BU KEK SIANSU
Cipt: Asmaraman.S Kho Ping Ho
JILID 1
Pagi itu bukan main indahnya di
dalam hutan di lereng Pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari
muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan
kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan
kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk.
Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu mengusir
halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu,
meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun
dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda
jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.
Cahaya matahari yang lembut itu
tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun
kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah
daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara
bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana sini bertemu dengan pantulan air
membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala
macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah! Bagi mata
yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru
dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap hari Sebelum
cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap.
Yang mula-mula membangunkan hutan
itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali, kokok yang
tiba-tiba dan mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam
jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan
malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka,
kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau
burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun
kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan
mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu merupakan
kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga
hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu
sendiri ataukan keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara
itu.
Anak laki-laki itu masih amat
kecil. Tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah
patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga
itu, menghadap ke timur dan sudah ada setengah jam lebih dia berdiri seperti
itu, hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar
ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih
bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak
terganggu oleh garis-garis lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu
sudah ada keriput di antara kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana
sekali, biarpun amat bersih seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke
kuku jari tangannya yang terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti
anak-anak lain dengan bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di
antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia
menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya
sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu
bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi melihat munculnya bola
merah besar di balik puncak gunung sebelah timur, bola merah yang amat besar
dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi
lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya
yang makin menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini
menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala
sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung.
Anak itu lalu menanggalkan
pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa,
tanpamenengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu bahwa di pagi hari
seperti itu tidak akan ada seorang.pun manusia kecuali dirinya sendiri berada
di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuahbatu dan duduk
bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan
napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti
pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia
melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga
jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti.
Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat,
mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri
dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh
sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik pumcak barat. Anak yang luar biasa! Memang. Demikian pula
penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib),
demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan
lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan memang dia
sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah menjadi
terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong!
Mengapakah orang-orang dusun,
penghuni semua dusun di sekitar lereng dan kaki Pegunungan Jeng Hoa San
menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh
tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah,
dan akar-akar obat yang benar-benar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang
terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana
anak itu tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan
inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga denga tetumbuhan
beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim
semi. Dan anak ini memberi daun atau akar obat dengan hati terbuka, dengan hati
terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi uang!
Maka berduyun-duyun orang dusun datang kepadanya dan diam-diam memujanya
sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang
anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari malapetaka. Bahkan ketika
terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban
tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar
tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit
banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan.
Ketika orang-orang dusun itu,
terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak
itu tak dapat menolak, dan menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata
menetes di kedua pipinya akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Karena jasa orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian
sederhana sekali, potongan "dusun".
Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu
Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari
kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia, seperti
kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang
dianggap sebagai Sang Budha sendiri yang "menjelma" menjadi anak-anak
dan menjadi calon Lama.
Sebetulnya tentu saja tidak
seperti ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan ketahyulan
dan suka akan yang ajaib-ajaib itu. Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari
Keluarga Kwa di kota Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur Pegunungan
Jeng-hoa-san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong(Naga Sakti) ini
diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor
nama beterbangan di angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sin Liong adalah seorang
pedagang obat yang cukup kaya di kota Kun-leng.
Akan tetapi malapetaka menimpa
keluarga ini ketika malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka.
Tadinya tiga orang penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga
kaya ini,
akan tetapi ketika mereka
memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena khawatir dikenal,
tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan bacokan-bacokan golok.
Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun dan di tempat remang-remang itu
melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah,
tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti
berubah menjadi gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara.
Karena ini, tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap
itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga
panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan dan
nyonya rumah..Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin Liong
dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh
jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua
laki-laki berlari keluar dan melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari
rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan
"maling…maling!" dan orang-orang itu mengurung tiga penjahat ini.
Beberapa orang lari memasuki
rumah keluarga Kwa yang dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat
suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah, sedangkan Sin Liong menangisi
kedua orang tuanya, memeluki mereka sehingga muka,tangan dan pakaian anak itu
penuh dengan darah ayah-bundanya.
"Pembunuh! Mereka membunuh
keluarga Kwa!" Orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari
keluar dan berteriak-teriak
"Manusia kejam! Tangkap
mereka!"
"Tidak! Bunuh saja
mereka!"
"Tubuh suami-istri Kwa
hancur mereka cincang!"
"Bunuh!"
"Serbu...!"
Dan terjadilah pergumulan atau
pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan
untuk membela diri, akan tetapi mana mereka itu, maling-maling biassa, mampu menahan
serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang marah dan haus darah?. Anak laki-laki itu, ketika pengeroyokan di
luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh darah, kedua
tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar seperti dalam mimpi, mukanya
pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh
kengerian.Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak
memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para
tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga
orang pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya.
Terdengar olehnya betapa
pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan
terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami
mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan
darah muncrat-muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh
keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus darah
itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil,
terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk
dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan
daging hancur dan tulang-tulang patah!.
Ketika semua orang sudah merasa
puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka, menghentikan
pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki rumah keluarga Kwa,
Sin Liong tidak berada disitu! Kiranya bocah ini, yang baru saja tergetar
jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika
melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit,
luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang-orang itu semua
seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyalapenuh kebencian dan dendam,
penuh nafsu membunuh, dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan
gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa
ngeri, merasa seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk
menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah
berada di antara sekumpulan iblis, maka sambil menangis tersedu-sedu Sin liong
lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota
Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang tampak dari jauh seperti
seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan
melindunginya dari kejaran iblis itu!
Seperti orang kehilangan ingatan,
semalam itu Sin lIong terus berlari sampai pada keesokan harinya, saking
lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang
tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari pagi,
terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling
roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san..Setelah
siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan
beberapa hari kemudian
tibalah dia di sebuah hutan penuh
bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan
mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik
buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit
sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di
dalam hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam
lain, di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun
manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking
takut dan ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat.
Bukan hanya kekejaman orang-orang
yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa ayah bundanya berpisah darinya
dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga
yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan
ketakutan kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia
merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaan.
Mula-mula Sin Liong tidak
mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak
ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga
orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan
melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia
cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak
sungai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang
dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga
bulan "Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap
Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah
menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon peak
yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk
dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan
angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan.
Demikianlah, anak ini tidak tahu
sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan
sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis
ludes sama sekali! Dengan alas an "mengamankan" barang-barang
berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri.
Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi
perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka
juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang
dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga
dan "sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan
oleh tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan pencurian
dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung
apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang
mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur.
Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung,
dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan
mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil
dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena telah bersikap munafik, melakukan
kejahatan dengan selubung "kebaikan".
Demikianlah sampai dua tahun
lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu
Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima
tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan
sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat di gunung-gunung.
Setelah kini dia hidup seorang
diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan
secara alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah
pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak,
mana pula yang beracun dan sebagainya.
Selama dua tahun itu, dengan
pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman
ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih
daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari
pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan
pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan
akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mangandung obat ini sehingga penciumannya
amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja dia
dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah
ataupun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru
terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti.kebenarannya kalau seseorang
memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu.
Dan memang di lubuk hati Sin
Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan
kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak
sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.
Selain mempelajari khasiat
tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga
untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa
kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul
karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman
yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga
orang pencuri itu tewas.
Di tempat itu dia melihat
kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan,
tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap
keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat
merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan
sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan
menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan
setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa
disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mujijat dari
bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga
dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan
beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang
dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan
lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai
bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan
bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar
matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak
dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat.
Menjelang tengah hari, mulailah
berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula
beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita luka beracun dalam
pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa
pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan
penyakit yang mereka derita.
Lebih dari lima belas orang
datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang
laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, dipunggungnya tergantung golok
dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya terluka hebat, luka yang
membengkak dan menghitam. "Sin-tong,
kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan
memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam
dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Di
antara orang-orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat orang
kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka
bawa. Namun , belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan diam-diam
dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang haus
darah, yang selalu saling bermusuhandan saling melukai, sehingga mereka ini
merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak mengenai apa
artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan
ketenangan dan kebahagiaan. "Orang
tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah datang dan minta obat karena
luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah
berkulit hitam itu. "Benar, benar
sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang dahulu
terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku menderita
luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya, pedang itu
mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan
mati, Sin-tong."
Sin Liong tidak berkata apa-apa
lagi, menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di
balik celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup
oleh darah yang menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda
keracunan hebat! Sin Liong menarik nafas panjang.
"Lo-enghiong, mengapa engkau
masih saja bertempur dengan orang lain, saling melukai dan saling
membunuh? Bukankah dahulu ketika
kau dating kesini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi
bertanding dengan orang
lain?".Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak
mungkin dia dapat marah kepada
anak ajaib ini. Seorang anak
kecil berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu
adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci!
"Sin-tong, aku adalah
Sin-hek-houw, dan jangan kau menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau?
Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok orang lewat!
Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu orang, dan kalau
orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan
menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang. Dahulu, aku
menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya lenganku terluka
hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan lemah, yang membawa
barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan kini keracunan hebat.
Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu, Sin-tong dan akan mengabarkan
sesuatu yang amat penting bagimu".
"Lo-enghiong, aku tidk membutuhkan
terima kasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan
itu tumbuh di sini begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang mengerti untuk
memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa
menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa
aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah panas,
berarti darahmu telah keracunan, Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram
di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti
sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka
lukamu itu, Lo-enghiong?" Orang setengah tua itu membelalakan mata dan
kembali dia kagum mendengar cara bocah itu bicara, akan tetapi keheranannya
lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin-tong, anak ajaib! Maka dia lalu menghunus goloknya dan melihat
berkelebatnya sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayan kembali tiga
batang golok yang membacoki tubuh ayah bundanya, dan banyak golok yang kemudian
membacoki tubuh tiga orang pencuri itu.
Sin-hek-houw menggunakan ujung
goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras,
akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan
rasa nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua
tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu.
Sin Liong berlutut, menggunakan
jari tangannya yang halus untuk bantu memijat sehingga darah makin banyak
keluar.Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin Liong
yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba yang
mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu
dengan perasaan makin terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini,
hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur
bubukan itu ke dalam luka yang mengangga.
"Aduhhhhh..mati
aku....!" Kakek itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu
mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bagian
yang terluka itu. "Harap
kaupertahankan, Lo-enghiong sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan
lawan ras nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah bahwa bubuk itu
adalah obat yang akan mengusir penyakit ini." Sambil berkata demikian, Sin
Liong lalu menggunakan empat helai daun yang sudah diremas sehingga daun itu
menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan
tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas
panjang karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya. "Harap Lo-enghiong membawa akar ini,
dimasak dan airnya diminum. Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih
berada di kakimu. Dengan demikian maka luka itu akan membusuk dan akan lekas sembuh.
Obat bubuk dan daun-daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali, kiranya
cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong berkata
sambil membungkus obat-obat itu dengan sehelai daun yang lebar dan
menyerahkannya kepada Sin-hek-houw.
Orang kasar itu menerima
bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang.."Kalau saja aku dapat
mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di sampingku. Kalau
saja aku dapat mempunyai seorang
anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih,
Sin-tong dan aku tidak dapat membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa
engkau terancam bahaya besar".
Sin Liong mengangkat muka memandang
wajah berkulit hitam itu dengan heran. "Sin-tong, dunia kang-ouw telah
geger dengan namamu. Orang-orang kang-ouw, termasuk aku, yang telah menerima pengobatanmu,
membawa namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah geger karena nama Sin-tong
menjadi kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak partai besar tertarik
hatinya, menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini
telah banyak partai dan orang-orang gagah yang siap untuk dating kesini dan
untuk membujukmu menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang kang-ouw
yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis
yang lain lagi maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai
persilatan, melainkan maksud keji terhadap dirimu." Sin liong mengerutkan alisnya,
sedikitpun dia tidak merasa takut karena memang dia tidak mempunyai niat buruk
terhadap siapa pun di dunia ini. "Lo-eng-hiong, aku hanya seorang anak
kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga.
Siapa orangnya yang akan menggangguku?"
Kakek itu memandang terharu.
"Ahh...kau benar-benar seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki
kepandaian, aku akan melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya
karena dua kali kau menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang
mau merusak seorang bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis
itu..." Sin-hek-houw menggiggil dan kelihatan jerih sekali. "Siapakah mereka dan apa yang mereka
kehendaki dari aku?"
"Di dunia kang-ouw, banyak
terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua orang yang
kumaksudkan itu, mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang seperti
aku hanyalah seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian pengemis, kelihatan
seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua Pat-Jiu
Kai-pang, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa
dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah
engkau kalu sudah berada di tangan kakek ini Sin-tong." "Hemmm,
kurasa seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil seperti
aku. Aku tidak khawatir dia akan mengangguku, Lo-eng-hiong!"
"Tidak aneh kalau kau
berpendapat demikian, karena kau seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran
polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang
tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak ada yang tahu berapa
usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa sebuah
payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan. Akan tetapi, seperti
iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya itu menyembunyikan
watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri."
"Lo-enghiong, harap saja Lo-enghiong tidak memburuk-burukkan orang lain
seperti itu. Aku tidak percaya."
Kakek itu menarik napas panjang
lalu bangkit berdiri. "Aku sudah memberi peringatan kepadamu Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku bersembunyi
di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah keadaan benar
aman barulah kau kembali kesini. Aku mendengar berita angin bahwa dua iblis itu
sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu."
Namun Sin Liong menggeleng kepala
"Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan si sini, aku tidak pergi kemana-mana,
Lo-enghiong."
"Hemmm, sudahlah! Aku sudah
berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar tidak terjadi seperti
yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan aku tidak akan terluka
lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada lagi di
sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal,Sin-tong dan sekali lagi terima
kasih."."Selamat jalan, Lo-enghiong, semoga lekas sembuh."
Orang itu berjalan menyeret kakinya
yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata,
"Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi,
Sin-tong?"
Sin Liong tersenyum dan
menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Sin-tong, siapakah namamu
yang sesungguhnya?"
"Aku disebut Sin-tong,
biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau mengenalku
sebagai Sin-tong, itulah namaku."
Sin-hek-houw menggeleng kepala,
melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng dan mulutnya mengomel,
"Anak ajaib, anak ajaib..sayang..!" Dan dia mengepal tinju,
seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu bocah yang
dikaguminya itu.
Beberapa hari kemudian semenjak
Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin banyaklah orang yang
datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia kang-ouw tentang dirinya.
Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin Liong tentang ancaman dan
lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan tetap
saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah, bahkan
sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu.
Beberapa pekan kemudian, pagi
hari dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san tampak berjalan eorang kakek
seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah menikmati pemandangan alam
di sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu sudah enam puluhan tahun,
tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan wajahnya membayangkan
kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul
keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan
Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang
berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga
seperti besi saja rupanya. Agaknya dia
seorang pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan namun yang dapat
menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang, bahkan kelihatannya gembira,
menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia
mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula!
Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang
yang mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh, juga menyimpang dari
ajaran kebatinan umumnya!
"Apa
artinya hidup
kalau
hati tak senang?
Apa
artinya hidup
Kalau
segala keinginan tak terpenuhi?
Puluhan
tahun mempelajari ilmu
Bekal
memenuhi segala kehendak
Berenang
dalam lautan kesenangan
Matipun
tidak penasaran!
Berkali-kali pengemis ini
bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu
dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas
tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu
membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak
meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat
itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun
kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan
bekas.
Beberapa menit kemudian setelah
kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga
datang dari arah timur melalui
kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari 12 orang laki-laki dari usia tiga puluh
sampai empat puluh tahun, dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun,
berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. 12 orang laki-laki
itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa
mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka yang ringan
cekatan.membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang kang-ouw melainkan
rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak salah, karena mereka
itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sa-sin-hiap (13 Pendekar Sakti)
murid-murid utama dari Partai Besar Bu-tong-pai! "Tahan dulu, para suheng!"
Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para
suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat
ini....!" Tiga Belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat
pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja
tampak batu itu berlubang.
"Siapa lagi kalau bukan
dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut.
"Tenaga tusukan tongkat yang
hebat" kata seorang.
"Dan jejak kakinya tidak
tampak, tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan),
tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan
sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua
di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka seperti
harimau.
Karena kini merasa yakin bahwa
jejak lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Pat-jiu kai-ong, maka tiga
belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah
berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu
mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan
pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka
bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini memperlambat larinya
dan satu-satunya wanita diantara mereka mengomel lirih, "Hemm, dasar
manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi kesenangan dia
tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri!
"Sssssttt, Sumoi, terhadap
orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu, Bu-tong-pai tidak pernah
bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun juga, tidak pula mencampuri
urusan mereka. Maka biarlah nanti kita
bertanya dia secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan
pertempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua
sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut
kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The Kwat
Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat
maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung seorang di antara Cap-sha Sin-hiap
yang terkenal di dunia kang-ouw.
"Sumoi, kita harus mentaati
perintah Suhu, agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit permusuhan dengan
golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Karena itu, dalam pertemuan
ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua!"
Karena maklum bahwa dia tidak
boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng ini selain paling lihai
juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk biarpun bibirnya
yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa tidak puas melihat sikap jerih
yang diperlihatkan para suhengnya. Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar di
dunia kang-ouw, disegani kawan ditakuti lawan, masa sekarang berhadapan dengan
seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar?
Suara nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka
dengan kakek itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir
sempurna, tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu dan dapat menyusul dan
berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah
berdiri menghadap di depan kakek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali.
Kakek pengemis itu masih
melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang matanya
bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya. Setelah nyanyiannya
berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh-eh, apakah kalian ini
serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku seorang pengemis
tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"."Harap Locianpwe
tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah Pat-jiu-kai-pangcu
(Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat. Locianpwe adalah
tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"
Kakek yang mukanya kelihatan
sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah. Tiga
belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru mengenal nama kakek sakti
kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar mereka
berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis, karena
kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah! "Ha..ha..ha, sungguh sukar jaman
sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri. Orang-orang muda
sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun belum pernah jumpa
sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan cantik, dia memandang
Kwat Lin lagi dengan kagum, "Tidak keliru dugaan kalian aku adalah Pat-jiu
Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang tongkat butut ini.
Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian menghadang perjalananku?" "Kami
adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah
terlanjur, maka percuma saja twa-suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya. "Benar, kami adalah murid-murid
Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu dengan hati tidak enak karena
sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu dan mengaku bahwa mereka
dari Bu-tong-pai, berarti membawa-bawa nama perkumpulan mereka.
"Ha..ha..ha, bagus. Memang
Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang kabar
yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan
Bu-tong-pai." Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga
halus dan tidak bermusuh, twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi
karena dia maklum orang macam apa adanya kakek di depannya ini, dan betapa
Sin-tong yang mereka dengar merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan
sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat mengenai khasiat
tetumbuhan yang mengandung obat, maka tetap saja dia merasa khawatir akan
keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek datuk sesat ini bertemu dengan anak
itu.
"Apa yang Locianpwe katakan
memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai, tidak pernah ada urusan.
Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai juga tidak berniat untuk
menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita bahwa diantara
banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat kepada anak kecil budiman yang
terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga.
Benarkah ini, dan apakah Locianpwe sekarang sedang menuju ke hutan itu?"
Mulai berubah wajah kakek itu
mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya yang
tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan berubah dengan
sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.
"Hemmm, orang-orang muda
yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi Sin-tong, kalian mau
apakah?"
Tiga belas orang anak murid
Bu-tong-pai itu sudah dapat "Mencium" keadaan yang membuat mereka semua
siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus budi itu dan
ramah ini mulai memperlihatkan "tanduknya" atau watak sesungguhnya.
"Locianpwe, kalau benar
demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu
Sin-tong."
"Apamukah bocah itu?"
"Bukan apa-apa, Locianpwe.
Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa pandang
bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua orang gagah di dunia
kang-ouw untuk menjaga kesel amatannya.".Perubahan hebat pada diri kakek
itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya menyeringai penuh sikap
mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah kaku, ketus dan memandang
rendah.
"Anak-anak kurang ajar!
Apakah Si Tua Bangka Kui Bho Sanjin yang mengutus kalian?" "Guru kami
tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan
mendengar akan Sin-tong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu
sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong,
kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya."
"Aku memang menuju ke Hutan
Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku akan mencelakai Sin-tong?"
Tiga belas pendekar Bu-tong-pai
itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang, maka tiada salahnya
kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula.
"Siapa yang tidak mendengar
bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut
(Ilmu Hitam Tangan Darah)?" Tiba-tiba Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk
kirinya ke arah muka kakek itu. Para suhengnya terkejut, akan tetapi ucapan
telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati mereka terkandung tuduhan
ini. Ilmu Hiat-ciang hoat-sut adalah
semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena ilmu ini
membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan
menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih bersih
darahnya! Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis ini,
Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan sumsum
seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak dan
sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya!.
Tiba-tiba kakek itu tertawa
lebar. Hah-hah-hah-hah, memang benar! Dan satu-satunya bocah yang akan
menyempurnakan ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum dan
menghisap darah, otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak
suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!"
"Singggg! Singggg...!"
Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas buah banyaknya itu bergerak
secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar itu telah mengurung si Kakek
yang masih tertawa-tawa.
"Heh-heh, kalian mau
coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian masih muda-muda harus
mati, kecuali Nona manis. Andaikata Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin berada disini
sekalipun, dia juga tentu akan mampus kalau berani menentang Pat-jiu
Kai-ong!"
"Serbu dan basmi iblis
ini!" Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan
bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan
suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara tertawa menyeramkan.
Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa
menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan
telah datang oleh panggilan kakek itu. Hebatnya,
suara pekik dan tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar itu seketika
seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan untuk beberapa detik
mereka hanya bengong memandang kakek itu dan jantung mereka seolah-olah
berhenti berdenyut.
Twa-suheng mereka yang bermuka
gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Saicu-hokang (Ilmu menggereng
seperti singa berdasarkan khikang)!"
Seruan ini menyadarkan para
sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinking sehingga pengaruh
Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan gerakannya.
"Sing-sing.... siuuuut....
trang-trang-trang..Heh-heh-heh!".Gulungan sinar pedang-pedang yang
menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai jurusan, dapat
ditangkis oleh gulungan sinar
tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Pat-jiu kai-ong. Para pendekar
Bu-tong-pai itu terkejut ketika merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi
panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis tongkat. Hal ini
menandakan bahwa Si kakek benar-benar amat lihai dan memiliki tenaga sakti yang
amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu ternyata terbuat
dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di tangan mereka,
padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah pedang-pedang pusaka
yang ampuh. "Ha..ha..ha, inikah
Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal? Ha..ha, tidak
seberapa!" Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang
yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek.
"Bentuk Sin-kiam-tin
(Barisan Pedang Sakti)!" Teriak si Twa-suheng melihat betapa kakek itu
benar-benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat ditangkis
dengan mudahnya. Tiba-tiba tiga belas
orang pendekar itu merobah gerakan mereka, kini mereka tidak lagi menyerang
dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi
kakek itu, sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang
susul menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu.
Diam-diam kakek itu terkejut.
Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan
tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Ngo-heng-kiam, namun dia
sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat menggerakan tongkat secara
otomatis untuk menangkis semua pedang yang dating menyambar. Akan tetapi
sekarang, sukar sekali menentukan dari mana serangan akan dating, dan gerakan
mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing. Marahlah Pat-jiu Kai-ong. Tadi dia ingin
mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan memperhatikan para pengeroyoknya
sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka menggunakan Sin-kiam-tin
dia tahu behwa mereka kalau dia tidak cepat mendahului mereka, dia bisa terancam
bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui Bhok San-jin, ketua dari
Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang demikian lihainya.
Tiba-tiba terjadi perubahan pada
diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah sekali, merah darah!
"Hati-hati terhadap
Hiat-ciang Hoat-sut!" Si Twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan
warna tangan kiri kakek itu.
Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba
mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada tadi dan tubuhnya
mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu
mendorong ke depan.
"Prak-prak...dessss!"
Tiga orang pengeroyok menjerit
dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh tongkat, sedangkan seorang lagi
terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh dan tewas seketika dengan
dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek
dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan maut yang mengerikan. Padahal
ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kakek
ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang bocah ajaib seperti Sin-tong!.
Sepuluh orang pendekar Bu-tong-pai
terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat
dan penuh dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil bergerak
menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini
diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk
membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan
akibatnya, dua belas orang diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas
semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The
Kwat Lin.seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan kini sambil
tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat Lin.
Dapat dibayangkan betapa perasaan
dara itu melihat dua belas orang suhengnya telah tewas semua! Dua belas orang
suhengnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi
mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang
itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di depannya.
"Iblis busuk, aku akan
mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru mengandung isak tertahan. "Haiiiit.....!" tubuhnya melayang
ke depan, pedangnya ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap.
Namun dengan gerakan seenaknya
kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya.
"Krekkk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat
Lin! Dara itu membelalakan matanya dan
melihat pandang mata kakek itu kepadanya, melihat senyum yang baginya amat
mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang
pohon besar, dengan niat untuk membenturkan kepalanya pecah pada batang pohon
itu! Kwat Lin melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut
sendiri, maka setelah yakin bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya,
dia mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya
pada batang pohon.
"Bukkkkkk!" Bukan
batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya berada
dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan telah berada di situ
menghadangnya di depan pohon! "Lepaskan
aku!!" Kwat Lin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh kakek
itu, jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan langkah
gontai, kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat
bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk dengan
muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor kelinci muda
ketakutan menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.
Perasaan ngeri yang luar biasa
membuat Kwat Lin cepat menggerakan tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan
dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan sinking.
Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu apa
lagi ubun-ubun kepalanya. "Plakkk!"
"Aihhh....!" Kwat Lin
menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata kakek
itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri!
"Bretttt...bretttt....!"
Tongkat kakek itu bergerak beberapa kali dan seperti disulap saja seluruh
pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya
menjadi telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan tetapi tiba-tiba,
seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa
menyeramkan, kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua
bergulingan diatas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu! Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia
belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma,
bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, semua usahanya meronta-ronta tiada
gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini malah menyenangkan hati si Kakek.
Seolah-olah seekor kucing yang menjadi gembira dapat mempermankan seekor tikus
yang telah tersudut dan tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa
dan meronta sebelum menjadi mangsanya!
Selama tiga hari tiga malam Kwat
Lin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada hari
ketiga,pagi-pagi sekali dalam keadaan lebih banyak yang mati daripada yang
hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya
matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat kakek itu
mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang
masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput berdarah.."Ha-ha-ha,
sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri,
silahkan. Ha-ha-ha!"Biarpun Kwat lin berada dalam keadaan menderita hebat,
kehabisan tenaga, hampir mati karena lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam
tercampur aduk menjadi satu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap
masih memberinya tenaga untuk berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup!
Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!"
"Ha..ha..ha..ha! Kalau
sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datang saja ke Hong-san, sampai
jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu meninggalkan
Kwat-Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini menangis
sesenggukan dia antara mayat-mayat dua belas suhengnya yang sudah mulai
membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa badan wanita muda
ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat dua belas suhengnya,
bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yang
hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja enak-enak mempermainkannya.
Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis sendiri.
JILID 2
Tiba-tiba Kwat lin bangkit
serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri,
lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa
diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang
bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya menjadi liar,
keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek
iblis. "Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah untuk
membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang
hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!"
Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twa-suhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak
dahulu mencuri hatinya.
"Twa Suheng......!" Dia
menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu.
"Jangan berduka, Twa-suheng....jangan menangis......" Dia
berdirisesunggukan. "Apa.....? Aku
telanjang.....? Pakaianmu......? Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok
mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dab celana luar dari mayat
yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya
sendiri. Tentu saja agak kebesaran. "Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran,
Suheng......." Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi.
"Hi-hik,nah,begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng
sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan
kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..." Dia menangis lagi
terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu
setelah mengambil pedang twa-suhengnya. Pedang
itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar
Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian Ketua Bu-tong pai sendiri, pedang
yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka pedang itu
diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah). Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan,
asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan
terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis,
kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang
bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan
merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu
akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila.
Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang
melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga
terjadi perubahan pada ingatannya.
Pada hari yang sama ketika
Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki Pegunungan
Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu.
Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat
terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda.
Pada pagi hari itu, seorang
wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan
Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan
harus diakui bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang
kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak.ada keriput mengganggu
kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang
senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi
kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka
hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga
dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip.
Mata itu terbuka terus seperti mata boneka!
Dengan langkah-langkah gontai dan
lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu
berjalan seorang diri, memutar-mutarsebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah payung
hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya
serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti
sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas.
Yang menarik adalah kuku-kuku
jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang
meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang
mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh
itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki
karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat sekali!
Biarpun kelihatannya seperti
seorang wanita cantik dan genit (tante girang), namun sesungguhnya dia bukanlah
manusia biasa saja! Inilah dia yang terkenal sekali di dunia hitam kaum
penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai
Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah
mengenalnya berdiri sangking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya
bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan
kekejaman yang sukar dicari bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita
cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang
pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot
habis oleh siluman ini!
Tentu saja bagi mereka yang belum
pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa wanita yang
berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang
menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa. Dan mudah
saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng
Jeng-hoa-san!
Tentu saja dia pun mendengar
berita menggeggerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib dan
mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangandan penuh
birahi! Dia dapat membayangkan betapa
tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari
tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa
menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib
di puncak Pegunungan Jeng-hoa-san di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera
menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu. Perjalananyang jauh karena biarpun sering
kali Liok Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti
istana mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu
di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan
Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang
berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di
tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain,
terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau inilah
letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, bersama
belasan orang pembantu-pembantuyang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya.
Dia disebut Cai-li(Wanita Pandai)
karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan
dan semenjak kecil Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali
akan sastra, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah
sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi, penyamarannya
keetahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu
mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak
kecil digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi selir
pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala
pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan
tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya
sebagai "bayaran". Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat
selirnya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir
dari istana pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia
membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana
itu, kemudian minggat!.Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo
Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu
menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawanitu sehingga menjadi orang
buruan pemerintah.
Liok Si berjalan sambil
tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih
mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing
sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia
membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bocah ajaib itu.
"Hemmm, aku harus bersikap
halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hemmm..." Tiba-tiba
dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum
manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang
laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya
menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang
wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika
melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh
tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir
buah yang ranum dan matang hati! "Aih-aihh...
Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi
sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?"
Seorang di antara mereka, yang
usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan
tebal, berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa
Bangkai?" Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka
berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab, "kalau
benar mengapa? Kalian ini siapakah?" "Kami adalah Kee-san
Ngo-hohan(Lima Pendekar dari Gunung Ayam)". "Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi
"tsk-tsk-tsk" dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata
manis. "Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh
dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah hormatnya
seorang wanita bodoh seperti aku." "Harap Toanio(Nyonya) tidak
mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li,
dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan
diri untuk menghadang."
"Ehm...! Maksud
kalian?" Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat. "Kami telah mendengar akan berita bahwa
tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada
di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang
di antara mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang
budi, diberi obat oleh Sin-tong maka kami hanya dapat membalas budinya dengan
melindunginya terutama dari tangan... maaf,
para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya.
Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah
seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah
menjadi kewajiban orang-orang gagah untuk melindunginya." Kembali Kiam-mo
Cai-li tersenyum. "Terus terang saja, memang aku mendengar tentang
Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san.
Habis kalian mau apa?" Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau
suka membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin-tong,
terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan
perjalanan!"
"Hi-hi-hik, galak amat! Lima
orang laki-laki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh
gairah, sungguh tidak semestinya kalu bermain senjata mengadu nyawa!"
"Hemm, habis semestinya
bagaimana?" tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang betapapun juga
merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan
mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Sin-tong..Mata itu tajam
mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan.
"Mestinya? Mestinya kita
bermain cinta memadu kasih!"
"Perempuan hina!"
"Jalang!"
"Siluman betina"
Lima orang itu telah mencabut
senjata masing-masing yaitu senjata golok besar yang selama ini telah mengangkat
nama mereka di dunia kang-ouw. Kelima orang pendekar ini memang merupakan
ahli-ahli bermain golok dengan Ilmu Hoa-san-to-hoat yang terkenal, dan selain
itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan darah yang bernama
Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu menotok menggunakan tiga buah jari tangan.
"Siaaaattt...singg...siang..."
"Ha-ha, bagus! kalian memang
gagah sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain cinta,
hi-hik!" Kiam-mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hiatmnya berkembang
terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, terbuat dari baja yang kuat dan
kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lemas, namun
kuatnya luar biasa dapat menahan bacokan senjata tajam. Adapun ujung payung itu
meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun dapat
digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.
"Trang-trang-trang...!!"
Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan karena
kini tubuh wanita itu tertutup payung yang berkembang dan berputar-putar, maka
sukarlah bagi lima orang itu untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu
berloncatan dan mengurung wanita itu. "Hi-hik,
hayo keroyoklah. Kalu baru kalian lima orang ini saja, masih terlampau sedikit
bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai dimana kekuatan kalian apakah patut untuk
menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!"
"Perempuan rendah!"
Orang pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya menyambar dahsyat, tapi
tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara karena telah terikat oleh sebuah
benda hitam panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung
rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut
yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja keistemewaannya,
rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini berhasil
membelit golok orang pertama dari Kee-san ngo-hohan! Sebelum orang ini ssempat
menarik goloknya, tangan kiri Kiam-mo Cai-li bergerak menghantam tengkuk orang
itu dengan tangan miring. "Krekk!"
Laki-laki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah
terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih
dapat melihat dan mendengar. Empat orang
lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar lagi,
bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan
Sam-ci-tiam-hoat yang ampuh! Namun orang
yang mereka keroyok itu tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap serangan
golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan ujung
rambut yang panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan
menyambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan
kepanikan saja karena memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.
"Mampuslah!" Orang ke
dua yang menyerang dengan golok ketika goloknya ditangkis, cepat dia "memasuki"
lowongan dan berhasil mengirim totokan. Karena tempat terbuka yang dapat
dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya di bagian dada, maka
dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam
keadaan seperti itu, menghadapi lawan yang amat tangguh, pendekar ini sudah
tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya
kalau keadaan tidak mendesak seperti itu.."Cusss...!" tiga buah jari
tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia hanya merasakan sesuatu
yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan
mengerling dan berkata, "Ihh, kau bersemangat benar, tampan. Belum apa-apa
sudah main colek dada, hihik!" Tentu saja pendekar ini menjadi merah
sekali mukanya. Dia merasa malu akan tetapi juga penasaran. Ilmu totok yang
dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia telah menotok
jalan darah yang amat berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama
sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan menyindirnya dan dianggap dia mencolek
dada?
Dengan marah dia menerjang lagi
bersama tiga orang sutenya. "Sudah cukup, sudah cukup, rebah dan beristirahatlah
kalian!" Tiba-tiba payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang
yang aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar mendesak empat orang itu,
kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan dan berturut-turut tiga orang lagi
roboh terkena totokan ujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun roboh
tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak namun tidak
menggerakan kaki tangan mereka!
Orang termuda dari mereka kaget
setengah mati melihat betapa empat orang suhengnya telah roboh. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan dengan
kemarahan dan kebencian meluap dia memaki, "Perempuan hina, pelacur
rendah, siluman betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!" "Aihhh...
kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!"
Golok itu tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan
sebelum laki-laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut
telah membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan
libatan rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu
menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan
tahu-tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang
seolah-olah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat. "Nah, kesinilah, Tampan. Mendekatlah,
kekasih. Kau perlu dihajar agar tidak suka memaki lagi!" Laki-laki itu
sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi libatan rambut pada
lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian rambut itu
menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu
sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada
yang membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi
yang aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat, dan
napasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar.
"Aihhh, kau perlu diberi
sedikit hajaran, Tampan!"
Empat orang pendekar yang
tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa wanita iut kini
mendekatkan muka sute mereka yang termudda, kemudian membuka mulut dan mencium mulut
sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar itu.Mereka melihat
tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit, mata sute mereka
terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu dengan
mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh empat orang pendekar itu
betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah menggunakan giginya
untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang terjulur keluar, kemudian
menghisap darah dari luka di lidah itu! Mereka
berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka
melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah
sute mereka makin pucat dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan
kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas karena darah
yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan
memindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda.
Dapat dibayangkan betapa kaget
empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut sute mereka penuh warna merah
darah! "Sute...!!!" Mereka berseru akan tetapi tidak dapat
menggerakkan kaki tangan mereka..Sute mereka meronta-ronta seperti ayam
disembelih, matanya melotot memandang ke arah para suhengnya seperti orang
minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika wanita itu kelihatan jelas
menghisap-hisap lehernya ternyata bahwa urat besar di lehernya telah ditembusi
gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita itu menghisap darah yang
membanjir keluar dari urat di leher itu!
Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin
pucat dan akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu
pingsan karena kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Kiam-mo Cai-li melepaskan libatan rambutnya
dan tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas
terengah-engah.
'Sute...!" Kembali mereka
mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu menggunakan
lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah yang masih
belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan, segar
seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati empat
orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian.
Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas
menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak
dan sekali renggut saja pakaian empat orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia
bangkit berdiri, dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka
pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari! Sampai dia
bertelanjang bulat sama sekali di depam empat orang itu yang membuang muka
dengan perasaan ngeri dan sebal! "Kalian
layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian
berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta
kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian."
"Cih, siluman betina!
Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid Hoa-san-pai yang tidak takut
mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi seleramu yang terkutuk
melayani nafsu berahimu yang menjijikan!" kata empat orang itu saling
susul dan saling bantu. Kiam-mo Cai-li
tersenyum. "Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku
sampai mampus!"
Dia lalu membungkuk dan menarik
lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri
menggurat beberapa tempat di punggung dan tengkuk pria ini. Orang itu menggigil,
menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak mampu mengerahkan
sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya
melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya menjadi
merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya terengah-engah. Tiga orang pendekar yang lain memandang penuh
kekhawatiran dan kengerian. Tiba-tiba
wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu
dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang
pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. mereka melihat
Sute mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu
penuh gairah nafsu! Dengan mata terbelalak mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya
dengan kedua lengan terbuka, bergulingan di atas rumput dan tampak betapa
wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang lebar
ke leher Sute mereka! Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar tidak usah
menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa
Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh racun yang diguratkan
oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa Sute
mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh
wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga
menghisap darahnya sepuas hatinya.
Dapat diduga lebih dahulu bahwa
tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya
apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Kiam-mo
Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat itu sambil
menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan.
Setelah dia melempar kerling ke
arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas dia
pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat diinginkan..Lima
orang Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh
mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang
terjebak ke sarang laba-laba dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh
laba-laba, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan
begitu saja.
Kwa Sin Liong, atau yang lebih
terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti biasa setelah
mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama kemudian
berturut-turut datanglah orang-orang dusun yang membutuhkan bahan obat untuk
bermacam penyakit yang mereka derita.
Sin tong mendengarkan dengan
sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka derita,
menyiapkan obat-obat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua
ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang kepada bocah
itu dengan sinar mata penuh kagum dan pemujaan. Baru bertemu dan memandang
wajah Sin-tong itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit
mereka. Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah bocah penuh kasih sayang
itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini
sebenarnya terjadi karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa bocah itu akan
dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah
merupakan obat yang manjur. Dan bocah ajaib itu memang bukanlah seorang dukun
yang menggunakan kemujijatan dan sulap atau sihir untuk mengobati orang,
melainkan berdasarkan ilmu pengobatan yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga
atau akar obat yang memang tepat mengandung khasiat atau daya penyembuh
terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.
Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh
mereka semua. Juga in Liong, bocah ajaib itu, berhenti sebentar mengumpulkan
dan memilih obat yang akan dibagikan karena mendengar suara nyanyian yang aneh
itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan
alisnya dan menggeleng-geleng kepala.
"Aihh, kalau hidup hanya
untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan dipantangnya untuk dilakukan
demi mencapai kesenangan!" kata Sin Liong.
"Huh-ha-ha, benar sekali,
Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun juga, termasuk
membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini!" Terdengar jawaban dan
tahu-tahu disitu telah berdiri Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanjutan kata-katanya,
tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kali ujung tongkat
itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam
berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan robohlah
berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong, roboh dan
berkelojotan kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke
dalam kepala mereka!
"Hi-hi-hik, kepandaian seperti
itu saja dipamerkan di depan Sin-tong lihat ini!" Tiba-tiba terdengar suara
ketawa merdu dan tau-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik yang
bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya yang tertutup
itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan dengan mata terbelalak
memandang lima orang teman mereka yang telah tewas. "Cuat-cuat-cuat...!" Dari ujung
payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang dusun yang
masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka ditembusi
jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu! Sejenak Sin Liong
terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan
kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang dusun
yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan
dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian
kepada Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai, "Kalian ini manusia atau iblis?
Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh orang-orang
tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang. Bocah itu memandang kepada
sebelas mayat dan sesenggukan menangis.
"Hi-hi-hik, Sin-tong yang
baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan untuk membunuhmu,"
kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa bocah ajaib itu menangis dan membayangkannya
ketakutan..Sin Liong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya
masih berderai turun namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan
ketakutan, "Kau mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut!"
"Ha-ha-ha! Benar hebat!
Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa menangis?" Pat-jiu Kai-ong menegur.
"Apa kau menangisi kematian
orang-orang tak berharga itu?" Kiam-mo Cai-li menyambung. "Mereka sudah mati mengapa ditangisi?
Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, kau menangis karena
melihat kesesatan dan kekejaman kalian."
Dua orang tokoh sesat itu
terbelalak heran saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka
terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa, dan
keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menubruk Sin-Liong
yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedikitpun tidak
membayangkan rasa takut!
"Desss......!" Karena
gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khawatir kalau-kalau keduluan oleh
orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong sudah lebih dekat dengan Sin-tong,
Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Sin-tong karena
dia kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua tangannya ke
arah Pat-jiu Kai-ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanita iblis ini
dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika ada angin panas menyambar,
maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sin-tong dan bergerak menangkis.
Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakang!
Sejenak mereka saling
berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa,
"Ha-ha-yha, lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi makin gagah
saja!" "Pat-jiu Kai-ong, selama ada aku disini, jangan harap kau akan
dapat merampas Sin-tong dari tanganku!" Wanita itu berkata dan memandang
tajam, siap menghadapi kakek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu.
"Aha, Kiam-mo Cai-li, sekali
ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya untuk menyempurnakan
ilmuku..."
"Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang
Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Kai-ong, dan betapa mudahnya bagimu
untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan
sumsumnya. Jangan Sin-tong!" "Hemmmm, kau mau menang sendiri. Apa
kaukira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki Sin-tong? Dia masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak
akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu mencari orang-orang muda yang kuat
dan menyenangkan?"
"Cukup! Kita mempunyai
keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk memperebutkannya dengan kepandaian!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali.
Memang aku ingin mencoba kepandaian Wanita Pandai dari Rawa Bangkai!" Liok
Si, Si Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapan menahan
kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, maka sambil berteriak
keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, yaitu payung
hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu. "Trakkk!" Pat-jiu Kai-ong sudah
menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran dua tenaga raksasa membuat keduanya
terpental lagi ke belakang dan Pat-jiu Kai-ong cepat meloncat ke depan,
tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ganas.
"Trakk! Trakkk!!"
Dua kali senjata payung dan
tongkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka
berdua terkejut sekali dan maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka
berimbang.
Sebelum mereka melanjutkan
pertandingan mereka, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang.tajam
karena berturut-turut ditempat itu telah muncul lima orang kakek yang melihat
cara munculnya dapat diduga tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul
seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu
sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li
dengan bermacam sikap. Ketika dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini
melihat dengan penuh perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun diantara lima
orang itu ada yang belum pernah mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka,
kedua orang datuk golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya
adalah orang-orang aneh di dunia kang-ouw yang masing-masing telah memiliki nama
besar sebagai orang-orang sakti.
Sementara itu, ketika melihat dua
orang kakek dan nenek tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sin Liong menjadi
makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh damai ini di mana dia
selama hampir tiga tahun tinggal penuh ketentraman dan kedamaian, yang membuat
dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia ketika terjadi pembunuhan
ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih hebat lagi di mana
sebelas orang dusun yang sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh dua
orang itu. Maka dia lalu duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti
arca, hatinya dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan.
Bahkan ketika muncul lima orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa
kecuali memandang dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak
mengacuhkan.
Orang pertama adalah seorang
kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah seperti
tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam-kok, kelihatan gagah sekali, di punggungnya tampak
dua batang pedang menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring
ketika dia tertawa, "Ha-ha-ha, kiranya bukan hanya orang gagah saja yang
tertarik kepada Sin-tong, juga iblis-iblis berdatangan sungguhpun tentu
mempunyai niat lain!" Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Kiam-mo Cai-li
dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua orang itu dengan terang-terangan.
Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang-koan Houw,
akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan Tee-tok (Racun Bumi) karena
selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, juga dia
amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur
dan blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa pura-pura lagi. Ilmu silatnya
tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegerkan dunia persilatan
adalah ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan Kilat) dan
Ilmu Pedangnya Ban-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang yang tahu dimana tempat
tinggalnya karena memang dia seorang perantau yang muncul dimana saja secara
tak terduga-duga seperti kemunculannya sekarang ini di Hutan Seribu Bunga. "Huhh, bekas Suteku yang tetap
goblok!" kata orang kedua. "Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki
dua iblis ini. Jembel busuk itu tentu ingin menghisap darah dan otak Sin-tong
untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Hiat-Ciang Hoat-sut. Sedangkan iblis betina
genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan Sin-tong? Hayo kalian
menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu malu untuk
menyangkal!" Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek
yang beberapa tahun lebih tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee-tok sebagai
bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya
seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang
dan gerak-geriknya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadang-kadang
menggaruk-garuk kepala atau pantatnya, matanya liar memandang ke kanan-kiri.
Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit), bekas suheng
Tee-tok yang memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal racun sesuai
dengan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw Cee Thian atau
Cee Thian Thaiseng, Si Raja Monyet itu, yaitu sebatang tongkat yang dia beri
nama Kim-kauw-pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah menciptakan
ilmu silat tangan kosong yang meniru gerak-gerik seekor monyet yang diberinya
nama Sin-kauw-kun(Ilmu Silat Monyet Sakti). Seperti juga Tee-tok, dia tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi nama aslinya,
yaitu Bhong Sek Bin.
"Hemmm, setelah ada aku
disini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri!"
kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung
pedang menusuk. Orang ini bernama Ciang Ham julukannya Thian-he Te-it, Sedunia
Nomor satu! Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua dari
Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secuan..Di
tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain
terkenal sebagai seorang ahli
bermain tombak, dia pun terkenal
sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat
baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli silat dan
setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia telah mempunyai kepandaian silat
yang sudah mendarah daging di tubuhnya. Orang
ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun
tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua
orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauwpit alat
tulis pena panjang. "Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat
ini, tidak sangka bertemu dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda
berdua), Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li,
terimalah hormatku." Pat-jiu Kai-ong sudah segera dapat mengenal siapa
orang ini, akan tetapi Kiam-mo Cai-li tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang
tadinya panas mendengar kata-kata menentang dari tiga orang pertama, merasa
seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sastrawan yang
tampan ini. Maka dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata
memikat dan senyum simpul manis sekali dia bertanya, "Harap maafkan, kana
tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian
bun dan bu(Sastra dan silat) yang tinggi ini?"
Laki-laki itu tersenyum dan
menjawab halus, "Saya yang rendah dinamakan orang Gin-siauw Siucai (Pelajar
Bersuling Perak), seorang yang suka bersunyi di Beng-san." Kiam-mo Cai-li
kembali menjura, tersenyum dan berkata, "Aihhh, sudah lama sekali saya
telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat tinggi,
terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir dan sudah lama pula
mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san. Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang
untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi tamu Gin-siauw Siucai yang ramah
dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan
santun!" Ucapan terkhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh
pertama yang kasar-kasar tadi. Orang ke
lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih,
tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim
(Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya
digoyang-goyang menipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di
Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya
yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum
tosu (Pemeluk Agama To)!
Amat
sempurna,
namun
tampak tak sempurna,
tampak
tidak lengkap,
sungguhpun
kegunaannya tiada kurang
Terisi
penuh,
namun
tampaknya meluap tumpah,
tampaknya
kosong,
sungguhpun
tak pernah kehabisan
Yang
paling lurus,
kelihatan
bengkok,
yang
paling cerdas,
kelihatan
bodoh,
yang
paling fasih,
kelihatan
gagu.
Api
panas dapat mengatasi dingin,
air
sejuk dapat mengatasi panas,.Sang Budiman, murni dan tenang
dapat
memberkati dunia!"
"Huah-ha-ha-ha! Anda
tentulah lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), bukan? Sajak-sajak
To-tek-kheng
agaknya telah menjadi semacam cap
Anda, ha-ha-ha!" kata Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek.
Tosu itu berkata , "Siancai!
Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu miskin dan bodoh."
"Ah, jangan merendah,
Totiang," kata Kiam-mo Cai-li, "Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa
biarpun Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki
sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan
pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya."
"Siancai! Pujian
kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok Siangkoan
Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar. "Apa apaan semua
kepura-puraan yang menjemukan ini? Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika
kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan
tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!" "Tee-tok,
urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?" Pat-jiu Kai-ong
menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa
dia merasa tak senang. "Bukan
urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yang
sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpun
kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk
menjadi murid kami atau seorang di antara kami.
Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok
yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan
mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang
nyaring.
"Tee-tok, jangan sombong
kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan
pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh
masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk kepentingan pribadi masing-masing
tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah
kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari
dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku,
Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok
berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw Siucai, tentu tidak
begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!" kata Kiam-mo Cai-li yang
cerdik.
"Perempuan sombong kau,
Kiam-mo Cai-li!" Tee-tok membentak marah dan melangkah maju. "Siapa
sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis
betina seperti engkau dari muka bumi!"
"Tee-tok, buktikan
omonganmu!" Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju. "Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian
berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau ketinggalan!"
kata Pat-jiu Kai-ong mencela.
"Benar sekali! Perebutan ini
tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa
pun untuk memperoleh Sin-tong!" Thian-te Te-it Ciang Ham membentak
menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.
"Siancai, siancai...!"
Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. "Harap Cuwi (Anda Sekalian)
suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus
diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya
hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu..Sudah jelas bahwa kita
bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa
hal
ini sepenuhnya terserah kepada
pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada
Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan
pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?"
"Hemm, tidak buruk keputusan
itu. Aku setuju!" kata Tee-tok.
"Aku pun setuju!" kata
Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan
yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin
keras agar terdengar oleh Sin-tong. "Tentu saja harus jujur tidak
membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang
hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari
kejantanannya juga harus berterus terang!"
Tentu saja dua orang tokoh
golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian-tok yang licik
itu.
"Isi hati orang siapa yang
tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau
kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok. "Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang
pusakaku ini!"
"Boleh! Siapa takut?"
Wanita itu balas membentak.
"Siancai...!" Lam-hai
Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benar-benar hendak
menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar
sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong."
Tujuh orang itu lalu menghampiri
Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian
menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.
"Sin-tong yang baik.
Lihatlah, kau satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku,
seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak, kau mendengar
bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku,
marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu
dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa
Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong,
Anakku!"
Sin Liong mengangkat muka
memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab,
juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat
kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa
wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang
dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.
"Sin-tong, aku adalah ketua dari
Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan
pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara.
Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engaku akan menjadi raja Pengemis.
Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong
olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku,
dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia
ini!"
Kembali Sin-tong memandang wajah
itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun sambil
tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja
pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.
"Anak ajaib, anak baik,
Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang mengasingkan
diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan
perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu
sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai
muridku, Sin-tong."."Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun
aku seorang yang kasar, namun hatiku lemah menghadapi
anak-anak. Aku sendiri memiliki
seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau
menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku
menjadi gurumu, Sin-tong."
"Tidak, aku saja! Aku Bhong
Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan
di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan
dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang.
Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai dunia kang-ouw,
Sin-tong."
"Lebih baik menjadi muridku.
Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang-jiu-pang
di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong
langit!" "Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua itu,
Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi,
tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto
(aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau
seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak
engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau
menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Seng-jin, Sin-tong!"
Hening sejenak. Semua mata
ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak
pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang
membujuknya. Kemudian terdengar
suaranya, halus menggetar dan penuh duka. "Terima kasih kepada Cuwi
Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat
ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat
kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia.
Tidak, saya tidak akan turut
siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian
tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani
ini." "Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata
Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar.
"Eh, nanti dulu! Siapa pun
tidak boleh mengganggunya!" bentak Thian-tok. "Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa
bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang diantara kita secara sukarela. Karena
itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka harus diatur
sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang
telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing
mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu
saja berhak meimiliki Sin-tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada
yang lain.
"Mana bisa diatur begitu?"
bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan mengeroyok
dia dan Kiam-mo Cai-li. "Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah
masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah beristirahat.
Begitu baru adil!" "Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang
cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi
pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran
seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. "Kalau
diadakan satu lawan satu, terlalu lama.
Sebaiknya kita bertujuh
mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu-satunya
orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai daripada yang
lain."
Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah
suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata masing-masing, membentuk
lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik , siap untuk menghantam
siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar
merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!.Sin Liong yang masih
duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika
tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang
dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang
kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang
berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa. Memang hebat pertandingan ini karena
dipandang sepintas lalu, seolah-olah setiap orang melawan enam orang musuh dan
kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan
siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong
terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di
lain pihak juga sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara
keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan
Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini
melindungi Pat-jiu Kai-ong. Pertandingan
kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak
melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu
menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak menyerang
siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat
kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara
mereka yang terdesak.
Siasatnya adalah untuk merobohkan
seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok" tanpa membantu
siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah dibokong oleh
Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka
menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret
ke dalam pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang
payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan
meluap-luap. Sin Liong menjadi bengong.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk
ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan
itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh
perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang
memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas kain putih
itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton
pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang terheran-heran
itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya,
pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya yang
kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah.
Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot
terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus,
sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara
sehingga mengkilap.
Rambutnya memakai kopyah
sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia
mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong
makin bingung. Betapa mungkin melukis
tujuh orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak itu? Sin Liong tidak lagi memperhatikan
pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan
nyaring dan tidak tahu bahwa tujuh orang itu telah ada yang terluka. Thian-he
Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok di pahanya sehingga terasa nyeri
sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya sehingga berdarah oleh
sebatang di antara Siang-kiam di tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan
Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar samapi
muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai
mengalami luka dalam yang parah.
Sin Liong melihat betapa
laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya, menyimpan
pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon,
memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya
melayang turun. "Tontonan tidak
bagus!" Terdengar dia berseru. "Tujuh orang tua bangka gila
memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu
sama sekali!"
Tujuh orang itu terkejut ketika
mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka itu. Mengertilah
mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan singkang yang amat kuat,
sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk menyerang mereka
dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang masih duduk bersila. Dengan
hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing.melintangkan senjata
di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagah yang baru muncul itu. Namun, tidak
ada seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi
marah sekali.
JILID 3
Bangsat kecil, engkau siapakah
berani mencampuri urusan kami dan memaki kami?" bentak Pat-jiu Kai-ong sambil
mengusap pundaknya yang berdarah.
Apa kau memiliki kepandaian maka
berani mencela kami, tikus kecil?" bentak pula Thian-he Te-it yang masih
ngilu rasa pahanya, dan untung bahwa pahanya itu tidak patah tulangnya. Laki-laki itu melangkah maju menghampiri
mereka dengan langkah tegap dan sikap sama sekali tidak takut, bahkan wajahnya
itu berseri-seri memandang mereka seorang demi seorang. kemudian, setelah berada
di tengah-tengah sehingga terkurung, dia berkata, " Tadinya aku hanya
mendengar bahwa ada seorang anak baik terancam oleh perebutan orang-orang
pandai di dunia kang-ouw. Ketika tiba disini dan melihat lagak kalian, mau
tidak mau aku masuk dan hatiku memang penasaran menyaksikan gerakan kalian yang
sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat dia itu tentu Pat-mo-tung-hoat yang
berdasarkan Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat," katanya sambil menuding ke arah
Pat-jiu Kai-ong. Raja pengemis itu terkejut sekali melihat orang mengenal ilmu
tongkatnya, padahal tadi mereka bertujuh bertanding dengan kecepatan luar
biasa, bagaimana orang ini dapat mengenal ilmu tongkatnya?
"Dan ilmu otngkat dia itu
lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Kauw Cee Thian Si Raja Monyet, akan
tetapi kaku dan mentah, tidak pantas menjadi gerakan Raja Monyet, pantasnya
menjadi gerakan Raja Tikus! Dia menuding arah Thian-tok.
"Brakkk!!" Batu besar
yang berada di samping Thian-tok hancur berantakan karena dipukul oleh tongkatnya.
Dia marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya menghina itu. "Manusia
lancang, berani kau menghina Thian-tok?" bentaknya dan tongkatnya sudah
diputar hendak menyerang. Akan tetapi
orang itu membentak, "Berhenti!" Dan aneh, suaranya demikian
berwibawa sehingga Thian-tok sendiri sampai tergetar dan menghentikan gerakan
tongkatnya. "Aku melihat kalian masing-masing memiliki kepandaian khusus
namun masih mentah semua. Aku tidak membohong dan kalau tidak percaya, marilah
kalian maju seorang demi seorang, akan kuperlihatkan kementahan ilmu silat
kalian yang kalian pergunakna dalam pertandingna kacau balau tadi. Hayo siapa
yang maju lebih dulu, akan kulayani dengan ilmu silat kalian sendiri!"
Ucapan ini lebih mendatangkan
rasa heran dan tidak percaya daripada kemarahan, maka Pat-jiu Kai-ong melupakan
pundaknya yang terluka, cepat dia sudah meloncat ke depan, melintangkan
tongkatnya di depan dada sambil berseru, "Nah, coba kaubuktikan kementahan
ilmu tongkatku!" Setelah berkata demikian, Raja Pengemis ini menyerang,
menggunakan tongkatnya untuk menusuk, kemudian gerakan ini dilanjutkan dengan
memutar tongkat ke atas menghantam kepala.
Memang gerakan tongkatnya adalah
gerakan pedang, dia ambil dari Ilmu Pedang Pa-mo-kiam-hoat. Hal ini adalah
rahasianya, maka dia heran sekali mendengar orang tampan gagah itu mengenal
ilmu tongkatnya dan sekaligus membuka rahasianya.
Enam orang tokoh yang lain adalah
orang-orang yang telah terkenal, maka mereka menahan kemarahan dan menonton
untuk melihat apakah orang yang tidak terkenal ini benar-benar memiliki
kepandaian aneh dan apakah benar-benar selihai mulutnya yang amat sombong itu.
Serangan Pat-jiu Kiam-ong itu
tidak ditangkis, akan tetapi tubuh orang itu tiba-tiba saja lenyap! Semua orang
kaget dan bengong melihat betapa tubuh orang itu tahu-tahu telah melayang turun
dari atas pohon, di tangannya terdapat sebatang cabang pohon, yang daunnya
telah dibersihkan. Demikian cepatnya dia tadi meloncat sehingga tidak tampak,
dan entah bagaimana cepatnya tahu-tahu dia telah membikin sebatang tongkat yang
ukurannya sama dengan tongkat yang dipegang Pat-jiu Kai-ong. Begitu dia turun,
Pat-jiu Kai-ong telah menyerangnya dengan kemarahan meluap.
"Nah, lihatlah. Bukankah ini
Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang kau rubah menjadi
Pat-mo-tung-hoat?" Dan orang itu pun kini mengimbangi permainan ilmu
tongkat Pat-jiu Kai-ong dengan gerakan yang sama! Jurus demi jurus dimainkan
orang itu untuk menangkis dan balas menyerang, namun.bedanya, serangannya jauh
lebih cepat dan lebih kuat tenaga sinkang yang menggerakkan tongkat
itu!Tokoh-tokoh lain hanya menduga-duga, mengira orang baru itu meniru gerakan
Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi Raja Pengemis ini sendiri mengenal gerakan orang
itu yang bukan lain adalah ilmu tongkatnya sendiri yang digubahnya sendiri! Dia
menjadi bingung dan heran, apalagi serangan orang itu cepatnya melebihi kilat
dan dalam belasan jurus saja, tiba-tiba terdengar suara keras, tongkat di
tangan Pat-jiu Kai-ong patah dan si Raja Pengemis ini sendiri terpelanting dan
mukanya pucat sekali karena tadi ujung tongkat lawannya telah menyambar dahinya
tepat diantara mata dan kalau dikehendakinya, tentu dia telah tewas, akan
tetapi orang aneh itu hanya mengguratnya saja sehingga kulit di bagian itu
robek dan berdarah.
Tahulah dia bahwa sia telah
berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampuinya,
tahu pula bahwa nyawanya diampuni maka tanpa banyak cakap dia lalu mundur dan berdiri
dengan muka pucat dan mulut berbisik, "Aku mengaku kalah!" Tentu saja
hal ini mengejutkan enam orang tokoh yang lain! Mereka tadi, dalam pertandingan
kacau balau, telah beradu senjata dengan Si Raja Pengemis, dan mereka maklum
bahwa selain ilmu tongkatnya amat lihai, juga tongkat itu sendiri merupakan
senjata pusaka yang kuat menangkis senjata tajam, di samping tenaga sinkang si
Kakek Jembel yang amat kuat. Namun, dalam belasan jurus saja kakek jembel itu mengaku
kalah, tongkatnya patah dan diantara alisnya terluka, sedangkan tadinya mereka
mengira bahwa orang yang baru datang itu hanya meniru-niru ilmu silat Pat-jiu
Kai-ong! "Si Jembel tua bangka
memang tolol!" Tiba-tiba Thian-he Te-it Ciang Ham meloncat ke depan,
tombaknya melintang di tangannya, sedangkan tangan kirinya dikepal, tangan kiri
yang mengandung tenaga mukjijat dan terkenal dengan sebutan Kang-jiu(Lengan
Baja) yang kuat menangkis senjata tajam!
Orang itu tersenyum sabar. Hemm, jadi tadi adalah Pat-jiu Kai-ong, ketua
Pat-jiu Kai-pang yang terkenal?
Heran ilmunya masih serendah itu
sudah berani malang melintang di Heng-san. Dan kau ini siapakah? Ginkangmu cukup lumayan akan tetapi permainan
tombakmu belum patut disebut Sin-jio(Tombak Sakti), dan pukulan itu, tentu yang
dinamakan Lengan Baja, sayangnya tidak cocok dengan sebutannya karena terlalu
lemah, hemm, terlalu lemah...!"
Muka Ciang Ham menjadi merah
sekali saking marahnya. Sudah menjadi kebiasaannya kalau dia lagi marah,
matanya mendelik dan kumisnya yang jarang itu bergoyang-goyang menurutkan bibir
atasnya yang tergetar! "Si keparat sombong! Tahukah engkau dengan siapa
engkau berhadapan? Aku adalah Thian-he Te-it (Nomor Satu Sedunia) ketua dari
Kang-jiu-pang di Secuan! Bersiaplah untuk mampus di tanganku!"
Kembali orang itu meloncat ke
atas, kini semua orang yang sudah memperhatikan seluruh gerak-geriknya melihat
bahwa orang itu benar-benar memiliki ginkang yang sukar dipercaya. Hanya dengan
mengenjot ujung kaki, tubuhnya melesat dengan kecepatan yang luar biasa sekali,
lenyap ke dalam pohon besar dan tak lama kemudian sudah melayang turun membawa
sebatang cabang yang panjangnya sama dengan tombak di tangan Ciang Ham, bahkan
ujungnya juga sudah diruncingkan, entah bagaimana caranya! "Nah, coba mainkan ilmu tombakmu dan
pukulan Lengan Bajumu yang masih mentah itu." Thian-he Te-it Ciang Ham
bukan main marahnya. Sambil mengeluarkan gerengan keras dia menerjang,
tombaknya bergerak dahsyat sehingga mata tombak berubah menjadai belasan
banyaknya, semua mata tombak itu seolah-olah menyerang bagian-bagian tertentu
dari lawannya! Namun orang itu pun menggerakkan tombak cabang pohon dengan
gerakan yang sama, bahakan mata "tombaknya" berubah menjadi dua puluh
lebih, membentuk bayangan tombak yang menyilaukan mata dan terjadilah pertandingan
tombak yang amat aneh karena gerakan mereka sama. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati
Thian-he Te-it Ciang Ham. Ilmu tombak itu adalah ciptaannya sendiri dan selama
ini belum pernah diajarkan kepada siapapun juga, merupakan kepandaian khasnya
yang ampuh. Akan tetapi sekarang dia melihat orang ini mainkan ilmu tombaknya
dengan gerakan yang lebih cepat dan lebih kuat!
Marahlah dia. "Setan
kau!" dia memaki dan kini tombaknya membuat lingkaran besar,
menyambar-nyambar diatas kepala sedangkan lengan kirinya melakukan pukulan maut
karena lengan itu seolah-olah merupakan sebuah senjata baja yang kuat
sekali.."Bagus," orang itu berseru, tombaknya bergerak pula menyambut
tombak lawan dan terdengar suara "krekkk" ketika ujung tombak
Thian-he Te-it patah disusul bertemunya dua buah lengan. "Desss...!" Thian-he Te-it Ciang
Ham mengaduh, melemparkan tombaknya yang patah, menggunakan tangan kanan
mengurut-urut lengan kirinya. Lengan kiri yang terkenal dengan sebutan Lengan
Baja itu, yang berani menangkis senjata tajam lawan, begitu bertemu dengan
lengan lawan, berubah menjadi seperti bambu bertemu besi. Tulangnya retak dan
sakitnya bukan main! Dia pun bukan anak kecil, seketika tahulah dia bahwa dia
berhadapan dengan seorang yang tingkat kepadaiannya jauh lebih tinggi, membuat
dia seolah-olah berhadapan dengan gurunya, maka dia meloncat ke belakang,
meringis dan berkata nyaring, "Aku kalah!"
Hening sejenak. Lima orang tokoh
lain terheran-heran, hampir tidak dapat percaya akan peristiwa yang telah
terjadi. Biarpun mereka mulai merasa heran dan gentar, namun rasa penasaran
membuat mereka lupa akan kenyataan bahwa orang itu benar-benar lihai. Mereka
hendak membuktikan sendiri apakah benar orang aneh ini dapat memainkan ilmu
istimewa mereka yang selama ini mengangkat nama mereka di tempat tinggi di
dunia kang-ouw.
"Hayo, siapa lagi yang ingin
memamerkan ilmunya yang masih mentah?" Orang itu sengaja menantang sambil
melemparkan tombak cabang pohon yang telah berhasil mematahkan ujung tombak
pusaka di tangan Ciang Ham tadi.
"Aku ingin mencoba!"
Thian-tok sudah melompat ke depan dengan gerakan seperti seekor kera dan tangan
kirinya menggaruk-garuk pantat, tangan kanan memegang tongkat Kim-kauw-pang itu
memutar-mutar tongkatnya.
"Nanti dulu," kata
orang itu. "Yang bertombak tadi, bukankah dia yang terkenal sekali sebagai
ketua Kang-jiu-pang di Secuan? harap Pangcu (Ketua) menjaga agar anak buahmu
tidak merendahkan nama Kang-jiu-pang dengan melakukan perbuatan melanggar hukum
dan memperbaiki ilmu silatnya." Ciang Ham tidak menjawab, hanya kumisnya
bergoyang-goyang karena marahnya.
"Dan Anda ini, apakah
mempunyai kudis di pantat, ataukah memang hendak meniru lagak seekor monyet? Kalau begitu, tentulah Anda yang berjuluk
Thian-tok, yang kabarnya menjadi pemuja Kauw Cee Thian, terkenal dengan Ilmu
Tongkat Kim-kauw-pang dan Ilmu Silat Sin-kauw-kun." "Dugaanmu benar,
akulah Thian-tok! Siapakah namamu, manusia sombong?" Thian-tok Bhong Sek
Bin membentak marah. "ataukah kau tidak berani mengakui namamu dan
bersikap sebagai seorang pengecut tukang mencuri ilmu orang lain?"
Biarpun diserang dengan kata-kata
yang menghina itu, orang ini tersenyum saja dan menjawab, "Namaku tidak
ada perlunya kauketahui. Kalau aku tidak mampu mengalahkan engkau dengan ilmumu
sendiri, barulah aku akan memperkenalkan diri dan boleh kau perbuat sesukamu
terhadap diriku." Thian-tok lalu mengeluarkan suara memekik nyaring
seperti seekor kera marah, akan tetapi sebelum dia menyerang laki-laki aneh itu
telah menyambar tombak cabang pohon yang tadi dilemparnya ke atas tanah. Tombak itu panjang dan sekali dia
menggerakkan jari tangannya, ujung tombak cabang yang runcing itu telah patah
dan berubahlah tombak itu menjadi sebatang tongkat yang panjangnya sama dengan
Kim-kauw-pang di tangan Thian-tok! Thian-tok sudah menerjang dengan gerakan
lincah sekali. Kim-kauw-pang ditangannya diputar-putar sedemikian rupa,
mulutnya menggeluarkan pekik-pekik dahsyat dan tubuhnya sampai lenyap
terbungkus gulungan sinar tongkat sendiri. Namun dengan enaknya orang itu pun
memutar tongkatnya, serupa benar dengan gerakan Thian-tok bahkan mulutnya juga
mengeluarkan pekik seperti monyet itu dan terjadilah pertandingan yang aneh dan
lucu, seolah-olah bukan sedang bertanding, melainkan Thian-tok sedang berlatih
silat dengan gurunya.
Gerakan mereka sama, akan tetapi
gerakan orang itu lebih cepat dan lebih mantap. Kembali belum sampai dua puluh
jurus terdengar suara keras, Kim-kauw-pang di tangan Thian-tok patah-patah
menjadi tiga.potong dan Si Racun Langit itu terhuyung mundur dengan muka pucat
karena tulang pundaknya hampir patah terpukul tongkat lawan!
Melihat betapa bekas suhengnya
kalah, Tee-tok marah sekali. Siang-kiam di punggungnya telah dicabutnya dan
tanpa banyak cakap lagi dia telah meloncat maju.
"Keluarkan senjatamu,
manusia licik! Akulah Tee-tok, hayo lawan siang-kiam-ku ini kalau kau memang gagah!"
Orang itu menjura, "Aha,
kiranya Tee-tok Siangkoan Houw yang terkenal. Kulhat tadi ilmu pedangmu adalah
pecahan dari Hui-liong-kiamsut, dan kau pandai pula menggunakan Ilmu Silat
Pek-lui-kun. Akan tetapi seperti yang lain, gerakanmu masih mentah."
"Tak usah banyak cakap!
Lawanlah ilmuku!" Bentak Tee-tok dengan marah dan dia sudah menerjang
maju. Laki-laki iut mematahkan
tongkatnya menjadi dua potong tongkat yang sama dengan pedang-pedang di kedua
tangan Tee-tok, dan begitu dia menggerakkan kedua tangannya, tampaklah
sinar-sinar bergulung dengan gerakan yang persis seperti gerakan Tee-tok yang
memutar sepasang pedangnya. Kembali
terjadi pertandingan yang hebat, seru dan aneh. Berkali-kali terdengar suara
nyaring bertemunya pedang dengan tongkat, namun anehnya, tongkat dari cabang
pohon itu sama sekali tidak dapat terbabat putus, bahkan kedua tangan Tee-tok
selalu terasa panas dan perih setiap kali pedangnya bertemu tongkat! Dengan teliti Tee-tok memperhatikan gerakan
orang dan dia terkejut. Memang benar
bahwa orang itu mainkan jurus-jurus ilmu pedangnya! Dan bukan hanya mainkan jurus
ilmu pedangnya, bahkan telah mendesaknya dengan tekanan yang hebat karena orang
itu jauh lebih lincah dan lebih kuat daripada dia.
Lewat lima belas jurus, Tee-tok
berseru, "Aku mengaku kalah!" Dia meloncat mundur, menyimpan
pedangnya dan mengangkat tangan menjura ke arah orang itu sambil berkata,
"Harap kau menerima penghormatanku dengan Pek-lui-kun!" Kelihatannya
saja dia memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, namun
dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan maut yang mendatangkan
hawa panas dan yang dapat membunuh lawan dari jarak tiga empat meter tanpa
tangannya menyentuh tubuh lawan! Itulah pukulan Pek-lui-kun(Kepalan Kilat) yang
mengandung tenaga sakti yang amat kuat! Orang
itu sudah melempar sepasang tongkat pendeknya, sambil tersenyum dia pun mejura
dengan gerakan yang sama.
Terjadilah adu tenaga yang tidak
tampak oleh mata. Di tengah udara, diantara kedua orang itu terjadi benturan
tenaga dahsyat dan akibatnya membuat Tee-tok terpental ke belakang, terhuyung
dan dari mulutnya muntah darah segar! Dia tidak terluka hebat karena tenaganya
Pek-lui-kun membalik, hanya tergetar hebat dan mukanya makin pucat.
"Engkau hebat! Aku bukan
tandinganmu!" kata Tee-tok dengan jujur, dan memandang dengan mata terbelalak
penuh kagum dan juga penasaran. "Engkau luar biasa sekali dan aku amat
kagum kepadamu, sahabat!" Gin-siauw Siucai berkata sambil melangkah maju.
"Aku tahu bahwa agaknya aku pun bukan tandinganmu, akan tetapi hatiku
penasaran sebelum melihat engkau mainkan ilmu-ilmuku yang tentu kauanggap masih
mentah pula. Aku adalah Gin-siauw Siucai dari Beng-san, senjataku adalah suling
dan pensil bulu entah kau bisa mainkannya atau tidak."
"Gin-siauw Siucai, sudah
lama aku mendengar namamu yang terkenal. Jangan khawatir, aku tentu saja dapat
mainkan ilmumu. Dengan ranting pendek ini aku meniru sulingmu, dan aku pun
memiliki sebatang pensil bulu." Orang itu memungut sebatang ranting yang
panjangnya sama dengan suling perak di tangan Gin-siauw Siucai, juga dia
mencabut keluar pensil bulu yang tadi dia pergunakan untuk mencoret-coret ketika
tujuh orang tokoh sakti itu sedang saling bertempur. Akan tetapi kalau pensil
bulu di tangan Gin-siauw Siucai adalah pensil yang dibuat khas, bukan hanya
untuk menulis akan tetapi juga dipergunakan sebagai senjata sehingga gagangnya
terbuat dari baja tulen, adalah pensil di tangan orang itu hanyalah sebatang
pensil biasa saja.
Berkerut alis Gin-siauw Siucai.
Orang itu dianggapnya terlalu memandang rendah kepadanya. Akan tetapi karena
orang itu tersenyum-senyum dan meniru menggerak-gerakkan pensil dan "suling"
di tangannya, dia.lalu berkata, "Apa boleh buat, engkau sudah memperoleh
kemenangan. Kalau kau kalah, orang akan menyalahkan aku yang menggunakan
senjata lebih kuat. Kalau aku yang kalah, engkau akan menjadi makin terkenal,
sungguhpun kami belum tahu siapa kau. Nah, mulailah!" Siucai ini cerdik
dan dia sengaja menantang agar lawannya bergerak lebih dulu.
Akan tetapi orang itu tersenyum
dan sambil menggerakkan kedua senjata istimewa itu berkata, "Lihat
baik-baik, Siucai. Bukankah ini jurus terampuh dari suling dan pensilmu?"
Kedua tangan orang itu bergerak dan Gin-siauw Siucai terkejut mengenal
jurus-jurus maut dari kedua senjatanya dimainkan oleh orang itu untuk
menyerangnya! Tentu saja dia dapat memecahkan jurus ilmunya sendiri dan
berhasil menangkis kedua senjata lawan, akan tetapi seperti juga yang lain
tadi, dia merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat, tanda bahwa dalam hal
sinkang, dia masih kalah jauh. Namun, Siucai ini merasa penasaran sekali.
Puluhan tahun dia bertapa di Beng-san menciptakan ilmu-ilmu silat tinggi yang
dirahasiakan dan belum pernah diajarkan kepada siapapun juga. Bagaimana
sekarang telah dicuri oleh orang ini tanpa dia mengetahuinya? Dia melawan
mati-matian, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dari kedua senjatanya, namun
karena kalah tenaga, setiap kali tertangkis dia terhuyung. Seperti juga yang
lain dia tidak mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus. Terdengar suara keras
dan kedua senjatanya itu, suling dan pensil patah-patah bertemu dengan senjata
lawan yang sederhana itu. Dia meloncat ke belakang, menjura dan berkata,
"Kepandaian Taihiap(Pendekar Besar) memang amat hebat, aku yang bodoh
mengaku kalah." Orang itu tersenyum dan memuji "Tidak percuma julukan
Gin-siauw Siucai karena memang hebat kepandaianmu." Ucapan itu dengan
jelas menunjukkan kekaguman, bukan ejekan, maka Gin-siauw Siucai menjadi makin
kagum dan terheran-heran.
"Sekarang tiba giliran pinto
untuk kau kalahkan, sahabat yang gagah. Akan tetapi karena sepasang senjata pinto
adalah hudtim dan kipas, yang tentu saja tidak dapat kautiru, bagaimana kalau
kita bertanding dengan tangan kosong? Hendak kulihat apakah kau mampu
mengalahkan pinto dengan ilmu silat tangan kosong pinto sendiri?"
Orang itu masih tersenyum, akan
tetapi diam-diam ia terkejut. Tak disangkanya tosu ini amat cerdik. Dia belum
pernah melihat tosu ni mainkan ilmu silat tangan kosong, bagaimana dia akan
dapat menirunya? Akan tetapi dengan
tenang dia menjawab, "Tentu saja saya akan melayani kehendak Totiang, akan
tetapi sebelum bertanding, saya harap Totiang tidak keberatan untuk
memperkenalkan nama." "Siancai...! Anda licik, sobat. Semua orang
hendak dikenal namanya, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama.
Baiklah, pinto adalah Lam-hai Seng-jin yang berkepandaian rendah..." "Aihh,
kiranya Tocu (Majikan Pulau) dari pulau kura-kura? Telah lama mendengar nama
Totiang, girang hati saya dapat bertemu dan bermain-main sebentar dengan
Totiang." "Nah, siaplah!" Lam-hai Seng-jin sudah memasang
kuda-kuda sambil memandang tajam ke arah lawan karena dia ingin sekali tahu
apakah benar lawan ini akan dapat menjatuhkan dia dengan ilmu silatnya sendiri!
Diam-diam orang itu memperhatikan dan tersenyum, lalu dia pun memasang
kuda-kuda yang sama, kuda-kuda dari Ilmu Silat Tangan Kosong Bian-sin-kun
(Tangan Kipas Sakti), semacam ilmu silat yang berdasarkan sinkang tinggi sekali
tingkatnya sehingga telapak tangan menjadi halus seperti kapas, namun
mengandung daya pukulan maut yang dahsyat sekali.
"Hiiaaatttttt....!!"
Tosu itu sudah menerjang dengan pukulan mautnya. Tampak olehnya lawannya
mengelak cepat dengan gerakan aneh, sama sekali bukan gerakan ilmu silatnya,
akan tetapi betapa kagetnya melihat bahwa begitu mengelak lawan itu dalam detik
berikutnya sudah menerjangnya dengan jurus yang sama, jurus yang baru saja dia
pergunakan! Maklum akan hebatnya jurus ini, dia pun cepat mengelak untuk memecahkan
ilmunya sendiri, namun harus diakui bahwa elakan orang tadi dengan gerakan aneh
jauh lebih cepat dan bahkan sambil mengelak orang itu dapat balas menyerang!
Kembali Lam-hai Seng-jin
menyerang dengan jurus lain yang lebih dahsyat, dan seperti juga tadi lawannya
meloncat dan tahu-tahu telah membalasnya dengan serangan dari jurus yang sama!
Tentu saja dia dapat pula menghindarkan diri dan makin lama dia menjadi makin
penasaran. Dikeluarkan semua ilmu simpanan, jurus-jurus maut dari Bian-sin-kun
sampai delapan jurus banyaknya. Semua jurus dapat dihindarkan orang itu dan
tiba-tiba orang itu berseru, "Totiang, jagalah serangan Ilmu Silat
Bian-sin-kun!".Dan dengan gencar kini orang itu menyerangnya dengan
jurus-jurus yang tadi sudah dikeluarkannya, delapan jurus paling ampuh dari
Bian-sin-kun. Karena gerakan orang itu cepat bukan main, Lam-hai Seng-jin sama
sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang sehingga dia terancam
dan terdesak hebat oleh ilmu silatnya sendiri. Biarpun dia tahu bagaimana utnuk
memecahkan jurus-jurus serangan dari Bian-sin-kun, namun karena kalah tenaga
dan kalah cepat, akhirnya punggungnya kena ditampar dan dia terpelanting,
mukanya pucat dan dia harus cepat-cepat mengatur pernafasannya agar isi dadanya
tidak terluka.
"Siancai...engkau
benar-benar seorang manusia ajaib..." akhirnya dia berkata sambil bangkit
perlahan-lahan. "Lepaskan
aku...!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan semua orang menengok ke arah
Sin-tong dan melihat betapa anak ajaib itu telah dipondong oleh lengan kiri
Kiam-mo Cai-li. "Hei, lepaskan
dia!" Enam orang kakek sakti maju berbareng.
"Mundur!" Kiam-mo
Cai-li membentak dan menempelkan ujung payung pedang di tangan kanan itu ke leher
Sin Liong. "Mundur kalian, kalau tidak dia akan mati!"
Melihat ancaman ini, enam orang
itu terpaksa melangkah mundur semua. Laki-laki aneh itu memandang dengan sinar
mata berkilat, kemudian dia melangkah maju dan suaranya halus namun penuh wibawa
ketika dia berkata, "Kiam-mo Cai-li, lepaskan bocah yang tidak berdosa
itu!" "Hi-hik, enak saja kau. Mundur atau dia akan mampus di ujung
payungku!" Dia menempelkan ujung payung yang runcing itu ke leher Sin
Liong yang tak mampu bergerak dalam pelukan lengan kiri yang kuat itu.
Akan tetapi, tidak seperti enam
orang kakek yang lain, laki-laki itu masih tersenyum dan masih melangkah maju,
membuat Kiam-mo Cai-li mundur-mundur dan dia berkata, "Bocah itu tidak ada
hubungan apa-apa dengan aku. Kalau kau bunuh dia, bunuhlah. Akan tetapi demi
Tuhan, aku akan menangkapmu dan akan memberikan tubuhmu kepada Beruang Es untuk
menjadi makanannya!" Berkata demikian, laki-laki itu menanggalkan jubah
luarnya.
"Kau...kau..Pangeran Han Ti
Ong...."
"Pangeran Han Ti Ong...!"
Para tokoh kang-ouw itu berteriak.
"Pangeran Pulau
Es....!"
Kiam-mo Cai-li yang tadinya sudah
merasa bahwa bocah ajaib itu tentu dapat dibawanya, menjadi marah sekali. Dia
menjerit dengan lengking panjang rambutnya menyambar ke depan, ke arah leher
Pangeran Han Ti Ong, dan pedang payungnya juga meluncur dengan serangan yang
dahsyat. Laki-laki itu, yang disebut
Pangeran Han Ti Ong, tenang-tenang saja, tidak mengelak ketika ujung rambut yang
tebal itu seperti seekor ular membelit lehernya, akan tetapi ketika pedang
payung berkelebat menusuk, dia menangkap payung itu dan sekali menggeakkan
tangan pedang payung itu dan sekali menggerakkan tangan pedang payung itu
membabat putus rambut yang melibat lehernya. Tangannya tidak berhenti sampai di
situ saja.
Selagi Kiam-mo Cai-li menjerit
melihat rambut yang dibanggakan dan andalkan itu putus setengahnya, kedua
tangan Pangeran Han Ti Ong bergerak, dan tahu-tahu tubuh Sin Liong dapat
dirampasnya setelah lebih dulu dia menampar punggung wanita iblis itu sehingga
tubuh Kiam-mo Cai-li menjadi lemas dan seperti lumpuh!
Dengan Sin Liong dalam pondongan
lengan kirinya, kini Pangeran Han Ti Ong membalik dan
menghadapi tujuh orang itu, tidak
mempedulikan Kiam-mo Cai-li yang mangeluh dan merangkak bangun.."Apakah
masih ada diantara kalian yang hendak mengganggu anak ini? Sekali ini aku tentu
tidak akan bersikap halus lagi!"
"Siancai....!" Lam-hai
Sian-jin menjura, "Harap Ong-ya maafkan pinto yang tidak mengenal Ong-ya sehingga
bersikap kurang ajar."
"Maafkan aku,
Pangeran."
"Maafkan saya..."
Enam orang kakek itu menggumam
maaf, hanya Kiam-mo Cai-li saja yang tidak minta maaf, bahkan wanita ini
berkata, "Pangeran Han Ti Ong, kau tunggu saja, Kiam-mo Cai-li tidak biasa
membiarkan orang menghina tanpa membalas dendam!"
"Hemmm, terserah kepadamu.
Aku selalu berada di Pulau Es. Nah, pergilah kalian, orang-orang tua yang tak
tahu diri, tega mengganggu seorang bocah."
Dengan kepala menunduk, tujuh
orang tokoh kang-ouw yang namanya terkenal itu meninggalkan Hutan Seribu Bunga.
Karena mereka mempergunakan kepandaiannya, maka hanya nampak bayangan-bayangan mereka
berkelebat dan sebentar saja sudah lenyap dari tempat itu.
"Hemmm...berbahaya..." Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela
napas panjang sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya.
"Locianpwe selain sakti dan
budiman juga cerdik sekali..." Sin Liong berkata memuji sambil memandang wajah
Pangeran itu dengan kagum.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya.
"Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa artinya kau mengatakan
aku cerdik?"
"Locianpwe mengalahkan
mereka, berarti Locianpwe sakti sekali, Locianpwe mengampuni dan membiarkan
mereka lolos, berarti Locianpwe budiman, dan Locianpwe tadi mencatat
gerakan-gerakan mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka
sendiri yang sudah Locianpwe catat berarti Locianpwe cerdik sekali."
Wajah yang gagah itu berubah,
mata yang tajam itu memandang heran dan kagum, kemudian dia berkata, "Wah,
dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat melawanmu! Akal dan kecerdikan
memang amat perlu untuk mempertahankan hidup di dunia yang penuh bahaya ini.
Tahukah engkau bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka dengan
mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju bersama
mengeroyokku, belum tentu aku dapat menang! Sekarang kau sudah bebas dari
bahaya, nah, aku pergi...!"
Melihat orang itu membalikkan
tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong memandang ke arah mayat sebelas
orang dusun yang masih menggeletak di situ maka dia berseru, "Locianpwe....". Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan
menoleh. Dia merasa heran sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah
orang kecuali suara ayahnya, raja ketiga dari Pulau Es. Akan tetapi, ada
sesuatu dalam suara bocah itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan
langkahnya, lalu menoleh dan bertanya, "Ada apa lagi?"
Dengan masih berlutut Sin lIong
berkata, "Locianpwe, sudilah kiranya Locianpwe menerima teecu sebagai murid."
Han Ti Ong kini memutar tubuh dan
menghampiri anak yang masih berlutut itu.
"Bocah, siapa
namamu?"."Teecu She Kwa, bernama Sin Liong. Dengan ringkas Sin Liong
lalu menuturkan tentang kematian ayah
bundanya dan mengapa dia
melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu karena dia ngeri dan muak menyaksikan
kekejaman manusia dan merasa mendapatkan tempat yang tentram dan damai di
tempat itu. "Hemm, kau ingin
menjadi muridku hendak mempelajari apakah?"
"Mempelajari kebijaksanaan
yang dimiliki Locianpwe dan tentu saja mempelajari ilmu kesaktian." "Kalau
kau hanya ingin belajar silat mengapa tadi kau menolak ketika para tokoh
menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu adalah tokoh-tokoh
yang memiliki kesaktian hebat." "Namun teecu masih melihat kekerasan
di balik kepandaian mereka. Teecu kagum kepada Locianpwe bukan hanya karena
ilmu kesaktian, terutama sekali karena sifat welas asih pada diri
Locianpwe." "Tapi kau hendak belajar silat, mau kaupakai untuk apa?
Bukankah kau lebih dibutuhkan dan berguna berada disini bagi penduduk sekitar
Jeng-hoa-san?"
"Maaf Locianpwe. Tidak ada
seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu kesaktian dalam tindakan
kekerasan. Dan tidak tepat pula kalau kepandaian teecu disini berguna bagi para
penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa
mengobati orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas orang ini,
tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali.
Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe, apakah sebelas orang ini
akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa menolong orang
tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk menyelamatkan sesama
manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan
teecu."
"Aku adalah seorang penghuni
Pulau Es. Hidup disana tidaklah mudah dan enak, tidak seperti disini. Kau akan
mengalami kesukaran, bahkan menderita ditempat yang dingin itu." "Kesukaran
apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai
tanpa jerih payah, Locianpwe."
Han Ti Ong tersenyum. Memang dia
sudah tertarik sekali melihat bocah yang dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama
sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang
lain yang lemah.
Selain itu, pandang matanya yang
tajam dapat melihat bahwa bocah ini memang benar-benar bocah ajaib, memiliki
ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa, juga memiliki darah dan tulang bersih,
bakatnya malah jauh lebih besar daripada dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak
mau menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa malu terhadap
diri sendiri, karena kalau dia mengambil anak ini sebagai murid lalu apa
bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi. Akan tetapi, memang
ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang mengajukan permohonan agar
diterima menjadi muridnya.
"Kalau memang sudah bulat
kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin-Liong. Mari kauikut bersamaku, akan
tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong kembali membalikkan
tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu...!"
Pangeran itu mengerutkan alisnya.
Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang luar biasa di balik suara anak itu yang
memaksanya menoleh! Dengan suara kesal dia berkata, "Mau apa lagi?" "Maaf,
Suhu. Teecu mana bisa meninggalkan sebelas buah mayat itu disini begini
saja?"
"Habis, apa maumu?"
"Teecu harus mengubur mereka
lebih dulu sebelum pergi."."Kalau aku melarangmu?" Teecu tidak
percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan
tetapi andaikata Suhu benar melarang teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan
tetap akan mengubur mayat-mayat ini."
Sepasang mata pangeran itu
terbelalak penuh keheranan. Anak berusia tujuh tahun sudah berani memiliki
pendirian seperti batu karang kokohnya.
"Murid macam apa kau ini?
Belum apa-apa sudah siap membangkang terhadap Guru!" "Teecu menjadi
murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu yang baik. Kalau teecu
mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu menyeret
Suhu ke dalam kesesatan." Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia
marah, akan tetapi dia dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang
kelihatan kurang ajar ini dan dia mengangguk-angguk. "Lakukanlah
kehendakmu, aku menunggu."
"Terima kasih! Teecu memang
tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!" Dengan wajah berseri Sin
LIong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan
yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian
orang-orang dusun dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar
obat, maka tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat
bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah!
Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya
itu yang bekerja keras. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan
akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki
tangannya sudah pegal-pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh,
menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan
tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja.
Sudah setengah hari mencangkul,
baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau
dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua mayat,
ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih! "Hemm, hatinya lembut tapi kemauannya
keras. Benar-benar bocah ajaib." Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu
bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa
lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang
mundur dan menonton menjadi kabur pandangan matanya karena seolah-olah tubuh
gurunya berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah
terbuat sebuah lobang yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah
mayat itu. Tentu saja hati Sin lIong girang bukan main dan satu demi satu
diangkat, atau lebih tepat diseeretnya mayat-mayat itu, dimasukkan ke dalam
lubang dan air matanya bercucuran! Han
Ti ong membantu muridnya mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat
itu, di depan gua tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar
sekali. "Sudahlah, sudah mati
ditangisipun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!" Sin Liong merasa
lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus memejamkan matanya
karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat cepatnya meninggalkan
Gunung Jeng-hoa-san, entah kemana! Akan
tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan
dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang berlari
cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat dimana suhunya melarikan
diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Tiba-tiba dia melihat
sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru, "Suhu,
harap berhenti dulu!" Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?"
"Suhu, disana itu..."
Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik
sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu
adalah sekumpulan mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya
menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu diganggu oleh binatang-binatang buas
sehingga berserakan kesana-sini.."Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus
mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah bekas-bekas manusia seperti kita
juga. Kasihan kalau tidak diurus..."
"Wah, kau memang gatal-gatal
tangan ! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?" Han
Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk diatas sebuah batu dari
tempat agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu
terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk
pun tercium baunya yang hampir membuatnya muntah.
Dengan langkah lebar Sin Liong
menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan. Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong
yang terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan
sebatang pisau kecil, pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong-motong daun
dan akar dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu
hendak menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya
dengan menggunakan sebatang pisau kecil! Hampir saja Han Ti Ong tertawa
tergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat kenyataan bahwa muridnya
ini benar-benar seorang bocah ajaib yang mempunyai pribadi luhur dan wajar
tanpa dibuat-buat! Dengan kagum dia
meloncat bangun, lari menghampiri yang telah menggali lubang beberapa sentimeter
dalamnya.
"Cukup Sin Liong. Lubang itu
sudah cukup lebih dari cukup untuk mengubur mereka."
"Ehhh...? Mana mungkin,
Suhu...?
"Ha, kau masih meragukan
kelihaian suhumu? Lihat baik-baik!" Han Ti Ong lalu mengeluarkan sebuah botol
dari saku jubahnya, menggunakan ujung sepatunya mencongkel mayat-mayat itu
menjadi setumpukan barang busuk, dan dia menuangkan benda cair berwarna kuning
dari dalam botol ke atas tumpukan mayat.
Tampak uap mengepul dan tumpukan
mayat itu mencair, dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena semua,
berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir ke dalam lubang
yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan meresap
ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih dari cukup untuk menampung cairan
itu.
Dengan mata terbelalak penuh
kagum, Sin Liong lalu menguruk lagi lubang itu dan berlutut di depan kaki
suhunya, "Suhu, terima kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh sakti dan
budiman." "Aahhh....!" Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia
mengeluarkan seruan itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut
budiman kalau mengubur mayat-mayat itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan
dia "terpaksa" oleh muridnya?
"Kalau aku tidak salah
lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan
dan entah siapa yang dapat membunuh mereka.
Mereka kelihatan bukan
orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita pergi, Sin Liong!" Kembali
murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu berlari cepat
seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni Pegunungan Jeng-hoa-san. Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang
dikempit(dijepit di bawah lengan) berseru, "Haiii Suhu, harap berhenti
dulu...!"
Han Ti Ong menjadi gemas. Akan
tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari kempitan di bawah ketiaknya.
"Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting sekali, aku akan marah!"
"Lihat disana itu, Suhu.
Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah
mati disana..." Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari
menghampiri sesosok tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ.
Tubuh itu tidak bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong
mengerti bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja..Dia
tersenyum dan melihat muridnya sudha menjatuhkan diri berlutut di depan orang
itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya, "Eihh, Suhu!
Dia seeorang wanita!" Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah
muridnya dan melihat betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu sudha
meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan dahsyat.
"Wuuuttt........... plakkk!
Augghhh....!!" Wanita yang mukanya kotor matanya merah dan rambutnya
awut-awutan
itu menjerit ketika pukulannya
tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia terhuyung ke belakang,
sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong, kemudian menangis tersedu-sedu dan bergulingan
diatas tanah menangis seperti seorang anak kecil.
"Jangan....aughhh,
jangan....lepaskan aku....lepaskan ...! Jangan bunuh mereka...!" Sin Liong
tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang penuh kasihan.
Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang wanita yang berotak miring!
"Toanio(Nyonya), kau
kenapakah...? Sin Liong melangkah ke depan.
Tiba-tiba wanita itu meloncat bangun dan Han Ti Ong sudah siap
melindungi muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi
wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh. "Hi-hi-hi-hikk!" Aneh sekali,
ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang amat cantik manis!
Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah
mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu
besar, rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor
terkena debu dan air mata, matanya merah dan membengkak. "Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu
Kai-ong, aku bersumpah akan membunuhmu untuk membalas kematian dua belas orang
Suhengku!" Kemudian dia menangis lagi. " Hu-hu-huuuuuh.... Cap-sha
Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis terbasmi...."
Han Ti Ong terkejut dan
teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal
sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa pembela keadilan dan kebenaran,
teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua belas pria dan seorang wanita,
kalau tidak salah, saudara termuda. "Nona,
apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?"
tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
"Jangan sentuh aku! Manusia
terkutuk, jangan sentuh aku lagi!" Dan tiba-tiba wanita itu menyerang
dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok.
Robohlah wanita itu, roboh dalam
keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
"Suhu, mengapa....?"
Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh, kalau tidak kutotok,
tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?"
Sin Liong berlutut dan melihat
wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak. Setelah memerikasa sebentar, dia
menarik napas panjang. "Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat,
membuat dia menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di
Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang utnuk
mengobatinya."
"Hemm, kau lihatlah Gurumu
mencoba untuk mengobatinya." Han Ti Ong megeluarkan sebatang jarum emas
dari sakunya, setelah membersihkan ujungnya dia lalu mengahampiri wanita itu
dan menusukkan jarum emasnya di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri dan
ubun-ubun! Sin Liong memandang dengan mata terbelalak..Dia sudah mendengar dari
ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi
sekarang dia menyaksikannya. Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan
pernapasan yang panjang dan tenang. Ketika gurunya mencabut jarum dan
menyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah
sudah ada perubahan?"
Sin Liong membuka pelupuk mata
dan meihat bahwa mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar aneh yang
liar, kini telah normal kembali. Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di
depan Suhunya. "Suhu, teecu seperti
buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula." "Hemm,
dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu? Akan tetapi
aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak
akan kuajarkan kepadamu." "Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan,
harap Suhu tidak keberatan." "Hemm, apa lagi?" "Harap Suhu
suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan kita."
"Kau..............kau gila.......?"
"Suhu, dia belum sembuh
benar. Kalau dia dibiarkan disini, lalu datang orang jahat, bagaimana?"
"Ha, kau tidak usah
khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, ilmu kepandaiannya
tinggi.
Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang
suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah mayat-mayat yang tadi kita kubur.
Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain itu, kalau dia teringat
akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan kumat gilanya dan
apakah Suhu tega membiarkan dia seperti itu?" Han Ti ong memandang wajah
wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin itu. Dia terheran sendiri mengapa
wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar
biasa di hatinya? Mengapa dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita
muda ini? Apakah dia sudah "Ketularan" watak muridnya, ataukah...
ataukah...? Dia tidak berani membayangkan. Selama ini hanya isterinya
seoranglah wanita yang menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan
tetapi perempuan gila ini.. entah mengapa, telah membuat dia tertarik dan
kasihan sekali. "Sudahlah, kau
memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar kita
membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya."
Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri!
"Teecu tahu, Suhu adalah
seorang yang budiman."
Dengan hati mengkel karena ucapan
muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia mau menolong dara ini sama
sekali bukan karena dia budiman, melainkan karena dia kasihan dan terutama
sekali... tertarik hatinya, dengan kasar dia lalu mengempit tubuh wanita itu di
bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya
dan larinya Pangeran yang sakti ini secepat terbang menuju ke pantai lautan.
Siapakah sebetulnya manusia sakti
yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw itu? Siapakah Pangeran Han Ti Ong
yang pada bagiaan dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas
itu?
Dia adalah pangeran dari Pulau
Es. Pulau ini merupakan pulau rahasai yang hanya dikenal orang kang-ouw seperti
dalam dongeng karena tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu
kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan mereka ini
ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni Pulau Es,
sebuah pulau dari es dimana terdapat istana indah dan merupakan sebuah kerajaan
kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil
kembali ke daratan, para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu
sehingga nama sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di Pulau Es itu dibangun
oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang
pangeran yang amat sakti, seorang
pangeran yang dianggap pemberontak karena berani menentang.kehendak kaisar, dan
pangeran ini bersama keluaraganya menjadi pelariaan. Dengan kesaktiannya, dia berhasil
melarikan keluarganya ke pantai timur dan menggunakan sebuah perahu utnuk
mencari tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau di timur di mana dahulu sudah
banyak orang-orang pandai dari daratan yang melarikan diri dan menjadi buronan
karena berani menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang! Akan tetapi dia tersesat jalan, perahunya
dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu
itu mendarat di sebuah pulau. Pulau Es! Melihat pulau itu tersembunyi, baik sekali
dijadikan tempat persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat pulau-pulau
lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran pelarian ini mengambi keputusan
untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan
orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi
pengikut-pengikutnya. Dibangunnya sebuah istana yang kecil namun indah di Pulau
itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini!
Berkat kebijaksanaan Raja Pulau
Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tentram dan penuh
kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para pengikutnya
membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu berkembang biak. Karena
kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang luar,
maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu. Raja itu mewariskan
kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan
tentu saja para pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi.
Pangeran Han Ti Ong adalah
keturunan ke empat dari raja pertama di Pulau Es. Pangeran ini berbeda dengan
keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es
dan hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di pulau-pulau kosong
sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur-sayuran atau berburu
binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat sunyi itu.
Dia sering kali pergi dari pulau
dan diam-diam dia melakukan perantauan di daratan! Dia adalah orang yang paling
banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya sehingga dia adalah orang terpandai
diantara para keluarga raja di Pulau Es. Apalagi karena dengan kesukaannya
merantau di daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang
lain dari daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara perantauan
Pangeran inilah maka Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran Han Ti
Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw sungguhpun dia jarang sekali
memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran naga dan burung Hong
itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang-ouw untuk mengenal manusia sakti dari
Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi di Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran
ini menghadapi tujuh orang tokoh besar dunia kang-ouw.
Para Pangeran yang sudah-sudah,
selalu mengambil isteri dari keluarga kerajaan sendiri, yaitu saudara-saudara
misan mereka sendiri. Hal ini adalah untuk menjaga agar "darah"
kerajaan tetap "asli". Akan
tetapi, berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh
cinta kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil
dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara-dara yang berdarah
"biasa" ini hanya diambil sebagai selir-selir oleh para pangeran dan
raja. Akan tetapi, Pangeran Han Ti Ong
tidak mau mengambil selir dan hanya mempunyai seorang isteri, yaitu anak
nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja, seorang dara biasa saja, namun
yang sesungguhnya memiliki kecantikan yang mengatasi kecantikan para puteri
raja!
Dari isteri tercinta ini,
Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam tahun,
seorang anak perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti ayahnya dan
gembira seperti ibunya. Anak ini diberi
nama Han Swat Hong(Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan
puterinya karena ketika puterinya terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju
yang amat kuat! Pada pagi hari itu Swat
Hong, nak perempuan berusia enam tahun lebih itu, duduk bengong di tepi pantai
Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi yang agak tinggi ini untuk melihat
jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi
selama tiga bulan itu. "Hong-ji
(Anak Hong)..."
Swat Hong menoleh dan melihat
bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya, dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri
ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan menangis.
Ibunya tertawa. :Aih-aihhh...
anakku yang biasanya periang tertawa mengapa menangis? Mengapa bulan yang
berseri gembira menjadi suram? Awan hitam apakah yang menghalanginya?"
"Ibu, kau...kau kejam!"
"Ihh! Ibumu kejam? Mungkin
kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam terhadap
manusia." Memang watak Liu Bwee, ibu anak itu, atau isteri Pangeran Han Ti
Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat Hong.
"Ibu kejam, mengapa Ibu
tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?" Tiba-tiba muka wanita
itu menjadi merah sekali dan terasa lagi dua titik air mata meloncat turun ke
atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong melorot turun dan bertepuk-tepuk tangan,
"Hi-hi, Ibu menangis! Ibu juga
rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!"
Memang watak anak-anak, begitu melihat
orang lain berduka, dia sendiri lupa akan kedukaanya dan merasa terhibur!
Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan tetapi masih bercucuran air
mata. Swat Hong yang tadinya berbalik
menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia tadi,
kini menjadi terheran dan berkhawatir. "Ibu, mengapa ibu berduka? Apa yang
terjadi? Apakah diam-diam ibu begitu merindukan Ayah dan menyembunyikannya
saja?" Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan menghapus air matanya,
mengangguk-angguk sebagai jawaban karena masih sukar baginya untuk mengeluarkan
suara tanpa terisak menangis. Akan tetapi puterinya itu adalah seorang anak
yang amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat dibohonginya semudah itu.
"Ibu ada apakah? Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang menyusahkan hati
Ibu? Akan kuhajar dia!" Swat Hong mengepal kedua tinjunya yang kecil
seolah-olah orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada disitu dan akan
dihantamnya.
Melihat sikap anaknya ini, hati
Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan tetapi ditekannya
perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong-ji, kalau ada yang kurang
ajar kepada ibumu, apakah Ibumu tidak dapat menghajarnya sendiri?"
Swat Hong tertawa. "Memang
aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat, biarpun tidak sehebat Ayah, akan
tetapi tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan kedua tanganku sendiri
kepada orang yang menyusahkan hati Ibu."
"Anakku yang baik...!"
Untuk menekan harunya, LIu Bwee mengangkat tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya
kemudian dia membentak, "Terbanglah!" dan melempar tubuh anak itu ke
atas. Swat Hong bersorak gembira. Itulah
sebuah diantara permainan mereka. Dia senang sekali kalau dilempar ke udara
oleh Ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukannya karena lemparan ayahnya
membuat tubuhnya "terbang" tinggi sekali. Namun kini lemparan ibunya
cukup menggembirakan hatinya karena biarpun Ibunya tidak sekuat ayahnya,
lemparannya cukup membuat tubuhnya melambung tinggi melewati puncak pohon!
Ketika tubuhnya melayang turun,
ibunya sudah siap menyambutnya, akan tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan
kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat membalikkan tubuh sehingga kedua
kakinya diatas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang
ibunya, mencengkram ke arah ubun-ubun. Itulah
jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan
loncatan ke atas dan menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini
dilakukannya ketika dia melayang turun! "Haaiiiit...!!"
Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang.
Tentu saja Liu Bwee tidak perlu
diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri Pangeran Han Ti Ong, wanita
puteri nelayan yang tentu saja seperti semua penghuni Pulau Es telah memiliki
dasar ilmu silat tinggi, telah digembleng oleh suaminya dengan ilmu-ilmu
simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang sakti seperti semua
keluarga kerajaan itu. Melihat kegembiraan puterinya, dia pun cepat.mengelak,
dari samping dia menyambar kedua lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring
kembali tubuh anaknya dilemparkan ke atas!
Tubuh itu melayang tinggi dan
tiba-tiba dari atas Swat Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah
datang....!!" Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari kepinggir tebing tinggi
dan memandang ke laut. Wajahnya
berseri-seri, jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya. Benar
saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang mendayung
perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti
seekor ikan hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini berkerut ketika dia
melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang wanita muda yang cantik!
Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai
seorang isteri pangeran calon raja tentu saja dia maklum bahwa suaminya berhak
mengambil selir-selir sebanyaknya. Akan tetapi entah mengapa, kedatangan
suaminya dengan dua orang itu, terutama seorang wanita cantik, mendatangkan
rasa gelisah yang aneh didalam hatinya.
"Ibuuuu.....tolong dulu
aku...........!"
JILID 4
Teriakan Swat Hong ini mengejutkan
hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya meluncur turun. Dia kaget dan
baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya pulang membuat dia lupa kepada
puterinya. Sungguhpun Swat Hong telah memiliki ginkang yang cukup baik akan
tetapi meluncur turun dari tempat tinggi seperti itu ada bahayanya patah atau
setidaknya salah urat. Untuk meloncat sudah tidak ada waktu lagi, maka cepat
dia menyambar sebuah ranting kayu di dekat kakinya, melontarkan kayu itu dengan
tepat melayang di bawah kaki Swat Hong dan anak ini juga idak menyia-nyiakan pertolongan
ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat menahan dan mengurangi
tenaga luncuran tubuhnya sendiri dari atas sehingga dia dapat meloncat kebawah
dengan aman. Seperti tidak pernah
mengalami bahaya apa-apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan berteriak
girang, "Ayah datang, Ibu?"
Ibunya hanya mengangguk tanpa
menoleh, tetapi memandang ke arah perahu yang makin mendekat pantai.
"Heii, Ayah bukan datang
sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki-laki bersama ayah di dalam
perahu!"
Liu Bwe tetap tidak menjawab akan
tetapi memandang tajam penuh selidiki ke arah perahu. "Wah, jangan-jangan itu selir dan
putera..ayah!" Swat Hong yang memang berwatak terbuka itu berkata mengomel.
Dia pun sudah tahu akan kebiasaan para pangeran untuk mengambil selir, maka dia
tidak akan merasa heran pula kalau ayahnya juga mempunyai selir di luar pulau
Es, biar pun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang kepada anak
laki-laki di dalam perahu itu. Mendengar
ucapan yang tanpa disengaja oleh Swat Hong merupakan benda tajam menusuk
hatinya itu, Liu Bwee menjawab, Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi
ibu anak laki-laki itu, Sungguhpun bukan tidak mungkin dia adalah selir Ayahmu
karena dia memang cantik." Jawaban ini keluar dari lubuk hati Liu Bwee
sehingga keluar melalui mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget
ketika kalimat itu telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke arah puterinya dan
merasa menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang penuh cemburu tadi. Segera
digandengnya tangan anaknya dan untuk mengapus kata-katanya dari hati anaknya
dia berkata riang, "Ehh, kenapa kita disini saja? Hayo kita sambut
Ayahmu!" Berlari-larianlah mereka menuruni tebing untuk menyambut
kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai pasir.
Sikap wanita yang penuh kegembiraan ini menyembunyikan semua perasaanya
sehingga Swat Hong sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi.
Sebenarnya, memang amat giranglah
hati Liu Bwee melihat kembalinya suaminya sungguhpun kegembiraanya itu akan
lebih besar andai kata suaminya pulang sendirian saja. Semenjak suaminya pergi beberapa
bulan yang lalu dia mengalami penderitaan batin yang hebat. Memang dia maklum
bahwa dirinya tidak disukai oleh keluarga kerajaan, karena dianggap seorang
wanita berdarah rendah. Kebencian keluarga itu menjadi-jadi ketika mendapat
kenyataan betapa Han Ti Ong tidak mau mengambil selir.Hal ini.dianggap oleh
mereka Bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk mengikat suaminya!. Apalagi karena
Liu Bwee tidak mempunya anak laki-laki, maka kebencian mereka makin bertambah.
Sudah tentu saja, yang merasa paling benci adalah mereka yang mengharap agar
Han Tiong pangeran calon raja itu memperistrikan puteri mereka!
Pada waktu itu, raja yang sudah
tua menderita sakit dan sudah menjadi dugaan umum bahwa usianya takan bertahan
lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya puteranya yang menjadi
putera mahkota, yaitu pangeran Han Ti Ong untuk mewariskan singasana kepada
puteranya ini. Akan tetapi, karena keadaan Han Ti Ong yang lain daripada para
pangeran lain, suka merantau, isterinya orang rendah dan hanya satu, tidak
punya selir, tidak punya putera, maka Liu Bwee maklum bahwa di antara keluarga raja
terdapat persekutuan yang menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja!
Hal inilah yang mendukakan hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi
penghalang Bagi suaminya dan hal inilah yang paling merusak hatinya. Maka dapat
dibayangkan betapa gembira hatinya melihat suaminya pulang! Ketika ibu dan anak ini tiba dipantai,
ternyata pasukan kehormatan telah berbaris dan siap menyambut pulangnya
pangeran yang dihormati itu. Tentu saja Liu Bwee dan Swat Hong mendapat tempat kehormatan
paling depan dan ketika akhirnya perahu itu menempel dipantai dan Han Ti Ong
melompat keluar sambil tersenyum lebar, Swat Hong menjadi orang pertama yang
berlari menyambut. "Ayah....!!"
"Ha-ha, Hong-ji, kau makin
cantik saja!" Han Ti Ong menerima puterinya itu dan mengangkatnya
tinggi-tinggi, lalu melemparkan tubuh anaknya keudara. Sambil tertawa-tawa Swat
Hong melayang turun dan langsung menyerang ayahnya dengan jurus
Kek-seng-jip-hai (Bintang Terompet Meluncur ke Laut ) seperti yang dilakukanya
kepada ibuya tadi.
"Ha-ha-ha, bagus
juga!"Ayahnya tertawa, menyambar kedua lengan yang mencengkram
ubun-ubunnya, lalu memondong puterinya, dan mencium dahinya.
Sambil memondong puterinya Han Ti
Ong menghampiri istrinya yang sudah maju menyambutnya, memandang penuh
kemesraan dan berkata halus, Harap kau baik-baik saja selama aku pergi." Liu
Bwee memandang suaminya, tersenyum akan tetapi di balik senyum itu tampak oleh
Han Ti Ong ada sesuatu yang menggelisahkan hati istrinya, apalagi ketika
mendengar suara istrinya lirih. "Ayahanda raja sedang menderita sakit
parah."
Han Ti Ong mengangguk. Ucapan
yang pendek itu sudah mencakup semua isi hati istrinya. Dia sudah mengenal hati
istrinya yang tercinta itu dan tahu dia bahwa menjelang kematian ayahnya, ada
hal-hal yang menggelisahkan istrinya. Tentu saja tentang warisan tahta kerajaan
dan istrinya yang datang dari keluarga berdarah "rendah" itu tentu
saja mengkhawatirkan bahwa keturunan istrinya itu akan menjadikan persoalan bagi
pengangkatan raja! Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata menghibur,
kemudian seperti teringat dia berkata, "Ahh, hampir aku lupa. Aku datang
bersama seorang muridku, namanya Sing Liong akan tetapi di daratan besar sana
dia dikenal sebagai Sin-tong."
"Hai, seorang sin-tong (anak
ajaib)? Hemm, ingin aku tahu sampai di mana keajaibannya!" "Hong-ji,
jangan!" ibunya menegur, akan tetapi anak itu meloncat ke depan dan pada
saat itu, Sin Liong sudah turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan
menghampiri gurunya, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang
gadis cilik dengan gerakan seperti seekor burung garuda menyambar telah menyerangnya
dari depan, sebuah kaki kecil telah menghantam dadanya. "Bukk!!" Tanpa dapat ditanyakan
lagi, Sin Liong roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak.
Akan tetapi dia bangkit berdiri, mengebutkan pakaianya yang menjadi kotor,
memandang anak perempuan yang lebih muda daripada dia itu, menggeleng kepala
dan berkata tenang, "Sungguh sayang sekali, seorang anak-anak yang masih
bersih dikotori kebiasaan buruk mempergunakan kekerasan untuk memukul orang
tanpa sebab."
"Aihhh..." Swat Hong
tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya yang terdengar tertawa keras, "Ayah,
dia tidak bisa apa-apa, mengapa disebut Sin-tong? Serangan biasa saja
membuatnya roboh terjengkang!"."Ha-ha-ha, kaulihat dia roboh, akan
tetapi apakah kau tidak lihat sesuatu yang ajaib? Dia tidak marah malah
menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?" "Anak yang luar biasa
dia..." terdengar Liu Bwee berkata lirih dan kini Swan Hong juga memandang
Sin Liong . Akan tetapi dia masih merasa tidak puas dan berkata, "Dia
tidak marah karena takut dan pengecut, Ayah!"
"He, Sin Liong, apakah
engkau takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak kepada Sin Liong.
Anak ini menggeleng kepala.
"Suhu mengerti bahwa teecu tidak takut terhadap apa pun dan siapa
pun." Swat Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng itu, menegakan
kepalanya dan menantang, "Bocah sombong ,kalau kau tidak takut, hayo
kaulawan aku!" Dia sudah siap memasang kuda-kuda. Sin Liong menggeleng kepalanya. "Adik
yang baik, aku tidak akan menggunakan kepandaian apapun juga untuk melakukan
kekerasan terhadap orang lain, apalagi terhadap seorang anak-anak seperti
engkau." Gadis cilik itu sudah menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong
dengan sikap tenang saja, berkedip pun tidak menghadapi serangan anak perempuan
itu. Tiba-tiba tubuh Swat Hong terhuyung ke belakang dan ternyata lengannya
sudah ditangkap oleh ibunya dan ditarik ke belakang. "Swat Hong, kau terlalu sekali!
Seharusnya kau minta maaf kepada Suhengmu itu!" Swat Hong menoleh, melihat
ayahnya tersenyum, melihat pandang mata semua orang dari prajurit sampai perwira
penuh kagum terhadap Sin Liong. Barulah dia ingat bahwa dia telah melanggar
pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan dari semua penghuni pulau bahwa ilmu
silat pulau Es tidak boleh sembarangan dikeluarkan untuk menyerang orang tanpa
alasan! Dan dia telah menyerang Sin Liong tanpa sebab apa-apa, padahal Sin Lion
adalah murid ayahnya atau suhengnya (kakak seperguruan). Biarpun dia berwatak
keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan mudah
berubah membuat Swat Hong dapat mengusir semua rasa penasaran dan sambil
tersenyum dan muka ramah dia menjura ke arah Sin Liong sambil berkata,
"Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah." Sin
Liong terkejut. Kiranya bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan berkata,
Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Kepandaianmu memang hebat, tentu saja
aku bukan tandinganmu." "Hi-hik, wah, dia baik sekali, Ayah!"
Swat Hong lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng tangannya dan diajak
lari ke pinggir di mana dia menghujani Sin Liong dengan pertanyaan-pertanyaan. "Siapakah nama lengkapmu, Suheng? Dari
mana kau datang? Bagaimana kau dapat menjadi murid Ayah?
Apa saja yang sudah diajarkannya
kepadamu? Mengapa pula kau disebut Sin-tong?" "Payah juga Sin Liong
menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang baru saja menyerangnya seperti
seekor burung garuda akan tetapi yang kini sudah bersikap demikian ramah dan
baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru saja dia memperkenalkan namanya, yaitu
Kwan Sin Liong dan belum sempat menjawab pertanyaan yang lain, perhatiannya,
juga Swat Hong dan semua orang yang berada disitu tertarik oleh keributan yang
terjadi ketika Kwat Lin turun dari atas perahu.
Begitu Kwat Lin turun dari
perahu, wanita yang masih belum sadar betul dari gangguan ingatannya karena
malapetaka hebat yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua orang. Wanita
ini memang berwajah manis dan gagah, apalagi ketika turun dari perahu itu
rambutnya yang awut-awutan berkibar tertuip angin, pakaiannya yang terlalu
longgar itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin turun
dengan sikap tenang, akan tetapi matanya bergerak liar menyapu semua orang yang
memandangnya, kemudian mata itu berhenti memandang kepada Liu Bwee yang telah
melangkah menghampirinya.
"Dia ini siapakah?" Liu
Bwee bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pucat itu sambil didalam
hatinya menduga-duga dan menanti jawaban yang diharapkan dari suaminya karena
pertanyaan itu sesungguhnya diajukan kepada suaminya..Akan tetapi sebelum Han
Ti Ong menjawab, tiba-tiba Kwat Lin, wanita itu membentak,
"Manusia-manusia busuk! Kubunuh engkau!" Dan dia sudah meloncat ke depan
dan menyerang Liu Bwee dengan pukulan yang dahsyat.
"He, Twanio! jangan
begitu...!!" Sin Liong berteriak mencegah, namun terlambat karena Kwat Lin
sudah menyerang dengan cepatnya. Sedangkan para penghuni Pulau Es, termasuk
Swat Hong dan Pangeran Han Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan tenang-tenang
saja!
"Wuuuutttt...
plak-plak...!"
Tubuh Kwat Lin terplanting ketika
pukulannya tertangkis oleh Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar pundaknya
sebagai serangan balasan. Hal ini membuat Kwat Lin yang memang belum sadar
benar itu makin marah. Dengan nekat dia melompat bangun dan menerjang lagi,
Pangeran Han Ti Ong sudah mendahuluinya menotok pundaknya sambil berkata,
"Tenanglah, Nona," Kwat Lin kembali roboh, akan tetapi tubuhnya
disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia telah ditotok lemas. Dengan lambaian
tangan, Pangeran itu memanggil empat orang wanita pelayan yang kelihatan
tangkas-tangkas. "Dia sedang sakit ingatannya tidak sewajarnya."
Ucapan ini ditujukan kepada istrinya yang memandang marah. mendengar ini, Liu
Bwee mengangguk-angguk dan kemarahannya di wajahnya berubah menjadi iba.
"Bawa dia ke kamar tamu dan
rawat dia baik-baik," kata Liu Bwee kepada empat orang pelayan itu yang segera
menggotong tubuh Kwat Lin pergi dari situ.
Barulah Pangeran Han Ti Ong kini
mempedulikan sambutan resmi dari para pangeran dan pasukan penghormatan. Tadi
dia seolah-olah menganggap mereka semua itu seperti patung belaka. Dengan megah
Pangeran itu lalu langsung diantar ke kamar ayahnya Sang Raja yang sedang sakit
dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini sedangkan Sin Liong langsung
diajak oleh Swat Hong ke bagian istana di mana dia dan ibunya tinggal, yaitu di
bagian kiri istana besar.
Tepat seperti telah diduga oleh
semua penghuni Pulau Es, tiga hari kemudian setelah pulangnya Pangeran Han Ti
Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat menyaksikan Han Ti Ong dinobatkan
menjadi penggantinya, merajai Pulau Es dalam upacara yang amat sederhana. Dapat
dibayangkan betapa tidak puas dan penasaran rasa hati para pangeran yang
membenci Han Ti Ong karena usaha mereka memanaskan hati mendiang ayah mereka
tentang keadaan Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan untuk memberontak
secara terang-terangan, tentu saja mereka tidak berani karena di dalam pulau
itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan orang yang paling sakti. Maka, mereka
itu hanya diam saja biarpun tidak pernah lengah barang seharipun untuk mencari
peluang dan kesempatan yang baik untuk menjatuhkan Han Ti Ong, atau lebih tepat
lagi, menjatuhkan Lui Bwee yang mereka anggap sebagai biang keladi dari "penyelewengan"
Han Ti Ong dari kebiasaan keluarga raja di Pulau Es! Setengah bulan kemudian, berkat perawatan
yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan pengobatan tusuk jarum
oleh Raja Han Ti Ong sendiri, ditambah obat-obatan berupa daun-daun yang dicari
para anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin Liong, gangguan ingatan yang diderita
oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
Pada suatu pagi, wanita yang
bernasib malang ini duduk seorang diri di dalam taman istana, taman yang bukan
berisi bunga bungan hidup, melainkan terisi ukir-ukiran bunga dari batu-batu
beraneka warna, dihias salju dan patung patung kayu. Sudah berhari-hari, dia
duduk di taman ini dan didiamkan saja karena menurut Raja Han Ti Ong, wanita
malang ini harus dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu.
Namun, diam-diam dia sendiri melakukan pengawasan karena entah bagaimana, makin
lama dia menjadi tertarik dan tahu bahwa dia jatuh hati kepada gadis ini!"
Tiba-tiba Kwat Lin melompat
bangun karena mendengar gerakan di belakangnya. Sebagai seorang hali silat
kelas tinggi, sedikit suara saja cukup membuat dia siap waspada . Ketika dia
membalik, dia melihat Han Ti Ong yang berdiri di situ sambil memandangnya
dengan senyum ramah. The Kwat Lin yang
kini sudah sembuh sama sekali, memandang penuh keheranan lalu
menegur,."Siapakah engkau? Dan mengapa engkau bisa berada di tempat aneh
ini?"Melihat sikap gadis ini dan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu,
legalah hati Raja Han Ti Ong. Sikap dan kata-kata itu sudah cukup membuktikan
bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali, telah kembali kepada keadaan sebelum
mengalami tekanan batin hebat, maka tentu saja tidak mengenalnya dan tidak
mengerti mengapa dan bagaimana bisa berada di pulau itu.
"Nona, girang hatiku
mendapat kenyataan bahwa Nona telah sembuh dari lupa ingatan yang Nona derita belasan
hari ini."
"Lupa ingatan? Sekaranglah
aku kehilangan ingatan karena aku tidak mengenal engkau dan tidak tahu mengapa
dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini."
"Memang begitulah. Tadinya
Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar sehingga Nona lupa lagi apa
yang Nona telah alami selama belasan hari ini.
Sungguh aku ikut merasa berduka
dan terharu akan nasib Ca-sha Sin-siap yang amat malang...." Tba-tiba
wajah itu menjadi merah sekali dan kemudian berubah pucat, "Kau... kau
tahu apa yang terjadi kepada kami...?"
Raja Han Ti Ong tersenyum dan
memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu dengan senyum mesra. Tentu
saja, Nona. Aku dan muridkulah yang mengubur jenazah dua belas orang suhengmu,
dan aku dan muridku pula yang menolongmu membawa kesini kemudian mengobatimu
sehingga sembuh hari ini. Aku adalah
Raja Han Ti Ong, raja pulau ini dan kau berada di Pulau Es." Mata yang
indah ini terbelalak. "Apa...? Di... di Pulau Es... dan aku telah
mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong..."
"Sekarang telah menjadi Raja
Han Ti Ong, raja sebuah pulau kecil tak berarti, Nona, dan aku belum mengetahui
namamu karena selama ini kau tidak menyebut namamu." Kwat Lin menjatuhkan
diri berlutut dan menahan isaknya. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan Paduka, dan maafkan kalau saya tidak mengenal penolong saya. Saya
bernama The Kwat Lin, orang termuda Cap-sha Sin-hiap, dan...kalau paduka
menaruh kasihan kepada saya, saya ingin segera pergi dari sini ... sekarang juga...."
"Nona The, aku adalah seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati.
ketahuilah, semenjak pertama kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul
rasa iba dan sayang di dalam hatiku. Karena itu, kalau kiranya engkau suka aku
akan merasa berbahagia sekali kalau Nona mau tinggal didalam istanaku ini, sebagai
seorang istriku, istri ke dua."
Kwat Lin terkejut sekali. Dia
telah berhutang budi kepada raja ini, dan sekarang raja ini secara demikian
terus terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia sebagai isteri! Dia
menjadi isteri raja? Dia yang telah
dinodai oleh Pat-jiu Kai-ong? "Tidak! Maaf... saya... saya harus pergi
sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya, dan Paduka tentu tahu... yaitu
untuk membunuh iblis Pat-jiu Kai-ong." Han Ti Ong mengangguk-angguk.
"Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa seorang dara perkasa seperti
engkau tentu saja tidak akan mau menerima tawaranku dan tidak mungkin aku
mengharapkan seorang dara seperti Nona akan jatuh cinta begitu saja kepadaku.
Akan tetapi aku pun tidak terlalu mengharapkan yang ajaib. Aku jatuh cinta
kepadamu, Nona, dan adanya aku berani meminangnya secara terang-terangan,
karena aku yakin Nona akan menerimanya berdasarkan cita-cita tunggal Nona
itulah. Bagaimana mungkin Nona akan
membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong, sedangkan Cap-sha Sin-hiap saja tidak
mampu mengalahkannya. Akan tetapi kalau engkau menjadi istriku, hemmm...soal
membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong sama mudahnya dengan membalikan telapak
tangan."
Ucapan ini berkesan mendalam,
memang buat Kwat Lin termangu-mangu. Dia bukan gadis lagi dan tidak mungkin dia
menjadi istri orang, dan baginya setelah berhasil membalas dendam, hanya kematianlah
yang akan mengakhiri noda yang dideritanya. Akan tetapi, menjadi istri kedua
Raja Han Ti Ong yang sakti, lain lagi halnya, apa pula kalau orang sakti itu
sendiri sudah tahu akan keadaanya.."Apakah... apakah Paduka akan
mengajarkan ilmu kesaktian kepada saya? tanyanya dan kini dia mengangkat muka,
memandang raja itu, diam-diam harus mengakui bahwa laki-laki ini gagah dan
tampan, sungguhpun usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
"Terserah kepadamu. kalau
engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin memperistrimu. Kalau kau menghendaki,
dalam waktu pendek saja aku dapat menangkap musuhmu itu dan menyeretnya kedepan
kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu dan aku berani tanggung bahwa
selama setahun saja engkau akan mengalahkan musuhmu itu."
"Be...benarkah itu?"
"Nona The Kwat Lin. Han Ti
Ong bukan orang biasa membohong, pula aku tidak ingin mendapatkan dirimu dengan
jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan andaikata engkau menolak
sekalipun, aku tidak akan memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau menolak, akan
kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
Tentu saja timbul keraguan hebat
didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa lihainya Pat-jiu Kai-ong. Tentu saja
dapat pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan malapetaka yang menimpa Cap-sha
Sin-hiap itu kepada gurunya, ketua Bu-tong-pai, Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi,
gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya mau mencampuri urusan dunia,
biarpun murid-muridnya terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan, agaknya
akan sukar mengalahkan Pat-jiu Kai-ong, dan terrutama sekali yang memperberat
hatinya, kalau dia pergi ke Bu-tong-pai, tentu semua orang akan tahu tentang
malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa oleh Pat-jiu
Kai-ong. ke mana dia akan menaruh mukanya kalau semua orang mengetahuinya akan
hal itu? Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau Es, selain tak seorang pun akan
tahu tentang hal yang memalukan itu, juga dia akan mempunyai kesempatan besar untuk
melakukan balas dendam itu!
Akan tetapi, benarkah pria di
depannya ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam waktu setahun dia akan lebih
pandai dari Pat-jiu Kai-ong? Dia tidak akan puas kalau tidak dapat membunuh
jembel iblis itu dengan tangannya sediri. Biarpun dia sudah banyak mendengar
nama besar Pangeran dari Pulau Es yang kini menjadi raja itu, namun bagaimana
dia dapat membuktikan kesaktianya? Apakah orang ini lebih lihai dari gurunya
dan terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
Perlahan-lahan Kwat Lin bangkit
berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga sedang memandangnya.
Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat Lin berkata, "Saya ingin sekali
dapat membalas dendam dengan tangan saya sendiri. Akan tetapi, bagaimanakah
saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat belajar di sini dan menangkan
iblis itu?"
Han Ti Ong tersenyum dan
mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya. "Inilah pedang yang kutemukan
ketika aku dan muridku menolongmu."
Kwat Lin menerima pedang itu dan
air matanya turun bertitik akan tetapi segera dihapusnya. Itulah Ang-bwe-kiam
pedang dari twa-suhengnya!
"Engkau meragu, baiklah.
Kaupergunakan pedangmu dan kauserang aku untuk menguji apakah aku dapat melatihmu
selama setahun sehingga kau lebih lihai daripada Pat-jiu Kai-ong." Kwat
Lin menimang-nimang pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Pat-jiu Kai-ong telah
dikeroyok oleh dia dan dua belas orang suhengnya. Mereka telah mainkan
Ngo-heng-kiam, bahkan telah membentuk barisan Sin-kiam-tin ketika mengeroyok
kakek iblis itu namun akhirnya mereka semua kalah, sungguhpun sejenak kakek itu
terdesak. kini, kalau hanya dia seorang diri menyerang raja ini, mana bisa
dipakai ukuran apakah dia lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
"Nona, jangan ragu-ragu.
Percayalah, kalau engkau benar rajin belajar, dalam waktu setahun engkau pasti akan
dapat mengalahkan dia. Hiat-ciang Hoat-sut dan Pat-mo-tung-hoat dari kakek itu
sebetulnya kosong saja," kata raja itu, seolah-olah dapat membaca isi hati
Kwat-lin. Dara itu terkejut, kemudian mengambil keputusan untuk menguji orang
ini sebelum dia menyerahkan dirinya yang sudah ternoda itu menjadi istrinya
sebagai penebus latihan ilmu untuk membalas dendam.
"Baiklah, saya akan menguji
kepandaian Paduka, harap Paduka bersiap dan mengeluarkan
senjata."."Ha-ha-ha, Pat-jiu Kai-ong membutuhkan tongkatnya dan
pukulan beracunya untuk mengalahkan Cap-sha
Sin-hiap, akan tetapi aku cukup
menggunakan ini." Dia meraih kebawah dan tanganya sudah membentuk batu
karang sedemikian rupa sehingga batu karang itu berbentuk panjang seperti
pedang! "Harap Paduka siap!"
Kwan Lin berseru dan tiba-tiba pedangnya menyambar dengan cepat, melakukan tusukan
ke arah leher sedang tangan kirinya sudah memukul ke arah dada. Serangan
berganda dengan pedang dan pukulan tangan kiri ini merupakan jurus hampuh dari
Ngo-heng-kiam-sut. Tiba-tiba tubuh raja
itu bergerak, serangan Kwat Lin telah dapat dielakkan dan pada detik berikutnya,
leher dara itu tersentuh ujung batu karang dan dadanya juga tersentuh kepalan
tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin menjerit lirih karena maklum bahwa kalau
tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti Ong tentu dia telah roboh
dan tewas seketika. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah gerakan
raja itu.
"Paduka... Paduka mengunakan
jurus Hui-po-liu-hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung) dari Ngo-heng-kiam-sut
Bu-tong-pai!"
Han Ti Ong tersenyum,
"Persis sekali dengan seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih lihai karena
sekali serang berhasil, bukan? Nah, kalau engkau memiliki kesempurnaan dalam
jurus ini tadi, bukankah mudah kau mengalahkan musuhmu?
Kwat Lin tertegun, akan tetapi
dia masih belum puas. "Saya ingin mencoba lagi!" "Boleh, boleh.
kauseranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung bahwa engkau
akan kukalahkan dengan jurusmu yang sama."
Dengan pengerahan tenaga dan
memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi, akan tetapi setiap kali
menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena benar saja, dia selalu
dikalahkan oleh jurusnya sendiri. Jurus
itu digerakan oleh Han Ti Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat
dan mengandung tenaga mujijat sehingga biarpun dia mengenal jurusnya sendiri,
dia tidak sempat lagi mengelak atau menangis! Setelah sepuluh kali dia terkena
sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang lihai ini dia menjadi
yakin, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Saya menerima penawaran
Paduka!"
Ha Ti Ong memegang kedua
pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri. Mereka berdiri berhadapan, saling
pandang dan wajah raja itu berseri melihat betapa wajah Kwat Lin menjadi merah
sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi dibalik kemerahan wajah karena malu
itu. dengan mesra Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahan itu dan berkata
lirih, "Aku tahu, Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau
jijik terhadap pria dan muak terhadap hubungan antara pria dan wanita. Akan
tetapi, aku bukanlah pria yang mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku
akan menghapus kejijikan dan kemuakan itu.
Percayalah, aku cinta dan iba
kepadamu. Keputusan yang kauambil ini tepat sekali dan tidak akan mendatangkan
sesal di kemudian hari. Mari,mari kita mengumumkan pernikahan kita. Semoga
engkau berbahagia." Han Ti Ong mencium dan mengecup mesra dan halus
pinggir mata Kwat Lin, kemudian menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan
memasuki istana dari pintu belakang yang menembus ke "Taman" itu.
Tentu saja tidak ada kehebohan terjadi
ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusanya mengambil The Kwat Lin, sebagai istri
ke dua, sunguhpun hal ini mendatangkan bermacam-macam tanggapan dalam hati para
penghuni Pulau Es. Pesta diadakan, pesta yang sederhana saja tetapi cukup
meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es bersuka cita dan mengharapkan bahwa
dari pernikahan ini, raja akan dikurniai seorang putera. Juga terjadi bermacam
tanggapan di kalangan keluarga raja. Ada kekecewaan akan tetapi ada pula
harapan. Kecewa karena sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil "orang
luar" sebagai selir, akan tetapi timbul harapan karena mungkin melalui
istri ke dua ini mereka dapat "memukul" Liu Bwee yang mereka
benci..Ternyata kemudian oleh Kwat Lin Bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh
Raja Pulau Es itu ketika meminangnya bukan hanya bujukan kosong belaka.
Raja itu benar-benar jatuh cinta
kepadanya dan hal ini terasa olehnya setelah dia menyerahkan dirinya menjadi
selir Raja Han Ti Ong. Dengan sepenuh jiwa raganya, Han Ti Ong mencurahkan
kasih sayang kepadanya sedemikian besarnya sehingga lambat laun dia pun jatuh
cinta kepada suaminya ini. Dan dia yang tadinya hendak belajar ilmu silat
sebagai dorongan terutama dengan mengorbankan dan menyerahkan diri sebagai
selir, setelah menerima pencurahan cinta kasih yang amat mesra dan mendalam,
mulailah berbalik pikir. Apalagi setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia
menjadi selir, dia melahirkan seorang anak laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya
berubah sama sekali, kalau dulu dia hanya seorang pendekar wanita yang
seringkali menghadapi banyak kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang yang
mulia dan terhormat, bahkan dia mendapat kenyataan bahwa suaminya benar-benar
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya! Timbullah keinginan hatinya untuk mengangkat
diri menjadi permaisuri, dan dia merasa berhak karena bukankah dia yang
mempunyai keturunan laki-laki, dan selain menjadi permaisuri, juga menjadi
pewaris semua ilmu kesaktian dari Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan
mencari dan membunuh Pat-jiu Kai-ong.
Kebenciannya terhadap kakek iblis
jembel itu kini menjadi tipis sekali. Memang kalau dipikir betapa selama tiga
hari tiga malam kakek itu mempermainkanya, merengut kehormatan dengan memperkosa
secara amat menghina akan tetapi ada segi lain yang membuat dia diam-diam
berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada peristiwa hebat itu, agaknya
selama hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi menjadi
istrinya dan sekaligus pewaris ilmu-ilmunya!
Sin Liong belajar ilmu silat dengan tekun bersama suhengnya, Swat Hong
yang lincah jenaka.Dan mulai tampaklah bakatnya yang luar biasa. Tidak
mengherankan kalau para tokoh kang-ouw ingin memiliki bocah ini dan menjadikan
Sin Liong sebagai bahan perebutan, karena dia pantas disebut Sin-tong. Han Ti Ong
sendiri yang merupakan manusia luar biasa dan memiliki kecerdasan yang disebut
Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tidak bisa lupa lagi), diam-daim menjadi
kagum sekali karena dia harus akui bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan
pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini! Yang amat mengagumkan hatinya adalah
betapa di balik semua bakat yang luar biasa ini terpendam watak yang amat luar
biasa, watak yang penuh kehalusan, kelembutan dan kasih sayang dan iba terhadap
orang lain yang amat mendalam, di samping watak yang wajar seadanya.
Benar-benar seorang bocah yang
ajaib! Diam-diam Sin Liong mengerti
bahwa diangkatnya Kwat Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun hal ini merupakan
hal yang lumrah bagi seorang raja, namun akan mendatangkan banyak ketidak
baikan, terutama di pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan
perubahan pada diri bekas pendekar wanita Bu-tong-pai itu Akan tetapi karena
dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan yang sama sekali
tidak berhak mencampuri "Urusan dalam" suhunya, maka tentu saja dia
hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan keadaan dengan hati tidak
enak. Yang dikhawatirkan oleh anak yang
belum tahu apa-apa memang sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin sebagai
isteri kedua, Liu Bwee menderita tekanan batin yang amat hebat. Mula-mula tidak
terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam di dalam kamarnya karena
hal ini dianggapnya limrah setelah suaminya memiliki isteri lain yang baru.
