DENDAM
ORANG-ORANG SAKTI
SATU
LUKA besar di bekas kutungan tangan kanannya itu membuat
tenaganya semakin lama semakin mengendur. Kalau tadi dengan segala tenaga yang
ada macam manusia dikejar setan dia melarikan diri dari pekuburan Djatiwalu
itu, maka kini jangankan lari, berjalan melangkahpun dia sudah tidak sanggup.
Tubuhnya terhuyung-huyung. Nafasnya megapmegap seperti mau sekarat!
Saat itu dia berada di tepi sebuah jurang. Dalam larinya
tadi dia tak memperhatikan lagi ke mana tujuannya sehingga di mana dia berada
saat itu adalah satu tempat yang jarang didatangi manuisia. Sunyi senyap
mencengkam menegakkan bulu roma. Matanya yang berkunang-kunang, pemandangannya
yang semakin mengelam dan daya tenaga yang sudah habis sampai ke batasnya
membuat tubuhnya tak ampun lagi jatuh terperosok ke dalam jurang ketika salah
satu kakinya terserandung di bebatuan yang menonjol di tepi jurang.
Masih untun jurang itu bukanlah jurang batu, tapi jurang
yang penuh ditumbuhi semak belukar. Tubuhnya menggelinding ke bawah membentur
semak belukar mengait rantingranting pepohonan rendah. Sakit tubuhnya bukan
main, apalagi bekas luka kutungan di tangan kanannya. Ketika dia terhampar di
dasar jurang, dia tiada sadarkan diri lagi!
Bila dia sadarkan diri maka saat itu matahari sudah hamper
tenggelam. Keadaan di dasar jurang sunyi itu gelap dan dingin karena pantulan
sinar matahari yang terakhir tidak sampai menyaputi dasar jurang di mana dia
berada. Dia berpikir-pikir di mana dia terbujur saat itu. Kemudian denyutan
rasa sakit yang amat sangat pada bahu kanannya yang bunting dan masih
melelehkan darah itu, membuat dia ingat segala sesuatunya apa yang telah terjadi.
Dia –
Kalingundil – beberapa jam yang lalu telah bertempur melawan seorang pemuda
sakti bernama Wiro Sableng. Dalam pertempuran itu bukan saja dia terpaksa
melarikan diri tapi juga terpaksa kehilangan tangan kanannya karena telah
dibetot puntung oleh lawannya!
Dan
mengingat ini, diantara rasa sakit yang tiada terkirakan, memerih pula
rasa dendam kesumat yang amat sangat. Walau bagaimanapun dia musti dapat
meneruskan hidupnya, meski cuma bertangan sebelah. Meski bagaimanapun dia harus
dapat membalaskan dendam kesumat akibat perbuatan pemuda Wiro Sableng yang
telah membuat dia cacat seumur hidup itu.
Ketika kedua matanya melihat bintang-bintang yang
bermunculan di langit di atasnya barulah disadarinya bahwa hari sudah menjadi
malam. Kalingundil tahu bahwa semalammalaman itu dia tak akan bisa terus
terbujur di situ. Dipalingkannya kepalanya ke kanan. Hanya semak belukar dan
pohon-pohon berdaun lebar yang dilihatnya dalam kegelapan. Kemudian
dipalingkannya pula kepalanya ke samping kiri. Mula-mula juga hanya kegelapan
yang dilihat lelaki itu. Namun samar-samar kemudian diantara semak belukar
dalam kegelapan itu matanya masih dapat melihat satu legukan batu di dasar
jurang. Jaraknya dengan tempat dia terbujur saat itu kira-kira sepuluh tombak.
Dari pada terbujur di tempat terbuka begitu, Kalingundil berpikir lebih baik
pindah tempat ke cegukan batu itu.
Tapi dengan keadaan dan kekuatan badan seperti itu tidak
mudah bagi Kalingundil untuk berpindah tempat. Jangankan untuk berdiri,
merangkakpun tidak bisa. Jangankan utnuk beringsut, bergerak sedikitpun sekujur
tubuhnya terasa sakit bukan main, tulang-tulang anggotanya serasa bertanggalan!
Namun dengan keyakinan penuh untuk bisa menyelamatkan diri, dengan mengumpulkan
segala sisa tenaga yang masih ada, seingsut demi seingsut akhirnya berhasil
juga Kalingundil mencapai legukan batu itu. Ternyata legukan ini adalah mulut
sebuah goa. Dan pada saat itu dia berhasil mencapai mulut goa itu, untuk kedua
kalinya Kalingundil jatuh pingsan kembali.
Kalingundil sadarkan diri pada keesokan paginya. Beberapa
jam sesudah matahari terbit. Anehnya tubuhnya terasa lebih mendingan
dibandingkan dengan keadaan hari kemarin. Kalingundil tak habis pikir, kenapa
hal ini bisa terjadi. Bahkan ketika dia coba menggerakkan badan dirasakannya
kekuatannya yang malam tadi sudah habis sampai ke batas terakhir kini mulai
berangsur kembali. Dia duduk bersandar ke dinding goa. Pada saat itulah
dirasakannya bahwa dari dalam goa keluar semacam hawa yang lembab ngilu-ngilu
kuku. Hawa inilah agaknya yang telah mempengaruhi keadaan diri Kalingundil yang
telah memberikan kepulihan kekuatan kepadanya.
Kemudian sewaktu dia memandang meneliti ke dinding goa di
sekelilingnya, samarsamar, tertutup oleh debu yang menebal, tergugus oleh
ketuaan zaman, Kalingundil melihat banyak sekali tulisan-tulisan.
Tulisan-tulisan ini kacau balau tak teratur, tapi bila dibaca dan disambung
satu persatu, akan merupakan rentetan kalimat yang memberi pengertian pelajaran
ilmu silat! Semakin lebar Kalingundil membuka kedua matanya. Apa yang dibaca
olehnya itu memang sulit dimengerti mula-mula, ini lain tidak karena tulisan itu
menerangkan tentang pelajaran silat yang memang mempunyai dasar-dasar aneh
serta tak diketahui dari cabang aliran mana. Semakin naik matahari, semakin
baikan terasa oleh Kalingundil keadaan badannya.
Dengan mebungkuk-bungkuk dan tertatih-tatih, setelah habis
dibacanya sekalian apa yang tertulis dibagian goa sebelah luar itu maka
Kalingundil memasuki goa lebih jauh. Semakin ke dalam semakin terasa hawa
lembab yang hangat-hangat ngilu-ngilu kuku tadi. Menghirup udara itu
Kalingundil merasakan tubuhnya segar, dadanya lega. Dan semakin ke dalam
semakin banyak banyak dilihat Kalingundil tulisan-tulisan. Apa yang tertulis
kini adalah mengenai pelajaran ilmu pedang yang aneh dan tak pernah didengar
oleh Kalingundil sebelumnya. Tapi sayang sebagian besar tulisan-tulisan yang
bersifat pelajaran itu sudah tidak kelihatan atau kabur tak dapat dibaca lagi.
Hawa hangat ngilu-ngilu kuku semakin santar terasa.
Kalingundil terus juga masuk ke dalam goa itu sampai akhirnya langkahnya
terhenti pada satu pemandangan yang hampir tak dapat dipercayainya.
Goa itu berakhir pada sebuah telaga kecil. Telaga ini lebih
tepat disebut kolam karena tepinya dikelilingi oleh batu-batu. Air telaga
berwarna biru gelap dan mengepulkan asap kebiruan. Asap inilah yang berhawa
hangat ngilu-ngilu kuku dam mempunyai kekuatan ajaib yang menyegarkan tubuh
Kalingundil! Di tengah kolam itu terdapat sebuah batu licin yang juga berwarna
biru dan diatas batu ini terletak sebuah pedang yang telah buntung, yang
panjangnya cuma dua jengkal. Seperti air kolam dan batu licin, senjata ini juga
berwarna dan memancarkan sinar biru. Mengapa pedang itu tinggal buntung
sedemikian rupa, kemana bagian yang lancip lainnya? Dan mengapa sampai benda
itu berada di situ?
Berdiri beberapa lama di tepi kolam itu Kalingundil
merasakan badannya semakin segar. Sedang ketika diteliti luka di bahu kanannya
yang buntung itu, luka itupun kelihatannya lebih sembuhan dari saat-saat
sebelumnya.
“Air kolam
ini mengandung khasiat yang hebat..,” pikir Kalingundil. Dia membungkuk untuk menyiduknya
dan sekaligus untuk melihat lebih dekat pedang buntung yang di atas batu. Namun
setengah membungkuk, gerakannya terhenti. Di dinding goa di sebelah belakang
kolam, di balik kepulan asap samar-samar terlihat barisan huruf-huruf yang
sudah agak sukar untuk dibaca tapi masih dapat dikira-kirakan oleh Kalingundil.
Di situ tertulis:
GOA INI “GOA SILUMAN BIRU”
KOLAM INI “KOLAM SILUMAN BIRU,”
PEDANG DI ATAS BATU “PEDANG SILUMAN BIRU,”
CUMA SAYANG KINI HANYA TINGGAL HULU DAN BUNTUNG,
SIAPA BISA MENDAPATKAN UJUNG PEDANG YANG HILANG DAN
MENYAMBUNGNYA,
SIAPA
YANG MEMPELAJARI ILMU PEDANG DALAM GOA INI, AKAN MENJADI “RAJA PEDANG” SEUMUR
HIDUPNYA.
Membaca rangkaian kalimat itu, Kalingundil kemudian
memandang berkeliling. Apaapa yang telah dibacanya tadi sejak dari mulut goa
sampai ke tepi kolam yaitu tulisan-tulisan di dinding goa semuanya memang
merupakan suatu ilmu silat dan ilmu pedang yang aneh. Segala sesuatu yang
ditemuinya di dalam goa itu memberikan kenyataan kepada Kalingundil bahwa
dulunya goa itu adalah tempat kediaman seorang sakti yang bersenjatakan pedang
bernama “Pedang Siluman Biru” itu. Tapi kenapa pedang itu kini hanya tinggal
begitu rupa, dan ke mana buntungnya yang lain?
Untuk keda kalinya Kalingundil membungkuk. Dengan tangan
kirinya dijangkaunya pedang Siluman Biru. Pada detik jari-jari tangannya
memegang hulu senjata itu maka aneh sekali mengalirlah suatu aliran yang
membuat kekuatan Kalingundil dan keadaan tubuhnya benar-benar pulih seperti
sediakala! Bahkan bukan itu saja, kini tubuhnya juga terasa lebih enteng. Dan
ketika dicobanya menyiduk air kolam, lebih banyak kekuatan-kekuatan dan
keanehan-keanehan baru yang dialaminya!
Kalingundil
gembira sekali.
Tanpa menunggu lebih lama dia berlutut di tepi kolam dan
berkata: “Pemilik Goa Siluman Biru, dimanapun kau berada, siapapun kau adanya,
aku Kalingundil mengucapkan terima kasih karena apa yang ada dalam goamu ini
telah menyembuhkan aku dari sakit dan luka yang aku alami. Hari ini aku –
Kalingundil – mengharapkan segala kerelaanmu untuk sudi mengangkat kau sebagai
guru. Apa-apa yang tertulis di goamu ini akan kupelajari dengan tekun…”
Demikianlah mulai hari itu dengan seorang diri dia menekuni
setiap apa yang tertulis di dinding goa. Ilmu silat dan ilmu pedang yang coba
dipelajarinya seorang diri itu yang hilang dan tak terbaca sehingga dari
keseluruhan Ilmu Pedang Siluman yang dipelajari Kalingundil, hanya sepertiganya
saja yang berhasil didapat dan difahami oleh Kalingundil. Namun demikian itupun
sudah luar biasa sekali. Sehingga empat bulan kemudian ketika dia keluar dari
Goa Siluman itu, maka Kalingundil yang kini sudah berobah seratus delapan puluh
derajat dalam ilmu persilatan! Dan ini menambah keyakinan Kalingundil bahwa dia
akan berhasil menuntutkan sakit hatinya terhadap pendekar 212, Wiro Sableng!
-- == 0O0 == --
DUA
MENCARI seorang musuh di daratan pulau Jawa yang luas bukan
suatu pekerjaan mudah. Ratusan kilometer harus dijalani, puluhan bukit harus
didaki dan dituruni, belasan sungai musti diarungi, diseberangi belasan rimba
belantara harus dimasuki dan diantara semua itu puluhan halangan harus
dihadapi. Halangan atau bahaya yang ditimbulkan alam sendiri serta yang
ditimbulkan oleh manusia-manusia yang hidup dalam itu, terutama sekali dalam
rimba dunia persilatan! Mungkin berbulan-bulan, mungkin pula bertahun-tahun
baru musuh besar itu berhasil dicari. Tapi sebaliknya mungkin pula itu tak
pernah berhasil, mungkin si pencari musuh besar itu akan tertimpa bahaya lebih
dahulu dalam perjalanan dan meregang nyawa sebelum dendam kesumat terbalaskan.
Kalingundil tahu semua itu. Tapi dia tidak khawatir. Dengan
ilmu baru yang kini dimilikinya, meski tidak sempurna, dia yakin akan sanggup
untuk menghadapi segala sesuatu dalam perjalanannya mencari Wiro Sableng
pendekar 212, musuh besar yang telah membuat tangannya buntung, yang telah
membuat dia cacat seumur hidup! Disamping itu Kalingundil memang sudah punya
rencana tersendiri untuk menjelaskan persoalan dendamnya dengan pendekar 212.
Dia yakin akan dapat menemui pemuda sakti itu dan dia yakin pula bahwa rencana
besarnya untuk menuntut balas akan berhasil!
Pertama sekali ditemuinya Mahesa Birawa atau Suranyali di
Pajajaran karena terakhir sekali diketahuinya bekas pemimpin dan guru silatnya
itu tengah berada di kerajaan itu. Namun sampai di sana Kalingundil kecewa
besar. Bahkan juga dendam yang ada di dalam hatinya jadi tiada terkirakan bahwa
Mahesa Birawa telah menemui ajalnya, mati ditangan Wiro Sableng, sewaktu
terjadi pemberontakan besar-besaran tempo hari.
Dengan segala dendam kesumat yang semakin dalam berurat
berakarnya itu Kalingundil meninggalkan Pajajaran. Diseberanginya sungai
Kendang, diteruskannya perjalanan ke bukit Siharuharu yang terletak tak berapa
jauh dari kaki gunung.
Pada masa itu di puncak bukit Siharuharu terdapat sebuah
perguruan silat yang bernama Perguruan
Teratai Putih. Perguruan ini baru tiga tahun berdiri tapi sudah mendapat
nama tenar di di sapanjang daerah perbatasan Jawa barat dan Jawa Timur. Bukan
saja karena Perguruan Teratai Putih ini didirikan untuk menolong kaum yang
lemah dan menghancurkan golongan hitam penimbul segala kebejatan dan malapetaka
serta kemaksiatan tapi juga adalah karena perguruan silat ini dipimpin oleh
seorang tokoh yang sejak sepuluh tahun belakangan ini mendapat nama tenar dalam
dunia persilatan. Tokoh ini ialah Wirasokananta,
seorang tokoh silat yang berumur lebih dari setengah abad.
Pada saat itu Wirasokananta berada di puncak Gunung
Galunggung tengah bertapa memperdalam ilmu bathin dan dan mempersuci diri dari
segala kekhilafan-kekhilafan dan dosa-dosa yang pernah dibuatnya selama hidupnya.
Pimpinan perguruan diserahkannya pada murid tertua, terpandai dan yang paling
dipercayainya yaitu Gagak Kumara.
Perguruan Teratai Putih saat itu kelihatan diselimuti
suasana ketenangan. Di dalam rumah besar murid-murid perguruan yang berjumlah
delapan orang, enam laki-laki dan dua perempuan duduk bersila dengan khidmat
mendengarkan apa uyang tengah dibacakan oleh Gagak Kumara yaitu sebuah kitab
yang ditulis oleh guru mereka, mengenai sastra hidup, kerohanian, kebathinan
dan keduniaan.
Suara Gagak Kumara terang dan jelas, sedap didengarnya
sehinga setiap nasihat dan pelajaran yang dibacakannya dapat segera dimengerti
oleh saudara-saudara seperguruannya yang tujuh orang itu.
“Dalam hidup ini…,” membaca Gagak Kumara, “setiap manusia
akan dan musti melalui tiga tahap kehidupan. Pertama saat atau dimana dia
dilahirkan dari rahim ibunya ke atas dunia ini. Kedua tahap selama umur
kehidupannya di dunia dan ketiga tahap dia meninggalkan dunia ini, kembali pada
asalnya atau mati….”.
Samapi di situ pembacaan Gagak Kumara maka di luar rumah
besar terdengar suara tertawa bergelak yang disusul dengan ucapan: “Tepat…
tepat… sekali! Lahir, hidup dan mati! Dibrojotkan ke duni malang melintang di
dunia ini, dan akhirnya mampus! Ha… ha… ha….”.
Tentu saja suara yang lantang mengumandang berisi tenaga
dalam yang tinggi dan yang bernada menghina ini mengejutkan semua anak murid
Perguruan Teratai Putih, termasuk Gagak Kumara sendiri! Semuanya sama
memalingkan kepala ke pintu pada saat mana seorang laki-laki berpakaian lusuh, kotor,
bermuka angker dan tangna kanannya buntung berdiri diambang pintu.
“Sasudara,
kau siapa…?” Tanya Gagak Kumara sesudah meneliti sebentar diri tamu tak dikenal
itu. Dia tetap duduk tenang di tempatnya dengan kitab masih terus di atas
pangkuannya.
“Tak perlu tanya dulu!,” menyahuti laki-laki diambang pintu
seraya menyeringai buruk. “Bicaraku belum habis…!”
Beberapa orang diantara murid-murid Perguruan Teratai Putih
kelihatan menjadi penasaran dan menggeser duduk mereka. Namun dengan membrei
isyarat diam-diam Gagak Kumara memberi kisikan agar jangan bertindak dulu.
Dan orang yang diambang pintu meneruskan ucapannya. Terlebih
dahulu dengan jari telunjuk tangan kirinya ditunjukkannya kitab yang ada
dipangkuan Gagak Kumara. “Apa yang tertulis di sana, apa yang kau baca tadi
betul sekali! Lahir, hidup, mati! Tapi apa kalian di sini tahu bahwa segala apa
yang tertulis dan apa yang dibaca tadi itu hari ini akan kalian alami
sendiri…?”
“Apa maksudmu saudara?,” tanya Gagak Kumara. Masih tetap
dengan tenang dan tidak beringasan.
Si tangan buntung tertawa mengekeh. “Percuma saja kalau
kalian memiliki kitab itu, percuma saja kalian memilikinya kalau kalian tidak
tahu apa mkasud kata-kataku! Kalian sudah dilahirkan, kalian sudah pernah hidup
malang melintang di dunia ini, tapi kalian masih belum pernah merasakan
kematian, belum pernah mencoba mampus! Nah… hari ini, untuk membuktikan
kebenaran isi kitab butut itu, aku –Kalingundil – akan bersedia menolong kalian
untuk mengetahui bagaimana rasanya mampus itu! Ha… ha… ha…!”
Maka kini berdirilah Gagak Kumara dari duduknya. Kitab yang
dipangkuannya dilipat dan diserahkan pada salah seorang saudara seperguruannya.
“Saudara,” kata Gagak Kumara pula. “Di dunia ini memang
banyak orang-orang yang berotak miring. Aku khawatir kau adalah salah seorang
dari mereka dan kesasar datang ke sini!”
Kekehan Kalingundil terhenti. Mukanya membesi.
Rahang-rahangnya bergemeletuk. Tangan kirinya bergerak ke pinggang dan
sekejapan mata kemudian tangan itu telah memegang sebilah pedang buntung yang
memancarkan sinar biru. Pedang Siluman
Biru!
Sekali lihat saja, meski senjata itu buntung, namun
murid-murid Perguruan Teratai Putih sama memaklumi bahwa pedang yang ditangan
manusia tak dikenal dan mengaku bernama Kalingundil itu adalah sejenis senjata
sakti, sekalipun puntung tapi tetap berbahaya!
Tiba-tiba Kalingundil berteriak nyaring. Tubuhnya melompat
ke muka, pedang buntung bergerak, sinar biru membabat ke samping dan kini tidak
sungkan-sungkan lagi melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga
dalam yang tinggi. Namun betapa terkejutnya Gagak Kumara ketika sambaran pedang
buntung di tangan lawannya membuat angin pukulan tenaga dalamnya terpental ke
samping!
“Saudara-saudara!,” seru salah seorang anak murid Perguruan
Teratai Putih. “Manusia kesasar macam begini tak perlu dihadapi satu demi satu.
Mari kita tumpas beramai-ramai!”
“Semuanya tetap ditempat!,” teriak Gagak Kumara. “Walau
bagaimanapun kita harus jaga naman Perguruan dan jangan mencemarkan nama guru!
Pegang teguh sifat ksatria dunia per…”. Kata-kata Gagak Kumara tak dapat
diteruskan karena saat itu Kalingundil kembali datang menyerang dalam satu
jurus yang aneh. Bagaimanapun Gagak Kumara yang sudah berilmu tinggi ini
mengelak namun tetap saja ujung yang buntung dari pedang biru di tangan lawan
berhasil membabat pakaiannya dan menggores kulit dadanya! Pada detik goresan
itu maka Gagak Kumara merasakan badannya menjadi panas.
Kalingundil
terkekeh.
“Pedang buntung ini Pedang Siluman Biru… mengandung racun
yang jahat. Dalam tiga jam nyawamu akan melayang! Ha… ha… ha…!”.
Terkejutlah Gagak Kumara. Demikian juga saudara-saudara seperguruannya yang
lain. Gagak Kumara cabut sebilah keris dari pingganngnya. Saudara-saudara
seperguruannya yang lainpun segera cabut keris pula dan kali ini Gagak Kumara
tidak berkata apa-apa lagi. Maka delapan anak murid Perguruan Teratai Putih
dengan sebilah keris di tangan masingmasing mengurung Kalingundil yang
bersenjatakan sebilah pedang buntung sakti itu!
Kalingundil
hanya tertawa buruk melihat hal ini.
“Sebaiknya kalian bunuh diri saja dari pada mampus di ujung patahan Pedang
Siluman-ku ini!”
“Pedang Siluman…,” desis anak-anak murid Perguruan Teratai
Putih dalam hati. Mereka pernah mendengar tentang kehebatan pedang ini dari
guru mereka. Tapi dikabarkan sejak beberapa tahun yang silam pedang itu lenyap
dan kini muncul dalam keadaan buntung, tapi benar-benar tidak mempengaruhi
kehebatannya! Namun apapun senjata yang di tangan lawan saat itu anak-anak
murid Wirasokananta tidak mempunyai rasa gentar atau kecut sedikitpun!
Kedelapannya
menyerbu ke muka. Delapan keris berkiblat kearah delapan bagian dari tubuh
Kalingundil! Yang diserang menyeringai lalu membentak keras. Tubuhnya
berkelebat, sinar biru dari pedangnya menderu seputar badan! Tiga jeritan
terdengar hampir bersamaan dan tiga saudara seperguruan Gagak Kumara roboh
mandi darah, nyawanya putus di situ juga!
Gagak Kumara kertakkan geraham. Darahnya mendidih oleh
amarah. Namun goresan luka telah membuat tubuhnya menjadi kehilangan tenaga.
Dikerahkannya seluruh tenaga dalam yang ada di tubuhnya. Dan mengamuklah gagak
Kumara dengan segala kehebatannya. Namun permainan pedang lawan benar-benar
hebat, sulit dan sukar diduga jurus-jurusnya.
Satu jurus dimuka, dua orang saudara
seperguruannya lagi roboh tanpa nyawa. Melihat ini Gagak Kumara segera berseru
pada dua orang saudara seperguruannya yang perempuan.
“Wurnimulan, Nyiratih… kalian segeralah tinggalkan tempat
ini! Cepat lari selamatkan diri…!”
Tapi kedua gadis itu meski betina adalah betina yang berhati
jantan! Wurnimulan menyahuti: “Hidup mati kita bersama kakak Gagak Kumara!.”
Gadis ini itu berkelebat cepat dan kirimkan satu tusukan cepat ke leher lawan.
Kalingundil tertawa. Dielakkannya tusukan keris itu dengan
miringkan badan dan di saat itu pula kaki kirinya bergerak.
“Bluk!”
Saudara seperguruan Gagak Kumara laki-laki yang terakhir terpelanting
ke dinding. Tulang dadanya melesak ke dalam dihantam tendangan Kalingundil.
Jantung dan paruparunya pecah! Nyawanya lepas!
Gagak Kumara sendiri saat itu sudah kehabisan tenaga. Luka
di dadanya dan racun pedang siluman sangat mempengaruhi keadaan tubuhnya ke
segenap pembuluh darah! Dia tahu sebentar lagi dia pasti akan menyusul
saudara-saudara seperguruannya yang lain. Karena itu sekali lagi dia berseru
memberi ingat: “Wurnimulan! Nyiratih! Larilah sebelum terlambat!”
“Gadis-gadis caritik ini tak akan bisa pergi jauh! Nasib
kematian kalian sudah ada di ujung Pedang Siluman-ku! Tapi sebelum mati
keduanya akan kuhadiahkan dunia terlebih dahulu!”
Kalingundil
tertawa mengekeh! Gagak Kumara yang tahu maksud dan arti kata-kata lawannya itu
untuk kesekian kalinya berteriak memberi ingat namun kedua gadis itu tak mau
ambil perduli malahan menyerang dengan hebat! Kalingundil mengelak gesit
beberapa kali. Kemudian dengan kecepatan yang luar biasa, dengan mempergunakan
hulu belakang senjata di tangan kirinya laki-laki itu menotok Wurnimulan dan
Nyiratih! Keduanya kini kaku tak bergerak. Tahu malapetaka apa yang bakal
menimpa kedua saudara seperguruannya itu, dengan sisa tenaga yang ada, dengan
segala kehebatan yang masih dimilikinya Gagak Kumara menyerbu Kalingundil dari
samping.
Yang diserang sambil putar badan berkata: “Ajalmu sudah di
depan mata, maut sudah di depan hidung! Baiknya bunuh diri saja…!”
“Terima kerisku lebih dulu, manusia durjana! Kami tidak ada
permusuhan dengan kau. Kenapa kekejamanmu lewat takaran macam begini…?!”
“Akh… sudahlah! Biar mulutmu kututup saja saat ini!,” kata
Kalingundil pula.
Pedang Siluman Biru membabat ke perut Gagak Kumara,
dialakkan dengan melompat oleh murid Wirasokananta itu namun begitu melompat,
senjata lawan kembali memburu lebih cepat, kini menderu ke muka Gagak Kumara,
tak sanggup lagi dikelit oleh laki-laki ini!
-- == 0O0 == --
TIGA
USAHA terakhir yang dilakukan Gagak Kumara untuk
menyelamatkan dirinya ialah melintangkan keris dimukanya. Pedang Siluman Biru
buntung terus membabat, senjata masing-masing beradu keras, bunga api memercik
dan keris Gagak Kumara patah dua sedang senjata lawan terus membabat
mukanya!
Murid tertua dari Perguruan Teratai Putih itu terhuyung ke
belakang. Mukanya banjir oleh darah dan mengerikan sekali. Perlahan-lahan
lututnya tertekuk dan pinggangnya meliuk. Gagak Kumara terduduk di lantai,
sebelum tergelimpang dan menghembuskan nafas penghabisan, buntungan keris yang
masih tergenggam di tangannya dengan segala tenaga yang ada dilemparkannya ke
arah Kalingundil. Tapi serangan yang hampir tiada artinya ini dengan mudah
dielakkan oleh Kalingundil.
Kalingundil tertawa mengekeh. Noda darah yang membasahai
Pedang Siluman Biru yang buntung itu disekakannya kembali ke balik pinggang.
Kemudian laki-laki ini memutar tubuh. Sepasang matanya kini berkilat-kilat
memandangi tubuh dan paras Wurnimulan serta Nyiratih yang saat itu berdiri kaku
tak berdaya karena ditotok tadi.
“He… he… he…
kalian berdua tak perlu mati buru-buru….,” kata Kalingundil. Ujung lidahnya
dijulurkannya untuk membasahi bibirnya. Dia melangkah mendekati Wurnimulan.
Tangan kirinya bergerak dan “bret!” Robeklah baju perguruan yang dipakai oleh
gadis itu. Dadanya terbuka lebar, putih dan mulus padat. Kalingundil menjadi
terbakar tubuhnya oleh nafsu yang menggelegak. Tangan kirinya bergerak lagi….
bergerak lagi… bergerak lagi….
SEMENTARA
itu di puncak Gunung Galunggung…
Dalam tapanya yang sudah berjalan sembilan belas hari itu
tiba-tiba saja Wirasokananta tak dapat meneruskan memusatkan segenap jalan
pikirannya. Satu demi satu panca inderanya mulai terganggu. Walau bagaimanapun
usahanya untuk memusatkan pikiran dan tenaga bathin serta menutup segenap
pancainderanya namun sia-sia saja. Semuanya membuyar kembali. Semakin
dipaksanya semakin sulit. Mau tak mau akhirnya tokoh silat yang sudah setengah
abad ini umurnya terpaksa buka kedua matanya yang sejak sembilan belas hari
telah dipejamkannya.
