu-wi bagaimana menghadapinya!"
Setelah
berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu
pondok segera ditutup lagi.
"Ibu,
mengapa Ibu melakukan semua ini?" Di dalam pondok itu, Milana berbisik
kepada Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat dari muka dan
lehernya. Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu berselimut awan
kesengsaraan batin.
"Untuk
memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka." Jawabnya pendek
lalu mengenakan kerudung kepalanya lagi.
Milana
menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik. "Ibu.... begitu....
begitu bencikah Ibu kepada Ayah....?"
Mata
di balik kerudung itu memancarkan api. "Benci? Tidak ada orang yang lebih
kubenci di dunia ini!"
Milana
merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan hening dan
tiba-tiba Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak tertahan. Ibunya
telah terisak menangis! Milana terharu, menggerakkan tangan menyentuh tangan
ibunya dan berbisik lagi
"Ibu....
sangat cintakah kepada Ayah....?"
Nirahai
memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya diam dan
mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding pondok mereka
dapat melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan Siauw-lim-pai
melangkah maju dan berkata nyaring sambil memandang pondok di atas.
“Thian-liong-pangcu!
Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk menyampaikan penyesalan
Siauw-lim-pai akan sepak terjang Thian-liong-pang selama ini yang melakukan
penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau
ikut-ikut dalam soal pemilihan Bengcu, dan tidak akan mengakui Bengcu manapun
juga karena Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin menanam
permusuhan. Hanya menjadi kewajiban Siauw-lim-pai untuk menegur perkumpulan
yang bertindak sewenang-wenang, dan kalau teguran Siauw-lim-pai ini tidak
menyenangkan hati Pangcu, pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai siap
mempertanggungjawabkannya!”
Setelah
hwesio tinggi kurus itu mundur, majulah seorang tosu berambut putih dari
rombongan Hoa-san, dan dia pun berteriak nyaring.
“Pinto
mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute kami Bhong
Tek-cu yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto mewakili Hoa-san-pai
untuk minta Thian-liong-pangcu mempertangungjawabkan perbuatan itu sekarang
ini! Tentang pemilihan Bengcu, Hoa-san-pai tidak akan mencampurinya!”
Setelah
melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai,
besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut majulah Ang-lo-jin Ketua
Bu-tong-pai yang berkata, “Saya sebagai ketua Bu-tong-pai merasa terhina atas
perlakuan Thian-liong-pang yang lalu, maka saya minta pertanggungan jawab
Thian-liong-pangcu di tempat terbuka ini!” Dan dengan alasan yang sama pula
majulah wakil-wakil dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai.
Melihat
perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa kali dia
memandang ke atas seolah-olah mengharapkan ketuanya turun tangan. Tak lama
kemudian terdengar suara Ketua Thian-liong-pang.
“Wi
Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?”
Dengan
suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya partai yang
menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab, “Dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai,
Bu-tong-pai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai, semua enam partai!”
Tiba-tiba
pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang. “Hanya enam partai
saja? Ataukah masih ada lagi? Harap Cu-wi yang ingin mencoba kepandaianku,
tidak malu-malu, nyatakan saja terus terang!”
Setelah
tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata, “Para wakil dari enam partai yang
minta pertanggungan jawab, persilakan maju!”
Dari
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan seorang
tosu, dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang suhengnya, murid dari
ayahnya, sedangkan dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai,
masing-masing maju tiga orang wakil yang merupakan murid-murid kepala.
Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia merasa malu hati dan tidak enak kalau
sebagai ketua dia harus maju sendiri. Dengan demikian, wakil dari enam partai
itu berjumlah tiga belas orang, murid-murid kepala dari partai-partai yang
tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
“Bagus!
Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan jawabku, ada tiga
belas orang telah berkumpul. Dan untuk membuktikan bahwa aku sebagai calon
Bengcu mempunyai tanggung jawab dan kepandaian untuk memimpin Cu-wi sekalian,
aku akan menghadapi Cu-wi sekaligus. Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!”
Setelah berkata demikian tampak tubuh wanita berkerudung itu melayang dari
atas pondok yang tinggi itu bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke
arah tiga belas orang itu.
Mereka
ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka mencabut
senjata mereka. Namun Nirahai tidak menghunus pedangnya yang masih tergantung
di punggungnya, tubuhnya terus meluncur dan bagaikan seekor burung walet
menyambar ke arah mereka. Tiga belas orang itu menggerakkan senjata masing-masing
menyambut bayangan tubuh yang menyambar-nyambar itu, demikian cepat gerakan
wanita ini sehingga sukar diikuti pandangan mata. Tampak bayangan tubuhnya
berkelebat di antara sinar senjata itu dan terdengarlah bunyi berkerontangan,
senjata-senjata terpental dan ketiga belas orang mengeluarkan teriakan kaget
disusul robohnya tubuh mereka seorang demi seorang, cepat sekali sampai
ketiga belas orang itu semua terpelanting roboh! Dan tubuh wanita berkerudung
itu berdiri di tengah tengah, antara mereka yang roboh ke kanan kiri, ada yang
terlentang, ada yang menelungkup, ada yang miring.
Tiga
belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang menyaksikan
kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan
tangan kosong, wanita berkerudung itu benar-benar telah mengalahkan mereka dan
hebatnya mereka tidak terluka hebat, hanya roboh oleh dorongan-dorongan tenaga
sin-kang yang amat kuat dan didahului kecepatan yang tidak tampak oleh mata
mereka! Ang Siok Bi yang tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik
kini bangkit bersama yang lain-lain, memandang wanita berkerudung itu dengan
muka pucat dan diam-diam mereka semua mengakui bahwa kalau wanita itu menghendaki,
kalau wanita itu menggunakan senjata atau melakukan pukulan yang berat, tentu
mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!
“Nah,
Cu-wi sudah menyaksikan bahwa aku telah berani mempertanggungjawabkan semua
perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang. Ketahuilah bahwa semua tokoh
yang pernah menjadi tamu kami, tidak ada yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa
penasaran? Sekarang, menggunakan kesempatan ini, aku mengajak siapa saja di
antara Cu-wi yang masih penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali
kutujukan kepada Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!”
Tantangan
ini tidak ada yang berani menjawab, dan mereka semua saling pandang, mencari
ke kanan kiri mengharapkan munculnya dua jago yang selama ini namanya
menggemparkan dunia kang-ouw, yaitu Ketua Pulau Neraka yang tak pernah ada yang
melihatnya, dan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Namun, tidak tampak
mata hidung kedua orang tokoh itu, bahkan tidak tampak seorang pun tokoh dari
kedua pulau itu. Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona,
menyaksikan kelihaian Ketua Thian-liong-pang, sedangkan tiga belas orang yang
kalah tadi mengambil senjata masing-masing dan kembali ke kelompok mereka,
tidak ada yang berani melawan lagi karena masing-masing maklum bahwa mereka
bukanlah tandingan wanita berkerudung yang hebat bukan main itu.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa dari rombongan orang yang tak dikenal Nirahai yaitu
rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya. “Ha-ha-ha! Pulau Es
sudah terbasmi, sedangkan Pulau Neraka pun penghuninya sudah melarikan diri
semua, bukankah Ketua Thian-liong-pang sama dengan menantang angin kosong?”
Lima
belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun. Mereka terdiri
dari panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan yang setelah tiba di
situ sekarang berkumpul menjadi sekelompok. Hati mereka besar dan mereka berani
bicara karena mengandalkan pasukan yang berada di sekeliling tempat itu. Pula,
mereka sengaja mengeluarkan kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing
keluarnya toKoh-tokoh mereka seperti yang dikehendaki oleh Koksu.
Nirahai
memutar tubuhnya menghadapi rombongan itu, kemudian sekali kakinya tampak
bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata di balik kerudung itu
menyambar-nyambar tajam,
“Kalian
siapakah? Dari golongan dan partai apa?” tanyanya tiba-tiba, suaranya dingin.
Seorang
di antara mereka yang tinggi besar dan brewok, agaknya merasa tidak senang
menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia menjawab sambil
mengangkat dada, suaranya tegas dan nyaring, “Kami adalah orang-orang kang-ouw
perantau yang tertarik mendengar pertemuan ini dan ingin melihat-lihat. Apakah
hal ini dilarang?”
“Hemmm!
Memang undangan kami ditujukan kepada semua orang kang-ouw, tentu saja tidak
ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian telah berani menghina
Pulau Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki kepandaian yang lebih
tinggi daripada mereka! Aku akan suka sekali mencoba dan melayani kepandaian
kalian yang telah berani bicara besar di sini.”
Lima
belas orang itu adalah panglima-panglima yang biasanya membagi perintah dan
dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi sikap Ketua
Thian-liong-pang, mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa mereka diperlakukan
seperti itu oleh siapapun juga!
“Heiii!
Thian-liong-pangcu! Kalau kami menghina Pulau Es dan Pulau Neraka, apa
hubungannya itu dengan Thian-liong-pang? Mereka adalah pemberontak-pemberontak
yang berani melawan pemerintah, maka dihancurkan dan dibasmi! Kami rasa
Thian-liong-pang tidaklah seperti iblis-iblis Pulau Neraka dan....
augghhhh....!”
Tiga
orang di antara rombongan itu yang berdiri paling depan, roboh dan tewas
seketika, terkena sambaran sinar hitam yang tiba-tiba saja melayang ke arah si
pembicara dan dua orang temannya.
“Thian-liong-pangcu!
Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?”
Tiba-tiba
terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah berada di situ!
Nirahai
cepat membalikkan tubuh dan “srattt!” Dia telah mencabut pedangnya, akan
tetapi dia tidak memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah
yang bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga
orang tadi adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambitkan dengan tenaga
dahsyat sekali! Tanpa menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia berkata,
“Thian
Tok Lama, kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang sengaja kaukirim
untuk melakukan penyelidikan?” Suaranya dingin sekali akan tetapi matanya
masih ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh.
Thian
Tok Lama terkejut bukan main. Benar-benar seorang yang aneh sekali Ketua
Thian-liong-pang ini, selain kepandaiannya tinggi, ternyata begitu bertemu
telah mengenalnya!
“Benar!”
jawabnya. “Akan tetapi mereka dan kami bertugas untuk menyelidiki orang-orang
Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang ke sini. Kiranya tiga orang
penyelidik kami malah kau bunuh!”
Tiba-tiba
terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah seperti meletus dan
tampak debu dan uap mengepul tinggi. Tanah itu terbuka dan tampak.... sebuah
peti mati yang perlahan-lahan terbuka dan dari dalam peti mati itu bangkit
sesosok mayat yang seperti baru saja hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua
renta, berkepala botak, bertubuh kurus dan dalam keadaan.... telanjang bulat!
Mukanya pucat, persis muka mayat yang tidak mempunyai darah sama sekali.
Jangankan
para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri, bahkan Thian Tok
Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan mata terbelalak.
“Mayat
hidup” itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti bayi, lalu
meloncat keluar dari dalam peti mati. “Uhk-uhk-uhk.... anak-anak kecil berani
menghina Pulau Neraka. Akulah orang Pulau Neraka dan yang membunuh,
heh-heh.... maleh semua yang berani menghina akan kubunuh.” Tiba-tiba saja,
mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu “terbang” ke arah rombongan
panglima yang tinggal sepuluh orang lagi. Kelihatannya seperti terbang karena
gerakannya luar biasa sekali cepatnya, seolah-olah kedua kakinya tidak
menginjak tanah. Melihat gin-kang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai terbelalak,
dan Thian Tok Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Tibet karena dia
menyangka bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang muncul dari bawah
tanah!
Bukan
main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah merangkul
empat orang panglima. Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai dan....
dijambaknya rambut kepala mereka itu seorang demi seorang, diputarnya dan
ditarik sehingga.... kepala itu coplok, lehernya putus, darah menyembur keluar.
Tiga orang lainnya hanya melongo dan pucat, seolah-olah tak mampu bergerak
dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga seorang demi seorang putuslah
lehernya. Mayat mereka dilempar-lemparkan oleh Si Mayat Hidup yang sudah
bergerak maju lagi ke arah sisa para panglima. Enam orang panglima sudah
mendapatkan kembali kesadarannya, maklum akan datangnya bahaya mengancam, maka
mereka itu sudah menghunus pedang atau golok masing-masing. Melihat Si Mayat
Hidup menerjang maju, mereka membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali
tidak mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan.
“Tak-tok....
bak-buk....!” Senjata-senjata itu mengenai tubuh, akan tetapi semua terpental
seperti mengenai tubuh dari karet yang ulat, kenyal dan keras! Dan kembali
empat orang telah dirangkul, “dicopot” kepala mereka dari badan dan mayat
mereka dilemparkan. Darah membanjir ke mana-mana, dan tubuh serta muka kakek
itu telah berlumuran darah segar! Melihat ini, dua orang panglima sisa yang
sepuluh orang tadi, membuang senjata mereka dan hendak lari.
“Heh-heh,
anak-anak nakal, hendak lari ke mana? Ke sinilah bersama Kakek!” Mayat hidup
itu berkata, dan tangan kanannya menggapai ke arah dua orang panglima yang
sedang lari dan.... sungguh aneh, kedua orang itu biarpun kelihatan masih
menggerakkan kedua kaki untuk lari, namun mereka bukannya maju ke depan
melainkan.... mundur ke belakang seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan
membetotnya ke arah mayat hidup itu!
Akan
tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama sudah meloncat
ke depan dan sudah memasang kuda-kuda setengah berjongkok, perutnya berbunyi
dan tangan kanannya berubah biru. Kemudian, dengan pengerahan tenaga sin-kang,
dia memukul ke arah punggung mayat hidup itu.
“Dessss!”
Mayat hidup itu terlempar sampai tiga meter, akan tetapi tidak roboh dan
membalikkan tubuh, mulutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama terkejut
bukan main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya terlempar, akan
tetapi tenaganya tidak dapat menembus tubuh itu!
“Heh-heh-heh!”
Mayat hidup itu melihat awan hitam yang keluar dari tangan Thian Tok Lama
yang memukul tadi. “Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang? Eh, Gundul, kepandaianmu
lumayan juga!”
Tiba-tiba
tampak bayangan berkelebat dan tubuh Nirahai telah berhadapan dengan mayat
hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya. “Orang tua, benarkah
engkau dari Pulau Neraka? Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?” Bertanya
demikian, Nirahai mengkirik ngeri, bukan karena gentar menyaksikan kelihaian
mayat hidup itu, melainkan dia merasa jijik berhadapan dengan seorang laki-laki
yang telanjang bulat, biarpun laki-laki itu seorang kakek.
Mayat
hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya seolah-olah pukulan
dahsyat tadi hanya menimbulkan rasa gatal. “Banyak orang pandai sekarang! Aku
bukan ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang yang paling tua di Pulau Neraka.
Aku adalah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)!”
“Cui-beng
Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu menantangmu untuk mengadu kepandaian. Jagalah
seranganku!” Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya,
menusuk ke arah dada mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika
melihat bahwa mayat hidup yang kini dia percaya adalah seorang kakek yang
masih hidup itu sama sekali tidak mengelak.
“Crokkk!”
Pedang yang mengenai dada itu menempel dan tidak dapat menancap, dan tangan
kakek itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai. Gerakannya
cepat dan aneh sekali.
“Aihhhh!”
Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping, kemudian mengirim
serangan lagi, memilih bagian yang lemah, yaitu leher kakek itu. Kembali Si
Kakek Aneh tidak menangkis, membiarkan pedang membacok lehernya sambil
tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!
“Plakk!”
Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir saja lambung
Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat mengelak dengan gerakan
yang amat cepat.
“Hayaaaa....!
Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!” Kakek itu terkekeh memuji.
Tiba-tiba
terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji Kun telah datang
menyerbu! Dari teropongnya Bhong Ji Kun menyaksikan betapa orang-orangnya
tewas secara mengerikan. Maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat, dia
lalu mengerahkan pasukannya menyerbu, sedangkan dia sendiri bersama Maharya
lari mendahului untuk membantu Thian Tok Lama yang sudah ia suruh turun
terlebih dahulu tadi.
Melihat
ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam pertentangan dengan
pemerintah, lalu mengundurkan diri dan pergi dari tempat itu. Adapun para anak
buah Thian-liong-pang yang mengira bahwa pasukan-pasukan itu hendak menyerbu
mereka, sudah menyambut dan terjadilah perang tanding di mana banyak sekali
pasukan roboh dan tewas menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai
itu.
“Dia
telah membunuh orang-orang kita!” Thian Tok Lama menuding ke arah kakek
telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai. Untung bahwa Ketua
Thian-liong-pang ini memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga
cengkeraman-cengkeraman dan pukulan-pukulan Cui-beng Koai-ong selalu mengenai
angin kosong belaka, akan tetapi semua bacokan Nirahai tiada gunanya, tidak
dapat melukai tubuh kurus kering yang kebal itu. Nirahai menjadi makin
penasaran dan tidak mau mengalah begitu saja. Kini pedangnya berubah menjadi
sinar yang bergulung-gulung, sebagian melindungi tubuhnya, sebagian lagi
melakukan serangan-serangan kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata
kakek telanjang.
“Heeehhh, kau lihai....!” Cui-beng
Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus menangkis sinar pedang yang bergulung-gulung
itu dengan kedua tangannya. Betapapun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih
mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin matanya dicokel keluar
oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji yang
menyembunyikan kemarahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin berdesir-desir
menyambar keluar dari kedua tangannya.
Nirahai
diam-diam terkejut dan harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini
dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian seperti kakek itu.
Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan gin-kangnya untuk selalu
menghindarkan diri, mengerahkan sin-kangnya untuk melawan sambaran angin
pukulan dahsyat itu.
Ketika
Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah seorang
dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang
maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong! Bhong Ji Kun menggunakan pecutnya yang
menyambar-nyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan
kaki kakek telanjang dengan ujung pecut. Maharya sudah mengeluarkan senjata
bulan sabitnya dan menyerang hebat, meniru taktik Nirahai menyerang ke arah
kedua mata, sedangkan Thian Tok Lama tetap mempergunakan Ilmu Pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang yang biarpun tidak dapat melukai lawan, namun sedikitnya
pukulan ini dapat membuat lawan terlempar. Dan setelah dia mengerahkan
pukulan-pukulannya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata tidak berani
sembarangan menerimaa pukulan ampuh itu.
Dikeroyok
empat orang yang demikian saktinya, betapapun lihai, Cui-beng Koai-ong
kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa, “Heh-heh-heh, banyak orang
hebat!”
Maharya
menyaksikan kehebatan kakek telanjang itu, menjadi penasaran dan ia membentak,
“Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!”
“Heh-heh,
kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!” Cui-beng Koai-ong
dengan berani memandang muka dan menentang mata Maharya.
“Engkau
merasa kakimu lumpuh, rebahlah!”
“Heh-heh-heh,
otakmu miring, ya?”
Maharya
kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama sekali tidak
mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihirnya
membalik, seolah-olah terbentur pada benteng yang aneh dan kuat!
Cui-beng
Koai-ong terdesak hebat, dan anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja sama
dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, adalah orang-orang
Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipimpin oleh para
panglima! Betapapun lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang
pasukan itu, mereka mandi keringat dan terdesak.
Tiba-tiba
dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja
gerakan dara ini dan sebentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua
orang panglima roboh oleh sambaran pedangnya. Pertandingan makin hebat dan
kacau balau.
“Aku
ikut....! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!”
Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna
kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nereka
yang suka merantau. Begitu masuk, dia lelu secara ngawur menerjang, membantu
twa-suhengnya dan disambut oleh Thian Tok Lama.
Pendeta
Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute deri mayat hidup tentu lihai
sekali, maka datang-datang, dia memapakinya dengan pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!
“Wah
berbahaya....” Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilma
memindahkan tenaga, sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olsh
memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemiliknya sendiri,
ditambah tenaganya sendiri.
“Omitohud....!”
Thian Tok Lama sempat menarik kembali tangannya dan mencelat mundur, kalau
tidak tentu lengannya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya
sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini. Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa,
akan tetapi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan
pukulan. Memang tingkatnya maaih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena
kakek ini memang mempunysi banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahankan
dirinya.
“Wah-wah-wah,
ada pesta besar! Sam-te engkau tidak akan menang melawan Si Gundul itu. Berikan
kepadaku!” Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti muka
Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok
Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang. Melihat
ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek
ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan tetapi
mukanya selalu tertawa, matanya lebar sekali dan rambutnya riap-riapan.
“Tua
bangka gila, engkau siapa?” Maharya membentak sambil melintangkan senjatanya
bulan sabit.
“Ha-ha-ha!
Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa engkau
jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauw-jin
(Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!” Kakek itu
tertawa-tawa. Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini
muncul, seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup,
dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Ilmu
kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan twa-suhengnya sendiri
segan menghadapi sutenya ini yang biarpun tingkatnya masih kalah sedikit, namun
ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya. Sifatnya
seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetepi dia jauh lebih lihai!
Kini
pasukan pemerintah mulai mengeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka
yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biarpun pasukan itu
seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka,
namun jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang
sutenya kewalahan juga, apalagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang
sembarangan. Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun,
keadaan mereka seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang
lebih lihai, sedangkan Bu-tek Siauw-jin mendapat lswan yang tangguh dalam dari
Maharya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja
mereka menjadi repot juga!
“Aihhh,
Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar? Sucouw nakal
sekali, tidak menurut omongan teecu!” Tiba-tiba berkelebat bayangan oreng dan
muncullah seorang pemuda tampan.
Melihat
munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan menuju ke medan
pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang perajurit segera
mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus seolah-olah tidak melihat
atau tidak mempedulikan mereka, matanya tetap memandang ke arah Cui-beng
Koai-ong yang sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong
Ji Kun.
Menyaksikan
sikap yang angkuh ini, para perajurit menjadi marah dan berbareng mereka
menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan
senjata, menyerangnya dari enam penjuru.
“Singggg....
sratttt!” Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan.... enam orang itu
dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi sinar kilat tadi.
Kini tampak pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong,
memasukkan kembali pedangnya yang bersinar kilat, melanjutkan langkah
seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Para perajurit lalnnya memandang
dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan tetapi juga gentar!
Pada
saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil
memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Neraka yang bermuka
kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biarpun dia masih tertawa-tawa,
sekali ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan
ilmu memindahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang sehingga
tubuhnya terpental, bergulingan dan dari mulutnya terpancar darah segar.
“Eh,
Sam-te, kau terluka?” Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini meloncat dekat,
menghampiri dan tidak mempedulikan lagi Maharya yang mengejarnya.
“Heh-heh-heh,
ji-suheng, aku.... aku pamit.... mendahuluimu....” Kwi-bun Lomo
terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
“Wuuuttt!”
Senjata bulan sabit di tangan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek
Siauw-jin menggulingkan diri mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan
Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.
“Wah,
kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melanjutkan hukuman di
dunia, ya?”
“Heh-heh,
Ji-suheng. Kau.... kau pesan apa....?”
“Pesan
tempat! Kaupesankan untukku satu tempat yang baik, ya?” Kembali Bu-tek
Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang
membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.
“Di
dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh.... akan kupesankan untukmu,
Ji-suheng.... dekat aku...., heh-heh....” Dan terputuslah kata-kata kakek muka
kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.
“Aihhhh....
Sam-sute, jangan lupa lho....!” Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi,
marah bukan main melihat betapa lawannya melayaninya sambil omong-omong
seenaknya dengan orang lain yang mau mati!
“Siuuuutttt....
wessss....!” Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan
ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak
ketika menyentuh tanah di dekat Maharya! Maharya sudah cepat meloncat, akan
tetapi betisnya masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah.
Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah
Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk putih, kemudian meledakkan senjata rahasia
dan.... jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau
sangit yang memenuhi tempat pertandingan itu.
“Sucouw,
mari kita pergi saja!” Pemuda tampan itu kini sudah berada dekat suhunya yang
masih dikeroyok dua.
“Aihhhh!
Orang baru enak-enak bercanda, kauganggu saja!” Kakek telanjang itu mengomel.
Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, putera Majikan
Pulau Neraka yang menjadi muridnya, telah menyambar tangannya kemudian
mengajak suhunya melompat jauh. Nirahai dan Bhong Ji Kun hendak mengejar,
akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan.... asap
hitam membubung tinggi, membentuk tirai yang gelap dan mengeluarkan bau yang
memuakkan, terpaksa Nirahai dan Bhong Ji Kun mundur lagi.
“Wah-wah,
keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi....!” Tiba-tiba Bu-tek
Siauw-jin berkata dan dia pun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama
yang sudah mulai mengeroyoknya. Dia ini pun melemparkan benda hitam yang
mengeluarkan asap hitam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan
ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para perajurit
yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak
bernyawa lagi!
Nirahai
tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pulau Neraka
merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya masih bertanding
melawan para perajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok Lama, Maharya dan
Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.
“Bhong-koksu,
hentikan pertempuran ini!” katanya kepada Bhong Ji Kun.
“Hemm,
Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!” jawab Bhong
Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok Lama.
“Bhong
Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!” Tubuh Nirahai melayang ke atas
gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.
“Kalian
jangan ikut!” Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya dan Thian Tok
Lama hendak meloncat naik pula. “Apakah kalian tidak percaya kepadaku!”
Bhong
Ji Kun berkata ke bawah, “Jangan naik, biarkan aku bicara dengan
Thian-liong-pangcu!” Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.
Nirahai
menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka. “Bhong-koksu lihat
siapa aku!”
Bukan
main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik jelita dan
agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata, “Kiranya Paduka Puteri
Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang.”
Nirahai
memasangkan kerudungnya kembali. “Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah
engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak
menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah
menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama
mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan
pasukanmu mundur!”
Maharya
dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk meloncat naik dan
membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka
ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,
“Semua
pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!”
Juga
Nirahai muncul dan melengking nyaring. “Wi Siang, hentikan pertempuran!”
Teriakan-teriakan
ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang bertanding, dan
seketika mereka masing-masing kedua pihak mundur dan menghentikan pertandingan.
Milana yang maklum bahwa ibunya tentu tidak menghendaki pertempuran melawan
pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memimpin orang-orangnye mundur dan
mengelilingi gubuk. Adapun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa
panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada
wanita berkerudung, menjura dan berkata,
“Thian-liong-pangcu!
Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!”
Nirahai
mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan
meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari
tempat itu.
“Kiang-lopek,
ke sinilah, kuobati lukamu!” kata Nirahai setelah melompat turun dan melihat
betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh
tinggi besar seperti raksasa, telah buntung. Raksasa ini dalam pertempuran
tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam
sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!
“Hemm,
engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek.” Nirahai memuji sambil
menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu. “Jangan khawatir,
buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sendiri akan
menurunkan ilmu kepadamu.”
Maka
pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat mereka,
benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam
menjadi seorang yang lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung, bahkan
ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai
daripada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya Tang Wi Siang saja yang masih
dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan
dengan Milana.
Padang
tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di sekeliling pondok
yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini
basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!
Menjelang
senja, seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan memasuki padang
tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan
dan bersamadhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari
Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu
sesak lagi, Bun Beng bangkit. Hari telah menjadi sore dan tiba-tiba dia melihat
beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan.
Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat
ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan
tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak
mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas.
“Hemm,
agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang
patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan.
Tenanglah, dan bahwa aku turun ke sana.” Dia lalu menunggang kuda itu menuruni
lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor
kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan
binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan.
Dapat
dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke
tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat
manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw. Itulah mayat-mayat para
mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang
putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali. Dan
banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tihang gubuk, akan
tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara. Tempat itu menjadi
tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng
lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat,
melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat
itu yang masih ada darah segarnya!
Bung
Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang.
Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah memandang
mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu
sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi,
kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya. Mayat-mayat manusia yang
mati secara sia-sia setelah menjadi mayat pun masih tersia-sia. Haruskah
manusia saling bunuh seperti ini? Kembali dia menarik napas panjang, lalu
turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian
digalinya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima
buah mayat selubang, tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk
mayat yang telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa
mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek jenaka dari
Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-layang raksasa
sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng
menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar!
Dia lalu mengubur pula arang bekas mayat itu. Sampai jauh malam barulah
selesai dia menguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan
meninggalkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak
terhadap ulah para manusia yang haus darah. Dia mengerti bahwa mereka yang
menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur
karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan
perintah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya
itu, Koksu dan kaki tangannya dan.... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga!
Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apalagi kalau dia teringat
kepada Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti,
terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela napas
dan menepuk-nepuk punggung kudanya.
“Kuda,
engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang
berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan manusia, mahluk yang
merasa diri paling suci itu?”
Kuda
itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan penuh
perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil
berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.
***
Kwi
Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi
pantai utara, menanti kedatangan Pendekar Super Sakti sampai beberapa
lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Mereka menjadi prihatin
sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di
bawahnya terdapat guha itu merupakan tempat persembunyian yang baik. Pula di
atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan sayur-sayuran dan
buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke daratan untuk
mendapatkan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan daging
mereka tidak kekurangan karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di
hutan terdapat binatang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin
hanya menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk naik ke daratan mencari
kebutuhan mereka dengan pesan keras agar jangan sampai ada orang tahu tentang
keadaan mereka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.
Yang
paling menderita batinnya adalah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak betah lagi
tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu
Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau
dalam keadaan seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di
situ.
Untuk
melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari
ikan atau berburu binatang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia
mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai
dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan
minggir. Setelah dekat, tampak olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti
persegi panjang, diikat dengan tali. Sebagian tali terlepas dan terseret peti
yang terbawa ombak. Kwi Hong cepat lari menghampiri ketika peti terbawa sampai
ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai
dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Dia
menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat. Memang cukup
berat dan diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam
peti. Agaknya angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh ke laut,
kemudian oleh ombak terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus
peti itu ke atas pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya.
Dengan
hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya
penutup itu. Dengan pengerahan tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup
rapat itu.
“Braaaakkkk....!”
Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak
sabar lagi.
“Haiiiihhhh....!”
Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, otomatis kedua
tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya terbelalak
memandang ke dalam peti. Biarpun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak
takut menghadapi setan sekalipun, namun sekali ini dia benar-benar terkejut
dan ngeri karena tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah....
mayat! Hati siapa takkan terkejut membuka peti yang dikira berisi barang berharga,
ternyata terisi mayat seorang kakek tua yang pakaiannya masih baru akan tetapi
potongannya tidak karuan itu?
“Iihhh....
hiiihhhh....!” Kwi Hong menjerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar,
kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya
akan pandang matanya sendiri.
Mayat
itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam itu
bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak bergigi itu
menyeringai dan tertawa.
“Heh-heh-heh-heh-heh!”
Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!
Setelah
kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah mahluk hidup, bukan mayat yang
hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberaniannya timbul kembali.
Ia segera memandang penuh perhatian dan mendapat kenyataan bahwa biarpun
kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya,
bertubuh tinggi kurus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu
tuanya sampai tidak berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat
dan matanya mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah
kabur membuat mata itu seperti berwarna putih semua.Kakek tua renta yang
seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong, tokoh utama dan
pertama dari Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri saja! Barulah
sesudah tanpa disengaja dia bertemu dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya
di Pulau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai
mau berkenalan lagi dengan dunia ramai, bahkan dengan dunia kang-ouw.
Akan
tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang
aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat
pertapaan yang paling digemarinya adalah di dalam peti-peti mati bekas mayat
yang sudah tua sekali sehingga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur
bersama kerangka-kerangka manusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia
membuat geger dengan kelakuannya yang tidak lumrah manusia! Dia ternyata amat
sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang menjadi muridnya itu saja
yang dapat menguasainya dengan bujukan-bujukan bahkan kadang-kadang dengan
teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi anak kecil. Ketika mendengar
dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia persilatan yang
diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng
In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin
kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin memikirkan Pulau Neraka yang
dibumihanguskan oleh pasukan-pasukan pemerintah. Akan tetapi kakek itu nekat
dan muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di
dalam peti mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbulkan
geger! Anehnya, kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara
luar biasa muncul pula dua orang sutenya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu
yang mengakibatkan tewasnya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi
gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah
dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap kembali
tanpa pamit!
Demikianlah,
secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan Kwi
Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya
dia lupa akan penuturan muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumihanguskan oleh
pasukan pemerintah. Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu
ketiduran di dalam petinya sehingga peti yang merupakan perahu, dan tempat
tidur itu, terbawa ombak sampai minggir dan secara kebetulan saja dia bertemu
dengan Kwi Hong.
“Heh-heh-ha-ha-ha,bocah kurang
ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau agaknya minta dihajar!” Cui-beng
Koai-ong yang sudah berdiri di depan Kwi Hong menegur dan biarpun dari
kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mulutnya
yang tak bergigi lagi itu cemberut, dan kedua kakinya bergantian dibanting-banting
ke atas pasir seperti seorang anak kecil kalau marah dan kecewa.
Kwi
Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan
kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu
bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata,
“Mohon
maaf sebanyaknya, Locianpwe. Karena tidak tahu maka saya berani mengganggu,
tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu....”
“Hayo
berlutut dan mengaku kakekmu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau
mengampunimu!” Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek
itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu
diambil murid dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa. Akan tetapi Kwi Hong
adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar
Siluman yang terkenal tentu saja dia tidak sudi mengaku kakek itu sebagai
sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari
pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontarkan
kepada nama besar Pendekar Super Sakti.
“Locianpwe,”
jawabnya dengan suara dingin, “saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya
sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Locianpwe tidak
menuntut yang terlalu berat. Locianpwe bukan sucouw saya, tidak mugkin saya
mau mengakui Locianpwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak
pekerjaan!” Setelah berkata demikian, Kwi Hong membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi meninggalkan kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya itu.
“Heeiiiihh!
Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai
Sucouw!”
Kwi
Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima
enam langkah, setelah meninggalkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya,
tiba-tiba tubuhnya terhenti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan,
seolah-olah ada tenaga mujijat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi,
tenaga mujijat itu menyedot dan menahannya dari belakang!
Dia
menjadi penasaran, dikerahkannya sin-kangnya dan dia memaksa diri melangkah ke
depan. Kakinya dapat digerakkan, namun langkahnya tetap di tempat, sama
sekali tidak dapat maju sejengkal pun!
“Heh-heh-heh,
anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo
kembali ke sini!”
Makin
kagetlah Kwi Hong ketika tubuhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat
dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan, hampir terjengkang. Cepat ia
membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan
kiri, dari mana menyambar tenaga yang dahsyat, yang menariknya, maklumlah dia
bahwa dia berhadapan dengan orang yang memillki ilmu kepandaian luar biasa dan
yang tidak berniat baik terhadap dirinya. Dia merasa menyesal sekali mengapa
dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai,
dia harus melawan dengan mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di
tangannya, tentu dia akan dapat melawan lebih baik. Betapapun juga, melihat
betapa kakek itu menyeringai mengerikan dan tubuhnya seperti terbetot ke
depan, Kwi Hong membentak marah,
“Kiranya
engkau iblis yang jahat!” Dia lalu meloncat ke depan dan memukul dengan tenaga
Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh
dari gadis perkasa ini.
“Cieeettt....
bukkk....!” Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bangkit lagi sambil
menggigil.
“Ihhh,
dingin....! Eh, apakah kau dari Pulau Es?” tanyanya.
Kwi
Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah
mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Namun kakek itu hanya terpental, dan
cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari
suaranya dapat ia ketahui bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar
pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar
biasa itu menjadi takut.
“Benar!
Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es.
Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin
marah Pamanku!”
Kakek
itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti
mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menyeringai dan dari
kerongkongannya keluar suara terkekeh, akan tetapi biji matanya yang putih,
wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!
“Heh-heh-hah-hah-hah!
Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan sekali. Sudah lama aku rindu
untuk mengadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan muridnya,
dapat kuukur sampai di mana kehebatannya!” setelah berkata demikian, kakek itu
menyerang!
Serangannya
amat luar biasa, tubuhnya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat ke
arah Kwi Hong, kaki tangannya bergerak kacau akan tetapi tahu-tahu kedua tangan
yang jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim lima kali totokan secara
bertubi-tubi. Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut
yang meloncat, atau semacam ulat yang kalau hendak meloncat selalu menekuk dan
mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia menggerakkan
tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapapun
cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok dan tubuhnya menjadi iemas
lumpuh.
“Heh-heh-heh!
Tidak seberapa!” Kakek yang mengerikan itu terkekeh, tangannya bergerak lagi
ke arah pundak dan totokannya buyar. Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri
hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah
berhasil menotoknya lalu membebaskan totokan itu agar dia dapat melawan lagi.
Perasaan ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia
menjadi penasaran dan biarpun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia
mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan
serangan cepat, mengunakan i1mu silat yang ia pelajari dara pamannya, semacam
ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi tentu saja
tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang aseli karena ilmu mujijat itu hanya dapat
dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebuah. Pendekar
Super Sakti telah mencipta sebuah ilmu silat yang dasarnya memakai ilmu itu,
akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki
dua. Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sana ke mari dan
pukulan kedua tangannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan
kadang-kadang dirobah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.
“Hebat....
hebat.... eh, ilmu apa ini?” Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari
dan kadang-kadang memberi komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu, “Eh,
panas.... Hwi-yang Sin-ciang, ya? Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang!
Ha-ha, akan tetapi bukan apa-apa bagiku!”
“Plak!
Plak!” Ketika Kwi Hong memukul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi
tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang
dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong
menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya dan.... Kwi Hong merasa
betapa kedua telapak tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat
terlepas lagi seperti tersedot oleh hawa yang mujijat. Tubuhnya masih berada
di udara, kedua kaki ke atas dan kedua tangannya tersangga oleh kedua tangan
Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!
“Heh-heh-heh!”
Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangannya, tubuh Kwi Hong
terlempar jauh ke atas dan ke belakang. Untung bahwa dara ini memiliki
gin-kang yang sudah cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh
ke atas tanah dengan kedua kaki yang ditekuk lututnya terlebih dulu, tidak
sampai terbanting. Kwi Hong melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia
akan celaka. Lebih baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau
minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia menggunakan pedang itu dan
dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu
membalikkan tubuhnya dan lari!
“Eiiiiiittt!
Baru enak-enaknya bertanding mau pergi ke mana?”
Kembali
Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biarpun kedua
kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia
dan kakek itu ada tujuh meter jauhnya! Bulu tengkuknya berdiri, ini tidak
lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian manusia!
Tiba-tiba
terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh.
Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka
yang datang, dia lebih celaka lagi! Dikerahkannya tenaga sin-kangnya, namun
tetap saja tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh girang
mempermainkan dara itu.
Burung
rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun
seorang laki-laki berkaki buntung sebelah. Pendekar Super Sakti Suma Han!
Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanannya didorongkan ke
depan di antara keponakannya dan kakek itu. Serangkum tenaga dahsyat
menyambar, dan “terputuslah” tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong.
Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke
depan dan nyaris hidungnya yang kecil mancung itu mencium tanah kalau saja
dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan bahunya yang terbanting, lalu
bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor, akan tetapi kulit tubuhnya
tidak sampai terluka. Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia
melihat pamannya telah berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah
burung rajawali yang kini bertengger di batu karang dan kelihatan tenang-tenang
saja. Pamannyalah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!
Suma
Han berdiri dengan kaki tunggalnya, bersandar tongkat dan memandang kakek
kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun memandang dan
agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan
meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebetah sampai ke rambut kepalanya
yang putih berkilau seperti benang-benang perak itu.
“Kau....
kau.... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es....?” Kakek itu bertanya,
suaranya agak gemetar!
Suma
Han mengangguk, masih tidak menjawab dan sedang meneliti kakek di depannya.
Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka
yang pucat tak berdarah, dan sukar sekali menaksir usia kakek ini, tentu
lebih dari seratus tahun! Juga kulit pembungkus tulang tanpa daging itu
kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang ini memiliki kekebalan yang
tidak lumrah dimiliki manusia, maka dia bersikap hati-hati. Betapa herannya
ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan
diri berlutut!
“Sebelumnya
hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es bahwa
hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!”
Suma
Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut kepalanya,
kemudian terdengar dia bertanya dengan suara halus dan hormat,
“Locianpwe
siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?”
Tiba-tiba
kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata, “Aku sudah memenuhi sumpah dan
kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka sudah minta maaf. Sekarang,
karena kita bertemu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang
pelarian, ha-ha-ha!”
“Locianpwe
dari Pulau Neraka?” Suma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia
merasa heran sekali. “Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?”
“Ketua
Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka,
ha-ha-ha! Kamilah yang sebetulnya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua,
aku Cui-beng Koai-ong dan Suteku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita
itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?”
Suma
Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu. “Mengapa
Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?”
“Engkau
tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman, karena dia itu
adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biarkan saja! Kami
senenek moyang kami telah disumpah untuk menjadi orang buangan dari Pulau Es,
tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku
menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana,
bagaimana mungkin? Maka kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua,
karena dialah merupakan umpan agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau
Es. Sayang, ketika kau berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Suteku sedang
pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau
Neraka, kita
sama-sama tidak berpulau,
sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar
Siluman, hayo kita mengadu ilmu di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah
ratusan tahun itu kita selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus
membayarnya!”
“Nanti
dulu, Locianpwe! Setelah Pulau Neraka dibumihanguskan oleh pasukan pemerintah,
lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?” Suma Han masih khawatir
akan nasib Lulu yang dicintanya.
“Dia?
Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh
dia, akan tetapi mengingat bahwa puteranya menjadi muridku, maka.... eh,
sudahlah, banyak ngobrol. Hayo kaukalahkan aku!” Berkata demikian, kakek itu
sudah menerjang maju dengan gerakan aneh namun ganas dan dahsyat sekali ke
depan, Suma Han mencelat ke atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena
hantaman kakek itu debu mengepul menandakan betapa hebatnya pukulan tadi.
“Kwi
Hong, pergilah, tempat ini berbahaya untukmu!” Suma Han berkata ketika melihat
keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya. Mendengar kata-kata
yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak
menyaksikan pamannya yang sudah bertanding dengan kakek itu. Matanya menjadi
silau dan pandang matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan
Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus
membantu, akan tetapi benar kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar
nyawa saja, dan sama sekali tidak akan menguntungkan pamannya. Li-mo-kiam,
sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini, Kwi Hong lalu meninggalkan
tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma Han menjadi agak lega
hatinya. Lawannya ini berbahaya sekali, biarlah andaikata dia sendiri yang
menjadi korban. Namun, dia kecewa juga melihat betapa keponakannya itu lari
seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya
ternyata bernyali demikian kecil.
“Desss!”
Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat bertumbukan ketika
Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, keduanya terdorong
mundur sampai lima langkah.
“Heh-heh-heh,
kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan kesaktian Bu
Kek Siansu. Aku masih sanggup menandingimu, ha-ha!” Kakek itu tertawa dan
siap menerjang lagi.
“Locianpwe,
dengarlah dulu. Aku Suma Han biarpun tinggal di Pulau Es dan menjadi pemimpin
di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah keturunan
raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke
Pulau Neraka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng
Koai-ong, akan tetapi perlu apa kita bertanding mati-matian sedangkan kita
mengalami nasib yang sama? Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa,
apakah kita harus saling gempur sendiri?”
“Cukup
banyak bicara! Dendam Pulau Neraka yang turun-temurun harus dilunasi sekarang
juga!” Kakek itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti
terbang, atau seperti sebatang tombak dilontarkan menuju ke tubuh Suma Han.
Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya menjejak tanah dan
tubuhnya sudah mencelat ke atas mengelak. Kakek itu menahan luncurannya, akan
tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah mengirim pukulan derhsyat
yang tidak dapat ditariknya kembali, dan terus hawa pukulan itu menghantam
jauh ke depan.
“Brakkkk!”
Batu karang di mana burung rajawali bertengger itu hancur. Burung itu terbang
dan memekik ketakutan, kemudian hinggap di atas batu karang yang lebih tinggi
lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan.
“Bukan
main.” Suma Han diam-diam memuji, “Kakek ini memiliki kepandaian yang amat
tinggi.”
Ketika
dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang,
Ilmu Soan-hong-lui-kun membuat tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari,
seolah-olah seekor kumbang yang beterbangan di atas setangkai bunga,
berkelebatan mengelak dan dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak
kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan
memuji.
“Bukkk!”
Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia hanya
tergetar saja dan terhuyung, sama sekali tidak terluka, padahal tamparan
Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan sebatang pohon yang
besarnya setubuh manusia!
Suma
Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena dengan Ilmunya
Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandinginya dalam hal
kecepatan, juga dalam hal tenaga sin-kang, keadaan mereka berimbang dan hal ini
dapat diketahuinya ketika mereka tadi mengadu tenaga dan saling terpental ke
belakang. Akan tetapi kakek ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal
inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu,
tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka
dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menyerang dengan tangan,
melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.
Setelah
pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah
serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok kepala kakek
itu. Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek
itu membuat tongkatnya mengenai kepala dan diam-diam Suma Han menyesal karena
sesungguhnya dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya
ini.
“Trakkk!”
Rasa
menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk
tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan tetapi sama sekali
tidak terluka! Bukan main! Kalau kekebalannya itu sudah menjalar sampai ke
kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana dia harus mengalahkan kakek ini.
Satu-satunya jalan baginya hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada
kedua mata kakek itu. Dan dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak
mau terserang matanya yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga
setiap serangan pukulan maupun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat
ditangkis dengan lengan tangannya yang biarpun hanya tulang terbungkus kulit,
namun amat kuat dan kebal itu.
Diam-diam
Suma Han menghela napas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan dapat
menang? Tubuh lawan tak dapat dia lukai, sedangkan dia selalu harus mengelak
dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat
itu, sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama
dia akan dapat bertahan kalau begini?
Di
lain pihak, Cui-beng Koai-ong juga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang
dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat
cepatnya, mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong,
tokoh siluman atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat
mencelat-celat dari bukit ke bukit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar
otaknya karena kecepatan di udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak
memungkinkan dia untuk menyerang dengan tepat.
Tiba-tiba
Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan sebelah kakinya,
kedua lengannya bersedekap dan tongkatnya dikempit. Tiba-tiba dari ubun-ubun
kepala Pendekar Siluman itu keluar bayangan Suma Han yang memegang tongkat dan
bergerak-gerak hendak melawan kakek itu. Sejenak kakek itu melongo, kemudian
terkekeh-kekeh dan tanpa mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma
Han yang masih bersila.
“Aihhhh!”
Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini juga kebal
terhadap kekuatan mujijat! Dia mencoba lagi, mengerahkan pandang matanya dan
membentak,
“Cui-beng
Koai-ong, robohlah!” Dengan tongkatnya ia menuding dan baik dalam sinar mata,
maupun dalam suara dan gerakan tangannya itu terkandung hawa mujijat yang amat
berpengaruh.
“Heh-heh,
nanti dulu. Aku belum kalah mana mau roboh?” jawab kakek itu dan menyerang
terus.
Suma
Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mujijat dalam dirinya, tidak
mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali bertapa di antara
mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia itu, sehingga dia telah memiliki
kekebalan terhadap segala pengaruh batin dan ilmu sihir.
Pertandingan
dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan ilmu-ilmunya yang
tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan, batu-batu karang yang
berdekatan pecah berantakan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tumbang,
mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari jauh, pantasnya ada dua ekor gajah
yang mengamuk dan saling serang itu, bukan seorang kakek yang seperti mayat
hidup dan seorang yang sebelah kakinya buntung.
“Heh-heh,
aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!” Tiba-tiba kakek itu
berkata dan.... dia melempar tubuh ke belakang, kakinya mencelat ke depan dan
menendang bergantian ke arah muka dan pusar Suma Han. Pendekar ini terkejut
sekali, merendahkan tubuh mengelak tendangan ke mukanya dan menangkis dengan
tangan kirinya ke arah kaki yang menendang pusar.
“Desss!”
Tubuh kakek itu terpelanting dan dia bergulingan sambil menyeringai, akan
tetapi ia segera bergulingan dan rebah terlentang! Suma Han menjadi girang
karena maklum bahwa dia menemukan titik kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada
telapak kakinya. Buktinya, kalau bagian tubuh lain amat kebal, telapak kaki
itu ketika bertemu dengan tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan
bahwa telapak kakek itu tidaklah sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah
mencelat ke atas dan melihat kakek itu rebah terlentang, dia segera meluncur
turun dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menggerakkan
kedua tangannya mendorong ke atas.
“Wusss....
bukkk!” Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke atas tanah, akan
tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan main akan ilmu kakek yang
aneh ini. Kiranya dengan tubuh terlentang itu, pukulan Si Kakek menjadi
berlipat ganda kuatnya, seolah-olah kakek itu telah mempergunakan daya tahan
bumi!
Dan
kakek itu tertawa, tetap terlentang. “Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong
berloncatan itu sekarang!”
Suma
Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik sekali.
Kelihaian Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak kaki tunggal
yang memantul menurut keseimbangan tubuh yang berkaki satu, dan dengan
kecepatan itu membingungkan lawan dan dapat mengirim serangan tiba-tiba dari
samping, depan atau belakang lawan. Kini kakek itu hanya rebah terlentang,
tentu saja tubuh bagian belakang terlindung tanah, juga sukar menyerang dari
kanan kiri. Satu-satunya tempat untuk diserang hanyalah depan dan yang depan
ini terlindung oleh kedua tangan kakek yang mempunyai kekuatan lipat ganda
setelah rebah terlentang itu. Benar-benar sukar mengalahkan kakek ini. Namun
Suma Han yang juga merasa penasaran, masih terus menyerang dengan tongkat dan
tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek itu sambil “tiduran”
seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan turun berdiri ke atas tanah,
tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu meluncur dan menyerangnya dengan
dahsyat, bagaikan tombak besar dilontarkan kepadanya! Dan kalau dia
menggunakan Soan-hong-lui-kun, kembali kakek itu rebah terlentang!
Dua
ratus jurus lewat dan pertandingan antara dua manusia sakti dan aneh itu masih
berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan belum ada yang
terdesak. Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han bertemu dengan lawan yang
begini lihai, yang kesaktiannya mengatasi semua lawan sakti yang pernah
dilawannya.
“Heh-heh-heh,
kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba sekarang kau terima ini!”
Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba mengeluarkan pekik dahsyat yang
mendirikan bulu roma, tidak seperti manusia lagi dan tubuhnya sudah mencelat
dan menubruk ke arah Suma Han dengan kedua tangan terpentang. Dari kedua tangan
itu menyambar hawa yang berputar-putar seperti angin puyuh dan Suma Han maklum
bahwa kalau dia mengelak, ada bahayanya dia terkena sambaran angin pukulan
itu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyambut pukulan itu, mengadu
sin-kang, keras lawan keras. Apalagi dia memang sudah bosan untuk terus
bermain kucing-kucingan dengan kakek ini, maka jalan satu-satunya untuk
menentukan kemenangan hanyalah mengadu tenaga sin-kang yang ia percaya tidak
akan kalah mengingat bahwa dia telah berlatih sampai matang di Pulau Es.
Suma
Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangannya
menerima dorongan kakek itu.
“Jieeetttt!”
Dua pasang tangan bertemu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk,
saling mengerahkan sin-kang yang mengalir penuh melalui kedua pasang tangan
mereka. Pertandingan mati-matian terjadi karena kini tidak ada lagi istilah
mengelak. Yang ada hanya saling menekan dan mendorong, dan siapa kalah kuat
tentu akan binasa!
Kedua
orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu nyawa,
lebih mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Keduanya berdiri
tanpa bergerak, tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Akan tetapi
kalau orang melihat kedua kaki Si Kakek dan kaki tunggal Pendekar Super Sakti,
orang akan terkejut melihat kaki mereka itu amblas ke dalam tanah sampai
selutut! Lebih dari setengah jam mereka mengadu sin-kang ini. Dari ubun-ubun
kepala Suma Han keluar uap putih, sedangkan dari kepala botak kakek itu
mengepul uap kehitaman. Muka kedua orang sakti itu penuh keringat yang besar-besar
dan mata mereka saling pandang tanpa berkedip.
Pada
saat itu tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah datang dengan pedang
di tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat. Li-mo-kiam sebatang dari
Sepasang Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi, Kwi Hong yang melihat betapa
pamannya mengadu sin-kang dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya, lalu
menerjang maju dan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu.
Cui-beng
Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti kilat yang
mendatangkan hawa yang mujijat itu, tahulah dia bahwa pedang itu merupakan
pusaka yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik mengerikan, dari mulutnya
menyembur darah merah ke arah muka Suma Han. Pendekar sakti ini kaget, cepat
dia pun mengerahkan tenaganya sekuatnya mendorong, membarengi gerakan kakek
itu yang juga mendorong dan keduanya terpental ke belakang, sedangkan pedangnya
tidak mengenai sasaran. Melihat pamannya terpental dan terhuyung, juga kakek
itu terhuyung, Kwi Hong cepat menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata
kakek itu. Sekali ini, Cui-beng Koai-ong tidak berani menangkis, hanya cepat mengelak
dan tangannya meluncur ke depan, hendak merampas pedang sedangkan tangan
kanannya mencengkeram kepala Kwi Hong.
Dara
itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir terampas sembil
melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja pundaknya tersentuh jari tangan
kakek itu dan ia terpelanting, merasa betapa seluruh pundak kirinya seperti
lumpuh!
“Heh-heh-heh,
pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!”
Kakek
ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar pedang melindungi
tubuhnya. Untung ia melakukan hal ini karena kalau hanya mengelak, tentu dia
akan celaka. Kecepatannya masih kalah jauh, tidak dapat mengelak hawa sin-kang
kakek yang luar biasa itu. Akan tetapi begitu ia memutar pedang, membuat
pedang itu membentuk gulungan sinar yang merupakan perisai bagi tubuhnya,
kakek itu tidak berani menyerangnya.
Suma
Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa hawa
panas menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan napas dan tahulah
dia bahwa adu tenaga tadi telah membuat dia terluka sebelah dalam tubuhnya!
Dia tidak tahu bahwa kakek itu pun terluka di sebelah dalam, dan karena Si
Kakek nekat menyerang Kwi Hong maka tidak tampak bahwa kakek itu pun terluka.
Karena
khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan melarikan diri
karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka Suma Han berkata,
“Kwi Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!”
Biarpun
seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong, akan tetapi tanpa
ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari gulungan sinar pedang itu
meluncur sinar kilat yang membabat ke arah telapak kedua kaki Cui-beng
Koai-ong! Kakek ini kaget, sama sekali tidak mengira bahwa rahasianya telah
diketahui Suma Han, maka tentu saja dia tidak mau membiarkan bagian tubuhnya
yang tidak begitu kebal itu tertusuk atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang
itu, terpaksa ia mengibaskan tangannya menangkis.
“Crakkk!”
Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari kelingking tangan
kiri kakek itu pun terbabat putus oleh Li-mo-kiam! Anehnya, tidak ada darah
keluar dari luka itu!
Si
Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma
Han cepat meloncat pula ke depan.
“Bresss!”
Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar lagi ke belakang. Suma Han
merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, akan tetapi kakek
itu masih dapat bangkit dengan cepat. Kwi Hong melihat bahwa pamannya tetap
duduk di atas tanah, akan tetapi kakek itu pun berdirinya bergoyang-goyang
tidak tegak lagi. Melihat ini, dan karena hatinya besar menyaksikan betapa
pedangnya dapat membuntungi kelingking lawan, ia menerjang lagi, menggerakkan
pedangnya, dibacokkan ke arah kepala. Kini dia merasa yakin bahwa pedangnya
akan dapat menembus kekebalan kakek luar biasa itu.
“Trangggg....
aihhhh!” Kwi Hong menjerit kaget ketika pedangnya tertolak ke belakang dan
ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah yang memegang
pedang persis pedangnya sendiri, hanya agak lebih panjang! Ternyata pedang
pemuda itu sanggup menandingi pedangnya dan ia teringat kini wajah yang tampan
itu, dan ingat pula akan cerita Bun Beng, bahwa pedang Lam-mo-kiam terampas
oleh putera Pulau Neraka.
“Kau....?
Keparat....!” Dia membentak.
Akan
tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan
kirinya, kemudian setelah memandang dengan mata mendelik penuh kebencian
kepada Suma Han, lalu meloncat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya,
meninggalkan pantai itu.
“Tunggu, jahanam....!”
Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.
“Kwi
Hong, jangan kejar....!” Suma Han berseru. Dara itu berhenti, menengok dan
terkejutlah dia ketika melihat pamannya muntahkan darah segar dari mulutnya.
“Aihhh,
Paman....!” Ia meloncat menghampiri.
Akan
tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuhnya. “Tidak
apa-apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi gerakannyapun
hebat. Kalau kau mengejar, bisa berbahaya.... coba ambilkan tongkatku....”
Kwi
Hong mencabut tongkat pamannya dan menyerahkan kepadanya. “Mari kita menemui
bibimu Phoa Ciok Lin....” katanya menuding dan dari utara tampak Phoa Ciok Lin
datang berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang tokoh Pulau Es yang membawa
senjata. Mereka sudah mendengar dari Kwi Hong akan munculnya kakek sakti dan
hendak membantu. Alis Ciok Lin berkerut penuh kekhawatiran ketika ia melihat
Suma Han terluka, namun Suma Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung
rajawali yang segera terbang turun.
“Rajawali
Pulau Neraka....” katanya tersenyum duka. “Beterbangan bingung kehilangan
tempat, dapat kutundukkan.... kau pelihara baik-baik Kwi Hong. Mari kita ke
tempat kalian.... aku perlu mengaso....”
Dengan
perawatan penuh perhatian dan teliti oleh Phoa Ciok Lin, Suma Han mengobati
sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur napas dan bersamadhi. Dia
seringkali tampak termenung memikirkan perkembangan hidupnya yang makin
diselimuti kesukaran dan kegagalan. Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia
teringat akan Nirahai dan Lulu, dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan
pemerintah. Di dalam perjalanannya, dia mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat
menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah hancur dan terbakar. Dapat
dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat anak buahnya yang
telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma Han mengubur semua
mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan pulau itu dan cepat menuju
ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar bahwa pulau ini pun menjadi sasaran
penyerbuan pasukan pemerintah pula. Juga di pulau ini dia melihat kehancuran,
hanya tidak ada sebuah pun mayat di situ. Di pulau inilah ia bertemu dengan
rajawali yang dapat ia tundukkan ketika rajawali yang kebingungan itu
menyerangnya. Kemudian dia menunggang rajawali, dengan niat untuk mencari
Maharya, merampas Hok-mo-kiam dan menghukum orang-orang yang telah
menghancurkan kedua pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu Bhong Ji Kun. Akan
tetapi, dia tidak berhasil menemui mereka karena mereka itu pergi ke
Cui-lai-san, di mana diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas
undangan Thian-liong-pang.
Suma
Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari udara. Dia
tidak akan mau mencampuri, karena dia maklum bahwa pasukan pemerintah pasti
tidak akan mudah dilawannya dan dia harus menanti kesempatan yang lebih baik
untuk menghadapi Bhong Ji Kun dan pembantu-pembantunya, tanpa ribuan orang
pasukan yang menjaganya. Maka terbanglah rajawali itu ke utara, di mana dia
tahu tentu bersembunyi sisa anak buahnya di pantai utara yang telah ia
beritahukan Phoa Ciok Lin sebagai tempat mengungsi kalau terjadi sesuatu di
Pulau Es. Memang jauh sebelum peristiwa menyedihkan di Pulau Es, Suma Han
telah bersiap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat pergi mengungsi
karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak buah Pulau Neraka
bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang yang makin besar kekuasaan
dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap memusuhi Pulau Es.
Demikianlah,
secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya terancam oleh kakek yang
amat lihai sehingga akhirnya dia sendiri terluka. Kurang lebih sebulan kemudian,
sembuhlah lukanya, akan tetapi kembali Suma Han harus mengalami tekanan batin
ketika mendengar bahwa Kwi Hong telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit, tidak
tahu ke mana perginya dan tak seorangpun mengetahui apa kehendak dara yang
kadang-kadang memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu, Suma
Han menghela napas panjang.
“Biarlah,
dia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya aku khawatir,
dengan pedang itu di tangannya, akan terjadi banyak bencana. Mudah-mudahan saja
tidak demikianlah.”
“Taihiap,
mengapa kau tidak minta saja pedang itu? Sepasang Pedang Iblis adalah pedang
yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji memiliki dasar yang
baik dan kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan pedang itu benar-benar
mengandung hawa yang mengerikan.”
“Hemmm,
betapa mungkin kuminta? Pedang itu adalah pemberian Gak Bun Beng, aku tidak
berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke tangan Tuhan, dan aku
sendiri akan mencari Hok-mo-kiam, karena hanya dengan Hok-mo-kiam sajalah
Sepasang Pedang Iblis dapat ditundukkan. Yang berada di tangan Kwi Hong
kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan tetapi yang berada di dangan anak
itu....” Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah pemuda tampan murid
Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian. Pemuda
itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!
“Anak
yang mana, Taihiap? Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?”
Suma
Han mengangguk “Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka....”
“Aihhhh....!”
Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia sampai lupa diri dan
menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar akan hal ini, cepat-cepat dia
menarik kembali tangannya dan menarik napas panjang. “Putera.... Lulu....?”
Suma
Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan orang lain,
seperti bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak kecil adalah wanita
inilah. Tentu Kwi Hong telah menceritakan semua pengalamannya ketika terculik
di Pulau Neraka.
“Lalu....
bagaimana baiknya, Taihiap?”
“Aku
harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku harus menghajar mereka yang menghancurkan
Pulau Es dan Pulau Neraka. Aku harus mencari Lulu dan Nirahai.... dan aku
akan mengumpulkan Sepasang Pedang Iblis untuk kuhancurkan agar kelak jangan
menimbulkan banyak keributan lagi di dunia ini,” kata Suma Han dengan suara
tegas.
Ciok
Lin menghela napas panjang lagi. “Mudah-mudahan kau berhasil, Taihiap.
Terutama sekali.... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan berhasil
berkumpul lagi dengan mereka....” Terdengar suara wanita itu yang mengandung
isak tertahan. Kini Suma Han yang menggerakkan tangan memegang lengannya.
“Ciok
Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung di dalam hatimu, dan aku merasa
betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku. Akan tetapi,
engkau pun tentu tahu pula akan keadaan hatiku, Ciok Lin. Andaikata tidak ada
kedua orang wanita itu di dunia ini, aku tentu akan berbahagia sekali hidup
bersamamu. Akan tetapi, mereka....”
Phoa
Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehtngga dua titik air mata yang
bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa diri tersenyum
dan memaksa wajahnya berseri ketika berkata.
“Taihiap,
saya mengerti bahwa hidupmu hanya untuk Lulu dan Nirahai.... dan saya bukanlah
seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya akan merasa
berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup bahagia bsrsama
mereka.”
Suma
Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh rasa syukur dan
berterima kasih. “Engkau seorang wanita yang amat mulia, Ciok Lin,” katanya
dan kata-kata ini memang keluar setulusnya dari dalam hati. Dia maklum bahwa
cinta kasih seperti yang terdapat di hati Ciok Lin terhadap dirinya itulah
yang mcrupakan cinta kasih murni, cinta yang bebas dari rasa sayang diri,
bersih dari rasa ingin memiliki dan ingin senang untuk diri sendiri, melainkan
seratus prosen ditujukan untuk melihat orang yang dicinta berbahagia.
Phoa
Ciok Lin makin berseri wajahnya. Dia maklum bahwa biarpun semenjak tinggal di
Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah
yang tiada keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula siapa orang yang
dicintainya. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat mengharapkan cinta kasih
Suma Han terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia
kalau dapat bersahabat dengan pendekar ini, apalagi dianggap sebagai seorang
sahabat yang baik! Melihat betapa pelimpahan cintanya membuat pendekar itu
makin merasa berdosa dan berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan
pertanyaan yang serius.
“Taihiap,
kalau engkau pergi mencari Hok-mo-kiam dan memberi hajaran kepada orang-orang
jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah
dengan anak buah kita? Agaknya pada waktu sekarang, tidak mungkin lagi bagi
kita untuk kembali ke Pulau Es, dan untuk membiarkan mereka tinggal di tempat
ini sebagai buronan yang bersembunyi, amat menyengsarakan mereka pula. Apakah
yang harus saya lakukan, Taihiap?”
“Engkau
benar, Ciok Lin. Memang telah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau
kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahulu aku tidak
bermaksud mendirikan sebuah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya
karena kasihan melihat anak murid In-kok-san dan para bekas pejuang yang
tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau
yang banyak penghuninya dan aku dianggap sebagai Majikan atau Ketua Pulau Es.
Karena pulau kita terkenal, maka timbullah penentang-penentangnya dan hal itu
sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, setelah kini pulau kita dihancurkan
pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku
membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pulau Es. Kau keluarkan semua
pusaka dan harta yang dapat kaularikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu
kepada mereka agar mereka dapat menggunakannya sebagai modal dan hidup di
dunia ramai, membentuk keluarga yang bahagia. Semua itu kuserahkan kepadamu
untuk mengatur seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin.”
“Ohhh,
saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan
terbaik. Akan tetapi, mengerjakan perintah Taihiap itu dapat saya selesaikan
sebentar saja, harap Taihiap suka menyaksikannya dan meninggalkan kata-kata
perpisahan untuk mereka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya
untuk.... pergi bersama Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan
menemukan kembali kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan
mengganggu, saya.... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang
Taihiap cinta, selama-lamanya....”
“Ciok
Lin, harap jangan bicara seperti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan.
Bhong-koksu dan teman-temannya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan,
apalagi kini muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang
selama ini menyembunyikan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu,
Ciok Lin. Engkau belumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik
wajahmu. Engkau masih belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga,
membentuk sebuah keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku
tidak akan tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan,
biarlah aku pergi lebih dulu sekarang juga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku
tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak
kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”
Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu untuk
membantah, Suma Han menekankan tongkatnya di atas tanah dan di lain saat
tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung
rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang
duduk anteng di atas punggung rajawali itu.
Phoa
Ciok Lin kini tidak dapat menahan lagi air matanya yang turun bercucuran
ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan
kedua tangan sedangkan mulutnya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar
dari lubuk hatinya. “Duhai, Suma Han.... betapa aku dapat menikah dengan orang
lain? Apa artinya hidup bagiku kalau harus berpisah dari sampingmu?”
Beberapa
hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembunyian para
penghuni Pulau Es itu menjadi sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi
mencari jalan hidup masing-masing dan orang terakhir yang meninggalkan tempat
itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun,
akan tetapi masih cantik, berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar
matanya mengandung kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang
wanita berilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang
kang-ouw!
Ke
mana perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah lama sekali
dia terdorong oleh hasrat untuk pergi meninggalkan pantai laut, pergi
merantau. Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang
mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun
Beng! Semenjak dia ditolong oleh pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan
ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es
secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada pemuda itu.
Setelah
pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan
tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus
mambantu Ciok Lin monjaga para anak buah Pulau Es yang mangungai di situ,
menanti sampai pamannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biarpun
pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis bertanding melawan kakek yang
seperti mayat hidup itu, numun dia percaya bahwa pamannya yang sakit akan dapat
sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di situ, tanaga bantuannya tidak
dibutuhkan lagi.
Dengan
sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong meninggalkan
pantai, melakukan perjalanan cepat barlari-larian menuju ke selatan, melalui
sepanjang pantai laut. Dia merasa gembira, merasa bebas seperti seekor burung
di angkasa. Dia akan memperlihatkan kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan
keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa
yang akan membalas terhadap mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es!
Dia akan memperlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu
memberi pedang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya karena dengan pedang itu, dia akan
menggerakkan dunia kang-ouw, akan membasmi penjahat-penjahat, akan melakukan
hal-hal yang lebih hebat daripada yang telah dilakukan oleh guru dan pamannya,
Pendekar Siluman!
Langkahnya
cepat sesuai dengan hatinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang
usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan
sinar matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun!
Wajahnya bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang
dibagi dua di belakang kepala, dijadikan dua buah kuncir yang besar dan
dibiarkan bermain-main di punggung dan pundaknya kalau dia berjalan. Anak
rambut halus berjuntai di atas dahi dan di depan kedua telinganya, melingkar
indah seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-sinar penuh
gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bahkan ada
sinar memandang rendah kepada segala apa yang dihadapinya. Hidungnya mancung
dan mulutnya dijaga sepasang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali
berubah-ubah, kalau tersenyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau
cemberut amat menyeramkan seperti awan gelap mengandung kilat. Pakaiannya
terbuat daripada sutera berwarna yang halus mahal, akan tetapi bentuknya
sederhana. Betapapun juga, segala macam pakaian yang menempel di tubuh itu
takkan mungkin mampu menyembunyikan bentuk tubuh dara yang sudah padat dan
masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat, seolah-olah hendak memberontak
dari kungkungan pakaian yang mengurungnya. Ketika dia berjalan mengayun langkah
menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa dibuat-buat, seolah-olah
seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh keserasian, mengandung daya
tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata kaum pria!
Setelah
melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi
Liau-neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang
ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat
yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat daripada musuh-musuh yang harus
dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau
Es itu datang dari kota raja dan dipimpin oleh Koksu negara yang tentu berdiam
di kota raja? Sebelum Bun Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es
mengungsi, pemuda itu sudah menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang
membantu Koksu menghancurkan Pulau Es. Mereka adalah kedua orang Lama yang
menurut pamannya amat lihai dan adalah musuh-musuh lama pamannya, yaitu Thian
Tok Lama dan Thai Li Lama dan ditambah lagi dua orang guru murid yang menjadi
musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai yang berotak miring dan
gurunya, Maharya! Dia harus mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk
membalas kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk berusaha merampas kembali
Hok-mo-kiam dari tangan Si Sasterawan Gila, Tan-siucai. Dia maklum bahwa semua
lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan tetapi dia tidak takut!
Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan siapapun juga. Bahkan
kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu
melawan dan mendesaknya! Apalagi yang lain-lain itu! Siapa lagi musuh-musuhnya?
Demikian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan perjalanannya. O, ya!
Thian-liong-pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang
yang menurut kabar adalah perkumpulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang
pernah menculiknya adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang
pamannya untuk memusuhi.... eh, siapa namanya? Oh, dia ingat sekarang. Bibi
Lulu! Hemmm, dia tidak akan memusuhi Bibi Lulu, akan tetapi bocah kurang ajar
itu!
Kwi
Hong menggigit bibirnya dengan gemas kalau teringat kepada Wan Keng In! Bocah
itu tentu putera Bibi Lulu, pikirnya. Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu
ketika masih kecil saja sudah nakal luar biasa. Apalagi sekarang! Dan ketika
menolong Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam berada di tangannya! Dia harus
mengalahkan bocah itu dan merampas Lam-mo-kiam karena sebetulnya Bun Beng yang
berhak atas pedang itu!
Hari
telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu memasuki dusun
Kang-san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu masuk ke sebuah
restoran di pinggir jalan.
Ketika
para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandangnya dengan
terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki memandangnya
terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia alami semenjak dia
berusia lima belas tahun dan melakukan perantauannya keluar Pulau Es. Mula-mula
memang dia marah-marah dan seringkali dia menghajar pemilik mata yang
memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing melihat daging itu, akan
tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak mengacuhkan lagi ketika semua
laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyambut kehadirannya dengan mata
terbelalak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi
Hong bahwa dia adalah seorang dara yang cantik menarik. Teringat akan ini,
makin girang hatinya karena terbayang olehnya betapa di antara sekian banyaknya
mata laki-laki yang bengong mengaguminya terdapat sepasang mata Bun Beng!
Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan
melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.
“He,
Bung Pelayan! Ke sinilah!” Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga
berdiri di sudut melongo memandangnya.
Ketika
ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aih, pandang mata mereka itu
tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm,
apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka apa sih? Tak puas hati Kwi
Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia membentak,
“Heii,
mengapa semua orang memandangku seperti anjing-anjing takut digebuk?”
Seketika
mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pandang mata ke bawah,
bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.
“Maaf....
maaf.... Lihiap. Kami.... eh, kami tidak apa-apa, hanya kagum melihat
kegagahan Lihiap....”
“Hushhh!
Bohong kamu!” Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil memucuk
rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja. “Kressss!” Ujung meja kayu itu
patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu hancur menjadi tepung!
“Hayo terus terang bicara kalau hidungmu tidak lebih keras daripada kayu ini!”
Kwi Hong mendesis lirih, akan tetapi penuh ancaman.
Otomatis
tangan kiri Si Pelayan meraba hidungnya, matanya melotot memandang tangan
dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan remuk kalau kena
dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah
sampai kepala dan lehernya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa
dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia bicara,
“Maafkan
saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum melihat
Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu sering kali muncul
gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Entah betapa
banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama
beberapa hari terjadi pertandingan-pertandingan yang menggegerkan penduduk,
terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu melihat Lihlap, kami menyangka
bahwa Lihiap tentulah seorang di antara mereka dan kami kagum sekali.”
Kwi
Hong sudah menjadi sabar kembali. “Hemm, buka mata lebar-lebar sebelum
menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi
godok istimewa!”
“Istimewa?
Maksud Lihiap....?”
“Bodoh!
Bakmi istimewa berarti pakai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!”
“Eh,
araknya pakai telur?” Pelayan itu melongo.
“Tolol
kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di
sini.” Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya tidak
marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang dianggapnya
bodoh itu, apalagi ada beberapa orang tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli
biarpun mereka menyembunyikan tawa mereka dengan menutupi muka atau memutar
tubuh membelakanginya.
Tak
lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong
dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara
derap kaki kuda itu berhenti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para
penunggang kuda yang duduk tegak di atas punggung kuda, rata-rata memiliki
sikap gagah dan pimpinan mereka adalah seorang wanita muda yang cantik dan
gagah, Kwi Hong tertarik sekali.
“Siapakah
mereka itu?” tanyanya kepada pelayan yang sedang menaruh pesanannya ke atas
meja dengan sikap hormat.
“Ah,
sekarang saya yakin bahwa Nona bukanlah seorang di antara mereka. Mereka
itulah rombongan yang saya ceritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun
ini, setiap malam terjadi pertandingan dan pada keesokan harinya tampak
macam-macam orang bergelimpangan.”
“Mayat-mayat
siapa?”
“Orang-orang
yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini.”
“Apakah
rombongan itu orang jahat?”
“Sukar
dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin mereka
selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan tetapi,
kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka itu
memiliki kepandaian seperti iblis!”
“Hemmm....”
Kwi Hong mulai menyumpit bakminya, akan tetapi sebelum memasukkannya ke
mulutnya yang kecil dia bertanya lagi, “Rombongan orang apakah itu! Dan apa
namanya?”
“Saya
tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah
orang-orang Thian-liong-pang yang....”
“Hem,
Thian-liong-pang?” Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti dan
Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan. “Kudengar tadi kuda mereka berhenti tak
jauh dari sini, mereka ke mana?”
“Mereka
bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini,
hanya terpisah tujuh rumah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu, terpaksa
harus meninggalkan penginapan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang
jumlahnya ada belasan orang. Hemm, hati para penduduk menjadi gelisah terus
selama mereka berada di sini, Nona. Sungguhpun kami tidak pernah diganggunya,
akan tetapi semenjak mereka datang, suasana menjadi penuh ketegangan dan hati
siapa tidak akan menjadi ngeri kalau melihat hampir setiap malam terjadi
pembunuhan? Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi
tentang mereka.” Pelayan itu pergi dan Kwi Hong menjadi panas hatinya. Hemm,
orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini? Harus dia selidiki!
Malam
hari itu Kwi Hong menyembunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya
dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandaiannya meloncat ke
atas genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus oerloncatan,
mengerahkan gin-kangnya sehingga kedua kakinya tidak menimbulkan suara gaduh,
terus berlompatan menuju ke rumah penginapan di mana bermalam orang-orang
Thian-liong-pang yang akan dia selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun
itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana
gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang
terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan
rumah, kelihatan sunyi sekali.
Tiba-tiba
Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian gelap
ketika pandang matanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang
dari sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng mempergunakan
gin-kang yang cukup lumayan. Ketika mereka lewat dekat, Kwi Hong dapat
memandang wajah mereka di bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu
penerangan yang menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang.
Mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua, yang dua orang berpakaian
seperti peranakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang berpakaian seorang
pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah mengherankan karena
di dusun itu yang termasuk Propinsi Liu-neng, daerah utara, banyak terdapat
orang-orang bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan
tetapi yang membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka. Mereka tentu bukan
orang biasa, karena mereka menggunakan jalan di atas genteng seperti dia.
Tentu mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari
jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong untuk melakukan hal ini karena tingkat
gin-kang mereka itu masih jauh di bawahnya sehingga dia dapat membayangi mereka
tanpa mereka ketahui.
Jantungnya
berdebar tegang ketika ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke
rumah penginapan di mana orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi
tempat yang akan diselidikinya. Apakah tiga orang itu anggauta rombongan mereka?
Pertanyaan
ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara
mereka, yang berpakaian sasterawan atau pelajar, berseru nyaring,
“Manusia-manusia
penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhianat bangsa! Keluarlah kalian!
Kami bertiga, Sepasang Biruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok, datang
untuk membalas kematian kawan-kawan seperjuangan kami!”
Kwi
Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ
dan memandang ke depan penuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk
memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut
Thian-liong-pang sebagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang
ini dan mengapa pula Thian-liong-pang mereka sebut pengkhianat bangsa?
Sepanjang pendengarannya Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang
besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah perkumpulan
atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang.
Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah pengkhianat bangsa.
Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka dia mengambil keputusan untuk
mendengarkan dan menonton saja tanpa mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti
bahwa Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah
dia akan turun tangan membasmi mereka!
Tiba-tiba
suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang berpakaian
sasterawan yang bernama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil
Besi) itu, “Heeiii, kalian orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah
pemberontak hina yang menggunakan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk
mengelabuhi mata rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang
yang mencari kedudukan dan kesempatan untuk merampok? Kalau sudah bosan hidup,
turunlah!”
“Ha-ha-ha!
Orang lain boleh jadi takut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan
hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Biruang
dari Utara tidak takut kepada siapapun juga!” Seorang di antara kedua orang
peranakan Mongol tadi tertawa bergelak, perutnya yang gendut berguncang.
“Kalian
hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang
masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang berani!” kembali suara halus
tadi menantang.
Tiga
orang itu mencabut senjata masing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok mencabut
sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat daripada
besi, sedangkan kedua orang Mongol itu mencabut sepasang tombak pendek
masing-masing, kemudian ketiganys melayang turun ke pekarangan belakang rumah
penginapan yang diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan
mereka ringan dan cepat, seperti tiga ekor burung yang terbang melayang turun
dan begitu tiba di atas tanah, ketiganya sudah menggerakkan senjata
masing-masing, diputar melindungi tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan.
Aksn tetapi ternyata tidak ada senjata rahasia yang menyambar ke arah mereka,
bahkan dengan sikap tenang sekali muncullah tiga orang kakek yang rambutnya
panjang riap-riapan dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu dan
menyambut mereka dengan senyum mengejek.
Kwi
Hong cepat menyelinap dekat dan mendekam di atas wuwungan, sambil bersembunyi
mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti mengapa Thian-liong-pang
bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu
tidaklah bermusuhan pribadi, melainkan karena urusan pemerintah dan agaknya
jelas bahwa Thian-liong-pang berada di pihak yang membantu pemerintah
sedangkan dua orang Mongol dan sasterawan itu adalah penentang-penentang
pemerintah. Akan tetapi Kwi Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil
pamannya selalu berpesan agar dia tidak mencampuri urusan pemerintah.
“Urusan
yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet,” demikian antara lain
pamannya berpesan, “karena itu jangan sekali-kali engkau melibatkan diri
dengan urusan pemerintah. Banyak terjadi pertentangan dan permusuhan karena
pro atau anti suatu pemerintahan yang hanya terseret oleh rasa pertentangan
golongan ataupun terdorong oleh ambisi pribadi untuk mencari kedudukan saja.
Di dalam perebutan kedudukan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet.”
Tidaklah
mengherankan kalau Pendekar Super Sakti memesan muridnya atau keponakannya ini
agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena pertama-tama, Kwi Hong
sendiri adalah puteri seorang pembesar Mancu. Apalagi kajau diingat isterinya
sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik angkatnya, wanita yang
dicintanya sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Mancu. Bagaimana dia
dapat menentang pemerintah Mancu?
Kwi
Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang
itu kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan
kosong. Gerakan Sepasang Biruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang
tombak pendek di tangan mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan
mereka dahsyat sekali. Adapun permainan sepasang pit di tangan sasterawan itu
halus gerakannya namun juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar
ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sasterawan setengah tua itu.
Namun
diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut
panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biarpun mereka
bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua
gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas
serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat
lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga puluh jurus saja Kwi Hong sudah
dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama sekali bukanlah
tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang
saja sudah sedemikian hebat, apalagi kalau belasan orang Thian-liong-pang
keluar semua! Dan pemimpin mereka tentu lihai bukan main!
Kwi
Hong tidak tahu siapa yang benar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah
itu dan tadinya diapun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana.
Akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja
dengan mengantar nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apalagi
mengingat akan penuturan pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah
membunuh banyak orang. Tangan kanannya meraba genteng, memecah tiga potong
yang digenggamnya dan dia berseru ke bawah,
“Sia-sia
membuang nyawa dengan nekat bukanlah perbuatan gagah, melainkan perbuatan
goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri tidak mau pergi, lebih
tolol lagi!”
Tiba-tiba
tiga sinar hitam kecil menyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang
yang sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi
hanya seorang saja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh
lalu meloncat bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena
tertotok sambitan potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat
betapa tiga orang lawan mereka yang lihai diserang secara gelap, tiga orang penyerbu
itu cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru,
“Terima
kasih atas pertolongan Lihiap!” Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat
dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun tangan, tentu mereka akan
tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas genteng, ketiganya lalu pergi
lari secepatnya menghilang di dalam kegelapan malam.
“Manusia
sombong yang lancang tangan!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan halus
dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul munculnya banyak orang
yang dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih
terang karena di antara mereka ada yang membawa lampu.
Kwi
Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal takut. Di
dasar hatinya dia sudah mempunyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang
yang menurut penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan perkumpulan besar
yang bersikap memusuhi Pulau Es, kini, melihat munculnya dara yang amat cantik
dan yang memakinya, dia menjadi marah dan balas memaki,
“Kaliankah
orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya Thian-liong-pang adalah
perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, kiranya tiga orang kalian
tadi sama sekali tidak ada gunanya!”
“Bocah
sombong!” Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat ringan
itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepandaian yang lebih
tinggi daripada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga penyerbu dan yang
dipukul mundur oleh potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong. Dengan gerakan
jungkir balik, keduanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua
jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biarpun mereka menyerang
dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka mendatangkan angin keras dan
merupakan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang kuat!
Namun
Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih sin‑kang di
Pulau Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sin‑kang
yang jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan
itu, cepat ia merobah kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini
pukulan itu tidak datang dari belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa
menggeser kakinya, dia mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan
dorongan telapak tangannya sambil membentak.
“Pergilah
kalian!”
Dua
orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu
menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan
pukulan dengan pengerahan sin-kang agar gadis yang berani menghina Thian‑liong‑pang
ini dapat dirobohkan sekali serang.
“Desss!
Desss!” Kedua pukulan mereka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak,
akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika tenaga sin‑kang mereka hanyut dan
lenyap, sedangkan dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar hawa dingin
yang demikian hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui lengan mereka
sehingga mereka merasa lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin luar biasa
membuat mereka menggigil, terus hawa dingin itu merayap menuju ke dada. Mereka
berusaha mempertahankan diri, namun dorongan hawa dingin yang luar biasa itu
membuat tubuh mereka terpelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak
kaget, berusaha mengerahkan gin‑kang, akan tetapi karena rasa dingin tadi
membuat tubuh mereka seperti kaku, mereka masih terbanting ke atas tanah
sehingga seorang di antara mereka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk
merintih‑rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras!
Tiba‑tiba
terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam meluncur ke atas
dengan cepat sekali. Sinar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur
keras seperti seekor ular panjang yang hidup, ujungnya bergerak‑gerak dan
menotok ke arah kedua mata Kwi Hong! Karena cuaca di atas tidaklah begitu
terang, Kwi Hong tak dapat melihat ujung tali hitam dan hanya menangkap suara
dan anginnya, maka dia terkejut bukan main, cepat ia menggerakkan kedua
tangannya ke depan muka, selain untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda
panjang yang menyambarnya itu.
Kiranya
dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah
yang mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk
menyerang Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di
atas itu hendak menangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat
menggerakkan pergelangan tangannya dan tiba‑tiba ujung tali di atas itu tidak
jadi melanjutkan serangan ke arah mata, melainkan meluncur ke bawah dan tahu‑tahu
telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali
secara tiba‑tiba ke bawah!
“Aihhh!”
Kwi Hong terkejut bukan main. Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa
ketika kakinya dibelit, tahu‑tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan
kuat sekali dari atas wuwungan genteng! Karena tarikan itu tiba-tiba dan juga
tenaga tarikan berdasarkan sin‑kang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi
Hong tak dapat mempertahankan kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya
terpelanting, jatuh ke bawah!
“Haiiiitttt!”
Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat
menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehingga tubuhnya tertahan
dan kini terjadilah tarik‑menarik! Dara di sebelah bawah meggunakan kedua
tangan yang memegang tali untuk menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang
pada wuwungan genteng, mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik
ke bawah. Dia maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan
disambut oleh pengeroyokan orang‑orang Thian‑liong‑pang. Dia tidak takut
dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan jatuh ke bawah,
tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia mempertahankan diri mati‑matian
sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang pada wuwungan.
Tarik‑menarik
terjadi. Betapapun juga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba‑tiba
wuwungan genteng itu tidak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan
wuwungan itu ambrol, genteng‑gentengnya runtuh ke bawah disusul tubuh Kwi
Hong yang melayang turun pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena
runtuhnya wuwungan itu membuat orang‑orang Thian‑liong‑pang yang berada di
bawah menjadi kaget dan takut tertimpa maka mereka meloncat dan menyingkir.
Dengan berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka lipatan ujung tali pada
kakinya dan ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian‑liong‑pang
yang memukulnya, ia cepat menangkis.
“Plak!
Plak!”
Kembali
Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan
tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang
menyerangnya itu memiliki sin-kang yang amat kuat.
“Tar‑tar‑tar‑tar!”
Ujung
tali panjang itu meledak‑ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut,
ketika ia mengelak ke sana‑sini, ujung tali itu telah menotok ke arah
ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat‑tempat
berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong
terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan
mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi‑tubi itu. Sementara
itu, para anggauta Thian‑liong‑pang sudah siap dan mencabut senjata masing-masing.
Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu
samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian‑liong‑pang benar-benar bekerja
sama dengan pemerintah dan biarpun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau
sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah
berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi
gagang Li‑mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah
melayang ke atas.
Empat
orang anggauta Thian‑liong‑pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh
Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan
kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih
berada di udara! Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya
gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi
Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di
Pulau Es dahulu! Kini semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan
Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Milana,
dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali.
Apalagi ketika tiba‑tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki
kuda di sebelah belakang rumah penginapan, mukanya menjadi merah.
“Si
keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!”
Anak
buah Thian‑liong‑pang cepat berlari‑larian dan di dalam malam gelap itu
mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana,
Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di
kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan
diri naik kuda curian itu! Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan
diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang‑orang Thian‑liong‑pang
untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup
keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki
kudanya.
Milana
merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar‑benar telah
menghina dan mempermainkan Thian‑liong‑pang! Harus dia akui bahwa gadis itu
memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi
kesempatan untuk bertanding secara benar‑benar. Tentu saja Milana sama sekali
tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman,
tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang
pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu! Karena mengira bahwa gadis tadi
adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian‑liong‑pang, Milana
menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji
kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan
pengejaran dengan berkuda pula.
Kwi
Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya
keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang
diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati! Mengapa hampir saja dia
celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biarpun tidak
begitu jelas, hanya melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya
ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu
usianya tentu jauh lebih muda daripada dia. Seorang dara remaja belasan tahun!
Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkan kepandaiannya? Bukankah
dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia
yang tiada bandingannya? Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena
kesaktiannya, mengapa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng
sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian‑liong‑pang saja hampir keok?
Hemm, kalau saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara
remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan
melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa
penasaran sekali. Akan tetapi, diam‑diam dia merasa ragu apakah dia benar‑benar
akan menang melawan gadis kecil bersama belasan orang pembantunya yang rata‑rata
memiliki kepandaian tinggi.
“Hemm,
kalau dikeroyok, tentu saja berat!” Kwi Hong berjebi. “Kalau main keroyokan,
mereka pengecut! Kalau maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup
mengalahkan mereka semua!”
Kwi
Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan
perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang‑bintang di langit
dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah matahari mulai
muncul dari balik daun‑daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa
aman karena tidak terdengar sejak lewat tengah malam tadi suara derap kaki
kuda yang mengejarnya.
Dia
memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan‑lahan. Biarpun dia tidak
tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari
pagi dan memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung
dan kokok ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon‑pohon dengan daun
kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput‑rumput hijau
segar membasah dan kadang‑kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang
yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak‑semak.
Kwi
Hong tersenyum gembira. Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu
pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan
tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang
berkicauan dan saling berkejaran. Tiba‑tiba alisnya berkerut ketika ia melihat
seekor burung jantan mengejar‑ngejar seekor burung betina, bercanda,
berkejaran, bercuit‑cuit amat gembira. Teringatlah ia kepada Bun Beng dan
wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia menghela napas panjang.
Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut‑larut termenung kalau
saja matanya tidak tertarik oleh serombongen orang yang datang dari kiri
memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun
Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang‑orang dan memandang
penuh perhatian.
Rombongan
orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan setelah mereka
datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-orang itu
berwarna-warni. Orang‑orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia sudah tahu
akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mereka yang seperti
dicat itu. Sebagian besar adalah orang‑orang yang mukanya berwarna kuning tua,
dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda. Ah, ternyata bukanlah orang‑orang
tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa makin muda warna muka
seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia
terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang
Pulau Neraka melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah
sebuah peti mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak‑kanak
tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain
mengiringkan dari belakang.
Begitu
mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang‑orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong
sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu,
adik angkat pamannya akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di
tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan
dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat
tidak baik, apalagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa
benci dan begitu melihat orang‑orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin
sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti
mati itu, keheranannya lebih besar daripada ketidaksenangannya maka dia lalu
berkata nyaring.
“Heiii!
Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak
kalian bawa ke mana peti mati itu?”
Seorang
wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki‑laki tinggi besar,
keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata
bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang
sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan
dengan orang‑orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah
dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat
penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu
saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang.
Wanita
setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, “Bocah sombong, sudah pasti peti
mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!”
“Heiii,
apa engkau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?” Kwi Hong membentak
marah.
“Setelah
bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan
berarti engkau menjadi calon mayat?”
“Keparat!
Engkaulah yang patut mampus!” Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu
melotot.
Kedua
orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang
rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar
ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang
pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!
“Tar!
Tar!” Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak maupun
menangkis, melainkan mengelebatkan perut kudanya, mendahului mereka dengan
serangan pecut. Biarpun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sin‑kangnya
yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang
berwarna kuning tua!
“Plak!
Plak! Aiiihhh....!” Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram
ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika
lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu
bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!
“Dari
mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?”
Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama temannya
yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut
pendek, segera menerjang maju. Biarpun jarak di antara mereka dengan Kwi Hong
masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh.
Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam
ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.
“Wuuuuutttt!
Siuuut!”
Kwi
Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat
dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang
Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu
memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot,
tubuhnya mencelat ke atas, akan tetapi terdengar kudanya meringkik kesakitan
dan roboh berkelojotan sekarat.
“Berani
kau membunuh kudaku?” Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke
bawah, cambuknya digerakkan bertubi‑tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul
Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.
“Tar‑tar‑tar‑tar!”
Biarpun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana‑sini, namun tetap
saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet
dan bajunya robek‑robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang
dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke
belakang meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka.
Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya
bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat
berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah
mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata
terbelalak.
“Pe....
dang.... Iblis....!” Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.
“Hemmm,
kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!” Kwi Hong
menantang.
“Melihat
pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup‑hidup, pergunakan
asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!”
Mendengar
ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk
menangkapnya hidup‑hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah
asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan
agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik
angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain
agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu
telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah.
Apalagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang‑orang
ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru, “Sudahlah, aku
mau pergi saja!”
Kwi
Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggauta Pulau
Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li‑mo‑kiam
dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut,
menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suare
nyaring berulang‑ulang disusul teriakan‑teriakan kaget kerena semua senjata
enam orang itu patah‑patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan terus lari
dengan cepat sekali!
Karena
takut kalau‑kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakuken pengejaran, bukan
takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong
berlari cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia
melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan
Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah
dia akan menumpahkan kemarahannya den kejengkelannya? Betapapun juga, dia
tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu apabila
wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali,
sungguhpun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi
Lulu sekalipun. Apalagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin
sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya
mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam‑mo-kiam
berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan
kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan merampaskan
Pedang Lam‑mo‑kiam dan ia berikan kepada Bun Beng!
Ketika
ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu
merupakan sebuah tanah pekuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu‑batu
bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah
bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa
tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan
orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka pikirnya, aku telah salah lari.
Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.
Berpikir
demikian, Kwi Hong berlari terus, dengan maksud hendak melewati bukit tanah
kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh‑musuh
pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba‑tiba bulu tengkuknya berdiri
dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini kedua kaki itu agak
menggigil! Kwi Hong takut? Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan.
Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan takut kalau tiba‑tiba
mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh‑kekeh di tengah tanah
kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak. Suara ketawa itu pun tidak seperti
biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa! Kwi Hong seorang
gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar‑benar menggigil
ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan
sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Ke
dua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi, tidak terdengar suara
seorang pun manusia. Dan tiba‑tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa
itu terdengar dari mana‑mana, mengelilinginya!
Ah,
mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulu pun,
mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama
dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apalagi di
waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu
seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khi-kang itu
terdengar bergema ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia
menahan napas mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk
mencari darimana datangnya sumber suara ketawa itu.
Benar
saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang
mengandung khi‑kang amat kuat, sedangkan sumbernya dari.... sebuah kuburan
kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini
mulai bangkit lagi! Suara ketawa dari kuburan kuno? Apalagi kalau bukan suara
setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri
secepatnya kalau saja dia tidak merasa malu. Biarpun tidak ada orang lain yang
melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia
lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak,
daripada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biarpun dia harus
berhadapan dengan iblis di siang hari sekalipun!
“Heh‑heh‑heh‑heh,
hayo.... biar kecil, hatinya besar, hi‑hi‑hik!”
Nah,
benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar‑benar
keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak
ada manusia di dekat kuburan itu.
“Krik‑krik‑krik!”
“Krek‑krek‑krek!”
Eh,
ada suara dua ekor jangkerik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apalagi ketika
kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.
“Eh,
maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biarpun kecil
mrica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha‑ha‑ha!”
Dengan
berindap‑indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa terkekeh‑kekeh
saking lega dan geli rasa hatinya ketika melihat bahwa yang disangkanya mayat
hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali duduk
seorang diri di atas tanah depan bong‑pai tua sambil mengadu jangkerik di atas
telapak tangan kirinya!
Kakek
itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap‑riapan,
kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga
kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya,
sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali‑temali melibat‑libat
kakinya ke atas, lucu dan kacau. Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah
bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang
kanak‑kanak saja! Biarpun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani
bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Akan tetapi kakek itu sama
sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan
keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkerik
di atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar‑sinar, wajahnya berseri
dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak.
Kwi
Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di
atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkerik yang saling
berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili‑kili rumput
sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil
adalah seekor jangkerik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang ke dua
adalah seekor jangkerik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun
lebih besar.
Kwi
Hong duduk perlahan‑lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah
sambil menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia
melihat jangkerik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkerik akan tetapi
tidak tahu bahwa jangkerik dapat diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi
kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkerik itu. Setelah mengerik dan sayapnya
menggembung, sungutnya bergerak‑gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang
lawan, binatang‑binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali
pasangan kuda‑kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!
“Hayo,
Si Kecil Merah, biarpun kecil jangan mau kalah! Serang....!” Kakek itu tiba‑tiba
melepaskan kili‑kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkatnya kili‑kili
ke atas sehingga kini kedua ekor jangkerik itu tidak terhalang kili-kili dan
mereka saling terkam! Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru
pertama kali ini dia melihat dua ekor jangkerik itu benar‑benar saling terkam,
melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan
kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri. Namun, tentu
saja jangkerik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkerik kemerahan atau
coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian
dilontarkan oleh jangkerik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si
Hitam mengerik bangga dan berputar‑putaran di atas telapak tangan kakek itu
seolah‑olah seorang jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai
(panggung adu silat)!
“Wah,
Si Hitam itu hebat!” Kwi Hong berkata lirih memuji.
“Puhh!
Hebat apanya?” Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. “Kalau bukan
kau datang mengagetkan Si Kecil Merah takkan kalah!”
Melihat
sikap kakek itu marah‑marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena
jangkerik kecil itu kalah. Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. “Apa? Aku yang
salah? Wah, kakek sinting, memang jangkerik yang kecil begitu mana bisa
menang?”
“Siapa
bilang tidak bisa menang? Kaukira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis
besar yang sombong!”
“Plak!
Plok!”
Hampir
saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu
menggerakkan tangan, akan tetapi tahu‑tahu pinggulnya yang berdaging menonjol
kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu
mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah
kering. Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena
mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang
tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.
“Prokkk!”
Kakek itu meremas ujung batu bong‑pai dan Kwi Hong memandang dengan mata
terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk
saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sin‑kangnya,
mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya
hancur, tanpa sedikit pun kelihatan mengerahkan tenaga, benar‑benar hebat!
Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi
juga amat sinting perangainya!
Tanpa
mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu
telah menaruh jangkerik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di
atas tanah, kemudian menyambar jangkerik hitam kemerahan yang kalah tadi.
“Kau
harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan
mengira bahwa Si Besar yang kuat!” Dia bersungut‑sungut, mengomel marah‑marah
tidak karuan.
“Kau
harus dijantur biar besar hatimu!” Kakek itu mencabut sehelai rambut yang
panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya. “Ah,
rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkerik, hatinya menjadi tidak berani
bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!”
Biarpun
Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk
menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkerik kecil maju
dan mengalahkan jangkerik besar. Biarpun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya
dengan bibir Si Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut
dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit
rambut dengan kedua jari tangan. Diam‑diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah
begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga
dapat menangkap dengan jepitan jari tangan sehelai rambut yang melayang. Kini
kakek itu tidak bersungut‑sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan
ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkerik kecil merah itu pada
selakang kakinya. Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkerik itu
dijantur diputar‑putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada
rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan,
buktinya kakek itu mulutnya berkemak‑kemik dekat dengan tubuh jangkerik yang
berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang
berkemak‑kemik, akan tetapi tiba‑tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.
“Cuh!
Cuh! Cuh!” Ludah‑ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkerik merah.
“Awas
kau kalau kalah lagi!” Kakek itu berkata. “Harus kuberi tambahan semangat!” Ia
lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkerik yang masih tergantung
di bawah rambut itu depan pantatnya, “Busssshh!” Kakek itu melepas kentut yang
tepat menghembus ke arah jangkerik merah.
“Ihhh....!”
Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil
memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan
tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah “gemblengan” yang
diberikan kakek itu pada jangkerik merah benar‑benar manjur, Kwi Hong tidak
pergi dan masih berdiri menonton.
Kembali
kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung
pertandingan antara kedua ekor jangkerik itu. Jangkerik merah sudah dilepas
dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu.
Jangkerik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari‑nari!
Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar
oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat
si Jangkerik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili‑kili
di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar‑lebar dan menyerang kili‑kili,
sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!
“Ha‑ha‑ha‑heh‑heh,
bagus! Sekarang kau harus menang!” Kakek itu berkata lalu mengambil jangkerik
hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili‑kilinya, kakek
itu terus mengili jangkerik merah yang makin ganas dan bergerak maju
menghampiri jangkerik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh
kakek itu.
“Wah,
kau licik! Kenapa jangkerik hitamnya tidak dikili?” Kwi Hong tidak dapat
menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek,
kakek itu berpihak kepada jangkerik kecil dan berlaku curang.
“Eh,
kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kaukili dia!” kakek itu membentak
marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkerik, gadis ini
berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.
Biarpun
tidak diganggu kili‑kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat
membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga
mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak
bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut kalau‑kalau kakek sinting itu
marah lagi.
Setelah
kedua jangkerik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan
kili‑kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor
jangkerik itu saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar‑benar
lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya
pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan
pertama. Akan tetapi, betapapun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia
didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.
Kwi
Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah‑marah
lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa
kali sampai pecah‑pecah dan remuk‑remuk, debu beterbangan ke atas.
“Sialan!
Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah,
harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama
hidupku sampai kau menang!”
Kembali
dia menaruh jangkerik hitam di dalam lubang den mulailah ia melakukan
“penggemblengan” ke dua terhadap jangkerik kecil merah. Cara menggemblengnya
makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar‑benar
kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar
watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkerik
gemblengan kakek itu benar‑benar akan dapat menang satu kali saja. Kalau kalah
terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi
sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu
marah, dia akan melawan dengan pedangnya.
Kakek
itu benar‑benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus.
Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang
mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka
tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih
kecil! Demikian pula dalam adu jangkerik ini. Dia akan penasaran terus kalau
Si Kecil belum memang, karena dia melihat seolah‑olah Si Kecil itu adalah dia
sendiri. Kini dia membenam‑benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam.... air
kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya
begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu‑sipu membuang muka, lalu dia melepas air
kencing ke arah jangkerik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar
di atas tanah. Tentu saja payah jangkerik merah kecil itu berenang di lautan
kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja
masih mencium bau sengak seperti cuka lama, apalagi jangkerik yang kini
dibenamkan ke dalam air kencing! Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah
mengikatkan kembali celananya dan membenam‑benamkan jangkerik jagoannya sampai
setengah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya
siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor
jangkerik itu.
Anehnya,
ketika jangkerik itu digoda kili‑kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja,
akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul‑betul sudah puyeng sekarang,
sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!
“Bagus,
kau kini tidak mengenal takut lagi!”
Kwi
Hong lupa akan bau air kencing yang biarpun sudah dihisap tanah masih
meninggalkan bau lumayan, karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan
kini dia duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor
jangkerik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi
jangkerik kecil itu mundur terus!
“Kalau
sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!” Kakek itu mengomel dan Kwi
Hong menaruh kasihan kepada jangkerik kecil merah itu.
“Kek,
tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan
keburu dia jatuh ke bawah!” Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar‑benar
nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin
melihat Si Kecil yang diingkal‑ingkal (didesak‑desak) oleh Si Besar itu dapat
menang.
Kakek
itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong
menggunakan kili‑kili untuk menahan pantat jangkerik kecil merah yang terdorong
terus ke belakang. Setelah kili‑kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin
seru dan mati‑matian, dan kedua jangkerik saling gigit sampai mulut Si Kecil
mengeluarkan air menguning!
Jangkerik
hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar,
didorongnya kepala jangkerik kecil yang sudah luka‑luka itu sekuatnya sehingga
tubuh jangkerik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga
akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di
atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya
tertusuk. Akan tetapi tiba‑tiba jangkerik kecil yang kehilangan akal itu
membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkerik hitam
besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang,
menyentik dengan tiba‑tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat. Akibatnya,
tubuh jangkerik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia
jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih
aneh lagi, kini jangkerik kecil merah yang masih berada di tangan kakek itu
mulai mengerik dan bergerak‑gerak ke sana ke mari, seolah‑olah menantang lawan!
“Hebat
dia....!” Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Akan tetapi dia segera
menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek
tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong
peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!
Kwi
Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang‑orang Pulau Neraka
itu. Akan tetapi dia terheran‑heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan
diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut
tanpa bergerak sedikit pun.
Akan
tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka.
Dia sedang bergembira, girang bukan main. “Heh‑heh‑ha‑ha‑ha, kau boleh
istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!” katanya sambil melepaskan
jangkerik itu ke dalam semak‑semak. Kemudian dia menari-nari kegirangan,
tertawa‑tawa dan bergulingan ke sana‑sini, mendekati bangkai jangkerik hitam,
mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!
“Heh‑heh,
kaukira yang besar harus menang? Ha‑ha‑ha!”
Ketika
ia bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu
saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri.
Gerakan gadis ini disalahartikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya,
apalagi dia melihat bahwa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah
dia dan tiba‑tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan kedua tangan dan
bagaikan kilat cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis gaya
jangkerik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh Kwi
Hong!
Tentu
saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka
cepat ia menangkis.
“Desss!”
Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan “temangsang”
di atas dahan‑dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!
Kakek
sinting itu berseru kaget. “Heiii....! Wah, mengapa kau mau saja kusepak?”
Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan
pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa
dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak
kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu
kepandaian luar biasa itu.
Setelah
memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira, “Ha‑ha‑ha!
Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si kecil mengalahkan
si besar, ha-ha‑ha!” Tiba‑tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang
berlutut di situ, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.
“Eiiittt!
Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang
sedang bergembira!”
Kwi
Hong kembali terheran‑heran. Orang‑orang Pulau Neraka yang tidak rendah
tingkatnya itu, mengangguk‑angguk dan seperti anjing digebah mereka pergi
mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari
tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun
mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!
“Heh‑heh‑heh,
mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka?
Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam
penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus
ini kepadamu.”
Kwi
Hong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan
itu!”
“Wah,
lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!”
“Aku
adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkerik atau seekor
kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkerik atau kuda itu,
bukankah itu tidak sopan?”
“Uwaaah,
sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau
mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk
membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat
tujuannya, semua jurus yang pernah kaupelajari juga tidak sopan! Hayoh coba
kau bantah!” kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan
mengajak bertengkar.
“Sudahlah,
aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!”
“Aihhh!
Siapa tokoh Pulau Neraka?”
“Engkau,
kakek sinting, apa kaukira aku tidak tahu bahwa engkau tokoh Pulau Neraka?”
“Dari
mana kau tahu?”
“Dari
mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!” Kwi Hong tidak mau bilang
bahwa dia tahu karena melihat orang‑orang Pulau Neraka tadi amat takut dan
menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.
“Ada
apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah,
lihatlah!” Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu tiba‑tiba
saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih
matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.
“Apa
kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi
merah seperti dicat.
“Atau
biru? Hijau? Kuning?”
Kini
Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah‑ubah seperti yang disebut kakek itu,
seolah‑olah ada yang mengecatnya berganti‑ganti, dan akhirnya berubah biasa
lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.
“Jelas
engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!” Kwi Hong berkata.
“Kalau
betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau
pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu‑tong‑san, atau dari padang pasir! Apa
bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku
seorang manusia seperti juga engkau! jangan sombong kau, gadis gede....”
“Jangan
sebut‑sebut aku gede! Apa kaukira engkau ini masih bocah?”
“Eh‑eh,
yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau
dibandingkan dengan tubuhku?”
“Bukan
aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa
saja! Kau benar‑benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?”
“Heh‑heh‑heh,
kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri,
digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang
bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw‑jin (Manusia
Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku
adalah datuk Pulau Neraka.... heh‑heh‑heh... haa? Mengapa kau mencabut pedang?
Waduhhh.... pedangmu itu....! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid
Suheng!”
Kini
Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang
seperti mayat hidup, guru dari Keng In!
“Bagus,
ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang
ini memang benar Li-mo‑kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam‑mo‑kiam yang
dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus
dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari
kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!”
“Mengadu
nyawa? Heh‑heh‑heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh,
tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah‑susah keluarkan keringat!”
Biarpun
hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. “Bu‑tek Siauw‑jin, orang
mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah akan mati, mana bisa memenuhi
pembayaran?”
“Siapa
bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada
yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kaupandang rendah tadi
untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah
den engkau harus menemani aku dikubur hidup‑hidup selama seminggu!”
Kwi
Hong bergidik. “Gila! Itu sama saja dengan mati!”
“Eiit,
siapa bilang sama? Aku sudah berkali‑kali dikubur hidup‑hidup, sampai sekarang
kok tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan
menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?”
Melihat
kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan
berkata, “Kalau kau yang kalah?”
“Kalau
aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu.
Pedangmu Li‑mo‑kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih
ampuh daripada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah,
kau mulai.”
Kwi
Hong menjadi serba susah. Biarpun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh
Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya diapun
tidak tega. Biarpun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting den
aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang‑orang
Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main‑main
atau pura‑pura saja. Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar
biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru
Keng In. Namun, demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus
menang. Apalagi dia memegang Li‑mokiam dan hanya dilawan dengan jurus baru
yang diperoleh kakek itu dari adu jangkerik tadi.
“Lihat
pedang!” bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika Li‑mo‑kiam
lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mujijat dan mengandung hawa
maut.
“Hayaaaa....!”
Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan
mengelak dari sambaran pedang.
Kwi
Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak,
melancarkan serangan bertubi‑tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu
sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke
bawah. Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup
angin, kadang‑kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkerik meloncat.
Namun sedikitpun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan
jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkerik! Malah dia repot
sekali harus mengelak terus karena pedang Li‑mo‑kiam adalah pedang yang amat
luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.
Tiba‑tiba
Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba‑tiba terdengar
suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas kentut yang besar dan panjang!
Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda.
Inilah kesalahannya. Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk
menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh
Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong.
Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang gagang
pedang sehingga pedang Li-mo‑kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi
mengaung.
Ketika
Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah “terbang” ke atas
menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum
menyeringai, “Nah, kau kalah, muridku.”
Kwi
Hong menerima pedangnya, menyarungkan pedang dan menjawab, “Bu-tek Siauw‑jin,
ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu.”
“Apa
kaukira aku tidak tahu? Kauanggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa‑apa?
Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak,
peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu‑ilmuku kepadamu?”
Kwi
Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. “Aku tidak tahu.”
“Karena
Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!”
“Bagaimana?
Aku tidak mengerti.”
“Kami
bertiga, Suheng Cui‑beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi‑bun Lo‑mo Ngo Bouw Ek yang
sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng
mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah
itu pandai sekali, apalagi kini memegang Lam‑mo‑kiam, tentu tidak ada yang
melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li‑mo‑kiam,
engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid
Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan
menghadapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya
mengalahkan muridnya oleh muridku!”
“Tanpa
kauberi pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!”
“Hemm,
dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau
murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari
Suheng, apa kaukira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya
karena dia pun mempunyai pedang yang sama ampuhnya.”
“Pedang
curian!”
“Curian
atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya kalau kau tidak mampu
menandingi ilmunya?”
“Siauw‑jin....
ehh.... wah, namamu benar‑benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya
dengan menyingkat!”
“Heh‑heh‑heh!
Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw‑jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus
kalau aku disebut Siauw‑jin, ha, ha!”
“Bu‑tek
Siauw‑jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku
suka mempelajari ilmu yang akan kauberikan kepadaku, biarpun untuk itu aku
harus dikubur hidup‑hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku
akan suka kaupergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?”
“Kwi
Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri
perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma
Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu.... heh‑heh,
apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya
ditemukan oleh seorang bocah laki‑laki, entah siapa aku tidak kenal. Li‑mo‑kiam
diberikan kepadamu dan Lam‑mo‑kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan
merampas kembali pedang itu memusuhinya. Engkau harus menemani aku dikubur
hidup‑hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sin‑kang
yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi!
Setelah berlatih samadhi dan sin-kang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu‑ilmuku
yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang
kaukatakan tidak sopan.”
“Ilmu
tendangan jangkerik?”
“Benar!
Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malapetaka, engkau
dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam
tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat,
dalam keadaan tak terduga‑duga seperti yang dilakukan jangkerik kecil tadi.
Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat
merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu
tidak sopan?”
Kwi
Hong mengangguk. “Aku akan mempelajari semua ilmu yang kauberikan.”
“Bagus,
sekarang kaucarilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan
terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede.”
“Mencari
peti mati? Ke mana?”
“Wah,
bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke
mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main.
Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti‑peti mati?”
Kwi
Hong terbelalak ngeri. “Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada
isinya!”
“Isinya
hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapapun
kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia‑sia
hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih
baik dapat kaupergunakan!”
Kwi
Hong menggeleng‑geleng kepala. “Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai
hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!”
“Uuhhh!
Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?” kakek itu bersuit tiga kali
memanggil anak buahnya. Muncullah mereka berbondong‑bondong dari tempat mereka
duduk menanti.
“Hayo
cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua.” Bu‑tek Siauw‑jin memerintah.
“Aihhh....
Ji‑tocu (Majikan Pulau ke Dua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti
untuk To‑cu,” kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul.
Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu
kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun
diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.
“Cerewet
kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat
baik‑baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa‑suheng, tahu?
Namanya Kwi.... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?”
“Kwi
Hong, Giam Kwi Hong,” kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah
gurunya yang sinting.
“Oya,
dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling
baik!”
Kwi
Hong memandang dengan hati penuh kengerian betapa orang-orang itu membongkari
kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat
kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangka
manusianya dikeluarkan lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang
memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ?
Bekas tempat mayat?
“Gali
sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!” kakek itu kembali memberi
perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek
Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar,
sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter
telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.
“Lekas
kau masuk ke dalam petimu!” Kwi Hong menggelengkan kepalanya. “Eh, apa kau
takut?”
Melihat
semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar
pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, “Siapa bilang aku takut?
Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!”
Tentu
saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!
“Eh,
siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada
orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, atau engkau hendak membantah
perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?”
Kwi
Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak
membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka,
juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?
“Kalau
sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?” Dia mencoba
menggunakan alasan menolak.
“Bodoh!
Biarpun di dalam peti, apa kaukira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo
cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita.”
Dengan
jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati
itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti
mati yang tebal. “Brakkk!” papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus
telapak tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah
dilubangi. “Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!” kata kakek itu sambil
mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.
Dunia
lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak
hanya hitam pekat! Ia merasa betapa peti mati di mana ia berbaring terlentang
itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang!
Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi
lubang hawa yang lebih tinggi daripada lubang tanah itu, dua jengkal lebih
tinggi.
Bu-tek
Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti
itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti
mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat
menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama
sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar
sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu
yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Adapun
kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa.
Belasan
orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari “kuburan” itu, karena
kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak boleh diganggu
dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya.
Akan tetapi mereka pun tidak berani menjaga terlalu dekat, karena kakek
sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biarpun berada di dalam peti
mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang
di atas! Karena itu, mereka lebih “aman” menjaga di tempat yang agak jauh, akan
tetapi siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu.
Dapat
dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara
berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai
akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudian sunyi,
sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di
tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang menyilaukan
mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya,
barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari
batang bambu yang tentu saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya
matahari masuk bersama hawa. Makin ngeri hati Kwi Hong. Lubang bambu itu
merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup.... ihh, dia bergidik
dan mendadak saja napasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti
mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!
“Kakek
sinting....!” Dia memaki gemas. “Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di
sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau setanku belum
mencekik lehermu sampai putus!”
Tiba-tiba
terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, suara dari
balik kubur! “Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian
ganas, apalagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, engkau muridku, aku
Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk
hawa segar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik,
kita mulai berlatih pernapasan, samadhi dan menghimpun sin-kang dari hawa inti
sari bumi....”
Dengan
penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang terdengar jelas
sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istimewa, kemudian
mencobanya dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan
saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk bernapas di dalam
ruang tertutup di bawah tanah!
“Jangan
memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami tokoh-tokoh dan
datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang
memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu,
sebelum semua kesukaran dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di
permukaan pulau merupakan hal yang mustahil apalagi kalau ular-ular dan semua
binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa
angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari
tempat persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh
ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk
menyelamatkan diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara
berlatih seperti ini! Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati? Karena dari
sebuah peti kunolah ditemukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika
seorang ii antara nenek moyang kami bersembunyi di dalam tanah dengan mengubur
diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang
ditemukan di dalam tanah ketika dia menggali lubang, dia menemukan
ukiran-ukiran dan coretan-coretan di dalam peti mati itu yang ternyata adalah
ilmu-ilmu rahasia yang agaknya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu
yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat
singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biarpun sifatnya
berbeda, namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan
ilmu-ilmu Pulau Es.”
Dengan
tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu,
Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek
itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan penuh ketekatan, tidak merasa ngeri
atau takut lagi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek
yang menjadi gurunya itu.
Sebetulnya
apakah yang terjadi dengan orang-orang Pulau Neraka? Mengapa mereka berada di
situ dan bagaimana pula dengan Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka? Seperti
telah diceritakan di bagian depan, pasukan pemerintah menyerbu Pulau Neraka
dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat
besar jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.
Para
penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak
mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di
sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rombongan
perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya,
Wan Keng In, pada waktu terjadi penyerbuan itu, tidak berada di pulau karena
memang puteranya itu pergi bersama gurunya yang belum pernah dijumpai Lulu.
Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir seratus lima puluh orang
penghuni Pulau Neraka itu tiba di pantai, ternyata Wan Keng In telah berada
di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.
“Ibu,
kulihat dari jauh asap mengepul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak
membawa anak buah kita ke mana? Apa yang telah terjadi?”
“Pulau
kita diserbu pasukan pemerintah. Untung aku telah menduganya terlebih dahulu
dan membawa anak buah melarikan diri,” jawab Lulu.
“Ahh,
mengapa melarikan diri? Mengapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan? Sungguh
memalukan sekali, lari terbirit-birit seperti serombongan pengecut. Bukankah
Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?”
Lulu
memandang puteranya dengan marah. “Enak saja mencela! Engkau sendiri mengapa
tidak datang melihat pulau kita terancam? Bagaimana kita mampu melawan pasukan
pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan pasukan itu dipimpin oleh
orang-orang berilmu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta
India Maharya, kedua orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li
Lama, dan masih banyak lagi panglima yang lihai.”
“Ibu
adalah Ketua Pulau Neraka, masa takut menghadapi mereka?” Keng In membantah.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa dari tepi pantai. “Ha-ha-ha, Ketua boneka seperti
Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku? Engkaulah yang dapat
menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!”
Lulu
cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang
berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya
tubuh atas sepinggang, makin lama air makin dangkal dan makin tampaklah
tubuhnya, akhirnya dia berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang,
berjalan terbungkuk-bungkuk di atas pasir menghampiri mereka sambil
tertawa-tawa. Melihat kakek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka
mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut
dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apalagi memandang! Melihat ini,
Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya,
yaitu orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.
“Orang
tua, agaknya engkau yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap
aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja? Karena engkau takut
terhadap Pendekar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai
umpan? Kakek yang sombong dan pengecut, hendak kulihat sampai di mana
kelihaianmu maka kau berani mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin
kepada aku yang menjadi Ibunya!”
“Ibu,
jangan....!” Wan Keng In berseru kaget ketika melihat ibunya menerjang maju
dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat. Memang
Lulu sudah marah sekali, maka begitu dia menyerang, dia telah menggunakan
jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan
tenaga Hwi-yang Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini,
yang kiri dingin yang kanan panas, adalah tenaga inti mujijat yang dahulu dia
latih bersama kakak angkatnya di Pulau Es.
“Desss!
Dessss!”
Hebat
bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan tetapi kakek
setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan dorongan tangan,
hanya terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal
ini membuat Lulu menjadi makin penasaran dan sambil mengeluarkan suara
melengking dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.
“Ibu,
jangan! Kau takkan menang!” Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak
mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu karena
ibunya sudah melancarkan serangannya dengan amat cepat dan dahsyat kepada
Cui-beng Koai-ong yang nemandang dengan mulut menyeringai. “Heh-heh, Ibumu
sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilerang, jangan
dihalangi, biarlah!” Kakek itu berkata dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu
menjadi makin penasaran dan marah.
“Plak!
Plek!” Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek
itu, melekat dan terjadilah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara
kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu,
keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan itu sedang terbakar!
“Suhu,
harap jangan bunuh Ibu....” Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia
maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawanannya terhadap
kakek yang amat sakti itu.
Akan
tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi
mendengarkan kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah sekali,
merasa terhina dan dia mengerahkan seluruh sin-kangnya untuk menyerang kakek
itu, sedangkan Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah
manusia lagi itu, terkekeh-kekeh senang karena maklum bahwa wanita itu tentu
akan tewas di tangannya.
Sementara
itu, para anggauta Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu,
memandang dengan mata terbelalak. Mereka itu suka dan tunduk kepada Lulu yang
selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada
Cui-beng Koai-ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Pemuda ini menjadi
pucat wajahnya. Untuk menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak
sanggup dan tidak berani, akan tetapi kalau tidak dihentikan, tentu ibunya
akan tewas! Ingin dia menangis saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk
dan mohon kepada gurunya dan ibunya menghentikan pertandingan itu.
Kini
Lulu maklum bahwa sesungguhnya, puteranya tidak sombong kalau mengatakan
bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya
melekat pada kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh tenaga
sin-kangnya tersedot dan tidak berdaya, bahkan kini kedua telapak tangannya
terasa panas seperti terbakar, tanpa dia mampu menariknya atau melepaskannya
dari telapak tangan lawan. Rasa nyeri yang hebat mulai terasa oleh tangannya,
namun Lulu mengerahkan seluruh daya tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa
nyeri, tidak mau menyerah kalah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai
mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bukan hanya uap dari hawa
sin-kang, melainkan asap dari telapak tangannya yang mulai terbakar dan
terciumlah bau yang hangus dan sangit!
“Suhu,
harap maafkan Ibuku....!” Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki
gurunya. Akan tetapi sekali menggerakkan kaki kiri, tubuh Keng In terlempar
dan gurunya berkata,
“Jangan
ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di tanganku,
ha-ha-ha!”
Lulu
merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sin-kangnya makin lama
makin menjadi lemah, tubuhnya mulai gemetar dan dia maklum bahwa dia tidak
akan dapat bertahan lama lagi. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa.
“Ha-ha-ha,
Twa-suheng sungguh keterlaluan! Orang sudah berjasa, menggantikan kita
memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang
wanita lagi, apakah tidak memalukan?”
Tahu-tahu
muncullah segrang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia
berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan
kata-katanya, “Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa lagi?”
Begitu
punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari
punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari
Cui-beng Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang
ke belakang seperti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua
telapak tangannya yang sudah menjadi hitam terbakar, matanya kini memandang ke
kiri, ke arah kakek pendek yang telah menolongnya.
“Apakah
engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?” tanyanya secara langsung, sedikitpun
tidak menaruh hormat karena biarpun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya,
namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang telah mempermainkannya,
membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!
“Ha-ha-ha,
selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhormat, seorang
siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat
ini, Suhengku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka memaafkannya.”
Muka
Lulu menjadi merah sekali. Berhadapan dengan kedua orang kakek yang demikian
aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang
tidak berdaya sama sekali. “Keng In, hayo kita pergi!” bentaknya kepada
puteranya yang kini berdiri sambil menundukkan mukanya.
“Maaf,
Ibu. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Suhu. Aku masih mempelajari ilmu
dan.... menurut Suhu...., aku ditunjuk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka.”
“Wan,
Keng In! Engkau anakku! Engkau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi
meninggalkan setan-setan ini!” Lulu membentak lagi.
“Aku
tidak mau pergi, Ibu.” Keng In membantah.
“Kau....,
lebih berat kepada mereka ini daripada kepada Ibumu?”
“Maaf,
Ibu. Kita sudah banyak menderita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh
kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan
untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderita. Bagaimana Ibu
akan dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?”
“Ha-ha-ha!
Ibumu tidak memusuhi Pulau Es, muridku. Biarpun dia telah menderita karena
Pendekar Siluman, ternyata dia masih belum dapat melupakan pria yang
dicintanya itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu
pasukan. Ha-ha-ha, mana kau tahu akan isi hati wanita, biarpun wanita itu
Ibumu sendiri?” Cui-beng Koai-ong berkata.
“Hayaaaa!
Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya? Suheng sendiri
sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah
mempunyai seorang murid. Apa artinya ini?” Bu-tek Siauw-jin mencela suhengnya
yang tertawa-tawa tadi.
“Siauw-jin!
Engkau mau apa mencelaku? Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak apa
mencampurinya? Kalau suka boleh lihat kalau tidak suka boleh minggat!”
“Bagus!
Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggarnya! Kita
sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu
telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kaularang juga akan percuma saja.
Lebih baik kau pergi meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suhengku
yang manis ini turun tangan terhadapmu, biarpun aku sendiri akan sukar untuk
menyelamatkan nyawamu.”
“Dia
benar.... dia benar...., pergilah!” Cui-beng Koai-ong mengomel.
Diam-diam
Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu,
yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu
kedua orang kakek itu seberti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun
maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi mereka, maka
setelah sekali lagi memandang ke arah puteranya yang tetap menundukkan muka,
Lulu segera meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu. Hanya satu tujuan
hidupnya sekarang, yaitu mencari Suma Han dan mohon pertolongan kgkak
angkatnya juga satu-satunya pria yang dicintanya itu, untuk turun tangan
menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!
Demikianlah,
setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang telah kehilangan pulau
itu, para anak buah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka,
menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi
tokoh-tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau
Neraka, juga oleh Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biarpun
terhitung sute dari Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya
dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suhengnya itu, lalu pergi sambil menyuruh
lima belas orang anak buah membawa sebuah peti mati kosong untuk berlatih di
tempat yang akan dipilihnya sendiri.
Secara
kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang
dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apalagi setelah kakek pendek ini tahu
bahwa gadis itu adalah keponakan dan juga murid Pendekar Super Sakti.
Karena
kalahdalam pertarungan, juga karena dia sendiri
memang ingin memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid
Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara menyeramkan, yaitu di dalam peti mati
berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru, menerima gemblengan-gemblengan
ilmu mengatur napas, samadhi dan mengumpulkan sin-kang secara luar biasa,
mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun, dengan
tekad membulat mempertaruhkan nyawa!
Ilmu
samadhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin
dan kini dia ajarkan kepada Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mujijat.
Sesungguhnya latihan inilah yang mendatangkan kekuatan sin-kang yang tidak
lumrah dalam diri Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang tokoh
Pulau Neraka yang selalu menyembunyikan diri itu. Ilmu mujijat ini disertai
dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang diciptakan oleh
seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka. Orang
sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia “membunuh diri” dengan
jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Neraka.
Akan tetapi, rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebelum mati,
menciptakan ilmu mujijat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang
kematian itu di sebelah dalam peti matinya! Kebetulan sekali seorang kakek
pimpinan Pulau Neraka yang menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari
ancaman binatang-binatang berbisa dan hawa berbisa di Pulau Neraka,
mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di
dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan
kepada anak cucunya sehingga yang terakhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan
Bu-tek Siauw-jin! Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan
mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki ilmu
ini.
Tidak
sembarang orang dapat menguasai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti
Bumi itu karena caranya berlatih amat menyeramkan dan mempertaruhkan nyawa.
Wan Keng In sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari
Cui-beng Koai-ong, masih belum berani melatih diri dengan ilmu mujijat itu. Kwi
Hong yang berwatak berani mati dan nekat secara kebetulan sekali kini menjadi
orang ke tiga di dunia ini yang melatih diri dengan Ilmu Inti Bumi!
Para
anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak berani
mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka sudah mengenal
dua orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu, karena bagi dua orang
datuk itu, apalagi Cui-beng Koai-ong, membunuh manusia seperti membunuh nyamuk
saja, dan watak mereka sukar sekali diikuti. Mereka maklum bahwa sebelum
kakek pendek itu keluar dari dalam tanah, mereka harus menjaga dengan
mati-matian agar jangan sampai kuburan itu diganggu orang. Kalau kakek dan
muridnya yang baru itu sudah keluar dari dalam tanah, barulah mereka bebas dari
tugas berat ini, kecuali tentu saja kalau ada perintah baru dari kakek pendek
yang aneh itu.
Pada
malam hari ke tiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terkejut ketika
melihat munculnya serombongan orang yang mereka kenal sebagai orang-orang
Thian-liong-pang! Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang dipimpin oleh
seorang dara remaja yang cantik jelita dan yang mereka kenal sebagai puteri
Ketua Thian-liong-pang, dan seorang laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya
buntung dan berwajah menyeramkan. Laki-laki berlengan satu ini wajahnya muram
dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan tetapi sikap semua anggauta
rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri
kelihatan bersikap manis kepadanya. Orang ini adalah seorang tokoh baru yang
telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga Ketua
perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang dahsyat
kepadanya, yang membuat dia bahkan lebih lihai daripada sebelum lengan kirinya
buntung! Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang
Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali
dengan lengan kanannya. Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak
Tangan Golok Sakti) kepadanya sehingga lengannya itu lebih lihai daripada
lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang berjuluk Toat-beng-to itu. Dengan
ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai pembalas jasanya
mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang ke dua sesudah Tang Wi Siang
di Thian-liong-pang. Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih
berbahaya karena sambaran tangan kanannya atau permainan tongkat kuningan
dengan tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya.
Orang-orang
Pulau Neraka yang sedang bertugas menjaga “kuburan” Bu-tek Siau-jin dan
muridnya yang sedang berlatih di bawah tanah, tidak berani mencari perkara
dengan orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan yang amat
lihai. Rombongan Pulau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua
orang tokoh Pulau Neraka yang bermuka merah muda yang pernah diutus oleh Ketua
mereka mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan
Thian-liong-pang dan secara mudah dirobohkan oleh “ketua” Thian-liong-pang yang
di luar tahu mereka pada waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng. Maka kini melihat
munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang dipimpin oleh puteri Ketua
Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isyarat dengan kedipan mata kepada
para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat persembunyian mereka dan tidak
mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini berkumpul dan beristirahat
di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat persembunyian
orang-orang Pulau Neraka.
Tadinya
rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya lewat
dan kebetulan beristirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata
bahwa sampai malam tiba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api
unggun dan berjaga sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan
siap menghadapi musuh!
Melihat
sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka.
Mereka ingin sekali melihat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan
latihannya agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan,
yaitu menggempur orang-orang Thian-liong-pang atau meninggalkan tempat itu.
Sekarang mereka merasa serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan
orang-orang Thian-liong-pang itu, dan tidak tahu apakah musuh-musuh lama itu
sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau Neraka atau belum. Dalam keadaan
bersembunyi dan tidak menentu ini mereka merasa tidak enak hati sekali.
Pada
keesokan harinya, setelah matahari mulai tampak berseri mengusir embun pagi
yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah
tujuh orang hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah
kuburan dan langsung berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.
“Bigus
sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata
Thian-liong-pang masih merupakan seburh perkumpulan besar yang suka memegang
janjinya!” Seorang di antara para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka
tengkorak dan berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, tangan kanan
memegang hud-tim (kebutan) berkata sambil berkata tenang.
“Thian-liong-pang
selamanya memegang janji dan ssjak dahulu adalah perkumpulan besar yang tiada
bandingnya!” Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu
dengan sinar matanya yang lembut. “Memenuhi permintaan para sahabat di dunia
kang-ouw untuk mengadakan pertemuan, kami menggunakan tempat yang sunyi ini
agar di antara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukun manusia lain
karena di sini yang tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang
mewakili Ketua Thian-liong-pang berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah dutang,
apakah kehendak Cu-wi mengajukan tantangan kepada pihak kami untuk mengadakan
pertemuan?”
Seorang
hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang kepada
Milana dan teman-temannya, lalu berkata, “Omitohud...., seorang dara remaja
yang lembut menyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang! Nona, di manakah
Ketua Thian-liong-pang sendiri? Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang
gadis muda seperti Nona?”
Milana
cepat menjura dengan hormat, hatinya tidak enak menghadapi sikap hwesio yang
agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Seringkali dia terpaksa merasa
canggung dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas
perintah ibunya. Biarpun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan
Thian-liong-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, namun kadang-kadang
sikap keras hendak menang sendiri dari perkumpulan yang dipimpin ibunya,
membuat gadis yang memiliki dasar watak halus itu merasa canggung dan tidak
enak.
“Harap
Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat sembarangan hadir dalam
setiap pertemuan, apalagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun
tidak datang memimpin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, Ketua kami
mewakilkan kepada kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan
dalam pertemuan yang diadakan di tempat ini.”
Hwesio
itu mengangguk-angguk, namun pada wajahnya yang halus itu masih terbayang
ketidakpuasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan atau partai
persilatan yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai
yang terdiri dari tokoh-tokoh bukan tingkat rendah, hanya disambut oleh
seorang gadis muda Thian-liong-pang!
“Omitohud,
Nona yang muda pandai bicara. Bolehkan pinceng mengetahui, kedudukan apa yang
Nona miliki di Thian-liong-pang?”
“Nona
kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu banyak bicara!
Nona kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam
juga berhak mewakili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!”
Tiba-tiba Si Lengan Buntung itu sudah meloncat maju dan tangan tunggalnya
sudah melintangkan toyanya di depan dada, sepasang matanya mendelik dan
sikapnya menakutkan.
Para
hwesio kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata, “Omitohud....,
maafkan pinceng yang tidak tahu bahwa Nona adalah puteri Thian-liong-pangcu
sendiri! Kalau begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng adalah Ceng Sim
Hwesio, murid kepala dari Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai.”
“Harap
Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka menuntut
agar diadakan pertemuan dengan pihak kami.” Milana cepat bertanya mendahului
Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biarpun jarang bicara, sekali
mengeluarkan suara, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!
“Sudah
bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang
yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw,
merampas kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain....”
“Akan
tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami
pandang sebagai perkumpulan sahabat!” Milana cepat membantah. “Sedangkan
mengenai urusan dengan tokbh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman
kitab atau pusaka, kami rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak
Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan dalam
Siauw-lim-pai sendiri.”
Ceng
Sim Hwesio, murid kepala Ketua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas
panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu, “Tepat
sekali ucapan Noda dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah
mencampuri urusan itu, bukan? Akan tetapi semenjak pertemuan yang menghebohkan
di Pegunungan Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh
Thian-liong-pang dan sekali ini karena menyangkut persoalan negara dan rakyat,
terpaksa kami harus mencampurinya!”
“Harap
Lo-suhu suka memberi penjelasan!” Milana berkata halus akan tetapi nyaring
karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibunya dicela
orang lain.
“Terus
terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak
terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki tangan
Pemerintah Mancu! Dengan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah untuk
menindas bangsa sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kegagahan dan
berarti salah menggunakan perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat
dan pengkhianat.”
Si
Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.
“Kiang-lopek,
mundur dan jangan turun tangan sebelum ada perintah!”
Si
Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa membantah ia
melangkah mundur, sedangkan para anggauta Thian-liong-pang lainnya sudah marah
dan bersiap turun tangan begitu ada perintah.
“Lo-suhu,
kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum
menyelidiki terlebih dahulu sebelum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang
baik terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa
kami membantu pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Bukankah hal itu
berarti bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan
mengacaukan keadaan dan yang hanya akan memancing timbulnya perang yang
menyengsarakan penghidupan rakyat jelata? Ataukah.... mungkin Siauw-lim-pai
bahkan memihak pemberontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar
kedudukan, perampok-perampok yang berkedok pejuang?”
Muka
para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan. Namun
suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata, “Perjuangan melawan
penjajah, di manapun juga di dunia ini, adalah perjuangan kaum patriot pembela
bangsa dan tidak boleh dikotori dengan tuduhan keji memakai dalih apapun juga.
Kami tidak bersekutu dengan kaum patriot dan pejuang yang kalian anggap
sebagai pemberontak, akan tetapi kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan
pemerintah mencelakakan bangsa sendiri yang berjuang menurut keyakinan dan
kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta kepada Thian-liong-pang, mengingat
bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orsng gagah, untuk mundur dan jangan
mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri.”
Tentu
saja hati Milana manjadi panas mendengar ucapan itu, betapapun juga baik kata-kata
itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat menyelami kebenaran
kata-kata itu, tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim
Hwesio. Bagaimana ia dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak
merasa bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah? Dia sendiri
adalah cucu Kaisar! Di dalam pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang
berhak dan patut memimpin seluruh Tiongkok karena telah menunjukkan kebesaran
dan kelebihannya! Mana bisa disamakan atau dibandingkan dengan bangsa
pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu? Dia percaya sepenuhnya
bahwa pemerintah Kerajaan Ceng-tiauw membawa rakyat kepada kemakmuran dan kemajuan,
sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari kesempatan menggendutkan
perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan untuk menghalalkan
kejahatan mereka!
“Ceng
Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang
untuk mundur dan tidak bolah membantu pemerintah membersihkan para
pemberontak, dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa
Siauw-lim-pai tidak boleh mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak permintaannmu
itu, dan kami akan tetap melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak,
bukan semata-mata untuk membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk
menjauhkan rakyat daripada kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh
kaum pemberontak!”
“Kalau
begitu, Thian-liong-pang menentang kepada Siauw-lim-pai!” Hwesio bermuka
tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus
Ceng Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat.
“Habis,
engkau mau apa?” Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di tangan kanannya
diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.
“Terserah
akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang
tidak akan tunduk terhadap siapapun juga dalam menentukan sikap akan urusan
kami dengan pemerintah!” Milana berkata.
“Omitohud!
Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena
semua tokohnya memiliki ilmu kepandaian tinggi!” kata Ceng Sim Hwesio yang
mulai panas hatinya.
“Ilmu
kepandaian curian semua!” Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.
“Cu-wi
Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan
Siauw-lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai
memperlihatkan sikap tidak bersahabat. Karena itu, karena kami yang
menyediakan tempat ini, berarti kami menjadi pihak pemilik tempat dan kalian
adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi dari sini, pertemuan telah
selesai!” Milana berkata marah.
“Omitohud,
benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada
Siauw-lim-pai!” Ceng Sim Hwesio berkata. “Setelah kedua belah pihak bertemu,
bicara tanpa ada hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesempatan ini
untuk saling menguji sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian masing-masing.
Biarpun kami hanya bertujuh dan jumlah kalian dua kali lebih banyak, kami
tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang mengadakan pertandingan
menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!”
“Bagus!
Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?” Bok Sam meloncat sambil memutar
toyanya.
“Trang-trangg....!”
Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang berada di
tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar
itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu
keluar tenaga dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya
tergempur!
“Kiang-lopek!
Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang
gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan
enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!” Milana lalu menyebutkan nama
enam orang pembantu yang dipilihnya, termasuk Si Lengan Buntung, kemudian
bersama enam orang pembantunya ia menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil
melintangkan pedang di depan dada dan berkata,
“Ceng
Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?”
“Omitohud!
Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan!
Kouwnio (Nona) yang perkasa, biarlah pertemuan ini kita akhiri dengan menguji
kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan kami kepada Ketua
kami.”
“Bagus
sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!” Kemudian dia menoleh kepada para
pembantunya, “Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya sekedar menguji
ilmu. Aku tidak perkenankan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah
mengalahkan orang-orang tua yang keras kepala ini!”
“Orang-orang
Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!” Ceng Sim Hwesio
membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu sudah
menerjang maju. Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua
lengan bajunya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya,
tidak kalah oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak,
ujung lengan baju yang panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat
sekali, panjangnya lebih dari satu kaki di depan tangannya.
“Wuuuut....
wuuuutttt!” Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana. Ketika dara ini
dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang
kemudian membalik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemimpin rombongan, hwesio itu
telah dihadapi oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio
cepat memutar kedua ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru di antara
mereka. Milana tersenyum, maklum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu
saja turun tangan menandingi hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai di
antara rombongan lawan sehingga nona muda puteri Ketuanya itu tidak akan
bekerja terlalu keras!
Terpaksa
Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang
bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menangkis toya Si
Lengan Buntung. Namun lawan ini terlalu lemah baginya dan dalam belasan jurus
saja Milana sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya
dapat mengelak dan sibuk menangkis dengan sepasang senjatanya seolah-olah di
tangan Milanabukan terdapat sepasang pedang
melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan.
Sementara
itu, lima orang hwesio lainnya sudah pula bertanding melawan lima orang
pembantu Milana dan terjadilah pertandingan yang seru di tanah kuburan.
Melihat bahwa ternyata anggauta Thian-liong-pang yang berada di situ sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi
lega hatinya dan menonton pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam
merasa kagum sekali kepada puteri Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung
yang ternyata hebat bukan main.
Pertandingan
antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio merupakan
pertandingan yang paling seru dan seimbang, dibandingkan dengan pertandingan
lain di antara kedua rombongan itu. Biarpun lengannya hanya sebuah, namun
toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya
sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itu pun tidak mampu mendesaknya
dengan kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut
sekali dan bersilat dengan amat hati-hati. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai
terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi, dengan dasar yang kokoh kuat dan
boleh dikata di antara semua ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu itu,
ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih dekat dengan sumbernya,
masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain. Hal ini adalah
karena para pengembang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri dari hwesio-hwesio
yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pelajaran guru-guru mereka.
Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena
tokoh-tokohnya terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petualang yang banyak
merantau sehingga di sana sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka
masukkan dalam ilmu silat mereka sehingga makin lama, biarpun ilmu mereka
banyak yang menjadi aneh dan bermacam-macam coraknya, juga tidak kalah
lihainya, namun makin menjauh dari dasar atau sumbernya. Karena inilah, maka
ilmu silat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan yang paling aseli,
tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.
Ceng
Sim Hwesio adalah murid kepala dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu
saja dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga
sin-kang yang amat kuat. Sebetulnya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik
mengenai kematangan latihan maupun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah
bahkan lebih unggul dan lebih matang, juga tenaga saktinya tidak kalah kuat.
Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh gemblengan khusus dari Ketua
Thian-liong-pang, dan ilmu yang dimilikinya adalah ilmu golongan hitam yang
mempunyai banyak gerakan-gerakan mengandung tipu daya yang aneh-aneh dan tidak
dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti Ceng Sim
Hwesio.
Ketika
dengan gerakan yang kuat sepasang lengan baju hwesio itu menyambar ke arah
toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu dengan sepasang lengan
bajunya untuk merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si
Lengan Satu itu melepaskan toyanya dan menggunakan kesematan selagi lawan
tidak bebas karena kedua lengan dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan
kanan yang mempunyai ilmu dahsyat “telapak tangan golok” itu telah membabat
ke arah pundak Ceng Sim Hwesio!
Hwesio
tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat
menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya sekali. Untuk
menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, sepasang
ujung lengan bajunya sudah melibat toya, maka jalan satu-satunya baginya
hanyalah miringkan tubuh dan menerima hantaman tangan miring itu dengan
pangkal bahunya yang berdaging sambil mengerahkan sin-kangnya.
“Desss!”
Hebat
bukan main pukulan tangan miring dari Bok Sam ini. Dia telah menerima latihan
khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggalnya itu amat
dahsyat. Bukan seperti tangan yang mengandung tenaga sin-kang biasa yang dapat
memecahkan batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan
seperti sebatang golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat
dipakai membacok putus leher manusia! Ketika tangan yang dihantamkan miring
itu bertemu dengan pangkal lengan Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga
sin-kang amat kuat sehingga menjadi kebal, tubuh hwesio itu tergetar hebat dan
biarpun dia tidak terluka karena “bacokan” tangan itu dilawan oleh sin-kangnya,
namun dia roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya pada toya
terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang menggunakan toya
untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.
“Pinceng
sudah kalah, perlu apa menodong dan mengancam? Kalau mau bunuh, lakukanlah,
pinceng tidak takut mati!” kata Ceng Sim Hwesio yang merasa terhina dengan
penodongan toya di atas dadanya itu.
Milana
yang sudah merobohkan lawannya dan sedang meloncat ke atas sebuah kuburan
untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah merobohkan dua orang
pembantunya berturut-turut cepat berseru,
“Kiang-lopek!
Jangan lancang membunuh!”
Bok
Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia menodong
hanya untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung toyanya bergerak
cepat menotok jalan darah di pundak Ceng Sim Hwesio, membuat hwesio itu
mengeluh dan tak dapat bergerak lagi.
Sementara
itu, hwesio muka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbih, ternyata dengan
gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula seorang anggauta
Thian-liong-pang yang tadi menerjangnya dengan sebatang pedang, gerakan hwesio
ini hebat sekali, dan begitu memandang, tahulah Bok Sam bahwa hwesio kurus
itu ternyata jauh lebih lihai daripada Ceng Sim Hwesio! Hwesio kurus itu telah
merobohkan tiga orang temannya dan seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain.
Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal dia, puteri Ketuanya, dan seorang
pembantu lagi, yaitu Su Kak Liong yang masih bertanding seru melawan seorang
hwesio pendek bersenjata toya. Biarpun dia lihai, Su Kak Liong terdesak juga
oleh dua orang pengeroyoknya. Milana sudah menerjang hwesio kurus yang
bersenjata hud-tim dan tasbih, dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio
lain yang bersenjata pedang. Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam
membiarkan Milana menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat
meloncat ke depan membantu Su Kak Liong. Begitu Si Lengan Buntung ini maju,
keadaan berubah sama sekali. Hwesio pendek yang bersenjata toya sama sekali
bukan tandingan Si Lengan Buntung, biarpun senjata mereka serupa dan hwesio
itu menggunakan kedua tangannya untuk mainkan senjatanya. Dalam belasan jurus
saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan iagi, toyanya patah menjadi dua dan
dia roboh dengan sambungan lutut terlepas karena hantaman toya lawan. Juga
hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh oleh Su Kak Liong, terluka pundaknya.
Bok
Sam cepat meloncat dan membantu Milana yang masih dikeroyok dua. Ternyata
hwesio kurus bermuka tengkorak itu benar-benar lihai sekali. Permainan
kombinasi sepasang senjatanya yang aneh memiliki gerakan-gerakan aneh dan
tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan senjata-senjatanya amat kuat.
Kebutan di tangan kanan itu kadang-kadang lemas dan dipergunakan untuk membelit
pedang untuk merampasnya, akan tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan
kaku bulu-bulunya sehingga dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Sedangkan tasbihnya menyelingi gerakan kebutan dengan sambaran-sambaran ke
arah kepala lawan. Milana terkejut dan tertarik sekali. Dia sudah mengenal
dasar ilmu silat Siauw-lim-pai maka dia menjadi heran sekali ketika melihat
bahwa dasar ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai,
bahkan mendekati ilmu silat dari barat!
Setelah
kini Bok Sam maju membantunya dan menghadapi hwesio yang bersenjata pedang,
Milana mendapat kesempatan untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu
lawan satu dan dengan mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa, Milana dapat
memancing hwesio itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan
ilmu silat Siauw-lim-pai.
Tiba-tiba
untuk kesekian kalinya, tasbih menyambar dari udara, mengeluarkan bunyi
bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri hwesio kurus, dan
melayang-layang seperti seekor burung menyambar ke arah kepala Milana. Dara
ini tidak menjadi gugup. Tadi pun dia pernah diserang seperti itu dan ketika ia
mengelak, tasbih itu dapat kembali ke tangan lawan! Kini dia sengaja menggunakan
pedangnya menangkis dengan hantaman miring dari samping ke arah tasbih sambil
membagi perhatian ke depan karena selagi tasbih itu melayang turun, hud-tim di
tangan kanan lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan mengirim penyerangan
cepat sekali.
“Cringgg!”
Milana
terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan ternyata bahwa
tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan terus melibat pedangnya.
Kiranya tasbih itu dilempar dengan gerakan berputar sehingga ketika ditangkis
terus melibat! Padahal pada saat itu kebutan di tangan kanan hwesio itu telah
meluncur datang, ujung kebutan bergerak cepat sekali seolah-olah berubah menjadi
banyak dan mengirim totokan Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di
bagian depan tubuh Milana dan pinggang ke atas.
“Wuuuuttt....
singgg!” Milana menggunakan gin-kangnya, tubuhnya mencelat ke atas, pedang
dikelebatkan dengan pengerahan sin-kang sehingga tasbih yang melilit pedangnya
itu terlepas menyambar ke depan, menangkis ke arah kebutan.
“Wuuuut!”
Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap tasbihnya, dan
sudah siap untuk menerjang lagi sambil diam-diam memuji ketangkasan dara itu.
“Tahan!”
Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di depan dada. “Siapa
engkau? Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang hwesio tokoh Siauw-lim-pai!”
Hwesio
itu tersenyum mengejek, kemudian memandang kepada enam orang hwesio yang semua
telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya membantu dia mengeroyok
Milana, telah roboh pula di tangan Bok Sam yang kini sudah berdiri dengan
memegang toya tegak lurus di depannya, siap untuk menerjangnya. Enam orang
temannya sudah kalah semua, tinggal dia seorang, sedangkan di pihak
Thian-liong-pang masih ada tiga orang termasuk nona muda yang amat lihai dan
Si Lengan Buntung yang juga lihai sekali itu.
“Pinceng
Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi pinceng
adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang dari barat dan
mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah merendahkan diri
menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, pinceng dan para sahabat ini....”
“Aihh,
kiranya engkau seorang pemberontak dari Tibet, bukan?” Milana memotong, dan
hwesio itu kelihatan terkejut.
“Bagaimana
Nona dapat menyangka demikian?”
“Aku
mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk, akan tetapi
banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu engkau adalah seorang
di antara mereka yang ingin memberontak, maka kini engkau menghasut para
Lo-suhu dari Siauw-lim-pai untuk menentang kami. Hemm, Mo Kong Hosiang, karena
engkau bukan orang Siauw-lim-pai, maka urusan antara engkau dan kami lain
lagi. Engkau seorang pemberontak dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi
pemberontak.”
“Ha-ha-ha,
perempuan sombong! Kaukira pinceng takut....?” Baru sampai di sini ucapannya,
terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah menerjang maju dengan dahsyat,
menggerakkan toyanya menusuk ke arah dada hwesio kurus itu.
Mo
Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangannya yang
menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Serangan berbahaya
ini dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi pertandingan hebat antara
kedua orang itu. Sekali ini, pertandingan terjadi lebih hebat daripada tadi
karena kalau tadi masing-masing pihak masih menjaga agar jangan sampai
menjatuhkan pukulan maut kepada pihak lawan, kini kedua orang ini bertanding
dengan niat membunuh!
Milana
sudah mengukur tingkat kepandaian hwesio kurus itu, maka kini ia mengerutkan
alis menyaksikan kelancangan Bok Sam yang terlalu berani turun tangan. Dia
maklum bahwa pembantu ibunya itu memiliki ilmu yang boleh diandalkan, akan
tetapi dia khawatir kalau pembantu ibunya itu bukan tandingan Mo Kong Hosiang
yang amat lihai. Biarpun hatinya tidak senang menyaksikan kelancangan dan
kekerasan hati Bok Sam, namun karena dia tahu bahwa Si Buntung ini mendahuluinya
bukan hanya karena keras hati akan tetapi juga karena menyayangnya menghadapi
lawan tangguh, maka di lubuk hatinya Milana merasa tidak tega dan tidak mau
membiarkan Si Lengan Buntung itu menghadapi bahaya maut. Diam-diam ia bersiap
sedia untuk menolong apabila pembantu ibunya itu terancam bahaya.
Kiang
Bok Sam bukan seorang bodoh. Begitu terjadi saling serang beberapa jurus
saja, tahulah dia bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai, sama sekali
tidak boleh disamakan dengan Ceng Sim Hwesio. Gerakan hud-tim itu membingungkan
hatinya karena amat cepat dan aneh, selain itu, juga hud-tim yang kadang-kadang
lemas kadang-kadang kaku itu membuat dia sukar sekali menduga gerakan
serangan lawan. Namun, dia tidak menjadi jerih dan toyanya diputar amat
cepatnya ketika dia membalas dengan serangan-serangan maut yang tidak kalah
hebatnya. Permainan toyanya yang khusus diturunkan oleh Ketua Thian-liong-pang
kepadanya memang dahsyat sekali, apalagi di balik toya ini tersembunyi lengan
tunggal yang memiliki keampuhan luar biasa. Toya ini selain merupakan senjata,
juga merupakan semacam kedok yang menyembunyikan senjatanya yang paling utama
dan ampuh, yaitu tangan kanannya. Lawan biasanya akan memandang rendah apabila
dia kehilangan toyanya, dan hal ini pun tadi telah mengakibatkan robohnya Ceng
Sim Hwesio.
Mo
Kong Hosiang maklum bahwa lawan yang berbahaya adalah Si Buntung ini dan nona
muda itu, maka dia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka baru dia
mempunyai harapan timtuk keluar dari pertandingan dengan selamat. Maka kini
melihat gerakan toya Si Lengan Buntung, dia memandang rendah. Si Buntung ini
memang amat cepat dan kuat sin-kangnya, namun masih jauh kalau dibandingkan
lawannya dengan nona muda yang cantik itu. Dia harus dapat mengalahkan lawannya
dengan cepat. Tiba-tiba hwesio kurus itu mengeluarkan suara bentakan
melengking sehingga terkejutlah lawannya karena bentakan ini mengandung tenaga
khi-kang yang menggetarkan jantung. Pada saat itu, hud-tim di tangan Mo Kong
Hosiang meluncur ke depan, menjadi lemas dan telah melibat ujung toya yang tadi
menusuk ke arah dadanya, sedangkan tasbih di tangan kirinya sudah
dilontarkannya ke atas dan kiri tasbih itu meluncur turun ke arah kepala lawan
selagi lawan masih terkejut dan berusaha membetot toyanya.
“Sinngggg....
tranggg!” Tasbih itu putus dan runtuh ke atas tanah, kesambar pedang yang
dilontarkan oleh Milana. Pedang itu pun runtuh ke atas tanah, akan tetapi telah
berhasil menyelamatkan Si Lengan Buntung dari ancaman maut!
Pada
saat itu Bok Sam melepaskan toyanya dan hal ini dianggap oleh Mo Kong Hosiang
sebagai kemenangan. Dia berseru girang walaupun tadi kaget melihat tasbihnya
runtuh, dengan gerak kilat tangan kirinya menghantam ke arah lawan. Pukulannya
cepat dan keras bukan main sehingga didahului oleh hawa pukulan yang kuat.
Seperti juga Ceng Sim Hwesio, hwesio dari Tibet ini telah salah menduga keadaan
lawan. Disangkanya bahwa Si Lengan Buntung itu hanya mengandalkan toyanya,
maka begitu toya terlepas dianggapnya Si Lengan Buntung itu menjadi tak
berdaya dan lemah. Maka hwesio kurus itu hanya tersenyum mengejek ketika Bok
Sam menggerakkan lengan tangannya menangkis dengan tangan terbuka miring.
“Krakkkk....!”
Mo
Kong Hosiang berteriak kaget setengah mati ketika pergelangan tangannya
terasa nyeri dan tulangnya ternyata patah begitu berternu dengan tangan miring
lawan.
“Celaka....!”
Dia cepat meloncat ke belakang, lengan kirinya tergantung lumpuh karena
tulangnya patah, namun hud-timnya berhasil merampas toya. Kini dia menggerakkan
hud-timnya dan toya itu meluncur seperti anak panah yang besar ke arah Bok Sam!
“Wuuuttt....
wirrrr!” Tiba-tiba toya yang meluncur itu berhenti dan tertarik ke atas oleh
sinar hitam yang meluncur cepat dari tangan Milana. Kiranya dara perkasa ini
telah menggunakan sebatang tali sutera, sebuah di antara senjatanya yang amat
lihai, dilontarkannya tali itu dan berhasil menangkap toya! Kini toya itu telah
kembali ke tangan pemiliknya yang mengangguk sebagai tanda terima kasih kepada
Milana. Lontaran toya tadi benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya sehingga
kalau tidak ditolong Milana, tentu dia akan celaka, setidaknya terluka.
Sambil
menggereng seperti seekor harimau terluka, Bok Sam menerjang maju dan terpaksa
dilawan oleh Mo Kong Hosiang yang keadaannya tidak berbeda jauh dengan
lawannya. Kalau lawannya itu hanya menggunakan lengan kanan karena lengan
kirinya buntung, hwesio Tibet ini pun hanya menggunakan lengan kanan karena
lengan kirinya lumpuh dan patah tulangnya.
Maklum
bahwa selain terluka parah, juga di samping lawannya yang lihai ini masih
terdapat puteri Ketua Thian-liong-pang yang lebih lihai lagi, maka Mo Kong
Hosiang berlaku nekat, menubruk maju dengan dahsyat, hendak mengadu nyawa dan
mengajak lawannya mati bersama! Akan tetapi Bok Sam tentu saja tidak suka nekat
seperti lawannya karena dia sudah berada di pihak lebih kuat. Menghadapi
terjangan nekat ini, dia mengayun toyanya menangkis dengan pengerahan tenaga
sekuatnya.
“Desss!
Krakkk!” Hud-tim dan hoya di tangan kedua orang lawan itu patah menjadi dua
disusul pekik Mo Kong Hosiang yang roboh terjengkang karena dadanya terkena
pukulan tangan kanan Bok Sam yang amat ampuh. Biarpun dengan sin-kangnya dia
masih dapat membuat dadanya kebal, namun getaran hebat membuat jantungnya
pecah dan isi dadanya rusak sehingga hwesio Tibet ini tewas seketika!
Milana
cepat menyuruh anak buahnya mundur, kemudian dia menghampiri enam orang hwesio
Siauw-lim-pai yang sudah bangkit berdiri saling bantu. Ceng Sim Hwesio berdiri
dengan muka pucat.