Akan tetapi perasaan kewanitaannya yang halus segera dapat menangkap kehambaran
cinta kasih yang dicurahkan suaminya kepadanya. Dan terutama sekali setelah The
Kwat Lin mengandung, suaminya tidak pernah datang lagi menginap dikamarnya, dan
kalau sekali-sekali datang, tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali,
hanya untuk menanyakan kesehatan dan agaknya suaminya datang hanya demi
kesopanan belaka!
Hati seorang wanita amatlah
halusnya, mudah tersinggung, mudah gembira, mudah marah, mudah berduka, mudah
jatuh cinta dan mudah pula membenci! Setelah Kwat Lin melahirkan seorang anak
laki-laki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini mendatangkan
kebencian hebat. Dia mulai merasa tersiksa batinya, merasa kesepian, rasa rindu
yang makin menghimpit terhadap belaian kasih sayang suaminya membuat Liu Bwee
makin tersiksa, menambah kebenciannya terhadap Kwan Lin yang makin dipuja
suaminya itu. Liu Bwee bukan seorang wanita yang gila akan kedudukan. Dia tidak
mengejar kedudukan dan dia sama sekali tidak khawatir akan menurunya derajatnya
apabila madunya itu diangkat menjadi permaisuri karena mempunyai seorang
putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah seorang wanita yang haus akan kasih sayang,
maka dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batinnya setelah cintanya
disia-siakan oleh suaminya yang telah jatuh di bawah telapak kaki Kwat
Lin..Melihat penderitaan batin yang dialami oleh Liu Bwee ini, diam-diam
bersoraklah para keluarga raja. Bagi mereka, biarpun putera raja bukan
keturunan dari seorang ibu yang masih berdarah "agung" seperti mereka,
namun masih lebih baik dari pada kalau dilahirkan oleh seorang iu seperti Liu
Bwee, hanya anak seorang nelayan Pulau Es rendah! Pula kebencian mereka yang
terdorong oleh iri hati terhadap Liu Bwee membuat mereka condong kepada Kwan
Lin sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama putera itu, disambut dengan penuh
kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es sebagai penyambutan
terhadap lahirnya seorang putera raja yang akan menjadi pangeran mahkota!
Tujuh tahun telah lewat semenjak
Sin Liong berada di Pulau Es. Dipandang begitu saja, agaknya keadaan Pulau Es
dan kerajaan kecilnya selam tujuh tahun itu tidak terjadi perubahan sesuatu,
para penghuninya masih hidup dengan tenang dan tentram penuh kedamaian seperti
puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu.
Raja Han Ti Ong tidak kalah bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan
kecilnya sehingga para penghuni Pulau Es hidup bahagia, sedangkan
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya sedikit sekali. Namun sesungguhnya terjadi perubahan yang
amat besar dan banyak! The Kwat Lin yang
kini menjadi permaisuri, diangkat secara resmi oleh Han Ti Ong sehingga kedudukan
Liu Bwee tergeser menjadi istri selir, bukan hanya menjadi wanita pertama yang
paling tinggi tingkat kedudukanya, namun juga telah menjadi seorang wanita yang
memiliki kesaktian hebat, hanya kalah oleh suaminya dan beberapa tokoh lain di
Pulau Es. Namun, hasratnya untuk membalas dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong
agaknya telah lenyap sama sekali! Dia kelihatan hidup bahagia tenggelam dalam belaian
penuh kasih sayang dari suaminya dan melihat puteranya yang kini telah berusia
enam tahun dan menjadi seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat biarpun
tubuhnya agak kecil, sebagai pangeran, tentu saja Bu Ong digembleng oleh
ayahnya sendiri sejak kanak-kanak. Sin
Liong telah memperoleh kemajuan yang mentakjubkan dan mengagumkan Han Ti Ong sendiri.
Semua ilmuyang diajarkan oleh raja itu, sekali dilatih dapat dilakukan dengan
hampir sempurna! Tentu saja dalam waktu
beberapa tahun dia telah jauh melampaui tingkat kepandaian sumoinya, dan
setelah dia berusia empat belas tahun, Sin Liong telah jauh meninggalkan
tingkat sumoinya.
Bukan hanya dalam hal ilmu silat,
akan tetapi juga dalam ilmu sinkang dia maju pesat karena tanpa diperintah oleh
suhunya, dengan tekun Sin Liong berlatih seorang diri di bawah hujan salju yang
amat dingin sehingga dia dapat menampung inti sari tenaga im-kang yang amat
hebat. Selain tekun mempelajari ilmu silat yang diturunkan oleh suhunya tanpa
ada yang disembunyikan itu, Sin Liong juga rajin sekali membaca kitab-kitab
yang banyak terdapat didalam kamar perpustakaan istana. Dia dikenal oleh semua
ahli sastra di Pulau Es dan mereka ini amat kagum dan suka kepada Sin Liong
melihat ketekunan bocah ajaib ini. Tidak ada bosannya Sin Liong membaca
kitab-kitab kuno dan setiap bertemu hurup baru yang tidak dikenalnya, dia mencatatnya
untuk kemudian ditanyakan kepada para ahli itu. Dengan cara demikian, biarpun
tidak dibimbing langsung, namun Sin Liong telah dapat memperkaya perbendaharaan
kata-kata sehingga dia mampu membaca kitab-kitab yang paling kuno di dalam
perpustakaan itu.
Kitab kuno tidaklah seperti kitab
biasa, karena selain huruf-hurufnya kuno, juga huruf-huruf itu mengandung arti
yang amat mendalam. Karena inilah, maka kitab-kitab yang amat kuno di pulau itu
jarang atau hampir tidak pernah dibaca orang. Han Ti Ong sendiri segan membaca
kitab-kitab itu, karena selain sukar, juga isinya hanyalah sajak-sajak kuno
yang dianggapnya tidak ada gunanya dan melelahkan otaknya. Namun semua kitab itu "dilalap"
semua oleh Sin Liong! Bukan ini saja, namun anak ajaib ini dapat menemukan
sesuatu yang tersembunyi didalam sajak-sajak itu! Dia menemukan rangkaian ilmu
silat sakti yang masih merupakan "rangka" terselubung di dalam
huruf-huruf kuno yang sukar dimengerti itu, bahkan menemukan pula ilmu yang
masih dirahasiakan oleh Han Ti Ong, ilmu yang selama ratusan tahun mengangkat
nama Pulau Es, yaitu ilmu inti sari dasar gerakan semua ilmu silat.
Dengan ilmu ini yang sudah
dikuasainya, maka Han Ti Ong dapat mengalahkan tujuh orang tokoh sakti dengan
jurus-jurus, jurus ilmu silat mereka sendiri ketika Han Ti Ong menolong Sin
Long di jeng-hoa-sian. Kini, secara tidak disengaja, bahkan di luar kesadaran
Sin Liong sendiri, bocah ajaib ini telah menemukan ilmu itu
"terselip" dan terselubung di antara sajak-sajak kuno yang
kelihatanya tidak ada gunanya itu. Selain
memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silat, juga selama berada di Pulau Es, Sin
Liong memperoleh kesempatan memperdalam ilmunya mengenal daun dan tumbuhan obat
dengan jalan menyelidikinya di pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Es.
Dia memang mendapat tugas untuk
mencari bahan-bahan obat di pulau-pulau itu untuk kepentingan para penghuni
Pulau Es, Dan dalam kesempatan.melaksanakan tugasnya ini, Sin Liong tidak
menyia-nyiakan waktu untuk menyelidiki lebih banyak lagi tetumbuhan dan
khasiatnya untuk kesehatan tubuh manusia. Dengan adanya Sin Liong di Pulau Es, banyaklah
sudah penghuni yang terhidar dari bahaya penyakit, dan untuk ini, Han Ti Ong
merasa berterima kasih sekali sehingga dia tidak segan-segan menurunkan ilmu
pengobatan tusuk jarum kepada muridnya itu. Selain Sin Liong, tentu saja Swat
Hong sebagai puteri raja, juga memperoleh kemajuan pesat dan dalam usia tiga
belas tahun itu dia telah memilik ilmu kepandaian yang sukar dicari
tandinganya.
Dengan demikian, hampir semua
orang di Pulau Es memperoleh kemajuan masing-masing. Raja Han Ti Ong memperoleh
kebahagiaan cinta kasih dalam diri Kwat Lin yang telah menjadi permaisurinya. The Kwat Lin sendiri yang tadinya mengalami
malapetaka yang dianggapnya lebih hebat daripada kematian sendiri, telah
memperoleh banyak keuntungan, memperoleh cinta kasih yang mesra, kedudukan tinggi
sekali, dan ilmu kepandaian yang amat hebat pula. Hanya seorang saja yang sama
sekali tidak memperoleh kemajuan lahir maupun batin yaitu Liu Bwee! Dia
menderita makin hebat, terutama batinnya karena semenjak beberapa tahun ini,
suaminya sama sekali tidak pernah lagi mendekatinya! Lenyaplah wataknya yang
periang dan kini Liu Bwee lebih banyak mengurung dirinya di dalam kamar,
menyulam atau membaca kitab. Dia seolah-olah menjadi seorang pertapa dan
biarpun wajahnya tidak membayangkan sesuatu, masih tetap cantik manis dan
pakaiannya selalu bersih, namun sesungguhnya hatinya terluka dan selalu
meneteskan darah, batinnya terhimpit dan terbakar oleh rindu yang tak kunjung
henti, kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria yang tak pernah
terpuaskan.
Keadaan di dalam istana dengan
adanya penderitaan Liu Bwee, dengan adanya para anggauta keluarga istana yang
masih menaruh benci kepadanya dan tidak melihat kesempatan untuk menjatuhkan wanita
ini karena Liu Bwee selalu bersikap diam dan tidak memperlihatkan sesuatu,
merupakan api dalam sekam yang setiap saat tentu akan berkobar atau meledak.
Hal ini tidak saja dirasakan oleh semua angauta keluarga raja, bahkan dirasakan
pula oleh Sin Liong dan Swat Hong. Sering
kali Sin Liong kehilangan kejenakaan Swan Hong yang merupakan ciri khas dara
ini. Kalau dia melihat dara itu termenung
seorang diri, dia menarik nafas panjang dan sekali waktu dia menegus, "Eh,
Sumoi. Kenapa kau termenung dan wajahmu suram? lihat, hari tidak sesuram
wajahmu, sinar matahari mencairkan salju dengan cahaya yang keemasan!"
Swat Hong memandang pemuda itu
dan menarik nafas panjang. "Betapa aku tidak tidak akan muram menyaksikan
keadaan yang begini dingin di dalam istana, Su-heng? Ayah memang masih biasa
dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku. Akan tetapi antara Ayah dan Ibu
seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak pernah lagi aku
menyaksikan keduanya beramah tamah dan bersendau gurau seperti dahulu lagi.
Apakah karena Ibu Permaisuri...?"
"Ssst, Sumoi. Kita tidak
mempunayi hak untuk bicara mengenai orang-orang tua itu. Hal itu adalah urusan mereka
sendiri."
"Aku mengerti, Suheng. Akan
tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di balik senyum Ibu kepadaku. Aku
tahu betapa dia rindu kepada Ayah, rindu yang membuatnya seperti gila...."
"Hushh...."
"Aku tidak membohong,
Suheng. Seringkali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil nama Ayah dan menangis
dalam tidur. Ibu selalu gelisah kalau tidur dan biarpun dia hendak
menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita sengsara batin
yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan batinnya...." Dara itu
kelihatan berduka sekali, kemudian berkata lagi, "Suheng, apa sih perlunya
orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan
kecewa?" "Itu bukan cinta, Sumoi, Ahh, kau takan mengerti dan semua
orang takan mengerti karena sudah lajim menganggap hawa nafsu sama dengan
cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk kesenangan dan ingin memilikinya
untuk diri sendiri. Dan semua inilah yang menimbulkan kecewa dan duka,
Sumoi."
Sumoinya terbelalak. "Aihh,
kau bicara seperti kakek-kakek saja! Dari mana memperoleh filsafat macam itu,
Suheng?" Karena tertarik, dara yang mudah ini sudah melupakan kedukaanya
dan menjadi riang gembira lagi, matanya memandang suhengnya dengan berseri
penuh godaan.."Dari... hemm, kukira dari kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat.
Aku sudah kenyang membaca filsafat, dan apa artinya filsafat kalau hanya untuk
diafal? Tidak ada bedanya dengan benda mati yang hanya diulang-ulang, dipakai
perhiasan, dijadikan alat untuk terbang melayang diawang-awang yang kosong.
Terlalu banyak kitab kubaca sudah, dan mungkin juga karena memperhatikan
keadaan mendatangkan kesadaran." Dia menarik napas panjang.
"Suheng, kau tadi mencela
aku yang kaukatakan murung. Akan tetapi aku juga seringkali melihat engkau seperti
orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau Es?" "Aku
suka sekali tinggal di sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat tempat seindah ini,
masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku melihat hukuman-hukuman yang
dibuang ke Pulau Neraka..." "Aih, hal itu bukan urusan kita, Suheng.
Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa urusan antara Ayah dan Ibu bukan
urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali bukan urusan kita." Kau
keliru, Sumoi. Urusan Ayah Bundamu memang merupakan urusan pribadi mereka. Akan
tetapi urusan orang-orang terhukum adalah urusan umum, urusan kita juga. Aku
merasa tidak senang sekali dengan adanya peraturan itu. Aku akan berusaha untuk
mengingatkan Suhu...."
"Tapi Ayah seorang Raja,
Suheng!"
"Raja pun manusia
juga."
"Tapi Raja hanyalah menjalankan
hukum yang berlaku, Suheng."
"Hukum pun buatan manusia.
Benda Mati!"
Tiba-tiba terdengar suara tambur
dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu memperhatikan dan wajah Sin Liong
menjadi muram. "Nah, ada lagi sidang pengadilan yang akan menjatuhkan
hukuman. Entah siapa lagi sekarang yang melakukan pelanggaran. Mari kita lihat,
Suheng!" Sin Liong digandeng tangannya oleh Swat Hong yang menariknya ke
arah bangunan di samping istana, bangunan yang dijadikan ruang sidang
pengadilan di mana dijatuhkan hukuman terhadap mereka yang melakukan
pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ, banyak sudah penghuni
Pulau Es yang menonton diluar ruangan, dan tentu saja dua orang muda-mudi itu
mudah untuk memasuki ruang sidang dan duduk di atas kursi yang berderet di
pinggiran.
Ruangan itu luas sekali,
lantainya halus dan bersih. Isi ruang hanyalah sebuah meja panjang dan di belakang
meja panjang ini terdapat lima buah kursi dan di kanan kiri, di pinggir juga
terdapat kursi-kursi, sedangkan di depan meja, di bagian tengah tetap kosong.
Pada saat Sin Liong dan Swat Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah
duduk hakim, yaitu seorang kakek tua keluarga kerajaan yang biasa bertugas
sebagai hakim, sedangkan di sebelah kanannya, di kursi kebesaran, tampak duduk
Han Ti Ong sendiri bersama permaisurinya. Hal ini merupakan keanehan karena
biasanya raja hanya datang tanpa permaisurinya dan duduk bersama dengan para
pangeran lain. Agaknya permaisuri Raja Han Ti Ong sekarang ini ingin pula
melihat pengadilan dilakukan di Pulau Es.
Para pesakitan yang sudah
berlutut di depan meja, di atas lantai, hanya tiga orang. Seorang laki-laki tinggi
besar penuh brewok yang matanya lebar dan gerak-geriknya kasar, seorang
laki-laki muda yang tampan dan seorang wanita yang usianya empat puluhan, namun
masih cantik dan wanita ini berlutut di samping laki-laki muda yang kelihatan
ketakutan, tidak seperti laki-laki tinggi besar dan Si Wanita yang kelihatan
tenang-tenang saja.
Dengan suara lantang jaksa
penuntut membacakan tuntutan kepada laki-laki tinggi besar yang sudah berlutut
ke depan setelah namanya dipanggil, yaitu Bouw Tang Kui.
Bouw Tang Kui telah berkali-kali
diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka menggunakan kepandaian menghina
yang lemah dan suka mencuri. Terakhir ditangkap karena melakukan pencurian,mengambil
batu hijau mustika penyedot racun ular milik orang lain. Karena
kejahatanya.membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan kekacauan dan permusuhan,
maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas dirinya, selain untuk
memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai contoh kepada semua
penghuni pulau."
Hening sejenak, kemudian
terdengar suara hakim tua yang lemah dan agak gemetar, "Bouw Tang Kui, kau
sudah mendengar tuduhan atas dirimu. Kau diperkenankan membela diri." Bouw
Tang Kui yang berlutut itu memberi hormat kepada raja, kemudian dengan suaranya
yang kasar dan nyaring berkata,"Hamba mengaku telah melakukan perbuatan
itu karena hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba telah menerima banyak
budi dari Sri baginda, kalau sekarang dianggap berdosa, hamba siap menerima
segala macam hukuman yang dijatuhkan kepada hamba." Hakim berfikir
sejenak, kemudian sambil mengetok meja dia berkata, "Pengadilan memutuskan
hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Bouw Tang Kui."
Suasana menjadi hening. Keputusan
hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada penggal kepala. Banyak di antara mereka yang mendengarkan,
menahan nafas dengan muka pucat, ada yang menaruh hati kasihan kepada Bouw Tang
Kui. Akan tetapi pesakitan itu sendiri setelah memandang kepada raja, lalu berkata,
suaranya penuh pahit getir, "Hukuman apa pun bagi hamba tidak terasa
berat, yang terasa berat adalah bahwa hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Es
yang hamba cintai!" "Jadi engkau menerima keputusan hukuman?"
hakim bertanya.
"Hamba mene...."
"Nanti dulu!!"
tiba-tiba terdengar suara nyaring dan Han Ti Ong sendiri mengangkat muka
memandang tajam ketika melihat Sin Liong telah berdiri dari kursinya dan
mengeluarkan seruan itu. "Harap Suhu dan para Cu-wi sekalian maafkan saya.
Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya hendak membelanya.
Saudara Bouw Tang Kui ini
dianggap berdosa dan memang dia telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi patutkah kalau kesalahannya itu
lalu dijadikan tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi?
Saya hendak bertanya, siapakah di antara Cu-wi sekalian yang tidak pernah
melakukan kesalahan?"
"Semua manusia pasti pernah
melakukan kesalahan dan karena kita semua manusia, maka kita pun tentu pernah
melakukan kesalahan. Siapakah yang mau kalau kesalahan yang dilakukannya itu
lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah atau berdosa, dan patut
dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh Bouw Tang Kui adalah
sebuah penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia yang berbatin lemah.
Manusia yang berbatin lemah dan melakukan penyelewengan sama saja dengan seorang
yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan
tubuhnya melainkan hatinya.
Akan tetapi, setiap orang sakit
bisa sembuh! Maka, menghukumnya dengan hukuman keji itu sama dengan
membunuhnya!"
Hening sekali keadaan di situ
setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan pembelaanya. "Akan tetapi di sini sudah diadakan
hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus tunduk kepada hukum!" kata
Han Ti Ong ketika melihat betapa hakim ragu-ragu untuk menjawab. Dia maklum
bahwa Sin Liong disuka banyak orang di situ, dan selain ini, agaknya para
pejabat itu juga sungkan mendebat karena pemuda itu adalah murid raja. Karena
inilah maka Han Ti Ong sendiri yang mengeluarkan suara membantah.
"Harap Suhu memaafkan teecu
kalau teecu terpaksa mendebat. Saudara Bouw melanggar hukum yang dianggap
berdosa, lalu menurut hukum harus dibuang ke Pulau Neraka. Dari manakah
timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum, mana mungkin
ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada pelanggaran? Hukumlah yang
menciptakan dosa dan pelanggaran, hukum adalah keji karena hukuman yang
dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada dosa itu sendiri! Kalau dia dianggap
bersalah lalu dibuang ke Pulau Neraka, bukankah hal itu membuat dia menjadi
makin jahat dan mendendam? Andaikata seorang penderita sakit, penyakitnya
menjadi makin parah! Apakah hukuman.pembuangan ke Pulau Neraka itu akan menginsafkannya?
Suhu, sudah berkali-kali teecu menyatakan bahwa hukuman seperti ini tidak
patutu dilakuakan di Lebih baik menuntut mereka yang tersesat agar kembali ke
jalan benar dari pada menghukum mereka dengan kekerasan yang akan membuat
meraka menjadi lebih jahat lagi."
Kwat Sin Liong, kau tak berhak
untuk mencela hukum yang sudah menjadi tradisi kami! Hakim, lanjutkan
persidangan dan pembelaan yang dilakukan atas diri Bouw Tang Kui tidak dapat
diterima!" bentak Han Ti Ong yang merasa tersinggung juga mendengar betapa
peraturan yang dijunjung tinggi selam ratusan tahun oleh nenek moyangnya itu
kini disangkal dan dicela oleh seorang bocah yang menjadi muridnya!
Sin Liong menghela nafas dan
terpaksa dia duduk kembali.
"Ssttt, kau terlampau
berani...." Swat Hong berbisik.
"Hemmm... tiada
gunanya...." Sin Liong balas berbisik.
Suara jaksa yang lantang sudah
memanggil nama dua orang pesakitan yang lain, laki-laki tampan dan wanita
cantik itu. Mereka maju dan berlutut di depan pengadilan.
"Sia Gin Hwa dan Lu Kiat
telah ditangkap karena melakukan perjinaan. Karena Sin Gin Hwa telah menjadi istri
syah dari Ji Hoat, maka perbuatan itu merupakan perbuatan hina yang hamat
berdosa, melanggar larangan keras yang telah disyahkan hukum. Karena itu, tidak
ada pengampunan baginya dan mohon pengadilan menjatuhkan hukuman terberat
kepadanya. Adapun Lu Kiat, biarpun masih muda dan belum beristri, namun dia
telah berjinah dengan istri orang, maka dia pun harus dijatuhi hukuman yang
layak. Kemudian terserah kepada
hakim."
Wanita itu menundukan mukanya
yang menjadi merah sekali ketika mendengar suara mengejek dari mereka yang
menonton di luar ruangan sidang, akan tetapi sikapnya masih tenang-tenang saja.
Adapun Lu Kiat, pemuda itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia juga menundukan
mukanya, kelihatan gelisah sekali.
"Pengadilan memutuskan
hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Sia Gin Hwa dan hukuman rangket seratus
kali kepada Lu Kiat!"
"Hamba tidak menerima!"
Tiba-tiba Sia Gin Hwa berteriak. "Yang melakukan perjinaan adalah hamba berdua,
maka kalau dibuang pun harus hamba berdua!"
"Tidak, hamba menerima
hukuman rangket seratus kali!" teriak pula Lu kiat. "Laki-laki apa kau ini? Ketika merayuku,
kau berjanji akan bersama-sama menderita andaikata dibuang ke Pulau
Neraka!" Sia Gin Hwa memaki dan terjadilah ribut mulut antara mereka. "Diam!!" Teriakan menggetarkan dari
Han Ti Ong membuat mereka berdiri menjatuhkan diri mohon pengampunan.
"Karena kalian melakukan
perbuatan yang memalukan sekali, menodakan nama baik Pulau Es, maka sepatutnya
kalian berdua sama-sama dibuang ke Pulau Neraka!" kata Raja itu dengan
suara tenang namun penuh wibawa. Sia Gin Hwa memegang tangan kekasihnya dan
menangis sambil menciumi tangan itu, akan tetapi wajah Lu Kiat menjadi makin
pucat.
Kembali Sin Liong bangkit
berdiri. "Maaf, Suhu. Teecu terpaksa membantah lagi! Mereka memang telah melakukan
perbuatan yang melanggar hukum yang ada, akan tetapi apakah perbuatan mereka
itu sudah demikian jahatnya maka sampai mereka dihukum buang? Teecu kira di
balik perbuatan mereka itu tentu ada sebab dan alasannya. Mereka menjadi korban
nafsu, akan tetapi kalau seoarang istri sampai melakukan penyelewengan, tentu
pihak suami juga ada kesalahannya. Tidak perlukah diselidiki mengapa wanita ini
yang telah bersuami sampai berjina dengan pria lain? Mengapa dia sampai tidak
dapat menahan dorongan nafsu berahi?
Tentu ada
sebab-sebabnya."." Sin Liong, engkau seorang bocah belum dewasa, tahu
apa tentang nafsu berahi?" bentak gurunya, agak
tertegun juga karena dia
mendapatkan kebenaran tersembunyi di balik bantahan muridnya itu.
Terdengar suara ketawa ditahan di
sana-sini, bahkan permaisuri sendiri menahan senyumnya.
"Teecu...teecu...mengerti
dari kitab...."
"Pembelaan seorang anak yang
belum dewasa terhadap perjinaan yang dilakukan orang dewasa tidak dapat diterima.
Laksanakan hukumannya dan buang mereka bertiga sekarang juga ke Pulau
Neraka!" kata Han Ti Ong.
Persidangan dibubarkan dan tiga
orang pesakitan itu lalu digiring keluar untuk dilaksanakan hukuman atas diri
mereka, yaitu dibuang ke Pulau Neraka, hukuman yang paling mengerikan dan
paling di takuti oleh semua penghuni Pulau Es karena mereka semua tahu bahwa di
buang ke Pulau Neraka berarti hidup tersiksa dan sengsara, lebih hebat dari
kematian!
Peristiwa seperti inilah yang
membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya,
akan tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam.
Sebaliknya, Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati muridnya yang dia
kagumi dan cinta, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan
ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian
pemuda yang berusia lima belas tahun itu menjadi makin hebat. Boleh dibilang
dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau Es. Biarpun
Permaisuri juga mewarisi banyak ilmu dahsyat namun dibandingkan dengan Sin
Liong dia kalah bakat sehingga kalah sempurna gerakannya, apa lagi dalam hal
tenaga sinkang dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang
yang pada dasarnya memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu,
sebaliknya The Kwat Lin adalah seorang wanita yang dibangkitkan nafsunya
semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.
JILID 5
Dan pada suatu hari terjadilah
suatu hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi hal yang menjadi akibat
daripada keadaan yang ditekan-tekan di dalam istana yang dimulai dengan
masuknya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisuri itu ke Pulau Es. Pagi
hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi tempat
kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling sunyi, pantai
yang tak pernah tertutup salju karena pasir berwana putih yang terjadi dari
pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan kepompong itu seolah-olah
selalu mengeluarkan hawa hangat. Selagi
dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya suara tabur dipukul gencar, tanda
bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat penting, sidang
yang diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang pesakitan terakhir
itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur itu seolah-olah
menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling
tidak disukainya, suara yang
menandakan bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak
bergerak, mengambil keputusan
tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal
yang menyakitkan hatinya. Akan
tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong,
suara panggilan yang lain dari
biasanya karena suara dara itu
mengandung isak tangis yang
mengejutkan.
"Kwa-suheng...!!"
Sin liong terkejut melihat dara
itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan wajah yang pucat sekali.
"Ada apakah, Sumoi?"
tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya.
"Suheng..., celaka...
Ibuku..."Biarpun hatinya berdebar penuh kaget dan kejut, Sin Liong
bersikap tenang ketika di memegang kedua pundak Sumoinya dan bertanya,
"Ada apakah dengan Ibumu? Tenanglah, Sumoi."."Swat Hong menahan
isaknya. "Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke sidang pengadilan..."
Sin Liong mengerutkan alisnya.
Sudah keterlaluan ini, pikirnya. Rasa penasaran membuat dia berlaku agak kasar.
Digandengnya tangan Sumoinya, ditariknya dara itu dan dia berkata , "Mari
kita lihat!" Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka
mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali dengan sidang pengadilan yang
sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan
mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba
disitu, mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga, "Maaf, atas perintah
Sribaginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari
ini." Kata mereka.
Dengan kedua tangan di kepal,
Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan mukanya merah sekali, "Apa
kalian bilang? Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah
bosan hidup?" Sin Liong cepat memegang lengan sumoinya karena dia maklum
bahwa kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para
penjaga itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri
ini.
"Harap Saudara sekalian
melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata
Sin Liong dengan tenang kepada para penjaga.
"Akan tetapi kami hanya
mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?" jawab kepala penjaga dengan
muka bingung.
"Aku tahu. Ibuku yang
diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun yang akan terjadi dengan ibuku, aku
harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!"
Kembali Swat Hong membentak. "Saudara
sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami berdua
yang menanggungnya,"kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk.
Para penjaga tidak ada yang berani melarang akan tetapi mereka cepat-cepat lari
untuk melapor kedalam. Han Ti Ong
mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang,
akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para penjaga yang kebingungan. Hal ini
melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu
untuk menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang
sedang mengadili isteri raja! Dapat
dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut
di depan meja pengadilan bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai
pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa ngeri karena melihat
ibunya dan pemuda itu berlutut di situ, dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan
Lu Kiat, dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya!
Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi dia menjadi lemas dan menurut saja ketika
Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi pinggiran yang
sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa,
hakim, Raja Han Ti Ong , permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan
tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan agungnya di dekat ibunya, matanya
memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh. Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang
Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang
menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari! "Liu Bwee, sebagai bekas istri
Sribaginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat,
ternyata membalas budi Sribaginda dengan aib dan noda yang hina, telah
ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini
amat besar karena selain menimbulkan aib dan malu kepada Sribaginda, juga kalau
diketahui dunia luar akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es.
Oleh karena itu, sepatutnya dia
dijatuhi hukuman yang seberat mungkin."."Bohong...! Ibu tidak
mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang jaksa
yang
berani mengeluarkan ucapan
menuduh ibunya seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk
mencegah sumionya bergerak.
"Swat Hong! Berani engkau
kurang ajar di depan Ayah?" Terdengar Han Ti Ong membentak dengan penuh wibawa.
"Ayah, tuduhan itu fitnah
belaka! Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa saksinya?"
kembali Swat Hong menjerit-jerit.
"Hong-ji, jangan begitu.
Ibumu tidak berdosa, akan tetapi kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum,
anakku.Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh
kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang
merobek hati.
"Liu Bwee, engkau telah
mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?" terdengar suara hakim tua
itu dengan halus dan lirih seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam
sidang ini, dialah orang yang paling kuasa.
"Saya tidakakan membela
diri, hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap
suka disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan
terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan tenang dan suara halus.
Jaksa yang termasuk orang di
antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu Bwee karena dia dahulupun
mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya, segera berkata lantang,
"Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu,
padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan
berjinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa
berada di dalam kamar berdua saja! selain itu, perjinahan kalian juga telah ada
yang menyaksikan."
Wajah Swat Hong sebentar pucat
dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahanya.
Ibunya dituduh berjinah dengan
seorang pelayan!
"Bohong! itu bukan bukti!!
Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang menyaksikan?" teriaknya,
tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih memegang lengannya karena
khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk.
"Akulah saksinya!"
tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah bangkit berdiri
dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan matanya
bersinar-sinar. "Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan pelayan
itu di atas ranjang...."
"Ssssttt, diam...!"
Permaesuri menarik puteranya. Akan tetapi hakim telah berkata lagi, "Sudah
terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling besar yang
dapat dilakukan oleh seorang wanita..."
"Nanti dulu!" Dengan
muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim. "Tidak adil kalau
begini! kita belum mendengar keterangan
A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa engkau seorang manusia yang menjujur
kegagahan, tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau
menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan
sesungguhnya apa yang terjadi!" Suara Swat Hong ini nyaring sekali dan
muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah
oleh suara Raja, "A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!"
Tubuh itu menggigil, muka yang
tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian
melirik ke arah Liu Bwee yang
masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik
ke arah Swat Hong yang berdiri
dengan sikap angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih,
kemudian menelungkup dan berkata
dengan suara mengandung isak, "Hamba tidak berdaya... hamba
memang berada di kamar itu...
tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil... hamba terpaksa
karena..."."Berani kau mengatakan puteraku bohong?" Jeritan ini
keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan
yang dahsyat sekali menyambar
ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A Kiu. "Dess...! Aungghh...!" Tubuh A Kiu
terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan
telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan
permaesuri itu, mengenai kepala A Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya.
Hakim dan jaksa saling pandang,
sedangkan Raja menegur Permaesurinya, "Kau terlalu lancang...." "Apakah
aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?"
Permaesuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik nafas
panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini,
lalu memberi isyarat kepada hakim sambil berkata, "Lanjutkan."
Hakim menelan ludah beberapa kali,
kemudian berkata lantang, " Saksi utama yang mejadi pelaku perjinahan
telah terbunuh karena berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah
berada di kamar itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena
itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengadilan
memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!" "Ibuuuu..!!"
Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk
ibunya. "Sssst, tenanglah,
Hong-ji...." ibunya terbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguhpun
wajahnya kelihatan makin berduka.
"Tenang? Tidak! ibu tidak
boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya
dan berkata lantang, "ibuku telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi
yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak rela melihat
ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu
membalas budinya dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu.
Saya yang akan mejadi penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sribaginda
bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan
usianya di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!"
"Hong-ji...!" ibunya
memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari keluar dari tempat itu dengan
cepat.
Sin Liong memandang dengan alis
berkerut. Tak disangkanya hal yang sudak dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu
yang tidak menyenangkan, suatu yang akan meledak, ternyata sehebat ini. "Hong-ji... ah, Hong-ji,
Anakku...!" Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa untuk
mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah
tinggi sekali, juga dia sebagai seorang pesakitan, tentu saja tidak berani
melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat Hong...
Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hati
ini meratap.
Hakim menjadi bingung dan
beberapa kali menoleh kearah Raja seolah-olah hedak minta keputusan Han Ti Ong.
Raja ini menggigit bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan
akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia menerima laporan tentang istri
pertamanya, Liu Bwee, yang berjinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas
dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini kepengadilan
agar diambil keputusan yang seadil-adilnya.
Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya.
Permaisurinya membunuh pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya,
bahkan menggantikan ibunya "membuang diri" ke Pulau Neraka. maka
kini,melihat betapa hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia
memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri sambil berkata, " Sudahlah,
sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudah menggantikan
ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus
disini!"
Setelah berkata demikian, dia
menggandeng tanggan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan
hendak meninggalkan tempat yang
tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri dan
wanita ini berkata lantang,
sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam.."Biarpun anakku telah
menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan tinggal di sini,
akan tetapi apa artinya hidup
disini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi
tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai
penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!" Setelah berkata
demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi. Setelah dia bukan pesakitan lagi,
setalah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak
menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama
bertahun-tahun itu. "Hmm,
sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki
istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong.
Sampai ruangan persidangan itu
kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di situ. Di dalam
hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang di
cintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama
sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang kini telah menjadi
permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang
dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau
Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan setelah The Kwat Lin menjadi
permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan
larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu
sendiri pergi entah ke mana! Dialah, langsung atau tidak bertanggung jawab.
Akan tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, Juga permaisuri tidak dapat
dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas
kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkan saja, seolah-olah
dia ikut pula persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak itu. "Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat
berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong dan melindunginya."
Demikian dia mangambil keputusan dalam hatinya dan dia tidak lagi berpamit
kepada gurunya karena maklum gurunya sedang berada dala kedukan dan kepusingan.
Pula, Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari tetumbuhan obat,
maka kepergiannya dengan sebuah perahu menunggalkan Pulau Es tidak ada yang
menaruh curiga.
Dengan tenaganya yang amat kuat
Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke
Pulau Neraka. Dia sudah tahu dimana letaknya pulau itu, dari keterangan yang diperolehnya
ketika dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es Bahkan diam-diam pernah
pula seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya
melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak
kehitaman seperti pulau yang pantas di huni oleh setan dan iblis.Pantainya
penuh dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi
kalau ombak sedang besar.
Sama sekali tidak tampak ada
penghuninya sehingga ketika itu Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan
yang dibuang dari Pulau Es tentu telah tewas di jalan, tentu tewas di atas
pulau itu. Maka dia menentang keras
dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputusakan hukuman
buang ke Pulau Neraka, karena baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama dengan
menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke pulau
itu atau setelah berasil mendarat. Dan
kini Swat Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan
khwatir. Kagum akan keberaniannya dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan
tetapi khawatir sekali akan keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar itu.
Sumoinya baru berusia empat belas tahun! Biarpun dia tahu bahwa ilmu kepandaian
sumoinya sudah hebat dan cukup untuk dipakai untuk menjaga diri, namaun
betapapun juga sumoinya itu masih kanak-kanak! Sin Liong sama sekali tidak
ingat bahwa usianya sendiri hanya satu tahun lebih tua dari pada usia Swat
Hong!
Perjalanan dari Pulau Es ke Pulau
Neraka melalui lautan yang penuh dengan gumpalan-gumpalan es yang mengapung di
permukaan laut, gumpalan es yang kadang-kadang sebesar gunung dan celakalah kalau
sampai perahu tertumpuk oleh gumpalan es menggunung itu yang kadang-kadang
bergerak, digerakkan oleh angin. Celaka pula kalau sampai terjepit di antara
dua gumpalan es yang begitu saling menempel tentu akan melekat dan membuat
perahu terjepit di tengah-tengah.
Akan tetapi, Sin Liong sudah
banyak mendengar tentang ini maka dia tahu pula caranya menghindarkan
perahunya dan tidak mendekat
gumpalan-gumpalan es yang berbahaya, melainkan mencari jalan di celah-celah
yang agak lebar. Kemudian dia
tiba di daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan ikan hiu
yang hanya tampak siripnya itu
berenang di kanan kiri dan belakang perahunya. Betapapun juga tinggi
ilmunya, ngeri juga hati Sin
Liong karena dia tahu bahwa sekali perahunya terguling, kepandaianya tidak
akan berguna banyak dalam melawan
ratusan ikan buas itu di dalam air! Cepat ia mengeluarkan bungkusan
yang sudah dibawanya sebagai
bekal, membuka bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan.kiri,
depan belakang perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu pergi berenang
pergi dengan cepat
seperti ketakutan setelah mencium
bau bubukan hitam yang disebarkan oleh Sin Liong. Pemuda ini sudah mendengar
akan bahaya ikan-ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun bubukan hitam
yang sering kali dipergunakan oleh para penghuni Pulau Es untuk mengusir
ikan-ikan buas di waktu mereka mencari ikan.
Beberapa jam kemudian, kembali
dia menghadapi ancaman ikan-ikan kecil yang banyak sekali jumlahnya, mungkin
laksaan. Ikan-ikan besar ibu jari kaki, akan tetapi keganasannya melebihi ikan
hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani
menyerang orang di atas perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut
yang penuh gigi runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu sebagian
daging dan kulit terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai orang
jatuh ke dalam air. Dalam waktu beberapa
menit saja tentu sudah habis tinggal tulangnya dikeroyok laksaan ikan buas ini. Kembali Sin Liong dengan cepat menyebar obat
bubuk hitam beracun itu dan ikan-ikan kecil itupun lari cerai berai tidak
berani lagi mendekati sampai perahu meluncur meninggalkan daerah berbahaya itu. Setelah melalui perjalanan yang amat sulit
akhirnya menjelang senja, sampai juga perahu Sin Liong di pantai Pulau Neraka.
Tetapi seperti dugaannya, pulau itu memang mengerikan sekali. Hutan yang
terdapat di pulau itu amat besar dan liar, pohon-pohon aneh dan menghitam
warnanya memenuhi hutan yang kelihatannya sunyi dan mati. Namun, dibalik
kesunyian itu Sin Liong merasakan seolah-olah banyak mata mengamatinya dan maut
tersembunyi disana-sini, siap untuk mencengkram siapa pun yang berani mendarat!
Melihat keadaan pulau ini makin
berdebar hati Sin Liong, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong.
Apakah dara itu sudah berasil mendarat? Tentu Swat Hong dapat mencapai pulau ini,
karena dara itupun tahu jalan ke situ, dan mengerti pula tempat-tempat
berbahaya yang dilaluinya tadi sehingga seperti juga dia, tentu Swat Hong telah
membawa bekal obat pengusir ikan-ikan buas tadi dengan cukup.
Akan tetapi dia tidak melihat
sebuah pun perahu di pantai Pulau Neraka. Apakah ada penghuninya? Atau semua
orang buangan telah mati terkena racun yang kabarnya memenuhi pulau ini? Karena khawatir kemalaman sebelum dapat
menemukan Swat Hong, Sin Liong lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke
atas. Kemudian dia membalik dan memasuki hutan. Baru saja dia berjalan beberapa
langkah, terdengar suara berdengung-dengung dan entah dari mana datangnya,
tampak ratusan ekor lebah berwarna putih menyambar-nyambar dan mengeroyoknya!
Dari bau yang tercium olehnya, tahulah Sin Liong bahwa lebah-lebah itu
mengandung racun yang amat jahat maka tentu saja dia terkejut sekali! Cepat dia
lari dari tempat itu, namun lebah-lebah itu mengejar terus, beterbangan sambil
mengeluarkan suara berdengung-dengung yang mengerikan.
Sin Liong cepat menanggalkan
jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling tubuhnya. Dari putaran jubah
ini menyambar angin dahsyat dan lebah-lebah itu terdorong jauh oleh hawa yang
menyambar dari putaran jubah.Sin Liong tidak tega untuk membunuh lebah-lebah
itu maka dia hanya menggunakan hawa putaran jubahnya untuk mengusir. namun,
binatang-binatang kecil itu hanya tidak mampu mendekati dan menyerang tubuh Sin
Liong, akan tetapi sama sekali tidak terusir, bahkan kini makin banyak dan terbang
mengelilingi Sin Liong dari jarak jauh sehingga tidak terjangkau oleh hawa
pukulan jubah. Melihat ini, Sin Liong kaget. betapapun kuatnya tidak mungkin
baginya untuk berdiri di situ sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan
selamanya sampai lebah-lebah itu terbang pergi! Lalu teringatlah dia akan
senjata yang paling ampuh. Api! Dengan tangan kiri terus memutar jubah
melindungi tubuhnya, Sin Liong lalu mengumpulkan daun kering dan mencari batu
yang keras. Dengan pengerahan tenaganya, dia menggosok dua batu itu sehingga
timbul percikan bunga api yang membakar daun kering. Diambilnya sebatang ranting kering dan
dibakarnya ranting ini. Benar saja. Dengan ranting yang ujungnya menyala ini
dipegang tinggi di atas kepala, tidak ada lebah yang berani mendekatinya. Dia
melanjutkan perjalanan, dan terus menerus menyalakan api diujung ranting yang
dikumpulkan dan dibawanya. Dapat dibayangkan
betapa ngeri hatinya ketika melihat banyak sekali binatang berbisa di sepanjang
jalan. Ular-ular kecil, kalajengking,
lebah-lebah dan sebangsanya merayap-rayap lari ketika dia datang dengan obor di
tangan. Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa itu takut
terhadap api.
Andaikata dia tidak membawa api
tentu dia telah dikeroyok oleh binatang-binatang kecil yang semuanya.berbisa
itu, dari atas dan bawah! lebah-lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari
jarak jauh, terbukti
dari suara yang
berdengung-dengung itu masih terus berada di belakangnya. Tiba-tiba terdengar suara bersuit panjang dan
lebah-lebah itu beterbangan makin dekat, kembali mengurungnya dan kelihatan
seperti marah. Bahkan ada beberapa yang ekor yang meluncur dekat sekali, akan
tetapi menjauh lagi ketika Sin Liong menggunakan api di ujung ranting untuk
mengusirnya. Suitan terdengar berkali-kali dan lebah-lebah itu makin marah dan
mengamuk, juga tampak oleh Sin Liong betapa binatang kecillainya yang banyak
terdapat di hutan itu mulai mendekatinya, namun masih takut-takut oleh api di
ujung ranting.
"Siuuuttt..." tiba-tiba
tampak benda hitam menyambar kearah ujung rantingnya. Maklumlah Sin Liong bawa
sambitan yang amat kuat itu bermaksud memadamkan api di ujung ranting. Tentu
saja dia tidak mau terjadi hal ini, maka cepat ia menari kebawah ranting
terbakar itu dan menggunakan tangan kirinya menyambar benda yang dilontarkan.
Kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah dia bahwa ada orang yang
membokonginya dan orang itu agaknya yang besuit-suit tadi. Suitan yang agaknya
merupakan perintah kepada binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya!
"Haiiii, Saudara penghuni
Pulau Neraka! Harap jangan menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang dengan maksud
baik! Aku hanya mau mencaru Sumoiku di sini!"
Hening sejenak. Suitan-suitan
tidak terdengar lagi dan lebah-lebah itu kembali menjauh, demikian ular,
kelabang dan lain binatang kecil. Terdengar bunyi tampak kaki menginjak
daun-daun kering dan tak lama kemudian muncullah belasan orang yang bertelanjang
kaki, berpakaian tidak karuan, bermuka menyeramkan itu kotor tidak terawat,
mata mereka merah dan bergerak liar seperti mata orang-orang gila. Dengan gerakan perlahan, pandang mata penuh
juriga, belasan orang itu menghampiri dan mengurung Sin Liong. Pemuda itu
tersenyum ramah, bersikap tenang dan mengangkat ranting menyala tinggi-tinggi
untuk memperhatikan wajah mereka.
"Harap Cuwi (Anda Sekalian)
sudi memaafkan kedatanganku yang tiba-tiba ini. Akan tetapi sungguhnya aku, Kwa
Sin Liong, tidak berniat buruk terhadap Pulau Neraka apalagi terhadap
penghuninya. Aku datang untuk mencari sumoiku yang bernama Han Swat Hong, yang
mungkin sudah mendarat di pulau ini." Seorang di antara mereka, yang
mukanya penuh brewok sehingga yang tampak hanya matanya dan sedikit hidungnya,
melangkah maju dan menegur, suaranya parau dan kasar. "kau dari
mana?" "Dari Pulau Es...."
Belasan orang itu mendengus dan
kelihatan marah sekali. Si Brewok mengangkat tinggi senjata golok besarnya dan
membentak, "kalau begitu kau harus mampus!"
"Nanti dulu, harap Cuwi
bersabar." Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan kirinya ke atas,
"Aku bukan musuh dari Cuwi, sudah kukatakan bahwa aku datang bukan untuk
bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?" Pada saat itu, muncul pula lima
orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di antara mereka, yang bertubuh
tinggi besar, "Ehh, bukankah ini Kwa-kongcu dari Pulau Es?" Sin Liong
memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu yang bukan lain
adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang dihukum buang ke Pulau Neraka
karena telah mencuri batu mustika hijau!
"Bouw-lopek!" serunya girang. "Aku datang untuk mencari
Swat Hong yang juga sudah dibuang ke sini!" "Apa??" Bouw Tang
Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang agaknya menjadi pemimpin rombongan
itu. "Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela Lu Kiat dan Sia Gin
Hwa ketika dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju dengan
hukum di Pulau Es, biarpun dia adalah murid Raja Han Ti Ong sendiri."
"Apa...??" Mereka
kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?"
"Benar," jawab Bouw
Tang Kui. "Dan kita bukanlah lawanya.".Si Brewok meragu. "Kalau
begitu, kita bawa dia kepada To-cu (Majikan Pulau)!"Bouw Tang Kui
melangkah maju. "Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada To-cu
sehingga Kongcu dapat bicara sendiri dengannya." Sin Liong mengangguk.
Memang menghadapi orang-orang kasar ini akan berbahaya sekali karena mereka
sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan Majikan Pulau yang tentu merupakan
tokoh yang paling pandai, dia akan dapat minta keterangan apakah Swat Hong
telah berada di pulau itu. Dia mengangguk dan beberapa orang penghuni Pulau
Neraka lalu menyalakan obor. Sin Liong
sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan mengikuti rombongan
belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia melihat tempat-tempat
berbahaya, lumpur-lumpur yang tertutup rumput tinggi, pasir-pasir berpusing
yang dapat menyedot apa saja yang menginjaknya, pohon-pohon yang aneh dengan
buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah itu mengandung
racun jahat, dan lain-lain. Benar-benar pulau yang amat aneh dan berbahaya,
fikirnya. Pantas kalau disebut Pualu Neraka, dan diam-diam dia mencela
kekejaman Kerajaan Pulau Es yang membuang orang-orang bersalah ke tempat
seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw Tang
Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksaksa ini
baru beberapa bulan saja dibuang ke sini, sedangkan yang lain-lain, biarpun
dapat mempertahankan hidupnya, namun telah berubah menjadi orang-orang liar
yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatanya! Dan selain menjadi
orang-orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai ilmu yang dahsyat
dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang berbisa di pulau itu.
Buktinya, biarpun meraka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu tanpa
sepatu tidak ada seekor pun yang berani menyerang mereka.
Akhirnya dengan menggunakan
ketajaman pandang mata dan penciuman hidungnya Sin Liong maklum bahwa
orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya digosok-gosokan ke seluruh
kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu mereka mendekat. Tak
disangkanya sama sekali, ketika mereka tiba di tengah jalan, di situ terdapat
tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah besar, dikelilingi pondok-pondok
kayu sederhana. lampu-lampu dinyalakan terang dan Sin Liong dibawa ke sebuah
ruangan yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu yang disebut To-co
(Majikan Pulau). Ruangan itu luasanya
lebih dari sepuluh meter persegi, dikelilingi banyak orang yang memegang bermacam
senjata dan yang sikapnya semua penuh curiga dan permusuhan, kecuali Bouw Tang
Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan orang lagi yang belum lama dibuang kesitu
sehingga mereka ini mengenal Sin Liong sebagai murid Han Ti Ong yang selalu
baik kepada mereka, bahkan banyak di antara mereka yang pernah diobati oleh
pemuda ini.
"Hayo berlutut di depan
tocu!" kata Si Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan. Akan tetapi Sin
Liong dengan tenang berdiri di depan To-cu itu dan memandang penuh perhatian.
Orang ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya. Kepalanya
besar sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti seekor
singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya
menyeringai. Sebetulnya wajahnya tampan, akan tetapi karena sikapnya yang ganas
itu membuat wajahnya kelihatan menyeramkan dan menakutkan. Pakaiannya tidak
seperti pakaian sebagian besar penghuni Pulau Neraka yang butut, melainkan
pakaian dari kain yang baru dan bersih. Kursinya terbuat dari tulang-tulang
berukir, dan di kedua lengan kursinya dihiasi dengan rangka ular dengan
moncongnya ternganga lebar memperlihatkan gigi yang runcing melengkung. Di
sebelah kana ketua Pulau Neraka ini duduk seorang anak perempuan yang tadinya
hampir membuat Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong,
seorang anak perempuan yang cantik dan tersenyum-senyum, sikapnya kelihatannya
gembira dan mungkin karena sebaya maka kelihatanya mirip dengan Swat Hong.
Hampir saja Sin Liong tadi memanggilnya ketika mula-mula memasuki ruangan.
Ketika melihat betapa pemuda tawanan itu memandangnnya penuh perhatian, anak
perempuan itu tersenyum-senyum. Melihat
Sin Liong tidak mau berlutut di depannya, kakek itu memandang tajam, kemudia
berkata berlahan, suaranya rendah, "Hemmm, kau tidak mau berlutut, ya?
Hendak kulihat kalau kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?"
Berkata demikian, tiba-tiba tangan kakek itu menyambar sebatang toya dari tangan
seorang penjaga, menekuk toya itu sehingga patah tengahnya dan sekali dia
menggerakan tangan, sepasang potong toya itu menyambar ke arah kedua kaki Sin
Liong!
Pemuda itu terkejut, akan tetapi
bersikap tenang. Dia maklum bahwa ketua Pulau Neraka itu bermagsud
menggunakan lemparan tongkat
untuk membikin sambungan lututnya terlepas. Maka dia cepat
menggerakan kedua kakinya,
meloncat ke atas, kemudian setelah melihat kedua toya berkelebat ke bawah.kaki
dia menggunakan kedua kakinya menginjak. Sepasang tongkat pendek itu menancap
di atas lantai dan
pemuda itu berdiri di atas kedua
ujung tongkat dengan tubuh tegak dan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi
sesuatu!
"Waduhhh, dia hebat sekali,
kong-kong (Kakek)!" anak perempuan yang tadi tersenyum-senyum itu besorak
penuh kagum, padahal anak buah Pulau Neraka memandang marah karena mengangap
bahwa pemuda itu mengejek ketua mereka.
"Hebat apa! Permainan
kanak-kanak seperti itu!" Kakek berkepala besar itu mendengus marah. "Kong-kong juga bisa? Ajarkan aku kalau
begitu!" anak prempuan itu berkata dengan sikap dan suara manja.
"Hushh! Diamlah kau!"
kakek itu membentak dan sejak tadi matanya tidak pernah berpindah dari Sin Liong.
Dibentak seperti itu, anak perempuan itu cemberut dan mukanya merah, menahan
tangis. Sin Liong merasa kasihan lalu meloncat turun dan berkata menghibur, "Adik
yang manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada kesempatan aku akan
mengajarkannya kepadamu." Anak perempuan itu memandang Sin Liong dengan
mata terbelalak, kemudian lenyaplah kemuraman wajahnya yang manja menjadi
berseri-seri kembali.
"Orang muda yang bersikap
dan bermulut lancang! Siapa engkau yang mengandalkan sedikit kepandaian untuk
mengacau Pulau Neraka?" Kakek itu membentak, menahan kemarahannya karena
dia merasa direndahkan sekali ketika serangan sepasang tongkatnya tadi gagal
dan dihadapi oleh pemuda itu secara luar biasa.
Sin Liong cepat memberi hormat
dengan menjura dalam-dalam, kemudian dia berkata dengan suara tenang,
"Harap To-cu suka memaafkan kedatanganku ke Pulau Neraka ini. Seperti
telah kukatakan kepada semua penghuni Pulau Neraka kedatanganku sama sekali
tidak mengandung niat buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin Liong
dan ...."
"Dia murid Han Ti Ong!"
tiba-tiba Si Brewok berkata lantang.
Ucapan ini disambut dengan suara
berisik dari semua oang yang berada di situ karena mereka sudah menjadi marah
sekali. Semua orang yuang berada disitu adalah orang-orang buangan dari Pulau
Es, semenjak raja pertama sehingga sudah tinggal disitu selama tiga keturunan,
ada orang buangan baru dan ada pula yang merupakan turunan dari orang-orang
buangan lama, akan tetapi kesemuanuya mempunyai rasa benci dan dendam pada satu
nama, yaitu Pulau Es! Maka begitu mendengar pemuda tampan dan tenang ini adalah
murid Han Ti Ong, raja terakhir dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan hati
mereka. Dengan pandang mata mereka yang liar mereka hendak mencabik-cabik dan
membunuh pemuda itu yang dianggapnya seorang musuh besar, dan andaikata mereka
itu tidak takut kepada ketua mereka, tentu mereka telah menyerbu untuk
melaksanakan niat yang terbayang dalam pandang mata mereka itu. "Akan tetapi dia selalu menentang Han Ti
Ong, menentang pembuangan ke Pulau Neraka!" terdengar suara beberapa orang
membela, yaitu suara Bouw Tang Kui, Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan beberapa orang
buangan baru yang lain.
"Bunuh saja dia!"
"Seret murid Han Ti
Ong!"
"Jadikan dia mangsa
ular!"
Kakek bekepala besar itu
mengangkat kedua lengannya ke atas dan membentak, "Diam...!!"
Sin Liong kembali terkejut.
Ketika mengeluarkan suara bentakan tadi ketua Pulau Neraka agaknya
telah mengerahkan khikangnya
sehingga dia sendiri yang berdiri di depan kakek itu merasa betapa kedua
kakinya tergetar! Mengertilah dia
bahwa ketua Pulau Neraka ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian.tinggi dan
tahulah dia bahwa dia telah memasuki sarang naga dan berada dalam keadaan
terancam. Namun
Sin Liong tidak merasa takut
sedikitpun juga karena dia merasa bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan terhadap
mereka ini. Maka kembali dia menjura kepada ketua Pulau Neraka sambil berkata,
"To-cu, sekali lagi kujelaskan bahwa kedatanganku ini sama sekali tidak
mengandung niat buruk dan kalau tidak ada perlu sekali pasti aku tidak akan
berani menginjakan kaki ke pulau ini. Aku datang untuk mencari Sumoiku yang bernama
Han Swat Hong puteri Suhu....." Sin Liong menghentikan kata-katanya karena
teringat bahwa dia telah kelepasan bicara, akan tetapi karena sudah terlanjur
maka tak mungkin kata-kata itu ditariknya kembali.
"Putera Han Ti
Ong...??" Ketua Pulau Neraka berseru keras sekalli sampai mengagetkan
semua orang.
"Kau mencari puteri Han Ti
Ong di sini?"
Sin Liong berkata, "Benar,
To-cu. Karena aku menduga bahwa dia berada di sini maka aku menyusul ke sini."
"Tangkap puteri Han Ti
Ong!"
"Bunuh dia!"
"Gantung puterinya!"
Kini Sin Liong mengangkat kedua
lengannya dan sambil menggerakan khikangnya dia beseru, "Harap Cu-wi diam!"
Dan diamlah semua orang. Di antara meraka yang memiliki kepandaian tinggi,
termasuk ketua Pulau Neraka, kagum sekali karena orang muda yang belum dewasa
benar ini ternyata memiliki kekuatan khikang yang amat hebat! "Harap Tocu
tidak salah sangka. Puteri Han Ti Ong itu juga menjadi orang buangan."
Ucapan Sin Liong ini tentu saja
mengejutkan dan mengherankan hati semua orang sehingga mereka tidak dapat
mengeluarkan kata-kata melainkan hanya memandang kepada SinLiong dengan mata terbelalak.
"Kau bohong!" Kakek
berkepala besar itu menghardik. "Mana mungkin Han Ti Ong membuang
puterinya sendiri ke Pulau Neraka?"
"Agaknya Tocu telah mengerti
akan kerasnya peraturan hukum di Pulau Es, dan sebetulnya yang dianggap melanggar
hukum adalah istri suhu sendiri, istri tua, yang aku yakin hanyalah karena
fitnah belaka. Suhu telah menjatuhkan hukuman kepada Subo, dan Sumoi lalu
mewakili ibunya untuk membuang diri ke Pulau Neraka, maka aku menyusul ke sini
untuk mengajaknya pulang ke Pulau Es." Tiba-tiba ketua Pulau Neraka
tertawa bergelak, tertawa penuh kegembiraan sampai kedua matanya mengeluarkan
air mata! "Huah-ha-ha-ha! Ha-ha-ha, betapa lucunya! Rasakan kau sekarang
Han Ti Ong, Raja keparat! Rasakan kau betapa perihnya orang tertimpa
kesengsaraan karena keluarga berantakan. Ha-ha-ha!"
Semua orang yang melihat dan
mendengar kata-kata ketua Pulau Neraka ini, kontan tertawa-tawa semua, mentertawakan
Raja Pulau Es! Biarpun mereka belum sempat membalas dendam kepada Raja Pulau
Es, mendengar nasib buruk Raja itu sudah merupakan hiburan besar yang amat
menyenangkan hati mereka. Hanya anak
perempuan itu saja yang tidak ikut tertawa karena dia agaknya tidak mengerti
apa-apa, dan pada saat itu dia hanya saling pandang dengan Sin Liong yang juga
terheran-heran. "Hei, Kwat Sin
Liong! Betapa baiknya ceritamu, akan tetapi aku masih belum percaya kalau tidak
melihat sendiri peteri Han Ti Ong datang ke pulau ini. kita tunggu dan lihat
saja. Setelah aku melihat puteri Han Ti Ong berada di pulau ini, barulah kita
akan bicara lagi. Tangkap dia dan masukan dalam kamar tahanan sambil menanti
munculnya puteri Han Ti Ong!"
Si Brewok dan beberapa orang yang
agaknya menjadi pembantu utama ketua Pulau Neraka sudah
melangkah menghampiri Sin Liong
dengan sikap mengancam. Pemuda ini maklum bahwa tidak ada jalan
lain kecuali menyerah sambil
menanti munculnya Sumoinya karena sebelum dia bertemu degnan.Sumoinya, melawan
hanya akan menimbulkan permusuhan yang tidak ada artinya saja. Maka dia
mengangkat kedua tangannya dan
berkata, "Aku tidak akan melawan, kecuali kalau kalian menggunakan kekerasan.
Aku menyerah dan mau menanti di kamar tahanan sampai Sumoiku muncul." Melihat
sikap tenang dan ucapan yang berwibawa ini, belasan orang yang mengurung Sin
Liong dengan sikap mengancam tadi kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi Sin Long
lalu melangkah ke depan dan berkata, "Marilah bawa aku ke kamar tahanan."
"Jangan ganggu dia, biar dia
mengaso di kamar tahanan dan layani baik-baik sampai puteri Han Ti Ong mucul.
kalau dia membohong, hemm, baru kita akan berpesta membunuhnya!" Ketua
Pulau Neraka berkata sambil terkekeh-kekeh karena hatinya senang sekali mendengar
betapa Han Ti Ong sampai membuang istrinya sendiri ke Pulau Neraka, kemudian
puterinya malah membuang diri ke Pulau Neraka. Biarpun dia belum percaya benar
akan cerita ini sebelum dia menyaksikan buktinya, namun berita itu saja sudah mendatangkan
rasa senang di dalam hatinya.
Dengan sikap gagah dan tenang
sekali Sin Liong digiring ke dalam kamar tahanan, diikuti oleh pandang mata
penuh khawatir dari anak perempuan tadi. Setelah rombongan itu lenyap, anak
perempuan itu mencela ketua Pulau Neraka, "Kong-kong kenapa dia ditahan?
Dia luar biasa, berani dan pandai sekali!" "Hushh! Dia orang Pulau
Es, dia murid Han Ti Ong, karena itu dia adalah musuh kita. Mengerti?" Anak
perempuan itu cemberut, lalu meninggalkan kakek itu sambil bersungut-sungut
sedangkan kakeknya tertawa bergelak dengan hati senang. Dia lalu memberi
isyarat memanggil seorang kepercayaannya, lalu berbisik-bisik sambil
tersenyum-senyum. Pembantunya juga tertawa, mengangguk-anguk lalu pergi. Kakek ini,
ketua Pualu Neraka yang memiliki kepandaian tinggi, sama sekali tidak curiga
kepada cucunya sendiri, tidak tahu bahwa cucunya itu tadi menyelinap dan
mendengarkan perintah yang dia berikan kepada orang kepercayaannya.
Sin Liong adalah seorang pemuda
yang tidak pernah mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain. Dia belum
banyak mengenal kepalsuan watak manusia dan biarpun terhadap orang-orang Pulau
Neraka, dia tetap menaruh kepercayaan. Maka diapun percaya penuh akan kata-kata
ketua Pulau Neraka dan dengan suka rela dia menyerahkan diri, tidak melawan
ketika digiring memasuku kamar tahanan! Setelah berada di dalam kamar di bawah
tanah yang sempit itu, dengan jendela dan besi dari baja, dan ruji baja yang
kuat memenuhi jendela sebagai jalan hawa, dia segera duduk besila. Dia tak
menaruh khawatir akan keadaan dirinya, akan tetapi dia merasa gelisah mengapa
sumoinya belum tiba di Pulau Neraka? Dia percaya bahwa ketua Pulau Neraka tidak
membohonginya. Kalau benar bahwa Swat Hong telah berada di Pulau Neraka, tentu
tidak seperti ini sikap mereka terhadap dirinya. Kalau begitu, jelas bahwa
Sumoinya belum tiba di Pulau Neraka, padahal telah berangkat lebih dahulu. Ke
manakah perginya sumoinya itu? Tengah
malam telah lewat dan keadaan sunyi sekali dalam kamar tahanan itu. Tidak ada
penjaga di luar pintu atau jendela, akan tetapi dia tahu bahwa di pintu masuk
lorong tahanan itu terdapat beberapa orang penjaga yang selalu siap dengan
senjata di tangan. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita yang marah-marah di
sebelah luar dan suara para penjaga ketakutan.
"Kalian berani melarangku
masuk?" terdengar suara wanita itu.
"Nona, tahanan ini adalah
orang penting! dan...."
"Dan kauanggap aku bukan
orang penting? Kaukira aku mau apa? Aku mau mengejeknya dan memakinya, dia
adalah musuh besarku. Apakah kau berani melarangku? Coba kau melarang dan aku
akan mengatakan kepada Kong-kong bahwa kalian berani kurang ajar kepadaku
hendak menggodaku, aku mau melihat apakah kepala kalian masih akan menempel di
leher!"
"Ah, tidak... bukan
begitu...."
"Maafkan, Nona...."
"Silahkan masuk,
silahkan;;;;"."Awas kalau ada yang mengikuti aku dan mengintai,
berarti dia mau kurang ajar dan akan kuberitahukan
kepada Kong-komg!"
Sin Liong sudah menduga siapa
wanita yang bicara di luar dan ribut-ribut dengan para penjaga itu, akantetapi
begitu dara itu muncul di bawah sinar lampu di luar ruji jendelanya, hampir
saja dia berteriak memanggil karena mengira bahwa Swat Hong yang muncul itu. Di
bawah sinar lampu yang tidak begitu terang memang gadis cucu ketua Pualu Neraka
ini hampir sama dengan Swat Hong. Setelah melihat jelas bahwa yang datang
adalah cucu ketua Pulau Neraka dan mengingat akan kata-kata gadis ini di luar
tadi bahwa kedatangannya dengan niat mengejek dan memakinya, Sin Liong tetap
duduk bersila dan bahkan memejamkan matanya, pura-pura tidur.
"Ssssttt..."
Sin Liong tidak menjawab,
bergerak sedikitpun tidak. Perlu apa melayani seorang bocah yang hanya datang hendak
mengejek dan memakinya? Demikian pikirnya sungguhpun hatinya terasa tidak enak
juga harus mendiamkan saja orang yang susah payah datang sampai ribut mulut
dengan para penjaga. Tentu akan kecewa hatinya, pikir Sin Liong dan diam-diam
dia mengintai dari balik bulu matanya yang direnggangkanya sedikit.
"Pssstttt... kau tidak
tidur, bulu matamu bergerak-gerak, jangan kautipu aku...." anak perempuan
itu berkata lagi dengan suara bisik-bisik dan meruncingkan bibirnya di antara
ruji-ruji jendela. Sin Liong menarik
napas panjang dan membuka matanya. "Hah, kau boleh mengejek dan memaki sesukamu,
kemudian pergilah agar aku dapat mengaso benar-benar," katanya. "Hi-hik!" Gadis itu menahan
ketawanya, menutupi mulutnya yang kecil. "Kiranya engkau sama bodohnya dengan
para penjaga itu, percaya saja apa yang kukatakan apa yang kukatakan di luar
tadi!" Sin Liong bangkit berdiri dan menghampiri jendela kamar tahanan.
Mereka saling berhadapan dan saling pandang melalui ruji-ruji jendela.
"Apa yang kaumaksudkan, Nona?" Mulut yang tersenyum itu kini cemberut
dan terdengar suaranya manja, "Kau tadi menyebutkan Adik yang manis.
Mengapa sekarang menjadi Nona? kau benar pandai mengecewakan hati orang!" Mau
tidak mau Sin Liong tersenyum. Bocah ini manja dan lincah, mengingatkan dia
kepada Han Swat Hong. Banyak persamaan antara kedua orang perempuan itu.
"Baiklah, Adik yang manis. sebenarnya, mau apa kau datang ke sini kalau
bukan untuk mengejek dan memaki aku yang dianggap musuh oleh kakekmu?"
"Aku datang untuk
bercakap-cakap."
"Hemm, waktu dan tempatnya
tidak tepat untuk bercakap-cakap. Aku adalah seorang tahanan dan engkau adalah
cucu To-cu di sini, tempat ini di kamar tahanan yang kotor dan sempit dan
sekarang sudah lewat tengah malam. Harap engkau kembali ke kamarmu dan tidur
yang nyenyak. jangan-jangan kau akan dimarahi Kong-kongmu."
"Aku tidak takut! Aku
sengaja datang ke sini untuk bercakap-cakap denganmu. Siapa berani
melarangku?" Sikapnya menjadi galak, matanya bersinar-sinar dan Sin Liong
menarik napas panjang. Sejak lama dia memperoleh kenyataan betapa ganjilnya
watak wanita. Dia melihat watak-watak yang aneh dan sukar dimengerti yang
dilihatnya pada diri Sia Gin Hwa yang menyeleweng dari suaminya, berjinah
dengan Lu Kiat, pada diri Liu Bwee ibu Swat Hong yang tadinya periang lalu
berubah pemurung dan berhati begitu sabar dan mengalah terhadap suaminya yang
menyakitkan hatinya, pada diri The Kwat Lin yang juga amat berubah setelah
menjadi istri raja, pada diri Swat Hong yang telah nekad membuang diri ke Pualu
Neraka, dan kini dia berhadapan dengan seorang gadis yang juga berwatak aneh
sekali.
"Baiklah, jangan marah
karena tidak ada yang melarangmu di sini. Kalau kau ingin bercakap-cakap, nah,
bercakaplah dan aku akan
mendengarkan." Gadis itu melongo. "Bercakap apa?".Diam-diam Sin
Liong merasa geli. Benar-benar seorang gadis yang masih seperti kanak-kanak dan
mungkin semua sikapnya tadi,
ketika bergembira dan ketika marah, tidaklah setulusnya hati maka demikian mudah
berubah.
"Bercakap apa saja sesukamu,
misalnya siapa namamu, siapa pula nama Kong-kongmu dan keadaan di pulau ini dan
lain-lain."
Wajah itu berseri kembali,
gembira setelah ingat bahwa sesungguhnya banyak sekali bahan untuk dibicarakan.
"Namaku Soan Cu, Ouw Soan Cu...."
"Namamu indah." Sin
Liong memuji untuk menyenangkan hatinya. Dan memang hati Soan Cu senang sekali
mendengar pujian ini.
"Benarkah? Benarkah namaku
indah?" Dengan penuh gairah dia lalu menceritakan riwayatnya secara singkat.
Ketua atau Majikan Pulau Neraka
itu bernama Ouw Kong Ek bukanlah seorang buangan dari Pulau Es, melainkan
keturunan orang buangan yang semenjak ratusan tahu menjadi ketua di situ karena
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kakek dari Ouw Kong Ek, seorang buangan dari
Pulau Es yang berilmu tinggi, adalah seorang pertama yang menjadi
"Ketua" di Pulau Neraka, kemudian menurunkan kedudukan ini kepada
anaknya sampai kepada Ouw Kong Ek. Ouw Kong Ek sendiri mengambil seorang
buangan dari Pulau Es, seorang bekas pelayan permaisuri Raja Pulau Es yang
dijatuhi hukuman buang karena fitnah dan sesungguhnya dia tidak mau melayani
seorang pangeran yang tergila-gila kepadanya, menjadi istrinya mempunyai
seorang anak laki-laki yang bernama Ouw Sian Kok. Akan tetapi istrinya
meninggal dunia ketika Ouw Sian Kok menikah dengan seorang gadis Pulau Neraka
dan Ketua Pulau Neraka ini tinggal menduda. Dia mencurahkan pengharapanya
kepada putera tunggalnya yang mewarisi semua ilmunya dan yang diharapkan kelak
akan menggantikan kedudukanya kalau dia sudah mengundurkan diri.
Namun nasib buruk menimpa
keluarga Ouw. Ketika istri Ouw Sian Kok melahirkan seorang anak, yaitu Soan Cu,
ibu muda ini meninggal dunia. Ouw Sian Kok demikian berduka sehingga ingatannya
terganggu, menjadi gila dan melarikan diri dari Pulau Neraka, tak seorangpun
tahu kemana perginya orang gila itu. "Demikianlah
riwayatku yang tidak mengembirakan," Soan Cu mengakhiri ceritanya. Sejak
kecil aku tidak pernah melihat wajah ibu dan ayahku. Ayah sampai sekarang tidak
pulang dan tidak ada yang tahu berada di mana. Aku dipelihara dan dididik oleh
Kong-kong yang mengharapkan kelak aku menggantikan kedudukan ketua di sini.
Akan tetapi aku tidak sudi!"
"Mengapa tidak suka, Soan Cu?"
"Siapa sudi mengurusi
orang-orang gila itu! Mereka semua gila dan jahat, karena itu aku suka kepadamu
Sin Liong. Engkau lain dari pada mereka, engkau berani dan baik. Maka aku
datang untuk menolongmu. Ketahuilah,
sebentar lagi, kalau kau dikira sudah tidur, engkau akan dibunuh!" Sin
Liong terkejut akan tetapi tetap bersikap tenang. "Benarkah? Mengapa aku
dibunuh? Bukankah Kongkongmu berjanji bahwa kita akan berjanji akan menunggu
sampai Sumoiku tiba di Pulau Neraka?" "Uhh, kau percaya kepada
Kong-kong! Hmm, dia hanya membohong."
"Ah, mengapa begitu? Sebagai
seorang ketua tidak sepatutnya kalau dia menipu." "Membohong dan
menipu merupakan pebuatan yang menguntungkan dan bahkan dianggap baik dan layak
di sini! itu adalah tanda dari kecerdikan seseorang!"
"Pantas kau tadi pun
membohongi penjaga." Sin Liong mencela. "Memang, kalau tidak
membohong, mana bisa masuk dengan mudah? Dan kau tentu akan celaka kalau akau
tidak membohong."
"Hmmm..., alasan dicari-cari
dan ngawur. Jadi mereka hendak membunuhku? Mudah saja, apa dikira aku
begitu mudah
dibunuh?"."Kau tidak tahu kecerdikan Kong-kong, Sin Liong. Kalau
digunakan kekeras, agaknya kau akan melawan
dan sudah melihat kau tadi sudah
lihai. Akan tetapi, mereka akan mengerahkan binatang-binatang berbisa untuk
mengeroyokmu dan membunuhmu di kamar sempit ini! Kalau segala macam ular,
kalajengking, kelabang, lebah dan lain binatang berbisa itu datang memenuhi
tempat ini dan mengeroyokmu, apa yang akan dapat kaulakukan untuk menyelamatkan
diri?"
"Hemm, aku akan berusaha
membela diri, kalau aku gagal, aku akan mati dan habis perkara. tidak ada hal yang
menggelisahkan hatiku."
"Kau sombong! Kau tidak
minta tolong kepadaku?"
"Andaikata aku minta tolong
juga, kalau kau tidak mau menolong, apa artinya? Tanpa kuminta sekalipun, kalau
kau mau menolong, bagaimana caranya? Sudahlah, kau hanya akan menyusahkan
dirimu sendiri saja, Soan Cu. Betapapun juga terima kasih atas kedatanganmu dan
kebaikan hatimu. Kau seorang dara yang cantik dan baik budi, sayang kau berada
diantara orang-orang liar itu. Pergilah, jangan sampai kakekmu melihat engkau
berada disini."
Soan Cu mengeluarkan sebuah
bungkusan. "Inilah yang akan menyelamatkanmu. Kaupergunakan obat bubuk ini
untuk menggosok semua kulit tubuhmu yang tampak, dan sebarkan sebagian di sekelilingmu.
Tidak akan ada seekor pun binatang berbisa yang berani datang mendekat, apalagi
menggigitmu. Nah, sebetulnya kedatanganku hanya untuk menyerahkan ini, akan
tetapi kita terlanjur ngobrol panjang lebar. Selamat tinggal, Sin Liong."
Sin Liong menerima bungkusan itu,
mengulurkan tangan dari antara ruji jendela dan memegang lengan dara itu.
"Nanti dulu, Soan Cu."
Ada apa lagi?" Gadis itu
membalikan tubuh dan mereka saling berpegangan tangan. Hal ini dilakukan oleh Sin
Liong karena dia merasa terharu juga oleh pertolongan yang sama sekali tidak
disangka-sangka itu. "Soan Cu,
tahukah engkau apa yang akan terjadi padamu kalau sampai Kong-kongmu mengetahui
akan perbuatanmu ini?"
"Menolong engkau? Ah,
paling-paling dia akan membunuhku!"
"Hemm, begitu ringan kau
memandang akibat itu? Soan Cu, mengapa kau melakukan ini untukku?
Mengapa kau menolongku dengan
mempertaruhkan nyawa?"
"Sudah kukatakan tadi. Kau
lain dari pada semua orang yang kulihat di pulau ini. Aku suka padamu dan aku
tidak ingin mendengar apalagi melihat engkau mati. Sudahlah, hati-hati menjaga
dirimu, Sin Liong!" Gadis itu meloncat dan berlari keluar.
Sin Liong berdiri temenung
sejenak, kemudian kembali ke tengah kamar tahanan dan duduk bersila menenangkan
hatinya. Andaikata tidak ada Soan Cu yang datang memberikan obat penawar dan
pengusir binatang berbisa, dia pun tidak kan gentar dan belum tentu dia akan
celaka oleh binatang-binatang itu, sungguhpun dia sendiri belum mau
membayangkan apa yang akan dilakukanya kalau serangan itu tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu. Dia
teringat betapa penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh
binatang berbisa dengan enaknya karena tubuh mereka sudah memakai obat penawar.
Agaknya inilah obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan melihat obat bubuk
berwarna kuning muda yang tidak akan kentara kalau dioleskan di kulit tubuhnya.
Sin Liong bersila dan mengatur pernapasan, melakukan siulian (samadhi) lagi.
Pendengarannya menjadi amat
terang dan tajam sehingga dia dapat menangkap suara mendesis dan suara
yang dikenalnya sebagai suara
lebah yang datang dari jauh, makin lama makin mendekat itu. Tahulah dia
bahwa apa yang diceritakan oleh
Soan Cu memang tidak bohong. Sekali ini agaknya anak itu tidak
membohong!.Maka dia lalu membuka
bungkusan, menggosok kulit tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan obat
itu. Mukanya sampai ke leher,
tangan dan kakinya, digosoknya sampai rata. Kemudian sambil membawa bungkusan
yang terisi sisa obat itu, dia menanti.
Tak lama kemudian, suara itu
menjadi makin dekat dan tiba-tiba saja munculah mereka! Diam-diam Sin Liong
bergidik juga. Tentu dia akan melompat kalau saja dia tidak mempunyai obat
penolak itu. Dari bawah pintu, puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar,
kalajengking yang besarnya sebesar ibu jari, merayap dengan cepat memasuki
kamar, berlomba dengan lebah-lebah putih yang beterbangan masuk melalui
jendela.
Sin Liong cepat menyebarkan bubuk
obat ke sekeliling di atas lantai, dan menaburkan sebagian ke atas, ke arah
lebah-lebah yang berterbangan. Dia tersenyum kagum melihat akibatnya. Semua
binatang berbisa itu, dari yang paling kecil sampai yang paling besar,
tiba-tiba serentak membalik saling terjang dan saling timpa, lari cerai berai
meninggalkan kamar. Lebah-lebah putih juga terbang dengan kacau, menabarak
dinding dan banyak yang jatuh mati, yang sempat terbang keluar jendela saling
tabrak seperti mabok, dan sebentar saja suara binatang-binatang itu sudah
menjauh. Akan tetapi mendadak Sin Liong
meloncat berdiri ketika medengar suara lain yang membuat jantungnya berdebar,.
Suara seorang wanita memaki-maki, "Iblis kalian semua! Manusia-manusia
gila! Kalau tidak dapat membasmi kalian, jangan sebut aku Han Swat Hong!"
Sin Liong meloncat ke arah
jendela, kedua tangannya bergerak dan terdengar suara keras ketika ruji-ruji jedela
jebol semua. Dia meloncat dan keluar dari kamarnya, terus berlari keluar
melalui lorong. Setibanya di luar, tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak
dengan kedua tangan bertolak pinggang, dua orang anggota Pulau Neraka roboh dan
mengaduh-aduh di bawah sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu. Sin
Liong menggeleng-geleng kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan main
gagahnya. Dikurung oleh orang-orang
Pulau Neraka itu masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal
semua yang mengurungnya memegang senjata.
JILID 6
Heiii! Mundur kalian, jangan
ganggu dia!!" Sin Liong sudah meloncat ke depan. "Kau yang mundur! Mengapa ikut-ikut
keluar?" Swat Hong membentak dan memandang Sin Liong dengan mata mendelik.
"Ehh? Sumoi...? Aku hanya
ingin menolongmu."
"Siapa membutuhkan
pertolonganmu? kembalilah ke kamar tahananmu itu dengan ... dengan..."
Akan tetapi Swat Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini
orang-orang Pulau Neraka telah mengeroyoknya.
"Wuuuttt... siuuuuttt!"
Tubuh Swat Hong sudah menyambar ke sana-sini, selain mengelak dari serbuan banyak
senjata itu, juga untuk mengirim serangan serangan balasan dengan tangan dan
kakinya yang bergerak cepat sekali. Bukan main hebatnya Swat Hong yang bergerak
cepat dan yang didorong oleh perasaan marah itu. Dia memang marah, bukan marah
kepada orang-orang Pulau Neraka, melainkan marah kepada... Sin Liong!
Kiranya tanpa diketahui oleh Sin
Liong sendiri, sudah sejak tadi Swat Hong tiba di tempat itu, menggunakan kepandaiannya
menyelundup sehingga tidak diketahui para penjaga dan dia telah dapat mendengarkan
percakapan antara suhengnya dan Soan Cu. Hatinya menjadi panas! Dia sendiri
tidak tahu akan hal ini, tidak sadar mengapa dia menjadi tidak senang mendengar
betapa suhengnya bercakap-cakap dengan ramah bersama seorang gadis! karena itu,
niatnya untuk menolong suhengnya menjadi buyar dan dia hanya menonton saja
ketika suhengnya diserbu binatang berbisa dan dapat menolong diri dengan obat penolak
yang diberikan oleh Soan Cu.
Ketika Swat Hong yang marah
menyaksikan ibunya dijatuhi hukuman buang melarikan diri dari
Pulau Es, dara ini segera
berlayar menggunakan sebuah perahu Pulau Es. Tujuannya memang hendak.membuang
diri ke Pulau Neraka menggantikan ibunya, dan terutama hal ini dilakukannya
sebagai protes
kepada ayahnya.
Akan tetapi karena dia belum
pernah pergi ke pulau tempat buangan itu, dan pula karena sudah jauh meninggalkan
Pulau Es dia mulai merasa gelisah dan ngeri memikirkan keadaan Pulau Neraka
yang kabarnya amat berbahaya itu, maka dia tersesat jalan, mendarat di
pulau-pulau kosong sekitar Pulau Neraka. Akhirnya dia melihat dari jauh perahu
Sin Liong meluncur di antara gumpalan-gumpalan es yang menggunung. Dia merasa
heran sekali melihat suhengnya dan merasa khawatir kalau-kalau suhengnya itu mengejarnya
atas suruhan raja untuk memaksanya kembali ke Pulau Es. Maka diam-diam ia lalu
mengikuti dari jauh sampai akhirnya dia melihat suhengnya mendarat di Pulau
Neraka. Dengan menggunakan kepandaianya.
Swat Hong berhasil pula mendarat di Pulau Neraka. Dia tidak khawatir akan
serangan binatang-binatang berbisa, karena sebelum berangkat Swat Hong membawa batu
mustika hijau yang dia dapat dahulu dari ayahnya. Di bagian tertentu di dasar
laut dekat Pulau Es terdapat batu mustika hijau ini yang amat sukar didapat dan
hanya beberapa orang penghuni Pulau Es saja yang berhasil mendapatkannya. Batu
mustika hijau ini mengandung khasiat yang mujijat terhadap ular berbisa dan
semua binatang berbisa, selalu ditakuti binatang-binatang itu, juga dapat
dipergunakan untuk mengobati luka terkena gigitan binatang berbisa. Maka,
dengan batu mustika ditangannya, dengan mudah Swat Hong dapat memasuki Pulau
Neraka tanpa mendapat gangguan sedikit pun dari binatang berbisa yang hidup di
pulau itu. Ketika Swat Hong tiba di tengah pulau, dia sempat melihat sinar,
maka dia menanti sampai larut malam dan menyelundup ke dalam tempat tahanan,
dengan maksud menolong suhengnya, akan tetapi tanpa disengaja dia dapat
mendengarkan percakapan antara suhengnya dengan Soan Cu. Inilah yang membuat
hatinya menjadi panas sehingga ketika dia ketahuan para penjaga dan dikroyok,
dia menolak keras bantuan Sin Liong!
Tentu saja Sin Liong menjadi
terheran-heran melihat sikap sumoinya dan memandang dengan alis berkerut dan
hati khawatir. Sudah ada enam orang pengeroyok terguling roboh oleh gerakan
kaki tangan Swat Hong yang marah itu, padahal dara itu belum mencabut
pedangnya. Dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dara itu sudah
menggunakan senjata!
"Sumoi, tahan...!" Dia
meloncat maju.
"Singgg...! Mundur
kau!" Sin Liong terkejut melihat sumoinya mencabut pedang! Dan pada saat
itu, terdengar bentakan keras, "Siapakah gadis cilik itu berani mengacau
disini? Ahhh, Kwa Sin Liong, engkau berani lolos dari tempat tahanan?"
Yang datang adalah Ouw Kong Ek,
ketua Pulau Neraka! Tentu saja ketua ini tidak mengenal Swat Hong, sebaliknya,
dara itupun tidak mengenal kakek berkepala besar ini, maka dia memandang rendah
dan membentak, "Siapa kau? Kalau sudah bosan hidup, majulah!" Dara
itu dengan gerakan gagah melintangkan pedangnya di depan dada.
Sin Liong cepat melangkah maju.
Dia tahu betapa lihainya kakek ini, maka untuk mencegah pertempuran, dia cepat
berkata, "Tocu, jangan salah sangka.Dia adalah sumoiku, dia adalah puteri Suhu,
Raja dari Pulau Es!"
Semua orang terkejut mendengar
ini dan para pengurung melangkah mundur dengan mata terbelalak. Betapapun juga, nama Raja Pulau Es masih
merupakan nama ampuh dan selain dibenci, juga amat ditakuti oleh mereka. Tentu
saja sebagai puteri Raja Pulau Es, dara itu merupakan musuh yang dibenci dan
juga ditakuti. Pantas saja dara itu demikian lihai, pikir mereka. Hati mereka
gentar. Tidak demikian dengan Ouw Kong Ek. Dia memandang Swat Hong dan tertawa
bergelak.
"Ha-ha-ha, jadi dia inikah
puteri Raja Pulau Es? Puteri Han Ti Ong? Bagus, hayo tangkap dia hidup-hidup!"
perintahnya kepada para pembantunya yang segera melompat ke depan.
"Tahan dulu!" Sin Liong
sudah mengangkat tangan kanannya ke atas. Semua orang, termasuk Ouw Kong
Ek sendiri, memandang pemuda ini.
Betapapun juga mereka maklum bahwa pemuda ini lihai sekali,
buktinya penyerbuan
binatang-binatang berbisa untuk membunuhnya di dalam kamar tahanan telah gagal,
bahkan binatang-binatang itu lari
cerai berai dan kini pemuda itu sudah lolos dari dalam penjara.."Ouw-tocu,
seperti sudah kuceritakan kepadamu, biarpun sumoi adalah puteri Raja Han Ti
Ong, akan tetapi
ia menentang Ayahnya dan mewakili
Ibunya dihukum ke Pulau Neraka. Dia tidak memusuhi Pulau Neraka...."
"Ha-ha-ha, apa pun yang kaukatakan,
dia tetap adalah puteri Han Ti Ong, musuh besar kami. Mana kami dapat percaya
kepada kalian, puteri dan murid Han Ti Ong? Tangkap mereka!" "Nanti
dulu, Tocu! Mengapa engkau melanggar janji? Aku sudah mengatakan bahwa
kedatanganku ke pulau ini hanya untuk mencari Sumoi dan ternyata sekarang Sumoi
telah tiba di sini, maka harap Tocu bersikap bijaksana dan membiarkan kami
pergi dari tempat ini."
"Hai, Kakek berkepala besar
yang tolol! Kau mudah saja dibohongi Suheng! Kami memang datang untuk membasmi
iblis-iblis di Pulau Neraka. Nah, kau mau apa?"
"Sumoi!" Sin Liong
membentak kaget dan cepat berkata kepada ketua Pulau Neraka, "Tocu, jangan
dengarkan dia. Agaknya dia telah mengalami tekanan batin yang hebat sehingga
mengeluarkan kata-kata kacau balau tidak karuan."
Swat Hong mengangkat dada,
menegakan kepalanya dan menghadapi Sin Liong dengan mata mendelik dan berkata
lantang, "Apa? Kau mau bilang bahwa aku telah menjadi gila?" "Sumoi,
kalau kau bicara seperti tadi, membohong tidak karuan, memang agaknya kau telah
gila?" "Kau yang gila! Kau yang tidak waras dan berotak miring! Kalau
aku membohongi iblis-iblis ini, apa hubungannya dengan kau?"
Sin Liong benar-benar menjadi
bingung. Biasanya Swat Hong bersikap manis kepadanya dan biarpun dia tahu bahwa
dara ini berhati keras, akan tetapi belum pernah bersikap sekeras itu
kepadanya. Tiba-tiba muncul Soan Cu yang berkata kepada kakeknya, suaranya
nyaring sehingga terdengar oleh semua orang.
"Kong-kong, apa yang dikatakan Sin Liong memang benar! Dia beriktikad
baik terhadap kita, Kong-kong. Malam
tadi aku datang kepadanya untuk mengejeknya, akan tetapi dia sebaliknya malah
menunjukkan bahaya maut yang mengancam diriku."
Kakek itu terkejut. "Bahaya
maut? Apa maksudmu?"
"Sin Liong ternyata memiliki
ilmu pengobatan yang lihai sekali. begitu melihat aku, dia mengatakan bahwa aku
terserang hawa beracun dari sebelah dalam dan jika tidak diobati dengan tepat,
dalam waktu kurang dari setahun aku tentu akan mati."
"Hahh...??" Kakek itu
dan semua pembantunya terbelalak kaget memandang dara itu yang bersikap sungguh-sungguh.
"Dan dia memang benar. Dia
mengantakan bahwa setiap tengah malam aku tentu merasa pening dan dibagian
punggung seperti ditusuk-tusuk jarum, kalau pagi kedua kaki pegal-pegal dan
sehabis makan tentu merasa mual hendak muntah. Semua yang dikatakanya itu
ternyata tepat sekali, Kong-kong." Berubah wajah kakek itu. Soan Cu adalah
seorang yang amat disayangnya, bahkan disayang oleh pembantunya karena dara
inilah yang akan mewarisi seluruh ilmu kepandaiannya dan yang akan menggantikannya
menjadi Ketua Pulau Neraka. Tentu saja mendengar bahwa usia Soan Cu hanya
tinggal setahun, dia terkejut bukan main dan cepat memandang kepada Sin Liong. Sin Liong sendiri bengong dan terheran-heran.
Akan tetapi ketika dia memandang Soan Cu ketika kakek itu membalik dan
menghadapinya, dia melihat dara itu secara lucu telah mengejapkan mata kirinya,
maka mengertilah dia bahwa dara itu kembali membohong! Membohong dengan cerdik
bukan main dalam usahanya untuk menolongnya!
"Kwa Sin Liong, benarkah
cucuku diancam hawa beracun? Benarkah??".Melihat sikap Sin Liong meragu,
agaknya sukar bagi pemuda itu untuk membohong maka Soan Cu cepat
berkata lagi, "Kong-kong,
dia mengatakan bahwa dia dapat memberikan obatnya, akan tetapi dia hanya mau
memberi obat kalau dia dan sumoinya dibebaskan dari sini. Terserah kepada
Kong-kong berat aku atau berat mereka itu."
Swat Hong sudah hampir membuka
mulutnya memaki dara itu yang dia tahu telah membohong. Dia sendiri mendengar
percakapan mereka dan dara itu sama sekali tidak sakit, bahkan telah memberi
obat penolak binatang beracun kepada Sin Liong, dan menyatakan betapa dara tak
tahu malu itu amat suka dan kagum kepada Sin Liong, maka datang menolongnya.
Sekarang dara itu mengatakan hal yang bukan-bukan! Akan tetapi, ketika
mendengar ucapan terakhir dari Soan Cu, tahulah dia bahwa dara itu kini
membohong untuk menolong Sin Liong dan dia terbebas dari Pulau Neraka!
Kenyataan ini membuat dia bungkam kembali.
Betapa baiknya dara itu dan betapa akan buruknya dia kalau dia
membongkar rahasia gadis itu. Tentu Sin Liong akan makin kagum kepada Soan Cu
dan makin benci kepadanya. Pikiran inilah yang membuat dia membungkam dan tidak
melanjutkan niatnya untuk membantah Soan Cu.
Hati kakek itu makin bingung. Lenyaplah semua nafsunya untuk menawan Sin
Liong dan Swat Hong. Dia memandang Sin Liong dan bertanya, "Orang muda,
benarkah engkau dapat menyelamatkan cucuku?"
Kini Sin Liong yang menjadi
bingung. Pemuda ini sama sekali tidak pernah membohong dan hatinya tidak akan
dapat membohong, namun dia tahu bahwa kalau dia menyangkal kata-kata Soan Cu,
sama saja mencelakakan gadis yang berniat baik kepadanya itu. Maka dia lalu
menjawab dengan suara ragu-ragu dan perlahan, "Aku dapat memberi obat
pembersih darah dan penguat tulang kepadanya, Tocu." "Dan kau
menjamin bahwa cucuku tentu akan sembuh dan terhindar dari ancaman maut hawa
beracun di tubuhnya itu?" Kakek itu mendesak.
"Kong-kong mengapa tidak
percaya kepadanya? lekas minta obatnya dan engkau yang harus menjamin bahwa dia
dan sumoinya tidak akan diganggu," kata Soan Cu.
Kakek berkepala besar itu
meraba-raba jenggotnya. "Hemmm,harus ada buktinya dulu. Kwat Sin Liong,
mulai saat ini engkau dan Sumoimu puteri Han Ti Ong harus tinggal di pulau ini
sebagai tamu sambil menanti hasil pengobatanmu kepada cucuku. Kalau kau gagal
mengobatinya, hemmm, aku tidak akan mengampuni kalian berdua. Kalau cucuku
sembuh, barulah kita bicara lagi." Sin Liong mengerutkan alisnya hendak
membantah peraturan yang berat sebelah ini, akan tetapi dia melihat Soan Cu
mengedipkan mata kirinya maka dia menarik napas panjang dan mengangguk lalu
berkata, "Harap sediakan alat tulis, biar kulukiskan bentuk daun yang
harus dicari."
Sin Liong lalu melukiskan
beberapa macam daun yang mudah dicari dan yang mempunyai khasiat biasa saja,
yaitu sekedar penambah kekuatan tubuh. Ouw Kong Ek lalu menyuruh seorang
pembantunya untuk mencari daun-daun yang dilukis itu di pulau sebelah Pulau
Neraka di mana terdapat banyak tetumbuhan.
Adapun Sin Liong dan Swat Hong lalu diperlakukan sebagai tamu terhormat,
bahkan disediakan dua kamar yang bersih untuk mereka, dilayani baik-baik dan
tentu saja di samping pelayanan ini, para pelayan yang terdiri dari
pembantu-pembantu ketua, bertugas pula sebagai penjaga! "Kuperingatkan kepada kalian agar
menanti sampai cucuku sembuh. Lari pun tidak akan ada gunanya bagi kalian
karena perahu-perahu kalian telah kami simpan dan di sekeliling Pulau Neraka
tidak akan ada perahu sebuah pun. Tanpa perahu, bagaimana kalian akan dapat
meninggalkan pulau ini?" Demikinan pesan Ouw Kong Ek sebelum dia
meninggalkan dua orang itu sehingga Swat Hong menjadi mendongkol sekali dan hampir
saja dia memaki-maki ketua itu kalau tidak ditahan oleh Sin Liong yang memegang
lengannya. Setelah ketua itu meninggalkan
mereka berdua di dalam pondok di mana mereka untuk sementara tinggal, Sin Liong
menegur sumoinya , "Sumoi, mengapa kau bersikap seperti itu?"
"Suheng, aku tidak nyangka
sama sekali akan menyaksikan engkau yang terkenal alim kini bermain gila
dengan gadis puteri ketua Pulau
Neraka. Huhh!".Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada
sumoinya,hatinya bertanya mengapa
sumoinya memperhatikan soal
begitu, padahal sama sekali tidak ada sangkut paut dengan sumoinya. "Sumoi, engkau tahu betul bahwa Nona Ouw
Soan Cu melakukan hal itu demi menolong kita. Siapakah yang main-main dengan
dia?"
"Hemm, apa kaukira aku tidak
tahu betapa dia suka kepadamu dan sengaja mendatangi kamar tahananmu untuk
merayumu?"
"Sumoi! jadi sudah selama
ini kau berada di sini? Dan aku diam saja? Sumoi, mengapa kau menyangka yang
bukan-bukan? Kalau kau sudah tahu akan kunjungannya itu, tentu kau tahu juga
bahwa dia datang untuk memberi obat penolak binatang-binatang berbisa. Sumoi,
kita semestinya berterima kasih kepadanya, dia bermagsud baik bahkan tidak
segan-segan membohong kepada Kong-kongnya demi keselamatan kita." "Ya,
ya, memang dia baik sekali dan cantik sekali. Siapa yang tidak tahu?" "Sumoi...,
harap jangan marah. Dia adalah seorang gadis yang bernasib buruk sekali, ibunya
meninggal ketika melahirkan dia, ayahnya pergi entah kemana dan sampai kini
belum kembali..." "Memang, dia seorang gadis bernasib buruk yang
patut dikasihani, tidak seperti aku..." dan Swat Hong lalu menelungkupkan
muka di atas meja dan menangis!
Sin Liong terkejut, beberapa kali
hendak memegang lengan sumoinya akan tetapi ditahannya tangannya. "Aihh... Sumoi, engkau pun bernasib
buruk, dan aku merasa kasihan sekali kepadamu. Karena aku merasa kasihan aku
menyusulmu. Sumoi, diamlah jangan menangis. Apakah Sumoi telah bertemu dengan
Ibumu?" Swat Hong seketika berhenti menangis, mengangkat mukanya yang
basah air mata dan memandang kepada Sin Liong. Pemuda itu merasa kasihan
sekali, lalu mengeluarkan saputangannya dan mengapus air mata yang membasahi muka
gadis itu.
"Suheng...apa maksudmu? Apa
yang terjadi dengan dia? Bukankah ibu berada di Pulau Es dan aku sudah mewakilinya?"Mendengar
tentang ibunya, seketika lupalah Swat Hong akan kemarahan dan kedukaan hatinya
sendiri.
"Ibumu juga telah pergi
meninggalkan Pulau Es..." dengan singkat Sin Liong lalu menceritakan apa
yang terjadi setelah gadis itu lari pergi dari Pulau Es, betapa ibunya juga
pergi, tidak mau disuruh tinggal di Pulau Es setelah puterinya membuang diri ke
Pulau Neraka.
"Aku tadinya mengharapkan
engkau dapat bertemu dengan ibu maka aku tidak melihatmu di sini,Sumoi.
Jadi engkau belum bertemu dengan
ibumu?"
Gadis itu mengerutkan alisnya dan
menggeleng kepala, kelihatan muram wajahnya mendengar akan kepergian ibunya.
"Ah, kalau begitu ke manakah perginya ibumu?" Sin Liong termenung dan
diam-diam dia pun merasa prihatin sekali akan nasib wanita itu.
Tiba-tiba Swat Hong berdiri dan
mengepal tinju, mukanya agak pucat ketika dia berkata, "Aku mau pergi dari
sini sekarang juga! Aku harus mencari ibu sampai ketemu, dan aku tidak akan
kembali ke Pulau Es! Aku tidak akan sudi menggantikan ibu di Pulau Neraka ini
pula. Bukankah ibu sudah meninggalkan Pulau Es sehingga percuma saja aku
mewakilinya?"
"Nanti dulu, Sumoi, kau
tidak bisa pergi begitu saja. Tentu mereka akan menghalangimu!"
"Aku tidak takut! Yang
menghalangi aku akan kubunuh!"
"Sabarlah, Sumoi. Perlu apa
kita mencari permusuhan dengan mereka yang berjumlah banyak? Bukan soal
takut atau tidak takut, akan
tetapi mereka adalah manusia-manusia yang bernasib buruk sekali, dipaksa
tinggal di tempat seperti neraka
ini. Bahkan mereka boleh dibilang senasib dengan ibumu dan denganmu
sendiri. Selain itu ke manakah
kita harus mencari ibumu? Kalau kita berbaik dengan mereka, bukankah
kemudian mereka dapat membantu
kita mencari? Dengan tenaga banyak orang kukira akan lebih mudah
mencari Ibumu yang tidak jelas ke
mana perginya itu.".Swat Hong dapat dibujuk dan akhirnya dia duduk di atas
bangku sambil mengerutkan alisnya dengan wajah
muram. Betapapun juga, setelah
dia sadar bahwa cemburunya terhadap suhengnya dan Soan Cu tidak berdasar, kini
terasalah olehnya betapa hatinya sesungguhnya merasa lega dan senang karena
dapat bertemu dan berkumpul dengan suhengnya, apalagi di tempat yang berbahaya
ini. Beberapa hari telah lewat dan Soan
Cu setiap hari minum "Obat" yang terbuat dair daun-daun seperti yang dilukiskan
oleh Sin Liong. Setiap hari kakenya bertanya dan dia menjawab bahwa penyakitnya
yang dideritanya, rasa nyeri seperti yang dinyatakan Sin Liong itu berangsur-angsur
sembuh! Girang bukan main hati kakek itu, akan tetapi hati Swat Hong yang
mendongkol melihat betapa Soan Cu seolah-olah mengulur waktu
"penyembuhannya"!
Pada hari ke tujuh, Ouw Kong Ek
dan Soan Cu mendatangi pondok tempat tinggal Sin Liong dan Swat Hong. Dua orang
muda dari Pulau Es ini memang sudah menunggu di depan pondok dengan hati tidak
sabar, menanti berita kesembuhan total Soan Cu. Maka mereka menyambut ketua
Pulau Neraka dan cucunya itu dengan penuh harapan itu, melihat betapa wajah
kedua orang pendatang itu berseri. Setelah tiba di depan mereka, Soan Cu segera
berkata, "Sin Liong, Kakek merasa berterima kasih sekali kepadamu dan menyetujui
kau melanjutkan pengobatan dengan menggunakan sinkang!" "Apa...?"
Akan tetapi kata-kata Sin Liong yang bingung dan tidak mengerti itu segera
diputus oleh Soan Cu, "Bukankah dulu kaukatakan setelah beberapa hari
minum obat penawar racun, kau akan melenyapkan sama sekali hawa beracun itu
dengan menggunakan sinkang menyedot keluar hawa itu dari punggungku?"
Ouw Kong Ek tertawa. "Orang
muda she Kwa. Kalau bukan engkau yang sudah kupercaya penuh, tentu
aku tidak mengijinkan pengobatan
ini. Akan tetapi aku sudah percaya kepadamu, maka silahkan. Mudah-mudahan
saja dalam waktu singkat cucuku
akan sembuh sama sekali." Setelah berkata demikian, kakek itu membungkuk
ke arah Sin liong dan Swat Hong, lalu meninggalkan cucunya. "Soan Cu, apa maksudmu?" Sin Liong
segera berbisik menegur.
"Huh, tentu ingin berduaan
denganmu di dalam kamar, apa lagi?" Swat Hong mengejek. "Husshhh, harap kalian jangan
ribut-ribut, "bisik Soan Cu. "Mari kita masuk ke kamar dan bicara.
"Dia menggandeng tangan Sin Liong dan diajaknya masuk. Melihat Swat Hong
cemberut, Sin Liong berkata, "Sumoi, marilah."
"Aku tidak sudi menggangu
kalian!"
"Aih Enci Hong, mengapa
begitu? Yang hendak kubicarakan adalah kepentingan kalian berdua.
Marilah." Soan Cu berkata dan agaknya memang dara Pulau Neraka ini tidak
pernah mengerti apa yang diejekan oleh Swat Hong. Agaknya cara hidup di Pulau
Neraka membuat dia kurang mengerti akan tata susila sehingga tak pernah merasa
melanggar sesuatu biarpun dia memasuki kamar berdua dengan seorang pemuda. Sambil bersungut-sunggut menyembunyikan rasa
malunya bahwa dia telah menduga yang bukan-bukan, Swat Hong ikut masuk. "Aku
memang berpura-pura, mengulur panjang waktu penyembuhan. Semua ini karena aku
mendengar bahwa Kong-kong dan para pembantunya tidak membebaskan kalian setelah
aku sembuh."
"Keparat! Kong-kongmu memang
bukan manusia baik-baik! pantas menjadi ketua di Pulau Neraka! Aku akan
menemuinya!"
"Hushhh, Sumoi, Bersabarlah,
dan mari kita dengar kata-kata Soan Cu." Dengan muka muram Swat Hong duduk
lagi dan memandang wajah Soan Cu. Wajah yang manis sekali, pikirnya, manis dan
polos. Pantaslah kalau andaikata Sin Liong jatuh cinta kepada gadis ini, pikirnya
lagi dan hatinya merasa berdebar penuh khawatir.
"Kong-kong telah
berjaga-jaga dan mempersiapkan anak buahnya, menjaga kalau-kalau kalian
melarikan diri. Berbahaya sekali."."Habis bagaimana baiknya,Soan
Cu?"
"Ada jalan," kata dara
yang lincah dan cerdik itu. "Menurut pendengaranku ketika Kong-kong merundingkan
di kamar rahasia bersama para pembantunya yang paling dipercaya, Kong-kong
tidak berniat buruk kepada kalian. Setelah kau dapat menyembuhkan aku, maka
Kong-kong membutuhkan engkau sebagai ahli pengobatan di pulau ini. Dia hendak
menahanmu agar kau dapat mengobati setiap penghuni yang terserang penyakit.
Adapun Enci Hong ditahan di sini sebagai sandera, untuk menahan kekuasaan Pulau
Es."
"Keparat....!"
"Jangan marah, Enci Hong.
kurasa kita harus menghadapi Kong-kong yang berwatak kasar dengan sikap dan
akal halus. Kalau aku sudah sembuh, yaitu kalau kunyatakan bahwa aku sudah
sembuh sama sekali, sedikit banyak Kong-kong tentu akan berterima kasih.
Kemudian Liong-ko...heh, Sin Liong mengajarkan Kong-kong mengenal daun
obat-obatan dengan janji akan membebaskan kalian. Kurasa Kong-kong akan mau
menerimanya karena sebenarnya yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang ilmu
pengobatan itu. Dengan demikian, kalau
kalian meninggalkan pulau ini, kalian akan dianggap sebagai sahabat dan penolong.
Bagaimana?"
"Kurasa baik juga akal
ini," kata Sin Liong. "Hemm, terserahlah,. Akan tetapi jangan ada
akal bulus di balik semua ini!" Swat Hong mengancam.
Soan Cu menarik napas panjang.
"Enci Hong, harap jangan mencurigai aku. Aku sudah menyesal sekali menjadi
seorang yang terlahir di tempat ini, dan aku ingin melanjutkan cita-cita Ayah
bundaku yang kabarnya dahulu juga selalu berusaha agar penghuni Pulau Neraka
tidak menjadi orang liar yang tidak mengenal prikemanusiaan." Setelah
berkata demikian, Soan Cu pergi meninggalkan pondok itu dengan muka tunduk.
"Seorang anak yang
baik...." Sin Liong memuji sambil memandang tubuh dara itu yang melangkah
pergi meninggalkan pondok.
"Maksudmu, seorang dara yang
cantik dan berbudi!"
Tanpa menoleh Sin Liong
mengangguk. "Memang, dia cantik dan berbudi." Huh! Sudah kusangka demikian!"
Sin Liong menoleh kaget dan
memandang wajah sumoinya, "Sumoi, apa maksudmu?" Swat Hong membuang
muka. "Hemm, tidak apa-ap. "Begitulah!" lalu dia lari memasuki
kamarnya, membanting daun pintu keras-keras.
Sin Liong menggeleng kepalanya,
makin tidak mengerti dia akan sikap wanita pada umumnya dan saat itu, sikap
Swat Hong khususnya, juga sikap Soan Cu yang amat aneh kalau diingat bahwa dia
adalah cucu ketua Pulau Neraka yang berwatak aneh dan kejam.
Semua terjadi seperti
direncanakan oleh Soan Cu. Setelah dara itu mengaku sembuh sama sekali dan Sin Liong
bersama Swat Hong menghadap ketua untuk minta pembebasan, Ouw Kong Ek menggeleng
kepalanya dan berkata, "Kwa Sin Liong, kami berterima kasih sekali atas
penyembuhan penyakit cucuku, dan untuk jasamu itu, kami tidak akan menggangu
kalian, bahkan menganggap kalian sebagai orang-orang berjasa. Akan tetapi,
terpaksa kami tidak dapat membebaskan kalian karena kami amat membutuhkan engkau
sebagai ahli pengobatan di pulau ini. Maka, harap kalian suka mengerti akan
kebutuhan kami ini. Tinggallah di sini
dan menjadi orang-orang terhormat menjadi pembantuku yang paling baik."
"Tocu, aku mengerti akan
kebutuhan Tocu dan para penghuni Pulau Neraka. Akan tetapi sungguh tidak adil
kalau menyuruh kami tinggal di
sini selamanya, apa lagi amat tidak adil bagi Sumoi. Betapapun juga,
karena aku mengerti akan
kebutuhan kalian semua, biarlah sekarang diatur begini saja. Aku akan sementara
waktu tinggal di sini mengajarkan
ilmu pengobatan kepada Tocu, akan tetapi kuminta agar Sumoi sekarang.juga
dibebaskan, diberi sebuah perahu agar sumoi dapat pergi lebih dahulu
meninggalkan Pulau Neraka.Adapun aku sendiri, kalau Tocu sudah mengenal semua
daun dan bahan pengobatan, baru aku akan pergi dari sini.
Bagaimana?"
Ketua Pulau Neraka itu
mengerutkan alisnya, lalu melirik kearah cucunya yang duduk di sebelahnya dan
menundukan kepala saja. "Hemmm, boleh juga sumoimu pergi. Biarpun dia
puteri Han Ti Ong, akan tetapi mengingat akan jasamu, biarlah dia kami
bebaskan. Akan tetapi kau....ah, aku sangat mengharapkan agar engkau
menjadi.... keluarga kami, orang muda." Kembali dia mengerling ke arah
Soan Cu dan gadis itu makin menundukan mukanya yang menjadi merah sekali. "Benar sekali, dia amat cocok menjadi
jodoh Nona Ouw!" beberapa orang membantu berkata sambil tertawa-tawa,
sikap mereka bebas terbuka.
"Aku tidak mau pergi!"
tiba-tiba Swat Hong berkata lantang. "Kalau Suheng tinggal di sini
mengajarkan ilmu pengobatan, aku akan tinggal di sini juga sampai pelajaran itu
selesai. Dan kalau....kalau ada pengantian di sini, kalau suheng diambil mantu,
aku pun harus menjadi saksinya!" Ucapan itu sebetulnya dikeluarkan dengan
gejolak kemarahan dan kepanasan hatinya, akan tetapi para pembantu Ouw Kong Ek
menyambutnya dengan suara ketawa.
Tentu saja Sin Liong kaget sekali
mendengar ucapan Sumoinya itu. Ada kesempatan yang amat baik terbuka bagi Swat
Hong untuk membebaskan diri dari pulau berbahaya itu, dan kesempatan itu
dibuang begitu saja oleh Swat Hong! Dia telah mengenal watak Swat Hong. Sekali
bilang tidak mau, dipaksa pun sampai mati tidak akan mau tunduk! Maka dia
menjadi bingung sekali. "Tocu,
karena Sumoi tidak mau pergi sendiri lebih dulu, maka biarlah perjanjian kita
diubah. Akan memberi pelajaran ilmu pengebatan kepada Tocu, setelah Tocu
mengenal bahan obat untuk melindungi penghuni pulau ini, aku dan Sumoi boleh
pergi dengan bebas."
Ketua Pulau Neraka itu mengelus-elus
dagunya dan alisnya berkerut, berkali-kali dia melirik ke arah cucunya. Dia
adalah seorang yang sudah tua, biarpun tidak pernah terjun ke dunia ramai,
namun dia tahu bahwa cucunya jatuh hati kepada pemuda yang hebat ini. Dan dia
tidak melihat seorang pemuda lain di Pulau Neraka yang kiranya patut menjadi
suami cucunya! Tentu saja hatinya tidak rela kalau pemuda itu pergi
meninggalkan pulau karena dia tahu bahwa hal itu tentu akan mengecewakan hati
cucunya. Maka dia hanya menggeleng-geleng kepala, tanpa dapat menjawab.
Melihat keraguan ketuanya,
seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih melaju maju. Orang ini kepalanya
gundul botak akan tetapi mukanya penuh brewok, tubuhnya kurus kecil dan di
lehernya ada seekor ular merah melingkar. Dia adalah pembantu utam dari Ouw
Kong Ek, seorang yang lihai ilmu kepandaiannya dan bernama Lo Thong. Berbeda
dengan Majikan Pulau Neraka itu yang merupakan keturunan orang buangan, maka Lo
Thong sendiri adalah seorang buangan dari Pulau Es, tiga puluh tahun yang lalu dia
dibuang dariPulau Es karena sebagai seorang pemuda dia banyak melakukan
kejahatan. Setelah berada di Pulau
Neraka dia memperdalam ilmi-ilmunya dan menjadi orang ke dua yang terkuat setelah
Ouw Kong Ek, yaitu sesudah putera Ouw Kong Ek yang bernama Ouw Sian Kok, ayah
Soan Cu menjadi gila dan meninggalkan pulau. Maka dia diangkat sebagai pembantu
utama oleh Ouw Kong Ek. "Twako(Kakak),"
Lo Thong berkata dan tidak seperti lain penghuni Pulau Neraka yang menyebut
ketua mereka tocu (majikan pulau), dia menyebutnya kakak, "mengapa Twako
bingung menghadapi urusan dua orang anak-anak ini? Betapapun juga, mereka
berada di pulau ini dan seharusnya mereka tunduk kepada semua perintah Twako
yang menjadi hukum di sini. Kalau mereka hendak mengambil keputusan sendiri, boleh
saja akan tetapi mereka harus lebih dulu dapat mengalahkan kita!" Ouw Kong
Ek memandang pembantunya dengan muka berseri, seolah-olah dia terlepas dari keadaan
yang ruwet. "Kalau begitu, bagaimana baiknya, Lo-tee?"
"Menurut saya, lebih baik
diadakan pertandingan antara orang pemuda She Kwa ini dan Twako. Kalau
dalam pertandingan itu dia kalah,
maka dia dan Sumoinya harus selamanya tinggal di sini dan menjadi
penghuni pulau ini seperti kita
semua."."He, Botak! Enak saja kau bicara! Siapa bilang Suhengku kalah
oleh ketua kalian? Habis, kalau kemudian
ketua kalian yang kalah,
bagaimana?" Swat Hong berteriak nyaring.
"Twako kalah? Ha-ha, mana mungkin?" Lo Thong menjawab.
"Akan tetapi kalau Twako kalah, biarlah pemuda She Kwa ini mengajarkan
ilmu pengobatan sampai Twako pandai, baru kalian berdua boleh pergi
meninggalkan pulau ini dengan bebas." "Usul yang bagus sekali!"
Ouw Kong Ek berseru gembira. "Kwa Sin Liong, aku mendengar bahwa di dunia ramai,
di daratan sana, orang-orang gagah menggunakan kepandaian untuk memutuskan
sebuah perkara yang ruwet. Aku percaya bahwa engkau tentu seorang gagah pula,
maka biarlah kita membereskan urusan ini dengan mengukur kepandaian
masing-masing seperti yang diusulkan oleh pembantuku Lo Thong." Sin Liong
menggeleng kepalanya. "Tocu, aku tidak suka menggunakan ilmu yang
kupelajari untuk kekerasan. Mengapa Tocu hendak menggunakan cara kekerasan
untuk menahan kami berdua selamanya di pulau ini? Aku sudah besedia mengajarkan
ilmu pengobatan, maka sudah sepatutnya kalau Tocu membalasnya dengan
membebaskan kami.
"Tidak kita harus saling
mengukur kepandaian dulu!" ketua itu berkeras. Tiba-tiba Swat Hong melompat ketengah
lapangan dan membusungkan dada menegakkan kepalanya. "Hayolah! Kalau
Suheng tidak mau, biarlah aku yang melayanimu! Siapa sih takut kepada orang
Pulau Neraka? Aku yang memasuki pertandingan itu, dan kalau kalah, boleh kalian
berbuat apa saja sesuka kalain!"
"Sumoi...!!" Sin Liong
menegur.
"Suheng, aku tidak
takut!" Swat Hong membantah.
Ouw Kong Ek mengerutkan alisnya.
"Soan Cu, kau layani bocah liar yang sombong ini!" katanya. "Baik Kong-kong." Soan Cu bangkit
berdiri dan melangkah maju, akan tetapi segera berhenti ketika mendengar suara
Sin Liong, "Soan Cu harap jangan bertanding. Di antara kita tidak ada
permusuhan, bukan?" Soan Cu meragu, memandang kepada Kong-kongnya,
kemudian kepada Sin Liong, dan akhirnya dia kembali duduk di tempatnya yang
tadi.
"Soan Cu...." Kakeknya
menegur.
"Kong-kong, aku tidak mau
bertanding. Mereka bukan musuhku."
Mata kakek itu terbelalak, akan
tetapi dia tidak marah bahkan lalu tertawa bergelak. "Kau...kau lebih taat
kepadanya? Ha-ha-ha-ha!" Dia tertawa karena sikap cucunya itu jelas
membuktikan betapa cucunya benar-benar telah jatuh cinta kepada Sin Liong!
Sampai-sampai berani membangkang terhadap perintahnya hanya karena Sin Liong
menghendaki demikian. Makin panaslah hati Swat Hong. Tadinya dia sudah
siap-siap untuk menjatuhkan cucu ketua Pulau Neraka itu, selain agar menang
pertandingan juga hendak memperlihatkan kepada Suhengnya bahwa dia lebih pandai
dari pada Soan Cu. Akan tetapi, ternyata Suhengnya melarang Soan Cu dan dan
putri Pulau Neraka itu begitu taat! "Ouw
Kong Ek, kalau cucumu tidak berani maju, biarlah kau sendiri yang maju! Hayo
tandingilah aku, puteri Raja Pulau Es!" Dia menantang-nantang dengan suara
penuh kemarahan. Sin Liong hanya menggeleng kepalanya dan bingung sekali
bagaimana harus mencegah sumoinya.
Kembali kakek itu menjadi marah.
Tantangan yang keluar dari mulut Swat Hong membuat mukanya merah
dan telinganya panas. Akan tetapi
betapa memalukan kalau dia harus menandingi seorang bocah
perempuan yang usianya sebaya
dengan cucunya sendiri!."Twako, perkenankanlah saya menghajar bocah
bermulut lancang ini" Lo Thong berkata dan Ouw Kong
Ek mengangguk, akan tetapi masih
ingat dan memesan.
"Akan tetapi cukup beri
hajaran saja, jangan sampai dia terbunuh."
"Baik saya mengerti,
Twako." Lo Thong menjawab lalu sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah
mencelat ke depan Swat Hong. Menyaksikan ginkang yang hebat ini diam-diam Sin
Liong khawatir sekali, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegahnya karena
maklum kalau dia melarang, Sumoinya tentu akan menjadi makin nekat saja. Maka
dia hanya bangkit berdiri dan memandang dengan jantung berdebar tegang. Swat Hong memandang kakek botak yang berdiri
di depannya, lalu berkata, suaranya mengejek.
"Apakah pertandingan ini akan memutuskan perjanjian tadi, bahwa
kalau aku menang kami berdua boleh pergi dari sini?"
"Tidak", jawab Lo
Thong. "Pertandingan ini hanya mengenai dirimu, kalau kau menang kau boleh
pergi, kalau kau kalah, kau harus tinggal di sini selamanya dan menjadi
muridku." "Setan alas! Siapa takut padamu?" Swat Hong yang sudah
kena dibakar hantinya itu membentak.
"Sumoi, tanpa pertandingan
pun kau boleh pergi sekarang juga!" Sin Liong berteriak. "Tidak, Suheng. Aku merasa kurang
terhormat kalau pergi begitu saja. Aku tidak sudi menerima kebaikan orang-orang
Pulau Neraka. Kalau aku pergi berarti aku pergi mengandalkan kepandaian aku
sendiri, bukan karena kebaikan hati mereka. Hayo, kakek botak, boleh
kaukeluarkan segala ilmumu!" "Bocah sombong, sambutlah ini!"
Lo Thong merasa panas juga
perutnya melihat sikap dara remaja yang memandang redah kepadanya itu. Akan
tetapi dia pun maklum bahwa dara ini tentu memiliki kepandaian tinggi sebagai
puteri Raja Pulau Es, maka sekali menyerang, dia telah mengeluarkan
kepandaiannya, mengeluarkan jurus yang ampuh dan mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Wuuuuuttt...
sirrr...desss!"
Mula-mula Lo Thong menggerakan
tubuhnya rendah kebawah, seolah-olah lengan kirinya yang bergerak itu hendak
menangkap kaki Swat Hong, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya meninggi, tangan
kanannya meluncur dan mencengkram ke arah pinggang dara itu. Namun Swat Hong
yang usianya masih muda sekali itu belum lima belas tahun, telah mewarisi inti
kepandaian dari ilmu-ilmu kesaktian Pulau Es. Dengan tenang dia melihat bahwa
bukan tangan kiri lawan yang berbahaya melainkan tangan kanannya, maka dia cepat
menarik kaki kiri dan menangkis dengan sabetan tangan miring dari samping yang
mengenai lengan lawan.
LoThong mencelat ke belakang dan
inilah kehebatan ginkangnya. Gerakannya bukanlah langkah kaki, melainkan
loncatan yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini dengan amat cepatnya dan
sama sekali tidak terduga-duga lawan.
"Sumoi awasilah gerakannya.
Ginkangnya lihai!" Sin Liong berseru dan diam-diam Lo Thong mendongkol juga.
Ternyata pemuda itu lihai sekali, baru segebrakan saja sudah mengenal dimana
letak keampuhannya. Maka dia lalu
menggereng dan menubruk maju, menghujani Swat Hong dengan serangan
bertubi-tubi. Swat Hong diam-diam
terkejut juga. Ternyata bahwa pembantu utama dari ketua Pulau Neraka ini hebat
bukan main. Setiap gerakan tangannya mendatangkan angin keras menyambar dan
kecepatannya membuat dia pening karena harus menggerakan kekuatan matanya untuk
mengikuti terus gerakan lawan. namun,
tentu saja dia tidak menjadi gentar. Sejak kecil dara remaja ini tidak pernah
mengenal artinya takut, dan dia pun mengeluarkan kepandaiannya untuk membalas
dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Semua mata memandang pertandingan
itu dengan penuh perhatian. Diam-diam Soan Cu merasa kagum
sekali kepada Swat Hong dan dia
harus mengaku dalam hatinya bahwa andaikata tadi dia yang maju, dia
akan kalah menghadapi kelihaian
dara Pulau Es itu, maka dia merasa makin bersyukur kepada Sin Liong
yang tadi mencegahnya maju
melawan Swat Hong. Apakah pemuda itu sudah tahu bahwa dia akan kalah
kalau melawan Swat Hong? Soan Cu
melirik ke arah Sin Liong dan melihat betapa wajah pemuda yang
tampan itu diliputi kekhawatiran,
maka dia kembali menyaksikan pertandingan yang hebat itu..Tubuh mereka berdua
yang bertanding itu sudah tidak dapat kelihatan jelas, yang tampak hanya
dua bayangan berkelebatan ke
kanan kiri dengan cepat sekali. Ginkang yang dikuasai oleh Lo Thong memang
hebat sekali, akan tetapi sekarang dia berhadapan dengan puteri Raja Han Ti Ong
dari Pulau Es! Biarpun masih kalah
sedikit namun Swat Hong dapat mengimbangi kecepatan lawan, bahkan dapat mendesak
dengan ilmu silatnya yang luar biasa dan tenaga sinkangnya yang berdasarkan
hawa murni dari im-kang yang dingin. Ilmu silat yang dimainkan oleh Swat Hong
adalah ilmu silat tangan kosong Jit-cap-ji-seng (Jutuh Puluh Dua Bintang ) yang
mempunyai tuluh puluh dua jurus-jurus ampuh. Sebagai bekas penghuni Pulau Es
sebelum Swat Hong terlahir, tentu Lo Thong mengenal ilmu ini, bahkan ilmu
silatnya sediri pun bersumber pada ilmu silat Pulau Es. Akan tetapi setelah dua
puluh tahun lebih berada di Pulau Neraka dan mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau
Neraka, maka ilmu silatnya menjadi campur aduk dan tentu saja kalah murni oleh
ilmu silat yang dimainkan oleh Swat Hong.Pula, Lo Thong dahulu belum mempelajari
Jit-cap-ji-seng sampai habis, hal yang jarang dilakukan penghuni Pulau Es
kecuali keluarga raja.
Mulailah Lo Thong terdesak oleh
serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Swat Hong. Ingin sekali Lo Thong
menggunakan senjatanya, yaitu ular hidup yang melingkar di lehernya, namun dia
takut akan pesan ketuanya tadi. Kalau dia menggunakan senjata itu dan sekali
lawan tergigit mati tentu dia akan mendapat marah besar. Maka dia lalu
berteriak keras dan mengerahkan seluruh ilmunya meringankan tubuh. "Aihhh...!" Swat Hong terkejut
ketika melihat betapa tubuh lawan dapat bergerak lebih cepat lagi dan dalam
serangkaian serangan yang tak terduga saking cepatnya, hampir saja pundaknya
kena dicengkeram. Dia berseru sambil
meloncat keatas, tinggi sekali kemudian bagaikan seekor burung walet, tubuhnya
sudah membalik di udara, menukik kebawah dan dia sudah melancarkan serangan
dengan jurus Kak-seng-jip-hai (Bintang Terompet Memasuki Laut), jurus terakhir
yang paling ampuh dan yang dulu dilatihnya dengan ibu dan ayahnya sehingga dia
mahir sekali mainkan jurus ini. Hebat bukan main daya serang jurus ini karena selagi
tubuh meluncur turun dengan menukik kebawah, kedua tangannya sudah bergerak
mencengkram kearah ubun-ubun kepala lawan yang botak itu!
"Hayaaa...!" kini Lo
Thong yang kaget ketika merasa ada hawa dingin menyentuh ubun-ubun kepalanya dari
atas. Maklum bahwa serangan itu merupakan ancaman maut bagi dirinya, dia tidak
berani lengah, cepat membuang diri kebelakang sehingga dia terjengkang,
kemudian menggunakan ginkangnya untuk berguling di atas lantai. Dengan gerakan
ini, biarpun pakainnya kotor terkena debu, namun dia selamat dan dapat
menghindarkan diri dari serangan jurus Kak-seng-jip-hai tadi. Akan tetapi,
betapa terkejutnya melihat dara itu sudah meloncat ke depan dan baru saja dia
bangkit berdiri, Swat Hong sudah menghantamnya dengan kedua tangan didorongkan
ke depan.
"Haiiiiiiittt!!" Swat
Hong berseru nyaring dan mengerahkan tenaga sinkangnya. "Sumoi,
jangan....!" Sin Hong berteriak, kaget ketika melihat betapa sumoinya itu
menggunakan tenaga Swat-im-sin-ciang (Tenaga Pukulan Inti Salju) yang merupakan
sinkang paling ampuh dari Pulau Es! Untuk melatih diri agar bisa menguasai
tenaga im-kang yang amat kuat ini, orang harus bersamadhi di atas salju, tanpa
pakaian, dan melewati malam-malam yang dinginya menyusup tulang! Dan sebagai
puteri Raja Han Ti Ong, tentu saja Swat Hong telah menguasai sinkang itu yang
kini dipergunakan untuk menyerang selagi lawan terdesak.
"Ciaaaattt...!!" Lo
Thong juga berteriak keras dan cepat dia menolak hawa serangan itu dengan
dorongan
kedua tangannya. Dua tenaga
sinkang bertemu tanpa kedua pasang telapak tangan itu bersentuhan dan
akibatnya, Lo Thong terhuyung
kebelakang dan dari ujung bibirnya mengucur darah! Sambil menggereng
keras, Lo Thong yang merasa
penasaran itu melompat ke depan menerkam, akan tetapi Swat Hong yang
sudah siap menyambutnya dengan
sebuah tendangan dari samping yang tepat mengenai pantat Lo Thong
dan membuat tubuhnya terlempar
jauh ke arah tempat duduk Ouw Kong Ek! Ketua Pulau Neraka ini marah
sekali, tangannya bergerak
menyambut tubuh itu dan tahu-tahu tubuh Lo Thong sudah melayang lagi ke
arah Swat Hong. Akan tetapi
ternyata bahwa ketika menyambut tadi, Ouw Kong Ek yang lihai telah
menotok dua jalan darah di
pungung pembantunya yang seketika merasa dadanya lega kembali, begitu dia
dilontarkan ke arah Swat Hong,
dengan nekat dia sudah menyerang dengan kedua lengan dikembangkan,
kedua tangan hendak mencengkram
tubuh gadis itu. Swat Hong terkejut sekali, tidak nyangka bahwa tubuh
lawan akan secepat itu melayang
kembali ke arahnya, maka dia berteriak dan maklum akan bahaya yang
mengancam karena dia tidak sempat
mengelak lagi!.Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin
Liong telah berada di dekat
sumoinya. dengan tangan kiri dia
menarik tubuh sumoinya dan dengan tangan kanan dia menyapok ke atas dan kedua
tangan Lo Thong tertangkis, bahkan tubuh orang botak ini terdorong miring dan
cepat dia meloncat ke atas lantai dengan mata terbelalak heran dan kagum akan
kehebatan tenaga pemuda itu. Maklum
bahwa dia tak mampu menang, dia lalu mengundurkan diri di dekat ketuanya dengan
muka penuh keringat.
"Bagus! Puteri Han Ti Ong
lumayan juga kepandaiannya, boleh coba-coba dengan aku sendiri!" Ouw Kong Ek
turun dari kursinya dan melangkah ke tengah lapangan.
"Baik, majulah! Aku tidak
takut menghadapimu!" Swat Hong menantang.
"Sumoi, mundurlah! Biar aku
menghadapi Ouw Tocu." Sin Liong mencegah sumoinya.
"Tidak, aku akan menghadapi
sendiri!"
Sin Liong melangkah menghampiri
Ouw Kong Ek dan berkata, "Ouw-tocu, benarkah Tocu menantang sumoiku ini?
Harap Tocu suka melihat baik-baik. Sumoiku adalah seorang anak perempuan yang
usianya sebaya dengan cucumu, sehingga kalau Tocu menantangnya sama artinya
dengan Tocu menantang seorang cucu!
Kalau Tocu tidak malu bertanding
dengan seorang anak perempuan yang sepatutnya menjadi cucumu, silahkan. Kalau
Tocu, cukup gagah biarlah aku menerima tantanganmu tadi. mari kita bertanding
mengukur kepandaian. Kalau aku kalah, terserah kepada Tocu. kalau aku menang,
setelah aku mengajarkan ilmu pengobatan, Tocu akan membiarkan kami berdua pergi
dari pulau ini dengan aman. Bagaimana?" "Aku tidak takut! Suheng,
biar aku melawan dia, aku tidak takut!" Swat Hong berteriak-teriak. Ouw Kong Ek memandang kepada dara muda dan
mukanya berubah merah. Memang tidak keliru omongan Sin Liong tadi. Bocah itu
masih amat muda, masih kanak-kanak sebaya Soan Cu. Seorang anak-anak dan perempuan
lagi! Tentu saja akan amat merendahkan dirinya kalau sampai dia menantang
seorang anak perempuan kecil!
"Baiklah, mari kita mengadu
kepandaian Kwa Sin Liong," katanya.
Sin Liong menoleh kepada
sumoinya. "Nah, kau dengar. Yang ditantang adalah aku, buka kau, Sumoi.
Mundurlah."
Swat Hong membanting-banting
kaki, terpaksa dia mundur akan tetapi lebih dulu dia berkata kepada Ouw Kong
Ek, "Aku selalu masih siap untuk melayani jago Pulau Neraka yang manapun
juga." Ouw Kong Ek dan Sin Liong sidah saling berhadapan dan keduanya
saling pandang tanpa bergerak, seolah-olah hendak mengukur dan menilai keadaan
lawan dengan pandangan matanya. Melihat sikap pemuda yang amat tenang itu, juga
pancaran sinar matanya lembut dan bebas dari rasa takut maupun kebencian dan kemarahan,
hati Ouw Kong Ek menjadi makin suka. Melihat sikap pemuda ini, sukar untuk
dipercaya bahwa pemuda ini adalah murid Han Ti Ong, Raja Pulau Es yang sakti.
Kelihatannya hanya seperti seorang pemuda yang lemah, pantasnya seorang
sastrawan yang biasanya hanya membaca sajak dan menulis huruf indah atau meniup
suling.
"Orang muda, mulailah!"
Ouw Kong Ek berkata ragu-ragu untuk menggunakan kepandaiannya menyerang orang
yang kelihatannya lemah ini.
"Ouw-tocu, bukan aku yang
menghendaki adu kepandaian ini, maka biarlah aku hanya menjaga diri saja."
Jawaban yang keluar dengan suara lembut dan sejujurnya itu setidaknya
memanaskan hati Ouw Kong Ek karena kedengarannya seolah-olah pemuda itu
memandang rendah kepadanya. Pemuda ini sama sekali tidak gentar menghadapinya,
hal itu sama saja memandang rendah!
"Kwa Sin Liong, sambutlah
seranganku!" bentaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, gerakannya
perlahan saja namun didahului sambaran
angin pukulan dari kedua telapak tangannya.."Wuuuuuttt... wuuuuttt!!"
hawa pukulan yang dahsyat dua kali menyambar ke arah leher dan pusar Sin
Liong ketika kakek itu
menggerakan kedua tangannya memukul.
Dengan tubuh ringan sekali Sin
Liong menggeser kaki dan berhasil mengelah sampai berturut-turut enam kali
karena ternyata bahwa pukulan kakek itu begitu luput dari sasaran terus
dilanjutkan dengan serangan berikutnya tanpa berhenti sedikit pun, sehingga
enam kali berturut-turut kedua tangannya menyambar dahsyat dari segala jurusan!
barulah Sin Liong dapat membebaskan diri dari kepungan kedua tangan itu ketika
dia meloncat jauh ke belakang, dan siap lagi menghadapi serangan berikutnya. "Bagus!" Ouw Kong Ek berseru kagum
melihat betapa pemuda itu dengan enak saja sudah berasil menghindarkan diri
dari serangan pukulan yang dinamakan Jurus Pukulan Badai Mengamuk. Kemudian dia
menerjang lagi, kini dia tidak bergerak lambat lagi, melainkan cepat sekali.
Kaki tangannya bergerak dengan cepatnya, gerakan yang aneh namun setiap gerakan
mengandung daya serang yang amat berbahaya.
Kembali Sin Liong menyambut serangan-serangannya itu dengan tenang dan
hati-hati, mengelak ke sanan-sini dan hanya kalau terpaksa dia menggunakan
kedua tangannya untuk menangkis atau menyampok.
Perlahan saja pemuda itu menangkis, namun selalu tangkisannya yang
membawa hawa pukulan Im-kang itu berhasil menghalau tangan lawan!
Sampai tiga puluh jurus lebih Sin
Liong selalu mengelak dan menangkis tanpa satu kalipun membalas serangan lawan!
Tentu saja hal ini membuat Ouw Kong Ek kagum sekali. Pemuda ini sudah
diserangnya dengan hebat, didesaknya sampai keadaannya berbahaya, namun tetap
tidak mau membalas. "Eh, Suheng,
kau tidak membalas, apa kau merasa phai-seng-gi (sungkan) kepada orang yang
hendak memunggut mantu kepadamu?" Swat Hong berteriak-teriak penuh
penasaran ketika melihat suhengnya bertempur seperti orang mengalah saja.
Merah muka Sin Liong. Memang dia
tidak mau membalas karena dia selamanya belum pernah memukul orang! Dia memang
mempelajari silat yang tinggi sekali tingkatannya, bahkan dari kitab-kitab lama
yang rahasia dan tak pernah dibaca orang di dalam perpustakaan Pulau Es, dia
menemukan ilmu-ilmu mujijat, di antaranya ilmu mengenal inti gerakan semua ilmu
silat. Akan tetapi dia merasa sungkan dan ngeri kalau harus memukul orang lain,
apalagi kepada kakek yang sama sekali tidak ada permusuhan apa-apa dengannya
itu. Kini mendengar ejekan Swar Hong, dia merasa tidak enak dan hatinya
terguncang. Guncangan ini memperlambat
gerakan tangannya, maka ketika dia menangkis sebuah pukulan, tangkisannya
meleset dan pukulan tangan kiri Ouw Kong Ek menyerempet pundaknya. Tubuhnya
tergetar hebat dan dia terhuyung ke belakang.
Ouw Kong Ek yang merasa penasaran
sekali kini maklum bahwa kalau pemuda itu membalas serangannya, mungkin dia
akan kalah! maka melihat hasil pukulannya yang membuat Sin Liong terhuyung dia
cepat mendesak maju. Dia harus mengalahkan pemuda ini karena dia ingin sekali
pemuda ini menjadi penghuni Pulau Neraka, dan kalau mungkin menjadi suami Soan
Cu. Dan untuk itu, dia harus lebih dulu merobohkannya. Maka dia cepat mendesak
selagi tubuh Sin Liong terhuyung ke belakang itu. "Wuuut-plak-plak! Wuuu-plak-plak!!"
Pukulan-pukulan tangan Ouw Kong
Ek hebat sekali dan setiap kali Sin Liong yang masih terhuyung itu mengelak,
pukulan itu berubah menjadi cengkraman yang amat lihai namun selalu tangan Sin
Liong masih dapat menyapoknya! Bahkan pemuda itu berseru keras, tubuhnya
melayang keatas, berjungkir balik dua kali dan sudah turun lagi ke atas lantai
dengan tubuh tegak dan sudah siap lagi! Ouw Kong Ek makin penasaran. Cepat dia
menerjang maju, kedua kakinya bergerak cepat dengan tendangan berantai yang
cepat dan kuat sekali. Kedua kaki itu seperti kitiran saja sehingga
kelihatannya kakek ini berkaki lebih dari dua yang bergerak susul menyusul
melakukan tendangan ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Sin Liong.
"Siuut-siutt...dess!!"
Setelah berhasil mengelak ke
kanan kiri, Sin Liong terdesak ke sudut dan terpaksa dia
menggunakan kedua lengannya
menangkis sambil mengerahkan tenaga inti salju. Tubuh Ouw Kong Ek
menggigil, terasa dingin sekali
tubuhnya, rasa dingin yang menjalar melalui kaki yang tertangkis.
Dia.menggoyang tubuhnya beberapa kali dan ras dingin sudah terusir. Dia memandang
lawannya dengan mata
terbelalak lebar, kemudian kakek
ini mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke atas
kemudian menukik kearah Sin Liong.
Sin Liong terkejut sekali, dia
maklum bahwa serangan terakhir ini bukan main hebatnya, maka dia pun lalu berteriak
keras dan tubuhnya juga mencelat ke atas menyambut tubuh lawannya, kedua
lengannya digerakkan di depan tubuhnya.
"Plak-plak...
bruukkk!!" tubuh Ouw Kong Ek terbanting ke atas lantai, dan hanya setelah
dia bergulingan beberapa kali saja dia dapat bangun dengan agak pening.
Bukan main, pikirnya. Dia tadi
melakukan serangan dahsyat, serangan maut yang akan sukar disambut oleh lawan
yang sakti, akan tetapi pemuda itu menyambutnya di udara, memapaki pukulan
dengan pukulan sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu di udara dan
akibatnya dia sendiri yang terbanting keras!
"Belum cukupkah, Tocu?" Sin Liong bertanya dengan suara penuh
penyesalan karena dia dipaksa untuk bertempur , hal yang sama sekali tidak
disukainya.
