MAUT BERNYANYI DI PAJAJARAN
SATU
Di bawah terik
panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang dan
gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal, menutup
pemandangan beberapa saat lamanya.
Suara siulan
aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar di lereng
bukit di ujung pedataran. Siulan aneh
ini seperti mau menerpa dan menumbangkan hembusan angin gersang yang datang
dari pedataran.
Tiba-tiba sekali suara siulan aneh
ini terhenti!
Sebagai gantinya mengumandangkan
suara tertawa mengekeh di seantero bukit.
Pemuda berpakaian putih yang ada di
puncak bukit saat itu memandang ke samping. Sebelum jelas telinganya menangkap
suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah melesat ke arahnya. Kalau saja
dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian mukanya kena
disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut
gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan
aneh tadi itu!.... Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja
setengah harian berjalan tahutahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya!
Dia memandang ke arah datangnya semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia
palingkan kepala mendadak dari atas menderulah ratusan tetes cairan tadi
laksana air hujan yang deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan
hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes cairan itu muncrat kembali ke
atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon tembus
berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku! Gelak
mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum juga
dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa
itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya.
Hatinya penasaran sekali. Sambil
garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju
lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke langit,
mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari
atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun
pohon yang lebarlebar dan lebat.
“Manusia di
atas pohon!,” bentak pemuda itu: “Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!”
Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas.
Serangkum angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu.
Ranting dan cabang berpatahan.
Daun-daun berguguran. Hampir
sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah
menjadi ranggas gundul!
Dan di puncak batang pohon yang masih
utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena
tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang
sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari
pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira
satu meter.
Bumbung bambu seperti itu masih ada
satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu itu
berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi yang telah
disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon!
Pukulan tangan kosong si pemuda yang
telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau tak mau akan membuat
mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon. Sekurang-
kurangnya akan membuat terluka
tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si janggut putih tetap saja
duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu, bahkan sambil
meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa! Bukan
main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia
tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu
pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia
adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang
memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang
mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksudmaksud baik. Tapi mengapa
tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si
pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya
bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke puncak
pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter.
“Kalau
aku tidak salah lihat bukankah hari
ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia
persilatan yang digelari Dewa Tuak?”
Orang tua di puncak pohon elus
jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi. “Orang muda!
Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini!
Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan
meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan
tuaknya dari “kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari
tandingan.
Si pemuda
tersenyum. “Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak.
Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu.... Terima kasih atas
kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan
yang selama ini namanya dikenal di
delapan penjuru angini”
“Ah, kau keliwat memuji, orang muda,”
jawab Dewa Tuak pula. “Aku sudah lihat kau sejak dari ujung pedataran gersang
sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak undanganku.
Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?” Si pemuda berpikir sebentar.
Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan
bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup
rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi
maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon
itu selebar meja
bundar
luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun
ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.
“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,”
kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang
pohon.
“He... he...
he...,” Dewa Tuak girang sekali. “Memang tak ada ruginya menerima undanganku
orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau tihat
dengan jelas!”
Memang ketika duduk di atas pohon itu
si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak
segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak muda?”.
Si pemuda itu menjawab. “Pernah
juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia
melihat dan membual serta akan
merasakan minuman yang
bernama tuak itu. Disambutinya
bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung
yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang
muda, silahkan minum!”. Dewa Tuak memperbasakan: “Kau harus tahu, tuakku tuak
murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding
dari pohon ini!”
Si pemuda
tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu
menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya
menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali,
orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“.
Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu...”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak
rampok...,” kata Dewa Tuak pula. “Dan rampoknya orang situ-situ juga”
Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak
tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan?
Dewa Tuak agaknya maklum apa yang
terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata: “Aku malas dan bosan dengan
urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi
di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib
mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya...”
Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali.
Setelah diam
beberapa lamanya bertanyalah si pemuda: “Dewa Tuak, apakah pohon besar ini
tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau
betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini
jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu... !” Dewa Tuak
tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut. “Aku senang pada
pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok
buat jodoh muridku!”
Dewa Tuak
meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda.
Akan tetapi si pemuda tentu saja
kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak
itu. Mukanya
merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh,
pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung
bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali.
“Dahagaku
sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan
sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih belum
bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum kau
lihat. Kenapa musti kesusu?”.
Si pemuda
tersenyum. “Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda
ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu...”. Dewa
Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu.
“Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau
berjodoh dengan dia! Mari kita turun!”.
Dewa Tuak menarik lengan si pemuda
dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi
sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus.
Dia menjura hormat: “Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima
kasih atas suguhanmu!”
Tapi baru saja si pemuda berlalu
beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali.
Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata
Dewa
Tuaklah yang empunya benang itu dan
menariknya.
“Anak muda, aku sudah bilang kenapa
buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku...
Mari...”
Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan
semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda:
“Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam
aku ini mana pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau!
Masih banyak lain orang yang lebih pantas!”
Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi
benang sutera halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus
itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya.
Tapi dia khawatir itu akan membuat
Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak
mengeluarkan Suara suitan aneh.
Sesosok
bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis
berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda
rambut gondrong itu tertarik juga.
“Orang muda?
Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana...?” Paras si pemuda
jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu
dan dadanya hampir menempel.
“Muridmu
memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda. “Tapi tampangku yang terlalu buruk
sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri.
Dewa Tuak. Selamat tinggal!”
Habis berkata demikian si pemuda
sentil benang sutera yang melilit pinggangnya.
Benang itu putus!
“Pemuda
geblek! Dikasih perawan malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia berseru: “Hai
pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”. Orang tua ini keluarkan
segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah
larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan
telapak tangan kanannya ke belakang.
Sesiur angin
kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus menyambar ke arah si
orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena maklum angin yang
datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin memberantakkan
semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak”
Tak ampun lagi
pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di
seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya. “Sayang...
sayang...,” katanya. “Sayang aku tak dapatkan itu pemuda...”. Ketika dia
memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada
bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir
berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang
pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka
dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung.
Tiga deretan
angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu.
Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu golongan hitam!
Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan
gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya
besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah
dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang
tokoh gagah dengan gelar: “Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...”!
Dewa Tuak palingkan kepala pada anak
muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat kehebatan
itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia!
Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan
kembali kepertapaan...”
“Tapi guru...”
“Tidak ada
tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau ... dengan jalan apa pun musti bisa
ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam
waktu yang singkat!”
Anggini si gadis baju ungu berdiri
termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya.
Gadis ini tak bisa berkata apa-apa
lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu ke jurusan lenyapnya si pemuda
yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon! - == 0O0 == --
DUA
Sang surya
sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian terik
menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan diinya
dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja
yang akan bertekuk lutut di pintu malam.
Jalan yang
ditempuh pemuda itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri kanan
senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman
atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang di sebelah timur melengking
suara suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda.
Dengan waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas.
Puncak karang
itu tingginya sekira dua puluh lima tombak. Curam dan terjal sukar didaki. Tapi
mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan pada
sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan
itu merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa
mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh
unggukan batu karang runcing!
Suara suitan
aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama. Dan sesaat
mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut melihat
kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya
buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu
dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar
matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari
besi murni. Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi
sekali maka si
pemuda tak dapat mengenali dengan
jelas potongan muka orang ini, apalagi tertutup berewok.
Hanya samar-samar bisa dilihatnya
bahwa manusia ini adalah seorang tua yang bertampang angker. Melihat kepada
berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia sudah dekat
ketempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai.
Dipandang
tajam-tajam demikian rupa, si muka angker berewok juga memandang pada si pemuda
secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara.
Si pemuda yang menjadi tak sabar
lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.
“Orang tua, aku yang muda ini mau
tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!”.
Orang yang ditanya kerutkan kening.
“Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki
Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212...?!”.
Pemuda yang berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua
berewok bermuka angker ini? Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu
yaitu musuh yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.
“Aku merasa
tak ada orang yang menjuluk demikian, orang tua...!,” menyahuti si pemuda yang
tak lain dari Wiro Sableng adanya. .
Si muka berewok masih memandang
menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak dapat dipercayanya kalau pemuda ini
adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena angka 212 telah menggetarkan
dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciriciri
yang diterangkan muridnya tentang
pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit lagi.
Kali ini suara suitannya lain dari
dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah sosok tubuh berpakaian hitam.
Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya sebagai orang yang
dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si kaki
buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya
kedua orang itu bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk
dengan tongkat birunya ke arah Wiro.
Tiba-tiba mengumandanglah tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar
situ seperti dirobek oleh suara tertawanya. Sambil tertawa diketuk-ketukkannya
tongkat di tangan kirinya ke atas batu karang. Batu karang itu bergetar dan
bagian yang kena ketuk lebur menjadi pasir!
Kemudian kedua mata orang tua buntung
itu kembali memandang tajam pada Wiro
Sableng. “Kalau kau bukan Pendekar
212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng...: Ah, kiranya kau tak ubah
seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu sendiri! Bego dan
keblinger...!”
“Jaga mulutmu,
orang tua!,” bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diamdiam dia juga
heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada
umur mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung
itu tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
“Muridku Bergola Wungu bicara terlalu
hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan muka nyatanya kau hanya kosong
melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku aku ingin mengajaknya
bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya dengan tongkat biru
besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit, masih pantas
ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku
ayunkan
tongkat saja pasti sudah kelojotan!”
Panas hati Wiro Sableng tiada
terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam
pembuluhnya. “Orang tua!,” serunya.
“Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu bahwa semut itu sanggup mengalahkan
gajah? Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa terpeleset
oleh sebutir batu kecil
berlumut...?!”
Si berewok
kaki buntung tertawa dingin. “Barangkali kau belum tahu kebalikan ucapanmu itu,
orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah akan mejret
amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang akan
mental jauh tiada daya?”
Wiro Sableng
keluarkan suara mendengus dari hidung. “Kadangkala manusia keliwat pintar jadi
bicara terbalik-balik macam kau!,” sahutnya. “Tapi tak apa... aku tak ada
urusan dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!”.
Si orang tua tertawa berkekeh.
“Jangan sebut
soal tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang...” “Bukan aku yang
bunuh...!”.
“Tapi kau turut bertanggung jawab!”
Menukas Bergola Wungu.
“Buset!,” kata Wiro.”Di depan hidung
gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku sudah datang untuk menerima
tantanganmu!” Bergola Wungu tertawa
mengejek.
“Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan
di sini ajalmu harus kau pasrahkan!”
“Keren betul kau Bergola! Manusia
kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau! Kau tahu bahwa kau dulu anak
kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit ilmu lantas jadi kepala
rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau aku jadi
kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!”
Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup
rapat.
Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak
ada suara jawaban dari dia.
Maka berkatalah si berewok tua kaki
buntung. “Bocah 212, karena kau bicara begitu congkak tentu kau punya sedikit
ilmu yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin sekali bertukar pengalaman!”.
Wiro Sableng
tertawa-tawa. “Kau yang sebenarnya congkak orang tua! Apakah umurmu yang sudah
bangkotan itu masih belum cukup puas untuk melakukan pertempuran?
Tapi kalau kau berkeras hati mau
iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang muda tidak keberatan....” Wiro
gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain “Tapi aku ingin tahu nama dan
siapa kau lebih dahulu.:..”.
Si orang tua kembali tertawa macam
tadi yang menggetarkan seantero daerah batu karang itu.
“Aku adalah penghuni Gua Sanggreng
yang sudah empat puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan! Kau
dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku... akulah yang bernama Bladra
Wikuyana Angin Topan Dari Barat!”.
Tentu saja
Wiro Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si berewok kaki
buntung itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat
adalah satu tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa
Barat, yang namanya cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan
hitam (golongan jahat).
Namun demikian pemuda ini sama sekali
tidak unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa bergelak: “Julukanmu hebat juga,
orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda kosong belaka dan berbau
busuk bila ke luar dari pantat!” Bladra Wikuyana bersuit marah.
“Bocah setan! Kau berani kurang ajar
terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini...!”. “Wuuuuuutt”!
Tongkat birunya disapukan ke bawah!
- == 0o0 == --
TIGA
Angin sedahsyat topan melanda
Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman tangan ke udara mengirimkan
putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh!
Hal yang hebat sekali terjadilah.
Dua pukulan angin yang sama
mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokkan menimbulkan letupan udara
yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncakpuncak, karang bergetar.
Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh Wiro
Sableng telah
membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun demikian
Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan sehingga
sesaat tubuhnya menjadi limbung huyung!
Bladra Wikuyana terbeliak kaget.
Hantaman
tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga
dalamnya. Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah sekurang-kurangnya pemuda itu kelojotan
muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya Wiro
Sableng ditihatnya masih berdiri utuh!
Maka
berserulah Bladra Wikuyana: “Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk diandalkan!
Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!”
Habis berkata begitu manusia ini
menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja guru dan murid itu lenyap dari
pemandangan Wiro Sableng.
Si pemuda garuk kepala. “Tongkat itu
hebat sekali!,” katanya dalam hati. Tapi dia tak menunggu lebih lama. Segera
dia lompatkan diri ke atas puncak karang yang tingginya puluhan tombak itu.
Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya
dari kelas rendahan pastilah kakinya akan tergelincir!
Wiro memandang berkeliling mencari
jejak ke mana larinya kedua orang tadi. Matanya yang tajam segera menangkap
bayangan Bladra Wikuyana dan muridnya di balik karang sebelah
Timur. Tanpa buang waktu Pendekar 212
segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana seekor rajawali demikianlah dia
melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejamya itu lenyap di sebuah
jurang batu karang yang dalam sekali!
Wiro berdiri di tepi jurang batu itu,
memandang ke bawah. Untuk melompat turun tidak mungkin. Jurang itu dalamnya
lebih dari seratus tombak. Berarti tidak mungkin pula Bladra Wikuyana dan
Bergola Wungu lenyap turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro melihat
sebuah tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia menuju
ke sana dan memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian dengan
cepat menuruni tangga tali.
Bagian bawah jurang batu itu hampir
merupakan pedataran batu yang sedikit sekali tetumbuhannya. Penuh waspada
Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba menggema
suara suitan
dari arah Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari arah barat. Wiro
segera menuju ke Barat!
Sementara itu di atas jurang, sesosok
tubuh yang sudah sejak lama menguntit Wiro Sableng hentikan langkahnya dekat
tangga tali, tak berani terus ikut menuruni tangga tali itu.
Wiro berdiri di balik sebuah batu
karang berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu karang itu bisa menjadi tameng
baginya dari musuh yang menyerang dengan diam-diam. Dari
balik batu
berbentuk pilar ini dia memandang ke muka. Tepat di antara dua batang kayu
besar yang sangat rendah maka beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah
gua besar.
Kemudian
didengarnya lagi suara suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini
disambut oleh suitan yang menggema ke luar dari dalam gua.
Pemuda ini menunggu dengan tidak
sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi? Apakah masuk ke dalam gua itu? Dan
apakah gua Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah saat itu dia sudah
berada di Perguruan Gua Sanggreng?
Tiba-tiba terdengar suara suitan yang
lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat dari mulut gua ke luar
dua lusin manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada yang tidak dan
semuanya mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada
pinggang masing-masing tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya
dengan milik Bladra Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan
panjang mulai dari mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian
muncullah Bladra Wikuyana diiringi oleh Bergola
Wungu.
“Pendekar
Kapak Naga Geni 212 tak usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!,” seru Bladra
Wikuyana.
Pemuda itu segera ke luar dari balik tiang batu karang dan berdiri
waspada di ujung pelataran. “Angin Topan Dari Barat! Sandiwara atau tari-tarian
apakah yang akan kau pertunjukkan kepadaku?!”
Bladra Wikuyana tertawa hambar. “Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan
mata masih juga mau jadi badut! Tahukah kau bahwa siapa-siapa yang sudah masuk
ke mari berarti tak ada lagi jalan keluar! Berarti mampus di sini?!”.
Wiro Sableng
menyengir. Katanya: “Kalau begitu kalian semua di sini juga samasama ikut mampus
dengan aku!”.
Kembali Bladra Wikuyana tertawa
hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
“Turunkan tangga tali,” perintahnya.
Dua orang anak
murid Perguruan Gua Sanggreng segera melaksanakan tugas itu. Bladra Wikuyana
berkemik. “Tangga tali telah diturunkan berarti umurmu semakin singkat. Tapi
ada syarat jika kau kepingin hidup terus...”
“Apa?” tanya
Wiro Sableng kepingin tahu. “Berlutut minta ampun di hadapanku dan bergabung
denganku!”.
Wiro Sableng tertawa meledak.
“Muridmu
Bergola Wungu menantang aku datang kemari untuk bertempur! Tahutahu kini diajak
bergabung, disuruh berlutut malah! Enak betul bikin aturan...!” “Kalau begitu
kau datang ke sini betul-betul untuk antarkan jiwa!” kata Bladra Wikuyana pula.
Habis berkata begini dia bertepuk tangan satu kali.
“Bereskan dia dengan gebrakan enam
tongkat merenggut nyawa!” bentak Bladra Wikuyana dengan geram sekali.
Maka enam
orang muridnya segera melompat mengurung Pendekar 212 dengan tongkat di tangan.
“Ketahuilah:..”
kata Bladra Wikuyana pula. “Yang akan kalian hajar itu adalah seorang bocah
yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!” Bladra
Wikuyana bersuit keras. Keenam muridnya juga bersuit keras dan dengan serentak
menyerang Wiro Sableng!
Enam larik
sinar biru mengambang di udara kian ke mari dalam gerakan yang sangat tak
menentu, mengeluarkan suara bersiuran dan kesemuanya menyerang pendekar
bertangan kosong itu. Wiro lompat ke udara dan berteriak: “Angin Topan Dari
Barat! Kerapa anak muridmu yang tak ada sangkut paut dengan aku kau suruh.maju?
Apa kau tidak punya nyali?!”.
Biadra
Wikuyana menyahut dengan membentak: “Kalau kau ada urusan dengan salah seorang
di sini berarti kau berurusan dengan Perguruan Gua Sanggreng...!” Saat itu
keenam murid Perguruan Gua Sanggreng melompat pula ke udara dan menyerang Wiro
Sableng dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus: Belut Menyusup Tanah, maka
Pendekar 212 yang diserang oleh mereka telah berdiri di pelataran batu kembali.
Maka bentrokkanlah enam tongkat biru itu di udara!
“Tolol,” makl
Bladra Wikuyana pada murid-murudnya: “Aku beri kesempatan tiga jurus lagi pada
kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan bangsat itu kalian musti mundur dan
terima hukuman!”.
Ternyata
gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid Perguruan Gua
Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan Pendekar 212. Kini karena takut terima
hukuman dari guru mereka, keenamnya segera putar tongkat dengan sebat dan
lancarkan enam tusukan pada enam bagian tubuh Wiro Sableng!
“Ciaaat!”
Bentakan
dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu tengkuk anak-anak
murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh kedahsyatan bentakan
tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini berdiri kaku tegang
di tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena ditotok lawan. Sedang
Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-siul! Rasa
tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya
merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke
muka. Keenam tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus
angin topan dashyat yang keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan
keenamnya dari totokan!
Kemudian Pemimpin atau Ketua
Perguruan Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola Wungu: “Kau majulah, pimpin
semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang surut!”.
Mendengar ini
Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang dan bersuit
keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia berpakaian
hitam-hitam dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu yang
memegang golok panjang segera membentuk dua lapis lingkaran yang disebut
lingkaran pasang surut, mengurung Wiro
Sableng di tengah-tengah. Gilanya,
yang mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang, kemak kemik dan sambil
bersiul-siul.
Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit
nyaring. Maka berputarlah barisan lingkaran yang sebelah dalam ke kiri sedang
barisan lingkaran sebelah luar berputar ke kanan. Mula-mula lambat pelahan
kemudian makin lama makin kencang, makin kencang sampai tubuh kedua puluh
empat. manusia berpakaian hitam itu tidak jelas iagi, hanya merupakan
bayang-bayang. Debu yang menutupi pelataran menggebu ke atas dan sambil berputar-putar
itu Bergola Wungu dan kawankawannya tiada henti berteriak melengking-lengking.
Karena putaran dua barisan lingkaran
itu makin cepat dan saling berlawanan serta diiringi lengking pekik hiruk pikuk
yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua pandangan mata
Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia tertegun beberapa
jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan semakin menciut
mendekatinya!
Bergola Wungu
melihat lawan muiai terpengaruh dengan bentakan lantang menyerbu dan tebaskan
goloknya ke kepala lawan yang terkurung ditengah lingkaran. Serangan ini
datangnya secara pengecut yaitu dari belakang!
Dan Wiro Sableng dalam tertegunnya itu masih juga bersiul-siul seperti
orang lupa diri!
- == 0O0 == --
EMPAT
Dia hanya merasakan datangnya
sambaran angin dari arah belakang. Lalu cepat-cepat menggeser kaki ke muka,
bergerak ke samping dan sambil bungkukkan diri balikkan badan!
Golok panjang Bergola Wungu lewat
satu setengah jengkal di atas kepalanya, mengibarkan rambutnya yang gondrong!
“Dasar
pengecut! Sudah main keroyok menyerang dari belakang!,” bentak Wiro Sableng.
Kedua tangannya bergerak ke muka untuk merampas golok lawan. Namun hampir hal
itu terlaksana, tahu-tahu dua belas ujung tongkat menderu menyerang kedua
lengannya. “Sialan!” maki Pendekar 212 dan terpaksa tarik pulang tangannya
sambil hantamkan kaki membabat ke arah beberapa orang pengeroyok dari barisan
sebelah muka. Mereka yang diserang tendangan kaki anehnya tidak melakukan
sesuatu apa, tapi tiba-tiba dari belakang menyeruak kawan-kawan mereka dari
barisan kedua, dan menangkis tendangan Wiro Sableng.
Sejurus
kemudian barisan muka kembali menyerang dengan dua belas tongkat biru mengarah
pada dua belas bagian tubuh Wiro Sableng! Sementara itu dari atas laksana
alap-alap golok
Bergola Wungu kembati membabat! Ini
lah kehebatannya lingkaran pasang surut! Ciptaan Bladra Wikuyana! Dua tahun dia
melatih murid-muridnya untuk betul-betul memahami jurus tersebut. Meski belum
begitu sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan! Sambil senyumsenyum dia
berdiri menunggu saat di mana matanya akan menyaksikan tubuh Wiro Sableng
terpancung belasan senjata muridnya, telinganya bakal mendengar pekik kematian
pemuda itu!
Tapi tiada
kelihatan, Pendekar 212 terpancung meregang nyawa di tengah pelataran itu!
Tiada terdengar pekik kematian Wiro Sableng! Dengan kecepatan luar biasa yang
tiada terlihat oleh mata Bladra Wikuyana maka tahu-tahu Wiro Sableng sudah
berada di luar serangan anakanak muridnya, berdiri dengan tenang dan kembali
bersiul-siul!
Sebenamya
pemuda bermata tajam ini sudah dapat melihat di mana letak kelemahan barisan
lingkaran pasang surut yang mengeroyoknya saat itu. Dengan merobohkan dua atau
tiga orang pengeroyok dari salah satu barisan maka pastilah lingkaran pasang
surut itu akan menjadi kacau balau! Bisa juga sebagian atau seluruh
pengeroyoknya ditumpasnya dengan hantaman pukulan angin puyuh atau dinding
angin berhembus tindih menindih! Tapi ini pemuda inginkan cara lain yang lebih
disukainya sendiri.
Maka berserulah Pendekar 212.
“Angin Topan Dari Barat! Apakah kau
pernah iihat manusia dipakai jadi senjata untuk menyerang manusia...?!”
“Bocah gila!
Jangan banyak bacot! Nyawamu sudah di depan hidung! Anak-anak ciutkan lingkaran
dalam sepertiga jurus!,” teriak Bladra Wikuyana dengan penasaran sekali.
Siulan Pendekar 212 tiba-tiba lenyap
berganti dengan suara tertawa aneh yang menegakkan bulu tengkuk. Tubuhnya
berkelebat tak kelihatan. Dan tiba-tiba pula Bergola Wungu merasakan kedua
pergelangan kakinya dicengkeram erat sekali. Dicobanya untuk meronta dan
menendang tapi cengkeraman itu laksana japitan besi tak mungkin untuk
di1epaskan. Sementara itu tubuhnya menjadi limbung dan terasa terangkat ke
atas! Dicobanya
membabatkan goloknya! Terdengar satu
pekikan! Pekikan kawannya sendiri yang, kemudian roboh mandi darah! Sesudah itu
Bergola Wungu tak tahu apa-apa lagi! Wiro Sableng dengan tertawanya yang aneh
memegang erat-erat kedua pergelangan kaki Bergola Wungu lalu memutar tubuh
manusia itu laksana kitiran! Pekik jerit serta seruan-seruan tertahan terdengar
di mana-mana! Barisan lingkaran pasang surut hancur berantakan. Beberapa orang
yang masih tak mau menyingkir dan terpukau oleh kedahsyatan itu terpaksa
dihantam kitiran dari tubuh Bergola Wungu! Belasan anak murid Perguruan Gua
Sanggreng bergeletakan di pelataran batu karang dalam keadaan tubuh luka-luka
parah tanpa nyawa. Suara erangan terdengar tiada hentinya. Yang masih hidup
yaitu sekira sembilan orang menyingkir jauh-jauh ke dinding batu karang. Suara tertawa Pendekar 212 berhenti.
“Angin Topan
Dari Barat! Ini terima bangkai muridmu!”. Tubuh Bergola Wungu yang tadi dibuat
menjadi kitiran untuk melabrak kawan-kawannya sendiri melesat ke arah Bladra
Wikuyana. Orang tua ini lambaikan tangan kirinya dan tubuh Bergola Wungu
terpelanting ke dinding samping. Tentu saja sudah tanpa nyawa lagi karena sudah
sejak tadi kepalanya nyenyar macam pepaya busuk!
Bau anyirnya darah yang mengantarkan regangan-regangan nyawa manusia
menyesak lobang hidung. Wiro Sableng meludah ke tanah. Dan memandang pada Angin
Topan Dari Barat.
“Angin Topan
Dari Barat! Murid-muridmu menemui kematian dengan cara yang tentu kau tidak
senangi! Dan mereka mati tanpa ada sangkut-paut kesalahan apa-apa terhadapku!
Kau yang tanggung-jawab semuanya kalau malaekat maut tertanya di liang kubur!”
“Pemuda
iblis!” bentak Bladra Wikuyana. “Tak usah banyak bacot! Terimalah kematianmu
dalam tiga jurus!”. Tampang manusia ini kelihatan membesi dan tambah angker.
Dia melangkah ringan ke hadapan Wiro Sableng dan cabut tongkat birunya! Tiba-tiba
tubuhnya berkelebat dan selarik sinar biru melanda Pendekar 212. Pemuda ini
egoskan diri ke samping dengan cepat. Tapi dari samping menderu tangan kanan
Bladra Wikuyana yang disambung
dengan kayu
dan ujungnya mempunyai senjata berbentuk
Arit!
“Heyyaaa!”.
Pendekar 212
membentak keras. Empat dinding jurang tergetar hebat. Tubuhnya lenyap dan
sambil jatuhkan diri berjongkok pemuda ini hantamkan tangannya ke muka
lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah!
Tapi tongkat
biru Bladra Wikuyana sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang
dilancarkan Pendekar 212 mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya namun
sambaran angin tongkat biru membuat angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke
samping dan menghantam dinding karang! Dinding karang itu retak-retak pecah!