“Ceng
Sim Hwesio, engkau tadi telah mendengar sendiri bahwa kami membunuh Mo Kong
Hosiang bukan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai karena menurut pengakuannya
sendiri, dia bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai. Kami membunuhnya sebagai
seorang pemberontak. Adapun Cu-wi Lo-suhu, enam orang anggauta Siauw-lim-pai
telah kalah dalam ujian kepandaian melawan kami, hal ini kami rasa sudah
sewajarnya, apalagi kalau diingat bahwa yang menantang mengadu ilmu adalah
pihak Siauw-lim-pai sendiri. Harap saja Lo-suhu tidak akan memutarbalikkan
kenyataan ini dalam laporan Lo-suhu kepada Ketua Siauw-lim-pai.”
Ceng
Sim Hwesio tersenyum pahit lalu menghela napas panjang. “Biarpun Mo Kong
Hosiang bukan anggauta Siauw-lim-pai, namun dia adalah seorang saudara kami,
sudah sepatutnya kalau kami membawa pergi jenazahnya. Tentang urusan antara
kita, hemmm.... kami sudah kalah, tidak perlu banyak bicara lagi! Selamat
tinggal, mudah-mudahan dalam pertemuan mendatang kami akan lebih berhasil.”
Setelah berkata demikian, Ceng Sim Hwesio mengajak anak buahnya pergi sambil
menggotong jenazah Mo Kong Hosiang.
Rombongan
Pulau Neraka yang bersembunyi sambil menonton, melihat bahwa biarpun pihak
Thian-liong-pang memperoleh kemenangan, akan tetapi rombongan itu tidak
meninggalkan tempat itu, hanya mengobati empat orang anggauta yang terluka
dalam pertandingan tadi. Bahkan mereka bermalam lagi di tempat itu melakukan
penjagaan secara bergiliran.
Kiranya,
bukan hanya dari partai persilatan Siauw-lim-pai saja yang datang. Pada
keesokan harinya datang pula rombongan orang-orang kang-ouw yang juga
mempunyai niat yang sama dengan rombongan Siauw-lim-pai, yaitu mereka menentang
Thian-liong-pang yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah menyeleweng dari
peraturan kang-ouw, yaitu telah mencampurkan diri dengan urusan politik,
bahkan telah mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah.
Betapapun juga, partai-partai persilatan besar dan orang-orang gagah di dunia
kang-ouw itu biar tidak secara terang-terangan memberontak atau menentang
pemerintah penjajah, namun di dalam hati mereka masih berpihak kepada
orang-orang yang memberontak terhadap kaum penjajah. Oleh karena itu,
mendengar betapa Thian-liong-pang membantu pihak pemerintah, nnengejar-ngejar
pemberontak dan membasmi mereka, golongan kang-ouw menjadi marah dan sengaja
menentang Thian-liong-pang!
Setiap
hari terjadilah pertempuran di tanah kuburan itu dan karena di pihak
Thian-liong-pang terdapat Si Lengan Buntung yang amat lihai dan puteri Ketua
Thian-liong-pang yang sukar menemui tandingan, maka pihak Thian-liong-pang
selalu dapat menang dan mengusir musuh-musuh mereka dengan alasan yang sama
seperti yang mereka kemukakan kepada Siauw-lim-pai. Pihek yang merasa
penasaran mereka lawan dengan mengadu kepandaian.
Rombongan
Pulau Neraka sekarang mengerti mengapa Bu-tek Siauw-jin, datuk mereka yang
aneh sekali wataknya itu memilih tempat ini untuk berlatih! Kiranya kakek yang
tidak lumrah manusia biasa itu agaknya sudah tahu bahwa tempat itu dijadikan
gelanggang pertandingan oleh Thian-liong-pang yang menyambut musuh-musuhnya,
maka dia sengaja memilih tempat itu yang dianggapnya menarik! Kalau tidak
untuk keperluan ini, apa perlunya kakek itu menyuruh belasan orang Pulau Neraka
menggotong-gotong peti mati kosong itu sampai ratusan mil jauhnya? Padahal
untuk latihan itu, di mana-mana pun ada tanah, di mana-mana pun ada tanah
kuburan! Diam-diam para anak buah Pulau Neraka merasa mendongkol sungguhpun
tentu saja tidak berani menyatakan ini, karena mereka berada dalam keadaan
serba salah, setiap hari harus menyaksikan ketegangan-ketegangan tanpa berani
berkutik.
Akhirnya
terlewat jugalah jarak waktu sepekan yang dibutuhkan oleh Bu-tek Siauw-jin
untuk latihan bersama muridnya! Akan tetapi, tepat pada hari terakhir itu
terjadi pula pertandingan antara Thian-liong-pang dan rombongan Hoa-san-pai
yang terdiri dari orang-orang pandai sebanyak sepuluh orang! Seperti juga
ketika menyambut rombongan Siauw-lim-pai, Milana mewakili ibunya memberi
alasan-alasan kuat, dan perbantahan itu berakhir dengan adu kepandaian pula,
karena pihak Hoa-san-pai itu adalah murid-murid Thian Cu Cin-jin Ketua
Hoa-san-pai yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pertandingan hebat terjadi
sampai lewat tengah hari dan berakhir dengan kemenangan pihak Thian-liong-pang,
akan tetapi biarpun orang-orang Hoa-san-pai itu dapat diusir pergi dalam
keadaan luka-luka, Pihak Thian-liong-pang sendiri kehilangan seorang anggautanya
yang terluka terlalu parah sehtngga nyawanya tidak tertolong lagi dan tewas tak
lama setelah rombongan Hoa-san-pai pergi!
Melihat
betapa pihak musuh tiada hentinya datang menantang mereka, Milana merasa
penasaran dan juga berduka sekali, apalagi setelah melihat di pihaknya jatuh
korban seorang tewas dan lima orang masih luka-luka.
“Lebih
baik kita meninggalkan tempat ini membuat laporan kepada Pangcu,” katanya
kepada Bok Sam.
“Sebaiknya
demikian, Nona. Akan tetapi karena kebetulan kita berada di tanah kuburan,
sebaiknya kita mengubur jenazah anak buah kita yang tewas itu di tempat ini.”
Milana
mengerutkan alisnya, akan tetapi menganggap bahwa memang sebaiknya demikian
sehingga mereka tidak perlu membawa-bawa jenazah. “Terserah kepadamu,
Kiang-lopek, akan tetapi di tempat jauh dari kota ini, bagaimana kau bisa
mendapatkan sebuah peti mati?”
Si
Lengan Buntung itu menengok ke kanan kiri yang penuh dengan batu nisan dan
gundukan tanah kuburan. “Hemm, banyak tersedia peti mati di sini, mengapa
mesti susah-susah mencari tempat jauh? Biar aku mencarikan sebuah peti mati
yang masih baik untuk jenazah kawan klta.” Si Lengan Buntung ini lalu mengajak
beberapa orang anak buahnya mencari kuburan yang masih belum begitu lama
sehingga peti mati di dalamnya tentu belum rusak pula.
Tentu
saja perhatian mereka segera tertarik oleh gundukan tanah yang masih baru,
yaitu kuburan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong! Tanah yang digundukkan di situ
baru sepekan lamanya.
“Bagus,
ini kuburan baru sekali! Tentu peti matinya pun masih baik. Hayo kita gali dan
keluarkan peti matinya!” Bok Sam berkata dengan wajah berseri, berbeda dengan
biasanya yang selalu kelihatan muram. Memang dia merasa gembira mendapatkan
kuburan yang baru itu, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya karena
tanah kuburan itu penuh dengan kuburan-kuburan yang sudah tua sekali.
Setelah
berkata demikian, Si Lengan Buntung ini mempelopori anak buahnya, menggunakan
tangannya menggempur gundukan tanah dan sekali tangan tunggalnya mendorong,
gundukan tanah yang baru itu terbongkar dan tampaklah sebuah peti meti di
bawahnya, berjajar dengan sebuah peti mati lain yang masih tertutup tanah.
Peti mati yang tampak itu adalah peti mati Kwi Hong!
“Heii,
keparat! Tahan....!”
Orang-orang
Thian-liong-pang terkejut dan mereka semua melihat dengan mata terbelalak
ketika belasan orang Pulau Neraka muncul dari kanan kiri. Benar-benar
mengejutkan melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu bermunculan di
tanah kuburan itu, tidda ubahnya seperti setan-setan kuburan. Si Lengan Satu
yang kehilangan lengan kirinya dalam pertandingan melawan orang-orang Pulau
Neraka, segera mengenal musuh-musuh lama ini, maka dia terkejut dan marah
sekali.
“Gerombolan
Iblis Pulau Neraka! Apakah kalian kembali hendak mengganggu urusan
Thian-liong-pang?” bentaknya marah sekali.
Kong
To Tek, tokoh Pulau Neraka yang berkepala gundul bermuka merah muda dan
bertubuh gendut pendek, menyeringai ketika menjawab. “Orang-orang
Thian-liong-pang yang sombong! Sudah sepekan kami berada di sini menyaksikan
sepak terjang kalian dan kami diam-diam saja. Siapa sudi mencampuri urusan
orang lain yang tidak harum? Akan tetapi kalian berani mengganggu kuburan yang
kami jaga, tentu saja kami turun tangan. Kuburan yang satu ini berada di bawah
pengawasan kami dan tidak ada seorang pun manusia atau iblis boleh
mengganggunya. Kalau kalian membutuhkan peti mati, boleh mencari kuburan
lain!”
“Kau
sudah bosan hidup!” Bok Sam membentak dan langsung menerjang ke depan, disambut
oleh Kong To Tek sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara kedua tokoh
ini. Ternyata ilmu kepandaian mereka seimbang sehingga pertandingan itu hebat
bukan main. Anak buah Thian-liong-pang yang lain sudah pula bertanding melawan
anak buah Pulau Neraka.
Perkelahian
itu segera terdengar oleh Milana dan anak buahnya, maka dara ini cepat membawa
anak buahnya menyerbu dan kembali tempat itu menjadi medan perang kecil-kecilan
yang dahsyat sekali. Milana mempunyai rasa tidak suka kepada Pulau Neraka,
maka kini melihat betapa orang-orang dengan muka beraneka warna itu bertempur
melawan orang-orangnya, dia segera terjun ke medan pertandingan dan sepak
terjang dara ini membuat orang-orang Pulau Neraka terdesak hebat. Bok Sam yang
bertanding melawan Kong To Tek merupakan tandingan seimbang dan seru, akan
tetapi Si Gundul Kong To Tek itu mulai terdesak karena lawannya menggunakan
pukulan-pukulan Ilmu Telapak Tangan Golok yang dahsyat bukan main. Kong To Tek
terkenal dengan ilmunya memukul sambil berjongkok dan dari mulutnya keluar
asap beracun. Namun karena dia pernah mengacau ke Thian-liong-pang dan
kepandaiannya ini sudah diketahui oleh Bok Sam, Si Lengan Buntung dapat menjaga
diri dan selalu meloncat tinggi melampaui kepala lawan yang berjongkok itu,
kemudian membalik dan melancarkan pukulan-pukulan maut dengan lengan
tunggalnya yang ampuh bukan main.
Adapun
orang ke dua yang lihai dalam rombongan Pulau Neraka itu adalah Chi Song, tokoh
Pulau Neraka yang tinggi besar dan berperut gendut. Chi Song ini memiliki dua
macam ilmu simpanan yang hebat dan pernah pula dia bersama Kong To Tek
mengacau Thian-liong-pang dan akhirnya dikalahkan oleh Gak Bun Beng yang pada
waktu itu menyamar sebagai Ketua Thian-liong-pang.
Dua
ilmu simpanannya itu memang dahsyat, yaitu Ilmu Pukulan Beracun yang berbahaya
sekali. Kalau dia mendorong dengan telapak tangan terbuka, dari telapak
tangannya menyambar uap beracun yang dapat merobohkan lawan sebelum
pukulannya sendiri mengenai sasaran. Adapun keistimewaannya yang ke dua adalah
ilmu tendangan yang dahsyat, yang dilakukan sambil meloncat sehingga dinamakan
Tendangan Terbang. Banyak lawan yang dapat menghindarkan diri dari pukulannya
yang beracun roboh oleh tendangan dahsyat yang amat cepat dan tidak
terduga-duga datangnya ini. Biarpun tingkat kepandaiannya masih kalah sedikit
dibandingkan dengan Kong To Tek, namun Chi Song bukanlah seorang tokoh rendahan
saja di Pulau Neraka.
Sial
baginya, sekali ini dia bertemu dengan Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang!
Betapapun lihainya, dan biarpun dia telah dibantu oleh tiga orang untuk
mengeroyok Milana, tetap saja dia dan kawan-kawannya dihajar babak belur oleh
tali sutera hitam yang dimainkan sebagai cambuk tangan Milana! Kalau dara remaja
ini menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat menyebar maut di antara
rombongan orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi biarpun dia puteri Ketua Thian-liong-pang
yang terkenal berwatak keras dan ganas, pada hakekatnya Milana memiliki watak
halus dan tidak tega membunuh orang kalau tidak secara terpaksa sekali. Dia
tidak suka kepada orang-orang Pulau Neraka, akan tetapi karena yang
mengeroyoknya hanya orang-orang yang tingkatnya jauh lebih rendah daripadanya,
dia tidak mau menurunkan tangan maut, dan hanya menghajar mereka dengan
lecutan-lecutan tali suteranya sehingga mereka itu terdesak mundur, bahkan
beberapa kali Chi Song roboh bergulingan, pakaiannya robek-robek dan kulitnya
lecet-lecet.
Sepak
terjang Milanna ini hebat sekali, membuat para anak buah Pulau Neraka menjadi
kacau balau. Apalagi ketika Bok Sam berhasil melukai pundak Kong To Tek dengan
Telapak Tangan Goloknya sehingga tokoh gundul Pulau Neraka itu terpaksa mundur
untuk mengobati lukanya dan Si Lengan Buntung itu kini mengamuk secara lebih
hebat daripada Milana karena Si Lengan Buntung ini tidak menaruh segan-segan
untuk membunuh atau menimbulkan luka parah di antara pengeroyoknya, pihak
Pulau Neraka benar-benar terdesak hebat dan hanya main mundur.
Tiba-tiba
terdengar pekik dari atas, disusul kelepak sayap dan seekor burung rajawali
hitam menyambar turun, langsung mencengkeram ke arah Si Lengan Buntung Kiang
Bok Sam yang sedang mengamuk dan menyebar maut di antara orang-orang Pulau
Neraka!
“Haiiiitttt!”
Bok Sam berseru kaget, cepat dia melempar tubuh ke bawah dan bergulingan di
atas tanah. Burung rajawali mengejar dan menyambar. Tiba-tiba Bok Sam meloncat
bangun, tangan kanannya bergerak memukul ke arah sebuah di antara sepasang
cakar yang menyambarnya.
“Desssss!”
Burung rajawali itu memekik keras, akan tetapi tubuh Bok Sam juga terlempar
bergulingan sampai jauh. Kiranya ketika kaki burung itu bertemu dengan pukulan
Telapak Tangan Golok, ada sebuah tangan lain yang mendorong ke bawah dengan
kekuatan yang amat dahsyat, yang selain menyelamatkan kaki burung itu, juga
membuat tubuh Si Lengan Buntung bergulingan. Burung itu hinggap di atas tanah
dan dari punggungnya meloncat seorang pemuda yang bertubuh jangkung dan
berwajah tampan sekali. Kemudian burung itu terbang ke atas, hinggap di atas
cabang pohon.
Su
Kak Liong, tokoh Thian-liong-pang yang melihat betapa hampir saja Bok Sam
celaka oleh pemuda dengan burung rajawalinya ini, menerjang maju dengan
sebatang golok besar. Pemuda itu sedang berdiri sambil bertolak pinggang
memandang ke sekeliling, sama sekali tidak memperhatikan atau mempedulikan
terjangan Su Kak Liong dengan golok, juga dia tidak meraba gagang pedangnya yang
tersembunyi di balik jubahnya yang panjang. Sikapnya tenang sekali, alisnya
yang tebal agak berkerut, matanya bergerak ke kanan kiri, mulutnya tersenyum
simpul seperti orang mengejek, namun sikapnya angkuh seolah-olah dia memandang
rendah kepada semua orang yang berada di sekelilingnya. Golok di tangan Su Kak
Liong menyambar dekat, hampir menyentuh lehernya. Tiba-tiba tanpa mengubah
kedudukan kedua kakinya, pemuda itu membalikkan tubuh atas, tangan kirinya
bergerak menangkap golok yang sedang menyambar, dijepit di antara jari
tangannya sehingga golok itu tiba-tiba terhenti gerakannya. Su Kak Liong
memandang dengan mata terbelalak hampir tidak percaya bahwa ada orang mampu
menyambut hantaman goloknya dengan jari tangan menjepitnya sedemikian rupa sehingga
dia tidak mampu lagi menggerakkan goloknya. Matanya masih tetap terbelalak akan
tetapi mulutnya mengeluarkan pekik menyeramkan dan segera disusul menyemburnya
darah segar ketika tangan kanan pemuda itu menepuk ulu hatinya dan seketika
robohlah Su Kak Liong dalam keadaan tak bernyawa lagi!
“Keparat....!
Kau berani membunuhnya? Rasakan pembalasanku!” Bok Sam yang melihat peristiwa
ini, menjadi marah bukan main. Biarpun dia maklum bahwa pemuda itu benar-benar
lihai sekali, namun dia tidak menjadi gentar. Kemarahannya membuat ia lupa
diri dan dengan nekat dia menerjang maju, tangan tunggalnya diangkat ke atas
kepala dengan telapak tangan terbuka, dia sudah mengerahkan tenaga Telapak Tangan
Golok dan siap membacokkan tangannya ke arah kepala pemuda itu. Si Pemuda
tetap berdiri dan kini bahkan melongo memandang ke arah Milana yang mengamuk
dengan sabuk suteranya, sama sekali tidak mempedulikan makian dan serangan Si
Lengan Buntung yang kini menggunakan Ilmu Telapak Tangan Golok sekuatnya itu!
“Plakkk!”
ketika tangan kanan Bok Sam itu sudah dekat kepalanya, Si Pemuda tiba-tiba
mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepala dan menyambut pukulan
itu sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dan melekat!
Bok
Sam mengerahkan seluruh tenaganya, tenaga sin-kang yang istimewa untuk ilmunya
Telapak Tangan Golok, namun betapapun dia menekan, tetap saja tangan pemuda
itu tidak dapat didorongnya, bahkan dia tidak dapat lagi melepaskan tangannya
dari telapak tangan Si Pemuda. Kemarahannya memuncak. Pemuda inilah yang telah
membuntungi lengan kirinya maka tadi dia marah sekali dan telah mengerahkan
seluruh tenaga untuk membalas dendam dan membunuhnya. Siapa kira, kini
pukulannya yang istimewa disambut oleh pemuda itu seenaknya saja dan dia tidak
mampu menarik kembali tangannya. Dengan kemarahan meluap, Bok Sam lalu
menggunakan kepalanya. Untuk menggunakan tangan kiri, dia sudah tidak
mempunyai lengan kini, menggunakan kedua kaki, jarak mereka terlalu dekat
karena tangan mereka sudah saling melekat, maka satu-satunya yang dapat dia
pergunakan untuk menyerang musuh yang paling dibencinya ini adalah menggunakan
kepalanya! Dengan menunduk, dia lalu membenturkan kepalanya dengan sekuat
tenaga ke arah dada pemuda itu!
Pemuda
itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera dari Ketua Pulau Neraka, murid yang
amat lihai dari Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka! Melihat
serangan kepala ini, Wan Keng In tetap tenang bahkan dia meloncat sedikit ke
atas sehingga kepala lawan tidak mengenai dada, melainkan mengenai perutnya.
“Capppp!”
Perut itu mengempis dan kepala itu menancap di perut sampai setengahnya, tak
dapat dicabut kembali.
Bok
Sam merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, seolah-olah telah memasuki tempat
perapian. Makin lama makin panas. Dia meronta-ronta akan tetapi karena tangan
kanannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu, kepalanya sudah terjepit di
rongga perut, yang bergerak hanya pinggul dan kedua kakinya yang
menendang-nendang tanah!
“Manusia
tak tahu diri, mampuslah!” Pemuda itu menggumam sambil mengerahkan tenaga
mujijat di rongga perutnya. Terdengar bunyi keras ketika kepala Bok Sam
retak-retak oleh tekanan perut yang amat kuat itu dan ketika Wan Keng In
melontarkan tubuh Si Lengan Buntung dengan jalan mengembungkan perutnya,
tubuh itu telah menjadi mayat dengan kepalanya retak-retak dan berwarna
kehitaman!
Semua
ini dilakukan oleh Wan Keng In tanpa mengalihkan pandang matanya dari Milana
yang masih menghajar orang-orang Pulau Neraka dengan tali suteranya yang meledak-ledak
di udara seperti cambuk.
Pandang
matanya menjadi berseri, mulutnya tersenyum ketika ia melangkah dengan tenang,
menghampiri tempat pertempuran itu, seolah-olah dia terpesona oleh gerak-gerik
tubuh yang tinggi semampai dan lemah gemulai itu, oleh wajah yang amat cantik
manis, bahkan amukan Milana pada saat itu menambah kejelitaan dalam pandang
mata Wan Keng In ketika ia melangkah terus makin dekat.
“Aduhai,
Nona yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Siapakah gerangan engkau?”
Para
anak buah Pulau Neraka yang terdesak hebat oleh rombongan Thian-liong-pang kini
menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya Wan Keng In. Terdengar
seruan di antara mereka.
“Siauw-tocu
(Majikan Muda Pulau) telah datang!”
Ketika
mendengar seruan ini, Milana menengok dan kalau tadinya dia terheran mendengar
kata-kata yang dianggapnya menyenangkan akan tetapi juga kurang ajar itu kini
dia kaget bukan main. Kiranya pemuda ini adalah Majikan Muda Pulau Neraka!
Teringat ia akan cerita Bun Beng kepadanya dan marahlah hatinya. Pemuda ini
yang telah merampas pedang Lam-mo-kiam dari tangan Bun Beng. Ketika ia
memandang, baru sekarang tampak olehnya bahwa Su Kak Liong dan Bok Sam telah
menggeletak menjadi mayat! Tahulah dia bahwa dua orang pembantunya yang paling
lihai itu telah tewas, dan melihat munculnya pemuda Pulau Neraka ini, mudah
diduga bahwa tentu mereka tewas di tangan pemuda ini.
Agaknya
Wan Keng In dapat menduga isi hati Milana ketika melihat dara jelita itu
memandang ke arah mayat ke dua orang tokoh Thian-liong-pang dengan wajah
berubah, maka dia tertawa lalu berkata, “Ha-ha-ha, jangan kaget, Nona manis.
Kedua orang itu telah berani menyerangku, terpaksa aku bunuh mereka.
Orang-orang macam itu sungguh tidak patut menjadi pembantu-pembantumu. Nona,
siapakah engkau? Heran sekali di dunia ini bisa terdapat seorang dara secantik
jelita engkau, dan selama ini aku tidak pernah bertemu denganmu. Nona, baru
sekali ini hatiku tergetar hebat dengan seorang wanita. Aku yakin, engkaulah
satu-satunya wanita yang diciptakan di dunia ini, khusus untuk menjadi
pasanganku!”
Bukan
main marahnya hati Milana. Tak dapat disangkal lagi, pemuda itu amat tampan
menarik, masih muda, sebaya dengannya, pakaiannya indah, kulit mukanya putih
bersih, matanya bersinar-sinar, pendeknya dia seorang pemuda yang tampan gagah
sukar dicari keduanya. Akan tetapi sinar matanya yang agak aneh itu mengandung
sesuatu yang mengerikan, sedangkan kata-kata dan sikapnya membuat Milana merasa
muak dan membangkitkan perasaan tidak senang yang mendekatkan kebencian.
“Jadi
engkau adalah bocah Pulau Neraka yang amat jahat itu? Engkau yang merampas
pedang Lam-mo-kiam milik Gak Bun Beng?”
Wan
Keng In mengerutkan alisnya yang tebal hitam. “Eh, engkau mengenal Gak Bun
Beng? Dia sudah mati, bukan? Engkau siapa, Nona?”
“Siauw-to-cu,
dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Dia lihai sekali,” seorang anggauta
Pulau Neraka tiba-tiba berkata sambil mencoba untuk bangkit. Tulang kakinya
pecah terkena cambukan tali sutera Milana tadi.
“Aihhhh,
kiranya puteri Ketua Thian-liong-pang? Pantas saja cantik jelita dan lihai.
Sungguh tepat kalau begitu. Engkau puteri Ketua Perkumpulan Thian-liong-pang
yang terkenal di seluruh dunia, aku pun putera Majikan Pulau Neraka yang
tidak kalah terkenalnya. Sungguh merupakan jodoh yang setimpal sekali!”
“Tutup
mulutmu yang kotor!” Milana memaki dan tangannya bergerak.
“Tar-tar!”
Ujung tali sutera hitam melecut di udara dan menyambar ke arah kedua pelipis
kepala Wan Keng In dengan kecepatan kilat. Sekali ini, Milana bukan sekedar
menggerakkan senjata untuk menghajar, melainkan dia memberi serangan totokan
yang merupakan serangan maut.
Biasanya
Wan Keng In memandang rendah kepada semua orang. Akan tetapi begitu bertemu
dengan Milana, entah bagaimana, hatinya tertarik seperti besi tertarik oleh
besi sembrani. Belum pernah selama hidupnya dia tertarik oleh wanita seperti
itu. Dia bukan seorang mata keranjang sungguhpun dia biasa disanjung wanita dan
biasanya dia memandang rendah wanita-wanita cantik yang dianggapnya belum cukup
untuk duduk berdampingan dengannya! Sekali ini, begitu melihat Milana, dia
tergila-gila. Ketika dia menyaksikan gerakan ujung tali sutera, dia menjadi
makin gembira dan kagum. Gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan sama
sekali tidak boleh dipandang ringan!
“Engkau
hebat, Nona!” Dia memuji akan tetapi cepat ia miringkan kepala untuk
menghindarkan totokan maut itu, kemudian tangannya cepat menyambar untuk
menangkap ujung tali sutera hitam.
“Cuiittt....
taaar!”
Lihai
sekali Milana bermain tali sutera yang digerakkan seperti pecut itu. Begitu
totokannya pada pelipis yang bertubi-tubi menyerang pelipis kanan-kiri itu
tidak mengenai sasaran, bahkan hampir dicengkeram oleh tangan Wan Keng In,
dara itu telah membuat gerakan dengan pergelangan tangannya dan ujung tali sutera
itu sudah melecut dan menotok ke arah jalan darah di pergelangan tangan yang
hendak menangkapnya!
“Trikkkk!”
“Engkau
memang hebat, Nona manis!” Keng In kembali memuji sambil tersenyum lebar. Akan
tetapi Milana kini terkejut bukan main. Pemuda itu tadi telah menggunakan
jari telunjuknya untuk menyentik ujung tali suteranya yang menotok ke arah
pergelangan tangan. Gerakan itu demikian tepat mengenai ujung tali sutera
sehingga ujung tali terpental. Hanya orang yang telah memiliki ilmu kepandaian
tinggi saja yang dapat melakukan hal ini!
Namun,
tentu saja Milana tidak menjadi jerih. Dia tidak pernah mengenal takut dan dia
pun sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri. Biarpun tak mungkin dia dapat
mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya yang amat banyak itu, namun kiranya
hanya beberapa macam ilmu yang amat tinggi dan terlalu sukar saja yang belum
diajarkan ibunya kepadanya dan kalau hanya melawan musuh yang sebaya dengannya
saja, kiranya di dunia ini sukar ada yang akan dapat menandinginya.
“Jahanam
busuk, bersiaplah untuk mampus!” bentaknya dan kini terdengarlah
ledakan-ledakan nyaring ketika ujung tali sutera itu menari-nari di tengah
udara, membentuk lingkaran-lingkaran yang besar kecil saling telan, kemudian
lingkaran-lingkaran hitam itu berjatuhan ke bawah, susul-menyusul dalam serangkaian
serangan maut ke arah tubuh Wan Keng In dengan kecepatan kilat yang menyilaukan
mata karena lingkaran itu tidak lagi berupa sabuk atau tali sutera, melainkan
tampak seperti sinar hitam saja.
“Bagus
sekali....!” Wan Keng In kembali memuji dan tiba-tiba tubuhnya bergerak
lenyap, lalu tampak berkelebatan seperti bayangan setan menari-nari di antara
sinar hitam yang bergulung-gulung dan melingkar-lingkar! Wan Keng In tidak mau
menggunakan pedangnya yang ampuh. Kalau dia menggunakan pedang Lam-mo-kiam,
sekali sambar saja tentu akan putus tali sutera hitam itu. Akan tetapi dia
tidak mau melakukan hal ini, karena selain dia tidak mau menghina Milana, juga
dia ingin memamerkan kepandaiannya. Memang hebat sekali pemuda ini. Gerakannya
yang cepat itu hanya membuktikan bahwa gin-kangnya (ilmu meringanken tubuh)
sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sehingga tubuhnya itu amat ringan dan
amat cepat, dapat mengelak dari setiap sambaran sinar tali sutera!
Menyaksikan
pertandingan yang amat hebat, luar biasa dan indah dipandang ini, otomatis
perkelahian-perkelahian antara rombongan Pulau Neraka dan rombongan
Thian-liong-pang terhenti. Mereka menonton karena maklum bahwa pertandingan
antara kedua orang muda putera dan puteri ketua masing-masing rombongan itu
merupakan pertandingan yang menentukan. Kalah menangnya pertandingan antara
kedua orang muda yang lihai bukan main itu berarti kalah menangnya pula perang
kecil antara kedua rombongan itu!
Gerakan
tali sutera itu makin hebat dan bukan lagi lingkaran-lingkaran yang dibentuk
oleh sinar hitam itu, melainkan bentuk-bentuk segi tiga, segi empat, bahkan ada
kalanya sinar itu membentuk segi delapan. Ujung sabuk itu menyerang dari
delapan penjuru, setiap gerakan merupakan totokan maut dan didasari tenaga
sin-kang yang sangat kuat. Bukan hanya amat indahnya sinar hitam itu membentuk
segi tiga yang ajaib itu, juga gerakannya mengeluarkan bunyi bercuitan,
seolah-olah sinar hitam itu hidup! Itulah permainan tali sutera atau sabuk yang
gerakannya berdasarkan Ilmu Silat Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa)
warisan dari kitab-kitab pusaka peninggalan Pendekar Wanita sakti Mutiara
Hitam! Nirahai telah menciptakan ilmu dengan tali sutera ini khusus untuk
puterinya setelah dia meemperoleh kenyataan bahwa puterinya berbakat baik
sekali dalam menggunakan sabuk atau tali sutera halus dan lemas sebagai senjata
yang ampuh.
Diam-diam
Wan Keng In terkejut dan makin kagum. Dia maklum bahwa kalau dia menghadapi
permainan tali sutera lawan yang amat lihai ini dengan tangan kosong saja,
lama-lama dia terancam bahaya maut. Ternyata tingkat kepandaian puteri Ketua
Thian-liong-pang ini benar-benar mengejutkan hatinya. Kalau dia berpedang,
agaknya dia masih akan dapat keluar sebagai pemenang dengan membabat putus
tali itu. Akan tetapi, kalau dia menggunakan pedang dan terpaksa merusak tali
sutera itu, tentu dara yang menjatuhkan hatinya itu akan tersinggung dan
marah. Sebaliknya kalau hendak menaklukkan dara ini dengan tangan kosong,
benar-benar merupakan hal yang amat sulit, betapa pun tinggi ilmu
kepandaiannya. Dia harus menggunakan akal dan hal ini merupakan kelebihan
dalam kepala Wan Keng In dibandingkan dengan orang-orang muda lainnya. Pemuda
ini cerdik bukan main, pandai menggunakan siasat-siasat yang tak terduga-duga
dalam keadaan darurat seperti saat itu.
Ketika
ujung sabuk atau tali hitam itu untuk kesekian kalinya menotok ke arah jalan
darah Kin-ceng-niat di pundak kiri, tempat yang tidak begitu berbahaya dan
yang dapat ia tutup dengan hawa sin-kang, dia sengaja berlaku lambat dan ujung
tali sutera itu dengan tepat menotok pundaknya yang sudah ia tutup jalan
darahnya dan terlindung oleh sin-kang yang kuat.
“Prattt!”
Tepat
pada saat ujung tali sutera itu menotok pundak, tangan kanan Wan Keng In
menyambar dan ia berhasil menangkap ujung tali sutera hitam! Milana terkejut
bukan main. Tadinya dia sudah merasa girang karena totokannya berhasil, akan
tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali tidak
menjadi lumpuh, bahkan telah berhasil menangkap ujung tali suteranya! Namun,
Milana tidak menjadi panik. Dia mengerahkan sin-kangnya, mainkan pergelangan
tangannya dan dengan penyaluran tenaga sin-kang dia menggerakkan tali suteranya
dan.... tubuh Wan Keng In terbawa oleh meluncurnya tali sutera itu ke udara!
Milana terus menggerakkan tali suteranya, memutar tali itu ke atas, makin lama
makin cepat sehingga tubuh Wan Keng In yang masih berada di ujung tali karena
pemuda itu tidak mau melepaskan ujung tali sutera, terbawa pula terputar-putar!
Para
anak buah rombongan kedua pihak yang menjadi penonton dengan hati diliputi
penuh ketegangan itu menonton dengan mata terbelalak. Demikian tegang rasa
hati mereka itu menahan napas ketika menyaksikan pertendingan mati-matian
yang kelihatannya seperti main-main atau permainan akrobat yang dilakukan oleh
dua orang muda-mudi yang elok dan tampan!
Wan
Keng In sengaja membiarkan dirinya terbawa oleh tali yang diputar-putar itu.
Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan sin-kang dan mengadu kekuatan
dengan dara itu memperebutkan tali sutera. Akan tetapi hal ini tentu akan
mengakibatkan tali itu putus, hal yang tidak dia kehendaki karena putusnya
tali itu bukan berarti bahwa dia telah menang, akan tetapi yang jelas gadis
itu tentu akan marah dan benci kepadanya. Tidak, dia tidak menggunakan akal
itu, melainkan hendak menggunakan akal lain. Kalau dia dapat merayap melalui
tali, makin lama makin dekat, tentu akhirnya dia akan berhadapan dengan dara
jelita itu dan kalau sudah begitu, mudahlah baginya untuk membuat dara itu
tidak berdaya tanpa melukainya. Dengan hati-hati dan perlahan, mulailah Wan
Keng In merayap melalui tali yang panjang itu, sedikit demi sedikit, bergantung
dengan mengganti-ganti tangan sambil tubuhnya masih terputar-putar cepat
sekali sehingga dalam pandangan orang lain, tubuhnya berubah menjadi banyak
sekali!
Mungkin
bagi penonton lain tidak ada yang tahu akan usaha Wan Keng In mendekati lawan
dengan cara merayap perlahan-lahan melalui tali sutera yang panjang itu, akan
tetapi Milana dapat melihat atau lebih tepat lagi dapat merasakan gerakan
lawan yang berada di ujung tali sutera itu. Dara ini tidak bodoh, dan maklum
bahwa kalau sampai pemuda itu dapat mendekatinya, belum tentu dia akan dapat
menandingi pemuda yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Maka begitu melihat
pemuda itu perlahan-lahan merayap dekat, diam-diam Milana menggerakkan tangan
kirinya dan hanya memutar tali itu dengan tangan kanan. Tangan kirinya
menyusup ke dalam kantung jarumnya dan tampak tiga kali dia menggerakkan tangan
kirinya ke depan. Gerakan tangan yang tidak begitu tampak, karena sambitan jarum-jarumnya
itu ia lakukan dengan pergelangan tangan dan jari-jari tangan. Namun, tiga
kali tampak sinar halus menyambar ke arah tubuh Wan Keng In yang terbawa tali
berputaran, sinar kemerahan halus dari jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun
Wangi)!
“Celaka....!”
Wan Keng In berseru kaget ketika melihat menyambarnya sinar halus dan mencium
bau harum. Tahulah dia bahwa dia yang sedang diputar-putar seperti kitiran itu
kini diserang dengan senjata-senjata rahasia yang amat halus dan mengandung
racun yang bahunya harum pula! Namun Wan Keng In selain telah mempelajari
ilmu-ilmu tingkat tinggi dari ibunya, juga telah menerima gemblengan dari
Cui-beng Koai-ong yang sakti, maka biarpun keadaannya itu amat berbahaya, namun
dia masih bersikap tenang dan tiba-tiba tubuhnya yang berada di ujung tali
sutera itu membuat gerakan berputar pula! Hebat bukan main pemandangan di waktu
itu. Tubuh di ujung tali sutera itu berputaran, sedangkan tali itu sendiri
berputar cepat. Dengan gerakan berputaran ini, Wan Keng In dapat menyelamatkan
diri dan mengelak dari sambaran jarum-jarum Siang-tok-ciam. Namun dia juga
telah menemukan akal baru yang luar biasa dan cerdik sekali.
Dengan
pengukuran tenaga yang tepat, Wan Keng In dapat mengerahkan sin-kangnya dan
memberatkan tubuhnya sehingga tiba-tiba tali sutera yang berputar itu tak
dapat dikuasai lagi oleh kedua tangan Milana dan berputar melibat tubuh dara
itu.
“Aihhhh....!”
Milana menjerit kaget, sadar setelah terlambat karena tali yang berputar cepat
itu kini telah membuat beberapa putaran mengelilinginya dan karena tali menurun
akibat beratnya tubuh Wan Keng In, maka tali itu membelit-belit tubuhnya,
menelikung kedua lengannya sendiri! Terdengar suara Wan Keng In tertawa-tawa
sambil terus membuat gerakan mengayun sehingga tali itu biarpun tidak lagi
dipegang oleh Milana, masih terus berputar melibat tubuh Milana yang berusaha
meronta-ronta.
“Ha-ha-ha,
Nona manis. Bukankah dengan begini berarti engkau telah tertawan olehku
seperti tertawannya hatiku olehmu?”
Tiba-tiba
terdengar bunyi keras. “Krakkkkk!” dan dari dalam lubang kuburan tampak bayangan
berkelebat, didahului sinar kilat menyambar ke arah tali sutera.
“Bretttt!”
Tali sutera itu putus dan tubuh Wan Keng In yang masih terayun di ujung tali,
tentu saja terpelanting. Untung dia masih dapat berjungkir balik sehingga tidak
terbanting ke atas tanah.
Milana
mempergunakan kesempatan baik itu untuk melepaskan diri. Ketika dia melihat
bahwa yang muncul adalah seorang wanita muda yang cantik, segera dia mengenal
wanita itu sebagai gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang di rumah
penginapan. Dia menjadi terkejut dan khawatir sekali, maka menggunakan
kesempatan selagi gadis itu berhadapan dengan Wan Keng In, dia memberi
isyarat kepada anak buahnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Anak
buahnya pergi sambil membawa jenazah-jenazah para kawan yang menjadi korban.
Rombongan Pulau Neraka tidak mencegah mereka melarikan diri karena merasa
jerih terhadap Milana, apalagi kini tuan muda mereka sedang menghadapi lawan
baru berupa dara perkasa yang galak, murid dari datuk mereka yang selama sepekan
ini berlatih di dalam tanah kuburan bersama datuk mereka, Bu-tek Siauw-jin!
Mereka menjadi bingung dan tidak berani turut campur, memandang dengan hati
penuh ketegangan.
“Keparat,
siapa engkau....? Ehhh, kiranya kau, bocah setan dari Pulau Es? Ha-ha-ha,
kukira siapa! Dan Li-mo-kiam masih berada di tanganmu? Bagus....! Kau harus
berikan Li-mo-kiam kepadaku, agar dapat kuhadiahkan kepada calon isteri....
haiiii! Ke mana dia....!” Wan Keng In menoleh dan ketika dia melihat Milana
sudah tidak berada di situ lagi, dia menjadi bengong dan mencari ke sana-sini
dengan pandang matanya.
“Siauw-tocu,
mereka telah pergi....!” kata seorang di antara anak buahnya.
“Tolol!
Goblok kalian semua! Mengapa boleh pergi? Hayo kita....” belum habis ucapannya
Wan Keng In terkejut sekali dan terpaksa dia melempar tubuh terjengkang ke
belakang untuk menghindarkan sinar kilat yang menyambar tubuhnya. Kiranya Kwi
Hong telah menyerang dengan menusukkan Li-mo-kiam ke arah dadanya. Gerakan
gadis ini cepat sekali sehingga hampir saja dia menjadi korban. Marahlah Wan
Keng In.
“Kau
berani melawan aku? Hemm, apa yang kauandalkan? Pedang itu? Baik, kita lihat
siapa yang lebih unggul antara murid Pulau Neraka dan murid Pulau Es!”
Setelah
berkata demikian, Wan Keng In menggerakkan tangan kanannya, meraba punggung di
balik jubah. Ketika tangannya diangkat, tampak sinar kilat dan Lam-mo-kiam
sudah berada di tangannya!
Kwi
Hong amat membenci pemuda ini. Kemarahannya memuncak ketika dia melihat
Lam-mo-kiam di tangan pemuda itu. Dia tahu bahwa itu adalah pedang Gak Bun Beng
yang dirampas oleh Keng In. Semenjak dia masih belum dewasa, bocah Pulau Neraka
ini sudah menjadi musuhnya.
“Keparat
jahanam! Manusia tidak kenal malu! Pedang curian kaupamerkan di sini. Bukan
aku yang harus menyerahkan Li-mo-kiam kepadamu, melainkan engkau yang harus
memberikan Lam-mo-kiam itu kepadaku sebelum lehermu putus!”
“Singgggg....!”
sinar kilat di tangan Kwi Hong menyambar ke depan, disambut sinar kilat yang
sama di tangan Wan Keng In.
“Wuuuuiiiitttt!”
Dua
orang itu terkejut bukan main karena pedang mereka tertolak ke belakang
sebelum bertemu! Seolah-olah dari sepasang pedang itu timbul hawa yang ajaib
yang membuat kedua pedang tidak dapat saling sentuh, melainkan terdorong
membalik oleh tenaga mujijat tadi!
Namun
Kwi Hong tidak mempedulikan hal ini dan cepat dia menyerang lagi. Terjadilah
perang tanding yang amat hebat, lebih menegangkan daripada pertandingan antara
Wan Keng In dan Milana tadi, karena kini kedua orang muda itu mempergunakan
sepasang pedang yang membuat para penonton merasa tubuhnya panas dingin. Baru
sinar dan hawa pedang itu telah membuat mereka yang berada di situ meremang
semua bulu di badan dan mengkirik. Hal ini tidaklah mengherankan karena kini
yang mengeluarkan sinar adalah Sepasang Pedang Iblis yang memiliki hawa
mujijat seolah-olah dikendalikan oleh roh-roh dan iblis-iblis yang haus darah!
Memang
hebat sekali pertandingan antara kedua orang muda itu. Hebat, menyilaukan mata
dan amat aneh sehingga menyeramkan para penonton. Betapa tidak aneh kalau
kedua orang itu bergerak cepat sehingga bayangan mereka tertutup gulungan dua
sinar pedang yang seperti kilat berkelebatan, akan tetapi sama sekali tidak
pernah terdengar suara beradunya senjata? Seolah-olah tidak pernah ada yang
menangkis, padahal kedua orang itu mainkan pedang secara dahsyat dan ada
kalanya untuk menyelamatkan diri, jalan satu-satunya hanya menangkis. Akan
tetapi, begitu seorang di antara mereka menggerakkan pedang menangkis, serangan
lawan terhalau oleh tangkisan tanpa kedua pedang itu saling bersentuhan karena
keduanya tentu terpental oleh tenaga mujijat. Seolah-olah Sepasang Pedang
Iblis itu keduanya saling tidak mau bersentuhan.
Sebetulnya,
kalau ditilik dasarnya, ilmu silat kedua orang muda ini masih satu sumber. Wan
Keng In adalah putera dari Lulu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu dari
ibunya ini. Lulu adalah adik angkat Pendekar Super Sakti dan biarpun kemudian
Lulu menjadi murid Nenek Maya, namun sumber dari ilmu silatnya masih tetap
sama, yaitu yang berasal dari Pulau Es, berasal dari Bu Kek Siansu. Tentu saja
karena tingkat kepandaian Pendekar Super Sakti jauh lebih tinggi daripada
tingkat kepandaian Lulu, apa yang diajarkan kepada Kwi Hong sebenarnya bermutu
lebih tinggi pula daripada pelajaran yang diterima Wan Keng In dari ibunya.
Akan tetapi, setelah Keng In digembleng oleh kakek sakti yang tidak seperti
manusia, Cui-beng Koai-ong, kepandaian pemuda itu meningkat secara tidak lumrah
sehingga tingkatnya kini bahkan sudah melampaui tingkat kepandaian ibunya
sendiri!
Keng
In merasa penasaran sekali. Kalau saja tidak mengingat bahwa gadis ini adalah
murid Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dia
sudah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang mujijat, yang ia dapatkan dari gurunya.
Akan tetapi dia tidak mau membunuh Kwi Hong. Dia ingin menawannya, untuk
menunjukkan kepada Majikan Pulau Es yang dibencinya, orang yang telah membikin
sengsara hati ibu kandungnya, bahwa dia tidak takut menghadapi Pulau Es, dan
dia bahkan ingin mempergunakan nona ini untuk memancing datangnya Pendekar
Siluman untuk bertanding!
Tiba-tiba
Wan Keng In mengeluarkan suara gerengan yang tidak lumrah manusia. Gerengan
yang keluar dari pusarnya, melalui kerongkongan dan mengeluarkan getaran yang
seolah-olahmembuat bumi tergetar! Kwi Hong
sendiri menjadi pucat wajahnya dan biarpun dia telah mengerahkan sin-kang,
tetap saja jantungnya tergetar dan gerakannya tidak tetap. Pada saat itu, ilmu
pedang yang dimainkan oleh Keng In telah berubah aneh dan ganas bukan main. Kwi
Hong merasa gentar, jantungnya berdebar dan melihat pemuda itu menggerakkan pedangnya,
ia menjadi pening, seolah-olah ia melihat lawannya menjadi tinggi besar dan
menakutkan, gerakannya menjadi luar biasa cepat dan kuatnya! Kalau saja dia
tidak sedikit-sedikit memetik gerakan kilat gurunya, tentu saja sudah kena
dicengkeram oleh tangan kiri Keng In yang menyelingi gerakan pedangnya!
“Hyaaahhh!”
tiba-tiba Keng In membentak, tubuhnya secara mendadak bergulingan dan
pedangnya membabat secara bertubi-tubi ke arah kedua kaki Kwi Hong. Dara ini
cepat meloncat-loncat dan menjauhkan diri, akan tetapi tiba-tiba lawannya
bangkit dan memukul dengan tangan kiri terbuka. Serangkum dorongan telapak
tangan ini menyambar ke arah dada Kwi Hong.
“Aihhh!”
Dara ini cepat melakukan gerak mendorong yang sama, dengan tangan kirinya,
didorongkan ke arah tangan lawan sambil mengerahkan tenaga Inti Es yang
dilatihnya di Pulau Es.
“Wesss....!”
Dua tenaga raksasa bertemu di udara, di antara kedua telapak tangan yang
terpisah dua kaki saja. Tenaga panas bertemu dengan dingin dan akibatnya Kwi
Hong terjengkang ke belakang karena di saat tenaga itu bertemu kembali Keng In
mengeluarkan gerengan yang menggetarkan jantung itu. Sebelum dia sempat
meloncat, Keng In sudah menotok punnggungnya dan begitu lengan Kwi Hong lemas,
cepat pedang Li-mo-kiam telah dirampasnya!
Biarpun
tubuhnya sudah menjadi lemah dan lumpuh, Kwi Hong masih dapat menggunakan
mulutnya untuk memaki-maki,
“Pengecut!
Curang engkau! Tak tahu malu! Pencuri busuk, hayo kembalikan pedangku dan kita
bertanding secara bersih! Kau menggunakan ilmu siluman, keparat busuk!”
“Ikat
dia dan bungkam mulutnya!” Keng In berkata sambil membelakangi Kwi Hong,
menyimpan Li-mo-kiam disatukan dengan Lam-mo-kiam, disembunyikan di balik
jubahnya. Dia berdiri dengan sikap sombong, menengok ke kanan kiri, tersenyum
mengejek sambil berkata, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar
sampai jauh.
“Haiiii!
Pendekar Siluman Si Kaki Buntung! Lihat, muridmu telah kutawan! Kalau kau
memang seorang gagah, datanglah dan bebaskan muridmu!”
Wajah
para anak buah Pulau Neraka menjadi pucat mendengar tantangan yang keluar dari
mulut Majikan Muda itu! Betapapun lihainya Tuan Muda mereka itu, namun tidak
selayaknya menantang Pendekar Siluman seperti itu! Baru mendengar nama
Pendekar Siluman saja, wajah mereka sudah menjadi pucat, apalagi ditantang
oleh majikan mereka!
“Kau
berani membuka mulut besar karena kau tahu bahwa Pamanku tidak berada di sini!
Kalau Pamanku berada di sini, tentu engkau tak berani bernapas! Jangankan
dengan Paman, dengan aku pun kalau engkau tidak berlaku curang, menggunakan
ilmu siluman, engkau takkan mampu menang. Pengecut busuk, manusia keparat tak
tahu malu!”
“Cepat
bungkam mulutnya!” Keng In membentak tanpa menoleh. Seorang wanita anggauta
Pulau Neraka yang bermuka biru muda, cepat menggunakan sehelai saputangan untuk
menutup mulut Kwi Hong, diikatkan ke belakang leher, kemudian dia melanjutkan
pekerjaan mengikat tangan Kwi Hong yang dibelenggu dan ditelikung ke belakang
punggungnya. Dara itu dalam keadaan setengah lumpuh, tak dapat meronta, hanya
membelalakkan mata memandang ke arah punggung Keng In penuh kebencian dan
kemarahan.
“Cepat
persiapkan orang-orang mengejar rombongan Thian-liong-pang! Puteri Ketua
Thian-liong-pang itu harus dapat kutaklukkan!” kata Wan Keng In kepada
orang-orangnya.
“Bagaimana
dengan nona ini, Siauw-tocu....?” Wanita itu bertanya, matanya penuh ketakutan
memandang ke arah lubang kuburan ke arah peti yang masih tertutup tanah, peti
tempat datuk Pulau Neraka berlatih!
“Bawa
dia sebagai tawanan, kalau dia banyak rewel, seret dia! Jangan perbolehkan
gadis galak ini banyak tingkah!”
“Siauw-tocu....
akan tetapi.... dia.... dia....”
“Banyak
rewel kau!” Wan Keng In membentak, akan tetapi matanya terbelalak kaggt melihat
wanita yang tadi bicara dan membelenggu serta membungkam mulut Kwi Hong telah
roboh terlentang dengan mata mendelik dan nyawa putus! Dan dia melihat Kwi
Hong duduk bersila dengan mata dipejamkan dan alis berkerut, seperti orang yang
sedang memperhatikan sesuatu. Dan memang pada saat itu, Kwi Hong sedang mendengarkan
suara yang berbisik-bisik di dekat telinganya, suara gurunya, Bu-tek Siauw-jin
seolah-olah bicara di dekatnya akan tetapi yang sama sekali tidak berada di
situ. Ketika tadi dia melihat wanita Pulau Neraka itu tiba-tiba roboh
terjengkang dan mendengar suara itu, tahulah ia bahwa gurunya telah turun
tangan!
“Bocah
tolol, mana patut menjadi muridku kalau tertotok dan terbelenggu seperti itu
saja tidak mampu melepaskan diri? Apa sudah lupa akan latihan membangkitkan
kekuatan secara otomatis mengandalkan tenaga Inti Bumi yang baru saja
kaudapatkan dan yang menjadi dasar dari semua tenaga yang ada?”
Kwi
Hong memejamkan mata dan mengerahkan semua perhatian akan petunjuk gurunya
yang diberikan lewat bisikan-bisikan itu. Dia mentaati petunjuk itu dan....
tiba-tiba darahnya mengalir kembali dan totokan itu tertembus oleh hawa Inti
Bumi dari dalam! Setelah totokan terbebas, sekali mengerahkan tenaga
belenggunya yang hanya terbuat dari tali itu putus semua dan sekali renggut dia
telah melepaskan saputangan yang menutupi mulutnya, kemudian meloncat berdiri!
Wan
Keng In memandang dengan mata terbelalak. Totokannya adalah totokan yang
tidak lumrah, bukan totokan biasa melainkan totokan yang ia latih dari gurunya.
Menurut gurunya, tidak ada orang di dunia ini yang akan dapat memulihkan orang
yang terkena totokannya karena totokan itu mengandung rahasia tersendiri.
Bahkan menurut gurunya, Pendekar Siluman sendiri pun belum tentu mampu
membebaskan orang yang tertotok olehnya. Bagaimana sekarang gadis itu, tanpa
bantuan, sanggup membebaskan? Kalau hanya memutuskan belenggu itu, dia tidak
merasa heran, akan tetapi dapat membebaskan diri dari totokannya, benar-benar
membuat dia menjadi ngeri! Tentu ada yang memberi petunjuk! Otomatis dia
menoleh ke kanan kiri dan hatinya menjadi kecut. Jangan-jangan Pendekar
Siluman yang ditantangnya telah berada di sekitar situ dan memberi petunjuk
kepada gadis itu lewat bisikan yang dikirim melalui tenaga khi-kang!
“Pendekar
Siluman! Kalau kau sudah datang, mari kita bertanding sampai selaksa jurus!”
Dia menantang sambil meraba gagang pedang di balik jubah.
“Tutup
mulutmu yang sombong! Aku masih sanggup melawanmu!” Kwi Hong membentak dan
tiba-tiba dia menubruk maju, memukul dengan dorongan kedua tangannya ke arah
dada dan pusar. Pukulan yang hebat karena kalau tangan kirinya dia menggunakan
tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin, tangan kanannya yang menghantam ke pusar
dia isi dengan saluran tenaga Hwi-yang Sin-ciang yang panas. Melihat ini, Keng
In meloncat ke belakang, akan tetapi tiba-tiba Kwi Hong yang kedua pukulannya
luput itu telah jatuh ke atas tanah dengan terbalik, kemudian tanpa
disangka-sangka kedua kakinya menendang ke belakang dan tepat mengenai paha dan
perut Keng In. Tenaga tendangan model sepak kuda ini bukan main kuatnya
sehingga biarpun Keng In sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja terlempar
sampai lima meter jauhnya!
“Berhasil....!”
Kwi Hong bersorak sambil meloncat bangun. Akan tetapi ia segera kecewa karena
mendengar bisikan gurunya mengomel. “Apa artinya kalau hanya mampu membuat dia
terlempar? Hayo lawan terus, pergunakan Tenaga Inti Bumi!”
Kwi
Hong melihat bahwa Keng In sudah meloncat turun dan biarpun sepasang mata
pemuda itu terbelalak penuh keheranan terhadap ilmu tendangan yang aneh dan
tidak patut itu, dia tidak terluka dan mukanya yang tampan membayangkan
kemarahan.
“Engkau
sudah bosan hidup!” bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan
dan tampak sinar kilat berkelebat ketika tangannya mencabut keluar
Li-mo-kiam. Sekali ini dia benar-benar mengambil keputusan untuk membunuh
gadis itu dengan pedang gadis itu sendiri yang tadi dirampasnya.
“Aahhh....!”
Tiba-tiba Keng In berdiri tak bergerak, pedang yang diangkat ke atas kepala itu
tidak jadi dilanjutkan gerak serangannya dan dia memandang ke depan dengan muka
pucat. Di depannya telah berdiri Bu-tek Siauw-jin, Si Kakek Pendek yang
tahu-tahu telah berada di depan pemuda itu dengan lengan kiri dilonjorkan,
tangan terlentang terbuka seperti orang minta-minta!
“Kembalikan
pedang muridku itu!”
Sejenak
Keng In terbelalak bingung, masih belum dapat menerima ucapan itu. Gadis itu murid
susioknya? Teringat dia akan anggauta Pulau Neraka yang tewas secara aneh. Kini
mengertilah dia. Tentu Bu-tek Siauw-jin yang telah membunuh wanita yang
membelenggu Kwi Hong, dan kakek ini pula yang membuat gadis itu mampu membebaskan
diri daripada totokannya!
Keng
In adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, akan tetapi menghadapi
paman gurunya ini yang bahkan disegani oleh Cui-beng Koai-ong sendiri, dia
tidak berani melawan. Hanya keraguannyalah yang membuat dia masih belum
menyerahkan pedang yang diminta itu.
“Akan
tetapi.... Susiok....”
“Masih
berani membantah dan tidak berikan pedang itu kepadaku?”
Cepat
dan gugup Keng In menyerahkan pedang itu yang diterima oleh Bu-tek Siauw-jin
dan dilemparkannya pedang itu kepada muridnya. Kwi Hong menyambut pedang itu
dengan hati girang sekali.
“Maaf,
Susiok. Teecu tidak tahu bahwa dia murid Susiok....”
“Hemmm,
sekarang sudah tahu!”
“Tapi....
dia adalah keponakan dan murid Pendekar Siluman!”
“Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh!
Dan engkau sendiri siapa, anak siapa? Heh-heh, setidaknya Pendekar Siluman
adalah Majikan yang tulen dari Pulau Es!”
Mendengar
ucapan ini, wajah Keng In menjadi merah sekali. Dia merasa terhina dan marah,
akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya. Dengan ucapan itu, paman gurunya
yang ugal-ugalan itu hendak mengingatkan bahwa dia hanyalah putera dari seorang
Majikan atau Ketua Boneka dari Pulau Neraka! Sama saja dengan mengatakan bahwa
paman gurunya itu masih lebih baik daripada gurunya dalam hal menerima murid
dan bahwa keponakannya atau murid dari Majikan Pulau Es masih lebih baik
daripada putera dari Ketua Boneka Pulau Neraka!
“Susiok....!”
“Kau
mau apa?”
“Teecu
tidak apa-apa, akan tetapi teecu akan menceritakan kepada Suhu tentang keanehan
ini.”
“Hemmm,
kalau engkau mengira akan dapat mempergunakan Gurumu sebagai perisai maka
engkau adalah seorang pengecut dan seorang yang bodoh!”
“Teecu
tidak bermaksud mengadu.... hanya...., teecu rasa Susiok telah salah menerima
murid....”
“Desssss!”
Tiba-tiba tubuh Keng In terpental sampai beberapa meter jauhnya. Tidak tampak
kakek pendek itu menyerang, akan tetapi tahu-tahu pemuda itu terlempar! Keng
In cepat meloncat berdiri lagi, diam-diam dia terkejut akan tetapi juga lega
bahwa susioknya yang aneh itu tidak melukainya.
“Engkau
berani memberi kuliah kepadaku tentang bagaimana mengambil murid?” Bu-tek
Siauw-jin membentak.
“Maaf,
teecu mohon diri....!”
“Pergilah!
Dan ingat, kelak muridku ini yang akan menandingimu!”
Keng
In menjura dan meloncat pergi, loncatannya jauh sekali seperti terbang sehingga
mengagumkan hati Kwi Hong.
Lebih
terkejut lagi gadis ini ketika mendengar suara bisikan yang halus dan jelas
dari jauh, suara pemuda itu.
“Kita
sama lihat saja apakah perempuan bodoh ini
akan dapat menandingiku!”
Bu-tek
Siauw-jin mengerutkan alisnya dan menoleh kepada para anak buah Pulau Neraka
yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut semua. “Lekas kalian pergi dari sini,
tinggalkan mayat-mayat itu biar dimakan burung gagak!”
Anak
buah Pulau Neraka itu menjura, kemudian bangkit dan pergi tanpa mengeluarkan
kata-kata lagi. Bu-tek Siauw-jin lalu berkata kepada muridnya, suaranya
singkat dan ketus, berbeda dengan biasanya yang suka berkelakar. “Mari kita
pergi!” Kwi Hong menurut dan berjalan mengikuti kakek pendek itu keluar dari
tanah kuburan, menuruni bukit kecil. Akan tetapi akhirnya dia tidak kuat
menahan penasaran hatinya dan berkata, “Suhu, bagaimana engkau bersikap begitu
kejam, membiarkan mayat anak buahmu terlantar di sana dan dimakan gagak?”
Mulut
kakek itu tidak kelihatan bergerak, akan tetapi terdengar suara ketawanya,
seolah-olah suara itu keluar dari perut melalui lubang lain, bukan mulut!
“Heh-heh-heh!
Engkau merasa kasihan kepada mayat yang tidak bernyawa lagi, akan tetapi tidak
kasihan kepada burung-burung gagak yang kelaparan!”
Kwi
Hong terbelalak. “Suhu! Biarpun sudah menjadi mayat yang tak bernyawa, akan
tetapi itu adalah mayat-mayat manusia! Teecu tidak biasa bersikap kejam, sejak
kecil diajar supaya berperikemanusiaan oleh paman atau guru teecu!”
Tiba-tiba
Bu-tek Siauw-jin menghentikan langkahnya dan memandang muridnya dengan mata
lebar dan mulut menyeringai, kemudian dia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha!
Semenjak kecil, manusia diajar segala macam kebaikan! Manusia mana yang sejak
kecilnya tidak diajar dan dijejali segala macam pelajaran tentang kebaikan
oleh ayah bunda atau guru-gurunya? Agama bermunculan dengan para pendetanya.
Ahli-ahli kebatinan bermunculan saling bersaing, mereka semua berlumba untuk
menjejalkan pelajaran tentang kebaikan kepada manusia-manusia, semenjak
manusia masih kecil sampai menjadi kakek-kakek. Akan tetapi, adakah seorang
saja manusia yang baik di dunia ini? Setiap orang manusia, menurut ajaran agama
masing-masing, berlumba keras dalam teriakan anjuran agar mencinta sesama
manusia, namun di dalam hati masing-masing menanam dan memupuk perasaan saling
benci, bahkan yang pertama-tama membenci saingan masing-masing dalam
menganjurkan cinta kasih antar manusia! Gilakah ini? Atau aku yang gila?
Ha-ha-ha! Muridku, kalau engkau melakukan kebaikan karena ajaran-ajaran itu,
bukanlah kebaikan sejati namanya melainkan melaksanakan perintah ajaran itu!
Engkau ini manusia ataukah boneka yang hanya bergerak dalam hidup menurut
ajaran-ajaran yang membusuk dan melapuk dalam gudang ingatanmu?”
“Engkau
sendiri dalam pertandingan, dengan enak saja membunuh manusia lain, sama sekali
tidak merasa akan kekejaman perbuatanmu, akan tetapi baru melihat aku
meninggalkan mayat agar membikin kenyang perut gagak yang kelaparan,
kaukatakan kejam! Ha-ha-ha, muridku. Pelajaran pertama bagi manusia umumnya,
termasuk aku, adalah mengenal wajah sendiri yang cantik, akan tetapi juga
mengenal isi hati dan pikiran kita sendiri yang busuk, jangan hanya mengagumi
lekuk lengkung tubuh sendiri yang menggairahkan akan tetapi juga mengenal isi
perut yang tidak menggairahkan!”
Kwi
Hong memandang gurunya dengan sinar mata bingung. Gurunya ini bukan manusia
lumrah, bukan orang waras. Tentu agak miring otaknya. Sekali bicara tentang
hidup, kacau balau tidak karuan. Maka dia diam saja, kemudian melanjutkan
langkah kakinya ketika melihat gurunya sudah berjalan kembali dengan langkah
pendek.
“Kau
tentu tidak dapat menangkan Keng In sebelum engkau mahir betul mempergunakan
Ilmu Menghimpun Tenaga Inti Bumi. Bocah itu telah berhasil mewarisi kepandaian
Suheng. Lihat saja warna mukanya tadi!”
Kwi
Hong cemberut dalam hatinya tidak senang dikatakan bahwa dia tidak akan menang
menghadapi Keng In. Kini mendengar disebutnya warna muka muda itu dia
mengingat-ingat.
“Warna
mukanya biasa saja. Mengapa, Suhu?”
“Justru
yang biasa itulah yang luar biasa!” Gurunya menjawab dan berjalan terus.
Kwi
Hong menoleh, terbelalak tidak mengerti. “Eh, apa maksudmu, Suhu?”
“Begitu
bodohkan engkau? Semua murid Pulau Neraka memiliki wajah yang berwarna, apakah
engkau lupa? Bahkan Ketua Boneka, ibu bocah itu sendiri, mukanya berwarna
putih seperti kapur! Itulah tanda orang yang memiliki tingkat tertinggi Pulau
Neraka yang menjadi akibat himpunan sin-kang yang mengandung hawa beracun
pulau itu! Bahkan mendiang Sute Ngo Bouw Ek pun mukanya masih berwarna kuning,
berarti bahwa ibu bocah itu masih setingkat lebih tinggi dari padanya. Hanya
aku dan Suheng Cui-beng Koai-ong saja yang tidak terikat oleh warna muka, bisa
mengubah warna muka sesuka hati kami berdua. Hal itu menandakan bahwa kami
berdua adalah dapat mengatasi pengaruh hawa beracun Pulau Neraka, dan tingkat
kami sudah lebih tinggi. Kalau sekarang Wan Keng In sudah menjadi biasa warna
kulit mukanya, hal itu berarti bahwa dia pun sudah terbebas dari pengaruh hawa
beracun, berarti tingkatnya sudah lebih tinggi dari tingkat ibunya sendiri!”
“Wah,
hebat sekali kalau begitu!” Diam-diam Kwi Hong bergidik. Kalau benar-benar
pemuda itu tingkatnya sudah melampaui tingkat kepandaian Majikan Pulau
Neraka, benar-benar merupakan lawan yang berat! “Teecu menerima gemblengan
Suhu, jangan-jangan muka teecu akan menjadi berwarna pula!”
“Heh-heh-heh,
jangan bicara gila! Kalau engkau berlatih di atas Pulau Neraka, tentu saja
engkau akan mengalami keracunan dan mukamu berubah-ubah sesuai dengan
tingkatmu sebelum engkau dapat mengatasi hawa beracun itu. Akan tetapi engkau
kulatih di luar Pulau Neraka. Pula, engkau telah memiliki dasar sin-kang dari
Pulau Es yang amat kuat, kiranya engkau hanya akan terpengaruh sedikit dan
setidaknya kalau engkau berlatih di sana, engkau mendapatkan warna putih atau
kuning. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus benar-benar mencurahkan
perhatian, berlatih dengan tekun. Melihat kemajuan dan tingkat bocah tadi, aku
hanya akan menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi saja kepadamu. Ini pun
hanya akan dapat kauandalkan untuk memenangkan pertandingan melawan Keng In
kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh hati dan mati-matian.”
Mereka
berjalan terus dan sampai lama keduanya tidak bicara. Tiba-tiba Kwi Hong
bertanya, “Suhu, sebetulnya yang mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In
itu siapakah? Teecu ataukah Suhu?”
Kakek
itu berhenti dan menengok kepada muridnya, memandang dengan mata terbelalak
kemudian tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, habis kaukira siapa?”
“Teecu
tidak mempuyai urusan pribadi dan tidak mempunyai permusuhan langsung dengan
pemuda Pulau Neraka itu, sungguhpun teecu tidak suka kepadanya. Kalau tidak
kebetulan bertemu dengannya, teecu tidak bertempur dengannya dan teecu juga
tidak akan mencari-cari dia untuk diajak bertanding. Hal itu berarti bahwa
kalau teecu mati-matian mempelajari ilmu sudah tentu bukan dengan tujuan
untuk semata-mata kelak dipergunakan untuk menandingi orang itu.”
“Kalau
begitu, mengapa tadi engkau sudah enak-enak di dalam peti, tahu-tahu engkau
keluar dan menyerangnya?”
“Karena
teecu tidak ingin dia mencelakai dara itu.”
“Hemm,
bocah puteri Ketua Thian-liong-pang itu! Mengapa engkau membantunya?”
Kwi
Hong tak dapat menjawab. Tadi ketika ia membuka peti matinya dan melihat
Milana, ia segera mengenal dara itu sebagai Milana, puteri dari pamannya,
puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai! Akan tetapi, begitu mendengar
bahwa dara itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, dia menjadi ragu-ragu,
bahkan teringat bahwa yang hampir mencelakainya ketika dia mengintai di rumah
penginapan rombongan Thian-liong-pang, yang menggunakan tali sutera hitam
panjang, juga gadis itulah! Benarkah gadis itu Milana? Kalau benar Milana, mengapa
disebut puteri Ketua Thian-liong-pang? Maka, kini pertanyaan gurunya tak dapat
ia menjawabnya sebelum dia yakin benar apakah dara itu Milana atau bukan.
“Teecu....
teecu tidak bisa diam saja melihat seorang gadis terancam bahaya.”
“Ha-ha-ha,
cocok dengan semua pelajaran tentang kebaikan yang kauterima sejak kecil dari
Pamanmu?”
Disindir
demikian, Kwi Hong diam saja, hanya cemberut. Kemudian dia mendapat kesempatan
membalas. “Telah teecu katakan tadi bahwa teecu tidak mempunyai kepentingan
mengalahkan Wan Keng In. Akan tetapi Suhu agaknya bersemangat benar untuk
melihat teecu mengalahkan dia! Apakah bukan karena Suhu ingin bersaing dengan
Supek Cui-beng Koai-ong?”
Kakek
itu melotot, kemudian menghela napas dan membanting-banting kakinya seperti sikap
seorang anak-anak yang jengkel hatinya. “Sudahlah! Sudahlah! Engkau benar!
Memang demikian adanya. Suheng telah melanggar sumpah, mengambil murid! Maka
aku pun memilih engkau sebagai murid untuk kelak kupergunakan menandingi
muridnya agar Suheng tahu akan kesalahannya! Nah, katakan bahwa engkau tidak
mau membantu aku! Tidak usah berpura-pura!”
Kwi
Hong tersenyum. Suhunya ini benar-benar seorang yang amat aneh, luar biasa,
agak sinting, sakti seperti bukan manusia lagi, akan tetapi sikapnya menyenangkan
hatinya! Biarpun ugal-ugalan, akan tetapi entah bagaimana tidak menjadi benci,
malah dia suka sekali.
“Suhu,
sebagai murid tentu saja teecu akan membantu Suhu karena sebagai seorang guru
yang mencinta muridnya, tentu Suhu juga selalu ingin membantu muridnya
seperti teecu, bukan?”
“Wah-wah-wah,
dalam satu kalimat saja, engkau mengulang-ulang sebutan guru dan murid beberapa
kali sampai aku jadi bingung! Katakan saja, apa yang kau ingin kulakukan untuk
membantumu agar kelak engkau pun akan suka membantuku?”
Kwi
Hong tersenyum lebar. Biarpun kelihatan sinting, gurunya ini ternyata cerdik
sekali dan mudah menjenguk isi hatinya. Dia teringat akan urusan Gak Bun Beng,
dan teringat akan niatnya meninggalkan pamannya. Dia berniat pergi ke kota
raja, membantu Bun Beng menghadapi musuh-musuhnya yang berat, dan juga untuk
merampas kembali pedang Hok-mo-kiam yang dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan
Maharya. Tanpa bantuan seorang sakti seperti gurunya ini, mana mungkin dia akan
berhasil menghadapi orang-orang sakti seperti Koksu Negara Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun dan dua orang pembantunya yang hebat itu, sepasang pendeta Lama
dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Belum lagi kalau berhadapan dengan
Tan-siucai dan gurunya yang sakti, Si Ahli Sihir Maharya!
“Suhu,
sebelum bertemu dengan Suhu, teecu telah lebih dulu menjadi keponakan dan murid
Pendekar Super Sakti. Berarti, biarpun teecu berhutang kepada Suhu, akan
tetapi teecu juga sudah berhutang budi kepada Pendekar Super Sakti yang belum
teecu balas. Benarkah pendapat ini?”
Betapa
kaget hati Kwi Hong ketika melihat gurunya itu menggeleng kepala kuat-kuat!
“Tidak benar! Tidak betul! Orang yang melibatkan diri dalam hutang-piutang
budi, baik yang berhutang maupun sebagai yang menghutangkan adalah orang bodoh
karena hidupnya tidak akan berarti lagi! Katakan saja apa yang akan kaulakukan
dan apa yang dapat kubantu tanpa menyebut tentang hutang-piutang budi segala
macam!”
Kwi
Hong menelan ludahnya sendiri. Sukar juga menentukan sikap menghadapi seorang
sinting dan kukoai (ganjil) seperti gurunya ini! Akan tetapi dia teringat akan
watak gurunya yang seperti kanak-kanak ketika mengadu jangkerik, yaitu gurunya
tidak bisa menerima kekalahan! Gadis yang cerdik ini segara berkata,
“Suhu,
urusan mengalahkan Wan Keng In adalah urusan mudah saja. Asalkan Suhu mau
mengajarkan teecu dengan sungguh-sungguh dan teecu akan berlatih dengan tekun,
apa sih sukarnya mengalahkan bocah sombong itu? Akan tetapi teecu mempunyai
beberapa orang musuh yang benar-benar amat sukar dikalahkan, amat sakti, jauh
lebih sakti daripada sepuluh orang Wan Keng In. Bahkan, dengan bantuan Suhu
sekalipun teecu masih ragu-ragu dan khawatir apakah akan dapat mengalahkan
mereka....?”
“Uuuuttt!
Sialan kau! Aku sudah maju membantu masih khawatir kalah? Jangan main-main
kau! Siapa musuh-musuhmu itu? Asal jangan tiga orang pengawal Tong Sam Cong
saja, masa aku tidak mampu kalahkan?”
Yang
dimaksudkan oleh kakek itu dengan tiga orang pengawal Tong Sam Cong adalah
tiga tokoh sakti dalam dongeng See-yu, yaitu tiga orang pengawal Pendeta muda
Tong Sam Cong atau Tong Thai Cu yang melawat ke Negara Barat (India) untuk
mencari kitab-kitab Agama Buddha. Mereka itu adalah Si Raja Monyet Sun Go
Kong, Si Kepala Babi Ti Pat Kai dan See Ceng.
“Biarpun
tidak sesakti para pengawal Tong Thai Cu, akan tetapi teecu sungguh tidak
berani memastikan apakah dengan bantuan Suhu sekalipun teecu akan dapat
mengalahkan mereka. Mereka itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok
Lama, Thai Li Lama dan Maharya!” Kwi Hong sengaja tidak menyebut nama
Tan-siucai karena untuk menghadapi orang ini tidaklah terlalu berat.
Kakek
itu tiba-tiba menjadi bengong. “Kau.... bocah begini muda.... sudah menanam
bibit permusuhan dengan orang-orang macam mereka itu?”
“Harap
Suhu tidak perlu mengalihkan persoalan. Kalau Suhu merasa jerih dan tidak
berani membantu teecu menghadapi mereka teecu pun tidak dapat menyalahkan
Suhu karena mereka memang amat sakti. Hanya Paman Suma Han saja kiranya yang
akan dapat mengalahkan mereka.”
Kakek
itu tersentuh kelemahannya. Mukanya menjadi merah sekali dan kedua lengannya
digerak-gerakkan ke kanan kiri. Terdengar suara keras dan empat batang pohon
di kanan kirinya tumbang dan roboh terkena pukulan kedua tangannya!
“Siapa
bilang aku jerih? Kalau Suma Han pamanmu yang buntung itu dapat menandingi
mereka, mengapa aku tidak? Haiiii, bocah tolol, kau terlalu memandang rendah
Gurumu! Lihat saja nanti, aku akan membikin empat orang tua bangka itu
terkencing-kencing dan terkentut-kentut minta ampun kepadamu! Haiii! Mengapa
kau bermusuh dengan mereka?”
“Pendeta
India yang bernama Maharya itu telah membunuh burung-burung garuda peliharaan
dan kesayangan teecu di Pulau Es bahkan telah merampas pedang pusaka yang
teecu amat sayang.”
“Hemm,
aku akan hajar dia dan paksa dia mengembalikan pedang. Wah, kau mempunyai
sebuah pedang pusaka lain lagi? Apakah Pedang Iblis macam yang kau bawa itu?
Hati-hati, dengan segala macam pusaka seganas itu, jangan-jangan akan berubah
menjadi iblis!”
“Tidak,
Suhu. Pedang pusaka itu adalah sebatang pedang pusaka sejati yang amat ampuh
dan bersih.”
“Heh-heh-heh!
Pedang dibuat untuk memenggal leher orang, menusuk tembus dada orang, merobek
perut sampai ususnya keluar, mana bisa dibilang bersih?”
“Adapun
Bhong Ji Kun Si Koksu Tengik itu, bersama dua orang pembantunya Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama, mereka adalah orang-orang yang memimpin pasukan membakar
Pulau Es. Karena itu mereka adalah musuh-musuh besar teecu dan teecu hanya
dapat mengandalkan bantuan Suhu untuk dapat menghajar mereka.”
“Uuut!
Bocah bodoh. Setelah engkau mempelajari ilmu dariku dengan tekun dan berhasil
baik, apa sih artinya keledai-keledai tua beberapa ekor itu? Tidak usah
kubantu, engkau sendiri sudah cukup, lebih dari cukup untuk mengalahkan mereka.”
“Akan
tetapi, teecu tidak percaya dan tidak akan tenang kalau tidak bersama Suhu.
Karena itu, marilah kita pergi ke kota raja mencari mereka, Suhu.”
“Tapi
kau harus berlatih....”
“Sambil
melakukan perjalanan, teecu akan tekun berlatih.”
“Tapi
aku harus mampir dulu ke kaki Gunung Yin-san, di dekat padang pasir.”
“Ihh,
tempat itu tandus dan sunyi, mengapa Suhu hendak ke sana? Tentu di sana tidak
ada orangnya.”
“Memang
tidak ada orangnya karena aku ke sana bukan untuk mencari orang.”
“Habis,
mencari apa?”
“Mencari
kelabang!”
“Ihhhh....!”
“Kenapa
ihhh? Engkau tidak tahu, kelabang di sana berwarna merah darah, panjangnya satu
kaki, besarnya seibu jari kaki!”
“Ihhhh....!”
Kwi Hong mengkirik, makin geli dan jijik.
“Eh,
masih belum kagum? Racun kelabang raksasa merah itu tiada keduanya di dunia
ini. Mengalahkan semua racun yang berada di Pulau Neraka!”
Kwi
Hong menahan rasa jijik dan gelinya agar tidak menyinggung hati gurunya yang
kadang-kadang aneh dan pemarah itu, maka dia berkata mengangguk-angguk, “Wah,
kalau begitu hebat. Akan tetapi, untuk apa Suhu mencari Kelabang Raksasa Raja
Racun itu?”
“Bulan
ini adalah musim bertelur, aku hendak menangkap seekor kelabang betina yang
akan bertelur. Sebelum telur-telur itu dikeluarkan, harus dapat kutangkap dia,
karena telur-telur yang masih berada di dalam perutnya itu mengandung racun
yang paling ampuh karena terendam di dalam sumber racun kelabang itu.”
“Hemm,
menarik sekali,” kata Kwi Hong memaksa diri. “Setelah ditangkap, lalu untuk
apa, Suhu?”
“Kupotong
bagian perut yang penuh telur itu, kemudian kumasak dengan arak merah....”
“Wah,
dimasak dengan arak perut penuh telur beracun ganas itu?” Kwi Hong menelan
ludah, bukan saking kepingin melainkan untuk menekan rasa muaknya. “Mengapa
menyiksa betinanya yang sedang bertelur, Suhu? Bukankah kabarnya kelabang
jantan lebih hebat racunnya?”
“Memang
demikian biasanya, akan tetapi setelah tiba masa kawin disusul masa bertelur,
semua racun berkumpul di tempat telur. Kau tidak tahu, kelabang raksasa di
tempat itu mempunyai kebiasaan aneh dan menarik sekali. Di musim kawin, si
betina pada saat bersetubuh menggigit leher si jantan dan menghisap darah si
jantan berikut racunnya sampai tubuh si jantan itu kering dan mati!
Diulanginya perkawinan aneh ini sampai dia menghisap habis darah dan racun lima
enam ekor jantan, barulah perutnya menggendut terisi telur. Nah, di tempat
telur itulah berkumpulnya semua racun!”
Cuping
hidung Kwi Hong bergerak-gerak sedikit karena dia merasa makin muak.
“Suhu
mencari barang macam itu, memasaknya dengan arak, untuk Suhu makan?”
Kakek
itu menggeleng-geleng kepalanya perlahan. “Bukan....!”
Kwi
Hong memandang terbelalak. “Habis, untuk apa....?” Hatinya sudah tidak enak.
“Untuk
kaumakan!”
“Uuuukhhh!”
Kwi Hong mencekik leher sendiri menahan agar jangan sampai muntah, matanya
terbelalak memandang gurunya yang tertawa terkekeh-kekeh.
“Bocah
tolol! Jangan memikirkan jijiknya, akan tetapi pikirkan khasiatnya! Kalau
engkau makan itu, segala macam racun di dunia ini tidak akan dapat mempengaruhi
tubuhmu, baik racun yang masuk melalui darah atau melalui perutmu! Dan racun
itu cocok sekali untuk membangkitkan tenaga Inti Bumi yang kaulatih!”
Kwi
Hong tidak dapat membantah lagi, akan tetapi setiap kali teringat akan perut
kelabang penuh telur beracun yang harus dimakannya, perutnya sendiri menjadi
mual dan dia kepengin muntah! Hal ini agaknya amat menyenangkan kakek itu,
sehingga di sepanjang jalan, Bu-tek Siauw-jin selalu mengulangi godaannya
dengan menceritakan tentang segala macam kelabang dan binatang-binatang
menjijikkan, hanya untuk membuat muridnya mual, jijik dan ingin muntah! Orang
yang aneh luar biasa pula!
Milana
melarikan diri bersama sisa anak buahnya. Hatinya kacau dan berduka sekali
ketika mereka berhenti di dalam sebuah hutan dan mengubur jenazah Si Lengan
Buntung, Su Kak Liong dan lain-lain anak buahnya yang tewas dalam pertempuran
melawan anak buah Pulau Neraka. Dia merasa penasaran sekali dan mukanya menjadi
merah saking marah dan malu kalau teringat betapa dia dipermainkan oleh
pemuda tampan, putera Majikan Pulau Neraka yang amat lihai itu. Dia harus
melapor kepada ibunya dan minta pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi.
Untung gadis tadi menolongnya, kalau tidak tentu dia telah menjadi tawanan.
Milana bergidik kalau teringat akan hal itu tak dapat dia membayangkan apa yang
akan terjadi kalau dia menjadi tawanan pemuda yang gila itu! Thian-liong-pang
telah mengalami kekalahan dan penghinaan dari Pulau Neraka. Ibunya sendiri
harus turun tangan menghajar orang-orang Pulau Neraka.
Setelah
selesai mengubur jenazah-jenazah itu, Milana mengajak sisa anak buahnya yang
tinggal delapan orang itu untuk melanjutkan perjalanan malam itu juga.
Rombongan ibunya berada di tempat yang tidak jauh lagi dari situ. Tinggal dua
hari perjalanan paling lama. Dia tidak akan merasa aman sebelum bertemu dengan
rombongan ibunya. Dua orang pembantu utamanya, Si Lengan Buntung dan Su Kak
Liong, serta beberapa orang lagi, telah tewas. Dengan munculnya orang-orang
Pulau Neraka yang dipimpin pemuda lihai itu sebagai musuh, dia merasa kurang
kuat.
Akan
tetapi, ketika rombongan terdiri sembilan orang ini memasuki sebuah hutan pada
keesokan harinya, tiba-tiba tampak banyak orang berloncatan dan mereka telah
dikurung oleh belasan orang! Milana terkejut, akan tetapi ketika melihat bahwa
yang mengurung itu adalah orang-orang yang berpakaian seperti orang kang-ouw,
dan bercampur dengan beberapa orang hwesio dan tosu, maklumlah dia bahwa yang
mengurungnya bukan orang-orang Pulau Neraka seperti yang dikhawatirkannya,
melainkan orang-orang kang-ouw!
Milana
cepat meloncat maju dan menghunus pedangnya. Tali suteranya telah putus dan
ditinggalkan ketika dia hampir tertawan oleh Wan Keng In, maka kini
satu-satunya senjata di tangannya hanyalah pedangnya. Melihat bahwa yang
memimpin para pengurung itu adalah seorang hwesio tinggi besar bersenjata
toya yang berjenggot pendek, dia cepat menghampiri dan berkata, suaranya
nyaring.
“Kami
rombongan orang Thian-liong-pang sudah meninggalkan tempat yang dijadikan
tempat pertemuan, hendak kembali ke tempat kami. Mengapa kalian masih
menghadang di sini? Apa kehendak kalian dan siapakah kalian? Dari partai dan
golongan apa?”
“Kami
adalah sisa rombongan yang telah dipaksa mundur oleh Thian-liong-pang, dan
karena kami merasa bahwa perjuangan kami sama, maka kami bergabung dan
mengambil keputusan untuk membasmi Thian-liong-pang yang banyak menimbulkan
bencana terhadap perjuangan orang-orang gagah.” Hwesio itu berkata sambil
melintangkan toyanya.
“Hemmm....
perjuangan orang-orang gagah apa? Perbuatan kacau para pemberontak maksudmu?”
Milana berkata dengan marah setelah kini dia mendapat kenyataan bahwa sebagian
besar di antara orang-orang itu adalah benar anggauta rombongan partai-partai
yang telah dikalahkan di tanah kuburan. Bahkan tiga orang hwesio itu adalah
hwesio-hwesio Siauw-lim-pai! “Harap kalian suka tahu diri! Setelah kalian
kalah dalam pertandingan mengadu ilmu di tanah kuburan, mengapa kalian tidak
pulang dan melaporkan kepada Ketua masing-masing akan tetapi malah diam-diam
bergabung dan bersekongkol dengan para pemberontak untuk menghadang kami?”
“Orang-orang
Thian-liong-pang penjilat pemerintah asing! Membunuh kalian bagi kami adalah
kewajiban orang-orang gagah membunuh anjing-anjing penjilat yang kotor!”
Seorang di antara mereka yang berpakaiah seperti orang-orang kang-ouw, yang
belum pernah dilihat Milana, membentak dan sudah menerjang dengan bacokan
goloknya. Tentu mereka inilah pemberontak-pemberontak yang aseli, sedangkan
para hwesio, tosu dan orang-orang partai hanyalah terbawa-bawa saja, terhasut
oleh kaum pemberontak yang tentu saja hendak melibatkan partai-partai besar
untuk membantu gerakan mereka.
Milana
menangkis serangan golok itu dan segera ia dikeroyok oleh enam orang yang
menghujankan serangan. Agaknya para pengeroyok itu sudah maklum bahwa dia
adalah orang terlihai di antara rombongannya, maka kini yang bertugas
mengeroyoknya adalah enam orang yang cukup lihai, bahkan mereka itu semua
bersenjata golok besar dan gerakan mereka teratur sekali. Kiranya enam orang
itu membentuk sebuah barisan golok yang cukup kuat! Delapan orang anak buahnya
sudah lemah dan lelah, apalagi tiga di antara mereka masih belum sembuh dari
luka-luka yang diderita dalam pertandingan yang lalu namun kini terpaksa
mereka itu mengangkat senjata melakukan perlawanan.
Milana
sendiri sudah lelah dan kurang tidur, akan tetapi, permainan pedangnya
membuat enam orang lawan yang membentuk barisan golok dan mengurungnya itu
kewalahan. Maka majulah tiga orang hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, ikut
mengeroyok dengan senjata mereka. Setelah dikeroyok sembilan barulah Milana
merasa sibuk juga. Dia masih ingat bahwa tiga orang hwesio hanya terbawa-bawa
saja, maka dia tidak ingin membunuh. Justeru inilah yang membuat dia repot,
karena sembilan orang pengeroyoknya itu sama sekali tidak memberi kesempatan
kepadanya dan semua serangan mereka adalah serangan maut yang jelas
membuktikan akan kebencian mereka kepadanya dan mereka bermaksud membunuhya!
Pertandingan
yang berjalan berat sebelah itu tidak berlangsung lama karena di antara
delapan orang anak buah Thian-liong-pang, sudah roboh lima orang. Hanya tiga
orang yang masih melawan mati-matian, sedangkan Milana sendiri yang dikeroyok
sembilan orang, berhasil merobohkan tiga orang. Akan tetapi, tiga orang roboh,
lima orang datang membantu sehingga dara itu terpaksa harus memutar pedangnya
untuk melingkari diri dari hujan senjata sebelas orang yang menyambarnya dari
segala jurusan.
Pada
saat itu terdengar bunyi lengking yang nyaring dan menyeramkan sekali.
Beberapa pengeroyok terhuyung begitu mendengar lengking itu dan dari atas
pohon-pohon meluncur sinar-sinar kecil-kecil merah yang menyambar ke bawah,
disusul meloncatnya bayangan orang berkerudung. Hanya delapan orang di antara
sebelas orang pengeroyok Milana yang berhasil mengelak, sedangkan tiga orang
lainnya roboh terkena jarum merah berbau harum yang dilepas oleh orang yang
berkedok atau berkerudung itu.
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati semua orang kang-ouw ketika melihat bahwa
yang muncul adalah wanita berkerudung yang menyeramkan, Ketua dari
Thian-liong-pang! Tak lama kemudian, muncul pula enam orang wanita cantik yang
menjadi pengawal atau pelayan Ketua itu, dipimpin oleh Tang Wi Siang!
Orang-orang
kang-ouw itu terkejut, akan tetapi mereka tidak takut biarpun maklum bahwa kini
keselamatan mereka terancam bahaya maut dengan munculnya Ketua Thian-liong-pang
bersama enam orang pelayan. Mereka menjadi nekat dan segera Ketua Thian-liong-pang
dan puterinya dikeroyok. Terjadilah pertandingan yang kembali berat sebelah,
akan tetapi merupakan kebalikan daripada tadi. Kini biarpun jumlahnya masih
tetap lebih banyak, rombongan orang kang-ouw itu yang terdesak hebat dan
sebentar saja Ketua Thian-liong-pang yang hanya mengamuk dengan tangan kosong
itu telah merobohkan enam orang pengeroyok dengan pukulan jarak jauh yang amat
dahsyat!
Berturut-turut
para pengeroyok itu berkurang jumlahnya, bahkan dalam waktu singkat saja
Milana dan ibunya telah berhasil merobohkan semua orang yang mengeroyok
mereka! Kini yang masih terus melakukan perlawanan hanya tiga orang hwesio
Siauw-lim-pai dan tiga orang kang-ouw, termasuk dua orang tosu Hoa-san-pai,
yang ditandingi oleh Tang Wi Siang dan teman-temannya. Mereka ini pun sudah
terdesak hebat dan agaknya tak lama kemudian akan roboh pula.
Tiba-tiba
terdengar bunyi suara melengking yang jauh lebih hebat daripada tadi, disusul
suara orang yang berpengaruh dan membuat semua orang tergetar jantungnya.
“Hentikan
pertempuran....!”
Ketua
Thian-liong-pang terkejut, menghentikan serangan dan menoleh. Demikian pula
tiga orang hwesio Siaw-lim-pai, dua orang tosu Hoa-san-pai, dan seorang
kang-ouw meloncat mundur dan menoleh. Berdebar hati semua orang ketika melihat
seorang laki-laki, entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada
di tengah-tengah mereka, seorang laki-laki yang kaki kirinya buntung, berdiri
tegak dengan tongkat kayu sederhana membantu kaki tunggalnya. Seorang
laki-laki yang berwajah tampan sekali namun tampak diselimuti awan duka yang
membuat goresan mendalam di kulit wajahnya. Dia belum sangat tua, akan tetapi
seluruh rambutnya yang dibiarkan berurai di sekeliling kepalanya sampai ke
pundak dan punggung, semua telah berwarna putih seperti benang-benang sutera
perak.
“Pendekar
Super Sakti....!” Seorang tosu Hoa-san-pai berbisik, biarpun bisikannya
perlahan karena keluar dari hatinya dan tanpa disengaja, namun karena keadaan
di saat itu amat sunyi, tidak ada yang bicara atau bergerak, maka suaranya
terdengar jelas.
Laki-laki
itu memang Suma Han, atau Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai Pendekar
Siluman, Majikan Pulau Es. Setelah terdengar suara lirih tosu Hoa-san-pai
menyebutkan nama julukan pria yang berwajah penuh duka itu, keadaan menjadi
makin sunyi.
“Han
Han....!”
Suara
ini lebih lirih dan oleh telinga lain hanya terdengar seperti berkelisiknya
angin di antara daun-daun pohon. Akan tetapi pendekar sakti itu kelihatan
terkejut dan tersentak kaget, memandang ke kanan kiri seperti orang
mencari-cari kemudian bengong terlongong. Tidak salahkah telinganya menangkap
suara lirih itu? Hanya ada beberapa orang saja yang memanggilnya dengan nama
itu, nama kecilnya. Han Han! Dan suara lirih halus merdu itu amat dekat dengan
hatinya, seperti suara yang tidak asing baginya, akan tetapi dia tidak yakin
suara siapa yang menyebut nama kecilnya semerdu dan sehalus itu! Dia menjadi
bingung, kemudian teringat akan orang-orang di sekitarnya. Dia menoleh ke
arah wanita berkerudung dan berkata dengan suara keren penuh wibawa.
“Sudah
bertahun-tahun aku mendengar di dunia kang-ouw tentang keanehan
Thian-liong-pang yang selalu membikin geger dunia kang-ouw, menculiki
tokoh-tokoh kang-ouw, bahkan berita terakhir mengatakan bahwa Thian-liong-pang
membunuhi banyak tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah. Sekarang,
kebetulan sekali Pangcu berada di sini dan kebetulan pula aku dapat
menyelamatkan nyawa para sahabat ini dari ancaman maut, aku ingin bertanya,
apakah maksud Thian-liong-pangcu sebenarnya dengan semua perbuatan itu?”
Sunyi
senyap menyambut ucapan pendekar yang ditakuti, dihormati, dan disegani itu.
Bahkan Tang Wi Siang sendiri mukanya berubah pucat dan tidak berani mengangkat
muka memandang, hanya menundukkan muka saja seolah-olah silau kalau memandang
wajah yang mempunyai sepasang mata yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya
dengan sinar mata itu!
Akan
tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang bengis dan ketus, suara yang membuat
para pendengarnya meremang bulu tengkuknya, karena nadanya dingin melebihi
salju, penuh tantangan dan seolah-olah mengandung kebencian yang amat
mendalam,
“Memang
benar! Semua keributan di dunia kang-ouw itu akulah yang melakukannya! Akulah
yang bertanggung jawab! Aku yang memerintahkan anak buahku! Habis, engkau mau
apa? Dengarlah baik-baik! Semua perbuatanku itu memang kusengaja untuk
menantangmu, agar engkau datang menyerbu ke tempatku. Kalau kau berani!”
Semua
orang terkejut mendengar ini. Akan tetapi terdengar suara isak tertahan
sehingga semua orang menoleh ke arah Milana. Dara itulah yang tadi terisak
seperti orang tersedak. Akan tetapi, dara itu kini menundukkan mukanya dan
semua orang kembali memandang ke arah Pendekar Super Sakti dengan hati tegang,
ingin mereka melihat apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua orang hebat
itu.
Suma
Han sendiri sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ucapan Ketua
Thian-liong-pang itu demikian ketus dan bengis terhadap dirinya, maka dia
terkejut dan heran sekali. “Apa? Menantang dan mengundangku? Mengapa....?”
“Sudah
lama aku ingin mencincang hancur engkau! Engkau.... manusia yang tidak
berjantung! Manusia tiada perasaan!”
“Ehhh....
heiiii? Mengapa? Apa.... apa maksudmu?”
“Tak
perlu banyak cakap lagi kau!”
Ketua
Thian-liong-pang itu segera menyerang dengan hebat. Pedang yang telah
dicabutnya, padahal tadi ketika pengeroyokan dia sama sekali tidak pernah
mencabut pedangnya. Kini bergerak cepat sekali, berubah menjadi sinar putih
yang bergulung-gulung menerjang ke arah tubuh Pendekar Super Sakti. Sejenak
timbul niat di hati Suma Han untuk benar-benar mencoba dan menguji sampai di
mana kehebatan ilmu kepandaian Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia ini
dan untuk mengenal sumber ilmu kepandaiannya. Akan tetapi dia menjadi bingung
juga ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh wanita berkerudung
itu adalah ilmu pedang campuran yang sukar diketahui atau dikenal lagi
dasarnya. Segala macam ilmu pedang partai besar di dunia persilatan terdapat
dalam gerakan ilmu pedang ini! Belum pernah selamanya dia menyaksikan ilmu
pedang seperti itu, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita itu cepat
sekali sedangkan desing suara angin yang terbelah oleh pedang itu sendiri
menyatakan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang dimiliki wanita itu! Terpaksa
dia menangkis dengan tongkatnya dan balas menyerang, bukan menyerang
sungguh-sungguh, hanya untuk memaksa lawan itu mengeluarkan jurus simpanannya
agar dia dapat mengenal dasar ilmu silatnya. Akan tetapi, wanita berkerudung
itu benar-benar hebat sekali karena sampai belasan jurus, dalam serang-menyerang
itu, tidak pernah dia memperlihatkan dasar kepandaiannya, melainkan mainkan
jurus campuran dari pelbagai ilmu pedang yang sudah “dicurinya” dari para
tokoh yang pernah diculiknya. Memang Nirahai amat lihai dan cerdik. Dari
ilmu-ilmu silat yang dilihatnya, dia dapat mengambil inti sarinya yang
terpenting, kemudian menciptakan gabungan yang amat hebat, tentu saja dengan
mendasarkan kepandaiannya sendiri sebagai unsur pokok yang terpenting. Karena
itu, kini Suma Han tidak dapat mengenal dasar ilmu pedangnya!
Suma
Han memang tidak mempunyai niat untuk bertanding mati-matian. Enam orang
kang-ouw masih berada di situ, yaitu tiga orang hwesio, dua orang tosu dan
seorang kang-ouw yang tentu akan terancam keselamatan mereka kalau tidak
ditolongnya. Pula, dia sendiri menghadapi banyak urusan besar. Mencari Pedang
Hok-mo-kiam saja belum berhasil. Kalau dia harus melayani tantangan Ketua
Thian-liong-pang yang galak dan entah mengapa selalu memusuhinya dan agaknya
amat membencinya itu, berarti dia akan melibatkan diri dengan banyak urusan
yang memusingkan kepala! Apalagi sekarang terdapat kenyataan bahwa
Thian-liong-pang yang diketuai oleh wanita aneh ini, aneh dan amat lihai, telah
mengabdi kepada pemerintah! Kalau dia melayani tantangannya, berarti akan
menjadi berlarut-larut. Padahal tindakan terhadap Koksu dan kaki tangannya
yang telah menghancurkan Pulau Es tanpa alasan sama sekali! Pertama, dia harus
merampas kembali pedang Hok-mo-kiam. Ke dua, dia harus minta pertanggungan
jawab terhadap mereka yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Ke
tiga, dia harus mencari tahu bagaimana dengan keadaan Lulu setelah Pulau
Neraka dibakar! Ke empat, dia harus menyelidiki pula keadaan isterinya, Puteri
Nirahai, yang tidak diketahuinya di mana. Dia sudah merasa amat rindu kepada
mereka semua itu. Kepada Lulu, kepada Puteri Nirahai, kepada anaknya dan anak
Nirahai yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu!
“Para
sahabat kang-ouw, harap lekas pergi dari tempat ini!” Tiba-tiba Suma Han
berkata.
“Tahan
mereka! Jangan biarkan mereka pergi!” Ketua Thian-liong-pang berteriak pula
dari balik kerudungnya dengan suara yang bengis dan nyaring.
“Mengapa
tidak biarkan mereka pergi saja....!” Terdengar Milana berkata perlahan. Dara
ini semenjak tadi menangis secara diam-diam. Menangis tanpa berani mengeluarkan
suara atau air mata, takut kalau ketahuan ibunya. Betapa dia tidak akan
menangis, betapa dia tidak akan merasa seperti ditusuk-tusuk pisau jantungnya
kalau melihat keadaan seperti itu? Dia tahu bahwa Pendekar Super Sakti itu
adalah ayah kandungnya sendiri! Untung bahwa Pendekar Super Sakti tidak
mengenalnya, tentu telah lupa karena tentu saja banyak terjadi perbedaan dan
perubahan antara dia ketika masih kecil dengan dia sekarang yang telah menjadi
seorang dara dewasa! Betapa tidak akan hancur hatinya melihat ibu kandungnya
bertanding dan memusuhi bahkan membenci ayah kandungnya sendiri? Ingin sekali
dia meloncat, ingin sekali dia terjun ke dalam gelanggang pertandingan itu,
untuk memisah mereka, untuk membujuk ibunya. Akan tetapi dia tidak berani.
Kalau dia melakukan hal itu, tentu ibunya akan marah bukan main. Dia tidak
boleh membuka rahasia ibunya! Karena itulah dia merasa tertekan perasaannya,
merasa berduka sekali dan menangis di dalam hatinya, kemudian, tanpa
disadarinya, dia mencela ibunya mengapa tidak membiarkan mereka itu pergi saja?
Bukan hanya mereka orang-orang kang-ouw itu, akan tetapi terutama sekali ayah
kandungnya! Kalau memang ibunya tidak suka kepada ayah kandungnya, mengapa
harus memusuhinya, tidak membiarkan saja pergi?
Suma
Han mendengar suara gadis itu dan diam-diam ia merasa heran. Tadi dia mendengar
gadis itu terisak, biarpun isak yang ditahan, kini mendengar gadis itu berkata
demikian. Bukankah gadis itu seorang anggauta Thian-liong-pang yang paling
penting, bahkan kalau tidak salah pendengarannya tadi sebelum ia
memperlihatkan diri, gadis itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Puteri
wanita berkerudung yang kejam itu! Hemm, jalan satu-satunya untuk mengendalikan
Thian-liong-pang adalah puterinya ini. Pikiran ini menyelinap di dalam otaknya
dan tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan tenaga.
“Trangggg!”
Ketua
Thian-liong-pang terkejut sekali karena tahu-tahu lawannya lenyap. Tentu saja
dia mengenal Pendekar Super Sakti dan maklum pula bahwa pendekar itu telah
menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Gerak Kilat Soan-hong-lui-kun. Akan
tetapi yang membuat dia terkejut adalah ketika melihat bayangan pendekar itu
mencelat ke arah puterinya, Milana yang berdiri dengan muka tunduk. Nirahai
mengeluarkan keluh perlahan dan otomatis menyimpan pedangnya, berdiri dengan
kedua kaki gemetar!
Milana
sendiri kaget setengah mati ketika tiba-tiba tangan kanannya disambar dan
dipegang oleh tangan kiri Pendekar Super Sakti, kemudian tampak sinar
berkelebat ketika ujung tongkat itu telah menodong lehernya.
“Tidak....
tidak.... jangan....!” Milana menjadi pucat, terbelalak memandang laki-laki itu
dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali bukan takut terbunuh
melainkan merasa ngeri kalau sampai ayah kandungnya itu tidak mengenalnya dan
kesalahan tangan membunuhnya. Sebagai seorang dara perkasa yang telah
digembleng kegagahan sejak kecil, mati bukan apa-apa baginya, akan tetapi mati
di tangan ayah kandungnya sendiri benar-benar merupakan hal mengerikan!
Suma
Han sendiri terbelalak kaget melihat wajah cantik jelita itu, yang tertimpa
sinar matahari dan kelihatan pucat sekali. Betapa cantiknya dara ini! Tentu amat
disayang oleh ibunya. Ketua Thian-liong-pang yang seperti iblis itu!
“Thian-liong-pangcu,
lekas kaubebaskan para sahabat kang-ouw itu, kalau tidak, terpaksa kubunuh
anakmu di depan matamu!” Suma Han mengancam.
“Kau....!
Kau....!” Nirahai tergagap-gagap sehingga mengherankan hati semua orang. Juga
Tang Wi Siang merasa heran sekali. Dialah seorang di antara mereka yang
mengenal siapa adanya Ketuanya yang selalu berkerudung itu. Pada waktu Nirahai
menguasai Thian-liong-pang, setelah mengalahkan semua tokohnya, pernah dia
memperkenalkan diri sehingga Tang Wi Siang tahu bahwa Ketuanya adalah Puteri
Nirahai, puteri Kaisar sendiri dan tahu bahwa Milana adalah puterinya. Akan
tetapi, dia tidak tahu siapa ayah Milana dan dia pun tidak berani bertanya,
karena bertanya berarti memancing maut! Dia pun tidak berani ketika Nirahai
membantu pemerintah membasmi para pemberontak. Akan tetapi mengapa kini sikap
Nirahai demikian berubah? Mengapa kelihatan begitu ketakutan setelah puterinya
diancam oleh Pendekar Siluman?
“Pangcu,
bolehkah saya suruh mereka pergi saja?” Tang Wi Siang mendekati ketuanya dan
bertanya penuh hormat.
Nirahai
mengangguk. “Yaaah, suruh mereka pergi.”
“Kalian
boleh pergi dari sini!” Tang Wi Siang berkata kepada tiga orang hwesio, dua
orang tosu dan seorang kang-ouw yang berpakaian seperti guru silat itu. Mereka
berenam segera menjura ke arah Pendekar Super Sakti untuk menghaturkan terima
kasih, akan tetapi Suma Han cepat berkata tanpa menghentikan dorongan
tongkatnya dari tenggorokan Milana, “Harap Cu-wi segera pergi!”
Enam
orang itu lain membawa jenazah kawan masing-masing dan pergi dari situ dengan
cepat. Setelah bayangan mereka lenyap, barulah Suma Han berkata,
“Thian-liong-pangcu, terpaksa kulakukan hal ini....”
“Kau....
laki-laki pengecut!”
Suma
Han menghela napas panjang. “Benar agaknya, akan tetapi ketahuilah bahwa aku
melakukan ini bukan karena takut bertanding melawanmu, melainkan karena aku
ingin mengambil jalan damai agar tidak jatuh korban-korhan lebih banyak lagi.
Sekarang, terpaksaanakmu kubawa dulu, dan baru
akan kulepaskan dia, kukembalikan kepadamu kalau Thian-liong-pang sudah
menghentikan sepak terjangnya yang mengacaukan dunia kang-ouw!”
“Keparat,
kembalikan anakku!” Nirahai membentak.
“Pangcu,
selamat berpisah!” Suma Han menotok Milana, disambarnya tubuh dara itu dan dia
bersuit keras. Burung rajawali hitam menjawab suitannya dari jauh dan terbang
menghampiri.
“Suma
Han! Kembali kau!” Nirahai mengejar, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat
menyusul Suma Han yang berlompatan dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun, kemudian
bahkan meloncat ke iatas punggung rajawali yang terbang rendah.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran hati Tang Wi Siang dan teman-temannya ketika
mereka semua turut mengejar, mereka tidak melihat lagi Pendekar Siluman yang
pergi membawa puteri Ketua mereka naik punggung rajawali dan melihat Ketua
mereka mendeprok di atas tanah sambil menangis!
Sejenak
mereka hanya dapat saling pandang dengan bingung. Akhirnya Tang Wi Siang
berlutut dan berkata,
“Maaf,
Pangcu. Kalau Pangcu menghendaki, kami seluruh anggauta dan pimpinan
Thian-liong-pang sanggup untuk dikerahkan dan mencari serta merampas kembali
Nona Milana dari tangan Pendekar Siluman!”
Nirahai
mengangkat mukanya yang berkerudung, menahan isak dan bangkit berdiri.
Kedatangan anak buahnya membuat dia sadar kembali dan dapat menguasai
hatinya. Dia terlalu marah kepada Suma Han. Butakah mata suaminya itu sehingga
tidak mengenal anaknya lagi? Ataukah.... Suma Han memang sengaja berpura-pura
tidak mengenal Milana dan sengaja membawa Milana pergi untuk mengendalikannya?
Betapapun juga, dia menangis bukan karena mengkhawatirkan keselamatan
anaknya. Sama sekali tidak! Dia sudah mengenal siapa adanya orang yang pernah
menjadi suaminya itu! Andaikata benar-benar Suma Han lupa bahwa gadis itu
anaknya sendiri sekalipun, dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatan Milana.
Suma Han adalah seorang pria yang boleh dipercaya sepenuhnya! Yang dia
tangiskan adalah sikap Suma Han, orang yang dicintanya sepenuh jiwa raga, akan
tetapi juga menimbulkan sakit hati dan bencinya! “Mari kita pulang,” katanya
kepada Tang Wi Siang. “Suruh anak buah mengubur semua jenazah itu.”
“Semua,
Pangcu? Juga jenazah pihak musuh?”
“Semua!
Aku hendak pulang lebih dulu. Jangan melibatkan diri dalam pertempuran dengan
siapapun juga. Kalau sudah selesai, cepat pulang menyusulku.”
“Baik,
Pangcu.” Akan tetapi belum habis jawaban Wi Siang, tubuh wanita berkerudung itu
telah berkelebat dan lenyap dari situ. Tang Wi Siang menarik napas dalam. Dia
kagum kepada Ketuanya itu, kagum dan penuh hormat, juga merasa setia dan
sayang karena selama ini Nirahai telah bersikap baik sekali kepadanya bahkan
memberinya beberapa ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, sampai sekarang
belum juga dia dapat mengenal watak Ketuanya itu, apalagi tadi ketika Ketuanya
itu berhadapan dengan Pendekar Siluman. Dia tahu bahwa Ketuanya amat sakti,
semua tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan yang besar tidak ada yang
mampu menandinginya. Dia ingin sekali menyaksikan, siapa yang lebih sakti
antara Ketuanya dan Pendekar Siluman! Hal yang benar-benar amat menarik dan
membuat dia ingin sekali tahu, sungguhpun hatinya tegang dan gelisah
memikirkan betapa Ketuanya yang tercinta itu bertanding melawan Pendekar
Siluman yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar matanya!
Tang
Wi Siang sadar dari lamunannya dan ia cepat memerintahkan anak buahnya untuk
mengubur semua jenazah yang jatuh menjadi korban dalam pertandingan tadi. Baru
saja selesai dan mereka habis mencuci kaki dan tangan, tiba-tiba tampak
bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah berdiri di depan
mereka! Tang Wi Siang dan lima orang gadis cantik para pelayan pembantunya,
siap menghadapi segala kemungkinan, sedangkan anak buah Thian-liong-pang bekas
pengikut Milana yang tinggal tiga orang jumlahnya, menjadi kaget sekali dan
cepat seorang di antara mereka berkata,
“Tang-kouwnio,
dia.... dia.... adalah putera Majikan Pulau Neraka....”
Tang
Wi Siang terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan
Keng In, tidak bicara apa-apa, hanya melangkah maju menghampiri Tang Wi Siang
dan lima orang gadis pelayan, matanya memandang penuh selidik lalu menengok ke
kanan kiri, seperti orang mencari-cari.
Tadinya
enam orang wanita itu mengira bahwa pemuda tampan yang disebut sebagai putera
Majikan Pulau Neraka ini tentu mata keranjang dan seorang demi seorang, wajah
para wanita ini sudah menjadi merah karena malu dan marah. Akan tetapi ketika
melihat pemuda itu seperti mencari-cari, mereka menjadi heran.
“Mana
dia....?” Tiba-tiba Wan Keng In bertanya, pertanyaan yang ditujukan kepada
mereka semua. Suaranya halus dan manis, akan tetapi mengandung sesuatu yang
membuat rombongan orang Thian-liong-pang itu bergidik ngeri. Kecuali Tang Wi
Siang, karena wanita ini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sama
sekali tidak takut berhadapan dengan orang yang dikatakan putera Majikan Pulau
Neraka. Hanya seorang pemuda remaja, pikirnya.
“Dia
siapa yang kaucari?” Tang Wi Siang balas bertanya, suaranya dingin sekali.
Biarpun pangcunya sudah berpesan agar dia tidak membawa orang-orangnya terlibat
dalam pertempuran, akan tetapi kalau orang ini tokoh besar Pulau Neraka, tentu
saja dia tak tinggal diam.
“Siapa
lagi? Nona cantik jelita puteri Ketua Thian-liong-pang! Di mana dia? Kalian
ini bukankah orang-orang Thian-liong-pang?” Wan Keng In bertanya lagi.
“Benar
kami orang-orang Thian-liong-pang. Engkau ini orang Pulau Neraka mencari Nona
Majikan kami, ada keperluan apakah?” Tang Wi Siang membentak marah.
“Hemmm,
dia harus menjadi isteriku. Dia calon isteriku!”
“Jahanam
bermulut lancang!” Tang Wi Siang marah sekali dan tubuhnya mencelat ka atas
lalu turun menyambar dengan serangan dahsyat ke arah kepala Wan Keng In! Wanita
itu memang memiliki ilmu kepandaian istimewa berdasarkan gin-kang yang luar
biasa, yang diajarkan oleh Nirahai kepadanya, yaitu Ilmu Yan-cu-sin-kun.
Melihat datangnya serangan yang amat cepat itu, tahu-tahu tangan kiri wanita
itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Wan Keng In terkejut juga, cepat ia
miringkan kepala sambil melangkah mundur. Akan tetapi, Ilmu Silat Yan-cu-si-kun
(Silat Sakti Burung Walet) benar-benar hebat sekali, karena begitu pukulannya
luput, dan tubuhnya melayang, cepat sekali tubuh wanita itu sudah berjungkir
balik dan tahu-tahu kedua tangannya telah memukul lagi dari kanan kiri
mengarah kedua pelipis!
“Plak-plak!”
Wan Keng In yang kaget sekali cepat menangkis dan tangkisan itu membuat tubuh
Tang Wi Siang terpelanting! Sekarang wanita inilah yang terkejut. Kiranya
pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Dia cepat meloncat dan mengirim Pukulan
Touw-sin-ciang (Pukulan Menembus Hati) yang mengandung sin-kang kuat.
“Plakk!”
kembali Wan Keng In menangkis dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sehingga
tubuh Tang Wi Siang terbanting keras.
Marahlah
para anak buah Thian-liong-pang yang delapan orang banyaknya itu melihat wanita
kepercayaan Ketua mereka roboh. Cepat mereka mencabut senjata dan menerjang
maju, mengeroyok pemuda lihai itu. Tang Wi Siang juga sudah meloncat bangun
dan mencabut pedangnya, mainkan ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang sudah
disempurnakan oleh Ketuanya. Wan Keng In dikeroyok oleh sembilan orang yang
semuanya bersenjata!
Namun
pemuda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan dia tersenyum, senyum yang
membuat wajahnya makin menarik dan tampan. Dia sama sekali tidak mengeluarkan
senjata, hanya meloncat ke sana-sini sambil berkata,
“Hemm,
Bibi yang cantik, engkau agaknya yang menjadi pimpinan rombongan ini. Baiklah,
aku akan membiarkan kalian menghadap Ketua kalian dan katakan bahwa aku akan
menyembuhkan kalian kalau puterinya dijodohkan dengan aku. Kalau tidak, kalian
akan tewas dan seluruh anggauta Thian-liong-pang akan kubasmi, kecuali puteri
Ketua yang harus menjadi isteriku, mau atau tidak!”
Tentu
saja kata-katanya itu membuat Tang Wi Siang dan teman-temannya menjadi marah
sekali dan mereka tidak dapat menjawab saking marahnya, hanya mempercepat
gerakan mereka menyerang dengan pergerahan tenaga sekuatnya. Ingin mereka
mencincang hancur tubuh pemuda yang begitu kurang ajar, hendak memaksa nona
mereka menjadi isterinya dan mengancam akan membasmi seluruh anggauta
Thian-liong-pang kalau kehendaknya tidak dipenuhi! Mana di dunia ini ada
kesombongan dan kekurangajaran yang sehebat itu?
Akan
tetapi, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara tertawa seperti ringkik kuda
dan tiga orang yang menyerang paling dekat dengannya tiba-tiba menjadi lemas
sehingga mereka tidak mampu mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kiri
pemuda itu menepuk punggung mereka, seorang sekali.
“Plak!
Plak! Plak!” Tiga orang itu roboh terjungkal dan batuk-batuk, dari mulut mereka
keluar darah merah.
Tang
Wi Siang marah sekali, menggerakkan pedangnya dan menyerbu ke arah perut
pemuda itu sambil menggerakkan tangan kiri pula untuk memukul dengan
mengerahkan tenaga Touw-sim-ciang ke arah dada kiri Wan Keng In.
Pemuda
itu mengelak sedikit untuk menghindarkan tusukan pedang, akan tetapi dia
agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan tangan kiri Wi Siang yang ampuh itu.
Tang Wi Siang merasa girang sekali karena pukulannya mengenai sasaran yang
tepat dan betapapun lihainya pemuda itu, pukulannya yang menembus jantung itu
tentu akan merobohkahnya, atau sedikitnya melukai isi dadanya.
“Plakkk!”
Betapa
kaget hati Wi Siang ketika telapak tangannya melekat pada dada kiri pemuda itu
yang agaknya sama sekali tidak merasakan apa-apa dan bahkan kini tangan kanan
pemuda itu telah mencengkeram pergelangan tangannya yang memegang pedang dan
sekali memutar tubuhnya terbawa membalik dan sebuah tepukan pada punggungnya
membuat Tang Wi Siang terguling, kepalanya terasa pening, tenggorokannya gatal
membuat dia terbatuk-batuk dan muntahkan darah merah!
Cepat
sekali Wan Keng In bergerak, tubuhnya seperti lenyap dan beruntun ia telah
menepuk punggung lima orang gadis pelayan pembantu Tang Wi Siang sehingga
mereka ini hampir tidak tahu apa yang membuat mereka roboh terguling, dan
terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Sembilan orang itu, termasuk Tang Wi Siang
yang amat lihai, telah roboh dan terluka oleh Wan Keng In dalam waktu beberapa
menit saja! Kalau Tang Wi Siang tidak terkena pancingannya, tidak mengira bahwa
pukulan Touw-sim-ciang sama sekali tidak dapat menembus kekebalan tubuh Wan
Keng In dan kalau wanita itu menggunakan ilmu silatnya untuk mempertahankan
diri, kiranya biarpun akhirnya dia akan roboh juga, namun sedikitnya pemuda
itu harus menggunakan waktu yang lebih lama. Namun, pemuda itu cerdik sekali
dan dia sudah tahu akan kelihaian Tang Wi Siang, maka dia sengaja membiarkan dirinya
terpukul untuk dapat merobohkan wanita itu dalam waktu yang lebih cepat.
“Bibi
yang cantik, katakanlah kepada Ketuamu bahwa kalau dalam waktu sebulan dia
tidak menerima pinanganku dan tidak mengumumkan bahwa puterinya telah menjadi
tunangan Wan Keng In dari Pulau Neraka, kalian akan mati dan aku akan datang
sendiri ke sana untuk mengambil calon isteriku dan membasmi Thian-liong-pang.
Akan tetapi kalau dia menerima pinanganku, Thian-liong-pang akan menjadi
perkumpulan yang terkuat di dunia ini karena bantuanku!” Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat, bayangan pemuda itu lenyap dari dalam hutan.
Tang
Wi Siang cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri di dalam dadanya. Ia
melihat bahwa semua anak buahnya sudah dapat berdiri akan tetapi menyeringai
tanda bahwa mereka pun menderita nyeri. Tahulah dia bahwa mereka semua telah
terluka di sebelah dalam tubuh oleh tepukan pada punggung tadi.
“Buka
bajumu!” Katanya kepada seorang anggauta Thian-liong-pang pria yang tadi telah
dirobohkan. Orang itu membuka bajunya, setelah diperiksa ternyata di
punggungnya terdapat bekas jari yang berwarna merah!
“Hemmm,
pukulan beracun, seperti yang kuduga,” kata Tang Wi Siang yang memang sudah
menduga bahwa tokoh Pulau Neraka itu tentu menggunakan pukulan beracun.
“Manusia sombong itu! Apa dikira Pangcu kita tidak akan dapat menyembuhkan
pukulan beracun macam ini saja? Hayo, kita cepat pulang menyusul Pangcu,
membuat laporan agar Pangcu dapat mengobati kita dan mencari si keparat itu
untuk diberi hajaran!” Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam
hatinya Tang Wi Siang merasa gelisah dan tegang sekali karena dari pertandingan
tadi saja dia sudah maklum bahwa pemuda itu benar-benar memiliki kesaktian yang
amat luar biasa! Dengan perasaan tertekan sembilan orang itu melakukan
perjalanan tergesa-gesa dan tanpa mengeluarkan kata-kata menyusul Ketua mereka,
pikiran mereka tidak pernah terlepas dari tanda tiga buah jari merah yang
menempel di punggung mereka dan tersembunyi di bawah baju masing-masing.
“Hu-hu-huukkk....!” Milana tak
dapat menahan kesedihan hatinya lagi ketika dia sudah berdua saja dengan
Pendekar Super Sakti di atas punggung burung rajawali yang terbang tinggi
menembus awan. Mula-mula dia merasa bahagia sekali dapat duduk membonceng ayah
kandungnya di atas punggung rajawali itu, hal yang sudah lama dia
impi-impikan. Akan tetapi dia teringat kembali kepada ibunya, teringat akan
peristiwa antara ibu dan ayahnya, akan permusuhan antara ibu dan ayahnya dan
akan rahasia ibunya yang tidak diketahui ayahnya. Bagaimana dia dapat
bergembira biarpun kini dia dapat membonceng ayah kandungnya kalau ayahnya itu
tidak mengenal dan dia tidak boleh memperkenalkan diri? Dia tidak akan
memperkenalkan diri sebagai Milana, sebagai puteri Pendekar Super Sakti ini,
demi menjaga rahasia ibunya. Betapapun juga dia harus membela ibunya! Dan dia
pun kini mendapat kesempatan untuk mengenal dari dekat orang macam apakah yang
menjadi ayah kandungnya ini.
“Eh,
Nona mengapa engkau menangis?” Tiba-tiba Suma Han bertanya kepada dara yang
duduk di depannya, membelakanginya ketika ia mendengar dara itu terisak.
“Apakah
setelah menjadi tawananmu, aku tidak boleh mdnangis?” Milana bertanya tanpa
menoleh.
“Hemm....
wanita dan tangis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tentu saja engkau
boleh menangis, akan tetapi kurasa, sebagai puteri seorang ketua perkumpukan
besar macam Thian-liong-pang, amatlah memalukan kalau harus memperlihatkan
kekecilan hati dan menjadi seorang yang cengeng.”
Rasa
panas membubung ke dada Milana dan dia menggigit bibir, mengusir sisa tangis
yang berada di dalam dadanya. “Aku tidak cengeng! Aku tidak kecil hati!”
bantahnya.
Suma
Han yang duduk di belakangnya, tersenyum. Dia maklum bahwa tentu puteri Ketua
Thian-liong-pang ini membencinya dan menganggapnya musuh, akan tetapi semenjak
tadi, dia sudah melihat perbedaan watak yang besar sekali antara Ketua
Thian-liong-pang dan puterinya ini. Gadis ini sama sekali tidak berwatak kejam,
liar dan ganas seperti ibunya. Sebaliknya dara ini mempunyai watak lembut,
terbukti dari isaknya dan pencelaannya kepada ibunya ketika berada di hutan
tadi. Kini, kembali tampak sifat halusnya dengan isak yang tertahan-tahan akan
tetapi betapapun juga, ada setitik darah ibunya sehingga dara ini melawan
perasaan sendiri dan kini berpura-pura memperlihatkan sikap keras seperti sikap
ibunya! Ahh, betapa terbuka keadaan hati dan pikiran dara ini baginya sehingga
biarpun dara itu duduk membelakanginya dan dia tidak dapat melihat wajahnya
yang memang belum diperhatikannya benar-benar, dia sudah dapat menjenguk isi
hati dan mengenal wataknya!
“Kalau
begitu mengapa menangis?”
Ih,
betapa halus suara ayahnya! Orang yang mempunyai suara halus dan menggetarkan
perasaan yang halus pula itu tak mungkin seorang jahat, biarpun dijuluki
Pendekar Siluman sekalipun! Bagaimana ibunya mencacinya sebagai seorang yang
pengecut, tidak berjantung, tiada perasaan?
“Kenapa
engkau menawan aku? Apakah benar untuk menekan Thian-liong-pang agar tidak membantu
pemerintah membasmi para pengacau dan pemberontak lagi?”
Milana
merasa betapa orang yang duduk di belakangnya itu menghela napas panjang.
Ingin sekali dia menengok dan memandang wajah yang menimbulkan rasa sayang dan
kagum di datam hatinya itu, ingin melihat tarikan muka itu dan sinar mata yang
aneh itu. Akan tetapi, pada saat itu dia sedang bersandiwara, harus beraksi
seperti orang yang asing sama sekali, yang tidak mengenal Pendekar Super Sakti,
maka tidak akan sopanlah sebagai seorang gadis tertawan kalau dia ingin
memandang muka pria yang menawan.
“Nona,
biarlah engkau mendengar hal yang sesungguhnya. Bukan menjadi pendirianku untuk
mempergunakan cara pemerasan seperti ini, untuk menggunakan seorang gadis muda
sebagai alat untuk menekan Thian-liong-pang. Cara ini, tepat seperti pendapat
ibumu, adalah cara seorang pengecut. Kalau memang aku berniat menentang
Thian-liong-pang, tentu akan kupergunakan cara laki-laki, yaitu langsung
menentangnya dan menghadapinya seperti seorang gagah, tinggal melihat
hasilnya, menang atau kalah. Akan tetapi, setelah aku melihatmu di sana
tadi.... hemm, aku berpendapat lain dan aku menawanmu dengan maksud lain
pula....”
Berdebar
keras jantung Milana dsn dia menarik tubuh ke depan agar orang yang berada di
belakangnya itu jangan sampai tahu debar jantungnya. Dia lupa bahwa yang duduk
di belakangnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa
sehingga pendengarannya sudah amat tajam, dapat membedakan debar jantung yang
berubah, apalagi dari jarak demikian dekat! Ayah kandungnya ini menawannya
bukan untuk dipergunakan sebagai sandera, bukan untuk memeras dan menekan
Thian-liong-pang! Habis untuk apa?
“Maksud
apalagi kalau bukan untuk menekan Ibuku?” tanyanya, menekan hatinya agar
suaranya terdengar biasa. Tentu saja Suma Han dapat membedakan pula suara
menggetar yang terbawa oleh perasaan tegang itu, dan dia tersenyum, menduga
tentu gadis ini mengira bahwa dia mempunyai niat yang bukan-bukan!
“Ketika
aku melihatmu di sana tadi, timbul rasa kasihan di hatiku. Betapa seorang gadis
muda yang berdasarkan watak halus dan hati penuh welas asih dan mulia,
bergelimang dalam perbuatan-perbuatan rendah yang dilakukan oleh
Thian-liong-pang! Kalau dibiarkan saja, akhirnya tentu anak itu akan menjadi
rusak dan menjadi seorang wanita yang kejam, liar, ganas dan berwatak iblis, seperti
ibunya yang menjadi Ketua Thian-liong-pang! Karena itu, timbul niatku untuk
membawamu pergi dari lingkungan kotor ini!”
Tiba-tiba
Milana menoleh dan matanya terbelalak penuh kemarahan. "Tidak! Biarkan aku
kembali! Aku tidak peduli, aku lebih senang kalau menjadi seperti Ibu! Dia
tidak jahat, engkaulah yang jahat dan kejam! Engkau membiarkan Ibuku merana dan
sengsara dalam hidupnya!"
"Hahhh....?
Apa maksudmu? Aku membikin Ibumu hidup sengsara?"
Milana
terkejut sendiri. Dia telah kelepasan bicara. Cepat ia memutar otak mencari
alasan. "Tentu saja engkau telah menculik aku, anaknya, bagaimana Ibu
tidak merasa sengsara dalam hidupnya memikirkan keselamatanku?"
"Ah,
begitukah? Kalau dia masih mempunyai perasaan seperti seorang ibu biarlah dia
sadar bahwa dalam hidupnya, jauh lebih penting memikirkan masa depan puterinya
daripada melampiaskan nafsu kemurkaan melalui Thian-liong-pang. Biarlah dia
menderita agar dia sadar. Kalau dia sudah sadar, aku pun tentu saja tidak akan
suka memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya." Setelah berkata
demikian, Suma Han menepuk leher rajawali dan menekan berat tubuhnya ke kiri
sehingga burung itu segera menukik ke kiri dan meluncur turun.
Burung
itu meluncur cepat sekali sehingga biarpun Milana telah memiliki kepandaian
tinggi, dia merasa pening dan ngeri juga. Akan tetapi di depan penawannya, atau
bahkan ayah kandungnya, dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya, dan untuk
menutupi rasa ngeri dan takutnya, dia bertanya,
"Engkau
mau membawa aku ke mana?"
"Engkau
takut?"
Wah,
ayahnya ini benar-benar amat waspada! "Tidak!" jawabnya, akan tetapi
suaranya gemetar juga ketika ia melirik ke bawah dan melihat seolah-olah dia
dibawa jatuh ke bawah dengan kecepatan mengerikan!
"Jangan
takut, menunggang burung ini lebih aman daripada menunggang seekor kuda."
Milana
tidak mejawab lagi karena percuma saja dia hendak menyembunyikan rasa ngerinya.
Setelah penculiknya tahu, tidak lagi berpura-pura dan untuk mengusir rasa
takutnya, dia memegangi tangan Pendekar Super Sakti yang membiarkannya saja
sambil diam-diam tersenyum karena Suma Han maklum betapa ngeri dan takutnya
menunggang burung rajawali, apalagi kalau menukik turun, bagi seorang yang
belum bisa. Dia sendiri ketika mula-mula menunggang burung garuda di Pulau Es,
juga berkunang-kunang dan merasa ngeri!
Burung
itu hinggap di atas tanah di luar sebuah dusun. Suma Han meloncat turun diikuti
oleh Milana. Suma Han lalu mendorong tubuh burung rajawali itu sehingga terlempar
ke atas dan burung itu segera terbang tinggi.
"Mengapa
kita turun di sini? Engkau hendak membawaku ke mana?"
Sambil
membalikkan tubuhnya rnenghadapi gadis itu Suma Han menjawab, "Kita akan
pergi ke...." Tiba-tiba Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya dan dia
berdiri dengan mata terbelalak dan mulut agak terbuka seperti terkena pesona
ketika memandang wajah dara itu. Baru sekarang dia dapat melihat wajah Milana
dengan jelas dan dari jarak dekat. Mulut itu! Mata itu! Mata yang mengandung
sinar seolah-olah dua ujung pedang yang amat runcing menusuk sampai ke lubuk
hati! Mata dan mulut yang sangat dikenalnya, tidak asing sama sekali baginya,
akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini dia berjumpa dengan puteri Ketua
Thian-liong-pang!
"Kau....
kau kenapa, Paman?" Milana bertanya.
Suaranya
yang halus itu menyadarkan Suma Han. Dia menarik napas panjang lalu menggunakan
kedua telapak tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggosok
seluruh mukanya terus ke leher dan ke tengkuknya yang dirasakan meremang tanpa
dia ketahui sebabnya.
"Aaahhh....
tidak apa-apa...." Dia menghindarkan pandang matanya bertemu dengan sinar
mata gadis itu dan tidak ingin lagi memandeng wajah itu lama-lama karena merasa
aneh dan.... ngeri! "Aku hendak membawamu ke kota raja."
"Ke
kota raja? Mengapa ke sana, Paman? Apakah engkau sekarang tinggal di kota raja
setelah.... setelah.... kudengar...." Karena Pulau Es merupakan tempat
tinggal ayah kandungnya, tempat yang sudah lama ia rindukan, maka mendengar
betapa pulau itu dibakar, Milana merasa terkejut dan duka, maka sekarang dia
pun merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya.
"Setelah
Pulau Es dibakar? Tidak, aku tidak tinggal di kota raja atau di mana pun."
"Jadi,
engkau sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, Paman?"
Suma
Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam merasa betapa aneh keadaan mereka
berdua itu. Dia adalah penculik dan gadis itu yang diculik dan ditawannya, akan
tetapi mereka bercakap-cakap seperti seorang paman dan keponakannya saja,
saling bersimpati dan saling menaruh kasihan!
"Kalau
begitu, ke mana Paman hendak ke kota raja?"
"Aku
akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah membakar Pulau Es dan Pulau
Neraka, dan aku akan merampas kembali Pedang Hok-mo-kiam...."
"....yang
dicuri oleh Pendeta Iblis Maharya dan muridnya?"
"Eh,
bagaimana engkau bisa tahu?" tiba-tiba Suma Han bertanya dan kembali dia
merasa jantungnya seperti diguncang ketika memandang wajah yang cantik jelita
luar biasa itu.
Ingin
rasanya Milana menampar mulutnya sendiri karena kelepasan bicara itu.
"Siapa
yang tidak tahu, Paman? Hal itu sudah diketahui di dunia kang-ouw, dan aku
mendengar dari Ibuku."
Suma
Han tidak merasa heran. Peristiwa itu diketahui oleh orang lain, juga oleh Gak
Bun Beng. Andaikata pemuda itu tidak membicarakannya di luar, bisa jadi saja
kalau Tan-siucai atau Gurunya membual bahwa mereka telah merampas Hok-mo-kiam
dari tangan Pendekar Super Sakti sehingga peristiwa itu diketahui oleh Ketua
Thian-liong-pang yang lihai dan berpengaruh.
"Hemm,
begitukah? Benar, pedang itu akan kurampas kembali dari tangan mereka. Aku
mendengar bahwa kini mereka pun membantu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan
berada di kota raja."
"Wah,
Paman hendak mencari banyak musuh di kota raja. Bagaimana dengan aku?"
"Engkau
ikut saja denganku, tidak akan ada yang berani mengganggu."
"Habis,
untuk apa aku ikut kalau hanya disuruh menonton? Apakah Paman.... ingin supaya
aku membantu Paman itu?"
Suma
Han tertawa. Bocah ini sungguh menyenangkan hatinya. Sikapnya begitu halus dan
wajar, sedikitpun juga tidak memperlihatkan sikap bermusuhan padahal jelas
bahwa dia telah membawanya secara paksa!
"Tidak,
Nona. Engkau ikut saja denganku dan di waktu terluang, aku akan mengajarkan
ilmu kepadamu." Hampir saja Milana bersorak saking girang hatinya. Di
antara hal-hal yang amat dirindukan adalah belajar ilmu dari ayah kandungnya,
dari Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang terkenal di
seluruh jagad! Akan tetapi dia menahan diri dan hanya kelihatan betapa bibirnya
yang merah dan berbentuk kecil mungil indah itu merekah dalam senyum, sepasang
matanya yang lebar itu terbelalak dan bersinar-sinar penuh keriangan hati. Hal
ini tidak lepas dari pandangan mata Suma Han sehingga diam-diam pendekar ini
merasa terharu dan timbul rasa suka yang mendalam di hatinya terhadap gadis
ini, timbul pula niat hatinya untuk menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi
kepadanya!
"Terima
kasih, Paman. Engkau baik sekali!"
"Ha-ha-ha...!"
Suma Han sendiri sampai terkejut. Bertahun-tahun sudah dia tidak pernah
tertawa. Akan tetapi kini, tanpa disadarinya, dia telah tertawa begitu bebas,
suara ketawa yang langsung keluar dari dalam hatinya. Bocah ini telah
menciptakan sesuatu yang amat aneh dalam hatinya!
"Paman,
kenapa kau tertawa?"
"Aku....
tertawa....? Ahhh, karena mendengar ucapanmu yang lucu tadi, Nona. Kaubilang
aku baik sekali padahal aku adalah penculikmu!"
"Biarpun
begitu, sikapmu amat baik kepadaku, Paman dan aku suka ikut bersamamu. Aku
merasa bahwa dengan ikut padamu, aku akan mengalami hal-hal yang hebat, dan
lagi, menerima pelajaran ilmu dari Pendekar Super Sakti merupakan hal yang amat
menyenangkan sekali. Bagaimana aku tidak menjadi gembira dan menganggap Paman
seorang
yang amat baik? Nanti kalau bertemu dengan Ibu aku akan meyakinkan hatinya
betapa baiknya budi pekerti Paman."
Suma
Han menghela napas. "Aaahh.... kalau ada yang menganggap baik tentu ada
yang menganggap sebaliknya, yaitu jahat. Dan aku sendiri tidak tahu siapa yang
lebih benar di antara mereka yang menyebut baik dan mereka yang menyebutku
jahat."
"Bagaimana
ini? Aku tidak mengerti, Paman?"
"Tak
usah kaupikirkan. Jangan merusak hatimu yang masih polos itu dengan teka-teki
hidup yang tiada habisnya, juga tiada gunanya. Eh, Nona, engkau kuanggap
sebagai muridku atau sebagai.... keponakanku sendiri.... ehhh, aku jadi
teringat kepada Kwi Hong! Ke mana gerangan perginya bocah bengal yang sukar
diurus itu?"
"Kwi
Hong? Apakah Paman maksudkan bahwa keponakan Paman yang bernama Kwi Hong pergi
tanpa pamit?"
Suma
Han mengangguk. "Bocah itu nakal bukan main. Dia pergi merantau tidak
menggelisahkan karena ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk menjaga diri.
Akan tetapi, dia membawa pergi pedang Li-mo-kiam, itulah yang menggelisahkan
hatiku...."
Tiba-tiba
Milana meloncat kaget. "Aihhh....! Kalau begitu diakah....?"
Terbayang olehnya seorang gadis yang telah menyelamatkannya ketika ia hampir
saja tertawan oleh Wan Keng In, seorang gadis yang keluar dari dalam peti mati,
dan yang memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat! Gadis itu pula
yang telah mengacau di rumah penginapan, menyelidiki keadaan rombongan
Thian-liong-pang! Ahh, mengapa dia begitu pelupa? Tentu gadis perkasa itu Kwi
Hong!
"Heiii!
Apa engkau pernah bertemu dengannya?" Suma Han bertanya kaget.
Milana
mengangguk, belum berani membuka mulut karena dia harus menekan perasaannya
yang terguncang. Bertemu dengan Kwi Hong dan dia tidak mengenalnya, apakah Kwi
Hong juga tidak mengenalnya ketika menyelidiki rumah penginapan? Dan apakah Kwi
Hong baru mengenalnya ketika turun tangan menolongnya?
"Aku
pernah bertemu dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang bersinar kilat,
Paman. Dia pernah menyelidiki rombongan Thian-liong-pang, hampir tertangkap
olehku, akan tetapi dia lihai sekali dan dapat meloloskan diri. Kemudian, dia
muncul pula bersama orang-orang Pulau Neraka!"
"Ah,
kalau begitu bukan Kwi Hong! Tak mungkin dia bersama orang-orang Pulau
Neraka."
"Akan
tetapi dia telah menolongku ketika aku hampir tertawan oleh pemuda iblis,
putera Majikan Pulau Neraka."
"Apa?
Coba kauceritakan yang jelas, Nona."
Dengan
singkat Milana menceritakan bentrokan yang terjadi antara rombongan
Thian-liong-pang yang dipimpinnya melawan rombongan Pulau Neraka.
"Mula-mula pihak kami sudah mendekati kemenangan, lalu tiba-tiba muncul
pemuda iblis yang lihai itu. Aku hampir saja tertawan olehnya, kemudian muncul
gadis itu dari dalam peti mati dan dengan sebatang pedang yang bersinar kilat,
dia telah menyelamatkan aku dengan membabat putus tali sutera yang mengikatku.
Karena aku maklum bahwa tempat itu berbahaya bagi rombonganku, aku lalu
mengajak rombonganku segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Dan
gadis itu bagaimana?"
"Entah,
Paman. Ketika aku pergi, dia sedang bertanding dengan hebatnya melawan pemuda
iblis yang juga memegang sebatang pedang yang bersinar kilat!"
"Hemmm,
Sepasang Pedang Iblis....!" Suma Han berkata perlahan sambil mengerutkan
alisnya.
Milana
sudah mendengar dari Gak Bun Beng betapa sepasang pedang itu telah ditemukan
Bun Beng. Li-mo-kiam, pedang betina, diberikan oleh Bun Beng kepada Kwi Hong
sedangkan yang jantan, Lam-mo-kiam, terampas oleh Wan Keng In putera Majikan
Pulau Neraka. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu karena kalau dia menyebut
Bun Beng, tentu ayah kandungnya itu akan mengenal dan dengan demikian, rahasia
ibunya terbongkar.
"Apakah
benar dia itu keponakanmu, Paman?"
"Agaknya
begitulah. Dan dia tentu terancam bahaya...." Suma Han menggeleng kepala.
"Akan tetapi, dia keluar dari sebuah peti mati, katamu? Hemm.... kalau
begitu dia bukan Kwi Hong."
Di
dalam hatinya, Milana sekarang merasa yakin bahwa gadis yang meloncat keluar
dari peti mati itu pasti Kwi Hong. Setelah diingatkan, kini dia dapat
membayangkan wajah gadis itu dan dia merasa yakin bahwa gadis itu, juga gadis
yang pernah dia "lasso" kakinya di atas genteng di rumah penginapan,
tentu Giam Kwi Hong orangnya! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani
menyatakan, isi hatinya itu.
"Nona,
kulanjutkan pertanyaanku yang tadi terganggu oleh persoalan Kwi Hong yang
bengal. Aku hendak bertanya, siapakah namamu, Nona?"
Terkejut
juga hati Milana mendengar pertanyaan ini. Ayahnya, ayah kandungnya sendiri,
menanyakan namanya. Tidakkah amat ganjil ini? Ingin ia berteriak menyebutkan
namanya, berteriak mengaku bahwa dia adalah puteri Si Pendekar itu sendiri,
ingin ia menangis dan mencela ayahnya yang seolah-olah tidak mempedulikan
anaknya! Akan tetapi Milana terpaksa harus menekan keinginan hatinya ini karena
dia harus melindungi rahasia ibunya. Entah mengapa ibunya menyembunyikan diri
di balik kerudungnya itu, dia sendiri tidak tahu. Entah mengapa ibunya tidak
mau berbaik dengan ayahnya, tidak mau mengaku bahwa Ketua Thian-liong-pang
adalah ibunya, dia sendiri tidak tahu. Betapapun juga, dia harus membela
ibunya, harus melindungi rahasianya.
"Paman,
panggil saja aku.... Alan...."
"Hemmm,
nama palsu, ya?"
Milana
mengangguk. "Maaf, Paman. Aku tidak boleh memperkenalkan namaku
kepadamu...."
"Aku
mengerti. Ibumu selalu bersembunyi di balik kerudung, penuh rahasia, tentu
anaknyapun penuh rahasia pula. Tidak mengapalah, Alan, aku akan menyebutmu Alan
seperti yang kaukehendaki. Mari kita melanjutkan perjalanan ke kota raja."
"Kenapa
tidak menunggang rajawali saja, tidak melelahkan dan lebih cepat?" Milana
membantah karena memang amat menyenangkan hatinya menunggang rajawali itu,
berboncengan dengan ayahnya.
"Tidak,
Alan. Dari sini ke kota hanya perjalanan tiga empat hari saja dan melalui
banyak dusun dan kota. Kalau kita menunggang rajawali, tentu akan menarik
banyak perhatian orang."
"Dan
burung itu sendiri bagaimana?"
"Dia
sudah jinak dan dia akan mengikuti aku dari angkasa. Setiap kali kubutuhkan,
kupanggil tentu dia datang."
"Sungguh
menyenangkan sekali mempunyai binatang peliharaan seperti itu, Paman. Akan
tetapi.... aku pernah mendengar bahwa binatang peliharaan Paman di Pulau Es
bukan rajawali, melainkan garuda putih."
Suma
Han menghela napas teringat akan dua ekor burung garudanya. "Mereka telah
tewas di tangan orang-orang yang merampas Hok-mo-kiam. Burung rajawali ini pun
dari Pulau Neraka, aku temukan dalam keadaan ketakutan karena Pulau Neraka
dibakar. Aku dapat menundukkannya dan sekarang dia sudah jinak dan
penurut."
Demikianlah,
dua orang itu berjalan memasuki dusun sambil bercakap-cakap. Mereka kelihatan
begitu rukun, sama sekali tidak pantas sebagai seorang yang ditawan dan
penawannya, lebih patut sebagai keluarga. Namun, hanya Milana seorang yang tahu
bahwa mereka adalah anak dan ayah, ayah kandung!
Dua
hari kemudian, mereka telah tiba di tapal batas, kota raja hanya tinggal lima
puluh li jauhnya, perjalanan setengah hari. Karena mereka datang dari arah
utara, mereka melalui daerah yang agak tandus dan pada pagi hari itu, mereka
beristirahat di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi, di luar sebuah
dusun.
Suma
Han mengeluarkan bungkusan roti kering yang tinggal dua potong dan sebuah guci
terisi air yang diisi penuh dalam perjalanan tadi. Tanpa bicara dia menyerahkan
sepotong roti kering kepada gadis itu, yang diterimanya tanpa berkata-kata
pula, akan tetapi tidak segera dimakannya karena Milana kini duduk sambil
memandang ayah kandungnya. Pendekar Sakti itu duduk bersandar dinding butut,
kaki tunggalnya ditekuk bersila, tongkat melintang di atas pahanya, tangan kiri
memegang roti kering sepotong. Melihat gadis itu tidak segera makan rotinya,
dia berkata,
"Tinggal
ini roti bekalku, akan tetapi perjalanan sudah dekat. Makanlah, Alan."
Namun
dara itu tidak mau makan rotinya dan melihat betapa ayah kandungnya itu makan
roti kering, kelihatan dipaksakan dan seret melalui kerongkongan, hatinya
menjadi terharu sekali.
"Paman,
kasihan sekali engkau, hanya makan roti kering tawar dan air! Aku pandai masak,
Paman. Aku ingin memasakkan yang enak-enak untuk kau makan."
Suma
Han menunda makannya, memandang dara itu dengan heran dan tersenyum.
"Engkau aneh sekali. Di tempat sunyi seperti ini, andaikata pandai masak
sekalipun, apa yang hendak dimasak? Bahannya tidak ada, bumbu-bumbunya pun
tidak ada, yang ada hanya bahan bakar dan api!"
"Di
selatan sana sudah tampak sebuah dusun, tentu ada yang menjual bahan dan bumbu.
Kalau Paman percaya kepadaku, aku akan ke sana membeli bahan kemudian akan
kumasakkan yang enak untuk Paman."
"Percaya?
Tentu saja aku percaya kepadamu, Alan."
Wajah
Milana berseri dan ia meloncat bangun. "Benarkah Paman percaya kepadaku?
Terima kasih, Paman. Aku akan pergi dulu mencari bahan masakan!" Gadis itu
membalikkan tubuh dan berlari keluar dari kuil tua.
"Heiii,
Alan! Nanti dulu!"
Dara
itu berhenti, menengok dan memandang dengan wajah kecewa. "Paman takut
kalau aku melarikan diri?"
Suma
Han tersenyum, menggeleng kepala dan mengeluarkan sebatang pedang dari
buntalannya. "Aku percaya kepadamu, akan tetapi kaubawalah pedang ini
untuk membela diri kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."
Dapat
dibayangkan betapa girangnya hati Milana. Ayah kandungnya, biarpun belum tahu
bahwa dia adalah puterinya, sudah menaruh kepercayaan dan menaruh sayang
kepadanya! Cepat ia berlari menghampiri pendekar itu menerima pedangdan
menjura, "Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali, selain percaya bahwa
aku tidak akan melarikan diri, juga engkau ingat akan keselamatanku." ia
memandang pedang di tangannya, mencabut dari sarungnya dan berseru girang.
"Ah, pedang pusaka yang indah! Pedang pusaka apakah ini, Paman?"
"Namanya
Pek-kong-kiam, dahulu menjadi pegangan keponakanku. Akan tetapi sekarang dia
tidak memerlukannya lagi. Pergilah, Alan, dan hati-hatilah."
Alan
mengangguk, memasangkan pedang di pinggangnya kemudian berlari-lari kecil
meninggalkan kuil itu, dipandang oleh Suma Han dengan bengong.
Setelah
bayangan dara itu lenyap, dia menarik napas panjang. "Ahhh, Suma Han,
apakah engkau benar-benar memiliki dasar watak yang kotor? Mengapa engkau
seperti tergila-gila kepada dara itu?" Ingin pendekar sakti ini
menempiling kepalanya sendiri. Ada sesuatu dalam diri dara itu yang amat
menarik hatinya, seperti besi sembrani menarik besi! Ada sesuatu pada diri
gadis itu yang membuat dia merasa suka sekali, merasa ingin sekali berdekatan
selalu, memandang wajah jelita itu, melihat senyum yang cerah dan mata yang
lebar seperti matahari kembar itu. Seolah-oleh dia berhadapan dengan seorang
yang sudah lama sekali dikenalnya, yang amat dekat dengan hatinya, seolah-olah
ada perasaan yang memenuhi hatinya bahwa sudah semestinya dan sewajarnya kalau
gadis itu selalu berada di dekatnya!
"Keparat!"
Suma Han menepuk tanah di depannya. "Aihhh, Nirahai.... Lulu.... kalianlah
yang membuat aku menjadi begini! Aku rindu kepada kalian, rindu akan kasih
sayang wanita sehingga begitu bertemu dengan gadis ini aku seperti orang
tergila-gila!" Ia mengeluh lalu duduk termenung. "Apakah yang harus
kulakukan agar aku dapat berkumpul kembali dengan Nirahai? Dengan Lulu?"
Nirahai adalah isterinya, yang ia cinta dan yakin bahwa isterinya itu pun
mencintanya. Akan tetapi mengapa sikap Nirahai seaneh itu? Mengapa? Dan Lulu?
Dia mencinta adik angkatnya itu, mencintanya dengan sepenuh hatinya, bukan
cinta saudara, melainkan cinta seorang pria terhadap wanita yang pertama kali
merebut kasihnya. Terkenang dia akan ucapan-ucapan Lulu ketika mereka bertemu
di Pulau Neraka. "Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua kenyataan
dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu!" Demikianlah kata
Lulu yang masih menggores di hatinya. Tentu saja dia sukar untuk dapat menerima
tuntutan Lulu yang selain menjadi adik angkatnya, juga sudah menikah dengan orang
lain biarpun kini sudah menjadi janda, dan mengingat bahwa dia sudah menjadi
suami Nirahai!
Karena
penolakannya, Lulu memusuhinya, sesuai dengan sumpahnya! Akan tetapi, sekarang
Pulau Neraka telah dibakar pemerintah, bagaimana nasib wanita yang menjadi
cinta pertamanya itu? Bagaimana pula nasib Nirahai? Aihh, sikap Nirahai yang
amat aneh, sama anehnya dengan sikap Lulu. Masih terngiang di telinganya suara
isterinya itu penuh dengan kemarahan, "Kini aku tidak sudi
menyembah-nyembah minta kaubawa! Dan hanya denganpaksaan sa ja engkau akan dapat membawaku ke
Pulau Es. Dengan paksaan, kaudengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati
karena kaubiarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah,
kejam dan canggung!"
Suma
Han kembali menarik napas panjang menundukkan muka dan menyangga kepalanya
dengan kedua tangan, seolah-olah kepalanya tiba-tiba menjadi amat berat begitu
dia terkenang kepada Lulu dan Nirahai. Apa yang harus dia lakukan agar mereka
berdua, wanita-wanita yang dicintanya itu dapat berada di sampingnya,
menyegarkan rasa dahaga yang selama ini dia derita, menyembuhkan sakit rindu
yang selama ini membuat hidupnya tanpa gairah, memenuhi sisa hidupnya dengan
kebahagiaan sebagai penebus kesengsaraan yang sudah amat lama dirasakannya?
"Ahh,
Lulu...., Nirahai....!" Suma Han merasa jantungnya seperti diremas-emas.
Memang demikianlah manusia pada umumnya. Selama hidupnya, semenjak dia mulai
mengerti, manusia telah kehilangan kebebasan dan kewajarannya. Mulailah datang
kesengsaraan bersama dengan pengertian itu! Mulailah manusia dicengkeram dan
dikurung dalam sangkar yang berupa pikiran, berupa gagasan yang dibentuk
semenjak dia mengerti. Segala macam gerak dan langkah hidup ditentukan oleh
gagasan, oleh pikiran yang bukan lain adalah Sang Aku yang penuh dengan loba,
dengki, iri, takut, khawatir, yang kesemuanya timbul karena iba diri, sayang
diri yang didorong rasa takut kehilangan kesenangan, kehilangan ketenteraman.
Suma Han adalah seorang pendekar besar, pendekar sakti, yang memiliki ilmu
kepandaian seperti dewa. Namun semua itu hanyalah duniawi, lahiriah belaka.
Karena itu ilmu kepandaiannya tidak akan dapat membebaskan dia daripada duka
dan khawatir. Dia berduka mengenakan dua orang wanita yang dicintanya, dan dia
khawatir kalau-kalau sisa hidupnya akan tetap merana seperti yang dirasakannya
selama ini.
Dua
orang wanita yang dia tahu amat mencintanya, akan tetapi yang karena keadaan
tidak dapat hidup berdampingan dengannya. Karena keadaankah? Ataukah karena
jalan pikiran antara mereka yang tidak cocok? Ataukah mereka berdua yang aneh,
apakah dia sendiri yang tidak pandai menundukkan hati wanita? Akan tetapi
semenjak masih setengah dewasa dahulu, Lulu selalu menurut akan semua
kata-katanya! Mengapa sekarang berbeda? Ah, tentu saja berubah, pikirnya.
Dahulu Lulu mentaati segala kata-katanya karena merasa sebagai adik angkatnya,
sekarang.... wanita itu cintanya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria.
Teringat akan Lulu, terbayanglah dia akan pertemuannya dengan Lulu di Pulau
Neraka, teringat pula tentang Pulau Neraka yang telah dibumihanguskan, dan akan
burung rajawali Pulau Neraka yang berhasil ia taklukkan dan jinakkan. Rajawali!
Dia terkejut karena tidak melihat burung itu ketika ia tiba-tiba menengadah.
Tadi masih tampak burung itu beterbangan di atas kuil, kadang-kadang menyambar
turun di depan kuil. Akan tetapi sekarang tidak tampak.
Suma
Han mencelat keluar mencari-cari burung itu dengan pandang matanya. Namun tetap
saja tidak tampak bayangan burung itu. Suma Han menjadi curiga, lalu
mengeluarkan suara melengking nyaring. Suara yang keluar dari dadanya, dengan
pengerahan khi-kang sehingga suara panggilan itu bergema sampai jauh sekali.
Setelah mengeluarkan suara melengking sampai tiga kali berturut-turut, Suma Han
diam tak bergerak menanti jawaban. Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara
burung itu, bukan sebagai jawaban panggilan, melainkan suara memekik kemarahan!
Dia merasa heran sekali. Suara burung seperti itu hanya dikeluarkann kalau
burung itu berhadapan dengan musuh atau terancam bahaya, atau sedang kesakitan!
Khawatir
kalau burung itu terancam bahaya, Suma Han lalu mempergunakan kepandaiannya,
tubuhnya berloncatan cepat sekali seperti terbang. Dia tidak memasuki dusun di
sebelah selatan kuil karena suara burung itu datangnya dari arah kiri dan kini
sudah tampak olehnya dari jauh burungnya sedang bertempur melawan seekor burung
lain! Burungnya terdesak karena burung rajawali lainnya yang menjadi lawan itu
bertubuh lebih besar. Suma Han mempercepat loncatan-loncatannya mendaki sebuah
anak bukit dan tiba-tiba ia berdiri dengan jantung berdebar tegang, matanya
tidak lagi memandang ke arah burungnya yang sedang bertempur, melainkan ke
bawah karena di situ terjadi pertandingan lain yang lebih menegangkan hatinya.
Dia melihat Alan, gadis tawanannya, puteri Ketua Thian-liong-pang itu, sedang
bertempur melawan seorang pemuda jangkung yang lebih lihai sekali, ditonton
oleh beberapa orang yang mukanya beraneka warna. Anak buah Pulau Neraka! Alan
mempergunakan Pek-kong-kiam, menyerang dengan gerakan yang cepat sekali
sehingga tubuh dara itu lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri yang
bergulung-gulung dan berwarna putih. Akan tetapi, pemuda jangkung itu
menghadapinya dengan kedua tangan kosong dan kelihatan bersilat seenaknya saja!
Dengan
beberapa loncatan tinggi, tubuh Suma Han mencelat dan hinggap di atas atap
sebuah podok tua yang berdiri tak jauh dari tempat pertandingan. Jantungnya
makin berdegup tegang ketika melihat wajah pemuda tampan itu. Wajah itu mirip sekali
dengan mendiang Wan Sin Kiat, suami Lulu! Melihat betapa di situ hadir enam
orang yang mukanya berwarna merah muda dan hijau pupus, mudah saja bagi Suma
Han untuk menduga, siapa adanya pemuda ini. Tentu inilah Wan Keng In, putera
Ketua Pulau Neraka, putera Lulu dan mendiang Wan Sin Kiat! Bukan main hebatnya
gerakan pemuda itu sehingga diam-diam Suma Han merasa kagum sekali. Akan
tetapi, melihat senyum dan sinar mata pemuda itu, ada sesuatu yang membuat hati
Suma Han kecewa, karena senyum dan sinar mata pemuda itu membayangkan hal yang
mengerikan, watak yang aneh dan tak dapat dipercaya! Banyak sudah dia melihat
senyum dan sinar mata seperti itu yang hanya dimiliki oleh datuk-datuk golongan
sesat. Apalagi ketika mendengar suara pemuda itu ketika berkata mengejek kepada
Alan, hatinya makin tidak enak lagi.
"Heh-heh-heh,
Nona manis. Mengapa engkau masih nekat melawan aku? Bukankah sudah jelas bahwa
engkau bukan lawanku? Dan sejak tadi aku tidak pernah menyerangmu, karena aku
tidak ingin melukaimu, tidak ingin mengalahkanmu karena takut kalau engkau
meraea tersinggung. Hal ini sudah membuktikan betapa mendalam cintaku kepadamu,
Nona!"
"Iblis
keji, siapa sudi kepadamu?"
Gadis
itu membentak dan mengirim sebuah tusukan ke arah ulu hati pemuda itu. Suma Han
yang berada di atas atap melihat betapa tusukan pedang itu hebat sekali dan
diam-diam dia terkejut karena mengenal jurus itu berdasarkan Ilmu Pedang
Sin-coa-kun (Ilmu Pedang Ular Sakti). Padahal Ilmu Pedang itu adalah sebuah di
antara ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Sakti Suling Emas! Akan tetapi ia teringat
bahwa ibu dara itu adalah Ketua Thian-liong-pang yang terkenal memiliki dan
mengenal segala macam ilmu silat yang diambilnya dengan segala macam cara pula,
kalau perlu dengan menculik tokoh-tokoh kang-ouw! Mungkin saja Ketua
Thian-liong-pang yang luar biasa itu berhasil pula mencuri dasar-dasar Sin-coa
Kiam-hoat yang bersumber dari Sin-coa-kun.