Kedua matanya itu memandang jauh ke muka, memandang ke luar
pintu goa dimana dia bertapa. Segala apa yang dilihatnya saat itu, rimba
belantara, bukit sunga, matahari, langit dan awan… semuanya masih seperti
sebelumnya dia datang ke situ, tak ada perubahan. Namun hatinya tidak enak,
nalurinya membawanya ke satu hrasat yang mendebarkan dada dan menggelisahkan
dirinya. Dan meski ujud kenyataan dari benda-benda dihadapannya yang dapat
dilihatnmya dari puncak Gunung Galunggung itu tiada perubahan, namun orang tua
yang sudah banyak pengalaman dan mengecap ragam kehidupan itu tahu, bahwa
dibalik semua itu pasti telah terjadi apa-apa di dunia luar sana. Diusapnya
wajahnya dengan kedua tangannya. Dia merenung, sejurus kemudian perlahan-lahan
turun dari batu hitam di mana dia sebelumnya duduk bertapa. Batu hitam yang
diduduki orang tua ini kelihatan berbekas leguk. Ini cukup memberi pertanda
bagaimana kehebatan tenaga dalan dan luar Wirasokananta.
Diusapnya lagi mukanya. “Mungkin ada apa-apa terjadi di
Perguruan…,” kata Wirasokananta dalam hatinya. Dengan mempergunakan ilmu lari
“seribu angin” maka sekali berkelebat lenyaplah sosok tubuh orang tua itu dari
mulut goa dan kemudian kelihatanlah dia berlari menuruni puncak Gunung
Galunggung cepat sekali laksana angin!
Karena sangat terkejutnya, di ambang pintu rumah besar itu
sampai-sampai Wirasokananta berdiri mematung untuk beberapa lamanya! Kemudian
tubuh yang mematung ini sekujurnya jadi bergetar.
“Demi Tuhan… siapakah yang punya pekerjaan ini?,”
desisnya.”Dosa besa apakah yang telah kami perbuat sampai menerima malapetaka
begini rupa…?”
Murid-muridnya bergeletakan di mana-mana. Semuanya tanpa
nyawa dan bergelimang darah. Namun apa yang sangat menusuk mata Ketua Perguruan
Teratai Putih itu ialah akan keadaan diri dua orang murid perempuannya,
Wurnimulan dan Nyiratih. Keduanya menggeletak di lantai rumah besar tanpa
tertutup selembar benangpun. Keris milik masingmasing menancap ditenggorokan
dan darah mengelimangi hampir sekujur tubuh kedua gadis itu, dari leher sampai ke
dada terus ke selangkangan….
Wirasokananta pejamkan kedua matanya, tak tahan memandangi
lebih lama apa yang membentang dihadapannya itu. Bagaimana juga.dikuatkannya
hatinya, namun air mata meleleh juga dari. sela-sela kelopak mata
yang dipejamkannya itu. Tenggorokannya turun naik menahan keluarnya suara
isakan. Beberapa tahun dia telah mendidik kedelapan muridnya itu, beberapa
tahun mereka telah berjuang bersama-sama untuk menegakkan kebenaran dan
menghancurkan kebathilan beberapa tahun mereka bersama-sama telah berjuang
untuk menghancurkan kemaksiatan dan memusnahkan kebejatan serta kejahatan.
Namun hari ini mereka semua menemui nasib semacam itu. Menemui kematian dengan
cara yang mengenaskan di luar dugaan Wirasokananta.
Dalam masih pejamkm kedua matanya itu. Ketua Perguruan
Teratai Putih ini coba berpikir dan menduga-duga siapakah kiranya manusia yang
telah menjatuhkan malapetaka yang begini kejam terhadap anak-anak muridnya, tak
bisa diduganya, tak bisa dipikirkannya karena seingatnya dia tak pernah
mempunyai seorang musuhpun dalam dunia persilatan.
Wirasokananta membuka kedua
matanya kembali. Pada saat inilah, di balik pandangan matanya yang masih
digenangi air mata itu pandangannya membentur buku besar buah tulisannya
sendiri yang dipantek dengan sebilah keris milik salah seorang muridnya!
Serentetan kalimat -- yang ditulis dengan darah -- tertera dikulit buku itu.
Kepada Ketua:
“
Perguruan Teratai Putih “
Kalau
ingin menuntut balas kematian murid-muridmu datanglah ke puncak Gunung
Tangkuban perahu pada hari 13 bulan 12.
Pendekar
Kapak Maut
Naga Geni
______212______
WIRO
SABLENG
Mata yang digenangi air mata dari Wirasokananta menyipit,
membuat air mata yang tadi mengambang menjadi turun meleleh membasahi pipinya.
Ingatannya kembali pada masa puluhan tahun yang silam: Dulu,
dunia persilatan memang pemah dibikin geger oleh seorang tokoh utama yang
digjaya tiada tandingan. Tokoh yang telah merajai dunia persilatan selama
bertahun-tahun ini adalah Eyang Sinto Gendeng, seorang pendekar perempuan yang
bersenjatakan sebuah kapak sakti bernama Kapak Maut Naga Geni 212. Namanya
harum dikalangen tokoh-tokoh silat golongan putih karena Pendekar 212 adalah
pembasmi kejahatan dan penolong kaum lemah. Sedang bagi golongan hitam, tokoh
ini sudah barang tentu menjadi momok besar yang sangat ditakuti!.
Pada masa kehidupan Pendekar 212
itu, di mana saat itu Wirasokananta masih belum mendirikan Perguruan Teratai
Putih, karena sama-sama dari golongan putih yang sehaluan dalam perjuangan maka
dengan sendirinya tiada permusuhan atau silang sengketa antara dia dengan
Pendekar 212.
Tapi hari ini terjadi peristiwa
berdarah itu, peristiwa maut yang diakhiri dengan meninggalkan pucuk surat
tantangan, dan surat ini justru ditandatangani dengan nama “Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212”…! Tentu saja ini satu hal yang tidak dimengerti Wirasokananta.
Kemudian apa pula arti dan hubungannya nama. “Wiro Sableng” itu ?!
Ketua
Perguruan Teratai Putih itu coba merenung.
Renungannya ini menyangkut pada masa puluhan tahun yang
silam itu. Di masa dunia persilatan geger oleh kehebatannya Pendekar 212,
tiba-tiba entah kemana perginya Pendekar 212 lenyap! Tentang kelenyapannya ini
banyak tokoh-tokoh persilatan memberikan tanggapan, Mungkin Pendekar 212
sendiri yang sengaja lenyap mengundurkan diri dari dunia persilatan, mungkin
juga tokoh itu telah menemui kematiannya dengan cara yang tak bisa diduga,
meski tanggapan yang kemudian ini agak diselimuti rasa keraguraguan.
Tapi kini dengan adanya kejadian maut di Perguruan Teratai
Putih itu, Wirasokananta merasa yakin bahwa sesuatu memang telah terjadi dengan
diri Eyang Sinto Gendeng atas Pendekar 212. Dia berkesimpulan bahwa Pendekar
212 dalam satu pertempuran hebat dan tak diketahui oleh dunia luar telah
dikalahkan oleh seorang pendatang baru bernama Wiro Sableng. Kemungkinan sekali
Pendekar 212 menemui ajalnya di tangan Wiro Sableng itu, merampas Kapak Maut
Naga Geni 212 yang kemudiannya malang melintang di dunia persilatan dengan
memakai gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!
Dan kelanjutan renungan Ketua Perguruan Teratai Putih itu
ialah siapa manusia Wiro Sableng ini sebenarnya. Nama itu satu nama baru
baginya. Namun meski nama baru satu hal diyakini oleh Wirasokananta bahwa
dengan itu manusia baik dia maupun Perguruan Teratai Putih, tak pernah
mempunyai permusuhan dan menanam dendam kesumat! Apa yang menjadi latar
belakang pembunuhan besar-besaran atas murid-muridnya benar-benar sangat gelap
bagi Wirasokananta. Dan bila matanya membentur lagi tulisan berdarah yang
menyatakan tantangan itu, benar-benar Ketua Perguruan Teratai Putih ini merasa
dibakar hatinya! Bulan 12 masih sembilan bulan lagi! Apakah dia akan menunggu
sampai sekian lama untuk kemudian baru bertemu muka dan membuat perhitungan
dengan Wiro Sableng? Ataukah detik itu juga ia meninggalkan Perguruan dan
mencari musuh durjana itu ?
Namun, Wirasokananta tahu, bahwa apa yang musti dilakukannya
saat itu ialah menguburkan jenazah-jenazah ke delapan orang muridnya di halaman
Perguruan.
-- == 0O0 == --
EMPAT
ANTARA sungai Cidangkelok di
sebelah timur dan sungai Cimanuk di sebelah barat, terbentanglah satu daerah
yang sangat subur. Ladang-ladang menghijau oleh hasil yang menakjubkan.
Sawah-sawah menguning laksana hamparan permadani emas. Lumbung-lumbung padi
petani penuh, tak akan habis dimakan selama satu dua tahun. Penduduknya sendiri
hidup dalam tingkat kehidupan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk daerah sekitar lainnya. Mereka sehat-sehat, ramah dan rajin bekerja.
Desa Bojongnipah adalah desa yang paling utama pada daerah
yang membentang antara sungai Cidangke!ok dan sungai Cimanuk itu. Hasil ladang,
hasil sawah dan hasil tebattebat pemeliharaan ikan penduduk tumpah ruah tiada
terkirakan dan desa ini dikepalai oleh seorang Lurah yang bijaksana dan cakap
bernama Ki Lurah Kundrawana. Begitu
bijaksana dan pandainya Ki Lurah Kundrawana mengatur desa dan penduduknya
sehingga banyak Lurah-lurah dari desa lain yang datang untuk meminta bantuan
Kundrawana dalam hal yang ada hubungannya dengan kehidupan penduduk , dan
pengaturan hidup agar bisa makmur serta tenteram.
Di satu malam yang mendung gelap dan berangin kencarig
dingin, Ki Lurah Kundrawana masih kelihatan duduk-duduk di langkan rumahnya
yang sederhana, bercakapcakap dengan isterinya Warih Sinten. Di sela bibir Ki
Lurah Kundrawana yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu terselip sebuah
pipa yang api tembakaunya hampir mati. “Dingin di luar ini, kakang…,” kata
Warih Sinten sambil, merapatkan kainnya yang agak menyingkapkan betisnya yang
putih bagus.
“Ya.
Tampaknya mau hujan. Kita masuk saja…,” sahut Ki Lurah Kundrawana seraya
berdiri.
Namun belum lagi kedua suami isteri itu melangkah ke pintu
mendadak sekali tiga sosok bayangan hitam berkelebat. Tubuh mereka rata-rata
tinggi kekar dan tampang-tampang mereka buruk serta angker !
Melihat ini, Ki Lurah Kundrawana yang tahu gelagat segera
ulurkan tangan kanan ke pinggang di mana kerisnya tersisip. Namun dengan
kecepatan yang luar biasa salah seorang dari manusia-manusia berpakaian hitam
itu tahu-tahu sudah melintangkan sebatang golok di batang leher. Ki
Lurah Kundrawana! Warih Sinten yang hendak berteriak ditekap mulutnya oleh
laki-laki yang laini
Ki Lurah Kundrawana maklum bahwa
ketiga orang itu tentulah dari satu komplotan rampok terkutuk. Tapi ini adalah
untuk pertama kalinya desanya didatangi rampok-rampok macam begini pada hal
sejak selama dalam pegangannya desa senantiasa aman tenteram.
Namun
demikian Ki Lurah Kundrawana dengan mempertenang diri coba bicara.
“Kalian
siapa, ada maksud apa datang ke sini…?!”
Orang yang melintang golok di
leher Lurah Bojongnipah itu menyeringai menggidikan. Giginya yang tersungging
kelihatan hitam, sehitam pakaian yang dikenakannya.
“Aha… bagus kau tanya begitu. Tapi sebelum aku berikan
jawaban kau musti ingat satu hal. Jika kau banyak tingkah dan membantah segala
apa yang kami perintahkan, jangan menyesal bila melihat anak laki-lakimu yang
tidur di dalam sana ku pantek di tiang rumah!”
Terkejutlah Ki Lurah Kundrawana. Warih Sinten sendiri
menggigil. Laki-laki berpakaian hitam menyeringai lagi.
“Sekarang tentang siapa kami. Kau pernah dengar nama Komplotan Tiga Hitam dari
Kali Comel?”
Paras
Ki Lurah Kundrawana memucat.
“Saat ini kau berhadapan dengan mereka, Kundrawana. Aku
Tapak Luwing adalah pemimpin mereka !”
Ki Lurah Kundrawana tahu betul dan sering mendengar tentang
Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel itu. Mereka adalah tiga rampok jahat dan
ganas yang malang melintang disepanjang Kali Comel bahkan sampai ke perbatasan.
Kali Comel jauh sekali dari desa Bojongnipah, kenapa tiga manusia bejat ini
bisa sampai ke sini, demikian pikir Kundrawana.
'Tapak
Luwing! Kalau kau mau merampok, lakukanlah! Bawa apa yang kalian bisa ambil dan
berlalu dari sini dengan cepat !”
Kepala Komplotan Tiga Hitam itu tertawa. “Kami selama ini
memang dikenal sebagai perampok. Tapi dengan Ki Lurah Kundrawana, hari ini kami
datang bukan untuk melakukan perampokan!”
Tentu saja ucapan ini mengherankan Ki Lurah Kundrawana.
“Jadi apa mau kalian ?!” tanyanya.
“Kami
datang untuk bikin perjanjian dengan kau !”
“Perjanjian
apa…?”
“Mulai hari ini, kau musti tunduk kepada segala apa yang
kami atur dan perintahkan, mengerti!”
Ki Lurah Kundrawana menelan ludahnya. “Aturan dan perintah
macam mana maksudmu?” tanyanya. Sementara itu diam-diam tangan kanannya kembali
bergerak dan menyusup ke pinggangnya: Kepala desa Bojongnipah ini sudah
bertekat bulat untuk melakukan perlawanan meski saat itu golok Tapak Luwing
masih menempel di batang lehernya sedang isterinya sendiri masih disekap oleh
salah seorang anak buah Tapak Luwing”.
Ki Lurah Kundrawana berhasil
memegang hulu kerisnya. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya ke perut Tapak
Luwing. Namun Kepala Komplotan Tiga Hitam ini tidaklah sebodoh dan selengah
yang diperkirakan oleh Ki Lurah Kundrawana. Sekali tangan kanannya bergerak
turun menyapu ke bawah maka terdengarlah suara beradunya senjata dan percikan
bunga api. Disusul oleh jeritan tertahan dari Warih Sinten, yang mulutnya
disekap.
Golok Tapak Luwing membuat mental
keris di tangan Ki Lurah Kundrawana sedang ibu jari laki-laki ikut terbabat
putus ujungnya sampai ke kuku. Ki Lurah Kundrawana merintih kesakitan. Darah
mengucur dari ibu jarinya yang putus. Sementara itu golok Tapak Luwing telah
menempel kembali pada batang lehernya !
“Agaknya kau minta batang lehermu cepat-cepat ditebas huh?,”
bentak Tapak Luwing.
“Tebaslah,
aku tidak takut! Kalian manusia, manusia lak….”
Tamparan tangan kiri Kepala
Komplotan Tiga Hitam itu menghajar pipi Kundrawana. Pandangannya berkunang,
pipinya merah sekali dan sudut bibirnya pecah berdarah!
“Masih
mau buka mulut?!” tanya Tapak Luwing.
Ki
Lurah Kundrawana menggeram dalam hatinya. Tapi tak berkata apa-apa.
“Kau
mau dengar dan turut perintahku atau pilih mati?!”
“Aku
tidak takut mati! Isteriku juga tidak takut mati” jawab Ki Lurah pula.
Tapak Luwing menyeringai. “Kalian memang tak takut mati.
Tapi apa kalian sanggup menyaksikan anakmu yang di dalam sana kubikin
menggelinding kepalanya di lantai ini?!”
Ki
Lurah Kundrawana terdiam.
Tapak Luwing kemudian mendorong, laki-laki itu ke dalam dan
memerintahkan duduk di kursi. “Demi nyawamu dan nyawa keluargamu, ada bagusnya
kita bicara baikbaik Ki Lurah! Dengar, mulai hari ini ke atas kau harus tunduk
kepadaku. Aku tanya kapan pemungutan pajak penduduk kau lakukan setiap bulan…?”
Ki Lurah Kundrawana tak mengerti maksud pertanyaan ini tapi
dia menjawab juga: “Hari Senin minggu pertama”.
“Bila pajak-pajak itu sudah
terkumpul, ke mana kau serahkan?,” tanya Tapak Luwing lagi.
“Pada Adipati di Linggajati dan
Adipati itu kemudian meneruskannya ke Kotaraja”.
“Hem… begitu ... Itu satu aturan
yang bagus. Tapi mulai penarikan pajak bulan yang akan datang jumlah pajak yang
harus dipungut adalah sepuluh kali lebih besar dari yang sudah-sudah…!”
Ki
Lurah Kundrawana terkejut.
Dia tambah terkejut lagi ketika Tapak Luwing menyambung
kalimatnya tadi: “Pajak itu harus kau pungut tiga kali dalam satu bulan!
Mengerti…?!”
“Aturan
macam mana ini ?!”
“Tak
usah tanya aturan macam mana, yang penting lakukan perintahku!,” sahut
Tapak Luwing,
“Kau tak bisa berbuat seenaknya, Tapak Luwing! Salah-salah
kau bisa berurusan dengan Adipati Linggajati, bisa berurusan dengan Kerajaan!”
“Urusan dengan Adipati, itu urusanmu, juga urusan dengan
Kerajaan. Tapi jika kau berani mengadukan hal ini kepada siapa saja, kulabrak
seluruh keluargamu! Mengerti?!”
“Kalian bisa melabrak keluargaku. Tapak Luwing, tapi kalian
tak bisa melabrak
Adipati
dan Kerajaan!”
“Aku sudah bilang urusan dengan Adipati adalah urusanmu,
juga dengan
Kerajaan! Aku hanya tahu bahwa tiga kali dalam satu bulan
aku harus terima sejumlah uang yang besarnya sepuluh kali besar pajak yang kau
pungut selama ini dari penduduk desa!”
“Keterlaluan! Keterlaluan kau
Tapak Luwing! Tak satu pendudukpun yang sanggup membayar pajak sekian besarnya
itu !”
“Penduduk di sini kaya-kaya! Punya
sawah, punya ladang, punya kerbau, sapi, kambing dan ayam serta itik!!”
“Tapi
sepuluh kali, mana mereka…”
Tapak Luwing memotong dengan cepat: “Apa aku musti paksa kau
memungut lima belas kali lebih banyak, atau dua puluh kali?!”
“Aku tak akan lakukan perintahmu ini Tapak Luwing! Aku tak
sanggup memeras rakyat!”
“Perduli amat! Kalau tak saggup memeras rakyat apa kau
sanggup menyaksikan kematian anak laki-laki mu?”
Kalau Kepala Komplotan Tiga Hitam itu sudah mengancam
demikian rupa, mau tak mau Ki Lurah Kundrawana terdiam bungkam.
Tapak Luwing menggoyangkan kepalanya pada anak buahnya yang
berdiri dekat pintu. Melihat isyarat ini laki-laki itu segera masuk ke dalam
kamar tidur Ki Lurah Kundrawana. Kundrawana berdiri dari kursinya. “Kau mau
buat apa…!,” bentaknya.
Tapak Luwing mendorong laki-laki
itu hingga Kundrawana terduduk kembali ke kursi. Tak lama kemudian anak buah
Tapak Luwing yang masuk kamar muncul di ruangan itu kembali dengan mendukung
anak laki-laki Ki Lurah Kundrawana. Anak laki-laki ini baru berumur empat
tahun. Dalam di dukung itu dia masih tertidur nyenyak, tak tahu apa yang
terjadi atas dirinya.
Kecemasan
segera terbayang diparas Warih Sinten dan Kundrawana.
“Kalian
mau bikin apa dengan anakku?!” tanya Kundrawana.
“Selama kau mengikuti perintahku,
anakmu akan selamat tak kurang suatu apa. Dia kubawa untuk sementara sebagai
jaminan bahwa kau tidak akan mengadukan persoalan ini pada siapa pun! Kau
dengar Ki Lurah Kundrawana!” Laki-laki itu tak menjawab.
“Dengar?!” ulang Tapak Luwing membentak. Ki Lurah Kundrawana
mau tak mau terpaksa mengangguk pelahan.
“Hasil-hasil pungutan pajak itu selambat-lambatnya harus kau
serahkan kepadaku satu hari sesudah terkumpulnya. Antarkan ke satu pondok tua
di persimpangan jalan yang menuju ke Linggajati. Aku sendiri yang akan menunggu
kau di sana pada tengah hari tepat!”
“Aku tak akan mengantarkannya!” kata Ki Lurah Kundrawana.
“Silahkan datang sendiri kesini!”
Tapak Luwing tertawa dingin. “Jangan lupa keselamatan
anakmu, Ki Lurah,” katanya. Kemudian Kepala Komplotan Tiga Hitam dari. Kali
Comel ini berikan isyarat dan bersama kedua anak buahnya segera meninggalkan
rumah Ki Lurah. Kundrawana.
-- == 0O0 == --
LIMA
SEMALAM-MALAMAN itu Warih Sinten tiada hentinya menangis.
Matanya sudah merah dan bengkak. Ki Lurah. Kundrawana sendiri yang juga tak
bisa tidur, melangkah mundar mandir tak berketentuan. Hatinya gelisah dan
cemas, memikirkan diri anaknya yang telah dibawa oleh komplotan Tapak Luwing.
Tapi hatinya juga gemas dan geram tiada terperikan!
Baginya keselamatan diri dan isterinya tidak begitu penting
jika dia ingat nasib anak lakilakinya itu, anak satu-satunya yang mereka
miliki. Dan soal pajak itu, benar-benar membuat Ki Lurah Kundrawana seperti mau
gila memikirkannya. Dia tak akan bisa mengadukan persoalan ini pada Adipati di
Linggajati atau kepada Raja demi keselamatan anaknya. Satu-satunya jalan
hanyalah mengikuti aturan dan perintah gila Tapak Luwing. Tapi bagaimana nanti
sikap rakyat terhadapnya? Bukan saja pajak itu sangat berat bagi mereka, tapi
penduduk .pasti akan mencapnya sebagai tukang peras dan mungkin akan timbul
kemarahan di kalangan penduduk!
Kalau dia musti memungut sepuluh kali jumlah pajak yang
harus diserahkan pada Tapak Luwing, maka ditambah dengan yang harus diserahkan
pada Adipati di Linggajati akan menjadi sebelas kali dari yang sudah-sudah!
Kalau tidak ingat-ingat kepada Tuhan maulah Lurah Bojongnipah itu ambil
kerisnya dan menusuk diri dengan senjata itu! Namun dia tahu ini bukanlah
penyelesaian yang baik.
Keesokan paginya terpaksa juga dia melalui seorang
pembantunya mengirimkan kabar berkeliling penduduk desa bahwa mulai bulan depan
pemungutan pajak besarnya sebelas kali dari yang sudah-sudah. Ini adalah sesuai
dengan garis kebijaksanaan Raja demi untuk, pembangunan dan memelihara
balatentara yang kuat, demikian alasan yang dibuat-buat oleh Ki Lurah
Kundrawana untuk menutupi apa yang sebenarnya.
Bila berita itu sudah sampai ke seluruh pelosok maka dalam
sikap penduduk Bojongnipah mulai kelihatan pertentangan-pertentangan. Rata-rata
mereka mengatakan bahwa ini adalah satu penindasan. satu pemerasan
terang-terangan. Demi pembangunan dan demi balatentara yang kuat apakah rakyat
harus dkekik lehernya dengan pajak yang besar tiada terkirakan lihat gandanya
itu?!
Beberapa orang tua-tua desa menemui Ki Lurah Kundrawana tapi
Ki Lurah tak bersedia berhadapan dengan mereka. Orang tua-tua desa tentu saja
heran kali melihat sikap Lurah mereka yang dulunya itu begitu baik bijaksana
dan ramah tapi kini, jangankan untuk bicara tentang persoalan kenaikan pajak
itu, bahkan untuk bertemu sajapun dia tidak mau! Disamping itu ketika mereka
berada di rumah Ki Lurah, telinga mereka mendengar terus-terusan suara tangis
Warih Sinten, isteri Lurah. Ada apa pula dengan diri perempuan itu? Betul-betul
banyak hal yang tidak mengerti orang tua-tua desa saat itu! Dan ketika tiba
saat pemungutan pajak yang pertama, banyak di antara.penduduk yang
tak mau membayar. Dengan menekan pertentangan yang senantiasa melekat dihatinya
Ki Lurah terpaksa mengancam orang-orang itu. Siapa-siapa penduduk yang tak mau
membayar pajak dalam jumlah yang telah ditentukan, akan ditangkap dan dibawa ke
Kotaraja! Akhirnya terpaksa juga penduduk membayar.
Dalam pemungutan pajak-yang kedua terjadi kekacauan namun
masih sanggup diatasi oleh Ki Lurah Kundrawana. Menjelang pemungutan pajak yang
ketiga Ki Lurah Kundrawana mendengar kabar bahwa penduduk akan mengadakan
pemberontakan! Lakilaki ini tak bisa menyalahkan penduduk. Suatu malam dengan
diam-diam pergilah Ki Lurah Kundrawana ke Linggajati untuk menemui Adipati Boga
Seta. Kepada Adipati ini dilaporkannya segala apa yang terjadi. Boga Seta
kelihatan terkejut sekali. Ketika Ki Lurah Kundrawana minta diri, Boga Seta
berjanji akan mengirimkan serombongan pasukan Kadipaten selekas mungkin. Namun
menjelang semakin dekatnya hari pemungutan pajak yang ketiga itu tak satu
prajurit Kadipatenpun yang muncul!
Ki Lurah Kundrawana kehabisan akal, betul-betul bingung.
Sementara itu tandatancia bakal terjadinya pemberontakan semakin jelas dan
santar. Dalam kebingungannya di waktu yang sempit itu Ki Lurah Kundrawana
akhimya berhasil menemui Tapak Luwing di luar desa.
“Ada
keperluan apa, kau menemui aku, Ki Lurah ?” bertanya Tapak Luwing sambil
menggerogoti daging panggang yang barusan dipanggang oleh anak-anak buahnya.
Saat itu Tiga Hitam dari kali Comel berada di pinggiran hutan.
“Ada kesulitan katamu ? Hem… Apa kau tahu bahwa besok adalah
hari pemungutan uang pajak itu dan lusanya menyerahkan pada kami di
persimpangan jalan yang menuju ke
Linggajati?”
“Aku tahu Tapak Luwing. Justru kesulitan ini ada sangkut
pautnya dengan pemerasanmu!” jawab Ki Lurah Kundrawana pula.
Tapak Luwing tertawa dan melemparkan tulang daging yang
dimakannya ke dekat kaki kepala desa Bojongnipah itu.
“Tentang kesulitan ini, apakah kau sudah pergi kepada
Adipati Boga Seta di Linggajati?,” Tanya Tapak Luwing seraya tertawa dan
berdiri dari duduknya di batang kayu tumbang.
Ki Lurah Kundrawana terkejut dan berubah parasnya. Dalam
hati dia bertanya-tanya apakah kepala
perampok ini mengetahui kepergiannya ke Linggajati menemui Adipati Boga Seta
itu?
Suara tertawa Tapak Luwing semakin keras. Tampangnya
kelihatan tambah angker dan tiba-tiba, tak terduga oleh Ki Lurah Kundrawana,
tamparan tangan kanan kepala rampok itu mendarat di pipinya.
“Tapak
Luwing kau…”
“Plak!”
Untuk
kedua kalinya tamparan Tapak Luwing menghajar muka Kundrawana.
“Berbacot lagi,”
bentaknya, “Kurobek mulutmu!”.
“Tapi
Tapak Luwing…”
“Aku sudah bilang agar jangan mengadukan persoalan ini
kepada siapapun! Dan kau telah pergi kepada Adipati Boga Seta! Apa kau lupa
hukuman yang bakal diterima anakmu?!”
Maka
pucatlah muka Ki Lurah Kundrawana!
“Kau…
kau apakan anakku, Tapak Luwing…?
“Sekarang kau ketakutan sendiri ya? Sialan! Adipati Boga
Seta telah rnengirimkan lima orang prajuritnya ke Bojongnipah, tapi aku telah
mencegatnya ditengah jalan dan kelimanya telah menemui ajal akibat
kebodohanmu!”
“Anakku… anakku bagaimana…?” tanya Ki Lurah Kundrawana
setengah menangis setengah merengek!
“Aku masih
berbaik hati untuk kasih ampun kesalahanmu kali ini! Di lain hari, jangan harap
aku bakal mau memaafkan kau…”
Legalah dada Ki Lurah Kundrawana. Tapi jika dia mau berpikir
panjang sedikit dan tidak keliwat gelisah maka dia akan melihat adanya
keganjilan dengan ucapan Tapak Luwing hari ini dengan tiga minggu yang lalu.
Dulu Tapak Luwing mengancam akan membunuh anaknya bila dia mengadu kepada
Adipati atau Raja. Dan dia telah mengadukan hal itu kepada Adipati Boga Seta
dan anehnya Tapak Luwing mau memberikan ampun kepadanya, padahal dengan
demikian persoalan kejahatannya bukan saja telah sampai ke tangan Adipati tapi
pasti akan diteruskan ke Kotaraja, apalagi sesudah pembunuhan atas lima
prajurit Kadipaten itu !
“Sekarang terangkan mengenai kesulitan yang kau katakan itu,
Ki Lurah!,” kata Tapak Luwing pula.
“Penduduk desa akan melakukan pemberontakan besok kalau aku
masih juga memungut pajak gila itu!,” kata Ki Lurah Kundrawana pula.
“Begitu? Dulu kau bilang tidak takut mampus! Kini ada bahaya
yang mengancam jiwamu kenapa terbirit mencari aku…?!”
Ki
Lurah Kundrawana mengatupkan rahangnya rapat-rapat.
“Kembalilah ke Bojongnipah. Ki Lurah, Besok kami akan datang
ke sana…” berkata Tapak Luwing.
