KERIS TUMBAL WILAYUDA
PROLOG
SUARA beradunya berbagai macam senjata, suara bentakan
garang ganas yang menggeledek di berbagai penjuru, suara pekik jerit
kematiansera suara mereka yang merintih dalam keadaan terluka parah dan
menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana maut yang
menggidikkan!
Di mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran
sosok-sosok tubuh tanpa nyawa! Bau anyir darah memegapkan nafas,
menggerindingkan bulu roma! Pertempuran itu berjalan terus, korban semakin
banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa. Ada yang terbabat
putus batang lehernya. Ada yang robek besar perutnya sampai ususnya
menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah, kepala yang pecah, dada yang
tertancap tombak. Kutungan-kutungan tangan serta kaki!
Di dalam istana keadaan lebih mengerikan lagi. Mereka yang
masih setia dan berjuang mempertahnkan tahta kerajaan, yang tak mau menyerah
kepada kaum pemberontak meski jumlah mereka semakin sedikit, terpaksa menemui
kematian, gugur dimakan senjata lawan!
Istana yang pagi tadi masih diliputi suasana ketenangan dan
keindahan, kini tak beda seperti suasana dalam neraka! Mayat dn darah kelihatan
di mana-mana. Pekik jerit kematian tiada kunung henti. Perabotan istana yang
serba mewah porak poranda. Pihak yang bertahan semakin terdesak. Agaknya dalam
waktu sebentar lagi mereka akan tersapu rata dengan lantai yang dulu licin
berkilat tapi kini dibanjiri oleh darah!
“Wira Sidolepen dan Braja Paksi, menyerahlah!,” teriak
seorang laki-laki berbadan kekar dan berkumis melintang. Seperti kedua orang
yang dibentaknya itu diapun mengenakan pakaian perwira kerajaan.
Bradja Paksi
-- kepala balatentara Banten -- menggerang dan balas membentak. "Bangsat
pemberontak! Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan menyerah!”
Parit Wulung -- laki-laki yang berkumis melintang itu --
tertawa bergelak. Sebelumnya dia adalah perwira pembantu atau wakil kepala
balatentara Banten tapi yang hari itu telah tersesat dan memberontak terhadap
kerajaan !
"Mengingat hubungan kita sebagai ipar, aku masih mau
tawarkan keselamatan buat roh busukmu! Tapi jika kau sendiri yang hendaki
kematian, jangan menyesal!”
Parit Wulung menerjang ke muka. Pedangnya menyambar
mengirimkan satu serangan yang cepat dan dahsyat. Tapi dengan sebat Bradja
Paksi menangkis dengan Pedangnya pula.
“Trang!”
Bunga
api berkilauan.
Tangan Parit Wulung tergetar hebat. Dia mundur selangkah
namun lawan menyusuli dengan dua rangkai serangan berantai yang membuat gembong
pemberontak ini terdesak ke tiang besar di ujung kanan. Sebagai kepala
Balatentara Banten maka ilmu silat dan kesaktian Bradja Paksi lebih tinggi dari
wakilnya yang memberontak itu. Bagaimanapun cepat dan sebatnya Parit Wulung
putar pedang tetap saja dia tak bisa ke luar dari serangan-serangan lawan,
apalagi ketika dengan kalap Bradja Paksi sertai serangan-serangan pedangnya
dengan pukulan-pukulan tangan kosong. Namun itu tak berjalan lama.
Seorang berbadan kate, berselempang kain putih yang kulit
mukanya sangat hitam dan berkilat serta berambut awut-awutan berkelebat ke
muka. Tampangnya seperti singa.
"Parit
Wulung! Biar aku yang bereskan bangsat ini!"
Melihat siapa yang berkata itu maka Parit Wulung dengan
tidak menunggu lebih lama segera ke luar dari kalangan pertempuran. "Resi
Singo Ireng, rnemang dia pantas sekali untuk jadi korbanmu! Cepat rampaslah
nyawanya!"
Manusia muka hitam berbadan kate yang bernama Resi Singo
Ireng tertawa buruk. Tangan kanannya dihantamkan ke muka. Secarik sinar putih
melesat ke arah kepala balatentara Banten.
Bradja Paksi lompat tiga tombak ke atas. "Bergundal
pemberontak!". makinya. "Nyawamu di ujung pedangku!,” Bradja Paksi
menukik ke bawah. Pedangnya berkelebat cepat sekali.
"Bret
!"
Robeklah
pakaian putih Singo Ireng !
Maka marahlah Resi ini. "Manusia hina dina!. Kalau kau
punya Tuhan berteriaklah menyebut nama Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di
sini!".
Tangan
kiri Singo Ireng terangkat tinggi-tinggi ke atas dan kini berwarna hitam legam.
"Bradja Paksi awas! Itu pukulan wesi item!,” terdangar
teriakan seseorang yang tengah bertempur dengan segala kehebatannya dekat pintu
besar yang menuju ke ruang tengah istana. Umurnya sudah agak lanjut namun
gerakannya benar-benar tangguh dan. enteng gesit mengagumkan! Dia
adalah Wira Sidolepen, Patih Kerajaan Banten !
Terkejutlah Bradja Paksi mendangar teriakan peringatan itu.
Seluruh tenaga dalam segera dikerahkan. Pada saat tangan kiri Resi Singo Ireng
turun cepat ke bawah maka sinar hitam menyambar ke muka. Dan di saat itu pula
Bradja Paksi melompat ke samping, putar pedang dan hantamkan tangan kiri ke
depan.
Namun meskipun berilmu tinggi, untuk saat itu Bradja Paksi
masih belum sanggup menerima pukulan wesi item lawan. Tubuhnya mencelat kena
disambar sinar hitam, terlempar ke dinding istana lalu terhampar di lantai
penuh darah tanpa bisa berkutik lagi. Sekujur pakaian dan tubuhnya hangus
hitam!
Resi
singo Ireng tertawa senang menjijikkan untuk dipandang!
Melihat kematian Bradja Paksi maka kalaplah patih Wira
Sidolepen. Sekali dia menerjang, tiga prajurit pemberontak yang menyerangnya
berpelantingan dengan tubuh patahpatah! Sebagai patih kerajaan, tingkat
kepandaian Wira Sidolepen memang sudah sempurna dan hampir setingkat dengan
Singo Ireng. Gesit sekali maka tubuhnya sudah berada di hadapan Resi itu.
"Ha…
ha… kau juga mau antarkan nyawa, Wira Sidolepen…”
"Tak perlu banyak mulut. Terima ini…!" hardik sang
patih. Pedangnya bergulung dengan sebat. Putaran pedang mengeluarkan angin
bersiuran yang melanda tubuh Resi Singo Ireng. Terkejutlah Resi ini.
Cepat-cepat dia gerakkan badan berkelit. Tahu bahwa tingkat kepandaian lawan
tidak berada di bawahnya rnaka pagi-pagi Singo Ireng segera keluarkan pukulan
"wesi ireng"-nya.
Melihat lawan keluarkan ilmu yang ampuh itu, Wira Sidolepen
segera pindahkan pedang ke tangan kiri. Mulutnya komat kamit dan jari tangannya
mendadak sontak berubah rnenjadi putih berkilau. Inilah ilmu pukulan
"mutiara penabur nyawa!" Parit Wulung yang tahu kehebatan ilmu
pukulan ini segera pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi peringatan pada
Singo Ireng.
"Awas,
itu pukulan mutiara penabur nyawa, Resi Singo Ireng !"
Mendengar ini
maka sang Resi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua bentakan nyaring sama-sama
terdangar menggeledek dari mulut Singo Ireng dan Wira Sidolepen. Sinar hitam
dan sinar putih berkiblat saling papas.
“Akh....”
Tubuh patih itu terlempar keras ke tiang istana. Sampai di
lantai tubuhnya berkelojotan seketika lalu diam tak bergerak tanda nyawanya
sudah lepas meninggalkan tubuh.
Sambil gosok-gosok tangan kirinya. Singo Ireng putar kepala
ke pintu di sampingnya. Di situ melangkah ke arahnya seorang berselempang kain
biru. Mukanya coreng moreng berbelang tiga yaitu hitam, kuning dan merah.
Rambutnya tersisir licin-lincin ke belakang. Inilah dia Resi Macan Seta, kakak
kandung Resi Singo Ireng. Kalau Singo Ireng memiliki tampang seperti singa maka
kakaknya sesuai dengan namanya, memiliki tampang persis seperti macan!
"Kau tak bakal kuat menerima pukulan mutiara penabur
nyawa itu Singo Ireng, sekalipun kau pergunakan ilmu wesi item!
Sekurang-kurangnya kau akan terluka di dalam
Singo Ireng tertawa buruk! Dia tak berkata apaapa karena
maklum bahwa ucapan kakaknya itu adalah betul. Dan diam-diam dia bersyukur
karena Macan Seta telah menolongnya dengan pukulan "sinar surya
tenggelam" tadi!
-- == 0O0 == --
SATU
PADA abad ke 15, Kerajaan Demak diperintah oleh Baginda
Trenggono. Di bawah Trenggono maka Demak mencapai puncak kejayaannya. Di masa
itu pula adik perempuan Trenggono kawin dengan Fatahillah.
Untuk
meluaskan daerah perdagangan serta kekuasaan Demak maka Trenggono merasa perlu
untuk menduduki Banten. Maka pada tahun 1527, di bawah pimpinan Fatahillah
menyerbulah balatentara Demak. Banten jatuh, pelabuhan Sunda Kelapa diduduki
dan sebagai wakil Demak memerintahlah Fatahillah di Banten. Sebenarnya kurang tepat
kalau dikatakan bahwa Fatahillah bertindak sebagai wakil Trenggono atau wakil
kerajaan Demak karena luas lingkup kekuasaan serta pengaruh Fatahillah tak
ubahnya seperti Raja. Disamping itu, terlepas dari Demak, Fatahillah membentuk
balatentara tersendiri. Nama Fatahillah menjadi besar dan dihormati. Namun
demikian kesetiaannya terhadap kerajaan induk yaitu Demak tetap seperti
sediakala.
Sultan Hasanuddin dalam menjalankan roda pemerintahan
kerajaan Banten dibantu oleh penasihat utama seorang tua bijaksana bernama
Mangkubumi Mitra serta patih Wira Sidolepen. Disamping itu bantuan kepala
balatentara Banten yang bernama Bradja Paksi patut pula disebutkan karena
segala sesuatu yang bersangkutan dengan keamanan dan keselamatan kerajaan
terletak pada tanggung jawabnya sepenuhnya. Apalagi mengingat pada masa itu
sering kali terjadi bentrokan-bentrokan dengan pihak Pajajaran. Bradja Paksi
tadinya adalah seorang prajurit biasa di kerajaan Demak. Tapi karena
keberanian, kejujuran dan kepandaiannya maka dia menjadi orang kesayangan
Fatahillah. Ketika Fatahillah pindah ke Banten, Bradja Paksi ikut serta.
Kemudian dia diangkat jadi kepala balatentara Banten. Pangkat itu terus
dijabatnya sampai pada suatu hari di mana dia terpaksa mengorbankan jiwanya
sendiri untuk keselamatan kerajaan dan demi kesetiaan pengabdiannya pada
atasan!
Saat itu belum lagi satu bulan Hasanuddin yang muda belia
dinobatkan sebagai Sultan atau Raja Banten. Baik patih Wira Sidolepen, maupun
penasihat tua Mangkubumi Mitra serta kepala balatentara Bradja Paksi, ataupun
Sultan sendiri, mereka tak satupun yang tahu kalau di batang tubuh kerajaan
saat itu terdapat musuh dalam selimut yang berbahaya, yang bergerak secara
diam-diam!
Dan siapa yang akan menyangka kalau musuh dalam selimut itu
adalah Parit Wulung, perwira yang menjadi wakil langsung dari kepala
balatentara kerajaan! Hubungan Parit Wulung dengan Bradja Paksi bukan saja
sebagai bawahan dengan atasan, tetapi juga sebagai ipar karena adik perempuan
Bradja Paksi kawin dengan Parit Wulung.
Tapi Parit Wulung telah tersesat. Lupa dia bahwa jabatan
yang dipangkunya itu adalah berkat diangkat atas kebijaksanaan Bradja Paksi.
Lupa dia bahwa kerajaan yang telah memberi pangkat kedudukan serta kehormatan
dan kehidupan mewah. Nafsu hendak berkuasa sendiri, nafsu hendak duduk ditakhta
kerajaan sebagai Raja telah merangsang segenap hati dari jiwa raganya!
Dalam mencapai usahanya merebut takhta Kesultanan Banten itu
sudah barang tentu dia tak bisa bergerak sendiri. Disamping itu dia tahu pula
bahwa untuk mencari pengikutpengikut dari kalangan pihak dalam yaitu
perwira-perwira dan menteri-menteri istana tidak mungkin karena semua perwira
dan menteri, apalagi patih Wira Sidolepen sangatlah setianya kepada Kerajaan
dan Sultan Hasanuddin. Karenanya maka perwira pengkhianat itupun mencari sekutu
di luar Banten. Peluang yang sangat baik dilihatnya datang dari kerajaan
tetangga yaitu Pajajaran. Beberapa perwira Pajajaran secara diam-diam
ditemuinya dan perwira-perwira itu sesudah diberikan janji yang muluk-muluk
bersedia mengirimkan ratusan prajurit untuk membantu pemberontakan bila saatnya
sudah tiba kelak.
Ratusan prajurit masih belum dirasa mencukupi bagi Parit
Wulung. Pengkhianat ini kemudian mendatangi seorang sakti yaitu Resi Singo
Ireng yang berdiam di pantai selatan. Resi ini bukan saja mau membantu maksud
busuk Parit Wulung karena dijanjikan akan dilimpahkan harta kekayaan yang tiada
terkira banyaknya, tapi juga mengikut sertakan kakak kandungnya yang juga
seorang Resi yaitu Resi Matjan Seta. Matjan Seta diam di Teluk Keletawar. Tokoh
silat ini baru saja membentuk satu partai silat yang dinamainya Partai Api
Selatan. Meski keduanya adalah Resi namun mereka telah terperangkap oleh
kesenangan duniawi sehingga masuk ke datam golongan hitam!
Pada hari yang telah ditentukan maka pecahlah pemberontakan
menggulingkan kerajaan itu! Ratusan pasukan dari Pajajaran menyerbu.
Pertempuran hebat terjadi di seantero Kotaraja dan yang paling hebat adalah
sekitar halaman istana.
Sebentar saja kaum pemberontak sudah membobolkan pertahanan
Banten. Istana dikepung, prajurit-prajurit pemberontak di bawah pimpinan Parit
Wulung, Singo Ireng dan Matjan Seta menyerbu ke dalam istana. Menteri-menteri
dan orang-orang cerdik pandai yang terkurung dan tak dapat diselamatkan semuanya
menemui ajal dipancung secara kejam. Kepala balatentara Banten, patih Wira
Sidolepen dan beberapa orang penting lainnya turut serta menjadi korban
keganasan kaum pemberontak itu !
Banten jatuh sebelum hari rembang petang. Prajurit-prajurit
Banten yang masih hidup dan terpaksa menyerah bersama-sama rakyat disuruh
membersihkan semua mayat-mayat yang bergeletakan di setiap pelosok. Sedangkan
di satu ruangan dalam istana Banten terjadi pertemuan panting. Pertemuan
penting ini diketuai oleh Parit Wulung. Yang hadir ialah Resi Singo Ireng, Resi
Matjan Seta, Karma Dipa dan Djuanasuta. Kedua orang terakhir ini adalah
penrwira-perwira Pajajaran sekutu Parit Wulung !
"Resi Singo Ireng, Resi Matjan Seta dan saudara-saudara
Karma Dipa, Djuapasuta. Kalian lihat sendiri, berkat kerjasama kita maka apa
yang kita rencanakan telah berhasil. Kini Banten adalah milik kita bersama.
Namun ada beberapa hal yang mengecewakan dilaporkan oleh seorang perwira
penghubung pihak kita. Sultan Hasanuddin lenyap tak diketahui ke mana perginya.
Kemungkinan besar bersama penasihat tua Mangkubumi Mitra karena orang tua
inipun tak diketahui di mana dia berada saat ini…".
Sampai di
situ maka Karma Dipa buka suara. "Kalau mereka hendak melarikan diri dari
Banten adalah mustahil. Seluruh perbatasan dijaga ketat oleh prajurit-prajurit
kita!"
"Itu betul sekali,” jawab Parit Wulung. "Disamping
orang-orang kita terus melakukan penyelidikan atas jejak kedua orang itu maka
kita juga telah menangkap tiga orang yang diduga keras mengetahui di mana bersembunyinya
Sultan!"
Parit Wulung bertepuk tiga kali. Pintu ruangan perundingan
terbuka. Seorang pengawal masuk. "Bawa ke sini Said Ulon !,” kata Parit
Wulung pada pengawal itu.
Pengawal ke luar dengan cepat. Sesaat kemudian masuk lagi
bersama seorang kawannya membawa seorang laki-laki tua berambut putih. Dialah
Said Ulon, kepala rumah tangga istana. Kedua pengawal ke luar lagi.
"Said
Ulon, kau tahu dimana Sultan sembunyi, bukan?!" ujar Parit Wulung.
Orang tua itu memandang ke muka sebentar. Hatinya geram
sekali melihat tampang Parit Wulung. Dua orang anaknya telah menjadi korban
akibat pemberontakan manusia itu. Seperti hendak ditelannya bulat-bulat tubuh
Parit Wulung saat ini. Kedua tangannya berusaha melepaskan ikatan tali tapi tak
berhasil.
Melihat ini Parit Wulung segera berkata. "Jangan
khawatir, kau akan kulepaskan dan kujamin keselamatanmu bila memberi keterangan
di mana Sultan berada...!" "Ya… memang aku tahu...” berkata Said
Ulon.
"Haaaa…”
Parit Wulung tertawa lebar. "Di mana?," tanyanya.
Orang tua itu maju ke hadapan Parit Wulung. "Di
sini," katanya. Dan habis mengucapkan perkataan itu maka diludahinya muka
Parit Wulung!
"Jahanam
hina dina!" suara Parit Wulung menggeledek.
"Sret!" Pedangnya dicabut dan "cras!” maka
putuslah leher Said Ulon. Kepalanya menggelinding di lantai tepat di muka
pintu. Darah muncrat membasahi permadani yang menutupi sebagian dari lantai
ruangan !
Resi
Matjan Seta tertawa mengekeh melihat peristiwa itu.
Karma Dipa berkata dengan suara datar. "Seharusnya kita
tak perlu membunuh sekaligus manusia itu, Parit Wulung. Kita bisa siksa dia
sampai mengaku di mana adanya
Sultan
Hasanuddin!"
Parit Wulung tak menjawab. Noda darah dipedangnya
disapukannya kepakaian Said Ulon lalu dimasukkannya ke dalam sarungnya kembali.
Kemudian Parit Wulung bertepuk lagi tiga kali.
Pintu
terbuka. Pengawal yang masuk tergagau melihat adanya kepala manusia di muka
pintu. "Bawa masuk tukang kuda itu!" kata Parit Wulung.
Tak
lama kemudian pengawal membawa masuk seorang pemuda bermuka pucat pasi.
Baik Parit Wulung
maupun pemuda ini sebelumnya sudah saling mengenal.
"Siman
Tjonet, kau lihat mayat dan kepala di lantai itu?!"
Siman
Tjonet si tukang urus kuda-kuda milik istana mengangguk.
"Tentunya
kau tak ingin bernasib demikian, bukan? Nah coba terangkan di mana
Sultan
bersembunyi...!”
"Aku
tak tahu…".
"Ah kau musti tahu. Mungkin sekali Sultan telah
melarikan diri bersama beberapa orang dengan menunggangi kuda. Betul..."
"Aku
tidak tahu..," jawab Siman Tjonet lagi seperti tadi.
Maka. marahlah Parit Wulung. "Dangar
Siman…,” desisnya. "Aku tahu bahwa beberapa bulan di muka kau akan kawin.
Kalau kau tetap ingin merasakan kenikmatan perkawinanmu itu, cepat beri tahu di
mana Sultan berada…”
"Kalau kau kasih keterangan...," menyambung
Djuanasuta, "kami akan berikan uang serta perhiasan! Kau akan beruntung
seumur hidup…"
"Aku
tidak tahu…"
"Betul-betul
tidak tahu...?!"
"Kalaupun tahu aku tidak akan kasih keterangan pada
bergundal pemberontak dan pengkhianat macam kau!"
Parit Wulung tertawa buruk. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan
kanannya bersitekan pada hulu pedang. "Jangan jadi orang tolol Siman
Tjonet!" berkata Karma Dipa sementara Resi Matjan Seta dan adiknya
asyik-asyik makan buah anggur yang terhidang di atas meja.
"Bicaralah, kau akan
selamat dan jadi orang kaya!" Siman Tjonet diam saja.
"Agaknya
kau lebih suka mati daripada hidup senang. Siman…?" tanya Parit Wulung.
"Disangkanya kalau dia mati akan masuk surga dan ketemu
bidadari!" berkata Resi Matjan Seta sambil tertawa dan mengunyah buah
anggur dalam mulutnya.
"Aku masuk surga atau tidak itu bukan urusan kalian!
Sebaliknya kalian semua kelak akan menjadi puntung api neraka!" jawab
Siman Tjonet dengan beraninya.
"Wah… kau benar-benar tidak takut mati, anak muda. Tapi
bagaimana kalau sebelum mati aku siksa kau lebih dahulu, heh?!"
"Kalian
boleh siksa aku tapi di mana Sultan berada tetap kalian tak bisa tahu!"
"He... he... he..,” Resi Matjan Seta berdiri dari
duduknya. Mulutnya masih mengunyah buah anggur. Dia melangkah ke hadapan Siman
Tjonet, Tangan kanannya diletakkannya di atas kepala pemuda itu.
"Manusia bermuka setan, pergi!" hardik Siman
Tjonet. Pemuda ini pergunakan kaki kanannya untuk menendang tulang kering Resi
Matjan Seta. Tapi aneh! Kedua kakinya terasa sangat berat dan sukar digerakkan.
Sementara itu kepalanya yang dipegang terasa panas bukan main. Disamping panas
kepalanya juga terasa seperti dicucuki oleh ratusan jarum! Dari kepala rasa
sakit menjalar ke sekujur tubuh si pemuda.
Pemuda ini merintih kesakitan. Bila rasa sakit tak
tertahankan lagi maka mulailah dia menjerit-jerit setinggi langit. Betapa
mengerikan suara jeritan itu terdangarnya. Peluh dingin membasahi seluruh tubuh
Siman Tjonet.
"Masih
belum mau bicara?!" bentak Parit Wulung.
"Pengkhianat
terkutuk! Pembalasan akan datang untuk kalian semua!".
"Bikin
mampus dia Resi Matjan Seta!,” perintah Parit Wulung.
Sang Resi mengekeh, telapak tangannya semakin keras menekan
batok kepala pemuda tukang kuda. Asap mengepul dari telapak tangan laki-laki
sakti itu.
Jeritan Siman Tjonet terdangar semakin keras dan berubah
menjadi suara erangan. Dari telinga,
dari mata dan dari lubang hidung serta mulutnya mengalir darah kental. Kedua
lututnya terlipat dan sesaat kemudian tubuh pemuda itu terhempas ke lantai,
nyawanya lepas!
Resi Matjan Seta
mengekeh lagi!
Dan Parit Wulung bertepuk lagi. Maka tawanan yang ketigapun
dibawa masuklah. Tawanan ini ternyata seorang perempuan muda berparas rupawan.
Begitu dia masuk ke, ruangan itu maka menjeritlah dia. Kedua
tangannya yang tidak terikat dipakai untuk menutupi muka dan matanya. Kengerian
membuat tubuhnya gemetar ketika menyaksikan kepala dan tubuh Said Ulon serta
tubuh pemuda tukang kuda!
Resi Singo Ireng menunda anggur yang hendak disuapkannya ke
dalam mulut. Matanya menjalari si perempuan muda mulai dari ujung rambut sampai
ke kaki.
"Ah... ah... ah…! Yang satu ini tak boleh dibunuh,
Parit Wulung. Dia cukup pantas untuk jadi peliharaanku!,” kata Resi bertampang
singa itu.
Parit
Wulung tak ambil perhatian ucapan itu. Dia berkata pada si perempuan muda.
"Suri Intan,
kau tak usah khawatir atau takut. Tidak ada yang akan menyakiti kau…”
"Aku
tak percaya pada kalian! Keluarkan aku dari sini!,” teriak perempuan itu. Suri
Intan adalah istri
Braja Paksi kepala balatentara Banten yarig telah gugur dalam mempertahankan
kerajaan. Karena adik Bradja Paksi kawin dengan si pemberontak Parit Wulung
maka dengan sendirinya antara Parit Wulung dengan Suri Intan terdapat hubungan
keluarga yang dekat.
Parit Wulung coba tersenyum mendangar ucapan perempuan itu.
"Suri, apakah kau tahu di mana Sultan Hasanuddin bersembunyi? Juga
penasihat tua Mangkubumi Mitra...?!"
Si perempuan tiada peduli dengan pertanyaan itu.
"Keluarkan aku dari sini!" teriaknya.
"Dewiku manis...!"kata Singo Ireng mengetengahi.
"Kau akan ke luar dari sini, aku yang akan bawa kau dan kita berdua akan
senang-senang di tempatku di pantai utara. Tapi apa salahnya sebelum pergi kau
suka kasih penuturan apa yang kau ketahui mengenai Sultan…"
"Aku tidak tahu apa-apa mengenai Sultan. Yang aku tahu
ialah bahwa kalian semua manusia-manusia pengkhianat terkutuk! Balasan Tuhan
akan datang kelak atas diri kalian!"
"Ah... ah... ah! Bicaramu hebat sekali
manisku...!" kata Singo Ireng. Dia berdiri dari kursinya. Sambil melangkah
mendekati Suri Intan dia meneruskan. "Aku suka pada peremppan-perempuan
yang pandai bicara…". Dia berdiri dua langkah di hadapan Suri Intan. Bola
matanya berkilat-kilat memandangi perempuan berparas rupawan itu lalu dia berpaling
pada Parit Wulung. "Aku yakin betul," katanya pada Parit Wulung.
"perempuan ini pasti tidak dusta dengan keterangannya. Dia tak tahu
apa-apa tentang Sultan. Parit Wulung, biar aku minta diri saja siang-siang
untuk membawa dia ke kamar sebelah.... he... he... he…!"
"Singo Ireng! Jangan ribut soal lampiaskan nafsu saja.
Kita harus cari dulu Sultan Hasanuddin sampai dapat...!" Yang bicara ini
adalah Matjan Seta, kakak Singo Ireng.
"Ladalah..," menyahuti Singo Ireng. "Itu
urusan kalian. Aku sudah letih. Tubuhku pegal-pegal. Perempuan ini pasti lihay
sekali memijit. Bukankah begitu dewiku…?" Dan Singo Ireng mencubit dagu
Suri Intan.
"Tua bangka hidung belang!" memaki Suri Intan.
Tangannya bergerak hendak mencakar muka Singo Ireng. Tapi sekali cekal saja
maka perempuan itu sudah tak bisa berdaya lagi!
"Lepaskan aku, lepaskan!,” Suri Intan meronta sekuat
tenaga. Entah cekalan Singo Ireng yang kemudian agak kurang ketat, entah karena
rontakan Suri Intan yang memang sangat keras maka perempuan itu berhasil
melepaskan diri dari cekalan Singo Ireng. Kemudian secepat kilat dia lari ke
pintu. Tapi nyatanya pintu dikunci dari luar oleh pengawal. Dalam bingung dan
ketakutan sementara itu Suri melihat Singo Ireng mendatanginya dengan
menyeringai dan bola mata berkilat-kilat sedang hidung kembang kempis.
"Singo
Ireng! Biarkan dulu perempuan itu!" bentak Matjan Seta.
"Sudah diam sajalah Seta!,” menggerendang Singo Ireng.
"Sekarang kau terlalu banyak ribut, nanti kalau aku lagi asyik kau dobrak
pintu kamar dan minta diberi bagian!
Puh...!"
Singo Ireng maju ke muka dan ulurkan tangan. "Jangah
jamah aku!,” teriak Suri Intan. Dia lari seputar ruangan dan Singo Ireng
mengejarnya. Mengejar dengan tertawa terkekehkekeh. "Manisku, kenapa musti
main kucing-kucingan? Tampangku memang buruk. Tapi nantilah, kalau kau sudah
rasakan bagaimana pandainya aku di atas tempat tidur, kau akan ketagihan… ha...
ha... ha...!"
Suri Intan semakin kepepet ke sudut ruangan.Tiba-tiba
terjadilah hal yang tidak diduga oleh Singo Ireng dan siapapun yang ada di
ruangan itu.
Suri Intan melompat ke samping, membenturkan kepalanya ke
dinding ruangan! Semua orang yang ada di ruangan itu sudah biasa dengan segala
macam pemandangan maut, sudah biasa melihat kematian manusia. Tapi mendangar
suara beradunya kepala perempuan itu dengan dinding yang keras, menyaksikan
bagaimana kemudian Suri lntan terkapar di lantai dengan kepala rengkah
berlumuran darah, semuanya sama menjadi merinding bulu tengkuknya! Suasana di
ruangan itu seperti di pekuburan sunyinya!
Kesunyian itu kemudian dipecahkan oleh suara Matjan Seta.
"Aku bilang apa, Singo
Ireng! Kau lihat
sendiri sekarang. Apa kau masih bernafsu terhadap perempuan itu?!"
Singo Ireng tak menjawab. Diputarnya badannya. Dia duduk
kembali ke tempatnya. Dan seperti tak ada apa-apa dia mulai lagi mengunyah buah
anggur yang terhidang di atas meja!
Sesudah para pengawal diperintahkan menyeret ketiga mayat
itu maka Parit Wulung melanjutkan pertemuan dengan membuka pembicaraan.
"Kurasa mengenai Sultan tak perlu kita bicarakan
panjang lebar. Cepat atau lambat orang-orang kita akan segera menangkapnya.
Tapi apa yang menjadi pikiranku ialah lenyapnya keris pusaka kerajaan Tumbal
yang menjadi syahnya kedudukanku sebagai seorang Raja, nanti!"
"Keris
itu pasti dibawa kabur oleh Sultan Hasanuddin!" kata Resi Matjan Seta
pula.
"Mungkin,
tapi mungkin pula dicuri atau dilarikan oleh seorang lain!"
Singo Ireng
mengetengahi. "Tanpa keris Tumbal Wilayuda itupun tak akan seorang yang
bisa menolak penobatanmu sebagai Raja Banten, Parit Wulung! Kecuali kalau
mereka mau terima nasib digerogoti cacing di liang kubur!"
"Soal itu aku tak khawatir. Tapi dalam hal ini kita
berhadapan dengan rakyat. Rakyat hanya akan mengakui aku sebagai raja, bila
keris Tumbal Wilayuda ada di tanganku!"
"Kenapa ambil pusing dengan rakyat?,” tukas Singo
Ireng. Mereka mau terima atau tidak, mereka mau mampus sekalipun, kita tak
perlu ambil peduli! Rakyat tidak lebih dari domba-domba yang bisa kita halau
sesuka hati !"
"Tapi, disamping itu keris Tumbal Wilayuda adalah satu
senjata sakti dan keramat…,” ujar Parit Wulung.
"Sakti aku percaya, tapi kalau dikatakan keramat itu
adalah takhyul!,” menyahut Singo Ireng. Parit Wulung tak berkata apa-apa namun
dalam hati dia merasa tidak senang. Maka berkatalah dia. "Aku minta pada
kalian, terutama Resi Matjan Seta dan Singo Ireng untuk mencari Sultan dan
menemukan keris Tumbal Wilayuda itu sampai dapat!"
Singo Ireng mengunyah anggurnya lambat-lambat lalu berkata.