"Hmm, aku belum mengaku
kalah, orang muda!" Dan kini kakek itu menyerang lagi dengan ilmu silat
yang gerakannya cepat sekali, akan tetapi juga aneh. Swat Hong yang menonton di
pinggir, memandang penuh perhatian dengan alis berkerut. Dia merasa heran
sekali. Ilmu silat yang dimainkan oleh kakek itu seperti pernah dilihatnya,
seperti bukan gerakan asing, namun mengapa begitu aneh dan sama sekali tidak dikenalnya?
Memang tidak mengherankan hal ini terjadi pada Swat Hong karena ilmu silat yang
dimainkan kakek itu memang bersumber pada ilmu silat Pulau Es, hanya sudah
diubah banyak sekali menjadi ilmu silat ciptaan nenek moyang Pulau Neraka!
Bahkan kini dari kedua telapak tangan kakek itu mengepul uap hitam, dari
mulutnya juga menyembur uap hitam yang kadang-kadang menyambar ke arah muka Sin
Liong. Sebagai seorang hali pengobatan Sin Liong segera mengenal hawa beracun
keluar dari uap hitam itu, maka dia bersikap hati-hati, setiap kali ada uap
hitam menyambar. Sementara itu, sambil mengelak dan menangkis dia mencurahkan
seluruh perhatiannya dan dengan ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab, yaitu
mengenal rahasia inti gerakan ilmu silat, dia sudah dapat mencatat dan hafal
akan jurus-jurus yang dimainkan oleh lawannya.
"Suheng, balaslah lawanmu!
Apa kau takut?" Swat Hong berteriak lagi.
Ouw Kong Ek yang sudah merah mukanya saking penasaran dan malu karena
merasa dipandang rendah dan dipermainkan, membentak, "Orang muda, berani
engkau memandang rendah kepadaku sehingga tidak mau balas menyerang?"
Sin Liong terkejut bukan main.
Sama sekali tidak mengira bahwa sikapnya yang mengalah dan tidak mau balas
menyerang itu malah dianggap memandang rendah oleh kakek itu dan dianggap takut
oleh Swat Hon! Tadinya dia hanya mengharapkan kakek itu akan tahu diri dan
mundur sendiri. Siapa kira, kakek itu keras kepala dan tidak akan mengaku kalah
kalau tidak dirobohkan! Dalam keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi
Sin Liong. Dia menggigit bibirnya menguatkan hati karena menyerang orang merupakan
hal yang berlawanan dengan hatinya, lalu kaki tangannya bergerak cepat sekali.
Terdengarlah seruan-seruan kaget dari mulut para pembantu Ouw Kong Ek, bahkan
belasan jurus kemudian, setelah dengan susah payah Ouw Kong Ek mengelak dan
menangis, kakek ini berseru keras dan tubuhnya terguling.
"Heiiii... dari mana engkau
mendapatkan ilmuku ini ?" Kakek yang sudah terguling karena kedua lututnya
tercium ujung sepatu Sin Liong itu meloncat bangun lagi sambil bertanya dengan
mata terbelalak dan penuh keheranan. Selama belasan jurus tadi, dia telah
diserang oleh Sin Liong dengan ilmu silatnya sendiri dan pada jurus ke lima
belas, dia tidak mampu menghindar sehingga kedua lututnya tertendang, membuat dia
terguling dan kalau pemuda itu menghendaki, ketika ia terguling tadi tentu
pemuda itu dapat menyusulkan serangan maut yang dapat menewaskannya!
Sin Liong menjura dan melangkah
mundur. "Aku hanya meniru-niru dari Tocu sendiri...."
Ouw Kong Ek makin terheran dan
sejenak dia melongo, kemudian dia melangkah maju dan
memegang kedua tangan pemuda itu.
"Kwa Sin Liong ...engkau hebat sekali! Aku mengaku kalah terhadap
Kwa-taihiap (Pendekar Besar Kwa)!
Aku telah dirobohkan secara mutlak, bahkan dengan jurus-jurus ilmu
silatku sendiri! Dia ini adalah
seorang pendekar besar yang memiliki kesaktian seperti dewa!".Semua penghuni
Pulau Neraka membungkuk dan memberi hormat kepada Sin Liong! Tentu saja pemuda
itu cepat membalas penghormatan
mereka dengan memutar-mutar tubuhnya sambil berkata tersipu-sipu, "Aahhh,
harap Cuwi (Anda sekalian) jangan berlebihan..."
"Kwa-taihiap, aku Ouw Kong
Ek sudah mengaku kalah. Harap Taihiap suka mengajarkan ilmu pengobatan itu agar
kami dapat terbebas dari hawa beracun yang banyak terdapat di pulau ini.
Setelah aku paham, kami akan mempersilahkan Taihiap dan Han-lihiap (Pendekar
Wanita Han) meninggalkan pulau ini dengan aman."
"Baik, Ouw-tocu. Aku akan
melakukan penyelidikan tentang racun-racun di pulau ini dan berusaha mencarikan
obat penawanya."
Soan Cu berlari menghampiri Sin
Liong dan berkata, "Sin Liong, kau hebat sekali! Aku sungguh kagum kepadamu
." Sambil berkata demikian, Soan Cu memegang kedua tangan Sin Liong dan
mengangkat muka memandang wajah Sin Liong penuh kekaguman.
"Ahhh, engkau terlalu
memuji, Soan Cu. Sebetulnya adalah Kong-kongmu yang sengaja mengalah kepadaku,"
kata Sin Liong, dan mukanya menjadi merah. Dia maklum bahwa Soan Cu seorang
dara remaja yang berhati polos dan wajar, maka di depan semua orang tanpa
segan-segan menyatakan kekagumannya dan memegang kedua tangannya begitu saja.
Akan tetapi hal ini tentu saja menimbulkan anggapan salah dan dia sudah melihat
betapa Swat Hong membuang muka dengan wajah diselubungi kemarahan, bahkan akhirnya
dara itu lalu membalikan tubuh dan berlari pergi!
Sampai tiga bulan lamanya Sin
Liong dan Swat Hong di Pulau Neraka. Dengan teliti dan hati-hati Sin Liong
melakukan penyelidikan tentang segala macam racun yang terdapat di pulau itu,
kemudian dia mencarikan obat penawarnya dan menulis serta melukiskan nama dan
bentuk daun, akar, bunga, atau buah yang berkhasiat sebagai penawar racun-racun
itu. Sibuklah ketua Pulau Neraka, dan para pembantunya mencarikan bahan-bahan
obat itu dan setelah tiga bulan, barulah lengkap catatan Sin Liong.
JILID 7
Ouw Kong Ek dan semua penghuni
Pulau Neraka merasa berterima kasih sekali kepada Sin Liong, apalagi setelah
terbukti banyak penghuni yang sembuh dari penderitaan penyakit akibat keracunan
setelah menggunakan obat-obat seperti yang ditunjuk oleh pemuda itu. Dia
dianggap sebagai seorang dewa penolong mereka dan diperlakukan dengan sikap
penuh hormat.
Setelah "terpaksa"
tinggal di Pulau Neraka selama tiga bulan, akhirnya Swat Hong mendapatkan
kenyataan bahwa Soan Cu adalah seorang remaja yang benar-benar tulus, jujur dan
wajar sehingga mudah saja di antara mereka terjalin persahabatan yang akrab.
bahkan karena dara Pulau Neraka itu dengan terang-terangan tanpa dibuat-buat
dan tanpa usaha menarik hati Sin Liong menyatakan suka dan cintanya kepada Sin
Liong, Swat Hong menyambut pernyataan itu dengan hati terharu. Diam-diam
menaruh hati kasihan kepada dara Pulau Neraka ini karena dia tahu bahwa hati
suhengnya itu jauh daripada cinta! Suhengnya belum pernah mengacuhkan tentang
hubungan di antara mereka, juga suhengnya sama sekali tidak kelihatan menaruh
hati kepada Soan Cu. Dianggapnya suhengnya itu terlalu "dingin" dan
sudah seringkali dia sendiri merasa kecewa melihat suhengnya sebagai seorang
pemuda yang tidak ada semangat! Padahal dia sendiri belum yakin apakah dia
mencintai suhengnya, sungguhpun dia merasa suka sekali kepada pemuda itu namun
sebagai seorang dara remaja, tentu saja dia merasa tidak puas menyaksikan sikap
pemuda yang "dingin" saja terhadapnya. Sebagai seorang wanita muda
yang sehat dan normal, tentu saja Swat Hong juga ingin agar semua orang,
terutama kaum pria, memandangnya dengan kagum dan suka, bahkan dia pun seperti
semua wanita di dunia ini agaknya, akan merasa bangga kalau semua orang
laki-laki jatuh cinta kepadanya!
Hari keberangkatan mereka
meninggalkan Pulau Neraka pun tibalah. Sin Liong dan Swat Hong diantar oleh
semua penghuni Pulau Neraka sampai ke pantai, dimana telah tersedia sebuah
perahu yang lengkap dengan layar, dayung,dan bekal makanan. Soan Cu mengantar
dengan mata berlinang air mata.
Semenjak tadi dara ini menangis,
bahkan rewel kepada kakeknya hendak ikut pergi bersama Sin Liong dan
Swat Hong.."Hushhh, apakah
kau gila?" demikian kakeknya menjawab. "Kau hendak ikut ke Pulau Es?
tidak tahukah
kau bahwa semua penghuni Pulau
Neraka dilarang menginjakan kaki ke Pulau Es? Begitu kau tiba di sana, kau akan
dijatuhi hukuman sebagai seorang pelanggar hukum!"
Juga Sin Liong dan Swat Hong
melarang dengan alasan bahwa Swat Hong sendiri sedang menghadapi malapetaka,
bahkan dia bersama suhengnya sedang berusaha mencari ibunya. Selama tiga bulan
ini, Ouw Kong Ek sudah mengerahkan pembantunya untuk mencari Liu Bwee, bekas
istri Raja Han Ti Ong, ke pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Neraka, namun
hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja para penghuni Pulau Neraka yang mencari itu
tidak berani terlalu mendekat Pulau Es. Setelah
perahu yang ditumpanginya Sin Liong dan Swat Hong pergi Jauh, Soan Cu
menjatuhkan dirinya menangis. "Kong-kong, akupun mau pergi dari sini. Aku
tidak tahan lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka tanpa adanya mereka berdua!
Aku harus pergi, aku harus pergi mencari ayahku, seperti Swat Hong yang pergi
mencari ibunya!"
Kong-kongnya hanya menggeleng
kepala, menghela napas dan menggandeng cucunya yang tercinta itu kembali ke
tengah pulau. Hati orang tua ini khawatir sekali karena dia tahu bahwa cucunya
telah mulai dewasa dan telah tergoda oleh cinta sehingga merasa tidak tahan
lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka.
Dia maklum bahwa agaknya takan lama lagi cucunya itu tentu akan nekat
meninggalkan pulau dan kalau hal yang dikhawatirkan itu terjadi, apalagi
artinya hidup baginya di pulau itu? Puteranya telah lenyap dan satu-satunya
orang yang selamanya ini membuat hidupnya berarti hanyalah Soan Cu. Ketika perahu mereka mendarat di Pulau Es,
Sin Liong dan Swat Hong saling pandang dengan hati yang berdebar. Mereka sudah
menjelajahi seluruh pulau di sekitar Pulau Es untuk mencari ibu Swat Hong,
namun sia-sia belaka. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk kembali ke
Pulau Es, dengan harapan mudah-mudahan ibu dara itu sudah kembali ke Pulau Es.
"Bagaimana kalau ibu tidak
berada di sana? Bukankah berarti bahwa aku telah melanggar janjiku untuk mewakili
ibu yang dibuang ke Pulau Neraka?" Swat Hong bertanya ketika perahu mereka
tadi sudah mendekati Pulau Es.
"Jangan khawatir, Sumoi.
Suhu adalah ayahmu sendiri, dan betapapun marahnya, aku percaya bahwa suhu akan
dapat memaafkanmu. Aku percaya akan kebijaksanan Suhu, dia bukanlah seorang
yang berbudi rendah...."
"Tapi dia telah terkena
racun yang hebat, racun yang seratus kali lebih kejam daripada racun yang
paling jahat di pulau Neraka! Dia telah terkena hasutan mulut wanita jahat
itu..." "Ssttt, Sumoi, jangan mempersulit keadaan dengan menyangka
yang bukan-bukan. Sudalah, kekhawatiranmu itu hanyalah permainan pikiran yang
membayangkan hal yang belum terjadi. Singkirkan saja kekhawatiran kosong itu
dan mari kita hadapi kenyataan. Percayalah, apa pun yang akan terjadi, aku tidak
akan membiarkan engkau terancam bencana. Mari kita hadapi apa saja yang menimpa
kita berdua." "Suheng... betulkah? Betulkah kau akan membela dan
melindungi aku?"
"Tentu saja, Sumoi."
"Menghadapi Ayah
sekalipun?"
"Menghadapi siapa saja
karena aku yakin bahwa engkau tidak mempunyai kesalahan apa pun."
"Kalau begitu, aku menjadi
besar hati, Suheng. mari kita mendarat."
Makin tegang hatinya dan juga
terheran-heran ketika dia melihat betapa beberapa orang penghuni
Pulau Es kebetulan berada di
situ, segera berlari pergi menuju ke tengah pulau, bahkan tidak berhenti
ketika dia dan suhengnya
memanggil mereka..Makin tidak enak mereka, namun dengan tenang Sin Liong
mengajak sumoinya untuk menuju ke Istana
Pulau Es di tengah pulau itu,
menemui Raja Han Ti Ong dan bertanya tentang Liu Bwee. Tak lama kemudian,
keduanya berhenti tiba-tiba ketika melihat raja itu sendiri berlari-laridatang
bersama permaisuri dan pembantu-pembantu yang terpercaya. Tadinya Swat Hong
merasa girang, wajahnya berseri karena dia mengira bahwa ayahnya datang
menyambutnya dengan girang melihat di pulang. Akan tetapi betapa kagetnya
ketika ayahnya sudah tiba di depan mereka, langsung raja Han Ti Ong menudingkan
telujuknya ke arah mereka sambil membentak, "Manusia-manusia rendah!
kalian masih berani menginjakan kaki di Pulau Es? Membikin kotor pulau ini?
keparat!"
"Ayah...!!"
"Suhu...!!"
"Plak! Plak!!" Tubuh
Sin Liong dan Swat Hong terguling ketika tangan Raja itu dengan kecepatan kilat
telah menampar mereka. Dengan alis berdiri Raja Han Ti Ong menudingkan
telunjuknya bergantian ke arah muka dua orang muda yang menjadi kaget setengah
mati dan merangkak bangun itu. "Jangan
sebut aku Ayah dan Suhu! Kalian berdua telah minggat dengan diam-diam,
perbuatan yang tak tahu malu dan mengotorkan nama keluarga Han! Masih berani
datang dan menyebut Ayah dan Suhu kepadaku? Huh!!"
"Ayahhhh....apa...apa yang
terjadi....? Mana Ibuku...?"
"Ibumu seorang yang hina,
dan engkau anaknya pun tidak berbeda banyak!"
"Ayah...!"
"Diam! Dan minggat engkau
dari sini sebelum kubunuh!"
"Ayah, kalau begitu bunuh
saja aku! Aku tidak berdosa...!" Swat Hong yang berlutut itu menangis sesungguhnya.
"Bagus! Kau minta
mati?"
"Suhu...!" Suara Sin
Liong ini mengandung wibawa sedemikian hebatnya sehingga Han Ti Ong sendiri sampai
terkejut menghentikan langkahnya yang hendak menghampiri puterinya. Sepasang
mata Sin Liong mengeluarkan sinar yang luar biasa dan sejenak Ha Ti Ong
ragu-ragu. Teringatlah dia akan keadaan dahulu ketika anak ajaib ini
menyuruhnya menolong The Kwat lin, menyuruhnya berhenti untuk menguburkan mayat-mayat.
Seperti itu pula kekuatan mujijat yang keluar dari sepasang mata itu. Sepasang
mata yang sedikitpun tidak membayangkan takut, atau marah, atau kekerasan,
hanya membayangkan kelembutan yang mengharukan.
"Suhu, harap suhu bersabar
dulu. Menjatuhkan hukuman tanpa memberitahu kesalahan orang, sungguh tidak adil
sekali, sungguhpun Sumoi adalah puteri Suhu sendiri." Bangkit kembali
marah Han Ti Ong. "Sin Liong, bagus perbuatanmu, ya? Kau masih
berpura-pura lagi? Dia pergi tanpa pamit, hal itu masih belum apa-apa, akan
tetapi dia pergi lalu kau susul, bersamamu pergi sampai berbulan-bulan,
pantaskah itu? Kalian tidak tahu malu,
dan menodakan nama baik keluarga KerajaanHan!" Diam-diam Sin Liong
terheran. mengapa suhunya berubah seperti ini? Tentu saja dia tidak tahu betapa
para keluarga yang membenci Liu Bwee telah menggunakan kesempatan selagi
terjadi peristiwa penghukuman atas diri Liu Bwee itu untuk membakar hati raja
ini, terutama sekali melalui mulut permaisuri!
"Ayah, jangan menuduh yang
bukan-bukan. Aku memang pergi dan bertemu dengan suheng, akan tetapi apakah
salahnya dengan itu?"
"Hemm, apa, salahnya, ya?
Tidak salahkah kalau seorang pemuda dan seorang dara berdua saja sampai
hampir setengah tahun lamanya?
Mingkinkah tidak akan terjadi apa-apa antara kalian, di tempat sunyi,.hanya
berdua saja! Hem...hemmm... siapa percaya tidak akan terjadi apa-apa yang
kotor?" ucapan ini
keluar dari mulut permaisuri, The
Kwat Lin yang tersenyum mengejek.
"Ibu, kalau Enci Hong dan
Suheng melakukan hubungan gelap, kawinkan saja mereka, mengapa
ribut-ribut?" Tiba-tiba Bu Ong, putera raja yang baru berusia kurang lebih
delapan tahun itu, berkata dengan suara nyaring.
"Hussshhh! Tutup
mulutmu!" Kwat Lin membentak puteranya yang segera cemberut, tapi
memandang kepada Swat Hong dan Sin Liong dengan pandang mata mengejek.
Hampit saja Swat Hong tak dapat
percaya akan apa yang didengarnya. Ayah dan ibu tirinya menuduh dia berjinah
dengan Sin Liong! Dengan dada sesak dan kemarahan yang meluap-luap, Swat Hong
lupa diri dan meloncat bangun, menjerit dengan kata-kata yang seperti
dilontarkan kepada ayahnya, "Ayah! Mengapa ada fitnah sekeji ini? Ayah,
insyaflah, Ayah telah dikelabui, Ayah telah mabuk oleh rayuan..." "Plak!
Desss!!" Tubuh Swat Hong terlempar dan terguling-guling ketika terkena
tamparan dan pukulan tangan ayahnya sendiri.
"Suhu, ini tidak adil sama
sekali!" "Plak! Desss!!!" Tubuh Sin Liong juga terjungkal, Akan
teapi pemuda ini sudah meloncat bangun kembali. Sedikit pun tidak merasa takut,
bahkan kini dia memandang tajam kepada Han Ti Ong.
"Suhu, andaikata Suhu
memukul tee-cu sampai mati sekalipun, suah sepatutnya karena karena tee-cu hanyalah
seorang murid yang telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan tee-cu rela
membalasnya dengan nyawa. Akan tetap, Sumoi adalah puteri Suhu sendiri, darah
daging suhu sendiri! Mengapa Suhu begitu tega? Di manakah rasa kasih di hati
Suhu?"
"Keparat!" Han Ti Ong
memaki dengan suara gemetar saking marahnya. Melihat betapa Sin Liong berani
menantangnya untuk membela Swat Hong makin besar kepercayaannya akan
desas-desus bahwa puterinya main gila dengan muridnya ini. "Kau mau
memberi kuliah kepadaku? Kalau dia orang lain, aku tidak akan perduli apa yang
dilakukannya. Justru karena dia anaku dan aku cinta kepada anakku, maka aku perlu
mengajarnya!"
"Hemmm, begitulah cinta di
hati Suhu? Cinta suhu siap untuk berubah menjadi kemarahan, kebencian yang meluap
karena Suhu merasa bahwa puteri Suhu tidak menyenangkan hati suhu? itu bukan
cinta, Suhu! Suhu hanya mementingkan
diri sendiri, kalau disenangkan hati Suhu, biar orang lain sekalipun akan Suhu perlakukan
dengan baik, akan tetapi kalau hati Suhu dikecewakan, biar anak sendiri akan
dibunuh!" "Plak-plak! Dess...!" Kembali tubuh Sin Liong
terjungkal dan kini darah mengucur dari mulut dan hidungnya.
"Suheng...! Ahhh, Ayah...
Jangan...!" Swat Hong sudah meloncat ke depan dan menubruk suhengnya. "Anak durhaka, murid murtad! Dess!"
kini Swat Hong yang mengeluh dan terjungkal terkena tendangan ayahnya yang
sedang marah itu. Masih untung bagi mereka berdua bahwa Han Ti Ong hanya
berniat mengajar dan menghukum, kalau berniat membunuh, tentu mereka sudah tak
benyawa lagi. Saking marahnya, biarpun melihat murid dan puterinya sudah
beberapa kali dihantam dan ditendangnya sampai mulut dan hidung mengeluarkan
darah dan muka mereka bengkak-bengkak, Han Ti Ong masih saja menghajar mereka.
"Ongya, harap ampunkan
mereka...." Tiba-tiba beberapa orang pembantu utama berlutut di depan Raja
yang marah ini dan menyabarkan hatinya.
Han Ti Ong berdiri dengan napas
terengah-engah, mata terbelalak dan muka merah sekali. dia menjadi hampir putus
napasnya saking marahnya.
"Hemmm, mereka ini
bocah-bocah kurang ajar yang layak dibunuh!" katanya.
"Ongya, sejak dahulu belum
pernah ada hukuman dilaksanakan tanpa diadili lebih dulu, harap Ongya ingat
akan keadilan Kerajaan Pulau Es
yang sudah terkenal semenjak ratusan tahun," kata seorang pembantu.yang
sudah berusia lanjut. Han Ti Ong menghela napas panjang dan dia teringat.
Sebetulnya, dia sedang
berada dalam keadaan duka dan
kecewa. duka mengingat akan istrinya, Liu Bwee, yang kini menimbulkan penyesalan
di dalam hatinya karena dia pun mulai meragukan kesalahan istrinya itu. Kecewa
karena serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya, mengganggu
ketentraman hidupnya di Pulau Es. "Anak
durhaka, untung engkau belum kubunuh! Kau boleh membela diri, kalau memang
masih ada yang akan kau katakan!"
Dengan tubuh sakit-sakit dan
hampir pingsan, Sin Liong masih dapat membantu Sumoinya, bangkit duduk, bahkan
tidak memperdulikan keadaan dirinya sendiri, dia menyusuti peluh, air mata dan
darah dari muka sumoinya, kemudian menarik sumoinya untuk berlutut di depan
raja yang sedang marah itu. "Sumoi,
laporkanlah semuanya kepada Suhu..." bisiknya.
"Apa gunanya? Biarlah aku
dibunuh! Biarlah, Ibu lenyap tak berbekas dan akan dibunuhnya... tentu akan puas
hatinya...hu-hi-huuuuukkk...." Swat Hong menangis terisak-isak. Melihat
keadaan puterinya ini, tersentuh juga rasa hati Raja Han Ti Ong.
"Sin Liong, hayo ceritakan
apa yang terjadi! kami semua menuduh kalian berdua selama berbulan-bulan dan
tentu kalain telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Mengakulah! Awas,
kalau kau membohonng, akan kubunuh kau sekarang juga!"
"Suhu boleh membunuh teecu
kalau teecu berbohong. Bahkan kalau teecu tidak membohong sekalipun, teecu
menyerahkan nyawa teecu kepada suhu.
Sebetulnya, ketika melihat sumoi
pergi membuang diri ke Pulau Neraka dan melihat Subo juga pergi, teecu merasa
kasihan dan berkhawatir sekali. Maka teecu diam-diam lalu mengejar dan menyusul
ke Pulau Neraka." kemudian dengan panjang lebar dan jelas Sin Liong
menceritakan semua pengalaman mereka di Pulau Neraka dan mengapa mereka sampai
berbulan-bulan berada di pulau itu. Berkerut
Raja Han Ti Ong. Di lubuk hatinya, dia percaya kepada muridnya ini. Tidak ada
seorang pun di dunia ini yang dapat membohong dengan sikap seperti yang
diperlihatkan muridnya. Tidak, tentu muridnya tidak berbohong. Akan tetapi
hatinya masih marah dan ia makin marah ketika mendengar betapa Pulau Neraka
telah berani menahan puterinya sebagai sandera!
"Swat Hong! Benarkah cerita
Sin Liong?" bentaknya kepada dara yang masih menangis sesenggukan itu. "Apa gunanya Ayah bertanya kepadaku?
Lebih baik Ayah menyelidiki sendiri ke Pulau Neraka. Kalau aku dan suheng
berbohong, boleh bunuh seribu kali juga tidak apa." Memang sejak dahulu
Swat Hong bersikap manja kepada ayah bundanya, pula dia memiliki watak keras,
tidak takut mati, maka dalam keadaan seperti itu pun dia bersikap berani dan
menantang!
"Siapkan pasukan, tiga puluh
orang untuk ikut bersamaku ke Pulau Neraka!" Raja itu memerintah kepada pembantunya
dengan suara marah dan pada hari itu juga dia berangkat bersama tiga puluh
orang pasukan menuju ke Pulau Neraka!
Dapat dibayangkan betapa gagetnya
para penghuni Pulau Neraka ketika diserbu oleh pasukan Pulau Es yang dipimpin
Oleh Raja Han Ti Ong sendiri! Ouw Kong Ek sendiri yang maju dan berusaha
melawan, dalam belasan jurus saja telah dirobohkan dan dipaksa menceritakan apa
yang terjadi ketika puteri Raja Pulau Es itu berada di Pulau Neraka.
Dengan kebencian dan dendam yang
makin mendalam, Ouw Kong Ek menceritakaan keadaan sebenarnya, tepat seperti
yang telah didengar oleh Han Ti Ong dari mulut Sin Liong. Maka mulailah raja
ini merasa menyesal mengapa dia telah terburu nafsu menghajar, bahkan hampir
saja membunuh Sin Liong dan Swat Hong yang sebetulnya tidak berdosa. Mulailah
dia teringat bahwa kemarahanya itu timbul karena bujukan dan kata-kata yang
membakar dari permaisurinya. Dia menjadi marah sekali dan kemarahannya itu dilampiaskannya
di Pulau Neraka. Pulau itu diobrak-abrik, sebagai hukuman telah berani menahan puterinya.
Bahkan kitab catatan Sin Liong tentang racun dan pengobatanya, dihancurkan dan
dibakarnya!
Setelah puas melampiaskan
kemarahanya, Han Ti Ong memimpin pasukannya meninggalkan Pulau.Neraka,
meninggalkan para penghuni yang banyak menderita luka lahir batin itu dan Raja
ini telah
menanamkan dendam yang makin
menghebat di dalam hati para penghuni Pulau Neraka. Sepekan kemudian, barulah rombongan Han Ti
Ong tiba kembali di Pulau Es dan wajah Raja ini seketika pucat setelah dia
mendengar berita yang lebih hebat dan mengejutkan lagi, yaitu bahwa sehari setelah
dia dan pasukanya berangkat, permaisuri dan pangeran telah pergi meninggalkan
Pulau Es! Dan belum pulang .
Makin terpukul lagi bathin Raja
Han Ti Ong ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab-kitab pusaka Pulau Es
telah lenyap, berikut banyak harta benda berupa mas dan permata yang disimpan
didalam kamarnya! Hampir saja dia roboh pingsan mendapat kenyataan bahwa
permaisurinya, The Kwat Lin, gadis yang ditolongnya itu, ternyata telah
berkhianat!
"Mengapa tidak kalian larang
mereka pergi? Mengapa? Sin Liong, engkau muridku, mengapa engkau mendiamkan
saja pergi membawa pusaka-pusaka kita?" dalam bingung dan marahnya dia
menegur Sin Liong.
"Suhu, Subo pergi hanya
memberi tahu bahwa Subo bersama Sute hendak menyusul ke Pulau Neraka. Siapa yang berani menghalangi Subo? Kami
semua tidak ada yang mengira bahwa Subo tak kan kembali, dan tidak ada yang
tahu bahwa Subo membawa sesuatu, harap maafkan teecu." Han Ti Ong
membanting-banting kakinya, lalu berlari memasuki kembali istana setelah tadi
dia memeriksa dan melihat kehilangan pusaka Pulau Es. Ketika dia memanggil dua
orang muda menghadap, Sin Liong dan Swat Hong melihat perubahan hebat terjadi
pada diri raja sakti ini. wajahnya menjadi suram dan gelap, sepasang mata yang
biasanya bersinar dan berpengaruh itu, menjadi redup seperti lampu kekurangan
minyak. Dan rambut yang tadinya hanya sedikit putihnya, mendadak berubah hampir
seluruhnya, dan suaranya tidak bersemangat ketika berkata, "Sin Long...,
Swat Hong..., kalian ampunkan aku..."
"Suhu...!" Sin Liong
berlutut dan menundukan muka.
"Ayah... jangan berkata
begitu Ayah...!" Swat Hong meloncat menubruknya. Ayah dan anak itu saling rangkulan dan Sin
Liong makin menundukan mukanya ketika mendengar suhunya menangis mengguguk
seperti anak kecil ! Setelah Han Ti Ong dapat menguasai kembali hatinya dia mencium
dahi puterinya dan menyuruhnya duduk kembali. Swat Hong menyusuti air matanya
dan berlutut di dekat Sin Liong.
"Aku telah bedosa. Sekarang
baru aku tahu...aku telah berdosa. Mungkin sekali... tidak, aku yakin sekarang,
bahwa ibu Swat Hong tidak bersalah apa-apa, hanya terkena fitnah... aih, apa
yang telah kulakukan? Dan aku hampir saja membunuhmu, Sin Liong, dan kau Swat
Hong anaku. Orang macam apa aku ini? Dan aku mengaku cinta kepada anakku? Huh,
huh, engkau benar, Sin Liong. Tidak ada cinta di dalam hatiku yang kotor, yang
ada hanya nafsu berahi sehingga mudah saja aku dipermainkan oleh wanita itu.
Aihhhh....kalian maafkan aku. Swat Hong, hanya satu pesanku kepadamu, anakku.
Kau... kau menjadilah jodoh Sin Liong. Jadilah kalian suami istri, baru akan
terobati hatiku..." "Suhu...!"
"Ayah...!"
"Muridku....anakku....,maukah
kalian melegakan hatiku? Aku ingin menebus kesalahanku... aku ingin melihat
kalian menjadi suami istri, kalian anak-anak malang..."
"Suhu, teecu mohon ampun.
Teecu...tidak ada dalam hati teecu untuk memikirkan soal jodoh..."
"Ayah, mengenai jodoh tidak
dapat ditentukan begitu saja. Biarkan kami menentukannya sendiri..."
Han Ti Ong menarik napas panjang,
memejamkan mata sebentar, kemudian bangkit berdiri, membalikan
tubuh dan berjalan memasuki
kamarnya meninggalkan dua orang muda yang masih berlutut itu. Semenjak
saat itu, sampai berhari-hari
lamanya, Raja itu tidak pernah keluar dari kamarnya sehingga membuat.gelisah
semua pembantunya. Keadaan di Pulau Es tidak seperti biasa, semua penghuni
dapat merasakan ini.Semenjak terjadinya peristiwa yang memalukan dan
menyedihkan menimpa keluarga Raja Han Ti Ong, keadaan Pulau Es sunyi dan semua
wajah para penghuni kelihatan muram. bahkan cuaca juga seolah-olah berubah
suram, seringkali malah menjadi gelap oleh mendung tebal. Hati semua orang
merasa gelisah tanpa mereka ketahui sebabnya, seolah-olah merupakan tanda
rahasia bahwa akan terjadi hal-hal lebih hebat lagi.
Peristiwa yang menyedihkan yang
menimpa Han Ti Ong bisa menimpa diri setiap orang, dan memang kita sebagai
manusia hidup selalu terlupa bahwa mengejar kesenangan sama artinya dengan memanggil
kesengsaraan! Kita hidup dibuai khayal akan keadaan yang lebih baik, lebih
menyenangkan dari pada keadaan seperti apa adanya. Kita tidak pernah membuka
mata, tidak pernah menghayati keadaan saat ini, tidak dapat melihat bahwa saat
ini mencakup segala keindahan. Dengan membandingkan keadaan kita dengan keadaan
lain, kita selalu menganggap bahwa keadaan buruk tidak menyenangkan, dan kita selalu
memandang jauh kedepan, mencari-cari dan menghayalkan yang tidak ada, keadaan
yang kita anggap lebih menyenangkan. Karena kebodohan kita inilah maka kita
hidup dikejar-kejar oleh kebutuhan setiap saat, detik demi detik kita mengejar
kebutuhan. Kebutuhan adalah keinginan akan sesuatu yang belum tercapai, yang
kita kejar-keja. Lupa bahwa kalau yang satu itu dapat tercapai, didepan masih
menanti serbu yang lain yang akan mejadi keinginan dan kebutuhan kita
selanjutnya. Maka, berbahagialah dia yang tidak membutuhkan apa-apa! Bukan
berarti menolak segala kesenangan, melainkan tidak mengejar apa-apa sehingga
kalau ada sesuatu yang datang menimpa diri, bukan lagi merupakan kesenangan
atau kesusahan, melainkan dihadapi sebagai suatu yang sudah wajar dan
semestinya sehingga tampaklah keindahan yang murni!
Demikian pula keadaan Raja Han Ti
Ong. Dia seorang yang sakti dan bijaksana namun tiba saatnya dia lengah dan
menganggap bahwa dia menemukan kebahagiaan dalan diri The Kwat Lin. Padahal yang
dia temukan hanyalah kesenangan yang timbul dari kenikmatan badani, dari
terpuaskannya nafsu. Dia seolah-olah hidup dialam khayal, di alam mimpi.
Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang manis menjati pahit bukan main,
baru sadar bahwa perubahan dari senang ke susah sama mudahnya dengan membalikan
telapak tangan! Dan mengalah, suka dan duka hanyalah dwi muka (kedua muka) dari
sebuah tangan yang sama!
Perahu kecil itu terayun-ayun
kekanan kiri seperti menari-narikarena tidak dikuasai oleh layar maupun
dayung, melainkan sepenuhnya
dikuasai oleh air laut yang tenang. Dua orang yang duduk diperahu itu
seperti dua buah arca, diam dan
pandang mata mereka melayang jauh ke kaki langit, melayang-layang di
permukaan laut seperti
mencari-cari sesuatu yang hilang. Dan memang fikiran Sin Liong dan Swat Hong,
dua orang di perahu itu, sedang
mencari-cari jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. pulau Es hanya
kelihatan sebagai sebuah garis
mendatar putih dekat kaki langit. mereka berangkat pagi-pagi meninggalkan
Pulau Es, setelah tiba di tempat
jauh yang sunyi ini, mereka menggulung layar dan membiarkan perahu
mereka dibuai gelombang kecil.
Mereka sudah lama berdiam diri seperti itu, dibuai oleh lamunan masing-masing,
lamunan yang timbul karena
keadaan di Pulau Es yang menyedihkan. "Suheng..."
Suara panggilan Swat Hong ini lirih saja, namun karena sejak tadi mereka tidak mendengar
suara apa-apa, maka suara panggilan ini seolah-olah mengandung getaran hebat
yang memenuhi seluruh ruang kesunyian.
Sin Liong menoleh dan dia pun
seolah-olah baru sadar dari alam mimpi. "Hemmmm...?" jawabannya masih
ragu-ragu.
"Suheng mengajakku
meninggalkan pulau dan setelah tiba disini, mengapa suheng tidak lekas bicara melainkan
melamun saja?"
"Aku terpesona akan
keindahan alam yang sunyi ini, Sumoi...."
"Aku pun tadi terseret,
Suheng. Akan tetapi melihat batu karang menonjol di depan itu, aku tersadar.
Apakah aku akan menjadi setua
batu karang itu yang kerjanya hanya termenung di tempat sunyi! Suheng,
kau tadi bilang bahwa untuk membicarakan
urusan kita, engkau mengajakku ketengah laut. Mengapa?."Engkau sudah
mengerti sendiri. Fitnah yang dilontarkan kepada kita, bahwa ada terjadi
sesuatu yang
rendah di antara kita, membuat
aku merasa tidak enak kalau mengajak kau bicara berdua saja di tempat sunyi di
atas pulau itu. Dapat menimbulkan prasangka yang bukan-bukan. Karena itulah
maka kuajak kesini, agar kita dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati
tanpa ada yang mendengar dan melihat. Pula, kuharap ditempat yang sunyi ini,
yang membuat kita seolah-olah berada di dalam alam lain, kita akan menemukan
ilham..."
Swat Hong tertawa. Timbul kembali
kegembiraan dara ini setelah dia tidak berada di Pulau Es yang membuat dia
selama ini ikut muram dan berduka. "Wah, Suheng! Kadang-kadang kau bicara
seperti seorang pendeta saja! Apa sih yang akan dibicarakan sampai-sampai kau
membutuhkan ilham segala?" "Mari kita bicara tentang cinta,
Sumoi."
Wajah dara muda jelita itu
terheran, matanya memandang terbelalak dan perlahan-lahan kedua pipinya menjadi
agak kemerahan. "Aihh... apa maksudmu, Suheng?"
Sin Liong menarik napas panjang,
dan menyentuh tangan sumoinya. "Perlukah aku menjelaskan lagi? Suhu, Ayahmu sedang dilanda duka dan
kedukaannya yang terakhir sekali ini adalah menyangkut hubungan antara kita.
Suhu menghendaki agar kita berjodoh, dan kita secara jujur telah menyatakan
tidak setuju akan kehendaknya itu. Dan memang kita benar, Sumoi. Perjodohan
tidak bisa ditentukan begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi
seseorang, akan melekat selama hidupnya. Akan tetapi bagaimana kita tahu kalau
hal ini tidak kita bicarakan secara terus terang? Maka, agar kita dapat
mengambil keputusan yang tepat tentang kehendak Suhuini, marilah kita bicara
tentang cinta!" "Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," Kata
Swat Hong yang tentu saja merasa malu untuk bicara tentang hal yang asing
baginya itu.
"Swat Hong, apakah kau cinta
kepadaku?" Dara itu makin merah mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya
akan bertanya secara langsung seperti itu sehingga dia merasa seperti diserang
dengan tusukan pedang yang amat dhasyat! Dia mengangkat muka memandang
suhengnya dengan bingung. "Aku...aku...ah,
aku tidak tahu..." dan dia menundukan mukanya.
"Sumoi, sudah sering aku
melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah ketika kita berada di Pulau Neraka.
Engkau cemburu melihat Soan Cu berbuat baik kepadaku, dan kau tidak senang
melihat Kong-kongnya hendak menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi, aku tidak
tahu apa cemburu itu tandanya cinta? Akan tetapi, jawablah demi pemecahan
persoalan yang kita hadapi ini. Cintakah kau kepadaku?" Disinggung-singgung
tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas menadakan rasa cemburunya, Swat
Hong menjadi makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia
bertemu pandang dengan suhengnya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya
mukanya dengan kedua tangan, kepalanya digeleng-gelengkan dan dia berkata,
"Aku tidak tahu...aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau saja
yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!" Dan kini dia menurunkan
kedua tangannya, sepasang matanya yang bening itu kini dengan penuh selidik
menatap wajah Sin Liong! Sin Liong
menarik napas panjang. "Itulah yang membingungkan hatiku selama ini,Sumoi.
Mau bilang tidak mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan tetapi untuk
menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak tahu
bagaimana sesungguhnya cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu terhadap ibumu
yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? ataukah seperti cintanya Ibumu
kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan suhu? Hemm, mengapa
semua cinta itu demikian palsu dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan? Aku
menjadi ngeri melihat cinta macam itu, Sumoi." Swat Hong memandang heran.
"Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini, suheng."
"Mudah saja. Lihat saja apa
yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The Kwat Lin. Seperti itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan,
kebencian, dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu, aku ngeri
dan aku tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun, Sumoi.
Karena, kalau hanya seperti itu
akibatnya, maka cinta yang kunyatakan hanyalah merupakan kembang bibir.elaka,
hanya cinta palsu belaka. Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita berdua, sejak
kecil sampai sekarang
menjelang dewasa, tidak pernah
ada pertentangan dan tidak pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi, setelah kita
berdua mengaku cinta, lalu timbul soal-soal ceburu, kecewa dan lain-lain.
Apalagi setelah menjadi suami istri...hemm, betapa mengerikan kalau melihat
contoh yang kita saksikan di Pulau Es ini." Swat Hong menunduk dan tak
mampu menjawab. Persoalan yang diajukan oleh Sin Liong itu terlampau berat
baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya, sebagai seorang wanita, dia haus akan
cinta kasih, akan perhatian, akan pemanjaan dari seorang pria yang menyenangkan
hatinya, seperti suhengnya ini. Akan tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong
tentang cinta yang diambilnya peristiwa di Pulau Es sebagai contoh, dia pun
ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu. "Aku tidak tahu, Suheng.., aku tidak
mengerti. Terserah kepadamu sajalah..." Sin Liong kembali menarik napas
panjang. Dia memang sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa dia harus membalas
budi kebaikan suhunya yang sudah berlimpah-limpah diberikan kepadanya. Satu-satunya jalan untuk membalas budi hanya
dengan menyenangkan hati suhunya yang sedang berduka itu. Dia harus menerima
keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong! Akan tetapi dia tidak
boleh membuat dara itu menderita dengan keputusannya ini, maka dia harus tahu
terlebih dahulu bagaimana pendirian Swat Hong. Dan sekarang, dara itu sama
sekali tidak berani mengaku tentang cinta.
"Sumoi, sekarang begini saja. Andai kata aku memenuhi permintaan
suhu, yaitu mau menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu,
bagaimana dengan pendapatmu?" Swat Hong menunduk dan menggigit bibirnya.
Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak tahu, terserah kepadamu dan kepada
ayah..." "Maksudku, apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal ini
menyenangkan hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau kau, seperti
aku, tidak bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kukatakan apakah ikatan
jodoh ini tidak menimbulkan penyesalan bagimu?"
Swat Hong tidak menjawab, hanya
menggeleng kepala.
"Kalau begitu, andaikata aku
menerima, engkau pun akan menerimanya dengan senang hati?"
Swat Hong mengangguk!
"Kalau begitu, mari kita
pergi menghadap Ayahmu. Aku akan menerima permintaannya, karena betapapun juga,
kita harus menghiburnya, menyenangkan hatinya. Aku telah berhutang banyak budi
dari suhu, maka kalau dengan penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya,
aku akan merasa senang." Sin Liong mengambil dayung perahu itu dan
menggerakan dayung. "Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? jadi
kau...kau tidak cinta kepadaku?"
"Sumoi aku tidak berani
berlancang mulut mengaku cinta. Aku telah banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan
kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali cinta diucapkan dengan mulut, maka itu
bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka aku
tidak berani lancang mengaku, Sumoi..."
"Ahhh...!!" Jeritan
Swat Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan juga kekangetan hebat,
matanya terbelalak memandang kedepan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong cepat
menengok dan pada saat itu terdengar ledakan dahsyat dibarengi dibarengi dengan
cahaya kilat yang seolah-olah membakar dunia.
Tampak oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi
sekali disusul asap dan api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan
Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak
berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba karena perahu
mereka dilontarkan keatas, dalam saat lain perahu itu telah dipermainkan oleh
gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara mengguruh memenuhi telinga
mereka dan keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan
kebisingan yang sukar dilukiskan.
Sin Liong berteriak, "Sumoi,
bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!" keduanya mengerahkan tenaga,
menggunakan dayungnya untuk
mengatur keseimbangan perahu. Namun, kekuatan gelombang air laut
yang amat dahsyat itu mana dapat
ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang pemuda itu adalah
tokoh-tokoh Pulau Es sekalipun?
Perahu mereka menjadi permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas,
disambut dan diseret kebawah,
seolah-olah tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang menyeret perahu.ke
dasar laut, akan tetapi tiba-tiba dihayun lagi keatas, ditarik ke kanan,
didorong kekiri sehingga kedua
orang murid Raja Han Ti Ong itu
menjadi pening dan setengah pingsan! Mereka
tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka diombang-ambingkan
air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka tidak
sempat menggunakan pikiran lagi. Yang
ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga agar perahu
mereka tidak sampai terguling dan tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi
pinggiran perahu. Dengan tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri
Sin Liong memegang lengan kanan sumoinya. Betapapun juga, dia tidak akan
melepaskan sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut
itu, sekali ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat
keganasan air laut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang setinggi
gunung yang seolah-olah setiap saat hendak mencengkram dan menelannya itu!
Tiba-tiba Swat Hong menjerit.
Segulung ombak besar datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena
ditelan air, kemudian mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas. "Brukkk...!" Keduanya terpental
keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan. Cepat Sin Liong menyapu
mukanya agar kedua matanya dapat memandang. Ternyata perahu mereka telah
dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang, sebuah pulau yang
menjulang tinggi akan tetapi hanya kecil-kecil sekali, merupakan sebuah batu
karang besar yang menonjol tinggi.
"Sumoi, lekas..., kita naik
ke sana...!!" Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit
semua, membantu sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong
berdarah, akan tetapi gadis itu pun agaknya tidak merasakan semua ini,
tersaruk-saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan menyeret perahu ke atas,
kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan
susah payah.
Akhirnya mereka tiba di puncak
batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benar-benar
menggetarkan jantung. Air di sekeliling mereka. Air yang menggila, bergerak
berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung, suara yang gemuruh seolah-olah
semua iblis dari neraka bangkit. Batu
karang besar , atau lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu
tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai
yang mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dan kegelapan,
kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari atas, seperti lidah api seekor
naga yang bernyala-nyala, "Ouhhhh..!" Swat Hong menangis dan cepat
dipeluk oleh suhengnya. Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek-robek.
"Tenanglah... tenanglah,
Sumoi...." Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya sumoinya
yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga! Pengalaman ini sungguh
dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran dan kekuasan
alam nampak nyata. membuat dia merasa kecil tak berarti, kosong dan remeh
sekali!
Sin Liong dan Swat Hong yang
dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu. Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya
kegelapan, air, dan kadang-kadang kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar
hanyalah gemuruh air, angin menderu, dan kadang-kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan merasakan apa-apa, yang
ada hanya takjub dan ngeri! Di luar
tahunya dua orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari
semalam! Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung
berapi di bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih
bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun,
akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah
kabut terusir pergi. Tampaklah lautan
luas terbentang di bawah dan baru sekarang ternyata oleh dua orang muda itu
bahwa mereka duduk dipuncak batu karang yang amat tinggi!
Swat Hong mengeluh, baru terasa
betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka kecil dari kulitnya yang lecet-lecet,
dan betapa haus dan lapar leher dan perut!
"Sumoi, badai sudah mereda.
Mari kita turun. Aihh, itu perahu kita. Untung tidak pecah," kata Sin
Liong
dan dia menggandeng tangan
sumoinya, menuruni batu karang..Perahu mereka tidak pecah, akan tetapi layar
dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu itu,
membawanya turun kebawah.
"Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan." Swat
Hong duduk didalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuk kegelisahan,
"Bagaimana dengan Pulau Es? Badai mengamuk demikian hebatnya,
Suheng."
Aku tidak tahu, mudah-mudahan
mereka selamat. Maka, kita harus cepat pulang." dia lalu menggunakan kedua
tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak, meluncur di atas air yang
tenang dan licin seperti kaca, sama sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan
air bahwa air itu telah mengamuk sedemikian hebatnya baru-baru ini. Tak lama
kemudian Sin Liong medapatkan dayung yang dipatahkan dari batang pohon yang
hanyut di air. Agaknya pulau-pulau kecil disekita tempat itu telah diamuk badai
sedemikian hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang dan terbawa air. Setelah
keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat menentukan arah perahu dan tak
lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa,
sebuah pualu keputihan memanjang di kaki langit, berkilaun tertimpa sinar
matahari. Hati mereka lega. Dari jauh
kelihatannya tidak terjadi perubahan di pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat
pula puncak atap istana di Pulau Es, maka legalah hati mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika
perahunya sudah menepel di Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi. Sunyi dan mati!
Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak sebuah perahu pun.
Dan bukit-bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau tidak karuan dan berubah
bentuknya! Dengan hati tidak enak kedua orang muda itu belari-lari ketengah
pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah mereka. Tidak ada seorang pun
kelihatan, dan juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang
habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun pondok yang tampak! Seolah-olah semua
telah disapu bersih, tersapu bersih dari pulau itu.
"Auhhhh...!" Swat Hong
berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil. "Mari kita ke istana, Sumoi!" Sin
Liong yang berkata dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya dan
diajaknya dara itu lari ke dalam istana. Beberapa kali terdengar Swat Hong
mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget bukan main. Mereka
seperti memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya
tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik prabot-prabotan istana
maupun manusia-manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun benda atau seorang pun
manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriak-teriak memanggil,
yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri!
"Oughhh...!!" Swat Hong
tidak menahan himpitan perasaan yang ngeri dan berduka, tubuhnya tergelimpang
dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar oleh Sin Liong. "Sumoi...!" Akan tetapi suara ini
kandas dikerongkongannya dan tanpa disadari pula, kedua pipi Sin Liong basah
oleh air matanya yang mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia
memondong tubuh sumoinya yang pingsan itu ke dalam kamar.
Akan tetapi dia termangu-mangu
ketika tiba di ambang pintu kamar yang terbuka, karena kamar itu pun kosong dan
bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun prabotannya. terpaksa dia merebahkan
tubuh sumoinya di atas lantai, dan dia sendiri merebahkan kepala diatas kedua
lututnya sambil menangis. terlampau
hebat peristiwa yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih oleh badai!
Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun manusia yang
tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang tinggal, kecuali bangunan
istana yang memang amat kuat itu.
Setelah siuman, Swat Hong menangis,
"Aih, mengapa..? Mengapa...? ayah, kasihan sekali Ayah...!"
Akhirnya Sin Liong dapat
menghibur dan membujuknya. Mereka berdua lalu mengadakan pemeriksaan
dan mendapat kenyataan bahwa
benar-benar Pulau Es telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik
sedemikian tinggi sehingga pulau
itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong pakaian yang
tersangkut di batu-batu dan
dengan hati terharu penuh kedukaan mereka mengumpulkan pakaian itu, entah
punya siapa, sebagai barang
peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa istana..Memang ada
beberapa benda yang masih tertinggal di dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi
yang
berada di atas, semua habis dan
lenyap.
"Suheng, lihat ini...!"
tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding. Sin Liong cepat menghampiri
dan keduanya mengenal goresan tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari
tangan yang penuh tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu itu!
"Sin Liong dan Swat Hong,
maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian
mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah
puteraku, dia keturunan Ki-ong."
Pendek saja "surat
dinding" itu, namun cukup jelas isinya. Sin Liong menarik napas panjang.
Kasihan dia kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu!
"Suheng lihat ini..."
Tak jauh dari tulisan itu
terdapat bekas jari-jari tangan mencengkram dinding. Mudah saja mereka menggambarkan
keadaan Han Ti Ong dan keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam
menghadapi amukan badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk
mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkram dinding dan sempat pula
membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kekuatanya
menyeret keluar dari istana dan bahkan dari pulau itu! "Kasihan sekali suhu..." Sin Liong
menghapus air matanya.
Swat Hong mengepal tinjunya.
"Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas kembali pusaka
Pulau Es,juga menghukumnya! Dialah yang mencelakakan ibuku, yang mencelakakan
Ayahku!" Sin Liong menarik napas panjang. Sudah diduganya ini. Tentu akan
terjadi balas-membalas. Dendam tak kunjung habis! "Sumoi, Suhu hanya
meninggalkan pesan agar kita mencari kembali pusaka-pusaka itu...." "Kau
yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis betina itu!" Swat Hong
berseru penuh semangat.
"Dan Bu Ong... hemm,apa pula
artinya ini? Bukan putera ayah?"
"Sumoi, tenanglah dan
dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib wanita
itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau apa yang telah dialami
oleh The Kwat Lin sebelum ditolong ayahmu?" Sin Liong lalu menceritakan
keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua belas orang suhengnya dibunuh
orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis yang tadinya seorang pendekar
wanita perkasa itu telah diperkosa di antara mayat para suhengnya. "Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah
suhu menyatakan bahwa Bu Ong adalah keturunan Kai-ong, teringatlah aku. Jelas
bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas orang anak murid
Bu-tong-pai itu, sehingga anak yang dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah
keturunan Kai-ong yang memperkosanya dan membunuh para suhengnya."
Mendengar penuturan tentang nasib
mengerikan yang dialami ibu tirinya, Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel.
"Yang berbuat jahat kepadanya adalah Raja Pengemis itu, mengapa dia
membalasnya kepada ibu? Dan dia telah menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun
juga, aku harus mencarinya dan membalaskan sakit hati ibu dan Ayah."
Sin Liong maklum bahwa membantah
kehendak sumoinya ini percuma, hanya akan menimbulkan pertentangan saja. Maka
diam-diam dia mengambil keputusan untuk selalu mendamping sumoinya, selain menjaga
keselamatan dara ini, juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong
oleh nafsu dan dendam. Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai,
dara ini kehilangan ayah bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan
dialah satu-satunya orang yang patut melindunginya, sebagai suhengnya.
Ataukah sebagai calon suami? Sin
Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah hal
perjodohan itu diserahkan kepada
keadaan kelak. Dia tidak membantah ketika sumoinya mengajaknya
meninggalkan Pulau Es yang telah
kosong itu, untuk mencari ibunya, dan kalalu masih juga tidak berhasil,
untuk pergi ke daratan besar
mencari The Kwat Lin..Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak
ada seorang pun di antara penghuni Pulau Es
yang selamat dan kembali ke pulau
itu, Sin Liong dan Swat Hong berangkat meninggalkan Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka dayung itu
meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong memandang kearah pulau dengan air mata
bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan nasib para
penghuni Pulau Es yang mengerikan itu. Mereka berdua mendayung perahu menuju ke
selatan dan di sepanjang perjalanan ini mereka menemukan bukti-bukti
kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi
di bawah laut itu. Ada pulau yang lenyap sama sekali , dan ada pula pulau yang
baru muncul begitu saja, pulau yang amat aneh, pulau batu karang yang masih
jelas kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan segala
keindahannya, dengan mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras
menjadi batu karang dengan bermacam bentuk. Banyak pulau yang mengalami nasib
serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama sekali tetumbuhan atasnya.
diam-diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat kekuasan alam.
Andaikata semua lautan yang mengamuk seperti beberapa hari yang lalu itu,
agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat
keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang
keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai,
pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong dan
pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap nasib para penghuni Pulau
Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan seluruh
penghuninya terbasmi habis?
"Agaknya ibumu tidak berada
diantara pulau-pulau ini," Beberapa hari kemudian setelah merasa mencari dengan
sia-sia, Sin Liong mengemukakan pendapat. "Bagaimana kalau kita mencari ke
utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke
Pulau Neraka kalau-kalau ibumu ke sana." "Hemm, agaknya engkau sudah
rindu kepada Soan Cu, suheng."
Sian Liong mengerutkan alisnya.
"sumoi, kau...cemburu lagi?"
Wajah dara itu menjadi merah.
"Aku hanya berkata sewajarnya."
"Sudahlah. Kalau kau
cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin Liong menarik
napas panjang.
Hening sejenak dan mereka telah
menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat keputusan akan
mencari ke mana.
"Kita ke Pulau Neraka!"
tiba-tiba Swat Hong berkata.
"Ehhh...??"
"Aku harus ke sana. Aku akan
menegur kakek berkepala besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biangkeladi sehingga
Ayah marah-marah kepada kita, hampir saja kita dibunuhnya. Karena Pulau Neraka
telah berani menawanku."
"Hemm, Sumoi. Mengapa
kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayamu telah menyerbu ke
sana kurasa Ayahmu telah menghukum mereka menurut cerita anak buah pasukan?
Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi."
"Aku harus pergi ke
sana!" dara itu berkeras.
Sin Liong menggeleng-geleng
kepala. Sukar benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak aneh dan hati
yang keras sepeti baja.
"Aku hanya mau pergi ke
Pulau Neraka kalau untuk mencari ibu, akan tetapi kalau kita pergi ke sana
hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus berjanji tidak akan
membuat kekacauan di sana, sumoi." "Hemmm, agaknya kau berkeinginan
keras untuk menjadi sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena ada...."
"Sumoi, harap jangan bicara
yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik mereka! Lupakah kau ketika
mereka mengantar kita ketika meninggalkan
pulau itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana kalau.untuk mencari ibumu
dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada badai
mengamuk."
Swat Hong cemberut, akan tetapi
menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja nanti." Dan mereka lalu
mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, setelah
mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan pangling karena
didaerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin karena akibat badai
yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat luas itu, di sekitar
situ telah muncul gunung-gunung es yang anat besar sehingga Pulau Neraka yang
biasanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan
lagi karena semua jurusan terhalang pandangannya oleh gunung-gunung es.
Mereka mendayung perahu berputar
namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung es itu.
"Ahhh, dahulu tidak ada
gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong. "Ini tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi.
Biarlah kita mengaso dulu dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak
sebuah gunung. Kau tunggu saja di sini."Perahu itu menempel pada sebuah
bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es. Kemudian dia
menggunakan ilmunya berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk melihat dan
mengenali daerah itu dari atas puncaknya yang tinggi. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras
sekali yang mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan
cepat dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara seperti itu. Dari
jauh tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depanya
ke arah burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya. Burung-burung nazar
(burung botak pemakan bangkai) yang besar-besar beterbangan di atas biruang itu
dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik mengerikan. Melihat
ini, Sin Liong cepat berlari mendekati. Ternyata beruang itu terluka parah juga
di beberapa bagian anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai
seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa biruang itu tadi berkelahi dengan
ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka dan
burung-burung nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya dan tentu saja ingin
makan bangkai ular besar.
Sin Liong segera menggunakan
salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu. Terdengar suara plak-plok-plak-plok disusul
suara burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan dan mereka terbang ketakutan
menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena sambitan salju, terasa nyeri
sekali. Dengan beberapa loncatan saja
Sin Liong sudah tiba di depan biruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan amat
besar itu menyeringai dan mengerang, memperlihatkan gigi bertaring yang amat
runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh kecurigaan dan
kemarahan kepada Sin Liong. "Tenanglah,
aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat.
"Auuughh..!" Beruang
itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong. Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin
Liong mengelak dan cepat menangkap pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak
kaki itu tertusuk tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan
ular laut, beruang itu mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia
mencengkeram sampai tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam daging di
telapak kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur
deras dan dia segera membalut dengan saputangannya. Beruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya
dia cerdik dan dapat mengerti bahwa orang yang datang ini bukan musuh, bahkan
menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini tidak nyeri lagi dan tentu saja ,
karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang menancap
itu. "Coba kuperiksa, apa lagi yang
perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia memeriksa luka-luka di tubuh beruang
itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka
ini cukup berbahaya, kalau tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat
membahayakan nyawa beruang itu. "Hemmm,
aku harus mencarikan daun obat untuk luka-lukamu,"katanya, lupa bahwa
beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang dia katakan.
"Hai, Suheng, ada
apakah?" Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas..Sin Liong menoleh dan
melihat Sumoinya turun berlari-lari cepat sekali.Setelah dekat, beruang itu
menggerang dan memandang Swat
Hong dengan marah.
"Huh, binatang buruk!"
Swat Hong memaki.
"Dia terluka cukup berat,
akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu. Lihat, betapa besarnya ular
itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku harus mengobatinya sampai
sembuh." Swat Hong mengerutkan alisnya, "Perlu apa menolong binatang
buas seperti itu, Suheng? Membuang-buang waktu saja."
"Dia tidak buas lagi, sumoi.
lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup yang perlu kita tolong. Aku merasa
kasihan kepadanya,sumoi."
"Wah, kau lebih mementingkan
dia..."
"Hei..., ada apa
engkau...?" Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat beruang itu
menggereng-gereng dan menarik-narik tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin
Liong pergi dari situ! Beruang itu makin keras menggereng dan makin kuat
menariknya. Diam-diam Sin Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa
besarnya, dan kiranya dia hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau
dia menggerakan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapat firasat
tidak baik melihat sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia
berteriak. "Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?"
JILID 8
Sin Liong memegang erat-erat
lengan sumoinya dan membiarkan dirinya diseret oleh biruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa
berlompatan dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru saja
mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan
gunung es dimana mereka berada tadi telah pecah berantakan menjadi
keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es yang lain
dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Beruang tanpa melihat datangnya
gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan
oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia!
Sin Liong berdiri dengan muka
pucat, kemudian dia merangkul beruang itu. "Terima kasih, kakak beruang.
Kiranya engkau malah
menyelamatkan kami berdua."
Akan tetapi Swat Hong merasa
tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari sini. Tempat ini amat berbahaya.
Lihat, gunung es tadi hancur dan itu kelihatan dari sini perahu kita. Untung
tidak hilang. Marilah, suheng."
"Nanti dulu, sumoi. Aku
harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka-luka di tubuh beruang
ini."
"Ah, perlu apa? Kita bisa
celaka di sini..."
"Sumoi, dia telah
menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm, begitukah? Engkau pun
tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung-burung nazar itu,
bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan Marilah,
Suheng." "Tidak, sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai
mengobatinya." Swat Hong menjadi marah.
"Agaknya kau lebih sayang biruang
betina ini dari pada aku!"
"Sumoi...!"
Akan tetapi Swat Hong sudah
berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke perahu mereka, meloncat
ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin Liong menjadi
bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi karena maklum bahwa hal
itu percuma saja, dia membatalkan niatnya.."Ngukkk... nguuuuukkk...."
Beruang itu mendengus-dengus dan menciumi kepalanya. "Ahhh, Enci (Kakak Perempuan) beruang,
betapa sukarnya menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan
marah, akan tetapi bagaimana hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang
terancam bahaya maut oleh lukamu?"
Sin Liong lalu mengajak beruang
itu mencari daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat Hong, Maka terpaksa dia
mencari pulau yang masih ada tetumbuhannya dengan jalan berloncatan dari batu
es lainnya, dan kalau jaraknya terlalu jauh, beruang itu menggendongnya dan
membawanya berenang ke batu es lainya atau kadang-kadang Sin Liong menggunakan
sebongkah es yang mengambang sebagai perahu, didayung dengan tangannya yang
kuat. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan
pulau yang masih ada tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia
mengobati luka-luka beruang itu sampai sembuh.
Pada suatu hari dia melihat
sebuah perahu kosong terbalik mengambang tidak jauh dari pulau. Dia merasa
girang sekali. Cepat menyuruh beruang mengambilnya dan hatinya terharu ketika
mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu pulau es. Tentu penumpangnya
telah lenyap ditelan badai, pikirnya. Dia lalu membuat dayung dari cabang pohon
dan setelah biruang hitam itu sembuh benar, dia lalu melompat ke perahu dan
mendayungnya meninggalkan pulau. Akan tetapi tiba-tiba beruang itu terjun ke
air dan berenang mengejar perahunya.
"Heii, kakak beruang,
kembalilah. Engkau sudah sembuh, dan aku harus pergi mencari sumoi!" "Nguuuk...nguukk...!"
Beruang hitam itu mengeluarkan suara mengeluh dan mukanya seperti orang menangis!
Sin Liong tersenyum. "Hmm,
kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!" Seolah-olah mengerti arti
kata-kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu kini mukanya kelihatan
berseri, matanya bersinar-sinar dan lidahnya terjulur keluar seperti sikap
seekor anjing yang kegirangan.
"Kau boleh ikut sampai aku
dapat menemukan kembali sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau sumoi tidak menghendaki
kau ikut, kau harus kutinggalkan karena kau telah sembuh." Demikianlah,
Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka. Dari puncak sebuah gunung
es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu di mana letaknya Pulau
Neraka. Beruang yang kini menggantikan tempat Swat Hong, menjadi temannya
berlayar itu kelihatan girang sekali ketika perahu meluncur dan binatang ini
telah jinak benar-benar. Setelah kini dia mengenal kembali keadaan dan tahu di mana
letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Setelah dekat
dengan Pulau Neraka, dia menyaksikan suatu yang membuatnya terheran dan merasa
tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat di Pulau Neraka. Jelas bukan
perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu besar sekali, perahu layar
yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun dalam keadaan
payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya patah, layarnya
cabik-cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali, berdiri miring di
pantai Pulau Neraka.
Apakah yang telah terjadi di
Pulau Neraka? Ternyata bahwa seperti juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput
dari amukan badai. Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan badai,
maka penderitaannya tidak sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik
tinggi dan menenggelamkan setengah bagian pulau ini, banyak pula penghuninya
yang tidak keburu lari ke tempat tinggi, diseret dan ditelan badai.
Perahu-perahu lenyap, pohon-pohon
yang berada di tepi pantai bobol semua. Dan setelah badai mereda,
sebuah perahu besar terdampar di
tepi pantai.Perahu itu adalah perahu bajak laut! Setelah air menyurut,
para bajak laut yang terdiri-dari
dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu kelelahan dan
kelaparan, bahkan ada lima orang
di antara mereka tewas ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka
hanya tinggal dua puluh lima
orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang memimpin
mereka, raja yang amat terkenal
di sepanjang pantai muara-muara sungai Huangho dan Yangce. Kepala.bajak ini
adalah seorang laki-laki tinggi besar yang buta sebelah matanya. Mata kiri yang
buta karena
tusukan pedang lawan dalam
pertandingan, kini ditutupi oleh sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan
lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di antara para nelayan dan pedagang yang suka
berperahu, dia dikenal sebagai Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata Satu) dan
namanya adalah Koan Sek. Mereka sama
sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yang diamuk oleh badai dahsyat itu telah mendarat
di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu juga, mereka tentu tidak merasa takut
karena pada waktu itu, nama Pulau Neraka hanya dikenal oleh Orang-orang Pulau
Es. Untuk dunia ramai, yang dikenal hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai
tempat yang hanya terdapat dalam sebuah dongeng. Betapapun juga, Pulau Es
merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akat tetapi
karena pulau dimana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkan pulau
yang hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani dan setelah badai mereda dan
air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah pulau. Untung bagi mereka bahwa badai yang amat
dahsyat itu membuat air laut naik dan mengamuk di daratan pulau sehingga
binatang-binatang berbisa pun menjadi panik dan ketakutan, lari bersembuyi dan
belum berani keluar. Andaikata mereka itu berani menyerbu pulau dalam keadaan
biasa tentu mereka akan menjadi korban binatang-binatang itu dan sukarlah dibayangkan
apa akan jadinya. Mungkin sekali tidak ada diantara mereka yang akan dapat
lolos betapapun liar, ganas dan lihai mereka itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan girangnya
hati para bajak itu ketika mendapat kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat
pondok-pondok yang dibuat oleh manusia! Akan tetapi keheranan mereka segera berubah
menjadi kekagetan hebat ketika para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan
serangan dahsyat tanpa peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak
yang sudah biasa berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau
Neraka itu mereka sambut dengan gembira. mereka mengira bahwa penghuni pulau
itu adalah orang-orang biasa saja.
Maka besar sekali kekagetan
mereka ketika mendapat kenyataan betapa kurang lebih dua puluh orang, yaitu
sisa penghuni Pulau Neraka yang tidak dibasmi oleh badai, yang berani menyambut
mereka dengan serangan itu rata-rata memiliki kepandaian hebat! Terjadilah
perang tanding yang seru dan mati-matian.
Bajak laut pimpinan Tok-gan-hai-liong itu pun bukan orang-orang biasa
melainkan penjahat-penjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata-rata
pandai ilmu silat. Apalagi Tok-gan-hai-liong sendiri bersama seorang pembantu
yang sebetulnya adalah sutenya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa Liok
Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok-gan-hai-liong Koan Sek
sendiri adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya merupakan
sebuah bola baja yang berat dan keras.
Para penghuni Pulau Neraka masih
terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua mereka, Ouw Kong Ek, sedang
menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh
Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena dia merasa terlalu marah,
dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua. Pernyerbuan dari Pulau Es itu
merupakan hal yang amat menyakitkan hatinya, dan juga hati para penghuni Pulau
Neraka, mendatangkan rasa dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa
catatan pengobatan dari Kwa Sin Liong telah dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati
Ouw Kong Ek merasa sakit sekali.
Untung masih ada beberapa macam
obat yang hafal olehnya, akan tetapi sebagian besar telah dibasmi oleh Raja
Pulau Es yang marah itu.
Pada saat bajak laut menyerbu,
Ouw Kong Ek tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat
oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek ini
ketika ada anak buahnya yang datang melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk
badai itu kini disebu oleh sepasukan bajak laut yang ganas dan rata-rata
memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat...!" Kakek itu
meloncat bangun akan tetapi terguling kembali dan Soan Cu segera memegang lengan
kakeknya, membantunya untuk rebah kembali.
"Tenanglah, Kong-kong!
Biarlah aku yang keluar untuk membantu teman-teman membasmi bajak laut yang
tidak tahu diri itu."
Ouw Kong Ek terpaksa hanya
mengangguk karena dia sendiri masih tidak kuat untuk bangun, apalagi
bertempur. "Hati-hatilah,
Soan Cu..." Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat
mengusir bajak-bajak laut yang
biasanya hanya terdiri orang-orang kasar itu..Dengan pedang di tangan Soan Cu
lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah bertanding mati-matian
melawan bajak-bajak yang ganas,
apalagi melihat seorang wanita Pulau Neraka digeluti oleh dua orang laki-laki
kasar sampai wanita itu menjerit-jerit namun dua orang laki-laki itu malah
tertawa-tawa dan merobek-robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah
sekali. Dia mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke
depan, pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa wanita
itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita itu cepat
membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor harimau kelaparan
dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi.
Melihat sepak terjang Soan Cu
yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak, Tok-gan-hai-liong Koan Sek dan
Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak lain cepat mengepung dan mengeroyoknya.
Namun Soan Cu mengamuk hebat dan pedangnya berubah segulung sinar terang yang menyambar
Dahsyat, membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan
senjata dengan hati-hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban
kedahsyatan sinar pedang yang dimainkan oleh dara itu.
"Lepas tulang ikan!!" Tiba-tiba
kepala bajak itu memberi aba-aba kepada sutenya dan mereka berdua telah meloncat
mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan,
sedangkan mereka berdua lalu mengayun tangan berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar
lembut bertubi-tubi menyambar ke arah Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini
memandang rendah senjata rahasia mereka. Dia adalah Seorang dara Pulau Neraka
sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah menggunakan obat anti
racun maka dia tidak terlalu khawatir ketika sebuah di antara senjata rahasia lawan
yang lembut itu mengenai pahanya.
Akan tetapi, betapa kagetnya
ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh dan begitu dia menggerakan pedang,
tubuhnya terhuyung, kepalanya pening.
"Aihhh...!" Dia berseru
nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara ini tidak tahu bahwa
lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa tulang berbentuk duri dari
sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut ini tentu saja tidak
dapat disamakan dengan bisa dari binatang darat, maka bisa yang asing ini tidak
dapat ditolak oleh obat anti racun yang dipakainya. "Sute, tangkap nona manis ini...!"
Teriak Koan Sek dengan girang.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gerengan yang dahsyat dan yang membuat
mereka kaget bukan main. Dua orang bajak yang mendengar suara itu dekat sekali
dibelakang mereka menengok dan... mereka itu terjengkang dan merangkak untuk
melarikan diri dengan ketakutan. Kiranya
yang menggerang itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang menakutkan.
Seekor beruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala mereka
sekaligus! Sin Liong yang datang bersama
biruang itu cepat meloncat mendekati Soan Cu merampas pedang dari tangan dara
itu dan memondongnya dengan tangan kiri, kemudian sekali meloncat dia telah
berada di punggung biruang, lengan kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan Cu yang
dipangkunya karena dara itu telah menjadi pingsan sedangkan tangan kanan
menggerakan pedang dara itu sambil beseru "Kakak biruang, lawan mereka
yang berani mendekat!"
Biruang itu menggereng-gereng dan
ketika melihat dari kiri ada sinar menyambar, yaitu sinar pedang yang digerakan
oleh Coa Liok Gu sute dari kepala bajak, tiba-tiba kaki depan kiri yang kini dipergunakan
seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan menangkis pedang melainkan
mencengkram kepala Coa Liok Gu.
Tentu saja orang ini kaget dan
sekali merendahkan tubuh, membalikan pedang dan siap untuk menyerang lagi.
Begitu lengan biruang itu menyambar lawan, dia meloncat ke atas dan menusukan
pedangnya mengarah bagian antara kedua mata biruang itu.
"Cringgg...!!"
Pedangnya terpental dan dia harus cepat melempar tubuh ke belakang kalau tidak
ingin
dadanya robek oleh cakar biruang
setelah pedangnya ditangkis oleh Sin Liong tadi. "Siuuuut...!!"
Senjata
ruyung berujung baja di tangan
Koan Sek sudah bergerak menyambar dengan ganas, menghantam
punggung biruang hitam dengan
kecepatan kilat dan dengan tenaga dahsyat.."Cringgg...! Tranggg...!!"
Dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali pula kepala
bajak
itu berseru kaget karena telapak
tangannya hampir terkupas kulitnya dan terasa panas dan perih. Pada saat dia
terbelalak dan terheran, biruang itu sudah membalikan tubuh dan sekali kaki
depannya yang kanan menampar, kepala bajak itu mencoba menangkis, namun
senjatanya terlepas dari pegangannya dan biruang itu sudah menubruknya dan
mencengkram ke arah lehernya.
"Kakak biruang, jangan
...!" Sin Liong membentak. Biruang itu terkejut dan ragu-ragu sehingga kesempatan
itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk meloncat jauh kebelakang. Dia dan
pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan muka pucat memandang pemuda yang
menunggang biruang itu membawa pergi tubuh dara jelita yang pingsan. Biarpun
pedang masih berada di tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang
karena dia maklum bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu
memiliki kepandaian yang luar biasa sekali.
Sin Liong merasa bingung dan
gelisah menyaksikan pertempuran hebat itu. "Hentikan pertempuran...!"
Dia berseru berkali-kali namun percuma saja, para bajak laut dan penghuni Pulau
Neraka adalah orang-orang kasar yang pada saat itu sedang marah, maka sukar
untuk dibujuk.
Tiba-tiba terdengar suara
melengking tinggi dan panjang dan suara itu segera disusul suara
berdengung-dengung dan berdesis-desis. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati
Sin Liong ketika dia melihat datangnya binatang-binatang kecil yang berbisa.
Ular, kelabang, kalajengking dan sebangsanya berdatangan dari semua penjuru,
merayap cepat seolah-olah digerakan oleh suara melengking iru, dan yang lebih
mengerikan lagi, lebah-lebah putih datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin
Liong melompat turun dari punggung biruang dan kini biruang itu pun terkejut
dan ketakutan, seolah-olah binatang raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya
maut datang mengancamnya.
"Uhhh... apa yang
terjadi...?" Soan Cu mengeluh dan siuman dari pingsannya. Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak
lega. "Bagaimana lukamu?" "Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang
memimpin binatang-binatang berbisa itu?" Soan Cu turun dari pondongan Sin
Liong. "Cepat pergunakan obat penolak ini..." Dia mengeluarkan
sebungkus obat penolak dari ikat pinggangnya. Setelah menaburkan obat bubuk di
sekeliling mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong dan biruang betina, Soan Cu
berkata lagi, "Sin Liong tolong... kau tangkap Si Mata Satu itu...aku
membutuhkan obat penawar racun am-gi-nya (senjata gelapnya)...."
Melihat betapa wajah dara itu
pucat sekali tanda menderita kenyerian hebat, Sin Liong maklum bahwa tentu dara
itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar biasa sekali. Maka tanpa
menjawab tubuhnya mencelat kearah Koan Sek yang masih bengong memandang ke
depan, matanya terbelalak ketika melihat betapa anak buahnya mulai menjadi
korban pengeroyokan binatang-binatang berbisa. Maka ketika tubuh Sin Liong
menyambar, dia terkejut sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menyerangnya. Dia
tadi sudah mengambil kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah
mengayun senjatanya menghantam ke arah Sin Liong. Pemuda ini tadi melepaskan
pedangnya, melihat betapa dia disambut serangan dahsyat, cepat dia miringkan
tubuhnya, membiarkan senjata berat itu lewat dan secepat kilat kedua tangannya
menyambar dan sebelumnya Koan Sek tahu apa yang terjadi, senjatanya telah
terampas dan dibuang oleh pemuda itu sedangkan tubuhnya sudah diangkat dan
dipanggul seperti seorang anak kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda
itu sudah meloncat seperti terbang, kembali ke dalam lingkaran obat penolak
yang ditaburkan Soan Cu. Koan Sek menggigil.
Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia merasa ngeri
sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat bubuk itu. Terdengar
jerit dan pekik mengerikan. Orang-orang Pulau Neraka telah mundur dan menonton
sambil sambil tertawa-tawa. Akan tetapi anak buah bajak laut itu menghadapi
penyerangan binatang-binatang berbisa dan sama sekali mereka tak berdaya.
Apalagi penyerangan lebah-lebah putih membuat mereka panik. Mengerikan sekali
melihat mereka berkelojotan merintih-rintih dan menangis mengerung-ngerung
karena tidak tahan menderita rasa nyeri yang menyengati sekujur tubuh.
"Cepat bertindak, halau
mereka, Soan Cu!" Sin Liong berkata dengan alis berkerut. Biarpun yang dikeroyok
binatang-binatang itu adalah kaum bajak, namun dia tidak dapat menyaksikan
peristiwa mengerikan itu.
Soan Cu menggeleng kepala.
"Tak mungkin. Mereka digerakan oleh suara melengking
itu..."."Suara apa itu? Siapa yang membunyikan?"Soan Cu
tersenyum dan menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Pahanya seperti dibakar
dan rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. "Siapa lagi? Satu-satunya orang yang
dapat melakukannya hanyalah Kong-kong...
augghh ..." Dara itu roboh pingsan lagi dalam rangkulan Sin Liong.
"Aduh celaka..., binatang-binatang
itu...." Tok-gan-hai-liong Koan Sek menggigil dan dia hendak lari dari tempat
itu ketika melihat bagaimana pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar
pedang untuk berusaha mengusir lebah-lebah putih yang mengeroyoknya.
"Kalau kau keluar dari sini,
engkau pun akan mengalami nasib yang sama," Kata Sin Liong, menunjuk ke arah
lingkaran putih dari obat penolak. "Binatang-binatang itu tidak berani
memasuki lingkaran ini." Koan Sek memandang dan matanya terbelalak ngeri
melihat betapa ular-ular beracun yang bermacam-macam warnanya itu benar saja
membalik lagi ketika mendekati garis lingkaran. Bahkan lebah-lebah putih yang
terbang dekat, agaknya mencium bau penolak itu dan mereka itu pun terbang
membalik, mengamuk dan menyerang para bajak yang berada di luar lingkaran.
Saking ngerinya melihat betapa
Coa Liok Gu menjerit dan roboh karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian
betapa pembantunya yang juga merupakan sutenya melolong-lolong dan bergulingan,
dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan, kepala bajak ini tak dapat
lagi menahan dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut!
Sin Liong sendiri merasa ngeri
menyaksikan peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Kalau saja dia dapat
melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan meloncat dan memaksa kakek itu menghentikan
pekerjaanya yang kejam, membunuh para bajak seperti itu. Akat tetapi celakanya,
suara itu melengking tinggi dan sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan
kakek itu pun tidak tampak. pula, mana mungkin dia berani meninggalkan Soan Cu
yang pingsan itu bersama kepala bajak? Maka pemuda ini merasa seperti
disayat-sayat jantungnya menyaksikan pembunuhan yang amat kejam itu, melihat
betapa dua puluh empat orang bajak menemui kematian secara mengerikan,
berkelojotan dan melolong-lolong, akhirnya suara jeritan mereka makin lemah dan
berubah seperti suara binatang disembelih, kemudian tubuhnya tidak berkelojotan
lagi dan binatang-binatang kecil berbisa yang kelaparan itu masih menggerogoti
kulit dan daging mereka! Kemudian
tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka. Kakek ini datang ke tempat itu sambil
merangkak dengan susah payah, tubuhnya kelihatan lemah dan kurus, mukanya pucat
dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang alat tiup terbuat daripada batang
alang-alang, menyerupai suling kecil. Pantas
saja suaranya melengking tinggi dan aneh. Beberapa orang anggauta Pulau Neraka
segera maju dan mengangkat ketua mereka, memapahnya datang dan kini
binatang-binatang itu berangsur-angsur merayap pergi setelah Ouw Kong Ek
merobah merobah suara tiupan sulingnya. Akhirya yang tinggal hanya mayat-mayat dua
puluh empat orang bajak dalam keadaan mengerikan, dan mayat tujuh orang
penghuni Pulau Neraka yang tewas dalam pertempuran.
"Ahhh, engkau pula yang
menolong cucuku, Taihiap?" Ouw Kong Ek dituntun anak buahnya datang
mendekat.
Sin Liong mengerutkan alisnya.
"To-cu, engkau sungguh kejam, membunuh mereka seperti itu." Kakek itu
terbelalak. "Aku? kejam? Dan mereka ini...?" Dia menuding ke arah
mayat-mayat para bajak laut. "Dan...hei, siapa dia ini? Ah, bukankah dia ini
pemimpin mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju menghampiri Koan Sek
yang berdiri dengan muka pucat.
"Tahan dulu, Tocu! Memang
dia pemimpin bajak, akan tetapi nyawa cucumu berada didalam tangannya!" "Soan
Cu...!" Ouw Kong Ek memandang tubuh dara yang dipondong oleh Sin Liong dan
berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa dia?"
"Terkena senjata
beracun." Kemudian dia memandang Koan Sek dan membentak, "hayo
kauberikan obat penawar senjata gelapmu!"
Tok-gan-hai-liong Koan Sek adalah
seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang menjelajah di dunia
kang-ouw, maka dia tentu saja
cerdik sekali. Tadi ketika menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga.sutenya,
tewas secara mengerikan, dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya.
Akan tetapi
sekarang setelah dia melihat
kesempatan untuk menolong diri, timbul kembali keberaniannya dan dia tersenyum.
"Agaknya kita telah salah
masuk. Tidak tahu pulau apakah ini dan siapa kalian ini?" tanyanya kepada
Sin Liong karena dia merasa jerih sekali menghadapi pemuda yang dia tahu amat
lihai dan sama sekali bukan tandingannya itu.
"Kau belum tahu? Ini adalah
Pulau Neraka dan dia itu adalah ketuanya." Dia menuding kepada Ouw Kong Ek.
"Sedangkan Nona ini adalah cucunya. Maka kau harus cepat memberikan obat
penawarnya." "Ha-ha, mudah saja! Mudah saja memberi obat penawarnya.
Aihh, kiranya kami telah memasuki sebuah pulau iblis dengan
penghuni-penghuninya seperti iblis pula! Benar-benar kami telah membuat
kesalahan besar! Orang muda, mudah saja mengobati luka Nona ini, akan tetapi
bagaimana dengan aku sendiri? Anak buahku telah tewas semua dan aku dalam
cengkraman kalian!"
"Engkau... engkau akan
kusiksa, kucincang sampai hancur!" Ouw Kong Ek membentak. "Ha-ha-ha, boleh! Lakukan sekarang,
karena aku tidak takut mati setelah aku melihat bahwa aku mempunyai banyak
teman terutama sekali cucumu. Kalau orang tidak lagi menyayangkan kematian seorang
dara jelita muda remaja seperti dia ini, apalagi kematian seorang tua bangka
seperti aku. Ha-ha-ha! biarlah aku mati
ditemani oleh dara remaja ini!"
Ouw Kong Ek sudah marah sekali,
kedua tangannya dikepal sehingga suling batang alang-alang itu hancur di
tangannya. Melihat kemarahan ketua Pulau Neraka itu, Sin Liong Berkata,
"Ouw-tocu apa yang dikatakan benar. Sudah kuperiksa luka cucumu dan
ternyata dia terkena racun yang aneh sekali yang belum pernah aku melihatnya.
Maka, biarlah kita menukar keselamatannya dengan keselamatan Soan Cu. Betapapun juga , nyawa Soan Cu jauh lebih
berharga dari pada kehidupan seorang sesat seperti dia." "Ha-ha-ha ,
itu baru omongan yang tepat!" Tok-gan-hai-liong Koan Sek yang merasa
"mendapat angin" berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut
lagi sekarang. Nyawa cucu ketua Pulau Es berada di tangannya. Apalagi yang
ditakutinya?
"Iblis keparat! Hayo kauberikan
obat untuk cucuku dan kau boleh minggat dari sini!"Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, aku
Tok-gan-hai-liong Koan Sek bukan seorang tolol." Dia lalu menoleh kepada
Sin Liong.
"Orang muda apakah
kedudukanmu di Pulau Neraka ini?"
Dia memang tidak dapat menduga
karena tadi dia mendengar ketua Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar besar)
kepada pemuda ini. Dan kalau ada yang dipercaya di situ. Maka satu-satunya
orang adalah pemuda ini.
"Aku bukan penghuni Pulau
Neraka aku adalah seorang dari Pulau Es...." "heeeehhh...??"
Mata Tok-gan-hai-liong yang tinggal satu itu terbelalak dan mukanya pucat. Dia
merasa seolah-olah dalam mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh
dan mengerikan di mana semua anak buahnya tewas, dia bertemu pula dengan seorang
pemuda sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah sebutan yang tadinya dikiranya
hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka. Mimpikah dia? Ataukah dia sudah
mati ditelan badai dan sekarang ini adalah pengalaman dari rohnya?
"Pulau... Pulau... Es...?"
Dia berkata lirih. Sin Liong mengangguk tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya,
siapa mengira malah membuat kepala bajak ini menjadi termangu-mangu seperti
orang sinting. "Kalau begitu, aku
hanya mau memberikan obat penawar jika engkau yang mengantarku sampai ke sebuah
perahu di pantai Pulau Neraka ini."
"Jahanam, kau tidak percaya
kepadaku?" Ouw Kong Ek membentak dan para pembantunya sudah mengangkat
senjata mengancam.
"Terserah, bunuhlah. Aku toh
akan mati bersama dia ini." Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih
pingsan kepada kakeknya, kemudian berkata, "ouw-tocu, biarlah kita
memenuhi permintaannya.
Harap sediakan perahu
untuknya.".Terpaksa Ouw Kong Ek menggerakan kapalanya memberi isyarat
kepada anak buahnya, kemudian
memandang kepada kepala bajak itu
dengan mata mendelik. Koan Sek lalu berjalan bersama Sin Liong dan dua anak
buah Pulau Neraka menuju ke tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan,
kepala bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu
ternyata adalah seekor kuda laut sebesar ibu jari tangan yang sudah kering.
"Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak dapat diobati
kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan airnya. Tentu dia akan
sembuh." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya
tentang pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia mengenal rahasia
racun yang keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda laut kering
itu kepada dua orang penghuni Pulau Neraka sambil berkata, "Berikan ini
kepada Ouw-tocu, suruh menumbuk halus dan masak dengan air, kemudian minumkan
kepada Nona. Bagaimana hasilnya supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di
sini."
Dua orang itu menerima kuda laut
mati dan berlari memasuki pulau, sedangkan Sin Liong lalu duduk di tepi pantai
dengan sikap tenang.
"Kau tidak mau membiarkan
aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh khawatir. "Jangan tergesa-gesa," jawab Sin
Liong. "Aku harus yakin dulu bahwa obatmu benar-benar manjur, baru aku
akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil namanya?" Koan Sek
menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia maklum bahwa
kalau melawan, dia tidak akan menang. "Dia pasti akan sembuh. Dalam
keadaan seperti ini, mana aku berani main-main?"
Sin Liong diam saja. Kepala bajak
itu menggunakan mata tunggalnya untuk memandangi pemuda itu penuh selidik,
kemudian bertanya, "Orang muda, benarkah engkau dari Pulau Es?" Sin
Liong mengangguk.
"Dan siapa namamu?"
"Kwa Sin Liong. Mengapa
engkau bertanya-tanya?"
"Tadinya aku mengira bahwa
Pulau Es hanyalah sebuah dongeng..." "Hemm.., memang sekarang hanya
tinggal dongeng..." Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan
keadaan Pualu Es yang telah terbasmi oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah
pulau kosong yang menyedihkan.
"Nguuk... nguuukkk..."
Sin Liong menoleh dan tersenyum
"Eh, Enci biruang. Kau menyusulku?" Biruang itu menghampiri, dan
memperlihatkan taringnya ketika dia melihat Koan Sek di atas perahu di depan
pemuda itu.
"Binatang yang hebat!"
Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini seperti bukan manusia biasa
! dan mempunyai binatang peliharaan seperti itu! "Kau bilang tadi...
tinggal dongeng apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa,
lupakanlah," kata Sin Liong sambil mengelus biruang yang sudah bertiarap
di depannya.
"Orang muda she kwa... eh,
Tai-hiap... kenapa kau mau membebaskan aku?" Sin Liong mengangkat mukanya
memandang dan kepala bajak itu menjadi lebih heran lagi melihat betapa pandang
mata pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kebencian atau permusuhan dengannya? "Mengapa tidak? engkau pun membebaskan
Soan Cu."
Sin Liong menengok dan tampaklah
dua orang tadi datang berlari-lari. "Kwa-taihiap, Nona sudah
sembuh!".Sin Liong mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat!
Lebih cepat lebih baik dan harap kau jangan
sekali-kali mendekati pulau
ini."
Koan Sek menjawab, "Terima
kasih. Satu kalipun sudah cukuplah!" Dia mengkirik. "Pulau Iblis
seperti ini siapa yang ingin melihatnya lagi?" Dia lalu menggerakan
dayungnya dan perahu meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka.
Ketika Sin Liong bersama
biruangnya tiba kembali ke tengah pulau benar saja bahwa Soan Cu telah sembuh
sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di pahanya yang tinggal dan luka
itu sudah diobati oleh Kong-kongnya. Para penghuni Pulau Neraka sedang sibuk
menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu
diajak masuk ke pondoknya oleh Ouw Kong Ek dan Soan Cu.
"Taihiap, lagi-lagi engkau
yang datang menolong kami, "kata Ouw Kong Ek. "Kalau engkau tidak
segera datang entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin Liong,"
kata Soan Cu dengan mata bersinar-sinar penuh kagum dan terima kasih.
"Ahh, mengapa Tocu dan kau
masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukankah kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku
datang dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi.
Apakah dia tidak datang ke sini?"
Soan Cu dan kakeknya memandang
kaget dan juga heran, dan di dalam pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa
hati tidak senang. Sin Liong maklum akan ketidaksenangan hati kakek itu, maka
dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu tidak menyangka
yang bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa
yang dilakukan oleh Suhu di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
Sumoi."
"Jadi Taihiap sudah tahu apa
yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?" Sin Liong mengangguk. "Aku
dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena puterinya pernah ditahan di
sini."
"Bukan hanya
marah-marah!" kata Soan Cu mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali!
Dia menghina kakek, biar pun tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua
orang!" "Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya, melihat aku
seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau memukulku, akan tetapi karena melihat
kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan. Dia memang sakti,
akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua catatanmu dihancurkan! Sekali waktu
kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!"
Sin Liong menarik napas panjang.
"Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga tidak ada gunanya.
Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi
sekarang, telah musnah."
"Hei...? Apa maksudmu,
Taihiap...?" kakek itu bertanya, terbelalak.
"Apa yang telah
terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda badai... habis
seluruhnya, semua penghuninya termasuk suhu dan seluruh benda di sana habis terbasmi
kecuali bangunan istana yang telah kosong sama sekali..." Sin Liong lalu
menuturkan dengan singkat malapetaka yang penimpa Pulau Es, dan betapa secara
aneh dan kebetulan saja dia dan Sumoinya terluput dari bencana. Kakek dan cucu
itu mendengarkan dengan melongo kemudian kakek itu bertepuk tangan dan tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun lenyap dalam
sekejap mata! kami orang-orang buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk
tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat, sedangkan penghuni Pulau Es
yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah!
Ha-ha-ha, siapa yang lebih
dilindungi tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak, engkau dan kerajaanmu
lenyap sudah!" Kakek itu
tertawa-tawa sampai air matanya keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu
tertawa, ataukah
menangis..Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke sini? Apa yang
terjadi dengan dia?"Sin Liong lalu menceritakan niat perjalanannya bersama
Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak diketahui
berada di mana. Dan betapa di jalan mereka menjadi bungung dan tersesat karena
badai telah menciptakan pemandangan yang berbeda di permukaan laut sehingga
sehingga mereka mendarat di gunung es dan betapa dia menemukan biruang hitam.
"Sumoi berangkat melanjutkan
perjalanan mencari Pulau Neraka karena disangkanya ibunya berada di sini, sedangkan
aku mengobati biruang." Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja dia segera
menceritakan kemarahan Swat Hong kepadanya. "Apakah dalam beberapa hari
ini dia tidak dantang ke sini?" Soan Cu menjawab, "Untung saja dia
tidak datang, Sin... eh, Taihiap."
"Soan Cu mengapa engkau
meniru kakekmu, bersungkan kepadaku dan menyebut Taihiap segala?" "Biarlah,
Taihiap," Kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas kalau dia menyebut namamu
begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Taihiap karena
kepandaianmu tinggi sekali." "Kaukatakan tadi untung Sumoi tidak
datang ke sini, mengapa?"
"Andaikata dia datang, tentu
akan terjadi apa-apa yang tidak baik antara dia dan Kong-kong. Ketahuilah, semenjak
Raja Pulau Es datang mengacau di sini, Kong-kong jatuh sakit, dan kebencian
kami semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka kalau Sumoimu, Swat Hong
datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik."
Sin Liong mengangguk-angguk,
merasa lega bahwa sumoinya tidak mendahului datang ke Pulau Neraka, akan tetapi
juga menimbulkan kegelisahannya karena dia jadi tidak tahu ke mana sumoinya
yang pemarah itu kini berada!
Bajak-bajak laut itu, dari mana
datangnya dan mengapa mengacau ke sini?" tanyanya.
"Entah. Tahu-tahu mereka
muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi pulau."
"Agaknya mereka juga diamuk
badai."
"Mungkin." Soan Cu
melanjutkan. "Kami diserang selagi kong-kong sakit. Kong-kong tidak dapat
turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya, aku keluar menyambut
mereka, akan tetapi karena kurang hati-hati, karena memandang rendah am-gi
mereka, aku hampir celaka kalau tidak ada engkau yang datang di waktu yang
tepat, Taihiap."
"Akan tetapi akhirnya,
biarpun sakit, Kong-kongmu dapat membunuh semua bajak laut itu." Sin Liong
bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak itu.
"Ugh-ugh....!" Kakek
itu terbatuk-batuk. "Bajak-bajak macam itu saja kalau aku tidak sakit,
kalau Soan Cu tidak memandang rendah dan kalau para penghuni tidak baru saja
diamuk badai, tidak ada artinya bagi kami. Kalau binatang-binatang Pulau Neraka
bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk?
Sudahlah, sekarang saya hendak
menyampaikan permohonan yang amat penting bagi Taihiap." "Ah, Tocu,
Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apa banyak sungkan lagi? Kalau
ada sesuatu, katakanlah saja, mana perlu menggunakan permohonan lagi?"
jawab Sin Liong.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu
turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! Tentu
saja pemuda ini menjadi sibuk sekali, cepat membangunkan kakek itu dan berkata,
"Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana berani menerimanya? Ada
keperluan apakah? katakan saja, aku tentu akan membantumu sedapat
mungkin." Sin Liong berkata dengan hati tidak enak, mengira akan menghadapi
hal yang sulit.
Setelah duduk kembali dan
mengatur napasnya yang terengah-engah karena kesehatannya belum pulih
kembali dan tubuhnya terasa amat
lelah, kakek itu berkata, "Kwa-taihiap, aku sudah tua dan tidak.mempunyai
keturunan lain kecuali Soan Cu. Taihiap sudah melihat sendiri keadaan di Pulau
Neraka yang
merupakan tempat tidak baik untuk
seorang dara seperti Soan Cu. Oleh karena itu, setelah kini kerajaan Pulau Es
tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas dan kami bukanlah orang-orang
buangan lagi. Soan Cu juga bukan
keturunan orang buangan lagi dan sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan pulau
ini. Karena itu, aku mohon dengan
sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa Soan Cu bersama Taihiap untuk mengenal
dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap dapat mengatur agar cucuku ini tidak usah
lagi kembali dan tinggal di Pulau Neraka ini. Kuharap permohonan ini tidak akan
ditolak oleh Taihiap." Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama
sekali tidak pernah disangkanya! "Akan tetapi, Ouw-tocu, hendaknya diingat
bahwa aku sendiri adalah seorang sebatangkara yang tidak mempunyai apa-apa,
tidak mempunyai tempat tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya
dengan diriku ini."
"Kalau Taihiap merantau,
bawalah dia merantau, ke mana saja aku sudah pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap
anggap sebagai sahabat, sebagai saudara, atau kalau mungkin.... dari lubuk
hatiku kuharap sebagai calon jodoh, aku sudah merasa lega dan senang, asal dia
tidak tersiksa tinggal di neraka ini." Sin Liong merasa sukar untuk
menolak, akan tetapi juga berat untuk menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu
dan berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu sendiri.
Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku tidak
keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti
bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu-waktu dia boleh pergi ke
mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apapun juga."
"Taihiap, jangan khawatir.
Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di sini, hanya karena kedudukanku
sebagai seorang keluarga buangan saja yang mencegah aku meninggalkan Pulau
Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan
betapapun juga, aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu
hati Kong-kong akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak ada
pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang menyenangkan
sekali. Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap."
"Dan aku hendak mencari Swat
Hong dan ibunya."
"Kalau begitu, mari kita
mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu , aku dapat bertemu dengan
ayahku."
Setelah mendapat banyak pesan dan
melihat Kong-kongnya, membawa pula bekal berupa pakaian dan sekantung emas
simpanan Kong-kongnya, berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau
Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima belas tahun itu, belum
pernah Soan Cu meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur jauh dan dia
hampir tidak dapat melihat lagi Kong-kongnya bersama semua sisa penghuni Pulau
Neraka yang mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan
bercucurannya air matanya.
"Soan Cu, mengapa kau
menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih belum terlambat untuk
kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak sekali memikul
kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun sedikit banyak dia
dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini wataknya seaneh Swat Hong,
dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi!
"Ah, tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku meninggalkan
tempat yang sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh
menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggakan pulau
itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga."
Sin Loing tersenyum dan mendayung
perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari
mulut dara ini merupakan
pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya melihat kenyataan
bahwa sorga maupun neraka itu
berada dalam hati manusia itu sendiri! Betapapun indahnya suatu tempat
kalau tidak berkenan di hatinya,
akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun buruknya suatu tempat
kalau berkenan di hatinya akan
menjadi sorga! Jadi, baik buruk, senang, susah, puas kecewa, semua ini
bukan ditentukan oleh keadaan di
luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri. keadaan
di luar merupakaan kenyataan yang
wajar, dan hanya pikiranlah yang menentukan dengan menilai,
membandingkan, maka lahirlah
puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan lain-lain hal yang
saling.bertentangan itu. Bahagialah orang yang dapat menghadapi segala sesuatu
dengan mata terbuka,
memandang segala sesuatu seperti
APA ADANYA, tanpa penilaian. tanpa perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal
susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas bukan
pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak
terganggu oleh pertentangan-pertentangan itu.
Perahu yang ditumpangi Sin Liong
dan Soan Cu meluncur terus, ujung depannya yang meruncing membelah air yang
tenang seperti sebuah pisau membelah agar-agar biru. Soan Cu sudah melupakan kesedihan
hatinya dan kini dara itu memandang ke depan dengan wajah berseri dan mata
bersinar-sinar penuh harapan akan masa depan yang berlainan sama sekali dengan
keadaan di Pulau Neraka. Banyak sudah dia mendengar dongeng kakeknya yang juga
hanya mendengar dari nenek moyangnya tentang keadaan di dunia rame, dan
sekarang dia sedang menuju kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata
sendiri!
Pusat perkumpulan Pat-jiu-kaipang
(Perkumpulan pengemis Tangan Delapan) berada di lereng Pegunungan Hen-san. Dari
luar, tempat itu memang pantas disebut pusat perkumpulan pengemis karena hanya
merupakan tempat di dataran tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya
hampir dua kali tinggi orang, pagar yang butut dan bambu-bambu itu mengingatkan
orang akan tongkat bambu yang biasa dibawa oleh para pengemis. Akan tetapi
kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheran-heran menyaksikan
sebuah rumah gedung yang pantas juga disebut sebuah istana kecil berdiri megah
dan mewah sekali! Inilah tempat tinggal Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang
menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang di lereng Hengsan!
Pat-jiu kai-ong sudah berusia
kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan tangkas dan belum
begitu tua, sungguhpun pakaianya selalu butut, sebutut tongkatnya, sama sekali
tidak sesuai dengan keadaan gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap
saja maka berubahlah raja pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur
yang layaknya dipakai seorang pangeran! Dan mulailah kehidupan yang berlawanan
dengan keadaan hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dan langit.
Di waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis elaperan yang
berkeliaran di sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan
pakaian indah dan tubuh bersih, dia bersenang-senang makan minum dengan
hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya yang
muda-muda, cantik dan genit.
Pat-jiu Kai-ong tinggal tinggal
didalam istananya yang mewah akan tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi
sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima orang selirnya, lima orang
pelayan dan selosin orang anak buahnya yang merupakan pengawal-pengawalnya.
Selosin orang ini tentu saja merupakan tokoh-tokoh dalam pat-jiu Kai-pang,
karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau juga murid-murid tingkat
satu dari raja pengemis itu. para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam
secara bergilir dan mereka tinggal di dalam rumah samping di kanan kiri istana
ketua mereka. Adapun Pat-jiu Kai-pang
mempunyai anggota yang banyak dan yang tersebar luas di kota-kota. Dengan mengandalkan
nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama besar Kai-ong, para anggauta
itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar dan sebagian dari pada
hasil sumbangan ini mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong. Inilah membuat raja
pengemis menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah sekali. Selosin orang
pembantunya, selain pengawal dan penjaga istananya, juga bertugas untuk turun tangan
mewakili ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran! Pat-jiu Kai-ong sendiri yang sudah hidup
makmur jarang meninggalkan istananya di Heng-san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya
pergi meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang lebih
sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin-tong Si Anak Ajaib karena
dia pada waktu itu ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang sedang diciptakan
dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat-ciang-hoatsut (Ilmu Sihir Tangan Darah). Jika
pada waktu itu dia berhasil merebut Sin-tong, tentu dalam waktu satu tahun saja
ilmunya akan sempurna. Akan tetapi karena seperti diceritakan di bagian depan,
dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi oleh pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es,
maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah untuk dimakan otaknya dan
disedot darah dan sumsumnya. Kini dia telah mahir dengan ilmu hitam yang
mengerikan itu, akan tetapi sayangnya, setiap tahun dia harus mengisi tenaga
itu dengan pengorbanan seorang bocah!
Pada suatu hari , pagi-pagi
sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti biasa meninggalkan kehidupan
malamnya yang mewah, berpakaian
sebagai seorang pengemis berjalan-jalan di dalam taman bunga di
belakang istananya, membawa
tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi masih tebal,
tiba-tiba.seorang pengawalnya datang menghadap dan melaporkan bahwa ada tiga
orang tamu datang ingin bertemu
dengan Si Raja Pengemis.
"Hemm, siapakah pagi-pagi
begini sudah datang menggangguku?" Pat-jiu Kai-ong berkata dengan alis berkerut.
Akan tetapi karena merasa penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya
mengusir orang itu dan terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa
yang datang adalah seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita
dan seorang muda tampan. Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek
itu mengaku sebagai seorang "sahabat lama."
Ketika dia keluar membawa tongkat
bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu, Pat-jiu Kai-ong memandang tajam.
Dia kagum melihat pemuda yang amat tampan dan pemudi yang amat cantik jelita
itu. Wajah mereka yang mirip satu sama
lain menunjukan bahwa mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia kurang
lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas tahun. Sampai
lama pandang mata Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu, keduanya
membuat hatinya terguncang penuh kagum dan andaikata dia tidak menahan
perasaannya, tentu mulutnya akan mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut ketika mendengar kakek
itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Pat-jiu
Kai-ong kurasa engkau belum begitu pikun untuk melupakan dua orang anakku ini.
Mereka adalah Swi Liang dan Swi
Nio, ha-ha-ha!
Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong
mengerutkan alisnya, sama sekali tidak mengenal kedua nama ini. Dia memandang
dengan mata terheran kepada laki-laki yang berdiri di depannya, seorang
laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna
kuning, dengan kepala yang beruban itu terlindung kain pembungkus rambut yang
berwarna kuning pula.
Kakek itu tertawa lagi.
"Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benar engkau telah lupa kepada kami? Lupa kepada
sahabatmu di Lusan ini?"
"Ahhhh...!" Pat-jiu
Kai-ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat membungkuk untuk memberi hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang? maaf,
maaf, mataku sudah lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal sahabat baik
yang kurang lebih sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi ini kedua anakmu itu?
Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta berani, bahkan
kalau tidak salah, anak perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku.
Ha-ha-ha!" Dara berusia lima belas tahun yang cantik jelita itu menunduk
dan kedua pipinya berubah merah.
"Harap Pangcu sudi memaafkan
saya."
"Aih-aih...! Ini tentu orang
tua lusan ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!" "Ha-ha-ha,
Pangcu. Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang? Mengapa tidak mau
disebut Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata.
"Wah, jangan berkelabar.
Anak-anak yang baik, sebut saja aku paman. marilah masuk, kita bicara di dalam."
Pat-jiu-kai-ong lalu bertepuk tangan dan para pengawalnya muncul. "lekas
beritahukan para pelayan agar mempersiapkan hidangan makan pagi yang baik untuk
tamuku yang terhormat, Lu-san Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan dua orang
putera-puterinya!"
Para pengawal itu mundur dan
Pat-jiu-kai-ong menggandeng tangan kakeknya itu, sambil tertawa-tawa mereka
memasuki istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja dan duduk di
kursi-kursi yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi
keindahan ruangan itu, Lu-san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama
sudah aku mendengar bahwa Pat-jiu-kai-ong tinggal disebuah istana yang megah,
kiranya keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar. Hebat
sekali!" Sejak tadi Pat-jiu-kai-ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu
dengan pandangan matanya. Dia kagum bukan main melihat dara cantik jelita dan
pemuda yang tampan dan gagah itu. "Ha-ha,
kau terlalu memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang
buruk akan meneriama kehormatan kedataangan seorang tamu agung, seorang
penolongku yang budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok."
Kedua orang tua ini lalu
bercakap-cakap dengan gembira membicarakan masa lampau. Siapakah kakek ini?
Dia adalah Lu-san Lojin, seorang
ahli silat dan ahli pengobatan yang semenjak istrinya meninggal dunia,
meninggalkan dua orang anak, lalu
mengajak dua orang anaknya itu mengasingkan diri ke puncak Lu-san,
dan di sana dia bertapa sambil
mendidik dan menggembleng putera puterinya. Sepuluh tahun yang lalu,
setelah gagal merebut Sin-tong,
dalam kekecewaannya Pat-jiu Kai-ong lalu mengamuk di sepanjang.jalanan,
menculik dan membunuhi bocah-bocah yang dianggapnya cukup sehat. Ketika dia
tiba di kaki
Pegunungan Lu-san, dia berada
dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi karena dia terlampau banyak
membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta sumsum
mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri dengan ilmu
hitam Hiat-ciang Hoat-sut. Karena hatinya yang penasaran mengapa dia tidak
dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong, maka dia lupa akan ukuran
tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu hitam itu, dia terlampau
terburu-buru dan akibatnya, hawa mujijat dari ilmu itu membalik dan membuat dia
terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia terhuyung-huyung dan hampir pingsan
ketika tiba di kaki Pegunungan Lu-san. Dia maklum akan keadaan dirinya, tahu
bahwa dia terancam bahaya maut maka hatinya menjadi khawatir sekali. Kebetulan baginya, pada saat itu keadaannya
terlihat oleh Lu-san Lojin yang sedang turun gunung bersama putera-puterinya
yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima tahun, sebagai seorang gagah dan
berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa
keadaan raja pengemis itu, dia maklum bahwa Pat-jiu Kai-ong memerlukan
perawatan khusus, maka diajaknya orang ini naik ke puncak Lu-san. Di situ
Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh . Selama satu bulan berada
di Lu-san, raja pengemis ini menerima perawatan yang amat baik dari Lu-san
Lojin, maka dia merasa berterima kasih sekali dan menganggap pertapa itu
sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang
mungil itu. Karena kebaikan hati Lu-san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang
sebagai seorang anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak
tega untuk mengganggu anak laki-laki itu.
Di lain pihak, ketika mendengar
bahwa yang ditolongnya adalah Pat-jiu kai-ong ketua Pat-jiu kai-pang, Lu-san Lojin
terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis yang
namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah sembuh,
mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling mengunjungi dan
saling membantu.
"Sungguh aku tidak tahu diri
dan tidak mengenal budi," setelah makan minum Pat-jiu Kai-ong berkata kepada
tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengunjungi kalian di Lu-san,
bukan kalian yang jauh-jauh datang mengunjungi aku."
"Ahhh, mengapa kau menjadi
sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban masing-masing sehingga
tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu pun hanya kebetulan saja lewat di
kaki Pegunungan Heng-san, maka aku teringat kepadamu dan mengajak kedua anakku
untuk mendekati Pegunungan Hengsan mencarimu."
"Terima kasih, engkau baik
sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalian datang dari
manakah?"
Lu-asn Lojin menarik napas
panjang dan menoleh kepada puteranya, memandang puterinya seolah-olah minta
ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya kepada ayahnya, dan menunduk.
Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu Kai-ong adalah seorang sahabat baik
ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja
pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat membantunya
.
"Kami baru saja datang dari
Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata sia-sia belaka perjalanan
kami untuk mencari Tee-tok Siangkoan Houw."
"Tee-tok Siangkoan Houw? Ah,
ada urusan apakah engkau mencari racun bumi itu, Lu-san Lojin?" "Sebetulnya
urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil, antara Tee-tok dan aku telah
terdapat persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu Swi Liang ini dengan
puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah keduanya menjadi
dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa khawatir sekali.
Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhir-akhir ini aku
mendengar bahwa dia berada di Lokyang, akan tetapi setelah jauh-jauh kami
bertiga mencarinya di sana, ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap
orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia.".JILID 9 "Ha-ha-ha,
ala salahmu sendiri! mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti
Tee-tok?" "Pat-jiu Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting
bagi kami, karena itu, kami mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak
buah, agar suka menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee-tok Siangkoan
Houw."
"Baik, baik... jangan
khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya, dan kalian bermalamlah di
sini, jangan tergesa-gesa pulang."
Lu-san Lojin menggeleng kepala.
"Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok, kami hanya dapat bermalam
untuk satu malam saja. Besok pagi-pagi kami harus melanjutkan perjalanan."
"Semalaman cukuplah, Biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas
hatiku." Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar istana raja
pengemis itu. Tak lama kemudian dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan
muka pucat dan kelihatan takut. "Ada
apa? mau apa kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan
menurunkan cawan araknya keras-keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar.
"Pangcu... ampunkan kami
berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada peristiwa yang amat aneh dan mengkhawatirkan
kami semua."
"Apa yang terjadi? Hayo
cepat ceritakan."
Dengan wajah ketakutan, seorang
di antara dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi
di luar istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di
luar dan mereka sedang mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat-jiu Kai-ong.
Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam jago dan kadang-kadang
mengadunya. Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi
makan ayam jago itu, dan memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah selatan yang
amat baik.
Tiba-tiba ayam jago itu
menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu mati, dadanya
ditembusi sehelai benda lembut yang kemudian ternyata adalah sebatang daun! Di
tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya. "Kami telah
meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun
manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat menggunakan sehelai daun
untuk menyambit dan membunuh ayam jago dan...."
"Cukup!" Raja pengemis
itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian tolol semua!
Mana kain yang ada tulisan itu!"
Kepala pengawal yang mukanya
penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar, menyerahkan sehelai kain putih
kepada ketuanya. kain itu ada tulisannya dengan huruf-huruf kecil berwarna
hitam, akan tetapi ada noda-noda darah, darah ayam jago tadi. Akan tetapi
Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu, sejenak menjadi bingung dan baru ia
teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia buta huruf! Dengan jengkel dan agak
malu dia lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin sambil berkata,
"Harap kaubacakan ini untukku!"
Lu-san Lojin menyambar kain yang
melayang ke arahnya itu, lalu matanya memandang tulisan.
Mukanya berubah, matanya
terbelalak. "Wah... apa artinya ini?"
"Lojin! bagaimana
bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya membentak. Lu-san Lojin lalu
membaca huruf-huruf itu.
Malam ini, semua mahluk hidup
yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong dari binatang sampai manusia, akan kubasmi
habis!"
Ratu Pulau Es.."Ratu Pulau
Es...?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak
mengenalnya. Hai pelawak dari
manakah yang main-main seperti
ini? Ha-ha-ha, biar dia datang hendak kulihat magaimana macamnya!" "Kai-ong,
harap jangan main-main. Biarpun hanya seperti dalam dongeng, nama Pulau Es amat
terkenal, katanya penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa, apalagi dahulu
yang terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...."
"Ha-ha-ha, siapa perduli?
Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang pernah mengganggu
aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak membunuhku dengan ancaman
sesombong itu? Aku tidak percaya. He, pengawal apakah kalian tahu akan isi
surat?" Dua orang pengawal itu mengangguk. "Sudah Pangcu."
"Apa kalian takut?"
"Ti... tidak, Pangcu,
Hanya... hanya amat aneh itu..."
"Sudahlah. Setelah kalian
tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan penjagaan yang ketat terutama
malam ini. Kita jangan mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang,
kita tangkap dia dan kita permainkan dia, ha-ha-ha!"
"Kai-ong harap
hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu keluar dari
ruangan itu. "Ha-ha-ha, mengapa
khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang datang,
setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih sempurna, aku takut apa?"
Kakek dari Lu-san itu kelihatan
ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan bahwa dia takut, tentu saja dia tidak
mau dengan hati berat dia bersama dua orang anaknya menemani tuan rumah makan
minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah hari. Kemudian mereka
dipersilahkan mengaso sejenak dalam kamar tamu, akan tetapi menjelang senja,
mereka sudah dipersilahkan makan minum lagi.
Sekali ini mereka benar-benar takjub. Melihat Pat-jiu Kai-ong kini
bertukar pakaian, pakaian malam yang indah dan mewah! Mengignat betapa siang
tadi Kai-ong merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan kini seperti
seorang raja, benar-benar membuat Lu-san Loji hampit tertawa, seperti melihat
seorang badut pemain lenong! Dan hidangan yang dikeluarkan di meja juga
istimewa, jauh lebih lengkap daripada siang tadi!
"Ha-ha, ayo makan minum.
Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilahkan
tamu-tamunya. Setelah hidangan tinggal
sedikit dan perut mereka kenyang sekali, Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya
yang berminyak dan perutnya yang gendut, matanya memandang ke arah Bu Swi Liang
dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu dia berkata, kata-kata yang sama sekali tidak
pernah disangka oleh para tamunya dan yang membuat mereka terkejut setengah
mati, "Lu-san Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan
hiraukan badut yang hendak mengganggu. Adapun dua orang anakmu ini, yang cantik
jelita dan tampan gagah, biarlah mereka berdua besenang-senang dengan aku dalam
kamarku, ha-ha-ha!" "Kai-ong!" Lu-san Lojin membentak.
"Apa... maksud kata-katamu ini?" Pat-jiu Kai-ong memandang tamunya
sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini tampan gagah dan
Swi Nio cantik jelita dan segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau
mereka bedua bersama dengan aku dalam kamarku, tentu mereka akan terlindung
dan....hemmm, aku ingin sekali bersenang dengan mereka, tidur-tiduran dengan
mereka sejenak."
"Kai-ong, apa kau
gila??" Lu-san Lojin hampir tidak dapat percaya akan pendengaranya
sendiri. "Eh, mengapa? Apa salahnya
aku tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh-heh, tak tahan aku melihat puterimu
yang muda dan cantik segar, dan puteramu yang tampan dan ganteng ini. Anak-anak
baik, marilah kalian layani pamanmu..."
"Keparat!" Lu-san Lojin
melompat ke depan dan dua orang anaknya yang berada di belakangnya pun sudah
siap dengan pedang di tangan.
"Pat-jiu Kai-ong! Harap kau jangan main gila dan jelaskan apa sebabnya
perubahan sikapmu ini. Mau apa
engkau dengan anak-anakku?"."Ha-ha-ha! Siapa main gila? Sebelum
kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi
begitu kalian muncul, muncul pula
orang aneh yang membunuh ayamku dan mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau
bukan teman dan kaki tanganmu? Dan kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu
Kai-ong tidak pernah menyia-nyiakan kecantikan seorang dara remaja seperti
putermu ini dan puteramu yang tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah
yang segar dan sumsum yang kuat. Perlu sekali untuk menambah keampuhan
Hiat-ciang Hoat-sut agar makin kuat menghadapi lawan kalau malam ini ada yang
berani datang!"
"Iblis jahanam! Kiranya engkau
seorang manusia iblis yang busuk!" Lu-san Lojin sudah menerjang maju dengan
kepalan tangannya. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sebagai bekas
murid Hoa-san-pai yang sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaanya sendiri,
hasil renungannya di waktu bertapa. Kepalan
tangnnya menyambar dahsyat, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan
tetapi kiranya hanya dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan
dengan Pat-jiu Kai-ong. Dalam ilmu berkelahi, dia tidak mampu menandingi Kai-ong
yang amat lihai. Sambil tertawa, Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang
lebar dua kali dan kakek Lu-san itu terpaksa harus menarik kembali kedua tanganya
karena dari kedudukan menyerang, dia malah menjadi yang diserang karena
pergelangan kedua tangannya terancam totokan ujung lengan baju itu! dua orang
naknya yang sudah marah sekali karena merasa dihina, sudah menerjang maju pula
dengan pedang mereka. Swi Liang menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek
pengemis itu, sedangkan dari kanan Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher.
"Ha-ha, bagus! Kalian
benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap seolah-olah tidak
tahu bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah kedua pedang itu menyambar
dekat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar dan.... dua batang pedang itu telah
dicengkramnya dengan telapak tangan! Swi Liang dan Swi Nio terkejut bukan main,
akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu dipegang oleh tangan
kakek itu, mereka cepat menggerakan tenaga menarik pedang dengan maksud melukai
telapak tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha mereka ini sia-sia belaka, pedang
mereka tak dapat dicabut, seolah-olah dicengkeram jepitan baja yang amat kuat.
"Manusia tak kenal
budi!"
"wirrrr... tar-tar!"
Pat-jiu Kai-ong merasa terkejut
melihat menyambarnya sinar kuning dan ternyata bahwa Lu-san Lojin melolos
sabuknya yang berwarna kuning dan kini menggunakan sabuk itu sebagai senjata.
Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan memainkan sabuk sebagai
senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk lemas di tangannya itu dapat
bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi sebatang senjata yang kaku dengan
pengerahkan sinkangnya.
"Krekk-krekkk!" dua
batang pedang itu patah-patah dalam cengkraman Pat-jiu Kai-ong dan sambil melompat
mundur menghindarkan sambaran ujung sabuk, raja pengemis ini menyambitkan dua
ujung pedang yang dipatahkanya ke arah Lu-san Lojin.
"Trang-tranggg!" Dua
batang ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika ditangkis oleh ujung
sabuk(ikat pinggang) dan kini Lu-san Lojin mendesak ke depan dengan putaran
senjatanya yang istimewa. Sedangkan kedua orang anaknya telah mundur dan hanya
menonton di pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka dipatahkan
begitu saja oleh kedua tangan lawan dan mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak
berguna membantu ayah mereka.
Pada saat itu, muncullah empat
orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut. Melihat mereka, Pat-jiu Kai-ong
berkata, "Tangkap dua orang muda ini, akan tetapi awas, jangan lukai
mereka!" Empat orang pengawal itu segera menubruk maju hendak menangkap
Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak
beradik ini melawan sekuat tenaga, akan tetapi biarpun keduanya memiliki ilmu
silat tinggi, namun empat orang pengawal itu pun merupakan murid-murid
terpandai dari Pat-jiu Kai-ong, maka ketika dua orang di antara mereka
menggunakan tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapat
ditotok dan roboh dan lumpuh.
Ha-ha-ha, belenggu kaki tangan
mereka baik-baik... kemudian lempar mereka ke atas tempat tidurku... ha-ha-
ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa
sambil menyambar tongkatnya..Setelah dia bertongkat, maka kini dia menghadapi
Lu-san Lojin dengan lebih leluasa. Kakek dari Lu-san itu
marah bukan main melihat putera
dan puterinya digotong pergi dari ruang itu. Dia mengejar dan menggerakan ikat
pinggangnya, namun Pat-jiu Kai-ong menghadangnya sambil tertawa-tawa dan menyerangnya
dengan tongkatnya sehingga terpaksa kakek Lu-san itu melayaninya bertanding. Pertandingan yang amat seru dan diam-diam
Pat-jiu Kai-ong harus mengaku bahwa ilmu kepandaian kakek yang pernah
menolongnya ini memang hebat.
"Pat-jiu Kai-ong,
benar-benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan nyawamu,
apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu-san Lojin berkata
membujuk karena khawatir melihat nasib puterinya.
"Ha-ha-ha, dahulu memang
engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian datang dengan niat buruk!"
"Tidak! Kau salah duga! Kami
tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!" "Ha-ha-ha, Lu-san
Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam, sedangkan setan itu
bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong
menyambar ganas. "Plak-plakk!"
Ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua kali akan tetapi dia merasa betapa
telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga Si Raja Pengemis itu benar-benar
amat kuat. "Pat-jiu Kai-ong, kau
salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang. Lepaskan kedua
anakku dan kau berjanji akan membantumu menghadapi musuh gelap itu." "Wah,
berat kalau disuruh melepaskan. Lu-san Lojin, dengan baik-baik. Aku
tergila-gila melihat anak-anakmu. Pinjamkan
mereka kepadaku untuk satu dua malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh, baru aku
akan membebaskan kalian."
"Iblis busuk!" Lu-san
Lojin marah sekali dan dengan nekat dia lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan
raja pengemis ini karena dia maklum bahwa betapapun juga hati yang kotor dari
raja pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu-satunya jalan untuk menolong
anak-anaknya adalah melawan mati-matian.
"Plakkk!" Tiba-tiba ujung sabuk melibat tongkat, keduanya
saling betot untuk merampas senjata. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat
berhasil merampas senjata lawan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pat-jiu
Kai-ong untuk menggerakan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah
lawan. Lu-san Lojin terkejut melihat
telapak tangan yang menjadi merah seperti tangan berlumuran darah itu. Dia
belum pernah mengenal limu Hiat-ciang Hoat-sut dari raja pengemis itu, namun
dia pernah mendengar akan hal ini, tahu pula betapa keji dan berbahayanya ilmu
itu. Akan tetapi untuk mengelak dia harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun
amat berbahaya. Dengan senjata itu saja dia masih kewalahan melawan Pat-jiu
Kai-ong, apalagi tanpa senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakan tangan
pula menyambut pukulan itu.
"Dessss...!
Aduhhh...!!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lu-san Lojin
terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mulutnya mengeluarkan darah segar
dan matanya mendelik. Kakek ini pingsan dan menderita luka dalam yang amat
parah!
"Lempar dia di kamar
tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil tertawa. Setelah tubuh kakek yang pingsan itu digusur
pergi oleh para pengawalnya. Pat-jiu Kai-ong menghampiri meja di mana dia tadi
menjamu para tamunya, menyambar guci arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil
tertawa-tawa dia memasuki kamarnya.
Pemuda dan pemudi She Bu itu
sudah rebah terlentang di atas pembaringan Pat-jiu Kai-ong yang lebar. Dalam keadaan terbelenggu kaki tanganya. Lima
orang selirnya menjaga di situ. Ketiaka dia masuk sambil tertawa gembira, Bu
Swi Liang memandang dengan mata melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio
memandang dengan mata terbelalak ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat-jiu Kai-ong menghampiri pembaringan,
menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi Swi Nio dan Swi Liang
sambil berkata, "Manis, jangan menangis dan kau jangan marah.
Aku akan menemani kalian dan
bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan musuh gelap yang
mengancam." Dia menengok ke
arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka, jaga
baik-.baik jangan sampai ada yang lolos, dan kalau ada apa-apa, cepat berteriak
memanggil para pengawal.
Mengerti?"
Lima orang selir itu mengangguk
dan kakek itu meninggalkan kamar lagi. Sebelum
orang yang membunuh ayam jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat ditangkap
atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu untuk bersenang-senang dengan dua
orang muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi seorang
pengacau saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi dia harus
berhati-hati dan ikut melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan benar-benar
aman barulah dia boleh bersenag-senang. Dia belum yakin benar apakah musuh
gelap itu ada hubungannya dengan Lu-san Lojin dan kedua orang anaknya, akan
tetapi ada hubungan atau tidak, setelah tiga orang itu dibuat tidak berdaya,
berarti mengurangi bahaya. Dia harus berhati-hati, maklum bahwa dia mempunayi
banyak musuh. Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang termasuk golongan putih itu
juga memusuhi. Andaikata tidak sekalipun, mana bisa dia melepaskan dua orang
muda yang cantik jelita dan tampan itu?
Pat-jiu Kai-ong duduk lagi di
ruangan tadi sambil melanjutkan minum arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas
orang pengawalnya menjaga dengan tertib dan penuh kewaspadaan. Ingin dia
tertawa keras-keras mengusir kesunyian malam yang mendatangkan perasaan tidak
enak. Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng!
Pembunuh ayam itu tidak perlu
ditakuti. Andaikata dia mampu mengalahkan dua belas orang pengawalnya, hal yang
sukar dipercaya, masih ada dia sendiri. Hiat-ciang Hoat-sut, ilmu yang
dilatihnya belasan tahun kini telah dapat diandalkan. Tadipun, hanya
menggunakan sebagian kecil tenaganya saja, ilmu itu telah merobohkan Lu-san
Lojin. Dia tidak takut!
"Aku tidak takut!"
serunya kuat-kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es keparat!
Ha-ha-ha!" Para pelayan sudah menyalakan lampu-lampu penerangan dan atas
perintah para pengawal, pelayan-pelayan ini menambah jumlah lampu sehingga
keadaan di seluruh gedung itu menjadi terang. Setelah menyuruh para pelayan
membersihkan meja di ruangan itu, dan sekali lagi memanggil kepala pengawal dan
menekankan agar penjagaan diperketat dan selalu diadakan perondaan bergilir,
Pat-jiu Kai-ong lalu duduk bersila di dalam ruangan itu untuk mengumpulkan
tenaga dan mempertajam pendengarannya sehingga biarpun dia berada di dalam
istana, namun dia ikut pula menjaga dan meronda mempergunakan ketajaman pendengarannya
untuk menangkap semua suara yang tidak wajar di luar istana. Malam makin larut dan keadaan sunyi sekali di
istana itu dan sekitarnya. Para pelayan yang mendengar dari para pengawal,
dengan muka pucat tinggal berkelompok di kamar seseorang di antara mereka,
tidak berani membuka suara dan hanya saling pandang dengan mata penuh rasa
takut. Para selir juga berkelompok di dalam kamar Pat-jiu Kai-ong, agar
terhibur dengan adanya Swi Liang pemuda yang tampan itu. Bahkan ada di antara
mereka yang tanpa-malu-malu membelai pemuda itu, memegang tangannya, mengusap
dagunya, membereskan rambutnya. Akan tetapi mereka tidak berani berbuat lebih dari
itu, dan tidak berani mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan
penjagaan dengan teliti dan hati-hati, tidak bersuara seperti biasanya kalau
mereka melakukan penjagaan tentu diisi dengan sendau gurau dan mengobrol.
Kesunyian yang mengerikan itu
tidak menyenangkan hati Pat-jiu Kai-ong. Akan tetapi dia amat memerlukan
kesunyian ini agar penjagaan dilakukan lebih tertib dan rapi pula. dia merasa
tersiksa dan diam-diam dia memaki musuh gelap itu. Kalau sampai tertawan, tentu
akan dihukum dan disiksanya seberat mungkin!
Tiba-tiba terdengar suara jeritan
susul-menyusul yang datangnya dari dalam kamarnya! Pat-jiu Kai-ong cepat
melompat dan hanya dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah menerjang masuk
ke dalam kamarnya. Dilihatnya kelima orang selirnya menangis dan kelihatan
gugup dan ketakutan, akan tetapi dua orang muda yang tadi terbelenggu di atas
pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang dihidangkan di atas meja
makan dan siap untuk diganyangnya, kini telah lenyap tanpa bekas! "Apa yang terjadi? Keparat, diam semua!
Jangan menangis, apa yang terjadi?"
Lima orang selir itu menjatuhkan
diri berlutut dan seorang di antara mereka bercerita dengan suara gagap,
"Ada... ada... setan....,
hanya tampak bayangan berkelebat ke atas ranjang dan... dan mereka berdua...
tahu-tahu
telah
lenyap..."."Tolol!!" Pat-jiu Kai-ong berkelebat keluar melalui
jendela kamar yang terbuka, terus berloncatan
memeriksa sampai dia bertemu
dengan para pengawal di luar istana, namun dia tidak melihat jejek dua orang
tawanan yang lenyap itu. "Kalian tidak melihat orang masuk?"
Bentaknya kepada para pengawal. "Tidak
ada, Pangcu."
"Bodoh! Kalau tidak ada,
bagaimana dua orang tawanan itu lenyap?" Kagetlah para pengawal itu dan
Pat-jiu Kai-ong, dibantu oleh para pengawalnya lalu mengadakan pemeriksaan di
dalam istana. Mula-mula timbul dugaannya bahwa tentu Lu-san Lojin dan dua orang
anaknya itu benar-benar mempunyai kawan-kawan di luar, buktinya kedua orang
muda itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam kamar
tahanan, Lu-san Lojin masih mengeletak pingsan di atas lantai!
"Cepat lakukan penjagaan
tadi. Tutupsemua jalan masuk! Bagi-bagi tenaga!" Pat-jiu Kai-ong
memerintah dengan suara yang agak parau karena harus diakuinya bahwa jantungnya
tergetar juga oleh rasa gentar menyaksikan sepak terjang musuh gelap yang aneh
dan amat luar biasa itu. Setelah sekali
lagi memeriksa sendiri dengan memepersiapkan tongkat ditangan, sampai tidak ada
lubang yang tidak dijenguknya di dalam dan di sekitar gedungnya dan mendapatkan
keyakinan bahwa tidak ada orang bersembunyi di dalam gedung, Pat-jiu Kai-ong
kembali ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung berdebar. Malam telah
makin larut dan musuh yang aneh itu telah mulai memperlihatkan bahwa musuh itu
memang ada dengan menculik dua orang tawannan itu secara aneh. Biarpun lima
orang selirnya bukan ahli-ahli silat tinggi, namun lima pasang mata tidak dapat
melihat orang yang menculik pemuda-pemudi itu di depan hidung mereka, sungguh
merupakan hal yang amat aneh! Pat-jiu Kai-ong bergidik dan membalik-balik
gudang ingatan di dalam otaknya. Siapakah Ratu Pulau Es? Apalagi dengan
ratunya, dengan penghuni Pulau Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu kali
dengan Han Ti Ong ketika memperebutkan Sin-tong. Dan di mana adanya pulau
dongeng itu dia pun tidak tahu. Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak boleh
dianggap permusuhan, dan adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit hati itu seharusnya
datang dari dia, bukan dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong yang telah berhasil
menangkan perebutan atas diri Sin-tong! Mengapa kini muncul tokoh rahasia yang
mengaku bernama Ratu Pulau Es? Siapakah
yang bermain-main dengan dia?
Melihat sepak terjang orang
rahasia ini, caranya membunuh ayam, dapat dipastikan bahwa orang itu kejam dan
aneh, ciri seorang tokoh golongan hitam, bukan golongan putih yang selalu
datang secara berterang. Siapakah tokoh
golongan hitam yang memusuhinya? Tentu saja banyak, dan di antara mereka, yang
paling menonjol adalah Kiam-mo Cai-li Liok Si! Wanita itukah yang kini datang
mengganggunya? "Ha-ha-ha!" Dia
tertawa keras-keras, hatinya menjadi besar. Mengapa dia takut? Andaikata Kia-mo
Cai-li sendiri yang datang, diapun tidak takut! Dan siapakah lain wanita di
dunia Kang-ouw yang lebih mengerikan daripada Kiam-mo Cai-li?
"Iblis atau manusia, jantan
atau betina, keluarlah dari tempat persembunyian! Hayo serbulah, aku Pat-jiu
Kai-ong tidak takut kepada siapa pun juga! Kalau kau diam saja, berarti kau
pengecut hina dan penakut, ha-ha-ha-ha!"
Karena merasa tersiksa oleh
keadaan sunyi yang mengerikan itu, Pat-jiu Kai-ong berusaha mengusir rasa takutnya
dengan teriakan keras ini yang tentu saja didengar oleh semua penghuni gedung
itu. Dan agaknya, sebagai sambutan atas tantangannya, tiba-tiba terdengar suara
ayam jagonya yang berada di belakang, di kandang ayam, berkeruyuk keras sekali!
"Ha-ha-ha!" Pat-jiu
Kai-ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang menjawab, akan tetapi tiba-tiba
dia terkejut dan mukanya berubah. Keruyuk ayamnya itu berhenti setengah jalan
dan terputus oleh suara "kok!" suara ayam kesakitan! Suara ini
disusul suara berkotek riuh dari ayam-ayam betina di dalam kandang, seolah-olah
ada sesuatu yang mengganggu mereka akan tetapi suara berkotek ini pun berhenti
setengah jalan dan bekali-kali terdengar suara "ko" suara ayam
dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!
"Keparat...!!" Pat-jiu
Kai-ong yang bermuka merah saking marahnya itu sudah meloncat keluar dan
langsung lari ke kandang. Hampir
dia bertubrukan dengan dua orang pengawal yang juga mendengar
keanehan di kandang itu. Kini
dengan sebuah obor yang dipegang oleh pengawal, mereka bertiga
memeriksa kandang dan di bawah
sinar obor tampaklah oleh mereka bahwa dua puluh ayam yang berada di
kandang itu, jantan, betina,
semua telah tewas dengan leher putus! Darah merah muncrat ke mana-mana,
membuat lantai dan dinding
kandang itu menjadi merah mengerikan.."Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong
memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca
memandang ke dalam kandang. Sunyi
di situ, bahkan tidak ada angin berkelisik, membuat suasana menjadi menyeramkan.
"Ngeooonggg...!" Suara
kucing yang tiba-tiba terdengar ini yang membuat mereka tersentak kaget dan memandang
ke atas genting. Si Putih satu-satunya kucing peliharan di gedung itu,
berkelebat melompat sambil menggereng, seolah-olah menghadapi musuh dan marah.
Akan tetapi gerengannya terhenti tiba-tiba dan Pat-jiu Kai-ong cepat melompat
ke kiri ketika ada benda jatuh dari atas genteng menimpanya. "Bukkk!" Ketika pengawal yang
membawa obor mendekat, ternyata yang terjatuh itu adalah bangkai kucing Si
Putih yang baru saja mengeong tadi! "Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong
memaki untuk kedua kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas genting, diikuti
oleh dua orang pengawalnya. Melihat betapa obor yang dipegang pengawal itu
tidak padam ketika dia meloncat ke atas genting membuktikan bahwa pengawal itu
sudah memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya termangu-mangu
di atas genting karena tidak tampak bayangan seorang manusian pun. Keadaan
sunyi. Sunyi ekali, terlampau sunyi seolah-olsh gedung itu telah berubah
menjadi tanah kuburan!
"Hung-hung!
Huk-huk-huk...!!" Riuhlah suara tiga ekor anjng peliharaan gedung itu menggonggong
dan menyalak-nyalak di sebelah kanan gedung. Suara ini mengejutkan mereka,
apalagi suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba-tiba ditutup dengan
suara "kaing...! nguik... nguikkk...
nguikkkkk!" Dan suasana menjadi sunyi kembali, lebih sunyi dari
tadi sebelum terdengar gonggongan anjing-anjing itu.
"Bedebah...!" Pat-jiu
Kai-ong melompat dari atas genting, tidak dapat disusul oleh dua orang
pengawalnya itu saking cepatnya dan sebentar saja dia sudah tiba di sebelah
kanan gedungnya, di kandang anjing. Seperti sudah dikhawatirkannya, tiga ekor
anjing itu sudah menggeletak mati dengan leher hampir putus dan darah mengalir
di bawah bangkai mereka. Tiga orang pengawal yang terdekat sudah tiba pula dan
mereka saling pandang dengan muka berubah pucat!
Seperti terngiang di telinga
Pat-jiu Kai-ong suara Lu-san Lojin ketika membacakan isi surat, "Malam
ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong, dari binatang
sampai manusia, akan kubasmi habis!"
Semua binatang peliharaannya , ayam,
kucing, dan anjing, sudah mati semua dan sekarang tentu tiba gilirannya
manusianya! Teringat akan ini, Pat-jiu Kai-ong cepat berkata, suaranya sudah
mulai gemetar "Cepat, semua berkumpul denganku di dalam gedung...!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh jeritan-jeritan
di sebelah luar dan di depan gedung itu. Mereka cepat berlari menuju ke depan
gedung dan tampaklah oleh mereka dua orang pengawal yang berjaga di luar sudah
menggeletak tak bergerak di atas tanah. Ketika seorang pengawal yang membawa
obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat bahwa dua orang pengawalnya yang
terlentang itu telah tewas dengan mata melotot dan dari mata, hidung, telinga,
dan mulut keluar darah hitam sedangkan di dahi mereka itu tampak jelas cap jari
tangan yang kecil panjang, tiga buah banyaknya dan mudah dilihat bahwa itu
adalah tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Begitu dalam gambar
jari itu sampai garis-garisnya tampak! "Kurang
ajar! Mari kita berkumpul semua...!"
Akan tetapi kembali terdengar
pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung. Mereka kembali berlari-lari ke tempat
itu dan melihat tiga orang pengawal lain sudah menjadi mayat dalam keadaan yang
sama seperti dua orang korban pertama.
Segera tersusul pula pekik-pekik
mengerikan itu dari belakang gedung. Pat-jiu Kai-ong dan tiga orang
pengawalnya ini, termasuk
pengawal kepala Si brewok, mengejar ke belakang dan empat orang pengawal
sudah menggeletak tewas dalam
keadaan mengerikan, presis seperti yang lain. Dalam sekejap mata saja
sembilan orang pengawal telah tewas.
Mereka itu berada di depan, di sebelah kiri, di belakang gedung,
akan tetapi kematian mereka susul
menyusul begitu cepatnya, seolah-olah banyak musuh yang datang dari
berbagai jurusan. Namun, biarpun
mulutnya tidak menyataakan sesuatu, Pat-jiu Kai-ong maklum bahwa
tanda dari jari tangan itu dibuat
oleh jari tangan yang sama, dan bahwa pembunuhnya itu hanya satu orang
saja, seorang yang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa sehingga para pengawal itu agaknya sama sekali
tidak mampu melakukan
perlawanan..Tiga orang pengawal saling pandang dengan muka pucat. Melihat muka
mereka, Pat-jiu Kai-ong
menjadi penasaran dan merah
sehingga timbul kembali keberaniannya yang tadi agak berkurang karena jerih.