“Kuharap
jangan sampai terjadi kekerasan”.
“Soal
itu urusan kami. Kau tak perlu ikut campurl,” kata Tapak Luwing pula.
“Bisa
aku ketemu anakku, Tapak Luwing ?” tanya Ki Lurah Kundrawana.
“Kali ini tidak dulu,” jawab kepala rampok itu. Kepala desa
Bojongnipah itu termenung sejurus. Kemudian dengan langkah gontai dia berjalan
ke kudanya dan naik ke atas punggung binatang itu
Sebelum berlalu Ki Lurah Kundrawana bertanya, 'Tapak Luwing,
sampai kapan kebejatanmu ini kau timpakan padaku…?”
Tapak Luwing tertawa. “Tak usah banyak tanya ! Lebih baik
pikirkan.nasibmu besok hari. Mungkin penduduk desa sudah mencincang tubuhmu
sebelum kami datang…!”
* * *
DI pelosok-pelosok desa terdengar
kokokan-kokokan ayam bersahut-sahutan. Puncak dinginnya malam telah lewat dan
kesegaran pagi yang ditandai oleh terangnya langit di ufuk timur menyatakan
bahwa malam sudah sampai ke ujungnya untuk digantikan kini oleh kehadiran pagi.
Ki Lurah Kundrawana menyalakan tembakau pipanya. Mukanya
sudah cekung dan matanya kelihatan kuyu sedang parasnya pucat. Namun dibalik
keredupan wajahnya itu tersembunyi sesuatu yang seperti menyala. Sesuatu itu
ialah amarah dan rasa geram yang tiada terperikan!
Di sedotnya pipa itu. Mulutnya terasa tak enak. Dia meludah
ke tanah lewat langkan. Sejak dulu apalagi sejak beberapa hari terakhir ini
lidahnya memang terasa tidak enak, pahit. Makannya boleh dikatakan dapat
dihitung suapnya. Semakin terang hari semakin gelisah dia, semakin kuatir Lurah
Bojongnipah ini. Yang dikhawatirkannya ialah kalau-kalau penduduk akan datang
lebih dahulu dari pada Tiga Hitam dari Kali Comel! Sebentar-sebentar matanya
memandang ke luar halaman. Namun segala sesuatunya dipagi itu masih diliputi
oleh kesunyian. Dan kesunyian ini pula justru tidak menyenangkan hati Ki Lurah
Kundrawana !
Ditempelkannya lagi ujung pipa ke bibirnya. Disedotnya
dalam-dalam kemudian dihembuskannya asap pipa itu. Sekali lagi dia meludah ke tanah
lalu mengusap-usap bibimya.
Dia terkejut dan memutar kepalanya mendengar langkah-langkah
kaki di belakangnya. Yang datang temyata isterinya sendiri. Badan perempuan ini
sudah jauh susut, lebih kurus dari dahulu. Seperti suaminya, parasnya juga
pucat. Warih Sinten seorang perempuan berwajah ayu, namun keayuan itu kini
tiada kelihatan lagi karena tertutup mendung kegelisahan. Gelisah memikirkan
nasib anaknya, gelisah memikirkan nasib suaminya jika sebentar lagi pen.duduk
benar-benar datang.
Hari itu adalah hari pemungutan pajak yang ketiga.
Semestinya pembantu Lurah Bojongnipah yang biasa berkeliling di seluruh desa
memungut pajak itu sudah datang. Tapi kali ini tak kelihatan mata hidungnya.
Bagaimana dia akan berani memunculkan diri jika sudah tahu kalau hari ini
penduduk akan berontak!.
“Mudah-mudahan
saja penduduk tidak datang…”
Ki Lurah Kundrawana menggigit bibirnya. Dia tahu bicara
isterinya itu hanya sekedar bicara saja. Memang apa yang diharapkan isterinya
itu juga menjadi harapannya. Namun dia tahu betul bahwa harapan itu adalah satu
hal yang mustahil! Rakyat akan datang. Penduduk akan datang! Dia tahu, dia
pasti!
Warih Sinten
memandang lagi ke luar halaman. Lalu berkata lagi: “Kalaupun mereka datang,
kurasa kita tak bisa lagi menyembunyikan kebejatan ketiga manusia terkutuk itu,
Kakang! Kita musti katakan terus terang pada penduduk sebelum penduduk membunuh
kita beramai-ramai!”
“Nyawaku tak ada harganya, Warih…,” ujar Ki Lurah
Kundrawana. “Demi segala-galanya aku rela mati! Tapi percuma saja arti kematian
jtu, kalau keselamatan jiwa anak tunggal kita sendiri akan tersia-sia pula....”
Kesepian
berjalan beberpa lamanya.
Tiba-tiba.
“Kakang…”. Warih Sinten memegang lehernya dengan kedua
tangan. “Mereka… mereka datang…”
Ki Lurah Kundrawana mengangkat kepalanya dan memandang ke
luar halaman. Apa yang dikatakan isterinya memang betul. Serombongan laki-laki
penduduk, desa kelihatan rnuncul di tikungan jalan dibalik pohon-pohon bambu.
Rombongan yang muncul ini merupakan kepala saja dari barisan penduduk yang
jumlahnya tak kurang dari seratus orang. Dari jauh tak kelihatan mereka membawa
senjata. Tapi Ki Lurah Kundrawana tahu bahwa di antara mereka pasti, ada yang
membawa dan menyembunyikan senjata!
Sesaat kemudian halaman luas itupun penuhlah oleh penduduk
desa. Suasana menjadi bising kini. Ki Lurah Kundrawana dan isteranya berdiri
mematung di atas fangkan. Hanya kedua bola mata mereka yang berputar memandangi
penduduk Bojongnipah itu.
Seorang di antara penduduk kemudian menyeruak ke muka dan
naik ke langkan, berdiri beberapa langkah dihadapan Kundrawana. Kundrawana
kenal baik dengan laki-laki ini. Dia adalah seorang petani yang diam di desa
sebelah timur. Namanya Kratomlinggo. Sewaktu laki-laki ini bertindak naik ke
langkan, maka suasana di tempat itu sehening di pekuburan.
“Ki Lurah…, Kratomlinggo buka mulut merobek keheningan itu.
“Kau tentu sudah tahu maksud kedatangan kami bukan…?”
Kundrawana tak menjawab. Pada wajah Kratomlinggo dilihatnya
senyum mengejek. “Ketahuilah bahwa aku berdiri dihadapanmu saat ini adalah,
sebagai wakil dari sekian banyak penduduk Bojongnipah…,” Kratomlinggo menunding
ke belakang lalu meneruskan: “penduduk Bojongnipah yang sejak satu bulan
belakangan ini telah menjadi korban pemerasan, korban penindasan, korban
pengisapan, dkekik oleh pajak sebelas kali lipat!
Penduduk
Bojongnipah…”
“Saudara Kratomlinggo,” memotong Ki Lurah Kundrawana.
“Ringkaskan saja bicaramu. Katakanlah apa yang kalian mau”.
Dan
lagi-lagi Kundrawana melihat senyum mengejek tersungging di mulut Kratomlinggo.
“Apa mau kami…? Itu semua sudah kami katakan pada saat
pertama kali kau memungut pajak gila itu!”
“Aku
pribadi memang tak ingin berbuat begitu. Tapi ini adalah perintah atasan.
Perintah Raja,
untuk pembangunan dan pemeliharaan pasukan…”
“Perintah atasan tinggal perintah atasan! Apakah kalau
atasan menyuruh kau cebur ke sumur lantas kau akan berbuat begitu? Nyemplung ke
sumur?! Setiap perintah harus berdasarkan pertimbangan otak Ki Lurah!” Merah
muka Kundrawana.
Sementara
itu Warih Sinten mulai menangis terisak-isak.
“Saudara
Krato, mungkin pemungutan pajak itu hanya bersifat sementara saja…”
“Ya sementara! Sementara! Baru dihentikan bila semua
penduduk Bojongnipah ini mati dkekik pajak ?1” .
“Aku
tahu pajak sebesar itu memang berat…”
“Kalau
berat mengapa dilaksanakan?!” tukas Kratomlinggo.
Ki Lurah Kundrawana lagi-lagi menggigit bibirnya. lngin saja
saat itu dia mengatakan apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang dari
pemungutan pajak itu. Ingin saja saat itu dia menerangkan siapa sebenarnya yang
menjadi dalang pemungutan pajak gila itu! Tapi bila diingatnya anak tunggalnya
yang ada di tangan Tiga Hitam dari
Kali Comel itu…
“Kami penduduk desa Bojongnipah ingin agar peraturan pajak
gila itu dkabut kembali!” berkata Kratomlinggo.
“Aku
tak punya wewenang untuk melakukan hal itu, saudara Krato”.
“Kau bisa menyampaikan kepada Adipati di Linggajati. Adipati
meneruskannya ke Kotaraja. Dan kalau kau tidak mau melakukan hal itu, kami
tidak ragu-ragu untuk bertindak berdasarkan apa yang kami rasa benar…!”
“Apakah
ini suatu ancaman?”
“Kau
boleh bilang begitu., Ki Lurah!”
“Saudara
Krato…,” terdengar suarar Warih Sinten. “Kau… kau dan semua penduduk
Bojongnipah tidak
tahu… tidak tahu…”
“Kami lebih
dari tahu!” geretus Kratomlinggo. “Meskipun apa yang kini kami ketahui itu
adalah hal yang tak pernah kami duga! Kami tahu bahwa suamimu, Ki Lu.rah
Kundrawana tak lebih dari seorang tukang peras! Yang menjilat ke atas dan
menggilas ke bawah! Yang cari nama ke atas dan menjerat leher
penduduk di bawah! Kami lebih dari ta….”
“Kuharap bicara sepantasnyalah Kratomlinggol” memotong Ki
Lurah Kundrawana karena panas hati dan telinganya mendengar dkap sebagai
penjilat dan pemeras demikian rupa.
Kratomlinggo berpaling ke arah orang banyak. Kemudian dia
tertawa bergelak. Sementara itu salah seorang pendduk berteriak: “Buat apa
bicara sepanjang lebar dengan biang lintah darat itu?!
Sumpal saja
mulutnya dengan golok !”
Kratomlinggo berpaling pada Kundrawana kembali. “Kau dengar
teriakan itu Ki Lurah?” tanyanya.
Mulut Kundrawana komat kamit. “Kalau kalian ingin pajak itu
dkabut, silahkan. pergi sendiri menghadap Raja di Kotaraja…”
“Lantas,
apa perlunya kau jadi Lurah di sini'?!” teriak seorang penduduk pula.
“Apa
hanya untuk ongkang-ongkang ?!” teriak penduduk yang lain.
“Ongkang-ongkang
dan memeras?!” teriak yang lain lagi.
“Kemudian penduduk lainnya berteriak pula: “Kami tidak
percaya ini aturan dari Raja! Bukan mustahil pajak itu adalah aturan gila yang,
kau buat sendiri !” .
Masih banyak lagi teriakan-teriakan
yang membuat muka Kundrawana menjadi merah dan tebal rasanya: Telinganya
berdesing. “Kratomlinggo, kuharap kau bawalah orang-orang itu meninggalkan
tempat ini,” kata Kundrawana.
“Begitu ...?,” ujar Kratomlinggo dengan lontarkan senyum
sinis. “Kami semua baru akan pergi sesudah kau menyatakan blak-b!akan bahwa
mulai saat ini aturan pajak gila itu dkabut!”
“Tak satupun yang bisa mencabut segala keputusan Raja!,”
jawab Kundrawana. Suaranya saja yang keras namun ucapannya itu sama sekali
tiada dengan kesungguhan hati.
“Kalau
begitu agaknya kami terpaksa menggunakan kekerasan…”
“Kau menentang Kerajaan, Kratomlinggo?” tanya Ki Lurah
Kundrawana. Pertanyaan yang setengah menggertak ini dimaksudkannya untuk dapat
ke luar dari keadaan yang terdesak saat itu.
Namun jawaban Kratomlinggo
adalah lontaran seringai mengejek. “Jangan takuti penduduk Bojongnipah dengan
kata-kata Kerajaan, Ki Lurah! Kami semua yakin bahwa pajak gila itu adalah kau
punya bisa! Kerajaan selama ini selalu bertindak adil dan bijaksana…!” Kratomlinggo
melangkah kehadapan Ki Lurah Kundrawana dengan kedua tinju terkepal.
Beberapa penduduk
Bojongnipah melangkah pula naik ke atas langkan.
Ki
Lurah Kundrawana mundur beberapa langkah ke belakang. Warih Sinten menjerit.
“Kratomlinggo,
kau… kalian mau bikin apa…?”
“Kami coba
minta keadilan dengan cara wajar, tapi kau maukan kekerasan…!” jawab
Kratomlinggo. Tangan kanannya bergerak.
Tiba-tiba terdengar ringkikan kuda dan suara hiruk pikuk.
Penduduk di halaman muka berhamburan.cerai berai.
“Atas
nama Kerajaan, yang tidak mau mati, minggirlah !”
Terdengar
jeritan beberapa orang yang terserampang kuda !
* * *
TIGA penunggang kuda melompat dari punggung kuda
masing-masing. Gerakan mereka enteng sekali dan sekejapan mata saja ketiganya
sudah berada antara Kratomlinggo dan Ki Lurah Kundrawana. Ketiganya berpakaian
seragam prajurit dan tampang-tampang mereka angker buruk. Baik Ki Lurah
Kundrawana maupun Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah, semuanya sama
terkejut. Dalam keterkejutannya itu Ki Lurah Kundrawana merasa lega juga karena
dia segera mengenali ketiga orang itu tak lain adalah Tapak Luwinng dan dua
orang anak buahnya! Namun apa yang tidak dimengerti oleh Lurah Bojongnipah itu
ialah mengapa ketiga orang komplotan rampok itu mengenakan pakaian
keprajuritan.
Sementara itu Tapak Luwing yang berdiri tepat dihadapan
Kratomlinggo dengan bertolak pinggang dan membentak maju ke muka: “Kami
prajurit-prajurit Kadipaten Linggajati! Kamu jadi biang keribuan di sini ya?!”
Terkejutlah Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah sedang Ki
Lurah Kundrawana dan isterinya merutuk dalam hati melihat betapa lihaynya
Kompolotan Tiga Hitam itu menjalankan peran sebagai prajurit-prajurit Kadipaten
palsu untuk mengelabui mata penduduk dan juga menyembunyikan rahasia besar
latar belakang pemerasan mereka! Kratomlinggo menindih rasa terkejutnya. Dia
merasa tak perlu takut terhadap ketiga prajurit Kadipaten itu bahwa bukankah
ini kesempatan di mana dia bisa sekaligus menerangkan pemerasan pajak yang
dilakukan oleh Kundrawana itu?
“Saudara,” kata Kratomlinggo, “jika kalian adalah
prajurit-prajurit Kadipaten, kebetulan sekali kalau begitu…!
“Kebetulan
apa maksudmu?!” bentak Tapak Luwing.
Kratomlinggo kemudian menerangkan sejelas-jelasnya mengenai
soal pajak itu kepada Tapak Luwing. Namun dia begitu kaget ketika mendengar
jawaban Tapak Luwing.
“Jadi kau sengala pimpin penduduk Bojongnipah untuk
mengikuti maumu sendiri?! Untuk menepuh jalan kekerasan! Ini namanya, satu
pemberontakan! Ini namanya satu penantangan terhadap Kerajaan, satu
pembangkangan terhadap peraturan-perraturan Raja karena soal pajak itu memang
datang dari Raja disampaikan melalui Adipati di Linggajati!”
“Tapi mengapa hanya penduduk
Bojongnipah saja yang dipajaki segila ini!,” kata salah seorang penduduk yang
berdiri di samping Kratomlinggo: “Ya, desa-desa lain tidak!” seru yang lain
dari luar halaman.
“Kamu semua tahu apa!” semprot Tapak Luwing. “Ini adalah
keputusan Raja! Bojongnipah yang subur tak bisa disamakan dengan desa-desa
lain. Karenanya sudah pantas kalau dibebani pajak yang agak besaran…”
“Agak
besaran…,” gerendeng seorang penduduk mengejek.
Kratomlinggo kemudian mengetengahi suasana panas itu. “Kami
merasa sama sekali tidak menentang Raja, sama sekali tidak membangkang apalagi
memberontak. Kami hanya inginkan agar pajak dikembalikan sebesar yang lama…”
“Tapak Luwing meludah ke lantai langkan. “Kau memang biang racun
pemberontak yang pintar omong! Terhadap Lurah kalian, kalian boleh bicara kasar
dan seenaknya, tapi terhadap kami prajurit-prajurit Kadipaten jangan coba-coba!
Pimpin seluruh penduduk untuk angkat kaki dari sini !
Cepat!”
Maka berkatalah Kratomlinggo: “Kami penduduk Bojongnipah
datang ke sini untuk menegakkan keadilan. Kalau kami harus angkat kaki dari
sini maka keadilan itu musti sudah berhasil ditegakkan!”
“Hem... begitu…?”. Tapak Luwing menyeringai. Gigi-giginya
yang hitam kecoklatan serta besar-besar ketihatan menjijikkan. “Sebelum kau dan
yang lain-lainnya menegakkan keadilan itu, coba terima tangan kananku ini !”
Sesudah berkata demikian Tapak Luwing hantamkan tangan
kanannya ke dada Kratomlinggo. Yang dipukul dengan cepat melompat ke
samping.
Namun
! “Buukk !”
Tangan kiri Tapak Luwing bersarang di perut Kratomlinggo.
Nyatanya pukulan tangan kanan Tapak Luwing tadi hanyalah satu tipuan belaka!
Kratomtinggo melintir dan terjajar ke belakang.
Perutnya sakit-
sekali, mual seperti mau muntah, nafasnya menyesak.
Laki-laki ini rupanya bukanlah hanya
sekedar seorang petani saja, namun juga seorang yang pernah mempelajari ilmu
silat. Dengan cepat dia atur nafas dan jalan darah. Lalu dengan sebat
rnenyerang ke muka. Enam orang penduduk ikut menyertai serangannya inir
Maka dengan demikian pertempuranpun pecahlah.
Empat penduduk terjerongkang ke lantai langkan. Dua pingsan,
dua lagi patah tulang iganya serta terlepas sambungan sikunya. Sedang
Kratomlinggo terhempas ke tiang langkan. Dadanya kena dipukul oleh Tapak
Luwing. Dia berusaha berdiri mengimbangi badan kembali dan siap melancarkan
serangan balasan. Tapi apa lacur, belum lagi kakinya menindak pemandangannya
sudah gelap dan dari mulutnya bermuntahan darah kental berbuku-buku! Sesaat
kemudian tubuh laki-laki ini tergelimpang ke lantai!
Melihat ini sebagian penduduk menjadi kalap. Mereka menyerbu
berserabutan ke atas langkan dengan berbagai macam senjata.
“Siapa yang mau mampus, majulah!” teriak Tapak Luwing seraya
melintangkan golok.
Mereka yang menyerbu menjadi ragu-ragu kini namun beberapa
orang diantaranya yang tetap kalap menyerang dengan membabi buta. Maka
terjadilah hal yang mengerikan. Orang-orang ini bergelimpangan bermandikan
darah, dibabat dan dipapas oleh senjata Tapak Luwing dan anak-anak buahnya!
Yang lain-lainnya kini tak berani lagi bertindak lebih jauh meskipun jumlah
mereka jauh lebih banyak!
Warih Sinten sudah sejak lama lari ke dalam rumah sambil
menjerit-jerit ketakutan sedang Kundrawana menggigit bibir dan pejamkan mata
melihal kengerian itu. Kalau saja tidak ingat akan keselamatan anaknya, sudah
sejak tadi dia mencabut keris dan turut menyerbu!
“Siapa lagi yang mau berkenalan dengan golokku, silahkan
maju!,” kata Tapak Luwing tolakkan tangan kirinya ke pinggang kiri.
Tapak Luwing tertawa. “Nah, kalau kalian masih belum punya
nyali untuk masuk ke liang kubur, gotong kunyuk-kunyuk yang malang melintang di
langkan rumah ini kemudian angkat kaki dari sini cepat !”
Kemarahan penduduk meluap-luap. Namun apa yang terjadi di
depan mata mereka membuat nyali mereka menjadi ciut dan bulu kuduk meremang. Ki
Lurah Kundrawana sendiri berdiri mematung. Rahangnya terkatup rapat-rapat.
Kegeramannya tiada terlukiskan. Kebenciannya terhadap Tiga Hitam dari Kali
Comel tiada terkirakan lagi! Namun seperti penduduk Bojongnipah, dia juga tak
dapat berbuat suatu apa!
Penduduk menggotong Kratomlinggo dan korban-koban lainnya.
Sebelum mereka berlalu berserulah Tapak Luwing.
“Aku tak
ingin melihat keonaran macam begini untuk kedua kalinya, kecuali kalau kalian
sendiri yang sengaja minta dibereskan macam kawan-kawan kalian itu! Siapa yang
mau berontak boleh saja! Golakku memang sudah sejak lama haus darah!”
Tak
ada yang menyahuti ucapan Tapak Luwing itu.
Dan Tapak Luwing yang menyamar
sebagai prajurit Kadipaten itu berseru lagi: “Jangan lupa, paling lambat tengah
hari besok, kalian semua sudah harus melunasi pajak itu! Jika ada yang
membantah untuk membayarnya, kalian cukup tahu apa akibatnya!” ketika seturuh
penduduk Bojongnipah sudah meninggalkan tempat itu maka Tapak Luwing
menyarungkan goloknya kembali dan berpaling pada Ki Lurah Kundrawana.
“Kau
harus berterima kasih padaku yang telah selamatkan kau punya batang leher,
Ki Lurah...!” Ki Lurah Kundrawana
berkemik. Rahang-rahangnya bertonjolan. Tapak Luwing tertawa mengekeh.
“Selambat-lambatnya senja besok uang pungutan pajak harus sudah kau antarkan ke
pondok tua dipersimpangan jalan yang menuju ke Linggajati!” Kundrawana masih
diam.
“Eh,
apa kau sudah tuli!” tanya Tapak Luwing.
Dan Lurah Bojongnipah itu masih juga diam. Maka membentaklah
Tapak Luwing. “Kamu tuli hah?!”
“Aku
tidak tuli, Tapak Luwing…”
“Lalu mengapa ditanya diam saja?
Mungkin gagu?!” Dua orang anak buah Tapak Luwing cengar cengir.
“Sesenja-senjanya
hari uang itu sudah harus ku terima. Kau dengar…?!” .
“Bagaimana
kalau penduduk tak mau membayamya ?”
“Aku tak perlu pertanyaan itu! Bayar atau tidak bayar,
pokoknya besok aku cuma tahu terima uang!”
Tapak Luwing memberi isyarat pada kedua anak buahnya.
Ketiganya menuruni langkan rumah dan melangkah menuju ke kuda masing-masing.
Malam itu, dengan segala daya dan sedikit ilmu pengetahuan
yang dimilikinya, Kratomlinggo berhasil menyembuhkan luka di dalam yang
dideritanya akibat pukulan Tapak Luwing. Pada dasarnya bukan daya dan
pengetahuan silat Kratomlinggolah yang menolong melainkan adalah karena pukulan
Tapak Luwing pagi tadi tidak mempergunakan keseluruhan tenaga dalamnya.
Dendam
terhadap Tapak Luwing dan kawan-kawannya, kebencian yang tak terkendalikan
terhadap Ki Lurah Kundrawana serta pajak yang tetap harus dibayar esok hari,
semuanya itu bertumpuk menjadi satu sehingga malam itu, rneskipun baru saja
sembuh dari luka namun tekat Kratomlinggo sudah bulat untuk berangkat ke
Kotaraja! Niatnya ini diberitahukannya pada beberapa kawannya. Dan malam itu
bersama empat orang lainnya, dengan menunggangi kuda maka berangkatlah
Kratomlinggo ke Kotaraja.
Malam gelap. Sinar bintang dan cahaya bulan sabit tak dapat
mengalahkan kegelapan itu. Kratomlinggo dan empat orang kawannya memacu kuda
masing-masing, melewati sebuah tikungan dan sampai di sebuah jembatan yang menghubungkan
kedua tepi sebuah anak sungai.
Pada saat itu pulalah Kratomlinggo dan kawan-kawannya
melihat serombangan penunggang kuda di seberang jembatan. Mereka berjumlah tiga
orang dan ketiganya menghentikan kuda di seberang jembatan itu. Melihat gelagat
yang tidak baik ini. Kratomlinggo segera hentikan kudanya.di tengah-tengah
jembatan dan memberi isyarat pada keempat kawannya. Malam memang gelap namun
mata Kratomlinggo masih sanggup, mengenali penunggang kuda yang paling depan
dihadapannya. Manusia itu ternyata adalah prajurit Kadipaten yang siang tadi
menanganinya!.
“Celaka,” bisik Kratomlinggo. “Bagaimana bangsat-bangsat
Kadipaten ini bisa tahu keberangkatanku
ke Kotaraja?!” Sampai saat itu baik dia mau pun kawan-kawannya sama
sekali masih tidak mengetahui siapa ketiga manusia yang menghadang di ujung
jembatan itu!
Penunggang kuda sebelah muka yang tiada lain dari Tapak
Luwing adanya tertawa mengekeh. “Rupanya pelajaran dan peringatanku siang tadi
masih belum cukup huh!,” sentak Tapak Luwing. Kratomlinggo -tak
menjawab. Namun dia diam tangan kanannya menyelinap ke balik pinggang meraba
hulu golok. Hal yang sama dilakukan juga oleh keempat kawannya. Dan di seberang
jembatan kembali terdengar kekehan Tapak Luwing.
Begitu kekehannya berhenti maka terdengar bentakannya.
“Kalian kunyuk-kunyuk mau ke mana?!”
“Kami tak ada permusuhan dengan kalian. Karena itu
minggirlah, beri jalan…” kata Kratomlinggo pula.
“Minta jalan? Boleh… lewatlah!,” kata Tapak Luwing pula
sambil pinggirkan kudanya. Dipersilahkan begitu rupa malah membuat Kratomlinggo
dan kawan-kawannya menjadi terpatung, tak bergerak di punggung kuda
masing-masing. “Ayo, kenapa tidak mau lewat?!,” tanya Tapak Luwing.
Kratomlinggo
bimbang.
Dan Tapak Luwing buka suara lagi: “Kalau begttu roh busuk
kalian yang akan lewat jembatan ini !”
“Sret
!”
Tapak Luwing
cabut goloknya. Terdengar lagi dua kali suara “sret” yaitu dari golok-golok
yang dkabut oleh anak buah Tapak Luwing. Melihat ini Kratomlinggo dan
kawan-kawannya segera pula menghunus golok masing-masing !
“Aku tahu kalian hendak ke Kotaraja…,” berkata Tapak Luwing
seraya larik tali kudanya,
“Tapi ketahuilah
hanya roh-roh busuk kalian yang akan menghadap Raja di istana!”
Dalam jarak dua tombak, dengan satu sentakan keras maka kuda
Tapak Luwing melompat ke muka. Dua anak buahnya menyusul. Tiga golok berkelebat
di bawah cahaya redup bulan sabit. Lima golok menyambutinya !
“Trang
..... trang ..... trang….!”
Bunga api memercik. Suara beradunya golok-golok itu disusul
oleh seruan kesakitan. Dua kawan Kratomlinggo rebah dari atas punggung kuda.
Yang satu terbabat perutnya, yang lain puntung lengan kanannya!
Dalam gebrakan kedua, Tiga Hitam dari Kali Comel yang saat
itu masih mengenai pakaian, prajurit-prajurit Kadipaten, kembali mengirimkan
serangan hebat tanpa memberikan kesempatan pada lawan! Dua orang lagi menjerit
dan roboh, tubuh salah satu dari padanya kemudian kecebur ke dalam sungai.
Kratomlinggo sendiri dibikin terjerongkang dari atas punggung kuda, goloknya
lepas. Masih untung sarripai saat itu dia belum cidera apa-apa. Dan memaklumi
bahwa untuk melawan terus adalah satu kesia-siaan maka laki-laki ini segara
putar tubuh ambil langkah seribu!
Tapak Luwing tertawa bergelak. “Dasar manusia kintel! Kamu
mau lari ke mana?!” Dari balik sabuknya kepala Komplotan Tiga Hitam dari Kali
Comel ini keluarkan sebilah pisau belati. Senjata ini melesat dengan
mengeluarkan suara berdesing! Kratomlinggo yang tak tahu dirinya tengah dikejar
maut, terus juga lari.
Hanya satu jengkal saja lagi belati yang mengandung racun
itu akan menancap di punggungnya maka pada saat itu pulalah dari jurusan semak
belukar gelap di tepi sungai melesat sebuah benda berbentuk bintang berwarna
putih perak !
“Tring
!”
Bunga
api memercik.
Bukan saja benda berbentuk bintang ini berhasil membuat
pisau beracun Tapak Luwing mental, tapi juga membuat pisau itu patah dua !
Terkejutlah Tapak Luwing. Lupa dia pada niatnya hendak
membunuh Kratomlinggo. Dengan serta merta diputarnya tubuhnya. Matanya yang
tajam telah melihat dari arah mana datangnya sambaran benda putih perak
berbentuk bintang itu. Dan memakilah kepala Komplotan Tiga Hitam dari Kali
Comel itu.
“Setan alas
yang ikut campur urusan orang ke luar dari persembunyianmu dan terima
pisaupisau ku ini !”
Habis bilang demikian Tapak Luwing lemparkan sekaligus tiga
bilah pisau beracunnya ke arah semak belukar di kegelapan.
Terdengar
suara siulan yang disusul oleh suara
tertawa bergelak.
