IBLIS LEMBAH TENGKORAK
Di kaki bukit Cubung, membentang sebuah danau yang indah pada senja hari. Danau Cubung. Permukaan airnya tenang. Bias cahaya matahari sore dari ufuk Barat, memantulkan warna keperakan. Hanya ada satu jalan menuju danau itu. Sepanjang kaki bukit sebelah Timur danau, terdapat jurang yang lebar dan dalam bernama Lembah Bangkai.
Pemandangannya memang indah, namun jika malam telah
menjelang, tak seorang pun yang berani melintasi kawasan itu. Selain bau
bangkai yang selalu menyengat pada tiap malam, jurang itu seakan-akan menyimpan
misteri yang sulit diungkapkan.
Sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda putih,
meluncur di bawah siraman matahari sore membelah jalan di antara danau dan
jurang. Di belakangnya, menyusul pasukan berseragam di atas kuda yang berjumlah
sekitar dua puluh ekor itu.
Dari umbul yang dibawa menandakan bahwa mereka adalah
rombongan Kadipaten Karang Setra. Di dalam kereta, duduk Adipati Karang Setra
dan seorang wanita cantik bernama Tunjung Melur yang tengah mernangku bocah
laki-laki berusia sekitar lima tahun.
"Sudah hampir malam, Kang Mas," Tunjung Melur
bergumam. Matanya menatap lurus kearah danau. Tangannya yang putih halus
memeluk putra tunggalnya.
"Ya. Sebentar
lagi tempat ini terlewati," sahut
Adipari Karang Setra. Matanya
menatap iba pada istrinya itu.
"Adakah jalan lain selain jalan ini?" tanya Tunjung
Melur.
"Ada, tapi harus memutari bukit Cubung. Paling tidak,
bisa memakan waktu satu minggu perjalanan."
Tunjung Melur mendesah pelan. Matanya menatap Rangga Pati,
anaknya. Hatinya merasa gelisah. Keangkeran kaki bukit Cubung dengan lembah Bangkainya,
menghantui pikirannya. Telah banyak orang yang mencoba melintasi jalan ini,
namun hilang tak kembali bagai ditelan bumi.
Senja terus merayap rnenjelang malam. Matahari mengintip
takut-takut di antara pepohonan di kaki bukit. Sinar keemasan itu mulai redup,
memberi kesempatan pada embun dan kabut untuk menampakkan diri. Rombongan
Kadipaten Karang Setra terus memacu menuju arah terbenamnya matahari.
"Mestinya Kang Mas sendiri saja yang menemui Ayahanda
Prabu," Tunjung Melur sedikit bergumam.
"Ayahanda Prabu sudah rindu ingin bertemu dengan cucu
pertamanya."
Kembali Tunjung Melur mendesah. Dia tahu bukan Ayahanda
Prabu yang rindu pada cucunya, tapi suaminyalah yang rindu dengan ayahandanya.
Memang, sejak mereka menikah hingga dikaruniai seorang putra, tak pernah sekali
pun mengunjungi orang tua Adipari Karang Setra ini.
Seorang penunggang kuda hitam yaing semula berada di depan,
menghampiri kereta. Di seragamnya terdapat sulaman bunga karang berjumlah lima.
Tingkat dan kedudukan prajurit Kadipaten Karang Setra memang dilihat dari
sulaman macam itu yang ada di bagian dada. Makin banyak jumlah sulaman, makin
tinggi tingkat dan kedudukannya. Penunggang kuda itu membungkukkan badan dan
menoleh ke dalam kereta. Adipati Karang Setra menjulurkan kepalanya.
"Ada apa, Gagak Lodra?" tanya
Adipari Karang
Setra.
"Jalan kita terhalang, Gusti Adipati," sahut Gagak
Lodra.
"Maksudmu?" Adipati belum menangkap makna nya.
Gagak Lodra belum sempat menjawab, tiba-tiba saja kereta
terhenti. Adipati Karang Setra melongokkan kepalanya menatap ke depan. Dia
mendapatkan sebuah pohon besar tumbang menghalangi jalan mereka.
Adipari Karang Setra ke luar dari kereta. Dengan langkah
ringan, dihampirinya pohon tumbang itu. Gagak Lodra melompat dari kudanya,
diikuti prajurit-prajurit lain. Dihampirinya Adipari
Karang Setra yang ternyata sudah
didampingi Gajah Rimang yang juga memiliki lima sulaman bunga karang.
Langkah Gagak Lodra belum sampai di tempat itu, namun
tiba-tiba Adipati Karang Setra mundur tiga langkah. Kepalanya agak dimiringkan
sedikit Wajahnya tegang. Pohon besar yang merintangi jalan, jelas suatu
kesengajaan. Meski tumbang berikut akar-akar-nya, tetapi terasa ada keganjilan.
Jika karena bencana alam, mestinya pohon-pohon lain di sekitarnya pasti ikut
rusak. Tapi mengapa hanya pohon besar itu saja yang rusak?
"Hmmm..., ada tamu tak diundang," gumam
Adipari
'Tampaknya jumlah mereka cukup banyak, Gusti," sahut
Gagak Lodra yang juga menangkap suara-suara kecil yang mencurigakan di
sekitarnya
"Mereka seperti tak bermaksud baik, Gusti,"
sambung Gajah Rimang.
"Ya, mereka bukan orang-orang sembarangan.
Napas dan gerakannya terlatih
sempurna," kata Adipati. Matanya tak lepas menatap sekelilingnya. Suasana
jadi hening.
"Perintahkan para prajurit untuk bersiap-siap!"
sambung Adipati Karang Setra seketika.
"Siap, Gusti!" seru Gajah Rimang seraya melompat
menghampiri para prajurit yang juga sudah bersiaga.
'Dan kau...," Adipati Karang Setra belum lagi
meneruskan perintahnya, mendadak dari rimbunan semak dan pohon-pohon
bermunculan segerombolan orang berpakaian serba hitam dengan senjata terhunus.
Gajah Rimang yang baru saja memberi aba-aba pada prajurit, terkejut sekali.
Dalam sekejap gerombolan itu mengepung.
Adipati Karang Setra menatap satu
persatu para pengepungnya. Harinya terkesiap ketika matanya tertumbuk pada
Seorang laki-laki tinggi tegap berkulit kuning. Wajahnya kasar penuh brewok
sambil memegang tongkat btrkepala tengkorak manusia. Adipari tahu siapa
laki-lakl Itu.
"Iblis Lembah Tengkorak...," desis Adipari
Karang Setra bergetar.
Gajah Rimang dan Gagak Lodra terkejut pula mendengar desisan
Adipari Karang Setra. Mereka tahu bahwa Iblis Lembah Tengkorak adalah seorang
tokoh dari golongan hitam yang sulit dicari tandingannya. 'Ilmu Tongkat Samber
Nyawa' yang dimilikinya, sangat dahsyat. Belum lagi ilmu andalannya, yakni
'Bayangan Setan Neraka' benarbenar tak tertandingi. Banyak tokoh aliran putih
yang tewas di tangan iblis ini. Dan kini, dia muncul dengan tiba-tiba!
"He he he...," Iblis itu terkekeh. Tawanya
disertai tenaga dalam yang sempurna hingga menggema ke seluruh penjuru.
Seketika itu juga seluruh prajurit Karang Setra bergetar harinya.
"Tak kusangka, Adipari Karang Setra mengantarkan upeti
hari ini," sambung Iblis Lembah Tengkorak. Suaranya menggelegar meski
diucapkan dengan tenang.
"Hhhh...!" Adipari
Karang Setra mendesah panjang, coba menenangkan diri. Meskipun dia seorang
Adipari dan memiliki kepandaian cukup tinggi, tapi ilmunya masih jauh bila
dibandingkan dengan Iblis berwajah kasar itu. Sepuluh orang yang memiliki
kepandaian setingkat dengannya, belum tentu mampu mengalahkannya.
***
Di dalam kereta, wajah cantik Tunjung Melur berubah pucat
pasi. Tubuhnya gemetar. Tangannya makin erat memeluk Rangga Pari. Tunjung Melur
memang belum pernah mendengar nama Iblis Lembah Tengkorak. Tapi nalurinya
mengatakan bahwa gerombolan itu tidak bermaksud baik.
"lbu...," Rangga memandang wajah ibunya
Sepertinya dia menangkap kegelisahan
ibunya.
Sinar mata polos yang memandangi Tunjung
Melur itu hanya membuat hatinya
gelisah. Dia hanya mampu memeluk dan memohon keselamatan pada Yang Kuasa.
Tunjung Melur hanyalah seorang wanita yang dilahirkan dan dibesarkan di
lingkungan kaum bangsawan, yang tak mengerti dunia kependekaran.
"Serang...!" tiba-tiba suara itu menyentak hati
Tunjung Melur. Disusul suara teriakan-teriakan dan dentingan senjata beradu.
"Oh!" pekik Tunjung Melur ketika para prajurit
yang mengawalnya sudah terlibat pertempuran sengit dengan gerombolan itu.
''Gagak Lodra! Bawa istri dan anakku pergi!" teriak
Adipari Karang Setra.
Adipari telah sibuk melayani lima orang yang mengeroyoknya
dengan ganas. Terpaksa dikeluarkan pedangnya. Dengan mengerahkan Ilmu Bayu
Mega', diputar-putarnya pedang itu dengan gerakan yang sangat cepat Dengan ilmu
andalan itu, pedangnya hanya terlihat berkelebat bagai titik-titik air jatuh
dari awan.
Gagak Lodra bergegas menghampiri kereta ketika mendengar
perintah junjungannya itu. Namun ketika sampai di atas kereta, dia disambut
oleh sebuah kelebatan bayangan hitam.
Dengan tangkas, Gagak Lodra berkelit menjatuhkan diri ke
tanah. Bayangan hitam itu terus menyerang Gagak Lodra walau dia masih
bergulingan di tanah. Dan betapa terkejutnya Gagak Lodra ketika tahu si
penyerang adalah Iblis Lembah Tengkorak.
"Uts!" Gagak Lodra berkelit dan melompat bangkit.
Tongkat berkepala tengkorak itu menyambar bagian kosong di
sisi Gagak Lodra. Iblis itu terkekeh ketika serangannya dapat terelakkan.
Kembali Gagak Lodra bersiap dengan pedang menyilang di dada. Matanya tajam
memandang Iblis Lembah Tengkorak yang tegak di depannya.
"Trak!" benturan senjata tajam terjadi lagi. Iblis
Lembah Tengkorak dengan tenang menangkis serangan pedang yang begitu cepat dari
Gagak Lodra. Seketika Gagak Lodra melompat mundur sejauh dua tombak. Tangannya
seperti kesemutan saat pedangnya berbenturan dengan tongkat berkepala
tengkorak.
Dan alangkah terkejutnya Gagak Lodra ketika melihat
pedangnya telah patah menjadi dua. Rasa terkejutnya belum lagi hilang,
tiba-tiba ujung tongkat iblis itu meluruk deras ke arah lehernya. Gagak Lodra
berusaha berkelit dengan menarik kepalanya ke be-lakang. Namun....
"Aaaakh...!"
Kebutan yang tiba-tiba itu tak sempat terhindari. Ujung
tongkat yang seperti bernyawa itu menebas leher Gagak Lodra. Hanya sebentar
Gagak Lodra mampu berdiri, selanjutnya ambruk ke tanah. Darah dengan segera
menyembur dari leher yang telah buntung itu.
ltulah keistimewaan tongkat Iblis Lembah Tengkorak. Meskipun
bentuknya bulat, namun keampuhan untuk memenggal kepala manusia tak kalah
dengan mata pedang yang tajam.
"He he he...!" kembali Iblis Lembah Tengkorak
terkekeh.
Adipari Karang Setra yang sibuk menghadapi serangan-serangan
anak buah Iblis Lembah
Tengkorak, masih sempat mendengar
jeritan Gagak
Lodra. Betapa terkejutnya Adipati
ketika melirik Gagak Lodra telah membujur kaku bersimbah darah dengan kepala
terpisah.
Pertempuran terus berlangsung. Banyak prajurit Karang Setra
yang terjungkal mandi darah. Kemampuan ilmu silat orang-orang Iblis Lembah
Tengkorak memang jauh di atas
prajurit-prajurit Karang Setra. Hanya Gagak Lodra, Gajah Rimang, dan Adipati
sendiri yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Adipari Karang Setra menggenjot tubuhnya, dan dalam sekejap
telah melayang di udara, lalu meluruk ke arah Iblis Lembah Tengkorak. Dengan
ringan dijejakkan kakinya di depan pemimpin gerombolan yang sudah dekat dengan
kereta.
"Ayah...!" teriak Rangga ketika melihat ayahnya
sudah berdiri di samping kereta.
Bocah kecil itu segera melompat ke luar dari jendela dan
berdiri di samping ayahnya. Meskipun masih bocah, gerakannya lincah dan ringan
menandakan dirinya telah dilatih dengan baik dasardasar ilmu kanuragan dan ilmu
meringankan tubuh.
Betapa terkejutnya Tunjung Melur melihat tingkah anaknya.
Dengan cepat dia keluar dari dalam kereta. Dengan wajah yang diliputi rasa
ketakutan, Tunjung Melur menghampiri putranya.
Ditarik tangan bocah itu dan
digendongnya. Bergegas dia menjauhi tempat itu.
"He he he.... Rupanya ada bidadari di sini," Iblis
Lembah Tengkorak terkekeh. Matanya liar menatap
Tunjung Melur yang ketakutan.
Gajah Rimang yang melihat keadaan junjungannya tak
menguntungkan, segera melompat ke arah Adipati Karang Setra. Tiga orang yang
mencoba menghadangnya, dengan cepat dibabat oleh pedangnya. Ambruklah
orang-orang itu dengan perut terbelah.
"Bawa istri dan anakku pergi!" perintah Adipari Karang
Setra kepada Gajah Rimang. Pandangannya tetap pada iblis itu. "Tapi,
Gusti...."
'Tak ada waktu lagi, Gajah Rimang. Selamatkan mereka!"
sentak Adipari cepat memotong.
Belum sempat Gajah Rimang bicara kembali,
Adipati Karang Setra telah lebih dulu melompat dan menyerang Iblis Lembah
Tengkorak. Meski disadari bahwa lawannya jauh di atas kepandaiannya, Adipari
Karang Setra tak peduli lagi. Harapannya, Gajah Rimang secepatnya membawa
Tunjung Melur dan Rangga Pati menyingkir dari tempat ini.
Belum sempat Gajah Rimang melaksanakan perintah
junjungannya, dia sudah disibukkan dengan lima orang yang menyerang dengan
ganas. Adipati mendengus geram. Prajuritnya mulai kocarkacir. Keadaannya
sendiri sudah sangat kewalahan menghadapi Iblis itu.
Dua puluh mayat prajurit Karang Setra telah bergelimpangan.
Mereka kini tinggal sepuluh orang termasuk Gajah Rimang. Sementara dari
gerombolan Iblis Lembah Tengkorak hanya tujuh orang saja yang tergeletak tak
bernyawa.
"Aaaakh...!"
Tiba-tiba Gajah Rimang memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung
dengan darah mengucur dari tangannya yang telah buntung. Belum sempat Gajah
Rimang menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja seorang dari pengeroyoknya
menghunus pedang dengan kecepatan yang luar biasa, dan tepat menembus jantung
Gajah Rimang.
Prajurit Karang Setra ini men jerit
keras. Hanya sebentar dia mampu berdiri. Ketika pedang itu ditarik, tubuhnya
segera ambruk tak ber kutik.
"Keparat!" dengus Adipati saat mengetahui Gajah
Rimang tewas.
Adipati menjadi lengah. Dan kelengahan itu tidak
disia-siakan Iblis Lembah Tengkorak yang berakibat fatal buat Adipati. Lalu....
"Akh!"
"Kakang...!"
jerit Tunjung Melur memilukan.
Adipati Karang Setra terhuyung-huyung sambil mendekap
dadanya yang koyak berlumuran darah. Men tang, begitu cepat serangan itu
sehingga sulit bagi Adipati menghindari ujung tongkat Iblis Lembah Tengkorak.
Perhatiannya memang terpecah saat itu.
"Dinda, lari...!" teriak Adipati yang teringat
akan keselamatan anak istrinya.
"Kakang..., kau terluka," bergetar suara Tunjung
Melur.
"Jangan hiraukah aku! Cepatlah lari. Selamatkan anak
kita!" perintah Adipati Karang Setra.
Tunjung Melur belum sempat berbuat apa-apa, ketika tiba-tiba
Iblis Lembah Tengkorak melompat ke arahnya. Melihat keselamatan istrinya
terancam, Adipati dengan sisa-sisa tenaga menggenjot tubuhnya menghalangi Iblis
Lembah Tengkorak. Benturan di udara tak terhindarkan lagi.
Bersamaan dengan terdengarnya jeritan yang menyayat, tubuh
Adipati Karang Setra ambruk ke tanah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam
tak bergerak dengan leher yang koyak, hampir putus. Dada dan perutnya berlubang
besar mengeluarkan darah segar.
"Kakang...!"
Tunjung Melur histeris.
Sambil menggendong putranya, dia berlari menghambur ke arah suaminya yang
sudah tak bernyawa lagi Namun langkahnya tiba-tiba terhenti karena dengan cepat
Iblis Lembah Tengkorak sudah menghadang di depannya. Bibir Iblis itu
menyeringai dengan mata liar penuh nafsu menatap keelokan tubuh Tunjung Melur.
"He he he.... Cantik, cantik sekali...," bibir
Iblis Lembah Tengkorak makin menyeringai lebar.
Liurnya tertahan.
"Oh...!" Tunjung Melur tersentak. Wajahnya makin
pucat.
Perlahan Tunjung Melur melangkah mundur.
Tangannya kian erat memeluk
putranya. Anehnya, Rangga Pati sedikit pun tak menangis. Dia malah menatap
tajam pada laki-laki kasar berpakaian serba hitam yang ada di depannya itu.
Nalurinya mengatakan bahwa laki-laki itu bukan orang baikbaik.
Menyadari gelagat yang tak menguntungkan itu, Tunjung Melur
segera berbalik dan berlari sekuatkuat-nya. Iblis Lembah Tengkorak terkekeh
sambil berjalan dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya. Meski Tunjung Melur
sudah beriari sekuat tenaga, tapi jarak antara dia dengan iblis itu kian dekat
saja.
Tunjung Melur terus beriari menerobos semak dan pepohonan.
Dia justru tak menyadari kalau arah larinya Itu mendekati jurang. Iblis Lembah
Tengkorak tersenyum menang, karena dia kenal betul daerah ini seperti dia
mengenal dirinya sendiri.
"Oh!" Tunjung Melur terkejut setelah menyadari di
depannya terdapat jurang yang menganga lebar, siap untuk menerkam. Begitu
dalamnya sehingga dasar jurang tidak terlihat.
"He he he...," kembali Iblis itu terkekeh.
"Mau ke mana, Cah Ayu?"
"Oh, tolooong...!" jerit Tunjung Melur
sekuatkuatnya.
"Tak seorang pun yang dapat menolongmu, Cah Ayu,"
Iblis Lembah Tengkorak makin lebar menyeringai.
Sengaja Iblis Lembah Tengkorak mendekat perlahan agar
Tunjung Melur makin ketakutan. Tanpa disadarinya, Tunjung Melur melangkah
mundur. Padahal... satu langkah lagi saja tubuhnya akan terjerumuske dalam
jurang!
Saat kaki Tunjung Melur akan melangkah mundur, dengan cepat
Iblis Lembah Tengkorak melompat sambil mengerahkan ilmu peringan tubuhnya
meraih pinggang Tunjung Melur. Wanita itu terkejut luar biasa. Tanpa dapat
dicegah lagi, mereka jatuh terguling menjauhi bibir jurang. Rangga yang berada
digendong-annya terlepas, dan jatuh mendekati bibir jurang.
"Rangga...!" jerit Tunjung Melur saat melihat
putranya terguling mendekati jurang. Tubuh kecil itu terus berguling, dan
untunglah sebuah pohon besar yang tumbuh di bibir jurang menahannya.
Dengan sekuat tenaga, Tunjung Melur berontak lalu berlari
mengejar anaknya. Tetapi dengan sigapnya, Iblis Lembah Tengkorak menarik kain
wanita itu.
"Auw...!" Tunjung Melur memekik tertahan. Kain
penutup tubuhnya sobek terjambret Tangan Tunjung Melur segera menutupi tubuhnya
yang terbuka itu.
"He he he...!" Iblis Lembah Tengkorak terkekeh
melihat tubuh putih mulus di depannya.
Seketika gairah nafsunya bergejolak. Tanpa membuang waktu
lagi, Iblis Lembah Tengkorak memburu Tunjung Melur yang telah sampai di dekat
Rangga.
"Akh, lepaskan!" pekik Tunjung Melur ketika tangan
Iblis Lembah Tengkorak memeluk pinggangnya.
Sekali lagi mereka bergulingan. Tampaknya kali ini Iblis itu
tak akan melepaskannya lagi. Nafsunya kian tak terkendalikan. Dengan buas
direjang dan diciuminya tubuh Tunjung Melur. Rangga yang menyaksikan hal itu
segera bangkit dari jatuhnya.
Tanpa menghiraukan tubuhnya yang kecil dan sakit yang
sangat, Rangga menubruk sambil memekik tinggi. Tangannya yang kecil dihantamkan
ke punggung laki-laki yang tengah merejang ibunya.
Hantaman itu memang tidak berarti
apa-apa bagi Iblis Lembah Tengkorak, namun cukup merepotkan.
"Bocah setan!" dengus Iblis itu kesal karena
merasa terganggu.
Iblis Lembah Tengkorak menyentakkan tangannya. Dengan seketika
tubuh kecil itu melayang deras dan menghantam pohon di pinggir jurang.
"Rangga...!" jerit Tunjung Melur. Ingin rasanya Tunjung Melur
menghambur dan memeluk putranya, tapi tangan Iblis Lembah Tengkorak terlampau
kuat memeluknya.
Tunjung Melur terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit
berusaha melepaskan diri. Semaldn kuat dia meronta, Iblis itu makin bergairah.
Rontaan itu dianggap sebagai geliatan yang menggairahkan. Jeritannya terdengar
bagai rintihan kenikmatan.
Tak ada yang menolong. Tak ada yang menyaksikan kecuali
sepasang mata bulat bocah kecil itu. Tatapannya penuh perasaan. Walau tak
mengerti apa yang dilakukan oleh Iblis itu terhadap ibunya, namun nalurinya
mengatakan bahwa ibunya menjadi korban manusia berhati binatang.
"Ibu...," rintih Rangga sambil berusaha bangun.
Dicobanya untuk berdiri, tapi
tubuhnya terasa lemas. Hentakan tangan Iblis itu seakan-akan meremukkan
tulang-tulangnya. Untungnya dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya, benturan
keras dengan pohon besar itu secara reflek dapat sedikit tertahan.
Sementara itu Tunjung Melur sudah tak berdaya lagi. Dia
hanya dapat menangis dan merintih akibat digagahi oleh Iblis Lembah Tengkorak.
"He he he...!" tawa Iblis Lembah Tengkorak penuh
kemenangan.
Tubuh putih mulus itu tergolek di rerumputan. Titik-titik
air mata mengalir membentuk anak sungai di pipinya. Hati Tunjung Melur kian
hancur karena telah ternoda. Sementara itu Rangga berusaha merayap mendekati
ibunya yang kini tanpa benang sehelai pun di tubuhnya.
"Ibu...," rintih Rangga. Tangannya menggapaigapai
berusaha meraih ibunya.
"Huh! Anak ini bisa jadi duri!" dengus Iblis
Lembah Tengkorak.