Dia berteriak memaki, "jahanan pengecut! Hayo keluarlah dan lawan aku
Pat-jiu Kai ong!" Setelah dia mengeluarkan kata-kata ini dengan suara
nyaring, keadaan menjadi sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan damn
menyeramkan, seolah-olah dalam kegelapan dan kesunyian malam itu tampak mulut
iblis menyeringai dan menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa ! Pat-jiu
Kai-ong makin penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang dikenal
sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti banyak orang dari semua
golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu
Kai-pang yang terkenal, memiliki anggauta ratusan orang banyaknya, seorang di
atara datuk kaum sesat atau golongan hitam yang ditakuti orang, dia
dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah
seorang wanita! Apa lagi dia melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para korban
itu pun jari tangan wanita yang kecil meruncing!
"Hem, pengecut benar dia,
"katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam telah kehilangan separuh
dari nyali mereka. "Kita harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai
dari atas, kalian berjalan-jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu
dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun.
Bersiaplah kalian!" Setelah
berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat-jiu
Kai-ong melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai. Dia melihat tiga orang pengawalnya itu
masing-masing telah mencabut senjata mereka. Si Brewok menggunakan sebatang
tombak panjang yang ujungnya berkait, orang ke dua mengeluarkan golok besar dan
orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling membelakangi dan mata
mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara.
Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari
atas pohon! Celaka pikirnya. Kiranya si
laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung. Bayangan itu
sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahu-tahu telah berada
di depan Si Brewok. Tiga orang pengawal itu menggerakan senjata, akan tetapi
anehnya, tampak oleh Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah senjata mereka itu telah
berpindah tangan! entah bagaimana caranya karena dari atas genteng itu dia
tidak dapat melihat jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang
pengawalnya itu kini lari ketakutan! "Hik-hik-hik!"
Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong berdiri dan dia melihat
sinar-sinar menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari, melihat mereka
roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi karena punggung mereka ditembus
oleh senjata mereka masing-masing! "Keparat
jangan lari kau!" Pat-jiu Kai-ong sudah melayang turun dan tongkatnya
sudah diputar-putar. Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari tempat
itu!
Pat-jiu Kai-ong menoleh ke kanan
kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu. Dia makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya. Mereka
telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya dengan tiga buah
jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan
pedang itu menembus punggung pemilik masing-masing sampai ujungnya keluar dari
hulu hati! Dan sambitan tiga buah senjata yang berlainan bentuknya itu
dilakukan secara berbareng dari jarak yang cukup jauh, tepat mengenai tiga
sasarannya yang sedang berlari. Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian
orang aneh itu Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak kaget. Di dalam gedung!
Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang berjumlah dua belas orang telah
tewas semua. Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh
orang-orang di dalam gedung. Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki
gedung.
Benar saja, terdengar pekik
susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia sudah melihat para
pelayannya telah menjadi mayat
dan berserakan di sana-sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan
mata terbelalak dia melihat lima
orang selirnya telah mati semua, dahi mereka juga ada bekas tanda tapak
tiga jari tangan dan semua lubang
di muka mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi sekali di dalam gedung
itu, kesunyian yang penuh
rahasia. Lu-san Lo-jin! Pat-jiu Kai-ong teringat dan dia cepat lari ke dalam
tempat tahanan, hanya untuk
melihat bahwa kakek itu pun telah tewas dan di dahinya terdapat pula tanda
tapak tiga jari tangan dan semua
lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam!.Kini dia benar-benar bingung.
Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu-san Lojin seperti yang
disangkanya semula! Makin
bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana dia tadi makan
minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya
musuh rahasia. Dan begitu memasuki
ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah
lampu penerangan. Ketika dia melihat, benar saja bahwa di situ terdapat banyak
lampu, banyak sekali karena agaknya semua lampu penerangan dibawa dan
dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas kursinya yang tadinya ditinggalkan
kosong, kini tampak duduk seorang wanita! Di depan wanita itu, juga duduk di
atas kursi, tampak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang
memandangnya dengan mata penuh selidik. Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan
indah, anak itu pun tampan dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah
yang membunuh semua orang di gedungnya? Tak mungkin agaknya. wanita itu usianya paling banyak tiga puluh
lima tahun, cantik dan kelihatan halus gerak-geriknya, hanya sepasang matanya
mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali.
"Ibu, dia inikah orangnya?"
Tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring, memecahkan kesunyian yang
sejak tadi mencekam.
"Benar, dialah Si Bedebah
Pat-jiu Kai-ong." Wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi dingin menyeramkan.
"Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas membunuhnya?" Wanita itu
tersenyum dan wajah yang cantik itu makin cantik, akan tetapi juga makin dingin
menyeramkan, kemudian bangkit berdiri berlahan-lahan. "Kau lihat sajalah
ibumu menundukan Si jembel busuk ini."
Wanita itu ternyata bertubuh
tinggi ramping dan ketika melangkah maju, tampak gerakan kedua kakinya lemah
lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan timbul keberaniannya
setelah melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang
kelihatan lemah pula, bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali.
"Siapakah engkau? Siapa
pembunuh orang-orangku dan apa hubunganmu dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?"
Wanita itu kini tiba di depan
Pat-jiu Kai-ong sehingga raja pengemis ini dapat mencium bau harum semerbak
yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu.
"Akulah Ratu Pulau Es, aku
pula yang telah membunuh semua mahluk hidup di dalam gedungmu, semua telah
kubunuh kecuali engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus membunuhmu berlahan-lahan,
menyiksamu sampai puas hatiku."
Mendengar ancaman ini, Raja
Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras itu, menjadi berdebar juga.
Akan tetapi kemarahannya
melenyapkan semua rasa jerih dan dia membentak, "Perempuan sombong!
Siapakah engkau dan mengapa
engkau memusuhi Pat-jiu Kai-ong?" Pat-jiu Kai-ong, agaknya kejahatanmu
sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga engkau tidak dapat mengenal
korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah
kau apa yang terjadi di kaki pegunungan Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?"
Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum
dia naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal
wajah ini, wajah cantik yang pernah merintih-rintih dan memohon pembebasan,
namun yang dia permainkan secara kejam. "Kau...
kau... Cap-she Sin-hiap...?" Tanyanya ragu-ragu.
"Benar. Aku adalah anggauta
paling muda dari Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang suhengku telah kaubunuh.
Ingatkah sekarang kau?"
Pat-jiu Kai-ong tertawa. Hatinya
lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah diperkosanya dan yang
hanya menjadi orang ke tiga belas
dari Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya
telah memperdalam ilmunya selama
sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut?."Ha-ha-ha, kiranya
engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat kepadamu, siapa bisa melupakan
kenang-kenangan manis selama tiga
hari itu? Ha-ha-ha, betapa mesranya!" Jahanam! Kematian sudah di depan
mata dan kau masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah
pembalasanku, aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan
ibumu!" "Perempuan sombong, mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah
menerjang dengan tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan
tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak depat wanita
itu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis.
"Trakk!" Tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu
Kai-ong. Ternyata lawannya ini benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan
telah memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu saja! Wanita itu bukan lain adalah The
Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri Raja Pulau
Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri,
di bawah petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah
menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong
dan ilmu mujijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini atas permintaan The
Kwat Lin. Karena itu, biarpun ada sebatang pedang menepel di punggungnya, The
Kwat Lin tidak menggunakan senjata melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi
tongkat dan memang kedua ujung lengan baju ini yang merupakan sepasang senjata
yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu.
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, The Kwat Lin menggunakan kesempatan selagi Han Ti Ong pergi
menyerbu Pulau Neraka, untuk meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah
bertahun-tahun dia cita-citakan. Dia
menjadi istri Han Ti Ong hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan
tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau Es dan
benda-benda berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk
meninggalkan pulau, tentu saja meninggalkan untuk selamanya karena pada
hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di Pulau Es
yang membosankan itu, jauh dari dunia ramai? Pergilah dia mengajak puteranya,
Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es sewaktu suaminya tidak ada, membawa pusaka
Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul suaminya yang menyerbu Pulau Neraka,
tidak ada seorang pun berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya
yang sudah tinggi, dia berhasil mendarat.
Berbulan-bulan dia menyelidiki
dan akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal musuh besarnya di lereng
Heng-san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan puteranya, dia
menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi Nio, dia
tertarik sekali, maka dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam hutan di
mana Bu Hong menanti ibunya. "Kalian
kuselamatkan dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi muridku
," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian pilih, mati
atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di
gedung Pat-jiu Kai-ong. karena sekarang belum malam, maka kalian belum mestinya
dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan dari sana. Kalau kalian ingin
hidup harus suka menjadi muridku. Bagaimana?"
Tentu saja dua orang muda itu
ingin hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu guru) mereka.
"Harap subo sudi menolong
Ayah kami...." kata Swi Liang.
"Kalian tinggal saja di sini
menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti." The Kwat
Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian mulailah dia
turun tangan membunuh-bunuhi semua binatang peliharaan gedung raja Pengemis itu
lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir dan juga Lusan Lojin dibunuhnya
karena dia sudah berjanji akan membunuh semua orang di dalam gedung itu,
apalagi dia tahu bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi
penghalang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya.
Akhirnya dia keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di
hutan. Akhirnya bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya
itu setelah membunuh semua orang di dalam gedung.
Han Bu Ong anak laki-laki yang
baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton
pertandingan dengan mata
terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali tidak merasa takut atau
khawatir. Dia percaya penuh
kepada kelihaian ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki.keberanian
luar biasa dan kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu.
Melihat
kekejaman-kekejaman yang terjadi,
dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira! Barulah hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali
setelah selama lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus
pertahanan sepasang ujung lengan baju lawannya. Bahkan lawannya terkekeh-kekeh
mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan ujung lengan baju, namun ternyata
tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama sekali tidak berdaya! "Keparat, mampuslah!" Tiba-tiba
Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan
seluruh ruangan itu. Han Bu Ong terplanting jatuh dari kursinya, akan tetapi
bocah ini sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan, menutup pendengaran.
Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga
dengan dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga dan
menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu Kai-ong! Padahal lawan yang tidak begitu
kuat sinkangnya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang berdasarkan Khi-kang yang
amat kuat ini, sudah akan roboh. Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat
puteranya dapat menyelamatkan diri, sudah mengeluarkan suara terkekeh-kekeh dan
lawannya terkejut bukan main karena dari suara ini keluar getaran yang
menghancurkan ilmunya bahkan menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia
menghentikan auman Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan
ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat.
The Kwat Lin memang hendak
mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak. Hal ini sengaja
dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa
akhirnya lawan akan roboh olehnya sehingga lawannya yang amat dibencinya itu
akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya ini berhasil.
Keringat dingin membasahi muka
pat-jiu Kai-ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat saja, dia
tidak akan menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya
selama tiga hari tiga malam itu. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya,
menggerakan sinkang dan tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan tangan kirinya
dengan telapak tangan terbuka. The Kwat
Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan menggunakan ilmu
Hiat-ciang Hoat-sut ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu
mujijat ini, maka dia bersikap hati-hati dan tidak berani memandang rendah.
Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar, merasakan getaran
mujijat dan mencium bau amis darah yang memuakan, dia terkejut sekali dan cepat
dia menekuk kedua lututnya sedikit, kemudian mendorongkan telapak tangan
kanannya dengan tiga buah jari tangan diluruskan. Hawa dingin meluncur keluar
dari telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut.
"Dess!"dua benturan
tenaga mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat! Kiranya tenaga
Hiat-ciang Hoat-sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan tenaga
ini, Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin. Kalau kakek itu
merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat Lin
merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan berkali-kali
mereka mengadu tenaga sinkang lewat telapak tangan mereka . Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin
menyambar kearah ubun-ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali dan
menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan The Kwat Lin
menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu
Kai-ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan tenaga Hiat-ciang
Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan.
Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali
menarik tongkat yang dicengkramnya menangkis.
"Krekkkk!" Tongkat raja
pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri dan selagi dia terkejut bukan main,
tahu-tahu ujung lengan baju kanan wanita itu sudah menyambar ke arah matanya!
Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan tetapi ternyata ujung lengan baju
itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok lehernya.
"Auggghh...!" Kalau
orang lain yang terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah, tentu akan
roboh
dan tewas. Akan tetapi tubuh
Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia
terhuyung ke belakang. Melihat
ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua tangannya bergerak dengan
cepat sekali dan biarpun raja
pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela diri, namun karena.totokan
pertama membuat pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi kurang
cepat, dua
kali totokan lagi dan sebuah
tamparan dengan tiga jari tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia
roboh pingsan!
Ketika dia siuman. Pat-jiu
Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang di atas lantai dan dia tidak
mampu menggerakan kaki tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara karena
selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi lumpuh, juga urat ganggu di
lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya
berada di tangan lawan, dan dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin
mengampuni kesalahannya.Maka dia memejamkan mata menanti datangnya kematian.
"Bret-bret-brettt...,
hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang ini!"
Pat-jiu Kai-ong memaki dalam
hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh pakaiannya direnggut lepas semua
sehingga dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Karena ingin
tahu, bukan karena jerih sebab seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong juga tidak
mengenal takut, dia menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu
matanya. Dia melihat anak laki-laki turun dari kursinya, memandanginya dan
tertawa. "Heh-heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh,
menjijikkan!" The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali ujung lengan
bajunya bergerak menyambar ke arah leher Pat-jiu Kai-ong, kakek ini terbebas
dari totokan urat ganggunya dan dapat mengeluarkan suara. "Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh!
Aku tidak takut mati!" teriaknya marah.
"Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta-minta
mati kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami siksaan, mati sekarat demi sekarat!
Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam . Maukah
kau membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?" "Tentu saja!
Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak ini
memandang dengan muka bengis.
"Nanti dulu, Bu
Ong.Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang
dari suhengku, dia harus menderita satu macam siksaan. Jari tangannya. Hi-hak,
jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua
buah daun telinganya itu untuk kedua suheng yang lain," The Kwat Lin
mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian
dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang
tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi
sama sekali tidak terdengar oleh anaknya, "Pat-jiu Kai-ong , tahukah kau
siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari
perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kaulihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri
yang akan menyiksa dirimu!" Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak
lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh
keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia sudah
berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak
pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara tidak sengaja dia telah
memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan
menghampirinya, siap untuk menyiksanya! Tadi dia terheran melihat betapa bekas
anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu menjadi
begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kira-kira wanita itu
memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan tangan keturunanya
sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci
anak itu seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa
dan membunuh ayah sendiri!
"Anak...
jangan...dengarkanlah...."
"Pratttt...!" Pat-jiu
Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya hendak mmperingatkan
anak
laki-laki itu karena urat
ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh
menyeringai.."Pat-jiu
Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai
seorang datuk?Lihatlah baik-baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong,
pergunakan pedang itu . Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek
dan Ji-supekmu!"
"Baik, Ibu!"Bu Ong lalu
melangkah maju dan dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata
sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah kedua daun telinga Pat-jiu
Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa
nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat keluar
membasahi pipinya!
"Ha-ha, ibu! Lihat, dia
menangis !" Anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu.
"He-he, seperti teling babi!"
Memang Pat-jiu Kai-ong menangis!
Akan tetapi bukan menangis karena rasa nyaeri dan pedih karena kedua daun
telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih hebat lagi melihat
betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini
bersorak girang melihat penderitaannya! Dia
tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi
siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan
batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya .
"Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum
dibalaskan sakit hatinya.Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan
saja, satu demi satu buntungkan!" Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan
itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan
tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan
setiap buntung sebuah jari, dia bersorak kegirangan. Memang sejak dapat
mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat-jiu
Kai-ong dan diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang
suhengnya dan betapa raja pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus
membalas dendam itu. Maka kini anak itu samasekali tidak menaruh rasa kasihan,
bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat
penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali nasibnya karena dia
maklum bahwa dia pun telah melakukan perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat
Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air
matanya bercucuran adalah melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh
darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang
baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian
kejam! Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya
lumpuh. Begitu kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan
menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu,
yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak
tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah
tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat dia terguling
lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu
menggeliat-geliat.
"Mundurlah, Bu-ong. lihat
sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri perbuatannya
kepadaku terdahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya
dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong, ingatlah engkau akan peristiwa
dahulu itu? Bayangkanlah,hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan
betapa menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau
yang menderita . Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu bergulingan,
berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat
keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya, hidungnya,
dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak membahayakan
keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek
itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri. "Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah,
rasakanlah ini!" Kembali pedang itu digerakan, kini menusuk-nusuk dan
seluruh tubuhnya ditusuki ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk
dua senti saja sehingga menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan
darah keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek
itu berkelojotan seperti dalam sekarat.
"Ini yang terakhir!"
The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita itu
tertawa bergelah, tertawa puas,
wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa sambil berdongak ke.atas.
"suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah
kalian?" Dan dia terisak,
lalu menghampiri tubuh yang
berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam
keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga
malam!" The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong,
kautunggu di sini sebentar!" Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu
dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan
pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke
sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.
JILID 10
Nah, nikmatilah sekaratmu selama
tiga hari!" The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak
pergi meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di
depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh harapan. "Mana Ayah, Subo?" Swi Liang
bertanya.
"Bagaimana dengan dia?"
Swi Nio juga bertanya.
"Ayah kalian telah
tewas...."
Dua orang muda itu mengeluh dan
menangis. Swi Liang mengepal tinjunya dan berkata, "Si jahanam Pat-jiu Kai-ong!
aku harus membalas kematian Ayah!"
"Subo, bantulah
kami..." kata pula Swi Nio, "kami harus menuntut balas!" "Heh-heh,
Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu Kai-ong telah di balas dan
sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku mendapat
bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari
tangannya. Menyenangkan sekali!" Swi Liang dan Swi Nio terbelalak
memandang "sute" ini. Ucapan anak itu benar-benar membuat mereka merasa
serem. Memang, mendengar kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka
yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan
ingin membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka menurut
pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga
dan sepuluh jari tangannya, dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta,
benar-benar membuat mereka bergidik!
"Musuhmu sedang menanti saat
kematian, harap kalian tenang dan tidak memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas,
dan kalian akan kuajak bersamaku sebagai muridku . Akulah pengganti ayah
kalian." Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo
mereka sambil bercucuran air mata.
"Terima kasih subo..."
Kata mereka di antara tangis mereka.
"Perkenankan kami mengubur
jenasah Ayah, "kata pula Swi Liang.
"Tidak perlu. Kita menanti
di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar gedung itu." Biarpun
merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang sudah
merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak membantah. Mereka tentu
saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar oleh The kwat
Lin di dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini!
Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa
hebat bukan main. Ketika tadi anaknya membuntungi jari-jari tangannya, dia
melihat muka anaknya itu berubah-ubah menjadi muka banyak anak laki-laki yang
menjadi korbanya.
Puluhan, bahkan ratusan anak
laki-laki yang menjadi korbannya itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki
dan mengejeknya, dan kini,
setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri sampai menusuk-nusuk tulang,
dia ditinggalkan di antara
mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya yang terlatih memiliki daya tahan
yang amat kuat sehingga dia tidak
menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat pingsan atau
mati sekali, tentu dia tidak akan
menderita sehebat itu..Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau yang memuakan
pada hari ke dua. Bau darah yang mengering
dan membusuk, ditambah rasa nyeri
di sekujur tubuhnya, masih diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu
menjadi korbanya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di dalam hatinya, menyesali perbuatannya
yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu. Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan
perempuan ini tertawa bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati. Senang
sekali hatinya. Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di antara mayat-mayat
suhengnya selama tiga hari tiga malam, dan kini dia dapat membalas secara
memuaskan sekali.
"Hi-hik, kau sudah puas
sekarang?" ejeknya. "Nah, mampuslah kau. Pat-jiu Kai-ong!"
pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu
dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa puas
melihat mayat musuh besarnya, barulah dia membuat api dan membakar gedung itu,
lalu berlari keluar.
Dengan air mata bercucuran, Swi Liang
dan Swi Nio memandang nyala api yang membakar gedung, maklum bahwa mayat ayah
mereka ikut terbakar.
"Ayahmu telah
sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo kalian
ikut bersamaku.
Kalau kalian rajin mempelajari
ilmu, kelak kalian tidak akan
mengalami penghinaan orang
lagi."
Dengan hati berat namun karena
tidak ada orang lain yang mereka pandang setelah ayah mereka meninggal, dua
orang muda itu terpaksa mengikuti The Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi meninggalkan
Hen-san.
Bu-tong-pai adalah sebuah
perkumpulan silat yang besar, merupakan sebuah di antara
"partai-partai" persilatan yang terkenal. Akan tetapi pada saat itu,
Bu-tong-pai sedang berkabung. Di markas perkumpulan itu yang letaknya di lereng
pegunungan Bu-tong-san, dari pintu gerbang sampai rumah-rumah para tokoh dan
murid kepala, tampak kibaran kain-kain putih menghias pintu, tanda bahwa
Bu-tong-pai sedang berkabung.
Siapakah yang meninggal dunia?
Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai yang sudah berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok
San-jin yang meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun. Baru saja upacara
penguburan selesai dilakukan oleh para anak murid Bu-tong-pai, para tamu telah
meninggalkan Pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi semua anak buah murid
Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan baru itu. Suasana penuh pergabungan
dan masih tampak beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui Bhok San-jin
terkenal sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang dicintai oleh para
anak murid Bu-tong-pai. "Suhu...!"
Seruan ini membuat semua orang menengok dan tampaklah seoang wanita cantik
berlari mendatangi, diikuti oleh seorang muda-mudi remaja dan seorang anak
laki-laki. Wanita itu tidak menoleh ke kanan kiri, melainkan langsung berlari
menghampiri kuburan baru dan menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan
sambil menangis.
"Ahh, bukankah dia Sumoi The
Kwat Lin....?" Seorang murid Kui Bhok San-jin yang usianya lima puluhan berseru.
Semua orang memandang dan kini mereka pun mengenal wanita yang berpakaian indah
seperti seorang nyonya bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja mereka semua
kini teringat. Bukankah The Kwat Lin merupakan seorang anak murid Bu-tong-pai
yang amat terkenal, sebagai orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah
bertahun-tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak?
"Benar, dia orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap!" terdengar
seruan-seruan setelah mereka mengenal wanita cantik itu.
Mendengar suara-suara itu, wanita
ini lalu bangkit berdiri, menyusuti air matanya, kemudian memandang kepada
mereka sambil berkata, "Benar, aku adalah The Kwat Lin, orang termuda dari
Cap-Sha Sin-hiap. Masih baik kalian mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal
dunia, siapakah yang akan menggantikannya sebagai ketua Bu-tong-pai?"
Para tokoh Bu-tong-pai terkejut
menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara mereka, terdapat delapan orang
yang terhitung suheng-suheng dari
The Kwat Lin, dan orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek.berpakaian
seperti pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini mengerutkan alisnya setelah
mendengar bahwa
wanita itu adalah seorang muda
dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah
maju dan berkata, "Sian-cai..., tak pernah pinto sangka bahwa anggauta
termuda dari Cap-sha Sin-hiap akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid
termuda dari mendiang suheng, dan kalau engkau ingin mengetahi, pinto yang
dipilih oleh anak murid Bu-tong-pai, juga telah ditunjuk oleh mendiang suheng
menjadi ketua di Bu-tong-pai." Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu
itu bertubuh kecil sedang, dan biarpun mukanya penuh keriput, namun matanya
bersinar terang dan jenggotnya yang terpelihara baik mengitari mulutnya itu
masih hitam semua, demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk konde
dari perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang pendeta To yang longgar. "Siapakah Totiang?"
"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu
kalau seorang murid keponakan tidak mengenal susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa
pinto adalah Kui Tek Tojin, satu-satunya saudara seperguruan dari mendiang Kui
Bhok San-jin." Kwat Lin sudah pernah mendengar nama susioknya (paman
gurunya) ini, seorang tosu perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih
hidup dari mendiang suhunya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah dengan gaya
mengejek, kemudian berkata dengan suara lantang, "Ah, kiranya Susiok Kui
Tek Tojin yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh keputusan
yang sama sekali tidak tepat! Aku tidak setuju sama sekali kalau Susiok yang
menjadi ketua!"
Tosu itu membelalakan matanya dan
memandang kaget, heran dan penasaran. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan
kata-kata, seorang tosu lain yang bernama Souw Cin Cu, murid tertua dari Kui Bhok
San-jin, melangkah maju dan berkata, "Sumoi, apa yang kaukatakan ini?
Betapa beraninya engkau mengatakan demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai
dengan petunjuk suhu, juga telah menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok
merupakan satu-satunya saudara seperguruan mendiang Suhu, sehingga kedudukannya
paling tinggi dan usianya paling tua di antara kita. Siapa lagi kalau bukan
Beliau yang menggantikan Suhu menjadi ketua kita?"
"Siancai, kedatangan yang
mendadak dan tak tersangka-sangka, juga pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid mendiang
Suheng, dia berhak berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai. The
Kwat Lin, bukankah demikian namamu tadi? Kalau menurut pendapatmu, siapa
gerangan yang patut dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah
tidak ada?" "Harap maafkan aku, Susiok. Bukan sekali-kali aku
memandang rendah kepada Susiok, akan tetapi penolakanku itu berdasarkan
perhitungan yang matang." Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu,
mengejutkan dan mengherankan semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak
menghormat dari wanita itu. "Pertama-tama sejak dahulu Susiok selalu
merantau, tidak pernah memperdulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok adalah
seorang tosu sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu-tong-pai, ada
bahayanya Bu-tong-pai akan berubah menjadi perkumpulan Agama To! Berbeda sekali
dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri dari
bermacam-macam golongan. Selain itu,
selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan ejekan dan
bahan penghinaan orang lain."
"Ahhhh...!" terdengar
suara memprotes dari sana-sini dan Souw Cin Cu kembali berkata penasaran,
"Sumoi aku benar-benar merasa heran mendengar kata-katamu dan melihat
sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan para suhengmu menghilang dan kini engkau
muncul seperti seorang yang lain. Seperti langit dengan bumi bedanya antara
engkau dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu-tong-pai
menjadi lemah dan menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain. Apa artinya
ini?" "Souw Cin Cu Suheng, selama bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap
telah lenyap, tahukah engkau apa yang terjadi dengan mereka?"
"Kami telah berusaha
menyelidiki namun tidak dapat menemukan kalian." "Hemm, itulah
tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah, sehingga semua suhengku, tokoh-tokoh
Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu-tong-pai!"
Semua orang terkejut sekali
mendengar bahwa dua belas orang dari Cap-sha Sin-hiap telah dibunuh
orang!."Siapa yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya dengan
suara marah sekali. Hati siapa yang
takkan menjadi panas dan marah
mendengar bahwa dua belas orang saudara seperguruannya dibunuh orang?
"Hemm, terlambat sudah! Dua
belas orang Suheng dibunuh oleh Pat-jiu Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san."
"Ohhh...!" kini Kui Tek
Tojin berseru kaget, "Pat-jiu Kai-ong...?? Mengapa...??" Kwat Lin
tersenyum mengejek. "Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama besarnya dan
menjadi gentar, bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah
membunuh dua belas orang Suhengnya. dan
peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai mengalami
penghinaan, dan Bu-tong-pai sendiri diam saja. Apalagi berusaha membalas
dendam, bahkan tahupun tidak akan peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini
Bu-tong-pai hendak diketahui oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum pendeta
Tosu dan menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan
membunuh musuh-musuh besar kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu
Kai-pang di Heng-san. Melihat kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju kalau
mendiang Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin harus diganti
oleh orang yang memiliki kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan memperkuat
Bu-tong-pai, barulah tepat!"
Kwat Lin bicara penuh semangat,
mukanya yang cantik dan berkulit halus itu kemerahan, sepasang matanya
bersinar-sinar dan dengan tajamnya menyapu wajah semua anak murid Bu-tong-pai
yang hadir di situ. Pandang mata bekas orang termuda Cap-sha Sin-hiap ini
membuat banyak anak murid Bu-tong-pai merasa gentar dan mereka hanya menunduk
untuk menghindarkan pandang mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng
dari Kwat Lin memandang dengan marah dan penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya
tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk, matanya memandang
wajah wanita itu penuh selidik.
"The Kwat Lin, omonganmu
penuh semangat terhadap kedudukan Bu-tong-pai. Andaikata benar semua kata-katamu
itu, habis siapakah yang kaupandang tepat untuk menjadi ketua
Bu-tong-pai?" Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang.
"Untuk waktu ini, kiranya
tidak ada orang lain lagi dari Bu-tong-pai kecuali aku sendiri!" Kini
benar-benar terkejut dan terheran-heranlah semua anak murid Bu-tong-pai yang
berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak dapat disangkal lagi
bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok Sanjin dan
orang termuda Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada waktu itu dia bukanlah orang
yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai. Sama sekali bukan! Di atas dia
masih ada delapan orang suhengnya, murid-murid Kui Bhok San-jin yang lebih tua,
dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin yang tentu saja memiliki tingkat
jauh lebih tinggi karen tosu ini adalah paman gurunya! "Murid Murtad!!" Tiba-tiba Souw Cin
Cu membentak garang dan meloncat maju, diikuti pula oleh sute-sutenya. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka The
Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut menjadi murid
Bu-tong-pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk pulang sebagai
iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya sendiri. Dan kami berkewajiban
untuk mengajar seorang murid murtad!" Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu
menerjang ke depan dengan dahsyat. Souw Cin Cu merupakan murid pertama atau
paling tua dari Kui Bhok San-jin. sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia
memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya
sejajar dengan orang-orang tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan sebenarnya masih
lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin
ketika masih menjadi orang termuda Cap-sha Sin-hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat
Lin sekarang sama sekali tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh tahun
yang lalu. Dia telah mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari
Pulau Es! Tingkatnya sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang
ketika suhengnya itu menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar jurus yang
dipergunakan oleh suhengnya, jurus dari ilmu silat Ngo-heng-kun. Ketika tangan
kiri Souw Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu menampar
pelipis, dia diam saja seolah-olah dia hendak menerima dua serangan ini tanpa
melawan. Akan tetapi setelah hawa sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya,
tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari bawah ke atas.
"Plak-plak-plak!!".Kedua
lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu ini terpelanting ketika
tangan Kwat Lin yang
tadi sekaligus menangkis kedua
lengan itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada pundaknya. Tamparan yang perlahan saja, akan tetapi
sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San-jin terpelanting!
Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut
heran menyaksikan gerakan tangan wanita itu, gerakan yang amat cepat dan aneh,
gerakan yang sama sekali tidak dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat
Bu-tong-pai! Akan tetapi tujuh orang sute dari Suow Cin Cu sudah menjadi marah
dan tanpa dikomando lagi mereka menerjang maju.
Akan tetapi The Kwat Lin tertawa,
tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya dan berturut-turut tujuh orang ini pun
terguling roboh di dekat Suow Cin Cu! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana
mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu terpelanting dan bagian yang tertampar
tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai patah tulang, akan tetapi amat nyeri.
Padahal tamparan itu perlahan saja. Bagaimana andaikata wanita itu menampar dengan
pengerahan tenaga sekuatnya, sukar dibayangkan akibatnya. Betapapun juga,
delapan orang murid utama dari Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi menyerah
begitu mudah dan mereka sudah meloncat bangun dan mencabut senjata
masing-masing!
"Ibu, mengapa tidak dibunuh
saja tikus-tikus menjemukan ini?" Tiba-tiba Bu Ong berteriak. Anak ini
sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para pengeroyok ibunya.
Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh Swi Liang dan Swi Nio,
suheng dan sucinya, tentu dia sudah menerjang maju membantu ibunya. Akan tetapi
memang sebelumnya, Swi Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh subo mereka untuk
menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini mencampuri urusannya
dengan orang-orang Bu-tong-pai.
Kwat Lin tersenyum mengejek
melihat delapan orang suhengnya itu mengeluarkan senjata. "Hemmm, apakah kalian ini sudah buta?
Apakah para suheng tidak melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi
kalian, dan bahkan andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi
aku."
"Keparat...!" Souw Cin
Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru,
"Tahan senjata! Mundur kalian!"
Mendengar teriakan ini, delapan
orang ini serentak mundur mentaati perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin
melangkah maju menghampiri wanita yang tersenyum-senyum itu. "Siancai... kiranya engkau telah
memiliki kepandaian tinggi maka berani menentang Bu-tong-pai! The kwat Lin,
selama ini engkau telah mempelajari ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak
tahu dari perguruan manakah?"
"Memang benar dugaanmu,
Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan kepada siapapun juga."
"Hei, tosu bau! Ibu adalah
Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?"
"Bu Ong...!" Kwat Lin
membentak puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur bicara dan bukan main
kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu-tong-pai mendengar ini. Pulau Es
hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar tokoh Pangeran
Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di
dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di hadapannya itu juga
merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya dan berkata,
"The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai,
betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada pimpinan
Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu silat dari golongan
lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau tidak berhak
mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai."
Kwat Lin tersenyum mengejek.
" Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku telah membelajari
ilmu silat dari golongan lain dan
tingkat kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Bu-tong-
pai. Akan tetapi aku bukan saja
masih mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tong-pai
menjadi perkumpulan terkuat di
dunia. Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai.agar tidak
ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah Bu-tong-pai, apalagi
menghina anak
murid Bu-tong-pai seperti yang
terjadi kepada Cap-sha Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu." "Hemm,
kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang dan
menentang kehendakmu, The Kwat Lin."
"Dengan cara bagaimana kau
hendak menentangku, Susiok?"
"Dengan mempertaruhkan
nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting dari pada nyawa seorang ketuanya.
Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini dengan kepandaian kita ." The
Kwat Lin tersenyum. "Susiok, betapapun mudahnya bagiku membunuhmu,
membunuh para suheng dan membunuh semua orang yang menentangku. Akan tetapi,
aku bahkan ingin menolong kalian, ingin mengangkat nama Bu-tong-pai, maka
biarlah aku hanya akan mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu." Ucapan ini
malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali, karena mengalahkan lawan
tanpa membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan oleh
orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari lawannya!
Merah muka tosu tua itu. Dia
dipandang rendah oleh murid keponakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai,
sebagai calon ketua Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggauta muda Bu-tong-pai!
Oleh karena itu, tosu tua ini mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan wanita
yang kini dipandangnya bukan sebagai anggauta Bu-tong-pai lagi, melainkan
sebagai seorang musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai.
"The Kwat Lin sebagai
seorang ketua Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa untuk mempertahankan kehormatan
Bu-tong-pai terhadap siapapun juga , dan saat ini pinto akan mempertahankannya
terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian tosu tua berjenggot
lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan
bajunya melambai panjang.
Kwat Lin mengenal tongkat itu.
Tongkat kayu cendana yang harum dan menghitam saking tuanya, tongkat yang
menjadi tongkat pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak dahulu. Dia maklum pula
bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan ketua belaka, namun dalam hal
ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya dari
pada tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah memiliki tingkat
tertinggi dari Bu-tong-pai, dan telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga kedua
ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh yang dapat
menghadapi senjata apapun juga dari lawan, dapat dibikin kaku keras seperti
besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat melakukan totokan-totokan maut
keseluruh jalan darah di tubuh lawan! Karena
itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan pekik
melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya melakukan pukulan
dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im
Sin-jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke depan menyerang kakek itu. Swat-im
Sin-jiu adalah tenaga dalam inti salju yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya
dahsyat bukan main karena hawa yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang
mendatangkan rasa dingin. "Siancai...!!"
Tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa hawa yang menyambar dari depan amat
dinginnya, membuat tangannya ketika mendorong kembali terasa membeku. Maka dia
lalu mengerakan tongkat di tangan kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran
tongkat yang panjang, menghantam ke arah kepala wanita itu dari samping.
"Wuuuuttt... plakkkk!"
Dengan berani sekali Swat Lin
menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk memapaki sambaran tongkat dari
samping, terus mencengkram tongkat itu dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya
lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa
lengan kanannya yang memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh!
Kesempatan baik ini, dalam satu
detik pada saat lawan masih terkejut dan belum sempat mengerahkan
sinkang, dipergunakan oleh Kwat
Lin dengan jalan menarik ke bawah, bergulingan ke depan dan
menghantam ke arah lawan dengan
tangan kananya, kini menggerakan tenaga sinkang yang berhawa
panas!."Ouhhh...!" Kui
Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang dan tentu saja tongkatnya dapat
dirampas.Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan getaran melalui tongkat,
dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi pukulan lawannya dari bawah yang
ditangkis dengan tangan kanan, ternyata luar biasa kuat dan panasnya,
mengejutkannya karena perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak
disangka-sangkanya, maka untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke
belakang dan mengorbankan tongkatnya. Kwat Lin sudah melompat kebelakang pula,
memegang tongkat itu dengan kedua tangan di atas kepala sambil tertawa dan
berkata, "Hi-hik, tongkat pusaka telah berada di tanganku, berarti akulah
ketua Bu-tong-pai! "Kembalikan
tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak
ketika tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan bajunya
bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam segebrakan itu, Kwat Lin
telah dihujani sembilan kali totokan yang amat berbahaya! Sukarlah membebaskan
diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan andaikata Kwat lin bukan seorang
pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak mungkin dia dapat menghindarkan diri
lagi. Dia menggunakan ginkangnya berloncatan menghindar, akan tetapi sebuah
totokan yang meleset masih mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat
pusaka itu terlepas dari peganganya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah
dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam dan tampak sinar merah berkeredepan dan
menyambar-nyambar dahsyat.
"Bret-brettttt...!!"
Kui Tek Tojin berteriak kaget, meloncat mundur dan ternyata bahwa ujung lengan bajunya
telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat Lin, dan sekarang wanita itu
telah mengambil lagi tongkat pusaka yang tadi terpaksa dilepaskan oleh
tangannya yang tertotok. "Susiok!
Dan kalian para suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa aku akan
mematahkan tongkat pusaka ini kemudian membunuh kalian dan merampas Bu-tong-pai
dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi. "Aku
hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang memiliki tingkat tinggi dan
memegang tongkat wasiat itu, hak menjadi ketua dengan niat untuk mempertinggi
tingkat Bu-tong-pai!"
Delapan orang suheng itu masih
penasaran dan mereka hendak menyerbu ke depan, akan tetapi Kui Tek Tojin
mengangkat tangan ke atas dan berkata, "Mundurlah kalian. Dia benar, kita
tidak boleh melawan pemegang tongkat pusaka!" Kemudian dia berkata kepada
Kwat Lin, "Baiklah, melihat tongkat pusaka di tanganmu, kami tidak akan
melawan. Akan tetapi, betapapun juga kami tidak dapat menerima engkau menjadi
ketua kami dan kami harap engkau tidak memaksa anak murid Bu-tong-pai yang tidak
mau tunduk kepadamu dan meninggalkan tempat ini."
Kwat Lin tersenyum. Memang bukan
kehendaknya untuk memusuhi anak murid Bu-tong-pai. Dia tidak membenci
Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan kemuliaan bagi puteranya dengan
perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia akan mengusahakan agar Bu-tong-pai
menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat dan paling besar.
"Terserah kepadamu,
Susiok." dia lalu memandang ke sekeliling, kepada para anak murid
Bu-tong-pai, "Haiii, semua anggauta dan murid Bu-tong-pai, dengar lah
baik-baik! Betapapun juga aku adalah murid Bu-tong-pai sejak kecil, dan di
dalam sepak terjang Cap-sha Sin-hiap, kalian juga sudah tahu betapa aku dan
para suheng telah menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai dan aku ingin menyebarkan
ilmuku kepada kalian semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan
Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang paling kuat di dunia ini. Terserah kepada
kalian apakah hendak besetia kepada nama Bu-tong-pai dan menjadi murid-muridku,
ataukah hendak bersetia kepada tosu Kui Tek Tojin dan delapan orang suhengku ini
yang hendak membelakangi Bu-tong-pai!"
Berisiklah keadaan di situ
setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata ini. Para anak murid Bu-tong-pai saling
bicara sendiri, saling berbantahan dan akhirnya hanya ada dua puluh orang
termasuk Kui Tek Tojin yang meninggalkan tempat itu, menuruni bukit dan
memasuki sebuah hutan di kaki bukit yang dipilih oleh Kui Tek Tojin untuk
menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil menanti perkembangan selanjutnya.
Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin menjadi ketua mereka setelah mereka tadi
menyaksikan betapa lihainya Kwat Lin dan mereka semua ingin memperoleh bagian
pelajaran ilmu silat yang tinggi.
Demikianlah, mulai hari itu, The
Kwat Lin menjadi ketua yang baru dari Bu-tong-pai yang
dipimpinnya dengan gaya dan
bentuk yang baru pula. Dengan harta benda berupa emas permata yang amat
mahal, yang didapatkan dan
dilarikannya dari Pulau Es, dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi.bangunan
yang megah, mewar dan kuat. Bahkan dalam keinginan hatinya untuk lekas-lekas
melihat Bu-tong-
pai menjadi perkumpulan yang kuat
dan banyak anggautanya, dia menerima anggauta-anggauta baru. Anggauta baru diterima dari golongan apapun
juga, syaratnya hanya satu bahwa mereka itu haruslah memiliki kepandaian yang
sampai pada tingkat tertentu, dan bersumpah setia sampai mati kepada
Bu-tong-pai. Karena mendengar bahwa
ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang wanita yang cantik yang memiliki
kesaktian hebat, juga amat kaya raya, maka banyaklah orang-orang kang-ouw dan
golongan kaum sesat yang tadinya hidup sebagai perampok dan bajak-bajak yang
tidak tertentu penghasilanya, berdatanganlah dan masuk menjadi anggauta
Bu-tong-pai!
Mulai pulalah The Kwat Lin
mengatur dan merencanakan cita-citanya untuk puteranya. Dengan kerja sama antara
dia dan para anggauta baru yang berpengalaman mulailah dia diam-diam mengadakan
kontak dan mencari kesempatan untuk menghubungi para pembesar tinggi yang
merupakan kekuatan rahasia untuk membrontak terhadap kaisar. Inilah cita-cita
The Kwat Lin. Dia pernah menjadi ratu, menjadi istri seorang raja, biarpun
hanya raja kecil yang menguasai Kerajaan Pulau Es, karena itu, dia menganggap
bahwa puteranya, Han Bu-ong, adalah seorang pangeran! Seorang pangeran haruslah
bercita-cita menjadi raja. Bukan raja
kecil yang hanya menguasai sebuah pulau, melainkan raja besar! Dan satu-satunya
jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah menggulingkan kaisar sehingga kelak
ada kesempatan bagi puteranya untuk menjadi kaisar!
Tentu saja untuk membrontak
sendiri dengan mengandalkan kekuatanBu-tong-pai merupakan hal yang tak masuk
diakal dan hanya merupakan bunuh diri, maka dia mencari kesempatan mengadakan
kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi seperti dia sehingga mungkin
bagi mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat dikuasai untuk mencapai
cita-cita mereka itu.
Memang sesungguhnyalah bahwa
kemuliaan duniawai atau alam benda merupakan keadaan yang amat berbahaya. Tak
dapat disangkal pula bahwa hidup memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap
dan pelangsung hidup, dan amat baiklah kalau orang dapat menggunakan
keduniawian itu pada tempat sebenarnya. Akan tetapi, akan celakalah dan hanya
akan menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri dan bagi orang lain kalau manusia
sudah dikuasai oleh duniawi yang merupakan harta benda, kedudukan, nama besar,
kepandaian dan lain-lain sebagainya. Alam kebendaan ini mempunyai sifat seperti
arak. Diminum dengan kesadaran dan
pengertian akan menjadi obat, tapi di lain saat dalam keadaan lalai akan menjadi
minuman yang memabokan. Dan sekali orang mabok oleh duniawi, akan timbullah
perbuatan sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala. yang ada hanyalah
keinginan memenuhi segala kehendaknya dengan cara apapun juga tanpa
mengharamkan dengan segala cara. Demikian pula terjadi dengan The Kwat lin.
Dahulu, belasan tahun yang lalu, The Kwat Lin merupaka seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa menentang kejahatan yang gigih sehingga namanya bersama dua
belas orang suhengnya sebagai Cap-sha Sin-hiap amatlah terkenal. Akan tetapi
setelah malapetaka menimpa Cap-sha Sin-hiap, dendam menaburkan bibit yang
merobah seluruh pandangan hidupnya. Setelah dia berhasil membalas dendam secara
keji dan kejam sekali, bibit itu masih berkembang biak dan merobah sifat, dari dendam
kepada pengejaran kemuliaan yang tanpa batas.
Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Han Swat Hong. puteri dari Raja Han Ti Ong dan sebaiknya kita
mengikuti pengalamanya agar tidak tertinggal terlampau jauh. Seperti kita
ketahui, Swat Hong yang berwatak keras itu marah-marah ketika melihat betapa
Sin Liong menolong seekor biruang dan tidak mempedulikan dia.Dianggapnya Sin
Liong sengaja mencari-cari alasan untuk menghambat perjalanan, padahal dia
ingin sekali segera mencari dan menemukan ibunya yang tidak ia diketahui kemana
perginya dan bagaimana nasibnya setelah badai yang amat dahsyat mengamuk
disekitar lautan itu. Akan tetapi tentu
saja bukan dengan hati yang sesungguhnya dia hendak meninggalkan Sin Liong di
pulau kosong itu, melainkan hanya untuk sekedar menunjukan kemarahan hatinya
saja. Karena itu setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga pulau
dimana Sin Liong mengobati biruang itu tidak nampak lagi, dara itu memutar lagi
perahunya dan hendak kembali kepada Sin Liong. Sudah dibayangkannya betapa Sin
Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta maaf dan
menyatakan penyesalan hatinya, dan dia yang akan memaafkannya! Saat - saat
seperti itu mendatangkan keharuan, kebanggan dan kemenangan di dalam hatinya.
Betapa bingung dan kagetnya
ketika kemudian dia mendapat kenyataan bahwa dia tersesat jalan
dan tidak tahu lagi dimana dia
meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian banyaknya pulau yang sama
bentuknya di lautan itu, banyak
sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti hidup saja! Setelah
berputar putar tanpa hasil dan
yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin Liong berada,
setelah berteriak - teriak
memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya dan memutar.perahu
keluardari daerah penuh pulau kecil yang membingungkan itu. Biarlah, dia akan
pergi saja
melanjutkan perjalanan seorang
diri mencari ibunya. Dia merasa yakin bahwa suhengnya itu tentu akan dapat
menyelamatkan diri. Suhengnya memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi. Swat
Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke selatan, bukan menuju ke daerah Pulau
Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara ini seolah - olah
berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja kemana perahu yang terdorong angin
itu membawanya.
Pada suatu hari , tampaklah
olehnya garis hitam di sebelah kanan, masih jauh sekali, akan tetapi dengan
girang dia dapat mengenal bahwa garis hitam yang amat panjang membujur dari
kanan kiri itu adalah sebuah daratan yang agaknya tiada bertepi. Itulah daratan
besar, pikirnya dengan girang dan dia segera membelokan perahunya menuju ke
garis hitam itu.
Ketika perahunya sudah tiba di
dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang meluncur cepat
dari sebelah kirinya. Perahu kecil dan yang berada di perahu itu seorang
laki-laki muda yang kelihatannya gagah dan tampan. Pemuda itu pun memandang
kepadanya sehingga dua pasang mata saling pandang sejenak. Akan tetapi Swat
Hong membuang muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu,
terus saja mendayung perahunya ke tepi.
Begitu perahunya mendekati
daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak menghiraukan perahunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke
tempat itu dan berperahu lagi. Untuk apa berlayar? Pulau Es sudah kosong. Dia
akan mencari ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di suatu
pulau, agaknya tentu tidak akan dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat
itu. Kalau ibu berada di daratan besar , dan ini mungkin saja terjadi, barulah
ada harapan bahwa ibunya masih hidup dapat bertemu dengannya. Andaikata tidak,
dia pun akan merantau di daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa
demikian pula agaknya pendapat suhengnya karena sebelum berpisah mereka sudah
membicarakan hal ini berkali-kali. Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja
di Pulau Es juga berhasal dari daratan besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es
terbasmi badai dan tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris
satu-satunya kembali pula ke daratan besar!
"Heiii... Nona!
Tunggu...!!"
Swat Hong mengerutkan alisnya dan
berhenti melangkahkan kakinya, membalik dan melihat betapa pemuda yang berada
di dalam perahu tadi sudah menambatkan perahunya dan juga perahu yang ditinggalkanya
meloncat tadi, di pantai. Kini pemuda itu berlari mengejarnya. "Mau apa engkau mengejar dan memanggil
aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh selidik. Pemuda itu
usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang
berwajah tampan dan gagah, yang perawakanya tinggi besar dan matanya menyorotkan
kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian. Kedua lengan yang tampak
tersembul keluar dari lengan baju pendek itu kekar berotot membayangkan tenaga
yang hebat, juga bajunya yang terbuat dari kain tipis membayangkan dada yang
bidang, terhias sedikit rambut, berotot dan kuat sekali. Melihat bahan pakaiannya
dapat di duga bahwa pemuda ini seorang yang beruang, namun melihat dari keadaan
tubuhnya dan kaki tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang
petani atau seorang nelayan, pikir Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang
kokoh kuat itu.
Pemuda itu tersenyum. Senyumnya
lebar memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang
yang berwatak jujur dan bersahaja. Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua
tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia
pernah"makan sekolahan" alias terpelajar, terbukti pula dari
kata-katanya yang biarpun ringkas dan singkat akan tetapi tetap sopan. "Maafkanlah, Nona meninggalkan perahu
begitu saja, aku merasa sayang dan membantu meminggirkannya. Melihat gerakan
Nona ketika meloncat, jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali
belajar kenal."
Swat Hong mengerutkan alisnya.
Hatinya sedang tidak senang, karena selain kegagalannya mencari ibu, juga perpisahanya
dengan Sin Liong setidaknya mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada
pemuda yang amat lancang ingin "belajar kenal", sungguh menggemaskan.
"Aku tidak membutuhkan
perahu itu lagi, dan aku tidak peduli apakah kau meminggirkannya atau hendak
memilikinya, aku tidak minta
bantuanmu. Tentang belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan tangan
dan tendangan kaki saja yang mau
belajar kenal dengan orang asing lancang!".Sepasang mata lebar itu
terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun
membayangkan kekaguman yang luar
biasa. Dan memang, di luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya
tadi mendatangkan rasa kagum yang amat besar di dalam hati pemuda ini. Telah
menjadi ciri khas pemuda ini yang mengagumi sikap orang yang terbuka, jujur,
kasar dan tanpa pura-pura seperti sikap Swat Hong yang baru saja diperlihatkan.
"Ha-ha-ha-ha!" Pemuda
itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ini pun
ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air matanya keluar seperti orang menangis.
Dengan punggung tangannya yang besar dan berotot dia menghapus air matanya.
"Nona hebat sekali! Ha-ha-ha , aku Kwee Lun selama hidupku baru sekarang
ini bertemu dengan seorang nona yang begini hebat! Diantara seribu orang gadis,
belum tentu ada satu! Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku Swee Lin, biarpun
jelek dan kasar bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah seorang pelaut biasa dan
sudah meninggal, demikian pula Ibuku. Aku
anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah
yang terkenal. Guruku adalah Lam Hai
Sen-jin, pertapa yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kami berdua tinggal
di Pulau Kura-kura di laut selatan."
Melihat sikap terbuka ini, geli
juga hati Swat Hong. Kini dia melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak
kurang ajar. Kasar memang, akan tetapi kekasaran yang memang menjadi wataknya
yang terbuka. Orang macam ini baik
dijadikan sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu apakah pemuda
ini pantas menjadi sahabatnya, sungguhpun menurut pengakuannya dia murid
seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia kang-ouw!
Swat Hong tersenyum. "Aihh,
engkau lebih pantas menjadi seorang penjual jamu! Setelah engkau memperkenalkan
semua nenek moyangmu kepadaku, dengan maksud apakah engkau seorang pria minta perkenalan
dengan seorang wanita?"
Kwee Lun mengerutkan alisnya yang
sangat lebat seperti dua buah sikat ditaruh melintang di dahinya itu, dan dia
menggeleng-geleng kepalanya. "Memang, sebelumaku berangkat merantau, suhu berpesan
dengan sungguh bahwa aku tidak boleh mendekati wanita cantik yang katanya amat
berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun Nona cantik sukar dicari
cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku
ingin bersahabat, karena sekarang ini baru pertama kali aku merantau seorang
diri, aku membutuhkan seorang sahabat yang pandai seperti Nona untuk memberi petunjuk
kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan berusaha menyenangkan
hatimu." Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar
atau bodoh. Sikapnya terbuka akan tetapi biarpun kata-katanya teratur, ada
bayangan ketololan.
"Hemm, kau bisa apa sih?
Bagaimana engkau bisa menyenangkan hatiku?" Dia menyelidik. "Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi kalau
ada orang-orang kurang ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri, aku
sanggup menghajar mereka! Dia melonjorkan kedua lengannya yang kekar berotot
itu. "Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku masih
sanggup menghadapi mereka, kalau perlu dibantu sengan senjataku kipas dan
pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal sajak kuno yang indah dan
di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka
sekali bernyanyi."
Hampir saja Swat Hong tertawa
geli orang yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca sajak, bernyanyi
dan senjatanya kipas? Benar-benar seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu
saja dia belum mau percaya begitu saja. Sambil memandang tajam dia berkata,
"Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata, akan tetapi
aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa." Ahh, tunggu dulu, Nona.
Aku memang sengaja meninggalkanya di perahu!" Setelah berkata demikian, Kwee
Lun membalikan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke perahunya dan ketika dia
sudah kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah membawa sebatang pedang
yang sarungnya terukir indah dan sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan
di ikat pinggangnya!
"Mengapa baru sekarang kau
memperlihatkan senjata-senjatamu?"."Aih, kalau tadi aku membawa
senjata, tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan dan untuk
berkenalan dengan seorang gadis,
bagaimana aku berani membawa senjata? Tentu disangka perampok atau bajak!"
Mau atau tidak, Swat Hong
tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada pemuda kasar yang aneh ini.
"Betapapun juga, aku adalah
seorang wanita dan engkau seorang pria, mana mungkin menjadi sahabat?
Tidak patut dilihat orang."
Mata yang lebar itu kembali
terbelalak penuh penasaran dan tangan kirinya dikepalkan. "Apa peduli
kata-kata orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang bukan-bukan tentu akan
kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah
seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan
bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan
seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan memilih kawan!
Aku kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri." Swat
Hong makin tertarik, akan tetapi dia masih ragu-ragu apakah orang ini patut
dijadikan seorang teman.
Biarpun lagaknya seperti jagoan,
siapa tahu kalau kosong belaka?
"Kau bilang tadi murid
seorang tosu yang terkenal?"
"Ya, Suhu Lam Hai Seng-jin
merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah selatan!"
"Kalau begitu, ilmu silatmu
tentu lebih lihai daripada bicaramu sepeti penjual jamu?" "Ihhh,
harap jangan mentertawakan! Biarpun tidak selihai Nona yang dapat kulihat dari
gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih tidak terlalu orang di
dunia ini yang akan sanggup mengalahkan Kwee Lun!"
"Tidak ada artinya kalau
hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku juga tidak sembarangan
memperkenalkan diri kepada orang lain. Untuk membuktikan apakah kau patut
menjadi kenalanku, cabut kedua senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!"
Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut pedangnya perlahan-lahan dan
tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya. "Akan tetapi, Nona...." Kwee Lun
meragu. Biarpun dia tadi menyaksikan betapa gesit dan ringannya tubuh nona itu
melayang ke daratan, namun dia tidak percaya apakah nona ini mampu menandingi
pedang dan kipasnya!
"Tidak usah banyak ragu.
Kalau kau tidak mau, pergilah dan jangan menggangguku lebih lama lagi!" "Srat...!!"
Pedang terhunus sudah berada di tangan kanan Kwee Liu dan sarung pedangnya
dilempar ke atas tanah, sedangkan tangan kirinya sudah mencabut kipas gagang
perak yang telah dikembangkan dan melindungi dadanya, adapun pedang itu
dilonjorkan ke depan.
"Aku telah siap, Nona."
Swat Hong memang ingin sekali
melihat sampai di mana kepandaian pemuda yang aneh ini, maka tanpa banyak kata
lagi dia sudah meloncat ke depan dan menggerakan pedangnya dengan hebat sekali.
Pedang di tangannya itu adalah pedang biasa saja, akan tetapi karena yang
menggerakan adalah tangan yang mengandung tenaga sinkang istimewa dari Pulau
Es, maka pedang itu lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar yang
menyilaukan mata dan tubuh dara itu juga tertutup oleh gulungan sinar pedang
saking cepatnya tubuh itu berloncatan.
"Aihhh...!!" Kwee Lun
berseru keras dan cepat dia menggerakan pedang dan kipas. Memang sudah diduganya
bahwa dara itu lihai sekali, akan tetapi menyaksikan gerakan pedang yang
demikian luar biasa, dia menjadi kaget, kagum, heran dan juga gembira. Tanpa
ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silatnya
untuk menandingi dara yang mengagumkan hatinya ini.
Seperti telah kita kenal di
permulaan cerita ini ketika terjadi para tokoh kang-ouw memperebutkan
Sin Liong yang ketika itu dikenal
sebagai Sin-tong (bocah ajaib), guru pemuda itu, Lam Hai Seng-jin,
adalah seorang tosu yang selain
ahli dalam Agama To, juga pandai bernyanyi, dan lihai sekali ilmu
silatnya. Namun terkenal sebagai
pertapa atau pemilik Pulau Kura-kura di Lam-hai dan senjatanya yang
berupa hudtim dan kipas
mengangkat tinggi namanya di dunia kang-ouw. Agaknya kepandaian itu
telah.diturunkan semua kepada murid tunggalnya ini, namun tentu saja karena
muridnya bukanlah seorang tosu,
senjata hudtim diganti dengan
pedang.
Pedang dan kipas adalah senjata
yang ringan, kini dimainkan oleh kedua lengan Kwee Lun yang mengandung tenaga
gajah, tentu saja dapat dibayangkan betapa cepatnya kedua senjata itu bergerak
sampai tidak tampak lagi sebagai senjata kipas dan pedang, melainkan tampak
hanya gulungan sinar yang berkelebatan dan saling belit dengan sinar pedang di
tangan Swat Hong. "Cringgg...!"
Tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan pedangnya mencelat ke atas terlepas dari
tangannya. Swat Hong tersenyum. Dia tadi
sudah menyaksikan bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup lihai, bahkan dalam hal
kecepatan dan tenaga tidaklah kalah banyak dibandingkan dengan kepandaiannya
sendiri. Adanya dia dapat membuat pemuda
itu terlepas dalam waktu tiga puluh jurus, hanyalah karena selain dasar ilmu
silatnya lebih tinggi daripada pemuda itu, juga kenyataan bahwa pemuda itu
tidak mau menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan mendasarkan permainannya pada
tingkat penguji dan berlatih saja. Kalau pemuda itu merupakan lawan
sungguh-sungguh, dia sendiri sangsi apakah akan dapat merobohkannya dalam waktu
seratus jurus.
"Wah, kau hebat sekali,
Nona! Aku mengaku kalah!" Kwee Lun menjura dan menyimpan kipasnya.
Suaranya bersungguh-sungguh, karena memang pemuda ini walaupun tadi tidak mau
menyerang sungguh-sungguh, namun dari gerakan lawannya dia sudah dapat melihat
bahwa dara itu benar-benar memiliki ilmu silat yang amat aneh dan amat kuat.
"Aku terlalu rendah untuk menjadi sahabatmu." "Kwee-twako, kau
terlalu merendah. Ilmu kepandaianmu hebat! Perkenalkanlah, aku bernama Hat Swat
Hong...." Sampai di sini, dara itu meragu karena dia masih sangsi apakah dia
akan memperkenalkan diri sebagai seorang puteri dari Kerajaan Pulau Es yang
asing dan yang telah terbasmi habis oleh badai itu. "Ilmu pedang Nona hebat bukan main, juga
amat aneh gerakannya, Selama melakukan peratauan dengan Suhu, dan mendengar
penjelasan Suhu, sudah banyaklah aku mengenal dasar ilmu silat perkumpulan
besar di dunia kang-ouw akan tetapi melihat gerakan pedangnya tadi, aku
benar-benar tidak tahu lagi, sedikit pun tidak mengenalnya. Maukah Nona Han
Swat Hong memperkenalkannya kepadaku?" "Kwee-twako, sebenarnya aku
akan merahasiakan keadaanku, Baru pertama kali ini aku menginjak daratan besar
dan aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan di dunia kang-ouw, apa lagi memperkenalkan
diriku. Akan tetapi memang sudah nasib, begitu mendarat bertemu dengan engkau,
dan sikapmu menarik hatiku, membuat aku tidak dapat menyembunyikan diri lagi.
Aku akan menceritakan keadaanku hanya dengan satu janji darimu, Twako."
Kwee Lun memunggut pedangnya,
mengikatkan sarung pedang di punggung lalu membusungkan dadanya yang sudah
membusung tegap itu sambil menepuk dada dan berkata, "Nona Han...." "Kwee-twako,
sekali mau mengenal orang, aku tidak mau bersikap kepalang. Aku menyebutmu
Twako (kakak), berarti aku sudah percaya kepadamu. Maka janganlah kau masih bersikap
sungkan menyebutku Nona. Namaku Swat Hong dan tak perlu kau menyebutku Nona
seperti orang asing." "Hemm, bagus sekali!" Kwee Lun bertepuk
tangan dan memandang ke langit. "Bukan main! Aku benar-benar berbahagia
dapat memperoleh adik seperti engkau!
Nah, Hong-moi (adik Hong),
kauceritakanlah kepada kakakmu ini. Ceritakan semuanya, kalau ada penasaran,
akulah yang akan membereskan untukmu! Kakakmu ini sekali bicara tentu akan
dipertahankan sampai mati!"
Diam-diam Swat Hong merasa girang
dan kagum. Inilah seorang laki-laki sejati! Seorang jantan! Sekaligus dia memperoleh seorang sahabat yang
boleh dipercaya seorang kakak dan sebagai pengganti seorang keluarga setelah
dia kehilangan segala-galanya. Dia telah kehilangan ibunya, ayahnya, keluarga ayahnya,
bahkan akhirnya dia kehilangan suhengnya dan dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba muncul seorang seperti Kwee Lun!
"Kwee-twako aku baru saja
meninggalkan tempat tinggalku di tengah-tengah laut di sekitar sana!" Dia menuding
ke arah laut bebas.
"Di manakah tempat tinggalmu
itu? Di sebuah pulau?".Swat Hong mengangguk, masih agak ragu-ragu.
"Pulau apa, Hong-moi?"
"Pulau Es..."
"Hah...?" Benar saja
seperti dugaannya, nama Pulau Es mendatangkan kekagetan luar biasa, bahkan
wajah pemuda itu berubah menjadi agak pucat dan dia memandang dara itu seperti
orang melihat iblis di tengah hari! "Pulau... Pulau Es...??" Seperti
juga semua orang di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya didengarnya seperti dalam
dongeng saja, dan pangeran Han Ti Ong yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw
disebut sebagai seorang dari Pulau Es, seorang yang memiliki kepandaian seperti
dewa! Dan kini pemuda itu mendengar bahwa dara itu dari Pulau Es.
"Kwee-twako! Jangan
memandangku seperti memandang siluman begitu...!"
"Ohh... eh...., maafkan aku,
Moi-moi! Hati siapa yang mau percaya? Akan tetapi aku percaya padamu, Moi-moi! Wah! aku percaya sekarang! Kau pantas kalau
dari Pulau Es. Ilmu kepandaianmu luar biasa, bukan seperti manusia lumrah. Mana
ada gadis biasa mampu mengalahkan Kwee Lun dalam beberapa jurus saja? Aku malah bangga! Seorang penghuni Pulau Es
menyebutku twako dan kusebut Moi-moi! Ha-ha-ha-ha, Suhu tentu akan tercengang
saking kagetnya kalau mendengar ini!"
Melihat pemuda itu petentang-
petenteng mengangkat dada seperti orang membanggakan diri sebagai seorang
sahabat baik penghuni Pulau Es, Swat Hong menjadi geli hatinya. "Hong-moi, engkau tidak tahu betapa
bangga dan besarnya hatiku. Aihh, sekali ini, baru saja meninggalkan Suhu untuk
merantau seorang diri, aku telah bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Betapa
bangga hatiku!"
Swat Hong terkejut. Baru teringat
olehnya bahwa dia tadi belum melanjutkan syaratnya, maka cepat dia berkata,
"Kalau begitu, berjanjilah bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada
siapapun juga tentang keadaan diriku, kecuali namaku saja. Berjanjilah
Twako!"
Kwee Lun memandang kecewa.
"Tidak menceritakan kepada siapapun juga bahwa engkau adalah penghuni Pulau
Es? waaahhh... ini..." Tentu saja hatinya kecewa karena hal yang amat
dibanggakan itu tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Mana bisa dia
berbangga kalau begitu? "Kwee
Lun."tiba-tiba Swat Hong berkata dengan lantang. "Hanya ada dua
pilihan bagimu. Berjanji memenuhi permintaanku dan selanjutnya menjadi sahabat
baiku, atau kau tidak mau berjanji akan tetapi kuanggap sebagai seorang
musuh!"
"Wah-wah... aku berjanji!
Aku berjanji! Bukan karena takut kepadamu, Hong-moi, aku bukan seorang penakut
dan juga tidak takut mati, akan tetapi karena memang aku merasa suka sekali
kepadamu. Aku tidak sudi menjadi musuh!
Nah, aku berjanji, biarlah aku bersumpah bahwa aku tidak akan menceritakan
kepada siapapun juga tentang asal-usulmu, kecuali... hemm, tentu saja kalau...
kalau kau sudah mengijinkan aku. Siapa tahu..." Sambungnya penuh harap.
Swat Hong tersenyum lega.
"Baiklah, Kwee-twako. Aku percaya bahwa engkau akan memegang teguh janjimu.
Sekarang dengarlah cerita singkatku dan kuharap kau suka membantuku. Aku adalah
puteri dari Raja Pulau Es..."
"Aduhhhh...." Kembali
mata itu terbelalak dan kwee Lun segera membungkuk, agaknya malah akan berlutut!
"Twako, kalau kau berlutut
atau melakukan hal yang bukan-bukan lagi, aku takan sudi bicara lagi kepadamu!"
Kwee Lun berdiri tegak lagi.
"Hayaaaa... siapa bisa menahan datangnya hal-hal yang mengejutkan secara
bertubi-tubi ini? Baiklah, aku
taat... eh, benarkah aku boleh menyebutmu Moi-moi?"."Siapa bilang
tidak boleh ! Aku hanya bekas puteri raja! Ayahku telah meninggal dunia dan
Ibuku..., ah,
aku sedang mencari Ibuku yang
pergi entah kemana. Kwee-twako, aku tidak bisa menceritakan lebih banyak lagi.
Yang penting kauketahui hanya bahwa Ibuku telah berbulan-bulan meninggalkan
Pulau Es, entah ke mana perginya dan aku sedang mencarinya. Juga aku telah
saling berpisah dengan Suhengku. aku sedang pergi merantau dan sekalian mencari
Ibuku dan Suhengku."
"Aku akan membantumu!"
Kwee Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah pendek sampai kebawah siku
itu. "Jangan khawatir!"
"Terima kasih, Twako. Dan
sekarang, engkau hendak ke manakah?" "Sudah kukatakan tadi bahwa aku
meninggalkan Pualu Kura-kura untuk pergi merantau meluaskan pengalaman,
sekalian memenuhi permintaan penduduk kota Leng-sia-bun yang berada tak jauh
dari pantai ini."
"Permintaan apa,
Twako?"
"Beberapa orang penduduk
bersusah payah mencari Suhu di Pulau Kura-kura, dan mereka mohon pertolongan
Suhu untuk menghancurkan komplotan busuk yang merajalela di kota ini. Suhu lalu
memerintahkan aku pergi, dan sekalian aku diberi waktu setahun untuk merantau
sendirian. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Marilah kau ikut bersamaku
ke Leng-sia-bun, tentu kau akan gembira melihat keramaian ketika aku menghadapi
komplotan itu. Setelah selesai urusanku di sana,aku menemanimu mencari Suhengmu
dan Ibumu."
Swat Hong mengangguk setuju. Lega
juga hatinya, karena kini ada seorang teman yang setidaknya lebih banyak
mengenal keadaan daratan besar dari pada dia yang asing sama sekali. "Baik, Twako. Akan tetapi
perutku...."
"Eh, perutmu mengapa?
Sakit...."
"Sakit.... lapar...!"
JILID 11
Kwee Lun tertawa-tawa bergelak
dan Swat Hong juga tertawa. Keduanya merasa lucu dan gembira karena mendapatkan
seorang teman yang cocok wataknya! "Kalau
begitu, tidak jauh bedanya dengan perutku! mari kita cepat pergi. Leng-sia-bun
terdapat banyak makanan enak!"
"Tapi .... perahumu itu?
Bagaimana kalau ada yang curi nanti ?"
"Hemm, siapa berani
mencurinya? Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya seperti seekor kura-kura,
lengkap dengan kepalanya dan ekornya. Melihat itu, semua orang tahu bahwa itu
milik Pulau Kura-kura, siapa berani mengganggunya? Perahumu yang berada di
dekat perahuku juga aman." "Wah, kalau begitu nama Suhumu sudah
terkenal sekali!"
Memang, dan sekarang aku akan
membuat nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!" Berangkatlah kedua
orang muda itu menuju ke utara, melalui sepanjang pantai itu lalu mendekati
sebuah daerah pegunungan, menuju ke kota Leng-sia-bun yang letaknya tidak jauh
dari pantai laut, tak jauh dari muar sungai Huai.
Kota Leng-sia-bun merupakan kota
pantai yang ramai dan padat penduduknya. Karena daerah ini
merupakan daerah perdagangan yang
menampung datangnya hasil bumi dari pedalaman untuk dibawa oleh
perahu-perahu ke pantai laut yang
lain, juga merupakan pasar besar pagi para nelayan, maka penduduknya
cukup makmur. Rumah-rumah besar,
toko-toko, hotel-hotel dan restoran-restoran membuktikan
kemakmuran kota itu. Akan tetapi,
seperti biasa terjadi dimanapun juga di penjuru dunia dan di jaman apa
pun, di kota Leng-sia-bun muncul
juga manusia-manusia yang mempergunakan kesempatan untuk mencari
keuntungan dan menumpuk harta
benda dengan cara yang tidak layak, tidak halal, bahkan tidak
mempedulikan lagi nilai-nilai
kemanusiaan.Telah bertahun-tahun, di kota itu merajalela komplotan
yang.dipimpin oleh seorang hartawan bernama Ciu Bo jin dan terkenal dengan
sebutan Ciu- wangwe (Hartawan
Ciu). Sebenarnya, tanpa diketahui
oleh siapa pun di kota itu, Ciu-wangwe adalah bekas seorang perampok tunggal
yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah rambutnya mulai putih dan dia berhasil
mengumpulkan kekayaan, tinggallah dia di kota Leng-sia-bun menjadi seorang
pedagang. Mula-mula dia mendirikan
sebuah rumah makan. Setelah rumah makannya maju, dia membuka rumah judi dan
rumah penginapan. Tentu saja dia mengumpulkan bekas teman-temannya dari
kalangan hitam untuk bekerja kepadanya dan merangkap menjadi tukang pukul, akan
tetapi Ciu-wangwe melarang keras kepada anak buahnya untuk memperlihatkan sikap
kasar dan sewenang-wenang karena dia maklum bahwa itu bukan merupakan cara
untuk mengumpulkan kekayaan di sebuah kota.
Dengan licin sekali, Ciu-wangwe mempengaruhi para pembesar kota itu
dengan jalan seringkali mengirimkan hadiah kepada mereka. Bahkan bukan uang
saja yang dijadikan umpan untuk memancing ikan besar dan menjinakan haimau,
akan tetapi dia juga mempergunakan wanita-wanita muda! Terkenallah hotel dan
rumah judi yang didirikan Ciu-wangwe karena kedua tempat ini juga merupakan
tempat berpelesir di mana disediakan perempuan muda sebagai pelacur-pelacur
kelas tinggi! Bahkan restorannya juga
amat laris karena disitu bercokol pula beberapa orang pelacur cantik yang melayani
para tamu makan minum dan memberi kesempatan kepada para tamu sambil makan
minum untuk colek sana sini!
Biarpun banyak penduduk
Leng-sia-bun yang menjadi korban judi, banyak rumah tangga berantakan, namun
tidak ada orang yang mampu menyalahkan Ciu-wangwe karena rumah judi, hotel dan restoran
yang dibukanya adalah sah dan mendapat restu serta perlindungan dari para
pembesar setempat. Bahkan secara
terang-terangan, hampir semua pembesar di kota itu menjadi langganan
Ciu-wangwe. Mereka yang gemar berjudi
menjadi langganan pokoan ( tempat judi) di mana mereka dapat berjudi apa saja
sepuasnya dan tentu saja dalam melayani para pembesar berjudi, orang-orang
kepercayaan Ciu-wangwe tidak berani main curang, tidak seperti jika melayani
umum di situ dilakukan kecurangan-kecurangan yang menjamin kemenangan bagi si
bandar judi. Bagi para pembesar yang senang pelesir dengan wanita, mereka
mendatangi likoan (hotel) di mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang
tinggal pilih dan mereka memperoleh pelayanan istimewa! Bagi yang mengutamakan
lidah dan mulut, tersedia restoran yang menyediakan atau mengirim arak wangi
dan masakan lezat! Kesewenang-wenangan
Ciu-wangwe tidaklah tampak atau terasa secara langsung oleh penduduk. Hanya apabila
ada orang berani mendirikan tempat judi, restoran atau hotel baru yang
menyaingi perusahannya, maka diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan
memaksa si pemilik perusahan itu untuk menutup pintu dan menurunkan papan nama
perusahan! Boleh orang lain membuka akan tetapi harus kecil-kecilan dan
mengirim "pajak" sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe!
Akan tetapi, beberapa bulan
belakangan ini terjadilah kegemparan-kegemparan di daerah kota
Leng-sia-bun. Kegemparan yang
terasa oleh kaum pria yang doyan pelesir di restoran dan hotel milik
Ciu-wangwe.Hanya bedanya, kalau kegemparan para penduduk dusun disertai tangis,
adalah kegemparan di hotel-hotel itu diiringi suara ketawa gembira sungguhpun
di malam hari juga mengakibatkan tangis mnyedihkan. Apakah yang terjadi di
kedua tempat itu? Di kota Leng-sia-bun, di dalam hotel milik Ciu-wangwe, kini
seringkali terdapat "barang baru", yaitu pelacur-pelacur muda yang
baru, dan daun-daun muda seperti ini paling disuka oleh bandot-bandot tua yang
tidak segan-segan membuang uang sebanyaknya untuk memetik daun-daun muda itu!
dan di dalam tempat-tempat rahasia di belakang hotel, di dalam kamar-kamar
gelap sering kali terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis remaja
dipaksa dan dicambuki, disiksa sampai mereka itu terpaksa menyanggupi untuk
dijadikan pelacur dan melayani kaum pria! Dan sekali dara remaja ini melayani
seorang tamu, segala akan berjalan lancar dan beberapa bulan kemudian perempuan
remaja itu akan menjadi seorang pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan!
Pada waktu yang bersamaan,
terjadi geger di dusun-dusun di sekita daerah itu. Banyak terjadi
pembelian gadis-gadis muda,
bahkan banyak terjadi penculikan dan perampokan secara terang-terangan
dilakukan oleh gerombolan
perampok ganas! Keluarga gadis ini melakukan penyelidikan dan mereka
akhirnya dapat menemukan anak
gadis mereka di Leng-sia-bun, dalam keadaan yang menyedihkan karena
sudah menjadi pelacur-pelacur!
Ada yang lenyap sama sekali, bahkan ada yang terlunta-lunta sebagai
seorang wanita gila! Mereka ini
adalah gadis-gadis yang berkeras tidak mau menjadi pelacur. ada yang
disiksa sampai mati, dan ada yang
diperkosa dan akhirnya menjadi gila!.Tentu saja banyak di antara mereka yang
melapor kepada pembesar di Leng-sia-bun, akan tetapi mereka itu
malah dimaki-maki karena dianggap
menghina Ciu-wangwe. Dikatakan bahwa anak mereka menjadi pelacur, hal ini
adalah orang tua mereka yang tidak tahu malu dan tak dapat mendidik anak,
sekarang ada Ciu-wangwe yang menampung mereka sehingga tidak kelaparan, mengapa
mereka itu malah melapor dan menuntut Ciu-wangwe?
Mereka melaporkan bahwa anak
gaisnya di culik orang yang ternyata anak gadis mereka itu tahu-tahu telah
menjadi pelacur di hotel milik Ciu-wangwe, malah dijatuhi hukuman rangket
karena menghina Ciu-wangwe, dan pelaporan mereka itu dianggap fitnah karena
tidak ada bukti bahwa anak mereka diculik!
Memang ada saja jalan dan alasan para penegak hukum yang telah
diperbudak oleh harta yang mereka terima dari Ciu-wangwe itu, disamping suguhan
anak-anak perawan hasil penculikan! Untuk melakukan penculikan sendiri, tentu
saja para pembesar ini merasa malu. Kini ada yang menculikan untuk mereka, hati
siapa yang takkan senang?
Karena sudah merasa tersudut dan
tidak berdaya lagi, akhirnya mereka teringat akan nama besar Lam-hai Seng-jin,
Majikan pulau kura-kura yang terkenal sebagai seorang pertapa yang suka
menolong kesukaran orang lain yang memerlukan pertolongan. Terutama sekali
mereka yang mempunyai anak perempuan dan yang merasa gelisah kalau-kalau pada
suatu malam akan tiba giliran mereka didatangi penculik yang akan melarikan
anak mereka, segera bermufakat untuk mita pertolongan pertapa itu dan akhirnya
berangkatlah serombongan orang menuju ke pulau Kura-kura. Lam-hai Seng-jin
menerima pelaporan mereka dan merasa kasihan, maka dia mengutus murid
tunggalnya yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya untuk mewakilinya menyelidiki
dan memberi hajaran kepada komplotan penjahat itu. Juga dia memberi ijin kepada
muridnya untuk merantau selama satu tahun.
Setelah memberi banyak nasihat,
berangkatlah Kwee Lun seorang diri naik perahu menuju ke daratan besar dan
tanpa disangkanya, dia telah berjumpa dengan Han Swat Hong puteri kerajaan
Pulau Es! Pada hari itu kota
Leng-sia-bun sibuk seperti biasa. Keadaan tetap ramai dan biasa seperti tidak
terjadi sesuatu dan seperti tidak akan terjadi sesuatu. Tidak ada seorang pun
yang tahu, di antara sebagian besar penduduk yang memang tidak memikirkan lagi,
bahkan malam tadi telah terjadi seperti biasa, yaitu pemerkosaan dara-dara
culikan baru seperti seklompok domba disembelih, dan tidak ada pula yang tahu bahwa
pagi hari itu muncul dua orang yang akan mendatangkan perubahan besar di kota
itu, menimbulkan geger yang akan menggemparkan kota dan akan menjadi bahan
cerita sampai bertahun-tahun lamanya. Setelah
menyelidiki di mana letaknya rumah makan milik Ciu-wangwe, Kwee Lun mengajak
Swat Hong mendatangi rumah makan itu. Sebuah rumah makan yang bangunannya indah
dan besar, dengan cat baru dan di depan rumah makan terdapat tulisan dengan
huruf besar "RUMAH ARAK" yang berarti restoran. "Hong-moi, engkau lapar bukan? Mari kita
makan dan minum di sini." Swat Hong memandang heran. Bukankah ini rumah
makan milik Hartawan Ciu yang menjadi pemimpin komplotan penjahat di kota ini
yang akan dibasmi Kwee Lun? Dia memandang dan melihat mata pemuda itu bersinar,
kemudian Kwee Lun memejamkan sebelah mata penuh arti. Swat Hong tersenyum geli.
Mengertilah dia kini. Pemuda itu hendak mengajaknya makan sampai kenyang lebih
dulu sebelum turun tangan. Dan memang dia merasa lapar sekali!
"Aku tidak bisa bekerja
tanpa makan lebih dulu," pemuda itu berkata lirih ketika mereka memasuki
rumah makan dan Swat Hong tersenyum-senyum. Sepagi itu, rumah makan sudah
terisi setengahnya oleh mereka yang beruang, karena rumah makan ini terkenal
sebagai rumah makan mahal. Dua orang pelayan, pria dan wanita, yang wanita
masih muda dan genit, dengan wajah yang ditutup warna putih dan merah yang
tebal seperti tembok dikapur dan digambar, menyambut mereka dengan sikap manis.
Kwee Lun dan Swat Hong diantar ke sebuah meja kosong di sudut dan dengan suara
lantang Kwee Lun memesan makanan dan minuman yang paling lezat, dalam jumlah
banyak sekali. Para pelayan menjadi terheran-heran mendengar pesanan masakan
yang pantasnya untuk menjamu sepuluh orang! Akan tetapi melihat sikap kasar
dari pemuda tinggi besar itu, pula melihat dua batang pedang dan kipas yang
diletakan di atas meja, mereka tidak berani banyak cakap dan melayani mereka.
Diam-diam seorang pelayan memberi tahu kepada kepala tukang pukul yang berada
di dalam.
Dua orang tukang pukul yang
berpakaian biasa, dan dengan sikap biasa pula, keluar dari dalam
dan berjalan lewat dekat meja
Kwee Lun dan Swat Hong. Kedua orang tidak perduli dan berpura-pura
tidak.melihat. Juga Swat Hong melanjutkan makan sambil kadang -kadang tersenyum
geli menyaksikan betapa
temannya itu makan dengan
lahapnya. Dia belum menghabiskan setengah mangkok, Kwee Lun sudah menyapu
bersih lima mangkok. Ketika dua orang itu lewat, Swat Hong hanya melirik
sebentar dan mengerahkan ilmu sehingga telinganya terbuka dan dapat menangkap
dengan ketajaman luar biasa ke arah kedua orang itu yang masih berjalan-jalan
di ruangan itu, seolah-olah sedang memriksa dan kadang-kadang membenarkan letak
kursi dan meja yang kosong.
"Aku tidak mengenal
mereka," terdengar yang kurus pucat berkata.
"Tapi gadis itu
hebat....," kata orang ke dua yang pendek dan berperut gendut. "Kalau
dia bisa didapatkan, tentu Loya (Tuan Tu) akan memberi banyak hadiah kepada
kita."
"Hushh... apa kau mau
menyaingi pekerjaan Tian-ci-kwi (Setan Berjari Besi)?"
"Ah, siapa tahu, dengan cara
halus bisa mendapatkan dia...."
"Tapi pemuda itu kelihatan
jantan!"
"Huh, takut apa? Orang kasar
seperti itu...."
"Tapi jangan memancing
keributan, Lote, kita nanti tentu dimarahi Loya." "Aku tidak bodoh,
mari kita pergunakan cara halus. Lihat, mereka telah selesai makan. Raksasa itu
makannya melebihi babi!"
Swat Hong yang sedang minum
hampir tersedak karena geli hatinya mendengar temannya yang gembul itu dimaki
seperti babi. Akan tetapi Kwee Lun agaknya tidak mempedulikan sesuatu dan tidak
melakukan penyelidikan seperti Swat Hong, tidak mendengar makian itu dan
mengelus-elus perutnya yang kenyang. Dia kelihatan puas sekali telah dapat
makan minum secukupnya di dalam restoran itu.
Pada saat itu dua orang tukang pukul tadi sudah menghampiri mereka. Yang
kurus pucat sudah menjura sambil berkata, "kami mewakili Ciu-wangwe
pemilik restoran ini menghaturkan selamat datang kepada Jiwi."
Sebelum Kwee Lun yang
terheran-heran menjawab, Si Gendut pendek sudah menyambung sambil menyeringai
dalam usahanya untuk tersenyum ramah. "Tentu Jiwi datang dari jauh dan
lelah. Majikan kami juga memiliki hotel yang paling besar, paling bersih dan
paling baik di kota ini, letaknya di sebelah kiri rumah makan ini. Jiwi akan
dapat mengaso dengan enak di hotel kami dan kalau Loya kami mendengar bahwa
Jiwi adalah tamu dari jauh, tentu biayanya akan diberi potongan
separuhnya." Kwee Lun sudah mengerutkan alisnya, mukanya merah dan dia
seakan-akan memperoleh kesempatan mulai beraksi. "kalian berani mengganggu
kami yang sedang makan?" Mendadak kakinya tertendang ujung kaki Swat hong
dan ketika dia memandang, dia melihat isyarat dalam sinar mata gadis itu, maka
dia hanya mengerutkan alis dan tidak melanjutkan kata-katanya. Swat Hong sendiri
segera berkata kepada dua orang itu dengan suara ramah dan sikap manis,
"Kalian sungguh ramah, tentu majikan kalian adalah seorang yang mengenal
pribudi. Baik, kami memang hendak bermalam barang dua hari di kota ini. Akan
tetapi melihat keramahan kalian, aku ingin bertemu dengan majikan kalian untuk menghaturkan
terima kasih."
Dua orang itu saling pandang.
"Marilah kami antarkan Nona dan Tuan agar memperoleh kamar yang paling baik
di hotel, kemudian kami akan melapor kepada majikan kami...."
"Tidak usah
repot-repot!" Swat Hong berkata cepat. "Temanku ini masih hendak
melanjutkan
makan minum....heiii! Pelayan
tambah araknya! Biarlah saya yang menemui majikan kalian dan memilih
kamar di hotel sebelah. Kami
sudah mendengar tentang kebaikan hati majikan kalian dari pembesar-pembesar
di kota ini, dan kami memang
ingin minta pekerjaan. Aku ingin bekerja apa saja yang pantas dan
temanku itu.... dia tentu bisa
menjadi seorang penjaga keselamatan..Dapat dibayangkan betapa girangnya hati
kedua orang itu. Sudah terbayang di depan mata betapa mereka
akan menerima pujian berikut
hadiah dari Ciu-wangwe. Seorang nona begini cantik jelita seperti bidadari, tanpa
susah payah datang sendiri ke depan mulut, tinggal membuka mulut dan mencaplok
saja! Ciu-wangwe tentu senang sekali, bukan untuk hartawan itu sendiri yang
kesenangannya bukan memeluk wanita cantik, melainkan untuk menyenang hati para
pembesar setempat. Ciu-wangwe sendiri kesenangannya hanya satu, yaitu uang dan
kedudukan!
"Bagus sekali kalau begitu,
Nona! Kebetulan pada saat ini Ciu-wangwe sedang menjamu pembesar yang paling
terhormat di kota ini. Mereka sedang berpesta di ruangan belakang hotel kami.
Mari kami antar Nona ke sana!"
"Tidak usah, kalian di sini
saja melayani temanku!" Sambil berkata demikian Swat Hong sudah bangkit berdiri
dan cepat laksana kilat kdua tangannya bergerak seperti seorang wanita yang
menepuk-nepuk pundak kedua orang itu dengan ramahnya, akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang tukang pukul itu ketika
tiba-tiba tubuh mereka menjadi lemas dan kaki tangan mereka tak dapat digerakan
lagi.
"Ha-ha, duduklah kalian,
mari temani aku minum arak!" Kwee Lun yang dapat melihat gerakan temannya itu
cepat bangkit berdiri, kakinya bergerak dan kedua lutut mereka telah terkena
tendangan ujung sepatunya sehingga terlepas sambungannya. Sambil tersenyum Kwee
Lun sudah mendudukan mereka di atas bangku di kanan kirinya!
Para tamu hanya melihat empat
orang itu seperti beramah tamah, maka mereka tidak tertarik lagi, hanya
tertarik kepada Swat Hong yang memang sejak tadi telah menjadi perhatian
pandang mata para tamu pria yang berada di dalam restoran. Mereka menahan napas
melihat dara cantik jelita itu dengan langkah gontai meninggalkan restoran,
membawa dua batang pedang dan sebuah kipas, "Aku pinjam dulu ini!"
kata Swat Hong tadi kepada Kwee Lun yang hanya memandang dengan terheran-heran
melihat kedua senjatanya dibawa pergi oleh Swat Hong. "Agar kau tidak
kesalahan membunuh orang!" kata pula Swat Hong dan Kwee Lun tersenyum.
Kiranya gadis itu tidak ingin melihat dia membunuh orang, maka sengaja membawa
pergi kedua senjatanya. Di dalam hatinya dia mentertawakan Swat Hong. Apakah
tanpa kedua senjata itu kaki dan tanganku tidak mampu membunuh orang? Pula,
apakah dia seekor harimau yang haus darah? Biarlah, pikirnya.
Gadis itu masih belum percaya
kepadanya, dan dia akan memperlihatkan kelihaianya tanpa bantuan senjata.
Sambil tertawa-tawa kepada dua orang tukang pukul yang duduk seperti boneka dan
tak mampu bergerak itu, Kwee Lun melanjutkan minum arak. Karena hawa mulai
panas disebabkan oleh hawa arak, pemuda perkasa ini melepaskan kancing bajunya
sehingga tampak rambut halus ditengah dadanya yang bidang dan kokoh kuat itu.
Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri meja Kwee Lun. pelayan ini tadi melihat
ketidak wajaran pada kedua tukang pukul yang duduk berhadapan dengan pemuda
itu. Mengapa mereka tidak bergerak-gerak dan duduk dengan lemas, dan ketika dia
bertemu pandang, tukang pukul yang gendut pendek itu mengejapkan mata kepadanya
sedangkan dari kedua mata tukang pukul kurus pucat itu keluar dua titik air
mata. Maka dia cepat menghampiri dan melihat dari dekat. "mau apa kau? pergi!" Kwee Lun
membentak dan pelayan itu kaget sekali, lalu lari pergi masuk ke dalam untuk
melaporkan keanehan itu kepada kepala tukang pukul yang lain. Kwee Lun bukanlah seorang yang bodoh. Dan
maklum bahwa pelayan itu telah melihat keadaan dan tentu akan melapor ke dalam.
Maka dia memandang ke sekeliling dan mencari akal. Ketika dia melihat segulung tambang
yang besar dan kuat, timbullah akalnya. Dia bangkit berdiri, melangkah lebar ke
dekat meja pengurus, menyambar gulungan tambang itu dan berkata dengan suara
lantang yang ditujukan kepada para tamu yang duduk di ruangan restoran itu, "Semua
orang yang berada di dalam restoran ini harap lekas pergi! Restoran ini akan
ambruk!"
Kemudian sekali melompat tubuhnya
telah berada di luar restoran. Di ikatkan ujung tambang ke pilar di
depan, pilar yang ikut menyangga
atap, kemudian dia membawa ujung tambang yang lain ke jalan depan
restoran. Dengan memegang ujung
tambang, mulailah pemuda raksasa ini menarik tambang, melalui atas
pundak kanannya yang menonjolkan
otot besar yang amat kuatnya. Tambang besar itu menegang,
kemudian terdengar suara
berkerotok. Orang-orang sudah mulai lari keluar rumah makan itu dan mereka
ada yang ketawa-tawa geli
menyaksikan pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu sudah mabok,
pikir mereka. Mana mungkin
merobohkan bangunan yang besar itu dengan cara demikian? Menarik
tambang yang diikatkan pada pilar
yang demikian besar dan kuatnya. Kalau tidak mabok tentu sudah gila!.Memang
membutuhkan tenaga gajah untuk dapat menumbangkan pilar yang sedemikian
kokohnya. Kwee Lun mengerahkan
tenaga, matanya terbelalak, dahinya penuh keringat dan mulutnya mengeluarkan
gerengan yang langsung keluar dari dalam pusarnya, seluruh tubuhnya menarik
tambang dengan pemusatan perhatian dan tenaga.
"Krakkk....!" Pilar
yang kokoh kuat itu patah tengahnya! Orang-orang berteriak kaget dan mulai
berlari-lari ketakutan. Terdengar bunyi hiruk pikuk ketika akhirnya, atap rumah
makan itu runtuh ke bawah dan menyusul debu mengebul tinggi dibarengi
teriakan-teriakan mengerikan dari dalam di mana masih banyak pekerja restoran
itu yang teruruk. Di antara suara hiruk pikuk ini terdengar suara ketawa dari
Kwee Lun yang masih memegang tamban besar itu di kedua tangannya. Tali besar
itu sudah terlepas dari pilar dan kini menjadi senjata di kedua lengan yang
dilingkari otot itu.
Tempat itu menjadi sunyi dan
biarpun banyak sekali penduduk kota yang berlari-larian datang, mereka hanya
menonton dari jauh saja, tidak ada yang berani mendekati restoran yang sudah
runtuh itu. Belasan orang tukang pukul
datang berlarian, dari belakang restoran yang roboh dan dari rumah judi yang berada
di sebelah kanan restoran.
"Itu orangnya....!"
Seorang pelayan restoran yang berhasil menyelamatkan diri menuding ke arah Kwee
Lun.
"Tangkap penjahat....!"
"Serbu....!"
"Bunuh....!"
Lima belas orang tukang pukul
dengan bermacam senjata di tangan mereka, belari-lari datang menyerbu dan
mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih tersenyum lebar, tali tambang tadi masih
melingkar-lingkar di kedua lengan, kdua kakinya terpentang lebar dan sikapnya
gagah sekali, membuat lima belas orang tukang pukul itu merasa gentar dan
ragu-ragu untuk mendahului maju menyerang. Seorang yang telah meruntuhkan
sebuah bangunan seperti restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga gajah!
Apalagi melihat sikap yang demikian gagah.
"Ha-ha-ha, hayo majulah!
Mengapa ragu-ragu? Hayo keroyoklah aku! Memang aku datang untuk membasmi
komplotan yang merajalela di Leng-sia-bun. Kalian ini anak buah si keparat Ciu
Bo Jin, bukan? Mana itu hartawan Ciu
jahanam, si penculik gadis orang! Suruh dia keluar, biar kuhancurkan
kepalanya!" "Serbu....!!" Kepala tukang pukul, seorang she Ma
yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Ciu-wangwe,
berseru setelah diam-diam dia mengutus seorang anak buahnya untuk melaporkan
kepada Ciu-wangwe di hotel, dan seorang anak buah lagi disuruh minta bala
bantuan di markas keamanan!
Tiga belas orang tukang pukul,
dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi, Kwee Lun
tertawa bergelak dan begitu kedua lengannya bergerak, tali besar yang panjang
menyambar dan menjadi gulungan sinar yang besar panjang. Setiap senjata
pengeroyok yang terbentur tali itu terlepas dari pegangan pemiliknya sehingga
terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena dalam segebrakan saja, lima orang
tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua orang lagi terpelanting roboh
dan tak dapat bangun kembali karena tulang punggung dan tulang iga mereka patah
oleh hantaman tambang!
Ma Siu menjadi marah sekali dan
dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya menyerbu dan
menghujankan senjata mereka
kepada Kwee Lun. Namun pemuda Pulau Kura-kura ini sambil tertawa
melakukan perlawanan seenaknya.
Teringat dia oleh perbuatan Swat Hong yang menyingkirkan pedang
dan kipasnya, karena andaikata
dia menggunakan dua senjata itu, agaknya sekarang semua tukang pukul
sudah roboh kehilangan nyawa
mereka! Dan dia tahu bahwa biang keladi semua kejahatan adalah orang
She Ciu, adapun para tukang pukul
ini hanya orang-orang yang mencari nafkah mengandalkan ilmu silat
mereka! Biarpun cara mencari
nafkah dengan menjadi tukang pukul adalah perbuatan sesat yang
menimbulkan kekejaman, namun
andaikata tidak ada Hartawan Ciu yang menjadi sumber maksiat, agaknya
mereka tidak akan berani
mengacaukan sebuah kota besar seperti Leng-sia-bun. Diam-diam dia.membenarkan
tindakan Swat Hong dan teringat dia akan nasehat suhunya bahwa di dalam
perantauannya,
dia tidak boleh sembarangan
membunuh orang!
Sementara itu, di dalam hotel
juga terjadi keributan hebat. Dengan dua batang pedang tergantung di punggung
dan kipas gagang perak di tangan, Swat Hong memasuki hotel besar di sebelah
kiri restoran. Gedung yang lebih megah
dan besar daripada restoran itu. Dengan sikap tenang dia berjalan menaiki anak tangga
di depan hotel.
Beberapa orang pelayan segera
menyambutnya dengan wajah berseri. Biarpun dara ini membawa pedang di punggung
namun kecantikannya yang luar biasa menyenangkan hati para pelayan. "Apakah Nona mencari kamar,?" tanya
seorang pelayan dengan senyum manis. "Bukan
mencari kamar, akan tetapi aku mencari Ciu-wangwe," jawab Swat Hong tanpa
memperdulikan senyum itu.
Wajah para pelayan itu berubah
dan pandang mata mereka membayangkan kecurigaan, "Tidak semudah itu mencari
Loya, Nona,. Pula, kami tidak tahu dimana adanya Ciu-wangwe sekarang
ini...." kata seorang di antara mereka dengan suara hati-hati.
"Aihhh, kalian tidak perlu
membohong lagi. Aku mengenal Ciu-wangwe dan kedatanganku adalah atas undangannya.
Aku tahu bahwa dia sedang menjamu kepala Daerah di ruangan belakang hotel ini,
bukan? Kalau kalian tidak membawaku
menemuinya sekarang juga, bukan hanya dia akan marah kepada kalian, akan tetapi
aku pun akan kehabisan sabar!"
Mendengar ini, para pelayan itu
saling pandang, lalu seorang di antara mereka memanggil tukang pukul. Dua orang
tukang pukul datang berlari. Mereka adalah bekas-bekas perampok yang tentu saja
dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang kang-ouw, maka mereka segera
memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan apakah Lihiap hendak bertemu
dengan Ciu-wangwe?"
Swat Hong memandang tajam dan
mengambil sikap marah. Eh, pangkat kalian di sini apa sih berani bertanya-tanya
urusan antara aku dan Ciu-wangwe? Lekas bawa aku menemuinya!" "Tapi...
tapi.... Loya sedang menjamu Tai-jin, tidak boleh diganggu!" "Siapa
mau mengganggu? Aku justru datang memenuhi panggilannya untuk meramaikan pesta!
Kalau dia marah, biar aku yang tanggung jawab, akan tetapi kalau kalian berani
menolak aku, dia akan marah kepada kalian!"
Dua orang tukang pukul itu saling
pandang, kemudian mereka berkata, "Baiklah mari kami antarkan Lihiap ke
dalam." Mereka telah mengambil keputusan dengan isyarat mata untuk
mengawal dan menjaga wanita cantik ini. Kalau wanita ini mempunyai niat buruk,
masih belum terlambat untuk merobohkannya. Siapa tahu, melihat kecantikannya
yang luar biasa, sangat boleh jadi kalau dia ini adalah seorang yang dikenal
oleh Ciu-wangwe dan benar-benar dipesan datang untuk menghibur pembesar! Dengan langkah tenang sambil mengipasi
lehernya dengan kipas gagang perak, Swat Hong diiringkan dua orang tukang pukul
itu melalui gang yang berliku-liku, melalui kamar-kamar di mana terdapat
wanita-wanita cantik yang rata-rata wajah layu dan bermata sayu, ada yang duduk
sendiri, ada pula yang sedang berduaan dengan seorang tamu pria karena
terdengar suara ketawa laki-laki di dalam kamar itu, kemudian tibalah mereka di
ruangan belakang yang luas dan terjaga oleh belasan orang prajurit pengawal
yang bercampur dengan para tukang pukul.
Ketika mereka bertiga muncul,
tentu saja para penjaga dan pengawal itu memandang Swat Hong dengan penuh
perhatian. Dua orang tukang pukul itu agaknya bangga dapat mengawal nona cantik
jelita ini maka sambil mengacungkan ibu jari, mereka berkata, "Barang
baru! Pesanan khusus!" Maka tertawa-tawalah para pengawal dan tukang pukul
itu memasuki pintu besar yang menembus ke dalam ruangan.
Karena mereka yang duduk
mengitari meja besar terdiri dari belasan orang berpakaian serba indah
dan masing-masing dilayani dan
dirubung wanita-wanita muda dan cantik, Swat Hong tidak mau bertindak.sembrono.
Dia tidak tahu siapa Ciu-wangwe dan yang mana pula kepala daerah, maka dia
menanti dan
membiarkan dua orang tukang pukul
itu melapor.
Akan tetapi sebelum kedua orang
yang sudah menjura penuh hormat itu sempat membuka mulut, seorang yang
berpakaian serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan
matanya besar sebelah, telah bangkit berdiri dan membentak, "Haii! Mengapa
kalian lancang....?" Dia tidak melanjutkan ucapannya karena matanya telah
dapat melihat Swat Hong dan kini dia memandang heran. Swat Hong sudah melangkah ke dalam, mendekati
meja lalu bertanya kepada laki-laki berpakaian biru itu, "Apakah aku
berhadapan dengan Ciu-wangwe?"
Laki-laki itu memang benar Ciu Bo
Jin. Dia merasa curiga sekali, akan tetapi karena dia mengandalkan ilmu
kepandaiannya sendiri, pula dia berada di tempatnya sendiri yang terjaga oleh
para anak buahnya, bahkan disitu terdapat pula pasukan pengawal Gu-taijin, maka
sambil tersenyum lebar dia melangkah maju dan berkata, "Benar, aku adalah
orang she Ciu yang kau cari. Nona siapakah dan .... heiiittt...." Dia cepat mengelak ke kiri
ketika melihat nona cantik itu sudah menerjang maju, menggunakan tangan kirinya
mencengkeram ke arah pundaknya. Gerakan Ciu-wangwe cukup cekatan dan memang dia
telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan
dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya, maka baru saja dia
mengelak, tahu-tahu ujung gagang kipas terbuat dari perak itu telah menotok
jalan darah di punggungnya dan dia terpelanting roboh dengan tubuh lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga
tidak terduga sama sekali, maka terjadilah keributan hebat. Seorang yang
tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya sudah mabok, bangkit berdiri dengan
tiba-tiba sehingga dua orang pelacur cantik yang tadinya duduk di atas kedua
pahanya terpelanting jatuh sambil menjerit. Orang ini berpakaian mewah dan
sikapnya agung-agungan, sambil berdiri dia berseru, "Hai... pengawal....!
Tangkap pengacau...!!"
Pintu depan terbuka dan para
pengawal serta tukang pukul berlompatan masuk. Swat Hong girang sekali karena
dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah tentu yang menjadi kepala daerah,
orang she Gu yang diperalat oleh Ciu-wangwe. Maka dia sudah meloncat ke dekat
orang itu, mencabut pedangnya dan menempelkan pedang telanjang di leher
Gu-taijin sambil menghardik, "Gu-taijin! Cepat kau menyuruh mundur semua
orangmu! Kalau tidak, pedang ini akan menyembelih lehermu!" Swat Hong
menahan geli hatinya melihat tubuh yang gendut itu menggigil semua dan dia
menahan jijiknya karena terpaksa menggunakan tangan kanan mencengkeram leher
baju. Apalagi ketika melihat betapa lantai di bawah pembesar gendut ini
tiba-tiba menjadi basah, tersiram air yang membasahi celana, dia makin jijik. Ingin dia membacokkan pedangnya saja agar
manusia tiada guna ini tewas seketika kalau saja dia tidak teringat bahwa jalan
satu-satunya untuk membantu Kwee Lun membereskan urusannya hanyalah menangkap
pembesar ini hidup-hidup. Biarpun manusia gendut ini tidak ada gunanya, akan
tetapi manusia yang bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali menduduki
pangkat besar, menjadi seorang yang sewanang-wenang dan jahat! Makin pengecut
dan makin rendah watak orang itu makin celakalah kalau dia memperoleh kedudukan
tinggi, karena kerendahan akalnya akan membuat dia makin jahat, mempergunakan
kekuasaannya yang kebetulan melindunginya.
"Am... ampun...!"
Gi-taijin dengan sukar sekali mengeluarkan suara. Mendengar betapa lehernya akan
disembelih, apalagi disembelih berlahan-lahan dan sedikit demi sedikit,
membayangkan betapa lehernya akan terasa perih dan nyeri, berlepotan darah,
betapa dia akan mati dan meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan hidupnya,
hampir dia pingsan!
"Suruh mereka
mundur...!" Kembali Swat Hong membentak dan tangan kirinya mencengkeram
tengkuk. "Ouwwhhh...!"
Pembesar itu menjerit, mengira tengkuknya disembelih, padahal hanyalah
jari-jari saja yang mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian! Tolol semua!
Mundur kataku, dan jangan
membantah... Li... Lihiap...!"
Para pengawal menjadi bingung dan
dengan muka pucat dan mata terbelalak lebar mereka mundur sambil memandang
penuh kesiapsiagaan. Pada saat itu, seorang tukang pukul telah berhasil
membebaskan totokan Ciu-wangwe dan kini hartawan itu dengan marahnya berteriak
kepada tukang pukulnya, "Cepat serbu iblis betina itu....!".Swat Hong
kembali mencengkeram tengkuk Gu-taijin. "Suruh jahanam Ciu itu
menyerah!" "Ouughh... Ciu-wangwe... jangan...! jangan
melawan....!"
Ciu-wangwe yang melihat betapa
kepala daerah itu telah ditangkap, sejenak menjadi bingung sekali. Akan tetapi
tentu saja dia tidak sudi menyerah dan pada saat itu terdengar suara hiruk
pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah Swat Hong bahwa Kwee Lun tentu telah turun
tangan pula mulai bereaksi, maka dia berkata, "Orang she Ciu! Kejahatanmu
berakhir di hari ini juga!" Selagi Ciu-wangwe kebingungan, tiba-tiba
datang seorang tukang pukulnya dari luar dan berteriak-teriak, "Celaka...
Loya.... ada orang merobohkan restoran kita....!" Akan tetapi orang ini
terbelalak memandang ke dalam dengan muka pucat. Dia melihat kepala daerah
berada dalam cengkeraman wanita cantik itu dan melihat Ciu-wangwe berdiri
bingung. Mendengar ini, Ciu-wangwe menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak
musuh yang datang menyerbunya. Dia tidak mau mempedulikan Gu-taijin lagi. Dalam
keadaan seperti itu, yang terbaik baginya adalah berada di luar dan berusaha
mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghadapi para penyerbu. Keselamatan
Gu-taijin tentu saja tidak dipedulikannya lagi. Maka tanpa berkata apa-apa lagi
dia lalu berlari hendak keluar dari ruangan besar itu. "Hendak kemana engkau?" Swat Hong
cepat menotok roboh Gu-taijin dan meloncat ke depan. Tubuhnya melayang dan Ciu-wangwe hanya
melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita cantik itu telah
berdiri di depannya!
"Serbu....!" Bentaknya
dan dia sendiri yang sudah mencabut goloknya membacok dengan cepat sambil mengerahkan
seluruh tenaganya.
"Sing-sing-singggg....!!"
Bertubi-tubi golok itu menyambar dan kini anak buahnya juga sudah membantunya.
Swat Hong cepat memutar pedangnya
dan mengerahkan sinkang disalurkan kepada pedang itu.
"Cring-cring-trang-trang-trang....!!" Sebatang golok di tangan
Ciu-wangwe dan empat batang pedang terlepas dari pegangan pemiliknya, dan tiga
orang pengeroyok roboh terkena totokan kipas perak di tangan kirinya! Melihat kelihaian wanita ini, bukan main
kagetnya hati Ciu-wangwe. Dia sudah berpengalaman dan tahulah dia bahwa kalau
dia melanjutakn, dia sendiri akan roboh di tangan wanita lihai ini. Maka jalan
terbaik baginya adalah lari keluar untuk mengerahkan anak buahnya dan kalau
perlu melarikan diri! Melihat orang yang
hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong hendak mengejar, akan tetapi pada saat
itu dia melihat tubuh gendut Gu-taijin sedang dibantu oleh beberapa orang
meninggalkan tempat itu. Celaka,
pikirnya. Dia harus dapat menangkap pembesar itu , kalau tidak, tentu akan
sukar menundukan semua orang.
Maka dia lalu mengerahkan tenaga
pada tangan kanan, tangan kanan itu bergerak dan pedangnya meluncur seperti
kilat menyambar ke depan. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ciu-wangwe
terjungkal ke depan, dadanya ditembusi pedang dari punggung dan dia tewas
seketika!
Swat Hong telah melompat dan
tangan kanannya kembali sudah mencabut pedang, kini pedang milik Kwee Lun yang
dicabutnya. Kipas di tangan kirinya merobohkan empat orang pengawal yang tadi
membantu Gu-taijin dan mereka roboh tertotok, kemudian sebelum pembesar itu
sempat bergerak, dia sudah mencengkeramnya lagi, bahkan yang dicengkeram adalah
pundaknya sambil mengerahkan tenaga. "Aughhh...
add... duh... duh...duhhh... ampun, Lihiap....!" Gu-taijin
berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih.
"Hayo cepat suruh mereka
semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali pedang telanjang ditekankan di
tengkuk pembesar itu.
"Mundur kalian semua!
Keparat! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak cepat mentaati perintah! Apa minta
dihukum gantung semua!" Mendengar pembesar ini dengan suara galak sekali,
seperti biasanya, membentak-bentak, semua pengawal dan anak buah Ciu-wangwe
terbelalak ketakutan dan mundur. Apalagi
mereka melihat betapa Ciu-wangwe sudah tewas. Para pelacur yang tadi melayani
perjamuan itu, menjerit-jerit dan lari pontang-panting, kemudian bersembunyi di
kolong-kolong meja dan belakang-belakang lemari..Swat Hong mendengar suara
ribut-ribut diluar, suara pertempuran. Tahulah dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok.
Cepat dia menarik tubuh pembesar Gu keluar dari hotel, kemudian dengan
mencengkeram punggung baju, dia membawa pembesar gendut itu meloncat ke atas
genteng. Semua orang memandang heran melihat betapa seorang gadis cantik dan
muda seperti itu mampu meloncat sambil mencengkeram tubuh seorang laki-laki
bertubuh gendut dan berat seperti pembesar itu!
Swat Hong masih mencengkeram punggung Gu-taijin yang pucat sekali
wajahnya, menggigil kedua kakinya. Tentu saja dia merasa ngeri berdiri di atas
genteng, di pinggir sekali. Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang
jatuh ke bawah, tubuhnya akan remuk! Selama hidupnya tentu saja belum pernah dia
naik ke atas genteng. Akan tetapi karena dia ditodong dan merasa takut sekali
kepada wanita perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia mentaati perintah Swat
Hong dan dengan suara lantang dia berteriak-teriak dari atas.
"Haiii.... mundur
semua...!" Dia melihat pasukan keamanan sudah berada di situ, dipimpin
oleh Bhong-ciangkun, perwira yang mengepalai pasukan keamanan.
"Bhong-ciangkun, suruh semua
pasukan mudur!"
Pada saat itu, Kwee Lun sedang
mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya hanyalah para tukang pukul anak buah
Ciu-wangwe dan dia sudah berhasil merobokan belasan orang dengan tambang di
tangannya yang kini sudah berlepotan darah. Akan tetapi dia kewalahan juga
ketika pasukan keamanan datang. Pasukan
yang jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja tidak mungkin dapat dia
lawan seorang diri hanya mengandalkan segulung tambang! Maka dalam amukannya
itu, dia sudah menerima pula beberapa bacokan senjata tajam yang melukai
pinggul dan punggungnya, membuat pakaiannya berlepotan darah pula. Namun,
sedikit pun semangatnya tidak menjadi kendur, bahkan darah dipakaiannya itu
seolah-olah membuat dia makin bersemangat lagi!
Melihat betapa atasannya berada
di atas genteng dan mengeluarkan perintah itu, Bhong-ciangkun
terkejut dan cepat dia
mengeluarkan aba-aba menyuruh pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan
seorang diri, berdiri dengan
kedua kakinya terbentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah,
gagah bukan main sikapnya. Sisa
anak buah Ciu-wangwe tidak ada lagi yang berani maju setelah para
pasukan itu diperintahkan mundur.
Apalagi ketika mereka itu mendengar bisikan teman-teman bahwa Ciu-wangwe
telah tewas oleh dara di atas
genteng itu!
Ketika Kwee Lun melihat betapa
Swat Hong telah berdiri di atas gentang sambil membawa Gu-taijin, diam-diam dia
menjadi kagum bukan main. Kiranya gadis itu amat cerdiknya. Tahulah dia bahwa
dara perkasa itu hendak menggunakan kekuasaan Gu-taijin untuk membasmi
kejahatan yang merajalela di Leng-sia-bun! Maka sambil tertawa bergelak dia pun
melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng di mana dia berdiri di samping
Swat Hong dan berkata mengejek, "Hong-moi, bagaimana kalau kita orong ton kotoran
ini ke bawah saja dan melihat perutnya berhamburan di bawah sana?" "Jangan....
jangan ... aduh, ampunkan saya...." Gu-taijin berkata memohon dengan rasa
takut menghimpit hatinya.
"Kalau begitu, hayo kau
membuat pengumunan dan perintah, menurutkan kata-kataku." Swat Hong berbisik
di belakang pembesar itu. Gu-taijin mengangguk-angguk, kemudian terdengarlah
suaranya lantang mengikuti perintah yang dibisiki oleh Swat Hong.
"Hai, dengarlah baik-baik
semua pembantuku dan semua penduduk Leng-sia-bun! Hari ini,
dengan bantuan Kwee-taihiap dari
Pulau Kura-kura, aku baru mengetahui bahwa di kota ini terdapat
komplotan penjahat yang diketuai
oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka mendirikan rumah judi, hotel-pelacuran,
dan rumah makan di mana terjadi
segala macam kejahatan perjudian curang, pemaksaan
terhadap gadis-gadis yang diculik
untuk dijadikan pelacur dan penyogokan terhadap para petugas
pemerintah! Sekarang Ciu-wangwe
telah tewas! Anak buahnya akan diampuni asal saja mulai sekarang
mau merobah watak dan tidak lagi
melakukan kejahatan ! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi pelacur,
akan dibebaskan dan dikirim
pulang ke rumah masing-masing dengan mendapat bekal masing-masing
seratus tail perak! Semua ini
harus dijalankan sebaiknya. Kalau ada yang melanggar dia akan dihukum
sesuai dengan hukuman pemerintah,
dan selain itu, juga Kwe-taihiap sendiri akan selalu mengawasi dan
memberi hukuman terhadap mereka
yang tidak mentaati perintah kami ini!".Tiba-tiba terdengar sorak-sorai
penduduk dan terjadi keributan karena beberapa tukang pukul yang pernah
berbuat sewenang-wenang,
tiba-tiba dikeroyok oleh penduduk! Sekali ini, para pasukan pemerintah tidak ada
yang berani melindunginya para tukang pukul itu sehingga mereka mengaduh-aduh
dan tidak berani melawan, mengalami pemukulan penduduk sampai babak belur! Dan
para wanita pelacur yang berasal dari keluarga baik-baik dan yang dipakasa
menjadi pelacur dengan berbagai ancaman dan siksaan, sudah menangis
riuh-rendah, menangis saking girang, terharu, dan juga duka. "Awas kau, Gu-taihiap. Kalau sampai
semua ucapanmu tadi tidak kau laksanakan, kami akan melaporkan bahwa engkau
sebagai seorang kepala daerah telah diperalat oleh orang jahat dengan jalan sogokan,
dan selain itu, kami akan datang kembali khusus untuk menyembelih
lehermu!" Swat Hong berbisik dengan nada penuh ancaman. Pembesar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam mematuki gabah. Ketika dia
mengangkat muka memandang, ternyata kedua orang itu telah lenyap dan dia hanya
berdiri sendiri saja di atas genteng yang begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi
ngeri sekali. "Bhong-ciangkun....
tolong.... tolong saya turun....!"
Bhong-ciangkun telah melihat
bayangan kedua orang itu berkelebat, maka dia lalu meloncat naik ke atas genteng
dan membawa pembesar itu turun.
"Bagaimana, apakah hamba
harus mengejar mereka?" Bhong-ciangkun berbisik. "Hushhh...! Bodoh! Masih untung
kita...." Pembesar itu berbisik kembali kemudian berkata lantang.
"Hayo laksanakan perintahku tadi!"
Demikianlah, peristiwa itu
menjadi semacam dongeng sampai bertahun-tahun di kalangan penduduk
Leng-sia-bun, dan betapa pun orang mencari kedua orang pendekar itu, tak pernah
lagi mereka melihat mereka. Memang Swat
Hong dan Kwee Lun telah melarikan diri dari kota itu dan melanjutkan perjalanan
mereka dengan hati puas.
Hebat kau, Hong-moi!" Kwee
Lun memuji. "Luar biasa sekali! Kalau tidak ada engkau yang membantuku
dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan lain jadinya! Aku masih sangsi apakah
aku akan mampu menaklukkan mereka! Tentu akan menjadi banjir darah, dan mungkin
aku sendiri akhirnya mati dikeroyok."
"Ah, sudalah, Kwee-twako.
Kau yang hebat, menggunakan tali merobohkan restoran dan dengan hanya bersenjatakan
tambang dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang!" "Tidak ada
artinya dibandingkan dengan sepak terjangmu, Moi-moi. Engkau telah membantuku
sehingga tugasku selesai dengan hasil baik. Tak pernah aku akan dapat melupakan
ini! Dan sebagai balasannya, aku akan membantumu mencari ibumu dan suhengmu
sampai berhasil pula!" Wajah Swat Hong menjadi suram, dan dia menarik
napas panjang. "Hemm... Ibu dan Suheng pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke
mana aku harus mencarinya?"
"Jangan khawatir, Moi-moi.
Kalau memang Ibumu dan Suhengmu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka.
Tempat yang paling tepat untuk mencari seseorang adalah kota raja. Memang belum tentu mereka berada di sana,
akan tetapi setidaknya, di kota raja merupakan sumber segala keterangan
sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau ada berita dari dunia Kang-ouw
tentang mereka."
Swat Hong Menyetujui pendapat ini
Memang dia pun bermaksud mengunjungi kota raja, karena
bukankah nenek moyangnya
dahulunya juga seorang anggauta keluarga raja? Mereka melanjutkan
perjalanan dari luar kota Leng-sia-bun.
Makin lama melakukan perjalan bersama Kwee Lun, setelah lewat
sebulan kurang lebih, makin
sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal Kwee Lun,
sebagai seorang yang benar-benar
jantan, keras hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran
menyeleweng, suka bergurau, kasar
akan tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar melainkan
karena terbawa oleh kejujurannya
yang wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya,
pemuda itu benar-benar seorang
laki-laki yang gagah perkasa lahir bathinnya..Di lain pihak, Kwee Lun juga
merasa kagum kepada Swat Hong setelah dia mengenal sifat-sifat temanya
ini yang amat cerdik, periang,
jenaka namun keras hati dan kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai
seorang puteri kerajaan!
Namun dara itu sama sekali tidak
angkuh atau sombong, sungguhpun kini dia harus mengakui bahwa ilmu
kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan dengan dara Pulau Es
ini! Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam hatinya sehingga biarpun
dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi petunjuk jalan, namun dalam
segala hal, sampai dalam memilih makanan dan penginapan yang selalu dibayar
oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dan keputusan Swat Hong! Pada suatu hari tibalah kedua orang ini di
kaki Pegunungan Tai-hang-san yang amat luas dan memanjang dari selatan ke
utara. Tujuan mereka adalah Tiang-an ibu kota Kerajaan Tang. Di dusun ini
mereka berhenti untuk makan di sebuah warung nasi sederhana. Mereka memesan
nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta air hangat untuk Swat Hong agar nona ini
dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang panas berdebu.
Ketika Swat Hong sedang bercuci
muka dengan air hangat, menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua
pipinya kemerahan, dia mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu. "Bukan main ramenya !" terdengar
suara seorang laki-laki, agaknya pekerja di dapur itu. "Lebih ramai daripada
kalau melihat dua orang jago silat berkelahi!
Bayangkan saja! Harimau mengaum
sampai bumi tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah biruang itu. Akan
tetapi si biruang juga tidak kalah lihainya, dia menggereng dan aku yakin
engkau sendiri tentu akan terkencing-kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat
menangkis dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling
gigit, mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!" "Ahhh,
sudahlah. Siapa percaya omonganmu? Paling-paling kau melihat ornag mengadu
jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas masak air, tehnya
hampir habis." Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik,
"Agaknya di sini ada jejak suhengku!" "Ehhh....? Kwee Lun
bertanya heran. "Ada orang di dapur tadi bercerita tentang pertandingan
antara harimau dan biruang, dan kalau tiadk salah perasaan hatiku, itu biruang
kepunyaan suheng." "Eh? Suhengmu memelihara biruang?" Kwee Lun
bertanya makin heran lagi. "Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku
berpisah dari suheng, dia sedang mengobati seekor biruang terluka. Tentu biruang
itu menjadi jinak dan menjadi binatang peliharaannya."
"Aduh! Suhengmu tentu hebat
sekali, berani mengobati seekor biruang!" "Sudahlah, Twako. Kalau
kelak dapat bertemu, engkau dapat berkenalan dengan suheng sendiri. Sekarang harap
kau suka tanyakan kepada pekerja di dapur tentang biruang yang diceritakannya
tadi." "Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung
pelayan!" Pelayan itu segera menghampiri. "Tolong kau panggilkan
sahabat yang tadi berbicara tentang biruang, dia bekerja di dapur. Cepat!"
Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam dan tak lama
kemudian, dia kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang kelihatan
takut-takut. Laki-laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah
tukang atau pembantu tukang masak di warung itu. "Saya.... saya tidak tahu
apa-apa...." begitu tiba di dekat meja, orang itu berkata. Kwee Lun menggerakkan tangannya tak sabar.
"Aahh, mengapa takut? Kami hanya tertarik mendengar cerita biruang
bertanding dengan harimau. Di manakah kejadian itu dan bagaimana asal mulanya?'
Kwee Lun mengeluarkan sepotong uang dan memberikan kepada orang itu. "Nah,
ceritakanlah! Jangan takut-takut, ini
hadiahnya."
Orang itu menerima hadiah dan
setelah memandang ke kanan kiri dia bercerita.
"Pagi tadi, sebelum masuk bekerja saya menemani Saudara Misan saya
mengantar segorobak kayu bakar ke atas sana...." dia menuding ke luar
warung.."Ke atas mana?"
"Di Puncak Awan Merah,
tempat tinggal Siangkoan Lo-enghiong. Kami berdua mengantarkan kayu bakar dan
melihat ribut-ribut di sana. Mendengar gerengan-gerengan dahsyat, saya lalu
menyelinap dan mendahului saudara saya, mengintai. Ternyata di sana sedang
diadakan permainan yang luar biasa, yaitu adu harimau dan biruang! Entah milik
siapa biruang itu, akan tetapi harimau itu saya kenal sebagai harimau peliharaan
Siangkoan Lo-engkeng yang biasanya di dalam kerangkeng. Bukan main ramenya dan
saya takut sekali. Agaknya di tempat Siangkoan Lo-enghiong ada tamu yang
membawa biruang...." "Siapa tamunya? Bagaimana macam orangnya?"
Swat Hong mendesak penuh ketegangan hati.
Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu?
Di atas sana banyak orang, murid-murid Lo-enghiong dan orang-orang seperti kami
tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah, kami tidak diperbolehkan
naik kecuali kalau ada pesanan dari sana. Hanya kadang-kadang saja Siocia atau
murid Lo-enghiong yang turun ke sini. Melihat pertandingan yang amat dahsyat
itu, saya ketakutan dan cepat lari turun lagi...."
Swat Hong mengerutkan alisnya.
Mungkinkah suhengnya "kesasar" sampai di tempat ini? Tiba-tiba Kwee Lun
bertanya, "Yang kausebut Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia bernama
Siang-koan Houw?" Nama lengkapnya mana saya tahu?" Orang itu
menggeleng kepala, kelihatannya takut-takut. "Julukannya Tee Tok (Racun
Bumi), bukan?"
Orang itu makin ketakutan, akan
tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar muridnya bicara menyebut
julukan itu.... harap Ji-wi maafkan, saya masih banyak pekerjaan di
dapur." Dia tidak menanti jawaban, kembali ke dapur dengan sikap
ketakutan.
"Aihh, kiranya Teek-tok
sekarang tinggal di tempat ini!" kata Kwee Lun.
"Twako, siapakah racun bumi
itu?"
"Hemm, seorang yang luar
biasa! Dapat dikatakan saingan suhu, menurut cerita suhu, sukar dikatakan siapa
yang lebih unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang
sudah terkenal sekali. Aku sendiri baru
mendengar namanya dari suhu saja. Menurut suhu, dia adalah seorang yang gagah
perkasa dan jujur, akan tetapi sayang sekali, hati ganas dan kejam terhadap
orang yang tak disukainya dan dia amat lihai dan berbahaya sebagai seorang ahli
racun yang mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun Bumi. Sungguh tidak
dinyana bahwa kita bakal bertemu dengan orang seperti dia!" "Hemm...
kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi Puncak Awan Merah,
Twako?" "Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya sangat boleh jadi
biruang itu milik suhengmu. hong-moi, karena di tempat tinggal seorang seperti
teek-tok, segala apa mungkin saja terjadi. Tentu saja amat mencurigakan dan hatiku
tidak akan merasa puas kalau belum menyelidiki ke sana. Kalau ternyata suhengmu
tidak berada di sana kita turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan
Tee-tok." Swat Hong mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita
berangkat. Entah mengapa, betapa pun sedikit kemungkinannya bahwa suheng berada
di sana, akan tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus menyelidiki ke sana."
Setelah membayar harga makanan
berangkatlah kedua orang itu ker Pulau Awan Merah, tentu saja diikuti pandang
mata penuh keheranan dan kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di
mana adanya puncak itu.
Setelah mereka mendekati bukit
dan tiba di lereng atas, tampaklah bangunan besar di puncak yang dimagsudkan
itu. Mereka tidak mengerti mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah,
padahal ketika mereka tiba di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna
merah melainkan biru dan putih seperti biasa.
"Twako, kedatangan kita
hanya menyelidiki apakah suheng berada di sana. Oleh karena itu, tidak baik
kalau kita datang berterang, bisa
menimbulkan kecurigaan orang dan kita tidak berniat mencari perkara
dengan tokoh kang-ouw itu, bukan?
Maka, sebaiknya kita berpencar dan kau menyelidiki dengan memutar.dari kiri,
aku dari kanan, sampai kita saling bertemu dan kalau suheng tidak ada di sana,
dan biruang itu
bukan biruangnya, kita segera
kembali ke dusun tadi dan bermain saja di sana."
"Baik, Hong-moi, dengan
demikian, penyelidikan dapat dilakukan lebih leluasa dan lebih cepat." Mereka
mendaki terus dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak itu,
mereka berpencar. Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas
pohon-pohon dan batu gunung. Tak lama
kemudian dia mendengar suara orang dan cepat dia menghampiri dan mengintai. Apa
yang dilihatnya membuat dia hampir berteriak saking kagetnya! Dapat dibayangkan
betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat suhengnya, Kwa Sin Liong,
terbelenggu kedua pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon!
Tubuh atas suhengnya itu telanjang dan hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi
tubuhnya. Sin Liong kelihatan tenang saja biarpun dahinya berpeluh, dan agaknya
pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu, karena Swat Hong
yakin sekali bahwa apabila dikehendaki oleh suhengnya itu, apa sukarnya
membebaskan diri dari belenggu seperti itu? Tentu ada sesuatu yang aneh telah
terjadi di sini! Swat Hong menahan kemarahannya yang membuat dia ingin menyerbu,
dan dia memandang kepada orang-orang lain itu. Dua orang yang berpakaian
seragam, memakai topi aneh, menjaga di belakang pohon dan tangan mereka meraba
gagang golok. Seorang kakek yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar, dengan
marah-marah menghampiri Sin Liong, tangan kanannya memegang senjata yang aneh.
Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak
dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa seperti itu saja apa artinya bagi
suhengnya? Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat suhengnya berada di
tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang telah terjadi?
Seperti telah kita ketahui, Sin
Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang
hendak mencari ayahnya. Sebetulnya, mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang
dicari-cari saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok,
ayah kandung Soan Cu, telah menghilang selama belasan tahu, tak pernah kembali
dan tidak pula ada kabarnya sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian
Kok telah meninggal dunia. Selain itu, andaikata masih hidup, tak seorang pun
mengetahui di mana tempat tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah kandungnya sejak bayi
bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang belum pernah dilihatnya dan
tak diketahui ke mana perginya itu?
Kalau Ouw Kong Ek mengunakan
alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong agar membawa dara itu bersama, keluar
dari Pulau Neraka, adalah karena sebenarnya dia ingin agar cucunya itu dapat
berjodoh dengan Sin Liong. Dia sering kali mengingat akan nasib cucu yang di
cintanya itu. Jauh dari dunia ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan
berjodoh dengan seorang penghuni Pulau Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk
pertama kalinya itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya dengan
pemuda itu. Apalagi ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda
itu telah menolong Soan Cu, dan menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak laut.
Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menjadi calon suami
cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap
akan timbul cinta di dalam hati pemuda itu terhadap cucunya yang dia tahu merupakan
seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, juga berwatak baik.
JILID 12
Demikianlah, Sin Liong
meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga biruang raksasa yang menjadi
jinak itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah
mereka meninggalkan Pulau Neraka, berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu.
Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong yang dicari-carinya, juga
tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah lautan berbahaya itu, Sin
Liong mengemudikan perahunya menuju ke arah barat, ke daratan besar. "Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan
kalau sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya,
juga bukan tidak mungkin Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu.
"Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar."
Soan Cu tidak membantah dan
demikianlah, akhirnya mereka mendarat dan hanya beberapa hari lebih dulu
dari pendaratan yang dilakukan
oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga
dia bertemu dengan Kwee Lun.
Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan.dan
hutan, maka adanya biruang bersama meraka tidak terlalu mengganggu benar. Pula,
binatang itu sudah
jinak sekali, bahkan dapat
disuruh untuk mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang
lebat.
Pada suatu hari, tibalah mereka
di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka tiba di lereng puncak
Awan Merah, daerah kekuasan Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar,
tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras sehingga suara itu
menggetarkan hutan. Mendengar auman ini, biruang menjadi marah sekali. Sin
Liong cepat memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalau-kalau biruang itu
akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu. "Hai.......! Ada harimau! Biar kutangkap
dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh dan
istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata kesayangannya
disamping pedang. Dia tertawa-tawa gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk
melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan hanya
kadang-kadang saja tampak kedewasaanya. Dia maklum bahwa gadis yang sejak bayi
dibesarkan di tempat seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat
liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain
membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian
Soan Cu sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri.
Soan Cu berlari cepat sekali dan
dalam berlari ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di
depan Sin Liong, dia selalu harus menekan perasaannya karena sikap pemuda ini
sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah
pemuda itu menjadi pengganti kakeknya.
Akan tetapi sesunguhnya semenjak
dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan gembira yang disembunyikannya dan
baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan kegembiraannya yang
meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh
Sin Liong! Maka kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang
berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah suara harimau yang mengaum. Karena
auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke tempat
itu dan akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu
indah sekali, loreng-loreng hitam kuning berdiri memandang ke arah seorang
laki-laki yang berdiri ketakutan.
Harimau itu membuka-buka
moncongnya, seperti seorang anakkecil yang menggoda kakek itu,
menakut-nakutinya,
kadang-kadang mengaum dan tiap
kali dia mengaum, kedua kaki orang itu menggigil dan terdengar suara
terputus-putus dan dia mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon,
"Kakak harimau yang baik..... saya..... saya..... A-siong pedagang kayu
bakar..... hendak mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong....... harap jangan
mengganggu saya......"
Harimau itu sebetulnya adalah
harimau peliharaan Tee-tok dan biasanya dikurung dalam kerangkeng dan hanya
pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau
pada hari itu terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong
sedang mengirim kayu bakar ke Puncak Awan Merah. A-siong adalah seorang di
antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat itu.
Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!"
Harimau itu menggereng dan
menoleh. Ketika dia melihat seorang wanita memengang cambuk, dia menggereng dan
cepat sekali, berlawanan dengan tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan
menubruk. "Celaka......!"
A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakan
matanya. Akan tetapi, tanpa mengelak
Soan Cu sudah menggerakan cambuknya. "Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar
dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau yang
sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah.
Harimau itu menggereng dan
kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan
Cu yang sedang gembira meloncat
ke kiri dan melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan
kirinya dia menangkap ekor
harimau yang panjang dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas
punggung harimau! Sambil
tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang menunggang kuda,
Soan Cu menggerak-gerakan ujung
cambuk menyabeti moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu
merasa kesakitan karena ujung
cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha.mencakar dan
menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak
pernah
berhasil bahkan bagaikan buntut
seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!
"Hiyooooo.... kucing binal,
hayo jalan baik-baik!" Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang
harimau, tangan kiri mencengkeram kulit leher, tangan kanan mempermainkan
cambuknya dan harimau itu yang mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakan,
melangkah perlahan-lahan! A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan
diri di balik batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya
sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung lengan
baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap saja
penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu,
turunlah......!!" Tiba-tiba terdengar teguran dan mengenal suara Sin
Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih
tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi,
dan dia berkata, "Liong-koko, dia.... dia hendak menerkam orang....."
ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh pemuda itu sedang
mengganggu harimau. "Turunlah
berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu meloncat turun dan tentu
saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun
dia hanya mencakar tempat kosong kerena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara
ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan
meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii.....! Hiiiiii!!"
Sementara itu, biruang yang
tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan dijak menyusul Soan Cu,
setelah kini melihat harimau, timbul kembali kemarahannya, bahkan lebih hebat
dari pada tadi. Pada saat Sin Liong
lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba biruang itu melompat ke depan dan menggereng
sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah. Harimau itu agaknya tidak merasa gentar
menghadapi tantangan ini. Dia pun menggereng dan menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah siap. Ketika
harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia menggerakan kaki
depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan
harimau . Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat
dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap
untuk melanjutkan serangannya. "Hushhh....!
Biruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan
biruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak
sukar karena biruang itu marah sekali, meronta-ronta dan apa lagi melihat
harimau itu masih menggereng hendak menyerangnya. "Ihh, kucing licik! Hayo mundur
kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakan cambuknya ke depan untuk menghalau
harimau itu. "Tar-tar-tarr.....!!" Harimau merasa jerih menghadapi
cambuk, akan teapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng-gereng
memperlihatkan taringnya dan matanya merah bersinar-sinar.
"Hayo pergi! Kalau tidak
akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak.
"Siapa dia berani kurang
ajar hendak mengganggu harimau kami?" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring
dan
muncullah banyak orang di tempat
itu. Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak
mengurung tempat itu, dan orang
yang berseru tadi, seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya
ringkas, tubuhnya membayangkan
tenaga yang kuat, matanya lebar membayangkan kekerasan dan
kejujuran, akan tetapi tarikan
bibirnya membayangkan kekejaman. Di sampingnya berjalan seorang gadis
yang cantik sekali, dengan
pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke atas dan diikat dengan
kain kepala dari sutera merah,
dihias dengan bunga emas permata, pakaian yang indah itu membungkus
ketat tubuhnya sehingga
membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang
yang kecil ramping itu melibat
sehelai sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala
panjang berwarna hijau, menambah
kemanisan wajahnya yang mendaun sirih bentuknya itu..Sin Liong cepat menjura
dengan hormat dan berkata halus, "Harap Locian-pwe sudi memaafkan
kami yang secara tidak sengaja
memasuki daerah ini, "kata Sin Liong sambil memegangi kaki depan biruangnya.
Kakek itu memandang tajam.
Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa rasa takut sedikit
pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini masih bukan apa-apa,
akan tetapi kalian berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena
mempunyai biruang itu maka kalian menjadi sombong?"
"Kami tidak menggangu,
Locianpwe. Hanya karena harimau itu dan biruang kami akan berkelahi maka kami
melerai dan mencegahnya."
"Hemm... dua ekor binatang
akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau manusia sudah mencampurinya, maka
manusia itu lebih rendah daripada binatang!"
"Eh, tahan tuh mulut!"
Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan kemarahan
hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin
bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh biruang kami,
engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah mengucapkan kata-kata
menghina!" Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan
tetapi juga kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apa
lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang pada saat itu muncul kembali sifat
liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw yang
terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), seorang gagah yang jujur dan
terbuka sikapnya, maka kasar sekali dan kalau dia sudah marah, kejamnya
melebihi harimau peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai
seorang di antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tentram,
bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan yang
sejak tadi diama saja. Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup
berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Adapun orang-orang lain
yang berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya,
kurang lebih lima belas orang banyaknya, di antaranya seorang kakek yang
usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah putih semua. Kakek inilah yang
merupakan murid kepala dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama
Thio Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah). "Bagus sekali!" Kakek ini memuji.
"Kalau begitu, mari kitas adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah
benar-benar biruangmu dapat mengalahkan harimauku!"
"Boleh!" Soan Cu
menjawab.
"Jangan! Soan Cu, tidak
boleh begitu!" Sian Liong berseru, kemudian dia berkata kepada kakek itu,
"Harap Locianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami pergi dari sini
sekarang juga. Bukan maksud kami untuk mengganggu siapa pun."
"Kucing hitam macam itu
saja, biar ada lima akan diganyang oleh biruang kami!" Soan Cu masih
marah-marah. "Kakek sombong
mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat datang, agaknya
harimau itu sudah makan orang tadi! Perlu diberi hajaran!" "Hayo kita
adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak dengan kumis bangkit saking
marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu, jangan
harap kalian akan dapat pergi dari sini!" "Kami tidak takut!"
Soan Cu menjerit lagi.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin
Liong menyesal bukan main. Kalau dia tidak membolehkan biruang diadu, tentu
kakek itu bersama teman-temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan
akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas dan berkata, "Baiklah,
mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau berkelahi.
Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi."
"Koko, lepaskan biruang
kita, biar dihancurlumatkan kucing keparat itu. Tar-tar-tarrr...!!" Soan
Cu sudah
membunyikan cambuknya di udara
berkali-kali..Sin Liong melepaskan biruangnya dan dia menghampiri Soan Cu,
memegang lengannya dan berbisik,
"Soan Cu, kautenangkanlah
hatimu, jangan marah-marah.
Ingat, kita tidak mau melibatkan
diri dalam permusuhan dengan siapapun juga, bukan?" Dipegang lengannya
secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan
Cu padam seperti tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk
sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor harimau liar yang tiba-tiba
menjadi jinak! Sementara itu, setelah
kini dilepas keduanya dan tidak ada yang menghalangi, kedua ekor binatang itu mengeluarkan
suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan. Mual-mula mereka saling
pandang dan masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara,
kemudian harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju! Dengan berdiri di
atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan menerkam. Akan tetapi,
dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali,
biruang menangkis terkaman dan balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang
biarpun tidak seruncing kuku harimau, namun tidak kalah kuatnya. Kena tamparan
biruang yang amat kuat itu, harimau terguling-guling!
Hanya sepasang matanya saja yang
bersinar-sinar girang, akan tetapi Soan Cu tiak berani berkutik di dekat Sin
Liong. Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata-kata mengejek
melihat betapa harimau itu terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap
Sin Liong.