“Aku di sini bung! Kenapa serang tempat kosong?!,” kata,
manusia yang muncukan diri itu dengan nada mengejek.
“Bangsat betul!,” maki Tapak Luwing. Di lemparkannya lagi
dengan tangan kiri sepasang pisau belati ke arah laki-laki yang berdiri sekira
enam tombak di tepi sungai.
-- == 0O0 == --
ENAM
ORANG yang berdiri di tepi sungai sambuti serangan itu
dengan melambaikan tangan kirinya. Sekali lambai saja maka kedua pisau beracun
itupun mentallah.
Kaget
Tapak Luwing membuat- laki-laki ini keluarkan seruan tertahan.
“Manusia yang sengaja cari
penyakit, siapa kau!” tanyanya membentak dan diam-diam memberikan isyarat pada
kedua anak buahnya untuk bersiap-siap dan mengambil posisi mengurung.
Yang
ditanya. “Ada ribut-ribut apa di sini?!”.
“Ee kunyuk gondrong!,” maki salah seorang, anak buah Tapak
Luwing. “Kau berani. bicara edan sama prajurit-prajurit Kadipaten?!”
“Oh.... jadi kalian prajurit-prajurit Kadipaten…”. Laki-laki
di tepi sungai, keluarkan suara mendengus. “Setahuku prajurit-prajurit
Kadipaten tidak suka urusan kekerasan, apalagi membunuh manusia begini rupa…!”.
Sementara itu. Kratomlinggo yang tadi hendak larikan diri,
mendengar ada keributan baru di belakangnya perlahan-lahan palingkan kepala
lalu putar tubuh dan berhenti di belakang sebuah pohon. Apa yang disaksikannya
kemudian sungguh tidak diduganya.
“Kita tak perlu sembunyikan siapa kita terhadap monyet
bermuka manusia ini!'', kata Tapak Luwing.
“Nah, terus
terang lebih bagus!” menimpali laki-laki di tepi sungai. “Katakan saja siapa
kalian!”.
“Sebelum tahu siapa
kami sebaiknya lekas-lekaslah berlutut minta ampun!” kata Tapak Luwing pongah.
“Eh,
kenapa begitu?''.
Karena menyangka bahwa
Kratomlinggo sudah larikan diri dan tak ada lagi di tempat itu, maka berkatalah
Tapak Luwing;”Ketahuitah. Tiga Hitam
dari Kali Comel tidak pernah membiarkan terus bernafasnya seorang biang runyam
yang ikut campur urusan!”
“Ooo… jadi kalian Tiga Hitam dari Kali Comel, rampok-rampok
ganas tiada kernanusiaan itu? Pantas… pantas tampang-tampang kalian hitam macam
arang…”
“Haram jadah! Terima golokku!,” teriak anak buah Tapak.
Luwing yang di samping kanan. Dengan gerakan enteng dia melompat dari punggung
kuda, derngan sebat goloknya berkelebat ke arah batok kepala laki-laki muda
yang berdiri tetap tenang malahan dengan tertawa-tawa!
Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa laki-laki muda
itu melompat ke belakang. Serangan anak buah Tapak Luwing mengenai tempat
kosong. Karena begitu kesusu dan sebatnya maka laki-laki itu jadi
terhuyung-huyung sendiri. Sebelum dia sempat mengimbangi badan, satu tendangan
menghantam pantatnya!
“Manusia tidak tahu peradatan! Orang bicara dipotong
seenaknya! Rasakan sendiri olehmu!”
Melihat kawan dan anak buahnya dipermainkan begitu rupa
sampai tersungkur di tanah. Tapak Luwing dan anak buahnya yang satu lagi segera
loncat dari kuda.
“Beri tahu namamu lebih dulu, kunyuk!,” bentak Tapak Luwing.
“Kalau tidak rohmu akan minggat percuma!”
“Bicaramu
terlalu tinggi! Kalau mau tahu namaku majulah…!”.
Dengan tertawa bergelak Tapak Luwing menyerbu ke muka.
Sambaran goloknya deras sedang tangan kirinya laksana palu godam membabat ke
arah ulu hati lawan. Inilah jurus “angin mengamuk pohon tumbang” yang memang
bukan olah-olah dahsyatnya.
“Ah, rupanya kau punya ilmu yang diandalkan juga eh?” ejek
lawan yang diserang. Dia merunduk untuk elakkan sambaran golok lalu lompat ke
samping guna hindarkan sodokan tinju lawan dan dengan secepat kilat kemudian
tangan kanannya yang terbuka menyeruak di antara kedua serangan lawan tadi,
menderas ke arah kening Tapak Luwing.
Kepala Tiga
Hitam dari Kali Comel itu bukan orang yang berilmu rendah. Kalau tidak percuma
saja dia menjadi kepala komplotan yang ditakuti
selama bertahun-tahun disepanjang Kali Comel dan perbatasan.
Dengan sebat, dengan keluarkan bentakan dahsyat Tapak Luwing
membuat satu gerakan yang luar biasa. Tubuhnya mencelat satu tombak ke atas dan
dalam lompatan itu kaki kanannya menderu muka lawan dan disaat yang sama pula
dari sebelah belakang menderu golok anak buah Tapak Luwing ke arah punggung
laki-laki muda itu.
Yang diserang bersiul. “Akh… kalian rupanya betul-betul maui
jiwaku! Tapi kurasa saat ini belum waktunya!”. Pemuda ini berkelebat. Lututnya
menekuk kedua tangannya berputar seperti kitir dan: “bluk ....... buk”!.
Anak buah Tapak Luwing terjerongkang ke belakang, muntah
darah dan menggeletak,di tanah. Tapak Luwing sendiri merintih kesakitan sewaktu
lengan lawan menghantam tepat tulang keringnya!
Di saat itu anak buah Tapak Luwing yang tadi ditendang
pantatnya sudah bangun kembali- dan dengan ganas lancarkan serangan dahsyat.
Namun nasibnya juga sial. Sekali lawannya berkelebat maka goloknya kena
dihantam sikut lawan! Yang satu inipun roboh pula menyusul kawannya
Merasakan sakit pada kakinya, melihat kedua anak buahnya
dibuat begitu rupa, benar-benar Tapak Luwing hampir-hampir merasa seperti orang
mimpi. Apakah agaknya kali, ini komplotan yang dipimpinnya menemui “batunya”?
Selama bertahun-tahun bertualang dan menjadi Pemimpin Komplotan Tiga Hitam dari
Kali Comel baru hari itu dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kedua
anak buahnya dibikin menggeletak hanya dalam satu gebrakan saja! Bahkan dia
sendiri merasakan pula bekas tangan lawannya. Lawan yang masih muda belia dan
sama sekali tidak dikenalnya.
Dengan penuh geram_Tapak Luwing salurkan tenaga dalamnya
lewat lengan kanan terus kegolok sedang tangan kirinya saat itu sudah memegang
tiga pisau beracun. Kedua kakinya terpentang, pinggangnya sedikit membungkuk ke
muka. Tangan yang memegang pisau dinaikkan ke atas agak ke belakang sedang
tangan kanan memegang golok lurus-lurus ke muka.
“Kenalkah
kau jurus ini, pemuda keparat?!”.
“Ah… hanya jurus -- menyebar bunga menusuk buah --
nenek-nenek keriputpun bisa mengenalnya!,” sahut si pemuda.
Bukan saja Tapak Luwing menjadi geram diajek demikian rupa
namun dia juga kaget melihat bahwa lawannya bisa menerka jurus yang bakal
dikeluarkannya itu!
Untuk menutupi keterkejutannya Tapak Luwing berkata: “Kau
sudah tahu nama jurus ini, baik sekali!. Tapi juga ketahuilah ini adalah jurus
kematianmu! Bagusnya kasih tahu namamu sekarang juga agar kau mampus tidak
dengan penasaran!”.
“Sudahlah….
jangan banyak bacot! Buktikanlah kehebatan jurus yang kau andalkan itu!”.
Tapak Luwing tertawa dingin. Tubuhnya semakin membungkuk.
Hampir tak kelihatan dia menggerakkan tangan kirinya maka tiga pisau yang
dipegangnya tahu-tahu sudah meluncur sebat sekali ke arah si pemuda. Yang
pertama menjurus batang leher, yang kedua mencuit ke dada dan yang terakhir
menggebubu ke bawah perut!
Bukan saja daya lesat pisau itu hebat sekali mengingat hanya
di lemparkan dengan tangan kiri, namun juga tempat-tempat yang diserangnya juga
adalah tempat-tempat yang berbahaya mematikan.
Pada detik pisau-pisau beracun itu melesat ke muka, pada
saat itu pulaTapak Luwing menerjang dan putar goloknya dengan sebat. Dorongan
angin golok yang. menderu menambah kencangnya daya lesat tiga pisau itu. Maka
itulah jurus “menyebar bunga rnenusuk buah”. Pisau dan golok datang susul
menyusul!
“Akh
jurusmu ini boleh juga!,” kata si pemuda. “Tapi coba terima dulu telapak
tanganku!”.
Si pemuda pukulkan tangan kirinya ke muka. Angin dahsyat
melanda dan mementalkan ketiga pisau. Tapak Luwing berseru kaget karena dua
dari pisau itu akibat dorongan angin pukulan lawan berbalik menyerang ke
arahnya. Mau tak mau Tapak Luwing terpaksa pergunakan goloknya untuk
meruntuhkan dua pisau itu.
“Tring.....
tring!”
Dua pisau beracun patah-patah dan terlempar jauh. Gerakan
untuk menangkis dua pisau ini membuat Tapak L.uwing melupakan pertahanan
dirinya seketika. Ketika dia memasang kuda-kuda baru maka telapak tangan kanan
lawan sudah berada dekat sekali ke kepalanya. Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel
ini pergunakan goloknya untuk membabat lengan lawan namun kurang cepat karena
lengan kiri si pemuda lebih cepat menyusup membentur sambungan sikunya.
“Krak”!
“Plak”!
Tapak
Luwing mengeluh dan huyung kebelakang.
Lengannya
patah.
Keningnya yang kena dihantam telapak tangan lawan sakit dan
panas bukan main. Pada kulit kening itu kini kelihatan tertera angka 212! Tapak
Luwing coba alirkan tenaga dalam dan atur jalan darahnya. Namun kekuatannya
seperti punah. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Keningnya panas,
sakit dan pemandangannya berkunang, lututnya gontai!
“Keparat…,”
desis Tapak Luwing.
“Ee…
masih bisa memaki?”
“Kalau hari ini aku kena kau celakai jangan anggap kau sudah
mempecundangi aku, orang muda. Suatu hari kelak aku akan mencarimu dan
mematahkan batang lehermu!”.
Tapak Luwing ambil tiga pisau terbang dengan tangan kirinya.
Cepat sekali senjata itu dilemparkannya ke arah si pemuda lalu secepat itu pula
dia putar tubuh untuk larikan diri. Si pemuda melompat ke samping. Dua pisau
lewat di kiri kanannya. Pisau ketiga diluruhkannya dengan lambaian tangan kiri!
Kemudian sambil totokkan dua jari tangan kanannya mengirimkan totokan jarak
jauh berserulah si pemuda: “Kenapa pergi buru-buru?!
Bicaraku tadi
padamu belum habis!”
Kontan saat itu juga tubuh Tapak Luwing menjadi kaku tegang
tak bisa bergerak lagi! Si pemuda tertawa dan berpaling pada pohon besar di
tepi sungai.
“Saudara yang sembunyi di belakang pohon. keluarlah. Aku mau
bicara juga dengan kau!”.
Kratomlinggo, yang berdiri di belakang pohon itu terkejut.
Namun karena tahu bahwa itu pemuda bukanlah dari golongan jahat maka tanpa
ragu-ragu dia segera keluar. Lagi pula penuturan Tapak Luwing tadi yang mengaku
bahwa dia.dan kawan-kawannya adalah Komplotan Tiga Hitam dari
Kalkomel membuat dia merasa perlu melakukan penyelidikan lebih jauh.
“Saudara, apakah yang telah terjadi di sini sebelumnya
dengan kau dan kawankawan...?”.
“Panjang ceritanya, saudara. Tapi sebelumnya kalau aku boleh
tahu siapa namamu…?”
“Aku
Wiro…,” jawab si pemuda.
“Aku Kratomlinggo. Aku dan kawan-kawanku yang malang itu
sama-sama dari desa Bojongnipah. Kami bermaksud pergi ke Kotaraja…”
Maka Kratomlinggopun menuturkan segala sesuatunya, mulai
dari soal pajak gila yang dilarik oleh Ki Lurah Kundrawana sampai dengan
kematian keempat kawannya itu.
Wiro atau Wiro Sableng alias Pendekar 212 geleng-gelengkan
kepalanya. “Aku memang sudah lama dengar nama Komplotan bejat mereka. Yang satu
ini kalau tak salah bernama Tapak Luwing. Pantas saja selama beberapa waktu
terakhir ini tak kelihatan mereka malang melintang di sepanjang Kali Comel.
Rupanya tengah bikin kejahatan di sini…”.
“Dan
pastilah penjahat-penjahat ini bekerjasama atau jadi- kaki tangan Ki Lurah
Kundrawana…”.
“Boleh jadi,” sahut pendekar 212. “Tapi mungkin juga
merekalah biang runyam yang melakukan pemerasan terhadap Ki Lurah!”
Kratomlinggo mengangguk.
“Supaya jelas biar bangsat yang satu ini kita tanyai,” kata
Wiro Sableng pula. Dia melangkah mendekati Tapak Luwing untuk melepasakan
totokan di tubuh kepala Komplotan Tiga Hitam itu. Namun baru saja satu tindak
dia melangkah tiba-tiba sekali berkelebatlah satu sosok tubuh dari kegelapan.
Makhluk ini langsung meraih pinggang Tapak Luwing dan membopong melarikannya!
Kratomlinggo
terkejut
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 berteriak: “Maling tengik! Berhenti!”.
Sebagai
jawaban, terdengar suara tertawa bekakakan dari orang yang melarikan Tapak
Luwing
itu.
“Wiro Sableng, pemuda gendeng! Jangan sangka cuma kau
sendiri yang jago dan sakti di jagat ini! Aku tunggu kau besok siang di
Rawasumpang! Kuharap kau punya nyali unhuk menerima undangan kematianmu ini!
Ha… ha… ha …!”
“Sompret
betul! Siapa kau! Berhentil”.
“Besok
siang. Wiro!” “
Dengan, geram pendekar 212 lepaskan pukulan
“kunyuk melempar buah”! ke arah manusia tak dikenal itu! Deru angin yang tiada
terkirakan dahsyatnya menyerang si orang asing. Pada saat itu pula terlihat
selarik sinar biru. Dan angin pukulan Wiro Sableng terbendung laksana membentur
dinding baja! Terkejutlah pendekar 212. Pukulan yang dilancarkannya tadi
disertai hampir sepertiga dari tenaga dalamnya. Namun manusia yang tak dikenal
itu berhasil meruntuhkan pukulan tersebut!
Besarlah dugaan Wiro Sableng
bahwa orang yang memboyong Tapak Luwing itu adalah guru Tapak Luwing.,
setidak-tidaknya kakak seperguruannya. Atau mungkin juga seorang sakti dari
golongan hitam yang berkawan dengan Tapak Luwing.
-- = 0O0 == --
TUJUH
HALAMAN rumah lurah bojongnipah penuh oleh penduduk. Suasana
malam terang benderang oleh puluhan obor. Agaknya penduduk Bojongnipah sudah
tak dapat menahan kesabarannya lagi untuk mencincang dengan segala senjata yang
mereka bawa, kedua manusia yang saat itu terikat ke tiang langkan rumah. Mereka
tiada lain daripada anak-anak buah Tapak Luwing yang telah dirobohkan oleh
Pendekar 212. Keduanya telah siuman. Di samping terikat ke tiang, keduanya juga
berada dalam pengaruh totokan Wiro Sableng.
Kratomlinggo berdiri di samping Ki Lurah Kundrawana.
Beberapa tombak dari mereka berdiri tenang-tenang Wiro Sableng. Kratomlinggo
barusan saja menerangkan apa yang diketahuinya tentang kedua orang itu kepada
Ki Lurah dan juga apa yang telah terjadi di tepi sungai dekat jembatan.
Bola mata Ki Lurah Kundrawaana pulang balik memandangi Wiro
Sableng dan kedua anak buah Tapak Luwing. Saat itu Lurah Bojongnipah ini tak
dapat lagi menahan hati dan mengendalikan amarahnya. Untuk sesaat lupa dia
bahwa anaknya masih berada di dalam tawanan Tapak Luwing dan Tapak Luwing
sendiri saat itu tidak berhasil ditangkap!
“Saudara-saudaraku se-Bojongnipah…,” kata Kundrawana seraya
maju beberapa langkah ke hadapan penduduk yang berdesak-desakan. “Sekarang
kurasa sudah waktunya untuk menerangkan kepada kalian apa sesungguhnya latar
belakang timbulnya pajak gila itu! Aku dengan hati hancur dan seribu satu
kepahitan telah terpaksa menerima segala kata-kata dan cap yang kalian
lemparkan padaku! Kalian mencap aku sebagai tukang peras, aku telah terima.
Kalian cap aku sebagai lintah darat, sebagai tukang tindas... sebagai ini,
sebagai itu, semuanya aku terima! Namun hari ini, malam ini kalian terimalah
juga satu penuturan dariku, satu kenyataan yang menyebabkan terjadinya
pemungutan pajak berat itu. Dulu aku pernah berkata bahwa pajak itu dipungut
atas perintah Raja! Untuk pembangunan dan pemeliharaan balatentara Kerajaan.
Kini kuakui itu semua hanya alasan belaka, hanya dusta besar yang aku
karang-karang demi untuk menyelamatkan keluargaku dan juga menyelamatkan kalian
semua dari keganasan dan kejahatan yang kalian tidak ketahui ...”
PendudukBojongnipah saling pandang memandang satu sama lain
penuh ketidak mengertian. Ki Lurah Kundrawana menyapu wajah mereka seketika
lalu meneruskan bicaranya.
“Tadi kalian sudah dengar semua keterangan Kratomlinggo. Ini
satu kenyataan bagus yang dengan sendirinya telah mencuci diriku. Tapi biar aku
beri penjelasan lebih lengkap. Dua manusia yang terikat itu adalah anak buah
Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel, komplotan rampok-rampok bejat yang
dikepalai oleh Tapak Luwing yang berhasil melarikan diri ditolong oleh seorang
tak dikenal. Jadi ketiganya sama sekali bukanlah prajurit-prajurit Kadipaten
seperti yang mereka sengaja menyamar pagi tadi! Tiga minggu yang lewat, di satu
malam mereka telah datang ke rumahku dan memaksaku untuk menarik pajak sepuluh
kali lebih besar dari yang sudah-sudah. Jadi berarti aku harus menarik pajak
sebanyak sebelas kali terhadap kalian. Yang sepuluh bagian harus kuserahkan
pada mereka sedang yang satu bagian sebagaimana biasa diserahkan ke Linggajati
di mana Adipati Linggajati kemudian meneruskan ke Kotaraja…
Aku coba untuk melawan. Tapi di samping mereka bertiga
berilrnu tinggi aku tak bisa berbuat apa-apa karena anakku satu-satunya mereka
bawa! Anakku akan mereka bunuh kalau pajak itu tidak aku pungut dari penduduk
di sini! Kalian bisa merasakan dan mengetahui sendiri kini. Tak ada jalan lain
bagiku untuk membantah, kecuali kalau ingin putera tunggalku rnenemui
kematiannya…!”.
Suasana malam sesepi dipekuburan kini! Penduduk sama
menganga dan terlongong-longong. Tentu saja hal ini tiada diduga sama sekali
oleh mereka. Dan serentak pula dengan itu maka menggelegaklah kemarahan
penduduk. Ketika seseorang di antara mereka berseru: “Cincang dua bangsat
ini!,” maka menyerbulah penduduk Bojongnipah dengan senjata masing-masing.
Namun disaat itu pendekar 212 maju ke muka dan berseru nyaring.
Sengaja seruannya itu disertai tenaga dalam untuk mempengaruhi. penduduk yang
tengah marah itu.
“Saudara-saudara, jangan ceroboh! Kunyuk-kunyuk ini akan
dapat bagiannya juga! Tapi kalian harus ingat pada nasib anak Lurah kalian!
Karena itu biarkan aku bicara sebentar dengan salah satu dari mereka… !”
Kalau saja penduduk tidak mendapat keterangan dari Kratomlinggo
siapa adanya pemuda berambut gondrong itu, pastilah penduduk tak akan mau ambil
perduli akan ucapan Wiro Sableng, lagi pula tenaga dalam si pemuda diam-diam
sudah meresap mempengaruhi mereka!
Wiro mendekati anak buah Tapak Luwing yang terikat di tiang
langkan sebelah kanan.
“Namamu
siapa, sobat?,” tanyanya.
Laki-laki itu diam saja. Hanya kedua bola matanya berputar
menyorot melontarkan pandangan sangat membenci dan mendendarn.
“Eeeh
rupanya bekas tanganku membuat kau jadi tuli, huh!”.
“Keparat! Tak usah banyak bicara… Kelak hari pembalasan dari
pemimpinku Tapak Luwing akan tiba! Kalian semua di sini akan dikirim ke
neraka!”.
Wiro
Sableng menyeringai.
“Mungkin kau dan kawanmu yang akan lebih dahulu dkincang
penduduk sampai lumat!” kata Wiro Sableng pula. “Tak usah banggakan pemimpinmu!
Dia sudah kabur bersama seorang kawannya!”.
Keterangan ini mengejutkan kedua anak buah Tapak Luwing.
Memang sejak mereka siuman tadi mereka tidak melihat pemimpin mereka dan tak
tahu berada di mana.
Dan Wiro
berkata lagi: “Aku mempunyai dugaan bahwa kau ada sangkut pautnya dengan
Adipati di Linggajati. Katakan saja terus terang .... Anak buah Tapak Luwing
diam.
“Katakan!,”
bentak Wiro.
Sebaliknya laki-laki itu meludah ke lantai. “Beset saja
mulutnya!,” teriak Kratomlinggo yang sudah tak sabaran.
“Kau
tak mau kasih keterangan?” tanya pendekar 212.
Anak
buah Tapak Luwing itu meludah sekali lagi ke lantai langkan!
Wiro
tertawa.
Dijangkaunya
sebuah obor yang dipegang oleh seorang penduduk.
“Pernah rasa panasnya api?,” tanya pendekar ini dengan
tertawa-tawa. “Tampangtampang macammu ini akan lebih keren bila disundut begini
rupa!”.
Wiro Sableng lantas menyorongkan api obor ke muka laki-laki
itu. Anak buah Tapak Luwing tak sanggup gerakkan kepalanya karena tertotok.
Keluhan kesakitan terdengar tiada henti. Udara malam kini berbau hangusnya bulu
mata, alis dan sebagian rambut laki-laki itu. Kulit mukanya kelihatan merah
terbakar.
“Mau
sekali lagi?!,” tanya Wiro dengan tertawa-tawa.
“Aku bersumpah kalau lepas akan membunuhmu dan tujuh
keturunanmu!,” kata anak buah Tapak Luwing penuh penasaran.
“Jangan ngaco! Kau tak akan lepas dari sini. Kalaupun lepas
mungkin cuma rohmu saja! Dan aku belum punya keturunan…!”. Pendekar muda itu
tertawa mengekeh. Mau tak mau orang banyak yang menyaksikan itu jadi
ikut-ikutan geli.
“Ayo, katakan apa hubunganmu dengan Adipati Linggajatit,”
bentak Wiro seraya mendekatkan api obor ke muka laki-laki itu.
“Tak
ada hubungan apa-apa…!,” jawab anak buah Tapak Luwing.
“Ah… ini satu kebohongan atau kedustaan?!”.
“Aku
tidak dusta. Tidak bohong!”.
“Lantas apa perlumu pagi tadi menyamar bertiga-tiga menjadi
prajurit-prajurit Kadipaten…?”.
“Itu
bukan urusanmu!”.
“Oh begitu? Memang bukan urusanku. Tapi urusan api obor
ini!”. Dan sekali lagi api obor menjilati muka laki-laki itu. Dia
menjerit-jerit. Wiro rnenunggu sampai beberapa detik di muka. “Mau kasih
keterangan apa tidak?” tanyanya.
“Aku
akan terangkan… !” berkata juga laki-laki itu pada akhirnya.
Wiro
tersenyum. Dilariknya obor kembali. “Nah bicaralah. Biar kerasan agar semua
orang dengar!”.
Maka anak buah Tapak Luwing itupun memberikan penuturan:
“Adipati Seta Boga dari Linggajati mengirimkan seorang utusan pada kami. Dia
telah membuat rencana untuk melakukan pemerasan di sini. Kami ditawarkannya
pekerjaan untuk menarik pajak itu dengan perjanjian hasilnya dibagi dua.
Pemimpin kami menerimanya dan… dan…”.
“Sudah.
Itu sudah cukup terang!” kata Wiro Sableng pula.
Ki Lurah Kundrawana maju ke muka. “Jadi ini semua dibiangi
oleh Adipati Seta Boga ...?”.
“Ya...”.
“Kita
harus tangkap Adipati itu!” teriak penduduk.
“Gantung
saja bersama kunyuk-kunyuk yang dua ini!” teriak yang lain.
Pendekar
212 angkat tangan kirinya. “Soal Adipati itu serahkan padaku,” katanya.
“Yang penting
kini ialah menyelamatkan anak laki-laki Ki Lurah…”.
Tersiraplah darah Ki Lurah Kundrawana bila dia ingat kembali
akan anaknya. Dijambaknya rambut anak buah Tapak Luwing. “Anakku di mana kalian
sekap?!” tanyanya.
Laki-laki itu tertawa buruk. Sangat buruk, apalagi melihat
mukanya yang hangus dan merah mengelupas. “Jangan harap anakmu akan selamat
Kundrawana!” Kundrawana menyentakkan kepala laki-laki itu. “Dimana?!”.
“Mungkin
sudah mampus di tangan pemimpinku!”
Kundrawana mengambil obor dari tangan Wiro Sableng. Anak
buah Tapak Luwing menjerit keras ketika obor itu disodokkan ke mata kanannya,
Mata itu pecah dan darah meleleh di kulit mukanya yang mengelupas hangus!
“Kedua matanya akan kubikin buta keparat! Kecuali, kalau kau
segera menerangkan di mana anakku kalian sekap!”.
Laki-laki itu sebenarnya menyadari bahwa kalau sudah
tertangkap demikian rupa dirinya tak akan mungkin lagi bisa selamat. Adalah
percuma saja baginya untuk memberikan keterangan. Namun dalam diri manusia yang
berkeadaan seperti anak buah Tapak Luwing saat itu, walau bagaimanapun
senantiasa selalu terdapat sekelumit harapan untuk bisa menyelamatkan diri
sehingga ancaman matanya akan dibutakan kedua-duanya itu mau tak mau mengerikannya
juga!
Maka diapun
memberikan keterangan : “Anak itu disekap di satu kuil tua di Parit Kulon…”.
Lega sedikit hati Kundrawana. “Tapi,” katanya, “bila aku
datang ke sana anakku tidak ada atau kutemui dia dalam keadaan sudah mati
jangan harap kau bisa melihat dunia ini sampai esok lusa!”. Kini pendekar 212
yang buka suara : “Saudara-saudara apapun yang kalian lakukan terhadap dua
kunyuk ini, itu bukan urusanku lagi. Tapi sedapatdapatnya jangan diapa-apakan
dulu dia sebelum anak Ki Lurah ketemu dalam keadaan selamat. Soal Adipati Seta
Boga di Linggajati, serahkan padaku. Besok kalian bisa mengambil sosok tubuhnya
di Kadipaten Linggajati. Cuma aku tak dapat memastikan apakah dalam keadaan
masih bernafas atau tidak. Itu tergantung pada sikapnya sendiri! Sekiranya dia
masih hidup, ada baiknya kalian giring saja ke Kotaraja… Nah, selamat
tinggal!”.
“Saudara tunggu dulu!” seru
Kratomlinggo dan Kundrawana hampir berbarengan. Namun Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 sudah berkelebat lewat langkan, lewat kepala-kepala penduduk
Bojongnipah lalu lenyap ditelan kegelapan malam.
* * *
HANYA sebentar suasana sepi menyeling. Bila bayangan sosok
tubuh pendekar 212 sudah lenyap ditelan kegelapan malam maka lupalah penduduk
Bojongnipah akan pesan pendekar itu. Beramai-ramai mereka menyerbu kedua anak
buah Tapak Luwing yang berada dalam keadaan tak berdaya, terikat ketiang
langkan dan tertotok. Puluhan senjata laksana hujan bertubi-tubi mampir ke
kepala dan tubuh kedua orang itu. Tiada terdengar suara jeritan kedua orang
ini, rintihanpun tidak! Mereka telah menemui nasib pembalasan atas kejahatan
mereka. Keduanya menghembuskan nafas dengan tubuh mandi darah dan muka hancur
tak bisa dikenali lagi. _
Ki Lurah Kundrawana tidak menyaksikan lagi apa yang
diperbuat penduduk Bojongnipah itu. Bersama Kratomlinggo dan tiga orang
lainnya, dengan menunggangi kuda, dia meninggalkan Bojongnipah menuju Parit
Kulon, sebuah pesawangan yang jarang didatangi manusia, terletak kira-kira
ernpat kilometer dari desa. Satu-satunya bangunan di Parit Kulon adalah kuil
tua yang diterangkan anak buah Tapak Luwing. Karenanya meskipun malam tak sukar
untuk mencarinya.