"Jangan...!" pekik Tunjung Melur ketika melihat
Iblis itu menggerakkan tongkatnya.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Tunjung Melur berusaha
menghalangi tongkat yang terarah kepada anaknya itu. Dan betapa malangnya nasib
Tunjung Melur ketika dengan cepat tongkat berkepala tengkorak itu menghantam
kepalanya. Dia tewas seketika. Rangga terbelalak. Matanya tajam mengarah pada
laki-laki yang telah membunuh kedua orang tuanya.
"Setan cilik!" dengus Iblis Lembah Tengkorak
merasa mendapat tantangan dari sorot mata yang tajam penuh kebencian.
Dengan kemarahan yang memuncak, ditendangnya tubuh Rangga
dengan kuat. Tendangan yang disalurkan dengan tenaga dalam itu, membuat tubuh
kecil itu meluncur deras masuk ke dalam jurang. Tanpa teriakan dan tanpa
terhindari lagi.
Iblis Lembah Tengkorak memang pantas geram, karena niatnya
untuk memiliki wanita cantik itu gagal total. Kematian Tunjung Melur diluar
dugaannya sama sekali.
Iblis Lembah Tengkorak melompat
bagai kilat meninggalkan tempat yang kini berubah menjadi sepi dan seolah-olah
tak pernah terjadi apa-apa.
***
2
Jurang Lembah Bangkai memang angker. Iblis Lembah Tengkorak
yang berasal dari daerah itu sendiri sama sekali tak tahu seberapa dalamnya
jurang itu. Yang jelas, kecil kemungkinan untuk selamat jika terjerumus ke
dalam jurang Lembah Bangkai yang kini menganga lebar siap melumat tubuh Rangga.
Tubuh kecil itu meluncur deras hampir menyentuh dasar.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba seekor rajawali raksasa berwarna putih
menyambar tubuh Rangga dengan cakarnya yang tajam dan kuat.
"Khraaaghk...!" suaranya nyaring sambil membawa
tubuh Rangga dan meletakkannya di atas tumpukan ranting kering dan rerumputan
yang ditata menyerupai sebuah sarang
Rangga tergolek pingsan. Burung rajawali itu memperhatikan
dengan matanya yang merah, bulat. Kepalanya terangguk-angguk.
Sarang yang terletak dalam sebuah goa yang besar dan lembab
itu, selalu terselimuti kabut. Ini membuat udara di sekitar situ menjadi
dingin. Rajawali putih meraih beberapa daun lebar dengan paruh, lalu
ditutupinya tubuh Rangga. Dia mendekam di samping bocah kecil itu sambil
menutupi tubuh Rangga dengan sayapnya yang lebar, seolah-olah ingin memberi
kehangatan.
Setelah lama tak sadarkan diri, tiba-tiba
mulut
Rangga mengerang. Kepalanya bergerak
lemah.
Burung rajawali memandanginya dengan
mata yang berbinar-binar. Disingkirkannya daun-daun yang menutupi tubuh Rangga.
"Ibu...!" bocah itu memekik keras ketika matanya
terbuka memandang sekelilingnya. Dia terkejut ketika matanya tertumbuk pada
rajawali putih raksasa yang ada di dekatnya. Rangga berusaha bangkit, namun
tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. Hanya matanya saja yang terbelalak lebar
memancarkan ketakutan.
Burung rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya,
seolah-olah mengerti perasaan yang meng-hinggapi bocah itu. Pelan-pelan
dijulurkan kepalanya seraya mematuk beberapa bagian tubuh rangga dengan paruh
yang kekar itu.
Rangga merasakan tubuhnya berangsur-angsur segar seketika.
Rasa nyeri dan sakit dengan sekejap hilang. Burung itu memang telah menotok
jalan darah di bagian-bagian tertentu tubuh Rangga. Sepertinya burung itu ingin
mengatakan kalau Rangga tak perlu takut.
Dasar bocah! Rasa takut Rangga
hilang seketika. Kini Rangga malah tertawa keras karena kegelian. Rajawali
putih berkoak-koak seperti gembira melihat Rangga tertawa gelak. Rangga kini
malah membalas canda rajawali dengan menariknarik paruhnya yang sebesar
kepalanya itu.
Sebentar saja kedua makhluk
yang berlainan kodrat itu kian akrab. Bahkan kini burung rajawali itu
seakan-akan siap melayani segala kebutuhan Rangga baik, makan, minum, maupun
tidur. Jika Rangga mengantuk, maka sayap yang lebar itulah yang menyelimutinya.
Pada saat Rangga melamun teringat ayah dan ibunya, maka burung itulah yang
selalu menghiburnya. Mengajaknya bermain dan bercanda. Komunikasi yang
berlainan, tak menghalangi kedua makhluk itu untuk saling mengerti dan memahami
setiap kata yang terucap.
***
Waktu terus berganti, hingga tak terasa telah setahun Rangga
hidup di dasar lembah Bangkai bersama rajawali putih raksasa. Sepertinya mereka
memang telah ditakdirkan untuk bertemu di Lembah Bangkai.
Selama setahun itu, Rangga dengan cepat memahami dan
mengikurj gerak-gerik burung rajawali raksasa itu. Tanpa disadarinya,
gerak-gerik itu adalah dasar dari jurus-jurus silat Rajawali Sakti, tokoh yang
hidup dan tak ada tandingannya seratus tahun yang lalu.
Rangga yang memang cerdas ditambah dasardasar ilmu silat
yang telah diperoleh dari mendiang ayah dan paman-pamannya, membuat
gerakangerakan yang diperliharkan burung itu cepat dipahaminya.
Sore ini, Rangga tengah berlompat-Iompatan dari satu batu ke
batu yang lain di luar goa, mengikuti gerakan rajawali putih. Rangga tak sadar
kalau burung itu tengah mengajarkan dasar-dasar jurus andalan yang pertama
yakni,'Sayap Rajawali Membelah Mega' Jika gerakan jurus itu dibarengi dengan
ilmu peringan tubuh dan penyaluran tenaga dalam yang sempurna, maka tubuh
Rangga dapat bergerak ringan seperti kapas. Seorang yang berilmu tinggi
sekalipun, akan sulit meraba dan melihat gerakan-gerakan itu. Keistimewaan
lainnya, kaki Rangga dapat bergerak cepat bagai tak menyentuh tanah. Kibasan
tangannya, bagaikan sepasang sayap yang siap menghancurkan batu karang yang keras
sekalipun. Jari-jari tangannya bagai mata pedang tajam yang siap membabat
seba-tang pohon besar hingga tumbang.
"Khraaaghk...!" rajawali putih berseru gembira
melihat Rangga berhasil melintasi batu terakhir dengan mulus.
Satu kali lompatan, Rangga telah berada di depan burung
raksasa itu. Rajawali putih menundukkan kepalanya. Rangga memeluk seraya
tangannya yang kecil itu mengusap bulu-bulu halus yang memenuhi kepala burung
itu.
"Aku haus,
lapar...," kata Rangga pelan.
Rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah
mengerti apa yang diucapkan Rangga. Dikepakkan kedua sayapnya, dan dalam
sekejap saja burung itu telah mengangkasa. Rangga memperhatikan dengan mata
bocahnya, sambil menunggu di tempat itu.
Ketika burung raksasa itu telah kembali, diparuhnya telah
bergelayut dua butir kelapa. Cakarnya mencengkeram beberapa jamur besar. Rangga
sama sekali tak tahu kalau jamur itu mempunyai khasiat penawar segala macam
racun yang dahsyat sekalipun. Itulah santapan sehari-hari Rangga.
'Terima kasih, kau baik sekali," Rangga menerima kelapa
dan jamur-jamur itu.
"Khraaaghk...!" Rajawali putih menganggukanggukkan
kepalanya.
Habis sudah jamur-jamur itu dimakan Rangga. Dibelahnya
kelapa yang kini berada di tangannya. Hebat! Sekali kepruk saja, kelapa
terbelah dua! Rajawali putih terlihat gembira ketika Rangga berhasil membelah
kelapa dengan sekali pukul. Itulah salah satu khasiat yang ada pada jamur itu
yang telah nampak dalam kekuatan Rangga.
Jamur yang dimakan Rangga, ternyata juga membentuk hawa
murni secara alami. Tenaga dalam yang tersalur lewat hawa murni ini dapat
menjadi kekuatan yang luar biasa bagi Rangga. Jika Rangga benar-benar melatih
tenaga dalamnya, tak mustahil dalam waktu singkat dia akan menjadi seorang
tokoh silat yang sulit dicari tandingannya.
Rangga tanpa sadar telah berlatih jurus-jurus silat Rajawali
Sakti sepertinya ia adalah pewaris tunggal ilmu-ilmu Rajawali Sakti, yang
seratus tahun lalu sempat menggegerkan dunia persilatan. Tak ada seorang tokoh
pun yang sanggup menandinginya.
Baik dari golongan hitam maupun
putih.
Lama jurus-jurus Rajawali Sakti menghilang begitu saja
bersamaan dengan lenyapnya tokoh sakti yang selalu menunggang seekor rajawali
raksasa. Rajawali itu kini bersama Rangga. Lalu, di manakah tokoh sakti itu?
3
Dunia persilatan saat ini goncang. Gerombolan yang dipimpin
Iblis Lembah Tengkorak makin merajalela. Banyak tokoh sakti golongan putih yang
mencoba mengakhiri sepak terjang gerombolan itu, tewas di ujung tongkat
berkepala tengkorak milik iblis itu.
Banyak pula tokoh sakti aliran hitam yan9 ber gabung dengan
Iblis Lembah Tengkorak. Tentu saja hal ini membuat cemas tokoh-tokoh aliran
putih.
Karena tak mustahil kekuatan Iblis
Lembah
Tengkorak akan menguasai dunia
persilatan.
Lembah Tengkorak merupakan tempat Iblis Lembah Tengkorak
yang sebenarnya bernama Geti
Ireng, tinggal. Di sanalah markas
Geti Ireng dengan gerom-bolannya yang bernama Panji Tengkorak.
Tak seperti biasanya, hari ini Lembah Tengkorak tampak
ramai, Atas undangan Geti Ireng, banyak tokoh sakti aliran hitam yang hadir di
kediamannya. Mereka hadir untuk turut menyaksikan takluknya seorang tokoh sakti
aliran hitam bernama Kala
Srenggi. Dia dikenal sebagai Si
Samber Nyawa.
Kala Srenggi cukup memiliki ilmu yang tinggi, tapi jika
dibandingkan dengan Geti Ireng tak berarti apa-apa. Kulitnya putih dengan tubuh
yang tegap berisi. Wajahnya muda dan tampan namun menyimpan garis-garis
kekejaman. Senjata andalannya adalah pedang kembar yang bertengger menyilang di
punggungnya. Ajiannya yang bernama 'Tapak Beracun' dapat membuat orang hanya
bertahan hidup selama sepuluh hari.
Bersama dengan murid-muridnya, Kala Srenggi menyatakan
takluk karena seminggu yang lalu Geti
Ireng berhasil mengalahkannya.
Dengan demikian
Lembah Tengkorak makin ramai dengan
bergabungnya Kala Srenggi bersama
murid-muridnya yang berjumlah separuh dari jumlah anggota Panji Tengkorak.
"Saya datang memenuhi janji," kata Kala Srenggi
setelah berhadapan dengan Geti Ireng di ruang pertemuan markas itu.
Ruangan itu adalah sebuah pendopo yang terletak di tengah-tengah
lembah. Pendopo itu biasa digunakan Geti Ireng untuk menerima tamu yang
sealiran dengannya. Di samping Geti Ireng, seorang gadis cantik berusia sekitar
tujuh belas tahun duduk sambil menatap sinis Kala Srenggi. Dia bernama Saka
Lintang. Saat mata Kala Srenggi beradu pandang dengannya, harj Kala Srenggi
bergetar.
Geti Ireng paham jika Kala Srenggi terpesona dengan
kecantikan putrinya itu. Untuk tidak merusak suasana, Geti Ireng tak menegur
tamunya itu. Dan lagi, toh Saka Lintang tak mengacuhkan pandangan Kala Srenggi.
"Kiranya yang mulia Geti Ireng sudi menerima seluruh
murid-murid saya bernaung di bawah Panji Tengkorak," lanjut Kala Srenggi.
"Bagus,
bagus!" Geti Ireng tersenyum senang.
"Dan saya sendiri siap mengabdi pada yang mulia," ujar Kala Srenggi lagi sambil melirik Saka Lintang.
"Apakah pengabdianmu tidak ada maksud lain?"
pancing Geti Ireng.
Kala Srenggi terdongak. Geti Ireng memang bermaksud
menyindir. Kala Srenggi menangkap maksud itu. Dia pun menundukkan kepalanya.
Kecantikan gadis itu telah membuatnya jadi dungu. Dia lupa kalau yang
dihadapinya kini adalah Geti
Ireng.
"Ayah, beri dia ujian untuk pengabdiannya!" suara
Saka Lintang terdengar lembut dan halus, namun nadanya menyimpan kebengisan dan
kekejaman.
"Kau dengar permintaan putriku, Kala Srenggi?"
Geti Ireng menatap tajam pada Kala Srenggi.
Kala Srenggi mengangkat kepalanya. Kembali harinya bergetar
saat menatap kecantikan Saka Lintang. Harinya tak dapat dibohongi lagi kalau
dia jatuh hati kepada Saka Lintang.
"Apa keinginan Nini Dewi yang cantik?" Kala
Srenggi menantang. Matanya tak
berkedip mengakui kecantikan gadis itu, Kepalang basah Dengus Kala Srenggi
dalam hati.
"Kalahkan
aku!" Saka Lintang tegas.
"Ha ha ha...!" Geti Ireng terbahak-bahak. Kala
Srenggi makin tajam menatap wajah Saka Lintang. Agak sungkan Kala Srenggi
menerima tantangan itu. Biar bagaimana pun, tak sampai hati rasanya melepaskan
pukulan pada gadis yang telah menghanyutkan harinya.
"Bukan saya menolak, tapi saya tak pernah melepaskan
pukulan pada kaum wanita," suara Kala Srenggi halus.
"Kau meremehkan anakku, Kala Srenggi!" bentak Geti
Ireng. Dia merasa tersinggung sekali dengan penolakan itu meski diucapkan
dengan halus.
"Saya tak bermaksud merendahkan Nini Dewi. Tapi,
rasanya saya tak dapat beriaku kasar terhadap wanita," lanjut Kala Srenggi
masih dengan nada halus.
"Jika demikian, kau tak pantas bernaung di bawah Panji
Tengkorak!" dengus Saka Lintang sengit.
Kala Srenggi terkejut Tak disangkanya kalau gadis cantik ini
dapat sekasar itu. Hatinya makin terkejut saat melihat Geti Ireng mengangguk
tanda setuju. Jantungnya terasa copot.
Geti Ireng tahu benar kemampuan Kala Srenggi. Meski Saka
Lintang sedikit di bawah Kala Srenggi, namun tak mudah bagi Kala Srenggi untuk
menjatuhkannya walau dalam tiga puluh jurus sekalipun. Bahkan tidak mungkin
Kala Srenggi tewas jika Saka Lintang telah mengeluarkan ilmu andalannya,'Ular
Berbisa Menyebar Racun’ atau mungkin dengan jurus 'Tarian Bidadari'
digabungkan, maka seorang tokoh sakti sekalipun tak mampu menandinginya dalam
waktu lama.
"Hanya ada dua pilihan, Kala Srenggi," kata Geti
Ireng datar dan dingin suaranya. "Memenuhi permintaan putriku, atau kau
tak akan melihat matahari lagi!"
Kala Srenggi terdiam. Sulit menerima
pilihan itu.
Dia bukan gentar tapi sungkan
menandingi gadis remaja yang belum diketahui di mana kehebatannya. Untuk mati
sia-sia dia pun tak mau.
"Bagaimana,
Kala Srenggi?" desak Geti Ireng.
Kala Srenggi melirik Saka Lintang yang mencibir mengejek.
"Baiklah, aku terima
tantanganmu!"
***
Saka Lintang segera menggenjot tubuhnya, dan meluruk cepat
ke pelataran. Gerakannya gesit dan ringan. Ilmu ringan tubuhnya sangat
sempurna. Jejakan ke tanah bagai seekor burung.
Baru saja Saka Lintang mendarat,
tiba-tiba saja
Kala Srenggi telah dihadapannya.
Jarak di antara mereka hanya sekitar satu tombak. Mereka berhadapan dengan mata
tajam saling menilai kemampuan. Saka Lintang bergeser ke kiri satu langkah.
"Bersiaplah, Kala Srenggi!" bentak Saka Lintang
keras.
Tiba-tiba tubuh Saka Lintang telah melesat menyerang Kala
Srenggi dengan pukulan yang dialiri tenaga dalam. Begitu dahsyat pukulan itu,
sehingga angin yang dihasilkannya telah terasa sebelum pukulan itu sampai.
Kala Srenggi yang telah siap sejak tadi, hanya berkelit
sedikit menghindari pukulan itu. Sejenak dia terkejut ketika sambaran angin
lewat di samping kepalanya. Hawa pukulan itu panas sekali. Dengan cepat Kala
Srenggi melompat ke samping ketika tangan kiri Saka Lintang bergerak ke arah
dadanya. Pukulan yang pertama itu memang sebuah tipuan.
"Bagus! Kau berhasil elakan pukulan geledekku!"
dengus Saka Lintang seraya bersiap kembali untuk menyerang dengan jurus lain.
"Jurus tangan kosongmu sangat hebat, Saka
Lintang," puji Kala Srenggi
tulus.
"Bersiaplah, Kala Srenggi!" segera Saka Lintang
meliuk liukkan tubuhnya dengan indah dan gemulai.
Seperti sedang menari. Kala Srenggi
terpesona dibuatnya, hingga lupa kalau Saka Lintang tengah mengeluarkan jurus
maut,'Tarian Bidadari'
Kala Srenggi kian terpesona, dan tanpa diduga sama sekali
gerakan Saka Lintang berubah cepat. Dalam sekejap saja tangannya telah mengarah
ke leher Kala Srenggi.
"Akh...!" Kala Srenggi terkejut sekali tak sempat
menghlndar.
Terpaksa Kala Srenggi menyambutnya dengan mengangkat tangan
melindungi lehernya yang terancam. Benturan keras terjadi. Tubuh Kala Srenggi
terhuyung mundur dua tindak. Dirasakan pergelangan tangannya seperti terbakar.
Panas dan nyeri. Dia meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang
menghitam.
Belum sempat Kala Srenggi menyadari yang baru saja terjadi,
Saka Lintang telah mulai dengan jurus maut lainnya. Jurus 'Ular Berbisa
Menyebar Racun' yang sangat berbahaya dan sulit dihindari Lebihlebih pada saat
lawannya telah terkena hajaran jurus 'Tarian Bidadari’. Keadaan Kala Srenggi
memang tidak menguntungkan.
"Cukup!"
Suara bentakan keras disertai tenaga dalam yang tinggi,
membuat Saka Lintang mengurungkan niatnya mengeluarkan jurus maut itu.
Tiba-tiba Geti Ireng telah berada di tengah-tengah arena. Memang dialah yang
mengeluarkan suara itu.
"Cukup, Saka Lintang. Kau tak perlu menurunkan maut
pada Kala Srenggi," sambung
Geti Ireng.
"Huh!" Saka Lintang mendengus. Dia tak mungkin
menentang kehendak ayahnya.
"Kala Srenggi, bagaimana
tanganmu?" tanya Geti
Ireng.
"Tidak apa-apa," sahut Kala Srenggi namun sambil
meringis.
"Pukulan Tarian Bidadari' sangat berbahaya, Kala
Srenggi. Kau tak akan bertahan lebih dari sepuluh hari," kata Geti Ireng
datar.
Kala Srenggi terperanjat mendengar hal itu. Dia tak
menyangka sama sekali kalau Saka Lintang telah mengeluarkan jurus Tarian
Bidadari'. Kala Srenggi memang pemah mendengar nama jurus itu namun baru kali
inilah dia merasakan. Begitu cepat dan tak terduga sama sekali.
Racun 'Tarian Bidadari' memang bekerja lambat Tapi cukup
mematikan karena langsung menusuk jalan darah. Betapa berbahayanya, sehingga
orang yang terkena tak akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh hari.
"Saka Lintang, berikan obat penawar racunmu!" kata
Geti Ireng.
"Dia harus mengakui kekalahannya terlebih dulu,
Ayah!" jawab Saka Lintang pongah.
"Kau dengar, Kala Srenggi?" Geti Ireng menatap
Kala Srenggi yang masih meringis memegangi pergelangan tangan kanan yang makin
meluas warna hitamnya. Tak ada jalan lain bagi Kala Srenggi kecuali mengangguk.
Dalam dunia hitam, martabat dan nama besar bukan halangan untuk menyelamatkan
nyawanya sendiri. Tanpa malu-malu,
Kala Srenggi mengakui kekalahannya,
"Saya mengaku kalah, dan berjanji akan mengabdi
sepenuhnya demi Panji Tengkorak!" Saka Lintang tertawa senang.
"Berikan penawar racunmu, Saka Lintang," kata Geti
Ireng sekali lagi.
Saka Lintang merogoh saku bajunya dan menyentil sebutir pil
berwarna merah. Dengan cepat Geti Ireng menangkapnya dan menyodorkan kepada
Kala Srenggi. Tanpa sungkan lagi, Kala Srenggi segera menelan pil merah itu.
Seketika tubuhnya terasa terbakar. Keringat deras mengucur
membasahi sekujur tubuhnya. Wajah tampan dan bengis itu berubah memerah tegang.
Segera dirapatkan kedua teiapak tangannya ke depan dada.
"Jangan berlaku bodoh!" bentak Saka Lintang.
Hawa murni akan mempercepat
kemarjanmu!"
Kala Srenggi tersentak. Cepat-cepat
dilepaskan kedua telapak tangannya. Dibiarkan hawa panas itu menjalari
tubuhnya. Sungguh tak tertahankan. Ingin rasanya mengerahkan tenaga dalamnya,
tapi peringatan tadi mengurungkan niat itu.
"Hoek!"
Tiba-tiba saja cairan hitam meluncur dari mulut Kala
Srenggi. Kental sekali. Kala Srenggi terkulai lemas. Hawa panas di tubuhnya,
berangsur-angsur lenyap. Warna hitam di tangan kanannya sedikit demi sedikit
memudar.
"Pulihkan kekuatanmu dengan bersemedi selama tiga
hari," kata Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang melompat meninggalkan
arena pertarungan tadi. Dalam sekejap mata tubuh Saka Lintang telah hilang,
masuk ke dalam rumah yang besar.
Sungguh di luar dugaan jika Samber Nyawa atau Kala Srenggi
dapat dikalahkan hanya dalam tiga jurus saja. Terlebih bagi Geti Ireng. Semula
dia menduga Kala Srenggi akan melayani Saka Lintang dengan alot. Nyatanya,
hanya sekejap saja. Benarbenar kemajuan yang luar biasa bagi Saka Lintang. Tak
percuma Geti Ireng mendidik dan menurunkan ilmunya kepada anak gadisnya itu.
Saka Lintang tidak saja menguasai ilmu-ilmu maut itu. Bahkan
telah disempurnakannya. Bukan tak mungkin melebihi kepandaian ayahnya sendiri.
Hal ini membuat Geti Ireng bangga dan gembira. Saka Lintang sudah dapat
mewakilinya di dunia persilatan.
***
Kekuatan Panji Tengkorak kian bertambah saja. Tiap hari
banyak tokoh persilatan dari aliran hitam berdatangan untuk menyatakan takluk.
Saka Lintang lah yang selalu menjajal kemampuan tokohtokoh itu. Dari sekian
banyak tokoh, hanya dua orang saja yang mampu menandingi jurus 'Tarian
Bidadari' dan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'. Tapi harus diakui, jurus
ketiga yang merupakan gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan jurus 'Ular
Berbisa Menyebar Racun' memang tak tertandingi.