Kepingan-kepingan
karang menghambur ke udara berpelantingan! Wiro Sableng penasaran sekali.
Tenaga dalamnya dilipat-gandakan sampai tangannya tergetar hebat namun tetap
pukulan Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkannya masih sanggup disapu oleh
angin tongkat biru lawan!
“Edan!” maki
pemuda ini dalam hati. Dia menjerit setinggi langit dan berkelebat lagi. Kini
Pendekar 212 keluarkan jurus Orang Gila Mengebut Lalat! Kedua tangannya kiri
kanan memukul kian kemari dan mengeluarkan angin keras laksana badai! Untuk dua
jurus lamanya Bladra Wikuyana terdesak hebat bahkan kepepet ke dinding jurang
sebelah Timur. Anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng yang ada di jurusan ini
terpaksa menyingkir kecuali kalau mau mampus terkena sambaran-sambaran angin
dahsyat kedua manusia sakti yang bertempur itu!
Angin Topan
Dari Barat mengeluh dalam hati! Puluhan tahun hidup di dunia persilatan baru
hari ini menghadapi lawan yang tangguhnya bukan olah-olah! Dan gilanya lawan
itu adalah anak muda hijau yang baru berumur tujuh belas tahun!
Orang tua ini kertakkan gerahamnya.
Dari tenggorokkannya keluar suitan kencang. Dengan serta merta permainan
tongkat dan jurus-jurus silatnya berubah. Tongkat biru di tangan kirinya
menderu dan mencurah taksana hujan badai, laksana menjadi ratusan banyaknya!
Wiro Sableng
terkejut sekali melihat keganasan serangan tawan ini! Cepat dia lompat tiga
tombak ke udara.
“Ho-ho! Mau kabur hah?!” bental
Bladra Wikuyana. Dan segera manusia ini susul melompat.
“Angin Topan Dari Barat!,” seru
Pendekar 212. “Antara kita sebenarnya tak ada permusuhan yang berarti...”.
Bladra Wikuyana tertawa buruk.
“Ketika nyawa sudah di tenggorokan kau baru ribut-ribut segata permusuhan yang
tak berarti! Sudah kepepet-mulai bicara rendah diri! Sebaiknya sebut nama
Tuhanmu sebentar tagi roh busuk manusia yang mengaku bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 akan minggat ke neraka!” Bladra Wikuyana menyerang lagi
dengan ganas membuat Wiro Sableng kembali terpaksa lompatkan diri tiga tombak
ke belakang.
“Kalau kau
yang tua tetap berkeras kepata maka sambutlah pukulanku ini!” Bladra Wikuyana
terbeliak kaget ketika melihat tangan kanan Wiro Sableng berwarna sangat putih
sedang kuku-kuku jarinya memerah menyilaukan! “Pukulan Sinar Matahari!”
teriaknya dengan keras. Sekaligus dia menyerukan pada murid-muridnya untuk
mencari perlindungan sedang seturuh tenaga dalamnya dialirkannya ke tongkat
biru!
Selarik sinar putih yang menyilaukan
mata melesat ke depan. Bladra Wikuyana lompat ke udara sampai tujuh tombak dan
sapukan tongkatnya ke bawah! Dua angin keras beradu hebat. Bladra Wikuyana
berseru keras. Tongkatnya hampir terlepas mental sedang tangan kirinya tergetar
hebat! Tiada nyana tenaga dalam lawan yang muda belia itu lebih tinggi beberapa
tingkat dari padanya. Dengan jungkir balik di udara jago tua ini jauhkan diri
untuk atur jatan nafas serta darahnya dengan cepat! Ketika bola matanya
berputar memandang berkeliling terkejutlah ia!
Seluruh sisa anak muridnya yang tadi
masih hidup menggeletak bergelimpangan dipelataran batu karang itu. Tubuh mereka
semuanya termasuk yang sudah menemui ajal lebih dahulu di tangan Wiro Sableng
mengepulkan asap dan udara dalam jurang itu kini pengap bau daging manusia yang
hangus!
Ketika Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari tadi. Bladra Wikuyana
berhasil mengelakkannya. Angin pukulan menghantam dinding karang di sebelah
tenggara. Bukan saja dinding karang itu menjadi pecah tapi juga hancur
berantakan. Bagian atasnya longsor ke bawah sedang pukulan Sinar Matahari
memantul dua kali berturut-turut di dinding karang. Hawa panas angin pukulan
ini telah melabrak sisa-sisa anak murid Bladra Wikuyana sehingga tubuh mereka
tersambar hangus dan menggeletak mati di situ juga!
.Dan sementara
itu di tepi jurang sebelah atas, sesosok tubuh berpakaian ungu menyaksikan apa yang
terjadi di dalam jurang batu karang itu dengan mulut menganga dan mata
terbeliak sedang bulu kuduk merinding.... Kembali ke dalam jurang.
Air muka
Bladra Wikuyana kelihatan kelam membeku. Tubuhnya laksana patung berdiri di
tengah pelataran. Cambang bawuk atau berewoknya kelihatan meranggas kaku sedang
sepasang matanya menjadi merah angker.
“Pendekar 212!” desis Bladra
Wikuyana. “Detik ini jangan harap nyawamu akan selamat...!” Tongkat birunya
diacungkan ke muka lurus-lurus dan kini tongkat itu berubah menjadi hitam
legam. Sinar hitam yang memancar dari senjata ampuh Itu menggidikkan sekali...
“Bersiaplah
untuk minggat ke neraka!” teriak Bladra Wikuyana. Serentak dengan itu
menyerbulah dia ke muka. Seluruh bagian tenaga dalamnya telah mengalir ke dalam
tongkat dan serangannya kini luar biasa ganasnya! Sambil menyerang itu Bladra
Wikuyana tiada hentinya bersuit-suit aneh, menggetarkan telinga dan raga!
Wiro Sableng
begitu merasakan tekanan serangan yang hebat luar biasa segera percepat
gerakannya. Namun ilmu mengentengi tubuhnya yang sudah sangat tinggi itu masih
sangat terasa lamban ditindih oleh sinar pukulan Angin Hitam yang ke luar dari
tongkat lawan.
“Breet”!
Tersirap darah Pendekar 212. Nyawanya
serasa iepas! Ujung tongkat lawan telah merobek pakaiannya di bagian dada.
Angin tongkat membuat tulang-tulang dadanya seperti melesak! Pendekar ini
berteriak nyaring dan jungkir balik ke belakang ke luar dari kalangan
pertempuran!
- == 0O0 == --
LIMA
“Ho ho.... Mau
merat ke mana?!” tanya Bladra Wikuyana. “Aku sudah bilang, sekali masuk ke sini
musti lepas nyawa di sini!”
Wiro Sableng tak berikan sahutan.
Kalau saja ada sepuluh manusia jahat sesakti
Bladra Wikuyana ini di atas jagat
pastilah dunia akan tenggelam dalam kekalutan pikirnya.
Ketika lawan menyerang kembali
Pendekar 212 sambut dengan pukulan Benteng
Topan Melanda
Samudera. Untuk beberapa ketika lamanya serangan tongkat Bladra Wikuyana
terbendung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro Sableng untuk melompat ke
udara, menukik kembali dan lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Dentuman
yang dahsyat terdengar. Wiro terpaksa turun ke pelataran batu karang kembali
karena pukulannya kena disapu aliran angin hitam tongkat lawan. Pemuda ini kepepet
ke dinding jurang sebelah Timur!
Pemuda ini merutuk sendiri dalam
hatinya. Dalam merutuk itu tongkat lawan menyapu di atas kepalanya. Wiro lompat
ke samping. Tongkat menghantam dinding karang sampai hancur berantakan! Ketika
Bladra Wikuyana balikkan tubuh siap untuk menyerang kembali, langkahnya
tertahan. Kedua matanya yang merah memandang tak berkedip pada senjata
berbentuk kapak bermata dua yang ada di tangan lawannya.
Bergidik juga Angin Topan Dari Barat
melihat senjata tersebut. Dua puluh tahun yang silam dia pernah saksikan
sendiri kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini apakah sanggup dia
menghadapinya?!
“Angin Topan
Dari Barat,” Pendekar 212 buka mulut. “Baiknya kau lekas-lekas minta tobat atas
kejahatanmu selama ini. Sebentar lagi tentu sudah tak keburu.... !” Angin Topan
Dari Barat atau Bladra Wikuyana tindih rasa jerihnya dengan tertawa bergelak.
Tahu akan kehebatan senjata di tangan lawan maka dia segera menyerang lebih
dahulu! Sinar hitam bergulung-gulung ke arah Pendekar 212.
Pemuda ini sambut
serangan lawan dengan pergunakan jurus: Orang Gila Mengebut Lalat. Kapak Naga
Geni 212 di tangannya berkelebat cepat ke kiri dan ke kanan, mengeluarkan suara
berdengung macam suara ribuan tawon!
Terkejutnya Bladra Wikuyana bukan
kepalang ketika merasa bagaimana kini tongkat saktinya tak dapat lagi bergerak
leluasa, tertindih, terbendung dan terpukul angin kapak bermata dua di tangan
lawan!
Bladra Wikuyana percepat permainan
tongkatnya dan menyerang dengan jurus-jurus lihay mematikan. Namun tetap saja
tak dapat ke luar dari tindihan senjata lawan. Dan kini sesudah bertempur di
jurus yang kesembilan puluh delapan maka mulailah jago tua ini terdesak hebat!
Diam-diam Bladra Wlikuyana cucurkan keringat dingin. Ditahannya sedapatdapatnya
serangan senjata lawan. Satu kali tongkatnya beradu dan tak ampun ujung tongkat
terbabat puntung! Bladra Wikuyana tak berani lagi bentrokan senjata! Matanya
kini liar mencari kesempatan untuk kabur. Dia menggeram karena telah menyuruh
murid-muridnya menurunkan tangga gantung karena tangga dari tali itulah
satu-satunya jalan untuk kabur ke luar jurang batu karang!
Karena pikirannya bercabang dua, satu
memikir jalan untuk lari, kedua memusatkan pada serangan lawan maka pertahanan
Bladra Wikuyana sering-sering melompong. Hal ini bukan tak dilihat oleh
Pendekar 212, kalau saja dia mau maka sudah sejak tadi dia melabrak manusia
berewok bertangan dan kaki buntung itu.
Dari mulut
Pendekar 212 mulai terdengar siulan membawakan lagu tak menentu! Sambil
kirimkan bacokan ke pinggang, Wiro Sableng putar gagang kapak. Kedua mata kapak
membuat setengah lingkaran, salah satu dari padanya memapas pergelangan tangan
kanan
Bladra Wikuyana yang terbuat dari
kayu! Tangan palsu yang ujungnya berbentuk arit itu kutung dan lepas! Mental ke
udara!
Bladra
Wikuyana melompat ke belakang. Mukanya pucat pasi. Dia mengerang karena aliran
aneh yang berhawa panas dari senjata lawan merembes melalui kutungan tangan
kayu ke dalam tubuhnya!
“Cuma lengan
kayumu saja. Angin Topan Dari Barat! Kenapa musti pucat macam mayat?” Wiro
Sableng tertawa gelak-gelak. “Sekarang aku minta kaki kayumu!” Habis berkata
begitu. Wiro Sableng bersiul dan melompat ke muka. Kapaknya membabat ke kepala
Bladra Wikuyana. Jago tua ini yang tak berani lakukan bentrokan senjata
cepat-cepat melompat berkelit dan lancarkan serangan balasan dengan pukulan
tangan kosong
yang menimbulkan angin hebat. Namun
dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan, segala pukulan tangan kosong bagaimanapun
hebatnya dari manusia berewok yang bergelar Angin
Topan Dari Barat itu tiada artinya
lagi!
Kapak Naga Geni 212 membacok ke bahu,
berbalik merambas pinggang, menderu lagi ke kepala membuat tokoh silat tua dan
berpengalaman luas itu menjadi sangat sibuk. Dan ketika tiba-tiba sekali
senjata lawan membabat ke bawah, dia tak punya kesempatan lagi untuk mengelak!
Untuk kedua kalinya mata kapak
membabat anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra Wikuyana sebelah kanan! Meski
huyung-huyung tapi laki-laki ini masih sempat lompatkan diri ke luar dari
kalangan pertempuran. Mukanya pucat sekali dan keningnya penuh keringat!
Di dalam dadanya menggelegak rasa
benci, dendam dan nafsu untuk membunuh!
Dengan tahan tubuhnya pada ujung
tongkat, Bladra Wikuyana pejamkan mata.
Mulutnya komat kamit.
“Ilmu apa yang kau mau keluarkan
Angin Topan Dari Barat? Sebaiknya dengar omonganku! Aku yang muda ini masih mau
kasih ampun kepada kau jika kau berjanji untuk bertobat dan hidup di jalan yang
benar, tidak lagi berbuat kejahatan tapi mempergunakan
iimumu buat menolong sesama manusia.
Bagaimana...?!”
Bladra Wikuyana buka sepasang matanya
sedikit. Mulutnya berkemik mengejek. “Jangan kira kau sudah menang bocah hijau!
Aku masih jauh dari kalah! Lihat mukaku bocah hijau... lihat mukaku.... “ Mata
Wiro Sableng menyipit. Ketika diperhatikannya tampang Bladra Wikuyana
terkejutlah dia. Kepala tokoh silat itu kini rnenjadi enam dan berwarna hitam,
gigi-giginya merupakan caling-caling yang mengerikan, bola-bola matanya besar
sedang lidahnya panjang menjulai sampai ke dada. Dari dua belas mata yang ada
di enam kepala itu memancar sinar hijau.
“Ah... ilmu siluman macam begini
hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil!” ejek Wiro Sabteng. Disapukannya
Kapak Naga Geni 212 ke muka. Angin deras membuat Bladra Wikuyana terpelanting
tapi muka silumannya masih juga seperti tadi malah semakin menyeramkan.
Tiba-tiba dengan menggereng keras laksana harimau terluka menerjanglah tokoh
silat itu didahului oleh dua belas sinar hijau yang ke luar dari mata
silumannya! “Tua bangka geblek! Dikasih ampun malah keluarkan Ilmu yang
bukan-bukan!” rutuk Wiro Sableng. Ditunggunya beberapa detik. Sesaat kemudian
berkiblatlah kapak mautnya dari atas ke bawah!
Angin Topan
Dari Barat terkapar di pelataran batu karang tanpa berkutik, juga tanpa
menjerit. Kepalanya sampai ke dada terbelah dua. Darah membanjir! Tamatlah riwayat
tokoh silat dari golongan hitam itu yang selama hidupnya telah menebar benih
kejahatan dan mendidik manusia-manusia untuk disesatkan!
Wiro Sableng garuk rambut gondrongnya
dan meludah. Jijik juga dia melihat darah yang membanjir dari tubuh Bladra Wikuyana.
Dipandangnya Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanannya. Mata kapak itu
berlumuran darah. Pemuda ini goleng-goleng kepala.
“Kapak
hebat... kapak
hebat....” katanya. Kemudian sekali hembus saja maka noda darah pada mata kapak
pun lenyaplah! Senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng itu segera
dimasukkannya ke balik pinggang kembali.
Selama setengah jam Wiro Sableng
memasuki dan menggeledah isi Gua Sanggreng. Di sini ditemuinya banyak sekali
persediaan makanan dan uang serta barang-barang perhiasan.
Menurut pikiran Wiro uang serta
perhiasan itu mungkin sekali hasil rampokan yang ditimbun
menjadi milik
Perguruan Gua Sanggreng. Wiro mengambil sejumlah uang dan perhiasan sekedar
bekal di perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di sebuah kursi besar dan
menikmati makanan yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar dari gua
dilihatnya langit sudah sangat merah kekuningan tanda matahari hampir
tenggelam. Pemuda ini segera mencari tangga tali.
Tangga tali
itu kemudian dilemparkannya pada patok runcing batu karang di tepi jurang
sebelah atas dan mulailah pendekar ini menaiki anak tangga demi anak tangga
menuju ke atas. Dari atas sebelum berlalu dilayangkannya pandangannya untuk
terakhir kali ke dalam jurang batu. Duapuluh enam mayat bergelimpangan di mana-mana.
Pemuda ini garuk dan golenggoleng
kepala. Dan mulailah dia melangkah
sepembawa kakinya. Malam tiba nanti entah di mana dia akan berada. Suara
siulannya mengumandang di belantara batu-batu karang. Sambil terus berjalan.
bernyanyilah pendekar ini:
Langit merah angin silir....
Surya tenggelam di ufuk Barat....
Malam yang
datang tentu dingin dan gelap....
Berjalan seorang diri memang tidak enak....
Tapi selalu diikuti orang lain juga
tidak enak....
Nyanyian ini
tiada menentu nadanya dan diulang-ulang sampai beberapa kali. Akhirnya disatu
penurunan curam Pendekar 212 hentikan nyanyiannya dan duduk di sebuah unggukan
batu. Sambil tertawa-tawa berkatalah dia: “Manusia yang ikuti aku kenapa
sembunyi di belakang batu? Coba ke luar unjukkan jidat, apa betul manusia atau
hantu...?”
Wiro memandang
pada celah batu karang yang tadi dilewatinya. Suasana hening saja.
“Ah, manusia
di belakang batu tentu seorang pemalu,” katanya. “Biarlah aku sendiri yang
lihat tampangnya!”
Habis berkata begitu Wiro Sableng hantamkan
tangan kanannya ke arah celah batu.
Sebagian lagi terguling ke bawah. Dan
dari balik batu terdengar seruan tertahan! Apa yang tidak diduga oleh Pendekar
212 ternyata bahwa penguntitnya sejak dari jurang Gua Sanggreng tadi adalah
seorang gadis!
- == 0O0 == --
ENAM
“Aha… Nyatanya
seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!” kata Wiro Sableng pula
dengan tertawa lebar. melihat kepada pakaian ungu yang dikenakan gadis itu
segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak murid Dewa Tuak. “Gadis
molek, ada apa kau menguntit aku sejak dari lereng bukit sampai ke jurang maut
sana...?” bertanya Wiro.
Anggini, si
gadis baju ungu, tak memberikan jawaban. Mukanya merah karena malu dan jengah.
Wiro Sableng tertawa lagi dan berkata: “Mungkin ada mengandung suatu maksud
tidak baik .... “
“Saudara...
a...aku...” Anggini gugup sekali. Apa yang harus dikatakannya pada pemuda itu?
“Apakah gurumu si Dewa Tuak itu juga ikut bersamamu saat ini?
Barangkali juga kalian hendak
menjebakku...?”
“Saudara
dengarlah...” kata Anggini pula. “Aku sebenarnya tidak mau dengan semuanya
ini...”
“Semuanya ini
apa...?” potong Wiro Sableng. Anggini menggigit bibir.
“Gurumu bersamamu?”
“Tidak....”
“Gurumu yang
menyuruh untuk menguntit aku?” Gadis itu anggukkan kepala.
“Perlu apa
gurumu menyuruh demikian?” Kembali Anggini menggigit bibir.
“Apa dia belum puas dengan sedikit
pertempuran siang tadi...?”
Anggini tetap
membungkam. Ya, bagaimana dia harus mengatakan pada si pemuda bahwa gurunya
menyuruhnya mengejar untuk kemudian berusaha menjadi kawan hidup pemuda itu?
Bagaimana dia harus terangkan semua itu! Ingin dia menangis dan lari dari
hadapan pemuda itu. Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut sekali! Pendekar 212
kerutkan kening. Mendadak mukanya menjadi merah, semerah langit yang disaputi
sinar sang surya yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat akan ucapan Dewa
Tuak yang mengatakan bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh muridnya! Pendekar
muda ini melirik pada gadis baju ungu. Anggini berparas bujur telur dan molek.
Kulitnya kuning dan potongan tubuhnya sedap dipandang mata. Tapi urusan jodoh
mana ini pemuda berpikir sampai di situ. Tak ada ingatannya sampai sejauh itu.
Bahkan kewajiban berat yang dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa
dendam seribu karat terhadap Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini
masih belum lunas! Masih belum dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari duduknya.
Dipandanginya gadis baju ungu itu
seketika lalu mengumandanglah gelak
tawanya. “Saudari... apakah penguntitan ini ada
sangkut pautnya dengan ucapan gurumu
si Dewa Tuak?”
Paras Anggini
semakin merah. “Tadi aku sudah bilang... sebenarnya aku tak senang dengan semua
ini. Tapi guru memaksaku...”
“Memaksa bagaimana?!”
“Katanya aku
harus mengejarmu sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah kembali kepertapaan.
Katanya lagi aku harus... harus...” Anggini tak dapat meneruskan ucapannya.
“Kurasa gurumu
itu sudah sinting! Sekurang-kurangnya seperempat sintingl” Meski Anggini memang
tak suka menjalankan apa yang diperintahkan Dewa Tuak namun mendengar nama
gurunya dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.
“Jangan hina guruku, saudara!”
bentaknya.
Wiro Sableng
garuk kepala. “Ah... guru dan murid sama saja gebleknya!” kata ini pemuda.
“Kalau gurumu suruh kau makan beling dan minum racun, apakah kau juga akan
ikuti ucapannya itu...?!”
“Guruku tidak segila itu!” bentak si
gadis.
“Aku memang tidak bilang gurumu gila,
tapi sinting!” menukasi Wiro Sableng.
“Sekali lagi kau berani menghina
guruku, kutampar mulutmu!” ancam Anggini.
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul!
“Gurumu memang sinting!” katanya lagi.
Anggini telah menyaksikan kehebatan
ilmu silat dan ketinggian kesaktian
Pendekar 212
waktu terjadi pertempuran di jurang Sanggreng beberapa saat yang lalu. Dari
situ dia dapat menyimpulkan bahwa gurunya sekali pun belum tentu akan dapat
mengalahkan pemuda itu dengan mudah. Namun saat itu kegemasannya tak dapat
ditahan lagi. Tangan kanannya bergerak cepat. Sebaliknya Wiro Sableng malah
angsurkan pipi ke muka!
“Plaak!”
Tamparan
mendarat di pipi Wiro Sableng. Pendekar muda ini tertawa. “Betapa lembutnya jari-jarimu
mengelus pipiku..,” katanya dengan pejamkan mata. “Ayo, tamparlah sekali
lagi... dua kali lagi... tiga kali lagi... sesuka hatimulah...!” Wiro menunggu
tapi tamparan berikutnya tak datang dan pemuda ini bukakan kedua matanya
'kembali. Dilihatnya Anggini berdiri dengan hidung kembang kempis menahan geram
yang menyesaki dadanya. Pendekar 212 tertawa. “Kenapa tidak mau tampar?”
tanyanya sinis.
Karena digemasi terus-terusan Anggini jadi penasaran sekali. Segera
dibukanya selendang ungu yang melilit di pinggangnya yang berpinggul besar.
“Eh... saudari kau ini apa mau buka pakaian di depanku?” tanya Wiro Sableng
sambil kedip-kedipkan mata dengan ceriwis.
“Pemuda rendah terima selendangku
ini!” bentak Anggini. Tangan kanannya bergerak.
Ujung selendang berputar pelahan dan
lamban ke arah kepala Wiro Sableng.
Selendang terbuat dari kain yang halus. Bila benda itu bergerak lamban
berarti benda itu dialiri oleh aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu bahwa
kadangkala tenaga halus lebih berbahaya daripada tenaga kasar yang di luarnya
kelihatan hebat. Pemuda ini tak mau menyambuti liuk liku selendang itu. Dia
menggeser kedua kaki dan menjauhkan kepalanya. Masih tertawa dia mengejek:
“Saudari, tarianmu bagus sekali! Apakah ini juga dari gurumu kau pelajari?!”
Dugaan Pendekar 212 memang tepat.
Kalau sekiranya dia mencoba memapasi
selendang yang meliuk-liuk itu maka
dengan satu sentakan cepat Anggini akan menarik selendang dan melesatkan
ujungnya ke mata si pemuda. Ini pun sebenarnya belum ketentuan
Wiro Sableng
akan kena dihajar begitu saja. Tapi demikianlah kenyataannya bahwa kadangkala
ilmu halus dan lembut harus dihadapi dengan kehalusan dan kelembutan pula.
Melihat si
pemuda geser kaki menjauh tapi masih dengan sikap mengejek maka kini Anggini
rubah permainan selendangnya. Laksana seekor naga selendang ungu itu meliuk dan
mematuk kian ke mari. Dan kini barulah Wiro menghadapinya dengan kekasaran
pula. “Saudari, permainan selendangmu patut dikagumi!” memuji Pendekar 212.
“Tapi tak cukup pasal kalau kau sampai menyerangku begini rupa. Aku...” Ucapan
Wiro Sableng terpotong oleh bentakan Anggini.
“Tutup mulut pemuda ceriwis! Lihat
selendang!” Ujung selendang ungu dengan sangat tiba-tiba mematuk ke arah mata
kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda ini tundukkan kepala untuk mengelak.
Sejak tadi meski dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan cara kasar tapi
sesungguhnya Pendekar 212 terus-terusan mengambil sikap mengelak. Tapi pada
saat Wiro Sableng mengelak, pada detik itu pula ujung selendang dengan sangat
cepat turun dan melibat leher! Setengah libatan Pendekar 212 cepat-cepat
pergunakan tangan kiri untuk rnengibaskan selendang ujung tapi ini tak bisa
dilakukannya karena serentak dengan itu Anggini kirim satu tusukan dua ujung
jari tangan kiri ke dada kiri Wiro Sableng. Hebat sekali serangan ini sehingga
kalau dilihat dari atas maka serentakan dengan serangan selendangnya tadi, maka
sepasang serangan Anggini tak ubahnya seperti sebuah gunting besar yang hendak
menggerus tubuh dan leher si pemuda!
“Ah... ah... bagus, bagus sekali
saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa Tuak!” memuji Wiro Sableng. Tangan
kirinya terpaksa dipalangkan untuk menunggu tusukan jari tangan lawan. Anggini
yang tahu bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi darinya batalkan
serangan sebaliknya tangan kanannya siap menyentakkan selendang ungu yang
ujungnya telah melibat setengah leher Wiro Sableng.
Pendekar 212
cepat angsurkan lehernya ke muka untuk mengendurkan selendang sehingga kalaupun
detik itu disentak, sentakan itu tak akan mencelakainya. Kemudian dengan tangan
kanannya, cepat sekali disampoknya bagian tengah selendang!
Anggini sama sekali tak dapat melihat
cepatnya tangan kanan lawan yang menyampoki senjatanya. Dia hanya tahu
tiba-tiba saja bagaimana selendangnya menjadi menegang dan tertarik ke muka!
Sesaat mengetahui bahwa selendangnya
kena terpegang lawan terkejutlah gadis ini, tapi juga penasaran sekali.
Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro Sableng mau lepaskan, malahan
sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut sehingga tubuh Anggini sedikit
demi sedikit, selangkah demi selangkah ikut tertarik ke hadapannya.
Anggini memaki dalam hati.
“Sambut paku perakku, rnanusia
rendah!” bentak gadis itu.
Sekali dia
gerakkan tangan kirinya maka selusin benda yang besarnya setengah jengkal,
berbentuk paku dan berwarna putih perak mendesing ke arah Wiro Sableng. Karena
jarak mereka terpisah dekat sekali maka dua belas senjata rahasia ini sangat
berbahaya bagi keselamatan si pemuda. Anggini sendiri tiba-tiba merasa menyesal
melepaskan senjata rahasia itu karena kawatir si pemuda tak dapat berkelit atau
memapakinya, karena bukankah gurunya telah berpesan bahwa pemuda itu adalah
cocok bakal jadi jodohnya...?!