"Ini tak termasuk dalam hitungan kita Parit Wulung. Tempo hari kau hanya
minta aku dan kakakku membantu pemberontakan sampai terlaksana. Kini Banten
sudah jatuh dan berada di tangamu, perjanjian kita beres dan kami sudah saatnya
menerima balas jasa!"
"Mengenai soal balas jasa Resi berdua tak usah cemas,
kalian berdua boleh membawa segala harta kekayaan apa saja dari Banten ini
sebanyak yang kalian bisa bawa. Tapi bila kalian bersedia pula membantu mencari
dan menangkap Sultan serta menemukan keris pusaka Tumbal kerajaan itu, maka
bagian kalian tentu akan lipat ganda !"
Singo Ireng manggut-manggut. "Baiklah,” katanya.
"Soal harta aku tidak begitu temahak. Tapi setiap perempuan cantik di
Banten ini adalah milikku!"
-- == 0O0 == --
DUA
HARI itu
adalah hari kedua sesudah jatuhnya takhta kerajaan Banten ke dalam tangan kaum
pemberontak pimpinan Parit Wulung. Suasana di Kotaraja yang sehari sebeIumnya
senantiasa diliputi kepanikan kini mulai mereda. Namun di mana-mana kelihatan
berkeliaran tentara-tentara pemberontak sedang di setiap tempat yang dianggap
penting terutama di sepanjang perbatasan senantiasa dijaga ketat oleh tentara.
Pagi itu, pagi ketiga dari berkuasanya kaum pemberontak
kelihatanlah dua orang berjalan kaki. Yang satu sudah tua dan terbungkuk-bungkuk.
Yang satu lagi masih muda. Keduanya mengenakan pakaian bertambal-tambal serta
kotor. Kulit badan dan muka merekapun coreng moreng dan rambut awut-awutan.
Dari keadaan kedua orang ini, sepintas lalu saja orang segera berkesimpulan
bahwa mereka adalah pengemis-pengemis. Dan setiap orang yang memapasi mereka
tentu saja tak akan mau ambil peduli! Namun siapa nyana kalau kedua orang ini
adalah dua orang penting yang tengah dicari oleh Parit Wulung dan
pentolanpentolan pemberontak lainnya!
Yang tua adalah penasehat istana yaitu Mangkubumi Mintra
sedang yang masah sangat muda tiada lain daripada Sultan Banten sendiri yakni
Hasanuddin! Sewaktu maletusnya pemberontakan, sewaktu istana sudah dikepung,
dengan melalui jalan rahasia kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri.
Dan bukan keselamatan mereka saja yang penting, tapi keduanya juga berhasil
menyelamatkan keris pusaka tumbal kerajaan yaitu keris Tumbal Wilayuda, keris
yang menjadi lambang dan ketentuan bahwa siapa pemiliknya maka dialah pewaris syah
dari takhta kerajaan Banten. Dan juga keris inilah yang pula dicari-cari oleh
Parit Wulung bersama pemberontak-pemberontak lainnya! Masing-masing mereka sama
membawa buntalan kecil. Sebenarnya baik Mangkubumi Mintra maupun Sultan
Hasanuddin adalah orangorang yang berkepandaian silat dan kelas tinggi. Namun
menghadapi sekian banyak pemberontakan dan demi untuk menyelamatkan keris
tumbal kerajaan, keduanya memutuskan dengan terpaksa dan berat hati untuk
mengundurkan diri.
Demikianlah, dengan menyamar kedua orang itu meninggalkan
Kotaraja. Matahari pagi masih belum sanggup memupuskan butiran-butiran embun di
daun-daun, namun panasnya terasa sudah memerihkan kulit kedua orang itu. Mereka
berhasil melewati pintu gerbang Kotaraja tanpa halangan sesuatu apa meski pintu
gerbang itu dijaga ketat oleh duapuluh orang prajurit.
Si orang tua Mangkubumi Mintra menarik nafas lega demikian
juga Sultan. Namun penasehat tua ini kemudian berkata dengan perlahan.
"Kita masih jauh dari selamat, Sultan. Cuma satu pesanku, bila terjadi
apa-apa yang tak diingini kau lekaslah menghindar dan lari ke tempat
keluarganya Wirya Pranata di Ujung Kulon....”
Si pemuda
anggukkan kepala. Namun pada parasnya kelihatan sekelumit rasa jengah yang
memerahkan kedua pipinya yang kotor itu. lni suatu pertanda bahwa ada sesuatu
hubungan antara dia dengan keluarga Wirya Pranata di Ujung Kulon itu.
Pemuda atau Sultan menghela nafas lagi. "Mudah-mudahan
saja kita bisa terus selamat, bapak Mangkubumi,” katanya.
"Memang itulah yang kita harapkan. Semoga Tuhan
melindungi kita". Mereka mendekati perbatasan kini. Di sepanjang
perbatasan dijumpai prajurit yang mengawal semakin banyak. Keduanya diperiksa
oleh beberapa orang prajurit. Bungkusan masing-masing digeledah. Untunglah
Sultan Hasanuddin telah menyembunyikan keris Tumbal Wilayuda di dalam lipatan
pakaiannya yang dikenakannya saat itu ! Dan kedua orang inipun selamat pula
dari pemeriksaan. Mereka bergegas menjauhi perbatasan.
"Aman sekarang…" kata Sultan Hasanuddin. Tapi baru
saja dia habis berkata begitu maka muncullah serombongan pasukan berkuda.
Pimpinan rombongan, seorang perwira pemberontak lambaikan tangan memberi
isyarat berhenti pada anak-anak buahnya. Perwira ini membawa kudanya ke hadapan
kedua orang tersebut."
"Pengemis-pengemis hina dina!,” bentak perwira itu.
"Apa kalian lihat dua orang pelarian melintas di sini? Keduanya adalah
Mangkubumi Mintra penasihat istana dan Sultan Hasanuddin". Sambil bertanya
begitu mata sang perwira menyorot meneliti kedua orang di hadapannya.
Si
orang tua menjawab . "Tak satu orangpun yang kami lihat, Yang mulia…”
Jawaban yang hormat dan mempergunakan tutur kata yang halus
tinggi dari si orang tua mencurigakan sang perwira. Biasanya pengemis-pengemis
macam mereka bicara dalam bahasa rendahan. Maka, terbitlah sekelumit kecurigaan
di hati perwira itu. "Kami akan geledah kalian!" katanya,
"Ah…, kami hanya pengemis-pengemis yang hina dan
terlantar. Apa untungnya menggeledah kami?"
"Memang tak perlu menggeledah manusia-manusia ini
raden,” berkata seorang prajurit yang berada di samping sang perwira.
"Hanya akan mengotorkan tangan saja! Bau mereka sangat menusuk
hidung!"
Si perwira memang menganggap betul katakata bawahannya itu.
Tapi bila sepasang matanya yang tajam melihat bagaimana telapak dan jari-jari
tangan kedua orang yang dihadapannya sangat halus, bukan seperti tapak dan
jari-jari tangan yang biasa dilihatnya pada diri pengemis-pengemis maka
memerintahlah dia. "Tangkap manusia-manusia hina dina ini!"
Mangkubumi Mintra yang tahu bahwa penyamamaran mereka pasti
akan terbuka, tanpa membuang waktu segera maju ke muka dan berkata "Kalian
keterlaluan, manusia-manusia macam kamipun masih hendak kalian ganggu!"
Bentakan ini, adalah juga terdorong rasa dendam kesumat terhadap kaum
pemberontak.
"Kurang ajar kau berani bicara kasar terhadapku
huh!" dengus perwira itu dan segera hunus pedangnya sementara setengah
lusin bawahannya segera mengurung mereka.
Mangkubumi Mintra tidak tinggal diam. Dari balik pakaian
pengemisnya dikeluarkannya sebilah pedang.
"Hemm… bagus! Sekarang lebih jelas siapa kau adanya
kunyuk tua hina-dina!"
Perwira itu tetakkan pedangnya ke kepala Mangkubumi Mintra.
Si orang tua membentak nyaring dan mundur beberapa langkah sementara enam
prajurit lainnya begitu cabut pedang masing-masing segera pula menyerbu.
Mangkubumi Mintra putar pedang dengan deras. Sinar pedang
bergulung-gulung. Trang… trang… trang... trang Terdengar suara beradunya pedang
susul menyusul! Waktu pedangnya beradu dengan pedang prajurit-prajurit,
Mangkubumi Mintra tak terasa suatu apa, tapi ketika membentur senjata sang
perwira maka terkejutlah orang tua itu. Tangannya tergetar keras. dan panas!
Mangkubumi Mintra mengeluh. Nyatanya sang perwira mempunyai kepandaian tingkat
atas!
Maka berserulah Mangkubumi Mintra pada Su1tan Hasanuddin.
"Sultan larilah selamatkan diri. Biar aku yang hadapi bergundal-bergundal
pemberontak ini!"
"Tidak!"
jawab Sultan Hasanuddin. "Mati hihidup kita berdua, bapak!"
"Jangan bodoh Sultan! Lari kataku!". Si orang tua
putar pedangnya lebih sebat. Seorang lawan yang mengurung menjerit keras dan
melompat nanar dengan dada robek dimakan ujung pedang!
"Keparat!,” maki perwira pemberontak. Dia melompat dari
kudanya. Sambil melompat, laksana seekor alap-alap dia mengirimkan serangan
ganas.
Pedangnya menderu memepas ke arah batang leher Mangkubumi
Mintra. Di saat itu si orang tua sedang menangkis serangan seorang prajurit.
Tangkisan ini terpaksa dibatalkannya dengan melompat dan sebagai gantinya
pedangnya diputar untuk menangkis pedang si perwira! Tapi si perwira rupanya
memiliki ilmu pedang dari Cabang Pantai Selatan yang terkenal tangguh karena
dengan tak terduga dan sangat cepat sekali serangan yang tadi merupakan satu
tebasan dengan tiba-tiba sekali berubah menjadi satu tusukan tajam dan cepat!
Si perwira
tertawa mengekeh. Itulah jurus mematikan dari ilmu pedang yang dianutnya, yang
dinamakan jurus "menabas gunung menusuk bukit!"
Tentu saja tangkisan Mangkubumi Mintra tidak mempunyai arti
apa-apa. Orang tua ini cepat rubah posisi senjatanya namun sia-sia karena ujung
pedang lawan lebih dahulu menghunjam di dadanya! Maka terdengarlah keluhan
mengerikan dari tenggorokan orang tua malang itu.
Di saat itu, Sultan Hasanuddin sudah berhasil ke luar dari
kurungan prajurit-prajurit pemberontak dan meskipun hatinya berat namun dia
terpaksa melarikan diri, bukan saja untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi juga
menyelamatkan keris pusaka Tumbal Wilayuda demi untuk menegakkan kembali kelak
Kerajaan Banten! Namun sewaktu telinga mendengar keluhan Mangkubumi Mintra,
Sultan hentikan lari dan putar badan. Maka naik pitamlah dia ketika menyaksikan
bagaimana orang tua itu tersungkur di tanah bermandikan darah.
"Pemberontak-pemberontak durjana! Aku mengadu jiwa
dengan kalian!,” seru Sultan Hasanuddin. Dia menyerbu ke muka namun belum lagi
dia melancarkan serangan maka terdengarlah suara mengaung seperti suara tawon.
Enam benda putih aneh dan berbentuk bintang yang berkilauan melesat deras ke
arah pemberontak-pemberontak. Lima prajurit pemberontak coba hindarkan diri
atau menangkis benda itu namun tiada ampun! Kelimanya menjerit keras, rebah ke
tanah, kelojotan seketika lalu kaku tegang tiada nyawa!
Perwira pemberontak dalam terkejutnya dan dengan
kepandaiannya yang lebih tinggi pergunakan pedang untuk memapaki benda bintang
berkilau itu.
"Trang
!"
Tampang perwira itu menjadi pucat. Pedangnya memang bisa
membuat mental benda maut yang menyerangnya namun senjatanya sendiri putung dua
dihantam benda tersebut !
Baik sang perwira maupun Sultan Hasanuddin serentak putar
kepala ke arah atas pohon besar dari arah mana datangnya senjata-senjata
rahasia tadi.
"Iblis
keparat di atas pohon turunlah! Jangan sembunyikan diri!,” bentak sang perwira.
Sebagai jawaban terdengar suara tertawa bergelak kemudian
sesosok tubuh dengan entengnya melayang turun ke tanah dari atas pohon besar
itu. Nyatanya dia adalah seorang pemuda bertampang keren dan berambut gondrong.
Umurnya mungkin tiada banyak beda dengan Sultan sendiri. Saat itu bajunya tiada
terkancing dan angin yang bertiup agak kencang menyibak-nyibakkan baju putihnya
sehingga jelaslah kelihatan angka 212 tertera di dada kanannya Pendekar 212.
Melihat si pemuda ini menghadapinya dengan tertawa mengejek
demikian rupa maka membentaklah perwira tadi. "Rupanya kau masih belum tahu
dengan siapa berhadapan! Masih belum tahu apa akibat campur tanganmu dalam
uru...” Ucapan sang perwira cuma sampai di situ. Hampir tak kelihatan Pendekar
212 telah gerakkan tangan dan lemparkan bintang 212 ke arah perwira pemberontak
yang sedang bicara itu. Maka "heggg,” terdengarlah suara tercekik dari
rangkungan si perwira ketika senjata rahasia 212 dengan tepatnya masuk ke dalam
mulut. Senjata rahasia itu lenyap dan darah segera muncrat ke luar dari mulut
sang perwira. Nasibnya kemudian tidak beda dengan nasib bawahannya yang
terdahulu!
Sultan Hasanuddin segera dekati Pendekar 212.
"Saudara, kau telah tolong. Aku…”
Pendekar 212 memberi isyarat. Dia melangkah cepat dan
membungkuk di hadapan Mangkubumi Mintra. Ternyata orang tua itu masih bernafas
satu-satu. Mulutnya bergerak-gerak.
"Sultan… mungkin dia mau bicara padamu,” memberi tahu
Pendekar 212 atau Wiro
Sableng. Mendengar itu Sultan
Hasanuddin segera pula berlutut di samping tubuh si orang tua Mangkubumi Mintra
dengan sisa-sisa tenaga yang ada buka kedua matanya yang berbinar-binar.
Bila pandangannya
menyentuh paras Sultan Hasanuddin maka tersenyumlah dia.
"Sultan,
kau tak apa-apa...?"
"Tidak bapak…". Sultan membelai rambut orang tua
itu dan menyeka keringat di keningnya. Keringat dan kening itu sangat dingin
seperti es.
"Syukurlah..," desis Mangkubumi Mintra. "Aku
yakin di bawahmu Kerajaan Banten yang syah akan bisa ditegakkan kembali…"
Sultan Hasanuddin mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu
tapi tak jadi karena dilihatnya orang tua itu memalingkan kepalanya kepada
pemuda yang telah menolongnya.
"Pendekar muda... aku gembira kau datang. Lebih gembira
lagi karena kau telah berhasil menyelamatkan Sultan. Tuhan kelak akan membalas
jasamu yang besar ini...” Orang tua itu terhenti bicaranya sejenak. Agaknya dia
tengah mengumpulkan tenaga baru dari sisa-sisa tenaganya yang terakhir. Lalu
mulutnya terbuka kembali.
"Yang pasti adalah, bila takhta Banten telah kembali
pada pemiliknya yang syah, maka
Kerajaan dan
rakyat Banten tak akan melupakan pertolongan atau jasamu ini...”
Pendekar 212 coba tersenyum. Dia tahu bahwa keadaan orang
tua itu tak mungkin lagi untuk ditolong. Maka berkatalah dia. "Menyesal
orang tua, aku tak bisa berbuat sesuatu apa dengan lukamu…”
"Ah diriku yang sudah rongsokan ini tak perlu diambil
peduli. Aku gembira menemui kematian dengan cara begini rupa… Gembira karena di
saat menjelang kematian ini aku telah dapat melihat sinar terang bahwa Banten
pasti akan kembali kepada pewarisnya yang syah…"
Mangkubumi memutar matanya pada Sultan Hasanuddin. Mulutnya
terbuka untuk mengatakan sesuatu namun malaekat maut meminta nyawanya lebih
dahulu. Air mata menggenang di kedua mata Sultan Hasanuddin. Digigitnya bibir
sendiri untuk menahan keluarnya suara isakan.
Tiba-tiba kening Pendekar 212 kelihatan mengerenyit.
Kepalanya diputar ke jurusan timur. "Ada apa…?" tanya Sultan yang
saat itu masih belum mendengar suara apa-apa.
"Cecunguk-cecunguk
pemberontak itu kurasa...” ujar Pendekar 212.
Beberapa ketika kemudian barulah Sultan mendengar suara
derap kaki kuda yang banyak sekali, mendatangi ke arah di mana mereka berada
saat itu. Disusul beberapa saat lagi maka diantara pohon-pohon dan semak-semak
belukar tinggi kelihatanlah kira-kira dua puluh prajurit pemberontak yang
dipimpin oleh seorang berselempang kain putih bermuka sangat hitam dan berambut
gondrong acak-acakan. "Sultan, tinggalkan tempat ini cepat!"
"Tidak bisa sobat! Mangkubumi Mintra terbujur begini
rupa dan adalah pengecut sekali meninggalkan kau seorang diri. Apalagi kau
adalah tuan penolongku !,” membantah Sultan ketika dia diminta pergi. "Ini
bukan soal pengecut Sultan! Yang penting adalah keselamatan dirimu dan
keselamatan keris Tumbal Wilayuda yang ada di tanganmu."
Tentu saja Sultan Hasanuddin menjadi kaget mendengar ucapan
Pendekar 212. Sewaktu pertama kali pemuda itu memanggilnya dengan sebutan
"Sultan" dia telah terkejut dan kini bahkan dia mengetahui pula bahwa
keris Tumbal Wilayuda berada di tangannya!
Sementara itu rombongan penunggang-penunggang kuda semakin
dekat. Wiro Sableng atau Pendekar 212 berkata lagi. "Pergilah cepat
sebelum terlambat! Soal jenazah orang tua ini aku yang akan urus. Selama gunung
masih hijau, kelak kita akan bertemu kembali!"
Mendengar itu dan lagi memang tak ada lain hal yang bisa diperbuatnya
maka Sultan Hasanuddin segera tinggalkan tempat itu.
Begitu dia lenyap di balik semak-semak maka dua puluh
prajurit pemberontak di bawah pimpinan si muka hitam sampai di tempat itu. Dia
memberi isyarat. Prajurit-prajurit menyebar. Dan Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 kini terkurung di tengah lingkaran dua puluh prajurit bersenjata lengkap,
di bawah pimpinan seorang tokoh silat yang kosen!
-- == 0O0 == --
TIGA
DIKURUNG begitu rupa Pendekar 212 tetap tenang-tenang saja
seperti saat itu cuma dua sendirian saja berada di situ. Si muka hitam yang tak
lain Resi Singo Ireng kaki tangan Parit Wulung adanya, menyapu tebaran-tebaran
mayat di hadapannya dengan pandangan sedingin salju. Yang agak mengherankan
Resi muka hitam ini ialah mengapa di antara mayat-mayat pasukan Parit Wulung
juga terdapat mayat Mangkubumi Mintra. Tak mungkin si pemuda rambut gondrong
itu yang telah menebar mayat kecuali jika dia mempunyai dendam kesumat terhadap
kedua belah pihak yaitu pihak pasukan dan Mangkubumi Mintra. Disamping itu
dengan adanya mayat si orang tua tergeletak di situ, pastilah sebelumnya Sultan
Hasanuddin juga berada di situ! Singo lreng memang berpikiran tajam. Melihat
kepada pakaian Mangkubumi Mintra tahulah dia bahwa penasihat istana itu berusaha
melarikan diri dari Banten dengan menyamar sebagai pengemis!
"Mana
Sultan?" bertanya Singo Ireng derrgan suara lantang kasar.
Pendekar 212 tidak menjawab. Malahan dia memandang seperti
tiada melihat apa-apa berada-disekelilingnya saat itu! Dia menengadah ke atas
memperhatikan matahari yang menaik tinggi.
Melihat sikap yang sangat menghina ini, apa lagi di hadapan
sekian banyaknya prajurit tentu saja Resi Singa Ireng menjadi sangat penasaran
serta malu. Mukanya yang hitam kelihatan semakin tambah hitam. "Bocah
gondrong! Apa kau tuli atau gagu? Orang bertanya tidak dijawab?!"
Pendekar 212 masih tidak menyahut. Malah kini jari-jari
tangan kirinya mencungkilcungkil tepi lubang hidungnya kemudian dia berbangkis
dua kali berturut-turut!
"Keparat!"
bentak Singo Ireng dengan- suara menggeledek.
"Eeeeh… kau memaki pada siapakah?!" bertanya
Pendekar 212 sambil putar kepala seperti baru saat itu disadarinya bahwa dia
tidak berada sendirian di tempat itu!
"Prajurit-prajurit!
Tangkap bocah edan ini perintah Resi Singo Ireng dengan geramnya.
Maka dua puluh prajurit pemberontak melompat turun dari kuda
masing-masing, hunus senjata dan bergerak cepat mendekati Pendekar 212.
"Bergundal pemberontak," berseru Wiro Sableng atau
Pendekar 212. "Kalau kau ingin tangkap aku mengapa tidak turun tangan
sendiri?!"
Di
saat itu dua puluh prajurit sudah menyerbu untuk menangkap Pendekar 212.
"Kalian
kunyuk-kunyuk pemberontak hanya datang minta digebuk!" ujar Pendekar 212
dengan tersenyum. Tapi bila senyumnya itu putus maka mengumandanglah bentakan
dahsyat.
Lima prajurit yang paling dekat dan
hendak turun tangan menangkapnya terpelanting dan bergetimpangan di tanah tiada
nyawa lagi!
Tersiraplah darah Resi Singo Ireng! Tiada disangkanya pemuda
gondrong bertampang bodoh itu mempunyai kehebatan demikian rupa! Maka
berserulah dia! "Tak perlu budak hina dina ini ditangkap hidup-hidup.
Cincang di tempat!"
Maka
lima belas senjata tajam berkiblat ke arah Pendekar 212.
"Heiyaaah
!"
Tubuh Siro Sableng mencelat tiga tombak ke atas, Seluruh
serangan senjata lawan lewat di bawah kakinya. Detik senjata-senjata itu
menderu memapas angin kosong maka detik itu pula dengan kecepatan yang hampir
tak sanggup disaksikan oleh mata Pendekar 212 menukik ke bawah merampas pedang salah
seorang prajurit. Dan ketika pedang itu menderu laksana kitiran maka lima
prajurit meregang nyawa mandi darah, dua lainnya luka parah!
Dalam kejutnya menyaksikan gebrakan yang dahsyat itu Resi
Singo Ireng melihat satu bayangan berkelebat ke arahnya. Dia tarik tali kekang
kuda dengan cepat. Namun sebelum binatang tunggangannya itu sempat bergerak,
tubuh kuda ini sudah angsrok ke tanah! Keempat kakinya terbabat putus. Binatang
ini berguling di tanah melejang-lejangkan kakinya yang buntung dan meringkik tiada
henti! Untung saja Resi yang kosen ini Cepat menyadari apa yang terjadi
sehingga lekas-lekas dia melompat ke samping dan berdiri dengan muka kelam
membesi, mata menyorot!
Pendekar 212 tertawa gelak-gelak sementara prajurit-prajurit
yang masih hidup dengan nyali menciut segera menjauhi ini pemuda yang dianggap
mereka sangat berbahaya.
"Pemuda gondrong! Kehebatanmu cukup untuk dikagumi!
Tapi bila kau tahu dengan siapa saat ini berhadapan, maka lekaslah berlutut
minta ampun!" berkata Singo Ireng.
"Uh! Sama manusia jelek macam kau buat apa perlu
takut!". ujar Wiro Sableng dan tawanya semakin menjadi-jadi!
"Ah... kalau begitu kau sebutkanlah nama! Terhadap
manusia-manusia yang punya sedikit ilmu, aku tidak begitu senang jika
membunuhnya tanpa tahu namanya terlebih dahulu!"
"Kalau butuh namaku aku tak keberatan. Majulah biar
kutulis dijidatmu!" kata Wiro Sableng pula sambil acungkan jari telunjuk!
Menggeramlah sang Resi bermuka hitam itu. Selama dunia
terbentang, selama malang melintang dalam dunia persilatan, baru hari itulah
dia dihina dan direndahkan terus-terusan oleh seseorang! Oleh seorang yang
berusia jauh lebih muda dari padanya. Dari balik pakaian Resi ini keluarkan
sebuah senjata berbentuk aneh yaitu sebuah besi panjang yang ujungnya berbentuk
Iingkaran.
"Kalau kau punya senjata pusaka, sebaiknya lekas
keluarkan supaya mampus tidak rnenyesal!"
"Tak perlu banyak cerewet!" semprot Pendekar 212.
"Majulah! Senjataku cukup pedang butut milik cecungukmu yang sudah mampus
itu!"
Resi Singo Ireng yang berbadan kate ini segera maju dan
hamburkan serangan dahsyat. Senjata anehnya mengeluarkan suara menderu,
menimbulkan angin yang deras dan tajam. Ujung senjata yang berbentuk lingkaran
itu berubah laksana ratusan banyaknya! Searang lawan yang berilmu tanggung dan
bermata tidak awas akan sulit membedakan mana lingkaran senjata yang asli dan
mana yang bukan. Dalam lawan kebingungan maka senjata itu akan menyeruak lewat
kepalanya dan sekali putar saja pastilah patah dan putus batang leher
dibuatnya! Inilah kehebatan senjata sang Resi dari pantai selatan itu!
Namun yang dihadapi Singo Ireng dihari itu bukanlah seorang
lawan berilmu tanggung, bukan seorang pemuda yang hanya mengenal sejurus dua
ilmu silat! Begitu senjata lawan membadai menghampiri kepalanya, Wiro Sableng
cepat merunduk dan selinapkan satu tusukan deras kearah perut sang Resi!
Kaget Singo Ireng bukan olah-olah! Cepat dia undur dua
langkah dan papasi pertengahan senjata lawan dengan tongkat besi lingkarannya.
"Trang"
!
Dua
senjata beradu
Karena senjata ditangan Singo Ireng adalah senjata mustika
sedang pedang ditangan Wiro hanya pedang biasa maka patahlah pedang itu! Tapi
sebaliknya Singo Ireng merasakan bagaimana tangannya tergetar hebat dan panas
pada bentrokan itu! Maklumlah dia bahwa pemuda itu mempunyai tingkat tenaga
dalam yang hebat sekali! Karenanya sang Resi tanpa memberi peluang segera
lancarkan serangan-serangan dahsyat! Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus yang
hebat yaitu jurus "memetik bunga membelah buah" lalu disusul dengan
jurus "delapan gunung meletus gegap gempita"! Diserang dengan dua
jurus ini berikut pecahan-pecahannya yang tak kalah dahsyat maka Pendekar 212
menjadi repot juga.
Namun bila
dia sudah mempercepat gerakannya, bila suara siulan sudah menggema melesat dari
sela bibirnya maka kelihatanlah kini bagaimana Resi Singo Ireng menjadi
terdesak. Meski terdesak, Resi ini dengan segala kelihayannya sanggup
pertahankan diri sampai sepuluh jurus dimuka!
"Manusia bermuka jelek! Permainan silatmu baleh juga.
Tapi apa kau sanggup menerima pukulanku ini?!" tanya Pendekar 212. Kedua
tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas, kedua mata dipejam. Kemudian kedua
tangan itu mulai berputar-putar dengan sebat! Maka menggemuruhlah suara angin.
Debu dan pasir beterbangan, membuat gelap pemandangan!
"Pukulan angin puyuh!" seru Resi Singo Ireng
sambil bersurut mundur. Mulutnya komat kamit membaca aji penangkis. Kedua
kakinya melesak kedalam tanah sampai dua dim! Tubuhnya tergetar hebat. Pakaian
putih serta rambutnya yang awut-awutan berkibar-kibar!
Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan kedua
tangannya kemuka. Tubuh Singo Ireng mencelat kebelakang sampai lima tombak.
Ketika dia berdiri maka tubuhnya terbungkuk tertatih-tatih, hidungnya kembang
kempis tanda nafasnya memburu tak teratur. Nyatalah bahwa Resi kosen ini telah
menderita luka parah didalam akibat pukulan Wiro Sableng tadi. Senjatanya
mental entah kemana! Wiro tertawa mengekeh.
Sebaliknya lawannya menggeram laksana harimau terluka. Mulut
terkatup rapat-rapat, rahang bertonjolan, pelipis bergerak-gerak sedang mata
menyorot merah!
"Pemuda, hari ini aku Resi Singo Ireng biarlah mengadu
jiwa pada kau!". Sang Resi angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Detik demi
detik tangannya itu menjadi hitam legam. Tangan ini bergetar karena seluruh
tenaga dalamnya dipusatkan kesitu!
Wiro Sableng tertawa mengejek. "Rupanya kau sengaja mau
bunuh diri manusia kate bertampang jelek! Dalam keadaan terluka di dalam,
melancarkan pukulan demikian rupa kau akan konyol sendiri!".
Singo Ireng memang memaklumi hal itu. Tapi dia sudah
kepalang tanggung, sudah teramat malu dan sudah meluap amarahnya! "Aku
mati tapi kau juga mampus ditanganku, keparat!" bentaknya.. Maka tangan
kirinyapun turun kebawah dengan cepat. Selarik sinar hitam yang menggidikkan
menyambar kearah Pendekar 212! Itulah ilmu pukulan "wesi item" yang
telah membinasakan Braja Paksi, kepala balatentara Banten!
Pendekar 212 melompat ke atas sampai enam tombak. Angin
pukulan "wesi item" terasa panas seperti mau melumerkan kedua
kakinya. Pendekar ini gigit bibir menahan perih lalu 1ancarkan serangan balasan
yaitu pukulan yang tak asing lagi. "kunyuk melempar buah"!
Di seberang sana tubuh Resi Singo Ireng kelihatan jungkir
balik kemudian jatuh duduk di tanah dan muntah darah, lalu rebah tiada sadarkan
diri!
Sebenarnya pukulan "kunyuk melempar buah" itu
belum tentu akan mencelakai sang Resi. Namun karena dalam keadaan terluka di
dalam dia telah rnelancarkan pukulan yang keras dengan mengandalkan seluruh
tenaga dalam maka dia rasa sendiri akibatnya. Masih untung nyawanya tidak
terbang!
Wiro Sableng tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati tubuh
Resi itu. Prajuritprajurit yang masih hidup, yang dedikkan mata melihat
bagaimana jago mereka dibikin babak belur demikian rupa segera bersurut
menjauh.
"Resi muka arang!,” kata Pendekar 212. "Kau tanya
siapa aku. Inilah kutuliskan aku punya nama!". Dan habis berkata demikian
pendekar ini segera guratkan angka 212 dikulit kening yang hitam dari Singo
Ireng. Kemudian nendekar ini berdiri kembali. "Kerak-kerak pemberontak!,”
katanya pada perajurit-perajurit yang masih hidup. "Kalian boleh
menggotong manusia bermuka pantat kuali ini ke Kotaraja! Jika hari ini aku
tiada cabut nyawanya dan nyawa kalian, maka di lain hari bila bertemu kembali
jangan harap aku akan lepaskan nyawa kalian! Sampaikan ini padanya bila dia
sudah siuman!". Dan sesudah bicara demikian Wiro Sableng segera tinggalkan
tempat itu dengan membawa mayat Mangkubumi Mintra.
-- == 0O0 == --
EMPAT
DENGAN hati penuh duka sedih mengenang kematian Mangkubumi
Mintra yang sengaja korbankan nyawa untuk selamatkan dirinya, Sultan Hasanuddin
berlari sepanjang tepi rimba belantara dikaki bukit. Perjuangan memang
membutuhkan pengorbanan. Dan ini bukan saja menambah besarnya dendam kesumat di
hati Sultan terhadap Parit Wulung dan benggolanbenggolan pemberontak lainnya
tapi juga mempertebal tekatnya bahwa di suatu ketika dia pasti akan kembali ke
Banten dan membangun Kerajaan Banten yang syah!