Kedua orang itu sudah terkenal di rimba persilatan. Yang
pertama biasa dijuluki Kakek Merah Bermata Elang. Jubahnya yang merah dan
matanya yang bulat seperti elang itu memungkinkan kakek itu bergelar demikian.
Kehebatan kakek ini terletak pada kesepuluh jari-jari tangannya yang menyerupai
cakar seekor elang. Sebongkah batu cadas besar yang keras pun dapat ditembus
oleh jari-jarinya.
Seorang lagi bertubuh pendek, berkepala gundul mengenakan
jubah kuning. Dia seorang pendeta dengan julukan, Pendeta Murtad dari Selatan.
Senjatanya tasbih yang terbuat dari untaian mutiara.
Kedua tokoh itu akhirnya mengakui kehebatan Saka Lintang,
terbukfi mereka tak sanggup menandingi. Dalam hati para tokoh itu berkata
'Putrinya saja tak bisa dikalahkan,
apalagi ayahnya!" Sungguh sulit diukur setinggi apa ilmu silat Iblis
Lembah Tengkorak.
Pada akhirnya, seluruh
tokoh-tokoh silat yang tergabung dalam Panji Tengkorak sepakat untuk menjuluki
Saka Lintang dengan Kembang Lembah Tengkorak!
"Aku tak menyangka, perkumpulan Panji Tengkorak yang
baru seumur jagung mampu mengumpulkan begitu banyak tokoh aliran
hitam,"gumam Pendeta Murtad dari Selatan sesaat setelah dia dikalahkan
oleh Saka Lintang. Pendeta itu sebenarnya bernama Pradya Dagma.
'Tak mengherankan kalau Iblis Lembah Tengkorak akan membuat
Panji Tengkorak menjadi yang terbesar di kalangan rimba persilatan," sahut
Kakek Merah Bermata Elang. Nama aslinya adalah
Kalingga.
"Ya, anak
gadisnya saja sudah sehebat itu."
"Dua hari yang lalu aku juga merasakan hal yang
sama," jelas Kalingga.
Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari Selatan menatap tajam
pada kakek berjubah merah itu. Dia tak menyangka kalau Saka Lintang dapat
mempecundangi Kalingga.
"Seluruh ilmu yang kumiliki dan kuperdalam
bertahun-tahun, tak berarti apa-apa di depan gadis cantik itu," ada
kemurungan pada suara Kakek berjubah merah itu.
"Kau menyesal, Kakek tua?" tanya Rradya Dag¬ma.
"Sedikit,"
desah Kalingga pelan.
"Penasaran?"
"He he
he...," Kalingga hanya tertawa.
Pradya Dagma melihat sorot mata yang lain. Mata bulat merah
itu tidak lagi menyala seperti semula. Ada keredupan di situ. Meski tak
diucapkan, tapi Pradya Dagma tahu kalau Kakek tua itu merasa genfar jika
berhadapan dengan Saka Lintang sekali lagi.
Lawan yang mereka hadapi memang tangguh. Pradya Dagma
sendiri berpikir seribu kali jika harus berhadapan lagi dengan Saka Lintang.
Jurusnya yang dipadu dengan gerakan lembut disertai penyaluran tenaga dalam,
dikenal sebagai jurus 'Bidadari Penyebar Maut'. Setiap gerakannya mengandung
hawa panas dan racun yang mematikan. Itulah jurus gabungan dari jurus 'Tarian
Bidadari' dengan 'Ular Berbisa
Menyebar Racun'.
Kehebatan jurus itu telah
dirasakan oleh kedua tokoh sakti itu. Dengan menghirup hawa racunnya saja,
kepala mereka menjadi pening. Tak berlebihan jika gelar Kembang Lembah
Tengkorak kini disandang Saka Lintang. Memang, hanya gadis inilah yang
tercantik dan terkejam di Lembah Tengkorak.
***
4
Lima belas tahun sudah Rangga tinggal di dasar Lembah
Bangkai. Selama itu pula tanpa sadar
Rangga telah digembleng dengan
jurus-jurus Rajawali Sakti. Di usianya yang kini menginjak dua puluh itulah
Rangga mulai sadar kalau gerakan burung rajawali raksasa itu merupakan
gerakangerakan silat tingkat tinggi.
'Tak kuduga, kau bukan rajawali biasa," gumam Rangga
setelah menyelesaikan jurus ketiga dari rangkaian jurus andalan Rajawali Sakti.
Burung raksasa itu mengangguk-anggukkan kepala sambil
merentangkan kedua sayapnya. Rangga paham kalau burung itu tengah menyatakan
kegembiraannya. Diraihnya leher rajawali itu seraya dipeluknya dengan penuh
kasih sayang.
Dalam usia dua puluh tahun itu, Rangga telah menjadi pemuda
yang gagah dan tampan. Tubuhnya tegap berisi Otot-otot menonjol di seluruh
tubuhnya yang terbalut kulit putih bersih.
Selama lima belas tahun itu, Rangga telah menguasai tiga
jurus andalan dari rangkaian jurus Rajawali Sakti. Jurus yang pertama adalah
'Cakar Rajawali'. Jurus ini mengandalkan kekuatan jari-jari tangan yang dapat
berubah menjadi keras dan tajam, setajam mata pedang. Jurus yang kedua adalah
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dengan jurus ini Rangga dapat bertarung di
udara tanpa sedikit pun menyentuh bumi. Jurus ini mengandalkan kecepatan gerak
kedua tangan yang dibarengi kekuatan tenaga dalam yang baik.
Jurus yang ketiga yakni, 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Dan kini Rangga tengah mempelajari jurus keempat, 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Jurus ini sangat berbahaya karena penuh tipuan. Sasarannya adalah
jalan darah lawan. Sebenarnya jurus keempat ini hanya bisa didapat oleh orang
yang memiliki tenaga dalam yang sempurna. Tetapi berkat selama lima belas tahun
Rangga telah menyantap jamur ajaib, maka dia tak perlu lagi melatih tenaga
dalamnya. Jamur-jamur yang telah menyebar di seluruh jaringan syarafsyarafnya
dapat membangkitkan hawa murni yang secara alami ada dalam tubuh manusia.
"Hey! Mau kemana?" teriak Rangga ketika rajawali
putih itu mengepakkan sayapnya, terbang.
Rangga segera mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah
Mega' dan dengan seketika tubuhnya menjadi ringan, Salu mengangkasa. Sedemikian
cepatnya, hingga dalam sekejap saja dia telah berada di atas punggung rajawali.
"Khraagh...!" rajawali putih terus mengepakkan
sayapnya. Kecepatan terbangnya melebihi lesatan anak panah.
Sebentar saja mereka telah sampai di suatu tempat yang masih
di sekitar Lembah Bangkai. Rangga belum pernah ke tempat ini.
"Tempat apa ini?" tanya Rangga setelah melompat
dari punggung burung raksasa itu.
"Kraghk!" rajawali menjulurkan kepalanya ke depan.
Pandangan Rangga mengikuri juluran kepala rajawali. Matanya
agak menyipit mendapatkan sebuah goa di depannya. Tidak jauh di sisi mulut goa
sebelah kanan, terdapat semacam gubuk terbuat dari ranting-ranting kayu. Goa
itu sangat kecil, sehingga rajawali tak mungkin dapat masuk kecuali kepalanya
saja. Tapi, gubuk siapakah itu?
Rajawali putih mendorong punggung Rangga dengan sayapnya.
Agak ragu-ragu Rangga melangkah menghampiri gubuk rusak itu. Dia tersentak
ketika melihat di bawah atap rumbia gubuk terdapat makam. Sungguh aneh, keadaan
makam itu terawat rapi meski gubuk yang menaunginya telah reyot.
Walaupun Rangga tidak tahu itu makam siapa, namun tetap
berlutut hormat. Seketika dia teringat kedua orang tuanya yang terbunuh lima
belas tahun silam. Rangga sendiri tak tahu di mana makam kedua orang tuanya
sendiri. Agak lama dia berlutut dan tepekur di samping makam.
"Krhaghk!"
Rangga menoieh ke belakang. Rajawali yang masih di
belakangnya tertunduk menganggukanggukkan kepalanya. Sepertinya ikut sedih
melihat makam ini. Rangga menghampiri dan memeluk leher burung raksasa itu.
Seakan ingin berbagi perasaan dengan rajawali itu.
"Makam siapa itu?" Rangga berbisik. Rajawali putih
menggoyang-goyangkan kepala lalu menjulurkan ke arah goa. Rangga paham kalau
dia dimohon masuk dalam goa itu.
Tanpa ragu-ragu kaki Rangga melangkah ke
dalam goa. Dia tertegun sejenak saat berada dalam goa. Keadaan ruangan tak
begitu besar namun banyak menyimpan barang-barang keperluan seperti layaknya
tempat tinggal. Pada salah satu dinding, terdapat rak yang penuh dengan
buku-buku. Di samping kirinya terdapat bermacam-macam senjata. Ada pedang,
golok, tombak, hingga senjata yang aneh-aneh bentuknya.
Goa ini ternyata juga sebagai tempat penyimpanan jamur-jamur
yang biasa dimakan Rangga. Anehnya, jamur berwarna putih sebesar kepalan tangan
itu hanya tumbuh pada satu dinding dekat tempayan air. Tepatnya dinding sebelah
kanan menuju lobang ke luar goa.
"Kau juga
ingin melihat?"
Rangga menggeser tubuhnya memberi kesempatan pada kepala
rajawali untuk menyelinap masuk.
"Khraghk!"
"Ada apa dengan buku-buku itu?"
tanya Rangga.
Rajawali putih itu mematuk-matuk paruhnya ke lantai goa yang
berpasir. Rangga cerdik. Dia dapat menangkap maksud burung rajawali ini.
Bergegas didekatinya rak buku, dan diambilnya salah satu buku yang berada
paling ujung sebelah kiri.
"Khraghk!"
Rangga menoleh. Dilihatnya kepala burung rajawali itu
menggeleng-geleng beberapa kali. Diletakkan kembali buku itu di tempatnya. Dia
berpindah mengambil buku paling ujung sebelah kanan. Kepala burung itu
mengangguk-angguk, dan mematuk-matuk lantai goa lagi.
Rangga tahu kalau dia harus membaca buku itu. Dan memang
benar, buku itu temyata berisi gambar-gambar jurus silat. Beberapa di antaranya
telah di kuasai. Namun kecerdikannya menangkap kalau dia harus memperdalam lagi
melalui buku itu.
"Punya siapa
buku-buku ini?" tanya Rangga.
Kepala rajawali
putih menengok ke belakang.
"Jadi pemilik buku dan semua yang ada di sini, telah
meninggal? Siapa dia sebenarnya?"
Paruh rajawali putih mematuk-matuk dinding goa.
"Sebelah
mana?"
Dengan paruhnya rajawali itu menunjuk ke arah kanan. Rangga
mengikuti arah yang ditunjukkan. Dia hanya mendapatkan sebuah dinding batu
tebal dan berlumut
"Khraghk" rajawali putih memutar-mutar kepalanya
beberapa kali.
Rangga menoleh. Dia melihat rajawali masih terus memutar-mutar
kepalanya. Rangga berpikir sejenak dengan dahi sedikit berkerut serta mata agak
menyipit, lalu mengangguk. Dengan langkah mantap didekatinya dinding itu.
Tangan kanannya mendorong, tapi dinding batu itu tak bergeser sedikit pun.
"Krhaghk!"
"Baiklah, aku
sekarang mengerti," sahut Rangga.
Rangga mundur dua tindak. Dipusatkan perhatiannya pada
dinding batu itu. Dengan cepat kedua teiapak tangannya yang terbuka mendorong
ke depan. Seketika itu juga terdengar suara ledakan yang dahsyat, disusiil
getaran seluruh dinding goa.
Dengan mata terbelalak, Rangga menyaksikan dinding batu di
depannya itu bergeser ke samping. Suara geseran batu itu menimbulkan gemuruh,
seakan-akan seluruh dinding goa akan runtuh. Matanya makin terbelalak setelah
dinding batu itu terbuka lebar.
Sebuah ruangan yang agak lebar nampak, bersamaan dengan
berhenrinya suara gemuruh itu, Seberkas cahaya terang memancar dari api yang
berasal dari tengah lubang sebuah batu. Tidak ada apa-apa di ruangan itu
kecuali sebuah batu yang menyerupai altar. Benda itu terletak di tengahtengah
ruangan. Sebuah buku kumal tergeletak di atasnya.
Rangga melangkah masuk.
Didekatinya batu altar yang hitam pekat. Tangannya meraih buku kumal dan
membuka halaman pertama buku itu. Berkerut kening Rangga ketika membaca halaman
pertamanya....
***
Rangga kini tahu siapa yang sebenamya menempati goa ini
sebelumnya. Dia adalah seorang tokoh yang tak tertandingi selama kurun waktu
seratus tahun lalu. Seorang tokoh yang bergelar Rajawali Sakti yang
bertahun-tahun malang melintang di rimba persilatan. Sampai akhirnya tokoh itu
mengasingkan diri di dasar Lembah
Bangkai.
Buku kumal yang diambil Rangga dari atas altar itu memang
dapat bercerita banyak. Hingga pada akhirnya dia tahu bahwa goa besar yang
telah jadi tempat tinggalnya selama lima belas tahun adalah tempat tinggal
burung rajawali raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan buku itu
juga menceritakan tentang sepak terjang pendekar itu selama berkelana di dunia
persilatan.
Selama dalam pengasingan diri itu, temyata Pendekar Rajawali
Sakti telah menuliskan seluruh ilmunya ke dalam buku. Hal inilah yang membuat
Rangga kian gembira karena juga ditemuinya buku yang berisi jurus-jurus silat
Pendekar Rajawali
Sakti.
Belum lagi puas rasa kagumnya, Rangga kembali terkagum dengan
sebuah peninggalan Pendekar Rajawali Sakti. Sebuah pedang pusaka yang sangat
ampuh.
Pedang itu memancarkan sinar biru kemilauan, dengan gagang
berbentuk kepala rajawali yang terbuat dari emas murni. Pengaruh pedang itu
memang dahsyat Seluruh aliran darah Rangga terasa bergetar ketika mencabut
pedang itu dari sarungnya. Kekaguman Rangga tak terhenti sampai di situ.
Dicobanya pedang telanjang itu pada sebuah batu sebesar kerbau. Dan hanya
sekali tebas saja, batu hancur berkeping-keping!
"Khraaaghk...!"
Rangga menoleh ke arah Rajawali yang
sejak tadi mengawasi dari mulut goa. Dia segera memasukkan pedang itu ke dalam
sarungnya. Kepala burung raksasa terangguk-angguk sambil mengeluarkan suara
yang memekakkan telinga. Rangga tersenyum.
Dia tahu kalau burung itu menyatakan
kegembiraannya.
Rajawali putih gembira karena Rangga tidak mendapat pengaruh
yang berarti sewaktu memegang dan menebaskan pedang pusaka itu. Sebab tak
sembarang orang dapat meiakukannya. Kalau bukan jodohnya dapat ambruk muntah
darah meski belum mencabut dari sarungnya.
"Ya, ya...! Mudah-mudahan
aku bisa mengikuti jejak Pendekar Rajawali Sakti," kata Rangga menyahuti
gerak-gerak kepala burung itu.
"Khraaaghk..!" burung rajawali seakan-akan
menyambut gembira ucapan Rangga itu.
Dilampiaskan kegembiraannya itu dengan mengepak-ngepakkan
sayap dan terbang berputarputar. Suaranya memekakkan telinga.
"Rajawali, sudah! Aku juga gembira!" teriak
Rangga yang sudah berada di luar
goa.
Burung itu segera menukik turun di depan Rangga. Kepalanya
mendesak-desak wajah Rangga. Rangga memeluk penuh kasih sayang. Dia berjanji
dalam hati akan menuntaskan seluruh ilmu-ilmu Pendekar Rajawali Sakti sekaligus
menyempurnakannya.
Tiba-tiba Rangga teringat akan ayah ibunya yang telah
terbunuh. Hatinya mendadak panas terbakar dendam. Dia bertekad akan mencari
pembunuh orang tuanya setelah menguasai seluruh ilmu Pendekar Rajawali Sakti.
Kemurungan yang tergambar di wajah Rangga terlihat oleh burung rajawali. Mata
bulat merah menatap lurus ke wajah Rangga. Sepertinya ikut merasakan kepedihan
yang melanda hati anak muda ini.
"Maaf, seharusnya aku tidak boleh sedih," ucap
Rangga pelan.
Kepala burung rajawali menggeleng-geleng pelan. Sinar
matanya redup. Seolah ingin mengatakan agar Rangga mengeluarkan seluruh isi
hati kepadanya.
"Aku harus membalas kematian ayah dan ibu," ucap
Rangga sedikit geram.
"Khraghk!" burung rajawali putih menganggukangguk
seperti menyetujui ucapan Rangga.
"Ya..., ya. Aku juga harus membasmi segala bentuk
kejahatan di atas bumi ini.
Rajawali berseru nyaring.
Kata-kata Rangga membuat hatinya senang. Dulu majikannya juga seorang pendekar
yang selalu membasmi kejahatan dan membantu yang lemah. Kini Rangga yang
diasuhnya sejak kecil juga memiliki jiwa tuhur dan berhati bersih. Rajawali
gembira karena telah mendapatkan pengganti Pendekar Rajawali Sakti yang telah
lama meninggal dunia.
***
Rangga kini menyempurnakan jurus-jurusnya berdasarkan buku
petunjuk peninggalan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap Rangga berlatih, maka
burung rajawali putih selalu menemani dan memberi petunjuk dengan bahasa
isyarat.
Satu persatu jurus-jurus sakti yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti
disempumakannya. Waktu terus berjaian hingga tak terasa lima tahun telah
berlalu. Rangga kini telah mencapai tingkat terakhir jurus Rajawali Sakti.
Bahkan kini Rangga berhasil menggabungkan empat jurus
andalannya yang memang sebelumnya sangat dahsyat. Gabungan empat jurus andalan
itu dinamakan jurus 'Seribu Rajawati'. Kedahsyatan ilmu itu, Rangga bagaikan
menjelma menjadi burung rajawali. Kece¬patan geraknya sangat luar biasa.
Gerakan itu membuat Rangga seperti menjadi seribu jumlahnya. Dengan jurus ini
dia dapat bertarung di darat dan di udara tanpa kesulitan apa-apa.
"Khraaaghk...!" rajawali raksasa berseru nyaring
ketika Rangga menyelesaikan jurus terakhirnya.
Rangga menoleh dan tersenyum. Tubuhnya yang, tegap dan kekar
tampak bercahaya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya bagai butir-butir permata
tertimpa sinar matahari. Rangga tersenyum puas melihat kehebatan jurus
terakhirnya.
"Bagaimana,
rajawali?" tanya Rangga.
"Khraaaghk!" rajawali mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Ada yang
kurang?"
Rajawali
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku merasa sudah waktunya meninggalkan lembah
ini," agak pelan suara Rangga menyampaikan maksud itu.
Rajawali raksasa menatap lurus ke bola mata Rangga. Seperti
berat untuk berpisah dengan aark muda ini. Dua puluh tahun mereka bersama dan
kini saatnya berpisah. Rangga harus mencari pembunuh orang tuanya.
"Setiap saat kita bisa berternu," kata Rangga
seperti mengerti perasaan rajawali itu. Sebenarnya dia juga berat untuk
meninggalkan lembah ini. Tapi dia harus membalas kematian orang tuanya.
Mata rajawali masih menatap ke bola mata
Rangga.
"Aku sudah menguasai ilmu 'Siulan Sakti' jadi kau dapat
kupanggil dalam jarak jauh sekalipun," kata Rangga lagi.
Burung rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepertinya
dia telah merasa lega mendengar Rangga berhasil menguasai ilmu 'Siulan Sakti*.
Dengan ilmu itu mereka bisa bertemu setiap saat. Dengan demikian ikatan batin
makin terjalin erat.
"Kau tidak keberatan kalau aku memakai nama Pendekar
Rajawali Sakti?" Rangga meminta persetujuan.
"Khraghk!" rajawali raksasa itu menganggukangguk
tanda setuju.
"Mudah-mudahan mendiang Pendekar Rajawali Sakti juga
menyetujui," gumam Rangga pelan.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba kilat menyambar beberapa
kali disertai suara gemuruh. Padahal iangit saat itu cerah sekali. Bahkan kabut
tebal yang biasanya menyelimuti lembah tak nampak sejak tadi pagi.
Rangga mendongakkan kepalanya. Gumamnya seolah terdengar
oleh Yang Maha Kuasa. Kilat yang menyambar disertai suara gemuruh seperti
pertanda Pendekar Rajawali Sakti telah menitis ke dalam tubuh Rangga. Ini
berarti pemuda tampan dan gagah itu berhak memakai julukan Pendekar
Rajawali Sakti.
Rasa terkejut dan gembira belum lagi hilang, tiba-tiba dasar
Lembah Bangkai bergetar hebat bagai gempa. Bersamaan dengan itu burung rajawali
raksasa mengeluarkan suara nyaring sambil mengepak-ngepakkan sayapnya, namun
tak terbang. Rangga tidak mengerti dengan kejadian yang tibatiba ini. Dia heran
kenapa burung itu juga mendadak seperti gila.
Belum terjawab apa yang jadi tanda tanya di dalam benaknya
itu, mendadak tanah kuburan yang berada di depan Rangga terbongkar disertai
suara ledakan dahsyat. Rangga melompat mundur satu tombak. Dia tercenung
melihat rajawali putih menekuk kedua kakinya. Kepalanya tertunduk dalam. Kedua
sayapnya terbentang lebar menutupi rerumputan di sekitarnya.
Tiba-tiba Rangga terkejut. Dari dalam kuburan yang
terbongkar, keluar asap biru bergulung-gulung. Semakin lama semakin tinggi ke
angkasa, kemudian lenyap bersamaan dengan munculnya seorang lalulaki berwajah
tampan dan gagah berdiri di atas tanah kuburan yang berlubang besar.
Rajawali putih menoleh kepada Rangga lalu memberi isyarat
agar Rangga berlutut. Walaupun benaknya masih bertanya-tanya, Rangga berlutut.
Dia tidak mengenal laki-laki tampan itu.
"Maaf, siapakah Kisanak sebenarnya?" sopan dan
lembut suara Rangga.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki
tampan itu.
"Oh!" Rangga tersentak kaget. Segera dia memberi
hormat.
"Bangunlah, anak muda," kata
Pendekar Rajawali
Sakti pelan berwibawa.
Rangga berdiri agak ragu-ragu. Sekali lagi dia menghormat.
"Bertahun-tahun aku menginginkan seorang murid yang
bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmuku. Akhimya, harapanku terkabul. Meskipun tak
langsung kau peroleh dariku, namun aku bangga kau dapat menguasai seluruh ilmu
'Rajawali Sakti'. Bahkan kau mungkin lebih sempurna daripada diriku," ujar
Pendekar Rajawali Sakti.
"Mohon ampun jika hamba yang hina ini berlaku
lancang," ucap Rangga dengan tutur bahasa indah. Semua kata-kata itu
didapatkannya dari salah satu buku yang terdapat dalam goa.
"Tidak ada yang salah pada dirimu, Rangga. Aku merasa bangga.
Kau memang pantas menyandang gelar Pendekar Rajawali Sakti. Tutur kata dan budi
pekertimu tak kusangsikan lagi. Hanya satu yang
masih mengganjal hatiku."
"Hamba mohon
petunjuk guru."
"Kau belum bisa menghilangkan rasa dendam dalam
hatimu!"