Harimau itu meloncat lagi dan
menerkam makin dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat, ditengah-tengah
suara gerengan yang menggetarkan seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung
yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar, mendapat kesempatan
menonton harimau bertanding melawan biruang, akan tetapi karena merasa ngeri
dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari turun lagi.
Perkelahian yang dahsyat, seru
dan mati-matian. Biruang itu sudah menderita banyak luka di tubuhnya akibat
cakaran dan gigitan harimau, akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram
kepala harimau, menindihnya dan menggigit leher harimau, sampai robek dan terus
luka di leher itu dirobeknya sampai keperut!
Harimau berkelojotan dan mati tak
lama kemudian.
"Heiii....!" Soan Cu
berteiak, namun terlambat. Sinar hitam menyambar ke arah leher biruang dan
binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan lalu roboh dan tak bergerak lagi,
mati diatas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya.
"Kau membunuh biruang kami!"
Soan Cu melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang
biruang dengan Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).
"Dia pun membunuh harimau
kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya. "Manusia curang kau!" Soan Cu sudah
menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg.....!!"
Bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang bersinar
hitam. itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang
ampuh dari Tee-tok. Akan tetapi bukan
main kagetnya ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri, dia merasakan lengannya
tergetar, tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat. "Heii, jangan bertempur.....!" Sin
Liong cepat menegur,akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya,
apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah membalas serangannya dengan
sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan
Tee-tok. Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada menyambar
hawa yang kuat dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan dan tangan
kanannya sudah mencabut pedangnya.
Pedang di tangan gadis ini adalah
pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya,
pedang ini aneh dan ampuh sekali.
Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan pedang itu
terbuat dari tulang ular dan
namanya pun Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular
beracun yang telah dikeraskan dan
diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti.baja.
Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk itu terbuat dari
ekor ikan hiu yang
istimewa dan yang hanya terdapat
di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuknya itu pun mengandung
bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa
obat penolaknya! Sin Liong sudah
mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia memang tadinya tidak mau memperlihatkan
bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu
pernah pula membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh
kang-ouw datang memperebutkan dia dilereng Pegunungan Jeng-hoa-san.
Kini, melihat betapa Soan Cu
sudah bertanding mati-matian melawan kakek itu, dia menjadi khawatir sekali dan
cepat dia berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok
dan disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan
merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang
dara remaja!"
Mendengar ucapan itu, Tee-tok
menjadi merah mukannya. Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai
pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mudur dan menghadapi
Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau
sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!" Sin
Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu,
Locianpwe. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan
datang untuk bertanding." "Tapi kalian datang dan mengakibatkan
harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa
harimau kami mati?"
"Dia mampus karena kalah
dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang
kembali karena Sin Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan
cambuknya kembali.
"Siangkoan Locianpwe, memang
kami akui bahwa harimau peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan
tetapi Locianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh biruang kami.
Bukankah itu sudah lunas artinya?"
"Tidak!" Tee-tok yang
masih marah itu membentak. "Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya
belum dihukum!"
Soabn Cu tak dapat lagi menahan
kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?" "Tak
perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan
matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang. Pemiliknya harus
dihukum rangket seratus kali , baru adil!" "Keparat!"
"Soan Cu!" Sin Liong
berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali
kata-katanya. "Soan Cu, aku mita
kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan
dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu.
Mengerti?" Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan
tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat
menolak dan dia mengangguk. "Berangkatlah,
dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu
membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian meloncat
pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua
orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu yang sekali meloncat
lenyap dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang
bersikap demikian tenang dan halus, namun ia memiliki wibawa demikian besarnya
sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat.
Setelah Soan Cu pergi jauh dan
tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu mengeluarkan kedua
lengannya dan sambil tersenyum
tenang dia berkata, "Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan
lagi. Aku sudah mengaku bersalah
telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku
menerima hukuman rangkes seratus
kali agar hatimu puas.".Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru
oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia
menganggap pemuda itu
menantangnya, menantang ancaman hukumannya.
"Belenggu kedua
lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.
Empat orang muridnya menyerbu dan
Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan
lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga
tubuhnya setengah tergantung.
"Ayah.....!" Tiba-tiba
dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah
Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan
perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan
suatu kesalahan."
"Dipikir apalagi? Kita telah
dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan
tetawaan orang sedunia?"
Mendengar kata-kata orang tua
itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah Sin Liong yang
telah siap menerima hukuman.
"Terima kasih atas kebaikan
hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman.
Dengan begini, habislah segala
urusan dan Ayahmu takkan marah lagi." "Diam kau!" Tee-tok
membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar.
"Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak
lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan
panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun
cambuknya. Terdengar suara meledak-ledak
dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang telanjang itu.
"Tar.....! Tar....!
Tar........!"
Semua orang terbelalak memandang
, penuh keheranan. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu,
mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak
membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat,
akan tetapi dahi Si Pemengang Cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus
kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah, namun
jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan
tampak merah saja tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit
membungkus daging, melainkan melecut baja saja!
Setelah menghitung sampai seratus
kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia
menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet.
Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan kengerian. Semua anak
buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri
menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya
kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah
kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia
menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu.
Tanduk rusa itu bukanlah sebuah
senjata sembarangan saja. Tee-tok merupakan seorang ahli racun dan dia telah
menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap kekebalan. Tanduk
ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat
pun dan kini dalam kemarahannya, dia hendak mengajar pemuda ini dengan tanduk
rusa ini! Pada saat itulah Swat Hong
datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya
sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya
ketika dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di depan kakek
yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat
ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan..... jangan
pukul dia dengan ini.....!"."Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia
telah menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan
kekebalannya! Hemm, hendak
kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!"
Dia mengamangkan senjata aneh itu.
"Jangan, Ayah! Jangan....
aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia orang gagah
yang budiman, luar biasa..... mengapa Ayah tak bisa melihat orang.....?" Siangkoan
Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang pucat, mata yang sayu dan
tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran,
kemudian marah sekali. Puterinya telah
jatuh cinta kepada pemuda itu!
"Hemm..." Suaranya
penuh geram. "Lupakah kau kepada putera Lusan Lojin.....?"
"Ayahhhh....!"
Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya, menangis. Betapapun bengisnya, Tee-tok yang hanya
mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya.
Hantinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua
kakinya. Dia menghela napas panjang dan
pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan
kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini?
Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan , dan harus diakuinya bahwa biarpun
pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu gagah
perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan
bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san
Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini? "Hai, orang muda. Siapakah namamu?"
Sin Liong memandang kepada kakek
itu dan menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe."
"Bagaimana engkau bisa
mengenal aku?"
"Siapa yang tidak mengenal
Locianpwe yang terkenal di dunia Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan
Houw yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan
Locianpwe....." Tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia
teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu.
"Bertemu? Di mana?"
Karena sudah terlanjur bicara,
Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng
Jeng-hoa-san, bahkan Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......" "Astaga....!
Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin-tong....?" Tee-tok berseru
dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh..... maafkan
kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!" Dia cepat
meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan
cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong. Sin Liong tersenyum. "Tidak mengapa,
Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan
mengakibatkan kematian harimaumu."
"Aihh... hei, matamu tajam
sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya baik saja. Aduh, betapa
dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa
girangku dia tiba-tiba muncul di sini!" Dengan giran Tee-tok menggandeng
lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk ke rumah kami, kita
bicara!"
"Tapi, Locianpwe. Saya ingin
melanjutkan."
"Nanti dulu, kita bicara!
Sejak engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia sekarng.....?" Kakek itu
menengok
kekanan kiri, seolah-olah merasa
ngeri karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa
tahu, pangeran yang luar biasa
itu tahu-tahu muncul pula di situ.."Locianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya
datang berdua dengan adik Soan Cu.""Mari kita bicara. Ah, pertemuan
ini sungguh menggirangkan hati!" Melihat sikap kakek itu begitu gembira,
Sin Liong tidak tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan
Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun
tidak mengapa daripada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang
berangasan ini.
Siangkoan Hui memandang kepada
Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kekaguman dan ketika
ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian menggandengnya
dengan tangan kiri, dia tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu,
kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka.
"Ha-ha-ha! Hui-ji...
ha-ha-ha-ha! Eng kau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda
hebat!"
Dengan penuh kegembiraan Tee-tok
menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?" "Dia
adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Locianpwe. Dia sedang mencari
ayahnya dan saya membantunya."
"Mana dia? Karena dia
sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya."
"Tidak usah, Locianpwe.
Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham." "Ha-ha-ha,
aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras,
aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."
"Locianpwe, nama saya Kwa
Sin Liong."
"Tidak apa, aku tetap
menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau
telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?'
Sin Liong mengangguk dan merasa
agak gugup. "Benar, akan tetapi saya dilarang untuk bicara tentang
Suhu...."
"Ha-ha-ha, aku tahu. Dia
bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya, apalagi muridnya
adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan
sebesar gunung!" Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya dan cawan arak
yang terbuat daripada perak itu seperti tanah lihat saja, di dalam kepalanya
berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.
Sin Liong terkejut dan tidak
berani bertanya. Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah
meja dan berteriak kepada muridnya mita diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia
berkata, "Siapa tidak kecewa? Anaku hanya seorang, perempuan lagi, dan
celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" Kakek ini memang selalu
bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah
ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Locianpwe?'
"Kalau ditunangkan dengan
engkau tentu saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu , dengan orang lain yang
tak kunjung datang! Dan karena telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat
mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu, dia
jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali."
Tentu saja Sin Liong menjadi
terkejut dan malu, menunduk dan tak berani bicara lagi. "Engkau tentu
belum bertunangan, bukan?"
Sin Liong hanya menggeleng
kepalanya.
"Kalau begitu, mudah saja !
Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji...."."Locianpwe,
ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan, adapun aku.... aku sama sekali tidak
mempunyai
pikiran untuk menikah,"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu saja, dari satu
pihak. Aihhh, Lu-san Lojin, engkau tua bangka benar-benar sekali ini membuat
hatiku kesal! Aku telah pergi ke sana baru-baru ini dan dia bersama puteranya
itu, juga bersama seorang puterinya, menurut penuturan penduduk di sekitar
Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...." "Harap
Locianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Locianpwe. Kalau
sudah jodoh, tentu akan dipertemukan kelak."
Kembali kakek itu
mengangguk-angguk. Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan
dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti
Ong tokoh Pulau Es, dia tertarik dan terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba
menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga untuk keperluan lain yang
amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia
menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah
pemuda ini berdiri.
Sementara itu, Siangkoan Hui
merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur.
Tentu kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan
bicara yang bukan-bukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia merasa malu dan....
girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh
cinta kepada pemuda itu! Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan
gagah, namun memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah dia bertemu dengan pemuda
segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah, akan
tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama
sekali di kulit tubuhnya yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang
luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan
ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara
terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya?
Teringat akan ini, tiba-tiba
Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan termenung,
menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu
hanya sabuk tambahan dan dapat dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang
itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning.
Sambil menggigit-gigit ujung
sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar
merah tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya. Dara ini
sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang mengikutinya,
bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api
penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong! TadinyaSwat Hong
mengintai dan hampir saja dia melompat keluar untuk menolong suhengnya. Akan
tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya menggunakan tanduk rusa
memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apalagi
melihat betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu
berhasil! Hatinya terasa panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia
merasa benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam
mengikuti dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak
mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat ada gadis
memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu
bahwa hatinya diamuk cemburu!
Melihat Siangkoan Hui yang
dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit ujung sabuk
merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang
tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar!
"Perempuan tak tahu
malu!" Bentaknya dan dia sudah melompat keluar, mencabut pedangnya dan menyilangkan
pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda-kuda
dan membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!"
Siangkoan Hui adalah seorang
gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu
melihat bayangan berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun. Kini, melihat
bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu adalah seorang gadis cantik
yang tidak dikenalnya, dia melongo.
"Eh-eh, apakah kau ini orang
gila?".Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah.
Kedua pipinya merah seperti udang
direbus dan sepasang matanya yang
jeli itu mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua
orang dara itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan
pada saat itu sama marahnya!
"Kau.... kau.... perempuan
rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suhengku!" Swat Hong
memaki.
Siangkoan Hui terkejut sekali,
akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya
dimaki-maki orang. "Apa? Kau ini mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut!
Seekor naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya
hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci
maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit, akan tetapi karena dia tak pandai
cekcok dengan suara, dia hanya mengeluarkan suara melengking nyaring dan
pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui!
"Singgg...
Wuuuuttt......!"
Siangkoan Hui juga mengeluarkan
pekik kemarahan, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari atas sabuk sutera
merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah
dengan serangan balasannya yang tidak kalah berbahaya. "Plakkkk!!"
Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis serangan itu dan dia
terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya
tak boleh dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia
memutar pedangnya dengan kecepatan kilat.
Repotlah Siangkoan Hui menghadapi
permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan Hui
sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai puteri
tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki
senjata istimewa berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun
seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang
tokoh yang berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun
yang ampuh.
Setelah mendapat kenyataan betapa
permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba
Siangkoan Hui membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah.
Sawat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan mengejek, sinar
pedangnya berkelebatan dan bergulung-gulung sehingga jarum-jarum merah yang
dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh.
"Haiiittt....!!" Swat
Hong meluncur ke depan, didahului sinar pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung
membabat ke kanan kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak menghantam
dari atas. Seolah-olah semua jalan
keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi! "Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui
memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang diputar-putar,
melindungi tubuhnya. Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk
merah itu menyambar dua batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka
dan dengan cepat sekali ke arah tenggorokan Swat Hong!
"Aihhh....!!" Swat Hong
menjerit dan tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil
dan "menangkap" dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang
kecil-kecil dan putih berderet rapi itu!
Siangkoan Hui terkejut dan kagum
bukan main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke
arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakan senjata rahasianya
sendiri ini dengan mudah. Akan tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan
pedangnya bergerak untuk membunuh!
Jurus-jurus terhebat dari Pulau
Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat dan ujung
sabuknya sudah robek dicium ujung
pedangnya!."Sumoi, jangan....!!!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Sin
Liong melompat memasuki lapangan
pertandingan, menolak lengan
sumoinya dengan tangan kiri. "Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di
sini....!" Sin Liong berseru girang bukan main.
Akan tetapi, perut Swat Hong
terasa panas saking mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan
belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa Tahu, suhengnya muncul dan
lawannya itu dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang
menjadi ayahnya! "Aku harus
membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui.
"Sumoi, jangan serang
orang!"
"Kalau begitu, serang kau
saja!" Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan
pedangnya! "Eh-eh....! Ohhh....!
Sumoi...., mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa berlompatan ke
sana-sini mengelak karena sambaran pedang di tangan sumoinya itu bukan
main-main! "Kenapa kau membelanya?
Kenapa?" Swat Hong berkata berlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan
seruan suhengnya.
Pada saat itu tampak dua sosok
bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu.
Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama?
Telah kita ketahui bahwa Soan Cu
disuruh pergi oleh Sin Liong, dan karena gadis ini amat taat kepada Sin Liong,
dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun kembali.
Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan
penyelidikan bersama Swat Hong dan mereka berpencar.
Kwee Lun mengambil jalan dari
kiri. Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang berindap-indap melakukan penyelidikan,
dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu
saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya
untuk menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di
sebelah dalam . Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, daripada
menyelidiki dari luar tak berketentuan.
Dengan pikiran ini, Kwe Lun
tiba-tiba meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan
memeluk Soan Cu!
Dapat dibayangkan betapa marahnya
dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari semak-semak dan
dengan gerakan secepat kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira
bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak menangkapnya atau hendak
berkurang ajar. "Setan keparat
jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia mengerahkan tenaganya, meronta dan
menggerakan kaki tangannya, menyepak dan menampar.
"Plak-plak-plak.....!
Wah-wah..... galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya
karena tulang kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya
ditampar! Kini mereka berhadapan dan
saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena sama-sama tidak menyangka.
Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena
disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang
cantik jelita! Sedangkan Soan Cu yang
terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya
saling pandang, kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi
oleh Sin Liong , hatinya gelisah memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda
itu akan mampu menjaga dirinya.
Kini ada orang yang betapa
gagahnyapun telah berlaku kurang ajar. "Setan
alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat
jahanam! Engkau sudah bosan hidup!"
"Tar-tar-tar....!!"
Cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun. Soan Cu
mengira bahwa sekali serang saja
kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih
kepandaian anak buah Tee-tok?
Akan tetapi betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu.dapat
mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu berhasil
menepuk lengannya
yang memegang cambuk.
"Plakkk!" Pemuda itu
terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh..... nanti
dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau racun manapun
juga!" Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang
dan kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar
dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi, Kwee Lun tetap dapat mengelak dan
meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu
dengan telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dan
tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti)
yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi
lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras!
"Nona cantik tapi galak
seperti kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu
menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah dulu dan kita
bicara!"
"Iblis raksasa, kau yang
kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah mencabut pedangnya,
pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut! "Wah, runyam! Perempuan galak dan
ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut
pedangnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang
perak. "Tringgggg....
Cringggg-trangggg......!" Bunga api berpijar dari keduanya terdorong
kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu dengam
cambuk dan pedang bertemu dengan pedang.
Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang mereka
seimbang!
"Bagus! Mari kita bertanding
sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Trangggg....!
Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong
mudur. "Sombongnya! Manusia mana
kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu,
mengapa kau marah-marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?" "Ngaco!
Jenggotmu yang kebakaran!"
"Eh, ohhh! Kau bikin aku
bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau
lihai bukan main! Senjatamu mengerikan!"
Cerewet!" Soan Cu sudah hendak
menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran bahwa dia tidak mampu
mengalahkan pemuda ini.
"Nanti dulu! Kita bicara
dulu, baru kita bertanding selaksa.... eh, seratus jurus saja! Aku salah
menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!"
"Menghina kamu ya? Orang
macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!"
"Maafkanlah. Aku tadi
melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki..... wah, celaka! Kau tentu puteri
Tee-tok!"
Kwee Lun terkejut dan menyesali
kebodohannya.
Mengapa dia tidak menduganya
lebih dulu? Siapa lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
"Aku bukan anak racun bumi,
bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!" "Wah, benarkah? Kalau
begitu kita cocok! Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada biruang
diadu dengan harimau, pemilik biruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku,
sahabatnya sahabatku!"
Soan Cu menjadi bingung.
"bicaramu seperti orang sinting!'."Memang betul, sahabatnya, eh,
malah suhengnya sahabatku. Kau siapa?""Aku baru saja meninggalkan
pemilik biruang itu yang menjadi sahabat baikku." Dengan singkat Soan Cu menuturkan
betapa Sin Liong mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima
hukuman! "Wah, kenapa kau sudah
begini besar masih begini tolol?"
"Siapa? Siapa tolol?"
Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar ditangannya. "Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa
kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu
Tee-tok Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi,
kejemnya bukan main. Sahabatmu itu, suheng sahabatku, pemilik biruang, tentu
akan dibunuhnya!" "Apa....?" Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali.
"Celaka....!"
"Hayo cepat kita kesana,
barangkali belum terlambat!"
Demikianlah, kedua orang itu
seperti berlomba lari saja, bersicepat lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba
di tempat yang tepat di mana mereka melihat Swat Hong sedang menyerang kalang
kabut kepada Sin Liong yang mengelak ke sana-sini. Ketika Kwee Lun melihat
sahabatnya itu menerjang seorang pemuda dengan mati-matian dan mendapat
kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan main, biarpun bertangan kosong namun
pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah menyentuhnya, dia sudah menggerakan
pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak, "Berani kau menghina
Hong-moi?" "Trangg-cringgg....!!" Kwee Lun terdorong ke belakang
dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya adalah sepasang senjata
di tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau mencampuri urusan
Liong-koko?" Setelah berkata demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan
kembali mereka saling serang dengan serunya!
Melihat ini, otomatis Swat Hong
menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang lalu berkata,
"Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah....!" "Liong-ko, biarkan
aku bertemput dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!"
"Kwee-koko, mundur! Orang
sendiri......!"
"Hehhhh....? Orang
sendiri....? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar
memandang kepada Sin Liong, lalu kepada Soan Cu.
"Kwee-koko, inilah suhengku
yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan .
"Eh.... akan tetapi, mengapa
kau menyerangnya.....??"
Sin Liong cepat berkata,
"Saudara yang gagah, Sumoiku ini memang kalau lama tidak bertemu lalu
ingin mengajakku berlatih." Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah
ketahuan oleh semua orang betapa dia marah-marah dan menyerang suhengnya
sendiri, baru dia teringat dan menjadi malu.
Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati
Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi
dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara yang
galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil berkata,
"Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah sumoi dari Kwa-taihiap...."
"Hemmmm.... sudahlan!"
Swat Hong berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada suhengnya,
"Suheng, dia ini adalah
Saudara Kwee Lun, murid dari Lam Hai Sengjin."."Ha-ha-ha! Kiranya
murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi dari
Kwa-taihiap?Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak tokoh
besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih cembertu. "Baik
sekali Nona sudah datang kembali. Mari.... mari orang-orang muda yang gagah
perkasa, marilah kita duduk dan bicara di dalam." Tee-tok Siangkoan Houw
lalu mempersilahkan mereka semua memasuki gedungnya dan dia menjamu mereka
dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum
sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga merasa iri hati dan berduka.
Tidaklah demikian dengan perasaan
Soan Cu. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat
tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa
dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin
Liong jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik
kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik seorang
kakak terhadap adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi
pemuda itu, juga mencintai suhengnya, Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia
membiarkan cintanya terhadap Sin Liong berlarut-larut. Pertemuannya dengan Kwee
Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa ini amat hebat,
amat menarik dan jelas lebih cocok dengan dia!
Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur, terus terang, gagah
perkasa dan biarpun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling serang sampai
dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan bersama mengelilingi meja
besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju kepada pemuda perkasa itu.
Setelah mereka makan minum,
berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya sungguh-sungguh dan kata-katanya
ditujukan kepada Sin Liong dan
Swat Hong, "Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji-wi mempunyai hubungan
dengan Pulau Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran
Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan
menarik perhatian Ji-wi. Dan sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di
dunia kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"
JILID 13
"Ah, mengapa Locianpwe
terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah yang
kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan membawa-bawa nama Pulau Es." "Justeru
karena urusan ini menyangkut Pulau Es."
"Heiii....? Ada urusan
apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat. Mendengar ini Tee-tok tersenyum dan
memandang. "Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es,
bukan? Gerakan pedang Nona tadi hebat bukan main...."
"Tidak perlu diketahui siapa
pun apakah aku dari Pulau Es atau tidak," jawab Swat Hong tegas.
"Kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin mendengar."
"Locianpwe, harap ceritakan
kepada kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya
berutahukan bahwa memang amatlah penting artinya bagi kami kalau ada urusan
yang menyangkut Pulau Es."
Tee-tok menarik napas panjang.
"Kalau dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Ji-wi
(Anda Berdua) tentu telah mendengar nama besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua
orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai
mati-matian." "Haiii....? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan
tetapi sungguh hatiku penasaran sekali mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang
kang-ouw. Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang
dihormati oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun
berseru lantang, matanya terbelalak lebar karena penasaran.
"Ha-ha-ha, agaknya gurumu,
Si Tua Bangka Lam Hai Sengjin masih belum mendengar berita karena dia
selalu bertapa dipulaunya
sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah
beberapa bulan ini dikuasai oleh
seorang ketua baru!"."Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai,
kurasa adalah urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula
Kwee Lun.
"Memang demikian kalau ketua
baru itu orang dalam Bu-tong-pai pula. akan tetapi, ketua baru itu mengaku dirinya
sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan perbuatan sewenang-wenang, melanggar
peraturan kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan
bersekutu dengan pembrontak!" "Ihhhh....!" Swat Hong berseru.
"Kiranya dia di
sana....!" Sin Liong juga berseru.
Mendengar seruan dua orang muda
sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik. "Ji-wi
mengenal wanita itu?"
Sin Liong mengangguk tenang.
"Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta diri, karena kami
harus segera berangkat ke Bu-tong-pai."
"Tapi biarlah kami
membantumu, dan kalau perlu kita memberitahukan teman-teman di dunia kang-ouw agar...."
"Tidak usah, Locianpwe. Ini
adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu Sumoi?" "Benar!
Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima kasih atas
bantuanmu mencari Suheng dan setelah kini aku bertemu Suheng dan kami ada
urusan yang amat penting, terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita berpisah
sampai di sini, Kwee-koko."
Kwee Lun mengangguk dan berkata
dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi."
"Soan Cu, kuharap engkau
suka menanti dulu di sini dan harap Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan kebaikan
hati dengan menerima Soan Cu di sini untuk beberapa hari sampai saya selesai
berurusan dengan Bu-tong-pai."
"Tentu saja! Dengan senang
hati! Biarlah Ouw-siocia tinggal di sini dulu, ditemani oleh anakku." "Tidak,
Liong-koko! Aku.... aku.... akan pergi saja melanjutkan usahaku mencari Ayah.
Kaupergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong......" kata Soan Cu
sambil menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat
tinggal, aku pergi lebih dulu!" Setelah berkata demikian, Soan Cu lalu
bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi.
Kwee Lun juga bangkit berdiri.
"Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau."
Kwee Lun lalu berlari sambil
berseru, "Nona...., tunggu dulu....!!"
Namun Soan Cu tidak menengok lagi
dan berlari cepat sehingga Kwee Lun terpaksa harus mengerahkan ginkangnya untuk
mengejar. Sebentar saja kedua orang muda yang berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan
mata.
Sin Liong dan Swat Hong juga
berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya yang mengantar mereka
sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi dan tidak nampak
lagi, terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi matanya dengan ujung lengan
bajunya. Siangkoan Houw menghela napas dan merangkulnya. dara itu makin
berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya. Tee-tok menepuk-nepuk pundak
puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut anak Tee-tok begini lemah
hatinya!
Aku tahu bahwa kau jatuh cinta
kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi,
aku melihat sesuatu yang aneh
pada diri Sin-tong itu. Aku akan merasa heran kalau sampai mendengar dia
itu menikah! Dia tidak seperti
manusia biasa! Dia dari Pulau Es, demikian Sumoinya. Mereka itu berbeda
dengan kita. Selain itu, engkau
adalah tunangan putera Lusan Lojin Bu Si Kang. Engkau sejak kecil telah
dijodohkan dengan Bu Swai Liang. Biarlah
aku akan mencari lagi mereka!".Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia
menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang
amat menyayanginya. Sebetulnya,
sukarlah dikatakan apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin
Liong. Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan
wajah dan sikap pemuda yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta,
kiranya masih terlalu pagi! Keadaan di
Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai
persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak jelas karena
adanya banyak anggauta perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang
kasar dan ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian untuk menentang siapa saja, akan
tetapi juga terjadi perubahan di sebelah dalam yang tidak diketahui oleh orang
luar. Terjadi hal yang membuat Swi Nio seringkali menangis seorang diri di
dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia
melihat betapa kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih dari subo mereka
sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara sembunyi-sembunyi, akan
tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya dan kakaknya itu berjinah secara
terang-terangan, tidak bersembunyi lagi dan biarpun pada siang hari di mana
banyak mata para angauta Bu-tong-pai menyaksikannya, dengan seenaknya ketua
Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi Liang atau sebaliknya pemua itu memasuki
kamar subonya kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio membrontak, akan tetapi apa yang
dapat dia lakukan kecuali menangis? Dan memang sungguh menyedihkan sekali
kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang kini terjebak oleh nafsu
berahi dan menjadi hamba nafsu berahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang
membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi
Liang adalah seorang pemuda yang masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu
saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang sudah matang
seperti The Kwat Lin pula, memang rasa kagum seoran muda terhadap lawan kelaminnya
yang lebih tua dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat
diartikan bahwa The Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau
gila berahi. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang normal, dan hanya keadaanlah
yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar. Dia adalah seorang wanita
yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik dan
bertubuh sehat. Setelah menjadi janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau
dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangantan rasa sayang seorang pria.
Adapun pria yang sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang,
maka tidak pula mengherankan apa bila dia teertarik dan jatuh hati kepada
muridnya sendiri ini. Karena pemuda ini masih hijau dan tentu saja tidak berani
mulai dengan langkah pertama, maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan
kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakan kaki dalam langkah pertama.
Dialah yang memikat dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabok.
Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi mencandu. Yang
pertama kali segera disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudia mereka menjadi
ketagihan dan seolah-olah tidak dapat lagi hidup tanpa kelanjutan hubungan
gelap mereka!
Tentu saja hal ini dapat terjadi
karena keadaan hidup Kwat Lin. Andaikata dia masih seorang pendekar wanita
seperti belasan tahun yang lalu, tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan
dia lakukan. Akan tetapi kini keadaanya
lain. Dia menjadi seorang wanita yang berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi
tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua paksaan dari Bu-tong-pai,
seorang yang bercita-cita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya.
Kedudukannya memberi dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk
bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan orang lain lagi. Akan tetapi, selain hubungan gelap dengan
muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin juga mulai dengan langkah-langkah ke arah
tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan mengadakan hubungan
dengan para pembesar di kota raja melalui anggauta-anggauta barunya, yaitu para
pembesar yang mempunyai cita-cita yang sama, para pembesar calon pembrontak. Kedudukan
Bu-tong-pai makin kuat setelah terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang
lalu.
Pada beberapa hari yang lalu,
pagi-pagi sekali, anak buah Bu-tong-pai gempar dengan munculnya dua
orang laki-laki di pintu gerbang
Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun anak buah Bu-tong-pai yang berani
sembarangan turun tangan ketika
mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini adalah tokoh-tokoh besar
dalam dunia persilatan. Ketika
seorang diantara mereka, yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kumis
dan jenggotnya sudah putih,
mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai yang
baru, para anak murid Bu-tong-pai
cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih
enak-enak pulas dalam pelukan
muridnya, juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu
kamarnya diketuk dan mendengar
suara seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang.tamu, ayah
dan anak she Coa dari dusun Koan-teng di kaki Pegunungan Bu-tong-san yang minta
bertemu
dengan ketua!
"Suruh mereka menanti di
luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah. Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani
oleh Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir
sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang menemui dua orang itu. Senyum mengejek
menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu. Semenjak dia merampas
kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi tokoh-tokoh
kang-ouw yang agaknya datang karena permintaan para tosu Bu-tong-pai yang
mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan membela para tokoh
Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang berturut-turut itu
dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang tewas seketika, ada yang terpaksa pergi
membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu merupakan
tokoh-tokoh yang datang ke enam kalinya.
Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan
membiarkan subu mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu.
Dengan pakaian yang mewah dan
indah, dandanan seperti puteri kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai seorang
wanita bangsawan agung yang memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh dia melangkah
maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum. Kedua orang itu berpakaian
sederhana, namun dari sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan mereka
sebagai pendekar-pendekar penentang kejahatan.
Kakek itu biarpun sudah tua, masih kelihatan sehat dan kuat, jenggot dan
kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya.Di pinggangnya tergantung
sebatang pedang dan dia memandang ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh
selidik. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya, bertubuh
tegap dan berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laiki-laki
ini dan memang mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali namanya
sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng yang menjadi sahabat-sahabat
baik dari para tosu Bu-tong-pai. Kakek
Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai dan ilmu
pedang ini diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika
ayah dan anak ini mendengar akan malapetaka yang menimpa para pemimpin
Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, seorang
wanita yang merampas kedudukan ketua , kemudian mendengar betapa banyak sahabat
-sahabat kang-ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka
berdua menjadi marah sekali. Sebagai orang-orang yang biasa menentang kejahatan
mereka tidak mempedulikan berita tentang kesaktian wanita itu dan berangkatlah
mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik ke
Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu.
The Kwat Lin bukan seorang bodoh.
Setiap kali ada tokoh naik ke Bu-tong-san dan hendak menantangnya, dia selalu
membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama. Selama cita-citanya belum tercapai,
dia membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada
orang gagah datang dengan maksud menantangnya dan membela para bekas pimpinan
Bu-tong-pai, dia selalu menyambut mereka dengan bujukan manis. Hanya karena
bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa dia turun tangan
menerima tantangan mereka.
Memang demikianlah sifat
orang-orang yang mempunyai cita-cita besar, cita-cita yang sesungguhnya hanyalah
nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita yang
merupakan pamrih bagi diri peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap
palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk membantunya demi tercapainya cita-cita
itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh dan perlu dibasmi agar
jangan menjadi penghalang cita-citanya, sebaiknya, mereka yang mati-matian
membantunya, jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian besar dilupakannya
begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya diberi pahala sekedarnya karena
yang penting bukan orang-orang yang membantunya, melainkan dirinya sendiri!
Begitu berhadapan dengan ayah dan
anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata.
"Kiranya Ji-wi Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Suadh
lama kami mendengar Ji-wi yang terkenal gagah perkasa, maka kami merasa
beruntung sekali hari ini dapat bertemu.
Apalagi mendengar bahwa Ji-wi adalah sahabat baik dari
Bu-tiong-pai....."
"The Kwat Lin!" Kakek
Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka ketua baru Bu-tong-pai
itu. "Aku mengenalmu sebagai
seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang
murid Bu-tong-pai yang selalu
menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan tahun bersahabat
dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar
akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang
bertahu-tahun, engkau kembali ke
sini dan menjadi seorang murid murtad, merampas kedudukan ketua.mengandalkan
kekerasan dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja
tidak
mungkin dapat mendiamkan hal
penasaran ini tanpa turun tangan!"
Kwat Lin tersenyum manis dan
melirik ke arah Soa Khi yang berwajah tampan, akan tetapi Coa Khi mengerutkan
alis dan memandang penuh kemarahan.
"Coa-lo-enghiong agaknya
kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi hal
itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya
ingin menjadikan Bu-tong-pai perkumpulah terbesar dan terkuat di dunia
kang-ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah menjadi sahabat yang dapat
bekerja sama. Karena itu, saya harap Ji-wi dapat membuka mata melihat kenyataan
dan saya persilahkan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan untuk minum arak
persahabatan bersama kami."
"Perempuan murtad! Jangan
mengira dapat menyogok kami dengan omongan manis!" Kakek itu membentak
marah. Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak dan biarpun
mulut yang berbibir itu masih tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung
nada dingin, "Habis apa yang kalian akan lakukan?"
"Sing! Singggg!!" Ayah
dan anak itu telah mencabut pedang dan kakek Coa berkata, "Hanya ada dua pilihan
bagi engkau dan kami. Pertama engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami
akan berterima kasih kepadamu yang mengembalikan Bu-tong-pai, kepada para
pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau berkeras terpaksa kami ayah dan anak
turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabat-sahabat dari
Bu-tong-pai!"
"Hi-hik! Betapa gagahnya
keluarga Coa! Apakah ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut sehebat sikap mereka, perlu
ditonton dulu!" Tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini.
Semua orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang
datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang muncul
ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Ayah dan anak itu mendengar nama ilmu pedang turunan mereka
disebut-sebut, juga menengok dengan kaget. Wanita itu pakaiannya mentereng dan
biarpun usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun harus diakui bahwa dia
adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang, dibiarkan
terurai sampai kepinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan
kanannya memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri
di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita yang masih kelihatan
cantik dengan tubuh padat akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan keluar
dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata
itu terbelalak memandang hampir tak pernah berkejap!
Melihat wanita ini, kakek Coa
terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras. "Kiam-mo
Cai-li....!!" Puteranya, Coa Khi terkejut. Tentu saja dia sudah pernah
mendengar nama ini, nama seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai
seorang iblis betina yang selain kejam dan ganas, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya.
Kakek Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun
tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat
kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki Penggunungan Lu-liang-san itu
tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul,
tentu akan terjadi malapetaka hebat!
The Kwat Lin juga sudah mendengar
nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika dia masih menjadi seorang di
antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik
Berpedang Payung) sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu
dengan iblis betina itu dan sekarang dia melirik ke arah wanita itu dengan
senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu
takut menghadapi iblis yang manapun juga!
"Kiam-mo Cai-li, apakah
kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak menantang aku sebagai ketua Bu-tong-
pai? Kalau memang demikian,
jangan kepalang tanggung, majulah kau bersama kedua orang She Coa
ini agar lebih cepat aku
menghadapi kalian!".Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua
Bu-tong-pai itu mengejutkan hati kedua orang ayah
dan anak She Coa itu. Berani
bukan main wanita ini menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk kaum
sesat itu untuk mengeroyok!
Akan tetapi Kiam-mo Cai-li
tertawa lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi, "Hi-hi-hik,
hebat sekali mulut ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau disebut-sebut di dunia
kang-ouw, kiranya memang memilki keberanian yang hebat! Hanya karena mendengar
engkau adalah Ratu Pulau Es maka aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman
dan tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa pun yang akan menduduki
Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang hendak kulihat bagaimana kau menghadapi
pewaris-pewaris ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut yang terkenal ini. Kalau kau
memang berharga untuk melawanku, barulah kita nanti bicara lagi!"
The Kwat Lin tersenyum mengejek
dan mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk
mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku membereskan dua oran
ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!" Setelah berkata
demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon dan sekali tangan kirinya bergerak
menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar suara keras dan pohon itu tumbang.
Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang tajam saja, rata dan
halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku!
"Hi-hi-hik, memang hebat
sinkangmu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si
dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas batang pohon yang
merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang
dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang yang akan menikmati suatu tontonan
yang menarik.
Ayah dan anak she Coa itu saling
pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka seperti sudah saling
bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa
pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali tidak merasa gentar. Mereka
bukan saja membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh
Bu-tong-pai, akan tetapi juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para
tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela Bu-tong-pai. Selain
itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran, kalau sekarang
mereka harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka
menjadi pengecut dan bagi dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah
terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang gagah
dari pada hidup menjadi pengecut hina!
"Kalau begitu, The Kwat Lin,
bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa dan pedang di tangan kanannya sudah melintang
di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi dan kedua orang itu berdiri
berjajar dengan memasang kuda-kuda yang kuat.
Kwat Lin menggerakan tangan
kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu
menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu baginya perlu untuk menghadapi
orang-orang Bu-tong-pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai
benda keramat lambang kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini, menghadapi dua
orang luar, dia tidak mau mempergunakannya, dan juga untuk memamerkan kepandaiannya,
dia sengaja hendak menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong! "Ceppp!" Tongkat itu amblas
setengahnya ke dalam tanah dan sekali Kwat Lin menggerakan ke dua kakinya,
tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah se Coa itu sambil berkata,
"Mulailah!"
"Sing, sing....
wut-wut-wut-wutttt....!!" Bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan
kekuatan dan
kecepatan dahsyat sehingga tampak
sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang
membelah udara. Diam-diam Kwat
Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu
pedang mereka itu. Namun, tentu
saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es, gerakanya lebih cepat
lagi sehingga dengan mudah dia
dapat mengelak ke sana-sini menghindarkan diri dari sambaran sinar
kedua pedang itu dengan gerakan
yang cepat dan indah. Setelah merasa yakin bahwa betapapun indah dan
lihainya ilmu pedang mereka namun
dia masih memiliki tingkat jauh lebih tinggi dalam hal sinkang, Kwat
Lin tersenyum dan bagaikan seekor
kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelah ke
sana ke mari memamerkan kegesitan
tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan terutama
sekali kepada wanita yang
dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li
yang menonton pertandingan itu.
Tiba-tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika lirikan matanya
membuat dia maklum bahwa ada dua
orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka
itu dan berusaha mencabut tongkat
pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun Kwat.lin yang
cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah
pengkhianat-pengkhianat
yan berpura-pura takluk kepadanya
namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan
maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin! Pada saat itu, dua pedang
ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya. Kwat Lin
tentu saja agak terlambat gerakanya oleh perhatian yang terpecah tadi, maka dia
cepat menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan
tusukan pedang dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan
lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
"Cringggg....!!" Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan
yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terlepas dari
pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua
Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah
lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri. Ketika mereka
memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang tadi
mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala
pecah disambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah. Setelah membunuh kedua
orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang
lawannya. kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka,
cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil melindungi
tubuhnya dengan pedang. Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat
Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara
gulungan dua sinar pedang. Dia seloah-olah seorang penari yang amat indah dan
lemah gemulai gerakannya, seperti sedang bermain-main dengan gulungan sinar
pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang di mainkan
oleh wanita itu.
Tiba-tiba kedua orang ayah dan
anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi dan tampak mereka menerjang
secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil
meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari
ilmu pedang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari
Hok-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya
sehingga tidak memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena
jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu
akan mengejar terus.
Akan tetapi, sambil tersenyum
Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali tidak mengelak, bahkan menubruk
ke depan, tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat
dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri
ke bawah, berjongkok dan kedua tangannya menyambar ke atas dan depan dengan
jari-jari terbuka. "Hyaaaaattt....!!"
Pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua
tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah
menyambar perut kedua orang laawannya.
"Plak! Plak!" Tamparan
jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang mujijat ini tepat mengenai
perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan.
Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka merasa
tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah
ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah tewas
dengan muka membiru karena darah mereka telah beku terkena pukulan yang
mengandung Swat-im-sinkang hebat dari Pulau Es!
"Bagus sekali....!!"
Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang pohon dan
berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu. Keduanya sama cantik dan sama
mewah pakaiannya, dan sejenak mereka saling pandang seperti hendak mengukur
kelebihan lawan dengan pandang mata. "Hebat
kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku
bertanding, mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya
dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, diantara kita tidak pernah ada urusan
sesuatu. Apakah engkau menantangku demi membela para tosu Bu-tong-pai yang
sudah mengundurkan diri?"
"Hi-hi-hik!" Wanita
yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit itu terkekeh. "Aku
membela
tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara
ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa.bodoh!
Akan tetapi mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es,
hatiku tertarik
dan sekarang melihat engkau
benar-benar lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya apakah
benar engkau Ratu Pulau Es?"
Kwat Lin mengangguk. "Benar,
aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau engkau tidak membela
tosu-tosu Bu-tong-pai perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang
membangun Bu-tong-pai dan aku membutuhkan kerja sama dengan orang-orang pandai,
terutama sekali engkau. Apakah seorang dengan kepandaian seperti engkau ini
tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai matahari dan bulan?
Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat pertapaanmu di
Rawa Bangkai?" "Hi-hi-hik, aku sudah mendengar pula akan usahamu yan
bercita-cita luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan
tetapi sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus
menentukan dulu siapa diantara kita yang patut memimpin dan siapa pula yang
harus taat." "Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan
alis berkerut. "Kita bekerja sama,
itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan kita kaum
wanita, tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat saja keadaan di istana
kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan seluruh kendali pemerintahan! Akan
tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya diantara kita,
perlu diketahui sekarang juga."
"Bagus! Dengan lain
kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu kepandaian, ya? Kiam-mo Cai-li, engkau
seperti seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke
atas tanah dekat pusaka Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya
lebih itu mencelat ke atas seperti didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu
disambar dan dipegangnya.
Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk.
"Hebat memang sinkangmu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah sangka.
Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa usiaku sudah makin tua dan aku perlu
memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya
mengukur kepandaian, bukan bertanding sebagai musuh, hanya untuk menentukan
tingkat siapa yang lebih tinggi di antara kita berdua."
Mendengar kata-kata ini,
berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa betapapun juga, dia membutuhkan
tenaga bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau
dia dapat menarik wanita ini sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum
sesat yang dapat ditariknya untuk membantu tercapainya cita-citanya.
"Baiklah kalau begitu,
Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"
"Pangcu, awas serangan
pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru dan tubuhnya sudah menerjang ke depan,
didahului oleh bayangan hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan
menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang itu menusukkan payung
itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan. Namun, dengan tenang
saja Kwat Lin menggerakan tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka dia
mendorong ke depan sehingga hawa pukulan sinkang yang hebat menyambar dan
membuat payung itu seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung
payung yang seperti pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka ditangan
Kwat Lin menyambar dari samping dengan dahsyatnya.
"Plakk...!
Cringggg-cring....!!" Tongkat itu ditangkis, pertama dengan kuku tangan
Kiam-mo Cai-li yang hendak mencengkeram dan merampas tongkat, namun tongkat
sudah ditarik kembali dan mengirim hantaman dua kali berturut-turut yang dapat
ditangkis oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya, Kiam-mo
Cai-li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar
biasa, yaitu Tiat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi).
Kalau saja kwat Lin belum
mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya dari Pulau Es, tentu dia bukanlah
lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin
kini telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi
permainan lawannya dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan seimbang.
Kiam-mo Cai-li memang luar biasa
lihainya. Tidak percuma dia menjadi seorang datuk kaum
sesat, seorang tokoh golongan
hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang kejam dan berilmu.tinggi.
Tdak hanya ilmu pedangnya yang lain dari pada yang lain, permainan pedang yang
gerakan
tangannya terlindung dan
tersembunyi oleh payung hitam sehingga lebih praktis dan berbahaya daripada menggunakan
perisai, akan tetapi di samping ilmu pedangnya ini juga tangan kirinya
merupakan senjata yang amat berbahaya dengan kuku-kukunya yang panjang dan
mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi dengan rambutnya yang hitam
panjang, karena rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk
menotok, melecut, atau melibat!
Akan tetapi, tidak percuma pula
The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang manusia yang disohorkan seperti
setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya.
Tidak percuma selama sepuluh tahun bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di
Pulau Es, apalagi telah mewarisi kitab-kitab pusaka Pulau Es yang telah
dilarikannya. Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setinggkat
dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li. Tenaga sinkangnya adalah hasil latihan di
Pulau Es, maka dia telah dapat menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat-im
Sin-kang, tenaga sinkang yang mengandung hawa dingin sehingga lawan yang kurang
kuat sekali bertemu tenaga akan menjadi beku darahnya. Selain menang dalam
tenaga sinkang, juga dasar ilmu silatnya lebih sempurna daripada dasar ilmu
silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya merupakan gabungan ilmu silat
campur-aduk. Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus
lebih dengan amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan menang
pengalaman bertanding akan tetapi kelebihannya ini menjadi tidak berarti karena
dia kalah tenaga sinkang sehingga setiap serangan dan desakannya membuyar oleh
hawa sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya, iblis betina
ini harus mengakui keunggulan lawan dan dia sebagai seorang ahli maklum bahwa
kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi korban hawa Swat-im Sin-kang
yang mujijat. Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu! Kepandaianmu hebat, engkau pantas menjadi
Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan biarlah aku membantumu
dalam kerja sama kita!"
Dapat dibayangkan betapa
girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu menghampiri Kiam-mo Cai-li,
menggandeng tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan
Han Bu Ong. Kemudian dia mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya dan
sambil menghadapi hidangan lezat kedua orang wanita lihai ini bercakap-cakap
dan mengadakan perundingan untuk bekerja sama.
Ternyata mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan
yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini. Kiam-mo Cai-li diangap
sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat Lin, bahkan Rawa Bangkai yang
terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua di mana kelak
akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia. Benar saja seperti yang diharapkan, setelah
Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah kaum sesat yang menggabung dan
menyatakan suka bekerja sama sehingga biarpun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat
Lin bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai
datuk kaum sesat nomer satu!
Hubungan rahasia yang diadakan
oleh The Kwat Lin dengan para pembesar kota raja menjadi makin luas, dan
diam-diam persekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan untuk
menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang mengharapkan bantuan orang-orang
kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu-tong-pai
menjadi makin kuat dan wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga bantuan
orang pandai dengan mempergunakan uang sebagai pancingan. Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang
sedang diancam pergolakan hebat. Kaisarnya, yaitu Kaisar Beng Ong, atau yang
terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di bawah
pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat
pesat sehingga menjadi sebuah kerajaan yang luas sekali wilayahnya. Di jaman
pemerintahannya inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan
dan pelukis-pelukis yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li
Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain.
Namun, disayangkan bahwa
kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan ini
mengalami godaan hebat yang
meruntuhkan segala-galanya. Seperti telah terjadi seringkali, di jaman apa
pun dan di negara manapun juga,
Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam
keduniawian, ternyata lumpuh
ketika menghadapi seorang wanita! Betapa banyaknya sudah dibuktikan
oleh sejarah, betapa pria-pria
yang hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan tak
berdaya begitu bertemu dengan
seorang wanita yang berkenan di hatinya. Peristiwa itu terjadi dalam tahun.745.
Ketika itu, Raja Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Sebenarnya sudah
tua dan sudah
kakek-kakek, namun seperti telah
terbukti dari jaman dahulu sampai sekarang, laki-laki, betapapun tuanya dalam
menghadapi wanita menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah.
Seorang di antara banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari
banyak selirnya adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunayi seorang isteri yang
amat cantik jelita, dan menurut kabar angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari
kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, dan memang wanita ini memiliki
kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia.
Ketika Kaisar Beng Ong dalam
suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu
tergila-gila. Ratusan orang selir cantik dan pelayan-pelayan muda dan perawan
tidak lagi menarik hatinya dan setiap saat yang tampak di depan matanya
hanyalah wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita. Akhirnya, Kaisar tidak lagi
dapat menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri,
Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan
seorang wanita lain. Adapun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam
istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di istana. Setelah Yang Kui
Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya, sejak
saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang. Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus
pemerintahan, memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang
sekecil-kecilnya, kini mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan
para Thaikam (Orang Kebiri, Kepercayaan Raja) dan para pembesar yang berwenang.
Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah meninggalkan tempat tidur di
mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan. Dalam beberapa bulan
saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar seluruhnya
sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui Hui selalu benar, dan apa pun
yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah
dimabok cinta itu. Yang Kui Hui bukanlah
seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan. Tentu saja hatinya menaruh dendam
kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari suaminya yang tercinta. Sudah
pasti sekali dalam melayani semua nafsu berahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi
niat yang lain lagi, bukan semata-mata karena dia membalas cinta kasih Kaisar
yang sudah tua itu. Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu. Setelah
membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya
yang kecil mungil, mulailah Yang Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan
hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik keluarganya
menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintahan! Bahkan kakaknya yang
bernama Yang Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang
setelah menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja
atas bujukan Yang Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang
cantik jelilta ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya tak
pernah termimpikan oleh mereka.
Pada jaman itulah muncul seorang
yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini bukan lain
adalah An Lu San, seorang yang tadinya dari keturunan tak berarti. An Lu San
dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu Di Liao-tung. Orang
tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga yang
bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu San menjadi seorang pemuda remaja,
sebagai seorang budak belian dia dijual kepada seorang perwira Kerajaan Tang
yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah bintangnya menjadi
terang. Sebagai kacung perwira itu, dia ikut pula ke medan perang dan ternyata
bocah ini membuktikan dirinya sebagai seorang yang gagah berani dan cerdik
sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran sehingga beberapa kali dia membuat
jasa pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka diangkatlah dia menjadi
prajurit dan dalam waktu singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia
diangkat terus, dinaikkan menjadi perwira dan akhirnya, beberapa tahun kemudian
setelah dia memenangkan beberapa peperangan melawan musuh dari luar sehingga
dia berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia diangkat menjadi jenderal! Mulailah jenderal An Lu Sun ini mendekati
Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu saja terbuka kemungkinan baginya
untuk berhadapan dengan Kaisar yang waktu itu sedang tergila-gila kepada Yang
Kui Hui yang telah memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San memang seorang yang
amat cerdik. Menyaksikan pengaruh dan
kekuasaan selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik
sekali untuk mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan
sikapnya yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil
menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri. Selir
ini, yang setiap hari harus melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah
lemah, tentu saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap, gembira dan
kasar liar itu! Terjadilah "main
mata" antara kedua insan ini, dan akhirnya, dengan bujukan dan rayuannya,
Yanh Kui Hui.memuji-muji kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga Kaisar
menjadi semakin suka kepada jenderal ini.
Bahkan Yang Kui Hui dengan
akalnya yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai "putera
angkatnya". Hal ini tidak dijadikan
keberatan oleh Kaisar, bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai seorang selir yang
cerdik, selir yang mencinta dan yang setia karena perbuatan Yang Kui Hui itu
dianggapnya sebagai taktik selir untuk menyenangkan hati seorang pahlawan
sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar.
Kaisar Beng Ong yang terkenal
pandai dan bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya
dengan seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat
dipermainkan oleh jari-jari tangan halus dari selir yang cantik jelita itu.
Tentu saja setiap sukses dari seseorang, bail didapatkan dengan jalan apa pun
juga melahirkan iri hati kepada orang-orang lain. Biarpun tidak ada yang berani
secara terang-terangan menentang selir cantik yang amat dikasihi Kaisar tua
itu, namun diam-diam banyak anggauta keluarga kerajaan yang merasa iri hati dan
membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah
diabaikan oleh Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui
Hui.
Pada suatu malam Kaisar
beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Betapapun dia tergila-gila kepada Yang Kui
Hui, namun karena dia sudah tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap
malam mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan panas itu. Malam
itu merupakan malam istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang
tercinta. Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum dan
menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk kehormatan jenderal An Lu San yang
datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal perkasa itu
mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar yang merasa lelah itu
berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia ingin beristirahat karena
merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya sendiri.
Menjelang tengah malam, kaisar
terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah seorang selir muda belia
yang cantik seperti selir-selir lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih
berdarah bangsawan dan termasuk selir termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui
Hui yang merupakan selir terakhir. "Hemmm, apa maksudmu datang
mengganggu?" Kaisar berkata, tidak marah karena dia pun pernah mencinta
selir yang cantik ini, bahkan tangannya lalu diulur untuk membelai dagu yang
berkulit putih halus itu.
"Hamba mohon Sri Baginda
mengampunkan hamba," selir itu berkata dengan suara agak gemetar, "Sebetulnya
hamba tidak berani mengganggu paduka yang sedang beristirahat, akan
tetapi...." Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya
selir muda ini merindukan curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak
mengunjungi kamar selirnya ini dan tidak pula memerintahkan selirnya itu datang
melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti
punggungku..." katanya sebagai uluran tangankarena membayangkan hasrat
selirnya ini, sudah bangkit pula berahinya.
Yauw Cui tidak berani membantah, bangkit dari lantai di mana dia
berlutut, dan jari-jari tangannya yang halus mulai menari-nari di atas punggung
tua yang pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi, "Rasa penasaran
memaksa hamba memberanikan diri mengujungi Paduka. Hamba tidak ingin melihat
Paduka yang hamba junjung tinggi ditipu dan dihina orang!"
Tangan Kaisar yang mulai membelai
tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti dan dengan pandang mata penuh selidik
Kaisar Beng Ong bertanya, "Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan
menghinaku?"
Yauw Cui menangis dan suara
terisakisak dia berkata, "Hamba.... secara tidak sengaja... mendengar ....
An-goanswe
(jenderal An) berada di dalam
kamar.... Yang Kui Hui...."
Seketika Kaisar bangkit duduk
dengan mata terbelalak. Dengan alis berkerut dia memandang selirnya itu yang
masih menangis, hatinya tidak percaya sama sekali karena memang sudah
seringkali Yang Kui Hui difitnah orang lain yang merasa iri hati.
"Hammm, jangan bicara
sembarangan saja terdorong iri hati."."Tidak.... hamba rela untuk
dihukum mati, rela diapakan saja kalau hamba membohong.... tidak berani
hamba menjatuhkan fitnah....
hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka dihina maka hamba memberanikan diri
melapor...."
"Pengawal....!!" kaisar
berseru sambil mendorong selirnya turun dari pembaringan. Pintu terbuka dan
enam orang pengawal pribadi meloncat masuk dan langsung berlutut setelah mereka
melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya.
Kaisar menyambar jubah luarnya.
"Antar kami ke kamar yang Kui Hui." kata Kaisar singkat sambil memberi
isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya. Pada saat Yauw Cui melapor kepada Kaisar,
kamar Yauw Kui Hui sudah gelap remang-remang dan pada saat itu memang selir
yang cantik jelita ini sedang bersama An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu
berahi dan tentu saja segala pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi
jenderal yang tegap dan gagah perkasa ini, yang masih memiliki sifat-sifat liar
dan kasar dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan
kekecewaan hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah. Kini bertemu dengan An
Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan laki-laki yang jantan dan jauh lebih
muda dari kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya.
Sesosok bayangan menyelinap ke
dalam kamar itu dan berisik di luar kelambu pembaringan. Bisikan itu merobah
suasana di dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu San dalam waktu beberapa
menit saja telah memakai pakaian yang rapi, duduk menghadapi meja yang
diterangi dengan beberapa batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta
daerah utara. Di ujung-ujung Kamar itu terdapat mengawal dan pelayan berdiri
seperti patung, hanya memandang saja ketika An Lu San dengan suara lantang
sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di perbatasan utara.
Demikianlah, ketika Kaisar yang
diiringkan Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap kasar,
dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu
San, akan tetapi bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan Yauw Cui, melainkan
sedang bicara urusan pertahanan! "Hamba
sedang mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu San,"
antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar menyatakan kecurigaannya.
"Paduka terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang cemburu dan iri hati
setengah mati kepada hamba." Karena semua pengawal dan pelayan yang berada
di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa selir tercinta itu tidak bermain
gila dengan putera angkatnya tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui. Selir muda ini mengerti bahwa dia berbalik
kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa tidak ada lagi
harapan baginya, dia menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil
berteriak nyaring, "Kau Wanita Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini akan
hancur!" Dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang
marah-marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan kepalanya di
dinding kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas disaat itu juga! Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang
pelayan yang menerima hadiah banyak sekali dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan
yang membisikinya semalam sehingga menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu, kepercayaan Kaisar
terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar. Tentu saja kesempatan baik ini
tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu San yang mengadakan hubungan
gelap sepuas hati mereka. Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An
Lu San memperoleh kehormatan yang besar, bahkan diangkat menjadi Gubernur di
Propinsi Liao Tung. Menguasai pasukan-pasukan terbaik dari kerajaan dan menjaga
di propinsi yang merupakan perbatasan timur. Kehormatan ke dua diterimanya tak lama
kemudian, tentu saja atas desakan dan bujukan Yang Kui Hui yaitu ketika dia
dianugrahi gelar Pangeran Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena
biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan yang berdarah
bangsawan! Memang An Lu San seorang yang
berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia diberkahi dengan kecerdikan
luar biasa. Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang
mungil dari selir kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk
mengambil hati selir ini dan ternyata semua muslihatnya berhasil baik dan dia
memperoleh kedudukan yang tinggi sekali.
Akan tetapi, tentu saja banyak
pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di antara
mereka ini adalah kakak kandung
Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri.Pertama. Dengan
kedudukanya yang tingi, Yang Kok Tiong melakukan penyelidikan dan ketika dia
memperoleh berita bahwa An Lu San
mempersiapkan pemberontakan, segera dia berunding dengan Putera Mahkota dan
melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap pelaporan ini omong
kosong belaka, akan tetapi karena para pangeran mendesaknya, akhirnya Kaisar
memanggil An Lu San yang merasa keadaannya belum kuat betul untuk memulai
pembrontakan yang memang benar telah dipersiapkannya, tidak membantah. Dia
menghadap Kaisar dan dengan air mata bercucuran dia memprotes, menyatakan
kesetiaanya terhadap Kaisar dan dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui
membantunya. Selir ini pun mencela
Kaisar yang mudah saja dipermainkan orang yang merasa iri hati bahkan Yang Kui
Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang irir hati kepadanya. "hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu San
adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah amat besar. Tidak mungkin
dia memberontak, dan andaikata dia benar mempunyai niat memberontak tentu dia tidak
akan datang memenuhi panggilan Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti
akan kebersihan dan kesetiaanya! Kabar tentang niat pembrontakan itu tentu ditiup-tiupkan
oleh mereka yang merasa iri hati kepadanya."
Seperti biasa, hati kaisar luluh
dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya. Dia malah menjamu An Lu San dan
malam itu dengan amat pandainya An Lu San "membalas budi" Yang Kui
Hui, dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar selir Kaisar itu, aman karena
terjaga oleh orang-orang kepercayaan mereka.
Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi An Lu San sudah kembali ke
utara dengan penuh kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin
mempercepat persiapannya untuk memberontak! Dan demikian pula dengan keadaan
kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar yang jatuh di bawah telapak kaki
halus dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidakpuasan kepada banyak pembesar
sehingga di sana-sini timbul niat untuk memberontak. Kesempatan keadaan yang
lemah dari kerajaan Tang inilah dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk mulai
dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan kedudukan tinggi untuk
puteranya!
Pada suatu hari, datanglah
seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan Bu-tong-san, menghadap Ketua
Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong
dari kota raja, Kwat Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu
menyampaikan tugasnya dia cepat pergi lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan
terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai. Pangeran Tang Sin Ong, yaitu seorang
pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan pula, sebagai saingan
besar dari An Lu San, pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin, mengirim berita
tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut dengan Kaisar yang
hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar. saat
inilah yang dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan
siasat mereka yan telah lama mereka rencanakan.
Beberapa hari kemudian, tibalah
saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di dalam hutan di kaki
Pegunungan Funiu-san, tidak jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu
mengadakan perburuan ini, tempat itu dijaga oleh para pengawal dan ada pula
pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang hutan sehingga
binatang-binatang yang ketakutan itu menuju ke dekat tempat Kaisar dan Permaisurinya
menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak panah ke arah
binatang-binatang itu. Sekali ini, selain beberapa orang pembesar penting, yang
menemani Kaisar terdapat juga Pangeran Tang Sin Ong.
JILID 14
Seperti biasa, Kaisar dan
selirnya yang tercinta menanti di dalam pondok yang memang tersedia di situ, di
tengah-tengah hutan. Para pembesar dan Pangeran Tang Sin Ong menanti di luar
pondok sambil bercakap-cakap. Mereka menanti sampai datangnya binatang-binatang
yang akan digiring oleh pasukan yang sudah menyusup-nyusup ke dalam hutan lebat
di depan. para pengawal menjaga di sekeliling tempat itu, pengawal Kaisar dan
pengawal Pangeran Tang Sin Ong karena pangeran ini mempunyai pasukan pengawal
sendiri.
Mereka tidak usah lama menanti.
Segera terdengar sorak-sorai dari jauh, makin lama makin mendekat.
itulah suara pasukan yang
bertugas menggiring binatang hutan menuju ke tempat penyembelihan itu, di
mana para pembesar telah menanti
dengan gendewa bersama dengan anak panahnya siap di tangan..Mendengar suara
ini, kaisar sudah keluar dari pondok sambil tersenyum-senyum gembira
membawa sebatang gendewa. Seorang
thaikam yang menjadi kepercayan dan pelayannya mengikuti Kaisar sambil membawa
tempat anak panah.
Tak lama kemudian, mulailah
bermunculan binatang-binatang hutan yang panik ketakutan karena dikejar-kejar dan
digiring oleh pasukan di belakang mereka yang bersorak-sorai itu. Dan mulailah
Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar lainnya menghujankan
anak panah mereka ke arah binatang-binatang itu.
Tidak ada seorang pun melihat
ketika dari rombongan pengawal Pangeran tang Sin Ong, seorang pengawal menyelinap
kedalam semak-semak, menanggalkan pakaian biasa menyelinap dan memasuki pondok
Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka. Dengan kecepatan
kilat, laki-laki setengah tua ini menyergap Yang Kui Hui yang sedang berdiri
menonton di ambang pintu depan. Terdengar selir cantik itu menerit, akan tetapi
tubuhnya menjadi lemas ketika dia tertotok dan ketika semua orang menoleh
medengar jeritan itu, Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari oleh
laki-laki itu. "Penculik.....!"
"penjahat....!"
"Jangan lepas anak panah,
bisa salah sasaran....!!" Tiba-tiba Pangeran tang Sin Ong berseru keras. Mendengar ini, Kaisar yang sudah pucat
mukanya cepat berseru, "Benar! Jangan lepas anak panah. Kejar dan tangkap!
Selamatkan dia....!"
Semua orang, pengawal, pembesar,
pangeran tang Sin Ong, bahkan Kaisar sediri, mengejar penculik yang memiliki
gerakan yang amat gesit itu. Dengan beberapa loncatan saja penculik itu telah
lari jauh sekali. "Cepat kejar....
tolong dia.... ahhhh, Kui Hui....!!" kaisar berteriak dengan muka pucat. Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan orang
berkelebat menghadang penculik itu. Dari jauh kelihatan jelas bahwa dua orang
itu adalah wanita-wanita cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang
lebih tua sudah menerjang maju dan dengan serangan mendadak berhasil memukul
roboh penculik dan merampas Yang Kui Hui, kemudian wanita ke dua yang muda dan
cantik menggerakan pedangnya menusuk. Terdengar jerit melengking yang nyaring
sekali ketika pedang itu menembus dada penculik itu yang berkelojotan,
terbelalak dan menudingkan telunjuknya kepada wanita pertama seolah-olah hendak
berkata sesuatu, akan tetapi sebuah tendangan yang mengenai kepalanya membuat
penculik itu tak dapat bergerak lagi dan tewas seketika!
Kaisar dan rombongannya sudah
tiba di situ. Dengan tepukan perlahan wanita perkasa yang lebih tua itu membebaskan
totokan Yang Kui Hui. Selir ini mengeluh dan menangis sambil menubruk Kaisar
yang memeluknya. kaisar memandang kepada dua orang wanita cantik yang sudah
berlutut di depan kakinya dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih.
"Untung sekali kalian berdua
yang gagah perkasa datang menolong!" kata kaisar dengan penuh rasa syukur,
suaranya masih gemetar karena ketegangan hebat yang baru saja dialaminya.
"Siapakah kalian?" "Hamba adalah Ketua Bu-tong-pai bernama The
Kwat Lin," berkata wanita cantik itu lalu menuding kepada dara muda yang
cantik jelita dan tinggi semampai di sebelahnya, "dan ini adalah Bu
Liang-cu murid hamba."
"Ahhh, kiranya ketua
Bu-tong-pai yang terkenal!" Kata Kaisar sambil tersenyum lebar.
"Pantas saja demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah menyelamatkan
kekasih kami dan membunuh penculik jahat.
Kalian pantas diberi hadiah besar."
Yang Kui Hui sudah menghentikan
tangisnya dan kini dia pun memandang kedua orang wanita itu dengan mata
berseri. "Kalian datanglah ke istana, aku akan memberi hadiah kepada
kalian."
The Kwat Lin menyembah dengan
hormat. "Hamba berdua hanya melakukan tugas hamba sebagai rakyat
yang setia kepada junjungannya.
hamba berdua tidak mengharapkan balas jasa, hanya apabila paduka sudi.menerima,
biarlah murid hamba ini bekerja sebagai pengawal pribadi paduka. Sekarang
banyak orang
jahat, tanpa pengawalan yang kuat
tentu membahayakan Paduka.
Girang bukan main hati Yang Kui
Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyakan kepada gadis cantik yang
menunduk sejak tadi. Gadis itu kini mengangkat mukannya dan dengan sepasang
mata yang bersinar-sinar dia menjawab, "Nama hamba Bu Liang-cu.
Saking girangnya, yang Kui Hui
mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan permata dan menghadiakan benda itu
kepada The Kwat Lin, dan dia menerima pula gadis murid Bu-tong-pai itu sebagai
pengawal pribadinya. Mulai saat ini gadis yang bernama Bu Liang-cu itu ikut
bersama rombongan Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang Kui Hui, kembli ke
istana. Ada pun The Kwat lin segera kembali ke Bu-tong-san dengan hati girang
karena siasatnya berjalan dengan baik sekali, sungguhpun untuk itu dia terpaksa
harus mengorbankan nyawa seorang anggautanya. Penculik itu bukan lain adalah
seorang anggautanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki ginkang
tinggi. Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan diri Yang Kui Hui dengan
janji akan dibantunya kalau sampai mengalami bahaya. Akan tetapi, penculik itu
baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya sendiri setelah dia roboh dengan
pedang menembus dadanya. Baru ia tahu bahwa dia dikorbankan untuk suatu siasat
licik dari The Kwat Lin, namun pengetahuan ini tiada gunanya karena dia keburu
mati sebelum dapat mengeluarkan suara. Siapakah
gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini
The Kwat Lin menunjuk muridnya, Bu Swi Nio. Akan tetapi, betapa marahnya ketika
dia menghadapi penolakan muridnya!
"Teecu tidak berani, Subo.
Perintahlah teecu untuk melakukan hal lainnya, biar disuruh membasmi penjahat
yang bagaimanapun, biar harus mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan mundur dan
pasti akan memenuhi perintah Subo! Akan tetapi ini... ah, teecu tidak mau
terlibat dalam.... pemberontakan....." jawab Swi Nio sambil berlutut dan
menundukan mukanya.
Hampir saja Kwat Lin menampar
kepala muridnya itu saking marah dan kecewanya. Dan pada saat itu, Swi Liang
yang melihat adiknya terancam bahaya kemarahan subonya, cepat maju dan berkata,
"Subo, kalau Moi-moi tidak berani, biarlah teecu melakukannya."
"Kau seorang pria.... mana
mungkin....?"
"Teecu bisa saja menyamar
sebagai seorang gadis. Dahulu di waktu kecil seringkali teecu mengenakan pakaian
Moi-moi dan bermain-main seperti seorang anak perempuan ." Mendengar ini,
Kwat Lin termenung. Betapapun juga dia lebih percaya kepada muridnya dan juga kekasihnya
ini. Selama ini, Swi Nio delalu memperlihatkan sikap dingin dan kdang-kadang
menentang. Berbeda dengan Swi Liang yang
selalu menuruti kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula melayani nafsu
berahinya!
Pekerjaan yang direncanakan ini
amat berbahaya kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau dilakukan oleh orang
yang paling dipercayanya. Memaksa Swi Nio amat berbahaya karena siapa tahu kalau-kalau
murid perempuan ini akan mengkhianatinya kelak.
"Hemm, kita coba saja!"
katanya dan setelah melihat Swi Liang berpakaian wanita dan bergaya, Kwat Lin menjadi
girang sekali. Agaknya murid itu memang mempunyai bakat sandiwara maka ketika
berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri hampir pangling dan mengira bahwa
Swi Liang adalah Sawi Nio! Demikian,
rencana siasat itu dijalankan dengan baik dan Swi Liang yang menyamar sebagai
seorang gadis cantik bernama Bu Liang-cu, berhasil menyusup ke dalam istana
sebagai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui! Memang itulah tujuan pokok dari
siasat Kwat Lin, yaitu memikat hati Yang Kui Hui. Pemikatan dengan jalan
menolong selir itu dari bahaya cukup baik, akan tetapi akan lebih berhasil lagi
kalau muridnya itu berhasil menjatuhkan hati selir itu dengan ketampanannya!
Kalau sampai berhasil Swi Liang
menjadi kekasih Yang Kui Hui, hemm, akan mudah saja melakukan gerakan
pemberontakan dari dalam! Inilah sebabnya maka dia setuju muridnya itu menyamar
sebagai wanita. Dia rela memberikan kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi
tercapainya cita-citanya.
Berbeda dengan kakaknya yang
telah mabok bujukan gurunya, Swi Nio makin lama merasa makin
tidak enak tinggal di
Bu-tong-san. Dia sama sekali tidak senang dan hatinya menentang
menyaksikan.semua perbuatan subonya. Tadinya memang dia rela menjadi murid
wanita sakti, karena wanita itu yang
menolong dia dan kakaknya, juga
yang telah membunuh Pat-jiu Kai-ong musuh besar yang telah membunuh ayah
mereka. Akan tetapi semenjak menyaksikan betapa subonya itu menguasai
Bu-tong-pai dengan kekerasan, melihat subonya melawan susiok sendiri dan bahkan
membuat para tokoh Bu-tong-pai mengundurkan diri dari Bu-tong-pai, hatinya
sudah merasa tidak senang. Apalagi melihat masuknya orang-orang kasar dan yang
dia ketahui adalah bekas-bekas penjahat menjadi anggauta Bu-tong-pai dia merasa
penasaran. Semua itu masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu
dan hina, yaitu melihat kakaknya menjadi kekasih subonya.
Seringkali secara diam-diam Swi
Nio menasihati kakaknya, bahkan menganjurkan kakaknya untuk bersama dia
melarikan diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu tidak diacuhkan oleh Swi
Liang. Swi Nio menderita batin seorang diri, seringkali menangis di dalam
kamarnya. Melihat munculnya Kiam-mo
Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia dahulu sudah mendengar dari mendiang
ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam.
Namun kenyataannya, subonya menjadi sekutu iblis itu, bahkan diakui sebagai
pemimpin! Pagi hari itu, setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tampa
pamit bersama subonya dan kemudian melihat subonya pulang sendiri tanpa
kakaknya, Swi Nio tak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi dan dia
memberanikan diri memasuki kamar subonya di mana subonya sedang bercakap-cakap
dengan Kiam-mo Cai-li yang kebetulan datang ke Bu-tong-san.
"Subo, teecu (murid) tidak
melihat adanya Liang-koko yang tadinya pergi bersama Subo selama beberapa hari
lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan kakakku itu?"
tanyanya dengan wajah agak pucat karena beberapa malam dia kurang tidur
memikirkan kakaknya. The Kwat Lin
mengerutkan alisnya. Hatinya memang sudah tidak senang pada muridnya ini,
apalagi ketika Swi Nio terang-terangan berani menolak perintahnya sehingga
tugas itu digantikan oleh Swi Liang biarpun pemuda itu berhasil baik, betapapun
juga The Kwat Lin merasa kehilangan, apalagi di waktu malam yang sunyi dan
dingin!
"Kau tidak perlu tahu!"
jawabnya membentak.
"Tapi.... Subo, dia adalah
kakak teecu......" Swi Nio membantah.
"Hemm, dia bertugas di kota
raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!"
Swi Nio bangkit berdiri dari atas
lantai dan memandang gurunya dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Jadi....dia.... dia telah
menyelundup ke dalam istana....?"
The Kwat Lin bangkit berdiri dan
menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio sambil membentak marah, "Gara-gara
engkaulah! Apa kaukira kalau tidak terpaksa aku suka membiarkan dia melakukan
tugas berbahaya itu? Mestinya engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah
menolak. Dia seorang murid yang amat baik, tidak seperti engkau yang tak
mengenal budi!"
Swi Nio membalikan tubuhnya,
menutupi muka dan menangis sambil mengeluh, "Liang-koko..... ah, Koko....!"
Setelah dara itu berlari pergi,
Kwat Lin duduk kembali, wajahnya keruh dan dia mengomel, "Murid yang murtad!
Sungguh menjengkelkan saja dia itu!"
Kiam-mo-Cai-li tersenyum.
"Mengapa pusing-pusing menghadapi seorang gadis seperti itu? Kalau dibiarkan
saja, tentu dia akan terus merongrongmu dan boleh jadi kelak akan membahayakan
perjuangan kita. Dia harus ditundukkan!"
"Hemm, maksudmu menggunakan
kekerasan?"
"ah, aku mengenal gadis
seperti itu. Wataknya keras dan kalau digunakan kekerasan, sampai mati pun dia tidak
akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik bagi kakaknya yang kita
butuhkan tenaganya. Dia harus dilawan
dengan cara halus."
"Bagaimana maksudmu?
Membujuknya?".Kiam-mo Cai-li menggeleng kepalanya. "Dibujukpun takkan
berhasil. Akan tetapi sekali dia telah jadi
isteri orang, tentu dia akan
menurut segala kehendak suaminya."
"Ihhh! Aku tidak pernah
memikirkan hal itu. Dengan siapa?"
"Kita harus cerdik, kita
harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat atau menggunakan pedang
yang bermata dua. Di satu fihak, kita harus menyenangkan hati Pangeran Tang Sin
Ong yang aku tahu memiliki watak mata keranjang sehingga dia akan tentu
berterima kasih sekali kepadamu kalau kau rela memberikan muridmu yang cantik
manis itu kepadanya, menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat
diandalkan. Ke dua, kalau muridmu itu sudah menjadi selir Pangeran Tang Sin
Ong, tentu dia akan tidak banyak bantahan lagi!"
The Kwat Lin mengangguk-angguk
dan diam-diam dia memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu memang baik sekali, Cai-li!
Akan tetapi.... biarapun sudah pasti sekali Pangeran akan menerima penawaran
ini dengan kedua tangan terbuka, kukira belum tentu Swi Nio akan mau dijadikan
selir pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu bagaimana?"
Kiam-mo Cai-li tertawa.
"Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang tanggung jawab dia tentu
tidak akan menolak." Dia lalu mendekatkan mulutnya ketelinga The Kwat Lin
berbisik-bisik. Kwat Lin
mengangguk-angguk. " Hemm, kalau dia merupakan seorang murid yang baik dan
taat, tentu aku tidak tega, akan tetapi.... demi suksesnya perjuangan kita,
agar dia tidak menjadi penghalang malah kelak mungkin dapat membantu,
biarlah.... kita atur secepatnya agar Pangeran dapat berkunjung ke sini." "Tentu
mudah saja dan tidak menimbulkan kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan itu
membuat nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan?
Kalau seorang Pangeran berkunjung
ke sini, menemui penolong selir Yang Kui Hui, hal itu sudah semestinya!
Hi-hi-hik."
"Kau memang cerdik sekali,
Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita berkepandaian tinggi itu
sambil tersenyum-senyum minum arak wangi yang berada di dalam cawan-cawan perak
mereka. Beberapa hari kemudian, sesuai
dengan siasat mereka itu, datangalah rombongan tamu agung dari kota raja. Pangeran Tang Sin Ong! Inilah hasil pertama
dari siasat The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui. Sebelum peritiwa itu,
hubunganya dengan pangeran itu dilakukan secara sembunyi dan pertemuan rahasia
yang diadakan hanya melalui kurir (utusan). Akan tetapi sekarang, setelah
siasat di hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin
Ong berani datang secara berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu
menerima titipan bingkisan hadiah yang dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri
melalui pangeran itu.
Tentu saja keadaan di Bu-tong-san
seperti dalam pesta. Semua anak buah Bu-tong-pai mengenakan pakaian baru dan
rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah seperti sambutan terhadap
seorang pengantin. Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan
yang lebar dari Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan diruangan yang biasa
dipergunakan untuk Lian-bu-thia (ruang belajar silat). Sambutan resmi dilakukan
dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui dan menyerahkan pula
bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua Bu-tong-pai. Malam harinya, sebagai
penghormatan khusus, Pangeran Tang Sin Ong seorang diri dijamu oleh The Kwat
Lin diruangan dalam dan ketua ini ditemani oleh Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio!
Dara ini setengah dipaksa oleh subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu
dan biarpun di dalam hatinya Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani
membantah. Pula, di dalam hatinya dia ingin sekali mendengar percakapan mereka
yang tentu akan menyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja.
Ketika pengeran ini dipersilahkan
duduk menghadapi meja yang sudah penuh hidangan, The Kwat Lin memperkenalkan
Kiam-mo Cai-li Liok Si sebagai pemilik istana Rawa Bangkai, dan memperkenalkan muridnya
pula Bu Swi Nio sebagai muridnya yang terkasih.
Pangeran itu memandang Kiam-mo
Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata, "Sungguh
beruntung sekali Pangcu
mendapatkan seorang pembantu seperti Liok Toanio ini yang saya yakin tentu
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dan muridmu ini....aaihh... penerangan ini menjadi makin bercahaya,
suasana menjadi makin gembira dan
segar, hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa.berbahagia sekali
bahwa Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk ini saya harus menghaturkan
arak penghormatan sebagai tiga
cawan!" Pangeran itu tentu saja tadinya sudah diberitahu oleh Kwat Lin bahwa
ketua ini hendak menghadiahkan muridnya kepadanya. Maka begitu melihat Swi Nio
yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran sudah jatuh dan
gairahnya sudah bernyala-nyala. Wajah
Swi Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan sikap dan
mendengar kata-kata yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan
pria seperti ini. Hatinya berdebar tegang dan khawatir, akan tetapi untuk
menolak, tentu saja dia tidak berani. Sambil menunduk dan membisikan kata-kata
terima ksih dia menerima tiga cawa arak berturut-turut. Biarpun dia tidak biasa
minum banyak arak, akan tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak
membantah. Melihat ini The Kwat lin dan
Kiam-mo Cai-li tertawa girang dan dari seberang meja, The Kwat Lin mengedipkan
sebelah matanya kepada Sang Pangeran.Tang Sin Ong mengerti akan isyarat ini,
maka dia lalu melepas seuntai kalung emas bertaburan permata yang tergantung di
lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang memegang kalung itu
kepada Swi Nio sambil berkata, "Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak
dapat mengimbangi kecantikan Nona, akan tetapi karena pada saat ini yang ada pada
saya hanya kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya sebagai tanda penghormatan
saya kepada seorang Nona secantik dewi!"
Bu Swi Nio terkejut sekali dan
cepat dia menoleh kepada subonya. Menurutkan kata hatinya, ingin dia menolak
keras dan mencela sikap pangeran yang terlalu berani itu. Akan tetapi dia
melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran telah bermurah
hati kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan menghaturkan terima
kasih?"
Bu Swi Nio merasa terdesak dan
dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba...., hamba...., tidak berani menerimanya....."
"Swi Nio....!" The Kwat
Lin menegur
"Bu Swi Nio, mengapa kau
menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga ikut menegur. Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh,
tentu saja Nona Bu merasa malu-malu, tidak seperti gadis-gadis yang haus akan
harta benda. Hal ini malah menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang
cantik jelita dan gagah perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di
lehermu." Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan
mengalungkan kalung emas itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan
kepalanya.
Karena tak dapat menolak lagi dan
kalung yang lebar itu sudah mengalungi lehernya, dengan muka sebentar pucat,
Swi Nio menjura, "Banyak terima kasih hamba haturkan..." "Aaaahhh,
jangan sungkan-sungkan." Dia tertawa, kedua orang wanita sakti itupun
tertawa dan mereka bergantian menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu
Swi Nio. "Muridku, karena pangeran
telah bermurah hati kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak tetapi juga menghadiahkan
kalung, mengapa kau tidak bersikap sebagai seorang muridku yang tahu aturan dan
mengenal budi. Hayo cepat suguhkan tiga cawan kepada Pangeran sebagai
penghormatanmu!" Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran
ucapan ini, maka secara terpaksa dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran
yang tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya, menghampiri pangeran dan
menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas. "Silahkan Paduka minum
arak sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan
malu-malu. "Ha-ha-ha, terima kasih,
Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak aku temani. Hayo untukmu juga
secawan!"
Kembali Kwat Lin dan Kiam-mo
Cai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio kembali minum tiga
cawan arak bersama Sang Pangeran.
Karena tidak biasa minum arak, kini diloloh banyak arak yang diam-diam
telah dicampuri bubuk putih
dilepas secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke dalan cawan gadis itu,
akhirnya Swi Nio menjadi mabok.
Dia mulai tersenyum dengan lepas, memperlihatkan deretan gigi yang
putih, dan mulai berani
mengangkat muka memandang pangeran yang pandai bicara itu.."Ha-ha-ha,
setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita di istanaku!
Hemm,
bagaimana aku dapat berpisah lagi
darimu, Nona?" kata Pangeran itu. Mendengar ini Swi Nio mengerutkan alisnya,
akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan pandang matanya sudah berkunang,
hanya sebentar saja dia merasa betapa kata-kata itu tidak pada tempatnya dan
dia hanya tersenyum! "Bu Swi Nio
muridku yang baik. Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau akan diambilnya
sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan haturkan terima kasih,
muridku." Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak....! Ah,
tidak......!" Terdengar suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali....
kau gagah perkasa, aku cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku ke kota ke
kota raja. Kau akan menjadi selirku yang paling tercinta, menjdi pengawal
pribadiku...." "Tidak....! Ahhh, tidak mau.... oughh.......!"
Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri serentak itu, tiba-tiba terhuyung dan
kembali menjatuhkan diri di atas bangku karena melihat betapa kamar itu
berpuatr-putar dan dia merasa seperti terayun-ayun.
Karena tidak tahan lagi, Swi Nio
merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas meja, hanya
menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat-lapat suara
gurunya, "Jangan bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya
Pangeran yan terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan
kakakmu........"
"aku tidak mau.... ah, tidak
mau....." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah yang dekat sekali dengan
mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup
tampan gagah, akan tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia
merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi. Obat bubuk yang
dicampurkan di raknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia
tertidur dan tidak merasa apa-apa lagi.
Swi Nio mengeluh dan mengerang.
Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam sebuah perahu berdua saja bersama
Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia
meronta-ronta hendak melawan gulungan ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa
tubuhnya lemas, dia terseret, tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa
sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu tenggelam lagi, dan
lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta
kasihnya. Jauh lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu
membuka matanya Mimpi itu teringat lagi olehnya, membuat dia bergidik ngeri.
Untung hanya mimpi, pikirnya ketika dia membuka mata mendapatkan dirinya, telah
rebah di atas pembaringannya sendiri di dalam kamarnya. "Ouh....!" Kepalanya masih pening
sekali. Dia bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa
dia tidak berpakaian sama sekali! Dia teringat bahwa dia menemani subonya,
Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa dia terlalu
banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di pembaringannya tanpa
pakaian? Dia memeriksa keadaan tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung
di lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah terjadi atas
dirinya! "Keparat....!" Dia
bangkit akan tetapi terguling lagi karena selain kepalanya pening sekali,
tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu
bahwa itulah pengaruh obat bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang
membuat dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran Tang Sin Ong
membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka
dari luar. Swi Nio menahan napas, mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh
tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum bahwa dirinya diperkosa Pangeran
itu.
"Selamat, muridku. Engkau
telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran Tang Sin Ong akan menjemputmu
secara resmi membawanya ke kota raja sebagai selirnya terkasih...." "Tidak
sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa mempedulikan
tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tanganya dikepal.
"Plak!" Swi Nio
terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tamparan
tangan
gurunya.."Swi Nio, apa yang
kauucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima
kalungnya,
engkau tersenyum-senyum
kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya
aku mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak marah malah
bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri muda seorang pangeran. Dan sekarang
kau hendak memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh kekasihmu
sendiri?
Bocah setan tak kenal budi! Kalau
tidak aku robah pendirianmu, aku sendiri yang akan membunuhmu! Pikirkan ini baik-baik. Engkau sudah bukan
perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!" The Kwat Lin
meninggalkan kamar itu dan membanting keras-keras daun pintu kamar. Swi Nio menutupi mukanya dan menangis
mengguguk. Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan
gemetar dia mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan.
Kepalanya masih pening dan tenaganya habis. Tak mungkin dalam keadaan seperti
itu dia melarikan diri. Tentu akan mudak tertangkap kembali oleh gurunya.
Melawan pun tidak mampu, apa lagi dia benar-benar merasa seperti tidak
bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh pangeran itu yang selalu terkawal
kuat!
"Ta Tuhan....!" Dia
menangis lagi sesenggukan. "Ayah.... Koko...., apa yang harus
kulakukan......?" Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi
selir Pangeran itu. Dia tidak sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya, demikian
pikiran yang ruwet itu mengambil. Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak
semestinya mati menggantung diri seperti wanita-wanita lemah. Dihampirinya
pedangnya yang tergantung di dinding. Biarpun tangannya gemetar dan tidak bertenaga
dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia
mengayun pedang itu ke lehernya.
"Plakkkk!!" Lengan
kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya. Tadinya dia mengira bahwa subonya
yang mencegahnya membuuh diri, maka dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya
ketika dia melihat bahwa yang mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang
laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Laki-laki ini
tersenyum, wajahnya cukup tampan dan membayangkan kegagahan. "Membunuh diri bukan perbuatan seorang
gagah." Bisik laki-laki itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin dapat
menghilangkan penasaran? Kalau masih hidup, selalu terbuka harapan untuk
membalas dendam!" Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa
kau....?"
"Ssssttt...., bisik pula
laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh Jenderal An Lu
San. Nona, daripada engkau membunuh diri, mari kubantu kau keluar dari tempat
ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja untuk An-goanswe, kelak kau
berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah mendatangkan
malapetaka ini kepadamu."
Seperti kilat masuknya pikiran
ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan merupakan jalan yang
memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia
dapat menduga bahwa dia tentu pingsan karena pengaruh obat dari Kiam-mo Cai-li.
Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang racun. Kini dia mengerti
semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti
seekor domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu! Dendamnya bertumpuk, kini terbuka jalan
baginya, perlu apa mengambil jalan pendek membunuh diri? "Baik, mari ikut aku...." bisiknya
dan dengan berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia
dan akhirnya, menjelang pagi, mereka berdua berhasil keluar dari tembok pagar
Bu-tong-pai.
"Haiii....!!" tiba-tiba
terdengar bentakan dan lima orang anggauta Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan
tersembunyi. Akan tetapi ketika mereka melihat Swi Nio, mereka terheran-heran,
memandang kepada gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia
bersama murid utama ketua mereka. Malam
itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang ikut dalam rombongan
Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini adalah anggauta rombongan
pula. Akan tetapi sepagi itu, masih gelap, apakah yang akan dilakukan tamu ini
bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?"
Tiba-tiba terdengar teriakan
berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya
mampu satu kali saja mengeluarkan
teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus disambar jari-jari.yang amat
kuat dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat luar biasa menyerang mereka.
Melihat
kelihaian orang itu, Swi Nio
tercengang. Dia makin kagum. Kiranya mata-mata ini bukan orang biasa dan andaikata
ketahuan pun akan merupakan lawan tangguh, sungguhpun tentu saja dia sangsi
apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo Cai-li dan subonya turun
tangan. "Mari cepat....!"
Orang laki-laki itu berkata dan melihat keadaan Swi Nio yang masih lemas, dia
tanpa ragu-ragu lagi lalu menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan
berlarilah dia dengan amat cepatnya meninggalkan tempat yang berbahaya baginya
itu.
Gadis bernama Liang-cu yang
sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang, bekerja di dalam istana sebagai
pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat hati selir Kaisar yang
cantik jelita ini. Dapat dibayangkan
betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua yang terjadi di dalam kamar
Yang Kui Hui, melihat selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi,
berganti pakaian dan lain-lain di depan matanya begitu saja karena dia dianggap
wanita pula!
Betapa tersiksa hati orang muda
ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu para pelayan Yang Kui Hui. Di
istana bagian puteri ini tidak ada prianya, karena para thaikam yang bertugas
di situ biarpun kelihatan seperti orang pria, namun sesunguhnya tidak lagi
dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang sedang
berkobar nafsunya karena Bu-tong-san dia diseret ke dalam kekuasaan nafsu berahi
oleh subonya sendiri. Sebagai seorang pemuda yang baru gila berahi, kini berada
ditengah-tengah para wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat bertahan
terlalu lama. Untuk melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui, dia belum berani
karena kesempatanya belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka
rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal, dia tentu akan mati
konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak
sanggup! Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat mungkin. Dia
harus bersabar menanti kesempatan baik. Tugasnya amat penting bagi perjuangan
subonya Sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah nyawanya. Pada suatu senja belasan hari kemudian Swi
Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi selirnya
yang tercinta dan tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar
sendiri. Swi Liang lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang
amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan utama atau pelayan pribadi
selir Kaisar itu. Selagi duduk melamun
sendiri di dalam kamarnya, mencari akal bagaimana untuk memulai tugasnya, merayu
dan memikat Hati Yang Kui Hui, dia membayangkan keadaan selir itu dan
jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa,
dan ketika mandi atau bertukar pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian
tubuh yang padat dan amat menggaerahkan itu. Pernah dia membantu pelayan
menyelimutkan kain setelah selir itu mandi dan jari-jari tangannyamenyentuh
kulit yang halus, lunak, dan hangat, dan tercium olehnya bau semerbak harum
dari tibuh selir itu. Keharuman yang khas dan alangkah jauh bedanya antara
kecantikan dan tubuh indah selir itu dibandingkan dengan subonya! "Enci Liang-cu! kenapa melamun
saja?" Seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawa-tawa, di
belakangnya masuk pula seorang gadis cantik berbaju merah. Mereka itu adalah
dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik jelita yang
genit-genit "Ah, Enci Liang-cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau
bersendaugurau dengan kami? Swi Liang
tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan matanya agar
jangan terlalu melotot melahap kecantikan dua orang gadis itu.
"Ahh, aku lelah dan sedang
beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat seperti ini...." kata Swi
Liang.
"Mari temani kami main
thio-ki (kartu) di kamarku, Enci Liang-cu!" kata Si Baju Hijau. "Ya, marilah, Enci Liang-cu. Tidak enak
hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan lebih erat lagi. Kenapa
sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju
Merah sambil menarik tangan Swi Liang.
Tak dapat Swi Liang menolak
karena hal ini mendatangkan kecurigaan apalagi memang dia sudah
rindu sekali akan sentuhan tangan
wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang
gadis itu tertawa-tawa,
menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju
Hijau yang berbau harum. Sebuah
meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat.pembaringan di
sekeliling meja itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu
untuk main,
juga di atas meja terdapat seguci
arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kuih kering. "Duduklah, Enci Liang-cu. Mari kita,
main-main. kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijauberkata
sambil merangkul.
"Dan tubuhmu begini tegap
dan kelihatan kuat, Enci Liang-cu," kata Si Baju Merah memegang-megang lengan
pemuda itu.
"Aihhh, tangan Enci Liang-cu
kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah menghelus telapak tangan pemuda itu. Swi Liang menarik tangannya. "Aahh, aku
sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa
dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?"
"Hi-hik, kau terlalu memuji,
Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi Liang.
"Kalau engkau menjadi
seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang-cu!" kata Si Baju
Hilau. Dapat dibayangkan betapa tubuh
Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan ini, maka cepat-cepat
mengajak mereka bermain kartu, karena kalau dilanjutkan godaan mereka itu,
tentu dia takkan kuat lagi bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya
untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang merah dan lincah itu!
"Eh, untuk apa arak
ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang berbau
wangi. "Hi-hik, bermain thioki
tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya dengan
minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau.
Meeka mulai bermain thioki sambil
bercakap-cakap dan bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis
itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan Swi Liang hanya
mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi
arak sehingga rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh
sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak adalah kedua orang gadis
itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya arak dalam
guci kecil itu habis!
"Ahhh, hawanya panas sekali
....!" kata Si Baju Hijau.
"Bukan panas, hanya engkau
terlalu banyak minum maka terasa panas, " kata Swi Liang. "Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya."
Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas. Swi
Liang menelan ludah, matanya memandang ke arah dada yang hanya tertutup pakaian
dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat hati. Karena pandang matanya selalu tertarik ke
arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut dan sekali ini
dia kalah. Akan tetapi arak telah habis!
"Wah, Enci Liang-cu jarang
kalah, sekarang telah kalah araknya habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?"
kata Si Baju Merah cemberut.
"Hi-hik, kalau arak habis
dia harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau. "Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda
dengan ciuman dan mulai sekarang, taruhannya dirobah. karena arak habis, siapa
kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah. Kedua orang gadis
itu dari kanan kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung
mereka.
Swi Liang memejamkan kedua
matanya! "Eh.... eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?"
katanya
gelagapan.."Enci Liang-cu,
mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya
dapat
menyaksikan orang lain bermain
cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa
salahnya di antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar
menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah.
Permainan dilanjutkan dan makin
lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu berahinya sendiri. Ketika dia
menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa dengan hidung kepipi,
melainkan mencium mulut dua orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis
itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi permainan kartu
itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan
saling cium antara tiga orang itu! "Aihh,
Enci Liang-cu.... kau hebat sekali ....." keluh Si Baju Hijau.
"Enci Liang-cu.... kalau
saja engkau seorang pria....." bisik Si Baju Merah
"Kalian senang?" Swi
Liang berkata, terengah-engah sedikit. "Matikanlah lampunya, barangkali di
dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa
tahu?" Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja
dan mereka bertiga pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan mereka yang
mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di
dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa
malu-malu lagi.
Tak lama kemudian terdengar jerit
tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget bercampur
girang, "Eh... kau...?"
"Hemm, diamlah
sayang....." terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar itu sunyi,
tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah
tiga orang "gadis" itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja
keadaanya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya.
Menjelang pagi, terdengar suara
Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur
rupanya, "...engkau.... setiap malam harus menemani kami.... ya, koko yang
baik?" "....harus, kalau tidak.... hemm, kami akan melaporkan bahwa
kau adalah seorang pria sejati......" bisik pula Si Baju Merah dengan nada
manja mengancam.
Sunyi mengikuti kata-kata bisikan
itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian, tampak Swi Liang
dalam pakaian seperti liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong
tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi
Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang, mengubur dengan cepat
sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka
pucat. Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri.
Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam
rayuan dua orang gadis cantik itu?
Dia terpaksa membunuh mereka,
sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai
gagal, dia akan tewas, akan mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua
orang gadis itu, keadaannya tentu saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis
itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka dengan
ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka
demi keselamatan dirinya sendiri. Lenyapnya
dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian
puteri.
Betapapun juga, mereka itu
hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan
para pengawal untuk melakukan
pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau
sampai dapat ditangkap agar
supaya dijatuhi hukuman berat. Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus
cepat-cepat turun tangan kalau
tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui,
membantu pada setiap kali ada
kesempatan, membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu,
menggosok punggungnya,
mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya. Bahkan pada suatu
malam, ketika Yang Kui Hui
merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek seperti seekor
kucing.malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk
memijit-mijit kaki selir itu dengan
perlahan, meniru perbuatan
pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.
Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali
dia merasa betapa api berahi telah membakar dadanya dan api itu menyala dari
ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan
hangat.
"Ehhmmm...." Yang Kui
Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk melihat
siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum.
"Aihhh, kiranya engkau, Liang-cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhhh,
tanganmu kuat sekali, nah, kaulanjutkanlah, tubuhku memang sedang
pegal-pegal....." Dan selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah
terlentang di depan Swi Liang.
Pemuda itu melanjutkan
pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya
melahap wajah yang menengadah itu. Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan
hatinya. Rambut yang hitam agak
mengeriting itu terurai di atas bantal, anak rambut yang melingkar-lingkar menghias
dahi dan pelipis sampai ke bawah telinga. Dahi yang melengkung halus sekali
seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias anak
rambut yang menghitam dan sepasang alis yang hitam sekali melengkuk seperti
dilukis, melindungi mata yang terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang.
Bayangan bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas, menyembunyikan warna
kemerahan yang menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang
tipis, agak bergerak terdorong napas yang keluar masuk, dan dibawah hidung itu,
sepasang bibir yang kemerahan dan agak basah, kelihatan menebal sebelah
bawahnya karena selir itu tersenyum, sebuah lesung pipit menghias di ujung
mulut sebelah kiri. Manis dan cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu,
pinggang itu....! Swi Liang menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari
tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil.
Agaknya Yang Kui Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia
membuka sedikit matanya dan bertanya, "Ada apakah Liang-cu? Tanganmu
gemetar..." "Ahhh.... tidak apa-apa, hanya.... paduka demikian cantik
jelita..... hamba sampai merasa terharu memandangi Paduka....."
"Aihhh...., hi-hik, kau
aneh, Liang-cu Coba kau tutup dan kunci pintu kamar itu, dan beritahukan kepada
penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak beristirahat.
Oya, suruh penghubung pelaporkan kepada Sri Baginda tidak datang ke kamarku.
Setelah itu, kautemani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur."
Dengan jantung berdebar penuh
ketegangan dan gairah, Swi Liang mentaati perintah itu. Setelah selesai dan dia
sudah menutupkan dan memalang daun pintu sehingga mereka hanya berdua saja di
dalam kamar yang mewah dan harum itu, Swi Liang segera berlutut lagi di depan
pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal,
lunak, halus dan hangat itu. "Nanti
dulu, Liang-cu. Coba kaubantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu
ditutup, kamar ini menjadi agak panas...." kata Yang Kui Hui sambil
bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah berkembang.
Swi Liang tidak mampu menjawab
karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari tangan gemetar dia
membantu puteri itu membuka pakaian luarnya sehingga kini Yang Kui Hui hanya memakai
pakaian dalam yang amat tipis dan tembus pandang sehingga terbayanglah lekuk
lengkung yang amat menggairahkan. Begitu pakaian luarnya dibuka, Swi Liang
memejamkan mata sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau
harum yang memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu terkenal sekali
si samping kecantikannya yang sukar dicari bandingnya. "Hi-hik... mengapa kau seperti patung
dan memejamkan matamu, Liangcu?" Suara terkekeh halus dan teguran itu
menyadarkan Swi Liang yang segera membuka matanya.
"Ampunkan hamba....
hamba.... silau, seolah-olah melihat bidadari turun dari langit....".Selir
Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang laki-laki
saja! Hayo pijiti aku lagi dan
jangan bersikap seperti orang
gila!"
Swi Liang segera melakukan
perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya kembali memijit betis dan
paha, makin ke atas makin tersiksalah hatinya apalagi mendengar puteri itu
terkekeh kegelian. "Hi-hi-hik, kau
begitu kuat, jari tanganmu juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki
membelai....!" Yang Kui Hui membalikan tubuhnya dan kini rebah terlentang,
karena pakaian dalam yang tipis itu tersingkap membuat Swi Liang hampir tidak
kuat menahan lagi. Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat
tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu seolah-olah telanjang bulat di
depannya! "Nah kau pijiti pahaku,
pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan kuat-kuat, perlahan saja,
Liang-cu." Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang
sudah menjadi lemah karena dikuasai nafsu berahi seperti Swi Liang menghadapi
Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah menimbulkan godaan dan tantangan yang
demikian menggairahkan hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak berani
bertindak sembrono, dan sambil menguatkan hatinya dan menundukan mukanya yang
menjadi merah, menyembunyikan dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan
menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu dan jari-jari
tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup
sutera tipis. Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran hawa
panas yang menjalar naik ke dada dan kepala melalui lengannya. Makin lama dia
makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani memandang
wajah puteri itu karen takut kalau-kalau Sang Puteri marah. Betapapun nafsu
berahi telah menyundul sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian
nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak berani melakukan langkah
pertama dan hanya menanti uluran tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa
sekali keliru bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan
tugasnya.
"Kau memang aneh, Liang-cu.
Benar kata-kata beberapa orang pelayan yang selama ini tidak kau perhatikan.
Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau seorang gadis yang aneh. Apakah seorang
gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya, menjadi
kejantan-jantanan? Kau patut menjadi seorang laki-laki. Suaramu agak berat,
gerak-gerikmu kaku, tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu..... hemmm.....
engkau seolah-olah hedak menelanku bulat-bulat setiap kali kau melihatku!
Hi-hik, aku sampai merasa sungkan dan malu!"
Swi Liang terkejut sekali, akan
tetapi sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk
meningikan nada suaranya, "Harap Paduka ampunkan semua kekurangan
hamba." "Ah, tidak apa-apa, Liang-cu. Engkau sudah berjasa besar,
dan....hem..... keadaanmu yang kejantan-jantanan itu bukanlah hal yang tidak
menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan sifat kejantananmu hanya
karena kau seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. kalau engkau
seorang pria sejati, hi-hik, betapa lucunya...... tentu akan lebih menyenangkan
hatiku....." Seketika terhenti jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan
memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti berdetak mendengar
ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga suara
detak jantungnya memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring. Kesempatan baik
telah terbuka!
Selir jelita ini telah membuka
rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang tinggal memetik
saja, tinggal mengulur tangan dan akan terpenuhilah kedua cita-citanya, yaitu
menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan sekaligus
menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang
sedang dilakukan oleh subonya!
Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan
menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba.... hamba rela mengorbankan nyawa demi Paduka,
dan hamba siap sedia melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka. Akan
hamba lakukan dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...."
Hi-hik, Liang-cu. Engkau memang
aneh. Betapapun juga, mana mungkin engkau menjadi laki-laki
sejati?"."Kalau Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi. Perintah
Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti
perintah dari langit."
Yang Kui Hui menjadi
terheran-heran dan bangkit duduk, membiarkan pakaian dalamnya tersingkap lebar,
tidak hanya pada pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya sehingga setengah
dadanya tampak jelas, putih halus membusung. "Apa....,apa maksudmu,
Liang-cu?"
"Hamba telah mempelajari
ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka menghendaki, hamba dapat pian-hoa
(mengubah diri) menjadi seorang pria sejati."
Ehhh...?" Mata yang bening
indah itu terbelalak, mulut yang kecil itu ternganga sehingga bibir merah
membasah itu membentuk lingkaran memperlihatkan lidah yang meruncing merah dan
rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti mutiara. Sinar
mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia
dapat berkata, "Benarkah itu? Suguh aneh dan luar biasa! Coba kaubuktikan omonganmu, Liang-cu. Coba
kau pian-hoa menjadi seorang pria!" Swi Liang menekan jantungnya yang
berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata, "Hamba.... hamba .... mana berani kurang ajar....?"
"Lakukanlah! ini merupakan
perintah. Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang Kui Hui berkata penuh nafsu karena
dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi
pria, hal yang hanya pernah didengar dalam dongeng kuno saja. "kalau
Paduka memerintahkan, hamba tidak berani membantah." Swi Liang lalu
bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...." Dia lalu melepas gelung
rambutnnya, menggosok bedak dan yanci dari mukanya, kemudian dengan wajah merah
berseri dia berkata, "Hamba telah berubah menjadi seorang pria."
Suaranya kini besar, suara seorang laki-laki tulen! Yang Kui Hui memandang terbelalak.
"Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya suaramu yang berubah, dan mukamu
tanpa bedak dan yanci memang seperti muka pria, akan tetapi mana buktinya bahwa
kau pria?"
Swi Liang mengerutkan alisnya.
"Paduka ingin bukti? Baiklah, maafkan kelancangan hamba!" Dia lalu merenggut
pakaiannya, baju di bagian atas sehingga tanggal kancing-kancingnya dan
terbukalah dadanya. Sebuah dada yang
tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang laki-laki tulen! Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya
tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang bidang, tegap dan berkulit putih
bersih itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh
seorang pria. Akan tetapi aku belum puas, Liang-cu. Buka semua pakaianmu!"
Perintah ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Swi Liang. Biarpun sudah
lama dia menghedaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini, namun sebagai
seorang laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia
bertelanjang bulat seperti itu! Akan tetapi, gairah yang meluap-luap dan kegembiraannya
mengusir semua rasa malu dan dengan jari tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua
sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri membuktikan bahwa
dirinya adalah seorang pria sejati di depan selir jelita itu.
"Ahhh...., Liang-cu... ke
sinilah kau! Sungguh hebat.... tak kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini,
di sisiku, manis!"
Tanpa diperitah kedua kalinya
karena memang itulah yang diinginkannya selama ini. Swi Liang lalu naik ke
pembaringan dan merebahkan dirinya di sisi selir cantik itu. Yang Kui Hui
terkekeh genit lalu menyambutnya dengan peluk cium ganas, menerkamnya seperti
seekor harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya dan
membelit-belitnya.
Manusia, baik laki-laki atau
wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun jembel terlantar, sekali
dikuasai nafsu berahi akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti
itu, lenyaplah duka, lenyap pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal,
yang ada hanyalah tindakan sebagai akibat dorongan nafsu birahi yang minta
dilampiaskan.JILID 15 Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin hebatlah,
seperti nyala api, makin dibiarkan makin membesar dan takkan padam sebelum
habis bahan bakarnya! Hanyalah manusia yang selalu sadar akan keadaan dirinya,
akan gerak-gerik dirinya lahir maupun batin, takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan,
takkan dapat dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa pun. Hal ini bukan berarti
bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup yang didatangkan oleh gairah
nafsu, sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang bebar-bebar
akan dapat menikmati hidup karena baginya nafsu kesenangan hanyalah pelengkap
hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak dikejar-kejarnya. Dialah orang menguasai
nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu dengan kewaspadaan dan
memngenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya, lahir maupun batinnya,
bukan menguasai nafsu dengan cara pengekangan dan penyiksaan diri. Dengan cara
pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran, pengamatan terhadap nafsu dan
gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian, maka nafsu akan kehilangan kekuasaannya
sendiri terhadap diri pribadi. Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan
dan mengekang nafsu, tidak akan ada gunanya, karena, boleh jadi nafsu akan
dapat dibendung pada saat itu, manun sewaktu-waktu nafsu yang masih menguasai
diri itu meluap. Bagaikan api dalam sekam, sewaktu-waktu akan dapat menyala
lagi, demikianlah kalau orang menguasai nafsu dengan pengekangan yang berarti
menguasainya dengan kekerasan.
Dengan pengamatan waspada, nafsu
yang seperti api itu akan padam dengan sendirinya. Namun dengan pengekangan,
api itu hanya membara dan tidak tampak untuk sewaktu-waktu bernyala lagi,
karena YANG MENGEKANG NAFSU ADALAH NAFSU JUGA. Mengekang berarti menggunakan
kekerasan menuruti keinginan!
Menjelang pagi, yang Kui Hui yang
kekenyangan melampiaskan nafsu berahinya, terlena di pembaringan, wajahnya yang
agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang tidur pulas di sampingnya, lalu wanita
cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu bergerak membelai dada
telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali tangannya dan dia menghela
nafas panjang. Setelah kekenyangan, barulah dia dapat berfikir dan barulah
selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia membiarkan dirinya terseret oleh
nafsu berahi. Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai wanita.
Hal ini sudah jelas! Dan di balik penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia!
Kesadaran ini mengejutkan hatinya dan menimbulkan kekhawatirannya. Dia adalah
selir yang cerdik sekali.
Yang Kui Hui bangkit duduk dan
perlahan-lahan, agar jangan membangunkan pemuda itu, dia mengenakan pakaiannya.
Matanya tak pernah berpindah dari wajah Swi Liang dan sambil memakai pakaiannya,
dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam ketika mereka bermain cinta
tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur kelelahan. Betapapun juga, pemuda
itu terlalu halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang sudah banyak pengalaman
bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi Liang kurang memuaskan hatinya.
Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu San! An Lu San barulah boleh disebut
seorang laik-laki sejati! Dengan kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang
besar, dengan tubuhnya yang tinggi besar, tenaganya yang seperti singa, dengan
permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan kejantanan yang amat
hebat! Sedangkan pemuda ini, terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman,
dan yang lebih berbahaya lagi, pemuda ini tentulah seorang mata-mata musuh!
Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa bodohnya dia, mudah terbujuk dan terseret
oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata. Untung mata-mata
ini belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya?
Yang Kui Hui bergidik dan
bergegas turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia mengambil pedang bersarung
indah yang diletakan oleh Swi Liang di atas tumpukan pakaiannya, kemudian selir
Kaisar itu berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan keluar
setelah menutupkan kembali daun pintu perlahan-lahan. Tak lama kemudian dia
telah berbisik-bisik dengan beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian
memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya yang kini telah
berkumpul itu akan melaksanakan perintahnya dengan baik.
Swi Liang terbagun dari tidur
nyenyak, menggeliat dan tersenyum penuh bahagia ketika dia
teringat akan keadaan dirinya.
Dirabanya kasur di mana dia rebah dan hidungnya kembang kempis, masih
penuh oleh keharuman tubuh Yang
Kui Hui. Baru saja terbangun dari tidur, teringat akan wanita cantik itu,
berkobar lagi nafsunya, lenyap
semua kelelahan tubuhnya dan dia membalik ke kanan, lengan kirinya dan
kaki kirinya merangkul
memeluk..Dai membuka matanya ketika tangan dan kakinya bertemu dengan kasur
yang kosong, lalu bangkit duduk,
menoleh ke kanan kiri,
mencari-cari. yang Kui Hui telah pergi dari kamar itu! Swi Liang merasa heran
dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Ke manakah
perginya wanita itu sepagi ini, pikirnya. Karena khawatir kalau-kalau ada
pelayan memasuki kamar dan memergoki keadaanya, bergegas dia menyambar
pakaiannya, dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian wanita penyamarannya.
Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak
dan yanci untuk memulas mukanya yang semalam telah menjadi muka pria aslinya
dan sia-sia bedak dimukanya telah terhapus sama sekali oleh ciuma-ciuman Yang
Kui Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut hatinya
ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar itu! Akan
tetapi dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri. Tentu Yang Kui Hui
sengaja hendak main-main dengan dia! Tak mungkin wanita itu melakukan hal yang
bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati bersama semalam!
Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya setelah dia membuktikan
kejantanannya semalam, pikir Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia
lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu. Sunyi di luar kamar itu, padahal biasanya
penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang pelayan wanita yang bertugas membersihkan
kamar Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan suara
biasa lalu menanyakan di mana adanya majikan mereka yang cantik itu.
"Beliau tadi memerintahkan bahwa kalau Liang-lihiap sudah bangun agar
Lihiap suka pergi menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di
sana."
Mendengar kata-kata ini, Swi
Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah dugaannya. Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan
kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta kepadanya sehingga
kini selir itu ingin melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman,
tentu agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan para pelayan lain! "Ha-ha,
kau cerdik sekali, mais," kata hatinya penuh kegembiraan, "untuk
kecerdikanmu itu akan kuberi upah ciuman hangat!" Sambil tersenyum-senyum
membayangkan segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di dalam
pondok taman, Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang indah dan luas itu. Taman itu sunyi karena hari masih amat pagi
dan memang biasanya pun taman itu hanya dikunjungi para puteri istana setelah
matahari naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di situ. Bahkan
tidak tampak seorang pun juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah
membersihkan taman. Ketika melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa
hari yang lalu mengubur mayat dua orang pelayan wanita, Swi Liang menggerakan
pundaknya untuk menenteramkan hatinya yang agak terguncang. Salah kalian
sendiri, pikirnya dan untuk menekan perasaanya, dia telah menginjak kuburan
yang tidak kentara dan tidak dikenal orang lain kecuali dia itu.
Dia kini sudah berdiri di depan
pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata dengan suara biasa,
suara pria, halus dan penuh rayuan, "Dewiku yang cantik jelita, bidadari
dari sorga manis, bukalah pintu, aku sudah amat rindu kepadamu....!"
Daun pintu pondok merah itu
terbuka dari dalam dan.... Swi Liang meloncat ke belakang sambil menahan seruan
kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar dua puluh orang
lebih pengawal yang memegang senjata di tangan!
"Menyerahlah engkau,
Liang-cu. Kami mendapat perintah untuk menangkapmu!" komandan pengawal berkata
keren.
Seketika pucat muka Swi Liang dan
otomatis tangan kanannya meraba pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa
pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi!
"Apa... apa...
dosaku....?" Dia bertanya gagap, saking bingungnya dia lupa menyembunyikan
suara laki-laki yang keluar dari mulutnya.
Dua puluh lebih pengawal itu
tertawa dan Sang Komandan membentak. "Lekas berlutut dan menyerah!" Swi
Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang
terjadi dan siapa yang telah membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama
sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah mengkhianatinya. Akan
tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka.
"Mampuslah!" bentaknya
sambil menerjang ke depan, menghantam komandan dengan kepalan tangan
kanan sedangkan kepalan tangan
kiri menghantam pengawal ke dua yang berdiri dekat. Komandan itu
memiliki kepandaian silat yang
cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biarpun dia menjadi terhuyung-.huyung,
akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan kiri Swi Liang, mengeluarkan
teriakan keras
dan roboh terguling,
muntah-muntah darah karena pukulan yang mengenai dadanya tadi amat kuat. Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh
orang lebih. Para pengawal itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup
tangguh, karena mereka semua bersenjata. Repot jugalah Swi Liang yang harus
membela diri dengan tangan kosong!
"Jangan bunuh dia! kita
harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali komandan berteriak. Swi Liang mengamuk sekuatnya, namun setelah
tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan tusukan, akhirnya dia terguling dan
teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke dalam kamar
tahanan. Sementara itu, yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan
wanita yang dahulu menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin
mata-mata musuh yang sengaja menyelundup. Mendengar ini, kaisar memerintahkan
agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui keadaannya. Pada hari itu
juga, di dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku.
Ada beberapa macam semangat yang
mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat patriotik sebagai pengabdian
kepada negara dan bangsa, semangat mencari kedudukan dan kemuliaan, dan
semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu, hanya
prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang
akan berani mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa
yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang yang tentu
saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau
"tempat baik" di alam baka! Betapapun
juga, lepas daripada tepat tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa
hanya prajurit yang bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian
dan siksaan dengan berani dan gagah. Tidaklah
demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena dorongan subonya yang
juga menjadi kekasihnya, karena keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan
tinggi jika cita-cita subonya terlaksana. Kalau putera subonya sampai biasa
menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subonya, dia tentu setidaknya akan
menjadi seorang menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya
berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya. Begitu dia disiksa, keluarlah
pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subonya, The Kwat
Lin Ratu Pulau Es yang kini menjadi Ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan
Pangeran tang Sin Ong, dan tugasnya adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir
itu kelak mau membantu pemberontakan mereka.
Pengakuan ini tentu saja
menimbulkan geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa hari kemudian,
Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala di tempat
umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak memberontak. Kaisar
lalu mengirim pasukan untuk menangkap Ketua Bu-tong-pai yang memberontak.
Habislah riwayat hidup Bu Swi
Liang, putera Lu-san lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut
disayangkan karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang
baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi
seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang, keadaan
sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Hal ini tidaklah berarti
bahwa sekeliling yang bersalah sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat
seperti halnya Bu Swi Liang.Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya sendiri!
Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar
sehingga berada di dalam lingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati
tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin terseret atau
ternoda, seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan
tetapi tetap bersih! Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri
setiap saat, akan mudah lupa karena "akunya"menonjol dan Si Aku ini
memang selalu ingin menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga
untuk memenuhi segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke
dalam jurang penuh dengan ular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci,
sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan. Pasukan yang kuat dipimpin seorang perwira
tinggi membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri, tiba di Bu-tong-san.
Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, Ketua Bu-tong-pai yang baru dan hendak
ditangkap itu, telah melarikan diri bersama anak buah yang setia kepadanya.
Hal ini tidaklah mengherankan.
Sebelum Swi Liang membuka rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin
telah lebih dulu mendengar bahwa
muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia merasa kecewa sekali, akan
tetapi dia juga maklum akan
bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan pemerintah.menyerang
Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu.
Maka diam-diam
dia lalu lolos dari Bu-tong-san,
bersama anak buahnya yang setia dia lalu melarikan diri ke Rawa Bangkai yang
menjadi markas ke dua dari komplotan ini. Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li
Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat itu telah ditaklukannya dan telah menjadi
sekutunya, dan tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa Bangkai, di kaki
Pengunungan Luliang-san, menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya
penangkapan dari kota raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat
yang merupakan daerah berbahaya dan rahasia itu.
Pelarian dari Bu-tong-pai ini
diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh kesempatan
menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si
menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya. "Aku hanya merasa kecewa
sekali mengenangkan murid-muridku," kata The Kwat Lin dengan suara gemas.
"Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah
dari mana dan pengharapanku tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka
rahasianya dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai suatu kegagalan yang
menyedihkan. Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong
sehingga Pangeran itu pun dihukum mati. Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong
habislah harapan kita!" The Kwat Lin menghela napas panjang dan mengepal
tinjunya dengan hati gemas.
"Aihhh, seorang yang
memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?"
Liok Si mencela.
"Hem, Cai-li, jangan kau
menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu-tong-pai setelah kini menjadi pelarian
pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan
putus asa? Cita-cita kita kandas setengah jalan. Betapapun tinggi kepandaian
kita, menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan laksa banyaknya, kita dapat
berbuat apakah?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia
maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar sekali.
"The-pangcu.... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu
dapat mencari kedudukan dengan mudah sekali."
"Hemm, mana mungkin?
Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu menjadi
pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas ratu, oleh
karena itu. Cita-citaku hanya satu, ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar
puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah keturunannya."
Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk.
"Memang sepatutnya.... sepatutnya...., dan aku bersedia membantumu asal
kelak kau tidak akan melupakan bantuanku."
The Kwat Lin memegang tangan
datuk wanita itu dan memandang tajam. "Kiam-mo Cai-li, kita bukan anak-anak
kecil lagi, kita sama-sama wanita dan kita saling mengetahui isi hati
masing-masing. Engkau sudah banyak menolongku, masihkah engkau menyangsikan
bahwa aku menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan,
bahkan sehidup semati?" Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk. "Aku
tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain berilmu tinggi, juga
berkemauan keras dan bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa
dengan kegagalan muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih
menguntungkan kita." "Bagaimana?"
"Bersekutu dengan An Lu
Shan!"
The Kwat Lin memandang wajah
Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu tersenyum dan
diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh
tahun itu kalau tersenyum kelihatan masih muda dan masih cantik. Kata-kata
Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan kecurigaannya.
Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat
bersekutu dengan Panglima itu?
Bahkan yang menyalakan api
pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa iri
hati kepada An Lu Shan yang
disuka oleh Laisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang,
sekutunya ini mengusulkan untuk
bersekutu dengan An Lu Shan! "Cai-li, apa maksudmu?" tanyanya,
suaranya membentak dan matanya
memandang tajam menyelidik.."Aih, The-lihiap, aku tahu mengapa engkau
terkejut. Akan tetapi bukankah para cerdik pandai jaman
dahulu pernah berkata bahwa orang
cerdik harus pandai memilih kawan?Demi tercapainya cita-cita, kalau perlu kawan
menjadi lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!"
Berseri wajah The Kwat Lin dan
dia memandang kagum. "kau benar, Cai-li. Kau benar dan cerdik sekali!
Akan tetapi, mungkinkah dia
mau?"
"Jangan khawatir. Aku sudah
lama mengenal baik Panglima kasar itu. Di balik semua langkahnya menjilat Kaisar
dan Yang Kui Hui, dia bercita-cita merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini
dia amat membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tentu saja dia akan menerima
kita dengan tangan terbuka." The Kwat Lin berdebar-debar dan
menggosok-gosok pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya, nampaknya
ragu-ragu. "Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengadakan hubungan?" "Aku
akan menyuruh anak buahku, harap kau suka tulis surat untuk disampaikan kepada
An Lu Shan. Sebaiknya begini
isinya." Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin,
mengulurkan tangan kepada An Lu Shan mengajak bersekutu melalui sehelai surat
yang ditulis oleh tangan halus The Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat,
kiranya wanita lebih cerdik dari pada pria, dan hal ini dibuktikan oleh The
Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li Liok Si. Sebulan kemudian tampak lima orang muncul
di tepi rawa yang sunyi itu. Mereka ini terdiri dari empat orang pria dan
seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa dan tangkas.
Rawa ini amat luas, sunyi dan
terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan
genangan air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu tertutup oleh
rumput dan bermacam tetumbuhan kecil sehingga kadang-kadang tidak nampak
airnya. Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan inilah yang
berbahaya sekali. Manusia maupun binatang yang berani mendekati rawa dan salah
injak, mengira bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air
berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki terbenam, disedot
ke bawah dan sukar ditarik ke atas lagi. Air berlumpur itu dalam sekali dan
karena amat lembek, maka seolah-olah menyedot kaki, padahal kaki orang atau
binatang itu tenggelam terus secara perlahan-lahan dan lupur itu memang
mempunyai daya lekat sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar untuk
ditarik kembali ke atas. Selain bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut
dari alam ini, juga di situ terdapat banyak ular dan binatang berbisa lain yang
bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan lain.
Jauh dari rawa, tampak
ditengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunan-bangunan yang
tampak dari jauh. Namun, tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba
untuk mendekati pulau ini, karena selain jalan menuju ke situ harus
menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu
adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo
cai-li. Karena seringkali terdapat bangkai-bangkai binatang-binatang yang
terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan kadang-kadang
tampak mayat mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka
terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai! Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu
melarang para anak buahnya untuk mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka
tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar
setempat merasa ngeri untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk
kaum sesat ini hidup aman dan teteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu,
tempat ini menjadi tempat pesembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan
anak buahnya.
Kita kembali kepada lima orang
yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di antara mereka laki-laki
tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah
laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap,
sedangkan wanita itu masih muda, seorang gadis berusia paling banyak enam belas
tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya mengandung
sinar keras. Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan
gagah itu adalah penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu
dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong!
Bagaimana dia sekarang bersama
laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai?
Malam itu, setelah diperkosa oleh
Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabok dan tidak sadar, Swi Nio
hendak membunuh diri dengan
pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang
mata-mata dari An Lu Shan. Dia
dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan.terbaik untuk
membalas sakit hati, maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi
petunjuk jalan
sehingga mata-mata itu berhasil
menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai. Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri
terus dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki
Pegunungan Bu-tong-san, barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat.
Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang
menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk.
Laki-laki itu memandang ke
arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja
karena pengalamannya membuat dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu,
tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air mata yang
bercucuran. Setelah agak mereda tangis
Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti kukatakan pagi tadi, tidak perlulah
hal yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang
penting, kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di
depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula hanya
akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada
orang-orang yang telah merusak hidup kita."
Kata-kata yang dikeluarkan dengan
suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan basah,
memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, kduanya baru melihat nyata
akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio
sedangkan wajah gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik.
"Kau siapakah?"
Akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan kepadamu,
aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan.
Namaku Liem Toan Kie. Dalam
penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama
kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid dari Ketua Bu-tong-pai yang baru. Aku
pun telah mengetahui akan nasibmu semalam...." "Ahhh....! Si Jahanam
Tang Sin Ong....!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa, aku tidak
perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua
penghinaan ini. Akan kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal
kedua tangannya dengan penuh kemarahan. "Nah,
itu baru gagah dan bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang
Pangeran apalagi dia sahabat baik Gurumu yang amat lihai. Jalan satu-satunya,
marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah jalannya
sehingga kelak engkau akan dapat membalas dendam." "Kau.... kau
seorang prajurit bawahan Jenderal itu?"
Toan Ki menggelengkan kepalanya.
"Bukan, aku bukan perajurit, aku seorang luar yang telah menggabungkan
diri dengan An-goanswe dan mendapatkan kepercayaannya untuk menyelidiki
Bu-tong-pai. Aku disuruh menyelidiki
rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat cerdik.
Dia biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia
harus tahu segala gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar maupun pemberontak
lain. Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka adalah melemahkan Kaisar melalui
Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil penyelidikanku
kepada An-goanswe. kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan engkau tentu akan
diterima, karena engkau memiliki kepandaian yang lumayan di samping dendammu
kepada Tang Sin Ong."
"Aku.... aku tidak suka
menjadi pemberontak."
"Hemm,apakah kaukira aku
suka menjadi pemberontak,Nona? tidak,aku membantu An Lu Shan bukan karena aku
suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit hati terhadap
pemerintah." "Eh?" Swi Nio tertarik dan memandang wajah yang
gagah itu."mengapa?"
"Hampir sama nasib kita,
Nona, hanya bedanya jalannya saja. ketahuilah, dahulu aku adalah seorang tokoh
Hoa San-Pai yang tentu saja tak
mau mencampuri urusan politik dan pemberontakan, bahkan condong.untuk setia
kepada pemerintahan, akan tetapi pada suatu hari terjadilah hal yang amat
hebat... yang
merubah seluruh jalan hidupku..."
Swi Nio teringat akan nasibnya
sendiri. dia mendekat lalu berkata, "Liem-twako, kauceritakanlah!" Sejenak
mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan riwayatnya secara singkat. Dia
tinggal di kota Ma-Kiubun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho.
dia hidup tenang dan bahagia dengan isterinya yang baru dinikahinya selama tiga
bulan. Dengan membuka toko obat dan mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan.
Namun isterinya merasa kecewa setelah tiga bulan menikah, belum juga ada tanda-tanda
mengandung, maka dia mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng
untuk minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya.
"Akan tetapi mujur tak dapat
diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang senja, setelah pergi sejak pagi, barulah
isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan payah, mukanya pucat dan
basah air mata. Sambil menangis
sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan diri dan berlutut di
depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika tadi bersembahyang di kelenteng,
kebetulan di kelenteng itu terdapat putera bangsawan Lui yang bermain catur
dengan para hwesio. Melihat dia, putera
bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya! Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat itu,
isterinya lari ke dalam kamar sambil menangis sesenggukan. hati Toan Ki terasa
tidak enak. Tadi dia termangu-mangu seperti patung saking marah dan dukanya
mendengar penuturan isterinya sehingga dia agak lalai membiarkan isterinya
lari. Cepat dia mengejar dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam,
ia menendang pecah daun pintu! Dia berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang
dilihatnya?
"Isteriku telah rebah mandi
darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk membunuh diri, menusuk dadanya
hampir tembus!" Dia mengakhiri ceritanya sambil menutupkan kedua tangan di
depan mukanya. "Ohhh....!!"
Swi Nio menjadi pucat sekali dan dia menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh
perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio-hwesio keparat itu harus
dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem-twako!"
Toan Ki menurunkan tangannya,
memegang tangan Swi Nio dengan erat. Mereka saling berpegangan dan saling
menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya ada kecocokan di antara
kita dan karenanya aku menolongmu pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal
bantu-membantu, akulah yang akan membantumu kelak kalau saatnya tiba untuk
membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah kubalas impas
dan lunas. Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng
itu! Karena itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu
Shan yang segera menerimaku karena dia membutuhkan bantuan kepandaianku." "Ahhh,
engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti aku. Aku
merasa beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah aku akan
ikut bersamamu menghadap Jenderal An Lu Shan."
Demikianlah, Swi Nio ikut bersama
Toan Ki dan benar saja seperti dikatakan laki-laki gagah itu,
dia diterima dengan baik di dalam
rombongan orang-orang gagah bukan perajurit yang menjadi pembantu-pembantu
An Lu Shan. Persahabatannya
dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh benih-benih cinta
kasih di antara kedua orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan
isterinya yang dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio
kehilangan keperawanannya karena diperkosa oleh seorang pangeran. Akhirnya
keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa
dia baru mau melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah terbalas
semua! Maka kedua orang ini hidup sebagai dua orang tunangan yang saling
mencinta, apalagi karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan yang
pandai mengambil hati orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan
bantuannya.
Pada suatu hari An Lu Shan
memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, bersama tiga orang tokoh
lain yang merupakan orang-orang
berkepandaian tinggi di antara para pembantu An Lu Shan. Yang seorang
bernama Tan Goan Kok, seorang
kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara sebagai seorang ahli gwa-kang
yang hebat. Kabarnya, Tan Goan
Kok ini biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, dapat
menggunakan kekuatan otot
tubuhnya untuk mengangkat seekor kerbau bunting.Di samping tenaganya yang besar,
juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari bandingannya. Kakek
kedua adalah pat-jiu Mokai
(Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang berusia enam puluh tahun,
pakaiannya penuh tambalan biarpun bersih dan baru, selalu memegang sebatang
tongkat butut dan siapa pun, bahkan An Lu Shan sendiri, menyebutnya Pangcu
(Ketua) padahal kakek jembel ini hanyalah seorang ketua yang tidak mempunyai
anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan pengemis namun nama
besarnya sedemikian terkenal sehingga setiap orang pengemis di manapun juga akan
selalu menyebutnya Pangcu! Sampai ketua para perkumpulan pengemis juga
menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat
tinggi dan kabarnya belum pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam perantauannya
sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu Shan. Orang ke tiga, berusia lima puluh tahun
lebih, berpakaian tosu dan memang dia seorang penganut Agama To, seorang kakek
perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang kakek pertama, Siok
Tojin orangnya pendiam, tidak terkenal, namun ilmu pedangnya amat hebat
sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan mampu menandingi tongkat
Pat-jiu Mo-kai!
Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio,
dan tiga orang kakek itu menghadap An Lu Shan yang memanggilnya, Jenderal
pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The Kwat Lin bekas ketua
Bu-tong-pai yang mengajak kerjasama dalam menentang Kaisar.
"Aku sengaja mengutus Ngo-wi
(kalian Berlima) untuk menjajaki hati wanita berilmu tinggi apakah benar-benar dia
hendak bersekutu. Bu Swi Nio adalah muridnya, maka aku mengutusnya untuk
mengukur hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu, tentu dia tidak
akan marah kepada muridnya yang telah melarikan diri dan menjadi pembantuku.
kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan Pangcu bersama dua orang
Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak bersekutu, di samping
melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam bahaya." Demikianlah
maka pada pagi hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di
tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di tengah-tengah rawa yang
tampak dari tempat itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang
permukaan rawa dengan wajah membayangkan kengerian. Sudah banyak mereka
mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu.
"Saya hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama
Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia ditanya oleh
teman-temannya, "dan ketika itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa
kami berlompatan dari tempat ini ke pulau itu. Setiap lompatanya membawanya ke
tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja aku tidak bisa mengingat lagi
karena dia melompat-lompat ke tanah kiri, kadang-kadang membalik lagi."
"Hemmm, tentu merupakan
jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata Pat-jiu Mo-kai sambil
meraba-raba dagunya yang berjenggot panjang.
"Dan menurut Kiam-mo Cai-li,
katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang jalan
penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke bagian
yang ada airnya, sampai saya merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu
airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering di dekatnya,
menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang
ke Bu-tong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang
menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak dapat mengingat kembali
jalan berliku-liku itu." "Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang
panjang? Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau pernah melaluinya dan
dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita berempat mengikuti dari belakang, menggunakan
tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andaikata kau salah jalan dan masuk
perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem Toan
Ki kepada kekasihnya. "Begitupun
boleh, akan kucoba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang
ujung tali, Koko, karena aku ngeri!"
"Ah, aku tidak setuju! Usul
itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba-tiba Tan Goan Kok berkata dengan
suaranya yang parau dan nyaring.
"Akan tetapi aku tidak
takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah. "Pula, kalau Liem-koko
yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi.
Andaikata aku terjeblos, tentu
akan dapat cepat ditariknya naik lagi."."Bukan tidak setuju karena
takut, melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka, tentu akan menjadi
bahan ejekan. Perlu apa kita
harus mencari-cari jalan rahasia yang disembunyikan orang? Kita harus mencari
jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan
maling." Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima
lalu duduk di tepi rawa sambil mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka
akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai tamu-tamu yang datang
secara gagah. Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan
sampai terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan
membuat mereka memandang rendah saja. Akan tetapi, betapapun banyak pengalaman
mereka dan betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka
menghadapi kesukaran seperti sekarang ini. Akhirnya Siok Tojin yang sejak tadi
tidak ikut bicara, mengeluarkan suara mengomel, kemudian berkata, "Dapat!
Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari ikan di
rawa-rawa seperti ini!" Empat orang kawanannya memandang ke arah tosu ini
dengan wajah gembira dan penuh harapan. "Lekas katakan, Totiang,
bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya. "Mereka menggunakan bambu-bambu sebagai
perahu."
"ahh, mana mungkin?
Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di tengah jalan kalau
bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput," bantah Pat-jiu Mo-kai
sambil memandang ke rawa dengan alis berkerut.
"Kita jangan meniru mereka
yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing menggunakan sebatang bambu
saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi
teman temannya sudah dapat menangkap maksudnya.
"Bagus sekali! Tentu kita
berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur melalui apa saja!" Tan
Goan Kok berteriak girang.
"Hemm, kusangka tidak
semudah itu. Kita harus hati-hati, benar-benar mengerahkan ginkang dan sinkang,
kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin menjadi bahaya
tertawan lagi. Betapapun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu
dan membuat dayung," kata Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin dianggap
orang tertua dan tertinggi ilmunya.
Tak lama kemudian, tampaklah lima
orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang terkenal sukar dilalui orang itu.
Dilihat dari jauh, seolah-olah lima orang itu terbang meluncur di atas air
rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat barulah tampak bahwa kaki
mereka menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan
mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak itu
meluncur ke tengah. Orang yang tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba
untuk menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang yang diinjak kaki
itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki
dapat terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolah
olah melekat pada batang bambu itu tidak dapat berputar, dan dengan ginkang
mereka lima orang lihai kepercayaan An Lu Shan itu dapat memperingan tubuh mereka
dan bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke tengah rawa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah Bu
Swi Nio, padahal wanita ini sudah amat lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng
pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari Pulau Es! Diam-diam, dari tempat persembunyian mereka,
banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum ketika lima orang itu
meluncur datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu
menggunakan sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka itu menggunakan
kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain yang menghadang di tengah
perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera melaporkan
kepada Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima orang itu.
Kedua orang wanita sakti ini
segera berunding sambil menanti kedatangan mereka. Melihat bahwa Bu Swi Nio
berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah sekali.
"Keparat," desisnya
marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!"."Ahhh,
The-lihiap, mengapa marah? Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang
dahulu, melainkan
seorang pembantu An Lu Shan yang
dipercaya. Karena itu, untuk memulai dengan hubungan persekutuan, amatlah tidak
baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata Kiam-mo Cai-li. The Kwat Lin tercengang dan teringat akan
cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus dikesampingkan kalau dia ingin
agar cita-citanya yang amat tinggi untuk putranya itu akan dapat terlaksana.
Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li berunding bagaimana untuk menghadapi lima
orang itu, utusan-utusan An Lu Shan dimana termasuk bekas muridnya itu. Kiam-mo
Cai-li yang amat cerdik lalu memberi nasihat-nasihat sehingga keduanya dapat
mengatur siasat.
Biarpun penyeberangan itu amat
sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak ular berbisa, saling bantu
membantu ketika batang bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima
orang itu berhasil juga melompat ke atas pulau dimana telah berdiri serombongan
orang yang ditugaskan menyambut mereka.
Melihat dua puluh lebih orang
yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat-jiu Mo-kai segera tertawa
bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, sungguh bagus sekali penyambutan Rawa
Bangkai terhadap utusan dari An Goan-swe!"
Seorang di antara anggauta
pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah maju dan memberi
hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi
yang terhormat datang berkunjung maka kami tidak mengadakan penyambutan di luar
rawa. Akan tetapi Cuwi telah memperlihatkan kegagahan yang membuat kami tunduk
dan kagum. Sekarang, silahkan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong-houw
(Ratu)."
Diam-diam lima orang itu terkejut
juga sungguhpun mereka tahu siapa yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu.
Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang wanita yang angkuh dan
hendak menerima mereka sebagai seorang ratu! Akan tetapi karena mereka berada
di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan mengikuti pasukan
itu menuju ke tengah pulau dimana terdapat bangunan- bangunan yang kuat dan
cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat Lin,
Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat Lin, di dalam sebuah
ruangan yang luas.
Agak pucat muka Swi Nio dan
otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki yang membalas dengan genggaman
seolah olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio
merasa takut karena dia sudah mengenal watak subonya yang keras dan kejam, juga
maklum betapa lihainya subonya itu. Dia tahu bahwa andai kata subonya berniat
buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu. "Ibu, itu
Swi-suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong berkata
sambil menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio.
Swi Nio tidak dapat berdiam diri
lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
"Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu."
The Kwat Lin memandang tajam sejenak
lalu menghela napas dan menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk
dapat melihat betapa empat orang laki laki yang datang bersama Swi Nio itu
bersikap siap siaga dan kalau dia menurutkan hati panas turun tangan mengganggu
muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi Nio mati
matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya dan sudah dibicarakannya tadi
bersama Kiam-mo Cai-li, maka dia menekan perasaannya dan berkata,"Bangkitlah,
engkau pergi dan menjadi kepercayaan An Goanswe, tidak terlalu
mengecewakan." Lega bukan main hati Swi Nio dan dia bangkit berdiri lalu
berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik saja, bukan?"
An Bu Ong yang biarpun masih
kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya,
mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau,
ya? Suheng dibunuh orang, dan ibu sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah
minggat dan enak enak saja!" "Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat
Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau
bahwa kakakmu telah tewas?"