Akan
tetapi dengan kagum Suma Han melihat betapa pemuda itu berhasil mengelak dengan
mudah, seolah-olah sudah mengenal jurus ini, kemudian menggunakan Ilmu Pukulan
Toat-beng-bian-kun yang amat hebat! Suma Han mengerti bahwa Toat-beng-bian-kun
(Ilmu Silat Tangan Kapas Pencabut Nyawa) merupakan ilmu pukulan yang sakti dan
ampuh dari Lulu yang mendapatkan ilmu pukulan ini dari mendiang Nenek Maya yang
sakti. Dia sudah siap untuk menyelamatkan gadis itu dari pukulan itu ketika
dengan heran dia melihat bahwa pemuda itu bukan mempergunakan pukulan sakti
yang semestinya ditujukan ke arah leher itu diselewengkan menjadi sebuah totokan
ke arah pundak!
Akan
tetapi, hampir Suma Han berseru kaget dan kagum melihat betapa nona itu dapat
mengelak secara tepat sekali, yaitu dengan berjongkok dari bawah, kakinya
menyambar merupakan sebuah tendangan yang dibarengi dengan sabetan pedang. Kakinya
menendang ke arah pusar sedangkan pedangnya menyambar ke arah leher! Yang
membuat Suma Han terheran adalah cara gadis itu mengelak dari jurus
Toat-beng-bian-kun, demikian tepat dengan berjongkok seolah-olah gadis itu
sudah mengenal pula jurus Toat-beng-bian-kun! Apakah Ketua Thian-liong-pang
juga sudah berhasil mencuri ilmu peninggalan Nenek Maya itu? Sungguh tidak
mungkin! Kalau sudah demikian jauh, tentu Ketua Thian-liong-pang merupakan
seorang lawan yang luar biasa dan amat berat!
Setelah
melihat dengan jelas bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi
daripada ilmu kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang, apalagi setelah pemuda
itu kini mengeluarkan ilmu dengan gerakan amat aneh, sambil tertawa-tawa
mempermainkan dara itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus sebelum
diterkamnya, Suma Han lalu melayang dari atas sambil berseru, "Tahan
dulu....!"
Pada
saat itu Wan Keng In telah berhasil mengempit pedang lawannya di bawah lengan
kiri ketika dara itu menusuk dadanya, dan tangan kanannya bergerak menyambar
untuk mencengkeram pundak Milana. Melihat ini, Suma Han sudah menggerakkan
tongkatnya yang berubah menjadi sinar yang menyambar antara tangan Wan Keng In
dan pundak Milana. Melihat sinar ini, Keng In cepat menarik kembali tangannya,
dan terpaksa dia melepaskan kempitan pedang itu ketika ada sinar meluncur ke
arah dadanya. Ia meloncat mundur dan tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha!
Sudah kudengar suara lengkinganmu tadi! Bukankah engkau ini yang berjuluk
Pendekar Siluman, bekas Majikan Pulau Es berkaki buntung yang sombong?"
Pemuda itu berdiri dengan tegak, kedua tangan bertolak pinggang, pandang
matanya yang tajam penuh kebencian, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
Enam
orang tokoh Pulau Neraka, dua wanita empat pria, menjadi terkejut sekali
mendengar ucapan pemuda itu. Mereka berenam sudah menjadi pucat ketika
menyaksikan munculnya Pendekar Siluman itu dan mereka sudah menunduk dengan
hati tergetar dan jerih. Kini mendengar ucapan tuan muda mereka, benar-benar
mereka menjadi kaget dan makin takut karena maklum bahwa siauw-tocu mereka
telah mengucapkan penghinaan terhadap Pendekar Super Sakti itu!
Milana
juga marah sekali. Yang dimaki buntung sombong adalah ayahnya! Maka dengan muka
merah dia sudah menusukkan pedangnya ke arah perut pemuda itu sambil membentak,
"Manusia iblis bermulut busuk!"
"Trangggg!"
Milana meloncat mundur ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah
tongkat Pendekar Super Sakti!
"Bersabarlah
dan biarkan aku bicara dengan dia." Suma Han berkata halus ketika melihat
dara itu memandangnya dengan mata terbelalak heran.
"Ha-ha-ha-ha,
Nona yang cantik jelita! Apakah engkau tidak mengenal keparat ini? Dia adalah
Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es musuh besar kami dan musuh besar
Thian-liong-pang. Dia adalah musuh kita berdua, Nona! Mari kita berdua membunuh
manusia busuk ini!"
Milana
ingin berteriak kepada pemuda itu, mengatakan bahwa dia adalah puteri Pendekar
Super Sakti, akan tetapi ditahannya karena dia harus melindungi rahasia ibunya,
maka terpaksa dia hanya menelan kemarahannya dan tidak menjawab ucapan pemuda
itu. Hanya diam-diam dia merasa tidak puas mengapa ayah kandungnya begitu sabar
menghadapi pemuda yang demikian menjemukan dan yang telah berani menghina
Pendekar Super Sakti.
Tentu
saja Milana tidak tahu mengapa Suma Han bersikap demikian sabar terhadap Keng
In. Wan Keng In adalah putera Lulu, jangankan mengingat akan ibunya, sedangkan
mengingat akan ayahnya, Wan Sin Kiat yang pernah menjadi sahabat baik Suma Han
saja, pendekar ini tentu bersikap sabar sekali dan banyak mengalah.
"Engkau
tentu Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka, bukan?" Suma Han bertanya
dengan suara halus mernandang wajah pemuda itu penuh perhatian dan
penyelidikan. Wajah yang amat tampan, bentuk wajahnya seperti wajah Wan Sin
Kiat. Mulut dan matanya seperti mulut dan mata Lulu, akan tetapi sungguh sayang
sekali, karena persamaan itu hanya pada bentuknya saja, namun sifatnya jauh
berbeda, bahkan merupakan kebalikannya seperti bumi dengan langit. Senyum Lulu
adalah senyum yang manis dan membuat dunia makin cerah, senyum yang menimbulkan
rasa gembira di hati siapapun juga, membuat orang yang menyaksikan senyum itu
ingin tersenyum pula. Sinar mata Lulu adalah sinar mata yang membayangkan
kejujuran hati, kepolosan dan kelembutan hati yang wajar dan tidak dibuat-buat.
Akan tetapi, senyum pemuda ini mendatangkan rasa ngeri, karena senyumnya
biarpun menambah ketampanan wajahnya, mengandung sesuatu yang dingin mengerikan
hati orang yang melihatnya. Adapun sinar mata pemuda itu amat tajam menusuk,
seolah-olah menjenguk isi hati orang yang dipandangnya, akan tetapi mengandung
sifat kejam dan penuh kebencian dan ketidakpercayaan, pandang mata orang yang
sama sekali tidak mengenal cinta kasih antara manusia.
"Benar,
dan aku pula yang pernah mengalahkan dan menghina muridmu dan keponakanmu! Aku
pula yang telah lama menanti munculmu, yang telah menantangmu untuk mengadu
nyawa. Kebetulan sekali sekarang kau muncul! Pendekar Siluman Suma Han, aku Wan
Keng In pada saat ini menantangmu untuk bertanding mengadu nyawa kalau engkau
berani!"
"Siauw-tocu....!"
Seorang anak buahnya berseru kaget.
"Plakkk....!"
Entah bagaimana digerakkannya, tahu-tahu tangan Keng In telah menampar dan
tubuh anak buahnya itu terguling-guling sampai lima meter lebih, kemudian
berhasil bangun dengan muka bengkak dan ada tanda lima buah jeri tangan di
pipinya!
Mendengar
ucapan dan menyaksikan sikap itu, Suma Han merasa jantungnya seperti ditusuk.
Ahh, mengapa Lulu yang berwatak demikian lembut dan menyenangkan, dapat
mempunyai anak seperti ini? Wan Sin Kiat bekas sahabatnya dahulu, ayah dari
anak ini pun seorang gagah perkasa. Mungkin lebih keras dan liar dibandingkan
dengan Lulu, juga berjiwa petualang, akan tetapi tidak jahat apalagi keji.
"Wan
Keng In, tahukah engkau, dengan siapa kau bicara?"
"Tentu
saja! Dengan Suma Han, Pendekar Super Sakti, juga disebut Pendekar Siluman,
Majikan Pulau Es yang pandai ilmu sihir. Nah, boleh coba sihir aku, atau boleh
kauserang aku dengan ilmu-ilmumu yang katanya setinggi langit itu!"
"Ah,
anak muda.... tidak pernahkah ibumu bicara tentang aku....?
"Jangan
sebut-sebut nama Ibuku!" tiba-tiba pemuda itu membentak marah sekali, lalu
menudingkan telunjuknya ka arah hidung Suma Han sambil berkata dengan keras dan
penuh kebencian, "Karena orang macam engkau inilah ibuku menderita sampai
belasan tahun, hidup merana dan selalu berduka! Karena orang macam engkaulah
maka ibuku sampai menjadi Ketua Pulau Neraka dan aku hidup di pulau itu sejak
kecil! Dan karena ibulah maka sekarang aku menantangmu untuk bertanding
mati-matian, Suma Han!
"Wan
Keng In, tahukah engkau bahwa mendiang Ayahmu, Wan Sin Kiat, adalah seorang
sahabat baikku, seperti saudaraku sendiri?"
"Tutup
mulutmu yang palsu! Mendiang Ayahku mati karena engkau! Keparat!" Keng In
menerjang dengan hebat, menggunakan pedang Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar
berkilat dan membawa hawa yang mengerikan. Serangan itu dahsyat bukan main, dan
hanya dengan menggunakan kelincahan Ilmu Soan-hong-lui-kun saja Suma Han
berhasil menghindarkan diri dari sambaran sinar berkilat itu.
"Wan
Keng In, Ibumu adalah adik angkatku!"
"Engkau
membuat hidupnya sengsara! Kakak angkat macam apa engkau ini? Aku telah
mengambil keputusan untuk memusuhimu, dan sekarang aku akan membunuhmu, bukan
hanya karena Ibuku, akan tetapi juga karena engkau menghalagi aku membawa pergi
Nona calon isteriku ini."
"Orang
muda, engkau tersesat. Ibumu akan berduka sekali melihat engkau seperti
ini...."
"Tak
perlu banyak cakap lagi!" Wan Keng In sudah menerjang lagi dengan lebih
hebat lagi karena dia sudah marah, serangannya dahsyat, apalagi kini dia
mempergunakan Lam-mo-kiam.
Sinar
pedang itu berkilat dan menyambar dengan suara bercuitan. Suma Han merasa
berduka sekali melihat putera Lulu seperti itu, cepat ia menggerakkan
tongkatnya dan menangkis dari samping agar tongkatnya tidak bertemu dengan mata
pedang yang amat ampuh itu.
"Tranggg....!"
Keduanya
terloncat mundur akibat benturan hebat antara pedang dan tongkat. Wan Keng In
tidak merasa heran ketika merasa betapa lengannya tergetar karena dia sudah
mendengar dan maklum bahwa Pendekar Super Sakti merupakan lawan yang amat
tangguh dan memiliki tenaga sin-kang yang jarang terdapat tandingannya. Akan
tetapi Suma Han terkejut dan kagum bukan main. Pemuda itu benar-benar amat
hebat, dan dari benturan antara tongkat dan pedang tadi, dia dapat mengukur
kekuatan pemuda itu yang jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan tenaga
sin-kang yang dimiliki Lulu!
Biarpun
maklum akan ketangguhan lawan, Wan Keng In tidak menjadi gentar, bahkan dia
makin marah dan sudah menerjang dengan hebatnya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu
pedang yang ia pelajari dari Cui-beng Koai-ong dan dari ibunya, mengerahkan
seluruh tenaganya yang mujijat karena gurunya, datuk pertama dari Pulau Neraka
telah menggemblengnya dengan latihan-latihan sin-kang yang tidak lumrah
sehingga dia menguasai kekuatan sin-kang yang bercampur dengan ilmu hitam.
Begitu
pemuda itu mainkan pedangnya, mengerahkan sin-kang menggunakan tangan kiri
membantu pedangnya mendorong-dorong ke depan, nampak betapa tubuhnya diliputi
kabut hitam dan dari dalam kabut itu mencuat sinar-sinar kilat pedangnya
melancarkan serangan maut ke arah Suma Han secara bertubi-tubi.
Hati
Pendekar Super Sakti merasa tidak karuan menghadapi serangan ini. Berbagai
perasaan bercampur aduk. Dia merasa terharu karena menyaksikan putera Lulu
sudah menjadi seorang pemuda dewasa, merasa kagum melihat ilmu silat pemuda ini
yang benar-benar amat hebat, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Lulu, dan
biarpun dasarnya tidak lebih hebat daripada dasar ilmu silat yang dimiliki Kwi
Hong, namun pemuda ini tentu tidak dapat terlawan oleh Kwi Hong karena selain
memiliki ilmu pedang yang aneh dan sin-kang yang mengeluarkan kabut hitam, juga
cara bertempur pemuda ini nekat dan kejam, mengandung serangan-serangan ganas.
Akan tetapi di samping rasa keharuan dan kekaguman ini, dia juga merasa berduka
dan marah menyaksikan betapa keponakannya telah tersesat seperti itu.
Sampai
puluhan jurus Suma Han menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke
sana-sini menghindarkan diri, kadang-kadang mendorong pedang dari samping.
Melihat betapa sambaran tangan kiri pemuda itu bahkan tidak kalah lihainya oleh
pedang di tangan kanan, diam-diam Suma Han maklum bahwa hanya gerak kilatnya
saja yang akan mampu menandingi ilmu pedang pemuda itu! Mengenai tenaga
sin-kang, tentu saja dia masih menang beberapa tingkat. Kalau dia menghendaki,
dengan Soan-hong-lui-kun, tentu dia akan dapat menggunakan ujung tongkatnya
untuk merobohkan pemuda itu, juga dengan sin-kangnya, dia dapat mengadu tenaga
dan menangkan pertandingan. Akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini, tidak
tega melukai putera Lulu. Tadinya dia ingin menggunakan kekuatan sihirnya, akan
tetapi hal itu tentu akan membuat pemuda itu tidak tunduk kepadanya, tidak
membuatnya dia kapok. Kalau dia ingin supaya pemuda itu menjadi jerih, dia
harus menundukkannya dengan ilmu kepandaian.
"Wan
Keng In, aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakanlah di mana Ibumu, aku
ingin bicara dengannya!"
"Kau
harus mati di tanganku, atau boleh kau membunuhku kalau mampu!" Pemuda itu
berteriak dan memutar pedangnya dengan cepat, mengirim tusukan ke arah dada
Suma Han disusul dorongan telapak tangan kiri dari bawah mengarah pusar.
"Trakkkk....!
Plakkk....!"
Suma
Han tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menerima pedang itu dari
samping sedangkan tangan kanannya menyambut dorongan telapak tangan pemuda itu
dengan telapak tangannya pula. Sepasang senjata dan dua buah tangannya itu
saling bertemu dan melekat! Keng In terkejut bukan main. Hampir dia tidak dapat
percaya bahwa tongkat butut lawannya itu dapat menyambut pedangnya, sedangkan
pukulan tangan kirinya mengandung hawa beracun yang amat ampuh, kini telapak
tangannya juga disambut oleh telapak tangan Pendekar Siluman, melekat dan tak
dapat ia tarik kembali seperti juga pedangnya yang melekat pada tongkat!
"Hemmm....,
orang muda, kalau aku tidak mengingat Ibumu, tentu akan kucabut saja tunas
buruk seperti engkau ini. Pergilah!" Suma Han yang mempergunakan tenaga
sin-kangnya untuk mengatasi pemuda itu, mengerahkan tenaga sakti dan tubuh Wan
Keng In terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang. Pemuda itu terhuyung
akan tetapi tidak roboh, juga tidak terluka karena memang lawannya tidak ingin
melukainya. Wajah yang tampan itu menjadi agak pucat. Wan Keng In seorang pemuda
yang keras hati dan tidak mengenal takut, juga dia benci sekali kepada orang
yang dianggapnya membikin sengsara ibunya itu. Akan tetapi dia bukan seorang
bodoh dan dia maklum bahwa kalau dia berlaku nekat menyerang terus, akhirnya
dia akan kalah dan celaka. Pertandingan membuktikan bahwa belum tiba saatnya
dia menentang Pendekar Super Sakti.
Dia
harus menyempurnakan dulu ilmu kesaktian yang dia pelajari dari gurunya,
Cui-beng Koai-ong. Setelah memandang ke arah Suma Han dengan mata mendelik
beberapa menit lamanya, dia mendengus, membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi
dari tempat itu, diikuti lima orang anak buahnya yang pergi tanpa berani
mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan sama sekali tidak berani melirik ke arah
Pendekar Siluman. Kekalahan tuan muda mereka tadi mereka terima dengan
sewajarnya karena memang mereka maklum akan kesaktian pendekar kaki buntung
itu.
Suma
Han berdiri mengikuti pemuda itu dengan pandang matanya sampai akhirnya
bayangan pemuda dan lima orang anak buahnya itu lenyap di balik anak bukit.
Tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti bisikan namun cukup jelas, pemuda
itu!
"Suma
Han, ingat saja engkau! Kalau aku sudah selesai menamatkan ilmuku, kelak akan
kucari engkau untuk kita bertanding lagi mati-matian! Biarpun kepandaianmu tinggi
seperti siluman, engkau Si Kaki Buntung ini akhirnya tentu akan mampus di
tanganku!"
Wajah
Suma Han menjadi merah sekali, akan tetapi diam-diam ia makin kagum. Khi-kang
yang disalurkan untuk mengeluarkan suara dari jarak jauh itu sudah cukup hebat!
Diam-diam dia merasa berduka. Dia tidak akan peduli dan memusingkan kalau dia
dimusuhi tokoh-tokoh sesat dari manapun juga dan betapa sakitnya pun. Akan
tetapi, dimusuhi pemuda itu, putera Lulu, benar-benar merupakan hal yang
membuatnya berduka dan cemas. Sementara itu, tiada habis rasa heran dari
hatinya kalau mengingat betapa jujur, halus dan baik watak Lulu, sedangkan Wan
Sin Kiat juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu menentang
kejahatan. Akan tetapi, mengapa putera mereka menjadi seorang pemuda iblis
seperti itu?
Suma
Han menarik napas panjang. Ahh, tidak keliru kiranya bahwa watak manusia
dibentuk oleh keadaan sekitarnya. Anak itu semenjak kecil dibawa oleh ibunya ke
Pulau Neraka dan tentu saja setiap hari anak itu melihat watak-watak penghuni
Pulau Neraka yang terkenal ganas, liar kejam dan palsu. Dan agaknya Lulu
sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai Ketua Pulau Neraka, atau mungkin
sekali terlalu memanjakan putera tunggalnya itu, sehingga pembentukan watak
anak itu sepenuhnya dikuasai oleh keadaan sekelilingnya!
Kembali
Suma Han menarik napas panjang. Betapa akan hancur hati Lulu kalau menyaksikan
sepak terjang puteranya. Dia tahu bahwa Lulu sendiri mempunyai perasaan hati
yang aneh terhadapnya. Bisa mencinta sehingga ingin menjadi isterinya, akan
tetapi juga bisa membenci sehingga ingin pula memusuhinya kalau tidak dapat
menjadi isterinya. Akan tetapi andaikata menjadi musuhnya, wanita itu tentulah
seorang musuh yang gagah perkasa dan jujur dan watak Lulu tak mungkin berubah
biarpun sudah menjadi Ketua Pulau Neraka.
"Paman,
mengapa Paman berduka?" Tiba-tiba terdengar suara halus di sampingnya.
Suma
Han seperti baru sadar dari mimpinya. Dia menoleh dan memaksa bibirnya
tersenyum ketika melihat Alan sudah berdiri di situ dan memandangnya dengan
sinar matanya yang lembut. Melihat wajah cantik dan sinar mata lembut penuh
kasih ini hati Suma Han menjadi makin sakit dan duka. Dara jelita lni adalah
puteri ketua Thian-liong-pang, seorang wanita iblis berkerudung yang terkenal
jahat dan kejam. Seorang wanita seperti iblis itu dapat mempunyai puteri sebaik
ini, mengapa sebaliknya seeang wanita seperti Lulu mempunyai seorang putera
sejahat itu?
"Paman,
mengapa Paman kelihatan berduka?" Kembali Milana bertanya. Tadi ketika
melihat ayahnya bertanding melawan pemuda itu, dia menonton dengan penuh kagum,
akan tetapi juga kecewa karena ayahnya membebaskan pemuda itu begitu saja tanpa
melukainya sedikitpun. Kemudian ia melihat ayahnya berdiri termenung seperti
arca, dengan wajah yang tampan itu sebentar merah sebentar pucat, berkali-kali
menghela napas panjang sambil memandang ke depan, ke arah perginya Wan Keng In
dan anak buahnya tadi.
"Ohh,
tidak apa-apa, Alan. Hanya.... eh, di mana rajawali kita?"
"Dia
terbang dikejar oleh rajawali besar tadi, Paman. Dua ekor burung tadi
bertanding, dan rajawali peliharaan Paman terdesak dan luka-luka. Mereke
bertanding sambil terbang tinggi sehingga aku tidak dapat membantu."
"Hemm,
biarlah. Burung itu memang berasal dari Pulau Neraka, agaknya kini ditundukkan
kembali oleh bekas majikannya. Alan, bagaimana engkau tadi dapat bertemu dan
bertanding dengan dia?"
"Aku
sedang menuju ke dusun untuk mencari bahan masakan ketika aku bertemu dengan
rombongan Pulau Neraka itu keluar dari dusun. Karena aku tahu betapa jahatnya mereka,
aku lalu melarikan diri akan tetapi mereka mengejar dan aku tersusul di sini.
Tentu saja aku melawan sedapatku, akan tetapi dia lihai sekali. Paman, mengapa
Paman tadi membiarkan dia pergi? Orang seperti itu seperti seekor ular yang
beracun dan jahat, kalau tidak dibasmi, tentu kelak hanya akan mencelakai orang
lain saja."
Suma
Han menarik napas panjang. "Aku tak mungkin dapat membunuhnya, Alan.
Engkau tidak tahu.... ahhh...." Wajah pendekar itu kelihatan berduka
sekali.
Melihat
ini, Milana merasa kasihan kepada ayah kandungnya. Tentu ada sesuatu antara
ayah kandungnya dengan Pulau Neraka, ada rahasia yang besar yang membuat
ayahnya itu bersikap lunak terhadap Wan Keng In.
"Aku
tidak berhasil memasakkan sesuatu untukmu, Paman. Maafkan...."
"Tidak
mengapa, Alan. Aku tadi sudah makan roti kering, cukup kenyang. Marilah kita
melanjutkan perjalanan. Kota raja tidak jauh lagi, di sana tentu banyak rumah
makan besar dan kita dapat makan sepuasnya."
Milana
tidak membantah dan berangkatlah mereka berdua menuju ke selatan, ke kota raja.
Sebentar saja mereka sudah melalui jalan raya menuju kota raja yang ramai dan
tampak banyak penunggang kuda atau kereta-kereta berkuda yang datang dari
beberapa jurusan menuju ke kota raja, ada pula yang bersimpang jalan, yaitu mereka
yang baru saja meninggalkan kota raja.
Sudah
belasan tahun Suma Han tidak pernah muncul di kota raja. Biarpun di dunia
kang-ouw nama Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es
merupakan nama yang paling menonjol dan amat terkenal, namun jarang ada orang
pernah melihat Pendekar Super Sakti, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw sebagian besar
belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Apalagi penduduk kota raja! Maka kini
Suma Han dengan enak dapat memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang,
baik oleh penduduk maupun oleh para perajurit penjaga. Di kota raja, yang sudah
lama ditinggalkannya itu, tentu hanya beberapa gelintir orang saja yang pernah
bertemu dengannya dan mereka itu adalah orang-orang berkedudukan tinggi seperti
Thian Tok Lama, Koksu dan lain-lain yang tentu berada di dalam gedung
masing-masing dan tidak pernah berkeliaran di dalam kota.
Milana
sendiri tidak asing di kota raja. Sudah sering dia keluar masuk kota raja, akan
tetapi dia pun tidak dikenal orang sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang. Oleh
karena itu, dia pun memasuki pintu gerbang kota raja di samping Suma Han dengan
hati tenteram dan tidak khawatir dikenal orang. Apalagi semenjak dia melakukan
perjalanan di samping ayah kandungnya, terutama setelah ayahnya itu menyelamatkan
dengan mudah dari tangan Wan Keng In, hati Milana menjadi tenang dan penuh
kepercayaan bahwa selama ia berada di samping ayahnya, tidak ada seorang pun
yang akan dapat mengganggunya! Wajahnya berseri gembira ketika dia memasuki
kota raja dengan ayahnya, penuh kebanggaan karena kiranya tidak banyak orang
yang dapat berdampingan dengan Pendekar Super Sakti! Dia bukan hanya
berdampingan, bahkan dia adalah puterinya, puteri kandungnya biarpun hal ini
masih terpaksa harus dia rahasiakan dari pendekar itu sendiri.
Memang
tidak aneh melihat seorang berkaki buntung di waktu itu. Banyak terdapat
orang-orang yang menderita cacad akibat perang penyerbuan bala tentara Mancu
yang baru saja padam. Seperti halnya perang di bagian mana pun di permukaan
bumi ini, semenjak jaman sebelum sejarah sampai sekarang, perang mendatangkan
malapetaka yang amat mengenaskan hati. Setelah perang selesai, setelah hati
tidak lagi dikuasai oleh nafsu angkara murka, barulah tampak oleh mata kita
akan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perang, akibat yang mendirikan bulu
roma bagi orang yang masih memiliki sedikit saja cinta kasih dan
perikemanusiaan. Setelah perang padam, tampak bangunan-bangunan bekas terbakar,
kuburan-kuburan penuh makam baru, anak-anak yatim piatu, janda-janda muda
terjerumus ke dalam lembah pelacuran, penderita-penderita cacad yang buntung
lengannya, buntung kakinya, luka-luka tubuhnya dan ada pula yang terluka
jiwanya menjadi gila, gelandangan-gelandangan karena kehilangan keluarga,
kehilangan rumah, kehilangan mata pencarian, dan dari kaum gelandangan ini
timbul pengemis-pengemis, pencuri-pencuri, atau ada yang menggabungkan dari
dengan perampok-perampok. Malapetaka ini yang tampak oleh mata, masih banyak
malapetaka lain yang tidak tampak, namun lebih mengerikan lagi, yaitu akibat
perang berupa dendam sakit hati dan iri yang mebjadi bahan penciptaan perang
baru!
Tidak
ada untungnya, lahir maupun batin, dalam sebuah perang. Keuntungan yang tampak
hanyalah keuntungan palsu yang di jadikan hiburan manusia untuk menyelimuti
kengerian akibat perang. Pemerintah Mancu yang berhasil merebut tahta kerajaan
dan kepemimpinan, mengatakan bahwa mereka mendatangkan kemakmuran bagi rakyat
dan telah berhasil menumbangkan kekuasaan pemerintah lama yang penuh kelaliman.
Namun, semua itu hampa belaka, karena sungguh tdak mungkin MENCIPTAKAN
PERDAMAIAN DENGAN PEPERANGAN! Bangsa Mancu menggunakan berbagai alasan hiburan
untuk perjuangan mereka, yaitu memberantas kelaliman para pemimpin dan
mendatangkan kemakmuran bagi rakyat. Akan tetapi, setelah perang berakhir, yang
berubah dan berbeda hanyalah sifat dan caranya belaka, namun kelaliman tetap
ada, kemakmuran rakyat tetap hanya merupakan janji-janji yang diulur-ulur
panjang belaka.
Hal
seperti ini akan terus berlangsung selama manusia belum sadar akan perang yang
terjadi di dalam diri manusia masing-masing sendiri. Selama segala tindak,
segala gerak, segala usaha merupakan akibat langsung dari akal pikir yang
paling suka memusatkan segala kepada AKU, diriku, keluargaku, milikku, bangsaku,
negaraku, agamaku, dan selanjutnya. Selama AKU menguasai setiap orang manusia,
maka sudah dapat dipastikan bahwa segala peristiwa, termasuk perang, merupakan
gerakan demi kepentingan Sang AKU. Betapapun banyak selimut yang dipergunakan
untuk menyembunyikan dasar "demi aku" ini, yang disebut dengan banyak
kata-kata indah seperti perjuangan, kepahlawanan, demi nusa bangsa dan
lain-lain, namun sungguh sayang sekali, di dasar dari segala itu bersembunyilah
Sang Aku yang sebenarnya menjadi pendorong dari semua gerak hidup. Dan selama
AKU bercokol menjadi dasar yang mendorong semua gerak hidup, maka yang timbul
hanyalah pertentangan dan persoalan yang mendatangkan kepuasan di satu pihak,
kekecewaan di lain pihak, suka duka, iri dengki, dendam dan sebagainya. Setiap
tampak akibat yang tidak baik, seluruh manusia sibuk mencarikan kambing hitam
agar diri sendiri tetap bersih! Semua manusia lupa bahwa segala macam
kemunafikan dan maksiat bukan berada di luar, melainkan berada di dalam diri
manusia sendiri! Semua manusia menujukan pandang mata keluar tanpa mengingat
untuk menujukan ke dalam biar semenit pun! Bahagialah dia yang menujukan
pandang mata ke dalam, menjenguk dan mengenal diri pribadi dengan segala macam
isinya, mengenal pikiran sendiri yang membedal ke mana-mana dengan liarnya, tak
terkendalikan!
Suma
Han dan Milana berjalan seenaknya sambil menikmati pemandangan di kota raja.
Pemerintah Mancu telah membangun gedung-gedung besar yang megah dan indah di
sepanjang jalan di kota raja sehingga kota raja nampak indah dan megah sekali,
melebihi masa yang lalu. Kemajuankah ini? Demikianlah kalau ditonton begitu
saja, ditonton keadaan kota rajanya dengan bangunan-bangunan baru yang besar
dan indah. Akan tetapi, adakah kemajuan dapat diukur dari keadaan bangunannya,
bukan dari keadaan manusianya? Kalau diketahui siapa pemilik gedung-gedung itu,
maka akan ditemuilah jawab dari segala sebab timbulnya perang yang semenjak
jaman dahulu selalu timbul. Gedung-gedung itu tentu saja dimiliki oleh penguasa
yang menang perang! Hanya berganti bangunan baru dan penghuni, dari mereka yang
dikalahkan kepada mereka yang menang. Rakyat hanya dapat menonton dan dari
menoton ini diharapkan ucapan mereka "kita telah mengalami
kemajuan-kemajuan!"
Biarpun
banyak terdapat orang berkaki buntung sungguhpun tidak pernah ada yang mengurai
rambut seperti Suma Han, apalagi kalau rambutnya yang panjang itu sudah putih
semua, dan banyak terdapat gadis-gadis muda yang biasa merantau sebagai
gadis-gadis kang-ouw, namun tetap saja Suma Han dan Milana menarik perhatian
orang. Laki-laki berkaki buntung itu wajahnya tampan dan belum tua benar, namun
rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang sutera perak sedangkan sinar
matanya membuat orang-orang yang bertemu pandang, menundukkan muka atau mengalihkan
pandang mata dengan tengkuk dingin mengkirik. Adapun dara remaja yang berjalan
dl samping laki-laki berkaki buntung ini, dengan wajah berseri
tersenyam-senyum, memiliki kecantikan yang luar biasa!
Suma
Han melihat betapa banyak orang memandang ke arah mereka penuh perhatian, maka
dia lalu mengajak dara itu tintuk memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang
pelayan menyambut mereka, mata pelayan itu tidak memandang kepada Suma Han yang
tidak menarik baginya, melainkan memandang kepada Milana yang benar-benar
merupakan pemandangan yang amat menggairahkan hatinya!
"Beri
kami dua buah kamar yang berdampingan," kata Suma Han. Pelayan itu
terkejut karena tadinya dia merasa seolah-olah terbang di sorga ke tujuh dan
berjumpa dengan seorang bidadari Sorga! Ketika ia menoleh dan bertemu pandang
dengan Suma Han, dia terkejut sekali, punggungnya seperti disiram air dingin
dan dia cepat membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka mengikutinya untuk
memilih dua buah kamar yang berdampingan.
Setelah
menaruh barang bekal di kamar masing-masing dan makanan siang yang dipesannya
dari pelayan dan dihidangkan ke ruangan depan kamar mereka, Suma Han dan Milana
duduk di dalam kamar Suma Han, bercakap-cakap.
"Kapankah
Paman akan mulai menyelidik dan mencari musuh-musuh Paman?"
"Aku
harus berhati-hati, Alan. Musuh-musuhku itu adalah orang-orang yang
berkedudukan tinggi dan tentu berada di dalam istana-istana yang terjaga ketat
oleh pasukan pengawal. Menyelidiki di siang hari tidaklah mungkin, bahkan di
malam hari pun amat berbahaya karena biarpun pasukan yang baru tidak
mengenalku, namun para perwira dan panglima tentu akan mengenalku begitu
bertemu denganku. Sesungguhnya, mencari mereka di kota raja amat tidak leluasa
bagiku, akan tetapi apa boleh buat, malam nanti aku harus menyelidiki ke
lingkungan istana, atau ke rumah Koksu karena di sanalah berkumpulnya
musuh-musuhku yang menjadi pembantu Koksu."
"Kalau
bertemu dengan mereka, apa yang hendak Paman lakukan?" Tiba-tiba Milana
bertanya.
Mendengar
pertanyaan ini, Suma Han termenung dan berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Aku.... aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah merusak
Pulau Es dan Pulau Neraka. Selama ini kami tidak pernah menentang pemerintah,
mengapa kini mereka menyerbu dan merusak Pulau Es? Selain itu, karena Maharya
dan Tan-siucai juga membantu Koksu, tentu mereka berada di sini dan aku hendak
minta kembali pedang Hok-mo-kiam yang mereka rampas." Suma Han tidak mau
menceritakan niatnya yang lain, yaitu menyelidik dan mencari Nirahai yang
disangkanya tentu kembali ke kota raja!
"Paman,
di antara musuh-musuhmu itu, siapakah yang paling lihai?"
"Hemm,
hal ini agak sukar untuk ditentukan karena hanya beberapa orang di antara
mereka yang pernah bertanding melawanku, yaitu Thian-tok Lama, Pendeta Maharya,
dan mungkin beberapa orang panglima yang tertua. Dengan Koksu sendiri, aku
belum pernah bertanding dan kabarnya dia amat lihai. Akan tetapi, kurasa dia
tidaklah selihai Pendeta Maharya. Pendeta dari barat itu benar-benar merupakan
lawan yang tangguh, selain lihai sekali ilmu silatnya, juga dia seorang yang
memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat."
"Akan
tetapi, aku yakin Paman tentu akan dapat mengalahkan mereka!" kata Milana
dengan suara tegas dan pandang mata penuh kekaguman ditujukan kepada wajah
ayahnya. Melihat pandang mata gadis ini, Suma Han merasa jantungnya berdebar!
"Aku
dapat menandingi mereka satu lawan satu, akan tetapi kalau mereka mengeroyok,
apalagi dibantu pasukan-pasukan pengawal yang kuat, belum tentu aku akan dapat
menang. Akan tetapi, kedatanganku bukan untuk menantang mereka bertanding,
hanya untuk minta kembali pedang dan minta penjelasan dan pertanggungan jawab
mereka mengapa Pulau Es dan Pulau Neraka diserbu pasukan pemerintah."
"Mereka
tentu akan mengeroyok dan menangkapmu, Paman!"
"Hemm,
kalau memang demikian, apa boleh buat, terpaksa aku melawan."
Hati
Milana merasa tidak enak sekali. Dia percaya bahwa ayahnya amat sakti, akan
tetapi dia tahu bahwa tepat seperti pengakuan ayahnya sendiri, kalau banyak
orang sakti maju mengeroyok ditambah pasukan-pasukan pengawal kerajaan, mana
mungkin ayahnya yang hanya seorang diri itu kuat bertahan? Baru menyelidiki ke
sana saja sudah amat tidak leluasa bagi ayahnya! Berbeda dengan dia! Ibunya
adalah bekas puteri Kaisar dan bekas pahlawan yang berkedudukan tinggi, bahkan
kini Koksu sendiri sudah tahu, ibunya adalah ketua ketua Thian-liong-pang dan
kini Thian-liong-pang bekerja sama dengan Koksu, membantu pemerintah menentang
dan membasmi mereka yang hendak memberontak! Kalau dia yang menyelidiki, kalau dia
yang pergi kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, minta kebijaksanaan Koksu itu
untuk membujuk pembantunya, Maharya mengembalikan Hok-mo-kiam, minta kepada
Koksu agar jangan mengeroyok dan menentang Pendekar Super Sakti, tentu
harapannya lebih besar. Koksu sudah mengenalnya, juga para pembantunya sudah
tahu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang yang kini merupakan sekutu
mereka!
"Alan,
malam ini aku akan pergi menyelidik. Harap engkau menantiku di sini saja dan
jangan kau pergi ke mana-mana. Keadaan di kota raja berbahaya, di sini banyak
terdapat orang pandai."
"Apakah
Paman tidak mengajakku pergi menyelidiki?"
"Ah,
aku hanya akan membawamu ke dalam bahaya, Alan. Dan pula, apa perlunya? Tidak,
kautunggu saja di sini, aku pasti akan kembali sebelum pagi."
Milana
menunduk. "Baiklah, Paman. Akan tetapi sore ini aku ingin sekali pergi
berjalan-jalan melihat pemandangan kota."
"Sesukamulah,
akan tetapi harap kau berhati-hati. Engkau masih muda dan cantik jelita, akan
banyak menghadapi godaan."
"Aku
dapat menjaga diri, Paman. Eh, benarkah pendapat Paman bahwa aku....
cantik?" tanyanya dengan hati girang sekali. Ayahnya sendiri yang
memujinya, bagaimana hatinya tidak akan merasa bangga dan senang?
"Engkau
adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, Alan."
"Terima
kasih atas pujianmu, Paman. Nah, aku akan pergi berjalan-jalan. Harap Paman
nanti berhati-hati kalau pergi menyelidiki."
Suma
Han mengangguk. "Biarpun aku percaya bahwa dengan kepandaianmu, tidak
sembarang orang akan dapat mengganggumu, akan tetapi harap engkau suka bersabar
dan jangan menimbulkan keributan, juga jangan terlalu malam kembali ke
sini."
Milana
mengangguk-angguk dan hatinya terharu. Pendekar itu menasehatinya seperti
kepada anaknya sendiri! Padahal dalam pengertian pendekar itu, dia adalah
seorang tawanan bahkan puteri musuhnya! Dengan hati senang bercampur haru,
Milana pergi meninggalkan rumah penginapan. Tentu saja dia bukan berniat untuk
berjalan-jalan, melainkan hendak menjumpai Bhong Ji Kun, Koksu negara yang dia
ketahui pula di mana letak gedungnya. Akan tetapi, agar tidak menarik perhatian
orang luar, dia pergi berjalan-jalan lebih dahulu dan setelah malam tiba,
keadaan cuaca mulai gelap, barulah dia menuju ke gedung Koksu yang megah.
Sebagai
puteri Ketua Thian-liong-pang tentu saja Milana merasa rendah kalau harus
datang menghadap Koksu seperti orang biasa. Apalagi kalau ia datang menghadap
seperti itu, tentu dia akan berhadapan dengan para penjaga dan diperlakukan
seperti orang biasa. Tidak! Dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu
saja dia harus bersikap sesuai dengan kedudukan ibunya yang tinggi dan lihai.
Dengan kepandaiannya, tidaklah sukar bagi Milana untuk berloncatan ke atas
genteng, melalui pagar tembok gedung Koksu dengan gerakan seperti terbang
cepatnya sehingga tidak tampak oleh para penjaga dan peronda, kemudian dengan
hati-hati dia menyelinap antara bayangan gelap, mencari di mana adanya Koksu
pada saat itu.
Masih
untung bagi Milana bahwa pada saat itu, para pembantu Koksu yang lihai semua
sedang berkumpul di satu tempat, yaitu di ruangan dalam tempat mereka sedang
berunding, duduk mengelilingi sebuah meja besar di ruangan itu menghadapi
koksu. Andaikata orang-orang lihai seperti Thian Tok Lama, Maharya, para
panglima besar seperti Bhe Ti Kong dan lain-lain berada di kamar masing-masing,
juga koksu sendiri, maka besar sekali kemungkinan kedatangan Milana akan mereka
ketahui semenjak tadi!
Milana
berhasil mengintai dari luar jendela ruangan perundingan itu dan dia melihat
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dihadap oleh Thian Tok Lama, Maharya, dan enam
orang panglima yang berpakaian gagah. Dia merasa heran tidak melihat kehadiran
Thai Li Lama dan Tansiucai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kedua orang lihai
ini telah tewas di tangan Gak Bun Beng ketika mereka dahulu bersembunyi dan
mengintai pertandingan di gurun tandus yang diadakan oleh Thian-liong-pang.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Milana mendengar ucapan itu. Jantungnya berdebar
keras sehingga ia khawatir kalau-kalau suara detak jantungnya akan terdengar
oleh mereka yang sedang mengadakan perundingan di sebelah dalam, maka dia
menekan dada dengan tangan dan menekan perasaannya, memasang perhatian untuk
mendengar terus.
"Akan
tetapi dia adalah puteri Kaisar!" terdengar Thian Tok Lama berseru kaget.
"Kalau
dia berhasil terbunuh dengan memakai kerudung sebagai Ketua Thian-liong-pang
yang kita buatkan bukti-bukti memberontak, andaikata kemudian Kaisar sendiri
mendengar bahwa dia puterinya, kiranya Kaisar tidak akan menyalahkan kita.
Bahkan akan menutup rahasia itu, karena Kaisar tentu tidak ingin tersiar di
luaran bahwa puterinya menjadi ketua Thian-liong-pang yang memberontak!"
kata Koksu lagi.
"Memang
tepat apa yang dikatakan Koksu," terdengar suara Maharya yang kaku.
"Kalau Thian-liong-pang tidak dihancurkan lebih dulu, akan merupakan
kekuatan sebagai pembela kaisar dan untuk menghancurkannya, jalan satu-satunya
adalah membunuh Ketuanya. Memang dia lihai, akan tetapi menurut penglihatanku,
aku sendiri dapat menandinginya, dan kalau aku dibantu okh Thian Tok Lama, aku
yakin dia akan dapat dibunuh. Pihak Mongol sudah siap, tinggal menanti isyarat
dari kita, kalau sampai terhalang oleh utusan Thian-liong-pang, tentu akan
tertunda lagi dan mereka akan patah semangat dan mundur."
"Pihak
Tibet juga sudah siap, tinggal menanti komando," kata Thian Tok Lama.
"Nah,
kalau begitu, kita harus...." Tiba-tiba Koksu menghentikan kata-katanya
karena melihat tubuh Maharya sudah bergerak meloncat ke jendela sambil
menyambar senjatanya yang mengerikan, yaitu tombak yang matanya melengkung
seperti bulan sabit.
"Braaakkk!"
jendela itu hancur berkeping-keping dan terbuka, tubuh Maharya melesat keluar.
"Trang-trang-trang....!"
Senjata di tangan Maharya itu ditangkis sampai tiga kali oleh pedang
Pek-kong-kiam di tangan Milana.
"Eh,
engkau.... Nona....?" Maharya terkejut sekali ketika mengenal bahwa orang
yang diserangnya adalah puteri Ketua Thian-liong-pang! Dan pada saat itu,
Koksu, Thian Tok Lama dan panglima yang tadi berada di dalam ruangan telah
meloncat keluar semua.
Keringat
dingin membasahi dahi Milana. Serangan Maharya tadi benar-benar hebat luar
biasa. Selain pendeta itu dapat mengetahui kehadirannya di luar jendela, juga
begitu meloncat dan menerjang keluar, senjata di tangan pendeta itu telah
menyerangnya bertubi-tubi sehingga dia harus cepat-cepat mengelak dan
menangkis. Tangan kanannya terasa tergetar hebat ketika dia menangkis senjata
tombak bulan sabit di tangan pendeta Maharya tadi.
Kalau
saja dia tidak mendengarkan percakapan tadi, tentu Milana tidak menjadi gentar
menghadapi mereka yang tentu saja dianggapnya sekutu ibunya.
Akan
tetapi sekarang, dia memandang mereka sebagai musuh-musuh yang hendak membunuh
ibunya! Tentu saja dia menjadi marah bukan main, kemarahan yang disertai
kekhawatiran akan nasib ibunya, lupa akan keadaan dirinya sendiri yang sudah
terkurung dan sedang terancam hebat itu.
"Ah,
kiranya Nona Milana yang datang. Ada keperluan apakah Nona datang berkunjung ke
rumahku?" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bertanya, matanya memandang tajam
untuk menyelidiki apakah nona ini tadi mendengar percakapan mereka atau tidak.
Milana
bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa dia berada di guha singa yang
amat berbahaya. Kalau dia melampiaskan kemarahannya di saat itu, sehingga dia
harus bertanding melawan mereka, tentu dia akan celaka. Maka dia memaksa sebuah
senyum manis sambil berkata,
"Koksu,
aku datang untuk bicara mengenai urusan penting denganmu."
"Ahhh,
maafkan penyambutan kami tadi, Nona, karena kami tidak tahu bahwa engkau yang
datang. Mari, silakan masuk."
Pintu
ruangan itu dibuka lebar dan mereka semua memasuki ruangan. Milana dipersilakan
duduk oleh Koksu yang masih ramah sikapnya. "Silakan duduk, Nona Milana
dan terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak."
"Terima
kasih, tidak usah, Koksu. Aku datang hanya untuk bicara sebentar dan takkan
lama di sini," jawab Milana, akan tetapi dia duduk juga melihat semua
orang sudah duduk.
"Apakah
Nona datang seorang diri? Ataukah dengan Pangcu?" Koksu bertanya,
diam-diam mengerling ke arah jendela yang sudah pecah dan terbuka karena ia
khawatir kalau-kalau nona ini datang bersama ibunya yang luar biasa lihainya
itu.
"Aku
datang sendiri untuk.... untuk...." Milana menjadi bingung sekali. Setelah
mendengar percakapan tadi dan mendapat kenyataan bahwa mereka semua ini adalah
musuh-musuh yang merencanakan pembunuhan terhadap ibunya, lenyap sama sekali
keinginannya untuk membujuk Koksu agar menyerahkan Pedang Hok-mo-kiam kepada
Pendekar Super Sakti dan agar tidak menentang ayahnya itu. Mana mungkin mereka
mau memenuhi permintaannya setelah ternyata bahwa mereka ini bukanlah sahabat
melainkan musuh yang berbahaya? Maka ketika hendak menyatakan isi hatinya, dia
menjadi ragu-ragu dan gugup.
Tiba-tiba
terdengar Maharya membentak. "Engkau tentu sudah sejak tadi datang, bukan?
Mengakulah dengan jujur!" Ucapan ini bukan sembarangan, melainkan suara
yang disertai sin-kang kuat sekali dan membawa pengaruh sihir yang seolah-olah
mencengkeram semua semangat dan kemauan Milana, membuat dara itu tidak berdaya
dan di luar kehendaknya sendiri, mulutnya mengeluarkan suara hatinya.
"Memang
aku sudah semenjak tadi datang." Milana terkejut sekali mendengar
pengakuannya sendiri yang keluar dari hati yang jujur.
"Dan
engkau sudah mendengarkan percakapan kami? Hayo, jawab setulusnya!" Kembali
Maharya menghardik dengan suara yang bergema aneh dan penuh wibawa.
Milana
kini sudah memandang wajah kakek itu dan pandang matanya bertemu dengan sinar
mata yang mendelik dan amat tajam. Dia maklum bahwa dia terpengaruh oleh
kekuasaan sihir kakek itu, namun betapapun dia mengerahkan sin-kang melawan,
tetap saja dia tidak dapat menahan mulutnya yang menjawab, "Benar, aku
sudah mendengarkan percakapan kalian."
Koksu
mengeluarkan seruan kaget dan kembali terdengar suara Maharya, "Apakah
engkau tahu apa yang kami percakapkan? Jawab dan jelaskan!"
Milana
kini sudah hampir dapat mengatasi dirinya. Sin-kangnya sudah kuat sehingga dia
mampu melawan pengaruh mujijat itu, dan selain ini, dara ini mewarisi sinar
mata tajam dari ayahnya sehingga pada dasarnya dia memiliki sinar mata yang
amat kuat. Akan tetapi dia belum lolos sama sekali dari cengkeraman kekuasaan
sihir Maharya, maka biarpun suaranya sudah lemah tanda bahwa dia hampir dapat
menguasai diri dan melawan tenaga mujijat yang mendorongnya untuk mengaku, masih
saja terdengar pengakuannya.
"Aku....
aku tahu.... kalian.... hendak membunuh Ibuku.... aihhhh!" Kini Milana
sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia meloncat ke belakang sambil mencabut
Pedang Pek-kong-kiam yang tadi sudah dia sarungkan kembali. Maklumlah dia bahwa
dia sudah terlanjur membuat pengakuan dan maklum bahwa tentu mereka itu tidak
akan membiarkan dia pergi menyampaikan rahasia itu kepada Ibunya. Benar
dugaannya, karena Koksu sudah berseru,
"Dia
harus kita tangkap!" Semua orang bergerak dan bayangan mereka berkelebatan
cepat sekali, tahu-tahu Milana telah terkurung dan berada di tengah-tengah.
Maharya berada di depannya, Koksu dan Thian Tok Lama di kanan kirinya,
sedangkan enam orang panglima berada di belakangnya! Milana berdiri dengan tegak,
pedangnya melintang depan dada, tangan kiri terangkat keatas kepala, siap untuk
menghadapi serangan mereka. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan
menggetar, matanya melirik ke depan, kanan dan kiri, dagunya ditarik keras dan
mukanya agak menunduk, kedua kakinya berdiri dengan tumit diangkat sedikit
karena dia maklum bahwa menghadapi orang-orang lihai ini dia membutuhkan
kecepatan gerak dan gin-kangnya. Sampai agak lama, mereka semua diam tak
bergerak seperti arca-arca batu, suasana menjadi amat tegang.
Tiba-tiba
Maharya berkata dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Koksu. Koksu ini adalah
seorang peranakan India yang sudah menjadi Warga Negara Mancu, akan tetapi
karena sejak kecil dia tinggal di Nepal, maka dia tidak mengerti bahasa India
dan lebih paham bahasa Nepal. Karena itulah maka Maharya bicara bahasa Nepal
kepada murid keponakan itu, "Dia tahu akan rahasia kita, harus kita bunuh
sekarang, lebih cepat lebih baik!"
Selagi
Milana hendak memperlihatkan diri dan menyatakan kedatangannya, tiba-tiba ia
mendengar suara Koksu menyebut-yebut nama ibunya! Tentu saja dia cepat menahan
diri bahkan menahan napas agar dapat mendengarkan lebih jelas percakapan antara
mereka.
"Puteri
Nirahai telah menjadi ketua Thian-liong-pang dan telah membantu kita membasmi
para pemberontak. Akan tetapi, Kaisar belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang
adalah puterinya! Hanya menerima pelaporan bahwa Thian-liong-pang membantu
pemerintah. Munculnya Nirahai benar-benar membikin ruwet rencana kita, agaknya
dia ingin berbaik kembali dengan Kaisar. Dia lihai sekali dan dapat
menggagalkan rencana kita yang sudah hampir masak. Tidak ada jalan lain lagi,
dia harus disingkirkan, harus dibunuh!"
Akan
tetapi, dalam bahasa Nepal pula yang tak dimengerti oleh Milana dan orang lain
kecuali Thian Tok Lama, Koksu berkata, "Jangan dibunuh, dia harus
ditangkap untuk memancing dan memaksa ibunya menakluk!"
Menggunakan
kesempatan selagi dua orang itu bicara dan yang lain memperhatikan percakapan
dalam bahasa asing itu, tiba-tiba Milana meloncat dan memutar pedang
Pek-kong-kiam melindungi tubuh dari serangan di bawah kaki sedangkan tubuhnya
melayang ke arah jendela untuk melarikan diri.
"Tranggg....!"
Tiba-tiba Maharya sudah berkelebat dan mendahului Milana menghadang di depan
lubang jendela sehingga ketika Milana menerjang, pendeta itu menangkis dengan
senjatanya dan hampir saja Milana melepaskan pedangnya saking kerasnya
tangkisan itu yang membuat tangannya tergetar hebat.
Yang
lain-lain sudah mengejar dan mengepung, namun Milana sudah memutar pedangnya
dan mengamuk dengan hebat. Dia seorang dara yang tak mengenal takut, percaya
akan kepandaian sendiri dan dia mengambil keputusan untuk melawan sampai titik
darah terakhir. Ia maklum bahwa orang-orang ini adalah musuh-musuh yang tak
akan membiarkan ia hidup, maka hanya ada satu jalan baginya, yaitu melawan
mati-matian dengan dua kemungkinan, tewas di tangan mereka atau berhasil lolos
untuk menyelamatkan ibunya yang terancam bahaya maut!
"Wuuut-wuuuttt....!"
Milana terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga
kali untuk meloloskan diri dari sinar merah yang menyambarnya dari samping dan
menyilaukan matanya.
"Tar-tar!"
Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit
berwarna merah yang berada di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum
mengejek di depannya.
"Pemberontak
hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah.
"Selain
hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku!
Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di
tanganku!" Sambil berkata demikian Milana sudah menerjang maju dengan
cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu yang
memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut
merahnya.
"Singggg....!
Tarrr.... brettt!"
"Hayaaaa....!"
Bhong Ji Kun berseru kaget. Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara
itu dan menangkis sembarangan saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus.
Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu pedang
tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek dari
Pendekar Sakti Suling Emas (baca cerita Cinta Bernoda Darah dan cerita Suling
Emas)! Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena
dimainkan oleh seorang dara remaja!
Suara
bercuit dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan
pedangnya menangkis.
"Tranggg!"
Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja
terlepas dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke kiri, pedangnya bergerak dan
terdengar suara nyaring dua kali ketika ia berhasil membuat dua batang golok
patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi
belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!
"Ihhh,
keparat!" Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok
dari belakang, mengarah punggung Milana. Dara itu meloncat ke depan menghindar,
akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok Lama yang telah berjongkok dan
mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat
menyambar ke depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.
"Siuuuuutttt!"
Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan
main. Dia berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan
terpaksa dia mengerahkan sin-kang ke arah dada dan perutnya untuk menahan
serangan itu.
"Dessss!"
Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir
terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan
lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun. Napasnya sesak, mukanya pucat dan
dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di tangan Maharya
kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya
tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana tentu saja Milana yang
tentu tidak membolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan
pedangnya menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.
"Gadis
berkepala batu!" Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa
mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis
remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan
kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah
di tengkuk Milana.
"Haiiiitttt!"
Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut
Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan
pedang menyambar dibiarkannya lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu
menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan
tetapi tidak berhasil.
"Brett....
auhhhh!" Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha
kirinya tampak dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek diserempet
senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang sedikitnya mewarisi watak keras dan
berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jerih, bahkan tangannya kanan kiri
bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah
tiga orang kakek dan empat orang panglima.
"Awas
jarum!" teriak Maharya. Untung dia berseru keras sehingga empat orang
panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu, jauh lebih rendah tingkat
kepandaiannya, dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Koksu,
Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat meruntuhkan
jarum-jarum yang menyambar mereka. Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari
belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh perlahan dan roboh miring. Pahanya
yang kiri terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biarpun tidak
amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sin-kangnya tak dapat ia
kerahkan.
"Iblis-iblis
tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!" Tiba-tiba
terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu
melalui jendela yang tadi pecah oleh Maharya. Sukar diikuti pandangan mata
bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah berdiri di situ, berkata
halus kepada Milana.
"Bangkitlah
dan duduk di punggungku!" Milana girang bukan main melihat munculnya
ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun, menahan rasa nyeri di paha, perut dan
dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya
yang panjang di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengannya di atas kedua
pundak. Semua gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki,
sedikit pun tidak bergoyang dan pandang matanya ditujukan kepada Maharya.
"Hemmm,
kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!"
katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Akan tetapi hanya
kemajuan lahiriah dan duniawi yang kauperoleh, sedangkan batinmu makin mundur
dan makin mendekati jurang kehancuran!"
"Pendekar
Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kaukira
aku takut kepadamu?" jawab Maharya.
Koksu
yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan
tiga kali untuk memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah
suara hiruk pikuk di luar ruangan itu dan puluhan orang pengawal telah
mengurung tempat itu dengan ketat, siap utuk melakukan penyerbuan dan
pengeroyokan!
"Hemmm,
sungguh Koksu negara sekarang ini amat gagah perkasa!" Suma Han mengejek.
Im-kan
Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang. "Pendekar Siluman, engkau datang
seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau
adalah To-cu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau mencampuri urusan kami
dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"
"Bhong-koksu,
aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada
sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk
bicara dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan
sikapnya tetap tenang, sedikitpun tidak kelihatan gentar biarpun menghadapi
pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh,
Pendekar Siluman! Engkau mencariku mau apa?" Maharya membentak, agaknya
marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama
dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar
Siluman ini.
"Maharya,
perlukah engkau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan
mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"
Dapat
dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini
percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung
itu tentulah tidak mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa
pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau
tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi
memberi tahu kehilangan pedang itu.
"Aku
akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula
Suma Han.
Bhong
Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar
sekali mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya
seorang yang berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih
bicara sombong hendak menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm,
setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa
pula keperluanmu mencari aku?"
"Bhong-koksu,
engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya melainkan
akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu
Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu, dan
sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"
"Ha-ha-ha,
benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah
seorang, manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang
koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah!
Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun
takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang
pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andaikata engkau mampu lolos dari gedung
ini, engkau pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara
penjaga."
"Kalian
memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan
pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak
akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah
memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan
orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan
Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan,
atau kita putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"
"Ha-ha-ha,
kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan.
Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil
menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke
arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di
luar pintu dan jendela ruangan itu.
"Alan,
pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han
berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya. Dia bukan seorang
nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap
Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin dia dapat menandingi ratusan, bahkan
ribuan orang perajurit pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara
para perajurit itu, maka dia mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih
dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat berhadapan
dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga tertutup
dan terjaga kuat.
"Jangan
harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar
menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan
senjata di tangan. Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki
buntung yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan
Suma Han, dan biarpun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang
seperti dalam dongeng saja, kini melihat laki-laki berambut panjang putih dan
berkaki buntung sebelah itu, mereka memandang rendah. Apalagi pria yang tidak
kelihatan menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih
menggendong seorang gadis yang terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu
saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!"
Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak
senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang
melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak
karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah
merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan
pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Tolol!
Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu
berseru memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah
membantu kami menangkap pemberontak!"
Anak
buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hahya karena
seruan Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam
orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam
orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak
tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan
yang diselimuti sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak
tak bergerak lagi, agaknya tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak
membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang membuat
mereka pingsan saja.
Sebelas
orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka
menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang
panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima
tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima
belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung
ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya. Koksu yang menganggap bahwa
pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang
Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit juga
bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena dia
lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya daripada senjata tajam.
Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biarpun mereka
mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang
cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jerih karena
maklum betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang. Maharya berdiri
dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga
tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi
banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biarpun bentuk pakaiannya masih
amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh, namun kain itu
bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain
pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala
itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan
dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah! Juga sepasang kakinya
"ada kemajuan" seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua
kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir
halus dengan tombol terbuat daripada emas yang dijepit oleh ibu jari dan jari
kedua kakinya. Hebatnya, biarpun kakinya beralaskan kelom kayu, akan tetapi
kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun!
Lima
belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian
tinggi dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe
Ti Kong melakukan pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang
atau senjata tombak trisula gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti
Kong. Gerakan mereka rapi dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan
suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang
berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan
senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana
yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh
Milana!
Dengan
kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu,
memandang dengan sinar mata aneh dan.... empat orang itu menghentikan serangan
mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah
mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han
sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super
Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba
Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking
nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat
kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan
sadar! Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan
senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti
Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan
batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma
Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak
terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan
kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu
sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya
kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu! Para panglima
terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat, mereka mengangkat senjata
masing-masing dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan mereka
karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar, dan lima orang di antara
mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat tubuh
mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat sin-kangnya
berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat bangkit
lagi dan pingsan!
"Mundur....!"
Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya
bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin
para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.
Maharya
kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat
sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya
berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap
sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan
ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia
menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!"
Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat
tenaga dan pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan
tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya
terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar
Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain
pengaruh usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan
berfoya-foya dan bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam
hidup berprihatin.
"Singggg....!"
Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang,
mengarah leher Suma Han.
"Awas....!"
Milana berseru kaget. Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang
ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya
itu terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan
mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah
kandungnya yang terkepung oleh banyak orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan
khawatir, Alan....!" Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis
pedang di tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena
tangkisan yang dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa
tenaga sin-kang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan
Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan dia
harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu
tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman gurunya sendiri,
hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam
yang kuat. Orang pertama yang tangguh adalah Maharya, ke dua adalah Koksu
inilah.
"Kok-kok-kok!
Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas
pukulah Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri
sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah
melukainya biarpun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.
Tentu
saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara "kok-kok"
seperti suara katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta
Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan
menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah
berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan lengan
dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han. Itulah
pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam
bergulung-gulung!
Tiga
kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan
pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh
dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan
seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu
amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga
kali ke arah dada kanan kiri dan pusar!
Suma
Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke depan
dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti
dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua
tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat
hebat. Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul
oleh gulungan uap hitam ke dua dan ke tiga, berkumpul menjadi satu dan seperti
terjadi dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul
dan bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin
lama makin cepat.
Thian
Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan
terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias
kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk
menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya
Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada
dan isi perutnya sendiri, "dipaksa" kembali oleh dorongan hawa sakti
dari tangan Suma Han!
Sebagai
ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan
kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan
berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal
Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!
Menghadapi
serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok
Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapapun
cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya. Milana sampai memejamkar mata saking
ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar
dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung
rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan
gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia tidak
erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan
tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya
telah turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun,
dan Thian Tok Lama yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima
belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih
roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara
tiba-tiba dari belakang, kanan atau kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan
amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih
menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya menjadi
terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi. Kalau sampai ayahnya terpukul dan
tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan.... ibunya akan celaka
pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biarpun dia sendiri
tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan
sebagai umpan untuk memancing kedatangan ibunya? Kini ada ayahnya, kalau
mendampingi ibunya, biarpun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung
menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andaikata tidak berhasil
sekalipun, yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri
sendiri saja.
"Paman....
beritahukan kepada Ibu.... mereka tadi.... berunding untuk membunuh
Ibu...." Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi
terheran-heran. Tadi pun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri
Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut desas-desus,
Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya
malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?
"Jangan
khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak....
engkau saja pergi, Paman...." Milana berbisik pula.
Suma
Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu,
tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan
beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah
loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!"
Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis
pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi
mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang
diinjaknya terbuka!
Milana
yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin
ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya
yang mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan
tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah!
"Alan....!"
Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biarpun lantai itu
terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat
dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan
lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh
Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan
yang berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak
diduga-duganya, maka dia tidak dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih
mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat
tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter
persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan....!"
Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak,
berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan! Lantai yang menjebaknya itu kini
tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan
wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat
bukan main dia....!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran
sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?"
Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang
merampas Hok-mo-kiam.
"Sudahlah,
dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu.
Tak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya
Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua
Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!"
Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih.... aihh!
Mengapa aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri
Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya,
Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran.
Hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberitahukan
kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan
dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka
benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar
kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk
mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."
Para
pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok
Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam
kamarnya.
"Ketua
Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan
diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak
Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian,
maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!" Semua
yang mendengarkan mengangguk-angguk. "Akan tetapi hal ini harus
dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biarpun puteri itu telah
menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh kasihan
mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."
Kemudian para pendengarnya mengangguk Setelah mendengar pelaporan panglima
rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam
kamar tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah
merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong
Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan
perundingan mengenai rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapapun
tinggi dan mahirnya tingkat gin-kang Milana, namun dengan perut dan dada terasa
nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha
kirinya robek kulitnya, kiranya dia akan terbanting juga ke atas lantai kamar
tahanan jika tidak cepat-cepat Suma Han bertindak, melayang turun dan
mendahuluinya, memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!
Akan
tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa
makin gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah
berhasil membebaskan diri untuk memberitahukan ibunya. Siapa kira, ayahya itu
malah menyusulnya ke bawah!
"Aihhhh....
mengapa engkau berada di sini....?" Milana menegur penuh kekecewaan dan
penyesalan.
"Hemm,
Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han
menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat
dari batu hitam.
Setelah
menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja
melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian
memberitahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan
aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman malah
menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, tidak membebaskan diri yang
kuyakin dapat Paman lakukan setelah tidak menggendongku?"
Suma
Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik
dan cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka
cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera diobati."
"Aku
tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman.... eh,
maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu...." Milana menjadi gugup
karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan
Pendekar Super Sakti yang "bukan apa-apa" dengan dia! "Mengapa
Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"
"Alan
yang baik dan bodoh! Biarpun menggendongmu, apa kaukira aku akan begitu mudah
mereka robohkan? Tidak, aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan
diri. Akan tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu
karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam
jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku
menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam
hati Milana menjadi girang dan terharu, sehingga terusirlah kekecewaannya.
Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau
ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi
ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan,
namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak
tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan
kasih sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut
memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap orang bukan
anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia anaknya!
"Luka
di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit....!"
"Hemm,
kulit dan daging terobek kaubilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu
memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan
Thian Tok Lama. Bagian mana yang terkena?"
"Di
perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam
perut."
"Hemmm,
kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat yang
terpukul untuk menentukan sampai betapa hebat lukanya. Cukup kaubuka sedikit
pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar
saja."
Kalau
saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biarpun dia
terluka parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan
tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti,
setelah dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini, andaikata
pendekar ini bukan ayahnya sendiri sekalipun, tentu Milana akan memenuhi
permintaannya tanpa ragu-ragu. Apalagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan
wajar dan sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka
pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan
kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma
Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang
sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya
terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya
agak memburu. Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke
dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya
ini, salah mengenal wataknya!
"Ini....
apakah ini....?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari
tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata
kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk
seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher
Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya
yang telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul
dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus
dan putih kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu
hanya mata kalung, Paman."
"Mata
kalung ini.... burung Hong berbulu hijau.... eh.... aku.... aku pernah
melihatnya.... di dada seorang.... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda
ini?"
Ketika
Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini
mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya.
Mata ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang
seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang
menusuk dan langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir
sekali. Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai
kalung seperti ini, menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar!
Celaka sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini....?
Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar
pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa,
seperti mata orang yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap
begini aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma
Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari
mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu.
Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus
dan putih seperti dada gadis ini!
"Ohhh....
maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara
itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri.
"Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga
Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu
tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."
Milana
memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han memeriksa
paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu
luka itu diberi obat bubuk berwama merah, rasa nyerinya hilang dan terasa
dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua
telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia
melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu
keluar hawa yang amat panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran
di sekitar perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya,
rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia
menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima
kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman
tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh
Koksu."
"Jangan
menyesalkan hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu
cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana
menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk
menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti
orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat
tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah
tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana
merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini?
Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat
mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri
Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau masih
mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya,
mengapa mereka saling berpisah?
"Paman,
kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai
kalung ini, Paman?"
Suma
Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah
dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara
menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung,
"Hemmm...."
Sunyi
sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin
kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar
apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun
selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak
senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat
antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak
terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah
engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak
nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut
sehingga dia sendiri menjadi kaget.
Akan
tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka
saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang
mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk
membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini!
Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok
Lin, bekas saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah
menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es. Kepada wanita yang dia tahu amat
mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia hatinya,
telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika
dia bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan,
ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki
itu tergantung di leher.... isteriku."
"Aku
pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es adalah
seorang yang tidak beristeri."
"Aku
pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di
manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah
di mana...."
"Kalung
ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya
puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai
kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan
kepadanya?" Milana memancing.
Suma
Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi
memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan
penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah
seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan
aku! Ohh!"
Melihat
betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan
lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri,
menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja
yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.
"Paman....
jangan.... jangan bersedih...."
Suara
yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah
dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu
ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!
"Kau....
kau menangis?"
Milana
mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan keharuan yang
membayang di wajahnya karena biarpun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang
matanya basah!
"Aku
kasihan sekali kepadamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik
hati? Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak!
Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku.... ah, aku tidak tahu
harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan
isteriku."
"Baik,
akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu
kepadaku."
"Kami
saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana,
meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia
karena dia adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi
setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan
kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia
mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi
sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri,
kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu menggembleng diri ketika
masih muda sekali, dan menjadi To-cu di sana. Dan.... begitulah.... agaknya
kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh...."
Milana
mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju
dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya?
Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana pun suaminya pergi!
"Apakah
Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah
kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia.... dia telah mempunyai seorang anak
perempuan, dia anakku.... anak kami.... dia telah mengandung ketika pergi
meninggalkan aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya
karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali.
Melihat
itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu,
segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman,
ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat
lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan
bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara
ibunya?"
Benar
saja, pertanyaan ini membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan
tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan
kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau
sudah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu
Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan
seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa
dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."
Milana
mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah
ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah,
sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah
perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh,
kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi To-cu Pulau Neraka yang
kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula puteranya memusuhimu
dan kulihat dia amat membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi
To-cu Pulau Neraka, juga membencimu?"
Suma
Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang
di dunia ini membenciku...."
"Mengapa,
Paman?"
"Panjang
ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar
seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum
aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang
diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia
membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia
bodoh dan segala canggung...."
Milana
memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang
tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi
mulia di dunia ini!"
Mata
Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata setelah gadis itu melepaskan pegangan
tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai
hatinya.
"Ketika
aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka
itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku
mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku,
bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang
pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal
kami saling mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia
meninggalkan suaminya karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa
puteranya pergi, Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena dia pun tahu akan
isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin
Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan
bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai.... musuhku! Hampir
sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap
untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana
mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang
matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara
bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua
pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu,
ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah
pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan
masih membawa semua perasaan terharu dan penasaran.
"Paman,
tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri
Nirahai itu, bukan?"
"Tentu
saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna
perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh
itu?"
Suma
Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga
menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang
wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta
antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih
penasaran dan mendesak.
"Bukan
cinta kakak angkat?"
"Bukan,
Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap
wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak
pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal,
semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai
kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah
dia kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami
saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang ke dua
terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman,
kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya
dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan
Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk
menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm,
engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang
demikianlah halnya."
"Paman,
siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah
Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang
matanya dan kini dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di
atas lantai dengan telinga menempel lantai.
"Hemm,
pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku
sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan
diukur siapa yang lebih kucinta, sungguhpun dasar yang mendorong cinta kasihku
berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu
didorong oleh masa muda kami.... heii, ada apakah, Alan?"
Suma
Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan
dan alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan
menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.
"Ada
suara tertawa di bawah lantai!"
Suma
Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia telah memiliki
kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sin-kangnya amat kuat dan
pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara
ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng
kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar
yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat
ini!"
Milana
bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai
ini, Paman. Kalau tidak percaya, kaudengarlah sendiri!"
Suma
Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di
lantai itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil
itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu
mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang
lantai dan.... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di
bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang
lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu,
dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget
ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm,
kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai
ini," katanya.
Ucapannya
itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia
mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena
begitupun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah,
agar gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan
telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah
yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat
menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!
"Heh-heh,
sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara
parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram
seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita.
"Dan siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha,
dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkerik di sini. Hayo kita cari
dia!"
Diam
sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri
dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu
sedang sibuk mencari jangkerik! Seperti dua orang anak kecil saja!
"Celaka
tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa
mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa
sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku
tidak bisa menggalinya?"
"Wahhh,
tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang
tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis
bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau
memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan
jangkerik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri
lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan
keluar sendiri!"
"Akan
tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja
kadang-kadanng kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah
jatah minuman untuk kita!"
"Hssshhh!
kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul
memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita,
seperti setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air
yang cukup di dalam perut?"
"Ihhh!
Suhu jorok sekali!"
"Kenapa
jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok?
Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang
ini, masa jangkerik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"
"Suhu,
jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkerik itu mungkin
kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan
baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.
"Kalau
Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah,
kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkerik itu mengerik di dalam
lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat
sampai di mana kemajuanmu."
Suma
Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri
Ketua Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid
atau keponakannya itu menyebut "suhu" kakek yang ugal-ugalan dan
agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika
tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang
digerakkan secara mujijat! Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat
itu, seperti badai mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekalipun! Akan
tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong?
Kalau
Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang
yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan
gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah,
bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han
yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang
sinting itu.
***
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng
In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In.
Kemudian guru dan murid ini menuju ke kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa
harus mentaati kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan melalui padang pasir
di utara untuk mencari racun kelabang untuk keperluan Kwi Hong sendiri dalam
menerima gemblengan ilmu mujijat yang tinggi dari kakek sinting itu.
Mereka
tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan
tidak ada seorang pun manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong merasa heran
bagaimana gurunya dapat menemukan tempat seperti ini. Kadang-kadang mereka
melalui hutan yang penuh pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian di pegunungan
itu yang gundul tidak ada pohonnya sama sekali, bahkan rumput pun tidak dapat
tumbuh di situ seolah-olah tanahnya mengandung racun yang membunuh semua
tanaman. Ada pula bagian yang penuh pasir, akan tetapi tampak bekas-bekas
pohon, hanya tinggal batangnya yang besar setinggi tiga empat meter, tanpa daun
sehelai pun dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin mencari
kelabang!
Kakek
itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati
itu, memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Di sinilah.... hemmm
sudah tercium bau mereka dan tampak bekas mereka...."
Kwi
Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau
amis yang aneh olehnya.
"Awas
udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sin-kang!"
kakek itu berkata sambil tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu yang suka
berkelakar, Kwi Hong memandang rendah dan bernapas seperti biasa.
"Suhu....
celaka....!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual
seperti diaduk dari dalam.
"Wah,
bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur
pernapasanmu." Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu
menempelkan telapak tangan kirinya di punggung, membantu gadis itu mengusir
keluar hawa beracun dari dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong mengeluarkan hawa
dari perut melalui mulut dan akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.
"Tempat
ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan racun
kelabang!" kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu
berhati-hati sekali, bernapas dengan teratur dan mempergunakan hawa murni dan
sin-kangnya.
"Suhu,
apa yang berkilauan itu?"
Tiba-tiba
Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang sebesar
kepalan tangan.
"Hemm,
itu batu biasa."
"Ah,
tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu
mulia."
"Kau
tidak percaya? Coba pegang baru kau tahu!"
Kwi
Hong, membungkuk, dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba ia berteriak dan
melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa
panas dan perih. Batu mengadung racun yang luar biasa!
"Ha-ha-ha!
Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan
tetapi sebetulnya mengandung racun yang berhahaya. Biarpun sih-kangmu sudah
kuat, kalau tanganmu terkena racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yanng
tepat, lambat laun akan membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit
kusta!"
"Kalau
sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong
menuntut.
"Heh-heh-heh,
kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"
"Suhu
membiarkan aku keracunan? Mana ada guru seperti ini?"
"Ha-ha-ha!
Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun begitu
saja, kalau ada aku apa artinya? Biar racun yang seratus kali lebih hebat,
selama aku masih menjadi gurumu, engkau tidak akan celaka."
Bu-tek
Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya,
menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang
telapaknya berubah hitam.
Dalam
waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu
pulih seperti biasa.
"Batu
ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin
memilikinya.
"Ha-ha-ha!
Batu macam ini saja apa artinya? Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu,
tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"
Kwi
Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memikiki ilmu yang dapat
membuat dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang
tinggi agar kelak ia dapat menandingi Wan Keng In, pemuda yang amat dibencinya
itu!
"Mari
kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"
"Hushh!
Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang
kucari adalah kelabang bunting!"
Kwi
Hong menghela napas menyabarkan hatinya. "Baiklah, kelabang bertelur,
kelabang bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita
menemukannya."
"Tidak
begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus
dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat
sebelum malam tiba!"
"Baik,
Suhu." Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.
"Awas,
jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua,
darahnya sudah kurang manis!"
Di
dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena
maklum bahwa kecerewetan gurunya itu biarpun dilebih-lebihkan menurut wataknya
yang sinting, bukan tidak ada artinya, maka dia hanya mengangguk dan mengingat
baik-baik pesan itu lalu meleset pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis
itu telah kembali kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan
betina yang gemuk-gemuk!
"Eh.
kenapa dua ekor?"
"Yang
seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"
"Ha-ha-ha-ha,
kau pintar sekali!" Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua
kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan
akan tetapi kakek sinting itu tidak peduli, mencabuti terus sambil berkata,
"Eh,
kenapa bengong saja? Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."
Kwi
Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya,
mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping
ayam hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging
ayam, kemudian bersama gurunya makan daging panggang sambil menanti datangnya
malam gelap.
"Menurut
perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar
dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja.
Setelah ayam itu diseret, barulah kita mengikuti karena para pemenang itu terus
akan membawa ayam ini kepada kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu
kelabang jantan yang terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"
"Menurut
penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."
"Memang,
di waktu terjadi perkawinan. Akan tetapi setelah bunting, tidak ada lagi
kelabang jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan
hadiah-hadiah adalah calon-calon pengantin-pengantin dan calon bangkai karena
pada waktu perkawinan mereka pun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"
Kwi
Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin,
membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri
kalau mengingat bahwa dia harus makan perut kelabang yang demikian menyeramkan,
yang amat beracun, sedangkan air liurnya saja sudah demikian hebatnya!
Malam
tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus. "Setelah
bulan purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita
padamkan. Betapapun lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu takut melihat
cahaya api. Kalau sekarang api kita padamkan, mereka akan bermunculan dan tak
hanya ayam dan isi perut ayam yang mereka serang, akan tetapi juga mereka akan
menyerang kita."
"Ihhhh....!"
Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita
padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"
"Apa
sukarnya? Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu
mengejar."
"Sekarang
kita bisa meloncat ke sana, Suhu."
"Dasar
bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita
menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti ke
mana mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"
Sekarang
mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang
itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu
diganyang habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan agaknya dia masih belum puas
karena terdengar suara keletak-keletuk bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam
pecah-pecah karena gigitannya, untuk diisap sungsumnya!
"Suhu,
bulan sudah muncul. Lihat!" Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang
ke arah timur, berteriak sambil menudingkan telunjuknya.
"Biarkan
dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab guruya yang
masih enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam.
Akhirnya
bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut
tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu. Bu-tek
Siauw-jin lalu melemparkan ayam gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di
samping isi perut ayam yang dipanggang tadi, kemudian memadamkan api dan
mengajak muridnya meloncat ke atas dua batang pohon mati yang berdampingan.
Dengan tergesa-gesa karena ngeri, Kwi Hong mendahului gurunya meloncat.
Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas puncak batang pohon mati seperti
seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat ke atas dan hinggap di
pohon ke dua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu cukup besar
sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dan tempat
itu jelas kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena
cahaya bulan dengan lembutnya menyinari seluruh tempat itu.
Kurang
lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua
pekan bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat
betapa gurunya itu duduk melenggut di atas puncak batang pohon, tidur-tidur
ayam kekenyangan daging ayam. Beberapa kali tubuh kakek itu mendoyong ke
sana-sini kelihatannya seperti akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak
kaget sebelum terguling dan melenggut lagi. Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol
sekali. Orang setengah mati karena tegang, gurunya enak-enak melenggut, bahkan
kini terdengar dengkurnya perlahan.
Tiba-tiba
Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan mendadak
terdengar suara gurunya, "Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan
hawa beracun. Mereka sudah datang!"
Kwi
Hong cepat mengerahkan sin-kang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru
dengan hawa murni, matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali
tidak berani mengeluarkan suara. Dilihatnya ayam yang diikat itu masih
bergerak-gerak, menggerakkan leher dan berusaha melepaskan diri. Bau makin
keras dan dari sebelah kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan,
bergerak-gerak mendekat. Kelihatan panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah
tampak olehnya bahwa yang datang adalah barisan kelabang yang besar-besar dan
panjang-panjang! Karena binatang-binatang itu merayap beriringan dari jauh yang
tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan kelihatan seperti sebuah benda
atau ular yang panjang. Tidak kurang dari lima belas ekor kelabang yang
kulitnya merah mengkikap, panjangnya masing-masing antara dua puluh sampai tiga
puluh senti meter! Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan
tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak
lebih dari sepuluh senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa
seperti itu!
Barisan
kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong.
Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong
memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan ekor kelabang itu seperti
terbang cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar,
lalu tak bersuara lagi. Barulah Kwi Hong berani membuka matanya. Ayam itu telah
mati, akan tetapi kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling gigit
dan saling terjang dengan hebat. Mereka memperebutkan bangkai ayam seperti yang
telah dituturkan oleh gurunya! Kwi Hong melirik ke arah gurunya dan melihat
kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan menggosok-gosok kedua
tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-gerak dan
mengeluarkan air liur seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi
Hong bergidik! Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis
seekor ayam panggang, hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat
kelabang-kelabang gemuk, sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia sinting,
atau bukan golongan manusia! Betapapun juga, harus dia akui bahwa gurunya amat
baik kepadanya, dan ilmu-ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat!
Saking
ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh
ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati. Empat ekor
yang lebih besar dan agaknya luka-luka tidak mempedulikan luka mereka dan
dengan lahap mereka kini merasa puas dengan isi perut ayam. Karena isi perut
itu cukup banyak terutama ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu
memperoleh bagian yang cukup dan dari atas mereka tampak seperti ulat-ulat
sutera sedang lahap makan daun murbei!
Kwi
Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar
sebagai pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan
dia benar-bedar tercengang akan kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit
leher ayam, kelabang itu mampu membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat
menuju ke sebuah di antara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah
lubang di bawah pohon dan lenyap!
"Bagus!
Tempatnya di bawah pohon itu! Mari....!" Bu-tek Siauw-jin tertawa girang
dan meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun,
begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah menahan jerit dan meloncat lagi
melihat benda melintang di bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan
tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!
"Siapkan
pedangmu!" Bu-tek Siauw-jin berbisik. "Aku akan mencabut pohon itu
dan kalau engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan
ragu-ragu, kaubacok putus bagian kepala dan ekornya, kemudian bagian tengahnya
cepat kaumasukkan ke dalam botol ini dan tutup rapat." Kakek itu
menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Karena
hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat mengeluarkan suara, hanya
mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan manusia, biar musuhnya
amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan merasa gentar seujung
rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang yang menggelikan
dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang tumbuh
di tubuhnya berdiri tegak! Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya,
dipersiapkan di tangan kanan yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan
pernapasan tetap teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya
memenuhi tempat itu. Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri
pohon besar di mana kelabang raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap.
Bu-tek
Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesat tubuh manusia
itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil
mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya tiga setengah meter
itu. Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu patah-patah dan
terjebol berikut tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah
dilemparkan jauh oleh kakek sinting.
Hampir
Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan
kelihatan marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini
seperti hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini melihat bahwa kelabang ini
besar sekali, perutnya menggembung dan warna kulitnya sama seperti
Kelabang-kelabang yang tadi, merah darah akan tetapi agak kehijauan dan
mengeluarkan sinar mengkikap. Sekilas pandang ia melihat bangkai ayam di dalam
lubang bekas jebolan pohon dan di samping bangkai ayam itu menggeletak pula
kelabang besar yang tadi membawa bangkai, sudah mati pula. Agaknya Sang
"Ratu" kelabang yang bunting ini benar-benar amat ganas. Disanjung
dan dirayu oleh kelabang besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah
dibalas dengan membunuhnya!
"Kelabang
celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali
pedangnya berkelebat.
"Cres!
Cress!" Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot
dan keras. Andaikata bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia akan
kecelik kalau tidak mengerahkan sin-kang, karena kulit kelabang itu ternyata
amat tebal. Akan tetapi Li-mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya
menggila, maka dua kali sabetan itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong
menjadi tiga, leher dekat kepala dan dekat ekornya putus! Akan tetapi bagian
tengahnya yang masih panjang itu menggeliat-geliat hidup sehingga Kwi Hong
merasa jijik untuk mengambilnya.
"Bodoh,
lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak. Kwi Hong menabahkan
hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat itu. Hampir
saja dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli dan jijik,
seperti memegang ular saja. Akan tetapi karena botol di tangan kirinya sudah
siap, dia cepat memasukkan bagian tubuh yang menggeliat-geliat itu ke dalam
botol, menutupkannya rapat-rapat kemudian hendak mengambil kembali pedangnya
yang tadi dia tancapkan di atas tanah ketika tangan kanannya mengambil tubuh
kelabang.
"Aihhh....!"
Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa seluruh
tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!
"Itulah
racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!" Gurunya
menyerahkan batu hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu
menerima batu hijau dan menggenggamnya. Sebentar saja warna tangannya putih
kembali, racun yang amat jahat itu disedot habis oleh batu hijau.
"Kau
simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaaruhi kulitmu. Akan tetapi
kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting,
tubuhmu lebih kebal dari racun, lebih hebat daripada batu hijau itu!"
Kakek
ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di
dalam lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat
dibayangkan betapa jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat ekor kelabang besar
yang tadi dengan lahap makan isi perut ayam, kini masih melingkar di tempat
tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh mereka menjadi gemuk dan
menggembung seperti mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis bersih, dan
anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah mati tadi pun lenyap tak tampak
bekasnya sama sekali.
"Ha-ha-ha,
heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak
(pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya
sendiri masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar! Engkau makan kelabang bunting,
aku mengganyang lima ekor kelabang gembul!" Sambil berkata demikian, kakek
sinting itu menggunakan kedua tangannya menangkap empat ekor kelabang itu yang
sama sekali tidak melawan atau meronta karena memang sudah tak dapat bergerak
saking kenyangnya! Dia mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan
bangkai kelabang terbesar yang mati di dalam lubang betina. Empat kali
telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor kelabang itu mati dengan kepala
pecah.
"Sebetulnya,
daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap,
hemmm.... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok
saja. Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya sedap dan banyak vitamin!
Heh-heh-heh!"
Kwi
Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan berkata,
"Suhu, aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini...." Dia
meletakkan botol terisi kelabang bunting itu ke depan suhunya.
"Eh-eh,
bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu yang
membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sin-kang yang
tiada tandingannya di dunia? Pula, apa kaukira daging kelabang tidak
enak?"
"Aku
jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"
"Wah-wah,
picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging
kelabang?"
"Selama
hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa
selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup
"bersih"!
"Itulah
tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang,
bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan
menjijikkan? He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru manusia-manusia yang
berwatak munafik itu!"
"Hemm,
urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak munafik?"
Kwi Hong terheran.
"Tentu
saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau
mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri,
sudah mengambil keputusan mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai
ada yang mati-matian bersumpah bahwa dia mati-matian membenci dan memusuhi
segala setan dan iblis!"
"Tentu
saja, Suhu!"
Kakek
sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri
dan membanting-banting kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah
siap menangis! "Apa? Engkau....? Muridku....? Engkau pun ikut-ikutan latah
dan munafik? Jadi engkau pun membenci dan memusuhi setan dan iblis? Coba
katakan, kenapa kau membenci mereka?"
"Hemm....
karena mereka jahat, karena musuh manusia!"
"Ngawur!
Apakah setan dan iblis itu ada? Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan
iblis?"
Melihat
suhunya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar juga.
Dia menggeleng kepala dan menjawab "Tidak pernah ada, Suhu."
"Kau
tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka
itu ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan
membenci mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka jahat dan musuhmu? Eh, bocah
tolol. Coba jawab lagi, pernahkah engkau diganggu setan atau iblis? Dicubit?
Dipukul? Dimaki atau ditipu? Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau
diperlakukan jahat oleh setan atau iblis? Kalau pernah, kapan dan di mana, dan
bagaimana? Ceritakan!"
Kwi
Hohg melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu,
dia tidak dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum
pernah bertemu, bagaimana mungkin dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya
setan iblis masih merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab dengan kenyataan.
Kembali dia menggeleng kepala, "Belum pernah, Suhu!"
"Nah,
itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut
mengikuti ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret
oleh kebiasaan umum yang belum tentu benar. Karena umum biasanya makan daging
ayam, maka enak saja engkau makan daging ayam. Karena umum tidak biasa makan
daging kelabang, biarpun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja
kau bilang tidak enak dan menjijikkan. Munafik!"
Kwi
Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biarpun ucapan gurunya kasar dan
seenak perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah.
"Maaflah, Suhu. Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?" Suaranya
halus dan penuh penyesalan itu sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek Siauw-jin
yang sudah menyeringai kembali!
"Heh-heh-heh,
engkau mau tahu rasanya? Pernahkah engkau makan daging udang?"
"Pernah,
bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur
pulau terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan
tangan dan sering kali anak buah kami menangkap udang-udang besar itu."
"Pernah
kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"
"Belum
pernah. Bagaimana, Suhu?"
"Wah,
kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apalagi udang
besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal
sampai tidak kelihatan kulitnya, kemudian dipanggang dan dibiarkan sampai tanah
liat itu menjadi kering sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan
mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya udangnya sudah matang. Kalau sudah
tampak uap keluar dari bungkusan tanah yang retak-retak, panggang udang itu
boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas dan kulit
udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat
dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas
beruap dan sedap baunya. Rasanya? Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi
lunak, sedap manis.... hemm!"
Kwi
Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur)
mendengar penuturan itu.
"Nah,
daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan
kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena
kalau dipanggang, racunnya banyak yang hilang. Direbus juga enak, coba saja
nanti."
Berkuranglah
rasa jijik di hati Kwi Hong, Apalagi setelah dia mencari air sungai yang
terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan
memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya menceritakan kelezatan daging
kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang, kepiting, belalang,
jangkerik, dan lain binatang yang kulitnya keras.
Kesibukan
memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi Hong
mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu,
sungguhpun sinar bulan banyak membantunya. Akan tetapi, akhirnya
masakan-masakan itu selesai di waktu pagi.
"Nah,
kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek
Siauw-jin. Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging
panggang, dan lagi mana ada cuci mulut sebelum makan? Akan tetapi dia tidak
membantah dan bersama suhunya, dia mengupas tanah liat yang sudah kering. Benar
saja kulit kelabang itu ikut terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih
kemerahan dan mengepulkan uap tipis yang sedap. Melihat suhunya makan daging
itu dengan lahapnya, Kwi Hong lalu menggigit daging yang dipegangnya dan
benar-benar gurunya tidak membohong. Rasanya enak sekali, gurih dan enak manis,
seperti daging udang!
"Jangan
dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kaumakan daging
rebus."
Kwi
Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di mana daging
kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak
dan menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah
itu bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau yang amis dan keras.
"Makan
dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan
khawatir apa pun yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang
kaumakan ini bukan hanya daging yang lezat, akan tetapi terutama sekali obat untuk
menyempurnakan latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."
Kwi
Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai
menggigit dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda
dengan ketika makan daging kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang
direbus kelihatan putih dan besar, juga agak kehitaman di sebelah dalamnya,
hitam kehijauan dia tahu adalah racun kelabang yang amat jahat! Rasanya memang
ada enaknya, akan tetapi lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Memang
ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama sekali oleh bau amis dan keras
bahkan bau arak itu pun tidak dapat melenyapkan bau amis. Rasanya memang gurih,
akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada rasa keras yang membuat lidah
terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah dan
menelan. Hanya sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak
terlalu besar, lalu ditelannya!
Dia
terus memejamkan mata dan biarpun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali
ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati
karena ini, pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama hawa panas makin hebat
sehingga terasa gerah sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah dia
merasa tubuhnya dipanggang. Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang
berhati keras dan nekat. Dia terus makan sampai akhirnya daging kelabang
bunting habis ditelannya.
Kepalanya
pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek
Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian
telapak tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari telapak tangan itu
menjalar hawa dingin sejuk yang melawan hawa panas di tubuhnya. Akan tetapi
sebentar saja tangan gurunya ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan
Swat-im Sin-kang, mengerahkan inti tenaga dingin untuk melawan serangan hawa
panas itu. Sin-kangnya sudah amat kuat, apalagi Im-kang yang didapatkannya
ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat daripada Im-kang yang disalurkan
gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es merupakan
puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka
yang berlatih di tempat panas.
"Bagus!
Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."
"Suhu,
aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging...."
"Ih,
jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi
cukup...."
"Aku
sudah kenyang sekali."
"Bodoh,
kalau tidak kauisi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari
tiga malam?"
"Apa
maksudmu, Suhu?"
"Sudahlah,
jangan banyak membantah. Makan sisa daging panggang ini dan habiskan!"
Karena
maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan itu,
bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa
makan habis sisa daging panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.
"Sekarang,
minum kuah dalam panci itu sampai habis."
"Wah,
mana perutku kuat, Suhu? Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak
sekali!" Kwi Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan
tetapi dia merasa jijik kalau harus minum kuah itu. Baru dagingnya saja tadi
sudah begitu memuakkan, apalagi kuahnya!
"Kwi
Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting? Andaikata
engkau tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak
minum kuahnya, kurasa akan sia-sia semua latihanmu. Sari obat berada di dalam
kuah inilah!"
Kwi
Hong bergidik. Yang dimaksudkan suhunya dengan "sari obat" tentulah
sari dan semua racun yang mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat!
Sudah terlalu jauh dia melangkah, andaikata mendaki gunung sudah hampir sampai
puncaknya. Dia mengangkat panci, membawa bibir panci menempel bibirnya,
memejamkan mata, menahan napas agar hidungnya tidak mencium bau yang memuakkan
itu, membuka mulut dan menuangkan isi panci itu sekaligus ke dalam perutnya
melalui mulut! Begitu isinya habis, Kwi Hong mengeluh, panci kosong terlepas
dari pegangannya dan terguling pingsan! Bu-tek Siauw-jin sudah siap, menerima tubuhnya
dan membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah sambil menyeringai dan
tersenyum-senyum puas.
"Engkau
hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan
Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat
muridnya kalah oleh muridku!"
Kalau
tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya
dia akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui
oleh Bu-tek Siauw-jin maka tadi kakek sinting ini setengah memaksa muridnya
menghabiskan daging kelabang panggang agar selama tiga hari tiga malam pingsan
itu, muridnya tidak akan terlalu kelaparan!
Pada
pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh
perlahan dan mumbuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika
melihat gurunya duduk bersila tak jauh dari situ sambil memandangnya dan
tersenyum-senyum, Kwi Hong cepat bangkit duduk. Segera ia memejamkan kedua
matanya karena begitu ia bangkit duduk, matanya berkunang dan kepalanya
berdenyut-denyut keras.
"Jangan
tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari
kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"
Kwi
Hong membuka matanya kembali. "Apa yang terjadi, Suhu? Apakah aku
tertidur?"
"Engkau
tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam!
Dan engkau telah berhasil!"
Kwi
Hong teringat kembali. "Aihh! Ketika minum kuah itu.... aku lalu pingsan
selama tiga hari tiga malam?"
Kwi
Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan
ilmu yang mujijat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan
diri. Kakek itu benar-benar amat tekun melatih muridnya, bahkan dia kini yang
mencarikan makan untuk muridnya agar Si Murid tidak usah menghentikan latihan,
dan hanya berhenti kalau perlu makan saja. Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh
melatih diri. Karena memang pada dasarnya gadis ini telah memikiki kekuatan
sin-kang yang hebat berkat latihan yang ia terima dari Pendekar Super Sakti,
maka dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-ilmu yang
diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan
dapat dikuasai dalam latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan tenaga
mujijat ini Bu-tek Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh dan dahsyat
dalam ilmu pedang Kwi Hong. Juga dara ini dilatih menggunakan pukulan-pukulan
dengan telapak tangan, pukulan yang amat hebat karena hawa pukulannya
mengandung ancaman maut, mengandung hawa beracun yang selamanya belum pernah dia
pelajari. Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang semenjak kecil menerima
gemblengan-gemblengan pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang bersih, kini telah
mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam! Memang benar bahwa segala ilmu dapat
dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan, tergantung manusianya. Akan
tetapi, ilmu golongan sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang
ganas, kejam dan dahsyat, sehingga sekali turun tangan dapat merampas nyawa
lawan dengan mudahnya!
Demikianlah
sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di
kota raja, dia langsung saja menuju ke gedung koksu, berdiri di depan pintu
gerbang karena para penjaga melarang kakek sinting ini masuk. Sambil berdiri
tegak dan bertolak pinggang, kakek itu berteriak,
"Heh,
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek
Siauw-jin! Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena
aku tidak pantas lagi menjadi gurunya!"
Para
penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang
menjadi terkejut karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan
mereka tidak mampu bangkit lagi, tubuh mereka menggigil dan mereka hanya dapat
memandang dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu bersama dara jelita di
sampingnya memasuki pintu gerbang istana koksu seenaknya!
Kwi
Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini.
Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana
koksu di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan terang-terangan menantang
sambil berteriak-teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang berpangkat
tinggi ditantang begitu saja seperti seorang anak kecil menantang berkelahi
anak kecil?
Teriakan
yang disertai khi-kang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar
terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena
bangunan besar itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk! Berbondong-bondong
keluarlah pasukan pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka menjadi
ragu-ragu ketika melihat bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang
kangkung itu hanyalah seorang kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya
setinggi pundak dara jelita yang berjalan di sampingnya!
"Manusia
lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?"
Seorang perwira pengawal membentak.
"Heh-heh!
Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja.
"Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"
Perwira
itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah
kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik
yang berdiri di sebelahnya dengan wajah dingin sama sekali tidak peduli.
"Wuuuuuttt....
krekkkk!"
"Hayaa....
aduuuuhhh....!" Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang
patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala
kakek sinting itu!
Para
anggauta pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorang
pun berani maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para
pembantunya juga mendengar gema suara yang mengandung khi-kang kuat itu dan
kini berbondong-bondong mereka keluar dari istana. Melihat munculnya koksu,
para pasukan lupa akan rasa ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok
Bu-tek Siauw-jin.
"Tahan....!"
Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada
koksu, "Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang
tidak boleh dibuat main-main!"
"Semua
pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!" Koksu berseru dan para
panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak
turun tangan mengeroyok. Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan
Thian Tok Lama bersama lima orang panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju
menghampiri kakek pendek dan gadis cantik
itu. Ketika mereka semua mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka
siap untuk mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi Hong,
murid atau keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu pernah
mereka tawan dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu
kedatangannya ada hubungannya dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah
kakek pendek yang tertawa-tawa itu?
Bu-tek
Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah
memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa
kali, akhirnya dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si
Maharya yang dulu seringkali bertanding gulat melawan aku di lereng
Himalaya?"
Maharya
merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu
menjawab sambil tertawa pula, "Siauw-jin, engkau masih hidup? Sungguh panjang
usiamu!"
"Ha-ha-ha,
tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi
meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh, Kwi Hong muridku,
pernahkah kau mendengar permainan adu tenaga bergulat, yang kalah harus
mengeluarkan bunyi seperti kambing sebagai tanda menyerah?"
Kwi
Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata
penuh kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera
turun tangan menyerang dan membalas dendam.
"Belum
pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk
ini mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"
"Ha-ha-ha,
nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku seringkali
bergulat dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi
kambing menyatakan kalah. Wah, dia pandai benar meniru bunyi kambing,
benar-benar seperti kambing tulen, ha-ha-ha!"
"Suhu,
kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak
kaki orang berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.
Bhong
Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-jin
yang dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya
begitu menghormat dan mengalah. "Harap maafkan kalau saya tidak mengenal
Locianpwe yang agaknya sudah mengenal baik Paman Guru Maharya. Kehormatan
apakah yang akan Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan ini?"
Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super
Sakti, mengapa kini menyebut suhu kepada kakek pendek ini? Setelah muncul
sebagai murid kakek ini, dia bersikap hati-hati dan sengaja tidak mau menegur
Kwi Hong.
"Ha-ha-ha,
engkau murid keponakan Si Maharya? Koksu, kalau begitu engkau tentu murid
sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"
"Ahh!
Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"
"Ha-ha-ha!
Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak mudanya
dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya? Aku mendengar dahulu bahwa
Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu pemuda tukang penggembala
kuda!"
Wajah
Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda
itu! Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk
menghadapi musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya
bergerak dan tahu-tahu pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan Koksu dan
berpindah ke tangannya.
"Bagus!
Engkau penggembala kuda itu? Dan sekarang menggembalakan orang-orang termasuk
paman gurunya sendiri? Ha-ha-ha!" Kakek itu mengembalikan pecutnya dan
Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas pecutnya tadi saja sudah
membuktikan bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!
"Siauw-jin,
engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!"
Maharya membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan?
Ataukah engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini hendak mencoba
kepandaianku! Boleh kaucoba, mengenai ilmu silat, ilmu sihir atau ilmu
kebatinan!"
"Maharya,
kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga
engkau!"
"Bocah
sombong!" Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam
menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi
asap itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong
hanya tersenyum, sedikit pun tidak mengelak sehingga angin pukulan berikut asap
itu mengenai mukanya.
Maharya
terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh
angin pukulannya maupun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari
tangan hendak mencabut pedang, akan tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh
lengannya dan tertawa.
"Ha-ha-ha,
Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak
menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan
teka-teki, engkau pun takkan menang. Dahulupun, teka-tekiku yang paling mudah
sudah kuberi waktu tiga hari tiga malam engkau masih tidak mampu memecahkannya.
Apalagi sekarang! Eh, Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat
sederhana saja dia dahulu tidak becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini,
biar semua orang mendengar betapa mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari
yang hidup, berkepala dan bertubuh lengkap, akan tetapi seluruh anggauta
tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua menjadi satu. Nah, apa
itu?"
Kwi
Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua kelihatan
mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para
panglima dan para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan tetapi ikut
mendengarkan kata-kata Si Kakek Pendek. Melihat ini Maharya terkejut bukan
main. Biarpun hanya berupa olok-olok dan teka-teki yang dibuat kelakar, namun
suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua orang sehingga mereka semua
lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini saja sudah membuktikan betapa
kuat sin-kang kakek itu, betapa mujijat dan tidak akan menanglah dia kalau
bertanding ilmu sihir! Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak,
suara ketawa yang melengking panjang dan bergema di udara seperti guntur, juga
mirip suara kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan penuh
keheranan betapa mereka tadi mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak
untuk mencari jawaban sebuah teka-teki, sungguh merupakan hal yang janggal
sekali pada saat seperti itu!
"Hemm,
Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang rendah
karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."
"Suhu,
apa sih jawabannya? Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"
"Jawabannya?
Dengar baik-baik....!"
Kembali
semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh perhatian. Maharya
terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau
mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia mempengaruhi semua orang yang berada
di situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu menurut karena
mereka semua telah terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek
pendek itu. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya
saja dan tidak mau melakukan sesuatu, melainkan melanjutkan ucapannya yang
sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai perhatian semua orang.
"Jawabannya
adalah.... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"
Semua
orang memandang heran, termasuk Kwi Hong. "Eh, Suhu, mengapa semut
dipelintir?"
"Heh-heh,
bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggauta tubuhnya menjadi satu,
sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi? Dan semut itu tadinya hidup, maka
benda yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari yang hidup dan tentu saja
menjadi benda mati!"
Semua
orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan seperti
anak kecil oleh kakek yang sinting ini.
"Bertanding
kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus
berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tidak akan
menang...."
"Siauw-jin,
aku menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba Maharya
berkata tegas.
"Heh-heh,
begitu? Boleh! Paling-pajing engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku
sudah hafal semua."
"Harus
memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau
berani, kalau tidak aku pun tidak akan memaksamu."
"Wah-wah,
semenjak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai
menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus? Kalau berdepan, menyembunyikan
kepala ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari belakang! Akan tetapi
jangan kira aku takut. Nah, apa taruhannya?"
"Begini!
Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan engkau
harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan
ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawabnya, kami akan menerimamu sebagai
tamu dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona yang menjadi muridmu ini tentu
akan kami pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa
menjawab, engkau dan muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan
tidak boleh mencari perkara. Aku beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau
memikirkan jawabannya, engkau boleh tinggal di dalam kamar tahanan bersama
muridmu selama sebulan dengan jaminan makan minum secukupnya. Bagaimana?
Beranikah kau menerima tantanganku ini?"
"Ha-ha-ha!
Cukup adil! Boleh sekali, akan tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab,
segala permintaanku harus kaupenuhi. Permitaanku tidak banyak, hanya menantang
Koksu, engkau dan dia ini.... eh, bukankah aku pernah melihat hwesio gendut ini
di Tibet? Kalau tidak salah, ada seorang lagi yang kurus kering, dua orang Lama
dari Tibet...."
Thian
Tok Lama merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud, ingatan
Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari
Tibet."
"Bagus!
Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada Mancu, ya? Luar
biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan
permintaan muridku adalah.... eh, Kwi Hong, apa permintaanmu kalau aku menang
bertaruh? Jangan malu-malu, katakan saja!"
"Suhu,"
Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. "Mengapa urusan ini
dibuat main-main? Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"
"Wah,
jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh? Jangan khawatir, aku
pasti menang. Nah, kalau aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"
"Permintaanku,
pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung hidungnya
yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan
mencuri pedang. Ke dua, Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus
membangun kembali pulau itu seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan
Pendekar Super Sakti, menerima segala hukuman dan keputusan yang dijatuhkan
oleh Pendekar Super Sakti."
"Nah,
bagaimana, Maharya?"
Koksu
hendak membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak mungkin
dilaksanakan. Biarpun kakek pendek ini lihai bukan main, akan tetapi setelah
berani memasuki istananya dan dikurung oleh ratusan pengawal, bahkan kalau dia
menggerakkan pasukan sampai ribuan orang pun tidak sukar, perlu apa takut dan
mengalah. Akan tetapi Maharya sudah cepat menjawab,
"Boleh!
Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu
kebatinan."
"Suhu....!"
Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata. Sungguh amat bodoh
memasuki istana itu, sama dengan memasuki guha harimau. Akan tetapi gurunya
tersenyum lebar dan berkata,
"Jangan
ragu-ragu, masuk saja. Hendak kulihat apa yang akan dikeluarkan dari perut
Maharya!"
Sebagai
seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan, Bu-tek
Siauw-jin berjalan dengan penuh gaya, dadanya diangkat membusung, wajahnya
berseri, mulutnya tersenyum-senyum dan matanya memandang ke kanan kiri! Akan
tetapi Kwi Hong berjalan dengan hati-hati, menunduk dan sepasang matanya yang
indah mengerling ke kanan kiri, siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau
jebakan musuh.
Koksu
kini mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu secara halus,
maka dia pun diam saja, hanya diam-diam dia memberi isyarat kepada para
pembantunya untuk mengadakan persiapan dan mengerahkan pasukan untuk menjaga
dan mengurung. Adapun Maharya diam-diam memperhatikan Bu-tek Siauw-jin. Puluhan
tahun yang lalu dia memang pernah bertemu dengan Bu-tek Siauw-jin di lereng
Pegunungan Himalaya yang tinggi dan kakek ini dahulu hanya mengaku berjuluk
Siauw-jin saja, sebuah "julukan" yang amat aneh dan kiranya orang
sedunia, apalagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu, tidak ada yang sudi
menggunakannya karena Siauw-jin berarti manusia rendah budi! Dan orang pendek
itu sejak dahulu memang berwatak ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki
ilmu yang aneh-aneh.
Memang
Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat berbeda dengan
suhengnya, Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka. Kalau Cui-beng
Koai-ong selalu menyembunyikan diri, lebih banyak berdekatan dengan mayat-mayat
dan kerangka-kerangka manusia daripada dengan manusia hidup dan mencari
ilmu-ilmu hitam di dalam tanah-tanah kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini
selain mencari ilmu-ilmu hitam di kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa
tujuan dengan menggunakan nama samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa
dia datang dari Pulau Neraka. Karena itu, dia telah merantau sampai jauh ke
barat, melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan Nepal. Akan tetapi namanya
tidak terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah berjumpa dengannya
sebagai seocang yang berotak miring atau berwatak sinting. Di lain pihak,
biarpun dia sendiri tidak terkenal, namun dalam perantauannya ini Bu-tek
Siauw-jin mengenal dunia kang-ouw dan mengenal pula atau setidaknya mendengar
nama para tokoh kang-ouw dan tahu akan kelihaian dan keistimewaan mereka.
Mereka
telah memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam ruangan itu
mengiringkan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya, Koksu, Thian Tok
Lama, Bhe Ti Kong dan belasan orang panglima pengawal. Namun tentu saja dengan
diam-diam ruangan itu, juga gedung itu, telah dikurung oleh pasukan yang
melakukan penjagaan ketat.
Tanpa
dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi, menyambar seguci
arak dan minum arak itu tanpa cawan dan tanpa penawaran tuan rumah lagi. Arak
itu dituangkan begitu saja ke mulut sampai gucinya kosong! Kemudian ia
mengembalikan guci kosong ke atas meja, mengusap bibir dengan ujung lengan baju
dekil dan berkata,
"Nah,
keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa yang hendak
kauajukan untuk kupecahkan dan jawab? Hayo, keluarkan seluruh kepunsuanmu
(kepandaianmu)!"
Semua
orang mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri di belakang
gurunya, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba gagang pedang,
wajahnya dingin. Kalau ada orang yang sudah mengenal Kwi Hong sebelum ia
menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, tentu kini akan terheran-heran melihat betapa
wajah dan sikap dara itu berubah sama sekali. Kini wajah yang dahulu cerah dan
riang itu kelihatan muram dan dingin, sikapnya angkuh dan memandang rendah.
Tanpa disadarinya oleh dia sendiri, pengaruh ilmu mujijat yang dimilikinya
telah menguasai batinnya! Hal ini tidak diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin. Kakek
ini adalah seorang yang telah memiliki batin kuat sekali, dan memang memiliki
dasar yang baik sehingga dia dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang
dipelajarinya. Berbeda dengan suhengnya yang juga tercengkeram oleh pengaruh
ilmu hitam. Kini murid kakek ini, Kwi Hong, biarpun semenjak kecil digembleng
oleh Pendekar Super Sakti, kini tanpa disadarinya juga mulai berubah sikapnya,
menjadi dingin, murung dan kehalusan perasaannya menipis, membuatnya tak
pedulian dan kejam.
"Bu-tek
Siauw-jin," Maharya mulai bicara sedangkan semua orang mendengarkan penuh
ketegangan karena belum pernah mereka yang terdiri dari orang-orang berilmu
tinggi ini menyaksikan pertandingan seaneh ini, pertandingan mengadu
pengetahuan tentang ilmu batin! "Segala macam ilmu kepandaian yang
dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya kalau manusia tidak mengerti
akan hidup dan inti hidup. Karena itu, mengapa kita mesti berkelahi seperti
anak kecil untuk menentukan siapa yang lebih unggul? Sebaiknya kita menguji
kematangan jiwa. Apakah engkau siap untuk mencoba memecahkan dan menjawab
pertanyaanku?"
"Wah,
sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu,
perlu apa banyak rewel?" Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak
sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja merangsang kemarahan lawannya.
"Bu-tek
Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"
"Apa
lagi?"
"Cukup
satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."
"Hemmm....,
di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan filsafat
yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa masing-masing agama mempunyai
jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari
sudut pendangan agama apa yang kau kehendaki?"
"Aku
tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada
yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu
akan menghadapi tantangan dari agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar
engkau dapat memecahkan ini dengan tepat, disertai dengan alasan-alasan yang
kuat, tidak peduli engkau mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar.
Hanya aku menghendaki jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang
berlaku, benar atau salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu.
Kalau salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini dan selamanya tidak boleh
mengganggu kami lagi."
Bu-tek
Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan
pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan
menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia dan yang sudah ribuan tahun
semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang tepat untuk
pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong.
"Kwi Hong, monyet kurus ini benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu
untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Terpaksa kita harus mengeram di dalam
kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."
Kwi
Hong cemberut, "Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap Suhu
jangan kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa
bantuan Suhu sekalipun, aku sanggup untuk membasmi mereka semua ini!" Kwi
Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan tampak sinar
kilat menyambar di dalam ruangan itu.
"Pedang
Iblis....!" Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang
berkilat-kilat di tangan gadis itu.
"Hushhh,
sarungkan kembali pedangmu, muridku." Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan
Kwi Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhunya telah
mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya
karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas dia menyimpan kembali
pedangnya dan menundukkan muka.
"Maharya,
engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia,
akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam
kamar tahanan sebagai tamu yang tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami
ke tempat kami!"
Dengan
wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua orang
itu ke dalam kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak
tangga dan terowongan yang amat dalam. Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang
ditunjuk, kemudian pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu
kerangkeng gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid
ini menjadi orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan
minum melalui jeruji di atas pintu kamar tahanan.
"Mengapa
Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka
berada di dalam kamar tahanan.
"Wah,
jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk engkau berlatih
dan memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok
Lama merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apalagi di samping mereka masih
ada belasan orang panglima dan mungkin ribuan orang perajurit. Karena itu,
sebelum kita turun tangan, engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru
lebih dulu, dan mematangkan tenaga sin-kangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya
cukup. Dan selain engkau dapat berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari
jawaban atas pertanyaan Maharya itu."
Kwi
Hong mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di
balik watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka dia
pun tidak banyak cakap lagi dan berlatih dengan tekunnya di dalam kamar
tahanan, kadang-kadang saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin. Adapun
kakek ini, untuk melewatkan waktunya, kadang-kadang duduk bersila dan
mengerutkan kening, mengasah otak sampai-sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap
putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan Maharya. Kalau sudah
terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum juga dapat ditemukan, dia lalu
bermain-main seperti anak kecil, kadang-kadang mengumpulkan batu dan dibuatlah
kelereng, bermain kelereng sendirian sambil tertawa-tawa.
Telah
tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah
mengalami kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan
tetapi, pertanyaan itu masih belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin!
Saking kesalnya, ketika ia mendengar jangkerik, dia girang sekali dan ingin
benar dia menangkap jangkerik itu. Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat
itu, percakapan mereka didengarkan oleh Suma Han dan Milana, di dalam kamar
tahanan yang berada di atas mereka!
Melihat
betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkerik, dan karena keadaan cuaca dalam
kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong lalu menyalakan lampu minyak sehingga
kamar itu tidak begitu gelap lagi.
"Wah-wah-wah,
tidak mau mengerik lagi!" Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup
dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu
batu-batu yang dicokel keluar dari lantai oleh kakek itu untuk dipakai sebagai
gundu. "Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau keadaan terang, tentu saja
jangkerik itu mengira hari telah siang dan tidak mau berbunyi."
"Memang
sekarang bukan malam, Suhu."
"Benar,
akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkerik itu mengira malam dan
berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"
"Aihh,
Suhu ini aneh-aneh saja! Biarpun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut
begitu mana dia mau mengerik? Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang
itu, biar dia mengerik sekalipun tentu dari dalam lubang."
"Oya,
kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"
"Jangan,
Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar
lubang, dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya."
Kini Kwi Hong mulai tertarik dan ia pun ikut berlutut di dekat suhunya, mereka
memandangi lubang jangkerik seolah-olah hal menangkap jangkerik merupakan
peristiwa yang terpenting di saat itu!
"Oya,
kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau
kukencingi, mana jangkerik itu kuat bertahan terkena kencingku? Tentu akan mati
pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah atas
lubangnya."
Dua
orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat
keluar seekor jangkerik yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera
bersorak girang sambil menggenggam jangkerik itu.
Kwi
Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan
kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar
saja. "Besarkah jangkeriknya, Suhu? Merah atau hitam bulunya?"
Mereka
mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.
"Uhhhh!"
Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.
"Sialan
dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman
tangannya. "Ini namanya jangkerik upo (jangkerik kecil pemakan nasi upo)!
Jangkerik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti Maharya
saja!"
Kakek
itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan.... jangkerik kecil itu ditelannya
bulat-bulat! Kalamenjingnya bergerak dan berbunyi "ceguk-ceguk!"
ketika ia menelan jangkerik itu hidup-hidup!
"Ihhhh!
Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkerik hidup-hidup ditelan?"
Kwi Hong mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang
sebagai guru yang pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa seperti berhadapan
dengan seorang anak kecil yang memerlukan teguran-teguran!
"Apa
kaubilang? Kotor? Wah, menelan jangkerik mentah dan hidup masih mending.
Pernahkah engkau mendengar orang orang sinting menelan cindil (anak tikus)
hidup-hidup? Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkerik daripada cindil?
Jangkerik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik
itu!"
Kwi
Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang
pandai berdebat ini. Pula, kegembiraannya sudah hilang dan kembali dara itu
termenung dengan wajah muram dan dingin.
"Kwi
Hong....!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas,
seolah-olah Kwi Hong mendengar suara pamannya di dekat telinga dan pamannya
seperti berdiri di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.
"Paman....!"
"Kwi
Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara Pendekar
Super Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.
"Paman,
di mana engkau? Suaramu begini dekat....!" Kwi Hong yang merasa bingung
itu tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya
bahwa dia telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau Neraka ini?
"Ha-ha-ha-ha!
Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es
yang berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan
tetapi sudah bertahun-tahun aku kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara
aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang! Ha-ha-ha!"
Karena
kakek itu mengerahkan khi-kang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu
ke kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum
dan maklum bahwa orang yang berada di bawah bersama keponakannya itu memiliki
kepandaian yang amat tinggi.
"Siapakah
Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa penasaran karena
tadi keponakannya menyebut "suhu" kepada orang itu.
"Wah-wah,
jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah seorang
kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di Pulau
Neraka."
Suma
Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua
Thian-liong-pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya
memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang begitu lihai dan mengaku sebagai
keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang pernah
bertemu dan bertanding dengannya, yang amat sakti itu sehingga hampir saja ia
celaka? Akan tetapi, mungkinkah Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu?
Bukankah kakek iblis itu menjadi guru Wan Keng In? Dia merasa bingung dan
hatinya tegang.
"Apakah
Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.
"Ha-ha-ha,
kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suhengku itu? Tidak, Taihiap. Aku
hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sutenya dan aku mendapat kehormatan besar sekali
untuk menjadi guru keponakanmu."
Kwi
Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang
amat salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali
murid Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain? Hal
ini sama saja dengan menghina guru atau pamannya itu! Maka, sebelum pamannya
mengucapkan sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata
dengan pengerahan khi-kang.
"Paman,
harap suka mendengarkan penuturanku!" Cepat dia menuturkan pertemuannya
dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana dia sampai menjadi muridnya. Betapa
gurunya itu biarpun seorang Datuk Pulau Neraka, akan tetapi sikapnya baik
sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena kakek itu hendak membantunya
menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki kanannya.
"Sayang
sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah
pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan di sini, dan sudah tiga pekan
kami berada di sini, agaknya Suhu belum berhasil! Harap Paman suka mengampunkan
aku yang lancang.... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan
amat baik, Paman."
Sunyi
sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jirt tertawa kecil, agaknya merasa
geli mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.
"Bu-tek
Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena sudah terlanjur
dia menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Pertanyaan
apakah yang diajukan oleh Maharya kepadamu? Aku akan membantumu mencarikan
jawabannya."
"Bagus!
Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-taihiap! Tidak saja tidak marah
kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin
membantuku memecahkan teka-teki. Wah, kalau engkau benar-benar bisa membantuku
memecahkan pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai
sahabatku yang paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah : Apakah yang
dinamakan Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."
Suma
Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit
duduk dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana
menjawabnya? Dia sudah banyak membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan
tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah itu SENG yang merupakan anugerah
Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu? Apakah itu TAO
seperti yang dimaksudkan dalam Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang
disebut-sebut oleh pendeta-pendeta Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar?
Melihat
ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut
pula duduk di lantai. Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri
lagi. Dia duduk bersila dan memikirkan pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara
sendiri. Hemm, orang-orang tua ini memang aneh! Apa gunanya? Apa untungnya
kalau mengetahui AKU SEJATI? Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apapun
juga jawabannya, siapa yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau
salah? Adakah manusia yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI
itu? Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada mengapa disebut-sebut? Adanya
disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu dengannya!
Kepalanya
menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu. Jangankan mendapatkan
jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya. Dia tidak mengenal
yang disebut Aku Sejati itu. Mendengar pun baru sekarang! Milana melirik ke
arah ayahnya dan melihat pendekar itu masih duduk termenung penuh kesungguhan,
dia tidak berani mengganggu, bahkan menjauhinya dan untuk melewatkan waktu
Milana meraba-raba dinding untuk memeriksanya dan mencari kemungkinan membobol
dinding itu.
Tiba-tiba
jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada
lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik
sekali dan cepat dia menggosok dan membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di
atas batu dinding. Maka tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di atas batu. Dengan
penuh semangat dan amat tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan
setelah bekerja keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat
sebaris huruf yang cukup jelas. Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan
membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.
"Sesungguhnya
yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
"Apa
kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut.
Milana
juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu
keras-keras, "Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."
Sekali
berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran
huruf-huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula perlahan kemudian
dibacanya lagi agak keras, diulang-ulangi. SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN,
KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA. Belum pernah dia bertemu
dengan kalimat seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya dengan
pertanyaan Maharya! Ia menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat
dalam kitab-kitab yang pernah dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya,
"Hampir sama dengan makna dalam kitab To-tik-keng ayat pertama!"
Milana
yang biarpun sudah banyak membaca namun sejak dahulu memang tidak menaruh minat
terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, bertanya, "Bagaimana bunyinya,
Paman?"
Suma
Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab
To-tik-keng seperti yang diingatnya :
"Jalan
(Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama
yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa
Nama adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan
Nama adalah ibu segala benda.
Tidak
Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada
kalau kita ingin menyatakan keadaannya;
keduanya
berpasangan walau namanya berbeda;
pasangan
yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!"
Tiba-tiba
Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru, "Wah! Kalau
begitu cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta Maharya
itu, Paman!"
Suma
Han melongo. "Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"
"Jawabannya
adalah itu! Tidak ada apa-apa!"
"Ah,
masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu,
diperkuat pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada
persamaan dengan kalimat di dinding itu."
"Justeru
keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus
menghancurkan pertanyaan itu, Paman"
"Alan,
engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah
pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang
dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding dan ayat pertama To-tik-keng sama
sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"
"Sudah
jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu
bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama
sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku
Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu
hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran
yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia
di dunia ini yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"
"Husshh!
Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman
dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada
yang memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu
dengan Aku-nya yang Sejati!"
"Ah,
hal itu tidak mungkin, Paman!"
"Mengapa
tidak mungkin?"
"Misalnya
aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan
siapa pula yang ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu dan yang sejati saling
bertemu, yang palsu maupun yang sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman.
Karena pikiran mengingat akan pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah
mendengar tentang Aku Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati
yang bukan lain juga khayalan pikiran sendiri belaka!"
Suma
Han mengangguk-angguk. "Hemm.... hemm.... biarpun uraianmu itu tidak
berdasarkan filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!" Suma
Han termenung, wajahnya makin lama makin terang, dan beberapa kali dia
mengangguk-angguk dan menggumam. "Engkau hebat, A1an.... engkau membuka
kesadaranku.... engkau membuka mata batinku...."
Milana
tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa
wajah Pendekar Super Sakti itu kini berubah, berseri dan bersinar seolah-olah
kemuraman yang tadinya selalu merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini
terusir bersih.
"Terima
kasih, Alan....!" Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu dan
memeluknya, mencium dahinya. Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak
berbuat tidak sopan, akan tetapi ketika ayahnya itu mencium dahinya, Milana
terisak dan memejamkan matanya. Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan
ayah, akan tetapi perasaan ini ditahannya.
Suma
Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu dan
Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh
kebahagiaan.
"Ahhh,
siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"
"Apa....
apa maksudmu, Paman?"
"Aku
tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban
dari segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang
mulai menyalakan api penerangan itu, Alan. Biarpun tidak kau sengaja, karena engkau
polos, wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah yang menyalakan api
penerangan! Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia
merindukan kebahagiaan, dia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa
mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah
kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan kekal. Orang
bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu. Kalau terpisah,
berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja! Ha-ha-ha!
Dan semua pelajaran itu.... ha-ha-ha, semua itu sungguh menggelikan. Hanya
permainan khayal, lelucon hidup!"
Milana
memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat
dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas
bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa gembira walaupun bingung
juga karena tidak mengerti.
"Bagaimana,
Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"
"Sudah
terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut
dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran.
Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah
khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau
dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"
"Wah,
sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!" Milana berseru sambil
memijit-mijit pelipis kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua
kata-kata ayahnya.
"Aku
sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku, Alan.
Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan
coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walaupun
bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan
kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan,
bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa
kaum budiman di jaman dahulu, memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang
bagaikan kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"
Tiba-tiba
dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin. "Heiii! Pendekar Super Sakti,
Suma-taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang sudah mendapatkan
jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera memberitahukan kepadaku,
jangan menjual mahal!"
Suma
Han tersenyum, lalu menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan
jawablah bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias
palsu!"
Hening
sampai lama sekali di bawah karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin
menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang
dianggapnya aneh itu. Kurang lebih seperempat jam kemudian, barulah terdengar
suaranya.
"Suma-taihiap,
apakah engkau sengaja memperolok-olokkan aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah
jawaban!"
"Mengapa
bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab
dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar
filsafat lain. Akan tetapi jawaban ini berdasarkan kenyataan yang tak dapat
dibantah lagi. Siapa yang dapat membantah kenyataan? Dengarlah baik-baik,
Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah,
jawabannya yang dinamakan Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan
khayalan pikiran alias palsu!"
"Kenapa
begitu?"
"Karena,
yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah
didengar dari seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati
khayalan pikiran. Jadi jelas bahwa yang dinamakan Aku Sejati adalah bayangan
khayalan pikiran, palsu."
"Hemm,
seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya. Bagaimana
kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"
"Bu-tek
Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku
Sejati, bukan mempersoajkan ada atau tidaknya. Ada atau tidak bukanlah
persoalan manusia, bukan persoalan hidup."
"Kau
benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan
kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang
dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma-taihiap, di antara kita sendiri,
apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"
"Bu-tek
Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita
ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan
kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau
tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi
persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa
jantung kita berdenyut, tidak ada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak
akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan
tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah
ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan
pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau
sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin,
dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya
itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran
dari masa lampau dan semua goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi
pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia sehingga timbullah
pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku
dan engkau dan dia dan mereka!"
"Wah-wah-wah!
Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-taihiap! Belum pernah selama
hidupku aku mendengar vrang berbicara seperti itu."
"Aku
pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu,
sekarang mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."
"Kita?"
"Benar,
karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah
sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"
Terdengar
suara ledakan keras ketika Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang lantai
dan lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara
itu meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin.
Ketika
Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali dan baru sekarang dia mengenal
gadis itu setelah gadis itu muncul, bersama pamannya. "Kau.... kau....
Milana....!" teriaknya.
Milana
juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir
lagi? "Kwi Hong....!" katanya dan ia terisak.
"Milana....?
Engkau.... engkau.... Alan.... engkau Milana....?" Suma Han merasa seperti
disambar petir ketika ia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana.
"Aihh, betapa bodohku! Dan ibumu.... Nirahai.... dia.... dia...."
Milana
masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya. "Be.... benar
Ayah....!"
Suma
Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana
dan tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi,
pintu kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super
Sakti itu lenyap bersama Milana.
"Paman....!"
Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak berada
di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan
robohnya para pengawal yang menjaga ketika mereka itu secara berani mati
mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar Super Sakti.
Bu-tek
Siauw-jin menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. "Waaah,
aku kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru
kepadaku. Benar-benar aku merasa malu sekali!" Dia terus menggeleng-geleng
kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum, "tsk-tsk-tsk!" tiada
hentinya.
"Akan
tetapi ilmu yang kauajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.
"Sudahlah,
mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring
sekali, "Haiii! Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini dan terima
jawabankuuuu....!" Bersama Kwi Hong, kakek itu melangkah keluar melalui
daun pintu baja yang sudah ambrol, berjalan seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh
seperti orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.
"Ayah....
harap jangan marah, Ayah.... ampunkan aku, Ayah.... dan jangan marah kepada
Ibu.... hu-hu-huuuk...." Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk
keluar, merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga mereka dapat keluar
dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan.
Suma
Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan
tetapi ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk
Milana, mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan mengelus-elus rambut yang
halus itu.
"Milana....
ah, anakku.... aku seperti buta tidak mengenalmu....! Milana, betapa kejam hati
ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang,
melakukan hal-hal keji dan menggegerkan dunia kang-ouw? Mengapa dia begitu
kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu? Di mana dia? Di
mana Nirahai? Aku harus bertemu dengannya dan menegurnya!"
"Ayah,
jangan memarahi Ibu...."
"Aku
akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan
mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."
"Ayah,
aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah
ingin bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari,
Ibu berada di cabang kami dekat kota raja kalau aku tidak salah duga!"
Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke
markas Thian-liong-pang dekat kota raja yang baru saja didirikan setelah
Thian-liong-pang membantu pemerintah.
Para
anggauta Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar
Super Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka. Mereka yang belum pernah
melihat pendekar ini, memandang dengan mata terbelalak ketika teman-temannya
yang pernah bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa
itulah Pendekar Siluman To-cu Pulau Es yang amat terkenal itu. Andaikata Suma
Han datang seorang diri, biarpun jerih, agaknya mereka masih akan
menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di luar sebelum mereka
melapor kepada ketua mereka. Akan tetapi karena kedatangan pendekar ini bersama
Milana, tidak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang yang berani mencegah
mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam, dua
orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang Chie
Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.
"Siocia,
apa artinya ini....?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun
dari kursinya ketika melihat Suma Han.
"Nona,
tahan dulu....!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan
ragu-ragu dan bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan
terhadap To-cu Pulau Es yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
Milana
membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua. "Harap kedua kakek suka mundur
dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan
urusan Thian-liong-pang. Kakek Bhok, di mana Ibu?"
"Di
dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang memegang tangan kawannya dan memberi
isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan ruangan
itu. Sai-cu Lo-mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah
diberi tahu oleh ketua mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti,
yaitu ketika dia dahulu melamar dara itu untuk cucu keponakannya, Gak Bun Beng.
Dan kini, pendekar itu, suami Ketua Thian-liong-pang, telah datang dan agaknya
rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat membayangkan betapa hebatnya
peristiwa ini, akan tetapi karena maklum bahwa urusan itu adalah urusan
keluarga, maka dia menarik tangan Chie Kang dan berkata,
"Chie-sute,
mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh
kita kalau kita mencampurinya."
"Eh,
apa yang terjadi, Suheng?"
"Sssstt,
diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."
Suma
Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti
Milana yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir
sebuah anak sungai yang airnya mengalir tenang. Tempat ini adalah pemberian
dari Koksu sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan cabang yang terbesar
karena dari sinilah dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu
pemerintah membasmi para pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.
Tiba-tiba
Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk
menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang
duduk di bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi
itu. Seketika kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika ia
melihat wanita berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini
dia mengenal betul bentuk tubuh Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu,
biarpun mereka telah saling berpisah lama sekali.
"Nirahai....!"
Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil ketika dia mencelat ke
dekat wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter.
Wanita
berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri
sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.
"Han
Han....!" Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan
tetapi dia melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa
rahasia telah terbuka oleh Milana. Sekali renggut saja dia telah melepas
kerudungnya dan Suma Han terpesona melihat wajah isterinya itu masih cantik
jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia bertemu dengan Nirahai pada waktu
Milana berusia tujuh-delapan tahun yang lalu, bahkan masih seperti waktu masih
gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka saling berpisah!
"Kau....
kau mau apa datang ke sini....?" Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar
dan kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya
bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya bergerak seperti hendak menahan
tangis.
"Nirahai!"
Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah marah
lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang.
"Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang telah melakukan segala macam
perbuatan keji dan rendah itu?"
Kalau
tadinya Nirahai gemetar dan pucat pandang matanya sayu dan dia seperti
setangkai kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta
kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya menjadi kemerahan,
pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak, dada membusung, dagu
terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara dingin tegas keras, seperti
biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.
"Benar!
Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han? Seperti
telah kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu
bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua
Thian-liong-pang sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di
tempat ini!" Setelah berkata demikian, Nirahai menggerakkan tangan dan
kerudungnya telah menutup mukanya kembali. Dia berdiri dan bertolak pinggang,
sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah mengeluarkan sinar berapi yang
ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.
"Nirahai!
Aku tidak peduli untuk apa kaulakukan itu semua, tidak peduli untuk menantang
aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut itu
engkau telah menyeret anak kita Milana ke dalam pecomberan! Engkau terlalu
mementingkan diri sendiri, terlalu mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak
ingat sama sekali akan kepentingan anak kita!"
"Cukup!"
Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di
sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian
telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han dan dia berkata, "Tidak
perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengoklah tengkukmu sendiri dan
bercerminlah! Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak Milana kulahirkan,
pernahkah engkau datang mencarinya? Pernahkah engkau sebagai ayahnya menimang
anakmu itu satu kali saja? Engkau melupakan anak kita, engkau hidup dengan
angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau Es."
"Sang
Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi, begitu sakti
seperti dewa! Sekarang setelah Pulau Es hancur, engkau pura-pura mencari
anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan aku?"
"Nirahai!
Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biarpun aku sekarang sudah tidak
punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah
ikut bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta, marilah kita melanjutkan sisa
hidup ini untuk mendidik anak kita...."
"Tidak
sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"
"Nirahai,
engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo
membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu
gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik, sekarang juga aku akan menghancurkan dia,
membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!"
Dengan wajah pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han
membalikkan tubuh dan berloncatan pergi.
"Ayaaaahhh....!
Ayaaahh.... tungguuuu....!" Milana menjerit dan meloncat lalu lari
mengejar, tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi
melainkan terhuyung ke belakang dan berpegang pada batang pohon sambil
menangis!
Mendengar
jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi ia tetap berdiri
tegak, tidak menoleh.
"Ayahh....!"
Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu.
"Ayah, mengapa Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak menderita karena Ayah.
Dan lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam tahanan? Mengapa Ayah
menurutkan nafsu hati yang terdorong oleh ingatan? Apakah Ayah kembali hendak
memasuki alam penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan
pikiran sendiri yang palsu? Ayahhh....!"
Lemas
seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia menghela napas panjang dan berkata
lirih, "Anakku.... engkau jauh lebih bersih daripada aku atau ibumu,
aku.... aku hanya manusia lamah.... manusia canggung yang tak tahu lagi apa
yang akan kulakukan.... aku tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga cacad
batiniah, lemah dan canggung. Mungkin ibumu lebih benar, biarkan aku pergi
dulu, Milana...."
"Ayaaahhh....!"
Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.
"Ibuuu....!"
Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung
dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua
orang ibu dan anak ini bertangis-tangisan.
"Ibu,
mengapa kita menjadi begini?"
Nirahai
memeluk puterinya, menahan isaknya. "Entahlah, anakku.... entahlah.... aku
sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan
ayahmu...."
"Ibu
mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."
"Tidak
ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia
sudah menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang
rusak hanya...."
"Hanya
bagaimana, Ibu?"
"Biar
dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau
buka rahasia kerudungku kepadanya."
"Ah,
tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar
tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"
"Di
kamar tahanan gedung Koksu?" Nirahai menghentikan isaknya, memandang
puterinya dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia
diculik oleh ayah kadungnya sendiri, menceritakan betapa baik ayah kandungnya
itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In kalau tidak ada ayahnya yang
menolong, kemudian tentang pengintaiannya ke gedung Koksu.
"Ibu,
mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang diadakan
oleh Koksu itu sebetulya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki
tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela
kerajaan."
"Apa....?"
Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan
kemarahannya mendengar ini. Milana menceritakan sejelasnya akan semua
percakapan yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong Ji Kun.
Kemarahan
Nirahai memuncak. "Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus
dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!" Nirahai meloncat bangun, semua
kelemahan akibat keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan semangatnya
bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang tegas!
Tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya
dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut
memasuki taman, dan dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata,
"Maaf,
Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka
parah dan perlu segera menghadap Pangcu...."
Nirahai
mengangkat tangan ke atas. "Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang
telah terjadi?"
Dengan
suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan
tentang perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan.
"Kami tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main, iblis cilik
Pulau Neraka itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada punggung kami dan
menyuruh kami menghadap Pangcu. Dia.... dia.... mengajukan pinangan kepada Nona
Milana.... kalau dalam waktu sebulan Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara
Nona Milana dan Wan Keng In, dia datang membasmi Thian-liong-pang....!"
"Bresss!
Krraaaakkk!" Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh
pukulan Nirahai yang menjadi marah bukan main.
"Bangsat
cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang?
Bangsat itu harus mampus di tanganku!"
"Harap
Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka
parah," tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata.
Nirahai
meghampiri seorang anggauta Thian-liong-pang yang berlutut di depannya, merobek
bajunya dan dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di punggung orang
itu.
"Apakah
semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.
Tang
Wi Siang mengangguk. "Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati,
kecuali kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami,
demikianlah pesannya."
"Hemm,
si keparat!" Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya
tidak hebat itu, hanya merupakan "cap" merah dari tiga buah jari
tangan. Ia mencoba dengan menyalurkan sin-kang, telapak tangannya ditempelkan
di punggung untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.
"Hemm,
pukulan beracun ini amat aneh dan aku tidak mengenal racun apa yang terkandung
dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."
Sai-cu
Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang
pisau tajam meruncing terbuat daripada perak. Nirahai menggerakkan ujung
pisaunya menggurat tanda tapak jari tangan di punggung orang itu yang menggigit
bibir menahan rasa nyeri agar tidak menjerit.
"Aihh....!"
Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan
pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari
itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan roboh bergulingan, berkelojotan dan
merintih perlahan, kemudian tak bergerak sama sekali, dan ketika Nirahai
memeriksanya, ternyata dia telah mati!
Tentu
saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan
teman-temannya yang terluka. Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya
dan berkata,
"Pangcu,
harap Pangcu bunuh saja saya dengan sekali pukul. Pukulan beracun ini agaknya
hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan saya lebih baik mati daripada
Nona Milana diperisteri olehnya. Daripada menanggung derita sebulan lamanya,
biarlah sekarang saja Pangcu membunuh saya."
Nirahai
mengerutkan alisnya. "Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan
obatnya. Waktu sebulan masih lama...."
"Percuma
saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat menyembuhkan
luka beracun itu!"
Nirahai
dan semua orang cepat menengok. Mereka sama sekali tidak mendengar ada orang
datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik sekali biarpun
usianya sudah tidak muda lagi, kurang lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada
sesuatu yang amat mengerikan pada wanita ini yaitu mukanya. Mukanya itu
berwarna putih seperti kapur!
Entah
mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat wanita ini,
timbul rasa kasihan di dalam hati Milana! Gadis ini, dan semua anggauta
Thian-liong-pang sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, wajah di dalam
kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi pucat sekali ketika dia mengenal wanita
bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai mengenalnya karena wanita itu bukan lain
adalah sumoinya sendiri ketika mereka berdua dahulu menjadi murid Nenek Maya.
Wanita bermuka putih dan amat cantik itu bukan lain adalah Lulu!
"Bibi
yang baik, benarkah Bibi akan dapat menyembuhkan mereka ini?" Milana
bertanya dan mengagumi wajah yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna putih
seperti kapur karena sesungguhnya wanita itu cantik sekali, terutama sekali
matanya yang seperti bintang dan yang membuat dia merasa suka adalah karena
wajah wanita ini mirip-mirip dengan wajah ibunya yang tersembunyi di balik
kerudung.
Wanita
ini mengangguk, mukanya tetap dingin sungguhpun sepasang mata yang indah itu
memandang Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan suka. "Tentu saja aku
dapat menyembuhkan mereka dengan mudah."
Nirahai
menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka? Dan ke mana saja
selama ini perginya?" Dia lalu melangkah maju, merubah suaranya menjadi
suara Ketua Thian-liong-pang yang dingin dan berwibawa,
"Siapakah
engkau? Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka mereka
ini?"
Lulu
menatap muka berkerudung itu, bertemu pandang dan ia kagum melihat sepasang
mata yang begitu bersinar-sinar penuh semangat dan wibawa. Orang ini memang
patut menjadi Ketua Thian-liong-pang yang terkenal pikirnya.
"Aku
merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menyembuhkan mereka
ini, biarpun engkau akan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari manapun juga,
karena obat penawar racun ini hanya terdapat di Pulau Neraka."
"Hemm,
kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?"
Lulu
hanya menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat ini, Nirahai
bergidik. Dahulu Lulu adalah seorang wanita yang periang, jenaka dan ramah,
mengapa sekarang menjadi segunduk es beku, dingin dan mengerikan?
"Pangcu,
Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa
menyembuhkan mereka!"
Terdengar
seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat bangun dan
memandang dengan mata terbelalak. "Engkau.... Ketua Pulau
Neraka....?"
Lulu
mengangguk dan berkata muak, "Bekas.... ketua boneka...."
"Iblis
betina!" Para anggauta Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak
meloncat bangun dan menyerang Lulu, dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan
diikuti pula oleh beberapa orang anak buah Thian-liong-pang lain yang sudah
berada di situ. Tidak kurang dari dua puluh orang menyerbu Lulu, ada yang
memukul, ada yang mencengkeram, ada yang menendang.
Terdengar
suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk ketika tubuh dua
puluh orang itu terlempar ke sana-sini dan terbanting keras. Setelah semua
penyerang roboh terjengkang, kini tampaklah Lulu yang masih berdiri dengan
tenang dan matanya yang indah itu mengerling ke sekelilingnya dengan muka
digerakkan ke kanan kiri. Melihat mereka sudah mencabut senjata dan hendak
bangkit lagi, Lulu mengangkat kedua lengan ke atas dan berkata, suaranya
melengking nyaring dan penuh wibawa karena dikeluarkan dengan pengerahan
khi-kang.
"Tahan....!
Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak buahmu yang lancang
dan bodoh ini? Kalau aku datang dengan iktikad buruk, perlu apa aku bicara
lagi? Tanpa turun tanganpun, dengan membiarkan mereka, anak buahmu yang terluka
itu akan mati semua. Kalau aku berniat jahat, perlu apa aku menawarkan
penyembuhan?"
Nirahai
sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan tetapi dia terlalu
heran mendengar Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau Neraka sehingga dia melongo
dan tidak sempat melarang anak buahnya menyerang Lulu yang akibatnya amat luar
biasa itu, yaitu anak buahnya terjengkang semua dan roboh seperti daun kering
tertiup angin.
Kini
dia cepat membentak, "Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo mundur
semua dan jangan turun tangan kalau tidak ada perintah!" Kemudian Nirahai
menghadapi Lulu dan berkata, suaranya masih dingin, "Jadi engkau adalah
Majikan Pulau Neraka yang tersohor itu? Hemm, sungguh aneh. Akan tetapi, bicara
tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad baikmu. To-cu (Majikan Pulau), kau
sembuhkan dulu anak buahku, barulah kita bicara."
Lulu
mengangguk dan merasa kagum. "Engkau patut menjadi Ketua Thian-liong-pang.
Buka baju kalian bagian punggung dan berlututlah berjajar agar mudah aku
mengobati kalian!"
Mereka
yang terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan anak buahnya,
segera menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang ada tandanya tapak tiga
buah jari tangan merah, kemudian berlutut dan berjajar menjadi barisan punggung
telanjang yang lucu juga. Kalau keadaan tidak demikian menegangkan, tentu
kejadian ini akan menimbulkan ketawa.
Lulu
memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah menggunakan pukulan
yang mengandung racun akar merah seperti yang diduganya, ketika tadi ia melihat
akibat yang menewaskan seorang anggota yang terluka pada waktu Ketua
Thian-liong-pang menorehnya dengan pisau untuk melihat darah dan menyelidiki
racunnya. Dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hijau. Dengan jari
tangan kiri dia memukul punggung itu untuk memunahkan hawa pukulan puteranya, kemudian
tangan kanannya melaburkan obat bubuk dan menekankannya ke atas tanda tapak
jari merah di punggung. Setelah selesai mengobati semua orang, dia berkata,
"Luka
dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan, kemudian dalam
waktu sehari akan kering seperti bekas luka yang merobek kulit. Kalian sudah
sembuh, hanya sayang seorang di antara kalian tak tertolong." Ia memandang
mayat yang masih menggeletak di situ.
Nirahai
menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya. "Bagaimana
rasanya sebelah dalam tubuhmu?"
"Sesak
napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."
Nirahai
lalu menjura kepada Lulu dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan
To-cu, silakan To-cu masuk ke dalam di mana kita dapat bicara."
Lulu
tadi mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan puteranya yang
melamar puteri Ketua Thian-liong-pang, maka dia mengangguk karena dia pun ingin
bicara akan hal itu. Tanpa bicara, kedua orang wanita aneh itu berjalan menuju
ke dalam gedung, hanya diiringkan oleh Milana karena Nirahai memberi isyarat
dengan gerak tangan kepada Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain untuk tidak
mengganggu mereka.
Tiga
orang wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak
mereka saling pandang, kemudian Nirahai berkata,
"Sungguh
tidak pernah kusangka-sangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan menerima
kunjungan To-cu Pulau Neraka seperti keadaan ini!"
Lulu
menarik napas panjang. "Harap jangan menyebut To-cu kepadaku karena
sekarang Pulau Neraka sudah tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan
yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai anak buah...."
"Akan
tetapi, anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!" Milana
berkata, membantah.
Kembali
Lulu menarik napas panjang. "Itulah yang menyusahkan hatiku. Puteraku
itulah.... ahhh, Pangcu. Justeru karena puteraku itulah maka aku sekarang
berhadapan denganmu, dan marilah kita bicara sebagai dua orang ibu membicarakan
masa depan kedua orang anaknya!"
Diam-diam
Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu yang dahulu amat
riang gembira dan jenaka itu. Dan kini putera Lulu ingin berjodoh dengan
puterinya! Kalau saja keadaan ternyata lain, tidak seperti sekarang ini.
Alangkah akan bahagianya peristiwa ini! Akan tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau
Neraka, sudah berubah seperti iblis betina, dan puteranya itu, demikian kejam
dan kurang ajarnya!
"Maksudmu
bagaimana, To-cu?" tanya Nirahai.
"Pangcu,
terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk mengobati luka
anak buahmu. Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah jalan aku melihat
anak buahmu yang terluka oleh pukulan Jari Tangan Merah, sebuah pukulan dari
Pulau Neraka. Aku terkejut dan diam-diam aku mengikuti mereka. Setelah mereka
masuk ke sini menghadapmu, aku mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah
aku tahu akan segala hal yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah
Thian-liong-pang, bahkan baru aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku,
dan terutama sekali, baru aku tahu bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu dan
mengajukan pinangan kepadamu dengan cara itu!"
"Cara
yang amat bagus!" Nirahai mencela.
Lulu
menarik napas panjang. "Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal itu,
Pangcu. Bukankah anak buahmu telah kusembuhkan? Hal itu berarti penebusan
kesalahan puteraku. Yang penting sekarang, setelah aku mengetahui bahwa
puteraku jatuh cinta kepada puterimu, tentu dia inilah puterimu dan aku tidak
heran mengapa puteraku jatuh cinta kepada dara yang cantik jelita ini, maka aku
mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan lamaran secara resmi."
"Tidak!
Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!"
Nirahai mengepal tangannya membentuk tinju.
"Sabarlah,
Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak menjalaninya,
bukan urusan kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi penonton. Yang
terpenting adalah anak-anak itu sendiri. Puteraku sudah jelas mencinta
puterimu, maka setelah kini puterimu hadir pula, sebaiknya kita mendengar
pendapatnya akan pinangan ini. Bukankah sebaiknya begitu?"
Nirahai
terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya sudah matang dan
sikapnya begitu tenang! Dia merasa kalah bicara, maka sambil menoleh kepada
Milana dia bertanya,
"Hemmm,
coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu? Maukah
kau menerima pinangannya?"
Wajah
Milana seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan ia
bangkit berdiri. "Aku tidak sudi! Aku.... aku benci kepadanya!"
Setelah berkata demikian, Milana membalikkan tubuh dan meloncat pergi dan
meninggalkan dua orang wanita itu.
Lulu
memejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu membayangkan
kedukaan, dan kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di hati Nirahai terhadap
bekas sumoinya itu.
"To-cu,
kaumaafkan sikap anakku."
Lulu
membuka matanya, memandang heran, "Betapa anehnya! Aku mendengar bahwa
Ketua Thian-liong-pang adalah seorang iblis betina yang kejam dan tidak
mengenal perikemanusiaan. Sekarang, anakku telah melakukan penghinaan kepadamu,
dan anakmu baru bersikap sewajarnya seperti itu saja engkau mintakan maaf.
Pangcu, apakah engkau ini seorang dewi berkedok iblis, ataukah seorang iblis
bertopeng dewi? Aku memuji dan kagum kepada puterimu. Memang seharusnya
begitulah sikap orang menghadapi urusan cinta. Kalau cinta mengaku cinta, kalau
benci mengaku benci, tidak boleh pura-pura yang akan mengakibatkan kehancuran
dan kesengsaraan seperti yang telah kualami!"
Jantung
Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik muka seperti
topeng berwarna putih itu? Apakah yang dialami oleh Lulu selama berpisah
dengannya? Dahulu dia mendengar dari suaminya bahwa Lulu telah menikah dengan
Wan Sin Kiat dan tentu Wan Keng In adalah putera Wan Sin Kiat. Apakah kini Wan
Sin Kiat juga ikut menjadi pimpinan di Pulau Neraka?
"To-cu,
marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari Thian-liong-pang
dan engkau To-cu dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara seperti dua orang
wanita. Engkau tadi bilang bahwa menghadapi urusan cinta tidak boleh
berpura-pura karena akan mengakibatkan kesengsaraan seperti yang kaualami.
Maukah engkau menceritakan kepadaku?"
Lulu
memandang sepasang mata di balik kerudung itu. "Andaikata engkau membuka
kerudungmu dan aku melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu aku lebih baik
mati daripada menceritakan isi hatiku. Akan tetapi, berhadapan denganmu aku
seperti berhadapan dengan bukan manusia, dan engkau malah ibu dari gadis yang
dicinta puteraku! Hemm, kau dengarlah rahasia yang selama ini hanya kusimpan di
dalam hatiku saja. Aku membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan
akan membawa akibat mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan
juga mendatangkan kesengsaraan. Bukan hanya akibat yang menimpa diri sendiri
saja, akan tetapi juga menimpa kepada orang lain, kepada keturunan! Aku sendiri
mengalaminya. Aku mencinta seseorang, semenjak remaja puteri aku cinta
kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan tetapi kami berpura-pura, malu untuk
mengaku, sehingga aku dipaksa menikah dengan pria lain yang kusangka dapat
kucinta sebagai pengganti dia. Sampai aku mempunyai seorang putera. Akan tetapi
sia-sia belaka, aku tidak bisa memindahkan cinta kasih, akhirnya aku
meninggalkan suamiku dan suamiku membunuh diri secara tidak langsung dan
halus.... dan aku membawa anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling
membuat hatiku menyesal, aku telah merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi
seperti itu....! Keng In.... akulah yang membuat engkau rusak.... kalau aku
tidak menuruti hati yang dirundung kerinduan, dimabuk cinta kasih, dan aku rela
berkurban, hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang telah menjadi
seorang pendekar yang gagah perkasa dan terhormat....!"
Lulu
menutup muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya yang
tarpancar dari kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak melihat
betapa mata di balik kerudung itu memancarkan pandang mata yang aneh sekali.
Dia tidak tahu betapa jantung Nirahai seperti diremas-remas mendengar
penuturannya itu, biarpun dia tidak menyebut nama karena Nirahai sudah dapat
menduga siapakah pria yang dicinta oleh Lulu itu! Suma Han. Tentu saja!
Setelah
melihat Lulu dapat menguasai dirinya, Nirahai bertanya dengan suara biasa,
namun dengan penekanan hatinya yang berdebar tegar.
"Lalu
sekarang bagaimana dengan pria yang kaucinta itu?"
"Dia....
diapun seperti aku, dia.... dia menikah dengan wanita lain!"
"Hemm,
dan dia masih mencintaimu?"
"Tentu
saja, biarpun dia juga mengaku bahwa dia mencinta isterinya itu."
Jantung
Nirahai berdebar makin kencang. Jadi Suma Han telah bertemu dengan Lulu dan
mengaku bahwa suaminya itu mencintanya?
"Dan
engkau?"
"Aku?
Aku sekarang.... benci kepadanya! Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua,
yaitu menjadi isterinya atau menjadi musuhnya sampai seorang di antara kami
mati!" Lulu menggenggam ujung meja saking gemasnya dan terdengar suara
keras. Ujung meja itu hancur dan hangus!
"Kresss!"
Terdengar suara keras lain dan ujung meja di depan Nirahai juga hancur menjadi
tepung diremas Ketua Thian-liong-pang ini.
Dua
orang itu saling pandang. Nirahai bangkit berdiri. "To-cu, sekali lagi
terima kasih atas pengobatanmu terhadap anak buahku. Dan sudah jelas bahwa
pinangan anakmu itu kami tolak. Kalau engkau hendak menggunakan kekerasan
seperti yang dikatakan anakmu, marilah aku siap melayanimu."
"Pangcu,
biarpun aku pernah menjadi ketua boneka dari Pulau Neraka, namun dalam urusan
cinta kasih, aku tidak mau bersikap keras. Bahkan aku akan menentang tindakan
anakku kalau dia berkeras."
"Sesukamulah.
Akan tetapi katakan kepadanya, kalau dalam sebulan dia tidak datang memenuhi
ancamannya hendak membasmi Thian-liong-pang, aku sendiri yang akan mencari dia
untuk memberi hajaran!"
"Hemm,
kalau sampai terjadi demikian, sebagai ibu kandungnya sudah pasti aku akan
membelanya!"
“Hemmm,
kita sama lihat saja nanti!”
“Pangcu,
kuharap saja tidak akan terjadi demikian karena engkau tentu akan mati di
tanganku!”
“Itupun
sama kita buktikan saja nanti!”
“Selamat
tinggal!”
“Selamat
berpisah!”
Tubuh
Lulu berkelebat dan lenyap dari situ, menerobos jendela ruangan itu dan berloncatan
dengan cepat sekali meninggalkan markas Thian‑liong‑pang. Perpisahan yang aneh
antara dua orang wanita yang aneh! Nirahai duduk termenung. Terlalu banyak
peristiwa menimpanya pada hari itu. Pertemuan dengan suaminya. Disusul
munculnya Lulu dengan ceritanya yang hebat! Berita yang dibawa Milana tentang
niat jahat koksu, untuk membunuhnya! Terlalu banyak peristiwa hebat yang
menghimpit perasaannya, membuat wanita berkerudung yang ditakuti lawan atau
kawan ini termenung sambil menunjang dagu dengan tangannya.
***
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita melihat dia,
pemuda yang berwatak lembut itu, mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban
pertandingan besar di daerah tandus di puncak Ciung‑lai‑san di Se‑cuan, di mana
diadakan pertemuan oleh Thian‑liong‑pang. Setelah selesai mengubur semua
jenazah yang terlantar itu, Bun Beng menunggang kudanya kembali dan
menjalankan kudanya perlahan menuju ke timur. Dia telah berhasil merampas
kembali Hok‑mo‑kiam, bahkan berhasil membunuh dua orang di antara musuh‑musuhnya,
yaitu Tan‑siucai dan terutama sekali Thai Li Lama. Tadinya dia tidak bermaksud
membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap Thai Li Lama karena dia
tidak mempunyai dendam pribadi dengan Tan Ki. Adapun Thai Li Lama merupakan
musuhnya karena Lama ini termasuk mereka yang sudah membunuh gurunya, yaitu
Kakek Siauw Lam Hwesio.
Akan
tetapi musuh‑musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai
daripada Thai Li Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang
tentu lebih lihai lagi, Im‑kan Seng-jin Bhong Ji Kun kabarnya memiliki ilmu
kepandaian yang lebih hebat. Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik Bun
Beng kalau teringat akan kakek ini, yang pernah ia saksikan ketika kakek itu
mengadu ilmu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Baru bertemu dan melawan Thai
Li Lama saja karena kurang hati‑hati, dia terluka. Dia harus giat melatih diri.
Mematangkan ilmu‑ilmunya, terutama yang dia latih di dalam guha rahasia di
bawah markas Thian‑liong‑pang di lembah Huang‑ho itu, sebelum dia menghadapi
musuh‑musuhnya yang sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super Sakti untuk
menyerahkan Hok‑mo‑kiam, karena pendekar itulah yang berhak atas pedang buatan
Kakek Nayakavhira ini. Di samping itu, dia harus mencari pemuda Pulau Neraka
yang telah merampas Lam-mo‑kiam!