Rangga tertunduk saja. Dia memang ingin balas dendam atas
kematian orang tuanya. Batinnya belum tenang kalau dia tidak melaksanakan niat
itu. Rangga ingat betul saat kedua orang tuanya dibunuh di depan matanya
sendiri.
"Aku dapat merasakan kegundahanmu, Rangga," kata
Pendekar Rajawali Sakti lembut.
"Hamba mohon ampun, Guru," ucap Rangga pelan.
"Kau tak bersalah, Rangga. Memang sudah menjadi
kewajiban seorang anak membela martabat orang tuanya. Kau boleh saja membalas
kematian orang tuamu. Hanya, ada satu permintaanku."
"Apa itu,
Gum?"
"Sebelum kau tinggalkan tempat ini, sebaiknya
bersemedilah selama tujuh hari. Bersihkan dulu jiwa dan ragamu dari nafsu
duniawi yang dapat
menjeratmu ke lembah nista."
"Baik, Gurum. Akan hamba laksanakan semua titah
Guru."
"Bagus! Rajawali putih akan menemanimu bersemedi. Dia
juga akan menunjukkan tempat yang
baik untuk bersemedi."
"Terima
kasih, Guru." .
"Nah! Mulai sekarang kau berhak menyandang gelar
Pendekar Rajawali Sakti yang kau inginkan itu!"
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jelmaan
Pendekar Rajawali Sakti menghilang.
Seketika itu pula kuburan yang berlubang terrutup kembali, disusul oleh suara
guruh disertai kilat yang menyambar-nyambar. dengan sekejap, langit kembali
cerah seperti semula.
Rangga menghormat sekali lagi, lalu berpaling menatap
rajawali yang berdiri kokoh. Sesaat mereka saling pandang. Kepala burung itu
menggeleng lalu menoleh ke belakang. Rangga mengerti maksudnya. Dengan tangkas
dan ringan dia melompat, hinggap di punggung rajawali putih. "Khraagk...!"
Bagai anak panah lepas dari busurnya, rajawali putih melesat
mengangkasa. Dalam sekejap saja mereka telah berada di udara meninggalkan
Lembah Bangkai di kaki bukit Cubung. Rangga menoleh ke bawah. Lembah Bangkai
bagaikan sebuah garis hitam di antara permadani hijau yang luas.
"Kau bawa ke
mana aku?" tanya Rangga.
"Khraaaghk!" sahut rajawali terns terbang menuju
Utara.
"Di sanakah aku harus bersemedi?" tanya Rangga
lagi.
"Khraghk!" Kepala rajawali
terangguk-angguk.
***
Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat inilah
yang pertama diinjaknya setelah keluar dari Lembah Bangkai. Sebuah daerah
berbukit batu cadas. Gersang dan tanpa sebatang pohon pun tumbuh di situ. Di
sekelilingnya hanya batu-batuan yang membukit.
Dengan ujung paruhnya, rajawali
putih mematuk-matuk sebuah batu besar yang pipih. Rangga memandang batu itu,
lalu kembali mengedarkan pandangannya. Matanya menatap ke bola mata rajawali.
"Di sini tempatnya?" tanya Rangga belum yakin.
Bagaimana mungkin bersemadi di daerah gersang seperti ini. Tempatnya di sebuah
batu di tengahtengah bukit, yang panas menyengat pada siang hari, dan dingin
menusuk pada malam hari. Rangga menjadi yakin. Di mana pun tempatnya, harus
dilaksanakan titah Pendekar Rajawali Sakti.
Tepat purnama Rangga hams memulai semadinya. Rangga
mendongakkan kepalanya. Matahari sudah condong ke Barat. Sebentar lagi malam
tiba, dan purnama tepat jatuh pada malam ini. Rangga harus menyiapkan diri dari
sekarang untuk bersemadi. Proses terakhir yang sangat berat dalam latihan
kesempurnaan seorang pendekar.
Apapun beratnya, Rangga tak perduli. Hatinya mantap. Tak ada
artinya gemblengan berat di Lembah Bangkai jika harus ciut hatinya menjalani
tahap akhir dari rangkaian ilmu Rajawali Sakti. Satu tahapan yang paling berat.
Bersemadi dan berpuasa selama tujuh hari tujuh malam.
Matahari telah tenggelam. Rangga telah bersila dan kedua
telapak tangannya merapat di depan dada. Kepalanya tertunduk, perhatiannya
terpusat pada mata hatinya. Pikirannya kosong. Seluruh indranya tertutup.
Sementara itu rajawali putih
mendekam tidak jauh dari Rangga. Malam teruss merambat. Dingin mulai menusuk.
Namun Rangga telah menutup indra yang berhubungan dengan dunia luar. Dia merasa
seperti hidup di alam lain.
***
5
Di lereng bukit Cubung, siang itu mendung. Awan hitam
bergulung-gulung di angkasa menutupi cahaya matahari. Angin berhembus keras
merontokkan dedaunan. Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan lebat.
Keadaan alam yang tak menguntungkan itu, tidak menghalangi
seorang penunggang kuda untuk memacu dengan cepat melintasi lereng bukit
Cubung. Penungggang kuda itu laki-laki tampan dan gagah. Dilihat dari dua buah
pedang kembar di punggungnya, penunggang kuda itu tak lain dari Kala Srenggi.
"Berhenti...!"
Kala Srenggi terkejut mendengar bentakan yang keras. Seketika
dia menarik tali kekang kudanya. Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat dua
kaki depannya, lalu berhenti.
Kala Srenggi mengedarkan pandangannya. Tak ada seorang pun
terlihat di sekitar situ. Kala Srenggi yakin pasti orang yang membentak itu
mempunyai kepandaian yang tinggi. Segera dia waspada.
"Siapa pun adanya, keluar! Jangan seperti tikus busuk
bersembunyi dalam got!" teriak Kala Srenggi dibarengi penyaluran tenaga
dalam yang besar sehingga menggema ke selumh bukit.
Begitu hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Kala Srenggi,
sehingga hembusan angin berhenti seketika. Matanya kembali beredar ke
sekelilingnya. "He he he..., ternyata Si Samber Nyawa hanya mengandalkan
bacot!" terdengar suara ejekan menggema.
"Monyet buntung! Kalau punya nyali, keluar!" Kala
Srenggi panas.
"Sejak tadi
aku di sini, Kala Srenggi."
Rasa terkejut Kala Srenggi bagai disengat ribuan tawon. Dia
cepat melompat dari punggung kudanya. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba
telah berdiri seorang kakek di atas batu besar. Kala Srenggi tahu kalau kakek
itu seorang tokoh sakti yang bernama
Empu Danuraga, atau biasa dijuluki
Si Gila Pembuat Pedang.
Empu Danuraga seorang tokoh tua yang sangat disegani.
Meskipun sikap dan tingkat lakunya ugalugalan, tetapi dia termasuk tokoh aliran
putih. Banyak tokoh hitam yang tunduk dan tewas di tangannya. Caranya berdiri
di atas batu itu juga seperti bocah. Dia bertumpu pada sebatang pedang hitam
jengat dan sebelah kakinya ditekuk bersilang.
"Ada urusan apa kau menghalangi jalanku, Kakek
tua" tanya Kala Srenggi dingin.
"He he he..., aku hanya minta
ditemani," sahut
Empu Danuraga. Tangannya
menimang-nimang pedang hitam, bagai menimang boneka.
"Aku tak sempat menemanimu. Ada urusan yang lebih
penting!" Kala Srenggi melompat ke punggung kudanya.
Namun belum sempat duduk, tiba-tiba sepotong ranting kering
meluncur cepat ke arahnya. Kala Srenggi dengan cepat berkelit. Dengan ujung
jari, disentilnya ranting itu. Tubuh Kala Srenggi lalu bersalto di udara,
kembali turun dengan manis.
"He he he..., Samber Nyawa ternyata bukan hanya nama
kosohg," lagi-lagi Empu Danuraga mengejek.
"Empu gila!" bentak Kala Srenggi gusar. "Aku
tidak ada urusan denganmu. Mengapa kau halangi jalanku?"
'Tidak ada urusan katamu? He he he.... Rupanya kau sudah
pikun, Kala Srenggi. Aku sengaja meninggalkan gubukku untuk mencarimu. Kau
berhutang nyawa pada cucuku!"
"Jangan mencari-cari perkara, Empu
Danuraga.'
Aku tidak kenal dengan cucumu!"
Empu Danuraga mendengus sambil menghentakkan pedang hitam
nya ke atas batu. Dengan cepat dia melompat ke arah Kala Srenggi. Batu yang
terkena hantaman pedang hitam tadi berderak, lalu hancur luluh seperti tepung.
Kala Srenggi terperanjat melihat kehebatan kakek tua itu.
Kala Srenggi melihat jelas kalau pedang tadi hanya
dihentakkan satu kali. Hentakannya pun biasa saja, namun hasilnya sangat
mengejutkan. Batu sebesar kerbau hancur jadi serpihan! Sungguh luar biasa
tenaga dalam dan pedang hitam Empu Danuraga. Tidak mustahil pedang hitam itu
merupakan senjata pusaka ampuh dan dahsyat.
“Tiga tahun bukan waktu yang lama, Kala Srenggi” dengus Empu
Danuraga geram. "Apa kau sudah lupa dengan peristiwa tiga tahun yang lalu
di
Padepokan Banyu Larang?"
Tentu saja Kala Srenggi tidak lupa. Padepokan Banyu Larang
adalah tempat pertama dia menunaikan tugas yang diberikan oleh Geti Ireng.
Seluruh murid-murid di Padepokan itu dibabatnya, karena tidak bersedia mengakui
Panji Tengkorak sebagai partai terbesar dan induk seluruh partai.
Ada seorang anak muda yang menjadi tamu
di
Padepokan Banyu Larang, terbunuh
oleh Kala Srenggi. Apakah pemuda yang mencoba membunuhnya itu cucu Empu
Danuraga? Dilihat dari jurus dan kesaktiannya, memang mirip dengan jurus silat
Empu Danu raga.
"Kau membunuh seorang utusan pribadiku! Kau tahu, siapa
tamu yang kau bunuh di Padepokan Banyu Larang?" geram Empu Danuraga.
Matanya tajam menatap Kala Srenggi.
"Aku tidak perduli siapa dia!" sahut Kala Srenggi
getir.
"Dia
cucuku!"
Kala Srenggi tak terkejut lagi. Sudah diduganya sejak semula
kalau anak muda itu adalah cucu Empu Danuraga.
"Hutang pati bayar pati, hutang nyawa bayar
nyawa!" lanjut Empu Danuraga lalu bersiap-siap menyerang Kala Srenggi.
Kala Srenggi segera bersiap-siap pula. Dia sudah mendengar
tentang kehebatan tokoh tua ini, maka dengan segera dicabut pedang kembarnya.
Mata pedang yang keperakan itu bersinar menyilaukan tertimpa cahaya matahari
yang telah kembali bersinar. Disilangkan kedua pedang di depan dada.
Kaki kanannya ditekuk ke depan
sedikit. Itulah pembukaan jurus 'Pedang Kembar’ Jurus dahsyat yang jadi salah
satu andalan Kala Srenggi.
"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh melihat
pembukaan jums 'Pedang Kembar'. "Mainan bocah ingusan jangan kau pamerkan
di hadapanku."
"Rasakan pedang kembarku, kakek sinting!" Kala
Srenggi segera menerjang dengan jurus-jurus ampuh-nya.
Empu Danuraga terkekeh sambil berkelit sedikit ke kiri dan
ke kanan, menghindari sabetan dan tusukan pedang kembar.
Jurus 'Pedang Kembar' yang dimainkan Kala Srenggi memang
hebat. Gerakannya cepat sehingga bentuk pedangnya tidak nampak lagi. Yang
terlihat hanya seberkas sinar kembar berkelebatan mengurung Empu Danuraga.
Namun begitu, Empu Danuraga tenang saja. Bahkan kedua kakinya tidak bergeser
sedikit pun. Suara tawanya terus terdengar.
"Setan tua!" Jangan katakan aku kejam jika kau
mampus di ujung pedangku!" dengus Kala Srenggi melihat lawannya hanya
berkelit saja.
"Sudah kukatakan, pedangmu hanya mainan bocah
ingusan!" ejek Empu Danuraga. Wut!
Kala Srenggi merobah serangannya. Kali ini digunakannya
jurus 'Dua Mata Pedang Maut'. Jurus ini lebih hebat lagi. Kala Srenggi bahkan
hanya terlihat bayangannya saja. Melompat ke segala penjuru dengan kedua pedang
menyambarnyambar.
Trang!
Kali ini Empu Danuraga terpaksa menggunakan pedang hitamnya
untuk menangkis serangan lawan. Dalam hati dia mengagumi jurus-jurus yang
dimainkan Kala Srenggi. Pijaran api memercik ketika pedang mereka berbenturan.
Di pihak Kala Srenggi, dia juga mengakui kehebatan kakek
ini. Tangannya selalu terasa kesemutan jika salah satu pedangnya membentur
pedang Empu Danuraga. Tapi berkat
ketrampilannya memainkan dua pedang yang dibarengi pengerahan tenaga dalam,
Kala Srenggi masih mampu melakukan serangan-serangan berbahaya.
Lima belas jurus telah berlalu. Belum ada seorang pun
kelihatan terdesak. Empu Danuraga sendiri sudah membuka serangan berbahaya
dengan jurus-jurus andalannya. Kini dua puluh jurus berlalu, namun belum juga
ada yang terdesak.
Merasa tidak mungkin
mengalahkan Empu Danuraga dengan ilmu pedang, Kala Srenggi melompat ke luar
pertarungan sejauh dua tombak. Segera kaki-nya melebar. Kedua tangannya
menjulur ke atas. Kedua tangan itu pelan-pelan turun menekuk sejajar ketiak.
Kala Srenggi membuka 'Ajian Tapak Beracun'.
***
"Tunggu!" sentak Empu Danuraga tiba-tiba.
"Kau takut dengan 'Ajian Tapak Beracun' ku!" ejek Kala Srenggi
"Meski kau gunakan nama lain untuk ajianmu itu, aku
bisa kenali kalau ajian itu adalah gerakan 'Aji Racun Merah'! Ada hubungan apa
kau dengan
Setan Racun Merah?"
"Apa pedulimu dengan tua bangka tolol itu?" dengus
Kala Srenggi.
"Apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?" desak
Empu Danuraga.
"Ha ha ha...!" Kala Srenggi hanya tertawa. Empu
Danuraga mengkeretkan gerahamnya. Sinar matanya tajam menatap Kala Srenggi.
Hampir sepuluh tahun dia tidak pernah mendengar kabar Setan Racun Merah. Dan
sekarang, tiba-tiba saja jums ampuh itu diperagakan Kala Srenggi. Walau dengan
nama lain, tetapi Empu Danuraga masih bisa mengenali dengan baik. Lebih- lebih
ketika melihat kedua telapak tangan Kala Srenggi memerah seperti terbakar.
"Kau memiliki 'Aji Racun Merah', tentunya kau kenal
baik dengan Setan Racun Merah. Katakan, di mana dia sekarang?" dingin
suara Empu Danuraga.
"Dia sudah
mati!" Kala Srenggi datar.
"Edan! Jangan main-main, Kala Srenggi!" Empu
Danuraga gusar merasa dipermainkan.
"Siapa yang main-main? Dia sudah mati setelah
menurunkan 'Aji Racun Merah' padaku!"
"Jadi... kau
muridnya?"
"Kalau
benar, kau mau apa?"
"Setan busuk!" dengus Empu Danuraga geram.
"Sepuluh tahun aku menunggu, ternyata dia sudah mati! Huh, sia-sia semua
yang kulakukan selama sepuluh tahun!"
Kala Srenggi mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti
kenapa Empu Danuraga seperti menyesali kematian Setan Racun Merah. Adakah
hubungan istimewa antara dua orang itu?
"Di mana dia dikuburkan?" tanya Empu
Danuraga lagi.
"Untuk apa
kau ketahui?" balas Kala Srenggi.
"Aku harus
tahu kuburnya!"
"Tidak
seorang pun boleh tahu!"
"Setan alas!" geram Empu Danuraga. Kala
Srenggi terkejut setengah mati
melihat perubahan paras Empu Danuraga. Seluruh wajah kakek itu mendadak menjadi
hitam legam bagai arang. Tanpa disadari, Empu Danuraga mengerahkan 'Aji Klabang
Geni'. Satu ajian yang sangat dahsyat dan sulit dicari tandingannya.
Tiba-liba saja
Kala Srenggi teringat pesan Setan
Merah sebelum menghembuskan napasnya
yang terakhir. Dia harus menghindari bentrokan dengan Empu Danuraga.
Lebih-lebih jika kakek ini sudah mengerahkan 'Aji Klabang Geni’. Tidak mungkin
Kala Srenggi dapat menandingi meski menggunakan
'Aji Racun Merah' sekalipup.
"Baiklah!" gumam Kala Srenggi sambil menarik
kembali ajiannya itu. "Kuburan Setan Racun Merah ada di puncak Gunung
Cupul"
Empu Danuraga hanya mendengus pendek, lalu membalikkan
tubuhnya. Wajahnya kembali seperti biasa. Sinar matanya mulai redup. Namun
tidak mengurangj ketajamannya.
"Setan Racun Merah sudah mati, untuk apa kau menanyakan
kuburannya?" tanya Kala Srenggi ingin tahu.
"Aku ingin membuktikan ucapanmu!" sahut Empu
Danuraga datar.
"Lalu apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?"
"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh.
"Apakah kau akan membela
gurumu?"
"Tanpa Setan Racun Merah, antara kita sudah punya
urusan."
"Kau akan
tahu nanti, Kala Srenggi!"
"Hey...!"
Empu Danuraga mencelat bagai kilat. Sekejap saja tubuh Empu
Danuraga lenyap dari pandangan mata. Kala Srenggi tidak mungkin mengejar meski
dia tahu ke arah mana kakek itu pergi.
"Kelak aku akan mencarimu, Kala Srenggi. Persoalan kita
belum selesai!" tiba-tiba suara Empu Danuraga bergema.
Kala Srenggi terkejut. Dia tahu itu suara Empu Danuraga.
Suara yang dihembuskan dengan jelas tanpa diketahui ujudnya. Sungguh suatu ilmu
yang hebat. Lama juga Kala Srenggi mematung. Katakata Empu Danuraga tidak bisa
dianggap mainmain. Entah kapan, pasti dia akan mencari dan menuntut balas atas
kematian cucunya.
"Hhhh...!" Kala Srenggi menarik napas panjang.
Terselip rasa sesal membiarkan
seorang murid Padepokan Banyu Larang lolos. Sebenarnya bisa saja dikejar, tapi
Kala Srenggi terlalu sibuk menghadapi ketua Padepokan itu. Tentu orang yang
lolos itulah yang memberitahu Empu Danuraga tentang peristiwa di Banyu Larang.
Kala Srenggi rnenghembuskan napasnya dalam dalam. Sudah kepalang
basah, pesan Setan Racun Merah terpaksa dilanggarnya. Toh ini bukan
kesengajaan. Jika pada akhirnya harus bentrok dengan Empu Danuraga, dengan
terpaksa harus dihadapinya walau Setan Racun Merah sendiri tak mampu
mengalahkan Empu Danuraga. Apalagi dirinya?
Kala Srenggi dengan sigap
melompat ke punggung kudanya. Segera kuda itu melesat setelah Kala Srenggi
menggepraknya. Debu-debu beterbangan diterjang kaki-kaki kuda yang bagaikan
terbang itu.
***
Di depan sebuah kedai satu-satunya di dukuh Giring, Kala
Srenggi menghentikan kudanya. Seperti ingin memamerkan ilmu ringan tubuhnya,
dia melompat dengan indah dari punggung kuda. Dengan langkah tegap dan
pandangan Jurus ke depan, dia memasuki kedai itu.
Matanya langsung tertuju pada
Saka Lintang dan tiga orang laki-laki berwajah kasar. Mereka duduk menghadapi
meja yang penuh dengan makanan. Kala Srenggi segera menghampiri dan duduk di
antara mereka. Ketiga laki-laki yang bersama Saka Lintang adalah pengawal
pribadi gadis ini. Julukan mereka Tiga Serangkai Rantai Baja.
"Kau terlambat, Kala Srenggi," kata Saka Lintang,
Kembang Lembah Tengkorak. Suaranya datar tanpa tekanan sedikit pun. Bicaranya
pun tanpa menoleh karena sibuk dengan makanannya.
"Ada hambatan kecil," sahut Kala Srenggi sambil
menuang arak ke dalam gelas bambu.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu, aku perlu
laporanmu!" masih datar suara Saka Lintang.
"Gagal,"
pelan suara Kala Srenggi.
Brak!
Gebrakan Saka Lintang membuat meja bergetar yang digebraknya
bergetar dan pecah jadi dua. Seluruh makanan dan minuman yang ada di atasnya,
beran-takan bersamaan dengan tergulingnya meja itu. Tiga laki-laki yang duduk
di depan Saka Lintang melompat.
Beberapa pengunjung kedai segera lari ke luar ketakutan.
Bagi pengunjung yang bernyali besar, tetap duduk tenang di meja masing-masing.
"Semua bukan salah ku, tapi ini!" Kala Srenggi
sengit. Dijambretnya kalung berkepala tengkorak yang melilit lehernya.
Melihat kalung yang menjuntai di tangan Kala Srenggi,
pengunjung kedai yang masih bertahan, segera ambil langkah seribu. Mereka tidak
ingin berurusan dengan kelompok Panji Tengkorak.
Kalung itu merupakan tanda keanggotaan Panji Tengkorak.
"Geti Ireng menginginkan Kadipaten Karang
Setra. Dan kau menugaskan aku menyelusup ke benteng Kadipaten. Pekerjaan itu
memang mudah, tapi dengan benda ini apa jadi gampang? Mereka semua kenal tanda
ini, Lintang!" Kala Srenggi mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Lihat! Semua orang lari ketakutan melihat kalung ini!"
Saka Lintang juga mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan
yang kini sepi. Matanya tertumbuk pada salah satu meja di sudut. Ternyata masih
ada beberapa orang yang masih bertahan di kedai ini. Ada lima orang yang masih
duduk melingkari meja. Mereka seperti tak peduli dengan keadaan kedai.
"Simpan kalung itu, dan segera temui ayah!" kata
Saka Lintang Matanya masih menatap ke arah sudut ruangan.
"Di mana
Geti Ireng?" tanya Kala Srenggi.
"Di
penginapan Mawar Jingga."
Kala Srenggi memakai kembali kalungnya, kemudian melangkah
ke luar kedai. Penginapan Mawar Jingga berada di perbatasan antara dukuh Giring
dengan dukuh Merang. Geti Ireng selalu menggunakan penginapan itu jika ke luar
dari
Lembah Tengkorak.
Baru saja Kala Srenggi ke luar, dia kembali lagi dan berdiri
di depan pintu. Mukanya merah padam seperti menahan marah.
"Ada apa?" tanya Saka Lintang. Kala Srenggi tak
menyahut. Dilemparkannya sebuah ruyung ke arah Saka Lintang. Dengan tangkas
gadis itu menangkapnya. Ruyung itu terbungkus selembar daun lontar yang diikat
dengan pita merah.
Saka Lintang mendelik setelah mengetahui isinya. Daun lontar
itu bertuliskan sebaris kalimat,
"Kalian anggota Panji
Tengkorak, hams mampus di tangan kami!" Saka Lintang segera menatap kelima
orang yang masih acuh di sudut.
"Kurang ajar!" desis Saka Lintang seraya meremas
daun lontar hingga remuk.