Menjelang
senja dia mencapai sebuah kota kecil yang terletak di timur Banten. Kota ini
bernama Asoka. Dulunya hanya merupakan pangkalan-pangkalan pemberhentian para
pedagang dari pelbagai penjuru sekitar situ. Kemudian pedagang-pedagang itu
banyak yang mendirikan gudang-gudang untuk barang-barang dagangannya, kemudiannya
lagi mereka juga mendirikan rumah-rumah sehangga lambat laun dari pangkalan
dagang maka berobahlah Asoka menjadi sebuah kota. Sebagai kota dagang tentu
saja sepanjang hari Asoka selalu sibuk. Kesibukan dan keramaian ini terus
berlangsung sampai jauh malam.
Sehabis mendapatkan sebuah penginapan, Sultan mengelilingi
kota melihat-lihat keramaian dan mengisi perut disatu kedai. Ketika bulan sabit
di atas langit tertutup oleh awan tebal berwarna gelap maka Sultanpun kembali
kepenginapannya. Matanya yang tajam segera melihat adanya ketidakberesan dalam
kamar dimana dia menginap. Seperai agak kusut bantal-bantal tidak terletak
ditempatnya semula sedang bungkusan kecil yang berisi beberapa potong pakaian
serta sejumlah uang yang diletakkannya di kolong tempat tidur nyata sekali
bekas dibuka dan digeledah orang. Namun tidak sepotong barang-barangnyapun yang
hilang!
Sultan merasa masygul. Dia memandang berkeliling. Di dinding
sebelah sana terdapat sebuah jendela. Jendela itu masih tetap sebagaimana tadi
ditinggalkannya. Tak ada tanda-tanda bekas pengrusakan. Siapa gerangan yang
telah masuk ke dalam kamar dan melakukan penggeledahan? Mungkin seseorang,
mungkin beberapa orang? Kalau dia atau mereka itu dari golongan si tangan
panjang atau pencuri, mengapa tidak sepotong barang dan tak sepeser uangnyapun
yang hilang? Kekhawatiran Sultan Hasanuddin semakin besar karena dia
berkesimpulan bahwa siapapun manusianya yang telah memasuki kamarnya pastilah
untuk mencari dan mencuri keris pusaka Tumbal Wilayuda!
Sultan Hasanuddin merasa bersyukur karena sewaktu pergi tadi
dia telah membawa keris tumbal kerajaan itu. Kalau tidak pastilah senjata itu
sudah lenyap dilarikan orang!
Malam itu Sultan sengaja tidur dengan mematikan lampu minyak
di dalam kamarnya. Matanya hampir terpicing ketika lapat-lapat sepasang
telinganya mendengar suara gemerisik di atas loteng bangunan. Suara itu pasti
sekali bukan suara kucing. Sultan pasang telinganya lebih tajam. Suara
gemerisik tadi lenyap dan kini dia hanya mendengar suara rintik-rintik hujan
gerimis di luar sana. Perlahan-lahan Sultan pejamkan matanya kembali. Tapi
ketika hampir pulas matanya itu terpicing, suara gemerisik tadi didengarnya
kembali. Kali ini Sultan bangun dari pembaringan dan melangkah kesudut kamar.
Dia menunggu dengan tangan kanan menempel erat-erat dihulu pedang.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka! Sultan terkejut. Dia ingat
betul bahwa pintu kamar itu telah dikuncinya tadi, bagaimana kini bisa terbuka
semudah itu tanpa suara dan siapakah yang nlembukanya?! Sultan tak menunggu
lebih lama. Sesosok tubuh manusia yang sangat pendek masuk mengendap-endap ke
dalam. Manusia ini memakai jubah panjang. Karena tubuhnya yang kate maka
jubahnya menjela-jela sampai kelantai. Tiba-tiba orang itu putar tubuh ke kiri
dan melompat. Sebuah benda besar ditangannya yaitu sebilah golok empat persegi
panjang menderu ke arah dimana Sultan berdiri. Sultan sendiri yang saat itu
memang sudah siap siaga cabut pedangnya dengan cepat dan menangkis!
"Trang"!
Bunga api memercik. Karena kamar itu gelap maka sinar
percikan bunga api menjadi terang sekali dan menerangi kedua muka manusia yang
berada disitu. Keduanya saling meneliti paras lawan masing-masing!
Terkesiaplah Sultan Hasanuddin ketika melihat bagaimana
wajah manusia yang dihadapinya itu seramnya bukan main. Rambutnya kaku berdiri
laksana ijuk. Manusia ini memelihara berewok yang meranggas lebat. Alisnya
tebal, sepasang matanya besar merah. Bibirnya sumbing dan dua buah giginya yang
besar tersembul keluar. Manusia ini boleh dikatakan tiada mernpunyai hidung
karena daging hidungnya sama rata dengan pipinya yang cekung! Dan bau badannya
yang busuk sangat menusuk hidung!
"Manusia buruk! Jika kau tidak tinggalkan kamar ini
dengan cepat, jangan menyesal bila kukirim ke akhirat!" ancam Sultan.
Manusia
bermuka seram itu tertawa dingin.
Dia hembuskan nafasnya yang busuk kemuka. Sultan tutup jalan
nafas di hidung dan untuk kedua kalinya pergunakan pedang guna menangkis
serangan lawan. Tapi kali ini keadaan tidak seperti tadi Iagi. Meski Sultan
sanggup menangkis senjata lawan namun pedangnya sendiri terlepas mental,
tangannya tergetar hebat. Tiba-tiba satu tangan mendorongnya hingga dia
terbanting dengan keras ke dinding!
Ketika dia imbangi diri kembali, kaget Sultan tiada
kepalang. Matanya membeliak menyaksikan bagaimana keris Tumbal Wilajuda kini
sudah berada di tangan manusia bermuka seram itu!
"Maling
hina dina! Kembalikan kerisku!" teriak Sultan.
Simuka buruk hamburkan tertawa mengekeh. "Masih untung
aku hanya minta kerismu ini, dan bukan nyawamu!". Habis berkata begini
manusia muka seram itu sekali gerakkan badan tubuhnya menerjang ke muka
mendobrak jendela untuk kemudian lenyap lewat jendela yang ambruk itu
dikegelapan malam!
"Pencuri terkutuk!". Sultan melesat pula ke luar
jendela. Dia masih sempat melihat bayangan pencuri itu di balik sebuah gudang
tua dan segera mengejar ke situ. Kejar mengejar itu berjalan hanya sebentar
saja karena sejurus kemudian si pencuri lenyap seperti gaib ditelan bumi!
Sultan
berdiri gemas memandang berkeliling. Ke mana dia harus mengejar dan mencari si
pencuri di malam buta begini? Apakah manusia tangan panjang itu bukan salah
seorang pula dari kaki tangan Parit Wulung?!
Tengah kebingungan begitu rupa tiba-tiba Sultan menangkap
suara bentakan-bentakan orang yang tengah berkelahi. Cepat Sultan lari ke balik
sebuah bengkel kuda dan dalam kegelapan dilihatnyalah dua manusia tengah
bertempur dengan hebat. Salah seorang tiada lain dari pada si pencuri yang
tengah dicari-carinya sedang orang yang kedua sesudah diperhatikan dengan
teliti ternyata dia adalah pemuda rambut gondrong yang pagi tadi telah
menolongnya di perbatasan.
"Sobat!
Serahkan pencuri terkutuk ini padaku!" seru Sultan.
"Ah...
selamat jumpa Sultan," menjawab si rambut gondrong alias Pendekar 212.
"Tak perlu kotorkan tangan pada
manusia bau bangkai ini...!" "Dia mencuri kerisku, sobat!"
memberi tahu Sultan.
"Aku
tahu. Biar aku yang ringkus dia!"
Begitu mendengar si pemuda yang menyerangnya memanggil
"Sultan" 'terhadap lakilaki yang datang itu terkejutlah si mulut
sumbing. Dibalik terkejut hatinya juga senang. "Ha... ha... jadi saat ini
aku berhadapan dengan Sultan dan tukang pukulnya? Bagus! Kerisnya aku sudah
dapat, kini Sultannya sendiri datang antarkan diri untuk ditangkap hidup-hidup.
Pasti aku mendapat hadiah berlipat ganda dari Parit Wulung..."
"Hem...
jadi betul dugaanku bahwa kau kaki tangannya bangsat pemberontak itu huh?!
Terima pukulanku
ini, pencuri hina dina!"
Sultan lepaskan tiga pukulan sekaligus! Tapi yang diserang
ganda tertawa dan kebutkan lengan pakaiannya yang bertambal-tambal. Serangkum
angin dahsyat rnenyerang ke arah Sultan. Namun angin pukulan itu buyar di
tengah jalan, kena dihantam angin pukulan lain yang datang dari samping!
Si muka seram menggerong. "Agaknya malam ini Pengemis
Bibir Sumbing musti rampas dua jiwa sekaligus!".
Sultan tersurut sewaktu mendengar manusia kate itu kenalkan
diri. Pendekar 212 sendiri juga terkejut. Nama Pengemis Bibir Sumbing memang
sudah sejak lama terkenal sepanjang pesisir Jawa Barat. Bersama dua orang
lainnya maka Pengemis Bibir Sumbing dikenal sebagai pemegang pucuk pimpinan
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam! Tiba-tiba Pengemis Bibir Sumbing lemparkan
golok besarnya ke arah Pendekar 212. Senjata ini dengan mudah bisa dielakkan.
Begitu habis lemparkan golok, Pengemis Bibir Sumbing acungkan kedua tangan
datar-datar ke muka dengan telapak tangan menghadap ke atas.
"Telapak
tangan minta sedekah nyawa!,” seru Pendekar 212 begitu dia kenali pukulan yang
bakal dilancarkan lawan.
"Sultan
mundurlah!,” serunya kemudian memperingatkan.
Tapi disaat itu Pengemis Bibir Sumbing sudah mencelat ke
muka dan membagi-bagi serangan telapak tangannya pada Pendekar 212 dan Sultan!
Tahu bahwa pukulan lawan sangat berbahaya maka Pendekar 212
segera hantamkan tangan kanannya ke muka. Gelombang angin deras memukul ke arah
Pengemis Bibir Sumbing. Meski tubuhnya sendiri kemudian terpelanting sampai
tiga tombak oleh serangan lawan namun
Pengemis Bibir Sumbing sebelumnya
masih sanggup hantamkan telapak tangannya ke dada Sultan!
Sultan Hasanuddin mengetuh tinggi. Tubuhnya bergoncang,
dadanya seperti melesak. Terbungkuk-bungkuk dia berbatuk. Darah segar
menyembur!
Pendekar 212 bersuit keras! Tubuhnya lenyap pada detik
Pengemis Bibir Sumbing coba lepaskan pukulan
"telapak tangan minta sedekah nyawa" untuk kedua kalinya.
"Sultan,
cepat telan pil ini!" teriak Wiro Sableng.
Sultan Hasanuddin sambuti pil yang dilemparkan Pendekar 212
lalu menelannya dengan cepat Kemudian segera duduk bersila mengatur jalan darah
serta pernafasan, juga alirkan tenaga dalam kebagian yang terluka.
Disaat Wiro Sableng berkelabat maka lenyaplah tubuhnya dari
penglihatan Pengemis Bibir Sumbing. Karena hanya terdengar suaranya saja, maka
Pengemis Bibir Sumbing kembali lancarkan pukulan ganas dua kali berturut-turut
ke arah suara lawan. Tapi Pendekar 212 tidak bodoh dan Pengemis Bibir Sumbing
salah perhitungan. .
"Plaak"!
Pengemis Bibir Sumbing terpental empat tombak ke belakang.
Kepalanya serasa pecah sedang kulit keningnya laksana terbakar! Dan pada kulit
keningnya itu kini kelihatan tiga buah angka 212! Pengemis Bibir Sumbing meluap
amarahnya. Tanpa hiraukan rasa sakitnya pada keningnya dia menerpa kemuka
kirimkan lima pukulan empat tendangan! Pendekar 212 mendengus dan bersiul
nyaring. Tangan kanan menghantam ke muka. Angin pukulan menderu, menyusup di
antara serangan lawan!
Untuk kedua kalinya Pengemis Bibir Sumbing terpental. Kali
ini sampai delapan tombak dan kali ini terus terguling ke tanah dengan mulut
memuntah darah! Tamatlah riwayatnya! Sultan yang menyaksikan pertempuran hebat
itu dalam sakitnya leletkan lidah penuh kagum!
Pendekar 212
mendekati mayat Pengemis Bibir Sumbing, memgambil keris Tumbal Wilayuda lalu
menyerahkan kemhali pada Sultan.
"Keris pusaka bagus! Karena senjata ini banyak yang
ingini sebaiknya disimpan lebih hati-hati, Sultan".
Sultan menghela nafas panjang. "Terima kasih,” katanya.
"Dua kali kau telah menolongku sahabat. Siapakah engkau?"
"Namaku Wiro Sableng,” jawab Pendekar 212. "Kalau
aku boleh kasih nasihat, baiknya kau tak usah kembali kepenginapan, tapi segera
teruskan perjalanan".
"Mengapa
begitu?" tanya Sultan.
"Terlalu banyak manusia-manusia macam Pengemis Bibir
Sumbing ini yang mencarimu dan inginkan keris Tumbal Wilayuda".
Sultan merenung sejurus. "Terima kasih atas nasihatmu,
sahabat! Karena kau telah berbuat baik kepadaku, perbuatan baik yang tak bakal
kulupakan sebagai budi besarmu, bagaimana kalau aku tawarkan agar ikut bersamaku
meneruskan perjalanan?"
"Ah... itu satu kehormatan besar bisa seiring denganmu,
Sultan" jawab Pendekar 212 ramah. "Tapi harap maafkan.. Aku masih
banyak urusan. Namun demikian, aku berjanji tidak akan berada jauh dari
padamu…”
"Kalau begitu baiklah, aku tidak memaksa',” ujar
Sultan. Dari balik pakaian samarannya yang bertambal-tambal dikeluarkannya
sebuah benda yang bercahaya. Diserahkannya benda itu kepada Pendekar 212 tapi
sang pendekar tak berani menyambutinya.
"Sobat,
terimalah!" kata Sultan pula.
"Benda apakah ini Sultan?"
"Terimalah dulu".
Wiro
menerimanya.
Benda itu ternyata sebuah bintang bersudut delapan yang
terbuat dari emas dan di tengah-tengahnya dihiasi dengan sebutir berlian yang
berkilauan. "Benda itu adalah bintang utama Kerajaan Banten, yang
diserahkan kepada siapa saja yang telah membuat jasa terhadap
Raja dan rakyat
Banten, Wiro..."
"Ah... mana aku pantas terima hadiah ini Sultan?"
kata Wiro Sableng pula dengan kerendahan.
Tapi sultan memaksakan juga agar Pendekar 212 menerima
anugerah itu. Wiro menyimpan benda tersebut baik-baik dibalik pakaiannya.
"Terima kasih,” katanya.
"Lalu karena penyamaraanmu sebagai pengemis sudah
diketahui oleh golongan rampok dan penjahat, sebaiknya ditukar saja,
Sultan"
"Aku
memang sudah merencana begitu" kata Sultan pula.
Sekali lagi mereka saling ucapkan terima kasih. Pendekar 212
menjura minta diri dan keduanyapun berpisahlah.
-- == 0O0 == --
LIMA
KELUARGA Wirja Pranata adalah keluarga bangsawan besar di
Ujung Kulon. Selagi muda antara Wirja Pranata dan Fatahillah terdapat jalinan
persahabatan yang erat sehingga di suatu ketika kedua sahabat itu berjanji
bahwa bila mereka nanti salah satu memiliki anak laki-laki dan anak perempuan,
dikemudian hari kelak keduanya akan dijodohkan.
Puteri bangsawan Wirja Pranata yaitu Anjarsari memang sudah
lama tahu bahwa dirinya dijodohkan dengan Raja Banten. Namun sampai sebegitu
jauh belum pernah sekalipun dia bertemu muka dengan calon suaminya itu. Dan
ketika Sultan Hasanuddin muncul di sore hari itu maka terkejutlah bangsawan
Wirja Pranata.
"Sultan, apakah yang telah terjadi ? Mengapa datang
tanpa pengiring dan dalam pakaian begini rupa?”
Sultan Hasanuddin menggigit bibir menahan gelora hatinya.
Sesudah apa yang menggejolaki hatinya berkurang maka mulailah dia beri
penuturan.
Hal itu mengejutkan seluruh keluarga bangsawan Wirja
Pranata, termasuk Anjarsari yang curi mendengar penuturan itu dari balik
dinding kamar tidurnya.
Beberapa lamanya kesunyian menyeling. Bangsawan Wirja
Pranata dan isterinya duduk termanggu tanpa bisa berkata apa-apa. Sultan
sendiri juga terdiam beberapa Iamanya. Ketika Sultan dipersilahkan kebelakang
untuk membersihkan diri maka diamdiam Anjarsari mencuri intip dari sela pintu.
Hatinya berdebar dan darahnya berdebur-debur. Ah, nyatanya Sultan yang bakal
suaminya itu seorang pemuda yang berparas gagah berkulit kuning halus, hampir
sehalus kulit perempuan! Hatinya berbunga-bunga. Kapan ayah atau ibunya akan
menyuruhnya keluar dan berkenalan dengan Sultan? Dan mengingat ini dada si
gadis semakin menggemuruh. Ketika dia menghadap ke kaca maka jelaslah kelihatan
bagaimana parasnya ke merah-merahan!
Ketika senja berlalu dan hari beralih menjadi malam maka
barulah Anjarsari disuruh keluar oleh ibunya. Pertemuan dengan Sultan benar-benar
membuat lututnya gemetar, tapi juga membuat hatinya mekar. Gadis ini tundukkan
kepala, parasnya bersemu merah. Sultan sendiri juga tundukkan kepala. Apa yang
dikatakan ayahnya bahwa calon isterinya adalah seorang gadis cantik sekarang
menjadi kenyataan. Diam-diam pemuda ini melirik dengan sudut matanya.
Bangsawan Wirja Pranata berbatuk-batuk. Lalu bertanyalah
dia pada calon mantunya itu
. "Apakah
rencana Sultan selanjutnya?"
"Saya merencanakan untuk pergi ke. Demak
dan minta bantuan pasukan serta
persenjataap
selengkapnya....."
"Itu tepat sekali,” kata Wirja Pranata. “Tapi mengingat
Demak masih jauh dari sini dan Sultan membawa keris pusaka pula maka sebaiknya
Sultan jangan pergi seorang diri"
Ucapan calon mertuanya itu memang dirasa betul sekali oleh
Sultan. Dan diam-diam dia teringat pada Wiro Sableng, si pemuda sakti yang
telah dua kali menolongnya. Kalau pemuda itu berada bersamanya saat itu tentu
dia tak usah khawatir bahaya apapun.
Sebagai orang tua yang tahu di hati anak muda dan juga
pernah muda, tak lama kemudian Wirja Pranata bersama isterinya mengundurkan
diri ke dalam kamar. Maka kini tinggallah kedua orang itu. Suasana lain sekali
jadinya kini. Suasana itu sungguh tidak enak, tapi tidak enak yang enak! Rasa
begini rupa baik oleh Anjarsari maupun oleh Sultan sendiri tak pernah
dialaminya sebelumnya. Cuma sudut-sudut mata mereka saja yang sekali-sekali
mencuri pandang. Ketika Anjarsari melirik untuk kesekian kalinya maka pada
detik itu pula Sultan mengerling. Beradulah dua kerlingan mata itu! Anjarsari
cepat-cepat menundukkan kepalanya menyembunyikan paras yang semu kemerahan!
Kesunyian masih juga berjalan terus sampai beberapa lamanya.
Tiada satupun yang berani untuk membuka pembicaraan. Sultan sendiri merasa
tenggorokannya seperti tersekat, lidahnya seperti kelu dan mulutnya terkancing!
Namun pada akhirnya Sultan Hasanuddin membuka mulutnya juga.
"Kalau tiada terjadi pengkhianatan Parit Wulung, mungkin sampai hari ini
belum ada kesempatan bagi kita untuk bertemu, Sari...”
"Ya... hemm..., saya sangat terkejut meindengar berita
buruk itu, kakak,” berkata Anjarsari agak gugup. Kemudian. "Apakah kakak
akan segera berangkat ke Demak...?" Sultan mengangguk.
"Memang lebih cepat lebih baik. Ramanda di Cirebon
sudah mendapat tahu peristiwa di
Banten...?"
"Mudah-mudahan sudah karena ada kukirimkan seorang
utusan ke sana". Kemudian untuk menghilangkan pembicaraan yang berjalan
kaku itu maka Sultan mengajak Anjarsari keluar rumah. Di luar ternyata malam
itu berpemandangan indah. Bulan purnama empat belas hari bersinar terang,
bintang-bintang bertaburan di langit yang biru cerah. Banyak dan sering sudah
kedua remaja itu melihat bulan purnama pada malam-malam terang bulan sebelumnya
namun bagi mereka tiada seindah malam itu.
Di samping gedung besar bangsawan Wirja Pranata terdapat
sebuah taman kecil. Di dalam taman terletak satu bangku panjang. Kedua remaja
ini melangkah seiring ke bangku itu. Mendadak Sultan putar kepalanya ketika
sepasang telinganya yang tajam dalam kesunyian itu mendengar suara bergeresek
di atas genting. Sesosok bayangan hitam kelihatan berkelebat ialu lenyap di
bagian atap gedung yang lain. Meski demikian cepat lenyapnya namun Sultan masih
sempat melihat bahwa di tangan kirinya sosok tubuh hitam itu memegang sebuah
benda yang berbentuk keris.
"Celaka!" kata Sultan dalam hati. Dia berseru
dengan keras. "Berhenti!" Tapi bayangan sosok tubuh tadi sudah sejak
lama lenyap. Ketika disusul kehalaman samping juga tak kelihatan lagi. Dalam
kebingungannya Sultan sampai lupakan Anjarsari. Dia lari masuk ke dalam gedung,
terus ke kamar dan melihat bagaimana kasur pembaringan berada dalam keadaan tak
karuan. Ketika ditariknya kasur itu di bagian kepala tempat tidur, maka keris
Tumbal Wilayuda yang sebelumnya disimpannya di sana, kini sudah tiada lagi!
Lenyap! Dan pastilah sosok tubuh yang melarikan diri tadi yang telah
mencurinya!
"Pencuri keparat!" maki Sultan. Dia lari lagi
keluar. Ketika sampai di halaman samping terkejutlah dia. Anjarsari tak ada
lagi di dalam taman! Lenyap!
"Anjar!"
memanggil Sultan. "Anjarsari!" serunya lagi. Tapi tiada jawaban!
Maka di malam itu hebohlah seisi gedung bangsawan Wirja
Pranata. Sultan sendiri sesudah memberikan penuturan, singkat segera berkelebat
meninggalkan gedung. Keris Tumbal Wilayuda lenyap! Tapi kekhawatirannya lebih
lagi terhadap Anjarsari yang hilang secara aneh itu. Maka dia memutuskan
menyelidiki lenyapnya Anjarsari lebih dahulu lalu baru mencari jejak si pencuri
keris Tumbal Wilayuda!
Sesaat sesudah kepergian Sultan, Wirja Pranata berkelabat
pula ke arah yang berlawanan.
Malam dingin dan angin agak kencang bertiupnya. Wirja
Pranata adalah seorang bangsawan yang "mempunyai isi" juga. Dalam
waktu yang singkat dengan ilmu larinya yang sempurna dia telah sampai di luar
kota. Karena daerah luar kota merupakan daerah pesawangan datar di tambah bulan
bersinar terang maka dengan mudah di ujung pesawangan Wirja Pranata dapat
melihat dua sosok tubuh manusia tengah berlari kencang. Yang di belakang sebat
sekali larinya dan dalam waktu yang singkat berhasil menyusul yang di muka.
Kemudian kelihatan terjadi pertempuran! Tanpa menunggu lebih lama bangsawan
Wirja Pranata segera lari ke sana. Dia sampai ketika pertempuran tengah
berjalan hebat-hebatnya. Kedua orang yang bertempur adalah seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian putih. Gerakannya gesit sekali dan menimbulkan angin
bersiuran. Lawannya adalah seorang laki-laki jangkung kurus bermuka sangat
seram berpakaian hitam. Salah satu matanya sangat besar sedang yang lain hanya
merupakan sebuah rongga hitam cekung yang sangat menggidikkan. Gerakannya juga
tak kalah hebat dari lawannya. Pakaiannya bertambal-tambal.
"Berhenti!"
seru Wirja Pranata.
Tapi yang bertempur tidak ambil perduli. Yang bermuka seram
malahan lancarkan empat serangan dahsyat yang menimbulkan angin tajam dan
panas!
Pemuda rambut gondrong berseru nyaring, lompatkan diri ke
udara lalu menukik lagi seraya hantamkan tangan kanan ke muka. Angin laksana
badai menderu menyerang si muka seram.
"Pukulan kunyuk melempar buah!,” seru si muka seram
kaget. Buru-buru dia kebatkan lengan pakaian hitamnya. Tapi tubuhnya terduduk
di tanah karena angin pukulan lawan nyatanya lebih dahsyat. Pemuda rambut
gondrong sendiri tersurut ke belakang beberapa langkah, dadanya terasa sakit.
"Manusia
muka setan ini ilmunya tinggi sekali dan berbahaya!,” membatin si pemuda.
Sebaliknya si muka setan yang tahu bahwa lawannya adalah
seorang yang sangat tangguh segera berseru pada Wirja Pranata. "Sobat!
Kenapa diam saja?! Bukankah kedatanganmu kemari untuk mencari pencuri keris?
Inilah bangsat malingnya! Ayo tunggu apa lagi, mari kita labrak!"
Si pemuda tertawa dingin. Tangan kanannya diangkat
tinggi-tinggi. Ketika tangan itu turun, segelombang angin menggebubu menyerang
tubuh si muka setan dari atas ke bawah! Manusia ini segera kebutkan kedua ujung
lengan bajunya. Pemuda gondrong sampai melesak kedua kakinya sedalam dua senti
ke tanah sedang si muka setan terguling di tanah tapi cepat bangun lagi!
Diam-diam
si pemuda rambut gondrong terkejut.
Pukulan yang dilancarkan tadi bukan sembarang dan
mempergunakan hampir sepertiga tenaga dalamnya tapi lawan ternyata tidak
apa-apa malahan bisa bangkit kembali!
"Wirja
Pranata!" berseru si muka setan. "Kalau kau inginkan keris kembali
lekas bantu aku meringkus maling busuk ini! Apa kau tidak lihat pinggangnya
menggembung? Keris itu disembunyikannya di sana!"
"Orang tolol!,” maki si pemuda. ''Kenapa terpengaruh
omongan manusia muka setan ini?! -Dialah Yang mencuri keris Tumbal
Wilayuda!"
Wirja Pranata jadi bingung. Tapi karena sudah terlanjur maka
dia teruskan juga serangannya. Pernuda rambut gondrong tiada hentinya memaki.
"Bangsawan Wirja Pranata, sebaiknya mundurlah! Jangan
sampai tertipu maling yang berteriak pencuri ini!”
Meski terkejut karena si gondrong ketahui nmaanya namun
Wirja Pranata terus juga lancarkan serangan-serangan. Si rambut gondrong
menggereng. Tiba-tiba bersuit keras. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke
atas dan diputar-putar. Dia menghadap tepat-tepat pada manusia muka setan. Dan
manusia ini terkejut sekali "Pukulan angin puyuh!,” serunya, dengan wajah
tegang. Cepat-cepat dia keruk kantong baju hitamnya, lompat empat tombak dan
begitu tangannya keluar dari saku maka melesatlah lima benda bersinar hitam ke
arah si pemuda.
"Paku Darah Hitam!,” seru Wirja Pranata ombil surut
kebelakang. Hatinya meragu akan siapa sebenarnya manusia muka seram itu.
“Hemm... jadi kau anggota Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam?" gertak pemuda rambut gondrong. Sekali dia hantamkan tangan kanan
ke muka maka luruhlah paku-paku biru itu ke tanah! Ketika dia hendak menyerang
kembali si muka setan sudah lenyap!
-- == 0O0 == --
ENAM
DENGAN sangat penasaran Pendekar 212 putar tubuh.
"Kalau kau tidak bertindak gegabah pasti pencuri keparat itu sudah kena
diringkus!".
Memang meski hatinya bimbang tapi Wirja Pranata sendiri juga
meragu terhadap diri Wiro Sableng. "Kau siapa?!" tanyanya.
"Sudah, saat ini bukan tempatnya untuk bertanya
jawab!". Pendekar 212 segera berkelebat ke arah larinya si muka setan yang
diduganya adalah seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Namun
dibelakangnya terdengar suara berseru.
“Tunggu!
Berhenti dulu!"
Karena tahu yang berseru adalah Wirja Pranata maka Wiro
tidak ambil perduli melainkan lari terus. Namun sesaat kemudian berdesing
sejumlah senjata rahasia menyerang ke arahnya. Dengan beringas Pendekar 212
putar tubuh dan kebutkan tangan. Senjata-senjata rahasia itu berpelantingan.
Dan pada ketika itu pula Wirja Pranata sudah berdiri dihadapannya.
"Jika kau orang baik-baik mengapa tidak berani sebutkan
nama terangkan diri?! Pastilah kau bangsanya kaki tangan gotongan hitam!".
Wiro Sableng jadi betul-betul penasaran kini. "Manusia
tidak tahu diri! Tidak tahu membedakan mana yang putih dan mana yang hitam!
Tidak tahu dirinya tengah ditolong, malah mencap orang seenaknya! Kalau bukan
mengingat bahwa kau calon mertuanya Sultan, aku sudah tampar kau punya mulut!
Sekarang pergilah!". Wiro gerakkan kedua tangannya. Dan tahu-tahu
terdoronglah tubuh Wirja Pranata ke belakang sampai empat tombak! Wirja Pranata
rupanya menjadi kalap. Melihat pemuda rambut gondrong itu hendak angkat kaki
kembali maka segera dia hunus keris dan dengan cepat kirimkan lima tusukan
sekaligus!
"Manusia
geblek,” maki Pendekar 212 dalam hati sambil hindarkan diri dengan cepat.
Di
lain saat maka tiba-tiba muncullah satu bayangan manusia.
"Tahan!"
Kedua orang yang bertempur, yang sama-sama mengenali suara
pendatang baru itu segera hentikan pertempuran.
Pendekar 212 putar kepala pada si pendatang lalu berkata.
"Sultan, semangat calon mertuamu memang hebat! Nyalinya besar tapi sayang
pikirannya keliwat pendek!".
Merahlah paras Wirja Pranata tapi dia juga heran mengetahui
bahwa si rambut gondrong mengenali Sultan Hasanuddin. Sultan kemudian
memperkenalkan kedua orang itu. Barulah saat itu Wiro menjura hormat.
Dengan batuk-batuk Wirja Pranata bertanya pada Sultan.
"Bagaimana dengan Anjarsari, apakah berhasil ditemui...?"
Sultan
menundukkan paras kecewa lalu gelengkan kepala dengan pelahan.
“Terkutuk! Terkutuk!,” maki Wirja Pranata dalam hati. Kedua
tangannya terkepal membentuk tinju. Tentu saja laki-laki ini sangat
mengkhawatirkan keselamatan diri anak gadisnya itu.
Dalam
pada itu Pendekar 212 mengetengahi. "Bapak Wirja, kau kembalilah ke Ujung
Kulon. Kami
berdua segera akan mengejar bangsat pencuri itu,”
''Aku
turut bersama kalian!" kata Wirja Pranata dengan hati keras.