Swi Nio mengangguk dan air
matanya bercucuran dan segera diusapnya. "Teecu sudah mendengar
akan hal itu,
Subo."."Kalau begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita
lupakan saja semua urusan lama, Swi
Nio, dan baik sekali kalau kita
dapat bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan An
Goanswe, ya?"
Swi Nio cepat menjawab dan
memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya menjadi pembantu dan penunjuk
jalan saja bersama....dia ini...." Swi Nio menunjuk kepada Liem Toan Ki
dan mukanya menjadi merah.
"Siapa dia?" The Kwat
Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki yang cepat maju menjura dengan hormat.
"Maafkan, Pangcu...."
"Aku bukan Ketua Bu-tong-pai
lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat Lin ketus.
"Maaf, saya bernama Liem
Toan Ki dan Bu-moi adalah calon istri saya." "Ibu, dia ini yang
pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang membawa minggat
Suci!" tiba-tiba Bu Ong berkata. Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak
laki-laki itu dan dia terkejut sekali. "Benar
demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An Goanswe menyelidiki Bu-tong-pai
dan kemudian mengajak pergi Bu-moi yang sekarang menjadi calon istri
saya."
The Kwat Lin mengerutkan alisnya.
Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas Ketua Bu-tong-pai dan
sebagai guru Swi Nio, akan tetapi diam-diam dia menerima isyarat mata Kiam-mo Cai-li,
maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya, "Benarkah kau menjadi
calon isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah sekali. "Benar, Subo.
Kami saling mencinta, akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya akan
melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah kerajaan sekarang
jatuh dan dikuasai An Goanswe."
"Hemm, sudahlah. Kalau kau
dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An Goanswe
menghadap padaku?"
"Mereka inilah," Swi
Nio menunjuk kepada tiga orang teman-temannya. Dia adalah Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang
ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiongitu adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang
menjadi utusan An Goanswe.
The Kwat Lin memandang tajam
kepada tiga orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya.
Pat-jiu Mo-kai yang tertua dan dianggap pemimpin rombongan apalagi karena dia yang
pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur, apalagi dengan
Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut, segera tertawa.
"Ha-ha-ha, kami bertiga pun
hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An Goanswe, akan tetapi kami
menerima kehormatan untuk menjadi utusan Beliau menghadap Toannio The Kwat Lin
yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu-tong-pai, juga
menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai
seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat
dapat menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini." Kiam-mo Cai-li Liok Si yang
memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata, "Tidak tahu apakah
kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan pesan kami kepada An Goanswe" "Dugaan
Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An Goanswe untuk menghadap Jiwi
dan untuk bicara dengan Jiwi. An Goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai
jawaban An Goanswe mengutus kami untuk bicara."
"Lalu bagaimana keputusan An
Goanswe tentang ajakan kami untuk bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya.."An
Goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An Goanswe
menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An
Goanswe merasa kagum, terutama sekali melihat siasat gemilang yang berhasil
baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang menjadi kepercayaan Yang
Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami
kegagalan karena orang kepercayaan Jiwi tidak dapat menahan nafsu berahinya. Kami diutus oleh An Goanswe untuk
menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu berusaha
menanam tenaga-tenaga bantuan di dalam kota raja dan kalau mungkin di dalam
istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila saatnya yang tepat
tiba, maka An Goanswe akan berterima kasih sekali."
Mendengar pesan An Lu Shan yang
di sampaikan oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua orang wanita itu menjadi
girang sekali sungguhpun kegirangan itu tidak terbaca di wajah mereka.
"Kami yang tidak mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja
hanya akan membantu dari dalam seperti yang diusulkan An Goanswe. Kami dapat
menerima usul itu dan sebaiknya kita rencanakan siasat-siasatnya bersama."
The Kwat Lin berkata.
"Sebelum kita berunding dan mengatur
siasat agar dapat kami sampaikan kepada An Goanswe terlebih dahulu kami harus
menyampaikan semua pesan Beliau untuk Jiwi. Selain usul itu juga An goanswe mengatakan
bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang amat rumit,
sulit, dan berbahaya.
Hanyalah orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang akan dapat berhasil dan An
Goanswe ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan
gagal." Mendengar kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah
The Kwat Lin dan hatinya menjadi panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa
kalian hendak menguji kepandaian kami?" Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang
melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke tengah ruangan
yang luas itu sambil berkata, "Memang sudah seharusnya demikian! An Goanswe
adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan menguji setiap
orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih dulu memperlihatkan
kepandaian. Siapakah di antara Cuwi berlima yang hendak menguji?" Dengan
lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan memandang ke arah lima orang
utusan itu. Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang
sudah maklum akan kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu
mengerti bahwa dia bukanlah tandingannya.
Melihat wanita yang usianya lima
puluh tahun itu masih cantik menarik dan memegang sebatang payung, berdiri
dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah
bangkit. Ilmu kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya, dan di
dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua yang terpandai.
"Biarlah pinto yang akan
menguji," katanya.
Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang
yang akan menjadi tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu adalah mereka
bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas Ratu Pulau Es itu lebih hebat
daripada kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau Siok Tojin yang
menghadapi Kiam-mo Cai-li sedangkan dia nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li memandang tosu itu
penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia berkata, "Kalau aku hanya
mampu menandingi Siok Tojin, agaknya belumlah patut aku menjadi tangan kanan
Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe, akan tetapi hendak
kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus.
kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan Totiang, anggap
saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan diri!"
Ucapan ini mengejutkan semua
utusan itu. Biarpun mereka sudah lama mendengar nama besar datuk
wanita yang merupakan iblis
betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya amat
tangkas, hebat dan kuat.
Bagaimana wanita itu berani bersombong mengatakan hendak mengalahkannya
dalam sepuluh jurus? Namun The
Kwat Lin yang dengan pandang matanya yang tajam dapat menilai
orang, tenang-tenang saja. Juga
Kiam-mo Cai-li bukanlah menyobongkan diri secara ngawur, melainkan.dia pun
sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari gerakanya maka dia berani
menantang akan
mengalahkannya dalam sepuluh
jurus.
Siok Tojin mengerutkan alisnya,
perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya
dia hanya berkata, "Hemm, seekor kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!"
Ucapan ini mengandung maksud
bahwa kalau Kiam-mo Cai-li tidak memenuhi janji yang diucapkan dengan mulut,
dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian, tangan kananya
bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari pedang yang telah dicabutnya.
"Tentu saja mulutku dapat
dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus! Kiam-mo Cai-li berkata sambil mengejek dan
tangan kanannya memegang payung yang segera terbuka dan dipakainya, sedangkan
tangan kirinya diraba-raba sanggul rambutnya, seperti merapikan padahal
diam-diam dia melepas tali rambutnya yang panjang itu.
JILID 16
"Ehhh....
celaka.....!!" Siok Tojin berseru, akan tetapi bagaimana dia dapat
menghindarkan diri dari serangan ke tiga ini? Kedua tangannya telah menahan dua
ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.
"Plak-plak....!!"
Seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua
kali, membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya
telah dirampas oleh ujung rambut yang terayun-ayun dan berputar ke atas,
membawa pedang itu berputaran di atas kepala.
"Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
Sambil menundukan kepalanya, Siok
Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah." Dan memang dia tahu akan
kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan
dalam lima enam jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak
mencelakakannya, kakau tidak, tentu ujung rambut itu dapat melakukan totokan
maut yang akan menewaskannya. Rambut itu
membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang menancap di depan kaki
Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga
terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok tojin menghela napas, mengambil
pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia menlangkah mundur ke tempat
teman-temannya.
"Ha-ha-ha, bukan main
hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai, kukunya berbahaya, rambutnya hebat,
akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing kemarahan
Siok Tojin! Memang kecerdikan seperti
itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang membutuhkan kecerdikan
seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li. (Kionghi (Selamat)! An Goanswe tentu akan
girang sekali mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo Cai-lil!"
Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk
kembali, tersenyum girang. Aihh, Loenghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu memuji!
katanya dengan bangga dan girang.
"Sekarang untuk melengkapi
tugas kami yang diberikan oleh An Goanswe, kuharap The-toanio suka memperlihatkan
kepandaian," kata pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah maju menyeret
tongkat bututnya. "Dan agaknya
terpaksa aku sendiri yang harus maju melayani Toanio." The Kwat Lin masih
tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik,
kemudian dengan suar tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus oleh An
Goanswe untuk menguji kami?"
"Hanya kami bertiga, dan
karena Siok Tojin sudah kalah....."."maka tinggal engkau dan Tan
Lo-enghiong itu. Nah, kaulihat Tan Lo-enghiong juga telah membawa
senjatanya, membawa sebatang
toya, maka sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!" Pat-jiu
Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio, apakah Toanio juga hendak
menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk
memancing kemarahanku!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah
maju. "Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa siasat pun, menghadapi kalian
berdua aku masih sanggup."
Tiba-tiba terdengar suara Han Bu
Ong, "Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!"
Pat-jiu Mo-kai diam-diam
terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani menghadapinya, tentu ibunya memiliki
kepandaian yang hebat sekali. Akan tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya
dan berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan
ini hanya untuk menguji kepandaian saja.
Jangan kau ikut-ikut!"
Han BU Ong cemberut lalu berkata,
"Apalagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu akan
dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"
Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut.
Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak lebih dianggap seperti bocah biasa, dan
tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh
dianggap kosong belaka. Lenyaplah
keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku
sendiri dan Tan Goan Kok merupakan orang-orang yang diutus menguji kepandaian
Toanio, apakah kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?"
Dengan sikap tak acuh The Kwat
Lin berkata sambil menggerakan tangan kirinya, "Majulah, jangan
sungkan-sungkan!"
Tan Goan Kok yang berwatak kasar
itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki kelihaian yang
luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!" Pat-jiu
Mo-kai mengangguk-angguk. "Hati-hatilah, Tan-sicu." Mereka berdua
lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan kiri The Kwat Lin. Pat-jiu Mo-kai
memegang tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang,
tongkat itu menuding ke depan dari dadanya, lurus ke depan, sedangkan tangan
kirinya menjaga di depan pusar, kedua kaki ditekuk sedikit, agak merapat di
depan dan belakang. Tan Goan Kok
memegang toyanya dengan kedua tangan, kuda-kudanya kuat sekali, kokoh seperti
batu karang dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua orang itu sudah memasang
kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Ang-bwe-kiam dan
melangkah maju sambil berkata, Nah silahkan kalian mulai!" "Kami
adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau kami mulai, silahkan
Toanio mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena
dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar dia atau temannya dapat
mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak. The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat
kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya dan Pat-jiu Mo-kai
kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya karena tiba-tiba pedang itu lenyap
bentuknya, berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti kilat
cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang mereka berdua
dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat
menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis.
"Trang...! Cringggg....!!"
Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok
terhuyung ke belakang. Tenaga yang keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat,
membuat telapak tangan mereka terasa panas dan hampir saja senjata mereka
terlepas.
Terkejutlah kedua orang itu dan
The Kwat Lin diam-diam mentertawakan mereka karena dia memang
hendak mengukur lebih dulu
kekuatan lawan..Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari kanan
kiri dan mulailah mereka menyerang
dengan ganas. Kwat Lin sudah
dapat mengetahui bahwa di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek
jembel itulah yang lebih lihai maka dia selalu mendahulukan tangkisannya
terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa
kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah menggandalkan tenaga gwakang yang
besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah dia menghadapinya
karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat
telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan
ukuran tenaga kedua orang lawannya, Tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali
pedangnya dan menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong. Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan
senjata dan pat-jiu Mo-kai berseru, Heiii, The-toanio. Kami belum kalah mengapa
engkau mengakhiri pertandingan?"
"Siapa Mengakhiri?
lanjutkanlah serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut rusak."
"Huhhh, dengan tangan kosong
pun ibu akan mudah mengalahkan kalian!" Mendengar teriakan bocah itu, dua
orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan senjata mereka untuk menyerang.
Tongkat pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan
Goan Kok menyambar dari samping menghantam lambung! Mereka terkejut setengah
mati melihat lawan itu sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan sedikit
tubuhnya dan meloncat sedikit. "Bukkk!
Bukkkk!!" Tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu
menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh
terguling dalam keadaan lemas tertotok! "Horeeee....!!"
Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya
menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan. Sementara itu, The
Kwat Lin cepat membebaskan totokannya dan dua orang kakek itu dapat bangkit
sambil memungkut senjata mereka dan memandang dengan mata terbelalak kagum
kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka dapat dirobohkan
hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang demikian dan mengingat
akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan kagum sekali. Ternyata ketika tadi
dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin mengukur sampai di mana
kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan
sengaja menerima hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan
pinggulnnya, kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di tubuhnya, menggunakan
kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan tidak mengelak
dan menerima pukulan, cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak
dan berhasil menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga bahwa
lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan menotok mereka! "Bukan Main!!!" Tan Goan Kok
berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum pernah selama hidupnya dia
bertemu tanding sehebat itu.
"Kami mengaku kalah! Kiranya
The toanio memiliki kelihaian yang amat luar biasa dan kami akan melaporkan
semua ini kelak kepada An Goanswe," kata pat-jiu Mo-kai. The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li girang sekali
setelah dapat menundukan para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk
menyambut utusan-utusan An Lu Shan dan sambil makan minum mereka lalu merundingkan
dan merencanakan siasat untuk bekerja sama.
Dalam kesempatan ini, Pat-jiu
Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The Kwat
Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan
dari An Goanswe ini."
The Kwat Lin menyatakan terima
kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti yang terisi emas dan
perak dalam jumlah yang cukup
banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan
menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai
sambil berkata, "kami tidak mempunyai apa-apa untuk
dipersembahkan kepada An Goanswe
sebagai tanda persahabatan ini, harap Mo-kai suka menerima dan
menyampaikan kepada
Beliau.".Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu dan mereka berlima terbelalak
kagum melihat mata kalung yang amat
besar dan indah penuh batu
permata yang amat luar biasa. Biarpun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman
mereka membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu dapat menduga bahwa harga
kalung ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan
tadi! "Hendaknya di antara
pelaporan Cuwi, diberitahukan kepada An Goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan
harta benda, melainkan hendaknya An Goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas
Ratu Pulau Es dan puteraku adalah seorang Pangeran, sedangkan Kiam-mo Cai-li
adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil,
sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan keadaan
dan dengan bantuan kami."
Mengertilah tiga orang kakek itu
bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk kedudukan
tinggi bagi puteranya.
Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong
itu. Seoerti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es,
naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu
meninggalkan Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang
dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atau diri Liu Bwee. Sambil menahan tangisnya, wanita yang
menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan
Pulau Es. Akan tetapi, biarpun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum
pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau
Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena
tidak mengenal jalan, Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi
melihat bayangan puterinya. Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia
pandai mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya
Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah
tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan
diri dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin, madunya
yang telah menghancurkan hidupnya.
Setelah sehari semalam berputaran
tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan
tidak melihat seorang pun manusia yang dapat dia tanyai di antara
gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak
terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat
di sebuah pulau kosong yang subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan
perutnya yang lapar, kemudian melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya,
dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya
sampai hari akhir. Dia sudah merasa
bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka. Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya
kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu
mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya.
Dia sudah menemukan ketentraman batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun
ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari,
badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai
ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan biarpun Liu Bwee tadinya
sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau.
Berkat ketangkasan dan
kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya
diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak
pohon kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari arah laut
dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air
menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung
berjam-jam. Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin
lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang
dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, hampir menenggelamkan pohon
itu dan selain dia harus berpengang kuat-kuat mengerahkan sinkangnya agar
jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena iar menghantam
seluruh tubuh dan mukanya.
"Celaka...." pikirnya
ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan
air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...."
Liu Bwee melihat ke kanan kiri.
Banyak pohon yang sudah tumbang
dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini.tumbang, dia tentu
akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu,
tentu dia
akan aman dan air tidak dapat
mencapai pohon itu.
Kembali datang serangan air, Liu
Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegang erat-erat, maklum bahwa yang
datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat. "Haiiii....! Yang di sana itu.....!
Berpeganglah kuat-kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!" Teriakan suara
laki-laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee membuka matanya,
melihgat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu, akan tetapi pada
saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat.
"Oughhh....!" Betapapun
kuat kedua tangannya Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air
itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut
terseret ombak. Dia sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan.
"Matilah aku...."
bisiknya. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian
tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya
tubunya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia
akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air menghantamnya.
Dia maklum bahwa ada orang
menolongnya maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, mempertahankan
hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai
tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang
lebih tinggi itu. Napasnya
terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk
melawan hantaman-hantaman air yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali
hitam yang melingkari pinggangnya dan selain menariknya ke arah pohon juga
menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu.
Dia berenang hanya untuk mencegah
tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan
diam-diam dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang
belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya,
Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
"Pertahankanlah.... sebentar lagi...." terdengar suara laki-laki tadi
dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa tubuhnya di tarik makin cepat ke arah
pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat.
Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang
bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak
menelannya. "Cepat....
cepatlah!" Dia merintih dan dalam keadaan setengah pingsan dia merasa
betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu.
Akhirnya dia tiba di pohon itu
dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya, tubuhnya diangkat ke atas pohon
tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan
tak sadarkan diri! "Aneh....!"
Lapat-lapat Liu Bwee mendengar
kata-kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit,
kepalanya pening dan tenaganya habis maka dia tidak membuka mata dan membiarkan
saja ketika measa betapa ada telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya dan
dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan yang membantu
peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan. "Aneh sekali....!"
Kini Liu Bwee teringat semua dan
mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia
membuka matanya dan menggerakan
tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit
karena tubuhnya limbung dan kalau
laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh
terguling dari atas batang pohon
yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih
berguncang.
"Ahhhh....!" Dia berkata lalu mengangkat muka memandang. Seorang
laki-laki, usianya tentu
sudah empat puluh tahun lebih
duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali,
alisnya tebal matanya lebar dan
air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan
matang dan penuh ketulusan hati,
tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi, di punggungnya tampak
sebatang pedang. Laki-laki itu
memandang kepadanya dengan air muka membayangkan keheranan, maka.tentu
laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata"aneh" dan
tentu laki-laki ini pula yang telah
menolongnya karena di dalam pohon
itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Engkaulah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan
banyak terima kasih atas budi pertolonganmu." Liu Bwee berkata sambil
memandang wajah yang gagah dan sederhana itu.
Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu
Bwee kemudian berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia
seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia
manapun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali....!"
"In-kong (Tuan Penolong),
mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee. Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus
jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia
sedang memandang benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya. "Siapa kira
di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang
wanita yang masih muda dan cantik jelita."
Liu Bwee merasa betapa mukanya
menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan
diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Huh, apa artinya kau bertapa sampai
berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau
merasa berdebar dan girang, demikian dia memaki dalam hatinya. Untuk menutupi
perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya, "Bagaimana
Inkong bisa tiba di temapt ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain
kecuali aku seorang."
"Memang aku tidak tinggal di
pulau ini, Toa-nio...." Kembali wajah Liu Bwee menjadi mereh mendengar sebutan
nyonya besar ini, laki-laki itu terlalu merendahkan diri. "Aku adalah
seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan
tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada
orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku
melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu."
"Untung bagiku. engkau
seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku." "Aku girang
berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara
seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut
sehebat itu berkali-kali, dan kau malah masih kuat berenang. Inilah yang
mengherankan aku. Seorang wanita muda....." "Aku tidak muda lagi,
usiaku sudah tiga puluh lima tahun...."
"Itu masih muda namanya,
setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata laki-laki itu
bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik
dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali,
berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?" "Aku
sedang mencari puteriku yang hilang...."
"Ah...!" Laki-laki itu
terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa
namanya? Aku akan membantumu mencarinya."
Dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang jelas
sekali nampak sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan berterima kasih.
Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati,
sungguhpun kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal
yang tidak aneh.
"Dia sudah dewasa, sekitar
enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."
"Ahhhh??" Kembali
laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya terbelalak memandang Liu
Bwee. "She Han....? Apa
hubungannya dengan Han Ti Ong?"."Dia anaknya...." Liu Bwee
sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan
kata-katanya.Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa
jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan
penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya.
"Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah
Ratu Pulau Es...."
Liu Bwee menarik napas panjang.
Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula, orang yang telah menyelamatkan
nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui semuanya. Apalagi karena memang penderitaan
batinnya adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang
membutuhkan jalan keluar. Selain ini, sebutan "paduka" amat
menyakitkan telinganya. Maka dia kembali menarik napas panjang.
"Itu sudah lalu.... sekarang
aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang buangan....."
"Apa....? Seorang permaisuri
dibuang dari Pulau Es?"
Liu Bwee lalu menceritakan
riwayatnya, menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang
selir bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia
difitnah dihukum buang Ke Pulau Neraka!
"Puteriku Han Swat Hong,
menjadi marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman
buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku
tersesat ke pulau ini dan karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa di sini
sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku berakhir, akan
tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makan aku dapat
kauselamatkan...." Tak tertahankan lagi, Liu Bwee menutupi mukanya dan
menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak. "Krekkk!
Krekkk!" ranting kayu di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping
karena diremasnya di tangan kanannya. "Kejam! Jahat sekali! Orang yang merasa
dirinya bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja
di Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan
membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, Si penghukum itu,
melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya benar!
Betapa menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan
kepalsuan macam ini!"
Liu Bwee mengangkat mukanya
memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "In-kong, engkau
siapakah dan mengapa seolah-olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?" "Aku
bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka." "Ohhh....!!"
Kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak mengira
bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!
"Harap Paduka jangan
khawatir...."
"In-kong, jangan kau
menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan
seperti engkau pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan,
hanya bekas ratu sekarang menjadi orang buangan."
"Hem, baiklah Liu-toanio.
Dan akupun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu, sebut saja aku
Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan
seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya
bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah lima belas tahun lamanya aku
meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau
di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu
kelihatan menyuram. "Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu
maka engkau menjadi demikian?"
Liu Bwee bertanya, tertarik
hatinya..Ouw Sian Kok menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan
peristiwa masa lalu
yang telah merobah jalan hidupnya
sama sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal
di situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau
itu. Akan tetapi sebagai putera Ketua, aku menekan ketidak senanganku dan
terutama karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai
seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan
menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku.... aku lalu pergi
meninggalkan ayah , anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang." Sehabis
bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas
panjang. Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak
dapat berkata-kata. Betapa besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia
pun kehilangan suami, sunguhpun suaminya masih hidup akan tetapi apa bedanya
dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia kehilangan anaknya
pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya.
Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja
meninggalkan puterinya. "Kasihan
engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah
menolongnya itu. Ouw Sian Kok menghela
napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan
lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm,
isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya,
suamimu dirampas wanita lain, itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati
lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan yang terpenting kita
memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai
mulai berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut,
cuaca sudah terang tidak segelap tadi!"
Liu Bwee memandang ke bawah lalu
ke kanan kiri benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan
segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sin Kok memandangnya
dengan penuh kagum melihat wajah yang cantik itu, dengan air mata yang masih
menepel di pipi, kini terenyum dan berseri-seri.
"Mari kita turun!" kata
Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau,
seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya. Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi
pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum
meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan
kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di
situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas.
"Liu-toanio, mari kita
berangkat."
"Eh, ke mana?" Liu Bwee
memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya.
"Ke Pulau Es."
"Apa....? Apa
maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau
kembali hanya untuk menerima penghinaan saja."
"liu-toanio, seorang wanita
seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah berlaku
sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkannya
akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan
dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah dan
jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah
menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah
yang bertanggung jawab, dan kupertaruhkan nyawaku untuk itu."
Liu Bwee memandang dengan kaget
dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga
dia menurut saja ketika diajak
naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia
dapat berkata,
"Ouw-twako.... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau
menolongku,
membelaku mati-matian? Mengapa
engkau begini baik kepadaku?".Sambil mendayung perahunya dengan gerakan
tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat
cepatnya di permukaan air laut
yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang habis mengamuk
hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa
menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan
aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau
begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan.Siapa lagi kalau
bukan aku yang membantumu, Toanio?" Liu Bwee memandang laki-laki itu dari
samping, tak terasa lagi kedua matanya basah dan beberapa butir air mata turun
di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa
lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di
mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya. Maka kemunculan
laki-laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap membelanya mati-matian
itu menimbulkan sikap keharuan hatinya, apalagi mendengar betapa laki-laki itu
ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia,
hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi. Di
samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini
karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini
menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa!
Hal ini bukan membuat dia merasa
bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang
gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran itu
dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka
mulut. Beberapa jam berlalu dengan
sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku
mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."
Liu Bwee menggigit bibirnya.
Laki-laki ini, yang gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat
jantan dan rendah hati.
"Tidak ada yang harus
dimaafkan," katanya lirih. "Toanio marah kepadaku?" sejenak
kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat menahan
keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu.
Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua
pasang mata itu bertemu bertemu, akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang
matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.
Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian
Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa
kau tidak marah kepadaku, Toanio."
Perahu didayungnya kuat-kuat dan
perahu itu meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es yang biarpun
tidak pernah didatanginya, namun sudah diketahui di mana letaknya, karena
sering kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan
besar seperti yang belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi
hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa
malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua malam meeka melakukan pelayaran,
kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang
mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari
jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee. "Mengapa begitu sunyi? dan begitu bersih
licin? Ouw-twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apa-apa di
sana," katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di
mana dia di besarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya
membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya. Setelah
perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya berdebar tegang,
akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama
kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria
ini pun terheran-heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai
kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap.
Ketika mendekati sebuah tanjakan
dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan
tertahan dan mukanya menjadi
pucat sekali . "Apa.... apa yang terjadi.....? Dan bangunan-bangunan
mereka..... mengapa lenyap? Hanya
tinggal istana yang kosong dan rusak..... ahhh..." Terhuyung-huyung
Liu Bwee berlari mendekati
istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali..Seperti
seorang mabok, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari
memasuki istana
yang sudah kosong itu, diikuti
oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini segera dapat
menduga apa yang telah terjadi.
"Ke mana...? Mereka semua ke
mana ....?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah
dan kini kosong dan sunyi itu. Melihat wajah yang pucat itu, mata yang
terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee,
ditariknya keluar dari istana. Setelah
tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata suaranya tegas dan penuh rasa iba,
"Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di
pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah
mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh dan melihat hebatnya
badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai." Bagaikan kilat
cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikan tubuh memandang pria itu,
matanya terbelalak. "Ahhh....! Kau benar....! Badai itu! Pulau Es diamuk
badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee mendekap
mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis
sesenggukan.
"Aku khawatir sekali, Tonio,
bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan
juga para penghuninya. kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka
meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti
itu?"
"Kau benar... ah...
suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?"
Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok
istana dan berbisik-bisik. Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali akan
tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es
itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.
"Ohhh.... mereka semua
tewas? Semua tewas....? Siapa percaya.... suamiku begitu gagah perkasa, berilmu
tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan
meraba-raba tembok seolah-olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan
kepada dinding batu itu. Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir
di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan
yang dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu
itu dengan jari tangannya! "Sin
Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau
Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan
Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong." "Ohhh....!!"
Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang
matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar
jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap
menolongnya. Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng
kepalanya. Dia kagum sekali. Raja Pulau Es benar-benar hebat, dalam saat
terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu. "Jelas bahwa badai telah membasmi semua
isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati.
Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba
bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak
tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi.
"Duhai suamiku.... betapa
kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya.
Sian Kok memandang bekas
cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong
berusaha menahan dirinya dari
seretan air dengan mencengkeram batu dinding. namun, kekuatan badai
yang amat dahsyat itu akhirnya
menang dan tentu Raja itu diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap
dalam perut lautan. Liu Bwee
menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba
huruf-huruf di bawah. Agaknya
huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di dinding bawah ini
juga terdapat bekas cengkeraman
jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan matanya tidak
tertutup air mata, dia membaca
lagi,
"Bwee-moi, dosaku padamu
terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat tinggal.".Membaca ini,
Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit lalu tergelimpang dan roboh pingsan.
Untung Sian
Kok cepat menyambarnya sehingga
kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat mengangkat tubuh
wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa
tubuh yang pingsan itu ke dalam istana dan meletakannya ke dalam sebuah kamar.
Ketika memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan
batin yang hebat sehingga keadaannya gawat.
Dengan tergesa-gesa, Sian Kok
meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat mendayung perahunya
menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama
kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokan obat itu ke
dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran
sinkangnya sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee,
mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat. Pada keesokan harinya, Liu Bwee mengeluh dan
sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa akan keadaan dirinya
sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan
teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang
menganggap tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah tangiasnya mereda, Liu Bwee
teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu.
Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat
muka, menghentikan tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat
mukanya dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat
menduga sebabnya. "Berapa lamakah
aku pingsan di sini, Toako?"
"Hemm, semalam suntuk kau
pingsan, membuat hatiku gelisah,"
"Dan selama ini engkau
menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?" "Hemmm....,
tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap
kau suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan
berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah
dia?"
"Sin Liong adalah murid
suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus
sisa air matanya.
"Kalau begitu, legakan
hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua penghuni Pulau
Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini
datang pula ke pulau kosong ini."
Liu Bwee memandang dengan mata
terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?" "Aku melihat bekas
tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria, masih jelas
membekas di bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga menemukan
ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan hijau dan
memeberikannya kepada Liu Bwee.
Liu Bwee menyambar saputangan itu
dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap
saputangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah saputangan pengikat rambut
anaku! Di mana tapak-tapak kaki itu,
Toako? Ingin aku melihatnya!"
Mereka lalu meninggalkan istana
menuju ke bagian atas dan benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang,
kecil dan besar, tanda bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua
orang datang ke pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Siapa lagi
kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong? "Tidak
salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang? Aku
harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya
yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu
mereka telah melihat pula tulisan
berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk
mencari sampai dapat wanita
bernama The Kwat Lin itu."."Kalau begitu, aku akan menyusul mereka,
Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar."Ouw Sian Kok
mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio,
pernahkah Toanio ke daratan besar di barat sana?"
Liu Bwee menggeleng kepala tanpa
menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung dan khawatir, ke mana
harus mencari puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau
Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi. Melihat wajah
wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh semangat
dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah aku
mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari puterimu Han Swat
Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."
Berseri wajah Liu Bwee dan dia
memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan terima kasih, akan tetapi
mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...." "Jangan
berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah
seorang pria. Sedangkan engkau seorang
wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri apalagi hendak mencari
puterimu di daratan besar? Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi
kutemani." "Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas
budimu yang berlimpah-limpah itu, Toako.
Semoga kelak Thian saja yang
dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?" Dia
menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka,
namun penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab
dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan pembalasan yang
berlipat ganda bagiku."
Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan
Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun dia bekas
permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main
dengan perahu maka dia tidaklah amat menderita bahkan dapat membantu sehingga
perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu berjalan lancar.
"Ha-ha-ha, kalian ini kaki
tangan An Lu Shan si Pemberontak Laknat, apakah tidak mendengar siapa adanya
Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tong-pai? kami adalah
patriot-patriot sejati, dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? sampai titik
darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!"
Ucapan ini keluar dari mulut
seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh tinggi besar dan bersikap
gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang
kesemuanya bersikap gagah perkasa. Sedikit pun delapan belas orang itu tidak
memperlihatkan rasa takut biarpun mereka itu dikurung oleh sedikitnya lima
puluh orang prajurit yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap, bahkan
mereka mengejek dan menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar
mereka menyerah dan membantu pergerakan An Lu Shan.
Mereka terdiri dari delapan belas
orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian sederhana
dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap
menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu.
Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan
Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid dari Kui Tek
Tojin, Ketua Bu-tong-pai. Mereka
termasuk para anggauta Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-tong-pai
ketika The Kwat Lin merebut
kekuasaan. Biarpun mereka merupakan orang-orang gagah yang
berkepandaian tinggi, namun pada
waktu itu The Kwat Lin merebut kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun
tidak dapat berbuat sesuatu. The
Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi wanita
itu memiliki tingkat ilmu
kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri, di samping kenyataan
bahwa wanita itu telah merampas tongkat
pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di
Bu-tong-pai tidak dapat berkutik
lagi..Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di istana,
para tokoh Bu-tong-pai
dipimpin oleh Kui Tek Tojin
kembali ke Bu-tong-san dan kedatangan pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai
mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun,
sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan
"kebersihannya" dengan jalan membantu pemerintah menentang para
pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian
mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek
Tojin itu mulai turun tangan menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali
terdapat kesempatan. An Lu Shan menjadi
marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas,
tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan, kini mulai membantu
pemerintah, maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas
Pendekar Bu-tong itu. Demikianlah, pada
hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di
utara, mereka dikepung oleh pasukan itu dan disuruh menyerah, akan tetapi tentu
saja delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan
siap untuk melawan mati-matian. Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan
Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati
komandan pasukan yang segera mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh
orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe Eng-hiong.
Terjadilah perang kecil yang amat
hebat dan segera delapan belas orang pedekar itu terkejut sekali memperoleh
kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa,
melainkan pasukan pilihan yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian
tinggi dan para prajuritnya rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka
melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan
pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas
orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena gerakan mereka memang cepat dan
tangkas serta kuat sekali, sehingga biarpun dikeroyok oleh lawan yang jauh
lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang
lawan, mereka mempertahankan diri dengan baik, bahkan lewat tiga puluh jurus,
mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe
Eng-hiong yang mengamuk itu.
Dengan gagah perkasa ke delapan
belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga
tempat itu mulai ternoda darah merah dan tubuh para perajurit yang terluka
malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Diantara lima puluh
lebih orang perajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan
komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat.
Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe
Eng-hiong, mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua
musuh dan tidak membiarkan seorang pun meloloskan diri.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar
sorak sorai dan muncullah kurang lebih seratus orang anak buah pasukan An Lu
Shan yang baru tiba dan serta mereta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu
dan membantu kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi
jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe Eng-hiong yang tidak
menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan
menambah kegembiraan mereka mengamuk sungguhpun sekali ini mereka segera
terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.
Pertempuran yang berat sebelah
itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh dari perkampungan, jauh
dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di
tempat itu muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis
berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka
itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian
Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di
daratan besar dan telah melakukan perjalanan berhari-hari sehingga pada hari
itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil
tidak pernah menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat
tidak menyenangkan, juga amat mengherankan hati mereka.
"Betapa buasnya
mereka....!" Liu Bwee berkata lirih.
"Hemm, memang sudah banyak
kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas
daripada binatang-binatang hutan.
Manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita
melihat perang yang begini ganas
kejam...."."...dan licik sekali!" Liu Bwee menyambung.
"Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit,
benar-benar tidak mengenal arti
kegagahan sama sekali."
"Jika tidak keliru dugaanku,
yang berjumlah banyak itu tentulah anggauta pasukan, lihat pakaian mereka yang
seragam, sedangkan delapan belas orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan
mereka, biarpun dikeroyok banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit
pun tidak kelihatan gentar." "Pikiranmu cocok dengan pikiranku,
Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu
mereka."
"Cocok, Toanio. Yang lemah
harus kita bantu. Mari....!"
Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu
meloncat ke depan dan terdengarlah suara melengking tinggi
keluar dari mulut kedua orang
ini. Begitu mereka menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee merobohkan
empat orang dengan kaki tangannya
sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang dilempar-lemparkan
seperti orang membuang
rumput-rumput kering saja! Pasukan menjadi geger dan delapan belas orang
pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas pandang
saja maklumlah mereka bahwa laki-laki dan wanita asing yang tiba-tiba membantu
mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa lihainya!
Seorang komandan pasukan
menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang tombak bergagang panjang dan
dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur
dan berdesing, menusuk perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata
tombak yang mengeluarkan cahaya, cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki
dan tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat
menangkap tombak itu dengan kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan
membalikan tombak sehingga gagang tombak terlepas dari pegangan pemiliknya dan
gagang tombak itu terus menghantam tengkuknya membuat komandan itu terjungkal! Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali
orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik dan
dengan pedang ini dia mengamuk, setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya
tentu patah atau terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta
kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang berani menyerangnya. Amukan kedua
orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan
saja tidak kurang dari tiga puluh orang anggauta pasukan telah roboh.
Hal ini tentu saja menimbulkan
kegemparan, membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat
jerih sisa anggauta pasukan. Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan
melarikan diri meninggalkan teman-teman yang terluka!
Delapan belas orang pendekar itu
berdiri berjajar, beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka ringan
dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita
ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang itu. Song Kiat mewakili
saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee, diturut oleh tujuh
belas orang saudara seperguruannya dan dia berkata, "Kami delapan belas
orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima kasih kepada
Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan
anjing-anjing pemberontak itu. Bolehkan
kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?"
Liu Bwee hanya memandang dan
menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus jenggotnya dan
tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan kami berdua tadi tidak ada
artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi gatal tangan dan maafkan
kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu
kami memperkenalkan nama hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan
mengapa Cuwi bentrok dengan mereka ?"
JILID 17
Delapan belas orang itu saling
pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan pata
terbelalak heran. Bagaimana
mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata Ouw Sian Kok yang
menunjukkan bahwa dua orang
perkasa ini sama sekali tidak mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa
pasukan itu adalah pasukan
pemberontak An Lu Shan? Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan
para sutenya menduga bahwa tentu
kedua orang ini adalah pertapa-pertapa sakti yang baru saja turun.gunung
sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan dunia. Timbul keinginan mereka
untuk
mengajak dua orang sakti ini
membantu perjuangan mereka, selain mengangkat kembali nama Bu-tong-pai yang
telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti kepada negara menentang
pemberontakan. "Agaknya Ji-wi tidak
tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah
murid-murid Bu-tong-pai yang membantu pemerintah untuk menghadapi para
pembeontak. Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal
An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang kabarnya kini
berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah dikeroyok
oleh pasukaan itu. Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara dan bangsa,
kami mohon sudilah kiranya Ji-wi membantu usaha penyelidikan kami itu."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya
dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin terlibat ke dalam
permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An
Lu Shan dan pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah
karena kami tidak senang melihat jumlah kecil dikeroyok oleh jumlah banyak.
Selain itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada
Cuwi."
Kecewa rasa hati Song Kiat
mendengar bahawa dua orang sakti itu tidak mau mencamuri urusan pemerintah,
akan tetapi karena mereka berdua sudah menyelamatkan mereka semua dari bahaya
maut, dia menyembunyikan kekecewaannya itu dan menjawab dengan ramah,
"Silahkan Taihiap kalau hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha
memberi keterangan sejelasnya dan sedapatnya." "Kami hanya ingin
menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda dan seorang pemudi
yang bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami akan
merasa berterima kasih sekali andaikata di antara Cuwi ada yang pernah melihat
mereka itu." Delapan belas orang pendekar itu saling pandang dan
masing-masing mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di antara mereka pernah
mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf,
Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah mendengar nama itu, akan
tetapi nama-nama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan mencarinya.
Hanya kalau sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor kepada Ji-wi?"
Liu Bwee menarik napas panjang.
"Sudahlah, kalau tidak mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah orang-orang
Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang tokoh Bu-tong-pai yang bernama The
Kwat Lin?"
Seketika wajah delapan belas
orang itu berubah mendengar ini. Mereka terkejut bukan main karena tidak menyangka-nyangka
bahwa wanita perkasa itu akan menyebut nama iblis betina yang menjadi musuh
besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini
memiliki kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini
mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The Kwat Lin! Akan tetapi,
Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda dengan The
Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan mereka dengan membantu
yang lemah tertindas, biarpun belum mengenal. Maka dengan berani, berbeda
dengan sute-sutenya yang berpendapat untuk tidak mengaku kenal The Kwat Lin,
Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya,
"Sebelum saya menjawab, bolehkah saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita
bernama The Kwat Lin itu?"
Liu Bwee membelalakan matanya dan
sinar matanya berapi-api. "Sahabat? Apa kau gila? Kalau bertemu, aku akan
membunuh iblis betina itu!"
Mendengar ini, serta merta Song
Kiat menjatuhkan diri berlutut diturut oleh tujuh belas orang sutenya sehingga
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan terheran-heran. "Apa... apa artinya ini?" Liu Bwee
membentak.
"Maafkan, kami berlutut
saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan Lihiap tadi. Kami
sudah merasa khawatir sekali
kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya
iblis betina itu adalah musuh
Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya, karena.iblis
betina itu adalah musuh besar Bu-tong-pai." "Ahhh...! Bukankah dia
dahulu anak murid Bu-tong-pai?Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa dia musuh
besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar riwayat The Kwat
Lin bertanya sambil memandang penuh selidik.
"Benar, ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci
(Kakak Perempuan Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di
antaraCap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar), murid-murid dari Supek kami
almarhum Kui Bhok Sanjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia
menghilang, beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama seorang
puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya yang luar biasa menundukan Suhu
kami, Ketua Bu-tong-pai yang sah, bahkan telah merampas tongkat pusaka lambang
kekuasaan Ketua Bu-tong-pai. Iblis betina itu merampas Bu-tong-pai dan
mengangkat diri sendiri menjadi Ketua Bu-tong-pai....."
"Ahhh....! Benar-benar iblis
dia!" Liu Bwee memaki.
"Dia becita-cita untuk
merampas kerajaan, lalu mengirim murinya menyelundup ke istana akan tetapi ketahuan
dan muridnya itu dihukum mati. Karena kegagalan ini, the Kwat Lin menjadi
buruan pemerintah dan dia kini telah melarikan diri dari Bu-tong-pai yang kini
telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan The Kwat Lin itulah,
hampir saja Bu-tong-pai dibasmi oleh pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan
kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu pemerintah menghadapi
pemberontak An Lu Shan."
Ouw Sian Kok mengangguk-angguk.
"Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan kalian bentrok dengan pasukan An
Lu Shan hari ini." "Di manakah adanya The Kwat Lin sekarang?"
Liu Bwee bertanya. Ingin dia bertemu
dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan merampas kembali pusaka
Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan huruf ukiran di dinding istana
Pulau Es itu. Apalagi dengan bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin akan dapat
membalas dendam kepada madunya yang jahat itu.
"Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai dan kalau saja kami
sudah selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami
menemani Jiwi menyerbu ke sana." "Rawa Bangkai? Di mankah itu? Tempat
apakah itu" Liu Bwee mendesak penuh semangat karena dia merasa girang bisa
memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu. "Rawa Bangkai adalah sebuah temapat yang
amat berbahaya dan tidak ada orang berani mengunjunginya karena banyak sudah
binatang dan manusia tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya dahulu banyak terdapat bangkai
binatang dan mayat manusia di rawa itu sehingga diberi nama Rawa Bangkai.
Majikan tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang
berjuluk Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang amat lihai dan merupakan iblis
betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan
agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat
itu. Akan tetapi, amatlah berbahaya bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk mendatangi
tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami menyelesaikan tugas
kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi, karena
The Kwat Lin juga merupakan musuh besar kami."
Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling
pandang dan ternyata di antara kedua orang ini sudah terdapat saling pengeritan
yan mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka saja sudah cukup menjadi pengganti
kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan terdengan Ouw Sian Kok berkata,
"Baiklah kami berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara, karena
biarpun kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan An Lu Shan, setelah
tadi kami membantu Cuwi, berarti kami juga dimusuhi tentu saja oleh mereka.
Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka membantu menjadi
petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai."
Berseri wajah delapan belas orang
itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja hati mereka girang
bukan main. Tempat yang dijadikan
markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit
dikunjungi, merupakan tempat yang
berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah Telaga
Utara itu..Kini, dengan bantuan
kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan mereka berdua
akan
mempermudah penyelesaian tugas
mereka.
Berangkatlah delapan belas orang
itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menuju ke Telaga Utara yang terletak
di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat rahasia dari An
Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang-orang gagah untuk membantunya. Di
sepanjang jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok mendengar banyak penuturan delapan
belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orang-orang kang-ouw dan tentang
pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata. Melihat semangat kepahlawanan delapan belas
orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han
Ti Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia
pun mulai bersemangat untuk membantu mereka menghadapi An Lu Shan. Telaga Utara merupakan telaga yang kecil
saja, bergaris tengah paling banyak dua li dan tengahnya terdapat sebuah pulau
yang dihubungkan dengan pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas pulau
inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan
para pembantunya, jika dia hendak mengadakan perundingan dengan para tokoh
kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi tugas kerja.
Biarpun telaga itu tidak berapa
besar, namun letaknya di antara puncak-puncak gunung sehingga amat sukar
dikunjungi orang, apalagi puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak
yang dikelilingi jurang-jurang amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak
mengenal jalan, merupakan suatu ketidak mungkinan untuk datang ke telaga itu.
Berbeda dengan
pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu Shan berpakaian
seperti rakyat biasa dan tidaklah dikawal oleh pasukan pengawal melainkan oleh
belasan orang pengawal yang berpakaian preman pula sehingga kelihatannya
seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, setiap pengawal-pengawal pilihan yang
berilmu tinggi, danpara orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telah Utara
itu adalah rata-rata orang lihai, baik dari golongan sesat maupun dari golongan
bersih yang membantu An Lu Shan dengan pamrih masing-masing. Sebagian besar
yang datang dari golongan besih adalah orang-orang kang-ouw yang menaruh dendam
kepada kerajaan, dan ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan
adalah benar karena menentang raja lalim yang hanya tahu bersenang-senang dengan
selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan kesengsaraan rakyat sehingga mereka menganggap
pemberontakan itu sebagian perjuangan para patriot yang membela bangsa,
kebenaran dan keadilan. Tentu saja yang datang dari golongan sesat lain lagi
pamrih atau dasar tindakan mereka yang membantu An Lu Shan. Ada yang ingin
memperoleh keuntungan harta benda, ada yang menginginkan kedudukan dan
kemuliaan.
An Lu Shan biarpun kelihatannya
kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang ahli dalam ilmu perang,
juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia pun tahu akan dasar dan
pamrih yang terkandung dihati para orang pandai yang membantunya, namun dia
pura-pura tidak tahu karena pada waktu itu dia amat membutuhkan tenaga mereka.
Tentu saja dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka itu
dan siapa pun yang merasa dapat mengelabuhi An Lu Shan akan kecelik sekali! Biarpun dia merasa aman kalau berada di
Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini bukan merupakan hal
yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diam-diam, secara sembunyi, dia menaruh
mata-mata dan penjaga yang melakukan penjagaan di sekitar pegunungan itu secara
sembunyi untuk mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara,
juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya menjadi pembantu
An Lu Shan. Apalagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di telaga itu,
penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali. Demikianlah, ketika delapan belas orang
pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada pagi hari itu tiba
dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia
itu dari jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk
memberi laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua puluh orang yang
gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke telaga, memberi
perintah kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh orang itu.
"Hendak kulihat bagaimana
mereka akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita,"
katanya. "Dan biarpun mereka
kalau bisa memasuki telaga, setelah mereka masuk, potong jalannya agar
mereka tidak dapat keluar
pula." Demikian perintahnya. Dia sama sekali tidak merasa gentar karena
barisan.terpendam yang melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus orang,
sedangkan lima belas orang
pengawal pilihan selalu
mendapinginya, belum lagi dua puluh lebih orang kang-ouw yang menjadi sekutunya
dan yang tentu akan siap membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua
puluh orang itu? Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena
dia harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi
Telaga Utara. "Bagaimana mungkin
menuju ke dataran di depan itu kalau dikelilingi jurang selebar dan securam
ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh keraguan ketika mereka semua berdiri
didepan jurang yang ternganga lebar di depan mereka. Jurang itu lebarnya kurang
lebih dua puluh lima meter dan curam sehingga melompati jurang ini mendatangkan
ancaman bahaya maut yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana mungkin orang melompatinya
begitu saja?
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya.
"Apakah semua keliling gunung ini di halangi jurang seperti ini?"
Song Kiat orang tertua dari
Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, mengangguk. "Kami sudah menyelidiki tempat ini
dengan seksama dan memang telaga di gunung itu dikelilingi olrh jurang-jurang.
Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus menyeberang melalui
tempat ini." "Hemm, bagaimana caranya kalian hendak
menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang memiliki
kepandaian jauh melampaui mereka, merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa
meloncati jurang selebar ini.
"Rintangan ini telah kami
pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami berangkat ke sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah
memperoleh akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang kemudia merayap
naik, amat sukar dan lebih berbahaya, maka jalan satu-satunya adalah membuat
jembatan manusia dari sini ke seberang jurang."
"Jembatan manusia? Apa
maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee. "Harap Lihiap jangan khawatir karena
kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan sudah terbentuk,
harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu dan melindungi kami di
seberang sana." "Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga di
seberang!" kata Ouw Sian Kok. Dengan
hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar
itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas
membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan
mengarahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua kakinya seolah-olah
berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apalagi orang
berkaki kuat ini sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak
akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari tanah! Dia berdiri memasang
kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah,
batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan
berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke
empat sehingga mereka berdiri tersusun, masing-masing berdiri di pundak
saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah-olah merupakan
sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke lima merayap naik melalui
tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas pundak orang yang berada
paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di atas pundak orang ke
lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas orang berdiri susun
menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang
berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban enam belas
orang banyaknya itu tidak terasa amat berat baginya!
Kemudian atas aba-aba Song Kiat
yang berada paling atas, kaki maing-masing yang tadinya menginjak pundak orang
dibawahnya itu merosot ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh
kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke
depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang.
Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu orang paling
bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang terbawah yang sudah
mengait pada tonjolan batu tadi.
Melihat ini, Liu Bwee dan Ouw
Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana
cara mereka itu membentuk sebuah
jembatan manusia, akan tetapi cara itu sungguh amat berbahaya,
selain.membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih,
juga membutuhkan nyali yang
amat besar karena sekali saja
meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa mengakibatkan tewasnya delapan
belas orang itu terjerumus kedalam jurang!
Kini susunan orang itu telah
melintang dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan menyambar akar
pohon yang amat kuat, yang berdiri di seberang. Maka jadilah
"jembatan" istimewa itu! Sunguh
merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang,
penuh keheranan dan kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang
memegangi kaki orang terbawah tadi, "Taihiap dan Lihiap, silahkan menyeberang
lebih dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Kata-kata ini
menyadarkan kedua orang itu dan ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera
Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan tombak rampasan di tangannya, Ouw
Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah dan "Menyeberang"
melalui jembatan manusia yang sambung menyambung dan menelungkup itu sambil
mengerahkan ginkangnya. Dia melangkah dengan cekatan dan ringan sekali sehingga
tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu melambaikan
tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum. Setelah melihat betapa
Ouw Sian Kok menyeberang Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan
pedang rampasan di tangan kanan, dengan hati-hati sambil mengerahkan
ginkangnya, Liu Bwee mulai menyeberangi "jembatan" istimewa itu dan melangkah
sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Betapapun lihainya, Liu Bwee tidak
berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga!
Akhirnya dia berhasil mencapai
tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok sambil berkata,
"Mereka benar-benar merupakan pendekar- pendekar yang mengagumkan." Ouw
Sian Kok mengangguk dan merasa girang bahwa dan Liu Bwee telah mengambil
keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini. Setelah dua orang itu
menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang,
lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya,
kemudian orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat
ke bawah jurang!
Liu Bwee hampir menjerit karena
ngerinya menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung
sana dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak
orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang berada
di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas
banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting hancur
pada dinding karang di seberang sini.
Namun, dengan cekatan dan
terlatih, maasing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di atas dengan
sebuah lengan saja sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk mendorong ke
depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka terhayun dekat dinding.
Akhirnya, selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang
dan kini yang paling berat baginya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang
pertama paling atas yang mengunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada
akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang bergantung pada
kakinya! Pantas saja twa-suheng ini menjadi orang pertama karena memang
tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari delapan
orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi Besar tadi. Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama
Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai
merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga
tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi
dengan selamat! "Bagus! Cuwi memang
pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji. "Taihiap terlalu memuji. kami telah
melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami
latih selama berbulan-bulan baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi
tempat ini.
Sekarang selanjutnya kami hanya
mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali
kaki tangan yang amat lihai.
Menurut penyelidikan kami, pada saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita
boleh menyelidiki dengan aman
karena kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini, penjagaan
tidaklah demikian kuat.".Ouw
Sian Kok menoleh ke kanan kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap
saja Cuwi (Saudara
Sekalian) tidak sampai membuat
salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat
tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan tempat ini kelihatan begitu sunyi
senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan
kecurigaan...."
"Apapun yang akan terjadi,
setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita
khawatir." Liu Bwee menghibur.
Mereka lalu begerak maju memasuki
daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah tampak
bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak nampak seorang
pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga.
"Hemm, hanya ada dua
kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!"
Baru saja Ouw Sian Kok
mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan
banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga maupun dari
belakang pohon dan semak-semak. "Celaka,
kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali
saja!" Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan
lari kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian
Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi
pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para
sutenya. Ternyata di tempat
penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan
busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi
bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti
tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.
Melihat betapa delapan belas
orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa,
"Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?" "Taihiap
tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam
perangkap. Penyelidikan kita yang
sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara
diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal
ini amatlah berbahaya."
"Berbahaya atau tidak, kita
sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita
tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya maupun
tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?"
Mendengar ucapan Ouw Sian Kok
ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai
itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami bingung karena
hal ini sama sekali tidak kami duga-duga dan apalagi kami telah mengajak Jiwi
ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula."
"Hidup memang merupakan
keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita menghadapinya." Liu Bwee berkata.
Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak kesengsaraan, apalagi sejak
kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang
wajar.
"Kalau begitu, mari kita ke
telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia, tugas kami berubah,
tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal
pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut
pedangnya. Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sutenya dan dengan
berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan
semua pembantunya. Akan tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat itu,
mereka melihat An Lu Shan sendiri diiringkan oleh puluhan orang yang
bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali
tidak memperlihatkan sikap permusuhan, akan tetapi mereka juga melihat betapa tempat
itu telah dikurung oleh banyak sekali orang-orang yang bersenjata lengkap!
Delapan belas orang itu tidak
tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka sudah siap untuk
melawan dengan nekat dan
mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya..Ternyata
memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar pelaporan dari
anak
buahnya yang berhasil
menyelamatkan diri betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya
sudah hampir dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita
yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat
dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka.
"Mereka tentu akan
mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan
jangan menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin untuk
bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja
sama, terutama dua orang sakti itu." Demikianlah, karena memandang rendah
kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu masuk ke dalam
perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia menghendaki,
tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan
mudah dia akan membasmi mereka. "Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe
Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu Shan berkata dengan suaranya
yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula.
"Ada keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?" Karena tidak
mungkin lagi berpura-pura atau membohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai pendekar,
Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh
Jenderal pemberontak An Lu Shan!"
Tentu saja jawaban ini membuat
marah para pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan gatal tangan untuk
membasmi musuh, akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas mencegah dan
dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan
tetapi diam-diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik kepada
laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang
pedang di dekat delapan belas pendekar itu.
"Sungguh kami merasa heran
sekali mengapa para orang gagah di Bu-tong-pai masih juga belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain
menyia-nyiakan sebuah perkumpulan besar seperti Bu-tong-pai, juga telah menghinanya
menganggap Bu-tong-pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang, Cuwi malah
membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah
demikian rendah dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih
tinggi?"
"Kami bukan membela Kaisar
atau pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari gangguan pemberontak!"
Song Kiat berteriak lantang.
An Lu Shan tertawa.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak seorang pendekar yang
berjiwa pahlawan. Kalau begitu antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami
bukanlah pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat kecil
yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang-senang
belaka.Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk
membangun sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat
jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai manusia,
terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah."
Ucapan yang keluar dari mulut An
Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan dan memang jenderal ini merupakan
seorang ahli bicara yang amat pandai sehingga sejenak delapan belas orang itu
saling pandang dengan bingung. Tiba-tiba Liu Bwee yang biarpun hanya seorang
wanita namun pernah menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah
dengan Kaisar daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah
sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada delapan
belas orang gagah itu, " Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka
berbalik pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan
merupakan sifat yang paling rendah dan berbahaya."
Mendengar ucapan ini, sadarlah
pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal
An Lu Shan! Tidak ada gunanya
engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami tidak membutuhkan
pangkat, tidak membutuhkan harta,
tidak membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! kami harus
mempertahankan pendirian kami,
harus membela dan mematuhi perintah Ketua dan guru kami dengan
darah dan nyawa!".Kedua
pihak sudah "panas", akan tetapi An Lu Shan masih bersabar,
mengangkat tangannya, menahan
anak buahnya, lalu berkata,
"Terserah pemilihan Cuwi dari BU-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang datang
bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong merupakan manusia-manusia sakti yang cerdik
pandai, ingin kami mengenal mereka dan mengapa pula Jiwi mencampuri urusan
Bu-tong-pai yang memusuhi kami." "Kami berdua hanyalah orang-orang
yang kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, kami
berdua sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini adalah
tanggung jawab kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw
Siang Kok. "Harap Jiwi suka
mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima penghargaan dari
kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari dunia kang-ouw yang
banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu kami menghadapi orang-orang
Bu-tong-pai, asal Jiwi suka lepas tangan, kami sudah amat berterima kasih
dengan Jiwi." An Lu Shan yang bermata tajam dan dapat menduga bahwa dua
orang itu amat lihai, berusaha membujuk Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. "Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba
Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung seperti seorang ratu
bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum bagi seorang yang
gagah perkasa dan budiman, janji adalah lebih berharga dari pada nyawa, dan
bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda yang terlalu disayangkan,
sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa dan
kami yang sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, tentu tidak mungkin dapat
mundur lagi. Nah, kami semua telah siap, apapun yang akan kaulakukan, kami akan
hadapi dengan pertaruhan nyawa." An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak
mampu menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya
tidak akan menyesal melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh?
Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah para pengawalnya menerjang
maju!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang
sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi hati masing-masing, maka hampir
berbareng mereka berdua menggerakan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka
maklum bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus berlaku
cerdik dan sedapat mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan pimpinan lawan.
Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap, tentu yang lain akan
tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan melumpuhkan
semangat lawan.
Melihat gerakan mereka berdua. An
Lu Shan terkejut. Memang dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya bahwa dua
orang ini lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya bahwa mereka akan dapat
bergerak secepat itu, seperti dua sinar halilintar saja menyambar ke arahnya.
Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua orang
penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di kanan
kiri dan belakangnya.
"Trang-cringggg-cringggg....!!"
Para tokoh kang-ouw itu terkejut
bukan main. Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan menangkis
pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat orang
itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat
dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar
itu berhasil dlam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan
besar-besaran, sudah mengunakan ginkangnya yang amat hebat, tubuhnya melucur ke
depan mengejar An Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke belakang para
pembantu dan para pengawalnya. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia
diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti
"terbang" di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan
seorang panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu
silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia
terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan bgitu pedangnya tercabut,
tampak sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke arah
tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak.
"Trakkkk!".Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah!
Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah
dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno
yang amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak
menjadi gugup, bahkan dia mampu menggerakan sisa gagang tombaknya menotok
pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga
serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan
pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok!
Kini para pengawal dan
orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An Lu Shan yang
cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak marah karena selain pedangnya
terampas, hampir saja dia celaka, "Serbu mereka! Basmi mereka semua,
jangan beri ampun seorangpun juga!" An Lu Shan adalah seorang yang cerdik
dan pandai memikat hati orang untuk membantunya, akan tetapi, di waktu marah,
dia berubah menjadi seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai
dengan latar belakang hidupnya yang liar dan ganas.
Terjadilah pertempuran yang amat
seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok,
mengamuk dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan
lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali
tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para anak buah Jenderal itu, sama
sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka tentu saja mereka tidak sampai hati
untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan,
dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi
tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka.
Berbeda dengan sepak terjang Liu
Bwee dan Ouw Sian Kok yang biarpun mengiriskan namun tidak pernah membunuh,
sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan.
Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah, pedang mereka berkelebatan
dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu roboh dalam keadaan yang mengerikan
sekali, terobek perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus, atau
tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh mereka berkelojotan dan
nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari
Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan.
Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali dan cepat dia memerintahkan
pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga
para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan
Ouw Sian Kok yang amat lhai, sebagian pula kini menghadapi delapan belas orang
pendekar Bu-tong-pai itu. Dan kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar
tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An
Lu Shan mengurung dan mengeroyok musuh.
Betapapun gagahnya delapan belas
orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya
jauh lebih banyak, apalagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan
orang-orang kang-ouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak
lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong yang gagah perkasa itu tewas seorang
demi seorang setelah melakukan prlawanan sampai titik darah terakhir dan
setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang
biasanya menjadi tempat pertmuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hati itu
berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh dengan mayat
manusia yang malang melintang. Mengerikan!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang
yang memiliki tingkat ilmu silat lebih tinggi daripada tokoh-tokoh kang-ouw
yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak
dikenal oleh para lawan. Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang
yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang
dikeroyok semut yang banyak dan dekat. Akhirnya, sebuah hantaman dengan toya
yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan
dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan dibelenggu, lalu diseret
pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga, orang-orang kang-ouw itu masih merasa
segan untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini.
Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw
Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah
cukup untuk merobohkan beberapa
orang pengeroyok yang kurang kuat sinkangnya, disusul dengan
berkelebatnya Tiong-gi-kiam di
tangannya membuat belasan batang senjata lawan beterbangan dan
robohlah lima enam orang lagi!
Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu.."An
Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau.... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian
Kok dari Pulau
Neraka tidak biasa mengeluarkan
ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan,
Ouw Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka. Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka
tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng
mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan pulau-pulau tempat
tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa! "Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas
Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang
dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para
pengeroyoknya. Kembali semua orang
terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki
gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan
itu dibebaskan? Selagi semua orang
ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal,
kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka!
Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat
kalian!"
Suara ini halus dan perlahan
saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka
semua. Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul
adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal sebagai kakek Nelayan
yang suka memancing ikan di telaga. Karena
kakek itu bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya
menyuruh anak buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan
memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali
tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu
benar-benar amat mengherankan hati orang.
Ouw Sian Kok yang mendengar
ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang. Ketika melihat seorang
kakek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar nelayan,
memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya tergantung sebuah kipas
bambu, dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua
akan tetapi dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia
berhadapan dengan seorang kakek yang lihai, maka otomatis dia mengira bahwa
tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan
pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini
mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok. "Sudah
tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya
dan pedangnya mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar
bergulung-gulung ketika dia meloncat dan memutar senjata itu menyerang. Dengan
tenang kakek itumenghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua
menghadapi seorang anak yang nakal.
Karena menduga bahwa kakek itu
tentu amat lihai, maka Ouw Sian Kok tidak bersikap tanggung-tanggung sekali
ini, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka serangan. Akan
tetapi tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah suara bersuitan
nyaring sekali. Ouw Sian Kok bersikap waspada dan ketika tangkai yang terbuat
dari bambu panjang itu menyambar ke depan menyambutnya, dia cepat menggerakan
pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu
itu. Namun, bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya,
berkejaran dengan sinar pedangnya tidak pernah tersentuh, dan tahu-tahu Ouw
Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar bambu
yang menjadi tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya
sampai tidak tampak karena tali itu kecil saja, dan tahu-tahu mata pancing itu
telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga seolah-olah Ouw Sian Kok
dijadikan "ikan" yang terkena pancing!
Ouw Sian Kok terkejut dan marah,
dia bergerak hendak membabat tali pancing di atas punggungnya, akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar cepat sekali. Dia diputar-putar
di atas kepala kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan
tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu
mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di udara.
Semua orang memandang dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga, kaget dan kagum melihat betapa
mudahnya kakek tua itu membuat
Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali!.Ouw Sian Kok merasa malu
dan marah. Dikerahkannya sinkangnya dan dia telah menggunakan ilmu
memberatkan tubuhnya. Seketika
tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak menurun dan bambu itu melengkung
seolah-olah tidak kuat menahan tubuhnya.
"Tidak buruk....!"
Kakek itu berseru kagum juga , akan tetapi karena dia masih memutar-mutar hasil
pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri
dan hanya melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan
kadang-kadang mencoba untuk menggerakan pedang membacok ke arah tubuh kakek
itu.
Tiba-tiba terdengar suara Liu
Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan....! Locianpwe, mohon Locianpwe sudi mengampuninya.....!!"
Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw
Sian Kok terkejut dan dia menghentikan usahanya untuk menyerang atau
membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan kalau saya
bersikap kurang ajar!" "Heh-heh-heh, ternyata Pulau Neraka belum
merusakmu , orang muda!" tali pancing itu mengendur dan tahu-tahu Ouw Sian
kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri tak bergerak,
hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga ketat. Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan
yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An-goan-swe harap
suka memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita
itu."
Sudah kita ketahui bahwa An Lu
Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum
bahwa orang tua itu amat sakti dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih
baik bersahabat daripada memusuhinya. Kalau ingin berhasil dalam mengejar
cita-cita, berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman
hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada orang-orangnya
untuk membebaskan Liu Bwee. Tentu saja isyarat ini tidak ada yang berani membantahnya
sungguhpun para anak buah dan pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu Shan
ini. Di situ terdapat tiga orang lawan
tangguh, yang seorang sudah tertawan mengapa dibebaskan lagi?
Bukankah ini merupakan perbuatan
bodoh dan berbahaya?
Liu Bwee yang sudah terbebas dari
totokan dan belenggu, segera menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri
berlutut. "Locianpwe...." katanya dan melanjutkan katanyadengan
tangis yang menyedihkan. Kakek itu
mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa
dirimu dan Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada
gunanya." Liu Bwee sadar mendengar ucapan ini dan cepat menghapus air
matanya, lalu berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw-twako, Beliau ini adalah
kakek dari suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri
sebagai seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan
Beliau...." Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua
ini kakek dari Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es
atau setidaknya tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia
tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini, hatinya makin tunduk dan dia pun
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee.
"Teecu Ouw Sian Kok mohon
maaf sebesarnya kepada Locianpwe," katanya. Kakek itu terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian
ini dua orang muda memang tidak pernah bertobat! Sudah puluhan tahun hidup
menghadapi bermacam penderitaan, masih saja tidak mau merobah dan mencari keributan
pula di sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup
dan marilah kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan
memaksa, akan tetapi kelak kalian hanya akan menemui kekecewaan dan
kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikit bersamaku, segala hal
mungkin saja terjadi.
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling
pandang dan biarpun mulut mereka tidak saling bicara,
namun hati mereka sudah saling
menerima geteran dan mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal.mereka
tidak berpisah, mereka akan meresa cukup kuat, berani tabah dan bahagia! Maka
keduanya lalu
mengangguk-angguk tanpa bicara
lagi.
Kakek itu merasa girang, lalu
menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah berbulan-bulan aku menyaksikan
gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi penggempur kelemahan kerajaan. Bukan
urusanku untuk mencampuri. Nah, perkenankan kami bertiga pergi dari sini."
An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada,
"Locianpwe, saya mohon petunjuk Locianpwe mengenai perjuangan kami!"
Jenderal ini maklum bahwa
membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh
petunjuk dan nasihat dari kakek sakti itu.Mendengar ini, kakek itu lalu
memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara bersuitan dan makin lama makin
nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu!
Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti
suling yang timbul dari tali yang diputar cepat itu.
"Yang lama akan terguling
yang baru menggantikannya,
yang baru akan menjadi lama
dan ada yang lebih baru pula!
Yang tua akan mati
diganti yang muda,
yang muda akan menjadi tua
mati dan diganti pula!
Apakah yang kekal di dunia ini?
Yang menyebabkan kematian dan
kesengsaraan
akan dilanda kematian dan
kesengsaraan
ayah dan anak menyukai kekerasan
akan menjadi korban kekerasan
pula!
Suara melengking dan nyanyian
terhenti, semua orang tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti
nyanyian itu dan ketika mereka memandang tiga orang itu telah pergi dari situ.
Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan
berkata, "Jangan ganggu mereka!" Para pengawal yang mengikuti dari
jauh kemudian melapor kepada An Lu Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw
Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar kemudian lenyap di balik
gunung! An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba
memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu.
Dia merasa girang ketika orang-orangnya yang terkenal ahli sastra menguraikan
nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang lama akan terguling yang
baru akan menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya
menggulngkan pemerintahan lama pasti akan berhasil. Apalagi bait-bait terakhir
yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban
kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa
ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan dibunuhnya kalau
dia berhasil merebut tahta kerajaan.
Memang demikianlah semua manusia.
Selalu menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan dan
keinginan hatinya sendiri
seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukan dirinya
belaka! Kenyataannya kelak akan
terbukti bahwa biarpun An Lu Shan behasil merampas tahta kerajaan,.namun dia
tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang pemberontakan
itu,
karena tidak lama kemudian dia
dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki tangannya sendiri! Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup
bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua
pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya
sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang
tidak ada atau yang belum dimilikinya. Manusia tidak mau melihat apa adanya,
tidak mau memperdulikan "yang begini" melainkan selalu mengarahkan
pandang matanya kepada "yang begitu" yaitu sesuatu yang belum ada,
yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya. Manusia lupa bahwa
"yang begitu" tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh
dan berada di tangannya akan menjadi "yang begini" pula dan mata akan
tidak mempedulikan lagi karena sudah memandang pula kepada "yang
begitu", ialah hal lain yang belum dimilikinya. Betapa akan berada jauh
keadaan hidup apabila kita menunjukan pandang mata kita kepada "yang begini",
kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena
dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan sedalam-dalamnya,
otomatis kebiasaan itu pun terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan
sekarang, saat ini, apa adanya setiap detik, benda apapun juga, di manapun
juga, mengandung keindahan murni yang tidak dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan
buruk, senang dan susah, utung dan rugi, aku dan engkau, dan kalau sudah
begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran,
kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi
kembang bibir belaka. Kita tinggalkan
dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang
bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan
tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di tempat-tempat sunyi
sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai.
Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan
dua orang itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat
Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal
Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai
oleh The Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Lion bersama Swat
Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi menuju
ke Pegunungan Bu-tong-san.
Biarpun kedua orang muda yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat dan
hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu lelah saja, namun karena
jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di
lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi mereka telah memperoleh
petunjuk dari seorang petani di mana letak Bu-tong-pai, yaitu di atas sebuah di
antara puncak-puncak Pegunungan Bu-tong-san.
"Hati-hatilah, sumoi, kita
sudah tiba di daerah Bu-tong-pai." Sin Liong berkata ketika mereka
berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas lelah sambil menghapus keringat
dari dahi dan leher. "Hemm, kita
hanya berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua orang Bu-tong-pai,
kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam
mereka pula!"
JILID 18
Hati Sin Liong merasa khawatir
sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu dengan sumoinya ini.
Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat
bertemu dengan sumoinya dalam keadaan selamat dan sehat. Akan tetapi di samping
rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat Swat
Hong. Andaikata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan
membujuk agar The Kwat Lin mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak
akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu
bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan.
Tentu Swat Hong akan memusuhi The
Kwat Lin yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah bundanya. Hal ini
menaruh dia di tempat yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi
The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapapun
juga.
Tidak membantu, tentu Swat Hong
terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci kepadanya!.Mereka sudah
mendekati puncak dimana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi.
"Sumoi,
kauserahkan saja kepadaku untuk
bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan
kita kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru
mereka." Swat Hong mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng.
Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku
membunuh iblis betina itu!" Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas
panjang. "Mari kita mendekati pintu gerbang itu. Heran sekali, mengapa
sunyi amat? Bukankah kabarnyaBu-tong-pai merupakan perkumpulan yang besar dan
mempunyai banyak anak murid?"
Akan tetapi ketika mereka tiba di
depan pintu gerbang yang tertutup tiba-tiba saja pintu gerbang yang lebar itu
terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar tampaklah lima belas orang laki-laki
tua, di antaranya beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang
namun penuh wibawa dan memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat
Hong!
Setelah para tokoh Bu-tong-pai
itu keluar dan berhadapan dengan mereka, Sin liong cepat menjura dengan hormat
sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan para Locianpwe dari
Bu-tong-pai?" Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin
Liong dan tosu tua yang berada paling depan, lalu bertepuk tangan dan
berteriak, "Kalian keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum diperintah!"
Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki-laki
gagah perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon dan rumpun, di luar
pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan mereka siap dengan
tangan di gagang pedang masing-masing. Melihat
ini, timbul kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung?
Apakah kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua
Bu-tong-pai. Lekas panggil dia keluar!" Melihat sikap galak ini, kakek
tosu yang agaknya memimpin mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona
hendak bertemu dengan Ketua Bu-tong-pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak tahu
siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?"
Swat Hong terbelalak, memandang
kaget dan heran. "Eh....? Benarkah ini? kami.... kami tidak datang mencari
Totiang...."
Para tosu dan semua orang itu
saling pandang kemudian seorang diantara mereka, seorang tosu pula yang tinggi
besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama, bertanya, "kalau begitu,
siapakah yang Nona cari?" "Kami mencari The Kwat Lin...."
Baru selesai Swat Hong berkata
demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan menubruk maju, tangan
kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanan
menotok ke arah lehernya. Swat Hong terkejut dan marah. Serangan kakek itu
benar-benar amat ganas, kejam dan berbahaya sekali. Apalagi ketika terasa
olehnya betapa dari kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar hawa
pukulan yang menandakan bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiiittt....!!" dia melengking
panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut. "Dukkkk.... plakkkk....!!" Tangan
yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan kuat, sedangkan
tangan yang menotok lehernya itu dielakkan dengan menundukan kepala sedikit, kemudian
mendahului dengan jari tangannya, dia berhasil menyambut serangan itu dengan
totokan kepada pergelangan tangan. Pada detik berikutnya, selagi tosu muka
hitam itu menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya tergetar
dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak
menendang.
"Desss....!!" tubuh
tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup
keras!
Semua orang terkejut, juga tosu
tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sutenya, tingkat
kepandaiannya sudah tinggi,
bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam segebrakan saja? Tak
salah lagi, tentu kedua orang ini
adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas.kedudukan ketua
Bu-tong-pai, demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu
berpikir. Hanya
orang-orang sebangsa iblis betina
The Kwat Lin saja yang memiliki ilmu kepandaian seperti setan itu. Para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainya
melihat tosu muka hitam roboh, lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan
belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Bu-tong Cap-pwe
Eng-hiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai hubungan
dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju menyerbu dengan pedang di tangan.
"Hemm, kalian benar-benar
mengajak berkelahi? bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang
tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju mengeroyokku kalau kalian membela
The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan cahaya
seperti hendak menyebarkan maut. Tiba-tiba
Sin Liong membentak. "Tahan senjata....!!" Tubuhnya berkelebat dan
berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera terdengar
seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana saja bayangan pemuda itu
berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah
tanpa mereka ketahu sebabnya! Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin,
menjura dan berkata, "Harap Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi.
Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak
berurusan dengan Bu-ting-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan
Bu-tong-pai. Kami datang untuk mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi Totiang
dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara
membuta membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya." "Apa....?
Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat wanita iblis
itu?" "Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak.
"Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin dan kalau kalian hendak
membelanya, jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"
"Siancai....!
Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut
yang tidak bergigi lagi."Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena
tidak tahu maka terjadi kesalahpahaman ini.
Semua ini gara-gara wanita iblis yang telah merusak nama baik
Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga kepada siapa pun. Silahkan
masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!" Sin Liong dan Swat Hong
lalu diiringkan masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat Bu-tong-pai itu, dan
dipersilahkan duduk di ruangan tamu. Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek
Tojin bertanya, "Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa
menanam bibit permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian
Ji-wi hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga
hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi." Kiranya tidaklah perlu kami memperkenalkan
diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan diri sejauh mungkin
dengan urusan kang-ouw sehingga lebih baik kalau tidak memperkenalkan diri.
"Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan pribadi dengan The Kwat Lin, dan
mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Bu-tong-pai, maka kami berdua menyusul
ke sini."
Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya
dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua orang muda yang
memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau
Es! Akan tetapi dia tidak berani banyak
bertanya, kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin, yang merasa bekas murid
Bu-tong-pai itu, dengan kekerasan merapas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur
pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya ke
istana gagal, dia menjadi seorang buruan pemerintah.
"Betapa pun lihainya, iblis
betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan
diri bersama para pengikutnya,
meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alihnya kembali dan belum
lama ini, hampir saja kami
menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat
menceritakan keadaan kami dan
sekarang, mau tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak
bersekutu dengan pemberontak,
terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe
Enghiong, murid-murid pinto,
terpaksa akan berangkat ke utara melakukan tugas penyelidikan terhadap
pemberontakan An Lu Shan."
Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali, jauh-jauh.mereka
menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada
lagi di
tempat itu dan sekarang telah
menjadi orang buruan pemerintah.
"Aihhh.... ke mana kita
harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin
Liong. "Nona, untuk menebus
kesalahan kami tadi, baiklah kami beritahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami,
The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman Kiam-mo Cai-li. Kalau Ji-wi
mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita
itu."
"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia?
Dan dimana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri karena
timbul pengharapan lagi di dalam hatinya.
“Dia adalah seorang datuk kaum
sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat
Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa bangkai, di kaki
Pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini."
"Suheng, tunggu apa lagi?
Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah
bangkit berdiri. Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua
Bu-tong-pai itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan
daerah yang sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo
Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya
berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."
"Terima kasih atas
peringatan Locian-pwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena
dia pun merasa amat tidak enak telah menggangu orang-orang tua di Bu-tong-pai
ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dari situ.
Setelah berpamit, sekali
berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin menghela napas dan
mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang amat luar biasa.
Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan
mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat
Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!" "Suheng,
bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"
"Kalau tidak salah memang di
sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya,
maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."
Swat Hong mengangguk, mengeluarkan saputangan sutera dan menghapus keringat
dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak,
matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di
dahinya basah oleh keringat. Sin Liong memandang sumoinya dan diam-diam dia menaruh
hati iba kepada sumoinya. Seorang dara muda seperti sumoinya sudah harus
mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal, seorang dara muda
seperti sumoinya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup
aman teteram dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang
indah, bersedau-gurau, tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan
yang kecil meruncing itu menggerakan alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang
ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia
menarik napas panjang. Mereka berdua
duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh di dalam bayangan pohon. Hari itu
amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi
seharian itu. "Suheng...."
Sesuatu dalam suara dara itu
membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk.
Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?
"Ada apakah, Sumoi?"
Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya dengan jari-jari
tangannya, kemudia dalam keadaan
tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya. "Suheng,
setelah selesai tugas kita
memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?".Tersentuh hati Sin Liong.
Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong
juga membayangkan masa depanya.
"Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan
pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."
"Hemm, kemudian?' Swat Hong
masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput
dan dimasukan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya. "Kemudian? Aku akan membantumu mencari
ibu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar
Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar
dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan
berhenti mencari." Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang
menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah
bertemu dengan ibu?"
"Kalau sudah ketemu?"
Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan."Tentu
saja engkau hidup bersama ibumu......"
"Dan kau?"
"Aku? Aku.... aku agaknya
akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas.
Aku bebas seperti burung di udara terbang ke mana pun angin membawaku." Kembali
suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan
merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa
beban tugas sedikit pun. "Suheng...."
"Hemmm.....?"
"Kalau bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?"
"Sudah kukatakan begitu,
bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?" "Bagaimana
kalau..... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu?
Bagaimana pula andaikata Ibu....ibu sudah meninggal?"
Sin Liong terkejut. Hal ini sama
sekali tidak pernah terbayangkan dan di hadapkan dengan kemungkinan kenyataan
ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berfikir
kemudian menjawab tanpa keraguan sedikitpun juga, "Kalau begitu, tentu
saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi." "Kita tinggal di
mana?"
"Di mana saja
sesukamu."
"Kita berkumpul?"
"Ya."
"Sampai kapan?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu
dan tak dapat menjawab. Swat Hong bekata lagi. "kalau demikian, aku jadi
merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi." "Ah,
tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang
terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang,
terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar." "Engkau menjadi
seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak, tidak begitu! Kita
seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan
bersama!"."Untuk selamanya, Suheng?" Kembali Sin Liong
termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus
menikah, dan aku akan menjadi
wakil orang tuamu, aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai
engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi
suamimu." "Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri,
menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah
dikunyah-kunyah!
Sin Liong terbelalak memandang
tubuh belakang sumoinya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa
sumoinya memdadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya,
menyatakan keinginannya yang baik terhadap sumoinya yang akan dibelanya itu. "Sumoi....!" dia memanggil dan gadis
itu membalikan tubuh. Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu, biarpun tidak sesenggukan,
telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata
yang bergerak menurun dari pelupuk matanya.
"Suheng, engkau....engkau
kejam....!" dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan dan menjatuhkan
dirinya ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air
matanya membanjir keluar dari celah-celah jari tangannya.
Sin Liong mengerutkan alisnya,
lalu menggeleng kepala. "Kejam....?" Dia seperti hendak bertanya
kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki
kejam. Swat Hong memeras air matanya, mengapus muka dengan saputangan, kemudian
mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau mau enakmu
sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang
lain agar dapat bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku
tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau
mempunyai aku. Akan tetapi.....uh-uh-uh.... kau ingin sekali mencampakkan aku
agar dapat bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang.....!"
"Eh-eh, Sumoi...., bagaimana
pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang pernikahan
itu..... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu, dengan seorang
pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan hatiku
untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau
engkau sudah menikah, apa kaukira aku harus menungguimu saja?"
"Tidak! Aku tidak akan
menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku akan hanya menikah kalau engkau sudah
menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia
merasa penasaran. Sin Liong membelalakan
matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak akan menikah,
Sumoi!"
Swat Hong menampar tanah.
"Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada suhengnya, disambung
kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"
"Wah, mana bisa? Aku seorang
pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau
seorang wanita...."
"Apa bedanya? Kalau pria
bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak
akan menikah sebelum engkau
menikah, Suheng!" Sin Liong menarik napas panjang dan duduk bersandar
pohon, tidak menjawab lagi. Gadis
ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa
ucapan sumoinya itu hanyalah
terdorong oleh kemarahan. Kalau kelah sumoinya bertemu dengan seorang
pemuda yang baik dan mereka
saling mencinta, tentu pendirian sumoinya tentang pernikahan tidak seperti
sekarang. Dia tidak mungkin dapat
membayangkan seorang dara seperti sumoinya, cantik jelita, keturunan
raja, pandai dan sukar dicari
keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama
sekali. Ngeri dia memikirkan
ini!.Melihat sampai lama suhengnya hanya duduk termenung, agaknya Swat Hong
mulai menyesali
sikapnya. Air matanya sudah
kering, sisanya dihapus dengan saputangan dan dia pindah duduk dekat suhengnya.
Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah
sumoinya. "Suheng...."
"Hemmm....?"
"Kau marah kepadaku?"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum
dan memandang wajah itu. Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia
amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan.
"Kalau ada seorang yang
marah di sini, agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku."
"Suheng, katakanlah. Mengapa
engkau tidak mau menikah?"
Pertanyaan ini merupakan serangan
tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya. Dia
mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa
menjawab juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu
sudah menanti jawaban dengan tidak sabar lagi. "Aku tidak ingin menikah
karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir
batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan
mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta
benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong termangu-mangu ,
agaknya tertegun mendengar jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja,
kemudian tiba-tiba bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi
pertapa?" Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Seorang
pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin
bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita.... kita....
dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak
disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk
sambil memandang wajah sumoinya penuh selidik. Apalagi yang akan dikemukaan
sumoinya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di
perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling
mencinta. Suheng...., apakah.... apakah engkau tidak mencinta seorang
wanita?" Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu
mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang
kau maksudkan adalah cinta berahi."
"Akan tetapi Suheng
menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng
mencintainya?" "Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang
lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah, kemudian
setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah
siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan kebencian.
Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu." "Dan
bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan
mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya
sebagai isteri?" "Hemmmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar
bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yang
kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala,
hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang
kaucinta?"
Sin Liong menggeleng
lagi.."Termasuk aku....?"
Sin Liong terkejut. Sungguh
bingung dia memikirkan sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia
melihat sumoinya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang
biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata
mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya
tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya
agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan. "Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta
kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti
seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan
melindungimu, aku merasa sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa
berbahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu
sebelum ...."
"Sudahlah..... sudahlah....!
Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat
Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang
tinggi itu. "Sumoi, perlahan
dulu....! Hati-hatilah....!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus
mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoinya yang lari seperti setan itu.
Karena agaknya Swat Hong berlari
secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya, maka mereka
tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di
lereng timur, melainkan memasuki
hutan lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang
mata mengintai ketika mereka
memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang
mengeluarkan bentakan-bentakan
nyaring. Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke
sekeliling dan Swat Hong
membelalakan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh
puluhan orang yang tubuhnya
katai, pendek sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada
Swat Hong! Kalau saja tidak
melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka
berdua dikurung oleh serombongan
anak nakal. Akan tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan
penuh keriput itu jelas adalah
wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia
kurang lebih empat puluh tahun!
Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat
dan kokoh, wajah mereka keruh dan
marah, mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata
yang bermacam-macam, senjata yang
aneh-aneh tidak lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka ketika
mengurung dan bergerak
mengelilingi Swat Hong juga amat aneh, kadang-kadang tumit mereka diangkat,
kadang-kadang mereka bergerak
sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti kakat, kadang-kadang
berloncatan! "Kalian mau
apa? Pergi....!!" Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai ke
arah empat orang katai terdekat akan tetapi batapa heranya ketika melihat empat
kali tendangannya yang beruntun itu mengenai angin kosong karena dengan gerakan
yang aneh dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelah,
bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang
bentuknya seperti gergaji!
"Hati-hati, Sumoi. Mereka
bukanlah lawan lemah." Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar sebatang
kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar
lengan. "Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin
Liong berbisik.
Swat Hong adalah seorang dara
yang keras hati dan tidak mengenal artinya takut akan tetapi
melihat hasil tendangannya tadi,
dia pun maklum bahwa rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat
main-main, maka dia cukup cerdik
untuk mentaati bisikan suhengnya dan mereka lalu berdiri tegak,
memasang kuda-kuda dengan pungung
saling membelakangi hampir bersentuhan. Swat Hong memegang
pedang dengan tangan kanan yang
diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, miring di
depan dada. Sin Liong pun memasang
kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia memegang alat
pemukulnya dengan tangan kiri.
Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya mata mereka yang
melirik ke kanan kiri mengikuti
setiap gerak-gerik para pengurung mereka. "Harap Cuwi jangan salah
paham," Sin Liong berseru
nyaring, "Kami datang bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau siapapun
juga di tempat ini. Kami datang
karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi
tahu di mana adanya Rawa Bangkai,
kami akan berterima kasih sekali.".Akan tetapi, orang-orang kerdil itu
tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan
membuat gerakan aneh-aneh. Dua
orang muda mudi itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak namun semua
urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan. Seorang di antara orang kerdil itu, sambil
terus mengelilingi mereka berdua, bertanya, "Mau apa kalian mencari Rawa
Bangkai?"
Kini Swat Hong yang sudah hilang
sabarnya itu menjawab dengan bentakan, "Orang-orang kerdil menjemukan!
Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!" Mata orang-orang itu
melotot namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda itu dan orang yang
memegang sebatang golok besar bercincin empat agaknya pemimpin mereka, yang
mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi, "Mau apa
mencari The Kwat Lin?" "Mau kubunuh mampus!" Jawaban Swat Hong
ini seperti merupakan aba-aba saja karena mendengar mereka memekik aneh dan
kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena
pekik-pekik aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang
disertai khingkang. Tentu saja dua orang
muda yang memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan
hanya dengan pekik-pekik itu. Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali
tidak terpengaruh, tiba-tiba Si pemegang golok bercincin berteriak dan mulailah
tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu sambil lari
mereka menyerang, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak senjata
yang menyerang, tentu saja amat berbahaya.
Sin Liong menggerakkan tongkat
pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan pedangnya
sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Trang-trang-cringggg...!!"
Bunyi senjata tajam bertemu dan terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil
karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan pedang itu
membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari pegangan
tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu.
Orang-orang kerdil itu ternyata
cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja cukup membuat mereka maklum
bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang
hebat, jauh melebihi mereka maka mereka lalu mengurung dan menyerang
bertubi-tubi, bergantian tanpa mau mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka
ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada temannya yang
melanjutkan serangan dari arah lain. "Suheng, biar kubasmi setan-setan
pendek ini!" Swat Hong menjadi tidak sabar dengan cara suhengnya
mempertahankan dan melindungi diri saja itu yang dianggapnya terlalu mengalah
dan terlalu "memberi hati" kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya
itu. Sebelum Sin Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan
suara melengking yang tinggi dan dahsyat, pedangnya berkelebatan dan disusul
dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik
berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran
pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat
Hong!
Kacaulah pengeroyokan itu karena
dapat dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika
dalam segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima
orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang!
Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua.
Si kerdil Bergolok yang memimpin
mereka, segera mengeluarkan suitan aneh dan gerombolan itu lalu melarikan diri,
sambil membawa lima orang teman mereka yang terluka, Si Pemegang Golok
berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau memang gagah, ikutlah kami
dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!"
"Suruh mereka keluar menemui
kami!" Swat Hong membentak.
"Heh-heh, engkau takut kami
jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" Si Pemegang Golok
mengejek.."Keparat, siapa
takut?" Swat Hong melompat dan mengejar. "Sumoi....!" Sin Liong
memperingatkan, akan
tetapi Swat Hong tentu saja tidak
mau peduli karena dia sudah marah sekali, apalagi mendengar nama The Kwat Lin,
dia sudah bersemangat dan ingin segera berhadapan dengan musuh besarnya itu.
Melihat sumoinya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat dan
berlari cepat mengejar. Orang-orang
kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar dari hutan memasuki
daerah yang tandus berbatu-batu dan di situ terdapat banyak gua batu yang
besar-besar, dan dari luar tampak menghitam karena di sebelah dalam gua tidak
memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari belakang Sin Liong melihat betapa
orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan semut saja dengan sigapnya berloncatan
memasuki gua-gua di sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah
guha terbesar dan yang berada di tengah-tengah di antara semua gua.
"Sumoi, berhenti dulu! Ini
bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong, akan tetapi terlambat karena
Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke dalam gua
besar. "Ah, Sumoi terlalu
bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan berbahaya," Sin Liong mengomel
dan terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki guha besar itu. Guha itu gelap
sekali, gelap dan sunyi.
"Sumoi....!!" Dia
berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari
berbagai jurusan! Dia terkejut
dan dapat menduga bahwa gua itu merupakan terowongan yang bercabang-cabang.Dia
maju terus dan benar saja dugaannya, gua yang gelap itu merupakan lorong dan
akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga!
"Sumoi....!!" Dia berteriak
lagi dan jauh dari depan, terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali berturut-turut!
"Celaka," pikirnya,
"Kita telah terjebak!" Akan tetapi karena dia harus dapat menemukan
sumoinya yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang-orang kerdil.
Sin Liong tanpa ragu-ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya
terbiasa, ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari
yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana masuknya
sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang dipilihnya itu
ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini simpang empat!
"Aihhh....!" dia
mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak memanggil,
"Sumoi....!" Gema suaranya mengaung dan membuat panggilannya itu
tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah! Dia lari memasuki terowongan
sebelah kiri setelah meneliti ke bawah tidak melihat bekas tapak sepatu sumoinya
saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki kecil-kecil dari orang-orang
kerdil. Terowongan ini panjang sekali, menurut taksirannya tentu tidak kurang
dari dua li jauhnya dan hatinya makin risau.
Sudah begini lama dan jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan
tetapi bekas dan jejaknyapun belum ditemukan. "Sumoi....!!" Dia
berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah
tanah atau dalam gunung yang cukup lebar. Sebagai jawabannya, tiba-tiba
terdengar suara berdesingan dan dari depan, kanan dan kiri menyambar
sinar-sinar hitam. Pandang mata yang
tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah anak
panah-anak panah yang dilepas dari tempat rahasia. Cepat dia memutar tongkat
pendek yang berubah menjadi segulung sinar yang melindungi seluruh tubuhnya.
Sampai beberapa lama dia menangkis dan akhirnya penyerang gelap itu pun
berhenti. Di ruang itu kini penuh dengan anak panah hitam yang agaknya beracun.
Dia bergidik. Bagaimana nasib sumoinya di tempat berbahaya ini?
"Sumoi....!!" Dia
segera membalikan tubuhnya karena ruangan itu merupakan jalan buntu, lalu
berlari
kembali melalui terowongan yang
panjangnya ada dua li itu sampai dia tiba di jalan simpang empat tadi,
kini dia melihat terowongan kedua
sambil berteriak-teriak memanggil nama sumoinya. "Swat Hong....! Han
Swat Hong....!!" Panggilan
ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga dinding
terowongan itu menjadi tergetar
karenanya. Namun tidak ada jawaban melainkan gema suaranya sendiri
yang melengking panjang. Sin
Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini
dia merasa sedemikian gelisahnya
dan dia menyesali diri sendiri mengapa dia tadi tidak melarang sumoinya
memasuki gua-gua rahasia penuh
jebakan ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan! Dia berlari terus
dengan hati gelisah, akan tetapi
dengan kewaspadaan penuh karena dia maklum bahwa tempat itu
merupakan tempat rahasia yang
amat berbahaya, perpaduan antara kekuasaan alam dan manusia. Tak
mungkin tangan manusia membuat
gua-guh dan lorong-lorong batu dalam gunung ini, akan tetapi hasil
ciptaan alam ini dipergunakan
oleh manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang jebakan-jebakan yang
jahat!."Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu meluncur
kembali ke belakang sambil berjungkir balik
dan jatuh berdiri kembali di
jalan yang telah dilalui, terbelalak memandang ke depan. Kiranya secara
tiba-tiba sekali, tentu digerakan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya tadi
ketika berlari, di depannya telah terbuka lubang yang panjang ada tiga meter,
terbuka tiba-tiba sehingga kalau dia tadi tidak berhasil dan lari terus, tentu
akan terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar suara mendesis-desis dari dalam
lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau hamis membuat Sin Liong
bergidik dan tahulah dia bahwa di dalam lubang itu terdapat banyak ular
berbisa! Jebakan yang amat keji! "Keparat....!" desisnya dengan marah
melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan mempergunakan cara yang
amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan. Dia melompati lubang itu dan
melanjukan larinya. Ketika dia berjalan satu li lebih, lorong itu pun berhenti
di jalan batu yang merupakan sebuah ruangan besar pula, bahkan ruangan ini cuacanya
cukup terang, entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari
mana sinar matahari dapat masuk.
Tiba-tiba, seolah-olah muncul
dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang-orang
kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua dan
sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar sedangkan kumis dan
jenggotnya panjang, juga bentuk pakaiannya lebih mewah dari yang lain. Kakek
kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu
adalah sebuah benda pusaka yang ampuh. Selagi Sin Liong memandang penuh perhatian
dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini terdapat pintu rahasianya yang tadi
terbuka cepat untuk dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah
kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat
tegap besar membayangkan kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya
mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan berewok tebal menghitam. Kedua
orang ini dari tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa,
akan tetapi dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh
dan lucu. Orang Ke dua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan dan
kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari pada tubuhnya
sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang senjata yang baik. Sin Liong
yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biarpun dilanda
kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan menjura dengan penuh hormat,
"Harap Jiwi-locianpwe sudi memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang
memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan Sumoi di sini
dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada
saya, saya berjanji akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan
berani mengganggu lagi." Dua orang kakek itu saling pandang dan melihat
betapa Sin Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan
sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya, mereka
tertawa dan kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada ubannya itu
berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada
permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang
muda, siapakah engkau? Dan siapa pula Sumoimu itu?" "Namaku Kwa Sin
Liong dan....sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat
ini."
"Kalau begitu mengapa
mencari The Kwat Lin Lihiap?"
"Kami mempunyai urusan
pribadi dengan dia, hanya urusan yang amat sekali tidak menyangkut diri orang lain."
Kembali dua orang kekek itu
tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku, kami bangsa kerdil
memang tidak ada urusan denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi
The-lihiap, berarti kalian adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda,
kalau kau tidak ingin mengalami keksengsaraan seperti Sumoimu." Sin Liong
terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki
tangan The Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoinya. "Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan
dengan dia?" bentaknya. "Ha-ha-ha,
menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua
bangsa kerdil itu menjawab.
Tentu saja Sin Liong menjadi
gelisah sekali dan dia lalu menerjang maju dengan tongkat
pendeknya.."Sing....siuuuut.... trang-trang....!!"Dua orang kakek itu
sudah menggerakan pedang dan toya, cepat dan kuat sekali gerakan mereka. Namun kini
kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong murid utama Raja Pulau Es yang
telah mewarisi ilmu yang hebat-hebat, maka dalam keadaan penuh kekhawatiran
itu, Sin Liong sudah menggerakan tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga
ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada
hawa dingin menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka
seperti hampir membeku!
Namun keduanya memang lihai.
Cepat mereka memindahkan senjata di tangan kiri dan mengirim
serangan-serangan bertubi-tubi.
Biarpun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa
tidak tega untuk membunuh orang,
maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke
bawah dan dengan dua tangan
kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan kiri,
lalu dengan berani dia menangkap
dua senjata itu dengan kedua tangan kosong! Dua orang kakek itu
terbelalak. Kalau orang menangkap
toya dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja, akan tetapi
menangkap pedang pusaka dengan
tangan telanjang? Benar-benar berani mati karena tangan yang
bagaimana kuat pun tentu akan
tersayat! Ji Bhong berteriak dan mengerahkan tenaga membetot kembali
pedangnya untuk menyayat tangan
lawan yang menggenggamnya, akan tetapi betapapun ia mengerahkan
tenaga, pedang itu tetap tidak
bergerak sedikit pun dari genggaman Sin Liong. Demikian pula kakek
brewok yang membetot-betot
toyanya, percuma saja, Sin Liong kembali memekik keras, kedua tangannya
bergerak sedikit dan...tubuh
kedua orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan kiri! Hawa pukulan
yang dingin dan kuat sekali
keluar melalui kedua senjata itu dan menyerang melalui lengan mereka
masing-masing
dan memukul dada, membuat dada
terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar dinding, terengah-engah
dan terbelalak memandang pemuda luar biasa itu dan tiba-tiba mereka lenyap melalui
pintu kecil yang terbuka secara aneh.
"Kalian hendak lari ke
mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri, namun dinding itu sudah
tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang dan kakek brewok itu telah lenyap
dari dinding kanan kiri. Sin Liong
menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya
menghantami dinding kiri, namun hanya batu permukaan saja yang remuk, sedangkan
dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong membuang toyanya, menghapus
peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini amat berbahaya dan sukar dilalui,
bagaimana dia akan dapat menolong Swat Hong?
Teringat akan sumoinya ini, dia
menjadi panik lagi. Andaikata sumoinya berada di sampingnya saat itu, tentu
pemuda ini tidak menjadi bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi
membayangkan betapa sumoinya terancam bahaya, benar-benar menggelisahkan
hatinya. Dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan sumoinya, dan dia merasa
seolah-olah mendengar suara ayah bunda dara itu mencelanya mengapa dia sampai
membiarkan dara itu terancam bahaya. Sin Liong menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa,
tangannya meraba-raba. Lebih satu jam dia menyelidiki, akhirnya secara tidak
sengaja tangannya meraba sebuah di antara puluhan batu menonjol di dinding itu!
Cepat dia menyambar pedang rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah
menyelinap melalui lubang rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di
sebelah sana dinding batu itu pun hanya merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak
tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil tadi. Kembali dia berjalan
dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang dilaluinya ini.
Entah berapa banyak lorong yang dilaluinya dan kini dia bahkan tidak tahu lagi
mana jalan keluar. Dia pun tidak ingin keluar sebelum dapat menolong Swat Hong!
Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa mungkin sekarang di "dunia
luar" sudah mulai senja. Bagaimanapun juga, dia tidak akan keluar sebelum
menemukan Swat Hong. Sin Liong berjalan terus, ke mana saja asal bergerak dan
dia memperhatikan lorong yang dilaluinya agar jangan melalui sebuah lorong
untuk kedua kalinya. Keadaan makin gelap dan akhirnya dia hanya dapat melangkah
maju dengan meraba-raba.
Tiba-tiba tampak sinar terang di
depan, menembus kegelapan yang mengerikan itu. Sin Liong melangkah maju menuju
ke sinar terang tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan langkahnya. Tidak salah
lagi, sinar terang itu tentulah api yang sengaja dibuat orang kerdil untuk
memancing dan menjebaknya!
Betapapun juga, dia tidak takut.
Dengan hati-hati dia bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar
yang ternyata kini tampak olehnya
adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan
anehnya, kakinya yang melangkah
hati-hati tidak menemui jebakan apa-apa sampai dia tiba di tempat obor.itu. Apa
artinya ini? Mengapa mereka memberi sebatang obor itu kepadaku? Sin Liong tidak
perduli, lalu
mengambil obor itu dan diam-diam
berterima kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang amat gelap itu membuat
dia butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia dapat melanjutkan usahanya
mencari Swat Hong. Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar
suara mendengung dari belakang. Sin Liong cepat menoleh akan tetapi tidak
melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas
sekali dan di sebelah sananya kelihatan hitam pekat. Akan tetapi suara itu
makin lama makin keras dan akhirnya tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya
obor benda-benda hitam kecil yang mengeluarkan suara berdengung-dengung. Lebah!
Banyak sekali lebah hitam yang datang berterbangan, Seakan berlomba untuk
mencapai sinar terang itu. Sinar api obor itulah yang menarik lebah-lebah itu
dan Sin Liong maklum sekarang mengapa mereka memberikan sebatang obor. Tentu
untuk menarik lebah-lebah itu, dan kalau lebah-lebah itu cukup berharga untuk
dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang sengatannya
mengandung bisa yang mematikan. Dia
sudah tahu akan lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil
sehelai saputangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan menggunakan
saputangan yang diputar-putar untuk mengusir lebah-lebah itu. Namun, tertarik
oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebah-lebah itu
seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran menggunakan saputangan
ini. Biarpun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong karena terhalang
saputangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin Liong, menanti
saat baik untuk menyerang! Celaka, pikir Sin Liong. Tidak mungkin dia harus
berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi melawan lebah-lebah ini. Apa
gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini? Sambil tetap melindungi
tubuhnya dengan putaran saputangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada
celah-celah batu dinding, lalu pergi menjauh. Ternyata lebah-lebah itu tidak
lagi mepedulikannya setelah dia tidak memengang obor, dan kini
binatang-binatang kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor.
Sin Liong duduk bersandar
dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati karena menyerbu
api, makin lama makin banyak. Hatinya tidak tega. Binatang-binatang itu tidak
berdosa. Entah mengapa mereka dapat
dibikin marah dan menyerbu api seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh
diri masal yang mengerikan itu. Diremasnya batu-batu dari dinding dan
ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak-teriak. "Aduh....! Aduh, mati
aku....!"
Ini adalah siasatnya yang timbul
sebelum memadamkan obor. Mereka itu sengaja memberi obor untuk memancing
lebah-lebah. Baiklah, dia akan pura-pura menjadi korban sengatan lebah beracun.
Kiranya hanya dengan cara ini dia akan dapat memancing orang-orang kerdil itu.
Kalau mereka menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi
keselamatan Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu! Semalam Sin Liong berada di dalam gelap.
Tidak ada orang datang mengintai atau menjenguknya. Ketika inilah dia
pergunakanuntuk beristirahat dan biarpun dia sama sekali tidak dapat tidur.
Mana mungkin dia tidur kalau hatinya gel isah memikirkan Swat Hong seperti itu?
Betapapun juga, dia dapat melepaskan lelah dan memulihkan tenaga, dan
terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di dalam hutan. Dia menghela napas
panjang. Biarpun di depan gadis itu dia berpura-pura tidak mengerti,
sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang tadinya angkuh dan keras hati itu,
kini agaknya mulai menyatakan cintakasihnya kepadanya. Dia dapat menduga pula
bahwa cinta kasih di hati gadis itu bersemi karena memperoleh pupuk cemburu,
mencemburukan dia dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya
terasa seperti ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau
menyakit hati Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia tidak mencita gadis itu,
tidak mencinta seperti di harapkan gadis itu. Tidak mungkin dia mau melibatkan
diri ke dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya hanya
mendatangkan kesengsaraan belaka. Lihat saja kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han
Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja yang bijaksana dan
perkasa itu takluk kepada cinta kasih berahi seperti itu. Lihat saja
penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi gila karena kematian isterinya yang
tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan berakhir dengan
kesengsaraan. masih banyak lagi contoh-contoh.
Cinta kasih yang terdorong oleh berahi dan kesengsaran ini pasti akan
disusul dengan keinginan memiliki, menguasai dan mengikat. Pengikatan diri
inilah yang akan mencelakakan, yang akan menimbulkan duka karena kehilangan,
perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain-lain.
Pengikatan diri kepada sesuatu
memang menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan kesenangan lahir
yang hanya sementara saja
sifatnya, kemudian diakhiri dengan bermacam duka dan kesengsaraan. Yang
paling menimbulkan sesal dalam
hati Sin Liong adalah kenyataan bahwa penolakannya terhadap cinta kasih
gadis-gadis itu tentu akan
mendatangkan kekecewaan kepada mereka, namun dia pun yakin bahwa.kekecewaan itu
pun hanya akan sementara saja sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat Hong, sudah
tertarik
kepada seorang laki-laki lain,
kekecewaan itu pun akan lenyap tanpa bekas lagi. Cuaca tidak segelap tadi, tanda bahwa agaknya
malam telah terganti pagi. Untuk melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu
merebahkan diri di bawah obor yang telah padam rebah di antara bangkai-bangkai lebah
yang hangus. Tak lama kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang
menempel lantai mendengar suara-suara gerakan kaki. Ada orang-orang datang
menghampirinya! Tepat seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang kakek itu
bersama enam orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan merubungnya,
bahkan ada tangan yang menyentuh dada dan pergelangan tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya,
menghentikan detak jantung dan pernapasannya.
"Dia telah mati....!!" Terdengar suara di atasnya. Dia tidak
melihat siapa yang bicara karena dia rebah miring.
"Kita laporkan kepada
Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang. Pada saat itu, Sin Liong membalikan tubuhnya,
tangannya menyambar dan dia telah menangkap lengan seorang kerdil, lalu
menotoknya roboh. Tujuh orang kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan
lenyap di balik dinding melalui pintu-pintu rahasia, meninggalkan Si Kerdil
yang telah roboh tertotok. Memang Sin Liong hanya membutuhkan seorang saja. Dia
lalu mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik,
"Hayo tunjukan aku di mana temanku wanita itu ditawan!" Orang kerdil
itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku..... aku tidak
tahu...." "Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan
membebaskannya. Kalau kau mengaku terus terang, aku akan membebaskanmu."
"Aku.... aku tidak
berani...." kemudian orang itu berkata, suaranya mengandung rasa takut dan
dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah takut kata-katanya terdengar oleh dinding
di kanan kirinya. "Hemm, aku tahu.
Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu. Akan tetapi kau
menunjukan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal itu."
"Aku... aku takut..... takut
disiksa...."orang itu berkata setengah menangis
Sin Liong menjadi gemas. Orang
yang pengecut ini memaksa dia harus mengeraskan hati. Apa boleh buat, demi
keselamatan Swat Hong! Dia lalu menggunakan jarinya memijit tengkuk orang itu,
memijit jalan darah sambil berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan
tidak takut kepadaku? Nah, kautunjukan atau kubiarkan kau tersiksa seperti ini
selama hidupmu!"
Orang itu menyeringai, makin lama
makin lebar dan tubuhnya mengeliat-geliat menahan rasa nyeri yang menyerang
tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri itu tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh
terguling, menggeliat dan berkelojotan seperti orang sekarat, mulutnya
merintih, "Bebaskan aku.... atau bunuh aku saja..." Sin Liong merasa
kasihan sekali, akan tetapi dia mengeraskan hatinya. "Aku tidak akan membunuhmu
dan juga tidak akan menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau menunjukan tempat
sahabatku itu, selama hidup kau akan menderita seperti ini!"
"Tolong.... aduhhhh... baik,
kutunjukkan tempatnya.... tapi .... tapi bebaskan dulu aku......" Girang
bukan main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia membebaskan orang
itu yang segera menggeliat dan memijit-mijit dadanya, kemudian memandang kepada
Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri. "Aku akan menunjukan tempatnya, akan
tetapi....kau harus tahu bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka bukanlah aku
pembunuhnya."
Tentu saja kata-kata ini membuat
Sin Liong terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak bicara
lagi, melainkan berkata dengan
suara terengah . "Lekas.... tunjukkan....!" Dan dia menyambar
pergelangan
tangan orang itu agar jangan
sampai melarikan diri melalui tempat-tempat rahasia..Orang kerdil itu mengajak
Sin Liong berlari melalui lorong-lorong dan ternyata lorong-lorong itu amat
ruwet bangunannya, berbelit-belit
dan banyak sekali persimpangannya. Pantas saja dia tidak berhasil, pikir Sin
Liong dan merasa kagum. Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah
melalui jarak yang kurang lebih lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong
yang tidak rata, lebar sempit dan di situ banyak terdapat gundukan-gundukan
batu pedang dandari atas bergantungan pula batu-batu yang runcing. Mereka berada di dalam guha-guha besar yang
berbeda sekali dengan guha-guha darimana Sin Liong dan Swat Hong masuk.
JILID 19
"Di mana tempatnya?"
Sin Liong bertanya, suarnya gemetar karena dia merasa tegang sekali. Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya
dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan
kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! "Di mana dia? Hayo katakan!" Dia
mengguncang tangan orang kerdil itu.
Tubuh orang itu menggigil.
"Dia... di dalam guha sana itu.... lihat, di sana ada lubang besar,
bukan?"
"Hayo kita ke sana!"
"Tidak.... tidak, aku
takut....! Mereka menjebaknya di sana, tempat itu adalah sarang laba-laba
raksasa yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas ....."
Sin Lion tidak perduli dan
menyeret orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui
bantu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ,
tiba-tiba dia mendengar suara lirih.
"Sumoi....!" Dia
berteriak.
"Suheng.... aihhhh....
Suheng....!" Terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis. Masih hidup!
Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu
sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu merangkak dan
pergi akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya lagi. Dia sudah memasuki guha dan terus ke dalam,
membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis
dia memasang kuda-kuda dengan pedang tiangkat tinggi-tinggi dan tangan kiri
siap di depan dada. Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada seekor
laba-laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggauta bulat seperti mata
melotot kepadanya. Di belakang laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan
main besarnya, benag sarang laba-laba itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat
sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel dengan kedua lengan
terpentang, juga kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya
melekat kepada sarang itu, tak dapat dilepaskan lagi. Gadis itu menangis ketika
melihatnya dan hanya dapat berkata, "Suheng....., cepat kau bunuh binatang
menjijikan itu....!"
Sin Liong mencium bau harum yang
aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh dengan hawa beracun!
Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun. Heran dia mengapa Swat Hong
masih dapat hidup, akan tetapi dia tidak memperdulikan atau memusingkan hal
itu, yang penting adalah menolong sumoinya.
"Tenanglah, Sumoi. Aku
segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar saking girang dan
terharunya Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia
merangkak maju dengan cepat sekali dan tiba-tiba, berbarengan dengan gerakan
kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong.
Itulah benang besar yang
mengandung daya lekat luar biasa sekali, Sin Liong menggerakan pedang
rampasannya dan tali putih itu
terbabat putus, kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali
ke dua kemudian dari samping dia
menggerakan kaki menendang. "Desss....!!" Betapa besar pun ukuran
tubuh binatang itu, namun terkena
tendangan kaki Sin Liong, dia terlempar, terbanting pada dinding batu,
terhuyung-huyung lalu
menghamburkan banyak benang putih ke arah Sin Liong. Pemuda perkasa
ini.meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba-laba
itu telah lari menghilang
melalui sebuah lubang di
celah-celah dinding batu.
Cepat Sin Liong menghampiri Swat
Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali
karena sarang itu mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakan pedangnya karena dia
melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang
malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langit-langit guha. Pedangnya menyambar-nyambar
dan runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah. Gadis itu telah
lemas sekali dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin
Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang laba-lana itu dan memondong tubuh
sumoinya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar
dari lorong itu, dia menurunkan sumoinya yang duduk bersandar batu.
"Bagaimana keadaanmu,
Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoinya. Detik jantungnya lemah,
mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah
kenyataan bahwa sumoinya itu telah keracunan!
"Untung.... untung kau
datang, Suheng.... kalau tidak.....aku sudah hampir tidak kuat....." Gadis
itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin Liong. Pemuda itu membiarkan
saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia berkata, "Laba-laba itu
beracun, kau terkena hawa beracun, akan tetapi berapa lama kau tertawan seperti
itu?"
"Sejak malam tadi.......
ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."
"Sudahlah, mari kubantu
engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu." "Nanti dulu
aku harus menceritakan dulu kepadamu....." Swat Hong berkata
terengah-engah, "ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih
mencengkeram hatiku suheng." Sin Liong mengangguk. Menurut halis
menyelidikan tadi, biarpun terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak
berbahaya dan malah lebih berbahaya ketegangan dan pukulan batin yang
dideritanya selama satu malam itu. Memang menceritakan kengerian yang
mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah-olah kengerian yang
ditahan-tahan itu memperoleh jalan keluar dan dapat meringankan hati yang
tertekan.
"Aku mengejar mereka dan
mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak berkelebatnya
bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira
bahwa mereka memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca
mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya.
Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki
guha ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang diantara
mereka dan memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat
bayangan mereka begitu dekat di dalam guha ini, aku menerjang dan melompat
maju, bermaksud menangkap seorang di antara mereka." in Liong mendengarkan
penuh perhatian dan diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoinya dan
pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan seorang
lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoinya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing
memasuki jebakan yang amat mengerikan.
"Ketika aku meloncat itu,
aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba-laba itu. Tubuhku tertangkap,
aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali mengerikan itu
yang mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan
napas dan melihat laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan
hendak menggigit, aku pingsan entah beberapa kali." "Hemm, engkau
masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguhpun aku merasa heran
sekali...."
"Dapat kaubayangkan betapa ngeriku,
Suheng, ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang
mendatangkan cahaya remang-remang
amat mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak,.dan laba-laba
itu ...... mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti
ragu-ragu.....ihh, melihat
kaki yang berbulu itu,
meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak. "Memang hebat sekali pengalamanmu,
Sumoi. Akan tetapi yang penting, engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku
tidak mengerti, mengapa selama itu laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu?
Padahal dia amat berbisa."
"Berkat inilah," Swat
Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan
cahaya hijau. "Ah kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas!
Tentu saja binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat
menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah
kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu." "Baik, Suheng....
aku...... ahhhh......" Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong
terguling pingsan! Sin Liong cepat
menyambar tubuh sumoinya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali karena
begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa keadaan sumoinya tidak seringan
yang diduganya semula. hal ini adalah karena tadi sumoinya meletakan Batu
Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa
beracun agak tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatanya hanya ringan. Sekarang, setelah batu itu dikeluarkan, daya
tolak racun dari batu itu meninggalkan tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang
amat jahat itu menyerang sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan. Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia
memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak. Swat Hong mengeluh
lirih dan membuka matanya. "Sumoi, kau ternyata terluka hebat juga di sebelah
dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas kaubuka baju atas, aku harus
mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di punggungmu, langsung tidak tertutup
pakaian." Suara Sin Liong sungguh-sunggu dan Swat Hong juga mengerti akan
keadaannya yang berbahaya. Dia merasa penting dan dadanya sesak sekali, maka
tanpa membuang waktu lagi dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin
Liong dan membiarkan punggungnya terbuka sama sekali. "Aughhh....ahhh, panas
sekali..... ah, Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong
merintih sambil memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot.
"Tenanglah, Sumoi. Biar
kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku." Sambil duduk bersila di
belakang Swat Hong, Sin Liong lalu mnyalurkan tenaga sinkang yang dingin, menempelkan
telapak tangan pada pungung yang berkulit putih mulus, halus dan pada saat itu
panas sekali. Setelah telapak tangannya
menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan hawa panas
yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu semberono, mengira luka sumoinya
tadi ringan saja sehingga tidak segera mengobati sumoinya.
Swat Hong merasa tersiksa,
mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih. Hawa panas luar biasa yang
menyerang dari dalam membuatnya
berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di
punggungnya itu masuk
perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit. Dia ingin membatu Sin Liong
akan tetapi diurungkannya niat
itu. Biarlah, dia ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan
membelanya. Dia tahu bahwa
mengerahkan Swat-im-sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang panas
itu membutuhkan pengerahan tenaga
yang kuat, apalagi harus dilakukan sedikit demi sedikit dengan hati-hati
sehingga akan menghabiskan
tenaga. Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya
yang telanjang, semacam perasaan
aneh memasuki hatinya dan dia ingin agar telapak tangan suhengnya itu
tidak lekas dilepaskan dari
pungungnya! Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suhengnya
mengerahkan tenaga sendiri untuk
mengusir hawa beracun itu. Sin liong tidak menaruh curiga, hanya
mengira bahwa sumoinya terlalu
lelah sehingga tidak kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia
makin bersemangat mengerahkan
tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan dia memejamkan
matanya, memusatkan seluruh hati
dan pikirannya ke dalam usaha pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa
sumoinya tersiksa, bukan hanya
tersiksa oleh bentrokan antara tenaga Swat-im-sin-kang yang mengusir
hawa beracun panas melainkan juga
tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak karuan. Tidak melihat.betapa Swat
Hong mengepal tangan kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan dimukanya
tidak hanya
peluh yang menetes, melainkan
juga air mata!
Juga keuda orang muda ini tidak
tahu betapa di tempat itu muncul bayangan seorang kakek yang berdiri tegak
memandang mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan
sederhana bentuknya namun yang terbuat dari kain yang mahal, jenggotnya yang
panjang terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan rambutnya yang putih juga
tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan pembungkus rambut sutera biru
dan ditusuk dengan tusuk konde emas. Wajah kakek ini biarpun sudah tua namun
masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan yang membayangkan kekejaman, apa
lagi dari sinar mata dan tarikan mulutnya yang seperti orang mengejek. Kalau
tidak melihat mulut dan sinar matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa
hormat karena dia lebih pantas menjadi seorang pendeta atau pertama yang agung.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang
Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai-belai punggung yang
melengkung indah itu, yang terakhir di bawah membesar sampai ke pinggul yang
hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot, dari samping punggung tampak
membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama sekali oleh baju yang
dipegang oleh tangan Swat Hong. Dalam keadaan tanggung-tanggung ini, telanjang
sama sekali bukan dan tertutup rapat juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan
daya tarik yang luar biasa, dan mudah membangkitkan berahi seorang pria yang
memang benaknya penuh terisi oleh khayalan-khayalan cabul!
Siapakah kakek yang usianya
kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu tertarik melihat
punggung telanjang seorang dara? Dia adalah seorang bertapa yang belum lama
turun dari pertapaannya di lereng Pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun
dia meninggalkan daratan besar merantau ke barat dan akhirnya bertapa di lereng
Himalaya, bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan mempelajari ilmu. Dahulunya
dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya. Akan tetapi setibanya
di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam sehingga pelajaran Agama To
diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan yang penuh dengan ilmu sihir yang
aneh-aneh. Dan karena memang di dalam dirinya belum bersih, ilmu hitam yang
dipelajarinya membuat semua kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan mencari
jalan keluar, dibantu dengan ilmu sihirnya sehingga pendeta Agama To ini menyeleweng
menjadi seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan-segan melakukan apa
pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia. Nama pendeta ini adalah
Ouwyang Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi
lebih-lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai sekali
tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang Cin Cu
inilah, yang merupakan obat "guna-guna" , maka An Lu Shan yang kasar
itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui!
Bertapa atau melakukan segala
usaha penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia-sia dan palsu
belaka, karena tidak mungkin akan
berhasil selama di dalam dirinya masih berkecamuk nafsu itu sendiri.
penekanan hanyalah akan
menghentikan timbulnya nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah
berarti bahwa nafsu itu sudah
mati. Sewaktu-waktu, jika penekanannya berkurang kuatnya, tentu akan
meledaklah nafsu yang
ditahan-tahan. seperti api dalam sekam , sewaktu-waktu dapat membakar. karena
yang menekan nafsu ini pun
sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain bentuk atau lain nama yang kita
berikan kepadanya. Keinginan
tidak mungkin dilenyapkan dengan lain keinginan, karena akan menjadi
lingkaran setan yang tiada
berkeputusan. Apa artinya bertapa di tempat sunyi, meninggalkan masyarakat
agar tidak melihat lagi wanita
dan timbul nafsu berahi kalau nafsu berahi itu sendiri masih bercokol di dlam
batinnya, kalau dirinya sendiri
setiap saat digerogoti oleh nafsu berahi yang masih bercokol di dalam batin
itu? Sebaliknya, biarpun hidup di
antara seribu orang wanita cantik, kalau memang tidak ada nafsu berahi
di dalam hatinya sama sekali
bersih, pasti tidak akan ada gangguan sesuatu di dalam batin. Jadi yang
penting bukanlah mencari
pelarian, bukanlah melarikan diri dari segala macam nafsu, dalam hal ini
sebagai
contoh adalah nafsu berahi,
melainkan membebaskan diri dari nafsu berahi. Dan kebebasan ini hanya dapat
terjadi apabila kita mengerti
benar, mengenal benar diri sendiri, mengenal nafsu berahi yang membakar
kita, dan tak mungkin kita dapat
mengenal tanpa kita mempelajari, mengawasi, mengamati dengan seksama
tanpa usaha untuk mendudukannya!
Dengan pengamatan ini maka segala akan tampak jelas, segala akan
kita kenal dan dari pengamatan
akan timbul pengertian, dari pengertian akan muncul suatu tindakan yang
berlainan sama sekali dari
tindakan palsu pelarian..Demikianlah halnya dengan Ouwyang Cin Cu, karena
puluhan tahun lamanya dia menahan-nahan
dan menekan nafsu, setelah kini
dia menguasai ilmu yang tinggi, memperoleh jalan muda untuk melampiaskan
nafsu-nafsunya, dia membiarkan nafsu-nafsunya bersimaharajalela, seolah-olah
untuk menebus pertapaannya yang selama puluhan tahun itu! Begitu turun gunung
kembali ke timur untuk menikmati seluruh sisa hidupnya dengan segala macam
kesenangan yang diinginkan tubuhnya, dia mendengar tentang pemberontakan An Lu
Shan. Memang dia seorang yang cerdik, maka tampaklah olehnya kesempatan terbuka
baginya untuk mencari kedudukan tinggi, kemuliaan sebagai seorang penguasa. Dia
mengunjungi An Lu Shan dan dengan demonstrasi kepandaiannya, baik silat maupun
sihir, dia diterima dengan tangan terbuka dan diberi kedudukan tinggi, yaitu
penasihat urusan dalam dari Jenderal itu! Tentu saja dia tidak dapat menjadi
penasehat urusan perang karena dia sama sekali tidak mengerti akan ilmu perang.
Mulailah Ouwyang Cin Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan,
segala kehendaknya terlaksana. Kemewahan, kehormatan, dan pelampiasan nafsu berahinya
karena disediakan banyak pelayan-pelayan wanita muda yang cantik-cantik untuk
kakek ini! Pada waktu itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An Lu Shan untuk
mengunjungi Rawa Bangkai, karena An Lu Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua
orang wanita The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai niat untuk menarik
kedua wanita itu sebagai pembantu dalam dan pengawalnya. Hal ini menunjukan
kecerdikan Jenderal itu. Dia tahu bahwa The Kwat Lin adalah bekas Ratu Pulau
Es, maka selain memiliki ilmu silat yang hebat, tentu juga memiliki
ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan yang hendak mereka gulingkan dan
rampas. maka kalau wanita seperti itu diberi kesempatan memperoleh kekuasaan
dengan pasukan yang kuat, kelak tentu akan menjadi penghalang dan saingan
belaka. Berbeda kalau wanita itu ditugaskan mengawalnya, segala gerak-geriknya
dapat diawasi selain tenaganya dapat dipergunakan untuk mengawalnya sehingga
dia akan merasa lebih aman dan terjamin keselamatannya.
Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu
diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai setelah lima orang utusan pertama ke Rawa
Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem Toan Ki dan tiga orang kakek lain berhasil dengan
baik mengunjungi Rawa Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu membawa surat
pribadinya yang dengan ramah mengundang kedua orang wanita itu untuk
mengunjungi istananya untuk mengadakan perundingan. Kedatangan Ouwyang Cin Cu
menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan kagum oleh The Kwat Lin dan
Kiam-mo Cai-li. Ketika lima orang utusan yang terdahulu datang, Kiam-mo Cai-li
telah memberikan rahasia jalan menuju ke Rawa Bangkai tanpa menyeberangi rawa,
yaitu melalui jalan terowongan di bawah tanah, dari balik gunung yang dijaga
oleh orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki tangannya. Maka
kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini tidaklah sukar, dan Ouwyang Cin Cu dengan
kepandaiannya yang tinggi dapat menyelinap melalui terowongan dan menembus ke
pulau di tengah rawa. Betapa kagetnyasemua orang ketika melihat seorang kakek
datang menunggangi seekor harimau!
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li
melompat ke depan, siap untuk menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang Cin Cu yang
masih duduk di atas pungung harimau itu tertawa, memperlihatkan deretan giginya
yang masih lengkap. "Apakah Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo
Cai-li yang terkenal itu?" "Benar, siapakan Totiang?" tanya The
Kwat Lin hati-hati karena sikap tosu ini menunjukan bahwa dia adalah seorang
yang berilmu tinggi.
"Ha-ha-ha, benar-benar tidak
berlebihan yang pinto dengar. Kalian selain gagah perkasa juga amat cantik. Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan pribadi
An-goanswe dan inilah surat beliau untuk Jiwi!" Dia menggosok kedua
telapak tangannya dan tampaklah asap mengepul tinggi. Asap itu membentuk
bayangan seorang pelayan istana yang cantik, yang berjalan terbongkok-bongkok
kepada kedua orang wanita itu dan menyerahkan sebuah sampul surat! Tentu saja
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li bengong terlongong menyaksikan permainan sulap
yang hebat ini. The Kwat Lin menerima surat itu sambil mengerahkan sinkangnya
dan.....wushhhh, wanita pelayan itu lenyap tanpa bekas!
"Ha-ha-ha, The-lihiap benar
hebat!" Ouwyang Cin Cu berseru dan dia meloncat turun dari atas punggung
harimau, lalu meniup ke arah
harimau itu dan..... harimau itu tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap di
angkasa!.Tentu saja semua ini
adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin Cu. Harimau dan pelayan wanita itu tentu
saja
tidak ada sesungguhnya, yang ada
hanyalah Ouwyang Cin Cu yang mempergunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi dua
orang wanita itu sehingga mereka melihat apa yang dikhayalkan oleh Ouwyang Cin Cu!
Padahal, yang menyerahkan surat adalah pendeta itu sendiri yang datang dengan
jalan kaki. Kiam-mo Cai-li tertawa.
"Hi-hik, kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang sulap!" Ouwyang
Cin Cu memandang wanita itu sambil tersenyum. Mereka saling pandang dan sudah
ada kecocokan di antara mereka. Kiam-mo Cai-li dapat melihat bahwa kakek itu,
biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih tampan gagah dan matanya
bersinar-sinar penuh nafsu berahi! Sebaliknya Ouwyang Cin Cu juga dapat
mengenal Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang biarpun usianya sudah setengah
abad lebih, namun memiliki nafsu yang besar dan awet muda karena terlalu banyak
mempermainkan dan menghisap hawa muda dari banyak perjaka! Dia tersenyum makin
lebar dan berkata, "Bukankah Cai-li suka akan ilmu sulap? Kita berdua suka
bicara dan bersikap terang-terangan, tanapa menutupi badan sama sekali,
bukan?" kalau bukan Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan menjerit
saking kaget dan ngerinya. Betapa tidak akan ngeri kalau tiba-tiba dia melihat
dia sendiri dan Ouwyang Cin Cu tidak berpakaian sama sekali, telanjang bulat
sama sekali di tengah-tengah orang banyak itu! Akan tetapi, ketika dia melirik
dan melihat bahwa The Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan berubahan
apa-apa, tahulah dia bahwa yang melihat mereka telanjang bulat itu hanyalah
mereka berdua! Diapun tersenyum dan
menjelajahi tubuh telanjang kakek itu dengan pandang mata kagum, seperti yang dilakukan
pula oleh Ouwyang Cin Cu kepadanya.
Pertapa cabul itu lalu diterima
sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Seperti
dapat diduga lebih dulu, di antara Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li segera
terjadi hubungan gelap yang amat mesra. The Kwat Lin tahu akan hal ini dan
diam-diam merasa geli, akan tetapi karena dia pun tahu akan kesukaan Kiam-mo
Cai-li yang sering mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya, dia pura-pura
tidak tahu.
Persiapan lalu dibuat oleh kedua
orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin Cu mengunjungi An Lu Shan. Akan tetapi sebelum mereka berangkat,
terjadilah peristiwa kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang dikabarkan oleh
orang-orang kerdil kepada mereka.
Ketika mendengar dengan jelas dan
tahu bahwa yang datang menyerbu adalah Kwa Sin Liong dan Han Swat Hong, muka
The Kwat Lin menjadi pucat sekali. Dia tahu bahwa biarpun dia jarang bertemu
tanding di daratan besar setelah dia lari dari Pulau Es, namun menghadapi kedua
orang muda itu dia tidak boleh main-main, apalagi menghadapi Sin Liong yang dia
tahu memiliki ilmu kepandaian hebat sekali dapat dikatakan mewarisi seluruh
kepandaian bekas suaminya, Han Ti Ong! "Aihh...., mereka
datang.....??" tak terasa lagi keluar seruan dari mulutnya.
Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu
yang sedang duduk berhadapan di meja makan bersama The Kwat Lin, memandang
dengan kaget dan juga heran. Baru sekarang Cai-li menyaksikan sahabatnya itu kelihatan
takut!
"Siapakah mereka,
Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li telah
menjadi sedemikian eratnya sehingga mereka saling menyebut moi-moi dan cici. "Mereka?" Kwat Lin menjawab dan
mukanya masih pucat. "Mereka adalah penghuni Pulau Es. Kwa Sin Liong
adalah murid utama dari Han Ti Ong, sedangkan Han Swat Hong adalah
puterinya!" "Ahhh...." Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu
kedatangan mereka itu mempunyai niat yang tidak baik. "Habis, apa yang
harus kita lakukan?"
"Kita harus siap menghadapi
mereka. Mereka lihai sekali, terutama Sin Liong! Atau jebakan agar mereka terperosok.
kalau sampai mereka berhasil menerobos ke sini, berbahaya sekali!" kata
Kwat Lin, masih tetap takut.
"Wah, Ibu. Mengapa bingung?
Bukankah di sini terdapat Bibi Cai-li, juga ada Ouwyang Totiang, dan Ibu sendiri
di samping puluhan orang anak buah. Biarkan mereka datang dan kita hancurkan
mereka!" Tiba-tiba Bu Ong berkata dengan gayanya yang jumawa.
Mendengar ini, Ouwyang Cin Cu
tertawa dan mengelus kepala pemuda tanggung itu.."Engkau hebat sekali,
Han-kongcu! masih kecil ini memiliki keberanian yang luar biasa. Benar puteramu,
The-lihiap. Biarlah para orang
kerdil menjebak mereka, kalau jebakan itu tidak berhail, biarlah pinto yang menghadapi
mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja menyambut mereka sebagai
tawanan atau sebagai mayat." Kiam-mo Cai-li segera mengatur sendiri
orang-orang kerdil untuk memancing dan menjebak Sin Liong dan Swat Hong,
sedangkan Ouwyang Cin Cu mengintai dan membayangi gerakan dua orang muda itu.
The Kwat Lin juga sudah siap-siap kalau kedua orang pembantu itu gagal. Demikianlah, setelah Sin Liong berhasil
menyelamatkan Swat Hong dan sedang mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu
mengagumi ketelanjangan punggung Swat Hong yang berkulit putih mulus dan halus
menggairahkan hatinya itu. Melihat betapa dengan pengerahan sinkang pemuda itu
berhasil mengusir hawa beracun, dia menjadi kagum sekali kepada pemuda itu.
Timbullah keinginan yang aneh dalam batin kakek yang penuh kecabulan itu.
Berahinya yang tadi bergolak hanya dengan melihat punggung yang putih mulus
dari Swat Hong itu kini berubah. Dia dapat melihat bahwa pemuda dan pemudi di
dalam guha itu masih murni, maka timbullah keinginannya menyaksikan mereka itu
bermain cinta! Memang demikianlah, Kecabulan bukan hanya keinginan untuk
berjinah sendiri dengan orang yang menimbulkan berahinya, melainkan juga dapat
berbentuk keinginan untuk menyaksikan orang lain bermain cinta. Hal ini juga
timbul karena kekagumannya menyaksikan pemuda itu sanggup mengusir hawa beracun
dengan sinkang, tanda bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh. Jika dia
berhasil menggunakan sihir dan guna-guna untuk membuat pemuda itu
"jatuh" tentu dalam keadaan seperti yang dikehendakinya itu, akan
mudah saja menawan dua orang muda yang agaknya ditakuti oleh The Kwat Lin itu.
Bagaikan bayangan setan saja, kakek itu menyelinap di balik batu dan tak lama
kemudian tampak asap mengepul dari tiga batang hio (dupa) yang menyebarkan bau
harum, sedangkan kakek itu sendiri sudah duduk bersila, kedua lengan diluruskan
ke depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang matanya terbelalak memandang
seperti sepasang mata setan!
Ilmu sihir yang dipergunakan oleh
Ouwyang Cin Cu adalah ilmu hitam yang dikuasainya dengan latihan-latihan yang
berat dan mengerikan. Di dalam ilmu ini terkandung kekuasaan mujijat yang hanya
dikenal oleh mereka yang memuja setan iblis dan segala roh jahat yang mereka
percaya ditambah dengan kekuatan dari tenaga sakti (sinkang) dan latihan yang
tekun, dicampur dengan bermacam mantra yoga.
Untuk melatih kekuatan matanya, bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa
menghadapi dupa membara sampai kekuatan pandang matanya dapat membuat api
membara di ujung dupa itu membesar atau mengecil, mengepulkan asap atau tidak
menurut kehendak pikiran yang disalurkan melalui pandangan matanya yang tajam
itu. Kini, dibantu dengan bau asap dupa yang harum dan aneh, dia mulai
menjatuhkan sihirnya, matanya memandang dengan pengaruh yang amat dahsyat,
bibirnya berkemak-kemik membaca mantra. Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh
hawa mujijat itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena tentu saja Sin Liong memiliki
daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan sumoinya, juga memang
sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra
yang aneh yang sejak tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa
telapak tangan suhengnya menyentuh punggungnya. Karena memang sudah timbul
perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan sehat, terdorong oleh rasa
cintanya kepada suhengnya itu, maka tidaklah mengherankan ketika diserang oleh kekuatan
sihir, Swat Hong mudah sekali terkena. Dia mengeluh dan merintih lirih,
tubuhnya gemetar semua, mukanya berubah merah seperti dibakar, napasnya
terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia tidak peduli lagi bajunya yang
tadi ditahan dengan tangan di bagian depan daadnya, merosot dan terbuka.
Setelah gelisah bergerak ke kanan kiri, kemudian dia menoleh, memandang kepada
suhengnya yang masih duduk bersila dengan muka menunduk dan mata terpejam. "Iihhhh.... aahhh.... Suheng....!"
Swat Hong mengeluh, lalu membalikan tubuhnya dan serta merta merangkul leher
Sin Liong sambil terengah-engah seperti orang hendak menangis. Sin Liong membuka matanya dan dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa sumoinya dalam keadaan
setengah telanjang karena pakaian bagian atasnya terlepas setelah merangkulnya.
"Su....Sumoi!" Dia
berseru dan barulah dia merasa betapa kepalanya seketika menjadi pening,
pandang
matanya menjadi berkunang dan
hidungnya mencium bau yang harum dan aneh sekali. Baru sekarang
terasa olehnya betapa tubuh
sumoinya mendekap ketat dan jari-jari tangannya merasakan kulit yang lunak
halus dan hangat. Jantungnya
berdebar dan pada saat itu, dengan isak tertahan Swat Hong telah
memperketat pelukannya dan
menciumnya. "Suheng....!" Bagaikan dalam mimpi Sin Liong merasa
seolah-.olah dia terseret oleh harus yang amat dahsyat, yang membuat bibirnya
membalas ciuman itu, yang
memaksa kedua lengannya merangkul
dan mendekap. Namun, seketika itu juga timbul hawa panas dari pusat di
pusarnya, hawa panas yang naik ke atas dan membuyarkan semua hal yang membuat
dia pening dan seperti mabok itu. Memang pada dasarnya Sin Liong adalah seorang
anak yang ajaib, yang sama sekali tidak pernah dipermainkan oleh lamunan yang
bukan-bukan, yang bersih sama sekali, kebersihan yang khas dan wajar, tidak
dibuat-buat dan memang pada dasarnya dia memiliki kekuatan batin yang tidak
lumrah manusia biasa. Maka begitu dia terserang oleh sihir yang amat mujijat,
biarpun dia sendiri belum tahu bahwa ada orang jahil yang mempermainkannya,
namun secara otomatis kebersihan hatinya telah meninggalkan hawa panas menolak
kekuasaan asing yang kotor itu. Begitu hawa panas naik dan membuyarkan pengaruh
jahat, seperti baru terbuka mata pemuda itu. Baru tampak olehnya kepulan asap yang
harum, keadaan Swat Hong yang tidak wajar.
Seketika tahulah dia bahwa
keadaan ini bukan sewajarnya dan pasti dibuat oleh seorang yang jahat. Begitu
telinganya menangkap suara gerakan dari kiri, dia cepat menengok dan tampaklah
olehnya seorang kakek tua yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengannya ke
arah mereka, dan dari kedua lengan itu, juga dari kedua matanya, menyambar
tenaga mujijat ke arah mereka. Lengking yang panjang dan nyaring dahsyat dan
mengandung getaran tenaga sakti dari dalam pusarnya, keluar dari mulut Sin Liong
dan dia sudah meloncat berdiri. Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran
yang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan sihir yang dipergunakan Ouwyang Cin
Cu buyar sama sekali, bahkan tubuh kekek itu tergetar. Swat Hong juga terbebas
dari cengkeraman sihir itu, dia menjadi pucat sekali, terbelalak, mengeluh
perlahan lalu terguling roboh, pingsan!
Dapat dibayangkan betapa kaget
rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia sedang menikmati hasil ilmu sihirnya,
melihat betapa muda-mudi itu sudah mulai terpengaruh, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan
suara melengking sedemikian dahsyatnya sehingga dia merasa betapa jantungnya
seperti akan copot! Melihat betapa pengaruh sihirnya buyar, dia segera bangkit
berdiri.