Sebaliknya
yang diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil bersiul dilambaikannya tangan
kirinya. Delapan paku perak luruh ke tanah sedang yang empat lagi dielakkan
dengan berkelit sedikit ke samping.
Kalau tadi dia merasa menyesal
menyerang pemuda itu dengan senjata rahasianya maka kini setelah si pemuda berhasil
selamatkan diri, kembali Anggini menjadi penasaran. Dia memekik keras, lompat
ke atas dan kirimkan dua tendangan jarak dekat susul rnenyusul.
“Ah, tak
sangka gadis molek begini galak sekali!” kata Wiro Sableng pula. Dia melompat
ke samping. Membuat gerakan satu putaran, dan sebelum Anggini turun ke tanah,
kedua kaki gadis itu sudah terlibat selendangnya sendiri! Membuatnya berdiri
dengan terhuyung-huyung tak bisa melangkah!
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ayo, kenapa berhenti galaknya?”
tanyanya mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini masih
memegang ujung yang lain dari selendangnya maka dengan cepat dia dapat
membukanya kembali. Paras gadis ini merah sekali. Matanya menyorot memandang
kepada Wiro Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan ceriwis mengedip-ngedipkan
matanya!
“Senjata apa lagi yang bakal kau
keluarkan?!” tanya Wiro.
“Lepaskan selendangku!” teriak
Anggini.
Wiro hanya tertawa.
“Lepaskan!”
teriak gadis itu lagi. Dicobanya menyentakkan selendang itu tapi Wiro
memegangnya erat sekali. Kalau ditariknya keras pasti selendang kain itu akan
robek. Kesal dan gemas akhirnya dengan menghentakkan kaki Anggini lepaskan
selendangnya, putar tubuh dan lari ke balik sebuah batu besar. Di sini
menangislah gadis itu.
“Heh... kenapa jadi nangis?” tanya
Wiro ketika dia melangkah dan datang di balik batu besar. Pemuda ini jadi
garuk-garuk kepala. Lalu katanya: “Saudari, lihat, hari sudah senja. Sebaliknya
kau kembalilah ke tempat gurumu! Kalau tidak pasti kau akan sesat di malam yang
gelap nanti!”
“Aku tak mau kembali! Tak bisa
kembali ke pertapaan!” jawab Anggini di antara tangis sesungguhnya.
“Kenapa tak mau? Kenapa tak bisa?”
“Guruku akan marah!”
“Marah kenapa?” tanya Wiro tagi.
“Sudah... sudah! Kau tidak tahu!” Dan
tangis Anggini semakin mengeras.
“Lalu kalau
kau tak mau kembali ke tempat gurumu, apa kau bakal nginap di sini?!” “Tak usah
perdulikan aku! Biar aku mau malang mau melintang tak usah ambil pusing!
Pergi dari sini kau...!” Anggini
menyeka mata dan pipinya.
“Tak perlu
bicara keras macam begitu, Saudari. Antara kita tak ada permusuhan. Ini semua
adalah gara-gara gurumu yang berotak sinting itu!” “Jangan hinakan guruku!”
hardik Anggini.
“Kau seorang
murid yang baik. Patuh terhadap guru dan juga hormati Tapi sayang kau juga
turut-turutan bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang sudah, kembalilah
ke pertapaan gurumu sebelum hari menjadi malam...”
“Tidak!”
Wiro Sableng
melangkah ke belakang Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat itu.
Akhirnya pemuda ini berkata juga: “Ini selendangmu. Kalau kau banyak berlatih
pasti kau
menjadi seorang gadis yang hebat....”
Wiro lantas
menyampirkan selendang ungu itu di pundak si gadis. Ketika dia memandang ke
langit dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan sabit kelihatan
samar-
samar di balik awan. “Sudah malam....” desis pemuda ini. Kemudian dia
memandang pada gadis yang berdiri di depannya dengan membelakang itu. “Pergilah
cepat, saudari. Nanti kau
kemalaman di jalan....”
Anggini gelengkan kepala. “Guruku
akan marah... akan marah kalau aku kembali.... “ “Kalau begitu ya tak usah
kembali saja...” ujar Wiro Sableng.
“Aku memang tak bakal kembali...”
kata Anggini pula.
“Hem... dan kau mau pergi ke mana?”
“Apa urusanmu tanya-tanya?”
“Ah...” Wiro tertawa. Dia melangkah
ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya pundak Anggini. Si gadis dengan serta
merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi tubuhnya sudah keburu dijalari
perasaan aneh yang menggelora-gelora sampai ke lubuk hatinya. Tak kuasa dia
menyibakkan pegangan tangan pada bahu itu.
“Saudari, dengarlah…” kata Wiro pula.
Tangannya masih memegang bahu si gadis malahan meremas-remasnya dengan lembut.
“Dalam hubungan guru dan murid walau bagaimana pun kau musti kembali ke pertapaan.
Kau tak boleh tempuh jalan sehdiri. Kalau kau
tak kembali
malah gurumu akan marah sekali. Kau pasti akan dihukumnya!” “Tapi bagaimana aku
mungkin bisa kembali? Tidak bisa saudara.., kau tidak tahu....” “Apa yang aku
tidak tahu?” tanya Wiro.
Tak mungkin
bagi Anggini untuk mengatakannya dengan terus terang. Namun terluncur juga
ucapan dari mulutnya: “Kalau aku musti kembali kata guruku... aku harus
bersamamu...”
Wiro tertawa.
Suara tertawanya menggema di daerah sepi dingin di permulaan malam itu.
“Saudari...
namamu siapa?” bertanya Wiro Sableng. Dan karena tadi gadis itu diam saja
diremas bahunya maka tangan Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi yang
masih belum kering dengan air mata itu. Rasa yang menyentak-nyentak mendebarkan
dada si gadis kini tambah keras dari tadi. Lagi-lagi tak kuasa dia menyibakkan
tangan yang membelaibelai itu. Ditundukkannya kepalanya.
“Siapa namamu, saudari...?” tanya
Wiro lagi.
“Anggini,” jawab si gadis perlahan.
“Nama bagus...
nama bagus,” puji Pendekar 212 dan tangannya semakin berani membelai muka
Anggini. “Dengar Anggini, orang tua macam gurumu itu memang suka bicara
ngelantur. Sekarang kau kembali saja ke pertapaannya dan katakan bahwa kau tak
berhasil mengejar atau menemui aku. Habis perkara. Atau kalau tidak katakan
saja kau telah menemuiku
dalam keadaan tak bernyawa mati di
jurang Sranggreng!”
“Aku tak bisa berdusta... kalau aku
berdusta dia selalu mengetahuinya!” kata Anggini pula.
“Wah berabe
kalau begini!” ujar Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir
apa yang akan diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu sendirian di situ,
tak tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang. Akhirnya diajaknya gadis
itu duduk di sebuah batu datar. Daerah belantara di mana mereka berada saat itu
serba asing baginya. Mungkin sampai ratusan tombak bahkan ribuan tombak
perjalanan belum menemui rumah penduduk.
Apakah dia dan gadis itu terpaksa
tinggal terus di tempat itu malam ini?
Angin bertiup dari celah-celah
batu-batu yang meruncing memenuhi tempat itu.
“Dingin...?” bisik Pendekar 212.
Anggini mengangguk. Dan tangan kiri
Pendekar 212 bergerak di balik punggung si
gadis untuk
kemudian merangkul bahu Anggini. Suasana berubah hangat. Dan untuk beberapa
lamanya mereka tiada bicara.
Wiro memecah kesunyian. “Kalau kau
tak mau kembali ke pertapaan dan aku tak bisa pula meninggalkan kau sendirian
maka kita terpaksa bermalam di sini. Tunggulah sebentar aku
akan cari tempat yang baik....”
“Nanti sajalah.... “ kata Anggini.
Diletakkannya tangan kanannya di paha Pendekar 212 dan dia memandang ke
angkasa.
“Langit
cerah,” kata Wiro. “Kalau nanti turun hujan, memang. kita yang sialan.... !”
Anggini tertawa. Manis sekali tertawa itu. Hati Pendekar 212 sejuk sekali
jadinya. Dan diperketatnya rangkulannya. Kemudian dengan beraninya pendekar ini
menggelitiki tengkuk si gadis dengan hidungnya.
“Jangan begitu
ah....” kata Anggini menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan tengkuknya tidak
dijauhkannya.
Malam itu Wiro Sableng sengaja tidak
membuat, perapian. Dia khawatir kalau-kalau nyala api hanya akan mengundang
datangnya hal-hal yang tidak diingini. Apalagi kalau yang datang itu adalah
Dewa Tuak adanya. Meskipun dingin, meskipun mereka hanya terbaring di
balik batu
besar hitam itu dan beratapkan langit luas namun tubuh mereka yang berada
berdekatan itu saling memberi kehangatan. Pendekar 212 ingat pada suatu malam
ketika dia berada berdua-duaan di sebuah dangau di tengah sawah dengan
Nilamsuri. Malam ini tak ada bedanya dengan malam yang dulu itu. Sama-sama ada
seorang gadis di sampingnya. Tapi terhadap Anggini, Pendekar 212 masih punya
pikiran panjang dan sehat: Meski saat itu Anggini sudah berbaring pasrahkan
seluruh tubuhnya untuknya dan memang sudah hampir setiap bagian dari tubuh
Anggini disentuh oteh Pendekar 212, namun untuk berbuat lebih jauh dari itu
pemuda ini tidak mau. Tubuh perawan itu laksana bara hangatnya, tangannya
menggapai punggung Wiro dan pahanya melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212
hanya merangkuli tubuh itu, hanya mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi
matanya yang sayu kuyu tapi menyembunyikan hasrat yang meluap itu.
* * *
Sinar matahari
yang menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan tidurnya.
Dibukanya kedua matanya dengan pelahan, digosoknya beberapa kali kemudian
dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak
ada di sampingnya, la segera bangun duduk, lalu berdiri dan memandang ke
belakang. Tapi pemuda itu tidak kelihatan.
“Wiro,” panggilnya.
Tak ada yang menyahut.
“Wiro.... !” panggilnya sekali lagi
lebih keras. Hanya gaung suaranya yang menjawab. Tiba-tiba ketika matanya
memandang ke batu besar di samping pembaringan di mana dia dan Wiro tidur
semalam terbentur olehnya tulisan. Tulisan.
Anggini
Maafkan kalau
aku pergi tanpa pamit. Aku terpaksa meninggalkan kau. Kalau ada umur kita pasti
bertemu lagi. Kembalilah ke tempat gurumu. Terima kasih untuk segala-galanya
malam tadi.
212
Anggini merasakan dadanya menyesak.
Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda itu sudah pergi. Tubuhnya masih
terasa hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti masih terasa jari-jari
tangan pemuda itu mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang disertai
gigitan-gigitan kecil.
Terima kasih untuk segala-galanya
malam tadi
Anggini
membaca lagi tulisan itu. Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya ke
kemerahan, ditambah lagi sentuhan sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya
untuk mengejar pemuda itu kembali. Dia tak tahu apakah Wiro pergi larut malam
tadi atau dinihari, atau pagi tadi sebelum dia bangun. Gadis ini tarik nafas
panjang dan dalam. Ketika dia membetulkan ikatan selendang ungunya yang di
pinggang, maka pada ujung selendang itu dilihatnya sederetan angka: 212. Sekali
lagi gadis ini tarik nafas dalam dan panjang. Lalu dengan langkah gontai
ditinggalkannya tempat itu.
- == 0O0 == --
TUJUH
Kerajaan
Pajajaran… Pada masa itu Kerajaan Pajajaran masih belum luas pengaruhnya di
Jawa Barat. Bahkan dengan kesultanan Banten di pantai Utara masih terdapat
hubungan baik, belum ada silang sengketa. Di bawah pemerintahan Prabu Kamandaka
maka Kerajaan Pajajaran aman tenteram. Penduduk hidup berkecukupan.
Tapi di dunia
ini selalu saja ada manusia yang berbusuk hati, yang iri dan dengki. Yang tidak
senang dengan kebahagiaan orang lain, yang tidak suka dengan keberuntungan
orang lain, yang tidak suka akan kekuasaan orang lain dan ingin meruntuhkan
kekuasaan orang lain itu lalu ganti menguasainya!
Saat itu satu-satunya manusia di
seiuruh Pajajaran yang paling membenci Prabu
Kamandaka ialah Werku Alit. Dalam
tambo keturunan raja-raja Pajajaran maka Prabu Purnawijaya adalah satu-satunya
raja pajajaran yang tidak mempunyai keturunan kandung dari permaisurinya.
Mungkin ini sudah menjadi takdir Dewa-dewa di Kahyangan, dan ini jugalah yang
menjadi pangkal sebab buntut daripada terjadinya banjir darah di Pajajaran.
Ketika Prabu Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh istana, ahli-ahli agama dan
orangorang tua kerajaan menyepakati untuk menobatkan Kamandaka, adik kandung
Prabu Purnawijaya, menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang seorang yang
bijaksana, pandai serta berilmu tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia
telah menunjukkan bakat untuk menjadi seorang pemimpin agung. Lagi pula memang
tak ada manusia lain di Pajajaran saat itu yang punya hak dan pantas untuk
dinobatkan sebagai pengganti mendiang Prabu Purnawijaya.
Dari seorang
selirnya, Prabu Purnawijaya mempunyai seorang anak yang bernama Werku Alit.
Werku Alit ini tua beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika masih orok keduanya
sama-sama disusukan pada seorang perempuan penyusu istana sehingga boleh dikatakan
antara
Werku Alit dan Kamandaka terjalin
sudah satu pautan tali persaudaraan!
Namun ketika Kamandaka dinobatkan
sebagai Prabu Pajajaran timbullah dengki di hati Werku Alit. Bukankah Kamandaka
hanya adik Prabu Purnawijaya; bukan anak kandungnya?
Dan bukankah dia sebagai anak dari
Prabu Purnawijaya, lebih mempunyai hak untuk memegang
tahta kerajaan? Werku Alit dalam
dengkinya, apalagi sesudah kena hasutan oleh golongangdongan tertentu yang
memang tidak suka pada Kamandaka, lupa bahwa dirinya hanyalah seorang anak yang
dilahirkan dari selir Prabu Pumawijaya, yang sama sekali tidak punya hak untuk
menjadi raja Pajajaran.
Demikianlah,
secara diam-diam Werku Alit meMnggalkan istana Pajajaran, mengembara menuntut
ilmu dan menghubungi beberapa orang tertentu. Ketika dia kembali ke istana maka
saat itu dia sudah menyusun suatu rencana besar. Yaitu untuk merebut takhta
kerajaan dengan jalan kekerasan! Dengan pertempuran, dengan peperangan! Dalam
pengembaraan itulah Werku
Alit bertemu dengan Suranyali atau
Mahesa Birawa. Tahu bahwa Mahesa Birawa seorang manusia sakti luar biasa maka
Werku Alit mengambilnya sebagai tangan kanan dengan perjanjian bila kerajaan
berhasil digulingkan maka Mahesa Birawa akan dijadikan Perdana Menteri!
Dalam menjadi
tangan kanan membantu rencana busuk Werku Alit. Mahesa Birawa mempunyai rencana
sendiri, rencana dalam selimut. Jika kerajaan jatuh dan Werku Alit menang, maka
Mahesa dan kawan-kawannya akan menyingkirkan Werku Alit untuk kemudian dia
sendiri
yang akan
menampilkan diri menduduki tahta kerajaan Pajajaran
* * *
Di hutan
belantara di sekitar kaki Gunung Halimun kelihatan bertebaran ratusan buah
kemah. Inilah pusat balatentara pemberontak yang hendak merebut tahta kerajaan
Pajajaran di bawah pimpinan Werku Alit. Sementara Werku Alit kembali ke
Pajajaran maka pimpinan dipegang langsung oleh tangan kanannya yaitu Mahesa
Birawa. Di sini berhimpun sekitar seribu prajurit. Kebanyakan dari
pasukan-pasukan ini didapat Werku Alit dan Mahesa Birawa dari Adipati-adipati
kecil yang bernaung di bawah Pajajaran tapi yang kena dipengaruhi dan dihasut
oleh kedua orang itu. Bahkan saat itu Mahesa Birawa masih menunggu beberapa
orang Adipati lagi yang telah dihubunginya.
Jika Adipati-adipati ini datang dan menyerahkan beberapa ratus prajurit
tambahan maka dapatlah diatur kapan dilaksanakan penyerangan terhadap
Pajajaran. Sementara waktu menunggu maka semua prajurit senantiasa dilatih
perang-perangan. Para kepala-kepala pasukan diberi tambahan ilmu silat dan
kesaktian yang lumayan oleh Mahesa Birawa sedang para Adipati yang saat itu
sudah bergabung Mahesa Birawa menurunkan beberapa ilmu kesaktiannya. Mahesa
merasa sangat
menyesal sekali ketika mendapat kabar bahwa tiga orang anak buahnya yang; diam
di Jatiwalu telah menemui ajal akibat bentrokan dengan anak-anak murid
Perguruan Gua
Sanggreng
sedang Kalingundii hilang lenyap tak tentu rimbanya. Kalau saja keempat manusia
itu ada di sana tentu tak usah payah-payah dia menggembleng kepala-kepala
pasukan dan Adipatiadipati itu. Tapi tak apa payah sedikit. Nanti dia akan
memetik hasilnya sendiri!
Di dalam kemah besar yang terletak di
tengah-tengah ratusan kemah di kaki Gunung Halimun itu, mengelilingi sebuah
meja bulat telur maka duduklah empat orang laki-laki. Yang
pertama tak lain dari Mahesa Birawa,
kumis melintang dan badan semakin gemuk. Yang kedua
Adipati Karangtretes yaitu
Jakaluwing, bercambang bawuk lebat, potongan tubuhnya tegap kekar. Yang ketiga,
yang duduk di samping kiri Mahesa Birawa ialah seorang berbadan tinggi kurus
bermuka licin bernama Surablabak. Dia adalah Adipati Manganreja. Yang terakhir
seorang laki-laki berbadan gemuk pendek, berkepala sulah. Sinar lampu dalam
kemah membuat kepalanya itu berkilat seperti bersinar-sinar. Manusia ini
bernama Lanabelong, Adipati Kendil.
Di atas meja, di hadapan keempatnya
terletak masing-masing segelas tuak murni dan harum.
Ketiga Adipati itu telah kena dihasut
oleh Mahesa Birawa dan Werku Alit untuk memberontak terhadap Pajajaran dan
kepada mereka dijanjikan kedudukan sebagai Menteri kerajaan bila pemberontakan
mereka berhasil kelak.
“Silahkan
diteguk tuaknya, saudara-saudara Adipati,” kata Mahesa Birawa pula sesudah
keheningan mengungkungi kemah itu beberapa lamanya. Masing-masing kemudian
meneguk tuak yang enak itu. Di malam yang dingin minum tuak memang enak
menghangatkan tubuh.
Jakaluwing raba cambang bawuknya.
Lalu bertanya:'“Kapan kira-kira saatnya kita akan menggempur Pajajaran, adimas
Mahesa Birawa?”
“Soal penggempuran
itu kangmas Jakaluwing, sebenarnya saat ini pun kita sudah sanggup
melakukannya. Jumlah prajurit cukup, tenaga pimpinan rata-rata sudah
berpengalaman dan dapat diandalkan. Cuma kita tak enak kalau meninggalkan
saudara-saudara Warok Gluduk
dan Tapak
Ireng. Kedua Adipati itu telah berjanji akan bergabung dengan kita bersama
beberapa ratus prajurit-prajurit mereka. Ada baiknya jika kita tunggu
kedatangan mereka. Sesudah itu baru kita hubungi Raden Werku Alit untuk
menentukan kapan saat yang baik untuk penyerangan....”
Adipati Jakaluwing manggut-manggut.
“Begitu memang bagus,” kata
Lanabelong. Adipati berkepala sulah. Lalu diteguknya tuaknya.
“Di samping itu, mengingat bahwa di
Pajajaran tentunya terdapat tokoh-tokoh pelindung yang berilmu tinggi maka kita
musti tidak pula menyia-nyiakan bantuan yang hendak diberikan
oleh Begawan Sitaraga yang diam di
puncak Gunung Halimun!”
“Ah, hebat sekali kalau Begawan yang
tersohor ini ikut di pihak kita!” kata Surablabak sambil pukul meja.
“Sebenarnya,” kata Mahesa
Birawarpula. “Begawan Sitaraga ini mempunyai dendam kesumat yang masih belum
terbalaskan terhadap toa Pajajaran yaitu kakek dari
Kamandaka....”
“Kalau Begawan ini setingkat umurnya
dengan kakek Kamandaka, tentu kini kira-kira sudah seratusan usianya...” kata
Lanabelong.
“Kira-kira begitutah,” sahut Mahesa
Birawa. Kemudian laki-laki ini berseru memanggil pelayan untuk menyuruh tambah
tuak di keempat gelas itu.
Sesudah pelayan pergi Mahesa Birawa
buka mulut kembali. “Besok aku akan kirimkan dua orang kurir ke Pajajaran untuk
menemui Raden Werku Alit. Kuminta kepadanya untuk menyebar mata-mata lebih
banyak, terutama di dalam istana guna mengetahui perkembangan
terakhir, terutama mencari kabar
selentingan apakah gerakan kita ini bocor atau tidak.... “ “Dan jangan lupa
pula untuk meneliti pertahanan Pajajaran di mana yang lemah,” kata Lanabelong.
Mahesa Birawa mengangguk.
“Saudara-saudara Adipati, agaknya pertemuan kita malam ini cukup. Sampai besok
pagi.”
Keempat orang
itu saling menjura kemudian satu demi satu meninggalkan kemah besar khusus
untuk tempat perundingan, menuju ke kemah masing-masing.
- == 0O0 == --
DELAPAN
Laki-laki itu berjalan di liku-liku
lorong bagian belakang istana dengan menundukkan kepala. Sekali-sekali
dilewatinya para pengawal. Pengawal-pengawal istana tidak menegur atau menahan
laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa laki-laki itu adalah Udayana, pembantu
Prabu Kamandaka. Segala urusan rumah tangga sang Prabu dialah yang mengurusnya.
Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi
Di Pajajaran
Di pintu besar gedung istana sebelah
belakang laki-laki ini berhenti sebentar lalu menyeberangi halaman kecil dan
masuk ke pintu sebuah bangunan kecil yang bagus bentuknya.
Justru di sini dua orang pengawal
memalangkan tombak menghentikannya.
“Aku mau ketemu Raden Werku Alit,”
kata Udayana.
“Ada keperluan apa?” tanya salah
seorang pengawal.
“Beliau sudah tahu.”
“Tunggu di
sini,” Pengawal itu masuk yang seorang tetap di tempatnya. Tak lama kemudian
pengawal yang masuk muncul kembali. “Kau dipersilahkan menghadap.” katanya
memberi tahu.
Udayana mengangguk dan memasuki pintu
gedung.
Di dalam
sebuah kamar yang luas, Werku Alit menyambut kedatangannya. Ditepuktepuknya
bahu Udayana. “Bagaimana? Ada perkembangan baru...?” Werku Alit berbadan tinggi
langsing dan me-melihara kumis panjang menjulai seperti tali, seperti raja-raja
Tiongkok! “Perkembangan baru belum ada Raden.... Cuma ada satu berita. Mungkin
sedikit banyak nya ada perlunya juga saya sampaikan kepada Raden...”
“Bagus, katakanlah Udayana....”
“Rara Murni adik Kamandaka siang
besok akan berangkat ke Kalijaga untuk
menyambangi adik neneknya. Dia akan
pergi dengan kereta dan dikawal secukupnya.... “ “Hem....” Werku Alit menggumam
dan mengusut-usut kumis talinya. “Aku belum melihat adanya hubungan
keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi tunggu sebentar, coba kupikir....”
Tangan yang tadi mengusut kumis ini memijit-mijit kening. Dan tangan itu
tibatiba menepuk bahu Udayana sampai laki-laki ini terkejut. “Aku telah melihat
kegunaan keteranganmu ini Udayana. Suruh seorang mata-mata kita menghubungi
Kalasrenggi. Katakan bahwa aku akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua
di luar tembok kerajaan.” Udaya menjura.
“Perintah
Raden akan saya jalankan,” katanya lalu cepat-cepat meninggalkan kamar itu.
* * *
Seluruh balatentara kerajaan
Pajajaran dibagi atas lima kelompok pasukan dan tiap-tiap pasukan dibagi dua
masing-masing bagian dikepalai oleh seorang
yang disebut kepala prajurit,
Kalasrenggi
adalah salah seorang dari kepala pasukan balatentara Pajajaran. Sebagai kepala
lWiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
pasukan tentu saja dia memiliki ilmu
dan pengalaman yang dapat diandalkan. Dan memang
banyak orang yang mengatakan bahwa
diantara lima kepala pasukan Pajajaran maka Kalasrenggi
adalah yang paling tinggi ilmunya.
Tapi sayang kepala pasukan ini, telah pula terseret ke dalam rencana busuk
Werku Alit dan Mahesa Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Prabu Kamandaka! Siang tadi seorang suruhan
Raden Werku Alit telah menemui Kalasrenggi dan menyampaikan pesan bahwa Werku
Alit akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok kerajaan.
Maka malamnya dengan seorang diri berangkatlah Kalasrenggi ke ternpat yang
ditentukan itu. Dia sampai ke pondok tua itu. Sebenarnya tak pantas disebut
pondok karena sama sekali bangunan tua itu tiada mempunyai dinding dan atapnya
pun sudah sebagian melompong
dimakan umur. Pondok atau lebih tepat
teratak itu sunyi saja. Tak seorang pun kelihatan di sana.
Kalasrenggi berpikir tentu Raden
Werku Alit belum sampai ke sana, maka dia pun menunggulah.
Dinyalakannya sebatang rokok. Dia
memandang ke angkasa. Langit kelihatan mendung. Bintang-bintang mulai tertutup
awan. Bulan menghilang dan angin bertambah besar serta dingin.
Dia tak
sabaran menunggu. Rokok yang dihisapnya sudah hampir habis. Berbarengan ketika
rokok itu dibuangnya ke tanah maka dipengkolan muncul tiga sosok bayangan. Dua
dari sosok bayangan itu berhenti sedang yang satu terus melangkah ke arah
teratak itu. “Sudah lama kau...?” bertanya orang yang datang ini yang tak lain
dari Werku Alit adanya.
“Sudah juga,” sahut Kalasrenggi.
“Raden mau bicara apa dengan saya?”
Sementara itu hujan rintik-rintik
mulai turun. Angin tambah kencang. “Ada tugas buatmu besok Kalasrenggi,” kata
Werku Alit.
“Tugas apakah, Raden?”
Hujan rintik-rintik berubah menjadi
lebat. Guruh menggelegar. Kilat menyambar. Sesosok bayangan putih dibawah
penerangan kilat yang hanya sedetik saja terangnya, kelihatan berlari sangat
cepat menuju teratak tua itu. Werku Alit dan Kalasrenggi terkejut sekali dan
tangan-tangan mereka segera meraba hulu senjata di pinggang masing-masing!
“Hujan sialan!” Terdengar orang yang baru datang ini merutuk. Kemudian dia
berpaling pada Werku Alit dan Kalasrenggi dan berkata: “Saudara-saudara, aku
numpang mondok sama-
sama kalian.”
Werku Alit dan Kalasrenggi memandang
tajam pada laki-laki yang baru datang ini. Dia masih muda, berbadan kekar dan
berambut gondrong. Kedatangannya mau tidak mau mencurigakan kedua orang itu
meski ada alasan bahwa dia datang ke sana untuk berteduh karena hari hujan
lebat.