Ki Lurah Kundrawana menyalakan obor yang dibawa. Diiringi
oleh keempat orang lainnya dia masuk ke dalam kuil tua itu. Meski dia menemui
anaknya dalam keadaan menyedihkan namun Kundrawana merasa. lega dan
gembira karena anak satu-satunya itu ternyata masih bernafas. Anaknva tidur di
ubin kotor dengan pakaian yang juga kotor. Tubuhnya kurus dari parasnya pucat
karena tak terurus. Tangan dan kakinya diikat. Kundrawana bertutut lalu memeluk
anaknya itu. Kratomlinggo membuka tali yang mengikat tangan serta kaki si anak
yang saat itu sudah bangun. Tetesan air mata mengalir di pipi Ki Lurah
Kundrawana. Tapi air mata kali ini adalah air mata gembira.
Sementara
itu di tempat lain ....
Tapak Luwing merasa tubuhnya yang kaku karena ditotok itu
dibawa lari dalam kegelapan malam oleh seseorang. Bila sinar bulan yang tidak
begitu terang menyeruaki pohon-pohon sepanjang jalan yang mereka lalui dan
menyinari paras laki-laki itu samar-samar. Tapak Luwing terheran dan
berpikir-pikir. Laki-laki yang membawanya berlari itu tidak dikenalnya sama
sekali. Siapa dia dan ke mana manusia ini mau membawanya! Kemudian apakah dia
seorang yang akan menolongnya atau bukan? Tapi melihat gelagat dan ucapannya
terhadap pemuda berambut gondrong tadi Tapak Luwing bisa sedikit memastikan
bahwa laki-laki ini tidak bermaksud jahat terhadapnya. Diam-diam hatinya merasa
lega. Maka bertarryalah dia: “Sobat, kau siapakah?”.
“Jangan banyak tanya dulu!” menjawab orang yang
memanggulnya. Suaranya besar dan parau, larinya laksana angin.
“Kita
ini kemanakah?,” tanya Tapak Luwing lagi.
“Aku
bilang jangan bertanya apa-apa dulu. Apa tidak mengerti?!”
Tapak Luwing penasaran sekali. Namun dia menurut dan menutup
mulutnya. Sepanjang perjalanan itu, satu hal saja yang diketahui oleh Tapak
Luwing tentang orang yang memanggul dan membawa larinya yaitu laki-laki itu
puntung tangan kanannya sampai sebatas bahu!
Ketika sampai di sebuah telaga kecil akhirnya laki-laki
bertangan buntung itu menghentikan larinya. Tapak Luwing diturunkan dan
disandarkan ke sebatang pohon di tepi telaga. Kemudian dilepaskannya totokan di
tubuh Tapak Luwing.
“Atur
nafas dan jalan darahmu. Kerahkan tenaga dalam!” berkata si tangan buntung.
Tapak Luwing segera melakukan hal itu. Tidak disuruhpun
memang semustinya dia sudah bermaksud demikian, sesuai dangan setiap ajaran
ilmu silat dari aliran dan golongan manapun.
Kemudian dengan tangannya yang cuma satu laki-laki itu
dangan cekatan mengobati lengan Tapak Luwing yang patah dan membalutnya dangan
secarik kain.
“Aku
berhutang budi dan nyawa padamu sobat,” kata Tapak Luwing.
Laki-laki yang menolongnya tertawa. “Ada hutang ada
piutang…,” katanya di antara tertawanya, “ada budi ada balas”.
“Maksudmu
sobat?” tanya Tapak Luwing. “Di satu hari kelak pertolongan yang kuberikan
padamu ini akan kutagih…”.
Tapak Luwing kerenyitkan kening. “Tidak kau tagihpun, jika
ada kesempatan aku pasti akan membalasnya. Bahkan jika aku sudah sembuh dan kau
bersedia ikut ke Kali Comel, aku akan hadiahkan kepadamu harta benda, perhiasan
dan uang seberapa saja kau suka”
Si tangan buntung menyeringai. Gigi-giginya hitam kecoklatan.
“Aku tidak butuh semua itu,” desisnya. Dipegangnya balutan di lengan Tapak
Luwing. Sesaat kemudian Tapak Luwing merasakan aliran tenaga dalam yang ampuh
merembas ke dalam tubuhnya. Tubuhnya menjadi segar kini dan rasa sakit pada
lengannya yang patah itu berkurang.
“Terima
kasih,” kata Tapak Luwing. “Apa sudah boleh aku kenal padamu. Aku Tapak
Luwing...”
“Aku tahu siapa kau. Aku sudah lama dengar tentang
komplotanmu yang malang melintang di sepanjang Kali Comel. Dan ketika tahu
bahwa kau berada di sekitar sini, timbul satu maksud untuk menemuimu”.
“Apakah maksud itu?” bertanya Tapak Luwing. “Tadi aku sudah
bilang, ada hutang ada piutang, ada budi ada balas. Satu hari kelak aku
membutuhkan tenagamu…!”.
“Jangan
kawatir, aku pasti bersedia. Tapi untuk keperluan apakah?”.
“Kau tak usah tahu untuk keperluan apa. Kau nanti akan tahu
juga. Dengar, nanti pada hari tigabelas bulan dua belas kau harus dating ke
Gunung Tangkuban Perahu…” “Gunung Tangkuban Perahu…?”.
“Ya. Masih kira-kira delapan bulan dari sekarang. Dan satu
hal harus kau ingat. Jangan sekali-kali coba kembali ke desa Bojongnipah untuk
buat perhitungan dengan Ki Lurah Kundrawana, salah-salah kau bisa ketemu dangan
bangsat yang telah mencelakaimu tadi! Walau bagaimanapun untuk saat ini kau tak
akan mampu menghadapinya! Ada saat untuk menyelesaikan urusan dangan dia.
Karena itu kau musti datang ke Tangkuban Perahu pada hari tiga belas bulan dua
belas nanti. Dengar?”
Tapak
Luwing mengangguk. “Kau tahu siapa bangsat itu agaknya?,” dia bertanya.
“Angka
pengenalnya telah dituliskannya dikeningmu”.
Terkejutlah Tapak Luwing. Dirabanya keningnya. Tak ada rasa
sakit tapi memang kulit kening itu agak kesat dari sebelumnya.
“Berkacalah
ke telaga itu”.
Tapak Luwing
merangkak ke tepi telaga. Dia membungkuk dekat-dekat ke air telaga yang jernih
itu dan di bawah penerangan sinar bintang-bintang serta bulan sabit samar-samar
dilihatnya tertera tiga buah angka. Angka 2 1 2 ! Tapak Luwing memandang
keheran-heranan pada si tangan buntung lalu memperhatikan lagi mukanya di air
telaga. Diusapnya keningnya.
Diusapnya lagi sampai beberapa kali
tapi angka 212 itu tidak mau hilang. Dibasahinya keningnya dangan air telaga
lalu diusapnya lagi berulang kali. Tetap saja angka 212 itu tidak mau hilang!
“Dengan. apapun dan cara bagaimanapun angka itu tak akan
bisa pupus dari keningmu Tapak Luwing! Angka itu ditera dengan telapak tangan
yang mengandung tenaga dalam dan kesaktian yang luar biasa. Sekalipun kulit
keningmu dikelupas sampai ke batok kepalamu maka pada tulang batok kepalamupun
angka itu sudah meresap!”
“Siapa sesungguhnya manusia muda berambut gondrong dengan
angka pengenal 212 itu…” tanya Tapak Luwing pula.
“Namanya Wiro Sableng. Dia sakti sekali…” jawab si tangan
buntung. “Tapi,” katanya kemudian menambahkan, “dihari tiga belas bulan dua
belas nanti, kelak ajalnya akan sampai!”.
Diam-diam, meskipun si tangan buntung tidak menerangkan tapi
Tapak Luwing tahu, kini bahwa antara si tangan buntung dan pemuda rambut
gondrong yang telah mencelakainya itu terdapat sangkut paut dendam
kesumat.
“Selama
waktu delapan bulan mendatang,” berkata lagi si tangan buntung,
“kuanjurkan kepadamu untuk berlatih
ilmu silat yang telah kau miliki agar lebih hebat.” Tapak Luwing mengangguk.
Si tangan buntung berkata: “Sekarang kita berpisah. Jangan
lupa hari tiga belas bulan dua belas itu. Dan jangan coba-coba untuk tidak
memenuhi perintahku ini…”
“Kau
mau kemana sobat?”
“Urusanku
masih banyak…”
“Tapi
kau masih belum menerangkan namamu”.
“Namaku
Kalingundil!”
-- == 0O0 == --
DELAPAN
LINGGARJATI sudah agak sepi ketika dia sampai ke sana karena
hari sudah menjelang larut malam dan udara dingin mencucuki kulit tubuh sampai
ke tulang-tulang. Di sebuah kedai dia berhenti untuk membasahi tenggorokan dan
menghangatkan tubuhnya dengan segelas bandrek. Di kedai ini juga dia telah
menanyakan di mana letak tempat kediaman Adipati Seta Boga.
Tak sukar mencari tempat kediaman Adipati Seta Boga.
Rumahnya adalah sebuah gedung yang paling bagus dan paling besar di
Linggarjati. Saat itu gedung tersebut berada dalam suasana tenang tenteram. Dua
orang pengawal berdiri di pintu masuk dan di ruang tamu kelihatan beberapa
orang laki-laki. Rupanya Adipati Seta Boga tengah menerima beberapa orang tamu.
Laki-laki itu melangkah seenaknya di depan kedua pengawal
Kadipaten. “Di sini rumahnya Adipati Seta Boga ?” tanyanya pada salah seorang
pengawal.
“Betul.
Ada apa…?” balik menanya si pengawal.
“Ah tidak apa-apa. Aku cuma tanya…,” jawab si pemuda.
Digaruknya rambutnya yang gondrong.
“Adipatinya
ada .... ?”
“Ada
sedang merierima tamu. Kau siapa? Perlu apa tanya-tanya…?”
“Cuma tanya,” jawab si pemuda. Digaruknya lagi rambutnya
lalu tanpa bilang apaapa dia melanjutkan langkahnya.
“Sialan
. . . ,” maki pengawal itu.
Yang
dimaki jalan terus.
Pengawal yang satu berkata “orang gendeng…” Keduanya
memandang sampai pemuda tadi lenyap di tikungan jalan yang gelap.
Setengah jam kemudian, ketika pemuda itu kembali maka
tamu-tamu di Kadipaten sudah tak kelihatan lagi. Lampu besar di ruang depan
sudah diganti dengan lampu kecil. Melihat kedatangan si pemuda dan yang seperti
tadi berhenti di depan mereka maka membentaklah salah seorang dari pengawal.
“Orang
sinting! Ada apa kau datang lagi ke sini?!”
“Pergi sebelum kepalamu kupentung dengan gagang tombak
ini!,” menghardik yang seorang lagi.
Si
pemuda menyeringai.
“Dengar sobat-sobatku,” katanya. Kedua tangannya diacungkan
ke muka. Jari-jari telunjuk dan jari jari tengah diluruskan. “Kalian lihat
jari-jari tanganku ini .... ?,” tanyanya.
“Kunyuk
gendeng! Berlalulah atau kuremukkan kepalamu!” bentak pengawal sambil acungkan
tombaknya.
“Ah… jangan buru-buru marah tak karuan. Bicaraku masih belum
habis!,” menyahuti si pemuda tanpa acuhkan ancaman pengawal. Jari jari
tangannya masih diluruskan. “Coba kalian hitung jari-jari tangan yang
kuacungkan ini,” katanya.
Tentu saja kedua pengawal jadi tambah mengkal melihat
tingkah dan mendengar ucapan si pemuda. Maka dua gagang tombakpun meluncur
deras ke kepala pemuda itu. Namun lebih cepat lagi dari luncuran kedua tombak
itu, maka kedua tangan si pemuda tahutahu sudah menotok urat di pangkal leher
pengawal-pengawal. Kontan keduanya menjadi gagu dan kaku menegang.
Si pemuda tertawa. Kedua pengawal itu sekaligus dipanggulnya
di bahu kiri kanan kemudian dimasukinya halaman Kadipaten. Pengawal-pengawal
yang dipanggul kemudian dilemparkannya ke kandang kuda di belakang rumah. Lewat
pintu belakang dia masuk ke dalam gedung Kadipaten yang saat itu belum dikunci.
Seorang perempuan separuh umur, yang bekerja sebagat pembantu rumah tangga dan
yang saat itu tengah mencuci piring terkejut melihat munculnya seorang pemuda
berambut gondrong yang tak dikenalnya. Dan pemuda itu tersenyum kepadanya.
“Kau...
kau siapa...?” tanyanya.
Si pemuda masih senyum. Tangan kirinya dilambaikan. Selarik
angin tajam menyambar ke leher si perempuan. Perempuan ini hendak berteriak.
Namun saat itu mulutnya sudah gagu, lidahnya sudah kelu sedang tubuhnya tak
bisa lagi digerakkan akibat totokan jarak jauh yang lihay sekali. Si pemuda
kemudian memasukkan perempuan itu ke dalam sebuah bilik kosong di bagian
belakang gedung.
Saat itu Adipatit Seta Boga tengah membuang hajat kecil di
kamar mandi. Ketika dia masuk kembali ke dalam gedung maka terkejutlah Adipati
Linggarjati ini. Betapa tidak!
Di atas kursi goyang, di mana dia sering dudak bila
melepaskan lelah, kini dilihatnya duduk enak-enakan sambil memejam-mejamkan
mata seorang pemuda berbadan kekar dan berambut gondrong yang sama sekali tidak
dikenalnya!
“Setan atau manusia dari mana yang kesasar ke gedungku
ini…?” ujar Adipati Seta Boga di dalam hati. Dan pemuda di atas kursi terus
juga menggoyang-goyangkan badannya dan kedua matanya masih dipejamkan.
“Siapa kau?!” bentak Adipati itu dengan suara menggeledek
dan menggema di empat dinding ruangan.
Kursi goyang itu bergoyang-goyang juga. Pemuda yang duduk di
atasnya masih terus duduk enak-enakan dan memejamkan mata. Geram sekali Adipati
Seta Boga jadinya. Dengan langkah besarbesar dia maju mendekat kursi goyang dan
orang yang mendudukinya. Telapak tangan kanan terkembang dan detik itu juga
maka melayanglah tamparannya!
Beberapa saat lagi tangan kanan itu akan mendarat di pipi si
pemuda tiba-tiba si pemuda bukakan kedua matanya. Dan seperti alas kursi itu
mempunyai per yang melesatkan si pemuda ke atas demikianlah tubuh pemuda itu
melayang enteng sampai dua tombak dari kursi yang didudukinya! Dan sebagai
akibatnya maka tangan kanan Adipati Seta Boga kini menghantam sandaran kursi
goyang. Sandaran kursi itu pecah. Kayunya berkeping-keping berantakan. Dapat
dibayangkan bagaimana jika seandainya tamparan itu mendarat di pipi si pemuda
karena tamparan itu tidak boleh tidak tentu mengandung tenaga dalam yang luar
biasa!
“Ah.... kau rupanya Seta Boga…,” kata si pemuda sambil
mengusap matanya. “Aku sedang enak-enakan tidur, kau mengganggu saja…!”
“Anjing kurap kenapa kau bisa kesasar ke mari? Apa minta
ditebas batang lehermu?!,” radang Adipati Seta Boga. Geram sekali dia. Selama
menjadi Adipati baru hari ini ada seseorang yang memanggilnya dengan “Seta
Boga,” saja !
Sipemuda tertawa dan seperti
tak ada hal apa-apa dia duduk kembali seenaknya di atas kursi goyang, kembali
bergoyang-goyang dan memejamkan matanya.
“Setan alas betul!,” damprat Seta Boga. Sekali kaki kanannya
bergerak maka mental dan hancurlah kursi goyang itu. Tapi si pemuda sekejapan
sebelum itu sudah melompat dan berdiri di sudut ruangan dekat sebuah meja
kecil.
“Kursi bagus ditendang sampai hancur. Kau sudah sinting
rupanya Seta Boga?,” tanya si pemuda sambil menyengir.
Sementara itu karena suara ribut-ribut di ruang tengah maka
istri Seta Boga ke luar dan disamping heran dia juga terkejut melihat apa yang
terjadi.
“Kakang
ada apakah? Siapa manusia ini?!” tanya perempuan itu.
“Pergi, panggil pengswal!,” teriak Seta Boga pada istrinya.
Perempuan itu berteriak memanggil pengawal. Namun tiada pengawal yang datang.
Dua pengawal Kadipaten sebelumnya sudah dibikin “mendengkur” oleh si pemuda di
kandang kuda!
Kegeraman
Seta Boga tak terkirakan lagi ketika dilihatnya pemuda berambut gondrong itu
mengambil sebatang serutu miliknya dan dalam kotak serutu yang terletak di atas
meja kecil di sudut ruangan lalu menyalakannya sekaligus!
Rahang-rahang Seta Boga bertonjolan. Jari-jari tangan
kanannya diremas-remaskannya satu sama lain. Sesaat kemudian kelihatanlah
jari-jari tangan itu menjadi merah. Warna merah terus menjalar sampai sebatas
siku.
“Anjing kurap yang kesasar, hari ini terima nasibmu harus
mampus oleh pukulan wesi geniku!” Tangan kanan yang merah itu dipukulkan ke
muka. Selarik angin yang tidak terkirakan panasnya menggebubu ke arah si
pemuda.
Tubuh
si pemuda berkelebat.
“Wuss!”
“Brak!”
Istri
Seta Boga menjerit.
Dinding di muka mana pemuda itu tadi berdiri hancur
berlubang dan menjadi hitam hangus! Orang yang diserang kelihatan disudut
ruangan sebelah kanan, asyik-asyikan menyedot serutu!
Dada
Seta Boga menjadi sesak oleh amarah yang meluap. “Siapa kau sebenarnya ?!”
bentak
Adipati Linggarjati
ini,
Si pemuda batuk-batuk lalu cabut serutunya dari sela bibir.
“Namaku ... ?,” ujarnya. “Masakan kau tidak tahu ?!”
“Setan
alas .... !”
Si
pemuda tertawa menanggapi makian itu.
“Namaku Tapak Luwing,” katanya. “Aku datang untuk
menyerahkan sebagian dari uang pungutan pajak di desa Bojongnipah. Ini
terimalah…!”
Si pemuda mengeruk saku bajunya. Sesuatu dalam genggamannya
kemudian dilemparkannya ke arah Adipati Seta Boga. Laki-laki ini cepat
menghindar dan lambaikan tangan kanannya. Benda yang dilemparkan ternyata
adalah kira-kira selusin kalajengking yang saat itu sudah mati dan bertebaran
di lantai. Istri Seta Boga memekik lalu lari ke dalam kamar. Si pemuda tertawa
bekakakan!
Adipati Seta Boga tak menunggu lebih lama menyambar sebuah
tombak yang dipanjang di dinding. Dengan senjata ini dia kemudian menyerang si
pemuda! Si pemuda tenang-tenang selipkan serutunya ke bibir, menghisapnya
dengan cepat lalu menghembuskan asapnya ke arah Seta Boga. Adipati ini terpaksa
melompat ke samping sekali lagi karena asap serutu itu mengandung tenaga dalam
dan menyambar ke arah kedua matanya!
Dari samping
kini Seta Boga melancarkan serangan. Tombak di tangannya membabat kian kemari.
Tangan kiri melakukan pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh beberapa kali
berturutturut! Inilah jurus “kitiran dan alu sabung menyabung” Jurus ini
biasanya dilaksanakan dengan memakai pedang. Tapi dengan tombakpun kehebatannya
tidak olah-olah.
Tapi betapa terkejutnya Seta Boga ketika si pemuda dengan
tertawa-tawa berkata : “Ah, cuma jurus kitiran dan alu sabung menyabung, siapa
takut? Sambuti serangan balasan ini, Seta Boga!”
Demikianlah, meskipun diserang tapi si pemuda bukannya
mengelak malahan menyambut dengan serangan pula!
“Ini jurus membuka jendela memanah rembulan Seta Boga!,”
kata si pemuda. Lengan kirinya dipukulkari melintang dari atas ke bawah sedang
tangan kanan meluncur ke atas dalam gerakan yang cepat sekali dan sukar dilihat
oleh mata !
“Ngek”
“Buk
!”
Tombak di tangan Seta Boga terlepas mental karena lengannya
kena dibabat oleh lengan lawan. Suara ngek yang ke luar dari tenggorokannya
adalah akibat urat besar di bawah dagunya telah kena ditotok oleh sipemuda. Di
saat itu pula tubuhnya tak bergerak lagi alias kaku tegang! Karena sebelum
ditotok Seta Boga telah menyeringai kesakitan akibat benturan lengan lawan maka
di saat tubuhnya menjadi kaku itu, mimik parasnya sungguh tak sedap untuk
dipandang!
Si pemuda cabut serutu dari sela bibirnya don meniupkan asap
serutu itu ke muka Seta Boga. “Sayang sekali,” katanya. “Jurus kitiran dan alu
sabung menyabungmu terpaksa bertekuk lutut di bawah jurus membuka jendela
memanah rembulan-ku…”.
Ditiupkannya lagi asap serutu ke muka Seta Boga. Totokan
pada urat besar di bawah dagu Seta Boga tetah melumpuhkan tubuhnya, membuat
mulutnya menjadi gagu dan, perasaannya menjadi tumpul. Cuma telinganya saja
saat itu yang masih sanggup mendengar. Maka berkatalah si pemuda. “Dengar Seta
Boga… besok Ki Lurah Kundrawana dan penduduk Bojongnipah akan datang ke sini.
Kalau nasibmu baik kau akan mereka seret ke hadapan Raja di Kotaraja. Tapi
kalau nasibmu buruk, mereka akan mengeremusmu beramairamai! Dan sebelum aku
pergi, terima hadiah kenang-kenangan ini dariku....”.
Si pemuda acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Dengan
mempergunakan ujung jari itu diguratnya tiga buah angka di kening Seta Boga,
212 ...!
Ketika pada keesokan harinya Ki Lurah Kundrawana dan dua
lusin penduduk Bojongnipah bersenjata lengkap datang ke gedung Kadipaten di
Linggarjati, mereka heran menemui gedung itu dalam keadaan kosong. Tak satu
manusiapun ada di dalamnya.
“Pasti
Adipati keparat itu sudah melarikan diri!,” Kata Kundrawana geram.
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dari belakang
gedung. Ketika Kundrawana dan yang lain-lainnya pergi ke belakang gedung mereka
hampir tak percaya dengan penglihatan mereka. Lima orang kelihatan berdiri tak
bergerak-gerak di kandang kuda. Di sebelah muka adalah Adipati Seta Boga dan
istrinya. Di kiri kanan mereka pengawalpengawal Kadipaten dan di sebelah
belakang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga! Ketika diperiksa
kelimanya masih dalam keadaan bernafas dan ditotok urat darah mereka.
Ki l:urah Kundrawana memandang
pada angka 212 yang tertera di kening Adipati Seta Boga. “Dua satu dua . . . .
,” desisnya. Dia hanya goleng-goleng kepala lalu memerintah:
“Perempuan-perempuan dan pelayan lepaskan totokannya. SetaBoga kita seret ke
Kotaraja!”
* * *
Pendekar kapak maut naga geni
212 Wiro Sableng melangkah pelahan menuju ke tepi sungai. Di tempat yang agak
kelindungan dia membuka pakaian dan mandi membersihkan diri Sambil mandi itu
kadang-kadang dia tertawa sendiri bila mengingat kejadian malam tadi di
Kadipaten Linggarjati. Mungkin pagi itu Kundrawana sudah sampai di Linggajati,
mungkin masih dalam perjalanan. Satu manusia jahat, satu kejahatan telah
berakhir. Tapi pendekar 212 tahu bahwa selama dunia terbentang, selama itu pula
kejahatan tak pernah akan berakhir !
Selesai mandi badannya terasa segar. Matahari sudah mulai
tinggi. Suara siulan ke luar dari sela bibirnya sedang pikirannya
mengingat-ingat pertempurannya dengan Tapak Luwing dan laki-laki yang telah
melarikan Tapak Luwing serta menantangnya itu.
Tantangan ini mengingatkannya pada pertempurannya di Gua
Sanggreng dengan Bergola Wungu tempo hari. Kali ini untuk kedua kalinya dia
ditantang. Siapa pula gerangan kali ini yang menantangnya ?
“Hidup ini memang penuh tantangan? Tantangan yang timbul
dari diri kita sendiri dan dari diri manusia-manusia lain… Sungguh gila
kehidupan ini! Tapi kegilaan inilah yang mendatangkan kenikmatan…”. Maka siulan
pendekar 212 itu semakin meninggi dan melengking membawakan lagu tak menentu.
Tentang diri manusia yang telah melarikan Tapak Luwing itu
hanya dua hal yang diketahui oleh Wiro Sableng. Pertama, dalam kegelapan malam
dia melihat bahwa manusia itu buntung tangan kanannya. Kedua, ketika dia
melancarkan pukulan kunyuk melempar buah dengan mempergunakan sepertiga bagian
dari tenaga dalamnya, manusia bertangan buntung itu telah menyambuti pukulan
tersebut dengan selarik sinar biru! Dan pukulan kunyuk melempar buah telah
terbendung oleh selarik sinar biru itu! Ini membawa pertanda bahwa si tangan
buntung itu siapapun adanya pastilah memiliki ilmu yang tinggi. Pendekar 212
menduga manusia ini mungkin sekali guru atau kakak seperguruan Tapak Luwing.
Dikenakannya
pakaiannya kembali dan diteruskannya perjalanannya.
Rawasumpang satu daerah tandus penuh rawa-rawa maut yang
menghisap setiap benda apa saja yang masuk ke dalamnya. Daerah ini terletak
empat kilo di sebelah timur Linggajati. Kesinilah Wiro Sableng menuju.
Angin dari utara bertiup kencang membuat pakaian dan
rambutnya yang gondrong berkibar-kibar. Dia memandang ke bawah. Pedataran luas
penuh rawa-rawa maut itu sunyi sepi. Tak satu manusiapun yang dilihatnya. Wiro
memandang ke langit. Matahari tengah bergerak dalam gerakan yang tidak
kelihatan menuju ke titik tertingginya.
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara bergelak yang
santar sekali! Pendekar kita berpaling ke arah itu. Sesosok tubuh laksana anak
panah berlari kencang sekali di pedataran luas di sela-sela tebaran rawa-rawa.
Begitu suara gelaknya hilang maka tubuhnya sudah berada di bawah bukit di mana
pendekar 212 berada. Bukit itu tidak berapa tinggi dan dalam jarak sejauh itu
Wiro Sableng segera dapat mengenali siapa adanya manusia yang bertangan buntung
itu.
“Kalau dia yang menjadi penantangku malam tadi, pastilah dia
telah memiliki ilmu yang tinggi dan sangat diandalkan…,” kata Wiro Sableng
dalam hati. “Tapi...,” ujarnya lagi, “bagaimana mungkin dalam tempo beberapa
bulan saja kepandaiannya sudah seluar biasa ini...?”.
“Manusia yang merasa bernama
Wiro Sableng, merasa bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, turunlah! Atau
aku yang musti naik ke atas bukit itu?!”. Terdengar suara laki-laki di bawah
bukit.
Pendekar kita keluarkan
suara bersiul.
“Tikus buduk cacingan kalau sudah jadi kucing dapur memang
berabe!,” katanya. “Ada kabar apa kau mengundang aku ke sini kucing dapur...?”.
Paras Kalingundil kelam membesi. Dengan suara keras dia
menyahuti: “Tadinya aku kira kau tak punya nyali untuk datang ke sini pendekar
edan! Hitungan kita tempo hari masih belum selesai…”
“Oho, jadi
untuk maksud itukah kau kehendaki pertemuan ini? Bagus sekali Kalingundil.
Memang urusan yang belum selesai harus diselesaikan. Benang kusut harus diurai
baik-baik kembali!”.
“Tepat sekali,” jawab Kalingundil. “Cuma satu hal pendekar
gila. Kalingundil yang dulu tidak sama dengan yang kau lihat hari ini!”.
Wiro Sableng tertawa bergelak. “Tentu saja. Tadipun aku
sudah bilang bahwa dari tikus buduk cacingan kau sudah berubah menjadi kucing
dapur. Tapi kau tak banyak berbeda Kalingundil! Tanganmu yang dulu buntung
sekarang masih tetap buntung!
Seharusnya kau
cari tukang kayu yang pandai untuk membuat tangan palsu…!”.
Mendidih darah di kepala Kalingundil. Tangan kirinya bergerak,
memukul ke atas. Setiup angin biru deras menyambar ke arah Wiro Sableng.
Pendekar itu lompat ke samping dengan sebat dan menyaksikan bagaimana tanah
bukit tempatnya berdiri tadi terpupus berhamburan laksana longsor dihantam
angin pukulan Kalingundil! Diam-diam Wiro Sableng menjadi kagum juga terhadap
lawannya itu. Kepada siapakah Kalingundil telah menuntut ilmu selama beberapa
bulan ini?
“Pendekar gila, jangan petatang peteteng juga! Turunlah ke
pedataran rawa-rawa ini!,” teriak Kalingundil. “Turun untuk terima
kematianmu!”.
“Setiap undangan baik dan buruk pantang kuelakkan,
Kalingundil,” sahut Wiro Sableng. Laksana seekor burung garuda dia melompat ke
bawah.
Dalam keadaan tubuh melayang di udara itu, Kalingundil
kirimkan tiga pukulan tangan kosong sekaligus, beruntun hebat sekali. Pendekar
212 sambut pukulan ini dengan pukulan “benteng topan melanda samudera”!
Maka beradulah pukulan-pukulan dahsyat yang mengandung
tenaga dalam yang tinggi itu sehingga menimbulkan suara meletus hebat. Untuk
sesaat pendekar 212 merasakan tubuhnya yang melayang di udara laksana tertahan
oleh sebuah dinding yang tak kelihatan sedang di bawah sana Kalingundil melesak
kedua kakinya sampai dua dim ke dalam tanah!