"Manusia jahat, apa yang
telah kaulakukan?" Sin Liong menegur dan melompat ke depan kakek itu. Kakek itu mengerahkan tenaga mujijatnya,
disalurkan melalui tangan kanannya yang dibuka jari-jari tangannya dan
diselojorkan ke arah muka Sin Liong, memandang tajam sambil berkata,
"Orang muda berlututlah kau di depan Ouwyang Cin Cu....!" Akan
tetapi, untuk kedua kalinya kakek itu mengalami kekagetan. Biasanya, setiap
orang lawan akan dapat dibikin tidak berdaya dengan kekuatan sihirnya. Akan tetapi
sekali ini pemuda itu hanya memandang kepadanya dengan sinar mata jernih halus
dan sama sekali tidak berlutut seperti yang diperintahkannya dengan suara
berwibawa itu. Dia memperhebat pencurahan tenaga sihirnya, namun tetap saja
pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh. Tentu saja Sin Liong dapat merasakan
serangan tenaga mujijat ini, dia merasa betapa ada hawa yang menyerangnya,
keluar dari lengan dan pandang mata kekak itu, yang membuatnya tergetar dan
seperti ada kekuatan mujijat memaksanya agar dia menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek itu.
Namun dia mengerti bahwa hal itu
tidak semestinya dan tidak sewajarnya, maka dia tidak mau mentaati perintah itu
melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek yang dianggapnya
jahat itu.
Melihat betapa kekuatan sihirnya
sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin Cu menjadi penasaran sekali . Sihirnya
boleh gagal akan tetapi dia masih memiliki ilmu silat dan kekuatan yang
dahsyat. Dara itu cantik menarik. Usahanya menikmati tontonan yang tidak
senonoh gagal, maka sebaiknya pemuda ini dibunuh saja dan dara itu ditawan!
"Mampuslah kau...."
Bentaknya penasaran dan kini dia tidak menggunakan ilmu sihir lagi, melainkan meloncat
dan menerkam seperti seekor serigala kepada Sin Liong, tangan kirinya
mencengkeram ke arah dahi pemuda itu sedangkan sedangkan tangan kanannya dengan
jari terbuka membacok ke arah dada kiri lawan.
"Plak! Desss...." Sin
Liong menangkis dengan kedua tangannya dan akibatnya tubuh kakek itu terdorong
ke
belakang sampai terhuyung-huyung.
Mata kakek itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya bahwa
pemuda yang sanggup membuyarkan
ilmu sihirnya ini juga berhasil menangkis serangan dan membuat
tubuhnya terhuyung dan hampir
jatuh! Maklum bahwa dia berhadapan dengan sorang pemuda yang luar
biasa. Ouwyang Cin Cu meloncat,
membalikan tubuhnya dan lari! Teringat dia akan sikap takut yang
tampak pada wajah bekas Ratu
Pulau Es ketika mendengar akan kedatangan pemuda dan pemudi ini dan
baru sekarang dia tahu mengapa
bekas Ratu itu kelihatan takut-takut. Kiranya pemuda ini memang.memiliki
kesaktian yang amat hebat! Dia perlu mencari bantuan, karena menghadapi seorang
diri saja amat
berbahaya.
Sin Liong yang ingin menangkap
kakek itu dan mencari keterangan tentang The Kwat Lin, segera mengejar sambil
berseru, "Orang tua jahat, kau hendak lari ke mana? Tungu, kau harus
menjawab beberapa pertanyaanku!"
Mendengar suara Sin Liong dekat
sekali di belakangnya, Ouwyang Cin Cu mempercepat larinya, akan tetapi dengan
gerakan yang lebih cepat lagi Sin Liong terus mengejarnya. Setelah keluar dari
dalam jalan terowongan itu, di lapangan terbuka yang agak jauh letaknya dari
guha di mana Sin Liong meninggalkan Swat Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu
tidak dapat melarikan diri lagi karena Sin Liong telah menyusul dekat sekali di
belakangnya.
"Kakek jahat, berhenti
dulu!" Sin Liong membentak. "Haaaeeeeeeehhhh!!" Tiba-tiba
Ouwyang Cin Cu membalikan tubuhnya dan begitu membalik, segulung sinar biru
menyambar ke arah pusar Sin Liong dan sinar putih menyambar ke antara kedua
matanya. Sinar biru itu adalah sebatang pedang tipis yang biasanya dibelitkan
di pinggang sebagai sabuk oleh kakek itu, sedangkan sinar putih itu adalah
jenggot panjangnya yang ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat
ampuh! "Hemmm....!!" Sin Liong
yang sudah menduga bahwa kakek yang jahat itu tentu tidak segan-segan bermain
curang, sudah menjaga diri maka begitu melihat menyambarnya sinar biru dan
putih itu, cepat dia sudah mencelat ke atas. Demikian cepat gerakan pemuda ini
sehingga Ouwyang Cin Cu melongo, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang!
Akan tetapi gerakan angin menyambar di belakangnya membuat dia membalik dan
ternyata pemuda itu telah berada di belakangnya dan tadi ketika mengelak pemuda
itu telah mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas kepalanya. Akan
tetapi gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri sampai
hampir tidak melihatnya, hanya melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu
lenyap.
Berdebar jantung kakek itu.
Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan lawan seperti ini! "Hiaaaahhh!!" Dia mengusir rasa
gentarnya dan mulai mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat cepat. Pedang
itu berubah menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara bedesing-desing
nyaring sekali, dan serangan pedang ini masih dia selingi dengan
pukulan-pukulan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka, memukulkan hawa
sinkang yang amat kuat. Memang Ouwyang Cin Cu bukan orang sembarangan. Pertapa
Himalaya ini selain pandai sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, tenaga sinkangnya
amat kuat dan pedang yang dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari
baja biru yang amat ampuh. Akan tetapi satu kali ini dia bertemu dengan
batunya! Tubuh Sin Liong berkelebatan dan ke mana pun pedang dan tangan kiri
menyerang, selalu hanya bertemu dengan angin belaka. Dua puluh jurus lebih kakek itu menyerang bertubi-tubi
sampai napasnya terengah-engah. Tiba-tiba Sin Liong berseru, "Lepas
pedang!"
"Plakk! Desss.....!!"
"Aiiiihhhh....!!"
Pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan jatuh ke atas tanah
mengeluarkan suara mendencing nyaring.
Ternyata bahwa lengan kanan kakek
tua itu kena ditampar oleh jari tangan Sin Liong, mendatangkan rasa nyeri yang
amat hebat, bukan hanya nyeri, akan tetapi juga hawa dingin seolah-olah
menggigit daging dan urat, membuat tangan kakek itu tidak kuat lagi memegang
pedang.
Untung bagi Ouwyang Cin Cu, pada
saat pedangnya terlepas itu, muncul The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li! Bagaikan
dua sosok bayangan setan, dua orang wanita sakti ini sudah menerjang ke depan sambil
meloncat dan terdengar suara melengking tinggi dari mulut Kiam-mo Cai-li ketika
dia menyerang berbareng dengan The Kwat Lin yang juga menyerang tanpa
mengeluarkan suara.
"Heeeeeeeeeiiiiiiiiitttttttttt!!!
Wir-wirrr......singggg..... singggg!!" Pedang payung di tangan Kiam-m-
Cai-li
sudah bergerak menyambar menyusul
lengkingannya, juga dibarengi dengan menyambarnya rambut
panjangnya dan kuku tangan
kirinya yang sekaligus menerjang dengan serangan yang amat dahsyat!.Namun Sin
Liong lebih memperhatikan sinar pedang merah yang menyambarnya tanpa suara itu
karena dia
tahu bahwa pedang Ang-bwe-kiam di
tangan The Kwat Lin yang menyambar tanpa suara itu jauh lebih berbahaya dari
pada semua serangan Kiam-mo Cai-li yang banyak ribut itu. "Hemmmm...!" Sin Liong mendengus
dan kaki tangannya bergerak menangkis rambut dan kuku, tubuhnya mencelat
menghindari sinar merah pedang The Kwat Lin dan ujung kakinya yang menendang
pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li berhasil menangkis tusukan pedang payung. Pada saat itu, dari belakang, menyambar sinar
biru dari pedang Ouwyang Cin Cu yang ternyata telah menyambar pula pedangnya
yang tadi terlepas dan kini ikut mengeroyok.
"Ahhh!" Sin Liong berseru, membiarkan pedang lewat dekat
sekali dengan lehernya karena dia memang sengaja berlaku lambat dan begitu
pedang lewat, jari tangannya menyentil, kuku jari tangannya bertemu batang
pedang biru itu.
"Tringgggg....
Auuhhh....!" Untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas dari pegangan
tangan Ouwyang Cin Cu dan kini melayang jauh dan lenyap kedalam semak-semak !
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjang lagi, akan tetapi Sin Liong
meloncat jauh ke belakang, lalu berkata kepada The Kwat Lin, "Subo, tungu
dulu!"
Suaranya halus akan tetapi penuh
wibawa sehingga tanpa disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan
gerakannya, memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh cahaya kagum. Otomatis hatinya tergerak melihat pemuda yang
luar biasa ini, pemuda yang wajahnya mengeluarkan cahaya lembut, sedikit pun
tidak membayangkan kekerasan dan yang memiliki sepasang mata yang aneh dan
indah.
"Hemmmm, bocah kurang ajar!
Engkau masih ingat bahwa aku adalah Subomu (Ibu Gurumu)!" bentak The Kwat
Lin dengan suaranya menyindir untuk menutupi guncangan hatinya. "Subo adalah isteri Suhu, mana teecu
berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama Sumoi adalah untuk memenuhi pesan
Suhu."
Kembali hati The Kwat Lin
terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut kalau-kalau suaminya yang dia tahu
amat sakti itu muncul di situ. Akan tetapi mendengar bahwa Sin Liong datang
memenuhi pesan suaminya, hatinya lega karena hal itu berarti bahwa suaminya
tidak ikut datang! "Hemm, pesan
apakah dari Suhumu?"
Sin Liong yang memang berawatak
polos dan tidak suka menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya, berkata lantang,
"Subo, Suhu minta agar supaya semua pusaka Pulau Es yang Subo bawa pergi,
diserahkan kembali kepada teecu untuk teecu kembalikan ke Pulau Es."
Mendengar permintaan ini tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu menggerakan
pedangnya dan mengirim serangan langsung yang amat dahsyat. Gerakannya memang cekatan sekali dan pedangnya
hanya tampak sebagai sinar mereh yang meluncur seperti panah api menuju ke arah
tubuh Sin Liong. Pemuda ini kembali mencelat ke belakang berjungkir balik dan
berdiri dengan tenang.
"Subo harap dengarkan
permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu tidak boleh di bawa keluar dari Pulau Es.
Teecu tidak suka melawan Subo, akan tetapi kalau Subo tidak mengembalikan
pusaka-pusaka itu, terpaksa teecu...."
"Heiiiiihhh,
mampuslah!" bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah melayang ke depan
dengan cepat seperti seekor burung garuda terbang menyambar, didahului oleh
sinar mereh pedang Ang-bwe-kiam di tangannya.
Terpaksa Sin Liong mengelak
sambil membalas dengan totokan tangan kirinya menuju ke
pergelangan tangan yang memegang
pedang, namun bekas ibu gurunya itu dengan cepat telah menarik
kembali pedangnya dan melanjutkan
serangannya secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihan dari Nga-heng-
kiamsut yang dimainkan oleh The
Kwat Lin ini hebat bukan main karena diperkuat dengan latihan-.latihannya di
Pulau Es di bawah bimbingan suaminya, Han Ti Ong yang sakti. Juga berkat
latihan
sinkangnya di pulau dingin itu,
tenaga yang menggerakkan pedang itu pun amat luar biasa sehingga Ang-bwe-kiam
menyambar-nyambar dengan hawa dingin yang menyusup tulang lawannya biarpun
tubuh belum sampai tercium pedang. Tubuh Sin Liong lenyap dan yang tampak hanya
bayangannya saja berkelebatan di antara dua sinar pedang itu yang
bergulung-gulung mengurung dirinya. Pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh
keringanan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kemudian
mempercepat lagi gerakannya ketika Kiam-mo Cai-li sudah menerjang juga dengan
kemarahan meluap karena kejatuhannya tadi dianggapnya amat memalukan. Tiga
orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, ketiganya memegang senjata-senjata
pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong dengan mati-matian! Bukan main hebatnya pertandingan mati-matian
itu! Sekali ini, baru sekali inilah, Sin Liong benar-benar diuji semua hasil
jerih payahnya mempelajari ilmu silat tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan hampir
seluruh ilmu kepandaian Raja Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya secara
matang. Dengan tangan kosong saja dia menghadapi serbuan maut yang dilancarkan
secara bertubi-tubi oleh tiga orang lawan yang sakti itu. Sebelumnya, dengan
tingkat kepandaian Sin Ling yang sudah luar biasa tingginya, sukar lagi diukur
sampai di mana tingkatnya, dengan mudah dia dapat mengikuti semua gerakan tiga
orang lawannya dan karena itu dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan.
Dengan ilmunya mengenal semua dasar gerakan ilmu silat yang dipelajarinya dari
kitab kuno Inti Sari Gerakan Silat, sekali pandang saja dia dapat mengetahui
perkembangan gerakan lawan dan bahkan dengan mudah dapat menirunya. Akan tetapi
ada dua hal yang penting yang membuat dia repot juga menghadapi pengeroyokan
tiga orang lihai itu.
Pertama, harus diakui bahwa
biarpun tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dan dia memiliki dasar lebih kuat dan
lebih bersih sehingga sinkangnya kuat sekali, namun dia kalah matang dalam
latihan. Usianya masih terlalu muda dan dia belum mengalami banyak
pertandingan, apalagi melawan orang-orang yang ahli, tidak seperti tiga orang
pengeroyoknya yang telah mempunyai pengalaman banyak sekali dalam pertandingan silat.
Kedua, dan ini merupakan
kenyataan yang paling hebat, adalah bahwa Sin Liong memiliki dasar watak yang
halus budi dan penuh belas kasihan. Wataknya ini membuat dia tidak tega
menjatuhkan pukulan maut, apalagi membunuh lawannya. Andaikata dia tidak
memiliki dasar watak seperti ini, dengan kepandaiannya yang hebat, tentu dia
akan mampu membunuh mereka seorang demi seorang. Tadi pun, kalau dia menghendaki,
tentu Kiam-mo Cai-li sudah dapat dia robohkan untuk selamanya. Kini, menghadapi tiga orang lawan yang
mengeroyoknya dan yang berusaha sunguh-sunggu untuk membunuhnya, Sin Liong
menjadi repot juga. Apalagi dia hanya mengelak, menangkis, dan kadang-kadang membalas
serangan dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak karena takut
kalau-kalau salah tangan membunuh orang. Dengan demikian, dia lebih banyak
diserang daripada balas menyerang. Seratus
jurus telah lewat dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan
oleh para pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga menjadi penasaran,
marah dan malu sekali. Biarpun di tempat itu tidak ada orang lain kecuali para
anak buah mereka yang kini mulai bermunculan dan mengurung tempat itu,
orang-orang katai dan juga para anak buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu tentu
saja merasa malu bahwa mereka bertiga maju bersama dengan senjata lengkap sampai
seratus jurus tidak mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang
bertangan kosong! The Kwat Lin yang selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan
tandingan, biarpun tahu betapa lihainya murid bekas sumoinya ini, namun dia
telah dibantu oleh dua orang pandai dan belum juga dapat menang, maka dia merasa
penasaran sekali. Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum
sesat yang lihai, selama hidupnya baru sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda
dengan dua orang teman yang kepandaiannya lebih tinggi dari dia sendiri, maka
dia pun penasaran.Terutama sekali Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia,
yang memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu.
Hal ini benar-benar menyakitkan
hati dan menghancurkan kebanggaan hati mereka akan ilmu kepandaian mereka
masing-masing yang sudah terkenal di dunia kang-ouw. "Pemuda setan,
mampuslah!!"
Ouwyang Cin Cu berteriak keras,
pedang birunya untuk ke sekian lainya menyambar ganas ke arah leher
Sin Liong, sedangkan tangan
kirinya mencengkeram ke arah perut. Pada saat itu, Sin Liong baru saja
menyingkirkan pedang di tangan
The Kwat Lin yang menyambar kakinya dengan cara menendang
pergelangan tangan bekas ibu
gurunya itu sehingga The Kwat Lin terpaksa menarik kembali pedangnya
dan meloncat ke
samping.."Hiaaaaaattttt!!" Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak
kemarahannya itu pun membarengi serangan
Ouwyang Cin Cu dari belakang,
kukunya mencengkeram ke arah punggung Sin Liong sedangkan pedang payungnya
berputar-putar mengancam tengkuk.
Dalam detik berbahaya itu Sin
Liong maklum akan datangnya ancaman maut dari depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya melesat ke
atas dan tak dapat dicegah lagi, pedang payung bertemu dengan pedang biru.
"Cringgggggg.....!!"
Pada saat itulah Sin Liong yang
mencelat ke atas itu bergerak cepat bukan main, tubuhnya sudah berjungkir balik,
menukik turun dan kedua tangannya menyambar seperti sepasang garuda. "Plak! Plak!"
Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li
mengeluh. Kakek itu terhuyung dan memuntahkan darah segar, sedangkan Kiam-mo
Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat berdiri dengan muka pucat. Baju di pundak
ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong! "Orang
muda, lihai ini....!!" Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali,
pedang birunya diputar-putar merupakan sinar biru bergulung-gulung di depannya.
Sin Liong mengira bahwa kakek itu
akan menyerangnya atau akan menggunakan senjata rahasia, maka dia memandang
penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang, berarti sekali
menuruti kata-kata kakek itu, dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan
lagi dari gulungan sianr biru itu! "Orang
muda, engkau telah lelah, mengasolah.... duduklah kau.....!" kembali suara
kakek itu mendengung dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang ajaib.
Sin Liong menggoyang-goyang
kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang memaksanya untuk duduk itu. Seketika
dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia maklum bahwa kakek itu kembali
menggunakan ilmu hitamnya dan kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada
dirinya. Dia mengerahkan sinkangnya untuk menolak pengaruh itu sehingga
tubuhnya kadang-kadang diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi, datang lagi
seolah-olah terjadi "pertandingan" yang tidak tampak.
Akan tetapi, karena terlalu
mencurahkan perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir, dan
menggunakan sinkangnya untuk melawan pengaruh aneh itu, perhatian Sin Liong
terhadap dua orang lawan lainya menjadi berkurang banyak.
Dua orang wanita itu tentu saja
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat betapa pemuda itu kelihatan
bengong dan menghentikan gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan
tetapi dia didahului oleh The Kwat Lin yang sudah menusukkan Ang-bwe-kiam ke
arah lambung Sin Liong, disusul oleh tusukan pedang payung dan cengkeraman kuku
tangan kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh hantaman tangan kiri The Kwat
Lin yang mengandung imkang amat dahsyatnya. Ketika merasa adanya angin yang
menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong berusaha mengelak. Dengan kedua
tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo
Cai-li dan The Kwat Lin yang memegang pedang dan gerakannya ini hebat bukan
main sehingga kedua wanita itu memekik dan pedang mereka terlepas dari pegangan!
Akan tetapi, kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang beracun itu berhasil mencengkeram
pundak dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama, tangan kiri The
Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat.
"Plakk! Dessss....!!"
Tubuh Sin Liong terguling,
cengkeraman kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan
karena secara otomatis hawa
sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang dicengkeram, akan tetapi
hantaman tangan kiri The Kwat Lin
yang mengandung tenaga im-kang yang dingin itu terlalu keras bagi
Sin Liong yang pada saat itu
sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin Cu. Dia masih.terlindung
oleh sinkangnya yang otomatis sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu
parah, akan
tetapi guncangan yang hebat
akibat pukulan itu membuat dia pingsan! Melihat
pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh pingsan, dengan gemasnya
ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya menghantam ke arah
ubun-ubun kepala Sin Liong untuk membunuhnya.
"Wuuuuuttt... plakk! Ehhhh?
Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?" Ouwyang Cin Cu
membentak kaget dan melotot memandang kepada kekasih barunya ini. Kiam-mo Cai-li tersenyum penuh arti, matanya
yang indah itu dengan lirikan yang memikat. "Sayang sekali kalau dibunuh
begitu saja!" katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan.
"Dia adalah sin-tong, kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi
seratus orang jejaka lain...." "Huh, kau memang cabul!" Ouwyang
Cin Cu mencela akan tetapi tidak berani turun tangan lagi. "Tidak, dia
harus dibunuh! kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan tetapi juga jangan
sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu bahwa kita yang membunuhnya.
Kita lempar dia di sumur ular, juga gadis itu.
Mereka berdua harus mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan
jejak!" "Ah, ya.... gadis itu....!" Ouwyang Cin Cu yang teringat
kepada gadis berpunggung putih mulus itu segera berlari ke dalam guha
terowongan untuk mencari Swat Hong. Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu
begitu saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam
benak Kiam-mo Cai-li! Akan tetapi tak
lama kemudia dia kembali dengan muka berubah. "Dia.... dia tidak
ada!" "Apa....?" The Kwat Lin berseru dengan muka pucat. "Kalau
begitu..... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular kemudian cari gadis itu
sampai dapat....!
The Kwat Lin sendiri menggotong
tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu dan beramai mereka menuju ke sebuah
sumur di dalam guha terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu setengah meter,
dalamnya sukar diukur karena amat gelap dan dari atas orang dapat menangkap
suara mendesis-desis karena sumur itu penuh dengan ular-ular berbisa. Hawa yang
memuakkan dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh bercampur amis. Tanpa
ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke dalam sumur. Mereka semua menanti, ingin mendengar keluhan
atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada ular-ular
berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu
pemuda yang pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena dikeroyok
ular dalam keadaan pingsan.
JILID 20
"Cepat kerahkan orang untuk
mencari gadis itu!" The Kwat Lin berkata, dan sibuklah mereka semua
mencari Swat Hong, namun sampai habis seluruh lorong terowongan itu dijelajahi
dan sampai jauh di luar, di sekitar Rawa Bangkai, tetap saja tidak tampak
bayangan gadis itu yang seolah-olah lenyap ditelan bumi!
"Heran sekali, tadi ketika
ditinggalkan pemuda itu, dia masih pingsan!" kata Ouwyang Cin Cu ketika mereka
bertiga kembali berkumpul di dalam guha di depan sumur ular. "Kenapa kau pucat sekali? Gadis itu
tidak terlalu berbahaya kukira. Andaikata dia berhasil melarikan diri, biarkan
dia datang.
Pemuda itu yang lebih hebat pun
dapat kita basmi," kata Kiam-mo Cai-li ketika melihat betapa The Kwat Lin
nampak ketakutan dan mukanya pucat.
"Aihhh... kau tidak
tahu....! Lenyapnya Swat Hong begitu aneh...., aku takut kalau-kalau...."
"Mengapa? Apa yang perlu
ditakuti?" Ouwyang Cin Cu juga berkata.."Kalau ayahnya yang datang,
kita celaka. Baru muridnya saja sudah demikian sukar dilawan, apalagi
Gurunya..."
"Bekas suamimu?"
Kiam-mo Cai-li bertanya.
"Raja Pulau Es?"
Ouwyang Cin Cu juga berkata sambil menengok ke kanan kiri, karena gentar juga mendengar
tentang guru pemuda luar biasa tadi.
"Kalau begiu, sebaiknya kita
cepat mengunjungi utara dan menghadap An Tai-goanswe," kata Kiam-mo Cai-li.
"Benar, kalau terlalu lama,
tentu aku akan ditegur. Beliau telah menanti-nanti!" kata pula Ouwyang Cin
Cu karena kini hatinya gentar sekali seperti halnya Kiam-mo Cai-li.
"Memang sebaiknyakita pergi
hari ini juga. Akan tetapi hatiku belum puas kalau belum yakin benar akan kematian
Sin Liong.
Pemuda itu terlalu berbahaya dan
lihai, siapa tahu dia masih belum mati di dalam sana." "Aiihhhh,
siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang penuh ular berbisa itu?"
Ouwyang Cin Cu berkata sambil bergidik karena dia merasa ngeri juga memikirkan
hal itu. Kiam-mo Cai-li tertawa. "The-lihiap, mengapa khawatir? Aku
sebagai pemilik tempat ini mengerti betul bahwa sumur itu merupakan sumur maut.
Entah sudah berapa banyak..... eh, orang-orang yang kulempar ke situ dan tidak
pernah ada yang dapat hidup kembali. Sumur itu dahulunya memang merupakan
sarang ular-ular berbisa, kemudian kutambah lagi dengan ratusan ekor ular
berbisa lain. Kurasa jangankan baru pemuda itu, biar dewa sekalipun kalau
terjatuh ke dalam sumur itu tentu mampus!" Dan memang apa yang diceritakan
oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria yang dia lempar ke dalam sumur itu,
yaitu para pria yang diculiknya dan menjadi korban nafsu berahinya. Setelah dia
merasa bosan, para korban itu dilempar ke dalam sumur menjadi mangsa ular-ular
berbisa.
"Betapapun juga,aku masih
belum yakin benar, Cai-li."
"Kalau begitu, kita
runtuhkan saja guha ini agar sumur tertutup dan tidak ada jalan keluar lagi
baginya andaikata dia benar masih hidup." Ouwyang Cin Cu memberikan
usulnya. "Memang baik sekali
begitu," kata The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li setuju dan
mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga orang-orang katai untuk
meruntuhkan guha itu sehingga sumur ular itu tertutup oleh batu-batu besar dan
tidak ada jalan keluar dari tempat yang terpendam batu-batu besar itu. Kemudian
bergegas tiga orang ini mengajak anak buah mereka meninggalkan Rawa Bangkai dan
diam-diam secara terpencar, mereka melakukan perjalanan ke utara untuk membantu
pergerakan Jenderal An Lu Shan yang sudah mulai mempersiapkan kekuatannya untuk
menyerbu kota raja. Ke manakah perginya Swat Hong? Apakah dia berhasil siuman
dan sempat melarikan diri? Tidak mungkin, Andaikata dia siuman dan melihat Sin
Liong dikeroyok, dia pasti akan membantu suhengnya itu, kalau perlu sampai mati
bersama. Bukan watak Swat Hong untuk melarikan diri, menyelamatkan dirinya
sendiri apalagi suhengnya terancam bahaya.
Tidak, ketika pertolongan tiba, dara ini masih dalam keadaan pingsan.
Ketika Sin Liong lari mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah seorang kakek tua
renta yang bercaping lebar, berdiri memandang Han Swat Hong samabil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menghampiri dara itu, membetulkan bajunya
yang lepas, lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan itu keluar dari dalam guha
dengan gerakan yang cepat sekali.
Setelah berada di dalam sebuah
hutan yang jauh di luar daerah Rawa Bangkai, kakek itu berhenti,
menurunkan Swat Hong dan mengurut
tengkuk gadis itu beberapa kali, Swat Hong membuka matanya dan
menlihat seorang kakek tua renta,
akan tetapi hampir dia jatuh lagi karena tubuhnya masih lemah.."Duduklah
dulu, engkau masih pening dan lemah."Suara ini sedemikan halusnya sehingga
mengelus hati Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar kembli. Dia duduk,
memejamkan mata sebentar mengusir kepeningannya, lalu mengangkat muka memandang
kakek yang berdiri didepannya sambil tersenyum itu. "Kau.... kau
siapakah....?" "Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"
Swat Hong terbelalak lalu
mengangguk.
"Apakah kau datang dari
Pulau Es?"
Kembali Swat Hong terkejut dan
terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk.
"Kau.... kau
siapakah....?"
"Hemmm.... kalau begitu
Ibumu adalah Liu Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?" Swat Hong tak dapat menahan
keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa tahu?" kakek itu tersenyum,
memperlihatkan mulut yang sudah tak bergigi lagi.
"Mengapa tidak tahu kalau
Han Ti Ong itu adalah cucuku?"
"Ouhhh...!" Swat Hong
terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan diri berlutut. Kiranya dia berhadapan
dengan Kong-couwnya (kakek buyut) yang pernah dia dengar telah meninggalkan
Pulau Es sebagai seorang pertapa! Kini mengertilah dia bahwa kakek buyutnya ini
telah menolongnya. "ha-ha-ha,
kebetulan saja aku mendengar pemuda itu memanggil-manggilmu sehingga aku
tertarik akan She Han yang diteriakkannya. Melihat engkau berada dalam bahaya,
aku segera membawamu keluar dari guha ke tempat ini."
"Saya menghaturkan terima
kasih atas pertolongan Kong-couw... akan tetapi, di mana Suheng?"
"Hemm, pemuda yang lihai itu, dia Suhengmu?"
"Benar, Kong-couw, dia
adalah murid Ayah."
"Ahh, dia terlalu berbahaya
keadaannya. Kau beristirahatlah di sini, pulihkan tenagamu, aku akan kembali ke
sana dan melihat keadaannya."
Swat Hong mengangguk dan kakek
itu berkelebat pergi dari situ. Swat Hong merasa kagum sekali. Kakek buyutnya
itu sudah tua sekali, tentu lebih dari seratus tahun usianya namun gerakannya
masih demikian ringan dan cepat. Hatinya merasa lega melihat kakeknya itu pergi
untuk menolong Sin Liong, maka dia lalu duduk bersila dan mengatur
pernapasannya untuk memulihkan tenaganya. Samar-samar teringatlah dia akan
peristiwa di dalam guha dan mukanya terasa panas sekali. Teringatlah dia betapa
dia telah menjadi seperti gila di dalam guha itu, ketika suhengnya mengobatinya
dan mengusir hawa beracun dari tubuhnya.
Kalau dia membayangkan peristiwa
itu..... betapa dia tanpa malu-malu memeluk suhengnya,
menciumnya.... ah, dia bisa mati
karena malu! Namun semua itu hanya teringat seperti dalam mimpi saja,
bayang-bayang suram dan dia
sendiri masih tidak percaya apakah peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah
hanya dalam mimpi belaka? Kalau
sungguh terjadi betapa malunya! Dan agaknya tidak mungkin dia berani
melakukan hal itu, sungguhpun di
sudut hatinya memang terdapat suatu kerinduan yang hebat terhadap
suhengnya. Akan tetapi siapa
tahu, di dalam guha yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal
itu , betapa dia dapat bertemu
muka dengan suhengnya? Karena pikiran dan hatinya tak pernah berhenti
bekerja dan melamun, waktu
berlalu dengan amat cepatnya sampai tidak terasa oleh Swat Hong bahwa
kakek buyutnya telah pergi setengah
hari lamanya! Baru dia sadar kembali dan teringat akan kakek ini
setelah kakek itu datang kembali
ke situ tahu-tahu sudah duduk di dekatnya, menghapus keringat dari dahi
yang berkeriput
itu.."Aihh...!" Kakek itu menarik napas panjang sambil memandang Swat
Hong yang sudah membuka mata dan
memandang kakek itu dengan penuh
pertanyaan.
"Bagaimana, Kong-couw? Mana
Suheng?"
Kembali kakek iru menarik napas
panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Mereka sungguh jahat, Suhengmu
biar lihai tidak dapat melawan kelicikan dan kecurangan mereka. Suhengmu
tertangkap dan.... terbunuh...."
Sepasang mata itu terbelalak,
mukanya pucat sekali. "Terbunuh? Suheng.... terbunuh....?"
"Ya, dilempar ke dalam sumur
ular...."
"Aahhhh....!" Swat Hong
menjadi lemas dan tentu akan roboh kalau tidak di sambar oleh kakek itu. Dara itu
pingsan dengan muka pucat sekali. Kakek itu merebahkannya dan mengerutkan
alisnya, merasa kasihan sekali karena dia dapat menyelami perasaan gadis ini,
cucu buyutnya yang agaknya mencinta Suhengnya. Setelah siuman dari pingsannya, Swat Hong
menangis dengan sedihnya. kakek itu membiarkan dia menangis beberapa lamanya,
kemudian berkata dengan suara halus dan penuh pengertian, "Han Swat Hong,
aku tidak menyalahkan engkau berduka dan menangis, karena kematian Suhengmu itu
amat menyedihkan. Akan tetapi, kita harus berani membuka mata melihat dan
menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Suhengmu tewas, hal ini adalah suatu
kenyataan yang tidak dapat diubah oleh siapa dan oleh apapun juga. Sudah
demikianlah jadinya, tidak akan berobah biarpun kita akan berduka sampai
menangis air mata darah sekalipun. karena itu lihatlah kenyataan ini dan
bersikaplah tenang dan tabah." Swat Hong menyusut matanya. "Dia....
dia adalah satu-satunya orang.... setelah aku kehilangan Ibu dan Ayah...."
Sukar membendung membanjirnya air mata akan tetapi perlahan-lahan, mendengarkan
nasihat kakek buyutnya, dapat juga Swat Hong menekan kedukannya dan
menghentikan tangisnya. "Kong-couw,
apakah yang terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan dengan sejelasnya."
Kakek itu menarik napas panjang.
"Aku terlambat. Ketika tiba di sana, tempat itu sudah kosong. The Kwat Lin dan teman-temannya sudah
melarikan diri dari Rawa Bangkai. Aku menangkap seorang katai yang masih
tinggal di sana dan dari orang inilah aku mendengar betapa Suhengmu dikeroyok
dan akhirnya dapat ditangkap dan dilempar ke dalam sumur ular."
"Ketika dia dilempar belum
mati, apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong bertanya penuh harapan. Kakek itu, yang selama dalam perantauannya
setelah meninggalkan Pulau Es, menyebut diri sendiri Han Lojin (Kakek Han),
menggeleng kepala. "Guha terowongan itu diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur
ular telah tertutup batu-batu besar. Suhengmu tidak mungkin dapat ditolong lagi
karena sumur itu penuh ular berbisa dan Suhengmu pingsan ketika dilempar ke
situ." Sepasang mata yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar
berapi dan kedua tangan itu dikepal, "Aku harus bunuh mereka! Aku harus
balaskan kematian Suheng! kalau tidak, hidupku tidak ada artinya lagi.
Kong-couw, sekarang juga aku akan cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri
dan hendak pergi dari situ. Akan tetapi kakek itu memegang lengannya dan
berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan dulu!"
Swat Hong memandang kakek itu
dengan alis berkerut. "Mengapa engkau menghalangi niatku membalas
dendam?"
"Melakukan sesuatu dengan
tergesa-gesa tanpa pertimbangan lebih dulu adalah perbuatan bodoh dan sikap yang
ceroboh. Karena tidak mengukur kekuatan sendiri, Suhengmu telah membeli dengan
nyawanya. Apakah perbuatan bodoh seperti
itu hendak kau contoh pula? Aku mendengar keterangan dari si katai itu bahwa
mereka itu bersama anak buahnya pergi ke utara, ke Telaga Utara untuk
menggabungkan diri dengan pemberontak An Lu Shan. kalau engkau menyusul ke
utara, mana mungkin engkau seorang diri akan menghadapi mereka yang mempunyai
pasukan ratusan ribu orang? Apakah kau hanya akan mengantar nyawa dengan
sia-sia belaka di sana?"
"Aku tidak takut,
Kong-couw!".Kakek itu tersenyum. "Tentu saja tidak takut, akan tetapi
bodoh kalau sampai begitu. Kau ini akan
membalaskan kematian Suhengmu
ataukah akan membunuh diri?" Swat Hong sadar dan terkejut juga karena baru
sekarang terbuka matanya bahwa dia hanya menuruti hati duka dan sakit. Dia
menunduk dan berkata dengan lirih, "Aku harus membalaskan kematian Suheng,
dan juga aku harus merampas kembali semua pusaka Pulau Es yang dilarikan The
Kwat Lin untuk memenuhi pesan terakhir Ayahku." "Baiklah, akan tetapi
engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat itu seorang diri saja.
Marilah pergi bersamaku, aku sudah hafal akan keadaan di Telaga Utara dan
biarlah aku yang akan mrnyelidiki di sana nanti."
Swat hong tentu merasa girang
sekali memperoleh bantuan kakeknya yang berilmu tinggi dan dia tidak membantah.
Maka berangkatlah ke dua orang ini ke utara.
Setelah tiba di dekat Telaga
Utara, Han Lojin mulai menyelidiki sebagai sebagai seorang tukang pancing yang
bercaping lebar. Swat Hong dia suruh menanti di dalam kuil tua di sebelah
hutan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Han Lojin kemudian bertemu
dengan cucu mantunya, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok yang dikeoyok oleh
orang-orangnya An Lu Shan dan menyelamatkan kedua orang itu. Dia tidak berhasil
bertemu dengan The Kwat Lin karena wanita ini, bersama dengan Kiam-mo Cai-li dan
juga Ouwyang Cin Cu, telah memperoleh tugas lebih dulu dari An Lu Shan dan
telah berangkat ke kota raja untuk menyelundup dan membantu gerakan dari dalam
secara rahasia. Oleh karena inilah , maka ketika menyelidiki ke Telaga Utara,
Han Lojin tidak pernah mellihat The Kwat Lin dan akhirnya dia malah bertemu dan
menyelamatkan cucu mantunya.
Demikianlah, Liu Bwee dan Ouw
Sian Kok ikut bersama kakek sakti itu memasuki hutan.Ketika tiba di
kuil, kakek itu berkata kepada
Liu Bwee, "Engkau akan bertemu dengan seseorang yang tidak
kausangka-sangka,
maka bersiaplah engkau menghadapi
peristiwa ini." Tentu saja Liu Bwee menjadi terheran-heran dan tidak
mengerti. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara orang , "Kong-couw,
aku sudah pulang?" dan munculah Swat Hong!
Tiba-tiba Swat Hong yang berlari
ke luar itu berhenti dan seperti telah berubah menjadi patung. Ibu dan anak itu
saling berpandangan, keduanya tidak bergerak seperti terkena pesona. "Ibuuuuu.....!!"
"Swat Hong..... Hong-ji,
anakku....!"
Keduanya berlari ke depan, kedua
lengan terbuka, air mata bercucuran di wajah yang berseri penuh kebahagiaan,
keduanya bertemu, saling rangkul dan saling dekap sambil menangis! Pertemuan
yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka, pertemuan yang mengundang
keharuan hati mendatangkan segala bayangan duka yang dipendam di lubuk hati.
Ouw Sian Kok terbatuk-batuk
menahan haru. Teringat dia akan puterinya sendiri, namun diam-diam dia merasa
girang bahwa Liu Bwee dapat berjumpa dengan anaknya. Dia saling pandang dengan
Han Lojin dan tersenyum sambil mengangguk-angguk, dan pergi menjauh untuk
memberi kesempatan kepada ibu dan anak itu saling bertemu dan bicara.
"Ibu...., Ayah.... Pulau Es....."
Liu Bwee mengangguk dan menghusap
rambut puterinya. "Aku sudah tahu....."
".......dan
Suheng......"
Liu Bwee memandang puterinya dan
mengangkat dagu Swat Hong. "Apa maksudmu? Suhengmu kenapa?" Melihat
ibunya belum tahu, Swat Hong terisak lagi menangis. "Hong-ji, tenanglah.
Mari kita bicara yang baik. Mengapa Suhengmu?
Apa saja yang telah terjadi sejak
kita berpisah?"
"Suheng.... Suheng telah
tewas, Ibu....".Liu Bwee terkejut bukan main, terbelalak dan memandang
pucat kepada putrinya akan tetapi melihat
puterinya menangis penuh duka,
dia mendekapnya dan menghibur, "mati hidup bukanlah urusan kita, Hong-ji.
tenanglah dan ceritakan semua pengalamanmu kepada Ibumu." Swat Hong lalu
menceritakan semua pengalamannya semenjak ibunya meninggalkan Pulau Es, menceritakan
dengan lengkap namun singkat dan didengarkan oleh ibunya penuh perhatian. Ketika
puterinya itu bercerita tentang Soan Cu, Liu Bwee menengok dan menggapai ke
arah Ouw Sian Kok sambil berseru, "Ouw-twako, ke sinilah. Anakku telah
bertemu dengan puterimu, Ouw Soan Cu!" Mendengar seruan ini, Ouw Sian Kok
melompat bangun dan lari menghampiri, berkata kepada Swat Hong, "Aihhh,
han-siocia (Nona Han), benarkah kau telah bertemu dengan anakku?" Suaranya
agak gemetar karena keharuan hatinya mendengar tentang puterinya. Swat Hong
memandang laki-laki setengah tua yang gagah itu, lalu mngangguk. Kiranya ibunya
telah bertemu dan bersahabat dengan ayah Soan Cu, pikirnya! Dia telah mendengar akan ayah Soan Cu yang
lari meninggalkan Pulau Neraka semenjak isterinya meninggal dunia. jadi inikah
orangnya? Dia lalu melanjutkan penuturannya yang amat menarik hati itu sampai
pada peristiwa penyerbuannya bersama suhengnya ke Rawa Bangkai sehingga
suhengnya tewas dan dia tertolong oleh kakek buyutnya.
Hening sekali setelah Swat Hong
mengakhiri ceritera, hanya isak tertahan gadis itu masih terdengar. "Hemm, sungguh jahat sekali The Kwat Lin
itu!" tiba-tiba Ouw Sian Kok berkata sambil mengepal tinjunya.
"Han-siocian, aku Ouw Sian Kok bersumpah untuk membantumu menghadapi iblis
betina itu!" Swat Hong mengangkat mukanya memandang. "Terima kasih,
Paman Ouw....." "Akan tetapi, aku harus menemui anaku lebih dulu. Di
manakah engkau bertemu dengan dia untuk terakhir kalinya?"
"Dia kami tinggalkan di
Puncak Awan Merah di Pegunungan Tai-hang-san, di tempat tingal Tee-tok Siangkoan
Houw."
"Kalau begitu,biar aku
menyusul ke sana!" kata Ouw Sian Kok dengan gembira. "Setelah aku
bertemu dengan dia, barulah kita beramai mencari iblis betina itu untuk
sama-sama menghadapinya dan menghancurkannya! Bagaimana pendapat
Locianpwe?" Dia berpaling kepada kakek Han yang sejak tadi hanya
mendengarkan saja. Juga Swat Hong dan Liu Bwee menoleh dan memandang kakek itu
karena betapapun juga, mereka mengharapkan bantuan kakek ini, juga
keputusannya. Sampai lama Han Lojin diam saja, merenung dan memandang jauh,
kemudian menghela napas panjang. "Aihh, tak kusangka akan begini
jadinya....! Tadinya, ingin sekali aku melihat kalian berdua melupakan semua
hal yang telah lalu, mulai hidup baru dengan aman dan tenteram, menjauhi urusan
kekerasan dunia yang hanya mendatangkan dendam dan bunuh-bunuhan antara sesama
manusia, sambil mendidik Swat Hong pula. Akan tetapi melihat gejalanya.....
mengingat pula hancurnya Pulau Es ..... dan memang sudah seharusnya kalau
pusaka-pusaka itu dikembalikan ke tempat asalnya...... ahhhh, aku Si Tua Bangka
yang sudah lama mencuci tangan dari urusan duniawi, sekarang terseret pula!
Betapa menyedihkan!"
"Locianpwe, kalau kita masih
hidup di dunia ramai, betapa mungkin kita menghindarkan diri untuk mencampuri
urusan dunia ramai? Yang penting kita selalu berada di pihak yang benar."
Ouw Sian Kok membantah.
Kakek itu menggeleng-geleng
kepala. "Engkau belum mengerti, apa sih artinya pihak yang benar?
Apa sih artinya kebenaran?
Kebenaran yang dapat disebut dengan mulut, bukankah kebenaran adanya! Ahhh, sudahlah, tanpa adanya kesadaran, mana
mungkin dapat mengerti? Engkau hendak mencari puterimu, memang sudah sepatutnya
dan semestinya sejak dahulu kaulakukan hal itu. Sekarang aku akan menyertai Liu
Bwee dan puterinya ini ke kota raja......"
"Ke kota raja?" Ouw
Sian Kok berseru heran. "Ya, karena The Kwat Lin telah menerima tugas dari
An Lu
Shan untuk menyusun kekuatan di
sana menanti saat pemberontakan tiba. Dan kita tidak perlu terseret
oleh.pemberontakan, melainkan hanya hendak mencari The Kwat Lin dan minta
kembali pusaka-pusaka Pulau
Es."
"Dan membunuh mereka untuk
membalaskan kematian suheng!" Swat Hong berseru penuh semangat. Han Lojin tidak menjawab seruan Swat Hong
itu, melainkan menoleh kepada Ouw Sian Kok, sambil berkata, "Ouw Sian Kok,
kalau kau hendak mencari puterimu, pergilah dan kelak kau boleh menyusul kami di
kota raja....."
"Tidak, Locianpwe. Setelah
saya mendengar bahwa iblis betina itu berada di kota raja, saya juga harus ikut
ke kota raja untuk menghadapinya!"
Liu Bwee memandang kepada tokoh
Pulau Neraka ini dan kebetulan sekali Ouw Sian Kok juga memandangnya, maka
pertemuan dua pasang sinar mata itu sudah cukup bagi mereka untuk mengetahui
isi hati masing-masing. liu Bwee maklum bahwa pria yang gagah itu ingin
membantunya karena mengkhawatirkan dirinya, sebaliknya Ouw Sian Kok juga maklum
bahwa bekas ratu Pulau Es itu girang sekali mendengar bahwa dia akan membantu.
Maka tanpa banyak cakap lagi berangkatlah empat orang ini menuju ke kota raja.
Pada waktu itu, suasana di seluruh negeri telah menjadi panas. Kekacauan
terjadi dimana-mana ketika tersiar berita bahwa pemberontakan An Lu Shan mulai
bergerak dari utara. Tersiar berita bahwa di tapal batas utara telah di mulai
perang saudara antara pasukan pemberontak dan pasukan pmerintah yang tidak kuat
membendung datangnya pasukan pemberontak yang seperti air bah membanjir ke
selatan. Berita ini sudah cukup untuk membangkitkan semangat golongan sesat
untuk bangkit dan mempergunakan kesempatan selagi keadaan negara kacau, rakyat
bingung dan pasukan-pasukan ditarik untuk diperbantukan menghadapi pemberontak
sehingga keamanan tidak terjamin lagi. Memang
perang telah dimulai. An Lu Shan telah membuka kedoknya dan dengan
terang-terangan mulai menggerakan pasukannya. Pada waktu itu, pasukan
pemerintah yang terkuat adalah pasukan penjaga tapal batas utara yang dianggap
merupakan bagian atau daerah yang paling penting untuk dijaga dengan kuat, maka
otomatis pasukan yang terkuat berada di bawah pimpinan Jenderal ini. Pada jaman itu, kerajaan Tang dipimpin oleh
kaisar Beng Ong yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, seorang kaisar yang
sayangnya memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu berahi sehingga
dia seperti boneka lilin di dalam tangan halus selir Yang Kui Hui. Pada waktu
itu, Kerajaan Tang mempunyai dua buah kota raja atau ibu kota. Yang pertama, di
mana Kaisar Beng Ong duduk bertahta dan menjadi pusat pemerintahannya, adalah
ibu kota Tian-an. Adapun ibu kota yang ke dua adalah Lok-yang. An Lu Shan yang selain mempunyai bala tentara
yang besar jumlahnya dan pasukan-pasukan pilihan, juga dibantu oleh banyak
orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Hal ini adalah karena banyak
orang-orang kang-ouw merasa tidak suka kepada Kaisar tua yang berada di bawah
telapak kaki selir cantik itu, juga banyak pembesar yang diam-diam merasa
dendam kepada Yang Kui Hui karena selir ini dengan mudah begitu saja
mempengaruhi Kaisar untuk memecat pembesar-pembesar tinggi dan menggantikan
kedudukan mereka dengan kedudukan lebih rendah, semua ini untuk menarik
keluarga-keluarganya agar dapat menduduki tempat-tempat penting!
Gerakan pemberontakan An Lu Shan
dimulai dari utara di dekat Peking, terus membanjir ke selatan. Dengan mudahnya dia melumpuhkan semua
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan yang masih setia kepada Kaisar, bahkan
pasukan yang takluk segera menyerah dan menjadi pasukan pembantunya.
Dengan mudah saja pasukan-pasukan
pemberontak menyeberangi Sungai Kuning dan menyerbu Lok-yang,
ibu kota ke dua dari kerajaan
Tang. Komandan pasukan yang mempertahankan Lok-yang, ibu kota ke dua
dari Kerajaan Tang ini adalah
seorang panglima yang setia dan dengan gigih dia memimpin pasukannya
mempertahankan Lok-yang
mati-matian. Akan tetapi, yang amat melemahkan pertahanan itu adalah
gangguan-gangguan dari dalam kota
itu sendiri yang dilakukan oleh kaki tangan An Lu Shan. Pada saat
Lok-yang diserbu inilah rombongan
Han Lojin berada di Lok-yang ketika mereka berusaha mencari The
Kwat Lin yang dikabarkan membantu
An Lu Shan dengan mempersiapkan diri di ibu kota itu. Han Lojin,
Ouw Sian Kok, Liu Bwee dan Swat
Hong terkurung di dalam kota Lok-yang ketika ibu kota ke dua ini di
serbu pemberontak. Mereka
menyaksikan sendiri betapa Panglima Coa Cun dengan gagah berani.mempertahankan
ibu kota ke dua itu dengan pasukannya sehingga tidaklah mudah bagi pasukan
pemberontak untuk menguasai kota
raja ini.
Han Lojin dan rombongan yang
memang bermaksud untuk mencari The Kwat Lin, ikut hilir mudik bersama parang
penghuni yang ketakutan, memasang mata dan ketika terjadi pembakaran di pusat pasar
dan serangan-serangan gelap yang ditujukan kepada komandan-komandan pasukan
oleh serombongan orang yang gerakannya amat lihai, Han Lojin dan rombongannya
cepat mendatangi tempat kekacauan ini. Akhirnya setelah lari ke sana-sini
setiap mendengar ada kekacauan yang dilakukan oleh segerombolan mata-mata
musuh, di taman belakang istana pangeran muda yang berkuasa di Lok-yang, mereka
melihat gerombolan pengacau itu dan serta merta Han-Lojin, Ouw Sian Kok, Liu
Bwee Dan Swat Hong menyerbu dan mencari The Kwat Lin. Akan tetapi, mereka
berhadapan dengan belasan orang pengacau yang dipimpin oleh Kiam-mo Cai-li!
Gerombolan itu sedang berusaha untuk membakar istana pangeran dengan
panah-panah api dan para pengawal istana itu sudah malang melintang tewas oleh mereka.
"Dialah Kiam-mo Cai-li,
pemiliki istana Rawa Bangkai," kata Han Lojin sambil menuding ke arah
seorang wanita cantik yang pakainnya mewah dan sedang memimpin belasan orang
pembantunya itu untuk menghujankan anak panah ke arah istana.
Sebagian dari istana itu mulai terbakar.
Mendengar bahwa wanita itu adalah
seorang di antara pembunuh-pembunuh suhengnya, Swat Hong sudah tidak dapat
menahan kesabaran hatinya lagi. Dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dengan
pedang di tangan, serta merta menyerang sambil membentak, "Iblis betina
Kiam-mo-cai-li, bersiaplah engkau menebus nyawa Suheng Kwa Sin Liong!!"
"Singggggg...
syuuuuuutttt..... aiihhhh.....!" Kiam-mo Cai-li cepat mengelak dengan
meloncat ke belakang dan rambutnya yang panjang seperti hidup saja bergerak
menyambar ke arah pergelangan tangan Swat Hong. Namun dara ini cukup cekatan.
Melihat sinar hitam menyambar, dia sudah membalikkan pedangnya membacok
sehingga putuslah segumpal rambut, membuat Kiam-mo Cai-li berteriak kaget dan
marah. Ketika dia memandang dan melihat
bahwa yang muncul ini adalah gadis teman Sin Liong, gadis dari Pulau Es seperti
yang di ceritakan oleh The Kwat Lin, dia terkejut bukan main. Apalagi melihat
han Lojin, Ouw Sian Kok, dan Liu Bwee yang jelas membayangkan kelihaian.
"Panah roboh mereka!"
Tiba-tiba dia berteriak sambil melompat jauh ke belakang untuk memberi kesempatan
kepada dua belas orang pembantunya menyerang empat orang ini. Dua belas orang itu adalah anak buah Kiam-Mo
Cai-li dari Rawa Bangkai yang telah dididik khusus menggunakan anak panah
berapi. Ketika mereka mendengar aba-aba ini dan mengenal wajah Swat Hong sebagai
gadis yang pernah menyerbu Rawa Bangkai, cepat mereka membidikan anak panah
mereka, dan tampaklah sinar-sinar berapi menyambar ke pada empat orang itu.
"Wir-wir-wir....!!"
Mengerikan sekali datangnya
anak-anak panah yang ujungnya bernyala itu, dapat dibayangkan betapa mengerikan
kalau anak panah yang bernyala itu mengenai tubuh! Namun, empat orang itu
bukanlah orang-orang sembarangan. Dengan amat mudahnya Han Lojin dan Ouw Sian
Kok mengebutkan ujung baju meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah
mereka, sedangkan Liu Bwee dan Swat Hong juga sudah meruntuhkan semua anak
panah yang menyambar ke arah mereka dengan pedang sehingga anak-anak panah itu
patah-patah.
"Iblis betina !" Swat
Hong meloncat maju, pedangnya diputar cepat dan dia sudah menerjang Kiam-mo Cai-li
dengan dahsyat. "Trangggg! Trik-trikkkk!" Pedang payung di tangan
Kiam-mo Cai-li sudah menangkis dan kuku-kuku jarinya yang panjang mengeluarkan
suara berjentrik ketika dia mencengkeram ke arah Swat Hong yang dapat dielakan
oleh dara ini.
"Kalian hadapi mereka.
wanita itu lihai dan berbahaya, aku harus menjaga Swat Hong," kata han
Lojin
kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
Liu Bwee mengangguk dan hatinya lega karena dengan bantuan.kakek suaminya itu,
dia tidak mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Maka bersama Ouw Sian Kok dia
lalu mengamuk dan celakalah dua
belas orang anak buah Rawa Bangkai itu karena mana mungkin mereka dapat melawan
dua orang lihai dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini? Biarpun mereka semua telah menggunakan
pedang dan golok menyerang dan mengeroyok, namun seorang demi seorang roboh dan
tidak dapat bangkit kembali.
Adapun pertandingan antara Swat
Hong melawan Kiam-mo Cai-li amat seru dan menegangkan. Biarpun pada dasarnya Swat Hong memiliki ilmu
silat tinggi yang lebih murni dan kuat, namun menghadapi seorang datuk kaum
sesat seperti Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik dan banyak pengalaman, beberapa
kali hampir saja dia terkena cakaran kuku panjang beracun itu. Tiga macam
senjata Kiam-mo Cai-li amat membingungkan Swat Hong. Dengan gerakan pedang yang
cepat, Swat Hong dapat membendung pedang payung dan kuku-kuku jari tangan kiri
iblis betina itu, bahkan dia mulai mendesak dengan permainan pedangnya yang
cepat dan mengandung tenaga dingin itu. "Mampuslah!"
Swat Hong membentak dan pedangnya menusuk.
"Tranggg...!
Brettt...!!" Pedangnya bertemu dengan pedang payung dan berhasil menembus
dan merobek kain payung, akan tetapi pedangnya itu tercepit di antara
batang-batang payung sehingga kedua pedang bertemu dan saling melekat.
"Hi-hi-hik, kalulah yang
mampus!" Kiam-mo Cai-li berseru, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah
dada Swat Hong. Kalau sampai kena dicengkeram kuku-kuku beracun itu, dada Swat
Hong tentu akan berbahaya sekali.
"Plak!" Swat Hong sudah
siap dan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan dari bawah. Kini terjadilah
adu tenaga karena kedua tangan mereka sudah tidak bebas lagi. Pada saat itu,
rambut panjang Kiam-mo Cai-li bergerak menyambar ketika dia menggerakan
kepalanya sambil tertawa. Bagaikan ular hidup saja, gumpalan rambut itu
menyambar dengan totokan maut! Swat Hong terkejut bukan main, namun hatinya
menjadi lega kembali melihat berkelebatnya bayangan kakek buyutnya. "plakkkk!!!" Rambut itu disambar
oleh tangan Han Lojin.
"Aihhh....
lepaskan....!" Kiammo Cai-li menjerit karena betapapun dia berusaha
menarik rambutnya, tetap saja tidak dapat terlepas bahkan semakin erat.
"Swat Hong, lepaskan dia,
mundurlah!" Han Lojin berseru. Swat Hong tidak berani membantah, lalu melepaskan
pegangan tangannya dan menarik pedangnya melompat mundur. "Kiam-mo Cai-li, aku hanya ingin
bertanya kepadamu!" Han Lojin berkata, suaranya halus. Melihat kakek ini yang dia tahu amat lihai,
Kiam-mo Cai-li yang cerdik lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu,
menunduk dan berkata, "Locianpwe, maafkan saya, saya tidak berani melawan Locianpwe
yang sakti. Pertanyaan apakah yang hendak Locianpwe (Kakek Gagah Perkasa)
ajukan kepada saya?"
Melihat sikap Kiam-mo Cai-li yang
begitu ketakutan, Swat Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi Han Lojin mengelus
jenggotnya. "Hemmm, semua orang pernah melakukan penyelewengan dalam
hidupnya. Penyesalan yang disertai
kesadaran tinggi mendatangkan pengertian sehingga si penyeleweng akan merasa jijik
untuk melanjukan penyelewengannya. Kiam-mo Cai-li, sayang kalau kepandaian
seperti yang kaumiliki itu dipergunakan untuk kejahatan. Aku hendak bertanya,
di mana adanya The Kwat Lin?" "The Kwat Lin? Ohh, dia berada di......
neraka bersamamu!" Tiba-tiba wanita itu dari bawah menyerang dengan payung
dan kuku beracunnya.
"Cepppp....
bresss....!"."Keparat....." Swat Hong menjerit dan pedangnya
bergerak secepat kilat sebelum Kiam-mo Cai-li sempat
mencabut kembali pedangnya dari
dada kakek itu.
"Prepppp....!
Aihhhh....!!" Darah muncrat-muncrat dari lambung Kiam-mo Cai-li dan dada
han Lojin. Kakek itu masih berdiri tegak
sambil tersenyum ketika pedang dicabut keluar dadanya. Kiam-mo Cai-li mengeluarkan
teriakan seperti binatang buas ketika dia menubruk Swat Hong dan menyerangnya.
namun Swat Hong sudah mengelak dan dari samping kembali pedangnya menyambar. "Crokkkkk!!" Tubuh Kiam-mo Cai-li
yang sudah terhuyung itu tidak dapat mengelak lagi, lehernya tertusuk pedang
dan dia roboh terguling, berkelojotan dengan mata mendelik memandang ke arah
Swat Hong.
"Locianpwe....!" Ouw
Sian Kok yang sudah berhasil bersama Liu Bwee merobohkan dua belas orang itu, meloncat
dan merangkul kakek itu karena kekek yang masih berdiri tegak itu mendekap
dadanya yang bercucuran darah.
Kakek itu menggelengkan kepala,
memandang kepada Swat Hong. "Aihhh, kau ganas sekali, Swat Hong....!"
"Kong-couw.... dia jahat....
patut di bunuh!" Swat Hong berkata, memandang mayat Kiam-mo Cai-li yang kini
sudah tidak bergerak lagi itu.
"Hayaaaa.... selamanya belum
pernah dirobohkan orang, sekali ini terperdaya kelicikan seorang wanita.... memang sudah semestinya begini......
kalian..... kurangilah atau lenyapkan sama sekali.... keganasan..... kekerasan, bunuh membunuh ini.... karena
siapa menggunakan kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula.... nah, selamat
berpisah anak-anak....." Tubuh yang bediri tegak itu masih berdiri akan
tetapi kalau tidak dirangkul tentu akan roboh karena pada saat itu juga Han
Lojin telah mengembuskan napas terakhir.
Memang luar biasa sekali kakek ini. pedang payung yang ditusukan secara
curang oleh Kiam-mo Cai-li menembus dada dan menembus pula jantungnya, namun
dia masih mampu berdiri tegak dan berkata-kata!
Liu Bwee dan Swat Hong berlutut sambil menangis. Akan tetapi Ouw Sian
Kok berkata, "Harap kalian bangkit berdiri dan mari kita lekas membawa
pergi jenazah Locianpwe ini keluar kota." Liu Bwee menyusut air matanyadan
menggandeng tangan Swat Hong, menarik gadis itu bangkit berdiri.
"Ouw-twako benar, Hong-ji.
Kita tidak mempunyai urusan apa-apa lagi di sini, keadaan makin kacau.
Tugas kita berada di ibu kota
pertama, Tiang-an."
Diingatkan akan ini, bahwa The
Kwat Lin berada di Tiang-an, Swat Hong memandang ibunya."Kami tadi telah
memaksa seorang di antara mereka itu mengaku di mana adanya The Kwat Lin. Dia
berada di Tiang-an, tugasnya sama dengan Kiam-mo Cai-li yaitu mengacau kota
raja di waktu pemberontak menyerbu ke sana."
Swat Hong mengangguk, sekali lagi
melirik ke arah mayat Kiam-mo Cai-li, rasa lega dan puas menyelinap di hatinya
mengingat akan kematian suhengnya yang betapapun juga kini sudah agak terbalas
dengan matinya wanita ini, kemudian dia mengikuti ibunya pergi dari tempat itu.
Perang, perang, perang! Selama dunia berkembang, agaknya tiada pernah hentinya
terjadi perang di antara manusia. Selama sejarah berkembang, terbukti bahwa di
setiap jaman manusia melakukan perang, baik dari jaman batu sampai jaman
modern! Agaknya betapapun majunya manusia dari segi lahiriah, sebaliknya dalam
segi batiniah manusia bahkan makin mundur! Betapa tidak? Di jaman dahulu, yang
dikatakan perang adalah mereka yang langsung menceburkan diri dalam perang
campuh, dan mereka ini pula yang menjadi korban, yang membunuh atau dibunuh.
Makin lama, perkembangan perang menjadi makin ganas dan makin kejam, makin
tidak adil dan makin menjauhi apa yang kita sebut prikemanusiaan. Sekarang, di
jaman modern, yang langsung memegang senjata banyak selamat karena dia
menguasai teknik perang, pandai menjaga diri, pandai bersembunyi. Sebaliknya,
rakyat yang tidak tahu apa-apa mati konyol!
Perang, di sudut mana pun
terjadinya di dunia ini, dengan kata apa pun diselimutinya, dengan
kata-kata indah macam perjuangan,
perang suci, perang membela negara, membela agama, membela
kehormatan dan lain-lain, tetap
saja perang yang berarti bunuh-bunuhan di antara manusia, membunuh.hanya untuk
melampiaskan dendam dan kembencian sehingga amatlah buasnya, jauh melampaui
kebuasan
binatang apapun juga yang hidup
di dunia ini. Kita semua bertanggung jawab untuk ini! Perang yang terjadi antara
bangsa, antara golongan, antara kelompok, meletus karena kita! Perang antara
bangsa atau negara hanya menjadi akibat dari kepentingan Si Aku, bangsaku,
agamaku, kebenaranku, kehormatanku, kemerdekaanku dan sebagainya yang bersumber
kepada aku. Perang antara bangsa hanya bentuk besar dari perang antara tetangga
dan perang antara tetangga adalah bentuk besar dari perang antara keluarga atau
perorangan dan semua ini bersumber kepada perang di dalam batin kita sendiri.
Batin kita setiap hari penuh dengan nafsu keinginan, iri hati, dendam, benci
dan semua bentuk kekerasan dan kekejaman, kalau semua itu menguasai batin kita
semua, menguasai dunia, herankah kita kalau selalu terdapat permusuhan dan perang
di dunia ini?
Semenjak sejarah tercatat, setiap
pihak yang melakukan perang tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang buruk.
Sebaliknya malah, bermacam dalih diajukan menjadi semacam kedok di depan wajah perang
yang dilakukannya, kedok berupa untuk membela diri, perang untuk keadilan, dan
perang untuk perdamaian! Betapa menggelikan. Perang untuk keadilan! Perang
untuk perdamaian! Dengan cara membunuh-bunuhi sesama manusia. Kita selalu
terjebak ke dalam perangkap penuh tipu muslihat ini yang berupa kata-kata
indah. Pendapat bahwa tujuan menghalalkan cara merupakan penipuan diri sendiri
dan berlawanan dengan kenyataan.
Mungkinkah untuk mencapai tujuan
baik menggunakan cara yang jahat? yang penting adalah caranya, bukan tujuannya.
Tujuan adalah masa depan yang belum ada, hanya merupakan akibat, sebaliknya
cara adalah masa kini, saat ini, nyata! Dengan dalih "menumbangkan
kekuasaan lalim" itulah An Lu Shan memimpin ratusan ribu bala tentaranya
menyerbu ke selatan.
Pada saat seperti itu, An Lu Shan
dan semua pengikutnya menganggap bahwa mereka itu "berjuang" dan mereka
sama sekali tidak mau melihat bahwa kelak andai kata mereka berhasil dan
memegang kekuasaan, ada pula pihak-pihak yang akan mengecapnya "kekuasaan
lalim" yang lain dan yang baru pula! Di lain pihak Kaisar Han Ti Tiong
atau Beng Ong yang sudah tua itu bersama para punggawanya yang setia tentu saja
melakukan perlawanan yang gigih dengan dalih "menghancurkan dan membasmi
pemberontak". Mereka ini lupa bahwa
peristiwa pemberontakan itu sesungguhnya timbul karena ulah mereka sendiri. Kekuatan bala tentara yang dipimpin An Lu
Shan memang hebat. Dalam beberapa bulan saja, sekali menyerbu, dia telah
menguasai seluruh daerah di sebelah utara Sungai Huangho. Pasukan-pasukannya akhirnya
berhasil merobohkan pertahanan Lok-yang yang memduduki ibu kota ke dua itu. Kemudian An Lu Shan kembali mengumpulkan
kekuatan pasukannya dan melanjutkan penyerbuannya menuju ke kota raja Tiang-an!
Kematian Kiam-mo Cai-li membuat Jenderal ini menyesal, tentu saja penyesalan
ini didasari bahwa dia kehilangan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Ketika Kaisar yang sudah tua itu mendengar betapa Lok-yang dalam beberapa hari
saja terjatuh ke dalam tangan pemberontak An Lu Shan, mulailah terbuka matanya
betapa selama ini tidak terlalu mengacuhkan urusan pertahanan dan sebagian
besar waktunya hanya dihabiskannya di dalam kamar tidur dan di atas ranjang yang
lunak hangat dan harum dari selirnya tercinta, Yang Kui Hui.
Bangkitlah semangatnya, semangat
mudanya yang kini terlalu lama terpendam itu dan dia berhasil
mengobarkan semangat para
pasukannya yang dikumpulkannya di Ling Pao di mana kaisar membentuk
benteng pertahanan yang cukup
kuat. Bahkan sekali ini dia memimpin sendiri untuk berperang menghadapi
An Lu Shan dengan hati penuh kemarahan.
Hati siapa tidak akan sakit kalau mengingat betapa dia telah
memberi anugerah besar kepada An
Lu Shan, bahkan selirnya yang tercinta telah menganggap An Lu Shan
sebagai putera angkat. Dan kini
jenderal itu memberontak! Perbuatan apa pun yang dilakukan oleh
seseorang kepada orang lain,
tidak lah benar jika di belakangnya bersembunyi pamrih apa pun. Sesuatu
perbuatan boleh jadi oleh umum
dianggap sebagai perbuatan baik, namun apabila perbuatan itu
menyembunyikan pamrih, baik yang
disadari maupun tidak, maka perbuatan itu tidak benar. Perbuatan
menolong orang lain oleh umum
dianggap baik, namun jika hal itu dilakukan dengan pamrih apa pun, itu
bukanlah menolong namanya,
melainkan hanya memberi pinjam untuk kelak ditagih kembali dalam bentuk
pembalasan budi! Selama yang
berbuat itu merasa bahwa dia berbuat baik, merasa bahwa dia menolong, di
dalam perasaan ini sudah
terkandung pamerih! Jelas tidak benar! Dan selama ada pamrih di balik setiap
perbuatan, pasti akan
mendatangkan penyesalan, kebanggaan, kekecewaan, dendam, penjilat, penindasan
dan lain-lain. Setiap berbuatan
barulah benar jika didorong atau didasari oleh CINTA KASIH! Demikian
pula dengan Kaisar. Karena dia
merasa bahwa dia telah menolong An Lu Shan, merasa telah berbuat baik
kepada jenderal itu maka
timbullah penyesalan, kemarahan dan kebencian karena yang pernah ditolongnya
itu tidak dengan kebaikan. Pamrih
yang tersembunyi di balik pertolongannya dahulu itu adalah.menghendaki
pembalasan berupa kesetiaan, penghormatan, atau setidaknya menghendaki agar
jangan
jenderal itu berani melawannya!
Contoh ini tanpa kita sadari terjadi di dalam penghidupan kita sehari-hari. Kita miskin akan cinta kasih sehingga setiap
perbuatan kita dicengkeram pamrih. Kalau cinta kasih memenuhi hati kita, maka
segala pamrih akan lenyap tanpa bekas dan setiap perbuatan kita adalah wajar dan
tentu saja benar karena dasarnya cinta kasih yang melekat pada bibir setiap
orang, yang menjadi hampa karena disebut-sebut dan disanjung-sanjung, diberi
pengertian lain, dan dipecah-pecah! Di mana terdapat cemburu, benci, sengsara,
marah, dan lain-lain, cinta kasih tidak akan ada. Di mana terdapat si
"aku" yang selalu mengejar keuntungan dan kesenangan lahir batin,
cinta kasih tidak akan pernah ada. karena bagi Si Aku, cinta kasih berarti
kesenangan untuk "aku" lahir batin yang berupa ketenteraman, jaminan,
kepuasan, dan kenikmatan. Maka, sekali satu di antara yang dikejar itu luput,
berakhirlah cinta kasihnya dan berubah menjadi cemburu, kemarahan dan
kebencian! Dengan penuh kemarahan Kaisar memimpin barisan-barisan yang dapat
dikumpulkannya, didampingi oleh seorang jenderal yang setia kepadanya, seorang
jenderal yang ahli dalam perang bernama Kok Cu It yang menjadi komandan barisan
itu. Barisan ini lalu bergerak dari Ling Pao. Bertemulah dua barisan yang
bermusuhan itu di pegunungan dan terjadilah perang yang amat dahsyat di sela
Gunung Tung Kuan. Perang yang amat mengerikan dan mati-matian, di mana mayat manusia
bertumpuk-tumpuk dan berserakan, darah manusia membanjiri padang rumput. Namun akhirnya, betapapun gigih Panglima Kok
Cu It melakukan perlawanan setelah dia menyuruh pasukan pengawal mengiringkan
Kaisar lebih dulu menyelamatkan diri ke kota raja, karena kalah banyak jumlah
pasukannya, Tung Kuan jatuh ketangan pihak An Lu Shan. Pasukan-pasukan yang masih
dapat bertahan segera ditarik mundur ke Ling Pao dan membuat pertahanan di
tempat ini. kaisar telah melanjutkan perjalanan kembali ke Tiang-an di mana dia
berkemas-kemas dengan hati penuh kekhawatiran.
Tak lama kemudian, Ling pao juga
jatuh dan Panglima Kok Cu It terpaksa membawa sisa pasukannya kembali ke kota
raja. Melihat betapa gerakan An Lu Shan amat kuat dan tidak dapat dibendung,
panglima ini menganjurkan kepada Kaisar untuk pergi mengungsi ke Secuan. Kaisar
mengumpulkan semua pembantunya yang setia dan akhirnya, atas desakan mereka
pula, kaisar menerima usul itu. Berangkatlah rombongan Kaisar ke barat. Yang
berada di dalam rombongan itu, selain Kaisar sekeluarga tentu saja termasuk
selir Yang Kui Hui, juga perdana Menteri Yang Kok Tiong kakak dari selir cantik
itu berserta semua keluarganya, para Thaikam (Orang Kebiri) yang setia kepada
Kaisar, dan beberapa orang ponggawa tinggi yang menjadi kaki tangan mereka.
Rombongan besar ini dikawal oleh pasukan pengawal istimewa dan berangkatlah
rombongan Kaisar pergi mengungsi di lakukan di waktu malam agar jangan ada
rakyat mengetahuinya.
Pelarian yang dilakukan
tergesa-gesa ini pun mencerminkan watak orang-orang bangsawan ini. Selain keluarga
mereka, juga mereka membawa harta benda mereka sebanyak mungkin! Tidak ada lagi
yang dipikirkan kecuali membawa keluarga dan harta bendanya sehingga mereka
lupa bahwa bukan harta benda yang penting untuk dibawa sebagai bekal, melainkan
ransum! Mereka melupakan ini dan sibuk membawa harta benda yang mungkin dapat
terbawa.
Telah menjadi kelemahan kita
manusia dalam penghidupan kita ini bahwa kita selalu melekat kepada benda-benda
duniawi. Kita lupa bahwa benda-benda itu yang memang merupakan perlengkapan hidup
dan kita butuhkan, hanyalah menjadi hamba kita, menjadi kebutuhan kita selagi
hidup. Akan tetapi kita silau oleh benda-benda mati itu, kita mengejarnya dan
mengumpulkannya, bukan lagi karena kebutuhan, melainkan karena ketamakan,
karena rakus sehingga kita mengumpulkan sebanyak mungkin. Setelah itu, kita menjadi hamba duniawi, kita
melekatkan diri dan kita telah merobah batin kita menjadi benda-benda itu! Maka
kita selalu mempertahankan duniawi secara mati-matian, kita tidak bisa lagi
hidup tanpa dia, lahir maupun batin. Kehilangan harta benda menjadi hal yang
amat hebat dan penuh derita.
Mencari dan mengumpulkan harta
benda menjadi hal yang paling penting di dalam hidup kita sehingga
kalau perlu dalam mengejar
duniawi berupa harta benda, kedudukan, kemuliaan dan lain-lain, kita tidak
segan-segan untuk sikut-menyikut
jegal-menjegal, bunuh-membunuh antara manusia! Maka akan
BAHAGIALAH DIA YANG MEMPUNYAI
NAMUN TIDAK MEMILIKI, dalam arti kata, mempunyai
apa saja di dunia ini karena ada
hubungannya, karena ada kebutuhannya, hanya mempunyai lahiriah saja,
namun batin sama sekali tidak
memiliki, sama sekali tidak terikat atau melekat sehingga punya atau tidak
punya bukanlah merupakan soal
penting lagi!.Karena ketamakan itulah maka rombongan Kaisar segera mengalami
akibatnya setelah rombongan
besar itu melarikan diri sampai
di pos penjagaan Ma Wei, yang terletak di Propinsi Shen-si sebelah barat, rombongan
ini kehabisan ransum yang tidak berapa banyak itu. pasukan pengawal yang
menderita kelelahan dan kelaparan, karena sisa ransum yang sedikit diperuntukan
Kaisar dan keluarganya serta para bangsawan , menjadi gelisah dan tampaklah
wajah-wajah yang membayangkan penasaran dan kemarahan, mulai terdengarlah
suara-suara tidak puas di antara para anggauta pasukan.
Perhentian di Ma Wei ini
dipergunakan oleh Yang Kok Tiong untuk mengadakan pertemuan dengan orang-orang
Tibet. Yang Kok Tiong berusaha
untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Tibet untuk membantu Kaisar dalam
menghadapi pemberontakan dan membujuk seorang pendeta Lama yang berada di antara
orang-orang Tebet itu untuk menyampaikan permintaan bantuannya. Hatinya juga
gelisah ketika melihat betapa anak buah pasukan pengawal mulai tidak puas. Akan
tetapi Kaisar yang sudah merasa lelah dan berduka, tidak tahu akan semua itu
dan dia menenggelamkan dirinya yang dirundung kedukaan itu dalam pelukan
selirnya yang menghiburnya. Tidak seorang pun di antara para bangsawan itu tahu
betapa di luar terjadi hal yang luar biasa. Seorang laki-laki muda dan seorang
gadis cantik menyelinap di antara penduduk setempat, mendekati tempat mengaso
para pasukan pengawal dan dua orang muda ini berbisik-bisik dengan para
pasukan. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki! Seperti
telah kita ketahui, Liem Toan Ki, jago muda dari Hoa-san-pai itu adalah
mata-mata An Lu Shan dan Bu Swi Nio, murid The Kwat Lin, akhirnya juga menjadi
pembantu An Lu Shan karena terbawa oleh Liem Toan Ki yang menjadi tunangannya
itu. Kini, selagi memata-matai keadaan Kaisar yang melarikan diri, Bu Swi Nio teringat
akan kematian kakaknya, maka diambilnya keputusan untuk membalas dendam kepada
Yang Kui Hui yang menyebabkan kematian kakaknya, Bu Swi Liang. Setelah
berunding dengan kekasihnya, mereka berdua lalu menyelinap di antara penduduk,
mengadakan kontak dengan para komandan pasukan pengawal, mulai menghasut mereka
itu.
"Lihat, kita bersusah payah,
setengah mati kelelahan dan kelaparan menjaga keselamatan Kaisar, beliau
sendiri bahkan bersenang-senang dan tidak memperdulikan kita, mabok dalam
rayuan Ynag Kui Hui setan kuntilanak itu!" Bu Swi Nio antara lain
menghasut. "Lihat kakaknya yang menjadi perdana menteri itu. Diam-diam
mengadakan perundingan dengan orang-orang Tibet. Dialah bersama adiknya ular
cantik itu yang menjadi pengkhianat dan menjual negara. Coba ingat, bukankah An
Lu Shan diambil anak oleh Yang Kui Hui? Padahal diam-diam menjadi kekasihnya?
Negara telah dijual oleh Yang Kui Hui, diberikan kepada kekasihnya, An Lu Shan.
Dan sekarang agaknya Yang Kok Tiong hendak menjual keselamatan Kaisar kepada
orang-orang Tibet! Aduhhh, sungguh membuat orang hampir mati penasaran. kaisar dipermainkan
seperti itu, namun tinggal diam karena mabok oleh kecantikan Yang Kui Hui iblis
betina yang keji itu!" demikian Liem Toan Ki menambah minyak dalam api
yang mulai dikobarkan oleh Swi Nio. Memang
para anggauta pasukan sudah gelisah dan kehilangan ketenangan. Mereka merasa
sengsara dan nasib mereka masih belum dapat ditentukan bagaimana. Mungkin saja
mereka semua akan mati konyol jika sampai dapat disusul oleh pasukan-pasukan
pemberontak. Mendengar hasutan-hasutan itu, mereka menjadi makin gelisah dan
akhirnya terdengarlah teriakan-teriakan yang diam-diam didahului oleh Swi Nio
dan Toan Ki.
"Gantung pengkhianat!"
"Bunuh penjual negara!"
"Seret Yang Kok Tiong!"
"Yang Kok Tiong pengkhianat,
harus dihukum mati!"
"Sebelum menjual negara itu
mampus, kami tidak mau pergi!"
Teriakan-teriakan ini makin hebat
dan kini seluruh pasukan sudah bangkit, mengacung-acungkan kepalan
dan senjata ke arah
bangunan-bangunan di mana rombongan bangsawan itu berada. Dapat dibayangkan
betapa kagetnya hati Kaisar
ketika mendengar teriakan-teriakan itu. Juga yang lain-lain menjadi kaget
setengah mati, terutama Yang Kok
Tiong sendiri. Dia sedang berunding dengan orang-orang Tibet, ketika
tiba-tiba Kaisar bersama
pengawal-pengawal pribadi memasuki tempat itu. Kaisar kelihatan
marah.."Siapa mereka ini??" bentaknya sambil menuding ke arah tujuh
orang Tibet yang berada di situ.
"Hamba....hamba sedang
berunding.... minta pertolongan Pemerintah Tibet," jawab Yang Kok Tiong.
"Tangkap orang-orang Tibet
itu! Siapa tahu mereka adalah mata-mata perampok!" Perintah Kaisar ini
diturut oleh para pengawal dan ditangkaplah tujuh orang Tibet itu yang tidak
berani melakukan perlawanan. Sementara itu, teriakan-teriakan di luar menuntut
kematian Yang Kok Tiong makin menghebat. Berbondong-bondong datanglah para
pembantu Kaisar, berkumpul di tempat Yang Kok Tiong yang duduk dengan muka
pucat mendengar tuntutan para pasukan di luar.
Di depan mata semua orang, tanpa malu-malu Yang Kui Hui menubruk dan
merangkul leher Kaisar sambil menangis.
"Sudilah Paduka menolong
kakakku.... harap Paduka menyelamatkan kakakku..." Selir itu menangis. Didekap dan ditangisi selirnya yang tercinta,
kaisar yang tua itu segera menghardik kepada kepala pengawal pribadinya,
"tangkap si pembuat ribut itu!"
Komandan pengawal itu berdiri
tegak dan menjawab, "Ampun, Sri Baginda. Akan tetapi yang ribut adalah seluruh
pasukan pengawal!"
"Junjungan hamba ......
tolonglah kakakku..... selamatkan dia ......!" Yang Kui Hui menangis. yang
Kok Tiong juga menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar. "Hamba
hanya dapat mengharapkan kebijaksanan Paduka dan menaruh nyawa hamba di dalam
telapak tangan Paduka ....!" "Seret Yang Kok Tiong si pengkhianat
keluar!" terdengar teriakan dari luar.
"Keluarkan jahanam itu, kalau tidak kami menyerbu ke dalam!"
Suara ini diikuti suara pintu digedor-gedor dari luar.
"Tangkap dia...!!"
Kaisar memerintah dan menudingkan telunjuknya kluar. Komandan pengawal hendak membuka dau pintu,
akan tetapi tiba-tiba dari luar meloncat masuk pengawal yang menjaga di luar,
mukanya pucat dan tubuhnya menggigil lalu dia menjatuhkan diri di atas lantai menghadap
Kaisar sambil berkata, "Mereka .... mereka .....akan menyerbu.....!" Oleh
kepala pengawal, Kaisar dan rombongannya dikawal naik ke loteng. Kemudian
Kaisar keluar dan memandang kepada pasukannya yang memberontak di luar itu.
Begitu melihat munculnya Kaisar, para anak buah pasukan berteriak kacau balau,
menuntut agar Yang Kok Tiong diberikan kepada mereka. Kepala pengawal yang melihat gelagat buruk,
diam-diam lalu menotok perdana menteri itu dan membawanya turun lagi di luar
tahunya Kaisar, kemudian dia membuka pintu dan mendorong perdana menteri itu ke
luar. Banyak tangan yang penuh dendam kebencian menyambut, tubuh Yang Kok Tiong
di seret-seret, hujan pukulan dan makian, penghinaan dan ludah ditujukan
kepadanya. Ketika Yng Kui Hui yang mendengar teriakan-teriakan kakaknya itu
keluar mendekati Kaisar dan menjenguk ke bawah, dia menjerit dan merangkul
Kaisar, menangis. Kaisar sendiri terbelalak memandang betapa perdana menterinya
itu, kakak dari selirnya, disiksa oleh pasukan, dipukuli dan dimaki-maki. "Tolonglah kakakku..... tolonglah
dia...." Yang Kui Hui merintih dan menangis.
Kaisar lalu berseru ke bawah
dengan suara lantang, "Haiii! Semua anggauta pasukanku....! Tahan.....!
Jangan lanjutkan perbuatan gila
itu!"
"Berhenti....! Kalaian
iblis-iblis jahat.......! Uh-huuuuhhh-huuuu....!!" Yang Kui Hui juga
menjrit-jerit dan
akhirnya menutupi mukanya,
demikian pula Kaisar ketika melihat betapa Yang Kok Tiong sudah rebah dan
tidak berkutik lagi, dengan tubuh
hancur dan penuh darah..Tiba-tiba dari dalam rombongan pasukan dan orang-orang
dusun yang banyak berkumpul di tempat itu
terdengar suara nyaring seorang
laki-laki, "Seret iblis betina Yang Kui Hui....! Dialah biang keladinya! Dialah yang menjatuhkan kerajaan dengan
menggoda Sri Baginda! Semenjak ada dia, kerajaan menjadi lemah dan dikuasai
oleh pengkhianat-pengkhianat!"
Disusul suara wanita, "Bunuh
kuntilanak itu! Dia siluman betina! Dia Tiat Ki ke dua ....! Dia berjinah dengan
An Lu Shan, dia mengumpulkan keluarganya untuk menguasai kerajaan! Dia harus
dihukum gantung.....! Suara ini adalah suara Bu Swi Nio yang ingin membalas
kematian kakaknya. Dia menyebut-nyebut nama tokoh wanita Tiat Ki, yang dalam
dongeng sejarah adalah seekor siluman rase yang menjelma wanita menjadi selir
Kaisar dan menyeret kerajaan ke dalam kehancuran pula. Mendengar
teriakan-teriakan menghasut dari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio ini, pasukan yang
haus darah dan yang ridak puas itu lalu berteriak-teriak, menuding-nuding
kepada Yang Kui Hui sambil menuntut agar wanita cantik itu digantung! "Tidak....!! Kalian gila semua!
Tidaaaakkk....!!" Kaisar memeluk tubuh selirnya yang pucat dan hampir pingsan
itu, lalu menariknya masuk, diikuti teriakan-teriakan para anak buah pasukan
dan rakyat setempat. Kaisar dengan muka
mereh karena marahnya merangkul Yang Kui Hui yang menangis terisak-isak itu,
diikuti oleh rombongan. Semua anggauta rombongan memandang dengan muka pucat,
apalagi mereka mendengar suara ribut-ribut di luar rumah dan kini pintu
digedor-gedor lagi. "Gantung Yang
Kui Hui.....!"
"Bunuh siluman
itu.....!"
"Kalau tidak, rumah ini kami
bakar!!"
Tentu saja Kaisar dan yang lain
menjadi makin panik. Kaisar menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan
keringatnya bercucuran membasahinya, sementara itu Yang Kui Hui berlutut di
dekat kursi Kaisar, memeluk kaki Kaisar dan memperlihatkan sikap yang memelas
(menimbulkan iba) sekali, tubuhnya gemetar karena suara-suara dari luar yang
terdengar, suara menuntuk kematiannya itu seperti ujung pedang-pedang yang
ditusuk-tusukan ke ulu hatinya.
JILID 21
Gedoran pintu makin keras,
teriakan-teriakan makin hebat sementara Kaisar menanti hasil para komandan
pasukan pengawal yang tadi keluar untuk menyabarkan anak buahnya. Penantian
yang mencekam dan menegangkan urat syaraf. Tiba-tiba, ketik para komandan
pasukan keluar dan bicara, suara-suara teriakan dan gedoran pintu terhenti.
Hati Kaisar lega, dia menunduk dan saling pandang dengan kekasihnya. Sepasang
mata yang indah itu yang tak pernah kehilangan daya pengaruh yang membuat Kaisar
terpesona, kini berlinang air mata. Akan tetapi hanya sejenak saja hati mereka
terhibur dan harapan mereka timbul, karena tiba-tiba terdengar
teriakan-teriakan lebih keras lagi disusul gedoran pada pintu dan dinding dan
tak lama kemudian, kepala pengawal dan para pembantunya masuk dengan muka
pucat, serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.
"Hamba siap menerima hukuman
karena hamba sekalian tidak berhasil menundukan kemarahan mereka," kata
komandan pengawal sambil menunduk.
Kaisar bangkit berdiri dan pada
saat itu terdengar suara, "Bunuh siluman Yang Kui Hui! Kalau tidak, mari
kita bunuh saja semua!"
"Tidak! Tidaaaaaakkk....!
Persetan....!!" Kaisar berteriak dan lengan kirinya merangkul leher
selirnya, seolah-olah dia hendak melindungi kekasih tercinta itu.
"Dor-dor-dorrrr...."
pintu digedor dari luar.
"Hancurkan saja Raja lalim
dan lemah....!"
"Bakar saja rumah ini kalau
yang Kui Hui tidak dihukum mati!" Keadaan sudah amat berbahaya dan
menegangkan. Semua bangsawan yang
berada di situ sudah menjadi pucat. Pangeran mahkota segera.menjatuhkan diri
berlutut di depan Kaisar. "Dalam keadaan seperti ini, mengapa Paduka masih
kukuh?"
putera mahkota itu menangis.
Para pembesar yang setia kepada
kaisar juga membujuk, bahkan kepala thaikam yang menjadi kepercayaan Kaisar dan
yang diam-diam secara pribadi memusuhi Yang Kui Hui, berkata, "Harap
Paduka suka mempertimbangkan dengan tenang. Memang menyakitkan hati sekali
tuntutan mereka. namun, mereka tidak dapat dibendung dan kalau ditolak, tentu
Paduka akan terancam bahaya, bahkan seluruh keluarga Paduka. Apakah Paduka
hendak mengorbankan keselamatan Paduka sendiri dan seluruh keluarga hanya untuk
satu orang yang toh tidak akan dapat Paduka selamatkan juga?" Putera
mahkota menoleh kepada Yang Kui Hui dan berkata, suaranya keras dan penuh
tuntutan, "Seorang yang selama puluhan tahun memperoleh kemuliaan dan
anugerah kebaikan Kaisar, apakah di waktu terancam lalu melupakan budi yang
besarnya melebihi nyawa itu?" Yang Kui Hui menjadi pucat wajahnya dan dia
menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar, memeluk kaki Kaisar sambil menangis
dan berkata, "Biarlah hamba membalas segala budi kebaikan Paduka....."
"Tidak....! Tidak....ohhh, Kui Hui, tidak....! Jangan....!" akan
tetapi banyak tangan merenggut tubuh selir cantik itu dari pelukan Kaisar, lalu
menyerahkannya kepada kepala thaikam. Selir itu diseret oleh kepala thaikam ke
atas pagoda dan tak lama kemudian, terdengarlah sorak-sorai para pasukan
melihat tubuh selir cantik jelita itu tergantung di pagoda, tergantung lehernya
dan berkelojotan sebentar lalu terdiam. "Hidup
kaisar....!!"
"Biang keladi kelemahan
telah tewas....!!"
"Kita akan mengawal Kaisar sampai
titik darah terakhir!"
Di sebelah dalam, Kaisar yang
tadinya menangis itu terbelalak mendengar teriakan yang sama sekali berlainan
itu. Dia bingung tidak tahu apa yang terjadi, memandang ke kanan kiri. "Di mana dia....? Mana Yang Kui
Hui....!"
Semua keluarganya menjatuhkan
diri berlutut. "Dia..... telah mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka
sekeluarga...."
"Kui Hui....!!" Kaisar
berlari naik ke loteng, kemudian roboh pingsan melihat tubuh kekasihnya yang
diam tidak bergerak, tergantung di pagoda itu.
Peristiwa ini merupakan peristiwa
bersejarah yang kemudian terkelan di seluruh Tiongkok sampai berabad-abad
lamanya. Bagi mereka yang ikut merasa berduka dan terharu mendengar cerita
tentang pemutusan hubungan cinta yang amat menyedikan ini, menganggap Kaisar
itu lemah dan telah melakukan kesalahan besar. Peristiwa ini menjadi terkenal
sekali ratusan tahun kemudian, bahkan dijadikan cerita drama yang dipangungkan
dan menjadi bahan karangan cerita tentang peristiwa itu yang tak terhitung banyaknya.
Lebih terkenal sekali setelah sastrawan Po Cu I menulisnya dengan judul
"Kesalahan Abadi". Dengan lesu
dan penuh duka, rombongan Kaisar melanjutkan perjalanan mengungsi ke Secuan dan
kematian selir tercinta itu melumpuhkan seluruh gairah hidup Kaisar yang sudah
tua itu. Akan tetapi, di tengah perjalanan, kembali terjadi peristiwa hebat.
Ketika rombongan itu sedang
beristirahat dan bermalam di sebuah dusun kecil di daerah yang sepi
di perbatasan Secuan, malam itu
tiba-tiba heboh karena terjadinya pembunuhan atas diri seorang di antara
para pengeran yang ikut
mengungsi. Pangeran ini adalah adik pangeran mahkota. Di waktu malam yang
amat sunyi itu, dua sosok
bayangan berkelebat di atas genteng rumah-rumah yang dijadikan tempat
mengaso rombongan Kaisar. Mereka
ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki. Keduanya,
sebagai mata-mata An Lu Shan,
setelah berhasil mengasut anak buah pasukan pengawal sehingga
terbunuhnya Yang Kui Hui dan
kakaknya, diam-diam terus mengikuti dan membayangi rombongan itu,.mencari kesempatan
baik untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan
merupakan kemenangan besar bagi
An Lu Shan.
Akan tetapi, mereka berdua salah
masuk! Mereka memasuki kamar pangeran muda yang berada di sebelah kamar Kaisar.
Ketika dua batang pedang di tangan mereka bergrak, tubuh di atas pembaringan,
di dalam kelambu yang tertusuk pedang dan mengeluarkan pekik maut bukanlah
tubuh Kaisar, melainkan tubuh pangeran itu! barulah kedua orang ini tahu bahwa
mereka telah keliru, dan cepat mereka meloncat dan keluar dari dalam kamar itu
melalui jendela.
"Tangkap penjahat!"
"Tangkap pembunuh!!"
Dalam sekejap mata saja kedua orang mata-mata itu dikepung oleh belasan orang pengawal
dan disergap. Tentu saja Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki membela diri dan membalas
dengan serangan-serangan dahsyat. Terjadilah pertandingan keroyokan di ruangan
yang cukup terang itu dan makin lama makin banyaklah pengawal yang datang
mengeroyok. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali pengawal yang berkepandaian
tinggi, dua orang itu menjadi repot juga.
Dengan berdiri saling membelakangi, Swi Nio dan Toan Ki saling
melindungi, pedang mereka bergerak cepat menyambar-nyambar ke depan, kanan dan
kiri menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan ke arah mereka. Suara
beradunya senjata nyaring diselingi teriakan-teriakan para pengeroyok memecah kesunyian
malam di dusun itu. Tidak kurang dari delapan orang pengeroyok roboh oleh
pedang mereka dan kini para pengawal atas komando perwira atasan mereka
mengurung dan mengatur barisan. Kesempatan
ini dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk menggeser kakinya mundur sampai punggungnya
beradu dengan punggung Liem Toan Ki. Kemudian dia berbisik, suaranya mengandung
keharuan, "Maaf, Koko. Aku yang membujukmu ke sini sehingga kau juga
menghadapi bahaya maut...." "Hushhh...., mati atau hidup kita berdua,
Moi-moi...."
"Aku tak takut mati,
tapi.... aku belum sempat membalas segala kebaikanmu, Koko...."
"Tidak ada kebaikan di
antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita mati bersama!"
Ucapan Toan Ki ini membangkitkan semangat di dalam hati Swi Nio. Sambil
memengang pedang erat-erat dan tangan kirinya dikepal, dia berkata. "Aku
akan merasa bangga denganmu, Koko!" Percakapan bisik-bisik itu dihentikan
karena kini para pengeroyok yang tadi mengurung mereka telah mulai menyerang.
Kini pengeroyokan mereka teratur, dan serangan datang bertubi-tubi, berantai karena
mereka mengelilingi dua orang ini sampai tiga empat baris. Swi Noi dan Toan Ki
kembali harus menggerakan pedang masing-masing untuk menangkis dan melindungi
tubuh mereka, namun karena datangnya serangan tidak seperti tadi, kadang-kadang
bertubi-tubi dan susul menyusul, mereka berdua menjadi repot sekali dan
tiba-tiba terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketikabahu kirinya terkena hantaman
gagang tombak.
Biarpun keduanya telah terluka,
namun mereka terus mengamuk, pedang mereka menyambar-nyamabar dan kembali
robohlah empat orang pengeroyok, sungguhpun mereka berdua sendiri juga
mengalami luka-luka bacokan. Maklumlah keduanya bahwa menghadapi pengeroyokan
demikian banyak pengawal, Mereka tidak mungkin dapat meloloskan diri, maka
mereka mengamuk untuk dapat membunuh sebanyak mungkin musuh sebelum mereka
berdua dirobohkan.Mereka berdua sudah bertekad untuk melawan sampai mati. Akan tetapi tiba-tiba terjadi perubahan. Para
pengurung dan pengeroyok menjadi kacau balau dan terdengar suara meledak-ledak
nyaring serta disusul pekik-pekik kesakitan dan robohlah beberapa orang
pengeroyok yang kena disambar oleh sebatang cambuk berduri. Juga ada para
pengeroyok yang dilempar-lemparkan sepasang lengan yang amat kuat.
Swi Nio dan Toan Ki terkejut dan
girang sekali karena maklum bahwa ada bala bantuan datang.
Mereka tadinya menduga bahwa yang
datang tentulah teman-teman mereka, para mata-mata yang disebar
oleh An Lu Shan. Akan tetapi
mereka menjadi terheran-heran dan kagum sekali ketika menyaksikan bahwa
yang mendatangkan kekacauan pada
pihak para pengeroyok hanyalah dua orang, seorang pemuda tinggi
besar yang gagah perkasa, yang
menggunakan kedua tangannya melempar-lemparkan para pengawal, dan.seorang dara
yang amat cantik jelita dan gagah, dara yang mengamuk dengan sebatang cambuk
berduri dan
sebatang pedang, gerakannya cepat
dan ganas.
Siapakah dua orang yang tidak
dikenal oleh Swi Nio dan Toan Ki itu? Mereka adalah Ouw Soan Cu, gadis Pulau
Nereka yang lihai itu, dan pemuda tinggi besar Kwee Lun, murid Lam-hai Seng-jin
yang tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, mereka berdua saling berjumpa di puncak Awan Merah di Pegunungan
Tai-hang-san, yaitu di tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Ouw Soan Cu gadis Pulau Neraka itu datang
bersama Sin Liong sedangkan Kwee Lun yang menjadi teman seperjalanan dan
sahabat Swat Hong datang pula bersama gadis itu. Tadinya, sebelum Sin Liong
pergi bersama Swat Hong untuk mencari The Kwat Lin di Bu-tong-pai, pemuda ini
yang merasa kasihan kepada Soan Cu menitipkan gadis itu kepada Tee-tok
Siangkoan Houw. Akan tetapi melihat Sin Liong pergi bersama Swat Hong, Soan Cu
tidak mau tinggal di tempat itu, lalu dia pun pergi hendak mencari ayahnya. Dan Kwee Lun, yang merasa tertarik kepada
gadis cantik jelita dan galak serta jujur itu, segera berpamit dan cepat lari
mengejar Soan Cu.
Di kaki pegunungan Tai-hang-san,
barulah Kwee Lun mampu menyusul Soan Cu karena gadis itu memperlambat larinya
dan berjalan dengan termenung. Setelah kini mulai melakukan perjalanan seorang diri,
barulah Soan cu merasa bingung sekali. tadinya, melakukan perjalanan bersama
Sin Liong, dia tidak tahu apa-apa, hanya ikut saja dan segeralah hal diputuskan
oleh pemuda itu. Setelah kini sadar bahwa dia berada seorang diri di dunia yang
luas ini, dia merasa kesepian dan bingung. Dia tidak mengenal tempat dan tidak
tahu harus menuju ke mana untuk mencari ayahnya! Teringat akan semua ini,
hatinya kecil dan gelisah, juga marah. Marah kepada Sin Liong yang
meninggalkanya. "Nona Ouw, perlahan
dulu.....!" Karena termenung dan hatinya gelisah, Soan Cu sama sekali
tidak memperhatikan keadaan sekitarnya maka dia tidak tahu bahwa ada orang
membayanginya di belakang. Barulah dia
terkejut ketika mendengar seruan itu dan cepat dia membalikkan tubuhnya
memandang. Dia cemberut melihat bahwa yang memanggilnya adalah pemuda tinggi
besar yang pernah bertempur dengan dia di Puncak Awan Merah karena pemuda ini
memembela Swat Hong dan dia membela Sin Liong.
Teringat akan peristiwa itu, tiba-tiba saja dia merasa gelisah dan
menahan ketawanya dengan senyum lebar, lalu menutupi mulutnya.
Melihat gadis itu menahan ketawa,
namun jelas sinar mata gadis itu mentertawakannya, Kwee Lun mengerutkan alisnya
yang tebal, akan tetapi dia pun tersenyum dan berkata sambil menjura,
"Nona Ouw, mengapa engkau menahan ketawa dan menyembunyikan senyum?
Menyambut seorang kenalan dengan senyum lebar di bibir merupakan penghormatan
paling besar.
Senyum adalah seperti matahari
pagi, menghidupkan menenteramkan, penuh damai dan bahagia....." Mendengar
ucapan pemuda itu yang diatur seperti orang membaca sajak, Soan Cu tertawa dan
dia kagum juga. Terdengar amat indah kata-kata tadi. Akan tetapi timbul pula
kenakalannya dan dai menjawab dengan nada mengejek, "Orang She Kwee, aku
tertawa bukan menyambutmu, melainkan teringat akan peristiwa yang amat lucu.
Engkau datang bersama Han Swat Hong, membelanya mati-matian, akan tetapi sekarang
di manakah dia? Engkau ditinggalkan begitu saja! Betapa lucunya! Lucu ataukah
menyedihkan?" Alis tebal itu makin dalam berkerut, akan tetapi kemudian
Kwee Lun tersenyum lagi dan mengangguk-angguk.
"Memang lucu sekali!
Ha-ha-ha-ha, lucu sekali!"
Melihat pemuda itu tidak
tersinggung malah tertawa-tawa, Soan Cu menjadi penasaran. "Apa yang
lucu?" bentaknya.
"Kau..... eh, kita
berdua.... yang lucu. Mengapa bisa begini kebetulan?" "Apa yang
kebetulan?" Soan Cu makin penasaran karena ejekannya itu kini agaknya
malah dibalikan oleh pemuda itu kepadanya.
"Bukankah kebetulan sekali
nasib kita amat serupa? Aku datang bersama Nona Swat Hong dan aku
ditinggalkan, sebaliknya engkau
pun datang bersama Sin Liong dan engkau ditinggalkan pula. Nasib kita
benar serupa, bukankah ini amat
lucunya?".Wajah Soan Cu menjadi merah sekali. "Sratttt!" Pedang
Coa-kut-kiam yang bersinar-sinar telah berada di
tangan kanannya.Kwee Lun terkejut
bukan main, hanya memandang bengong karena sama sekali tidak menyangka bahwa
gadis yang dianggapnya jujur dan lincah gembira ini demikian mudah tersinggung! "Eh, Nona Ouw..... kau.... marah oleh
godaanku tadi?"
"Siapa marah? Hayo cabtu
pedangmu, kita lanjutkan pertempuran kita yang terhenti ketika di Puncak Awan Merah.
Aku masih belum kalah olehmu!" Kwee lun penarik napas panjang, hatinya
lega. Tepat dugaannya, nona ini sama sekali bukan tersinggung oleh godaannya,
melainkan karena memiliki watak aneh, ingin melanjutkan pertempuran ketika
mereka saling membela sahabat masing-masing di Puncak Awan Merah. "Wah, berat, Nona. Aku terima kalah.
Dalam geberakan-geberakan yang pernah kita lakukan itu saja aku sudah tahu
bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku. Pula kita bukanlah
musuh. terserah kalau Nona hendak menganggap aku musuh, akan tetapi aku Kwee
Lun sama sekali tidak menganggap kau sebagai musuhku. Bahkan sebaliknya, di
antara kita, mau atau tidak telah terdapat ikatan persahabatan yang amat
erat."
"Hemm, jangan kau mencoba
untuk membujuku. Persahabatan dari mana? Enak saja kau bicara!"
""Eh, apakah kau hendak
menyangkal bahwa engkau adalah sahabat baik dari Kwa Sin Liong, Nona?"
"memang, dia adalah sahabat
baikku, bukan engkau!"
"Nah, kalau engkau sahabat
baik dari dari Kwa Sin Liong, berarti engkau adalah sahabat baikku pula. Kwa Sin
Liong adalah Suheng dari Han Swat Hong, dan Nona itu adalah sahabatku. Sahabat
dari Si Suheng tentu juga menjadi sahabat baik dari sahabat Si Sumoi,
bukan?"
"Hemm, kau memang pandai
bicara." Soan Cu menyarungkan kembali pedangnya. "Bilang saja bahwa
kau tidak berani melawan aku!"
"Tentu saja tidak berani,
karena memang pedangku bukan untuk melawan, melainkan untuk membantumu mencari
kembali Ayahmu. Bukankah kau hendak mencari Ayahmu, Nona? Tahukah kau ke mana
kau harus mencarinya?" Ditegur seperti itu, Soan Cu menjadi bingung lagi.
Memang tadi dia sedang termenung bingung, tidak tahu harus pergi ke mana,
dengan matanya yang indah terbelalak gadis itu memandang kepada Kwee Lun dan
menggelengkan keplanya, lalu dia berkata, "Apakah kau tahu?" "Tentu
saja aku tidak tahu, Nona. Aku belum mengenal Ayahmu itu. Akan tetapi, sebagai
seorang gadis muda, sungguh tidak leluasa bagimu untuk mencari sendiri. Aku
dapat membantumu, aku sering merantau dengan guruku dahulu , dan aku banyak
mengenal daerah-daerah, tahu pula dunia kang-ouwse sehingga agaknya akan lebih
menguntungkan bagimu dan menyenangkan bagiku kalau kita melakukan perjalanan bersama.
Tentu saja kalau kau suka....."
Sampai lama Soan Cu menatap wajah
pemuda itu, kemudian dia menghela napas, berkata, "Engkau baik sekali,
seperti Sin Liong. Tentu saja engkau tidak dapat kuandalkan seperti dia, kepandaianmu
tidak sehebat dia. Akan tetapi engkau juga gagah perkasa, jujur dan itu sudah
cukup untuk meyakinkan aku bahwa engkau tentu dapat menjadi seorang
sahabat." "Ha-ha-ha, terima kasih, ha-ha-ha! Sudah kuduga bahwa
engkau adalah seorang gadis yang luar biasa, polos dan tidak berpura-pura,
cantik dan gagah perkasa. Ha-ha-ha!" Kwe Lun tertawa dengan bebas dan terkejutlah
Soan Cu ketika , melihat betapa air mata mengalir di kedua pipi pemuda tinggi
besar yang gagah dan tampan ini.
"Eh, kau menangis??"
Kwee Lun menghentikan tawanya, mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya
sambil menggeleng kepala.
"Ini adalah penyakitku, Nona. Aku selalu mengeluarkan air mata kalau
tertawa
terlalu gembira. Akan tetapi,
kalau dilihat kenyataannya, apa sih bedanya antara tawa dan tangis? Apakah
bedanya antara senang dan susah,
antara nyeri dan nikmat? Kesemuanya adalah dua muka dari satu tangan,
tak terpisahkan. Mencari yang
satu, pasti akan ketemu dengan yang ke dua."."Wah, kau memang seorang
manusia aneh, Kwee-toako. Kau gagah perkasa, pemberani, pandai bersajak,
pandai filsafat, dan....
cengeng!"
Girang bukan main hatinya
mendengar gadis itu menyebutnya toako, tanda bahwa gadis itu benar-benar mau
menerima persaudaraan atau persahabatan diantara mereka.
"Ouw-siocia..... atau engkau
lebih senang kusebut adik?"
"Sebut saja namaku Soan
Cu."
"Bagus! Kau hebat! Soan Cu
kau percayalah, aku Kwee Lun bukanlah seorang yang berarti palsu. Engkau tidak
akan kecewa menaruh kepercayaan kepadaku dan sudi menerima uluran tangan
persahabatan dariku. Aku akan berdaya
upaya sedapat mungkin untuk mencari Ayahmu itu. Siapakah nama beliau?" "Ayahku
bernama Ouw Sian Kok, tokoh besar dari Pulau Neraka yang sudah belasan tahun
meninggalakn Pulau Neraka."
Tiba-tiba Kwee Lun memandang
dengan mata terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, bibirnya bergetar ketika
dia menegaskan. "Pu.... Pulau..... Neraka?"
Soan Cu tersenyum. "Apakah
kau masih mau menganggap aku sahabat setelah kau tahu aku adalah seorang gadis
dari Pulau Neraka?" "Eh-eh, jangan salah paham, Soan Cu. Aku.....
hanya terkejut sekali mendengar ada pulau yang namanya seperti itu. Pernah
guruku, Lam-hai Sengjin mengatakan bahwa di dalam dongeng yang tersebar
diantara kaum kang-ouw, terdapat sebutan dua pulau. Pertama adalh Pulau
Es....." "Tempat tinggal Sin Liong dan Swat Hong!"
"Benar, dan aku sudah merasa
bahagia bukan main telah bertemu dengan seorang puteri Pulau Es. dan Ke dua,
menurut Suhu adalah pulau yng tentu tidak pernah ada dan hanya ada dalam
dongeng, adalah Pulau Neraka........"
"Bukan dongeng. Akulah gadis
Pulau Neraka." Ouw Soan Cu lalu menceritakan dengan singkat keadaan Pulau
Neraka, juga tentang ayahnya yang minggat dari pulau ketika ibunya tewas
melahirkan dia. "Ah, kasihan sekali
engkau, Soan Cu."
"Ayahku yang patut
dikasihani."
"Tidak! Ayahmu telah
melakukan hal yang amat keliru. Perbuatannya lari dari Pulau Neraka itu jelas membayangkan
betapa ayahmu hanyalah mngingat akan dirinya sendiri saja." "Kwee
Lun! Apa yang kaukatakan ini? kau berani menghina nama ayah di depanku?"
Soan Cu melotot marah.
"Maaf, Soan Cu. Aku sama
sekali tidak menghina siapa pun. Aku hanya bicara berdasarkan kenyataan. Ibumu meninggal duni ketika melahirkanmu,
apakah beliau itu salah? Engkau sendiri yang dilahirkan dan kelahiran itu
mengakibatkan kematian ibumu, apakah engkau pun bersalah? Tentu saja tidak!
Mendiang ibumu dan engkau sama sekali tidak bersalah dan kematian itu adalah
suatu hal yang wajar, yang sudah semestinya dan lumrah karena hidup dan mati
hal yang biasa. Akan tetapi ayahmu. Beliau malah lari meninggalkan pulau,
meninggalkan anaknya yang baru terlahir! Apakah perbuatan ini harus kubenarkan saja?
Kalau aku berbuat demikian, berarti aku bukan membenarkan secara jujur,
melainkan menjilat untuk menyenangkan hatimu."
Lenyap kemarahan Soan Cu. Dia
menunduk. "kau aneh, Kwee-toako, aneh dan terlalu terus terang. Habis andaikata
benar seperti yang kau katakan bahwa Ayah terlalu mementingkan diri sendiri
apakah aku, sebagai anaknya tidak boleh mencari Ayahku?"
"Bukan begitu, Soan Cu.
Tentu saja engkau harus mencari Ayahmu dan aku akan membantumu sampai kita
berhasil menemukan Ayahmu.
Mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena harus diakui betapa akan
sukarnya mencari seorang yang
tidak kita ketahui berada di mana. Akan tetapi aku percaya bahwa kalau
memang Ayahmu yang telah pergi
selama belasan tahun itu berada di daratan, sebagai seorang tokoh besar,
tentu ada orang kang-ouw yang mengetahuinya.".Demikanlah,
kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama dan makin eratlah hubungan
diantara mereka. Dalam diri
masing-masing mereka menemukan sahabat yang cocok kepribadian yang serasi
dengan watak masing-masing, terbuka, jujur dan tidak bisa bermanis-manisan
muka. Soan Cu mulai tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar yang tampan,
jujur, jenaka dan biarpun kelihatan kasar, namun ternyata pandai bernyanyi dan
membaca sajak-sajak indah. Di lain pihak, Kwee Lun juga tertarik sekali oleh
pribadi Soan Cu, seorang gadis yang kadang-kadang kelihatan liar dan ganas,
tidak pernah menyembunyikan perasaan, namun kadang-kadang begitu lembut dan
penuh sifat keibuan. makin akrab hubungan mereka, makin terobatlah hati yang
tadinya luka oleh asmara. Kwee Lun mulai dapat melupakan Swat Hong yang
dikaguminya, sedangkan Soan Cu mulai dapat melupakan Sin Liong. Kwee Lun
bersama Soan Cu melakukan penyelidikan sampai jauh ke barat, karena dia
mendengar dari seorang tokoh Kang-ouw bahwa nama Ouw Sian Kok pernah muncul
dibarat. Akan tetapi, pada waktu mereka melakukan perjalanan ke barat untuk
mencari jejak tokoh Pulau Neraka itu, keadaan sudah kacau balau oleh perang dan
arus manusia ke barat amat banyak. Kedua orang muda itu terbawa harus manusia
dan mereka pun seperti dua orang yang sedang mengungsi ke barat.
Ketika mendengar bahwa rombongan
Kaisar yang melarikan diri berada di depan, mendengar pula tentang kematian
selir terkenal Yang Kui Hui bersama kakaknya yang menjadi perdana menteri, Kwee
Lun berkata kepada temannya, "Soan Cu, mari kita melihat keadaan Kaisar.
Aku tidak mencampuri urusan perang, akan tetapi siapa tahu, rombongan keluarga
bangsawan tertinggi yang melarikan itu akan menarik perhatian orang-orang
kang-ouw, termasuk Ayahmu."
Seperti biasa selama melakukan
perjalanan bersama, Soan Cu hanya menyetujui karena dia sendiri tidak tahu
apa-apa. Hanya mengharapkan untuk bertemu dengan ayahnya mulai menipis karena
sampai saat itu belum juga ada keterangan yang jelas dan meyakinkan tentang
diri ayahnya. Malam itu mereka dapat menyusul rombongan Kaisar yang berada
dalam keadaan berduka setelah terjadi peristiwa pembunuhan Yang Kui Hui karena
Kaisar selalu murung dan berduka sekali. Dan seperti diceritakan di bagian
depan, pada malam itu terjadi lagi peristiwa hebat yang menimpa rombongan
Kaisar, ketika Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki diam-diam menyelinap ke dalam
temapat penginapan dan hendak membunuh Kaisar akan tetapi salah masuk dan
sebaliknya membunuh seorang pangeran muda.
Ketika Soan Cu dan Kwee Lun melihat
dua orang muda yang dengan gagah perkasa mengamuk dan dikepung ketat oleh para
pengawal, telah menderta luka-luka namn masih terus mengamuk hebat, Kwee Lun
menjadi kagum dan berbisik, "Melihat gerakannya, pemuda gagah itu tentu
murid Hao-san-pai adalah orang gagah, pendekar sejati, maka sepatutnya kita
menolong mereka." Soan Cu mengangguk."Memang tidak adil sekali dua
orang dikeroyok puluhan orang perajurit seperti itu.
Gadis itu pun gagah dan cantik.
Mari, Toako, kita bantu mereka meloloskan diri." Mereka lalu melayang
turun dari atas pohon dari mana mereka tadi mengintai, dan tak lama kemudian gegerlah
para pengeroyok ketika dua orang muda ini menyerbu dari luar kepungan dan
merobohkan para pengeroyok dengan amat mudahnya. Kwee Lun tidak mencabut pedangnya,
melainkan menggunakan kedua tangannya yang kuat menangkapi dan
melempar-lemparkan pengawal yang menghadang di depannya, sedangkan Soan Cu
mengamuk dengan cabuk berduri di tangan kri dan sebatang pedang di tangan
kanan. Gerakan dara ini bukan main ganasnya, cambuknya meledak-ledak dan setiap
ledakan disusul robohnya seorang pengeroyok, pedangnya membuat gerakan cepat
sehingga tampak sinar bergulung-gulung yang merontokan semua senjata lawan.
"Harap Ji-wi mundur dan cepat lari, biar kami menahan mereka!" kata
Kwee Lun sambil menggerakkan sikunya yang kuat merobohkan seseorang pengawal
yang menerjangnya dari belakang.
"Terima kasih atas bantuan
Ji-wi (Anda Berdua)!" seru Liem Toan Ki dengan girang karena dia khawatir sekali
akan keadaan kekasihnya. Sambil menggerakkan pedang , mereka lalu mundur dan
membuka jalan darah, merobohkan mereka yang berani menghadang dan karena kini
para pengawal itu dikacaukan oleh Kwee Lun dan Soan Cu, tidak sukar bagi Swi
Nio dan Toan Ki untuk meloloskan diri dari kepungan yang sudah terpecah belah
itu.
Setelah melihat dua orang itu
menghilang, Kwee Lun juga mengajak Soan Cu meninggalkan
gelanggang pertempuran dan
menghilang di dalam gelap, mengejar bayangan dua orang yang mereka
tolong itu..Menjelang pagi, Soan
Cu dan Kwee Lun melihat dua orang yang ditolongnya tadi sedang menanti mereka
di luar sebuah hutan besar.
Melihat dua orang penolong mereka, Swi Nio dan Toan Ki cepat maju dan memberi
hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk. "Banyak terima kasih kami haturkan atas
bantuan Ji-wi yang mulia," kata Toan Ki. "Kalau tidak mendapat bantuan
Ji-wi, tentu kami berdua telah tewas di tangan para pengawal Kaisar itu."
"Ah, diantara kita, bantu membantu merupakan hal yang sudah
sewajarnya," jawab Kwee Lun. "kami sendiri juga mengharapkan bantuan
Ji-wi."
"Bantuan apa? Kami akan
bergembira sekali kalau dapat membantu Ji-wi," seru Liem Toan Ki yang
telah merasa berhutang budi.
"Kami berdua sedang mencari
seorang tokoh bernama Ouw Sian Kok, tokoh dari Pulau Neraka. Barangkali Ji-wi
dapat membantu kami di mana adanya Ouw-locianpwe itu?"
Kaget juga Swi Nio dan Toan Ki
mendengar disebutnya Pulau Neraka, mereka saling pandang dan menggelengkan
kepala. "Sayang, kami sendiri belum pernah mendengar nama Ouw Sian Kok dari
Pulau Neraka. Akan tetapi kami akan membantu sekuat tenaga. Di manakah adanya
beliau yang terakhir kalinya, dan apakah Ji-wi sudah mendapatkan
jejaknya?"
"Itulah sukarnya. Kami tidak
tahu beliau berada di mana maka mengharapkan keterangan dari orang-orang kang-ouw."
"Kalau begitu, mari Ji-wi
ikut dengan kami ke timur. Saya kira, mencari seorang tokoh besar di dunia
kang-ouw akan bisa kita dapatkan keterangan selengkapnya di sekitar kota raja.
Apalagi sekarang, setelah perjuangan An Lu Shan Tai-ciangkun berhasil, tentu
banyak tokoh kang-ouw muncul di kota raja dan kita dapat bertanya-tanya kepada
mereka."
"Akan tetapi kabarnya di
sana terjadi perang, bahkan banyak orang mengungsi ke Secuan." Toan Ki
tersenyum. "Jangan khawatir,
kami berdua adalah orang-orang dalam! Kami berdua bekerja untuk
An-tai-ciangkun,
maka kami mempunyai banyak
kenalan di sana. Sekarang Tiang-an telah diduduki, dan agaknya keadaan tentu
telah aman kembali. "
Mereka bercakap-cakap dan
terdapatlah kecocokan di antara mereka. Juga Soan Cu menjadi akrab dengan Swi
Nio. Gadis Pulau Neraka yang masih hijau ini senang sekali mendengar penuturan
Swi Nio yang sudah berpengalaman, sebaliknya Swi Nio juga kagum terhadap dara
cantik yang ternyata adalah seorang dari Pulau Neraka yang hanya dikenal dalam
dongeng, kagum menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Soan Cu tadi dan jug ngeri
menyaksikan senjata-senjata yang ampuh dan ganas itu. Berangkatlah mereka berempat, kembali ke
timur menuju ke Tiang-an, kota raja pertama yang telah terjatuh ke tangan An Lu
Shan.
Setelah berhasil menduduki
Lok-yang ibu kota kedua itu melalui pertempuran yang seru, An Lu Shan memimpin
pasukan intinya menuju ke Tiang-an. Kembali dia harus menghadapi perlawanan
gigih di Lembah Tung Kuan, akan tetapi setelah lembah ini didudukinya,
pasukan-pasukan terus menekan dan bergerak menuju ke Tiang-an.
Demikianlah, Tiang-an, ibu kota
yang megah itu, diserbu dan didudukinya dengan amat mudah, hampir tidak ada
perlawanan sama sekali. Hal ini adalah karena banyak kaki tangan dan mata-matanya
yang dipimpin oleh Ouwyang Cin Cu dan The Kwat Lin, telah lebih dulu melakukan
kekacauan-kekacauan sehingga melemahkan pertahanan, juga Kaisar melarikan diri
meninggalkan kota raja Tiang-an, hal ini membuat para pasukan penjaga menjadi
kehilangan semangat dan sebagian besar di anatara mereka menyatakan takluk
tanpa melalui peperangan yang lama, ada pula yang melarikan diri menyusul rombongan
Kaisar ke barat. Seperti biasa terjadi di waktu perang, dari jaman dahulu
sebelum sejarah tercatat sampai sekarang, akibat-akibat yang mengerikan terjadi
dan menimpa diri pihak yang kalah perang.
Demikian pula nasib para
bangsawan di kota raja yang tidak sempat melarikan diri. Banyak orang dibunuh
hanya oleh tudingan jari tangan
orang lain yang memfitnahnya, mengatakan bahwa orang itu adalah mata-mata
pemrintah. Mayat bergelimpangan
di sepanjang jalan dan anggauta-anggauta pasukan pemberontak
yang menang perang itu berpesta
pora mengangkuti harta benda dan wanita dari pihak yang kalah. Jerit
tangis wanita-wanita yang dipaksa
dan diperkosa, membumbung tinggi ke angkasa, bercampur baur dengan.sorak dan
tawa kemenangan. Dan An Lu Shan, seorang yang ahli dalam hal memimpin pasukan,
sengaja
membiarkan saja hal itu terjadi
agar darah yang bergolak di dada para anak buahnya dapat diredakan. Beberapa hari kemudian, setelah anak buahnya
sepuas-puasnya dan sekenyang-kenyangnya mengganggu wanita dan merebutkan harta
benda yang ditinggal lari, barulah muncul perintah yang melarang perbuatan
seperti itu.
Namun An Lu Shan juga tidak
melupakan janji-janjinya kepada para pembantunya yang telah berjasa. Dengan royal dia lalu membagi-bagikan
pangkat, gedung bekas tempat tinggal para bangsawan yang melarikan diri atau
terbunuh, membagi-bagikan harta benda dan para puteri cantik yang menjadi
tawanan. Maka selama beberapa bulan
lamanya berpesta poralah para kaki tangan An Lu Shan yang menerima hadiah-hadiah
itu.
Tentu saja An Lu Shan lebih lagi
memperhatikan para pembantu yang tangguh dan yang masih diharapkan bantuan
mereka. Kepada mereka ini dia memberi hadiah yang lebih besar lagi. Dia tidak
mengingkari janjinya terhadap para pembantu yang berjasa besar seperti The Kwat
Lin bekas Ratu Pulau Es itu, maka setelah Tiang-an diduduki, putera The Kwat
Lin yang bernama Han Bo ong lalu diberi anugerah pangkat pangeran! The Kwat Lin
sendiri diangkat menjadi seorang panglima pengawal, sedangkan Ouwyang Cin Cu
diangkat menjadi koksu (guru penasihat negara). Dapat dibayangkan betapa
girangnya hati The Kwat Lin. Cita-citanya tercapai, puteranya telah menjadi
pangeran dan kalau dia pandai mengatur kelak siapa tahu terbuka kesempatan bagi
para puteranya untuk menjadi Kaisar! Tidaklah
mengherankan apa yang terkandung dalam hati The Kwat Lin sebagai cita-cita ini.
Sudah lajim bagi kita manusia di dunia ini untuk selalu menjadi hamba dari
cita-cita kita sendiri. Seluruh kehidupan ini seolah-olah dikuasai dan diatur
oleh cita-cita kita masing-masing. Kita tenggelam dalam khayal dan cita-cita,
tidak tahu betapa cita-cita amatlah merusak hidup kita . Cita-cita membuat
pandang mata kita selalu memandang jauh ke depan penuh harapan untuk mencapai
sesuatu yang kita cita-citakan. Pandang
mata yang selalu ditujukan ke masa depan yang belum ada ini, tangan yang
dijangkaukan ke depan untuk selalu mengejar apa yang belum kita miliki membuat
kita hidup seperti dalam bayangan. Kita
tidak mungkin dapat menikmati hidup, padahal hidup adalah saat demi saat,
sekarang ini, bukan masa depan yang merupakan bayangan khayal atau masa lalu
yang sudah mati. Sekali kita menghambakan diri kepada cita-cita, selama hidup
kita akan terbelenggu oleh cita-cita karena tidak ada cita-cita yang dapat
terpenuhi sampai selengkapnya, dan kita terseret ke dalam lingkaran setan yang
tak berkeputusan. Mendapat satu ingin dua, memperoleh dua mengejar tiga dan
selanjutnya, itulah cita-cita! Dan semua
itu akan kita kejar terus sampai kematian merenggut kehidupan kita, bahkan di
ambang kubur sekali pun di waktu mendekati kematian, kita masih terus di
cengkeram cita-cita, yaitu cita-cita untuk masa depan sesudah mati! Betapa
mungkin kita dapat menikmati hidup ini kalau mata kita selalu memandang masa
datang yang belum ada? Sebaliknya, orang yang bebas dari cita-cita, bebas dari
masa lalu dan masa depan, dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Demikian
pula dengan The Kwat Lin. Cita-citanya tercapai dengan diangkatnya puteranya
menjadi pangeran, akan tetapi sudah habis di situ sajakah cita-citanya? Sama sekali belum! jauh dari pada cukup atau
habis! Bahkan cita-cita barunya yang lebih hebat baru saja dia mulai, yaitu
cita-cita melihat puteranya menjadi kaisar! Karena cita-cita ini, maka
keadaannya pada saat itu tidak terasa membahagiakan, bahkan terasa amat kurang.
Hanya pangeran! hanya panglima pengawal! Jauh dibandingkan dengan puteranya
menjadi kaisar dan dia menjadi ibu suri!
Banyak orang membantah,
mengatakan bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, tanpa cita-cita
kita tidak akan maju. Apakah
cita-cita itu? Apakah kemajuan itu? Cita-cita adalah keinginan akan sesuatu
yang belum terdapat oleh kita.
Dan keinginan seperti ini merupakan dorongan nafsu yang tak mengenal
kenyang, makin dituruti makin
lapar dan haus, menghendaki yang lebih. Dan akhirnya akan sukar
dibedakan lagi dengan ketamakan,
kerakusan yang mendatangkan pertentangan, permusuhan dan
kesengsaraan. Dan apakah kemajuan
itu? Sudah menjadi pendapat umum bahwa kemajuan adalah
keduniawian, harta benda,
kedudukan, nama besar. Apakah "kemajuan" seperti ini mendatangkan
kebahagiaan" hanya mereka
yang telah memiliki nama terkenal saja yang mampu menjawab, dan
jawabannya pasti TIDAK! Bahkan
sebaliknya malah. makin banyak kedudukan atau nama besar, makin
ketat kita melekat kepada
duniawi, makin banyak pula kesengsaraan hidup yang kita derita berupa
kekecewaan, pertentangan dan
kekhawatiran. karena yang sudah pasti saja, hanya mereka yang masih
memiliki lahir batin yang akan
kehilangan! Dan kehilangan berarti kekecewaan, kedukaan dan sebelumnya
terjadi kehilangan, kita
digerogoti kekhawatiran..Akan tetapi pada waktu itu tidak nampak seorang pun
karena pada waktu itu, rakyat penghuni ibu
kota sedang dicengkeram ketakutan
hebat. Seperti biasa setelah perang berakhir, rakyat yang menjadi sasaran
mereka yang memperoleh kemenangan. Para anggauta pasukan baru berkeliaran
keluar masuk perkampungan, keluar masuk rumah orang seperti rumahnya sendiri,
bahkan tidak jarang terjadi mereka memasuki kamar tidur orang seperti memasuki
kamar tidur sendiri sambil menyeret nyonya rumah yang masih muda atau anak
gadis mereka! Seperti para atasannya yang mengadakan pesta besar-besaran, kaum rendahan
juga berpesta dengan gayanya tersendiri. Seperti biasanya pula, penduduk hanya
pandai menangis dan mengeluh mengadu kepada Thian sebagai hiburan satu-satunya. Menjelang tengah malam, pesta masih amat
ramai. Ouwyang Cin Cu sebagai seorang yang berkedudukan tinggi sekali sekarang,
seorang koksu, datang juga hanya sekedar memberi selamat dan tidak tinggal
lama. Akan tetapi para pengawal baru,
tentu saja mereka yang berpangkat perwira ke atas, masih berpesta pora karena
memang The Kwat Lin ingin mengambil hati para rekannya ini yang kelak dia
harapkan bantuan mereka.
Bahkan ketika para tamu orang
penting sudah meninggalkan tempat pesta dalam keadaan setengah mabok dan tempat
itu mulai sepi, The Kwat Lin masih menahan para pembesar pengawal yang
jumlahnya belasan orang itu untuk diajak berunding mengenai tugas mereka yang
baru sebagai pengawal-pengawal istana, bahkan mereka merupakan dewan
pimpinannya. Lewat tengah malam, para tamu sudah pulang dan yang tinggal
hanyalah empat belas orang pimpinan pengawal yang kini dijamu dan diajak
berunding di ruangan dalam, adapun ruangan luar tempat pesta mulai
dibersih-bersihkan oleh sejumlah pelayan yang kelihatan lelah dan mengantuk.
Pada saat itulah berkelebat
bayangan tiga orang. Para pelayan yang membersihkan tempat bekas pesta itu hanyalah
melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu kelihatan dua orang
wanita cantik dan seorang laki-laki gagah sudah berdiri dengan sikap angker!
Tentu saja para pelayan terkejut sekali dan mengira bahwa orang-orang aneh yang
bergerak amat cepatnya ini tentulah sahabat majikan mereka yang juga terkenal
lihai bukan main, maka seorang di antara mereka menyambut sambil menjura dan
berkata, "Sam-wi yang terhormat agak terlambat karena pesta telah
bubar."
"Kami tidak ingin
pesta," jawab wanita yang setengah tua dengan sikap keren. "Kami
ingin berjumpa dengan majikan kalian."
Melihat sikap yang keren penuh
wibawa ini, para pelayan menjadi gentar dan dua orang di antara mereka
cepat memasuki ruangan dalam di mana
The Kwat Lin sedang mengadakan perundingan dengan rekan-rekannya.Diam-diam
wanita itu, Liu Bwee, memberi isyarat dengan matanya kepada Swat Hong, puterinya.
Swat Hong mengangguk dan dengan gerakan yang amat cepat dara ini sudah meloncat
dan menyelinap lenyap dari situ, sedangkan ibunya dan Ouw Sian Kok sudah
menerjang ke dalam ruangan ketika melihat pelayan tadi pergi melapor. Baru saja
dua orang pelayan itu memasuki ruangan dalam dan belum sempat mengeluarkan
kata-kata, pintu telah terbuka lebar dan Liu Bwee bersamaa Ouw Sian Kok telah
menerjang ke dalam.
"Heiii! Siapa....!!"
Bentakan The Kwat Lin terhenti dan wajahnya berubah pucat ketika dia melihat munculnya
wanita yang tentu saja amat dikenalnya itu. Dia menjadi pucat ketakuan karena
mengira bahwa bekas suaminya, Han Ti Ong Raja Pulau Es yang amat ditakutinya
itu muncul. Akan tetapi ketika melihat bahwa laki-laki yang datang bersama Liu
Bwee itu bukanlah Han Ti Ong, hatinya menjadi lega dan dengan tabah dia
meloncat ke depan, dua kali menendang membuat dua orang pelayannya terlempar
keluar ruangan, kemudian menghadapi Liu Bwee sambil tersenyum mengejek. "Aih, kiranya wanita buangan yang datang
mengacau dan mengantarkan nyawa!" bentaknya. "Perempuan hina yang berhati iblis!
engkau telah menerima budi kebaikan dari suamiku, mengangkatmu dari lembah
kehinaan ke tempat mulia, malah membalasnya dengan khianat! Engkau dan anak
harammu itu harus mampus di tanganku!"
"Mulut busuk!" The Kwat
Lin balas memaki dan sekali tanganya bergerak, tampak sinar merah dari Pedang
Ang-bwe-kiam di tangan kananya,
kemudian tanpa menanti lagi, sinar merah itu sudah meluncur ke depan
menyerang Liu Bwee.
"Cringggg....!!" Bunga api berpijar dan The Kwat Lin mundur dua
langkah sambil.memandang Ouw Sian Kok yang telah menangkis pedangnya dengan
sebatang pedang di tangan, tangkisan
yang membuat lengannya tergetar,
tanda bahwa laki-laki yang datang bersama Liu Bwee ini memiliki kepandaian
tinggi pula.
"Siapa engkau?"
Bentaknya, sementara para rekannya, empat belas orang perwira dan panglima
pengawal, telah mencabut senjata masing-masing dan mengurung, menanti saat
bantuan mereka diperlukan oleh The Kwat Lin.
Ouw Sian Kok yang mengerti bahwa
dia bersama Liu Bwee dan Han Swat Hong telah memasuki
guha harimau dan berada dalam
ancaman bahaya besar, sengaja mengulur waktu untuk memberi
kesempatan kepada Swat Hong yang
oleh ibunya ditugaskan menyelinap ke dalam istana untuk mencari
dan merampas kembali
pusaka-pusaka Pulau Es, karena hanya dengan jalan demikian saja kiranya
pusaka-pusaka
itu dapat dirampas kembali. Dia
tertawa dan mengelus jenggotnya, seadngkan Liu Bwee siap dan berdiri saling
membelakangi punggung dengan Ouw Sian Kok, maklum bahwa mereka tentu akan menghadapi
pengeroyokan dan karenanya harus dapat saling melindungi. "Ha-ha-ha! engkau tanya siapa aku? Aku
pun seorang buangan! namaku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka!" Mendengar ini
The Kwat Lin diam-diam merasa terkejut dan heran juga. Dia sudah mendengar dari
bekas suaminya, Raja Pulau Es, bahwa para buangan di Pulau Neraka bukanlah
orang-orang sembarangan, bahkan banyak di antara mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Akan tetapi karena dia percaya akan kepandaiannya sendiri,
juga merasa aman berada di antara para pengawal dan lebih lagi berada di dalam
istananya di kota raja, dia memandang rendah.
"Huh, kiranya adalah buangan
rendah dan hina dari Pulau Neraka."
Ouw Sian Kok yang ingin mengulur
waktu, kembali tertawa untuk mengalihkan perhatian The Kwat Lin. "Ha-ha-ha! Biarpun kami para penghuni
Pulau Neraka adalah orang-orang buangan, namun kiranya sukar dicari seorang pun
di antara kami yang memiliki watak rendah untuk mengkhianati orang yang telah menolong
dan melimpahkan kebaikan kepada kami seperti yang dilakukan olehmu, The Kwat
Lin!" "Manusia hina! Mampuslah!!"
"Sing-sing-singggg....!!"
Ouw Sian Kok maklum akan
kelihaian wanita ini, maka cepat ia mengelak, menangkis dan membalas menyerang
sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya, dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya.
Terjadilah duel yang amat hebat di antara kedua orang berilmu tinggi ini.
Melihat betapa Ouw Sian Kok yang memang seperti direncanakan harus menghadapi
The Kwat Lin lihai, Liu Bwee cepat memutar pedangnya dan menghadapi
pengeroyokan belasan orang pengawal itu. Pedangnya bergerak dahsyat sekali, dan
dalam sepuluh jurus saja dia telah merobohkan dua orang pengawal. yang lain
tetap mengepungnya karena tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani
membantu The Kwat Lin, melihat betapa bayangan wanita itu dan bayangan lawannya
lenyap menjadi satu digulung oleh sinar pedang mereka. Mulai cemas rasa hati
The Kwat Lin ketika mendapatkan kenyataan bahwa Ouw Sian Kok merupakan lawan
yang berat dan seimbang dengannya. Sedangkan para rekannya itu biarpun
berjumlah banyak, ternyata tidak mampu mengimbangi amukan Liu Bwee sehingga
berturut-turut roboh pula beberapa orang di antara mereka!
"Cari bantuan dari
benteng!" Terpaksa The Kwat Lin berteriak keras dan mendengar ini, seorang
di antara para pengawal itu segera lari keluar untuk minta bala bantuan.
Melihat gelagat yang berbahaya
ini, Ouw Sian Kok menjadi khawatir juga. Mengapa Swat Hong belum
juga kembali? "Lekas
robohkan mereka dan bantu aku mengalahkan dia ini!" Katanya kepada Liu
Bwee
ketika melihat betapa Liu Bwee
tidak begitu sukar untuk mendesak para pengeroyoknya. Liu Bwee
maklum pula akan kelihaian The
Kwat Lin dan tahulah dia bahwa betapapun lihainya Ouw Sian Kok,
menghadapi wanita itu amat sukar
untuk mencapai kemenangan. Maka dia memutar pedangnya makin
cepat, merobohkan lagi tiga
orang..Pada saat itu, berkelebat bayangan yang gesit dan tampaklah Swat Hong
yang membawa sebatang
pedang dan di punggungnya tampak
sebuah buntalan kain sutera merah. "Ibu, aku berhasil....!" teriakan sambil
menerjang maju merobohkan dua orang pengeroyok ibunya. Melihat ini, The Kwat
Lin menjadi marah sekali. Maklumlah dia bahwa dia kena diakali dan dia dapat
menduga apa isi buntalan sutera merah itu, sutera merah yang amat dikenalnya.
Pusaka-pusaka Pulau Es telah berada di tangan Swat Hong! "Bedebah! Kembalikan pusaka-pusaka
itu!" bentaknya dan tubuhnya secara tiba-tiba sekali mencelat ke arah Swat
Hong, pedangnya menusuk tenggorokan tangan kirinya meraih ke arah punggung. "Trangggg....!" Liu Bwee yang
menangkis pedang The Kwat Lin, terhuyung dan hampir roboh, Seorang pengawal
menubruknya akan tetapi pengawal itu terlempar dengan dada pecah karena
ditendang oleh Liu Bwee, sedangkan swat Hong sudah dapat menangkis pedang The
Kwat Lin yang kembali menyerangnya. Ouw
Sian Kok sudah meloncat pula dan menerjang The Kwat Lin sehingga kembali mereka
bertanding dengan hebat .
"Hong-ji, kauselamatkan dulu
pusaka-pusaka itu!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak kepada puterinya.
"Kita akan cepat menyusul
pergi!" kata pula Ouw Sian Kok kepada Swat Hong. Swat Hong yang melihat bahwa jumlah pengawal
tinggal hanya tinggal lima orang dan mereka bukanlah lawan berat bagi ibunya,
sedangkan Ouw Sian Kok juga dapat menahan Kwat Lin, mengangguk dan sekali
berkelebat dia meloncat ke luar. "Tahan dia.....! Jangan larikan pusaka
Pulau Es....!" Kwat Lin berteriak marah akan tetapi dia tidak dapat
mengejar karena sinar pedang Ouw Sian Kok menghalanginya dengan
serangan-serangan dahsyat. Terpaksa dia mengerahkan tenaganya untuk mendesak
Ouw Sian Kok dan dalam kemarahan yang amat hebat ini tenaga The Kwat Lin
bertambah sehingga Ouw Sian Kok berseru kaget dan mundur karena pundak kirinya
berdarah, terluka sedikit kena diserempet sinar pedang kemerahan.
Ketika Swat Hong berlari cepat
sekali keluar, dia terkejut setengah mati melihat sepasukan pengawal berbondong
datang memasuki istana itu dari pintu luar, bersenjata lengkap, dipimpin
sendiri oleh Ouwyang Cin Cu! Binggunglah dia. Pusaka memang harus diselamatkan,
akan tetapi betapa mungkin dia meninggalkan ibunya yang terancam bahaya maut?