“Kau siapa?!” tanya Kalasrenggi
membentak garang. Pandangannya buas sekali. Tangan kirinya menyelinap ke
pinggang.
Laki-laki muda yang dibentak
memandang dengan keheran-heranan. “Memangnya apa aku tidak boleh mondok di
sini, Saudara?!”
“Aku tanya kau siapa dan jangan
banyak tanya!” hardik Kalasrenggi.
Pemuda itu bersiul dan menyeringai.
“Tak usahlah bicara pakai membentak segala. Urusan kecil kalau dipersoalkan
dengan kasar bisa menimbulkan gara-gara yang tidak diingini!”
Kalasrenggi
dengan tidak sabar melangkah ke hadapan pemuda itu dan hendak menempelaknya.
Tapi langkahnya dihentfkan ketika dalam kegelapan dan masih sempat rnelihat
isyarat yang diberikan oleh Werku Alit. Werku Alit tak ingin terjadi keributan
yang buntutbuntutnya bisa membocorkan rencana besamya. Karena itu dengan
terancam dia melangkah mendekati pemuda itu.
“Saudara,” kata Werku Alit sambil
memegang bahu si pemuda. “Harap maafkan.
Kawanku memang lagi kasar berangasan
habis kalah judi! Sudahlah, tak ada yang harus kita
ributkan di malam buta begini, mana
hujan, mana dingin. Bukankah begitu...?”
“Ah... tepat sekali saudara....”
jawab si pemuda. Werku Alit tersenyum. Tiba-tiba laksana kilat cepatnya, dua
jari tangan kirinya menusuk ke muka menghantam urat besar di bagian kiri
tubuh si
pemuda. Tak ampun lagi pemuda itu rebah ke tanah. Sebagian kakinya terjulur
lewat atap dan segera diguyur oleh air hujan!
Werku Alit tertawa mengekeh. “Pemuda
konyol mau banyak tingkah!”
“Tapi siapa tahu dia bukan pemuda biasa.
Raden. Mungkin mata-mata....”
“Ah, tampangnya saja geblek, dogol,
bagaimana bisa jadi mata-mata? Buktinya sekali totok saja sudah rubuh!”
Kalasrenggi memandang sosok tubuh
yang menggeletak menelungkup itu. Dia bermaksud untuk menggeledah pemuda itu
namun didengarnya Werku Alit berkata: “Sudah, tak perlu perdulikan kunyuk itu!
Mad kita muiai pembicaraan. Menurut keterangan pembantu rahasiaku, besok siang
Rara Murni akan berangkat dengan kereta ke Kalijaga. Tugasmu culik gadis itu,
sekap di kuil tua di lembah Limanaluk. Bila sudah beri laporan sama aku biar
aku tentukan langkah selanjutnya!”
“Itu tugas mudah, Raden,” kata
Kalasrenggi. “Tapi saya ingin tahu siapa-siapa saja yang ikut dengan Rara
Murni...?”
“Aku tak mendapat keterangan tentang
hal itu. Yang penting kau harus tangkap Rara
Murni
hidup-hidup. Yang lainnya kalau melawan bereskan saja, habis perkara!” “Baiklah
Raden. Sebelum malam tiba besok, saya akan mengirimkan seseorang untuk
memberitahukan bahwa tugas sudah selesai....”
Werku Alit menepuk bahu kepala
pasukan itu. “Nah, aku pergi sekarang!”
Kalasrenggi memperhatikan sampai
ketiga orang itu lenyap di kejauhan dalam kegelapan malam. Kemudian laki-laki
ini memutar tubuh dan kembali matanya memandangi manusia yang menelungkup di
bawah teratak itu. Dia membungkuk hendak menggeledah, meneruskan niatnya yang
tadi batal, tapi kemudian terpikir olehnya, perlu apa susah-susah dengan diri
orang lain.
Dengan seenaknya Kalasrenggi
menendang tubuh laki-laki yang menggeletak itu sehingga tubuh
itu terlontar
sampai beberapa tombak! Kalasrenggi kemudian berlalu pula dari teratak tua itu.
- == 0O0 == --
SEMBILAN
Hanya beberapa ketika saja
Kalasrenggi meninggalkan teratak tua itu maka orang yang tadi ditotok dan
ditendang anehnya tiba-tiba berdiri dengan cepat. Dia melangkah kembali ke
bawah teratak. Disekanya mukanya yang basah oleh air hujan dan berselomotan lumpur.
Diperhatikannya pakaiannya, kotor semua. Ditepuk-tepuknya pinggul kirinya yang
tadi bekas kena ditendang Kalasrenggi.
“Sialan betul! Sakit juga tendangan
kunyuk itu!” makinya seorang diri. “Di lain hari aku akan balas keramah
tamahannya tadi!”
Sesungguhnya sewaktu Werku Alit
menotoknya tadi, orang ini sudah dapat menduga gerakan dan maksud Werku Alit.
Sebelum totokan datang cepat-cepat bagian tubuh di samping kiri dialirkan
dengan tenaga dalam. Kemudian ketika totokan Werku Alit mendarat di tubuhnya,
taki-laki ini pura-pura jatuh tak sadarkan diri. Demikian juga ketika
Kalasrenggi menendangnya, dia dalam meneiungkup pura-pura pingsan masih sempat
melihat gerakan kaki orang itu dan bersiap menjaga diri sehingga waktu
ditendang tubuhnya hanya terasa pegal-pegal sedikit! Dan apa yang telah
dibicarakan kedua orang itu dapat didengarnya dengan jelas.
Orang ini duduk bergelung lutut dan
berpikir-pikir. Siapakah gerangan kedua orang tadi? Siapa yang dipanggil dengan
sebutan “raden” dan siapa yang satu lagi? Mengapa mereka bicara di tempat
terpencil dan di malam hari berudara buruk seperti ini? Dan tugas yang
diberikan oleh orang yang dipangglkan “raden” itu? Siapakah Rara Murni? Apakah
keduanya bukan gerombolan-gerombolan rampok pengacau? Yang hendak menculik Rara
Mumi kemudian melakukan pemerasan terhadap orang tua gadis itu?
Orang itu
usut-usut dagunya. Banyak yang tak dimengertinya atas apa yang telah dialaminya
tadi. Tapi esok bila hari sudah siang dia bisa mencari keterangan di Kotaraja.
Sejak pagi sampai saat itu sudah beberapa jam dia mengelilingi Kotaraja.
Berbagai tempat dan pelosok didatanginya. Namun tampang-tampang manusia yang
dua orang yang ditemuinya malam tadi tak berhasil dicarinya. Akhimya masuklah
dia ke dalam sebuah kedai.
Memang saat itu tenggorokannya sudah
seperti terbakar oleh rasa haus dan perutnya perih keroncongan.
Sambil makan dia terus juga
berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin kedua orang yang semalam itu
gerombolan-gerombolan rampok. Seorang rampok tak akan dipanggil “raden”. Pasti
yang dipanggil “raden” itu seorang bangsawan kaya. Lalu kenapa bangsawan kaya
mau menculik gadis orang? Mungkin pernah melamar tapi tak diterima?
Dia menyudahi
makanannya. Ketika dia memandang berkeliling ternyata kedai itu sudah penuh
dengan tamu-tamu yang makan siang. Dengan perut kenyang dia kemudian melangkah
mendekati pemilik kedai. Ditanyakannya berapa jumlah yang harus dibayarkannya
lalu diberikannya sejumiah uang.
“lni kembalinya, Nak,” kata orang
kedai. Dia sudah tua. Rambutnya sudah putih semua. “Ah, tak usah. Ambil
saja....” kata pemuda.
Si orang tua jadi keheranan. Demikian
juga beberapa orang yang duduk di dekat sana. Pemuda yang berambut gondrong,
berpakaian lusuh serta bertampang keren tapi macam anakanak itu berlagak
seperti seorang kaya raya yang punya banyak uang, sok tak mau terima uang
kembalian! Tapi perhatian orang hanya sebentar tertuju kepada si pemuda.
Masing-masing kemudian sibuk mengurusi mulut dan perutnya sendiri.
Si pemuda mendekati pemilik kedai dan
berkata pelahan: “Uang yang kulebihkan itu untuk membayar beberapa keterangan
darimu, Bapak,” katanya.
“Keterangan?” Si orang tua
kerenyitkan kening. “Keterangan apa...?”
“Bapak sudah lama tinggal di Kotaraja
ini?”
“Dari masih orok sampai punya buyut!”
jawab pemilik kedai pula. Hatinya masih bertanya-tanya dan heran. “Kenapa anak
tanya begitu?”
“Oh tak apa-apa.... Mungkin bapak
kenal dengan seorang perempuan bernama Rara Murni?” Pertanyaan ini membuat si
orang tua lebih heran. “Semua orang di Pakuan ini tahu siapa
Rara Murni,” katanya.
“Oh pantas.. pantas... Rara Murni
yang kau tanyakan itu adalah adik Sang Prabu
Kamandaka!” Tentu saja si pemuda
mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa sangka kalau Rara
Murni adik
dari raja Pajajaran?! Namun dengan pandainya dia menyembunyikan kekagetannya
itu. Kemudian terdengar suara orang kedai bertanya.
“Anak muda, ada maksud apakah kau
bertanyakan adik Sang Prabu itu...?”
“Oh tidak apa-apa. Tidak apa-apa....”
“Kalau kau
bermaksud buruk ketahuilah bahwa di Kotaraja ini banyak sekali
hulubalanghulubalang Sang Prabu yang bertelinga tajam!” Si pemuda sunggingkan
senyum.
“Kau terlalu bercuriga terhadapku,
orang tua. Aku hanya seorang pemuda desa yang mendengar kabar disampaikan dari
mulut ke mulut bahwa Rara Murni adalah seorang yang cantik jelita. Biasa bukan
laki-laki tanya perempuan...?” Pemuda ini kemudian tertawa geli.
Namun tawa gelinya itu diputuskan
oleh suara bentakan dari arah pintu.
“Manusia yang berani bicara seenaknya
tentang adik Sang Prabu coba putar tubuh! Aku mau lihat tampangnya!”
.Suara itu keras dan garang.
Si pemuda melihat bagaimana orang tua
di hadapannya menjadi gemetar ketakutan. “Aku sudah bilang apa... aku sudah
bilang apa...” katanya berulang kali.
Pemuda itu dengan perlahan memutar
tubuh. Di pintu dilihatnya berdiri seorang prajurit berhadapan tegap bersenjata
tombak.
“Bagus! Tampangmu memang mirip
kunyuk. Jadi cukup pantas untuk pengisi kerangkeng istana!” Prajurit ini
melambaikan tangannya. Dua orang prajurit lagi muncul di ambang pintu. “Tangkap
pemuda rambut gondrong itu! Dia telah menghina adik Sang Prabu!”
Dengan tombak terhunus kedua prajurit
itu melangkah ke hadapan pemuda rambut gondrong. “Sebentar saudara...
sebentar!” kata si pemuda sambil pentangkan kedua telapak tangannya ke muka.
Selarik sinar halus berhembus ke arah jalan darah kedua prajurit itu. Dan semua
mata dalam kedai yang tak tahu menahu ha1 itu hanya menyaksikan bahwa kedua
prajurit itu hentikan langkah karena memenuhi permintaan si pemuda. Padahal dua
prajurit itu sudah kena ditotok dari jarak jauh dan berdiri kaku tak bisa
bergerak tak bisa bicara! “Sebentar, aku mau bicara dulu!” kata pemuda rambut
gondrong kini pada prajurit yang di pintu. “Bicara apa?!
Lekas? Katakan!”
Seekor lalat terbang dan hinggap di
lengan kiri si rambut gondrong.
“Ah lalat ini! Mengganggu aku yang
hendak bicara!” kata si rambut gondrong. Dengan jari-jari tangan kanannya
disentilnya lalat itu. Namun tujuan sebenarnya bukan binatang itu. Sang lalat
memang terpental mati dengan tubuh hancur tapi angin sentilan terus menotok
jalan darah prajurit yang berdiri di pintu kedai. Orang-orang tetap melihat dia
berdiri sebagaimana biasa tapi sesungguhnya tubuhnya sudah kaku tegang!
Si rambut
gondrong datang ke hadapannya, pura-pura membisikkan sesuatu lalu menepuk bahu
prajurit itu dan berlalu. Orang-orang mulai menjadi heran. Dan beberapa ketika
saja sesudah pemuda aneh tadi lenyap tiba-tiba: “Bluk... bluk... b!uk.... !”
Ketiga prajurit itu
rebah ke tanah susul menyusul! Begitu
mencium lantai begitu mereka kembali sadarkan diri!
Kedai itu menjadi hiruk pikuk. Tiga
prajurit dengan rasa malu, geram dan amarah meluap memburu ke luar kedai tapi
si rambut gondrong sudah lama lenyap!
Tiga prajurit
ini tiada lain adalah anak buah Kalasrenggi. Sewaktu pemuda rambut gondrong
mengeliling Kotaraja mencari dua manusia yang ditemuinya malam tadi di teratak
tua di luar tembok kerajaan maka tanpa setahunya sepasang mata telah
menguntitnya. Yang menguntit tiada lain dari Kalasrenggi yang saat itu tengah
bersiap-siap untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Werku Alit. Ketika si
rambut gondrong masuk kedai maka dikirimnya tiga orang prajurit ke sana.
Diperintahkannya untuk menangkap pemuda itu dengan alasan yang dibuat-buat.
Bila sudah ditangkap, maka pengusutan lebih lanjut siapa adanya pemuda ini akan
dilakukan Kalasrenggi sesudahnya dia selesai melakukan tugas dari Werku Alit.
Ketika mereka masuk dengan diam-diam mereka telah mencuri dengar apa yang
dipercakapkan si rambut gondrong dengan orang kedai. lni mereka jadikan alasan
untuk menalngkap pemuda itu. Namun karena tiga prajurit ini hanyalah
mengandalkan tenagatenaga lahir yang kasar, tak mempunyai ilmu dalam maka
dengan mudah si rambut gondrong “mempermainkannya!”
- == 0O0 == --
SEPULUH
“Kalau Rara
Murni adalah adiknya Raja Pajajaran...” kata pemuda itu sambil terus juga
menyusuri jalan di bawah panas teriknya matahari musim kemarau, “Pasti
peristiwa penculikannya mempunyai latar belakang yang besar dan buntut
panjang!” Dia menengadah ke langit.
“Ah, cepat benar bergesernya
matahari....” katanya lagi. Dan ketika dia berpapasan dengan seorang penjual
sayur mayur maka bertanyalah dia, “Bapak, manakah jalan yang menuju
ke lembah Limanaluk?”
Penjual sayur mayur itu menyeka peluh
di keningnya terlebih dahulu. Diputarnya badannya sedikit dan dia menunjuk ke
ujung jalan.
“Ikuti saja terus jalan ini, jangan
mengkol. Limanaluk sekira setengah hari perjalanan dari sini.”
Pemuda yang bertanya mengucapkan
terima kasih lalu metanjutkan perjalanannya kembali....
Kereta itu bagus dan mungil
potongannya. Dua ekor kuda coklat yang menariknya berlari kencang. Empat
prajurit terpercaya mengawal kereta ini. Dua orang di depan, dua lainnya di
belakang. Debu menggebubu sepanjang jalan yang mereka lalui.
Setelah dua jam perjalanan meninggalkan Kotapraja jalan yang ditempuh
mulai banyak lobang-lobang dan batu-batunya. Kusir memperlambat jalan kereta
terutama ketika melewati satu pengkolan tajam. Selewatnya sebuah penurunan
jalan yang mereka lalui baik kembali dan menyusuri tepi sebuah kali kecil
berair jernih.
Prajurit di depan sebelah kanan
melambaikan tangan memberi tanda berhenti. Ketika kereta itu berhenti maka
tersibaklah tirai jendela dan sebuah kepala berparas jelita remaja munculkan
diri ke luar.
“Ada apa berhenti?” Suara gadis ini
bertanya begitu merdu.
Kepala pengawal menjura sedikit dan
menjawab: “Kuda-kuda kita perlu diberi minum, Tuan Puteri...”
Rara Murni menutupkan tirai jendela
kembali. Kusir turun dari kereta dan membawa kedua ekor kuda coklat ke tepi
kali. Enam ekor binatang itu kemudian seperti berebutan memasukkan mulutnya ke
datam air kali yang bening sejuk. Beberapa ketika berlalu maka rombongan
bersiap-siap untuk melanjutkan kembati. Namun belum lagi kusir naik ke atas
kereta empat orang penunggang kuda muncul di tempat itu. Badan tegap-tegap dan
muka mereka tak dapat dikenali karena kepala masing-masing tertutup dengan
kerudung kain hitam yang dilubangi di bagian matanya.
“Perjalanan
kalian hanya sampai di sini!” kata penunggang kuda paling depan. Suaranya berat
dan parau, disertai dengan tenaga dalam sehingga tak mungkin untuk mengenali
suaranya yang asli.
Empat pengawal kereta yang tahu bahwa
manusia-manusia berkerudung kain hitam itu datang bukan dengan membawa maksud
baik segera cabut pedang! Melihat ini orang yang tadi bicara tertawa mengekeh.
“Kalian kunyuk-kunyuk Pajajaran kalau
masih ingin selamatkan batang leher segeralah tinggalkan tempat ini!”
“Bangsat rendah! Berani menghina
prajurit kerajaan! Terima pedangku!” bentak kepala pengawal. Dia melompat ke
muka dan pedangnya berkelebat, berkilauan ditimpa sinar matahari!
Manusia berkerudung sentakkan tali
kekang kuda dan miringkan badan. Berbarengan dengan itu kaki kanannya meluncur
dengan sangat cepat. Kepala pengawal kereta terpekik.
Pedangnya lepas dan mental sedang sambungan sikunya yang dimakan
tendangan tanggal dari persendian! Dia mengeluh kesakitan, terbungkuk-bungkuk
sambil memegangi sambungan sikunya yang copot!
Tiga pengawa!
yang lain tanpa banyak bicara segera menyerbu dan disambuti oleh tiga laki-laki
lainnya yang memakai kerudung. Setelah terlibat dalam dua jurus pertempuran
maka terdesaklah ketiga pengawal kereta.
Sementara itu
di dalam kereta, mendengar suara ribut-ribut dan disusul dengan suara beradunya
senjata dengan hati cemas Rara Mumi singkapkan tirai jendela. Dia terkejut
sekali melihat ada sesosok tubuh berkerudung melangkah mendekati kereta. dan
mengulurkan tangan untuk membuka pintu kereta!
“Rara Murni... kau tak usah cemas!
Apa yang terjadi di,sini hanya pertunjukan biasa saja.
Silahkan turun...!”
“Kalian siapa...?!”
“Siapa kami itu tidak penting.
Turunlah....”
“Rampok-rampok biadab! Kalau kalian
tahu siapa aku segeralah tinggalkan tempat ini sebelum pasukan kerajaan datang
menumpas kalian!” Laki-laki berkerudung tertawa bergelak.
Dibukanya
pintu kereta dan diulurkannya tangan kanan untuk menarik Rara Murni keluar dari
kereta.
Kusir kereta
yang sejak tadi seperti terpukau melihat pertempuran yang berkecamuk di depan
matanya, ketika mengetahui bahwa Rara Murni hendak diperlakukan secara kasar
segera mengambil cambuk kereta dan menderu punggung laki-laki berkerudung.
“Rampok laknat! Berani mengganggu
adik Sang Prabu!” Dan cambuk itu mendera lagi beberapa kali.
Laki-laki berkerudung memutar tubuh.
Sekali dia gerakkan tangan maka berhasillah dia merampas cambuk itu. Dan kini
cambuk itu dipakainya untuk melecuti muka kusir kereta. Kusir ini
menjerit-jerit. Kemudian dengan kalap
mencabut golok pendeknya dan menyerang si muka berkerudung. Namun hanya dengan
mengelak dan sekali tendang saja maka kusir kereta itu terpelanting ke tebing
kali, masuk ke dalam kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa air, tenggelam timbul
karena sebelum jatuh ke dalam kali tendangan laki-laki berkerudung telah
membuatnya pingsan terlebih dulu!
Pertempuran antara tiga prajurit
pengawal dan tiga laki-laki berkerudung lainnya tak berjalan lama. Ketiga
pengawal itu menggeletak di tanah bermandikan darah. Sementara itu di atas
kereta Rara Murni berusaha melawan dan meronta-ronta, menerjang dan meninju
laki-laki yang hendak menyeretnya turun secara paksa. Namun apalah kekuatan
seorang perempuan. Dalam
waktu sebentar
saja segera laki-laki berkerudung itu dapat membekuknya. Rara Murni dinaikkan
ke atas kuda.
“Lemparkan ketlga mayat itu ke dalam
kali!” perintah laki-laki berkerudung yang sudah naik ke atas punggung kudanya.
“Juga kereta itu!”
Tiga mayat
pengawal dilemparkan ke dalam kali. Kuda penarik kereta melonjak-lonjak dan
meringkik keras ketika tiga manusia berkerudung itu mendorong kereta ke dalam
kali! Dalam waktu yang singkat keempat orang itu segera berlalu. Yang tinggal
kini di tempat itu hanya bekas-bekas pertempuran, darah, mayat, kereta dan kuda
yang masih terus meringkikringkik sementara tubuhnya dengan perlahan tapi pasti
tenggelam ke dalam kali!
- == 0O0 == --
SEBELAS
Lembah Limanaluk satu daerah yang
jarang didatangi manusia. Daerah ini sunyi sepi, ditumbuhi pohon-pohon raksasa
dan semak belukar lebat. Ke sinilah keempat manusia berkerudung itu membawa
Rara Murni. Di hadapan sebuah kuil tua mereka berhenti dan menurunkan gadis itu
yang sampai saat itu masih terus juga melawan dengan segala daya yang ada.
“Rara Murni, kalau kau tak banyak
cingcong aku tak akan perlakukan kau dengan kekerasan...”
“Lepaskan aku!” teriak Rara Murni.
“Masuklah ke dalam kuil sana!”
“Tidak!” dan
Rara Murni berusaha hendak lari namun tangannya segera kena dicekat. Laki-laki
berkerudung yang bertindak sebagai pemimpin tiga orang lainnya berpaling, lalu
katanya pada ketiga orang itu: “Kalian kembalilah. Beritahukan bahwa tugas kita
berhasil baik!”
Tiga laki-laki
berkerudung segera lompat kembali ke atas punggung kuda masing-masing dan
meninggalkan tempat itu. Yang seorang tadi menyeret Rara Murni ke dalam kuil.
Kuil itu sebuah kuil tua yang sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya sudah
pada luruh dimakan umur. Sebuah arca besar yang terdapat di pojok kuil sebagian
mukanya rusak dan tangan serta kakinya sudah buntung.
“Lepaskan aku
dari sini!” teriak Rara Murni untuk kesekian kalinya. Suaranya mulai parau.
“Kau terlalu
banyak cerewet, Rara Murni.” kata laki-laki berkerudung. Kedua bola matanya
berkilat-kilat memandangi paras dan tubuh gadis itu. “Tapi...” kata orang ini
kemudian,
“Kau mungkin tak akan banyak ulah
bila mengetahui siapa aku.”
Habis berkata
begitu laki-laki ini membuka kerudung penutup mukanya. Kaget Rara Murni bukan
kepalang. Seperti tak percaya dia akan pandangan kedua matanya.
Betapakah tidak!
Laki-laki
berkerudung itu ternyata adalah salah seorang kepala pasukan kerajaan yang
cukup dikenalnya.
“Kalasrenggi!”
Kalasrenggi tertawa mengekeh. “Kau
sudah lihat mukaku dan tahu siapa aku. Apa kau juga masih mau cerewet?”
“Apa maksudmu dengan semua ini,
Kalasrenggi?!'
,
“Apa maksudku? Kau akan lihat saja
nanti!”
“Pengkhianat! Pengkhianat terkutuk
kau Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya kalau kakakku mengetahui perbuatanmu
ini?!”
“Kakakmu tak akan pernah
mengetahuinya!”
“Aku akan adukan dan kau akan dibuang
ke pulau Neraka! Tempat pengkhianatpengkhianat kerajaan!”
Kalasrenggi
tertawa lagi. Matanya semakin berkilat-kilat memandangi paras Rara Murni.
Memang sesungguhnya sudah sejak lama laki-laki ini secara diam-diam merasa
tertarik dan jatuh hati terhadap Rara Murni. Kini berada berdua-dua di tempat
sunyi itu, hasrat yang terpendam itu menjadi berkobar-kobar memanasi darah dan
tubuhnya.
“Mungkin kau
tak akan pernah punya kesempatan untuk mengadu Rara Murni. Kepalamu cukup bagus
untuk jadi benda persembahan kepada kakakmu sendiri!” Rara Murni terkejut.
“Apa maksudmu?”
Kalasrenggi tertawa. Tawa yang
menjijikkan Rara Murni. Katanya: “Kalau kau mau menuruti apa yang aku katakan,
mungkin aku masih bisa menyelamatkan kau dari kematian....”
“Kau benar-benar pengkhianat
terkutuk! Terkutuk!”
Masih dengan tertawa yang menjijikkan
itu Kalasrenggi melangkah maju mendekati Rara Murni. Matanya berkilat-kilat,
cuping hidung kembang kempis dan dadanya bergejoiak. Melihat
ini Rara Murni segera melangkah
mundur. Mundur sampai punggungnya membentur dinding
kuil. Sebelum
dia sempat lari ke pintu jari-jari tangan Kalasrenggi yang besar-besar dan
panas digelorai nafsu telah mencekal lengannya.
“Kenapa musti takut...?” ujar
laki-laki itu. Nafasnya yang keras dan panas menghembushembus ke muka Rara
Murni.
“Keparat! Lepaskan tanganku!
Lepaskan!” teriak Rara Murni.
Tiba-tiba Kalasrenggi menyentakkan
tangan itu. Rara Murni tenggelam ke dalam
pelukannya yang beringas dan ganas.
Ciumannya bertubi-tubi di paras jelita gadis itu. Rara Murni memekik. Meronta
dan memekik! Badannya ditekan erat-erat ke dinding kuil oleh Kalasrenggi,
membuatnya hampir tak bisa meronta dan menghindarkan kepalanya dan ciumanciuman
laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak bisa berbuat sesuatu apa ketika
Kalasrenggi dengan beringasnya menarik kain yang menutupi dadanya!
Rara Murni memekik lagi ketika
badannya digulingkan ke lantai kuil. Kedua kakinya dilejang-lejangkannya. Namun
lejangan-lejangan ini hanya membuat kain yang dipakainya menjadi turun sampai
ke paha. Pemandangan ini membuat nafsu yang sudah menggejolak dalam diri
Kalasrenggi jadi mengamuk dengan dahsyat.
Rara Mumi menjerit tiada henti-hentinya. Menjerit meski dia tahu bahwa
jeritan itu tak ada artinya bagi Kalasrenggi, menjerit meskipun tahu bahwa dia
dalam keadaan begitu rupa tak akan mungkin lagi menyelamatkan diri dan
kehormatannya!
Dalam nafsu
yang mengamuk itu mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu menyambar di atas
punggungnya. Belum lagi dia sempat palingkan kepala untuk melihat benda apa
yang menyambar itu maka terdengarlah suara bergedebukan di lantai kuil! Dan
sesaat bila Kalasrenggi memalingkan kepala maka terkejutlah dia, terkejut
seperti melihat setan berkepala tujuh! Tiga sosok tubuh bergeletakkan di lantai
kuil!