Sungguh pendekar 212 tidak menyangka kehebatan tenaga dalam
Kalingundil berlipat ganda banyak sekali dari beberapa bulan yang lalu! Di lain
pihak Kalingundil sendiri mengeluh dalam hati. Waktu melancarkan tiga pukulan
beruntun tadi dia telah mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya: Meski
dia telah memiliki ilmu silat, yang aneh dan tinggi mutunya namun nyatanya
lawan itu masih lebih tangguh!
Kalingundil
kertakkan geraham.
“Pemuda
gila, terima pukulan jotos siluman biru ini!,” bentak Kalingundil. Tangan
kanannya dipukulkan ke muka. Sinar biru berkiblat menyambar ke arah pendekar
212 yang saat itu baru saja injakkan kaki kanannya di tanah dekat tepian rawa!
Pendekar kita lompat setinggi empat tombak dan dari atas
ganti mengirimkan pukulan balasan yang tak kalah hebatnya.
Pukulan angin menimbulkan suara seperti ratusan seruling
yang ditiup secara bersamaan. Debu berputar-putar ke udara, lumpur rawa-rawa
seperti mendidih. Kalingundil kerahkan tenaga dalamnya ke kaki untuk
mempertahankan diri. Tubuhnya bergetar dilanda angin pukulan lawan namun
sepasang kakinya laksana baja tetap bertahan ditempatnya. Penasaran sekali,
dengan membentak. Pendekar 212 lipat gandakan tenaga dalamnya dalam pukulan
itu!
Kini Kalingundil tak dapat lagi
bertahan dengan segala kehebatan yang dimilikinya itu. Kedua kakinya laksana
akar pohon berserabutan dari dalam tanah, terlepas dari pertahanannya. Tubuhnya
terhuyung keras ke belakang ke arah rawa-rawa maut. Dihantamkannya tangannya ke
muka untuk membendung angjn pukulan lawan dan serentak dengan itu dia jungkir
balik di udara melompati sebuah rawa kecil dan berdiri di bagian lain dari
pedataran! Dengan demikian kedua manusia itu berhadapan satu sama lain.
terpisah oleh sebuah rawa-rawa!
Laki-laki bertangan buntung itu
tertawa dingin. Tangan kirinya bergerak ke balik pakaian.. Sesaat kemudian di
tangan kiri itu tergenggam sebuah pedang buntung yang berwarna biru. Meskipun
buntung, melihat kepada kilauan sinar biru dari senjata itu Wiro Sableng maklum
bahwa pedang di tangan lawannya adalah sebuah pedang mustika.
“Kau lihat pedang ini, pemuda edan?!” bentak Kalingundil.
“Nyawamu ada diujung senjata ini!”. Pendekar 212 tertawa mengekeh.
“Orang dan. senjatanya sama saja! Sama-saama buntung!”
mengejek murid Eyang Sinto
Gendang itu,
Merah
padam muka Kalingundil.
“Mengejek memang mudah. Tapi ketahuilah, membunuhmu dengan
senjata ini jauh lebih mudah lagi!,” kata Kalingundil pula. “Buka matamu
lebar-lebar orang gila dan lihat ini!”.
Kalingundil menyapukan pedang buntungnya ke arah rawa-rawa
di hadapannya. Lumpur rawa itu muncrat ke atas sampai tujuh tombak. Sebagian
besar menyibak laksana terbelah sehingga dasar rawa yang hitam legam terlihat
jelas beberapa detik lamanya !
“Senjata hebat,” ujar Wiro Sableng dalam hati. “Dalam
keadaan buntung demikian luar biasanya. Apalagi kalau dalarn keadaan. Sempurna.
Bagaimana ini kucing dapur dapatkan senjata itu...?”
“Kau
sudah lihat pendekar gila?!,” terdengar bentakan Kalingundil.
“Senjatamu
boleh juga, Kalingundil. Tapi dari pada dipakai buat kejahatan lebih baik
ditempa untuk membikin sambungan tangan palsumu!”.
Marahlah Kalingundil. Disapukannya senjata itu ke arah
pendekar 212. Maka berkiblatlah sinar biru yang menyilaukan!
Pendekar 212 tidak bodoh. Dengan cepat dialirkannya tenaga
dalamnya ke kedua telapak tangan. Dia melompat ke udara.
“Ciat!”
Didahului oleh bentakan yang menggeledek itu maka Wiro
Sableng lepaskan pukulan dinding angin berhembus tindih menindih. Begitu
pukulan ini melesat memapasi serangan lawan maka Wiro susul dengan pukulan
kunyuk melempar buah yang perbawanya disertai aliran tenaga dalam sampai
setengah bagian dari yang dimilikinya!
Pukukan yang pertama membuat serangan Kalingundil tertahan
laksana menumbuk dinding karang yang atos. Pukulan yang kedua bukan saja
membuat buyar sinar biru dari pukulan Kalingundil, tapi sekaligus melabrak
pukulan tersebut sehingga kini Kalingundil yang berada dalam keadaan diserang!
Ini memaksa Kalingundil menyingkir dua tombak ke samping. Kemudian tanpa
membuang waktu lebih lama laki-laki ini menerjang ke muka. Pedangnya membabat
deras, sinar biru yang menghamburkan hawa dingin serta tajam menyambar ke arah
pendekar 212!
Wiro Sableng membentak nyaring! Suara bentakannya ini
membuat gendang-gendang telinga Kalingundil tergetar. Pedangnya melabrak ke
arah perut lawan tapi dalam kejapan itu pula lawannya berkelabat dan lenyap
dari pemandangan! Penasaran sekali Kalingundil putar pedang buntungnya demikian
rupa. Maka sinar birupun bergulung-gulung mengurung Wiro Sableng!.
Sebagaimana kebiasaan pendekar 212, dalam setiap pertempuran
yang mulai menghebat maka disaat itu pula mulai terdengar suara siulannya
melengking-lengking membawakan lagu tak menentu! Tubuhnya hanya merupakan
bayang-bayang kini. Karena sukar untuk menentukan mana tubuh yang sebenarnya
dan mana yang hanya baying-bayang, maka hampir keseluruhan serangan-serangan
Kalingundil menghantam tempat kosong. Namun demikian memang permainan silat
siluman yang didapat Kalingundil di Gua Siluman tempo hari meskipun cuma
sepertiganya saja yang dikuasainya, benar-benar patut dikagumi.
Pendekar 212 tahu bahwa lawannya sampai dua puluh jurus
dimukapun tak akan dapat mendesaknya, apalagi melukainya. Tapi di samping itu,
pihaknya sendiri sukar pula melakukan serangan balasan karena setiap serangan
yang dilancarkan Kalingundil merupakan jurus pertahanan! Demikianlah kehebatan
ilmu silat siluman yang dimiliki oleh manusia bertangan buntung itu!
Tapi adalah
percuma saja Wiro Sableng menjadi murid dan digembleng selama tujuh belas tahun
oleh nenek-nenek sakti Eyang Sinto Gendeng kalau dia tak bisa menghadapi lawan
begitu rupa satu lawan satu!
Maka Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 segera robah
permainan silatnya. Jurus-jurus yang tak terduga dari Kalingundil dihadapinya
dengan jurus-jurus tak teratur yang gerabak gerubuk kian kemari. Kedua
tangannya terkembang di kedua sisi laksana sayap burung garuda sedang dari
mulutnya senantiasa terdengar suara siulan melengking yang menyamaki liang
telinga Kalingundil!
Saat itu kedua orang ini sudah bertempur sampai tiga puluh
jurus! Sungguh hebat! Tiga puluh jurus seperti tidak terasa! Dan kini kentara
sekali bagaimana Kalingundil terdesak hebat.
Bagaimanapun Kalingundil mempercepat jurus-jurus permainan
silatnya, bagaimanapun dia merobah gerakan-gerakannya dan mengamuk laksana
banteng terluka, namun tetap saja dia berada dibawah angin, malahan kini
terdesak ke arah rawa-rawa maut!
“Ha... ha.... rupanya jalan ke nerakamu harus melalui
rawa-rawa maut ini, Kalingundil!”.
“Budak
hina dina jangan ngaco! Sambut bintang silumanku ini!”.
Sambil melompat jauh, dengan masih memegang pedang buntung,
Kalingundil gunakan tangan kirinya untuk mengirimkan selusin benda berbentuk
bintang yang berwarna biru ke arah lawannya.
“Akh... mainan anak-anak ini kenapa musti dipertontonkan?!”
ejek pendekar 212. Tangan kanannya diputar ke udara. Serangkum angin puyuh
menggebubu dan bintangbintang siluman itupun berhamburanlah kian ke mari tiada
mengenai sasarannya.
Pada detik Wiro Sableng gunakan tangannya untuk menyambuti
senjata rahasia lawan maka kesempatan ini dipergunakan oleh Kalingundil untuk
melompat ke seberang rawa-rawa kecil.
“Kucing
dapur! Kau mau lari ke mana....?!” teriak Wiro Sableng.
Sebagai jawaban Kalingundil lemparkan segulung benda putih
ke arah pendekar 212. Mulanya Wiro menyangka benda itu sebuah senjata rahasia,
tapi ketika diketahuinya hanya secarik kertas putih yang digulung maka segera
ditangkapnya dan di saat itu pula Kalingundil pergunakan kesempatan sekali lagi
untuk melompat jauh lalu dengan ilmu larinya yang lihay ditinggalkannya tempat
itu.
Wiro tidak punya maksud untuk
mengejar laki-laki bertangan buntung itu. Dengan penuh tanda tanya dibukanya
gulungan kertas di tangannya. Ternyata selembar surat yang ditujukan oleh
Kalingundil kepadanya.
Cacat
di tubuhku tak akan terlupa seumur hidup. Kematian kawan-kawanku dan kematian
Mahesa Birawa tak akan terlupa selama hayat. Semua itu kau yang menjadi biang
sebab.
Hari
pembalasan akan tiba! Berani berbuat berani tanggung jawab!
Hari
tiga belas bulan dua belas kutunggu kau di puncak Gunung Tangkuban Perahu.
Kalau kau tak punya nyali untuk datang lebih baik bunuh diri sekarang juga!
Pendekar 212 penasaran sekali. Diremasnya surat itu. “Sialan
betul kucing dapur itu!,” gerendang Wiro Sableng. Dia lari ke bukit. Namun
bayangan Kalingundil sudah tak kelihatan lagi.
Tantangan yang dibuat Kalingundil di Rawasumpang itu hanyalah
sekedar untuk menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat silumannya bisa
menghadapi musuh besarnya itu. Nyatanya Wiro Sableng masih tetap jauh lebih
digjaya dari dia. Namun dia tidak kecewa. Pada hari yang telah direncanakannya
itu, kelak dendam kesumatnya akan kesampaian. Dan sekaligus di Rawasumpang itu
dia te!ah menyampaikan surat undangan kematian bagi musuh besamya itu. Dia
yakin pendekar 212 akan datang ke puncak Gunung Tangkuban Perahu!
-- == 0O0 == --
SEMBILAN
PUNCAK
Gunung Halimun….
Puncak gunung ini kelihatan diselimuti awan putih. Bila
angin barat bertiup maka beraraklah awan itu kejurusan timur dan Puncak Gunang
Halimun kembali kelihatan dengan jelas dan megah.
Selewatnya tengahari, sesosok tubuh berlari laksana angin,
menuju ke puncak gunung. Semakin ke puncak udara semakin sejuk serta segar.
Laki-laki itu mempercepat larinya seakan-akan tak sabar untuk lekas-lekas
sampai ke tempat yang ditujunya. Maka lewat sepeminuman teh sarnpailah dia ke
puncak tertinggi dari gunung itu.
Dia
memandang berkeliling. Kernana mata memandang hanya bebatuan saja yang
kelihatan. Mulai dari kerikil-kerikil kecil sampai kepada unggukan-unggukan
batu besar sebesarbesar rumah! Di kaki-kaki batu-batu besar yang rata-rata
licin berlumut itu tumbuh rumput-rumput liar. Laki-laki itu bertangan bunting.
Dia tak lain adalah Kalingundil. Mengapa dia berada di puncak gunung ini ialah
dalam meneruskan rencana besarnya yaitu membalaskan dendam kesumat terhadap
pendekar 212 Wiro Sableng.
Kalingundil dengan gerakan yang enteng melompat ke salah
satu batu besar. Seseorang yang tidak memiliki ilmu meringani tubuh yang ampuh
pasti tak akan sanggup mernbuat lompatan lihay itu, kalaupun dapat mungkin
begitu menginjak batu, kakinya akan terpeleset karena lincinnya lumut!
Kalingundil memandang keseantero puncak gunung yang telah mati itu. Di antara
unggukanunggukan batu-batu rnaka di tengah-tengah kelihatanlah kawah yang besar
yang sudah padam.
Kawah ini berbentuk kerucut dan dalarn sekali. Kalingundil
melompat lagi ke batu besar yang lebih tinggi. Sekali lagi dilayangkannya
pandangannya ke seantero puncak gunung. Bila dia sudah yakin betul bahwa tempat
kediaman orang yang hendak ditemuinya itu bukalah di permukaan puncak gunung
maka segeralah dia melompat ke tepi kawah. Dari sini dia terus turun ke dalam
kawah.
Selain dalam, kawah Gunung Halimun sukar sekali untuk
dituruni. Tapi Kalingundil dengan cekatannya lompat sana lompat sini sehingga
dalam waktu yang singkat dia sudah berada di dasar kawah.
Udara di dalam dasar kawah gunung ini pengap dan menyesakkan
pernafasan. Karenanya Kalingundil segera atur jalan nafasnya. Begitu dirinya
dapat menguasai kepengapan, itu maka dia segera meneliti keadaan dasar kawah di
mana dia berada. Luas dasar kawah yang merupakan pusat kerucut itu hanya
beberapa kali lebih besar dari sebuah sumur. Seluruh dasar kawah merupakan
pasir campur tanah yang sudah membeku den mengeras selama berabad-abad sesudah
gunung itu meletus. Putaran bola mata Kalingundil terhenti pada sebuah lobang
yang besarnya selebar bahu manusia.
Laki-laki ini segera mendekati lobang itu. Menelitinya
sesaat lalu tanpa ragu-ragu segera memasukinya. Mula-mula dia hanya bisa
merangkak. Tapi semakin ke dalam lobang itu semakin besar sehingga dari
merangkak kini dia dapat membungkuk-bungkuk dan akhirnya berjalan seperti
biasa.
Kalingundil sampai ke sebuah ruang empat persegi
berdindingkan batu-batu hitam yang kasar. Dari keempat sudut ruangan ini keluar
empat liukan asap tipis yang berwarna hitam. Begitu, hidungnya mencium bau yang disebar oleh asap ini mendadak
sontak kepala Kalingundil menjadi pusing. Cepat-cepat Kalingundil kerahkan
tenaga dalam dan tutup jalan nafasnya.
Kalingundil
tahu bahwa ruangan batu itu bukanlah ruangan buntu. Tapi matanya tiada melihat
adanya pintu atau sebuah celahpun. Laki-laki ini menengadah ke atas. Maka
kelihatanlah di langitlangit ruangan sebuah liang tangga batu. Dia memandang
berkeliling lalu enjot kedua kaki dan melompat ke tepi liang, terus menaiki
tangga batu. Anehnya, bagaimanapun tingginya ilmu mengentengi tubuh yang
dimilikinya namun setiap iangkah yang dibuatnya di tangga batu itu berbunyi dan
bergema keras!
Begitu sampai di anak tangga yang teratas maka sampailah
Kalingundil ke satu ruangan putih yang sangat bersih. Demikian bersih dan
berkilatan putihnya dinding-dinding serta lantai dan langitlangit ruangan itu,
sehingga tak ubahnya seperti berada di satu ruangan kaca.
Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah batu besar
dan di atas batu besar ini sesosok tubuh laksana patung tengah bersemedi
jungkir balik, kaki ke atas kepala ke bawah di atas batu. Sosok tubuh ini
mengenakan sehelai kain putih yang dibalutkart sekujur badan mulai dari betis
sampai ke dada. Kepala dan paras orang yang bersemedi tiada kelihatan karena
tertutup oleh janggut putih yang panjang, hampir menyamai panjangnya rambut
yang menjulai di lantai dan juga berwarna putih! Sungguh hebat cara manusia ini
bersemedi!
Namun pandangan Kalingundil segera terbagi pada seekor
harimau besar belang tiga yang berbaring di samping laki-laki yang tengah
bersemedi. Begitu melihat kemunculan Kalingundil, makhluk ini berdiri dan
menggereng. Mututnya membuka lebar. Gigi dan taringnya kelihatan besarbesar
serta runcing mengerikan. Didahului dengan auman yang dahsyat dan menggetarkan
ruangan putih itu maka melompatlah binatang itu. Kedua kaki terpentang ke muka,
kuku-kuku yang tajam dan panjang siap merobek tubuh Kalingundil!
Kalingundil yang maklum bahwa harimau itu bukan binatang
biasa tapi peliharaan seorang sakti dengan cepat segera melompat ke samping
hindarkan diri. Namun meskipun demikian cepatnya, sang harimau lebih cepat
lagi! Laksana seorang jago silat kawakan, masih melayang di udara binatang itu
putar tubuh, ekornya berkelebat!
Ekor yang panjang laksana cambuk itu menghantam bahu
Kalingundil yang buntung. Pakaiannya robek. Bahunya sakit tiada terkirakan.
Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan disaat itu terpaksa segera melompat pula
ke samping karena si belang sudah menyerangnya kembali!
Hanya dengan berkelabat-kelabat cepat dan sigaplah maka
Kalingundil berhasil mengelakkan setiap serangan. Dia menghitung-hitung, sampai
saat itu telah dua puluh jurus dia bertempur menghadapi sang harimau. Dan
selama itu Kalingundil terus-terusan bersikap mengelak, sama sekali tak mau
menyerang! Kalau dia mengelak terus, di satu ketika mungkin sekali harirmau itu
berhasil juga mengoyak daging tubuhnya! Kalau dia melawan, sedangkan binatang itu
adalah peliharaan orang sakti dengan siapa dia ingin bertemu dan bicara! Inilah
yang menyulitkan Kalingundil! Dan sementara dia bertempur demikian rupa, orang
yang bersemedi masih juga terus bersemedi, seperti tiada terganggu, seperti tak
mengetahui adanya pertempuran yang dahsyat itu!
Satu-satunya
jalan bagi Kalingundil untuk tidak mendapat celaka dan tidak mencelakai ialah
meninggalkan ruangan putih itu, menghindar keluar untuk sementara, menunggu
sampai orang yang bersemedi menyelesaikan semedinya.
Maka ketika harimau itu mengaum dan menyerang, Kalingundil
jatuhkan diri ke lantai lalu bergulingan ke arah tangga. Pada saat harimau itu
hendak menubruknya sekali lagi. Kalingundil sudah lenyap ke bawah tangga…
Telah tiga hari Kalingundil menunggu di dasar kawah itu.
Telah tiga kali pula dia masuk ke dalam ruang putih dan mengintai dari balik
anak tangga teratas, namun sampai saat itu orang yang bersemedi masih juga
belum meninggalkan batu persemediannya.
Menunggu sampai satu minggupun bagi Kalingundil bukan suatu
apa, tapi yang menyusahkannya ialah untuk mendapatkan bahan makanan selama
hari-hari penungguan itu.
Empat hari kemudian, pada kali yang ke tujuh Kalingundil
mengintai dari balik anak tangga, orang itu dilihatnya masih juga bersemedi.
Dengan hati kesal Kalingundil menuruni tangga kembali. Tapi begitu dia keluar
dari liang tangga dan sampai di ruang bawah maka mendadak terdengar suara
menggema dari ruang putih.
“Manusia yang berani-beranian menginjakkan kaki kotor di
tempatku cepat datang menghadap untuk terima hukuman!”.
Terkesiap
Kalingundil mendengar ini.
“Ayo
cepat! Tunggu apa lagi?!,” kata suara dari ruang putih.
Kalingundil memutar langkahnya kembali. Dalam melangkah
kembali ke liang tangga, terdengar lagi suara tadi.
“Hemm… seorang bertangan buntung macammu sungguh tak pantas
masuk ke tempatku! Hukumanmu lipat ganda hai manusia!”.
Tentu saja Kalingundil terkejut mendengar ini. Bagaimana
orang di dalam ruangan putih itu bisa mengetahui bahwa tubuhnya cacat? Meski
dia sakti luar biasa tapi mereka belum pernah bertemu muka dan tak mungkin
menurut pikiran Kalingundil orang itu mengetahui hal keadaan dirinya!
Kalingundil lupa bahwa dinding dan langit-langit ruangan putih di atas sana tak
ubahnya seperti kaca sehingga orang yang ada di ruangan putih akan mudah
melihat siapa saja yang ada di ruang bawah!
Kalingundil melompat ke atas dengan gerakan enteng lalu
menaiki tangga. Ketika dia muncul di ruangan putih anehnya harimau yang
berbaring tidak lagi menyerangnya.
Sedang manusia berselempang kain putih masih tetap berdiri dengan kepala di
atas batu kaki ke atas! Seperti hari-hari sebelumnya parasnya masih tertutup
oleh julaian janggut putihnya yang panjang menjela-jela.
Meski. harimau belang tiga itu tidak rnenyerangnya, namun
Kalingundil berdiri dengan waspada. “Kau siapa?!” membentak si kepala ke bawah
kaki ke atas.
“Namaku Kalingundil. Apakah saat ini aku berhadapan dengan Begawan
Sitaraga?,” tanyaKalingundil setelah terangkan dia
punya nama.
Yang ditanya tak menjawab melainkan ajukan pertanyaan:
“Perlu apa kau datang mengotori tempatku ini, manusia tangan buntung?!”.
“Harap dimaafkan kalau kedatanganku rnengotori tempatmu.
Tapi sesungguhnya aku tiada maksud demikian,” kata Kalingundil pula. “Aku...”
“Sudah! Jangan berbacot juga! Melangkahlah lebih dekat untuk
terima hukumanmu!”.
Sebaliknya justru Kalingundil hentikan langkah.
Diperhatikannya manusia yang berdiri jungkir balik di atas batu itu.
“Melangkah lebih dekat!” bentak orang itu. Suaranya
menggaung di ruangan putih sedang harimau di sampingnya menggeram tak kalah
hebat. “Begawan…”.
Kalingundil putuskan kalimatnya. Kaki kiri manusia
dihadapannya dilihatnya bergerak. Serangkum angin yang sangat deras melanda ke
arah Kalingundil. Ruangan itu bergetar. Dengan jungkir balik secepat yang bisa
dilakukannya Kalingundil berhasil elakkan serangan dahsyat itu!
Terdengar suara gelak mengekeh. “Pantas... pantas kau berani
petatang peteteng datang ke sini untuk bikin kotor tempatku. Rupanya kau
memiliki ilmu yang diandalkan juga! Aku mau lihat apakah kau juga sanggup
mempertahankan diri dengan jurus kaki selaksa baja ini?!”.
Kepala yang di atas batu itu berputar. Kedua kaki bergerak.
Tahu kalau dirinya hendak diserang lagi dengan tendangan jarak jauh yang lebih
dahsyat dari tadi, Kalingundil cepat mendahului berseru.
“Begawan!
Tahan! Aku datang membawa kabar untukmu!”.
Oleh ucapan yang lantang ini maka orang. itu
hentikan maksudnya untuk kirimkan serangan: “Aku tidak kenal padamu! Kabar apa
yang kau bawa?! Cepat katakan!” hardiknya. Dia masih juga berdiri, dengan
kepala ke bawah kaki ke atas seperti tadi.
“Kabar
ini kabar buruk Begawan…”
“Sialan! Buruk atau baik cepat katakan! Jangan habiskan,
kesabaranku monyet
alas!”
Kalingundil pada dasarnya sangat tidak senang mendengar
kata-kata makian seperti itu. Namun dia menjawab juga. “Sobat kentalmu Mahesa
Birawa menemui kematiannya di tangan seorang manusia keparat…”
Tubuh di atas batu kelihatan bergerak dan tahu-tahu manusia
itu kini sudah tegak dengan kedua kakinya di atas batu. Maka kini kelihatannya
parasnya yang sejak tadi tertutup oleh geraian janggut putih panjang. Kulit
mukanya sangat pucat seperti tiada berdarah. Pipinya cekung dan rongga matanya
lebih cekung lagi membuat wajahnya angker sekali untuk dipandang. Rambutnya
putih panjang sampai ke bahu sedang janggutnya menjulai sampai ke perut.
Kalingundil menjura memberi hormat. “Jadi betul saat ini aku
berhadapan dengan Begawan Sitaraga..?” tanyanya.
Si
muka pucat. tidak ambil perduli pertanyaan itu.
“Siapa
yang bunuh dia dan dari mana kau bisa tahu?!”
Kalingundil segera buka mulut berikan keterangan. “Mahesa
Birawa dan beberapa orang Adipati memimpin sejumlah batatentara untuk memerangi
Pajajaran. Tapi mereka kalah.
Semua Adipati
menemui ajalnya. Mahesa Birawa sendiri tewas di tangan seorang pemuda sakti “
Maka kelihatanlah kerutan-kerutan muncul di paras Begawan
Sitaraga yang membuat parasnya menjadi tambah angker. Kedua matanya menyipit,
pandangannya setajam mata pedang! Rencana untuk memerangi Pajajaran memang dia
sudah tahu lama bahkan sebagaimana perundingannya dengan Mahesa Birawa, dia
sendiri telah menjanjikan akan turun tangan membantu pemberontakan Mahesa
Birawa karena memang sejak lama dia mempunyai dendam kesumat dengan keluarga
istana Pajajaran! Di puncak Gunung Halimun dia hanya menunggu kabar dari Mahesa
Birawa kapan penyerangan dilakukan. Tapi hari ini datang seseorang yang membawa
kabar bahwa pemberontakan gagal dan Mahesa Birawa sendiri menemui kematian!
Tehtu saja ini tak bisa dipercayainya.
“Aku
tidak percaya pada kau punya bicara, manusia tangan buntung!” bentak Begawan
Sitaraga.
“Demi apapun aku
berani sumpah bahwa aku tidak dusta, Begawan” jawab Kalingundil dengan suara
merendah meskipun hatinya gusar karena dipanggil dengan nama “manusia tangan
buntung” itu.
“Namamu
siapa…”
“Kalingundil”.
“Punya
hubungan apa kau dengan Mahesa B irawa?”.
“Dia
adalah pemimpin dan sobat kentalku sejak tahunan, Begawan…”
“Baik! Tapi aku tidak tahu apa itu betul atau tidak. Jawab
pertanyaanku untuk membuktikan kebenaran keteranganmu! Siapa nama Mahesa Birawa
sebenarnya…?”.
Kalingundil
tertawa. “Kau keliwat tidak percaya pada pihak sendiri, Begawan…”.
“Siapa
akui kau pihakku...? Tampangmu yang jelek inipun baru kali ini aku lihat!”.
Kalingundil
menggerutu dalam hati.
“Ayo
jawab pertanyaanku! Siapa nama asli Mahesa Birawa?!”.
“Suranyali!”
jawab Kalingundil.
“Hem…” Sitaraga merenung, “Mahesa Birawa seorang
berkepandaian tinggi. Tidak semudah itu untuk merenggut nyawanya…”
“Di luar langit ada langit lagi Begawan! Kesaktian pemuda
tandingannya melebihi kesaktiannya…”.
Begawan
Sitaraga kerutkan kening.
Dan Kalingundil teruskan ucapannya. “Aku sendiri pernah
menghadapinya. Masih untung cuma tanganku yang dimintanya, bukan nyawaku!”
“Ho-o… jadi maksudmu datang ke sini untuk mengadu dan
merengek macam anak kecil agar aku turun tangan…?”.
Merah muka Kalingundil. “Itu adalah terserah padamu Begawan.
Sebagai sobat dan bekas pemimpinku, aku telah cari pemuda yang membunuh Mahesa
Birawa. Namun dia lebih tinggi ilmu silatnya dan lebih tinggi…”.
“Siapa
nama bangsat itu?!” tanya Sitaraga pula.
“Wiro
Sableng. Tapi dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212...”
Mendengar ini maka terkejutlah Begawan Sitaraga. “Kau bilang
dia bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…?”. “Ya…”
“Kalau
begitu dia adalah nenek-nenek keriput si Sinto Gendeng!”.
“Tidak... dia adalah seorang pemuda. Masih sangat muda,
bahkan tampangnya macam anakanak, berambut gondrong dan berotak miring sinting!”
Sitaraga merenung lagi. Kemudian desisnya: “Kalau begitu
mungkin sekali dia adalah murid nenek-nenek itu yang diam di puncak Gunung
Gede. Tapi setahuku Sinto Gendeng tidak punya murid sejak puluhan tahun
berselang…” Sitaraga tarik nafas dalam. “Kalau betul dia murid Sinto Gendeng,
tidak salah Mahesa Birawa dipecundangi…” Sitaraga memandang jauh ke muka
seperti pandangannya itu mau menembus dinding putih di belakang Kalingundil.
Melihat ini maka Kalingundil mulai masukkan jarum
hasutannya. “Sewaktu aku bertempur dengan dia di Rawasumpang aku beri
peringatan bahwa kelak sobat-sobat Mahesa Birawa yang terdiri dari tokoh-tokoh
silat utama akan turun tangan untuk menuntut balas. Dan Wiro Sableng mengumbar
bahwa terhadap siapapun dia tidak takut! Bahkan dia menantang untuk bikin
perhitungan di puncak Gunung Tangkuban Perahu pada hari tigabelas bulan
duabelas nanti!”.
Mata Begawan Sitaraga menyipit lagi. “Pongah betul,”
desisnya. “Rupanya sudah kepingin cepat-cepat merasakan gelapnya liang kubur!