Bun
Beng melakukan perjalanan perlahan. Dia tidak tergesa‑gesa dan di sepanjang
jalan dia terus melatih ilmunya. Ketika ia menggunakan Hok‑mo-kiam untuk
melatih ilmu Pedang Lo-thian Kiam‑sut yang amat dahsyat itu, dia menjadi girang
karena mendapat kenyataan betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat pula
beratnya sehingga pedang dan tangannya seolah‑olah telah melekat dan bersambung
menjadi satu! Barulah hatinya puas setelah dia berhasil memainkan seluruh
jurus Lo‑thian Kiam‑sut tanpa berhenti. Padahal ilmu pedang ciptaan manusia
sakti Koai Lojin itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga Ketua Thian‑liong‑pang
sendiri pun tidak mampu memainkan seluruhnya.
Setelah
melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan
melepas binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, tibalah Bun Beng di
kaki pegunungan Lu-liang‑san, di tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia
selatan. Kota raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia berjalan seenaknya,
tiba‑tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir
dan menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan baju karena tanah yang kering
itu menghamburkan debu tebal ketika barisan kuda itu berlari datang.
Pasukan
atau rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa
heran karena rombongan ini terdiri dari bermacam‑macam bangsa yang dapat
dilihat dari bentuk pakaian mereka. Ada orang Mongol, ada pula orang Tibet dan
banyak di antara mereka adalah orang‑orang Han. Akan tetapi melihat cara mereka
menunggang kuda dan duduk dengan tegak, melihat senjata‑senjata pedang yang
tergantung di punggung, melihat gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa
rombongan itu terdiri dari orang‑orang yang berkepandaian tinggi.
Setelah
rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin,
Bun Beng baru menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan
perjalanan menuju ke barat, ke mana rombongan tadi membalapkan kuda. Di dalam
hati timbul kecurigaan dan keheranan. Dia merasa aneh dan tertarik sekali.
Orang‑orang Mongol, Tibet, dan orang‑orang Han menjadi satu dalam sebuah
rombongan? Aneh sekali! Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu
menjadi bangsa yang paling “tinggi” karena bangsa inilah yang berkuasa? Ada
terjadi apakah?
Karena
hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu
lari cepat untuk mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan
mendapat keterangan bahwa baru saja rombongan itu lewat dan mereka tidak
berhenti di dusun itu. Bun Beng membeli makanan, kemudian malam itu juga
melanjutkan perjalanan karena merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam,
dan dari dusun itu ke timur merupakan hutan lebat, mengapa mereka itu tidak
berhenti di dalam dusun?
Ketika
dia melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun
dan beristirahat di tempat sunyi itu, membuat api unggun dan makan dari
perbekalan mereka. Kiranya mereka itu hendak menjauhkan diri dari tempat ramai,
maka mereka memilih tempat sunyi itu untuk melewatkan malam daripada di sebuah
dusun.
Bun
Beng terus membayangi rombongan ini dan dari percakapan‑percakapan mereka, dia
mendengar bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip‑hong yang berada di perbatasan
Mongolia, di sebuah utara kota raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan
Pangeran Jeng Han dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki Ong dari istana, dia makin
tertarik, apalagi ketika mendengar percakapan mereka itu membayangkan sebuah
persekutuan antara Tibet, Mongol, pejuang-pejuang Han, dan dari dalam istana
sendiri! Tentu merupakan persekutuan gelap, pikirnya.
Ketika
rombongan itu tiba dipersimpangan jalan, Bun Beng merasa ragu-ragu. Kalau ke
selatan, dia akan sampai di kota raja, tempat yang ditujunya semula. Akan
tetapi, rombongan itu besuk pagi tentu akan membelok ke kiri, ke utara. Untuk
apa dia mengikuti mereka ini? Urusan persekutuan itu tidak menarik hatinya
karena dia tidak mempunyai sangkut‑paut dengan itu. Akan tetapi, malam itu,
ketika ia mengambil keputusan untuk melakukan pengintaian yang terakhir
kalinya, dia mendengar percakapan yang benar‑benar mengejutkan dan menarik
perhatiannya.
Dari
percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh
Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, merencanakan untuk
membunuh kaisar dan untuk merampas kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu
merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang gagah yang dipusatkan
di dekat Cip-hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat “api abadi”,
yaitu daerah setengah tandus di mana terdapat api yang bernyala‑nyala dari
tanah dan tak pernah padam selamanya. Tanah di situ sebetulnya mengandung
sumber minyak yang tergali, dan minyak dari tanah itulah yang membuat api tak
pernah padam.
Karena
Bun Beng merasa benci kepada Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka biarpun
dia tidak berhasrat menyelamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus
membayangi rombongan itu karena dia ingin menggagalkan persekutuan yang
dipimpin oleh Koksu musuh besarnya itu. Lebih‑lebih ketika dia mendengar bahwa
pasukan orang‑orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip‑hong itu
merupakan pasukan khusus untuk menghadapi Thian‑liong‑pang! Hemm, mereka juga
memusuhi Thian-liong‑pang dan pasukan ini khusus dipersiapkan untuk melawan
orang‑orang Thian‑liong‑pang! Tentu saja Bun Beng menjadi makin tertarik untuk
menentang pasukan itu. Ketua Thian‑liong‑pang adalah isteri Pendekar Super
Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela Thian‑liong‑pang, atau
setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati‑matian menyelamatkannya dari
bahaya maut. Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan budi kebaikan dara
ini, selama hidupnya dia tidak akan dapat melupakan dara itu bukan hanya cantik
jelitanya, bukan hanya karena dia puteri Pendekar Super Sakti yang dikaguminya,
melainkan karena.... dia tidak mungkin dapat melupakan pribadi dara itu! Dia
sendiri sampai menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok asmara!
Selama
membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan
berkuda itu tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah tempat yang sunyi, merupakan
bangunan‑bangunan darurat di luar kota yang jauh dari masyarakat ramai,
dikurung pagar yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar.
Bun
Beng menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah
tinggal puluhan orang sehingga dengan para pendatang itu jumlah mereka
mendekati seratus orang yang kesemuanya kelihatan berkepandaian tinggi!
Setelah malam tiba dan cuaca mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mendekati
pagar, siap untuk meloncat dan menyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba‑tiba dia
berjongkok dalam gelap ketika melihat berkelebatnya bayangan meloncati pagar.
Gerakan orang itu cukup ringan dan lincah dan sekelebatan Bun Beng melihat
bahwa orang itu adalah seorang laki‑laki bertubuh kurus jangkung, berusia empat
puluhan tahun dan tangan kanannya memegang sebatang golok besar.
Bun
Beng tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu
tentulah bukan anggota rombongan yang tinggal di situ, karena gerakan dan
sikapnya seperti seorang pencuri. Diam-diam Bun Beng meloncat ke atas pagar
dan cepat melayang turun ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi orang
bergolok itu.
Benar
saja dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perlahan‑lahan
membuka genteng! Akan tetapi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas
wuwungan menimbulkan sedikit suara, tiba‑tiba Bun Beng melihat bayangan‑bayangan
orang meloncat naik ke atas genteng dengan berturut‑turut. Jumlah mereka
delapan orang dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat
bangun dan mengamuk. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah. Biarpun
gerakan golok pencuri itu cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan belasan
orang yang rata‑rata memiliki ilmu silat yang cukup kuat akhirnya dia roboh,
goloknya terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian diringkus, diikat kaki dan
tangannya dan dibawa masuk ke dalam pondok.
Bun
Beng tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih
perlu melakukan penyelidikan keadaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup
luas dan sedikitnya ada dua puluh buah pondok darurat yang dibangun secara
sederhana akan tetapi cukup kuat. Di sudut terdapat sebuah bangunan besar dan
agaknya malam itu mereka berpesta, diseling suara ketawa‑ketawa laki‑laki dan
perempuan. Hemm, kiranya di tempat itu disediakan pula wanita‑wanita untuk
menghibur pasukan khusus itu, pikir Bun Beng. Dia memutari bangunan-bangunan
itu dan memeriksa ke pekarangan belakang. Di tempat inilah tampak beberapa
lidah api bernyala‑nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari situ ia melihat
sebuah sumur. Ketika ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya mencium bau keras,
bau minyak! Hmm, bukan air yang berada di sumur itu agaknya, melainkan
minyak! Benar‑benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat menjauhi sumur
karena menjenguk sebentar saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap minyak
itu beracun agaknya!
Tiba‑tiba
terdengar suara ribut‑ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tempat gelap
dan melihat empat orang menyeret pencuri tadi yang sudah dibelenggu kaki
tangannya. Melihat keadaan pencuri itu tentu dia telah disiksa karena matanya
bengkak‑bengkak dan dia tidak mengeluarkan suara apa‑apa kecuali merintih
perlahan. Empat orang diikuti oleh belasan orang yang tertawa‑tawa geli, seolah‑olah
mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang menarik hati.
Dengan
hati ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri
sial itu di atas sumur, kepalanya di bawah kakinya di atas, kemudian
mengereknya turun sehingga tampak hanya kakinya di atas permukaan bibir sumur,
terikat pada tali timba sumur. Kaki itu meronta‑ronta dan talinya bergoyang‑goyang
sedangkan belasan orang yang mengelilingi sumur itu tertawa bergelak‑gelak,
kemudian mereka meninggalkan sumur itu sambil tertawa-tawa, kembali ke dalam
pondok, dan ada pula yang agaknya hendak menuju ke pondok di sudut di mana
terdengar suara wanita bernyanyi‑nyanyi dan orang‑orang tertawa‑tawa.
Bun
Beng tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu,
sehingga tidak perlu dia meninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk
membela seorang pencuri yang tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah orang‑orang
itu pergi Bun Beng cepat meloncat mendekati sumur. Malam telah hampir lewat dan
sinar kemerahan telah muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat
keluar dari tempat itu, maka Bun Beng segera menyambar tali timba dan menarik
keluar pencuri sial itu. Orang itu napasnya sudah empas‑empis. Bun Beng
mengangkatnya keluar dan merebahkannya ke atas tanah, merenggut putus belenggu
kaki tangannya. Orang itu membuka matanya yang bengkak‑bengkak, tadinya
mengira bahwa dia akan disiksa lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda
berjongkok di dekatnya dan pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya,
mulutnya bergerak‑gerak lirih,
“Persekutuan....
hendak membunuh Kaisar.... membunuh Pangcu....”
Bun
Beng mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang
mata‑mata agaknya!
“Engkau
anggota perkumpulan apa?”
“Mereka....
menyiksaku.... aku tidak pernah mengaku.... Thian.... Pangcu akan dibunuh....
auugghh....” Orang itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat
menduga bahwa orang ini tentulah seorang anggota Thian‑liong-pang, seorang
mata‑mata Thian‑liong‑pang yang dapat mencium rahasia persekutuan itu, akan
tetapi tertangkap dan terbunuh.
Karena
tidak dapat berbuat apa‑apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun
Beng lalu meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan
tetapi dia terlambat karena pada saat itu, terdengar suara orang dan tampak
belasan orang keluar dan menuju ke sumur itu sambil membawa ember-ember besar.
Bun
Beng tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengetahui
apa yang hendak dilakukan orang-orang itu dengan ember‑ember mereka? Dia
melihat ke sekelilingnya dan melihat gentong‑gentong besar berada tak jauh dari
sumur. Cepat ia lari menghampiri dan memasuki sebuah di antara gentong-gentong
kosong itu, bersembunyi di situ dan menggunakan jari tangannya menusuk gentong
sehingga berlubang dan ia mengintai dari lubang itu keluar!
“Haiii!
Kenapa dia bisa terlepas....?”
“Wah,
belenggunya putus semua....”
“Akan
tetapi dia sudah mampus!”
“Hemm,
orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia
orang terkenal dari Thian-liong‑pang, sayang dia berani menyelidiki kita
sehingga mati konyol.”
“Dia
tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan
belenggu kaki tangannya dan mampus.”
Seorang
di antara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki‑laki bertubuh
raksasa, bertelanjang dada dan kepalanya gundul akan tetapi mukanya penuh
cambang bauk. Di sebelahnya berjalan seorang tinggi kurus yang mukanya pucat
kuning, namun sikapnya menunjukkan bahwa dialah pemimpin di situ sedangkan
raksasa itu adalah pembantu utamanya.
“Kubur
dia di sudut kosong sana!” Terdengar laki‑laki tua kurus itu berkata.
Dua
orang menggusur mayat itu, kemudian laki‑laki muka pucat itu berkata lagi,
“Hari
ini kita menimba sepuluh gentong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran
Jenghan yang harus dikirim besok. Kemudian semua harus bersiap, karena kita
hanya menanti datangnya berita dari Koksu saja untuk segera bergerak ke
selatan secara menggelap.”
Setelah
kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja menimba minyak dari
dalam sumur dan mengisi gentong‑gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun Beng
merasa lega karena dia berada di dalam gentong yang ke enam belas sehingga
tidak khawatir akan disiram minyak! Diam-diam dia memperhatikan orang‑orang
yang menimba minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus meninggalkan
persekutuan ini atau setidaknya mengacaukan tempat itu? Untuk melawan orang
banyak itu, kurang lebih seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi
apa gunanya? Orang‑orang itu kelihatan pandai, apalagi Si Kurus muka pucat dan
Si Raksasa itu, tentu bukan orang‑orang sembarangan. Kalau dia sekarang
meloncat ke luar dan melarikan diri, tentu dia bisa lolos dari tempat itu, akan
tetapi dia ingin sekali melihat kedatangan utusan Koksu dan mendengar
perkembangan selanjutnya dan rombongan orang kuat yang sengaja dikumpulkan di
tempat itu. Selain menjadi tempat memusatkan calon pasukan istimewa untuk
melawan Thian‑liong‑pang, juga agaknya mereka itu sekalian berjaga, menjaga
sumber minyak!
Untung
bahwa Bun Beng tidak menunggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua
tiga jam, sepuluh buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian
mereka semua pergi untuk membereskan tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik
kukacau mereka sekarang, kemudian melihat perkembangan lebih jauh, pikir Bun
Beng. Dia belum begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi
dia tahu bahwa api bernyala kalau bertemu minyak. Melihat di sekitar sumur itu
sudah sunyi, Bun Beng meloncat keluar dari gentong, mengambil sebatang kayu
kering mencelupkan kayu itu ke dalam gentong yang penuh minyak, kemudian dengan
pedang Hok‑mo‑kiam dia memukul batu di bibir sumur sehingga berpijarlah bunga
api yang menyambar kayu itu. Kayu itu bernyala keras seperti yang diduga oleh
Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu melemparkan kayu bernyala itu ke dalam
sumur!
“Heiii!
Tangkap pengacau!” Tiba‑tiba terdengar teriakan keras dan seorang berpakaian
Han menyerang Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang itu cukup
tangkas karena dia meloncat dari jarak empat meter, sambil meloncat pedangnya menusuk
ke arah punggung Bun Beng dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga besar.
Pada
saat itu, Bun Beng sedang berdiri tegak, pedang Hok‑mo‑kiam masih terhunus dan
berada di tangan kanan, agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia
sedang memandang ke arah sumur dengan terbelalak menyaksikan betapa ada suara
gemuruh keluar dari sumur itu disusul lidah‑lidah api dan asap hitam yang
mengantar bau yang menyesakkan napas. Akan tetapi, begitu ujung pedang lawan
hampir menyentuh punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang
dan tubuh lawan lewat dan tiba‑tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya.
Terdengar teriakan mengerikan ketika tubuh laki‑laki yang terlanjur meloncat
dan kini ditambah dorongan Bun Beng itu meluncur masuk ke dalam sumur yang
bernyala‑nyala!
Bun
Beng yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang terbelalak! Tak
disangkanya sama sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadinya hal
mengerikan itu! Dia tidak bermaksud untuk melempar penyerangnya itu ke dalam
sumur untuk dibakar hidup-hidup!
Teriakan
yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan
tampaklah berbondong‑bondong penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng
tidak mau melarikan diri seperti pencuri karena biarpun dia dikepung, kalau hendak
meloloskan diri pun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia menyimpan
kembali pedangnya dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu.
Melihat
sikap Bun Beng, orang‑orang itu menjadi ragu‑ragu untuk menyerang. Apalagi karena
mereka tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti sampai
orang kurus bermuka pucat itu muncul bersama pembantu utamanya, Si Gundul.
Orang kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia
berasal dari utara.
“Siapakah
engkau?” Orang itu bertanya sambil memandang Bun Beng dengan penuh perhatian.
“Namaku
Gak Bun Beng,” jawab Bun Beng sederhana.
“Mau
apa engkau datang ke sini? Apakah engkau juga seorang mata‑mata Thian‑liong‑pang?”
Bun
Beng menggeleng kepalanya. “Aku tidak disuruh oleh siapapun juga, juga tidak
mewakili siapa‑siapa. Aku kebetulan lewat dan ingin tahu apa yang berada di
dalam tempat yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi orang‑orang yang mengadakan
persekutuan!”
Semua
orang memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si Tua
kurus itu mengangkat tangan menyuruh anak buahnya diam. “Kulihat engkau masih
amat muda akan tetapi sikapmu tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya
engkau memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali di sini kurang hiburan
bagi anak buahku. Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau
diberi hiburan pertandingan silat yang sungguh‑sungguh tentu akan menimbulkan
kegembiraan.”
“Bagus!
Bagus....! Serahkan dia kepadaku, biar kupatahkan batang lehernya!”
“Tidak,
kepadaku saja! Aku ingin merobek mulut yang sombong itu!”
“Biarkan
aku menghancurkan kepalanya!”
Si
Kurus pucat itu kembali mengangkat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu
berkata gagah.
“Kita
adalah orang‑orang gagah di dunia kang‑ouw, mengapa bersikap seganas itu?
Tidak, pertandingan ini akan diadakan satu lawan satu dengan adil. Akan tetapi
aku ingin sekali tahu, siapakah yang tadi mengeluarkan suara menjerit?”
Tidak
ada seorang pun yang tahu. “Kami sendiri pun tidak tahu. Suara itu terdengar
dari sini, akan tetapi ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang
diri. Jangan-jangan setan dari mata‑mata itu yang....”
“Hemmm,
tak patut orang gagah percaya akan tahyul!” Si Kurus membentak. “Tentu ada yang
berteriak tadi, terdengarnya seperti teriakan ketakutan. Eh, orang muda she
Gak, apakah engkau tahu siapa yang berteriak tadi?”
Bun
Beng mengangguk. “Aku tahu, sebab yang menjerit tadi adalah seorang anak
buahmu yang menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini.”
Jawaban
ini kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah
membakar sumur, masih mengaku seenaknya dengan begitu tenang!
“Di
mana dia sekarang?” Si Kurus bertanya lagi.
“Di
dalam sana...!” Bun Beng menuding ke arah sumur yang masih bernyala itu.
Kembali
suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat
tangannya.
“Apakah
engkau melemparnya ke dalam sumur?” tanyanya kepada Bun Beng. Suaranya sudah
kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.
“Sama
sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk
membunuhku sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam sumur.”
Semua
orang terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan mereka yang
terbakar hidup‑hidup. Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang.
“Gak
Bun Beng, kesalahanmu bertumpuk‑tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat
terlarang ini tanpa ijin, seperti maling. Ke dua engkau berani membakar sumur
yang kami jaga ini. Ke tiga engkau telah membunuh seorang di antara anak
buahku. Menurut patut, engkau harus dibunuh sekarang juga. Akan tetapi,
melihat engkau masih begini muda dan mengingat bahwa kami adalah orang-orang
gagah yang tidak mau membunuh begitu saja....”
“Kecuali
ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata‑mata Thian‑liong-pang itu, ya?”
Bun Beng memotong.
“Hemmm,
itu lain lagi. Dia adalah anggauta Thian‑liong-pang, musuh kami. Sedangkan
engkau hanya seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Engkau boleh
membela nyawamu dalam pertandingan satu lawan satu, tanpa ada pengeroyokan.”
“Hemmm,
kalau aku menang aku boleh pergi dengan bebas?”
“Kalau
sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!” kata Si Kurus dan
terdengarlah suara orang‑orang tertawa bergelak. Mereka itu tentu saja
memandang rendah kepada Bun Beng. Sebagian di antara mereka adalah orang-orang
kang‑ouw dan liok‑lim, dan mereka belum pernah bertemu atau mendengar nama Gak
Bun Beng di dunia persilatan.
“Siapa
di antara kalian yang berani melawan bocah ini?” Pemimpin kurus itu berseru.
Pertanyaan
itu disambut suara sorak-sorai karena hampir semua orang yang berada di situ
mengangkat tangan dan mereka seolah‑olah hendak berebut menandingi pemuda itu,
bukan hanya untuk membalaskan kematian teman mereka, juga ini merupakan
kesempatan bagi mereka untuk memamerkan kepandaian!
“Locianpwe,
mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah‑susah? Agar urusan cepat selesai,
suruh pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang,
berarti mereka yang berteriak‑teriak itu tentu takkan ada yang berani maju
lagi, kalau aku kalah, yah, terserah!”
Si
Muka pucat ini agaknya senang sekali disebut “locianpwe” oleh Bun Beng, maka
kembali dia mengangkat tangan menyuruh orang‑orangnya diam, kemudian berkata,
“Ucapan
bocah ini benar juga, cukup masuk akal dan bisa diterima. Akan tetapi, sungguh
membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol kalau dia harus maju sendiri
melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah seorang
ahli silat dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang ke dua
sesudah aku di tempat ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta, dan
memang ada benarnya juga agar tidak membuang waktu, biarlah aku menyuruh orang
ke tiga maju melayanimu beberapa jurus. Agar kauketahui sebelumnya bahwa pertandingan
ini merupakan pibu (adu kepandaian) sehingga terluka atau mati bukan merupakan
persoalan yang harus disesalkan.”
“Aku
mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ke tiga di tempat seperti ini
cukup terhormat!”
“Ha‑ha,
bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bukan anak
buahku. He, Thai‑lek‑gu (Kerbau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka
mewakili aku melayani Gak Bun Beng ini!” kata Si Kepala asrama yang kurus itu.
Dari
dalam rombongan orang‑orang itu muncullah seorang laki‑laki yang membuat Bun
Beng hampir tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pendek sekali,
akan tetapi amat besar dan gendut sehingga seperti bola yang besar. Perutnya
besar bulat sehingga bajunya di bagian perut tidak dapat menutupinya dengan
baik dan tampaklah kulit perut putih halus membayang di antara kancing baju
yang terlepas. Kepalanya juga bulat dengan sepasang mata kecil sipit. Kakinya
pendek buntek, besar seperti kaki gajah, demikian kedua lengannya besar akan
tetapi panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia membungkuk sedikit
saja, kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua lengan itu
mirip sepasang kaki depan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau
Bertenaga Raksasa, karena memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang
bergantung ke bawah itu.
Thai‑lek‑gu
langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbuka dan
terdengar suaranya yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat
itu.
“Orang
muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah
tidak lebih baik engkau cabut pedangmu itu dan memenggal lehermu sendiri
supaya lebih cepat mati dan tidak tersiksa lagi?” Ucapan ini disambut suara
tertawa di sana‑sini karena semua orang mengerti bahwa ucapan itu merupakan
ejekan.
Bun
Beng tersenyum. “Aku heran sekali mengapa engkau dijuluki Thai‑lek-gu, kalau
melihat matamu yang kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki
Thai‑lek‑ti (Babi Tenaga Raksasa), sungguh pun aku masih menyangsikan sekali
akan tenagamu.”
Kembali
terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai‑lek‑gu yang menjadi bahan tertawa
sehingga dia marah sekali. “Bocah bermulut lancang! Kematian sudah di depan
hidung engkau masih berani kurang ajar terhadap aku?”
“Memang
kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung
siapa!” Bun Beng menggerak‑gerakkan cuping hidungnya, “Menurut hidungku, aku
tidak mencium kematianku, akan tetapi ada bau‑bau tidak enak datang deri
tempat kau berdiri!”
Kembali
orang‑orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka
mengejek dan mempermainkan teman‑temannya yang tidak berani melawan, maka kini
mendengar dia diolok‑olok oleh pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan
tertawa geli, biarpun mereka semua maklum bahwa tentu pemuda itu akan tewas
oleh Si Gendut yang lihai. Karena melihat pemuda itu menggerak‑gerakkan cuping
hidungnya, Thai‑lek‑gu otomatis juga mencium‑cium, akan tetapi karena hidungnya
pesek hampir tidak ada ujungnya, maka tentu saja tidak dapat digerak‑gerakkan,
hanya lubangnya saja yang menjadi makin lebar. Saking marahnya, dia tidak dapat
berkata apa‑apa lagi dan hanya mengeluarkan suara menggereng kemudian secara
tiba‑tiba dia menyerang Bun Beng. Biarpun tubuhnya gendut sekali akan tetapi
ternyata gerakannya cepat ketika dia menubruk dengan kedua lengan yang panjang
itu terpentang, kemudian menyergap dari kanan kiri hendak merangkul tubuh Bun
Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk‑tekuk dan dipatah‑patahkan semua
tulangnya!
“Bresss!”
Tiba‑tiba Thai‑lek‑gu menjadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak
mungkin dapat dielakkan lagi, kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak
lawan, akan tetapi begitu kedua tangannya meringkus, yang diringkusnya hanya
angin saja dan tubuh pemuda itu sudah lenyap! Cepat dia membalikkan tubuhnya
dan ternyata pemuda itu sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan
tersenyum‑senyum.
Terkejutlah
Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksikan betapa
dengan amat sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai‑lek‑gu
dan meloncat ke atas melewati kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung
walet saja di belakang Thai‑lek‑gu.
Juga
Thai‑lek‑gu yang bukan merupakan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat
menduga bahwa pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbukti dari
gin-kangnya yang istimewa, bersikap hati‑hati dan tidak lagi berani memandang
rendah bahkan dia menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar dapat menghadapi
lawan dengan tenang.
Setelah
memasang kuda‑kuda, mulailah Thai‑lek‑gu membuka serangannya. Tubuhnya seperti
menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup
oleh perutnya, dan tahu-tahu kedua lengannya sudah menyambar ke depan
bergantian, melakukan pukulan-pukulan yang amat keras sehingga terdengar
anginnya mengiuk berulang‑ulang.
Bun
Beng menurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak
cepat sampai tidak tampak, tahu‑tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah
lengan lawan, yang kanan mengetuk pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri
mengetuk tulang dekat siku.
“Plak!
Tukkk!”
“Wadouuhh....!”
Thai‑lek‑gu berteriak keras sekali dan cepat meloncat mundur, mulutnya yang
amat kecil dibandingkan dengan kepala dan perutnya itu menyeringai kesakitan
kedua tangannya sibuk sekali bergerak bergantian, yang kiri mengusap siku
kanan, yang kanan menggosok pergelangan tangan kiri. Kulit lengan di kedua
tempat itu membiru dan tampak benjolan sebesar telur ayam!
Dengan
kemarahan yang meluap‑luap, Thai‑lek‑gu kini menyambar sepasang golok yang
dibawakan oleh seorang temannya. Sepasang golok ini pantasnya untuk
menyembelih babi, dan memang Thai-lek‑gu ini dahulunya adalah seorang jagal
babi!
Betapapun
marahnya, Thai‑lek‑gu ini adalah seorang tokoh kang‑ouw yang tahu akan
kegagahan, maka sambil menahan marah, menggerak‑gerakkan sepasang goloknya di
depan dada kemudian berhenti depan dada dalam keadaan bersilang dia berseru,
“Hayoh
keluarkan senjatamu!”
Bun
Beng tersenyum. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan pribadi dengan
orang‑orang ini dan biarpun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak,
namun dia tidak pula berpihak kepada Kaisar Mancu. Andaikata mereka ini bukan
kaki tangan Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya dia pun tidak mau
mengganggu mereka. Apalagi melihat sikap Thai‑lek‑gu yang masih menghargai
kegagahan dalam pertandingan ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan
yang bertangan kosong, dia mengambil keputusan untuk bersikap lunak terhadap
mereka.
“Thai‑lek‑gu,
tidak perlu aku mempergunakan senjataku sendiri karena engkau sudah begitu
baik hati untuk menyediakannya untukku. Nah, seranglah!”
Thai‑lek‑gu
memandang heran dan ragu‑ragu. “Orang muda yang sombong, jangan kau main‑main.
Sepasang golokku ini sekali keluar, tidak akan masuk sarungnya kembali sebelum
minum darah lawan. Keluarkan senjatamu!”
“Baiklah,
akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kaupinjamkan kepadaku itulah!” Tiba‑tiba
Bun Beng nenubruk ke depan dan mengirim serangan kilat, menusukkan jari tangan
kirinya ke arah mata lawan.
Thai‑lek‑gu
marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok kanannya berkelebat
membacok ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu tiba‑tiba
merendahkan diri, gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat di atas
kepalanya dan tiba‑tiba Thai‑lek‑gu mengeluarkan seruan tertahan dan memandang
dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah tersenyum‑senyum memandangnya
dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas secara cepat dan
aneh oleh pemuda itu!
“Nah,
sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi
pinjam golok ini kepadaku, Thai‑lek‑gu.”
Thai‑lek‑gu
marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam segebrakan
saja telah berhasil merampas sebatang di antara sepasang goloknya. Hal ini saja
membuktikan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya.
Akan tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia mengeluarkan bentakan
nyaring dan menerjang ke depan dengan nekat.
“Trang‑trang‑trang....!”
Tiga kali Si Pendek gendut menyerang dan tiga kali Bun Beng menangkis tanpa
menggeser kaki dari tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi kemana pun golok
lawan menyambar, selalu dapat ditangkisnya dan setiap tangkisan membuat Thai‑lek-gu
terpental ke belakang. Hal ini mengejutkan semua orang. Thai‑lek‑gu terkenal
memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut‑turut
dapat ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai‑lek-gu terpental!
Tentu
saja Thai‑lek‑gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke
depan, menyerbu dengan golok diangkat tinggi‑tinggi di atas kepala, kemudian
golok itu menyambar ke arah leher Bun Beng, dibarengi cengkeraman tangan kiri
Thai‑lek‑gu ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali dan merupakan
serangan mati‑matian untuk mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak menjadi
gentar. Dia sengaja mengerahkan tenaganya, menggerakkan golok menangkis golok
lawan, sedangkan tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan lawannya dia
menotok pergelangan tangan.
“Krekk....
dessss!” Golok di tangan Thai‑lek‑gu patah-patah dan dia menjerit kaget ketika
tubuhnya terlempar ke belakang dan lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapapun
diusahakannya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya, tetap saja dia terbanting
roboh dan karena kelumpuhan lengan kiri, terpaksa dengan susah payah dia
merangkak bangun.
“Maafkan
aku dan kukembalikan golokmu. Terima kasih!” Bun Beng melempar golok pinjaman
itu yang meluncur ke depan. Semua orang terkejut, mengira bahwa pemuda itu
melontarkan goloknya untuk membunuh Thai‑lek‑gu, akan tetapi golok itu
berputaran kemudian meluncur turun menancap di atas tanah depan pemiliknya.
Tiba‑tiba
terdengar suara menggereng seperti seekor biruang marah dan tanah seperti
tergetar ketika seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan
matanya yang lebar dia memandang Bun Beng, mulut yang tertutup cambang bauk
melintang galak itu bergerak‑gerak dan terdengar suaranya yang kaku dan parau,
“Aku
Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan
seperti engkau. Orang muda, majulah kau mari mulai!” Baru saja menghentikan
kata‑katanya, raksasa itu sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang
itu menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng. Pemuda ini mengerti bahwa
lawannya memiliki tenaga yang amat hebat, hal ini diketahuinya dari angin
sambaran kedua lengan itu. Akan tetapi karena dia memang ingin sekali mencoba
sampai di mana kehebatan lawan yang menurut Si Muka Pucat tadi adalah jago
nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli gulat, maka dia sengaja bergerak
lambat dan membiarkan pinggangnya ditangkap. Akan tetapi betapa kagetnya
ketika tahu‑tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat tubuhnya
sama sekali tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang mengangkat tubuhnya ke atas,
memutar‑mutar tubuhnya sambil tertawa‑tawa!
“Kiranya
tenagamu tidak berapa hebat, orang muda. Nah, pergilah kau!” Sambil berkata
demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada kedua lengannya
dan melemparkan tubuh Bun Beng ke depan.
Tanpa
dapat dilawan pemuda ini, tenaga dahsyat mendorongnya dan membuat tubuhnya
meluncur jauh ke depan, seolah‑olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang
dengan cepatnya. Namun Bun Beng dapat menguasai dirinya. Dengan ilmu gin‑kangnya
dia berjungkir‑balik di tengah udara dan tubuhnya kini membalik dengan tenaga
lontaran masih mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah
lawannya! Tentu saja Gozan menjadi terkejut dan terheran melihat pemuda
lawannya itu tahu‑tahu telah berkelebat datang dan berdiri di depannya kembali
sambil tersenyum‑senyum mengejek!
“Engkau
masih belum pergi? Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!” Gozan membentak dan
kini dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan tangannya,
seperti otomatis, bergantian dan bertubi‑tubi menghujankan pukulan dan
tendangan ke arah tubuh Bun Beng.
Biarpun
gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak yang
teratur, dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa
tenaga Si Raksasa itu amat besar dan bahwa terkena sekali saja oleh pukulan
atau tendangan itu, amatlah berbahaya. Maka dia mengandalkan keringanan tubuh
dan kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan kiri dan belakang
sampai puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi
lelah dan napasnya terengah‑engah. Tiba-tiba raksasa itu menghentikan serangannya
dan memandang dengan mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan marah dan dia
berkata,
“Orang
muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu
menjauhkan diri? Kalau tidak berani bertanding, kau berlututlah dan mengaku
kalah, kalau memang berani balaslah seranganku!”
“Begitulah
kehendakmu? Nah, sambutlah ini!” Bun Beng tersenyum dan memukul ke arah dada
raksasa itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat itu.
Akan tetapi, secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara
yang tak terduga‑duga. Gerakan kedua tangan raksasa itu seperti gerakan dua
ekor ular yang menyambar dari kanan kiri dan tahu‑tahu lengan kanan Bun Beng
telah ditangkapnya! Kiranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan, raksasa
itu sama sekali tidak berdaya mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak
menggunakan ilmu gulatnya! Sebelum Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali
tubuhnya sudah terangkat ke atas, di atas kepala lawannya, kemudian dia dibanting
ke bawah dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi lemparannya tidak berhasil,
kini Gozan mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh lawan, melainkan membantingnya
ke atas tanah.
“Wuuuttt....
brukkk.... ngekkk!”
Semua
orang terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si Kurus Pucat yang menjadi
pemimpin ketika menyaksikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia
memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa tinggi besar tadi kini terkapar di depan
kaki Bun Beng, dalam keadaan pingsan! Jelas semua orang melihat tadi betapa
tubuh pemuda itu telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba‑tiba
keadaannya terbalik, bukan tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si
Raksasa itu sendiri? Kiranya Bun Beng sudah bergerak cepat sekali. Ketika
tubuhnya dibanting dan lengan kanannya dicengkeram, dia menggunakan tangan
kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika tubuh raksasa itu menjadi lemas.
Dengan gerakan indah sekali, namun cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata,
Bun Beng yang masih terdorong oleh tenaga bantingan membalikkan tubuh sehingga
kakinya yang lebih dulu tiba di atas tanah, sedangkan dia menggerakkan kedua
tangan yang kini memegang pangkal lengan raksasa itu, menggunakan sisa tenaga
bantingan lawan untuk mengangkat tubuh lawan dan membantingnya, ditambah
dengan tenaga sin‑kangnya sendiri. Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak mampu
mempertahankan diri dan berat tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat akibatnya
sehingga dia pingsan seketika!
“Wirr....
siuuuuttt....!”
Bun
Beng cepat merendahkan tubuhnya kaget sekali melihat senjata yang
menyambarnya. Kiranya Si Muka Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan
senjata di tangan orang ini benar‑benar amat luar biasa. Pimpinan orang‑orang
gagah itu memegang gagang pancing, lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi
yang mengenal Liong Khek, Si Kurus muka pucat ini tentu tidak akan heran
karena dia memang berasal dari keluarga nelayan. Mungkin mengingat akan asal‑usulnya
ini, ditambah lagi bahwa senjata istimewa ini amat hebat dan jarang dikenal
lawan, maka dia memilihnya sebagai senjatanya.
“Orang
muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari
tempat ini dalam keadaan bernyawa!” Liong Khek berseru dan menerjang maju
dengan senjatanya yang aneh.
Bun
Beng merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia
melihat seorang ahli silat bersenjata pancing, bahkan mendengar pun belum
pernah. Oleh karena itu, dia menyabarkan diri dan ingin sekali melihat
bagaimana lawannya mempergunakan senjata istimewa itu.
“Singgg....
siuuuttt....!” Kembali sinar kecil itu menyambar dan Bun Beng cepat mengelak
mengulur tangan berusaha menangkap tali pancing itu. Akan tetapi dengan
gerakan pergelangan tangannya, Liong Khek Si Kurus itu telah menarik kembali
tali pancingnya, kemudian meloncat maju kan kini mempergunakan gagang
pancingnya sebagai senjata tongkat untuk menusuk lambung Bun Beng.
Pemuda
ini mengelak sambil menangkis dengan lengannya, dengan hati‑hati dan penuh
perhatian menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar‑benar
hebat dan berbahaya sekali. Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata
kail yang terbuat dari baja dan amat runcing melengkung itu kadang‑kadang
menyambar ke arah bagian‑bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali dapat
ditarik kembali kalau talinya digerakkan atau disendal. Bahkan ada kalanya,
gagang pancing menyerang dibarengi sambaran mata kail dari lain jurusan! Benar‑benar
senjata yang tak tersangka‑sangka ini merupakan senjata yang amat berbahaya
kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya.
Pada
saat itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang berpakaian
tentara memasuki markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat
Liong Khek bertanding melawan seorang pemuda, komandan pasukan bertanya‑tanya.
Ketika mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang mata-mata, komankan
pasukan berkata marah.
“Kalau
dia mata‑mata, mengapa tidak dibunuh saja? Hayo serbu!”
Selosin
orang tentara itu sudah meloncat turun dari atas kuda, dan kini bersama orang‑orang
gagah yang berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok Bun Beng.
Pemuda ini tertawa melengking, mengerahkan khi‑kang sehingga para pengeroyok
itu terbelalak kaget, kaki mereka menggigil dan sejenak mereka tidak dapat
bergerak. Juga Liong Khek terkejut sekali ketika suara lengkingan dahsyat itu
membuat tubuhnya tergetar. Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya
tahu‑tahu sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan
senjata pancingnya telah dirampas pemuda yang luar biasa itu! Ketika
terbanting jatuh, maklumlah Liong Khek ternyata bahwa pemuda itu tadi hanya
main‑main saja dan bahwa sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi!
Bun
Beng mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan
pakaian dan topinya yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu
gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk caping petani yang lebar itu, menalikan
tali caping di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di depan dada
sehingga buntalan itu tergantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini
dikerjakan selagi tubuhnya di atas pagar.
Para
pengeroyoknya sudah lari mengejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang
naik ke atas pagar sambil menyerangnya.
“Wuuuttt....
wirrr....!” Dua orang menjerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing di
tangan Bun Beng bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang itu!
Timbul
kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia tadinya hendak
melompat keluar dari tempat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran
senjata pancing itu, dia ingin mencoba lagi dan kini dia malah melompat turun
ke sebelah dalam markas! Tentu saja dia disambut pengeroyokan puluhan orang
itu, termasuk pasukan tentara yang baru tiba.
“Heii,
apakah kalian ini anjing‑anjing Koksu?” Bun Beng berteriak sambil melompat ke
kiri dan menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya.
Kembali
dua orang yang menyerbunya roboh terpelanting!
“Kami
adalah pengawal‑pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!”
bentak Si Komandan pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang‑ouw, tentu
pemuda itu akan gentar dan tunduk kalau mendengar nama Koksu.
Akan
tetapi pemuda itu malah tertawa bergelak. “Kalau kalian anjing-anjing pengawal
dari Koksu, aku belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!” Kini
Bun Beng mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepada pasukan itu.
Mendengar bahwa pasukan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa
tidak senangnya.
Empat
orang anggauta pasukan roboh pingsan terkena tamparan tangannya, sedangkan dua
orang lagi masih mengaduh‑aduh karena muka mereka robek terkait mata kail yang
runcing. Akan tetapi, orang‑orang gagah yang dipimpin oleh Liong Khek merasa
marah dan merasa terhina bahwa di depan utusan‑utusan Koksu, mereka tidak
mampu menangkap seorang pengacau yang masih muda. Mereka berteriak‑teriak dan
mengepung Bun Beng. Pemuda ini menjadi kewalahan juga menghadapi demikian
banyaknya pengeroyok. Dia tertawa dan tiba‑tiba tubuhnya mencelat ke atas dan
hinggap di atas atap kandang kuda, senjata pancingnya terayun‑ayun di tangan
kiri. Dia melihat‑lihat ke bawah, hendak memilih kuda yang terbaik yang
terkumpul di situ.
Perwira
yang memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu. “Kepung, jangan
biarkan dia lolos dengan mencuri kuda!” teriaknya sambil berlari cepat diikuti
sisa anak buahnya ke bawah atap di mana Bun Beng berdiri. Komandan itu
menggerakkan senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.
“Crappp!”
Tombak bercabang itu menembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun Beng
mengelak, bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.
“Auuuhwww....
aduuuuhhh....!” Mata kail yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait
pinggul seorang anak buah pasukan dan sekali tangan kiri Bun Beng digerakkan,
tubuh orang yang terpancing itu terangkat naik ke atap. Pada saat itu,
komandan pasukan dan seorang anak buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan
tombak mereka dari bawah mengarah tubuh Bun Beng.
“Crepp!
Creppp!”
Dua
batang tombak panjang itu menembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan
mudah sekali, Bun Beng meloncat menghindar kemudian turun dengan kedua kaki,
menginjak ujung dua batang tombak yang menembus atap itu! Gagang pancingnya dia
gerakkan berputar sehingga tubuh tentara itu pun terbawa berputaran, kemudian
sambil tertawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan.
Karena lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak sehingga
dia tertimpa tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling‑guling!
Sebelum
komandan itu sempat bangun dan dalam keadaan masih nanar karena kepalanya
terbentur keras, tiba‑tiba dia merasa pundaknya dicengkeram dan tahu-tahu
pemuda yang dikeroyoknya tadi telah berada di dekatnya, tangan kiri
mencengkeram pundak dan tangan kanan menodongnya dengan sebatang tombak.
Tombaknya sendiri!
“Mundur
semua, kalau tidak, kubunuh perwira ini!” Bun Beng membentak sambil
menempelkan ujung tombak yang runcing itu ke perut Si Komandan yang menjadi
ketakutan, bermuka pucat dan menggigil.
Melihat
ini, Si Muka pucat segera memberi aba‑aba kepada anak buahnya untuk mundur.
Tentu saja keselamatan komandan pasukan yang menjadi utusan Koksu amatlah
penting, dan kini dia yakin bahwa pemuda yang mengacau itu benar‑benar seorang
yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, terlampau tinggi untuk mereka
tandingi dan kalau mereka melanjutkan pertandingan dan pengeroyokan dengan
jalan kekerasan, akibatnya akan berbahaya sekali.
“Mundur....
hentikan pertandingan!” teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia
melangkah maju menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata,
“Orang
muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata‑mata dan tidak memusuhi kami,
mengapa engkau membikin kacau dan menangkap seorang panglima dari kota raja?”
Bun
Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek, “Ha‑ha‑ha!
Kalau ada maling teriak maling, hal itu amat lucu dan dapat dimengerti karena
Si Maling ingin menyelamatkan diri. Akan tetapi kalau ada pemberontak teriak
pemberontak, hal ini sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku bukan
seorang penjilat Kaisar, juga bukan seorang pemberontak. Bukan aku yang
mengacau di sini, melainkan kalian sendiri yang memaksaku bertanding!”
Si
Kurus bermuka pucat itu kembali menjura. “Kalau begitu, kami menerima salah,
harap engkau suka membebaskan panglima yang menjadi tamu kami.”
“Panglima
ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda,” kata pula Bun Beng.
“Seekor
kuda....?” Si Kurus memandang tajam.
“Ya,
seekor kuda yang paling baik diantara semua kuda di sini.”
Mengertilah
Si Kurus. Dia lalu memberi aba‑aba kepada anak buahnya untuk mengeluarkan kuda
tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar-benar bagus dan
kuat, merupakan kuda pilihan.
“Nah,
ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya,” katanya.
Bun
Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di
atas punggung kuda. Dia sengaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat
sikap mereka itu. Begitu melihat perwira itu dilepaskan, terjadi gerakan-gerakan
seolah‑olah mereka hendak maju lagi menerjang Bun Beng yang bersikap tenang di
atas punggung kudanya. Akan tetapi Si Kurus bermuka pucat mengangkat tangan
kanan ke atas dan membentak,
“Jangan
bergerak! Biarkan Gak‑congsu lewat dan keluar dari sini tanpa gangguan!”
Bun
Beng melarikan kudanya, menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata, “Terima
kasih. Pemberontak atau bukan, engkau masih mempunyai sifat kegagahan!”
Kudanya lari terus keluar dari pintu pagar tanpa ada yang merintanginya, dan
pemuda ini melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, ke kota raja.
***
“Haiiii....!
Maharya pendeta palsu tukang tipu! Hayo keluar kau jangan sembunyi saja!
Terimalah jawaban teka‑tekimu. Hayo keluar, kalau tidak, kucabut nanti bulu
jenggotmu!”
Yang
berteriak‑teriak ini adalah Bu-tek Siauw‑jin, kakek pendek cebol yang keluar
dari tempat tahanannya bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap tenang,
berjalan di samping gurunya. Dia tidak pedulikan gurunya yang berteriak‑teriak
karena dia sudah maklum akan watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak lumrah
manusia. Dia sendiri tentu saja tidak khawatir keluar dari tempat tahanan,
apalagi bersama gurunya yang sakti, sungguhpun dia maklum bahwa keadaan mereka
amat berbahaya karena mereka berada di tempat kediaman Koksu, berada di dalam
sarang harimau. Ada beberapa orang penjaga yang bingung tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan, berlagak hendak mencegah dua orang tahanan ini keluar.
Yang berani menghadang hanya empat orang penjaga. Mereka melintangkan tombak
menghadang dan berkata,
“Tanpa
perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar....!”
Empat
kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, empat kali terdengar suara “krekk! plakk!”
dan empat batang tombak patah‑patah disusul tubuh empat orang penjaga itu
terlempar ke kanan kiri! Adapun kakek cebol itu masih berteriak‑teriak
memanggil nama Maharya, seolah‑olah tidak melihat muridnya merobohkan empat
orang penghalang tadi. “Maharya pendeta palsu! Di mana engkau? Koksu, suruh
pembantumu Si Pendeta konyol itu keluar....!”
“Ser‑serr‑serrr....!”
Tampak
sinar menyambar dari kanan kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong
menggerak‑gerakkan kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan gurunya dan
belasan batang anak panah yang menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.
“Ha‑ha‑ha,
Im‑kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi tamu?”
Bu‑tek Siauw‑jin tertawa mengejek sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan
kanan kiri dengan alis berkerut marah.
Daun
pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu itu tiba-tiba terbuka
dan muncullah Bhong‑koksu bersama Maharya dan belasan orang panglima yang
menjadi kaki tangan dan sekutu Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan
tentara yang berjumlah lima puluh orang lebih bersenjata lengkap!
“Heh‑heh‑heh,
Siauw‑jin. Engkau adalah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani membobol
penjara dan merobohkan penjaga. Sungguh tak tahu aturan!” Maharya berkata
sambil tertawa mengejek.
Bu‑tek
Siauw‑jin memandang dengan mata melotot. “Siapa jadi orang hukuman? Kami
menjadi tamu! Dan teka‑tekimu yang palsu itu mudah saja menjawabnya! Maharya,
lekas kauambil pisau penyembelih babi, lekas!”
Karena
nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sin‑kang,
maka mempunyai wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang menjadi ahli
sihir itu pun sampai terpengaruh dan otomatis bertanya heran, “Pisau
penyembelih babi? Untuk apa?”
“Ha‑ha‑ha‑ha!
Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bukankah sudah begitu
perjanjian antara kita? Kalau aku bisa menjawab teka-tekimu, engkau harus
memotong ujung hidungmu, kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet.... eh, mana
Si Gendut itu, mengapa tidak ikut pula menyongsongku? Dan jangan lupa, Pulau Es
dan Pulau Neraka juga harus dibangun kembali!”
“Siauw‑jin,
kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani barsombong. Orang
macam engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu....”
“Apa?
Pertayaan licik penuh akal bulus dan palsu itu siapa yang tidak dapat
menjawabnya? Dengar baik‑baik, Maharya. Aku Sejati yang kautanyakan itu adalah
Aku Sejati yang palsu, khayalan pikiranmu sendiri yang kotor itu, yang hanya
meniru‑niru dari orang lain yang sebetulnya juga tidak tahu apa‑apa. Semua itu
palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!”
“Ihhh,
engkau gila....!” Maharya membentak dengan muka merah.
“Paman
guru, perlu apa melayani orang gila ini?” Tiba‑tiba Koksu berkata sambil
mencabut pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan
kiri, kemudian mengangkat cambuk ke atas sebagai aba‑aba. Para panglima melihat
ini lalu mencabut senjata mereka dan semua anak buah pasukan tentara pengawal
juga siap dengan senjata masing‑masing.
“Suhu,
teecu rasa tidak perlu melayani mereka ini!” Kwi Hong juga berkata dan
tampaklah sinar berkilat mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar
pedang Li‑mo‑kiam!
“Serbu....!”
Bhong‑koksu mengeluarkan aba‑aba dan menyerbulah pasukan pengawal dipimpin
oleh belasan orang panglima itu. Memang Koksu telah siap, untuk mengeroyok Bu‑tek
Siauw‑jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek itu bersama muridnya yang
memegang pedang mujijat, maka dia sendiri pun telah mengeluarkan pedangnya,
sebatang pedang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan
sebatang pecut merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.
“Ha‑ha‑ha,
pendeta palsu, Koksu pengecut!” Bu‑tek Siauw‑jin tertawa‑tawa ketika melihat
pasukan pengawal itu menyerbu. Akan tetapi Kwi Hong tidak seperti gurunya, dara
ini sudah berkelebat ke depan didahului sinar pedangnya yang menyilaukan mata.
Para pengawal yang belum mengenal dara dan pedangnya yang mujijat itu,
menerjang dengan senjata tombak, golok atau pedang.
“Singgg....
trang‑trang-krek‑krek‑krekkk....!”
Tombak,
golok dan pedang beterbangan di udara dalam keadaan patah‑patah, disusul pekik
kaget dan kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak
dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar pedang Li‑mo‑kiam!
Melihat
ini, terkejutlah semua anak buah pasukan dan mereka mengurung dan mengeroyok
lebih hati‑hati, dipimpin oleh belasan orang panglima yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi pula. Karena maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh
memandang ringan pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu Kwi Hong tidak bertindak
sembrono, dan hanya berdiri di tengah‑tengah, pedang melintang depan dada,
tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang indah itu saja yang bergerak,
mengerling ke kanan kiri menanti gerakan lawan.
Dua
belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong‑koksu, yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi, dengan hati‑hati mengurung Kwi Hong dan di belakang
mereka bergerak, siap siaga dengan pengurungan yang amat nekat.
Tiba‑tiba
terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba-aba, dan
puluhan anak buah mereka serentak dua belas orang panglima itu menerjang Kwi
Hong dibantu oleh anak buah mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong
berkelebat dan lenyap bersembunyi di balik sinar pedang yang amat menyilaukan
mata, seperti kilat menyambar‑nyambar. Dia berhasil mematahkan beberapa batang
senjata lawan namun karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum
akan keampuhan pedang di tangan gadis itu, mereka bersikap hati‑hati dan
tidak mau mengadu senjata sehingga Yang menjadi korban hanya senjata para
pengawal yang berani menyerang terlalu dekat. Betapapun juga, Kwi Hong tidak
dapat mencurahkan perhatian untuk merobohkan lawan di depan karena dia
dikepung ketat dan senjata‑senjata lawan datang bagaikan hujan di sekeliling tubuhnya,
sedangkan tangan yang menggerakkan senjata-senjata itu pun tangan terlatih dan
cukup kuat dan cepat.
Sementara
itu, Maharya yang bersenjata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya
setelah dia meninggalkan senjatanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan
sarung tangan emas, sudah menerjang malu melawan Bu‑tek Siauw-jin dibantu oleh
Koksu yang bersenjatakan pedang di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.
“Ha‑ha‑ha,
kalian ini tiada lebih henyalah tukang‑tukang keroyok yang menjijikkan!” Bu‑tek
Siauw‑jin tertawa mengejek, akan tetapi dia harus cepat-cepat menghindar dan
mengebutkan lengan bajunya karena ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar
ganas ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhong‑koksu ke arah ulu hatinya
dan sambaran cambuk ke arah ubun‑ubun kepalanya.
“Tarrr....!”
Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis,
melainkan diterima begitu saja oleh ubun‑ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya,
ujung cambuk itu membalik dan telapak tangan Bhong‑koksu lecet-lecet!
“Serang
lima tempat dari mata ke bawah!” Maharya berseru dan kini Bhong-koksu
menerjang lagi membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah
kedua mata, tenggorokan, pusar, dan bawah pusar!
“Heh‑heh‑heh,
Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari‑mari kita main‑main sebentar!” Setelah
berkata demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan‑pukulan jarak jauh,
kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat, kadang‑kadang
mengandung hawa panas, kadang‑kakang dingin sehingga Maharya maupun Bhong‑koksu
berlaku hati‑hati dan tidak berani menghadapi langsung pukulan‑pukulan itu,
melainkan mengelak sambil mengirim serangan‑serangan balasan dari samping.
Dalam hal ini, hanya cambuk di tangan kiri Bhong‑koksu saja yang lebih berguna
karena cambuk itu cukup panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Sedangkan
tubuh Maharya menyambar-nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu‑tek Siauw‑jin
mengelak dari sambaran cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya.
Bu‑tek
Siauw‑jin masih tertawa‑tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong
saja. Memang kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan tahun meninggalkan
senjata, dan hal ini pun tidaklah aneh kalau diingat bahwa dengan kaki
tangannya dia sudah cukup kuat menghadapi serangan lawan. Betapapun juga,
menghadapi pengeroyokan dua orang sakti seperti Maharya dan Bhong‑koksu, kakek
cebol ini repot juga dan biarpun mulutnya tertawa‑tawa, dia harus memeras
keringat untuk menghindarken diri dari hujan serangan maut itu. Tingkat
kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan mungkin tidak ada
dua tingkat dari kepandaian Bhong‑koksu. Untung bagi kakek cebol Pulau Neraka
ini babwa dia kebal terhadap ilmu sihir biarpun dia sendiri tidak suka
mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Maharya tidak
ada artinya kalau ditujukan terhadap Bu‑tek Siauw‑jin dan di samping ini dia
menang jauh dalam hal kekuatan sin‑kang, maka dia dapat menahan tekanan dua
orang itu dengan tenaga sin‑kangnya.
Dibandingkan
dengan gurunya, keadaan Kwi Hong lebih payah. Dua belas orang panglima itu
berkepandaian tinggi, dan andaikata hanya mereka yang mengeroyok, kiranya Kwi
Hong akan mampu menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua
belas orang panglima itu, masih terdapat puluhan, bahkan kini ratusan orang
tentara pengawal yang mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah sekali setelah
berhasil merobohkan tiga puluh orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung
ketat karena yang datang jauh lebih banyak daripada yang roboh.
Kini,
enam orang panglima yang melihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat,
meninggalkan pimpinan pengeroyokan kepada enam orang temannya dan mereka
sendiri lalu membantu Bhong-koksu menyerbu Bu‑tek Siauw‑jin.
“He‑he‑he,
bagus, bagus....! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih
menggembirakan....!” Bu‑tek Siauw‑jin tertawa dan tiba‑tiba tubuhnya roboh
menelungkup ke depan, berputar dan tahu‑tahu kedua kakinya menendang ke
belakang, inilah ilmu yang baru, Si Jengkerik menyentik atau Si Kuda menyepak
yang didapatkan ketika dia mengadu jengkerik. Serangan ini amat tiba‑tiba dan
tidak terduga oleh Maharya dan Bhong‑koksu, sehingga biarpun mereka berdua
cepat menghindar, tetap saja angin tendangan kedua kaki itu menyambar ke arah
muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah sehingga muka mereka
terkena tanah dan lumpur! Pada detik‑detik berikutnya, terdengar jerit nyaring
dan dua orang panglima roboh tewas terkena tendangan kaki yang kekuatannya tidak
kalah oleh sepakan lima ekor kuda itu! Andaikata Maharya atau Bhong‑koksu yang
terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan
tetapi dua orang panglima yang tingkat sin‑kangnya kalah jauh itu, terkena
sepakon pada dada mereka, seketika tewas dengan tulang‑tulang iga remuk dan
jantung tergetar pecah!
“Tar‑tar‑tar....!”
Cambuk panjang di tangan Bhong‑koksu melecut seperti halilintar menyambar‑nyambar
ke arah kepala Bu‑tek Siauw‑jin.
“Aihh....
wuuutt!” Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan
dicengkeramnya. Tentu saja Bhong-koksu mempertahankan senjatanya itu dan
mereka bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan dapat mulur
itu meregang dan tiba‑tiba Bu‑tek Siauw‑jin melepaskan ujung cambuk. Terdengar
suara nyaring dan ujung cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong‑koksu sendiri!
Bhong‑koksu kaget bukan main melepaskan gagang cambuk dan menundukkan muka
merendahkan tubuh.
“Aduhhh....!
Aduhhh....!” Dua orang panglima pembantu yang berdiri di belakangnya berteriak
dan roboh, merintih-rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam
gagang cambuk sedangkan orang ke dua kulit dadanya robek disambar ujung cambuk.
Dengan
kemarahan meluap Bhong‑koksu kini menerjang maju dengan hanya mempergunakan
pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan sabitnya.
“Kwi
Hong, kau larilah!” Tiba‑tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat melewati di
atas kepala Bhong‑koksu dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang
terdesak hebat dan terkurung ketat. Akan tetapi, begitu tubuhnya tepat berada
di atas kedua orang musuhnya terdengar suara memberobot disusul bau yang cukup
membikin Bhong‑koksu dan Maharya merasa muak hendak muntah!
“Tidak,
Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!” Kwi Hong yang tahu-tahu melihat
gurunya sudah berada di sampingnya dan dengan mudah mendorong‑dorong roboh
beberapa orang pengeroyok, membantah.
“Hushhh,
musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol di sini? Heran sekali
pamanmu, Pendekar Siluman itu. Ke mana saja dia minggat dan mengapa membiarkan
kita dikeroyok tanpa membantu? Hayo kau pergi cari pamanmu, minta bantuannya!”
“Suhu
yang harus pergi!”
“Hushhh,
aku masih belum kenyang main‑main di sini. Pula, perutku mules ingin buang air
besar. Lekas kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan,
kalau dia tidak mau membantu aku, kelak akupun tidak sudi membantunya kalau dia
membutuhkan tenaga bantuan. Hayo!”
“Tapi,
Suhu sendiri....”
“Ihhhh,
anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan
bandel ini. Pergi, atau minta kugaplok?”
Kwi
Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau
dia benar‑benar akan digaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong‑koksu dan
Maharya belum roboh, akan tetapi dia mengerti juga kalau pertandingan ini
dilanjutkan, dia tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan kalah.
“Baik,
Suhu. Hati‑hati menjaga dirimu Suhu!”
“Weh‑weh!
Kaukira aku anak kecil, ya? Pakai ditinggali pesanan segala. Pergilah, aku
membuka jalan!”
Kakek
itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap kedua lengan
dikembangkan dan didorongkan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke
kanan kiri, membuka jalan. Kwi Hong berkelebat ke depan, tubuhnya dilindungi
sinar pedang Li‑mo‑kiam sehingga senjata‑senjata rahasia dan anak panah yang
berusaha mencegah dia lari, runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia
keluar dari tempat itu.
Kini
kemarahan Bhong‑koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu‑tek Siauw‑jin. “Kakek
tua bangka keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pedangku, aku Im‑kan
Seng‑jin takkan mau sudah!”
“Singg....
siuuutt....!” Hampir berbareng, pedang di tangan Bhong‑koksu menyambar dari
kanan dan tombak bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri. Namun, tiba‑tiba
tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa
menahan serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu
akan menggunanakan jurus tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi
mereka kecele karena Si Cebol tua renta itu sama sekali tidak menendang,
melainkan terus menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki
taman.
“Kejar....!”
“Tangkap....!”
“Bunuh....!”
Teriakan‑teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal,
akan tetapi yang berkelebat lebih dulu melakukan pengejaran adalah Bhong-koksu
dan Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang besar dan indah itu, akan
tetapi tidak tampak bayangan Bu‑tek Siauw‑jin.
“Celaka,
jangan‑jangan dia telah berhasil melarikan diri....” Bhong‑koksu berkata.
“Belum
tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi melihatnya,” kata
Maharya sambil mencari terus ke seluruh taman. Para panglima dan pasukan
pengawal yang ikut mengejar telah tiba di situ pula, akan tetapi tidak ada
seorang pun di antara mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.
“Heiiii,
kalian mencari apa? Aku berada di sini!”
Semua
orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari‑cari itu berada di atas pohon,
duduk ongkang‑ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, pakaiannya
tergantung di cabang pohon.
Tentu
saja Bhong‑koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri
pohon yang berdiri di tepi telaga di dalam taman.
“Aku
gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita
lanjutkan lagi.” Setelah berkata demikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke
bawah dan terjun ke dalam air telaga. “Byuuurrr!” Air muncrat tinggi dan sampai
lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia muncul lagi yang tampak hanya kepala
sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di dasarnya terdapat tanah
lumpur sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu‑tek Siauw‑jin terbenam ke
dalam lumpur. Tentu saja muka dan kepalanya penuh lumpur ketika dia tersembul
keluar sambil megap‑megap!
“Siauw‑jin,
engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah daripada seorang siauw‑jin
(manusia hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya hanyut
di air!” Maharya berseru dan kini semua orang telah mengurung telaga itu
dengan senjata disiapkan.
Bu‑tek
Siauw‑jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air.
Air telaga itu jernih sekali, dan di situ terdapat banyak ikan emas peliharaan
Koksu. Sambil menyembur-nyemburkan air dari mulut dan menggosok kedua matanya,
Bu‑tek Siauw‑jin memandang kepada Koksu dan Maharya, terkekeh gembira
mempermainkan dan mengejek.
“Ha‑ha‑ha,
sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah Im‑kan
Seng‑jin Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan anjing peliharaan
Maharya pendeta palsu untuk mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh,
Bhong‑koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa aku harus mandi dulu?”
Maharya
yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu,
menahan gejolak kemarahan hatinya. Dia pun tersenyum lebar, sungguhpun
senyumnya agak pahit, kemudian berkata,
“Tentu
saja aku tahu, Siauw‑jin. Memang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu
agar tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan
mayatmu. Biarlah engkau mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu
di sini.”
Jawaban
itu dikeluarkan dengan suara halus dan ramah, namun sebetulnya merupakan
ejekan yang menyakitkan hati.
“Bukan!
Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau seorang
manusia tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan
tetapi engkau tidak bisa mengelabuhi aku! Engkau bertapa di puncak gunung‑gunung,
bukan untuk membersihkan batin melainkan untuk memupuk ilmu agar dapat kaupergunakan
untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau memakai cawat dan pakaian
sederhana, makan seadanya, memamerkan hidup sederhana, bukan untuk mempertajam
pandang mata batin melainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah engkau
menipu orang, seperti seekor srigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku
mandi? Karena sudah terlalu lama aku bertanding dengan kalian, dan terlalu
banyak kotoran dari kalian mengotori tubuhku. Maka itu harus membersihkan dulu
tubuhku agar tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha‑ha‑ha!”
Bhong‑koksu
marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba-aba dan mulailah
para panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi itu
dengan senjata rahasia. Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang),
peluru besi, paku dan lain‑lain ke arah tubuh Bu‑tek Siauw‑jin. Sambil tertawa
kakek itu mengelak ke kanan kiri kemudian tenggelam. Karena pergerakannya,
tentu saja air menjadi keruh dan tubuhnya tidak tampak. Tahu‑tahu dia telah
muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua tangannya digerak‑gerakkan menyambit
ke daratan. Berhamburanlah air keruh, lumpur dan batu‑batu kecil ke arah para
pengurungnya! Bahkan ada dua buah benda kekuningan menyambar ke arah muka
Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat mengelak dan dua buah benda itu dengan
tepat mengenai muka dua orang panglima yang berada di belakang Koksu dan
Maharya.
“Plok!
Plok! Uuhhhgg.... hak.... haek-haek....!” Dua orang panglima itu muntah‑muntah
karena dua “benda” yang mengenai mulut dan hidung mereka itu adalah tahi
(kotoran manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu
bukan hanya mandi, melainkan juga membuang air besar! Kiranya dia tadi tidak
membohong ketika menyuruh muridnya pergi dan dia ingin membuang air besar lebih
dulu. Pantas saja dia merendam tubuh bertelanjang bulat dan ketika ia membuang
air besar diam‑diam ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan
untuk membalas serangan senjata rahasia lawan dengan “senjata rahasia” yang
luar biasa itu!
“Ha‑ha‑ha‑ha,
benar‑benar anjing yang suka makan tahi!” Bu‑tek Siauw‑jin tertawa bergelak,
akan tetapi terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak pengurungnya
telah datang anak panah seperti hujan menyerang dirinya. Terjadilah main
kucing‑kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani
serangan, dia menyelam, kemudian timbul di lain bagian sambil membalas dengan
sambitan batu-batu dan lumpur. Agaknya permainan ini mendatangkan kegembiraan
besar di hati Bu‑tek Siauw‑jin, apalagi ketika dia berhasil mengotori pakaian
Koksu dan sorban di kepala Maharya dengan lumpur membuat dua orang sakti itu
memaki-maki dan menyumpah‑nyumpah. Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke
kanan kiri sambil menjulurkan lidah.
“Ambil
minyak! Kita bakar permukaan telaga!” Tiba‑tiba Bhong‑koksu mengeluarkan
perintah. Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup membuat Bu‑tek
Siauw‑jin terkejut dan khawatir.
“Wah,
itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau
begitu!”
Akan
tetapi Bhong‑koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka, telah
menanti di tepi telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah
telaga kembali sambil memaki‑maki.
“Kalian
cacing‑cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?”
“Singgg....
cuppp....! Wirrrr!”
Maharya
dan Bhong‑koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas tanah
di depan mereka itu, sebatang pedang yang tadi meluncur dari atas, menancap di
atas tanah depan mereka. Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan
tahu‑tahu di depan mereka, dekat pedang di atas tanah tadi, telah berdiri
seorang wanita bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thian‑liong‑pang!
“Pa....
paduka....?” Bhong‑koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua
Thian-liong‑pang yang dikenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.
“Aihhh,
Ketua Thian‑liong‑pang hendak memberontak?” Maharya juga berseru.
“Bhong
Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Engkaulah yang
hendak mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu dengan orang‑orang
Mongol dan Tibet dibantu orang‑orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan
diperalat Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak merebut tahta kerajaan. Berlututlah
engkau pengkhianat busuk agar kutangkap dan kuhadapkan kaisar!” Ketua Thian‑liong‑pang
atau Puteri Nirahai itu membentak dengan suaranya yang nyaring.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong‑koksu dan semua panglima yang menjadi
kaki tangannya mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk
menyembunyikan rasa khawatirnya, Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun tertawa.
“Ha‑ha‑ha!
Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang telah mencemarkan nama kerajaan,
berpura‑pura hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali,
Nirahai, engkau menjadi musuh kerajaan dan hadapilah kematianmu di ujung
pedangku sendiri!” Bhong‑koksu melintangkan pedang di depan alisnya sedangkan
Maharya telah menggerakkan senjata tombak bulan sabitnya.
“Haiii....
engkaukah Ketua Thian-liong‑pang? Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi aku
Bu‑tek Siauw‑jin tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro‑coro kacoa bau itu aku
belum membutuhkan bantuanmu!” Bu‑tek Siauw‑jin berteriak‑teriak dari tengah
telaga, kemudian meloncat ke darat dekat Ketua Thian‑liong-pang.
Nirahai,
wanita berkerudung itu secepat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi
dilontarkan menancap tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik kerudungnya,
mukanya menjadi merah padam melihat betapa kakek cebol di sebelahnya itu
bertelanjang bulat!
“Kakek
sinting, pergilah!” bentaknya ketus. “Aku tidak butuh bantuanmu!”
Bu‑tek
Siauw‑jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak pinggang, lupa
sama sekali betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan
sama sekali tidak berpakaian! “Wah‑wah‑weh‑weh! Siapa yang membantu dan siapa
yang dibantu? Sebelum kau muncul aku sudah mereka keroyok sampai kelelahan dan
terpaksa aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau tidak, aku
terpaksa harus menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu
Maharya!”
Maharya,
Bhong‑koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat menahan
kemarahannya lagi. Bhong‑koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih berbahaya,
bukan ilmunya karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan
berbahaya karena Nirahai telah mengetahui rahasianya, sudah cepat‑cepat
menerjang Nirahai dengan pedangnya. Pedang itu dengan gerakan cepat membabat
leher Nirahai, ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang
dapat ditangkis pula oleh pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu
yang seperti hidup, tahu‑tahu sudah membabat ke arah kedua kaki lawan!
Nirahai
maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan, melainkan seorang ahli silat
tinggi yang sakti, maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik
ke atas menghindarkan babatan pedang, namun kaki itu tidak hanya mengelak saja,
melainkan dari atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada dan muka lawan!
“Wuuut!
Wuuutt!”
Bhong‑koksu
berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan kalau saja dia
tidak cepat‑cepat mencelat mundur dan keadaannya yang terdesak itu tertolong
oleh majunya tiga orang panglima pembantunya yang mengurung dan menyerang
Nirahai sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat mendesak Bbong‑koksu yang
dibencinya.
Biarpun
dihadapi tiga orang panglima yang rata‑rata memiliki ilmu kepandaian tinggi,
Nirahai masih dapat mencelat melalui mereka dan pedangnya menyambar ke arah
Maharya yang berada di tempat lebih dekat dengannya daripada Bhong‑koksu yang
melompat mundur tadi. Dia sengaja menyerang pendeta ini karena dia maklum
bahwa di antara para pembantu Bhong‑koksu, pendeta inilah yang paling
berbahaya.
Pedangnya
yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang cepat
menggerakkan tombak bulan sabitnya sambil membentak, “Robohlah!”
Tangkisan
Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi nyaring
sekali, dan bentakannya tadi mengandung pengaruh mujijat ilmu sihirnya, namun
selain Nirahai telah memiliki sin‑kang yang amat kuat, juga muka wanita ini
terlindung kerudung sehingga sinar mata Maharya yang penuh kekuasaan mujijat itu
tidak mempengaruhinya. Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan getaran
hebat bagi Nirahai yang cepat mengerahkan sin‑kang melindungi jantungnya.
Lebih hebat lagi, tangkisan tombak kepada pedang itu disambung dengan
meluncurnya tiga batang jarum yang keluar dari leher tombak menyambar ke arah
Nirahai!
“Pendeta
curang...!” Tiba‑tiba Bu‑tek Siauw‑jin berteriak dan tiga batang jarum beracun
itu runtuh semua oleh sambitan Si Kakek cebol ini yang menggunakan lumpur!
Sambitan ini menyelamatkan Nirahai sungguh pun belum tentu wanita perkasa ini
akan menjadi korban jarum andaikata tidak dibantu Bu‑tek Siauw‑jin, akan tetapi
baju Nirahai terkena noda sedikit lumpur.
“Singgg....
wuuusss.... hayyaaa....!”
Bu‑tek
Siauw‑jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba‑tiba pedang Nirahai menyambar ke
arah lehernya! “Wah‑wah, Ketua Thian‑liong‑pang benar ganas! Diberi madu
membalas racun! Ditolong membalas dengan niat membunuh!”
“Siapa
membutuhkan pertolonganmu? Engkau mengganggu saja!”
“Weh‑weh,
sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang melawan
mereka ini?”
“Aku
tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek
tua bangka tak bermalu, baru kita bicara tentang bantuan!” Nirahai terpaksa
sudah meninggalkan Bu‑tek Siauw‑jin lagi untuk mengamuk dengan pedangnya karena
Bhong‑koksu dan Maharya sudah menerjangnya lagi. Suara pedangnya menangkis
senjata mereka dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan
bertubi‑tubi kemudian terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena
sambaran sinar pedang wanita berkerudung yang sakti itu.
Bu‑tek
Siauw‑jin yang merasa penasaran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil
mengomel meloncat ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa‑gesa
mengenakan pakaiannya beberapa kali dia memakai pakaian dengan terbalik!
Akhirya selesai juga dia berpakaian.
“Thian‑liong‑pangcu!
Lihat aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uh‑uh! Pikiran gila yang
menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita berlomba, siapa lebih
banyak merobohkan cacing‑cacing tanah ini!”
Dari
atas, tubuh yang cebol itu melayang turun, berputar‑putar seperti gerakan
seekor anak burung belajar terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari
atas ke arah kepala Maharya. Memang pendeta inilah yang dicarinya! Begitu Bu‑tek
Siauw‑jin menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri menyambar lengan
yang memegang tombak bulan sabit, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun‑ubun
kepala, kedua kaki menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan
mulutnya masih mengeluarkan suara “cuhhh!” meludah ke arah tengkuk Maharya!
Diserang
secara luar biasa itu, Maharya gelagapan. Dia dapat menyelamatkan diri dengan
memutar senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu
bergulingan, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengelak dari air ludah
yang berubah menjadi hujan kecil menimpa sebagian dagunya!
“Siauw‑jin
manusia kotor!” Dia membentak setelah mencelat berdiri lagi sambil menyerang
ganas, dibantu oleh beberapa orang panglima. Bu‑tek Siauw‑jin maklum akan
kelihaian Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki tangan
untuk mengelak dan menangkis, mulutnya tertawa‑tawa mengomel. “Heh‑heh, kaukira
engkau ini manusia bersih? Mana lebih baik kotor luarnya bersih dalamnya
dibandingkan dengan engkau yang bersih luarnya kotor dalamnya? Heh‑heh‑heh! Aku
memang Bu‑tek Siauw‑jin, namaku saja sudah manusia rendah, apanya yang aneh
kalau aku kotor! Engkau adalah seorang pendeta, baik pakaian maupun namamu
menunjukkan bahwa engkau pendeta, akan tetapi sepak terjangmu sama sekali
berlawanan!”
“Mampuslah!”
Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan tampak
sinar kilat berkelebat. Namun, dengan tubuhnya yang cebol, Bu‑tek Siauw‑jin
dapat mencelat ke kiri, kakinya menendang sebatang golok di tangan seorang
pengawal yang mencoba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan, diterima
oleh pinggul kakek cebol yang digerakkan ke samping.
“Desss!
Augghh....!” Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan
menabrak dua orang temannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling‑guling.
Hanya
Maharya dan Bhong‑koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu‑tek Siauw‑jin
dan Nirahai secara berdepan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka yang
banyak jumlahnya itu hanya berteriak‑teriak dan membantu mengurung serta
menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan kiri atau belakang, karena amukan
kakek cebol dan wanita berkerudung itu benar‑benar amat dahsyat dan sudah
banyak jatuh korban di antara para pengawal yang berani menyerang terlampau
dekat.
Memang
kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh
Bu‑tek Siauw‑jin, sedangkan Bhong‑koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai
yang pada tahun‑tahun yang lalu memperoleh kemajuan banyak sekali berkat
mengambil inti sari ilmu‑ilmu silat tinggi dari partai‑partai lain.
Akan
tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, sedangkan para
panglima yang membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan
wanita berkerudung itu terkurung ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya
dan Bhong‑koksu. Tiba‑tiba muncul belasan orang Tibet dan Mongol yang memiliki
gerakan cepat dan jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi daripada kepandaian
para panglima. Mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh seorang
panglima dan kini mereka langsung menerjang maju mengeroyok Bu‑tek Siauw‑jin
dan Nirahai!
Terpaksa
dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung saling
membelakangi. Bu‑tek Siauw‑jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas
sebatang toya dan melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk,
lalu dirampasnya sebatang golok untuk melanjutkan gerakannya melindungi tubuh
sendiri dari serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya.
“Kita
harus keluar dari sini,” tiba‑tiba Bu‑tek Siauw‑jin berkata kepada Nirahai di
belakangnya.
“Hemmm,
apakah engkau takut?” Nirahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil
merobohkan seorang Nepal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh
berkejotan untuk tak dapat bangun kembali.
“Siapa
takut? Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai sekarang pun tidak
muncul batang hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh
menghadapi cacing-cacing ini!”
“Aku
tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!” Mendengar disebutnya Pendekar Super
Sakti, Nirahai marah. “Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu.”
“Eh-eh,
benar-benar kau wanita sombong dan galak! Untung bukan isteriku!”
Nirahai
terbelalak di balik kerudungnya dan memutar pedangnya menangkis serangan yang
datang bertubi-tubi sehingga tampak bunga api berpijar menyusul suara
berdencing nyaring.
“Apa
kau bilang? Mengapa untung?”
“Punya
isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!” Bu-tek
Siauw-jin berkata lagi. “Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan
sombong. Eh, Thian-liong-pangcu, aku menganjurkan kita keluar dari sini bukan
karena takut melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu sedang dihancurkan
oleh mereka!”
“Apa....?”
“Bodoh!
Apakah engkau melihat pembantu-pembantu mereka itu lengkap? Engkau kena
dipancing di sini, kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu,
akan habislah Thian-liong-pang!”
Karena
percakapan itu dilakukan dengan suara keras, tentu saja terdengar oleh
Bhong-koksu yang tertawa bergelak,
“Si
Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang sedang
kami gempur habis, ha-ha!”
“Singgg....
tranggg....!” Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang.
Serangan Nirahai tadi benar-benar hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan
seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan Bhong-koksu membuat kakek ini
terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan. Para pembantunya,
orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali. Kini dua
orang sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh
lawan sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar
dari tempat itu, keluar dari taman istana Koksu untuk menyelamatkan
Thian-liong-pang. Tentu saja Nirahai yang mempunyai keinginan ini, sedangkan
Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli akan nasib Thian-liong-pang karena
dia sendiri ingin mencari muridnya disamping sudah lelah sekali bertempur sejak
tadi. Sudah bosan dia dan ingin menyusul muridnya, ingin bertemu dengan Pendekar
Super Sakti yang dikagumi akan tetapi yang juga menimbulkan kemendongkolan
hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga
membantunya!
Adapun
Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari
kepungan, berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi
sehingga terjadilah pertandingan yang lebih hebat dan mati-matian.
***
Dugaan
Bu-tek Siauw-jin memang benar. Biarpun kakek cebol ini kelihatan sinting dan
ketolol-tololan, namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada
di tempat itu selama beberapa hari, mendengar percakapan-percakapan antara
Koksu dan Nirahai, percakapan-percakapan yang dilakukan para pengawal ketika
dia dan muridnya ditahan, sudah cukup baginya untuk mengerti duduknya
perkara.
Dugaannya
bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman, memang tepat
sekali. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang menganggap
bahwa kalau Thian-liong-pang belum dihancurkan lebih dahulu, tentu perkumpulan
yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi pemberontakan yang diaturnya
bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin perkumpulannya
itu untuk membela ayahnya kaisar.
Pada
saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan
tentara dipimpin oleh Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan
kanan Koksu, dan beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi dibantu
pula oleh orang-orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan Tibet, menyerbu
markas besar Thian-liong-pang di luar kota raja.
Karena
puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu
dengan persekutuan pemberontaknya, maka begitu ibunya meninggalkan markas
untuk membuat perhitungan dengan Koksu, dara perkasa ini telah mengadakan
persiapan. Penjagaan dilakukan dengan ketat dan dibantu oleh para tokoh
Thian-liong-pang, yaitu Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu
Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek Muka Singa, dan para pembantu lainnya. Jumlah anak
buah Thian-liong-pang bersama para pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu
masih ada kurang lebih seratus orang. Mereka semua siap sedia menanti perintah
dari puteri ketua mereka dan di lain pihak Milana juga menanti kembalinya
ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia maklum bahwa pasti akan terjadi
sesuatu yang hebat berhubungan dengan pemberontakan yang diatur oleh Pangeran
Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.
Karena
persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang
inilah, maka ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan pengawal yang dipimpin
oleh Thian Tok Lama, terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat. Pihak
Thian-liong-pang mengadakan perlawanan mati-matian dan karena rata-rata
anggauta Thian-liong-pang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, maka biarpun
pasukan tentara lebih besar dan lebih kuat, tidak mudah bagi mereka untuk menumpas
Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak korban di pihak tentara.
Betapapun
juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapapun para tokoh
Thian-liong-pang membela diri mati-matian, tak seorang pun di antara mereka
yang mampu menandingi pendeta Lama dari Tibet yang kosen ini. Agaknya hanya
Milana seoranglah yang hampir dapat mengimbanginya, akan tetapi pada saat
penyerbuan terjadi, Milana telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal
dan dua orang Tibet pembantu Thian Tok Lama, sedangkan Lama itu sendiri
memimpin orang-orangnya menyerbu ke dalam dan mengamuk, ditahan oleh Tang Wi
Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok. Terjadilah
pertandingan dahsyat di sebelah luar dan dalam markas Thian-liong-pang.
Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai setengah hari lebih!
Betapa
gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua
mereka di situ, akhirnya mereka itu runtuh juga. Seorang demi seorang roboh dan
tewas, mula-mula Tang Wi Siang tewas oleh Thian Tok Lama, kemudian Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga terluka parah dan
hanya karena di situ tidak ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari,
bukan karena dia takut mati, melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada
ketuanya, apalagi setelah dilihatnya betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian
Tok Lama.
Hanya
beberapa orang saja yang berhasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan
seperti juga Sai-cu Lo-mo, para anggauta Thian-liong-pang yang berhasil lolos
dan melarikan diri itu menderita luka-luka parah.
Karena
telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali dapat menawan
Milana, Thian Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang
Thian-liong-pang. Hari telah menjadi sore dan dia hendak cepat-cepat membawa
Milana sebagai tawanan ke kota raja. Dara itu merupakan seorang tawanan penting
sekali, karena dengan adanya dara itu sebagai sandera, tentu Ketua
Thian-liong-pang tidak akan mampu berbuat hal-hal yang akan merugikan
persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan Bhong-koksu.
Berangkatlah
sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas
Thian-liong-pang yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota
raja. Milana dengan kedua tangan terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke
atas punggung seekor kuda, digiring di tengah-tengah mereka dan dikawal sendiri
oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok Lama dan para pembantunya. Yang menjadi
pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal! Yang bersorban dan rata-rata
bertubuh tinggi besar. Mereka merasa bangga karena dalam kemenangan ini mereka
melihat tanda yang baik bahwa persekutuan mereka akan berhasil, dan kalau
kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi bukan
hanya dari kaisar baru, akan tetapi terutama dari raja-raja mereka sendiri
karena Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanjikan persahabatan, bukan penaklukan
seperti sekarang, kepada Nepal, Mongol dan Tibet.
Karena
hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan
itu melakukan perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema
di dalam hutan dan pasukan yang berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah
berlari. Sembilan orang jagoan Nepal yang merasa berjasa dan bergembira, tidak
dapat menahan kegembiraan hati mereka dan terdengarlah suara mereka
bernyanyi-nyanyi dalam bahasa Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan
mereka mendahului pasukan karena memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan
janggal sekali suara mereka itu, suara asing yang bergema di sepanjang hutan
yang dilalui pasukan itu.
Kadang-kadang
suara nyanyi hiruk pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan
teriakan-teriakan mereka bersendau-gurau. Semua ini diperhatikan dan
didengarkan oleh Milana yang duduk dengan sikap tenang di atas kudanya. Dara
perkasa ini merasa berduka mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang dan
kematian tokoh perkumpulan ibunya. Namun sedikit pun dia tidak merasa gelisah
atau takut. Hanya terpaksa dia ditawan. Akan tetapi setiap saat ia bersiap
untuk melawan dan memberontak jika terdapat kesempatan. Satu-satunya hal yang
dikhawatirkannya hanyalah keadaan ibunya. Ibunya belum tahu akan malapetaka
yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu di mana adanya ibunya, akan
tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam bahaya besar yang
direncanakan oleh Koksu dan kaki tangannya.
Dengan
sikap angkuh dan agung Milana mengerling kepada Thian Tok Lama dan Panglima
Bhe Ti Kong yang menunggang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang
kepercayaan Koksu dan kedua orang ini, terutama Thian Tok Lama, yang mengawal
dan menjaganya. Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu, agaknya masih ada
harapan baginya untuk meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu
benar-benar amat lihai.
“Tidak
enakkah dudukmu, Nona? Menyesal sekali, terpaksa kami membelenggu kedua
tanganmu.” Terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata.
Milana
tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak
memandang ke depan seolah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapapun
juga, dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, malah lebih jelas lagi, puteri
dari Puteri Nirahai! Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh lebih tiggi
daripada kedudukan seorang panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana
dapat duduk dengan tegak dan sikap agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe
Ti Kong maupun Thian Tok Lama.
“Hemm,
tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak
mampu menghadapi kekalahan dan berkeras kepala.” Kembali Bhe Ti Kong berkata
karena diapun tahu bahwa dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar,
merupakan seorang tawanan yang amat penting dan membuat dia merasa tidak enak
sendiri.
Milana
tersenyum mengejek, mengerling dan berkata, “Perlu apa banyak cerewet?
Tunggulah saja kalau sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!”
Pada
saat itu, sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar
teriakan mengerikan di sebelah depan. Sampai tiga kali terdengar jerit
mengerikan itu jerit memanjang, jerit orang yang ketakutan, jerit kematian.
Setelah gema suara jerit itu lenyap, yang terdengar hanya derap kaki kuda dan
suasana menjadi menyeramkan dan menegangkan sekali.
“Harap
Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan pengawalan di
belakang. Kumpulkan semua tenaga untuk mengawal dia,” kata Thian Tok Lama.
Bhe
Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal,
dan pasukan itu bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.
“Apakah
yang terjadi? Siapa yang menjerit tadi?” Bhe Ti Kong bertanya.
Para
pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu. “Kawan-kawan yang berada di
depan tentu akan dapat memberi keterangan nanti,” kata mereka. Mereka adalah
tiga orang di antara sembilan jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi dan
tertawa-tawa. Adapun yang enam orang lain telah mendahului gerakan pasukan
sebagai pelopor dan pembuka jalan, juga sebagai pengawas agar jalan yang akan
mereka lalui aman.
Milana
tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah
antara para panglima dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat
tubuhnya terayun-ayun mengikuti gerakan kuda, dan rambut dara yang panjang itu
berkibar. Mereka memasuki
bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah mulai suram dan agak gelap.
“Haiii....!
Lihat di depan itu....!” Tiba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul
seruan-seruan kaget para jagoan Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju
ke depan di mana tampak sesosok tubuh orang bersorban membujur di atas tanah.
Milana
memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa
orang yang rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara
jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi. Dugaannya memang tepat. Setelah mereka
datang dekat dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti Kong meloncat turun
dari kuda memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang di antara
para jagoan Nepal yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan sebatang
pisau, pisaunya sendiri yang menjadi kebanggaan para jagoan Nepal itu,
menancap di tenggorokannya!
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir
berbareng dua orang penunggang kuda itu tiba di situ. Yang datang dari belakang
adalah Thian Tok Lama yang telah mendengar akan kematian seorang pembantunya
dari Nepal, adapun yang datang dari depan adalah seorang jagoan Nepal lain yang
bermuka pucat dan yang begitu datang melapor dengan suara terengah-engah
kepada Thian Tok Lama, “Celaka.... di depan ada lagi tiga orang teman yang
tewas....!”
Thian
Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng keras
dia melayang turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan memandang ke depan,
mulutnya mengeluarkan suara yang nyaring melengking sampai bergema di seluruh
hutan.
“Pinceng
Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah begitu berani mati
mengganggu kami dan membunuh empat orang anggauta pengawal pasukan kami?”
Semua
orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan
keadaan di hutan itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian
Tok Lama mengulang teriakannya namun belum juga ada jawaban.
Suara
Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeramkan itu. “Hem,
mengapa kalian begini ketakutan?” Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok
orang-orang yang dibencinya itu. Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh
orang-orang Nepal itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu kawan ataukah
lawan. Melihat caranya membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat
diduga bahwa pembunuhnya tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Akan tetapi dia yakin bukan ibunya yang melakukan hal itu. Cara yang
dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya membunuh lawan secara
menggelap macam itu. Ibunya adalah seorang gagah perkasa sejati sedangkan cara
yang dipergunakan pembunuh ini menyeramkan penuh rahasia.
Tiba-tiba
terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau menjawab pertanyaan
mengejek dari Milana tadi.
“Kalau
Nona Milana tidak segera dibebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor
yang tewas, melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku,
berarti bosan hidup!”
Diam-diam
Milana terkejut dan kecewa sekali mendengar suara yang dikenalnya itu. Dia
merasa gelisah. Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Nepal itu adalah
pemuda Pulau Neraka yang amat dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga
ditakutinya. Namun tentu saja dara jelita ini tidak memperlihatkan rasa
khawatirnya dan masih tetap bersikap biasa dan tenang seolah-olah tidak pernah
terjadi sesuatu yang membuat dia merasa khawatir.
Tentu
saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat
menduga siapa orang yang mengeluarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia
menduga bahwa tentulah orang itu berniat merampas tawanan. Satu-satunya orang
yang ditakutinya di dunia ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan biarpun dia
tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga amat lihai dan mungkin saja ketua itu
tiba-tiba muncul untuk menolong puterinya, namun dengan bantuan para
jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat, dia merasa cukup kuat menghadapi
bekas puteri kaisar itu.
“Siapa
berani main-main dengan pinceng? Harap suka keluar untuk bicara!” Kembali
Thian Tok Lama mengeluarkan seruan dengan pengerahan khi-kang sehingga
suaranya mengandung getaran berpengaruh.
“Blarrr....!”
Sebuah ledakan keras mengejutkan semua orang. Tempat itu menjadi gelap
tertutup asap hitam. Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat
kuda yang diduduki Milana untuk menjaga jangan sampai dalam keadaan gelap itu
tawanan yang penting ini dilarikan orang.
“Pasukan
tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini tidak berbahaya....!”
Thian Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak
mengandung racun. Sedangkan dia sendiri diam-diam bergerak di dalam asap,
memasang mata untuk mencari musuh yang melepas asap hitam tebal. Akan tetapi
tidak tampak ada gerakan sesuatu, maka diapun hanya berdiri dan bersikap
waspada karena untuk bergerak di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar
merupakan bahaya, salah-salah bisa menyerang anak buah sendiri.
“Wir-wir-wirrr....!”
Asap hitam membuyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga tak lama
kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai
menipis.
Thian
Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main melihat bahwa
angin yang menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua
lengan seorang pemuda tampan yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang
ditunggangi Milana, sedangkan seorang panglima tua yang tadi mendekati dan
menjaga tawanan telah menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri!
“Keparat,
siapa engkau....?” Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang.
Pemuda
itu mengangkat tangankanannya ke atas dan
terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama merasa seram. Pemuda itu tertawa,
atau lebih tepat, memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan matanya
tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!
“Ha-ha-ha-ha,
pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan
tangan menyerang!”
Sikap
dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak
tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak
gelap, bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena senja mulai mendatang
dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang
seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka kini dia melangkah maju dan
memandang penuh perhatian.
Tiba-tiba
pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang
masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan
yang mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya
membayangkan ketinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang
pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan
pertandingan! Hatinya menjadi agak lega. Pemuda ini bukan tokoh
Thian-liong-pang, dan sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan
sahabat Thian-liong-pang, sungguhpun dia dan pasukannya tidak dapat
mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh
pasukan pemerintah itu.
“Orang
muda, kalau pinceng tidak salah mengenal orang, engkau adalah orang yang
pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?”
Mendengar
ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan
diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu.
Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan
tidak mau mengacuhkan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya,
memandang jauh.
Pernuda
itu adalah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila
kepada Milana itu, mendengar pertanyaan Thian Tok Lama tersenyum dingin dan
hanya mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia
sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan!
Melihat
sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa
pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia
sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda
itu! Apalagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua
orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan
Thian-liong-pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia
tidak takut menghadapi pemuda yang masih amat muda itu.
“Orang
muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pasukan
pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?”
Kembali Thian Tok Lama bertanya.
Dengan
sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari
wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping
hidungnya yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, kemudian dia
berkata,
“Thian
Tok Lama, tak perlu menggertak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu
pasukan apa ini, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu bersama
Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kaukira aku tidak melihat betapa kalian
membasmi Thian-liong-pang? Sungguh bagus....!”
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua
anggauta pasukan sudah meraba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu
belum memberi aba-aba, mereka semua hanya bersiap-siap menghadapi pemuda yang
mendatangkan suasana menyeramkan itu.
“Orang
muda, di pihak siapakah engkau berdiri?” Thian Tok Lama memancing, tidak mau
berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.
“Tentu
saja di pihakku sendiri, tolol!” Wan Keng In menjawab. “Kalian membasmi
Thian-liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina
dan menolak pinanganku. Akan tetapi engkau telah berani menawan dan menghina
tunanganku ini, hemm...., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau
Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki
tangannya!”
“Manusia
sombong....!” Bhe Ti Kong berseru marah sekali. Panglima ini adalah seorang
yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang
pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini
melihat seorang pemuda bersikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok
Lama yang dianggapnya terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi
marah sekali.
Sambil
membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari
kudanya dan langsung menyerang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat,
yaitu sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali,
dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya
melakukan gerakan serangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher,
dan dada Wan Keng In.
“Plak-plak-plak....
bressss....!”
Enak
saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya
yang masih berdiri terpentang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi
menggerakkan tangan kiri, menyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak
itu menyambar. Tiga kali dia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan
dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan
bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan
para panglima terkejut dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak
mengeroyok.
“Thhan....!”
Thian Tok Lama mengangkat tangan ke atas sehingga pasukarinya tidak berani
maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama
melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek.“Orang muda,
engkau siapakah, dan apakah kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami
terlanjur turun tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih
suka menarikmu sebagai sahabat.
Pada
waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka
membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan.”
Pendeta itu memang cerdik sekali. Biarpun dia tidak takut terhadap pemuda ini,
akan tetapi kalau sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di
antara pembantu-pembantunya melihat pemuda itu secara lihai bukan main telah
mengalahkan Bhe Ti Kong dalam segebrakan saja. Apalagi kalau diingat bahwa
siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh
lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai
ini sebagai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan main dan akan
memujinya.
Wan
Keng In mengeluarkan suara mendengus marah. “Huhh! Kaukira aku ini orang macam
apa yang membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan
minta maaf kepada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan
pikir-pikir tentang kerja sama yang kausebut-sebut itu.”
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong
itu! Namun, sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga
bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil
memperoleh pendidikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada
kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar,
bahkan tersenyum dan berkata,
“Ha-ha-ha,
tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana tidak
akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai.
Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kaisar setelah kaisar datang
sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh
perbuatannya. Akan tetapi, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang
sendiri oleh Koksu, harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah
seorang pembantu Koksu yang sudah memperoleh kepercayaan, biarlah pinceng
memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan
nama.”
Mendengar
ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang biasanya dimanja
menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah
menyamakannya dengan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama
(cerita Hong-sin-pong) yang menjadi pujaan semua manusia karena
kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk
kepadanya!
“Thian
Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada
waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu karena aku marah
melihat kekasih dan tunanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku,
silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam pertandingan
ini!” Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng
In sudah mencabut pedangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan
ngeri. Pedang di tangan pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.
“Aihh....
bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?”
Wan
Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.
“Wan-sicu,
pinceng percaya bahwa Sicu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak
perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu ikut bersama pinceng pergi
menghadap Koksu” Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.
Wan
Keng In masih melintangkan pedangnya di depan dada, alisnya berkerut, kemudian
dia menjawab,
“Dengan
dua syarat!”
“Katakanlah,
pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu.”
“Pertama,
Nona Milana ini adalah kekasih dan tunanganku, tidak boleh diganggu dan
bahkan harus disyahkan menjadi isteriku. Ke dua, aku menjadi pembantu langsung
dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang
yang dapat mengalahkan kepandaianku!”
Diam-diam
Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan
berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. “Koksu
adalah seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan
Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan
yang tinggi. Tentang Nona ini.... ehhh....!”
Tiba-tiba
Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa
kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya
ketika tadi Milana mendengar percakapan di antara mereka dan melihat
perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas.
Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan
Wan Keng In sehingga dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk
meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan mendongkol dia melihat perkembangan
yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan bersekutu, maka habislah harapannya
untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa
ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemuda gila itu, dia lalu berusaha
mengaburkan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua
tangannya putus.
“Ha-ha,
tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, manisku, engkau
hendak pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku, kekasih....!” Wan Keng In berseru
dan tubuhnya sudah meluncur ke depan cepat sekali.
Milana
maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan nekat dia lalu
menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu tangannya, kini
meluncur menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.
“Ha-ha-ha,
engkau mau main-main denganku?” Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali
itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan
ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap.
Kuda
yang ditunggangi Milana mengeluarkan suara meringkik keras dan roboh
berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, sedangkan
tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan menyerang
pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemuda itu
benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah meloncat ke
depan untuk menyambut tubuh Milana yang terlempar ke atas.
“Ehhhh....?”
Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas. Dia merasa kecelik karena
tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihatan melayang turun,
bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan
hampir menghantam mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan
marahnya ketika melihat bahwa kini Milana telah duduk di atas dahan pohon
tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap!
Thian
Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah memburu ke bawah
pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk
menjaga di sekeliling pohon agar gadis tawanan itu tidak sampai dapat
meloloskan diri.
“Milana,
manisku, turunlah engkau!” Wan Keng In berkata halus dan dia belum mengenal
siapa adanya laki-laki muda yang bercakap-cakap dengari dara itu. Akan tetapi
baik Milana maupun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak
mempedulikan mereka yang mengurung pohon karena mereka berdua itu sedang
saling berbantah. Melihat sikap mereka itu, mau tidak mau Wan Keng In
mendengarkan percakapan mereka dan ia merasa heran, dan marah bukan main!
Pemuda
yang berada di atas itu bukan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah
diceritakan di bagian depan, pemuda sakti ini meninggalkan markas pasukan
istimewa pembantu para pemberontak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke
kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia
melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.
Tentu
saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya,
terutama sekali Thian Tok Lama dan Bhe Ti Kong, dua orang di antara mereka
yang dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh
Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia tercengang melihat Wan Keng In dan ia segera
mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu. Timbul kemarahannya karena
ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu,
bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak
kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali
adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang
tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati. Tentu saja dia
harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya.
Akan tetapi, dia maklum bahwa menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat
dan dipimpin orang-orang pandai itu, apalagi di situ terdapat pemuda Pulau
Neraka, bukanlah hal yang mudah. Karena inilah, dia bersabar dan bersembunyi
sambil mengintai dan mendengarkan mereka.
Mula-mula
diapun merasa heran ketika mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian
Tok Lama, bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak
ini akan bertanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong
dara itu. Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu
dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan
kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali
belenggunya dan berusaha mengaburkan kuda.
Melihat
Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar
ke atas, Bun Beng cepat melayang ke atas pohon besar dan menyambar lengan
dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di depannya, di atas
dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya terbelalak
memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali,
jantungnya berdebar.
“Kau....?”
Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.
“Nona,
syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mereka itu
kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya
sekali di sini.”
Milana
menggeleng kepala keras-keras. “Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan
aku lari? Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!”
“Aahhh,
jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka.
Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri
melawan.”
“Hemm,
Gak-twako. Kau bilang berbahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?”
“Nona....”
“Gak-twako,
begini sombongkah engkau? Sejak dahulu?”
Bun
Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak
lebar. “Sombong! Aku....?”
“Apa
kau tidak suka bersahabat denganku?”
“Tentu
saja, aku....”
“Sudah
mengenal sejak dahulu, mengapa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku
nona? Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?”
“Habis....
habis....?”
“Aku
tidak mau kausebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau.... sudah jangan
mengenal aku lagi kalau kau begini angkuh!”
“Eh....,
ohh...., Nona.... eh, Adik Milana! Jangan main-main begini....!” Bun Beng
menegur, terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang
dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!
“Gak-twako,
tidak girangkah engkau bertemu denganku?”
Bun
Beng makin bingung dan memandang dengan alis berkerut. Celaka, pikirnya.
Jangan-jangan dara ini keracunan, atau sudah bingungkah pikirannya? Dia
mengangguk.
“Aku....
aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku.... dan ahh....
kau.... kautolonglah aku, Twako....!” Tiba-tiba Milana terisak menangis dan
ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan
menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!
Tentu
saja Bun Beng menjadi bengong! Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Milana telah
menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita tekanan batin yang
ditahan-tahannya semenjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu
ibunya gugur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu tentu saja berduka
sekali melihat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia
sendiri menjadi tawanan, bahkan kemudian terjatuh ke tangan Wan Keng In
pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang telah terjadi dengan
ibunya. Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak terduga-duga,
di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindukannya!
Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang mabok
atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis tersedu-sedu,
teringat akan semua kedukaannya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat
dipercayanya ini.
Tentu
saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang
amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak
karuan. Dara yang menangis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya
wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata
membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.
“Nona....
eh, Moi-moi (Adik).... hentikan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu
dari mereka itu, percayalah....”
“Keparat,
mampuslah engkau!” Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan
goloknya membacok Bun Beng.
“Prakk....,
bresss....!”
Tubuh
panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.
“Aku
tidak takut.... ah, Twako.... kau tidak tahu.... mereka telah membasmi
Thian-liong-pang.... Bibi Tang Wi Siang dan para paman.... mereka telah
tewas....”
Terkejutlah
Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thian-liong-pang,
akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong-pang.
“Mana
mungkin? Di mana ibumu?” Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan
kawan-kawannya itu dapat menandingi Ketua Thian-liong-pang yang demikian
sakti.
“Ibu
tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma,
dan aku tertawan....”
Bun
Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menampar ke bawah.
“Desss....!”
Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan tetapi tubuh Wan
Keng In yang tadi meloncat dan memukul, juga terdorong kembali ke bawah
ketika pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda
Pulau Neraka itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng
In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih
kaget lagi melihat ada orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat
tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan kekuatan dahsyat!
“Milana,”
Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. “Tidak banyak waktu sekarang.
Mereka itu benar-benar lihai dan jumlah mereka banyak. Kalau kita berdua
melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Engkau harus lari
lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau melompat jauh dari
tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam gelap. Bawa pedang
ini....”
“Tidak!
Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati....”
Bun
Beng merasa lehernya seperti dicekik mendengar ini. “A.... apa....?”
“Gak-twako,
apa masih perlu kujelaskan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan
melindungimu ketika kau terluka?”
Gemetar
seluruh tubuh Bun Beng, tangannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana.
“Tidak cukup....? Duhai.... terlalu cukup, terlalu banyak.... bahkan itulah
yang menyiksa hatiku. Milana.... betapa aku berani menyatakan kekurangajaran
ini? Akan tetapi...., ah, kata-katamu tadi.... Milana, orang yang paling
kumuliakan di dunia ini karena baik budimu, yang paling kucinta di dunia
ini.... maafkan aku.... akan tetapi aku cinta padamu.... dan.... dan kau bilang
ingin bertanding di sampingku sampai mati....? Benarkah pendengaranku?”
“Singg....!
Krekkk.... plakkk! Aduhhh....!” Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang
dengan tombaknya, terpelanting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh
pukulan Bun Beng yang menangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya
dari wajah Milana.
Sepasang
mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar tersenyum. “Gak-twako,
mengapa baru sekarang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak
membayang dalam pandang matamu?”
“Milana....
betapa aku berani.... kau.... seorang dara mulia, puteri Ketua
Thian-liong-pang, puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kaisar
sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mendengar
ucapanmu tadi.... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati.”
“Terima
kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apapun
yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia
di sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah,
kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!”
“Tidak....!
Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia,
setelah aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan
engkau terancam bahaya? Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini.
Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini,
cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super
Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi
mereka di bawah itu.... hemmm.... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah
berani menghina dewi pujaan hatiku!”
“Tidak,
Twako....”
“Husshhh,
demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat
memaafkan engkau, memaafkan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau
ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari.
Sampai jumpa, sayang!” Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir bersorak
saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana terisak,
akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal
dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong dan bayangan Milana telah lenyap.
“Thian
Tok Lama pendeta palsu!” Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan
hendak melakukan pengejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yangdilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang
mengejutkan pendeta itu, apalagi ketika dia mengelak sambil menangkis, tetap
saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya terpelanting.
“Wan
Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak ke mana engkau?” Bun Beng sudah meloncat
ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya
mencari-cari Milana yang lenyap. Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng
In terpaksa melayaninya. Dengan penasaran dan marah Keng In mengerahkan
tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan
telapak tangannya pula.
“Dessss....!”
Kalau
tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka mengadu kedua
telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar
ke belakang sampai lima meter lebih! Makin pucat wajah Wan Keng In dan biarpun
dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang
matanya memandang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya
tidak terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya
sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya
terlempar seperti itu!
Pekik
melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia
meloncat ke depan lalu membentak,
“Jahanam!
Siapa engkau?”
“Plak-plak-dess-dess!”
Empat orang anggauta pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak dapat bangkit
kembali terkena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya
ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main.
Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak
berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh.
Dengan
tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, tersenyum
mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah
bagi hati Bun Beng dan biarpun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang
berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak
ada kekhawatiran dan semua orang kelihatan menggembirakan. Agaknya wajahnya
yang berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga, sedangkan Wan
Keng In mulai mengingat-ingat siapa gerangan pemuda tampan berseri-seri yang
wajahnya tertimpa cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal. Dia
merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan.
Selain
kebahagiaan karena cinta kasihnya terbalas oleh Milana, hal yang sama sekali
tidak pernah disangka-sangkanya, atau diharapkannya itu membuat hatinya riang
gembira, juga Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana
mendapat kesempatan untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau Milana sudah
selamat, dan pedang Hok-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk
diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sakti, tidak
ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan
menghadapi bahaya apapun juga dengan hati ringan.
“Wan
Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak
akan membiarkan kau terlepas sebelum memberi hajaran kepadamu! Dan Thian Tok
Lama agaknya masih melanjutkan kejahatan-kejahatannya. Sudah lama aku menanti
kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam
Hwesio.”
Ucapan
Bun Beng itu agaknya menyadarkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini.
Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan
murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat
dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan
pemerintah membasmi pulau itu. Adapun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda
yang telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang
tadinya dia pandang rendah akan tetapi yang sekarang mampu membuatnya
terlempar sampai lima meter!
“Manusia
she Gak keparat!” Wan Keng In memaki.
“Gak
Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar
itu....!”
“Wuuuuttt....
plakkk!” Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama
terpelanting ketika dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah
sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan tetapi dia tidak dapat
mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan
pukulan-pukulan maut. Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilakukan dengan
jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung
jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.
Bun
Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri
menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang
Nepal, membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu
mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju,
roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan disambitkan menyambut
terjangan mereka.
Terjadilah
pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti seekor burung garuda,
dikeroyok oleh puluhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu
merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja
sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal
dan panglima.
Melihat
sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In
menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjatanya, sebatang
golok melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah
mencabut Lam-mo-kiam. Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para
panglima serta jagoan Nepal lain, mengurung Bun Beng. Adapun anak buah pasukan
yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata
di tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang memegang obor untuk
menerangi tempat yang mulai terselimut malam gelap.
“Kok-kok-kok
heeeehhhh!” Perut gendut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian
disusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memukul, tangan kanan
menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.
“Singgg....
syet-syet-syettt....!” Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke
arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan
tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapapun cepat serangan Thian
Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok
berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.
“Hyaaattt....
singgg.... cing-cing....!”
“Hemmm....!”
Bun Beng mengeluarkan suara kaget dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang
dengan kecepatan kilat ketika dia melihat sinar kilat menyambar ganas dengan
kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali
sehingga dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat
berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In
telah turun tangan menyerangnya dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka
dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia
berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.
“Syuuuuutttt....
singggg!”
Bun
Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biarpun dia sudah
bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun
dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya
serangan Keng In, serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah
menyerangnya dengan berbareng. Dua orang Nepal yang bersorban itu menyerangnya
dengan senjata mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang
kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi
di balik lengan kanan kiri. Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat
cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka menjadi hebat karena lengan
mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menyerang secara berbareng
dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan
lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar
di tangan seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek
di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!
“Heiiittt!”
Bun Beng berseru keras sekali, tubuhnya membuat gerakan berpusing, demikian
cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu
jari-jari tangannya secara berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan
siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan menangkis tombak
gagang pendek Bhe Ti Kong dengan golok itu setelah merobohkan pemilik golok
dengan tendangan.
“Tranggg....!”
Bhe
Ti Kong berseru kaget dan cepat menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya
untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan
dan jatuh bangun, terus dikejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal
panglima ini sebagai musuh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.
“Singgg....!”
Sinar kilat pedang Lam-mo-kiam yang sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa
Bhe Ti Kong.
“Cringgg!”
Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong, terkejut melihat sinar kilat,
terpaksa membuang diri sambil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi
sekali bertemu dengan Lam-mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!
“Trang-trang....!”
Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menangkis dengan golok
buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In
mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini
membuat Thian Tok Lama terhuyung.
Bun
Beng menyambitkan golok buntungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda
itu sudah menerjang lagi. Biarpun hanya disambitkan, namun golok buntung itu
meluncur dengan kekuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap
sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk menangkis. Golok buntung itu
runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok
buntung, kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri,
merobohkan empat orang panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak
lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali sehingga ketika Wan Keng In dan Thian
Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi mereka dengan tombak di
tangan!
Namun,
dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng benar-benar
kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja
dia termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa
jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap di
antara para pengeroyok. Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk
menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu dleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar
Bun Beng yang mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan
pengawal.
Betapapun
dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan
sedikitpun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung
ketat dan terpaksa dia mengamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak
buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris
saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.
Telah
lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah
panglima dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sampai
hampir tengah malam! Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari
ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk
menghindarkan luka senjata, terpaksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian
Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali.
Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena
tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak, Bun Beng maklum
bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengandung racun.
Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh
jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya berkurang.
Keadaannya
amat berbahaya. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia akan merasa kecewa kalau
belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian
dan kepandaiannya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama,
dua di antara para pembunuh gurunya.
“Thian
Tok Lama, bersiaplah kau menyusul Thai Li Lama...!” Tiba-tiba dia berseru
ketika melihat lowongan. Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang
pedang yang menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo-kiam,
menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama. Pendeta itu
terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh saudaranya itu
adalah pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan
kosong pemuda lihai itu berani menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia
berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng, akan tetapi tiba-tiba Bun
Beng sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya!
Hebat
bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat
disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada
saat itu, sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In mengenai
tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.
“Desss....!”
Berbareng
jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng
yang menyeleweng, tidak jadi mengenai kepala melainkan menghantam pundak Thian
Tok Lama. Biarpun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan
muntah darah! Akan tetapi, hantaman yang keras dari Keng In, itupun membuat Bun
Beng terjengkang!
Bhe
Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan
tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin
bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apalagi
melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang
dialami Thian Tok Lama.
Tombak
itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak
lagi, maka terpaksa dia memasang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu
ujung tombak menyentuh telapak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil
mengerahkan tenaga sin-kangnya. Pengerahan tenaga ini membuat dadanya terasa
nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari
mulutnya, akan tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada
Panglima Bhe Ti Kong yang terdorong ke depan.
“Crappp.....
auggghhh....!”
Bun
Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa
tubuhnya dan betapa darah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada
musuhnya itu menyiram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan
dada tertembus tombaknya sendiri.
“Tahan,
Wan-sicu. Jangan bunuh dia....!” Thian Tok Lama mencegah ketika melihat Wan
Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.
Wan
Keng In menoleh, menahan pedang dan mengerutkan alisnya. “Manusia macam dia
perlu apa dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan
banyak korban....!” Kembali Lam-mo-kiam bergerak.
“Jangan,
Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang telah
merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang!
Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di depan
Koksu untuk meringankan kesalahan kita....”
“Hmm....”
Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya
ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.
“Desss!”
Pukulan
itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel. “Biarpun nyawanya rangkap, pukulanku
ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam.”
Thian
Tok Lama juga terluka di dalam tubuh, akan tetapi tidak membahayakan
nyawanya. Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh
Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih
pingsan itu di atas punggung kuda.
“Dia
sudah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan
untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok.”
Wan
Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh
yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.
“Kita
tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu.” Thian Tok Lama membantah
dan Wan Keng In mendengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung
karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapapun juga, dia
harus ikut dan bertemu dengan Koksu. Setelah dia menyaksikan sendiri betapa
lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jerih juga. Bukan terhadap Bun
Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian
lihainya, apalagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar
Super Sakti! Maka dia harus bersikap cerdik dan harus dapat mencari kawan, dan
agaknya kedudukannya akan kuat sekali kalau dia dapat bersekutu dengan Koksu
yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga mempunyai banyak
orang pandai itu.
Dengan
murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, pergi keluar dari
hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya
ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah
dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama, Wan Keng In. Kini mereka siap dengan
senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan
Keng In maupun Thian Tok Lama sudah mengambil keputusan untuk pertama-tama
menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah
perjalanan ini.
Bun
Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas
punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia teringat
semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi
hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih
mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri
Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sendiri! Dan dia
hanyalah seorang anak haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia!
Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi kenyataan yang berbahagia itu?
Dan dia telah berhasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah bebas! Dia akan
menyambut kematian atau apapun juga, dengan senyum bahagia!
Ia
mengerling ke kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda,
memegang sebatang golok. Hemm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini,
juga belum berhasil membalas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li
Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya.
Bun
Beng mencoba mengerahkan sinkangnya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab
pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan
main, tak tertahankan! Tahulah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya
menderita lebih hebat lagi! Darah mengalir dari dalam leher ke mulutnya dan
dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin membawa
maut. Tentu perbuatan Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat
kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang memukulnya. Luka di tulang
punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda itulah yang dapat
melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada harapan
untuk menggunakan saat terakhir itu mencoba melepaskan diri dan membunuh
Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sin-kangnya tentu dia akan
mati sebelum sempat bergerak!
Dia
tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biarpun agaknya ketika dia
pingsan dia menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada
saat itu dia belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan
harapan. Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan
untuk dapat menyelamatkan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan
tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung
kuda dengan enak.
Rombongan
itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang
terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok
Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi
sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang
tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang.
Angin
malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik.. Tiba-tiba
terdengar teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika
rombongan itu diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah
atau senjata rahasia piauw yang runcing. Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun
bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini
menancap dan melukai kulit daging, barulah mereka terkejut dan menjadi kacau!
Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-batang bambu yang panjang
tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun bambu itu menjadi
hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu. Terdengar suara
berdebuk disusul robohnya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam
oleh batang bambu.
Thian
Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan
daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat
mereka menggerakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon
bambu yang besar dan panjang terbang menyerang mereka, berikut cabang-cabang
dan daun-daunnya. Tentu saja keduanya menjadi terhalang dan mereka
menggerakkan senjata membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang
membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut
tertembus batang bambu, sedangkan Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di
atas punggung kuda, melintang, sudah lenyap!
“Tawanan
lenyap!”
“Kejar....!”
“Tangkap
pengacau!”
Teriakan-teriakan
para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk mereka
terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan
akhirnya lenyap.
“Tidak
perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng,” kata Wan
Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.
Thian
Tok Lama menahan kudanya. “Siapakah dia?”
Wan
Keng In menarik napas panjang. “Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau
dia muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan setelah dia
muncul, orang satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu,
aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari
guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!”
Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jerih mendengar suara ketawa
susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama.
Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, menggeleng kepala dan dengan
hati risau terpaksa memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja.
Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan tetapi pasukannya pun
rusak, tawanan lenyap dan banyak panglima tewas, termasuk pembantu
kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.
Sementara
itu, jauh dari situ, di dalam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan
seorang diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu
terpikul tubuh Bun Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya!
***
Sementara
itu, di dalam istana kaisar sendiri terjadilah hal yang amat hebat dan penting.
Kaisar sendiri yang sibuk dengan urusan pemerintahan, dalam usahanya untuk
mendatangkan kemakmuran kepada rakyat agar pemerintahannya, pemerintah
penjajah, mendapat kesan baik di hati rakyat, sama sekali tidak menduga bahwa
di antara para pembantunya yang paling dipercaya sedang mengatur pemberontakan
untuk menjatuhkannya.
Kaisar
Kang Hsi memang seorang kaisar yang pandai. Akan tetapi, sebagai seorang
manusia biasa yang tak terlepas daripada kekurangan, Kaisar yang menjadi
pembangun dasar-dasar kekuatan pemerintah Mancu ini mempunyai kelemahan
terhadap wanita. Banyak sekali selirnya dan banyak pula anaknya. Karena terlalu
banyak inilah maka terjadi perebutan dan iri hati, dan Pangeran Yauw Ki Ong adalah
seorang di antara putera-puteranya dari selir yang demi cita-cita dan
kemurkaannya tidak segan-segan melakukan pengkhianatan dan mengadakan
persekutuan untuk memberontak dan menggulingkan ayahnya sendiri!
Selir
yang ratusan orang jumlahnya masih belum memuaskan hati Kaisar yang selalu haus
akan wanita muda yang baru. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh
mereka yang ingin menjilat dan mencari kedudukan lebih tinggi. Mereka selalu
mengincar dara-dara muda yang cantik jelita untuk dipergunakan sebagai
“persembahan”, tentu saja dengan harapan mendapatkan balas jasa. Kelemahan
Kaisar ini menciptakan pembantu-pembantu yang palsu dan di samping ini, juga
menimbulkan persaingan dan pertentangan di kalangan para selir itu sendiri.
Mereka adalah wanita-wanita cantik yang masih muda. Dengan adanya terlalu
banyak selir, mereka menderita dan tentu saja akibatnya memungkinkan terjadinya
pelanggaran dan ketidaksetiaan. Untuk mengatasi hal ini, para selir itu
dikurung dan dijaga keras oleh pengawal-pengawal yang semua terdiri dari
thaikam (manusia kebiri). Penjagaan dan pengawasan keras ini mendatangkan
penderitaan lahir batin bagi wanita-wanita muda itu sehingga mereka merupakan
segolongan orang yang mudah dihasut untuk membenci Kaisar yang mereka anggap
sebagai orang yang menyiksa mereka dan membuat hidup merupakan kesunyian dan
kesengsaraan bagi mereka.
Malam
hari itu, para selir yang seperti biasanya melewatkan malam sunyi dengan
celoteh, saling berbisik mempercakapkan Kaisar dengan hati penuh iri, karena
malam hari itu, semenjak sore hari, Kaisar telah mengeram dirinya di dalam
kamar bersama seorang selir baru! Seorang dara yang kabarnya cantik sekali dan
baru malam hari itu mendapat tugas kehormatan melayani Kaisar, seorang dara
istimewa karena dara ini adalah persembahan dari Koksu sendiri! Menurut berita
yang didengar sebagian para selir yang tidak melihat sendiri, mendengar penuturan
para thaikam penjaga, dara itu selain muda remaja, juga memiliki kecantikan
yang luar biasa, bermata agak kebiruan, hidungnya mancung dan kulitnya putih
kemerahan, seorana dara asing dari see-thian (dunia barat)!
Dan
sebagai persembahan dari Koksu sendiri, tentu saja dara itu mempunyai kedudukan
istimewa. Para thaikam tidak berani bersikap kurang hormat karena takut kepada
Koksu, bahkan para selir yang biasanya suka mengeluarkan perasaan iri mereka
terhadap selir lain dengan berani, sekarang hanya berani mempercakapkan selir
baru ini dengan bisik-bisik. Semua orang di istana, bahkan para selir dan para
pelayan sekalipun, tahu belaka akan kekuasaan Koksu yang ditakuti!
Malam
itu memang istimewa. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh para selir dan para
thaikam yang bertugas jaga, melainkan terutama sekali oleh Kaisar sendiri.
Semenjak Kaisar menerima gadis persembahan Koksu yang datang menghadap pagi
hari itu, Kaisar merasakan sesuatu yang lain daripada biasa. Belum pernah dia
melihat kecantikan seorang dara seperti dara peranakan Nepal ini. Kecantikan
yang khas, dan yang sekaligus menjatuhkan rasa sayang dan membangkitkan gairah
di hati Kaisar itu. Terangsang oleh gairah ingin cepat-cepat berdua saja
dengan Si Jelita ini, Kaisar menunda semua urusan, dan baru saja matahari
mengundurkan diri Kaisar sudah memasuki kamar peraduannya yang istimewa dan
memerintahkan Si Juita datang menghadap dan melayaninya.
Kamar
ini luas sekali, berbau harum dan dindingnya yang berwarna hijau muda dihias
bunga-bunga dan lukisan-lukisan indah. Lantainya dari batu pualam yang jernih
dan satu-satunya perabot kamar itu hanyalah kasur-kasur tebal yang memenuhi
bagian tengah, ditilami kain berbulu yang halus dan hangat, dengan
bantal-bantal terhias sarung sutera bersulam indah.
Kaisar
telah duduk setengah rebah di atas kasur ketika Thaikam kepala membuka pintu
kamar. Thaikam berlutut di luar pintu dan tampak seorang dara yang bertubuh
tinggi ramping dengan langkah gontai dan lemah lembut. Setelah dara itu
memasuki kamar, daun pintu tertutup lagi di belakangnya dan terdengar
langkah-langkah halus Thaikam kepala meninggalkan depan pintu disusul suaranya
berbisik-bisik mengatur penjagaan. Seperti biasa, setiap kali Kaisar bermalam
di kamar ini, di empat penjuru luar kamar selalu dijaga oleh pengawal-pengawal
thaikam yang berkepandaian tinggi, di samping pelayan-pelayan wanita yang
berlutut di luar kamar, diam tak bergerak seperti arca akan tetapi siap untuk
memasuki kamar apabila tenaga dan pelayanan mereka dibutuhkan. Empat orang
pelayan wanita yang muda dan masih gadis malam itu menjaga di luar kamar, tubuh
mereka yang duduk bersimpuh itu tak bergerak, akan tetapi mata mereka
kadang-kadang mengerling liar ke arah kamar dan jantung mereka berdebar penuh
ketegangan. Biarpun mata mereka tidak mungkin menembus dinding kamar untuk
menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar, akan tetapi dinding itu terbuat
dari papan kayu tipis halus sehingga telinga mereka dapat mendengar semua suara
dari dalam kamar. Suara yang lirih sekalipun, seperti berkereseknya pakaian
atau tarikan napas panjang, dapat terdengar jelas!
Dara
itu benar-benar cantik luar biasa. Kedua kakinya tidak bersepatu, telanjang
dan bersih, tampak putih kemerahan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera
longgar, pakaian tidur yang khusus dibuat untuk selir-selir kaisar, hanya
merupakan kain sutera tipis menyelimuti tubuh dan membayangkan bentuk tubuh
yang padat menggairahkan, penuh lekuk lengkung yang menantang. Ketika dara itu
tiba di depan pembaringan yang hanya kasur terletak di atas lantai, dia
menjatuhkan diri berlutut, menelungkup sehingga kedua lengannya rebah di atas
lantai di depan kepalanya, pangkal kedua lengan menutupi muka, rambutnya tergerai
lepas di atas lantai. Kulit leher yang putih kemerahan dan halus membayang dari
celah-celah rambut yang tersibak, dan sebagian lengan yang dilonjorkan keluar
dari selimutan Sutera, tampak putih bersih dan halus bagaikan lilin diraut!
Kaisar
terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu
kecil, tidak terlalu tinggi atau pendek. Cuping hidungnya bergerak mencium
keharuman yang keluar dari rambut dan leher agak terbuka penutupnya itu, dan
dengan suara agak gemetar Kaisar berkata halus,
“Bangunlah....!”
Tubuh
yang berlutut setengah menelungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi
tidak bergerak-gerak itu menggigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan
tubuh itu bangkit duduk, wajahnya tampak cantik jelita dan segar kemerahan
kedua pipinya, mulut yang amat manis bentuknya membentuk senyum malu, senyum
ditahan yang membuat bibir itu gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah
terpejam dengan pandangan menunduk sehingga bulu mata yang lentik panjang
membentuk bayang-bayang di atas pipi, leher yang panjang itu tampak jelas,
kepalanya agak dimiringkan. Kaisar makin terpesona, kini dia duduk dan
mengembangkan kedua lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka memperlihatkan
dada yang bidang dan perut yang mulai menggendut.
“Juita
sayang.... jangan takut dan malu, ke sinilah....” kembali Kaisar berbisik.
Muka
itu makin meriunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara
menggigit sebelah dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan
menggunakan kedua lututnya, menghampiri Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah
menerkamnya dengan pelukan penuh gairah.
Para
thaikam yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan
wajah tidak berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keadaan mereka
sebagai orang kebiri telah melenyapkan pula perasaan halus mereka. Mereka
berdiri berjaga dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Akan tetapi yang
amat tersiksa adalah gadis-gadis pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan
menggigit bibir mendengarkan segala kemesraan yang berlangsung di dalam kamar
Kaisar. Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah.
Kaisar
seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar
kegaduhan yang terjadi di luar kamarnya. Padahal, terdengar bentakan tertahan
sebelum para pengawal thaikam itu roboh tewas, dan seorang diantara para gadis
pelayan sempat menjerit kecil sebelum dia roboh pula seperti teman-temannya.
Kaisar yang tergila-gila kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian
nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa di luar kamarnya darah
berlepotan membanjiri lantai. Bukan hanya ini saja kelengahannya, bahkan dia
juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya seperti gila, yang sempat
mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan yang halus dan jari-jari
tangan yang membalas belaiannya, juga merupakan maut yang siap mencabut
nyawanya! Tanpa terlihat oleh Kaisar, dua buah jari tangan yang halus meruncing
dan indah itu kini telah menjepit sebatang jarum dan jari-jari tangan yang
mengandung tenaga kuat itu siap untuk menusukkan jarum ke dalam otak di kepala
Kaisar melalui pusat di tengkuk!
Tiba-tiba
tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pelukan Kaisar itu
tiba-tiba mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam
sekarat! Tentu saja Kaisar menjadi terkejut sekali, serta-merta meloncat,
menyambar pakaiannya dan membalikkan tubuh memandang ke arah pintu. Pintu telah
terbuka dan di tengah pintu tampak seorang wanita setengah tua yang cantik,
gagah dan mengerikan karena mukanya yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita
itu segera menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar!
Kaisar
yang terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah, “Siapa
engkau sungguh berani mati sekali! Pengawal....!”
“Hendaknya
Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah terbunuh dan nyaris
Paduka juga terancam maut di tangan perempuan itu.” Wanita bermuka putih itu berkata
tanpa mengangkat muka dan dengan sikap hormat, akan tetapi juga dingin.
Kaisar
yang sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi
membuatnya mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur
telentang di atas kasur, dengan sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah
tidak bergerak lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis terluka mengeluarkan
darah. Akan tetapi bukan tubuh itu dan bukan luka itu yang membuat Kaisar
terbelalak, melainkan jari tangan yang menjepit sebatang jarum hitam!
“Apa....
apa yang telah terjadi....?” Kaisar tergagap karena merasa heran dan tidak
mengerti.
“Harap
Sri Baginda mengampunkan hamba yang lancang ini. Persekutuan pemberontak telah
merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini adalah seorang kaki
tangan Koksu yang bertugas merayu dan membunuh Paduka dengan tusukan jarum
beracun. Sedangkan para thaikam pengawal di bagian istana ini telah dibunuh
oleh kaki tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa perempuan ini hampir
saja membunuh Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi tahu dan turun
tangan membunuhnya.”
“Apa....?
Pemberontak? Koksu? Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu sungguh
besar....!”
Pada
saat itu, muncul dua orang bersorban di belakang wanita itu. Mereka
menggerakkan tangan dan dua batang pisau terbang melumur ke dalam kamar. Wanita
itu berseru, tubuhnya mencelat ke depan dan sekali sambar dia telah berhasil
menangkap dua batang pisau yang menyerang Kaisar, kemudian dengan kecepatan kilat
dia telah menyambitkan pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya. Dua orang Nepal
itu memekik dan roboh terjengkang dengan dada tertusuk pisau mereka sendiri!
Kini
barulah Kaisar yakin akan kebenaran kata-kata wanita aneh itu. “Aihhh....
lekas ceritakan dengan singkat, apa yang terjadi!”
“Hamba
bernama Lulu dan secara kebetulan saja hamba tahu akan persekutuan busuk ini.
Pemberontakan direncanakan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu
dan kaki tangan mereka, bahkan di perbatasan utara telah dipersiapkan tentara
pemberontak gabungan, dibantu orang-orang Nepal, Mongol dan Tibet. Hamba
tidak tahu banyak, akan tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka
terancam....”
“Hemm,
jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu? Engkau wanita
Mancu? Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan
engkau untuk membasmi para pembunuh di istana puteri ini. Kuberi kekuasaan
kepadamu.”
“Akan
tetapi Paduka? Hamba harus menjaga Paduka....”
“Aku
akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan
khawatir, sebentar lagi pengawal-pengawalku akan membantumu sehingga tidak
seorang pun pembunuh akan lolos. Lakukanlah perintahku!”
Wanita
itu yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat
lalu berkelebat keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita
yang kini telentang menjadi mayat, menghela napas panjang penuh penyesalan,
lalu menghilang di balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar menekan
tombol di sudut kamar.
Dengan
gerakan ringan bagaikan seekor burung walet, Lulu meloncat keluar dari dalam
kamar. Sambaran senjata rahasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan
sekali meloncat dia telah naik ke atas sebuah meja. Dari belakang muncullah
empat orang bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok mereka itu
berlepotan darah dan dengan ganas mereka menyerang Lulu.
“Sing-sing....
crak-crakkkk!” Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah tertimpa senjata
tajam, akan tetapi Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah
berada di belakang dua orang Nepal membalas serangan dengan tamparan-tamparan
kedua tangannya.
Dua
orang Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan
yang bertugas membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka
ini terdiri dari dua belas orang Nepal dan tiga orang Han dan semua thaikam
yang menjaga di istana bagian puteri ini telah mereka bunuh. Tamparan Lulu
dapat mereka elakkan, bahkan mereka memutar tubuh sambil menyerang lagi dengan
golok.
Akan
tetapi yang mereka hadapi adalah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki
kesaktian luar biasa. Biarpun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang
Nepal itu balas menyerang dengan golok, Lulu sama sekali tidak mengelak bahkan
mengembangkan kedua tangan menyambut golok-golok itu.
“Trak-trakkkkkk!”Dapat
dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok mereka dapat
dicengkeram dan patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan
tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa kaget, keduanya sudah roboh
dengan urat-urat leher putus terkena “bacok” kedua tangan Lulu!
“Hati-hati,
kepung dia....!” Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di
sudut. Orang ini, berbeda dengan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan
agaknya dia sedang asyik minum arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana
itu. Kemudian terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal, dan orang-orang
bersorban dibantu oleh tiga orang Han yang gerakannya ringan gesit kini
mengurung Lulu dengan gerakan teratur. Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu
tahu akan kelihaian Lulu dan sudah mengatur anak buahnya untuk mengurung dan
membentuk barisan!
Lulu
berdiri di tengah-tengah ruangan yang luas, diam tak bergerak, hanya kedua
matanya saja yang bergerak mengerling ke kanan kiri mengikuti gerak-gerik para
pengurungnya. Dia melihat betapa mereka itu membentuk garis pat-kwa dan mulai
mengeluarkan suara seperti bernyanyi atau berdoa! Mula-mula Lulu memandang
rendah, sungguhpun dia bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa bergerak, akan
tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika suara nyanyian itu makin lama
makin tidak enak sekali memasuki telinganya, seperti menusuk-nusuk dan dia
mulai menjadi pening!
Yang
paling nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu
kakek Nepal yang masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng,
menonton ke bawah sambil bernyanyi-nyanyi memimpin anak buahnya! Lulu tidak
tahu bahwa mereka itu mempergunakan ilmu hitam untuk menundukkannya.
Tak
tertahankan lagi kepeningan kepalanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya.
Pada saat itu, terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara
orang-orang Nepal menubruk maju dan menggerakkan senjata mereka. Seorang
bersenjata golok, seorang menusuk dengan pisau-pisau belati di kedua tangan,
dan orang ke tiga menghantamkan sebuah ruyung!
Lulu
merasa pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan
datangnya serangan. Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan
jerit melengking yang tidak lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia
tidak mengelak, melainkan langsung menubruk maju menyambut serangan-serangan
itu dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari terbuka
mencengkeram ke depan!
Tanpa
disengaja, Lulu telah membuyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung ilmu
hitam itu, yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khi-kang saking marah
tadi. Akibat dari terjangannya yang dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu
terpental ke belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri
Lulu sehingga jari-jari tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada,
seorang lagi terlempar oleh tamparan yang mengenai kepala, sedangkan orang ke
tiga terhuyung-huyung mundur ketakutan! Lulu melemparkan orang yang dicengkeram
dadanya, kemudian cepat meloncat ke belakang melampaui kepala para pengurungnya
karena pada saat itu, sudah datang pula senjata-senjata para pengeroyok
menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu yang amat gesit ini sama sekali
tidak disangka-sangka oleh para pengurungnya, demikian cepat laksana kilat
menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu telah berada di atas sebuah
meja!
Orang-orang
Nepal itu cepat mengurung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi kini
Lulu yang sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah
meninggalkan meja dan meja itu bergerak menerjang ke kanan kiri,
melayang-layang menggantikan kaki wanita perkasa itu! Terjadilah pertempuran
yang aneh dan hebat sekali. Karena dia selalu berada di atas meja tidak mudah
bagi pengeroyok untuk menyerangnya tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan mengandung
hawa sin-kang yang dilancarkan Lulu dari atas meja, membuat mereka tak berani
mendekat karena siapa yang terlalu dekat, kalau tidak terpelanting oleh pukulan
jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum rahasia yang dilepas oleh
bekas Ketua Pulau Neraka itu. Betapapun juga, karena rata-rata orang-orang
Nepal itu memiliki kepandaian tinggi, Lulu juga tidak berani bersikap sembrono
dan memandang rendah. Dia selalu membuat mejanya melayang ke luar dari kepungan
setiap kali para pengeroyoknya berusaha untuk mengepungnya. Ketika dia
berhasil merobohkan empat orang pula dan pihak pengeroyok mulai menggunakan
pisau-pisau terbang, tiba-tiba meja itu melayang ke atas loteng!
Kakek
Nepal yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa kepungan
anak buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran
sekali. Ditenggaknya arak dari guci, kemudian dia bergerak meloncat menyambut
Lulu yang melayang bersama mejanya ke atas loteng, dan disemburkanlah arak
dari mulutnya ke arah Lulu.
Wanita
ini mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia
menghadapi kakek Nepal itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan
menyerangnya, Lulu cepat menggerakkan tangan mendorong sambil mengerahkan
sin-kang. Uap arak itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main melihat
betapa uap itu seolah-olah hidup, terpecah-pecah dan seperti serombongan ular
terbang, terus menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah
melontarkan guci yang kosong ke arah meja yang diinjaknya.
“Desss!”
Lulu lebih memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia meloncat
ke atas meninggalkan mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian di
udara dia berjungkir balik, melayang ke arah kakek Nepal melampaui gumpalan uap
tadi, langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Bian-kun!
Kakek
Nepal itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu memandang
rendah Lulu, tidak tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang
tersohor. Melihat wanita itu dapat menghindarkan serangan uap araknya dan kini
melayang sambil memukulnya dengan dorongan telapak tangan yang membawa angin
pukulan halus, dia terkekeh, lalu melonjorkan tangan menyambut pukulan tangan
Lulu dengan niat menangkap tangan wanita itu!
“Plakkk!”
Telapak tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu
terkekeh makin girang ketika merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan
hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Akan tetapi,
dia sama sekali tidak tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam
pukulan halus yang amat berbahaya. Lulu memperoleh ilmu pukulan mujijat ini
dari Nenek Maya yang sakti, dan setelah dia tinggal di Pulau Neraka, pukulan
ini diperhebat dengan hawa beracun. Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak
berapa tinggi ilmunya, biar orang-orang terkuat di dunia kang-ouw jaranglah kiranya
yang akan kuat menerima pukulan ini secara terbuka seperti itu. Suara ketawanya
tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya seketika kaku seperti
kemasukan api halilintar dan begitu tangan kiri Lulu menyusul dengan tamparan
mengenai kepalanya, kedua telapak tangan yang saling menempel tadi terlepas,
tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan muka berubah hitam!
Gegerlah
orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya
berloncatan mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, merobohkan tiga
orang lagi. Sementara itu di antara mereka ada yang sudah melihat wanita yang
ditugaskan membunuh Kaisar menggeletak tanpa nyawa di dalam kamar peraduan,
maka maklumlah mereka bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah mereka
menjadi panik dan berusaha untuk melarikan diri.
Akan
tetapi, Lulu yang telah menerima perintah kaisar, tidak membiarkan mereka
lolos. Dia selalu berkelebat menyerang dan merobohkan lawan yang hendak
melarikan diri dan tidak lama kemudian, muncullah pasukan pengawal yang
dipimpin oleh Kaisar sendiri dari pintu samping! Pasukan pembunuh menjadi
makin kacau, mereka melawan mati-matian akan tetapi akhirnya mereka roboh semua
seorang demi seorang!
Pada
saat itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang terakhir
pasukan pembunuh roboh, daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh
melayang masuk ke ruangan itu. Lulu memandang kaget ketika mengenal bahwa yang
baru masuk melalui jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang si
wanita berkerudung bersama dara jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang
terhunus!
“Tangkap
Ketua Thian-liong-pang, sekutu pemberontak!” Tiba-tiba kaisar membentak marah.
Dia sudah mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang
tadinya dia setujui saja karena dia percaya kepada Koksu. Akan tetapi setelah
kini ternyata Koksu memberontak, tentu saja Thian-liong-pang juga merupakan
pemberontak, dan agaknya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan
pembunuh. Kaisar hanya menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang
yang katanya amat lihai dan seorang wanita berkerudung yang penuh rahasia.
Mendengar
bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata
terhunus, mengurung dan hendak menyerang.
“Jangan
lancang!” Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil menggerakkan tangan
kiri dan lima orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri! Melihat ini para
pengawal terkejut dan Kaisar sendiri pun kaget sekali.
“Biarkan
hamba yang menghadapinya!” Lulu berkata lantang dan sekali kakinya bergerak,
tubuhnya sudah melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan
dan tempat yang jauh berlainan dari yang pertama, dua orang wanita sakti ini
saling berhadapan!
Bagaimanakah
Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ
bersama puterinya? Seperti kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin
menghadapi pengeroyokan Bhong-koksu dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali
perwira dan pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu terjadi di dalam taman
di istana Koksu dibantu oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang
lihai sekali, namun Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan
banyak orang dalam usaha mereka membobol keluar dari kepungan. Tadinya Nirahai
berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil membunuh Bhong-koksu yang telah
memberontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk membunuhnya dan menghancurkan
Thian-liong-pang, akan tetapi ketika mendengar betapa pada saat itu Koksu telah
mengirim pasukan untuk menyerbu Thian-liong-pang, dia menjadi khawatir sekali
dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan bertempur, dia membuka
jalan darah untuk keluar dari kepungan.
Kepandaian
Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek aneh
yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, membuat kepungan Bhong-koksu dan
kaki tangannya kurang kuat dan akhirnya, setelah merobohkan banyak lawan, dua
orang sakti itu berhasil membobol kepungan dan melarikan diri ke luar dari taman
di belakang istana Koksu.
Mereka
lari berpencar. Nirahai langsung menuju keluar dari kota raja untuk pergi ke
markasnya, sedangkan Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja untuk mencari
jejak muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari tembok kota raja, dia bertemu
dengan Milana yang berlari-lari.
“Milana....!”
dia memanggil dengan hati tidak enak. Puterinya bertugas menjaga di markas dan
kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan markas
Thian-liong-pang.
“Ibu....!”
Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai makin tidak
enak lagi.
“Apa
yang terjadi?” Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang menangis
terisak-isak.
Dengan
suara terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang
dipimpin Thian Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak
buah mereka pun sebagian besar tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat
melarikan diri. Mendengar penuturan ini Nirahai marah bukan main.
“Anjing
pengkhianat Bhong Ji Kun....!” Dia memaki dan mengepal tinju.
“Kita
harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu.” Milana
berkata penuh sakit hati.
“Bagaimana
engkau dapat lolos?” Tiba-tiba Nirahai bertanya.
Milana
lalu meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng.
“Dia memaksa aku melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini untuk
diserahkan kepada Ayah.”
“Hemmm....,
anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak tersangka. Milana, sekarang juga
kita harus menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada
kerajaan, membantu kerajaan dan membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki
tangannya.”
Demikianlah,
ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana
menjelang pagi. Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai
dapat menyelundup ke istana dan langsung menuju ke bangunan istana bagian
puteri karena di waktu larut malam seperti itu dia tidak berani mengganggu
Kaisar. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat
keributan di istana bagian ini, melihat banyak thaikam menggeletak tewas dan
banyak pula orang-orang bersorban tewas, bahkan di ruangan dalam masih terjadi
pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar yang membantu Lulu
membunuh orang-orang Nepal.
Ketika
mendengar bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Koksu dan perintah
Kaisar untuk membunuhnya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima
orang pengawal yang menyerangnya. Kini Lulu berdiri di depannya dengan sikap
menantang!
“Hemm,
sungguh tak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini, Thian-liong-pangcu!
Lebih-lebih lagi tidak kusangka bahwa engkau begitu keji dan palsu, bersekutu
dengan pemberontak untuk membunuh Kaisar! Setelah berada di depan Sri Baginda,
engkau masih banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi
aku tidak!” Lulu berkata, dan diam-diam dia merasa tidak suka kepada wanita
berkerudung yang telah mengancam puteranya dan yang telah menolak pinangannya
itu.
“Kurung
para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!” Kaisar berseru lagi ketika dari
pintu-pintu ruangan itu bermunculan pengawal-pengawal yang mendengar akan
peristiwa di istana bagian puteri dan cepat memimpin pasukan untuk membantu.
Kini tempat itu penuh dengan pasukan pengawal dan semua pintu dijaga ketat
sehingga tidak ada jalan keluar Pagi bagi Nirahai dan Milana.
“Pemberontak
rendah, bersiaplah untuk mati!” Lulu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke
depan, menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena dia maklum
bahwa lawannya ini adalah seorang yang sakti, maka begitu menyerang, Lulu telah
mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bun-hoat dan tenaga pukulannya
adalah Ilmu Toat-beng-bian-kun!
“Plak!
Plak! Heiiiittt!”
Lulu
melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua
Thian-liong-pang itu menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan
tenaga pukulan yang sama!
“Aihh,
ternyata betul kabar yang tersiar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri
ilmu yang tak tahu malu!” bentak Lulu dengan penuh kemarahan.
“Lulu,
betapa bodohnya engkau!” Tiba-tiba suara di balik kerudung ini berubah halus
dan Lulu tersentak kaget.
“Kau....
kau.... siapakah....?”
Pada
saat itu, Milana sudah menjatuhkan diri. berlutut menghadap kepada Kaisar
sambil menangis dan berkata,
“Mohon
Sri Baginda sudi mengampunkan hamba dan ibu hamba....! Thian-liong-pang sama
sekali bukan pemberontak, bahkan sebaliknya. Thian-liong-pang selalu membantu
kerajaan! Karena itulah, baru saja kemarin, Thian-liong-pang diserbu dan
dihancurkan oleh pasukan pemberontak Koksu pengkhianat, para pembantu Ibu tewas
semua dan hamba sendiri pun nyaris tewas.... harap Paduka sudi mengampunkan ibu
dan Ibu.... Ibu.... selamanya.... setia kepada Paduka....” Milana tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Baru sekarang
ini dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih kakeknya sendiri! Dia
menangis bukan karena takut melihat ancaman terhadap ibunya dan dia, melainkan
merasa berduka dan terharu.
Lulu
juga mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berkerudung itu
dengan bingung. Kini wanita berkerudung itupun menjatuhkan diri berlutut
menghadap Kaisar dan terdengar suaranya lantang,
“Sesungguhnyalah
apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu, hamba adalah
puteri Paduka yang setia....” Nirahai merenggut kerudung yang menutupi mukanya
dan tampaklah wajah yang cantik agung dan diliputi penderitaan batin itu.
“Suci
(Kakak Seperguruan)....!” Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun
tidak pernah diduganya bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah
Nirahai!
“Nirahai....!”
Kaisar juga berseru girang, lalu melangkah maju. “Aihhh.... jadi engkaukah
yang selama ini menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan gadis ini.... dia
anakmu....?”
Nirahai
menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap dah berlutut di depan Kaisar.
“Harap Paduka sudi mengampunkan hamba, Milana adalah anak hamba dan....”
“....dan
dia cucuku! Ahhhhh!” Kaisar menyentuh kepada Milana dengan ujung jari
tangannya. “Nirahai, sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, kuserahkan
seluruh pengawal. Seperti dahulu, pimpin mereka membersihkan pemberontak-pemberontak
laknat itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong Ji Kun, seret mereka ke pengadilan!
Dan.... wanita bernama Lulu ini, siapakah dia? Sumoi-mu?”
“Dia
adalah Lulu, Sumoi hamba dan.... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah
dibasmi oleh pasukan kerajaan.” Nirahai berkata dan Lulu sudah menjatuhkan
diri berlutut.
Kaisar
mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang. “Hemm...., semua adalah
gara-gara perbuatan Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku
bahwa Pulau Es dan Pu1au Neraka merupakan kekuatan-kekuatan berbahaya dan
perlu dibasmi, dan aku selalu percaya kepadanya. Apalagi karena aku mengira
bahwa engkau berada di Pulau Es.... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah
mendengar bujukan Si Palsu itu.”
“Baik
Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi kerajaan!”
Nirahai berkata dan Lulu hanya menundukkan mukanya karena dia benar-benar
menjadi bingung sekali setelah mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang
adalah Nirahai. Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila kepada anak Nirahai?
Dan anak Nirahai berarti anak.... Han-koko, pikirnya terharu dan terkejut,
karena bukankah sucinya itu pernah menjadi isteri Suma Han Si Pendekar Super
Sakti?
“Si
keparat Bhong Ji Kun yang berdosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan
tugas dan kekuasaan kepada kalian berdua untuk membasmi pemberontak. Setelah
itu barulah kita bicara. Nah, terimalah pedangku sebagai lambang kekuasaan
tertinggi!” Kaisar meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung
Hong, menyerahkan pedang itu kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut.
Kemudian, dikawal oleh pengawal-pengawal pribadinya, Kaisar mengundurkan diri
dan Nirahai lalu mengajak Lulu dan Milana untuk mengatur pasukan bersama para
panglima istana yang kini menganggap Nirahai sebagai kepala mereka. Para
panglima yang tua tentu saja masih mengenal Nirahai dan mereka girang sekali
mendapatkan pimpinan wanita sakti ini karena yang mereka lawan adalah Koksu
yang dibantu oleh banyak orang lihai.
Akan
tetapi, ketika Nirahai yang dibantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk
membikin pembersihan, ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan
semua pembantunya, diam-diam telah lolos dari kota raja dan melarikan diri ke
utara untuk bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan untuk
menyerang kerajaan secara terbuka! Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu
mengerahkan pasukan, melakukan pengejaran ke utara, tetap dibantu oleh Lulu.
Adapun Milana tidak ikut membantu ibunya karena dara ini bersikeras untuk
mencari ayahnya, menyerahkan pedang Hok-mo-kiam dan juga diam-diam dara ini
mengkhawatirkan keadaan Bun Beng yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana
nasibnya.
Berangkatlah
pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan utara
untuk mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena
mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah
amat terkenal sebagai seorang pemimpin yang pandai dan gagah perkasa. Apalagi
karena Puteri Nirahai adalah puteri kaisar sendiri!
***
Tubuh
Bun Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini
maklum bahwa dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia
tidak tahu siapa kakek ini, dan di dalam gelap tadi dia tidak dapat
memperhatikan wajahnya. Kini, bulan sepotong menimpakan cahaya yang cukup
terang, akan tetapi dia tergantung di ujung bambu seperti seekor binatang
buruan, seperti seekor kijang atau babi hutan yang tertangkap, kaki dan
tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang tubuhnya. Dari tempat ia
bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan rambut
riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang
lucu, seperti menari-nari!
“Heh-heh-heh,
tentu akan terjadi perang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul kotor dilanda
barisan bala tentara yang berbaris. Ramai! Ramai!” Kakek cebol itu lalu
mengayun langkah pendek-pendek, berlenggang meniru gerakan pasukan berbaris.
Bambu panjang yang dipanggulnya, bergerak naik turun dan dipegang seperti
tentara memanggul tombak, mulutnya meniru aba-aba komandan pasukan, “Tu-wa!
Tu-wa! Tu-wa!”
Diam-diam
Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut
terangguk-angguk di ujung bambu, membuat kepalanya makin pening! Celaka,
pikirnya, kakek cebol ini agaknya sudah terlalu tua dan pikun sehingga berubah
seperti kanak-kanak, atau memang otaknya agak miring! Sukar diduga apa yang
akan menimpa dirinya yang terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang
sakti, sedangkan dia menderita luka dalam yang amat parah sehingga jangankan
mempergunakan tenaga dan kepandaiannya, bahkan melepaskan diri dari belenggu
kaki tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap pengerahan sin-kang akan
mempercepat nyawanya melayang. Maka diapun tidak bergerak dan tidak bersuara,
hanya menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu.
Memang
kalau orang belum tiba saatnya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun
Beng. Dia sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi
tawanan dan tiada harapan lagi baginya untuk meloloskan diri. Sungguh
kebetulan sekali, ketika dia menolong Milana, berhasil membebaskan dara itu
dan dia sendiri mengamuk, ada sepasang mata yang menonton semua itu dengan
penuh rasa kagum. Sepasang mata itu adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang
mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Kalau saja Bu-tek Siauw-jin tidak
menyaksikan semua peristiwa ketika Bun Beng menyelamatkan Milana di atas pohon,
agaknya kakek ini tidak mau mencampuri urusan, apalagi menolong Gak Bun Beng
yang sama sekali tidak dikenalnya.
Bukan
hanya sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu,
menimbulkan kekaguman dan rasa suka, akan tetapi terutama sekali ketika ia
menyaksikan dengan penuh keheranan betapa Gak Bun Beng mampu menghadapi Wan
Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang mengeroyoknya.
Dia menyaksikan betapa ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan
seandainya pemuda itu tidak menghadapi pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng
In, agaknya belum tentu pasukan itu dapat menawannya. Sebagai seorang sakti,
Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin sekali tahu dari mana pemuda itu
memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia mengambil keputusan untuk
menculik Bun Beng. Bukan semata-mata karena dia tertarik dan kagum kepada Bun
Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa tidak sukanya kepada Wan Keng In, murid
suhengnya itu!
Setelah
kini Bun Beng dapat diculiknya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa
yang harus dia lakukan terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor
babi hutan yang tertangkap, dibawa melanjutkan mengikuti jejak Pendekar Super
Sakti. Apalagi ketika matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa pemuda yang
ditolongnya itu menderita luka pukulan yang amat hebat, dan untuk menyembuhkannya
bukan merupakan hal yang mudah. Biarlah kuserahkan dia ke pada Pendekar Super
Sakti, pikir kakek itu. Ketika Bun Beng dan Milana bercakap-cakap tentang
cinta mereka di atas pohon, kakek ini mencuri dengar, maka dia tahu bahwa
pemuda yang dipanggulnya ini saling mencinta dengan puteri Pendekar Super
Sakti. Calon mantu! Tentu pendekar itu akan girang kalau dia beri “hadiah”
calon mantunya ini!
Bu-tek
Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik
bukit kecil di mana terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya
Pendekar Super Sakti berdiri tegak dengan kaki kanannya, tangan kiri memegangi
tongkatnya dan wajahnya diangkat memandang ke arah bulan sepotong, diam tak
bergerak seperti arca! Rambutnya yang panjang putih itu tertimpa sinar bulan
pucat, menjadi makin mengkilat putih seperti perak. Lengan kanannya menyilang
depan dada, berpegang pada lengan kiri. Hanya ujung rambutnya yang putih
panjang itu saja bergerak sedikit tertiup angin malam.
“Brukkkk!”
Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun
Beng terbanting ke atas tanah, akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah
keras benar dan tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan
pangkal pahanya saja yang terbanting. Ia tetap miring dan dapat melihat kakek
cebol itu berjalan menghampiri Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak
bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek itu tidak terdengar olehnya, atau
kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama sekali.
Sebetulnya
kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat
ia kagumi. Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika ia menghampiri pendekar
kaki buntung itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan
pendekar itu ternyata sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh
duka!
Bu-tek
Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu
sambil menaruh kedua tangan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di
depan pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar
itu hanya berulang kali menghela napas panjang, kembali ia menggeleng-geleng
kepala dan berjalan hilir-mudik lagi.
Biarpun
dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang rebah
miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar
sinting! Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka
telah saling mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti
akan ramai bukan main kalau sampai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu
bertanding ilmu melawan Pendekar Siluman! Akan tetapi, sungguh sama sekali
tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu bersikap luar biasa sekali. Pendekar
kaki buntung itu tetap berdiri tegak sedangkan kakek cebol itu berjalan
hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai sejam
lebih! Benar-benar sinting mereka itu!
Akhirnya
terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak
didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
“Sekali
hidupsiapa minta?
segala
macam peristiwa menimbulkan suka duka salah siapa?
Apapun
yang terjadi tak mungkin dirobah tiada hubungan dengan suka duka mengapa
susah?
Kakek
bulan puntidak selalu sempurna mengapa kecewa?
Tuhan
tidak mengharuskan setan tidak memaksa tawa atau tangis!
Yang
senang memang bodoh tapi yang berduka lebih tolol lagi!”
Kini
tubuh Suma Han bergerak. Terdengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan
muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. “Hemm, Bu-tek
Siauw-jin. Yang menonton memang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat
mudah mencela, semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi yang
merasakannya sendiri barulah dapat menilai akan ringan beratnya.”
Kakek
itu tertawa. “Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Eh,
Pendekar Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat
daripada bulan itu. Tentu engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu
setelah kaurasakan. Kalau begitu, mengapa dirasakan?”
“Karena
aku ada pikiran.”
“Siapa
menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?”
“Tidak
ada yang menyuruh.”
“Nah,
kalau begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempunyai pikiran,
apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk memikirkan hal-hal yang
menimbulkan duka? Daripada pikiran dipergunakan secara keliru seperti itu,
jauh lebih baik dipergunakan untuk memikirkan mengapa kita sampai berduka!
Karena sesungguhnya, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari
pikiran kita sendiri itulah!”
“Bu-tek
Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas
daripada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup,
memberi isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal
suka?” Suma Han menjawab setelah menghela napas panjang.
“Ha-ha-ha,
Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia,
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil
ketakutan, kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh
Im dan Yang. Sungguh mengherankan sekali, engkau yang membuka hati dan
pikiranku di dalam kamar tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku,
ternyata engkau sendiri tidak tahu akan api itu dan masih tinggal terbuai di
alam mimpi dalam tidur nyenyak. Ternyata engkau yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang terikat oleh keadaan
dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan kenangan masa
lampau. Sungguh kasihan!”
Tentu
saja Suma Han menjadi penasaran sekali. “Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!” dan
pendekar ini menjatuhkan tubuhnya duduk bersils di atas sebuah batu.
“Aku
hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali
membuktikan kelemahanmu, engkau tidak mau membuka mata melihat keadaan diriku,
tidak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu
menyesatkan.” Kakek itupun menggerakkan tubuhnya dan “bruuk!” dia sudah duduk
pula di atas sebongkah batu besar tak jauh di depan Suma Han.
Sejenak
keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring,
mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin
dia menyaksikan, bahkan mengharapkan terjadinya perang tanding di antara dua
orang yang memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kecewa! Ternyata
kedua orang itu mulai bertanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang
hidup. Namun, makin didengar, makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan
dua orang aneh itu adalah hal-hal mengenai rahasia hidup dan makin didengar,
makin terbukalah mata batin pemuda ini sehingga dia merasa seolah-olah
tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
“Bu-tek
Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!” Suma Han menyerang
dengan suara mengejek. “Kau seolah-olah memandang rendah kepada pikiran yang
kaukatakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?”
“Aku
tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga
aku selama ini, kita manusia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak
hidup dikemudikan oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk
kita lihat keadaan kita ini, keadaan pikiran kita. Memang hidup membutuhkan tenaga
pikiran untuk mengingat-ingat dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk
menyelesaikan segala macam urusan lahiriah. Pikiran perlu pula untuk
mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun terbatas kepada urusan
lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup menjadi
rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!”
“Trakkk!”
Ujung batu yang diduduki Suma Han cuwil oleh tangan Si Pendekar yang
mencengkeramnya. “Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu? Hati-hatilah
engkau bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak senang. Aku
tidak ingin kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada
keponakanku!”
“Nah,
itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri,
Suma-taihiap. Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukanlah
aku yang mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang menjadi
biang keladi segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu
diri sendiri. Ha-ha-ha!”
“Hemmm,
engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?”