"Bapak,” ujar Sultan, "saya tahu bagaimana
perasaan dan kecemasan hati Bapak terhadap keselamatan Anjarsari. Sayapun lebih
kawatir lagi. Tapi percayalah, bersama sahabat ini saya pasti akan dapat
mencari Anjarsari dan menemukan keris Tumbal Wilayuda serta membekuk bangsat-bangsat
pencuri itu!".
"Kalau kau berkata begitu, baiklah". Wirja Pranata
akhirnya mengalah. Maka sesudah itu Wiro Sableng dan Sultan Hasanuddinpun
berlalu dengan cepat.
Ketika hari pagi kedua orang itu masih juga belum berhasil
meneemui jejak pencuri yang mereka cari. Dengan perasaan lesu mereka sampai ke
sebuah kota bernama Parangwilis. Seperti Asoka maka Parangwilis adalah juga
sebuah kota dagang yang besar. Bau makanan yang harum menghambur keluar dari
sebuah warung nasi. Kedua orang inipun masuklah ke dalam warung tersebut.
Karena rambutnya yang gondrong dan potongan tubuh yang kekar dari Wiro Sableng
serta tampang yang gagah dari Sultan Hasanuddin maka kedua orang ini tentu saja
menarik perhatian isi warung. Tapi tanpa acuh Wiro dan Sultan terus saja
menyantap makanan mereka.
Mendadak suasana dalam warung nasi itu menjadi sunyi hening
laksana dipekuburan! Wiro Sableng dan Sultan segera merasakan perubahan ini.
Sultan putar kepala memandang berkeliling sedang Wiro Sableng putar bola
matanya memandang cepat ke beberapa jurus.
Dari pintu muka warung masuk seorang berpakaian kotor
compang camping dan bertambal-tambal. Dari pintu belakang dua orang lagi,
kemudian dari jendela di samping kiri kanan masing-masing dua orang lainnya!
Muka-muka mereka rata-rata menunjukkan kebengisan, rambut kusut masai, kumis
serta janggut kasar meranggas!
Beberapa orang tamu yang sedang makan dalam warung, melihat
gelagat yang tidak baik ini segera jauhkan diri ke pojok. Sultan dan Pendekar
212 karena merasa tidak ada sangkut paut apa-apa dengan kesepuluh manusia itu
tanpa ambil perduli terus menyantap hidangan mereka.
Tiba-tiba salah seorang yang datang dari pintu depan
hantamkan tangan kananya ke muka. Angin deras melanda meja makan di hadapan
Wiro serta Sutan. Meja kayu yang besar dan berat itu tak ampun lagi mental
melabrak dinding warung. Piring serta gelas di atasnya berpelantingan pecah!
Namun di saat itu pula baik Pendekar 212 maupun Sultan telah melompat ke
samping dan berdiri saling memunggungi !
Serentak dengan itu maka sepuluh manusia yang berpakaian
compang-camping sudah mengurung keduanya dengan rapat.
"Berhari-hari dicari baru kini kutemui!,” kata
laki-laki yang tadi melabrak meja dengan pukulannya yang hebat.
"Kalian
siapa?,” tanya Sultan sambil bersiap sedia menjaga segala kemungkinan. Di
belakang di dengarnya Wiro Sableng mulai bersiul-siul seenaknya.
Orang tadi mengekeh. Gigi-giginya hitam dan di sudut bibirnya
terselip segumpal susur tembakau. "Kami adalah anggota-anggota Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam!,” jawab orang itu.
Terkejutlah Sultan. "Kami berdua tidak merasa punya
silang sengketa dengan kalian, mengapa datang mengganggu?"
Anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mengekeh lagi.
"Jangan jual bacot mengatakan tiada silang-sengketa. Salah seorang dari
kalian telah membunuh pemimpin kami
Pengemis Bibir
Sumbing!"
"Oh, jadi kalian anak-anak buahnya manusia jahat itu?
Setiap manusia jahat akan menemui ajalnya secara buruk! Kalian pergilah
semua!"
Anggota Pengemis Darah Hitam semburkan susurnya ke muka
Sultan. Meski cuma susur tapi bahayanya besar sekali karena mengandung tenaga
dalam! Dengan cepat Sultan hantamkan tangan kanannya ke depan, maka mentallah
susur itu.
Sebagian dari air susur menjiprat ke muka beberapa orang
anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam termasuk laki-laki yang telah
menyemburkan susur itu tadi! Maka marahlah dia! Dan segera membentak!
"Tangkap
Sultan hidup-hidup! Yang gondrong itu cincang sampai lumat!"
Sembilan pengemis yang diberi komando segera menyerbu ke
muka. Tubuh Sultan dan Wiro Sableng lenyap. Hanya suara tertawa Pendekar 212
ini saja yang terdengar. Dan sesaat kemudian terdengarlah suara . "bluk .
. . . bluk .... bluk ... bluk . . .”
Empat anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat dan
menggeletak di tanah tanpa nyawa! Sekali lagi Pendekar 212 berkelebat dan dua
lawan lagi mental ke luar kedai!
Melihat ini pengemis yang tadi berikan komando segera
keluarkan senjatanya berupa sebuah cambuk yang berwarna hitam. Melihat ini maka
tiga anggota lainnya yang masih hidup segera pula keluarkan cambuk
masing-masing. Dan sesaat kemudian maka laksana hujan menggeletarlah
cambuk-cambuk itu ke arah Wiro Sableng dan Sultan. Suasana tiada ubah seperti
halilintar. Kedai itu seakan-akan hendak hancur Iuluh tenggelam oleh suara
cambuk! Dan di saat itu tak ada satu tamu lainpun yang masih. berani berada di
dalam warung sedang pemilik warung sendiri sudah kabur entah ke mana!
Sultan
melompat ke samping kiri untuk hindarkan cambuk salah seorang lawan. Begitu
terhindar segera dia kirimkan serangan balasan namun dua cambuk lainnya
tahu-tahu sudah melibat kedua tangannya! Bagaimanapun dicoba oleh Sultan untuk
lepaskan diri namun sia-sia saja.
Di tain pihak Pendekar 212 coba keluarkan diri dari
hantaman-hantaman cambuk dua orang lawannya yang datang laksana hujan! Tapi
memang permainan cambuk empat anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ini
hebat sekali. Sementara Sultan di sebelah sana sudah kena diringkus dan di
seret ke pintu muka. Pendekar 212 dibikin sibuk dan kepepet ke bagian belakang
warung.
Geram sekali Wiro Sableng lompat tiga tombak ke atas lalu
menukik ke bawah seraya membagi serangan tangan kiri kanan kepada dua orang
lawannya.
Angin pukulan Pendekar 212 membuat kedua orang itu hanya
terdorong seketika karena kebutan cambuknya yang begitu dahsyat sanggup
membendung hampir sebagian besar angin pukulan Wiro !
Dengan penasaran Pendekar 212 begitu sampai ke tanah kembali
segera menyambar sebuah bangku panjang. Dengan bangku panjang sebagai
senjatanya maka mengamuklah Pendekar 212. Cambuk hitam anggota Pengemis Dara.h
Hitam betul-betul luar biasa. Senjata keduanya mendera bangku hitam beberapa
kali. Dan hancurlah bangku hitam itu !
Wiro Sableng menggerung. Kedua tangannya bergetar dan
dinaikkan tinggi-tinggi ke atas.
"Wut!
Wutt.....!”
Warung nasi itu berderak derik! Kedua lawan coba putar dan
pecutkan cambuk mereka lebih deras lagi namun angin yang menyambar dari lengan
Pendekar 212 tak sanggup lagi mereka tahan. Laksana topan kedua orang itu
bermentalan kian ke mari. Cambuk mereka terlepas dan tiba-tiba. "krraakkk
!" Warung nasi itupun robohlah!
Sesaat kemudian bangunan ini ambruk, maka Pendekar 212 sudah
melabrak dinding dan lolos ke luar. Dua orang anggota Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam yang tadi sudah konyol tersambar pukulan "angin puyuh"
Pendekar 212 tertimbun mentahmentah!
Di luar warung yang rubuh, Pendekar 212 bingung sendiri
karena melihat Sultan bersama dua orang anggota Pengemis Darah Hitam sudah
lenyap. Dia segera minta beberapa keterangan pada orang-orang di luar kemana
lenyapnya ketiga orang itu.
"Kawanmu kena diringkus dan dilarikan ke jurusan sana,”
kata seseorang sambil menunjuk ke ujung jalan. Maka tanpa membuang waktu Wiro
Sableng segera mengejar ke arah yang ditunjukkan.
-- == 0O0 == --
TUJUH
PADA masa itu di Jawa Barat telah sejak lama berdiri sebuah
perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Anggotanya terdiri
dari pengemis-pengemis yang tersebar di seluruh pelosok dan di setiap kota.
Setiap anggota perkumpulan mempunyai sebuah pecut hitam dan rata-rara memiliki
ilmu silat yang tinggi. Tentu saja karena hampir setiap tempat dan daerah
anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ada maka segala sesuatu peristiwa
besar dan rahasia dengan, sendirinya diketahui oleh mereka. Demikian juga
dengan peristiwa jatuhnya Banten ke tangan pemberontak dan lenyapnya Sultan
serta keris Tumbal Wilayuda. Yang terakhir sekali mereka juga mengetahui
hubungan Sultan dengan Andjarsari. Maka pucuk Pimpinan Perkumpulan segera
menyebar anak-anak buahnya untuk mendapatkan keris Tumbal Wilayuda mencari
Sultan serta menculik Andjarsari!
Demikian besarnya hasrat mereka untuk berhasil dalam rencana
tersebut maka sampaisampai salah seorang dari pucuk pimpinan yang terdiri dari
tiga pengemis berkepandaian tinggi, memutuskan untuk turun tangan. Pucuk
pimpinan yang seorang ini ialah Pengemis Bibir Sumbing! Sebagaimana yang telah
dituturkan sebelumnya, ketika Sultan bermalam di satu penginapan maka Pengemis
Bibir Sumbing telah mendatanginya dan hampir berhasil membawa kabur keris
Tumbal Wilayuda jika saja saat itu Pendekar 212 tidak muncul memberikan
bantuan. Bukan saja Pengemis Bibir Sumbing tiada berhasil dengan niatnya untuk
mencuri keris pusaka tumbal kerajaan tapi dia juga terpaksa serahkan jiwa!
Dibanding dengan dua pucuk pimpinan lainnya yaitu Pengemis Mata Buta dan
Pengemis Kaki Pincang maka memang kepandaian Pengemis Bibir Sumbing jauh lebih
rendah sehingga setelah bertempur beberapa gebrakan secara hebat maka akhirnya
Pengemis Bibir Sumbing menemui ajalnya di tangan Pendekar 212.
Namun bahaya yang mengancam Sultan serta keris pusaka itu
tidak sampai di sana saja.
Ketika Sultan
bermalam di rumah Wirya Pranata, seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam telah berhasil melarikan keris
tersebut selagi Sultan berada di taman dengan calon istrinya Andjarsari! Dan
Andjarsari sendiri kemudian juga telah diculik pula oleh salah seorang anggota
lain Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!
Adapun markas atau sarang Perkumpulan Pengemis Darah Hitam
itu, terletak di dalam hutan belantara Riungslaksa. Maka ke sanalah
anggota-anggota perkumpulan yang telah berhasil membawa orang yang mereka culik
dan keris yang berhasil dicuri. Selama beberapa hari itu kedua pucuk pimpinan
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam menanti-nanti juga akan hasil pekerjaan
anggota-anggota mereka.
"Ah, lama betul sekali ini anggota-anggota kita
menjalankan tugasnya…,” berkata Pengemis Mata Buta. Tubuhnya tinggi kurus macam
tonggak. Pipinya cekung, rambutnya panjang tergerai macam perempuan, sedang
kedua matanya hanya merupakan dua buah rongga dalam yang hitam sehingga dapat
dibayangkan betapa mengerikannya wajah manusia ini!
"Ya… lama sekali,” jawab Pengemis Kaki Pincang seraya
menghela nafas dalam. Di sela bibirnya terselip sebuah pipa yang bau
tembakaunya busuk sekali! Manusia ini bermuka licin dan berkulit sangat pucat
laksana mayat! Kaki kanannya pincang. "Bahkan Pengemis Bibir
Sumbingpun tidak
kelihatan mata hidungnya sampai saat ini!"
"Pengemis Bibir Sumbing macam orang yang tidak percaya
saja dengan anggota-anggota kita sampai-sampai mau turun tangan sendiri…"
"Ah..,
dia memang dari dulu begitu sifatnya," kata Pengemis Kaki Pincang pula.
"Saudara
Pengemis Mata Buta, apakah menurutmu…”
Belum habis bicara Pengemis Kaki Pincang maka di luar
terdengar seruan. "Para Ketua, lihat apa yang aku bawa!"
Dan sesaat kemudian muncullah seorang anggota Perkumpulan
yang berbadan tegap kekar. Dibahunya terpanggul sesosok tubuh perempuan muda.
Sosok tubuh perempuan ini bukan lain Andjarsari, dibaring.kannya di
atas lantai di hadapan kaki kedua pucuk pjmpinan Perkumpulan. Saat itu
Andjarsari tak dapat bergerak dan juga tidak sadarkan diri karena telah
ditotok.
Tentu
saja sangat gembira hati kedua Ketua Perkumpulan itu.
"Jasamu kepada Perkumpulan cukup besar Lah
Simpong," kata Pengemis Kaki Pincang seraja gosok-gosok kedua telapak
tangannya.
Cuping hidung anggota Perkumpulan yang bernama Lah Simpong
kelihatan membesar dan bergerak-gerak tanda suka cita hatinya.
"Percayalah, para Ketua," kata Lah Simpong pula.
"Dengan berhasilnya gadis ini kita tawan, Sultan pasti akan datang ke sini
dan kita dengan mudah bisa meringkusnya."
"Betul sekali!" kata Pengemis Mata Buta dan
Pengemis Kaki Pincang hampir berbarengan.
Lah Simpong yang dulunya adalah seorang peminta-minta di
kota Menes basahkan bibir dengan ujung lidah, "Para ketua," katanya
"Apa aku boleh terima uang jasa sekai-ang...?!"
"Tentu…!" jawab pengemis Kaki Pincang. Dari balik
pinggang dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan ditemparkannya ke hadapan Lah
Simpong. Benda itu jatuh dengan mengeluarkan suara berdering di muka kaki Lah
Simpong. Dengan. menyeringai gembira maka Lah Simpong segera membungkuk dan
mengambil kantong uang itu. Dan pada saat itu pulalah di luar terdengar seruan
seseorang. "Apa artinya hasil yang dibawa Lah Simpong dibandingkan dengan
apa yang kami bawa ini wahai Para Ketua Perkumpulan?!"
Dua sosok tubuh mencelat masuk lewat jendela. Ketika
mendarat dilantai sedikitpun kaki mereka tiada mengeluarkan suara! Baik
Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta yang meskipun buta tapi
mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam luar biasa sama-sama bergembira.
"Siapa
yang kalian bawa itu?" tanya Pengemis Mata Buta.
"Sultan!
Sultan!" kata Pengemis Kaki Pincang sambil melompat dari kursinya.
Pengemis Mata Buta tertawa girang. Dari balik sabuknya dia
keluarkan dua buah kantong kulit yang besar. "Ini terima!" katanya.
Dua orang anggota Pengemis Darah Hitam tadi segera menyambutinya. Mereka
menjura girang lalu mau putar diri dari situ namun seseorang yang melompat
masuk lewat pintu muka mengejutkan mereka!
"Aha... bawaanku memang bukan manusia bernyawa!
Bawaanku juga tidak besar cuma kecil sekal ! Tapi justru apa yang kubawa ini merupakan
satu tanda bahwa siapa pemiliknya adalah mempunyai hak untuk menjadi raja di
Banten!"
Pengemis
Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang meloncat dari kursi masing-masing !
"Mata Picak! Apakah kau berhasil mencuri keris Tumbal
Wilayuda?!" seru Pengemis Mata Buta dengan nada gembira.
Anggota Perkumpulan yang bermata buta sebelah dan bertampang
angker itu tertawa mengekeh. Nama sebenarnya tak satu anggota atau pemimpin
perkumpulan yang tahu. Karena itu dia dipanggil dengan gelaran Mata Picak. Di
bandingkan dengan Pengemis Bibir Sumbing maka kepandaian Mata Picak tiga
tingkat lebih tinggi, ditambah lagi bahwa dia mempunyai keistimewaan tersendiri
yaitu mempunyai senjata rahasia paku beracun! Kepandaiannya ini juga
diturunkannya kepada anggota perkumpulan termasuk para pucuk pimpinan sehingga
lambat laun senjata rahasia itupun disebut "paku darah hitam,” sesuai
dengan nama perkumpulan mereka. Dengan ketinggian ilmu silat ditambah dengan
kelihayannya memainkan senjata rahasia "paku darah hitam" maka
sebenarnya Mata Picak adalah lebih tepat untuk menjadi pimpinan perkumpulan
daripada Pengemis Bibir Sumbing. Namun Pengemis Bibir Sumbing sudah belasan
tahun memasuki Perkumpulan bahkan dialah yang mula-mula mempunyai prakarsa
untuk mendirikan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu!
"Kita
pesta tuak malam ini!" seru Pengentis Mata Buta.
"Pesta
tuak dan anggur!,” menimpali Pengemis Kaki Pincang.
Kedua pimpinan Perkumpulan itu sama-sama mengeluarkan sebuah
kantung uang dan melemparkannya ke hadapan Mata Picak. Memang inilah yang
ditunggu-tunggu oleh si Mata Picak. Dengan segera kedua kantung uang itu
disambutinya. Dia menjura. Belum lagi sempat dia berdiri tegak dari menjuranya
itu maka dari pintu muka masuklah seorang anggota Perkumpulan. Mukanya tak
kalah bengis angker, namun di saat itu tampang itu kelihatan sedikit pucat,
lesu dan kuyu!
Pengemis Kaki Pincang kerutkan kening melihat anggotanya
ini. Tak biasanya Kuntawana berparas semurung itu. Maka bertanyalah dia.
"Kabar apakah yang agaknya kau bawa dari luar rimba, Kutawana?!"
"Hemm…
Kutawana juga sudah kembali?" ujar Pengemis Mata Buta.
Anggota
yang baru datang itu menjura. Dihelanya nafas panjang lalu berkatalah dia .
"Aku membawa
kabar buruk, para Ketua...”
"Kabar buruk bagaimana?" tanya Pengemis Kaki
Pincang sementara yang lain-lainnya juga tujukan perhatian terhadap Kuntawarna.
"Kemarin aku memasuki kota Asoka. Kota itu tengah
berada dalam kegemparan karena menemukan sesosok mayat di belakang bengkel kuda
Ketika aku menyeruak diantara orang banyak ternyata mayat itu adalah mayat
Ketua Pengemis Bibir Surnbing!" Terkejutlah semua orang.
"Ada
keanehan dalam cara matinya…".
"Keanehan
bagaimana maksudmu?!" tanya Pengemis Mata Buta.
Kulit keningnya hitam, dadanya biru. Sedang pada kulit
kening yang hitam itu tertera tiga buah angka. Angka 212!"
Terjadilah perubahan pada air muka pucuk pimpinan
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki Pincang memandang pada pengemis
Mata Buta. Pengemis Mata Buta sendiri di saat itu merenung. "Bagaimana
pendapatmu, Ketua Pengemis Mata Buta?" bertanya Pengemis Kaki Pincang.
Sejurus
lamanya barulah menjawab Pengemis Mata Buta itu. Nada suaranya kentara berubah
sekali kali ini. "Sesudah hampir empat puluh tahun menghilang tak tentu
rimbanya, ternyata dia muncul kem-bali. Dia adalah momok yang menakutkan bagi
tokoh-tokoh silat golongan hitam macam kita ini, Ketua Kaki Pincang. Pastilah
dia muncul untuk kembali menghancurkan golongan kita seperti empat puluh tahun
yang lalu itu…"
"Maksudmu Pendekar 212 Kapak Maut Naga Geni si Sinto
Gendeng itu...?!" tanya Pengemis Kaki Pincang.
"Siapa
lagi!"
“Ah... kalau dia memang muncul untuk maksud yang seperti
masa lampau, dia salah perhitungah! Dunia persilatan dulu tidak sama dengan
dunia persitatan masa sekarang! Golongan hitam banyak maju pesat, banyak
mempunyai tokoh-tokoh kosen serta lihay dan sakti! Sinto Gendeng boleh datang
kemari. Dan itu berarti dia antarkan nyawa sendiri!"
Pengemis Mata Buta menarik nafas dalam, "Kita tak bisa
menganggap enteng momok perempuan itu, Ketua Kaki Pincang,” kata Pengemis Mata
Buta pula. "Ketahuilah, kedua mataku yang buta ini, dialah yang telah
mengoreknya dulu…".
Kagetlah Pengemis Kaki Pincang. Matanya mendelik dan
dipandanginya paras rekannya itu. Akhirnya dia memandang ke jurusan lain karena
merinding juga kuduknya memandang lama-lama pada rongga rongga mata yang
menggidikkan itu!
Suasana
hening seketika. Dan keheningan itu dipecahkan oleh bentakan Pengemis Mata
Buta. "Kuntawana, apa yang kau
telah lakukan terhadap mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing...?!"
Terkejutlah
Kuntawana.
"Jawab!
Apa sesudah kau temui lantas kau tinggal begitu saja....?!"
"Ketua… di saat itu mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing
dikerumuni oleh banyak orang. Di antaranya beberapa prajurit kerajaan. Tak
mungkin bagiku…”
"Tutup
mulut! Kesalahanmu besar! Kau dipecat sebagai anggota Perkumpulan!"
Muka
Kuntawana menjadi pucat. "Ketua…”
"Diam! Lekas angkat kaki dari
sini!" "Para Ketua…''.
"Diam!
Berlalulah sebelum amarahku lebih memuncak!" bentak Pengemis Mata Buta.
Kuntawana menyuruh mundur. "Aku bersedia kembali ke
Asoka untuk mengambil mayat Ketua Bibir Sumbing…”
"Tak perlu," jawab Pengemis Mata Buta tetap keras.
"Aku bisa suruh anggota yang lain!".
Maka membesilah paras Kuntawana. "Baik, aku akan pergi
tapi serahkan dulu uang jasaku". "Kurang ajar! Kau berani bicara
seenaknya demikian rupa?! Ini bagianmu!".
Pengemis Mata Buta kebutkan lengan jubah hitamnya. Satu
gelombang angin dahsyat melanda ke arah Kuntawana. Terkejutlah Kuntawana. Dia
tahu betul pukulan yang dilancarkan oleh si Mata Buta itu. Pukulan "seribu
topan!"! Dengan cepat Kuntawana melompat ke atas namun dia tak bisa
melompat tinggi karena bangunan di mana mereka berada mempunyai loteng yang
rendah!
"Celaka,
mampuslah aku!" kata Kuntawana di dalam hati.
Namun pada detik yang berbahaya itu dari jendela samping
satu larikan sinar merah menyambar memapaki angin pukulan seribu topan dan
kejapan itu juga buyarlah pukulan Pengemis Mata Buta dan selamatlah Kuntawana!
Pengemis Mata Buta seorang yang mempunyai perasaan luar
biasa. Sepasang telinganya bukan saja tajam tapi juga merupakan sebagai
sepasang mata baginya.
Dia menoleh ke jendela. "Keparat yang suka ikut campur
urusan orang, coba perlihatkan diri!" bentaknya.
Di diluar terdengar suara tertawa bergelak. Sesaat kemudian
sesosok tubuh berjubah merah dan berkerundung kain merah dengan gerakan yang
sangat sebat dan enteng sudah menjejakkan kaki di lantai ruangan!
"Iblis Pencabut Sukma!" teriak Pengemis Kaki
Pincang berbarengan dengan anggotaanggota Perkumpulan lainnya! Wajah mereka
mengkerut tegang!
-- == 0O0 == --
DELAPAN
ORANG berkerundung merah keluarkan suara tertawa mengekeh
kembali. Pengemis Mata Buta rangkapkan kedua tangannya di muka dada.
"Kiranya lblis Pencabut Sukma! Pantas keras dan hebat angin pukulannya!
Tapi gerangan apakah yang membuat kau datang ke sini serta mencampuri urusan
Perkumpulan kami?!"
Laki-laki berkerundung yang merupakan Wakil Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma lagi-lagi tertawa mengekeh. "Ketua-ketua
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam, kuharap tanpa banyak bicara segeralah
serahkan Keris Tumbal Wilayuda, Sultan Hasanuddin dan gadis itu
kepadaku....!".
"Eh...
ini suatu hal yang tidak kami sangka! Rupanya kau juga inginkan semua itu
heh...?”
"Hidung
kerbau!," maki Iblis Pencabut Sukma. "Aku bilang jangan banyak
bicara!
Serahkan cepat!
Atau seluruh Perkumpulanmu akan kulabrak?!"
"Ah.... Kalau tak salah kita ini masih sama-sama satu
golongan. Kenapa harus bikin persoalan begini rupa? Semua manusia berhak memang
memiliki keris dan kedua manusia yang kau katakan itu! Dan pihakku telah
perhasil menguasainya, kau terlambat. Itu adalah salahmu sen....."
"Katakan saja kau tak mau menyerahkan apa yang aku minta!,”
memotong lblis Pencabut Sukma.
"Untuk mendapatkan semua itu pihakku sampai korbankan
salah seorang ketuanya! Sekarang kau seenaknya meminta! Aturan macam mana yang
kau pakai?!" kata Pengemis Kaki Pincang.
"Kaki
Pincang kau menentukan kematianmu sendiri dengan bicara macam begitu..!"
Pengemis Kaki Pincang tertawa tawar.
"Orang lain mungkin takut pada kau! Tapi aku Pengemis Kaki Pincang boleh
dicoba nyalinya!". lblis Pencabut Sukma tertawa gelak-gelak.
Kedua kakinya merenggang.
"Dalam satu jurus kau akan konyol ke akherat Pengemis Kaki Pincang!"
"Coba saja, aku
mau lihat!" kata Pengemis Kaki Pincang dengan tertawa menghina. Sementara
itu telinganya mendengar suara rekannya si Mata Buta yang disampaikan dengan
ilmu menyusupkan suara. "Ketua Kaki Pincang, hati-hatilah. Manusia ini
berbahaya....".
Ketika Iblis Pencabut Sukma angkat tangan kanan ke atas, dan
ketika Pengemis Kaki Pincang pusatkan tenaga dalamnya ke tangan kiri tiba-tiba
Kuntawana melompat antara tengah-tengah kedua Orang itu.
"Manusia sontoloyo! Kau juga minta dikirim
keakhirat?!" bentak Iblis Pencabut Sukma. Kuntawana menghadap pada
Pengemis Mata Buta dan Kaki Pincang. "Para Ketua, harap perkenankan aku
melayani dajal berkerudung ini sebagai penebus kesalahanku!".
"Hem…".
Pengemis Mata Buta merenung. "Baiklah. Kaki Pincang, kau mundurlah!"
Maka Pengemis Kaki
Pincangpun mundurlah sedang Kuntawana segera cabut cambuk hitamnya. Iblis
Pencabut Sukma menyeringai. "Manusia tampangmu cukup tiga langkah saja
kulayani!". katanya.
Kuntawana
putar cambuknya dengan sebat.
Iblis
Pencabut Sukma maju satu langkah.
Kuntawana
tiba-tiba lepaskan pukulan tangan kiri, sesudah itu laksana hujan cambuknya
bergelegaran ke arah lawan.
Iblis Pencabut Sukma majukan langkah kedua. Jari-jari tangan
kanannya terbentang ke muka seperti hendak mencaakar sedang tangan kiri
mengebut menahan serangan lawan. Pada detik dia buat langkah ketiga maka tangan
kanannya ditarik ke belakang dengan keras! Inilah yang disebut ilmu pukulan
pencabut sukma!
Kuntawana
merasakan badannya seperti tersedot! Isi perutnya seperti dibetot!
"Huah!"
Sesaat kemudian anggota Pengemis Darah Hitam inipun muntah
darahlah! Tubuhnya terkapar di lantai tanpa nyawa!
Berdeburlah
darah para anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki
Pincang dan Pengemis Mata Buta
tergetar hati masing-masing! Kuntawana adalah anggota Perkumpulan yang ilmu
kepandaiannya tidak rendah. Tapi Iblis Pencabut Sukma membunuhnya hanya dalam
tiga langkah! Iblis Pencabut Sukma tengadahkan muka dan tertawa bekakakan
menegakkan bulu roma!.
"Siapa yang tidak senang melihat mampusnya kroco itu
boleh maju segera!,” katanya. Kemudian dia berpaling pada dua orang pimpinan
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Sepasang matanya kelihatan menyorot berkilat.
"Kalian berdua masih belum mau serahkan apaapa yang aku minta?!".
Sebelum kedua Ketua Pengemis Darah Hitam berikan jawaban
sesosok tubuh dengan gerakan enteng melompat, ke hadapan dua Ketua Pengemis
Darah Hitam.
"Para
Ketua, perkenankanlah aku Lah Simpong untuk membasmi iblis yang kesasar
ini!"
Pengemis Mata Buta tidak memberikan sahutan. Dia tahu
kepandaian Lah Simpong memang lebih tinggi dari Kuntawana, tapi untuk menghadap
lblis Pencabut Sukma, tingkat kepandaian Lah Simpong masih belum dapat diharapkan.
Sebaliknya Pengemis Kaki Pincang setelah merenung sejurus, lalu anggukkan
kepala dan berkata, "Baiklah, tapi hati-hati. Manusia ini benar-benar
ganas seperti iblis!"
Setelah diperkenankan begitu rupa maka Lah Simpong segera
putar badan. Cambuk di tangan kiri, sebuah toya besi di tangan kanan maka
diapun maju ke arah Iblis Pencabut Sukma.
Iblis Pencabut Sukma menyeringai di balik kerundung kain
merahnya. "Rupanya Para Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam lebih suka
korbankan anggotanya dari pada maju sendiri!"
"Jangan
banyak mulut manusia iblis! Lihat cambuk!"
Cambuk hitam di tangan kiri Lah Simpong berkelebat. Suaranya
menggelegar macam petir. Ujung cambuk dengan sangat cepat, sukar dilihat oleh
mata biasa, mendera ke muka si kerudung merah! Sebelum serangan ini sampai, Lah
Simpong susul dengan serangan toya besi hitam. Kedua ujung toya menderu berubah
seperti ratusan banyaknya dan menyerang keselusin bagian tubuh Iblis Pencabut
Sukma!
Yang diserang terkekeh-kekeh. "Keluarkan seuruh
kepandaianmu, Lah Simpong! Kalau tidak setengah jurus di muka kau akan jadi
mayat!".
"Tubuhmu yang akan terkapar lebih dulu, iblisl".
Ujung cambuk menyambar dengan dahsyat ke muka Iblis Pencabut Sukma sementara
toya besi sedetik lagi pasti akan menghancur luluhkan tulang-tulang anggota
Iblis Pencabut Sukma!
Tapi pada kejapan mata itu Iblis Pencabut Sukma kebutkan
lengan jubah merahnya. Selarik angin pukulan yang hebat menyusup di antara
deraan cambuk dan terus melabrak Lah Simpong. Tubuh anggota Pengemis Darah
Hitam ini jatuh duduk di lantai. Mukanya pucat laksana mayat. Dia berusaha bangun.
Tubuhnya tertatih-tatih tanda dia terluka parah di dalam!
"Sekarang pasrahkan ajalmu, Lah Simpong!". Iblis
Pencabut Sukma angkat tangan kanannya lalu ditarik ke belakang dengan cepat!
Tubuh Lah Simpong seperti ditarik besi berani, tersedot sampai dua tombak ke
muka, lalu jatuh menelungkup. Darah membuih dimulutnya. Ajalnya sampai!