Sudah cepat-cepat ingin minggat ke neraka!”.
“Betul Begawan. Bukan saja kepongahannya itu yang
menyakitkan hati, tapi tantangannya itu adalah juga sangat menghina dan tiada
memandang sebelah matapun terhadap tokoh-tokoh silat utama macam Begawan....”.
Sitaraga manggut-manggut. “Manusia-manusia macam begitu
musti dilenyapkan dengan lekas. Kalau tidak akan menjadi biang runyam golongan
dan aliran kita....”
Hati Kalingundil menjadi gembira karena tahu hasutannya
sudah menyamaki dan mengobari dendam serta amarah Begawan itu.
“Tantangan itu...,” kata Kalingundil pula meneruskan
hasutannya, “sekaligus menghina terhadap guru Mahesa Birawa yang diam di Gunung
Lawu... Aku bermaksud untuk menemuinya dan meminta langkah-langkah yang segera
akan kita laksanakan”.
“Kalau cuma untuk memecahkan batok kepala pemuda sedeng itu,
aku sendiripun menyanggupinya!”
“Betul Begawan. Tapi untuk tidak mengecewa kan guru Mahesa
Birawa di kemudian hari, ada baiknya kematian muridnya itu diberi tahu...''
“ltu urusanmu,” jawab Sitaraga. Matanya. memandang
tepat-tepat ke pinggang Kalingundil. Sesungguhnya sejak tadi matanya itu
memperhatikan secara diam-diam ke pinggang Kalingundil.
“Coba aku mau
lihat apa yang kau simpan di balik pinggangmu,” katanya tiba-tiba.
Kalingundil kaget sekali. Dia melirik ke pinggangnya. Dia
telah menyimpan senjatanya baikbaik namun mata Sitaraga yang tajam masih
sanggup mengetahuinya.
“Ah,
tidak apa-apa Begawan. Cuma…”
“Cuma
apa?!” Sitaraga pelototkan mata.
“Cuma
sebilah pedang buruk…” sahut Kalingundil.
“Keluarkan!”
“Begawan....”
“Jangan
banyak bicara. Keluarkan!”
Kalau bukan
berhadapan dengan Begawan Sitaraga dan kalau tidak mengingat kepada rencana
besarnya, maka pastilah saat itu Kalingundil akan beset mulut manusia yang
dihadapannya itu. Dia memang mengharapkan bantuan Sitaraga tapi kalau dirinya
dianggap remeh terus menerus dan dihina dimaki serta dibentak, siapa yang bisa
sabarkan diri?! .
“Kau
membangkang Kalingundil?!”
Penasaran sekali Kalingundil cabut Pedang Siluman
buntungnya. Maka sinar birupun memancarlah di ruangan putih itu. Begawan
Sitaraga terkejut.
“Pedang Siluman Biru..,” desisnya. Dia di samping terkejut
juga heran melihat pedang sakti itu kini hanya merupakan sebuah puntungan
belaka. “Dari mana kau dapat senjata itu?
Bagaimana bisa
buntung? Apakah kau muridnya Siluman Biru?!”
Kalingundil menyeringai mendengar pertanyaan-pertanyaan
menyerocos itu. “Itu semua adalah urusanku Begawan. Yang penting hari ini kita
telah berjumpa dan kau telah mengetahui nasib Mahesa Birawa. Sampai bertemu di
puncak Gunung Tangkuban Perahu!”.
Kalingundil
berkelebat ke arah tangga.
“Tunggu!”
teriak Sitaraga.
Tapi
Kalingundil tak mau ambil perduli.
Maka marahlah Begawan Sitaraga. “Kalau tidak memikir kau
bekas anak buah Mahesa Birawa, sudah terlalu pantas aku minta nyawamu,
Kalingundil! Tapi saat ini cukup kau tinggalkan saja salah satu dari daun
telingamu!”
Sebuah senjata rahasia melesat ke arah telinga kanan
Kalingundil. Laki-laki ini segera lambaikan tangan kirinya. Tapi celaka senjata
rahasia itu tak sanggup dibuat mental dengan pukulan tenaga dalam! Terpaksa
Kalingundil cabut pedang saktinya kembali. Namun gerakan ini tentu saja sudah
terlambat!
Kalingundil mengeluh kesakitan. Darah membasahi pipi dan
bahu pakaiannya. Daun telinganya sebelah kanan terbabat buntung oleh senjata
rahasia Sitaraga! Kalau tidak mengingat-ingat akan rencana pembalasan
dendamnya, maulah Kalingundil menyerang Begawan itu dengan kalap, lebih-lebih
ketika didengarnya kekehandak Sitaraga yang menusuk liang telinganya!
Dalam waktu yang singkat Kalingundil sudah berada di luar
Kawah Gunung Halimun. Dibersihkannya darah yang membasahi pipi kemudian dengan
sehelai kain dibalutnya kepalanya tepat pada batasan telinga yang buntung.
Kemudian diambilnya sebuah pil lalu ditelan untuk menolak racun senjata rahasia
Sitaraga itu.
Di dasar kawah Gunung Halimun, tak lama sesudah Kalingundil
lenyap, kembali Sitaraga merenung.
Siapa Kalingundil sebenarnya masih agak samar baginya. Tapi
itu tidak begitu penting. Yang menjadi tanda tanya besar ialah siapa itu pemuda
yang bergelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212?
Apa betul murid Sinto Gendeng? Kalau Kalingundil telah menghadapinya dengan
Pedang Siluman dan berhasil dikalahkan oleh si pemuda, maka sudah dapat dijajaki
oleh Sitaraga sampai di mana ketinggian ilmu pendekar 212 itu! Ini membuat dia
ingin lekas-lekas berhadapan dengan sang pendekar muda. Namun dia musti
menunggu beberapa bulan di muka sampai saat yang ditentukan yaitu hari
tigabelas bulan duabelas!
* * *
SIAPA penduduk desa bukit tunggul yang tidak tahu dengan
Asih Permani. Tanyakan pada yang tua-tua, mereka akan tahu, tanyakan pada yang
muda-muda mereka akan lebih dari tahu. Tanyakan pada anak-anak kecil yang
mengangon bebek atau menggembala kerbau, mereka juga akan tahu. Jika.ditanyakan
bagaimana paras Asih Permani maka semua mulut akan memuji. Semua mulut akan
mengatakan: Asih Permani gadis yang tercantik se-Bukit Tunggul. Mukanya bujur
telur. Hidungnya kecil mancung bak daun tunggal. Bibirnya seperti delima
merekah, merah dan segar. Matanya bening bercahaya laksana bintang di angkasa
raya. Dagunya seperti lebah bergantung, leher jenjang dan suaranya halus merdu,
serasa digelitik liang telinga jika kita mendengar suara Asih Permani. Dan keseluruhan
tubuhnya yang montok padat itu dibungkus oleh kulit yang halus mulus.
Asih Permani memang cantik seperti perbandingan di atas.
Kawannya sesama gadis di desa Bukit Tunggul banyak yang merasa iri dengan
kecantikan yang dimiliki gadis itu. Pemuda-pemuda banyak yang tergila. Tapi
semua mereka bertepuk sebelah tangan. Karena pada bulan di muka, tepat di waktu
bulan rembulan empat belas hari. Asih Permani akan dinikahkan dengan
Ranggasastra, anak lurah Bukit Tunggul. Memang di samping kaya raya, banyak harta
dan sawah berlimpah kerbau berkandang, maka Ranggasastra cocok dan pantas
menjadi suami Asih Permani. Pemuda ini gagah. Badannya tegap, hatinya polos dan
ramah kepada setiap orang. Sehingga kalau bersanding dengan Asih Permani di
pelaminan nanti tentulah tak ubahnya seperti pinang dibelah dua!
Semakin lama, semakin dekat juga hari pernikahan itu. Tentu
sama dapat dibayangkan bagaimana perasaan kedua calon pengantin itu menjelang
hari perkawinan mereka. Hari yang bersejarah dan tak dilupakan seumur hidup
mereka. Hari di mana mereka akan sama-sama membuka suatu “rahasia kebahagiaan
hidup”.
Saat itu Ranggasastra tengah duduk-duduk di depan rumahnya
memandangi bintang-bintang yang bertaburan. Entah mengapa malam itu hatinya
gelisah saja. Dan dia tak tahu apa sebenarnya yang digelisahkannya itu. Larut
matam baru dia dapat tertidur. Tapi menjelang fajar dia tersentak. Ranggasastra
adalah seorang yang pernah menuntut ilmu silat dan kesaktian pada seorang guru
di pantai utara. Nalurinya menyatakan bahwa ada seseorang lain di dalam
kamarnya saat itu. Dibukanya kedua kelopak matanya. Dia terkejut melihat
sesosok tubuh manusia sangat kate berdiri dekat tempat tidur. Manusia ini
berkepala botak sudah licin berkilat ditimpa kelap-kelip sinar lampu pelita
dalam kamar.
Manusia kate ini memiliki hidung yang sangat besar.
Hidungnya yang besar itu seperti mau menutupi mukanya yang kecil. Ketika dia
menyeringai dan mengeluarkan suara mendesau, maka kelihatanlah giginya yang
cuma satu di sebelah atas.
Ranggasastra
segera melompat dari tempat tidur.
“Manusia kate! Siapa kau?!” bentak si pemuda. Matanya
meneliti manusia dihadapannya dengan tajam. Dan meskipun cahaya lampu minyak di
dalam kamar tidak begitu terang, namun Ranggasastra dapat melihat bahwa manusia
kate itu mempunyai telapak kaki yang lebar dan besar sekali. Tapak kaki itu
sampai sebatas mata kaki sama sekali tidak merupakan tapak kaki manusia, tapi
seperti kaki seekor gajah!
“He... he... he…”. Manusia kate berkaki besar tertawa
berkemik. “Kau manusianya yang bernama Ranggasastra, yang bakal jadi penganten
minggu depan...?!”.
Tentu saja apa yang ditanyakan manusia itu, mengejutkan
Ranggasastra. “Itu bukan urusanmu! Jawab dulu siapa kau!”
“He... he... he…”. Tamu tak diundang itu mengekeh lagi.
“Maksudmu untuk menjadi penganten, untuk menjadi suami Asih Permani tidak akan
kesampaian Ranggasastra...!”.
“Manusia kate, jangan ngaco pagi-pagi buta!,” bentak
Ranggasastra dengan marah. “Keluar dari kamarku!”. Pemuda itu kepalkan
tinjunya.
“Kau tak akan pernah menjamah tubuh Asih Permani, anak muda.
Karena mulai detik ini ke atas, dia adalah milikku dan akan kubawa ke mana aku
suka, akan kuperbuat apa aku senang!”. Manusia kate ini mengekeh lagi.
“Kalau kau mau mengigau, pergilah mengigau di liang kubur!”.
Habis berkata demikian Ranggasastra menerjang ke muka. Tinju kanannya menderu!
Tapi dia hanya memukul tempat kosong. Hampir tak terlihat oleh matanya, manusia
kate itu telah berkelebat dan lenyap dari pemandangannya!
Tinggal
seorang diri di dalam kamar Ranggasastra merasa seperti orang yang tertidur dan
tersentak oleh mimpi. Digosok-gosoknya kedua matanya dengan telapak tangan
berulang kali. Tidak, dia tidak mimpi! Dia yakin betul bahwa dia tidak mimpi!
Dan ketika dia memandang ke lantai kamar yang terbuat dari papan, maka pada
lantai itu jelas dilihatnya bekas-bekas telapak kaki manusia kate tadi.
Ketika ingat akan ucapan-ucapan orang kate berkepala sulah
tadi maka khawatirlah Ranggasastra. Segera dijangkaunya tongkat besi berujung
runcing yang tersisip di dinding. Senjata ini adalah pemberian gurunya. Tanpa menunggu
lebih lama, pemuda ini segera tinggalkan rumahnya menuju ke desa sebelah timur
di mana terletak rumah orang tua Asih Permani.
Sepuluh tombak akan sampai ke halaman muka rumah gadis calon
isterinya, mendadak Ranggasastra melihat sesosok tubuh melompat keluar dari
jendela samping rumah! Sosok tubuh ini tak lain dari manusia kate yang telah
mendatanginya tadi. Dan pada bahu manusia itu kelihatan sosok tubuh seorang
perempuan. Meskipun halaman samping gelap tapi Ranggasastra tahu betul,
perempuan yang dipanggul itu adalah calon isterinya. Asih Permani!
“Bangsat
rendah! Pencuri busak! Lepaskan perempuan itu!,” bentak Ranggasastra.
Si kate kepala sulah tertawa dingin. “Sekali aku bilang
bahwa gadis ini jadi milikku, tak satu manusia lainpun yang bisa
menghalanginya!”.
“Kalau begitu terpaksa kukermus kepalamu!”. Maka tongkat
besi di tangan Ranggasastra menderu ke kepala si kate. Gesit sekali yang
diserang melompat ke samping. Ranggasastra susul dengan satu tusukan ke dada
kiri. Namun dengan kecepatan yang luar biasa orang kate itu gerakkan kaki
kanannya!
Tendangan yang keras menghajar tangan kanan si pemuda. Besi
panjangnya lepas. Tangannya hancur dan jeritan kesakitan keluar dari mulut
Ranggasastra. Pemuda ini terhuyung sebentar lalu mental sampai beberapa tombak
ketika tendangan lawan terus menyerempet perutnya! Perut si pemuda robek besar.
Tubuhnya menggeletak tanpa nyawa. Si kate tertawa buruk.
“Maling hina dina!! Nyawamu di ujung golokku!” teriak
seseorang yang melompat dari dalam rumah lewat jendela.
Si kate berkepala botak cepat putar badan pada saat sebuah
golok berkiblat memapasi batok kepalanya!
“He... he... Kau juga inginkan mampus Ki Lurah!” ujar si
kate. Manusia yang menyerangnya itu adalah Tanuwira, ayah Asih Permani.
“Kau yang akan mampus lebih dahulu manusia laknat!”. Golok
Tanuwira berkelebat lagi. Tapi si kate sungguh luar biasa. Serangan
itu dihadapinya dengan tertawa tawar. Sekali dia gerakkan kaki kanannya maka
hancurlah dada Ki Lurah Tanuwira.
Si
kate tertawa mengekeh.
“Calon mantu dan calon mertua sama-sama bernasib sial!
Kasihan…”. Dihirupnya udara segar menjelang pagi itu sejurus lenyaplah dia dari
tempat itu.
* * *
KETIKA dia sampai kepertapaannya di puncak Gunung Lawu maka
terkejutlah manusia kate berkepala botak itu sewaktu melihat ada seorang
bertangan buntung yang tak dikenalnya berdiri dekat pintu. Orang yang bertangan
buntung agaknya juga terkejut melihat kedatangan si kepala botak yang membawa
seorang gadis cantik di pundak kirinya. Tapi dia cepat-cepat menjura.
“Pastilah
saat ini aku berhadapan dengan tokoh silat terkemuka yang bernama Tapak
Gajah…”
Laki-laki kate yang memang bernama Tapak Gajah turunkan
tubuh Asih Permani dari pundaknya. Matanya meneliti tajam orang di hadapannya
lalu bertanya: “Kau sendiri siapa? Apakah datang kesini membawa maksud baik
atau buruk?”. Sambil bertanya demikian Tapak Gajah memperhatikan telinga kanan
tamunya yang juga buntung tiada berdaun.
“Namaku Kalingundil. Aku datang dengan maksud baik, tapi
membawa berita buruk”.
“Aku tidak kenal padamu sebelumnya. Berita buruk apakah yang
kau bawa...?” tanya Tapak Gajah.
Maka Kalingundil segera mulai pasang jarum penghasutnya.
“Pembunuhan atas diri seorang murid adalah satu hal yang pahit bagi gurunya!
Begitu pahit sehingga menanamkan dendam kesumat…”.
“Jangan
bicara berbelit!,” potong Tapak Gajah. “Katakan langsung berita buruk itu!”
“Muridmu
dibunuh orang, Tapak Gajah…”
Berubahlah paras si tubuh kate kepala sulah. Sedang
Kalingundil saat itu melirik memperhatikan Asih Permani yang berdiri tak
bergerak, “Pastilah tubuhnya ditotok'', pikir Kalingundil dan dalam hatinya dia
bertanya-tanya: “Siapa gerangan gadis cantik ini…”.
Sesak nafas
Kalingundil melihat kejelitaan Asih Permani.
“Aku mempunyai beberapa orang murid yang telah turun ke
dalam rimba persilatan. Murid yang mana yang kau maksudkan?!” tanya Tapak
Gajah.
Kalingundil
memalingkan mukanya kepada laki-laki itu kembali. “Mahesa Birawa...”
“Aku
tak punya murid bernama Mahesa Birawa!” berkata Tapak Gajah.
Kalingundil kaget. Dia berpikir-pikir seketika. Kemudian dia
ingat. “Maksudku muridmu Suranyali…”
Sekali
lagi berubah paras Tapak Gajah. Di hatinya timbul kesyakwasangkaan.
“Apakah kau
bicara, ngelantur atau bagaimana...?”.
“Demi
setan dan iblis aku tidak bicara dusta, Tapak Gajah!”.
“Suranyali bukan manusia
sembarangan. Ilmu kesaktiannya tinggi!” “Tapi manusia yang membunuhnya lebih
sakti lagi!”.
“Siapa
?!”
“Pendekar
212....”.
Tapak Gajah merenung. Kedua tangannya terkepal. “Kau dusta
Pendekar 212 Sinto Gendeng sudah sejak puluhan tahun lenyapkan diri dari dunia
persilatan!”. “Tapi....”
“Tutup
mulut! Terima hukuman dariku bangsat bermulut bohong!”.
Tapak
Gadjah hantamkan kaki tangannya ke muka.
“Wutt
!”
Angin sedahsyat badai yang ke luar dari tendangan itu lebih
dahulu menyerang ke arah Kalingudil sebelum tendangannya sendiri sampai !
Kalingundil tak mau ambil risiko. Dia berteriak nyaring dan
lompat delapan tombak ke udara.
“Byur!”
Kaligundil palingkan kepala ke belakang. Tersekat rasanya
tenggorokannya sewaktu melihat bagaimana angin tendangan Tapak
Gadjah menghancurkan batu besar di belakangnya!
Sewaktu manusia kate itu hendak lancarkan serangan kedua
Kalingundi cepat berseru: “Tahan! Kita berada di pihak yang sama!” Tapak Gadjah
tarik serangannya.
“Apa
maksudmu kita di pihak yang sama huh?”
“Aku
adalah bekas anak buah Suranyali sewaktu kami masih sama-sama di
Jatiwalu!”
“Jangan
coba kelabui aku!,” membentak Tapak Gadjah.
“Perlu dan
untung apa aku mengelabuimu!” baias membentak Kalingundil dengan beringas.
“Berikan
bukti bahwa muridku yang satu itu benar-benar dibunuh orang!”
Kalingundil tertawa dingin. “Tidak mau percaya pada orang
sepihak akan merugikan diri sendiri Tapak Luwing…” Lalu Kalingundil memberikan
keterangan selengkapnya.
Kini mulai kelihatan bayangan rasa percaya di paras Tapak
Gadjah. Namun apa yang meragukannya ialah keterangan Kalingundil mengenai
Pendekar 212 Wiro Sableng. Satusatunya kesimpulan bagi Tapak Gadjah ialah bahwa
pemuda bernama Wiro Sableng itu adalah murid Sinto Gendeng.
“Golongan hitam memang sejak dulu menaruh dendam pada itu
nenek-nenek sialan…,” ujar Tapak Gadjah pula. “Tapi sebelum kami bersepakat
untuk menghabiskan jiwanya, dia sudah lenyapkan diri! Kini muridnya muncul dan
membunuh muridku! Benarbenar laknat!”
“Aku sendiri telah tantang dia di Rawasumpang demi untuk
menuntut balas kematian Suranyali atau Mahesa Birawa. Tapi… itu pemuda keparat
memang luar biasa tinggi ilmunya. Kalau aku kalah dalam pertempuran di
Rawasumpang itu bukan suatu apa tapi ada satu hal yang benar-benar menyakiti
hatiku Tapak Gadjah…”
Kalingundil menunjukkan paras yang mengandung dendam.
Sepasang matanya memandang lurus-lurus jauh ke muka. .
“Katakan
apa yang menyakiti hatimu itu!,” kepingin tahu Tapak Gadjah.
“Sebelum mengundurkan diri dari Rawasumpang aku bilang pada
itu pemuda keparat bahwa kelak pembalasan dari guru Sunranyali akan tiba!
Pemuda itu ketawa bekakakan dan berkata bahwa sekalipun ada seribu guru
Suranyali, akan diterabasnya sama rata dengan tanah!”
Rahang-rahang
Tapak Gadjah mengembung. “Begitu keparat itu bilang…?” Kalingundil manggut.
“Meski dia murid si Sinto Gendeng, tapi jangan merasa sudah
setinggi langit kepandaiannya! Katakan di mana bangsat itu berada! Aku Tapak
Gadjah akan pecahkan kepalanya!”
“Kau tak
perlu susah-susah mencarinya Tapak Gadjah,” menjawab Kaligundil. “Bukankah tadi
aku sudah katakan bahwa dia sudah umbar mulut menentangmu? Katanya dia tunggu
kau pada hari tigabelas bulan duabelas di puncak Gunung Tangkuban Perahu!”
“Anjing kurap betul itu manusia!”. Tapak Gadjah meludah ke tanah.
Dan Kalingundil berkata lagi: “Beberapa tokoh silat utama
yang ditantang pendekar
212 itu juga
telah kuberi tahu! Mereka sudah memastikan untuk datang ke Tangkuban
Perahu guna
mengkeremus si pemud !”
“Seribu tokoh utama boleh datang ke sana. Namun kematian
anjing kurap itu aku yang tentukan!” Kaligundil manggut-manggut. Hatinya
gembira. Memang itulah yang diharapkannya. Sudah terbayang bagaimana akan
berhasilnya dia purrya rencana nanti. Seorang diri dia memang tak sanggup untuk
menghadapi Wiro Sableng. Tapi kalau Tapak Gadjah, Begawan Sitaraga,
Wirasokananta. dan Tapak Luwing yang berkumpul jadi satu untuk
membuat perhitungan, tiga Pendekar 212-pun tak bakal sanggup!
“Aku gembira mendengar keputusanmu itu. Tapak Gadjah. Akupun
pasti pula akan datang ke puncak Tangkuban Perahu…”
Tapak Gadjah tertawa dingin. “Kalau kau punya nyali tapi
punya sedikit ilmu untuk diandalkan sebaiknya tak usah datang ke sana!” Merah
padam paras Kalingundil.
“Sekarang aku tak ada urusan lagi dengan kau! Silakan angkat
kaki dari sini!” bentak Tapak Gadjah.
Kelingundil melirik pada Asih Permani. Kemudian katanya pada
Tapak Gadjah: “Jangan terlalu memandang rendah terhadap sesama kawan Tapak Gadjah.
Aku memang tidak dikenal dalam dunia persilatan tapi untuk menghancurkan batu
besar sepertimu tadi, aku masih sanggup!”. Kalingundil gerakkan tangan kanannya
ke pingaang. Kemudian selarik sinar biru melesat ke arah batu besar yang
terletak sekira sembilan tombak dari hadapannya.
“Byur!”
Batu itu hancur berkeping-keping dan bayangan Kalingundil
sendiri sesudah itu lenyap dari pemandangan!
Terkejutlah Tapak Gadjah! Tiada disangkanya kalau manusia
bertangan buntung bertelinga sumpung itu memiliki kehebatan demikian rupa! Tapi
manusia kate ini tidak berpikir lebih lama. Begitu matanya membentur paras dan
tubuh Asih Permani maka lupalah dia pada Kalingundil. Segera diboyongnya gadis
itu ke dalam pertapaan. Apa yang kemudian dilakukannya terhadap gadis suci itu
tak seorang manusiapun yang tahu. Namun pada hari itu satu kesucian telah
lenyap dirampas oleh kebejatan!
-- == 0O0 == --
SEPULUH
PUNCAK
gunung tangkuban perahu. Hari tigabelas bulan duabelas…
Angin dari utara bertiup kencang, mengalahkan tiupan angin
barat yang menghembus sepoi-sepoi basah. Puncak Gunung Tangkuban Perahu
diselimuti kesunyian abadi. Tapi hari itu agaknya kesunyian abadi itu akan
sirna oleh kedatangan manusia-manusia pembuat perhitungan. Akan pupus di landa
dendam kesumat orang sakti! Kawah gunung yang lebar mengepulkan tiada henti
asap tipis berbau belerang.
Beberapa puluh kaki dari tepi kawah berderet pohpn-pohon
cemara berdaun lebat subur, menjulang tinggi dan lurus! Saat itu matahari pagi
sudah naik tepat antara titik tertinggi dan titik permulaan terbitnya.
Angin utara bertiup lagi dengan kencang, Daun-daun pohon
cemara melambai-lambai. Dan diantara kerisikan-kerisikan geseran daun
pohon-pohon cemara itu maka terdengarlah suara siulan yang mengumandangi
seluruh puncak Gunung Tangkubanperahu. Suara siulan itu juga seperti mau
menggelegaki kawah belerang dan menampar-nampar kabut belerang yang meliuk-liuk
kepermukaan kawah. Suara siulan itu tidak teratur, tidak membawakan sebuah lagu
atau tembang, nadanya tak menentu. Namun ketidakteraturan dan ketidakmenentuan
itu anehnya bila didengar dengan seksama akan merupakan suatu lagu aneh bernada
ajaib! Suara siulan itu membuat pendengarnya akan terkatung-katung ke dalam
satu dunia khayal. Tapi di pagi yang menjelang siang itu di puncak Gunung
Tangkuban Perahu itu tak satu orang pun yang ada selain manusia yang mengeluarkan
suara siulan tadi. Dan siapakah manusia ini adanya?
Suara siulan itu datang dari pohon cemara yang paling tinggi
tanda bahwa manusianyapun berada di sana. Dan manusia ini tiada lain dari pada
Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mengapa dia sampai berada
di puncak gunung itu adalah sehubungan dengan tantangan musuh lamanya
Kalingundil. Namun pendekar muda itu sampai saat itu tak pernah menyangka bahwa
yang bakal ditemuinya di puncak gunung itu kelak bukan hanya Kalingundil
seorang tapi juga beberapa tokoh dunia persilatan yang terkenal serta sakti!
Wiro terus juga bersiul-siul sambil sekali-sekali layangkan
pandangannya ke seantero puncak gunung. Sepi dan suasana tenang-tenang saja.
Dilayangkannya pandangan ke kaki dan lereng gunung. Juga segala sesuatunya
masih diselimuti kesunyian dan ketenangan. Dua kali sepeminuman teh lewat.
Telinga pendekar 212 yang tajam dan terlatih baik itu sayup-sayup mendengar
suara sesuatu. Segera pemuda ini hentikan siulannya. Kepalanya diputar ke arah timur
puncak gunung dari mana datangnya suara itu. Masih belum kelihatan apa-apa tapi
suara yang didengarnya tambah nyaring. Beberapa ketika kemudian dari balik
gundukan tanah keras tepi kawah sebelah timur kelihatan muncul kepala
seseorang, menyusul dada dan badannya. Sosok tubuh manusia ini ternyata
bukanlah Kalingundil karena tangannya tidak buntung!
“Lain yang ditunggu, lain yang datang !” desis Wiro Sableng
dalam hati. Kedua matanya terus memandang tak berkesip pada manusia yang baru
datang ini. Orang ini dilihatnya memandang berkeliling agaknya mencari-cari
sesuatu, mungkin mencari seseorang. Umurnya sudah lanjut. Menurut taksiran Wiro
paling rendah lima puluh tahun. Meskipun tua tapi tubuhnya kekar. Pada
pinggangnya kelihatan tersisip sebilah keris emas. Dari gerak geriknya yang
enteng dan tenang Wiro tahu bahwa orang tua ini pastilah seorang yang menguasai
ilmu silat dari tingkat tinggi.
“Mungkin sekali dia diam di sekitar puncak gunung Tangkuban
Perahu atau mungkin pula kedatangannya ke situ hanya satu kebetulan saja dengan
hari di mana aku akan membuat perhitungan dengan Kalingundil…,” demikianlah
Pendekar 212 berpikir-pikir di dalam hatinya. Sementara itu si orang tua tak
dikenal dilihatnya berdiri di tepi kawah memandang ke bawah lalu memutar tubuh
dan menjelajahi seluruh permukaan gunung dengan sepasang matanya yang kecil
tetapi tajam. Kemudian orang tua ini pada akhirnya melangkah ke arah deretan
pohon-pohon cemara dan di sini duduk melepaskan lelah. Wiro maklum kini bahwa
orang tua ini datang ke situ adalah mencari seseorang dan ketika orang itu tak
ditemuinya dia memutuskan untuk menunggu. Karena merasa tak punya urusan dengan
si orang tua. Wiro tetap saja berada di tempatnya, di atas pohon cemara tinggi.
Matahari bergerak juga menuju ke puncak tertingginya. Wiro
masih terus memperhatikan si orang tua. Mendadak diputarnya kepalanya ke arah
selatan. Sesosok tubuh kelihatan berkelebat. Kedatangan manusia ini boleh
dikatakan tidak terdengar atau tak tertangkap oleh telinga Wiro Sableng.
Nyatanya kehebatan ilmu lari dan ilmu mengentengkan tubuhnya. Apa yang menarik
pendekar 212 ialah bahwa manusia ini bukanlah Kalingundil yang tengah ditunggunya!