“Seperti
kukatakan tadi, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran
kita sendiri, karena itu, sebagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu
ini, mengapa mau saja diperbudak oleh pikiran?”
“Bu-tek
Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikurniai pikiran, mengapa
tidak akan kupergunakan?”
“Ha-ha-ha,
siapa yang mengurniaimu? Dan siapakah itu yang kausebut aku yang mempunyai
pikiran? Pendekar Super Sakti, dengarlah baik-baik segala yang hendak
kukemukakan, karena semua kesadaran ini kudapat setelah mendengar petunjukmu
di dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa
penilaian, tanpa kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud
memberi pelajaran kepadamu, bukan bermaksud menguliahi. Sama sekali tidak
karena engkau jauh lebih pandai daripada aku. Maukah engkau mendengarkan?”
“Bicaralah,
kakek aneh.”
“Pikiran
adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun
yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan
hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. Dengan sendirinya
pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan,
menghindarkan hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan.
Kalau sudah begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak
akan timbul iri, dendam, benci dan sengsara?”
“Nanti
dulu!” Suma Han berkata nyaring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima
ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. “Coba jelaskan lagi, bagaimana
pikiran mula-mula mengemudikan dan menguasai kita.”
“Kita
melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Tidak akan terjadi akibat
sesuatu yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran masuk dan
mengacaunya. Pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu
mengenai kembang itu, dan karena pikiran berputar dengan pusatnya Si Aku yang
diciptakannya, maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk
menciumnya, dan untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah
demikian, mulailah kekacauan yang akan terus berekor dan berakibat. Kembang
dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul percekcokan dan
lain-lain.”
“Aku
dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin, dan memang agaknya
tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan
pengalaman masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal
yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal
yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat
yaitu Si Aku, sehingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan
Si Aku dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentangan. Benar sekali! Akan
tetapi, apa hubungannya dengan iri?”
“Karena
nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat
yang menyenangkan dimiliki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang
menimbulkan iri tentulah hanya yang menyenangkan saja.”
“Bagaimana
dengan dendam dan benci?”
“Dendam
menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian inipun
ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan hal-hal
tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebencian kepada
seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak
menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang,
pikiran berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbulkan dendam
kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan pertentangan, permusuhan dan
kesengsaraan.”
Suma
Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari
mulut kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya,
menyentuh kesadarannya, namun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi
oleh pengaruh Im dan Yang itu, membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang
timbul dari pengertian itu, dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.
“Apa
hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?”
“Kedukaan?
Hemmmm.... kedukaanmu?”
Kakek
itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, seolah-olah
ada sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di
kamar tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus
membuka mata batin lebar-lebar dan menghilangkan segala penghalang yang
menutupi dirinya sendiri selama ini. Maka pertanyaan itupun membuatnya
ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab lancar, “Sebelumnya maafkan kalau
kata-kataku kau anggap tidak tepat. Akupun hanya seorang pencari yang baru saja
mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama persoalan duka ini. Apakah
sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana timbulnya? Saya
berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah
pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan
hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbulnya
duka, bukan? Dan bagaimana kedukaan timbul? Tentu saja kalau pikiran kita
main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak
ada, sahabatku. Yang ada hanyalah permainan pikiran yang menggali masa lalu,
bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan sendiri dalam perasaan, maka
datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan
oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-taihiap?”
Bun
Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah
menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan
tetapi telinganya dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu
berhenti bicara, sampai lama keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam,
kesunyian yang amat suci dan bersih, kesunyian yang mencakup segala apa di
dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup di dunia yang baru. Sunyi
melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran. Suara daun gemerisik
ditiup angin, suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang menyambut
malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari
sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak
kesunyian melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri. Dia rebah di
atas tanah, dua orang sakti yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau
tanah yang sedap, rasa pegal di kedua lengannya dan kakinya yang terikat, rasa
di kepalanya yang minta digaruk, semua ini menjadi bagian dari kesunyian yang
luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu, tidak ada kemarin dan
esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!
Dua
orang sakti itu masih terus berdebat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan
tentu saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua pengetahuan
filsafat yang dimilikinya, untuk melawan ucapan kaken yang selalu mengemukakan
fakta apa adanya, bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai
hasil pandangan mata batin yang terbuka lebar, tidak lagi digelapkan atau
dibikin suram oleh segala pendapat dan pelajaran hafalan yang telah lalu. Bun
Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan karena dia merasa betapa dada dan
lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia telah terkena pukulan
beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan ikatan tangan
kakinya. Kalau menggunakan sin-kang, tentu sekali renggut saja akan putus
ikatan kaki tangannya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus,
juga nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan
beracun itu tidak memungkinkan dia mengerahkan sin-kang. Bun Beng
perlahan-lahan menggulingkan tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian
dia mulai menggosok-gosokkan tali pengikat tangannya di belakang tubuh itu
kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak berani mengerahkan tenaga dalam,
Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya mengandalkan tenaga luar. Tekun sekali
dia mengerjakan semua ini sehingga hanya kalau dia berhenti mengaso saja dia
dapat mendengar percakapan dua orang itu sekarang. Baginya, lebih penting
melepaskan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat membuat jalan
darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu ini,
maka setelah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki
dan tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan
jalan darah pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu.
Terdengar pula olehnya kedua orang sakti itu masih berdebat!
“Memang
enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda pendetitaan batin
seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang
hidup karena memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan
tetapi, aku? Terhadap orang seperti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya
lagi. Kaudengarlah dan coba pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka
selama hidupku?” Pendekar Super Sakti yang sedang tenggelam dalam kedukaan
hebat itu lalu membuka semua rahasia hatinya kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa
disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, akan tetapi sebagian dari rahasia
itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar penuturan
semua itu, diapun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tidak
disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu
adalah seorang yang telah dilanda kepahitan hidup yang demikian hebatnya!
“Tanpa
kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena
aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksanya untuk menikah
dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang
mengorbankan kedudukannya sebagai puteri kaisar dan panglima besar untuk
menjadi isteriku. Namun, hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku
karena kami tidak sepaham mengenai jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan
aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua perasaan cinta kasih, terhadap adik
angkatku dan terhadap isteriku. Aku berusaha mengubur semua kedukaan di Pulau
Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih terus mempermainkan diriku,
memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik angkatku yang telah
berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang gugur dalam
perang karena patah hati, dan ternyata adik angkatku itu pun menderita karena
cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua
Pulau Neraka. Adapun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak
perempuan, anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba
pikir, menghadapi semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?”
Sejenak
keadaan sunyi, yang terdengar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang
sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan “Wahh, aku
sendiri selamanya tidak berani berurusan dengan wanita, Taihiap. Menurut
dongeng, wanita adalah satu-satunya mahluk yang dapat menguasai pria,
satu-satunya mahluk yang paling aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya
wanita yang sanggup menciptakan surga dunia maupun neraka dunia bagi seorang
pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak tergantung kepada seorang wanita.
Memang sekarang kusadari bahwa segalanya tergantung kepada kita sendiri, kepada
pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau membayangkan betapa daya tarik
seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan pengaruhnya, akan dapat
menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang pria. Sehingga
kini seorang gagah perkasa seperti engkau pun roboh dan merana karena wanita,
apalagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri
aku memikirkannya! Apakah.... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?”
“Agaknya
demikianlah.”
“Dan
engkau pun mencinta mereka?”
“Sejak
dahulu sampai saat ini.”
“Huh,
mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa
mempertimbangkannya, apalagi memberi nasihat aea yang harus kaulakukan!”
Kembali
sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran
masing-masing, memikirkan jalan apa yang terbaik menghadapi dua orang wanita
yang menghancurkan hidup pendekar kaki satu itu. Tiba-tiba terdengar suara
lantang dan nyaring,
“Seorang
isteri harus dalam keadaan apapun juga ikut dengan suaminya! Seorang kekasih
harus setia dan ikut ke mana juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki sejati
harus tidak lari daripada pertanggungan jawabnya dan tidak mengingkari
perasaan hatinya sendiri!”
Dua
orang sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali,
tahu-tahu Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang
masih duduk bersila di atas tanah.
“Ahhh,
engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?” Bu-tek Siauw-jin bertanya heran
dan agaknya baru kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.
“Ah,
engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!” Suma Han berseru kaget.
Gak
Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu. “Harap
Suma-taihiap sudi memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan
kepada Bu-tek Siauw-jin Locianpwe yang telah menolong saya.”
“Engkau....
Gak Bun Beng!” Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pemuda itu di
bawah cuaca yang masih remang-remang.
“Ha-ha-ha-ha,
sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe (orang tua
gagah) pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?”
Bun
Beng tak dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan
kakek itu melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.
“Tahukah
engkau mengapa aku menolongnya, Pendekar Siluman? Setelah engkau ceritakan padaku
bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong pemuda ini
karena pemuda ini telah menyelamatkan puterimu. Tadinya aku tidak tahu bahwa
dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan sekali.”
“Milana?
Mengapa dia?” Suma Han bertanya kepada Bun Beng.
Bun
Beng lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan dia melihat
Milana menjadi tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang memimpin pasukan
menghancurkan Thian-liong-pang. Betapa dia telah berhasil pula mengembalikan
pedang Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan kepada Pendekar Super Sakti.
“Sukur
bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa
Hok-mo-kiam. Saya menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi
mereka itu lihai sekali, terutama Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya,
dan Thian Tok Lama. Akhirnya saya roboh dan sebelum tertolong oleh Locianpwe
ini, Wan Keng In telah memukul saya dengan pukulan beracun.”
“Heh-heh,
agaknya dia memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita pukulan
ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah setan itu telah
memiliki kepandaian tinggi dan tenaganya pun hebat. Nyawamu terancam, Gak Bun
Beng,” kata Bu-tek Siauw-jin setelah memeriksa sebentar.
“Tidak,
dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadap aku sudah terlampau besar
sehingga aku rela mengorbankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan
Milana, telah mengembalikan Hok-mo-kiam, dan.... dan terutama sekali ucapannya
tadi telah membuka mata batinku, telah mendatangkan ketegasan dalam hatiku
sehingga lenyaplah segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin,
engkau harus membantuku mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan
menuntut engkau yang lancang berani mengambil keponakan dan muridku sebagai
muridmu,” kata Suma Han.
“Wah-wah,
ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini. Dan
kalau kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon.”
Bun
Beng terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah
duduk bersila di depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun
Beng dan berkata, “Kaukerahkan Im-kang di punggungnya, Pendekar Siluman. Aku
tahu cara mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suhengku yang amat keji ini.”
Suma
Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan
mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang
amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di
tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya
dari depan. Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh
direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat
dia hampir pingsan. Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa
itu seolah-olah menghentikan pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa
hangat yang amat nyaman. Rasa nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan
leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah hitam tiga
kali. Baiknya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam
yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di
depannya.
Ternyata
pengobatan yang hanya dilakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik.
Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk
memulihkan tenaga masing-masing. Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang
sudah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka, tanpa berani bergerak
menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang memakan waktu
kurang lebih dua jam.
Matahari
telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat
betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum
sekali. Tidak disangkanya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah
menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji, seorang pemuda yang tampan,
gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang. Dia teringat
akan Kwi Hong dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu
dengan pemuda ini. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin
tentang bisik-bisik antara puterinya, Milana, dengan Bun Beng, maka hatinya
menjadi bimbang.
“Bangkitlah,
Bun Beng. Engkau telah sembuh,” katanya perlahan.
Bun
Beng memberi hormat kepada mereka. “Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi
nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat
besar itu.”
“Ha-ha-ha-ha,
untuk membalas, engkau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua
sekarang juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta
kembali nyawa yang kaubilang kami berikan kepadamu tadi.”
Ucapan
ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng
menerima dengan sungguh-sungguh. “Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi
syaratnya.”
Suma
Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Mereka berdua
semalam suntuk telah berdebat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan
masing-masing. Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berdasarkan Im
dan Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu
yang mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu, tidak
seperti Suma Han yang mempergunakan kedua-duanya. Kini, mereka telah merasakan
sendiri betapa tenaga sin-kang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika
dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng, ternyata dapat digabungkan menjadi
satu! Biarpun tidak saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata, keduanya
sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, memiliki tenaga
sin-kang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup menerima
gabungan ilmu mereka!
“Bun
Beng, kami berdua telah bersepakat untuk menurunkan inti tenaga kami
kepadamu. Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat
dipergunakan dengan berhasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi.
Karena itu, coba kaumainkan ilmu silat tertinggi yang kaumiliki.”
Bun
Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi
di samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi
yang pernah dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia “curi” dari tempat
persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu
itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ketua Thian-liong-pang yang ternyata adalah
isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai diketahui oleh pendekar ini, apakah
tidak berbahaya baginya? Tentu dia dianggap pencuri! Akan tetapi kalau tidak
dimainkannya, berarti dia menyembunyikan sesuatu dan membohong kepada dua
orang gurunya yang baru ini! Dia mengambil keputusan nekat. Dia tidak sengaja
mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-sut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng
yang ia temukan di dalam guha bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempelajarinya
tanpa sengaja mencuri!
“Ilmu
itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang,” jawabnya
lirih.
“Kau
boleh memakai tongkatku ini!” kata Suma Han.
Bun
Beng menerima tongkat itu dengan jari-jari tangan gemetar. Betapa tidak akan
terharu, bangga, dan gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata
Pendekar Super Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan penuh
keharuan dia mencium tongkat itu, kemudian memberi hormat kepada kedua orang
itu dan mulailah dia meloncat bangun dan mainkan Ilmu Pedang
Lo-thian-kiam-sut. Gerakannya gesit dan ringan bukan main sehingga bagi pandang
mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar yang dibentuk oleh
tongkat itu. Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan
betapa sin-kang dari pemuda itu sudah amat kuat.
Suma
Han dan Bu-tek Siauw-jin memandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling
pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang dan menggelengkan kepala
saking kagumnya. Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan.
Ketika selesai, dia meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan
gerak meloncat tinggi sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, sebatang
tongkat yang ternyata cocok Sekali dipergunakan sebagai pedang, kemudian dengan
hormat menyerahkan tongkat kembali kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja,
hanya mukanya menjadi merah sekali karena pengerahan tenaga yang cukup
melelahkan.
“Ha-ha-ha,
dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar
Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang
aneh yang baru kauperlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua
menjadi mati kutu!”
Bun
Beng menjura, “Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menertawakan teecu yang
bodoh dan teecu mohon petunjuk.”
“Ah,
aku tidak main-main. Ilmu pedangmu tadi hebat, kalau ditambah gabungan inti
tenaga sakti kami.... wah.... agaknya suhengku Cui-beng Koai-ong sendiri harus
tunduk kepadamu!”
“Gak
Bun Beng, dari mana kau memperoleh ilmu pedang tadi?” Tiba-tiba terdengar
suara Suma Han, suaranya tegas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik
karena seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus
jantungnya!
“Maafkan,
teecu mendapatkannya secara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini
bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng
yang pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah guha. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian
Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan.... dan.... mencuri....”
Bu-tek
Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi Suma Han kecewa sekali dan dia berkata,
“Mencuri? Dari siapa?”
“Dari
Ketua Thian-liong-pang.”
“Heh....?”
Dua orang sakti itu terbelalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget
karena tidak menyangka sama sekali.
Bun
Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu
menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa,
ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu. Mendengar ini,
kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas
panjang dan berkata, “Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan
ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang lain.
Ini namanya pembalasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau, bahwa setelah engkau
memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau terhitung sute-ku
(adik sepergururuanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa kitab
itu adalah peninggalan Suhu Koai-lojin.”
“Ahhhh....!”
Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. “Teecu.... teecu.... mana
berani....?”
Suma
Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bahwa pemuda ini
memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang
tidaklah mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.
“Tidak
mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi suteku, ataukah
muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa sih artinya segala sebutan kosong?
Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan
dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti
tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin ditemukan oleh orang lain
di dunia ini.”
Mulailah
kedua orang sakti itu melatih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan
Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, dua inti tenaga panas dan tenaga
dingin, sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sin-kang dari Pulau Neraka
yang telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka! Karena pada diri Bun
Beng sudah terdapat tenaga sin-kang yang mujijat dari jamur-jamur berwarna yang
dimakannya ketika dia berada di dalam guha di bawah tanah tempat persembunyian
Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mujijat dari Bu-tek
Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya.
Bun
Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih
diri siang malam tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari
saja untuk mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu! Melihat
hasil ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun
Beng bagaimana untuk memanfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai
ilmu tangan kosong atau dengan menggunakan senjata lain. Biarpun Suma Han
sendiri tidak pernah mempelajari ilmu ini, namun karena dasarnya sama dengan
ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin, ditambah
pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat
berharga itu.
Pada
hari ke empat, ketika Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan
kosong, menggunakan tenaga sakti sehingga terdengar suara bercuitan sebagai
akibat menyambarnya hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak
jauh bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,
“Dia
telah memperoleh kemajuan yang luar biasa.”
“Ha-ha-ha,
tak mungkin ada lawannya lagi!” Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggotnya, menyesal
mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah
mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat
menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu
kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Beng.
“Bu-tek
Siauw-jin, sekarang aku hendak pergi.”
Kakek
itu menoleh ke kiri, memandang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh
dan berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia
tidak berani lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang penuh harapan dan
gairah hidup yang besar!
“Ke
mana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula.
Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau
rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka
mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap.”
Suma
Han menarik napas panjang. “Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang
polos sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebenaran sehingga
aku tertinggal jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita
itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka mataku,
menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah menempuh
hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka.”
“Lulu
dan Puteri Nirahai?” kakek itu bertanya.
Suma
Han mengangguk. “Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat dipecahkan oleh
pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang hanya dapat
melamun dan merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang
sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi
kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi
persoalan, seperti yang diucapkan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku
hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua yang baik suka
mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun kembali
bersama mereka.”
Bu-tek
Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. “Engkau masih belum setua aku,
Suma-taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai
jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping
mereka yang kaucinta.”
Akan
tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih
tertawa-tawa dan mengangguk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah
mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi
mempedulikan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han,
dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini
membangkitkan gairah hidupnya kembali.
Bun
Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan berkata,
“Ke
manakah perginya Suma-taihiap tadi, Locianpwe?” Biarpun dia tadi berlatih
tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebatnya
tubuh pendekar itu. Dia tetap menyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan
taihiap kepada Suma Han, karena kedua orang ini, yang hanya menurunkan tenaga
inti mereka, tidak mau dianggap guru.
“Dia
sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan
sekali dia, merana selama belasan tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru
tentang hidup dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama
mereka itu. Sekarang kita pun harus pergi, Bun Beng.”
“Ke
mana, Locianpwe?”
“Kaubantu
aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!”
Menurutkan
kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun
tidak tahu ke mana perginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota
raja, maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak mengajaknya ke kota raja.
Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa
Kwi Hong adalah muridnya!
Berangkatlah
kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan
bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng dapat mengimbangi gerakan
kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.
Akan
tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, keadaan di
sana sudah sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun, Koksu yang memberontak itu, telah melarikan diri setelah
komplotan yang hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini
bahkan kedua orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan urtuk melakukan
pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan pemberontak yang sudah dikumpulkan di
perbatasan utara.
Bu-tek
Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelundup ke
dalam istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas
kamar tahanan kalau-kalau muridnya masih “terselip” di situ, namun sia-sia
belaka karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang
tahu ke mana perginya gadis itu.
Kesempatan
itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan menyelidiki tentang
Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat
menerangkan ke mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya.
Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke
istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar
dan membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu
ikut bersama ibunya untuk membantu. Maka dia pun mengajak Bu-tek Siauw-jin
untuk melakukan pengejaran ke utara.
“Teecu
tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi
Hong juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak,” kata Bun
Beng.
Kakek
itu menggeleng kepala. “Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Olah
mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara
manusia itu kaukatakan tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah
manusianya yang tolol semua? Hayolah!” Mereka kembali meninggalkan kota raja
menuju ke utara.
Apakah
yang telah terjadi dengan Milana? Dara itu, seperti telah diceritakan di
bagian depan, tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberontak ke
utara, melainkan ditinggalkan di kota raja. Tadinya, Puteri Nirahai menyuruh
puterinya itu mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan kembali
Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima tugas berat dari Kaisar untuk
membasmi pemberontak yang dia tahu dipimpin oleh banyak orang sakti, terpaksa
dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.
“Biarlah
pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu,”
pesannya kepada Milana. “Engkau tunggu saja di sini, kalau bertemu dengan
ayahmu, ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para
pemberontak yang lihai. Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi,
suruh dia membantu kami di utara. Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai
untuk menghadapi para pimpinan pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang
sakti dari Mongol, Nepal, dan orang Han sendiri.” Setelah kini menjadi seorang
panglima kembali, berubah sikap Nirahai. Yang terpenting baginya pada saat
itu adalah tugasnya, maka sama sekali terlupalah urusan pribadi, sehingga dia
tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han. Semua demi tugas kerajaan,
dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.
Akan
tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi
kegembiraan besar, bukan hanya kegembiraan kalau dia teringet kepada Gak Bun
Beng, pemuda yang dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga karena
adanya harapan yang timbul di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka
itu dapat bersatu kembali, alangkah bahagianya hidup ini, apalagi di sana
ada.... Bun Beng!
Dua
hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang
diakui, apalagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat
dan mendapatkan sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri.
Namun, darah petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua
Thian-liong-pang, yang sudah biasa bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja
Milana tidak dapat tahan lama tinggal di lingkungan tertutup itu. Segera dia
telah mengenakan pakaian ringkasnya lagi sebagai seorang pendekar, dan
melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke luar dan
melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayahnya atau dengan
Bun Beng.
Akan
tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada
sore hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat
dibenci dan ditakutinya. Wan Keng In! Baru saja Milana meloncat turun dari
atas pagar tembok, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu
pemuda tampan itu berdiri dengan senyum mengejek di depannya, dan di sebelah
pemuda itu berdiri seorang kakek yang amat mengerikan, kakek kurus kering
seperti mayat hidup, yang matanya seperti mata boneka tidak bergerak sama
sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!
“Sayur
di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu,
menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang
cantik, calon isteriku yang tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak
menjemputmu di dalam istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar
menyambutku. Terima kasih!”
“Manusia
iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk
membunuhmu!” Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa
ngeri.
“Hemm,
sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ternyata adalah
Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau
menjadi isteriku, engkau cucu Kaisar, dan aku.... calon raja di Pulau Neraka.
Marilah manis.” Tangan Wan Keng In meraih hendak menangkap pinggang ramping
dara itu. Tentu saja Milana tidak sudi membiarkan tubuhnya dipeluk, dia
mencelat ke kanan sambil menggerakkan tangan kiri yang tadi diam-diam sudah
mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Sinar merah menyambar
ke arah dada dan perut Wan Keng In dan agaknya pemuda ini tidak tahu bahwa
dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula menangkis. Hal ini
menggirangkan hati Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan mengenai
sasaran dan merobohkan lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan. Dara ini
menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali
akan jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu
pinggang Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi
lemas karena ditotoknya!
Sambil
tertawa, Wan Keng In mencabut jarum-jarum yang menancap di bajunya, sama
sekali tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan
dibawanya lari bersama gurunya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan
suara.
“Haiii!
Berhenti....!” Dua orang penjaga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok,
mendengar teriakan Milana datang berlari. Ketika mereka melihat siapa yang
dipondong dan dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada penjahat
menculik cucu Kaisar yang baru yang cantik, puteri dari Panglima Nirahai!
Mereka
berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu
memiliki ilmu kepandaian hebat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan
mengejar. Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal
itu melihat Si Kakek lari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan
tombak mereka, menusuk ke punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan
sama sekali.
“Crot!
Crot!” Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam,
akan tetapi kakek itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu meluncur ke
belakang seperti anak panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu
yang roboh seketika, berkelojotan dengan sinar mata penuh keheranan dan
kekagetan. Mereka mati dalam keadaan terheran-heran melihat orang yang telah
mereka tusuk dan tembus punggungnya itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri
yang menjadi korban senjata masing-masing.
“Jahanam,
lepaskan aku!” Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa
saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat
dalam pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya adalah
benar-benar dara yang dicintanya, yang membuatnya tergila-gila, dara yang
hidupnya dan yang selamanya akan menjadi sisihannya, menjadi permaisurinya di
Pulau Neraka!
Beberapa
orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka
segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia,
sebagian lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana.
Panglima itu terkejut, terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri
Puteri Milana ini kepada Kaisar.
Tentu
saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali puterinya bersama
cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi
pemberontak, cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar memerintahkan
kepada panglimanya untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan
membebaskan kembali cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia
pun maklum bahwa penculik itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya
yang lihai, dan juga Lulu, pergi memimpin pasukan, kiranya di istana tidak ada
orang yang boleh diandalkan memiliki kepandaian tinggi menghadapi penculik itu.
Maka segera ditambahkannya,
“Cari
Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami,
akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!”
Panglima
mundur dan sibuk melaksanakan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin
mengejar penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng
In dan gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari.
Juga sia-sia saja mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar
ini selesai melatih Bun Beng dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas
membasmi pemberotak yang dilakukan Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul
ke utara!
Demikianlah,
tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang
dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan
cucunya kembali dari tangan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh
Puteri Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai terdengar oleh
Puteri Nirahai, siapa tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan
meninggalkan tugasnya membasmi pemberontak.
Dan
ke manakah perginya Giam Kwi Hong? Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong
berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin.
Setelah mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti
Bumi ditambah dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi Hong sekarang menjadi
seorang yang luar biasa lihainya. Namun sayang sekali, pengaruh tenaga sakti
liar dari Pulau Neraka itu mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh
ini datang dari tenaga sakti itu dan dari pedang Li-mo-kiam di tangannya,
karena memang pedang itu bukanlah pedang sembarangan, melainkan sebuah di
antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup banyak darah manusia tak
berdosa, dan dibuatnya pun secara mujijat dan kejam!
Setelah
berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan
Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhunya, pergi hendak mencari
pamannya, Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak berhasil, bahkan dia
mendengar akan keributan di istana dan betapa Koksu berhasil melarikan diri
keluar dari kota raja. Kwi Hong yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar
pula keluar dari kota raja dan dia berhasil mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki
Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak dibantu Koksu. Pangeran ini
sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah utara, dikawal
oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada mereka,
termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal. Hati dara ini tadi belum merasa
puas. Tadinya ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama
gurunya, dia mengamuk dan merobohkan banyak perwira pengawal kaki tangan Koksu
dengan pedangnya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali
pedang berkelebat, maka dia agak menyesal dan kecewa ketika gurunya
menyuruhnya melarikan diri dari kepungan. Dia amat membenci Koksu dan Maharya,
yang dianggap musuh-musuh besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian, tidak ada
gurunya yang melarangnya, kebetulan sekali dia dapat menyusul rombongan musuh
ini, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik untuk memuaskan hati
dan pedangnya!
Rombongan
Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan, sungguhpun
dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya karena di
situ ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa pasukan
mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw
tidak putus asa. Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan
kemuliaan, bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selirnya yang muda-muda,
harta bendanya yang berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus
melakukan perjalanan melarikan diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!
Pada
malam ketiganya, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan
perjalanan. Dia sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa
kali jatuh pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan
karena hampir copot. Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mungkin juga
masih jauh, dan tempat penjagaan pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah
dekat, Koksu tidak keberatan dan beristirahatlah mereka di sebuah dusun.
Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan yang terjadi di kota raja,
menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati Pangeran Yauw
dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh
mereka lebih segar.
Akan
tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan,
tiba-tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang pengawal yang
menunggang kuda paling depan, roboh dengan tubuh hampir putus menjadi dua
potong terbabat kilatan pedang di tangan seorang dara yang cantik namun sepak
terjangnya ganas bukan main. Koksu dan Maharya bersama para panglima pembantu
mereka cepat melarikan kuda ke depan dan di sana mereka melihat seorang gadis
dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya menyilaukan mata di tangan,
berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan. Dara itu bukan lain adalah Giam Kwi
Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Maharya, karena mereka
menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang
mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!
Tiba-tiba
Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia
keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin, “Siauw-jin manusia rendah
dan hina, tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembunyi di
belakang celana muridmu perempuan!”
Sepasang
mata Kwi Hong mengeluarkan sinar berapi karena marahnya mendengar ucapan
menghina yang ditujukan kepada gurunya itu.
“Maharya
pendeta iblis!” pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan mata
keluar dari ujung pedang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya.
“Suhu tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa
busuk memaki Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu,
dan membunuh Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah
manusia-manusia berakhlak bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi
kalian!”
Pangeran
Yauw Ki Ong yang menjenguk keluar dari keretanya melihat gadis itu. Jantungnya
berdebar penuh ketegangan, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya!
Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau dia bisa
mendapatkan gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.
“Seng-jin,
siapakah dia?” bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.
“Dia
bernama Giam Kwi Hong, keponakan Majikan Pulau Es dan kini agaknya menjadi
murid Bu-tek Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama
pedangnya, akan tetapi harap Ong-ya tidak khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi
saya untuk menundukkan dan membunuhnya.”
“Jangan
dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali?
Tentu membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Siluman Majikan
Pulau Es, untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar.”
Sepasang
mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang amat
baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia
mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya,
Maharya. Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melangkah maju bersama
Koksu menghampiri Kwi Hong.
“Bagus,
majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus dengan
pedangku!” Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.
“Sabarlah,
Nona. Kami hendak membicarakan urusan penting dengan Nona. Bersabarlah karena
sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu.” Tiba-tiba Maharya
mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan
setiap ucapan mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk mempengaruhi
gadis itu.
Gelombang
getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini,
membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang, namun dengan pengerahan
sin-kangnya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh
kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara Koksu lemah
lembut,
“Nona,
harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama dengan
Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang kepada
Pulau Neraka, melainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami
bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan
kami.”
“Tidak
perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!” Kwi Hong masih dapat
mempertahankan diri terhadap getaran yang terus dikerahkan oleh Maharya untuk
mempengaruhi dirinya dan pikirannya. “Memang aku keponakan Majikan Pulau Es,
dan aku tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan
Pulau Es, membunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal
jahat!”
“Aihhh,
harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu, kami hanyalah petugas-petugas
saja dari Kaisar. Kaisar yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar
Siluman pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami
hanya ditugaskan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang
keladinya, hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa
menyesal sekali mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim
itu! Karena kelalimannya maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit
hati oleh Kaisar lalim itu, Nona. Karena itu, apa perlunya antara kita
bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar oleh pasukan Kaisar yang
dipimpin oleh Majikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-pang? Mereka
menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk menghancurkan kita,
ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!”
Kwt
Hong mulai tergerak hatinya, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, namun
terutama sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mujijat. Dia
menjadi ragu-ragu sekali. “Hemmm.... begitukah? Paman memang tidak pernah mau
dekat dengan kerajaan....”
“Tentu
saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Daripada antara kita yang
senasib ini terjadi permusuhan, bukanlah jauh lebih baik kalau kita bersatu
menghadapi Kaisar lalim dan membalas dendam kita bersama?”
Pengaruh
ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan Kwi
Hong, dan kini dia mendengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya
berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi.
Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,
“Mana
mungkin kita melawan pasukan pemerintah?”
“Ha-ha!”
Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. “Jangan Nona ragu-ragu,
karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan
menyaksikan sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau
Nona membantu kami, apalagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan Majikan
Pulau Es, apa sukarnya menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?”
Kwi
Hong teringat. Pamannya menjadi pelarian, bersembunyi dan mengasingkan diri
di Pulau Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang
harus dia akui bahwa pemerintah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan
hal-hal yang menyakitkan batin.
“Baiklah,”
dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. “Aku suka bekerja sama dengan kalian, untuk
menghukum Kaisar lalim!”
Pangeran
Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan
dada. “Kami merasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali
mendengar keputusan Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijaksana. Selamat datang
dan selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki
Ong yang tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat, setelah
kami berhasil menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa
Lihiap yang amat berharga ini!” Ucapan itu dikeluarkan dengan sikap halus dan
sopan, disertai pandang mata kagum dan senyum menggerakkan kumis tipis
pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan hati perawan cantik perkasa
itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung rambut sekalipun tidak
pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.
Seekor
kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini
telah menunggang kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan
bersama-sama mereka lalu melanjutkan perjalanan menujuu ke utara di mana
terdapat gabungan pasukan anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang
Mongol.
Demikianlah,
tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota
raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada “keramaian”
yaitu pengejaran yang dilakukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan
Puteri Nirahai terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan
menonton keramaian ke sana. Dugaan ini membuat keduanya tidak betah tinggal
terlalu lama di kota raja dan segera mereka pun melakukan perjalanan cepat
menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya Bun Beng memperdalam
ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat Pedang Lo-thian
Kuam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan tenaga gabungan
yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.
Rombongan
yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di sebelah utara
Peking, lalu menyusuri sepanjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke
timur. Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersembunyi di dekat
gunung-gunung dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat
tersembunyi dan juga liar sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa
hari sekali saja meronda di bagian ini. Akan tetapi pada waktu itu, semua
pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan penjagaan di tapal batas Tembok
Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang sudah diatur sebelumnya.
Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol untuk menyelundup
masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu sendiri.
Di
sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok
darurat yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan
para jagoan yang tadinya menanti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber
minyak di mana Bun Beng pernah mengamuk, setelah usaha mereka membunuh Kaisar
gagal, sisa para jagoan ini pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu
di lembah Sungai Luan ini, untuk memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan
mereka terdiri dari kurang lebih lima ratus orang, dan merupakan gabungan
pasukan Mongol Nepal dan pasukan pengawal Koksu yang rata-rata merupakan
perajurit-perajurit pilihan.
Pangeran
Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis terhadap
nona ini. Pangeran yang sudah banyak pengalaman dengan usianya yang mendekati
empat puluh tahun itu tidak mau melakukan tindakan yang tergesa-gesa dan
sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan bukan seorang
wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya
tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang cantik saja, juga terutama
sekali ilmu kepandaiannya yang tinggi. Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi
selirnya yang tercinta, maka dia sekaligus mendapatkan seorang penghibur yang
cantik jelita dan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan! Dia maklum
bahwa dengan bantuan Koksu dan Maharya, setelah dara ini dapat dibujuk
menggabung, dengan mudah dia dapat menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh
ilmu sihir Maharya, untuk menggagahi tubuh dara ini secara paksa. Namun hal ini
sama sekali tidak dikehendakinya.
Setelah
tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak
Pegunungan Merak Merah, rombongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya
mereka berkumpul, yaitu Pangeran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi
Hong, dan para panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah
yang ingin mereka gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan
penjagaan ketat, juga untuk mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk
mengetahui gerak-gerik musuh di selatan.
Selesai
berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak dengan
pasukan pengawal.
“Lihiap
tentu belum mengenal daerah ini,” katanya manis. “Di sini banyak sekali
terdapat rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya.”
Kwi
Hong tertarik sekali. “Pangeran, apakah dedes itu?”
Sang
Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk menimbulkan
kesan lebih mendalam, dia menjawab, “Dedes adalah semacam peluh yang keluar
dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat
berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal keharumannya, dan tidak
sembarang waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini
hanya keluar di waktu seekor rusa kesturi datang berahinya dan keluarnya dedes
yang menyiarkan bau harum itu adalah daya penarik untuk mengundang seorang
lawan kelaminnya untuk.... hemmm.... untuk bermain cinta.”
Biarpun
pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi
Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pangeran Yauw
terpesona. Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti
itu! Andaikata dia sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan
mengeluarkan peluh dedes yang tidak kepalang tanggung banyaknya!
“Di
samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan
bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menjangan muda) amat
mahal dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi
panjang. Selain binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya,
juga dagingnya sedap bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di
samping ini, masih terdapat binatang-binatang lain dan tanam-tanaman yang
belum pernah Nona saksikan sebelumnya. Marilah kita berburu, saya tanggung
Nona akan merasa puas dan gembira sekali.”
Dan
pangeran itu memang tidak berbohong. Pemandangan alam di Pegunungan Merak
Merah itu benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan
bunga-bunga beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang
bambu yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini. Setelah berburu
selama setengah hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua
ekor rusa yang gemuk dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini
terdapat dedesnya dan dari yang kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.
Sore
hari itu, Pangeran Yauw mengundang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan,
di dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan
arak dan bermacam masakan daging rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi
Hong yang menganggap bahwa pangeran itu adalah seorang bangsawan yang sopan
dan ramah, sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama pangeran
itu, bahkan tertawa memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sajak.
Kiranya pangeran bangsa Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah
mereka makan cukup kenyang dan minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran
Yauw memanggil pelayan pribadinya dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak
di dalam sebuah guci batu giok biru itu ditaruh di atas meja.
“Giam-lihiap,
ini adalah arak simpanan yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar
biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghormatan kami dengan
tiga cawan arak ini!” Sambil tersenyum Pangeran Yauw menuangkan secawan arak
dari guci arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum
baunya dan ketika berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.
“Kami
namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!”
Kwi
Hong merasa sudah terlalu banyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk
menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga
mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan harum, akan tetapi
juga amat keras sehingga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya,
membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.
“Masih
dua cawan lagi, Lihiap,” kata Sang Pangeran gembira sambil menuangkan lagi
arak ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.
“Maaf,
Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi....” Kwi Hong
menundukkan mukanya dan mengatur napas untuk menghilangkan rasa pening di
kepalanya.
“Aihhh,
apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?”
Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok.
“Bukan
begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan
tetapi saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini.... biarlah
saya minum perlahan-lahan....”
Pangeran
itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk. “Aku percaya seorang gagah
seperti Lihiap tidak akan mengecewakan hatiku...., biarlah guci arak ini
kutinggalkan saja di sini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak
kehormatan dariku lagi, bahkan boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisanya
berikut guci araknya boleh Lihiap kembalikan nanti, aku menanti di kamar....
aku mempunyai sebuah benda yang amat berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap
sebagai hadiah.” Setelah berkata demikian, pangeran itu meninggalkan Kwi Hong
dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah seorang mabok.
Kwi
Hong menjadi lega hatinya. Harus diakuinya bahwa pangeran itu bersikap amat
baik kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi,
akan tetapi ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan
menjadi mabok betul-betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan,
kiranya tidak apa-apa. Dia mengangkat guci arak itu dan dipandangnya di bawah
sinar lampu merah yang dipasang di taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang
amat indah. Dia tersenyum, meletakkan guci ke atas meja, kemudian memandang
cawan arak wangi. Cawan yang ke dua! Ketika tangannya bergerak ke arah cawan,
hendak diangkat dan diminumnya arak itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba dara
itu menaruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini membuat
arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang
meluncur ke arah dirinya. Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam
kecil dan ada sehelai kertas diikat pada batu, dia menjadi curiga dan sekali
tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke arah datangnya batu tadi. Akan
tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, dan ketika dia melanjutkan
pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat lima orang tukang
kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan pangeran dan para
pembesar lainnya. Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu kepada
mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia
melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya beberapa huruf yang ditulis dengan
tergesa-gesa agaknya. JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU!
Kwi
Hong mengerutkan alisnya, meremas hancur kertas itu dan membuangnya sambil
memandang ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia
merasa penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang?
Jelas bukan arak beracun, karena kalau beracun, tentu dia sudah roboh. Pula,
mengapa pangeran akan meracuninya? Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan
sekutunya untuk menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk
terhadap dirinya. Akan tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini? Dan siapa
orangnya? Diukur dari tenaga lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki
kepandaian biasa saja!
Biarpun
Kwi Hong tidak mempedulikan isi tulisan itu dan dia pun tidak takut
kalau-kalau dia diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi
minum arak. Arak yang sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke
dalam guci, kemudian dia membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat
peristirahatan Pangeran Yauw Ki Ong. Setelah penjaga mempersilakan masuk
seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong memasuki pondok. Alisnya berkerut
dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat pangeran itu dengan pakaian
setengah telanjang roboh telentang di atas pembaringan dan dikeroyok oleh dua
orang wanita cantik yang menggosok tubuhnya dengan minyak, sedangkan orang ke
dua memijat tubuhnya.
“Ha-ha,
engkau telah datang menyusulku, Lihiap? Harap kautaruh saja guci itu di atas
meja dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini,
nanti akan kuambilkan sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat
indah, hendak kuhadiahkan untukmu.”
Karena
sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurangajaran, maka Kwi
Hong yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur
untuk dapat mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya,
maka setelah meletakkan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata,
“Saya
hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal
hadiah, saya tidak membutuhkannya dan kalau Ong-ya hendak memberikan
kepadaku, besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya.” Tanpa
menanti jawaban dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar
meninggalkan pangeran itu yang menjadi kecewa sekali.
Pangeran
Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyambar guci arak,
membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon
korbannya itu tidak minum lagi. Biarpun secawan dari arak emas ini sudah cukup
untuk merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekalipun,
namun agaknya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat perangsang
itu belum cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya
membuat dara itu bingung saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh
terburu nafsu, dan dia akan mencari kesempatan lain untuk melampiaskan
niatnya. Dia tersenyum mengusir kekecewaannya, kemudian merangkul dua orang
pelayannya itu sebagai penghibur dan pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia
harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam pelukannya.
Selagi
Pangeran Yauw Ki Ong tenggelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita
muda itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak,
dan Koksu bersama para pembantunya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan
hati tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka,
tampaklah dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti
setan di dekat markas para pemberontak ini.
Di
dalam kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang berkelebatan di
sekitar tempat itu amat mengerikan. Gerakan mereka cepat laksana gerakan iblis
sendiri, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa
menyeramkan. Karena bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok
bayangan itu. Akan tetapi setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan
memuntahkan cahayanya yang pucat disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan
cahaya redup kehijauan di malam hari yang sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan
itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua orang manusia, sungguhpun
tidak mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak secepat itu. Seorang
di antara mereka bertubuh pendek sekali, rambutnya panjang riap-riapan membuat
kepalanya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang
tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda
yang kepalanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak
buntalan pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik
pundaknya ketika dia bersama kakek itu berloncatan melalui jurang-jurang yang
curam. Dilihat dari jauh, oleh mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan
saling berkejaran di malam sunyi itu.
Akan
tetapi tak lama kemudian tampaklah bayangan mereka. Kakek itu masih
tertawa-tawa, akan tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang banyak
sekali. Susah payah mereka membawa senjata-senjata tajam yang malang-melintang
itu sehingga ada yang tercecer di jalan.
“Ha-ha-ha,
betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegugupan mencari-cari
senjata mereka!” kata yang muda. Kakek pendek itu pun tertawa, akan tetapi dia
lalu menengadah dan bernyanyi,
“Senjata
adalah benda sialandibenci oleh siapapun juga tidak dipergunakan para
bijaksana, Bahkan dalam kemenangan sekalipun senjata tak sedap dipandang mata
karena yang mengagungkannya hanyalah pembunuh-pembunuh kejam!
Alat
pembunuhan antar manusia menimbulkan kematian terpaksa mendatangkan duka dan
air mata dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!”
“Locianpwe,
saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab
To-tek-keng! Akan tetapi juga tidak sama....” Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur
heran.
“Ha-ha-ha,
perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apapun juga seperti seekor burung?
Yang penting adalah mengerti dan melaksanakan, karena pelaksanaan yang
berdasarkan pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala
macam senjata, hayo kita buangkan semua senjata di dalam gudang itu!”
Dua
orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu
melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak
dapat diukur dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar
ujung, tidak terdengar apa-apa dari tempat mereka berdiri! Sambil tertawa-tawa,
Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera berlarian lagi menghampiri gudang senjata
milik para pemberontak untuk mengangkuti semua senjata yang terkumpul di situ
dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orang penjaga gudang itu masih berdiri di
tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca karena sudah
tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti
oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.
Karena
jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan
jumlah senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun saktinya, kedua
orang itu masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, setelah bekerja
sampai pagi, belum ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam
jurang.
Ketika
untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu
mereka memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu
telah dikurung oleh puluhan orang perajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih
tepat lagi, peronda telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu
sehingga mereka segera melaporkan kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa
tentu ada mata-mata musuh menyelundup sudah memasang perangkap sehingga ketika
dua orang itu datang, mereka telah terkurung!
Tentu
saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang perajurit.
Apalagi setelah Koksu menerima pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata
adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, dia segera mengerahkan para
pembantunya untuk mengeroyok.
“Wah,
repot nih, Bun Beng!” Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke
sana-sini di antara serbuan para perajurit. “Kita membuang senjata supaya
jangan ada perang, malah diperangi!”
“Mari
kita keluar, Locianpwe!” Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak
mungkin dapat menghadapi pengeroyokan hebat itu dengan sikap berkelakar dan
tidak peduli seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu. Dengan
gerakan kaki tangannya, Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam
gudang senjata, akan tetapi karena Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menendingi
semua pengeroyoknya, kadang-kadang terkekeh girang kalau melihat beberapa
orang terjengkang roboh sendiri setelah memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan
benar-benar mendongkol sekali. Kakek itu agaknya malah girang dan gembira
menghadapi pengeroyokan itu, seperti seorang kanak-kanak memperoleh sebuah
permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya!
Tiba-tiba
terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan
terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara
teriakan-teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa tempat markas
pemberontak itu telah diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan menjadi kacau
balau. Koksu dan para pembantunya segera lenyap dari situ meninggalkan Bun
Beng dan Bu-tek Siauw-jin yang masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu
saja bagi Koksu dan teman-temannya, berita penyerbuan pasukan pemerintah itu
lebih penting, lebih hebat dan harus segera ditanggulangi daripada kekacauan
yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini.
Memang
benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang
dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara
mendadak. Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para
pemberontak membuat pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya
bala bantuan dari barat dan utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka
harus menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka
akan demikian cepat datangnya. Tentu saja Koksu tidak menyangka bahwa Puteri
Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan ini, seorang puteri yang sudah
banyak pengalamannya dalam menghadapi pasukan pemberontak, seorang yang tidak
saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang yang terkenal!
Setelah
Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng dan
Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu
keluar dari kepungan. Apalagi karena para perajurit yang mendengar akan
penyerbuan tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka
meninggalkan dua orang itu untuk membantu teman-teman menghadapi pasukan
pemerintah. Gudang senjata telah mereka bobol dari belakang dan sisa senjata
yang masih berada di dalam gudang telah mereka angkut keluar untuk dipergunakan
para pasukan menghadapi musuh.
“Wah,
perang telah terjadi?” kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari
dalam gudang senjata. Terdengar dari situ pekik sorak mereka yang berperang,
dan suara senjata yang menggegap gempita.
“Mudah-mudahan
saja para pemberontak segera dapat dihancurkan,” kata Bun Beng sambil berdiri
termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Milana. Apakah dara itu ikut
berperang membantu ibunya yang memimpin pasukan pemerintah itu? Teringat
betapa fihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya, Koksu,
dan Thian Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.
“Locianpwe,
saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya.”
“Eh,
kau mau membantu siapa?”
“Membantu
Puteri Nirahai dan puterinya.”
“Mengapa?
Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?”
“Bukan
begitu, Locianpwe. Akan tetapi, kita sudah melihat bahwa pemberontak dipimpin
oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah
yang menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena
itu maka merekalah yang akan saya tentang.”
Bu-tek
Siauw-jin mengangguk-angguk. “Hemm, boleh kita menonton, akan tetapi kalau
tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang
hanya merupakan penyembelihan antara manusia?”
Bun
Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu
menyelinap di antara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju
ke tempat di mana terjadi perang yang amat dahsyat.
Akan
tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal
yang amat mengejutkan, Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur,
akan tetapi ketika pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara
melengking tinggi dan muncullah seekor gajah yang amat besar. Binatang raksasa
inilah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan pasukan pemerintah yang
berada paling depan segera berhadapan dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus
berkulit hitam yang menunggang gajah itu. Pendeta Maharya sendiri mengeluarkan
aba-aba dan gajah itu mengamuk! Dengan belalainya yang besar, sekali sambar
gajah itu menangkap dua orang perajurit musuh, membantingnya remuk dan dengan
kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan, membuat dua
orang musuh lain lagi terinjak gepeng. Maharya yang berada di atas gajah itu
masih menggerakkan senjatanya tombak bulan sabit, tampak sinar berkelebat dan
empat orang perajurit pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan
tiba-tiba cuaca di tempat itu menjadi gelap, debu mengepul tinggi dan di balik
kegelapan ini menyerbulah pasukan Nepal yang dipimpin oleh Maharya, menyerbu
bagaikan pasukan setan ke depan!
Pasukan
pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung, apalagi
ketika dua orang perwira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh amukan
gajah dan melihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka
makin panik. “Pasukan siluman....!” terdengar teriakan.
“Pasukan
siluman.... laporkan ke induk pasukan!”
Kiranya,
pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang
dinanti-nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya,
Maharya segera menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan Maharya sendiri yang
memimpin pasukan istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh pasukan
istimewa ini yang menggunakan debu dan asap hitam untuk mengacau musuh.
Jumlah mereka sebetulnya hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu
terlatih dan mempunyai cara-cara berperang yang aneh, mereka mampu
mendatangkan kekacauan dan banyak di antara pasukan pemerintah yang roboh
menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah, seekor di antaranya
yang ditunggangi Maharya sendiri.
“Locianpwe,
kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!” Bun Beng berkata,
kemarahannya timbul menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas membunuh
pasukan pemerintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.
“Ha-ha-ha!
Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini, siapa
lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?” Bu-tek Siauw-jin tertawa
sambil menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.
“Maharya,
sejak dahulu engkau mendatangkan keributan saja!” Bun Beng membentak lalu
meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan
ke arah kepala.
Melihat
munculnya pemuda ini, Maharya memandang rendah. Biarpun pemuda itu dia tahu
cukup lihai seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu membela Pulau Es
ketika pulau itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun, baginya, pemuda itu
tidak ada artinya. Yang membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya
Bu-tek Siauw-jin tadi.
Kakek
pendek itulah yang perlu diperhatikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri
takkan dapat menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia dibantu
oleh gajah-gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apalagi Koksu, Thian Tok
Lama, dan banyak tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini
harus dibunuh lebih dulu.
“Mampuslah!”
Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya bergerak,
gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi,
menusuk ke arah pusar pemuda itu.
Melihat
gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak membiarkan dirinya
disate gagang tombak.
“Haaiiittt....!
Plak! Wiiirrr....!” Tangan Bun Beng menapgkis gagang tombak itu dengan meminjam
tenaga tusukan gagang tombak ini, dia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan
membuat salto jungkir-balik, kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia
menyerang ke arah ubun-ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia
menusuk ke arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.
“Aehhhh!”
Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan telinga gajah.
Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya.
Gerakan ini tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke belakang dan otomatis
terbebas dari serangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu. Dengan
geram Maharya menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan
dibantu oleh gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh
pemuda itu!
Bun
Beng tidak merasa kaget menghadapi kegagalannya dan melihat serangan
berbahaya ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya
kakek ini, maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak
di bawah bulan sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya
menyentuh gagang tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran,
kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda
yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangannya!
Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia elakkan di tengah udara.
“Plakkk!”
Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat,
tubuhnya bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek
oleh dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata
kecilnya betapa manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas
tanah di depannya, gajah itu lalu menghempaskan kedua kakinya hendak menginjak
tubuh itu sampai lumat. Namun, dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping,
dan tiba-tiba dia sudah menyerang Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat
bukan main dan dari tangan kanannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan
bunyi bercuitan ke arah lambung Maharya.
Kemudian
ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa
ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangan!
“Uuuh....!”
Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke kanan untuk
menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukulan dahsyat, dan
pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh
pemuda itu yang melayang cepat. Biarpun dia merasa kaget sekali karena
tombaknya menyeleweng terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia
sudah dapat menggunakan lengannya menangkis dattangnya tamparan tangan Bun Beng
ke arah lambungnya itu
“Dess....!
Aihhh....!” Maharya kini terpaksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena
benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh
dan tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya! Dia tidak terbanting dan masih
dapat menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng dengan mata
terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan penasaran. Pemuda itu dapat memaksakannya
turun dari punggung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan
wajah tenang dan topi caping lebar masih di atas kepalanya!
“Hemm,
orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?”
“Tidak
salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa terhormat sekali
bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!” Bun Beng menjawab tanpa
berani menentang pandang mata pendeta itu. Biarpun dia telah memiliki kekuatan
sin-kang yang mujijat, namun dia maklum betapa hebat pengaruh pandang mata
kakek ahli sihir ini, yang dalam ilmu itu bahkan berani menentang dan mengadu
sihir dengan Pendekar Super Sakti. Kalau sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya
yang mujijat, dia bisa celaka!
“Gak
Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak
mempunyai urusan pribadi dengan dirimu? Mengapa?” Suara pendeta itu terdengar
halus menimbulkan rasa malu dan iba. Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya
dengan tenaga dalam, dan dia menjawab, suaranya lantang,
“Sejak
aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuanggap
musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila,
Tan-siucai, mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu
menghancurkan Pulau Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut
ditentang.”
“Hok-mo-kiam....?
Hemm, karena pedang itu, muridku telah tewas, dan pedang itu lenyap.
Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang
muda.”
“Bukan
soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar
kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu
dengan Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak
segan-segan untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang,
akan tetapi diam-diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kaukira aku tidak
tahu apa yang kalian lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan
pertemuan besar dahulu itu?”
Maharya
memandang tajam. “Eh? Kau tahu? Kalau begitu.... kau tahu pula tentang kematian
Tan Ki dan Thai Li Lama....?”
“Tentu
saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah
kukembalikan kepada yang berhak.”
Merah
muka Maharya dan tombak bulan sabit di tangannya menggetar. “Jadi....
engkaukah orangnya yang membunuh muridku?”
“Dia
mencari kematiannya sendiri....” Bun Beng tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena dia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah
meluncur ketika Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan dan penuh
nafsu membunuh. Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang
membunuh muridnya dan merampas Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini
memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya
sekali.
“Robohlah!
Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!”
Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat herpengaruh, namun Bun
Beng sama tidak mempedulikannya, juga tidak pernah menentang pandang mata
kakek itu. Dia hanya mengelak dengan cepatnya karena tombak bulan sabit itu
bergerak seperti kilat menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk
merobohkan lawan yang tangguh itu.
Sementara
itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman bangsa
Nepal, menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah. Pasukan
pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika
tiba-tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana
datangnya sehingga banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban
anak panah lawan. Melihat ini, Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua
tangannya mendQrong ke depan berkali-kali dan dia terus menerjang maju, tidak
mempedulikan anak panah-anak panah yang menyambutnya dan yang mengenai seluruh
tubuhnya bagian depan. Anak panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan,
dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini menyambar angin yang membuat debu
dan asap itu membuyar dan tertiup membalik ke arah para pasukan Nepal sendiri!
Mulailah
pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang
kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para
perajurit pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang
campuh yang amat dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu
perajurit pemerintah. Bu-tek Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan
perajurit-perajurit Nepal yang baginya terlalu lemah itu, dan dia bergembira
menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh perwira-perwira
Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh
binatang itu, namun terlampau berat, mendorongnya pun amat berat dan agaknya
merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek
Siauw-jin menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan
dengan kepala dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.
“Desss!”
Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah
dan.... binatang raksasa itu terjengkang dan roboh! Dua orang perajurit Nepal
yang tidak menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan
itu, terhimpit perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu,
seorang perwira Nepal yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting
pingsan!
Amukan
kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan
istimewa Nepal itu, apalagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu
telah roboh oleh Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar.
Tadinya anak buah pasukan itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi
kakek India itu sendiri sedang bertanding hebat dan mati-matian melawan pemuda
yang amat tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal yang melemahkan semangat
pasukan Nepal ini sebaliknya mendatangkan semangat baru kepada para perajurit
pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.
Pertandingan
antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian. Kakek
India itu benar-benar amat lihai dan andaikata Bun Beng belum menerima ilmu
terkhir dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya dia pun tidak
akan mudah untuk dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat,
tentu saja Bun Beng memiliki dasar yang lebih murni dan lebih tinggi
tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak kalah kuat. Kekalahannya
dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh keunggulannya karena ilmu
silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi tingkatnya. Akan tetapi,
yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan adalah tenaga
mujijat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng
harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pandang
mata dengan lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa betapa ada
hawa tenaga mujijat menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh
yang membuat bulu tengkuknya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak
yang disiksa, suara tertawa wanita yang tidak lumrah manusia. Seolah-olah
tempat itu, atau di kanan kiri dan belakang lawannya terdapat iblis-iblis yang
tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan terasa pula sambaran
angin pukulannya!
Bun
Beng melawan dengan mati-matian. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakek
sinting itu, biarpun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek
itu tidak pernah melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu,
atau hanya sebentar saja kadang-kadang dia mengalihkan perhatian. Dia selalu
menjaga dan siap untuk melindungi pemuda yang disukanya itu. Diam-diam kakek
ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak terjang Maharya dia harus mengakui
bahwa dalam pertandingan mati-matian ini, memang hebat sekali pendeta itu dan
dia sendiri pun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya. Namun pemuda yang
hanya tiga hari menjadi muridnya itu, dengan tangan kosong mampu menandingi
Maharya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih, sedangkan Maharya
yang tadinya menunggang gajah bersenjatakan tombak bulan sabit, kini sudah
kehilangan gajahnya dan agaknya tombaknya itu pun sudah tidak danyak artinya
dalam pertempuran hebat itu. Kini Maharya telah melolos kalung tasbehnya yang
terbuat dari mutiara-mutiara putih yang besar-besar, memegang tombak bulan
sabit di tangan kanan tasbeh di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang
ganas dan dahsyat dari dua senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan
dan keringanan tubuhnya, akan tetapi dia pun sudah menanggalkan topi capingnya
dan menggunakan benda ini untuk membantunya menangkis sambaran senjata yang
bertubi-tubi.
Di
bagian lain, di balik puncak Pegunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ
hanya terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat
dan seru lagi karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti
yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang
dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!
Dalam
perang dahsyat ini, Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi
Hong tentu saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah
yang dianggap musuhnya dan musuh pamannya. Apalagi ketika dia mendapat
keterangan dari Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua
Thian-liong-pang dan Ketua Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk
membantu pihak Koksu. Memang sudah dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya
dengan Koksu dan kaki tangannya hanya karena Koksu melakukan tugas membasmi
Pulau Es, dan sebagai petugas, tentu saja dia tidak dapat terlalu menyalahkan
Koksu, dan Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh pamannya. Kini Kaisar
mengirim pasukan, apalagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang dan Pulau Neraka
yang sejak dahulu memang bukan sahabat Pulau Es, bahkan ketika dia masih kecil
pernah dia diculik oleh Ketua Pulau Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran,
Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya.
Para perajurit pemerintah yang berhadapan dengan amukan dara perkasa ini menjadi
ngeri karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan.
Tidak ada senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu
akan terbabat putus berikut tubuh pemegangnya!
Betapapun
juga, karena jumlah pasukan jauh kalah banyak, pasukan pemberontak terdesak
hebat. Kwi Hong sendiri, biarpun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh
dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para perajurit musuh gentar,
terpaksa harus menggunakan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi
tubuhnya karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang
bagaikan hujan menyerangnya.
Koksu
merasa girang sekali melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar membantunya.
Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan terhadap
Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti
dari semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran ini, tidak mungkin dia
akan mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada
pangeran ini, dan berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup.
Dia pun mengerahkan seluruh pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan
perlawanan mati-matian. Dia mengharapkan agar paman gurunya Maharya, yang
memimpin pasukan bantuan musuh, dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang
membantunya. Namun, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar
pelaporan anak buahnya bahwa pasukan siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya
sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari pihak musuh! Sama sekali Koksu
tidak menyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan itu adalah Bu-tek
Siauw-jin dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir sekali,
apalagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin
yang sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar
kepada Kwi Hong.
Betapa
pun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh terlampau
kuat dan jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri
mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di
dalam pondoknya, mendekam di atas pembaringannya dengan muka pucat dan
dikelilingi para pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai
perisai terakhir.
Pasukan
pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncullah Nirahai dan
Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga
oleh Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan
Koksu. Memang Nirahai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah
mendesak dan hampir menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak,
yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan kaki tangannya.
“Yauw
Ki Ong, pemberontak laknat!” Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa orang
anggauta pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. “Menyerahlah untuk kuseret
ke depan kaki Kaisar!”
Yauw
Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah keturunan Kaisar,
berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian
Nirahai, maka mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar
dari tempat persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan
para pembantunya, terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga
di situ dan kini mereka meloncat keluar menghadapi Nirahai dan Lulu.
“Bhong
Ji Kun, manusia rendah! Seekor anjing sekalipun akan ingat akan budi orang.
Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan
India engkau telah diangkat menjadi Koksu negara. Akan tetapi engkau tidak
berterima kasih malah menjadi pemberontak hina! Manusia macam engkau ini tidak
ada harganya untuk hidup!” Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah
menggunakan pedangnya menerjang Bhong-koksu. Kakek botak tinggi kurus ini
terkejut bukan main melihat pedang di tangan Nirahai yang mengeluarkan cahaya
menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-kiam, pedang yang dahulunya
terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya, kemudian pedang itu lenyap
bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas bersama Thai Li Lama tanpa
ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang mencuri atau merampas
Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan bekas
Ketua Thian-liong-pang ini!
“Tar-tar....
singgg....!” Pecut kuda berbulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar,
golok perang di tangan kanan Koksu itu menyambar ganas.
“Cringgg....
trakkk!” Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan
Hok-mo-kiam, akan tetapi Nirahai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke
belakang karena ujung cambuk merah sudah mengancam lengannya yang memegang
pedang.
Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba dan menerjang ke
depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga Thian Tok
Lama dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu. Tidak
seperti Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini
menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat
hebat dan menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat
yang amat halus dan tinggi tingkatnya, serta menggunakan tenaga mujijat
Toat-beng-bian-kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun dari Pulau
Neraka. Dua orang pembantu Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan
berani menyambut pukulan tangan yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka,
mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka roboh terjengkang dengan seluruh
lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian!
Repot
juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pandai itu
sehingga mereka tdak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian
Tok Lama dan Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan
kepada pasukan pengawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki
pondok untuk membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!
Akan
tetapi Nirahai yang berpemandangan tajam, dapat menduga akan keadaan ini.
Melihat Koksu dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak
buah mereka, dia segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya
melesat ke atas wuwungan.
“Yauw
Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?” Bentaknya sambil melayang
turun membobol genteng.
Tiba-tiba
dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terkejut, maklum
bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba menyambutnya ketika
tubuhnya baru saja turun dari atas.
“Tranggg....!”
Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan
pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti
berhasil merusak senjata lawan, kini tergetar hebat!
Juga
Nirahai kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang
pedang yang amat kuat sehingga tidak patah, apalagi ketika dia melihat seorang
gadis cantik dan gagah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar
berkilat! Kedua orang wanita itu, yang satu dara remaja yang lain wanita
setengah tua, keduanya sama cantik dan sama keras hati, saling berhadapan dan
saling pandang, pedang pusaka yang ampuh menggila di tangan masing-masing!
Kini
Nirahai tidak lagi mengenakan kerudung muka sehingga Kwi Hong dapat memandang
wajahnya yang cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita!
Berdebar jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik
yang dahulu bertemu dengan pamannya, wanita cantik yang kabarnya puteri
kerajaan dan menjadi isteri pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu
bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri pamannya!
Akan
tetapi, Nirahai tidak lagi mengenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia
bertemu dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya
dengan Suma Han, keadaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan
orang lain sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini. Karena dara
cantik yang memegang sebatang pedang pusaka ampuh mengerikan itu berada di
situ dan telah menyerangnya, sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji
Kun dan Thian Tok Lama sudah lari dari dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang
di antara kaki tangan Koksu yang tangguh, maka dia segera menyerangnya.
“Trang-trang-cringggg....!”
Kembali
dua orang wanita itu terhuyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah sedangkan
Kwi Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapapun juga, dara itu masih
belum mampu menandingi tenaga sin-kang yang dimiliki Nirahai, sungguhpun dia
telah memperoleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga
api yang muncrat ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam bertemu
dengan Li-mo-kiam menyilaukan mata.
Kedatangan
Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini, agaknya
Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan Pangeran
Yauw Ki Ong. Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak buah
Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih
banyak jumlahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau
dilanjutkan, perang itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya.
Ketika dia menengok dan tidak melihat Koksu dan para pembantunya, yaitu Thian
Tok Lama dan para jagoan yang berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Ke
manakah mereka pergi? Dia harus mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri
saja sebelum terlambat. Dengan pikiran ini, Kwi Hong membuka jalan darah
dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju ke markas, yaitu ke pondok
Pangeran Yauw dan sekutunya. Kedatangannya tepat sekali. Dia melihat Koksu dan
Thian Tok Lama bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan diri.
“Ahhh,
keadaan musuh terlampau banyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri,
Lihiap,” kata Koksu begitu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam
yang berlepotan darah.
“Sebaiknya
begitu,” jawab Kwi Hong singkat.
“Akan
tetapi, ke manakah kita akan lari? Apakah Nona mempunyai usul yang baik?” Koksu
memancing, padahal di dalam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke....
Pulau Es, pulau yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan aman
dari kejaran pemerintah. Tempat itu merupakan tempat yang sukar didatangi, dan
hanya mereka yang tahu jalan saja yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja.
Kalau nona ini mau tentu akan dapat membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa
tempat itu sudah kosong, dan kalau rombongannya dapat sampai ke tempat itu
lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh sebuah tempat pertahanan yang kuat!
“Kalian
larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau
Es,” jawab Kwi Hong. Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Akan tetapi dia
cerdik dan cepat dia menjawab,
“Akan
tetapi.... apakah To-cu pulau itu sudi menerima kami? Dan penghuninya....?”
“Pulau
itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Pula, kalau paman tahu
bahwa kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Paman
sendiri pun seorang pelarian. Cepat pergilah....!”
Pada
saat itu Nirahai datang, meloncat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu
melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah
dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya
sendiri, ibu dari Milana!
Tentu
saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak
mau bermusuhan dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang
terus dan karena dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan
Pangeran Yauw, terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa mengeluarkan kata-kata.
Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal
ini melegakan hatinya karena kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia
adalah keponakan Pendekar Super Sakti, tentu akan menjadi marah sekali
sedangkan dia sendiri pun tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap wanita
ini. Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah, dan mungkin puteri
ini yang memimpin pasukan pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita cantik ini
patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri
pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan melawannya?
Betapa
pun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek
Siauw-jin dan dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan dengan
Nirahai, dia menjadi repot juga. Apalagi Nirahai menggunakan sebatang pedang
pusaka yang amat hebat pula. Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang
sanggup menandingi Sepasang Pedang Iblis yang ganas. Andaikata Nirahai tidak
memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita perkasa ini masih akan repot sekali harus
menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-kiam.
Uutung
bagi Kwi Hong bahwa dia tidak perlu terlalu lama menahan serangan yang
bertubi-tubi dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah
cepat mengirim bala bantuan berupa dua puluh orang lebih pengawal pribadi
pangeran yang sudah menyerbu dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Hong untuk mencelat ke luar dari dalam
pondok, meninggalkan Nirahai yang dikepung dan dikeroyok oleh para pengawal.
Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan rombongan Pangeran Yauw,
dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui pegunungan
dan jurang-jurang.
Sementara
itu, pertandingan antara Gak Bun Beng melawan Maharya yang berlangsung amat
hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari
pinggir sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang
menganggur karena pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang
pulih kembali semangat mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu
lagi kakek ini membantu sehingga kini dia dapat menonton dengan enaknya,
menonton pertandingan antara Maharya dan Gak Bun Beng.
“Ha-ha-ha,
Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-ha!”
Bu-tek
Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya untuk membanggakan
dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya
menurunkan inti tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan
sin-kangnya dengan sin-kang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan “muridnya” saja
Maharya tidak mampu menang, apalagi melawan dia yang menjadi gurunya?
“Siauw-jin,
asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku....”
“Heh-heh-heh,
siapa sudi mengeroyokmu?” Bu-tek Siauw-jin mengejek.
Inilah
yang dikehendaki Maharya. Betapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek
sakti seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek
sinting itu sudah merupakan janji. Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi
dengan hanya bertangan kosong dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia
tidak akan mampu mengalahkannya? Untuk mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan
hal ini sudah diketahuinya sejak, tadi karena pemuda itu sama sekali tidak
pernah mau beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat.
Apalagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ, tentu saja dia
tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya.
Sebetulnya
tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang
seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti
sinting ini, kalah menang bukanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan
sudi turun tangan membantu Bun Beng biarpun pemuda itu andaikata terancam
bahaya maut kalau pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan pertempuran
yang adil dan pantas. Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah
karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu terjebak ke dalam perangkap Maharya
yang banyak akalnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, tentu saja dia akan
membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu sihir, tentu dia akan berusaha
menghalau kekuasaan dan pengaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi dalam sebuah
pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa diminta pun dia tidak akan
mencampurinya.
Bu-tek
Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama
sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah
siapa yang menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia
merasa tegang karena pertandingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan
seimbang.
“Heeaaahhh!”
Tiba-tiba Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena merasa penasaran,
menubruk maju, tombak bulan sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran
angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang memegang tasbih sudah
siap pula mengirim serangan susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya
hendak mempercepat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa
pasukannya sudah mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap
hati-hati, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
menyerang.
“Haiitt!”
Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran
tombak bulan sabit, akan tetapi bukan semata-mata hendak mengelak saja karena
sambil berjungkir-balik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan
cepat luar biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang
tajam itu. Maharya terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang yang
memiliki banyak pengalaman dalam pertandingan melawan orang-orang pandai
sehingga setiap keadaan yang bagaimanapun juga, bahkan yang kelihatannya
mengerikan, dapat dia manfaatkan sebaiknya demi keuntungannya. Karena itu, dia
sengaja tidak mau menarik tombaknya untuk merampas kembali senjata yang telah
dipegang lawan ini, bahkan menggunakan kesempatan selagi tubuh lawan masih di
angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar dada!
Bun
Beng sudah siap karena memang dia pun sudah menduga bahwa lawannya tidak akan
berhenti di situ saja. Maka dia pun menggerakkan capingnya untuk menangkis.
“Trakkkk!”
Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba
lagi di atas tanah. Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu
melepaskan tombaknya dan berbalik merampas topi capingnya. Karena gerakan
Maharya ini tidak disangka sama sekali, dan ketika memegang tombak lawan dia
mengerahkan tenaga, tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah
meluncur dan melibat lehernya!
Bun
Beng mengerahkan tenaga. Lehernya tercekik dan terdengar suara lawannya
tertawa. Bun Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut,
maka dengan pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke
arah pusar lawan. Maharya yang memegang caping rampasan, menangkis sodokan
gagang tombak itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena
tiba-tiba tombaknya ditarik kembali dan kini bagian yang tajam berbentuk bulan
sabit itu membabat ke atas, ke arah tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.
“Cringgg....
rrrttt!” Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih
yang membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu
jatuh berserakan.
“Wuuuttt....
brakkkk!”
Pada
saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum
bahwa dia tidak dapat menyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap
dia menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini
menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja menggunakan
tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat datangnya
caping dengan kecepatan kilat. Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak,
terpaksa dia menekuk kedua lututnya, memberi kesempatan kedua tangannya untuk
menggerakkan tombak yang diangkat melintang dan menerima hantaman caping itu.
Hebat bukan main pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak
patah-patah, pundak Bun Beng masih terpukul pecahan caping demikian kerasnya
sehingga tubuhnya terguling ke atas tanah.
“Mampuslah!”
Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng, akan
tetapi pemuda itu dengan sigapnya berhasil menggulingkan tubuhnya sehingga
enam tujuh kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan
maut itu dapat dihindarkannya. Karena serangan kaki secara bertubi-tubi itu
tidak memberinya kesempatan untuk membalas atau meloncat bangun, ketika untuk
kesekian kalinya berguling, tangannya menyambar tanah dan sambil berguling dia
melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biarpun melontarkannya sambil
bergulingan, namun tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu mengenai
muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi Maharya. Melihat datangnya sinar
hitam ini, terpaksa Maharya meloncat ke belakang dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan
tetapi dia sudah siap sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia
menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan ke depan.
Maharya
sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia
sudah terkepung sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga
Bu-tek Siauw-jin, hanya menonton. Namun kakek ini maklum bahwa dia telah
terkepung dan sukar untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalahkan pemuda
ini dan mengalahkan Bu-tek Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat
bangun dalam keadaan terluka pundaknya, dia sudah mengirirn serangannya yang
paling dahsyat dengan memukulkan kedua telapak tangannya yang penuh dengan
tenaga sin-kang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu hitamnya.
“Bresss!”
Bukan
main hebatnya pertemuan tenaga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan
akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng
terjengkang dan bergulingan! Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah,
maka dia berlaku nekat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia
menubruk tubuh Bun Beng yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa,
mengajak lawan mati bersama. Akan tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa
pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil
kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya dari kakek Bu-tek
Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk,
dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari bawah, dengan telapak
tangan kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.
“Desss....!”
Terdengar pekik mengerikan ketika tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas,
terbanting ke atas tanah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut
muntah-muntah darah segar, kemudian mengejang dan tewas.
Bun
Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biarpun lukanya tidak
hebat, namun pukulan dengan caping yang pecah mengenai pundaknya tadi
menggetarkan isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan
sin-kang. Bu-tek Siauw-jin menoleh kepada para perajurit pemerintah yang
menonton, lalu membentak ke arah mereka.
“Hayo
pergi kalian! Mau apa menonton? Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami
terpaksa ikut berperang. Sialan!”
Para
perajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini
dan pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua
orang itu tadi bertempur membantu mereka, maka mereka tidak berani membantah
dan segera meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih
mengejar-ngejar pasukan pemberontak.
Pasukan
pemberontak telah dihancurkan, sebagian kecil yang merupakan pasukan khusus,
pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melarikan diri dan
mengawal rombongan pangeran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang
telah kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang
tergesa-gesa itu. Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.
Nirahai
dan Lulu merasa penasaran sekali. Biarpun pasukan-pasukan pemberontak dapat
dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, namun biang keladi pemberontak
dapat melarikan diri. Ketika mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti
yang membantu pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan gajah-gajah mereka
mengamuk, Nirahai segera menduga bahwa mereka itu tentulah Bu-tek Siauw-jin
dan Gak Bun Beng. Maka dia mengajak Lulu untuk mendatangi tempat itu. Ternyata
benar dugaannya. Gak Bun Beng masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri
di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat Nirahai.
“Wah-wah,
setelah kerudungnya dibuka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa
cantiknya!” kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara
dengan bekas Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi panglima
besar.
“Bu-tek
Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal
yang membantu pemberontak dapat dihancurkan,” kata Nirahai, suaranya tenang
saja. Dia bukanlah seorang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek
sinting ini, apalagi dia sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak lumrah
manusia.
“Ha-ha-ha,
engkau sendiri pernah menolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi
mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!”
Agak
merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek
sinting ini pernah berdiri bertelanjang bulat begitu saja di depannya tanpa
malu-malu! Dia melirik ke arah Bun Beng dan bertanya,
“Apakah
dia terluka?”
Sebelum
Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan
memberi hormat. “Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Sukur
bahwa Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh....”“Aihh, dialah orangnya
yang dahulu membantu Koksu di kapal ketika menyerang Pulau Es!” Ucapan ini
keluar dari mulut Lulu ketika dia memandang mayat Maharya
Mendengar
ini, Bu-tek Siauw-jin tertawa, “Ha-ha-ha, dia pula yang membasmi Pulau Neraka
akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan
pulaunya!”
Lulu
mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepasang
matanya yang lebar dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada
kakek cebol itu. “Siapa engkau?”
Akan
tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya,
“Muridku inilah yang telah berhasil membunuhnya, maka engkau harus berterima
kasih kepadanya!”
Lulu
melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut. “Bukankah engkau pemuda
yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerintah?”
Bun
Beng memberi hormat dan memandang penuh heran, kaget dan kagum. “Dan kalau
saya tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang dahulu melepas
bahan-bahan ledak, kemudian mengacau di kapal Koksu.”.
“Hemmm,
agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana engkau hadir dan
bercannpur tangan!” Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan
main bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian
lihai!
“Sungguh
aku heran sekali mengapa semua orang muda kauakui sebagai muridmu, Bu-tek
Siauw-jin?” Nirahai bertanya karena sudah mendengar dari puterinya bahwa Kwi
Hong juga diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin.
Sebelum
kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadapan dengan
kakek cebol itu. “Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?” Ketika Nirahai
untuk pertama kalinya menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhatikan karena
perhatiannya lebih tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar
nama itu dan kemarahannya bangkit. “Dan mana yang satu lagi? Mana dia yang
disebut Cui-beng Koai-ong?”
Bu-tek
Siauw-jin tertawa. “Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami? Tentu
puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!”
“Tua
bangka sialan!” Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya menjadi marah
mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini. “Kaukira aku takut kepadamu?
Biarpun engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau
Neraka, aku tidak takut!”
“Lulu,
kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!” Nirahai memperingatkan
Lulu, akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja
Lulu dibikin sabar. Dia sudah menerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari
Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat mengelak, akan tetapi angin pukulan masih
membuat dia terhuyung dan sambil tertawa kakek itu menjauhkan diri bergulingan
lalu meloncat bangun.
“Eit-eit,
sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya
engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah
pewaris kitab-kitab Pendekar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati,
apakah aku akan melarang suheng menghancurkan engkau? To-cu (Majikan Pulau)
yang memiliki warisan senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu
Kipas Pengacau Lautan), mengapa tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?”
Lulu
terbelalak. “Kau.... kau.... tahu akan itu semua?”
“Heh-heh,
sehari setelah To-cu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang
To-cu bawa, karenanya aku bersikeras melarang suheng turun tangan karena To-cu
adalah ahli waris Suling Emas.”
“Lulu!”
Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang
dengan penuh selidik. “Jadi engkau yang mengambil benda-benda pusaka itu? Jadi
engkau yang membunuh Kakek Gu Toan....?”
Lulu
membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang dialaminya. Di
bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mulai dengan perantauannya
bersama anaknya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga
Suling Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh
Kakek Gu Toan dia disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga
Suling Emas. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau
mempergunakannya karena ingin menyembunyikan diri di Pulau Neraka sampai
niatnya berhasil, yaitu bertemu dengan orang yang dicintainya, menjadi isteri
orang itu atau menjadi musuh besarnya. Kiranya keadaan menghendaki lain dan
semua niat dan cita-citanya hancur berantakan, puteranya menyeleweng
menyakitkan hatinya, Pulau Neraka hancur dan Suma Han.... menambah sakit
hatinya!
“Tidak!
Aku tidak membunuhnya. Dahulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti
orang India menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang
kurus itu. Bukan lain adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu
apakah Kakek Gu Toan mati atau hidup dalam pertandingan itu karena dia minta
kepadaku untuk mengambil benda-benda pusaka dan melarikannya.”
“Di
mana benda-benda itu sekarang?” tanya Nirahai.
“Ada
kusimpan sebelum Pulau Neraka dihancurkan. Mengapa, Suci?” tanya Lulu, suaranya
penuh tantangan.
Tiba-tiba
terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan
membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian sangat
tinggi dan sin-kang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara
melengking seperti itu.
“Ha-ha-ha!
Dia baru datang!” Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat
menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu.
Nirahai
dan Lulu saling pandang, agaknya baru menduga setengahnya, dan baru mereka
terkejut ketika lengking itu disusul suara yang terdengar dari jauh akan
tetapi amat jelas.
“Nirahai....!
Lulu....! Kalian memang patut dihajar!”
Wajah
Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena
keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar
ke kanan kiri mencari-cari. Tentu saja kedua orang wanita ini mengenal suara
itu, suara yang mereka takkan lupakan selama hidup mereka, suara yang selalu
terdengar oleh telinga mereka di waktu mereka melamun atau di waktu mereka
bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang dan seolah-olah dalam pandang
mata mereka itu terjadilah sebuah permufakatan tanpa direncanakan atau
dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan. Bun Beng memandang dengan hati penuh
ketegangan, apalagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita cantik itu.
Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti marah-marah, dan
mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang
dikagumi itu dengan jarum-jarum di tangan kiri!
Bagaikan
seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas,
gerakannya cepat bukan main karena dia telah mempergunakan ilmunya yang luar
biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat,
berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah
Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang
tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan
aneh itu bersinar-sinar, kedua pipinya kemerahan dan wajahnya berseri, dagunya
mengeras membayangkan kemauan keras yang tidak dapat dibantah, pendekar itu
kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.
“Singg....
wir-wir-wir.... siuuuttt....!” Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri
Nirahai dan sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum
Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari kedua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum
yang selain mengandung racun mematikan, juga dilempar dengan pengerahan tenaga
sin-kang sehingga jarum-jarum kecil itu cukup kuat untuk menembus benda keras!
Namun Pendekar Super Sakti sama sekali tidak mengelak atau bergerak menangkis,
masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, bibirnya tersenyum dan sinar
matanya amat tajam.
“Cep-cep-cep,
wir-wir-wirrr!”
Jarum-jarum
yang saking cepatnya telah menjadi sinar-sinar merah dan hitam itu seolah-olah
menembus tubuh Suma Han. Padahal, tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh
kulitnya, karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju di sekeliling tubuhnya,
menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han.
Kiranya, biarpun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan
senjata rahasia mereka dengan terarah, sama sekali tidak ada yang ditujukan
kepada tubuh orang yang mereka cinta, melainkan membidik ke sekeliling
tubuhnya.
“Ihhhh....!”
Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak. “Ohhhh....!” Nirahai
juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi
mulutnya.
Kedua
orang wanita itu kaget setengah mati, bukan hanya karena rahasia mereka
terbuka, rahasia bahwa mereka itu biarpun di luarnya kelihatan marah dan
memusuhi, namun di balik sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehingga
mereka tidak mau menyerang sungguh sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan
karena inilah mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan betapa Suma
Han sama sekali tidak mengelak atau menangkis! Mereka maklum bahwa biarpun
mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekalipun, tak mungkin mereka akan
dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka mengharapakan
pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mereka dengan kibasan
tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak
sehingga andaikata mereka tadi menyerang sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han
telah terkena jarum beracun!
“Kau....
kau mau apa....?” Lulu bertanya, gagap.
“Pendekar
kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?” Nirahai juga menegur, suaranya
ketika mPnyebut “Pendekar Kaki Buntung” menyakitkan hati sekali. Akan tetapi
Suna Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka lalu terdengar suaranya
menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.
“Apa
yang kalian lakukan ini? Mengapa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri
dengan urusan negara? Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu
dihajar!”
Nirahai
dan Lulu terbelalak memandang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi
akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak
dahulu bersikap lemah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu.
Akan tetapi, di samping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han
membangkitkan kemarahan besar.
“Peduli
amat engkau dengan apa yang kami lakukan?” Nirahai balas membentak. “Engkau mau
apa kalau kami mencampuri urusan negara?”
“Tentu
saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seorang
isteri menjadi tanggung jawab suaminya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi
tanggung jawabku! Aku melarang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian
dengan urusan pemerintah!”
“Suma
Han, enak saja kau bicara!” Lulu membentak marah dan bertolak pinggang.
“Nirahai-suci boleh jadi isterimu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri
urusan pribadiku!”
Suma
Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua
sendi tulang di tubuh wanita ini. “Lulu, berani engkau bicara seperti itu
kepadaku? Engkau adik angkatku....”
“Aku
tidak sudi menjadi adikmu!”
“Aku
tahu, biarlah kurubah sebutan, itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga
yang kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus
menurut kata-kataku!”
Lulu
membanting-banting kaki kanannya, kebiasaan yang belum juga dapat
dihilangkannya semenjak dia masih seorang dara remaja! “Tidak tahu malu! Tak
tahu malu....!”
“Suma
Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk
membadut? Ataukah engkau sekarang sudah gila?”
“Ha-ha-ha!
Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu....! Lucu....! Belum pernah aku melihat yang selucu ini!
Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!” Bu-tek
Siauw-jin tertawa-tawa sambil memegangi perutnya. Bun Beng yang tadinya merasa
tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan melihat sikap kakek
sinting itu. Di sana-sini terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh
ke kanan kiri. Kiranya tempat itu penuh dengan perajurit-perajurit anak buah
Nirahai yang menonton!
“Keparat
kalian semua! Pergi dari sini....!” Suma Han yang menjadi merah mukanya itu
membentak ke kanan kiri, ditujukan kepada para perajurit. Para perajurit
menjadi kaget, akan tetapi mereka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada
di situ, mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang luar,
sungguhpun mereka mendengar bisikan-bisikan bahwa yang mengusir mereka itu
Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana!
Nirahai
menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak, “Kelian pergi! Pergi....! Pergi
jauh dan jangan ada yang mendekat!”
Tentu
saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh
sekumpulan domba. Mereka terkejut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan
diri dan pergi dari tempat itu. Tak seorang pun berani mendekati tempat itu,
biar dengan sembunyi sekalipun, karena mereka tahu bahwa sembunyi pun
percuma, tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu.
Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu
hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.
“Nirahai,
sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau
sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke mana pun aku pergi.
Aku hendak membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus
ikut denganku!”
“Tidak
sudi!”
“Sudi
atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau
kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan
keributan di mana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang,
berkerudung, menggegerkan kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali menjadi
panglima pemerintah. Apa-apaan ini?”
“Setan!
Kaukira akan mudah saja memaksaku!” Nirahai hampir menjerit saking marahnya.
Mukanya merah, sepasang matanya mendelik dan tangannya sudah meraba gagang
pedang Hok-mo-kiam di pingganggnya.
“Lawan
saja, Suci. Dia memang seorang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau,
Suci!” Lulu berkata, juga suaranya terdengar marah sekali.
“Lulu,
engkau pun mulai saat ini harus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak
mau, engkau harus berada di sampingku untuk selamanya!” kembali Suma Han
berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah
lagi.
“Apa?
Lebih baik aku mati!” Lulu membentak.
“Engkau
takkan kubiarkan mati. Kalian harus ikut bersamaku dan habis perkara!” kembali
Suma Han berkata.
“Sing....!”
Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai menerjang maju
menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia
pun sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut.
“Bagus!
Memang aku harus menundukkan kalian dengan kekerasan, hal yang semestinya
kulakukan sejak dahulu!” Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan
tubuhnya sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan
Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang dicintanya, dua orang
wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia menderita
amat hebat! Tongkatnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar
pedang Hok-mo-kiam, dan dia menghadapi dua orang wanita itu dengan pengerahan
ilmunya karena baik Nirahai maupun Lulu, bukanlah dua orang wanita seperti dua
puluh tahun yang lalu, melainkan telah memperoleh kemajuan yang luar biasa
sehingga tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi.
Nirahai
dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk
mengalahkan Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk
mempertahankan harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah
mentah-mentah sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa
terharu, bangga dan juga bahagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras
untuk hidup bersama mereka! Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam
menghadapi Suma Han ini, Nirahai dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling
membantu sehingga tentu saja kedudukan mereka kuat bukan main, membuat Suma Han
yang sudah mempergunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap
hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!
“Ha-ha-ha,
lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti
kanak-kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha, jangan mau
kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur,
biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat
sembarangan, tak boleh dipermainkan. Ha-ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa
engkau tidak mampu menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala memang
semestinya ditundukkan dengan kekerasan. Itulah yang mereka kehendaki! Mereka
suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau engkau
menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah
muak! Hayo, gaplok saja! Wah, ramai....! Ramai....! Ha-ha-ha!” Tiga orang itu
saling serang dengan hebat, Bun Beng menonton dengan hati gelisah akan tetapi
Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan
menyiram minyak pada api di hati tiga orang itu saling bergantian agaknya ingin
melihat pertandingan itu makin seru dan mati-matian. Lagaknya seperti kalau dia
mengadu, jangkerik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak, kedua pihak
dipujinya juga dicelanya!
“Locianpwe,
bagaimana Locianpwe dapat mengatakan lucu? Teecu tidak melihat sesuatu yang
lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-benar amat berbahaya.”
Biarpun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata Bun Beng tidak
pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu. Dia kagum bukan
main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian
dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu
silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu
Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari keluarga Suling
Emas yang terkenal sepanjang masa itu.
“Eh?
Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling
menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Mereka seperti
orang gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!”
Bun
Beng mengerutkan alisanya dan kini dia mengalihkan pandang matanya dari
pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek yang sakti ini demikian
memandang rendah cinta? Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh
urusan perasaan yang paling halus, terutama dia berpendapat seperti itu
setelah pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Akan tetapi kakek ini bicara
soal cinta seolah-olah cinta merupakan hal yang remeh dan lucu!
“Locianpwe,
menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih.
Tidak ada yang lebih suci daripada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya
lucu?” Suaranya mengandung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh,
apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?
“Ha-ha-ha,
itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta!
Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!”
“Wah,
teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!” Bun Beng membentak dan
mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang. Kini
mereka berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk
bertanding, bukan bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang
cinta! “Bagaimana Locianpwe dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari
Suma-taihiap terhadap mereka itu palsu?”
“Cinta
antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara
yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan maupun mengenai
watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah
karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh
dengan keinginan menguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan
dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, disamping keinginan menikmati kepuasan
dari hubungan badan yang didorong nafsu berahi. Semua ini bersumber kepada Si
Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri
sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah
untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena itulah, asmara antara pria dan wanita
ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan
duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan
cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam
pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara
pria dan wanita yang kauagung-agungkan itu!”
Bun
Beng masih penasaran. “Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk,
seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang
berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apapun juga,
bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!”
“Ha-ha-ha,
alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta!
Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang
kaucinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tidak membalas
cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain?
Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan dengan
mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan
cintamu akan tetap?”
“Cintaku
takkan berubah....” Bun Beng menjawab akan tetapi jawabannya yang keluar dengan
suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan
berkata, “Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut
pendapat Locianpwe?”
“Tidak
ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasarkan
kepada kepentingan Si Aku masing-masing.”
“Ah,
masa begitu, Locianpwe? Bagaimana dengan cinta seorang anak kepada ibunya?”
Bun Beng mengajukan pertanyaan dengan penuh semangat, karena dia merasa bahwa
tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan
cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?
“Itupun
palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat
dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu
digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan
setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang
budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan
hutang budi belaka. Andaikata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang
wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu
anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku, coba kalau
seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya,
apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat
saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih
mendekat kepada suami, isteri, dan anak-anaknya?”
“Wah,
Locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada
anaknya? Nah, beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta
kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?”
“Memang
palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang
ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada
diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah
dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan
dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak membalas budi kepadanya.
Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di
mana ada cinta, di situ tidak mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedukaan.”
“Wah,
kalau begitu pendapat Locianpwe, cinta bukan perasaan manusia biasa! Agaknya
hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!” Bun Beng membantah.
“Sama
sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya
bukan cinta, melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di
baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau
manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi
masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka,
seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya
tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka.”
“Haaaiiittt....
desss! Desss!”
Bun
Beng dan Bu-tek Siauw-jin terpaksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai
dan Lulu tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang
tubuh Suma Han mencelat ke atas dan ketika kedua orang wanita itu mengejar
dengan loncatan cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap
mereka. Mereka menangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir
terbanting kalau tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri.
Dengan kemarahan meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung
terus lebih ramai. Melihat ini, Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek
Siauw-jin.
“Locianpwe
yang begitu pandai menguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret
semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu, tentunya sudah mempunyai banyak
sekali pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang,
seorang wanita maksud teecu?”
Bu-tek
Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa,
matanya terbelalak. “Hehhh....? Aku....? Aku mencinta seorang wanita? Gila kau!
Aku.... aku belum pernah terjeblos ke dalam perangkap asmara!”
“Kalau
begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?”
“Bukan
karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi
dan dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar
saja tiga orang itu! Jelas, bukan? Mereka tidak saling mencinta, dalam arti
kata cinta suci, kalau demikian, mana ada duka, mana ada benci, dan mana ada
pertempuran seperti sekarang ini?”
“Haiii,
Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusaha untuk
menundukkan mereka ini!” Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini
Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh menonton. Dia terkekeh, merasa terpukul
pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang ini karena kini barulah
dia tahu bahwa pertandingan yang kelihatan mati-matian itu sebetulnya
mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu! Biarpun Suma Han melancarkan
pukulan-pukulan hebat, namun semua pukulan itu hanya dimaksudkan untuk
menangkap kedua orang wanita itu bukan untuk merobohkan. Dan lucunya, pedang
Hok-mo-kiam itu biarpun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung,
sesungguhnya lebih banyak merupakan ancaman daripada serangan betul-betul,
seolah-olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu
betul-betul akan menembus tubuh Suma Han. Demikian pula dengan Lulu,
pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh
orang yang dicintanya! Tiga orang itu melampiaskan kemarahan dan
kemendongkolan hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan,
apalagi saling membunuh!
“Cringgg....!
Bun Beng, terimalah pedang ini!”
Sebuah
tangkisan tongkat yang digetarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang
Hok-mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda
itu tentu tidak akan berani menerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai
itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan
tetap berdiri dengan pedang di tangan, memandang penuh perhatian.
“Kalian
benar-benar keras kepala!” Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke
depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan
menubruk dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita
itu, terus diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak melakukan penotokan,
tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andaikata mereka hendak mencelakai
Suma Han. Kaki tangan mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak,
“Lepaskan! Lepaskan aku!” Akan tetapi mereka sama sekali tidak menggunakan
tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal dalam keadaan seperti itu, kalau
mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan
mampu menjaga dirinya!
“Tidak
akan kulepaskan kalian lagi!” kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu
di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.
“Lepaskan
aku, kalau tidak, kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!” Lulu berteriak, tangannya
dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.
“Hayo
lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di tengkukmu!”
Nirahai mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di
tengkuk Suma Han.
Suma
Han hanya tersenyum dan kelihatan gembira sekali. “Biar kalian membunuhku,
aku tidak akan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi
permintaanku.”
“Manusia
tak tahu malu! Apa permintaanmu?” Nirahai membentak.
“Nirahai,
engkau adalah isteriku, maka mau atau tidak, engkau mulai sekarang harus ikut
bersamaku, ke mana pun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku
sebagai suamamu!”
“Suma
Han! Nirahai-suci mungkin saja kaupaksa karena dia isterimu. Akan tetapi aku
tidak semestinya kaupaksa!” Lulu meronta dan berteriak.
“Kita
telah melakukan kekeliruan, biarpun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk
menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau
harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup bersamaku!” jawab
Suma Han, suaranya tegas.
“Suma
Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kaucinta? Aku ataukah
Lulu-sumoi?” Nirahai menuntut.
“Aku....
aku mencinta kalian berdua, dan aku mau menghabiskan sisa hidupku disamping
kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati.”
“Aku
tidak sudi menjadi adik angkatmu!”
“Kalau
begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai
sekarang menjadi isteriku juga.”
“Gila!
Mana mungkin suci mau menerima aku sebagai madunya?”
“Lulu-sumoi!
Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku pun
tidak akan sudi ikut bersamanya.”
“Nirahai-suci....!”
Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan
mengandung isak.
“Sumoi,
sudah semestinya begini....!” Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di
atas kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu,
saling rangkul sambil menangis.
Bun
Beng yang menonton dan mendengarkan semua ini, menjadi terharu bukan main.
Kalau menurutkan perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan
dijunjung tinggi itu mendapatkan kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang
wanita yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang telah dihimpit duka
nestapa dan kesengsaraan selama belasan tahun kini seolah-olah orang-orang yang
kelaparan mendapatkan makanan atau orang-orang yang menderita penyakit payah
mendapatkan obat, ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang
keluar dari lubuk hatinya, Bun Beng menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan
berkata,
“Suma-taihiap,
teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap bertiga!”
“Ha-ha-ha,
Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan menghaturkan selamat,
melainkan memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini.
Ha-ha-ha! Eh, Suma-taihiap, Pendekar Siluman, tahukah engkau mengapa murid
kita ini memberi selamat? Karena dia terlalu bahagia melihat orang-orang yang
menderita penyakit asmara dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang
dilanda penyakit itu. Sekarang biarlah aku mewakili dia, di sini, di depan
isteri-isterimu, aku meminang puterimu yang bernama.... eh, Bun Beng, siapa
nama dara yang kautolong di atas pohon itu?”
Merah
muka Bun Beng. Biarpun sinting, kakek ini melakukan hal yang di luar dugaannya
sama sekali, maka dia menjawab lirih, “Milana....”
“Oya,
puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng.
Bagaimana? Bagaimana, Tuan Puteri Nirahai?”
Nirahai
yang masih berangkulan dengan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang
punggung Suma Han, menjawab, “Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan
apalagi, sih?”
“Ha-ha-ha,
belum apa-apa sudah bertobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagaimana
Suma-taihiap?”
Suma
Han mengerutkan alisnya. Menurut rencana hatinya dia ingin menjodohkan Kwi
Hong dengan pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang mencintanya.... dan
hal ini harus dia selidiki terlebih dahulu. Maka dengan suara tegas ia
menjawab,
“Bu-tek
Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutuskan, akan
tetapi harus mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun
Beng, kaubawalah Hok-mo-kiam itu dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari
Milana, dan mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan, biarlah kita bicarakan
kelak. Terima kasih atas kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hendak pergi,
selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh
pendekar itu melesat dan lenyap dari situ sambil memanggul tubuh dua orang
wanita itu!
“Heeiii....
Pendekar Siluman....! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu denganmu....!”
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak, suaranya melengking nyaring sehingga
Bun Beng yang berada di dekatnya cepat mengerahkan sin-kang untuk melindungi
jantungnya. Khi-kang dari kakek ini benar-benar amat luar biasa. Tak lama
kemudian, dari jauh terdengar suara Pendekar Super Sakti,
“Sekarang
aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Akan tetapi sewaktu-waktu
boleh datang ke Pulau Es....!”
Bu-tek
Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh heran sekali.
Semenjak puluhan tahun aku menganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar
dari nenek moyangku. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap
sama sekali. Dan aku ikut puas menyaksikan kebahagiaannya. Orang seperti dia
tidak sepatutnya hidup sengsara.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Dan sekarang,
ke mana engkau hendak pergi, Bun Beng?”
“Seperti
yang Locianpwe telah mendengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari
Nona Milana dan mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya
Nona Milana, teecu akan ke kota raja dan menyelidikinya dari sana.”
“Memang
seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang menjadi
calon mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan
kembali ke Pulau Neraka. Setelah bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api
permusuhan di hatiku padam sama sekali, perlu apa lagi aku berkeliaran di
dunia ini? Nah, aku pergi!” Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan
berkelebat lenyap dari situ.
“Locianpwe,
teecu belum menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu!” Bun Beng
mengerahkan khi-kangnya seperti yang dilakukan kakek itu tadi.
Dari
jauh terdengar suara ketawa kakek itu. “Ha-ha-ha! Kalau kau menghaturkan
terima kasih, berarti terhapus hutangmu! Dan aku ingin kau membayar hutangmu
dengan tiga cawan arak merah kelak, di Pulau Es!”
Bun
Beng menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasaan
terharu. Kakek itu boleh jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di
dalam kesintingannya, banyak kebaikan daripada keburukan yang muncul dari
pribadinya. Setelah memberi hormat ke arah suara kakek itu, Bun Beng bangkit
berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam yang tadi tanpa bicara telah
dilemparkan ke bawah oleh Nirahai, memasangkan pedang itu di punggungnya,
kemudian mengambil capingnya yang pecah-pecah, membetulkan caping, memakainya
di atas kepala, kemudian menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang kepada
mayat-mayat yang malang-melintang memenuhi tempat itu. Dia menghela napas
panjang.
“Maharya,
maafkan aku. Tidak mungkin aku dapat mengubur jenazah semua orang yang gugur
dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak mungkin kukubur sendiri.” Dia
lalu meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andaikata hatinya tidak dikejar
oleh keinginan untuk cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda
ini terpaksa akan mencoba untuk mengubur jenazah semua korban perang itu!
Di
dalam perjalanan menuju ke selatan ini, masih terbayang semua peristiwa
mengenai Pendekar Super Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia
merasa terharu dan girang, juga tidak mengerti, merasa heran karena dia pun
kini dapat merasakan betapa aneh kelakuan tiga orang itu. Yang sudah gila
diserang penyakit asmara, kata Bu-tek Siauw-jin. Benarkah begitu? Apakah dia
sendiri pun akan melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan aneh-aneh kelak karena
penyakit asmara ini? Akan tetapi hal yang paling membuat dia tidak mengerti
adalah keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita bangsawan, ibu
Milana pujaan hatinya itu? Kalau Pendekar Super Sakti tidak mengambil Lulu
sebagai isterinya, dia pun tidak akan sudi ikut bersama suaminya itu!
Tentu
saja Bun Beng yang masih muda itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu,
bagi Nirahai adalah hal yang amat wajar dan lumrah. Dia adalah puteri seorang
Kaisar yang mempunyai banyak selir. Bahkan dia sendiri puteri seorang selir.
Pada waktu itu kehidupan kekeluargaan seorang bangsawan amat berbeda dengan
kehidupan keluarga orang sekarang. Semua bangsawan tentu mempunyai isteri
lebih dari seorang. Bahkan kalau ada seorang bangsawan tidak mempunyai selir
hanya mempunyai seorang isteri saja, hal ini merupakan suatu kejanggalan dan
keanehan besar. Keadaan demikian itu telah menjadi kebiasaan, dan karena biasa
inilah maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang biasa, yang sama
sekali tidak mendatangkan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja Nirahai
merasa girang sekali mempunyai madu Lulu, sumoinya sendiri dan yang dia tahu
telah saling mencinta dengan suaminya sebelum suaminya itu bertemu dengan dia!
Di lubuk hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta suaminya
daripada dia, dan betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat
sekali.
Memang
tak dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wanita menjadi
sumber segala peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi poros yang
memutar roda penghidupan dengan segala suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara
antara pria dan wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia akan berubah sama
sekali, dan sukarlah membayangkan akan bagaimana keadaannya, sungguhpun kita
tidak berani menentukan bahwa perubahan itu buruk adanya!
***
Milana
menghentikan gerakannya meronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja.
Kalau tadinya dia meronta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena
tubuhnya tertotok lemas, bukanlah untuk membebaskan diri karena dia maklum
bahwa hal itu tidak mungkin, melainkan untuk menarik perhatian orang. Dia
melihat betapa para penjaga yang berusaha menolongnya malah menjadi korban
kelihaian dan keganasan Wan Keng In, maka dia berteriak-teriak dan memaki-maki
hanya untuk meninggalkan jejak ke mana dia dilarikan agar para petugas istana
itu dapat membayangi arah larinya Wan Keng In dan gurunya.
Akan
tetapi setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada penolong datang,
harapannya menipis. Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik
pemuda Pulau Neraka ini, karena kalau ayah bundanya sudah mendengar, tentu
sekarang mereka sudah mengejar dan menolongnya dari cengkeraman pemuda iblis
yang gila ini. Kini dia tidak dapat mengandalkan orang tuanya, para pengawal,
atau siapapun juga. Dia harus menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang
dan tidak lagi meronta-ronta. Akan tetapi ketika Wan Keng In dan kakek seperti
mayat hidup itu mulai mendaki sebuah gunung dengan gerakan cepat sekali seperti
terbang, Milana kembali merasa ngeri. Bagaimana kalau ayah bundanya mencarinya
dan kehilangan jejak? Dia tidak memperlihatkan rasa gelisahnya, akan tetapi
diam-diam dia merobek-robek saputangannya dan melempar-lemparkan robekan
saputangan itu di sepanjang jalan menuju ke atas puncak gunung itu.
“Malam
hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk,
sebaiknya kita beristirahat dan melewatkan malam di sini, Suhu.” Wan Keng In
berkata ketika mereka tiba di puncak.
“Sesukamulah,”
jawab gurunya tak acuh sambil memandang ke arah barat di mana matahari telah
menjadi sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan minyak.
“Nah,
engkau manis sekali kalau begini, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan
tidak memaki-maki aku lagi.” Keng In berkata kepada dara yang dipondongnya.
“Kalau
engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap
baik pula, tidak melawan dan tidak memaki. Kauturunkanlah aku, aku bukan anak
kecil yang harus dipondong saja.”
Wan
Keng In tertawa gembira. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana.
Aku tidak akan menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap
baik selama engkau tidak memberontak.” Keng In menurunkan tubuh dara itu,
meraba pundaknya dan membebaskan totokannya.
Milana
segera duduk di atas rumput dan menyalurkan jalan darahnya untuk memulihkan
tenaga. Biarpun dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk mencoba
melawan atau melarikan diri. Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat luar
biasa, dan dia bukanlah tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja seorang
diri, dia tidak akan mampu melawan atau melarikan diri, apalagi di situ masih
ada guru pemuda itu yang amat mengerikan. Tentu gurunya ini sakti seperti iblis
sendiri!
“Suhu,
lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan? Pilihan teecu (murid) tidak akan
meleset, Suhu. Dia cantik jelita, manis, halus, pintar.... pendeknya tidak ada
keduanya di dunia ini!” Wan Keng In tersenyum-senyum senang sekali melihat
Milana tidak memberontak lagi.
“Huhhh....!
Perempuan....!” Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong,
kemudian dia membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama
sekali tidak bergerak lagi seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu
pula. Milana yang melihat gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan
suara yang dikeluarkan kakek itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu
tiada ubahnya seperti mayat hidup, gerakannya seperti kaku akan tetapi cepat
dan tiba-tiba, amat mengejutkan. Kelingking jari tangan kiri yang putus
separuh itu menambah seram keadaannya.
Sementara
itu Wan Keng In dengan wajah berseri telah membuka buntalan, mengeluarkan
beberapa potong roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia
letakkan di depan Milana dan dia berkata ramah,
“Milana
pujaan hatiku, makan dan minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau
tidak mau makan atau minum sedikit pun, membuat hatiku menjadi tidak enak dan
khawatir!”
Milana
masih memandang punggung kakek yang duduk di atas batu. “Dia juga tidak pernah
makan atau minum selama ini,” katanya perlahan karena memang hatinya selalu
bertanya-tanya, kalau dia menderita kelaparan selama dua hari itu karena dia
selalu menolak makan atau minum, mengapa kakek itu pun tidak pernah makan
minum, bahkan pemuda itu tidak pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu
makan minum sendiri kalau Milana menolak.
“Suhu?
Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun.”
Kembali
Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang
seperti itu?
“Aku
tidak mau makan dan minum,” katanya lirih.
“Aihhh,
jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu? Kalau sampai engkau jatuh
sakit, siapa yang susah? Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih
sejuk, baru kuambil siang tadi di lereng gunung.”
Ingin
rasanya Milana membuat pemuda itu susah selama hidupnya, akan tetapi memang
benar, dia tidak mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarang pun dia
merasa amat haus dan lapar. Akan tetapi dia menahan diri. Kesempatan baik,
pikirnya.
“Aku
tidak bisa makan seperti ini.” katanya sambil memandang roti kering itu. “Aku
biasanya hanya makan nasi dan masakan yang enak.”
“Wah,
jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta
masakan apa saja, tentu akan kusediakan. Akan tetapi di sini, mana ada nasi dan
masakan?”
“Tidak
peduli!” Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gembira bahwa
dia dapat merongrong pemuda itu, ke dua karena timbul harapannya untuk mencari
kesempatan meloloskan diri. “Pendeknya, aku hanya mau makan kalau ada nasi, ada
arak dan setidaknya ada daging panggang!”
Wan
Keng In memandang dengan mata terbelalak kepada gadis itu, akan tetapi
kemarahannya lenyap ditelan penglihatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara
itu! Untuk bibir itu saja mau kiranya dia melakukan apapun juga, jangankan
hanya mencarikan nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh memetik bintang
dari langit sekalipun, kalau dia bisa, tentu akan dilakukannya!
“Aihhh....
bibirmu itu....” Keng In menghela napas dan Milana yang mengira ada sesuatu
pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidahnya untuk menjilati sepasang
bibirnya. Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona sampai dia melongo
memandang dan menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa pemuda itu memuji
bibirnya. Seketika sepasang pipinya menjadi kemerahan dan dia memandang dengan
tajam.
“Sudahlah!
Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!”
“Serrr!”
Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang menancap
di ulu hatinya.
“Aihhh....
matamu.... dan bibirmu.... eh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya mencarikan
semua itu untukmu, Sayang?” Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak dan sekali
berkelebat dia telah lenyap ke dalam hutan di bawah puncak yang sudah mulai
gelap.
Berdebar
jantung Milana. Pancingannya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk
memenuhi permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta
arak? Pemuda itu tentu akan pergi mencari dusun dan belum tentu akan
mendapatkan yang dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan hati-hati Milana
melirik ke arah kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya. Kakek itu masih
duduk bersila di atas batu, sama sekali tidak bergerak, bahkan agaknya
bernapas pun tidak. Kakek itu seperti arca mati yang sudah melekat dan menjadi
satu dengan batu yang didudukinya. Bagaimana kalau dia lari sekarang? Akan
tetapi dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng In
akan menjaga ketat lagi, mungkin tidak akan membebaskannya dari totokan. Dia
memang harus berusaha lari, akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil.
Milana
bangkit berdiri dan berjalan-jalan, matanya tak pernah dialihkan dari tubuh
kakek yang masih duduk bersila. Dengan memberanikan diri, dia berjalan perlahan
melewati depan kakek dan dia melihat bahwa kakek itu duduk bersila sambil
memejamkan mata dan.... agaknya benar-benar tidak bernapas! Biarpun cuaca
sudah remang-remang, namun dia masih dapat melihat keadaan kakek itu. Sampai
tiga kali dia berjalan perlahan seperti orang melemaskan kaki, mengelilingi kakek
itu dan berhenti di sebelah belakangnya. Kakek itu sama sekali tidak pernah
bergerak apalagi menengok. Milana membungkuk, mengambil sepotong batu, lalu
melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan kakek itu, matanya
memandang tajam. Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali, seolah-olah
telah mati, atau telah tidur nyenyak!
Jantung
Milana berdebar tegang. Tentu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang
tidur, atau demikian tenggelam dalam samadhinya sehingga seperti orang mati.
Berindap-indap Milana melangkah menjauhi kakek itu, mengambil arah yang
berlawanan dengan perginya Keng In tadi. Makin lama langkahnya yang gemetar itu
menjadi makin tetap, langkah kecil-kecil menjadi makin melebar dan karena
kakek itu sudah tidak tampak lagi dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi
menengok dan selagi dia mengambil keputusan hendak lari, tiba-tiba terdengar
suara orang di depannya. Seketika dia menjadi lemas melihat Keng In muncul
dengan seekor ayam hutan di tangannya.
“Aihh,
sudah begitu laparkah engkau, Sayang? Apakah engkau sengaja menyongsong aku?
Lihat, kuperoleh seekor ayam, gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam
panggang!”
Milana
memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira, “Aku
hendak menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat lapar!”
“Aduh
kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau
memanggangnya untuk kita makan bersama, bukan?”
Milana
menahan kemarahan dan kekecewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan yang
gemuk itu, kemudian sengaja berkata, “Ahhh, kenapa hanya ayam saja? Apakah aku
hanya kausuruh makan daging panggang? Mana nasinya? Mana araknya? Wan Keng In,
aku sudah mulai menurut karena sikapmu yang baik akan tetapi kalau permintaan
macam itu saja kau tidak mampu penuhi, apa gunanya aku tunduk?”
“Wah-wah....
sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar dapat
kaupanggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak,
jadi tidak ada waktu terbuang sia-sia, bukan?”
Milana
tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian mengangguk.
“Baiklah,
Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya? Perutku sudah lapar sekali.”
“Hi-hik,
perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?”
Ingin
Milana meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan
sabar dan hanya melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan
wajahnya. Keng In tertawa kemudian berkelebat pergi, kini menuju ke kanan,
agaknya di sebelah sana terdapat dusun terdekat.
Kembali
berdebar jantung Milana. Sekaranglah saatnya, pikirnya. Tidak boleh membuang
waktu lagi. Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In mendapatkan dia
tadi sedang melarikan diri, sedang berlari cepat, tentu rahasianya ketahuan dan
mungkin sekarang dia sudah rebah terbelenggu atau tertotok. Dia bergidik,
kemudian setelah menanti sejenak agar Keng In berlari cukup jauh ke sebelah
kanan puncak, Milana lalu membanting bangkai ayam hutan lalu meloncat
melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri puncak.
“Bresss....!”
Milana terjengkang dan cepat berjungkir balik agar jangan terbanting. Ketika
dia berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba
menghalang di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit karena yang
ditabraknya adalah tubuh kakek iblis guru Keng In yang entah bagaimana dan
kapan tahu-tahu telah berdiri di situ dengan kedua lengan bersedakap dan kedua
mata terpejam!
“Augghhh....!”
Milana merintih menahan rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari
lagi.
“Brukkk....!”
Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan memandang, lagi-lagi
kakek iblis itu yang ditabraknya.
“Aihhh....!”
Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek
yang menyeramkan itu, akan tetapi ke manapun juga dia lari, dia selalu menabrak
tubuh kakek berdiri itu, yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di
depannya. Rasa ngeri bercampur takut membuat dia marah sekali, dengan nekat dia
lalu menghantam dada kakek itu!
“Buk-buk-desss!”
Tiga kali dia menghantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan seluruh
tenaga, akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras
seperti baja, sama sekali tidak bergoyang terkena pukulan-pukulannya yang
disertai sin-kang!
Tiba-tiba
rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret.
Dengan mata terbelalak Milana memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak
rambutnya dan yang menyeretnya. Dia menangis dan mengeluh, sama sekali tidak
melawan karena maklum bahwa menghadapi kakek ini, dia lebih lemah daripada
seorang anak kecil! Setelah tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan
jambakannya dan melemparkan tubuh Milana ke atas rumput, sedangkan dia
sendiri lalu duduk di atas batu, bersila dan meram seperti tadi, seolah-olah
telah berubah menjadi arca!
Milana
menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah,
dan putus harapan serta kecewa. Kini dia memandang kepada kakek itu dengan
kemarahan meluap. Biar iblis sekalipun, kakek itu menghalanginya untuk lari,
menggagalkan kesempatan baik yang diperolehnya.
“Iblis
tua bangka....!” Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu,
menggunakan jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari
tangan kiri menotok ke tengkuk membidik jalan darah kematian, tangan kanan
dengan jari terbuka membacok ke arah lambung dengan pengerahan sin-kang.
Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga teratur dan disertai
pengerahan seluruh tenaganya. Dara yang keecewa ini sudah nekat dan hendak
membunuh atau terbunuh oleh kakek itu!
“Plakkk!
Bukkk!”
Milana
terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran,
akan tetapi tubuh kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua
tangannya terasa nyeri dan lengannya seperti lumpuh. Kakek itu mengeluarkan
suara mendengus dari hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke belakang
dan menotok jalan darah di pundak Milana, membuat tubuh dara itu kehilangan
tenaga dan roboh lemas! Totokan kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana
tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan sama sekali tidak dapat
digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia rebah miring
dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat mengganggu,
akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kepalanya.
Benar
seperti dugaan Milana, menjelang pagi, setelah ayam hutan mulai berkeruyuk
dan cahaya di langit timur sudah mulai muncul, baru Keng In muncul, membawa
bungkusan nasi, sayur-mayur, dan seguci arak!
“Milana
kekasihku, inilah permintaanmu.... heiiii! Mengapa kau?” Pemuda itu meletakkan
bawaannya, berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang membuat
dara itu lemas. Begitu terbebas dari totokan, biarpun tubuhnya masih lemas dan
jalan darahnya belum pulih benar, Milana sudah mencelat bangun dan menyerang
Wan Keng In!
“Brukkk!
Heiii.... mengapa kau ini....?” Keng In cepat menangkap lengan Milana dan
merangkulnya, meringkusnya membuat dara itu tak mampu melepaskan diri. “Milana
bidadariku, pujaan hatiku, kenapa kau....? Mana daging panggang itu dan kenapa
kau tertotok?”
Mau
rasanya Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa hatinya.
Mendengar pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan
murid ini.
“Mau
tahu? Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!” Ingin dia membohong, ingin dia
menjatuhkan fitnah kepada kakek itu, mengatakan bahwa kakek itu hendak
memperkosanya, akan tetapi karena sejak kecil dia tidak biasa membohong
kata-kata ini tidak bisar keluar dari mulutnya.
Keng
In menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya. “Suhu, apa yang
terjadi? Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?”
“Keng
In, engkau ini laki-laki macam apa? Tidak semestinya seorang laki-laki
membiarkan dirinya dihina perempuan! Kalau kau suka dia dan dia banyak rewel
paksa saja!” Milana merasa benci bukan main kepada kakek itu setelah melihat
kakek itu bicara tanpa menggerakkan bibir dan mendengar ucapan yang amat
menghina dan merendahkan wanita itu. Kalau dia tidak tahu bahwa melawan kakek
itu percuma saja, tentu dia sudah menerjang mati-matian.
“Aahh,
Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana? Tentu dia tadi hendak
melarikan diri maka Suhu menotoknya, bukan? Wah, jangan sekali-kali engkau
melarikan diri, biarpun aku tidak ada. Masih untung bahwa Suhu hanya
merobohkanmu, tidak membunuhmu.”
“Aku
tidak takut mati!” Milana membentak.
“Huh,
perempuan keras hati ini,” kembali kakek itu mengomel. “Dan kau mencinta dia?”
“Benar,
Suhu. Aku cinta Milana, aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang
tercinta, yang membalas cintaku, karena itu, sangat mustahil kalau aku harus
mengganggu badan atau nyawanya dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar
menghadapi Milana.”
“Huh,
agaknya kau takut mengganggunya. Anak siapa dia?”
“Dia
bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua
Thian-liong-pang.”
“Huh!”
Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah.
Milana
sudah bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu, suaranya
lantang ketika dia berkata,
“Ibuku
tidak hanya Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri
Kaisar yang perkasa, dan ayahku adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman, To-cu Pulau Es! Kalau ayah bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu
mereka akan datang dan mencabut nyawa kalian berdua seperti mencabut rumput
saja!”
Kakek
yang tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan
Keng In juga kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara
yang dicintanya itu adalah puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong
mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian tubuhnya
mencelat dekat, tangannya bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah
cepat.
“Brettt-brett-brettt....!”
Milana
menjerit kaget melihat tubuhnya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali
karena tiga kali renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat
seluruh pakaiannya, luar dan dalam, terobek dan tanggal semua!
“Suhu....!”
Cui-beng
Koai-ong melemparkan pakaian itu ke atas tanah. “Perkosa dia! Hayo kauperkosa
puteri Pendekar Siluman ini!” katanya kepada Keng In.
Keng
In membuka jubah luarnya dan menubruk gadis telanjang bulat yang matanya
terbelalak lebar dan mukanya pucat, yang dengan sia-sia mencoba untuk
menggunakan tangan menutupi tubuhnya, menutupkan jubah itu menyelimuti tubuh
Milana. Dengan cepat gadis itu menggunakan jubah menutupi tubuhnya dan
memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kebencian akan tetapi juga
kengerian.
“Keng
In, perkosa dia!” Kembali Cui-beng Koai-ong berkata. “Kalau tidak, aku yang
akan melakukannya!”
“Suhu,
jangan, Suhu. Aku ingin mendapatkan dia dengan suka rela, aku cinta padanya.”
“Aku
tidak peduli kaucinta atau tidak. Saat ini aku ingin melihat engkau memperkosa
seorang perempuan, dan kau harus melakukan hal itu!”
“Suhu,
tunggu....! Ada orang....!” Wan Keng In berseru dan meloncat ke depan. Benar
saja tampak bayangan berkelebatan dan muncullah lima orang yang gerakannya
gesit dan bersikap gagah. Empat orang laki-laki setengah tua yang bersenjata
pedang dan seorang wariita berusia tiga puluhan tahun, juga gagah sikapnya,
bersenjata sebatang cambuk.
“Bebaskan
Nona itu!” Wanita itu sudah membentak dan cambuknya bergerak mengeluarkan suara
meledak-ledak. Juga empat orang laki-laki itu sudah menerjang maju, disambut
oleh Keng In yang sudah mengeluarkan pedangnya. Begitu pemuda ini mengelebatkan
pedangnya, tampak sinar berkilat dan sinar ini menyambar ke arah empat orang
penyerangnya.
“Cringgg trak-trak-trak-trak!”
Empat batang pedang di tangan empat orang laki-laki gagah itu patah semua
ketika bertemu dengan Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, bahkan disusul
robohnya tubuh mereka yang hampir putus menjadi dua potong. Mereka roboh dan
tak bergerak lagi, mandi darah mereka sendiri.
Milana
tadinya hendak bergerak membantu para penolongnya, akan tetapi terpaksa
mengurungkan niatnya karena teringat akan tubuhnya yang telanjang bulat dan
hanya terselimut jubah luar. Kalau dia bergerak, tentu jubahnya terbuka!
Apalagi melihat betapa dalam segebrakan saja Keng In telah membunuh empat orang
itu, harapannya lenyap kembali.
Wanita
bercambuk itu menjadi kaget dan marah. Cambuknya menyambar ke arah Wan Keng In
yang sambil tersenyum telah menyarungkan Lam-mo-kiam kembali. Cambuk menyambar
dan mengenai leher Keng In, melibat leher dan wanita itu menarik. Namun, tubuh
Keng In sama sekali tidak bergoyang, bahkan sekali Keng In menarik leher ke
belakang, tubuh wanita itu terhuyung ke depan, tertangkap oleh pelukan kedua
lengan Keng In. Wanita itu hendak meronta, akan tetapi cambuknya sudah mengikat
kedua tangannya sehingga tidak dapat berkutik.
“Apakah
Suhu masih ingin melihat aku memperkosa perempuan?” Keng In yang sengaja tidak
membunuh wanita ini karena ingin menolong Milana, menoleh kepada gurunya.
“Hem,
hayo cepat!” gurunya yang gila itu berkata.
Keng
In menotok wanita itu sehingga menjadi lemas, kemudian dia menanggalkan
seluruh pakaian wanita itu satu demi satu, melempar-lemparkan pakaian itu
kepada Milana sambil berkata, “Milana, kaupakailah pakaiannya, pakaianmu sudah
robek semua.”
Milana
tidak mengerti apa yang akan terjadi, akan tetapi melihat pakaian itu
dilempar-lemparkan kepadanya ia lalu memakainya. Untung bahwa bentuk tubuh wanita
itu hanya sedikit lebih besar dari tubuhnya, maka pakaian itu, dari pakaian
dalam sampai pakaian luar, dapat dipakainya dengan baik. Akan tetapi, betapa
kaget dan ngeri hati Milana ketika melihat Keng In mulai menanggalkan pakaiannya
sendiri kemudian menubruk wanita tawanan yang sudah menggeletak di atas rumput
tanpa pakaian itu.
“Kau....!”
Milana marah bukan main, lupa diri dan bergerak menyerang Keng In. Akan tetapi,
dengan tangan kirinya Keng In menyambar cambuk wanita tadi, menggerakkan cambuk
itu sehingga ujungnya menotok pundak Milana yang terguling roboh dan tidak
mampu bergerak lagi. Gadis ini mula-mula terbelalak memandang penglihatan yang
terjadi hanya dua meter di depan matanya, kemudian dia memejamkan matanya dan
seluruh tubuhnya menggigil. Hatinya penuh dengan kebencian dan dia berjanji
untuk membunuh Wan Keng In dan gurunya itu karena dia menganggap mereka itu
bukan manusia, kejam melebihi binatang buas, bahkan iblis sendiri belum tentu
seganas dan sejahat mereka!
Biarpun
dia telah memejamkan matanya, namun Milana tetap saja mendengar rintihan wanita
itu. Betapa heran dia setelah beberapa lama, terdengar wanita itu berkata
diseling isak, “Aku.... aku akan membantumu.... aku bersedia menjadi pembantumu
yang setia.... asal jangan bunuh aku.... ampunkanlah aku...., aku telah berani
menentang seorang gagah seperti engkau....”
Ucapan
itu terhenti, terdengar suara “prakkk!” dan keadaan menjadi sunyi. Tidak
terdengar apa-apa lagi. Setelah agak lama, barulah Milana merasa pundaknya
disentuh dan dia terbebas dari totokan. Dibukanya matanya dan dia terbelalak.
Sinar matahari pagi menimpa tubuh yang telanjang bulat, tubuh yang berkulit
putih bersih, akan tetapi kini kulit yang putih kuning itu telah berlepotan
darah, diantaranya darah yang masih menetes keluar dari kepalanya yang pecah!
“Ihhh....!”
Milana menutupi mata dengan kedua tangannya.
Wan
Keng In yang sudah berpakaian lagi itu merangkulnya dan berbisik, “Terpaksa
kulakukan untuk memuaskan hati Suhu, dan sebagai penggantimu....”
Biarpun
masih nanar, Milana maklum apa artinya semua itu, dan kejijikan terhadap Keng
In makin menghebat. Direnggutnya secara kasar tubuhnya dari rangkulan Keng In.
Tiba-tiba
Wan Keng In meloncat ke atas batu besar di puncak itu, memandang ke
sekeliling. Kemudian dia melayang turun lagi, berkata kepada suhunya yang
masih duduk di atas batu, “Suhu, kurang lebih lima puluh orang telah mengurung
puncak ini, agaknya teman-teman lima orang itu. Bagaimana baiknya? Apakah
teecu amuk dan bunuh saja mereka?”
“Mana
anak buah kita?” Kakek itu berkata tak acuh.
“Belum
ada yang muncul, Suhu.”
“Hemmm....,
panggil mereka. Suruh mereka basmi anjing-anjing itu!”
Keng
In lalu membuat api unggun, terus ditambahi dahan dan daun kering sehingga
bernyala besar sekali. Kemudian dia menggunakan tenaga khi-kang untuk meniup
dan setiap kali tiup, segumpal asap hitam bergulung-gulung ke angkasa. Beberapa
kali dia lakukan hal ini dalam jarak-jarak waktu tertentu. Milana hanya
memandang dengan heran. Hatinya tegang. Benarkah ada lima puluh orang mengurung
tempat ini? Siapakah mereka? Dan siapa pula lima orang yang berusaha menolongnya
akan tetapi tewas semua ini?
“Ibuuuuu....!”
Tiba-tiba Milana berteriak sambil mengerahkan khi-kangnya. Suaranya melengking
tinggi dan bergema di seluruh lereng gunung.
“Milana,
jangan....!” Keng In meloncat dengan sigapnya, mengejar gadis yang berusaha
melarikan diri itu dan seperti ketika pertama kali dia menculik Milana, gadis
itu dikempit pinggangnya dan dipanggulnya setelah ditotok lemas.
Milana
meronta-ronta tanpa hasil. Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, akan
tetapi suara itu mengecewakan hati Milana karena bukan lengking suara ibunya,
bukan pula suara ayahnya yang sudah dikenalnya. Dan ternyata memang bukan
karena Keng In segera mengeluarkan teriakan yang sama sebagai jawaban. Tak
lama kemudian Milana mendengar suara hiruk-pikuk orang bertanding di
sekeliling puncak.
“Suhu,
anak buah kita sudah berpesta membunuhi mereka.” Keng In berkata dan gurunya
hanya mendengus.
“Tahukah
engkau, Milana? Anak buah kita, para penghuni Pulau Neraka, telah datang.
Sebentar lagi orang-orang yang mengurung kita tentu akan terbasmi dan kita akan
melanjutkan perjalanan ke Pulau Neraka. Jangan mencoba untuk lari lagi, Manis.
Kau tahu hal itu percuma, dan pula, bukankah aku sudah bersikap baik
terhadapmu? Aku cinta padamu. Milana, berilah cium....” Keng In mendekatkan
mulutnya, akan tetapi Milana berkata dengan suara mendesis saking marahnya.
“Aku
berjanji takkan melarikan diri, berjanji akan menyerah. Akan tetapi kalau kau
berani menciumku, berani menjamahku, biarpun aku tidak dapat melawanmu, aku
akan membunuh diri!”
Mulut
Keng In yang sudah hampir menyentuh pipi Milana itu ditarik ke belakang.
“Aihhh....
jangan, Manis. Kalau kaubunuh diri, habis aku bagaimana....” Ucapannya
terdengar tolol dan kekanak-kanakan, atau seperti ucapan orang yang tidak
waras otaknya.
“Kalau
begitu, lepaskan aku. Aku takkan lari.”
Keng
In cepat menurunkan tubuh Milana dan membebaskan totokannya. Mereka bertiga
duduk di situ menanti sampai suara hiruk-pikuk dari senjata beradu dan teriakan
kematian diseling sorak kemenangan itu makin berkurang, akhirnya berhenti. Tak
lama kemudian tampak bermunculan tiga puluh lebih orang-orang Pulau Neraka yang
mukanya berwarna-warni, ada yang merah, biru, hijau, merah muda dan hijau
pupus. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan Keng In dan Cui-beng
Koai-ong.
“Mohon
ampun atas kelambatan kami, Siauw-tocu.”
“Tidak
mengapa,” kata Keng In kepada seorang kakek berkepala gundul bermuka merah muda
yang memimpin rombongan orang Pulau Neraka itu. “Kong To Tek, siapakah para
pengepung tadi dan bagaimana keadaan mereka sekarang?”
“Mereka
adalah orang-orang kang-ouw yang bergabung dengan pengawal-pengawal yang
dipimpin oleh seorang panglima pengawal. Kami telah menyerbu dan menurut
penglihatan kami, mereka yang jumlahnya lima puluh dua orang telah mati semua,
Siauw-tocu. Menanti perintah selanjutnya.”
“Bagus!
Sediakan sebuah perahu, kami hendak kembali ke Pulau Neraka.”
Orang-orang
yang berlutut itu mengangkat muka dan kelihatan terkejut dan tidak
menyangka-nyangka. “Dan kami...., Siauw-tocu?”
“Kalian
juga. Kita bangun kembali pulau kita, aku yang memimpin bersama calon isteriku
ini, dibantu oleh Suhu.”
Orang-orang
itu bersorak girang. “Perahu sudah siap di pantai dekat Gua Naga Hitam,
Siauw-tocu.”
Sebentar
saja mereka sudah menuntun datang beberapa ekor kuda, yaitu tunggangan para
penyerbu yang telah tewas semua itu. Para pengurung puncak itu memang benar
rombongan pengawal dari kota raja yang dipimpin oleh seorang panglima.
Rombongan ini berhasil mengikuti jejak Wan Keng In dan di sepanjang jalan
mereka minta bantuan orang-orang kang-ouw, termasuk empat orang dan seorang
wanita yang telah lebih dulu menjadi korban keganasan Wan Keng In itu.
“Apakah
Suhu juga hendak menunggang kuda?” Wan Keng In bertanya ragu kepada suhunya.
Biarpun kakek itu gurunya, namun dia sama sekali tidak mengenal betul keadaan
kakek itu, yang gerak-geriknya penuh rahasia dan tidak pernah mau bercerita
tentang dirinya sendiri.
Cui-beng
Koai-ong mendengus, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya yang kaku itu telah
lenyap. “Suhu telah pergi lebih dulu ke Pulau Neraka. Hanya kalian kawal kami
berdua. Semua orang harus tunduk dan hormat kepada Puteri Milana ini, dia
adalah calon isteriku. Siapa yang membuat hatinya tidak senang akan kubunuh!”
Semua
orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Neraka dan sebagian di antara mereka sudah
mengenal Milana, bahkan sudah pernah bentrok dengan gadis ini ketika Milana
memimpin orang-orang Thian-liong-pang. Mereka tahu bahwa Milana adalah puteri
Ketua Thian-liong-pang, maka mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan
perkasa itu akan menjadi isteri majikan mereka, hati mereka menjadi
terheran-heran, akan tetapi juga girang. Berangkatlah Keng In dengan
rombongannya, dan Milana yang tidak mempunyai harapan untuk dapat lolos lagi
itu, kini menurut saja. Yang penting baginya sekarang adalah mencegah Keng In
memaksanya sebagai isterinya, dan tentang meloloskan diri, akan diatur
sebaiknya kalau sudah ada kesempatan terbuka.
Tidak
ada halangan terjadi yang menghalangi rombongan ini sampai mereka menggunakan
perahu melanjutkan perjalanan dan tiba di Pulau Neraka. Milana merasa ngeri
melihat keadaan pulau ini. Sebuah pulau liar penuh dengan binatang buas yang
beracun, dan biarpun sudah pernah diserbu dan dibakar oleh pasukan pemerintah
yang amat kuat, kini tidak kehilangan keangkerannya.
Dia
tidak banyak memperlihatkan perlawanan, bahkan membantu ketika Keng In dan anak
buahnya membangun kembali bangunan yang telah terbakar. Bahkan dia bersikap
baik terhadap Cui-beng Koai-ong yang sudah lebih dulu berada di pulau itu.
Dengan perantaraan Keng In, gadis ini malah mulai mempelajari ilmu-ilmu aneh
dan mujijat dari Cui-beng Koai-ong!
“Aku
bersedia menjadi isterimu, dengan satu syarat, yaitu ayah bundaku harus
menyetujuinya. Sebelum itu, biar kaupaksa sekalipun, aku tidak akan menurut
dan kalau kau menggunakan paksaan, aku akan membunuh diri dan rohku akan
selalu mengejarmu untuk membalas dendam.” Ucapan Milana yang dikeluarkan dengan
sungguh-sungguh ini membuat Keng In maklum bahwa dia harus memenuhi permintaan
itu sebelum dia dapat menundukkan dara itu agar secara suka rela menjadi
isterinya. Dia merasa tersiksa sekali karena harus menahan nafsunya yang kadang-kadang
membakar dirinya. Dia terlalu mencinta Milana dan ingin hidup selamanya di
samping wanita ini, maka betapa pun sukarnya, dia akan mengusahakan agar orang
tua dara itu menyatakan persetujuannya, kalau perlu dengan kekerasan dan untuk
ini dia mengandalkan bantuan gurunya.
Mulailah
sebuah kehidupan baru bagi Milana, di atas Pulau Neraka yang sedang dibangun
oleh Keng In, di mana dia dikenal sebagai calon isteri Siauw-tocu, dan di mana
dia harus mempergunakan seluruh kecerdikannya untuk menyelamatkan diri dari
gangguan Keng In tanpa menimbulkan kecurigaan pemuda luar biasa itu.
***
Andaikata
tidak ada Kwi Hong yang menjadi petunjuk jalan, biarpun Im-kan Seng-jin Bhong
Ji Kun, Thian Tok Lama dan beberapa orang panglima pembantunya pernah melawat
ke Pulau Es, namun agaknya perahu mereka itu takkan pernah dapat sampai ke
Pulau Es. Berkat petunjuk Kwi Hong, biarpun makan waktu sampai dua pekan,
akhirnya sampai juga perahu besar itu dan mendarat di Pulau Es. Kwi Hong
melompat ke darat lebih dahulu. Hatinya terharu sekali menyaksikan pulau di
mana dia tinggal sejak kecil yang kini keadaannya sudah banyak rusak, istana
pulau yang dari jauh sudah kelihatan runtuh bekas terbakar. Teringat ia akan
pemuda Thung Ki Lok yang mencintanya dan yang tewas oleh pengkhianat Kwee Sui,
teringat akan para paman pembantu Pendekar Super Sakti yang tewas dalam
pertempuran ketika pasukan pemerintah menyerbu. Hatinya menjadi terharu sekali,
akan tetapi tidak ada setitik pun air mata tumpah. Hati dara ini telah mengeras
karena gemblengan-gemblengan pengalamannya.
Para
tokoh yang membantu Bhong Ji Kun mengikuti bekas Koksu itu meloncat turun pula.
Mereka itu adalah Thian Tok Lama yang mengiringkan Pangeran Yauw Ki Ong yang
digandeng oleh dua orang selirnya, yaitu bekas-bekas pelayan yang masih bisa
melarikan diri bersamanya, disusul oleh Liong Khek, tokoh kurus muka pucat yang
tidak ketinggalan membawa senjatanya yang istimewa yaitu sebatang gagang
pancing lengkap dengan tali dan mata kailnya, Gozan jagoan Mongol yang bertubuh
tinggi besar seperti raksasa, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut bertangan panjang
yang bersenjata sepasang golok, dan seorang yang tinggi besar bersenjata tombak
panjang. Orang ini sikapnya keren, gerak-geriknya gesit dan dihormat oleh
pembantu lainnya. Dia adalah seorang ahli tombak dari selatan, berjuluk Sin-jio
(Tombak Sakti) bernama Ciat Leng Souw. Memang ilmu tombaknya hebat bukan main,
juga tenaga sin-kangnya amat kuat sehingga di dalam rombongan itu, kiranya
hanya Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama saja yang akan mampu menandingi tombaknya
yang lihai! Pantas kalau dia dihormat oleh para pembantu bekas Koksu itu.
Selain para jagoan ini, juga ada beberapa orang panglima yang berkepandaian
tinggi, dan beberapa orang pelayan biasa, tukang kuda yang bertugas sebagai
tukang perahu dalam pelayaran itu. Mereka berbondong turun dan kasihan sekali
para pelayan yang tidak memiliki kepandaian tinggi karena begitu mendarat di
Pulau Es, mereka sudah menderita kedinginan!
Rombongan
Pangeran Yauw Ki Ong yang dikawal Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ini bersama Kwi
Hong jumlahnya masih ada dua puluh orang. Segera atas perintah Bhong Ji Kun,
mereka mulal membetulkan bekas istana Pulau Es yang telah terbakar itu. Karena
istana itu memang besar dan jumlah mereka tidak begitu banyak, maka tempat itu
cukup untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Sebuah api unggun yang besar
terpaksa harus dinyalakan terus di dalam istana itu melawan hawa dingin.
Ketika
Kwi Hong yang telah rindu kepada pulau ini mengadakan peninjauan seorang diri,
kesempatan ini dipergunakan oleh Bhong Ji Kun untuk mengajak Pangeran Yauw dan
para kaki tangannya untuk berunding. Mereka tadinya membujuk Kwi Hong selain
untuk menarik Pendekar Super Sakti di fihak mereka, juga untuk memanfaatkan
tenaga gadis itu. Sekarang, setelah Kwi Hong berhasil mengantar mereka ke Pulau
Es, mereka harus cepat mengambil keputusan menundukkan gadis itu sebelum gadis
berwatak keras dan aneh sukar ditundukkan itu berubah pikiran dan memberontak.
Akan tetapi diam-diam Bhong Ji Kun dan dibantu oleh Thian Tok Lama dan Sin-jio
Ciat Leng Souw, melakukan penyelidikan di sekitar pulau sambil mencari-cari
pusaka-pusaka Pulau Es itu. Namun usaha mereka tidak ada hasilnya maka pada
keesokan harinya, Bhong Ji Kun mengundang Kwi Hong untuk mengadakan
perundingan. Mereka semua berkumpul di dalam ruangan istana, tentu saja para
pelayan dan dua orang selir Pangeran Yauw yang tidak ikut.
Kwi
Hong masih belum menyadari keadaannya sehingga dia tidak curiga ketika
dipersilakan duduk, di antara Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun, sedangkan Ciat
Leng Souw duduk di sebelah belakangnya, berhadapan dengan para panglima dan
Pangeran Yauw.
“Giam-lihiap,
kami berterima kasih sekali bahwa lihiap telah suka membawa kami untuk
berlindung di pulau ini. Terpaksa kita semua harus tinggal untuk sementara di
sini selama kekuatan pasukan kita belum tersusun. Kita harus mengadakan
hubungan dengan saudara-saudara di Mongol, Tibet, dan Nepal, juga mengadakan
perhubungan baru dengan kaum orang gagah di pedalaman yang mendendam sakit
hati kepada Kaisar. Karena itu, sambil menanti keadaan dan untuk menghilangkan
rasa kesepian di pulau yang dingin ini kami harap saja Lihiap suka
memperlihatkan setia kawan dan suka mengeluarkan kitab-kitab pusaka Pulau Es
agar kita bersama dapat mempelajarinya untuk menambah pengetahuan.”
Ucapan
Bhong Ji Kun ini terdengar seperti guntur di siang hari oleh Kwi Hong. Sama
sekali tidak pernah disangkanya bahwa bekas Koksu ini akan mengeluarkan
pernyataan seperti itu, karena soal pusaka Pulau Es tadinya tidak pernah
disinggung dalam persekutuan dan kerja sama mereka.
“Apa
yang kaumaksudkan, Bhong-Koksu?” Biarpun sekarang bukan Koksu lagi, namun Kwi
Hong dan beberapa orang lain masih menyebut Koksu, hal ini adalah karena memang
dia dicalonkan sebagai Koksu juga kalau Pangeran Yauw Ki Ong berhasil dengan
pemberontakan itu dan merebut tahta kerajaan.
“Maksudku
sudah jelas, Nona.” Suara Bhong Ji Kun terdengar halus namun dingin dan penuh
ejekan. “Ketika kami bertugas menyerbu pulau ini, kami tidak dapat menemukan
pusaka-pusaka yang tersimpan di Istana Pulau Es. Padahal Istana Pulau Es dahulu
adalah tempat tinggal Manusia Dewa Bu Kek Siansu yang terkenal. Maka kami
merasa yakin bahwa pusaka-pusaka itu tentulah disimpan dan disembunyikan, dan
Nona sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu
dapat mengetahui tempat penyimpanannya.”
Bukan
main marahnya hati Kwi Hong. Mukanya menjadi merah sekali dan suaranya lantang
ketika dia menjawab,
“Aku
tidak mengerti mengapa engkau membawa-bawa urusan pusaka ke dalam kerja sama
kita ini, Bhong-koksu. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu akan pusaka yang
disimpan. Semua pusaka dan benda berharga Pulau Es telah dibagi-bagikan oleh
paman kepada para anggauta sebelum dibubarkan, dan kalau kaumaksudkan
kitab-kitab, semua itu hanya paman yang mengetahui dan menyimpannya.”
“Mustahii
Giam-lihiap sebagai muridnya tidak tahu di mana disembunyikannya kitab-kitab
itu? Pinceng (Saya) rasa lebih baik Lihiap memperlihatkan kepada Bhong-koksu
sehingga terbuktilah bahwa Lihiap memang benar-benar ingin bekerja sama dengan
kami,” kata Thian Tok Lama mendesak.
“Aku
tidak tahu! Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Kalau tidak percaya, habis
kalian mau apa?” Kwi Hong sudah marah sekali dan kedua tangannya yang berada di
atas meja dikepal keras.
“Hemm,
Lihiap masih bersikap keras kepada kami. Padahal Lihiap adalah pembantu kami
dan sebagai pembantu harus taat kepada pimpinan. Perlukah kami harus mengambil
jalan kekerasan?”
“Brakkk!”
Kwi Hong bangkit berdiri dan menggunakan tangannya menggebrak meja. Alisnya
diangkat ketika matanya dilebarkan, memandang dengan sinar berapi kepada Bhong
Ji Kun. “Boleh saja! Siapa takut akan jalan kekerasanmu?”
Pangeran
Yauw segera bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke atas.
“Aih-aih....,
apa perlunya semua ini? Giam-lihiap, harap suka duduk kembali dan harap suka
bersabar. Bhong-koksu, tidak semestinya mendesak Lihiap. Kalau Lihiap bilang
tidak tahu tentu benar-benar tidak tahu. Giam-lihiap adalah sahabat kita,
bahkan aku telah menganggapnya sebagai pengawal yang paling kupercaya. Di
antara orang sendiri tidak semestinya terjadi keributan hanya karena soal kecil
saja.”
Bhong-koksu
tersenyum lebar dan cepat dia berdiri dan menjura ke arah Kwi Hong sambil berkata,
“Ahh, kami telah terburu nafsu dan harap maafkan kami, Lihiap. Agaknya
kekalahan yang kami derita, kemudian keadaan yang penuh kesukaran di sini
membuat kami lupa diri. Akan tetapi, hendaknya Lihiap juga tidak selalu
memperlihatkan sikap keras. Sikap Lihiap tentu saja menimbulkan keraguan kami
dan hanya ada satu jalan kiranya yang akan membuat keraguan kami lenyap sama
sekali dan mendatangkan keyakinan di hati kami akan kesetiakawanan Lihiap
terhadap persekutuan kami.”
Kwi
Hong mengira bahwa tentu Koksu itu tetap akan minta pusaka Pulau Es, dan kini
dengan jalan halus dan bujukan, maka dengan kemarahan ditahan dia bertanya,
“Satu jalan apakah yang kaumaksudkan?”
Koksu
melirik ke arah Pangeran Yauw Ki Ong yang tersenyum dan mengangguk-angguk,
kemudian berkata, “Pangeran telah membuka rahasia hatinya kepadaku. Semenjak
beliau bertemu dengan Lihiap, beliau telah tertarik dan jatuh cinta kepada
Lihiap. Maka, Pangeran berkenan mengambil Lihiap sebagai selir, dan tentu saja
kelak kalau perjuangan kita berhasil, Lihiap akan diperisteri secara resmi dan
besar kemungkinan Lihiap kelak akan menjadi permaisuri.”
Wajah
Kwi Hong menjadi pucat seketika, kemudian berubah merah. Maklumlah dia bahwa
orang-orang yang disangkanya sahabat ini ternyata adalah orang-orang yang
mempunyai niat jahat terhadap dirinya, dan dia selama ini dikelilingi oleh
musuh! Teringatlah dia akan arak suguhan Pangeran Yauw dan tentang surat
peringatan yang dikirim secara aneh penuh rahasia oleh orang tak dikenal. Bukan
main rasa menyesalnya. Dia telah membantu orang-orang jahat ini! Bahkan dia
telah membawa mereka ke Pulau Es! Apakah yang telah dia lakukan? Akan tetapi
dia masih menahan sabar dan bangkit berdiri sambil berkata,
“Aku
tidak dapat menerima permintaan itu!”Tentu saja semua ini memang telah
direncanakan oleh Bhong Ji Kun, Pangeran Yauw dan para pembantunya. Sama
sekali bukan maksud mereka untuk mengangkat dara itu menjadi permaisuri.
Maksud sesungguhnya adalah kalau sampai Kwi Hong dapat diperisteri oleh
Pangeran Yauw, otomatis Pendekar Super Sakti tentu kelak akan mau membantu
usaha pemberontakan mereka.
Kini
melihat sikap Kwi Hong yang dengan keras menolak, Bhong Ji Kun dan para
pembantunya meloncat mundur, Pangeran Yauw cepat menyelamatkan diri dan mundur
di belakang para jagoannya dan mereka membuat gerakan mengurung Kwi Hong yang
masih berdiri tegak dengan sikap gagah, tangan kiri bertolak pinggang, tangan
kanan dengan jari-jari terbuka siap di dekat gagang pedang Li-mo-kiam!
“Kalau
begitu, jelas engkau tidak berniat baik, maka terpaksa kami harus menggunakan
kekerasan!” Bhong Ji Kun berkata sambil mencabut senjatanya, pecut kuda berbulu
merah dan sebatang golok besar. Thian Tok Lama juga sudah mengeluarkan sebatang
tongkat pendeta, sebuah senjata baru yang kini selalu dipegangnya karena
pendeta ini dalam pengalamannya maklum bahwa kedua tangan kosongnya yang
biasanya amat ampuh itu tidak cukup untuk menghadapi seorang lawan tangguh
seperti murid Pendekar Super Sakti ini. Sin-jio Ciat Leng Souw Si Tombak Sakti
sudah siap pula dengan tombak gagang panjang dilintangkan di depan dada,
demikian pula para tokoh pembantu Koksu yang lain telah pula siap dengan
senjata masing-masing mengurung Kwi Hong.
“Bhong-koksu,
harap jangan melukainya, apalagi membunuhnya,” kata Pangeran Yauw sebelum
mengundurkan diri dari ruangan luas itu.
“Ha-ha,
jangan khawatir, Ong-ya. Akan hamba tangkap hidup-hidup untuk Paduka.”
Kemarahan
hati Kwi Hong yang terdorong rasa penyesalan besar itu tidak dapat ditahannya
lagi. Sambil mengeluarkan seruan melengking tinggi nyaring, dara perkasa itu
sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan
dia telah menerjang Bhong Ji Kun yang amat dibencinya.
Kakek
ini cepat mengelak dan masih sempat berseru, “Ingat jangan bentur senjatanya!”
Memang
sebelum terjadi pengeroyokan ini, Koksu telah mengatur terlebih dahulu siapa
yang akan menghadapi dara ini, dan mereka semua telah diperingatkan untuk tidak
mengadu senjata mereka dengan pedang Li-mo-kiam yang amat ampuh itu. Maka semua
serangan Kwi Hong hanya dielakkan oleh yang diserangnya, sedangkan teman lain
cepat turun tangan menerjang dara itu dari belakang sehingga yang diserang
oleh Kwi Hong selalu tertolong, sebaliknya dara itu sendiri yang menghadapi
serangan serentak dari belakang dan kanan kiri. Terjadilah pertandingan
mati-matian bagi Kwi Hong karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang
tinggi ilmu kepandaiannya. Yang mengepungnya berjumlah sepuluh orang, dan
sebagian besar dari mereka yang paling lihai semua memegang senjata panjang.
Bhong Ji Kun dengan cambuk merahnya, Thian Tok Lama dengan tongkat pendetanya,
Ciat Leng Souw dengan tombak panjangnya, Liong Khek dengan senjata pancingnya,
Thai-lek-gu dengan sepasang golok, dan empat panglima lain yang bersenjata
pedang. Hanya Gozan yang bertangan kosong, akan tetapi raksasa Mongol ini tidak
ikut menerjang maju, hanya siap untuk turun tangan kalau keadaan mengijinkan
untuk menangkap dara itu hidup-hidup seperti yang dikehendaki Pangeran Yauw Ki
Ong tadi.
Giam
Kwi Hong adalah murid Pendekar Super Sakti, dan dia bahkan sudah digembleng
oleh Bu-tek Siauw-jin, tentu saja ilmu silatnya hebat. Apalagi di tangannya ada
Li-mo-kiam yang ampuh, maka andaikata diadakan pertandingan satu lawan satu,
kiranya hanya Bhong Ji Kun seoranglah yang akan mampu mengatasinya, sedangkan
Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw kiranya akan menghadapi kesukaran hebat untuk
dapat mengalahkan dara perkasa ini.
Akan
tetapi, kini dia dikepung ketat oleh sepuluh orang, dan mereka itu bersikap
hati-hati, tidak mau menangkis pedang Li-mo-kiam, melainkan selalu menyerangnya
serentak dari belakang kalau dia menyerang seorang di antara mereka. Senjata
mereka panjang dan ini masih ditambah oleh pukulan-pukulan sin-kang jarak jauh
yang dilontarkan oleh Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama. Tentu saja Kwi Hong
menjadi repot sekali, bahkan beberapa kali dia terhuyung oleh angin pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang yang dilakukan oleh Thian Tok Lama. Pendeta Tibet ini
memang terkenal sekali dengan ilmu pukulannya ini, pukulan mujijat yang dapat
merobohkan lawan dari jarak jauh. Tangan kanannya berubah menjadi biru dan
setiap kali dia melakukan pemukulan dengan dorongan telapak tangan, dari
perutnya terdengar bunyi kok-kok seperti ayam betina habis bertelur, dan dari
telapak tangannya menyambar uap hitam!
Yang
amat merepotkan Kwi Hong adalah ujung pecut merah Bhong Ji Kun yang
menyambar-nyambar dari atas, meledak-ledak dan mengancamnya dengan
totokan-totokan maut. Namun, Kwi Hong tidak menjadi jerih dan sudah mengambil
keputusan untuk bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa. Karena dia maklum
bahwa di antara mereka semua, yang paling lihai adalah Bhong Ji Kun dan Thian
Tok Lama, maka kedua kakek inilah yang menjadi sasaran utama dari sinar
pedangnya.
Dengan
gerakan yang amat cepat disertai bentakan nyaring, pedang Li-mo-kiam yang
berubah menjadi sinar kilat itu menyambar ke atas lalu meluncur ke arah
tenggorokan Thian Tok Lama yang cepat meloncat ke belakang. Akan tetapi sinar
pedang itu mengejar terus. Mata pendeta Tibet itu menjadi silau dan terpaksa
dengan kaget sekali dia menangkis dengan ujung tongkatnya. Sementara itu, Bhong
Ji Kun melihat temannya terancam bahaya, sudah menggerakkan cambuknya dan
ujung pecut ini menyambar ke arah jari-jari tangan kanan Kwi Hong yang menggenggam
gagang pedang. Hal ini sudah dijaga oleh Kwi Hong, maka tanpa menghentikan
serangannya kepada Thian Tok Lama, dia merobah kedudukan kaki sehingga tubuhnya
membalik, tangan kirinya menyambar dan menangkap ujung pecut itu sambil
mengerahkan tenaga menahan!
“Crokkk!”
Ujang tongkat Thian Tok Lama terbabat patah sedikit dan sinar pedang Li-mo-kiam
masih terus menyambar tenggorokannya. Pendeta itu berteriak kaget, terpaksa
membuang tubuhnya ke belakang dan bergulingan. Biarpun dia kaget setengah mati,
dan ujung tongkatnya patah, namun dia selamat.
Dengan
tangan kiri masih memegang ujung pecut, Kwi Hong menggerakkan pedangnya, yang
gagal mengenai Thian Tok Lama untuk menangkis datangnya senjata yang
bertubi-tubi. Semua senjata cepat ditarik kembali karena takut terbabat rusak,
akan tetapi tali pancing itu di tangan Liong Khek Si Muka Pucat telah melibat
pedang, sedangkan Ciat Leng Souw yang melihat pedang yang ditakuti itu
sementara tak dapat dipergunakan karena terlibat tali pancing, cepat
membabatkan tombaknya ke arah kedua kaki Kwi Hong!
Dara
perkasa itu terkejut sekali. Tangan kirinya masih memegang ujung cambuk Bhong
Ji Kun dan pedangnya tertahan oleh tali pancing, kini kedua kakinya terancam
bahaya diserampang oleh tombak. Maka dia lalu menggunakan tenaga pertahanan
cambuk dan tali pancing, menggenjot tubuhnya dan meloncat ke atas sehingga
sambaran tombak itu lewat di bawah kakinya. Akan tetapi pada saat itu, Gozan
yang sejak tadi telah siap menanti saat baik, menubruk ke depan, kedua
lengannya yang panjang berbulu dan besar itu telah merangkul tubuh Kwi Hong,
meringkusnya dengan kekuatan seekor gajah! Sebelum Kwi Hong yang kaget sekali
dapat melawan, Koksu telah menotok pundak kirinya sedangkan gagang tombak Ciat
Leng Souw telah mengetuk lututnya. Tubuh dara itu lemas dan dia tidak dapat
bergerak lagi, tak dapat melawan ketika kaki tangannya dibelenggu dan dia
diseret dan dilempar ke dalam sebuah kamar di istana itu, dipaksa rebah di atas
pembaringan dan kaki tangannya dibelenggu pada kaki pembaringan!
Pangeran
Yauw minta dengan sangat kepada Koksu agar Kwi Hong tidak diganggu, dan hal
ini pun dipenuhi oleh Koksu yang melarang para pembantunya mengganggu tawanan
itu. Dia masih menaruh harapan besar agar Kwi Hong dapat ditundukkan, karena
hal ini akan menguntungkan mereka. Sebaliknya, kalau terpaksa gagal, mereka
tentu akan dimusuhi oleh Pendekar Super Sakti dan hal ini tidak menguntungkan
usaha pemberontakan mereka. Karena inilah maka Koksu memerintahkan kepada para
pembantunya yang melakukan penjagaan untuk mengirim makan minum kepada tawanan
itu dan memperlakukannya baik-baik.
Akan
tetapi, Kwi Hong sama sekali tidak mau makan, bahkan setiap kali ada yang
memasuki kamar tahanan, dia memaki-maki dan berusaha meronta. Wajahnya
menjadi pucat setelah selama dua hari dua malam dia tidak makan, tidak minum,
dan tidak tidur sama sekali. Mendengar laporan tentang dara itu, Pangeran Yauw
menjadi khawatir akan keselamatan Kwi Hong, maka dia mengambil keputusan untuk
membujuk sendiri.
Demikianlah
pada hari ke tiga, setelah menyuruh para penjaga menjauhkan diri agar tidak
menyaksikan pertemuan itu, Pangeran Yauw seorang diri memasuki kamar tahanan
Kwi Hong. Begitu masuk, pangeran itu mengeluh dan berlutut di dekat
pembaringan di mana Kwi Hong dibelenggu kaki tangannya.
“Ahhh,
betapa sakit hatiku melihat keadaanmu seperti ini, Nona. Mengapa engkau
berkeras kepala? Kalau tidak aku yang minta-minta kepada mereka, tentu engkau
telah dibunuh atau diperlakukan lebih mengerikan daripada kematian. Aku yang
minta agar kau tidak diganggu dan dilayani sebaiknya, akan tetapi engkau tetap
keras hati.”
“Cukup!
Mau apa engkau datang ke sini? Mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati?
Mendengarkan omonganmu yang beracun lebih mengerikan daripada menghadapi
maut!”
“Aihh,
Kwi Hong.... kenapa engkau besikap begini? Tidakkah engkau melihat bahwa semua
kesabaran itu, semua kerendahan ini kulakukan karena aku cinta padamu? Karena
aku tergila-gila kepadamu? Engkau menurutlah menjadi isteriku, kelak engkau
akan kuangkat menjadi permaisuri, dan....” Suara Pangeran Yauw menurun menjadi
bisikan halus, “....sakit hatimu akan terbalas semua. Setelah aku berhasil
dengan perjuanganku, aku akan menghukum mampus Bhong-koksu dan semua
pembantunya itu, yang telah menghinamu.... kau mau bukan menjadi kekasihku,
menjadi permaisuriku, sayang?”