Putihlah wajah dua Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam.
Para anggota yang lain berdiri laksana kaku. Mereka merasa seperti nyawa mereka
sendiri yang lepas waktu menyaksikan kernatian Lah Simpong itu!
"Keganasanmu sudah keliwatan sekali, Iblis Pencabut
Sukma!,” kata Pengemis Kaki Pincang. "Jangan harap kau bakal bisa
tinggalkan tempat ini dengan selamat!". Pengemis Kaki Pincang maju dua
langkah. "Mulailah, Iblis,” tantangnya.
Iblis
Pencabut Sukma tertawa dingin.
Pengemis Kaki Pincang mendengus. "Kau tidak punya nyali
untuk memulai?! Kalau begitu sambut pukulanku ini!".
Pengemis Kaki Pincang angkat tangan kanan. Namun dua anggota
Perkumpulan melompat ke tengah kalangan. Mereka adalah dua kakak beradik
Sepasang Cakar Garuda yang dulunya merupakan fakir-fakir miskin di kaki gunung
Salak, tapi yang kemudiannya berhasil diseret oleh Pengemis Kaki Pincang untuk
masuk ke dalam Perkumpulan Pengernis Darah Hitam.
"Para Ketua, kalau untuk membereskan manusia ini,
serahkan pada kami!,” kata Sepasang
Cakar Garuda yang tertua. •
Meskipun darahnya sudah mendidih namun Pengemis Kaki Pincang
yang percaya akan kemampuan kedua anggotanya itu segera bersurut mundur!
"Bereskanlah
cepat!,” katanya.
"Ah
lagi-lagi bangsa-bangsa kroco yang disuruh maju!" menghina Iblis Pencabut
Sukma.
"Kroco atau apa, tapi ketahuilah
nyawamu hanya beberapa kejapan mata saja Iblis!" 1blis Pencabut Sukma
mendengus. "Sombongnya!,” katanya.
Dan disaat itu cambuk-cambuk lawan sudah menderu laksana
topan, menyerang ke arah leher dan kaki, lalu bergantian secara teratur dan
cepat membabat ke dada dan ke perut! Dalam seketika saja maka Iblis Pencabut
Sukma sudah terbungkus serangan cambuk yang bergelegaran itu. Jubah Merah dan
kerudungnya berkibar-kibar karena kerasnya sambaran cambuk hitam kedua lawan!
"Hemm... permainan cambuk kalian boleh juga! Tapi aku
mau lihat apa bisa menerima pukulan menendang langit menjungkir awan
ini?!".
Habis berkata demikian Iblis Pencabut Sukma tendangkan kaki
kiri ke muka dan hantamkan telapak tangan karian dari bawah ke atas!
Disaat itu pula maka menggelindinglah kedua anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu. Tapi begitu terhampar begitu keduanya
bangun lagi meskipun dengan keluarkan keringat dingin dan sama menyadari bahwa
diri mereka di bagian dalam terluka parah!
Keduanya sama-sama menggerung. Cambuk hitam mendera ganas.
Sedang tangan kiri yang membentuk cakar burung garuda dengan kecepatan yang
luar biasa menyambar ke muka dan ke dada Iblis Pencabut Sukma!
"Oh jadi kalian adalah Sepasang Cakar Garuda
huh?!" ujar Iblis Pencabut Sukma yang kenali permainan silat kedua
lawannya.
Sebaliknya dua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu
rupanya tidak mau kasih hati lagi. Serangan-serangan mereka yang dahsyat itu
mereka susuli dengan empat buah tendangan sekaligus! Iblis Pencabut Sukma
bersuit keras! Serasa mau pecah gendang-gendang telinga mendengarnya! Begitu
suitannya lenyap maka dari tangan kirinya menyambarlah sinar merah yang
menyeruak laksana kipas menyerang Sepasang Cakar Garuda sekaligus! Kedua
anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mencelat ke loteng, satu amblas
dan menyangsrang di papan loteng sedang yang satu lagi jatuh bergedebukan ke
lantai. Tubuh keduanya merah matang laksana daging panggang!
Pengemis Kaki Pincang tahan nafas. "Pukulan kipas
merah,” membatin ketua Pengemis
Darah Hitam ini
sedang Pengemis Mata Buta meskipun tidak dapat melihat namun perasaannya yang
tajam serta pendengarannya yang luar biasa, diam-diam juga mengetahui ilmu
pukulan apa yang telah dilepaskan lawan!
Ruangan
itu sehening di kuburan.
Sekali
lagi Iblis Pencabut Sukma menengadah dan keluarkan suara tertawa bekakakan.
Dari arah pintu melangkah enteng seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam. Tubuhnya tinggi kekar. Tampangnya seram. Kumis dan
janggutnya tajam meranggas sedang salah satu matanya picak.
"Para
Ketua, izinkan aku si Mata Picak membuat perhitungan dengan manusia itu!".
Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta
sama-sama manggutkan kepala. Mata Picak adalah anggota yang paling tinggi
ilmunya dan mempunyai kelihayan dalam memainkan senjata rahasia "paku
darah hitam". Karena itu Ketua-ketua Perkumpulan pengemis Darah Hitam sama
mempercayakan bahwa anggota mereka yang berilmu tinggi ini sanggup mengalahkan
lawan yang tangguh itu.
Mata
Picak putar tubuh menghadapi Iblis Pencabut Sukma.
"Iblis Pencabut Sukma," dia berkata, "aku
Pengemis Mata Picak mohon diberi beberapa jurus Relajaran dari kau!"
"Aha... Mata Picak, kau punya peradatan sedikit. Bagus
aku ampunkan jiwamu! Tapi lekas korek kau punya biji mata lalu tinggalkan,
tempat ini!"
Gigi-gigi dan geraham Pengemis Mata Picak bergemeletakan.
"Kepongahanmu setinggi langit Iblis Pencabut Sukma. Tapi apa kau kira kau
punya nyawa rangkap!".
lblis
Pencabut Sukma tertawa bergelak.
“Dikasih
keampunan malah menantang!"
"Sudahlah!
Tiada guna bicara panjang lebar padamu! Mulailah!".
-- == 0O0 == --
SEMBILAN
“KARENA kau yang minta dikirim keakhirat, maka kau mulailah
lebih dulu, Mata Picak!" kata Iblis Pencabut Sukma dengan jumawa.
Mendengar
ini Pengemis Mata Picak tidak sungkan-sungkan lagi. Laksana terbang, tubuhnya
melesat ke muka. Empat tendangan menderu, enam pukulan membadai!
Diam-diam Iblis Pencabut Sukma terkejut juga melihat
kehebatan lawan yang satu ini. Dia membentak garang dan berkelebat cepat.
Tubuhnyapun lenyap! Kelebatan tubuhnya mengeluarkan angin deras yang membendung
keseluruhan serangan lawan. Penuh penasaran Pengemis Mata Picak keruk saku
bajunya yang bertambal-tambal.
"Lihat
paku!" serunya.
Dua belas buah paku hitam yang beracun melesat menyerang dua
belas bagian tubuh Iblis Pencabut Nyawa. Manusia berkerudung ini menggerung dan
kebutkan kedua tangannya. Maka terdengarlah jeritan Pengemis Mata Picak. Enam
dari paku darah hitamnya yang beracun berbalik dan menembus tubuhnya sedang
enam lainnya mental ke loteng!
Terbeliaklah mata Pengemis Kaki Pincang dan anggota-anggota
Perkumpulan lainnya yang masih hidup sedang Pengemis Mata Buta yang tidak punya
mata kelihatan wajahnya mengkerut tegang.
"Iblis Pencabut Sukma," buka suara Pengemis Mata
Buta. "Kita sama-sama satu golongan hitam. Antara pihakku dan pihakmu
tiada permusuhan. Mengapa turun tangan sampai seganas ini....?!"
"Ah, aku bosan mendengar bicaramu yang itu ke itu juga!
Walau bagaimanapun aku tidak sudi disama ratakan satu golongan dengan kau! Aku
beri waktu lima kejapan mata bagimu dan rekanmu si pincang untuk merenung dan
memenuhi permintaanku..." Lima kejapan matapun lewat dalam suasana hening
tegang.
"Kalian manusia-manusia keras kepala dan dogol
geblek!" bentak Iblis Pencabut
Sukma,
"Lihat ini!"
Sepasang tangannya terpentang ke muka dan dua larik sinar
merah yang menyeruak seperti kipas menggebubu ke arah tiga belas orang anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan Pengemis Mata Buta
terkejut. Buru-buru keduanya hantamkan tangan untuk memapasi namun luput! Di
seberang sana tiga belas anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat ke
dinding dan jatuh bertumpukan tanpa nyawa. Tubuh mereka matang merah laksana
dipanggang!
Maka murkalah kedua pucuk pimpinan perkumpulan Pengemis
Darah Hitam. Keduanya maju berbarengan.
"He...
he, dua tokoh silat yang katanya lihay dan terkenal nyatanya hanya nama-nama
kosong belaka, menyerang main keroyok!,” kata Iblis Pencabut Sukma dengan suara
lantang.
Pengemis Mata Buta, meskipun tokoh silat jahat golongan
hitam, tapi mendengar ini segera bersurut mundur dan berkata . "Saudara
Pengemis Kaki Pincang, bereskan biang malapetaka ini!".
"Tak usah khawatir, Saudara Mata Buta,” menyahut
Pengemis Kaki Pincang. "Tapi aku tidak begitu senang maenghadapi manusia
yang sembunyikan muka dibalik kerudung!".
Habis berkata begini, dengan keluarkan jurus "garuda
sakti,” maka berkelebatlah
Pengemis Kaki Pincang. Demikian
cepat gerakannya sehingga tak terduga sama sekali oleh Iblis Pencabut Sukma.
"Sreet"
!
Maka robek dan tanggallah kerudung merah Iblis Pencabut
Sukma! Dan terkejutlah Pengemis Kaki Pincang. Muka Iblis Pencabut Sukma
nyatanya benar-benar menyeramkan seperti iblis. Keseluruhan mukanya hancur oleh
bopeng-bopeng yang besar-besar (bopeng = burik). Kedua matanya sangat besar dan
menjorok ke muka serta jereng (juling). Hidungnya hampir sebesar telapak tangan
dan pesek lebar menutupi pipinya yang cekung. Bibirnya sangat tebal dan tak
bisa dikatupkan sehingga kelihatanlah gigi-giginya yang besar-besar dan busuk!
Kejut Pengemis Kaki Pincang hanya seketika. Menyusul
terdengar suara tertawanya membahak. "Aha... kiranya Iblis Pencabut Sukma
bermuka terlalu buruk, lebih buruk dari iblis sungguhan! Pantas sembunyikan
muka dibalik kerudung!".
Iblis Pencabut Sukma mendongak ke atas. Hidungnya keluarkan
suara mendengus. "Jangan harap kau bisa selamat dalam tiga jurus, setan
alas!,” bentaknya.
Dan disaat itu Pengemis Kaki Pincang sudah melayang sebat ke
mukanya. Dua tangan terpentang kemudian membuat enam serangan beruntun yang
disusul oleh empat tendangan dahsyat!
Iblis Pencabut Sukma mengaum macam harimau lapar. Sekali dia
berkelebat maka lenyaplah tubuhnya dan pada sekejapan mata kemudian sinar merah
berbentuk kipas menggelombang menyerang Pengemis Kaki Pincang.
"Saudara Kaki Pincang! Hati-hatilah....!".
memperingatkan Pengemis Mata Buta.
"Ah, cuma pukulan picisan begini siapa yang
takut!" sahut Pengemis Kaki Piricang seraya lompat tiga tombak ke atas.
Serangan lawan berhasil dielakkan oleh Pengemis Kaki Pincang. Dengan geram
Iblis Pencabut Sukma lompatkan diri pula ke udara seraya lancarkan jurus
"menendang langit menjungkir awan". Karena jurus ini mempergunakan
lebih dari setengah bagian tenaga dalamnya, maka tak ampun Pengemis Kaki
Pincang mencelat ke atas panglari (loteng). Loteng bobol! Beringas sekali,
sesudah berhasil lepaskan diri dari jepitan papan-papan loteng, Pengemis Kaki
Pincang cabut pipa besarnya dari balik pakaian yang bertambal-tambal! Sekali
menyedot, sekali menghembus maka melesatlah asap pipa yang pekat kelabu dan
mengandung racun ganas!
"Ilmu rongsokan macam ini tak perlu dipertontonkan
padaku, Kaki Pincang!,” ejek Iblis Pencabut Sukma. Tangan kanannya diangkat ke
atas lalu ditarik ke belakang! Pukulan pencabut sukma! Pengemis Kaki Pincang
dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya. Tapi apa daya. Dia tak bisa selamatkan
diri. Isi perutnya serasa dibetot, nafasnya serasa disedot dan "puah...!".
Pengemis Kaki Pincang muntah darah. Laksana daun kering
tubuhnya yang tak bernyawa itu melayang ke bawah dan terhampar di lantai!
Perkataan Iblis Pencabut Sukma yang menyatakan bahwa dia akan membunuh lawan
dalam tiga jurus, kini terbukti!
Dengan tengadahkan mukanya yang seram itu Iblis Pencabut
Sukma tertawa panjang laksana serigala lapar di malam buta!
Mengkerutlah
wajah Pengemis Mata Buta.
Urat-urat lehernya menggelembung. Pelipisnya bergerak-gerak
sedang rahang-rahangnya bertonjolan. "Pengemis Mata Buta, hanya kau yang
tinggal kini! Apa masih berkeras kepala untuk tidak mau serahkan apa yang
kuminta...?!".
Pengemis Mata Buta rangkapkan tangan di muka dada. Kehebatan
Iblis Pencabut Sukma memang luar biasa. Setelah merenung sejenak maka buka
suaralah dia.
"Iblis Pencabut Sukma, sekalipun kau punya tiga kepala
enam tangan, jangan harap aku tidak bernyali untuk melawanmu. Juga jangan harap
aku akan kabulkan permintaan gilamu!"
"Akh... kalau begitu kasihan sekali! Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam rupanya sudah ditakdirkan para iblis musti musnah hari
ini!".
"Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tidak musnah!
Sebaiknya bersiaplah untuk menghadap setan neraka, manusia iblis! Manusia iblis
macammu memang tempatnya pantas di neraka!".
Habis berkata demikian maka Pengemis Mata Buta masukkan
tangan kanan ke balik jubah bertambal-tambalnya. Begitu tangan keluar maka
bergemerlaplah sinar hitam sebilah pedang.
Tergetar juga
Iblis Pencabut Sukma melihat sinar senjata ini.
"Jika kau punya senjata bagusnya lekas dikeluarkan,
Iblis!" berkata Pengemis Mata Buta. "Untuk menghadapi manusia buta
macam kau, perlu apa pakai senjata segala?! Majulah, tanganku sudah gatal-gatal
untuk mencabut nyawamu!".
"Jangan
mimpi Iblis!" bentak Pengemis Mata Buta. Sekali dia melompat ke muka maka
berkiblatlah taburan sinar hitam dari sambaran pedangnya!
Dan...
"Plak"
Tubuh
Iblis Pencabut Sukma terdorong beberapa langkah kebelakang!
Terkejutlah Pengemis Mata Buta ketika mengetahui bahwa
lawannya tidak mendapat satu celaka apapun akibat ilmu pukulan "telapak
tangan minta sedekah" yang sangat diandalkannya itu, padahal dalam ilmu
pukulan ini dia sudah melatih diri sampai sepuluh tahun!
Rasa terkejut dan kecewa melihat pukulannya hampa belaka
membuat dalam kejapan itu Pengemis Mata Buta menjadi sedikit lengah. Dan
kesempatan ini tiada disia-siakan oleh lawan.
Iblis Pencabut Sukma kirimkan satu tendangan ke perut lawan.
Tak ampun lagi Pengemis Mata Buta jatuh duduk terkapar di lantai. Belum lagi
dia sempat bangun maka lawan sudah gerakkan tangan lancarkan pukulan
"pencabut sukma"!
Pengemis Mata Buta merasakan adanya kekuatan dahsyat yang
menyedot tubuhnya, segera dia buang diri ke samping. Tapi kasip. Perutnya
terbetot menggelegak. Darah segar menyembur dari mulut. Tubuhnya kelojotan seketika.
Sebelum meregang nyawa, manusia ini masih bisa keruk saku jubahnya dan
lemparkan selusin paku darah hitam ke arah lawan. Ini tiada artinya bagi Iblis
Pencabut Sukma. Dengan satu kebutan lengan baju maka mentallah paku-paku
beracun itu!
Selama beberapa ketika terdengarlah suara tertavva Iblis
Pencabut Sukma. Tertawa yang membuat kedua matanya yang juling menjadi basah
oleh air mata.
Manusia
bermuka seram bopeng ini kemudian membungkuk di hadapan Pengemis Mata
Buta. Tangannya menggeledah di balik
jubah bertambal-tambal mencari keris Tumbal Wilayuda. Bila bertemu segera
diselipkan dibalik pinggangnya. Kemudian dia melangkah ke hadapan sosok tubuh
Anjarsari yang saat itu tiada sadarkan diri karena telah ditotok jalan darahnya
sewaktu dilarikan oleh Lah Simpong.
Iblis Pencabut Sukma memandang dengan mata berkilat-kilat ke
tubuh Anjarsari yang pakaiannya berada dalam keadaan tak menentu. Dia
menyeringai penuh arti. Dibelainya pipi gadis itu. Betapa lembut dan halusnya.
Dirabanya dadanya. Menggeletar tubuh Iblis Pencabut Sukma. Kalau tidak ingat
bahwa dia musti lekas-lekas meninggalkan tempat itu maulah dia mengikuti segala
lampiasan nafsunya. Dipanggulnya tubuh gadis itu di bahu kiri kemudian dia
melangkah ke hadapan Sultan yang terbujur di lantai dan juga dalam keadaan tak
berdaya karena ditotok.
Sewaktu Iblis Pencabut Jiwa membungkuk pula untuk mengempit
tubuh Sultan, tibatiba berkelebatlah sesosok bayangan biru dan tahu-tahu tubuh
Sultan disambar lalu dibawa lari!
Kejut
Iblis Pencabut Sukma tentu saja tiada terlukiskan.
"Kurang
ajar! Hai, berhenti!" teriaknya memerintah.
Tapi bayangan biru itu terus kabur tancap gas. Dengan geram
Iblis Pencabut Sukma lemparkan tiga puluh jarum merah ke arah simanusia
berjubah biru. Yang diserang, tanpa menoleh lambaikan tangan kirinya. Ketiga
puluh jarum merah itupun mental laksana disapu topan!
Iblis
Pencabut Sukma angkat kaki coba mengejar. Tapi bayangan biru sudah lenyap.
"Setan
alas,” memaki dia. "pasti perempuan laknat itu lagi!".
-- == 0O0 == --
SEPULUH
LARINYA manusia berjubah biru itu sangat cepat sekali
laksana angin. Sampai di satu puncak bukit, dia berhenti dan lepaskan totokan di
tubuh Sultan. Begitu siuman Sultan tentu saja sangat terkejut mendapatkan
dirinya dikempit oleh seseorang. Ketika dia coba meneliti paras orang itu
ternyata dia mengenakan kerudung biru. Bau tubuhnya harum semerbak, seharum
bunga melati yang tengah mekar diambang senja! Sultan merenung sejurus. Otaknya
berputar mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya sebelumnya. Kemudian
dicobanya melepaskan diri dari kempitan manusia jubah biru itu untuk turun ke
tanah. Tapi bagaimanapun kerasnya dia gerakkan badan, tetap saja dia tiada
sanggup lepaskan diri.
"Saudara,
kau siapakah?,” bertanya Sultan.
Orang itu tiada menyahut melainkan menjelajahi seantero kaki
bukit dengan sepasang matanya yang bening.
"Saudara, kau tentu orang yang telah menolong aku. Tapi
siapakah engkau adanya? Mohon agar diriku diturunkan,” berkata Sultan
Hasanuddin. Orang itu tetap tak menyahut. Kemudian dia berkelebat lagi dan
tubuhnya lari lagi laksana angin ke arah sebelah timur.
"Saudara, jika kau tak terangkan siapa kau, tidak menjadi
apa. Tapi aku mohon agar diturunkan,” berkata Sultan setelah dirinya diajak
lari kira-kira setengah jam lamanya.
Si
jubah biru lari terus.
Dengan rasa penasaran Sultan berkata. "Jika kau tidak
mau turunkan aku, terpaksa aku berlaku kasar terhadapmu!."
Namun si
jubah biru berkerudung biru tetap tak perdulikan ucapan yang mengancam itu.
Maka Sultanpun gerakkan tangan kanannya untuk menyikut pinggang manusia jubah
biru itu.
Tapi anehnya berkali-kali dia
lakukan hal itu maka tak satu hantaman sikunyapun yang berhasil mengenai
sasarannya.
"Pasti ini manusia sakti luar bisa!" membathin
Sultan Hasanuddin. "Saudara, aku ini mau dibawa ke mana?" bertanya
pula Sultan.
Agaknya manusia berkerudung kain habis kesabarannya karena
ditanya terus menerus.
"Kau terlalu
cerewet, lihat sajalah!".
“Heh...?!”
Sultan menjadi kaget. Betapa tidak karena orang yang membawa
larinya itu ternyata adalah seorang perempuan! Meski suaranya agak membentak
namun kemerduannya tiada sirna. "Pantas badannya berbau harum..,"
kata Sultan dalam hati. Dan bila dia menyadari bahwa dirinya di kempit dan
dibawa lari demikian rupa tentu saja Sultan menjadi malu dan tidak enak. Dia
meronta-ronta lagi. Tapi tetap tak berhasil.
Mereka kemudian memasuki sebuah rimba belantara. Di tengah
rimba belantara ini terdapat sebuah goa dan ke dalam goa itulah si kerudung
biru membawa Sultan. Ternyata di dalam goa tiada beda terangnya dengan udara di
luar. Gua ini panjang dan mempunyai beberapa lorong yang bercabang-cabang, dan
makin ke dalam makin menurun.
Akhirnya mereka berhenti di satu ruang yang berbentuk kamar
empat persegi. Disinilah baru si jubah biru melepaskan dan menurunkan Sultan.
Sultan berdiri dan memandang berkeliling.
Di salah satu dinding Sultan membaca sebuah tulisan yang
berbunyi GOA DEWI KERUDUNG BI RU, Sultan jadi kaget dan memandang lekat-lekat
ke paras si kerudung biru yang hanya sepasang matanya yang bening dan berkilat
saja yang kelihatan.
"Jadi saat ini aku berhadapan dengan Dewi Kerudung
Biru…?,” kata Sultan pelahan. Tapi hatinya agak meragu.
Di dalam ruangan itu terdapat dua buah batu hitam. Dewi
Kerudung Biru pergi duduk ke salah satu batu lalu berpaling pada Sultan.
"Silahkan
duduk Sultan," katanya mempersilahkan.
"Terima kasih," Sultan duduk. "Saudari, kau
belum menjawab apakah kau yang selama ini dikenal di dunia persilatan dengan
nama julukan Dewi Kerudung Biru...?".
Yang
ditanya tertawa merdu berderai laksana taburan mutiara yang berjatuhan ke ubin.
"Itu
tak perlu yang kau tanyakan lagi, kau sudah baca apa yang tertulis di dinding
itu, bukan?". Dalam berkata begitu sepasang matanya tiada berkesip
memandangi paras Sultan,
"Ah kalau begitu sungguh tak terduga pertemuan ini.
Terima kasih atas pertolonganmu Dewi Kerudung Biru...," kemudian
sambungnya. "karena kau telah membawa aku ke sini, tentulah kau mempunyai
maksud tertentu....".
"Betul" membenarkan Dewi Kerudung Biru. "Aku
tahu banyak apa yang telah terjadi dengan dirimu...,”
"Terima kasih kalau Dewi telah mau ambil perhatian
terhadap diriku. Mohon petunjuk selanjutnya.....”
"Kau harus cepat pergi ke Demak dan menemui Sultan
Trenggono untuk meminta bantuan. Kembalilah ke Banten dengan membawa sejumlah
pasukan .......".
"Memang
itu sudah menjadi rencanaku Dewi,” kata Sultan pula.
"Ya, tapi pasukan saja tidak cukup. Parit Wulung
mempunyai benggolan-benggolan silat golongan hitam yang sakti....''.
"Mohon
petunjuk dari Dewi...".
"Sebelum pergi kau harus tinggal selama satu hari di
sini untuk kuturunkan beberapa ilmu silat....". Sultan gembira sekali.
"Tapi," katanya. "waktu yang sesingkat itu apakah bisa berhasil
baik?!".
"Yang
penting dasar-dasarnya, kemudian baru latihannya dan terakhir
pelaksanaannya...”
Sultan mengangguk. "Aku haturkan rasa hormat
terhadapmu, Dewi. Mulai hari ini kau adalah guruku,” kata Sultan pula.
Dewi Kerudung Biru geleng-gelengkan kepala. "Diriku tak
perlu dihormati. Dan kuharap kau jangan salah sangka. Kalau aku wariskan
beberapa ilmu kepandaian padamu bukan berarti aku telah menjadi guru dan kau
telah menjadi murid....".
"Jadi.....?"
tanya Sultan heran.
"Semuanya
adalah semata-mata untuk menolongmu, Sultan".
"Terima kasih. Aku tak akan melupakan kebaikanmu ini.
Demikian juga dengan rakyat Banten kelak. Cuma, untuk mengenang wajah
penolongku, untuk mengukirnya dalam ingatanku, bolehkah aku melihat paras
aslimu, Dewi Kerudung Biru…?".
Dewi Kerudung Biru tertawa lagi seperti mutiara jatuh
berderai ke lantai. Merdu sekali suara itu membuat Sultan semakin tambah ingin
untuk melihat wajah yang ada dibalik kerudung itu.
Namun suara tertawa yang merdu itu segera lenyap ketika di
mulut gua terdengar suara ribut-*ribut.
"Pasti
perempuan itu telah membawa Sultan ke sini! Ayo kita selidiki ke dalam!".
Dan sesaat kemudian empat sosok tubuh berjubah merah dan
berkerudung merah muncul di ruangan itu. Sultan terkejut sedang Dewi Kerudung
Biru mendengus di balik kerudungnya.
Salah
seorang dari anggota Iblis Pencabut Sukma berseru dan menunjuk ke muka.
"Lihat!
Tidak salah
keterangan Wakil Ketua kita Sultan bersama dia!"
Anggota Iblis Pencabut Sukma yang lain, yaitu yang berbadan
tinggi langsing melangkah ke muka. "Perempuan laknat! Lekas serahkan
rnanusia itu pada kami!". .
"He... he.... berani memaki berani mampus kunyuk
kerudung merah!" kata Dewi Kerudung Biru pula.
"Betina edan, kau andalkan apakah berani berkata
demikian?!" membentak si tinggi langsing. "Sebaiknya sebutkan nama
masing-masing kalian! Aku tidak biasa membunuh krocokroco tanpa tahu
namanya!".
Si
tinggi langsing tertawa hambar. Sambil mendongak dan tepuk-tepuk dada dia berkata
.
"Namaku
Siralaya. Gelarku Tangan Perenggut Jiwa....!”
"Hem..bagus… bagus. Gelaranmu boleh juga. Tapi aku anya
apakah kau akan maju seorang diri atau berempat sekaligus?!"
Merahlah
muka Tangan Perenggut Jiwa.
"Perempuan
sedeng, sambut seranganku ini!"
Tangan
Perenggut Jiwa pukulkan tangan kanannya. Berbarengan dengan itu Dewi
Kerudung Biru dorongkan pula tangan
kirinya ke depan. Si jangkung langsing Tangan Perenggut Jiwa terkejut ketika
bagaimana angin pukulannya kena didorong oleh angin pukulan lawan sehingga
membalik menyerangnya! Cepat-cepat dia menghindar kesamping.
"Siralaya, kau minggirlah. Biar aku yang selesaikan
dajal betina ini!". Anggota Iblis Pencabut Sukma yang kedua melangkah ke
muka.
"Sebutkan
namamu!" bentak Dewi Kerudung Biru.
"Namaku
tidak perlu. Tapi gelarku adalah Si Penggoncang Langit!".
"Ho... ooo.... gelarmu keliwatan sekali sehingga tidak
cocok dengan tubuhmu yang kontet itu! Bagusnya kau pakai gelar Kodok
Buduk!" mengejek Dewi Kerudung Biru.
Mulut Si Penggoncang Langit berkemik. Sekali kedua tangannya
bergerak maka dua gelombang angin yang menggetarkan ruangan itu melesat ke arah
Dewi Kerudung Biru.
Hebatnya,
sang Dewi yang saat itu masih tetap duduk di atas batu keluarkan tertawa menghina
dan kebutkan tangan kanannya. Maka runtuhlah angin pukulan Si Penggoncang
Langit!
Penasaran sekali anggota Perkompulan Iblis Pencabut Sukma
ini melompat ke muka. Dua tangan terpentang lebar dan bergerak bersamaan dalam
satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata!
"Manusia busuk macam kau tidak pantas dekat-dekat
padaku!" bentak Dewi Kerudung Biru. Tangan kanannya memukul. Si
Penggoncang Langit mencelat empat tombak terguling di tanah, mengeluarkan suara
seperti orang muntah, tapi yang keluar dari mulutnya adalah semburan darah
segar!
Dalam keadaan begini Si Penggoncang Langit segera keruk saku
jubah merahnya, keluarkan sebuah pil, menelannya dengan cepat lalu bersemedi
pula dengan cepat dalam cara yang aneh yaitu kepala ke bawah kaki ke atas!
Melihat dua kawannya dibikin kalah mentah-mentah maka
majulah anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang ketiga. Manusia ini
berbadan gemuk.
"Dewi Kerudung Biru, aku tak akan kasih tahu nama juga
tak perlu sebutkan gelaranku padamu. Tapi jika kau berpemandangan dan
berpengalaman luas lihat seranganku ini!". Sigemuk ini menutup
kata-katanya dengan gerakkan dua tangannya. Maka enam pisau terbang merah
melayang ke arah enam bagian tubuh. Dewi Kerudung Biru! Diam-diam Sultan
terkejut melihat kehebatan serangan pisau ini. Dia khawatir kalau Dewi Kerudung
Biru tak sanggup mengelakkan keenam pisau itu sekaligus!
Tapi anehnya yang diserang ganda tertawa semerdu perindu.
Pisau terbang yang pertama ditangkapnya dengan tangan kanan. Kemudian senjata
ini dipergunakannya untuk menangkis lima pisau terbang lainnya sehingga pisau
yang di tangan maupun yang ditangkisnya patah dua dan bermentalan!
Terbeliaklah mata keempat anggota Iblis Pencabut Sukma itu.
Lebih-lebih Si Pisau Terbang. Selama hidup baru kali ini dia melihat serangan
pisau-pisau terbangnya dihancurkan demikian rupa! Dan dalam terkejutnya itu dia
melihat Dewi Kerudung Biru lemparkan kuntungan pisau kearahnya. Cepat-cepat Si
Pisau Terbang berkelit tapi luput! Kuntungan pisau masih sempat menyambar telinga kirinya. Dan putuslah daun
telinga laki-laki itu! Senjata makan tuan! Darah berlelehan. Dewi Kerudung Biru
tertawa cekikikan!
Kalap sekali maka berserulah Si Pisau Terbang.
"Kawan-kawan mari kita kermus dajal betina ini!".
Maka menyerbulah keempat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut
Sukma itu. Melihat sang Dewi dikeroyok begitu rupa Sultan Hasanuddin tak
tinggal diam. Dia menerjang ke muka dan lancarkan satu serangan cepat ke arah
Tangan Perenggut Jiwa. Namun disaat itu Dewi Kerudung Biru menyibakkan badannya
kesamping dengan berkata. "Sultan, kau tenang-tenang sajalah. Tak perlu
susah-susah mengotorkan diri terhadap kroco-kroco bau tengik ini!".