Bukan saja tiga sosok tubuh yang
bergeletakkan itu yang mengejutkan Kalasrenggi tapi terlebih lagi ialah ketika
mengenali bahwa ketiga manusia ini adalah anak buahnya sendiri, yang tadi
disuruhnya kembali ke Kotaraja untuk memberikan laporan pada Raden Werku Alit
bahwa tugas penculikan atas diri Rara Mutni telah dilaksanakan.
Nafsu yang membara di tubuh
Kalasrenggi dengan serta merta mengendur dan lenyap sama sekali. Perlahan-lahan
laki-laki ini berdiri dan meninggalkan Rara Murni yang tadi hampir saja menjadi
mangsa kebejatannya.
Ketika
diperhatikannya ketiga anak buahnya itu ternyata tidak bernafas lagi alias
sudah menjadi mayat! Muka-muka mereka membiru sedang pada kening masing-masing
dilihatnya tiga deretan angka-angka 212. Muka yang biru itu diketahuinya adalah
akibat pukulan atau tamparan yang ampuh sekali. Tapi adanya angka-angka 212
pada kening ketiga orang ini adalah tidak dimengerti sama sekali oleh
Kalasrenggi!
Pada saat dirinya dilepaskan oleh
Kalasrenggi maka pada saat itu pula dengan serta merta Rara Murni bangkit
berdiri dan hendak lari ke pintu kuil. Namun baru tiga langkah kedua kakinya
bergerak, gadis ini hentikan langkah, darahnya tersirap dan mukanya memucat.
Pada pintu kuil sesosok tubuh yang memakai kerudung hitam berdiri dengan
bertolak pinggang. Tak bisa tidak pastilah manusia ini anak buah Kalasrenggi
juga, pikir Rara Murni... Kalasrenggi sendiri ketika melihat bayangan seseorang
di pintu kuil cepat menoleh dan kembali mukanya dilanda rasa terkejut! Dia
tidak kenal dengan manusia berkerudung di pintu
itu, tapi dia pasti betul bahwa laki-laki
ini bukanlah orangnya, tapi kerudung hitam yang dikenakannya adalah kerudung
salah seorang anak buahnya yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh itu!
Bukan tidak mustahil manusia ini pulalah yang telah menamatkan riwayat tiga
anak buahnya itu!
Meski
amarahnya tidak terkirakan namun Kalasrenggi tidak mau bertindak gegabah.
Sepasang matanya memandang tajam-tajam seperti mau menembus kerudung yang
menutupi kepala sosok tubuh manusia yang berdiri di pintu kuil itu!
“Tamu tak diundang, silahkan buka kerudung!”
kata Kalasrenggi.
Orang yang di pintu menyeringai di
balik kerudung hitamnya. Lalu terdengarlah suara tertawanya, mula-mula mengekeh
perlahan, tapi kemudian menjadi tawa bergelak yang menggetarkan gendang-gendang
telinga serta menggetarkan dinding-dinding kuil tua itu! Kalasrenggi
bersiap-siap dengan tenaga dalamnya dan berlaku waspada. Kalau suara tertawa
manusia ini dapat menggetarkan gendang-gendang telinga bahkan menggetarkan
dinding kuil, maka ini suatu pertanda bahwa siapa pun adanya manusia ini, dia
bukanlah orang sembarangan! Dan semakin yakin Kalasrenggi bahwa orang inilah
yang telah menewaskan ketiga anak buahnya.
Akan Rara Murni, kalau tadi hatinya
kecut dan takut melihat munculnya manusia berkerudung ini, maka setelah
mengetahui bahwa dia bukanlah di pihaknya Kalasrenggi, diam-
diam Rara Murni menjadi sedikit lega
hatinya. Tapi dia tak tahu apakah manusia yang baru datang ini adalah tuan
penolongnya ataukah seseorang yang lebih bejat dan terkutuk dari Kalasrenggi!
Dalam pada itu dia sendiri masih belum dapat melihat tampang orang ini. Hati
Kalasrenggi serasa dibakar karena ucapannya disahuti dengan suara tertawa macam
begitu oleh si kerudung hitam. Maka berkatalah dia dengan menunjukkan nyali
besar:
“Kalau kau tak mau buka kerudung, terpaksa
aku turun tangan....”
Orang
berkerudung hentikan tertawanya. Dan dia buka mulut menyahuti: “Diri manusia
tidak diukur dari tampangnya, tapi dari hatinya! Bila dia seorang prajurit,
maka kejujuran hati, kesetiaan dan baktinya pada kerajaanlah yang menjadi
ukuran!” Merah paras Kalasrenggi mendengar kata-kata ini.
Si kerudung hitam tertawa bergumam
dan berpaling pada Rara Murni dan berkata:
“Bukan begitu Tuan Puteri Rara
Murni...?”
Rara Mumi tak
menyahuti. Tapi dia menjadi terkejut karena tak menyangka kalau lakilaki itu
tahu namanya. Dan beratlah dugaannya bahwa laki-lakl ini adalah orang dalam
juga.
Orang kerajaan
juga, entah pengkhianat entah seorang penolong. Tapi kalau dia bermaksud
menolong, mengapa musti pakai kerudung hitam segala?
“Tapi...” kata laki-laki yang di
pintu pula melanjutkan bicaranya, “Kalau kau memang kepingin melihat tampangku,
baiklah! Aku tak keberatan untuk membuka kerudung hitam ini.
Tampangku memang buruk. Namun jika
dibandingkan dengan tampangmu, masih mendingan aku ke mana-mana!” Sambil
tertawa-tawa laki-laki ini membuka kerudung hitam yang menutupi kepalanya.
-- == 0O0 ==
--
DUABELAS
Bila Rara Murni memandang ke muka
maka di balik kerudung yang telah dibuka itu ternyata laki-iaki yang berdiri di
pintu adalah seorang pemuda gagah berambut gondrong. Meski
tertawanya
tadi mengekeh dan bergelak namun parasnya yang gagah itu condong kepada paras
anak-anak.
Sebaliknya begitu menyaksikan tampang
manusia di depannya, kedua mata Kalasrenggi menyipit, kulit mukanya
mengerenyit. Otaknya berputar dengan cepat, mengingat-ingat di mana
dia pernah melihat pemuda ini
sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka menggeramlah Kalasrenggi. Pemuda yang
ada di hadapannya saat itu tak lain daripada pemuda yang malam tadi telah
berteduh di teratak di luar Kotaraja sewaktu hari hujan lebat dan sewaktu dia
tengah bicara dengan Werku Alit! Juga pemuda inilah yang kemudian ditotok Werku
Alit! Dan dia sendiri menghadiahkan satu tendangan!
“Ingat siapa aku...?”
“Saudara, apa urusanmu dalam hal
ini?!” bentak Kalasrenggi garang. Tangan kirinya menyelinap ke balik pinggang
di mana tersisip sebilah keris.
“Ah... tentu
ada saja, Saudara. Pertama, kau telah menghadiahkan tendangan padaku malam
tadi. Enak juga tendangan itu. He,.. he... he.... Lalu, aku tidak begitu suka
pada manusiamanusia yang bersifat ular kepala dua, pengkhianat besar serta
tukang rusak kehormatan perempuan.... Apa itu kurang cukup untuk bikin urusan
denganmu?!”
“Hem....” Kalasrenggi menggumam.
“Jadi hari ini aku berhadapan dengan seorang pendekar budiman huh?! Satu hal
yang menyenangkan sekali!” Habis berkata begini Kalasrenggi
keluarkan
suara berdengus dari hidungnya. “Terangkan dulu siapa kau punya nama!” katanya
kemudian.
“Ah, kau keliwat ramah tanya-tanya
segala nama. Namaku sudah kutuliskan pada kening ketiga anak buahmu!” jawab si
pemuda pula.
Kalasrenggi tertawa mengejek. “Baru
kali ini aku bertemu manusia yang namanya adalah tiga buah angka. Angka-angka
gila!”
Si pemuda
tertawa. “Angka-angka itu mungkin gila! Tapi tidak segila pengkhianat macam kau
Kalasrenggi!”
“Kau sudah tahu namaku. Kenapa tidak
lekas kabur tinggalkan tempat ini?!”
“Apa kabur
dari sini? L.alu kau teruskan maksud busukmu terhadap Tuan Puteri Rara Murni?
Aku tidak sebodoh dan sepengecut yang kau sangka, Kalasrenggi!” “Kalau betul
kau punya nyali, tahan ini!” bentak Kalasrenggi garang.
Dengan satu
lompatan cepat Kalasrenggi lancarkan serangan tangan kosong. Tapi serangan yang
hebat ini dapat dielakkan lawan dengan mudah bahkan sambil bersiul dan
tertawatawa.
“Kalasrenggi,
kalau mau baku jotos jangan di dalam sini, mari keluar!” kata si pemuda rambut
gondrong atau pendekar 212 Wiro Sableng. Sengaja dia berkata begitu karena
khawatir dalam pertempuran nanti Rara Murni yang juga berada di ruangan itu
akan mendapat celaka.
“Tak usah banyak mulut! Kau harus
mampus disaksikan ketiga mayat anak buahku!” bentak Kalasrenggi pula. Untuk
kedua kalinya kepala pasukan Pajajaran yang berkhianat ini
menyerang, lebih hebat dari tadi.
Tiba-tiba orang yang diserangnya lenyap dari hadapannya.
Kemudian di belakangnya terdengar
suara siulan. “Aku di sini Kalasrenggi, mengapa menyerang tempat kosong?!”
Kalasrenggi kertakkan rahang. Dia
berbalik dengan cepat dan menyerang lebih ganas.
Tangannya
bergerak cepat, tendangan kaki bertubi-tubi. Keseluruhannya mengeluarkan angin
yang keras dan bersiuran.
Agaknya permainan silat tangan kosong
Kalasrenggi tidak dari tingkat rendahan. Dari angin pukulan dan tendangannya
Wiro sudah dapat menjajaki kehebatan lawan. Karena tak mau ambil resiko pemuda
ini segera bergerak cepat. Dalam waktu yang singkat tiga jurus berlalu sebat.
Pada saat memasuki jurus keempat Wiro Sableng melihat Rara Murni melarikan diri
keluar kuil.
Sambil rundukkan kepala mengelakkan
hantaman tinju Kalasrenggi, Wiro Sableng berseru: “Rara, tunggu! Jangan pergi
dulu!”
Tapi mana si
gadis mau dengar. Sambil menyingsingkan kainnya ke atas Rara Murni mempercepat
larinya. Terpaksa pendekar 212 lepaskan pukulan tangan kanan ke arah kedua kaki
gadis itu. Serangkum angin melesat deras dan dingin. Rara Murni merasa kedua
kakinya seperti disiram air es, kemudian kedua kakinya itu kaku tak bisa lagi
digerakkan. Larinya dengan serta merta terhenti.
Melihat lawan
melakukan dua gerakan sekaligus maka kesempatan ini dipergunakan oleh
Kalasrenggi untuk membobolkan pertahanan lawan. Tendangan kaki kanan dan tinju
kiri kanan menyerang susul menyusul ke tempat-tempat terlemah dari Wiro
Sableng!
Namun dengan
membentak keras dan berkelebat cepat ketiga serangan lawan dapat dikelit oleh
pendekar 212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu lagi dengan satu serangan
berantai. Kali ini, pada saat tangan kanan Kalasrenggi memukul ke muka,
pendekar 212 sengaja menyongsong datangnya lengan lawan. Maka beradulah lengan
dengan lengan! Kalasrenggi terpekik. Tubuhnya terpelanting ke belakang sampai
punggungnya menghantam dinding kuil. Lengan kanannya yang beradu dengan lengan
lawan kelihatan biru dan bengkak besar. Sakitnya bukan alang kepalang! Karena
tadi Wiro Sableng melayaninya seperti acuh tak acuh, Kalasrenggi tidak menduga
kalau kehebatan lawan demikian lihainya.
Sesudah mengurut lengannya yang
bengkak biru serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian yang terpukul itu maka
kemudian Kalasrenggi dengan tangan kirinya mencabut sebilah keris dari balik
pinggang. Senjata ini sebuah senjata pusaka juga rupanya karena memancarkan
sinar membiru.
Tanpa banyak bicara kepala pasukan Pajajaran itu segera lancarkan
serangan dahsyat. Kalasrenggi memang seorang kidal dan permainan kerisnya juga
sudah mencapai tingkat yang matang. Apalagi dengan mempergunakan tangan kiri
itu maka serangan-serangannya sukar diduga.
Namun demikian pendekar 212 sudah
punya rencana sendiri terhadap manusia kepala dua ini! Dibiarkan dan
dielakkannya saja untuk beberapa lamanya serangan-serangan keris Kalasrenggi.
Kepala pasukan pengkhianat ini semakin gemas dan geram. Dipercepatnya
gerakannya namun tetap saja tiada mencapai hasil yang dikehendakinya.
“Pegang senjatamu erat-erat,
Kalasrenggi.” kata pendekar 212 memberi ingat. Kalasrenggi masih belum mengerti
apa maksud ucapan lawannya itu. Bahkan dia sama sekali tidak dapat melihat
dengan jelas gerakan kedua tangan Wiro Sableng. Tahu-tahu saja
dirasakannya keris pusakanya terlepas
dari tangan. Laki-laki ini mengeluarkan seruan tertahan.
Memandang dengan tak percaya pada
tangan kirinya yang kosong!
Wiro Sableng
tertawa mengekeh dan melompat ke muka. Tangan kanannya terkembang seperti
hendak mencengkeram muka Kalasrenggi. Yang diserang cepat merunduk dan berusaha
menyodokkan lipatan sikunya ke perut lawan. Tapi kali ini Kalasrenggi tertipu.
Tangan yang
menyerang dan
hendak mencengkeram itu hanya gerakan palsu belaka. Tanpa dapat dikelit lagi
oleh Kalasrenggi maka dua ujung jari tangan kanan Wiro Sableng meluncur ke
rusuk kirinya.
Mendadak sontak detik itu juga tubuh
Kalasrenggi menjadi kaku tegang. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan lagi,
tapi mulutnya masih sanggup bicara, telinganya masih bisa mendengar, demikian
juga indera-inderanya yang lain masih tetap seperti biasa. Pendekar 212 sengaja
menotok laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan rencananya.
Sambil tertawa-tawa dan garuk-garuk
kepalanya yang berambut gondrong Wiro Sableng memandangi Kalasrenggi beberapa
lamanya. Kemudian pendekar muda ini melangkah mendapatkan Rara Murni.
Dilepaskannya totokan yang telah memakukan kedua kaki gadis itu.
Rara Murni
begitu merasa kakinya bebas segera hendak lari namun tangannya cepat dipegang
oleh Wiro Sableng.
“Lepaskan tanganku!” teriak Rara
Murni. “Terhadapku tak usah takut, Rara Murni.” kata pendekar 212 pula.
“Kau siapa?!” tanya Rara Murni dan
berusaha melepaskan tangannya yang dipegang. “Siapa aku itu soal nanti. Tapi
apakah kau akan tinggalkan begitu saja Kalasrenggi tanpa
memberikan satu hukuman yang setimpal
terhadapnya?!”
“Aku akan laporkan kejahatannya
terhadap Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan
menyeretnya ke Pakuan! Dia pasti akan
dibuang ke pulau Neraka! “
Pendekar 212
tersenyum. “Kuil ini juga bisa menjadi tempat neraka baginya, Rara Murni. Mari,
aku akan tunjukkan cara yang bagus untuk menghukum pengkhianat dan manusia
bejat macam dia!” Dengan seutas tali pendekar 212 mengikat kedua pergelangan
kaki Kalasrenggi.
Kalasrenggi yang saat itu meski
tubuhnya kaku tapi masih bisa merasa, melihat dan bicara:
“Keparat! Kau mau buat apa
terhadapku?!”
“Ah, kau masih bilang keparat,
Saudara...” jawab pendekar 212 dengan tertawa.
“Pernahkah kau
melihat dunia terbalik?! Melihat dengan kaki ke atas kepala ke bawah?!” “Apa
maksudmu?!” bentak Kalasrenggi. Tapi dalam hatinya dia sudah dapat menduga apa
yang bakal dilakukan oleh Wiro Sableng dan tubuhnya mengucurkan keringat dingin.
“Apa maksudku kita akan saksikan
sama-sama, Kalasrenggi,” kata Wiro Sableng pula. Sekali saja tali yang mengikat
kedua pergelangan kaki Kalasrenggi ditariknya maka terbantinglah laki-laki itu
ke lantai kuil. Kutuk serapah dan keluh kesakitan bersemburan dari mulut
Kalasrenggi.
“Sudahlah, jangan memaki-maki juga,
tak ada gunanya,” kata pendekar 212. Dia memandang ke atas atap kuil dan
dilihatnya sebuah tiang yang membentang memalang di bawah
atap. Ujung tali yang dipegangnya dilemparkannya ke atas. Bila ujung tali
itu menjuntai ke bawah kembali setelah terlebih dahulu menyangkut di tiang
palang maka pendekar 212 mulai mengerek badan Kalasrenggi.
Gelap dunia ini bagi Kalasrenggi.
Dalam tempo yang singkat mukanya menjadi sangat merah karena darah yang mengalir
turun memberati mukanya. Laki-laki ini coba meronta, tapi tubuhnya kaku tak
bergerak, hanya terbuai-buai saja macam karung diisi pasir dan digantung!
Yang bisa
dilakukan Kalasrenggi hanya memaki dan memaki tiada habisnya dia menjadi letih
sendiri.
Pendekar 212 tertawa mengekeh macam
kakek-kakek. Dia berpaling pada Rara Murni sebentar lalu bertanya pada
Kalasrenggi: “Bagaimana, indahkah dunia ini bila dilihat terbalik...?”
“Demi setan bila bebas aku bersumpah
untuk mencincang tubuhmu keparat...!” hardik Kalasrenggi.
“Sumpahmu terlalu hebat Kalasrenggi.
Tapi bisakah kau membebaskan dirimu dari jarijari tanganku ini...?” Dengan
senyum-senyum Wiro Sableng melangkah mendekati Kalasrenggi.
Kemudian sepuluh jari-jari tangannya
menggerayang menggelitiki tulang rusuk Kalasrenggi!
Laki-laki ini
menjerit, melolong setinggi langit sampai suaranya menjadi serak! Wiro Sableng tertawa senang. Rara Murni
sendiri hampir-hampir tak dapat menahan gelinya. Dan Kalasrenggi terus juga
berteriak, menjerit, melolong dan memekik dengan suaranya yang serak parau itu!
“Rara Murni, ayo mengapa diam saja?
Kalau kau ingin membalaskan sakit hatimu terhadapnya, inilah saatnya,” kata
Wiro Sableng pula.
Meski amarahnya memang masih meluap
terhadap Kalasrenggi namun berada lebih lama di situ menimbulkan kekhawatiran
bagi Rara Murni. Gadis ini walau bagaimanapun tak dapat memastikan manusia yang
bagaimana adanya pemuda rambut gondrong itu, meskipun dianya telah menolong dan
menyelamatkan diri serta kehormatannya. Karenanya tanpa banyak bicara menyahuti
ucapan Wiro Sableng tadi, juga tanpa membuang waktu, Rara Murni segera lari
meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk
menahan Rara
Murni, diikutinya saja gadis itu
dengan pandangan mata.
“Gadis tolol!”
gerendeng pendekar 212 dalam hati. “Dikiranya Kotaraja dekat dari sini!”
Kemudian ketika Rara Murni lenyap di balik kelebatan pohonpohon di lembah
Limanaluk itu maka pendekar 212 segera angkat kaki pula, menyusul dengan
diam-diam dari belakang....
- == 0O0 == --
TIGA BELAS
Begitu keluar dari lembah Limanaluk
maka sesaklah nafas Rara Murni karena telah berlari itu. Sebelumnya jangankan
berlari, berjalan sejauh itu pun tak pernah dilakukannya! Dia berhenti dan
berdiri bersandar ke sebatang pohon rindang. Saat itulah baru disadarinya
keadaan pakaiannya yang tidak menutupi badannya, terutama letak kain di bagian
dadanya. Segera dibetulkannya letak pakaiannya, dirapikannya pula rambutnya.
Dia menunggu sampai nafasnya yang memburu dan dadanya yang sesak pulih seperti
sedia kala. Saat itu kedua kakinya pun terasa sakit.
Rara Murni
merasa bahwa dia tidak sendirian di tempat itu. Dipalingkannya kepalanya.
Darahnya tersirap karena begitu kepalanya diputar maka kedua matanya membentur
sesosok tubuh yang berada dekat sekali di sampingnya. Orang ini ternyata adalah
pemuda rambut gondrong yang di kuil tua tadi!
“Letih?” tanya Wiro Sableng dengan
senyum-senyum.
Rara Murni tak menjawab.
“Kotaraja tidak dekat dari sini,
Rara...”
“Aku tahu...”
“Lalu, mengapa lari-lari macam
begini? Mungkin juga aku membuat kau jadi takut?
Rambutku yang gondrong ini barangkali ya?” “Saudara, kau ini siapa
sebenarnya?” “Aku? Aku ya aku...” jawab Wiro pula.
“Kalau kau hendak bermaksud jahat
pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini juga!” “Ah... tampangku memang
jelek, tapi aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara Murni. Aku hanya tak
ingin melihat kau musti lari setengah mati sampai di Kotaraja! Mungkin
seperempat jalan kau sudah mengeletak pingsan!”
Rara Murni
terdiam. Tapi kemudian dia berkata: “Walau bagaimanapun aku musti kembali ke
Kotaraja selekas mungkin...”
“Itu memang betul. Tapi bukan dengan
lari caranya. Mari ikut aku...”
“Ikut ke mana?”
“Dengar Rara,
kau tak perlu terlalu bercuriga terhadapku. Di tepi sungai sana ada beberapa
ekor kuda. Kau bisa naik kuda?” Gadis itu menggeleng.
Wiro Sableng
garuk-garuk kepalanya. “Kalau begitu...” katanya, “Kau terpaksa naik kuda
bersama-samaku!”
Maka merahlah
paras Rara Mumi. “Jangan bicara seenak perutmu, saudara!” bentak gadis ini.
“Heh... aku
toh tidak bicara usil. Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri bagaimana?”
“Aku lebih baik jalan kaki!” sahut Rara Murni dengan hati dan suara
keras. Wiro Sableng tertawa. “Dengar Rara Murni, aku mempunyai firasat bahwa
peristiwa penculikanmu ada ekornya. Ekor yang panjang dan besar. Kalau
Kalasrenggi berkhianat terhadap Sang Prabu, terhadap kerajaan Pajajaran, bahkan
bukan hanya sekedar berkhianat tapi juga hendak bikin celaka terhadap kau, maka
tidak mustahil masih ada pejabat-pejabat tinggi
kerajaan lainnya yang turut terlibat
dalam pengkhianatan ini...”
Ucapan Pendekar 212 itu memang
terpikir ada benarnya oleh Rara Murni. Tapi menunggang kuda bersama pemuda itu,
tentu saja dia merasa malu sekali. Apa akan kata orang bila melihat hal itu
nanti?
Kemudian
didengarnya pula oleh gadis ini suara Wiro Sableng kembali: “Makin cepat kau
sampai ke Kotaraja semakin baik...”
Rara Murni termenung sejurus. Tapi hatinya tetap keras tak mau naik kuda
bersama pemuda itu. Tanpa banyak bicara gadis ini kemudian putar tubuhnya dan
bergegas meninggalkan tempat itu.
Wiro Sableng menggerutu dalam
hatinya. “Gadis keras kepala! Kalau sudah lecet kulit kakinya baru tahu rasa!”
Dia geleng-geleng kepala dan melangkah pula mengikuti. Beberapa lama kemudian
mereka sampai di tepi sebuah jalan umum. Selama itu tak satu pun dari keduanya
yang buka mulut.
“Rara,” kata Wiro ketika mereka
sampai di jalan umum itu. “Ada baiknya kita berhenti istirahat di sini. Siapa
tahu ada kereta atau gerobak yang lewat dan kita bisa menumpang.”
Gadis itu tak menjawab. Tapi dia menghentikan langkah karena memang kedua
kakinya sudah letih. Hampir sepuluh menit mereka berdiri di tepi jalan itu tapi
tak satu kendaraan pun yang lewat.
“Rara Murni...” kata Wiro Sableng.
“Agaknya kau tidak senang terhadapku...? Tak mau bicara denganku?”
Rara Murni diam saja. Sebenarnya
memang tak ada yang harus ditidaksenangkannya terhadap pemuda itu. Hanya segala
apa yang tadi terjadi dan segala apa yang hampir menimpa dirinyalah yang
membuat dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga terhadap pemuda
berambut gondrong yang sampai saat itu masih belum juga diketahuinya siapa
adanya. Wiro Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada bermanusia. “Kita
berangkat lagi, Rara...?”
“Saudara....” kata Rara Murni untuk
pertama kalinya sesudah sedemikian lama berdiam diri. “Kau sendiri siapa
sebenarnya dan mau menuju ke mana?”
“Ah... ini
pertanyaan yang bagus sekali. Bagus sekali.” kata pendekar 212 dengan
senyum-senyum. “Siapa aku, kurasa tidak penting. Dan ke mana aku mau menuju...
aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu... !”
Rara Murni
memandang dengan sudut matanya memperhatikan pemuda itu. Jawabannya seperti
jawaban orang yang tidak betul pikirannya, atau mungkin pula jawaban itu hanya
sekedar jawaban belaka. Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala ke ujung jalan
sebelah kanan. Di kejauhan kelihatan muncul sebuah gerobak, ditarik oleh dua ekor
lembu. Di bagian depan gerobak yang terbuka itu duduk dua orang laki-laki.
Mereka berpakaian petani sedang setengah dari gerobaknya sarat dengan sayur
mayur.
“Nasib kita
baik juga rupanya Rara,” kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu datang
mendekat, pemuda ini segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti. “Saudara,
apakah kalian menuju ke Kotaraja?” Kedua orang di atas gerobak tak menjawab
pertanyaan Wiro Sableng melainkan memandang lekat-lekat pada gadis di
sampingnya.
“Kalau kami tak salah lihat,” kata
laki-laki yang mengemudikan gerobak, “Agaknya kami berhadapan dengan Tuan
Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu Pajajaran...” Rara Murni mengangguk dan
kedua orang itu segera turun dari kereta lalu menjura. “Ada hal apakah sampai
Tuan Puteri berada di tempat ini...?” tanya laki-laki yang memegang kemudi
gerobak. Kedua matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro Sableng, lalu melirik
pada kawannya.
Rara Murni hanya menarik nafas
panjang. Karena mengira pemuda rambut gondrong dan berpakaian sederhana itu
adalah hamba sahaya atau pembantu Rara Murni maka yang ditanya menjawab dengan
anggukan kepala acuh tak acuh. Seorang dari mereka kemudian berkata pada Rara
Murni: “Jika Tuan Puteri bermaksud hendak kembali ke Pakuan, kami tentu saja
bersedia bahkan merasa berkewajiban untuk membawa Tuan Puteri. Tapi maafkanlah
keadaan kereta kami, kotor dan penuh sayuran...”
“Itu tak menjadi apa, pokoknya asal
sampai ke Kotaraja.” Yang menjawab adalah Wiro Sableng. Ini mengesalkan kedua
orang itu. Kemudian mereka menolong Rara Murni naik ke
atas gerobak. Gadis itu
duduk di sebelah muka, di samping pengemudi sedang kawannya bersama Wiro
Sableng duduk di sebelah belakang, di samping tumpukan sayur. Tak lama kemudian
gerobak itu pun bergeraklah.