“Cuhhh....!”
Kwi Hong meludah dan tepat mengenai pipi kanan pangeran itu.
“Aduhhh....!”
Pangeran itu terjengkang dan meraba pipinya yang terasa nyeri seperti dihantam
benda keras. Matanya terbelalak penuh kemarahan, telunjuknya menuding ke arah
muka Kwi Hong. “Perempuan laknat! Berani engkau meludahi aku? Aku akan
menyiksamu untuk penghinaan ini! Akan kusuruh semua orang memperkosamu di
depan mataku, sampai engkau mampus....!”
Pangeran
Yauw tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba sebuah ledakan
terdengar dan sinar merah menyambar ke lehernya, tubuhnya terangkat ke atas
dan ternyata dia telah tergantung di ujung cambuk yang dipegang oleh Koksu.
Mata pangeran itu mendelik, kaki tangannya bergerak-gerak.
“Hemm....
engkau hendak membunuh kami kelak, ya? Pengkhianat tak tahu malu, tak mengenal
budi!” Bhong Ji Kun melemparkan tubuh di ujung cambuk itu kepada Gozan yang
bersama yang lain ikut pula masuk, lalu berkata, “Lemparkan dia dalam keadaan
telanjang bulat ke luar!”
Pangeran
Yauw berteriak-teriak minta ampun dan melimpahkan janji-janji muluk namun Gozan
mengangkatnya seperti seorang mengangkat anak kecil, membawanya keluar dari
istana. Pangeran itu meronta-ronta, meratap-ratap, namun tidak ada yang suka
atau berani menolongnya. Dengan renggutan-renggutan tangannya yang kuat, Gozan
menelanjangi pangeran itu sehingga tidak ada secarik kain pun yang melindungi
tubuhnya ketika tubuh itu dilempar ke atas salju yang dingin. Pangeran itu
berlutut, menyembah-nyembah minta ampun, akan tetapi setiap kali dia hendak
lari ke istana mencari tempat berlindung dari hawa dingin, dia ditendang ke
luar. Akhirnya suara ratapannya makin lemah dan tak lama kemudian dia sudah
rebah meringkuk dengan tubuh beku kedinginan di atas tumpukan salju!
Dua
orang pelayan wanita yang tadinya menjadi selir pangeran dan yang selalu
dipandang dengan sinar mata penuh iri oleh anggauta rombongan yang lain, kini
menjadi rebutan di antara para pembantu Bhong Ji Kun, kecuali Thian Tok Lama
dan Ciat Leng Souw yang telah tua dan satu-satunya nafsu keinginan mereka
hanyalah mengejar kedudukan dan kemuliaan. Atas perintah Bhong Ji Kun, dua
orang pelayan muda itu harus menyerahkan diri kepada Liong Khek Si Muka Pucat
dan Gozan raksasa Mongol!
Memang
patut dikasihani seorang manusia yang hidupnya dikuasai nafsu-nafsu keinginan
seperti Pangeran Yauw Ki Ong. Dia sebagai seorang mahluk manusia dengan
penghidupannya sama sekali tidak ada artinya, tidak penting lagi karena yang
terpenting hanyalah pengejaran segala keinginannya itulah. Ketika tergila-gila
kepada Kwi Hong, agaknya pangeran yang entah sudah berapa ratus kali berganti
selir-selir baru itu, bersedia untuk bersumpah bahwa dia mencinta Kwi Hong.
Akan tetapi kenyataannya, begitu Kwi Hong menolak cintanya, perasaannya yang
disebut cinta itu berubahlah menjadi benci yang hebat! Cinta macam itu sungguh
tidak ada harganya! Cinta yang begitu mudah merobah diri menjadi benci,
hanyalah nafsu berahi, yang nilainya sama rendah dengan benci. Namun, betapa
banyaknya orang yang masih belum sadar akan hal ini, menganggap dengan penuh
keyakinan bahwa perasaan seperti itu adalah cinta! Bahkan cinta suci katanya!
Ada yang kalau cintanya ditolak berubah benci. Ada pula yang cintanya ditolak
lalu membunuh diri. Ini lebih gila lagi, karena apa yang di sebutnya hanya sama
nilainya dengan kegilaan, karena hanya orang yang tidak waras otaknya sajalah
yang akan melakukan bunuh diri! Bagi mereka yang masih belum sadar ini, cinta
mereka sama dengan benci, atau cinta mereka sama dengan gila!
Juga
Pangeran Yauw Ki Ong selama hidupnya didorong untuk selalu memperoleh yang
diinginkan. Tidak tahu dia bahwa nafsu memperoleh ini ujungnya adalah
kebosanan. Nafsu memperoleh ini pada awalnya menimbulkan gairah namun pada
akhirnya, setelah yang diinginkannya itu diperoleh, berubahlah gairah menjadi
kebosanan, dan timbullah pula nafsu memperoleh hal atau benda lain lagi.
Dengan demikian dia terseret dalam lingkungan setan yang tiada berkeputusan,
hidupnya seperti mahluk penasaran yang selalu mengejar-ngejar nafsu yang
dibuatnya sendiri. Tidak menyedihkankah hidup seperti itu, menjadi boneka
permainan nafsu keinginan?
Bhong
Ji Kun tidak hanya marah kepada Pangeran Yauw Ki Ong yang mengkhianatinya, akan
tetapi juga dia marah kepada Kwi Hong yang terang-terangan sampai mati pun
tidak akan suka menuruti kehendaknya, yaitu menyerahkan pusaka Istana Pulau Es.
Kekecewaan hatinya menimbulkan kemarahan yang membuat dia makin kejam dan
ganas, merencanakan hukuman dan siksaan yang dianggapnya paling keji dan hebat
bagi Kwi Hong.
“Engkau
tetap keras kepala, ya? Baiklah ingin kulihat apakah engkau cukup keras untuk
tidak minta ampun seperti Pangeran Yauw Si Keparat tadi! Dua orang selirnya
masih jauh lebih terhormat nasibnya daripada perempuan keras kepala macam
engkau! Setidaknya mereka menjadi milik pribadi dua orang pembantuku yang
berkedudukan tinggi! Akan tetapi engkau! Hemmm, biarpun engkau seorang yang
masih perawan, akan tetapi engkau akan kuserahkan kepada para bujang, tukang
kuda dan pelayan. Engkau akan menjadi milik mereka secara bergiliran! Dan
siapa yang dapat membuat engkau mengeluh dan menangis akan kuberi hadiah!
Ha-ha-ha, ingin sekali aku mendengar teriakanmu seperti yang dilakukan pangeran
gila tadi!”
Para
bujang yang jumlahnya ada delapan orang itu tentu saja menyeringai gembira,
biarpun hati mereka merasa agak gentar juga. Mereka adalah orang-orang yang
tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi, menghambakan diri kepada
seorang majikan macam Bhong Ji Kun, tentu saja membuat watak mereka pun tak
dapat dikata baik. Setelah mendengar keputusan Koksu yang menghadiahkan gadis
tawanan itu kepada mereka, dimulai malam nanti, beramai-ramai delapan orang itu
sibuk menjadikan Kwi Hong semacam hadiah undian untuk menarik giliran
masing-masing!
Kwi
Hong yang masih rebah telentang di atas pembaringan, tak dapat melakukan
sesuatu ketika Bhong Ji Kun menotok dua jalan darah di punggungnya yang
membuat kaki dan tangannya lemas dan setengah lumpuh. Dia dapat bergerak, akan
tetapi tidak mampu mengerahkan tenaga sin-kangnya. Setelah ikatan kaki dan
tangannya dilepaskan, dia segera meloncat. Akan tetapi dia terbanting roboh
lagi di atas pembaringan karena selain kedua kaki dan tangannya lemas juga
tubuhnya lemah akibat kurang makan, kurang minum, dan kurang tidur. Bhong Ji
Kun tertawa bergelak lalu meninggalkan kamar tahanan itu.
Kwi
Hong rebah miring. Dia maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Maklum bahwa
mengandalkan tenaganya, tidak mungkin dia menghindarkan diri dari malapetaka.
Tanpa dapat menggerakkan kaki tangan secara leluasa, tanpa dapat mengerahkan
sin-kang, apa dayanya. Kehormatannya terancam dan dia tidak mampu
mempertahankan kehormatannya dengan ilmu silat dan tenaga. Akan habiskah dia?
Tidak adakah harapan lagi baginya? Dan pada saat itu, terbayanglah wajah Gak
Bun Beng. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Dia
mencinta Bun Beng, dan biarpun hanya menjadi rahasia hatinya sendiri, sering
kali dia bermimpi berjumpa dengan pemuda itu yang dalam mimpinya juga
mencintanya. Beberapa kali dia mimpi bercumbu dengan pemuda itu, bahkan mimpi
menjadi isteri pemuda itu. Betapa bahagianya! Akan tetapi semua itu hanya
mimpi, dan sekarang dia berada di tepi jurang kehancuran, terancam malapetaka
yang lebih mengerikan daripada maut sendiri dikorbankan oleh Bhong Ji Kun untuk
diperkosa secara bergiliran oleh para bujang tanpa dia dapat mempertahankan
diri sama sekali.
“Bun
Beng.... ah, Bun Beng...., di mana engkau....?” Kwi Hong mengeluh dan air
matanya bercucuran. Apakah dia harus minta ampun kepada Bhong Ji Kun? Akan
tetapi tidak mungkin. Hal itu hanya akan menimbulkan bahan penghinaan dari para
musuhnya itu, karena dia benar-benar tidak tahu di mana pamannya menyimpan
kitab-kitab pusaka Istana Pulau Es. Andaikata dia tahu sekalipun, dia tidak
percaya bahwa dengan memberikan kitab-kitab itu dia akan terbebas dari
kematian. Orang-orang seperti Bhong Ji Kun dan kaki tangannya sama sekali tidak
dapat dipercaya dan mereka itu baru bersikap baik kalau mempunyai maksud
tertentu demi keuntungan mereka sendiri. Buktinya, Pangeran Yauw sudah
merencanakan pembunuhan mereka, dan begitu hal ini diketahui Bhong Ji Kun,
dengan kejam pangeran itu dibunuh tanpa ampun lagi. Dia, sebagai murid dan
keponakan Pendekar Super Sakti, musuh besar mereka, mana mungkin bisa
mendapatkan ampun? Betapa bodohnya dia! Mudah saja ditipu oleh Bhong Ji Kun!
Malam
tiba. Hal ini diketahui Kwi Hong dari lenyapnya sinar matahari yang makin
menyuram melalui lubang angin di bawah genting kamar tahanan dan terganti sinar
penerangan dari ruangan samping. Cuaca menjadi remang-remang dan jantung Kwi
Hong berdebar. Bahaya mulai datang mendekat dan dia mencari akal bagaimana
untuk dapat mempertahankan diri. Yang akan muncul tentulah seorang di antara
pelayan yang sebagian besar sudah tua dan lemah. Biarpun dia tidak dapat
mengerahkan sin-kang, dan tubuhnya lemas, akan tetapi dia masih menguasai ilmu
silat. Dia akan menggunakan sedikit tenaga yang ada untuk merobohkan, kalau
bisa membunuh setiap orang laki-laki yang berani menjamahnya! Dia tahu caranya.
Dengan tendangan perlahan mengenai alat kelaminnya, dengan tusukan jari tangan
mengenai matanya, dua serangan ini saja, betapa pun lemahnya, cukup membuat
pengganggunya tak berdaya. Timbul kembali harapannya untuk lolos dari ancaman
bahaya ini. Untung bahwa kebencian Bhong Ji Kun kepadanya amat besar sehingga
saking inginnya menghinanya sampai serendah-rendahnya, dia tidak diberikan
kepada para pembantunya yang memiliki kepandaian tinggi, meiainkan kepada para
bujang untuk diperkosa secara bergilir. Kalau dia diberikan kepada seorang seperti
Thai-lek-gu atau Gozan, tentu akan habis harapannya, karena dalam keadaannya
seperti ini takkan mungkin dia melawan seorang di antara mereka. Dia bergidik!
Membayangkan betapa dia dipermainkan seorang laki-laki seperti Gozan, raksasa
Mongol yang tubuhnya berbulu-bulu sampai ke jari tangan dan lehernya itu!
“Gerriiittt....!”
Pintu kamar tahanan terbuka dari luar, bayangan seorang laki-laki agak bongkok
memasuki kamar, membalik dan menutupkan kembali daun pintu.
Dengan
gerakan otomatis Kwi Hong meloncat dari keadaan berbaring. Dia lupa diri maka
loncatan itu membuat tubuhnya terbanting lagi ke atas pembaringan. Dia menahan
keluhan dan terpaksa bangkit duduk di atas pembaringan dengan mata terbelalak
memandang laki-laki itu yang kini sudah membalikkan tubuh lagi menghadapinya
sambil menyeringai. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar akan tetapi
agak bongkok dan kurus, mukanya penuh brewok yang sudah bercampur uban, usianya
tentu kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya tidak karuan dan sepasang
matanya bergerak liar, mulutnya menyeringai aneh, Si Gila! Kwi Hong pernah
melihat seorang di antara pengurus kuda yang keadaannya menyedihkan ini dan
oleh teman-teman pelayan lain dia disebut Si Gila. Aihh, benar-benar Bhong Ji
Kun ingin merendahkannya sampai yang paling hina sehingga untuk malam pertama
itu dia diserahkan kepada pelayan paling mengerikan dan menjijikkan!
“Heh-heh-heh,
ini namanya hukum karma....!” Si Gila itu melangkah perlahan-lahan menghampiri
Kwi Hong, tangan kirinya memegang sebatang tabung bambu. Ketika bicara, air
ludahnya muncrat-muncrat.
Saking
jijiknya, Kwi Hong segera turun tangan. Dia turun dari pembaringan, dan
menahan napas mengumpulkan semua tenaga yang ada, kemudian melakukan serangan
dengan, jari-jari tangan kiri menusuk ke arah mata Si Gila itu, disusul
gerakan kaki kanannya menendang ke bawah pusar. Biarpun serangannya itu tidak
mengandung tenaga sin-kang, dan tidak lebih hanya mengandung tenaga seorang
wanita yang hampir kelaparan, namun kalau mengenai sasaran, mata dan anggauta
kelamin, agaknya cukup membuat Si Gila itu terjungkal!
“Ehhh....?”
Si Gila berseru dan tubuhnya bergerak cepat di luar dugaan Kwi Hong. Tusukan
mata dapat dielakkan, tendangan dapat ditangkis dan tubuh Kwi Hong didorong
kembali jatuh ke atas pembaringan dalam keadaan telentang! Celaka, pikirnya.
Kiranya Si Gila ini bukanlah orang yang lemah. Bahkan gerakan-gerakannya tadi
jelas membayangkan gerakan silat yang cukup baik! Habislah harapan Kwi Hong
dan dia mulai ketakutan ketika Si Gila mencelat dan duduk di pinggir
pembaringan sambil terkekeh-kekeh.
“Hukum
karma atau bukan.... heh-heh.... aku tidak rela engkau dipermainkan orang.
Lebih baik kau mati daripada diperkosa mereka secara bergilir.” Si Gila itu
lalu membuka tutup tabung bambu. “Bocah bodoh, kenapa engkau tidak membunuh
diri saja....? Apa.... apa engkau memang suka untuk diperkosa secara bergilir
oleh mereka?”
Kwi
Hong memandang dengan mata terbelalak. Orang ini bicaranya tidak karuan, jelas
bahwa otaknya miring, akan tetapi isi kata-katanya benar-benar membuat dia
berdebar. “Apa.... apa maksudmu....?”
“Biarpun
ibumu diperkosa, akan tetapi pemerkosanya bertanggung jawab dan memang
mencinta ibumu. Sedangkan mereka yang hendak memperkosamu secara bergiliran
hanya ingin mempermainkanmu, ingin memakaimu seperti orang memakai pakaian
yang kalau sudah butut dan rusak dicampakkan begitu saja dan tidak ditoleh
lagi!”
“Apa....
apa maksudmu dengan Ibu....?”
“Heh-heh!
Ibumu masih perawan tulen ketika diperkosa, seperti engkau.... heh-heh, akan
tetapi pemerkosanya bertanggung jawab, ibumu dijadikan isterinya.... dan
engkau terlahir. Biarpun ibumu diperkosa, aku tidak rela melihat engkau diperkosa
orang! Heh-heh, biarpun aku memperkosa ibumu, aku cinta padanya.... dan aku
yang membunuhnya.... heh-heh, akan tetapi.... aku tidak rela melihat engkau
diperkosa orang! Lebih baik kau mati!”
Si
Gila itu menggerakkan tabung bambu dan keluarlah seekor ular merah. Karena
disentakkan keluar, ular itu tiba di leher Kwi Hong, akan tetapi begitu dia
menyentuh leher Kwi Hong, dipandang oleh Si Gila yang terkekeh-kekeh,
tiba-tiba ular itu menyambar membalik dan menggigit lengan Si Gila.
“Auggghhh....!”
Si Gila memekik dan roboh di atas lantai. “Kwi Hong.... lebih baik kau mati
daripada diperkosa.... ahh....” Si Gila itu masih sempat berkata kemudian
tubuhnya berkelojotan dan ular merah ikut bergerak-gerak di lengannya.
Kwi
Hong bangkit berdiri, terbelalak dengan muka pucat memandang wajah Si Gila yang
berkelojotan itu. Kini teringatlah dia.
“Ayaaahhhh....!”
Ia menubruk. Tentu saja! Tentu saja orang ini ayahnya! Dan tentu ayahnya ini
pula yang dahulu memperingatkannya tentang arak beracun di taman yang disuguhkan
Pangeran Yauw. Ayahnya telah menjadi gila, atau berpura-pura gila? Bagaimana
mungkin dia mengenal ayahnya, yang ditinggal pergi bersama pamannya ketika dia
masih kecil? Apalagi ayahnya yang dahulunya seorang perwira tinggi itu kini
telah menjadi tukang kuda yang gila dan pakaiannya tidak karuan. Bagaimana dia
dapat mengenalnya? Betapapun juga, sampai saat terakhir ayahnya dengan cara
gilanya masih berusaha menyelamatkannya dari perkosaan dan penghinaan, yaitu
dengan cara membunuhnya. Tentu ayahnya tidak tahu bahwa di dalam tubuhnya
telah mengalir obat penolak ular merah sehingga begitu mencium kulit lehernya,
ular itu menjadi takut dan membalik menggigit Si Gila sendiri! Entah bagaimana
ayahnya dapat menangkap ular dalam tabung itu.
“Ayah....!”
Akan tetapi Kwi Hong maklum bahwa ayahnya telah mati. Racun gigitan ular merah
memang amat hebat. Bagi yang lemah berakibat kematian, bagi yang kuat
sekalipun akan mendatangkan pengaruh mujijat, ada yang menjadi terangsang nafsu
berahinya, ada pula yang menjadi gila!
Melihat
ayahnya, biarpun gila dan menjijikkan akan tetapi tetap ayah kandungnya,
menggeletak tak bernyawa lagi dan kini wajahnya yang tadi diselubungi kegilaan
tampak tenang dan makin jelas persamaannya dengan wajah ayahnya dahulu, Kwi
Hong menjadi marah. Dipegangnya ular itu, ditariknya terlepas dari lengan
ayahnya, dan akan dibantingnya. Akan tetapi dia teringat dan tiba-tiba wajahnya
berseri biarpun air matanya bercucuran ketika dia memandang ayahnya.
“Ayah,
beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Usaha pertolongan Ayah tidak sia-sia, anak
berterima kasih, Ayah.” Dia lalu menggerakkan sisa tenaganya, menggurat-guratkan
tubuh ular pada batu dinding yang agak kasar sehingga kulit itu pecah terluka
dan berdarah. Ular itu sama sekali tidak berani melawan, dan setelah dilepaskan
di atas lantai dekat mayat Giam Cu, bekas perwira ayah Kwi Hong yang telah
menjadi gila itu, ular berkelojotan dan darah mengucur dari luka-lukanya. Kwi
Hong maklum bahwa darah ular merah yang keluar dari seekor ular merah yang
masih hidup mempunyai bau yang mengandung daya mengundang ular-ular merah lain.
Telah
dituturkan di bagian depan cerita ini betapa Giam Cu, panglima tinggi besar
brewok yang diwaktu bala tentara Mancu menyerbu ke selatan telah memperkosa
Sie Leng, gadis enci (kakak perempuan) Pendekar Super Sakti, akan tetapi lalu
menculik gadis itu dan menjadikannya sebagai isterinya (baca ceritaPendekar Super Sakti). Dalam pernikahan
ini Sie Leng mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Giam Kwi Hong. Ketika Pendekar
Super Sakti dituduh melarikan Puteri Nirahai, dalam kekhawatirannya
tersangkut karena isterinya adalah enci Suma Han, Giam Cu lalu membunuh
isterinya sendiri. Perbuatannya ini membuat dia menyesal bukan main karena dia
memang mencinta isterinya maka setelah Kwi Hong dilarikan Suma Han, perwira
tinggi ini menjadi gila! Tentu saja dia tidak dapat menduduki pangkatnya lagi,
dan akhirnya orang tidak tahu ke mana dia pergi. Kiranya, setelah gila dan
terlantar, tidak ada orang yang mengenalnya lagi, diam-diam bekas perwira yang
gila ini bekerja sebagai tukang kuda di istana Koksu!
Melihat
mayat ayahnya, Kwi Hong merasa terharu. Dia mengangkat mayat itu ke atas
pembaringan, pekerjaan yang amat sukar bagi tenaganya yang masih lemas itu,
kemudian dia duduk bersila, mengumpulkan hawa Swat-im Sin-kang yang dilatihnya
sejak kecil, perlahan-lahan dia berusaha memulihkan tenaganya dan membuyarkan
pengaruh totokan sambil menanti hasil usahanya memanggil ular-ular dengan darah
ular merah tadi.
Betapa
girangnya ketika hidungnya mencium bau wangi-wangi yang aneh namun tidak asing
baginya, dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan
tampaklah ular-ular merah merayap-rayap datang dari segala penjuru, memasuki
kamar tahanan itu! Kegirangan Kwi Hong bukan hanya karena ular-ular itu dapat
melindunginya sehingga orang-orang hendak mengganggunya tidak berani mendekat,
akan tetapi juga hawa beracun dari ular-ular merah itu mempunyai daya yang
mujijat. Hal ini adalah penemuan pamannya dan dia pernah disuruh berlatih
sin-kang di antara ular-ular merah ini dan hawa yang bagi orang lain mengandung
racun berbahaya itu, baginya adalah memperlancar latihannya. Karena itu, kini
dengan bantuan hawa beracun, dia makin tekun melancarkan jalan darahnya dan
menghimpun tenaga sin-kang untuk memulihkan tenaganya. Dia tetap duduk bersila
di lantai, membiarkan pembaringannya ditempati mayat ayahnya. Kalau dia
teringat masa lalu, dia terbayang di depan matanya betapa ibu kandungnya
dibunuh ayahnya ini, ditusuk dadanya sampai tembus dengan pedang, maka ingatan
itu membuat dia tidak dapat berduka oleh kematian ayahnya. Namun, melihat
betapa setelah tersiksa dan hidup seperti orang gila, namun pada saat-saat
terakhir masih berusaha melindungi anaknya, hatinya merasa terharu juga.
“Ular....!
Ular....!”
Jeritan-jeritan
itu terdengar dari mulut para penjaga ketika mereka melihat ular-ular merah,
apalagi ketika mereka mengejar ular-ular itu ke kamar tahanan, melihat gadis
tawanan itu duduk bersila di atas lantai tengah kamar, dikelilingi ular merah
ratusan banyaknya, dan tubuh Si Gila yang menjadi mayat menggeletak di atas
pembaringan.
Tak
lama kemudian Koksu dan teman-temannya datang. Mereka berada di luar kamar
memandang dengan mata terbelalak.
“Mundur
semua! Ular-ular itu beracun!” bekas Koksu Bhong Ji Kun berteriak dan semua
orang cepat mundur karena bau harum bercampur amis itu pun membuat mereka muak
dan tidak tahan.
Tentu
saja kecewa sekali hati Kwi Hong. Tenaganya belum pulih, dan dia sudah
ketahuan. Kalau Bhong Ji Kun turun tangan, tentu dia tidak mampu membela diri.
Akan tetapi dia tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan tersenyum dan
menggertak,
“Siapa
berani mendekati aku, tentu akan mampus! Bhong Ji Kun, aku ingin sekali melihat
apakah engkau berani memasuki kamar tahanan ini!”
Bhong
Ji Kun menggeget giginya. “Perempuan siluman! Lekas kauenyahkan semua ular itu,
kalau tidak, kamar ini akan kubakar sampai engkau dan ular-ularmu mati hangus!”
Tentu
saja ancaman membunuhnya dengan cara apapun juga tidak mendatangkan rasa takut
di hati Kwi Hong. Dia memang sudah berada di ambang maut, peduli apa dengan
segala gertakan? Akan tetapi dia tidak ingin melihat ular-ular itu ikut pula
mati terbakar, dan pula, selama masih ada kesempatan, dia harus
mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Kalau sudah tidak ada jalan lain,
dalam menghadapi penghinaan, kini dia menemukan cara yang paling tepat, seperti
yang dikatakan oleh ayah kandungnya tadi, yaitu membunuh diri! Takut apa
lagi? Ia tersenyum.
“Bhong
Ji Kun, engkau menyuruh aku mengusir ular-ular ini, kalau mereka sudah pergi,
engkau akan senang melihat aku diganggu orang-orangmu, bukan? Benar-benar
engkau seorang yang amat baik hati. Baiklah, aku akan mengusir ular-ularku.
Buka pintu kamar ini agar lebih cepat mereka pergi.”
Bhong
Ji Kun sendiri melangkah maju membukakan pintu, sedangkan para pembantunya
berdiri di belakangnya dengan muka membayangkan kengerian. Mereka sungguh
merasa heran mengapa gadis tawanan itu dapat mengumpulkan ular beracun sekian
banyaknya dan sama sekali tidak terganggu! Benar-benar seorang gadis yang amat
lihai dan tak boleh dipandang rendah.
Kwi
Hong mengeluarkan bunyi dengan lidahnya untuk membangkitkan perhatian ular-ular
itu, mengambil ular yang terluka dan masih berkelojotan, kemudian tiba-tiba
dia melempar ular terluka itu ke arah Bhong Ji Kun sambil membentak,
“Makanlah
ini!”
Bhong
Ji Kun cepat mengelak, lalu meloncat jauh ke pinggir. Di belakangnya terdengar
orang berseru kaget dan ular yang terluka itu ternyata mengenai dadanya, dan....
semua ular merah yang berada di dalam kamar itu menyerbu keluar dan langsung
menyerang Panglima Mancu yang terkena ular terluka tadi, tubuhnya penuh
dengan ular merah yang langsung menggigit. Panglima itu memekik nyaring
mengerikan dan roboh berkelojotan terus tewas seketika!
Bhong
Ji Kun sudah meloncat ke dalam kamar tahanan yang sudah tidak ada ularnya. Kwi
Hong meloncat bangun, namun tubuhnya masih belum pulih, masih lemah maka dalam
beberapa gebrakan saja dia telah roboh oleh Bhong Ji Kun yang lihai.
“Gunakan
api, usir ular-ular itu!” Bhong Ji Kun berteriak marah. Para pembantunya segera
menggunakan api dan benar saja, ular-ular itu segera melarikan diri keluar dari
tempat itu. Seperti binatang-binatang apa saja di dunia ini, ular-ular itu pun
takut sekali akan api yang amat panas itu.
“Bhong-koksu,
bunuh saja gadis itu!” Thian Tok Lama berkata dan ucapan ini dibenarkan semua
pembantu Bhong Ji Kun. Setelah menyaksikan betapa dalam keadaan lemah saja
gadis itu telah berhasil mengakibatkan kematian seorang bujang dan seorang
panglima, mereka menjadi gentar dan akan selalu cemas sebelum gadis yang
berbahaya itu dibunuh.
“Dia
sudah kutotok dan takkan dapat bergerak selama semalam suntuk. Memang mudah
membunuhnya. Akan tetapi kalau dipikir lagi, apa gunanya membunuhnya? Kurasa,
kalau dia hidup dia lebih berguna daripada kalau dia mati. Siapa tahu gunanya
kelak. Biarlah besok kita rundingkan lagi, pendeknya dia harus selalu dijaga
ketat agar tidak mendapat kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan
lagi.”
Keputusan
Bhong Ji Kun ini membuat Kwi Hong hampir kehilangan akal dan kehabisan harapan
karena selain tertotok, dia pun dibelenggu kaki tangannya, dilempar ke atas
pembaringan dalam kamar tahanan itu, pintunya dipalang dari luar dan di luar
pintu selalu ada dua orang pembantu Bhong Ji Kun yang berdiri menjaga dengan
bergilir! Andaikata dia dapat membebaskan totokan, dia harus membebaskan
belenggu, dan masih harus berhadapan dengan dua orang penjaga yang berilmu
tinggi dan yang tentu akan memanggil datangnya Bhong Ji Kun dan para
pembantunya yang lain! Akan tetapi, kenyataan bahwa dia belum dibunuh oleh
Bhong Ji Kun menimbulkan harapan baru. Hal itu hanya berarti bahwa bekas Koksu
itu masih ingin melihat dia hidup, dan selama masih ada harapan untuk hidup,
dia tidak akan putus asa dan tidak akan membunuh diri seperti yang dianjurkan
ayah kandungnya. Memang amat mudah membunuh diri, tidak memerlukan tenaga dan
biarpun dia dibelenggu seperti itu, masih amat mudah membunuh diri. Bagi seorang
yang terlatih seperti dia, menahan napas dan dengan paksa menghentikannya
sudah cukup untuk membuat nyawanya melayang, atau lebih sederhana lagi,
menggigit lidahnya sendiri sampai putus!
Gadis
yang keras hati dan tahan uji ini sama sekali tidak tahu bahwa pada keesokan
harinya terjadi perubahan yang amat besar, terjadi peristiwa hebat sekali di
Pulau Es. Peristiwa itu dimulai dengan munculnya Majikan Pulau Es sendiri,
Suma Han Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang datang berperahu bersama
dua orang wanita sakti, Nirahai dan Lulu, atau kedua orang isterinya yang
bersama dia akan memulai hidup baru di pulau itu!
Ketika
pagi hari itu Suma Han tiba di Pulau Es dan melihat sebuah perahu besar telah
berlabuh di pantai, pendekar ini mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua
orang isterinya. “Agaknya kita telah didahului tamu-tamu tidak diundang. Jarang
ada orang luar berani mendatangi Pulau Es. Nirahai dan Lulu, kita sudah saling
berjanji tidak akan mencari urusan di luar, karena aku tahu bahwa kalian masih
mempunyai kekerasan hati, maka apa pun yang terjadi nanti, kuharap kalian
tinggal diam dan menonton saja. Biarlah aku sendiri yang akan
menanggulanginya.”
Nirahai
dan Lulu saling pandang, tersenyum dan keduanya mengangguk. Telah terjadi perubahan
besar atas diri pria ini, pria berkaki buntung yang mereka cinta dan junjung
tinggi. Kalau dahulu Suma Han merupakan seorang pendekar sakti yang berhati
lemah, kini mulai tampak kejantanannya, dan pertama-tama kejantanannya itu
diperlihatkan dengan menguasai kedua orang isterinya!
Setelah
menarik perahu kecil mereka di pantai yang dangkal, ketiganya melompat turun
ke darat dan berdiri tegak dengan sikap tenang, memandang Bhong Ji Kun yang
sudah diberi kabar oleh anak buahnya dan kini berlarian datang menyambut
bersama seluruh pembantunya, dengan senjata siap di tangan masing-masing. Akan
tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan berdebar penuh kegelisahan hati
Bhong Ji Kun ketika melihat bahwa yang datang bukan hanya Pendekar Super Sakti
seorang, melainkan ditemani oleh Puteri Nirahai bekas Ketua Thian-liong-pang
dan Lulu bekas Majikan Pulau Neraka! Baru Pendekar Super Sakti seorang saja
sudah merupakan seorang lawan yang amat menakutkan dan amat berat dilawan,
apalagi masih ada dua orang wanita sakti itu!
Dengan
sikap tenang Suma Han, Nirahai, dan Lulu berdiri di pantai. Hanya mata mereka
yang bergerak, melirik ke arah Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang datang
dari kanan kiri. Diam-diam Suma Han merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa
yang boleh dicatat sebagai lawan tangguh hanyalah Bhong Ji Kun sendiri, Thian
Tok Lama, dan agaknya orang yang memegang tombak gagang panjang itu. Dia
merasa sanggup untuk mengatasi mereka. Akan tetapi dia merasa curiga melihat
sikap Bhong Ji Kun yang kelihatannya sama sekali tidak takut kepadanya, padahal
dia datang bersama Nirahai dan Lulu, sendiri saja sudah cukup untuk menandingi
Bhong Ji Kun! Akan tetapi kakek itu begitu berani menyambutriya dengan sikap
seolah-olah keadaannya lebih kuat. Tentu ada apa-apanya ini!
“Aha,
Pendekar Super Sakti, engkau baru datang? Sudah lama kami mengharapkan
kedatanganmu!” kata Bhong Ji Kun sambil menekan debar jantungnya.
“Hemm,
mengunjungi tempat orang tanpa ijin, dan selagi tempat itu ditinggalkan
penghuninya. Hanya orang seperti engkaulah yang tidak malu melakukan kedua hal
itu, Im-kan Seng-jin,” kata Suma Han dengan suara halus namun nadanya cukup
membuat para pembantu Bhong Ji Kun merasa serem. Di antara mereka semua, hanya
Ciat Leng Souw seorang yang belum pernah bertemu dengan Suma Han, hanya
mendengar nama julukannya saja. Kini, melihat bahwa orang yang disohorkan
sebagai dewa atau siluman itu, ternyata hanyalah seorang yang wajahnya masih
muda dan tampan, rambutnya putih semua, dan sebuah kakinya buntung, senjatanya
hanya sebatang tongkat butut. Apanya sih yang perlu ditakuti?
Berubah
wajah Bhong Ji Kun mendengar ucapan itu. “Harap To-cu (Majikan Pulau) tidak
salah paham, karena sesungguhnya kedatangan kami ke sini bukan sebagai tamu
tidak diundang.”
“Tidak
sebagai tamu, melainkan sebagai pelarian-pelarian perang yang sudah hancur
kekuatannya!” Nirahai tak dapat menahan hatinya dan berkata nyaring, akan
tetapi tidak melanjutkan karena Lulu menyentuh tangannya, membuat dia teringat
akan larangan suaminya!
Bhong
Ji Kun menjura ke arah Nirahai dan Lulu. “Pelarian sementara! Karena itulah,
maka kami bergembira sekali kini berhadapan dengan Pendekar Super Sakti dan
dengan Ji-wi Lihiap (Kedua Wanita Pendekar) yang berilmu tinggi, karena kami
yakin bahwa dengan kerja sama antara kami dengan Sam-wi (Anda Bertiga),
kekalahan kami akan tertebus dan akhirnya perjuangan kami akan berhasil.”
“Apa?
Mengajak kami bekerja sama....?” Nirahai kembali berseru saking herannya.
“Aihh,
dia sudah gila!” Lulu juga tidak dapat menahan untuk berseru heran.
Siapa
orangnya tidak akan heran. Dia dan Nirahailah yang memimpin pasukan pemerintah
menghancurkan pemberontak ini, dan sekarang bekas Koksu pemberontak itu
mengajak mereka untuk bekerja sama memberontak. Hanya orang gila saja yang
mengajukan usul demikian.
Akan
tetapi Suma Han berpikir lain. Sejak tadi dia sudah curiga menyaksikan sikap
Koksu Bhong Ji Kun yang memberontak itu sama sekali tidak gentar bahkan
kelihatan terlalu berani. Sekarang dengan pertanyaannya itu, yaitu mengusulkan
kerja sama, bahkan bukan mengusulkan, karena kata-katanya itu seperti
menentukan, makin jelas bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang
membuat bekas Koksu ini yakin akan kemenangannya!
“Im-kan
Seng-jin, apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan suka bekerja
sama denganmu? Tidak perlu bersikap rahasia, katakanlah saja!” Suma Han
berkata sambil memandang tajam. Akan tetapi, teringat akan nasihat mendiang
Maharya agar berhati-hati menghadapi Pendekar Siluman ini, terutama jangan
sekali-kali menentang pandang matanya, sejak tadi Bhong Ji Kun tidak pernah
berani bertemu pandang dengan pendekar itu.
Bhong
Ji Kun bertepuk tangan, isarat yang memang sudah diatur sebelumnya dan
muncullah seorang Mongol raksasa mengempit tubuh Kwi Hong yang kaki tangannya
terbelenggu wajahnya pucat dan pakaiannya compang-camping. Bukan main kagetnya
Suma Han melihat ini, akan tetapi selain raksasa Mongol itu siap untuk memukul
kepala Kwi Hong dengan tangannya yang besar dan kuat, juga Thai-lek-gu yang gendut
telah meloncat ke dekat Gozan dan menodongkan goloknya kepada gadis tawanannya
itu! Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan untuk mencoba menolong keponakannya,
pikir Suma Han. Dia tentu kalah cepat dan andaikata dia dapat membunuh semua
orang itu, tentu Kwi Hong akan terbunuh lebih dulu.
“Ahh,
Si Jahanam menawan Kwi Hong....!” Lulu berteriak.
Nirahai
juga terkejut ketika mendengar bahwa murid atau keponakan suaminya telah
menjadi tawanan. Mengertilah dia kini mengapa bekas Koksu itu bersikap seberani
itu. Kiranya sama sekali bukan gila, melainkan licin dan curang sekali! Melihat
betapa Suma Han menggerakkan jari tangan ke arah mereka, maklumlah kedua orang
wanita itu bahwa mereka dilarang untuk turun tangan. Dan memang mereka pun
sudah cukup cerdik untuk tidak sembarangan turun tangan, karena hal ini berarti
kematian bagi Kwi Hong.
“Kwi
Hong! Bagaimana engkau bisa tertawan?” Suma Han menegur muridnya.
Air
mata bercucuran dari kedua mata Kwi Hong dan suaranya berduka sekali ketika dia
menjawab, “Harap Paman tidak mendengarkan permintaan iblis-iblis ini. Biarkan
aku mati, Paman, memang sudah patut kalau aku harus mati. Aku telah ditipunya,
aku telah bersekutu dengan pemberontak-pemberontak laknat ini, karena
menyangka bahwa pemerintah adalah musuh Paman. Setelah pemberontakan gagal, aku
malah mengajak mereka menyembunyikan diri ke pulau ini. Akan tetapi, ternyata
mereka adalah iblis-iblis yang jahat. Aku telah salah, dan aku rela mati. Harap
Paman tidak mengorbankan apa-apa untukku!”
“Wah,
dia benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa!” Bhong Ji Kun memuji. “Akan
tetapi kami masih sangsi apakah Pendekar Super Sakti yang terkenal itu
memiliki cukup kegagahan seperti muridnya untuk berkorban demi muridnya.
Terserah pilihanmu, To-cu!”
“Jahanam
busuk!” Nirahai membentak.
“Keparat
hina!” Lulu juga memaki.
Akan
tetapi Suma Han mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua orang wanita itu
bersabar dan tidak turun tangan. Kemudian dia menghadapi Bhong Ji Kun dan
berkata,
“Bhong
Ji Kun, engkau tentu mengerti dengan baik bahwa sampai mati sekalipun kami
bertiga tidak mau melibatkan diri dalam pemberontakan yang kaupimpin itu.
Permintaanmu sebagai pengganti kebebasan keponakanku sungguh tidak masuk akal.
Pikirlah baik-baik sebelum terpaksa kami membasmi kalian sebagai penukar nyawa
murid dan keponakanku.”
Diam-diam
Bhong Ji Kun mempertimbangkan. Tidak dapat diragukan lagi, kalau Pendekar
Super Sakti mengamuk dibantu dua orang wanita sakti yang entah bagaimana kini
menjadi baik dengan Pendekar Super Sakti, tentu dia dan semua pembantunya
ditukar hanya dengan nyawa gadis itu!
“Tentang
kerja sama biarlah kita bicarakan kemudian,” kata Bhong Ji Kun yang cerdik itu.
“Sekarang kuganti penukarannya. Pertama kami mau membebaskan muridmu asal
engkau dan dua orang wanita itu tidak mengganggu kami.”
“Sudah
tentu! Kalau engkau suka membebaskan Kwi Hong, kami pun tidak akan mengganggumu
dan kalian boleh pergi dengan aman,” jawab Suma Han, jawaban yang membuat alis
kedua orang wanita sakti itu berkerut. Mereka sama sekali tidak setuju kalau
orang-orang macam Bhong Ji Kun dan teman-temannya itu dibiarkan pergi begitu
saja! Akan tetapi keduanya tidak berani membantah!
Agaknya
mereka pun sudah menarik pelajaran dari pengalaman mereka setelah mereka
menderita batin karena asmara gagal selama belasan tahun.
“Dan
ke dua, engkau harus menyerahkan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu
yang tentu tadinya berada di Pulau Es kepada kami.”
“Kitab-kitab
pusaka Pulau Es tidak berada padaku. Ketika pasukan yang kaupimpin menyerbu ke
sini, pusaka-pusaka itu telah dibawa oleh pembantuku.”
“Hemm,
jangan kau main-main dengan nyawa muridmu, To-cu dan amat memalukan kalau
seorang pendekar dengan kedudukan seperti engkau mengeluarkan kata-kata
membohong.”
Sepasang
mata Suma Han mengeluarkan cahaya menyambar seperti kilat, membuat Bhong Ji
Kun terkejut dan cepat menundukkan muka.
“Bhong
Ji Kun, untuk kata-katamu itu saja, dalam lain keadaan sudah cukup menjadi
alasan bagiku untuk menghancurkan mulutmu!”
Nada
dalam suara Pendekar Super Sakti itu membuat wajah bekas Koksu itu menjadi
pucat karena dia merasa betul betapa penuh wibawa dan bukan ancaman kosong
saja kata-kata itu.
“Siapa
yang bisa percaya bahwa seorang To-cu tidak menyimpan sendiri pusaka
istananya?” Dia membela diri.
“Pusaka
ada di sini....!” Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan bayangannya
berkelebat datang. Kiranya orang ini adalah Phoa Ciok Lin yang datang membawa
sebuah peti kayu cendana yang berukir indah. Melihat peti ini, Kwi Hong dengan
suara tangisnya berkata,
“Bibi....
jangan.... jangan berikan kepada mereka....! Lebih baik aku mati daripada
mengorbankan pusaka-pusaka itu....!”
Phoa
Ciok Lin, wakil dalam Pulau Es, pembantu Suma Han yang usianya sebaya dengan
kedua isteri pendekar itu, mengerling kepada Suma Han dan dua orang isterinya,
tersenyum penuh syukur akan tetapi pandang matanya sayu penuh derita batin,
kemudian cepat menghampiri bekas Koksu dan berkata, “Im-kan Seng-jin, engkau
membutuhkan pusaka Pulau Es? Inilah pusaka-pusaka itu, boleh kuserahkan
kepadamu asal engkau membebaskan Kwi Hong lebih dulu!”
Mata
Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya terbelalak penuh gairah memandang ke arah peti
berwarna coklat itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun yang sudah biasa melakukan segala
macam tipu muslihat, tentu saja menjadi seorang yang tidak mudah percaya dan
selalu berprasangka buruk. Memang demikianlah, watak seseorang dibentuk oleh
kebiasaan dan pengalamannya sendiri. Seorang pembohong akan selalu tidak
percaya kepada kata-kata orang lain, seorang penipu akan selalu curiga terhadap
semua orang.
“Suma
To-cu, benarkah ini peti berisi pusaka Istana Pulau Es?” tanyanya sambil
menoleh ke arah Suma Han.
Pendekar
ini mengangguk dan suaranya dingin sekali ketika menjawab, “Dia adalah wakilku
dan kepercayaanku yang membawa pusaka Istana Pulau Es.”
Makin
berseri wajah Bhong Ji Kun. “Suma-tocu, aku mau menukar muridmu dengan
pusaka-pusaka itu, akan tetapi berjanjilah bahwa engkau tidak akan menghalangi
dan merampas kembali kalau peti berisi pusaka telah diserahkan kepadaku.”
“Aku
berjanji!”
“Paman,
jangan! Lebih baik aku mati!”
“Diam
kau!” Suma Han membentak dan Kwi Hong hanya terisak menangis.
“Im-kan
Seng-jin, bebaskan Kwi Hong, baru akan kuserahkan kepadamu peti berisi pusaka
ini!” kembali Phoa Ciok Lin mendesak, wajahnya yang cantik itu agak pucat.
Bhong
Ji Kun tersenyum lega. Setelah mendapatkan janji Suma Han, siapa lagi yang dia
takuti? Dia lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala kepada Gozan dan
Thai-lek-gu. Dua orang ini lalu melepaskan belenggu kaki tangan Kwi Hong, lalu
mendorong tubuh dara yang sudah lemas dan lemahitu ke
arah Pendekar Super Sakti. Kwi Hong jatuh berlutut di depan kaki pamannya,
menangis terisak-isak dan tidak berani mengangkat muka. Suma Han sama sekali tidak
mempedulikan dia, hanya memandang ke arah Phoa Ciok lin dengan alis berkerut
dan hati menekan kegelisahan.
“Tawanan
telah kubebaskan, berikan peti itu!” Bhong Ji Kun berkata sambil mengulur
tangan hendak mengambil peti dari tangan Phoa Ciok Lin. Akan tetapi tiba-tiba
wanita itu mengeluarkan suara ketawa aneh, petinya terlempar ke belakang, ke
arah Suma Han, sedangkan dia sendiri seperti gila telah menubruk bekas Koksu
itu dengan pukulan kedua tangannya, pukulan maut yang amat berbahaya.
“Ciok
Lin, jangan....!” Suma Han berseru mencegah pembantunya.
Namun
terlambat. Serangan Phoa Ciok Lin yang hebat itu membuat Bhong Ji Kun terkejut
bukan main. Untuk mengelak sudah tiada kesempatan lagi, maka dia hanya dapat
menangkis pukulan ke arah pusarnya yang amat berbahaya dan terpaksa menerima
tamparan pada dadanya.
“Desss....!”
Phoa
Ciok Lin adalah murid nenek yang terkenal sebagai datuk kaum sesat, Toat-beng
Ciu-sian-li, maka tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Apalagi setelah dia
menjadi pembantu Pendekar Super Sakti dan memperdalam ilmunya selama
bertahun-tahun di Pulau Es. Biarpun tentu saja dia masih kalah jauh kalau
dibandingkan dengan bekas Koksu yang sakti itu, namun pukulannya itu pun
bukanlah pukulan ringan sehingga tubuh Koksu yang sakti itu sampai roboh
terjengkang. Akan tetapi dia sendiri pun terhuyung ke kiri karena daya tolak
tenaga sin-kang bekas Koksu yang lihai itu. Dan tampak sinar putih berkelebat
disusul keluhan Phoa Ciok Lin yang roboh terguling, dadanya terluka oleh tombak
di tangan Sin-jio Ciat Leng Souw yang menyerangnya dengan kecepatan kilat
sehingga Suma Han sendiri sampai tercengang dan tidak mampu mencegahnya.
“Bibi....!”
Kwi Hong menjerit dan meloncat menubruk Phoa Ciok Lin, mengangkat tubuhnya dan
membawanya ke pinggir.
Terdengar
suara melengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuh Suma Han telah berada di
depan Bhong Ji Kun yang sudah bangkit kembali. Setelah menyerahkan peti pusaka
dalam perlindungan Lulu dan Nirahai, Suma Han dengan marah kini menghadapi
bekas Koksu dan para pembantunya.
“Bhong
Ji Kun!” Suaranya terdengar tegas dan penuh wibawa sehingga bekas Koksu itu dan
para pembantunya memandang dengan hati gentar, akan tetapi juga dengan
kesiapsiagaan para jagoan yang tahu bahwa mereka menghadapi seorang lawan
tangguh. “Sebagai penghuni Pulau Es menghadapi orang-orang yang mengotorkan
pulau, aku menantang kalian untuk mengadu ilmu!”
Bhong
Ji Kun tentu saja menjadi penasaran dan marah sekali, juga kecewa. Ia sengaja
mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Ha-ha-ha, Pendekar Super Sakti, To-cu
Pulau Es yang terkenal itu ternyata hanyalah seorang yang suka bermain curang!
Hendak menarik kembali janjinya, melanggar janji seperti seorang yang rendah.
Hendak kemana kautaruh mukamu nanti?”
“Bhong
Ji Kun, mulutmu lancang sekali! Kuhancurkan nanti!” Nirahai berteriak marah
mendengar suaminya tercinta dimaki orang.
Namun
Suma Han bersikap tenang, biarpun pandang matanya tajam menusuk. “Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun, siapakah yang curang? Aku tadi berjanji tidak
menghalangi apabila pembantuku menyerahkan peti. Akan tetapi dia tidak menyerahkan
peti kepadamu, hal itu adalah urusan antara kamu dan dia! Dia menipumu dan
engkau telah membebaskan Kwi Hong dan mengeroyok pembantuku sampai terluka
hebat. Perbuatanmu sungguh tidak patut. Antara kita tidak ada perjanjian
apa-apa lagi.”
“Ha-ha-ha!
Bukankah kau berjanji bahwa kalau kami membebaskan muridmu, engkau akan
membiarkan kami pergi tanpa mengganggu?”
“Benar!
Akan tetapi ingat, engkau membebaskan Kwi Hong bukan karena perjanjian antara
kita, melainkan karena perjanjianmu dengan Phoa Ciok Lin. Sekarang aku
menantang kalian mengadu ilmu, dan kalau kalian tidak berani, aku baru mau
melepaskan kalian kalau kalian mau berlutut dan minta ampun kepada kedua orang
isteriku!”
Bhong
Ji Kun membelalakkan matanya. Kiranya pendekar ini telah akur kembali dengan
Puteri Nirahai! Dan Ketua Pulau Neraka itu pun telah menjadi isterinya! Bukan
main! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan sesuatu akan pengakuan pendekar
itu, apalagi mengejek, karena kalau hal itu dia lakukan, tentu dia akan celaka
di bawah tangan suami isteri, tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa
itu! Kalau harus berlutut minta ampun, benar-benar hal ini amat berat. Dia adalah
bekas Koksu, bahkan seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw. Demikian
pun para pembantunya adalah orang-orang gagah yang lebih menghargai nama dan
kehormatan daripada nyawa.
“Pendekar
Siluman!” teriaknya dengan muka merah. “Menyuruh kami berlutut minta ampun sama
dengan menyuruh matahari timbul dari barat!”
“Bagus,
kalau begitu majulah, dan juga para pembantumu, terutama yang memegang tombak
cagak gagang panjang itu!” Suma Han melirik ke arah Ciat Leng Souw karena
hatinya masih panas mengingat betapa pembantunya, Phoa Ciok Lin roboh oleh
tombak orang ini.
“Wuuuuttt....
syettt!” Sin-jio Ciat Leng Souw dengan gerakan tangkas sudah meloncat dan
berdiri tegak di depan Suma Han, tombaknya yang panjang itu dipalangkan di
depan dada, sikapnya gagah sekali dan matanya menentang lawan sambil
memperhatikan keadaan pendekar yang amat terkenal itu, kemudian berkata,
“Pendekar
Siluman! Orang lain mungkin takut mendengar namamu, tetapi, aku Sin-jio Ciat
Leng Souw sama sekali tidak gentar untuk menghadapimu!”
Suma
Han memandang orang tinggi besar itu. Sekelebatan saja matanya yang tajam dapat
menaksir keadaan calon lawan ini. Tentu memiliki tenaga yang amat kuat dan
ilmu tombak yang sakti. Sayang bahwa orang gagah ini sampai dapat terbujuk
menjadi kaki tangan Bhong Ji Kun. Kalau dia menghendaki, dengan kekuatan sihir,
tentu Suma Han akan dapat menundukkan calon lawan ini dengan mudah. Akan
tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Dia telah menunjukkan kegagahannya
kepada dua orang isterinya, telah menunjukkan kejantanan dengan memaksa mereka
mengikutinya ke Pulau Es. Sekarang pun dia harus memperlihatkan, tidak hanya
kepada kedua isterinya tercinta, akan tetapi juga kepada Bhong Ji Kun dan semua
pembpntunya bahwa nama Pendekar Super Sakti sebagai Majikan Pulau Es bukanlah
nama kosong belaka, dan bahwa dia, tanpa bantuan siapa pun, akan dapat
mempertahankan pulaunya.
“Bagus!
Engkau seorang pemberani dan gagah, Ciat Leng Souw, dan tentu ilmu tombakmu
lihai sekali. Cobalah robohkan aku seperti engkau merobohkan pembantuku secara
membokong tadi!”
Mendengar
tantangan yang mengandung teguran dan ejekan ini merahlah muka Ciat Leng Souw.
Dia adalah seorang tokoh yang terkenal di selatan dan belum pernah tombaknya
menemui tandingan. Kalau tadi dia turun tangan melukai Phoa Ciok Lin adalah
karena melihat wanita itu menggunakan kecurangan dan mengancam keselamatan
Bhong Ji Kun. Melihat betapa Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan para orang gagah
yang membantu bekas Koksu itu kelihatan gentar menghadapi Suma Han, dia sudah
merasa penasaran sekali. Dia sudah banyak mendengar nama Pendekar Super Sakti,
akan tetapi melihat betapa pendekar yang disohorkan orang itu hanya seorang
yang sederhana dan berkaki buntung, dia makin penasaran dan ingin sekali
mencoba kepandaiannya. Kini kesempatan itu tiba. Mendengar ucapan Suma Han, Ciat
Leng Souw mengeluarkan suara menggereng dan tombak panjangnya sudah bergerak
meluncur dan menyambar ke arah dada Suma Han dengan tusukan kilat.
“Trakk!”
Tombak
itu tertangkis oleh tongkat di tangan kiri Suma Han. Benar saja dugaan pendekar
buntung itu, tenaga jago dari selatan ini memang kuat sekali. Betapapun juga,
kalau Suma Han menghendaki, dengan pengerahan sin-kangnya yang mujijat, dia
akan dapat mengalahkan lawan dalam pertemuan tenaga pertama kali itu. Akan
tetapi dia tidak mau mengalahkan lawan dengan menggunakan sin-kangnya yang
jarang ada tandingannya, juga tidak mau menggunakan kekuatan pandang matanya
yang dapat melumpuhkan pikiran orang. Melihat betapa lawannya sudah cepat
sekali menarik kembali tombaknya yang tertangkis lalu menggerakkan tombak
dengan lihai sehingga tampak sinar panjang menyambar-nyambar, Suma Han cepat
menghindar dan selanjutnya dia mempergunakan ilmunya yang amat dahsyat, yaitu
Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun. Ilmu silat yang mujijat ini merupakan
gerakan-gerakan berdasarkan gin-kang yang hanya dapat dilakukan oleh orang
berkaki buntung! Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung terbang dan
betapa pun Ciat Leng Souw mainkan tombaknya dengan hebat, tetap saja gerakan
tombaknya tidak dapat mengikuti berkelebatnya bayangan lawan yang makin lama
makin cepat seperti kilat menyambar-nyambar dan sebentar saja kepalanya menjadi
pusing dan pandang matanya berkunang karena bayangan lawannya menjadi
bertambah banyak! Hal ini bukan terjadi karena ilmu sihir, melainkan saking cepatnya
Suma Han bergerak.
“Siluman....!”
Ciat Leng Souw berseru dan dia mulai merasa gentar.
“Krekkk!
Plak! Plak!”
Tubuh
yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan dari mulutnya
mengalir darah segar, tombaknya patah-patah dan akhirnya dia roboh terguling
dan mengeluh. Suma Han telah berdiri dengan tegak, tongkat di tangan dan dia
tidak mempedulikan lagi Ciat Leng Souw yang dirobohkan. Pendekar ini dengan
sikap tenang menanti majunya jago lain di fihak musuh. Dia telah berhasil
mengalahkan Ciat Leng Souw tanpa membunuhnya, hanya mematahkan tombaknya dan
dua kali menampar pundak lawan, membuat tulang kedua pundak Ciat Leng Souw
patah!
Melihat
ini, Gozan, jagoan Mongol yang seperti raksasa, Liong Khek, Si Muka Pucat yang
bersenjatakan pancing, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut yang bertangan panjang
dengan sepasang golok jagal babinya, dan tiga orang panglima kaki tangan Bhong
Ji Kun sudah bergerak maju mengurung Suma Han.
“Tak
tahu malu!” Lulu membentak.
“Betapa
gagahnya, main keroyokan!” Nirahai juga mengejek.
“Biarkan
saja tikus-tikus ini, kalian jaga saja peti itu!” Suma Han menoleh kepada dua
orang isterinya sambil tersenyum. Padahal tanpa dia beritahu pun Nirahai dan
Lulu tidak akan bergerak membantu suami mereka karena mereka maklum bahwa
menghadapi pengeroyokan itu, suami mereka tidak perlu dibantu, apalagi mereka
bertugas menjaga peti pusaka Istana Pulau Es.
Gozan
sebagai seorang jagoan Mongol yang juga memandang rendah Suma Han, apalagi dia
mengandalkan ilmu gulatnya dan tenaganya, sudah tidak sabar lagi dan sambil
memekik dia lari menerjang dan hendak menangkap pendekar kaki buntung itu
dengan kedua lengannya yang berotot kuat. Menghadapi serangan ini, Suma Han
hanya berdiri tenang saja, bahkan ia tidak mengelak sama sekali ketika kedua
tangan lawan ini mencengkeram pundak dan pinggangnya. Akan tetapi, betapa
terkejut hati Gozan ketika dia merasa seolah-olah jari-jari tangannya mencengkeram
baja yang dingin dan keras! Dia mengerahkan tenaga, hendak mengangkat tubuh itu
dan membantingnya namun betapa pun dia mengerahkan seluruh tenaganya, tubuh
yang hanya berdiri dengan satu kaki itu sama sekali tidak bergoyang.
“Pergilah!”
Suma Han membentak sambil menggoyangkan tubuh dengan gerakan berputar.
“Krekk!
Krekk!” Gozan terpelanting roboh dan mengaduh-aduh, kedua lengannya tergantung
lumpuh karena sambungan siku dan pergelangan kedua tangannya telah terlepas,
terbawa oleh gerakan memutar tubuh Pendekar Super Sakti tadi.
Liong
Khek dan teman-temannya sudah menerjang maju, menggunakan senjata mereka.
Hujan senjata menyambar ke arah tubuh Suma Han. Pendekar ini tenang-tenarrg
saja memegang tongkatnya, kemudian secara tiba-tiba tongkatnya diputar, dan
terdengarlah suara nyaring disusul runtuhnya senjata para pengeroyok yang
patah-patah dan terpental ke sana-sini, kemudian tampak bayangan Suma Han
berkelebat di antana mereka. Para pengeroyok mengeluh panjang pendek dan
seorang demi seorang terlempar ke kanan kiri tanpa dapat melawan lagi karena
sambaran tongkat Suma Han yang terarah dan dengan tenaga terbatas para pengeroyok
itu menderita patah tulang, tertotok lumpuh, atau terluka dalam! Belasan orang
itu roboh hanya dalam waktu belasan jurus saja! Tadinya memang hanya enam
orang yang maju, akan tetapi begitu Gozan roboh, semua kaki tangan bekas Koksu
itu maju mengeroyok. Kini hanya tinggal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berdua
saja masih berdiri dengan muka agak pucat, namun sikap mereka
ditenang-tenangkan ketika Suma Han menghadapi mereka.
“Bhong
Ji Kun, sekarang aku ingin merasai kelihaianmu. Dan Thian Tok Lama, kita
adalah lawan-lawan lama yang sudah puluhan tahun tak pernah saling mengukur
kepandaian. Agaknya engkau telah memperoleh kemajuan hebat, hanya sayangnya,
semenjak dahulu kedudukanmu tidak mengalami kemajuan dan selalu menjadi kaki
tangan pemberontak!” Wajah Thian Tok Lama menjadi merah mendengar ejekan ini,
karena memang dia dan sutenya yang sudah tewas, Thai Li Lama, dahulu pernah
terlibat pula dalam pemberontakan (baca ceritaPendekar Super Sakti).
Thian
Tok Lama sudah pernah mengalami bertanding melawan Pendekar Super Sakti dan
dia merasa gentar karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh
oleh Majikan Istana Pulau Es itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk
mengaku kalah, apalagi di situ ada Bhong Ji Kun yang dia andalkan. Bekas Koksu
ini biasanya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri, namun biar dia belum
pernah bentrok dan mengadu ilmu melawan Pendekar Super Sakti, nama pendekar ini
membuat dia merasa gentar, apalagi setelah menyaksikan betapa dengan mudah
saja pendekar itu tadi merobohkan semua anak buahnya nyalinya menjadi kecil.
Dia memang cerdik dan dengan suara dibuat-buat agar tidak kentara perasaan
jerihnya, dia bertanya, “Suma-tocu, apakah engkau menantang kami maju berdua?
Benarkah engkau berani menghadapi kami berdua tanpa bantuan orang lain?”
Berkata demikian bekas Koksu itu sengaja melirik ke arah Nirahai dan Lulu.
Kalau seorang saja di antara kedua orang wanita sakti itu maju, tentu dia dan
Thian Tok Lama takkan mampu menandinginya. Akan tetapi kalau pendekar kaki
buntung sebelah ini dia keroyok bersama Thian Tok Lama dia masih tidak percaya
kalau mereka berdua tidak akan mampu keluar sebagai pemenang!
“Bhong
Ji Kun manusia pengecut!” Nirahai membentak marah. “Beraninya hanya main
keroyok. Hayo kau lawan aku kalau memang ada kepandaian!”
“Aku
pun siap menghadapimu satu lawan satu!” Lulu juga menantang.
Bhong
Ji Kun tersenyum. “Bukan kami yang menantang, melainkan Suma-tocu. Kalau dia
tidak berani, kami pun tidak akan memaksa.”
“Im-kan
Seng-jin tak perlu banyak cakap lagi. Majulah bersama Thian Tok Lama, aku
sudah siap menghadapi kalian berdua.” Terdengar Suma Han berkata, suaranya
tenang karena dia tidak dapat dipanaskan hatinya oleh sikap dan ucapan Bhong Ji
Kun yang cerdik.
“Tar-tar-tar....!”
Pecut merah di tangan bekas Koksu itu meledak-ledak di udara. Kini dia
bersikap sungguh-sungguh dan telah melangkah maju dengan senjata istimewa itu
di tangan. Juga Thian Tok Lama sudah siap, lengan kanannya di gerakkan
berputaran perlahan dan tangan itu berubah menjadi biru, sedangkan tangan
kirinya memegang golok, diacungkan di atas kepala. Dengan langkah-langkah
lambat kedua orang itu menghampiri Suma Han sambil mengatur posisi yang baik,
pandang mata mereka tidak pernah berkedip ditujukan kepada Pendekar Super
Sakti.
Suma
Han berdiri dengan sikap tenang sekali, tidak bergerak seperti sebuah arca,
tongkat di tangan kiri masih membantu berdirinya kaki tunggal itu, tubuh tegak
akan tetapi mukanya menunduk, hanya pandang matanya yang bergerak perlahan
mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.
“Hyaaaattt....!
Tar-tar-tar-tar....!”
“Haiiittt....!
Sing-sing-sing-wuuutttt!”
Serangan
yang datang mengikuti pekik yang keluar dari mulut Bhong Ji Kun dan Thian Tok
Lama hampir berbareng itu datang bagaikan hujan ke arah tubuh Suma Han. Pecut
merah berubah menjadi sinar merah yang menyambar-nyambar dan meledak-ledak
seperti halilintar, bertubi-tubi menyambar ke arah kepala dan dada Pendekar
Super Sakti. Golok di tangan kiri Thian Tok Lama merupakan sinar putih yang
bergulung-gulung membabat ke arah kaki tunggal lawan, sedangkan tangan kanannya
digerakkan dengan dorongan dahsyat ke arah pusar Suma Han, mengeluarkan uap
hitam karena pukulan itu adalah pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang (Pukulan Sakti
Api Angin dan Uap Hitam), dari perut pendeta Lama ini keluar suara kok-kok
seperti ayam betina habis bertelur!
Suma
Han maklum betapa lihainya kedua orang yang mengeroyoknya itu. Dia sudah
mengenal kelihaian Thian Tok Lama dan sudah dapat mengukur sampai di mana
tingkat ilmu kepandaian kakek pendeta dari Tibet ini, akan tetapi dia belum
hafal benar akan sifat dan tingkat ilmu silat Bhong Ji Kun, karena itulah maka
dia berlaku hati-hati dan tadi hanya bersikap menanti dan berjaga-jaga.
Setelah melihat kedua orang lawannya secara tiba-tiba dan serentak menerjangnya
secara dahsyat, Suma Han segera mengerahkan tenaga dan mempergunakan ilmunya
yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun. Tubuhnya melesat ke sana-sini, cepatnya
melebihi sinar senjata lawan, bagaikan kilat menyambar untuk menghindarkan diri
dari serbuan kedua orang lawannya. Ketika tubuhnya dapat lolos dari kurungan
serangan kedua orang dan melesat ke udara, tampak sinar merah pecut berkelebat
menyambar dari bawah mengejar bayangan Suma Han. Pendekar Super Sakti diam-diam
merasa terkejut dan kagum akan kecepatan gerak senjata lawan, namun tidak
menjadi gugup, kaki tunggalnya digerakkan dan tubuhnya membalik, tongkatnya
menangkis sinar cambuk merah.
“Tarrr....!”
Tampak
asap mengepul dari pertemuan dahsyat antara tongkat dan cambuk itu, dan Suma
Han sudah melayang turun lagi. Diam-diam dia kagum juga akan kelihaian lawan
karena dalam pertemuan tenaga tadi tahulah dia bahwa tenaga sakti bekas Koksu
ini lebih kuat daripada Thian Tok Lama! Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan
untuk membanding lebih lama lagi karena cambuk merah itu sudah meledak-ledak
mencari sasaran, sedangkan golok di tangan Thian Tok Lama juga sudah
menerjangnya secara bertubi-tubi.
Suma
Han menggerakkan tongkatnya, menangkis semua serangan kedua orang
pengeroyoknya. Sampai tiga puluh jurus lebih pendekar ini hanya menjaga diri,
mengelak dan menangkis untuk menguji lawan. Melihat sikap suami mereka itu,
Lulu dan Nirahai hampir kehilangan kesabaran mereka. Kalau saja mereka menurutkan
watak mereka yang dahulu, tentu mereka sudah tadi-tadi turun tangan membunuh
bekas Koksu dan pendeta Tibet itu. Akan tetapi mereka merasa takut kepada suami
mereka, takut kalau suami mereka marah! Apalagi karena mereka yakin bahwa
suami mereka tidak akan kalah, maka kedua orang wanita perkasa itu hanya
menonton. Peti pusaka Istana Pulau Es terletak di depan kaki mereka. Adapun
semua anak buah Bhong Ji Kun biarpun tidak ada yang tewas dan hanya terluka
ketika mereka dirobohkan Suma Han, tidak ada yang berani maju lagi membantu
Bhong Ji Kun. Mereka hanya menonton dan tentu saja mengharapkan agar dua orang
kakek itu dapat mengalahkan Pendekar Super Sakti.
Ternyata
harapan mereka itu kosong belaka karena kini Pendekar Super Sakti mulai membuat
gerakan balasan dengan tongkatnya. Begitu tongkat di tangan kirinya itu
menambah gerakan menangkis dengan serangan dahsyat, Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun dan Thian Tok Lama terdesak hebat dan terpaksa banyak mundur karena betapa
pun mereka memutar senjata, beberapa kali ujung tongkat itu tahu-tahu telah
menyelonong depan hidung mereka dan mengancam bagian tubuh yang lemah.
Ini
memang siasat Suma Han yang dalam segala hal, juga dalam pertandingan,
bersikap tenang dan penuh perhitungan. Kalau saja dia tadi tidak bersikap
mengalah dan mempertahankan diri, kiranya tidak mudah baginya untuk mendesak
kedua orang lawannya yang juga memiliki kepandaian sangat tinggi, terutama
sekali mendesak Bhong Ji Kun. Akan tetapi, ketika dia hanya mempertahankan
diri selama tiga puluh jurus lebih tadi, diam-diam dia mempelajari dasar gerak
kedua orang lawannya, terutama sekali gerakan cambuk Bhong Ji Kun, karena dia
sudah tahu akan kepandaian Thian Tok Lama. Tiga puluh jurus cukuplah bagi
Pendekar Super Sakti ini, dan setelah mengenal dasar gerakan lawan, barulah
kini dia mengeluarkan kepandaiannya untuk menyerang lawan.
Thian
Tok Lama merasa cemas karena hal ini memang sudah dikhawatirkannya. Adapun
Bhong Ji Kun yang tadinya sudah merasa girang dan memandang rendah lawan ketika
dia dan temannya seolah-olah sudah mendesak Suma Han, kini merasa terkejut
bukan main. Tongkat pendekar kaki buntung itu gerakannya aneh sekali, sama
anehnya dengan gerakan tubuh pendekar itu yang dapat mencelat ke sana-sini
secara luar biasa, dan dari tongkat itu menyambar keluar hawa pukulan yang
membuat bekas Koksu ini makin bingung. Tongkat itu kadang-kadang kaku melebihi
baja, kadang-kadang lemas seperti batang pohon cemara, akan tetapi yang lebih
hebat lagi, kadang-kadang mengandung hawa serangan panas dan ada kalanya amat
dingin!
Mendadak
terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari dalam dada Pendekar Super
Sakti. Tongkatnya bergerak menyambut golok dan cambuk lawan dan.... tiga buah
senjata melekat menjadi satu. Betapa pun Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama
berusaha menarik kembali senjata mereka, sia-sia saja seolah-olah cambuk dan
golok sudah menjadi satu dengan tongkat!
“Haiiittt!”
Bhong Ji Kun menggunakan tangan kiri memukul dengan telapak tangan didorongkan
ke depan.
“Hyaaattt!”
Thian Tok Lama sudah menggunakan pula tangan kanannya, melakukan pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam.
Suma
Han maklum akan bahaya maut ini. Pukulan tangan kosong Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun tidak kalah ampuhnya dbandingkan dengan Hek-in-hwi-hong-ciang dari pendeta
Lama itu. Cepat dia melepaskan tongkatnya selagi kedua lawannya mencurahkan
perhatian pada pukulan mereka, kemudian dengan tubuh tegak pendekar kaki
tunggal ini sudah mendorongkan pula kedua tangannya ke depan menyambut pukulan
kedua lawannya.
“Desss!
Desss!”
Tubuh
Bhong Ji Kun menggigil dan terhuyung ke belakang. Dia telah terkena hantaman
Inti Es yang selain menolak pukulannya sendiri juga dengan kekuatan dahsyat
masih mendorongnya. Sedangkan Thian Tok Lama terlempar ke belakang dan
terbanting roboh dengan muka merah seperti dibakar. Dia tadi dilawan dengan
pukulan panas Inti Api yang luar biasa dahsyat dan kuatnya.
Dengan
kemarahan meluap-luap, Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah meloncat bangun
lagi tanpa mempedulikan darah yang menetes keluar dari ujung bibir mereka.
Bhong Ji Kun menerjang dengan cambuknya yang tadi sudah terlepas dari tongkat
Suma Han. Akan tetapi karena benturan tenaga sakti tadi telah mendatangkan
luka di dalam dadanya, gerakannya tidak sedahsyat tadi dan menghadapi serangan
ini, Suma Han yang telah memegang tongkatnya lagi bersikap tenang sekali.
“Tar-tarrr....!”
Cambuk merah itu menyambar ke arah kepala, ujungnya seperti patuk burung
garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Suma Han. Dengan sikap tenang Suma Han
menggerakkan tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar kilat
berkeredepan menusuk ke arah dada pedekar itu. Suma Han mengeluarkan seruan
kaget, maklum bahwa lawannya menggunakan senjata yang luar biasa ampuhnya, maka
sambil menggerakkan tubuh mencelat ke kanan, tongkatnya bergerak menangkis
senjata yang berkeredepan itu.
“Cringgg!
Trakkk!” Tongkat di tangan Pendekar Super Sakti itu patah menjadi dua bertemu
dengan pedang itu.
“Li-mo-kiam....!”
Suma Han berteriak kaget dan cepat dia mendorongkan kedua tangannya, yang kiri
memukul ke arah pergelangan tangan kiri lawan yang memegang Pedang Iblis itu,
sedangkan yang kanan mendorong ke arah dada Bhong Ji Kun.
“Desss!
Augghhh....!” Pedang Iblis Betina terlepas dari pegangannya dan cepat disambar
oleh Suma Han, sedangkan tubuh bekas Koksu itu terjengkang seperti dihantam
palu godam raksasa yang amat kuat. Mulutnya muntahkan darah segar. Dia terkena
pukulan yang mengandung tenaga sakti Inti Api, yang sama sekali tidak diduganya
karena dia mengira bahwa lawannya akan menggunakan Im-kang seperti tadi.
Apalagi dia telah mempergunakan Li-mo-kiam yang dirampasnya dari Kwi Hong dan
melihat pendekar itu terkejut dan tongkatnya patah, hatinya sudah girang
sekali, membuat kewaspadaannya berkurang.
“Singggg....
trakkkk! Desss!”
Golok
di tangan Thian Tok Lama patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam, tangan kanan
Thian Tok Lama yang melancarkan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang bertemu dengan
tangan kiri Suma Han yang menyambutnya dengan Im-kang sehingga pendeta Lama
dari Tibet ini terpental sampai beberapa meter jauhnya dan roboh pingsan dengan
muka pucat kebiruan!
Suma
Han memandang Li-mo-kiam di tangannya, mengebutkan bajunya dan menghampiri
Bhong Ji Kun yang sudah merangkak bangun sambil merrngis. Suma Han memandang
bekas Koksu itu dan berkata dengan suara dingin penuh wibawa, “Bhong Ji Kun,
bawa semua kaki tanganmu ke perahumu dan lekas tinggalkan tempat ini!”
Sambil
meringis Bhong Ji Kun bangkit berdiri, mukanya pucat dan mulutnya masih
berlepotan darahnya sendiri. Dia memandang ke sekelilingnya. Thian Tok Lama
masih pingsan dan anak buahnya tidak seorang pun tewas, akan tetapi semua
menderita luka yang membuat mereka tidak berdaya. Dia mengangguk, menarik napas
panjang dan berkata, “Engkau hebat. Pendekar Super Sakti. Sekali ini aku
mengaku kalah, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku menebus
kekalahan ini.”
Sambil
terhuyung-huyung, bekas Koksu ini mengambil cambuk merahnya, lalu menyuruh anak
buahnya membawa teman yang lukanya agak berat, menggotong Thian Tok Lama,
kemudian tanpa berkata apa-apa kepada Suma Han dia bersama anak buahnya naik
perahu yang segera dilayarkan meninggalkan Pulau Es, menuju ke selatan.
“Anjing-anjing
macam itu mengapa tidak dibunuh saja?” Baru sekarang Nirahai membuka mulut
mencela suaminya.
“Memang
sepantasnya mereka dibunuh, kalau tidak kelak hanya akan menimbulkan kekacauan
saja.” Lulu juga berkata tak puas, dan memandang bekas kakak angkat yang kini
menjadi suaminya yang tercinta itu.
Suma
Han menarik napas panjang. “Aku kasihan kepada orang-orang sesat seperti itu.
Mudah-mudahan kekalahan mereka ini menjadi pelajaran dan membuat mereka
bertobat. Pula, aku tidak menghendaki pembunuhan di pulau ini, apalagi aku
tidak ingin memulai hidup baru kita dengan pembunuhan.”
“Akan
tetapi mereka telah membunuh pembantumu!” kata Nirahai.
Suma
Han terkejut dan menengok, seolah-olah baru teringat kepada pembantunya yang
setia itu. Dengan cepat dia menghampiri, diikuti oleh Nirahai dan Lulu. Mereka
bertiga berlutut dekat Phoa Ciok Lin yang masih rebah di atas tanah dipeluki
oleh Kwi Hong yang masih menangis terisak-isak.
Melihat
keadaan Phoa Ciok Lin yang dadanya ditembus tombak, Suma Han maklum bahwa nyawa
pembantunya itu tak mungkin ditolong lagi. Melihat muridnya atau keponakannya,
alisnya berkerut. Dara inilah yang menjadi gara-gara, pikirnya penuh
kekecewaan dan penyesalan.
“Perlu
apa engkau menangis lagi? Menangis setelah terlambat tiada gunanya! Mengapa
sebelumnya engkau tidak berpikir panjang dan percaya kepada orang-orang seperti
mereka?”
Tangis
Kwi Hong semakin meledak ketika dia mendengar suara yang bernada penuh teguran
dari pamannya itu. Dia merebahkan tubuh Phoa Ciok Lin perlahan-lahan di atas
tanah, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han sambil menangis
dan berkata, “Harap Paman bunuh saja aku yang berdosa ini!”
Suma
Han memandang tajam, kerut di alisnya makin mendalam. “Hemm, pernahkah aku
mengajarmu bersikap seperti pengecut ini? Setiap orang membuat kesalahan, dan
sikap terbaik adalah menyadari kesalahan itu, bukan dengan penyesalan yang
menimbulkan keinginan untuk bunuh diri! Sekarang aku mempunyai tugas untukmu,
kalau engkau melaksanakan tugas ini dengan baik berarti engkau mempunyai
keinginan untuk menebus kesalahanmu. Sanggupkah engkau?”
“Biar
harus mengorbankan nyawa, akan saya laksanakan tugas itu, harap Paman lekas
beritahukan kepada saya.”
“Kau
pergilah meninggalkan pulau ini, carilah Milana sampai dapat, bawa dia ke pulau
ini menyusul kami. Juga kauselidiki di mana adanya Gak Bun Beng yang sudah
kusuruh mencari Milana. Mereka telah kami tunangkan dan keduanya harus menyusul
kami di sini untuk dilaksanakan pernikahannya. Juga kau harus mencari Wan Keng
In, selain minta dia menyerahkan Lam-mo-kiam juga katakan kepadanya bahwa ibunya
telah berada di Pulau Es, menjadi isteriku. Nah, berangkatlah!”
Wajah
Kwi Hong seketika pucat ketika dia mendengar perintah ini. Biarpun amat sukar
menundukkan Wan Keng In, apalagi memaksanya menyerahkan Lam-mo-kiam dan
mengajaknya ke Pulau Es, namun hal itu masih tidak membuat dia terkejut. Yang
membuat wajahnya pucat adalah ketika dia mendengar akan pertunangan antara Gak
Bun Beng dan Milana! Jantungnya seperti ditusuk rasanya dan cepat menundukkan
mukanya untuk menyembunyikan kepucatan wajahnya dan dua titik air mata yang
sudah bergantung di bulu matanya. Dia mengangguk, kemudian menerima pedang
Li-mo-kiam yang disodorkan pamannya. Tanpa menjawab, tiba-tiba tubuhnya
berkelebat dan dia sudah berlari-lari ke pantai, meloncat ke dalam sebuah
perahu kecil yang tadi dipergunakan oleh Phoa Ciok Lin, dan meluncurkan perahu
dengan cepatnya menuju ke utara, melalui celah-celah pegunungan es yang
terapung di lautan.
Suma
Han berdiri tegak memandang bayangan keponakannya itu dengan alis berkerut.
Pendekar Super Sakti ini diam-diam merasa kasihan dan terharu. Dia memang
sengaja tadi memberitahukan tentang pertunangan antara Bun Beng dan Milana,
karena dia tahu bahwa keponakannya itu menaruh hati cinta kepada Bun Beng. Dia
ingin agar keponakannya yang mudah dibujuk orang jahat itu belajar melihat
kenyataan hidup dan menghadapinya dengan penuh keberanian! Hal ini akan
menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri, membuatnya waspada dan tidak
lengah. Mengingat betapa dia telah menggembleng dara itu, dan bahwa Bu-tek
Siauw-jin juga sudah menurunkan ilmu kepada keponakannya itu, dia tidak
khawatir lagi akan keselamatan Kwi Hong yang tentu sudah cukup kuat untuk menjaga
diri, apalagi dengan Li-mo-kiam di tangannya.
“Taihiap
engkau sungguh kejam....!” Mendengar suara Phoa Ciok Lin, Suma Han cepat
menengok lalu berlutut di dekat kedua isterinya. Kiranya pembantunya itu telah
siuman dari pingsannya dan kini memandang kepadanya dengan muka pucat sekali
dan mata sayu. Dengan terharu dia, memegang tangan wanita yang sedang sekarat
itu tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
“Taihiap,
apakah engkau tidak tahu.... bahwa Kwi Hong mencinta Bun Beng seperti....
seperti.... aku mencintamu? Aku bukan seorang muda, aku dapat melihat bahwa
cintaku sia-sia, bahwa aku bertepuk sebelah tangan.... dan demi cintaku....
aku bahagia menyaksikan engkau telah dapat berkumpul dengan kedua orang wanita
yang kaucinta. Aku.... aku.... demi cintaku kepadamu, aku dengan senang hati
suka berkorban, aku akan mati dengan hati tenteram.... akan tetapi Kwi Hong
masih muda sekali! Dapatkah dia bersikap seperti aku? Taihiap.... kasihan
dia.... entah apa yang akan terjadi dengan dia.... tapi.... aku percaya
kepadamu Taihiap, selamat tinggal....!”
Phoa
Ciok Lin menghembuskan napas terakhir, dan agaknya kekhawatiran di dalam
hatinya mengenai nasib Kwi Hong tidak dapat mengusir kebahagiaan hatinya
menyaksikan orang yang amat dikasihinya itu akhirnya dapat berkumpul dengan
Lulu dan Nirahai, sehingga tepat seperti yang diucapkannya tadi, dia menghembuskan
napas terakhir dengan senyum di bibirnya!
Suma
Han menarik napas panjang, berbisik, “Ciok Lin, akupun cinta padamu, akan
tetapi bukan cinta seperti yang kaumaksudkan itu....” Kemudian, dibantu oleh
Lulu dan Nirahai yang tidak berkata sesuatu, Suma Han menguburkan jenazah Phoa
Ciok Lin di bagian yang paling tinggi di pulau itu agar kuburannya tidak selalu
tertimbun oleh salju.
Ketika
mereka bertiga berdiri di depan kuburan itu dan kebetulan mereka menghadap ke
selatan, mereka melihat udara di selatan amat gelap dan tampak kilat
menyambar-nyambar dan awan hitam bergumpal-gumpal amat menakutkan. Nirahai
yang belum pernah menyaksikan penglihatan seperti itu, menjadi ngeri dan
memegang tangan suaminya.
“Ihhh!
Apakah di sana itu?”
Lulu
yang menjawabnya, karena Lulu sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Es ini,
“Badai. Di selatan ada badai mengamuk, Suci. Dan anjing-anjing tadi yang di
sini mendapat pengampunan, ternyata tidak diampuni oleh Tuhan. Mereka tentu
tewas semua ditelan badai!”
“Untung
bahwa Kwi Hong tadi mengambil jalan ke utara.” Suma Han berkata. Dia
menggandeng tangan ketua orang wanita itu dan dengan penuh kasih sayang mereka
bertiga berjalan bergandengan menuju ke istana Pulau Es, menuju ke hidup baru
setelah belasan tahun ketiga orang sakti ini merana oleh cinta yang putus
diantara mereka. Mereka tidak memikirkan apa-apa lagi. Mereka hendak melepaskan
rindu selama belasan tahun itu, melepaskan dahaga dengan menghirup madu cinta
kasih di antara mereka sekenyang dan sepuas mungkin!
***
Pemuda
itu berjalan cepat sekali. Wajahnya berseri dan mulutnya sering kali tersenyum
menandakan keriangan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh
kebahagiaan. Betapa hatinya tidak akan merasa bangga, bahagia dan riang setelah
kini secara resmi dia diterima oleh Pendekar Super Sakti dan isterinya sebagai
calon mantu! Dia malah diberi tugas oleh suami isteri itu untuk mencari Milana!
Kekasih hatinya! Calon isterinya!
Tersenyum
dia membayangkan betapa dara itu akan menjadi merah mukanya, menjadi malu-malu
kalau dia nanti menceritakan tentang pertunangan mereka! Dan yang lebih
daripada segala yang menyenangkan hatinya adalah kalau dia mengingat akan
pertemuannya dengan Milana yang terakhir kalinya, di mana dara itu dengan jelas
membayangkan bahwa Milana pun membalas cinta kasihnya! Tadinya, kebahagiaannya
karena dara itu membalas cintanya masih diliputi awan keraguan kalau-kalau ayah
bunda dara itu tidak menyetujui. Akan tetapi sekarang setelah kedua orang tua
itu menyatakan setuju, biarpun belum disahkan, dunia seolah-olah berubah bagi
pandang mata Bun Beng! Sinar matahari menjadi lebih cemerlang. Tumbuh-tumbuhan
menjadi lebih segar. Segala yang dipandangnya, yang didengarnya, menjadi
lebih indah menyenangkan.
Bun
Beng mempercepat gerakan lari kakinya. Kota raja tidak jauh lagi. Setelah
keluar dari hutan besar yang terakhir di sebelah utara kota raja ini, dinding
yang mengelilingi kota raja sudah akan tampak. Heran sekali dia, mengapa
sebelum ini dia tidak melihat keindahan hutan besar ini? Daun-daun kering yang
memenuhi tempat itu, yang terinjak oleh kakinya terasa lunak, biasanya tampak
buruk, sekarang menimbulkan perasaan senang melihatnya, begitu rapi bertumpuk
di atas tanah, seperti diatur saja. Dan seolah-olah sengaja disebar untuk
menjadi permadani yang lunak halus bagi kedua kakinya. Dan baunya! Daun-daun
yang sudah membusuk, menjadi sampah, bukankah biasanya mendatangkan bau tidak
enak? Sekarang kalau dia mencium, terciumlah bau daun-daun busuk itu, akan
tetapi sama sekali tidak busuk baunya, bahkan ada kesedapan yang khas! Jelaslah
kini olehnya bahwa segala yang disebut indah atau buruk, enak atau tidak, semua
tergantung dari keadaan hati seseorang!
Pendapat
seperti yang dialami Bun Beng itu menjadi pendapat umum. Akan tetapi selama
orang memandang atau mendengar sesuatu dengan penilaian akar baik buruknya yang
dipandang atau didengar itu, maka seluruhnya tergantung dari keadaan pikiran
dan hati. Karena itu, kita selalu diombang-ambingkan antara suka dan duka,
puas dan kecewa dan kalau dihitung dan dijumlah, jauh lebih banyak dukanya
daripada sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya. Kalau saja kita
dapat melepaskan diri dari pengaruh pikiran! Kalau saja kita dapat terbebas
dari keinginan, dari pengejaran akan sesuatu yang tidak ada pada kita! Kalau
kita terbebas dari rasa khawatir akan kehilangan yang kita senangi dan terbebas
dari rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi! Kalau demikian halnya,
agaknya hidup ini tidaklah seperti yang kita alami sekarang ini dimana
terdapat penuh pertentangan, penuh persoalan benar atau salah, penuh dengki
dan iri hati, penuh benci, dan penuh dengan apa yang kita sebut kesengsaraan
lahir maupun batin!
Gak
Bun Beng yang sekarang telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar
biasa berkat gemblengan terakhir yang dilakukan bersama oleh Pendekar Super
Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin, berlari seperti terbang cepatnya dan sebentar
saja dia telah keluar dari dalam hutan lebat itu. Sejenak dia berhenti untuk
memandang tembok yang megah, yang mengelilingi kota raja sehingga dari jauh
kelihatan seperti sebuah benteng yang kokoh kuat. Tiba-tiba pandang matanya
tertarik akan sesuatu yang bergerak tak jauh di sebelah depan, di lereng
pegunungan sebelah bawah. Seorang manusia! Dan jalannya tidak wajar karena
seperti terhuyung-huyung. Bun Beng segera meloncat ke depan dan berlari cepat
menuju ke arah orang yang terhuyung-huyung itu.
Orang
itu roboh terguling dan mengeluh ketika Bun Beng tiba di sebelah belakangnya.
Bun Beng cepat berlutut dan mengangkat tubuh bagian atas laki-laki setegah tua
itu. Beberapa buah luka yang cukup hebat memenuhi tubuhnya, pakaiannya
robek-robek dan berlepotan darah. Keadaan laki-laki itu payah sekali, napasnya
empas-empis.
“Kau
kenapa, Paman? Siapa yang menyiksamu seperti ini?” Bun Beng bertanya. Orang itu
membuka matanya, akan tetapi pandang matanya seperti orang lamur, manik matanya
tidak bercahaya lagi, seperti api yang hampir padam. Mulutnya bergerak, “Semua
tewas.... aughhh.... mereka dari Pulau Neraka.... celaka sekali.... cucu Sri
Baginda mereka bawa....”
“Apa?
Milana? Paman, jawablah! Apakah Milana yang mereka bawa?”
“Cucu
Sri Baginda.... puteri Panglima Nirahai.... diculik pemuda Pulau Neraka
dan....” Kepala itu terkulai.
“Ke
mana, Paman? Dibawa ke mana?” Bun Beng bertanya mengguncang-guncang tubuh yang
sudah lemas itu. Namun tiada jawaban. Bagaimana mayat dapat menjawab?
Bun
Beng menghela napas panjang, pandang matanya yang tadinya penuh kebahagiaan
kini berubah sama sekali. Penuh kekhawatiran dan kemarahan! Dia tidak mengenal
orang ini, betapapun juga, orang ini sudah berjasa kepadanya, menceritakan
sesuatu tentang Milana, sungguhpun ceritanya amat tidak menyenangkan. Maka dia
segera menggali lubang dan mengubur jenazah orang tak dikenal itu. Semua ini
dilakukannya dengan cepat dan segera dia berlari sekencangnya memasuki kota
raja untuk mencari berita. Berita itu mudah didengarnya. Semua orang tahu
belaka bahwa cucu Kaisar, puteri Panglima Wanita Nirahai yang amat terkenal,
telah diculik dan dilarikan orang. Menurut beritanya itu, penculiknya adalah
seorang pemuda tampan bersama seorang kakek yang seperti mayat.
“Hemmm,
siapa lagi kalau bukan Wan Keng In?” Pikir Bun Beng dengan hati panas dan
kemarahan berkobar seperti api membuat mukanya kemerahan dan pandang matanya
ganas.
Setelah
merasa yakin bahwa yang menculik kekasihnya adalah pemuda Pulau Neraka itu, Bun
Beng segera meninggalkan kota raja. Menurut kabar, Kaisar sendiri mengerahkan
para pengawal yang berilmu untuk mencari cucunya, bahkan ada berita bahwa
Kaisar mengundang Pendekar Super Sakti untuk mengembalikan dara yang diculik
orang itu, dengan janji pengampunan bagi pendekar yang tadinya dianggap seorang
pemberontak dan buruan itu! Akan tetapi, Bun Beng maklum bahwa tak mungkin dia
bisa mendapatkan keterangan di kota raja ke mana larinya Wan Keng In yang
menculik kekasihnya.
Setelah
memutar otak, akhirnya Bun Beng menduga bahwa kemungkinan besar pemuda Pulau
Neraka itu membawa kekasihnya ke Pulau Neraka! Atau setidaknya tentu pemuda
iblis itu berkeliaran di utara, di sepanjang pantai. Hatinya menjadi sakit
sekali, penuh kecemasan akan keselamatan kekasihnya. Ia khawatir kalau-kalau
dia terlambat menolong kekasihnya.
“Aihhh!
Mengapa aku begini lemah?” Dia mencela diri sendiri. “Terlambat atau tidak,
bagaimana nanti keadaannya sajalah. Yang terpenting, aku harus mencarinya
sampai dapat!” Pikiran ini agak meredakan gelombang kecemasan yang melanda
hatinya dan mulailah dia melakukan perjalanan ke utara kembali, tidak berani
melakukan cepat karena dia harus melakukan penyelidikan, bertanya-tanya di
sepanjang jalan. Karena dia menganggap bahwa orang yang terluka dan tewas
ketika bertemu dengannya itu merupakan jejak terakhir dari Milana, dia lalu
mengambil jalan yang ditempuh orang itu, dari tempat dia bertemu orang itu
lalu terus ke utara.
Di
sepanjang perjalanan Bun Beng bertanya-tanya dan untuk mencegah timbulnya
kecurigaan, maka dia bersikap bersahaja. Pakaiannya memang selalu sederhana,
dan kini dia selalu memakai sebuah caping bundar yang pinggirannya lebar, sedangkan
pedang Hok-mo-kiam tidak pernah tampak dari luar karena dia sembunyikan di
balik jubahnya. Dalam penyelidikannya, secara sambil lalu dia bertanya tentang
seorang nona muda yang cantik dengan gelung tinggi ke atas kepala, seorang
pemuda tampan yang mukanya pucat dan pakaiannya mewah, dan seorang kakek yang
kurus seperti mayat. Dia tidak mau menyebut nama-nama.
Biarpun
agak sulit baginya untuk memperoleh keterangan yang jelas, kecuali beberapa
orang yang menuturkan kepadanya pernah melihat tiga orang itu, ada pula yang
melihat serombongan orang-orang gagah naik kuda menuju ke utara, bagi Bun Beng
sudah cukup untuk mengikuti jejak para penculik yang membawa pergi kekasihnya.
Tepat seperti dugaannya, Milana dibawa ke utara! Akhirnya pada suatu pagi, dia
tiba di tempat bekas pertempuran dan melihat banyak mayat manusia berserakan
dan sebagian sudah menjadi kerangka. Hatinya penuh dengan bermacam perasaan.
Ada rasa girang karena dia kini yakin bahwa di sinilah terjadinya perang dan di
sini pula agaknya orang yang bercerita tentang Milana itu terluka. Tentu dia
seorang di antara pengawal utusan Kaisar yang mengejar para penculik! Ada rasa
ngeri menyaksikan betapa di tempat ini telah terjadi penyembelihan manusia yang
agaknya dilakukan oleh Wan Keng In dan kakek seperti mayat! Atau mungkin juga
ada anak buah Pulau Neraka, karena melihat luka-luka yang diderita oleh orang
yang dijumpainya itu, hanyalah luka-luka akibat senjata tajam, sedangkan kalau
Wan Keng In sendiri yang turun tangan, apalagi menggunakan Lam-mo-kiam yang
dirampas pemuda Pulau Neraka itu, tentu tidak memungkinkan orang itu hidup
lebih lama lagi. Ada pula rasa yang makin menghebat, yaitu rasa khawatir.
Setelah yakin bahwa Wan Keng In yang menculik Milana, dia merasa khawatir
sekali. Kalau penculiknya orang lain, agaknya Milana akan mampu menjaga diri
karena dia tahu bahwa kekasihnya itu adalah seorang dara yang memiliki
kepandaian tinggi dan sukar ditandingi orang. Akan tetapi terhadap Wan Keng In,
agaknya kekasihnya itu takkan berdaya mempertahankan keselamatannya!
Dengan
hati tidak karuan, Bun Beng cepat melanjutkan perjalanannya ke utara. Setelah
matahari condong ke barat, tibalah dia di kaki gunung dan dari tempat dia
turun sudah tampak sebuah telaga kecil yang airnya jernih kebiruan. Timbul
keinginannya untuk menyegarkan tubuhnya yang lelah, mandi di telaga itu. Maka
ke sanalah dia menuju.
Ketika
tiba dekat telaga mendadak dia berhenti. Di tepi telaga itu terdapat
serombongan orang terdiri dari dua belas orang dan di antaranya ada yang membawa
bendera, berhadapan dengan seorang laki-laki muda dan agaknya mereka itu sedang
bercekcok. Bun Beng merasa tertarik hatinya, akan tetapi karena dia tidak tahu
urusannya dan tidak mau dianggap lancang mencampuri urusan orang lain, dia menyelinap
dekat dan diam-diam dia menonton sambil mendengarkan percekcokan mereka. Tanpa
sengaja dia mendekati tumpukan batu gunung yang menyembunyikan sebagian air
telaga dan mendengar suara air. Ketika dia menoleh, Bun Beng terbelalak dan
seketika mukanya menjadi merah sekali. Betapa jantungnya tidak akan berdebar
tegang dan mukanya tidak akan menjadi merah sekali kalau dia melihat seorang
wanita muda dan cantik sedang merendam tubuh yang mulus dan polos di dalam air
telaga? Cepat dia membuang muka dan agak menjauhi tempat itu, bersembunyi di
belakang batu gunung dekat telaga, lalu mengintai ke arah laki-laki muda
berpakaian sederhana yang berhadapan dengan para piauwsu (pengawal barang)
itu.
“Cuwi-piauwsu
(para pengawal sekalian) hendaknya jangan mempersalahkan aku saja!” Terdengar
laki-laki muda itu membantah dengan suara keras. “Aku bukanlah seorang tukang
pukul yang sembarangan memukul orang. Kalau sampai kongcu (tuan muda) tadi
kupukuli, tentu ada sebab tertentu yang memaksa aku.”
“Hemm,
kalau memang ada sebabnya, mengapa engkau tidak menceritakan kepada kami?
Apakah sebabnya?” tanya kepala piauwsu, seorang laki-laki berusia lima puluh
tahun lebih yang bertubuh tegap dan bersikap angker.
“Sebabnya
tak dapat kuceritakan kepada orang lain!” jawab orang muda itu.
Kakek
yang memimpin pengawal angkutan itu memandang tajam dan suaranya terdengar
tegas, “Orang muda, jangan kau main-main dengan kami! Chi-kongcu adalah putera
Tihu dari Kang-ciu dan kami yang mengawalnya bersama barang-barangnya adalah
para pengurus Eng-jiauw-piauwkiok (Ekspedisi Cakar Garuda), anak murid
Bu-tong-pai. Lebih baik kau berterus terang agar kami mempertimbangkan.”
Wajah
orang muda itu kelihatan bimbang. Kemudian dengan suara terpaksa dia berkata,
“Baiklah, biar Cu-wi mengetahui betapa kotor perbuatan kongcu yang Cu-wi kawal
itu. Isteriku sedang mandi di telaga seorang diri, kemudian datang kongcu itu
menggodanya. Melihat ini, tentu saja aku tidak dapat membiarkannya saja dan
memberi hajaran. Nah, bukankah hal itu sudah pantas kulakukan?”
Para
piauwsu itu mengerutkan alis. Mereka adalah orang-orang gagah yang tentu saja
merasa tidak senang mendengar perbuatan kongcu itu, sungguhpun di dalam hati,
semua pria itu tidak merasa heran akan perbuatan itu.
“Sampai
sejauh manakah perbuatannya maka engkau memukulinya sehingga mukanya
bengkak-bengkak dan berdarah?” tanya piauwsu tertua yang tentu saja merasa
bertanggungjawab akan keselamatan putera bangsawan yang dikawalnya. Rombongan
mereka tadi berhenti dan mengaso tak jauh dari telaga. Chi-kongcu seorang diri
berjalan-jalan ke telaga dan tak lama kemudian kongcu itu datang berlari-lari
dengan muka bengkak-bengkak berdarah, mengatakan bahwa dia dipukuli seorang
laki-laki dekat telaga.
“Ehh!
Apakah Cu-wi (Anda sekalian) tidak menyalahkan perbuatan kongcu keparat yang
kurang ajar itu?” Laki-laki muda itu balas bertanya dengan muka merah.
“Memang
kurang sopan. Akan tetapi apakah yang dilakukannya terhadap isterimu?”
“Kalau
dia sudah melakukan sesuatu, tentu sudah kubunuh dia! Isteriku, mandi seorang
diri, dia datang menghampiri dan menggoda dengan kata-kata tidak sopan.”
“Orang
muda, engkau agaknya terlalu mengandalkan kekuatanmu sendiri sehingga bersikap
galak! Semua perkara harus diperiksa lebih dahulu dengan jelas, jangan
sembarangan main hakim sendiri mengandalkan kekuatanmu. Kami akui bahwa
perbuatan Chi-kongcu tidak patut, sungguhpun kami masih meragukan mengapa dia
sampai berani menggoda seorang wanita yang sedang mandi seorang diri. Entah apa
yang telah diucapkannya yang membuat engkau marah dan memukulnya. Apakah yang
dikatakannya orang muda?”
“Aku
tidak mendengarnya sendiri, hanya kulihat dari jauh dia berkata-kata dan
tertawa-tawa kepada isteriku yang sedang mandi, dan isteriku marah-marah
kepadanya.”
“Jadi
masih belum jelas lagi apa yang diucapkannya. Hemm, biarlah hal yang sudah
terjadi tak perlu diributkan lagi. Chi-kongcu telah bersalah mengajak seorang
wanita yang mandi bercakap-cakap, akan tetapi engkau pun terlalu ringan tangan.
Kami tidak akan memperpanjang urusan ini kalau engkau suka minta maaf
kepadanya.”
“Tidak
sudi! Kalau disuruh menambah pemukulan kepadanya aku mau!” Orang muda yang
berdarah panas itu membantah.
Ketua
piauwsu itu mengerutkan alisnya. “Orang muda, kami sudah mengambil jalan
tengah dan banyak mengalah kepadamu, akan tetapi engkau masih berkeras kepala.
Kami terpaksa mencampuri urusan ini karena kewajiban kami untuk mengawal
Chi-kongcu! Apakoh engkau tidak memandang muka kami dan hendak menentang kami?”
“Terserah!
Aku tidak takut kepada siapa pun untuk menjaga dan melindungi kehormatan
isteriku!” Pemuda itu bertolak pinggang dan bersiap untuk menghadapi lawan,
sikapnya gagah sekali karena dia merasa gagah telah dapat mempertahankan
kehormatan isterinya.
“Hemm,
engkau terlalu memandang rendah murid Bu-tong-pai!” Kakek itu berkata dan
sudah mengepal tinju.
Dari
tempat sembunyinya, Bun Beng dapat melihat jelas dari sikap pemuda itu bahwa
dia tidak pandai ilmu silat, sedangkan para piauwsu itu sebagai murid
Bu-tong-pai, apalagi kakek itu, tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Maka
sebelum terjadi perkelahian yang tentu akan mencelakakan orang muda itu, Bun
Beng melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berdiri tegak di depan kakek
pemimpin para piauwsu sambil berkata halus, “Tahan dulu!”
Para
piauwsu memandang kepada Bun Beng penuh kecurigaan, juga orang muda itu menoleh
dan memandang heran kepada pemuda tampan yang menyembunyikan sebagian mukanya
di balik caping bundar yang lebar itu.
“Harap
Cuwi-piauwsu suka menghabiskan perkara ini, karena mendengar penuturan
saudara ini, yang bersalah adalah kongcu itu. Kurasa tidak biasanya para tokoh
Bu-tong-pai bertindak sewenang-wenang!”
Mendengar
ucapan itu, pimpinan piauwsu memandang tajam dan melangkah maju, membungkuk dan
bertanya, “Siapakah Siauw-sicu (Tuan muda yang gagah) yang mengenal
Bu-tong-pai dan ada hubungan apa Sicu dengan saudara ini?”
“Namaku
Gak Bun Beng dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Twako (Kakak) ini.
Aku hanya tidak ingin melihat nama besar Bu-tong-pai direndahkan oleh para
anak muridnya kalau Cu-wi hendak menggunakan kekerasan terhadap Twako yang
tidak bersalah ini.”
Ucapan
Bun Beng ini membuat para piauwsu menjadi serba salah. Mau marah, terang bahwa
pemuda bercaping bundar ini mengangkat tinggi nama Bu-tong-pai, kalau mengalah
mereka merasa penasaran sekali karena pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini sama
sekali tidak mempunyai nama besar sehingga tidak sepatutnya kalau mereka
mengalah dan menyudahi urusan dengan orang muda itu hanya melihat muka seorang
pemuda asing yang sama sekali tidak mereka kenal.
“Orang
muda she Gak, permintaanmu sungguh berat sebelah. Engkau membujuk kami untuk
mengalah, sebaliknya engkau membiarkan orang muda itu yang telah memukuli orang
kawalan kami tanpa perhitungan apa-apa. Mengapa engkau sebagai seorang
penengah yang bijaksana, tidak minta dia untuk mengalah dan minta maaf kepada
yang dia pukuli sehingga urusan menjadi selesai dengan damai?”
Bun
Beng mengerutkan alisnya dan berkata, “Sepanjang pendengaranku tadi, jelas
sudah bahwa yang bersalah adalah kongcu itu dan sudah sepatutnya dia
mendapatkan hajaran. Sepantasnya Cu-wi sebagai pengawalnya yang lebih mengerti
tentang peraturan mintakan maaf untuknya kepada sahabat ini, bagaimana mungkin
Saudara ini yang telah mengalami penghinaan malah disuruh minta maaf?”
Pemimpin
piauwsu itu kelihatan makin tidak senang. “Gak-sicu, agaknya engkau terlalu
mengandalkan kepandaian sendiri sehingga secara lancang mencampuri urusan orang
dan sama sekali tidak memandang muka kami sebagai piauwsu yang bertanggung
jawab terhadap kawalannya dan sebagai anak murid Bu-tong-pai yang siap
memaafkan kesalahan orang asalkan orang itu suka mengaku salah dan minta maaf.
Kami yakin Sicu mengerti akan hal ini dan melepas tangan terhadap urusan kecil
ini.”
Bun
Beng menggeleng kepalanya. “Cu-wi sekalian pikirlah baik-baik. Bukan aku yang
mengandalkan kepandaian atau sahabat ini yang bersalah, sebaliknya Cu-wi yang
hendak mengukuhi kebaikan sendiri. Seharusnya Cu-wi malah berpandangan
bijaksana, menyuruh kongcu kurang ajar itu mohon maaf kepada sahabat ini atas
kekurangajarannya terhadap isteri sahabat ini. Dengan demikian baru tepatlah
tindakan Cu-wi sebagai murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa.”
“Manusia
sombong, engkau benar-benar besar kepala, tidak menghormati kami. Baiklah, kita
putuskan urusan ini dengan kepandaian!”
“Oho!
Cu-wi menantang malah? Silakan! Sahabat, mundurlah, engkau bukan tandingan
orang-orang gagah ini, biar aku mewakilimu!”
“Bocah
sombong, sambutlah ini!” Seorang di antara para piauwsu, yang bertubuh tinggi
kurus, sudah menerjang maju dan menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah
dada Bun Beng. Melihat gerakan orang itu, Bun Beng maklum bahwa orang kasar itu
lebih memiliki tenaga kasar daripada ilmu silat yang tinggi, maka dia pun tidak
mau menangkis atau mengelak, bersikap seperti tidak tahu bahwa dia sedang
dipukul.
“Bukkkk!”
“Aduuhhh....!”
Orang tinggi kurus itu memekik kesakitan dan memegangi tangan kanannya yang
membengkak seolah-olah yang dipukulnya tadi adalah benda dari baja yang amat
keras.
Bun
Beng hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mempedulikan orang yang telah
memukulnya tadi melainkan memandang kepada pemimpin rombongan, kakek yang
bersikap penuh wibawa itu.
“Hemmm,
kiranya engkau memiliki kepandaian juga, orang muda. Pantas engkau bersikap
sombong!” Kakek itu melangkah maju. “Biarlah aku memberanikan diri berkenalan
dengan tubuhmu yang kebal.”
“Twa-suheng
(Kakak Seperguruan Tertua), biarkan siauwte (adik) menghadapinya, tidak perlu
Twa-suheng sendiri yang maju!” Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara
mereka yang usianya hampir lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti
orang menderita penyakit, kepalanya kecil dan wajahnya pucat. Melihat adik
seperguruannya ini, kakek itu mengangguk, dan berkata, “Boleh engkau
mencobanya, Sute. Akan tetapi hati-hatilah orang muda she Gak ini agaknya lihai
sehingga dia berani bersikap keras kepala dan sombong.”
“Cu-wi
yang keterlaluan, bukan aku atau keras kepala, melainkan Cu-wi sendiri yang
enggan mengalah biarpuh fihak Cu-wi bersalah.” Bun Beng membantah dan memandang
Si Kurus Muka Pucat itu. Dia maklum bahwa orang yang seperti berpenyakitan itu
sama sekali tidak boleh disamakan dengan orang kasar tadi, maka dia tidak
berani memandang rendah dan bersikap hati-hati.
“Orang
muda, sambutlah seranganku ini!” Orang kurus itu berseru nyaring dan tubuhnya
sudah mencelat ke depan. Tepat seperti yang diduga oleh Bun Beng, gerakan orang
itu cepat bukan main, membuktikan bahwa dia memiliki gin-kang yang sudah tinggi
tingkatnya, dan dia menyerang Bun Beng bukan mengandalkan tenaga kasar seperti
penyerang pertama tadi, melainkan dengan totokan jari tangan ke arah jalan
darah di dada kanan dan di pundak kiri Bun Beng, dua totokan sekaligus secara
berbareng!
Namun,
dari sambaran angin serangan ini, Bun Beng juga sudah dapat mengukur tenaga
lawan, maka dia tidak khawatir akan totokan-totokan itu, menutup jalan darahnya
di pundak, kemudian dengan tenang sekali dia menyambut tangan yang menotok
dadanya dengan totokan jari telunjuk tangan kirinya sedangkan totokan ke arah
pundaknya dia terima begitu saja tanpa dielakkan. Jari telunjuknya tepat
sekali menotok telapak tangan kanan lawan pada saat pundaknya juga terkena
totokan tangan kiri Si Kurus Pucat itu.
“Cusss!
Desss!”
“Aihhh!”
Si
Muka Pucat itu berseru kaget, cepat melompat ke belakang, akan tetapi dia
terhuyung dan lengan kanannya menjadi lumpuh sedangkan jari tangan kirinya
yang menotok pundak tadi pun merasa nyeri bukan main. Dia meringis dan
menggunakan tangan kirinya mengurut-urut lengan kanan yang lumpuh ketika
telapak tangannya, pada jalan darah yang berpusat di antara ibu jari dan
telunjuknya, tertotok oleh telunjuk tangan kiri Bun Beng.
“Minggir
semua!” Pemimpin para piauwsu membentak ketika melihat teman-temannya maju, agaknya
hendak mengeroyok Bun Beng. Dia terkejut bukan main melihat betapa pemuda yang
bertopi bundar lebar itu dalam segebrakan saja telah dapat mengalahkan sutenya
yang dia tahu bukanlah seorang yang lemah. Mengertilah dia bahwa pemuda itu
ternyata merupakan seorang yang berilmu tinggi.
“Orang
muda, engkau ternyata lihai bukan main. Biarlah sekarang aku sendiri mewakili
Bu-tong-pai untuk mencoba kelihaianmu!” Kakek itu menggerakkan tangan
kanannya dan terdengar suara “singgg!” ketika sebatang pedang telah dicabutnya.
Pedang itu tergetar di tangan kanannya, mengeluarkan cahaya berkilauan.
“Lo-enghiong
(Orang Tua Gagah), aku tidak mau menghadapimu kalau engkau mempergunakan nama
Bu-tong-pai. Perselisihan paham di antara kita ini sama sekali tiada sangkut-pautnya
dengan Bu-tong-pai, melainkansebagai orang-orang
saling bertemu di jalan dan bentrok karena mempertahankan kebenaran masing-masing.”
“Terserah
kepadamu, akan tetapi keluarkanlah senjatamu. Aku ingin menyaksikan sampai di
mana kelihaianmu!” Kakek itu melintangkan pedangnya di depan dada dan sikapnya
amat menantang. Agaknya kakek itu sudah marah sekali melihat kedua orang adik
seperguruannya telah dikalahkan sedemikian mudahnya oleh pemuda yang sama
sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw itu.
Bun
Beng tersenyum dan masih bersikap tenang. “Lo-enghiong, bentrokan di antara
kita hanyalah kesalahpahaman belaka yang timbul karena Cu-wi (Anda Sekalian)
merasa terlalu besar untuk mengalah, sama sekali bukan berarti bahwa di antara
kita terdapat permusuhan besar. Kita sudah mengambil keputusan untuk
mempertahankan pendirian dan kebenaran masing-masing dengan kepalan, mengapa
sekarang Lo-enghiong mengeluarkan senjata? Senjata tidak bermata, apakah
Lo-enghiong berniat untuk membunuh aku hanya karena perselisihan kecil ini?”
“Orang
muda, engkau memiliki ilmu silat yang lihai, apakah engkau berpura-pura tidak
tahu bahwa dalam sebuah pibu (pertandingan mengadu ilmu silat), luka-luka atau
kematian merupakan hal yang wajar? Sudahlah, tidak perlu kita berkepanjangan
dan bicara yang tiada gunanya. Keluarkan senjatamu dan hadapi pedangku. Kalau
aku kalah, baik terluka atau tewas dalam tanganmu, berarti pihakku bersalah
dalam urusan ini dan kami takkan banyak cakap lagi.”
Bun
Beng menarik napas panjang. Memang bentrokan ini tak dapat dihindarkan
pikirnya. Kakek pemimpin para piauwsu ini memiliki keangkuhan tinggi. Dia
merasa serba salah. Kalau dia teringat akan Ang-lojin (Kakek Ang) atau Ang
Thian Pa, ketua Bu-tong-pai, sungguh tidak enak kalau dia harus bentrok dengan
anak muridnya. Apalagi kalau dia teringat akan Ang Siok Bi, dara jelita puteri
ketua itu, yang pernah hendak dijodohkan dengan dia! Betapapun juga, tidak
mungkin dia membiarkan saja para piauwsu ini menekan kepada orang muda yang
isterinya telah dihina itu. Akan tetapi, tak mungkin pula dia sampai harus
mengeluarkan Hok-mo-kiam seperti menghadapi seorang musuh besar saja.
“Lo-enghiong,
engkau yang menghendaki menggunakan senjata, bukan aku. Karena itu, kalau
engkau berkeras hendak menggunakan pedang, silakan. Aku sendiri hanya akan
mengandalkan kaki dan tangan.”
Ucapan
yang terus terang ini diterima salah oleh kakek itu. Dia sudah mengeluarkan
pedang, dan pemuda itu tetap hendak menghadapinya dengan tangan kosong saja,
berarti pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya. Kemarahannya meluap dan
dia membentak, “Pemuda sombong! Kalau begitu, rasakanlah kelihaian
Bu-tong-kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)!”
“Singgg....
wirrr.... siuuuttt!”
Sinar
pedang berkelebatan, tiga kali kakek itu menyerang, dua kali menusuk dan satu
kali membabat. Ketika Bun Beng cepat-cepat menggerakkan tubuhnya, gerakan yang
sedikit saja namun sudah dapat menghindarkan tubuhnya dari ketiga serangan itu,
kakek murid Bu-tong-pai menjadi terkejut dan penasaran. Pedangnya diputar
cepat sekali sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi gulungan
sinar putih dan hanya kadang-kadang saja tampak bentuk pedang menjadi banyak.
Gulungan sinar ini menyambar-nyambar dan mengurung tubuh Bun Beng, namun
pemuda itu yang tentu saja dapat melihat dengan jelas gerakan pedang ini,
dengan tepat dapat mengelak ke kiri, kadang-kadang menggunakan tangannya
menepuk dan menyampok lengan lawan sehingga gerakan pedang itu menyeleweng.
Dengan cara mengelak dan menangkis ini, Bun Beng membiarkan lawannya melakukan
penyerangan sampai dua puluh jurus!
“Belum
cukupkah, Lo-enghiong?” Bun Beng bertanya. Dia sengaja mengalah dan kalau
secara ini kakek itu belum mengerti bahwa kepandaiannya masih jauh kalah oleh
pemuda yang diserangnya, benar-benar benar kakek itu keterlaluan sekali.
Demikian pikir Bun Beng. Jago tua Bu-tong-pai itu sama sekali bukan orang bodoh
atau nekat. Tentu saja dia sudah tahu. Dia kaget bukan main ketika mendapat
kenyataan betapa pemuda itu yang berani menghadapinya dengan tangan kosong,
membuat semua serangan pedangnya tidak ada artinya dan dengan mudah sekali
menghindarkan semua serangan selama dua puluh jurus tanpa membalas sedikitpun
juga, padahal dia melihat sendiri betapa kesempatan untuk itu banyak terdapat.
Dia tahu pula bahwa agaknya akan sukar baginya untuk dapat menangkan pemuda
itu. Namun bagaimana mungkin dia mundur? Sekali ini, dia bertanding bukan
hanya karena urusan pribadi! Karena dia sudah terlanjur mengaku sebagai murid
Bu-tong-pai, maka gerakan pedangnya yang mainkan Ilmu Pedang Bu-tong-pai itu
membuat dia seolah-olah bertanding demi nama dan kehormatan Bu-tong-pai!
Inilah sebabnya mengapa dengan nekat terus menyerang tanpa memperdulikan
peringatan Bun Beng.
“Cukup!
Berhentilah!” Bun Beng membentak nyaring, tubuhnya berkelebat ke kiri kemudian
sebelum kakek itu sempat membalik, dia sudah mendahuluinya dengan sambaran
tangan kanannya, dengan terbuka dan miring dipukulkan ke arah pedang dari
samping.
“Trakkk!”
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati kakek Bu-tong-pai itu ketika tiba-tiba tangannya
tergetar, gagang pedang yang dipegangnya hampir terlepas dan pedang itu sendiri
telah patah menjadi dua potong! Mematahkan pedangnya dengan sabetan tangan
kosong! Dia terbelalak, akhirnya matanya yang tadi memandang pedang buntung di
tangannya, dialihkan memandang kepada Bun Beng. Dia menghela napas panjang.
Tahulah dia bahwa biarpun andaikata dia mengeroyok pemuda itu dengan semua
saudaranya, mereka tidak akan dapat menangkan pemuda yang ternyata memiliki
ilmu kepandaian tidak lumrah ini.
“Sudahlah.
Aku menerima kalah dan tidak berhak bicara lagi!” Dia menjura, kemudian
melempar pedang buntungnya dan pergi dari situ, memberi isyarat kepada semua
saudaranya yang juga tidak berani membantah. Rombongan piauwsu itu melanjutkan
perjalanan dengan wajah murung, apalagi kongcu bangsawan yang kena dihajar oleh
suami wanita cantik tadi dan para pengawalnya tidak mampu menebus penghinaan
dan malu yang dideritanya!
“Terima
kasih, Taihiap. Saya akan menjemput isteri saya untuk bersama-sama
menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap!” Orang muda itu cepat lari
ke tepi telaga untuk menjemput isterinya yang tadi masih bersembunyi tidak
berani naik karena suaminya berkelahi dengan kongcu yang menggodanya. Bun Beng
mengerutkan alisnya. Dia tidak membutuhkan terima kasih, maka menggunakan
kesempatan selagi orang itu pergi menjemput isterinya, dia pun menggerakkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Pekik
melengking yang didengarnya datang dari telaga itu menahan gerak kaki Bun Beng.
Dia membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan jauh telah tiba di pinggir
telaga, meloncat turun dan memandang dengan mata terbuka lebar kepada suami
yang menangisi isterinya itu. Wanita muda cantik yang tadi dilihatnya merendam
tubuhnya ke dalam air telaga, kini telah menggeletak tanpa nyawa dengan mata
mendelik dan lidah terjulur keluar tanda mati tercekik.
Suami
itu menoleh dan dengan suara terisak berkata, “Dia.... dia diperkosa.... dan
dibunuh....!”
Bun
Beng sudah meloncat lagi ke atas dan berlari cepat sekali melakukan pengejaran.
Siapa lagi yang melakukan perbuatan terkutuk itu kalau bukan seorang di antara
rombongan piauwsu tadi! Bahkan mungkin sekali kongcu yang melampiaskan
dendamnya dengan memperkosa dan membunuh Si Isteri selagi suami wanita itu
ribut bertengkar dengan para piauwsu. Jahanam, harus kudapatkan pembunuh biadab
itu, pikirnya.
Karena
Bun Beng mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah berhasil
menyusul rombongan itu. “Berhenti....!” serunya dengan suara nyaring.
Kakek
pemimpin rombongan dan saudara-saudaranya terkejut sekali ketika tiba-tiba
pemuda bercaping bundar yang lihai itu telah berada di depan mereka tanpa
mereka ketahui lewatnya! Kakek itu segera mengangkat tangan menyuruh
rombongannya berhenti, di dalam hatinya penuh dugaan mengapa pemuda itu mengejar
mereka. Menduga bahwa pemuda itu berniat buruk, mungkin seorang perampok
tunggal yang hendak merampok barang kawalan dalam kereta, dia sudah meloncat ke
depan, menghadapi pemuda itu dengan pandang mata tajam.
“Gak-sicu
mengejar kami ada kehendak apakah?”
Bun
Beng yang masih marah sekali itu tidak menjawab, hanya matanya bergerak
memandang ke sekelilingnya, meneliti para piauwsu seorang demi seorang. Dia
tahu bahwa para piauwsu itu tidak ada yang berkesempatan melakukan pembunuhan,
karena dia melihat mereka itu semua bersiap-siap ketika terjadi perselisihan.
Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berpakaian mewah menjenguk keluar
dari dalam kereta yang dikawal, pemuda yang pipi kanannya masih bengkak, dia
segera mengenjot tubuhnya, meloncat ke dekat kereta, dan sekali menggerakkan
tangannya, dia telah menangkap leher baju pemuda berpakaian mewah itu dan
menariknya turun dari kereta!
“Ouhh....
ehhh.... ada apa ini....? Para piauwsu, tolong....!” Pemuda bangsawan itu
ketakutan dan berteriak-teriak.
“Gak-sicu,
harap lepaskan dia. Apa artinya perbuatanmu ini?”
“Semua
mundur! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian para piauwsu, akan tetapi aku
ingin bertanya kepada kongcu ini!” Bentak Bun Beng dengan suara nyaring karena
marah. Menyaksikan sikap Bun Beng, para piauwsu menghentikan gerakan kaki
mereka yang tadinya hendak mengeroyok untuk menolong kongcu putera bangsawan
yang mereka kawal. Kini mereka memandang kepada Bun Beng dengan penuh
keheranan. Ada urusan apalagi dengan kongcu itu?
Bun
Beng menggunakan kekuatan tangannya mengguncang tubuh kongcu itu, kemudian
mencengkeram pundaknya dan membentak, “Hayo engkau mengaku, apa yang telah
kaulakukan di tepi telaga tadi ketika terjadi pertandingan!”
“Aku....
aku.... tidak melakukan apa-apa.”
“Jangan
bohong engkau! Kuhancurkan kepalamu kalau kau membohong!” Bun Beng membentak,
makin marah. “Engkau berada di mana ketika terjadi pertandingan!”
“Aku....
aku berada di dalam kereta.... augghh, lepaskan aku....!”
“Gak
Bun Beng! Engkau sungguh keterlaluan!” Tiba-tiba kakek pemimpin para piauwsu
membentak dan melompat dekat, tangannya sudah memegang sebatang pedang yang
dipinjamnya dari seorang sutenya. “Kalau engkau tidak segera melepaskan
Chi-kongcu, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”
Bun
Beng melepaskan pundak Chi-kongcu, sadar bahwa dia terburu nafsu karena betapa
pun mencurigakan keadaan kongcu itu, tanpa bukti tak mungkin dia dapat
menyalahkannya begitu saja.
“Aku
menuduh dia ini memperkosa dan membunuh isteri saudara muda yang diganggunya
tadi.”
“Apa....?”
Kakek murid Bu-tong-pai itu bertanya dengan kaget sekali.
“Untuk
membikin terang perkara penasaran ini, kuharap Cu-wi piauwsu dan Chi-kongcu
ini suka kembali ke telaga agar kita bersama melakukan penyelidikan dan yang
bersalah harus dihukum!” Bun Beng mengerling kepada Chi-kongcu. Akan tetapi
kongcu itu kini mengangkat dada dan berkata penasaran,
“Aku
sudah lancang menggoda wanita dengan kata-kata memuji kecantikannya dan untuk
itu aku sudah dipukul oleh suaminya. Sekarang, aku tidak tahu-menahu tentang
perkosaan dan pembunuhan. Hayo kita ke sana dan menyelidiki, aku tidak takut
karena aku tidak berdosa!”
Sikap
dan kata-kata Chi-kongcu ini membuat Bun Beng makin bingung dan meragu. Akan
tetapi dia lega melihat rombongan itu tidak membantah dan suka memenuhi
pemintaannya. Beramai-ramai mereka kembali ke tepi telaga.
“Heiiii!”
“Ihhhh!”
Seruan-seruan
kaget ini terdengar dari mulut para piauwsu, sedangkan Bun Beng sendiri berdiri
memandang dengan mata terbuka lebar. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran
rasa hati pemuda ini melihat dua tubuh yang menggeletak tanpa nyawa di tepi
telaga itu. Tubuh wanita muda yang masih telanjang bulat, dan tubuh suaminya
yang juga sudah menjadi mayat tanpa luka!
“Gak-sicu,
apa maksudmu membawa kami ke sini? Apakah engkau juga hendak mengatakan bahwa
orang muda ini dibunuh oleh Chi-kongcu atau oleh kami?” Pemimpin piauwsu itu
bertanya dengan suara lantang dan bernada tajam.
Bun
Beng menggeleng kepala, matanya masih memandang mayat orang muda itu. “Aku
tidak mengerti.... tadi dia masih hidup menangisi isterinya....”
“Apakah
engkau masih menuduh Chi-kongcu membunuh wanita itu?”
Kembali
Bun Beng menggeleng kepalanya. “Agaknya bukan dia.... sungguh aneh sekali....”
“Sama
sekali tidak aneh!”
Suara
kakek murid Bu-tong-pai itu membuat Bun Beng menoleh dan memandang penuh
pertanyaan. “Apa maksudmu, Lo-enghiong?”
“Menurut
dugaanku, pembunuh suami isteri ini tentu hanya satu orang, dan agaknya seorang
yang lihai sekali tangannya, dapat membunuh tanpa menggunakan senjata! Lihat,
wanita itu dicekik, dan laki-laki itu tidak terluka, akan tetapi di pelipis
kirinya terdapat tanda tapak jari tangan! Jadi, tidak mungkin dilakukan oleh
Chi-kongcu yang jelas kalah oleh laki-laki muda ini. Lebih tepat kalau mereka
ini dibunuh oleh seorang yang ahli dengan ilmu silat tangan kosong!” Kalimat
terakhir ini diucapkan oleh kakek itu dengan nada yang jelas, apalagi ketika
semua piauwsu itu memandang kepada Bun Beng dengan mata penuh tuduhan!
“Apa?
Kalian.... kalian gila kalau menuduh aku!”
Chi-kongcu
yang berjalan mendekat segera berkata, “Ada saatnya menuduh dan ada saatnya
dituduh! Kalau kita berdua sama-sama menjadi tertuduh, agaknya keadaanmu lebih
berat, Gak-sicu!”
Bun
Beng mengerutkan alisnya. “Hemm, kalau aku membunuh mereka, apa gunanya aku
mengejar dan menyusul kalian dan kuajak ke sini?”
“Gak-sicu,
kami tidak seperti engkau yang suka menuduh orang secara sembarangan saja. Akan
tetapi andaikata engkau dituduh, perbuatanmu menyusul dan mengajak kami ke
sini pun tidak aneh. Mungkin sekali seorang pembunuh akan mempergunakan akal
ini untuk menarik kami sebagai saksi akan kebersihannya!”
“Apa?
Dan kalian tentu bersedia menjadi saksi bahwa aku bukanlah pembunuh dua orang
ini!”
Kakek
itu menggeleng kepala. “Tak mungkin kami menjadi saksi yang sembrono seperti
itu, Sicu. Engkau seorang pemuda yang amat aneh, mencampuri urusan kami,
memiliki ilmu silat tangan kosong yang mentakjubkan akan tetapi tidak terkenal
di dunia kang-ouw. Bagaimana kami berani menanggung bahwa bukan engkau
pembunuhnya? Sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa kami menuduhmu, untuk itu
pun masih belum ada bukti dan saksinya.”
Bukan
main marahnya Bun Beng. Dia menolong suami isteri itu, dan tadinya berusaha
mencari sampai dapat pembunuh wanita muda itu. Siapa kira, sekarang keadaan
membuat dia malah menjadi tertuduh, bukan hanya sebagai pembunuh wanita muda
itu, juga pembunuh suaminya!
“Pergi!
Pergi kalian!” Bentaknya marah karena dia khawatir kalau-kalau kemarahannya
membuat dia kehilangan kesabaran dan menghajar rombongan piauwsu itu. Para
piauwsu segera meninggalkan tempat itu dan Bun Beng lalu menggali lubang,
mengubur suami isteri yang tidak pernah dikenalnya itu sambil berpikir-pikir
siapa gerangan pembunuh suami isteri ini? Mengapa membunuh mereka secara
demikian penuh rahasia, dan seolah-olah ada hubungannya dengan dia? Siapakah
pembunuh itu, dan apakah Si Pembunuh melakukan hal itu dengan sengaja untuk
merusak namanya agar dia disangka seorang pemerkosa dan pembunuh?
Dengan
hati penuh penasaran Bun Beng tidak segera meninggalkan telaga itu setelah
selesai mengubur jenazah suami isteri yang bernasib malang itu. Dia melakukan
penyelidikan, tidak hanya di sekitar tempat pembunuhan, bahkan dia lalu
melakukan penyelidikan di sekeliling telaga itu. Akan tetapi, para penghuni
dusun-dusun di sekitar telaga itu adalah petani-petani sederhana. Ketika dia
mencari keterangan dari mereka, terdapat jawaban bahwa suami isteri yang
ditanyakan oleh Bun Beng itu bukanlah penduduk dusun itu.
“Di
sini sering kedatangan pelancong-pelancong dan agaknya orang-orang yang kongcu
tanyakan itu adalah suami isteri pelancong pula.” Demikian jawaban yang ia
dapatkan.
Menjelang
malam, perhatian Bun Beng tertarik akan sebuah pondok terpencil yang berada di
sebelah timur telaga itu. Pondok ini bukan seperti rumah penduduk dusun yang
sederhana, melainkan lebih pantas rumah pondok seorang bangsawan atau hartawan
yang sengaja membangun pondok di tempat itu untuk tempat peristirahatan,
terbuat dari kayu dan atapnya dari genteng dicat cukup indah. Pondok terpencil
itu sunyi, bahkan kelihatannya kosong. Bun Beng mengambil keputusan untuk
menyelidiki pondok itu dan kalau memang kosong, akan melewatkan malam itu di
dalam pondok.
Akan
tetapi ketika dia mendekat, dia melihat penerangan api menyorot keluar dari
dalam pondok. Bukan pondok kosong, pikirnya dengan hati tegang. Keadaan pondok
ini amat mencurigakan dan siapa tahu pembunuh yang dicarinya berada di dalam
pondok ini.
Setelah
malam tiba, dengan gerakan ringan sekali Bun Beng menyelinap di bawah bayangan
pohon-pohon, mendekati pondok, kemudian setelah mendengarkan dengan penuh
perhatian dan tidak melihat atau mendengar sesuatu, Bun Beng meloncat ke atas
genteng pondok itu, cepat dan ringan seperti seekor burung. Tanpa mengeluarkan
suara dia melangkah di atas genteng, kemudian menemukan sebuah lubang di
antara genteng dan mengintai ke bawah.
Apa
yang dilihatnya di dalam pondok itu membuat dia kecewa dan terheran. Hanya seorang
kakek berpakaian seperti sastrawan, dan seorang dara cantik berpakaian mewah,
dan indah seperti kebiasaan dara-dara bangsawan atau dara hartawan di kota
besar! Keduanya merupakan orang-orang yang sukar dituduh melakukan perkosaan
dan pembunuhan!
Akan
tetapi, siapa tahu? Di dalam dunia kaum sesat, bukan hanya laki-laki muda yang
menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa), bahkan banyak
pula kakek-kakek yang suka memperkosa wanita muda! Maka dia segera mendekam di
atas genteng dan mengintai sambil mendengarkan. Siapa tahu kakek itu seorang
penjahat besar yang berpakaian sastrawan. Buktinya berada di dalam pondok
bersama seorang dara cantik, berdua saja!
“Kim
Bwee, kenapa kau sering kali menyusul aku ke sini? Bukankah kau lebih senang di
kota raja! Tempat ini sepi sekali dan aku tidak mempunyai apa-apa di sini.”
“Mengapa
Kong-kong meninggalkan kami dan tinggal di tempat sepi ini? Sejak kecil
Kong-kong mendidikku dengan ilmu silat dan ilmu sastera, setelah Kong-kong
(Kakek) pergi, tidak ada lagi yang mengajarku. Maka aku minta ijin Ayah dan
Ibu untuk tinggal bersama Kakek di sini selama satu bulan.”
Kakek
itu mengelus jenggotnya yang putih dan panjang. Dia berusia enam puluh lebih,
berwajah terang dan ramah, gerak-geriknya halus. “Aneh sekali kau, Kim Bwee.
Semua gadis seperti engkau tentu lebih suka tinggal di kota. Pula, semua sudah
kuajarkan kepadamu, apalagi dapat kuajarkan sekarang?”
“Sajak-sajak
itu, Kong-kong! Sajak buatan Kong-kong membuat aku rindu kepadamu. Aku ingin
selama sebulan ini Kong-kong membuatkan sajak-sajak untukku!”
“Hemm,
engkau sendiri pandai membuat sajak yang jauh lebih indah daripada buatanku.
Engkau tentu tahu bahwa sajak dibuat orang menurut getaran perasaan
masing-masing, tentu saja untuk menuangkan perasaan itu ke dalam huruf-huruf
harus ada kepandaian menguasai seni mengatur kata-kata itu, barulah akan
tercipta sajak yang indah. Perasaanmu sebagai wanita jauh lebih halus daripada
aku, karenanya engkau lebih pandai membuat sajak yang menyentuh rasa.”
“Ahh,
Kong-kong terlalu memuji! Aku senang sekali membaca sajak-sajak Kong-kong yang
selalu mengandung kekuatan yang dahsyat dalam menuangkan sesuatu, seolah-olah
gerakan pedang tajam yang mengupas segala sesuatu sehingga tidak hanya tampak
kulitnya saja melainkan tampak isinya yang paling dalam!”
“Itu
adalah hasil dari pandangan seseorang akan sesuatu yang dilihatnya....”
“Pandangan
Kong-kong itulah yang hebat, seolah-olah Kong-kong dapat melihat sampai tembus
segala sesuatu. Bagaimanakah caranya agar dapat memiliki pandangan seperti
itu, Kong-kong?”
“Hanya
dengan membebaskan pandangan itu sendiri, cucuku yang baik. Biasanya, kita
memandang sesuatu, baik itu benda mati mau pun hidup, binatang mau pun manusia,
dengan pandangan yang tidak bebas sama sekali. Kita memandang sesuatu biasanya
melalui tabir yang berupa prasangka, penilaian, kesimpulan sehingga pandangan
kita menjadi suram, bahkan menjadi palsu karena yang kita pandang bukanlah apa
yang ada melainkan tafsiran-tafsiran dari apa yang ada itu. Pandangan kita
menjadi dangkal, jangankan menangkap isinya, bahkan menangkap kulitnya saja pun
masih belum lengkap.”
Dengan
gerakan lucu dara itu membelalakkan matanya dan berkata manja, “Aihhh! Aku
menjadi bingung, Kong-kong! Coba jelaskan lagi, aku tadi tidak mengerti apa
yang Kong-kong maksudkan. Apakah cara memandang saja pun ada ilmunya?”
Kakek
itu tertawa. “Bukan ilmu, katakanlah seni! Seni memandang memang ada, dan juga
seni mendengar. Hidup kita ini seluruhnya dipengaruhi oleh keduanya itu, maka
sudah sepatutnya kalau kita mengenal akan seni memandang dan seni mendengar
ini, yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.”
“Wah,
terdengarnya aneh dan lucu, Kong-kong. Masa untuk memandang dan mendengar saja
harus ada seninya? Setiap orang bisa memandang atau mendengar, asalkan dia
tidak buta dan tidak tuli.”
“Ha-ha-ha,
benarkah demikian? Kurasa tidak begitu, cucuku. Di dunia itu lebih banyak orang
buta dan tuli, sungguhpun mata dan telinganya tidak rusak. Bahkan sesungguhnya,
sudah tidak ada lagi yang disebut memandang atau mendengar sesuatu seperti apa
adanya. Yang kita pandang dan dengar adalah bayangan pikiran kita, dan
bayangan pikiran kita itu tentu saja sama sekali bukan hal yang sesungguhnya,
bukan apa adanya.”
“Aku
masih bingung, Kong-kong. Coba beri contoh.”
“Biasanya
kita mendengarkan dengan pikiran penuh berisi tanggapan, prasangka, penilaian
dan kesimpulan. Kalau engkau membaca sesuatu atau mendengarkan aku sekarang ini
dengan pikiran penuh tafsiran, prasangka, penilaian atau kesimpulan akan benar
tidaknya, baik buruknya, maka engkau tidak dapat mendengarkan dengan
sesungguhnya dan akan kehilangan intisarinya. Yang menjadi bagianmu hanyalah
pertentangan antara tanggapan-tanggapanmu, penilaian dan prasangkamu sendiri.
Demikian pula kalau engkau memandang sesuatu. Kalau engkau memandang seseorang
dengan pikiran berisi kenangan akan orang itu di masa lalu, maka pandanganmu
akan terisi penuh dengan prasangka, penilaian dan lain-lain itu sehingga bukan
orang itu yang kaupandang, melainkan bayangan melalui kenanganmu! Dengan
demikian, timbullah rasa suka, rasa benci, rasa khawatir dan lain-lain! Karena
itu kita harus tahu akan seni memandang dan mendengar ini.”
“Akan
tetapi, Kong-kong. Bagaimana mungkin mendengar sesuatu tanpa memikirkannya,
tanpa menilai dan menarik kesimpulan akan baik buruknya, merdu tidaknya apa
yang kita dengar itu?”
“Nah,
itulah salahnya dengan pendengaran kita! Kita menginginkan sesuatu dari apa
yang baik ingin kita dengar, yang baik ingin kita dengar terus, yang buruk
ingin kita jauhi, maka terjadilah pertentangan dan persoalan! Kita mendengar
suara orang bicara ribut-ribut, merasa bising dan pening. Mengapa? Karena kita
tidak mau mendengarnya, tidak suka mendengarnya, menganggap mengganggu dan
sebagainya. Coba kita mendengarkan tanpa penilaian, mendengar tanpa aku yang
mendengar, mendengar apa adanya, takkan timbul gangguan. Demikian pula dengan
seni memandang. Kita memandang penuh perhatian, namun tanpa tanggapan, tanpa
keinginan, dengan pikiran bebas dan kosong dari kenangan, maka tidak akan ada
istilah pandangan menyenangkan atau tidak, dan pandangan kita akan dapat
melihat dengan jelas akan sesuatu seperti apa adanya! Mengertikah engkau?”
Dengan
gerakan lucu, gadis itu menggaruk-garuk kepalanya di belakang telinga kanan.
“Dikatakan mengerti, rasanya begitu sukar diterima. Dibilang tidak mengerti,
aku dapat merasakan kebenarannya, Kong-kong. Dan.... heiii!” Gadis itu
terkejut dan terbelalak karena tiba-tiba kakek itu melontarkan pit (pena bulu)
yang tadi dipegangnya itu ke atas. Benda yang biasanya dipergunakan sebagai
alat tulis itu melesat ke atas, kini berubah menjadi senjata rahasia yang amat
hebat, menembus atap dan menyambar ke arah dada Bun Beng! Pemuda ini tadi mendengarkan
dengan penuh perhatian. Dia tertarik sekali sehingga lupa keadaan dan lupa
diri, lupa bahwa dia mengintai dan mendengarkan percakapan orang lain! Maka
begitu dia diserang sambaran pit yang cepat, dia terkejut bukan main, tangannya
menyambar cepat dan pit dapat ditangkapnya! Terkejut juga dia merasakan betapa
benda itu menggetar di tangannya, tanda bahwa pelemparnya memiliki sin-kang
yang kuat sehingga pit yang sudah menembus atap itu masih mengandung tenaga
yang kuat!
“Locianpwe
(Orang Tua Gagah) yang berada di bawah harap sudi memaafkan saya atas
kelancangan saya....” Bun Beng cepat berkata nyaring karena tidak ingin
diserang lagi. Dia sudah merasa bersalah dan kini dia tidak meragukan lagi akan
kebersihan kakek itu. Orang yang bicara seperti itu tak mungkin menjadi seorang
penjahat keji! Maka tanpa ragu-ragu dia minta maaf.
“Sahabat
yang berada di atas harap turun untuk memberi penjelasan!” Suara kakek itu
masih bernada halus akan tetapi terdengar penuh wibawa. Mendengar ini, Bun
Beng merasa tidak enak untuk pergi begitu saja. Dia sudah merasa bersalah, maka
tanpa menjawab dia lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu
dengan gerakan hati-hati.
Kakek
itu dan cucunya memandang dengan kagum karena gerakan Bun Beng ketika meloncat
turun itu sudah membuktikan bahwa kepandaian pemuda bercaping lebar itu amat
tinggi. Bun Beng cepat membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada
memberi hormat kepada kakek itu, kemudian kepada gadis cantik yang memandangnya
dengan sepasang mata indah terbuka lebar.
“Saya
Gak Bun Beng mengaku salah, harap Locianpwe sudi memaafkan saya,” kata Bun Beng
sambil memberi hormat.
Kakek
itu tersenyum dan mengelus jenggotnya. “Menyadari akan kesalahan sendiri
berarti menghapus kesalahan itu. Aku Lu Kiong bukanlah orang yang tak dapat
menghabiskan urusan kecil seperti ini. Akan tetapi kulihat engkau bukan
penjahat, maka aku merasa penasaran sebelum mendengar penjelasanmu mengapa
engkau yang muda dan sopan ini sampai mengintai di atas pondokku.”
Maka
dengan singkat berceritalah Bun Beng tentang seorang pemerkosa dan pembunuh
yang berkeliaran di daerah telaga itu, betapa pembunuh itu telah melakukan
pembunuhan kepada suami isteri pelancong dan bahwa dia berusaha mencari jejak
pembunuh itu.
“Saya
sudah mencari ke sekeliling telaga, akan tetapi tidak ada apa-apa di dalam
dusun-dusun di sekitar sini. Ketika melihat pondok terpencil ini yang keadaannya
berbeda dengan rumah-rumah penduduk, timbul kecurigaan saya dan melakukan
penyelidikan, harap Locianpwe suka memberi maaf.”
“Aaahh,
kalau begitu persoalannya, tidak perlu minta maaf, Gak-sicu! Hilangkan
kecurigaanmu terhadap kami. Aku bernama Lu Kiong, seorang pensiunan pengawal
Kaisar yapg mengundurkan diri dan ini adalah Lu Kim Bwee, cucuku.”
Wajah
Bun Beng menjadi merah sekali dan ia kembali menjura dengan hormat. “Maaf telah
berlaku kurang ajar....”
“Tak
perlu banyak sungkan, Sicu. Tindakanmu benar dan Si Laknat itu harus
ditangkap! Kurasa dia tidak akan pergi jauh dari daerah ini. Marilah aku membantumu
mencarinya. Kim Bwee, kau menunggu di sini dan berjagalah karena ada penjahat
berkeliaran.”
Gadis
itu mengangguk dan kakek itu kembali memandang kepada Bun Beng. “Mari kubantu
mencari. Sebaiknya kita berpencar, engkau ke kiri dan aku ke kanan mengelilingi
telaga dan kembali bertemu di pondokku ini.”
“Baik,
dan terima kasih atas bantuan Locianpwe. Harap Locianpwe suka menerima kembali
ini....” Bun Beng menyerahkan pit yang tadi menyambarnya.
Kakek
Lu Kiong menerimanya sambil tersenyum. “Mudah-mudahan saja penjahat itu tidak
akan selihai engkau, Sicu, dan pit-ku akan merobohkannya.”
Keduanya
lalu keluar dari pondok. Mereka berpencar dan melakukan penyelidikan
mengelilingi telaga. Akan tetapi malam itu sunyi dan tidak terjadi sesuatu di
sekeliling telaga itu. Biarpun telaga itu tidak sangat luas, akan tetapi melakukan
penyelidikan pada malam hari dengan mengelilinginya, membutuhkan waktu tidak
kurang dari dua jam barulah Bun Beng tiba kembali di depan pondok kakek Lu
tanpa hasil.
“Jahanam
keparat....!”
Bun
Beng kaget bukan main ketika mendengar bentakan nyaring dan halus ini, apalagi
ketika ada sinar pedang menyambar. Ketika dia cepat mengelak dan melirik,
kiranya gadis cucu kakek Lu itulah yang menyerangnya dari kiri, menusukkan
pedang ke arah dadanya, dan lebih kaget lagi dia ketika dari kanan menyambar
angin pukulan dahsyat pula dibarengi bentakan suara kakek Lu. “Manusia iblis!”
Hanya dengan kecepatan gerakannya yang luar biasa saja Bun Beng dapat
menghindarkan diri dari sambaran sepasang pit yang menotok jalan darahnya
secara bertubi dari samping kanannya.
“Eh....
eh.... tahan dulu! Apakah artinya ini, Lu Locianpwe?” Bun Beng berseru kaget
dan heran, dan mulai curiga lagi. Jangan-jangan kakek dan cucunya ini yang
menjadi pembunuh! Siapa tahu, kakek itu seorang tokoh kaum sesat yang lihai,
dan gadis yang dikatakan “cucunya” itu adalah pembantunya!
“Mau
bicara apa lagi? Keparat!” Gadis itu kembali menyerang dan kini dia mainkan
pedang, membacok bertubi-tubi sambil terisak menangis!
“Nona....
eh, tahan dulu....! Setidaknya.... aku minta penjelasan lebih dulu....!”
“Penjelasan
apa lagi? Manusia biadab....!” Pedang itu kembali menusuk dengan cepat sekali,
namun untuk kesekian kalinya, dengan mudah Bun Beng mengelak sambil melompat
jauh ke belakang menghadapi Kakek Lu sambil berkata dengan suara penuh penasaran,
“Locianpwe, apa artinya ini? Harap jelaskan, kalau memang aku bersalah aku
tidak akan lari dari hukuman!”
Kakek
itu berkata halus kepada cucunya, “Kim Bwee, tahan dulu senjatamu. Biar aku
bicara dengan keparat ini!” Kemudian dia menghadapi Bun Beng sedangkan gadis
itu menangis terisak-isak dengan suara penuh kedukaan.
“Gak
Bun Beng, sungguh aku tidak mengira bahwa engkau adalah seorang penjahat muda
yang curang dan licik. Engkau sengaja memancing aku keluar dari pondok untuk
melakukan kekejian yang terkutuk, dan masih engkau berani berpura-pura tidak
tahu apa-apa! Kiranya pemerkosa dan pembunuh yang kausebut-sebut tadi bukan
iain adalah engkau sendiri keparat!”
“Locianpwe....!”
“Sudahlah,
tak perlu sandiwara pula. Sekarang juga engkau harus mengambil keputusan dan
pilihan. Menikah dengan cucuku untuk membersihkan namanya atau mati di tangan
kami!”
“Locianpwe!
Aku.... aku tidak merasa telah melakukan kesalahan....”
“Kong-kong,
apa perlunya bicara dengan iblis macam dia? Kita bunuh saja dia, kemudian aku
akan membunuh diri....!”
“Tunggu
dulu, Kim Bwee! Eh, Gak Bun Beng, apakah engkau hendak menyangkal pula bahwa
engkau tadi telah sengaja memancing aku pergi, kemudian diam-diam kau datang ke
pondok, secara curang menotok roboh cucuku, memadamkan lampu dan
memperkosanya?”
“Apa....?”
Mata Bun Beng terbelalak lebar dan mukanya pucat sekali. “Aku tidak melakukan
hal itu, Locianpwe. Demi Tuhan....!”
“Bangsat!”
Kim Bwee menjerit marah. “Apakah kaukira mataku buta? Sebelum lampu dipadamkan,
aku masih melihat engkau!”
“Benarkah,
Nona? Benarkah engkau melihat aku yang melakukan hal itu?”
“Aku
melihat pakaianmu, capingmu. Biar kau menyembunyikan muka, aku masih mengenal
bentuk tubuh, pakaian dan capingmu!”
“Fitnah
belaka! Aku tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Harap Nona dan Locianpwe
suka percaya kepadaku....!”
“Singgg....!”
Pedang itu telah menyambar dan dari belakangnya, sepasang pit di tangan kakek
itu pun menotoknya. Bun Beng cepat meloncat ke atas, berjungkir-balik dan
melesat keluar. Dia maklum bahwa percuma saja menyangkal fitnah itu, percuma
saja meyakinkan kakek dan cucunya itu bahwa bukan dia yang melakukan perbuatan
keji itu. Dia maklum pula bahwa kakek itu memiliki kepandaian tinggi, dan
kalau dia tidak cepat-cepat dapat menangkap penjahat yang melakukan semua
perbuatan itu, dia akan terus dimusuhi.“Aku bersumpah akan menangkap penjahat
yang melakukan kejahatan dan fitnah terhadap diriku itu, Nona!” Setelah berkata
demikian, Bun Beng berlari cepat meninggalkan tempat itu. Kakek dan cucunya berusaha
mengejar, namun mereka tidak dapat menandingi gerakan Bun Beng sehingga
sebentar saja pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam
Gadis
itu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Tiba-tiba pedangnya berkelebat
ke arah lehernya sendiri.
“Tringgg....!”
Pedang itu terlepas dari pegangannya ketika disambar oleh sepasang pit yang
dilontarkan oleh kakek Lu Kiong.
“Kim
Bwee! Jangan putus asa, dan jangan melakukan perbuatan pengecut itu! Kita telah
mengetahui namanya, den andaikata aku sendiri tidak mampu menangkapnya, aku
mempunyai banyak teman-teman yang berilmu tinggi yang tentu akan suka
membantuku mencari Gak Bun Beng dan menuntut dia mempertanggungjawabkan
perbuatannya dengan menikah denganmu atau mati di tanganmu.”
Gadis
itu menangis dengan sedih. Betapa tidak hancur hatinya? Dia seorang dara yang
menjunjung tinggi nama dan kehormatan, cucu dari bekas pengawal Kaisar yang
terkenal. Kini dia telah dinodai orang, seorang muda yang tadinya amat menarik
hatinya, dan pemuda itu ternyata seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat yang
kejam!
Bukan
hanya Kim Bwee dan kakeknya yang berduka dan marah. Bun Beng yang melarikan
diri itu pun marah sekali dan andaikata dia dapat berhadapan dengan penjahat
yang telah memperkosa Kim Bwee, yang dia duga tentulah penjahat yang membunuh
suami isteri di tepi telaga siang hari tadi pula, tentu dia akan menerjangnya
dan takkan berhenti kalau belum melihat penjahat itu dapat ditangkap atau
dibunuhnya!
Akan
tetapi, kemarahannya itu bercampur dengan keheranan dan juga kebingungan.
Mengapa penjahat yang tentu amat lihai itu seperti sengaja melakukan kejahatan
untuk menjatuhkan fitnah kepadanya? Agaknya penjahat itu sengaja hendak
membikin buruk namanya dan kalau benar demikian, mengapa dan siapakah orang
itu? Dia menjadi bingung, tak dapat menduga-duga siapa gerangan orang yang
memusuhinya secara diam-diam itu, sukar dia menduga siapa musuh rahasia itu dan
dia pun tidak tahu bagaimana harus mencarinya dan ke mana karena penjahat itu
sama sekali tidak meninggalkan jejak. Betapapun juga, dia tidak putus harapan.
Setelah dua kali melakukan perbuatan terkutuk yang agaknya disengaja untuk
merusak namanya, tentu penjahat itu takkan berhenti di situ saja. Dia mengharap
penjahat itu akan turun tangan lagi untuk menjatuhkan fitnah, atau bahkan
untuk menyerangnya secara langsung agar dia berhadapan muka dengan musuh
rahasia itu. Karena tidak tahu harus mencari ke mana, Bun Beng melanjutkan
perjalanannya ke utara dalam usahanya mencari kekasihnya yang dia duga tentu
diculik oleh Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu.
Dalam
perjalanannya ini, Bun Beng bersikap hati-hati sekali karena dia menduga bahwa
tentu musuh rahasianya itu diam-diam membayanginya. Beberapa kali dia
mempergunakan kepandaian untuk tiba-tiba membalik dan lari ke belakang, bahkan
beberapa kali kalau dia bermalam di losmen, diam-diam dia lolos dari kamarnya
untuk mengintai keluar. Namun tak pernah dia melihat bayangan orang sehingga
diam-diam dia merasa khawatir. Apakah musuh rahasia itu tidak membayanginya,
ataukah kepandaian musuh itu amat luar biasa?
***
“Milana,
engkau sungguh kejam dan tidak mengenal budi! Kurang baik bagaimanakah aku
terhadap dirimu? Engkau bebas di sini, bahkan selama tiga bulan ini aku
membujuk guruku untuk menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadamu. Aku selalu
bersabar, mengharapkan engkau akan sadar akan besarnya cintaku, dan membalas
perasaanku yang suci murni kepadamu. Akan tetapi ternyata engkau selalu dingin,
cintamu tak kunjung datang. Lebih mudah menanti bertitiknya air embun daripada
menanti balasan kasihmu. Milana, tidak kasihankah engkau kepadaku?”
Milana
yang duduk di atas bangku memandang pemuda tampan yang berlutut di depannya.
Dia menghela napas panjang. Harus diakuinya bahwa selama dia berada di Pulau
Neraka, Wan Keng In bersikap baik sekali kepadanya, tidak pernah bersikap
kasar, tidak pernah menyinggung perasaannya, apalagi memaksanya, bahkan selalu
berusaha untuk menyenangkan hatinya. Taman yang indah ini dibuat oleh pemuda
itu untuknya! Sebuah pondok yang mungil dibangun pula oleh anak buah Pulau
Neraka atas perintah pemuda itu. Semenjak Milana berada di pulau itu, anak buah
Pulau Neraka sibuk terus untuk menyediakan segala kebutuhan makan dan pakaian
dara itu seperti yang diperintahkan Wan Keng In. Bahkan gurunya, Cui-beng
Koai-ong yang berwatak aneh itu dapat pula dibujuk oleh Keng In sehingga
berkenan menurunkan beberapa macam ilmu silat aneh yang lihai kepada Milana.
“Keng
In, engkau tahu bahwa cinta tak mungkin dapat dipaksakan. Cinta tidak mungkin
dapat dibiasakan atau dipelajari! Karena itu, percuma saja engkau membujukku.
Aku tidak menyalahkan kalau engkau cinta kepadaku seperti yang sudah ribuan
kali kaukatakan kepadaku. Aku malah menaruh iba kepadamu karena cintamu yang
hanya sepihak dan sia-sia itu. Keng In, sadarlah engkau. Menurut penuturanmu,
di antara engkau dan aku masih ada hubungan keluarga. Ibumu adalah adik angkat
ayahku, mengapa kita tidak dapat menjadi saudara misan yang baik?”
“Tidak!”
Tiba-tiba Keng In meloncat bangun, alisnya berkerut dan dia menekan kemarahan
dan kekecewaannya. “Aku tidak ingin menjadi saudaramu! Aku ingin menjadi
suamimu! Perlukah ini kuulangi terus? Pula, ibuku hanya saudara angkat ayahmu,
jadi tidak ada hubungan darah sama sekali. Engkau harus menjadi isteriku, Milana.
Aku cinta kepadamu, cinta yang akan kubela dengan darah dan nyawaku.”
“Akan
tetapi, aku tidak cinta kepadamu, Wan Keng In.”
“Asal
engkau suka menjadi isteriku, dengan suka rela tanpa paksaan, engkau akan dapat
mencinta kepadaku kelak.”
“Tidak
mungkin!”
“Milana,
seorang wanita memang tak mungkin jatuh cinta kepada seorang pria betapa pun
pria itu mengusahakannya, akan tetapi hanya kalau wanita itu sudah mencinta
seorang pria lain! Apakah engkau sudah jatuh cinta kepada seorang pria lain?”
Hati
Milana meneriakkan nama Gak Bun Beng akan tetapi mulutnya ditutup rapat dan dia
tidak menjawab. Rahasia itu tidak perlu diketahui orang lain, apalagi diketahui
Wan Keng In yang kadang-kadang amat dibencinya, kadang-kadang dikasihani itu.
“Sudahlah,
Keng In. Kalau kau tidak menganggap aku saudara misanmu, sedikitnya kita masih
saudara seperguruan. Bukankah aku telah mempelajari beberapa jurus ilmu silat
dari gurumu, berarti aku muridnya pula? Aku sudah berjanji kepadamu tidak akan
melarikan diri dari pulau ini asal engkau tidak menggangguku. Kalau engkau
menggangguku, aku pun tidak akan suka tinggal lebih lama lagi di sini.”
“Aku
sama sekali tidak mengganggumu, Milana. Berlakulah adil. Aku hanya menghendaki
engkau membalas cintaku atau sedikitnya, menerima pinanganku menjadi isteriku.
Kita akan merayakan pernikahan kita secara besar-besaran! Semua tokoh dunia
ilmu silat, baik golongan putih maupun hitam, akan kuundang untuk datang ke
sini. Kalau engkau menjadi isteriku, Pulau Neraka akan kubangun kembali, akan
kutambah anak buahku sampai pulau ini menjadi sebuah kerajaan kecil, aku
menjadi rajanya dan engkau menjadi permaisuriku!”
“Pikiran
gila! Aku tidak mau!”
“Hemm,
apakah engkau ingin aku menggunakan kekerasan memaksamu, Milana?”
Dara
itu bangkit berdiri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. “Menggunakan
kekerasan? Aku akan melawan mati-matian!”
“Ha-ha-ha,
Milana! Baru mempelajari sedikit ilmu tambahan dari Suhu, engkau berani
melawanku? Mari kita coba-coba!”