Sultan merasa tidak senang. Walau bagaimanapun saktinya Si
Kerudung Biru namun pengeroyokan curang demikian rupa bertentangan dengan hati
kesatrianya. Untuk kali kedua dia hendak menyerbu kembali. Namun disaat itu,
terdengar jeritan Si Penggoncang Langit. Tubuhnya mencelat ke atas ruangan
batu. Kepalanya hancur. Belum lagi tubuh Si Penggoncang Langit sampai ke lantai
maka terdengar pekik anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kedua.
Tulang dadanya melesak ke dalam, iga-iganya putus!
Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa mengamuk
habis-habisan. Dua puluh jurus berlalu sangat cepat. Dalam dua puluh jurus itu
keduanya terus menerus mendesak Dewi Kerudung Biru dengan hebat. Ruangan
bergoncang laksana dilanda lindu! Tiba-tiba Dewi Kerudung Biru melengking
keras. "Iblis-iblis bau kentut! Minggatlah ke neraka!".
Sepasang tangan sang Dewi yang halus tapi mengandung hawa
kematian yang dahsyat membagi serangan dalam jurus dahsyat bernama
"sepasang tangan menebar maut".
Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa tiada kesempatan
lagi untuk mengelak. Menangkis mereka tiada punya nyali. Menghadapi maut di
depan mata ini maka menjeritlah keduanya!
Namun disaat itu pula dari luar terdengar suara menggeledek.
"Manusia yang berani menghina anggota Perkumpulan adalah korbanku yang
kedua ratus!". Begitu suara habis maka dua larik sinar merah yang panas
menyembur ke arah Dewi Kerudung Biru!
-- == 0O0 == --
SEBELAS
SULTAN melompat ke samping untuk hindarkan sambaran sinar
merah sedang Dewi Kerudung Biru sebaliknya malah pentang kedua tangan dan
mendorong ke muka. Pertemuan yang dahsyat dari dua aliran pukulan menimbulkan
goncangan yang hebat laksana dunia ini mau kiamat!
Dewi
Kerudung Biru berdiri tergontai seketika sedang lawan yang lepaskan pukulan
tadi, yang saat itu hendak masuk ke dalam goa, terdorong kembali keluar mulut
goa kena diterpa angin pukulan Dewi Kerudung Biru!
Sesaat kemudian ketika manusia yang di luar goa itu masuk ke
dalam ternyata dia adalah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Di
belakangnya menyusul satu lusin anggota lainnya.
Dengan marah, Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma itu membentak.
"Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa, kalian memalukan saja tidak
sanggup menghadapi betina galak ini. Biar aku yang jinakkan dia!".
Habis berkata begitu maka Iblis Pencabut Sukma segera
lancarkan jurus "menendang langit menjungkir awan"! Tidak sampai di
situ saja maka dia susul serangan itu dengan taburan pukulan kipas merah!
Betul-betul dua jurus yang sangat menggetarkan dan luar biasa!
Dewi
Kerudung Biru berkelebat cepat. Mulutnya terbuka.
"Huaaah....!".
Dari
mulut sang Dewi menyembur sinar biru yang dahsyat.
Iblis Pencabut Sukma terkejut. Bukan saja dua jurus
serangannya tadi menjadi buyar, tapi serangan lawan dengan hebatnya terus
menyerang kearahnya.
"Asap kencana biru!,” seru Iblis Pencabut Sukma dengan
kaget. Cepat sekali dia melesat enam tombak ke atas. Sewaktu turun dia sudah
cabut sebilah pedang merah kemudian sambil menyerang dia berteriak.
"Anak-anak, ayo tunggu apa lagi?!". Mendengar ini maka semua anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma segera menyerbu. Sultan lagi-lagi hendak turut
membantu sang Dewi, namun setiap saat dia gerakkan badan, setiap kali pula Dewi
Kerudung Biru mendorongnya ke belakang sehingga dia tak bisa berbuat apa-apa!
Dewi Kerudung Biru sungguh luar biasa dalam bertahan dan
menyerang. Namun lawanlawannya banyak sekali, apalagi di bawah pimpinan Wakil
Ketua mereka! Sesudah tiga puluh jurus berlalu maka sang Dewi mulai terdesak.
Dua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berhasil ditewaskannya namun
serangan-serangan lawan bukannya mengendur melainkan bertambah dahsyat.
Diam-diam Sultan menjadi gelisah. Kali ini sang Dewi pasti tak bisa bertahan
lebih dari sepuluh jurus lagi, pikirnya. Maka pada saat Dewi Kerudung Biru
sibuk menghadapi lawannya, terbungkus oleh sinar pedang merah dengan cepat
Sultan menerjang ke muka. Bantuan Sultan dalam lima jurus di muka sanggup
mengimbangi lawan-lawan yang lihay itu. Namun lambat laun mulai mengendor.
Bersama sang Dewi kembali keduanya terdesak!
Dewi
Kerudung Biru semburkan lagi "asap kencana biru"nya. Namun angin pedang
merah di tangan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan hebatnya
berhasil membuyarkan asap sakti itu!
"Betina galak! Sekarang terimalah kematianmu!"
bentak Iblis Pencabut Sukma. Dia memberi isyarat pada anak-anak buahnya.
Berbarengan mereka sama angkat tangan kanan ke atas siap untuk lancarkan
pukulan "pencabut sukma". Satu pukulan "pencabut sukma,” saja
dahsyatnya bukan main, apalagi sekaligus duabelas pukulan, dapat dibayangkan
bagaimana luar biasa kehebatannya! Dewi Kerudung Biru pentang kedua lengannya
dan putar tubuh laksana balingbaling. Mulutnya tiada henti menghembus-hembus
mengeluarkan asap biru. Satu detik lagi maka duabelas tangan lawanpun ditarik
ke belakang!
Dalam suasana yang diliputi seribu ketegangan itu, tiba-tiba
mengaunglah suara seperti suara seribu tawon mendengung. Di antara dengungan
itu melengking pula suara siulan yang disusul oleh berkiblatnya seputaran sinar
putih menyilaukan mata!
Tiga anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, termasuk
Tangan Perenggut Jiwa terpekik dan rebah ke lantai mandi darah. Selarik sinar
putih yang disertai raungan dahsyat kembali berkiblat dan Wakil Ketua
Perkumpulan Pencabut Sukma dan anak-anak buahnya terpaksa batalkan serangan dan
melompat ke satu pojok.
"Pendekar 212!" terdengar seruan Sultan begitu dia
kenali siapa adanya pendatang baru itu. Dewi Kerudung Biru sendiri memandang
pada Wiro Sableng dengan sinar mata yang berkilat-kilat. Di balik pandangan
mata itu seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma dan anggota-anggota lainnya memandang menyorot penuh amarah.
Pendekar 212 Wiro Sableng sunggingkan senyum di wajahnya
yang keren sedang tangan kanannya mempermainkan Kapak Maut Naga Geni 212.
Melihat pada angka 212 yang tertera pada dua mata kapak di tangan si pemuda
maka berkatalah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, sambil
melintangkan pedang di muka dada. "Jadi kaukah yang selama ini dijuiuki
Pendekar 212 itu...?!".
Jawaban
Wiro Sableng hanya tertawa mengekeh.
"Orang gendeng, apa kau sudah bosan hidup mau campur
urusan orang lain....?!,” tanya Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma.
"Atau mungkin masih belum tahu tengah berhadapan dengan
siapa saat ini?!" ujar Si Pisau Terbang.
"Siapapun
kalian adanya tak lebih dari babi-babi cacingan yang diberi berjubah dan
berkerudung merah!,” ejek Pendekar 212 pula!
Marahlah Si Pisau Terbang. Tanpa banyak cerita dia lepaskan
sekaligus selusin pisau terbang beracun ke arah Pendekar 212. Wiro Sableng
gerakkan Kapak Maut Naga Geni 212 membuat setengah lingkaran.
"Tring...
tring.... tring...".
Kedua belas pisau terbang itu musnah patah-patah. Melototlah
mata Si Pisau Terbang. Dia menyurut undur dua langkah.
"Pisau Terbang, kau minggirlah. Biar aku yang antarkan
manusia bosan hidup ini ke pintu gerbang akhirat!”
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma maju dua
langkah. Sultan Hasanuddin dengan ilmu menyusupkan suara beri peringatan pada
Pendekar 212. "Sobat, hati-hatilah terhadapnya. Dia sakti sekali!"'
Begitu peringatan Sultan berakhir maka Wakil Ketua Iblis
Pencabut Sukma telah lancarkan serangan pedang merah dalam jurus yang luar
biasa. Jurus ini sekaligus merupakan empat tebasan dan empat tusukan!
"Ah cuma ilmu pedang picisan saja mau diandalkan,"
Ejek Wiro. Kapak Naga Geni ditangannya menderu. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma tiada berani mengadu senjata. Hatinya tergetar ketika merasakan
bagaimana sinar putih senjata lawan membuat pedangnya tak bisa bergerak
leluasa. Manusia ini membatin. "Celaka, paling lama aku hanya bisa layani
si keparat ini dalam dua puluh lima jurus!". Dan dia segera putar otak
untuk cari kesempatan larikan diri!
Pendekar 212 yang tahu gelagat lawan segera lancarkan
serangan ganas. Wakil Ketua Perkumpulan. Iblis Pencabut Sukma angsurkan pedang
merah kemuka untuk menangkis karena bertindak berkelit tiada punya kesempatan
lagi.
"Trang"!
Maka patahlah pedang merah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma itu! Keringat dingin memercik di kening manusia iblis ini!
Nyalinya lumer! Sambil angkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas untuk
lepaskan pukulan yang sangat diandalkannya yaitu pukulan pencabut sukma, maka
dia berseru pada sisa-sisa anak buahnya.
"Kalian
jangan mematung saja! Mari sama kita bereskan anjing kurap ini!'".
Maka delapan anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan
membentak dahsyat segera menerjang ke muka dan langsung lancarkan pukulan
pencabut sukma!
"Wiro! Awas! Mereka hendak lepaskan pukulan pencabut
sukma!" seru Dewi Kerudung Biru. Bahwasanya sang Dewi mengetahui namanya
inilah satu hal yang mengejutkan Pendekar 212 Wiro Sableng! Keterkejutan ini
membuat dia menjadi lengah seperempatan detik. Dan itu sudah cukup bagi Wakil
Ketua Iblis Pencabut Sukma serta anak-anak buahnya!
"Mampuslah!"
Dewi Kerudung Biru menjerit! Sultan sendiri pucat lesi
parasnya Tiba-tiba Pendekar 212 meraung laksana halilintar. Dia melompat ke
muka Kapak naga Geni 212 menderu. Empat suara pekikan seperti mau memecahkan
anak telinga. Empat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma terkapar dengan tubuh
hampir kuntung! Pendekar 212 ayunkan Kapak Naga Geni 212 sekali lagi namun
disaat itu Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukmat dan sisa-sisa anak
buahnya sudah lenyap larikan diri keluar goa.
Pendekar 212 bediri nanar. Sultan melompat ke muka dan
merangkul tubuh Wiro. Di balik kerudungnya Dewi Kerudung Biru menggigit bibir.
Sepasang matanya yang jeli dipejamkan.Wiro ambil sebutir pil dari saku
pakaiannya lalu ditelan dengan cepat. Dewi Kerudung Biru kemudian berdiri dan
kedua tangannya ditekankan ke bahu Pendekar 212 untuk alirkan tenaga dalam guna
bantu menyembuhkan luka yang diderita Pendekar itu. Namun sesaat kemudian
Pendekar 212 mengerang halus lalu pingsan tiada sadarkan diri!
-- == 0O0 == --
DUA BELAS
SULTAN cemas sekali melihat keadaan Pendekar 212 demikian
rupa. Bersama Dewi Kerudung Biru, Wiro dibaringkan di lantai, kepalanya
diganjal dengan sehelai kain yang dilipat-lipat.
"Dewi,
apakah… apakah dia…?" Sultan tak bisa meneruskan pertanyaannya.
Dewi Kerudung Biru hela nafas. "Sebenarnya aku yang
salah karena aku telah berseru memanggil namanya tadi," berkata perempuan
itu. Dihelanya lagi satu kali nafas dalam. "Tapi lukanya tak begitu parah.
Besok pagi dia sudah sembuh kembali. Untung saja berilmu tinggi, kalau tidak
keseluruhan isi perutnya pasti akan berbusai ke luar dari mulut."
"Dewi,
kau tahu nama pemuda ini. Apakah kalian pernah kenal sebelumnya...?"
Dewi
Kerudung Biru elakkan pertanyaan itu dengan balik menanya. "Kau sendiri
punya hubungan apa dengan dia…?"
Maka Sultan Hasanuddin menuturkan mulai pertama kali dia
kenal dan ditolong oleh Pendekar 212. Mendengar itu kembali sepasang mata Dewi
Kerudung Biru berkilat-kilat. Dan hal ini diam-diam diperhatikan oleh Sultan
sehingga dia merasa yakin pastilah ada hubungan apa-apa antara Dewi Kerudung
Biru dengan Pendekar 212 sebelumnya. Tapi untuk bertanya lebih jauh Sultan
merasa segan.
"Dia memang sakti sekali, Sultan,” berkata sang Dewi.
"Sikapnya kadang-kadang lucu tapi juga menyakitkan hati. Bahkan banyak
orang yang menyangka dia kurang sehat pikiran. Tapi hatinya sepolos permata,
seputih kertas, jujur. Beberapa tokoh persilatan telah meramalkan bahwa kelak
dikemudian hari dia bakal merajai dunia persilatan…" Sultan Hasanuddin
manggut-manggut.
"Sultan, dalam hal ini kita tak punya waktu lama. Aku
akan ajarkan padamu beberapa jurus ilmu silat dan ilmu asap kencana biru…
"
"Aku
haturkan ribuan terima kasih Dewi," kata Sultan dengan gembira.
"Silakan
duduk bersila dan pejamkan mata," Dewi Kerudung Biru berkata.
Sultan menurut. Dia duduk bersila dan pejamkan mata. Dewi
Kerudung Biru kemudian salurkan tenaga dalamnya ke tubuh Sultan melalui pundak.
Selesai menerima saluran tenaga dalam itu Sultan merasakan tubuhnya sangat
enteng dan segar bugar. "Sekarang aku akan ajarkan padamu dua jurus ilmu
silat. Dua jurus ilmu silat ini hanya empat orang yang pernah memilikinya.
Yaitu Pendekar Seberang Lor, Resi Warajana, Dewi Kencana Wungu. Ketiganya sudah
meninggal. Aku adalah pewarisnya yang keempat dan bila kuajarkan dua jurus itu
kepadamu maka kau adalah perwaris yang kelima! Jurus yang pertama ialah jurus
naga kepala seribu mengamuk. Yang kedua, jurus Cakar garuda emas. Keduanya
merupakan jurus-jurus yang sukar dicari bandingannya dalam dunia persilatan.
Jika kau benar-benar meyakininya, percayalah tidak sembarang musuh bisa
melayanimu."
"Terima kasih Dewi… ribuan terima kasih. Jadi kalau
begitu Dewi adalah murid dari Dewi Kencana Wungu…?"
Sang
Dewi mengangguk. "Mari kita mulai,” katanya.
Karena
Sultan sebelumnya sudah mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi juga maka kedua
jurus yang diajarkan padanya itu dengan mudah dan cepat bisa dipahaminya. Dewi
Kerudung Biru gembira sekali. Kemudian kepada Sultan diajarkan pula ilmu Asap
kencana biru. Ilmu ini agak sukar mula-mula dipahami oleh Sultan namun karena
tekunnya beberapa jam kemudian dia berhasil juga menguasainya.
"Kecerdasanmu luar biasa sekali, Sultan,” kata Dewi
Kerudung Biru. "Malam ini, sampai esok pagi teruslah berlatih."
"Nasihat Dewi akan kuperhatikan,” jawab Sultan. Dan
malam itu, seorang diri Sultan melatih diri. Dewi Kerudung Biru sementara itu
duduk bersemadi. Meskipun dia pejamkan mata namun bila ada jurus-jurus yang
agak salah dilakukan oleh Sultan dia mengetahuinya dan segera menegur !
Keesokan
paginya…
Di luar gua burung-burung berkicau bersahut-sahutan
menyambut kedatangan pagi yang ditandai munculnya sang surya di ufuk timur. Di
dalam gua Sultan tengah duduk berhadap-hadapan dengan Dewi Kerudung Biru.
"Yakini dan pelajari terus ilmu-ilmu yang telah kau
milik itu Sultan. Kelak kemudian hari kau akan buktikan sendiri kemanfaatannya.
Sekarang, selagi hari masih pagi, selagi udara masih segar, maka segeralah
berangkat ke Demak. Dalam semediku malam tadi aku mendapat sedikit renungan
petunjuk dari Yang Kuasa bahwa kekuasaan kaum pemberontak yang kini bercokol di
Banten tidak akan lama....”
Sultan mengangguk. Dia memandang pada tubuh Pendekar 212
yang sampai saat itu masih juga terbaring dalam pingsannya. "Bagaimana
dengan sshabatku ini, Dewi?
Kalau bisa aku
ingin berangkat bersama-sama dia...”
Dewi Kerudung Biru menggeleng. "Dalam rencana untuk
menumpas kaum pemberontak, dalam usaha menegakkan yang benar dan menghancurkan
yang bathil, kalian berdua sama satu tekat dan satu hati. Namun dalam
mencapainya masing-masing kalian mempunyai cara tersendiri. Harap kau bisa
merenungi hal ini, Sultan…”
Sultan Hasanuddin termenung sejenak. Memang ucapan Dewi
Kerudung Biru itu dapat dipahaminya.
Dia memandang lagi pada Wiro Sableng. "Apakah dia akan
segera siuman dan sembuh kembali, Dewi?" bertanya Sultan.
Sang
Dewi mengangguk.
"Mengenai diri Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda,
bisakah kau memberi petunjuk…?"
"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut
Sukma, Keris Tumbal Wilayuda juga mereka yang mencurinya…”
"Kalau
begitu,” kata Sultan dengan kepalkan tinju. "aku akan cari sarang
mereka...!"
Dewi Kerudung Biru gelengkan kepala. "Selain besar
bahayanya juga kau mesti pergi ke Demak sekarang juga Sultan."
"Aku tidak takut mati!,” kata Sultan jantan. "Aku
rela korbankan jiwa demi tegakkan Kerajaan Banten yang syah kembali."
"Aku puji hati kesatriaan dan kecintaanmu pada Kerajaan
Banten, Sultan. Tapi ingat, agaknya caramu untuk mencapai rencana itu hanya
dengan mengikuti kehendak hati sendiri. Salah-salah kau bisa celaka dan Banten
tetap dikuasai oleh kaum pemberontak
Parit
Wulung."
"Kalau begitu katamu, aku menurut,” ujar Sultan
Hasanuddin akhirnya. "Tapi sebelum pergi perkenankanlah aku melihat
parasmu."
Dewi Kerudung Biru menggeleng.
"Sayang, masih belum.saatnya
aku
mengabulkan
permintaanmu Sultan. Harap dimaafkan."
Sultan Hasanuddin menghela nafas dalam. Dia ucapkan lagi
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.
"Jasa dan pertolonganmu akan kuingat, akan dikenang
oleh rakyat Banten. Disatu ketika aku akan datang lagi menyambangimu, Dewi,”
Sultan memanggut memberi hormat lalu meninggalkan tempat itu.
Kira-kira tiga kali sepeminuman teh lamanya Sultan
meninggalkan Goa Dewi Kerudung Biru maka dihadapan jalan yang ditempuhnya
tahu-tahu muncullah tiga orang penunggang kuda. Ketiganya berjubah dan
berkerudung kain merah darah. Anggota-anggota
Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma!”
Sesaat
kemudian merekapun berhadap-hadapanlah.
Anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Suma yang paling muka
buka suara membentak, "Lekas mengaku, apa kau Sultan Banten yang melarikan
diri itu?!"
Kawannya yang lain menyela. "Melihat kepada tampangnya
pasti tidak salah lagi! Ayo kawan-kawan mari kita berebut pahala meringkus
manusia ini!"
Maka ketiga anggota Perkumpullan Iblis itu pun melompatlah
dari kuda masingmasing. Sambil melompat ketiganya sekaligus keluarkan jurus
warisan Ketua mereka yang dinamai "tiga pasang lengan meremas tangkai
bunga teratai" Yang satu datang dari atas, yang kedua dari depan dan yang
terakhir dari belakang! Tapi Sultan yang sekarang jauh berbeda dengan Sultan
sehari sebelumnya.
Sekali
Sultan membentak maka terpentanglah kedua tangannya yang mana disusul dengan
gerakan sebat laksana ribuan ekor naga menyengat kian ke mari !
Melihat ini, terkejutlah ketiga penyerang. Buru-buru mereka
batalkan serangan jurus pertama dan menyusul dengan jurus "memukul kasur
menggeprak bantal!" Ini adalah satu jurus yang cukup lihay. Anggota Perkumpulan
Iblis yang di atas hantamkan dua telapak tangannya sekaligus sedang yang di
depan dan di belakang kirimkan pukulan keras ke dada dan ke punggung. Tak ayal
lagi Sultan segera praktekkah ilmu yang baru diyakininya dari Dewi Kerudung
Biru yaitu keluarkan jurus "cakar garuda emas!"
"Brettt...
bret!"
"Kurang ajar! Matipun kau masih cukup pantas untuk
diserahkan kepada Ketua kami!" bentak anggota Perkumpulan Iblis yang
sempat selamatkan diri. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Serentak
ketiganya menyerbu dan angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Namun sebelum pukulan
"pencabut sukma" itu sempat mereka laksanakan. Sultan buka mulutnya
dan asap biru menggebubu ke arah ketiga penyerangnya.
"Asap kencana biru!" seru salah seorang anggota
Perkumpulan Iblis dengan terkejut. Buru-buru dia tutup jalan nafas. Tapi dua
orang kawannya terlambat. Begitu tercium oleh keduanya kepulan asap biru yang
mengandung racun itu maka hancurlah pembuluh-pembuluh darah dan pecahlah
paru-paru mereka. Keduanya mati di situ juga!
"Pemuda, ada hubungan apa kau dengan Dewi Kerudung
Biru? Apakah kau muridnya?!" bentak anggota Perkumpulan Iblis yang masih
hidup.
Sultan kertakkan rahang. Tubuhnya berkelebat. Dua tangan
terpentang lebih dahsyat dari yang pertama tadi dan "brak"! Hancurlah
mulut yang membentak itu! Tubuh anggota Perkumpulan Iblis itu kelojotan
sebentar lalu kaku tegang untuk selamalamanya !
-- == 0O0 == --
TIGA BELAS
KETIKA Wiro
Sableng, siuman dari pingsannya dirasakannya kepalanya dipangku oleh
satu paha yang panas sedang hidungnya mencium bau harum menyegarkan. Dibukanya
matanya dan pandangannya membentur sebuah wajah yang ditutupi kerudung kain
biru. Terkejutlah pemuda ini. Cepat-cepat dia bangun dan berdiri. Di balik
kerudungnya, Dewi Kerudung Biru menjadi kemerah-merahan pipinya.
Wiro Sableng memandang berkeliling. Ruangan itu telah bersih
dari mayat-mayat anggota Pepkumpulan IbIis Pencabut Sukma. Sultan sendiri tiada
kelihatan. "Kemana dia...?!" tanya Wiro.
"Dia
siapa...?"
"Sultan!"
"Sudah pergi pagi tadi. Pergi ke Demak!" Pendekar
212 memandang lama-lama ke muka yang ditutup kerudung itu. Suara perempuan di
hadapannya ini rasanya pernah didengar dan dikenalinya sebelumnya tapi lupa di
mana!
Ketika ingat bahwa perempuan itulah yang telah menolongnya,
maka Pendekar 212-pun segera menjura.
"Dewi Kerudung Biru, aku haturkan-terima kasih atas
pertolonganmu. Di lain hari kelak aku akan balas budi baikmu itu."
"Aku tak mengharapkan balasan apa-apa…". Dan Dewi
Kerudung Biru memandang ke jurusan lain ketika untuk kesekian kalinya mata
Pendekar 212 memperhatikan sepasang matanya lakat-Iekat. Dadanya bergetar.
Ditahannya gelora hatinya.
Melihat sikap sang Dewi, ingat bahwa dia pernah mengenali
suara perempuan itu sebelumnya maka inginlah Wiro melihat paras di balik
kerudung itu. Namun diajukannya dulu pertanyaan. "Dewi, mungkin kau bisa
memberi petunjuk di mana Andjarsari dan keris Tumbal
Wilayuda
berada…?"
"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut
Sukma. Keris Tumbal Wilayuda juga ada pada mereka. Kau harus cepat turun tangan
Pendekar 212!"
"Tapi
dunia begini luas, dimana aku akan cari mereka?"
"Komplotan
itu bersarang di Lembah Batu Pualam...!”
"Terima kasih atas keteranganmu Dewi,” Wiro merenung
sejenak. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Dewi Kerudung Biru, sewaktu aku
bertempur melawan anggota komplotan itu kau telah berseru menyebut namaku. Tahu
dari manakah...?"
Tergetarlah hati sang Dewi mendengar pertanyaan ini. Dengan
memandang kejurusan lain menjawablah dia . "Nama seorang pendekar tentu
saja dikenal sampai ke mana-mana…" ,
"Aku bukan pendekar apa-apa..,” kata Wiro merendah.
"Dan terus terang saja aku rasarasa pernah bertemu dengan kau sebelumnya.
Aku masih bisa ingat dan mengenali suaramu…"
Dewi Kerudung Biru tundukkan wajah. Matanya yang jeli dan
bercahaya kini kelihatan redup dan diambangi air mata. Ditekannya perasaannya
yang menggelora. Dikerahkannya tenaga dalamnya agar tidak gemetar suaranya.
"Tidak . . . kita tak pernah bertemu sebelumnya Pendekar 212. Dan di dunia
ini mungkin saja ada beberapa manusia yang punya suara hampir bersamaan . .
. ."
Wiro
Sableng maju satu langkah.
"Dewi,
kalau kau tak mau berterus terang, kasihlah tahu saja siapa namamu
sebenarnya."
"Kau
sudah tahu."
"Ah…
Dewi Kerudung Biru itu hanya nama gelaran belaka…,” jawab Wiro pula.
"Di lain hari mungkin aku baru bisa beri tahu nama.
Sekarang harap kau suka tinggalkan tempat ini.
Tapi pemuda itu tetap berkeras. "Dengar Dewi, setiap
orang yang pernah menolong aku, musti kuketahui siapa dia adanya. Kalau kau tak
mau kasih tahu nama tak apa. Namun apakah kau juga tak sudi buka kerudung itu
sebentar dan memperlihatkan paras…?"
Dewi
Kerudung Biru menghela nafas. "Itu juga tak perlu. Kau akan menyesal…"
"Menyesal
kenapa?"
"Kau
akan terkejut karena mukaku sangat buruk dan mengerikan…".
"Muka yang buruk tapi hati yang polos dan berbudi
seribu kali lebih baik dari wajah bagus dan hati busuk jahat."
"Permintaanmu tak dapat kukabulkan,” kata Dewi Kerudung
Biru dengan ketegasan yang dipaksakan.
Pendekar 212 maju lebih dekat. "Kalau begitu..,”
katanya, "harap maafkan karena aku terpaksa melakukan ini". Wiro
ajukan tangan hendak membuka kerudung penutup wajah.
"Apakah seorang ksatria bersikap sekurang ajar dan tak
tahu peradatan?!,” bentak Dewi Kerudung Biru.
Tangan Wiro tertahan seketika. Tapi karena perempuan itu
dilihatnya tiada menjauhkan kepalanya maka diteruskannya niatnya.
“Sret!”
Terbukalah
kerudung biru itu!
Dan
terbeliaklah mata Pendekar 212. “Anggini.!,” serunya.
Ternyata paras di balik kerudung itu adalah paras seorang
gadis jelita. Gadis jelita yang dulu pernah dikenal oleh Pendekar 212 sebagai
murid Dewa Tuak! (Baca. "Maut Berjanji di Pajajaran").
Untuk beberapa lamanya kemudian Wiro Sableng hanya bisa
berdiri terlongonglongong sedang Anggini sendiri tundukkan kepalanya coba
menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca-kaca dan juga sembunyikan parasnya
yang membayangkan perasaan serta gelora hatinya. Selama beberapa bulan dia telah
berkelana untuk mencari Pendekar 212 dan baru hari itu mereka jumpa dalam satu
suasana yang tak terduga!
"Apakah dia dapat memaklumi bagaimana perasaan hatiku
terhadapnya?" membathin Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
"Ini
adalah satu hal yang tak terduga. Anggi...ni…,” desis Wiro.
Anggini anggukkan kepala. "Ya, suatu hal yang tak
terduga..,” suaranya yang rawan ditindihnya dengan tenaga dalam sehingga
getaran hatinya tiada kentara oleh si pemuda.
"Tapi ini adalah juga merupakan hal yang
menggembirakan,” ujar Pendekar 212 pula. "Ilmumu maju pesat sekali. Siapa
yang menduga kalau Dewi Kerudung Biru itu nyatanya adalah engkau
sendiri…?!"
Karena Anggini diam saja dan masih tundukkan kepala maka
bertanyalah Wiro. "Aku tak mengerti, mengapa tadi kau sengaja mengatakan
parasmu buruk…” "Ah..... Anggini tarik nafas dalam.
Pendekar 212 merenung sejenak. Terkenang dia pada satu malam
beberapa bulan yang lewat ketika dia berada berdua-duaan dengan Anggini yaitu
sehabis pertempuran di Gua Sanggreng.
"Selama waktu ini tentu kau telah menuntut ilmu pada
seorang guru sakti. Bukankah demikian…?"
Anggini
mengangguk.
"Rupanya kau kurang begitu senang dengan pertemuan ini,
Anggini?" tanya Wiro Sableng.
"Jangan menduga yang bukan-bukan, Wiro..,” jawab
Anggini dan dalam hatinya dia menambahkan. "Kalau kau tahu perasaanku
terhadapmu…"
Setelah termanggu sejurus maka berkatalah Wiro. "Malam
menjelang pagi tempo hari itu menyesal aku terpaksa meninggalkan kau... Apakah kau
sudah kembali dan bertemu dengan gurumu Dewa Tuak...?"
Dewi
Kerudung Biru menggeleng.
"Kenapa
. . .?"
"Mana mungkin aku kembali jika tidak memenuhi
perintahnya tempo hari...?" Habis mengucapkan kata-kata itu memerahlah
kedua pipi Anggini karena jengah.
Wiro Sableng tertawa. "Ho-oh, jadi rupanya cerita itu
masih belum juga selesai sampai sekarang... Wiro geleng-gelengkan kepala.”
(Sebagaimana diketahui-dalam buku "Maut Bernyanyi di Pajajaran,” guru
Anggini yaitu Dewa Tuak berniat keras untuk menjodohkan Anggini dengan Pendekar
212. Tentu saja Pendekar 212 tidak mau. Setelah terjadi beberapa jurus
pertempuran yang sengaja ditimbulkan oleh Dewa Tuak kemudian memerintahkan
Anggini untuk mencari Pendekar 212 dan muridnya itu tidak diperkenankan kembali
kepertapaan, kecuali dengan membawa Pendekar 212 sebagai calon suaminya !
"Semustinya kau kembali ke tempat gurumu, Anggini.
Siapa tahu dia telah merubah niatnya yang kurang bisa diterima itu...!"
"Aku tahu sifat guruku, Wiro. Sekali dia kasih perintah
tak bakal ditariknya kembali! Dari jika aku tak bisa melaksanakan perintahnya
pulang ke pertapaan berarti hanya untuk terima hukuman.
"Dan
karena itu kau tak kembali-kembali kesana . . . ?" .