- == 0O0 == --
EMPAT BELAS
Kesunyian sepanjang jalan itu kini
dipecahkan oleh suara deru roda gerobak. Sekali-
sekali diselingi dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda gerobak
menggilas bebatuan atau suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika
salah satu rodanya memasuki lobang jalanan.
Saat itu masih
cukup jauh dari Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua kakinya di
bagian belakang kereta. Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin siang yang
sejuk. Beberapa kali dia sudah menguap. Orang yang duduk di hadapannya senantiasa
membuang muka, segan atau tepatnya tak senang memandang pada pemuda ini yang
sebentarsebentar menguap, sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut
gondrong.
Beberapa saat kemudian Wiro Sableng
membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat.
Ini menambah ketidaksenangan orang
yang di hadapannya.
“Saudara, aku
minta mentimunmu satu....” kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu jawaban
pemilik sayuran itu langsung saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun besar
dan menggerogotinya.
Orang yang di
depan Wiro Sableng memaki dalam hati. Rahangnya terkatup rapat-rapat. “Rara
Murni...” seru Wiro Sableng tiba-tiba. “Apakah kau suka makan mentimun?” Di
bagian depan kereta Rara Murni berpaling sebentar tapi tak menjawab.
“Panas-panas begini enak sekali makan mentimun, untuk pelepas haus dan
mendapatkannya tak usah susah payah...”
“Terima kasih... aku tidak haus,
Saudara....” Terdengar jawaban gadis itu. “Hem....” Wiro Sableng menggumam dan
terus juga mengunyah mentimun dalam mulutnya, dan gerobak terus juga bergerak
menempuh jalan berdebu dan berlobang serta berbatu-batu.
Di bagian belakang kereta Wiro
Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir ketimun amblas ke dalam perut
itu dan betapa asamnya tampang orang yang di hadapannya.
Kini kembali
Wiro Sableng memejamkan matanya. Kalau perut sudah kenyang memang kantuk segera
datang.
Mendadak gerobak itu dibelokkan ke
sebuah jalan buntu yang menuju sungai
oleh pengemudinya. Begitu gerobak berhenti maka terdengarlah suara Rara Murni
bertanya:
“Saudara, kenapa ke sini dan berhenti
di sini?”
Pengemudi
gerobak tertawa mengekeh. Tiba-tiba tertawanya yang menjijikkan itu lenyap dan
diganti dengan teriakan Rara Murni. Dan di bagian belakang kereta sendiri
petani yang duduk dihadapan Wiro Sableng tiba-tiba mencabut sebatang golok dari
balik pinggang.
Begitu golok tercabut keluar dari
sarungnya tanpa menungu lebih lama segera dibacokkan ke kepala Wiro Sableng
yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam tertiup angin
sejuk sepanjang perjalanan!
Satu jengkal lagi mata gotok yang
tajam akan membelah batok kepala pendekar 212, maka terdengarlah bentakan
menggeledek.
“Ciaaat!”
Tubuh petani yang menyerang terpental
ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh itu kemudian tergelimpang di tanah
dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia ini hembuskan nafas tanpa
keluarkan sedikit suara pun!
Pandangan bola mata pendekar 212
menyorot bersinar. “Kentut betul!” makinya dan meludahi muka mayat petani ini.
“Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok, rasakan sendiri!
Puah...!” Diludahinya lagi muka mayat
itu kemudian dipalingkannya kepalanya dengan cepat.
Rara Murni tengah meronta-ronta
melepaskan cekalan petani yang mengemudikan
gerobak sayur.
“Saudara, tolong aku!” teriak gadis
itu pada Wiro Sableng.
“Petani
sialan!” gerendeng Wiro Sableng seraya melompat dari atas gerobak. “Budak hina!
Pergi dari sini atau kutebas batang lehermu!” teriak laki-laki yang mencekal
Rara Murni. “Sreet!” Dicabutnya sebuah golok dari batik pinggang.
“Hemmm... jadi kau hanyalah seorang
rampok bejat yang berkedok sebagai petani huh?
Seekor serigala yang berbulu domba....
Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin rengkah!”
“Anjing buduk
tak tahu diri, dikasih kebebasan malah minta mampus!” Dengan tangan kirinya
pengemudi gerobak itu totok tubuh Rara Murni. Melihat kelihayan totokan
laki-laki itu pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah seorang
petani biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar lihay
yang tengah menyamar!
Maka ketika senjata lawan berkelebat
ke arah kepalanya pendekar 212 bergerak cepat dan tak mau kasih peluang lagi.
Pengemudi gerobak itu buka matanya lebih lebar sewaktu melihat orang yang
diserangnya tenyap dari hadapannya. Sambaran goloknya yang deras mengenai
tempat kosong. Ini membuat laki-laki itu terdorong ke muka dan pada saat inilah
kedua matanya melihat sosok tubuh kawannya
yang menggeletak di tanah dengan perut pecah!
Berdiri bulu
kuduk laki-laki ini. Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini segera digantikan
dengan rasa geram dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua
kalinya berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng.
Tapi kali yang kedua ini justru
adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi menghantam angin kosong dan
sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya maka
lima jari
tangan dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa dipapaki
dengan golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang bagaimanapun!
“Plaaak!”
Telapak tangan kanan pendekar 212
mendarat di kening laki-laki itu, disusul dengan suara jerit kesakitan.
Laki-laki itu terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi. Kulit keningnya
hitam seperti terbakar dan di bagian tengah kulit kening itu terteralah angka
212. Laki-laki ini
bernasib masih untung dari kawannya
karena pendekar 212 tidak menamatkan riwayatnya.
Wiro Sableng
melepaskan totokan yang mengakukan tubuh Rara Murni. “Hari ini nasibmu sial
terus-terusan rupanya, Rara,” kata pemuda itu dengan senyum-senyum. Si gadis
tak berkata apa-apa. Mukanya masih
agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata lagi: “Tapi ada juga
untungnya. Gerobak ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan
perjalanan. Rara Murni naik kembali ke atas gerobak. Wiro Sableng mengemudikan
gerobak itu. Sepanjang perjalanan gadis itu tak habis pikir. Pemuda yang duduk
di sampingnya itu bertampang gagah, tapi aneh dan juga
lucu. Dan di
samping itu kehebatan yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi diam-diam
membuat dia mengagumi si pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama
sekali siapa nama pemuda itu!
Beberapa jauh di luar tembok
kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia berpaling ke samping. Lalu
berkata: “Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku mengantarkan
kau hanya sampai di sini. Kau bawalah
terus gerobak ini, tak susah untuk mengemudikannya....”
“Kau sendiri hendak ke mana,
Saudara?” tanya Rara Murni heran.
Pendekar 212
tertawa. “Ke mana aku mau pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa jawab,”
ujar Wiro Sableng pula. “Cuma pesanku, jangan lupa untuk mengatakan segala
kejadian yang kau alami pada Sang Prabu. Kurasa peristiwa-peristiwa yang kau alami
itu mempunyai latar belakang. Dan bukan mustahil kalau masih ada
pembesar-pembesar istana lainnya yang menjadi pengkhianat macam
Kalasrenggi....” Rara Murni mengangguk.
Kemudian Wiro
Sableng berkata lagi: “Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan prajurit ke kuil
di lembah Limanaluk itu untuk membekuk Kalasrenggi....” Rara Murni mengangguk
untuk kedua kalinya. Ketika dilihatnya pemuda rambut gondrong itu memutar tubuh
hendak berlalu, gadis ini cepat-cepat berkata: “Saudara...
tunggu dulu.”
Pendekar 212 putar tubuhnya kembali.
“Ada apakah Rara...?”
“Aku belum bilang terima kasih pada
kau...”
“Ah....” Wiro
Sableng goyangkan tangannya, “Tak usah... tak usah. Itu hanya kebetulan
saja....”
“Sang Prabu mungkin akan banyak
bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut sama-sama ke istana.”
“Terima kasih. Tapi aku ada urusan
lain Rara....” jawab Wiro Sableng.
“Lalu kalau hem... kalau Sang Prabu
bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti menerangkannya?”
Wiro Sableng
tertawa. “Nama itu sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita semua
dilahirkan tidak bernama. Orang-orang tua kita yang memberi nama dan itu hanya
kebiasaan saja....”
“Jadi, apakah kau tidak punya nama?”
tanya Rara Mumi pula.
Wiro Sableng tertawa lagi. “Namaku
tidak penting Rara. Tapi kalau kau penasaran ingat-ingat angka ini....” Habis
berkata begitu ditariknya saja ujung bawah kain yang dikenakan
Rara Murni.
Dan dengan ujung jari tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam tentunya,
maka dituliskannya tiga rentetan angka 212.
Rara Murni
memperhatikan angka itu. “Dua satu dua...:” desisnya. Diangkatnya kepalanya
hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu. Namun dia terkejut dan tak habis
heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di hadapannya, seakan-akan gaib lenyap
ditelan bumi. Rara
Murni memandang berkeliling. Tapi
pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan.
Gadis itu menghela nafas panjang.
“Pemuda aneh... agak ceriwis... tapi berhati polos....” kata Rara Murni dalam
hati. Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu pun bergeraklah menuju
pintu gerbang Kotaraja.
Tentu saja Prabu Kamandaka sangat
terkejut ketika mendapat keterangan dan mengetahui apa yang telah terjadi atas
diri adiknya. Sepasukan prajurit kerajaan segera dikirim ke lembah Limanaluk.
Tapi mereka datang terlambat karena saat itu pengkhianat Kalasrenggi sudah tak
bernafas lagi, mati tergantung dengan darah bercucuran dari hidung, mata serta
telinga!
Rara Murni sendiri, secara diam-diam menyuruh beberapa orang
kepercayaannya untuk mencari jejak Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212, namun usaha mereka siasia belaka.
Hari itu juga di seluruh Kerajaan
diadakan pembersihan, termasuk di dalam istana. Tapi hasilnya tidak memuaskan
sama sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu Raden
Werku
Alit tetap tenang-tenang saja di
tempatnya di dalam gedungnya yang mewah di lingkungan istana. Siapa yang
menduga kalau saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri yang menjadi tokoh
pengkhianat terbesar?
Satu-satunya orang yang ditangkap
dalam pembersihan yang diadakan ialah petani yang menggagahi Rara Murni di
tengah jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu,
petani ini berhasil merampas pedang seorang perajurit dan menghunjamkannya ke
batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa di situ
juga. Siapakah
petani ini sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang telah ditamatkan riwayatnya
oleh pendekar 212 sebelumnya? Mengapa pula petani yang satu itu memutuskan
untuk membunuh diri sendiri? Dia dan kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki
tangan kaum
pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk menemui Raden Werku
Alit dan menyelidiki suasana di Pajajaran menjelang saat-saat penyerangan total
diadakan! Seperti yang diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju ibu kota
kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu,
bersama seorang laki-laki gondrong yang mereka sangkakan hamba sahaya Rara
Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka untuk menculik gadis itu dan
membawanya ke tempat persembunyian kaum pemberontak di kaki Gunung Halimun.
Namun maksud mereka itu membawa
celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu mati dihajar pendekar 212. Yang
satu lagi roboh pingsan di tengah jalan kemudian ditangkap oleh serdadu-serdadu
kerajaan tapi berhasil bunuh diri sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, sebelum
dipaksa untuk memberikan keterangan!
-- == 0O0 ==
--
LIMA BELAS
Malam itu
untuk kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan kali ini sangat
penting sekali rupanya karena di luar kemah itu dijaga dengan ketat oleh para
pengawal. Pertemuan ini bukan saja penting karena datangnya dua tokoh sekutu
dari kaum pemberontak yaitu Adipati Warok Gluduk dari Rajasitu dan Adipati
Tapak Ireng dari Ratujaya, tapi juga karena kabar yang dibawa oleh seorang
kurir Raden Werku Alit dari Kotaraja.
Sebagaimana
biasa pertemuan penting ini di:pimpin oleh Mahesa Birawa yang duduk di kepala
meja. Setelah mempersilahkan kelima Adipati meneguk minuman masing-masing maka
Mahesa Birawa segera membuka pembicaraan.
“Pertama
sekali perkenankanlah saya atas nama Adipati-Adipati yang terdahulu datang ke
sini dan juga atas nama Raden Werku Alit, mengucapkan selamat datang pada
Adipati Warok Gluduk dan Adipati Tapak Ireng. Kemudian kami juga mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas tekad Adipati-Adipati
berdua untuk bersedia membantu dan bersekutu dalam perjuangan mencapai
cita-cita kita yang besar yaitu menggulingkan Pajajaran, menumbangkan Kamandaka
dari takhta kerajaannya karena sesungguhnya selama Raden Werku Alit masih hidup
maka Kamandaka tidak punya hak sama sekali untuk menjadi Raja Pajajaran....”
Mahesa Birawa
memuntir-muntir kumisnya yang melintang dua tiga kali lalu melanjutkan
bicaranya: “Kedua kalinya, pertemuan ini adalah juga untuk membahas keterangan
yang telah disampaikan kurir dari Kotaraja. Diterangkan bahwa dua orang
mata-mata kita tertangkap. Yang satu terbunuh dan yang satu lagi bunuh diri.
Mayat mereka dibuang ke kali. Mengenai peristiwa ini ada sedikit keterangan
yang bersimpang siur sehingga belum dapat saya menarik satu kesimpulan
bagaimana sampai kedua matamata kita itu mengalami nasib demikian rupa. Kabar
keterangan yang paling buruk ialah bahwa salah seorang pembantu utama kita
yaitu kepala pasukan Kalasrenggi juga telah menemui kematiannya. Dia digantung
di sebuah kuil tua di lembah Limanaluk. Mengenai kematian Kalasrenggi ini ada
hal-hal aneh dan keterangan yang agak bersimpang siur. Menurut kurir Raden
Werku Alit, ketika pasukan kerajaan datang ke kuil itu, Kalasrenggi sudah tidak
bernafas, digantung kaki ke atas kepala ke bawah dan pada keningnya tertera
guratan-guratan yang membentuk tiga buah angka yaitu angka 212....”
Mahesa Birawa memandang berkeliling
dan melihat paras-paras Adipati itu keheran-heranan.
“Sukar diduga
siapa sebenarnya yang membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat ditafsirkan apa
arti angka 212 itu! Di samping itu, sesudah kejadian itu Sang Prabu
memerintahkan pembersihan besar-besaran di kerajaan. Namun semua orang kita
sudah menyingkir. Dan menurut Raden Werku Alit sampai saat dia mengirimkan
kurir itu masih belum ada kecurigaan terhadap dirinya. Namun demikian dalam
sehari dua ini dia akan segera berangkat ke sini untuk berunding terakhir kali,
menentukan kapan penyerangan dilakukan terhadap Pajajaran. Raden Werku Alit
berharap agar kita terus dalam kesiap siagaan.....”
Sunyi
sebentar, Adipati Lanabelong dari Kendil yang berkepala sulah meneguk tuaknya,
mengumur-ngumurkan minuman itu dalam mulutnya beberapa lama, lalu bertanya:
“Sampai saat ini berapakah kekuatan balatentara Pajajaran?”
“Menurut
keterangan Kalasrenggi sebelum menemui kematiannya tempo hari sekitar dua ribu
lebih. Memang jumlah kekuatan mereka lebih dari kita. Kita cuma sekitar seribu
enam
ratusan. Tapi
janganlah itu menjadi kekhawatiran para Adipati sekalian. Mengapa aku katakan
tak usah khawatir sebabnya begini. Pertama, dalam peperangan itu jumlah yang
besar tidak selamanya menentukan untuk mencapai kemenangan. Sering pasukan yang
lebih sedikit sanggup mengalahkan pasukan yang lebih besar. Ini adalah
disebabkan bahwa sesungguhnya
unsur kekuatan
atau jumlah tidak terlalu menentukan tapi unsur taktiklah yang lebih
menentukan. Dengan taktik yang tinggi serta matang, dengan mengetahui di mana
kelemahankelemahan pertahanan pasukan Pajajaran, pasti kita dalam sekejapan
mata bisa mengobrakabrik mereka!
Kedua, dalam peperangan kecepatan
tempur atau waktu penyerangan yang tepat adalah sangat menentukan. Bila lawan
sedang lengah, meskipun jumlahnya besar, sanggup dikacau balaukan dan disapu
bersih oleh sepasukan kecil saja. Demikian pula dengan kita. Kita akan
menyerang dengan tiba-tiba, dengan menyergap! Pajajaran hanya baru akan
mengetahui bila balatentara kita sudah berada di depan mata hidung mereka! Dan
saat itu mereka tak akan ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Aku rasa
dengan berpegang teguh pada dua hal itu, tidak
sukar bagi kita untuk membereskan
Pajajaran. Apalagi para Adipati di sini bukan pula manusia-manusia berilmu
rendah. Sedikit banyaknya adalah murid-murid dari perguruanperguruan silat
yang ternama juga, bukankah
demikian?”
Kelima Adipati itu sama mengulum
senyum. Memang rata-rata mereka dalah pewaris ilmu-ilmu silat dari pelbagai
cabang dan aliran dan ilmu-ilmu mereka tidaklah dapat dianggap ilmu pasaran
yang rendah belaka!
“Di samping
itu,” kata Mahesa Birawa pula, “Jangan pula kita lupakan bantuan yang akan
diberikan oleh seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal yakni Begawan
Sitaraga....”
“Oh, jadi
Begawan sakti yang diam di puncak Gunung Halimun itu membantu kita pula?” tanya
Warok Gluduk, Adipati dari Rajasitu.
“Ya,” sahut Mahesa Birawa.
“Bagaimana sampai Begawan ini mau
membantu perjuangan kita?” tanya Tapak Ireng.
“Setahuku dia mempunyai pertikaian
dengan Toa Kamandaka.... “ jawab Mahesa Birawa pula. “Kalau benar begitu, satu
hari saja Pajajaran pasti sudah sama rata dengan tanah....” kata Warok Gluduk
sambil mengusap-usap dagunya. Dan dibayangkannya kedudukan yang bakai
diterimanya bila pemberontakan mereka berhasil nanti!
* * *
Waktu itu hari hujan rintik-rintik.
Angin malam bertiup kencang dan dingin. Sosok tubuh itu berjalan dengan acuh
tak acuh. Tidak perduli hujan rintik-rintik, tidak perduli angin kencang, tidak
perduli segala rasa dingin yang menyembilui tulang-tulang sumsum. Dia berjalan
terus bahkan sambil bersiul-siul. Sesampainya di ujung jalan itu maka
disusurinya tembok tinggi dan sekali-sekali, dalam jarak-jarak tertentu
dilewatinya seorang pengawal bersenjata lengkap.
Di hadapan sebuah pintu gerbang yang
dikawal oleh delapan orang perajurit berhentilah pemuda itu. Dia memandang ke
kiri dan ke kanan, memandang ke atas pintu gerbang lalu memandang pada barisan
pengawal dengan pandangan orang bodoh. Pengawal-pengawal pintu
gerbang mula-mula memandang saja
dengan penuh curiga namun kemudian salah seorang daripadanya membentak: “Pemuda
gondrong! Ada apa kau celangak celinguk di sini?!” Dibentak malahan pemuda itu
tersenyum.
“Apa kau tidak
tahu berada di mana saat ini?!” bentak prajurit pengawal yang lain. “Ah...
itulah yang aku mau tanya, saudara. Apakah ini istananya Sang Prabu Raja
Pajajaran?”
Delapan pasang
mata prajurit pengawal memandang dari atas ke bawah. Tak ada kesimpulan lain
bagi mereka daripada berpendapat bahwa tentulah pemuda berambut gondrong itu
seorang yang kurang ingatan.
Seorang prajurit yang agak berumur
maju ke muka. “Orang muda, ini memang istana
Raja
Pajajaran. Siapapun tak diperkenankan berdiri lama-lama di sekitar sini....”
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. “Kalau berdiri di sini tidak boleh... tentu
masuk lebih tidak boleh lagi.... “ katanya perlahan seperti pada dirinya
sendiri.
“Berlalulah dari sini,” kata prajurit
tadi.
“Tapi, aku mau bertemu dengan Rara
Murni....” kata si pemuda.
Prajurit tua itu tertawa. “Tak
seorang pun yang diizinkan bertemu dengan Tuan P.uteri, apalagi kau....”
“Ini urusan penting sekali, Saudara!”
desak si pemuda.
Salah seorang
prajurit yang lain, yang sudah tak sabaran berkata: “Pemuda gila, berlalulah
dari sini. Atau pangkal tombakku akan membenjutkan kepalamu!” Tapi si pemuda
tidak memperdulikan ancaman itu. “Saudara pengawal, dengarlah,” katanya. “Aku
pernah kenal dengan Rara Murni. Mungkin aku lebih kenal padanya dari kalian
semua di sini. Aku musti ketemu
dengan dia. Katakan saja bahwa ada seorang pemuda berambut gondrong bernama 212
mau bertemu dengan dia. Pasti dia tahu dan mengizinkan aku masuk....”
Kedelapan prajurit pengawal itu
tertawa membahak. Beberapa di antaranya malah mencibir.
Dan seseorang di antara mereka
berkata: “Kau salah alamat, kawan. Mustinya kau datang ke rumah dukun Gendong
di kampung Andawa, minta obat kepadanya agar otakmu yang geblek sinting itu
bisa diperbaikinya!”
“Siapa bilang aku sinting?!” radang
si pemuda rambut gondrong.
“Kau memang
tidak sinting! Tapi berotak miring atau setengah gila!” Dan gelak membahak
terdengar lagi di depan pintu gerbang istana itu!
“Kalau kalian tidak mau kasih aku masuk, tak apa,” kata si pemuda yang
tiada lain daripada pendekar 212 Wiro Sableng. “Tapi satu hal aku katakan, aku
tidak gila. Kalianlah semua yang gila tertawa tiada pangkal sebab!” Habis
berkata begini pemuda itu berlalu, melangkah sambil bersiul-siul.
Rara Murni
seperti tidak percaya pada pemandangannya ketika melihat pintu terbuka dan dua
sosok tubuh masuk ke dalam. Yang seorang adalah inang pengasuhnya, seorang
perempuan tua, sedang yang satu lagi adalah pemuda rambut gondrong yang pernah
menolongnya tempo hari.
“Kita bertemu
lagi, Rara,” kata Wiro Sableng. “Di pintu gerbang aku tak diperbolehkan masuk,
terpaksa lompat lewat tembok dan memaksa perempuan tua ini untuk memberitahukan
kamarmu.... “
“Ada apakah kau datang ke sini,
Saudara 212?” tanya Rara Murni.
“Ah... rupanya
kau masih belum melupakan angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku datang ke
sini.... Untuk bertemu dengan kau tentunya.” kata pendekar 212 pula seraya
menyandarkan punggungnya ke pintu yang tadi ditutupkannya.
Merah paras
Rara Murni mendengar kata-kata Wiro Sableng. Tentang diri penolongnya ini
memang tak pernah dilupakannya, terutama mengingat kehebatannya. Maka bertanya
pula dia:
“Mengapa kau ingin ketemu aku...?”
“Oh, jadi tak boleh ketemu?”
“Bukan begitu maksudku, Saudara....”
“Dengar Rara,
aku musti bertemu dan bicara dengan Sang Prabu malam ini juga....” Rara Murni
terkejut.
“Ada urusan apa...?”
“Urusan penting. Penting sekali....”
Rara Murni berpikir-pikir. Pemuda ini
selama dikenalnya meski ceriwis dan suka bicara ngelantur tapi hatinya polos.
Namun demikian dia masih belum tahu siapa adanya pemuda ini.
Bukan mustahil
dia adalah seorang pengkhianat macam Kalasrenggi tapi yang menjalankan taktik
secara lain. Purapura menolong pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan
menggolong.
“Katakan saja urusan pentingmu itu,
saudara. Nanti aku yang sampaikan kepada Sang Prabu....”
“Ini bukan urusan perempuan, Rara
Murni.” kata Wiro Sableng pula.
Rara Murni yang lebih mementingkan
keselamatan kakak kandungnya Prabu Kamandaka menjawab: “Maaf, walau
bagaimanapun aku tak dapat mempertemukan kau dengan Sang Prabu....”
Wiro Sableng tak berkata apa-apa.
Digaruknya kepalanya. “Sukar memang untuk percaya pada manusia macamku. Tapi
biarlah, bertemu dengan kau puas juga hatiku.” Pendekar itu tertawa dan kembali
melihat bagaimana kedua pipi Rara Murni menjadi merah. Tiba-tiba tangan kirinya
dihantamkan ke muka dengan telunjuk terpentang lurus-lurus. Tanpa keluarkan
suara inang pengasuh yang tadi berlutut kini rebah tiada sadarkan diri.
Rara Murni hendak menjerit. Tapi
mulutnya ditekap oleh Wiro Sableng. Pemuda ini berkata: “Rara, perempuan itu
tak apa-apa. Aku hanya menotoknya agar jangan sampai dia membocorkan rahasia.
Ketahuilah, istanamu ini kini penuh dengan pengkhianatpengkhianat. Aku tak tahu
siapa yang menjadi biang pengkhianat! Kalau tahu siang-siang sudah kupuntir
kepalanya dan kubawa ke hadapan Sang Prabu. Kuharap besok pagi atau malam ini
juga kau bawalah Sang
Prabu ke kamarmu ini dan baca pesanku
ini?”
Habis berkata
demikian pendekar 212 melangkah ke dinding dan pergunakan jari telunjuknya
untuk menulis. Menulis serentetan syair yang mengandung nasihat dan peringatan.
Dalam waktu
yang dekat akan pecah pemberontakan Pemberontakan menggulingkan Sang Prabu dari
takhta kerajaan
Istana penuh dengan
pengkhianat-pengkhianat bermuka jujur tapi berhati seculas setan Siapkan bala
tentara di luar tembok kerajaan 212
“Samapi ketemu
lagi Rara Murni.” kata pendekar 212 Wiro Sableng sehabis menulis rentetan syair
itu. Lalu cepat-cepat ditinggalkannya kamar itu. Rara Murni memburu ke pintu
tapi si pemuda sudah lenyap.
Ketika malam
itu juga Rara Murni menemui Sang Prabu dan menerangkan tentang kedatangan pemuda
aneh itu maka terkejutlah Prabu Kamandaka. Dengan langkah besarbesar dan tanpa
pengawal sama sekali Raja Pajajaran itu bersama adiknya pergi ke kamar. Dan
memang apa yang tertulis di dinding kamar cocok seperti apa yang diterangkan
adiknya. Dinding kamar itu dari batu dan dilapisi dengan marmer putih yang
sangat keras. Dengan pahat sekalipun akan sukar menuliskan rentetan syair itu.
Tapi si pemuda aneh telah menuliskannya dengan ujung jari!
“Bagaimana pendapat Kanda?” tanya
Rara Murni kepada kakaknya.
“Pemuda itu tentu seorang yang sakti
luar biasa.” kata Prabu Kamandaka. “Tapi apa yang dituliskannya di dinding ini,
adalah satu hal yang aku belum bisa percaya. Tentara kerajaan telah mengadakan
pembersihan. Dan tak seorang pengkhianat pun ditemukan....” “Mungkin mereka
semua sudah menyingkir dan mempersiapkan diri di satu tempat yang tersembunyi
di luar kerajaan,” kata Rara Murni pula.
Prabu Kamandaka mengusap-usap
dagunya. Lalu katanya: “Rahasiakan tentang tulisan ini, Dinda. Meski aku tak
percaya, aku akan mengadakan penyelidikan juga.” Sesudah itu, keluarlah
Kamandaka dari kamar adiknya.