Tiga serangkai Rantai Baja segera mengarahkan pandangannya
ke sudut. Kala Srenggi juga menatap ke arah yang sama. Tiba-tiba tatapannya
terganggu oleh suara desis kuda yang ada di luar. Betapa terkejutnya Kala
Srenggi ketika melihat kudanya telah mati. Dan yang paling membuatnya geram
adalah kematian kudanya yang disebabkan oleh ruyung yang menancap di leher.
Ruyung itu kecil, tapi sanggup membunuh kuda tanpa menimbulkan suara sedikit
pun.
"Kala Srenggi, cepat temui ayah! Biar aku yang
membereskan tikus-tikus ini!" sem Saka Lintang.
'Tidak!" dengus Kala Srenggi gusar. "Nyawa kudaku
harus ditebus dengan seribu nyawa!"
Kala Srenggi menatap Saka Lintang. Gadis itu memperhatikan
myung pembunuh kuda yang masih di genggaman tangannya. Dia tadi tak melihat bercak
darah yang masih baru pada ruyung itu. Tak disangka benda sekecil Ini bisa
menewaskan seekor kuda.
Kelima orang yang berada di sudut kedai berdiri. Mereka
segera menuju ke pintu keluar tanpa mempedulikan empat orang yang dilanda
geram.
Langkah kelima orang-itu terhenti ketika Tiga
Serangkai Rantai Baja melompat menghadang.
"Maaf, kami mau keluar," kata salah seorang dengan
sopan.
"Sebelum kuijinkan keluar, sebutkan dulu nama dan dari
mana asal kalian!" dengus salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai Baja
yang bernama Matsyabaja. Yang dua orang lagi bernama Bayubaja dan Wratbaja.
"Aku yang tertua bernama Langlang Pari, dan keempat
adikku bernama, Baga Pari, Tatra Pari, Kanta Pari, dan Dadap Pari," sahut
Langlang Pari memperkenalkan yang lainnya. Mereka lima bersaudara.
Kala Srenggi segera melompat ke depan. Wajahnya makin merah
membara. Matanya menyalanyala tajam dengan geraham gemerutuk menahan amarah.
Tidak salah lagi, lima orang yang berada di depannya kini adalah Lima Pari
Emas. Andalan mereka adalah senjata rahasia berupa ruyung yang sangat kecil.
Biasanya ruyung itu mengandung racun yang mematikan. Pantas saja kalau kudanya
mati seketika tanpa menimbulkan suara.
Sebenarnya bukan ruyung kecil itu saja yang menjadi andalan
mereka berlima. Mereka juga ahli ilmu pedang, di samping aji-aji kesaktian
lainnya yang tidak bisa dianggap remeh.
"Kalian harus bayar nyawa
kudaku!" geram Kala
Srenggi.
"Berapa harga kudamu?" tanya Langlang Pari acuh.
"Setan! Nyawa kalian berlima belum cukup mengganti
kudaku!"
"Apakah kudamu lebih berharga dari nyawamu
sendiri?"
Kala Srenggi tidak dapat lagi menahan amarahnya. Segera
dicabutnya pedang kembarnya.
Sret!
"Keluarkan senjata kalian!" bentak Kala Srenggi
lalu membuka jurus 'Pedang Kembar'.
Tiga Serangkai Rantai Baja pun telah siap dengan. senjata
masing-masing, berupa rantai baja murni berkepala bola berduri. Mereka
berlompatan mengurung Lima Pari Emas. Hanya Saka Lintang saja yang tetap tenang
berada di tempatnya. Matanya malah mengamati ruyung di tangannya.
"Mampus kau!" bentak Kala Srenggi seraya menyerang
Langlang Pari dengan jurus 'Pedang Kembar'.
Langlang Pari berkelit menghindari serangan dahsyat itu.
Bersamaan dengan itu, Tiga Serangkai Rantai Baja pun telah menyerang tiga dari
Lima Pari
Emas.
Pertempuran satu lawan satu berlangsung sengit di dalam
kedai. Dalam sekejap saja keadaan kedai menjadi berantakan. Masing-masing
menggunakan jurus andalan dan berusaha menjatuhkan lawan secepatnya. Tetapi
mereka semua adalah tokohtokoh yang punya nama dalam rimba persilatan. Yang
terlihat kini hanya bayang- bayang yang berkelebat ke setiap arah.
Saka Lintang yang tengah mengamati ruyung
kecil tiba-tiba terkejut. Dia merasakan sambaran angin melesat ke arahnya.
Dengan sigap gadis ini melenting ke udara sehingga desiran angin hanya lewat di
bawah kakinya. Ternyata desiran itu berasal dari sebuah ruyung yang dilepaskan
oleh Tatra Pari yang belum kebagian lawan.
"Pengecut!" dengus Saka Lintang geram. Secepat
kilat ruyung yang berada di tangannya dilemparkan ke arah Tatra Pari. Dengan
sigap pula Tatra Pari menangkap kembali ruyung yang meluncur deras itu dengan
jari dan memasukkannya ke dalam jubah.
Tatra Pari segera melesat menerjang
Saka Lintang.
Rupanya Tatra Pari tidak main-main lagi. Dia pun melompat
sambil mencabut pedang yang menempel di punggungnya. Pedang terhunus itu telah
mengarah ke arah Saka Lintang, tiba-tiba.... Tring!
Betapa terkejutnya Tatra Pari ketika merasakan pedangnya
membentur benteng baja yang kokoh. Tangannya terasa kesemutan. Didaratkan
kakinya ke tanah. Tanpa diketahui dari mana datangnya, tiba-tiba di depan Saka
Lintang telah berdiri seorang laki-laki berkepala gundul berjubah kuning.
"Biar aku yang memberi pelajaran pada bocah telengas
ini, Saka Lintang," kata laki-laki gemuk berkepala gundul yang tak lain Pendeta
Murtad dari Selatan.
Saka Lintang hanya mengangguk. Sebagai putri Ketua Panji
Tengkorak, dia harus bisa bersikap sebagai pemimpin yang dapat menunjukkan
kewibawaan diri agar disegani lawan maupun kawan.
"Hm, rupanya Pendeta Murtad dari Selatan sudah jadi
anjing Geti Ireng," dengus Tatra Pari bergumam.
"Jangan banyak omong, bocah setan! Keluarkan seluruh
kesaktianmu!" balas Pendeta itu yang mempunyai nama asli, Pradya Dagma.
"Menghadapimu cukup dengan ini!" kata Tatra Pari
sambil mengepalkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memasukkan pedang
ke dalam sarungnya di punggung.
"Sombong! Jangan katakan aku kejam membunuh tanpa
senjata!" geram Pradya Dagma merasa terhina.
"Silakan." '
***
6
Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari Selatan mengebutkan tasbih
mutiaranya. Setiap kebutan menimbulkan suara mendem bagai angin topan. Tatra
Pari yang sudah merasakan sabetan tasbih mutiara itu tak sungkan-sungkan lagi.
Dicabut pedangnya kembali, lalu diserangnya lawan ke bagian-bagian yang
mematikan.
Namun pendeta cebol itu dengan gesit dapat menghindar dari
sabetan dan tusukan pedang lawannya. Bahkan dibalasnya serangan-serangan Tatra
Pari dengan tasbih mutiaranya. Dalam waktu singkat mereka telah melampaui
sepuluh jurus.
Sementara itu pertarungan lain masih terus berlangsung
sengit. Pertarungan antara Kala Srenggi dengan Langlang Pari telah berlangsung
di luar kedai. Disusul oleh Kanta Pari, Dadap Pari, dan
Baga Pari yang bertarung melawan
Tiga Serangkai Rantai Baja.
"Jangan lari, Pendeta Murtad!" seru Tatra Pari
melihat Pradya Dagma melompat menembus atap kedai.
Tatra Pari mengikutinya. Di atas atap kedai mereka kembali
bertarung. Saka Lintang yang kini sudah berada di luar kedai, mengawasi
pertarungan tanpa mengedipkan mata. Hatinya agak khawatir melihat salah seorang
dari Tiga Serangkai Rantai
Baja terpojok melawan Baga Pari.
Hingga
tiba-tiba:... "Crab!"
Pedang Baga Pari menembus lawannya. Darah muncrat bersamaan dengan limbungnya salah satu dari
Tiga Serangkai Rantai Baja. Tanpa bersuara sedikit pun, orang itu ambruk tidak
bergerak lagi
Baga Pari berdiri tegang dengan pedang tergenggam erat di
tangan kanannya. Ujung mata pedangnya berlumuran darah. Saat matanya melihat
Tatra Pari bertempur melawan pendeta cebol itu, hatinya terkesiap. Pendeta
Murtad dari Selatan bukan tandingan Tatra Pari. Kecuali jika mereka berlima
bersama-sama menghadapi pendeta itu.
Namun sebagai pendekar sejati, Baga Pari tidak mau berlaku
curang Dia hanya memperhatikan saja setiap gerakan lawan. Bibirnya tersungging
melihat saudaranya masih mampu menandingi pendeta cebol itu.
"Aaaakh...!"
Tiba-tiba terdengar jerit melengking disusul ambruknya
seorang lagi dari Tiga Serangkai Rantai Baja yang melawan Dadap Pari. Dari
dadanya yang koyak, menyembur darah segar. Dadap Pari melompat menghampiri
saudaranya yang lebih dulu menyelesaikan pertarungannya. Mereka berdiri
berdampingan dengan dada bergerak turun naik
Pedang berlumuran darah masih
tergenggam.
Dilihat dari tingkatannya, memang Lima Pari
Emas bukanlah tandingan Tiga
Serangkai Rantai
Baja. Tidak sampai sepuluh jurus,
dua dari Tiga Serangkai itu telah tewas. Dan kini....
"Mampus!"
"Akh!"
Kanta Pari segera melompat mendekati dua saudaranya setelah menyelesaikan pertarungannya. Tuntas
sudah Tiga Serangkai Rantai Baja! Kini hanya Langlang Pari yang berhadapan
dengan Kala Srenggi, dan Tatra Pari yang bertarung di atas atap melawan Pendeta
Murtad dari Selatan.
Pertarungan mereka telah sampai pada tingkat yang paling
genting. Langlang Pari telah
mengeluarkan jurus Jurus andalannya.
Kala Srenggi tak kalah dengan mengeluarkan jurus 'Pedang Kembar' nya. Tubuh
mereka telah tergulung oleh sinar pedang sehingga seperti tak nampak lagi.
Tiba-tiba Kala Srenggi mencelat ke atas. Setelah bersalto
tiga kali di udara, dijejakkan kakinya di tanah sejauh dua tombak. Dengan sigap
tangannya memasukkan pedang kembar ke dalam sarungnya. Segera dinaikkan
tangannya ke atas, lalu turun perlahan-lahan, dan berhenrj sejajar di ketiak.
"Racun
Merah...," desis Langlang Pari.
Tiga saudara Langlang Pari yang tengah memperhatikan,
terkejut melihat Kala Srenggi mengeluarkan jurus 'Aji Racun Merah'. Langlang
Pari segera memasukkan pedangnya. Bergegas dirapatkan kedua telapak tangannya
ke depan dada. Sesaat kemudian tubuhnya telah menggigil seperti orang
kedinginan.
Langlang Pari mengeluarkan aji pamungkasnya. Suatu ajian
yang jarang dikeluarkan kecuali terpaksa. Melihat Kala Srenggi mengeluarkan
'Aji Racun Merah'nya, tiga dari Lima Pari Emas segera berpegangan tangan. Ujung
pedang mereka satukan, lalu diarahkan ke Langlang Pari.
Dari ujung pedang yang menyatu, keluar cahaya kuning
keemasan. Cahaya itu segera menerpa Langlang Pari. Tiba-tiba tubuh Langlang
Pari bergetar, dan secara perlahan-lahan bembah menjadi keemasan. Setelah tubuh
Langlang Pari bembah warna, segera tiga saudaranya itu menurunkan pedangnya.
Bukan hanya Kala Srenggi yang terkejut. Saka Lintang pun
terkesiap melihat ilmu yang djkeluarkan Lima Pari Emas. Sementara itu telapak
tangan Kala Srenggi juga telah bembah merah. Disalurkan seluruh tenaga dalamnya
setelah dia tahu kalau lawan mengerahkan 'Ajian Pari Emas' yang sangat dahsyat.
Kejadian itu tak luput dari perhatian Pradya Dagma dan Tatra
Pari sehingga pertarungan mereka terhenti dengan seketika. Pradya Dagma segera
meleompat tumn dan mendarat di samping Saka Lintang. Sementara Tatra Pari telah
berdiri di antara saudara-saudaranya.
"Hiyaaa...!"
Dengan satu teriakan melengking, Kala Srenggi melompat bagai
kilat menyambar menerjang' Langlang Pari. Bersamaan dengan itu Langlang Pari
pun tak kalah gesitnya. Tubuhnya melompat menerjang. Dalam sekejap mereka
bertemu di udara.
Ledakan dahsyat pun terjadi ketika dua telapak tangan mereka
bertemu. Tubuh Kala Srenggi terlontar ke belakang dengan keras. Dia lalu dengan
cepat bangkit. Lain halnya dengan Langlang Pari. Tubuhnya hanya
terdorong-sedikit, dan dengan mulus kakinya terjejak di tanah.
"Edan!" dengus Kala Srenggi melihat lawannya masih
segar bugar.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu, Kala Srenggi!"
ejek Langlang Pari.
Mendengar hal itu, muka Kala Srenggi merah padam. Ilmu
andalannya ternyata tidak berarti apaapa bagi Langlang Pari. Bahkan hampir saja
dirinya sendiri yang roboh. Baru kali ini ditemukan lawan yang begitu tangguh
dan mampu menandingi 'Aji Racun Merah' yang sangat dibangga-banggakannya.
"Kala Srenggi, mundur!" bentak Pradya Dagma
tiba-tiba.
Kala Srenggi yang kembali bersiap-siap akan menyerang lagi,
menoleh kepada pendeta cebol yang telah melangkah ke depan.
"Ajianmu tak dapat menandingi 'Pari Emas'," kata
Pradya Dagma hati-hati agar tidak
menyinggung perasaan Kala Srenggi
"Huh!"
Kala Srenggi mendengus sengit
"Aku datang untuk memanggilmu, Kala Srenggi. Geti Ireng
ingin bertemu dengan kau," kata pendeta cebol itu lagi.
"Aku selesaikan dulu setan keparat ini!" dengus
Kala Srenggi.
"Tidak ada waktu. Kau bisa celaka mengabaikan perintah
Geti Ireng!"
Sambil bersungut-sungut, Kala Srenggi mundur dua tindak.
Tanpa bicara lagi, dia langsung melompat ke atas kuda entah milik siapa. Yang
jelas Kala Srenggi segera memacu kuda itu meninggalkan tempat itu.
'Pari Emas, di antara kita belum pernah punya urusan.
Mengapa kalian memusuhi kami?" tanya Pradya Dagma setelah Kala Srenggi
tidak terlihat lagi.
"Lima Pari Emas selalu punya urusan dengan kejahatan.
Siapa pun orangnya, berarti musuh kami!" lantang suara Langlang Pari
menyahut.
"Hm..., kau cari perkara dengan Panji Tengkorak!"
gumam Pradya Dagma.
"Pari Emas memang ingin membasmi Panji
Tengkorak!"
"Setan kutul! Kau tahu siapa Panji Tengkorak!"
panas telinga Saka Lintang.
'Tak peduli siapa, yang jelas Panji Tengkorak harus lenyap
dari muka bumi!" tegas suara Langlang
Pari.
"Setan alas! Mulutmu harus dibungkam!" dengus
Pradya Dagma.
"Aku ingin memotong lidahmu yang busuk!" ejek
Tatra Pari yang masih penasaran.
"Jaga seranganku, bocah-bocah edan!" geram
Pradya Dagma.
Setelah berkata demlkian, pendeta cebol itu segera menyerang
Lima Pari Emas sekaligus. Dia tak sungkan-sungkan lag! mengeluarkan jurus-jurus
andalannya. Lima Pari Emas harus hati-hati menghadapi Pendeta Murtad inl.
Dengan segera mereka menggunakan jurus 'Barlsan Dewa Pari' yang mengandaikan
kekompakan dan kerja sama yang balk.
Pradya Dagma diserang dari lima penjuru dengan arah yang
mematikan. Serangan datang bagai gelombang laut, silih berganti tanpa hentl.
Sungguh hebat jurus 'Barisan Dewa Pari'. Satu serangan belum tuntas, sudah
disusul dengan serangan lain.
Begitu seterusnya.
Pendeta cebol itu terlihat kewalahan menghadapi serangan
yang saling susul menyusul itu. Beberapa kali dia harus jatuh bangun
menghindari serangan yang beruntun. Keringat membasahi wajah dan tubuhnya.
Tidak ada kesempatan untuk ke luar dari kepungan yang rapat itu. Seakan-akan
setiap celah telah tertutup rapat.
Hati pendeta cebol itu mulai getir.
Dalam waktu yang tidak lama, dua puluh jurus berlalu. Namun
demikian Pradya Dagma belum bisa menyentuh lawannya. Bahkan selalu saja datang
se¬rangan dari arah lain. Pradya Dagma benarbenar ke¬walahan. Dia kuras seluruh
tenaga dan kepandaiannya. Kini digunakannya jurus 'Tasbih
Sakti Memecah Gunung'.
Ternyata jurus itu juga tidak menolong
banyak
Semua serangan Pradya Dagma patah
sebelum mencapai tujuan. Dia segera menggantinya dengan jurus andalan lain yang
lebih dahsyat. Tetapi juga tidak berarti apa-apa. Pradya Dagma hampir putus
asa. Lima Pari Emas seakan-akan dapat mengetahui kelemahan jurus-jurusnya.
"Setan! Ilmu apa yang mereka gunakan!" rungut
Pradya Dagma dalam hati.
Di tengah keputusasaan Pradya Dagma, tiba-tiba saja
serangan-serangan Lima Pari Emas mendadak ngawur. Hal ini membuat pendeta cebol
itu keheranan. Matanya sempat melirik Saka Lintang.
Gadis itu juga tengah keheranan tak
mengerti.
Rasa heran juga menghinggapi Lima Pari
Emas.
Setiap gerakan yang dilancarkan ke arah Pradya Dagma,
seperti terhalang oleh benteng kokoh yang tidak teriihat.
"Mundur!" teriak Langlang Pari tiba-tiba. Seketika
Lima Pari Emas berlompatan mundur.
Pedang mereka tetap melintang di
depan dada dengan kedua kaki tetap kokoh menjejak tanah. Pradya Dagma tiba-tiba
terkejut melihat seorang anak muda telah berdiri di sampingnya.
Anak muda itu mengenakan baju tanpa lengan dengan baglan
dada terbuka. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Sebuah pedang
bertengger di punggungnya. Celananya hanya sebatas lutut. Kumal sekali
keadaannya, namun berwajah tampan dan kulit putih bagai pualam.
Pemuda itu adalah Rangga yang telah
menyelesaikan semedinya di Gunung
Kapur. Hati
Rangga merasa tidak tega melihat
laki-laki tua dikeroyok lima orang bersenjata pedang. Dia tidak tahu kalau
laki-laki tua itu adalah seorang tokoh dari golongan hitam. Hati Rangga. yang
masih polos belum bisa membedakan mana kawan dan mana lawan.
"Kenapa mereka sampai mengeroyok kakek?" tanya
Rangga dengan sopan dan lembut.
"Mereka ingin membunuhku!" sahut Pradya
Dagma. Sekejap saja dia mampu
mengukur kepandaian anak muda ini. Otaknya yang dipenuhi akal licik, segera
memanfaatkan kehadiran Rangga yang polos itu. .
"Apa salah kakek?" tanya Rangga tidak menyadari
kalau dirinya diperalat
"Mereka
ingin mengambit putriku!"
Pandangan Rangga segera terarah pada Saka Lintang yang
berdiri agak jauh. Harinya tergetar ketika melihat gadis itu. Saka Lintang yang
mendengar pembicaraan itu hanya tersenyum dalam hati. Sudah dapat ditebak
maksud Pradya Dagma. Diam-diam hatinya tergetar juga melihat ketampanan Rangga.
"Sebaiknya kakek pulang saja, biar saya urus
orang-orang jahat Ini," kata Rangga.
'Terima kasih, tapi ini urusanku. Biar kuselesaikan
sendiri," Pradya Dagma pura-pura.
"Anak muda! Minggir! Aku tidak ada urusan
denganmu!" bentak Langlang Pari geram.
"Maaf, aku tidak bisa membiarkan kekejaman dan
kejahatan berlangsung di depan mataku!' sahut Rangga kalem.
"Siapa yang jahat, siapa yang kejam?" dengus
Langlang Pari gusar. Dia sudah dapat menebak akal bulus Pradya Dagma.
Rangga menatap lurus pada Langlang Pari dan adik-adiknya.
Kemudian ditatapnya pendeta cebol yang masih berdiri di sampingnya.
"Saka Lintang, cepat pulang. Nanti ayah menyusul!" kata Pradya Dagma
meneruskan sandiwaranya. Dia tidak ingin kedoknya terbongkar. Baginya ini
kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari Lima Pari Emas. Bagaimanapun dia
sadar tidak akan mampu menghadapi Lima Pari Emas sekaligus.
"Baik, Ayah!" sahut Saka Lintang segera melompat
ke atas kudanya.
Rangga kagum melihat ketangkasan gadis itu dari caranya
melompat dan melarikan kudanya dengan cepat.
Saka Lintang tahu kalau perintah itu hanya siasat saja,
makanya dia menuruti saja perintah itu. Dan lagi dia memang tahu kalau pendeta
cebol tidak sanggup lagi melawan Lima Pari Emas. Perintah itu juga bisa jadi
suatu tanda kalau dia harus segera melapor pada ayahnya, Geti Ireng.
"Pendeta licik, hadapi aku!" geram Langlang Pari.
Dia sudah bisa membaca maksud yang terkandung di benak Pradya Dagma.
"Anak muda, jangan terpancing dengan kelicikannya! Dia
Pendeta Murtad dari Selatan" seru Dadap Pari. Matanya yang jeli bisa
melihat kalau Rangga belum mengerti tentang rimba persilatan.
"Ah, Anak Muda. Saya mohon diri. Terima kasih, telah
menolongku," kata Pradya Dagma terburuburu.
Rangga belum sempat mengeluarkan sepatah kata pun, tetapi
Pradya Dagma telah melompat ke punggung kuda dan langsung menggepraknya. Kuda
tinggi besar itu meluncur cepat. Sebentar saja sudah jauh meninggalkan tempat
itu.
"Setan ! Licik!" umpat Langlang
Pari kesal. "Anak
Muda, siapa kau sebenarnya? Kenapa
membantu Pendeta Murtad itu?" tanya Dadap Pari yang lebih besar dari
lainnya.
"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung di depan hidungku!"
Dadap Pari tersenyum mendengar kata-kata polos itu. Dia
memasukkan pedang ke dalam
sarungnya. Dihampirinya Rangga yang
tetap berdiri di tempatnya. Senyum masih terkembang di bibir Dadap Pari. Dia
bisa maklum kalau anak muda ini masih hijau dalam dunia persilataa
Rangga mengernyitkan alisnya. Dia tidak mengerti kenapa
orang yang semula dikira jahat justru berkata lemah lembut dan tidak
menunjukkan permusuhan. Bahkan mereka semua memasukkan pedangnya kembali.
Apakah salah penilaiannya?
"Kami lima bersaudara dengan julukan Lima Pari Emas.
Kami berasal dari Gunung Cupu. Sedangkan pendeta gundul itu bergelar Pendeta
Murtad dari Selatan. Sudah lama dia kami cari untuk kami hentikan sepak
terjangnya yang tidak berperikemanusiaan," kata Dadap Pari menjelaskan.