Orang ini berbadan kate. Kepalanya sulah licin dan
berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Kedua telapak kakinya bukan saja lebar
tapi juga tebal seperti kaki gajah. Tiba-tiba pendekar 212 ingat akan
keterangan gurunya Eyang Sinto Gendeng. Menurut gurunya itu di puncak Gunung
Lawu berdiam seorang tokoh silat utama bernama Tapak Gadjah. Kehebatan Tapak
Gadjah ialah telapak pada sepasang kakinya yang berbentuk kaki gajah. Jangankan
manusia, batupun kalau ditendang akan hancur lebur. Dan memang pada saat itu
Wiro menyaksikan sendiri bagaimana tanah gunung yang diinjak kedua kaki
laki-laki itu meninggalkan bekas amblas sampai setengah dim!
“Mungkin
sekali manusia ini adalah Tapak Gadjah,” membatin Wiro Sableng. “Tapi kenapa
pula dia jauh-jauh bisa muncul di sini...?”
Selagi dia membatin begitu rupa Wiro Sableng terkejut pula
melihat bagaimana siorang tua?
yang duduk di bawah pohon cemara
tiba-tiba berdiri tegak menyambuti kedatangan simanusia kate! kedua orang itu
saling pandang seketika. Sekali melompat maka si kate sudah berada dua tombak
di hadapan si orang tua berkeris emas! Kembali keduanya saling pandang dan
meneliti. Kemudian terdengar suara si kate membentak.
“Jadi kau sudah datang duluan pendekar gila Wiro sableng?!
Rupanya memang kau betulbetul ingin mati lekas-lekas!” Kemarahan yang meluap
membuat Tapak Gadjah lupa akan keterangan Kalingundil bahwa Wiro Sableng adalah
seorang muda! Bukan saja siorang tua nampak terkejut dan heran, tapi Pendekar
212 di atas puncak pohon cemara jedi kernyitkan kulit kening waktu mendengar
bentakan si manusia kate itu !
Sebelum si orang tua sempat bicara maka si kate sudah bertanya dengan membentak:
“Mampus cara mana yang kau kehendaki Pendekar 212! Aku Tapak Gadjah segera
melaksanakannya!”
“Kalau betul aku berhadapan dengan Tapak Gadjah, tokoh silat
terkenal dari Gunung Lawu saat ini…,” menyahuti si orang tua, “maka dugaanmu
meleset sekali!”
Tapak Gadjah pelototkan mata. “Meleset bagaimana maksudmu?”
Dan Tapak Gadjah ingat akan
keterangan Kalingundil. Lalu diajukan pertanyaan: “Apakah kau bukannya Wiro
Sableng si manusia geblek bergelar Pendekar 212 itu...?!”
Si orang tua gelengkan kepata. “Aku adadalah Wirasokananta,
Ketua Perguruan Teratai Putih di bukit Siharuharu…”
“Ah... tak disangka datang dari jauh kiranya akan berjumpa
dengan tokoh silat ternama,” Tapak Gadjah pula ramah. Mengingat Wiasokananta
adalah tokoh silat dari golongan
putih dating dia sendiri dari golongan hitam maka bertanyalah Tapak Gadjah:
“Gerangan apakah yang membuat
Ketua Perguruan
Teratai Putih sampai datang ke sini...”
“Panjang ceritanya Tapak Gadjah,” menyahuti si orang tua
berkeris emas. “Ringkasrrya adalah untuk
mencari den memenuhi undangan seorang manusia bejat bernama Wiro Sableng
bergelar Pendekar 212!”
“'Ah... ah... ah...! Kalau begitu kita sama-sama datang
untuk maksud yang serupa. Dan pastilah mempunyai tujuan terakhir yang
serupa-pula yaitu menamatkan riwayat manusia terkutuk itu.
Bukankah
demikin?”
Meskipun
heran bagaimana Tapak Gadjah bias tahu hal itu namun Wirasokananta mengangguk
juga.
“Maksud sama, tujuan terakhir sama tapi latar belakang tentu
lain. Kalau aku boleh tanya, apakah sebabnya Ketua Perguruan Teratai Putih
sampai turun tangan dan bukan menyuruh anak-anak murid Perguruan...?”
“Semua murid-muridku musnah di tangan manusia laknat itu!
Dua diantaranya diperkosa!” jawab Wirasokananta. Suaranya bergetar. Kemudian
dituturkannyalah apa yang telah menimpa Perguruan dan murid-muridnya.
Di atas pohon cemara Pendekar 212 Wiro Sableng pentang
telinga buka mata tak berkesip. Penuturan Wirasokananta tentu saja sangat
mengejutkannya.
Semenjak turun gunung bukan saja dia tidak pernah mendengar
nama Perguruan
Teratai Putih, bahkan bertemu muka
dengan Wirasokanantapun baru hari ini. Dan hari ini pula Ketua Perguruan itu
menuturkan bahwa dia -- Wiro Sableng -- telah melakukan pembunuhan
besar-besaran atas diri murid-murid Perguruan Teratai Putih! Ini adalah satu
hal yang sama sekali tidak benar! Kalau ini bukan satu kekeliruan tentu ini
adalah fitnah. Dan bila ini juga bukan fitnah, apakah yang telah menyebabkan
Wirasokananta merasa yakin bahwa Pendekar 212 lah yang telah memusnahkan
Perguruannya ?
“Nasibmu dan nasibku rupanya tidak banyak beda Ketua Teratai
Putih,” terdengar suara Tapak Gadjah. “Muridku Suranyali juga kunyuk sedeng itu
yang membunuh!”
Kini tahulah Wiro Sableng. Tapak Gadjah rupanya adalah guru
Suranyali alias Mahesa Birawa ! “Tapi muridmu cuma seorang yang mati di
tangannya sedang aku keseluruhannya,” menjahuti Wirasokananta.
“Yang penting bukan soal jumlah. Ketua Teratai Putih. Yang
penting ialah bahwa kunyuk sedeng itu seorang manusia bejat yang musti kita
lenyapkan dari muka bumi ini!” Wirasokananta mengangguk.
Tapak Gadjah hendak buka mulutnya kembali. Tapi batal karena
saat itu sudut matanya melihat sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah
berada di hadapan mereka.
“Siapa
lagi yang datang ini…?” membatin Wiro Sableng.
Sedang sesat kemudian didengarnya suara Tapak Gadjah berkata
sambil menjura: “Sungguh pertemuan yang tak terduga. Tokoh silat dari Gunung
Halimun kenapa bisa muncul di sini…?”
Orang yang
baru datang tertawa lebar. Dia berpakaian kain putih. Rambutnya panjang diriap
seperti perempuan, janggutnya menjela sampai ke perut. Rambut dan janggut itu
berwarna putih dan melambai-lambai tertiup angin.
“Kau sendiri mengapa bisa nongkrong di sini…?” balik menanya
si janggut putih, dia melirik pada Wirasokananta.
Tapak Gadjah mula-mula perkenalkan si janggut putih pada
Wirasokananta. Ternyata si janggut putih itu adalah Begawan Sitaraga, seorang
sakti dari Gunung Halimun.
Setelah mendengar penuturan Tapak Gadjah yang juga sekalian
menuturkan tentang Wirasokananta maka Sitaraga tarik nafas dalam dan berkata
“Betul-betul tak bisa diduga kalau kedatangan kita ke sini tiga-tiganya adalah
membawa maksud yang sama! Aku kenal baik dengan Mahesa Birawa. Aku telah
berjanji untuk membantu perjuangannya menghancurkan Pajajaran karena memang aku
tejak lama punya permusuhan dengan itu Kerajaan! Tapi nyatanya Mahesa
mendahului aku! Ini kuketahui dari seorarg anak buahnya yang datang ke
tempatku! Rupanya sebelum pecah perang Mahesa ada mengirim kurir. Kurir itu
tertangkap peronda Pajajaran!”
Kesunyian menyeling seketika. Di atas pohon camera Wiro
Sableng masih tak bergerak di tempatnya. Dengan munculnya ketiga orang itu dan
dengan penuturan masingmasing mereka Wiro kini bisa menjajaki bahwa ada sesuatu
yang tak bares. Dan ketidak beresan ini ditimpakan kepadanya. Siapa yang
menjadi dalang ketidakberesan ini tak susah untuk diterka yaitu Kalingundil !
Tapi Kalingundil sendiri ke mana mana? Yakin bahwa bukan hanya tiga orang itu
saja yang bakal muncul maka Wiro memutuskan untuk menunggu. Dugaannya rnemang
betul. Lewat sepeminum teh maka dari jurusan barat kelihatanlah dua soaok tubuh
berlari cepat laksana angina! Yang satu bertangan buntung dan segera dikenali
oleh Wiro Sableng sebagai Kalingundil adanya. Yang seorang lagi pendekar 212
lupa-lupa ingat. Tapi metihat angka 212 pada keningnya Wiro baru ingat bahwa
manusia ini adalah Tapak Luwing, kepala komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel
yang tempo hari bertempur melawannya tapi kemudian dilarikan oleh Kalingundil!
Begitu sampai dihadapan Tapak Gadjah, Wirasokananta dan
Begawan Sitaraga keduanya segera menjura. Kalingundil memandang berkeliling.
“Harap maafkan kalau kami datang agak terlambat”. Dia memandang lagi
berkeliling. Orang-orang yang diundangnya sudah lengkap. “Pendekar gila itu
masih belum muncul!”
Tapak Luwing berdehem. “Aku mempunyai firasat bahwa itu manusia tak bernyali untuk datang
antarkan nyawa kemari!”
“Kalau
dia berani menantang, dia berani datang,” menyahuti Kalingundil.
“Kita
tunggu saja,” buka suara Begawan
Sitaraga.
“Dan kalaupun nanti ternyata silaknat itu tidak muncul, ke
pintu nerakapun aku akan cari dia!” berkata Ketua Perguruan Teratai Putih.
Gembira sekali Kalingundil mendengar katakata Wirasokananta
itu. Nyatalah bagaimana dendam kesumat si orang tua terhadap Wiro Sableng.
Sementara itu dari atas pohon cemara pendekar 212 Wiro
Sableng memperhatikan ke bawah dengan seksama. Kini tak ada keragu-raguan lagi
bahwa segala sesuatunya sampai tiga tokoh silat utama itu berada di sana adalah
Kalingundil yang punya rencana. Lima
orang yang akan dihadapinya. Kalingundil dan Tapak Luwing sudah bisa
dijajakinya ketinggian ilmu kedua orang itu, tapi bagaimana dengan tiga orang
lainnya? Sanggupkah dia menghadapi mereka berlima sekaligus? Pendekar 212
diam-diam tarik nafas dalam. Dia memandang ke langit. Matahari sudah sampai ke
puncak tertingginya. Apakah dia segera unjukkan diri atau menunggu sampai saat
yang dirasakannya tepat?
Di saat itu di bawah didengamya suara Tapak Gadjah berkata:
“Aku masih belum yakin kalau kunyuk ingusan itu benar-benar murid Sinto
Gendeng. Itu nenek-nenek keriput sudah sejak lama minggat dari dunia
persilatan...!”
Panaslah hati Wiro Sableng mendenger gurunya, disebut
demikian rupa. Tiada terasakan lagi, didorong oleh naluri yang telah membuat
dia menjadi bisa maka keluarlah suara siulan dari sela bibirnya.
Lima
manusia di bawah pohon terkejut dan.menengadah ke atas.
“Kurang ajar, rupanya kunyuk sedeng itu sudah lama mendekam
di atas!,” maki Kalingundil.
“Pendekar
gila turunlah untuk terima mampus!” teriak Wirasokananta.
Pendekar 212 tertawa bergelak. “Ketua Perguruan Teratai
Putih, aku kasihan pada kau! Tidak tahu bahwa kau telah kena dikelabui oleh
manusia tangan buntung itu!”
Kalingundil cepat membentak. “Agaknya kau memilih kematian
di atas pohon itu. Wiro Sableng?! Memang pohon itu cukup tinggi untuk
mempercepat roh busukmu terbang ke neraka!”
Wiro
tertawa lagi seperti tadi.
“Biar aku paksakan dia turun !” buka mulut Tapak Luwing.
Tangan kanannya bergerak. Maka tiga pisau terbang beracun melesat ke puncak
pohon cemara di mana pendekar 212 herada !
*
* *
TAPAK Luwing! Kalau merasa sudah berilmu tinggi, biar
kukembalikan pisaumu!” teriak Wiro dari atas pohon.
Sesaat sesudah dia berkata begitu maka menderulah angin
deras. Tiga pisau terbang kembali ke bawah menyerang pemiliknya sendiri!
Dua buah masih sanggup dielakkan oleh Tapak Luwing tapi yang
ketiga sangat cepat sekali meleset ke arah batok kepalanya.
“Awas!” seru Begawan Sitaraga. Sekali dia lambaikan tangan
maka mentallah pisau itu dan Tapak Luwing yang diam-diam keluarkan. keringat
dingin terlepaslah dari bahaya kematian!
Wiro Sableng kini tertawa membahak. “Kau terlalu bodoh
untuk ikut-ikutan datang ke mari Tapak Luwing ! Seharusnya saat ini kau cuci
kaki dan pergi tidur!”
Saat itu Wirasokananta tak dapat lagi menahan kesabarannya.
Dengan tangan kanan dipukulnya batang pohon cemara.
“Kraaak!”
Pohon
itu tumbang.
Wiro melompat ke samping dan melayang ke bawah dengan
gerakan enteng. Sambil melayang itu dia berkata: “Musuh penantang cuma satu,
mengapa sekarang bisa jadi lima? Apakah kau bisa beranak, Kalingundil?” Lalu
pada tiga tokoh silat utama itu Wiro berseru: “Kalian sudah tua bangka masih
saja mau derigan urusan dunia dan nafsu membunuh! Apa tidak malu kena dihasut
oleh kunyuk tangan buntung itu?”
“Jangan banyak bacot manusia gelo! Ajalmu hanya tinggal
sekejapan mata saja!” bentak Tapak Gadjah. Dia maju ke muka dan kirimkan
tendangan kaki kanan di saat Pendekar 212 masih juga belum menjejakkan kaki di
tanah!
Angin tendangan kerasnya bukan main. Debu beterbangan. Untuk
menjajaki sampai kemana kehebatan tenaga dalam lawan Wiro sengaja tidak
mengelak tapi memapasi serangan tersebut dengan lancarkan pukulan “kunyuk
melernpar buah”. Ketika dua angin pukulan itu beradu terkejutlah Tapak Gadjah!
Kedua kakinya melesak sampai tiga senti ke tanah sedang angin tendangannya yang
sanggup menghancurkan batu itu buyar! Ternyata tenaga dalam Pendekar 212 tidak
berada di bawahnya!
Dengan
membuat dua kali jungkir balik di udara, pada jungkiran yang ketiga Wiro sudah
berdiri di atas kedua kakinya. Lima manusia dihadapannya segera mengurung.
“Kalian kunyuk-kunyuk tua bangka apa tidak malu main keroyok
begini rupa?!” Pendekar 212 masih sanggup bertanya sambil sunggingkan senyum
mengejek.
“Seekor anjing kurap macam kau sudah terlalu pantas untuk
dijagal bersama-sama!” menyahuti Wirasokananta.
“Ah, kau orang tua... Rupanya masih belum tahu kalau
dikelabui orang lain! Demi kebenaran aku sama sekali tak pernah mendatangi
Perguruanmu. Apa yang terjadi di Perguruanmu aku tidak tahu menahu. Itu semua
adalah fitnah. Seseorang lain yang bertanggung jawab. Kurasa manusianya adalah
si tangan buntung ini!,” Wiro menuding ke arah Kalingundil.
“Ha... ha! Bukan saatnya untuk cuci tangan pendekar gila!”
seru kalingundil seraya main-mainkan pedang buntung di tangan kirinya. “Tak
perlu kambing hitamkan orang lain!
Tak perlu lempar
batu sembunyi tangan....!”
“Aku memsng tak mengambinghitamkan kau orang buntung. Tapi
eoba berkaca di cermin Begawan Sitaraga, kau akan melihat bagaimana tampangmu
memang persis seperti kambing!”.
Merah
padam muka Kalingundil.
Wiro
tertawa mengekeh.
Begawan Sitaraga yang merasa dihina segera maju ke muka.
“Sobat-sobat, tak perlu bicara panjang lebar dengan orang sedeng ini! Mari kita
kermus dia!”. Habis berkata begitu Sitaraga gerakkan tangannya. Sinar putih
yang panas dan menyilaukan menyambar ke arah muka Wiro Sableng. Begitu matanya
tersambar sinar tersebut gelaplah pemandangan pendekar 212.
“Celaka!” kata Wiro dalam hati. Tenaga dalamnya dialirkan ke
kepala dan dia melompat cepat ke salah satu pohon cemara untuk berlindung dari
serangan lawan.
Tapak Gajah juga tidak berdiam diri. Tendangannya
menggebubu. Pohon cemara patah dah disaat itu Wiro sudah berpindah ke tempat
lain. Dengan mata masih terpejam dia putar kedua tangannya di udara. Maka
menderulah angin pukulan “benteng topan melanda samudera”. Meski pukulan ini
hanya mempergunakan sebagian tenaga dalam karena yang sebagian masih tetap
dialirkan ke muka tapi kehebatannya cukup membuat lima penyerang hindarkan diri
ke samping. Ketika matanya dibuka kembali maka pemandangannya sudah terang
seperti semula.
Begawan Sitaraga terkejut ketika melihat kedua mata lawannya
tidak menjadi buta oleh kilapan sinar cerminnya. Di lain pihak Wiro menganggap
bahwa senjata yang paling berbahaya di antara penyerang-penyerangnya ialah
cermin di tangan Sitaraga itu. Maka dia memutuskan untuk menghancurkan senjata
itu terlebih dahulu.
Namun dikurung lima begitu rupa tidak mudah bagi Wiro
Sableng untuk melaksanakan niatnya. Serangan lima tawan bertubi-tubi. Setiap
dia coba untuk menghancurkan senjata di tangan Sitaraga maka pedang Kalingundil
atau golok Tapak Luwing atau keris emas ataupun tendangan Tapak Gajah datang
pula menyerangnya, kadangkala berbarengan sekaligus! Dengan bergerak gesit,
dengan lancarkan seranganserangan balasan, dengan hanya bertangan kosong itu,
pendekar 212 cuma sanggup bertahan sampai duabelas jurus. Jurus-jurus
selanjutnya dia didesak hebat Golok besar empat peregi berkali-kali membabat ke
arah dada dan perutnya. Sinar biru Pedang Siluman di tangan Kalingundil tiada
henti berkiblat ke sekujur tubuhnya sedang keris emas Wirosokananta laksana
hujan mengirimkan tusukan-tusukan mematikan. Dan di antara itu
tendangantendangan Tapak Gajah tiada terkirakan ditambah yang paling berbahaya
cermin di tangan Sitaraga berkata-kali menyambar kemukanya, masih untung
sanggup dialakkannya!
Jurus kelima belas murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak ke
tepi kawah. Sinar cermin menyambar kemukanya. Di saat itu pula tendangan Tapak
Gajah menyeruak ke arah selangkangan. Dari atas menderu Pedang Siluman Biru,
keris emas menikam ke dada dan golok besar Tapak Luwing menggebubu ke perut!
“Tamatlah
riwayatmu pemuda gila!” teriak Kalingundil.
“Jangan
lupa sampaikan salamku pada setan-setan neraka!” menimpali Wirasokananta.
“Bret”!
Ujung
Pedang Siluman Biru menyambar lewat dada, merobek pakaian pendekar 212!
“Sialan!”
maki Wiro Sableng.
“Memakilah sekenyangmu setan alas! Setan-setan neraka memang
paling suka pada manusia-manusia tukang maki macammu!” teriak Kalingundil.
Wiro Sableng kertakkan geraham. Kedua pipinya menggembung.
Sedetik kemudian meledaklah bentakan yang keras, demikian kerasnya sehingga
menggema sampai ke dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu! Tubuh pendekar 212
lenyap! Serentak dengan itu terdengarlah suara siulan yang melengking-lengking.
Dan di antara lengkingan siulan itu menderu suara laksana ratusan tawon,
mendengung menyamaki liang telinga! Sinar putih bergulung-gulung! Lima
penyerang tersurut mundur.
“Kapak Naga
Geni!” seru Begawan Sitaraga ketiga melihat senjata di tangan Wiro Sableng.
Belum lagi habis gaung seruannya itu sudah menyusul suara jeritan setinggi
langit.
Satu tubuh angsrok terpelanting di
tanah mandi darah, kepala terbelah dua! Korban Maut Naga Geni 212 yang pertama
itu ialah Tapak Luwing!
“Kurung biar rapat!” teriak Tapak Gajah. Dia melompat
tinggi. Kedua kakinya menendang susul menyusul. Dua senjata lainnya menderu
pula ke arah Wiro Sableng.
“Ketua Perguruan Teratai Putih!” berseru pendekar 212.
“Antara kau dan aku tak ada permusuhan. Sebaiknya undurkan diri saja!”
“Jangan bicara melangit pemuda sedeng! Delapan arwah muridku
minta roh busukmu!”. Wirasokananta percepat tusukan kerisnya. Maka keris emas,
Pedang Siluman Biru dan Kapak Naga Geni 212 beradu dengan mengeluarkan suara
nyaring.
Wirasokananta berseru kaget. Tangannya tergetar hebat dan
pedas panas. Keris saktinya terlepas mental. Cepat-cepat Ketua Perguruan
Teratai Putih ini melompat mundur. Kalingundil sendiri tak kalah kagetnya.
Bagian yang tajam dari pedang buntungnya gompal sedang tangannya menjadi
seperti kaku. Kalau tidak sinar cermin Sitaraga menyambar ke arah lawan
pastilah Kapak Maut Naga Geni 212 membabat perutnya. Kalingundil keluarkan
keringat dingin!
Suara siulan Pendekar 212 kini sekali-sekali diselingi oleh
suara tawa mengekeh! Tubuhnya hampir tak kelihatan lagi. Kapak Naga Geni
mengaung mencari maut. Keempat lawan menjadi sibuk. Merasa mulai terdesak,
Tapak Gadjah segera keruk saku pakaiannya. Tanpa memberi peringatan lagi tokoh
silat ini segera lepaskan seratus senjata rahasia yang berupa jarum-jarum hitam
ke arah Wiro Sableng. Tapi angin putaran Kapak Naga Geni yang ampuh sekaligus
meluruhkan jarum-jarum beracun itu. Malahan Tapak Gajah dan kawankawan menjadi
sibuk karena harus mengelakkan jarum-jarum hitam yang terdorong berbalik
menyerang mereka sendiri!
“He.. he.. he..,” Pendekar 212 tertawa mengekeh.
“Wirasokananta, untuk penghabisan kali aku kasih peringatan padamu. Mundur atau
mampus dengan percuma!”.
Ketua Perguruan Teratai Putih menjadi bimbang. Dia membatin
“Adakah seorang musuh yang sehebat ini sampai memberi dua kali peringatan
kepadaku?”.
“Wirasokananta jangan bodoh!” teriak Kalingundil. “Manusia
yang telah membunuh delapan muridmu, ape hendak kau lepaskan begitu sa…
akh.....”
Kata-kata Kalingundil tak sampai pada ujungnya. Salah satu
dari mata kapak di tangan Wiro Sableng membabat putus lengan kirinya. Tangan
dan pedang buntung mental masuk kawah. Darah muncrat. Laki-laki ini terhuyung
ke belakang kesakitan. Akhirnya ketika dia kehabisan darah nafasnya megap-megap
dan dia jatuh menelentang di tanah tapi belum mati!
Tapak Gajah dan Begawan Sitaraga tertegun seketika. Namun
sesaat kemudian serentak pula keduanya menyerang sebat. Serangan ini disambut
dengan siutan dan tawa mengejek oleh Wiro Sabteng. “Kalian berdua adalah
tokoh-tokoh silat dari golongan hitam!
Manusia-manusia
macam kalian pantas menjadi umpan cacing di liang neraka!”.
Pendekar
212 putar kapaknya.
“Buyar!”
Cermin di tangan Sitaraga pecah berhamburan. Begawan itu
keluarkan seruan tertahan dan memandang senjatanya yang hancur dengan rasa tak
percaya.
“Begawan
awas!” teriak Tapak Gajah. Tapi terlambat!
Kapak
Maut Naga Geni 212 datangnya tiada sanggup lagi untuk dielakkan.
“Crras”!
Putuslah leher Begawan Sitaraga. Darah seperti air mancur
muncrat ke udara. Kepala yang buntung mengelinding seperti bola terus masuk ke
dalam kawah Gunung Tangkuban Perahu!
Melihat
kematian sobatnya ini, si kate kepala sulah Tapak Gajah menciut nyalinya!
Tanpa buang waktu
dia segera putar tubuh.
“Eit
orang kate, mau minggat ke mana?!” Wiro Sableng berseru. “Ayo berhenti!”.
Tapi mana Tapak Gajah mau berhenti. Malahan ini manusia
tancap gas dan lari lintang pukang. Wiro menyeringai. Tangan kanannya bergerak
menekan bagian dekat hulu kapak yang berbentuk kepala naga-nagaan. Maka
mengaunglah 212 batang jarum putih beracun ke arah Tapak Gajah. Tapak Gajah
coba melompat ke samping namun dia kurang cepat. Hampir keseluruhan jarum-jarum
putih itu menembus daging tubuhnya. Tapak Gajah meraung setinggi langit! Begitu
racun jarum merembas jantungnya maka tubuhnya kelojotan seketika lalu
menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi!
Wirasokananta
leletkan lidah melihat kehebatan pendekar; tapi diam-diam bulu tengkuknya
merinding karena ngeri! Sedang ketika dia berpaling pada pendekar itu,
dilihatnya Wiro Sableng berdiri sambil garuk-garuk rambutnya yang gondrong!
Wiro tarik nafas dalam lalu putar tubuh dan memandang pada Wirasokananta.
“Ketua Perguruan Teratai Putih,” katanya. “Kenyataan yang kita tidak saksikan
dengan mata kepala sendiri adalah terlalu sukar untuk dipercaya. Demikian juga
dengan peristiwa di perguruanmu.
Sama sekali tak ada sangkut pautnya
denganku! Aku yakin manusia inilah yang jadi biang racun!”.
Wiro mendekati Kalingundil yang tengah megap-megap. Dari
dalam sakunya dikeluarkannya sebuah pil. Dia senyum-senyum dan menimang-nimang
obat itu. “Kau masih inginkan hidup Kalingundil?” tanyanya.
Kalingundil
diam saja.
“Obat ini bisa menyembuhkan lukamu dan memunahkan racun
Kapak Naga Geni yang mengalir di darahmu. Aku akan berikan kepadamu jika kau
menerangkan dan mengaku bahwa kaulah yang telah membunuh delapan anak murid
Perguruan Teratai Putih...”.
Kalingundil
masih diam.
“Kau
tak mau hidup..... ?”.
Kalingundil memandang dengan matanya yang berbinar-binar
pada pil di tangan Wiro. Dalam diri setiap manusia yang tengah meregang nyawa
akan selalu datang harapan untuk dapat terus hidup. Demikian juga dengan
Kalingundil.
“Masukkan
dulu pil itu ke dalam mulutku,” katanya.
Wiro memasukkan obat itu ke dalam mulut Kalingundil dan
Kalingundil cepat-cepat menelannya. “Sekarang terangkan cepat!”.
Kalingundil buka mulut mengakui apa-apa yang telah
diperbuatnya terhadap Perguruan Teratai Putih. Akan Wirasokananta begitu
mendengar penuturan tersebut, tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Tanpa
banyak cerita dengan kaki kanan ditendangnya Kalingundil. Demikian kerasnya
sehingga tak ampun lagi tubuh Kalingundil mencelat beberapa tombak ke udara dan
malang baginya tubuhnya terlempar tepat ke kawah. Masih terdengar jeritan
laki-laki itu menggaung ketika tubuhnya melayang ke bawah sebelum amblas di dalam
kawah belerang!
Sekali lagi pendekar 212 hela nafas dalam dan berpaling pada
Wirasokananta. Satu senyum terlukis di bibir pendekar muda itu. Ketua Teratai
Putih belas tersenyum.
“Orang
muda, apakah kau betul-betul muridnya Sinto Gendeng?”.
“Ah.... murid
siapapun aku butan menjadi soal, Ketua Perguruan Teratai Purih” menyahuti
Pendekar 212. “Orang-orang mencap aku pemuda edan, sinting, gila, geblek...
Kurasa memang suatu ketika kegilaan itu ada perlunya. Hanya manusia-rnanusia
gila semacam kita inilah yang sanggup membunuh manusia-manusia bejat dan
menghancurkan kebejatan. Coba saja kau pikir mana ada manusia waras mau
membunuh sesama manusia...?”.
Wirasokananta
tertawa. “Ucapanmu benar juga, pendekar,” katanya.
Wiro mendongak ke langit. “Ah, matahari sudah tinggi. Banyak
urusan baru yang menunggu kita. Ketua Perguruan Teratai Putih, pertemuan kita
hanya sampai di sini. Aku senang bisa berkenalan dengan kau. Semoga kita bisa
jumpa lagi....”.
“Pendekar 212, tunggu dulu...!” seru Wirasokananta. Tapi
percuma saja. Sang pendekar saat itu sudah berkelebat dan lenyap! Wirasokananta
goleng-goleng kepala. “Pemuda hebat sikapnya seperti betul-betul gila tapi
hatinya polos, ilmunya……. ah, aku yang sudah tua ini mungkin tak pernah bisa
mencapai ilmu setinggi yang dimilikinya. Belum lagi sempat mengucapkan terima
kasih, dia sudah lenyap...”
Wirasokananta memandang ke dasar kawah lalu mengikuti jejak
Wiro Sableng meninggalkan tempat itu.
T A M A T
Salam 212
SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK ALMARHUM BASTIAN TITO
No comments:
Post a Comment