- == 0O0 == --
ENAM BELAS
“Berhenti!”
“Tahan!”
Enam prajurit maju ke muka, enam
ujung tombak ditujukan ke dada dan punggung manusia berpakaian putih itu.
“Siapa kau?!”
“Aku mau bertemu dengan Mahesa
Birawa!”
“Keparat, aku tanya siapa,
menjawabnya lain” bentak prajurit itu.
Laki-laki itu menggeram dalam hati.
“Tunjukkan kemah Mahesa Birawa. Kalau tidak antarkan aku kepadanya!”
“ Manusia bau tengik! Kau kira kami
ini budakmu? “
“Kau mata-mata Pajajaran ya?!” bentak
prajurit yang paling kanan sekali. Ujung tombaknya kini digeser ke tenggorokan
laki-laki asing itu.
“Kalian sontoloyo semua! Aku bicara
baik-baik, dibalas dengan bentakan-bentakan!
Sialan!”
Enam ujung
tombak dengan serta merta bergerak ke muka. Laki-laki yang hendak menjadi bahan
sasaran ujung senjata itu berkelebat cepat. Satu kali gebrakan saja maka
mentallah keenam prajurit itu! Empat tergelimpang di tanah tak bangun lagi.
Satu berdiri nanar, sedang yang satu sambil memegang perutnya yang kesakitan,
masih sanggup berteriak memanggil kawan-kawannya. Maka dalam sekejapan mata
saja puluhan prajurit dengan senjata terhunus sudah mengurung tempat itu,
mengurung ketat laki-laki berpakaian serba putih. Obor-
obor menerangi
tempat itu dan jelaslah tampang manusia yang telah menggeprak enam prajurit
tadi.
Dia memandang
berkeliling dengan air muka melontarkan senyum mengejek. “'Inikah tampangnya
manusia-manusia yang hendak memberontak pada kerajaan....?” Laki-taki itu
tertawa mengekeh. “Kalian manusia dogol semua. Mau saja diperalat oleh
segelintir manusia yang hendakkan kekuasaan secara keji! Kalau kalian kalah,
kalian dan dipancung semua! Kalau
kalian menang, kalian dapat apa?!”
Seorang
laki-laki berbadan tinggi kekar dan berkulit hitam maju ke hadapan orang asing
itu. Dia adalah seorang pelatih prajurit-prajurit yang hendak memberontak itu.
Satu tangan bertolak pinggang, satu lagi menuding tepat-tepat ke muka si orang
asing, dia berkata:
“Kurasa kau masih belum buta untuk
melihat kenyataan, di mana kau berada saat ini!” kata laki-laki tinggi besar
itu.
Si orang asing
masih tertawa seperti tadi, mengekeh mengejek. Si tinggi kekar yang merasa
dihina di hadapan orang banyak dengan gemas sekali hantamkan tinju kanannya ke
perut si orang asing.
Apa yang terjadi kemudian terlalu
cepat untuk dilihat oleh mata orang banyak di tempat itu. Tubuh kepala pelatih
yang tinggi besar itu jungkir balik di udara dan jatuh punggung di tanah. Untuk
beberapa lamanya tak dapat bergerak-gerak! Kesunyian karena terkejut dan
keheranan hanya berlangsung beberapa ketika saja. Begitu terdengar seseorang
berteriak maka menyerbulah puluhan prajurit itu. Suara beradunya senjata riuh
dan kacau balau. “Tahan!,” Seorang prajurit berteriak. “Lihat! Kita menghantam
sesama kita! Kunyuk itu sudah ada di sana!”
Dan ketika semua mata memandang ke
jurusan yang ditunjuk maka kelihatanlah orang asing tadi berjalan seenaknya di
sela-sela kemah prajurit!
Sewaktu dirinya diserang, secara
bersama-sama tadi, laki-laki itu dengan kecepatan luar biasa jatuhkan diri di
tanah dan lolos di antara selangkangan para penyerangnya. Keadaan malam yang
gelap menolongnya untuk lolos dan melangkah seenaknya di sela-sela kemah. Metihat
bahwa orang yang mereka serang sudah berada di tempat lain, di samping terkejut
tentu saja prajurit-prajurit itu menjadi geram sekali. Apa lagi kepala pelatih
yang tadi dibikin menggeletak di tanah dalam satu kali gebrakan. Dia berseru
memanggil prajuritprajurit lainnya.
“Kurung
bangsat itu! Kalau tak mungkin ditangkap hidup-hidup, cincang sampai lumat!,”
perintahnya. Kepala pelatih ini kemudian cabut kerisnya.
Sebelum menyerbu di antara anak
buahnya dia memberi perintah pada seorang prajurit yang kebetulan berada di
dekatnya: “Beri tahu hal ini pada Mahesa Birawa....!”
Di dalam kemah
besar itu tengah berlangsung perundingan. Mahesa Birawa tengah berkata: “Besok
Raden Werku Alit sudah berada di sini dan agaknya.... “ Ucapan Mahesa Birawa
terputus. Kepalanya berpaling ke kanan dan dari mulutnya keluarlah suara
bentakan: “Pengawal! Apa kamu orang tidak tahu bahwa tidak siapa pun boleh
masuk ke dalam kemah ini? Keluar....
!”
“Mohon maaf Raden… kata pengawal kemah seraya menjura dua kali. “Seorang
prajurit memberitahukan bahwa terjadi kerusuhan di sebelah timur...” “Kerusuhan....?!”
Mahesa Birawa berdiri dari kursinya.
“Ya, seorang asing diketahui memasuki
perkemahan. Ketika dikurung dan ditanyai dia melawan. Dia merubuhkan enam
prajurit! Memukul kepala pelatih Suto Rande dan kini tengah dikeroyok oleh
puluhan prajurit di bawah pimpinan Suto Rande!”
“Hanya seorang asing nyasar ke sini
saja kalian tidak bisa membereskan?!
Memalukan sekali!” kertak Mahesa
Birawa. Tapi dalam hatinya dia sebagai seorang yang sudah berpengalaman dalam
dunia persilatan memaklumi, kalau seseorang sanggup merubuhkan enam lawan
sekaligus, bahkan memukul jatuh kepala pelatih prajurit ini suatu tanda bahwa
dia bukanlah orang sembarangan, pasti mempunyai ilmu yang diandalkan. Tapi
siapa adanya
orang asing yang berani datang seorang diri ke perkemahan itu, inilah satu hal
yang ingin diketahui Mahesa Birawa.
Mahesa Birawa berpaling pada Adipati-Adipati yang ada dalam kemah itu dan
berkata: “Harap maafkan. Aku terpaksa meninggalkan persidangan sebentar untuk
membereskan keonaran...”
Semua Adipati menganggukkan kepala.
Adipati Tapak Ireng berkata: “Mungkin sekali perusuh ini seorang mata-mata
Pajajaran...”
“Boleh jadi,” sahut Mahesa Birawa
seraya menindak ke pintu kemah.
Dan saat itu
pengawal kemah berkata: “Orang asing itu berkata bahwa dia ingin bertemu dengan
Raden...”
“Dengan aku?” Mahesa Birawa menuding
dadanya sendiri.
Pengawal mengangguk.
Ini membuat
Mahesa Birawa tambah ingin lekas-lekas mengetahui siapa adanya perusuh itu.
Pertempuran berkecamuk seru ketika
Mahesa Birawa sampai ke sana bersama seorang prajurit. Prajurit ini hendak
berseru tapi diberi isyarat oleh Mahesa Birawa agar diam saja. Akan
disaksikannya dengan mata kepala sendiri beberapa jurus kehebatan pertempuran
itu. Pekik dan jeritan terdengar hampir setiap saat. Setiap pekikan musti
disusul dengan menggeletaknya tubuh seorang pengeroyok. Menurut taksiran Mahesa
Birawa saat itu ada sekitar tiga puluh prajurit di bawah pimpinan Suto Rande
yang mengeroyok si orang asing. Diam-diam Mahesa Birawa mengagumi juga
kehebatan orang asing itu. Masih muda belia, bertampang keren dan senjatanya
sebuah tombak yang diputar seperti kitiran, menderu
dan setiap saat meminta korban dari
pihak pengeroyok! Mahesa Birawa tahu betul, tombak yang di tangan pemuda itu
adalah tombak rampasan. Dan yang membuat Mahesa Birawa terpaksa leletkan lidah
ialah meski dikeroyok puluhan manusia, si pemuda itu dengan seenaknya saja
melayani sambil tertawa dan bersiul!
Beberapa orang
lagi rubuh menggeletak dengan perut atau dada terluka parah disambar ujung
tombak. Kemudian terdengar lagi satu pekikan dahsyat. Sesosok tubuh mental,
jatuh tepat di hadapan Mahesa Birawa. Ketika diteliti oleh Mahesa Birawa
ternyata sosok tubuh itu adalah sosok tubuh Suto Rande, kepala pelatih
prajurit! Nyawanya sudah minggat dan pada keningnya kelihatan guratan angka
212…!
Angka ini
sekaligus mengingatkan Mahesa Birawa pada keterangan kurir Raden Werku Alit
tentang kematian Kalasrenggi secara aneh, digantung kaki ke atas kepala ke
bawah dan
juga ada angka
212 pada kulit keningnya! Tanpa menunggu lebih banyak korban lagi yang jatuh
maka berserulah Mahesa Birawa!
-- == 0O0 ==
--
TUJUH BELAS
“Aku Mahesa Birawa memerintahkan
untuk hentikan pertempuran ini!”
Suara yang hampir menggeledek itu dengan
serta merta menghentikan pertempuran. Prajurit-prajurit yang mengeroyok
melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Si pemuda
asing masih berdiri di tempat dengan
tombak di tangan. Teriakan Mahesa Birawa tadi membuat dia putar kepala ke arah
datangnya suara itu. Dan sepasang matanya segera membentur sesosok laki-laki
berbadan tegap berkumis lebat melintang, berpakaian bagus.
Pada pinggangnya terselip keris.
Dalam hatinya pemuda itu menggumam:
“Hem... jadi inilah dia manusianya yang bernama Mahesa Birawa itu...”. Selagi
dia menggumam begitu laki-laki itu melangkah mendatanginya.
“Orang
asing!,” kata Mahesa Birawa dengan nada keren dan lantang. “Meski kau punya
sedikit ilmu yang diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat untuk
memamerkannya!” Si pemuda keluarkan suara bersiul. “Betul aku berhadapan dengan
Mahesa Birawa saat ini...?” tanyanya.
“Kau siapa?!,” membentak Mahesa
Birawa.
“Namaku tertulis di kening anak
buahmu itu!” Si pemuda pendekar 212 menunjuk ke mayat Suto Rande.
“Hem... bagus kalau begitu!” Mahesa
Birawa puntir kumisnya. “Kau yang membunuh
Kalasrenggi, bukan?”
“Tidak! Aku hanya menggantungnya dan
Tuhan kemudian mengambil rohnya....”.
Habis berkata begitu pendekar 212
Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Kau tahu
Mahesa, manusia macam Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama di dunia! Masih
kebagusan ada kali untuk tempat pembuang mayatnya! Dan kau tahu... di atas bumi
ini masih banyak manusia-manusia macam Kalasrenggi malahan lebih terkutuk dari
Kalasrenggi yang musti dilenyapkan!”
Di sini bukan tempat pidato, budak
hina!,” bentak Mahesa Birawa.
“Oh, begitu…?
Kalau demikian mari kita bicara empat mata Mahesa Birawa. Aku memang sudah lama
mencari kau!”
Mahesa Birawa menyeringai. Kemudian
kelihatan bagaimana mukanya menjadi kelam membesi. “Kalau aku bicara dengan kau
maka biar aku terangkan padamu bahwa kedatanganmu ke sini hanyalah untuk
mengantar nyawa!”
Habis berkata demikian Mahesa Birawa hantamkan tangan kanannya ke muka.
Setiup angin yang bukan olah-olah panasnya menggebubu ke arah pendekar 212!
Pendekar 212 lompat tiga tombak ke atas. Angin pukulan lewat di bawahnya dan
menghantam sebuah pohon kayu. “Buum!” “Kraak!”
Pohon itu
bukan saja tumbang dilanda angin pukulan tapi juga berwarna hitam karena
hangus! Kedua orang itu sama-sama terkejut. Pendekar 212 terkejut melihat
kehebatan pukulan dan tenaga dalam lawan sedang Mahesa Birawa heran tidak
menyangka kalau pukulannya itu dapat dielakkan dengan satu lompatan enteng ke
udara! Dengan penuh waspada Wiro Sableng jejakkan kedua kakinya kembali ke
tanah. “Mahesa Birawa,” katanya, “Soal pertempuran soal mudah. Mudah dimulai,
mudah diakhiri. Tapi aku bilang, aku mau bicara dengan kau! Empat ma....”
“Budak hina! Siapa sudi bicara dengan
kau!” potong Mahesa Birawa membentak.
Sekali lagi tangan kanannya
dipukulkan ke muka. Kalau tadi dia hanya mempergunakan sepertiga dari tenaga
dalamnya maka kini dialirkan ke dalam pukulannya itu setengah dari tenaga
dalamnya! Namun untuk kedua kalinya pula Mahesa Birawa dibuat gemas karena
Pendekar 212 berhasil pula mengelakkan serangannya yang dahsyat itu.
“Mahesa Birawa,
apakah kau yang lebih tua tidak memberikan kesempatan padaku untuk bicara empat
mata?!”tanya Wiro Sableng pula. Kesabarannya mulai terkikis dari hatinya.
Kalau saja dia
tiada ingat pesan gurunya Eyang Sinto Gendeng pastilah saat itu juga dibalasnya
serangan-serangan Mahesa Birawa tadi!
Untuk tidak
terlalu kehilangan muka karena dua pukulannya berhasil dielakkan lawan maka
berkatalah Mahesa Birawa: “Percuma saja kau bicara, toh nantinya nyawamu akan
aku bikin merat juga dari kau punya badan!” Pendekar 212 tertawa.
“Dengar Mahesa Birawa…” kata pendekar
ini. Rahang-rahangnya bertonjolan.
Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia
menekan amarahnya dan berusaha mempertahankan
kesabarannya.
“Aku membawa pesan dari Eyang Sinto Gendeng…” Maka terkejutlah Mahesa Birawa
mendengar nama itu.
“Kau ini siapa kalau begitu?!”
tanyanya.
“Siapa aku masih belum penting. Aku
tunggu kau malam ini di bukit Jatimaleh. Seorang diri, Mahesa Birawa. Datanglah
seorang diri....”
“Kau bisa bicara di sini!”
Pendekar 212 menggeleng. “Di bukit
Jatimaleh...” desisnya.
“Aku bilang di sini!,” bentak Mahesa
Birawa. “Takutkah kau datang ke bukit itu malam-malam gelap begini? Atau
mungkin takut pada dinginnya udara? Atau mungkin takut
pada roh-roh manusia yang selama ini
membayangimu....?!”
Mahesa Birawa
kertakkan geraham. Dia memberi isyarat. Bersama puluhan prajurit yang ada di
situ maka menyerbulah dia! Pendekar 212 melompat sampai setinggi tujuh tombak.
Dia berpegangan pada ujung sebuah
cabang pohon, membuat satu kali putaran pada saat mana
Mahesa Birawa lemparkan sejenis
senjata rahasia.
Mahesa Birawa
berseru tertahan ketika melihat senjata rahasianya membalik kembali menyerang
dirinya sendiri. Dikebutkannya tangan kirinya. Senjata rahasia itu bermentalan,
menghantam prajurit-prajurit di sekitarnya. Empat orang menggerang dan rebah ke
tanah! Bayangan Wiro Sableng lenyap namun masih terdengarsuara seruannya
mengiangi anak telinga. “Bukit Jatimaleh, Mahesa! Malam ini. Ingat, seorang
diri.... !”
- == 0O0 == --
DELAPAN BELAS
Bukit Jatimaleh tertetak tidak berapa
jauh dari perkemahan pemberontak. Ketika
Mahesa Birawa hendak meninggalkan perkemahan, beberapa prajurit
menyatakan hendak ikut serta tapi Mahesa berkata: “Biar aku sendiri yang
membereskan urusan ini! Kalian semua di sini
bersiap
siagalah. Perkuat penjagaan dan lipat gandakan prajurit-prajurit peronda!”
Cuaca malam di atas bukit Jatimaleh gelap gulita. Di langit tiada rembulan
tiada bintang. Udara yang dingin mencucuki daging menyembilui tulang-tulang
sampai ke sungsum.
Dalam kegelapan inilah kelihatan dua
sosok tubuh berdiri berhadap-hadapan.
Yang satu membentak lantang: “Cepat
terangkan siapa kau adanya budak hina!”
“Ah... jangan bicara memaki
terus-terusan Mahesa Birawa. Belum tentu aku lebih hina
dari kau!,” jawab Pendekar 212.
Marahlah Mahesa Birawa. Dia menggeser
langkahnya ke muka. Tapi langkahnya segera pula terhenti ketika didengarnya
pemuda di hadapannya berkata: “Pesan Eyang Sinto Gendeng
ialah agar kau segera kembali ke
puncak Gunung Gede dalam waktu secepat-cepatnya!”
“Kembali ke puncak Gunung Gede....
?!”
“Yeah... Untuk menerima hukuman atas
perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau turun gunung tujuh belas tahun yang
silam!”
“Jangan bicara ngaco belo! Ada
hubungan apa kau dengan Eyang Sinto Gendeng?!” Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 tertawa datar. “Aku hanya pesuruh buruk saja, Mahesa....” jawabnya.
“Dusta!,”
bentak Mahesa Birawa menggeledek. “Kalau kau tak mau bicara yang sebetulnya
jangan menyesal bila kepalamu kupuntir sampai putus!” Wiro Sableng bersiul.
“Aku tak tahu segala urusan puntir kepala. Aku hanya
menyampaikan perintah Eyang Sinto
Gendeng agar kau menghadapnya di puncak Gunung
Gede! Kau dengar Mahesa.... He...
he... he....”
Jari-jari tangan Mahesa Birawa
mengepal membentuk tinju.
“Aku ingin
tahu saat ini juga. Apakah kau bersedia memenuhi perintah itu atau tidak…?”
“Aku tanya dulu! Apa hubunganmu
dengan Eyang Sinto Gendeng? Jangan bikin kesabaranku habis!”
“Kurasa akulah yang mustinya
kehabisan rasa sabar melihat tampangmu saat ini!” tukas
Wiro Sableng. “Katakan saja terus
terang bahwa kau tak mau menghadap Eyang Sinto
Gendeng! Itu lebih baik dan lebih
jelas....!”
Mahesa Birawa busungkan dada.
Katanya: “Kalau orang tua geblek itu butuh ketemu dengan aku, suruh dia datang
ke sini!”
Suara menggeram jelas terdengar di
tenggorokan Pendekar 212. Mukanya kelam membesi. Tanah yang dipijaknya melesak
sampai tiga senti!
“Bicaramu terlalu
besar Mahesa Birawa! Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah lebih dari takaran!
Hari ini kau hina gurumu sendiri! Guru yang bertahun-tahun telah memeliharamu,
mengajarmu segala ilmu kepandaian! Guru yang telah kau nodai nama baiknya! Kau
mengandalkan apakah, Mahesa Birawa..... ?! “
“Bocah gila!
Terpaksa mulutmu kurobek detik ini juga!” bentak Mahesa Birawa. Secepat kilat,
belum lagi habis bicaranya maka lima jari-jari tangan kanannya bergerak
mencengkeram ke muka. Pendekar 212 tertawa. Tertawa dan bersiul. Bentakan
nyaring menggeledek dari mulutnya dan dia lompat ke samping sambil hantamkan
tangan kirinya. Mahesa Birawa terkejut ketika merasakan satu angin yang deras
mendorong tubuhnya. Cepat-cepat dia pergunakan tangan kanan untuk memapasi
dorongan angin itu tapi tak urung tubuhnya menjadi gontai juga! Maka kini
keringat dingin memercik di kening laki-laki itu!
“Urusan
kekerasan urusan mudah, Mahesa!,” kata Wiro Sableng. “Tapi bicaraku masih belum
habis. Tujuh belas tahun yang lewat kau pernah malang melintang di
Jatiwalu. Ingat.... ?”
“Pemuda sedeng! Darimana....”
“Ah... kau
masih ingat! Bagus... bagus sekali! Apa kau juga ingat bahwa pada masa tujuh
belas tahun itu kau telah membunuh Ranaweleng, Kepala Kampung Jatiwalu?! Apakah
kau juga masih ingat bahwa pada masa itu kau juga merusak kehormatan seorang
perempuan bernama Suci, isteri Ranaweleng, kemudian karena malu perempuan itu
bunuh diri?! Apa kau juga masih ingat dan sanggup menghitung berapa banyak jiwa
penduduk yang kau renggut, kau bunuh?!” Mulut Mahesa Birawa terkatup
rapat-rapat.
Dan pendekar
212 buka mulut lagi: “Kalau aku tidak ingat pesan Eyang Sinto Gendeng, pada
detik aku melihat tampangmu aku sudah bertekad untuk mengermus kepalamu! Kini
setelah tahu bahwa kau tidak mau diperintahkan untuk menghadap ke puncak Gunung
Gede maka tak ada lagi halangan bagiku untuk membalaskan dendam kesumat seribu
karat, untuk membalaskan sakit hati yang berurat berakar sejak tujuh belas
tahun yang lewat! Ketahuilah Mahesa Birawa, aku adalah anak Ranaweleng. Dan aku
adalah juga murid Eyang Sinto Gendeng! Adik seperguruanmu sendiri, tapi yang
akan memisahkan roh busukmu dengan tubuh bejatmu!” Habis berkata begini maka
tertawalah pendekar 212. Suara tertawanya keras dan panjang, menegakkan bulu
roma. Bergetar hati Mahesa Birawa mendengar suara tertawa yang menegakkan bulu
kuduknya itu. Terbayang olehnya masa tujuh belas tahun yang silam. Begitu cepat
waktu berlalu dan tahu-tahu kini dia berhadapan dengan kenyataan yang pahit!
Berhadapan dengan anak laki-laki dari suami isteri yang pernah menjadi
korbannya. Seperti tak percaya dia akan kenyataan ini!
“Orang
muda...!,” kata Mahesa Birawa pula. Suaranya diperbawa dengan aliran tenaga
dalam agar tidak kentara getaran hatinya. “Kuharap kau cepat-cepat saja bangun
dari mimpimu dan tahu berhadapan dengan siapa...!”
Pendekar 212
tertawa lagi seperti tadi. Lebih seram malah! Dan didengarnya suara Mahesa
Birawa, musuh besarnya itu berkata pongah: “Jangankan kau... Eyang Sinto
Gendeng sekalipun tak akan sanggup turun tangan terhadapku! Kalau kau teruskan
niat edanmu, ketahuilah bahwa kedatanganmu sejauh ini dari puncak Gunung Gede
hanyalah untuk mencari mampus sendiri!”
“Kita akan
lihat Mahesa Birawa! Kita akan saksikan! Darah siapa di antara kita yang akan
dihisap oleh tanah! Kau telah menentukan kematian ibu bapakku di siang hari!
Disaksikan oleh langit siang dan matahari! Karena itu besok, bila matahari
tepat sampai di puncak ubun-ubun, aku tunggu kau di atas bukit ini! Biar langit
dan matahari yang dulu menyaksikan kematian ibu bapakku, besok menyaksikan pula
kematianmu,
menyaksikan pembalasan dendam kesumat
seribu karat!”
Mahesa Birawa
keluarkan suara mendengus. “Aku bukan manusia yang bisa menunggu, apa lagi
terhadap keroco macam kau! Tapi dengar orang muda... daripada kau mati tiada
guna, aku ada usul baik bagimu. Ikut bersamaku menghancurkan Pajajaran, niscaya
kau akan kuangkat kelak menjadi seorang pejabat berpangkat tinggi.... !” Wiro
Sableng bersiul. “Aku tidak butuh usul, Mahesa Birawa, juga tidak butuh
apa-apa. Saat ini aku hanya butuh roh busukmu! Besok siang di tempat ini.
Mahesa.
Darahmu atau darahku, nyawamu atau
nyawaku!”
Maka kini
Mahesa Birawa tidak dapat lagi menahan hatinya. “Tak perlu tunggu sampai besok!
Sekarang pun aku bersedia melayani! Terima pukulan seribu badai ini!” Mahesa
Birawa menerjang ke muka. Tangan kanannya memukul dan gelombang angin yang
sangat hebat menderu menyambar ke arah pendekar 212. Yang diserang tanpa tunggu
lebih lama berkelebat dan melompat setinggi tujuh tombak. Kedua kakinya
tergetar dan linu ketika angin pukulan lawan dalam jarak setinggi itu masih
sanggup menyapu kedua kakinya!
Dengan
kerahkan setengah dari tenaga dalamnya Wiro Sabteng hantamkan tangan kanan ke
bawah melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera! Mahesa Birawa berseru
tertahan melihat datangnya angin laksana badai ke arahnya. Cepat-cepat dia
melompat ke samping. Tubuhnya hampir terpelanting diserempet angin pukulan
lawan. Dengan kerahkan tenaga dalamnya dia masih sanggup berdiri di tempat
setelah mengelak tadi. Namun demikian kedua kakinya melesak sampai lima senti
ke dalam tanah!
Dalam
keterkejutan melihat kehebatan lawan Mahesa Birawa mendengar suara tertawa
pendekar 212. “Kutunggu besok siang Mahesa Birawa. Di sini,di puncak bukit ini!
Satu hal perlu kukatakan. Besok aku menghadapimu bukan sebagai manusia bernama
Mahesa Birawa, tapi sebagai Suranyali!” Wiro Sableng berkelebat.
“Budak hina! Jangan lari!” teriak
Mahesa Birawa alias Suranyali. Namun pendekar 212 sudah lenyap dari
pemandangannya ditelan kegelapan malam.
- == 0O0 == -SEMBILAN BELAS Malam
itu Mahesa Birawa tak dapat memicingkan mata. Dia gelisah sekali.
Sebentar-sebentar di atas pembaringan
dalam kemah dia membalik ke kiri, membalik ke kanan. Ingatannya mengawang
kembali pada masa tujuh belas tahun yang silam. Terbayang olehnya kematian
Ranaweleng. Terbayang olehnya Suci, perempuan yang bunuh diri itu. Dan ketika
ingatannya berpindah pada pemuda yang mengaku anak dari Ranaweleng itu,
tubuhnya seperti dijalari hawa dingin. Meski sudah dapat mengukur kehebatan
lawan namun Mahesa Birawa tidak takut sama sekali untuk menghadapi pemuda itu.
Cuma kemunculan si pemuda yang tidak terdugalah yang benar-benar mengejutkan
dan menyirapkan semangatnya.
Hati kecilnya
mengutuki kebodohannya sendiri. Pada masa tujuh belas tahun yang silam itu dia
tahu kalau Ranaweleng dan Suci mempunyai seorang putera. Kenapa dia tidak
sekaligus membunuh orok Ranaweleng itu? Tapi saat itu tentu saja dia tidak
mempunyai pikiran panjang seperti waktu sekarang ini.
Mahesa Birawa membalikkan tubuhnya
kembali. Dia memandang ke dinding kemah. Dan pada dinding kemah itu seperti
terbayang oleh matanya rentetan kalimat yang pernah dibacanya pada dinding
tempat kediamannya tujuh belas tahun yang lalu yaitu ketika dia baru saja
berhasil melarikan Suci dan memasukkannya ke kamarnya. Di sana... di dalam
ingatan Mahesa Birawa alias Suranyali, seperti tertera kembali rentetan kalimat
itu. Rentetan kalimat yang menjadi kenyataan:
“Apa yang kau lakukan hari ini akan
kau terima balasannya pada tujuh belas tahun mendatang!”