Rangga menatap lima orang yang berdiri di depan-nya satu
persatu. Seakan-akan ingin memastikan kalau dia tadi salah menilai. Julukan
Pendeta Murtad dari Selatan pernah dibacanya dari salah satu buku yang di goa
Lembah Bangkai Nama itu tercantum berikut nama-nama lain yang termasuk dalam
golongan hitam.
Tetapi Rangga belum yakin. Sebab nama
Pendeta
Murtad dari Selatan sudah lenyap di
tangan Pendekar Rajawali Sakti seratus tahun yang lalu. Apakah orang tua gundul
cebol itu muridnya yang kini malang melintang di rimba persilatan dengan nama
yang sama?
"Dadap Pari, sebaiknya kita bicara di tempat lain saja
!" usul Langlang Pari
Dadap Pari mengangguk. Dia mengerti maksud saudaranya.
Sebentar lagi tentu kelompok Panji Tengkorak akan datang. Tanpa banyak bicara,
Lima Pari Emas berlompatan ke atas punggung kuda masing-masing.
"Ayo, Rangga! Kita pergi dari
sini," ajak Dadap
Pari.
"Terima
kasih!" sahut Rangga.
Ketika Dadap Pari akan membuka mulutnya, Rangga telah lebih
dulu mencelat dan lenyap seketika dari pandangannya. Begitu cepatnya sehingga
Lima Pari Emas terkesiap. Ke mana
Rangga pergi?
***
7
Senja telah merayap menjadi malam. Udara dingin. Angin
berhembus agak kencang. Dinginnya udara malam menjadi tak terasa di dalam
sebuah ruangan yang terang benderang oleh cahaya obor. Sebuah kedai makan yang
telah penuh oleh orangorang dari berbagai golongan masing-masing di mejanya.
Di salah satu sudut yang remang-remang, duduk Rangga
menghadapi meja kecil. Hanya ada sebuah guci arak di atas mejanya. Matanya
selalu mengawasi orang-orang yang ke luar masuk kedai makan ini. Di kedai ini
pun menyediakan kamarkamar untuk menginap.
Mata Rangga tertumbuk pada salah satu meja yang jauh di
depannya. Tampak Saka Lintang duduk dikelilingi empat orang laki-laki. Rangga
sama sekali tak tahu kalau keempat laki-laki itu dari golongan hitam. Mereka
adalah Kalingga, atau berjuluk Kakek Merah Bermata Elang. Duduk di sampingnya
adalah Kala Srenggi. Di samping kanan Saka Lintang duduk seorang wanita dengan
dandanan menor, persis badut. Wanita itu dijuluki Dewi Asmara Dara. Sebenarnya
wanita ini cantik. Tubuhnya pun menggiurkan. Karena dandanannya yang berlebihan
maka wanita ini jadi kurang simpatik. Kemudian yang seorang lagi wanita tua.
Rambutnya yang putih digulung ke atas. Sebagian rambutnya dibiarkan jatuh
menjuntai. Walau kulitnya telah keriput, tapi sorot matanya masih menyimpan
ketegaran. Dia dijuluki Dewi, Jerangkong, karena tubuhnya yang kurus kering
bagai tulang berbalut kulit.
Keadaan kedai tenang. Semua orang menikmati hidangan sambil
bersenda gurau. Namun ketenangan itu tiba-tiba lenyap, ketika seorang laki-
laki tersuruk-suruk masuk dengan
tubuh berlumuran darah. Laki-laki itu menghampiri meja Saka Lintang.
"Hey! Ada apa?" pekik Saka Lintang kaget. 'Teratai
Putih...," laki-laki itu tidak meneruskan kalimatnya. Dia telah ambruk tak
bernyawa.
Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba dari pintu
bermunculan orang-orang berpakaian serba putih dengan suiaman bunga teratai di
dada. Bahkan beberapa orang muncul dari atas atap ruangan ini. Jumlah mereka
semua tak lebih dari dua puluh orang.
Beberapa pengunjung segera berhamburan keluar menyeiamatkan
diri. Keadaan di kedai makan kian bembah panas dan tegang. Saka Lintang segera
berdiri diikuri yang lainnya.
"Kalian datang langsung membuat onar. Apa maksud
kalian?" dingin suara Saka Lintang. Matanya menatap tajam pada orang yang
berdiri paling depan.
"Kami ingin menuntut balas atas kematian
saudara-saudara kami!" sahut laki-laki yang berdiri paling depan.
'Pragola, kenapa bukan Pasopati saja yang datang ke
sini?!" dengus Dewi Asmara Dara. "Guruku terlalu suci berhadapan
denganmu, perempuan liar!" sahut Pragola sinis.
Merah padam muka Dewi Asmara Dara. Bukan rahasia lagi kalau
antara dia dengan Begawan Pasopati pernah terjadi hubungan asmara sekian puluh
tahun yang lalu, waktu mereka masih remaja. Sekarang mereka bermusuhan. Dewi
Asmara Dara yang dahulu bemama Sutiragen memang bukan gadis baik-baik.
Dalam usia yang masih belia, Sutiragen telah berpengalaman
menghadapi laki-laki. Tentu saja Pasopati kecewa setelah mengetahui kelakuan
Sutiragen. Pasopati sendiri telah kalap membunuh orang tua Sutiragen karena
merasa ditipu. Kedua orang tua Sutiragen telah menjebaknya untuk menikahi
Sutiragen yang kedapatan telah mengandung.
Dari peristiwa itulah bibit permusuhan tumbuh subur. Mereka
telah bersumpah akan membabat habis semua keturunan masing-masing. Oleh sebab
itulah mereka tidak menikah lagi sampai sekarang. Sutiragen sendiri makin liar,
terlebih setelah dia mendapat gemblengan dari seorang pertapa tua yang sakti.
Mungkin otaknya memang telah dirasuki iblis, Sutiragen yang semula berjanji
akan hidup baik- baik, telah membunuh pertapa itu dengan licik setelah dia
menguasai seluruh ilmunya.
"Bocah sombong! Kau tahu, dengan siapa kau
berhadapan!" geram Dewi Asmara Dara.
"Nenek-nenek tak tahu diri yang merasa masih
muda!" ejek Pragola.
Dewi Asmara Dara tidak dapat lagi menguasai amarahnya yang
memuncak sampai ke ubun-ubun. Dengan sigap dia melompat dan menerjang Pragola.
Anak muda itu berkelit sedikit, bahkan melayangkan kakinya ke perut Dewi Asmara
Dara.
"Monyet jelek!" rungut Dewi Asmara Dara sambil
melentingkan tubuhnya menghindari tendangan lanjutan Pragola. Amarah yang
meluap membuat
Dewi Asmara Dara jadi lengah.
Meskipun masih muda, Pragola tidak dapat dianggap enteng.
Ilmunya sudah hampir menyamai gurunya sendiri. Dia memang masih memerlukan
waktu yang cukup lama untuk menyempurnakannya.
Jurus-jurus Pragola sangat dahsyat
dan sulit diterka arahnya, membuat lawan harus hati-hati mengha-dapinya.
Lawan yang dihadapi Pragpla pun bukan tokoh sembarangan. Dia
seorang tokoh tingkat tinggi yang sudah kenyang makan asam garam rimba
persilatan. Pragola tahu siapa Dewi Asmara Dara. Oleh karena itu, dilayaninya
lawan dengan tenang dan penuh perhitungan.
"Awas
kepalamu!" teriak Dewi Asmara Dara.
Pragola tak mempedulikan peringatan lawannya. Tangannya yang
dialiri tenaga dalam ditebaskan ke arah perut lawan. Dan memang benar, teriakan
tadi hanya tipuan belaka. Justru sasaran sebenarnya adalah perut.
"Ih!" Dewi Asmara Dara terperanjat, cepatcepat
ditarik tangannya.
Sungguh tak disangka kalau Pragola
mengetahui gerak silatnya, sehingga dapat ditebak arah mana yang dituju. Belum
hilang rasa herannya, tiba-tiba Pragola menyerang secara beruntun. Wanita ini
makin terkesiap. Dengan cepat dilentingkan tubuhnya mundur satu tombak.
"Kalau takut, sebaiknya kau menyingkir!" ejek
Pragola.
"Suruh si Pasopati ke sini! Biar dia tahu bagaimana
mengajar muridnya yang ceriwis!" geram Dewi Asmara Dara atau Sutiragen
ini.
"Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Aku masih sanggup
membeset mulutmu!" dengus Pragola tidak senang gurunya dihina.
"Bocah setan! Terima seranganku!" teriak Sutiragen
geram. Wuuut!
Dengan kecepatan yang luar biasa, Sutiragen mengeluarkan
senjatanya yang berupa selendang berwarna merah darah. Ujung selendang itu
segera meluncur rneliuk-liuk bagai ular naga ke arah Pragola. Ke mana Pragola
menghindar, pasti selendang itu mengejar.
Sungguh luar biasa selendang itu. Meja, kursi, dan
barang-barang di sekitar situ hancur berantakan terkena sambarannya. Dewi
Asmara Dara memainkan jari-jari tangannya dengan lincah membuat selendang itu
seperti mempunyai nyawa.
Pragola terlihat kewalahan
menghadapi serangan Dewi Asmara Dara kali ini. Dia hanya bisa menghindar dan
bersalto tanpa mampu mengirimkan serangan balasan.
"Perhatikan jari tangannya, gunakan
senjata, cari bagian tengah!"
Pragola terkejut mendengar bisikan di telinganya. Dia tak
mau berpikir panjang. Siapa pun orangnya, pasti ingin mem bantu. Pragola segera
meloloskan pedangnya yang tergantung di pinggang.
Sret!
Kali ini dihiraukan ujung selendang yang mengincar tubuhnya.
Matanya menatap jari-jari tangan Dewi Asmara Dara. Benar! Arah selendang dapat
diketahuinya dari jari-jari tangan yang bergerak lincah. Dengan mudah Pragola
dapat menghindari ujung selendang tanpa melihatnya. Bahkan pedangnya beberapa
kali hampir menebas selendang itu. Tapi sepertinya dia menebas sebongkah batu
cadas yang sangat keras.
"Jangan buang tenaga! Pusatkan perhatian pada titik
tengah!"
Terdengar lagi bisikan di telinga Pragola. Bisikan itu
membuatnya bingUng. Dia tidak tahu titik tengah mana yang dimaksud. Pragola
tidak lagi membabatkan pedangnya pada selendang merah yang masih mengancam
dirinya. Matanya tetap tidak lepas menatap jari-jari tangan Dewi Asmara Dara.
Otaknya terus bekerja memecahkan maksud bisikan tadi.
Tiba-tiba Pragola berteriak nyaring. Tubuhnya mencelat ke
udara. Dengan kecepatan yang luar biasa, dia menukik tepat di tengah-tengah
selendang. Dewi Asmara Dara terkejut, cepatcepat ditarik selendang nya. Terlambat!
Ujung pedang Pragola telah membabat tepat di tengahtengah selendang merah itu.
"Setan!" maka Dewi Asmara Dara melihat selendang
pusakanya terpotong jadi dua.
Dewi Asmara Dara mencampakkan selendangnya. Dia segera
menggerakkan tangannya, mengembang ke samping. Lalu dengan gerakan yang cepat,
kedua tangannya melintang di depan muka.
Pragola terkejut. Tiba-tiba saja mata Dewi Asmara Dara
berubah merah. Belum hilang rasa terkejutnya, dari mata itu meluncur seberkas
sinar merah mengarah dirinya. Dengan cepat Pragola mencelat menghindar. Satu
berkas sinar lagi terpaksa ditangkisnya dengan pedang.
Trak!
Pragola terlempar sejauh dua tombak. Pedangnya patah menjadi
dua bagian. Belum sempat bangun, dua berkas sinar merah kembali menyerang
dirinya. Dengan cepat Pragola menggulingkan tubuhnya ke samping. Sinar merah
itu menghantam lantai kedai makan. Suara menggelegar terdengar disertai
berlubangnya lantai yang keras itu.
"Mati aku!" dengus Pragola. Dia tahu kalau Dewi
Asmara Dara mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata
Dewi'. Ilmu andalan yang sangat
jarang digunakan Dewi Asmara Dara. Kemarahan yang memuncak karena selendang
andalannya putus memancingnya untuk mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata Dewi'.
"Jangan panik!" terdengar lagi bisikan halus di
telinga Pragola. "Hindari tatapan matanya. Gunakan ilmu peringan tubuh,
putari tubuhnya."
Pragola segera bangkit dan berlari-lari
memutari tubuh Dewi Asmara Dara dengan menggunakan ilmu peringan tubuh. Tentu saja
Dewi Asmara Dara jadi kelabakan. Sinar-sinar merah yang dilontarkan selalu
mengenai tempat kosong. Beberapa orang yang masih berada di kedai itu segera
menyingkir, menghindari sinar merah yang tidak mustahil nyasar ke tubuh mereka.
"Gunakan senjata kecil, arahkan ke kaki," bisikan
halus kembali terdengar.
Pragola kebingungan. Dia tidak memiliki senjata rahasia satu
pun juga. Gurunya tak pemah membekali senjata rahasia. Menurut gurunya, senjata
rahasia hanya digunakan oleh orang-orang berhati telengas dan licik Mereka
tidak pantas disebut pendekar.
Di saat otaknya berpikir keras, mendadak matanya menangkap
reruntuhan meja dan kursi. Bibirnya segera tersenyum. Sambil terus mengarahkan
tenaga dalam dan ilmu peringan tubuh, Pragola meraih beberapa potongan kayu.
Diremasnya potongan kayu itu hingga menjadi serpihan.
Sementara itu Dewi Asmara Dara makin geram karena setiap
serangannya selalu luput. Setiap kali dia memaksa Pragola untuk menatap
matanya, pemuda itu selalu memalingkan mukanya. Dewi Asmara Dara semakin sulit
karena pengaruh ilmu 'Seribu Mata Dewi' tidak mempengaruhi Pragola.
"Awas kaki!" teriak Pragola tiba-tiba. Dewi Asmara
Dara terkejut. Kayu-kayu kecil berterbangan mengarah kakinya.
"Setan belang! Monyet buduk!" Dewi Asmara
Dara mengumpat habis-habisan.
Kayu-kayu kecil yang dilemparkan Pragola dengan pengerahan
tenaga dalam membuat wanita itu sibuk berlompatan ke sana kemari. Lebih-lebih
Pragola melemparkannya sambil berlarian mengitari tubuhnya. Konsentrasi Dewi
Asmara Dara terpecah.
Pada saat Dewi Asmara Dara tengah repot dengan serangan itu,
tiba-tiba meluncur sebuah bayangan merah menahan arah lari Pragola.
Seketika kayu-kayu kecil yang
terlontar ke kaki Dewi Asmara Dara terhenti bersamaan dengan terhentinya lari
Pragola. Di depan anak muda itu sudah berdiri seorang kakek tua berjubah merah.
"Kakek Merah Mata Elang!" bentak Pragola gusar.
"Kau melanggar aturan!"
"He he he...! Tidak ada aturan dalam rimba
persilatan," Kakek Merah Bermata Elang terkekeh menyeringai. Matanya yang
merah bagai mata elang menatap tajam Pragola.
"Biar aku yang menghadapi orang tua tidak tahu diri
ini, Kakang!"
Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke tengahtengah arena
pertempuran. Seorang anak muda berkulit putih dan bertubuh ramping. Garis-garis
kejantanan tergambar jelas pada raut wajah yang halus dan tampan itu.
"Hati-hati Adik Barada, orang ini sangat kejam dan
sakti," Pragola mengingatkan.
Barada hanya tersenyum. Dilangkahkan
kakinya dua tindak ke depan. Dia sudah tahu kehebatan Kakek Merah Bermata
Elang. Makanya dia harus beriindak hati-hati dan penuh perhitungan. Dalam
perkumpulan Teratai Putih, Barada hanya satu tingkat di bawah Pragola. Jadi dia
juga tak bisa dianggap remeh.
"Majulah, Kakek tua!" seru Barada lantang dan
tenang. Setenang sikapnya.
"He he he.... Anak kemarin sore ingin menantangku.
Apakah Teratai Putih tidak memiliki
jago-jago andalan sehingga mengutus
anak bau kencur ke sini?"
Kakek Merah
Bermata Elang mengejek.
'Teratai Putih tidak perlu mengeluarkan jagojagonya untuk
membasmi Panji Tengkorak!" tenang dan lembut suara Barada,namun
menyakitkan di telinga.
"Bocah sombong! Jangan menyesal kalau aku memberi
pelajaran padamu!" geram Kakek Merah Bermata Bang.
"Silakan
kalau kau mampu!"
"Setan!
Mampus kau!"
Pertempuran antara Kakek Merah Bermata Elang dengan Barada
berlangsung sengit. Masingmasing menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi.
Pragola pun sudah sibuk lagi melayani Dewi Asmara Dara. Di lain pihak, Kala
Srenggi, dan Dewi
Jerangkong juga telah menghajar
orang-orang
Teratai Putih lainnya.
Kedai makan bembah menjadi ajang pertempuran. Memang
kelihatannya tidak seimbang.
Dua puluh dari Teratai Putih melawan
empat orang dari Panji Tengkorak. Namun keempat orang-orang itu bukanlah
orang-orang sembarangan. Malah kini terlihat dua orang anggota Teratai Putih
sudah terjungkal. Kepalanya remuk terhajar tongkat Dewi Jerangkong.
Seorang lagi roboh di tangan Kala Srenggi. Lalu menyusul
satu demi satu.... Pragola yang melihat kejadian itu tidak bisa berbuat
apa-apa. Dia sendiri sibuk menahan gempuran Dewi Asmara Dara. Wanita itu sangat
bernafsu ingin cepat membunuh lawannya. Dia merasa sudah dipermalukan oleh
Pragola di muka umum.
'Tahan!"
Tiba-tiba suara menggeledek terdengar bagai petir di slang
bolong. Seketika pertempuran itu terhenti. Anggota Teratai Putih tinggal enam
orang saja. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Darah berceceran
menyebarkan bau amis menusuk hidung.
Semua mata segera terarah pada Rangga yang duduk tenang di
pojok. Tangannya memain-mainkan kendi arak. Lagaknya acuh dengan suasana kedai
makan yang berantakan akibat pertamngan dua kelom-pok itu.
"Orang asing! Berani benar kau campuri urusan
kami!" bentak Dewi Asmara Dara gusar.
Seperti orang tolol, Rangga celingukan mencari cari sesuatu.
Pelan-pelan dia bangkit dan berjalan melangkahi mayat-mayat yang
bergelimpangan. Kepalanya menggeleng-geleng dengan mulut berdecak-decak seperti
keheranan.
"Ck ck ck..., kasihan sekali. Nyawa satu-satunya
dibuang percuma," gumam Rangga.
Rangga berhenti melangkah ketika di depannya berdiri
menghadang Kakek Merah Bermata Elang. Rangga mengamati jari-jari tangan kakek
tua itu yang penuh darah.
"Kenapa tangan Kakek? Luka?" tanya Rangga seperti
anak kecil.
"Luka tanganku bisa diobati oleh darahmu!" dengus
Kalingga atau Kakek Merah Bermata Elang geram.
"Wah, hebat!" seru Rangga sambil
menggelenggelengkan kepalanya.
"Kisanak, apakah kau yang memberiku petunjuk
tadi?" tanya Pragola sopan dan lembut. Dia merasa yakin kalau
bisikan-bisikan halus datang dari pemuda ini.
"Ah, aku hanya bicara sendiri tadi," sahut Rangga
merendah.
"Setan! Jadi kau yang membantu bocah edan ini!"
dengus Dewi Asmara Dara geram. Giginya
gemelutuk dan tangannya mengepal erat.
"Siapa yang membantu? Sejak tadi aku duduk di
sana," sahut Rangga kalem.
"Kau harus mampus!" geram Dewi
Asmara Dara.
Setelah berkata demikian Dewi Asmara Dara segera melompat
menerjang dengan jurus andalannya. Rangga hanya berkelit sedikit dengan
meliukkan tubuhnya. Serangan Dewi Asmara Dara hanya mengenai angin kosong.
Kala Srenggi yang mengenai jurus-jurus Dewi Asmara Dara,
terkesima melihat cara Rangga menghindari serangan. Merasa lawan hanya
menghindar tanpa melangkah sedikit pun, Dewi Asmara Dara berang bercampur maiu.
"Terima aji pamungkasku!"
teriak Dewi Asmara
Dara.
Seketika seluruh tangan Dewi Asmara Dara mengeluarkan asap
kekuningan, lalu secepat kilat menyerang Rangga. Semua mata yang memandang
menahan napas menyaksikan Rangga hanya tenangtenang saja.
"Hiyaaa...!" Dewi Asmara Dara melengking keras
dengan kedua tangan menjulur ke depan.
Saat jari-jari tangan Dewi Asmara Dara yang mengepulkan asap
tepat di depan mata Rangga, anak muda itu hanya memiringkan kepalanya sedikit.
Dengan menggunakan jurus 'Cakar Rajawali' dipapaknya punggung Dewi Asmara Dara.
"Akh!" Dewi Asmara Dara memekik tertahan. Tubuhnya
limbung sebentar lalu ambruk tidak bangun lagi.
Semua mata terbelalak lebar seakan tidak percaya. Hanya satu
jurus. saja Dewi Asmara Dara telah ambruk tak bernyawa! Sulit diukur tingginya
ilmu anak muda ini.
"Bocah setan! Sebutkan namamu sebelum kukirim kau ke
neraka!" bentak Kakek Merah Bermata Elang dengan geram.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!" jawab Rangga.
Suaranya tenang namun menggema ke
seluruh ruangan.
'Tidak mungkin!" sentak Dewi Jerangkong sambil melompat
ke depan.
Semua mata menatap nenek tua yang berdiri dengan tongkat
saktinya.
"Jangan coba-coba menggertak kami dengan menyebut nama
tokoh seratus tahun lalu!" dengus Dewi Jerangkong.
"Kalau tidak percaya, lihat saja dia!" Rangga
menunjuk mayat Dewi Asmara yang tengkurap kaku.
Dewi Jerangkong mendelik. Punggung Dewi Asmara Dara hangus!
Ada goresan hitarn di punggung yang membentuk cakar burung rajawali. Jelas, itu
adalah salah satu hantaman jurus 'Cakar Rajawali'. Dan kini jurus maut itu
dimiliki seorang pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali
Sakti!
"Bagaimana, Nenek tua? Percaya?" kalem dan tenang
suara Rangga.
"Mustahil...," gumam Dewi Jerangkong seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Bukan hanya Dewi Jerangkong yang tidak percaya. Kakek Merah
Bermata Elang pun demikian. Dua tokoh tua ini pemah mendengar sepak terjang
Pendekar Rajawali Sakti meski pada saat itu mereka belum dilahirkan. Kehebatan
dan kesaktian Pendekar Rajawali Sakti pernah menjadi buah bibir di mana-mana.
Semua orang selalu mengharapkan kemunculannya jika terjadi kerusuhan dan
kejahatan.
Kini Pendekar Rajawali Sakti muncul kembali di tengah dunia
persilatan yang goncang. Apakah ini pertanda Panji Tengkorak akan menghadapi
sandungan?
"Dewi Jerangkong, mart kita hadapi bocah dungu
ini!" seru Kakek Merah Bermata Elang atau
Kalingga.
Setelah selesai kata-katanya, Kalingga segera menyerang
Rangga dengan jurus-jurus mautnya, diikuti oleh Dewi Jerangkong dengan
jurus-jurus andalannya.
Nyali Rangga tak gentar sama sekali dikeroyok oleh dua tokoh
sakti itu. Dia kelihatan tenangtenang saja berkelit menghindari
serangan-serangan dahsyat dan beruntun. Gerakan-gerakan Rangga memang cepat dan
luar biasa sehingga membingungkan lawan. Serangan-serangan dua tokoh sakti itu
selalu menemui tempat kosong.