Milana
memang sudah menduga dengan hati penuh khawatir bahwa sewaktu-waktu pemuda yang
seperti miring otaknya ini tentu akan mencoba menggunakan kekerasan. Karena
dia maklum bahwa dia tidak akan dapat menang menghadapi pemuda itu, apalagi di
situ terdapat banyak anak buahnya dan ada pula gurunya yang amat lihai, maka
dara ini mempergunakan akal halus, tidak melawan dan sampai tiga bulan lamanya
berhasil menghindarkan diri dari gangguan Keng In. Dia mempelajari ilmu dengan
maksud untuk memperdalam kepandaiannya agar dapat menghadapi Keng In sambil menanti
kesempatan baik untuk meloloskan diri dari cengkeraman pemuda iblis yang kini
menjadi Majikan Pulau Neraka itu. Kini tiba saatnya Keng In kehabisan kesabarannya
dan hendak menggunakan kekerasan. Melihat bahwa akhirnya toh dia harus membela
diri dengan melawan mati-matian, kini Milana tidak berlaku sungkan lagi dan
segera menerjang Keng In dengan pukulan maut!
“Haiitt!
Gerakanmu cepat bukan main, Sayangku, akan tetapi bagiku kurang cepat!” Keng In
mengelak akan tetapi Milana yang sudah siap secara tiba-tiba membalikkan tubuh
dan menyusul dengan hantaman ke dua dari samping mengarah lambung pemuda itu.
“Dess!”
Tubuh Keng In terguling dan pemuda itu rebah miring.
Bukan
main girangnya hati Milana akan hal yang tak diduga-duganya ini. Dia menang
hanya dalam dua gebrakan! Cepat dia menubruk untuk mengirim totokan yang
melumpuhkan karena betapapun juga dia tidak tega untuk membunuh pemuda yang
mencintanya dan yang telah bersikap baik kepadanya itu.
“Heh-heh,
pukulanmu keras akan tetapi tidak cukup keras untukku!” Tiba-tiba kedua lengan
Keng In merangkul dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh Milana sudah dipeluknya
dan hidung pemuda itu sudah mengambung pipinya! Milana terkejut dan marah
sekali, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, tubuhnya menjadi lemas dan
setengah lumpuh oleh totokan Keng In yang lihai itu.
“Nah,
berontaklah kalau bisa! Ha-ha, siapa bilang aku tidak akan dapat menguasai
dirimu kalau aku mau? Milana, Sayangku, setiap malam aku rindu kepadamu,
setiap saat aku membayangkan betapa akan indahnya kalau kita bermain cinta di
taman ini, di tempat terbuka....” Kembali Keng In menciumi muka dan bibir dara
yang sudah tak dapat mengelak atau melawan itu.
Dengan
hati hancur Milana hanya memejamkan matanya. Dia maklum bahwa takkan ada yang
mampu mencegah pemuda itu kalau Keng In hendak memperkosanya. Bahaya yang
lebih hebat daripada maut berada di ambang pintu dan dia sama sekali tidak
berdaya. Dia hanya bersumpah di dalam hatinya bahwa kalau Keng In
memperkosanya, dia akan mencari kesempatan membunuh pemuda itu sebelum
membunuh diri sendiri. Pada saat terakhir itu terbayanglah wajah Bun Beng dan
sedu-sedan naik dari dadanya ke dalam kerongkongannya.
Keng
In yang sudah mulai menanggalkan pakaian Milana, tiba-tiba menghentikan
tangannya, bahkan menutupkan kembali pakaian yang sudah terbuka. Entah
mengapa, mungkin sedu-sedan Milana itu yang membuat dia mengurungkan kehendak
hatinya dan ia meninju tanah di samping tubuh Milana. “Tidak! Aku tidak mau
mendapatkan dirimu dengan cara ini! Aku mau engkau menyerah kepadaku dengan
suka rela! Aku ingin engkau rebah dalam pelukanku dengan bibir tersenyum dan
suka membalas ciumanku. Aku ingin engkau sebagai seorang kekasih yang hangat
dan hidup dalam dekapanku, bukan sebagai sesosok mayat yang dingin!” Setelah
berkata demikian, Keng In menangis dan membebaskan totokan pada tubuh Milana
sehingga dara itu dapat bergerak lagi.
Milana
menyembunyikan kengerian hatinya. Baru saja dia lolos dari lubang jarum, lolos
dari bahaya yang mengerikan. Namun diam-diam dia mengambil keputusan untuk
mendahului menyingkirkan pemuda ini, kalau tidak akan berbahaya sekali. Belum
tentu Keng In akan sadar seperti tadi!
“Sekali
lagi engkau melakukan hal seperti tadi aku akan membunuh diri!” Milana berkata
lirih.
Keng
In menunduk, “Maafkan aku.... tidak kuulangi lagi....”
Milana
membalikkan tubuh dengan marah lalu meninggalkan pemuda itu. Dia maklum bahwa
biarpun Keng In kelihatan begitu menyesal, begitu merendah, namun sekali dia
menimbulkan kemarahan dan kebencian di dalam hati pemuda itu, tentu pemuda itu
tidak akan segan-segan untuk melakukan apa saja terhadap dirinya, tidak hanya
memperkosa bahkan menyiksanya dengan penghinaan lain lagi kemudian membunuhnya.
Kalau dia teringat akan perbuatan Keng In ketika memperkosa wanita di depan
dia dan gurunya, dia mengkirik (meremang bulu tengkuknya) dan merasa takut
sekali. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan yang
merupakan penghinaan hebat, benar-benar dia merasa ngeri dan takut.
“Aku
harus membunuhnya!” Demikian dia mengeraskan hatinya. Kalau tidak lekas
dibunuh, bagaikan seekor ular berbisa, makin lama makin mengerikan dan
berbahaya pemuda gila itu. Soalnya sekarang tinggal siapa yang lebih dulu
bergerak dan berhasil! Biarpun Cui-beng Koai-ong jauh lebih lihai dan
berbahaya, akan tetapi kakek itu biasanya tidak peduli kepadanya, sedangkan
anak buah Pulau Neraka yang lain akan mudah dapat dia kalahkan. Satu-satunya
yang paling membahayakan dan mengancam dia adalah Wan Keng In. Karena itu, dia
harus dapat menyingkirkan pemuda itu, harus dapat membunuh pemuda itu!
Milana
mulai mencari kesempatan. Untuk mencari kelengahan pemuda itu, agaknya tidak
mungkin! Biarpun dalam keadaan tidur nyenyak, kesiapsiagaan sudah mendarah
daging di tubuh pemuda yang semenjak kecil tinggal di Pulau Neraka yang penuh
bahaya itu. Biarpun sedang tidur pulas, pemuda itu akan mampu mempertahankan
diri jika diserang seolah-olah sudah memiliki indra ke enam yang membuat dia
dalam tidur sekalipun dapat “mencium” datangnya bahaya! Kalau dia harus
menggunakan kekerasan secara berdepan, mana mungkin dia dapat menangkan pemuda
yang selain lebih lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik itu?
Beberapa
hari kemudian, selagi Milana berjalan-jalan di tepi pantai sambil memutar
otak, tiba-tiba dia melihat gulungan ombak laut yang seolah-olah membisikkan
sesuatu kepadanya. Di laut! Mengapa tidak? Kalau di darat dia bukan lawan
pemuda itu, belum tentu dia kalah kalau melawan pemuda itu di laut, di air!
Semenjak kecil dia memang suka renang, bahkan oleh ibunya dia dilatih menahan
napas di dalam air. Biarpun dahulu dia tidak melihat kegunaan ilmu ini,
sekarang barulah ilmu di air ini menimbulkan harapannya untuk dapat mengalahkan
Keng In! Memang seringkali, dia mengukur dengan pandang matanya apakah
sekiranya dia akan dapat meloloskan diri dari Pulau Neraka dengan berenang.
Akan tetapi segera dia membuang jauh-jauh pikiran itu. Melarikan diri dengan
jalan berenang pergi dari Pulau Neraka sama saja dengan membunuh diri! Tidak
saja lautan disekitar pulau itu amat ganas, juga jarak dari pulau ke daratan
besar amat jauhnya, belum lagi bahaya mengerikan dari ikan-ikan raksasa yang
akan menghadangnya di tengah laut! Melarikan dengan perahu juga tidak mungkin
karena semua perahu dikumpulkan menjadi satu dan selalu dijaga. Akan tetapi,
mengalahkan Keng In di air, ini mungkin sekali! Betapapun juga, dia harus
melihat dulu sampai di mana kepandaian Wan Keng In bermain di air. Dia tidak
boleh gegabah (sembrono) dan dia tidak boleh gagal kali ini!
Dengan
adanya rencana menggunakan akal ini mulai hari itu Milana seringkali
berjalan-jalan di tepi laut. Beberapa kali Keng In datang menjumpainya di situ,
akan tetapi karena kebetulan pantai itu ramai dan di situ terdapat beberapa
orang anak buah Pulau Neraka, Milana terpaksa menunda siasatnya. Pada suatu
pagi, ketika Milana sedang duduk termenung seorang diri di tepi pantai,
merenung ke arah selatan membayangkan ibunya dan Bun Beng dengan penuh
kerinduan, tiba-tiba terdengar suara Keng In di belakangnya, “Milana, mengapa
engkau termenung di sini sepagi ini?”
Milana
mengerling ke kanan kiri. Tempat itu sunyi sekali. Inilah kesempatan baik
untuknya. Sambil mengerling tajam dia berkata, suaranya sengaja dibuat manja,
“Pegilah kau, Keng In. Aku mau mandi.”
Keng
In tersenyum nakal. “Mandilah aku tidak akan mengganggumu.”
“Kaukira
aku begitu tidak tahu malu? Hemm, kalau kau berkeras, aku dapat saja mandi
tanpa melepas pakaian.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Milana
sudah lari menyambut air laut yang didorong gelombang ke pantai pasir. Melihat
gadis itu berlari sambil mengembangkan kedua lengan, kelihatan begitu gembira,
Keng In tertawa senang. Dia membayangkan betapa akan senangnya kalau gadis itu
sudah menyerah kepadanya, dan mereka mandi bersama di pinggir laut. Milana
tidak berpakaian lengkap seperti sekarang ini. Tentu akan dipondongnya dara
itu, dibawa lari menyambut ombak sambil bersendau-gurau.
“Heiiii!
Milana! Berhenti di situ saja....!” Tiba-tiba dia berseru nyaring melihat
betapa Milana terus berlari menyambut ombak yang menyerangnya, bahkan kini
gadis itu berenang ke tengah dengan gerak renang yang kaku menandakan bahwa
gadis itu tidak dapat berenang dengan baik.
“Celaka....!”
Keng In berseru penuh kekhawatiran sambil melompat dan lari ke laut ketika dia
melihat betapa ombak menyambar tubuh Milana, dilontarkan ke atas dan
dihempaskan kembali ke bawah. Tahu-tahu kini tubuh Milana sudah berada agak
jauh ke tengah, gadis itu kelihatan ketakutan, tangannya menggapai-gapai dan
terdengar jeritannya lemah, “Tolooonggg!”
Tanpa
berpikir panjang lagi karena khawatir melihat kekasihnya terancam bahaya maut
ditelan ombak atau ikan raksasa, Keng In cepat berenang sekuatnya melawan
ombak. Dia sama sekali tidak tahu betapa Milana diam-diam memperhatikan gerakannya
ketika dia berenang untuk menolong kekasihnya itu dan tidak tahu betapa gadis
itu bersinar-sinar pandang matanya, merasa girang melihat bahwa kepandaiannya
berenang biasa saja! Memang Keng In bukanlah seorang ahli renang yang pandai.
Dia dapat berenang sekedarnya, dan bukan seorang ahli biarpun sejak kecil dia
tinggal di Pulau Neraka. Hal ini karena ibunya selalu melarangnya kalau
melihat puteranya yang dimanjakan itu bermain-main di laut, khawatir kalau
puteranya dihanyutkan ombak atau diserang ikan besar.
Tentu
saja kalau hanya untuk berenang menolong Milana, Keng In merasa dapat
melakukannya. Dia sama sekali tidak menaruh kecurigaan melihat gadis itu
dipermainkan ombak dan berteriak-teriak minta tolong. Kecemasan yang hebat akan
kehilangan wanita yang dicintanya itu membuat pemuda yang biasanya cerdik ini
menjadi lengah dan sama sekali tidak menduga akan adanya siasat yang dilakukan
oleh dara yang masih belum mau menyerah kepadanya itu.
“Milana....!
Di mana engkau....?” Keng In berteriak dengan hati penuh kecemasan. Dia sudah
tiba di bagian gadis itu tadi dipermainkan ombak dan sekarang dara itu
tiba-tiba lenyap, seolah-olah tenggelam!
“Milana....!”
Keng In memandang ke kanan dan ke kiri dengan mata liar penuh kekhawatiran.
“Haiii!”
Dia berteriak akan tetapi teriakannya segera lenyap ketika tubuhnya diseret ke
bawah. Keng In gelagapan dan cepat menutup mulut menahan napas sambil berusaha
untuk menggerakkan kaki kanannya yang telah ditangkap orang dari bawah!
Milana
yang tadi menyelam dan kini sudah menangkap sebelah kaki Keng In,
mempertahankan. Untuk menyerang lawan ini dengan pukulan, masih terlalu berbahaya
karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat, maka dia
mempergunakan akal, menangkap kaki lawan dan menyeretnya ke bawah agar pemuda
itu tak dapat bernapas dan mati lemas! Terjadilah pergulatan di dalam air laut.
Milana berusaha mempertahankan kaki itu dan menarik ke bawah sedangkan Keng In
meronta-ronta dan menarik kakinya sekuat tenaga agar dapat terlepas. Dia masih
belum dapat menduga bahwa Milana yang menangkap kakinya. Dia mengira bahwa
kakinya dililit oleh ikan gurita atau ular laut, atau digigit ikan yang besar.
Akan
tetapi Milana salah duga kalau dia mengira akan dapat membuat Keng In kehabisan
napas dengan cara menariknya ke bawah. Pemuda ini biarpun tidak pernah
mempelajari ilmu di dalam air, namun sin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi
sekali sehingga dia amat kuat menahan napasnya di dalam air, mungkin tidak
kalah kuat dibandingkan dengan Milana sendiri! Karena itulah, usaha Milana
untuk membuat pemuda itu lemas kehabisan tenaga tidak berhasil, bahkan
tarikan-tarikan kaki Keng In yang amat kuat itu menghabiskan tenaga Milana yang
menahannya sehingga akhirnya dia sendiri terbawa timbul ke permukaan air! Hanya
bedanya kalau Milana masih dapat menguasai diri dan sadar sepenuhnya,
sebaliknya Keng In menderita kegelisahan luar biasa, membuat pemuda itu gelagapan
ketika berhasil timbul di permukaan air dan dia tidak melihat betapa sebuah
kepala lain, kepala Milana, juga tersembul di belakangnya.
“Dessss!”
Milana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia sadar dan dalam keadaan segar.
Melihat Keng In masih megap-megap dan gelagapan menyedot hawa sebanyaknya, dia
sudah mengirim pukulan ke punggung pemuda itu.
“Aduhhhh....!”
Keng In berteriak, akan tetapi tiba-tiba rambutnya dijambak (dicengkeram)
tangan yang halus dan kepalanya ditekan ke bawah permukaan air lagi!
Bagaikan
orang sekarat, tangan Keng In meraih-raih dan memukul-mukul. Terpaksa Milana
melepaskan cengkeramannya dan menyelam ke bawah, menyambar kaki Keng In dan
menyeretnya ke bawah lagi. Sesampainya di dasar laut yang belum begitu dalam,
paling dalam empat meter itu, dia melepaskan kaki Keng In sambil mengikuti
tubuh lawan yang meluncur ke atas itu.
“Plak-plak!
Desss!” Dua kali tamparan mengenai kepala Keng In dan hantaman ke dua dengan
tepat sekali mengenai leher pemuda itu.
“Augghhh....!”
Kepala Keng In menjadi pening dan tubuhnya mulai menjadi lemas. Dia masih belum
tahu apa yang menyerangnya. Selagi dia gelagapan, kembali diseret ke bawah
tanpa dapat dia lawan, karena kakinya telah dipegang dari bawah bukan hanya
satu melainkan keduanya, sekali ini tanpa dicegahnya lagi, Keng In terpaksa
banyak menelan air laut, dan kepalanya makin pening, pandang matanya berkunang
dan napasnya hampir putus, perutnya makin penuh air.
Milana
masih memegangi kaki kiri Keng In. Terpaksa dia melepaskan kaki kanan pemuda
itu karena dalam kepanikannya Keng In menendangkan kaki kanan. Ketika terasa
oleh Milana betapa kaki kiri itu berkelojotan, semua kebencian dan kemarahannya
lenyap tertutup oleh rasa jijik, ngeri dan juga kasihan! Sungguh jauh bedanya
dengan merobohkan lawan dalam pertandingan. Sekali tangan bergerak memukul,
atau pedang menembus dada lawan, beres. Akan tetapi sekarang, memegang kaki
seorang lawan yang berada dalam keadaan sekarat, berkelojotan, benar-benar
terasa sekali betapa dia akan menjadi seorang pembunuh yang amat kejam! Dalam
keadaan seperti itu, terbayanglah dia akan kebaikan Keng In, betapa manis dan
ramah sikapnya, betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya, sungguhpun dia
tidak dapat membalasnya. Teringat pula dia betapa ibunya adalah seorang puteri
Kaisar yang amat terkenal, yang tentu tidak sudi melakukan pembunuhan secara
pengecut seperti yang sekarang dilakukannya itu. Apa pula ayahnya! Ayahnya
adalah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es yang namanya sudah terkenal di
seluruh dunia! Tidak mungkin ayah kandungnya itu akan sudi melakukan pembunuhan
securang yang dilakukannya ini. Kiranya ayah dan ibunya akan lebih suka
berkorban nyawa daripada melakukan perbuatan serendah itu!
Teringat
akan semua ini, Milana menggigil seluruh tubuhnya. Dilepaskannya kaki yang
mulai lemah gerakan sekaratnya itu sehingga tubuh Keng In meluncur ke atas!
Dia juga menggerakkan kaki menyusul ke atas. Dia memang harus membebaskan diri
dari kekuasaan Keng In, akan tetapi tidak begini caranya! Untuk menyelamatkan
diri melakukan pembunuhan keji dan curang seperti ini, betapa rendahnya itu!
Selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh bayangan Keng In yang dibunuhnya
secara pengecut dan curang. Tidak! Dia tidak boleh melakukan kecurangan yang
rendah dan hina itu!
Ketika
kepalanya tersembul ke permukaan air dan menyedot napas dalam-dalam, Milana
melihat tubuh Keng In hampir tenggelam lagi. Pemuda itu telah pingsan! Cepat
dia menyambar rambut pemuda itu yang riap-riapan karena gelungnya terlepas,
kemudian melawan ombak menyeret tubuh Keng In berenang ke darat.
Sejam
kemudian, setelah Milana mengeluarkan air dari dalam perut Keng In dengan
jalan menindih perut pemuda yang ditelungkupkannya itu sehingga air keluar dari
mulutnya, Keng In siuman kembali. Dia membuka matanya dan sebagai seorang ahli
silat tinggi, biarpun kepalanya masih agak pening, sekali bergerak dia telah
meloncat bangun dan siap menghadapi lawan! Melihat Milana duduk di atas rumput
dengan pakaian masih basah kuyup, dia terheran dan teringatlah dia akan semua
yang dialaminya.
“Ahhh,
kau.... kau selamat, Milana?” tanyanya.
Milana
tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa malunya. Dia hampir membunuh
pemuda ini dan pertama kali yang keluar dari mulut pemuda itu setelah siuman
dari pingsannya adalah menanyakan keselamatannya! Betapa besar cinta pemuda
itu kepadanya dan betapa besar bencinya kepada pemuda itu. Dan dalam hal
perasaan ini, lepas daripada jahat tidaknya kelakuan pemuda itu, dia harus
merasa malu! Bukankah cinta merupakan perasaan yang semurni-murninya, sedangkan
benci merupakan perasaan yang sekotor-kotornya?
“Tentu
saja aku selamat, Keng In. Bermain dalam air merupakan permainanku sejak
kecil!”
“Ehhhh?
Dan engkau tadi hampir saja tenggelam ditelan ombak!”
“Hanya
dugaanmu saja, memang aku sengaja memancing engkau agar mengira demikian.”
“Tapi....
tapi.... apakah kau tidak diserang gurita, atau ular, atau ikan besar seperti
yang kualami? Aku.... aku sampai pingsan dan.... entah bagaimana aku dapat
selamat sampai di sini. Apakah Suhu yang menolongku?”
Milana
menggeleng kepala. “Tidak ada ikan menyerangmu. Yang ada hanya aku. Bukan ikan
yang menyerangmu, melainkan aku.”
“Heehhh....?”
Keng in terbelalak kaget. “Engkau yang menarik kakiku, dan engkau memukulku?”
Milana
mengangguk. “Dan betapa mudahnya kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu.”
“Kenapa
tidak? Kenapa aku tidak mati? Kenapa kau tidak membunuhku dan.... siapakah
yang menolongku?”
“Aku
yang menyeretmu kembali ke darat selagi engkau pingsan.”
“Mengapa,
Milana? Bukankah amat mudah kalau hendak membunuhku yang sudah pingsan? Kenapa
kau malah menolongku?”
“Aku
bukan seorang pembunuh berdarah dingin yang kejam seperti engkau, Keng In.
Melihat engkau tidak berdaya, aku malah tidak tega membunuhmu dan menyeretmu ke
sini.”
“Milana....!”
Keng In hendak memeluk dara itu, akan tetapi Milana mengelak. “Itu berarti
bahwa engkau pun cinta kepadaku, Milana! Ha-ha-ha, rela aku mati tiga kali
rasanya kalau ditebus dengan cintamu kepadaku.”
“Hemmm,
jangan mengira bahwa tidak tega membunuh berarti jatuh cinta. Tidak Keng In.
Aku tidak membunuhmu karena aku merasa terlalu rendah dan hina kalau membunuh
seorang lawan yang tidak berdaya. Andaikata aku memiliki kepandaian lebih
tinggi darimu, sudah lama engkau tewas olehku dalam sebuah pertandingan. Aku
bukan keturunan pengecut!” Setelah berkata demikian, dara ini cepat lari
kembali ke pondoknya untuk menukar pakaiannya yang basah kuyup dan ketat
menempel di tubuhnya itu.
Keng
In terkulai penuh kekecewaan. Harapannya akan cinta kasih Milana yang tadi
membubung setinggi gunung kini pecah berantakan dan terhempas rata seperti air
tumpah. Dengan perasaan tertekan kekecewaan dan kedukaan, pemuda ini pergi
menemui Cui-beng Koai-ong, gurunya yang bersamadhi di dalam sebuah gua di
pantai Pulau Neraka, kemudian menangisi gurunya sambil minta bantuan gurunya
agar kerinduan hatinya terobati dan keinginannya memperoleh Milana dengan
penyerahan bulat itu terpenuhi.
Kakek
yang seperti mayat itu tidak bergerak, juga tidak membuka matanya. Bahkan
bibirnya tidak bergerak, namun ada suara terdengar keluar dari dalam perutnya!
“Goblok
engkau untuk jatuh cinta kepada seorang wanita! Betapa mungkin memaksakan
cinta dalam hati wanita yang selalu mudah berubah seperti angin, sebentar
bertiup ke timur sebentar ke barat? Mengikatkan diri dengan wanita berarti
membuka pintu neraka yang akan menyiksamu!”
“Biarlah,
Suhu. Apa pun akibatnya akan teecu hadapi asal teecu bisa mendapatkan diri
Milana, dapat menerima penyerahan dirinya secara suka rela. Teecu tidak dapat
melakukan paksaan karena teecu cinta kepadanya, teecu ingin dia menyerah
bulat-bulat tanpa paksaan.”
“Hemm,
hanya ada satu jalan. Tanpa siasat tak mungkin niatmu terlaksana. Gadis puteri
Pendekar Siluman itu memiliki kekerasan di balik kelembutannya, kekerasan
melebihi baja yang takkan dapat ditundukkan. Kaucari kumpulan racun di dalam
peti simpananku. Pergunakan bubuk racun merah dua bagian dicampur dengan sari
racun lima warna, campurkan dalam makanan dan berikan kepadanya.”
“Aihh....!
Racun-racun itu adalah pembunuh-pembunuh yang tidak ada obatnya, Suhu!”
“Memang
demikian. Akan tetapi kalau sudah dicampur dengan takaran itu, akan saling
memunahkan dan berubah menjadi racun perampas ingatan. Gadismu itu akan lupa
segala kalau kau beri racun campuran itu.”
“Akan
tetapi, apa gunanya kalau dia hilang ingatan, Suhu?”
“Tolol!
Kalau dia lupa lagi siapa engkau, lupa siapa yang dibenci dan dicinta, apa
sukarnya?”
“Tapi....
tapi....”
“Sudah!
Pergilah, dan jangan ganggu aku!”
Keng
In tidak berani membantah lagi. Sampai dua hari lamanya dia termenung
memikirkan jalan terbaik. Dia ingin Milana menyerahkan diri dengan suka rela
kepadanya, bukan membuat dara itu seperti boneka tanpa ingatan! Tiba-tiba dia
teringat ketika dahulu bersama Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan pasukan pengawal
menawan Milana. Kemudian muncul Gak Bun Beng, pemuda yang sejak kecil selalu
menghadapinya sebagai musuh! Dan pemuda itu telah menyerahkan Hok-mo-kiam
kepada Milana, menolong gadis itu membebaskan diri dan rela mengorbankan diri
menjadi tawanan. Bahkan dia telah memukul Bun Beng dengan pukulan
Toat-beng-tok-ci, akan tetapi Bun Beng yang sudah tak berdaya itu di tengah
jalan dapat lolos berkat pertolongan orang sakti yang dia sangka tentulah
paman gurunya sendiri, Bu-tek Siauw-jin. Ah, ada hubungan apakah antara Bun
Beng dan Milana? Mudah saja diduga bahwa Bun Beng tentu mencinta Milana, kalau
tidak, tak mungkin pemuda itu selain menyerahkan Hok-mo-kiam, juga membiarkan
dara itu lolos dengan rela mengorbankan dirinya sendiri! Akan tetapi bagaimana
dengan Milana? Cintakah Milana kepada pemuda itu? Dia harus mengetahui lebih
dulu akan hal ini sebelum dia menggunakan siasat seperti yang dikatakan
gurunya.
Beberapa
hari kemudian, ketika Milana sedang duduk seorang diri di dalam taman, Keng In
datang menghampirinya dan berkata, “Milana, aku amat berterima kasih kepadamu
bahwa beberapa hari yang lalu engkau telah menyelamatkan nyawaku ketika aku
pingsan di lautan.”
Milana
menoleh, kedua pipinya menjadi merah. “Tak perlu kau mangejek, Keng In. Engkau
pingsan karena kecuranganku dan aku sama sekali bukan menolongmu, hanya
menghentikan niatku untuk membunuhmu secara pengecut.”
“Betapapun
juga, aku amat berterima kasih kepadamu, Milana. Aku mengerti engkau tentu jemu
melihat betapa aku selalu mengharapkan cintamu. Aku terlalu mencinta engkau,
Milana dan hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa engkau belum mempunyai
pilihan hati. Andaikata engkau telah mencinta seorang pria lain, hemm....
agaknya aku akan tahu diri dan akan mundur.”
Tiba-tiba
Milana memendang dengan tajam penuh selidik. “Benarkah itu, Keng In? Apakah
engkau akan membebaskan aku kalau aku telah mencinta seorang pria lain?”
“Hemm....
agaknya begitulah. Aku akan malu sekali kalau mengharapkan cinta kasih seorang
wanita yang telah mempunyai pilihan orang lain. Hal itu akan amat rendah dan
memalukan bagi seorang pria gagah. Kalau engkau memang telah jatuh cinta kepada
orang lain, aku takkan menjadi penasaran lagi dan mengerti mengapa kau tidak
dapat membalas cintaku.”
“Kalau
begitu, Keng In. Dengarlah baik-baik. Aku memang telah mencinta pria lain maka
aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas cintamu!”
Kalau
saja wajah pemuda itu tidak berwarna pucat selalu, kiranya tentu Milana akan
melihat perubahan mukanya. Jantung pemuda itu seperti ditusuk rasanya dan dia
harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk menekan perasaannya yang
tertusuk.
“Hemm....
benarkah itu, Milana? Ataukah hanya untuk alasan kosong belaka? Kalau memang
benar kata-katamu, engkau harus dapat menyebutkan nama orang yang kau cinta
itu.”
“Orangnya
sudah kau kenal, Keng In. Dia adalah Gak Bun Beng....”
“Aaahhh....!”
Seruan sederhana ini bukan karena kaget, melainkan karena kemarahan yang
ditahan-tahannya. Dugaannya tidak keliru. Pemuda keparat Gak Bun Beng itu!
“Tapi
dia itu anak haram!”
“Wan
Keng In! Aku melarangmu menyebutnya dengan penghinaan seperti itu!” Milana
bangkit berdiri, bertolak pinggang dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api!
Hal ini tambah meyakinkan hati Keng In bahwa benar-benar dara yang dipujanya
ini mencinta Bun Beng!
“Memang
kenyataannya begitu! Dia putera mendiang tokoh iblis Kang-thouw-kwi Gak Liat,
sebagai hasil perkosaan iblis itu kepada seorang murid Siauw-lim-pai!”
“Perbuatan
ayah atau ibu tiada sangkut-pautnya dengan anaknya! Apa pun yang menjadi
riwayat hidup orang tuanya, aku tidak peduli dan Gak Bun Beng tetap merupakan
satu-satunya pria yang paling baik bagiku, yang ku.... cinta! Nah, aku sudah
mengaku, engkau harus memegang janjimu, Wan Keng In!”
Keng
In menahan kemarahannya yang meluap-luap, timbul dari cemburu dan iri hati. Dia
meninggalkan Milana dan gadis ini diam-diam merasa khawatir juga. Dia tahu
bahwa seorang yang sudah rusak akhlaknya seperti pemuda Pulau Neraka ini, sukar
diketahui isi hatinya, dan untuk meloloskan diri dari pulau itu seolah-olah
tidak ada kemungkinan lagi. Dia hanya mengharapkan pertolongan dari ibunya,
atau ayahnya. Tidak mungkin ayah bundanya, juga Gak Bun Beng akan diam saja.
Tentu tiga orang itu akan mencarinya dan setiap hari dia mengharap-harap
munculnya seorang di antara mereka, atau kalau mungkin ketiganya karena untuk
menghadapi Wan Keng In dan gurunya, kecuali ayahnya, agaknya belum tentu kalau
ibunya atau Bun Beng akan dapat menang. Selain mereka bertiga, dia pun
mengharapkan pertolongan dari Kaisar yang menjadi kakeknya. Tentu kakeknya itu
kalau mendengar bahwa dia diculik orang akan mengerahkan pasukan mencarinya.
Akan
tetapi Milana sama sekali tidak tahu bahwa Wan Keng In akan mengambil siasat
yang amat keji, yang sama sekali tidak pernah diduganya, yaitu menggunakan
racun yang dicampur dalam makanannya. Tanpa disadarinya, semenjak makan
hidangan yang dicampuri racun oleh Keng In, lambat laun Milana menjadi makin
pelupa dan akhirnya dia telah kehilangan ingatan sama sekali! Hanya samar-samar
saja dia masih ingat akan orang-orang yang paling dekat dengan hatinya, yaitu
ayah bundanya, dan terutama Gak Bun Beng!
Setelah
melihat hasil dari racun seperti yang diajarkan gurunya sehingga keadaan dara
tawanannya itu benar-benar tidak ingat apa-apa lagi, Wan Keng In lalu
melanjutkan siasatnya. Malam hari itu dia memasuki kamar pondok Milana, membuka
jendela dan sengaja mengeluarkan suara. “Sstttt.... Milana....!”
Milana
yang sudah hampir pulas itu bangun. Biarpun dia lupa ingatan, namun dia tidak
kehilangan kepandaiannya dan sedikit suara itu cukup membuat dia terbangun dan
siap menghadapi bahaya yang mengancam!
“Siapa....?”
tegurnya.
“Aku....
Gak Bun Beng!”
“Gak....
Bun.... Beng....?” Milana sudah meloncat turun dari pembaringannya dan dengan
mata terbelalak dia melihat laki-laki yang sudah berada di dalam kamarnya itu.
Seorang pemuda berpakaian sederhana, dengan memakai caping bundar lebar.
Keadaan dalam kamarnya remang-remang sehingga wajah orang itu tidak nampak
jelas, akan tetapi andaikata keadaan terang sekalipun, Milana tidak akan
mengenal lagi wajah orang yang dicintanya itu. Yang jelas teringat olehnya
hanyalah nama Gak Bun Beng! Kini melihat orang yang selama ini dipikirkan dan
dirindukannya telah datang, tentu saja dia girang bukan main!
“Milana....
betapa rinduku kepadamu.... aku cinta padamu, Milana. Aku Gak Bun Beng
kekasihmu....”
“Koko....!”
Milana berseru lirih dan dalam suaranya ini tercurah seluruh perasaan
rindunya. Ketika pemuda itu memeluknya, Milana menekan mukanya di dada yang
bidang itu sambil menangis terisak-isak, tangis kegirangan!
Biarpun
pada saat itu Milana berada di bawah pengaruh racun perampas ingatan, namun
perasaannya masih berkesan bahwa dia berada dalam keadaan mengkhawatirkan dan
yang dirindukannya hanyalah ayah bundanya dan Gak Bun Beng, maka begitu pemuda
itu muncul, tentu saja dia menjadi terharu, lega, dan girang. Kegirangan yang
meluap ini membuat dia tidak menolak, bahkan menyambut dengan hangat peluk
cium pemuda itu untuk melepaskan rindunya yang menyesak dada.
“Milana,
kekasihku.... jiwaku sayang....” Pemuda itu berbisik penuh gairah, mencium
dahi, mata, hidung, bibir dengan penuh kemesraan sedangkan dara itu menyambut
dengan mata dipejamkan, penuh penyerahan, penuh kebahagiaan.
Akan
tetapi ketika pemuda itu memondongnya ke atas pembaringan, ketika dia merasa
betapa tangan pemuda itu bergerak melanggar batas kesusilaan, bahkan mulai
berusaha menanggalkan pakaiannya, Milana terkejut bukan main, membuka matanya
dan meronta sambil berseru, “Jangan....!”
“Mengapa,
Milana? Aku Gak Bun Beng kekasihmu....” Pemuda itu yang bukan lain adalah Wan
Keng In yang menyamar sebagai Bun Beng, memeluk dan mendesak sambil mencium
dengan nafsu berahi yang sudah memuncak ke ubun-ubunnya.
“Jangan....!”
Milana kembali menepis tangan yang nakal itu.
“Milana,
bukankah kita saling mencinta? Kau akan menjadi isteriku, Sayang....”
“Koko,
jangan begini! Biarpun kita saling mencinta, akan tetapi kita belum menikah dan
aku bukanlah seorang wanita rendahan yang dengan mudah dan murah dapat
menyerahkan diri begini saja!” Suara dara itu terdengar tegas bercampur nada
tidak senang dan kecewa.
“Milana....!”
Kini
Milana meronta, melepaskan diri dan meloncat turun dari atas pembaringan.
Sepasang matanya masih basah oleh air mata kegirangan tadi, akan tetapi alisnya
berkerut dan suaranya tegas,
“Gak-koko!
Aku menganggap engkau seorang laki-laki yang paling baik di dunia ini, akan
tetapi mengapa sekarang engkau hendak melakukan hal yang amat keji?”
“Milana....
aku cinta padamu....”
“Gak-koko,
apa yang hendak kaulakukan ini sama sekali bukanlah cinta, melainkan nafsu
iblis....! Apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menodai kasih
sayangku?”
Wan
Keng In menekan perasaan yang sudah bergelora. Dia telah menggunakan siasat,
meracuni gadis ini agar lupa segala, kemudian dia menyamar sebagai Bun Beng.
Gadis itu memang tertipu, menganggap dia Gak Bun Beng, akan tetapi tetap saja
siasatnya tidak berhasil mendapatkan diri dara itu dengan suka rela. Tadinya,
kalau sampai usahanya berhasil dan Milana menyerahkan diri kepada “Gak Bun
Beng” yang diwakilinya, maka perlahan-lahan dia akan memunahkan racun yang
mempengaruhi diri Milana dan karena sudah terlanjur menyerahkan diri, tentu
Milana akan menerima kenyataan bahwa dia telah menjadi milik Wan Keng In! Siapa
mengira, biarpun berada dalam keadaan tidak sadar dan lupa ingatan, ternyata
gadis itu masih saja tetap mempertahankan kehormatannya, biarpun terhadap Gak
Bun Beng, pemuda yiang dicintanya!
“Milana,
engkau mengecewakan hatiku!” Dia membentak marah akan tetapi masih ingat untuk
memburukkan nama Gak Bun Beng di depan dara itu. “Berbulan-bulan aku menahan
rindu dan setelah sekarang kita bertemu, engkau menolak pencurahan kasih
sayangku. Hemm, apa kaukira tidak ada wanita lain yang akan suka melayani
cintaku?” Setelah berkata demikian, Wan Keng In meninggalkan pondok itu.
“Gak-koko....!”
Milana menjerit dan mengejar, akan tetapi melihat bayangan pemuda itu lenyap
dalam gelap, dia lalu kembali ke dalam kamarnya, menjatuhkan diri ke atas
pembaringan dan menangis. Milana merasa bingung sekali. Dunia seakan-akan
menjadi tempat yang tidak menyenangkan baginya. Dia selalu merasa bingung dan
meragu, sekarang ditambah lagi dengan tingkah laki-laki yang paling dicintanya,
yang demikian tega hendak merenggut kehormatannya dengan paksa!
Sementara
itu Wan Keng In marah bukan main. Semua ini gara-gara Gak Bun Beng, pikirnya.
Kebenciannya memuncak setelah dia mendengar sendiri betapa Milana mencinta
pemuda yang dianggapnya musuh besar itu. Dia harus mencari Gak Bun Beng, dan
membunuhnya! Baru puas rasa hatinya kalau saingan itu lenyap dari permukaan
bumi. Dia lalu memanggil Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka berkepala gundul
bermuka merah muda yang menjadi orang kepercayaannya, berpesan kepada pembantu
ini agar menjaga Pulau Neraka, melayani kebutuhan gurunya, dan selama dia
pergi meninggalkan pulau agar mencampuri hidangan Milana dengan bubukan obat
yang telah disiapkannya, hanya sedikit perlu untuk menjaga agar ingatah dara
itu tetap kabur dan pelupa! Setelah meninggalkan semua pesan itu, malam itu
juga Wan Keng In naik perahu meninggalkan Pulau Neraka.
Beberepa
hari kemudian, semenjak Wan Keng In mendarat dan mulai dengan perjalanannya
untuk mencari Gak Bun Beng, mulai geger pula dunia kang-ouw dengan munculnya
seorang pemuda yang amat kejam dan ganas, yang menyebar maut di antara
orang-orang gagah, seorang pemuda yang lihai bukan main, yang memegang pedang
Lam-mo-kiam dan yang bernama.... Gak Bun Beng!
Tentu
saja pemuda itu adalah Wan Keng In! Karena bencinya kepada Bun Beng yang
dianggapnya telah merebut hati kekasihnya, dia sengaja menggunakan nama
musuhnya untuk malang-melintang, mendatangi perkumpulan-perkumpulan dari
golongan bersih, membunuh tokohtokohnya yang berani melawannya. Sebentar saja
nama Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan) dikenal oleh dunia kang-ouw dengan hati
gentar, dan nama Gak Bun Beng yang selalu mengaku keturunan atau putera
mendiang datuk kaum sesat Gak Liat itu juga dikenal dengan hati benci. Memang
Keng In sengaja memperkenalkan nama Gak Bun Beng sebagai putera Gak Liat.
Biarpun Gak Liat sudah meninggal dunia, namun nama Kang-thouw-kwi Gak Liat
sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat amatlah terkenal, maka tidak
ada seorang pun yang meragukan lagi bahwa keturunan datuk itu yang bernama Gak
Bun Beng tentulah juga jahat sekali seperti ayahnya!
Betapa
pun jahat perbuatan Wan Keng In itu, namun hal ini tentu saja tidak disadari
oleh pemuda itu sendiri. Dia menganggap bahwa Bun Beng amat jahat,
menghancurkan harapannya, merusak cinta kasihnya, menggagalkan hubungannya dengan
dara yang dicintanya. Dia menganggap Bun Beng semenjak dahulu menantang dan
memusuhinya, dan dia menganggap sudah sepatutnya kalau Bun Beng dihukumnya, di
antaranya dengan merusak namanya di dunia kang-ouw! Dan anggapan Wan Keng In
ini bukanlah dibuat-buat. Sudah menjadi kebiasaan kita yang dianggap lajim
bahwa kita menilai seorang dari keturunannya, dari masa lalu, dan karena
penilaian inilah maka selalu terdapat permusuhan di dunia ini. Wan Keng In
sudah mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah seorang anak haram yang lahir dari
seorang wanita yang diperkosa oleh Gak Liat Si Datuk kaum sesat. Tentu saja
dengan sendirinya dia menganggap rendah Gak Bun Beng, dan dianggapnya seorang
yang hina dan sudah sepatutnya kalau jahat!
***
Perahu
kecil itu meluncur cepat sekali di antara gumpalan-gumpalan es besar kecil
yang malang-melintang di atas air laut. Dara muda yang mendayung perahu dengan
kedua tangannya yang kecil halus namun penuh berisi tenaga sakti itu, mendayung
sambil menangis terisak-isak. Dibiarkannya air matanya turun mengalir di
sepanjang hidungnya, di kanan kiri hidung terus ke pinggir mulut dan menitik
turun ke dada melalui dagunya. Matanya tak pernah berkejap, memandang ke depan
dengan kosong.
Setelah
perahu kecil itu keluar dari gumpalan-gumpalan es, layar kecil dipasang dan
angin mulai menggerakkan perahu, dara itu bangkit berdiri, mengemudikan layar
berdiri termenung seperti arca. Isaknya tak terdengar lagi, akan tetapi air
mata masih bertitik turun jarang-jarang. Tangan kiri memegangi tali layar
tangan kanan meraba gagang pedang di pinggang.
“Singggg....!”
Tampak kilat berkelebat ketika pedang itu tercabut keluar dari sarungnya.
Tangan kanan itu membawa pedang di depan dahi, tegak dan seolah-olah hendak
diciumnya. Bibir yang halus tipis agak pucat itu bergerak dan terdengar
suaranya lirih, “Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, aku bersumpah untuk membunuh
engkau dan semua kaki tanganmu!”
Agaknya
sumpah ini meredakan kemarahan dan kedukaan hati Giam Kwi Hong. Dia
menyarungkan kembali pedang Lim-mo-kiam dan duduk di perahu yang meluncur cepat
terdorong angin menuju ke darat. Setelah kini duduk melamun sambil memandang
ke barat, arah daratan besar, terbayanglah dia akan wajah seorang yang selama
ini amat dirindukannya. Wajah yang tampan gagah sederhana, wajah Gak Bun Beng!
Dia mengeluh ketika teringat betapa Gak Bun Beng, pria satu-satunya di dunia
ini yang telah berhasil merampas kasih hatinya, telah ditunangkan dengan
Milana, puteri pamannya. Hancurlah hatinya. Musnahlah harapan untuk hidup
bahagia!
Memang
lucu den janggal sekali manusia dan tingkahnya hidup di dunia ini. Kita
sebagai manusia selalu rindu akan kebahagiaan, selalu gandrung dan mengejar-ngejar
apa yang disebut kebahagiaan! Apakah sebenarnya kebahagiaan yang sebutannya
dikenal oleh semua orang, yang selalu dicari dan dikejar oleh manusia, akan
tetapi yang agaknya tidak ada seorang pun manusia memilikinya itu? Apakah
sesungguhnya kebahagiaan? Apakah itu yang disebut hidup bahagia?
Adakah
kebahagiaan itu suatu angan-angan kosong yang hanya direka oleh manusia yang
merasa tidak bahagia? Ataukah kebahagiaan itu suatu keadaan tertentu yang dapat
dirasakan dan dihayati? Orang dalam keadaan remuk redam hatinya karena
kegagalan cinta seperti Kwi Hong, kiranya kebahagiaan berarti kalau dia dapat
hidup bersama orang yang dicintanya! Orang yang menderita sakit berat, agaknya
akan menganggap bahwa kebahagiaan adalah kalau dia sembuh dari penyakitnya!
Orang yang kelaparan tentu akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah sepiring
nasi yang akan mengenyangkan perutnya, atau bagi seorang yang kehausan
kebahagiaan adalah kalau dia dapat meneguk air jernih sejuk sepuas perutnya!
Orang yang rindu akan kebahagiaan, yang mengejar-ngejar kebahagiaan, berarti
bahwa orang itu tidak mengenal kebahagiaan. Kalau dia tidak mengenal
kebahagiaan, bagaimana mungkin dia akan dapat berhasil mencari dan menemukan
kebahagiaan? Kalau dalam pencariannya dia menemukan, tentu yang ditemukan itu
bukan kebahagiaan, melainkan sesuatu yang diinginkannya, dan sesuatu yang
diinginkan kebetulan sesuatu yang sudah dikenalnya atau dialaminya. Tak dapat
disangkal pula karena memang kenyataan bahwa terpenuhinya keinginan
mendatangkan kepuasan, akan tetapi kepuasan ini disusul dengan kebosanan
sehingga timbul pula keinginan untuk hal-hal iain yang belum dapat diraihnya. Demikian
terus-menerus kita terseret oleh lingkaran setan yang tiada berkeputusan, dan
kebahagiaan pun tak kunjung tiba!
Yang
terpenting bagi kita adalah untuk mengetahui mengapa kita mencari kebahagiaan?
Orang yang mencari kebahagiaan berarti tidak berbahagia, bukan? Kalau sudah
bahagia tak mungkin mencari kebahagiaan lagi! Kalau kita tidak berbahagia, apa
sebabnya kita tidak berbahagia? Inilah yang penting! Seperti orang yang
mencari kewarasan tentulah orang yang tidak waras! Dan yang penting adalah untuk
mengetahui mengapa kita tidak waras, dan apa penyakit yang kita derita. Yang
penting adalah menghilangkan penyakit itu, bukannya mengejar kewarasan. Yang
penting adalah menghilangkan penyebab tidak bahagia atau yang biasa disebut
derita dan seggsara itu, bukannya mengejar bahagia! Kalau tidak ada lagi yang
menyebabkan kita tidak bahagia, maka kebahagiaan tentu ada!
Kwi
Hong pun dirusak oleh pikirannya sendiri yang seperti semua manusia, tak pernah
mengenal diri dan keadaan sendiri, tak pernah puas dengan keadaan seperti apa
adanya. Kekecewaannya mendengar Bun Beng bertunangan dengan Milana,
penyesalannya karena dia telah tertipu oleh Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya
sehingga dia melakukan kesalahan besar di depan pamannya, membuat dia berduka
dan sakit hati. Duka, sakit hati, penyesalan dan kemarahan akhirnya membentuk
watak yang keras di dalam hati Kwi Hong. Membuat dia seolah-olah tidak peduli
lagi akan hidupnya, tidak peduli akan keadaan sekitarnya.
Perahunya
meluncur cepat, lebih cepat dari tadi setelah berhasil keluar dari gumpalan es
yang mengambang di permukaan air kini menuju ke barat, ke arah daratan. Badai
yang mengamuk di bagian selatan Pulau Es tidak mencapai tempat yang dilalui Kwi
Hong itu, akan tetapi tetap saja pengaruhnya ada pada air laut yang
bergelombang, akan tetapi tidak mengganggu Kwi Hong yang pandai menguasai
perahu layarnya, bahkan perahu itu terdorong pula oleh lajunya ombak.
Lima
orang nelayan yang melihat betapa di udara sebelah selatan dan timur gelap,
tanda bahwa ada badai mengamuk, memandang terheran-heran ketika melihat sebuah
perahu layar kecil melaju ke arah pantai. Mereka sendiri sebagai
nelayan-nelayan yang berpengalaman, melihat ancaman badai, tidak berani
melanjutkan usaha mereka mencari ikan, dan hanya menanti di pantai. Tadinya
mereka mengira bahwa perahu layar itu tentu milik seorang nelayan yang
terserang badai sehingga tersesat sampai ke tempat itu. Akan tetapi betapa
kaget dan herannya hati mereka ketika perahu layar itu tiba di pantai, mereka
melihat seorang dara yang cantik jelita turun dari perahu layar meloncat ke
darat dan sama sekali tidak mempedulikan mereka.
Akan
tetapi tiga orang di antara para nelayan itu adalah orang-orang muda yang
kasar. Melihat seorang dara cantik sendirian saja turun dari perahu itu, mereka
segera menghampiri, dan seorang di antara mereka sudah berseru, “Aiihhh, Nona
manis, tunggu dulu!”
“A-ban,
jangan ganggu orang!” Dua orang nelayan tua yang tidak ikut maju menegur, akan
tetapi A-ban dan dua orang kawannya itu tidak mau peduli akan teguran itu dan
berlari mengejar Kwi Hong yang sudah melangkah hendak pergi. Mendengar seruan
itu, Kwi Hong menghentikan langkahnya, tanpa menoleh, hanya berdiri tegak
seperti arca, akan tetapi sepasang alisnya berkerut dan sinar matanya
mengeluarkan cahaya kilat. Hatinya yang sedang dilanda duka, kecewa,
penyesalan, kemarahan dan sakit hati itu seperti dibakar mendengar orang secara
kasar dan kurang ajar menyebutnya nona manis!
Tiga
orang nelayan muda itu dengan sikap cengar-cengir sudah tiba di depan Kwi Hong
dan mereka makin kagum melihat dara ini dari dekat karena Kwi Hong memang
memiliki kecantikan yang mengagumkan. Melihat alis itu berkerut dan bibir manis
itu cemberut, tiga orang itu tersenyum menyeringai. Mereka mengira bahwa
wanita ini tentu bersikap “jual mahal” karena jelas bahwa satu kali seruan saja
cukup membuat wanita itu berhenti, tanda bahwa “ada kontak”.
“Aihhh,
Nona, jangan cemberut. Kalau kau marah makin manis, tidak kuat aku
memandangnya!” kata orang pertama.
“Jangan
jual mahal ah, berapa sih harganya?” orang ke dua menyambung.
“Kami
hanya ingin bicara denganmu, Nona cantik manis, siapakah nama, di mana tempat
tinggal, berapa usia, sudah menikah atau belum?” orang ke tiga berkata dengan
suara dibuat-buat seperti orang bernyanyi.
“Singgg....!
Crat-crat-crat....!”
Tiga
orang nelayan itu hanya melihat sinar kilat berkelebat menyambar, mereka tidak
sempat lagi terheran karena sinar kilat itu adalah sinar pedang Li-mo-kiam yang
sudah menyambar ke arah leher mereka dan robohlah tiga orang ini bergelimpangan
dengan leher hampir putus dan nyawa melayang, seketika itu juga.
“Ahhh....!”
Dua orang nelayan tua memandang terbelalak dan seketika mereka menjatuhkan
diri berlutut dengan tubuh menggigil.
Kwi
Hong sendiri terkejut menyaksikan akibat kemarahannya. Sejenak dia tertegun
dan terheran mengapa tiga orang itu dibunuhnya? Memang mereka kurang ajar, akan
tetapi dia sendiri kini merasa betapa dia telah bertindak keterlaluan, karena
kesalahan mereka itu belum patut untuk dihukum dengan kematian! Dia menyesal,
akan tetapi sudah terlambat. Kini mendengar seruan kaget itu dia menoleh dan
melihat dua orang nelayan tua berlutut dengan ketakutan, dia lalu berkata,
suaranya halus seperti biasa.
“Paman
berdua tidak perlu takut. Mereka ini menghinaku dan sudah mati. Kuburlah mayat
mereka dan ini perahuku boleh kalian ambil. Kuberikan kepada kalian.” Setelah
berkata demikian, Kwi Hong berkelebat dan sekejap mata saja dia telah meloncat
dan berlari jauh, kemudian lenyap di antara pohon-pohon. Dua orang kakek itu
terbelalak, sampai lama tidak dapat bangkit berdiri mengira bahwa wanita yang
turun dari perahu di waktu laut bergelombang itu tentu seorang siluman atau
iblis penghuni lautan!
Semenjak
Li-mo-kiam yang sejak diciptakannya selalu haus darah itu berhasil minum darah
tiga orang nelayan, pedang iblis itu menjadi makin haus darah. Pengaruhnya ini
dengan cepat dan mudah menjalar ke dalam pikiran Kwi Hong yang pada saat itu
pun sedang dihimpit sakit hati, dendam, kekecewaan, kemarahan dan kedukaan,
sehingga dara ini berubah menjadi seorang dara yang ganas sekali. Pendidikan
dasar semenjak dia kecil di Pulau Es, gemblengan yang didapatnya dari Pendekar
Super Sakti, tentu saja cukup kuat untuk mencegahnya terseret ke dalam lembah
kejahatan. Tidak, Giam Kwi Hong masih belum menjadi seorang wanita iblis yang
suka melakukan kejahatan sebagai kesenangannya, sama sekali tidak. Dia masih
berwatak pendekar yang selalu berhasrat menentang kejahatan, akan tetapi
perubahan wataknya itu membuat dia menjadi seorang yang amat kejam dan ganas.
Hal ini terbukti di sepanjang perjalanannya menuju ke kota raja. Setiap kali
dia bertemu dengan orang yang dianggapnya jahat, dengan perampok dan bajak
sungai, tentu mereka itu menjadi korban kehausan Li-mo-kiam dan dibasminya
semua sampai habis ke akar-akarnya, tidak seorang pun diberi ampun. Maka
muncullah nama baru yang amat ditakuti oleh golongan hitam, julukan yang dengan
sendirinya diperoleh Kwi Hong karena pedang dan keganasannya. Perjalanannya ke
kota raja dari Pulau Es ini menggoreskan jejak yang mendalam karena
perbuatannya membasmi para penjahat itu, dan berkumandanglah nama julukan
Mo-kiam Lihiap (Pendekar Wanita Pedang Iblis)!
Karena
merasa menyesal sekali bahwa dia telah tertipu oleh para pemberontak sehingga
dia melakukan kesalahan besar kepada pamannya, bahkan dialah yang menjadi
gara-gara sampai bibi Phoa Ciok Lin tewas, Kwi Hong menjadi seorang pendendam
besar dan perasaan ini ditambah kekecewaan dan kedukaan membuat dia seorang
yang tidak mengacuhkan segala sesuatu, dan dia menjadi pula seorang pembenci!
Beberapa
pekan kemudian tibalah dia di kota raja yang sekarang sudah aman. Dia mulai
melakukan penyelidikan dan mendengar betapa pasukan pemberontak sudah hancur
sama sekali oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Hal ini
tidak menarik hatinya karena dia memang sudah tahu. Yang ingin diketahuinya
adalah di mana adanya Milana dan.... terutama sekali Gak Bun Beng. Akhirnya dia
berhasil mendapat keterangan yang mengejutkan bahwa Milana, puteri dari
Panglima Wanita Nirahai, cucu dari Kaisar sendiri, telah lama lenyap diculik
orang! Tidak ada yang tahu siapa penculiknya dan tidak ada pula yang tahu siapa
atau di mana adanya Gak Bun Beng.
Hati
Kwi Hong menjadi bimbang. Kalau menurut pesan pamannya, dia harus mencari
Milana dan Bun Beng. Tapi kini sudah kurang semangatnya untuk melaksanakan
perintah pamannya itu. Apa perlunya mencari mereka? Mereka bukanlah anak
kecil. Bertemu dengan Milana dan Bun Beng, melihat mereka berdua telah menjadi
calon suami isteri, hanya akan menusuk perasaannya sendiri saja. Pamannya
telah membencinya. Kalau dia berhasil menemukan Milana dan Bun Beng, berhasil
mengajak mereka pulang ke Pulau Es, tentu dia hanya akan lebih menderita lagi.
Lebih baik tidak lagi bertemu dengan Milana, tidak lagi bertemu dengan
pamannya. Dia tidak lagi akan pergi ke Pulau Es!
Kwi
Hong menggigit bibir menahan isaknya yang tersedu dari dalam dadanya. Digunakan
kekerasan hatinya untuk menahan menetesnya air mata. Tak perlu dia menangis.
Dia bisa hidup sendiri. Memang dia seorang yang sebatangkara, seorang yatim
piatu.
Ah,
ada gurunya yang ke dua. Bu-tek Siauw-jin! Kakek sinting itulah satu-satunya
orang yang baik kepadanya. Teringat akan watak kakek yang sinting dan aneh itu,
lenyaplah kedukaan hati Kwi Hong dan dia tersenyum geli sendiri. Tentu saja!
Dia harus pergi mencari kakek yang menjadi gurunya itu, Bu-tek Siauw-jin, tokoh
besar Pulau Neraka. Tentu saja kakek itu kemungkinan besar kembali ke Pulau
Neraka.
Berdebar
tegang juga hatinya ketika ia mengingat akan hal ini. Juga pemuda iblis itu,
Wan Keng In, dan gurunya yang mengerikan, kakek Mayat Hidup yang berjuluk
Cui-beng Koai-ong, berada di Pulau Neraka! Sungguhpun hal ini pun belum tentu
melihat kenyataan betapa pemuda yang menjadi putera bibi Lulu yang kini menjadi
isteri pamannya di Pulau Es itu seringkali berkeliaran di daratan besar.
Andaikata benar berada di sana dan dia berjumpa dengan pemuda iblis itu, dia
pun tidak takut. Dia akan menyampaikan pesan bibi Lulu, memberi tahu bahwa
bekas Ketua Pulau Neraka itu kini telah menjadi isteri Majikan Pulau Es dan
minta supaya pemuda itu suka menyusul ibunya ke Pulau Es. Akan tetapi kalau
pemuda iblis itu tidak mau, dia tidak akan peduli. Kalau pemuda itu masih
memusuhinya seperti dahulu, dia tidak takut menghadapinya. Setelah dia menerima
gemblengan Bu-tek Siauw-jin dan memegang Li-mo-kiam, tidak takut lagi dia
berhadapan dengan pemuda iblis itu atau gurunya sekalipun, atau siapa saja!
Dengan
pikiran ini pergilah Kwi Hong meninggalkan kota raja, kembali ke utara dan kini
tujuan perjalanan hanya satu, yaitu ke Pulau Neraka! Dia maklum bahwa tidaklah
mudah mencari Pulau Neraka akan tetapi dia pernah dibawa oleh bibi Lulu ke
pulau itu, dan dapat mengira-ngirakan di sebelah mana letak Pulau Neraka.
Giam
Kwi Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang
sunyi. Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari
jauh orang-orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam
melawan lima orang bersenjata toya panjang. Biarpun ilmu tongkat tiga orang itu
aneh dan cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan lima orang yang juga
memiliki ilmu toya yang mirip-mirip aliran Siauw-lim-pai, mereka bertiga terdesak
hebat.
Kwi
Hong tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa
pertandingan itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia
cepat meloncat ke tengah arena pertandingan sambil berseru, “Tahan....!”
Delapan
orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda,
tentu saja tidak mau berhenti bertanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang
merasa bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang,
mengira bahwa gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka
menggerakkan toya mereka dan membentak, “Pergi kau!”
“Sing....!
Trak-trakkk!” Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.
“Berhenti
dan jangan bertempur kataku!” Kwi Hong membentak, mengelebatkan pedangnya.
Dua orang pemegang toya yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang,
terkejut dan terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka.
Toya mereka terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu dengan pedang
di tangan gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.
“Siapa
kau?” Seorang di antara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemimpin mereka
berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung
melengkung ke atas. “Mengapa kau berani mencampuri urusan kami?”
“Aku
siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan
pengecut, mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang
dan kalian harus berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan
satu, atau tiga lawan tiga.”
“Perempuan
muda yang sombong! Berani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang, ya?
Apakah kau sudah bosan hidup?” Orang yang dandanannya seperti seorang saikong
itu membentak.
“Bukan
aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!” bentak Kwi Hong yang sudah marah
sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.
“Siluman
betina, kau boleh bantu tikus tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bosan
hidup!” Orang itu berkata dan memberi isyarat kepada empat orang kawannya.
“Tidak
perlu dengan mereka, aku sendiri sudah cukup untuk melenyapkan kalian
orang-orang sombong!” Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah menjadi
kilat menyambar-nyambar.
Lima
orang itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi,
seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah
dan sekali ini Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan
menyambar ganas ke depan. Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima
batang tubuh para anggauta Pek-eng-pang dan tewas seketika karena leher mereka
ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan ampuh!
Melihat
dara itu berdiri tegak memandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang
kembali sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah
disedotnya habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda
darah, tidak ada setetes pun, tiga orang anggauta Koai-tung-pang menggigil
kakinya.
“Mo-kiam
Lihiap....” Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut. “Kami
menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap,” kata seorang di antara mereka.
Kwi
Hong tersenyum sedikit dan menyimpan pedangnya. “Kalian sudah mengenalku?”
“Baru
sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap
siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami.
Kami adalah anggauta-anggauta Koai-tung-pang di Bukit Srigala, sudah lama kami
selalu diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan
kami. Kalau mendengar bahwa ada lima orang anggauta mereka tewas, tentu mereka
akan ke sini dan kami akan celaka.”
“Lima
orang telah mati semua, bagaimana mereka tahu?”
“Lihiap
tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang
bersembunyi dan melihat keadaan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata
melakukan penyelidikan. Sekarang orang itu tentu telah melapor dan kami akan
celaka, mungkin perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka mendapat alasan
yang kuat. Lima orang anggauta mereka tewas, sungguh hebat sekali....”
Pemimpin tiga orang itu berkata dengan suara gemetar mengandung rasa takut.
“Hemmm,
kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian? Sama
sekali bukan. Aku tidak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya
dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena
tidak suka melihat perkelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena
mereka menghinaku. Sudahlah!” sebelum tiga orang anggauta Koai-tung-pang itu
sempat membantah, tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Tiga
orang itu saling pandang dengan muka pucat. “Celaka....!” kata pemimpin mereka,
“Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul, paling hebat
kita hanya dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka tentu tidak akan
membunuh kita. Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita akan celaka,
bahkan seluruh Koai-tung-pang tentu akan dihancurkan oleh Pek-eng-pang.”
“Lebih
baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!” usul seorang di antara mereka.
Tergesa-gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk
cepat-cepat melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Srigala yang tidak
jauh dari tempat itu.
Kwi
Hong sudah melanjutkan perjalanannya dengan cepat, tidak mempedulikan dan
sudah melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia
menghentikan langkahnya ketikar melihat debu mengepul dari depan dan muncullah
sepuluh orang berlari-lari cepat mendatangi. Mereka dikepalai oleh seorang
saikong berjubah lebar yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sepuluh orang
itu semua memegang sebatang toya panjang dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga
bahwa mereka tentulah orang-orang Pek-eng-pang, kawan-kawan dari lima orang
yang dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat berbahaya karena dara ini
telah menjadi marah sekali.
“Dia
inilah orangnya!” Seorang di antara mereka menuding, agaknya orang inilah yang
tadi menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang anggauta mereka
itu tewas oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.
Mereka
sudah tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah, “Nona, benarkah
engkau telah membunuh mati lima orang anggauta kami?”
“Kalau
benar demikian, kalian mau apakah?”
Saikong
itu menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia
hendak menyerang. “Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong
sekali. Kalau benar demikian, mengapa kau membunuh para anggauta kami?”
“Mereka
telah menghinaku, tentu saja kubunuh.”
“Perempuan
rendah, kau sungguh kejam. Siluman betina yang harus dienyahkan dari muka
bumi!” Saikong itu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka
menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.
“Awas
pedangnya tajam sekali!” teriak orang yang tadi mengintai dan melihat betapa
toya kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.
Akan
tetapi teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah
bertemu pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang
anggauta terpelanting mandi darah!
“Kurung
dan serang! Jangan adukan senjata!” Saikong itu berseru dan dia sendiri
menerjang dengan hebatnya. Gerakan saikong ini memang hebat, tenaganya besar
dan permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah
bercampur dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.
Kwi
Hong bersikap tenang dan terpaksa dia harus mengelak ke sana ke mari karena
datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengeroyoknya
dari jarak jauh, tidak mau mengadu senjata dan mengandalkan toya mereka yang
panjang untuk menyerang darii segenap penjuru.
Tiba-tiba
tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tongkat hitam. Itulah
rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba di situ
dan melihat gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua
orang di antara mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,
“Pek-eng-pangcu
(Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama. Mari
kami bantu kalian!”
Kini
delapan orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu
saja gadis ini menjadi marah sekali. “Bagus! Majulah orang-orang pengkhianat
dan pengecut!” Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke
orang-orang Koai-tung-pang, mengelebatkan pedangnya dan menggunakan
gin-kangnya.
“Singgg-trang-trang-trakk!”
Tiga
batang tongkat patah-patah dan dua orang anggauta Koai-tung-pang roboh dan
tewas seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Akan tetapi teman-temannya
mengurung ketat. Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang
Koai-tung-pang yang mengurung, menyerang dari jarak jauh dan selalu menarik
senjata mereka kalau sinar pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi pengeroyokan
ini, biarpun tidak terdesak, Kwi Hong merasa repot juga.
“Wuuuttt....
singgg.... aughhh....!” Teriakan saling susul terdengar ketika ada sinar kilat
menyambar dari luar kepungan, disusul robohnya dua orang anggauta Pek-eng-pang.
Pengepungan menjadi kacau dan mereka cepat membalik. Kiranya di situ telah
berdiri seorang pemuda tampan yang memegang sebatang pedang yang serupa dengan
pedang yang berada di tangan Kwi Hong, hanya agak lebih panjang.
“Nona
Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!”
Biarpun
Kwi Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu
bersikap membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan
membentak, “Aku tidak butuh bantuanmu!”
“Ha-ha-ha,
betapapun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari kita
berlumba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara
murid Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!”
“Boleh
kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!” jawab Kwi Hong
yang segera mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan para
pengeroyok. Wan Keng In juga tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di tangannya
berkelebatan seperti naga sakti mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok
itu. Baru mengeroyok gadis pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah
lagi pemuda lihai yang membawa Lam-mo-kiam, Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk
dan seolah-olah hidup di tangan pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan
muncrat dari tubuh yang hampir putus, mayat berserakan dan tak lama kemudian,
habislah semua pengeroyok termasuk ketua kedua buah perkumpulan itu. Tinggal
Kwi Hong dan Keng In yang berdiri memandang pedang mereka yang sedikit pun
tidak bernoda darah biarpun Sepasang Pedang Iblis itu telah minum darah belasan
orang!
“Ha-ha-ha!
Engkau tidak kecewa menjadi murid Susiok!” Keng In memuji dan bukan pujian
kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali
membuktikan apakah gadis murid susioknya ini akan mampu menandinginya.
Di
lain pihak, Kwi Hong juga terheran-heran melihat sikap Keng In yang lain dari
dahulu. Dahulu pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini
membantunya dan bersikap ramah.
Dia
tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan Lulu. Dengan pedang
Li-mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih berserakan di sekitar
kakinya dan darah masih bercucuran, dia berkata,
“Wan
Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu di sini. Aku membawa pesan dari
ibumu untukmu.”
Berkerut
alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan ke mana
perginya ibunya, sungguhpun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.
“Di
mana kau berjumpa dengan ibuku? Dan apa yang dipesannya? Eh, Nona. Apakah tidak
lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak di antara bangkai-bangkai
yang menjijikkan ini?”
“Terserah
kepadamu,” jawab Kwi Hong singkat. Keng In meloncat dan berlari ke dalam hutan
di sebelah kiri, dan Kwi Hong menyusulnya.
Kini
mereka berhadapan di bawah sebatang pohon yang besar. “Nah, di sini kan lebih
enak. Akan tetapi mengapa kau tidak menyimpan pedangmu?”
Kwi
Hong memandang pedang yang masih dipegangnya. “Hemmm, menghadapi engkau yang
memegang pedang terhunus, lebih baik aku tidak menyimpan pedangku.”
Keng
In mengangkat alisnya, memandang pedang Lam-mo-kiam di tangannya dan tertawa.
“Ha-ha, aku sampai lupa. Agaknya kau curiga kepadaku.” Dia menyarungkan pedangnya
dan diturut pula oleh Kwi Hong.
“Aku
bertemu dengan ibumu di Pulau Es....”
“Apa?
Ibuku di Pulau Es?” Keng In benar-benar terkejut sekali karena tidak
disangka-sangkanya bahwa ibunya mau pergi ke Pulau Es.
“Benar,
tidak itu saja. Malah sekarang Bibi Lulu telah menjadi isteri Paman Suma Han
bersama Bibi Nirahai. Mereka bertiga tinggal di Pulau Es sebagai suami isteri.”
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati pemuda itu. Kaget, malu, kecewa dan marah.
Akhirnya ibunya tunduk juga kepada pria yang belasan tahun lamanya membikin
sengsara hatinya. Ingin dia marah-marah, ingin dia memaki-maki ibunya. Namun
Keng In sekarang telah menjadi seorang pemuda yang cerdik dan tidak mau
memperlihatkan perasaan hatinya. Dia hanya menunduk sejenak, kemudian ketika
dia mengangkat muka lagi, wajahnya sudah biasa dan tenang kembali.
“Apakah
pesan Ibu kepadamu untukku?”
Kwi
Hong benar-benar tercengang. Sikap Keng In telah berubah sama sekali, jauh
bedanya dengan dahulu. Dahulu pemuda itu seperti iblis, akan tetapi kini
bersikap biasa dan bahkan ramah.
“Bibi
Lulu hanya berpesan kepadaku, kalau aku bertemu denganmu agar membujukmu
supaya engkau suka menyusul ibumu di Pulau Es. Hanya begitulah pesannya.”
Keng
In tersenyum, dan Kwi Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan sekali,
apalagi kalau tersenyum seperti itu.
“Tentu
saja aku harus menyusul Ibu, dan aku harus memberi hormat kepada Ayah tiriku
yang sudah lama kukenal nama besarnya itu. Ah, kalau begitu lebih girang hatiku
bahwa tadi aku menolongmu. Sekarang kita bukan orang lain lagi. Engkau adalah
keponakan Pendekar Super Sakti, juga muridnya, sedangkan aku adalah anak
tirinya. Bukankah dengan demikian kita masih dapat dikatakan saudara misan?
Apalagi kalau diingat bahwa engkau adalah juga murid Susiok Bu-tek Siauw-jin,
berarti kita adalah saudara misan seperguruan pula. Enci Giam Kwi Hong,
kauterimalah hormatku dan maafkan segala kesalahanku yang lalu.”
Kwi
Hong tercengang dan juga menjadi girang. Ternyata pemuda ini sudah berubah
menjadi seorang yang baik, tidak seperti dahulu, jahat seperti iblis. Dia
tersenyum dan membalas penghormatan Keng In sambil berkata, “Aku juga girang
sekali bahwa engkau bersikap baik, Wan Keng In. Dan memang sudah sepatutnya
engkau menjadi adikku. Masih teringat olehku ketika masih kecil dahulu, ketika
aku ditawan ibumu. Nakalmu bukan main....”
“Wah,
Enci Kwi Hong, apakah kau tidak mau melupakan hal yang lalu. Biarlah aku minta
ampun kepadamu.” Dan pemuda itu benar-benar menjatuhkan diri berlutut di atas
tanah depan kaki Kwi Hong!
“Ihhh!
Jangan begitu, Adikku!” Kwi Hong tertawa, membangunkan Keng In dan keduanya
lalu duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah.
“Enci
Kwi Hong, bagaimana engkau sampai tiba di tempat ini! Tentu bukan untuk mencari
aku di sini!”
Berat
rasa hati Kwi Hong untuk mengaku bahwa dia tadinya hendak mencari Milana dan
Bun Beng, bahkan agak malu pula dia mengatakan bahwa dia hendak ke Pulau Neraka
mencari gurunya, karena bukankah Pulau Neraka adalah milik pemuda ini? Maka
dia menjawab,
“Aku
hendak mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan semua pembantunya.”
Keng
In mengerutkan alisnya. “Hemmm.... mencari mereka ada keperluan apakah, Enci
Kwi Hong?”
“Aku
mau bunuh mereka!”
“Ehh!
Ada apa? Mereka itu lihai-lihai sekali! Mengapa kau hendak membunuh mereka?”
“Mereka
itu terutama Bhong Ji Kun, ketika masih menjadi pemberontak, telah menipu aku
sehingga aku terpikat bersekutu dengan mereka. Dengan terjadinya hal itu, aku
telah melkukan kesalahan besar terhadap pamanku.”
“Hemmm,
begitukah? Mereka pun pernah membujuk aku. Memang mereka harus dibunuh dan aku
akan membantumu, Enci Hong! Bahkan aku dapat membawamu kepada beberapa orang
di antara mereka.”
“Apa?
Benarkah itu, Keng In?”
“Benar,
aku tidak membohong. Beberapa hari yang lalu aku melihat beberapa orang anak
buah Bhong-koksu itu di dekat pantai Lautan Po-hai, dan agaknya mereka itu
bersembunyi di tempat sunyi itu.”
Berseri
wajah Kwi Hong. “Benarkah? Bagus, mari kauantar aku ke tempat itu, Keng In.
Tentu saja mereka itu harus bersembunyi karena mereka adalah pemberontak yang
dikejar-kejar pemerintah.”
“Mari,
Enci Hong. Tapi engkau benar-benar sudah tidak benci lagi kepadaku, bukan?
Sudah kaumaafkan kesalahanku terhadapmu yang sudah-sudah?”
Kalau
memikirkan apa yang telah dilakukan oleh pemuda ini di masa lalu, memang sukar
untuk melupakannya. Akan tetapi manusia tidak selamanya baik atau buruk, karena
keadaan manusia itu selalu berubah, pikirnya. Sekarang pemuda ini kelihatan
berubah sekali, mungkin hal ini juga terdorong oleh keadaan ibunya yang sudah
menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Apalagi pemuda itu jelas ingin
membantunya, tentu tidak mempunyai niat buruk.
“Aku
tidak lagi memikirkan hal yang lalu, Keng In. Aku percaya kepadamu.”
Wajah
yang tampan itu berseri girang dan berangkatlah Kwi Hong mengikuti Keng In
menuju ke pantai Lautan Po-hai yang tidak berapa jauh, hanya memakan perjalanan
beberapa hari saja dari situ.
Seperti
telah disaksikan oleh Suma Han dan kedua orang isterinya, di sebelah selatan
Pulau Es terjadi badai yang hebat. Ketika itu, perahu besar yang ditumpangi
oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan teman-temannya sedang berlayar ke
selatan. Bekas Koksu ini dan teman-temannya telah menderita kekalahan total dan
kegagalan yang bertubi-tubi sehingga pelayaran itu dilakukan dengan wajah
murung dan hati kesal. Usaha pemberontakan mereka dengan mengangkat Pangeran
Yauw Ki Ong gagal sama sekali, dan pangeran itu ternyata mempunyai hati khianat
sehingga terpaksa dibunuh oleh Bhong Ji Kun. Setelah tidak ada lagi pangeran
itu, tentu saja mereka tidak mempunyai pegangan untuk memberontak. Bahkan di
Pulau Es mereka mengalami pukulan hebat lagi, semua dikalahkan mutlak oleh
Pendekar Super Sakti sehingga mereka mendapatkan pengampunan dan diusir dari
pulau sebagai orang-orang yang kalah. Seperti anjing setelah mengalami
gebukan-gebukan! Bagi orang-orang yang terkenal di dunia persilatan seperti
mereka itu, tidak ada yang lebih memalukan dan merendahkan daripada diampuni
lawan setelah mereka kalah!
Memang
mereka sedang sial. Usaha pemberontakan gagal sama sekali, disusul dengan
kekalahan pribadi menghadapi Majikan Pulau Es. Kini, selagi mereka bingung ke
mana harus pergi dengan perahu mereka karena untuk mendarat amatlah berbahaya
setelah mereka kini menjadi orang-orang pelarian, tiba-tiba saja badai datang
mengamuk dan menyerang perahu mereka!
Perahu
itu sebetulnya sudah merupakan sebuah perahu besar menurut ukuran perahu
umumnya. Namun, setelah badai mengamuk menimbulkan gelombang-gelombang
setinggi anak bukit, perahu itu tidak lebih seperti sebuah mangkuk kecil di
tengah telaga. Dan tenaga orang-orang yang biasanya dianggap orang-orang yang
berkepandaian tinggi dan bertenaga besar, kini tiada bedanya seperti tenaga
semut-semut saja menghadapi tenaga air laut yang digerakkan badai. Perahu
dilempar ke sana-sini, dilontarkan ke atas dan diseret kembali ke bawah,
diputar-putar dan akhirnya perahu itu pecah berkeping-keping!
Bhong
Ji Kun dan anak buahnya tentu saja dalam keadaan seperti itu hanya dapat
berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Mereka tidak dapat saling melihat
ketika perahu itu pecah berantakan dan mereka terlempar ke lautan yang sedang
marah itu. Barulah mereka saling dapat melihat ketika badai telah lewat ke
timur dan lautan di bagian itu agak tenang dan ternyata bahwa yang berhasil
mencengkeram sebagian tubuh perahu yang pecah, yang hanya merupakan beberapa
potong papan besar bersambung-sambung, hanya ada lima orang saja. Dalam
keadaan setengah pingsan, lima orang ini naik ke atas papan-papan bersambung
itu, terengah-engah. Mereka ini adalah Gozan, orang Mongol yang bertubuh
tinggi besar itu, Liong Khek, Si Muka Pucat bertubuh kurus yang bersenjata
pancing. Thai-lek-gu, Si Pendek Gendut bekas jagal babi yang bersenjata
sepasang golok, dan dua orang Mongol yang tadinya adalah juru-juru mudi perahu
itu.
Berkat
pengalaman dan keprigelan dua orang bekas juru mudi inilah, maka pecahan
perahu yang kini ditumpangi mereka berlima itu akhirnya dapat keluar dari
daerah badai, kemudian dengan susah payah mereka mendayung mempergunakan papan
yang berapung, untuk menggerakkan perahu istimewa ini ke darat. Dan mereka
berhasil setelah melalui perjuangan mati hidup selama beberapa hari. Mereka
berhasil mendarat di tempat sunyi, di pantai Lautan Po-hai dalam keadaan
tenaga habis dan hampir mati kelaparan!
Kini
mereka sudah hampir dua pekan berada di guha-guha pantai Lautan Po-hai. Tenaga
mereka sudah pulih dan pada siang hari itu tiga orang bekas pembantu Koksu
bercakap-cakap di depan guha sedangkan dua orang bekas juru mudi kini bertugas
sebagai pelayan, memanggang ikan yang mereka tangkap di tepi laut.
“Sudah
lama kita menanti di sini, dan Im-kan Seng-jin belum juga muncul,” kata Liong
Khek yang sebagai orang terlihai di antara mereka berlima tentu saja otomatis
menjadi pemimpin mereka.
“Dalam
badai seperti itu, biarpun memiliki kepandaian selihai dia, kiranya takkan
banyak berdaya,” Thai-lek-gu berkata menggeleng-gelengkan kepala, masih ngeri
kalau mengenangkan peristiwa itu. Dia tidak dapat berenang sama sekali, maka
dapat dibayangkan betapa takutnya ketika itu, hanya untung oleh ombak dia
dilemparkan dekat pecahan perahu sehingga dapat menyelamatkan diri.
“Agaknya
dia dan yang lain-lain sudah mati ditelan ikan,” kata Gozan. “Lebih baik kita
tinggalkan saja dia. Tempat ini pun masih berbahaya. Kalau sampai ada nelayan
yang melihat kita dan melaporkan, kita akan celaka. Aku sudah khawatir sekali
ketika beberapa hari yang lalu ada perahu kecil meluncur cepat di lautan itu.”
“Tak
usah khawatir,” Liong Khek berkata, “Perahu kecit itu hanya ditumpangi
seorang, dan dia agaknya tidak memperhatikan ke sini. Pula, dia sudah pergi
beberapa hari yang lalu, kalau memang dia melaporkan, kiranya pada hari itu
juga sudah ada pasukan yang datang hendak menangkap kita. Akan tetapi, andaikata
demikian, kita takut apa kalau hanya menghadapi pasukan-pasukan biasa?”
“Sekarang
lebih baik kita lanjutkan rencana kita,” kata pula Gozan. “Kita dapat pergi ke
Mongol melalui dua jalan. Pertama melalui jalan barat, melintasi Propinsi
Liao-ning dan melalui Pegunungan Tai-hang-san sebelah utara. Akan tetapi jalan
ini berbahaya karena tentu kita akan bertemu dengan para penjaga yang menjaga
di Tembok Besar. Jalan ke dua adalah melalui sepanjang Sungai Yalu dan kemudian
terus ke barat melalui Mancu.”
“Melalui
Mancu? Gila, bukankah di sana pusatnya bangsa yang menjajah sekarang?”
“Justeru
karena itulah maka kita takkan diperhatikan, karena tidak akan ada yang
mengira bahwa kita berani lewat di sana. Di sana banyak terdapat orang Mongol,
maka bagiku aman, juga banyak terdapat orang Han. Dengan menyamar, kita mudah
saja melalui Mancu, kemudian ke barat dan menyelinap ke Mongol.” Gozan yang
sudah hafal akan seluk-beluk daerahnya itu menggambarkan keadaan dengan
coretan-coretan di atas tanah depan kakinya.
“Kalau
begitu, besok pagi-pagi kita berangkat pergi!” kata Liong Khek sambil menarik
napas panjang.
Tiba-tiba
terdedgar suara nyaring merdu, “Tidak usah besok, sekarang pun kalian akan
pergi ke neraka!”
Tampak
dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwi Hong dan Keng
In! Pemuda itu tersenyum-senyum saja dan berdiri di pinggiran dengan kedua
tangan bersedekap (terlipat di dada).
Mendengar
ucapan Kwi Hong dan ketika mereka mengenal dara ini, tiga orang itu sudah
meloncat berdiri. “Nona, apa kehendakmu dan apa artinya kata-katamu itu?” Liong
Khek bertanya, dan mukanya berubah pucat.
“Aku
datang untuk membunuh kalian! Mana Si Keparat Bhong Ji Kun, suruh dia keluar!”
“Dia....
mungkin sudah mati. Perahu kami pecah oleh badai dan yang dapat menyelamatkan
diri hanya kami berlima. Nona, kami telah dilepaskan pergi oleh paman Nona.
Kami telah dimaafkan....”
“Mungkin
Paman memaafkan, akan tetapi aku tidak! Penghinaan dan tipuan yang kalian
lakukan kepadaku hanya dapat ditebus dengan darah!” Sambil berkata demikian
Kwi Hong sudah mencabut pedangnya. “Singgg....!” Kilat berkelebat ketika pedang
Li-mo-kiam dihunus.
Tiga
orang itu menjadi kaget sekali. Liong Khek menoleh dan menghadapi Keng In yang
masih berdiri tenang dan tersenyum-senyum. “Wan-taihiap engkau adalah bekas
sekutu kami. Harap kau suka membantu kami dan menyuruh nona ini agar tidak
memaksa kami bertanding.”
Wan
Keng In tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalian ini orang-orang yang tak dapat
dipercaya dan berwatak pengecut, maka kalian memang sudah sepatutnya dibunuh.
Akan tetapi karena kalian berhutang kepada Enci Kwi Hong, biarlah dia yang
akan menagihnya. Aku hanya akan melenyapkan dua orang tiada guna itu!”
Tiba-tiba tangannya bergerak, tampak sinar berkelebat ketika pedang
Lam-mo-kiam dicabut dan tubuhnya hanya berkelebat sebentar lalu dia sudah
berdiri lagi di tempat tadi, pedangnya sudah disarungkan kembali, akan tetapi
dua orang pelayan bekas juru mudi yang tadinya berjongkok dekat perapian karena
terganggu pekerjaan mereka memanggang ikan itu telah roboh dengan kepala terpisah
dari tubuh, lehernya putus disambar sinar pedang Lam-mo-kiam!
Tiga
orang itu kaget bukan main dan tahulah mereka bahwa jalan satu-satunya bagi
mereka hanyalah melawan! Melihat sikap pemuda Pulau Neraka yang mereka tahu
lihai luar biasa itu, mereka hanya mengharapkan pemuda itu benar-benar memegang
kata-katanya dan tidak akan ikut campur, membiarkan dara itu seorang diri saja
melawan mereka. Kalau begini halnya, mereka masih ada harapan.
Biarpun
mereka juga maklum bahwa murid dan keponakan Pendekar Super Sakti ini lihai
sekali, namun mereka bertiga masa kalah melawan seorang gadis muda? Apalagi
mereka itu telah siap dengan senjata mereka. Gozan yang tak pernah bersenjata
itu mengandalkan kedua tangan dan kakinya dan ilmu gulat disamping ilmu
silatnya. Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Besar) pun ketika berhasil menyelamatkan
diri, sepasang golok penyembelih babinya masih tergantung di punggung. Adapun
Liong Khek sendiri yang kehilangan senjatanya, telah mencuri sebuah pancing
dari nelayan di Pantai Po-hai dan sudah membuat senjata pancing baru. Biarpun
tidak sekuat buatannya sendiri dahulu, namun cukup untuk dipergunakan karena
memang keistimewaannya adalah mempermainkan senjata aneh ini.
Melihat
betapa dua orang itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing, dan Gozan sudah
berdiri memasang kuda-kuda dengan kedua lengan dikembangkan seperti seorang
yang kerinduan siap memeluk kekasihnya, Kwi Hong menggerakkan pedangnya dan
membentak, “Bersiaplah untuk mampus!”
Akan
tetapi Liong Khek dan Thai-lek-gu sudah mendahului menggerakkan senjata
mereka. Sepasang golok Si Gendut Pendek itu menyambar dahsyat dari kanan kiri,
dan terdengar suara bersiut nyaring ketika tali pancing itu melecut udara dan
mata kailnya membalik, menyambar tengkuk Kwi Hong dari belakang.
Kwi
Hong maklum akan kelihaian para lawannya, makin dia cepat memutar pedang
menangkis sepasang golok sambil merendahkan tubuh dan menyelinap ke kiri untuk
menghindarkan sambaran mata kail. Si Gendut Pendek itu mengenal Li-mo-kiam,
cepat menarik kedua goloknya dan memutar golok itu untuk melanjutkan
serangannya, yang kiri menusuk dada, yang kanan menyerampang kaki. Juga Liong
Khek sudah menggerakkan tali pancingnya.
Kwi
Hong tadi meloncat ke kiri untuk menjauhi Gozan. Biarpun orang Mongol itu
bertangan kosong, namun dia maklum akan kelihaian orang ini dengan kedua
tangannya. Sekali kena dipegang orang itu, sukarlah untuk dapat lolos lagi.
Karena itu dia selalu bergerak menjauhinya agar jangan sampai Gozan mendapat kesempatan
menyergapnya dari belakang.
Wan
Keng In hanya berdiri tersenyum. Melihat wajah pemuda ini, sukar untuk
mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada dan di balik dahi itu. Akan
tetapi yang sudah jelas, matanya bergerak mengikuti gerak-gerik Kwi Hong,
penuh kagum, dan kadang-kadang mata itu dengan liarnya melayang ke arah dada,
pinggang, kaki dan wajah yang cantik dari gadis itu.
Pertandingan
itu berjalan seru dan biarpun dikeroyok tiga, Kwi Hong tetap saja dapat
mendesak. Hal ini bukan hanya karena tingkat ilmunya memang jauh lebih tinggi,
akan tetapi terutama sekali karena tiga orang itu jerih menghadapi keampuhan
Li-mo-kiam yang dahsyat dan mengandung hawa mujijat itu. Betapapun juga,
tidaklah terlampau mudah bagi Kwi Hong untuk merobohkan mereka, karena tiga
orang itu bertanding untuk mempertahankan nyawa mereka!
Lima
puluh jurus telah lewat dan masih belum ada di antara mereka yang terluka,
kecuali golok kiri Thai-lek-gu patah ujungnya terbabat Li-mo-kiam. Karena
maklum bahwa kalau mereka hanya mempertahankan diri saja, lambat laun tentu
mereka akan menjadi korban Li-mo-kiam, maka tiga orang itu pun berusaha untuk
membalas dan merobohkan gadis yang perkasa itu. Pendeknya, pertandingan itu
bagi mereka hanya berarti membunuh atau dibunuh!
Pada
saat untuk kesekian kalinya sepasang golok Thai-lek-gu menyambar, Kwi Hong
berusaha menangkis dan mematahkan golok dan Si Gendut itu memang hanya
mengacau untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya. Melihat dara itu
menggerakkan pedang menghalau golok-golok yang mengancamnya, Liong Khek
menggerakkan pancingnya yang kini diulur panjang untuk melibat pinggang dan
leher dara itu! Kwi Hong memang suddh menanti hal ini terjadi karena dia
merasa penasaran dan kehilangan sabar setelah sekian lamanya belum juga dapat
merobohkan mereka. Begitu tali pancing melecut udara dan menyambar, Kwi Hong
menggerakkan tangan kirinya menangkap tali pancing! Liong Khek berseru girang,
dan seruan ini merupakan aba-aba bagi kedua orang temannya. Sepasang golok itu
menyerang dari kanan kiri, sedangkan Gozan menubruk dari belakang!
Kwi
Hong mengerahkan sin-kang, menarik tali pancing dengan tangan kiri, ketika
sepasang golok menyambar, kembali dia memutar pedangnya dan melepas tali
pancing dengan tiba-tiba sehingga mata kail itu meluncur ke arah pemiliknya!
Tentu saja Liong Khek dapat menyelamatkan diri dan pada saat pedang Kwi Hong
berhenti bergerak karena dua batang golok itu ditarik kembali pada saat yang
sama, mata kail itu sudah menyambar ke arah mukanya dan sepasang golok sudah
menjepit pedang, sedangkan Gozan menubruk dari belakang, tahu-tahu kedua
tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang!
Kwi
Hong tidak menjadi gugup. Dia merendahkan tubuh dan dimiringkan, akan tetapi
dia tidak mengira bahwa gerakan Gozan memang cepat sekali dan tahu-tahu elakan
itu masih belum cukup untuk menghindarkan kedua tangan Gozan dan kini tangan
kanan raksasa Mongol itu sudah meraih pinggang Kwi Hong dan lengannya merangkul
ketat! Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Pedang yang terjepit sepasang golok
itu dia betot sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi. Terdengar suara “krakkk!”
ketika sepasang golok itu patah-patah dan pedangnya terus membabat ke belakang.
“Crokkkk!
Aughhh....!” Tubuh Gozan terguling, lengan kanannya putus sebatas pundak akan
tetapi lengan yang besar itu masih melingkari pinggang dan jari-jari tangannya
masih mencengkeram baju gadis itu!
“Ihhhh!”
Kwi Hong bergidik dan merenggut lengan itu dengan tangan kirinya, membuangnya
ke samping.
“Brettt!”
Baju di bagian perutnya terobek oleh jari-jari tangan itu. Untung pakaian
dalam hanya ikut terobek sedikit sehingga hanya sedikit bagian kulit perutnya
yang putih bersih itu tampak!
Sambil
menutupi bagian robek dengan tangan kiri, Kwi Hong membalikkan tubuh dan
pedangnya berkelebat merupakan gulungan sinar pedang yang seperti kilat
menyambar di waktu hujan. Tampak darah muncrat dan terdengar pekik-pekik
mengerikan ketika tubuh Gozan dan tubuh Thai-lek-gu hampir berbareng roboh dengan
pinggang hampir terpotong!
Liong
Khek menjadi pucat. Maklum bahwa dia tidak dapat melarikan diri, dia menjadi
nekat. Mata kailnya menyambar dengan gerakan berputaran, mata kail meluncur
turun menyerang ke arah mata Kwi Hong! Dan pada saat berikutnya, dia sendiri
telah menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan sin-kang ke arah dada
dara itu.
“Heiiittt....
blessss! Aduhhh....!” Kwi Hong telah merubah kedudukannya, setengah berjongkok
dengan kecepatan mengagumkan sehingga mata kail itu tidak mengenai sasaran,
kemudian dari bawah pedangnya meluncur dan amblas memasuki perut Liong Khek
sampai menembus punggung dan secepat kilat tubuh dara itu sudah meloncat ke
belakang sambil menarik kembali pedangnya sehingga darah yang muncrat itu tidak
sampai mengenai pakaiannya. Liong Khek terhuyung lalu roboh menelungkup tanpa
bersambat lagi.
Terdengar
orang bertepuk tangan. “Bagus sekali! Kau sungguh hebat Enci Hong!”
Mulutnya
memuji akan tetapi matanya mengincar ke arah sebagian perut yang tidak tertutup
tadi! Kwi Hong segera menutupi perutnya, mengeluarkan selembar saputangan
sutera dan menggunakan saputangan itu untuk diikat dan menutupi bagian yang
robek.
Kwi
Hong menyarungkan pedangnya, memandang tiga buah mayat musuhnya dan dia
berlutut, menutupi mukanya, terisak sedikit lalu membuka pula kedua tangan yang
menutupi muka dan.... tertawa!
“Kau
hebat, Enci Hong. Tentu kau sudah puas sekarang?”
“Masih
belum! Mereka ini hanya kaki tangannya, yang menjadi musuh besar utama adalah
Bhong Ji Kun!”
“Akan
tetapi agaknya kau kalah dulu oleh badai. Menurut penuturan mereka tadi, perahu
mereka pecah oleh badai dan hanya mereka yang selamat.”
Kwi
Hong bangkit berdiri, menarik napas panjang. “Sayang sekali kalau begitu.”
“Aku
tahu bahwa kau mendendam sakit hati hebat, karena itu tadi pun aku tidak mau
turun tangan membantumu. Tentu saja aku yakin kau akan menang. Kalau aku
membantumu tentu kau akan kecewa.”
Kwi
Hong tersenyum kepadanya. “Terima kasih, Keng In. Engkau baik sekali. Dan
melihat engkau begitu baik, benar-benar menimbulkan rasa kasihan di hatiku.”
“Eh,
kasihan kepadaku, Enci Hong?” Keng In benar-benar merasa heran. “Mengapa
engkau merasa kasihan kepadaku?”
Mereka
bicara sambil berjalan pergi meninggalkan mayat-mayat itu. Agaknya mereka
berjalan asal menjauhi mayat-mayat itu saja, tanpa tujuan tertentu, berjalan
sepanjang pantai laut.
Tiba-tiba
Kwi Hong menoleh kepada pemuda itu.
“Keng
In, bukankah engkau mencinta Milana?”
Keng
In terkejut, mengira bahwa Kwi Hong tahu bahwa dia menculik Milana, akan tetapi
dia dapat menekan perasaannya. “Dugaanmu benar, Enci Hong. Aku mencinta
Milana, akan tetapi keadaannya menjadi rusak dan kacau sekarang ini. Milana
adalah puteri ayah tiriku, bagaimana mungkin....?”
“Bukan
itu saja.” Kwi Hong menghela napas. Gadis itu merasa hidup sebatang kara,
setelah dia menganggap bahwa pamannya membencinya, semua orang membencinya,
dan tadinya harapannya tertumpah kepada Bu-tek Siuw-jin. Kini, sebelum
bertemu dengan gurunya itu dia bertemu dengan Keng In yang bersikap baik, maka
dia tidak ingat apa-apa lagi dan mendapatkan seorang yang dapat dia ceritakan
segalanya untuk menumpahkan semua kedukaan dan kekecewaannya. “Bukan itu saja,
akan tetapi kini Milana lenyap, kabarnya diculik orang....”
“Ehhh....?”
Keng In terkejut, benar-benar terkejut bukan pura-pura. Hanya kalau Kwi Hong mengira
dia terkejut mendengar dara yang dicintanya hilang, adalah sebenarnya Keng In
sendiri terkejut bukan karena itu, melainkan karena mengira bahwa Kwi Hong
benar-benar telah tahu bahwa dia penculiknya! “Diculik.... siapa....”
“Entahlah,
aku sendiri tidak tahu. Tadinya kusangka engkau, akan tetapi melihat perubahan
pada dirimu, tentu bukan kau yang melakukan perbuatan keji itu. Akan tetapi,
juga bukan karena Milana diculik orang itu yang membuat aku kasihan kepadamu,
Keng In.”
Dapat
dibayangkan betapa lega hati Keng In.
“Eh,
ada apakah lagi yang lebih hebat dari berita hilangnya Milana itu?”
“Ada
yang lebih hebat, dan lebih menyedihkan untukmu, juga untukku...., bahwa
Milana telah ditunangkan dengan Gak Bun Beng.”
Berita
ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi Keng In! Di dalam hatinya
seolah-olah ada api membakar dan kalau tadinya dia hanya cemburu karena Milana
mencinta Bun Beng, kini cemburu itu makin berkobar karena dara yang dicintanya
itu ternyata telah dijodohkan dengan pemuda yang makin dibencinya itu. Akan
tetapi dia memang hebat. Semuda itu dia telah pandai menguasai dirinya
sendiri sehingga dia hanya menunduk saja, tidak tampak marahnya hanya
kelihatan seperti orang yang berduka.
Sampai
lama mereka tidak berkata-kata, hanya melangkah terus perlahan-lahan di
sepanjang pantai yang dijilati lidah-lidah ombak yang membuih.
“Enci
Hong.... kau tadi bilang bahwa hal itu juga menyedihkan hatimu. Mengapa?”
“Tidak
mengertikah engkau? Seperti juga engkau, aku mencinta orang yang bukan
dijodohkan denganku....”
Keng
In menoleh dan menatap tajam wajah yang menunduk itu. “Kau.... kau juga
mencinta Bun Beng?”
Kwi
Hong mengangguk tanpa menoleh sehingga dia tidak melihat betapa sinar kemarahan
membuat wajah tampan itu menjadi menakutkan. Akan tetapi hanya sebentar, karena
segera terdengar kata-kata Keng In, halus dan seperti suara orang yang
benar-benar berniat jujur dan baik. “Betapapun juga, Enci Hong. Engkau adalah
keponakan dan murid Pendekar Super Sakti, aku adalah anak tirinya. Kiranya
sudah menjadi tugas kewajiban kita untuk mencari siapa penculik Milana dan ke
mana dia dibawa pergi.”
Kini
Kwi Hong menoleh dengan pandang mata terheran-heran. “Kau....? Hendak mencari
dan menolong Milana? Ahhh, betapa baik hatimu. Sungguh tak kusangka! Kau
membikin aku merasa malu, Keng In. Aku sendiri tadinya sudah tidak peduli
karena kedukaan dan kekecewaanku. Kau benar, kita harus mencari dia, harus
mencari Bun Beng. Biarpun hati kita dihancurkan, dipatahkan, namun kita harus
menemukan mereka dan menyuruh mereka kembali ke Pulau Es.”
“Kalau
begitu marilah kita mencari mereka, Enci. Hong! Lihat, Sepasang Pedang Iblis
berada di tangan kita! Ha-ha-ha, Siang-mo-kiam telah menggegerkan dunia. Sekali
ini pun akan menggegerkan dunia, akan tetapi dengan cara lain! Kita akan
bekerja sama, bahu-membahu menumpas musuh-musuh kita!”
Tentu
saja Kwi Hong terbawa oleh kegembiraan Keng In yang mencabut Lam-mo-kiam dan
mengangkatnya tinggi-tinggi itu. Dia tidak mengartikan lain dengan sebutan
“musuh-musuh kita” maka dia pun mencabut Li-mo-kiam, mengangkatnya di atas
kepala dan dengan wajah berseri berseru, “Siang-mo-kiam akan menggegerkan dunia
dan musuh-musuh kita akan tertumpas habis!”
Siang
hari itu mereka berhenti di dalam sebuah hutan. Keng In menurunkan bangkai
kijang yang tadi diburu dan bangkai kijang yang tadi diburu dan dibunuhnya. Kwi
Hong sudah mempersiapkan bumbu-bumbu yang tadi mereka beli di dusun terakhir
di luar hutan. Keng In memilih daging-daging yang lunak dan memberikannya
kepada Kwi Hong yang melumurinya dengan bumbu yang sudah diaduk dengan air,
kemudian daging-daging itu mulai mereka bakar di atas api unggun.
“Sayang
tidak ada nasi,” kata Kwi Hong.
“Makan
daging saja asal cukup banyak juga kenyang. Dan aku masih mempunyai simpanan
arak,” kata Keng In.
Maka
makanlah keduanya. Kwi Hong makan dengan lahap karena hatinya senang. Dia
merasa mendapatkan teman seperjalanan yang menyenangkan dalam diri Keng In. Dia
merasa seolah-olah Keng In memang sejak dahulu adiknya sendiri! Dan ajakan Keng
In untuk mencari Milana dan Bun Beng menimbulkan semangat kembali, tidak
seperti sebelum ini, acuh tak acuh. Dunia masih lebar dan bukan hanya Bun Beng
seorang laki-laki di dunia ini, sungguhpun sukarlah menemukan ke duanya!
Setelah
perutnya penuh dengan daging bakar yang harum dan gurih, dan kepadanya agak
ringan oleh arak Keng In yang benar-benar keras, harum dan tua itu, Kwi Hong
duduk menyandarkan punggungnya di bawah pohon besar. Tempat itu teduh sekali,
melindunginya dari panas matahari. Angin bertiup dan Kwi Hong yang kelelahan
dan kekenyangan itu seperti dikipasi, tanpa disadarinya lagi dia telah
tertidur sambil menyandar batang pohon!
Malam
hampir tiba ketika Kwi Hong mengeluh dan membuka matanya. “Auggghh....
kepalaku pening....”
Keng
In segera mendekati dan berlutut di depan Kwi Hong. Dara itu membuka matanya,
memandang heran. “Di mana aku....? Kau.... kau....?”
“Enci
Hong, kau kenapakah? Aku Keng In. Kau kenapa....?”
“Ahhh,
Keng In.... hampir aku lupa kepadamu.... entah, kepalaku pening.... aku
bingung....”
“Tenanglah,
Enci Hong dan jangan khawatir, aku membawa obat untukmu. Rebahlah dan minum
obat ini....” Keng In mengeluarkan sebotol obat cair yang berbau harum, memberi
gadis itu minum obat ini. Kwi Hong yang berada dalam keadaan setengah ingat itu
tidak membantah, dengan penuh kepercayaan dia minum obat itu, kemudian karena
kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, dia tidur lagi dan tak lama
kemudian dia menjadi pulas.
Melihat
dara itu sudah tidur nyenyak, Keng In tersenyum lebar dan matanya mengeluarkan
sinar yang aneh, kemudian dia menyimpan sisa obat yang masih banyak,
membesarkan api unggun dan rebah di atas rumput untuk mengaso. Sukar baginya
untuk bisa tidur pulas karena pikirannya penuh oleh pengalaman hari itu. Yang
selalu terbayang olehnya adalah wajah Bun Beng, dibayangkannya dengan kemarahan
dan kebencian besar. Milana mencinta Bun Beng, dan Kwi Hong juga mencinta Bun
Beng! Semua orang mencinta Bun Beng dan membencinya! Biarlah dia akan menjadi
Gak Bun Beng. Dia akan makan dan menikmati kembangnya, biarlah Bun Beng yang
terkena durinya! Dia melirik ke arah Kwi Hong. Obat yang diberikannya tadi
akan memperkuat obat yang terdahulu, yang berada di dalam araknya, dan obat itu
membutuhkan waktu beberapa lama untuk bekerja dengan baik. Masih banyak waktu
untuk bersenang-senang, pikirnya dan sambil tersenyum karena hatinya lega,
tidurlah Keng In.
Pada
keesokan harinya, menjelang pagi, Kwi Hong terbangun. Dia mengejap-ejapkan
kedua matanya, lalu menggosok-gosok matanya, mengerutkan alisnya. Di mana dia
dan mengapa dia berada di hutan? Cuaca remang-remang dan keadaan sekelilingnya
hanya diterangi oleh sinar api unggun. Dia bangkit duduk dan tiba-tiba
terdengar suara orang memanggil, “Kwi Hong....!”
Kwi
Hong menoleh ke kanan dan otomatis tubuhnya bersiap siaga. Biarpun dia tidak
ingat apa-apa lagi namun ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya itu
menggerakkan tubuh tanpa membutuhkan ingatan lagi!
Melihat
munculnya seorang laki-laki muda yang memakai sebuah caping (topi) bundar, dia
membentak sambil meloncat berdiri, “Siapa kau?”
Pemuda
bercaping bundar itu terbelalak heran. “Kwi Hong, lupakah engkau kepadaku,
kepada laki-laki yang kaucinta dan yang mencintamu? Lihatlah wajahku, lihatlah
capingku, apakah kau tidak ingat kepadaku lagi?”
Kwi
Hong tercengang keheranan, mengerahkan ingatannya untuk mengenal siapa pemuda
ini, akan tetapi percuma saja. Ada bayangan di balik otaknya bahwa dia memang
mengenal pemuda ini dan merasa suka kepada wajah yang tampan itu, akan tetapi
tidak ingat lagi.
“Aku
tidak tahu.... aku tidak ingat.... siapakah engkau....?”
“Kwi
Hong, dewiku tersayang. Aku adalah Gak Bun Beng, kekasihmu!”
Mendengar
nama Gak Bun Beng ini, Kwi Hong menjadi lemas. “Bun.... Bun Beng! Ahhh, Bun
Beng....!” Dan dia menangis sambil jatuh terduduk.
Pemuda
itu cepat berlutut di depannya dan melingkarkan lengan ke lehernya, memeluknya
dengan mesra. Biarpun pada waktu itu ingatan Kwi Hong sudah lenyap sama sekali
sehingga dia tidak lagi dapat mengingat bagaimana wajah Bun Beng, akan tetapi
mendengar nama itu sudah cukup menggerakkan hatinya, nama yang tak pernah
terlupa olehnya. Otomatis, karena hatinya amat tertekan tadinya sebelum dia
kehilangan ingatan, dan kini seolah-olah memperoleh obat penawar yang
menyejukkan, kedua lengannya balas memeluk pemuda itu. Mereka berpelukan dan
Kwi Hong terisak penuh rasa girang dan lega. Pemuda itu memegang dagunya,
mengangkat muka, dan ketika pemuda itu menciumnya, mencium pipinya, hidungnya,
mulutnya, Kwi Hong hanya mengeluarkan suara rintihan terharu dan memejamkan
kedua matanya!
Sebelum
kehilangan ingatannya, Kwi Hong merasa betapa hatinya hancur, terutama sekali
karena Bun Beng yang dicintanya itu dijodohkan dengan Milana. Habis harapannya
untuk dapat berjodoh dengan pemuda yang dicintanya itu, dan telah ada kenyataan
bahwa pemuda yang dicintanya itu takkan dapat diraih olehnya, maka cintanya
terhadap pemuda itu seolah-olah bertambah, dan dia merasa rindu sekali kepada
Gak Bun Beng. Oleh karena itulah, kerinduan yang masih mencengkeram bawah
sadarnya, kini timbul ketika pemuda yang dicintanya itu telah memeluk dan
menciumnya. Tanpa dorongan rasa rindu yang hebat itu kiranya dia tidak akan
menerimanya begitu saja pencurahan kasih sayang dari seorang pria terhadapnya,
keadaan yang sama sekali masih asing baginya ini. Tapi sekarang Kwi Hong sama
sekali tidak memberontak bahkan di luar kesadarannya, hidung dan bibirnya
bergerak membalas ciuman pemuda itu dengan gairah yang meluap-luap.
“Kwi
Hong.... ah, Kwi Hong.... kekasihku.... hanya engkaulah wanita yang
kucinta....!” Laki-laki itu berbisik sambil memperketat dekapannya dan membawa
Kwi Hong rebah di atas rumput.
“Bun
Beng.... ohh, Bun Beng....!” Kwi Hong memejamkan matanya dan sama sekali tidak
peduli lagi akan apa yang dilakukan oleh pemuda yang dicintanya itu terhadap
dirinya. Dia menyerah bulat-bulat, menyerahkan hati dan tubuhnya dengan penuh
kerelaan, bahkan dia membantu penyerahan itu karena dia pun membutuhkan kasih
sayang pemuda ini. Maka terjadilah hal yang tak dapat dielakkan lagi dalam
keadaan seperti itu. Hanya pohon-pohon, kabut pagi, dan burung-burung yang baru
keluar dari sarangnya saja yang menjadi saksi akan pencurahan cinta berahi
yang berlangsung pada pagi hari di bawah pohon besar itu. Pencurahan nafsu
berahi yang terjadi atas kehendak kedua pihak, dengan suka rela, sungguhpun Kwi
Hong melakukannya dalam keadaan hilang ingatan dan hanya merasa yakin bahwa dia
telah menyerahkan tubuhnya kepada orang yang dicintanya, Gak Bun Beng, dan
tidak akan merasa menyesal akan apa pun yang menjadi akibatnya. Adapun pemuda
itu, yang mudah saja diduga bukan Gak Bun Beng sesungguhnya melainkan Wan Keng
In, mula-mula menggunakan siasat ini, merampas ingatan Kwi Hong dengan obat
pemberian gurunya, kemudian menyamar sebagai Bun Beng, bukan semata-mata untuk
menikmati kemesraan tanpa perkosaan bersama Kwi Hong yang cantik dan yang
dikaguminya, melainkan didasari oleh niat untuk menghancurkan hidup Bun Beng!
Keng In ingin menanam kesan mendalam di hati Kwi Hong bahwa gadis itu telah
menyerahkan tubuhnya kepada Bun Beng, dan hal ini tentu saja kelak akan menjadi
penghalang bagi Bun Beng untuk melanjutkan perjodohahnya dengan Milana! Akan
tetapi, bukan sampai di situ saja rencananya untuk menjebloskan nama baik Bun
Beng ke pecomberan.
Setelah
mencurahkan kasih sayangnya kepada pemuda yang dicintanya, pengalaman pertama
selama hidupnya yang baru sekarang dialami akan tetapi sama sekali tidak
disesalkannya itu, Kwi Hong tertidur lagi kelelahan dan kepuasan. Ketika dia
bangun lagi, pemuda bertopi bundar itu telah berada di sisinya. Kwi Hong
menggeliat, seperti seekor kucing manja, membuka mata dan merangkulkan kedua
tangan ke leher laki-laki yang telah duduk di dekatnya, menarik muka yang
dicintanya itu dan kembali mereka berciuman.
“Hemmm....,
Bun Beng.... aku merasa berbahagia sekali....!”
Keng
In tertawa dan menarik tangan Kwi Hong bangun. “Hayo bangunlah, kita mandi di
telaga dekat sini, kemudian melanjutkan perjalanan.”
“Eh,
ke mana?” Kwi Hong bertanya sambil tersenyum manis, membetulkan pakaiannya yang
awut-awutan seperti juga rambutnya, akan tetapi yang bahkan menambah keaslian
kecantikannya.
“Ke
mana lagi, sayang? Bukanlah kita telah menjadi suami isteri, biarpun belum
resmi? Aku adalah suamimu, maka kau harus ikut bersamaku.”
Kwi
Hong menggeleng-geleng kepalanya. “Aku tidak ingat lagi.... di mana
rumahmu.... akan tetapi aku tidak peduli, Bun Beng. Bersama denganmu, aku akan
selalu merasa bahagia, biar kaubawa ke neraka sekalipun!”
Keng
In merangkul dan kembali mereka berciuman. “Kwi Hong.... pujaan hatiku....
kalau aku membawamu, bukan ke neraka, melainkan ke sorga. Aku.... aku cinta
padamu, Kwi Hong....!” Kalimat terakhir ini menggetarkan jantung Keng In karena
dia merasa betapa ucapan itu tidak dibuat-buat seperti kalimat yang lain! Dia
benar-benar merasa jatuh cinta kepada Kwi Hong! Sudah beberapa kali dia
berhubungan dengan wanita, baik dengan perkosaan maupun dengan suka rela karena
kenakalannya, akan tetapi semua itu hanyalah peristiwa badani saja. Anehnya,
setelah apa yang terjadi, setelah merasa sampai ke dasar dirinya betapa Kwi
Hong benar-benar menyerahkan segala-galanya dengan kasih sayang yang mesra,
agaknya kasih sayang dara itu mencekam perasaannya dan menggugah cintanya pula!
Sambil
tertawa-tawa bahagia, mereka berdua mandi di air telaga yang jernih. Mereka
mandi dengan telanjang bebas karena di dalam hutan itu sunyi tidak ada orang
lain lagi. Dalam kesempatan ini, sambil berendam di dalam air jernih, kembali
kedua insan itu mencurahkan perasaan mereka dan mengulangi perbuatan mereka di
bawah pohon tadi. Bagi dua orang yang sedang dimabok asmara, seperti sepasang
pengantin baru, agaknya keduanya tidak pernah merasa puas akan permainan cinta
ini.
Keng
In yang cerdik itu kini malah merasa khawatir kalau-kalau Kwi Hong sadar dan
ingatannya kembali lagi lalu menolak cintanya! Dia mulai merasa khawatir kalau
dia akan kehilangan Kwi Hong yang dicintanya ini! Sungguh keadaan menjadi
terbalik sama sekali! Karena itu, setiap hari dia selalu mencampurkan obat
perampas ingatai ke dalam minuman atau makanan Kwi Hong dan mereka melakukan
perjalanan cepat, hanya diseling dengan makan, tidur, dan bermain cinta.
Keng
In ingin cepat-cepat mengajak Kwi Hong ke Pulau Neraka, di mana dia ingin
menjalankan siasatnya selanjutnya untuk merusak hubungan antara Bun Beng dan
Milana. Selain itu, juga obat yang dibawanya tidak banyak. Kalau sampal obat
itu habis sebelum mereka tiba di Pulau Neraka, tentu akan berbahaya sekali.
Kwi Hong akan sadar kembali dan dia akan menghadapi kesulitan besar.
***
Biarpun
Milana masih dapat mempertahankan harga dirinya dan menolak dengan keras
ajakan Keng In yang menyamar Gak Bun Beng untuk bermain cinta, namun dara ini
merasa berduka sekali. Sepanjang ingatannya, kekasihnya yang bernama Gak Bun
Beng itu adalah seorang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan. Akan
tetapi siapa kira begitu datang pemuda yang dirindukannya itu hendak melakukan
pelanggaran yang amat merendahkan dirinya! Sepeninggal Bun Beng malam itu, dia
menangis dan berduka.
Biarpun
dia terbebas dari bahaya itu, namun Milana masih tetap menjadi seorang yang
seperti boneka hidup di Pulau Neraka. Dia masih belum ingat apa-apa karena
sebelum pergi Keng In telah memesan kepada anak buahnya yang dipimpin oleh
tokoh Pulau Neraka, Si Gundul Kong To Tek untuk setiap hari memberi obat
perampas ingatan itu dicampurkan dalam makanan yang disuguhkan kepada Milana.
Pada
suatu pagi, Milana duduk termenung seorang diri di belakang pondoknya di
Pulau Neraka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa malam tadi, Giam Kwi Hong
keponakan dan murid ayahnya telah mendarat di Pulau Neraka bersama Wan Keng In!
Andaikata dia melihat mereka mendarat, tentu dia akan menganggap Keng In yang
memakai caping itu adalah Bun Beng yang selama ini dia pikirkan dengan hati
risau, dan dia tentu tidak akan mengenal lagi Kwi Hong yang keadaannya sama
dengan dia.
Tiba-tiba
muncul Kong To Tek. Biarpun dia tidak mengenal siapa orang ini, akan tetapi
Kong To Tek bukan merupakan orang asing bagi Milana, karena Si Gundul inilah
yang melayani segala kebutuhannya. Pernah dia bertanya kepada Kong To Tek, ke
mana perginya Gak Bun Beng yang selama itu belum datang, dan dijawab bahwa
pemuda itu sedang pergi, akan tetapi tak lama tentu kembali.
“Nona,
Gak Bun Beng telah kembali ke pulau ini.” Kong To Tek berkata kepada Milana
sambil menyeringai. “Dan Nona diharapkan menemuinya di sana.”
Terjadi
perang di dalam pikiran Milana. Akan tetapi akhirnya, cinta kasih yang
sebetulnya tak pernah padam di dalam hatinya itu menang dan dia mengangguk.
“Di mana dia?”
“Di
dalam pondok kuning dekat pantai timur, Nona.”
Milana
lalu berjalan cepat menuju ke pantai timur. Dia sudah hafal akan keadaan di
Pulau Neraka dan sebentar saja dia telah tiba di pondok itu. Akan tetapi sunyi
saja di luar pondok dan ketika dia mendekat, terdengar olehnya suara orang
berbicara dan tertawa, suara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
bersendau-gurau dan bercintaan. Dia terheran-heran, lalu mengintai dari jendela
dari kamar tunggal pondok kecil itu.
Kamar
itu terang sekali dan tampak jelas olehnya segala yang terjadi di dalam kamar.
Dia melihat pemuda bertopi bundar, Gak Bun Beng yang dicintanya, sedang bermain
cinta dengan seorang wanita cantik, seorang wanita yang seperti telah
dikenalnya akan tetapi dia lupa lagi siapa wanita itu. Melihat adegan yang
selama hidupnya belum pernah disaksikannya itu, melihat betapa pria
satu-satunya yang dicintanya bermain gila dengan seorang wanita lain, tak
tertahan lagi Milana mengeluarkan suara isak tertahan, membalikkan tubuhnya
dan lari dari tempat itu!
Dari
dalam kamar di pondok kuning itu, biarpun dia sedang berkasih-kasihan dengan
mesra bersama Kwi Hong, Keng In yang sudah mengatur siasat itu maklum bahwa
siasatnya berhasil dan dia mendengar isak tertahan tadi. Diam‑diam dia
tersenyum bangga ketika menciumi Kwi Hong. Mampuslah kau, Bun Beng, pikirnya.
Milana tentu takkan sudi melanjutkan perjodohannya dengan Bun Beng setelah
terjadi dua hal itu. Pertama, Bun Beng hendak merayunya dan mengajaknya
berjina, ke dua, Bun Beng telah bermain cinta dengan wanita lain! Setelah
berhasil, dia akan membebaskan Milana. Biarlah Milana kembali ke daratan dengan
bekal kebencian yang meluap bagi Bun Beng! Dan dia sendiri.... dia sudah puas
dengan Kwi Hong. Hanya ada satu yang amat membingungkan dan menggelisahkan hati
Keng In. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Kwi Hong. Tidak mungkin kalau
selamanya dia harus membuat Kwi Hong kehilangan ingatannya seperti sekarang
ini. Obat itu adalah racun yang berbahaya, kalau terus menerus diberikan,
menurut gurunya, bisa membuat gadis itu menjadi gila betul‑betul! Akan tetapi,
kalau ingatannya kembali dan Kwi Hong mendapat kenyataan bahwa dia telah
menyerahkan dirinya bukan kepada Bun Beng, tapi kepada Keng In, apa yang akan
terjadi? Apakah Kwi Hong mau menerima nasib? Bagaimana kalau tidak? Dia takut
kehilangan wanita yang dicintanya!
Keng
In mengusir rasa gelisahnya. Setelah kedua orang itu puas berkasih-kasihan dan
Kwi Hong tertidur di kamar itu, Keng In segera meninggalkan pondok. Masih ada
sedikit lagi yang harus dia lakukan sebelum dia membebaskan Milana. Cepat ia
pergi ke pondok Milana, memakai caping lebar.
Milana
sedang duduk menangis di dalam pondok itu. Ketika mengengar ada orang datang
dia menoleh. Melihat bahwa yang datang adalah Bun Beng, dia bangkit berdiri.
“Manusia hina! Gak Bun Beng, hayo kau keluar dari sini!”
Keng
In membelalakkan matanya dan kelihatan terkejut. “Milana.... kekasihku, mengapa
kau marah‑marah kepadaku?”
“Jahanam,
jangan menyebut kekasih kepadaku! Engkau pernah merayuku, hal itu masih dapat
dimaafkan, akan tetapi apa yang telah kaulakukan di dalam pondok kuning
bersama perempuan lacur itu?”
“Milana!
Perempuan lacur yang mana kaumaksudkan? Aku datang bersama Giam Kwi Hong! Masa
kau tidak mengenal Giam Kwi Hong?” Keng In sengaja menekankan nama ini ke
dalam ingatan Milana.
“Aku
tidak kenal segala Giam Kwi Hong. Yang kulihat adalah bahwa perempuan tak tahu
malu di kamar itu bermain gila denganmu. Aku tidak sudi lagi melihat
tampangmu. Pergi!”
“Milana!
Dia itu bukan perempuan lacur, kalau dia cinta kepadaku, apakah aku harus
menolak? Gak Bun Beng bukan laki‑laki yang suka menolak cinta seorang wanita.
Giam Kwi Hong adalah murid dan keponakan ayahmu sendiri. Masa kau lupa?”
Milana
kelihatan bingung. Ayahnya? Siapa ayahnya? Giam Kwi Hong? Seperti pernah dia
mendengar nama ini. Murid dan keponakan ayahnya?
“Siapa?
Ayahku....?”
“Ayahmu
Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!”
Disebutnya
nama ini seolah‑olah merupakan guntur di siang hari memasuki telinga Milana.
Inilah kesalahan Keng In. Nama Suma Han sebagai Pendekar Super Sakti telah
berakar dalam ingatan Milana yang menjadi puterinya, maka begitu disebut nama
ini, biarpun segala hal yang terjadi masih belum diingatnya, namun yang jelas
dia tahu bahwa Bun Beng telah menghina ayahnya karena berjina dengan murid dan
keponakan ayahnya itu! Ini saja sudah cukup baginya.
“Keparat,
kau menghina ayahku!” Tiba‑tiba kaki Milana menendang dan sebuah bangku
melayang ke arah muka Keng In.
“Haiii!”
Keng In memukul bangku itu. “Brakk!” Bangku pecah berantakan akan tetapi Milana
sudah menerjang maju dengan pukulan tangannya. Keng In kaget sekali, tidak
mengira bahwa Milana menyerangnya dengan marah seperti itu. Dia cepat mengelak
dan meloncat keluar, di hatinya dia tertawa girang. Milana sudah mulai membenci
Gak Bun Beng! Karena tidak ingin melayani Milana yang mengamuk itu, Keng In
cepat berlari kembali ke pondok kuning.
Akan
tetapi tiba‑tiba dia berhenti dan berdiri terpukau ketika melihat Kwi Hong
sudah berdiri di depan pondok dengan pedang Li‑mo‑kiam di tangan dan mukanya
merah, sepasang matanya berkilat! Keng In terperanjat, dan bulu tengkuknya
meremang. Sepasang mata yang marah itu ditujukan kepadanya. Apakah karena dia
tidak memakai caping bundar yang terlempar jauh ketika dia diserang Milana
tadi? Ah, tidak mungkin! Kwi Hong sudah menganggapnya Bun Beng, pakai caping
atau pun tidak! Akan tetapi mengapa?
“Wan
Keng In! Aku tahu bahwa kau yang menculik Milana. Hayo serahkan Milana padaku!”
Kwi Hong berseru dan mengelebatkan Li‑mo‑kiam di tangannya. Keng In terbelalak.
Jelas bahwa dara itu adalah Kwi Hong, wanita yang selama hampir dua pekan ini
setiap hari berenang dalam lautan cinta yang mesra dengan dia! Dan wanita ini
selalu menganggapnya Gak Bun Beng. Kenapa sekarang tiba‑tiba menyebutnya Wan
Keng In? Sudah sadarkah dia? Tak mungkin! Tadi sebelum pergi, dia sudah
menyediakan minuman bercampur obat untuk Kwi Hong!
Memang
amat mengherankan bagi yang tidak melihat apa yang terjadi dengan diri
Kwi Hong ketika Keng In pergi tadi. Baru saja Keng In pergi dan Kwi Hong masih
tidur pulas dengan wajah membayangkan senyum kepuasan, sesosok tubuh yang
pendek menyelinap ke dalam kamar itu membuang isi cawan minuman dan menukarnya
dengan benda cair yang dituangkan dari guci arak yang dibawanya. Kemudian
bayangan itu menyelinap keluar lagi setelah dia mengguncang kaki Kwi Hong yang
terbangun.
Kwi
Hong memandang ke kanan kiri, melihat cawan di atas meja. “Bun Beng....?” Dia
memanggil akan tetapi tidak ada jawaban. Diambilnya cawan itu dan diminumnya.
Tiba‑tiba dia berteriak kaget, meloncat bangun akan tetapi terbanting jatuh
lagi ke atas dipan itu dan jatuh pingsan!
Bayangan
pendek yang bukan lain adalah seorang kakek tua renta, Bu‑tek Siauw‑jin, masuk
ke kamar itu dan menggeleng kepala sambil mengeluarkan suara “ck‑ck‑ckk!”
Dengan perlahan dia lalu mengurut‑urut punggung muridnya itu, di sepanjang
tulang punggung dari bawah sampai ke tengkuk.
Kwi
Hong siuman, bangkit duduk dan menggoyang‑goyang kepalanya. “Aihhhhh, di mana
aku....?”
“Kwi
Hong....”
Dia
menoleh, terkejut melihat gurunya telah berdiri di kamar itu. Cepat dia
meloncat turun dan berlutut, membetulkan pakaiannya yang tidak karuan.
“Suhu!
Apa artinya ini? Di mana teecu? Dan.... dan.... Bun Beng....” Gadis ini telah
pulih kembali ingatannya berkat obat yang diberikan Bu‑tek Siauw‑jin dan urutan
tangannya tadi. Dia teringat akan semua yang dialaminya dengan Bun Beng maka
dia terkejut melihat gurunya dan tidak melihat kekasihnya di situ.
“Kwi
Hong,” suara Bu‑tek Siauw‑jin tidak seperti biasanya, kini terdengar tegas dan
sama sekali tidak tampak sendau‑guraunya, bahkan alisnya yang putih itu
berkerut. “Kau agaknya tidak tahu bahwa kau berada di Pulau Neraka.”
“Ehhh....?
Apa teecu mimpi....?” Ada rasa kecewa di hatinya. Kalau hanya mimpi, jadi semua
pengalamannya yang luar biasa dengan Bun Beng itu pun hanya mimpi?
“Tidak,
kau tidak mimpi. Akan tetapi ketahuilah bahwa Milana diculik oleh Wan Keng In,
dan kau harus menolongnya keluar dari sini. Awas, dia datang!” Kakek itu
berkelebat dan lenyap.
Mendengar
nama Wan Keng In disebut sebagai penculik Milana, Kwi Hong menjadi terkejut.
Kini teringatlah dia betapa Wan Keng In telah membantunya membunuh tiga orang
musuhnya, membantu memberi tahu tempat mereka dan betapa dia melakukan perjalanan
bersama Wan Keng In. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan bagaimana dia
berpisah dan Wan Keng In kemudian bertemu Bun Beng. Di mana sekarang Bun Beng?
Betapapun juga, mendengar perintah gurunya, cepat dia membereskan pakaiannya,
menyambar Li‑mo‑kiam dan menanti di luar. Begitu dia mengenal Wan Keng In yang
datang, dia segera menegurnya.
“Enci
Kwi Hong.... kau.... kau.... bagaimana bisa tahu?”
“Tak
perlu kauketahui, pendeknya aku tahu bahwa kau menculik Milana dan aku minta
kau segera membebaskannya agar dapat pergi keluar dari Pulau Neraka ini
bersamaku. Selain itu, kalau kau berani menjebak Gak Bun Beng, terpaksa aku
takkan memandang persahabatan kita lagi. Di mana dia?”
Keng
In menahan ketawanya, hatinya girang. Kiranya gadis ini masih belum tahu bahwa
Gak Bun Beng yang selama belasan hari ini mabuk dalam peluk ciumnya, adalah dia
sendiri! “Oohhh dia? Begini, Enci Kwi Hong. Dahulu, ketika kau melakukan
perjalanan bersamaku, di tengah jalan aku bertemu dia dan.... dan...., aku
mendengar bahwa Milana diculik orang maka aku titipkan kau kepadanya dan aku
sendiri lalu mencari Milana, berhasil dan kubawa ke sini.... ada pun.... ada
pun dia itu....” Keng In menjadi bingung sekali, bukan hanya karena Kwi Hong
secara tiba‑tiba kembali pulih ingatannya, akan tetapi juga karena urusan
menjadi berbalik arah! Kini dia tidak ingin gadis ini pergi meninggalkannya!
Maka dia menekan hatinya dan mengambil keputusan untuk terang‑terangan saja
karena kalau tidak tentu Kwi Hong juga segera pergi meninggalkan dia!
“Begini,
Kwi Hong.... dengarlah baik-baik dan tenangkan hatimu. Kita sama tahu bahwa
Milana dan Bun Beng saling mencinta, bahkan mereka telah dijodohkan menjadi
calon suami isteri. Engkau mencinta Bun Beng dan aku mencinta Milana, akan
tetapi cinta kita keduanya gagal. Karena itu, setelah aku melihatmu, aku merasa
kasihan, dan.... dan kita berdua yang gagal dalam cinta kasih ini bukanlah
telah saling menemukan? Aku akan bebaskan Milana, biar dia mencari Bun Beng dan
menikah. Aku.... aku akan berbahagia sekali hidup selamanya di sampingmu, Kwi
Hong.”
Muka
Kwi Hong berubah pucat. Ada firasat tidak enak menyelubungi hatinya. Dia mulai
mengingat‑ingat. Cerita Keng In yang pertama tadi tidak masuk akal sama sekali.
Pengakuan yang kedua lebih cocok.
“Wan
Keng In, jangan main gila kau! Apa maksudmu? Di mana Bun Beng?”
Dengan
nada suara sedih penuh kekhawatiran, Keng In menjawab, “Bun Beng tidak ada,
Kwi Hong. Yang ada hanya Keng In. Bun Beng adalah milik Milana, akan tetapi
Keng In adalah milikmu seperti engkau milikku, Kwi Hong.”
Wajah
itu menjadi makin pucat, jantungnya berdebar tegang. “Apa....? Apa maksudmu?”
“Kwi
Hong, engkau dan aku adalah sama-sama orang yang tidak disukai orang lain,
tidak ada yang mencinta, dan gagal dalam cinta. Engkau dan aku yang menguasai
Sepasang Pedang Iblis. Kita berdua dengan Sepasang Pedang Iblis di tangan akan
menjagoi seluruh dunia. Kalau kita berdua maju, siapa yang akan dapat
menandingi kita? Bahkan pamanmu, Pendekar Super Sakti sendiri belum tentu akan
dapat menangkan kita berdua. Kita sudah jodoh, Kwi Hong, dan aku cinta padamu.”
“Apa....?
Kau gila, Keng In!”
“Kita
berdua telah gila, akan tetapi dalam kegilaan itu kita dapat sepaham, dan kita
akan senasib sependeritaan. Kwi Hong, engkau isteriku, engkau telah menjadi
isteriku, selama dua pekan ini.... bukankah kita berdua telah saling
mencurahkan cinta kasih, demikian nikmat, demikian mesra.... ah, Kwi Hong,
dapatkah kau melupakan semua itu? Haruskah hubungan semesra dan sebahagia itu
dihentikan untuk mengejar yang tak mungkin didapat?
Kini
wajah Kwi Hong menjadi merah sekali, air matanya bercucuran. “Kau.... jadi
kau.... kau yang selama ini.... kusangka Bun Beng....?”
“Terpaksa
aku menyamar sebagai Bun Beng, karena aku ingin mendapatkan dirimu, cintamu,
tanpa perkosaan....”
Terdengar
jerit melengking disusul berkelebatnya Li‑mo‑kiam ketika Kwi Hong menyerang
Keng In. Pemuda ini cepat menangkis dengan Lam‑mo‑kiam dan bertandinglah
mereka. Tidak ada kata‑kata lagi yang keluar dari mulut mereka, karena keduanya
maklum bahwa siapa lengah dia binasa. Sepasang Pedang Iblis itu kini benar‑benar
beradu kekuatan dan keampuhan yang sama besarnya, digerakkan oleh dua orang
muda yang sama lihainya pula. Setelah kini Kwi Hong digembleng oleh Bu‑tek
Siauw‑jin, maka dia dapat mengimbangi kelihaian Keng In, karena dengan sin‑kang
yang dilatihnya di Pulau Es digabung dengan sin‑kang tenaga Inti Bumi yang
belum dikuasainya benar, dia kini memiliki tenaga sakti yang mujijat!
Tiba‑tiba
terdengar bentakan nyaring. “Gak Bun Beng manusia hina! Aku harus membunuhmu!”
Sebuah caping meluncur ke arah Keng In yang sedang bertanding melawan Kwi Hong.
Itu adalah capingnya yang tadi tertinggal di pondok, yang terlepas ketika dia
diserang Milana dan kini oleh gadis itu dilemparkan dengan pengerahan sin-kang
kepadanya. Tidak boleh dipandang ringan caping yang dilemparkan oleh Milana
ini. Karena sambitannya mengandung sin‑kang, maka caping itu meluncur dan
berputar seperti sebuah cakram baja yang kalau mengenai leher mungkin akan
dapat membuat putus leher itu. Akan tetapi tentu saja Keng In yang lihai tidak
menjadi gentar, bahkan menggunakan tangan kirinya menyambar capingnya itu dan
dipakainya lagi! Dia melakukan ini bukan semata‑mata hendak bergurau atau
memandang rendah Kwi Hong, melainkan untuk menyakinkan hati Milana yang
menganggapnya Bun Beng itu.
Milana
yang marah itu tidak peduli mengapa Gak Bun Beng berkelahi melawan wanita yang
dijadikan teman bercinta tadi dan yang menurut ucapan Bun Beng adalah Giam Kwi
Hong murid ayahnya! Dia sudah marah sekali kepada Bun Beng. Pertama, karena
Bun Beng sudah mengecewakan hatinya dengan tingkah lakunya yang buruk. Ke dua,
karena Bun Beng telah merusak kehormatan ayahnya dengan berjina bersama murid
ayahnya. Dengan kemarahan meluap Milana sudah melolos sabuk suteranya. Karena
dia tidak mempunyai senjata, kini dia menggunakan sabuk itu untuk menyerang Bun
Beng. Memang senjata ini merupakan senjata ampuh bagi Milana, maka begitu
sabuknya meluncur ke udara mengeluarkan ledakan‑ledakan kecil kemudian menyambar
turun ke arah Keng In, pemuda itu terkejut bukan main dan cepat‑cepat dia harus
meloncat ke kanan untuk mengelak sambil mengelebatkan pedangnya menyambar
ujung sabuk. Akan tetapi sabuk adalah benda lemas, apalagi berada di tangan
seorang ahli, sabuk itu seperti seekor ular hidup dapat mengelit serangan, dan
kalau mengenai pedang, dapat menjadi lunak sehingga lenyaplah daya ketajaman
pedang Lam‑mo‑kiam.
Kwi
Hong bingung sekali melihat keadaan Milana. Akan tetapi dia dapat menduga
bahwa tentu Milana juga tidak sadar, entah karena apa, seperti dia sendiri
yang mengira pemuda ini Gak Bun Beng sehingga dia mau.... digauli dan
menyerahkan tubuhnya sampai belasan hari lamanya! Teringat akan ini, hampir
saja dia menjerit‑jerit menangis dan kemarahannya tersalur ke pedang Li‑mo-kiam
yang mengamuk dahsyat. Bantuan Milana itu ternyata membuat Keng In merasa
terdesak juga, akan tetapi pemuda ini dapat mempertahankan dirinya dengan
baik. Baginya, melawan kedua orang wanita cantik itu benar‑benar merupakan hal
yang tidak menyenangkan. Yang dibenci adalah Bun Beng, dan biarpun dia sudah
“meloncat” Milana, namun di lubuk hatinya masih terdapat cinta kasih yang
mendalam sehingga dia tidak suka untuk melukai dara ini. Ada pun terhadap Kwi
Hong yang sudah menjadi “isterinya” juga tumbuh cinta yang mesra, dan tentu
saja dia pun tidak mau melukai, apalagi membunuh Kwi Hong. Padahal, kedua
orang dara itu menyerang sungguh‑sungguh untuk membunuhnya.
“Huhhh....
gadis‑gadis liar....!” Seruan ini disusul menyambarnya angin dahsyat yang
membuat Milana dan Kwi Hong terhuyung ke belakang.
“Suhu,
jangan....!” Keng In berseru ketika melihat gurunya Cui‑beng Koai‑ong muncul
dan telah menyerang dua orang dara itu dengan dorongan dari jarak jauh. Akan
tetapi kakek itu tidak peduli, sambil bersungut‑sungut seperti seorang kakek
yang marah karena diganggu tidurnya, dia meloncat ke depan seperti terbang
saja dan kedua tangannya kembali mengirim hantaman dari jarak jauh, kini dengan
pengerahan tenaga sakti yang luar blasa.
“Suhu....!”
Keng In kembali berteriak kaget.
“Dessss!”
Tubuh kedua orang kakek itu terpental ke belakang ketika pukulan dahsyat Cui‑beng
Koai‑ong bertemu dengan dorongan tangkisan yang dilakukan oleh Bu‑tek Siauw‑jin
yang muncul secara tiba‑tiba di tempat itu.
Melihat
gurunya sudah muncul menghadapi kakek mayat hidup yang mengerikan itu, Kwi
Hong sudah menyerang Keng In lagi. Juga Milana melanjutkan penyerangannya
kepada Keng In yang tetap dianggapnya Gak Bun Beng itu. Kini Keng In benar‑benar
merasa khawatir sekali, khawatir dan bingung.
“Haiii,
mundur kalian, jangan bantu aku!” Dia membentak Kong To Tek dan teman‑temannya,
sisa para anggauta Pulau Neraka, yang sudah maju mengurung hendak membantu
pemuda ini menghadapi dua orang gadis yang mengamuk itu. Tentu saja para anggauta
Pulau Neraka tidak berani maju, dan melihat betapa Cui‑beng Koai‑ong sudah
bertanding melawan Bu‑tek Siauw‑jin, mereka pun hanya saling pandang dengan
bingung. Membantu dua orang kakek yang saling bertanding ini mereka tidak
berani, karena keduanya merupakan datuk Pulau Neraka, membantu Keng In
dibentak. Mereka hanya dapat berdiri menonton dengan wajah tegang dan hati
bingung. Akan tetapi yang paling bingung adalah Wan Keng In. Dia tidak mengira
sama sekali bahwa akan begini jadinya. Siasatnya yang telah dilaksanakan dengan
serapi‑rapinya telah rusak berantakan dan semua ini adalah gara-gara kakek
pendek sinting yang kini bertanding melawan gurunya itu. Keng In memiliki
kecerdikan yang luar biasa sekali. Sambil menahan serangan Kwi Hong dan Milana
dengan Lam‑mo‑kiam di tangannya dan menggunakan kelincahannya berkelebatan ke
sana‑sini, otaknya mulai bekerja dan mempertimbang‑timbangkan keadaan. Kalau
pertandingan itu dilanjutkan dan gurunya menang atas kakek pendek, gurunya yang
sudah “kumat” kemarahannya itu tentu tidak mau sudah kalau belum membunuh Kwi
Hong dan Milana! Hal ini sama sekali tidak dikehendakinya karena dia maklum
bahwa dia sendiri tidak akan mampu mencegah gurunya yang berwatak aneh luar
biasa itu. Sebaliknya, kalau gurunya kalah, dan hal ini mungkin saja mengingat
bahwa susioknya Si Pendek Sinting itu memang memiliki kepandaian yang hebat
sekali, kalau gurunya kalah tentu dia akan terus didesak oleh dua orang wanita
ini. Kalau mereka dibantu oleh Bu‑tek Siauw‑jin, bagaimana dia akan dapat
meloloskan diri? Dan semua anak buah Pulau Neraka tentu tidak akan ada yang
berani membantunya menghadapi Bu‑tek Siauw‑jin. Sungguh celaka, pikirnya.
Setelah kedua kakek kakak beradik seperguruan itu bertanding sendiri, keadaan
menjadi berbahaya baginya. Gurunya menang pun celaka, gurunya kalah lebih
celaka lagi! Inilah namanya urusan yang benar‑benar tidak beres! Kalau tidak
cepat‑cepat mengambil tindakan yang tepat selagi gurunya dan susioknya (paman
gurunya) masih berhantam, tentu akan terlambat. Tiada jalan lain, dia harus
dapat memancing dua orang gadis ini keluar dari pulau sebelum kedua orang kakek
sinting itu saling bunuh!
Dengan
kecerdikan yang dapat membuat dia memperhitungkannya secara tepat ini, Keng In
lalu memutar pedangnya membuat gulungan sinar yang menyilaukan mata, kemudian
menggunakan kesempatan selagi dua orang dara itu melangkah mundur, dia meloncat
dan melarikan diri!
“Manusia
hina hendak lari ke mana kau?” Milana mengejar.
“Urusan
di antara kita belum beres!” Kwi Hong juga meloncat dan mengejar.
Keng
In lari ke tempat perahu di mana terdapat beberapa buah perahu dan memang dia
sengaja melakukan ini agar bukan dia seorang yang dapat keluar dari pulau,
melainkan juga dua orang dara itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi pantai,
pada saat itu tampak sebuah perahu kecil dari mana meloncat ke luar seorang
laki‑laki yang juga memakai caping bundar. Gak Bun Beng! Melihat munculnya
pemuda ini, diam‑diam Keng In terkejut dan mengeluh sendiri. Sungguh sialan dia
hari ini!
Sementara
itu, ketika Bun Beng yang baru datang melihat Milana, bukan main lega dan
girang hatinya. Dia tidak mempedulikan apa‑apa lagi dan langsung saja dia
menghadang Milana, mengembangkan kedua lengannya dan berkata, “Milana....
terima kasih kepada Tuhan.... engkau masih dalam keadaan selamat.....”
“Kau....?
Kau....?” Milana memandang bengong, sebentar memandang Bun Beng, kemudian
memandang Keng In yang juga bercaping bundar dan yang sudah lari terus kini
hanya dikejar Kwi Hong seorang.
“Milana,
kekasihku.... aku Bun Beng, lupakah kau....? Apa yang telah terjadi, Milana?”
Bun Beng mendekat dan memeluk dengan kaget dan heran melihat kekasihnya itu
tidak mengenalnya.
“Desss!”
Sebuah pukulan tangan kanan Milana mengenai dada Bun Beng. Dara itu serta
merta memukul begitu mendengar nama Bun Beng.
“Aihhh
mengapa, Milana?” Bun Beng terjengkang. Biarpun secara otomatis sin‑kangnya
sudah melindungi dada ketika pukulan tiba, namun karena pukulan itu tidak
tersangka‑sangka, ditambah lagi hatinya yang remuk melihat kekasihnya seperti
tidak mengenalnya, bahkan membenci dan memukulnya, Bun Beng terpukul dan
sejenak memandang nanar. Memang Milana masih dipengaruhi obat perampas ingatan.
Gadis ini sendiri bingung ketika di depannya ada “Bun Beng” lagi padahal Bun
Beng sedang dikejar. Maka tanpa banyak cakap lagi dia menghantam orang yang
mengaku Bun Beng ini. Baginya, yang teringat hanyalah bahwa nama Gak Bun Beng
adalah nama yang dibencinya, karena orang itu telah mengkhianati cintanya!
Setelah memukul, Milana berlari lagi mengejar Bun Beng pertama yang sudah
meloncat ke atas sebuah perahu dan mendayung perahu ke tengah lautan. Kwi Hong
juga sudah mendorong perahu kecil. Melihat ini, Milana meloncat jauh dan
bagaikan seekor burung walet dia sudah tiba di atas perahu Kwi Hong yang sudah
mulai meluncur itu. Melihat Milana, Kwi Hong berkata, “Milana, kau kembalilah.
Dia itu Bun Beng kekasihmu, sedangkan yang di depan itu....”
“Tutup
mulut dan mari kita kejar jahanam Gak Bun Beng itu!”
“Akan
tetapi, Milana....”
“Aku
tidak sudi bicara lagi tentang urusanmu. Kau mencintanya, bukan? Aku tidak
peduli biar kau seribu kali mencinta Bun Beng!”
“Aih,
Milana.... aku.... aku tidak apa‑apa dengan Bun Beng....”
Milana
memandang dengan penuh kemarahan. “Apa kaukira mataku ini sudah buta? Kau mau
menyangkal bahwa kau berjina dengan laki‑laki di depan itu?” Dia menuding ke
arah perahu yang ditumpangi Keng In.
Kwi
Hong terisak, duduk di perahu dan menangis. Apa yang harus dijawabnya? Tak
mungkin dia menyangkal. Agaknya Milana sudah melihat sendiri ketika dia bermain
cinta dengan Keng In di pondok kuning, Keng In yang disangkanya Bun Beng! Kata‑kata
Milana menghancurkan hatinya dan betapapun keras watak gadis ini, karena merasa
betapa dia telah terperosok ke jurang kehinaan, dia menangis terisak‑isak.
Milana
juga menjatuhkan diri duduk di atas langkan perahu di depan Kwi Hong. Gadis itu
adalah murid ayahnya. Giam Kwi Hong. Kini mulai samar-samar dia mengingat bahwa
ayahnya memang mempunyai seorang keponakan yang menjadi muridnya sendiri. Dan
Bun Beng yang mengaku cinta kepadanya, yang juga dicintanya itu, di depan
matanya sendiri telah berjina dengan gadis ini! Hal ini menusuk perasaannya dan
Milana juga menangis. Dua orang gadis itu menangis, membiarkan perahu mereka
digerak-gerakkan ombak. Kemudian keduanya teringat akan Keng In atau yang
disangka Bun Beng oleh Milana, maka mereka lalu tanpa bercakap‑cakap lagi
mendayung perahu dan mengembangkan layar, melakukan pengejaran kepada perahu
Keng In yang sudah amat jauh, tinggal menjadi titik hitam di depan itu.
Sementara
itu, Bun Beng yang merasa terheran‑heran menyaksikan sikap Milana, tidak
melakukan pengejaran karena dia melihat Milana sudah bersama Kwi Hong, tidak
perlu dikhawatirkan sama sekali menghadapi Keng In. Buktinya Keng In telah
melarikan diri dikejar dua orang dara itu. Kalau dia mengejar Milana, tentu
akan timbul salah sangka yang makin besar. Biarlah dia akan menyelidikinya
kelak apa yang menyebabkan Milana marah‑marah dan memukulnya seperti itu
setelah tadinya dara itu seolah-olah tidak mengenalnya lagi.
Tiba‑tiba
muncul beberapa belas orang yang mukanya beraneka warna dan langsung mereka
itu mengeroyoknya dengan pelbagai senjata di tangan mereka! Bun Beng mengenal
mereka sebagai para penghuni Pulau Neraka yang dipimpin oleh dua orang tokoh
yang dikenalnya pula karena dua orang itu dahulu pernah dijumpai dan bahkan
dikalahkannya, ketika mereka mengacau di Thian‑liong‑pang dan dia menyamar
sebagai ketua Thian-liong‑pang. Dua orang yang memimpin delapan belas sisa anak
buah Pulau Neraka itu bukan lain adalah Kong To Tek yang kepalanya gundul dan
mukanya merah muda, pendek dan gendut. Orang ke dua adalah Chi Song yang juga
gendut akan tetapi tinggi besar, juga mukanya merah muda. Melihat dia diserbu
dan dikeroyok, Bun Beng meloncat jauh tinggi melampaui kepala mereka yang
berada di belakangnya, kemudian turun ke atas tanah sambil berseru, “Tahan
senjata! Aku datang bukan sebagai musuh!”
“Kami
mengenalmu. Engkau adalah Gak Bun Beng, musuh besar tuan muda Wan Keng In. Wan‑kongcu
sudah memesan bahwa jika bertemu dengan engkau, kami harus membunuhmu!” kata
Kong To Tek Si Kepala Gundul. Teman‑temannya sudah mengurung Bun Beng lagi
dengan sikap mengancam.
Bun
Beng mengangkat tangan ke atas dan berkata nyaring, “Kalian ini apakah tidak
dapat membedakan kawan atau lawan? Aku datang untuk menemui Wan Keng In dan
Nona Milana, bukan sebagai musuh karena Wan Keng In sekarang telah menjadi
anggauta keluarga Pulau Es. Kulihat mereka tadi berkejaran, apakah sesungguhnya
yang terjadi di pulau ini?”
“Tidak
perlu banyak bicara! Kawan-kawan, serbu....!”
Kong
To Tek dan Chi Song sudah menerjang maju memelopori teman‑temannya dan begitu
maju keduanya telah menggunakan pukulan‑pukulan maut mereka. Kong To Tek Si
Gendut pendek gundul ini adalah seorang ahli pukulan beracun yang dilakukannya
dengan tubuh merendah seperti berjongkok, perutnya mengeluarkan bunyi kok‑kok
dan mulutnya mengeluarkan uap hitam ketika dia memukul ke arah perut Bun Beng.
Pemuda ini sudah mengenal ilmu Si Gundul ini, akan tetapi dia diam saja tidak
mengelak atau menangkis. Hanya ketika pukulan mengenai perutnya, dia
mengerahkan sin‑kangnya.
“Cappp!”
Tangan beracun itu memasuki perut, tersedot sampai sebatas pergelangan tangan
dan tidak dapat dicabut kembali! Kong To Tek memekik kesakitan karena selain
tangannya terasa panas sekali, juga hawa beracun itu seperti tertolak dan
menyerang dirinya sendiri melalui lengannya yang tersedot ke dalam perut pemuda
itu.
“Haiiiittt!”
Chi Song memekik dan tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti terbang dia
mengirim sebuah tendangan ke arah kepala Bun Beng. Tentu saja pemuda ini tidak
membiarkan kepalanya ditendang, dan dengan tangan kiri dia menampar, mengenai
tulang kering betis kaki yang menendang.
“Krekkk!”
Tubuh
Chi Song terpelanting dan dia mengaduh-aduh karena tulang kering kakinya patah.
Pada saat itu, tubuh Kong To Tek terpental ke belakang. Kiranya Bun Beng telah
melepaskan tangan yang disedot perutnya tadi sambil menendang. Kong To Tek
terbanting dekat Chi Song dan dia pun mengaduh‑aduh karena lengannya seperti
dibakar dan dalam keadaan lumpuh!
Para
anak buah Pulau Neraka terkejut dan marah melihat betapa dua orang pemimpin
mereka roboh. Mereka adalah orang‑orang yang tak mengenal takut, maka sambil
berteriak‑teriak mereka lari menyerbu. Pada saat itu terdengar teriakan‑teriakan
melengking, sedemikian hebat teriak yang mengandung khi‑kang kuat sekali itu
sehingga belasan orang Pulau Neraka itu bergelimpangan dan seperti lumpuh
sesaat karena getaran suara itu. Bun Beng sendiri cepat mengerahkan sin‑kangnya
karena lengkingan dahsyat itu benar‑benar luar biasa sekali. Dia tidak lagi
mempedulikan para anak buah Pulau Neraka dan cepat dia melompat dan lari ke
arah suara melengking yang luar biasa tadi.
Ketika
dia tiba di tengah pulau, dan tiba di tempat dari mana suara lengkingan
dahsyat tadi terdengar, dia berdiri terpukau di tempatnya dan tidak bergerak
memandang peristiwa hebat yang sedang berlangsung di depan. Ternyata bahwa
kakek pendek yang sakti, yang telah menurunkan ilmu bersama‑sama Pendekar Super
Sakti kepadanya, yaitu kakek Bu-tek Siauw‑jin yang berkali‑kali telah
menolongnya, sedang bertanding melawan seorang kakek yang lebih tua dan yang
mengerikan sekali, seperti seorang mayat hidup, namun yang kesaktiannya tak
kalah oleh Si Kakek Pendek yang sinting!
Dan
memang pertandingan antara kakak beradik seperguruan itu hebat bukan main.
Selama ini, mereka tidak pernah bentrok, karena biarpun keduanya adalah datuk‑datuk
Pulau Neraka, namun keduanya mempunyai kesenangan yang berbeda. Bu‑tek Siauw‑jin
adalah seorang petualang dan perantau, jarang berada di Pulau Neraka, sedangkan
Cui‑beng Koai‑ong adalah seorang yang suka bertapa, terutama bertapa di bawah
tanah‑tanah kuburan bersama kerangka dan mayat-mayat. Dengan cara masing‑masing,
keduanya menambah ilmu mereka sehingga tidak lumrah manusia lagi. Mereka
memang saling tidak menyukai, akan tetapi karena keduanya tahu bahwa masing‑masing
memiliki kepandaian hebat, mereka saling merasa segan untuk bentrok, apalagi
karena mereka masih saudara seperguruan. Baru setelah Cui‑beng Koai‑ong
mengambil Wan Keng In sebagai murid, timbul pertentangan dalam batin mereka.
Bu‑tek Siauw‑jin juga melakukan perbuatan bandingan, mengambil Kwi Hong
sebagai murid pula! Bahkan lebih dari itu, dia berkenan menurunkan ilmu sin‑kangnya
Tenaga Inti Bumi kepada Gak Bun Beng. Padahal hal‑hal itu merupakan pantangan
bagi datuk‑datuk Pulau Neraka itu. Puncak pertentangan itu terjadi ketika Bu‑tek
Siauw‑jin melihat suhengnya itu hendak membunuh Kwi Hong, maka dia muncul dan
melawan. Andaikata Kwi Hong terbunuh dalam pertandingan melawan Wan Keng In
umpamanya, kiranya kakek pendek ini tidak akan mau turut campur.
Pertandingan
antara mereka memang hebat dan menyeramkan. Tadi mereka bertempur menggunakan
ilmu silat masing-masing, saling serang dengan gerakan cepat sehingga bayangan
mereka menjadi satu, sukar dibedakan lagi. Namun, sampai seratus jurus belum
juga ada yang dapat menang. Keduanya menjadi penasaran dan mengeluarkan pekik
melengking dahsyat untuk mempengaruhi lawan, pekik yang saking hebatnya sampai
membuat para anak buah Pulau Neraka terguling dan yang menarik perhatian Bun
Beng tadi. Setelah mengeluarkan pekik itu, kini keduanya berdiri tak berpindah
dari tempat mereka dan kalau ditonton oleh yang tidak mengerti tentu akan
membuat orang tertawa geli. Kedua orang kakek itu berdiri saling berhadapan
dalam jarak tiga meter, dan mereka itu menggerak‑gerakkan kedua tangan dengan
gerakan memukul dan menangkis, padahal tangan mereka itu saling berjauhan dan
tanpa ditangkis pun pukulan itu tidak akan mengenai badan. Akan tetapi, Bun
Beng yang melihatnya menjadi kagum dan juga terkejut karena pukulan‑pukulan jarak
jauh mereka itu sedemikian hebatnya sehingga angin pukulannya sampai terasa oleh
dia yang berdiri agak jauh! Tentu saja Bun Beng tidak berani melerai atau
mencampuri, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Kini
tampak kakek mayat hidup itu memukul dengan kedua lengan didorongkan ke depan
dengan dahsyat sekali. Bu-tek Siauw‑jin juga mendorongkan kedua lengannya ke
depan, menyambut serangan suhengnya itu. Bun Beng seperti merasa tergetar dan
tahu betapa di saat itu, dua tenaga raksasa mujijat yang amat kuat saling
bertemu di udara, di antara kedua orang kakek itu. Tampak betapa keduanya agak
tergetar dan bergoyang-goyang tubuh mereka. Kedua lengan mereka tetap
dilonjorkan saling dorong dan tubuh mereka tidak bergerak. Perlahan‑lahan tampak
uap mengepul dari kepala kedua kakek itu, dan dengan hati kaget Bun Beng
melihat betapa muka Bu‑tek Siauw-jin penuh dengan peluh yang besar‑besar
menetes turun, akan tetapi wajah kakek pendek ini tetap berseri, mulutnya tersenyum.
Adapun kakek mayat hidup itu wajahnya keruh dan penuh kemarahan, akan tetapi
tidak tampak peluh di mukanya walaupun uap yang mengepul dari kepalanya sama
tebalnya dengan uap yang mengepul dari kepala sutenya.
Pertandingan
mengadu tenaga sakti ini benar‑benar amat menegangkan hati Bun Beng sendiri
sehingga tanpa disadarinya, tubuhnya juga mengeluarkan banyak keringat! Dia
tidak mempedulikan Kong To Tek dan Chi Song bersama teman-teman mereka yang
sudah tiba di situ pula. Mereka itu sebagai ahli‑ahli silat tahu apa artinya
keadaan kedua orang kakek itu, dan mereka memandang dengan hati tegang, tidak
bergerak bahkan ada yang menahan napas.
Bun
Beng yang sudah memiliki sin-kang tinggi, dapat menduga bahwa kakek pendek itu
terdesak hebat, napasnya sudah mulai memburu dan agaknya akan kalah dalam
pertandingan ini. Akan tetapi, Si Mayat Hidup itu pun harus mngerahkan segenap
tenaganya dan andaikata kakek cebol itu roboh, agaknya Si Mayat Hidup pun tidak
akan terhindar dari luka dalam yang parah. Maka dia menjadi makin tegang. Dia
tidak berani mencampuri, apalagi karena dalam keadaan seperti itu, kalau dia
mencampuri, selain berbahaya bagi dirinya sendiri, juga berbahaya bagi kedua
orang kakek itu. Sedikit saja perhatian mereka teralih, mereka bisa tewas
seketika terpukul oleh getaran hawa sakti yang bukan main dahsyatnya.
Tiba‑tiba
kakek yang seperti mayat hidup itu mengeluarkan suara menggereng dari perutnya
dan darah merah menyembur keluar dari mulut, akan tetapi pengerahan tenaga
terakhir ini membuat Bu-tek Siauw‑jin tak mampu bertahan lagi dan dia roboh
terjengkang! Si kakek mayat hidup mengeluarkan suara ketawa aneh, kemudian
tubuhnya meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur turun menginjak ke arah
tubuh sutenya.
Bu-tek
Siauw‑jin juga mengeluarkan suara ketawa, kelihatan tangannya bergerak
menghantam, menyambut kaki yang menginjaknya. Keduanya memekik hebat dan roboh
terbanting, dada Bu‑tek Siauw-jin pecah oleh injakan kaki kiri sedangkan kaki
kanan Cui‑beng Koai‑ong hancur oleh pukulan sutenya.
“Heh‑heh....
mampus kau, sute.... heh‑heh.... augh....” Cui‑beng Koai‑ong terkekeh dan
menuding ke arah sutenya.
“Ha‑ha....
Suheng.... kau yang melayat atau aku yang melayat, nih....?” Bu‑tek Siauw‑jin
juga tertawa sambil menuding ke arah suhengnya.
Cui‑beng
Koai‑ong tertawa lagi lalu terkulai dan seperti juga sutenya, kakek ini tewas
seketika. Kakek mayat hidup itu telah memiliki kekebalan yang luar biasa, akan
tetapi kelemahannya adalah pada telapak kakinya, maka begitu kakinya dipukul
hancur, nyawanya melayang. Kakak beradik seperguruan yang keduanya memiliki
kesaktian tidak lumrah manusia itu ternyata tewas dalam pertandingan antara
mereka sendiri, sebuah pertandingan yang menggetarkan jantung Bun Beng.