Selagi dia meragu dan mengintai
dari tempat bersembunyi, tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan empat
orang, dan ketika dia mengenal dua orang di antara mereka adalah Kwee Lun dan
Soan Cu, dia menjadi girang sekali. Cepat dia meloncat keluar, berseru lirih,
"Kwee-toako! Soan Cu....!!" Soan Cu dan Kwee Lun terkejut dan
berhenti, juga Swi Nio dan Liem Toan Ki yang datang bersama mereka. Ketika melihat
bahwa orang yang muncul dari balik pohon di luar istana itu adalah Swat Hong,
Kwee Lun menjadi girang sekali, akan tetapi Soan Cu cemberut. Bagaimana hatinya
dapat merasa girang bertemu dengan dara yang menimbulkan iri di hatinya dahulu
itu? Akan tetapi, Swat Hong yang girang sekali tentu saja tidak dapat melihat
wajah cemberut di tempat yang remang-remang itu, maka cepat dia berkata,
"Soan Cu, Ayahmu berada di dalam, bersama ibuku, sedang dikepung para
pengawal." Seketika pucat wajah Soan Cu dan dia memandang bengong, sampai
lama baru dapat berkata gagap, "A.... Ayah.... ku....?"
"Benar! Kita harus
membantunya," kata lagi Swat Hong. "kalau begitu tunggu apa lagi?
mari kita membantu orang tua kalian!" Kwee Lun berkata.
"Nanti dulu.... siapakah dua
orang ini?" Swat Hong bertanya sambil menuding kepada Swi Nio dan Liem Toan
Ki.
"Namaku Bu Swi Nio, Adik Han
Swat Hong. Aku sudah mendengar namamu dari kedua saudara ini dan aku merasa
kagum sekali.
Ketahuilah bahwa aku dahulu
adalah murid The Kwat Lin, akan tetapi sekarang aku hendak mencari dan
membunuhnya." Swi Nio
berkata penuh semangat.."Dan aku tadinya mata-mata Jenderal An Lu Shan,
akan tetapi aku berjuang bukan untuk mencari pangkat,
melainkan untuk membalas dendam.
Sekarang aku hendak membantu dia....eh, tunanganku ini untuk menghadapi The
Kwat Lin."
Tiba-tiba Swat Hong bergerak
maju, kedua tangannya bergerak cepat sekali, yang kanan menyerang ke arah leher
Liem Toan Ki, sedangkan yang kiri menotok ke arah dada Swi Nio. "Eiihhh...."
"Haiiiittt......!"
Toan Ki Dan Swi Nio yang terkejut
sekali cepat mengelak, namun tetap saja mereka terhuyung dan hampir jatuh
terdorong sambaran kedua tangan Swat Hong.
"Eh-eh.... apa yang
kaulakukan itu?" Kwee Lun dan Soan Cu menegur heran dan juga marah. "Aku hanya menguji mereka. Maafkan aku,
Enci Swi Nio dan Liem-toako. Melihat tingkat kepandaian kalian, lebih baik
kalian tidak ikut masuk. Musuh amat kuat, dan ada tugas yang lebih penting lagi
bagi kalian, kalau benar kalian suka membantu kami dari Pulau Es." Swi Nio
dan Toan Ki yang tadinya terkejut dan marah, menjadi lega bahwa kiranya gadis
yang amat lihai itu hanya menguji mereka. Biarpun ucapan itu merendahkan
tingkat kepandaian mereka, namun harus mereka akui bahwa ilmu kepandaian mereka
masih jauh kalau dibandingkan dengan Kwee Lun, Soan Cu, apalagi Swat Hong ini. "kami berdua siap membantu!" Toan
Ki berkata, hampir berbareng dengan Swi Nio.
Tanpa ragu-ragu lagi karena mengkhawatirkan keadaan ibunya, Swat Hong
melepaskan ikatan buntalan dari punggungnya, menyerahkannya kepada Toan Ki. Dia
lebih percaya kepada Toan Ki daripada kepada Swi Nio, hal ini karena tadi dia
mendengar bahwa Swi Nio adalah bekas murid The Kwat Lin!
"Inilah pusaka kami dari
Pulau Es yang seharusnya kuselamatkan. Akan tetapi karena Ibuku dan Ayah
Soan Cu terkurung di dalam, aku
harus membantu mereka dan kuharap kalian suka menyelamatkan pusaka-pusaka
ini jauh dari kota raja. Kelak,
kita dapat saling bertemu di Puncak Awan Merah di tempat kediaman Tee-tok
Siangkoan Houw, di Pegunungan Tai-hang-san. Nah, kalian pergilah cepat!" Liem
Toan Ki menerima bungkusan itu dengan hati kaget bukan main, juga Swi Nio
terkejut dan cepat dia menyambar tangan kekasihnya. "Mari kita segera
pergi!" Kedua orang muda itu menyelinap lenyap di dalam kegelapan malam.
"Hayo kita bantu Ibu dan Ayahmu!" kata Swat Hong kepada Soan Cu. Soan Cu mengangguk karena merasa lehernya
seperti dicekik oleh sedu-sedan yang naik dari dalam dadanya. Ayahnya! Dia akan
bertemu dengan ayah kandungnya yang selama hidupnya belum pernah dia lihat itu.
Bertemu dalam keadaan terancam bahaya maut!
Tampak tiga bayangan berkelebat
ketika Soan Cu, Swat Hong, dan Kwee Lun menyerbu ke dalam istana itu. Ketika
mereka tiba di dalam, ternyata Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah dikepung ketat
dan kini pertempuran telah berpindah ke ruang luar yang lebih lega. Agaknya,
agar dapat melakukan perlawanan dengan leluasa dan mendapat kesempatan untuk
meloloskan diri, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah pindah keluar dari ruangan
dalam yang sempit, dan kini, dengan saling membelakangi, kedua orang itu mengamuk
dengan hebat, dikepung ketat oleh para pengawal istana, sedangkan The Kwat Lin
dan Ouwyang Cin Cu menonton di pinggir.
Ketika Swat Hong dan dua orang
kawannya masuk, mereka melihat Kwat Lin berlari pergi ke dalam istananya. Swat
Hong maklum bahwa wanita itu tentulah hendak memeriksa simpanan pusakanya, maka
dia lalu menyentuh tangan Soan Cu yang sedang bengong memandang kepada
laki-laki setengah tua yang mengamuk dengan gagahnya itu, dengan mata merah
hampir menangis.
Soan Cu sadar dan
menengok.."Kita kejar dia! Dialah yang paling jahat dan berbahaya!"
Soan Cu mengangguk dan kedua orang gadis
berkelebat pergi mengejar Kwat
Lin. Kwee Lun Sendiri lalu berteriak keras dan meloncat ke depan, meyerbu para
pengeroyok. Sepak terjang pemuda tinggi besar ini memang hebat, tenaganya yang
amat kuat itu membuat dia sekali turun tangan merobohkan empat orang
pengeroyok. tentu saja kepungan menjadi buyar dan kacau. Dan ketika mereka
membalik untuk mengeroyok Kwee Lun, pemuda yang lihai ini lalu merobah tenaga
dahsyat tadi dengan pukulan-pukulan Bian-sin-kun, pukulan kapas yang
kelihatannya lemah dan lunak namun setiap kali menyentuh tubuh para pengeroyok
tentu membuat dia terguling. "Jiwi-locianpwe,
saya adalah Kwee Lun, sahabat baik dari Nona Swat Hong dan Nona Soan Cu! Mereka
sedang mengejar Si Iblis Betina!" teriak Kwee Lu dengan suara nyaring. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok terkejut dan girang
sekali, terutama Ouw Sian Kok yang mendengar bahwa puterinya juga datang!
Akan tetapi, malang baginya.
Karena dia terlampau girang hendak melihat wajah puterinya, dia menoleh ke sana
ke mari mencari-cari.
"Ouw-toako, awas....!!"
Tiba-tiba Liu Bwee berteriak dan wanita ini berusaha untuk menangkis sinar biru
dari pedang Ouwyang Cin Cu. "Trangggg.....aih.....!!" Liu Bwee
terlambat dan bergulingan untuk menyelamatkan diri, sedangkan Ouw Sian Kok
terjungkal karena tamparan tangan kiri Ouwyang Cin Cu mengenai punggungnya.
"Plakk! Aughhhh.....!"
Ouw Sian Kok muntahkan darah segar dari mulutnya. "Curang....!!" Kwee Lun membentak
dan kipas di tangan kiri serta pedang di tangan kanannya menyambar ganas.
Namun, dia terlalu lunak bagi Ouwyang Cin Cu dan sekali tangkis kipas itu robek
dan pedangnya hampir terpental.
"Haiiiitttt.....!!" Ouw
Sian Kok yang marah sekali menerjang maju dengan tangan terbuka. Melihat serangan
ganas ini, Ouwyang Cin Cu terkejut dan cepat dia meloncat mundur. Sebelum dia
didesak oleh tiga orang lawan itu, para pengawal sudah mengepung lagi dan kini
mereka bertiga dikeroyok dan dihujani senjata oleh puluhan orang pengawal.
"Twako.....
kau.....terluka....?" Sambil mengamuk dengan pedangnya, Liu Bwee bertanya. "Tidak apa.... mati pun aku rela....
pusaka telah diselamatkan......." kata Ouw Sian Kok. "Tapi...... tapi
anakku....." Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena harus
menghadapi pengeroyokan banyak pengawal.
Sementara itu di dalam istana
juga terjadi pertempuran yang mati-matian dan hebat sekli. The Kwat Lin yang
melihat datangnya bala bantuan yang dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu,
setelah melihat bahwa dua orang pengacau itu terkepung ketat, lalu teringat
akan pusaka yang tadi dibawa Swat Hong. Dia teringat pula akan puteranya yang
sudah tidur di kamarnya, maka cepat dia meninggalkan tempat pertempuran untuk
memeriksa pusaka dan puteranya. Dilihatnya Bu Ong masih tidur nyenyak dan terjaga,
maka dia cepat lari ke dalam kamarnya sendiri. Seperti telah diduganya, para
penjaga sebanyak lima orang yang berada di kamarnya tewas semua dan keadaan
kamarnya rusak dan kacau. Sekali saja melihat ke arah peti hitam yang terbuka
di depan tempat tidurnya, tahulah dia bahwa semua pusaka telah dirampas oleh
Swat Hong, seperti yang dikhawatirkannya.
"Mencari apa, wanita iblis?
Pusaka Pulau Es telah aman!"
The Kwat Lin cepat menengok dan
melihat Swat Hong telah berdiri di ambang pintu bersama seorang gadis lain yang
tak dikenalnya. Kemarahan seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil
mengeluarkan jerit melengking nyaring, dia lalu menerjang dan menggerakkan
pedang merahnya.
"Cring-trang....!!"
Pedang Swat Hong disusul pedang Coa-kut-kiam di tangan Soan Cu menangkis dan
kedua orang dara itu meloncat ke
belakang, ke tempat yang lebih lega. Dengan kemarahan meluap-luap.The Kwat Lin
meloncat keluar dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, setelah bergerak
belasan jurus,
wanita ini terkejut dan merasa
menyesal mengapa dia menuruti kemarahan hatinya.
JILID 22
Dia berada dalam bahaya! Kiranya
selain Swat Hong yang telah memiliki kepandaian hebat juga gadis yang
gerakan-gerakannya liar dan ganas itu amat berbahaya, apalagi cambuk ekor ikan
Phi yang meledak-ledak dahsyat. Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa
kali dia berusaha untuk meloloskan diri, akan tetapi sambil mengejek Swat Hong
selalu menutup jalan keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis
lihai itu.
The Kwat Lin menjadi nekat.
Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat kepada Swat Hong, mencurahkan
daya serangannya kepada anak tiri yang dibencinya ini. Menghadapi terjangan
dahsyat yang bertubi-tubi itu, Swat Hong mundur-mundur juga. Akan tetapi
kesempatan baik ini dipergunakan oleh Sian Cu untuk menyerang dari belakang.
Cambuk ekor ikan Phi meledak dua kali mengancam ubun-ubun kepala The Kwat Lin,
dan ketika wanita ini mengelak kesamping sambil melanjutkan serangan pedangnya
kepada Swat Hong, Soan Cu menusukan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin. "Singgg....crat..... aihhhhh!!" Kwat
Lin terkejut karena biarpun dia telah mengelak, tetap saja pedang Coa-kut-kiam
(Pedang Tulang Ular) itu melukai lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan
rasa nyeri dan panas dan perih sekali. Akan tetapi, wanita yang lihai ini sudah
membalik sambil juga membalikan pedangnya menyambar leher Soan Cu. Hal ini
tidak disangka-sangka oleh gadis Pulau Neraka ini. "Awas Soan
Cu.....!!" Swat Hong berseru dan pedangnya menyambar, yang diarah adalah
lengan kanan Kwat Lin karena hanya dengan jalan itulah dia dapat menolong Soan
Cu.
"Brettt.... crok.....
aughhhh......!!"
Soan Cu terhuyung, pundaknya
berlumuran darah karena terluka parah, sedangkan Kwat Lin cepat memindahkan
pedang ke tangan kirinya karena lengan kanannya juga terluka parah, terbacok di
bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia menubruk Swat Hong,
namun gadis Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat kaki menendang
lutut.
"Dukkk! Aduh....!" Kwat
Lin terbelalak ketika tahu-tahu pedang Coa-kut-kiam telah bersarang di
perutnya! Kiranya ketika tadi Swat Hong
menendangnya Soan Cu yang terluka dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu
wanita itu terguling, pedangnya cepat menyambar dan menusuk perut Kwat Lin. "Bedebah kau....!" Tiba-tiba pedang
di tangan Kwat Lin meluncur.
"Soan Cu, awas....!!"
Swat Hong berteriak kaget namun terlambat. Pedang yang terlempar dari jarak
dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan dengan dorongan tenaga terakhir, tak
dapat dielakkan dengan baik oleh Soan Cu dan menancap di bawah pundak sampai
dalam!
"Soan Cu!" Swat Hong
melompat dan pedangnya membabat. Kwat Lin memekik dan lehernya hampir putus!
Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh soan Cu yang tersenyum! Pergilah.... Aku.... aku tak berguna
lagi....!" katanya.
"Omong kosong!" Swat
Hong menghardik, mencabut pedang Ang-bwe-kiam dari pundak Soan Cu. Soan Cu
menjerit dan pingsan.
Dengan gemas Swat Hong melempar
pedang itu memondong tubuh Soan Cu, dibawanya keluar. Betapa
kagetnya ketika ia tiba di
ruangan luar, pertempuran yang masih berlangsung hebat itu ternyata membuat
pihak ibunya terdesak. Bahkan
ibunya kelihatan terluka di beberapa tempat, juga ayah Soan Cu, yang
mengamuk dengan gagah telah
berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun juga masih mengamuk, dan
hanya pemuda inilah yang belum
terluka, karena Ouwyang Cin Cu menujukan serangan-serangannya
kepada Liu Bwee dan Ouw Sian Kok,
karena menganggap ringan kepada Kwee Lun.."Ibu....!!" Dengan
kemarahan meluap-luap, Swat Hong meloncat, melampau para pengepung dan
menurunkan tubuh Soan Cu ke atas
lantai. Lalu gadis ini mengamuk dengan pedangnya, merobohkan beberapa orang
pengawal. Gerakannya demikian hebat sehigga para pengepung terkejut dan gentar,
bergerak mundur.
"Ibu.....!"
"Ayahhhhh.....!"
Ouw Sian Kok menghentikan
amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia mengira bahwa puterinya telah
tewas, maka panggilan itu menggetarkan jantungnya dan membuat dia lemas. "Kau.....kau Soan Cu.....?"
"Ayahhhhhhh.....
Hu-hu-hu-huuuuu.....!!" Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga
bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan iar mata. "Wutttt..... trangggggg......!!"
Dua batang golok terpental oleh tangkisan oleh tangkisan Ouw Sian Kok tanpa
menoleh karena dia sedang mendekat dan menciumi dahi puterinya. "Ayah, aku puas..... dapat bertemu
denganmu.......!"
"Soan Cu...... aihhhh,
anakku, kauampunkan dosa ayahmu....." Ouw Sian Kok berkata dengan suara
terisak. "Trang-trang.....
dessss!!" Dua orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh tangkisan
pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang. "Ah, jangan
kau keluarkan tenaga....." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi
membuat napas Soan Cu memburu. "Ayah.....
aku.....aku tidak kuat lagi.....kalu larilah, ayah......."
"Soan Cu......! Soan Cuuuu......!!"
Sian Kok meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya
yang baru dilihatnya selama hidup puterinya itu, menghembuskan napas di dalam
dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki-laki gagah perkasa itu masih terus
meraung-raung, dengan air mata bercucuran ketika dia telah membaringkan tubuh
puterinya ke atas lantai kemudian dia mengamuk seperti seekor naga, menyebar
maut diantara pengeroyoknya! Hujan senjata tidak dirasakannya lagi pedangnya sampai
menjadi merah dari ujung sampai kegagang, bahkan sampai ke lengannya! Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak
kelilangan darah juga makin lemas gerakannya. kalau tidak ada Swat Hong, tentu
dia roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah
menjadi Kok-su ini hanya setengah hati saja bertempur, sering kali dia sengaja
mundur dan membiarkan anak buah pengawal yang mengeroyok. Hal ini karena dia
sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang dianggapnya berbahaya.
Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh kedudukan tinggi, dia tidak
membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin. Selain itu, juga dia ingin
menghindarkan sedapat mungkin permusuhan dengan orang-orang lihai, apalagi
keluarga dari Pulau Es! "Swat Hong, cepat kau pergi......!"
"Tidak, Ibu!"
"Kalau tidak, kau akan
mati......!"
"Mati bersamamu merupakan
kebahagiaan, Ibu!"
"Hushhhh, anak bodoh. kalau
begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka? Kauingat pesan Ayahmu."
"Tapi,
Ibu....."."kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak
akan dapat mati dengan mata meram."
"Ibu......!"
"Lihatlah, dia.....diapun
akan mati..... Ibu ada seorang teman yang baik......Ibu dan dia.....ah, kami
senang mati bersama.....kau jangan ikut-ikut......!" Mendengarkan ucapan
ini, Swat Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang
mengerikan keadaannya itu.Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki-laki perkasa
itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti ditusuk, teringat dia akan
kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah sepantasnya
menjatuhkan hati kepada pria lain karena disakiti hatinya oleh suami yang
tergila-gila kepada wanita lain! "Ibu......"
"Pergilah, dan ajak pemuda
gagah itu!" Sambil bercucuran air mata, Swat Hong mengamuk, memutar pedangnya
dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk. "Toako, hayo kita
pergi!!" "Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya.......?"
"Ayolah.....!!"
"Baik, baik.....!"
Mereka berdua membuka jalan
darah, akhirnya berhasil meloncat keluar.
"Jangan kejar mereka! kepung saja yang berada di dalam!"
terdengar Ouwyang Cin Cu berseru. Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu Bwee
dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga terlalu banyak mengeluarkan
darah. Akhirnya, mereka roboh berdekatan, di dekat mayat Soan Cu. Ouwyang Cin Cu
menghela napas panjang, kagum sekali menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia
masih belum menduga bahwa tiga orang yang telah tewas ini adalah orang-orang
yang datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam dongeng! wanita cantik
setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki-laki perkasa
dan dara jelita itu adalah ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan merupakan
tokoh pimpinan! Dia menghela napas pula
ketika melihat bahwa The Kwat Lin juga tewas dalam keadaan mengerikan. Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum
betapa dilubuk hati wanita ini tersembunyi cita-cita yang amat hebat, yang
kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan kedudukannya sendiri. Setelah membuat
laporan kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan, tentang kematian The Kwat Lin
bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang. "Hemm, sayang sekali, dia
merupakan tenaga yang berguna." Kemudian mengelus jenggotnya dan berkata,
"kalau begitu bagaimana dengan puteranya?" "Menurut pendapat
hamba, puteranya itu masih berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai
hubungan keluarga dengan kerajaan lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi
pangeran di sini, kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan bahaya."
An Lu Shan mengangguk-angguk. "habis bagaimana pendapatmu?"
Kok Su yang merupakan penasehat
utama itu mengerutkan alisnya yang bercampur uban, lalu
berkata, "Mereka itu datang
dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba bawa kembali ke sana, diberi
kedudukan sebagai penguasa di
Rawa Bangkai dan daerahnya. Anak kecil itu tidak tahu apa-apa, asal diberi
kedudukan di sana mengepalai
bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak akan senang
hatinya." "Baiklah,
urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan." demikianlah, setelah
penguburan
jenazah ibunya selesai, Han Bu
Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu
diberitahu bahwa dia oleh kaisar
"diangkat" menjadi "raja muda" yang berkuasa di Rawa
Bangkai, di mana
telah dibangun sebuah gedung
mewah lengkap dengan semua pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu
Ong hidup cukup mewah. Akan
tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biarpun
dia dicukupi hidupnya, diam-diam
dia mengerti bahwa dia sengaja setengah "dibuang" oleh Kaisar dan
Ouwyang Cin Cu setelah ibunya
tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa selain Swat Hong dan
Kwee Lun yang menjadi musuh
besarnya, juga Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah seorang sahabat
yang setia dari ibunya. Anak
kecil ini dengan rajin lalu melatih dirinya dengan ilmu-ilmu
peninggalan.ibunnya yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan
kelak, selain dia harus membalas
kepada musuh-musuhnya, juga dia
akan berusaha untuk merampas kembali pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh
Swat Hong. Dia merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia
putera Raja Pulau Es? Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang
mewarisi pusaka Pulau Es dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam
kitab-kitab itu, tentu akan menjadi jago nomer satu di dunia. Para pembaca yang mengikuti pengalaman Kwa Sin
Liong tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti itu sampai tewas dalam keadaan
yang demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas
dimakan ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu. Akan tetapi
kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang bisa
dianggak tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa. Dalam halnya Sin Liong
tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa. Memang tubuhnya yang pingsan
itu terlempar ke dalam sumur di mana terdapat ratusan ekor ular berbisa dari
segala jenis, akan tetapi tidak ada seekorpun ular yang berani menggigitnya.
Apalagi menggigit, mendekatipun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh
pemuda itu terjatuh, ular-ular itu cepat menyingkir ketakutan. hal ini adalah
karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat batu mustika hijau dari
Pulau Es! Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik Han Swat
Hong yang telah menyelamatkan nyawa gadis ini pula ketika terserang racun.
Ketika Sin Liong mengobati sumoinya itu, dia menyimpan batu mustika ini di dalam
saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu
ikut terbawa olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada ular yang
berani mendekatinya. Sebetulnya pemuda
ini menderita luka yang amat parah dan yang akan mematikan akibatnya bagi orang
lain. Namun, pemuda ini pada dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih
darahnya dan kuat tulang dan urat-uratnya, apalagi sejak kecil dia menerima
gemblengan ilmu kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat
kuat dan tahan derita. Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang
lembab, tampa diusik oleh ular-ular itu yang hanya memandang dari jauh
seolah-olah dia merupakan mahluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak
tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak-gerak seperti mati itu dengan
suara mengeluh panjang, kemudian tubuh itu bergerak dan bangkit duduk dengan
susah payah. Sejak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat bahwa dirinya
berada di tempat yang amat gelap. Begitu gelapnya sehingga dengan terkejut dia
menyangka bahwa matanya telah menjadi buta.
Akan tetapi, ketika dia menoleh,
tampaklah sedikit cahaya di belakangnya, dan mengertilah dia dengan hati lega
bahwa dia tidak buta, melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak
tahu bahwa dia dilempar ke sumur dan sumur itu kini telah tertutup oleh
batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu sengaja diruntuhkan oleh
Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin. Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin
Liong menggerakan tubuhnya hendak menyelidiki, akan tetapi dia mengeluh karena
begitu bergerak, dadanya terasa nyeri bukan main!
Dia teringat akan pertempuran itu
dan mulai mengertilah dia bahwa tentu dia telah tertawan dan berada dalam tempat
tahanan rahasia yang amat gelap. Maka dia segera duduk bersila mengatur
pernapasan di tempat lembab dan pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti
di dalam tubuhnya. Memang dia memiliki sinkang yang amat kuat berkat latihan di
Pulau Es, maka tak lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya dan
menyelamatkan rasa nyeri-nyeri di tubuhnya. Begitu dia menghentikan latihannya,
terasa betapa perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah dua hari dua
malam perutnya sama sekali tidak diisi apa-apa. Sin Liong bangkit berdiri
dengan hati-hati. Tangannya meraih ke atas.
kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya di atas kepala.Tetap
saja disebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan
main! Seperti sumur! Betapapun dalamnya sumur itu tentu dia akan meloncat
keluar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, kemudian dengan ilmu ginkangnya
yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua tangannya tetap menjaga di atas
kepala. "Plakkkkk!"
Tubuhnya melayang lagi ke bawah.
Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang amat berat, yang
menutup lubang sumur itu!
Beberapa kali Sin Liong menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari dalam
sumur, dan sekali meloncat, dia
menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan
teteapi usahanya ini selalu
gagal. Tentu saja tidak mungkin bagi seorang manusia, betapa kuatpun dia,.untuk
meloncat sambil mendorong tumpukan batu-batu besar yang menutup mulut sumur
itu, batu-batu
sebesar rumah dan yang sebongkah
saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya
Sin Liong pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri melalui atas tidak mungkin baginya.
Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya. Sumur itu tidak berapa lebar,
paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia mendengar suara
mendesis-desis dan mencium bau hamis, tahulah dia bahwa di tempat itu terdapat
banyak ular berbisa. Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi bahwa di
bagian bawah terdapat sebuah lubang dan agaknya dari tempat itulah ular-ular
keluar dari sumur. Begitu dia mendekati
lubang ini, tampak olehnya ekor ular berkelebat di dalam cahaya remang-remang
itu, menjauhkan diri. Dia merasa heran mengapa binatang-binatang itu tidak
mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan takut kalau didekatinya.
Dia teringat, meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang
mengeluarkan sinar di dalam gelap itu. Inilah penolongku,pikirnya. Hatinya menjadi
makin tenang. Dengan adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu takutmenghadapi
binatang berbisa apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika itu, teringatlah
dia kepada Swat Hong dan dia merasa khawatir juga.
Musuh demikian lihai, dia sendiri
kena ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana nasib Swat Hong?
Dia harus cepat keluar dari tempat ini untuk menolong Swat Hong.
Kekhawatirannya terhadap sumoinya itu membuat dia makin bersemangat mencari
jalan keluar. Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari sumur terlalu sempit
untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan kedua tangannya untuk
membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan memukul pecah
batu-batu di sekelilingnya. Tidak mudah pekerjaan ini, karena selain tubuhnya
masih lemah, juga batu-batu di tempat itu amat kerasa dan hanya dapat
digempurnya sedikit demi sedikit. Namun akhirnya dapat juga dia memperlebar
lubang itu sehingga dia dapat merangkak melalui lubang sambil terus menggempur
lubang di depat yang merupakan terowongan panjang.
Melihat betapa makin lama
cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin terang, hatin Sin Ling membesar.
Jelas bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari
dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil yang
merupakan liang ular dengan hanya menggunakan kedua tangan kosong, memakan
waktu lama juga.
Saking hausnya, dia menengadah
untuk menerima titik-titk air yang jatuh dari atas, yaitu dari dinding sumur
yang mengeluarkan air. biarpun memakan waktu lama, dapat juga dia mengobati
dahaga dengan meminum secara demikian. Namun perutnya yang lapar terpaksa harus
berpuasa lagi sampai tiga hari! karena
setelah tiga hari, barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan itu
dan tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat
tertutup! Bedanya, kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan gela, maka
ruangan kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak kurang dari sepuluh meter,
merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas, jauh dan tinggi
sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah-celah yang merupaka retakan
batu-batu dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk.
Sin Liong menjatuhkan diri duduk
di tengah ruangan dalam tanah ini dan harapannya kandas sama sekali. Kalau
sumur pertama itu merupakan tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini
lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Ular-ular yang banyak sekali
berbelit-belit dan kelihatan ketakutan, ada yang merayap naik, ada pula yang
menerobos terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur
pertama!
Sin Liong termenung. Dari kamar
tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan besar! Hanya lebih lebar dan memperoleh
penerangan sinar matahari yang tidak seberapa. Itulah bedanya! Akan tetapi dia
tidak menjadi putus harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan
dilenyapkannya kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri sumoinya dengan
keyakinan bahwa apa pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala
kekhawatiran yang tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi
ancaman maut dan inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu.
Dia mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan keluar dari tempat itu.
Sama sekali tidak ada jalan
keluar. Akan tetapi, dia menemukan benda-benda yang sementara
dapat menolongnya dari ancaman
kelaparan, yaitu jamur yang agaknya bertumbuhan dengan subur di
tempat itu karena memperoleh
sinar matahari. Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang
tetumbuhan meyakinkan
hatinya.maka mulailah dia memilih jamur-jamur yang tak mengandung racun, lalu
mulai dia makan jamur. Dalam
keadaan lapar bukan main, ternyata jamur-jamur mentah itu terasa enak.juga!
Soal minum dia tidak usah khawatir karena di beberapa tempat pada dinding batu
itu terdapat air yang
menetes.
Ditampungnya tetesan air itu
dengan kedua tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring
oleh tanah dan batu itu.
Setelah yakin benar bahwa tidak
ada jalan keluar dari tempat itu, Sin Liong menerima kenyataan ini dan dia giat
berlatih ilmu. Di dalam kesunyian yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin
Liong menjadi luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan
dibacanya dahulu sukar dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es
memang amat sukar diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya.
Oleh karena inilah maka diluar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya
bertambah dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai mengenal diri
sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya sendiri, dari
dalam pribadinya timbul kekuatan mujijat, kekuatan yang dimiliki oleh setiap
orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap tersembunyi sampai saat terakhir
dari hidup manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku. Tanpa
terasa oleh Sin Liong sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu
sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar biasa ini
telah berada di tempat itu selama dua tahun! Dia mengerti bahwa tanpa bantuan
dari luar, tidak mungkin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak
lama dia tidak lagi berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu, yang menjadi
teman-temannya hanyalah ular-ular berbisa!
Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa seperti ular pun
mengenal siapa lawan siapa kawan. Karena selama itudia tidak pernah mengganggu
mereka, ular-ular itu pun jinak dan sama sekali tidak pernah menyerangnya,
biarpun dia menjauhkan batu mustika hijau dari tubuhnya. Binatang-binatang ini
hanya menyerang untuk menjaga diri saja dari bahaya yang datang mengancam diri
mereka. Juga tanpa disadari sendiri oleh
Sin Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya dihidupkan oleh sari jamur yang
bermacam-macam itu, pertumbuhannya sama sekali berlainan dengan manusia biasa.
makanan amat mempengaruhi tubuh dan sari jamu yang dimakannya selama dua tahun
itu mendatang kan kepekaan luar biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi
pula pertumbuhan batinnya. Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak
menderita apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam keadaan apapun juga,
menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang dianggap
sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut menyenangkan atau
tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut senang atau susah, tidak ada
lagi puas atau kecewa. Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin tenang,
yang ada hanyalah rasa suka ria yang sukar dilukiskan karena sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan kesukaan atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu
nikmat yang bukan datang dari gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang
datang tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan,
seperti batin Sin Liong di waktu itu.
Pada suatu hari, di sebelah atas
dari tempat rahasia ini, terjadilah kesibukan besar. Puluhan orang katai yang
tubuhnya pendek akan tetapi besarnya seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan
bertenaga besar, dipimpin oleh seorang pemuda tanggung sedang membongkari
reruntuhan batu-batu di dalam terowongan bawah tanah itu. pemuda tanggung yang
berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah mengumpulkan
sisa orang-orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan
mereka. Han Bu Hong kini telah menjadi
seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak ada seorang pun di antara tokoh-tokoh
orang kerdil mampu melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenyataan,
dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi
"raja" dari orang-orang katai ini. Gedung di Rawa Bangkaihanya
menjadi tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam dia mendirikan
"kerajaan kecil" di bawah tanah.
Bahkan dia telah membangun sebuah
ruang seperti istana di bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang
dihiasai dengan sebuah tengkorak di samping hiasan mahal seperti permadani, lukisan
dan tulisan indah. Sering kali dia secara sembunyi mengadakan pertemuan dan
rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi pembantunya, dan
pemuda tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan
cita-cita ibunya. Demikianlah, karena dia ingin menggunakan terowongan bawah tanah
itu sebagai markas partai orang kerdil , dan juga karena dia ingin mencari
kalau-kalau ada harta atau pusaka peninggalan Rawa bangkai di terowongan itu,
dia lalu mengerahkan para anak buahnya untuk membersihkan bagian terowongan
yang dahulu diruntuhkan oleh ibunya dan oleh Kiam-mo Cai-li. "Akan tetapi,
Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah sebelum
pembongkaran dilakukan .
"Tempat ini dahulu sengaja
diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana tubuh musuh
Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh
itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam-mo Cai-li dan.Ouwyang Cin Cu
memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak mampu
hidup
kembali."
Han Bu Ong tertawa. "Ha, ha,
mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di sumur
ular, andaikata dia tidak mati oleh ular-ular itu, tentu selama dua tahun
dikubur hidup-hidup di sumur itu dia kini sudah menjadi setan tengkorak,
tinggal rangkanya saja. Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar,
terowongan ini tertutup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai
jalan rahasia yang amat penting bagi perkumpulan kita."
Karena alasan yang dikemukakan
ketua cilik ini memang tepat, maka beramai-ramai para manusia katai itu segera
bekerja keras, membongkari batu-batu yang besar-besar dan berat itu,
menggunakan alat pendongkel dan lain-lain. Hiruk pikuk suara di dalam
terowongan itu dan pekerjaan yang berat itu biarpun dilakukan oleh hampir lima
puluh orang, tetap saja memakan waktu yang cukup lama. Memang sesungguhnyalah
bahwa merusak itu mudah membangun itu sukar, mengotori itu mudah
membersihkannya tidak semudah itu. Setelah bekerja keras selama sepekan,
barulah batu besar terakhir yang menutupi sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong
dan para anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke
dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin menyambar
dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah, Han Bu
Ong dan semua orang terkejut. Ketika
mereka menoleh dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati kepala
mereka, mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di situ sambil tersenyum,
seorang pemuda yang berwajah tampan, yang memiliki sepasang mata yang lembut
pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang pakaiannya lapuk dan compang
camping.
Tidak ada orang kerdil yang
mengenal pemuda ini karena memang keadaannya jauh berbeda dengan tahun yang
lalu. Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan perintah,
"Serbu! Bunuh dia...!!"
Orang -orang katai yang tadinya
bengong terheran-heran dan ketakutan karena menduga keras bahwa tentu hanyalah
siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu, ketika mendengar bentakan ini
menjadi sadar. Kini mereka pun ingat
bahwa tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur. Biarpun mereka bergidik ngeri dan gentar
mendapat kenyataan bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang
tertutup kini ternyata masih hidup, namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka
dengan teriakan-teriakan ganas mereka menyerang orang itu. Memang benar dugaan
Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah
Kwa Sin Liong. Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah mendengar suara hirup pikuk
disebelah atas kemudian melihat cahaya turun melalui terowongan kecil jalan
ular, dia menyeberangi terowongan dan tiba di dasar sumur pertama. akhirnya dia
melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan
melayanglah dia keluar. karena selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu
melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia tersenyum girang.
Akan tetapi orang-orang kerdil
itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong hanya mengerahkan
sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan
kaget karena semua senjata, baik yang tajam maupun yang tumpul, begitu mengenai
tubuh pemuda itu, membalik seperti mengenai gumpalan karet yang amat kuat. "Adik Bu Ong...bukankah engkau sute
(Adik Seperguruan)...?"Sin Liong berkata halus sambil memandang kepada Han
Bu Ong.
"Iblis! Siluman! Bunuh
dia...!!"Bu Ong berteriak-teriak dengan muka pucat dan mata terbelalak.
Biarpun hati mereka gentar
sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan hujan senjata menyambar
tubuh Sin Liong. Kembali
senjata-senjata itu mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan
pemiliknya. Sin Liong menarik
napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang menjadi
makin compang-camping, terkena
bacokan senjata-senajata itu, kemudian sekali bergerak tubuhnya
berkelebat melewati kepala para
pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap. Gegerlah para orang
katai. Akan tetapi Han Bu Ong
menyambarkan dan menenangkan hati mereka. Dia merasa yakin bahwa
betapapun lihainya Sin Liong,
pemuda itu agaknya tidak akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan
rencananya dan melakukan
perundingan dengan para anak buahnya. Seperti juga ibunya dahulu, pemuda
tanggung ini sudah mulai dengan
usahanya untuk mencari kedudukan dengan menghubungi seorang
"pangeran" baru yang
juga merasa tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya setelah perjuangan
mereka berhasil. Pangeran ini
dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang bergabung.dengan An Lu
Shan, bernama Shi Su beng yang kini dianugerahi pangkat "pangeran"
oleh An Lu Shan. Shi
Su Beng bermaksud untuk merebut
tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan
bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan tempat persembunyian. Setelah selesai mempersiapkan segala-galanya
dan tempat itu ditinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu
pergi ke kota raja bersama sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang
sudah mereka rencanakan lebih dahulu. Memang selama dua tahun itu terjadi dua
hal yang banyak tercatat da Kemenangan An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan
kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya. Selain kaisar yang telah melarikan
diri ke Secuan dan menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya itu kini
menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota raja, juga
di dalam istana pemerintah baru sendiri terjadi pertentangan dan perebutan
kekuasaan! Semua ini terjadi karena
memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu memberontak terhadap
pemerintah dengan dalih "demi rakyat" atau demi keadilan, demi
kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk-muluk lagi itu sesungguhnya
hanyalah "berjuang" demi dirinya sendiri saja! Semua istilah itu tak lain tak bukan hanyalah
untuk dijadikan "modal" perjuangannya untuk mencari kedudukan dan
kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini sudah terlalu sering terjadi di dunia,
berulang-ulang, namun sampai sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau
saja di peralat dan dicatut namanya oleh orang-orang yang berambisi untuk diri
pribadi. Betapa banyaknya bukti akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah
di negara manapun di dunia ini. Sekelompok orang berambisi untuk keuntungan
mereka sendiri, dengan siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai
tujuan mereka, kalau perlu mereka mengorbankan rakyat. Rakyat sudah cukup puas
memperoleh gelar "pahlawan" kalau sampai tewas dalam perjuangan yang
sebenarnya adalah menyalah gunakan demi keuntungan kelompok yang mempergunakan mereka
itu. dalam sejarah. Inilah sebabnya maka jika perjuangan telah berhasil, jika
para kelompok pimpinan yang berambisi sudah memperoleh apa yang mereka
kejar-kejar, maka rakyat pun dilupakan sudah! Bukan sengaja dilupakan,
melainkan karena mereka yang sudah berhasil merampas kedudukan itu pun harus
menghadapi lawan atau saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu. Rakyat
adalah orang yang berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang berada
di bawah. yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu
saling berebutan di antara mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih
enak dan empuk dari pada kedudukan yang telah dimilikinya.
Demikianlah pula dengan An Lu
Shan dan teman-temannya yang telah berhasil dalam
"perjuangan" mereka
merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman yang tadinya berjuang
bahu-membahu, menjadi kawan senasib sependeritaan, yaitu di waktu mereka
memberontak, kini setelah memperoleh apa yang mereka cita-citakan , berbalik
mencurigai, saling iri! Memang belum ada
yang secara berterang berani menentang An Lu Shan, bekas panglima yang masih
amat kuat kedudukannya, didukung oleh pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua
pembantunya sudah menyetujui sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar. Akan
tetapi diam-diam, banyak yang mepersoalkan pembagian pangkat dan kedudukan.
Tentu saja yang merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak
kecil, sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati-hati menghadapi
bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi dan
berlangsunglah konflik sembunyi diantara mereka. Ke manakah perginya Swat Hong
dan Kwee Lun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua orang muda ini
berhasil menyelamatkan diri, lari keluar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar
dari kota raja Tiang-an. Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan
malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota raja karena para penjaga yang
berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yang
terlampau ketat.
Setelah terang tanah dan mereka
tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah keduanya berhenti,
terengah-engah dan Swat Hong menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar.
Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya penuh keringat yang di usapnya dengan
ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja,
sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam
keadaan setengah sadar.
Kwee Lun juga menghapus peluhnya
dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong.
beberapa kali dia menggerakan
bibir hendak bicara namun ditahannya lagi. Pemuda yang biasanya
bergembira ini merasa betapa
jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan
amat.berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita
yang amat dicintainya. Akan
tetapi, melihat keadaan Swat Hong
yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia
melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong.
Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa
khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya
sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya lebih berbahaya
lagi. Akhirnya dia memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup
adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona."
Mendengar kata-kata ini, Swat
Hong menengok dan memandang, akan tetapi pandang matanya tetap kosong,
seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdengar
suara meragu, "Hemm....?"
Suara ini gemetar dan pandang
mata itu menusuk perasaan Kwee Lun. Maka pemuda ini lalu memberanikan diri
melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan,
"Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."
Sepasang mata yang kehilangan
sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar dan bibir yang gemetar itu bergerak,
mula-mula lirih makin lama makin keras, ".....Ibu.....? Ibu....,
Ibu....!" Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya.
"Tenanglah, Nona.
Tenanglah....." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan
tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.
"Ibu....! Mengapa aku
meninggalkan ibu mati sendiri....? Ibu....! Hu-hu-huuuuuuuk, Ibuuuuuuuu.....!"
Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun
penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut sendiri,
dia merasa khawatir. "Ingatlah,
Nona. Ingatlah pesan Ibumu..... tentang pusaka Pulau Es...." Swat Hong
mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk.
"Toako.... ahhhh, Toako....!"
Dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu-satunya
sahabat di dunia yang baginya kosong ini. Kwee Lun memejamkan mata dan
membiarkan gadis itu menangis terisak-isak. Dengan sesenggukan Swat Hong
berkata, "Ibu tewas..... di depan mataku..... dan aku tidak dapat
menolongnya..... hu-hu-huuuuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng
juga...... hu-huuuuuuuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari
pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?'
Seperti seorang yang mendadak
menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu melompat
bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah
ibuku sudah meninggal, dan suheng satu-satunya orang yang kucinta..... dia pun
tidak ada lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup lebih lama?"
Kwee Lun teringat akan kematian
Soan Cu yang menghancurkan perasaannya, akan tetapi dia menekan kedukaannya dan
berkata, suaranya nyaring bersemangat, "Adik Hong, tidak semestinya
seorang perkasa seperti engkau mengeluarkan kata-kata bernada putus asa seperti
itu! Engkau adalah puteri dari Pulau Es!
Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus kau atasi dengan gagah
perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang Ibumu yang mulia dan gagah perkasa
itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es terjatuh ke tangan orang lain,
bukankah itu amat sayang, berbahaya dan juga merendahkan ? Pusaka itu telah diselamatkan
oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera
menyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es." Ucapan
penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari
lembah kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan isak, menarik napas panjang dan
menghapus air matanya, lalu memandang kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee
Lun.
"Kwee-toako, terima kasih
atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tugasku. Memang benar, sudah berani
hidup harus berani menghadapi apa
pun yang menimpa kita. Engkau sungguh baik sekali, Toako. Engkau
sendiri menderita, kehilangan
Soan Cu, namun masih menghiburku......".Kwee Lun mengangkat mukanya dan
memejamkan mata. "Benar.....aku mencinta Soan Cu.......
aku mencintanya......"
"Dan aku mencintai Suheng.
Betapa buruk nasib kita, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu,
namun masih menghiburku......"
Kwee Lun mengangkat mukanya dan
memejamkan mata. "Benar.... aku mencinta Soan Cu.... aku mencintanya........"
"Dan aku mencinta Suheng.
Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai Gurumu, sedangkan
aku hanya seorang diri..... ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau
akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan terima
kasih."Swat Hong berkelebat dan meloncat pergi.
"Nanti dulu! Hong-moi....
biarlah aku membantumu....." "Tidak usah, Kwee-toako. Aku akan
menyusul mereka ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan kembali ke Pulau Es....
untuk.... untuk selamanya. Selamat
tinggal!" Swat Hong meloncat dengan cepat sekali dan sebentar saja dia
sudah lenyap meninggalkan Kwee Lun yang menjadi lemas. Pemuda ini menjatukan
dirinya duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan bertitiknya
air matanya dan baru sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu,
betapa dunia terasa amat hampa dan sunyi. Berkali-kali dia menarik napas
panjang dan teringatlah dia kepada gurunya, Lam-hai Seng-jin yang seperti orang
tuanya sendiri. Dia harus kembali ke Pulau Kura-kura di Lam-hai dan terbayang
olehnya betapa suhunya itu akan terheran mendengar semua pengalamannya dengan
keluarga Pulau Es!
Dengan perasaan yang kosong dan
sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan hidupnya
dan berlahan-lahan Kwee Lun meninggalkan hutan itu untuk kembali kepada gurunya
yang sudah amat lama ditinggalkannya.
Sementara itu, dengan mata masih
merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan perjalanan seorang diri dengan
cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan KI. Kalau dia dapat menyusul mereka dan
minta kembali Pusaka Pulau Es dia dapat langsung kembali ke Pulau Es dan
selanjutnya...... entah, dia sendiri tidak tahu apakah dia ada niat untuk
kembali ke daratan besar. Tidak, dia akan tinggal di pulau itu, di mana dia
terlahir. Biarpun pulau itu sudah kosong, dia akan tinggal di tempat
kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran
pula air matanya ketika dia berpikir sampai di situ dan terkenang kepada
suhengnya. Kalau saja ada suhengnya di sisinya, tentu tidak akan begini merana
hatinya. Akan tetapi, betapapun cepat Swat Hong melakukan pengejaran, tetap
saja dia tidak berhasil menyusul Swi Nio dan Toan Ki. Bahkan ketika dia tiba di Puncak Awan Merah,
tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya disambut oleh
Ang-in Mo-ko Thio Sam, kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang menceritakan
bahwa Tee-tok bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan
bahwa selama itu tidak ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki
seperti yang ditanyakan oleh gadis itu.
Swat Hong mengerutkan alisnya.
Hatinya mulai bertanya-tanya. Celaka, pikirnya, jangan-jangan dia telah salah
memilih orang untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua
orang muda itu sengaja melarikan pusaka-pusaka itu dan bersembunyi! Timbul
kecurigaan yang diikuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan perasaan ini
timbul pula semangatnya yang tadinya amat menurun itu. Hidupnya masih perlu dan
ada gunanya, setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar tidak
terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah dan khawatir ini mendatangkan
perasaan bahwa dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus.
Sambil menahan kemarahannya, dia
berkata kepada murid kepala Tee-tok itu, "Andaikata ada datang Bu Swi Nio
dan Liem Toan Ki, harap minta kepada mereka untuk menanti saya di sini. Dua
bulan lagi saya akan kembali menemui mereka." Ang-in Mo-ko Thio Sam yang
sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan Merah ini, mengangguk-angguk.
Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kembali
ke jurusan kota raja untuk mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat
berjumpa dengannya di jalan.
Namun semua perjalanannya sia-sia
belaka. Dua bulan kemudian, kembali dia tiba di Puncak Awan Merah
dan untuk kedua kalinya Ang-in
Mo-ko (Iblis Tua Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua
orang muda yang dicari itu belum
juga datang, bahkan gurunya juga belum pulang.."Saya malah merasa gelisah
juga memikirkan Suhu." kata kakek itu. "Keadaan di mana-mana sedang
ribut
dengan perang, akan tetapi Suhu
pergi begitu lamanya belum juga pulang." Swat Hong menahan kemarahannya.
Tidak salah lagi, pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku khianat,
menginginkan pusaka-pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Aku harus mencari
mereka dan selain merampas kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka! Dia
berpamit lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia memaki-maki Bu Swi Nio yang
dipercaya. "Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah
mati, kini muridnya yang menyusahkan aku!" Mulailah Swat Hong mencari-cari
kedua orang itu tanpa hasil. sampai dua tahun dia berkelana mencari-cari kedua
orang muda itu namun anehnya, tidak ada seorang pun manusia yang tahu akan
mereka. Akhirnya timbullah pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan
Liem Toan Ki yang tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang kini membalik dan
berkhianat itu takut kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari mengungsi
ke barat, ke Secuan. Sangat boleh jadi! Pikiran ini membuat dia mengambil
keputusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Sambil mencari pusaka, dia pun ingin
membantu Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk menyerang dan merebut
kembali tahta kerajaan. Sebaliknya klau dia membantu, pikirnya. Selain untuk
mengisi kekosongan hidupnya, juga sekalian untuk mencari Bu Swi Nio an Liem
Toan Ki, juga untuk menghancurkan semua kaki tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang
Cin Cu, dan juga mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran atau
raja muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih ada hubungan
darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau dia membantu.
Sementara itu, di ibu kota yang
telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di mana An Lu Shan mengangkat diri
sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal yang hebat! An Lu Shan sendiri masih
melanjutkan wataknya yang kasar dan mau menang sendiri. Satu di antara
kesukaannya adalah wanita, maka begitu dia berhasil, tak pernah berhenti setiap
malam dia berganti wanita mana saja yang dipilih dan ditunjuknya, tidak peduli
wanita itu masih gadis atau isteri orang lain sekalipun! pada suatu malam,
dalam keadaan mabok dan sedang gembiranya, An Lu Shan lupa diri dan dalam
keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuannya yang sudah lama
sekali dia rindukan secara diam-diam. Kalau sadar dan tidak mabok, dia masih
menahan hasrat hatinya. Akan tetapi malam itu, dalam keadaan mabok, dia tidak mempedulikan
apa-apa lagi dan memasuki kamar mantunya! Tidak ada seorang pun manusia di
dalam istana yang berani melarang, dan pada saat itu, putera An Lu Shan sedang
tidak berada di situ. Dengan penuh
perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda dan cantik jelita itu tidak kuasa
menolak atau memberontak, sambil menangis dia terpaksa membiarkan dirinya
dipeluk dan diciumi mertua yang mabok itu. Dengan suara lirih dan membujuk dia
masih berusaha mengingatkan An Lu Shan, namun seorang laki-laki yang tidak
hanya mabok arak, melainkan juga mabok cinta berahi, tidak mempedulikan apa
pun. wanita hanya dapat merintih dan menangis, diseling suara ketawa gembira
dari An Lu Shan. Ketika pintu kamar itu
dengan paksa dibuka dari luar oleh pangeran, An Lu Shan telah tidur mendengkur kelelahan
dengan muka merah karena banyak arak, sedangkan isteri pangeran itu menangis
terisak-isak, berlutut di atas lantai. Pangeran itu menjadi mata gelap, pedang
dicabut dan sekali meloncat dia telah menikam dada ayahnya sendiri.
"Crappp....!"
"Auhhh.... haiii.... kau....
kau.....?" An Lu Shan yang bertubuh kuat itu, biarpun pedang telah
menembus dadanya, masih dapat meloncat dan memcengkeram ke arah puteranya. Akan
tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu mengelak, kakinya menendang sehingga
An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin dalam. Dia
berkelojotan dan tak bergerak lagi!
"Tangkap
pembunuh.....!!" teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang bersama
dengan Han Bu Ong sudah lari ke dalam kamar.
Shi Su Beng menggerakan pedangnya
dan terdengar teriakan mengerikan ketika pangeran itu
roboh pula di dekat mayat ayahnya
dalam keadaan tak bernyawa pula karena lehernya hampir putus
terbabat pedang Pangeran Shi Su
Beng! Gegerlah seluruh istana. rapat kilat diadakan dan Shi Su Beng yang
dianggap membela Kaisar itu
mempergunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukan Kaisar! Dalam
keadaan kacau balau itu, Shi Su
Beng mengangkat diri sendiri sebagai raja dan Han Bu Ong menjadi raja.muda
pembantunya yang setia! Hanyalah mereka berdua saja yang tahu bahwa semua
peristiwa itu
memang digerakkan oleh mereka
berdua! Shi Su Beng yang membangkitkan berahi An Lu Shan terhadap mantu
perempuannya, bahkan di dalam mabok, Shi Su Beng yang membujuk supaya Kaisar
baru itu memasuki kamar dengan mengatakan bahwa di dalam kamar itu dia telah
menyediakan seorang wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan! Dan
selagi An Lu Shan yang mabok itu menggagahi mantunya sendiri, diam-diam Han Bu
Ong menghubungi pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat memasuki kamarnya.
Maka terjadilah seperti apa yang telah direncanakan oleh mereka berdua, yaitu kematian
An Lu Shan di tangan puteranya sendiri dan kemudian kematian pangeran di tangan
Shi Su Beng. Terjadilah perubahan
besar-besaran di kota raja, pergantian kekuasaan dan kembali Han Bu Ong berhasil
mengangkat dirinya sendiri seperti yang dicita-citakan ibunya, yaitu menjadi
seorng pangeran yang berkuasa, jauh lebih berkuasa dari pada di waktu ibunya
masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan penguasa baru yang menjadi sekutunya!
Akan tetapi, jatuhnya An Lu Shan
dan berpindahnya kekuasaan di tangan Shi Su Beng, masih saja belum meredakan
ketegangan-ketegangan di kota raja akibat perebutan kekuasaan. Seperti biasa
penguasa baru mengangkat teman-temannya sendiri menduduki jabatan tinggi,
melakukan penggeseran-penggeseran sehingga menimbulkan dendam dari kawan-kawan
yang berbalik menjadi lawan. Dalam keadaan seperti itu, kacau rencana perebutan
kekuasaan, kalau perlu dengan cara halus maupun kasar, para pemberontak yang
kini memegang tampuk kerajaan itu menjadi lalai. Mereka terlalu memandang
rendah Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan, menganggap keluarga Kaisar
lama itu sudah jatuh benar-benar. Kesibukan untuk kepentingan ambisi pribadi
membuat mereka lengah dan kurang memperhatikan pertahanan sehingga mereka tidak
tahu betapa Kaisar dan keluarganya di Secuan telah membentuk kekuatan baru
untuk melakukan pembalasan!
Kaisar Tua Hian Tiong, yang
hancur lahir batinya karena bukan hanya mahkota kerajaan dirampas oleh
pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama sekali karena selirnya tercinta,
Yang Kui Hui, harus mati digantung oleh keputusannya sendiri, setibanya di
Secuan, menjadi seorang kakek yang patah semangat dan selalu tenggelam dalam
duka cita. Dalam keadaan mengungsi itu, di Secuan, keluarga kaisar dan para
pengikutnya yang masih setia, menerima keputusan Kaisar Tua untuk mengangkat
Kaisar baru, yaitu putera mahkota yang bergelar Su Tiong. Pada waktu itu sisa
pasukan pemerintah yang telah kalah perang terhadap An Lu Shan, di bawah
pimpinan Panglima Besar Kok Cu I, telah menyusul pula ke Secuan. Kaisar Su
Tiong lalu menghimpun kekuatan dari rakyatnya di daerah Secuan, dan minta
bantuan kepada negara-negara tetangga yang bersahabat. Maka terkumpullah
pasukan-pasukan campuran yang terdiri dari bermacam suku, bahkan terdapat pula
bangsa Turki, Tibet, dan kemudian sekali datang pula bala bantuan dari pasukan
Arab yang dikirim sebagai tanda bersahabat oleh Kalipu. Pasukan-pasukan itu disusun
menjadi barisan besar dan diberi latihan-latihan berat dalam persiapa kaisar Su
Tiong untuk merampas kembali kerajaannya, Kok Cu I.
Tidak ada hal penting terjadi
selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak periang
dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri dan gembira, kini menjadi pendiam
dan ada garis-garis dan bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita
walaupun tidak pernah bersolek. Perantauan selama dua tahun mencari-cari
pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga penasaran
sekali. Di dalam hatinya di berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti mencari
sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu. Dalam perantauannya itu dia mendengar
pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya.
Ketika dia tiba di Secuan, pada
waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Si Tiong, memang sedang
menyusun tenaga di bawah pimpinan
Panglima Besar Kok Cu I sendiri. panglima Kok ini menyebar para
pembantunya, yaitu
panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan untuk menerima dan mendaftar
para sukarelawan yang hendak
masuk menjadi tentara. Seorang di antara bawahannya yang bertugas
mengumpulkan bala bantuan bahkan
menghubungi orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima Bouw
Kiat. Panglima inilah yang telah
berjasa menghubungi orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang
kuasa di Arab) sendiri mengirim
pasukan bala bantuan. Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah
selatan dan di sini dia menyusun
pasukannya sambil menjamu pasukan dari Arab yang sebagian kecil
sebagai pasukan pelopor telah
tiba di situ. panglimaKok Cu I yang cerdik memisah-misahkan para pasukan.asing
yang membantunya agar menjauhkan terjadinya bentrokan. Pasukan bantuan dari
Turki berada di
utara, dari Tibet berada di
selatan dan dari timur adalah pasukan yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.
Pada suatu hari, Swat Hong tiba
di daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat inilah. Dara ini merasa heran
ketika melihat ada banyak tentara asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah
dan berkulit coklat gelap, bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di
daerah itu. Di tengah jalan, dia melihat
seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang gandewa dan akan
panah dikelilingi prajurit-prajurit Han dan Arab sambil tertawa-tawa. Laki-laki
berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata dalam bahasa Han yang
kaku, "Lihat burung-burung itu! Aku akan menurunkannya sekaligus tiga
ekor. Yang mana kalian pilih?" Swat Hong tertarik , berhenti dan memandang
ke atas. Diam-diam dia terkejut dan menganggap orang itu sombong. Mana bisa
menjatuhkan burung-burung yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau
orang ini bukan seorang ahli panah yang sakti?
"Tiga ekor dari depan!"
terdengar teriakan.
"Tidak, yang paling belakang
adalah paling sukar!" kata orang lain.
Perwira bangsa Arab itu tersenyum
dan tampaklah giginya yang rata dan putih berkilauan, kumisnya bergerak-gerak.
"Biar kujatuhkan dua
terdepan dan burung terakhir!"
Kelompok burung yang terbang
tinggi sudah tiba tepat di atas mereka. Perwira itu memasang tiga batang anak
panah pada gendewanya, lalu menarik tali gendewa . Terdengar suara menjepret
dan meluncurlah tiga batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas.
Dari bawah tidak kelihatan bagaimana burung-burung itu terkena anak panah,
namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling belakang
tiba-tiba runtuh ke bawah. Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua
orang melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan
bertepuk tangan memuji. "Boleh juga
dia," pikir Swat Hong sungguhpun dia maklum bahwa kepandaiannya memanah
seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak
ada artinya untuk pertandingan berdepan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata
rahasia) seperti jarum, paku, piauw dan lain-lain. "Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian
Perwira Ahmed!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat Hong.
Laki-laki ini adalah seorang perajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk
tangan dan mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.
JILID 23
Akan tetapi Swat Hong tidak mau
melayaninya, membuang muka dan melanjutkan langkahnya.
Akan tetapi laki-laki itu
melompat dan menghadang didepannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau
menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai dan menembak tepat, juga banyak
wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?" Swat Hong
memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil
melangkah terus. "Dan kau laki-laki
kurang ajar!" Swat Hong berkata dan sekali dia menggerakan lengannya yang
terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan
begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah!
"Aihhh, berani kau
memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat melompat dan menubruk.
"Plakkk! Augghhh....!"
Perajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak.
Melihat ini, lima orang perajurit
kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap,
dia tentu mata-mata!" Swat
Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang.dan
hendak berlumba menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya bergerak dan dalam
segebrakan saja,
lima orang itu pun roboh
tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak
anak buah pasukan mengurung, akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli
menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik. "Mundur
semua!" Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk
mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil berkata,
"Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah pasukan selalu bersikap
kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke
manakah?" "Hemm, pikir Swat Hong. Pantas kalau banyak wanita tergila-gila.
Memang perwira yang bernama Ahmed ini gagah sekali, gagah dan tampan, amat
keras daya tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam
dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu. Juga dagunya berlekuk
dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki-laki ini pandai
bersikap manis terhadap wanita.
"Sudahlah," kata Swat
Hong. Aku pun tidak ingin mencari permusuhan, asal mereka jangan kurang ajar. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk
membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?" Mendengar
ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan
para prajurit.
"Aih, kiranya seorang lihiap
(pendekar wanita)!"
"Tentu tokoh kang-ouw
kenamaan!"
Perwira Ahmed menghentikan ribut-ribut
itu dan kembali dia tersenyum, manis dan menarik sekali. "Untuk membantu
perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri
Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin
Bouw-ciangkun. Banyak pula orang-orang
kang-ouw yang telah diterima menjadi sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang seorang
sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau
tentulah yang disebut pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?" Swat
Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu
Shan dan keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan
Bouw-ciangkun?" "Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku
memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk
menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira
Ahmed memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak
panah?" Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira
ini termasuk seorang di antara para pengujinya. "Senjata ini kurang
praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan." Perwira Ahmed
mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis.
"Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak
seratus langkah, biarpun musuh itu menggunakan senajta apa pn untuk melindungi
dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus-menerus dan bertubi-tubi sampai
puluhan batang!"
"Hemm, mungkin berhasil
merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja." "Wah....!"
Ahmed membelalakkan matanya. "Apakan di dunia ini ada orang yang sanggup
menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"
"Boleh kaucoba. Aku
bersedia."
"Eiiiihhh, jangan, Nona! Aku
akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apalagi membunuhmu!"
"Tidak perlu khawatir, aku
malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan
kosong!"."Mustahil!"Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat
Hong, kini mendekat dan karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia
hendak mencari muka dan berkata, "Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang
lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."
Atas dorongan dan desakan banyak
orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba kepandaian wanita cantik jelita itu.
Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung sampai seratus, langkah
pendek-pendek saja, kemudian membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak
berkedip. "Wah, terlalu dekat....! Terlalu dekat sekali! langkahmu begitu
pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!"
Ahmed berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh langkah. Diam-diam Swat
Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah, aku sudah
siap." katanya.
Ahmed ragu-ragu, mukanya agak
pucat. "Tapi...... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk menangkis
atau sebuah perisai."
"Tidak perlu.
Seranglah!"
Didesak oleh orang banyak, dan
memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Ahmed lalu memasang
lima batang anak panah di gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat
anak panah yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah
terdahulu. "Nona, siap dan
hati-hatilah!" teriaknya dan terdengar suara menjepret ketika tampak lima
sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang
mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh ketegangan.
Swat Hong melihat betapa lima
batang anak panah itu meluncur disekeliling tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu
memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita
sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam
saja tidak bergerak membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan
menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama
sekali tidak mengelak! Ahmed membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu
hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu
dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!
"Tidak perlu sungkan, bidik
yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran
anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia
untuk menjaga diri. Lima batang lagi
anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan main dan kembali
terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti
kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa lima batang ini menyambar ke
arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa Ahmed masih saja khawatir
kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah
sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah
itu!
Ahmed mengeluarkan seruan kagum
dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita itu. Anak
panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul menyusul ke arah
tubuh Swat Hong dan dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak
berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah
ditangkapnya dengan kedua tangannya, lalu dia menggunakan dua batang anak panah
itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan cepat
dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat
ke arah Ahmed.
Auhhh....!" Ahmed berteriak
kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu
kena sambar sebatang anak panah.
Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena
anak panah yang menyambar
tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang runcing
yang mengenai tangannya,
melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah dibuang ..Ahmed segera lari
menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia
membungkuk sampai dalam sambil
berkata, "Duhai....., Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir!
Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona...... saya
merasa kagum dan hormat sekali.......!"
Wajah Swat Hong menadi merah.
Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh
dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan
muncullah seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda. Usianya tentu sudah empat
puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan, akan tetapi
begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena
pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti
dapat menembus pakaiannya!
Ahmed cepat berdiri dengan tegak
memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu bertanya kepada Ahmed dalam
bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh
Ahmed. Panglima itu mengangguk-angguk,
bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah melempar kerling
penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong. "Nona, Komandanku tadi bertanya
tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk
melapor. Tentu saja bantuan tenaga
seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan.
Mari Nona, saya antar."
"kau baik sekali, terima
kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira
yang simpatik ini.
"Nama saya Ahmed,
Nona."
Swat Hong tersenyum, mengerti
bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya.
"Dan namaku Han Swat
Hong."
Mereka memasuki sebuah bangunan
besar dan di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di
mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh
tahun lebih, mukanya bulat dan matanya sipit menjadi agak lebar ketika dia
memandang Swat Hong yang datang bersama Ahmed.
Setelah memberi hormat, Ahmed
berkata "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati." "Hemm,
aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona ini di
sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini
saja Swat Hong sudah merasa kurang senang.
Ahmed memberi hormat, melirik
kepada Swat Hong lalu melangkah keluar dengan tegap. Setelah derap kaki Ahmed
tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biarpun di situ, selain
Bouw-ciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri
di sudut kamar seperti arca. "Silahkan
duduk, Nona." Suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti
tadi, melainkan lunak dan manis.
Hal ini membuat Swat Hong makin
tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak membantu kerajaan
melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak
banyak cakap, lalu duduk.
"Kami telah mendengar akan
kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan sekali
kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk
menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di
dalam pesanggrahan, kalau kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona
untuk menghadap Kaisar sendiri."
Girang juga hati Swat Hong karena
dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan keluarga Kaisar daripada
bekerja sama dengan para prajurit
Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih.sedarah
dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar, maka
pekerjaan
menjadi pengawal untuk melindungi
keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya.
"Baik, saya akan
menanti," jawabnya.
Setelah mencatatkan nama Swat
Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara itu pergi
ke pesanggrahan, yaitu sebuah
bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang
bentuknya indah dan mungil.
Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga
yang jumlahnya hanya belasan
orang akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang
bengkak-bengkok seperti ular dan
memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura. "Mereka ini
adalah pasukan istimewa, pasukan
pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan nada suara
bangga ketika Swat Hong memandang
mereka itu yang berdiri tegak dan memebri hormat kepada Bouw-ciangkun
dengan gagah. Setelah mereka
memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan, "Mereka terdiri dari
orang-orang pilihan, bermacam suku bangsa di barat dan utara." Akan tetapi
Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan pengawal tadi,
karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini kosong?" tanyanya.
"Memang di kosongkan dan
disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh
beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat
menerima Nona menghadap. saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk
melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan
kedatangan Nona kepada kaisar." Swat Hong hanya memangguk dan pembesar itu
pergi meninggalkannya. Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan
itu yang ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua
orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami menerima perintah untuk melayani
Nona di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur. Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia
melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti
seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti
dimanja! Apakah karena dia wanita?
Ataukah karena dia memperlihatkan
kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan
tetapi baru saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba
muncullah tiga orang mengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular
dan perisai kura-kura tadi.
"Harap Nona jangan
meninggalkan pondok . Kami diperintah untuk menjaga pesanggrahan dan kalau Nona
memaksa pergi kami harus mengawal Nona."
Swat Hong mengerutkan alisnya.
Akan tetapi karena maksud itu baik, biarpun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh
dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke
kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan.
Dia merasa seperti seorang asing di
situ. Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada Ahmed. Untung ada orang yang
simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang sahabat yang
boleh dipercaya. Akan tetapi baru saja
dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk pikuk
di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan
berlari ke luar. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah
Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Ahmed tadi,
diiringkan oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup. Begitu berhadapan,
Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiong-hi (selamat),
Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar dan karena Beliau masih sibuk, mulai
besok lusa Nona boleh menghadap sendiri.
Sementara itu, Beliau mengirim
kami berdua untuk menemani Nona menerima hidangan yang dikirim dari
dapur keluarga Kaisar!".Hati
Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar
disebut-sebut, dia tidak berani
menolak. Dia tahu bahwa penolakan
hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia mengerti tentang peraturan
kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di Pulau Es juga dia
banyak membaca kitab-kitab ayahnya tentang penghidupan keluarga Raja di daratan
besar. Terpaksa dia membalas dengan
menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki
pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua. Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas
diatur di atas meja dan para pelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan
wanita muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan
panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu.
"kami mengandalkan bantuan
sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota raja." antara
lain Bouw-ciangkun berkata, akan tetapi urusan itu hanya didengarkan sepintas
lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai.
Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan
Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil
berkata, "mari kita mulai makan minum bersama dengan mengucapkan terima
kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan
Sri Baginda Kaisar!" Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka,
kemudian Bouw-ciangkun mempersilahkan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk
mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan
mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota raja
sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para peberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan
sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi bersaingan dari bekas
kawan-kawannya sendiri.
"Ha-ha-ha, seperti
sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" Dia menutup ceritanya sambil
tertawa-tawa.
Panglima Arab itu yang
diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik, mengeluarkan sebuah guci
yang bentuknya seperti tanduk
kerbau, membuka tutupnya dan mencium bau harum yang aneh. Sambil
tertawa dia mengacungkan guci
tanduk kerbau itu sambil berkata, "Nona adalah seorang pendekar yang
berilmu tinggi dan dipilih untuk
menjadi pengawal Sri Baginda. karena itu sudah sepatutnya menerima
penghormatan kami dengan anggur
padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan untuk pertama, demi
keselamatan Sri Baginda
sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan Swat Hong dengan minum dari
guci tanduk kerbau itu, tidak
banyak, hanya setengah cawan kurang. karena dia diajak minum demi
keselamatan keluarga kaisar,
tentu saja Swat Hong tidak menolak, apalagi karena dia melihar betapa
Bouw-ciangkun
dan Panglima Hussin sendiri juga
minum. Diminumnya cawannya dan ternyata anggur itu enak dan tidak begitu keras,
manis dan harum sungguhpun agak aneh harumnya.
"Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!"
Kembali Swat Hong minum dari
cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya.
"Dan cawan terakhir kita
minum untuk kemenangan perjuangan kita!" Sekali ini cawan itu dipenuhi dan
karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, Swat Hong
tidak khawatir dan minum anggur sampai habis. panglima Hussin dan Bouw-ciangkun
tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya.
Setelah kenyang, kedua orang
panglima itu berpamit dan sambil tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap
Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini karena siapa tahu tiba-tiba
saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. hal itu bisa saja
terjadi di siang hari atau di malam hari.
Sebaiknya kalau Nona mengaso saja
dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda
menghendaki, aku sendiri atau
Panglima Hussin yang akan datang menjemput Nona.".Swat Hong mengangguk dan
setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi
oleh para pelayan, dia lalu minta
kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar pakaian,
Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam
kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih
indah dan lebih menyenangkan lagi. Dia
menutup mulut dengan tangan dan menguap..... goyang-goyang kepalanya. Mengapa
dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar
dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam.
Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong meloncat
bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya. Ini tidak wajar, pikirnya!
Rasa kantuk yang amat hebat dan terbayanglah wajah Panglima Hussin yang
mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi
kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki,
sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini
dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada "main mata" di
antara kedua orang panglima itu!
"Celaka....!" dia
mengeluh, ingin dia turun membasahi muka denan air, akan tetapi dia tidak kuat,
baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena kepalanya pening
dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan pulasnya!
Tak lama kemudian, setelah
matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangn seorang pemuda berkelebat dan
mengintai pesangrahan itu dari balik batu-batu gunung. pemuda ini tinggi besar,
gagah dan tampan, dengan sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana
dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun!
Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu? Seperti telah dituturkan di
bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan
langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya
semula, gurunya, Lam-hai Seng-jin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan
muridnya terutama pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan
penghuni Pulau Es! Setelah muridnya selesai menceritakan semua pengalamannya, juga
tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara
berduka, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang
biarlah aku memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku.
Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau balau
dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya kaisar mengungsi ke Secuan, maka
sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu kaisar, jangan
membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak." Demikianlah, Kwee Lun
berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat
ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun
kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya,
mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke barat, ke Secuan! Kebetulan
sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong! Hanya
bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan,
akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh
Bouw-ciangkun. Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai
sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan
bertemu dengan perwira Ahmed dari pasukan Arab yang diperbantukan.
Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun
berjalan-jalan dan bertemu dengan para perajurit Han, bertanya-tanya tentang
keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para prajurit itu. "Wah, enak juga menjadi panglima tentara
asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi.
Bayangkan saja, dara perkasa yang mengebohkan siang tadi, kabarnya akan
diserahkan sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!"
"Ah, masa?"
"Hem, jelita sekali
dia!"
"Dan masih perawan hijau
lagi!"."Akan tetapi ilmu silatnya hebat! jangan-jangan panglima itu
akan mampus olehnya!"
"Mudah-mudahan begitu!"
"tapi panglima itu terkenal
pandai, dan lihat saja Perwira Ahmed itu, dimana-mana para wanita tergila-gila kepadanya.
Agaknya mereka memiliki jimat untuk menundukan hati wanita." Mendengar
ini, Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya, di tempat seperti ini dia mendengarkan
peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan
begitu saja! Mendengar bahwa dara itu
lihai ilmu silatnya, dia tertarik. "Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan
begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.
"Aha, kau tidak tahu, kawan.
Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah
ada wanita yang dapat melawan apabila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu.
Apalagi kalau Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya
Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam
itu!"
Kwee Lun makin tak senang
hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh keterangan
bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam
pesanggerahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para perajurut diberi nama
tempat penjagalan perawan! "Hem,
semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebenaran
kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun sekarang aku menjadi seorang
pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapapun juga datangnya!
Dengan pikiran ini, Kwee Lun
mulai melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah
pesanggerahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau
mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat
empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggerahan
itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai. Penjaga-penjaga yang memegang pedang
ular dan perisai kura-kura itu kelihatanya bukan penjaga-penjaga sembarangan.
Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat
memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tdak terlambat,
pikirnya.
Akan tetapi, tiba-tiba dia
melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggerahan
itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan
oleh para penjaga memasuki pesanggrahan. Hemm, ini agaknya pembesar yang di
"hadiahi" gadis itu, pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia
harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat.
Kebetulan sekali terdapat seorang
penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi, "Keparat busuk!"
Kwee Lun berseru marah dan dia
meloncat dari tempat sembunyinya. Penjaga
itu terkejut cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat
pedangnya, siap untuk menyerang.
"Haaaaiiiiittttt!!!"
Tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan
di depan.
"Bresss....!!"
Perisai kura-kura itu ternyata
kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan
terjengkang bergulingan.
Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain dan dalam waktu
sebentar saja Kwee Lun terpaksa
harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan
orang penjaga yang bersenjata
pedang ular dan perisai kukra-kura itu. Sementara itu, perwira berkumis
yang bukan lain adalah Perwira
Ahmed tadi, setelah berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang
untuk memeriksa apakah dara itu
masih berada di pesanggrahan, terkejut mendengar ribut-ribut dan ketika.dia
menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga.
Perwira yang cerdik ini
menduga bahwa tentu pemuda itu
datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua
orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.
"Aku harus menjaga dia, ada
orang jahat datang!
Didorongnya dau pintu kamar dan
cepat ditutupnya dari dalam. Melihat Swat Hong rebah terlentang dan tidur pulas
di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya.
"Huh, benar jahat!
Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya sambil membuka tutup
botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong.
Tak lama kemudian dara itu
terbangun, mengeluh dan merintih, "Aduhh....pening kepalaku....." "Sttt.....
Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku datang menolongmu......" Ahmed
mengguncang-guncang dara itu.
Swat Hong membuka matanya dan
terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya. "Lekas kaucium ini....."
Ahmed kembali mendekatkan botol
di depan hidung Swat Hong.
Gadis itu memang sudah mempunyai
kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak membantah dan disedotnya botol
itu.
Tercium bau keras dan dia
tersedak lalu berbangkis.
Apa.... apa yang
terjadi......?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening. "Lekas kau telan ini...." Ahmed
memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan
di dalam anggur. Ini obat penawarnya." Teringatlah Swat Hong dan tahulah
dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pel
kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.
"Nona, aku mendengar bahwa
siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur
bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran.
Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan
kipas...."
"Kwee Lun.....!" Swat
Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari keluar.
"Nanti dulu, Nona."
Swat Hong berhenti. "kau
baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih kepadamu." "Bukan
itu. kau....kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan
dihukum mati sebagai pengkhianat."
Barulah sadar Swat Hong betapa
perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau adalah
seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau
sahabatku..... dan ternyata di segala bangasa, ada saja manusianya yang jahat
dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain.
Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed, nah, biar kurobohkan kau dengan
totokan!" Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah
di tubuh Ahmed telah di totoknya dan perwira itu terguling roboh dan tak mampu
bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu
bergerak.
Swat Hong cepat menyambar botol
dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya,
kemudian dia menendang meja kursi
sampai terpelanting ke kanan kiri sehingga menimbulkan kesan
seolah-olah di kamar itu telah
terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan
melemparkan pedang di lantai,
kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu,
"Selamat tinggal!"
Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu
kembali.".Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum
penuh kagum, mulutnya hanya dapat
berkata," Kau..... setangkai
bunga di padang pasir........"
Swat Hong melompat dan berlari ke
luar. Dua orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan
menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat
bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang
pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar
pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu
tahun dia berlatih dengan tekun. Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga
merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka
yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu
membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu dan banyak menggunakan
perisai untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai,
persis gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam
batoknya. Menghadapi kepungan yang ketat ini, Kwee Lun merasa kewalahan juga.
Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat
membobolkan kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak
dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya dan begitu
berada di luar kepungan dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang
dan kipasnya.
Empat belas orang sisa pasukan
itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan
robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan. "Nona Han....!"
"Kwee-toako, mari kita basmi
mereka ini!" seru Swat Hong.
Kwee Lun girang bukan main, tak
pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat
Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan
ditolongnya itu berbalik malah menolongnya!
"Kita lari saja, Nona. tidak
perlu melawan tentara yang amat banyak!"
"Tidak aku harus bunuh dulu
si keparat she Bouw....!"
Pada saat itu terdengar suara
hiruk pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun
sendiri!
Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong
menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nayring dan
tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar
kilat ke arah Bouw-ciangkun. panglima ini terkejut, menggerakan pedang
menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu
patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya
hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong! "Nona, jangan...."
Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh ratusan orang perajurit
yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara yang sama
sekali tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang
tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah
mata-mata dari pihak pemberontak!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh mereka!"
"Tahan semua
senjata....!!" Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua keributan
itu, semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah.
Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?
"Saudara-saudara sekalian!
Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami
adalah musuh-musuh pemberontak.
Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri
Baginda Kaisar untuk menghalau
pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong
yang beriktikad baik ini
dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang
akan.dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak
dikorbankan sebagai
hadiah kepada panglima Arab,
untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"
"Tangkap......!"
"Bunuh.....! Dia telah
membunuh Bouw-ciangkun......!"
"Jangan percaya hasutan
mulut mata-mata pemberontak!" Kini tempat itu penuh dengan perajurit,
tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena
biarpun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun,
namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan
mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.
"Menyesal tidak berhasil,
Nona."
"Tidak apa, Toako. Mati di
sampingmu membesarkan hati."
"Benarkah?"
"Tentu saja, karena engkau
seorang yang baik sekali, Kwee-toako."
"Kalau begitu, marilah mati
bersama!" Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya,
mereka saling membelakangi dan saling melindungi.
Para perajurit sudah
berdesak-desakan hendak menyerbu. Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang,
namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan
senjata.......!" Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara mereka yang
tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja
merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget
dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan
tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para
perajurit. Juga Kwee Lun dan Swat Hong
mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka
tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang
pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda
yang berpakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar
biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.
"Su.... Suhenggggg.....!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya
terlepas dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk
pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong! "Suheng..... aihhh, Suheng......
Ibuku....."
"Tenanglah, Sumoi,
tenanglah........" Suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa
sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali
tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.
"Suheng..... betapa bahagia
rasa hatiku! Suheng, jangan kautinggalkan aku lagi....."
"Tidak, Sumoi. Tidak
lagi."
"Aku cinta padamu, Suheng!
Aku cnta padamu!" Tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini
di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit!
Kwee Lun memandang semua itu dan
dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga
girang sekali, girang melihat
kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun
sudah dapat bergerak, melangkah
maju dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam
keadaan selamat. Sungguh aku ikut
merasa girang....".Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee-toako, engkau
seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan
kipasmu, tidak perlu melanjutkan
pembunuhan yang tidak ada gunanya ini." Kwee Lun menurut, akan tetapi
matanya memandang ragu dan sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya,
dia bertanya, "Akan tetapi.... mereka itu....?" Terdengar
teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"
"Bunuh pemberontak!"
"Tangkap pembunuh
Bouw-ciangkun!"
Ribuan orang perajurit sudah
bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suhengnya dan Kwee Lun juga mendekati
Sin Liong.
Betapapun juga, gentar dia
menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi dia tidak boleh melawan.
Ketenangan Sin Liong membuat dia
mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin
Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan
ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan
mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan
kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah
terjadi sehingga dapat diambil tidakan tepat, demi ketertiban." Suara ini
demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang
itu tidak berteriak-teriak lagi.
"Kami hendak pergi
sekarang!"
Sin Liong memegang lengan Swat
Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu
menarik kedua orang itu keluar dari kepungan. Swat Hong dan Kwee Lun melangkah
dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah
pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para
perajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada
seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para perajurit itu tidak melihat
mereka! Dan memang begitulah. Para perajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba
setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap
dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya
pergi jauh, barulah gempar di tempat itu dan akhirnya Kaisar memperoleh laporan
tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan
pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed!
Sementara itu, Sin Liong, Kwee
Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh dari
daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng, mengapa kita
meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali
menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan
kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek
buyutku!" "Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap.
Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi
pemberontak."
Sin Liong menarik napas panjang,
memegang tangan sumoinya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suhengnya dan memandang
wajah suhengnya dengan penuh kagum dan kasih sayang.
"Kwee-toako, benarkah engkau
tertarik dengan perang, dengan saling bunuh membunuh antara manusia,
antara bangsa sendiri itu? Betapa
mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah,
untuk menentang yang jahat masih
dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh
hanya untuk membela sekelompok
manusia lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut
disesalkan. Mereka itu hanya
ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri. "Aih, apa
yang dikatakan Suheng memang
tepat, Kwee-toako. Ingat saja pengalamanku. Aku jauh-jauh datang untuk
menjadi sukarelawati, membantu
mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi
untuk menyenangkan hati panglima
asing itu." Swat Hong berkata kemudian dia menceritakan.pengalamannya
kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek
buyutnya,
sampai dia berpisah dari Kwee Lun
meninggalkan ibunya yang menghadapi maut.
"Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi
pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari
mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka
sendiri. Sungguh menggemaskan!"
"Jangan tergesa-gesa
berperasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari
mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau
Es." Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat
Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya.
"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular
dan ditutup dengan reruntuhan guha, dapat menyelamatkan diri, Suheng?" dan
selama ini engkau kemana saja?"
Sin Liong tersenyum. "Aku
memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya
aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku,
Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu
itu dan menciumnya. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!"
katanya girang.
Sin Liong lalu menuturkan dengan
singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil
keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil. "Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya
yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong berseru heran.
"lalu bagaimana kau bisa
datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?" "Mula-mula
aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di
sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena
aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para
pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku
segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako
dikeroyok para perajurit." Sin Liong tidak memberitahukan bahwa
sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu
bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan
rahasia lagi baginya! Tiba-tiba Kwee Lun bertanya nada suaranya hati-hati dan
penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki
kepandaian luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sana seruan taihiap membuat
ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun..... tidak mampu bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi
keajaiban, seolah-olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi....."
Sin Ling hanya tersenyum dan
mengangkat pundak tanpa menjawab.
"Benar! Apa yang telah kau
lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya. "Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun
melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau
kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa." Swat
Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak Suhengnya dan
kadang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban
sederhana ini cukup baginya. Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga
bahwa Pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata,
"Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya....... saya mohon
petunjuk......"
Sin Liong menoleh, memandang.
Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau sebaiknya
pulang saja ke Pulau Kura-kura,
Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku
yakin bahwa engkau tidak akan
menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat
menambahkan sedikit tingkat
ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik
mungkin." Bukan main
girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima
kasih, kemudian dia mencabut
pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Ling dan Swat Hong..Seperti
kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu
mengenal semua inti ilmu
silat dari gerakan pertama saja.
Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan
menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan
Sin Liong berkata, "Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu,
Toako."
Pemuda luar biasa ini lalu
memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang
sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu
silatnya.Dia menerima dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai
hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke timur dan
disepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong,
bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh
keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa.
Tidak tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti
ilmu silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka ketika tiba saatnya
berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong!
"Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.
"Wah, Toako. Apa-apaan
ini?" Swat Hong juga mencela.
"Kwa-taihiap, saya boleh
dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku
akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan saya, Kwee Lun,
menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan
Ji-wi!"
"Hushhhh..... sudahlah,
Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur.
Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Long dengan suara tenang
dan biasa saja, lalu mengajak sumoinya pergi dari situ. Swat Hong beberapa kali
menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia
pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah
dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang
dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini
yang dapat menyusahkan hatinya lagi! Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya
oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat
Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang
secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian dan
mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.
Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk
terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan
lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja dan selagi mereka hendak mengaso,
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat
menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi. Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda
itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun,
mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat
rendah, keluarlah!"
Dari tempat persembunyian mereka,
Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas-bekas teman
mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa "perjuangan".
Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw
yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman
Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat keluar. Liem Toan Ki tersenyum memandang
kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu.
Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan,
yaitu Thian-tok Bhong Sek Bin! Adapun tiga orang yang lain adalah orang-orang
kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan
Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan.
Hanya orang she Thio ini lihai.
"Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk
menghalau Kaisar lalim. Urusan
kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan
urusan perjuangan. Harap Toako
tidak mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami
pergi dengan
aman."."ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah
berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat,
mau lolos begitu saja dan
melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang bersahabat
kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu.
Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah
sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya
ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang
dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.
"Ya, sebaiknnya bagi rata,
bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!"
kata orang ke dua sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju. Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu
empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu
oleh Swat Hong , maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini.
"Hem, saudara-saudara. Kalau
kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah
milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada
siapapun juga." Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu?
Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam
dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak menghendakinya?
Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek. Bohong atau tidak, apa
yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! kami tidak kan membagi pusaka kepada
kalian atau siapapun juga. Habis kalian mau apa?" Bu Swi Nio membentak
sambil mencabut pedangnya.
"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau
begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami
seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya,
diikuti oleh tiga orang kawannya.
Swi Nio dan Toan Ki menggerakan
senjata dan melawan dengan mati-matian. Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek
Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian-tok. Thian-tok (Racun
langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng
Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya
adalah ilmu silat toya panjang yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh
dongeng Kau-cee-thian sendiri! Muridnya ini, biarpun senjatanya toya, namun dimainkan
dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya. Namun, Liem Toan Ki adalah seorang murid
Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih dan kuat. Selain itu, dia
sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah
murid Hoa-san-pai karena selain dia tidak pernah mengaku karena takut
membawa-bawa nama Hoa-san-pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah
dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan
pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan
Thio Sek Bi. Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang
itu, tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng oleh
The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita
itu, maka kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya dibawah dia,
tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio mengeluarkan
suara melengking berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat
Lin, dan tiga orang lawannya roboh berturut-turut dan terluka parah, tidak
mampu melawan lagi. Sambil melengking
keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio
Sek Bi.
"Cring!
Tranggggg......!" Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa
telapak tangannya panas.
Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu, menubruk maju dan memutar pedangnya kemudian dibantu oleh
kekasihnya dia terus mendesak sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu
menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi,
lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak kirinya terobek ujung
pedang Swi Nio..JILID 24 "Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!" Liem
Toan Ki berkata kepada kekasihnya. Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda
terbaik, sedangkan Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga
binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas
punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
"Mestinya mereka itu
dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.
"Benar, belum tentu mereka
itu jahat."
"Moi-moi, berhenti
dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.
Swi Nio menahan kudanya dan
melihat kekasihnya seperti orang bingung.
"Ada apakah?"
"Tidak baik kalau kita
menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah." Bu Swi Nio
mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik.
Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya
yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan
tetapi sekarang dia memandang penuh curiga. jangan-jangan kekasihnya juga
ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es!
Biarpun dia sendiri belum pernah membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia
maklum bahwa pusaka-pusaka Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka
yang tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu mengandung ilmu-ilmu
mujijat!
"Kok, apa..... apa
maksudmu?" Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang.
Mereka bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan mencium
tangan itu.
"Ihhhh! kau berdosa padaku,
memandang penuh curiga seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak,
Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan di dalam hatiku. Aku hanya teringat
akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid
Thian-kok, sedangkan Thian-kok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di
tai-hang-san! Kalau murid dari Sang Suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah
kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik? Jangan-jangan kita seperti
ular-ular menghampiri penggebuk!" "Sialan! Kausamakan aku dengan
ular? Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio menghentikan
kelakarnya karena menjadi khawatir juga.
"Swi-moi, tugas yang kita
pikul bukanlah ringan. Apalagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa kita
berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah-langkah
kita tentu akan dibayangi orang-orang kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau
Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka."
Swi Nio menjadi pucat. Baru dia
sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka. "Aihh, kalau begitu
bagaimana baiknya?'
"Tidak ada jalan lain
kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan Hoa-san-pai agar suka menerima
kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-sa n-pai
saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila
di Hoa-san-pai." "Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan
tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak
Awan Merah dan tidak mendapatkan kita di sana?"
"Lebih baik begitu daripada
mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau mendengar bahwa kita tewas
dan pusaka dirampas orang!
Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita
atau.menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi,
hatiku tidak enak sebelum
kita tiba di Hoa-san."
Demikianlah, dua orang itu lalu
bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san. Setelah tanpa halangan mereka tiba
di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua Hoa-san-pai
yang terhitung twa-supeknya (uwak guru pertama) sendiri yang tidak pernah
dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian Cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu
itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah lembut dan rambutnya sudah
putih semua, serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut. "Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat
kepada Twa-supek," kata Toan Ki.
"Teecu Bu Swi Nio
menghaturkan hormat kepada Locianpwe," kata Swi Nio penuh hormat. Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan
bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai Twa-supek, orang muda?"
"Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di
Kun-min dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang
menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguhpun Suhu berpesan agar teecu tidak
menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapapun juga." Kakek itu
kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang, mengelus jenggotnya dan kembali
mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah
dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekalli.
Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa
nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan
bagaimana keadaannya?"
"Suhu telah tewas dalam
keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh....!"
"Karena itulah maka teecu
sebagai muridnya yang juga menderita karena orang tua teecu juga menjadi
korban keganasan pembesar pemerintah,
lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah berhasil
tecu mengundurkan diri karena
teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apalagi melihat betapa An-goanswe
menerima bantuan orang-orang dari
kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri." "Bagus, baik sekali engkau
mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak menyebut nama Hoa-san-pai,
namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandain
Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontak. Sekarang
engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"
"Teecu datang untuk mohon
pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang
Lu-san Lojin."
"Siancai....! Lu-san Lojin
sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang
gagah perkasa!"
Kemudian kakek ini menoleh kepada
Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari
pinto?"
Dengan terus terang tanpa
menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang penyerbuannya
bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri Pulau Es telah
menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka
dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan
untuk bersembunyi di Hoa-san-pai.
Kakek itu menjadi bengong
mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa kali memandang ke
arah buntalan di punggung Toan Ki
dan memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang
percaya. "Siancai.... kalau
tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan
pembohong, pinto sukar untuk
percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu
dengan orang-orang Pulau Es!
Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanay terdapat dalam dongeng
belaka."."Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia
kang-ouw akan saling berebut untuk merampas
pusaka-pusaka ini, maka teecu
berdua mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak
atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."
Sampai lama kakek itu termenung
dan menundukan kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki
dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata,
suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan
kehormatan sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa banyak anak murid
Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula
yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti
Kee-san Ngo-han, lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi
Sin-tong....." "Aihhhh....!!" Tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan
teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang kepadanya, dia cepat berkata,
"Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu
dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu
mendengar penuturan Subi ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa
Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan
terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu
yang membunuh murid-murid pinto....!
"Akan tetapi iblis itu telah
tewas di tangan Nona Han Swat Hong puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada
teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki berkata. Kakek itu mengangguk-angguk dan
mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan hebat di kota raja, di
dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat dan melarikan
Pusaka-pusaka Pulau Es itu. "Kalau
begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni Pulau Es.
Kalian boleh tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan
pusaka-pusaka itu sampai yang berhak datang mengambilnya."
"Sebelumnya teecu berdua
menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan hati Twa-supek. dan teecu ingin mengajukan permohonan ke
dua......"
Kakek itu tersenyum.
"Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya telah pinto
terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang mengetahuinya, tidak
boleh kalian bocorkan keluar agar tidak menimbulkan keributan. Sekarang, ada
permohonan apa lagi yang hendak kaukemukakan?" "Teecu...... mohon
.....karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan teecu berdua
sudah cukup lama bertunangan, maka.... teecu mohon berkah dan doa restu
Twa-supek untuk menikah di sini." Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan
segala macam pengalaman hebat itu, tidak urung tergagap ketika mengucapkan
permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio menundukkan mukanya yang menjadi mereh sekali.
Kong Thian-cu tertawa bergelak,
lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa amat menggembirakan. Tentu saja
pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau adalah murid
Hoa-san-pai pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di sini, disaksikan oleh
semua murid Hoa-san-pai yang berada di sini."
Demikianlah, Pusaka-pusaka Pulau
Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong Thian-cu
sendiri di dalam kamar pusaka
yang tersembunyi, tidak ada anggauta Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya
dan sebulan kemudian diadakanlah
perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan upacara
pernikahan antara Liem Toan Ki
dan Bu Swi Nio. Pada malam pertama pernikahan itu Bu Swi Nio
menangis di atas dada suaminya,
menangis dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan
kegembiraan mengenangkan semua
pengalamannya, kematian ayahnya dan kakaknya, malapetaka yang
menimpa dirinya ketika dalam
keadaan mabok dan tidak ingin diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin
Ong. Dia memeluk suaminya dan
berterima kasih sekali karena dia dapat membayangkan bahwa kalau
tidak ada pria yang kini menjadi
suaminya dengan syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri
dan andai kata dalam keadaan
hiduppun ia akan mendrita aib dan terhina..Sampai dua tahun suami isteri yang
saling mencinta dan berbahagia ini hidup di Hoa-san-pai, menjadi
anggota-anggota dan anak murid
Hoa-san-pai yang tekun berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka gelisah
sekalli karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak
ada yang muncul bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga
tidak muncul. Tentu saja hati mereka
akan menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau
Es itu sudah diambil oleh yang berhak dan tidak menjadi tanggung jawab mereka..
Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari Ketua
Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia karena sakit.
Sebelum meninggal dunia, Kong Thian-cu memberitahukan di mana dia menyembunyikan
pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui orang lain. Setelah Kong Thian-cu
meninggal dunia, kedudukan Ketua Hoa-san-pai digantikan oleh seorang tokoh
Hoa-san-pai lain, terhitung sute dari Kong Thian-cu yang telah menjadi seorang
tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim Tojin.
Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es,
sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem Toan Ki
dan isterinya.
Biarpun selama dua tahun itu
tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa tidak
tenteram. Bahkan mereka berdua
seringkali merundingkan bagaimana baiknya. Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan
mencari Swat Hong, mereka tidak berani meninggalkan Hoa-san-pai di mana pusaka
itu disimpan, juga mereka tidak tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong.
Tinggal diam saja di Hoa-san mereka merasa makin lama makin gelisah. Selama
itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di
tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya
mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi
pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek Sim Tojin,
menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari
bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan
Hoa-san-pai sendiri.
"Suheng, kita berhenti
istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.
Sin Liong menoleh kepada dara
itu, tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?" Swat Hong
mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk dibawah
sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu ditepi
jalan yang merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di
sebelah kanan jurang yang amat curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah
indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani
hidup yang permai dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau
namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan
yang wajar. Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak, digaris
oleh sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan rumpun di sana-sini diseling pohon-pohon
besar yang masih bertahan di antara perobahan yang dilakukan oleh tangan-tangan
manusia. Sebatang pohon yang
daun-daunnyatelah menguning dan banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol
di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau , dan seolah-olah segala keindahan
berpusak kepada pohon menguning hampir mati itu. Matahari yang berada di atas
kepala tidak menimbulkan bayangan-bayangan sehingga hari tampak cerah sekali.
Sinar matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada
di atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan. Di dalam keheningan itu,
Swat Hong dapat melihat ini semua.
Ketika tanpa disengaja tangannya
yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan Sin Liong, barulah
dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran. Semenjak dia bertemu
dengan suhengnya dan melakukan perjalanan ini, seringkali dia tenggelam ke
dalam keindahan yang amat luar bias, yang sukar dia ceritakan dengan kata-kata.
Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai sungguhpun suhengnya jarang
mengeluarkan kata-kata. Dia seperti merasa betapa diri pribadi suhengnya
bersinar cahaya yang hangat dan aneh, terasa ada getaran yang ajaib keluar dari
pribadi suhengnya yang mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang
menakjubkan, yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala
kedukaan. Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suhengnya,
namun setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh
keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suhengnya itu,
sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta suhengnya, ini
sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih agung daripada
sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai.
"Suheng......." Dia
memberanikan hatinya berkata. "Ya......?" Sin Liong mengangkat muka
memandangnya
sambil tersenyum. Senyumnya
begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh
pengertian sehingga Swat Hong
merasa betapa seolah-olah sebelum dia bicara, suhengnya itu telah tahu apa.yang
terkandung di dalam hatinya! Inilah yang biasanya membuat membungkam dan tidak
dapat
melanjutkan kata-katanya. Kini
dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan ke
manakah?"
"Ke Hoa-san, sudah
kuberitahukan kepadamu," jawabnya sederhana.
"Bagaimana kau bisa tahu
bahwa mereka berada di Hoa-san?"
Sin Liong tersenyum, senyum
cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan
sesuatu tidak membawa arti sesuatu. "Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada
Liem Toan Ki dan tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai,
maka tentu saja mereka berada di Hoa-san."
Swat Hong mengangguk-angguk,
memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa
dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhenngya! "Bagaimana kalau mereka tidak berada si
sana, Suheng?"
Kembali senyum itu. Senyum
seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum penuh pengertian, seperti
senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak-anak dan maklum pengapa anak itu
nakal! "Sumoi, apakah gunanya
memikirkan hal-hal yang belum terjadi? Membayangkan hal-hal yang belum terjadi
adalah permainan buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan
kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi
sebagaimana mestinya kalau sudah terjadi di depan kita." Swat Hong
tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang
membayangkan masa depan, Suheng?"
"Agaknya jelas demikian,
bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang belum terkena penyakit itu,
kalau sudah sakit, dia tidak takut lagi kepada sakit, melainkan takut kepada
kematian yang belum tiba. Perlukah hidup dicekam rasa takut dan rasa
kekhawatiran? Pikiran yang bertanggung jawab atas timbulnya rasa takut. Pikiran
mengingat-ingat kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya
kesenangan itu di masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau-kalau
kesenangan itu tidak akan terulang. Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan
ingin menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali maka
timbulah kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!" "Habis
bagaimana, Suheng?"
"Hiduplah saat ini, curahkan
seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini, apa yang
terjadi kepadamu di saat ini, bukan apa yang boleh terjadi di masa depan, bukan
pula mengenang apa yang telah terjadi di masa lalu."
"Kalau begitu kita menjadi
tidak acuh dan bersikap masa bodoh....." "Justru biasanya kita
bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang mendalam terhadap
saat ini, karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan untuk mengingat-ingat
masa lalu dan untuk membayang-bayangkan masa depan dengan seluruh
pengharapannya, seluruh cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh
kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak lagi ada
bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan ini
barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap karena kita
menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak terbuai dalam aalam kenangan dan
harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong belaka." Sampai lama
hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong dan
di dalam keheningan itu tercakup seluruh alam mayapada.
"Suheng, telah dua tahun
pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah mencari ke mana-mana, hanya ke
Hoa-san-pai yang belum. Kurasa
mereka itu tidak jujur, dan agaknya tentu mereka telah menyembunyikan
pusaka itu. Kalau tidak demikian
mengapa mereka tidak pergi menanti aku di Puncak Awan Merah seperti
yang kupesankan? Memang hati
manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur. Sekali saja melihat.sesuatu
yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah semua pelajaran tentang
kegagahan dan
kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar
mereka itu!"
"Sumoi, prasangka adalah
satu di antara racun-racun yang merusak kehidupan kita. Prasangka di lahirkan oleh
pikiran yang mengada-ada, yang membayangkan sesuatu yang direka-reka, yang
timbul karena kekhawatiran. Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri
sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat keadaan yang
sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka?
Prasangka dan sebagainnya lenyap setelah kita membuka mata melihat
kenyataan apa adanya, dan sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran
mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?"
Kembali hening. Swat Hong tak
mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan keadaan yang nyata. Memang, dia
memikirkan hal-hal yang belum terjadi, maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran
ini timbulah prasangka yang bukan-bukan. Yang salah dalam semua itu adalah
pikiran! Setelah tubuh mereka
beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan menuju ke
Hoa-san. Makin lama Swat Hong makin
mendapat kesan bahwa suhengnya benar-benar telah berubah, jahu bedanya dengan
dahulu. Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan
beristirahat, Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan tahunya dan dia
berkata, "Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa
kembali, aku memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!"
"Begitukah, Sumoi?"
"Aku tidak tahu apanya yang
berubah, memang kelihatannya engkau masih biasa sepeti dulu, Suhengku yang
sabar, tenang dan bijaksana. Akan tetapi entahlah, engkau berubah benar,
sungguhpun aku sendiri tidak dapat mengatakan apanya yang berubah."
Sin Liong tersenyum dan sinar
matanya berseri. "Memang setiap manusia seyogianya mengalami perubahan,
Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah, tidak terikat dengan masa lalu,
dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik kita
haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!" Swat Hong
hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang tangannya dan mengajaknya
bangkit berdiri lalu berlahan-lahan melanjukan perjalanan mulai mendaki bukit
pertama. Ketika Swat Hong hendak
menanyakan sikap yang tiba-tiba ini dari suhengnya, dia mendengar suara orang dan
tampaklah olehnya banyak orang berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san,
datangnya dari berbagai penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang, dengan
pakaian yang bermacam-macam pula, namun jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan
yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk mengetahui bahwa mereka
adalah orang-orang kang-ouw!
Melihat kenyataan bahwa tidak ada
di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan Swat Hong, hanya memandang
sepintas lalu saja seperti mereka itu saling memandang, tahulah Swat Hong bahwa
mereka itu bukan merupakan satu rombongan, melainkan terdiri dari banyak
rombngan sehingga tentu saja mereka mengira bahwa dia dan suhengnya adalah
anggauta rombongan lain.
Hati Swat Hong diliputi penuh
pertanyaan. Siapakah mereka dan apa kehendak mereka itu? Apakah di
Puncak Hoa-san terdapat perayaan
dan mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke Hoa-san-pai"Akan
tetapi melihat sikap suhengnya
diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk bertanya dan
teringatlah dia akan kata-kata
suhengnya tentang permainan pikiran yang membayangkan masa depan yang
menimbulkan kekhawatiran belaka.
Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia merasakan
sendiri. Biarlah dia hadapi apa
yang sedang terjadi sebagaimana mestinya dan sebagai apa adanya tanpa
merisaukan hal-hal yang belum
terjadi! Ketia akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan markas
perkumpulan Hoa-san-pai yang
besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu ternyata tidak terdapat
perayaan apa-apa dan kini banyak
tosu dan anggauta Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan
yang tinggi, sedangkan di bawah
anak tangga, di halaman depan penuh dengan orang-orang kang-ouw yang
bersikap menantang! Ketika dia
melirik ke arah suhengnya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan
tenang, dan suhengnya ini pun
memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya. Maka dia pun lalu
memandang lagi dan dia melihat
seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri menghadapi para.orang-orang
kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap hormat lalu berkata dengan suara halus
namun
cukup nyaring,
"Harap Cu-wi sekalian sudi
memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Cu-wi maka tidak mengadakan
penyambutan sebagaimana mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh
kang-ouw dari bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong
datang mengunjungi Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?"
Swat Hong memandang para orang
kang-ouw itu dan diantaranya banyak tokoh aneh yang tidak dikenalnya itu,
dengan heran dia melihat adanya Siang-koan Houw Tee Tok, tokoh yang tinggal di
Puncak Awan Merah di tai-hang-san itu!
"Suheng, itu Tee Tok berada
pula di sini," bisikannya sambil menyentuh lengan suhengnya. "Aku
sudah
melihatnya," kata Sin Liong
perlahan, "dan yang di sebelah sana itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk
Thian-tok (Racun Langit). Bekas
suheng dari Tee Tok, dan itu adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham Ketua
kang-jiu-pang di Secuan. yang di
sana itu adalah Lam-hai Seng-jin, tosu majikan Pulau Kura-kura di
Lam-hai....."
"Guru Kwee-toako?"
Sin Liong mengangguk. Swat Hong
memandang penuh perhatian dan terheran-heran melihat suhengnya mengenal
orang-orang yang memiliki julukan aneh-aneh itu. Thian-he Tee-it berarti Di
Kolong Langit Nomer Satu! Dan Lam-hai Seng-jin berarti Manusia dari laut
Selatan! "Dan itu adalah Gin-siauw
Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang bertapa di Bukit Bengsan dan yang di ujung
itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah
kuceritakan kepadamu, Sumoi. Dialah Tok-gan Hai-liong (Naga Laut Mata Satu)
Koan Sek, seorang bekas bajak laut." "Wah, begitu banyak orang pandai
mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"
"Kita melihat dan
mendengarkan saja."
Sementara itu, ucapan dan
pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana berisik ketika para
pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling bicara sendiri tanpa
ada yang menjawab langsung pertanyaan Ketua Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu
merasa sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang lain yang
hadir di situ. Betapapun juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena
Hoa-san-pai terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar,
yang selama ini tidak pernah mencampuri urusan perebutan kekuasaan atau tidak
pernah pula mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya dengan
mereka. Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang gagah yang
disegani di dunia persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan
sungkan. Pek Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat
seorang kakek tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan,
maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata ditujukan
kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto tidak salah mengenal orang,
Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang amat terkenal di
dunia kang-ouw dan mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar,
maka pinti harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu." Thian-tok
Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau benar, Totiang!
Aku adalah Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang
mengunjungi Hoa-san-pai. Tentang mereka semua ini aku tidak tahu, akan tetapi
kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan
Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluara bicara dengan aku dan aku tidak akan
membawa-bawa Hoa-san-pai!"
Ucapan ini disambut oleh suara
berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak kepala dianggukan
tanda setuju dan di sana sini
terdengar teriakan, "Suruh mereka keluar!".Pek Sim Tojin mengerutkan
alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih. "Pinto tidak menyangkal bahwa
di antara anak murid Hoa-san-pai
terdapat dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio.
Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang tekun dan
baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak pernah melakukan keonaran
di luar, apalagi membuat permusuhan dengan golongan manapun. Kini Cu-wi
sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan untuk menemui mereka! Pinto
sebagai ketua Hoa-san-pai yang bertanggung jawab atas semua sepak terjang murid-murid
Hoa-san-pai, berhak mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan
mereka!" hening sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan
ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu,
hati Swat Hong terasa tegang begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio
disebut-sebut. Dia menunjukan pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di
antara para anggauta Hoa-san-pai, dia tidak meliahat adanya kedua orang itu.
"Suheng...., agaknya mereka
benar berada di sini seperti yang Suheng duga...." bisik Swat Hong dengan hati
tegang, akan tetapi suhengnya memberi isyarat agar dia tenang saja. "Sumoi, aku berpesan, kalau nanti
terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan jangankau ikut turun tangan,
ya!"
Dengan penuh kepercayaan akan
kemampuan suhengnya, Swat Hong mengangguk akan tetapi hatinya berdebar penuh
ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw
ini mencari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es
itu! Kalau tidak demikian apalagi?
Melihat bahwa tidak ada orang
yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai itu, Thian-he Tee-it Ciang Ham yang
datang bersama lima orang muridnya, mengacungkan tombak di tangan kanannya, ke
atas dan berteriak. "Totiang, sebagai Ketua Hoa-san-pai tentu saja kau
berhak mengetahui sepak terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan ini tidak
menyangkut Hoa-san-pai, bagaiman kami dapat bicara denganmu? Ini adalah urusan
pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar kami dapat bicara
dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai akan mencampuri
urusan pribadi!" Berkerut alis Ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biarpun
tidak secara langsung, sudah merupakan tantangan dan hanya terserah kepada
Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak mau
bertindak sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua
Hoa-san-pai ini memang belum sempat diberi tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya
tentang pusaka Pulau Es itu. "Supek,
biarlah teecu berdua yang menghadapi mereka!" Tiba-tiba terdengar suara
orang dan muncullah Liem Toan Ki dan isterinya dari dalam, mereka sudah
kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang di pinggang dan pakaian
ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun sikap mereka gagah dan tidak jerih. Liem Toan Ki meloncat ke depan, Di atas
ruangan depan itu berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw
itu sambil berkata, "Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio.
Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cu-wi sekalian datang mencari kami di
Hoa-san?"
Hiruk pikuklah para tamu itu
setelah mereka melihat sepasang suami isteri muda muncul dari
dalam. Pertama-tama yang
berteriak adalah Thian-tok Bhong Sek Bin, "Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio,
kalian telah berani melukai
muridku! Aku baru bisa mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan pusaka-pusaka
yang kaubawa itu!"
Liem Toan Ki tersenyum.
"hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia menyerang kami, Locianpwe.
Pusaka apa yang Locianpwe maksudkan?"
"Pura-pura lagi, keparat!
Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah.
"Serahkan Pusaka Pulau Es
kepada kami!"
"Kepada kami!"
"Bagi-bagi
rata!"."Dijadikan sayembara!"
Macam-macam teriakan para tokoh
kang-ouw dan Liem Toan Ki mengangkat kedua lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami
berdua menyimpan Pusaka Pulau Es?" "Orang she Liem, kau masih
berpura-pura lagi bertanya? Aku dan banyak orang melihat betapa gadis Pulau Es
itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!" Tiba-tiba terdengar suara orang yang
bukan lain adalah Thio Sek Bi, murid Thian-tok yang pernah berusaha merampok
pusaka itu.
Mendengar ucapan ini dan melihat
munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang bekas pengawal yang dulu ikut
bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah Toan Ki dan Swi Nio bahwa menyangkal
tidak akan ada gunanya lagi.
"Kita harus mempertahankan
mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang mengangguk dan berkata dengan
suara lantang, "Cu-wi sekalian! Kami berdua tidak menyangkal lagi bahwa
memang kami telah dititipi pusaka oleh Nona Han Swat Hong, dua tahun yang lalu.
Akan tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada siapapun juga
kecuali kepada yang berhak, yaitu Nona Han Swat Hong!" Teriakan-teriakan
hiruk pikuk menyambut ucapan lantang ini. "Kalau begitu, kalian akan
menjadi tawananku!" Thian-tok membentak marah sambil melangkah ke depan,
akan tetapi gerakannya ini segera diikuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka
hendak memperebutkan Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi orang tawanan
mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka!
"Siancai..... harap Cu-wi bersabar dulu.....!" Tiba-tiba
dengan suara yang halus namun berpengaruh, Ketua Hoa-san-pai berkata sambil
mengangkat kedua tangan ke atas, "Biarkan pinto bicara dulu!" "Totiang,
kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri
dan matanya melotot. "Pinto mengaku
bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
Hoa-san-pai dan Hoa-san-pai pun tidak mengetahuinya. Maka sebagai Ketua
Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah
urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak akan mencampurinya!"
Terdengar teriakan-teriakan,
"Silahkan! Silahkan, tapi cepat dan serahkan mereka kepada kami!" Pek
Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki, apa artinya
ini semua? Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-san-pai?"
Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio
segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ketua Hoa-san-pai itu. Liem Toan
Ki segera berkata, "Harap Supek mengampunkan teecu berdua. Adalah mendiang
Twa-supek yang mengijinkan teecu berdua dan Beliau yang melarang teecu berdua
menceritakan kepada siapapun juga, bahkan Beliau yang membantu teecu berdua
dalam hal ini. Karena sekarang mereka telah mengetahuinya dan hendak
menggunakan paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa
membawa-bawa Hoa-san-pai."
Setelah berkata demikian, Toan Ki
dan Bu Swi Nio meloncat bangun, mencabut pedang dan berkatalah Toan Ki dengan
suara lantang, "Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah! Urusan ini adalah urusan
kami berdua suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai, maka kalau kalian
begitu tidak tahu malu hendak merampas Pusaka Pulau Es, biar kami menghadapi
kalian sampai titik darah penghabisan!" "Keparat, aku tidak
membiarkan kau mapus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu." Thian-tok membentak.
"Tahan!" Tiba-tiba Pek
Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekalil. "Cu-wi sekalian sungguh terlalu,
memperebutkan pusaka milik orang lain dan sama sekali tidak memandang mata
kepada Hoa-san-pai, hendak membikin ribut di sini. Siapa saja tidak akan pinto
ijinkan untuk menggunakan kekerasan di Hoa-san-pai!"
"Tepat sekali! Aku Tee-tok
Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak tahu malu! Aku tidak akan
membolehkan siapa pun menjamah
Pusaka Pulau Es yang menjadi milik Nona Han Swat Hong!" Tiba-tiba.tokoh
Tai-han-san yang tinggi besar itu sudah melompat ke atas ruangan luar dan mendampingi
Toan Ki
dan Swi Nio dengan sikap gagah!
"ha-ha-ha, itu baru namanya
laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku merasa malu saja! Aku pun tua bangka
yang tidak berguna mana ingin memperebutkan pusaka orang lain? Aku pun tidak
membiarkan siapa pun memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai Seng-jin, guru
Kwee Lun, tosu yang bersikap halus dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan
kanan memegang hudtim (kebutan pertapa), telah melangkah ke ruangan depan
mendampingi Tee-tok.
"Masih ada aku yang
menentang orang-orang kang-ouw tak tahu malu hendak merampas pusaka lain orang!"
Tampak bayangan berkelebat disertai suara halus melengking dan diruang depan
itu nampak Gin-siauw Siucai Si Sastrawan yang bersenjata suling perak dan
mauwpit! Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan,
apalagi melihat bekas sutenya, Tee Tok, memelopori lebih dulu membela
Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat
dikehendakinya. "Ha-ha-ha! Kalian
pura-pura menjadi pendekar budiman? Hendak kulihat sampai di mana kepandaian kalian!"
Thian-tok sudah lari ke depan, diikuti oleh banyak tokoh kang-ouw lagi dan
dapat dibayangkan betapa tentu sebentar akan terjadi perang kecil yang amat
hebat antara para anggauta Hoa-san-pai dibantu oleh tiga tokoh kang-ouw itu
melawan para orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka. "Tahan....!"
Seruan ini halus dan ramah, tidak
mengandung kekerasan sesuatu pun, akan tetapi anehnya, semua orang merasa ada
getaran yang membuat mereka menghentikan gerakan mereka mencabut senjata dan
kini semua mata memandang ke arah ruangan depan itu karena tadi ada berkelebat
dua sosok bayangan orang ke arah situ.
Ternyata Sin Liong dan Swat Hong
telah berdiri di ruangan depan markas Hoa-san-pai. Dengan sikap tenang sekali
Sin Liong menghadapi semua orang, terutama sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia
persilatan yang hadir, dan yang semua memandang kepadanya dengan mata
terbelalak, kemudian terdengar pemuda ini berkata, "Cu-wi Locian-pwe
mengapa sejak dahulu sampai sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?"
Thian-tok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak,
demikian pula Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Seng-jin, Gin-siauw Siucai dan
para tokoh lain yang belasan tahun lalu pernah hendak memperebutkan bocah
ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong sendiri. Mereka merasa kenal
dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi.
"Ka...... kau
siapakah.....?" akhirnya Thian-tok bertanya.
"Ha-ha-ha, kalian lupa lagi
siapa dia ini?" Tiba-tiba Tee Tok Siangkoan Houw berseru keras, hatinya girang
dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak ragu-ragu melindungi Pusaka Pulau Es.
Melihat munculnya pemuda yang dia tahu memiliki kelihaian yang luar biasa itu,
dia girang sekali. "Coba lihat
dengan baik-baik, belasan tahun yang lalu di lereng Pegunungan jeng-hoa-san
kalian juga memperebutkan sesuatu. Siapa dia?"
"Sin-tong....!"
"Bocah ajaib......!!"
Teringatlah mereka semua dan kini
memandang Sin Liong dengan mata terbelalak. "Mau apa kau datang ke sini?"
thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang galaknya.
Sin Liong sudah menjura kepada
Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee tok dan lain tokoh yang tadi membela
Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat
Hong kemudian Swat Hong berkata kepada Toan Ki dan Swi Nio, "Terima
kasih kami haturkan kepada Ji-wi
(Kalian Berdua) yang ternyata adalah orang-orang gagah yang pantas
dipuji dan dikagumi kesetiaan dan
kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan pusaka-.pusaka itu
kepadaku." Toan Ki dan Swi Nio menjura an Toan Ki menjawab, "Harap
Lihiap suka menanti
sebentar." kemudian pergilah
dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, diikuti pandang mata Ketua Hoa-san-pai yang
menjadi terheran-heran.
"Mau apa kalian dua orang
muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya. "Harap Locianpwe ketahui bahwa kami
berdua adalah penghuni Pulau Es yang datang untuk mengambil kembali Pusaka
Pulau Es.
Pusaka itu adalah milik Pulau Es
dan harus dikembalikan ke sana."
"Penghuni Pulau
Es....??" Suara ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga
dari pihak Hoa-san-pai dan mereka yang membelanya, kecuali Tee Tok Siangkoan
Houw yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu.
Tak lama kemudian muncullah Toan
Ki dan Swi Nio. Toan Ki membawa bungkusan yang dulu dia terima dari Swat Hong,
lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata,
"Dengan ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap titipkan kepada kami
dengan hati lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas
dari tanggung jawab yang amat berat itu.
Swat Hong membuka dan meneliti pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka
itu masih lengkap, dia makin kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita tidak
membalas budi mereka ini." Sin Liong tersenyum, mengangguk, kemudian dia
berkata kepada Thian-tok dan lain tamu yang masih memandang dengan bengong dan
kini dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah
Pusaka Pulau Es yang terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin mereka
mundur begitu saja tanpa usaha untuk mendapatkannya?
"Cu-wi Locianpwe jauh-jauh
datang ke sini, harap suka memaklumi bahwa pusaka-pusaka ini telah kembali ke
pemiliknya dan akan dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua mengharap
sudilah Su-wi tidak mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat
ini." "Kami harus mendapatkan pusaka itu!"
"Kami juga!"
"Kami minta bagian!"
Teriakan-teriakan itu terdengar
riuh rendah dan Sin Liong lalu berkata lagi dengan halus, "Kami berdua
akan berada di sini selama tiga hari, kemudia kami akan meninggalkan
Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di sini, masih belum terlambat bagi kita
untuk bicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik bagi nama Cu-wi Locianpwe
kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal
ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan Hoa-san-pai, boleh kita bicara
lagi." Melihat sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas
bahwa pusaka itu berada di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok lalu
mendengus dan berkata, "Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua tidak akan dapat terbang
lalu."
Pergilah mereka itu meninggalkan
Hoa-san-pai, akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa mereka tentu
akan mengurung tempat itu dan
tidak akan membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa
pergi pusaka-pusaka Pulau Es yang
amat mereka inginkan itu. Sin Liong lalu menjura kepada Ketua Hoa-san-
pai, para tokoh Hoa-san-pai, Toan
Ki dan Swi Nio, juga kepada Tee Tok dan mereka yang tadi
membela Hoa-san-pai, kemudian
berkata, "Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan Nyonya, sudah
sepantasnya kalau kami
meninggalkan sedikit ilmu untuk Jiwi pelajari. Dan kepada para Locianpwe,
kiranya akan ada manfaatnya kalau
saya melayani para Locianpwe main-main sedikit untuk memperluas
pengetahuan ilmu
silat.".Semua orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan maksud hati
pemuda yang aneh itu, akan
tetapi Tee-tok Siangkoan Houw
sudah tertawa bergelak lalu meloncat ke halaman depan. "Marilah, ingin aku
tua bangka ini memperdalam sedikit kepandaianku!"
Sin Liong tersenyum lalu
melangkah perlahan ke pekarangan. "Silahkan Siangkoan Locianpwe menggunakan
Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan Geledek)!" katanya tenang. "Harap
Locianpwe jangan sungkan dan keluarkanlah jurus-jurus simpanan dari
Pek-liu-kun!"
Tee Tok sudah maklum akan
kehebatan pemuda ini, dan setelah dua tahun tidak jumpa, kini sikap pemuda ini
luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata biasa saja pemuda itu sudah
mengundurkan semua orang yang tadi sudah bersitegang hendak menggunakan
kekerasan. Dia dapat menduga bahwa bukanlah percuma pemuda ini mengajak dia
berlatih silat, tentu ada niat-niat tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak
mempunyai maksud jahat dan tadi membela Pusaka Pulau Es dengan sungguh hati,
dia kini pun tanpa ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya
berkelebat ke depan. Dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya, dia menyerang
pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat Pek-lui-kun yang dahsyat.
"Haiiittt..... eihhh.....?" Bukan main heran dan kagetnya ketika
melihat pemuda itu menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sama! Tiap jurus yang
dimainkannya, dihadapi oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai
sebagai serangan balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga
jurus yang dimainkannya itu tidak ada artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh
pemuda itu untuk menghadapinya jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup semua
kelemahan yang ada, menambah daya serang yang amat hebat sehingga dalam jurus
pertama saja, kalau pemuda itu menghendaki, tentu dia sudah dirobohkan sungguhpun
dia sudah hafal benar akan jurusnya sendiri itu! Bukan main girang hati kakek itu. Dia terus
menyerang lagi dengan jurus lain, dan sama sekali dia menggunakan delapan belas
jurus terampuh dari Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan
dengan baik oleh Sin Liong, juga telah dengan sekaligus "diperbaiki"
dengan sempurna. Semua gerakan ini
dicatat oleh Tee Tok dan setelah dia selesai mainkan delapan belas jurus
pilihan itu, dia melangkah mundur dan menjura sangat dalam ke arah Sin Liong.
"Astaga.... kepandaian
Taihiap seperti dewa saja......., saya...... saya menghaturkan banyak terima
kasih atas petunjuk Taihiap....." katanya agak tergagap.
"Ah, Locianpwe terlalu
merendah," jawab Sin Liong. Tee Tok lalu menjura ke arah Ketua Hoa-san-pai
dan yang lain-lain, seketika pamit dan pergi dengan langkah lebar dan wajah
termenung karena dia masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru
yang menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi!
Lam Hai Seng-jin bukan seorang
bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan yang berilmu tinggi. Melihat peristiwa
tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan dan agaknya
telah mewarisi ilmu mujijat yang kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka
dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan dai sudah meloncat maju dengan
senjata hudtim dan kipasnya. "Orang
muda yang hebat, kauberilah petunjuk kepadaku!"
"Totiang, muridmu Kwee Lun
Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang sudi mengajarnya baik-baik,"
jawab Sin Liong dan dia pun segera menghadapi serangan kipas dan hudtim dengan
kedua tangannya. Biarpun dia tidak menggunakan kedua senjata itu, namun kedua
tangannya digerakan seperti kedua senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-jurus
yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna. Seperti juga
tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh jurus campuran ilmu
hudtim dan kipas.
"Terima kasih, terima
kasih..... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan selamanya." Dia
menjura kepada yang lain lalu berlari pergi.
"Totiang, sampaikan salamku
kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan tetapi kakek itu hanya
mengangguk tanpa menoleh karena
dia pun sedang mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai.lupa.
Berturut-turut Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu silat suling perak
dan mauwpitnya,
kemudian Ketua Hoa-san-pai juga
menerima petunjuk ilmu pedang Hoasan-kiamsut.
Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak,
terheran-heran melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti orang
yang termenung. Akan tetapi diam-diam mereka menjadi girang karena tiga orang
lihai itu tidak membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es yang mereka hadang. Tiga hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong
tinggal di Hoa-san, setiap hari menurunkan ilmu-ilmu tingi kepada Toan Ki dan
Swi Nio sehingga kedua orang suami isteri ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan
dan mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan lihai.
Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka meninggalkan markas Hoa-san-pai,
diantar sampai ke pintu gerbang oleh Ketua Hoa-san-pai, Toan Ki, Swi Nio dan
para pimpinan Hoa-san-pai. "Taihiap,
Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan. Menurut laporan
para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di lereng
gunung." Pek Sim Tojin berkata dengan alis berkerut. "Bagaimana kalau
kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan selamat?" Sin Liong
tersenyum. "Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi, menghindari mereka
berarti membuat mereka terus merasa penasaran. Sebaliknya malah kalau kami
berdua menemui mereka dan membereskan persoalan seketika juga."
Toan Ki dan Swi Nio yang selama
tiga hari menerima petunjuk dari Sin Liong, telah menaruh kepercayaan penuh
akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka mereka tidak merasa khawatir. Mereka
maklum bahwa pemuda dan gadis dari Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan,
apalagi pemuda itu memiliki wibawa yang tidak lumrah manusia, gerak-geriknya
demikian penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga tidaklah mungkin dapat
terjadi sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini! Memang benar seperti yang dilaporkan oleh
anak buah Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw itu, dipelopori oleh Thian-tok,
masih menghadang di lereng puncak. Thian-tok yang tadinya mengandalkan kepandaiannya
sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah
mendapatkan kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua tokoh lain
bersekutu dengan janji bahwa kalau pusaka dapat dirampas, dia akan memberi
bagian kepada mereka semua. Terutama yang menjadi pembantunya sebagai orang ke
dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham yang tingkat kepandaiannya hanya berselisih
atau kalah sedikit saja dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu.
Maka ketika Sin Liong yang
membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hong berjalan berlahan dan
tenang melalui tempat itu, segera
para tokoh kang-ouw itu muncul dan telah mengurung dua orang muda
itu dengan ketat, mempersiapkan
senjata masing-masing dengan sikap mengancam. Sin Liong menggeleng-gelengkan
kepala. "Hal itu tidak bisa
dilakukan, Cu-wi Locianpwe. Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es
turun-temurun, mana mungkin sekarang diserahkan kepada orang lain? Setelah kami
berdua berhasil menemukannya kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau
Es, tempatnya semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa
kepada kami."
"Orang muda yang keras
kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?" "Terserah kepada Cu-wi
sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan menghalangi para
Locianpwe ini."
Swat Hong mengangguk dan
tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan terkejutlah semua orang kang-ouw
itu ketika melihat gadis itu meloncat seperti terbang saja, melayang melalui
kepala mereka dan kini telah berdiri di luar kepungan! Sungguh merupakan bukti
kepandaian ginkang (Ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat!
Sin Liong sengaja menyuruh
sumoinya pergi keluar dari kepungan karena tidak menghendaki sumoinya itu
naik darah dan turun tangan menggunakan
kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini
melihat sumoinya keluar dari
kepungan, dia lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada, berkata,
"Silahkan kepada Cu-wi apa
yang hendak Cu-wi lakukan setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka Pulau Es.tidak
akan kuberikan kepada Cu-wi." Melihat sikap tenang dan penuh tantangan
ini, para tokoh kang-ouw
menjadi marah juga. Pemuda itu
tidak memegang senjata, berdiri dalam kepungan dan pusaka itu berada di dalam
buntalan yang berada di punggungnya. Maka serentak orang-orang kang-ouw yang
sudah mengilar dan ingin sekali merampas pusaka itu menerjang maju dan berebut
hendak menyerang Sin Liong dan mengulur tangan hendak merampas buntalan.
Pemuda itu hanya berdiri
tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan kedua lengannya sambil memandang tanpa
berkedip mata.
"Ahhh....!"
"Hayaaa.....!"
"Aihhhh.....!"
Semua orang terhuyung-huyung
mundur karena belum juga tangan mereka menyentuh pemuda itu, hati mereka sudah
lemas dan luluh menghadapi wajah yang tersenyum itu, tangan mereka seperti
lumpuh dan tenaga mereka seperti lenyap seketika membuat mereka terhuyung dan
hampir jatuh saling timpa! Thian-tok dan
Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat keadaan teman-teman
mereka itu. Kedua orang itu berilmu
tinggi ini memang membiarkan teman-teman mereka turun tangan lebih dulu untuk
menguji kepandaian pemuda yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau
tenang itu. Kini melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu
menggerakan sebuah jari tangan pun, kedua orang itu terkejut marah dan
penasaran. Thian-tok menerjang ke depan dengan senjata Kim-kauw-pang di tangannya,
sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat dengan senjata tombak di tangan.
"Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok membentak.
"Sin-tong, jangan sampai
terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang ham juga menghardik. Akan tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak
hanya berkata, "Terserah kepada Ji-wi Locianpwe, Ji-wi yang melakukan dan
Ji-wi pula yang menanggung akibatnya."
"Keras kepala!"
Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar ke arah kepala pemuda
itu. Sin Liong sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip pun tidak ketika
melihat tongkat itu menyambar ke arah kepalanya, disusul tombak di tangan Thian-he
Tee-it Ciang Ham yang menusuk ke arah lambungnya.
"Desss! Takkkk!!"
"Aihhh.......!"
"Heiiii....."
Thian-tok Bhong Sek Bin dan
Thian-he Tee-it Ciang ham berteriak kaget dan meloncat ke belakang.Tongkat itu
tepat mengenai kepala dan tombak itu pun tepat menusuk lambung, namun kedua senjata
itu terpental kembali seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak
tangan mereka terasa panas! Tentu saja mereka merasa penasaran, biarpun ada
rasa ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu, orang-orang kang-ouw lainnya
yang melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata, juga
menyerbu ke depan. Sin Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang
bermacam-macam itu datang bagaikan hujan menimpa tubuhnya.
Semua senjata tepat mengenai
sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh pemuda itu yang lecet,
kecuali pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu terpelanting ke
sana-sini, bahkan ada yang terpukul oleh senjata mereka sendiri yang membalik.
Makin keras orang menyerang,
makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah
mengelus kepalanya yang benjol
terkena kemplangan tongkatnya sendiri, sedangkan paha Ciang ham
berdarah karena tombaknya pun
membalik tanpa dapat ditahannya lagi ketika mengenai tubuh Sin Liong
untuk yang kedua kalinya..Ketika
mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka melihat pemuda
itu masih
tersenyum-senyum, masih berdiri
tegak dengan kedua lengan bersilang di depan dada, hanya bedanya, kini pakaiannya
robek-robek dan penuh lobang.
Thian-tok dan Thian-he Tee-it
adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh besar
yang sudah banyak mengalami pertempuran. Mereka tahu pula bahwa orang yang
memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama hidup mereka
belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi mereka sekarang ini.
Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga. Apalagi melihat cahaya aneh seperti
melindungi tubuh pemuda itu, mereka maklum bahwa pemuda ini bukan orang
sembarangan. Tanpa melawan saja pemuda ini telah membuat mereka tidak berdaya,
betapa hebatnya kalau pemuda ini mengangkat tangan membalas!
"Maafkan kami......!"
Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi. "Sin-tong, maafkan......!" Ciang
Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya, terpincang-pincang pergi dari situ.
Tentu saja para tokoh lain yang
memang sudah merasa ngeri dan jerih, melihat kedua orang yang diandalkan itu
lari, cepat membalikkan tubuh dan berserabutan lari dari situ meninggalkan Sin
Liong yang masih berdiri tegak di tempat itu.
Swat Hong lari menghampiri
suhengnya, lalu memeluk suhengnya itu. "Suheng......., kau tidak apa-apa......?"
tanyanya.
Sin Liong menggeleng kepala dan
tersenyum.
"Pakaianmu
hancur......"
"Pakaian rusak mudah
diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena mendatangkan malapetaka."
"Suheng, kau......"
"Ada apakah,
Sumoi......?"
Swat Hong menggelengkan kepala
dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua tindak dan memandang
suhengnya dengan pandang mata penuh takjub dan juga jerih. "Suheng,
kau...... kau berbeda dari dulu......."
"Aih, Sumoi, aku tetap Sin
Liong suhengmu yang dahulu."
"Tidak, tidak.....! kau
berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan tadi? Mendiang Ayahku sekalipun
tidak pernah memperlihatkan ilmu mujijat seperti itu........" "Apakah
keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu hanya mengakibatkan
pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk kekerasan hanya akan
mecelakakan diri sendiri."
"Suheng, ajarilah aku ilmu
tadi....."
"Tidak ada yang bisa
mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. marilah kita lanjutkan
perjalanan kita."
Setelah berkata demikian, Sin
Liong memegang tangan sumoinya dan terdengar jerit tertahan dara itu
ketika dia merasa bahwa dia
dibawa lari oleh suhengnya dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri
adalah seorang ahli ginkang yang
memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa, akan tetapi apa yang
dialaminya sekarang ini
benar-benar seperti terbang, atau seperti terbawa oleh angin saja! Makin
yakinlah
hatinya bahwa suhengnya telah
menjadi seorang yang amat luar biasa kesaktiannya, menjadi seorang
manusia dewa!.Gerakan pembalasan
yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang baru, yaitu kaisar Su Tiong,
yang dilakukan dari Secuan, amat
hebat. Gerakan pembalasan untuk merampas kembali ibu kota Tiang-an dari tangan
pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok bagian
barat, dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab. Dengan bala tentara
yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong melakukan serangan balasan terhadap
pemerintah pemberontak yang tidak lagi dipimpin oleh An Lu Shan karena jenderal
pemberontak itu telah tewas. Perang hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam
perang ini, para pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat
dirampas kembali sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su
Tiong.
Di dalam perang ini, Han Bu Ong
putera The Kwat Lin yang bersama orang-orang kerdil membantu pemerintah pemberontak,
tewas pula dalam pertempuran hebat sampai tidak ada orang pun orang kerdil
tinggal hidup.
Dalam tahun 766 berakhirlah
perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa itu, namun kerajaan Tang telah
menderita hebat sekali akibat perang yang mula-mula ditimbulkan oleh
pemberontak An Lu Shan itu. Kematian yang diderita rakyat,
pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam perang selama pemberontakan
ini adalah yang terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang
dari tiga puluh lima juta manusia tewas selama perang yang biadab itu! Bukan
hanya kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir,
Kerajaan Tang kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan
yang diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar
terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang diangkat menjadi
gubernur-gubernur yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah
menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sediri.
Di samping itu, pemberontak An Lu Shan membentuk pasukan-pasukan yang
ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke perbatasan dan menjadi
pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan gangguan terhadap kekuasaan
pemerintah.
Demikianlah, dengan dalih apapun
juga, pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan kerusakan dan malapetaka,
karena tidaklah mungkin perdamaian diciptakan oleh perang! Menurut sejarah di
seluruh dunia, tidak pernah ada revolusi jasmani mendatangkan perdamaian dan
kesejahteraan. Kiranya hanyalah revolusi batin, revolusi yang terjadi di dalam
diri setiap orang manusia, yang akan dapat mengubah keadaan yang menyedihkan
dari kehidupan manusia di seluruh dunia ini.
Dengan tewasnya Han Bu Hong di
dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang keluar dari Pulau Es dan Pulau
Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat Hong berdua saja, akan tetapi
kedua orang ini pun sudah kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di
Hoa-san-pai itu, tidak ada lagi yang tahu bagaimana keadaan kedua orang itu
dan, di mana adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih ada dan kedua orang
suheng dan sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup. Buktinya, beberapa
tahun kemudian kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti
menyelamatkan belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai. Didalam
kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka
dipermainkan badai dan nyaris terguling, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil
yang didayung oleh seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik, dan
kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat
perahu-perahu itu kemudian menariknya keluar dari daerah yang diamuk badai!
Apakah mereka itu Sin Liong dan
Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya karena setiap kali muncul
menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang berada di utara, kedua
orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka.
Kalau benar mereka itu adalah Sin
Liong dan Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka? Apakah suheng dan
sumoi yang saling mencinta dan yang telah kembali ke Pulau Es itu langsung
menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena agaknya bagi
mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang tidak penting
lagi. Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta kasih yang biasa
melekat di bibir manusia pada umumnya, karena cinta kasih seperti itu telah
diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan mendatangkan
kesenagan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita itu
mendatangkan kesenangan maka dia mendatangkan pula kesusahan karena kesenangan
dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah. Menerima
yang satu harus menerima pula yang ke dua, yang mau menikmati kesenangan harus
pula mau menderita kesusahan.
Tidak, cinta kasih mereka bukan
seperti cinta kasih palsu yang kita punyai!.Pernah ada seorang anak nelayan
yang diwaktu malam hari, ketika perahunya diayun-ayun gelombang
kecil dan dia sedang menggantikan
ayahnya yang tertidur untuk menjaga kail, mendengar nyanyian halus yang
dinyanyikan oleh seorang wanita cantik di atas perahu dan yang kelihatan
remang-remang di bawah sinar bulan purnama di malam itu. Anak yang cerdas ini
masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti berikut:
"Langit, Bulan dan Lautan
kalian mempunyai Cinta kasih
namun tak pernah bicara
tentang Cinta kasih!
Kasihanilah manusia
yang miskin dan haus
akan Cinta Kasih, bertanya-tanya
apakah Cinta Kasih itu?
Bilamana tidak ada ikatan
tidak ada pamerih dan rasa takut
tidak memiliki atau dimiliki
tidak menuntut dan tidak merasa
memberi.
Tidak menguasai atau dikuasai
tidak ada cemburu, iri hati
tidak ada dendam dan amarah
tidak ada benci dan ambisi.
Bilamana tidak ada iba diri
tidak mementingkan diri pribadi,
bilamana tidak ada "Aku"
barulah ada Cinta
Kasih........"
Puluhan tahun, bahkan seratus
tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam cerita setengah
dongeng tentang seorang manusia
dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang
sederhana namun yang pribadinya
penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa pun. Bu Kek
Siansu yang dikenal sebagai tokoh
Pulau Es dan menurut cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti
Tee Tok Siangkoan Houw, Lam Hai
Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai, tokoh-tokoh
Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek
Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib),
yaitu pemuda Kwa Sin Liong yang
menghilang bersama sumoinya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya
menetap di Pulau Es, tidak pernah
lagi terjun ke dunia ramai. Dan memang seorang manusia seperti Bu
Kek Siansu tidak pernah mau
menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh cinta
kasih. Maka kita pun tidak
mungkin dapat mengikuti seorang manusia seperti Bu Kek Siansu, dan hanya.kadang-kadang
saja dapat melihat muncul di antara orang banyak, dan di dalam dunia
persilatan, Bu Kek
Siansu akan muncul di dalam
ceritera "Suling Emas".
Demikinlah, terpaksa pengarang
menutup cerita "Bu Kek Siansu" ini yang hanya dapat menceritakan
pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi seorang Bu Kek
Siansu, sewaktu dia belum memiliki cinta kasih sehingga masih
diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya. Dengan mengenangkan
isi nyanyian yang dinyanyikan oleh anak nelayan itu, penulis mengajak para
Pembaca Budiman untuk sama-sama mempelajari dan mudah-mudahan kita pun akan memiliki
Cinta Kasih melalui pengenalan diri pribadi. Teriring salam bahagia dari
pengarang dan sampai jumpa kembali di lain cerita.
No comments:
Post a Comment