"Ya,” lalu tanpa diminta gadis itupun memberi
penuturan. "Pagi sesudah kau pergi itu, aku terus mencarimu sampai
berbulan-bulan hingga pada suatu hari aku bertemu dengan dua orang penunggang
kuda berkerudung dan berjubah merah. Ternyata dia adalah Ketua Perkumpulan
Iblis Pencabut Sukma dan seorang anak buahnya. Kau sudah lihat bagaimana
keganasan komplotan mereka. Meskipun tak ada silang sengketa namun mereka
dengan sengaja mencari gara-gara hendak meringkusku. Anak buah Iblis itu
berhasil kubunuh tapi untuk menghadapi Ketua Iblis Pencabut Suma aku tiada
mampu. Dalam keadaan ditotok kemudian diriku dilarikan ke sarang mereka di
Lembah Batu Pualam, Aku dimasukkan ke sebuah kamar…"
Sampai di sini Anggini tak meneruskan kalimatnya. Ditelannya
nafasnya beberapa kali. Air mata yang sejak tadi mengambang ke pipinya yang
kemerahan. Wiro sendiri merasa dadanya dan nafasnya seperti menyesak. Mungkin
selama ini baru kali di saat itulah dia berada dalam suatu keadaan yang serius
demikian rupa. Sifat dan sikapnya yang selama ini selalu lucu jenaka lenyap
ditelan gelombang perasaan setelah mendengar penuturan Anggini, penuturan yang
masih belum habis.
Dengan menguatkan hatinya maka Anggini kemudian meneruskan
penuturan. "Ketua Iblis Pencabut Sukma laknat itu hendak meperkosaku.
Kemudian diriku akan diteruskannya pada bawahan-bawahannya. Tapi Tuhan masih
melindungiku. Sebelum Ketua Perkumpulan laknat itu berhasil melampiaskan maksud
terkutuknya, seorang nenek-nenek sakti menerobos masuk ke dalam kamar dan
melarikanku…"
Anggini
menarik nafas dalam seketika lalu meneruskan. "Ternyata nenek-nenek sakti
itu adalah Dewi Kencana Wungu. Aku dibawanya kepertapaannya dan diambilnya
menjadi murid. Sekarang beliau sudah
tiada. Sudah meninggal…"
Lama
kesunyian menjelang.
"Apakah
rencanamu untuk masa mendatang…?" bertanya Pendekar 212.
"Aku sendiri masih belum tahu. Tapi yang pasti ialah
aku harus membuat perhitungan dengan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
itu…"
"Agaknya
kita mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama menghancurkan
komplotan
terkutuk itu."
Lagi-lagi
kesunyian menyeling.
"Anggini..,” kata Wiro memecah kesunyian itu.
"Sekali ini pertemuan kita tak bisa berjalan lama...”
''Kau memang selatu tidak menginginkan pertemuan lama-lama
denganku..,” kata Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
Pendekar 212 letakkan tangan kirinya di bahu Kanan Anggini.
Perawan itu merasakan ada hawa aneh yang nikmat dan menenangkan hati mengalir
ditubuhnya.
"Aku sudah bilang tadi bahwa pertemuan ini sangat
menggembirakan. Namun kita harus sama memaklumi bahwa aku harus menyelamatkan
Andjarsari dan merebut kembali
Keris Tumbal
Wilayuda. Di lain hari kelak aku pasti akan menyambangimu di sini…"
Anggini
terdiam. Dipermainkannya kain biru yang tadi merupakan kerudung wajahnya.
"Aku
pergi sekarang, Anggini…"
"Wiro…,”
suara Anggini tersekat ditenggorokan.
Langkah Pendekar 212 tertahan. Dipandanginya paras jelita di
hadapannya. Kemudian dilihatnya bagaimana gadis itu menggerakkan tangannya,
meremas jari-jari tangannya yang diletakkan di bahu. Sekelumit getaran menjalari
darah muda Pendekar 212. Dia membungkuk dan mencium kening Anggini. Ketika
kepalanya hendak ditariknya kembali tiba-tiba gadis itu merangkul lehernya erat
sekali.
"Wiro... Wiro... jangan pergi dulu…" bisik
Anggini. Nafas mereka saling menghembusi wajah masing-masing. Wiro membelai
pipi yang halus lembut itu. Ketika Anggini memejamkan matanya, Pendekar 212
menempelkan bibirnya ke bibir Anggini. Betapa hangatnya pertemuan sepasang
bibir itu. Mula-mula bibir itu diam membeku seperti mati. Kemudian rangsangan
mulai membuat getaran-getaran pada permukaan kulit bibir masingmasing. Dan bila
sudah demikian, maka sepasang bibir itupun mulai menari-nari, saling lumas
melumas. Keduanya berpagutan erat-erat seperti tak hendak dilepaskan untuk
selama-lamanya.
"Wiro…
aku cinta padamu, Wiro. Aku cinta padamu..,” bisik Anggini berulang kali.
"Hemm..,”
Pendekar 212 menggumam. Digigitnya bibir perawan itu.
"Kaupun
cinta padaku bukan...?"
"Hemmm…,”
Wiro menggumam lagi.
"Jawab Wiro. Katakanlah…,” Dan tanpa disadari saat itu
tubuh keduanya sudah terbaring berpagutan di lantai. "Wiro . . . ."
"Tiba-tiba
di ruangan itu meledaklah suara tertawa yang dahsyat.
"Ha... ha... sungguh satu pemandangan yang asyik untuk
dilihat! Teruskan… teruskanlah! Pendekar 212, kenapa tidak kau telanjangi saja
tubuh gadis itu?! Itu seribu kali lebih nikmat… Ha… ha... ha!"
Seorang
lain kemudian menyambungi suara yang pertama itu.
"Pendekar 212 nyatanya hanya seorang Pendekar Cabul.
Tapi tak apa! Sebelum dikirim ke liang kubur tak apa kalau diberi
kesempatan dulu bercumbu rayu! Di liang kubur kau hanya akan bercumbu dan tidur
dengan cacing!"
Baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini sama-sama
terkejut. Keduanya melompat cepat. Anggini merapikan jubah birunya yang terbuka
di bagian dada !
-- == 0O0 == --
EMPAT BELAS
DI PINTU ruangan berdiri berkacak pinggang dua manusia
bermuka buruk angker. Yang berselempang kain putih mukanya hitam macam pantat
kuali, rambut awut-awutan, tampangnya seperti singa dan dia bukan lain Resi
Singo Ireng! Di keningnya tertera tiga angka 212. Di sampingnya berselempang
kain biru berdiri kakaknya yaitu Resi Macan Seta yang tampangnya persis seperti
macan. Kulit mukanya coreng moreng belang tiga, kuning, merah dan hitam! Kedua
pentolan pemberontak kaki tangan Parit Wulung ini telah diperintahkan oleh
Parit Wulung untuk mencari kembali Keris Tumbal Wilayuda. Dan hari itu mereka
sampai di Goa Dewi Kerudung Biru di mana mereka telah dapat mencium jejak
Pendekar 212. Bukan saja kedua Resi ini berprasangka bahwa Keris Tumbal
Wiiayuda sudah berada di tangan Pendekar 212, tapi Resi Singo Ireng sendiri
memang mempunyai dendam kesumat terhadap Pendekar
212 yaitu sewaktu
dibikin muntah darah dalam pertempuran di perbatasan Kerajaan Banten tempo
hari. Dan dendam kesumat itu masih dibawanya ke mana-mana sampai saat itu
dikulit keningnya di mana tertera angka pukulan 212!
"Siapa
mereka, Wiro ?,” tanya Anggini dengan ilmu menyusupkan suara.
"Dua manusia keparat yang membantu Parit Wulung si
pemberontak terhadap Banten!,” menyahuti Pendekar 212."
"Eeee… eee... eee. Kenapa acara kalian tidak
diteruskan?,” bertanya Resi Singo Ireng dengan nada mengejek.
Pendekar 212 menyengir. "Bicaramu keren sekali manusia
muka pantat Kuali.
Tentunya kau
andalkan manusia muka harimau yang disampingrnu itu, huh?!"
Mata Resi Macan Seta membeliak garang.
"Pentang kau punya mata, bukalah lebarlebar agar tahu dengan siapa
berhadapan!" bentaknya.
"Ah, manusia jelek macammu perlu apa aku kenali. Lagi
pula, melihat kepada tampangmu, aku kawatir apa kau betul-betul manusia atau
harimau jadi-jadian!,” Habis berkata begitu maka Pendekar 212 tertawa mengakak.
"Pemuda besar mulut, aku mau lihat apakah kau sanggup
menerima pukulanku ini?" bentak Resi Matjan Seta. Kata-kata ini ditutup
dengan menghantam tangan kanannya ke muka. Maka bertaburlah sinar merah
kekuningan ke arah Wiro dan Anggini. Pukulan "siaar surya tenggelam."
.
Pendekar 212 dan Anggini melompat ke samping Anggini
sementara itu dengan cepat mengenakan kembali kerudung birunya.
Kejut Resi Macan Seta bukan kepalang ketika melihat Pendekar
212 dan si gadis sanggup mengelakkan serangannya yang ampuh tadi. Nyatalah
bahwa nama Pendekar 212 bukan kosong belaka. Tidak disesalkan kalau tempo hari
adiknya dapat dipecundangi!
Ketika melihat si gadis mengenakan kerudung kejut Resi
Matjan.Seta dan Singo Ireng lebih-lebih lagi.
"Kiranya kita berhadapan pula dengan Dewi Kerudung
Biru, saudaraku Singo Ireng!". kata Matjan Seta.
"Betul, tapi sang dewi ini biar aku bekuk hidup-hidup.
Tampang dan, tubuhnya yang montok lumayan sekali untuk dikekapi sehari
semalam!"
Marahlah Wiro mendengar ucapan Singo Ireng itu.
"Manusia pantat kuali, angka 212 di keningmupun belum sanggup kau hapus,
sekarang sudah berani-beranian unjuk gigi!"
Si Singo Ireng tidak ambil peduli ucapan Wiro Sableng tapi
segera menyerang Dewi
Kerudung Biru.
Sengaja dikeluarkannya jurus "memetik bunga memotes tangkainya".
Jurus ini ialah satu jurus meringkus lawan yang didahului oleh satu totokan
jarak jauh yang dahsyat!
Namun dugaan Singo Ireng bahwa dia akan sanggup membekuk
hidup-hidup, Dewi Kerudung Biru dalam satu jurus hebat itu meleset besar! Dewi
Kerudung Biru sambuti serangannya dengan jurus "naga kepala seribu
mengamuk!"
Kaget sekali jadinya Resi Singo Ireng ketika menyaksikan
bagaimana kedua tangan lawan berkelebat sangat cepat naik turun membabat ke
samping dan berputar bergelung, menyerang ke arahnya.
Selama malang melintang membuat kejahatan di dunia
persilatan baru kali ini dia menghadapi jurus aneh ini! Sebaliknya Resi Matjan
Seta yang punya lebih banyak pengalaman segera berseru. "Singo lreng, awas
itu pukulan naga kepala seribu mengamuk!" Mendengar ini tersurutlah Resi
Singo Ireng. Cepat-cepat dia kemudian melompat ke udara ketika menukik ke bawah
dia lancarkan empat tendangan empat pukulan. Dalam sekejapan saja kedua orang
itu sudah terlibat dalam jurus-jurus yang dahsyat.
"Manusia muka coreng moreng! Apa hanya kalian berdua
saja yang datang antarkan nyawa ke mari…?" tanya Pendekar 212 pada Matjan
Seta.
"Bocah gila!" bentak Matjan Seta marah sekali
sehingga mukanya yang coreng moreng itu semakin menyeramkan.
“Jika kau tidak kepingin mampus, sebaiknya lekas serahkan
Keris Tumbal Wilayuda dan beri tahu di mana Sultan berada. Niscaya kau punya
nyawa akan aku ampunkan!" Pendekar 212 bersiul keras.
"Kau bukan Tuhan yang bisa mengampunkan manusia!
Sebaiknya kupertemukan saja kau lekas-lekas dengan malaekat maut!"
Resi Macam Seta mengaum macam harimau terluka. Tubuhnya
berkelebatan dan lenyap. Angin dahsyat laksana angin prahara menderu ke arah
Pendekar 212. Secepat kilat Pendekar 212 jatuhkan diri dari berguling di
lantai. Tangan kanannya memukul ke atas! Pukulan Matjan Seta yang tidak
mengenai sasarannya terus melanda dinding batu. Dinding itu pecah! Tetapi
sebaliknya Resi ini merasakan bagaimana tubuhnya terasa seperti diangkat ke
atas dan satu angin tajam menyakiti kulit kakinya. Ketika dia memandang ke muka
Pendekar 212 sudah tak ada dihadapannya.
"Aku
di sini, Matjan Seta!"
Matjan Seta putar tubuh ke belakang. Begitu tubuhnya
berputar begitu dan melihat satu gumpalan angin yang kerasnya laksana baja
menderu ke arahnya. Resi ini tak ayal lagi melompat empat tombak ke udara.
Mendadak didengarnya suara siulan dekat sekali di telinganya. Dia hantamkan
tangannya ke samping. Tapi....
"Bluk!"
Resi Matjan Seta terpelanting ke lantai. Tulang punggungnya
serasa remuk. Dia kerahkan tenaga dalamnya dengan cepat ke bagian yang kena
dipukul lawan lalu atur jalan nafas. Ketika dia berdiri lurus-lurus kembali,
muka macannya kelihatan bertambah angker. Kedua kakinya terpentang lebar.
Tubuhnya sedikit membungkuk ke muka. Kedua tangannya yang diangkat ke atas
kelihatan bergetar. Wiro maklum bahwa lawannya memusatkan seluruh tenaqa
dalamnya pada dua tangan itu, dengan segera pendekar ini bersiap-siap pula!
Tangan kanan Resi Matjan Seta kelihatan berwarna merah
kekuningan. Lebih merah dan lebih kuning dari yang tadi. Pendekar 212 tahu
bahwa lawannya bakal lepaskan lagi pukulan "sinar surya tenggelam"
tapi yang lebih hebat dari yang pertama tadi. Dan ketika melirik pada tangan
kiri sang Resi, tangan itupun kini berwarna sangat merah dan mengepulkan asap
merah!
Dua pukulan sekaligus tak bisa dianggap enteng! Pendekar 212
tidak mau ambil risiko. Segera tangan kanannya ditinggikan ke atas. Dan cepat
sekali lengan sampai ke jari-jari tangan kanan itu menjadi sangat putih dan
menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari !
Mata Resi Matjan Seta membeliak melihat hal itu.
"Pukulan sinar matahari!,” keluhnya dengan hati tergetar. "Benar-benar
pemuda rambut gondrong ini memiliki ilmu kesaktian yang tinggi luar biasa!
Apakah dia benar-benar telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Eyang Sinto
Gendeng…?,” demikian Matjan Seta membathin.
Namun percaya, bahwa dua, pukulannya yaitu pukulan
"inti api" dan pukulan "sinar surya tenggelam" akan dapat
mengimbangi pukulan lawan maka dengan serta merta dia hantamkan kedua tangannya
ke muka. Dua gelombang sinar merah pun menderu ke arah Pendekar 212.
Pendekar 212 tunggu sampai dua gelombang sinar itu berada di
pertengahan jarak antara dia dan lawan. Dan sedetik kemudian tangan kanannyapun
turunlah ke bawah. Selarik sinar putih yang sangat panas dan menyilaukan
menggebubu melabrak dua gelombang sinar merah,
"Bumm
!"
Ruangan batu itu tergoncang hebat. Dinding batu angsrok,
Lantai longsor sedang bagian atas ambruk! Terdengar keluhan maut Resi Matjan
Seta. Di saat yang rasanya seperti mau kiamat itu Pendekar 212 berkelebat cepat
menyambar tubuh Dewi Kerudung Biru dan dilarikan ke luar goa. Sesaat mereka
sampai di luar goa maka runtuhlah Goa Dewi Kerudung Biru. Resi Singo Ireng yang
tak sempat selamatkan diri, mati tertimbun bersama saudaranya Resi Matjan Seta.
Di luar goa Pendekar 212 dan Dewi Keradung Biru saling berangkulan.
"Anggini… sangat disesalkan tempatmu yang bagus menjadi
hancur runtuh. Tapi sebagiannya masih bisa kau pergunakan...”
Anggini
mengangguk. Disembunyikannya wajahnya di dada yang bidang itu.
"Anggini,” kata Wiro lagi. Dilepaskannya pelukannya.
"Waktuku tak banyak lagi. Aku harus segera ke Lembah Batu Pualam tempat
bersarangnya Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma..... Sampai jumpa lagi,
Anggini".
"Aku
ikut Wiro....!" seru gadis itu, Tapi Pendekar 212 sudah lenyap dari
hadapannya.
Gadis itu termanggu sejurus. Tapi kemudian segera pula dia
berkelebat meninggalkan tempat itu.
-- == 0O0 == --
LIMA BELAS
LEMBAH
Batupualam…..
Lembah ini dikelilingi oleh pegunungan batu pualam yang
berkilauan ditimpa sinar sang surya. Di mana-mana bahkan sampai ke dasar lembah
terdapat gundukan-gundukan batu pualam putih. Di tengah dasar lembah kelihatan
sebuah gedung besar bertingkat dua yang keseluruhannya mulai dari lantai sampai
ke atap terbuat dari batu pualam. Gedung ini indah sekali bentuknya. Di
beberapa bagian di luar dan di dalam gedung batu pualam ini terdapat
ukiran-ukiran yang bagus sehingga sesungguhnya tak pantaslah bila gedung itu
menjadi markas atau sarangnya komplotan terkutuk Iblis Pencabut Sukma!
Pendekar 212 berdiri di ujung timur tepi lembah, berlindung
di balik sebuah onggokan batu pualam. Dari tempatnya berada dilihatnya gedung
itu sepi-sepi saja. Tak ada seorangpun anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
yang kelihatan.
Dengan berlindung di balik gugusan-gugusan dan puing-puing
batu pualam, Pendekar 212 mulai menuruni lembah. Dia sampai di dasar lembah
kini. Jarak antaranya dengan gedung batu pualam kurang lebih tiga puluhan
tombak. Wiro melompat ke balik gugusan batu pualam yang lain, melompat lagi ke
kiri, lalu ke kiri lagi sehingga jaraknya kini dengan gedung itu hanya sekira
sepuluh tombak.
Pintu depan gedung terbuka lebar-lebar, demikian juga
jendela-jendela di tingkat bawah serta atas. Anehnya sampai saat itu suasana
masih sunyi senyap seperti tadi. "Mungkin ada perundingan di dalam sana…,”
pikir Pendekar 212. Dia memutuskan untuk menunggu sampai kira-kira sepeminum
teh. Sementara itu di tingkat kedua gedung batu pualam.....
Di sebuah ruangan rahasia kelihatan empat manusia berjubah
dan berkerudung merah.
Salah satu di antaranya jubah dan
kerudungnya lebih merah dari yang lain-lain. Dialah Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma. Dia duduk di sebuah kursi, membelakangi sebuah mimbar.
Dihadapannya duduk tiga orang, satu di antaranya ialah Wakil Ketua Perkumpulan.
Yang dua anggota anggota Perkumpulan yang berilmu tinggi. Di pangkuan Wakil
Ketua Perkumpulan saat itu terbaring tubuh Anjarsari.
Ketua Iblis Pencabut Sukma manggutkan kepala dan Wakilnya
segera berdiri. Tubuh Andjarsari diletakkannya di kursi lalu dia melangkah
kehadapan Ketua dan menjura.
"Ketua, harap dimaafkan bila aku menjalankan tugas dan
kembali ke sini agak terlambat. Ada beberapa rintangan di tengah jalan…”
"Kau berhasil mendapatkan Keris Tumbal Wilajuda?!"
bertanya sang Ketua. Suaranya berat serak laksana palu godam.
Wakil Ketua angguKkan kepala lalu keluarkan sebilah keris
yang keseluruhannya mulai dari sarung sampai ke kerisnya terbuat dari emas.
Karena senjata ini senjata mustika maka dengan sendirinya memancarkan sinar
kuning yang terang! Mata Ketua Iblis Pencabut Sukma berkilat-kilat melihat
senjata itu. Begitu diterumanya diperhatiKannya sejurus lalu dimasukkannya ke
batik pinggang.
"Apalagi yang kau bawa?!" tanya sang Ketua.
Wakilnya putar tubuh sedikit dan menuding pada tubuh Andjarsari yang didudukkan
di kursi. "Gadis itu adalah calon isteri Sultan
Hasanuddin. Aku
berhasil menculiknya.......”
"Sultan
sendiri bagaimana . . . . . . , ?".
“Aku juga
sebenarnya hampir berhasil menculik dia waktu berada disarang Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam tapi tahu-tahu sesosok bayangan biru melarikannya. Ketika
kuikuti jejaknya ternyata bayangan biru itu adalah Dewi Kerudung Biru.
Perempuan dajal itu hampir berhasil kutamatkan riwayatnya bersama beberapa
orang anggota jika seorang pemuda gila bergelar Pendekar 212 tidak muncul di
situ!"
"Hem... memang akhir-akhir ini kudengar kabar
selentingan tentang munculnya seorang pendatang baru yang aneh dalam dunia
persilatan...."
Ketua Iblis Pencabut-Sukma usap-usap dagunya yang
tersembunyi di batik kerudung itu. Lalu tanyanya. "Jadi kau dan anak-anak
buah tak sanggup membereskan pendekar itu?".
"Manusia itu sakti sekali. Dia memiliki sebuah kapak
bermata dua..... Kapak Maut Naga
Geni 212!"
"Hanya sebuah kapak buat penebang pohon saja kau
takuti.... Bagaimana dengan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam....?"
"Mulanya, karena merasa bahwa kita masih satu golongan
dan aliran dengan mereka, aku minta agar keris, Andjarsari dan Sultan
diserahkan secara baik-baik. Tapi mereka membangkang. Terpaksa tak satupun yang
aku kasih hidup...."
"Itu bagus!," kata Ketua Iblis Pencabut Sukma
"Dalam waktu dua atau tiga hari dimuka, kita akan segera berangkat ke
Banten! Sampai saat ini secara tidak langsung, dengan adanya Keris Tumbal
Wilajuda di tangan kita maka Banten sudah milik kita. Dan sebagai balas jasamu,
kau boleh ambil itu gadis!".
Gembiralah hati sang Wakil mendengar itu. Sesaat sesudah
sang Ketua meninggalkan ruangan disusul oleh dua orang anggota kelas satu tadi
maka Wakil iblis Pencabut Sukma segera memboyong tubuh Andjarsari ke dalam
kamarnya yang terletak dipaling ujung gedung tingkat kedua.
Sepeminum
teh telah lewat.
Wiro mengintai lagi dari balik gugusan batu pualam. Gedung
masih tetap sunyi senyap. Dengan rasa tak sabar segera pemuda ini kerahkan ilmu
mengentengi tubuh dan laksana seekor alap-alap melesat ke atas atap gedung batu
pualam tingkat kedua. Bagian atas gedung ini rata licin. Dan di sebelah sana
beberapa tombak jauhnya, dua orang berjubah dan berkerudung merah tengah asyik
bermain dam. Begitu sudut mata mereka melihat adanya bayangan sesosok tubuh di
atas atap itu segera keduanya putar kepala.
"Hai!" seru salah seorang dari mereka.
"Siapa kau ?!,” membentak yang kedua. Pendekar
212 melintangkan jari tetunjuk
tangan kirinya di atas bibir. "Sssst............. desisnya. Kemudian
dengan tiba-tiba tangan kanannya dihantamkan ke muka. Tak ampun lagi kedua
manusia berjubah merah itu rebah di atas atap dengan menyembur darah sedang
papan serta buah dam mental di udara jauh sekali.
Pendekar 212 geli sendiri. Dia memandang berkeliling. Kemudian
lapat-lapat dari ujung atas sebelah sana didengarnya suara jeritan perempuan.
Dengan cepat pemuda ini lari ke ujung atap. Di bawah atap, persis di atas
sebuah jendela terdapat beberapa buah lobang angin. Dari salah satu lobang
angin ini Wiro mengintai ke dalam gedung! Dan mendidihlah darah Pendekar 212
sewaktu menyaksikan apa yang terpampang di dalam kamar di bawah atap itu.
Andjarsari berada dalam keadaan hampir tak berpakaian.
Rambutnya yang panjang kusut masai menjela-jela. Gadis ini megap-megap dan
menjerit-jerit serta meronta. Tapi tak kuasa sama sekali untuk menyingkirkan
tubuh Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang menghimpitnya dari
atas!
Tidak membuang waktu lagi Pendekar 212 melompat turun dan
melabrak jendela kamar dengah satu tendangan kaki kiri.
Kejut Wakil Ketua Perkumpulan Iblis itu bukan alang
kepalang! Jendela kamar dilihatnya hancur berantakan dan sedetik kemudian
sesosok tubuh melayang memasuki kamar!
"Bangsat rendah!" memaki manusia bermuka angker
itu. Secepat kilat dia melompat dari tempat tidur dan menyambar jubah merahnya.
Dia tak sempat mengenakan kerudungnya karena pada saat itu Pendekar 212 sudah
menyerang dengan ganas!
Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma sambuti serangan lawan
dengan jurus "menendang langit menjungkir awan". Begitu hebatnya
jurus ini sehingga Pendekar 212 terpaksa tahan kegeramannya untuk melanjutkan
serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma
untuk lari ke luar kamar!
"Jalan lari satu-satunya bagimu hanyalah ke neraka
manusia durjana!,” bentak Pendekar 212 lalu
memburu dengan sebat.
Wakil Ketua itu melarikan diri ke sebuah ruangan besar yang
di setiap dindingnya terdapat lima buah pintu. Begitu injakkan kaki di ruangan
ini dia segera berteriak. "Anggotaanggota Perkumpulan! Gedung ini
kebobolan bahaya! Lekas ke luar!"
Serentak dengan itu maka dua puluh pintu di empat dinding
ruangan terbuka lebar dan melompatlah dua puluh anggota Perkumpulan. Kesemuanya
berjubah dan berkerudung merah dan mencekal sebilah pedang merah! Wakil Ketua
Perkumpulan sendiri cabut sebuah rujung emas dari balik jubahnya. .
"Cincang
pemuda sedeng ini!,” Wakil Ketua beri komando. Kata-katanya ini ditutup dengan
sambarkan rujung emasnya ke arah Pendekar 212! Masih dalam jarak beberapa tombak
maka angin pukulan rujung telah menyambar dengan dahsyat ke arah Pendekar 212.
Hampir bersamaan pula dengan itu maka dua puluh anggota Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma menyerbu pula! Duapuluh batang pedang merah berkiblat! Hanya
sekejapan mata saja maka terbungkuslah Pendekar 212 dalam hujan pedang dan
sambaran rujung!
Murid Eyang Sinto Gendeng ini menggerung dahsyat. Dengan
cepat dia jatuhkan diri ke lantai. Begitu jatuh di lantai dua tangannya
dihantamkan nembentuk dua lingkaran. Dua lingkaran sinar putih panas yang
menyilaukan mata menggelombang. Dimana-mana terdengar pekikan kematian. Lebih
dari separoh anak buah komplotan Iblis Pencabut Sukma terkapar di lantai
ruangan dengan tubuh hangus tersambar ilmu pukulan "sinar matahari"
Pendekar 212!
Melihat ini mereka yang masih hidup menjadi lumer nyalinya
dan mulai pikir-pikir untuk undurkan diri. Namun tentu saja mereka juga takut
pada pimpinan, terlebih lagi ketika. Wakil Ketua mereka membentak. "Ayo!
Kalian tak perlu takut! Mari gempur lagi dengan jurus menabas gunung menusuk
bukit mendobrak bendungan!
Selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatakan jarang
sekali Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma mengeluarkan jurus "menabas gunung
menusuk bukit mendobrak bendungan" itu. Kecuali dalam menghadapi lawan
yang benar-benar luar biasa tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Dan hari itu
bila mereka mengeluarkan jurus yang dahsyat itu nyatalah bahwa lawan yang
mereka hadapi benar-benar hebat! Dan memang begitu kenyataannya!
Pendekar 212 sendiri begitu dengar nama jurus ini tak ayal
lagi segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Selama ini dia cuma pernah dengar
dan mengetahui nama jurus yang terdiri dari empat untaian kata-kata. Kini lawan
menyerangnya dengan jurus enam untaian katakata. Pastilah ini suatu jurus yang
luar biasa!
Maka begitu lawan menyerbu, Pendekar 212 sudah putar Kapak
Maut Naga Geni 212nya. Lolong kematianpun bergemalah untuk kedua kalinya di
ruangan itu! Enam anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma menggeletak mandi
darah. Dua orang yang masih hidup, ditambah dengan Wakil Ketua Perkumpulan yang
saat itu masih memegangi rujung emasnya tapi yang sudah kuntung karena
diterabas Kapak Pendekar 212, saling berikan isyarat. Dua anggota yang masih
hidup ini melompati Wiro dan kirimkan empat serangan berantai sekaligus. Wakil
Ketua mereka sendiri melompat kesebuah pintu dan menekan satu tombol rahasia!
Pada detik Pendekar 212 menerabas tubuh kedua lawannya
dengan Kapak Maut, maka pada detik itu pula tiba-tiba lantai yang dipijaknya
terbuka ke samping. Tak ampun lagi tubuhnyapun melayang jatuh ke dalam sebuah
ruangan sedalam dua puluh tombak sedang lantai ruangan yang tadi membuka kini
secara aneh tertutup oleh jalur-jalur besi sebesar lengan
!
"Ha...
ha... ha...!" Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tertawa
bekakakan. "Sekalipun kau punya sepuluh kepala dua puluh tangan dan kaki
jangan harap kau bisa ke luar dari perangkap ini Pendekar 212!"
"Manusia sialan!" maka Pendekar 212 sangat geram
dan penasaran. Dihantamkannya tangan kanannya ke atas. Sinar putih berkiblat.
Lantai ruangan di atasnya hancur runtuh tapi jalur-jalur besi yang menutup
lobang perangkap sedikitpun tidak berobah. Wakil Ketua Perkumpulan sendiri saat
itu dengan cepat sudah menghindar ke samping kemudian dari balik jubahnya dia
keluarkan sebuah lonceng kecil. Begitu lonceng dibunyikan maka muncullah Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma diiringi oleh dua orang anggota klas satu yang
berkepandaian sangat tinggi.
Menyaksikan kematian banyak sekali anak buahnva maka
menggerenglah Ketua Perkumpulan ini. Mukanya yang tersembunyi dibalik kerudung
mengkerut tegang, matanya berkilat-kilat. Dia melangkah kehadapan sang Wakil.
"Sesudah seluruh anggota mampus begini rupa baru kau
bunyikan lonceng memanggil aku? Bagus betul perbuatanmu!"
Gemetarlah lutut Wakil Ketua mendengar bentakan atasannya
itu. "Tapi Ketua, manusia itu sakti luar biasa. Namun demikian aku telah
berhasil meringkusnya! Lihatlah ke bawah sana!"
"Keberhasilanmu tetap tidak dapat menghindari hukuman
yang bakal kau terima kelak!" desis Ketua Perkumpulan. Dia melangkah ke
tepi perangkap. Namun secepat kilat bersurut mundur karena dari dasar perangkap
menggebu segumpal angin dahsyat. Atap gedung batu pualam yang tadi telah hancur
dilanda pukulan sinar matahari kini kembali berpelantingan!
"Kurang ajar!,” bentak Ketua Perkumpulan. Tangan
kanannya dipukulkan ke dasar perangkap. Dan menderulati lima lusin jarum merah!
Tapi lagi-lagi Ketua Perkumpulan ini dikejutkan ketika angin sedahsyat badai
membuat jarum-jarum beracunnya itu menderu kembali ke atas! Jika tidak lekas
pula dia menghindar dari tepi perangkap pastilah senjata makan tuan!