Mahesa Birawa
akhirnya turun dari pembaringan. Beberapa lama dia mondar mandir didalam kemah
besarnya itu. Kemudian teringat dia pada kematian Kalasrenggi dan dua orang
mata-mata yang dikirim ke Kotaraja tempo hari. Mereka menemui kematian akibat
turun tangannya seorang manusia aneh. Kalasrenggi mati dengan guratan angka 212
pada keningnya. Dan tadi dia juga saksikan sendiri kematian Suto Rande dalam
cara yang sama! Kalau begitu sedikit banyaknya atau mungkin pasti... pasti
sekali pemuda yang mengaku anak Ranaweleng itu, yang sesungguhnya adalah adik
seperguruannya sendiri, pastilah mempunyai sangkut paut atau hubungan dengan
Pajajaran. Dan kalau sudah begini berarti bocornya rencana untuk menggulingkan
Prabu Kamandaka, bocornya rencana untuk memberontak terhadap Kerajaan!
Mahesa Birawa melangkah lagi mondar
mandir sambil mengepalkan tinjunya.
Dia harus bertindak cepat sebelum
Pajajaran benar-benar tahu keseluruhan rencananya. Bukan mustahil saat itu
balatentara Pajajaran tengah menuju ke perkemahan mereka untuk menyapu mereka!
Malam itu juga
Mahesa Birawa berunding dengan kelima Adipati. Dan malam itu pula diputuskan
untuk menggerakkan seluruh pasukan ke Kotaraja.
Dua orang
kurir dikirim terlebih dahulu. Yang pertama untuk menemui Raden Werku Alit di
Kotaraja, memberitahukan bahwa karena sesuatu hal yang mendesak maka pasukan
diberangkatkan malam itu dan direncanakan untuk menggempur Pajajaran
selambat-lambatnya satu dua jam sesudah fajar menyingsing! Kurir yang kedua
berangkat menuju puncak Gunung Halimun, menemui Begawan Sakti Sitaraga yang
sebelumnya telah mengatakan bersedia turun tangan membantu kaum pemberontak!
Tapi kurir ini kemudian tertawan oleh prajurit-prajurit Pajajaran di
perbatasan.
Meski tetap berhati bimbang akan
kebenaran peringatan yang dibacanya di dinding kamar adiknya, namun Prabu
Kamandaka tak urung menyiapsiagakan balatentara Pajajaran secara diamdiam. Dan
ketika dini hari itu dia dibangunkan secara mendadak, dilaporkan tentang
terlihatnya sepasukan besar mendatangi Kotaraja. Raja Pajajaran ini benar-benar
menjadi kaget. Benar juga peringatan itu, katanya dalam hati. Kepada
Kepala-Kepala Pasukan Kerajaan segera diberikan perintah kilat: “Kalau pasukan
yang datang itu adalah benar pasukan pemberontak, hadapi mereka di luar tembok
Kerajaan!”
Manakala sinar fajar pertama memancar di ufuk timur maka pada saat itu
pulalah mulainya berkecamuk pertempuran yang dahsyat di sepanjang tembok besar
yang mengelilingi Kotaraja.
Yang paling seru adalah pertempuran
pada dua buah pintu gerbang. Pihak pemberontak menyerang
habis-habisan untuk dapat membobolkan
pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya
senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata, bau
anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan.
Agaknya
serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran
berkecamuk hampir setengah jam lebih.
Prabu Kamandaka dengan
teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi semangat pasukan Pajajaran.
Prabu ini menunggangi seekor kuda putih dan di tangannya tergenggam sebilah
golok panjang yang berlumuran darah!
Prabu
Kamandaka seperti terpukau dan tak mau percaya akan kedua matanya ketika dia
bergerak ke medan pertempuran sebelah timur, dia langsung berhadap-hadapan
dengan Werku Alit, saudara sepenyusuan sendiri!
“Matakukah yang terbalik atau
benarkah kau yang ada di hadapanku ini, Alit?” ujar Sang Prabu.
Raden Werku Alit tertawa membesi.
“Matamu masih belum terbalik, Kamandaka! Cuma otakmu yang miring sehingga
mengambil hak orang lain....!”
“Hak apakah yang aku telah ambil dan
siapakah orang lain itu?!”
“Takhta Kerajaan adalah hak syah
diriku, Kamandaka!” jawab Werku Alit garang. Prabu Kamandaka tertawa dingin.
“Kau mengigau di slang hari Alit! Tak kusangka, kau sendiri yang menjadi biang
racun pentolan pemberontak yang memberikan perintah untuk mengeroyok Raja
Pajajaran itu!”
Prabu
Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi kuda putih dan di tangannya
tergenggam golok panjang yang berlumuran darah!
Agaknya
serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran
berkecamuk hampir setengah jam lebih.
Yang diserang
bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong
manusia-manusia yang terbabat senjata bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu
menimbulkan suasana yang mengerikan.
Satu demi satu prajurit yang
bertempur bersama rajanya itu gugur bergelimpangan. Keadaan
Sang Prabu
sangat kritis sekali sedang di sebelah barat balatentara pemberontak di bawah
pimpinan Mahesa Birawa sudah hampir berhasil membobolkan pertahanan pintu
gerbang! - == 0O0 == --
DUA PULUH
Pada saat pertempuran berkecamuk
dengan serunya, pada saat pintu gerbang Kotaraja di sebelah barat hampir bobol
dan pada saat keselamatan Prabu Kamandaka sendiri terancam maka pada saat
itulah terdengar suara yang keras laksana guntur mengatasi segala kecamukan
perang yang mendatangkan maut itu!
“Manusia-manusia bodoh! Hentikan
pertempuran ini!”
Hampir semua mereka yang bertempur di
medan sebelah timur itu jadi terkejut dan hampir semua mata pula memandang ke
atas tembok Kotaraja di mana kelihatan berdiri seorang
pemuda berpakaian putih-putih
berambut gondrong!
Mungkin sekali Raden Werku Alit
adalah orang yang paling terkejut melihat pemuda di atas tembok itu. Manusia
ini tampangnya sama betul dengan pemuda yang tempo hari ditotoknya sewaktu
hujan-hujan di teratak tua!
“Orang-orang mati inginkan hidup,
kalian yang hidup mau bertempur sampai mati! Goblok betul!” terdengar lagi
pemuda yang di atas tembok berkata dengan suaranya yang mengguntur.
Werku Alit
kertakkan rahang. Hatinya gusar terhadap si pemuda. Diam-diam dia tahu bahwa
suara yang mengguntur itu pastilah menandakan bahwa si pemuda yang memiliki
tenaga dalam yang sangat tinggi. Namun bila dia melirik ke samping dan detik
itu melihat Prabu Kamandaka berada dalam keadaan lengah maka kesempatan ini
dipergunakan Werku Alit dengan sebaik-baiknya. Senjatanya berkelebat cepat dan
ganas. Satu ujung tajam dari toja menyambar ke leher sedang ujung yang lain
menyapu ke kaki Prabu Kamandaka! Melihat datangnya serangan itu Prabu Kamandaka
sadar akan keteledorannya berbuat lengah. Sangat terlambat baginya untuk dapat
mengelakkan senjata lawan yang menyerang dua tempat itu sekaligus. Salah satu
ujung tajam dari senjata lawan pastilah akan mengenai badannya. Prabu Kamandaka
lemparkan diri ke belakang meski dia tahu bahwa kakinya akan disapu ujung toja
lawan.
Tapi pada saat itu pula dari atas
tembok melesat satu benda putih sekali laksana bercahaya. Benda ini berbentuk
bintang dan mengeluarkan suara mendesing, menghantam pertengahan toja Werku
Alit dengan tepatnya. Toja itu patah dua. Salah satu patahannya menggores dada
Werku Alit sendiri!
Laki-laki ini
menjerit kesakitan dan lompat mundur namun diburu dengan sebat oleh Prabu
Kamandaka. Dalam keadaan terluka, bersama orang-orangnya Werku Alit bertahan
dengan hebat. Dua Adipati lainnya yang melihat terdesaknya Werku Alit segera
berikan bantuan sehingga Prabu Kamandaka dan orang-orangnya kembali terdesak
hebat! Werku Alit mengamuk dahsyat. Mengamuk dengan patahan tojanya. Namun
keadaan dirinya mulai payah akibat luka yang dideritanya. Gerakan-gerakannya
mulai menjadi lamban sehingga dia terpaksa mengambil posisi bertahan dan
membiarkan pembantupembantunya menyerang pihak lawan.
Adipati Tapak Ireng mendekati Werku Alit
dan sodorkan sebuah pil. “Telanlah cepat
Raden Alit dan alirkan tenaga dalammu
ke bagian yang terluka....”
Werku Alit
cepat-cepat telan pil yang berwama hitam itu lalu kerahkan tenaga dalamnya.
Obat yang diberikan oleh Adipati Tapak Ireng memang manjur sekali. Sesaat
kemudian darah pada luka Werku Alit berhenti dan tiada terasa sakit lagi. Maka
dengan cabut kerisnya Werku Alit kembali maju menghadapi Prabu Kamandaka.
Ketika Adipati Lanabelong dengan ruyung besi putihnya turut pula membantu Werku
Alit maka lebih buruk dari tadi keadaan Prabu Kamandaka kembali terdesak hebat.
“Kaum pemberontak! Hentikan
pertempuran ini!” teriak orang yang di atas tembok.
Tapi tak ada yang memperdulikan malah
Adipati Jakaluwing dari Karangtretes menantang:
“Orang gila berambut gondrong kalau
mau rasakan toja besiku, turunlah!”
Orang di atas tembok menggerutu
penasaran. Dari balik pinggangnya dikeluarkannya sebuah kapak bermata dua! Mata
kapak itu berkilat-kilat ditimpa sinar matahari pagi. Kemudian dengan satu
gerakan yang sangat enteng dia melompat turun. Dan begitu sampai di tanah
ditempelkannya ujung gagang kapak ke bibirnya. Maka sesaat kemudian menggemalah
suara seperti seruling. Mula-mula pelahan, kemudian makin keras dan
melengking-lengking!
Telinga pihak pemberontak yang
mendengar suara lengkingan seruling itu seperti ditusuk-tusuk sakit sekali.
Prajurit-prajurit rendahan menjadi terpukau dan dengan mudah menjadi korban
senjata prajurit-prajurit Pajajaran! Werku Alit dan lima Adipati sekutunya terkejut
ketika merasa bagaimana sakitnya telinga mereka sedang jalan darah mereka tidak
lagi teratur tapi sesak tersendat-sendat. Dan ketika mereka memandang
berkeliling mereka melihat bagaimana pasukan mereka di bagian medan mayat
prajurit dengan dada mandi darah! Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih
hidup terkejutnya bukan main. Serangan mereka di samping dijuruskan kepada
Prabu Kamandaka kini juga dititikberatkan pada Wiro
Sableng! Namun bila sekali lagi Kapak
Naga Geni 212 berkelebat maka kini giliran Adipati
Jakaluwing pula yang meregang nyawa
dengan kepala hampir terbelah dual Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih
hidup menjadi kecut. Mereka saling berlirikan tajam dan beri isyarat namun pada
saat itu pula pendekar 212 yang sudah tahu maksud mereka membuat gerakan cepat.
Rujung besi Ranabelong mental puntung dua ke udara disusul dengan jerit
kematiannya!
Satu-satunya
Adipati yang masih hidup yaitu Warok Gluduk boleh dikatakan sudah tak ada daya
lagi sesudah lengan kanannya tadi dibabat puntung oleh Prabu Kamandaka. Dia
memutuskan untuk kabur saja tapi tombak seorang kepala pasukan Pajajaran lebih
dahulu menancap di punggungnya terus menembus sampai ke dada! Nyali Werku Alit
semakin luntur menciut. Di medan pertempuran sebelah timur itu hanya dia sendiri
kini yang menjadi pucuk pimpinan. Kalau tadi dia dan anak-anak buahnya
merupakan pihak penyerang yang mendesak maka kini keadaan terbalik! Di
mana-mana puluhan prajurit-prajuritnya bergeletakan mati. Yang masih hidup
bertempur dengan setengah hati, mundur terus-terusan dan kacau balau! Suara
seruling Kapak Naga Geni 212 yang terus menerus melengking seperti melumpuhkan
sekujur tubuh Raden Werku Alit. Dicobanya mengerahkan tenaga dalamnya namun
tenaga dalamnya terasa laksana punah! Telinganya sakit dan kemudian
dirasakannya ada yang meleleh pada kedua liang telinganya itu! Darah!
- == 0O0 == --
DUA PULUH SATU
Mahesa Birawa yang ada di medan
pertempuran sebelah barat, yang saat itu sudah hampir berhasil mendesak pasukan
Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang pertahanan menjadi terkejut ketika
selintas kepalanya dipalingkan ke arah timur! Pasukan pihaknya di jurusan ini
dilihatnya bertempur dengan kacau, malah sebagian besar mundur terdesak hebat!
Beberapa kelompok pasukan bahkan dilihatnya melarikan diri kucar kacir! Dan di
antara semua apa yang disaksikannya itu sayup-sayup telinganya mendengar
lengkingan suara seruling! Jaraknya dengan medan pertempuran sebelah timur
terpisah puluhan tombak tapi suara seruling itu seperti menerpa-nerpa kulit
tubuhnya, menyendatkan jalan darahnya dan menyakitkan anak telinganya. Dan saat
demi saat jumlah prajurit yang bertempur di medan sana itu semakin berkurang
juga, banyak yang lari dan banyak yang tergelimpang mati!
Mahesa Birawa
serahkan pimpinan kepada seorang kepala pasukan yang dipercayainya. Kemudian
dengan gerakan sebat dia menuju ke medan pertempuran sebelah timur. Begitu
sampai di medan pertempuran ini dia disambut oleh satu pemandangan yang cukup
membuat bulu kuduknya merinding. Saat itu, Raden Werku Alit sudah terdesak
hebat dan tak sanggup mengelakkan sambaran pedang Prabu Kamandaka. jarak yang
jauh Mahesa Birawa masih berusaha untuk membokong Prabu Kamandaka dengan
pukulan tangan kosong. Namun angin pukulannya yang dahsyat itu diterpa hebat
oleh satu gelombang angin ganas dari samping! Ketika dia berpaling maka
sepasang matanya membentur pemuda yang tak asing lagi baginya.
Maka membentaklah Mahesa Birawa.
Namun bentakannya belum lagi keluar, tahu-tahu satu benda menggelinding ke arah
tempatnya berdiri, dan ketika diperhatikan benda itu adalah kepala Raden Werku
Alit yang sesaat sebetumnya lehernya kena ditebas pedang Prabu Kamandaka!
Kemarahan Mahesa Birawa tiada
terperikan. Dengan keris di tangan kanan dan gada berduri yang mempunyai tiga
mata rantai berduri pula dia menyerbu ke hadapan Prabu Kamandaka!
Namun setiup angin dahsyat memotong
serangannya itu dari samping. Dan ketika dia berpaling ternyata lagi-lagi
pemuda itu yang menghalanginya!
“Aku lawanmu, Mahesa Birawa!,” teriak
pendekar 212 dengan bola mata bersinar-sinar.
“Kutunggu kau di bukit Jatimaleh!”
“Budak hina! Kuburmu adalah di antara
tumpukan mayat di tempat ini juga!,” bentak Mahesa Birawa.
Sementara itu Prabu Kamandaka yang
tahu bahwa yang tadi hendak menyerangnya adalah tokoh pemberontak kaki tangan
Werku Alit yang berbahaya segera berteriak berikan
perintah: “Kurung bangsat-bangsat
pemberontak ini!”
Dua lusin
prajurit, tiga kepala pasukan dan Prabu Kamandaka sendiri segera mengurung
Mahesa Birawa. Namun pada saat itu pula Wiro Sableng melompat ke muka dan
berseru: “Prabu Kamandaka! Kau memang punya hak untuk menangkap dan membunuh
manusia karena dia adalah pentolan pemberontak musuh Pajajaran! Tapi aku merasa
lebih punya hak untuk membereskannya karena dialah pembunuh ayahku dan penyebab
kematian ibuku! Serahkan dia
padaku Prabu Kamandaka!”
Raja Pajajaran meski amarahnya hampir tak dapat dikendalikan lagi, tapi
mendengar ucapan Wiro Sableng itu menahan juga serangannya dan bertanya: “Orang
muda gagah, kau siapakah?!”
Wiro Sableng
senyum sedikit. Diacungkannya kapak yang di tangan kanannya. Dan pada kedua
mata kapak itu jelas kelihatan tiga rentetan angka. 212! Terkejutlah Sang
Prabu!
Tak disangka
pemuda itulah kiranya manusia aneh yang telah memberikan peringatan kepadanya
sebelumnya tentang akan pecahnya pemberontakan. Tahu kalau si pemuda gagah
betul-betul berada di pihaknya sendiri maka Prabu Pajajaran itu tidak keberatan
mengabulkan permintaan Wiro Sableng. Dia beri isyarat agar prajurit-prajuritnya
mundur kembali. Sementara itu boleh dikatakan pertempuran sudah hampir
berakhir. Balatentara pemberontak yang kini tidak berpimpinan lagi sudah mundur
jauh dari tembok Kerajaan dan terus dikejar oleh pasukan
Pajajaran sehingga lari kucar kacir.
Dan di antara gelimpangan mayat manusia di atas tanah yang banjir darah, di
udara yang masih hangat oleh baunya maut maka berhadapanlah dua musuh besar,
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dengan Suranyali alias Mahesa Birawa!
Pendekar 212 baru saja pasang kuda-kuda dan melintangkan kapak Naga Geni di
muka dada ketika dengan membentak dahsyat Suranyali menerjang ke muka. Keris
menusuk ke kepala dan gada rantai berduri menyapu ke perut!
“Ciaat!”
Wiro Sableng tak kalah sebat.
Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni berputar dahsyat menimbulkan gelombang
angin dan mengeluarkan suara mengaung laksana suara ratusan tawon! Gelombang
angin itu sekaligus membentur senjata-senjata Suranyali membuat kedua tangan-tangannya
laksana kena dipukul mental!
Suranyali alias Mahesa Birawa kini
tidak bisa bertempur tanggung-tanggung lagi.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan
dan untuk kedua kalinya dia menyerbu ke muka! Serangan kali ini lebih dahsyat
dari yang pertama namun pendekar 212 menunggu dengan tenang!
Setengah
tombak tubuh lawan mengapung ke arahnya Wiro Sableng sapukan Kapak Maut Naga
Geni ke muka dalam jurus Orang Gila Mengebut Lalat. Suranyali merasakan
badannya seperti membentur dinding yang tak kelihatan! Dengan andalkan ilmu
mengentengi tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki ini lompat ke samping.
Kapak Naga Geni melesat di bawahnya dan pada detik itu pula Suranyali kembali
menukik dan babatkan gada berdurinya!
Yang diserang
sama sekali tidak mau mengelak, tapi putar Kapak Naga Geninya di atas kepala.
Maka dua senjata bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan suara nyaring! Kapak
Naga Geni memancarkan bunga api, dua dari rantai besi berduri yang bergandul
pada gada berduri di tangan kiri Suranyali putus! Membuat pemiliknya jadi
terkejut sekali! Dan dalam saat itu pula laksana topan Kapak Naga Geni membalik
membabat ke arah selangkangannya! Suranyali berseru keras dan jungkir balik di
udara! Keringat dingin mengucur di kuduknya!
Prabu Kamandaka leletkan lidah
melihat pertempuran yang hebat itu.
Dalam waktu
yang singkat kedua orang itu telah bertempur dua puluh jurus! Dan kentara
sekali bagaimana kini Suranyali alias Mahesa Birawa mulai mendapat
tekanantekanan hebat! Dan pada saat laki-laki ini terpaksa buang penggada
berdurinya karena senjata itu dibabat puntung oleh kapak lawan!
Dengan penasaran Suranyali cabut
senjatanya yang lain yaitu sebuah tongkat besi yang ujungnya bercagak dua.
Tongkat besi ini memancarkan sinar kehijauan tanda bukan senjata sembarangan
dan menggndung racun yang hebat! Dengan keris di tangan kanan dan tongkat besi
bercagak di tangan kiri berkelebatlah Suranyali. Kedua senjatanya memancarkan
sinar dahsyat yang membungkus lawannya.
Namun yang dihadapi Suranyali saat
itu bukan manusia berilmu rendah dan bukan pula yang bersenjatakan senjata
biasa! Kapak Naga Geni 212 menderu-deru mengaung mengeluarkan sinar putih
menyilaukan. Tubuh kedua orang itu hanya merupakan bayangbayang saja dan
tiba-tiba terdengar teriakan Suranyali. Keris di tangan kanannya terlepas
mental patah dua. Kalau saja dia tidak cepat-cepat tarik tangan kanannya
pastilah tangan itu kena pula dibabat kapak lawan! Suranyali melompat ke luar
dari kalangan pertempuran! Mukanya memucat laksana salju! Cepat-cepat dia atur
jalan nafasnya.
Ketika dia melangkah ke muka maka
kelihatanlah tangan kanannya sampai ke pangkal siku berwarna sangat hijau dan
bergetar.
“Pemuda hina dina! Kau lihat lengan
kananku ini?!” tanya Suranyali sambil acungkan tangan kanannya. “Tujuh belas
tahun yang lalu bapakmu meregang nyawa oleh pukulan
Kelabang Hijau-ku! Kini anaknya akan
menerima bagian yang sama pula!”
Wiro Sableng tahu. kalau tujuh belas
tahun yang lalu musuh besarnya itu telah memiliki ilmu pukulan Kelabang Hijau
itu maka kini kehebatannya tentu tak dapat dibayangkan. Namun
hal ini sama
sekali tidak menggetarkan hatinya! Kapak Naga Geni 212 dipindahkan ke tangan
kiri dan tiga perempat bagian tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan. Dan
kelihatanlah tangan kanan itu menjadi sangat putih sedang kuku-kuku jarinya
bersinar memerah menyilaukan!
Terkejutlah Suranyali melihat hal
ini. Hatinya tergetar. “Pukulan sinar matahari…,” desisnya. Pendekar 212
tertawa menggumam. “Silahkan mulai dahulu, Suranyali...,” katanya menantang!
Diam-diam Suranyali alirkan teluruh tenaga dalamnya ke lengan kanan. Mulutnya
komat-kamit. Kedua kakinya amblas lima senti ke dalam tanah yang basah oleh
genangan darah. Dan sambil lompat sembilan tombak ke atas kemudian laki-laki
ini hantamkan tangan kanannya ke muka!
Pendekar 212 tetap tak bergerak di
tempatnya. Sinar hijau dari pukulan lawan melesat ke arahnya dan disambutinya
dengan pukulan tangan kanan! Dua pukulan dahsyat beradu di
udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar hijau dan putih saling nyambar
dan memecah ke samping! Pekik jerit dari orang-orang yang berdiri di tepi
kalangan pertempuran terdengar di
mana-mana. Tubuh mereka tergelimpang
mati. Ada yang menjadi hijau akibat racun pukulan
Kelabang Hijau Suranyali dan banyak
yang menjadi hangus hitam tersambar pukulan sinar matahari Wiro Sableng! Prabu
Kamandaka sendiri jika tidak cepat-cepat melompat pastilah akan menjadi korban
pula!
Ketika dua sinar itu beradu keras
Suranyali merasakan badannya menjadi panas. Celaka! Keluhnya. Pukulannya
kelabang Hijaunya bukan saja musnah oleh pukulan lawan tapi juga kena dihantam
dikembalikan ke arah kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini ambil sebuah pil
dari sabuk di pinggangnya dan menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu
laksana seekor elang dia menukik ke bawah, tusukan besi bercagaknya ke leher
Wiro Sableng. Wiro memapasi dengan kapaknya. Suranyali coba menjepit gagang
kapak dengan gagakan besi. Tapi “trang!”
Sekali kapak
itu berkiblat maka patahkan senjata Suranyali. Sebelum dia sempat menjejakkan
kaki di tanah, sebelum dia sanggup menjauhi lawan maka Kapak Naga Geni 212
menderu lagi kali ini tiada ampun membabat kuntung bahu kanan Suranyali!
Laki-laki ini melolong seperti srigala haus darah! Tubuhnya limbung menghuyung!
Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Itu dari
ayahku, Suranyali!” katanya. “Dan ini dari ibuku!” Kapak Naga Geni berkiblat
lagi. Suranyali coba menghindar dengan segala daya tapi tak berhasil. Bahu
kirinya terpapas mental. Darah menyembur! Sungguh mengerikan menyaksikan tubuh
Suranyali yang tanpa lengan itu!
“Yang ini dari
Eyang Sinto Gendeng, Suranyali!” kata Wiro Sableng pula dengan masih tertawa
mengekeh seperti tadi. Kapak Naga Geni sekali lagi menderu. Tubuh Suranyali
mental tersandar ke tembok Kerajaan! Dadanya sampai ke perut robek besar. Darah
membanjir dan ususnya menjela-jela. Pendekar 212 masih belum puas.
“Yang terakhir ini dariku sendiri,
Suranyali!,” katanya.
Ketika Kapak
Maut Naga Geni 212 itu membelah kepala Suranyali alias Mahesa Birawa itu, tiada
terdengar pekikan atau keluh kematian dari mulutnya.
Tubuhnya masih
tersandar sesaat lamanya pada tembok Kerajaan, kemudian merosot ke bawah dan
tergelimpang di atas mayat-mayat pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu tak berada
lama menggeletak di sana. Sekali kaki kanan Wiro Sableng menendang maka
mentallah tubuh
musuh bebuyutannya itu sampai belasan
tombak!
Wiro Sableng
tertawa mengekeh, lama dan panjang. dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik
pinggangnya. Kemudian seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dia bukan
berada di antara hamparan ratusan mayat, pemuda ini melangkah seenaknya bahkan
dengan bersiul!
“Saudara
muda!,” Prabu Kamandaka memburu. “Tunggu dulu.... !” Pendekar 212 berpaling.
“Ah.... aku sampai lupa minta diri
padamu Prabu Kamandaka....”
“Saudara, kau tak boleh pergi
dulu...”
“Kenapa?”
“Ikutlah ke istana. Kau telah berjasa
besar dan....”
“Jasa hanyalah jasa Sang Prabu. Hanya
sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku jasa tidak berarti mengharapkan balas
imbalan. Selamat tinggal....”
Prabu Kamandaka memegang bahu pemuda
itu. “Kuharap kau sudi datang ke istana terlebih dahulu, saudara,” katanya.
“Terima kasih Sang Prabu, terima
kasih....,” sahut pendekar 212.
“Kalau begitu beri tahu saja
namamu....”
Wiro Sableng tersenyum. “Namaku tidak
penting Sang Prabu. Cuma ingatlah angka 212. Mungkin suatu ketika angka itu
akan kembali lagi ke Pajajaran ini.... Dan satu hal....
jangan lupa
sampaikan salamku buat adikmu....
Rara Murni....”
“Akan
kusampaikan” kata Prabu Kamandaka pula., Dan semua mata kemudian menyaksikan
kepergian pendekar muda itu. Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng kepala dan
tarik nafas panjang. “Pemuda hebat.... pemuda gagah....,” katanya. “Pajajaran
berhutang besar kepadamu. Jasamu tak akan dilupakan sampai turun temurun....”.
TAMAT
Salam 212
SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI
ADALAH MILIK ALMARHUM BASTIAN TITO
No comments:
Post a Comment