"Maaf!"
ucap Rangga kalem.
Bersamaan dengan itu, tangan Rangga berkelebat cepat dan
tepat mendarat di dada Dewi Jerangkong dan Kalingga.
"Akh!" Dewi Jerangkong hanya
mengeluh pelan.
"Ugh!" Kakek Merah Bermata Elang pun melenguh
hampir bersamaan.
Secara bersamaan pula dua tubuh tokoh itu ambruk dan tak
berkutik lagi. Di dada mereka tergambar sebuah cakar berwarna hitam. Cakar
seekor burung rajawali. Sekali lagi Rangga berhasil merobohkan dua tokoh sakti
sekaligus hanya dalam satu jurus saja.
Kala Srenggi yang sejak tadi hatinya sudah ciut, diam-diam
kabur ketika melihat dua tokoh sakti itu limbung hanya dalam satu jurus saja.
Saka Lintang pun tak nampak batang hidungnya lagi. Entah sejak kapan dia
minggat.
'Terima kasih, Tuan Pendekar telah menolong kami," Pragola
segera menghormat diikuti Barada dan empat anggota Teratai Putih yang tersisa.
Rangga hanya tersenyum lalu menepuk pundak
Pragola.
'Tuan Pendekar sangat hebat Panji Tengkorak pasti bisa
ditumpas," ujar Barada penuh harapan.
"Boleh saya tahu, siapakah saudara-saudara semua?"
tanya Rangga yang telah berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami murid-murid perguruan Teratai Putih. Kami
ditugaskan untuk membendung gerakan liar Panji Tengkorak," sahut Pragola
menjelaskan.
"Siapa Panji
Tengkorak?" tanya Rangga lagi.
"Gerombolan liar dan jahat. Mereka membunuh siapa saja
yang menentangnya. Sudah banyak tokoh aliran hitam yang bergabung dengan
mereka. Saat ini Panji Tengkorak boleh dikatakan hampir menguasai rimba
persilatan," jelas Pragola rinci. Sejak tadi dia telah kagum dengan
kehebatan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Pemimpinnya seorang tokoh sakti yang sulit dicari
tandingannya," Barada menambahkan.
"Pemimpinnya bernama Geti Ireng
yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Lembah Tengkorak."
"Iblis Lembah Tengkorak..," gumam Rangga
pelan.
Seketika itu pula teriintas dalam benaknya peristiwa dua
puluh tahun lalu. Peristiwa yang menyakitkan hati. Rangga juga masih ingat
ketika ayahnya menyebut orang itu Iblis Lembah Tengkorak Orang itukah yang
membunuh kedua orang tuanya?
"Geti Ireng tinggal di Lembah Tengkorak bersama
gerombolannya," Pragola menambahkan.
"Apakah orang itu bersenjata tongkat berkepala
tengkorak?" tanya Rangga memastikan.
"Benar, Tuan Pendekar," sahut
Barada cepat.
Rangga tersenyum. Matanya berbinar-binar. Dia telah digodok
selama dua puluh tahun di Lembah Bangkai, ditambah bersemedi dan berpuasa
selama tujuh hari tujuh malam di Gunung Kapur. Dengan demikian seluruh jiwanya
sudah bersih dari rasa dendam dan angkara murka.
Telah nyata bahwa Iblis Lembah Tengkorak atau Geti Ireng
yang membunuh orang tuanya, tetapi hati Rangga sedikit pun tidak terbakar api
dendam. Jiwanya sudah bersih dari nafsu duniawi. Ingin disatroninya Lembah
Tengkorak, tetapi tidak untuk balas dendam. Niatnya semata-mata hanya untuk
membasmi segala bentuk kejahatan.
"Tuan Pendekar...," Pragola mencegah langkah
Rangga.
Rangga menghentikan langkahnya yang telah sampai pada pintu
keluar kedai. Dia menoleh seraya tersenyum melihat Pragola menghampirinya.
"Kami merasa mendapat kehormatan bila Tuan Pendekar berkenan singgah di
Perguruan Teratai
Putih," ajak Pragola ramah.
Rangga berpikir
sebentar.
"Eyang Guru Begawan Pasopati pasti gembira jika Tuan
Pendekar berkenan mengunjunginya. Dari beliau nanti, Tuan Pendekar dapat
mengetahui lebih banyak tentang Iblis Lembah Tengkorak," kata Pragola
setengah membujuk.
"Benarkah?" tanya Rangga dengan polos tanpa pemah
curiga terhadap siapa pun. Dalam hati sebenarnya Rangga senang memenuhi
undangan itu yang tentu segalanya terjamin.
"Eyang Begawan Pasopati seorang yang bijak. Beliau
pasti senang jika penolong kami berkenan
singgah barang sebentar."
"Baiklah,
aku pun senang mendapat sahabat."
Betapa gembiranya Pragola karena pendekar yang dikaguminya
berkenan menerima undangannya. Segera diperintahkan adik-adik seperguruannya
menyiap-kan kuda. Sebentar kemudian tujuh ekor kuda sudah dipacu meninggalkan
kedai, menembus kegelapan malam. Rangga yang tidak pemah menunggang kuda,
sedikit grogi. Namun ketika agak jauh meninggalkan kedai, dia sudah mulai
terbiasa.
Bibir Rangga tersenyum-senyum. Pragola selalu memacu kudanya
di samping kiri Rangga, dan Barada di samping kanannya. Rangga bagai pembesar
saja diapit kiri kanan. Empat kuda lain mengiringi dari belakang. Rangga
cerdas. Sebentar saja dia telah mampu menunggang kuda dengan baik. Pada
akhirnya dirasakannya bahwa menunggang kuda hampir tidak ada bedanya dengan
menunggang burung rajawali putih.
"Masih
jauh?" tanya Rangga.
"Menjelang
pagi baru sampai," sahut Pragola.
Rangga mengeluh dalam hati. Sebabnya dia harus menunggang
kuda semalaman. Namun keluhan itu tidak ditampakkannya. Dia tetap saja
tersenyum sambil bertanya macam-macam. Banyak yang ditanyakannya terutama
tentang seluk beluk dunia
persilatan yang masih asing baginya.
Pragola dengan senang hati menjawab. Dijelaskannya setiap pertanyaan Rangga
dengan lemah lembut. Sesekali Barada menambahkan jika penjelasan kakak
seperguruannya dirasakan belum lengkap. Semakin banyak Rangga bertanya, semakin
banyak yang diketahui tentang gambaran rimba persilatan sekarang ini.
Rangga bagaikan seorang bayi
yang baru lahir ke dunia. Dia masih perlu belajar banyak mengenai dunia
bertualang sambil bertanya pada siapa saja yang berbaik hati memberi keterangan
kepadanya seperti layaknya murid-murid Perguruan Teratai Putih.
***
8
Dalam pengembaraannya mencari sarang gerombolan Panji
Tengkorak, Rangga beberapa kali harus bentrok dengan tokoh-tokoh berilmu tinggi
anggota gerombolan itu. Nama Pendekar Rajawali Sakti makin dikenal. Di samping
itu dia juga jadi momok yang menakutkan bagi orang-orang rimba persilatan
beraliran hitam. Kini Pendekar Rajawali Sakti bagaikan sebuah pelita yang
menerangi tokohtokoh aliran putih.
Dalam waktu singkat, nama Pendekar Rajawali Sakti sudah
terpatri erat di hati semua orang. Bahkan Saka Lintang sendiri tidak pemah
melupakan pendekar tampan itu. Dalam pandangan pertamanya, dia merasa sedikit
kasmaran. Makanya setiap kali Pendekar Rajawali Sakti bentrok dengan
orang-orang Panji Tengkorak, dia tidak ingin melibatkan diri. Dia seperti
menghindar dari kemungkinan bentrok.
Rangga menarik tali kekang kudanya ketika melewati pinggir
hutan Dadakan. Telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar denting senjata
beradu. Nyata bahwa suara itu berasal dari suatu pertarungan. Rangga segera
melompat dari kudanya. Dengan menggunakan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
tingkat pertama, tubuhnya telah melayang di udara menuju arah datangnya suara
pertempuran.
Bagai rajawali mengintai mangsa, Rangga dari atas telah
melihat seorang wanita dikeroyok tiga laki-laki bersenjata tongkat. Rangga
bergegas turun dan berdiri di pinggir arena pertarungan. Segera dikenalinya
wanita itu yang ternyata adalah Saka Lintang. Tapi, siapakah tiga laki-laki
yang mengeroyoknya?
Melihat kedatangan Rangga, Saka Lintang cepat melompat ke
luar arena pertandingan. Dihampirinya Rangga, dan berlindung di belakang tubuh
pemuda itu.
"Tolong, mereka dari Panjj Tengkorak," kata Saka
Lintang dengan suara dibuat memelas.
Mendengar ketiga orang itu dari Panji Tengkorak, Rangga
segera menerjang ketiga orang itu yang masih bingung tidak mengerti. Mereka
tidak bisa berbuat apa-apa. Sekejap saja ketiga orang itu telah bergelimpangan
akibat jurus 'Cakar
Rajawali'.
'Terima kasih, kau telah menolongku," kata Saka Lintang
langsung menghampiri.
"Kenapa kau bisa bentrok dengan mereka?" tanya
Rangga.
"Aku merasa tertipu masuk gerombolan Panji Tengkorak!
Aku ingin keluar, tapi mereka malah ingin membunuhku!" cerita Saka Lintang
bersandiwara. Dalam hatinya tersenyum karena rencananya berjalan mulus.
Terpaksa dikorbankannya tiga anggota Panji Tengkorak demi
mencapai keinginan merebut hati pendekar tampan ini. Setiap hari dia selalu
terbayang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti ini. Hati Saka Lintang makin
hari makin tersiksa bila Kala Srenggi selalu mencari muka di depan ayahnya
untuk mendapatkan dirinya.
"Siapakah ketiga orang itu?" tanya Rangga.
"Mereka Tiga Pendekar Toya dari Utara. Tadi mereka mencoba
memperkosaku," Saka Lintang makin menjejali Rangga dengan cerita kosong.
"Binatang!" geram Rangga.
"Untung kau cepat datang, kalau tidak.... Mungkin aku
sudah mati.
"Hm, kau
akan ke mana sekarang?"
Aku tidak tahu. Sejak kecil aku hidup sendirian."
Rangga menarik napas panjang. Dirasakan ada persamaan nasib dengan gadis ini.
Namun Rangga tidak menyadari kalau dia tengah masuk dalam perangkap yang dibuat
Saka Lintang. Bukan perangkap nyawa, tapi perangkap asmara. Rangga memang
polos. Dia memang belum banyak mengalami liku-liku kehidupan yang mungkin dapat
menjeratnya. Apa lagi Saka Lintang memang cantik.
"Aku ikut kamu, ya?" Saka Lintang memohon sambil
menggayut-gayutkan tangannya dengan manja ke lengan Rangga.
"Eh, jangan!" Rangga gugup. Matanya jelalatan.
Seumur hidupnya, baru kali ini dia disentuh wanita. Seketika jantungnya
berdetak keras.
"Kenapa?" tanya Saka Lintang semakin manja. Dia
bahkan sudah melingkarkan tangannya ke leher Rangga.
"Aku...,aku...,"
Rangga benar-benar gugup.
Saka Lintang yang berpengalaman menghadapi laki-laki, segera
memanfaatkan kegugupan Rangga.
Dengan cepat dipagutnya bibir
Rangga. Tentu saja pemuda ini gelagapan. Keringat dingin mengucur deras. Inilah
rasa takutnya yang pertama. Cepatcepat dilepaskan pelukan Saka Lintang, dan.
lompat dua tindak ke belakang. Saka Lintang memandang dengan senyum menggoda.
"Kau pendekar gagah dan tampan. Aku tertarik saat pertama
kali melihatmu," Saka Lintang tidak malu-malu lagi.
"Kau memang cantik. Aku juga suka, tapi...,"
Rangga tidak meneruskan kata-katanya.
"Kenapa kita
tidak bercinta?"
"Bercinta...?!" Rangga meneguk
ludahnya sendiri.
Mendadak tenggorokannya terasa kering.
Saka Lintang tersenyum melihat kegugupan Rangga.
Diletakkannya pedang yang bertengger di punggungnya. Dengan gerakan yang indah,
tangannya melolosi pakaian satu persatu. Rangga kian tidak menentu perasaannya.
"Celaka!" sentak Rangga tiba-tiba. Tercecer sudah
seluruh pakaian Saka Lintang di rerumputan. Tubuh indah dan putih mulus itu
kini terbuka tanpa sehelai benang pun menutupi! Kakinya terayun mendekati
Rangga. Namun mendadak pemuda itu mencelat ke belakang, lalu beriari
sekencang-kencangnya menggunakan ilmu peringan tubuh.
"Hey, tunggu!" teriak
Saka Lintang terkejut. Rangga telah lebih cepat menghilang di balik rimbunan
pohon. Saka Lintang menghentakkan kakinya dengan kesal. Bergegas dikenakan
kembali pakaiannya, lalu beriari cepat ke arah Rangga pergi.
***
Di bangsal mmah yang paling besar di Lembah Bangkai, Saka
Lintang tengah hanyut oleh perasaan malu dan marah. Dia benar- benar kecewa
dengan sikap Rangga. Namun rasa cintanya yang menggebu dapat mengalahkan amarah
dan rasa malunya. Dalam hati dia bertekad akan memiliki Rangga sepenuhnya.
Ketampanan dan kegagahan Rangga membuat Saka Lintang mabuk
kepayang. Dia tidak peduli lagi dengan kedudukannya sebagai orang kedua di
Panji Tengkorak. Pikirannya selalu tertuju pada pendekar tampan yang telah menancapkan
panah cinta di hatinya.
"Lintang...."
Saka Lintang menoleh setelah mendengar suara panggilan dari
belakang. Kala Srenggi sudah berdiri di balik punggungnya. Saka Lintang menjauh
dan ber-balik.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Saka Lintang ketus.
Dia tahu kalau Kala Srenggi selalu berusaha mendekatinya.
"Aku ingin bicara padamu," sahut Kala Srenggi
memasang senyum yang menawan.
"Tentang
apa?"
"Tentang
kita."
Saka Lintang mengemtkan keningnya. Bagi
Saka
Lintang, senyum Kala Srenggi seperti
seringai serigala liar kelaparan. Sedang bagi Kala Srenggi, melihat Saka
Lintang bagai melihat bidadari turun dari kahyangan. Bukan rasa cinta yang ada
di hati, tetapi nafsu birahi yang berkobar-kobar.
"Sejak pertama aku melihatmu, rasanya aku tidak bisa
hidup tanpa kau, Lintang," Kala Srenggi mengobral rayuannya.
"O..., apakah kau pantas denganku?" cibir Saka
Lintang.
"Kenapa tidak? Aku toh tidak terlalu jelek untukmu.
"Tapi kau
tidak bisa menandingiku!"
"Lintang!"
merah padam wajah Kala Srenggi.
"Kalahkan aku dulu, baru kau boleh berkata begitu
padaku!"
Kala Srenggi menelan ludahnya. Terasa pahit.
Mana mungkin Saka Lintang dapat
dikalahkannya. Ilmu silatnya di bawah gadis ini. Kala Srenggi pernah merasakan
jurus 'Tarian Bidadari' dan dia tak ingin merasakannya lagL
"Bukankah cinta tidak mengenal tingkat kepandaian,
Lintang," kata Kala Srenggi lagi.
"Siapa bilang? Bagiku, laki-laki yang ingin memilikiku,
tingkat kepandaiannya harus lebih daripada aku!" tetap ketus suara Saka
Lintang.
"Seperti Pendekar Rajawali Sakti itu?!" Kala
Srenggi mendongkol.
Saka Lintang terkejut. Dia tidak menyangka kalau Kala
Srenggi tahu dirinya tengah kasmaran. Nada suara Kala Srenggi memberi isyarat
kalau dia tengah cemburu.
'Pendekar Rajawali Sakti musuh ayahmu, musuh Panji
Tengkorak. Berarti juga musuhmu, Lintang. Bagaimana mungkin kau bisa
mengharapkan dia!" Kala Srenggi coba beri pengertian.
"Dia bukan musjuhku. Aku tidak pernah bermusuhan dengan
Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Saka Lintang.
"Mana mungkin dia bukan musuhmu, sedang kau putri ketua
Panji Tengkorak."
"Apa
urusanmu?"
"Jelas ada urusannya denganku. Geti Ireng mengijinkan
aku untuk menikahimu. Dan aku tidak rela jika Pendekar Rajawali Sakti merebutmu
dari tanganku!"
"Gila! Siapa sudi menikah denganmu? Kau boleh merangkak
di bawah kakiku, tapi jangan harap aku dapat jadi milikmu!"
Kala Srenggi makin merah
mukanya. Kata-kata
Saka Lintang telah menghina dan
merendahkan dirinya. Sungguh panas telinga Kala Srenggi mendengar ucapan Saka
Lintang itu. Darahnya segera mendidih, bergolak penuh kemarahan.
"Dengar, Saka Lintang. Penghinaanmu tidak akan
kulupakan. Sekarang kedudukanmu masih kuat. Tapi nanti, setelah kau lepas dari
Geti Ireng.... Kau akan menyesal!" Kala Srenggi mengancam penuh kemarahan.
"Heh, main ancam segala rupanya," cibir Saka
Lintang mengejek.
"Huh! Dasar anak pungut tidak tahu diri!" dengus
Kala Srenggi geram.
Setelah berkata demikian, Kala Srenggi melompat ke luar dari
bangsal rumah besar.
"Hey!" Saka Lintang terkejut setengah mati
mendengar kata-kata terakhir Kala Srenggi.
Saka Lintang segera melompat ke luar, namun Kala Srenggi
sudah tak terlihat lagi. Saka Lintang celingukan, lalu melompat ke atap.
Matanya yang tajam memandang ke sekeliling, namun Kala Srenggi benar-benar
tidak terlihat lagi.
"Anak pungut...," gumamSaka Lintang berulangulang.
Benarkah dia anak pungut? Anak
pungut Geti Ireng? Lalu siapa orang tuanya yang sebenarnya?
***
Setelah didesak, Emban Girika akhirnya menceritakan asal
usul Saka Lintang. Wanita gemuk itulah yang mengurus Saka Lintang sejak kecil.
"Saya diperintah merawat Nini Lintang ketika masih
berusia satu tahun. Waktu itu Panji Tengkorak masih partai kecil. Gusti Geti
Ireng masih mencari pengaruh dan kekuatan. Dia mengembara dari satu dusun ke
dusun yang lain. Beliau tidak bisa mengurus Nini Lintang, maka sayalah yang
diperintah merawat Nini di lembah ini," kata Emban Girika.
"Lalu siapa orang tua saya sebenarnya?" tanya Saka
Lintang tidak sabar.
"Sabar dulu, Nini. Saya akan ceritakan dari
awalnya," Emban Girika menarik napas panjang sebentar." "Ketika
itu Gusti Geti Ireng memasuki desa Kali Anget. Di desa itu beliau mendapat
perlawanan sengit dari Kepala Desa. Namun Kepala Desa itu akhirnya terbunuh
bersama istri dan anakanaknya. Hanya satu yang selamat, seorang bocah perempuan
berumur satu tahun."
"Anak perempuan itu saya 'kan, Bi?" celetuk Saka
Lintang makin tidak sabar.
"Benar. Gusti Geti Ireng membawa anak perempuan itu,
karena kedua istrinya tidak
mempunyai anak sampai
meninggal!"
"Apakah
dibunuh ayah juga?"
"Ya, kedua istri Gusti Geti Ireng ingin melarikan diri.
Mereka tidak tahan melihat Gusti Geti Ireng begitu kejam membunuh siapa saja
yang berani menentangnya."
Saka Lintang gemetar seluruh tubuhnya. Berbagai perasaan
berkecamuk di dadanya. Dia tidak tahu, apakah harus marah, kecewa, atau
berterima kasih pada ayah angkatnya yang telah merawat dan mendidiknya hingga
menjadi seorang wanita yang berilmu.
Tetapi laki-laki itu juga yang membunuh selumh keluarganya.
Saka Lintang tidak tahu apakah dia harus membalas kematian orang tua dan
saudarasaudaranya? Apakah akan dilupakan saja kejadian itu? Orang yang selama
ini dianggap ayahnya sekaligus pelindung yang menyayangi dan dihormatinya itu,
ternyata pembunuh keluarganya.
Haruskah dia tinggal diam?
Saka Lintang merasa menyesal, kenapa dia
harus mengetahui semua ini. Seharusnya dia tidak perlu tahu, sehingga tidak
dituntut untuk berbakti kepada orang tuanya. Bakti seorang anak yang orang
tuanya dibunuh laki-laki yang kini jadi ayah angkatnya. Haruskah menuntut
balas?
"Tidaaak...!" Saka Lintang menjerit sekuatkuatnya.
"Nini..., Nini Lintang...," Emban Girika jadi
ketakutan melihat Saka Lintang mengamuk memporak-porandakan kamamya.
"Tidak! Dia bukan pembunuh orang tuaku!
Tidak...!" jerit Saka Lintang
sambil meloloskan pedangnya.
Dengan sekali tebas saja, tiang tempat tidur patah jadi dua.
Pembaringan yang beralaskan kain surra halus itu pun ambruk disertai suara
gemuruh.
Belum juga puas, Saka Lintang
membabatkan pedangnya ke sana kemari seperti kesetanan. Lalu dia jatuh
terduduk, menunduk lemas. Isaknya terdengar memilukan.
Batin gadis itu tergoncang hebat. Sulit baginya menerima
kenyataan yang menyakitkan ini. Saka Lintang merasa hidupnya tiada berguna
lagi. Semua orang akan mengejek dan menertawakan dirinya.
"Gusti Yang Agung, betapa berat cobaan yang kau berikan
padaku!" Saka Lintang menangis terisak menyesali hidupnya. "Mengapa
aku tidak sekalian dibunuh saja, Bi. Kenapa Geti Ireng mengambilku sebagai
anak? Kenapa, Bi...?"
'Tabahlah, Nini. Semua ini sudah kehendak Sang Hyang Widi.
Nini harus menerima kenyataan ini dengan hati lapang," kata Emban Girika
juga tidak kuasa menahan air matanya. "Percuma saya hidup, Bi."
"Nini jangan berkata begitu. Gusti Geti Ireng memang telah membunuh orang
tua dan saudarasaudaramu. Tapi Gusti Geti Ireng juga telah merawat, mendidik,
dan membesarkan Nini sampai menjadi wanita berilmu sekarang ini. Bagaimanapun
juga Nini berhutang budi padanya."
'Tapi dia
membunuh keluargaku, Bi!"
"Memang kewajiban seorang anak menjunjung tinggi martabat orang tuanya. Hanya masalahnya sekarang, pembunuhnya justru ayah angkat Nini sendiri."
"Katakanlah, Bi. Apa yang harus saya lakukan?"
Saka Lintang kelihatan putus asa.
Emban Girika tidak menjawab. Memang serba sulit untuk
menjawabnya, Dia bersedia tinggal di lembah ini karena merasa kasihan melihat
Saka Lintang kecil yang masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia juga
membencl Geti Ireng yang telah membunuh seluruh keluarganya.
Kedudukan Emban Girika di lembah ini tidak ubahnya seperti
tawanan. Bisa dikatakan dia adalah budak. Emban Girika hanya bisa menerima
nasib. Dia tidak mungkin mampu mengalahkan Geti Ireng yang sakti. Dia sadar tak
mampu melawan karena hanya seorang wanita desa yang lemah tidak mengerti ilmu
silat dan kesakiian apa pun.