"Budak hina dina! Kau boleh keluarkan seribu ilmu tapi
jangan harap kau bakal ke luar hidup-hidup dari dalam perangkap ini!"
Habis berkata begitu dengan ibu jari kaki kanannya Ketua
Perkumpulan IbIis Pencabut Sukma menginjak sebuah tombol di salah satu sudut
perangkap sebelah atas! Di dasar perangkap, secara aneh dinding terangkat
kira-kira sejengkal dan laksana air bah dari keempat celah dinding itu
berserabutanlah ratusan binatang berbisa seperti ular, kelabang, lipan dan
kalajengking! Semuanya menyerbu menyerang Pendekar 212!
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat dua tombak. Begitu
tubuhnya mengapung di udara tangan kirinya segera mengambil batu api 212 dari
balik pinggang. Sekali batu api dan Kapak Naga Geni 212 diadu maka lidah apipun
menderulah ke lantai perangkap. Seluruh binatang berbisa itu tak satupun yang
hidup. Semuanya terbakar musnah dengan mengeluarkan bau yang tak nyaman dan
memegapkan jalan nafas.
Pendekar 212 tidak menunggu lebih lama. Jika di luar dengan
ilmu mengentengi tubuh dia bisa melompat sampai tiga puluhan tombak lebih,
mengapa di dalam perangkap yang cuma sedalam dua puluh tombak itu dia tak bisa?
Cuma yang dikhawatirkannya ialah jika dia tak dapat menerobos atau
menghancurkan jalur-jalur besi di atas perangkap itu dengan Kapak Maut Naga
Geni 212-nya !
Di atas sana tiba-tiba dilihatnya Ketua dan Wakil Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma kembali mendekati tepi perangkap. Pendekar 212
segera hantamkan tangan ke atas mengirim pukulan matahari dan serentak dengan
itu dia melompat ke udara. Kapak Naga Geni 212 diputar dengan sebat!
"Trang...
trang... trang...!"
Ternyata Kapak Naga Geni 212 mampu menghancurkan jalur-jalur
besi penutup perangkap. Pendekar 212 tertawa gembira dan berdiri dengan
berkacak tangan kiri dipinggang sementara empat lawannya di ruangan itu diam-diam
menjadi ngeri melihat kehebatan pemuda ini!
Dari kerudung dan jubahnya yang lebih merah laksana darah.
Pendekar 212 segera mengenali yang mana adanya Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut
Sukma. Maka berkatalah pemuda ini dengan membentak. "Lekas serahkan Keris
Tumbal Wilajuda. Dan jika kalian berjanji untuk kembali ke jalan yang benar
niscaya aku masih mau memberi ampun!"
Ketua Perkumpulan tertawa mendengus. "Usia masih seumur
jagung, tubuh masih bau amisnya orok, mungkin tidurpun masih ngompol tapi sudah
berani bicara membentak dan memerintah dihadapanku!"
"Ucapanmu tidak lucu Ketua Perkumpulan Iblis! Ringkas
kata kau mau serahkan Keris
Tumbal Wilajuda
atau tidak?!"
Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma angkat
tangannya ke udara. Gerakannya ini diikuti oleh Wakil dan dua anggotanya.
"Baik!,” katanya, "aku akan serahkan Keris Tumbal
Wilajuda padamu, tapi serahkan dulu kau punya jiwa!"
Habis
berkata demikian maka empat tanganpun sama-sama ditarik melancarkan pukulan
yang sangat diandalkan oleh Perkumpulan mereka yaitu pukulan pencabut sukma!
Dalam keadaan lengah seperti di Goa Dewi Kerudung Biru tempo
hari mungkin empat pukulan sakti itu akan menamatkan riwayat Pendekar 212. Tapi
kali ini keadaan berlainan, apalagi saat itu Wiro memegang pula Kapak Maut Naga
Geni 212 ditangan!
Begitu empat angin maut membetot ke arah badannya maka
Pendekar 212 berseru nyaring! Tubuhnya lenyap! Menyusul suara siulan melengking
dan Kapak Maut Naga Geni 212 membuat putaran putih yang sebat sekali, angin
yang ke luar dari Kapak sakti itu melanda hebat tarikan angin maut keempat
musuh. Dan setengah jurus kemudian dua anggota klas satu Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma sama menjerit keras! Tubuh mereka rebah ke lantai. Yang satu
berbusaian isi perutnya, yang satu lagi hampir putus batang lehernya !
Ketua dan Wakil Perkumpulan terkutuk sama-sama tersurut!
"Apa kau masih belum mau serahkan apa yang kuminta?!" bentak Pendekar
212.
"Aku
bilang serahkan nyawamu lebih dulu, budak hina!" balas membentak Ketua
Iblis.
"Manusia tolol, dikasih ampun malah minta mampus!"
Gusar sekali Pendekar 212 jadinya. Tubuhnya berkelebat untuk kesekian kalinya.
Kali ini dalam jurus "membuka jendela memanah rembulan". Kapak Naga
Geni mula-mula menderu sebat ke samping. Dan terdengarlah jerit kematian Wakit
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Ketua Perkumpulan tersirap dan melompat
mundur ketika melihat Wakilnya terhuyung-huyung dengan dada mandi darah lalu
jatuh duduk di lantai! Namun Pendekar 212 betul-betul tidak mau memberikan
kesempatan lagi. Kapaknya terus menyelesaikan jurus yang dibuat dan kini
membabat deras ke udara!
Ketua Perkumpulan terkutuk itu melolong setinggi langit!
Dagunya terbabat putus berikut sebagian kerudungnya sekaligus! Tubuhnya
terbanting ke dinding! Ketika Kapak Maut Naga Geni hendak membalik lagi guna
menamatkan riwayat Ketua Perkumpulan durjana itu maka tahu-tahu melesatlah
sesosok tubuh manusia dan terdengar satu seruan.
"Bangsat
yang satu ini adalah bagianku, Wiro!".
-- == 0O0 == --
ENAM BELAS
PENDEKAR
212 berpaling yang datang ternyata Dewi Kerudung Biru alias Anggini !
"Ah,
kau rupanya Anggini. Betul, memang tepat sekali kalau kau yang cabut nyawa
anjing manusia terkutuk ini! Kau selesaikanlah perhitungan lamamu!”
Ketika Pendekar 212 bicara ini, Ketua Perkumpulan Iblis
pergunakan kesempatan untuk menghambur ke pintu. Tapi secepat kilat Wiro
angsurkan kaki kirinya menyerimpung pergelangan salah satu kaki Ketua
Perkumpulan Iblis itu. Tak ampun lagi tubuhnya tersungkur ke lantai!
"Cepat bangun, manusia iblis agar cepat pula kuantarkan
kau punya nyawa menghadap penjaga neraka!,” bentak Dewi Kerudung Biru!
Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
berdiri. Tiba-tiba dia hantamkan satu pukulan ke arah Dewi Kerudung Biru. Tapi
tenaga pukulannya ini sudah banyak berkurang akibat luka didagunya yang
mengandung bisa dan bisa mana mulai menjalar kesegenap pembuluh darahnya!
Melihat lawan memukul, Dewi Kerudung Biru berkelit cepat dan
kirimkan serangan balasan yaitu jurus naga kepala seribu mengamuk! Terkejutlah
Ketua Perkumpulan Iblis melihat jurus yang dahsyat ini. Dia melompat mundur
tiga tombak dan berseru. "Dewi Kerudung Biru, antara kau dan aku tiada
permusuhan, mengapa kita musti bertempur begini rupa?!"
Dewi Kerudung Biru tertawa dingin sedingin salju. "Kau
lupa pada seorang gadis yang hendak kau perkosa beberapa bulan yang
lalu?!" Dewi Kerudung Biru membuka kerudung penutup wajahnya! "Apa
kau masih lupa dan tidak kenali aku?!"
Terkejutlah Ketua Iblis Pencabut Sukma melihat paras gadis
dihadapannya. Namun rasa terkejutnya ini tiada lama. Anggini kembali menyerbu.
Kali
ini dalam jurus "cakar garuda emas". Kedua tangannya terpentang.
"Breet!" Kuku-kuku yang panjang dari gadis itu
menyambar dada sang Ketua. Dan tidak sampai di sana saja, Anggini buka mulutnya
lebar-lebar.
"Huaah!"
Menyemburlah asap kencana biru ke arah Ketua Perkumpulan
Iblis Pencabut Sukma. Manusia ini menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Ketika
dia rebah ke lantai maka sekujur badannya menjadi sangat biru! Tamatlah riwayat
manusia yang paling terkutuk dan ganas itu. Belum puas sampai di situ, Anggini
maju mendekati mayat laki-laki itu lantas menendang kepalanya. Tubuh Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma mencelat enam tombak kepalanya hancur!
"Kau
hebat sekali, Anggini,” memuji Pendekar 212 seraya melangkah mendekati mayat
Ketua Iblis Pencabut Sukma. Ketika digeledah di balik pinggangnya diketemukan
Keris Tumbal Wilajuda!
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya Wiro?,”
bertanya Dewi Kerudung Biru atau Anggini.
Pendekar 212 merenung beberapa lamanya lalu menjawab.
"Setelah Keris Tumbal kerajaan ini berhasil diketemukan, kurasa ada
baiknya aku segera menemui Sultan Banten".
"Mengapa begitu?,” tanya Anggini. "Bukankahkau
sendiri sudah tahu bahwa Sultan Hasanuddin pergi ke Demak untuk meminta bantuan
balatentara dari Sultan Trenggono guna mengusir kaum pemberontak yang kini
bercokol di Banten?"
"Betul, namun saat ini aku ada rencana baru. Rencanaku
ini akan sangat banyak mengurangi korban-korban yang tiada berdosa.....”
"Aku
tak mengerti maksudmu,” kata Anggini pula. I
Pendekar 212 tersenyum. "Kau akan mengerti setelah
menyaksikannya sendiri nanti. Sementara aku menyusul Sultan ke Demak, kuharap
kau sudi pergi keperbatasan dan menunggu kedatangan kami di sana…”
Bagi Anggini adalah lebih disukainya bila dia bisa ikut
bersama-sama dengan pemuda itu.
Namun setelah
berpikir sejurus akhirnya dia menganggukkan kepala.
"Sampai
jumpa Anggini,” kata Pendekar 212 seraya memegang bahu gadis itu.
Anggini meremas seketika jari-jari si pemuda dan sebelum
tubuhnya lebih dijalari gelora darah muda maka Pendekar 212 segera meninggalkan
tempat itu.
Meskipun satu hari terlambat namun dengan ilmu larinya yang
sangat lihai, Wiro berhasil mendahului Sultan. Hasanuddin yang
berangkat ke Demak dengan menunggangi seekor kuda. Wiro menunggu kedatangan
Sultan di jalan luar kota sebelah timur. Tentu saja Sultan Hasanuddin sangat
terkejut dan heran bertemu dengan pemuda sahabatnya itu.
"Sahabat, bagaimana kau tahu-tahu sudah muncul di
sini?" tanya Sultan seraya turun dari kuda. Dengan ringkas Wiro Sableng
segera berikan keterangan. Selesai memberikan keterangan maka dikeluarkannyalah
Keris Tumbal Wilayuda dan diserahkannya pada Sultan.
Berseri-serilah paras Sultan Hasanuddin. "Sahabat
jasamu sungguh tak dapat diukur dengan luasnya laut, dengan tingginya gunung.
Aku berterima kasih betul kepadamu…”
Wiro memotong ucapan Sultan dengan berkata. "Sultan
sebelum memasuki kota dan menemui Sultan Trenggono perkenankanlah aku
memberikan sedikit rencana....”
"Boleh saja. Silahkan" kata Sultan seraya sisipkan
Keris Tumbal Wilajuda dibalik pinggang pakaian. "Dengan membawa balatentra
Demak ke Banten berarti akan pecah lagi peperangan dan pertumpahan darah di
Banten. Sultan tentu lebih tahu dariku bahwa akibat peperangan yang paling
buruk ialah jatuhnya beban penderitaan, serta kesengsaraan dipundaknya rakyat
jelata....”
"Betul, dalam hal ini aku memang sedapat-dapatnya
berusaha agar penduduk jangan sampai banyak yang jatuh korban,” kata Sultan
pula.
Wiro mengangguk. "Di samping itu, sebagian besar dari
prajurit-prajurit pemberontak tiada lain hanya merupakan alat mati yang bisa
dikutak kutik oleh atasan! Di hati kecil mereka sendiri mungkin tak ingin
melakukan pertumpahan darah itu. Tapi demi tugas dari atasan, mereka terpaksa
melakukan peperangan yang kejam itu. Jadi letak tanggung jawab, atau biang
racun dari segala kemusnihan dan penderitaan itu tiada lain terletak di tangan
pentolan-pentolan tinggi pemberontak! Nah, manusia-manusia inilah yang harus
kita lenyapkan lebih dulu…. yang dibawah soal mudah..Apalagi dua bergundalnya
pembantu Parit Wulung yaitu Resi Singo Ireng serta Macan Seta telah menemui
ajal!"
"Apa yang kau katakan itu semua adalah benar sobat,”
kata Sultan. "Tapi aku masih belum melihat bagaimana caramu yang tepat dan
baik dalam merebut kembali takhta kerajaan dengan menghindarkan pertumpahan
darah...."
"Kalau Sultan bisa memberikan sedikit kepercayaan
kepadaku, pastilah aku akan bersedia melaksanakannya... Maka Pendekar 212-pun
menuturkan rencananya selengkapnya.
-- == 0O0 == --
TUJUH BELAS
MALAM itu di satu ruangan rahasia Parit Wulung, Karma Dipa,
Djuanasuta dan seorang tokoh terkemuka dari Partai Api Setan yaitu suatu partai
silat yang dipimpin oleh Resi Matjan Serta tengah melakukan perundingan
penting. Tokoh silat ini adalah murid terpandai dari Matjan Seta yang telah
mewarisi seluruh kepandaian Resi itu. Namanya Rana Tikusila. Dia dan selusin
anggota partai lainnya sengaja diminta datang ke Banten oleh Parit Wulung untuk
memperkuat kedudukannya dan menjaga segala sesuatu yang tak diingini. Seperti
Matjan Seta, muka merekapun coreng moreng. Parit Wulung yang duduk dikepala
meja segera buka bicara. "Saudara-saudara pertemuan ini adalah penting sekali
sehubungan dengan Keris Tumbal Wilajuda. Sampai seka[ang kita masih belum
berhasil menemukannya sedang Sultan sendiri tak diketahui jejaknya. Resi Singo
Ireng dan Resi
Matjan Seta tidak pula kunjung ada kabar beritanya. Aku berharap…”
Parit Wulung tiba-tiba hentikan ucapannya. Dia memandang ke
sebuah alat rahasia disudut ruangan. Alat itu kelihatan bergerak-gerak.
"Saudara-saudara bersiaplah,” kata Parit Wulung. Ada
tamu yang tak diundang rupanya mendengarkan perundingan kita ini di atas
loteng!"
Dan baru saja Parit Wulung selesai mengucapkan kalimat itu,
dua lembar papan loteng terbuka dan sesosok tubuh laksana seekor alap-alap
melayang turun. Suara kedua kakinya sama sekali tiada terdengar sewaktu
menjajaki lantai!
Rana Tikusila, Karma Dipa dan Djuanasuta segera cabut
senjata. Parit Wulung sendiri berdiri dari kursi dan membentak.
"Manusia
atau setan! Apakah kau punya nyawa rangkap berani datang ke sini?!"
Tamu tak diundang itu keluarkan, suara bersiul yang tak
asing lagi yang menandakan bahwa dia bukan lain daripada Pendekar 212 adanya.
"Kau terlalu menghina padaku, Parit Wulung,” menyahuti
Pendekar 212. Dia melirik sedikit ketika melihat Rana Tikusila melangkah
kehadapannya dengan pedang melintang.
"Lekas katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!,” kata
Tikusila seraya angkat tinggitinggi tangan kanannya yang memegang pedang.
"Aku
adalah utusan pribadi Sultan Hasanuddin!".
Maka terkejutlah semua yang , hadir di tempat itu. Dari
balik pakaiannya Pendekar 212 keluarkan segulung kertas dan melemparkan benda
itu yang tepat jatuh memalang di atas gelas tuak, dihadapan Parit Wulung.
"Silahkan baca,” kata
Pendekar 212 pula. Parit Wulung keretakkan rahang melihat sikap yang
merendahkan ini tapi gulungan surat di atas gelas diambil dan dibacanya juga.
Parit
Wulung,
Aku
berikan kesempatan padamu untuk menyerahkan diri bersama bergundal-bergundal
pemberontak lainnya malam ini. Maksud busukmu untuk menduduki takhta kerajaan
Banten secara tidak syah di atas lumuran darah sekian banyak rakyat dan prajurit
Banten serta sekian banyak pembesar-pembesar istana yang tak berdosa akan
sia-sia saja ! ,
Keris
Tumbal Witajuda walau bagaimanapun tak bakal kau dapat. Dua cecunguk pembantumu
yaitu Resi Singo Ireng dan Matjan Seta telah menemui ajalnya.
Jika
kalian menyerah, hukuman yang bakal dijatuhkan tidak begitu berat. Tapi bila
kalian membangkang, kepala kalian jadi imbalannya karena walau bagaimanapun
yang bathil tak akan bisa mengalahkan yang hak, kejahatan tak akan bisa
mengalahkan, kebenaran ! Ingat, waktumu cuma sampai malam ini !
Tertanda
SULTAN HASANUDDIN
Mengelam wajah Parit Wulung membaca surat itu. Namun
kemudian keluarlah suara tertawanya bergelak. Diserahkannya surat itu pada
Karma Dipa, Karma Dipa meneruskan pada Djuanasuta dan Djuanasuta meneruskan
lagi pada Rana Tikusila. Dan ruangan itu kemudian pecahlah oleh suara tertawa
bergelak keempat manusia itu.
Wiro sendiri mengerendeng dalam hatinya. "Kau utusan
Sultan yang tampangmu macam orang hutan!" kata Rana Tikusila, "aku
mau tanya, Sultanmu itu andalkan apakah sampai berani membuat surat ancaman
macam begini rupa ?!"
Wiro tertawa gelak-gelak. "Kau keliwat menghina
sobat!" katanya. "Coba lihat ke kaca besar di dinding sana, tampangmu
yang coreng moreng macam orang gila itu jauh lebih buruk dari padaku! Kurasa
kalau orang tuamu bukannya macan jadi-jadian pastilah macan kesurupan!"
Maka marahlah Rana Tikusila rnendengar hinaan ini.
"Sret,” dicabutnya sebilah pedang lalu dengan, cepat
kirimkan satu tusukan mematikan ke arah dada Pendekar 212. Tusukan ini adalah
sebagian dari jurus paling tangguh dalam ilmu pedang Partai Api Setan dan
dinamakan jurus "anak panah menembus rembulan!" Selama menghadapi
lawan-lawan tangguh jarang dari mereka yang sanggup mengelakkannya Kalaupun
berhasil maka biasanya tak akan mampu untuk mengelakkan jurus susulan yang
dinamakan "gendewa menyambar puncak gunung".
Tapi hari itu Rana Tikusila ketemu batunya. Tusukannya tiada
tersangka hanya mengenai tempat kosong karena berhasil dikelit oleh Pendekar
212. Dengan penasaran dan juga malu pada kolega-koleganya di ruangan itu
maka,Tikusila segera susul dengan jurus "gendewa menyambar puncak
gunung". Pedangnya membalik membabat ke arah pinggang lawan!
Namun nasib anak buah Partai Api Setan ini lebih buruk lagi.
Dengan kecepatan yang sukar dilihat mata, Pendekar 212 berhasil memukul
sambungan siku Tikusila. Pedang mental ke udara, Tikusila sendiri meraung
kesakitan! Dan sesaat kemudian pedangnya sudah berada di tangan Pendekar 212!
Mata Parit
Wulung dan dua orang lainnya membeliak besar. Rana Tikusila sendiri pucat pasi
wajahnya, memercik keringat dingin di keningnya!
"Aku datang ke sini bukan untuk membuat keributan tapi
hanya sekedar menyampaikan surat Sultan Banten! Aku minta jawaban sekarang juga
apakah. kalian sudi menyerah atau tidak?!" Parit Wulung
merampas surat yang dipegang oleh Rana Tikusila lalu merobek-robeknya.
"Ini jawaban kami!" kata Parit Wulung pula serta
melemparkan robekan surat ke muka Wiro Sableng. Pendekar muda ini, tiup robekan
surat-surat itu hingge bertebaran di lantai.
"Besok
pagi jangan harap kalian masih bercokol di dalam istana ini.....”
"Saudara-saudara, sangkap manusia yang satu
ini!". Parit Wulung beri perintah.
Pendekar 212 tertawa mengekeh. Pedang di tangan kanan
dilemparkannya ke lampu besar yang menerangi ruangan itu. Dengan serta merta
gelaplah suasana dan secepat kilat Wiro melompat ke atas loteng, lenyap
dikegelapan malam.
Ketika pagi tiba maka gemparlah seluruh penduduk Kotaraja.
Bagaimanakah tidak. Di halaman depan istana berjejer, bergantungan di tiang
langkan muka lima belas manusia yang sudah menjadi mayat. Mata semuanya
mendelik, lidah terjulur dan pada kening masing-masing tertera tiga angka yang
tak asing lagi yaitu angka 212 !
Kelima belas manusia yang telah menemui ajal dengan cara
yang aneh ini ialah Rana Tikusila bersama dua belas anggota Partai Api Setan,
Djuanasuta dan Karma Dipa, dua pentolan pemberontak dari Pajajaran!
Pada masing-masing leher kelima belas mayat itu tergantung
secarik kertas yang bertuliskan:
Kepada
kalian telah diberikan syarat keampunan untuk menyerah. Tapi kalian sengaja
memilih kematian macam begini. Kalian lupa bahwa kebathilan akan selalu hancur
oleh yang hak.
Kepada
para perajurit dan rakyat Banten yang masih setia pada Sultan, hari ini adalah
hari kebebasan Banten dari cengkeraman kaum pemberontak !
Tertanda
SULTAN HASANUDDIN
Di balik kegemparan yang menyungkupi setiap diri manusia
yang ada di Banten maka berbagai pertanyaan timbul pula dikalangan mereka.
Siapakah yang telah membunuh dan menggantung kelima belas manusia itu? Apakah
arti angka 212 dikening mayat-mayat. Apakah ada hubungannya dengan peristiwa
terbunuhnya beberapa prajurit pemberontak diperbatasan tempo hari? Apakah
Sultan masih hidup dan, surat itu benar-benar ditandatangani olehnya? Kalau
betul masih hidup di mana dia berada sekarang? Kemudian di mana pula Resi Singo
Ireng serta Matjan Seta yang menjadi pentolan pembantu utama Parit Wulung? Kalau
betul Sultan sudah muncul kembali dan turun tangan, mengapa Parit Wulung
sendiri tidak digantung?!
Di dalam suasana yang serba membingungkan dan penuh tanda
tanya tak terjawab itu sekelumit harapan timbul di kalangan rakyat bahwa mereka
betul-betul akan bebas dari kaum pernberontak. Sekelumit harapan ini ditunjang
pula oleh sebagian besar balatentara Banten yang sesungguhnya masih setia pada
Sultan. Dan dari hanya sekelumit harapan untuk bebas maka menjadilah satu tekat
bulat untuk angkat senjata menumbangkan kekuasaan yang tidak syah itu. Lagi
pula satu-satunya pentolan pemberontak yang masih bercokol di istana saat itu
cuma tinggal Parit Wulung seorang. Yang lain-lainnya sudah menemui kematian.
Singo Ireng dan Matjan Seta sudah sejak seminggu lenyap, mungkin juga kini cuma
tinggal nama saja!
Sementara itu di dalam istana begitu menyaksikan lima belas
mayat yang digantung itu, sekujur tubuh Parit Wulung laksana diserang demam
panas dingin. Mukanya sepucat salju. Tengkuknya sedingin es. Siapakah yang
punya kerja menggantungi pembantu-pembantu utamanya demikian rupa? Dugaannya
keras pada pemuda yang datang malam tadi! Dalam kebingungan dan kengeriannya
Parit Wulung sampai lupa untuk memerintahkan agar lima belas mayat yang
digantung itu diturunkan!
Bila dia berhasil menguasai dirinya kembali maka
diperintahkannyalah beberapa kelompok pasukan untuk melakukan pembersihan di
seluruh Kotaraja dan menyelidik ke perbatasan. Namun sebelum pasukan-pasukan
itu bergerak, maka sebagian dari balatentara yang masih setia pada Sultan
bersama-sama dengan rakyat yang membawa berbagai macam senjata sudah menyerbu
laksana air bah. Harapan untuk bebas dari kaum pemberontak, tekat bulat untuk
menegakkan kembali Kerajaan Banten yang syah serta pembalasan dendam kesumat
atas sanak saudara dan karib kerabat yang mati ditumpas kaum pemberontak tempo
hari, itulah semua yang membuat mereka tanpa diberi komando lagi, menyerbu
dengan dahsyatnya !
Dan pada saat pertempuran berkecamuk hebat maka melesatlah
tiga sosok tubuh manusia dari wuwungan istana. Yang pertama seorang perempuan
berkerudung biru, yang kedua seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah
dan yang ketiga adalah Sultan sendiri! Maka semangat tempur para penegak
keadilan itupun berlipat gandalah!
Parit Wulung dan beberapa orang sisa-sisa pembantunya yang
berkepandaian tinggi bertahan mati-matian di dalam kurungan kira-kira tiga
puluh prajurit dan empat puluh rakyat jelata. Ketika Sultan, Dewi Kerudung Biru
dan Pendekar 212 maju pula ke tengah gelanggang, maka hanya beberapa gebrakan
saja tewaslah pembantu-pembantu utama Parit Wulung! Manusia pengkhianat besar
ini dengan putus asa coba bunuh diri dengan hantamkan pedang ke kepalanya. Tapi
Pendekar 212 lebih cepat merampas senjata itu. Sultan dan Dewi Kerudung Biru
kemudian meringkus Parit Wulung! Maka hari itu tamatlah riwayat kekuasaan kaum
pemberontak di bawah pimpinan pengkhianat Parit Wulung dan kawan-kawannya!
Di mana-mana hanya tebaran mayat yang kelihatan. Di
mana-mana hanya suara- gegap gempita rakyat dan prajurit-prajurit yang
terdengar menyambut kemenangan dan mengelukelukan Sultan Hasanuddin.
Kemudian
diantara rakyat dan prajurit-prajurit Banten banyak yang berteriak.
"Gantung
Parit Wulung!”
"Cincang
tubuhnya sampai lumat!"
"Hukum
picis pengkhianat itu !"
"Bakar
saja hidup-hidup!" teriak kelompok yang lain!
Sementara itu di langkan istana, di bawah lima belas mayat
yang masih tergantung berputar-putar di tiup angin pagi, pendekar 212 dan Dewi
Kerudung Biru berdiri dihadapan Sultan.
"Sultan kami
rasa segala sesuatunya sudah selesai kini. Kami berdua mohon diri....” Sultan
terkejut. "Tidak bisa!,” kata Sultan setengah berteriak.
"Kalian berdua musti tinggal dulu di sini beberapa
lamanya. Bahkan aku sudah punya rencana untuk mengangkat kau sebagai Kepala Balatentara
Banten merangkap Pengawal Pribadiku, Wiro!".
Wiro dan Anggini tersenyum. "Hatimu mulia sekali
Sultan,” sahut Pendekar 212. "Tapi kami berdua adalah orang-orarig
persilatan yang suka bertualang. Di lain hari kita akan berjumpa dan berkumpul
lagi..."
Sultan merasa kecewa.. Hatinya juga sangat terharu.
"Kalian berdua telah berjasa besar terhadap Kerajaan dan rakyat Banten.
Aku harus umumkan hai ini sekarang juga dihadapan rakyat....”
"Ah,
jangan.... tak usah Sultan" kata Anggini dan Wiro pula.
Sultan mengambil sebuah benda berbentuk bintang bersudut
delapan dengan sebuah berlian besar di tengahnya. "Anggini,” kata Sultan
pada Dewi Kerudung Biru, "benda ini adalah bintang utama Kerajaan Banten
yang hanya diserahkan pada siapa saja yang telah berjasa pada Kerajaan dan Raja
Banten. Ini juga sebagai tanda bahwa yang memegangnya adalah sahabat Raja dan
rakyat Banten. Terimalah....''
"Sultan...
mana bisa aku yang rendah dan sama sekali tidak membuat jasa apa-apa musti
menerima bintang penghargaan begitu rupa....?"
"Terimalah
Anggini. Pada Wiro juga sebelumnya telah pernah kuberikan...."
Dengan malu-malu Anggini kemudian menerima jaga bintang
bersudut delapan bermata berlian yang terbuat dari emas itu, Tiba-tiba Sultan
ingat sesuatu. "Andjarsari, bagaimana
Andjarsari ......
?"
"Dirinya tak perlu dikhawatirkan Sultan,” menjawab Dewi
Kerudung Biru. "Saat ini dia masih berada di Lembah Batu Pualam dalam
keadaan tak kurang suatu apa. Seorang pengemudi kereta dan dua prajurit utama
telah kami suruh ke sana untuk menjemputnya....”
"Ah, jasa kalian berdua benar-benar setinggi langit
sedalam lautan. Aku betul-betul berterima kasih...”
Pendekar 212 tersenyum. "Bukan kepada kami sebenarnya
kau harus berterima kasih Sultan. Tapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita
manusia hanya hamba-hamba Tuhan, hanya alat Tuhan yang cuma sanggup berusaha
sedang ketentuan tetap ditanganNya.......”
Sultan manggut-manggut. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya
Keris Tumbal Wilajuda. Dengan ujung senjata itu digoresnya kedua telapak tangannya
sehingga mengeluarkan darah.
"Kuharap kalian berdua juga
suka menggores telapak tangan masing-masing…" Anggini dan Wiro saling
pandang. "Untuk apa kah Sultan?" tanya Wiro pula.
"Gores
sajalah,” desak Sultan.
Kedua orang itu kemudian sama menggores telapak tangan
masing-masing. Wiro menggores telapak tangan kanan sedang Anggini tangan kiri.
Sultan kemudian menempelkan eratrat telapak tangan kanannya ke telapak tangan
kanan Wiro sedang telapak tangan kiri ke telapak kiri Anggini. Kemudian kedua tangannya
diacungkan tinggi-tinggi ke udara. Dan karena tak dapat membendung lagi
perasaan hatinya maka berserulah Raja Banten ini.
"Saudara-saudaraku para prajurit dan rakyat Banten!
Hari ini di bawah penyaksian kalian, aku mengangkat saudara terhadap dua orang
yang telah berjasa besar terhadap kita sekalian...."
"Sultan!" seru Pendekar 212. "Kami .ini
hanya manusia-manusia rendah jelata, bagaimana kau sudi mengangkat saudara…”
Sultan tersenyum. "Darahku dan darah kalian telah
bercampur. Tadi kau menyebut nama Tuhan, apakah ada perbedaan aniara aku dan
kalian sebagai manusia di mata
Tuhan....?!"
Dan Sultan berseru lagi. "Yang di sebelah kananku ini
adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng dan yang
berkerudung adalah Dewi Kerudung Biru Anggini !'' `
Maka untuk
kesekian kalinya tardengarlah gegap gempitanya suara orang banyak yang
menyambut ucapan Sultan itu. Dan ketika sekilas Sultan memandang ke arah timur,
maka
Keris Tumbal Wilayuda
berserilah
parasnya. Nun jauh di sana, di lereng bukit, kelihatan meluncur sebuah kereta.
Kereta yang
membawa Andjarsari, calon permaisurinya.
T A M A T
Salam 212
SEMUA HAK
KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK ALMARHUM BASTIAN TITO
No comments:
Post a Comment