Pemuda
itu meloncat dekat, sekali pandang saja dia maklum bahwa keduanya telah tewas.
Dia berlutut dekat mayat Bu‑tek Siauw‑jin, mengheningkan cipta sebentar sebagai
penghormatan terakhir, kemudian dia bangkit berdiri memutar tubuh lalu pergi
dari situ. Anak buah Pulau Neraka hendak menyerbunya, akan tetapi dia
membentak, “Mau apa lagi kalian? Lebih baik urus jenazah kedua orang kakek
ini!”
Sikap
dan ucapan yang nyaring itu membuat mereka ragu‑ragu, apalagi karena kedua
orang pemimpin mereka, Kong To Tek dan Chi Song, sudah tidak mampu bertanding
lagi. Mereka hanya dapat memandang kepergian Bun Beng seperti sekumpulan
serigala yang berniat mengeroyok akan tetapi ditindih rasa jerih.
***
Perahu
yang ditumpangi Milana dan Kwi Hong tidak mampu mengejar perahu Wan Keng In
sehingga akhirnya mereka itu tertinggal jauh. Ketika kedua orang dara ini
mencapai tepi pantai dan mendarat, Keng in sudah tidak tampak lagi.
“Milana,
dengarlah kata‑kataku baik‑baik. Entah apa yang telah terjadi denganmu, agaknya
engkau masih belum menguasai ingatanmu, engkau masih belum sadar. Orang yang
kita kejar tadi bukanlah Gak Bun Beng. Dia adalah Wan Keng In, manusia jahat
yang harus kita bunuh!”
“Bohong!
Aku tahu bahwa engkau mencinta Bun Beng, dan aku melihat dengan mata sendiri
bahwa kau.... kau telah....”
“Milana,
aku sama sekali tidak melakukan sesuatu dengan Bun Beng. Ketahuilah, kau dan
Gak Bun Beng telah dijodohkan, dan kini ayahmu minta agar engkau suka kembali
ke Pulau Es bersama Bun Beng....”
“Kwi
Hong! Tak perlu engkau membujuk aku dengan segala kebohonganmu! Coba jawab,
apa engkau mencinta Wan Keng In?”
“Tidak!
Aku akan bunuh keparat jahanam itu!”
“Nah,
engkau membenci Keng In, dan engkau mencinta Bun Beng. Sekarang katakan, dengan
siapa engkau di dalam pondok itu?”
“Dengan....
dengan....” Kwi Hong bingung dan gugup sekali. Maklumlah dia bahwa dia telah
masuk perangkap. Kalau dia menjawab bahwa laki‑laki dengan siapa dia bermain
cinta di dalam pondok itu adalah Keng In, tentu hal ini berlawanan dengan
pengakuannya bahwa dia membenci Keng In dan akan membunuhnya. Tentu saja
Milana yang ingatannya belum pulih itu menyangka bahwa laki-laki itu Gak Bun
Beng.
“Sudahlah,
Kwi Hong, aku sudah melihatnya sendiri, tidak perlu kau membohong lagi.
Engkau mencinta Bun Beng, bahkan engkau telah menyerahkan dirimu kepadanya, aku
tidak peduli lagi!” Milana hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Kwi Hong
memegang lengannya dan membujuk,
“Milana,
apa pun yang terjadi, marilah kita ke Pulau Es. Biar nanti ayahmu yang
memutuskan segalanya. Engkau masih belum sadar....”
Milana
merenggutkan lengannya terlepas dari pegangan Kwi Hong. “Cukup! Aku tidak sudi
lagi bicara denganmu, perempuan tak tahu malu!” Milana lalu melompat dan pergi
meninggalkan Kwi Hong.
Kwi
Hong menjatuhkan diri berlutut di atas pasir pantai, menutupi mukanya dengan
kedua tangan. Menangis! “Bedebah kau, Wan Keng In. Aku bersumpah, tak kan
berhenti sebelum membunuhmu!” Dia bangkit berdiri dan melangkah dengan
terhuyung ke depan, seluruh tubuh terasa lemas karena batin yang tertekan kedukaan.
Milana
juga lari secepatnya dengan air mata bercucuran. Hatinya remuk rendam
mengingat akan hubungan cinta kasihnya yang hancur. Perlakuan Bun Beng terhadap
dirinya di Pulau Neraka, ketika pemuda yang menjadi pujaan hatinya itu hendak
merayunya dan mengajaknya bermain cinta, masih dapat dimaafkannya biarpun hal
itu mengecewakan hatinya. Masih dapat dimaafkan karena mungkin saking rindu dan
cintanya, pemuda itu tidak dapat menahan gairah hatinya yang dikuasai nafsu
berahinya pada waktu itu. Akan tetapi, melihat Bun Beng berjina dengan Giam Kwi
Hong, bagaimana dia dapat memaafkannya? Apalagi mendengar dari mulut Kwi Hong
bahwa dia dijodohkan ayahnya dengan Bun Beng. Siapa sudi menjadi isteri seorang
laki‑laki mata keranjang seperti itu?
Beberapa
hari kemudian setelah melakukan perjalanan tanpa tujuan, perlahan-lahan
ingatan Milana kembali karena pengaruh obat beracun itu sedikit demi sedikit lenyap
setelah dia terbebas dari Pulau Neraka dan tidak diberi racun setiap hari
seperti biasa. Karena kembalinya ingatannya itu sedikit demi sedikit, Milana
tidak merasa akan hal ini. Dia hanya mulai teringat akan keadaan dahulu satu
demi satu, ingat akan Kaisar yang menjadi kakeknya di kota raja, akan semua
orang yang dikenalnya. Semua ingatannya pulih, hanya satu hal yang tidak
semestinya, yaitu tentang Bun Beng. Bun Beng sekarang bukanlah Bun Beng dahulu
lagi, sekarang menjadi seorang laki‑laki yang dibencinya.
Karena
ini, dia tidak mau kembali ke Pulau Es. Dia mendengar dari Kwi Hong bahwa dia
dijodohkan dengan Bun Beng oleh ayah bundanya, dan dia tidak akan mau
menerimanya. Kalau dia kembali ke Pulau Es, tentu akan terjadi hal yang tidak
menyenangkan karena urusan itu. Maka dia mengambil keputusan untuk pergi ke
kota raja, menghadap kakeknya dan tinggal di istana sebagai puteri Kaisar yang
hidup mulia dan terhormat. Dan dia akan mencoba untuk melupakan Bun Beng!
Pada
suatu siang selagi Milana berjalan cepat melalui pegunungan di sebelah utara
kota raja, tiba‑tiba muncul belasan orang laki‑laki yang rambutnya digelung ke
atas. Mereka itu kelihatan bersikap gagah, dan tidak kasar, akan tetapi jelas
bahwa mereka sengaja menghadang di jalan dan pemimpin mereka, seorang laki-laki
tinggi kurus berjenggot dan berkumis tipis, mengangkat tangan ke atas menyuruh
dara itu berhenti.
“Nona
harap berhenti dulu!”
Milana
mengerutkan alisnya dan dia bertanya, “Kalian ini siapa dan mau apa menghadang
orang lewat?”
Si
Tinggi Kurus menjawab, “Kami adalah orang‑orang Tiong‑gi‑pang (Perkumpulan
Orang Jujur dan Berbudi) yang mengharapkan sumbangan dari semua orang lewat di
sini. Maka harap Nona sudi meninggalkan sekedar sumbangan sebelum Nona
melanjutkan perjalanan.”
Milana
marah sekali. “Kalian perampok?”
Orang
itu menggeleng kepala dan para anak buahnya bersikap tidak senang dengan
sebutan itu. “Kami sama sekali bukan perampok, bahkan kami pembasmi para
perampok yang tadinya banyak berkeliaran di tempat ini mengganggu orang‑orang
lewat. Akan tetapi perkumpulan kami membutuhkan biaya‑biaya dan dari siapa
lagi kalau tidak dari sumbangan para dermawan yang lewat? Nona seorang wanita
muda melakukan perjalanan seorang diri, tentu Nona seorang kang‑ouw dan sudah
maklum akan hal ini. Maka harap Nona tidak bersikap pelit. Kami tanggung bahwa
dari sini sampai kota raja, tidak akan ada seorang pun perampok yang berani
mengganggumu, Nona.”
Tentu
saja Milana mengerti dan mengenal perkumpulan seperti itu. Dia adalah puteri
bekas Ketua Thian‑liong‑pang, tentu saja tahu akan segala peristiwa dunia kang‑ouw.
Perkumpulan seperti mereka yang menamakan diri Tiong‑gi-pang ini adalah
perkumpulan yang biasa diejek dengan perampok‑perampok halus. Mereka sebetulnya
adalah orang‑orang gagah yang bersatu untuk menghadapi dunia hitam para
perampok, maling dan lain‑lain. Akan tetapi karena mereka itu tidak mempunyai
penghasilan tetap dan perkumpulan mereka tentu saja membutuhkan biaya, maka
mereka mengambil cara ini untuk menutup kebutuhan mereka yang bersahaja, yaitu
dengan jalan “memungut sumbangan” dari para orang lewat di daerah yang telah
mereka “bersihkan” itu. Akan tetapi pada waktu itu, hati dan pikiran Milana
sedang dilanda kekecewaan dan kemarahan karena Bun Beng, maka menghadapi hal yang
biasanya akan dianggap wajar dan dihadapinya dengan penuh pengertian itu, kini
menimbulkan kemarahannya.
“Bilang
saja perampok, pakai memutar-mutar omongan segala. Kalau kalian minta
sumbangan kepadaku, aku hanya membawa kaki tanganku yang bisa membagi pukulan
dan tendangan! Entah kalian mau atau tidak menerima sumbangan ini!”
Dua
belas orang itu adalah laki‑laki gagah, tentu saja mereka menjadi marah sekali
mendengar ucapan gadis ini yang amat merendahkan mereka. Betapapun juga, mereka
merasa segan untuk turun tangan mengeroyok seorang wanita muda, dan hanya
pimpinan mereka yang tinggi kurus itu melangkah maju, matanya terbelalak marah
ketika dia membentak,
“Bocah
perempuan sombong! Mungkin kau memiliki sedikit kepandaian silat, akan tetapi
hal itu amat tidak baik bagimu, membuatmu sombong sekali mengira di dunia ini
tidak ada yang dapat melawanmu! Hemm, kalau memang engkau hanya bisa memberi
pukulan dan tendangan, biarlah aku menerima sumbanganmu itu!”
“Kalau
begitu, terimalah ini!” Milana yang sedang risau hatinya itu segera menerjang
maju dan mengirim pukulan‑pukulan dengan kecepatan luar biasa. Biarpun Si
laki‑laki Tinggi Kurus itu berusaha menangkis dan mengelak, namun dia bukanlah
lawan dara yang memiliki ilmu silat tinggi itu dan pukulan bertubi‑tubi
dari Milana yang membuatnya terdesak tak mampu membalas serangan, akhirnya
mengenai sasaran, pundaknya tertampar dan laki‑laki itu terpelanting!
Melihat
ini kawan‑kawannya terkejut, penasaran dan marah sekali. Tanpa dikomando lagi
mereka menyerbu, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang menggunakan
senjata karena niat mereka hanya untuk menangkap gadis galak itu dan
menghadapkannya kepada ketua mereka. Melihat ini, Milana mengamuk, akan tetapi
dia pun mengerti bahwa pengeroyoknya itu bukanlah orang-orang jahat kejam
karena mereka itu tidak ada yang menggunakan senjata. Maka dia pun hanya
memukul dan menendang dengan tenaga terbatas agar tidak kesalahan tangan
membunuh mereka.
Para
pengeroyok itu terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa lihainya gadis
muda itu. Beberapa orang yang maju lebih dulu terpelanting ke kanan kiri dan
mengaduh‑aduh, ada yang patah tulang lengan atau kakinya. Pada saat itu Milana
melihat munculnya rombongan orang yang jumlahnya lebih banyak lagi, datang
berlari‑larian ke tempat itu. Hatinya menjadi gemas, dan dia sudah siap untuk
mengamuk dan merobohkan mereka semua!
Tiba‑tiba
beberapa orang di antara rombongan yang baru datang itu berseru. “Berhenti
semua....! Dia adalah Nona Milana, puteri Ketua Thian‑liong‑pang!”
Mendengar
seruan ini, para pengeroyok terkejut dan mundur. Milana juga berhenti mengamuk
dan memandang mereka yang baru datang itu. Di antara orang-orang ini dia
mengenal beberapa orang anggauta Thian‑liong‑pang! Lima orang ini lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Milana sambil berkata,
“Harap
Nona suka memaafkan kami dan teman‑teman kami, karena tidak tahu maka berani
bersikap kurang ajar kepada Nona.”
“Hemm,
apa artinya ini? Kenapa kalian menjadi anggauta gerombolan ini?” tanya Milana
dengan alis berkerut.
“Harap
Nona tidak salah duga. Perkumpulan Tiong‑gi‑pang bukanlah gerombolan
perampok.... dan perkumpulan ini didirikan oleh Bhok Toan Kok Pangcu (Ketua).”
“Haii....?
Sai‑cu Lo‑mo....?”
“Marilah
Nona, kuantar menjumpai Pangcu. Ceritanya panjang dan sebaiknya Nona mendengar
dari Pangcu sendiri.”
Berdebar
jantung Milana. Semua pembantu ibunya telah tewes ketika Thian-liong‑pang
diserbu kaki tangan Koksu. Kiranya Sai‑cu Lo‑mo depat menyelamatkan diri dan
sekarang kakek ini selain masih hidup, juga telah menjadi ketua sebuah
perkumpulan. Dia mengangguk lalu mengikuti rombongan itu memasuki hutan,
dipandang penuh kagum oleh anggauta-anggauta perkumpulan Tiong‑gi‑pang yang
bukan bekas anggauta Thian‑liong‑pang.
Di
dalam hutan di lereng bukit itu terdapat bangunan pondok‑pondok sederhana dan
inilah pusat perkumpulan Tiong-gi‑pang yang jumlahnya kurang lebih lima puluh
orang itu. Ketika Milana berhadapan dengan Sai‑cu Lo‑mo, gadis ini tidak dapat
menahan kesedihan dan keharuannya. Dia menubruk Sai-cu Lo‑mo sambil menangis.
“Bhok‑kongkong
(Kakek Bhok)....!” Dia menangis di pundak itu yang mengelus-elus kepalanya.
Kakek
itu duduk di kursi, kedua kakinya telah lumpuh akibat luka‑lukanya ketika
Thian‑liong‑pang diserbu oleh anak buah Koksu.
“Nona
Milana.... aihhh, Nona....” Sai-cu Lo‑mo juga mengejap‑ngejapkan matanya
menahan air matanya. Akan tetapi kakek ini dapat menekan perasaannya, lalu
menuntun nona itu memasuki pondok. “Mari kita duduk dan bicara, Nona. Kita
harus masih bersukur bahwa para pemberontak itu dapat dihancurkan oleh ibumu,
dan biarpun Thian‑liong‑pang sudah hancur lebur, namun namanya masih tetap
baik sebagai pembela negara, Mari duduk dan ceritakanlah. Saya mendengar bahwa
Nona terculik. Saya telah mengerahkan semua anak buah perkumpulan ini untuk
membantu dan menyelidiki keadaanmu, namun sia‑sia. Apalagi terdengar berita
bahwa engkau diculik orang Pulau Neraka, betulkah ini? Di antara kami tidak ada
seorang pun yang tahu di mana letaknya Pulau Neraka itu.”
Milana
menghapus air matanya, kemudian dia menceritakan kepada pembantu ibunya yang
setia itu tentang semua pengalamannya. Betapa dia diculik oleh Wan Keng In,
akan tetapi berhasil mempertahankan kehormatannya sungguhpun dia tidak berdaya
untuk keluar dari Pulau Neraka. Betapa kemudian muncul Giam Kwi Hong dan
bersama keponakan dan murid ayahnya itu dia berhasil mendesak Keng In sehingga
pemuda itu melarikan diri, sedangkan guru pemuda itu dilawan oleh kakek pendek
yang menjadi guru Kwi Hong. Kemudian, kembali dia terisak menangis ketika
menceritakan kelakuan Gak Bun Beng kepadanya.
“Menurut
kata Enci Kwi Hong, oleh ayahku telah dijodohkan dengan dia, Kek. Akan
tetapi.... aku tidak sudi menjadi isteri manusia rendah itu! Dia tidak saja
berusaha untuk menyeret aku ke dalam perjinaan yang kotor, akan tetapi dia juga
berjina dengan Giam Kwi Hong....” Milana menangis lagi.
Dapat
dibayangkan betapa marah, duka dan kecewa hati kakek itu. Gak Bun Beng adalah
cucu keponakannya, karena ibu pemuda itu, Bhok Khim, yang dahulu diperkosa oleh
Gak Liat Si Iblis Botak sehingga melahirkan Bun Beng (baca ceritaPendekar Super Sakti) adalah
keponakannya. Dan dia pernah melamar Milana untuk Bun Beng, yang ditolak oleh
ibu Milana dan yang membuat dia mundur teratur ketika mendengar bahwa ibu Milana
bukan saja puteri Kaisar, akan tetapi ayah Milana adalah Pendekar Super Sakti!
Dan sekarang, Pendekar Super Sakti bahkan telah menjodohkan puterinya itu
dengan Gak Bun Beng, akan tetapi agaknya Bun Beng telah berubah, telah menjadi
seorang pemuda berwatak kotor!
“Nona,
benar‑benar terjadikah apa yang kauceritakan itu kepadaku? Menurut
penglihatanku, Bun Beng bukanlah seorang berwatak bejat....”
“Kalau
aku tidak mengalami sendiri dibujuk rayu olehnya, kalau aku tidak melihat
sendiri dia berjina dengan Kwi Hong, aku sendiri tentu tidak percaya, Kek. Akan
tetapi aku mengalami sendiri dan melihat sendiri....” Kembali dia terisak dan
menutupi mukanya.
“Sudahlah,
Nona. Aku sendiri kalau kelak bertemu dengannya, akan menegur dan menghajarnya.
Biarpun dia lihai, dia adalah cucu keponakanku, dan biarlah aku mati dalam
tangannya kalau dia tidak dapat disadarkan. Sekarang, Nona hendak pergi ke
mana?”
“Aku
hendak mencari ibu....”
“Beliau
tidak lagi berada di kota raja, Nona. Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu
ikut bersama ayahmu ke Pulau Es.”
Milana
menghela napas dan menghapus sisa air matanya, “Aku pun menduga demikian
ketika Enci Kwi Hong muncul di Pulau Neraka. Akan tetapi.... aku sendiri tidak
ingin ke Pulau Es setelah apa yang terjadi semua itu, setelah ayah menjodohkan
aku dengan orang yang demikian rendah. Aku girang bahwa ibu akhirnya telah
bersatu dengan ayah. Aku.... aku.... agaknya tidak ada jalan lain, aku akan ke
kota raja menghadap Kaisar....” Dia ragu‑ragu.
“Nona
Milana, biarpun Kaisar adalah kakekmu sendiri dan tentu kau akan diterima di
istana, akan tetapi dapatkah engkau menyesuaikan diri dengan kehidupan di
istana? Nona sudah biasa hidup bebas, mungkinkah Nona hidup terkurung dan
terbatas di dalam istana?”
Milana
menarik napas panjang. “Aku pun meragukan hal itu, Bhok‑kongkong. Tentu aku
tidak kerasan di sana....”
“Kalau
begitu, mengapa Nona tidak tinggal saja bersama kami? Ketika aku berhasil
menyelamatkan diri dari serbuan anak buah Koksu pemberontak itu, aku bertemu
dengan sisa para anggauta Thian-liong‑pang, dan bertemu dengan sisa anggauta
Pek‑eng‑pang yang sudah kehilangan pimpinan. Maka kukumpulkan mereka, kusatukan
dan karena aku tidak berani menggunakan nama Thian‑liong‑pang, juga tidak sudi
memakai nama Pek‑eng‑pang, aku lalu mendirikan perkumpulan baru bernama Tiong‑gi‑pang
untuk menolong mereka, dan untuk mencegah mereka terperosok ke dalam lembah
kejahatan. Kami sedang memperbaiki sebuah kuil besar dan kuno di hutan sebelah,
Nona. Tempat itu akan menjadi pusat Tiong‑gi-pang, dan kalau Nona suka tinggal
bersama kami, hatiku akan menjadi lega dan girang, juga kehadiran Nona sebagai
puteri Ketua Thian‑liong‑pang tentu akan mempengaruhi para anak buah Tiong‑gi-pang
dan mencegah mereka dari penyelewengan.”
Demikianlah
mulai hari itu, Milana tinggal bersama Kakek Sai‑cu Lo‑mo, bekas pembantu utama
ibunya di Thian-liong-pang yang kini telah menjadi pangcu dari perkumpulan
Tiong‑gi‑pang.
***
Gadis
yang cantik manis dan lincah itu menarik perhatian banyak mata, terutama mata
laki‑laki, ketika dia memasuki kota raja. Dia memang manis sekali, sepasang
matanya jernih dan tajam memandang ke sana‑sini, bukan hanya untuk mengagumi
bangunan‑bangunan besar di kota raja melainkan juga dengan penuh selidik
pandang matanya menyapu wajah orang‑orang yang dijumpainya, seolah‑olah dia
mencari seseorang di kota raja. Pakaiannya yang serba kuning itu membungkus
ketat tubuh yang padat berisi dan langsing. Di pinggir pinggul yang padat dan
pinggang yang langsing itu tergantung pedang, tanda bahwa dara manis berusia
kurang lebih dua puluh tahun ini adalah seorang gadis perantau kang‑ouw yang
tidak boleh dipandang ringan!
Gadis
baju kuning ini adalah Ang Siok Bi, puteri tunggal ketua Bu‑tong‑pai yaitu Ang‑lojin
(Orang Tua Ang) atau Ang Thian Pa. Seperti telah kita ketahui rombongan piauwsu
yang pernah bentrok dengan Gak Bun Beng ketika terjadi pemerkosaan dan
pembunuhan suami isteri di dekat telaga, adalah murid‑murid Bu‑tong‑pai.
Setelah mereka itu menyelesaikan tugasnya, pemimpin piauwsu itu lalu
menceritakan peristiwa itu kepada Bu‑tong‑pai dan Ang Siok Bi juga hadir dalam
pertemuan ini. Ketika mendengar bahwa Gak Bun Beng melakukan perbuatan keji
seperti itu, ketua Bu‑tong‑pai terkejut bukan main dan hampir tidak dapat
percaya kalau yang bercerita bukan muridnya yang dipercayanya. Terutama sekali
Ang Siok Bi, puterinya. Dara ini telah tahu bahwa dia oleh ayahnya hendak
dijodohkan dengan Gak Bun Beng, dan sungguhpun pemuda itu belum menerima
perjodohan ini, namun ayahnya masih selalu mengharapkan terjadinya ikatan jodoh
itu. Karena inilah, juga karena dia sendiri pun tertarik dan jatuh cinta kepada
pemuda itu, maka Siok Bi menganggap dirinya sebagai tunangan Gak Bun Beng dan
tidak menghiraukan lain laki‑laki lagi, bahkan di dalam lubuk hatinya dia
mengambil keputusan tidak akan menikah kalau tidak dengan Bun Beng!
Maka,
dapat dibayangkan betapa kaget dan hancur hati dara ini mendengar penuturan
para piauwsu yang menduga bahwa Gak Bun Beng melakukan hal yang amat keji,
memperkosa dan membunuh seorang wanita, membunuh pula suami wanita itu di
dekat telaga. Pada keesokan harinya, Ketua Bu‑tong‑pai tidak melihat puterinya
dan dia hanya dapat menghela napas, maklum bahwa kepergian puterinya itu tentu
ada hubungannya dengan penuturan murid Bu‑tong‑pai tentang Gak Bun Beng.
Dugaan
Ketua Bu‑tong‑pai ini memang benar. Siok Bi meninggalkan kuil Bu-tong‑pai
untuk pergi mencari Bun Beng, untuk menyatakan sendiri kebenaran penuturan
itu. Dia harus bertemu dengan pemuda itu dan akan ditanyai tentang peristiwa
yang dituturkan oleh kepala piauwsu itu. Kalau memang benar pemuda itu menjadi
seorang penjahat keji, dia akan memusuhinya dan akan diputuskannya hubungan
batin yang timbul karena janji ayahnya kepada pemuda itu. Akan tetapi dia masih
tidak percaya bahwa pemuda yang gagah perkasa itu berubah menjadi seorang
penjahat cabul yang berhati kejam.
Tiba‑tiba
Siok Bi menghentikan langkahnya dan menoleh, memandang kepada seorang pemuda
yang bercaping bundar dan berpedang di punggungnya. Gak Bun Beng! Benarkah Gak
Bun Beng pemuda itu? Telah lama dia tak bertemu dengan pemuda itu, dan ada
kemiripan pemuda yang lewat tadi dengan pemuda idaman hatinya. Dia cepat
membalik dan mengejar. Untuk menegur, dia belum berani karena takut kalau‑kalau
dia salah lihat. Pemuda yang tampan itu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang
kota raja. Siok Bi terpaksa mengikutinya terus, keluar lagi dari kota raja.
Kesangsiannya
lenyap ketika dia melihat pemuda di depan itu kini berlari cepat sekali setelah
tiba di luar pintu gerbang kota raja. Siapa lagi kalau bukan Gak Bun Beng yang
pandai berlari cepat itu?
“Gak‑taihiap....!”
Dia menegur sambil mengejar, mengerahkan gin‑kangnya untuk berlari cepat.
Pemuda
itu berlari terus dan betapa pun Siok Bi mengerahkan kepandaiannya, tetap saja
tidak mampu mengejarnya! Maka dia berseru lagi, “Gak‑taihiap, aku Ang Siok Bi
ingin bicara!”
Pemuda
itu berhenti dan membalikkan tubuh. Setelah mereka berhadapan, kembali timbul
kesangsian di hati Siok Bi. Dia meragu apakah benar‑benar pemuda ini Gak Bun Beng.
“Apakah....
apakah aku berhadapan dengan Gak‑taihiap,” tanyanya sambil menatap wajah yang
tampan itu.
Pemuda
itu tersenyum. “Agaknya engkau mencari Gak Bun Beng, Nona? Aku bukan Gak Bun
Beng, akan tetapi aku adalah sababatnya. Nona siapakah dan ada urusan apa
mencari Gak Bun Beng?”
“Ahh....
maaf, saya kira engkau Gak Bun Beng. Saya.... saya.... Ang Siok Bi dan saya
mencarinya. Tolong beritahu di mana dia?”
“Hemm,
dia tidak mudah dijumpai begitu saja, Nona. Siapakah Nona? Akan saya sampaikan
kepadanya.”
“Saya
adalah tunangannya dari Bu‑tong‑pai.”
Pemuda
itu mengangguk‑angguk dan mengerutkan alisnya. “Hemmm.... dari Bu‑tong‑pai?
Baik, akan saya sampaikan kepadanya, Nona. Sebaiknya Nona pergi ke kota raja
lagi, bermalam di sebuah penginapan. Malam ini dia akan datang mengunjungimu.”
Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan sebentar saja sudah berada
jauh sekali. Hal ini mengejutkan hati Siok Bi karena dia maklum bahwa
kepandaiannya berlari cepat tidak dapat dipakai menandingi ilmu lari cepat pemuda
itu! Betapapun juga, hatinya girang. Pemuda itu kiranya sahabat Gak Bun Beng
dan kalau sudah disampaikan, tentu Gak Bun Beng akan menjumpainya. Jantungnya
berdebar tegang dan dia makin tidak percaya bahwa Gak Bun Beng telah mejadi
seorang jahat.
Malam
hari itu Siok Bi menanti di dalam kamarnya dengan hati bimbang dan tegang.
Kalau dia teringat betapa dia tadi mengaku sebagai tunangan Gak Bun Beng kepada
pemuda itu, jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. Bagaimana kalau
pemuda tadi menyampaikannya kepada Gak Bun Beng? Tunangan? Pemuda itu dahulu
menolak usul ayahnya yang hendak menjodohkan mereka. Bagaimana sekarang secara
tak tahu malu dia mengaku tunangannya? Biarlah, setidaknya pengakuannya itu
telah membuka rahasia hatinya terhadap Bun Beng!
Menjelang
tengah malam, dia mendengar suara di jendela kamarnya. Dia memandang terbelalak
dan menegur halus, “Siapa....?”
“Nona
Ang Siok Bi, aku adalah Gak Bun Beng. Harap suka membuka jendela.” terdengar
suara dari luar, suara yang halus dan mendebarkan jantungnya.
“Tunggu
sebentar!” Siok Bi membesarkan api penerangan, kemudian secara tak sadar
tangannya membereskan rambutnya yang berjuntai di dahi, kemudian membuka daun
jendela. Angin menyambar dari luar memadamkan lampu penerangan sehingga keadaan
kamar itu menjadi remang‑remang, hanya mendapat sorotan lampu penerangan di
luar kamar yang dipasang di ujung lorong. Kemudian tampak bayangan seorang
pemuda bertopi caping lebar bundar melayang masuk ke dalam kamar itu.
“Eiihh,
kenapa kau memadamkan lampu?”
“Ssssttt....
jangan ribut‑ribut, nanti semua tamu terbangun. Nona Ang, ada apakah engkau
mencari aku?”
“Gak‑taihiap....
aku sengaja mencarimu untuk bertanya.... eh, kami mendengar penuturan para
piauwsu anak murid Bu-tong‑pai bahwa engkau telah melakukan perbuatan keji.
Aku tidak percaya, akan tetapi aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri....”
“Hemm....
Nona, katakan dulu sebelum aku menjawab. Apakah engkau cinta kepadaku?”
Ditanya
demikian yang sama sekali tidak pernah disangkanya, Siok Bi menggigil dan
suaranya tersendat‑sendat ketika dia berkata, “Aku.... aku.... ahh, aku telah
ditunangkan kepadamu oleh ayah....”
“Bagus,
Bi‑moi, aku pun cinta kepadamu. Betapa rinduku kepadamu!” Setelah berkata
demikian pemuda itu sudah memeluknya. Siok Bi hendak membantah dan menolak,
akan tetapi suaranya hilang ditelan ciuman pemuda itu. Siok Bi makin terkejut
dan hendak mendorong, akan tetapi tiba‑tiba pundaknya ditotok dan dia roboh
dengan lemas! Hanya kedua matanya yang terbelalak penuh kengerian ketika dia
dipondong oleh pemuda itu dan dilempar ke atas pembaringan. Telinganya
mendengar suara yang kini terdengar seperti suara iblis, “Kau cinta kepadaku
dan aku cinta kepadamu! Apalagi yang lebih menarik daripada itu! Marilah kita
mencurahkan cinta kasih kita, dan tentang semua perbuatanku dengan wanita
lain, tak perlu kauhiraukan, manis!”
Kalau
saja dia mampu bergerak, tentu Siok Bi akan melawan mati‑matian, dan kalau saja
dia mampu bersuara tentu dia akan menjerit‑jerit dan memaki‑maki. Akan tetapi
apa daya, dia tidak mampu bersuara, tidak mampu bergerak sehingga dia hanya
mampu menangis ketika pemuda itu mulai menggagahi dirinya. Dia pergi mencari
Bun Beng untuk bertanya, untuk membuktikan sendiri apakah benar berita yang
disampaikan oleh anak murid Bu‑tong‑pai itu. Siapa mengira, dia kini memperoleh
bukti yang mutlak karena dia sendiri menjadi korban kebuasan pemuda yang
tadinya dijunjung tinggi itu. Pemuda yang dirindukan dan dicinta dengan diam‑diam
kini mendatangkan rasa muak, benci dan dendam!
Menjelang
pagi, dalam keadaan hampir pingsan, Siok Bi melihat pemuda itu mendekati
jendela dan berkata, “Kalau engkau ingin terus menikmati malam-malam seperti
ini dengan aku, Siok Bi yang manis, datanglah kau ke kuil di atas bukit sebelah
utara kota raja dan carilah Tiong‑gi‑pang. Aku menantimu di sana. Sampai jumpa
lagi, kekasihku!” Tubuh itu berkelebat dan sekali loncat saja lenyap dari dalam
kamar.
Siok
Bi hanya dapat menangis! Menangis karena dua hal yang menghancurkan hatinya,
yang menghancurkan hidupnya, menghancurkan harapannya. Pemuda yang diharapkan
menjadi jodohnya, yang ditunggunya dengan setia sehingga dia menolak senlua
pinangan orang, yang diam‑diam dicintanya, ternyata telah menjadi seorang yang
buas dan hina, seorang penjahat cabul yang kejam sekali melebihi iblis! Dan di
samping ini, dia telah menjadi korban! Dia telah menjadi seorang yang rusak
kehormatannya, tidak mungkin menjadi seorang wanita yang dihormati lagi. Dia
harus membalas dendam ini! Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa, karena
apa artinya hidup ini setelah apa yang terjadi malam tadi? Setelah totokan itu
pulih dengan sendirinya, Siok Bi juga hanya dapat menangis, bahkan menangis
pun tidak berani terlalu keras. Kalau terdengar orang dan ada yang bertanya,
apa yang harus dijawabnya? Peristiwa mengerikan yang menimpa dirinya semalam
tidak akan diketahui siapa juga, kecuali dia dan Si Laknat Gak Bun Beng!
Pada
keesokan harinya, pagi‑pagi sekali Siok Bi telah meninggalkan rumah penginapan
keluar dari kota raja menuju ke utara. Menjelang senja barulah dia dapat
menemukan kuil yang dimaksudkan oleh Gak Bun Beng ketika hendak meninggalkan
kamarnya tadi pagi. Namun Siok Bi bersikap hati‑hati ketika melihat banyak
orang keluar masuk di bangunan kuil yang dikelilingi pondok-pondok kecil itu. Tentu
mereka ini para anggauta Tiong‑gi‑pang! Dia datang untuk mencari Gak Bun Beng
dan untuk membunuhnya! Kalau dia muncul begitu saja, bukan hanya usaha
membalas dendam itu akan gagal, bahkan dia akan tertawan dan akan menjadi
permainan pemuda iblis itu! Dia harus menahan sabar dan baru turun tangan malam
nanti! Dengan pikiran ini Siok Bi bersembunyi di dalam hutan, menanti datangnya
malam. Dia harus selalu menekan hatinya untuk tidak menangis terus. Setiap
kali teringat akan malapetaka yang menimpa dirinya, ingin dia menjerit‑jerit
dan menangis.
Malam
itu sunyi sekali di luar Kuil Tiong‑gi-pang, karena memang kuil itu berada di
dalam hutan, tidak mempunyai tetangga. Para anggauta ying sudah lelah karena
siang tadi bekerja atau berlatih silat, kini sudah beristirahat di dalam pondok‑pondok
kecil yang dibangun di sekeliling kuil. Hanya ada beberapa orang penjaga yang
meronda secara bergilir untuk menjaga keselamatan dan keamanan kuil mereka.
Sesosok
bayangan berkelebat dan menyelinap di bawah bayangan pohon yang gelap. Bayangan
ini adalah Ang Siok Bi yang berhasil melompati pagar yang mengelilingi tempat
itu. Dia ingin memasuki kuil dengan diam‑diam, mencari dan membunuh Gak Bun
Beng, atau kalau gagal, terbunuh. Akan tetapi, ketika dia menyelinap ke dalam kuil
melalui sebuah pintu samping yang terbuka dan tiba di ruangan depan, tiba‑tiba
ada suara menegurnya, “Siapa?”
Tiga
orang penjaga muncul dengan tiba‑tiba, mengejutkan hati Siok Bi, mereka itu
adalah dua orang berpedang dan seorang bersenjata tongkat. Ketika melihat bahwa
orang tak terkenal yang berkelebat masuk itu adalah seorang gadis cantik, tiga
orang penjaga itu terbelalak heran dan tidak mau sembarangan turun tangan
menyerang. Akan tetapi Siok Bi yang mengira bahwa mereka itu tentulah anak buah
Gak Bun Beng, sudah mencabut pedangnya dan menerjang tanpa banyak cakap lagi.
Dia harus merobohkan mereka ini sebelum yang lain‑lain datang!
“Trang‑trang....
aih....!” Tiga orang itu terkejut, sedapat mungkin menangkis, akan tetapi
gerakan Siok Bi yang lincah dan serangannya yang tak tersangka‑sangka itu
terlalu lihai bagi mereka. Dua orang terluka lengannya dan seorang lagi terluka
dadanya oleh sambaran pedang puteri ketua Bu‑tong‑pai yang perkasa ini.
Akan
tetapi teriakan mereka mendatangkan tujuh orang penjaga lainnya. Melihat ini,
dengan gemas Siok Bi sudah menggerakkan pedangnya mengamuk sambil berteriak
marah, “Gak Bun Beng manusia busuk! Kiranya engkau pengecut, mengandalkan
banyak anak buahmu! Keluarlah kalau kau laki‑laki, kita mengadu nyawa!”
Mendengar
seruan ini, penjaga terheran dan mereka menahan senjata sambil melompat mundur,
terdengar bentakan nyaring, “Tahan senjata!”
Ang
Siok Bi juga menahan pedangnya ketika melihat munculnya seorang dara yang amat
cantik dan gagah. Dara ini bukan lain adalah Milana, yang tadi terkejut
mendengar suara ribut‑ribut dan keluar dari kamarnya. Kebetulan sekali dia
mendengar disebutnya nama Gak Bun Beng yang ditantang oleh wanita muda yang
mengamuk itu, maka dia cepat menghentikan pertandingan.
Sejenak
kedua orang wanita muda itu saling berpandangan. Siok Bi masih memandang marah
karena menduga bahwa tentu wanita cantik itu kaki tangan Gak Bun Beng pula,
sedangkan Milana menduga‑duga siapa wanita yang agaknya memusuhi Gak Bun Beng
itu, juga dia terheran‑heran mengapa wanita itu mencari Bun Beng di kuil
Tiong-gi-pang.
“Siapakah
engkau? Mengapa engkau mengacau Tiong‑gi-pang?” tanyanya. Para anak buah Tiong‑gi‑pang
sudah berkumpul dan tiga orang yang terluka itu cepat ditolong dan luka mereka
diobati dan dibalut. Dua di antara mereka terpaksa membuka baju agar luka di
tubuh mereka dapat dibalut.
Siok
Bi yang sudah nekat melintangkan pedangnya di depan dada sambil menjawab, “Aku
Ang Siok Bi, datang untuk menantang ketua kalian bertanding sampai seorang
diantara kami tewas. Akan tetapi kalau para anggauta dan kaki tangannya mau
ikut maju aku tidak takut!”
“Hemmm,
siapa mencari aku?” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah empat
orang anggauta Tiong‑gi-pang yang menggotong Sai‑cu Lo‑mo yang lumpuh.
Begitulah ketua ini kalau menyambut datangnya orang asing atau tamu, duduk di
atas papan yang digotong empat orang anak buahnya. Untuk keperluan
sehari-hari, dia bergerak mengandalkan kedua tangannya saja yang dapat dia
pergunakan sebagai pengganti kedua kaki, berjalan dengan tubuh terangkat
sedikit ke belakang!
Siok
Bi menoleh ke kiri dan memandang kakek itu dengan bingung.
“Aku
tidak mencari engkau, aku mencari Ketua Tiong-gi‑pang....”
“Hemm,
Nona. Akulah Ketua Tiong-gi‑pang.”
Siok
Bi makin terkejut, lalu menduga bahwa tentu Gak Bun Beng yang tinggal disini
bukan ketuanya.
Dengan
suara tidak sabar Milana bertanya, “Sebenarnya apakah kehendakmu dan siapa yang
kaucari?”
Dengan
agak bingung Siok Bi menjawab, “Aku mencari Si Bedebah Gak Bun Beng. Suruh dia
keluar!”
Milana
makin tertarik. Tentu ada sesuatu terjadi antara gadis itu dengan Bun Beng.
Akan tetapi mengapa mencari Bun Beng di sini?
“Ada
urusan apakah engkau mencari Gak Bun Beng?” dia masih bertanya memancing.
“Kau
tak perlu tahu. Pendeknya aku mencari Gak Bun Beng untuk kubunuh!”
Milana
menyarungkan pedang yang tadi sudah dicabutnya. Melihat ini, Siok Bi menjadi
heran.
“Engkau
salah alamat,” kata Milana. “Gak Bun Beng tidak berada di sini, juga kami
bukanlah sahabatnya. Tiong‑gi‑pang tidak pernah ada hubungan apa‑apa dengan
Gak Bun Beng. Marilah kita bicara di dalam. Kalau engkau mempunyai penasaran
terhadap Gak Bun Beng, agaknya aku akan dapat membantumu.”
Siok
Bi makin terheran. Melihat sikap dara jelita itu, sikap Ketua Tiong‑gi‑pang
yang lumpuh, sikap para anak buah Tiong‑gi‑pang yang sudah mundur dan agaknya
tidak memperlihatkan sikap bermusuh kepadanya, dia juga menyarungkan pedang di
sarung pedang yang kini tergantung di punggungnya. Akan tetapi dia masih ragu‑ragu
melihat Milana membuka sebuah pintu batu di atas anak tangga.
Milana
yang sudah berada di depan pintu itu menoleh dan berkata, “Engkau demikian
gagah berani sudah menyerbu Tiong‑gi‑pang, apakah sekarang menjadi takut untuk
memenuhi undanganku masuk ke dalam dan bicara?”
Sai‑cu
Lo‑mo yang sudah bersedekap penuh rasa duka itu berkata, “Masuklah, Nona. Kami
bukanlah orang‑orang jahat. Kalau kami berniat buruk, perlukah memancingmu
masuk?”
Siok
Bi mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada Sai-cu Lo‑mo, kemudian dia
menudingkan telunjuknya kepada Ketua Tiong‑gi‑pang itu dan membentak, “Aku
pernah melihat engkau. Bukankah engkau seorang tokoh Thian-liong‑pang?”
Sai‑cu
Lo‑mo menghela napas, kemudian menjawab, “Dugaanmu benar, Nona. Dan Nona adalah
puteri Ketua Bu‑tong-pai, bukan?”
Siok
Bi terkejut. Dahulu, ketika Thian‑liong‑pang mengadakan pertemuan besar di
puncak Gunung Ciung‑lai‑san di Se‑cuan, dia ikut ayahnya menghadiri pertemuan
besar itu. Ayahnya, Ang‑lojin Ketua Bu‑tong‑pai, pernah diculik oleh Thian‑liong‑pang,
sehingga perkumpulan itu dapat dikatakan adalah musuhnya!
“Jadi
kalian.... kalian ini.... anggauta-anggauta Thian‑liong‑pang....?” Di samping
kekagetan dan kemarahannya, juga ada rasa gentar di hati Siok Bi karena dia
maklum betapa lihainya orang‑orang Thian‑liong‑pang.
“Bukan,”
jawab Milana. “Thian‑liong-pang sudah tidak ada lagi dan engkau menjadi tamu
dari Tiong‑gi‑pang.”
“Dan
kau.... sekarang aku mengenalmu! Engkau adalah puteri cantik dari Ketua Thian‑liong‑pang!”
Siok Bi berseru lagi, makin terkejut karena dia tahu bahwa puteri Ketua Thian‑liong-pang
memiliki ilmu kepandaian hebat.
Milana
tersenyum, “Kalau perkumpulannya tidak ada, ketuanya pun tentu saja tidak ada.
Marilah, apakah engkau masih tidak berani memenuhi undanganku? Di dalam kita
bicara tentang manusia bernama Gak Bun Beng itu.”
Tiba‑tiba
terdengar bentakan halus dan nyaring, “Gak Bun Beng manusia hina. Hendak lari
ke mana engkau?”
Dari
jendela melayang masuk sesosok bayangan yang ternyata dia adalah seorang gadis
cantik pula, sebaya dengan Siok Bi dan Milana dengan sebatang pedang di
tangannya! Gadis ini sejenak bingung memandang Milana, Siok Bi, Sai-cu Lo‑mo
dan para anggauta Tiong‑gi-pang, kemudian menoleh ke sana‑sini, pandang
matanya mencari‑cari, kemudian dia membentak, “Hayo suruh Si jahanam keparat Gak
Bun Beng keluar untuk menerima kematiannya!”
Sai‑cu
Lo‑mo menutup muka dengan kedua tangan yang tadi disedekapkan sambil mengeluh,
“Ya Tuhan.... lagi-lagi Bun Beng....?”
Milana
juga merasa tertusuk hatinya. Lagi‑lagi ada orang yang mencari Gak Bun Beng
untuk membunuhnya, dan orang ini juga wanita muda cantik jelita! “Gak Bun Beng
tidak ada di sini mengapa engkau mencarinya ke sini?” Dia menegur kepada
gadis cantik yang baru datang itu.
Gadis
itu mengelebatkan pedangnya dan gaya gerakannya menunjukkan bahwa dia memiliki
ilmu pedang yang hebat juga! “Bohong! Baru saja dia lari dan masuk ke sini!
Hayo suruh dia keluar, kalau tidak, terpaksa aku akan mengobrak‑abrik tempat
ini!”
Milana
terkejut. “Dia di sini?”
Sai‑cu
Lo‑mo juga terkejut dan cepat memberi perintah kepada anak buahnya. “Cari bocah
setan itu sampai dapat! Periksa semua tempat!”
Dengan
cepat mereka semua bergerak pergi, bahkan Sai‑cu Lo‑mo sendiri sudah meloncat
dari atas papan yang dipikul empat orang anggautanya, tubuhnya yang lumpuh
kakinya itu masih dapat bergerak cepat sekali. Milana juga sudah mencabut
pedangnya dan berkelebat lenyap. Tinggal Siok Bi dan gadis itu saling pandang
dengan bingung. Siok Bi yang berkata, “Sobat, keadaan kita sama. Aku pun
mencari manusia keparat Gak Bun Beng di sini, akan tetapi kita berdua salah
alamat. Kurasa jahanam itu tidak berada di sini.”
“Tak
mungkin! Tadi kuserang, kukejar dan lenyap di tempat ini!” Gadis itu masih
penasaran.
“Akan
tetapi orang-orang Tiong‑gi‑pang ini bukanlah sahabat Gak Bun Beng. Lihat saja
mereka semua marah dan mencari Si Laknat itu,” bantah Siok Bi. Gadis itu
menarik napas panjang dan mengangguk.
“Akan
tetapi....”
“Biarlah
kita menanti sampai mereka kembali. Ketahuilah bahwa para pimpinan Tiong‑gi‑pang
ini adalah bekas tokoh-tokoh Thian‑liong‑pang yang lihai.”
Mendengar
ini, gadis ini terkejut juga, dan berdiri dengan bingung. Melihat betapa Siok
Bi tidak menghunus pedang, dia merasa kikuk dan segera dia menyarungkan
pedangnya pula.
Tak
lama kemudian, Milana datang lagi ke tempat itu. Gerakannya membuat Siok Bi dan
gadis itu terkejut dan kagum. Seperti gerakan iblis saja, hanya tampak
berkelebat dan tahu‑tahu telah berada di situ. Mengertilah mereka berdua bahwa
mereka bukan tandingan dara cantik jelita ini!
Milana
memandang kepada dara yang baru tiba. “Benarkah katamu tadi bahwa Gak Bun Beng
lari, dan lenyap di tempat ini?”
“Aku
tidak membohong. Kalau tidak, apa perlunya aku masuk ke sini dan mengejarnya?”
Milana
mengangguk dan menarik napas panjang. “Kami mencari tanpa hasil dan hal ini
memang tidak aneh. Kepandaian Gak Bun Beng tinggi bukan main, dan andaikata
kita dapat menemukannya aku masih sangsi apakah kita semua dapat melawannya.”
“Aku
tidak takut!” Siok Bi berseru.
“Aku
akan mengadu nyawa dengannya!” Gadis itu pun berseru.
Milana
mengerutkan alisnya. “Mari kita bicara di dalam. Agaknya aku dapat menduga apa
yang telah terjadi dengan kalian.”
Ketika
gadis yang baru muncul itu ragu‑ragu, Milana melanjutkan setelah melihat bahwa
di situ tidak ada orang lain, “Bukankah kalian berdua menjadi korban Gak Bun
Beng yang telah menjadi jai‑hwa‑cat (penjahat pemerkosa)?”
Seketika
wajah kedua orang dara itu menjadi merah sekali. Milana menghela napas panjang.
“Ketahuilah, aku bukan sahabat Gak Bun Beng dan kalau benar seperti yang kuduga
bahwa kalian menjadi korban kebiadabannya, aku bersedia membantu kalian
mencarinya dan menghadapinya!”
Siok
Bi sudah percaya kepada Milana, maka melihat gadis yang baru datang itu ragu‑ragu,
dia berkata, “Sebaiknya kita bicara dengan dia, karena dia ini adalah puteri
bekas Ketua Thian‑liong‑pang.”
Gadis
itu kelihatan terkejut sekali. “Apa....?” Dia menatap wajah Milana dengan
tajam. “Kau.... kau.... Puteri Milana cucu Kaisar? Engkau puteri dari Panglima
Wanita Nirahai dan.... dan Pendekar Super Sakti?”
Milana
terkejut juga melihat betapa gadis itu mengenal ayah bundanya. Dia mengangguk
dan bertanya, “Siapakah engkau?”
Gadis
itu tiba‑tiba menjatuhkan diri berlutut. “Harap paduka sudi memaafkan saya yang
bersikap kurang hormat....”
Siok
Bi juga terkejut sekali mendengar itu. Kiranya Ketua Thian‑liong‑pang adalah
Puteri Nirahai? Dia memang sudah mendengar kabar angin tentang ini, akan tetapi
ayahnya sendiri masih kurang percaya. Dan ternyata bahwa selain puteri Kaisar,
juga Ketua Thian‑ liong‑pang yang pernah menimbulkan geger itu adalah isteri
Pendekar Super Sakti! Dia tidak berlutut seperti gadis itu, akan tetapi dia pun
bertunduk dan memandang Milana dengan segan dan hormat.
Milana
merangkul gadis itu dan mengangkatnya bangkit berdiri. “Tak perlu seperti itu.
Aku gadis biasa saja, gadis kang‑ouw seperti kalian. Siapakah namamu?”
“Saya
Lu Kim Bwee, dari Kong‑kong (Kakek) yang pernah menjadi pengawal Kaisar saya
mendengar tentang ibu Paduka....”
“Hushh,
Enci Kim Bwee, jangan banyak sungkan. Jangan pakai paduka‑paduka segala
kepadaku. Anggap saja kita ini sahabat‑sahabat yang senasib. Marilah Enci Siok
Bi dan Enci Kim Bwee, mari kita masuk ke dalam dan kita bicara tentang manusia
jahanam Gak Bun Beng ini.”
Ketiganya
memasuki kamar Milana, melalui anak tangga dan daun pintu batu yang tebal itu.
Setelah pintu ditutup kembali, dua orang gadis itu tercengang kagum melihat
betapa kamar di balik pintu yang menyeramkan itu amat indah dan bersih.
“Ini
kamarku sendiri,” Milana berkata. “Aku pun baru dua bulan berada di sini.
Duduklah Enci Siok Bi dan Enci Kim Bwee, panggil saja aku Milana.”
Dua
orang gadis itu duduk di atas kursi yang indah, kemudian mereka saling pandang.
Tidak ada keraguan lagi di hati mereka terhadap dara jelita cucu Kaisar ini.
Milana
kembali tersenyum kepada mereka, “Sungguh mengherankan sekali. Enci berdua
muncul dalam waktu yang sama dan dengan niat yang sama pula, yaitu mencari Gak
Bun Beng, untuk membunuhnya! Ketahuilah bahwa aku pun membenci Gak Bun Beng dan
aku berjanji akan minta bantuan orang-orang Tiong-gi‑pang untuk mencari jejak
manusia itu, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah aku akan membantu kalian
menghadapinya. Untuk kerja sama ini, sebaiknya kalau kita mengetahui keadaan
masing‑masing. Nah, sekarang kuminta Enci Siok Bi suka menceritakan
pengalamannya, mengapa memusuhi dia, kemudian Enci Kim Bwe, dan kemudian aku
sendiri akan menceritakan pengalamanku.”
Karena
di situ hanya ada mereka bertiga, ditanya begini Siok Bi menangis. Milana dan
Kim Bwee yang melihat Siok Bi menangis, tak dapat menahan kesedihan hati
masing‑masing dan mereka pun menitikkan air mata, teringat akan nasib buruk
yang menimpa mereka.
Sambil
terisak Siok Bi menceritakan malapetaka yang menimpa dirinya malam tadi di
rumah penginapan di kota raja. Betapa dia didatangi Gak Bun Beng dalam
kamarnya dan ditotok tak berdaya kemudian diperkosa. Betapa kemudian dia
mencarinya ke Tiong‑gi‑pang, karena Gak Bun Beng menyebut nama perkumpulan ini
sebagai tempat tinggalnya. Setelah selesai bercerita dia menangis sesenggukan.
Milana
mengerutkan alisnya dan mencela, “Enci Siok Bi, mengapa engkau begitu mudah
saja membukai jendela kamar di waktu malam hari memenuhi permintaan seorang
laki‑laki?”
Ang
Siok Bi teriak. “Aih.... harap jangan salah sangka adik Milana.... ketahuilah
bahwa semenjak ayah ditolong oleh Gak Bun Beng ketika.... ketika dahulu berada
di dalam tahanan.... Thian‑liong-pang.... ayah mengharapkan agar aku menjadi
jodoh orang itu. Dan budi itu tak terlupa oleh kami sehingga aku sudah
menganggap diriku sebagai tunangannya, sungguhpun belum resmi dan hanya menjadi
niat sepihak. Tentu saja ketika mendengar suaranya aku tidak ragu‑ragu untuk
membiarkan dia masuk. Akan tetapi siapa kira.... dia.... dia menjadi
iblis....!“
“Keparat....!”
Milana menampar meja di depannya sehingga meja itu tergetar. Memang dia marah
sekali mendengar penuturan itu, marah kepada Bun Beng.
“Dan
bagaimana dengan engkau, Enci Kim Bwee? Apakah engkau juga menjadi korban
pemuda biadab itu?” Milana menoleh kepada Lu Kim Bwee.
Sebelum
menjawab, Kim Bwee mengusap air matanya, kemudian mengangguk. “Sudah agak lama
terjadinya, sudah satu bulan lebih, ketika aku berada di pondok kakekku,” Dia
lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia dan kakeknya kedatangan Bun Beng
yang tadinya bersikap mencurigakan, mengintai dari atas genteng, kemudian
betapa pemuda itu membohongi mereka dengan cerita bahwa ada suami isteri
terbunuh setelah isterinya diperkosa di dekat telaga. Betapa kakeknya membantu
pemuda itu menyelidiki di sekitar telaga dan kiranya pemuda itu hanya membohong
untuk memancing kakeknya keluar dari pondok, kemudian diam‑diam pemuda itu
kembali ke pondok dan memperkosanya!
“Baru
aku dan kong‑kong tahu bahwa pembunuh suami isteri itu adalah dia sendiri. Aku
tak mampu melawan karena dia telah menotokku secara tiba‑tiba....” Kembali Kim
Bwee mengusap air matanya. “Semenjak hari itu, aku pergi meninggalkan pondok
kakek untuk mencari jahanam itu. Tadi aku bertemu dengannya di jalan. Aku
menyerangnya, dan dia lari. Ketika kukejar, dia lari ke arah kuil ini dan
lenyap.”
“Hemmm,
benarkah yang kauserang dan kejar tadi Gak Bun Beng?”
“Cuaca
agak gelap, aku tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Akan tetapi siapa
lagi pemuda memakai caping lebar itu kalau bukan dia? Pula, dia mentertawakan
aku dan dia yang memperkenalkan diri ketika kami bertemu di jalan.”
“Tidak
salah lagi, tentu dia!” Siok Bi berseru penuh kemarahan. “Suami isteri yang
dibunuh itu setelah isterinya diperkosa di pinggir telaga, memang menjadi
korban kebiadaban Gak Bun Beng. Hal ini aku mendengar juga dari murid ayah yang
menjadi piauwsu.” Dia lalu menceritakan kembali cerita yang didengarnya dari
para piauwsu yang bertemu dengan Bun Beng di dekat telaga.
Mendengar
semua ini, dapat dibayangkan betapa panas rasa hati Milana. Laki-laki yang
dicintanya, pilihan hatinya, bahkan yang oleh ayahnya dijodohkan dengan dia,
kiranya adalah seorang laki-laki jahat sekali. Terhapus sama sekali rasa cinta
kasihnya, kini terganti oleh rasa benci yang seperti api bernyala-nyala
membakar hatinya. Sambil menggenggam kedua tangan, dia berkata,
“Kita
harus mencari jahanam itu, akan kukerahkan semua anggauta Tiong‑gi‑pang untuk
menyelidiki, kalau kita sudah ketahui tempatnya, kita serang dan bunuh dia.”
Tentu
saja Siok Bi dan Kim Bwee menjadi girang. Mendapat bantuan seorang seperti
Milana, cucu Kaisar, puteri Pendekar Super Sakti, tentu saja amat membesarkan
hati. Mereka tahu akan kelihaian Gak Bun Beng dan tadinya mereka pun sudah
menduga bahwa andaikata bertemu dengan pemuda itu, tentu mereka yang akan
roboh! Kini harapan mereka untuk membalas dendam kepada pria yang menyeret
mereka ke dalam jurang kehinaan itu timbul kembali.
Bun
Beng masih menaruh harapan bahwa Milana menyesal ketika mendengar gadis itu
menjerit. Akan tetapi begitu Milana mencabut pedangnya dan darah muncrat dari
luka di dada, gadis itu langsung menyerang lagi, kini pedangnya membabat ke
arah leher Bun Beng.
“Aihhh....
Milana....!” Bun Beng terpaksa mengelak dengan hati penuh kecewa. Dia mendapat
kenyataan bahwa gadis itu benar‑benar tega untuk membunuhnya. Dia lalu
menggerakkan kakinya dan meloncat jauh kemudian melarikan diri.
“Jahanam
busuk, hendak lari ke mana kau?”
Milana
mengejar, diikuti oleh Siok Bi dan Kim Bwee yang sudah mengambil pedang mereka
dan ikut mengejar pula. Akan tetapi dengan beberapa loncatan saja bayangan Bun
Beng sudah menghilang di dalam hutan di utara dan lenyap di pegunungan yang
penuh hutan lebat itu.
Milana,
Siok Bi, dan Kim Bwee melakukan pengejaran dan mencari‑cari, namun tidak
berhasil. Bun Beng lenyap tanpa meninggalkan jejak. Karena hari telah
menjelang senja, terpaksa tiga orang dara ini kembali ke kuil Tong‑gi‑pang
dengan hati kecewa sekali.
Pada
keesokan harinya, pagi‑pagi sekali seorang anggauta Tiong‑gi‑pang yang berjaga
di luar melaporkan bahwa ada dua orang tamu datang minta bicara dengan nona
Milana. Mendengar ini, Milana segera keluar dan terkejutlah dia ketika melihat
bahwa yang datang adalah Wan Keng In dan seorang kakek yang mukanya bopeng dan
rusak sehingga kelihatan menakutkan sekali. Kakek itu berpakaian seperti
seorang pendeta dengan jubah kuning yang lebar, kepalanya ditutup sebuah topi
kuning pula, matanya besar sebelah dan hidungnya melesak ke dalam, mulutnya
miring. Muka yang amat buruk, bahkan kulit muka itu seperti bekas digerogoti
tikus! Wan Keng In seperti biasa berpakaian amat indah dan mewah sehingga
kelihatan makin tampan. Pedang Lam‑mo‑kiam tergantung di punggungnya. Adapun
kakek menakutkan itu memegang sebatang tongkat berkepala ukiran naga.
“Kau....?”
Milana menegur keras. “Mau apa kau ke sini?”
Wan
Keng In tersenyum dan cepat-cepat dia memberi hormat kepada Milana. “Harap kau
suka maafkan kepadaku, Milana. Aku mendengar bahwa engkau berada di Tiong‑gi‑pang
maka aku cepat datang ke sini untuk menemuimu dan bicara denganmu.”
“Mau
bicara apa? Tidak ada urusan apa‑apa di antara kita!”
“Aihh,
Milana, harap kau dapat maafkan segala kesalahanku dahulu. Aku minta maaf
kepadamu dan aku telah sadar akan semua kesalahanku dahulu kepadamu. Aku tahu
bahwa cinta tidak dapat dipaksakan, maka aku tidak menyesal bahwa engkau
menolak cintaku. Memang sekarang tidak perlu lagi bicara tentang itu karena
kita telah menjadi saudara tiri.”
“Apa
maksudmu?”
“Aihh,
apakah engkau belum tahu? Ibuku kini telah berada di Pulau Es, menjadi isteri
ayahmu. Mereka bertiga di Pulau Es. Ayahmu dan ibumu, juga ibuku yang sekarang
menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Dengan demikian, bukankah kita ini adalah
saudara‑saudara tiri? Karena itu, engkau harus dapat memaafkan aku, Milana.
Ketahuilah, cintaku kepadamu telah menjadi cinta seorang kakak, dan aku
sungguh tidak rela membiarkan engkau adikku dipermainkan dan dihina oleh
seorang manusia busuk seperti Gak Bun Beng!”
“Engkau
tahu akan hal itu?”
“Tentu
saja! Apa aku buta? Aku tahu betapa di Pulau Neraka dia mempermainkan Kwi
Hong, dia hampir pula menyeretmu. Dan ketika aku melakukan perjalanan, banyak
aku mendengar akan perbuatannya yang keji. Bahkan aku mendengar pula betapa
kemarin engkau bersama dua orang nona menyerangnya tanpa hasil.”
“Aku
telah melukai dadanya!”
“Aku
pun tahu akan hal itu, karena aku tahu di mana dia sekarang bersembunyi.”
“Apa
kau tahu? Di mana?”
“Karena
itu pulalah aku datang ke sini, Milana. Pertama, untuk menemuimu dan ke dua
untuk mengajakmu bersama-sama mengepung dan membunuh Bun Beng Si Laknat itu.
Kau jangan khawatir, ini adalah seorang sahabat baikku yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Dia sudah berjanji untuk membantu kita menghadapi Bun Beng.”
“Siancai....!”
Si Kakek Muka Buruk itu menjura, “Biarpun masih muda, Gak Bun Beng telah
melakukan banyak kejahatan dan penghinaan kepada para wanita. Dia pantas
dibasmi. Harap Nona tidak khawatir, lohu (aku si tua) Koai‑san‑jin (Kakek
Gunung Aneh) akan membantumu menghadapi orang jahat.”
Milana
menjadi girang. Dia memang maklum bahwa biarpun dibantu Siok Bi dan Kim Bwee,
dia tidak akan mampu mengalahkan Bun Beng. Akan tetapi kalau dibantu oleh Keng
In yang kepandaiannya jauh melebihinya, apalagi ada bantuan kakek yang seperti
setan ini, agaknya Bun Beng yang jahat itu akan dapat dikalahkan.
“Baiklah,
Wan Keng In. Aku percaya kepadamu dan betapapun juga, memang ibumu adalah adik
angkat ayahku dan kalau benar sekarang menjadi isteri ayahku, berarti kita
jadi saudara. Tunggu sebentar, aku akan memanggil Siok Bi dan Kim Bwee.”
Tak
lama kemudian, Milana keluar lagi bersama Siok Bi, Kim Bwee, dan Sai-cu Lo‑mo
yang digotong empat orang anak buahnya. Milana segera memperkenalkan Keng In
dan Koai‑san‑jin kepada dua orang gadis itu dan Ketua Tiong‑gi-pang. Karena
Keng In seorang pemuda tampan yang pandai bersikap halus dan ramah, dua orang
dara itu tersipu malu dan merasa suka dan percaya kepada Keng In. Akan tetapi
Siok Bi memandang dengan lirikan tajam karena dia merasa seperti pernah bertemu
dengan pemuda ini.
“Kalau
tidak salah, kita pernah saling berjumpa, Wan‑enghiong,” akhirnya dia berkata
meragu.
Keng
In mengangkat kedua alisnya. “Aihh, sungguh saya kurang beruntung tidak pernah
bertemu dengan Nona sebelumnya. Baru sekali ini kita saling bertemu. Saya
kira Nona berjumpa dengan orang lain.”
“Maaf,
saya telah lupa lagi.” Siok Bi berkata sambil menunduk. Tentu dia yang salah
lihat, dan setelah dia ingat‑ingat lagi, memang agaknya belum pernah dia
bertemu dengan pemuda tampan yang berpakaian indah dan bersikap halus ini.
Sai‑cu
Lo‑mo juga memandang mereka dengan mata bersinar tajam. Setelah berkenalan dan
menuturkan niat mereka menyerbu Gak Bun Beng yang tempat sembunyinya telah
diketahui oleh Keng In, kakek itu berkata, “Sekali ini aku akan ikut sendiri,
Nona Milana. Aku ingin melihat cucu keponakan yang murtad itu tewas menerima
hukumannya.”
Kakek
lumpuh ini meloncat turun dari atas papan, kemudian ikut pergi bersama
rombongan itu dengan cara berloncatan menggunakan kedua tangannya. Biarpun dia
bergerak secara itu, namun gerakannya cukup cepat.
“Ahhh,
Pangcu. Tak mungkin saya melihat Pangcu bergerak seperti itu. Pangcu sudah tua
dan saya seorang pemuda, marilah Pangcu saya gendong saja.”
Tanpa
menanti jawaban, Keng In lalu menggendong tubuh Sai‑cu Lo‑mo, dan biarpun dia
menggendong tubuh kakek ini, tetap saja Siok Bi dan Kim Bwee yang merasa makin
kagum itu harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat lari mendampingi
Milana, Keng In, dan Koai-san‑jin.
Di
puncak bukit, di sebuah guha yang menghadap jurang yang amat dalam, Bun Beng
duduk bersila. Luka di dadanya sama sekali tidak ada artinya, kalau
dibandingkan dengan luka di hatinya. Berulang‑ulang dia menarik napas panjang.
Dia dapat menduga bahwa tiga orang gadis itu membenci den mendendam kepadanya
bukan tanpa dasar dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Dia tahu bahwa Kim
Bwee diperkosa orang yang menggunakan namanya. Dan mungkin sekali Siok Bi
mengalami hal yang sama dengan Kim Bwee. Akan tetapi apa yang terjadi dengan
diri Milana? Terlampau ngeri baginya untuk membayangkan apa yang terjadi dengan
diri dara yang dicintainya itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Jelas
bahwa ada orang yang sengaja merusak namanya di depan gadis-gadis terutama
Milana. Ada yang berusaha dengan jalan terkutuk, agar dia dibenci oleh
Milana!
Semalam
penuh dia tidak dapat tidur, diganggu oleh perasaan yang tertindih. Dia telah
ditunangkan dengan Milana, telah diberi tugas untuk mencari Milana, Kwi Hong
dan Keng In. Sekarang begitu berjumpa dengan Milana, dia telah dimusuhi dan
hendak dibunuh. Milana tidak main‑main, jelas berniat membunuhnya! Betapa tega
hati dara itu kepadanya. Bun Beng merasa berduka sekali dan dia meragukan
apakah benar Milana mencintanya! Apakah artinya cinta? Kalau benar Milana
dahulu itu mencintanya, mengapa kini dapat berubah menjadi benci? Andaikata
benar dia melakukan kesalahan, apakah kesalahan ini dapat merobah cinta
seorang menjadi benci? Kalau begitu, apa bedanya cinta dengan benci?
Bun
Beng termenung kosong, memandang ke arah awan yang tergantung di depan kakinya
di atas jurang yang curam itu kini pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang
cinta! Mulai dia mengingat‑ingat dan mencari‑cari.
Bagi
manusia umumnya, cinta telah dibagi‑bagi menjadi beberapa macam! Cinta antara
pria dan wanita, cinta antara anak dan orang tua, cinta antara sahabat, dan
cinta antara manusia dengan Tuhannya! Adakah cinta yang sudah dibagi‑bagi ini
benar‑benar cinta? Seorang wanita, seperti Milana, menyatakan cinta kepada
seorang pria seperti dia, akan tetapi cinta itu hidup selama dia dianggap
baik. Sekali dia dianggap buruk, cinta itu berubah menjadi benci! Apakah ini
benar cinta? Aku cinta padamu, akan tetapi kau pun harus cinta kepadaku! Aku
cinta kepadamu, akan tetapi kau harus baik dan menyenangkan hatiku! Kalau kau
tidak cinta kepadaku dan lari kepada orang lain, kalau kau tidak baik dan tidak
menyenangkan hatiku, cintaku hilang berubah benci! Cintakah ini, ataukah hanya
jual beli seperti benda yang diperjualbelikan di pasar?
Orang
tua mencinta anak kalau anak itu menurut, kalau anak itu berbakti, pendeknya
kalau anak itu menyenangkan hati orang tuanya. Kalau tidak? Kalau Si Anak
pemberontak, put‑hauw (tidak berbakti), murtad dan tidak menyenangkan hatinya,
akan tetapkah cintanya? Atau menjadi marah‑marah dan anaknya dikutuk? Cintakah
kalau sudah begini? Demikian pula dengan cinta sahabat. Kalau Si Sahabat
menyenangkannya, menguntungkannya, baru cinta. Bagaimana kalau sababat itu
tidak menyenangkannya, merugikannya? Masih adakah cinta itu? Sama saja. Ini cinta
pasar, cinta jual beli, baru cinta kalau “ada apa‑apanya”, ada tebusannya, ada
imbalannya!
Bagaimana
dengan cinta manusia kepada Tuhannya? Adakah ini baru cinta yang sejati? Kita
bersembahyang, mohon berkah, mohon ampun, mohon bimbingan, mohon perlindungan?
Segala macam permohonan atau permintaan ini, segala macam tuntunan ini!
Cintakah itu? Betul-betulkah hati kita penuh dengan cahaya cinta kasih disaat
kita bersembahyang kepada Tuhan? Betul‑betulkah kita teringat dengan penuh
kasih kepada Tuhan, ataukah kita hanya ingat kepada kebutuhan sendiri akan
berkah, akan pengampunan, dan lain‑lain itu? Kita mencinta Tuhan hanya karena
ingin imbalannya, yaitu berkah, pengampunan, dan lain‑lain. Adakah ini Tuhan
yang kita sembah, ataukah berkah‑Nya yang kita harap?
Bun
Beng termenung dan pada saat seperti itu, pandang matanya seolah‑olah menjadi
terbuka dan jelas tampak olehnya segala kepalsuan manusia. Kepalsuan yang
ditutup oleh tabir kebudayaan, peradaban, kesopanan, hukum dan lain‑lain. Semua
yang indah‑indah dalam hidup manusia itu hanyalah keindahan yang menyelubungi
hasrat tersembunyi, yaitu nafsu mementingkan Si Aku masing‑masing! Apa pun yang
dilakukan manusia, selalu didasari oleh pusat ini, oleh Si Aku ini. Betapa
menyedihkan kenyataan ini.
Teringatlah
Bun Beng akan semua pengalamannya, akan pertemuannya dengan Pendekar Super
Sakti, akan keadaan pendekar sakti itu bersama dua orang wanita yang juga
terlibat dalam cengkeraman apa yang mereka sebut cinta dengan pendekar itu.
Teringat pula dia akan Bu‑tek Siauw‑jin. Cinta telah menimbulkan banyak
peristiwa yang ganjil, menimbulkan pertentangan, kesengsaraan dan ketakutan.
Benarkah cinta semua itu kalau menimbulkan kesengsaraan, pertentangan,
ketakutan dan kebencian? Ataukah sesungguhnya hanya nafsu mementingkan diri
pribadi dalam mengejar kesenangan, kenikmatan dan kepuasan belaka yang oleh
kita semua disebut cinta kasih? Karena hanya nafsu mementingkan diri pribadi
sajalah yang akan mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Kalau benar
cinta, tidak mungkin mendatangkan kesengsaraan karena cinta adalah keindahan,
kebenaran, kesucian, kekekalan!
“Gak
Bun Beng manusia busuk, bersiaplah untuk menerima hukumanmu!” Tiba‑tiba
terdengar suara bentakan nyaring sekali.
Bun
Beng membuka matanya dan mengangkat muka memandang. Kiranya di tempat itu telah
muncul tiga orang gadis dan tiga orang laki‑laki yang semua telah memegang
senjata, kecuali kakek lumpuh yang dia kenal sebagai kakek yang mengaku paman
kakeknya, Sai‑cu Lo-mo, bekas pembantu ibu Milana! Tiga orang dara itu bukan
lain adalah Milana, Ang Siok Bi, dan Lu Kim Bwee yang mengeroyok kemarin. Dia
terkejut dan cepat meloncat bangun ketika melihat Wan Keng In bersama mereka,
dan seorang kakek yang mukanya mengerikan, muka yang rusak dan pakaiannya
seperti pendeta.
“Milana,
apa artinya ini....?” Bun Beng berdiri tegak, memandang dara itu dengan sinar
mata penuh duka dan bimbang.
“Manusia
busuk, tidak perlu banyak cakap lagi!” Milana berseru dan pedangnya sudah
digerakkan menusuk dada Gak Bun Beng yang cepat mengelak sambil meloncat ke
kiri.
“Sing‑sing‑singgg....!”
Pedang di tangan Siok Bi dan Kim Bwee menyambar, disusul dengan kilatan pedang
Lam‑mo‑kiam di tangan Wan Keng In.
“Tranggg....!”
Bun Beng terpaksa menangkis ketika melihat Pedang Iblis Lam-mo‑kiam menyambar
demikian dahsyatnya. Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Hok‑mo‑kiam
bertemu dengan Lam‑mo‑kiam, dan Wan Keng In merasa betapa tangannya tergetar
hebat. Dia menjadi marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dahsyatnya, kini
dibantu oleh Koai‑san‑jin yang sudah menggerakkan tongkatnya,
“Singgg....
wirrr.... siuuuttt!”
Bun
Beng terkejut bukan main. Dia sudah mengenal kelihaian Wan Keng In dan
keampuhan pedang Lam‑mo‑kiam, akan tetapi kiranya tongkat di tangan kakek itu
tidak kalah dahsyatnya! Kakek bermuka rusak itu ternyata memiliki sin-kang yang
amat kuat, dan tongkat berkepala naga menyambar dengan tenaga yang akan dapat
menghancurkan batu karang.
Maklumlah
dia bahwa dua orang lawan ini, Wan Keng In dan Si Kakek Muka Buruk, merupakan
dua orang lawan yang amat lihai dan yang harus dihadapinya dengan hati‑hati.
Sedangkan tiga orang dara itu, terutama sekali Siok Bi dan Kim Bwee, menyerang
dengan nekat seperti orang‑orang yang sudah siap untuk membunuh atau dibunuh!
Betapapun
juga, hanya Milana seorang yang membuat dia bingung dan tidak dapat melawan
dengan baik. Keroyokan mereka itu sebenarnya masih dapat dihadapinya dan
bahkan dia merasa masih sanggup meloloskan diri atau memperoleh kemenangan
biarpun Wan Keng In dan pendeta muka buruk itu lihai bukan main. Akan tetapi
adanya Milana di situ yang ikut mengeroyok benar‑benar membuat dia bingung dan
gugup. Dia menggunakan Hok‑mo‑kiam, akan tetapi dia selalu menjaga agar
pedangnya itu jangan sampai menangkis pedang Milana, apalagi menyerang dara
itu. Dia hanya menggunakan pedangnya untuk menjaga diri dari sambaran Lam‑mo‑kiam
dan membalas hanya kepada Keng In dan Si Pendeta Muka Buruk. Dia pun tidak mau
menyerang Siok Bi dan Kim Bwee karena maklum bahwa kedua orang dara ini pun
hanya menjadi korban orang jahat yang menyamar sebagai dia.
“Milana,
dengar dulu keteranganku! Nona Siok Bi dan Nona Kim Bwee, aku tidak
bersalah....!”
“Manusia
hina!” Milana memaki dan pedangnya sudah menerjang dengan hebatnya dan karena
Bun Beng tidak menggunakan Hok‑mo‑kiam menangkis, pedangnya itu sibuk
menangkis serangan Lam-mo‑kiam dan tongkat kakek muka buruk, maka elakannya
masih belum cukup menghindarkan diri dan kembali pedang di tangan Milana telah
berhasil melukai paha kirinya sehingga celana dan kulit pahanya robek dan
berdarah.
“Gak
Bun Beng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cerewet lagi!” Wan
Keng In mengejek dan Lam-mo‑kiam di tangannya menyambar dahsyat, dengan
bertubi‑tubi menusuk dada dan membabat leher sedangkan dari belakang Bun Beng,
tongkat kakek muka buruk menyambar ganas menyerang kedua kaki dan perut pemuda
itu.
“Wan
Keng In.... aku ada pesanan dari ibumu....”
“Wuuuuttt....
singgg.... tranggg!” Pedang Hok‑mo‑kiam sekali lagi membentur Lam‑mo‑kiam
sampai hampir saja tubuh Keng In terpelanting.
“Desss!”
Tongkat kepala naga itu berhasil menggebuk pinggang Bun Beng dari belakang.
Biarpun Bun Beng sudah kebal tubuhnya oleh sin‑kang gabungan yang dia terima
dari Pendekar Super Sakti dan Bu‑tek Siauw‑jin, namun hantaman itu hebat bukan
main sehingga Bun Beng muntahkan darah segar dari mulutnya. Hal ini bukan
berarti bahwa dia terluka hebat karena sin‑kang yang mujijat telah melindungi
bagian dalam tubuhnya. Dia memutar tubuh dan membabatkan pedang Hok‑mo‑kiam,
akan tetapi terpaksa menarik kembali pedangnya itu karena melihat Milana
sudah bergerak menyerangnya sehingga kalau pedangnya dia lanjutkan, tentu dia
akan merusak pedang Milana!
Kembali
dia dikepung dengan ketat oleh lima orang itu yang seolah‑olah telah berubah
menjadi iblis‑iblis yang haus darah! Diam‑diam Bun Beng mengeluh. Dua orang
itu, Wan Keng In dan Si Kakek Muka Buruk, terlampau lihai untuk ditandingi
dengan setengah hati. Akan tetapi untuk melawan sungguh‑sungguh, gerakannya
terbatas oleh adanya Milana di situ dan dua orang gadis yang ikut
mengeroyoknya. Kalau saja di situ tidak ada Wan Keng In dan Si Kakek Aneh,
tentu ia dapat meloloskan diri, namun Wan Keng In dengan Lam‑mo‑kiam bukan main
dahsyatnya, ditambah kakek yang menggerakkan tongkatnya secara lihai sekali.
Sai‑cu
Lo‑mo duduk di dekat guha dan menonton dengan alis berkerut dan muka kelihatan
berduka sekali. Dia masih hampir tidak dapat percaya bahwa pemuda itu telah
berubah menjadi seorang jai-hwa‑cat yang hina, akan tetapi saksi-saksinya
banyak. Tidak mungkin dua orang dara itu membohong, apalagi Milana! Hatinya
seperti diremas‑remas dan melihat jalannya pertandingan, hatinya makin perih
lagi karena dia maklum bahwa Bun Beng akan celaka hanya karena pemuda itu
tidak mau melukai Milana dan dua orang gadis lain sehingga membuat gerakannya
kacau dan terbatas sedangkan Wan Keng In dan kakek muka buruk itu demikian
hebat gerakannya.
Dugaan
Sai‑cu Lo‑mo memang benar. Beberapa kali Bun Beng terpaksa menerima tusukan
pedang Milana dan dua orang gadis sehingga pakaiannya sudah penuh dengan
darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, lima orang pengeroyok itu menjadi makin
ganas dan suatu saat, lima buah senjata mereka menyambar secara berbareng!
“Haiiiihhhh....!”
Suara melengking dari mulut Bun Beng ini membuat Siok Bi dan Kim Bwee
terpelanting dan pedang Hok-mo‑kiam berhasil menangkis Lam‑mo-kiam dan
membabat buntung tongkat kepala naga, akan tetapi kembali pedang Milana
berhasil membacok pangkal lengannya di bahu kanan, membuat lengan kanannya setengah
lumpuh dan tubuh Bun Beng terhuyung ke belakang!
“Mampuslah!”
Keng In berteriak girang dan menerjang maju, menggerakkan Lam-mo‑kiam
membacok.
“Cringgg....!”
Bunga api berpijar dan Keng In meloncat mundur dengan kaget karena ada pedang
lain yang sanggup menangkis pedang Lam-mo-kiam. Ternyata Kwi Hong sudah berdiri
di situ dengan pedang Li‑mo‑kiam di tangan! Pantas saja pedang itu kuat
menangkis Lam‑mo‑kiam, karena pedang itu adalah Pedang Iblis Betina yang sama
ampuhnya dengan Pedang Iblis Jantan!
“Wan
Keng In manusia keparat! Milana dengarlah.... Gak Bun Beng tidak bersalah....”
“Giam
Kwi Hong! Tentu saja engkau membela dia setelah engkau menjadi kekasihnya!”
Milana berteriak penuh kemarahan.
“Ha‑ha‑ha,
benar‑benar pasangan yang amat cocok! Bun Beng adalah anak haram dari Si Datuk
sesat Gak Liat, sedangkan Giam Kwi Hong adalah anak haram dari Si Perwira hina
Giam Cu yang telah menjadi gila. Ha‑ha‑ha, keduanya anak haram, tentu saja
saling membela apalagi setelah menjadi kekasih gelap!”
“Keng
In, mulutmu jahat!” Kwi Hong berteriak dan dengan Li‑mo‑kiam di tangan dia
menyerang Wan Keng In. Pemuda Pulau Neraka ini cepat menangkis dengan
pengerahan tenaga karena dia maklum bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh
dipandang ringan. Segera mereka bertanding, akan tetapi Kwi Hong terdesak
ketika kakek muka buruk sudah maju membantu Keng In. Milana dan dua orang gadis
yang merasa sakit hati kepada Bun Beng, sudah menerjang Bun Beng yang kini
duduk bersila di atas tanah. Serangan‑serangan mereka itu dia sambut dengan
secara terpaksa menggunakan Hok‑mo‑kiam.
“Trakk!
Trakkk!” Pedang di tangan Siok Bi dan Kim Bwee patah‑patah, hanya pedang
Milana yang belum beradu dengan Hok‑mo‑kiam sehingga tidak rusak. Namun Siok Bi
dan Kim Bwee yang sudah nekat itu terus menerjang dengan kepalan mereka!
Terpaksa Bun Beng menangkis dengan lengan kirinya membalikkan pedangnya agar
tidak melukai dua orang dara itu, dan dalam menangkis pun dia tidak mengerahkan
tenaga sehingga tidak sampai melukai lengan kedua orang gadis itu. Milana masih
berusaha untuk menyerang dengan pedang, akan tetapi melihat betapa dua orang
gadis itu mengeroyok Bun Beng sedemikian nekat sehingga ada bahaya pedangnya
mengenai tubuh mereka sendiri, dia lalu membalik dan membantu Wan Keng In
mengeroyok Kwi Hong!
Kwi
Hong sudah terluka oleh pedang Keng In dan tongkat kakek muka buruk, namun dia
masih membela diri mati-matian. Kini Milana maju, dan gadis ini juga amat
lihai, maka tentu saja Kwi Hong menjadi makin payah dan dia hanya dapat
menangkis sambil mundur terus, tanpa disadarinya bahwa dia mundur ke arah
jurang yang berhadapan dengan guha.
“Kwi
Hong.... hati-hati belakangmu.... !” Bun Beng berteriak, akan tetapi terlambat.
Tubuh Kwi Hong tergelincir ke belakang dan terdengar dara itu menjerit
mengerikan ketika tubuhnya terjengkang dan lenyap ke dalam jurang.
“Kwi
Hong....!” Tubuh Bun Beng mencelat dengan kecepatan yang luar biasa, dan tahu‑tahu
pemuda ini pun sudah meloncat ke dalam jurang, menyusul Kwi Hong!
Milana
terbelalak, dan semua orang menahan napas. Keng In dan kakek muka buruk
menghampiri pinggir jurang dan menjenguk ke bawah. Hati Keng In puas sekali
karena melihat jurang itu merupakan jurang yang dalamnya tak dapat diukur,
bahkan tidak nampak dari bawah karena tertutup awan dan halimun!
“Mereka
tentu hancur di bawah sana,” kakek muka buruk berkata dengan suaranya yang
agak pelo.
Milana
memejamkan matanya yang terasa panas. Di dalam hatinya timbul dua perasaan,
perasaan cemburu dan juga perasaan duka. Perbuatan terakhir dari Bun Beng benar‑benar
menyakitkan hatinya. Dalam saat terakhir pun Bun Beng membuktikan cinta
kasihnya kepada Kwi Hong sehingga rela mati bersama gadis itu meloncat ke dalam
jurang!
Dua
orang gadis, Siok Bi dan Kim Bwee, berdiri tegak di pinggir jurang, muka mereka
pucat sekali. Setelah kini orang yang memperkosa itu terlempar ke dalam jurang
dan sudah mesti tewas, hati mereka tidak karuan rasanya. Ada rasa duka, ada
rasa sunyi, dan rasa ngeri bagaimana mereka harus menempuh hidup selanjutnya!
Hasrat mereka sekarang hanya untuk pulang, untuk menyembunyikan diri!
“Adik
Milana, sekarang aku mau pulang!” Siok Bi berkata dengan suara mengandung
isak, kemudian dia membalikkan tubuh dan lari pergi meninggalkan tempat itu.
“Aku
pun pergi, adik Milana!” Kim Bwee juga berkata, suaranya lirih seperti orang
berduka. Gadis ini pun segera lari pergi setelah sekali lagi dia melempar
pandang ke arah jurang dengan sinar mata sayu penuh duka.
Milana
sendiri sedang tertekan batinnya, maka dia hanya mengangguk. Pandang matanya
masih ditujukan ke arah jurang dengan sinar mata kosong.
Wan
Keng In terbatuk‑batuk untuk menyadarkan keadaan Milana. “Milana, manusia jahat
itu telah tewas dan aku menyesal sekali bahwa Kwi Hong ikut tewas, akan tetapi
agaknya lebih baik begitu untuk dia setelah dia terbujuk oleh manusia hina she
Gak itu. Marilah kita sekarang pergi ke Pulau Es menemui ayahmu dan ibuku.”
Milana
terdesak kaget. “Ke.... ke.... Pulau Es....? Setelah terjadi hal ini?”
Sai‑cu
Lo‑mo berloncatan maju. Kedua mata kakek ini masih basah oleh air matanya yang
bertitik ketika melihat betapa Bun Beng tadi meloncat ke dalam jurang.
Semenjak pertandingan itu dimulai, dia merasa terharu sekali dan betapapun
juga, dia tidak bisa membenci cucu keponakannya itu. Apa pun yang dituduhkan
orang kepada cucunya itu, namun dengan mata kepala sendiri dia melihat betapa
Bun Beng adalah seorang laki‑laki sejati, yang tidak mau melukai Milana dan dua
orang gadis lainnya, bahkan yang dalam saat terakhir berusaha menolong Kwi
Hong yang terlempar ke dalam jurang! Dia dapat menduga bahwa seorang yang
memiliki kepandaian tinggi, dan kegagahan seperti Bun Beng, tidak mungkin
membunuh diri, dan perbuatannya meloncat ke dalam jurang tadi tentu dengan
maksud untuk menolong Kwi Hong.
“Nona
Milana, memang sebaiknya kalau Nona pergi menghadap orang tua Nona dan
menceritakan semua peristiwa yang terjadi ini.” Ucapan Sai‑cu Lo‑mo ini
mengandung harapan agar Pendekar Super Sakti sendiri yang akan menangani urusan
ini, dan yang akan menentukan apakah hukuman yang dijatuhkan atas diri Bun Beng
ini benar. Biarpun Bun Beng sudah tewas, akan tetapi namanya perlu dibersihkan,
kalau memang hal itu mungkin.
Milana
memandang Sai‑cu Lo‑mo dan dua titik air mata menetes ke arah pipinya.
“Kakek,
aku.... aku takut kepada Ayah....”
“Mengapa
takut, Nona? Ceritakan saja apa yang telah terjadi.”
“Bagaimana
aku tidak akan takut? Enci Kwi Hong adalah keponakan dan murid Ayah....”
Wan
Keng In berkata, “Milana, sudah kukatakan tadi bahwa kematian Kwi Hong bukanlah
karena senjata kita, melainkan karena tergelincir ke dalam jurang.”
“Aku
baru mau pergi kalau engkau ikut pula pergi, Bhok‑kongkong.”
Sai‑cu
Lo‑mo mengangguk‑angguk. “Baiklah, aku yang akan menjadi saksi agar engkau
tidak dimarahi ayah bundamu Nona.”
Maka
berangkatlah empat orang itu, Milana, Sai‑cu Lo‑mo, Wan Keng In dan Koai‑san‑jin,
ke utara untuk pergi ke Pulau Es.
***
Tubuh
Suma Han Pendekar Super Sakti kini menjadi agak gemuk dan mukanya kelihatan
segar berseri. Dia benar‑benar merasa seperti hidup baru bersama dua orang
isterinya di Pulau Es. Biarpun mereka seolah‑olah hidup mengasingkan diri dari
dunia ramai, namun hidup mereka penuh dengan cinta kasih diantara mereka!
Memang, kalau hati sudah penuh cinta kasih, orang tidak membutuhkan apa‑apa
lagi, dan kalau hati selalu aman tenteram tubuh pun menjadi sehat! Juga di
wajah kedua orang wanita cantik itu, Nirahai dan Lulu, membayang kebahagiaan
yang membuat wajah mereka berseri dan segar kemerahan kedua pipinya seperti
wajah dua orang gadis muda saja!
Siang
hari itu, Suma Han dan kedua orang isterinya berdiri di tepi pantai Pulau Es
sebelah barat, memandang ke arah sebuah perahu yang meluncur cepat menuju ke
Pulau Es, setelah perahu agak dekat dan mereka dapat mengenal dua di antara
empat orang yang berada di dalam perahu, Nirahai dan Lulu berseru girang,
“Milana....!”
“Keng
In....!”
Suma
Han diam saja dan pendekar ini merasa hatinya terusik oleh sesuatu yang tidak
menyenangkan. Dia tidak melihat Bun Beng dan Kwi Hong.
“Siapakah
dua orang kakek itu?” Dia berkata perlahan seolah‑olah bertanya kepada diri
sendiri.
“Seorang
di antara mereka adalah Sai-cu Lo‑mo, bekas pembantuku,” kata Nirahai. “Kakek
muka buruk itu entah siapa.”
Lulu
juga tidak mengenal kakek muka buruk yang tadinya dia kira Cui‑beng Koai‑ong
akan tetapi setelah perahu makin mendekat ternyata bukan. Setelah perahu
menempel di pulau, empat orang itu melompat ke darat, Keng In segera lari dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Lulu sambil berseru, “Ibu....!”
Bukan
main girangnya hati ibu yang seolah‑olah menemukan kembali anaknya ini ketika
menyaksikan sikap Keng In. Dia memeluknya dan air matanya bercucuran.
Milana
juga dipeluk oleh Nirahai, akan tetapi dara ini menangis dan menyembunyikan
mukanya di dada ibunya. Sai-cu Lo‑mo melompat maju dan duduk menghadapi
Nirahai dan Suma Han, kemudian berkata, “Harap Taihiap dan Pangcu sudi
memaafkan saya yang berani lancang mendatangi Pulau Es.”
Nirahai
menjawab. “Tidak mengapa Lo‑mo. Kenapa kedua kakimu?”
Sai‑cu
Lo‑mo tersenyum. “Akibat penyerbuan yang lalu, Pangcu.”
“Totiang
siapakah?” Suma Han bertanya sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh
selidik kepada Koai‑san‑jin yang masih berdiri sambil menundukkan mukanya.
Wan
Keng In segera menjawab, “Dia adalah Koai‑san‑jin, seorang pertapa yang telah
banyak menolong dan membantu kami, terutama sekali ketika menghadapi Si Jahat
Gak Bun Beng.”
Terkejutlah
Suma Han, Lulu, dan Nirahai mendengar kata‑kata yang menyebut Gak Bun Beng
penjahat ini.
“Keng
In! Apa maksud kata-katamu ini?” Lulu memegang pundak puteranya sambil memandang
tajam. Juga Nirahai dan Suma Han menatap wajah pemuda itu.
“Ibu,
aku hanya membantu adik Milana, harap tanyakan kepadanya saja.”
Tiga
orang penghuni Pulau Es itu kini semua menoleh dan memandang kepada Milana yang
masih menangis, bahkan kini dara itu menangis makin sedih sambil berlutut di
atas salju.
Suma
Han yang dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal-hal yang hebat sekali,
lalu berkata, “Mari kita semua masuk ke istana dan bicara di sana.”
Tanpa
berkata-kata, pergilah mereka semua ke istana di tengah pulau, dan Sai‑cu Lo‑mo
berloncatan menggunakan kedua tangannya, dipandang dengan penuh iba oleh
Nirahai, “Nanti akan kucoba mengobati kedua kakimu, Lo‑mo,” katanya lirih dan
kakek itu hanya mengangguk dan tersenyum penuh terima kasih.
Setelah
tiba di ruangan dalam Istana Pulau Es dan mereka telah mengambil tempat duduk,
Suma Han lalu berkata kepada Milana, “Sekarang ceritakanlah apa yang telah
terjadi.” Dia berhenti sebentar dan mengerling ke arah Keng In dan Koai‑san‑jin
yang hanya duduk sambil menunduk, kemudian disambungnya, “Dan di mana adanya
Gak Bun Beng dan Giam Kwi Hong?”
Milana
turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya,
menangis lagi. “Ayah, ampunkan saya....”
Suma
Han menarik napas panjang dan menyentuh rambut kepala puterinya itu.
“Milana,
bersikaplah tenang dan ceritakan semua.”
“Enci
Kwi Hong dan.... dan.... Bun Beng telah tewas, Ayah....”
Terdengar
seruan kaget dari mulut Nirahai dan Lulu, dan kalau saja Suma Han tidak
memiliki kekuatan batin yang luar biasa, dia pun tentu akan terkejut bukan main
mendengar berita hebat ini. Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, yang
terdengar hanya isak Milana.
“Ayah....
Ibu.... semua telah saya ceritakan kepada Sai‑cu Lo‑mo, harap Bhok-kongkong
saja yang mewakili saya menceritakan kepada Ayah dan Ibu....”
Suma
Han dan Nirahai menoleh kepada kakek lumpuh itu dan Nirahai mengangguk sambil
berkata, “Lo‑mo, ceritakanlah apa yang telah terjadi.”
Sai‑cu
Lo‑mo segera menceritakan dengan singkat dan jelas, mengulang penuturan
Milana kepadanya, betapa Milana bertemu dengan anak buah Tiong-gi‑pang,
kemudian bertemu dengan dia dan betapa dara itu menceritakan semua kejahatan
yang dilakukan Gak Bun Beng di Pulau Neraka, merayu dan mengajak berjina dara
itu yang ditolaknya, kemudian betapa Milana menyaksikan dengan mata kepala
sendiri betapa Bun Beng berjina dengan Kwi Hong. Kemudian dia menceritakan
munculnya dua orang dara yang juga menjadi korban perkosaan Gak Bun Beng dan
betapa ketiga orang dara itu, kemudian dibantu oleh Wan Keng in dan Koai‑san‑jin,
berhasil mengepung Bun Beng yang bersembunyi di dalam guha. Akhirnya dia
menceritakan peristiwa yang disaksikannya sendiri ketika Kwi Hong membantu Bun
Beng sehingga akhirnya kedua orang itu terjerumus ke dalam jurang yang amat
dalam dan diduga tentu sudah tewas.
“Sungguh
tidak kusangka....!” Terdengar Lulu memberi komentar setelah mendengar
penuturan singkat kakek lumpuh itu.
“Untung
engkau masih dapat menjaga kehormatanmu, Milana!” Nirahai memeluk anaknya.
Suma
Han duduk seperti arca kemudian menarik napas panjang. Penuturan itu sungguh
tak disangkanya sama sekali, dan andaikata bukan kakek lumpuh itu yang mewakili
Milana, agaknya akan sukar dapat dipercaya. Mungkinkah Bun Beng berubah menjadi
sejahat itu? Dan Kwi Hong? Anak yang dididiknya sejak kecil?
“Ibu,
aku mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Gak Liat datuk kaum sesat
yang jahat seperti iblis. Tidaklah aneh kalau dia pun mewarisi watak
ayahnya,” Wan Keng In menghentikan kata-katanya ketika sinar mata Suma Han
menyambar seperti kilat ke arahnya. Sinar mata Pendekar Super Sakti itu
seolah-olah halilintar menyambar dan agaknya pendekar itu dapat menjenguk dan
membaca semua yang terkandung di dalam hatinya!
“Keng
In, engkau adalah anakku juga dan aku ayahmu. Hayo ceritakan mengapa Milana
sampai berada di Pulau Neraka?”
Ditanya
begini, seketika wajah Wan Keng In menjadi pucat. Melihat keadaan pemuda itu,
Milana yang merasa bahwa Keng In kini telah berubah menjadi baik, bahkan telah
membantunya mati‑matian ketika menghadapi Bun Beng, segera berkata, “Ayah,
karena tidak betah berada di istana di kota raja, saya pergi keluar, dan
bertemu dengan dia. Saya menerima ajakannya untuk pergi ke Pulau Neraka.”
Suma
Han memandang wajah dara itu, Milana cepat menunduk karena dia pun tidak tahan
melihat sinar mata yang seolah‑olah menembus dadanya itu. Lulu maklum betapa
dahulu puteranya amat nakal, maka dia membentak, “Keng In! Hayo kauceritakan
dengan terus terang. Seorang jantan harus berani mengakui segala kesesatannya
dan pengakuan itu sudah merupakan langkah pertama ke arah perbaikan!”
Mendengar
ini, Suma Han memandang Lulu dengan senyum di bibir dan mengangguk‑angguk. Wan
Keng In segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah tirinya itu dan berkata,
“Tidak saya sangkal bahwa saya pernah jatuh cinta kepada Adik Milana. Akan
tetapi setelah saya mendengar bahwa dia adalah saudara tiri saya, cinta itu
berubah menjadi cinta seorang kakak, maka saya membantunya untuk mencari dan
menghadapi Gak Bun Beng. Harap Ayah sudi mengampuni semua kesalahan saya.”
Kembali
pendekar besar itu menarik napas panjang. “Sudahlah....” katanya untuk menutupi
rasa perih di dalam hatinya karena kematian Kwi Hong yang sama sekali tidak
disangka-sangka itu. Kemudian dia menoleh kepada Sai-cu Lo-mo dan Koai-san-jin.
“Lo-mo,
sebagai bekas pembantu isteri saya, bukanlah orang luar dan saya mengucapkan
terima kasih atas segala bantuanmu. Juga kepada Koai‑san‑jin Totiang, sebagai
seorang tamu kami, saya menghaturkan terima kasih. Ji-wi (Anda Berdua) kami
persilakan untuk tinggal di sini selama tiga hari, setelah itu akan kami antar
kembali ke darat.”
Dua
orang kakek itu menghaturkan terima kasih dan mereka masing‑masing memperoleh
sebuah kamar di dalam Istana Pulau Es itu sebagai tamu‑tamu. Akan tetapi karena
di istana kuno itu tidak terdapat pelayan, maka tentu saja penyambutan pihak
penghuni istana juga amat bersahaja. Betapapun juga Nirahai dan Lulu yang
masing‑masing merasa amat berbahagia karena anak mereka telah datang dengan
selamat, mempersiapkan perjamuan makan dan membuat masakan‑masakan dari bahan
yang memang banyak disediakan di pulau itu, kemudian di malam hari itu, sebagai
perayaan kembalinya anak‑anak mereka, mereka menjamu dua orang tamu itu dengan
masakan dan arak.
Ketika
sore hari tadi, selagi Nirahai, Milana dan Lulu sibuk di dapur mempersiapkan
masakan diam‑diam Wan Keng In pergi ke dalam kamar Koai‑san‑jin dan mereka
berdua bicara dengan bisik‑bisik, kelihatan serius sekali. Kurang lebih satu
jam lamanya dua orang ini bicara bisik-bisik, kemudian Wan Keng In
meninggalkan kamar itu dan pergi ke dapur untuk membantu tiga orang wanita yang
sibuk mempersiapkan masakan‑masakan.
Malam
itu perjamuan sederhana dilakukan dengan cukup meriah. Bahkan Suma Han
kelihatan gembira dan berseri wajahnya. Agaknya pendekar ini telah melupakan
kedukaan hatinya karena kematian Kwi Hong, dan agaknya melihat kedua orang
isterinya bergembira, dia pun ikut gembira. Setelah perjamuan selesai yang
dilanjutkan dengan omong‑omong, mereka semua pergi beristirahat di kamar masing
masing. Sebentar saja keadaan menjadi sunyi, agaknya semua orang kebanyakan
minum arak sehingga dapat segera tidur dengan nyenyak.
Akan
tetapi, pada keesokan harinya, terjadilah hal yang amat luar biasa. Pendekar
Super Sakti Suma Han, Nirahai, Lulu, Milana dan Sai‑cu Lo‑mo keluar dari kamar
dan berjalan dengan sinar mata kosong! Sai‑cu Lo‑mo juga berloncatan dengan
alis berkerut dan mata bingung, mulutnya tiada hentinya bertanya. “Di mana
aku? Apa yang terjadi? Di mana ini?”
Keluarga
Pendekar Super Sakti, kecuali Wan Keng In, juga saling pandang dengan mata
kosong seolah‑olah tidak saling mengenal lagi. Mereka lalu duduk di atas kursi
dan termenung! Mereka telah kehilangan ingatan!
Wan
Keng In dan Koai‑san‑jin saling memandang dan tersenyum lebar, membuat wajah
Wan Keng In makin tampan akan tetapi wajah kakek itu menjadi makin buruk!
“Bagus
sekali, Wan‑taihiap! Racun perampas ingatan itu benar‑benar mengagumkan
sekali!” Koai‑san‑jin berkata memuji.
“Racun
ini adalah buatan Suhu Cui-beng Koai‑ong, tentu saja hebat!” Keng In berkata,
“Sekarang, apa yang hendak kaulakukan terhadap mereka, Bhong‑koksu?”
“Heh‑heh‑heh,
aku sudah bukan Koksu lagi, melainkan seorang tua bertubuh rusak seperti setan
yang hanya ingin melaksanakan pembalasan dendamku. Serahkan saja Pendekar
Siluman dan Puteri Nirahai kepadaku, Wan‑taihiap, dan yang lain‑lain terserah
kepadamu.”
“Bagus,
memang begitulah kehendakku. Aku tidak peduli apa yang akan kaulakukan
terhadap diri mereka berdua. Aku akan membawa ibuku dan Milana ke Pulau
Neraka.”
“Dan
Si Lumpuh Sai‑cu Lo‑mo....”
“Dia?
Ha-ha, orang sudah lumpuh begitu untuk apa? Bunuh saja atau tinggalkan sendiri
di sini!”
Mereka
berdua tertawa bergelak, gembira karena mereka telah berhasil menundukkan
pendekar yang paling hebat di dunia ini. Pendekar Super Sakti bersama isteri‑isterinya
yang sakti! Sambil tersenyum‑senyum mereka berdua lalu memasuki ruangan di mana
Suma Han, Nirahai, Lulu, Milana dan Sai‑cu Lo‑mo duduk di kursi dengan sinar
mata kosong.
“Suma
Han dan Puteri Nirahai, marilah kalian ikut bersamaku. Ada urusan penting
sekali yang akan kusampaikan kepadamu!” berkata Koai‑san‑jin kepada Suma Han
dan Nirahai. Kedua orang ini memandang kepada kakek buruk itu dengan bingung
dan biarpun mereka bangkit berdiri, namun agaknya mereka ragu‑ragu.
“Lihat,
aku adalah Koai‑san‑jin, sahabat baik kalian! Mari kalian ikut bersamaku
untuk mengambil pusaka Pulau Es yang disimpan di sana!” Kakek itu menuding ke
luar.
“Pusaka
Pulau Es....?” Suma Han menggumam, kemudian dia melangkah bersama Nirahai
mengikuti kakek muka buruk yang mendahului mereka keluar dari istana menuju ke
bagian yang paling tinggi dari pulau itu, di sebuah tebing di pantai yang amat
curam. Suami pendekar itu mengikuti kakek muka buruk dengan gerakan seperti mayat‑mayat
hidup!
***
Kita
tinggalkan dulu keadaan Pulau Es yang menegangkan karena bahaya maut yang
mengancam keluarga Pendekar Super Sakti, dan mari kita melihat bagaimana
dengan keadaan Giam Kwi Hong dan Gak Bun Beng, dua orang muda yang terjungkal
ke dalam jurang yang amat curam itu.
Benarkah
dugaan Milana bahwa karena cintanya kepada Kwi Hong, Gak Bun Beng sengaja
meloncat untuk membunuh diri mengikuti kematian Kwi Hong? Tentu saja sama
sekali tidak begitu!
Ketika
Bun Beng yang sudah terluka itu melihat Kwi Hong datang menolongnya dan
membelanya, dia merasa terharu dan berterima kasih sekali kepada nona ini. Akan
tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat Kwi Hong
terdesak hebat dan biarpun dia sudah berteriak memberi peringatan, namun
terlambat dan tubuh dara itu terjengkang masuk ke dalam jurang yang amat curam
Bun Beng cepat melompat dan terjun ke dalam jurang dengan niat untuk sedapat
mungkin menolong gadis itu.
Lompatan
Bun Beng yang amat cepat itu, membuat ia berhasil menyusul tubuh Kwi Hong.
Dengan lengan kirinya dia menyambar tubuh itu dan berhasil merangkul pinggang
gadis itu yang sudah menjadi hampir pingsan karena merasa ngeri terjerumus ke
dalam jurang yang amat dalam itu. Kini tubuh keduanya meluncur ke bawah dengan
kecepatan yang mengerikan, Kwi Hong menjadi pingsan ketika pandang matanya
menjadi gelap oleh kabut yang menyambutnya di waktu tubuh mereka meluncur ke
bawah. Akan tetapi, gadis ini tetap memegang gagang Li-mo-kiam dengan erat dan
seolah‑olah tangan kanannya menjadi kaku mencengkeram gagang pedangnya.
Biarpun
lengan kirinya memeluk pinggang Kwi Hong dan lengan kanannya sudah setengah
lumpuh oleh luka besar di pangkal lengan, namun tangan kanan Bun Beng masih
tetap memegang Hok-mo‑kiam dan pikirannya masih terang. Dia maklum bahwa kalau
dia tidak mampu menahan luncuran tubuh mereka berdua, mereka tentu akan
terbanting ke dasar jurang yang amat dalam dan tidak mungkin lagi dia
menyelamatkan nyawa Kwi Hong atau nyawanya sendiri. Betapa pun kuatnya, tubuhnya
dan tubuh Kwi Hong tentu akan terbanting remuk. Maka mulailah dia menggerak‑gerakkan
pedang di tangan kanannya, menusuk ke kanan kiri secara ngawur karena kanan
kirinya gelap bukan main.
Kalau
belum tiba saatnya untuk mati, betapapun hebat bahaya mengancam nyawa
seseorang, ada saja jalannya untuk menyelamatkan diri. Bun Beng yang menusuk‑nusukkan
pedangnya itu, tiba-tiba mengerahkan tenaga karena pedangnya menusuk benda
keras di sebelah kanannya dan mukanya terasa perih seperti dicambuk. Cepat dia
mengumpulkan tenaga di lengan kanannya dan menggerakkan kedua kakinya untuk
menahan luncuran tubuh. Lengannya terasa seperti akan terlepas dari pundak,
nyeri bukan main sampai mulutnya mengeluarkan teriakan merintih panjang ketika
cengkeraman pada gagang pedangnya itu menghentikan luncuran tubuhnya yang
diganduli tubuh Kwi Hong.
Ketika
ia sudah dapat mengatasi rasa nyeri yang seolah‑olah merobek seluruh tubuhnya,
Bun Beng melihat bahwa tubuhnya berada di dalam sebuah pohon yang tumbuh di
dinding jurang dan pedang Hok‑mo‑kiam tadi secara kebetulan sekali telah dapat
menancap di batang pohon itu. Timbul seketika harapannya untuk hidup. Dia
mengangkat tubuh yang tadi dikempitnya itu ke atas pundak, menggunakan tangan
kirinya untuk mengambil pedang Li‑mo‑kiam yang masih tergenggam oleh tangan
kanan dara itu, kemudian dia mencari dahan yang cukup besar untuk duduk dan
mengatur napas. Pedang Hok‑mo‑kiam dia biarkan menancap dan menembus batang
pohon itu, bahkan kini dia menancapkan Li‑mo‑kiam di dahan agar jangan jatuh ke
bawah. Ketika dia memandang ke bawah, dia memejamkan matanya penuh kengerian.
Kini tampak dasar jurang itu yang merupakan sungai atau bekas sungai dangkal,
penuh dengan batu‑batu yang besar. Tentu tubuhnya dan tubuh Kwi Hong akan
hancur kalau jatuh ke bawah sana! Memandang ke atas hanya tampak awan menutupi
puncak tebing jurang. Akan tetapi dinding jurang itu ternyata banyak ditumbuhi
pohon‑pohon kecil dan batu-batu menonjol sehingga memungkinkan orang untuk
memanjat ke atas!
Bun
Beng memangku Kwi Hong yang masih pingsan. Tak lama kemudian dara itu mengeluh
panjang dan membuka matanya. Sebelum dia bergerak, Bun Beng cepat memegang
kedua lengannya dan berkata, “Kwi Hong, jangan bergerak! Kita masih hidup,
tertolong oleh pohon yang tumbuh di dinding jurang ini. Tenanglah, kita masih
mempunyai harapan besar untuk keluar dari bahaya!”
Kwi
Hong membelalakkan matanya, memegang dahan pohon dan menekan perasaannya yang
ngeri kalau dia teringat betapa tadi dia terjerumus ke dalam jurang! Tahulah
dia begitu melihat Bun Beng bahwa pemuda ini yang menolongnya!
Dia
memandang ke bawah dan seperti yang dilakukan Bun Beng tadi, dia memejamkan
mata, kemudian memandang ke atas, lalu kembali memandang Bun Beng dan menarik
napas panjang. Dengan suara halus dia berkata, “Kembali engkau telah
menyelamatkan nyawaku. Aku melihat engkau tadi meloncat mengejarku. Gak Bun
Beng, mengapa engkau rela mempertaruhkan nyawamu untuk menolongku?” Sepasang
mata itu menatap wajah Bun Beng dengan penuh perhatian, dengan tajam sekali seolah‑olah
hendak membuka dada menjenguk isi hati pemuda itu.
“Ah,
mengapa engkau masih bertanya, Kwi Hong? Tentu saja aku akan menolong siapa
yang terancam bahaya. Engkau sendiri tanpa mempedulikan lawan yang lihai dan
banyak jumlahnya, telah membela aku di atas tadi.”
Kwi
Hong lalu menarik napas panjang, kemudian berkata, suaranya bernada sedih,
“Tentu saja begitu.... mengapa aku menyangka yang bukan‑bukan? Tentu saja
engkau menolongku bukan karena engkau.... cinta padaku....” Gadis itu memejamkan
kedua matanya dan mengerutkan alisnya.
Bun
Beng menyentuh lengannya, “Kwi Hong.... apa artinya kata‑katamu itu?”
Tanpa
membuka matanya Kwi Hong menjawab lirih, “Artinya, Bun Beng.... bahwa semenjak
dahulu aku jatuh cinta kepadamu biarpun aku maklum bahwa hal ini tidak mungkin
dilanjutkan, bahwa engkau mencinta Milana dan.... aku pun menjadi korban
cintaku yang sepihak itu....”
Kwi
Hong lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dia telah tertipu oleh
rombongan Koksu sehingga membantu mereka dan setelah para pemberontak kalah,
dia bahkan mengajak Koksu dan kaki tangannya itu ke Pulau Es! Betapa kemudian
pamannya datang bersama kedua orang isteri pamannya, Puteri Nirahai dan Lulu,
dan betapa Koksu dan kaki tangannya dapat dikalahkan oleh pamannya dan diusir
dari Pulau Es. Kemudian dia disuruh oleh pamannya untuk mendari Bun Beng dan
Milana.
“Engkau....
engkau telah dijodohkan dengan Milana....”
Bun
Beng termenung. “Akan tetapi.... mengapa Milana bersikap seperti itu?”
“Agaknya
aku mengerti apa yang telah terjadi,” Kwi Hong menarik napas panjang “Semua
gara‑gara Si Jahanam Wan Keng In. Orang itu benar‑benar amat jahat sekali,
melebihi iblis!”
Dia
lalu menceritakan betapa ia mendengar bahwa Milana diculik orang. Dia menduga
bahwa tentu Wan Keng In yang menculiknya, maka dia menyusul ke Pulau Neraka.
“Kembali
aku tertipu oleh Wan Keng In, dan.... dan.... di Pulau Neraka.... aihh....”
Tiba‑tiba Kwi Hong menangis tersedu-sedu, teringat betapa dia telah
menyerahkan diri dengan suka rela, penuh kemesraan, penuh kehangatan dan
kebahagiaan, kepada Wan Keng In yang disangkanya adalah Gak Bun Beng!
“Kenapa
Kwi Hong? Apa yang terjadi....?”
Diceritakanlah
semua secara terus terang oleh Kwi Hong, betapa di tengah jalan dia diberi
racun perampas ingatan oleh Keng In, kemudian betapa pemuda Pulau Neraka itu
menyamar sebagai Bun Beng dan merayunya sehingga dia menyerahkan diri dan
kehormatannya!
“Tadinya
aku tidak tahu sama sekali bahwa ingatanku telah hilang sehingga aku menganggap
bahwa orang yang bersamaku pergi ke Pulau Neraka adalah.... engkau.... dan
setelah tiba di Pulau Neraka, baru aku sadar namun.... sudah terlambat....!
Aku melihat Milana juga terampas ingatannya, Milana melihat betapa aku ber....
bermain cinta, berjina dengan.... Gak Bun Beng yang sebetulnya adalah Wan Keng
In.... semua telah diatur oleh Keng In agar Milana membencimu! Ketika Keng In
muncul yang disangka engkau oleh Milana, Milana menyerangnya. Dia lari ketika
kau datang.... kami mengejar dan berpisah di daratan....”
Bun
Beng bengong memandang Kwi Hong. Melihat Kwi Hong menangis lagi terisak‑isak,
menjadi terharu sekali dan merangkul pundak gadis itu.
“Kwi
Hong.... mengapa kaulakukan itu....? Mengapa kau begitu mudah menyerahkan diri
kepada seorang pria, biarpun kau mengira pria itu aku orangnya?”
Kwi
Hong mengangkat mukanya yang merah dan basah air mata. “Karena aku cinta
kepadamu, Bun Beng. Karena aku tahu bahwa tak mungkin menjadi isterimu karena
engkau telah dijodohkan dengan Milana. Maka aku rela menyerahkan diriku
kepadamu.... biarpun tidak usah menjadi isterimu.... akan tetapi.... ya Tuhan,
kiranya bukan engkau itu, melainkan Si Jahanam Keng In.” Tiba‑tiba matanya
terbelalak lebar dan berseru penuh semangat, “Aku harus membunuhnya! Harus!”
Bun
Beng menundukkan mukanya. Mengertilah dia sekarang. Dengan menggunakan obat
racun perampas ingatan, Wan Keng In telah memperkosa Kwi Hong, kemudian dia pun
meracuni Milana sehingga dara itu kehilangan ingatannya pula, maka mudah saja
Milana tertipu ketika melihat Keng In dan Kwi Hong bermain cinta, mengira bahwa
Keng In adalah dia sendiri sehingga Milana membencinya setengah mati! Dan dia
dapat menduga sekarang bahwa yang membunuh suami isteri di pinggir telaga
setelah memperkosa isteri itu, tentu bukan lain adalah Wan Keng In pula! Juga
yang memperkosa Lu Kim Bwee dan menggunakan namanya, tentu pemuda itu yang
agaknya amat membencinya dan sengaja memalsukan namanya untuk merusak nama
baiknya. Hanya dia tidak mengerti mengapa Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong‑pai
itu pun ikut membencinya? Dan kakek bermuka buruk itu? Semua ini adalah siasat
Wan Keng In. Mengapa Wan Keng In demikian membencinya?
“Sungguh
heran sekali, mengapa dia begitu membenciku? Mengapa sejak dahulu Wan Keng In
memusuhi aku dan kini berusaha mati‑matian untuk merusak namaku?”
“Apakah
engkau belum dapat mengerti Bun Beng? Dia membencimu karena cemburu. Dia jatuh
cinta kepada Milana, sebaliknya Milana tidak melayaninya karena Milana cinta
kepadamu. Itulah sebabnya.”
Bun
Beng menggeleng-geleng kepalanya dan seperti berkata kepada diri sendiri dia
berkata. “Cinta....! Betapa ganjil orang yang terkena penyakit ini! Wan Keng In
rela melakukan perbuatan yang amat keji, memperkosa, membunuh, untuk merusak
namaku gara‑gara cemburu dan katanya dia mencinta! Engkau sendiri sampai rela menyerahkan
diri dan kehormatan, juga karena cinta! Milana sekarang amat membenciku, siap
untuk membunuhku dengan tangannya sendiri, juga gara‑gara benci yang timbul
dari cinta! Benarkah semua itu adalah cinta? Begitu buruk, begitu keji dan
hinakah cinta yang diagung‑agungkan itu? Atau semua itu sesungguhnya hanya
nafsu belaka yang memakai kedok cinta sehingga bukanlah cinta yang
sesungguhnya?”
“Gak
Bun Beng, engkau sendiri, bukankah engkau mencinta Milana?” Kwi Hong bertanya
karena ucapan‑ucapan orang yang dicintanya itu benar‑benar mendatangkan kesan
di dasar hatinya.
Bun
Beng menarik napas panjang. “Setelah menyaksikan semua peristiwa yang terjadi
karena perasaan apa yang disebut cinta, semua kekacauan, pertentangan,
permusuhan, penderitaan, yang timbul karena hal yang dinamakan cinta itu, aku
sendiri menjadi bingung dan tidak berani mengatakan apakah aku benar‑benar
cinta kepada Milana atau kepada siapapun juga. Aku merasa ngeri kalau ternyata
kemudian bahwa cintaku kepada Milana ternyata sama saja nilainya seperti cinta-cinta
mereka itu! Betapa mengerikan! Aku akan merasa jijik kepada diriku sendiri
kalau cintaku hanya seperti itu! Kwi Hong, aku tidak tahu lagi! Sudahlah, tak
perlu kita tenggelam lebih dalam membicarakan urusan cinta yang sulit ini. Yang
membuat aku tidak mengerti, mengapa puteri Ketua Bu‑tong‑pai ikut-ikutan
memusuhi aku? Dan pula kakek muka buruk itu....!”
“Aku
sendiri tidak tahu mengapa gadis‑gadis itu memusuhimu. Agaknya juga menjadi
korban Wan Keng In yang menggunakan namamu. Akan tetapi kakek itu.... hemmm,
apakah engkau tak dapat menduganya dia siapa?”
“Siapakah
dia?”
“Aku
berani bertaruh bahwa dia itu tentu Bhong Ji Kun!”
“Koksu....?”
Bun Beng terbelalak, kemudian mengingat‑ingat dan mengangguk. “Kau benar!
Sekarang aku ingat akan gerakan‑gerakannya! Akan tetapi mukanya.... mengapa
menjadi seperti itu?”
“Ketika
Koksu dan anak buahnya diusir oleh paman meninggalkan Pulau Es, mereka
menggunakan perahu besar mereka ke selatan. Agaknya perahu mereka diserang
badai, dan dengan bantuan Wan Keng In sehingga aku makin mudah terbujuk dan
tertipu olehnya, aku berhasil membunuh tiga orang pembantunya yang berhasil
menyelamatkan diri di pantai Po‑hai. Aku tidak melihat Koksu di antara mereka,
agaknya Koksu pun berhasil menyelamatkan diri di tempat lain, akan
tetapi.... dalam keadaan rusak mukanya seperti itu.”
Bun
Beng memandang Kwi Hong dengan muka membayangkan kekhawatiran. “Dan Milana
berada bersama Keng In dan Koksu!”
“Memang
berbahaya sekali. Kalau tidak segera mendapat pertolongan, tentu Milana akan
celaka,” kata Kwi Hong.
“Kalau
begitu kita tunggu apalagi Kwi Hong, mari kita mencoba memanjat ke atas dengan
bantuan pedang kita.”
Kwi
Hong mengangguk, akan tetapi sebelum Bun Beng mulai merayap membuka jalan, dia
memegang lengan pemuda itu. “Pundakmu terluka parah....”
“Tidak
apa, aku dapat bertahan.”
“Bun
Beng....”
“Ada
apa, Kwi Hong?”
“Tadinya
aku sudah bersumpah di dalam hatiku sendiri bahwa aku tidak akan kembali ke
Pulau Es. Sekarang, bersamamu dan melihat perkembangannya, mau tidak mau iku
harus kembali ke sana karena aku menduga bahwa tentu Keng In melanjutkan
siasatnya dan mengajak Milana ke Pulau Es. Karena itu, Bun Beng, maukah engkau
berjanji....?”
Bun
Beng mengerutkan alisnya. Gadis ini telah mengalami hal yang amat menyedihkan.
“Katakanlah, aku akan memenuhi permintaanmu, Kwi Hong.”
“Aku
tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi jodohmu, karena itu, aku hanya minta agar
kelak, baik aku dalam keadaan hidup atau sudah mati, sukakah engkau berjanji
akan.... akan selalu ingat kepadaku, dan tidak akan melupakan aku?”
Bun
Beng merasa jantungnya seperti ditusuk. Gadis yang telah tertimpa malapetaka
hebat ini yang agaknya sudah tidak mempunyai gairah hidup, tidak memiliki
harapan apa‑apa lagi di dunia dan kebahagiaannya sudah hancur, agaknya menjadi
seperti seorang anak kecil! Dengan penuh keharuan dia memegang kedua tangan
dara itu. Lalu menunduk dan mencium dahi Kwi Hong sambil berbisik, “Aku
berjanji, Kwi Hong, bahwa aku akan mengingatmu selalu. Mana mungkin aku dapat
melupakanmu, Kwi Hong?”
Terdengar
sedu sedan naik dari dada gadis itu, akan tetapi dia tersenyum, wajahnya
berseri dan matanya berkejap-kejap untuk mengusir dua butir air mata yang
mengganggu penglihatannya. “Engkau baik sekali, Bun Beng. Terima kasih....!
Nah, mari kita lekas memanjat naik, tunggu apa lagi?” Dalam suara Kwi Hong kini
terkandung kegairahan yang aneh, seolah‑olah janji yang diberikan oleh Bun Beng
untuk selalu mengingatnya menjadi semacam obat dalam kegelapan yang
dihadapinya!
Maka
merayap dan memanjatlah kedua orang itu ke atas dengan hati‑hati sekali,
berpegang pada akar‑akar dan batang-batang pohon dan batu‑batu menonjol,
dibantu oleh pedang mereka yang dapat ditancapkan pada dinding jurang sehingga
dapat dipergunakan sebagai pegangan. Karena keduanya telah memiliki gin‑kang
yang tinggi, dan di tangan mereka terdapat sebatang pedang pusaka yang amat
ampuh, maka biarpun amat lambat, perlahan-lahan mereka dapat naik juga
meninggalkan pohon penolong mereka itu untuk menuju ke puncak tebing dari mana
mereka tadi meluncur jatuh.
Tebing
di atas pantai Pulau Es itu amat curam. Dari tepi tebing itu kalau orang
menjenguk ke bawah akan tampak gelombang memecah di batu‑batu karang yang
meruncing seperti barisan tombak. Dan dalamnya tebing ini tidak kurang dari
seribu kaki. Gelombang air laut yang memecah batu karang itu dari atas hanya
kelihatan seperti mainan kanak‑kanak saja, Suma Han dah Nirahai berdiri di tepi
tebing itu tanpa bergerak, seperti dua buah arca batu, menghadap ke laut.
Namun, kakek bermuka setan, Koa-san-jin, biarpun memiliki ilmu kepandaian
tinggi, tidak berani mendorong mereka dari belakang, karena dia maklum bahwa
biarpun kedua orang suami isteri itu dalam keadaan hilang ingatan, namun
mereka itu masih tidak kehilangan ilmu kepandaian mereka yang sudah mendarah
daging dan kalau sampai gagal, tentu dia akan menghadapi kesulitan besar.
Tanpa
bicara, dikeluarkannya dua gulung tali panjang sekali yang memang sudah
dipersiapkan lebih dulu untuk melaksanakan siasat yang sudah direncanakannya
bersama Keng In. Ujung kedua tali diikatkannya pada batu karang yang berada di
puncak tebing, kemudian kedua tali itu dilepas gulungannya dan dilempar ke
bawah tebing. Kedua tali yang panjang itu kurang lebih hanya tiga ratus kaki
panjangnya, tampak tergantung di bawah dan bergoyang-goyang terbawa angin.
“Suma
Han dan Nirahai, kalian adalah majikan‑majikan Pulau Es. Pusaka‑pusaka Pulau Es
berada di dinding tebing ini, kira‑kira tiga ratus kaki dalamnya dari atas,
tersembunyi di dalam sebuah guha. Sekarang turunlah kalian melalui tali-tali
itu dan bawa peti berisi pusaka‑pusaka itu ke atas sini.”
“Pusaka....?”
Suma Han berkata meragu.
“Majikan
Pulau Es....?” Nirahai juga berkata dan mengerutkan alisnya.
“Lekas
kalian menuruni tali itu kalau tidak, tentu pusaka itu akan diambil orang lain
yang akan memanjat dari bawah sana. Aku akan menjaga di atas dan menjamin agar
tidak ada orang yang mengganggu pekerjaan kalian.”
“Kau....
kau siapakah....?”
“Ha‑ha‑ha,
aku adalah sahabat baik kalian. Namaku Bhong Ji Kun!” Kakek itu yang sebetulnya
memang bekas Koksu Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun dengan berani memperkenalkan
namanya. Mengapa tidak berani? Sekarang dia tidak perlu menyembunyikan dirinya
lagi, karena tetap saja Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai tidak akan
mengenal nama lamanya itu.
Suma
Han dan Nirahai mengangguk dan keduanya lalu meloncat, menyambar tali dan mulai
merayap turun melalui tali‑tali itu. Bhong Ji Kun yang sudah berjongkok di
tebing dan menjenguk ke bawah, tersenyum lebar. Makin jauh kedua orang itu
merayap, senyumnya makin melebar dan akhirnya dia tertawa bergelak, menggunakan
sebatang golok di tangan kanan untuk membacok tali yang tergantung ke bawah.
Dan dua buah tali itu putus dan lenyap ke bawah tebing “Ha‑ha‑ha! Puas hatiku
sekarang, telah dapat membalas dendam kepada Pendekar Super Sakti dan Puteri
Nirahai, ha‑ha‑ha!” Sekali lagi dia menjenguk dan tidak melihat dua orang
korbannya karena terlalu dalam, tampak olehnya dua helai tali itu seperti
benang kecil di antara gulungan ombak. Dia tertawa lagi kemudian berlari‑lari
menuju ke istana Pulau Es.
Ketika
dia tiba di istana tua itu, dia melihat Keng In sedang sibuk berkemas, membawa
barang‑barang berharga yang dapat dia temukan di istana itu ke dalam sebuah
perahu. Milana dan Lulu berdiri bengong, seperti dua orang anak kecil yang
tidak tahu apa‑apa.
“Ibu,
Milana, ini adalah....”
“Bhong
Ji Kun, sahabat baik, heh‑heh!” Bekas koksu itu menyambung dan Keng In juga
tertawa karena dia tahu bahwa kini sudah “aman” untuk memperkenalkan kakek itu.
Lulu
dan Milana memandang kepada kakek bermuka buruk itu, kelihatan ngeri membayang
di wajah mereka.
“Bagaimana?
Sudah bereskah mereka?” Keng In bertanya.
Bhong
Ji Kun tersenyum menyeringai puas. “Sudah, berkat kecerdikanmu, Wan-taihiap.
Terima kasih! Mereka sudah terbanting ke bawah tebing, heh‑heh!”
“Hemm,
tidak kaubereskan dengan kedua tangan sendiri? Apakah sudah kaulihat benar
bahwa mereka itu sudah tewas?” Keng In mengerutkan alisnya karena biarpun yakin
bahwa Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai tak berdaya oleh racun perampas
ingatan, namun kedua orang itu terlampau lihai untuk dipandang rendah begitu
saja.
“Jangan
khawatir. Mereka sedang bergantung di tali dan kedua tali itu kuputus dengan
golokku sendiri. Kulihat tali itu sudah berada di antara ombak di bawah. Mereka
tentu tak dapat terbang menghindarkan maut.”
“Hemm,
betapapun juga, mari kita lekas pergi dari tempat ini, Seng‑jin. Aku merasa
ngeri berada di tempat ini terlalu lama.”
“Aahh,
Wan‑taihiap. Takut apa lagi sih? Setelah Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai
mati....”
“Bhong
Ji Kun pemberontak keparat! Kau bilang apa?” Tiba‑tiba tampak dua bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri Giam Kwi Hong dan Gak
Bun Beng!
Ketika
bekas Koksu itu mendengar bentakan Bun Beng ini, dia terkejut sekali.
Rahasianya sudah diketahui orang, dan dia terkejut melihat pemuda dan gadis
yang sudah terjerumus ke dalam jurang sedemikian dalamnya, ternyata belum mati
dan tahu‑tahu muncul di tempat itu, juga Wan Keng In berdiri memandang dengan mata
terbelalak dan bulu tengkuk bangun berdiri saking seremnya. Apakah dia melihat
roh penasaran dari dua orang itu?
Akan
tetapi berkelebatnya sinar pedang Hok‑mo‑kiam di tangan Bun Beng dan pedang di
tangan Kwi Hong membuktikan bahwa dia tidak berhadapan dengan setan penasaran
sehingga cepat Keng In mencabut Lam‑mo‑kiam sambil melompat mundur, sedangkan
Bhong Ji Kun yang diserang oleh Bun Beng juga sudah meloncat ke belakang
menyambar tongkatnya yang ujungnya sudah buntung dan yang tadi ia tancapkan di
atas tanah.
Tiba‑tiba
terdengar suara melengking nyaring yang amat dahsyat dan ada angin menyambar ke
arah Bun Beng dan Kwi Hong. Dua orang muda ini terkejut bukan main, cepat
mereka menarik kembali pedang dan meloncat mundur. Dua bayangan berkelebat
dan.... di situ telah berdiri Suma Han dan Nirahai dengan sikap angker! Suma
Han menghampiri Milana dan Lulu, menggunakan telapak tangannya mengusap kepala
kedua orang itu dan bagaikan orang baru sadar dari tidur, Lulu memandang ke
sekeliling dengan heran, sedangkan Milana juga mengeluh, “Ehh.... apa yang
telah terjadi....?”
Sementara
itu, kedua kaki Bhong Ji Kun menggigil dan matanya melotot seperti akan
terloncat keluar dari pelupuk matanya. Ketika Keng In memandang kepadanya
dengan sinar mata penuh kemarahan, kakek ini hanya menggeleng‑geleng kepala
seperti orang bodoh, mulutnya ternganga, dan dia tidak dapat mengeluarkan
sepatah kata pun saking bingung dan herannya.
Tentu
saja, baik Keng In maupun Bhong Ji Kun sama sekali tidak tahu bahwa semua
kejadian di pagi hari itu adalah hasil dari ilmu sihir Pendekar Super Sakti!
Tidaklah mudah untuk menipu seorang berilmu tinggi seperti Suma Han! Pendekar
ini sudah menaruh curiga dan berlaku hati‑hati sekali. Ketika mereka makan
minum, pendekar ini telah menggunakan sihirnya sehingga dalam pandangan Wan
Keng In dan kakek muka buruk, dia dan Nirahai ikut pula makan minum, padahal
dia dan isterinya itu sama sekali tidak menjamah makanan dan minuman dalam
perjamuan itu. Suma Han sengaja membiarkan Lulu, Milana dan Sai-cu Lo‑mo ikut
makan minum agar tidak mencurigakan kedua orang yang dicurigai itu. Dapat
dibayangkan betapa kaget dan marah hatinya ketika pada keesokan harinya dia
melihat Milana, Lulu dan Sai‑cu Lo‑mo menjadi seperti boneka-boneka hidup,
kehilangan ingatan mereka! Maka dia dan Nirahai lalu bersandiwara, pura‑pura
berada dalam keadaan lupa ingatan seperti yang lain dan menurut saja ketika
kakek muka buruk mengajak mereka ke atas tebing di pantai yang berbahaya itu.
Im‑kan
Seng‑jin Bhong Ji Kun bukanlah seorang bodoh, dan sekiranya dia tidak mudah
merasa girang dan yakin akan berhasilnya obat racun perampas ingatan dari Pulau
Neraka, agaknya dia pun tidak begitu mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir yang
dipergunakan Suma Han. Ketika berada di puncak tebing, Suma Han kembali
mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga dalam pandangan bekas Koksu itu, dia
dan isterinya benar-benar menuruni tali yang kemudian dibikin putus oleh kakek
muka buruk itu! Padahal yang menuruni tali itu hanyalah bayangan kosong belaka!
Dan Suma Han bersama Nirahai terkejut bukan main ketika kakek itu mengaku bahwa
dia sebenarnya adalah Bhong Ji Kun! Tahulah mereka bahwa kakek ini berhasil
menyelamatkan diri dari serangan badai sehingga mukanya rusak, kemudian
kembali membonceng Wan Keng In untuk menuntut balas! Suma Han mencegah Nirahai
yang sudah marah sekali dan hendak turun tangan menyerang itu, karena ia tidak
menghendaki dia sendiri atau kedua orang isterinya melakukan penyerangan atau
pembunuhan lagi.
Diam‑diam
mereka mengikuti Bhong Ji Kun ke istana dan mereka melihat munculnya Bun Beng
dan Kwi Hong yang langsung menyerang Bhong Ji Kun dan Wan Keng In. Melihat
munculnya Bun Beng dan Kwi Hong dada Suma Han terasa panas. Tentu saja dia
percaya penuh akan penuturan Milana dan dalam pandangan matanya, Bun Beng
merupakan seorang yang tidak kalah busuknya dibandingkan dengan bekas Koksu
itu! Maka dia cepat mencegah Bun Beng dan Kwi Hong turun tangan menyerang, dan
setelah memandang mereka bergantian dengan sinar mata penuh kemarahan seperti
dua bara api yang membakar, tanpa mempedulikan lagi kepada Bhong Ji Kun, Suma
Han membentak.
“Gak
Bun Beng! Ke sini engkau!”
Mendengar
suara Pendekar Super Sakti yang dijunjungnya tinggi itu, Bun Beng segera
melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu.
“Cabut
Hok‑mo‑kiam!”
Tanpa
ragu‑ragu Bun Beng mencabut pedang itu dan tampak sinar berkilat. Tadi ketika
melihat Suma Han dan Nirahai muncul, dia sudah menyarungkan kembali pedangnya.
“Gak
Bun Beng, sekarang pergunakan pedang itu untuk membunuh diri! Ataukah harus aku
yang mengotorkan tangan membunuh?”
Bun
Beng terkejut bukan main. Dia memandang kepada Nirahai, akan tetapi wanita itu
pun memandangnya penuh kebencian. Juga Lulu memandang kepadanya dengan
bayangan jijik di mukanya, sedangkan Milana sama sekali tidak mempedulikannya!
“Semenjak
kecil saya telah banyak berhutang budi kepada Suma Locianpwe, maka kalau
sekarang Locianpwe menghendaki nyawa saya yang tidak berharga, mana saya
berani menolak?” Sekali lagi dia memandang ke arah Milana dan Hok-mo‑kiam
digerakkan ke arah lehernya.
“Trangggg....!”
Bunga api berpijar ketika Li‑mo‑kiam menangkis pedang Hok-mo‑kiam itu.
“Paman,
sungguh tidak adil ini!” Teriak Kwi Hong sambil berlutut di samping Bun Beng.
“Hemmm,
bocah hina yang mencemarkan nama keluarga! Engkau hendak membela kekasihmu?”
“Paman,
dengarkan dulu cerita saya! Kalau sudah mendengarkan, mau bunuh Bun Beng, mau
bunuh saya, terserah! Saya tidak takut mati, Bun Beng pun tidak takut mati,
akan tetapi saya akan mati penasaran melihat Paman melakukan sesuatu yang tidak
adil sama sekali!”
Wan
Keng In dan Bhong Ji Kun yang maklum bahwa penuturan Kwi Hong akan mencelakakan
mereka, segera maju.
“Mereka
ini orang‑orang jahat yang tak berhak hidup lagi!” Wan Keng In dan Bhong Ji Kun
sudah menerjang ke arah Bun Beng dan Kwi Hong yang masih berlutut.
“Diam
kalian! Jangan bergerak!” Pada saat itu, di tubuh Pendekar Super Sakti sedang
penuh dengan hawa amarah yang membuat tenaga saktinya timbul dan kuat bukan
main. Bentakannya ini seketika membuat Keng In dan Bhong Ji Kun tak mampu
bergerak lagi, seperti arca-arca, atau seperti orang tertotok dalam keadaan
kaku!
“Coba
bicaralah, memang tidak boleh orang mati penasaran!” kata Suma Han kepada Kwi
Hong, mulai tertarik menyaksikan sikap Kwi Hong dan Bun Beng dibandingkan
dengan sikap Wan Keng In dan Bhong Ji Kun.
“Paman dan
kedua Bibi tentu telah mendengar penuturan adik Milana dan Paman Sai‑cu Lo‑mo.
Mereka berdua itu hanya menjadi korban penipuan keji yang ditujukan untuk menjatuhkan
fitnah kotor kepada nama Gak Bun Beng. Terutama sekali adik Milana yang menjadi
korban penipuan keji. Semenjak dia diculik oleh Wan Keng In dan dibawa ke Pulau
Neraka, adik Milana telah diberi obat racun perampas ingatan sehingga dia
tidak sadar bahwa dia ditipu oleh Keng In. Wan Keng In menyamar sebagai Gak Bun
Beng melakukan perkosaan-perkosaan atas nama Gak Bun Beng sehingga menipu dua
orang nona Ang dan Lu.”
“Enci
Kwi Hong, percuma saja engkau membelanya. Aku tahu bahwa engkau adalah
kekasihnya, tentu saja mati‑matian engkau hendak membelanya. Mataku melihat
sendiri ketika kalian....”
“Adik
Milana, Paman dan kedua Bibi. Harap mendengarkan dengan sabar. Memang tidak
salah bahwa adik Milana yang sengaja ditipu oleh Keng In menyaksikan saya ber....
jina dengan orang yang dianggapnya Gak Bun Beng, padahal orang itu adalah Wan
Keng In sendiri! Adik Milana berada dalam keadaan lupa ingatan, tentu saja dia
tidak mengenal Wan Keng In yang mengaku bernama Gak Bun Beng.”
“Hemmm,
kalau engkau mengerti begitu jelas, mengapa engkau melakukan hubungan gelap
dan kotor dengan Wan Keng In?” Suma Han membentak.
“Saya
mengaku salah. Saya pun telah tertipu olehnya, ingatan saya hilang oleh racun
obatnya, dan dia mengaku Bun Beng, maka saya.... saya mengira dia Bun Beng,
maka saya.... saya.... ah, Paman. Saya sudah melakukan semua penuturan dan agar
jelas harap dengarkan pengalaman saya.” Dengan cepat dan singkat namun jelas,
Kwi Hong menceritakan semua pengalamannya ketika dia ditugaskan mencari
Milana. Setelah selesai dia menangis dan berkata, “Sekarang terserah kepada
Paman, mau bunuh lekas bunuh. Apa artinya hidup saya setelah semuanya dirusak
oleh Wan Keng In?”
Wajah
Milana menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada Bun Beng.
Setelah dia kini dalam keadaan sadar, lapat‑lapat dia dapat mengingat semua
pengalamannya di Pulau Neraka, ketika dia diculik, ketika dia hampir membunuh
Wan Keng In sampai tiba‑tiba muncul Gak Bun Beng, di pulau itu, hal yang kalau
dipikirkan memang tidak masuk akal. Betapa mungkin Bun Beng tiba-tiba muncul
dan merayunya tanpa diketahui Keng In dan guru pemuda itu? Betapa mungkin pula
Bun Beng dan Kwi Hong muncul berdua di Pulau Neraka hanya untuk bermain cinta
di pondok agar kelihatan olehnya? Benar-benar tak masuk di akal. Teringat akan
semua itu, dia menjerit lirih, “Oohhhh.... Dia benar....! Enci Kwi Hong benar!
Sekarang, sekarang teringat olehku....! Ah, Ayah.... Ibu.... sekarang aku
sadar.... bukan Bun Beng yang bersalah akan tetapi Wan Keng In....! Ah, aku
telah berdosa besar....!” Sambil menangis Milana meloncat ke atas genteng
Istana dan dicabutnya pedangnya.
Sebelum
lain orang bergerak, tahu-tahu Bun Beng juga sudah meloncat mengejar. Pada
saat Milana menggerakkan pedang hendak membacok leher sendiri, Bun Beng menepuk
lengan kanan Milana dari belakang dan pedang itu terlepas.
“Adik
Milana, jangan begitu....!”
Milana
berlutut di atas genteng dan pada saat Milana menangis terisak-isak, “Aku
berdosa.... aku berdosa....”
“Milana!
Turun kau!” Suma Han membentak.
Sambil
menangis, Milana meloncat turun dan berlutut di depan ayah dan ibunya.
“Benarkah
semua cerita Kwi Hong tadi?”
“Agaknya
demikian.... ya benar Ayah...., aku diculik Keng In, hampir diperkosanya akan
tetapi aku dapat mempertahankan diri....” Sambil terisak dia menceritakan semua
pengalamannya. Setelah Milana selesai bercerita, dia menangis sesenggukan.
“Anak
murtad, jahanam keparat!”
Tiba‑tiba
Lulu memaki dan tubuhnya sudah melesat ke arah Keng In, tangannya menampar
kepala puteranya itu dan air matanya bercucuran.
“Plak!”
Tangan itu ditangkis Suma Han yang sudah mengejar. “Lulu, isteriku yang baik,
mundurlah. Kita tidak perlu mengotorkan tangan, apalagi dia itu puteramu
sendiri.” Sambil menangis dan menutupi mukanya Lulu mundur lagi.
Nirahai
juga membentak. “Bhong Ji Kun engkau harus mampus!”
“Nirahai,
tidak perlu....! Kita menonton saja!”
Pada
saat itu, Bhong Ji Kun dan Wan Keng In sudah dapat bergerak kembali. Mereka
tadi telah mendengarkan semua dan kini dalam keadaan nekat mereka lalu
menerjang maju. Wan Keng In disambut oleh Kwi Hong, sedangkan Bhong Ji Kun
dihadapi oleh Bun Beng.
“Wan
Keng In, aku sudah bersumpah untuk membunuhmu dan membalas penghinaamnu yang
telah memperkosa diriku!” Kwi Hong berteriak. “Engkau atau aku harus mati untuk
melunaskan perhitungan antara kita.”
Wan
Keng In tidak menjawab. Pemuda ini bingung dan gentar bukan main. Ibunya tak
dapat diharapkan bantuannya, dan di situ terdapat Nirahai dan Suma Han, dua
orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi malah daripada ibunya! Karena
gentar dan ketakutan, maka kelebihan kepandaiannya atas tingkat Kwi Hong
tidaklah menonjol sekali, apalagi karena Kwi Hong kini telah mewarisi ilmu dan
tenaga Inti Bumi dari Bu‑tek Siauw‑jin.
Pertandingan
antara Bun Beng dan bekas Koksu juga amat seru, akan tetapi segera tampak
betapa bekas Koksu itu terdesak hebat. Koksu ini sudah mengenal keampuhan Hok‑mo‑kiam,
maka dia bersikap hati‑hati, tidak mau mengadukan tongkatnya yang sudah buntung
ujungnya oleh Hok‑mo‑kiam dahulu. Karena ini, juga karena memang tingkatnya
tidak mampu menandingi tingkat Bun Beng yang sudah amat tinggi, dia terdesak
dan akhirnya dia bertanding sambil berloncatan menjauh, mencari jalan untuk
melarikan diri! Bun Beng terus mengejar sehingga akhirnya kakek itu lari
sampai di puncak tebing di mana dia tadi “membunuh” Suma Han dan Nirahai dan
di sini dia tidak dapat lari lagi, terpaksa membela diri mati‑matian.
“Bhong
Ji Kun, dosamu sudah bertumpuk‑tumpuk, dan hukuman yang kauderita ketika badai
menyerangmu, agaknya tidak membikin kau bertobat!” Bun Beng memperhebat
permainan pedangnya.
“Crokkk!”
Ujung tongkat di tangan bekas Koksu itu terbabat buntung dan pedang masih terus
menyambar lehernya. Terpaksa Koksu pemberontak itu menangkis lagi karena tidak
sempat mengelak. “Krakkk!” Kini tongkat itu patah di tengah dan ujung Hok‑mo‑kiam
masih merobek bibir kakek itu sehingga giginya rontok semua! Wajah Bhong Ji Kun
menjadi pucat sekali. Dia menyesal mengapa dia tidak dapat menggunakan
senjatanya yang lama, yaitu pecut kuda yang lemas. Senjata itu lebih dapat
bertahan kalau dipergunakan untuk menghadapi sebatang pedang pusaka seperti Hok‑mo‑kiam.
“Gak
Bun Beng, mari kita mati bersama!” Tiba‑tiba kakek itu menubruk, tubuhnya
melayang seperti seekor burung garuda menyambar mangsanya. Pada saat itu Bun
Beng berdiri di tepi tebing, membelakangi tebing. Melihat serangan dahsyat yang
amat membahayakan dirinya itu, Bun Beng cepat meloncat ke kiri dan ketika tubuh
lawan menyambar di sampingnya, pedangnya dikelebatkan. Terdengar teriakan
mengerikan ketika kedua tangan Im‑kan Seng‑jin Bhong Ji Kun terbabat buntung
sebatas pergelangan tangan, dan kedua tangan itu terlempar ke bawah tebing
menyusul tubuhnya yang sudah terdorong ke depan masuk ke bawah tebing karena
gagal menyerang tadi.
Suara
pekik mengerikan itu masih bergema. Bun Beng menyarungkan Hok-mo‑kiam dan
menghela napas panjang, kemudian dia berlari turun dari puncak tebing, kembali
ke depan Istana Pulau Es.
Pertandingan
antara Kwi Hong dan Keng In luar biasa ramainya. Kwi Hong bertanding dengan
nekat karena memang dia hendak mengadu nyawa, membunuh atau dibunuh!
Sebaliknya, Keng In merasa bingung sekali, seperti seekor tikus yang sudah
tersudut, tiada jalan lari lagi. Menang atau kalah dalam pertandingan melawan
Kwi Hong, dia akan tetap celaka! Maka dia pun melawan mati-matian sehingga
Sepasang Pedang Iblis itu seolah‑olah dua ekor naga yang sedang memperebutkan
mustika, gulungan sinarnya saling belit, saling tekan dan saling tindih
menyelimuti bayangan mereka! Sinar pedang dari Sepasang Pedang Iblis itu amat
menyilaukan mata, seperti halilintar menyambar‑nyambar sehingga Pendekar Super
Sakti dan kedua orang isterinya memandang dengan takjub di samping ketegangan,
kegelisahan, dan kedukaan yang melanda hati mereka. Milana masih berlutut,
akan tetapi kini dengan muka pucat dia pun menonton pertandingan. Ingin sekali
dia membantu Kwi Hong, ingin dia membunuh Wan Keng In yang menjadi biang keladi
dari semua ini, akan tetapi tentu saja dia takut bergerak, takut kepada ayahnya
dan ibunya. Wajah Lulu yang kini semenjak dia tinggal di Pulau Es menjadi biasa
lagi, tampak pucat. Juga Suma Han sendiri dan Nirahai berubah air mukanya,
penuh ketegangan.
Tiba‑tiba
Kwi Hong terpelanting ketika pedang mereka saling bertemu dan kaki Keng In
berhasil menendang lututnya. Keng In menubruk dengan pedangnya.
“Keng
In....! Jangan....!” Lulu berteriak dan hendak meloncat dan mencegah puteranya,
akan tetapi lengannya dipegang oleh Suma Han yang melarang isterinya itu
mencampuri.
Keng
In sama sekali tidak mengira bahwa lawannya telah memiliki tenaga Inti Bumi.
Begitu tubuhnya bagian belakang menyentuh bumi, Kwi Hong memperoleh tenaga
yang dahsyat sekali. Tiba-tiba tubuhnya itu mencelat ke atas menyambut
serangan Keng In dengan tusukan Li‑mo‑kiam.
“Cresss!
Cresss!”
Lulu
menjerit dan menutupi mukanya ketika melihat darah muncrat dari perut
puteranya, sedangkan Milana juga menutupi muka melihat darah muncrat pula dari
dada Kwi Hong. Kedua orang itu terguling. Perut Keng In masih menjadi sarung
pedang Li‑mo‑kiam, sedangkan dada Kwi Hong tertembus pedang Lam-mo‑kiam.
Hampir
saja Lulu pingsan, akan tetapi dia merasa lehernya dirangkul orang. Ketika dia
mendengar bisikan halus, “Ingat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa....” Lulu
terisak. Terbayanglah wanita ini ketika dahulu bersama Suma Han dia menyaksikan
kematian dua orang yang memegang Sepasang Pedang Iblis, kematian yang presis
seperti yang dialami oleh Wan Keng In dan Giam Kwi Hong. Hanya bedanya, kalau
kedua orang suheng dan sumoi itu tewas dalam keadaan saling mencinta (baca
ceritaPendekar Super Sakti), maka
Keng In dan Kwi Hong tewas dalam keadaan saling membenci!
“Keng
In....!” Dia mengeluh, lari menghampiri, berlutut di dekat mayat puteranya dan
menangis.
“Enci
Kwi Hong.... !” Milana juga berlutut dekat mayat Kwi Hong, menangis terisak‑isak
dengan hati penuh rasa iba. Suma Han, Nirahai, Sai‑cu Lo‑mo, dan Gak Bun Beng
yang sudah kembali ke tempat itu hanya memandang dengan hati terharu.
Bun
Beng berdiri seperti arca. Perasaannya menjadi tidak karuan, pikirannya
melayang‑layang. Beginikah akibat cinta? Wan Keng In dan Kwi Hong tewas gara‑gara
cinta? Ataukah nafsu belaka? Dan bagaimana dengan perasaan yang tadinya dia
anggap cinta antara dia dan Milana? Apakah cinta antara mereka itu pun kelak
hanya akan mendatangkan derita dan duka?
“Suma-locianpwe,
harap sudi menerima kembali Hok-mo‑kiam,” katanya sambil berlutut di depan Suma
Han, menyerahkan pedang Hok‑mo‑kiam dengan sarungnya. “Teecu bersumpah tidak
akan menggunakan pedang atau senjata apa pun juga lagi. Senjata merupakan
benda yang jahat, hanya menimbulkan banjir darah dan kematian, permusuhan dan
kebencian.”
Suma
Han menerima senjata itu, kemudian dengan tangan kirinya dia menyentuh rambut
kepala Bun Beng, katanya perlahan dan halus, “Gak Bun Beng, ayah bundamu boleh
merasa bangga dan tenang di alam baka kalau dapat menyaksikan sepak terjangmu.
Tidak benarlah kata orang bahwa anak akan mewarisi watak orang tuanya,
terbukti pada dirimu dan pada Wan Keng In.” Dia menarik napas panjang. “Siapa
mengira.... Wan Keng In.... ibunya demikian jujur.... ayahnya demikian
gagah.... dan engkau....”
“Saya
hanya seorang anak haram, Ayah saya seorang datuk kaum sesat, Locianpwe. Saya
mohon diri, Suma‑locianpwe dan maafkan semua kesalahan saya.”
“Bun
Beng, engkau hendak ke mana?” Nirahai menegur, “Engkau masih ada urusan dengan
kami.... maksudku, dengan Milana....”
Bun
Beng cepat memberi hormat sambil berlutut. “Harap Ji‑wi Locianpwe sudi memberi
ampun kepada saya. Setelah mengalami semua itu, saya berpendapat bahwa saya
tidaklah patut menjadi calon jodoh adik Milana! Kalau dilanjutkan, kelak hanya
akan menjadi tekanan batin bagi adik Milana. Tidak, Ji‑wi Locianpwe, bukan
sekali‑kali saya menolak, melainkan saya telah kehilangan gairah berjodoh
setelah melihat semua peristiwa yang menimpa kita semua. Saya kira Ji‑wi
Locianpwe akan mengerti dan sudi mengampunkan saya.”
Ada
dua titik air mata membasahi mata Pendekar Super Sakti. Dia mengerti. Dia tahu
betapa pemuda ini sebetulnya mencinta Milana, akan tetapi melihat semua akibat
yang amat pahit dari apa yang disebut cinta, pemuda ini merasa kasihan dan
khawatir kalau kelak ikatan jodoh itu hanya akan menyengsarakan penghidupan
Milana! Karenanya, sebelum terlanjur, pemuda ini merasa lebih baik mengundurkan
diri!
Dia
hanya mengangguk dan matanya membasah ketika dia memandang bayangan pemuda itu
yang berjalan perlahan menuju ke pantai.
Suma
Han mengalihkan perhatiannya kepada Lulu yang masih menangis. Dia melangkah
maju, menyentuh pundak isterinya itu dan menarik berdiri. Dirangkulnya Lulu
dan dia berkata, “Lulu, cobalah renungkan secara mendalam. Bukankah peristiwa
ini menjadi jalan keluar yang terbaik bagi puteramu, bagimu, dan bagi kita
semua? Bayangkan apa akan jadinya dengan kita dan puteramu kalau dia tidak tewas,
kalau dia masih melanjutkan cara hidupnya seperti yang lalu. Bayangkan betapa
kita akan merasa cemas dan prihatin, engkau akan selalu berduka, apalagi
melihat Kwi Hong selalu akan memusuhinya. Sekali ini, Sepasang Pedang Iblis
bekerja cepat, sudah saling menyudahi riwayat permusuhan mereka sebelum
berlarut‑larut.”
Lulu
menggigit bibirnya, menelan semua kata‑kata yang tak terucapkan, lalu ia hanya
menangis dan menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Dia maklum bahwa
puteranya telah menyeleweng daripada jalan benar, dan dialah yang bersalah,
dia yang terlalu memanjakannya dan puteranya menjadi rusak karena berada di
Pulau Neraka!
“Milana,
bangkitlah!” Suma Han berkata kepada puterinya.
Milana
bangun dan menghapus air matanya. “Milana, engkau tentu telah merasa akan
kesalahanmu. Akan tetapi kesalahanmu itu bukan kau sengaja, maka tidak perlu
lagi disesalkan. Engkau harus kembali ke kota raja, engkau harus belajar
menjadi seorang keturunan bangsawan yang baik, tinggal di istana Kaisar seperti
yang lalu.”
“Tapi,
Ayah....”
“Diam,
dan jangan membantah!” Suma Han membentak, “Kehidupan sebagai seorang perawan
kang‑ouw sudah banyak menyeretmu ke dalam kekacauan dan kesengsaraan. Aku akan
mencoba mengobati Sai‑cu Lo‑mo, kemudian setelah dia sembuh, engkau bersama
dia harus meninggalkan Pulau Es, dan kau hidup sebagai seorang puteri cucu
Kaisar di kota raja. Tentang perjodohanmu, biar kuserahkan kepada
kebijaksanaan Kaisar.”
“Ayah....!
Ibu....!”
Dengan
mengeraskan hatinya Nirahai berkata, “Ayahmu benar, Milana. Lihat ibumu. Betapa
banyak penderitaan yang telah kualami setelah aku meninggalkan istana kakekmu
Kaisar. Baru sekarang ibumu mendapatkan kebahagiaan bersama ayahmu dan bibimu.
Engkau harus menjadi penggantiku, membantu kakekmu dan berjasa bagi negara dan
kerajaan. Tentu saja sewaktu‑waktu engkau boleh datang menjenguk orang tuamu di
Pulau Es.”
Tanpa
bertanya, Milana maklum bahwa ikatan jodoh antara dia dan Bun Beng telah
dibatalkan. Hal ini agak melegakan hatinya. Dia memang mencinta Bun Beng, akan
tetapi setelah terjadi semua itu, bagaimana mungkin dia akan dapat memandang
muka Bun Beng lagi? Apa lagi sebagai suaminya? Maka dia hanya dapat menangis
dan mengangguk‑angguk.
Setelah
jenazah Kwi Hong dan Keng In dimakamkan di Pulau Es, Suma Han dan kedua orang
isterinya berusaha mengobati kelumpuhan kedua kaki Sai‑cu Lo‑mo. Akan tetapi
ternyata tidak berhasil karena kakek itu sudah tua, sukar sekali menyambung
tulang‑tulangnya dan membetulkan urat‑uratnya. Terpaksa Suma Han menghentikan
usahanya mengobati dan sebagai gantinya dia menurunkan ilmu‑ilmu tinggi yang
sesuai untuk dikuasai seorang yang lumpuh kedua kakinya seperti Sai‑cu Lo‑mo!
Sampai hampir enam bulan kakek itu berlatih dengan tekun dan akhirnya dia
meninggalkan Pulau Es bersama Milana yang menangis tersedu‑sedu. Pedang Hok‑mo‑kiam
diberikan kepada Milana oleh Pendekar Super Sakti, sedangkan Sepasang Pedang
Iblis tetap berada di Pulau Es karena pendekar itu khawatir kalau‑kalau
sepasang pedang itu akan terjatuh ke tangan orang lain dan menimbulkan
peristiwa‑peristiwa hebat lagi.
Sampai
di sini selesailah sudah cerita “Sepasang
Pedang Iblis” ini, dan apa bila tiada aral melintang, para penggemar
akan dapat berjumpa pula dengan pengarang dalam karangan mendatang. Mudah-mudahan
saja ada bagian‑bagian tertentu dalam karangan Sepasang Pedang Iblis ini yang bermanfaat bagi para penggemar
di samping tugasnya sebagai bacaan menghibur yang sederhana.
TAMAT
No comments:
Post a Comment