Pada saat mereka terdiam, di luar terdengar suara-suara
ribut. Suara senjata beradu dan jeritan meiengking, saling menyusul. Saka
Lintang terdongak, lalu melompat keluar menembus dinding yang terbuat dari
potongan kayu papan.
"Nini Lintang..,!" Emban Girika
bergegas ke luar. Apa sebenarnya yang terjadi?
***
Suasana di Lembah Tengkorak seperti medan pertempuran.
Orang-orang dari partai Teratai Putih bertarung gigih dibantu partai-partai
golongan putih lainnya melawan orang-orang Panji
Tengkorak.
Penyerbuan yang mendadak dan tak terduga ini membuat
orang-orang Panji Tengkorak kelabakan. Namun mereka semua bukanlah orang-orang
sernbarangan.
"Pradya Dagma! Mana Kala Srenggi?" suara Geti
Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak menggelegar di tengah-tengah suara
pertempuran.
"Dia kabur!" sahut Pradya Dagma sambil terns
mengebutkan tasbih mutiara saktinya.
"Pengecut! Kupecahkan kepalanya nanti!" geram Geti
Ireng.
Pertempuran terns berlangsung. Korban dari kedua belah pihak
mulai berjatuhan. Darah mengalir membasahi Lembah Tengkorak ini. Mayatmayat
bergelimpangan tak tentu arah. Sebentar saja pemandangan lembah ini kian
mengerikan. Bau anyir darah menyebar terbawa angin.
"Geti
Ireng!"
Geti Ireng menoleh. Tiba-tiba saja
seorang tokoh tua berjubah putih melompat ke depan. Tokoh tua
Ini adalah Begawan Pasopati, guru
besar dari partai Teratai Putih. Tongkat galian asam dengan cincin emas
berbentuk kepala naga diacungkan ke depan. Matanya tajam menatap Geti Ireng
yang tegak menggenggam tongkat berkepala tengkorak.
"Hm, Begawan Pasopati. Rupanya kau ikut ambil bagian
juga dalam kerusuhan ini," gumam Geti Ireng dingin.
"Kerusuhan terakhir dari sepak terjangmu!" balas
Begawan Pasopati tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Akan kulihat, sampai di mana nama
kosongmu!" ejek Geti Ireng.
'Tahan seranganku!" pekik Begawan Pasopati segera
melompat menyerang.
Geti Ireng mengernyitkan keningnya sedikit
Rupanya Begawan tua ini langsung
mengeluarkan jums 'Naga Menggempur Gunung'. Geti Ireng tahu kehebatan jurus ini.
Makanya dia tak sungkan lagi meladeninya. Dikeluarkannya jurus 'Tongkat Maut'
yang menjadi andalannya dibarengi dengan 'Aji Sangkala Bayu'. Dengan ajian ini
tubuh Geti Ireng bergerak seringan kapas. Gerakannya semakin cepat dan lincah.
Menyadari lawan telah menggunakan ajiannya, Begawan Pasopati
segera merapal aji pamungkasnya.
'Aji Batara Karang'. Sekejap saja
selumh tubuh Begawan ini bercahaya menyilaukan mata.
"Setan! Kau licik, Begawan Pasopati!" dengus Geti
Ireng. Cahaya menyilaukan yang terpancar dari tubuh Begawan itu membuat mata
jadi perih. Geti Ireng tidak dapat melihat jelas di mana Begawan
Pasopati berada.
Merasa keadaannya tidak menguntungkan. Geti Ireng segera
melompat tinggi sambil memekik nyaring. Lalu dengan cepat dia meluncur ke bawah
dengan ujung tongkatnya terarah ke
kepala
Begawan itu. "Awas,
Eyang...!"
Begawan Pasopati menjatuhkan tubuhnya sambil mengebutkan
tongkat ke udara. Serangan Geti Ireng luput. Hampir saja tongkat Geti Ireng
mengenai Bega¬wan itu kalau tidak cepat-cepat berkelit di udara.
"Saka Lintang! Lancang kau!" dengus Geti Ireng
mengetahui peringatan itu datang dari putrinya sendiri.
"Hentikan semua kekejamanmu, Geti Ireng!" keras
sekali suara Saka Lintang.
"He! Sejak kapan kau berani membentak ayahmu?!"
Geti Ireng terkejut heran.
"Sejak aku
tahu, kau bukan ayahku!"
Geti Ireng terlonjak kaget sampai melompat dua tombak.
"Dari mana kau tahu?" tanya Geti Ireng menahan
napas.
"Kala
Srenggi!"
"Setan alas! Bocah itu harus
mampus!" jerit Geti
Ireng kalap.
Setelah berkata demikian, Geti Ireng segera melompat tinggi
ke udara.
"Geti Ireng, jangan lari kau!" teriak Begawan
Pasopati seraya menggenjot tubuhnya ke udara.
Namun baru saja dia melesat, tiba-tiba Geti
Ireng melempar jarum-jarum
beracunnya. Begawan Pasopati tersentak. Dengan cepat diputar-putar tongkatnya
bagai baling-baling untuk menangkis serangan gelap itu.
Jarum-jarum berpentalan terkena sambaran tongkat. Malangnya,
jarum-jarum itu menyambar orang¬orang yang tengah bertempur di bawah. Jerit
kesakitan terdengar dari beberapa orang yang terkena. Senjata rahasia jarum
beracun itu sangat ampuh. Dalam sekejap orang yang terkena akan mati. Tubuhnya
membiru dan kaku.
"Kejam! Semua dewa mengutukmu, Geti Ireng!" geram
Begawan Pasopati. Giginya gemerutuk menahan amarah. Tidak sedikit
murid-muridnya yang terkena sambaran jarum-jarum beracun itu.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Begawan Pasopati!"
seru Geti Ireng, kembali melenting dengan meminjam landasan daun yang melayang
dihembus angin.
Ketika tubuh Geti Ireng meluncur satu tombak, tiba-tiba
sebuah bayangan cepat menghadangnya. Geti Ireng tersentak kaget. Dengan cepat
dia meluncur ke bawah sambil berlompatan beberapa kali di udara.
Baru saja kakinya menjejak tanah, bayangan itu kembali
menyerang. Gerakannya sangat cepat sehingga sulit diikuti mata. Geti Ireng
kewalahan hingga jatuh bangun menghindari serangan cepat yang beruntun.
"Demit busuk! Siapa kau?" teriak Geti Ireng
kesal.
"Aku
Pendekar Rajawali Sakti!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, tibatiba di hadapan
Geti Ireng telah berdiri seorang pemuda tampan dengan pedang bergagang kepala
burung rajawali. Begawan Pasopati tersenyum melihat kedatangan pendekar muda
itu. Dia sudah pernah bertemu ketika pendekar itu berkunjung di kediamannya.
Saka Lintang yang melihat kemunculan pendekar itu menjadi
berseri-seri. Dia berharap pendekar itu tahu kalau dirinya benar-benar membenci
Panji Tengkorak. Saka Lintang berusaha menarik simpati Pendekar Rajawali Sakti
dengan membanru tokohtokoh aliran putih membasmi Panji Tengkorak. Dia memekik
keras membabati orang-orang Panji
Tengkorak.
Tentu saja perbuatan Saka Lintang sangat mengejutkan semua
anggota Panji Tengkorak. Mereka tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang yang
tiba- tiba memusuhi mereka. Tapi sikap Saka Lintang mendapat sambutan hangat
dari tokohtokoh golongan putih. Mereka tahu sepak terjang gadis itu liar dan
kejam.
"Minggir semua! Biar kuhabisi mereka!" teriak Saka
Lintang.
"Minggir!" perintah Begawan Pasopati memberi
kesempatan pada Saka Lintang. Dia sudah mengerti duduk persoalannya. Sebab
Begawan Pasopati tadi telah mendengar sedikit pembicaraan Saka Lintang dengan
Geti Ireng.
Mendengar perintah dari Begawan Pasopati, seluruh
murid-murid Te ratai Putih dengan cepat berlompatan ke luar arena. Tidak
ketinggalan tokoh-tokoh golongan putih lain bersama muridmuridnya mengikuti
petunjuk Begawan Pasopati.
"Lintang!
Sudah gila, kau!" bentak Geti Ireng.
"Arwah ayah ibuku akan mengutuk kalau Panji Tengkorak
belum musnah di tanganku!" sahut Saka Lintang keras dan lantang.
"Lintang, aku ayahmu. Aku yang
membesarkanmu!"
"Tidak! Kau bukan ayahku, kau pembunuh ayah ibuku! Aku
memang berhutang budi padamu, tapi kau juga berhutang nyawa padaku. Bahkan,
seluruh nyawa anggota Panji Tengkorak belum cukup menebus nyawa
keluargaku!"
Merah padam muka Geti Ireng. Rahasia yang selama ini
ditutup-tutupinya, akhirnya terbongkar juga. Rahasia ini bocor karena ulah Kala
Srenggi. Geti Ireng benar-benar murka. Dia belum puas kalau belum mematahkan
batang leher Kala Srenggi dan menghirup darahnya.
"Demi balas budiku, aku tidak akan membunuhmu. Aku
hanya ingin melenyapkan seluruh anggota Panji Tengkorak," kata Saka
Lintang lagi.
Semua anggota Panji Tengkorak yang terdiri dari tokoh-tokoh
golongan hitam terkejut bergetar. Mereka semua tahu siapa Saka Lintang. Apalagi
rata-rata mereka sudah pemah merasakan kehebatan gadis ini.
"Bersiaplah kalian semua menghadapi ajal!" dengus
Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang berteriak nyaring.
Tanpa basa-basi lagi, pedangnya berkelebat cepat mencari mangsa. Saka Lintang
segera mengeluarkan jurus pedang andalannya yang dibarengi dengan jurus
'Pukulan Geledek' yang sangat dahsyat. Beberapa tokoh anggota Panji
Tengkorak bemsaha membendung
serangan Saka Lintang, namun hanya beberapa gebrak saja, tiga orang tersungkur
mandi darah.
'Lintang,
berhenti!" teriak Geti Ireng.
''Tidak, sebelum semua anggota Panji Tengkorak musnah!"
sahut Saka Lintang terus mengamuk.
"Bocah gila! Kubunuh kau!" geram Geti Ireng murka.
Bersamaan dengan habisnya kalimat itu, Geti Ireng menggenjot
tubuhnya menuju ke arah Saka
Lintang yang tengah merubah jurusnya
dengan 'Tarian Bidadari'. Namun belum sempat Geti Ireng sampai, sebuah bayangan
kembali menahannya. Terpaksa Geti Ireng bersalto di udara dan turun lagi ke
tanah.
"Kau masih punya persoalan denganku, Geti Ireng,"
kata Rangga tegas.
"Aku tidak punya urusan denganmu. Minggir!" sentak
Geti Ireng.
"Urusan lama belum terselesaikan!" dingin suara
Rangga.
"Siapa kau?'
tanya Geti Ireng.
"Aku Rangga, bocah kecil yang kau
lemparkan ke dalam jurang Lembah Bangkai!"
Lagi-lagi Geti Ireng tersentak kaget. Sungguh di luar
dugaan, hari ini dia menghadapi persoalanpersoalan yang terjadi karena
peristiwa puluhan tahun yang lalu. Persoalan-persoalan yang telah teriupakan.
Bocah kecil yang dilempamya ke jurang dulu, kini tiba-tiba datang untuk
menuntut balas atas kematian kedua orang tuanya. Padahal pikirnya, bocah itu
telah mati dilumat oleh batu cadas dasar jurang Lembah Bangkai!
"Ha ha ha...!" Geti Ireng tertawa terbahakbahak.
Tawanya sangat keras karena dibarengi oleh penyaluran tenaga dalam yang
sempurna.,
Betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Geti Ireng
hingga membuat gendang telinga sakit karena tawanya itu. Beberapa orang yang
kemampuan ilmunya masih rendah,
kesakitan sambil memegang kedua telinga. Dari mata dan telinga, darah segar
mengaiir. Mereka berguling-guling di tanah menahan rasa sakit. Tokoh-tokoh yang
berilmu tinggi pun harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk meredam suara tawa
itu.
Saka Lintang yang tengah kalap, segera menghentikan
pertarungannya. Cepat-cepat disalurkan hawa mumi ke bagian telinganya.
Dirapalkannya 'Aji Pemecah Suara'. Ajian ini telah diajarkan oleh Geti Ireng
sendiri untuk menangkal lawan yang bisa mengeluarkan suara keras. Terbukti
suara Geti Ireng hanya terdengar biasa di telinga Saka Lintang. Memang ampuh
ajian ini.
Kesempatan ini tidak disia-siakan. Gadis itu
dengan cepat mengayunkan pedangnya menyerbu ang-gota Panji Tengkorak yang sibuk
menahan serangan suara tawa Geti Ireng.
***
Melihat korban telah cukup banyak, Rangga meng-geram menahan
amarahnya. Tiba-tiba dia membentak dengan pengerahan tenaga dalam yang luar
biasa.
Betapa hebat akibat bentakan Rangga. Di Lembah Tengkorak
bagaikan terjadi gempa. Batubatu ber-jatuhan dan pohon-pohon bertumbangan.
Orang-orang yang berada di sekitar situ sampai terlompat beberapa tombak.
"Setan!" umpat Geti Ireng yang terlonjat sampai
dua tombak ke belakang.
"Tidak pantas kau mengumbar ilmu iblis di depan ku,
Geti Ireng!" dengus Rangga.
"Kurobek mulutmu, bocah setan!" geram
Geti
Ireng.
Setelah selesai kata-katanya, Geti Ireng segera berteriak
nyaring, dan tak tanggung-tanggung, dikeluarkannya jurus 'Tongkat Maut Mencabut
Nyawa'. Rangga menghadapinya tanpa mengeluarkan jurus andalan. Dia hanya
berkelit menghindari setiap serangan lawan, sehingga membuat Geti Ireng makin
marah.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Semua orang yang
menyaksikan tertahan napasnya. Rangga seperti mempermainkan Geti Ireng saja.
Setiap kali ujung tongkat nyaris menyentuh tubuhnya, Rangga berkelit Beberapa
kali Geti Ireng merasa tertipu oleh gerakan Rangga yang tak terduga itu.
"Kena!"
teriak Rangga tiba-tiba.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu kaki Rangga berhasil
menyepak punggung Geti Ireng yang lowong. Geti Ireng bergulingan di tanah.
Dengan cepat dia bangkit kembali. Di saat yang bersamaan, Saka Lintang memekik
tertahan. Hatinya terkesiap melihat ayah angkatnya terguling kena tendangan
Pendekar Rajawali Sakti.
Geti Ireng membuka serangan kembali. Hatinya penasaran
bercampur malu. Sudah tiga jurus dimainkan, tapi belum juga dapat menjatuhkan
lawan nya. Malah kaki lawan telah mampir di punggungnya. Memang tidak
berbahaya. Tapi menyebabkan Geti Ireng kehilangan muka. Pendekar muda itu telah
mempermainkannya di depan orang banyak.
Rangga mendorong kedua tangannya ke depan. Kesepuluh jari
tangannya mengembang bagai sepasang cakar. Rangga mengeluarkan jurus 'Cakar
Rajawali'.
"Hiya...!"
Dengan suatu teriakan geledek, Rangga mendahului menyerang.
Gerakannya sangat cepat, sehing¬ga tubuh Pendekar Rajawali Sakti hanya terlihat
ba-yangannya saja. Geti Ireng makin kewalahan mengha-dapi jums pendekar muda
ini.
Hingga tiba saatnya....
"Akh!"
pekik Geti Ireng tertahan.
Tubuh Geti Ireng terdorong ke belakang sejauh dua tombak.
Tangannya mendekap dada. Dari mulut menyembur darah kental kehitaman.
Cepatcepat disi-langkan tongkamya ke depan dada. Dan darah kental kehitaman
kembali menyembur ke luar. "Ayah...!" pekik Saka Lintang.
Gadis yang juga membenci ayah angkatnya ini, ternyata
mengkhawatirkan keadaannya. Batinnya terus berkecamuk antara benci dan rasa
hutang budi. Bagaimanapun juga laki-laki itu telah merawat, membesarkan, dan
mendidiknya sampai dia dewasa. Figur seorang ayah pada Geti Ireng sulit
dilupakannya.
"Lintang, jangan!" sentak Geti Ireng yang melihat
Saka Lintang sudah mengeluarkan gabungan dari jums 'Tarian Bidadari' dengan
'Ular Berbisa
Menyebar Racun'.
Namun gadis itu sudah tidak mendengar lagi peringatan
ayahnya. Dengan cepat Saka Lintang menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Gerakangerakan Saka Lintang segera berubah gemulai setelah berada di depan
pendekar muda itu.
"Ah, indah sekali tarianmu," Rangga
memperhatikannya dengan senyum tersungging.
"Hati-hati, Pendekar Rajawali Sakti. Jurus itu sangat
berbahaya!" Begawan Pasopati mengingatkan.
"Dia hanya menari, Eyang Begawan," sahut
Rangga sambil merentangkan kedua
tangannya.
Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak-gerak gemulai.
Seperti sepasang sayap yang terkembang akan terbang. Itulah jurus 'Rajawali
Pentang Sayap'.
Suatu jurus yang sebenarnya bukan
jurus andalan. Jurus ini dikeluarkan karena Rangga menganggap jurus yang
dikeluarkan Saka Lintang tidak berbahaya. Dan lagi Rangga tidak ingin gadis itu
celaka. Hanya satu yang ingin dicabut nyawanya yakni, Geti Ireng!
Semua orang yang menyaksikan, menahan napas ketika gerakan
gemulai dari jurus 'Tarian Bidadari' berubah menjadi cepat dan masuk ke
beberapa bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun pendekar muda itu hanya
mengepak ngepakkan kedua tangannya saja sambil berlompatan kian kemari
menghindari setiap totokan dan pukulan maut Saka Lintang.
"Gila! Ilmu setan apa yang
dimilikinya?!" dengus
Geti Ireng keheranan.
Racun yang menyebar dari setiap gerakan Saka Lintang tidak
berarti apa-apa pada Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan setiap kali tangan mereka
beradu, pendekar itu tidak terpengaruh sama sekali. Padahal seluruh tubuh Saka
Lintang kini tengah menyebarkan racun yang sangat dahsyat dan mematikan.
"Akh...!"
tiba-tiba Saka Lintang terpekik.
Punggungnya terkena tepukan tangan kanan Rangga. Gadis itu
jatuh bergulingan di tanah. Dia bergegas bangkit lagi dan bersiap-siap
menyerang kembali. Niat itu tiba-tiba terhenti ketika mendadak saja Geti Ireng
menggantikannya dengan jurus-jurus maut
Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega', jurus andalan kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali
Sakti'. Dengan jurus ini, kaki Rangga bergerak cepat bagai tidak menyentuh tanah.
Kedua tangannya selalu mengembang bergerak-gerak cepat mengikuti irama gerak
tubuhnya yang meliuk-liuk lentur.
Geti Ireng makin kebingungan melihat gerakangerakan yang
aneh dari pendekar muda ini. Setiap serangannya selalu kandas mengenai tempat
kosong, Dalam keputusasaannya itu, tiba-tiba kaki Rangga berhasil mendarat di
dada Geti Ireng.
"Ukh!" Geti Ireng kembali memuntahkah darah kental
kehitamaa
Belum sempurna posisi Geti Ireng, tiba-tiba tangan kiri
Pendekar Rajawali Sakti menyampok pinggang Geti Ireng. Tak ayal lagi, tubuh
Iblis Lembah Tengkorak ini melayang ke angkasa.
Dengan tetap menggunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega', Rangga mengejamya.
Sukar untuk dibayangkan. Tubuh Rangga meluncur cepat
mengejar Geti Ireng yang terlontar ke udara. Tiba-tiba tubuh yang melayang itu
terhajar oleh Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayah...,!" pekik Saka Lintang keras, melihat
tubuh Geti Ireng terpotong-potong di angkasa.
Rangga atau Pendekar Rajawali
Sakti melemparkan setiap potongan tubuh ke tanah. Dan sungguh hebat! Setiap
potongan yang jatuh ke tanah, tersusun kembali seperti semula. Namun darah
telah meng-genang di sekitarnya. Pendekar Rajawali Sakti turun kembali dengan
manis di tanah.
***
Melihat pemimpinnya tewas dengan tubuh terpotong-potong,
tokoh- tokoh hitam yang tergabung di bawah Panji Tengkorak, segera mengambil
langkah seribu.
"Pendeta Murtad! Berhenti kau!" teriak Pragola
yang melihat Pradya Dagma melarikan diri dengan mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya.
"Pragola,
jangan!" teriak Begawan Pasopati.
Pragola tidak mendengarkannya lagi. Dia telah lebih dulu
mencelat mengejar pendeta murtad itu. Tokoh-tokoh lain dari golongan putih pun
segera berlompatan mengejar anggota-anggota Panji Tengkorak yang telah kabur.
Begawan Pasopati pun segera mencelat mengejar Pragola. Dia khawatir karena
murid kesayangannya itu mengejar lawan yang bukan tandingannya.
Dalam sekejap saja di Lembah Tengkorak tinggal Pendekar
Rajawali Sakti dengan Saka Lintang.
Secara bergantian, Saka Lintang
menatap tubuh
Iblis Lembah i Tengkorak dan
Pendekar Rajawali Sakti. Batinnya terus berperang antara percaya dan tidak,
antara kenyataan dan khayalan. Dia ingin menangis, marah, mtmbenci, tapi tidak
tahu kepada siapa semua dilim-pakkannya.
"Dia ayahmu?" tanya Rangga dengan suara pelan dan
hati-hati.
Saka Lintang hanya menatap saja tanpa berkedip pada Pendekar
Rajawali Sakti yang juga tengah menatapnya. Dada gadis itu bergemuruh, tidak
tahu bagaimana perasaannya saat ini.
Eiitah terdorong rasa apa, tanpa diminta lagi Saka Lintang
menceritakan semua yang diketahui tentang dirinya berdasarkan cerita Emban
Girika. Rangga mendergarkan tanpa memotong sedikit pun. Sampai Saka Lintang
selesai bercerita, Rangga masih tetap berdiam diri.
"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi.
Aku...."
"Maaf, Lintang. Masih banyak tugas yang harus
kuselesaikan," potong Rangga cepat.
Saka Lintang
terdongak.
"Selamat
tinggal!" seru Rangga.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya sudah melesat ke udara,
meluncur cepat menembus hutan dan meng-hilang dari pandangan mata.
"Rangga....!" Saka Lintang menjerit sekuatkuatnya.
Saka Lintang menghentakkan kakinya dengan kesal. Dalam
kesempatan yang sempit tadi, dia sudah berusaha menarik simpati pendekar tampan
itu. Namun kini Rangga meninggalkannya sendirian. Saka Lintang sungguh kecewa.
Cintanya yang berkotar-kobar tidak terbalaskan.
Dari cinta yang tak terbalaskan itu, membuat
Saka Lintang membenci Pendekar
Rajawali Sakti. Wajalnya seketika berubah tegang memerah. Rasa cinta dan benci
bercampur jadi satu. Sikap Rangga terasa sangat merendahkan harga dirinya.
"Satu saat nanti, kau akan bertekuk lutut di bawah
kakiku!" desis Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang melangkahkan kakinya
meninggalkan markas Panji Tengkorak, tempat dia dibesarkan. Tempat yang penuh
kenangan manis dan pahit. Kakinya terayun dengan satu tujuan, mencari dan ingin
menaklukkan pendekar tampan yang telah merobek-robek hatinya. Mampukah Saka
Lintang menaklukkan Pendekar Rajawali Sakti?
Nah, bagi paia pembaca yang mau
tahu petualangan selanjutnya dari Saka Lintang, silakan ikuti kisah berikutnya
dalam 'Bidadari Sungai Ular'.
TAMAT
No comments:
Post a Comment